Pencarian

Semoga Bunda Disayang Allah 3

Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye Bagian 3


"Aku sejak awal sudah tidak suka kehadirannya di rumah ini, yang! Dan kau tahu, tadi sore Salamah panik meneleponku. Melaporkan kalau di kamar pemuda itu ada botol minuman keras.... Minuman kerasi Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku membiarkan seorang pemabuk tidur di bawah atap rumah ini!" Tuan HK mendesis.
Bunda terdiam sambil menelan ludah. Ia mengerti sudah. Kalau soal mabuk itu ia sudah tahu-"Urusan ini sudah selesai, yang. Maafkan aku, malam ini juga pemuda itu harus pergi! Aku tidak akan mengijinkan seorang pemabuk mana pun berada di sini.... Apalagi mengajari putri kita!" Bunda menggigit bibirnya. Terdiam. Apa yang harus ia lakukan"
"Aku tahu kau mungkin amat berharap padanya. Tapi semua ini sia-sia, yang! Bagaimana mungkin seseorang yang dituduh menyebabkan kematian delapan belas anak-anak akan mendidik Melati! Lihatlah, lima hari berlalu, apa yang terjadi pada Melati" Kemajuan apa yang didapatnya" Putri kita malah sakit! Tergolek lemah di ranjangnya. Tidak, yang! Kali ini aku tidak bisa bersepakat
denganmu...." "Apa.... A-pa yang akan kau lakukan?" Bunda
bertanya gugup. "Aku akan mengusirnya!"
Bunda mencengkeram lengan suaminya. Matanya menatap panik. Menggeleng-geleng pelan. "Cukup! Tidak ada perdebatan, aku akan mengusirnya malam ini juga, bagaimana mungkin kau membiarkan seorang pemabuk ada di ruang makan keluarga kita...." Tuan HK mendesis tegas. "Ta-pi... Tapi kita sudah berjanji akan memberinya waktu satu minggu! Tinggal dua hari lagi. Aku mohon, biarkan dia menyelesaikannya. Biarkan dia menyelesaikannya sesuai janji kita. Setelah itu baru k
ita putuskan. Kita lihat apakah ada kemajuan atau tidak...." Bunda berkata terbata, berusaha membujuk.
"Tidak. Aku memang memberinya waktu satu minggu, juga kesepakatan tidak ada protes, tidak ada keluhan.... Tapi di dalamnya jelas aku tidak memberinya ijin untuk mabuk di rumah ini!" Tuan HK mendesis marah. "Aku mohon-"
"CUKUP, YANG! TIDAK ADA LAGI PERDEBATAN!" Tuan HK membentak istrinya. Jengkel. Dia tahu, urusan Melati cepat atau lambat akan membuat istrinya melupakan akal sehat. Tapi ini sudah keterlaluan. Bagaimana mungkin mereka berharap pada pemuda sialan itu. Yang mulutnya amat kasar. Yang tangannya amat ringan memukul. Bunda gugup mendengar bentakan Tuan HK.
Cengkeraman di tangan suaminya melemah.
Wajahnya tertunduk. Tuan HK terdiam sejenak demi
melihat ekspresi wajah istrinya. Menahan tubuh
istrinya agar tetap berdiri. Menghela nafas
tertahan. Lantas merengkuh Bunda.
"Maafkan aku, yang!" Tuan HK berbisik pelan,
"Maafkan aku telah membentakmu-"
Bunda mengusap ujung-ujung matanya.
Lengang. Lorong depan kamar biru Melati senyap
sejenak. "Maafkan aku, tapi keputusan ini sudah selesai. Aku akan mengusirnya malam ini juga. Kau tahu, besok pagi-pagi aku harus ke bandara, berangkat ke Frankurt selama tiga minggu.... Aku tidak ingin pemuda 'berbahaya' itu menghabiskan waktunya di rumah ini selama aku pergi...." Tuan HK membelai rambut beruban istrinya.
Bunda tertunduk. Pemuda berbahaya" Ia tidak tahu persis apa yang sedang dipikirkan hatinya. Tidak tahu. Mungkin saja suaminya benar. Bagaimana mungkin ia berharap banyak pada pemuda itu" Lihatlah, Melati terbaring sakit gara-gara ulahnya.... Tapi kejadian-kejadian ganjil itu" Ah, itu mungkin saja kebetulan. Mungkin saja pemuda itu tahu dari orang lain tentang putrinya. Hanya menebak.
Bunda mengusap ujung-ujung matanya. Mungkin suaminya benar. Ia-lah yang terlalu naif. Berharap muluk atas setiap usaha membantu keterbatasan Melati. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan seorang pemabuk ada di rumahnya" Menganggap
itu biasa dan bisa diterima, menafikannya demi
kesembuhan Melati" Apalagi yang dibilang oleh
kliping koran" Ya, ia baru ingat, Kinasih pernah
bilang selintas soal pengadilan-pengadilan itu....
Tuan HK melepas pelukannya.
"Kau.... Kau mau kemana?" Bunda bertanya lirih.
"Ke kamar pemuda itu-"
"Ja-ngan.... Jangan-" Bunda gagap berseru.
Tuan HK menoleh, menatap tajam.
Bunda tertunduk, menelan ludah, "Maafkan aku....
Sebenarnya... sebenarnya aku sudah tahu sejak
awal kalau pemuda itu mabuk. Maafkan aku yang
tidak berusaha memberitahumu. Maafkan aku yang
berusaha menganggap itu tidak masalah sepanjang
Melati bisa disembuhkan...." Bunda menyeka
pipinya, "Kau benar.... Aku seharusnya tidak larut dengan harapan-harapan semu, tidak melupakan akal-sehat dalam urusan ini.... Biar.... Biarlah aku yang melakukannya. Biar aku yang bicara baik-baik dengannya. Memintanya pergi, itu akan lebih baik baginya...."
Tuan HK menatap lamat wajah istrinya. Tahu pemuda itu mabuk" Urusan ini benar-benar akan mengambil-alih akal sehat siapa saja. "Biarlah aku yang bicara, yang. Aku mohon.... Itu akan lebih baik buat semua. Kita tidak ingin terjadi pertengkaran, bukan?" Bunda HK berbisik lirih. Tuan HK berpikir sejenak. Mengangguk. Baiklah. Biar istrinya yang bicara dengan pemuda sialan itu. Mengalah untuk ke sekian kalinya. Mengecup dahi
istrinya. Tapi pertengkaran itu tetap terjadi. Lebih hebat dari yang dicemaskan Bunda malah. Esok paginya, Tuan HK langsung mengernyit marah (meski juga bingung) saat melihat Karang dengan santainya turun dari anak tangga pualam. Rambut Karang klimis disisir, mengenakan sweater hitam kesukaannya. Dia sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang sejak semalam sudah seharusnya diusir dari rumahnya. Dia malah terlihat lebih ramah dibandingkan sebelumnya.
"Pagi, Nyonya!" Menyapa seperti tidak ada masalah (Karang tidak pernah merasa perlu menyapa Tuan HK saat sarapan).
"Pagi ini karena Melati masih sarapan di kamarnya, maka aku akan sarapan bersama kalian...." Karang rileks menarik sebuah kursi, abai dengan tarikan wajah marah Tuan HK.
"Apa kau sudah melakukannya?" Tuan HK mendesis jengkel.
"Melakukan apa" Aku belum melakukan apapun sepanjang pagi, Tuan! Ah-ya, tapi terima kasih kau sudah bertanya. Pertanyaan pertama setelah hampir seminggu aku berada di rumah ini...." Karang melambaikan tangan tidak peduii. Menyendok sup jagung.
Keliru. Maksud pertanyaan itu jelas-jelas untuk Bunda. Pipi Tuan HK menggelembung (macam kodok yang bersiap mengeluarkan dengking terkerasnya). Benar-benar jengkel. Tadi pagi lepas shalat shubuh
dia sudah jengkel dan rusuh menyiapkan berkas-berkas perjalanannya ke Jerman. Rusuh meneriaki pembantu untuk menaikkan koper ke dalam mobil. Rusuh menelepon staf-stafnya di rumah tentang beberapa dokumen yang tertinggal. Menyuruh mereka mengantarkan segera ke bandara. Pagi ini saat dia ingin sarapan sebentar bersama istrinya. Sarapan yang dia harap sedikit menyenangkan sebelum pergi ke Frankurt selama tiga minggu. Sarapan yang dia harap sedikit rileks mengingat pagi ini pemuda sialan itu pasti sedang berkemas-kemas di kamarnya. Tapi apa yang terjadi" Yang disangkanya bersiap pergi malah santai sekali di meja makan bersamanya. "APA KAU SUDAH MELAKUKANNYA?" Tuan HK tidak bisa lagi menahan emosi, berteriak marah. Bunda tergagap. Wajahnya terlihat amat gugup. Menggeleng lemah berkali-kali. Sendok di tangannya bergetar. Tidak. Dia belum melakukannya. Semalam selepas bicara dengan suaminya, Bunda memang pergi ke kamar Karang. Sudah berdiri di depan kamar, mendorong pelan pintu yang tidak terkunci. Bersiap membicarakan masalah tersebut. Tapi mulutnya langsung 'terkunci' ketika melihat pemuda itu sedang berdiri di bawah bingkai jendela. Melihat wajah Karang yang ditimpa cahaya rembulan. Begitu teduh (untuk tidak menyebutnya terlihat ganjil). Wajah itu seperti sedang bersedih. Karang pelan menoleh kepadanya, menyadari ada seseorang yang memperhatikan sejak satu menit lalu.... Bersitatap satu sama lain, "Qintan suka
sekaii menatap rembulan, Nyonya!" Pemuda itu berkata lirih, menyeka ujung-ujung matanya. Musnah sudah keinginan Bunda membicarakan kemarahan suaminya. Besok. Ia bisa melakukannya besok. Tidak malam ini. Ia tidak akan memaksakan diri. Situasinya tidak tepat. Waktunya keliru. Bagaimana mungkin Bunda akan bicara dengan seseorang yang sedang menangis. Bunda amat mengenal ekspresi wajah seperti itu. Amat mengenal, karena begitu pula tarikan wajah miliknya. Wajah yang menyimpan beban berkepanjangan.
Lagipula hati Bunda tiba-tiba bingung. Semua paradoks ini membuatnya tidak mengerti. Ia tidak pernah menyangka pemuda yang terlihat kasar, menyebalkan, sarkas, ternyata malam ini sedang menangis tanpa air mata di kamarnya. Entahlah, apa maksud semua ini" Yang Bunda tahu, ada kesedihan misterius dari wajah pemuda yang berdiri di hadapannya.
"BAIK! KALAU BEGITU BIAR AKU YANG MELAKUKANNYA SEKARANG!" Tuan HK mendesis keras, jengkel melihat istrinya yang malah melamun. Karang masih duduk tanpa ekspresi. Rileks menatap wajah merah Tuan HK, seperti sedang melihat sebuah pertunjukan drama.
"KAU! Aku tahu siapa kau sebenarnya! Delapan belas anak-anak yang mati tenggelam di laut! Pengadilan itu! Tuduhan-tuduhan itu! Aku tidak peduli apa yang diputuskan oleh hakim. Aku tidak peduli dengan dukungan-dukungan. Opini! AKU
TIDAK PEDULI DENGAN OPINI! Yang aku peduli aku tidak pernah menyetujui seorang pemabuk berada di rumahku! Seorang pemabuk mengajari putriku! TIDAK PERNAH!" Tuan HK berteriak marah, langsung ke pokok permasalahan.
Membuat terbang rombongan burung gelatik yang tengah mematuk-matuk remah roti di hamparan rumput taman. Bunda tertunduk dalam, menggigit bibirnya. Salamah sudah dari tadi menekan-nekan dada. Panik sekali. Wajah Tuan HK terlihat merah, seperti kepiting yang sedang direbus (Nah, karena Salamah sering merebus kepiting buat makan malam, jadi tahu sekali kalau metafora ini tepat 100%).
Karang mengusap wajahnya. Terdiam. Bukan karena dibentak. Tapi karena Tuan HK entah bagaimana caranya tahu, tiba-tiba pagi ini menyebut-nyebut masa lalunya. Karang sejenak menatap datar Tuan HK yang seperti siap kapan saja menerkamnya. "Well, ternyata Tuan sudah tahu 'pelajaran sejarah' itu! Kalau begitu, satu orang lagi yang tahu kejadian penting tersebut...." Karang menyeringai, berusaha tersenyum lebar. Tidak peduli. "Berhentilah bertingkah seperti kau amat hebat!! Seperti kau amat bisa mengendalikan seluruh suasana.... KAU! Pergi dari rumah ini sekarang juga!" Kalimat Karang membuat Tuan HK benar-benar mengkal.
"Aku tidak akan pergi kemana-mana. Tuan.... Bukankah Tuan yang justru pagi ini harus pergi ke bandara buru-buru" Sudah pukul 07.00, setengah
jam lagi! Meski Tuan memiliki separuh kepmilikan di maskapai itu, pesawat itu sepertinya akan tetap terbang. Ada atau tanpa Tuan di dalamnya." Karang ringan menyendok sup jagung. Tidak peduli. Tuan HK menendang kursi yang didudukinya, menggerung marah.
"Sabar, yang. Sabar.... Aku mohon-" Bunda segera
mencengkeram lengan suaminya, panik, gentar,
bingung, entahlah. "Lepaskan aku!" Tuan HK mendelik.
"Biar, biar aku yang membicarakannya baik-baik...."
Bunda terus menahan lengan suaminya.
"Kau tidak akan pernah bisa melakukannya, kau
sudah tidak bisa berpikir rasional lagi!" Tuan HK
mengibaskan tangan Bunda, melangkah kasar
mendekati kursi Karang. Salamah menggigit bibir, dari tadi ia sudah menduga-duga bakal terjadi perkelahian seru beberapa detik lagi. Apa ia perlu bantu gebukin tamu sialan ini" Mata Salamah melirik ke sana ke mari, mencari sapu ijuk dan pengki. Sayang, keributan dan harapan Salamah terputus oleh sopir keluarga yang ragu-ragu mendekat, berkata takut-takut pada Tuan HK. "Ergh, maaf. Tuan. Maaf, menyela.... Ergh, tapi ini penting sekali. Kita harus, kita harus berangkat sekarang juga.... Kalau tidak akan tertinggal. Pesawatnya, eee-"
Tuan HK menoleh buas, ingin membentak juga sopir keluarga itu. Tapi Bunda yang berhasil mengejarnya, sudah mendekapnya dari belakang.
Menenangkan. Tuan HK menggerung. Jengkel dengan pelukan istrinya. Tapi tidak mungkin dia mengibaskan tubuh istrinya, kan" Dia menyeka dahi, berusaha mengendalikan diri. Teringat perjalanan ini penting bagi bisnis keluarga mereka. "Kau harus berangkat sekarang, yang.... Biar, biar aku yang mengurus masalah ini. Biar aku yang membicarakannya baik-baik dengan Karang." Bunda berbisik, memohon.
Tuan HK menyeka lagi dahinya yang berkeringat. Mengendalikan nafasnya yang tersengal. Berpikir sejenak.
"Lihat, Beno sudah menunggu.... Kalau kau sampai terlambat, pasti Beno juga yang kena omel seharian. Bukankah ini perjalanan yang amat penting buat pabrik kita. Biar, biar aku yang bicara baik-baik dengan Karang. Aku berjanji akan melakukannya sekarang. Kau harus berangkat...." Hening sejenak. Tuan HK memejamkan mata. Menarik nafas panjang-panjang. Mati-matian berusaha mengendalikan emosi. Bunda masih mendekapnya dari belakang.
"Ba-ik.... Aku pergi sekarang! Tapi kau pastikan, saat aku menelepon setengah jam lagi dari bandara sebelum pesawat berangkat, aku ingin mendengar kabar kalau pemuda tidak tahu diri ini sudah pergi dari bawah atap rumah kita! Pergi sejauh mungkin! Jika tidak aku sendiri yang akan membatalkan perjalanan itu. Membawa petugas keamanan sekalian...." Tuan HK mendesis, menunjuk kasar wajah Karang.
Bunda mengangguk. Tersenyum, berjanji. Membimbing Tuan HK melangkah keluar dari ruang makan. Berseru kepada Salamah agar membawa koper kecil di dekat meja makan. Salamah yang tegang menyaksikan pertengkaran terlonjak. Buru-buru menurut.
Karang menghela nafas pelan di atas kursi.
"Maafkan aku. Karang! Maafkan aku harus mengambil keputusan ini.... Kau tahu, suamiku amat membenci pemabuk!. Aku tidak bisa membayangkan kemarahannya kalau tahu kau masih di sini-" Bunda menatap Karang datar, masih berusaha tersenyum. Setelah mengantar Tuan HK ke mobil, setelah berdiri sejenak di depan pintu ruang makan besar, setelah menimbang-nimbang, Bunda memutuskan menerima keberatan Tuan HK. Mungkin suaminya benar, tidak ada yang bisa diharapkan.... Mungkin kecemasannya selama ini juga benar, Melati tidak akan pernah bisa mengatasi keterbatasannya. Masuk ke ruang makan sambil menyeka dahi, duduk di kursi, menatap Karang yang seperti biasa, tidak peduli menyeruput keras-keras sup jagung dari mangkuknya, "Enak sekali, Nyonya! Sepertinya semua orang harus belajar bagaimana membuat sup jagung seenak ini-" Karang melambaikan tangannya. Meneruskan makan. Seperti tidak mendengarkan kalimat Bunda barusan (yang halus mengusirnya).
"Kau harus pergi pagi ini juga, anakku-" Bunda menelan ludah, sedikit mempertegas maksud
kalimatnya. "Tidak ada yang akan pergi pagi ini selain Tuan HK ke Frankurt, Nyonya-" Karang menyendok sup dari mangkuk besar. Nambah.
Salamah yang sudah kembali ke meja makan dan melihat kelakuan Karang mendesis sirik dalam hati. Satu untuk sup jagung, lihatlah, tamu sialan ini menghabiskan separuh lebih. Dua untuk betapa menyebalkannya cara Karang menanggapi ucapan Bunda.
"Mengertilah, Karang. Kau harus pergi.... Ya Tuhan, aku pikir...." Bunda terdiam sejenak, mendongak menatap langit-langit ruangan, mencegah air-matanya tumpah.
"Aku pikir, aku juga sudah amat lelah, Karang. Lelah berharap Melati akan menunjukkan kemajuan.... Teramat lelah. Jadi bukan karena kau. Bukan karena kau pemabuk, anakku. Aku juga tidak peduli soal berita-berita pengadilan itu. Tapi semua ini sepertinya memang harus berakhir begini.... Melati mungkin bahkan tidak, akan pernah bisa makan dengan baik seperti yang kau inginkan...." Bunda menyeka ujung-ujung matanya. Menghela nafas panjang. Lihatlah, minggu-minggu ini ia mudah sekali menangis. Ya Tuhan, bahkan lebih sering dibandingkan saat pertama kali tahu Melati tuli, buta, sekaligus bisu tiga tahun lalu. Karang yang rileks dengan sarapan, akhirnya meletakkan sendok. Mengangkat kepalanya. Menatap Bunda tajam.
"Aku harap kau mau mengerti, anakku. Salamah
akan membantu mengemasi barang-barang. Biarlah, biarlah Melati sendiri dengan keterbatasannya. Biarlah ya Allah, kalau itu sudah keputusanMu.... Sudah menjadi takdirMu. Kami akan bersiap menerima apa-adanya-"
"Omong-kosong, Nyonya. Tidak akan ada yang pergi sekarang!"
"Aku mohon, mengertilah, anakku!" "Aku akan tetap di sini, Nyonya...." Bunda HK menyeka pipinya.
"Aku akan tetap di sini, Nyonya! Memastikan Melati memiliki kesempatan melawan takdir menyakitkan miliknya! Tahu dari mana Nyonya tentang keputusan Tuhan" Bah! Melati punya kesempatan lebih banyak dibandingkan siapapun, bahkan dibandingkan dengan kesempatan kita melemparkan bola mengenai anak tangga pualam itu!" Karang menunjuk anak tangga berjarak enam meter dari meja makan dengan sendoknya.
"Kau mungkin benar, anakku. Janji-janji itu juga mungkin benar. Semua harapan ini juga mungkin benar.... Tapi aku sudah amat lelah.... Sudah amat penat.... Setiap malam bersimpuh, berharap, mengirimkan beribu kata doa, tapi tetap tak kunjung ada kabar baiknya. Mungkin semua memang harus berakhir seperti ini...." Bunda menahan sedan tangisnya.
"Lantas apa yang akan Nyonya lakukan" Mengirim Melati ke rumah sakit jiwa" Mengirim Melati ke sekolah luar biasa?"
Bunda tertunduk. Itu mungkin bisa jadi pilihan
baiknya. Seperti yang dikatakan dokter senior dari rumah sakit ternama ibukota tiga minggu lalu. Atau juga Melati tetap di sini. Tetap seperti ini selamanya. Ya Allah, apapun yang akan terjadi pada anaknya, ia berjanji akan selalu bersamanya.... "Omong-kosong, Nyonya! Melati masih memiliki kesempatan. Ia tidak akan menghabiskan hidupnya hanya dengan menggerung seperti seekor lebah, meraba-raba sekitar seperti moncong musang. Melati tidak akan menghabiskan hidupnya untuk dikasihani.... Ia tidak akan pergi ke rumah sakit jiwa untuk belajar menyulam seperti anak-anak lain! Ia tetap di sini, berjuang demi masa depannya, menaklukkan dunia yang kejam sekali padanya-" Karang untuk pertama kalinya setelah tiga tahun benar-benar berniat mengatakan sebuah kalimat. Matanya berkilat tajam. Dan ucapan itu sungguh menusuk hati Bunda. Bunda tak kuasa menahan tangisnya, terisak.
Menggeleng patah-patah, "Pergilah, anakku....
Biarkan Melati sendiri. Lima menit lagi suamiku akan
menelepon. Dan aku harus mengatakan padanya
kalau kau sudah pergi-"
"Aku tidak akan pergi-" Karang mendesis.
"Pergilah, aku mohon.... Maafkan aku yang tidak
bisa memenuhi janji seminggu darimu-"
"Aku tidak akan pergi. Nyonya-"
Bunda menatap lamat-lamat Karang, wajah keibuan
yang sekarang terlihat lelah itu basah oleh air mata.
Wajah teduh yang sebenarnya amat menyenangkan
itu terlihat begitu sedih, "Aku tahu sekali, suamiku
pasti akan membatalkan penerbangannya jika dia tahu kau masih di sini.... Dia benci sekali dengan pemabuk-"
"Baik! Baik, aku berjanji tidak akan mabuk lagi!" Karang berseru jengkel. Meskipun kali ini ada sesuatu yang tiba-tiba menyentuh hatinya. Menatap wajah yang begitu teriuka di hadapannya. Menatap wajah yang seakan kehilangan seluruh harapan.
Benarlah. Jika kalian sedang bersedih, jika kalian sedang terpagut masa lalu menyakitkan, penuh penyesalan seumur hidup, salah satu obatnya adalah dengan menyadari masih banyak orang lain yang lebih sedih dan mengalami kejadian lebih menyakitkan dibandingkan kalian. Masih banyak orang lain yang tidak lebih beruntung dibanding kita. Itu akan memberikan pengertian bahwa hidup ini belum berakhir. Itu akan membuat kita selalu meyakini: setiap satu mahkluk berhak atas satu harapan.
Lihatlah! Kesedihan dari wajah Bunda memancar bagai mata air di hutan lebat. Begitu deras membasuh ruang makan besar itu. Karang tertusuk seketika. Dia entah mengapa, seketika bersumpah akan membuat tangis itu terhenti. Ya Tuhan, tidak seharusnya semua takdir ini terjadi pada keluarga baik ini. Lihatlah wajah Bunda yang begitu terluka. Kekuatan dendam positif itu kembali. Seperti deru lima belas pesawat tempur.
"Aku tidak akan mabuk lagi. Nyonya. Tidak ada minuman keras!"
Bunda menggeleng. Itu bukan masalah besarnya. "Aku juga tidak akan kasar lagi. Tidak ada lagi kalimat-kalimat kasar. Tidak ada lagi ekspresi muka kasar, tidak peduli-"
Bunda tetap menggeleng. Satu bilur air matanya jatuh mengenai meja. Bukan itu masalahnya.... Masalahnya, pagi ini Bunda akhirnya tiba di garis batas rasa putus-asanya. Ya Allah, apakah kesabaran itu ada batasnya" Jika ada, maka apa ia tetap bisa dibilang sabar jika sudah tiba di batasnya" Ya Allah, apakah beban yang kami pikul ada batasnya" Seperti janjiMu dalam kitab. Jika 'ya', kami sungguh tidak mengerti di mana batasnya. Ajarkan kami. Berikan iabei berapa persen seperti petunjuk speedometer mobil untuk setiap ujian, untuk setiap kesabaran, dengan demikian hati kami pasti lebih kuat. "Salamah, bantu Karang menyiapkan
barang-barangnya di kamar." Bunda berkata lirih. Menyeka pipinya.
"Tidak, Nyonya.... Tunggu dulu-" Untuk pertama kalinya Karang mengeluarkan ekspresi 'panik' yang jujur.
"Nyonya bilang Tuan HK tidak akan senang dan
bahkan akan membatalkan penerbangannya kalau
dia tahu aku masih di sini. Itu jika dia tahu! Nyonya
bisa bilang aku sudah pergi...."
"Aku tidak bisa membohongi suamiku."
"Tidak ada yang berbohong, Nyonya. Demi Melati.
Aku mohon. Berikan aku tambahan waktu 21 hari
selama Tuan HK pergi. Berikan aku waktu,
Nyonya.... Tidak ada minuman keras. Tidak ada kekerasan. Tidak ada. Aku bersumpah!" "Percuma, anakku...." Bunda menggeleng lemah, "Kau lihat, selama lima hari terakhir Melati sama sekali tidak menunjukkan kemajuan. Aku tahu, itu semua bukan karena kau, bukan karena cara kasarmu. Tapi karena Melati memang tidak akan pernah tertolong."
"Berikan aku waktu 21 hari selama Tuan HK pergi, Nyonya. Aku akan memperbaiki banyak hal. Dan jika di hari ke-21 Melati tetap tidak berubah, aku sendiri yang akan pergi sebelum Tuan HK tiba di rumah...." "Maafkan aku, Karang.... Kau harus pergi. Biarlah Melati sendiri. Biarkan ia sendiri dengan segala keterbatasannya...."
Karang terdiam. Menatap nanar Bunda. Sendiri" Ya Tuhan, dia tahu persis makna kata itu. Sendiri. Tiga tahun mengurung diri di kamar pengap itu. Itu sudah amat menyedihkan. Tapi andaikata semua orang tahu apa makna kesendirian bagi Melati. Merasakan apa yang ada di kepala kanak-kanak itu saat mendekapnya. Gelap. Hitam. Melati hanya bisa melihat hitam. Senyap. Lengang. Melati hanya bisa mendengar kosong.
"Salamah, bantu Karang menyiapkan
barang-barangnya..." Bunda berkata lirih sekali lagi. Lantas berdiri. "Aku harus melihat Melati di kamarnya. Karang.... Kalau kau marah dengan keputusan ini, aku bisa mengerti jika kau pergi tanpa mengucap kalimat berpamitan padaku-" Salamah mengangguk. Menyeka ingusnya. Menatap
wajah Karang yang masih menatap kosong. Untuk pertama kalinya demi melihat wajah Karang, Salamah bersimpati kepadanya- Ia suka dengan kalimat Karang tentang makna kesempatan tadi. Kesempatan melempar bola mengenai anak-tangga pualam! Itu bisa dibilang 100% pasti kena. "Bi-ar, biar aku yang menyiapkan barang-barangku, Salamah-" Karang berkata pelan, menghentikan langkah Salamah.
Karang menghela nafas. Menyeka dahinya. Menatap mangkuk sup jagungnya yang baru terisi kembali. Semuanya sudah berakhir.... Benar-benar sudah berakhir. Bunda memintanya pergi. Ekspresi putus asa dari wajah Bunda benar-benar menyesakkan. Tidak ada lagi yang bisa diperbuatnya. Karang melangkah menuju anak-tangga pualam. Menaikinya amat pelan. Masuk ke kamarnya. Tidak ada yang perlu disiapkan di sini. Barang-barangnya sudah tersusun rapi setelah Salamah kemarin berbaik hati 'membersihkan' kamarnya. Karang melangkah menuju mesin ketik tuanya yang masih tergeletak di sudut ranjang. Tersenyum pahit melihat kertas putih yang masih terpasang di sana. Ada tulisan, "Sala,mah cant5ik!" Itu pasti ulah Salamah saat masuk ke kamarnya tanpa ijin kemarin. Pasti ia iseng mencoba mesin ketik ini. Mana salah ketik, puia-
Karang memperbaiki posisi tarikan spasinya. Lantas tanpa melepas kertas putih itu memasukkannya ke dalam kotak. Meraih koper tua, lusuh dan kusam milik ibu-ibu gendut. Menumpuk baju di dalamnya.
Menatap botol minuman keras miliknya. Sambil menghela nafas, melemparnya ke kotak sampah di sudut ruangan.
Sudah selesai. Dia sudah selesai berbenah-benah. Berdiri menatap pemandangan dari bingkai jendela. Tertegun. Lihatlah, matahari terbit terlihat begitu anggun. Hamparan bangunan di perkotaan. Persawahan luas yang menguning. Sebentar lagi panen. Kapal ferry besar yang merapat di pelabuhan. Burung camar yang terbang membentuk formasi ramai-ramai. Kembali mencari ikan di lautan luas. Karang menelan ludah. Dia pagi ini juga akan kembali ke kamar pengapnya.
Saat Karang melangkah ke anak tangga pualam, Tuan HK menelepon dari bandara. Bergetar Bunda bilang kalau Karang sedang berbenah. Tuan HK berseru puas di seberang gagang. Mengucap beberapa kalimat. Mengucap beberapa pengingat. Lantas menutup pembicaraan dengan kalimat, "Aku mencintaimu, yang."
"Aku juga mencintaimu," Bunda menjawab lirih. Meletakkan handset telepon di atas meja. Menghela nafas pelan. Beranjak menuju kamar Melati. Tadi pagi, putrinya masih tertidur. Makanya ia urung menyuapinya. Bunda hanya meletakkan mangkuk sup jagung itu di meja kecilnya. Putrinya sekarang pasti sudah bangun. Saatnya ia menyuapi Melati sarapan. Saat itulah.
Saat Bunda yang masih dengan mata sembab membuka pelan pintu kamar biru putrinya. Saat
Bunda yang masih memikul beban pembicaraan Karang barusan melangkah mendekat dengan langkah bergetar. Saat itulah keajaiban Tuhan mampir di rumah besar lereng bukit itu. Tuhan untuk kesekian kalinya menggurat nyata kekuasaannya di muka bumi. Bunda terhuyung.
Sempurna terhuyung! Seketika. Tangannya gemetar mencengkeram kuat-kuat gagang pintu, berusaha tetap berdiri. Ya Allah, hatinya seperti robek oleh perasaan takjub, gentar, bahagia, entahlah. Bagai dilempar ke angkasa. Ya Allah, hatinya buncah oleh perasaan yang tidak pernah dimengertinya. Saat itu Karang sudah melangkah menuruni anak tangga pualam. Tertunduk, menatap satu demi satu anak tangga dengan ekspresi kosong. Melangkah senyap melewati ruang makan. Berpapasan dengan Salamah yang sembunyi-sembunyi meliriknya. Menjinjing mesin ketik tua dan koper lusuhnya. Suara sepatunya mengisi langit-langit ruangan. Melangkah menuju bingkai pintu. Semua sudah berakhir, Karang bergumam pelan dalam hati. "KARANG!! TUNGGU!!" Bunda mendadak berseru serak dari atas.
"TUNGGU, ANAKKU!!!" Bunda gemetar berdiri berpegangan di pembatas teras lantai dua. Langkah Karang terhenti. Salamah langsung mengurut dadanya, ber-istigfar kencang-kencang. Kaget melihat kehadiran Bunda. Kaget melihat wajah Bunda yang begitu ganjil.
"YA TUHAN! CEPAT KE SINI! NAIK KE ATAS!" Bunda
masih mencengkeram pembatas teras lantai dua. Menatap bergantian ke bawah. Karang dan Salamah yang bingung melihatnya.
Salamah tidak perlu diteriaki dua kali langsung berlari naik ke tangga pualam. Karang sejenak terdiam. Pelan menyusul. Tetap memegang mesin ketik tua dan koper lusuhnya. Entah apa maksud teriakan Bunda. Apa ada sesuatu yang terjadi pada Melati" Jantung Karang berdegup. Bukankah Melati masih sakit" Jangan-jangan" Anak malang Itu memburuk. Jangan-jangan. Karang mempercepat langkahnya.
Bunda sudah berdiri lagi di dalam kamar biru. Tersengal oleh perasaannya. Salamah ngintil mendekat. Takut-takut.
"Lihatlah! Ya Allah.... L-i-h-a-t-l-a-h!" Gemetar Bunda menunjuk.
Karang menyibak tubuh Salamah, melihat ke depan. Tertegun, sedetik, dua detik, lima belas detik.... Akhirnya kabar baik pertamaMu tiba. Dikirimkan langsung. Tanpa perantara surat, tanpa perantara kurir, tanpa perantara sang pembawa pesan, sms, telepon, atau internet sekalipun. Langsung melesat dari langitMu. Akhirnya keajaiban itu mampir di lereng bukit kota indah ini. Lihatlah, di meja kecil dekat ranjang biru! Gadis kecil itu sedang duduk jongkok. Tangannya gemetar. Gemetar sekali. Tangan itu sedang memegang sendok.... Sup jagung tumpah di mana-mana. Mengenai seprai ranjang, mengenai baju tidur putih berenda, mengenai lantai keramik.
Sup jagung tumpah di mana-mana.... Tapi untuk pertama kali dalam hidupnya. Melati makan menggunakan sendok.
Bunda sudah jatuh terduduk. Menangis. Mendekap wajahnya.
Melati menggerung pelan. "Baaaa.... Baa.... M-a-a-a...." Jemarinya yang masih kaku memegang sendok pelan menyentuhkannya ke mangkuk. Tumpah lagi.... Sekali lagi. Tumpah lagi. "B-a-a-a-a." Satu sendokan ke sekian berhasil diangkat. Di dekatkan ke mulutnya. Tumpah lagi persis saat siap menyentuh bibir kecil Melati. "Baaa.... B-a-a-a-a...." Melati menggerung pelan. Tidak marah. Tidak merajuk. Ia persis seperti anak kecil yang baru belajar menempelkan potongan gambar-gambar di kertas. Lem-nya belepotan, sering salah tempel, malah tertempel di lengannya, tertempel di rambutnya. Tapi ia tetap mencoba, mulutnya terbuka, gigi kelinci Melati terlihat. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar. Melati terus mencoba....
Bunda tertatih merangkak mendekati putrinya yang amat takjim jongkok, beiajar makan. Bunda menatap nanar kanak-kanaknya. Menangis tersedu. Lihatlah, lihatlah ya Allah, putrinya makan dengan sendok.... Apakah ini bukan mimpi-mimpi yang untuk, kesekian kalinya tega merasuk, ke dalam tidurnya"
Wajah menggemaskan itu (dengan bekas iler di pipi) sedang makan. Sekali. Tumpah. Dua kali. Tumpah.
Tiga kali, sepuluh kali, belasan kali, akhirnya sendok yang hanya berisi sepertiga penuh tiba di mulutnya. Berhasil, meski yang tertelan paling hanya setetes kuah.
"B-a-a-a...." Melati menggerung pelan. Senang. Karang sudah mengusap ujung-ujung matanya.
Kursi. Kursi. Kursi Keajaiban kecil yang akhirnya berbaik hati mampir di rumah besar lereng bukit itu membawa banyak perubahan. Harapan-harapan baru. Keputusan keputusan. Bunda masih dengan gelinang air mata di pipi mengangguk pada Karang. Ia akan memberikan waktu 21 hari lagi baginya. Tiga minggu. Salamah yang suka ngadu ke Tuan HK tidak perlu diancam segala agar tidak membocorkan keputusan Bunda. Bagaimanalah ia akan mengadu" Ia sendiri juga belepotan haru. Membersihkan bekas makanan Melati yang berserakan di lantai sambil menangis.
Melati setelah 'menghabiskan' sup jagung di mangkuk untuk pertama kali seumur hidupnya dengan sendok menggerung 'tidak-peduli'. Sudah bergerak mengelilingi kamar. Mana tahu ia soal tangis haru yang buncah di sekitarnya. Mana tahu soal seruan tertahan. Kepalanya bergerak-gerak mencari. Rambut ikalnya bergoyang. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar. "Baaa.... M-a-a-a...." Menggerung seperti biasanya. Bunda berusaha memeluknya. Sayang, kanak-kanak itu seperti biasa
berseru marah. Karang setelah mendengarkan keputusan Bunda melangkah menuju kamar tanpa banyak bicara. Meski makan dengan sendok bukanlah kemajuan yang besar dan penting, tentu saja dia senang dengan perkembangan ini. Meletakkan koper lusuh dan mesin ketik tuanya. Terdiam sejenak. Mendongak menatap langit-langit kamar. Menyeka dahinya yang berkeringat. Mendesah pelan. "Ibu, bagi musafir setelah melalui perjalanan jauh melelahkan, penuh sakit, sendiri, dan sesak, sebuah pemberhentian kecil selalu menjadi oase sejuk pelepas dahaga.... Setelah keseharian yang penat, rutinitas yang menjemukan, sebuah kabar gembira kecil selalu menjadi selingan yang menyenangkan.... Juga seteiah semua penderitaan, semua rasa putus-asa melewati lorong panjang nan gelap, sebuah titik cahaya, sekecil apapun nyalanya, selalu menjadi kabar baik. Janji-janji perubahan....
Padahal itu selalu terjadi pada kami. Pemberhentian kecil. Kabar gembira. Titik Cahaya. Setiap hari kami menemuinya. Masalahnya kami selalu lalai mengenalinya, kecuali itu benar-benar sebuah kejadian yang luar-biasa.... Atau jangan-jangan kami terlalu bebal untuk menyadarinya, mengetahui pernak-pernik kehidupan selalu dipenuhi oleh janji perubahan....
Ibu, kami juga latai untuk, mengerti, terkadang seteiah pemberhentian kecil menyenangkan itu, justru jalanan menikung, penuh jurang dan onak.
telah siap menunggu. Terkadang seteiah selingan yang menyenangkan itu, beban dan rutinitas menjemukan semakin menyebalkan. Terkadang seteiah titik cahaya kecil itu, gelap-gulita sempurna siap mengungkung... membuat semuanya semakin terasa sesak, sakit, dan penuh putus-asa.... Tapi tak mengapa, Ibu.... Setidaknya hari ini, pagi ini, biarlah kami bergembira atas kabar baik. ini. Bergembira sebentar. Gadis kecil itu sudah bisa menggunakan tangannya. Makan dengan sendok. Andai saja kau ada di sini untuk melihatnya... Andai saja kau juga dulu ada untuk, melihat putra-mu berhasil melepaskan diri dari kehidupan jalanan itu...."
Karang mendengus pelan. Mengusir jauh-jauh masa lalu itu dari kepalanya. Melangkah keluar kamar, saatnya untuk melanjutkan metode pengajaran Melati.
Siang itu juga Karang meminta Bunda membersihkan seluruh ruangan di lantai dua dari barang-barang, perabotan. Sterilisasi.
"Nyonya, Melati sejak detik ini akan memulai harinya yang baru. Tidak. Ia bisa makan dengan sendok itu hanyalah kemajuan kecil. Itu sekadar membuktikan Melati tidak gila. Otaknya waras. Hanya itulah gunanya! Menunjukkan kalau Melati mampu mencerna kebiasaan yang diajarkan kepadanya meski ia tidak memiliki akses untuk belajar.... Seekor lumba-lumba bisa dibiasakan meloncati roda api di atas kolam karena meski ia tidak punya otak, ia punya mata untuk belajar. Melati sebaliknya. Hari
ini kita bisa menyimpulkan otaknya tidak bermasalah, meski ia tidak bisa melihat dan mendengar...."
Maka Mang Jeje, Salamah dan tujuh pembantu lainnya sepanjang hari sibuk memindahkan perabotan dari lantai dua. Kursi-kursi mewah. Lemari-lemari kayu jati berukir dan berplitur mahal. Peralatan-peralatan rumah tangga. Semuanya dipindahkan!
"Juga foto itu, Nyonya!" Karang menunjuk foto keluarga yang diletakkan di dinding koridor lantai dua, "Kosongkan seluruh lantai. Apapun itu! Melati akan memulai kembali mengenali benda-benda. Tidak. Urusan ini sama sekali belum ada titik-terangnya.... Putri Nyonya sama sekali belum memiliki akses untuk belajar. Kita hanya berhasil membiasakan. Lihatlah! Untuk membiasakannya makan dengan sendok saja kita butuh satu minggu. Itu terlalu lamban! Terlalu lamban, Nyonya.... Dengan kecepatan seperti ini Melati membutuhkan seribu tahun, bahkan hanya untuk menyamai pengetahuan anak-anak berumur sembilan tahun...." Bunda meski tidak mengerti apa maksud semua ini. Apa maksud ucapan Karang barusan mengangguk menurut. Hatinya diliputi kebahagiaan luar biasa. Jadi ia ikut memindahkan barang-barang. Melepas foto keluarga mereka dari dinding. Seandainya Tuan HK tahu ia melepas foto ini.... Bunda menyeka keringat di leher, tersenyum. Seandainya suaminya juga tahu kalau pagi ini Melati bisa makan dengan sendok.
"Melati harus belajar lebih cepat. Nyonya! Dengan ruangan baru. Dengan sekelilingnya yang baru. Itu akan memaksanya belajar. Semoga ia tidak melawan seperti seminggu terakhir-" "PYAR!"
Belum usai kalimat Karang, belum selesai harapan itu disebut, Melati yang dibiarkan sendirian di koridor entah bagaimana caranya sudah melemparkan keramik yang tergeletak di lantai, lupa diangkut Mang Jeje. Keramik itu menghantam pembatas koridor. Lantas jatuh ke lantai bawah. Membuat suara lebih kencang lagi. Bunda menoleh. Gugup. Karang bergegas mendekat. Melati sejak tadi sibuk meraba-raba ruangan sekitarnya. Kosong. Semuanya terasa berbeda. Tubuhnya yang masih lemah selepas sakit, masih lamban bereaksi atas perubahan itu. Ia mulai menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Gadis kecil itu tidak mengerti. Ia tidak mengenali lagi lantai kosong itu. Bagaimanalah ia akan mengerti" Ia tidak memiliki cara untuk tahu apa yang sedang terjadi. Mulailah kebiasaan merajuknya kembali. Suara gerungan mengeras. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar lebih cepat.
Nasib buruk buat keramik itu. Hancur berkeping-keping menimpa tumpukan barang di bawah.
"BAAAA.... MAAA!" Melati berteriak marah. Bagai mesin diesel yang mulai panas, kanak-kanak itu kembali mengamuk.
"Sayang.... Ja-ngan-" Bunda sambil tersenyum.
berusaha menahan gerakan tangan putrinya yang berusaha mengangkat keramik lainnya (lebih besar dari yang tadi).
"BAAA!!!" Melati mengibaskan tangan Bunda. Galak. Tertegun. Bunda sempurna tertegun. Menoleh kepada Karang. Penuh sejuta tanya. Bukankah tadi pagi Melati begitu anggun dengan mangkuk sarapannya. Begitu terkendali. B-e-g-i-t-u.... "Maafkan aku. Nyonya.... Dari sisi apapun, sarapan Melati tadi pagi sama sekali bukan kemajuan. Ia tetap sama tidak mengertinya seperti sebelumnya. Hitam. Gelap. Kosong. Melati tetap belum memiliki cara untuk mengenali sekitarnya. Kita hanya tahu, putri Nyonya bisa dibiasakan. Meski untuk membiasakan satu kebiasaan baru itu ia harus melalui banyak kesulitan.... Mahal sekali harganya!" Karang menatap prihatin Bunda. Lihatlah, wanita setengah baya di hadapannya memasang wajah tidak mengerti.
Wajah yang tadi pagi begitu senang. Riang. Seolah-olah kabar baik itu bagai gelombang air besar. Yang bisa membasahi seluruh kekeringan selama tiga tahun terakhir. Yang bisa menghanyutkan kesedihan, penat, dan rasa putus-asa. Tidak. Kabar baik tadi pagi bahkan tidak cukup untuk menyiram satu pot kembang layu. Karang mendekati Melati yang masih berusaha mengangkat keramik besar di depannya. Bunda masih tertegun.
"BAAA.... MAAAAM" Melati menggerung tambah galak saat Karang 'mencengkeram' lengannya.
"Lepaskan, Melati!" Karang mendesis. "BAAA!" Gadis itu memukul sembarangan. Karang gesit menangkap tangannya. Lantas menyeret Melati. Tidak sekasar seperti hari-hari kemarin. Tidak juga membentak sekencang seperti hari-hari sebelumnya. Tapi bagi Bunda, pemandangan ini sempurna membuat luruh harapan tadi pagi yang menjulang tinggi. Membuat lumer asa tadi pagi yang begitu megah. Bunda menggigit bibir, mengusap lemah keringat di dahinya, tertunduk.... Semua terasa kembali menyedihkan. Dan (memang) sungguh begitulah hidup ini.
Satu minggu berlalu dengan cepat. Amat cepat malah. Tidak terasa. Yang lambat itu adalah kemajuan Melati. Yang sungguh terasa itu adalah perasaan Bunda. Menjelang malam di hari Melati bisa sarapan dengan sendok seminggu lalu, seluruh ruangan lantai dua sempurna bersih dari benda-benda. Hanya kamar Melati yang menyisakan tempat tidur berseprai biru. Kamar tidur Tuan HK dan Bunda, ruang kerja Tuan HK, semuanya kosong. Kecuali kamar Karang. Bunda pindah ke lantai satu. Barang-barang ditumpuk di sana. Tinggi. Menjulang. Karang membuat banyak peraturan baru. Salah-satunya yang terpenting, Melati tidak boleh turun dari lantai dua. Jadi sepanjang siang dan malam kanak-kanak itu hanya boleh berada di hamparan ruangan kosong. Anak tangga pualam bahkan disekat dengan pembatas. Membuat gadis kecil itu kehilangan cara untuk turun.
Karang juga melarang Bunda menemani Melati. Hanya dijadwal-jadwal tertentu Bunda boleh naik ke lantai atas, melihat putrinya. Karang sempurna menginginkan gadis kecil itu hanya bersamanya. Dia menginginkan Melati me-restart ulang seluruh memori dan cara berpikirnya tentang benda-benda. Salamah" Apalagi ia, tidak boleh sama sekali naik ke atas kecuali dipanggil.
Masalahnya, persis yang dikhawatirkan Karang sebelumnya, kanak-kanak itu bereaksi sama seperti saat dibiasakan untuk makan menggunakan sendok. Melawan. Marah. Melati ngamuk. Dan melakukan apa saja untuk menunjukkan hal itu. Seorang kanak-kanak lazimnya selalu sebal saat diajari sesuatu yang baru. Normalnya, setiap manusia selalu membenci sebuah proses perubahan. Maka agar proses belajar dan berubah itu menjadi menyenangkan, dibutuhkan pengertian, komunikasi, dan penjelasan bahwa proses itu tidak terlihat se-menyebalkan seperti yang dibayangkan, bahkan menyenangkan dan berguna untuk dirinya sendiri. Tapi Melati tidak memiliki cara untuk tahu, untuk paham, untuk mengerti hal itu. Bagaimanalah bisa" Semua jalur komunikasi tertutup baginya. Baginya, hamparan kosong lantai dua hanya berarti berbeda. Ia tidak suka perubahan. Ia membencinya. Titik. Proses belajar itu amat menyakitkan bagi otaknya yang memiliki keterbatasan akses untuk mengerti. Sama seperti kalian yang ingin sungguh-sungguh belajar sesuatu, namun tidak kunjung mengerti-mengerti juga. Berjuang habis-habisan
demi sebuah pemahaman. Kepala seperti mau pecah. Tetap tidak mengerti jua.... Kanak-kanak itu bahkan sama sekali tidak memiliki cara untuk mengerti. Maka otaknya yang mengkal, 'putus-asa' hanya mengirimkan satu jenis sinyal: melawan. Melati melemparkan segalanya. Dalam artian melawan situasi tidak dikenalnya, juga dalam artian melemparkan yang sebenarnya, benda apa saja yang ditemuinya. Sayang, tangannya yang terjulur liar seperti moncong musang hanya menggapai kosong. Tidak ada. Tidak ada barang-barang yang meski cuma untuk digebuk oleh tangannya. Kanak-kanak itu terhuyung berlarian ke sana ke mari. Tidak ada. Semuanya hampa. Kosong. Persis yang ada di kepalanya.
Maka mengalirlah semua energi marah tersebut melalui teriakan. Melati semakin sering berteriak. Menggerung marah. Berseru-seru kencang. Membuat ganjil sekali suasana di rumah lereng bukit itu. Bagaimana tidak" Suara teriakan Melati terdengar hingga ke halaman rumput. Membuat Mang Jeje tertegun. Burung gelatik berterbangan. Air dari keran yang dipegang Mang Jeje mengalir tanpa disadari, membuat pot bunga mawar terendam....
Terdengar hingga dapur lantai satu. Membuat Salamah tertegun. Tanpa sadar mengiris-iris ikan untuk makan malam hingga hancur. Apalagi Bunda. Bunda hanya bisa menggigit bibir, mendongak cemas ke lantai atas. Ia tidak tahu apa yang membuat putrinya marah lagi. Ya Tuhan, musnah
sudah harapannya yang begitu besar saat pertama kali melihat putrinya makan dengan sendok. Yang ada sekarang justru rasa cemas. Takut. Sedih. Gugup. Entahlah. Yang itu semua bahkan terasa lebih besar dibandingkan sebelumnya. Jika kekhawatirannya memuncak. Bunda akan bergegas naik ke atas tangga pualam. Dari pembatas anak tangga ia dari 'jauh' bisa melihat apa yang sedang dilakukan putrinya. Itu pun jika Melati tidak berada di kamar bersama Karang. Menatap dengan cahaya mata redup. Mengusap wajah berkali-kali. Berbisik lirih tentang janji kebaikan, janji perubahan: bertahanlah, putriku! Bunda mohon....
"BAAA.... BAAAA!!!" Melati berteriak. Marah.
"Kau mau ke mana!" Karang mendelik.
"BAAA!" Melati mana peduli, tangannya yang
menjulur-julur liar tidak sengaja menyikut kursi
plastik di hadapannya. Kursi itu terpelanting. Gadis
kecil itu meringis menahan sakit. Lantas seperti
biasa reflek tertatih berlari menjauhi Karang.
"Kembali!" Karang menghardik, galak.
"BAAA!!" Melati berteriak lebih galak. Sudah tiba di
bingkai pintu ruangan. Meraba-raba ke depan.
Terus melangkah. Berdebam jatuh, kakinya yang terburu-buru tersangkut ubin. Suara gedebuk jatuh itu membuat kepala Bunda yang duduk menunggu di lantai bawah terdongak. Seperti biasa, bergegas naik ke atas tangga pualam.
Karang melangkah cepat mengejar. Melati bangkit
lagi. Meneruskan larinya. Wajahnya menyeringai. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar sebal. Gigi kelincinya terlihat. Mulutnya terus menggerung marah. Hari ini Karang mengajarinya tentang: kursi. Melati harus belajar duduk di kursi. Sebenarnya bukan hari ini saja, sepanjang minggu ini Melati belajar duduk di kursi. Sebenarnya tidak sulit menyuruh Melati duduk. Ia sudah terbiasa sembarangan duduk di lantai, di tempat tidur, di mana saja. Tapi Melati belum pernah duduk di kursi dengan benar. Seharusnya pelajaran ini terlihat mudah.
Masalahnya, bagaimana pula Melati tahu apa itu kursi" Sama seperti sendok-garpu. Ia tidak punya ide sama sekali apa benda tersebut" Apa gunanya" Buat apa coba" Yang ada di kepalanya hanya gelap. Tidak peduli sekencang apapun Karang menjelaskan, "INI KURSI MELATI! KURSI... KURSI! TEMPAT DUDUK. Kau duduk di atasnya. Semua orang punya tempat duduk. Bahkan Tuhan juga punya 'tempat duduk'-"
Hari pertama ia hanya meraba-raba kursi itu. Lantas beranjak pergi. Tidak peduli. Hari kedua saat Karang mulai menyuruhnya duduk. Melati berteriak marah. Ia tidak suka dipegang-pegang. Tidak suka disuruh-suruh. Menendang kursi plastik di hadapannya. Kabur. Begitu saja sepanjang minggu terakhir.
Melati terjatuh lagi. Gerungannya melemah. Berusaha berdiri. Sayang, Karang berhasil mencengkeram lengannya. Menyeretnya kembali
masuk kamar. Bunda menatap sayu dari pembatas anak tangga pualam. Menggigit bibir. Seminggu ini hatinya tidak pernah lelah berharap. Tidak pernah berhenti berdoa. Meski itu membuat fisik dan kepalanya justru semakin lelah. Benarlah, bukan penderitaan jasmani yang membuat cepat lelah, tapi beban hatilah yang sungguh membuat seluruhnya terasa lebih lelah.
Berjuanglah, anakku. Bunda mohon, jangan menyerah.... Bunda berbisik senyap. Tertunduk. Ia mencemaskan banyak hal. Dan salah satunya yang membuat hari-hari terakhir amat sesak adalah kalimat Karang dulu. "Tidak. Urusan ini sama sekaii belum ada titik-terangnya.... Putri Nyonya sama sekali belum memiliki akses untuk, belajar. Kita hanya berhasil membiasakan Melati. Lihatlah! Untuk membiasakannya makan dengan sendok, saja kita butuh satu minggu. Itu terlalu lamban! Terlalu lamban, Nyonya.... Dengan kecepatan seperti ini Melati membutuhkan seribu tahun, bahkan hanya untuk, menyamai pengetahuan anak-anak berumur sembilan tahun...."
Ya Allah, berikanlah cara agar Melati mengerti. Berikanlah cara agar Melati tahu. Sama seperti kanak-kanak lain yang mengerti dan tahu.... Bunda bergumam lirih sambil perlahan menuruni anak tangga pualam. Menyeka ujung-ujung matanya. Seminggu ini ternyata ia lebih banyak lagi menangis dibandingkan minggu lalu.
Malam kembali datang. Bersamaan dengan hujan
deras yang membasuh kota. Kecipak suara air menerpa dedaunan, hamparan sawah, atap-atap kokoh bangunan perkotaan. Syahdu. Lautan lengang dibungkus berjuta larik bilur air dari angkasa sejauh mata memandang. Melihat jutaan bilur air membuncah permukaan laut terasa begitu khidmat. Kerlip cahaya perahu nelayan, kapal ferry di pelabuhan, berpadu indah dengan sorot tajam ribuan watt lampu mercu suar di ujung pulau sana. Melati sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Tergeletak lelah. Hari ini ia aktif sekali. Berlarian ke sana ke mari menghindari Karang. Berteriak tiada henti. Memukul. Menjambak (rambut gondrong Karang). Mencakar. Apa saja yang tangannya bisa. Malam ini ia lelah. Mata hitam biji buah lecinya redup tertutup. Baru setengah tertutup. Keras kepala membuatnya terus berusaha terjaga. Mulutnya menggerung pelan. Yang kalau saja semua keterbatasan ini tidak mengungkungnya boleh jadi terdengar seperti senandung riang kanak-kanak menjelang tidur. Kanak-kanak yang suka bicara sendirian di kamarnya. Jemari Melati mengetuk-ngetuk pelan dinding. Melati tidur dengan lutut terlipat seperti orang kedinginan, menghadap dinding. Posisi favoritnya setahun terakhir.
Rumah lereng bukit itu sepi. Mang Jeje dan pembantu lainnya sudah masuk kamar. Salamah malah sudah memeluk guling dengan motif donaid dan daisy bebek itu. Nyengir entah memikirkan apa. Sepanjang hari ini dadanya terus berdegup
kencang. Gimana nggak" Setiap Melati berteriak, level kepanikannya meningkat tajam. Jadi malam berhiaskan suara buncah air hujan, irama yang terdengar teratur, membuatnya amat nyaman berbaring di atas ranjang. Tidur lelap. Karang duduk di kursi plastik dekat ranjang Melati. Tersenyum tipis. Menatap kanak-kanak yang memunggunginya. Karang sama lelahnya dengan Melati. Seminggu terakhir benar-benar menguras kemampuan mengajarnya. Tidak. Semuanya benar-benar percuma. Melati tidak kunjung menemukan cara untuk belajar dengan cepat selain dengan membiasakannya. Pembiasaan yang menyakitkan.
Singa laut anggota sirkus bisa melompat menangkap bola karena kebiasaan. Tapi proses itu menyenangkan bagi singa laut, juga pelatihnya. Singa laut bisa melihat, mengamati, lantas mengambil kesimpulan: kalau ia melakukannya dengan baik, maka sepotong ikan segar juga akan dilemparkan kepadanya. Melati tidak. Ia tidak punya cara untuk mengerti mekanisme itu dengan cepat. Tadi sore, persis saat matahari merah bersiap menghujam kaki cakrawala, setelah satu minggu yang melelahkan. Melati memang akhirnya bisa duduk di kursi plastik. Meski harus dilaluinya dengan hukuman dua hari tidak makan. Karang dua hari terakhir sengaja meletakkan mangkuk makanan di atas meja tinggi. Yang hanya bisa digapai dengan kursi. Gadis kecil itu, sama seperti belajar menggunakan sendok, dengan susah payah
akhirnya tahu kalau ia harus menaiki kursi, duduk di atasnya untuk mendapatkan makan. Kanak-kanak kecil itu akhirnya mengerti mekanisme tersebut. Satu minggu hanya untuk itu. Amat lamban. Pemandangan yang mengharukan, untuk tidak bilang menyedih-kan, saat kanak-kanak itu pertama kali melakukannya. Gemetar tangan Melati menaiki kursi. Jatuh berdebam. Mencoba sekali lagi. Jatuh berdebam. Mencoba sekali lagi. Wajahnya barut oleh luka. Tangannya juga. Tapi perut lapar dua hari membuat Melati terus berusaha. Ia tidak tahu benda apa ini! Kursi" Ia tidak tahu sama sekali. Tapi otaknya mengirim kesimpulan: ia harus melakukannya kalau ia ingin makan. Hingga tangannya yang liar menjulur-julur bisa menyeimbangkan badan. Hingga tubuhnya yang selalu bergerak-gerak bisa duduk tenang di atas kursi. Lantas bergetar meraih sendok di sebelah mangkok. Harga sebuah proses belajar. Bunda yang menyimak dari pembatas anak tangga pualam untuk ke sekian kalinya menangis. Tersedu. Jatuh terduduk memegangi pembatas. Sama seperti saat pertama kali melihat Melati makan dengan sendok, Bunda berbisik rasa syukur berkali-kali ke langit-langit ruangan. Karang hanya menatap lemah. Menghela nafas panjang, prihatin. Siapapun tahu, kemajuan Melati amat lamban. Terlalu lamban malah. Jika bukan karena waktu, suatu saat jangan-jangan justru dia dan keluarga ini yang menyerah. Tapi bagi Bunda, lihatlah, baginya kemajuan ini tetap seperti terobosan hebat dunia.
Seperti ketika puluhan ribu pekerja kasar, ribuan teknisi, dan ratusan insinyur yang berhasil membuat Terusan Suez. Luar-biasa! Malam beranjak naik. Hujan semakin menderas. Karang memainkan sehelai bulu ayam di tangannya. Bulu ayam milik Melati, dari Mang Jeje (sebenarnya Melati yang merenggutnya dari ayam kate Mang Jeje). Karang menoleh menatap jendela. Berembun. Begitu damai, menyenangkan. Menghela nafas panjang. Malam ini dia tidak segera mengurung diri di kamar, mengeluarkan mesin ketik tua lantas menuliskan apa saja yang dipikirkannya. Malam ini entah mengapa Karang ingin menemani kanak-kanak yang sebentar lagi akan terlelap tidur. Terus memainkan bulu ayam. Menatap kembali rambut ikal Melati yang mengombak. Gadis kecil itu beringsut memperbaiki posisinya. Karang tersenyum, lihatlah, bagi Melati bantal itu di kaki. Bukan di kepala. Ia tidak pernah melihat orang lain menggunakan bantal dengan benar, kan" Jadi ia hanya meletakkan bantal di posisi yang membuatnya paling nyaman, di bawah kaki. Lagipula ia tidak tahu apa itu bantal. Yang ia tahu gunanya: membuat nyaman tidur.
"Bulu Merpati yang indah...." Karang berkata pelan. Mengamati helai bulu di tangannya. Dia sih tidak tahu persis itu bulu apa. Yang Karang tahu persis, malam ini entah mengapa dia ingin mengajak Melati berbincang-bincang. Tidak peduli meski seluruh dunia tahu, gadis kecil di hadapannya tidak akan mendengar sepatah kata pun kalimatnya. Karang
hanya ingin berbincang-bincang.... Karang ingin mendongeng. Persis seperti yang dilakukannya di Taman Bacaan Anak-Anak dulu. "Kak Karang! Kak Karang! Mendongeng. Mendongeng buat Qintan!-" Qintan menggelayut di lengannya. Wajahnya membujuk penuh harap. Nyengir lebar. "Dongeng apa?" Karang tertawa menatap wajah imut Qintan. "Ehm.... E, e, dongeng apa ya?" Qintan menggaruk-garuk rambutnya, berpikir sok dewasa. Lantas sekejap menyebut sebuah benda. Karang pendongeng yang baik. Baginya bercerita hanyalah proses sederhana. Dia bisa membuat cerita apa saja dari sepotong benda. Memberikan plot dan karakter menarik, juga konteks pelajaran bagi anak-anak. Anak-anak di Taman Bacaan tahu itu. Mereka tinggal menyebut sepotong benda, maka Kak Karang akan membuatkan sebuah cerita yang indah.
"Kau tahu, Melati...." Karang berkata pelan, memutus sendiri lamunannya barusan. Menarik nafas dalam-dalam. Memperhatikan lamat-lamat helai bulu ayam (burung) di tangannya. "Bagi penduduk di sebuah tempat, yang letaknya jauh, jauuuh dari sini. Seekor burung selalu menjadi simbol yang indah bagi mereka. Sama indahnya dengan helai bulunya...."
Melati menggeliat lagi. Memperbaiki posisi tidurnya. Mata hitam biji buah lecinya sekali terpejam. Terbuka lagi. Sekali terpejam. Terbuka lagi. Mulutnya masih 'bersenandung' pelan. "Ah-ya, kau mungkin tidak tahu apa itu burung...."
Karang seperti menyadari sesuatu, tersenyum, "Burung itu bisa terbang, sayang. Terbang dengan sayapnya. Bisa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Semua kanak-kanak pasti pernah bermimpi ingin menjadi burung.... Bisa terbang.... Bisa pergi jauh!"
"Andaikata Melati melihat bisa melihat seekor burung terbang...." Karang tersenyum sekali lagi, "Terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Ah-ya kau juga tidak tahu apa itu pohon...." Karang terdiam sejenak. Memainkan bulu ayam kate Mang Jeje.
Dulu setiap kali dia bercerita dengan Qintan, gadis kecil itu selalu menyela setiap dia menyebut sesuatu yang Qintan tidak mengerti. Tidak kunjung berhenti bertanya hingga Qintan tahu. Membuat cerita berputar-putar. Qintan sungguh berbeda dengan anak-anak Taman Bacaan lainnya. Ia cerdas. Rasa ingin tahunya amat besar. Andaikata Melati bisa mempunyai cara untuk bertanya, pasti sama kritisnya dengan Qintan. Karang mendesah pelan....
"Menurut kepercayaan penduduk di tempat itu, saat ada seseorang diantara mereka yang pergi, meninggalkan kota, meninggalkan kampung, maka mereka harus melepaskan seekor burung baginya. Lebih banyak burung yang dilepaskan, maka lebih banyak keberuntungan yang akan menyertai kepergiannya.... Kau tahu. Melati, kenapa harus seekor burung" Kenapa bukan bebek" Sapi" Atau
binatang ternak lainnya" .... Karena burung menjadi simbol yang amat indah....
"Lihatlah, seekor burung terbang bebas di angkasa. Tanpa beban. Berputar-putar menatap hamparan dunia luas... begitu indah, bukan" Begitu pula seharusnya saat seseorang akan pergi, entah itu untuk menimba ilmu, entah itu untuk mencari kehidupan yang lebih baik, entah itu untuk sebuah janji perubahan, ia seharusnya sama bebasnya seperti seekor burung. Tanpa beban. Berputar-putar begitu indah. Bahkan, kau tahu, sayang, setiap manusia sudah seharusnya bagai seekor burung, hidup bebas tanpa beban perasaan, tanpa beban kesedihan. Selalu senang memandang luasnya hamparan kesempatan dan janji kebaikan di muka bumi...."
Gerungan Melati melemah. Kanak-kanak itu hampir jatuh tertidur. Lihatlah, muka menggemaskan miliknya. Wajah bundar bersih. Rambut ikal mengombak. Hidung mancung kecil. Mulutnya yang terbuka sedikit, memperlihatkan gigi-gigi kecil kelincinya.
Karang mengusap wajahnya, "Dalam proses kepergian, lazimnya yang pergi selalu lebih ringan dibandingkan yang ditinggalkan. Lebih ringan untuk melupakan.... Yang pergi akan menemui tempat-tempat baru, kenalan-kenalan baru, kehidupan-kehidupan baru, yang pelan tapi pasti semua itu akan mengisi dan menggantikan kenangan lama. Sementara yang ditinggalkan lazimnya tetap berkutat dengan segala kenangan
itu...." Karang terdiam sejenak. Bukan. Bukan karena kehabisan ide kalimat berikutnya. Bukan karena melihat Melati yang sudah jatuh tertidur. Tapi karena kalimatnya yang tidak sengaja meluncur barusan. Tidak juga. Kalimat itu dalam beberapa hal tidak selalu benar. Bahkan keliru. Lihatlah dirinya. Tiga tahun berusaha pergi dari kejadian menyakitkan itu.... Tapi dia tetap bersama kenangan-kenangan itu. Tidak pernah berhasil melepaskan diri dengan situasi baru, suasana baru, hari-hari baru. Wajah Qintan. Wajah tujuh belas kanak-kanak lainnya. Taman Bacaan... dan Kinasih! Karang menghela nafas panjang. Tapi helaan nafas itu tidak sendiri. Karang menoleh. Bunda sudah berdiri di bawah bingkai pintu kamar. Sudah sejak lima belas menit lalu. Jadwal menjenguknya. Seperti biasa Bunda diperbolehkan memastikan putrinya sudah tertidur.
Menyelimutinya. Mengecup dahinya (kalau Melati masih bangun, ia akan marah diselimuti, apalagi dicium).
Bunda tadi terdiam saat melihat Karang sedang bercerita.... Langkahnya terhenti. Mendengarkan. Ikut menghela nafas panjang.
"Ma-af aku mendengar ceritamu...." Bunda tersenyum.
Karang menggeleng pelan. Tidak apa-apa. "Apakah Melati sudah tertidur?" Karang mengangguk. Bunda melangkah masuk. Wajah wanita setengah baya itu terlihat begitu
lelah, meski tetap berusaha tersenyum. Rambutnya yang beruban, kerut di dahi membuatnya terlihat lebih tua dari seharusnya. Matanya yang hitam-bening keibuan ditelan semua oleh perasaan 'sabar' selama ini. Bunda menyelimuti Melati. Mencium dahi putrinya. Menatap lamat-lamat. Lihatlah, Melati seperti malaikat dalam tidurnya. Begitu lucu-menggemaskan.
"Terima-kasih sudah membantu Melati sejauh ini, anakku-" Bunda tersenyum, menoleh menatap Karang.
Karang ikut tersenyum. Mengangguk pelan. "Ia sudah bisa makan dengan sendok.... Ia juga sudah bisa duduk manis di kursi...." Bunda berkata dengan suara bergetar. Terlihat begitu senang, dan ia memang sedang senang. Dua hal yang ia sebutkan barusan bahkan tak pernah kuasa diimpikannya tiga tahun terakhir. Karang memutuskan tidak berkomentar. Hanya tersenyum. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan tersebut. Meskipun seharusnya Bunda menyadari kemampuan sederhana seperti itu bahkan sudah dimiliki kanak-kanak berumur tiga tahun. "Anak yang amat cantik...." Bunda mengusap lembut pipi Melati, mulai bercerita, terbawa suasana Karang tadi yang bercerita, "Kami menikah di usia yang masih muda. Aku baru berusia 22 tahun saat keluarga HK datang melamar. Masih kerabat dekat. Sebenarnya sudah dijodohkan sejak kecil. Sudah menjadi tradisi di keluarga besar kami. Tapi itu bukan masalah. Aku mencintai suamiku, sama
besarnya dengan ia mencintaiku...." Karang memperhatikan. Mendengarkan takjim. "Harus kuakui keluarga HK dulu bukanlah tipikal keluarga yang menyenangkan. Mereka tertutup, amat tertutup. Rumah ini misalnya, jauh dari mana saja. Seperti menjadi simbol keangkuhan di puncak bukit.... Aku harus menyesuaikan banyak hal, kebiasaan-kebiasaan baru, hari-hari baru, bahkan aku harus belajar bagaimana makan yang baik bersama kolega bisnis orang tua suamiku. Sama persis seperti Melati yang belajar menggunakan sendok dan garpu-" Bunda tertawa kecil. "Suamiku anak tunggal. Meski keluarga ini besar, tapi garis keturunan utamanya selalu begitu. Anak tunggal. Orang-tua suamiku juga anak tunggal.... Mereka pengusaha yang hebat, berhasil melipat-gandakan perusahaan HK yang diwariskan. Begitu juga suamiku, ketika orang-tuanya meninggal, belasan tahun silam, dia juga berhasil membawa perusahaan ini lebih maju. Meski dalam banyak cara harus kuakui dia tidak selalu melakukan hal-hal yang baik...." Bunda terdiam sejenak. Mengingat masa-masa lalu.
"Suamiku amat kukuh dengan pendirian. Amat agresif menguasai bisnis pesaingnya. Bahkan dalam banyak kesempatan mungkin menghalalkan segala cara. Dulu, kehidupan keluarga kami tidak sedekat ini. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, pabrik, berpergian.... Baginya, perusahaan menjadi prioritas pertama...." Bunda tersenyum getir. Memperbaiki selimut Melati (yang lagi-lagi
menggeliat merubah posisinya).
"Hingga belasan tahu usia pernikahan kami. Hingga aku tidak kunjung hamil.... Kecemasan itu mulai timbul. Ah, sederhana sekali kenapa kecemasan itu datang, buat apa suamiku bekerja siang-malam jika tidak akan ada yang mewarisi seluruh kekayaan ini.... Terputusnya garis keturunan keluarga HK. Kenyataan itu benar-benar membuatnya cemas. Dan begitu juga aku, lebih cemas lagi. Dia berusaha menenangkan siang-malam.... Ah, di luar segala tabiat buruknya, suamiku amat mencintaiku. Aku tahu itu...." Bunda tersenyum dengan muka memerah. Sejenak muka lelah itu terlihat lebih bercahaya.
"Umurku 35 tahun, sempurna tiga belas tahun pernikahan kami tanpa kabar bahagia itu. Seseorang mengatakan tentang berbuat baik. Tentang bersyukur. Tentang berbagi. Ah-ya, itu ayah Salamah yang mengatakannya, yang sejak awal keluarga ini ada sudah turun-temurun tinggal bersama kami.... Kalimat itu sedikit banyak mempengaruhi suamiku. Perlahan-lahan dia mulai berubah. Sama kukuhnya dengan sebelumnya, tapi mulai mengerti tentang banyak hal. Berubah banyak hal-
"Lebih banyak waktu yang dihabiskan di rumah. Dan yang lebih penting adalah lebih banyak kebaikan yang dilakukan untuk orang-orang. Keluarga ini tidak pernah mendapatkan hormat dan respek sebesar dan setulus itu sebelumnya.... Namun, kabar baik itu tetap tak kunjung datang. Lima tahun
berlalu. Meski dengan segala kebaikan. Meski dengan segala terapi, aku tidak kunjung hamil...." Bunda menghela nafas, terhenti sejenak. "Hingga akhirnya, ketika rasa putus asa itu membuncah keluarga kami, ketika harapan itu sepertinya benar-benar gelap.... Kabar baik datang. Dokter Ryan, ayah Kinasih membawa berita baik itu. Setelah serangkaian pemeriksaan aku dinyatakan positif hamil!" Bunda tersenyum lebar, mengenang senang kejadian itu.
Karang mengusap wajah kebasnya. Nama Kinasih baru saja disebut. Wajahnya selalu memerah setiap kali nama itu disebut. Seminggu terakhir mereka tidak pernah bertemu iagi. Apa kabarnya" "Sungguh kabar yang hebat," Bunda meneruskan cerita, tidak terlalu memperhatikan wajah merah Karang, "Seluruh kota bahkan ikut merayakannya...." Bunda sambil tersenyum menatap lamat-lamat wajah tertidur Melati (wajah yang menggemaskan meski sudah mulai Heran).
"Proses kehamilan dan kelahiran yang lancar. Semuanya benar-benar lancar. Melati tumbuh begitu memesona.... Tubuhnya gendut, gempal, rambut ikalnya sejak kecil sudah ikal mengombak. Kalau tersenyum, membuat terhenti seluruh kegiatan di sekitarnya. Melati benar-benar mengambil-alih seluruh perhatian. Tidak ada lagi yang akan membuat hidup kami lebih bahagia dibandingkan masa-masa itu. Bahkan, sepertinya tidak akan ada lagi kabar buruk yang bisa menandingi kebahagiaan baru ini. Tidak ada."
Bunda terdiam sejenak. "Hingga tiga tahun lalu. Kejadian yang menyedihkan itu-" Suara Bunda mulai pelan terdengar. Serak. Karang menatap wajah yang tertunduk di hadapannya.
"Kami sekeluarga besar pergi berlibur. Seluruh pembantu ikut. Pulau kecil yang indah. Amat indah! Palau, Mikronesia. Melati riang berlarian di atas pasirnya yang lembut bagai es krim. Umurnya baru tiga tahun. Menjemput masa kanak-kanak yang lucu. Masa kanak-kanak yang seharusnya lebih banyak dihabiskan dengan bermain, penuh kasih-sayang...." Suara Bunda tersendat. "Tapi, tapi semuanya musnah dalam sekejap.... Aku sungguh tidak mengerti apa yang sedang terjadi waktu itu. Ketika Melati jatuh terpelanting terkena piring terbang brisbee.... Putri kecil kami hanya jatuh terduduk. Hanya itu, kan!" Bunda menyeka ujung-ujung matanya, "Putri kecil kami bahkan bisa langsung berdiri setelah jatuh terduduknya, tersenyum lebar menjulurkan tangan-tangannya. Memelukku erat, bangga sekali setelah berhasil menjejak air laut sendirian. Wajahnya amat menggemaskan...." Karang menghela nafas pelan.
"Putri kecil kami hanya jatuh terduduk ya Allah.... Tapi sejak siang itu, entah apa maksudnya, entah apa sebabnya seluruh kebahagiaan kami mulai diambil satu per satu... keterbatasan Melati mulai datang satu per satu. Seperti eksekusi pengadilan yang amat menyakitkan.... Seperti menguliti
bawang, sehelai demi sehelai, membuat mata pedih berair...." Bunda berusaha menahan tangisnya. "Kami tidak tahu kalau ternyata Melati pelan-pelan mulai buta, ya Allah.... Kami baru tahu saat bersiap pulang dari berlibur. Putri kami berjalan terantuk-antuk. Berkali-kali jatuh. Matanya tetap hitam-bening melihat. Bagaimana mungkin ia buta" Bagaimana mungkin" Aku berteriak tidak percaya saat dokter resort bilang Melati buta! Bagaimana mungkin! Itu tidak mungkin terjadi pada putri kami. Ia terlalu cantik untuk buta, Melati terlalu lucu untuk buta. Sungguh semuanya berubah menjadi amat menyakitkan...."
Senyap. Hanya suara hujan yang terdengar buncah di luar. Bunda menahan isak-tangisnya. "... dan... dan seminggu kemudian kabar buruk itu benar-benar datang, dua kali lipat menyedihkan.... Saat kami memeriksakan Melati ke dokter Ryan. Melati juga mulai tuli. Ya Allah, benar-benar menyakitkan mendengar berita itu. Bagaimana mungkin putri kami yang lucu, menggemaskan tuli" Buta?"
"Dan ternyata itu semua belum cukup baginya. Belum cukup ya Allah.... Melati juga kehilangan semua pengetahuan yang pernah dipelajarinya selama ini.... Dia seperti kembali bagai bayi kecil, tapi bayi itu tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar sekarang. Semua keterbatasan itu sempurna mengungkung dirinya. Musnah sudah seluruh kebahagian kami selama tiga tahun. Tidak bersisa...."
Kamar biru Melati lengang. Menyisakan sedan tertahan Bunda. Satu menit berlalu.
Melati menggeliat lagi, tanpa sadar menyingkapkan selimut yang menutupi tubuhnya. Bunda tersenyum (meski getir), dengan lembut kembali menyelimuti putrinya. Lihatlah, hari ini putri cantiknya sudah berumur enam tahun. Hari ini, putri cantiknya sudah bisa belajar makan dengan sendok, sudah bisa duduk di atas kursi, ya Allah, seberapa pun berat tahun-tahun terakhir miliknya, seberapa pun berat kesedihan itu, hari ini sungguh ia sama bahagianya seperti saat ia tahu hamil enam tahun silam.... Lihatlah, malaikat kecilnya sudah bisa makan dengan baik, duduk di kursi pula. Terima-kasih, Tuhan....
Ia sungguh sama bahagianya!


Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis Berkerudung Lembut Gerimis. Hujan semalam menyisakan gerimis di pagi hari. Musim penghujan tiba di masa-masa matangnya. Kota pesisir yang indah itu boleh dibilang setiap hari diguyur berkah dari langit, Hari ini Karang mengijinkan Melati sarapan bersama Bunda di ruang makan besar lantai satu. Bersama Salamah, Mang Jeje, dan beberapa pembantu lainnya. Hadiah kecil atas keberhasilannya. Gadis kecil itu duduk manis di kursi plastiknya. Kepalanya mendongak-dongak senang. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar bercahaya. Ia mengenali ruangan besar tempat makan itu. Ada meja besar. Ada kursi-kursi. Tidak kosong!
Tangan Melati meski lamban bisa menyuap sup jamur dari mangkuk. Pegangan sendoknya makin lama makin mantap. Tidak gemetar lagi. Masih tumpah sih, satu-dua membasahi baju terusan biru bermotif bunga yang dipakainya. Tapi pemandangan itu menyenangkan. Siapa saja yang tidak tahu keterbatasan Melati, tidak akan menyangka kanak-kanak dengan mata hitam biji buah leci tersebut buta, tuli, sekaligus juga bisu.
Bunda menatap Melati dengan senyum terkembang. Sementara Salamah di seberangnya ramai membicarakan festival kembang api dua minggu lagi di pelabuhan kota. Ditingkahi suara polos Mang Jeje dan tujuh pembantu lainnya (yang lebih banyak mengomentari kemajuan Melati dibanding mendengar celoteh Salamah).
Selepas sarapan, Melati tidak perlu dipaksa kembali ke lantai atas. Ia berjalan sendiri. Tangannya terjulur meraba-raba. Menaiki satu-persatu anak tangga pualam sambil menggerung pelan. Bersenandung. Bunda tersenyum menatapnya. Berbisik tentang berlarik asa. Berbisik tentang beribu kabar baik.
Tapi hanya sepagi itu saja kabar baik itu datang. Setiba di atas, duduk di kursi plastiknya, saat Karang memulai pelajaran baru, mulai mengenalkan Melati benda baru, kabar baik itu terputus. Tangan Melati langsung bereaksi. Pertama ia hanya meraba-raba benda itu. Mulutnya bergumam lebih kencang. Kedua tangannya menggapai sudut-sudut benda yang diberikan Karang. Mata hitamnya berputar lebih cepat. Kakinya pelan menghentak-hentak lantai. Kanak-kanak itu menggerung, bersiap melakukannya. "Jangan... Jangan dilempar!" Karang berusaha menggapai.
"PYAR!" Celengan kecil berbentuk ayam itu sudah menghantam dinding sebelum kalimat Karang usai. Cepat sekali gerakan tangan Melati melemparkannya.
"Baaa.... Baaa...." Melati memutar-mutar kepalanya. "Ini namanya tembikar! Ini bukan mainan! Kau tidak boleh melemparnya. Juga benda-benda lainnya! Ka-u ti-dak bo-teh me-lem-par-nya!" Karang menyerahkan celengan kecil berikutnya. Kemarin sore, Mang Jeje sudah membeli sekardus besar celengan kecil.
Tangan Melati menerima celengan berikutnya. Kepalanya bergerak-gerak. Kakinya menghentak hentak lebih kencang. Menggerung lebih riang. Dan dalam hitungan detik-
"PYAR!" Melati melemparkan celengan itu. Dua ekor ayam gemuk hancur berkeping-keping di lantai. Karang menelan ludah. Ini akan lebih sulit dibandingkan mengajari Melati makan dan duduk di kursi. Tidak ada mekanisme yang akan memaksa Melati mengerti bahwa benda-benda yang diberikannya bukanlah mainan yang sembarang bisa dilempar. Seperti ia suka sekali melempar tembikar, telepon, piring, gelas, dan apa saja yang berhasil digapai tangannya selama ini.
"Ini tembikar, Melati! Bukan mainan! Kau tidak boleh sembarangan melemparnya-" Karang menyerahkan celengan kecil berikutnya.
"Baaaa.... Baaaa...." Melati menggerung, mulai bingung. Dua kali bingungnya. Satu untuk bukankah selama ini jika ia memegang sesuatu, sesuatu itu langsung dirampas dari tangannya. Langsung diambil. Kenapa sekarang diberikan berkali-kali. Sama sekali tidak ada yang melarang melemparnya" Dua, bukankah benda-benda ini memang untuk
dilempar. Itu kan yang ia pahami selama ini" Mengasyikkan sekali melemparnya. "Kau tidak boieh sembarang melemparnya-" Karang mendesis tajam.
"PYAR!" Celengan ketiga sudah menghantam dinding. Sekarang, dua ekor ayam dan satu kodok hancur berkeping-keping di lantai. Karang menelan ludah untuk kedua kalinya. Sesiang itu, bukan suara teriakan Melati yang memenuhi langit-langit rumah di lereng bukit, tapi suara teriakan tembikar yang hancur menghantam tembok, anak tangga pualam, atau jatuh ke lantai satu. Menjelang senja tidak ada lagi celengan yang tersisa. Berserakan. Gadis kecil itu terlihat senang. Rambut ikalnya bergerak-gerak. Mata hitam biji buah lecinya berputar bercahaya. Gigi kelincinya terlihat lucu. Sudah hampir dua minggu tangannya tidak latihan melempar sesuatu. Sekarang puaaas banget.
"Baaaa.... M-a-a-a-" Tangan Melati menjulur ke depan. Mencengkeram lengan Karang. Wajahnya menyeringai. Maksudnya mungkin seperti: apa masih ada yang lain.
Karang mendesis pelan. Menggelengkan kepala. Percuma. Pelajaran kali ini lebih rumit. Sudah di level yang lebih tinggi. Menanamkan pengertian pada Melati kalau benda-benda itu bukan mainan. Bagaimana pula caranya" Melati bahkan tidak tahu apa itu tembikar. Tidak tahu apa itu gagang telepon. Apa itu bola. Baginya benda-benda itu sama. Menyenangkan untuk, dilempar. Dan kali ini
jelas, tidak ada hukuman tidak boieh makan yang akan dimengertinya seperti belajar menggunakan sendok dan duduk di kursi.
Salamah setengah jam kemudian sudah menyeka dahinya yang berdebu, memegang pengki dan sapu ijuk. Ia dipanggil untuk membersihkan tumpukan pecahan celengan. Pecah-beling berserakan di seluruh koridor lantai dua. Sementara Melati yang bosan menunggu menerima celengan berikutnya untuk dilempar, sudah berjalan ke sana ke mari, tangannya terjulur liar, meraba-raba udara. Menggerung pelan. "Duduk, Melati!" Karang berseru. "Baaa.... Maaa...." "Duduk, Melati!"
"Baaa...." Kanak-kanak itu terus melangkah. "Kau harus duduk, atau kakimu terinjak pecah-belah celengan!" Karang meraih lengan Melati. Menyibak kursi plastik.
"BAAA-" Kanak-kanak itu seperti ular yang diinjak ekornya seperti biasa seketika berteriak marah. Kencang banget!
"Copot. Copot. Copot!" Salamah yang masih
membersihkan koridor lantai atas mengurut dadanya
(tidak sadar mengurut pakai ujung pengki;
menyeringai lebih kaget).
"Duduk, Melati!" Karang menarik paksa.
"BAAAA! BAAA!!" Melati mengibaskan tangan
Karang. Mata hitamnya berputar-putar, mendelik.
Ia berhasil melepaskan diri. Terjerambab. Segera
bangkit lagi. Berseru-seru. Karang berdiri mengejar.
Berteriak menyuruhnya kembali. Tapi Melati yang sudah terlatih mengenali ruangan tanpa perabotan itu lebih cepat kabur darinya. Celaka. Kaki-kaki kecilnya yang tanpa alas, sempurna menuju tumpukan pecah-belah celengan yang terhampar bak ladang ranjau.
"Jangan.... Jangan mendekat!" Salamah berseru panik. Melempar sapu dan pengkinya, menyeringai ngeri (sayang, Salamah hanya berteriak panik doang, bukannya segera menyambar tubuh kecil yang bergerak sedikit terhuyung tersebut). Karang melompat hendak menangkap tubuh Melati. Terlambat. Gadis kecil itu sudah menginjak pecah-belah. Crash! Satu. Crash! Dua. Kakinya terasa sakit sekali. Seperti ada yang menusuk-nusuk. Pedih. Nyilu. Gemetar. Melati jatuh terduduk. Menambah rumit situasi, karena tubuh kecil itu terhujam langsung ke tumpukan pecah belah. Telapak tangan, siku, lengannya terluka. Juga dengkul. Juga wajah. Salamah berteriak kencang. Mengagetkan Bunda yang sedang duduk menulis di lantai satu. Mengagetkan Mang Jeje yang menyiram rumput taman. Burung-burung gelatik berterbangan.
Karang mendesis tertahan. Cepat mengangkat tubuh kanak-kanak itu, yang berdarah di mana-mana. Karang gemetar memangkunya. Ada tiga pecah belah menghujam telapak kakinya. Ada belasan luka di lutut, telapak tangan, lengan dan wajah.
"BAAA.... BAAA...." Melati meronta-ronta dalam
pangkuan Karang. Berusaha memukul. Sakit. Tubuhnya terasa sakit dan nyilu di mana-mana. Tapi ia lebih marah karena ada yang memangkunya. Karang mempererat gendongannya, berusaha menghindari pukulan Melati, bergegas membawa Melati ke kamar biru-nya.
"Panggil dokter, Salamah! CEPAT!!" Karang meneriaki Salamah.
Salamah yang sekejap tertegun pias melihat darah berceceran di lantai terperanjat.
Mengangguk, lantas terbirit-birit mencari telepon. Bunda dengan wajah pucat (mendengar seruan Karang barusan) gemetar menaiki anak tangga pualam. Melepas pembatasnya. Terkesima melihat bercak darah di lantai keramik. Berseru panik menyusul ke kamar biru Melati.
Senja itu, ketika gerimis kecil akhirnya mereda, ketika langit mendung digantikan oleh matahari merah yang bersiap tenggelam di garis horizon lautan, ketika burung camar terbang kembali ke sarangnya, Melati sekali lagi terluka oleh proses belajarnya. Baru dua minggu, dan gadis kecil itu harus membayar mahal sekali sedikit kemajuan yang didapatnya.
Rusuh! Salamah rusuh berusaha menelepon kediaman dokter Ryan. Saking paniknya, tiga kali ia salah tekan nomor. Kantor Polisi ("Ada maling di mana, Bu?"). Kantor Pemadam Kebakaran ("Sebutkan lokasi dan tempat kebakarannya! Kami segera datang. Bu!"). Dan Kantor Urusan Agama ("Ibu mau menikah?".... )
Yang datang bukan dokter Ryan. Kinasih. Lima belas menit setelah Salamah menelepon. Kinasih bergegas. Bergegas mengendarai mobilnya. Bergegas naik ke kamar biru Melati. Tanpa sempat saling menyapa, apalagi saling bertanya kabar dengan Bunda, gadis keturunan itu langsung mengurus Melati. Waktu seperti berjalan lambat. Tak.... Tak.... Tak....
Bunda berkali-kali menyeka ujung-ujung matanya. Tegang. Salamah tertunduk, menggigit bibir, takut-takut melihat darah. Kedua tangan Kinasih yang terbungkus sarung tangan cekatan mengeluarkan perlengkapan medis. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit... "Melati akan baik-baik saja, Bunda!" Setengah jam berlalu. Susah sekali mengendalikan Melati yang terus meronta-ronta, sementara darah terus mengalir dari luka-lukanya. Setelah dibantu Salamah dan Bunda yang memeganginya, Kinasih memutuskan untuk membius gadis kecil itu. Pecah-belah celengan pelan-pelan dicabut dari telapak kaki (yang langsung menguarkan darah segar). Luka-luka di lengan, wajah dan tangan dibersihkan. Luka besar di telapak kaki terpaksa dijahit. Lima jahitan masing-masing. Sementara yang lainnya hanya ditutup perban setelah diberikan disinfektan.
"Besok luka-luka kecil ini sudah mengering, Bun. Dalam beberapa hari kulit barunya akan merekah menutup. Tidak akan ada bekas, kecuali yang di telapak kakinya." Kinasih tersenyum, menatap
wajah Melati yang jatuh 'tertidur' oleh obat bius. Wajah yang separuhnya tertutup perban kapas. Bunda mengangguk pelan. Berterima-kasih. Meski tersenyum getir. Ya Tuhan, semua ini akan semakin menyedihkan kalau putri menggemaskannya juga cacat dengan sisa barut di muka. Salamah datang membawa kasur dan seprai baru beberapa saat kemudian. Kinasih membantu menggendong Melati. Salamah mengganti kasur dan seprai biru yang sudah terkena bercak darah di mana-mana. "Tolong ambilkan air hangat juga, Salamah-" Bunda berbisik lirih, "Sekalian baju ganti Melati." Salamah mengangguk. Menepuk-nepuk seprai wangi dan lembut yang baru terpasang. Kinasih membaringkan Melati kembali perlahan-lahan. Membereskan peralatan medisnya. "Terima kasih sudah datang dengan cepat, Kinasih!" Bunda menatap wajah cantik keturunan berkerudung lembut itu.
Kinasih tersenyum, "Sudah seharusnya, Bun. Tadi waktu Salamah telepon. Papa masih di rumah-sakit. Ada operasi pasiennya... Ah-ya salam dari Mama. Tadi seharusnya Kinasih bawa jeruk mandarin, Mama baru dapat kiriman langsung dari Perfekture Hanjin, kiriman kerabat dari sana. Tapi kelupaan karena buru-buru."
Salamah kembali setengah menit kemudian. Membawa air hangat dan handuk besar, terlihat repot, karena ia sekalian membawa pakaian ganti Melati. Mandi. Bunda ingin memandikan Melati. Melati jarang mandi. Seminggu mungkin sekali ia
baru mau dibujuk mandi. Ia kan benci banget tubuhnya dipegang-pegang. Mandinya pun hanya dengan handuk-basah (dengan banyak gerungan marah pula). Sekalian Melati sedang 'tertidur', Bunda bisa leluasa membersihkan tubuh putrinya. Salamah meletakkan air hangat di meja kecil. Bunda melepas baju Melati yang di sana-sini terkena bercak darah mengering. Kinasih" Di tengah kesibukan itu, tidak ada yang menyadari Kinasih ternyata sudah beranjak pergi. Tanpa bilang-bilang. Ada hai iain yang ingin sekaligus diurusnya sekarang....
Pukul 19.00. Lepas maghrib (di sini maghribnya agak malaman). Malam baru beranjak gelap. Kehidupan malam di kota baru saja dimulai. Anak-anak mengenakan sarung dan baju koko berlarian di jalanan. Berangkat belajar mengaji. Gang-gang dipenuhi celoteh mereka. Sibuk saling menarik sarung, menepuk kopiah. Sibuk melempar duri landak, potongan rotan, lidi enau, pembatas bacaan ngaji. Ruang-ruang keluarga ramai oleh suara televisi. Meja makan dipenuhi oleh perbincangan akrab.
Langit cerah. Bulan yang kembali menyabit bagai digantungkan di atas sana. Bersama ribuan gemintang. Kunang-kunang memenuhi sela-sela pepohonan. Berdenging memamerkan indahnya cahaya ekor mereka. Karang berdiri takjim di hamparan rumput taman rumah. Sendiri. Tadi dia sengaja segera menyingkir saat Kinasih masuk
kamar biru Melati. Sempat bersitatap satu sama lain. Kosong. Mereka seperti saling menatap kosong dari satu galaksi ke galaksi melalui jendela inter-koneksi semesta raya (majas pribahasa-nya terlalu canggih, ya").
Karang melangkah pelan memberikan ruang bagi Kinasih untuk mendekati Melati yang terus meronta-ronta. Lantas pergi menghilang dari kamar begitu saja. Pergi berdiri di halaman rumput menatap hutan hujan tropis pebukitan, sendiri. Menatap kosong. "Melati akan baik-baik saja!"
Karang yang masih takjim menatap ribuan larik cahaya kunang-kunang menoleh ke arah sumber suara.
Wajah berkerudung lembut itu mendekat. Berdiri tiga langkah di belakangnya. Menatapnya dengan mata hijau yang entah mengapa sekarang terlihat seperti ada 'pelangi' di sana.
Karang tidak menjawab. Menarik kepalanya, kembali menatap lurus ke depan. Meski apa mau dikata, sempurna dia sebenarnya tidak lagi memperhatikan ribuan kunang-kunang itu lagi. Wajahnya memang menatap ke sana, tapi matanya melihat hal lain. Menggurat pemandangan lain. Wajah si lesung pipi-nya! Ah, urusan ini memang sering kali membuat tubuh kita ada di sini, tapi hati kita entah sedang berkelana di mana-mana, dan sebaliknya.... "Melati sudah tertidur. Luka-lukanya akan sembuh dalam beberapa hari...." Kinasih berkata pelan (saking pelannya, hampir kalah dengan desau angin
malam), berusaha mengendalikan perasaannya yang
entah seperti apa bentuknya sekarang.
Lengang. Karang tetap tidak bersuara.
"Bagaimana kabarmu?" Kinasih bertanya. Serak
malah. "Baik-" Karang menjawab setelah sekian lama hanya
denging suara kunang-kunang terdengar.
"Aku juga baik," Kinasih menyeka matanya.
Tersenyum sendiri. Karang menelan ludah. Tadi Kinasih berbohong. Dokter Ryan jelas-jelas ada di rumah. Rileks sedang ngurus kebun anggrek saat Salamah telepon. Sudah seminggu terakhir Kinasih membujuk hatinya bertahan untuk tidak pergi ke rumah besar lereng bukit ini. Susah payah. Ia rindu. Jelas sekali ia ingin bertemu. Perasaan itu melilitnya. Apalagi setelah pertemuan seminggu lalu yang hanya selintas. Tapi ia juga cemas. Takut dengan prospek pembicaraan yang akan terjadi. Apa yang akan dia lakukan" Menatapnya tak peduli" Menganggapnya tidak ada" Seperti minggu lalu" Bagaimanalah urusan ini" Kalian rindu tapi juga takut dengan kemungkinan sebuah pertemuan. Entahlah, hubungan ini sejak tiga tahun lalu memang berubah menjadi rumit.
Namun ketika Salamah mengabarkan Melati menginjak pecah-belah celengan tadi sore, tanpa berpikir panjang, simpul syaraf Kinasih memutuskan pergi. Cepat atau lambat pembicaraan itu harus dilakukan. Pertemuan itu harus terjadi. Tidak cukup hanya selintas. Tidak cukup saling memendam
prasangka. Mereka harus bicara. Ia takut, tapi perasaan lainnya (rindu, kangen, entahlah) lebih besar untuk menutupi rasa takut itu. Kinasih memutuskan membicarakannya.
Kau dulu pergi benar-benar tanpa berpamitan, pergi begitu saja-" Kinasih berkata pelan. Tertunduk. Kerudung lembutnya bergerak pelan ditiup angin malam.
"Kau pergi tanpa bilang. Meninggalkan segalanya.... Meninggalkan Taman Bacaan, meninggalkan anak-anak, meninggalkan...." Kinasih menggigit bibirnya. Ia sebenarnya ingin bilang: meninggalkan aku.
"Maaf-" Karang menjawab setelah sekian lama hanya denging suara kunang-kunang yang terdengar memenuhi hangatnya udara malam. Intonasinya terdengar sedikit berbeda. Kinasih menggeleng perlahan. Tidak, ada yang perlu dimaafkan. Ia menyeka ujung-ujung matanya. Pembicaraan ini meski berjalan lamban dan tak nyaman, tapi sejauh ini cukup 'menyenangkan'. Setidaknya lelaki yang dulu (dan masih) amat dicintainya mengatakan kata itu. Maaf. Dengan suara yang amat dikenalinya.
Demi mendengar kata itu, Kinasih kehilangan keinginan untuk membicarakannya lagi. Semua sudah berlalu. Jauuuh tertinggal. Buat apa diingat lagi" Karang memang pergi begitu saja sejak pembicaraan malam itu. Sejak Karang yang justru memintanya pergi. Tanpa pesan, meski secarik kertas tertinggal. Tanpa bilang. Ah, sudahlah....
"Kata Bunda, Melati sudah bisa makan dengan sendok. Juga duduk dikursi plastik.... Aku tahu, kau tidak akan pernah kehilangan sentuhan itu.... Berpikir. Merasakan seperti kanak-kanak rasakan...." Kinasih berkata pelan. Menatap lamat-lamat punggung Karang.
Taman Bacaan itu sudah bertambah dua kali lipat tiga tahun terakhir. Dibangun di mana-mana. Seperti jamur tumbuh di musim penghujan. Bangunannya semakin baik. Semakin besar. Teman-teman semangat sekali mengembangkannya, menyebar proposal ke mana-mana.... Mereka benar-benar mewarisi semangatmu, malah berlipat kalinya...." Kinasih tersenyum.
Suara uhu burung hantu dari hutan terdengar lantang, menjadi latar pembicaraan. Karang masih 'takjim' menatap lurus ke depan. "Kita punya ribuan koleksi buku-buku.... Kita juga punya ribuan anak-anak sekarang. Yang riang membaca, riang mendengarkan dongeng, belajar banyak hal. Belajar tentang kata cukup. Tentang berbagi, persis seperti yang kau cita-citakan dulu. Mereka menjadi kanak-kanak yang menggemaskan dan mengerti banyak hal. Mereka reflek memotong makanan yang mereka pegang buat teman-temannya. Terbiasa membantu ibu, dan orang-orang di sekitarnya. Terbiasa bilang perasaan cinta karena Tuhan.... Menggenggam janji kebaikan masa-depan. Kau sudah memulainya dengan baik, teman-teman hanya meneruskan...." Hening lagi sejenak (meski nggak ada suara uhu
burung hantu). Kinasih memperbaiki kerudung berwarna lembutnya. Itu yang ketiga kali lima menit terakhir. Kebiasaan lamanya: ia selalu memperbaiki kerudungnya berkali-kali setiap bersama Karang. Padahal, lihatlah, Karang tetap mematung menatap lurus ke depan. Jadi bagaimana-lah caranya Karang bisa melihat betapa cantiknya wajah Kinasih dengan kerudung itu.
"Teman-teman tiga tahun terakhir sibuk mencarimu, sibuk bertanya kabar, sibuk...." Kinasih mengigit bibirnya, maksud kalimat barusan sebenarnya adalah: aku sibuk, mencarimu, sibuk, bertanya kabar....
"Tapi kau menghilang begitu saja. Raib! Persis seperti dongeng-dongeng yang sering kau ceritakan ke anak-anak! Jagoannya menghilang." Kinasih tersenyum lagi,
"Anak-anak juga mencarimu, tentu saja. Mereka sibuk bertanya, berisik sekali di Taman Bacaan, 'Kak Karang man-na" Kak. Karang ke-man-na"' Andai saja aku tahu jawabannya.... Mereka benar-benar berubah menjadi monster kecil yang menyebalkan setiap kali bertanya. Sibuk memprotes kakak-kakak relawan lainnya yang bercerita. Kakak-kakak itu memang tidak akan pernah sepandai kau dalam urusan mendongeng...."
Angin malam bertiup semakin kencang. Menerpa sela-sela telinga, memainkan anak rambut di jidat. Kinasih mendongak menatap bintang-gemintang. Apapun bentuk percakapan ini, ternyata cukup menyenangkan. Ia bisa menyampaikan apa yang
sedang dipikirkan, yang ia rasakan. Berbeda benar dengan tahun-tahun terakhir. Hanya sendirian mencari. Berharap. Memendam semuanya.... "Aku.... A-ku...." Kinasih terhenti sebentar, menggigit bibirnya, "A-ku rne-rin-du-kan-mu...." Berkata pelan. Seperti desau angin. Karang tetap berdiri mematung menatap ke depan. Kinasih memperbaiki kerudungnya untuk terakhir kali. Pelan balik kanan. Melangkah masuk kembali ke teras depan. Meski Karang tidak berkata banyak. Meski Karang tidak menjawab kalimat terakhirnya, hatinya lega. Pembicaraan ini ternyata berjalan dengan baik. Ia hanya selintas bisa menatap wajahnya. Wajah yang sekarang bersih. Tidak ada lagi cambang, kumis berantakan seperti minggu lalu. Ini semua jelas butuh waktu. Jika ia bisa bersabar selama tiga tahun, menambah beberapa minggu atau beberapa bulan lagi tentu bukan masalah. Bunda di lantai atas sudah selesai memandikan Melati. Gadis kecil itu sudah mengenakan piyama. 'Tertidur' dengan wajah menggemaskan. Kinasih mengecup dahinya. Berpamitan pada Bunda. Saatnya pulang. Besok masih ada banyak kesempatan.... Kesempatan seperti melempar dinding dengan bola. Ah-ya, kalimat itu kalimat yang selalu dicupakan Karang kalau dia sedang berusaha meyakinkan orang lain.... Meyakinkan mimpi-mimpi besarnya. Artinya nyaris 100%, bagaimana mungkin kalian tidak akan mengenai dinding yang begitu lebar dari jarak dua meter" Mobil itu pelan menuruni lereng bukit. Kinasih
tersenyum sendiri memperbaiki kerudung berwarna lembutnya. Ia dulu tidak pernah tahu kalau Karang menghabiskan masa kecilnya di kota ini. Kota yang sama dengan tempat kelahirannya. Sebulan yang lalu, salah seorang anak-asuh Taman Bacaan mereka yang baru datang dari kota ini bercerita tentang kakak-kakak yang suka mabuk di gang-gang sempit. Kabar yang tidak sengaja tersampaikan itu ternyata berita yang ia tunggu-tunggu. Membuatnya tahu di mana Karang berada. Memutuskan segera pulang dari ibu kota, setelah ujian dokter-nya. Memberikan alamat itu ke Bunda.
Sisa kejadian tiga tahun lalu boleh jadi masih berserak di mata Karang. Boleh jadi masih berserak di sudut-sudut kenangannya. Tapi kabar baik itu pasti akhirnya tiba, membawa janji perubahan yang menyenangkan, lihatlah, semenyakitkan apapun kejadian itu dia terlihat tetap tidak berubah, dia masih setampan dulu....
Boneka Panda Hari-hari berlalu. Sebagian merasakannya berlalu dengan cepat, sebagian merasakannya seperti siput yang merangkak. Sebagian besar lainnya" Tidak peduli. Terlalu sibuk, terlalu terbenam dengan rutinitas harian yang biasanya sih membosankan. Golongan mana yang lebih baik" Tentu saja yang setiap hari-hari itu berlalu selalu menjadi setingkat lebih baik, lebih mengerti....
Sayang, tidak banyak kemajuan dari lantai kosong rumah besar lereng bukit itu. Melati benar-benar kesulitan untuk mengerti kalau celengan yang diberikan Karang bukanlah mainan. Lepas tiga hari sejak kakinya menginjak pecah-belah, seperti yang dibilang Kinasih, ia sudah bisa tertatih berjalan memutari kamar birunya. Luka-luka di wajah, lengan dan lututnya sudah mengering, mengelupas. Hanya telapak kakinya yang masih terbungkus perban. Dan Melati tidak peduli, nyengir menggerakkan kakinya ke mana saja tangannya membawa meraba-raba udara.
Karang kembali memberikan celengan-celengan kecil. Melanjutkan metode pembelajarannya.
Percuma. Lagi-lagi hanya dilempar. Kanak-kanak itu menyeringai senang. Malah satu-dua menggerung seperti orang yang sedang tertawa. Baginya ini semua mengasyikkan. Membungkuk mengambil 'sendiri' celengan dari kardus, meraba-raba bentuknya, lantas melemparnya. Bangkai ayam, bebek, itik, domba, sapi, berserakan di lantai. Yang tidang senang itu Salamah. Ia sekarang bertugas membawa pengki dan sapu ijuk. Berdiri penuh siaga di belakang Karang. Setiap kali Melati habis melempar, ia bergegas membersihkan pecah-belah. Sudah macam serdadu kompeni yang menjaga gerbang barak pasukan (ini keluhannya di dapur saat berkumpul bersama Mang Jeje dan pembantu lainnya). Kemarin, Salamah sial, Melati malah melemparnya. Tidak kena sih, tapi percikan potongan celengan yang menghantam dinding melukai lengannya.
Empat hari berlalu sejak Melati mulai belajar kembali mengenali celengan itu Karang akhirnya mendengus kesal. Semua ini sia-sia. Mengkal mengganti celengan dengan boia karet. Berteriak, "Ini bola! Nah, untuk yang ini kau boleh melemparnya ke mana saja!" Lantas duduk menyumpah-nyumpah di lantai, melipat dahi, berpikir sambil memperhatikan sebal Melati yang terlihat senang melempar-lempar bola barunya.
Ini akan sulit. Sangat. Tak ada cara untuk membantu Melati paham. Pelajaran kali ini bukan tentang kebiasaan. Kali ini membutuhkan mekanisme agar Melati tahu. Dan cara agar Melati tahu itulah
yang tak kunjung diketahuinya. Bicara" Kanak-kanak itu sempurna tuli! Menggerak-gerakkan tangan di depannya" Kanak-kanak itu sempurna buta! Dunia terputus darinya. Tidak ada caranya! Belum pernah Karang seantusias tapi sekaligus sesebal ini mengajari kanak-kanak. Tidak. Dia masih jauh dari rasa putus-asa. Butuh lebih banyak waktu untuk membuat Karang berputus-asa. Masalahnya, justru waktu itulah yang terbatas dimilikinya. Sudah hari ke-14. Seminggu lagi, Tuan HK kembali dari Frankurt. Tidak ada yang bakal menjamin Tuan HK menyetujui keberadaannya. Tidak peduli meski dia tidak mabuk lagi. Juga tidak peduli dengan keberhasilan Melati makan dengan sendok dan duduk di kursi. Yang ada bisa jadi Tuan HK langsung meninju wajah Karang.
Sejak hari ke-14, Karang yang mengkal memutuskan membiarkan Melati bermain bola sendirian. Ditemani Salamah. Kanak-kanak itu awalnya tidak banyak berteriak. Salamah jelas sudah tahu aturan mainnya. Biarkan saja, jangan dilarang, jangan disentuh. Lagi pula lantai atas steril dari benda-benda yang bisa dilempar oleh Melati (selain bola karetnya). Jadi gadis kecil itu hanya sibuk berjalan berkeliling. Melempar-lempar bola. Tangannya terjulur meraba-raba udara. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar. Masalahnya, kalau sudah bosan, ia mulai lagi berteriak kencang-kencang. Menggerung keras-keras. Galak ke siapa saja yang berusaha mendiamkan. Sengaja benar mencari perhatian....
Lelah melakukannya. Melati akan duduk di pojok koridor. Duduk dengan kaki terlipat. Memeluk lutut. Posisi favoritnya. Rambut ikalnya bergoyang goyang. Mendengung pelan. Jemari tangannya meraba-raba tekstur halus keramik. Mengikuti guratannya.
Karang sepanjang hari mengurung diri di kamar. Benar-benar membiarkan Melati sendirian. Buku-buku tebal yang dibawanya dari rumah gang sempit tadi pagi berserakan. Di bawah tempat tidur, di atas ranjang, di atas meja. Karang tertidur telentang, membiarkan rambut gondrongnya semerawut. Otaknya berputar seperti roda mesin diesel. Siang-malam. Matanya yang merah kurang tidur menatap langit-langit. Tidak berkedip. Mendengus berat. Bernafas lebih kencang. Hanya saat malam tiba, saat Melati beranjak tidur Karang menemaninya. Duduk di kursi plastik dekat ranjang ber-seprai biru. Bercerita.
Bunda yang masih riang dengan dua kemajuan Melati ingin sekali bertanya mengapa Karang membiarkan Melati bermain sendiri tiga hari terakhir. Bunda seperti buncah tak-sabaran menunggu keajaiban berikutnya. Harapan-harapan itu. Tapi pertanyaan itu urung keluar, teringat kesepakatan awal mereka dulu. Jadi Bunda hanya memandangi Melati yang berteriak-teriak marah di sepanjang koridor lantai dua. Berbisik tentang janji kemudahan, tentang: bersabarlah, anakku, teruslah berusaha!
Tadi pagi Karang pulang sebentar ke rumah gang
sempit itu. Ibu-ibu gendut menyambut dengan riang. Ingin bertanya banyak hal. Sudah lewat tiga minggu Karang tinggal di rumah besar lereng bukit. Kangen. Ingin tahu perkembangan di luar sana. Tapi juga urung bertanya (apalagi keinginannya untuk memeluk Karang). Membiarkan Karang mengangkuti beberapa benda dari kamar berukuran 6x9 meter. Termasuk benda itu.
Setidaknya kalau melihat kehadirannya. Karang baik-baik saja. Lihatlah, pemuda yang tiga tahun lalu lusuh dan kusut berdiri di depan pintu rumahnya, sekarang terlihat lebih bersih, lebih rapi. Tatapan matanya meski masih tidak peduli, terlihat lebih nyaman di pandang, penuh antusiasme. Tarikan mukanya meski masih tidak bersahabat, terlihat lebih bersimpati.
Ini hari ke tiga Karang hanya mengurung diri di kamar. Hari ke-17 sesuai kesepakatan dengan Bunda. Jika tidak tidur telentang, Karang sibuk mengetik entahlah. Duduk diam (takjim) di atas ranjang. Hanya jemarinya yang bergerak. Terhenti. Tidur telentang lagi. Menatap lamat-lamat langit langit ruangan. Duduk diam lagi di atas ranjang. Mengetik. Begitu saja sepanjang hari. Membiarkan jendela terbuka siang-malam. Membiarkan angin laut, angin gunung, angin kota, angin hutan, angin-lalu, angin apa saja menderu masuk. Hanya menatap Melati selintas setiap kali kanak-kanak itu tidak sengaja menggerung lewat di depan pintu kamarnya (sambil melempar-lempar bola). Hari ke-17. Senja Jingga yang membungkus kaki
langit sudah lama hilang digantikan malam. Bintang gemintang dan bulan purnama dengan anggun menggantikan sang surya. Burung camar dan binatang siang kembali ke sarang. Beristirahat. Tiba giliran bagi kunang-kunang dan binatang malam keluar. Menghiasi, membuat ramai. Sudah tiga hari terakhir hujan tidak turun membasuh kota. Udara di luar terasa hangat dan nyaman. Karang mengusap wajah kebasnya. Menekankan kuat-kuat kedua belah telapak tangan ke kelopak mata. Matanya pedih. Lelah. Melirik jam di dinding. Menghembuskan nafas kencang-kencang. Beranjak duduk. Sudah waktunya ke kamar Melati. Membereskan mesin ketik dan kertas-kertas HVS yang berterbangan. Satu buku tebal tersenggol, jatuh ke lantai. Karang menggerutu tidak peduli. "Terapi Akupunktur Untuk Syaraf...." Entahlah judulnya. Karang acuh tak-acuh menendangnya. Melangkah sedikit terhuyung melintasi koridor lantai dua. Dia tidak mabuk. Tentu saja. Tapi tahukah kalian, ada yang bisa membuat kalian bertingkah lebih dari kelakuan seorang 'pemabuk': berpikir. Proses berpikir yang hebat. Yang sayangnya, meski sudah hebat, apa yang kalian pikirkan tak kunjung menemukan kesimpulan.
Melati sudah setengah jam lalu menghabiskan sup-ayam buatan Salamah di kamarnya. Sudah terlatih makan sendirian. Mangkuk kosong bermotif bunga tergeletak di atas meja. Juga sendok. Hanya dua barang ini yang Melati kenali. Tidak, untuk, dilempar. Jadi setelah makan, Melati hanya
sembarang menggeletakkannya. Kadang jahil mendorong-dorongnya jatuh dari meja (tapi hanya itu).
Kanak-kanak itu malam ini lelah, sudah beranjak sendiri ke atas tempat tidur selepas makan. Sepanjang hari tadi hanya berteriak-teriak saja kerjanya. Melati bosan melempar-lempar bola. Berusaha mencari benda lain yang lebih menarik buat dilempar. Kosong. Tidak ada. Sebal. Maka seperti mesin mobil yang distarter ulang, ia mulai bertingkah. Menggerung lebih kencang. Berteriak-teriak.
Dan lebih sebal lagi Melati karena ia merasa tidak ada yang menanggapi gerungan marahnya. Kan percuma marah kalau tidak ada yang memperhatikan" Bukankah dulu-dulu ada yang sibuk menyuruhnya diam" Tidak ada siapa-siapa" Benar-benar 'gak asyik buatnya. Salamah yang disuruh menemani Melati hanya sibuk mengamati dari belakang (sambil ngupil santai). Salamah belajar banyak dari Karang. Lah, guru-nya saja tidak peduli mengurung diri di kamar, jadi ia mengambil inisiatif untuk membiarkan saja Melati yang mengamuk sepanjang hari. Lebih aman. Malam ini Melati yang lelah, tidur sambil memeluk lutut. Mata hitam biji buah lecinya redup. Sekali. Dua kali tertutup. Terjaga lagi. Mendelik. Jemari tangannya mengetuk-ngetuk pelan dinding kamar. Rambut ikal mengombaknya luruh menutupi dahi. Mulutnya menggerung pelan, antara terdengar dan tidak. Memperlihatkan gigi kelincinya. Ia tidak hanya
lelah fisik, tapi juga pikiran. Kepalanya sesak oleh keinginan. Dipenuhi berjuta tanya, yang sayangnya bahkan untuk keluar menjadi satu pertanyaan utuh tidak kunjung bisa. Ia tidak tahu apa benda-benda itu, ia juga tidak, tahu kenapa seminggu terakhir hanya disuruh meiempar-lempar.... Karang membenamkan diri di kursi plastik dekat ranjang berseprai biru. Menghela nafas berat. Menatap wajah menggemaskan yang beranjak tidur itu. Sama dengan Melati, dia juga tidak hanya lelah fisik (kurang tidur, sedikit demam), dia juga lelah pikiran. Sesak dengan banyak hal. Caranya! Caranya! Caranya! Mendesiskan setiap detik kata-kata tersebut. Caranya agar Melati memiliki akses mengenal benda-benda. Caranya berkomunikasi. Caranya mengerti. Caranya! Apalah menyebut istilah itu, yang penting gadis kecil ini bisa mengenal dunia dan seisinya!
"Malam, Melati-" Karang menyapa kanak-kanak itu dengan suara serak. Kerongkongannya terasa sakit. Batuk pelan.
Posisi tidur Melati membelakangi Karang. "Hari ini kau pasti mengalami hari yang berat, bukan" Berteriak-teriak marah tanpa henti sejak shubuh.... Kau membuat burung gelatik berterbangan di taman rumput Mang Jeje.... Bahkan mungkin teriakan kau membuat lari binatang di hutan. Membuat mereka kabur, ramai-ramai turun ke pemukiman kota.... Kau tahu, kau bisa membuat orang-orang berprasangka gunung akan meletus. Melati!" Karang mengusap dahinya yang sedikit
berkeringat. Lengang sejenak.
"Hari yang berat... tidak hanya untuk kau. Tapi juga bagiku. Benar-benar melelahkan.... Sebegitu sulitkah untuk menemukan jaian itu. Sebegitu sulitkah" Tidak ada celah. Semua terlihat seperti tembok besar. Rintangan tinggi-tinggi. Tanpa kesempatan untuk dinaiki. Tanpa kesempatan untuk dilewati kecuali dihancurkan sekalian.... Ah, betapa beruntungnya kau, setidaknya kau tidak, periu meiihat 'tembok' itu.... Berbeda dengan aku yang tiga hari terakhir sesak memikirkannya, sesak mencari tahu!" Karang menggelengkan kepalanya, tersenyum getir.
"Kau tahu, tadi aku memutuskan untuk mengambil beberapa benda dari rumah ibu-ibu gendut.... Ibu-ibu gendut" Ah-ya kau tidak mengenalinya. Andaikata kau kenal, kau pasti akan menyukainya. Ia juga seperti Salamah, pandai membuat sup. Ia juga amat menyukai kanak-kanak...." Karang terdiam sejenak. Menelan ludah. Menatap langit-langit kamar.
Bukan. Bukan karena menyebut sup atau ibu-ibu gendut itu yang membuat Karang terdiam sejenak (apalagi karena menyebut nama Salamah). Lebih karena tiba-tiba kenangan masa lalu itu kembali. Meluncur bagai jutaan anak panah yang ditembakkan. Inilah gunanya Karang tadi pagi pulang sebentar ke rumah di gang sempit. Dia memaksa dirinya mengingat kembali masa lalu itu. Bedanya dengan hari-hari sebelumnya, sekarang
Karang membiarkan dirinya buncah oleh anak panah itu. Membiarkan dirinya terkubur. Membiarkan hatinya tertembus berkali-kali. Tanpa dengusan tidak peduli. Tanpa sumpah-serapah. Dia hanya menelan ludah, menatap langit-langit kamar. Tidak, dia tetap tak sempurna kunjung lega akan masa-lalu itu. Tapi hari ini, setelah sekian lama, Karang memutuskan untuk membiarkan hatinya kuyup. Belum berdamai, tapi dia membiarkan hatinya menerima. Tidak melawan, mengingkari, mengutuk atau menyumpahi siapa saja seperti dulu. Malam ini Karang ingin bisa mengenang semuanya dengan rileks. Mengenang kembali tubuh-tubuh dingin membeku itu dengan utuh. Tubuh-tubuh yang mengambang di buasnya lautan. Delapan belas jumlahnya!
Mengenang wajah Qintan yang menatapnya redup sebelum pergi.
"Qin-tan.... Qin-tan takut sekali Kak Karang-" "A-da ca-ha-ya.... A-da ca-ha-ya, Kak Karang!" "A-da.... A-da yang da-tang, Kak Karang" "Ma-ma- Pa-pa da-tang.... Me-re-ka da-tang Kak Ka-rang...."
Karang mengusap ujung-ujung matanya. Lihatlah, untuk pertama kalinya dia bisa bersedih dengan lega atas kenangan menyakitkan masa lalu itu. Menangis dengan air-mata....
Melati yang membelakangi Karang menggeliat pelan, merubah posisi tidur. Wajah menggemaskan itu menghadap Karang. Mata hitam biji buah lecinya kembali terjaga. Berkerjap-kerjap. Seperti sedang
menatap lamat-lamat Karang yang duduk di hadapannya. Karang tersenyum tipis. Meraih sesuatu dari balik sweater hitamnya, inilah maksud semua percakapannya malam ini, "Kau tahu, tadi aku mengambil beberapa benda, buku-buku, catatan-catatan.... Salah-satunya ku-ambilkan untuk kau. Hadiah spesial...." Karang menggigit bibir. Menggenggam erat benda yang hendak diberikannya. Menatap wajah Melati yang sempurna seperti sedang menatapnya.... Sebagai salah-satu simbo! penerimaan masa lalu itu, malam ini Karang akhirnya mengeluarkan benda itu dari ransel lusuh di bawah ranjang besar kamar 6x9 meter. Setelah tiga tahun menyimpannya. Setelah tiga tahun berusaha melupakan prasasti kesedihan itu. Malam ini, Karang memutuskan memberikannya kepada Melati. Benda itu.... Boneka panda!
"Ini milik seseorang... se-se-o-rang...." Suara Karang serak, sekarang bukan hanya karena kerongkongannya sakit dan dia agak demam. Terdiam sebentar, "Ini milik Qintan. Andai saja... andai saja kau bisa mengenalnya...." Hening lagi. Karang mengusap wajahnya. "Andai saja kau bisa mengenalnya, Qintan sungguh akan menjadi kakak yang baik bagimu. Kakak yang menyenangkan.... Yang bahkan... yang bahkan aku berani bersumpah, ia akan berbaik-hati mengajarimu bernyanyi, mengajarimu berlarian mengejar capung...."
Tangan kanan Melati terjulur. Telunjuknya
menggurat motif seprai biru. Mata hitam biji buah lecinya tetap menatap lurus, menatap Karang. Menggerung pelan. Jika kalian tidak tahu keterbatasan Melati, kalian akan menyangka mereka berdua sedang bicara satu sama lain. Karang yang bicara, Melati yang mendengarkan. Lihatlah, Melati menatap penuh simpati, 'takjim' mendengarkan. "Tapi, tapi andai saja kau akhirnya bisa mengenal dunia dan seisinya, kau tetap tidak akan pernah mengenalnya, Melati... karena, karena Qintan sudah pergi...." Karang menatap lamat-lamat boneka panda itu. Kelbatan masa lalu menyedihkan itu kembali memenuhi sudut-sudut matanya. Seperti terukir kembali di tengah kamar biru Melati. Suara-suara. Gerakan badan. Semuanya. Seperti menyimak tayangan empat dimensi. Dia seperti persis berada kembali di tengah-tengah kejadian itu....
"TANDU! BAWA TANDU KEMARI!!" Komandan SAR berseragam merah mencolok itu loncat dari helikopter. Berteriak galak.
Serombongan anggota SAR lainnya terbirit-birit mendekat. Membawa tandu. Suasana hingar-bingar. Kacau-balau. Halaman rumah sakit dipenuhi banyak orang. Seragam putih. Merah. Biru. Kuning. Berlarian.
Helikopter kedua menyusul mendarat dalam hitungan detik. Membawa belasan korban berikutnya.... Desing baling-baling membuat pakaian tersingkap berterbangan. Rambut tersibak melambai. Rumput halaman bergetar
bergelombang, dedaunan kering terjatuh.
"MOVE! MOVE! SEGERA!" Komandan SAR berteriak
semakin gaiak. Satu tandu meluncur mendekati helikopter yang baru mendarat. Satu anak yang amat kedinginan, bibir biru, tubuh membeku di turunkan. Masih hidup. Masih bernafas. Dokter rumah sakit bergegas membawanya ke instalasi gawat darurat. Dua tandu berikutnya menyusui. Dua anak lainnya diturunkan. Kali ini sudah 'terlambat'. Sudah p-e-r-g-i.
Hingar-bingar. Gerak cekatan tangan dan kaki yang terlatih. Perintah-perintah mengalir bagai air. Peralatan medis yang dibentangkan. Pertolongan pertama. Infus dikeluarkan. Selang-selang bagai belalai ditancapkan. Semua kesibukan ini! Semua kesibukan ini....
Hanya Karang yang menatap kosong sekitar. Sempurna kosong. Kedua tangannya masih memeluk kaku tubuh dingin Qintan. Sejak dari lautan buas tadi. Sejak, tim SAR mengangkat mereka dengan tali-temali. Kebas. Hatinya kebas. Tangannya kebas. Semua terasa kebas. "Ma-af, bisakah Anda melepaskannya?" Seorang suster bertanya.
Senyap. Di otak Karang hanya senyap. Tidak peduli
suara desing baling-baling. Teriakan-teriakan.
Lampu s sorot. Entahlah. "Ma-af bisakah Anda melepaskannya?"
Lengang. Mata Karang menatap suster itu dengan
tatapan lengang. Kesedihan itu seperti anak-sungai
mengalir dari wajahnya. Lihatlah, boneka panda itu juga masih tergenggam erat di tangan membeku Qintan, sejak dari lautan buas tadi.... Karang sekali lagi mengusap sudut-sudut matanya. Tersenyum. Tidak getir. Tidak juga penuh marah dan sumpah-serapah. Karang tersenyum menatap wajah Melati. Wajah kanak-kanak yang matanya sekarang mengerjap-ngerjap. Dalam banyak hal. Melati dan Qintan berbeda, tapi mereka sama di bagian terpentingnya: janji kehidupan! Janji kehidupan yang lebih baik selalu tergenggam di tangan kanak-kanak. Tidak peduli seberapa menyakitkan takdir mengungkung mereka, tidak peduli seberapa menyakitkan orang dewasa 'merusak' mereka melalui mekanisme pengajaran yang keliru, pendidikan yang amat keterlaluannya mencintai dunia.
"Ini untukmu.... Bo-ne-ka pan-da!" Karang pelan meletakkan boneka itu ke atas telapak tangan kanan Melati yang terjulur.
Gadis kecil itu menggerung. Lebih kencang. Bereaksi dengan benda yang tiba-tiba diletakkan di tangannya. Matanya berputar lebih cepat. Meraba-raba boneka itu. Menyeringai. "B-a-a-a-a...."
Karang mengangguk. Kalau kau ingin melemparnya, lemparkan saja. Tapi tidak! Gadis kecil itu ternyata tidak melempar boneka tersebut. Melati hanya menggerung lebih kencang. Tapi hanya itu. Sekejap, gadis kecil itu malah meletakkan boneka panda itu di dadanya, seolah mendekap.
Menciuminya. Nyengir. Lantas merubah posisi tidurnya lagi. Sekarang menghadap dinding kamar, membelakangi.
Karang tersenyum. Meski ia tidak mengerti kenapa.... Yang jelas ini tentu bukan pertanda kalau gadis kecil ini akhirnya mengerti kalau semua barang tidak untuk dilempar. Entahlah, kenapa, mungkin tangan Melati terlanjur lelah untuk melempar. Setidaknya semua ini terasa melegakan. Terasa lebih ringan. Karang menghela nafas. Tapi ada juga yang menghela nafas panjang lainnya di situ. Karang menoleh. Bunda! Bunda sudah berdiri di bawah bingkai pintu.
Raja Pedang 4 Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Tumbal Mahkota Ratu 1
^