Pencarian

Semoga Bunda Disayang Allah 2

Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye Bagian 2


Ibu-ibu gendut menunjuk ke arah pintu. Seseorang berdiri di sana. Ragu-ragu melangkah mendekat. Karang tidak mengenalinya. Matanya masih silau. Kepalanya malas berpikir. Seorang ibu setengah baya. Mengenakan kerudung disampirkan di kepala. Wajahnya keibuan menyenangkan. Meski gurat itu terlihat lelah dan menyimpan banyak kesedihan (seburuk apapun kondisi Karang, kemampuannya mengenali tabiat dan karakter hanya dari menatap sekilas wajah tetap mengagumkan). "Selamat siang, anakku!" Ibu-ibu itu ragu-ragu menyapa. Mungkin sedikit bingung melihat isi kamar. Bingung melihat orang yang akan ditemuinya. Ia sudah mendapatkan banyak potongan cerita, tapi ia tidak menyangka akan seburuk ini kondisinya. Rambut gondrong acak-kadut. Heran" Kamar pengap" Jangan-jangan cerita itu salah" Jangan-jangan ia salah alamat.
Karang menatap lamat-lamat. Tidak merasa perlu menjawab sapaan itu. Pakaian mahal! Tas tangan mahal. Semuanya mahal. Meskipun dia bisa menerimanya. Proporsional (untuk tidak bilang sederhana untuk ukurannya). Ibu ini terlihat 'sederhana' dengan semua kemewahan miliknya, bisa memadu-madankannya hingga tidak terlihat terlalu mencolok. Siapa"
"Aku Bunda HK.... Maafkan kalau mengganggu tidur siang-mu!"
"Tidak. Sama sekali tidak mengganggu. Karang sudah bangun, Nyonya. Lagipula ini bukan tidur siangnya...." Ibu-ibu gendut itu tertawa, bergurau, mencoba mencairkan suasana.
Karang mendengus pelan. Tidak mempedulikan kalimat ibu-ibu gendut. Pasti ini keluarga yang mengirimkan surat-surat itu. Pasti ini orang yang bertanggung-jawab menganggu tidurnya dengan surat-surat tersebut. Keluarga malang itu" Malang" Kekayaan mereka bisa membeli seluruh kota dan se-isinya, jadi di mana letak malang-nya" Sarkasme itu dengan cepat mengisi otak Karang. "Apakah kau menerima suratku selama ini?" Bertanya hati-hati. Langsung ke pokok persoalan. Karang mendesis pelan, menunjuk meja kecil. Tujuh buah surat tertumpuk rapi (yang menumpuknya ibu-ibu gendut).
"Aku mohon, anakku. Tolonglah kami-" Bunda berkata penuh harap sambil tersenyum. "Kau datang pada orang dan tempat yang keliru. Nyonya! Dan yang lebih pasti lagi, kau datang di
waktu yang salah!" Karang memotong kasar, menguap lebar-lebar.
Lengang sejenak. Perasaan ganjil menggantung di langit-langit kamar. Ibu-ibu gendut menatap Karang (yang tidak peduli). Bunda HK (yang terdiam bingung atas kalimat kasar Karang). Kembali menatap Karang (yang sekarang santai mengusap pipinya). Ibu-ibu gendut bolak-balik menatap mereka berdua dengan ekspresi salah-tingkah. Aduh, bisa nggak sih Karang respek sedikit dengannya" Seluruh penduduk kota ini saja amat menghargai pemilik rumah mewah di lereng pebukitan itu. Keluarga yang dikenal baik hati. Ibu-ibu gendut ingin mengeluarkan kalimat bergurau lagi. Berusaha mengendurkan ketegangan. Tapi urung. Berhitung cepat. Berpikir cepat, memutuskan, "Sebentar Nyonya, saya ambilkan minuman, ah-ya sekalian saya ambilkan kursi plastik dari bawah, lebih nyaman bercakap-cakap sambil duduk...." Lantas melangkah cepat. Membiarkan pembicaraan itu terjadi. Kehadirannya bisa saja malah malah membuat Karang semakin sarkas. Masih lengang sejenak.... Hanya angin laut menerpa lembut melalui jendela kamar. Terasa sejuk. Ibu-ibu yang menyebut dirinya Bunda HK melangkah mendekat. Berdiri di tengah ruangan. "Kau tahu, nama putri kami Melati. Umurnya enam tahun. Sungguh kanak-kanak yang amat menggemaskan. Wajahnya imut-bundar. Rambutnya ikal mengombak. Pipinya tembam. Matanya hitam bagai biji buah leci. Giginya, giginya lucu sekali,
seperti gigi kelinci. Kalau ia sedang berlari...." Bunda terhenti sejenak. Menatap lamat langit-langit ruangan.
Bunda sebenarnya tidak tahu mau bilang apa (setelah Karang kasar menyelanya tadi). Bunda pagi ini memutuskan untuk datang langsung hanya ingin bertanya. Bertanya mengapa sedikit pun surat-surat itu tidak ditanggapi. Ia tidak tahu seperti apa rupanya. Ia malah amat gagap saat pertama kali melihat penampilannya. Ragu-ragu masuk ke kamar. Tapi kabar itu tak akan keliru. Lihatlah, mata anak-muda ini begitu berbeda (meski seluruh gesture dan gerak tubuh lainnya sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat). "Kalau, kalau ia sedang berlari, maka seolah-olah waktu terhenti...." Bunda meneruskan kalimatnya, masih menatap langit-langit kamar yang penuh jaring laba-laba, tersenyum getir, "Semua kepala tertoleh, semua wajah terpesona menatapnya, waktu benar-benar seoiah terhenti.... Melati sungguh kanak-kanak yang menggemaskan. Senyumnya, tawanya, wajahnya, semuanya...." Terdiam. Bunda menghela nafas pelan, "Tapi itu dulu.... Sekarang seluruh kesedihan itu telah mengambil semuanya. Tidak menyisakan apapun meski hanya seutas benang harapan. Meski hanya seutas benang kecil seperti jaring laba-laba.... Putri kami berubah amat menyedihkan...." Karang tetap bisu di tepi ranjang. Menatap tajam ke depan.
"Maukah kau membantu Melati, anakku?"
"Anak itu membutuhkan dokter, psikiater atau entahlah, Nyonya! Bukan aku!" Karang menjawab kasar.
"Kami sudah mengundang berpuluh-puluh dokter.... Bahkan berpuluh-puluh tim dokter ternama, tapi semuanya sia-sia-"
"Kalau mereka saja sia-sia, bagaimana mungkin Nyonya berharap kepada seorang pemabuk sepertiku!" Karang menyeringai, sinis. Bunda terdiam. Tertunduk. Menatap lantai kayu. Lengang. Benar juga. Kalau semua pakar hebat itu gagal, kenapa pula ia pagi ini datang ke kamar pengap ini. Lihatlah, pemuda ini jauh dari kesan yang dibayangkannya. Jauh dari kesan cerita yang didengarnya. Bagai malaikat di mata anak-anak" Pembuat keajaiban" Bunda menghela nafas pelan.
Aku juga tidak tahu kenapa datang pagi ini, mengirimkan surat-surat itu. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, kami sudah tiba di batasnya. Sudah hampir berputus-asa, jadi apapun kemungkinan yang tersedia, meski itu hanya seujung kuku akan kami coba.... Aku tidak tahu kenapa harus berharap padamu, anakku...."
"Jangan panggil aku anakku!" Karang mendesis.
Tegang.... "Maaf-" "Nyonya hanya menghabiskan waktu datang kesini. Aku tidak bisa membantu apapun...." "Kami mohon, tolonglah.... Putri kami amat penting bagi kami.... Andaikata semua kesedihan ini bisa ditebus dengan seluruh kekayaan keluarga kami.
akan kami berikan...." Bunda berseru putus-asa. "Penting" Omong-kosong! Nyonya tidak akan meninggalkannya walau sekejap jika putri Nyonya memang amat penting bagi Nyonya.... Lihatlah, Nyonya menghabiskan waktu setengah jam sia-sia di kamar pengap siang ini, sedangkan putri Nyonya sudah memecahkan dua jendela kaca di saat yang bersamaan...." Karang tertawa kecil. Melambaikan tangannya, tidak peduli. Bunda HK menelan ludah.
Sudah selesai. Pembicaraan ini sudah selesai. Kalimat sinis Karang barusan menjadi penutup pembicaraan yang menyakitkan. Bunda HK pelan mendesah. Menghela nafas sedih. Ia sungguh tidak tahu kenapa ia datang kesini. Ia juga tidak tahu apakah ia pantas berharap kepada pemuda yang penampilannya sama sekali tidak meyakinkan. Yang bahkan kasar sekali adabnya. Ia hampir berputus asa, jadi apa saja kemungkinan yang ada pasti dicobanya.
Bunda HK pelan beranjak balik-kanan. Menuju pintu kamar.
Karang mendengus tidak peduli. Ibu-ibu gendut yang sejak tadi menguping di bawah anak tangga buru-buru hendak ke dapur.
Tapi entah kenapa mendadak Bunda menahan langkahnya.... Bunda entah mengapa perlahan menoleh dengan tatapan terluka kepada Karang. Diam sejenak. Menggigit bibirnya.... "Kau tahu. Melati buta, anakku...." Berkata dengan suara bergetar.
"Melati buta! Ia tidak bisa melihat walau selarik cahaya.... Jikalau siapa saja di dunia ini hanya buta, ia sungguh masih bisa mendengar, masih bisa bicara, masih punya cara untuk mengenal dunia.... Tapi Melati juga tuli, anakku.... Melati juga tuli. Ia tidak mendengar walau satu nada sekalipun.... Jikalau siapa saja di dunia ini hanya tuli, ia memang tidak bisa bicara, tapi ia sungguh masih bisa melihat, masih punya cara untuk mengenal dunia...."
Bunda mulai terisak. "Tetapi Melati buta dan tuli, anakku.... Melati buta dan tuli. Ia sungguh terputus dari dunia ini.... Ia sempurna tidak memiliki cara untuk mengenal walau hanya membedakan mana sendok, mana garpu, apalagi untuk mengenal dunia dan se-isinya. Ia bahkan tidak pernah bisa membedakan mana Bunda, mana Ayah-nya...." Bunda HK benar-benar menangis sekarang.
"Melati, putri kami buta dan tuli, anakku.... Dunia sempurna terputus darinya.... Ya Allah, apakah itu takdirMu" Apakah itu jalan hidup yang harus dilalui Melati sepanjang umurnya" Jika iya, lantas bagaimanakah nanti" Apakah di hari akhir nanti Kau tetap bertanya kepadanya" Meminta pertanggung-jawaban kehidupannya" Ya Allah, Melati bahkan tidak pernah mengenal Engkau! Jangankan shalat yang baik, menyebut namaMu pun ia tidak mengerti...." Bunda benar-benar jatuh terduduk sekarang, terisak dalam. Ya Allah, semua jaian hidup putrinya amat
menyesakkan. Karang tetap menatap tajam ke depan. Tidak bergeming.
"Kami tidak meminta keajaiban Melati sembuh, ya Allah! Kami tidak meminta keajaiban Melati bisa melihat dan mendengar lagi, karena itu mustahil. Kami tahu itu.... Tapi kami hanya meminta keajaiban agar Melati mempunyai cara untuk mengenal dunia ini. Mengenal Bunda dan Ayahnya, dan... dan... mengenal Engkau ya Allah. Anak itu bisa dengan baik mengenalMu....
Atau kami sungguh keliru. Harapan itu sama sekali tak pantas. Jangan-jangan di kehidupan ini memang ada takdir seseorang yang digariskan untuk tidak pernah mengenal siapa penciptaNya. Jangan-jangan kamilah yang keliru. Melati memang ditakdirkan tidak akan pernah mengenal dunia dan seisinya...."
Terdiam. Sedan Bunda memenuhi langit-langit kamar. Ibu-ibu gendut yang sejak tadi sibuk menguping berdiri di bawah anak tangga ikut terpaku. Menyeka ujung-ujung matanya. Karang hanya mematung. Mendesis dalam hati, menyumpah-nyumpah dalam hati. Lihatlah, apakah hidup ini adil" Apakah kehidupan ini adil" Jangan-jangan hanya lelucon yang tidak lucu" Ada yang utuh memiliki seluruh panca inderanya, tapi tak sekejap pun peduli dan bersyukur. Karang menggerung pelan.... Wajah kanak-kanak itu melintas di matanya. Amat nyata. Amat dekat. Wajah-wajah pucat-pasi. Tubuh-tubuh kecil yang
membeku. Wajah Qintan! Jemarinya yang biru, bibirnya yang pucat. Seruan pelannya, "Qin-tan.... Qin-tan takut sekaii Kak. Karang-" Karang tertunduk pelan. Apakah hidup ini adil" Dia berjanji menghabiskan seluruh hidupnya demi anak-anak, tapi dia pula yang membunuh delapan belas di antara mereka. Apa coba maksud takdir Tuhan seperti itu" Gurauan" Bercanda" Bunda berusaha berdiri perlahan. Mengusap matanya. Lantas pelan melangkah menuju anak-tangga berkeriut. Berpapasan dengan ibu-ibu gendut yang tak kuasa 'kabur' agar tidak ketahuan nguping. Bunda terus menuju mobil Porsche convertible yang terparkir di gang sempit. Lima belas detik kemudian, mobil itu melesat cepat membelah jalanan kembali ke lereng pebukitan. Sore itu rusuh sudah di komplek perumahan padat itu. Bukan. Bukan rusuh di kamar berukuran 6x9 meter. Karang yang tertunduk hanya mendesah pelan (desahan pertamanya setelah tiga tahun), mengusap wajah kebasnya, lantas merebahkan tubuhnya, kembali tidur. Ibu-ibu gendut itu juga urung naik ke atas, kembali duduk di kursi goyangnya, meneruskan merajut (sambil berpikir banyak hal). Yang rusuh itu adalah ibu-ibu tetangga sekitar. Wuih! Barusan ada mobil super mewah terparkir di gang sempit mereka. Ada Nyonya HK yang terkenal itu berkunjung. Jelas itu bahan gosip yang mantap.
"Tahu nggak, sih" Tahu nggak, sih" Tadi ada tamu tob ke sini?"
"Sapa" Sapa?" Krsk, krsk, krsk (terlalu banyak yang mau nyela ngomong duluan, jadi gelombang pemancarnya nggak jelas).
"Ergh, memangnya ada perlu apa keluarga kaya itu datang kemari?" Krsk, krsk, krsk. "Katanya mau bakti sosial, bagi-bagi sembako-" Krsk, krsk, krsk.
"Oh-ya" Bagi-bagi semen sembilan kilo" Kapan?"
Malam datang menjelang. Satu hari yang indah lagi berlalu. Semburat merah di kaki cakrawala sempurna digantikan gelap. Langit mendung, gumpalan awan hitam menutupi gemintang dan purnama. Pertanda hujan. Burung layang-layang yang ramai terbang di atas kota tadi sore sudah memberitahu kabar itu. Meja makan itu kembali rusuh.
"Ma.... Ba... Maaa." Melati mengacak-ngacak mie goreng di piringnya. Sama sekali tidak berminat untuk memakannya.
"Ayo sayang, dimakan!" Bunda tersenyum, membenarkan posisi piring untuk ke lima kalinya dua menit terakhir.
"Baa.... Ba...." Melati tidak peduli. Mana pula ia mendengar. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Kalau saja orang-orang tidak tahu keterbatasannya, maka Melati sungguh terlihat menggemaskan nian di mata. Tidak ada yang menyangka anak ini buta dan tuli (otomatis bisu pula).
Malam ini tidak ada Suster Tya. Tya tadi sore sepulangnya Bunda dari perumahan gang sempit itu keburu minta ijin pulang lebih cepat. "Nenek Tya sakit, Bunda!" (beberapa hari yang lalu Tya juga bilang, "Kakek saya sakit!" "Bapak sakit" "Ibu sakit!" mendaftar sakit seluruh anggota keluarganya). Bunda tersenyum, mengangguk mengijinkan. Ia tahu persis alasan itu bohong. Tya semakin hari semakin tidak betah. Kemarin Melati menjambak rambutnya. Dan tidak mau melepaskannya. Bingunglah Tya, tidak mungkin ia kasar memukul Melati, kan" Beruntung ada Kinasih yang memisahkan. Mie goreng itu berserakan di atas meja. Juga di bawah meja. Bunda menghela nafas panjang. Memutuskan untuk membiarkan. Hari ini terasa penat sekali. Tuan HK menatap prihatin, sekilas. Meneruskan makan. Tidak banyak berkomentar. Langit semakin mendung.
Makan malam itu usai dalam hitungan menit. Bunda lembut membimbing Melati masuk ke kamarnya. Hari ini Melati tidak terlalu aktif. Hanya tadi siang ia sempat memecahkan dua jendela kaca. Itu yang ke lima sebulan terakhir. Bunda menemukan Tya yang terluka lengannya, terkena serpihan, sementara Melati menggerung di anak tangga pualam melingkar. Bersungut-sungut. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar marah.
Bunda pelan membimbing Melati naik ke tempat tidur birunya. Melati menurut. Mulutnya terus mengeluarkan suara. Merangkak menuju sudut ranjang, posisi favoritnya. Memeluk lutut. Bunda
seperti biasa akan menemani hingga Melati sedikit tenang. Hingga mata hitamnya mulai tertutup. Melati tidak suka di tepuk-tepuk seperti anak lainnya. Ia akan berteriak marah. Jadi Bunda berbaring di sebelahnya. Hanya menatap lamat-lamat wajah putrinya....
Petir menyambar. Gemuruh guruh mengisi langit. Dalam hitungan detik tetes air pertama meluncur menuju bumi. Disusul ribuan tetes lainnya. Hujan turun. Langsung menderas. Membuat orang-orang di jalanan lari terbirit-birit. Menyumpah-nyumpah. Setengah jam, suara gerungan Melati melemah. Matanya mulai terkatup satu-dua. Meski jemari tangannya di balik selimut terus mengetuk-ngetuk dinding. Bunda memperbaiki posisi selimut Melati. Tersenyum. Sudah saatnya meninggikan putrinya. Ia ingin sekali mencium putrinya. Teramat ingin mengecup dahinya dan bilang 'Selamat bobo, sayang.' Tapi Melati tidak suka dicium. Ia akan berteriak-teriak. Terjaga seketika. Langsung mengamuk.
Bunda menatap sekali lagi wajah Melati, lantas pelan melangkah keluar.
"Kau mau kemana, Karang?" "Pergi! Menghabiskan malam!" Karang mendengus sebal. Kalau ada rekor pertanyaan paling bebal sedunia, maka ibu-ibu gendut ini akan memegang rekornya. Setiap hari sibuk bertanya pertanyaan serupa. 'Kau sudah bangun, Karang"' 'Kau mau kemana, Karang"' 'Kau sudah makan, Karang"' Dan
seterusnya! Karang merapatkan jaket hujannya. "Tidakkah kau mau memikirkan permintaan Nyonya HK tadi siang?" Ibu-ibu gendut menatap lamat-lamat Sepanjang hari, baru sekarang ia sempat membicarakan kejadian tadi siang. "Nyonya itu datang ke tempat yang salah-" Karang melambaikan tangannya, tidak peduli. "Tidak bisakah kau sekali saja melihat anak itu...." "Buat apa?"
"Aku mohon, sekali saja kau melihatnya-Jika kau tetap bersikeras untuk tidak membantunya, tidak masalah, sepanjang kau sudah melihat kondisinya langsung...." Ibu-ibu gendut berkata hati-hati, sesuai rencananya.
"Tidak akan ada bedanya-" Karang mendesis jengkel, ia tahu sekali apa maksud kalimat itu. Melihatnya! Lantas kemudian ikut bersimpati" Bah! Terdiam sejenak. Karang bersiap membuka pintu. "Anakku.... Suamiku dulu pernah bilang, dua puluh tahun dari sekarang, kita akan lebih menyesal atas hal-hal yang tidak pernah kita lakukan, bukan atas hal-hal yang pernah kita lakukan meski itu sebuah kesalahan.... Aku mohon, demi sisa-sisa kebaikan itu, maukah kau pergi sekali saja melihat anak malang itu!" Ibu-ibu gendut berkata pelan, suara hujan meningkahi suara bergetarnya meski kalimat itu masih terdengar jelas di telinga Karang. Gerakan tangan Karang membuka pintu terhenti, menoleh tersinggung, menatap amat tajam ke ibu-ibu gendut, mendesis, "Omong-kosong! Jangan
pernah ajari aku soal kesempatan Ibu.... Jangan pernah ajari aku tentang penyesalan!. Jangan sekali-kali!"
Terdiam. Tegang. Bersitatap satu sama lain. Ibu-ibu gendut mengusap matanya yang berair, "Aku tidak akan mengajarimu soal kesempatan, anakku! Apalagi tentang penyesalan.... Kau tahu, aku tidak pernah meminta kau melakukan apapun selama ini. Tidak pernah. Aku berjanji pada suamiku untuk tidak berharap budi dari kalian.... Tapi, malam ini biarlah aku melanggar janji tersebut, aku mohon demi kebaikan suamiku terhadapmu selama ini, maukah kau pergi sekali saja melihat anak itu?" Karang sudah mendengus kasar. Membuka pintu, keluar. Lantas membantingnya. Menyisakan keterkejutan (kaget mendengar suara pintu dibanting keras) ibu-ibu gendut itu. Hujan turun semakin deras.
Lepas tengah malam. Bunda lagi-lagi keliru. Melati sama sekali belum tertidur saat ia meninggalkannya. Melati sekarang justru seperti hari-hari kemarin, turun dari ranjangnya. Melangkah menuju jendela kaca. Tangannya meraba-raba sembarangan. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar, mulutnya terbuka sedikit, memamerkan gigi kelinci.... Menyentuh dinginnya jendela kaca. Tampias air hujan dibawa angin mengenai jendela terdengar bergemeletuk. Satu. Dua. Ujung-ujung jemari Melati menggurat entahlah. Suaranya menggerung
pelan. Mukanya menempel pada kaca. Membentuk embun dari hembusan nafas.... Tidak ada bedanya! Jika bagi penduduk kota hujan malam ini membuat mereka nyaman di rumah, membuat tidur terasa lebih nikmat, bagi Melati tak ada bedanya, Telinganya tidak mendengar buncah suara hujan menerpa genting, bebatuan, tembok, dan apalah, Matanya juga tidak bisa melihat bilur-bilur air yang begitu menenangkan, kristal bening yang menyimpan keniscayaan kebaikan langit, Melati tidak melihat, tidak mendengar semua itu, Hujan deras ini tidak ada bedanya bagi Melati.... Baginya hidup hanya gelap. Hitam, Tanpa warna, Baginya hidup hanya senyap. Kosong. Tanpa suara.
Pertemuan Pertama Kejutan. Esok paginya banyak sekali yang terkejut!
"Ada tamu yang mencari Ibu!" Salamah terbirit-birit masuk ke ruang makan memberitahu (soal terkejut, Salamah nomor satu).
Bunda yang sedang memperbaiki posisi mangkuk bubur Melati mengangkat kepalanya. Sepagi ini" Ada yang mencarinya" Tuan HK ikut menoleh ke Salamah. Tidak pernah ada tamu setahun terakhir datang sepagi ini ke rumah. Siapa" "Ergh, orangnya seram, Bu-" Salamah menyeringai, setidaknya soal deskripsi dan menilai kelakuan orang lain Salamah objektif (maksudnya benar-benar melihat kulit luarnya doang).
"Rambutnya gondrong, matanya iiih, nggak pake kedip-kedip. Mana semua bulu di muka, eh maksud Salamah cambang dan kumisnya nggak pake dipotong, pokoknya seram deh, Bu...." Bunda melipat dahi, bingung, meski beberapa detik kemudian tersenyum. Mengerti siapa yang dimaksud ekspresi Salamah. Benar-benar kejutan. Ia tidak tahu kenapa, atau persisnya kemarin benar-benar
bingung apakah orang yang didatanginya tepat atau bukan untuk dimintai pertolongan. Tapi dengan datangnya dia pagi ini, itu kabar baik (apapun alasannya dia datang).
"Suruh tamunya masuk!" Bunda mengangguk ke Salamah.
"Ergh, masuk Bunda" Nggak salah" Orang seram gitu disuruh masuk" Kalau kenapa-napa?" Salamah menyeringai bingung, menggaruk rambutnya, mengusap celemek.
Bunda menggeleng. Memberi senyum perintah. Suruh tamunya masuk. Salamah mengusap ujung celemeknya lagi, mengangguk, ia tidak perlu disenyumi dua kali, langsung balik kanan. "Kau tahu siapa yang datang?" Tuan HK bertanya. Bunda tersenyum, "Yang aku ceritakan beberapa hari lalu-"
Tuan HK ber-oo pendek, tidak bertanya lagi. Meski dia tidak tahu (sebenarnya lupa kalau Bunda pernah bercerita soal surat-surat yang dikirimkan ke seseorang). Untuk urusan keterbatasan Melati tuan HK tidak banyak bertanya. Dulu masih sering memberikan masukan, argumen, atau entahlah, tapi lama-kelamaan istrinya mengambil alih-penuh apa saja yang ingin ia lakukan. Tuan HK memutuskan memilih diam, khawatir 'keberatan' atau komentarnya akan menyakiti keyakinan istrinya tentang janji kesembuhan Melati. Jadi seganjil apapun terapi yang ingin dilakukan istrinya. Tuan HK hanya mengangguk. Termasuk, entahiah pagi ini siapa yang datang!
"Ba... Ba... Maa...." Melati yang terlupakan mendesis memukul-mukul bubur di atas mangkuk. Muncrat. Membasahi baju berenda putihnya. Tidak peduli dengan percakapan barusan. Bunda tersenyum, lembut memperbaiki mangkuk itu sekali lagi.
Cahaya matahari pagi menerabas jendela kaca. Membentuk garis indah di lantai. Memanjang membelah meja makan seperti siluet anak-panah. Pagi baru saja menjejak kota. Kesibukan orang-orang memulai hari. Beberapa ekor burung gelatik terbang rendah di luar. Bernyanyi. Meloncat-loncat riang di atas rumput taman. Mandi di air mancur berbentuk tiara lima tingkat. Berebut remah-remah roti yang dilemparkan Mang Jeje. Salamah mempersilahkan tamu Itu masuk. Lima belas detik berlalu. Karang sudah berdiri takjim di bawah pintu ruang makan. Menatap sekitar. Mata tajamnya menyapu seluruh isi ruangan. Bunda dan Tuan HK menoleh. Pagi ini, Karang datang mengenakan pakaian yang lebih bersih dari kesehariannya. Sweater lengan panjang berwarna hitam. Celana katun juga berwarna hitam. Tadi pagi sempat mandi (mandi pagi pertamanya setelah tiga tahun). Menyisir rambut gondrongnya. Terlihat lebih rapi. Tapi Salamah benar, meski penampilan Karang berbeda dari gaya resmi di kamar pengapnya, eskpresi muka Karang yang 'tidak, bersahabat', mata tajam, serta gesture tubuh yang kaku membuatnya tetap rada-rada seram (apalagi buat Salamah yang terbiasa panik, mikir pesawat
terbang yang lewat saja pertanda serbuan kompeni).
"Selamat pagi!" Karang berkata pendek. Tanpa intonasi.
"Selamat pagi. Karang. Silahkan, anakku-" Bunda buru-buru berdiri, tersenyum lebar, melangkah menyambut Karang.
"Kemari, silahkan bergabung dengan kami-" Karang melangkah masuk. Ketukan sepatunya membungkus langit-langit ruangan. Matanya tak berkedip. Tajam menatap.
"Ba.... Ba...." Melati masih sibuk dengan mangkuk buburnya.
"Ini, Karang, yang! Seperti yang kuceritakan beberapa hari lalu.... Ini suamiku, Tuan HK!" Bunda tersenyum memperkenalkan Karang pada Tuan HK. Tuan HK demi sopan-santun berdiri, menyalami tangan dingin tanpa ekspresi itu, berpikir sejenak, bergumam dalam hati. Dia agak tidak menyukai penampilan 'misterius' tamu di depannya. Tapi apa mau dibilang" Istrinya sendiri menyambut dengan hangat....
"Dan, dan ini... inilah putri kami satu-satunya-" Bunda pelan menunjuk Melati yang masih sibuk mengaduk-aduk mangkuk buburnya, masih berusaha tersenyum lebar.
Karang menolehkan kepalanya. Menatap kanak-kanak itu....
Tajam. Bagai seekor elang dari atas pohon raksasa yang menatap kelinci berlarian di padang stepa dua ratus meter jaraknya. Tanpa ekspresi. Sedetik. Dua
detik. Lima detik. Lima belas detik. Setengah menit. Membuat Tuan HK, Bunda, dan Salamah mengernyit bingung. Lantas menghela nafas tipis sekali (tidak terdengar oleh siapapun kecuali oleh dirinya sendiri).
"Boleh aku duduk?" Berkata datar. Memutus keheningan.
Bunda tersenyum, menarikkan kursi untuk Karang, kursi dekat Melati. Memanggil Salamah mendekat, memintanya membawakan piring tambahan, "Karang akan makan pagi bersama kita, tolong tambahkan makanannya, Sala-"
"Aku tidak datang ke sini untuk meminta-minta sarapan, Nyonya!" Karang mendesis pelan, memotong.
Bahkan Tuan HK ikut mengangkat kepala. Menatap wajah pemuda yang meski intonasi kalimatnya barusan tidak kasar terdengar, isinya penuh dengan ambigu makna 'menyebalkan'.
"Ee, ya, ya.... Baik. Ma-af. Piringnya urung, Salamah!" Bunda sedikit salah-tingkah, banyak terkejutnya, meski tetap tersenyum lebar, melambaikan tangan ke Salamah. Ia sudah berpengaiaman setengah jam berinteraksi dengan pemuda ini kemarin sore, jadi sedikit lebih terbiasa dengan kata-kata kasarnya. Berbeda dengan Tuan HK yang sekarang melipat dahi. Siapa anak-muda tidak sopan ini?"
"Ba.... Baa.... Maa...." Melati masih sibuk. menumpahkan isi mangkuk dengan adukan tangan. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar.
Mulutnya terbuka, memperlihatkan gigi kelincinya. Rambut ikalnya bergoyang. Mana peduli (mana tahu") Melati kalau ada tamu di meja makan mereka pagi ini. Apalagi kalimat sinisme barusan. "Makannya yang pelan, sayang!" Bunda tersenyum, memperbaiki posisi mangkuk yang hampir jatuh di tepi meja.
"Ba.... Baaa...." Melati menghentak-hentakkan kakinya, sedikit marah karena Bunda sempat menyentuh jemarinya, mengaduk bubur lebih kencang, tumpah lagi mengenai baju putih berendanya. "Apakah ia selalu makan seperti ini" Tidak ada bedanya dengan seekor binatang saat makan?" Karang berkata dingin, memotong gerakan tangan Bunda.
Tuing! Tuan HK seketika meletakkan sendoknya, "Maaf, apa yang Anda bilang barusan?" "Apakah ia selalu makan seperti binatang?" Karang mengulang kalimatnya tanpa perlu merasa berdosa, tanpa merasa bersalah.
Bunda pias, tersenyum kaku (lebih tepatnya
terkesiap), sedikit resah dengan tensi pembicaraan.
Bagian ini sama sekali belum ia ceritakan pada
suaminya. Bagian betapa kasarnya anak-muda yang
ada di hadapan mereka sekarang.
"Saya pikir Anda tahu kalau Melati buta dan tuli!
Saya pikir Anda tahu keterbatasan Melati.... Jadi,
makan seperti apa yang akan Anda harapkan
darinya?" Tuan HK berkata tajam.
"Anak ini memang buta dan tuli, Tuan! Tapi bukan
berarti ia tidak berotak, hanya binatang tidak
berotaklah yang tidak memiliki adab makan! Mengaduk-aduk makanannya. Bahkan monyet terlatih pun bisa menggunakan sendok-garpu!" Karang mendesis tidak kalah tajam-nya. Sedikitpun tidak mempedulikan intonasi dan gesture wajah amat tersinggung Tuan HK barusan. Bunda semakin salah-tingkah. Apalagi Salamah. Salamah sibuk mengusap dadanya. Bersiap atas kemungkinan terburuk. Aduh, bentar lagi bakal Bharatayuda, atau Bandung Lautan Api, deh.... Tuan HK yang tidak mengerti siapa pemuda sok-tahu yang ada di ruang makannya pagi ini menghela nafas, berusaha mengendalikan diri, meski separuh hatinya benar-benar siap meledak. Belum pernah Melati dihina. Dan ia seumur hidupnya memastikan tidak akan pernah ada yang berani menghina putri semata wayangnya! Mencegahnya mengaduk-aduk makan saja sudah membuat Tuan HK tersinggung (seperti yang dilakukan Tya). Lihatlah, pagi ini ada yang benar-benar telah merobek kemarahannya.
Tapi sebelum Tuan HK memuntahkan kalimat
kasarnya. Karang sudah terlebih dahulu menarik
tangan Melati dari mangkuk bubur.
"Makannya tidak boleh pakai tangan!" Karang
mendesis. "BA! BAAA!!" Melati seketika berteriak marah, seperti ular diinjak ekornya, mengamuk. Ada yang melanggar aturan mainnya.
"Ini sendok! KAU HARUS MAKAN DENGAN INI!" Karang tidak kalah galaknya membentak.
Mencengkeram tangan-tangan Melati yang bagai belalai menggelepak marah bergerak kemana saja. Meletakkan paksa sendok ke telapak tangan Melati....
"BA.... MA.... BAAAA!!" Melati benar-benar mengamuk, seketika membanting sendok yang diberikan. Tangannya liar mencari benda di atas meja (untuk dibanting berikutnya). Kakinya menghentak-hentak lantai. Mata hitam biji buah lecinya berputar cepat. Rambut ikalnya bergerak-gerak oleh sengal nafas. "TIDAK BOLEH!" Karang lebih cepat. Memindahkan mangkuk dari jangkauan Melati. Melati menggerung. Memukul-mukul meja-makan. "HENTIKAN! KAU TIDAK BOLEH MELAKUKANNYA!" Karang menangkap tangan-tangan itu, mencengkeramnya.
"LEPASKAN!" Tuan HK sudah membentak dari seberang meja. Ini benar-benar berlebihan. Siapa pula pemuda aneh yang hanya dalam waktu lima menit membuat kacau-balau sarapan mereka. Yang berani sekali mencengkeram tangan Melati. Rusuhlah meja makan itu. Salamah yang sudah dari tadi mengurut-urut dadanya ber-istighfar keras-keras macam melihat bala monster raksasa berkepala tujuh berekor sembilan. Bunda menatap bingung, mulutnya terbuka tapi tak mengucap kata apapun, apa yang harus ia lakukan, apa yang harus ia katakan" Benar-benar kaget dengan semua kejadian cepat ini. Kenapa jadi ricuh begini" Melati semakin kencang berontak dalam
cengkeraman Karang. "KAU! Kau tidak boleh makan jika tetap merajuk!" Karang berdiri.
"BAAA.... BAAAA!!" Melati berteriak galak. "Baik, kau sendiri yang memintanya!" Kasar Karang menarik tubuh Melati. Bahkan menyeretnya, menjauhi meja makan.
Demi melihatnya Tuan HK benar-benar tersinggung. Ia ikut berdiri, mendorong kursi ke belakang hingga jatuh terbanting. KLONTANG! Salamah terperanjat, mengusap dadanya....
"LEPASKAN MELATI!" Tuan HK membentak. Karang sedikit pun tidak merasa perlu menoleh Tuan HK, apalagi menuruti teriakan perintah darinya. Tetap menyeret Melati menuju anak-tangga pualam. Melati berontak sekuat tenaga, menendang sebisa kakinya, memukul sebisa tangannya, tapi ia kalah tenaga. Karang sepenuh hati menyeret Melati ke sudut ruangan. Lantas membanting Melati duduk di anak tangga pertama. Gadis kecil itu terhenyak. Benar-benar terhenyak. Gerungan marahnya, gerakan berontak tangannya, putaran mata hitamnya terhenti. Seketika....
Karang membantingnya terduduk! Belum pernah seumur-umur Melati diperlakukan seperti itu. Ia memang tidak memiliki akses mengenal dunia dan seisinya. Mata, telinga, dan semua tertutup baginya, tapi pagi ini ia mengenal sesuatu yang baru: sakitnya dibanting duduk.
"APA YANG KAU LAKUKAN!" Tuan HK mendesis. Melangkah galak mendekati Karang. Tangannya
mengepal. Rambutnya boleh jadi sudah beruban, otot-ototnya boleh jadi sudah dimakan usia tengah baya, tapi pagi ini dia tidak akan segan-segan berkelahi dengan tamu tidak tahu diuntung ini. Baru lima menit di ruang makannya, berani sekali membanting putrinya terduduk.
"Apa yang aku lakukan" Aku mengajarinya, Tuan!" Karang berkata datar, tidak kalah galak (tajam mengiris).
"KAU! SIAPAPUN KAU! PERGI DARI RUMAH INI!" Tuan HK kehabisan kalimat mendengar jawaban dingin Karang. Apa barusan dibilang" Mengajarinya" Ringan sekali pemuda ini mengatakan kalimat itu. Omong-kosong! Bagaimana mungkin dia membiarkan ada orang sinting masuk ke ruang makannya" Pelipis Tuan HK bergerak-gerak menahan amarah. Bunda terbirit-birit di belakang, menyusul. Berusaha memegangi lengan suaminya. Bunda kehilangan kata. Syok menyaksikan kejadian yang begitu cepat. Syok melihat Melati dibanting. Syok melihat Melati yang sekarang menggerung pelan di anak-tangga pualam. Memeluk lututnya. Kanak-kanak itu tertunduk. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar pelan.
Sementara Karang tertawa kecil mendengar bentakan Tuan HK yang mengusirnya. Melipat kedua tangannya di dada. Menoleh, menatap Melati yang masih terduduk menggerung lemah, "Tahu atau tidak, hidup ini penuh paradoks, Tuan.... Terkadang paradoks itu lucu sekali, terkadang paradoks itu amat menjijikkan.... Tapi lebih banyak
lagi paradoks itu sama sekali tidak bisa kita mengerti...
"Dua belas jam yang lalu, aku sedikit pun tidak tertarik untuk membantu keluarga Anda, Tuan. Membantu anak ini. Apa peduliku" Hanya akan menghabiskan waktu.... Aku sama sekali tidak berniat meski hanya menjejakkan kaki di rumah mewah kalian. Percuma! Buat apa! Tapi pagi ini, aku berubah pikiran.... Ya! Berubah pikiran begitu saja.... Sedetik yang lalu aku sudah memutuskan membantu anak Anda!
"Jadi maafkan aku. Tuan! Dengarkan, ini aturan mainnya.... Karena aku sudah memutuskan untuk membantunya, maka aku tidak peduli apakah Tuan berkeberatan atau tidak dengan kehadiranku di sini. Tuan tidak bisa mengusirku!" Karang melambaikan tangannya. Santai sekali, beranjak hendak kembali ke meja makan.
"KAU.... SIAPAPUN KAU PERGI! PERGI DARI RUMAH INI!" Tuan HK menggerung mengkal, benar-benar tersulut marahnya, seperti kucing yang di injak ekor (terus kepalanya juga dipukul, disiram air seember pula).
"Sa-bar, yang! Sa-bar...." Bunda bergegas memegang lengan suaminya. Berbisik bingung. Berkata bingung. Entahlah ia sedang membujuk suaminya atau membujuk hatinya yang juga bingung. Setengah marah. Setengah panik. Setengah tidak mengerti. Semuanya setengah-setengah. Bunda kalut melihat keributan ini.... "SALAMAH, PANGGILKAN PENJAGA DEPAN! SERET
KELUAR TAMU SIALAN INI!" Tuan HK meneriaki Salamah.
Salamah yang detak jantungnya bagai genderang dipukul dalam tempo tinggi, terkaget-kaget mendengar namanya diteriaki. Sekejap sudah ngacir lari ke depan. Ini namanya 'Darurat Militer'. Siaga Satu. Status Awas. Entalah, apapun namanya.... Tuan HK melotot menatap Karang. Mereka bersitatap satu sama lain. Bunda tetap memegang lengan suaminya. Sedetik. Dua detik. Lima detik. Hanya hembusan kencang nafas Tuan HK yang terdengar....
"Baik! Pagi ini aku akan pergi. Tuan! Tapi, besok aku pasti akan kembali. Diminta ataupun tidak, kalian pasti membutuhkanku...." Karang mendesis pelan, berhitung dengan situasi.
"Tapi sebelum aku pergi. Tuan lihat anak ini.... Terduduk sambil menggerung marah! Kakinya menghentak-hentak lantai. Jemari tangannya gemetar menggurat keramik. Lihatlah! Anak ini sama frustasinya dengan kita, Tuan. Sama marahnya dengan kita.... Mungkin lebih frustasi! Lebih marah dibandingkan siapapun.
"Tuan, bukan hanya kita yang lelah, anak ini juga juga lelah bertahun-tahun lamanya. Merasakan keinginan itu memenuhi seluruh otaknya, bertahun-tahun rasa ingin tahu itu membuncah setiap senti kepalanya, bertahun-tahun mulutnya ingin bicara tapi hanya sengau yang keluar, matanya ingin melihat tapi hanya gelap, telinganya ingin mendengar tapi hanya senyap....
"Anak ini tidak pernah menemukan jawabannya. Tuan.... Ia tidak pernah mendapatkan akses untuk tahu, tidak pernah mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya! Energi itu semakin lama semakin besar. Menggelembung tak tertahankan. Rasa frustasi itu semakin lama semakin sesak.... Sehingga berubah menjadi marah! Anak ini semakin sering marah, bukan" Melempar apa saja sepanjang tahun ini.... Anak ini sama putus-asanya dengan kita!
"Bedanya kita mengerti apa itu makna kata putus-asa! Anak Tuan tidak! Sendok-garpu pun ia tidak mengerti!. Bedanya kita mengerti bagaimana cara menyalurkan energi marah dengan baik, anak Tuan tidak! Ia benar-benar frustasi, dan seseorang harus mengajarinya mengendalikan emosi itu, seseorang harus mengajarinya menemukan cara agar ia bisa mengenal dunia dan seisinya...." Karang membungkuk mengambil sendok yang dibantingkan Melati tadi, lantas kasar menunjukkannya ke depan wajah Tuan HK.
Bunda menahan lengan suaminya....
Tuan HK menggerung, bersiap dengan teriakan
berikutnya- "LIHAT SENDOK INI, TUAN!" Karang lebih dulu mendesis keras, "Anak Tuan bahkan tidak tahu mana sendok, mana garpu! Tapi bukan berarti anak Tuan tidak bisa diajari.... Masalahnya, kita belum tahu caranya! ANAK TUAN MEMANG TULI DAN BUTA.... Anak Tuan memang memiliki keterbatasan fisik, tapi bukan berarti ia memiliki keterbatasan
otaknya.... "Tahukah Tuan hal yang paling menyedihkan di dunia ini" Bukan! Bukan seseorang yang cacat, memiliki keterbatasan fisik, bukan itu! Melainkan seseorang yang sehat, normal, sempurna fisiknya, tapi justru memiliki keterbatasan akal-pikiran. Bebal. Bodoh....
"Tidak. Itu tidak ada hubungannya dengan tingkat kecerdasan. Itu lebih karena perasaan sombong, angkuh, merasa paling hebat, sok-tahu dan sebagainya. Penyakit keterbatasan akal pikirannya. Melati memang tuli dan buta, tapi ia sama-sekali tidak memiliki keterbatasan akal pikiran.... "Pagi ini demi melihat anak Tuan, aku berubah pikiran.... Ya, hidup benar-benar penuh paradoks.... Pagi ini, aku memutuskan membantunya. Aku bersumpah akan menemukan cara agar anak ini mengenal dunia dan seisinya, menemukan cara agar ia bisa membedakan mana sendok, mana garpu. Meskipun itu hal terakhir yang bisa kulakukan sebelum kematian...." Karang menghentikan kalimatnya, menatap tajam tubuh Melati yang masih bersimpuh di anak tangga pualam. Lengang.
Suara tajam Karang ba rusan menggantung di langit-langit kamar.... Bunda menghela nafas pelan sekali. Tuan HK menggerung, berpikir entahlah. Tapi senyap itu hanya sejenak, beberapa detik kemudian, dua penjaga depan yang sterek terbirit-birit masuk ke ruang makan, diikuti oleh
Salamah yang juga sok-gaya membawa pentungan (pengki dan sapu ijuk pula).
"Baik! Seperti yang kukatakan tadi, aku akan pergi!" Karang berkata pelan sambil menatap penjaga-penjaga itu mendekat, tertawa kecil, "Tapi esok-lusa, cepat atau lambat kalian pasti menghubungiku, anak ini membutuhkanku! Aku akan membantunya. Suka atau tidak!" Dan Karang melangkah rileks, menuju pintu keluar. Dua penjaga depan itu berusaha memegang lengannya. Karang kasar mengibaskannya, menatap tajam. Penjaga menoleh ke Bunda dan Tuan HK, meminta pendapat (maksudnya apa perlu diseret keluar") Bunda menggeleng. Biarkan saja. Salamah ber-yaaa kecewa.
Semburat cahaya matahari di lantai semakin lebar. Membuat nuansa ruang makan terasa begitu menyenangkan (andaikata tidak ada semua keributan barusan). Burung gelatik tetap asyik bercengkerama di hamparan rumput taman, mematuki remah-remah roti. Suara ketukan sepatu Karang terdengar memenuhi sudut-sudut ruangan. Persis tiba di bawah bingkai pintu ruang makan, langkah Karang mendadak terhenti. Entah kenapa Karang membalik badannya, matanya menyapu seluruh ruangan sekali lagi, lantas menatap tajam ke Melati yang masih memeluk lutut dan menggerung pelan.
Karang memejamkan matanya, "Musim panas.... Pantai yang indah...." Berkata pelan. Dengan intonasi suara bergetar.
"Payung-payung kanopi terkembang, warna-warni indah.... Capung berterbangan..." Tangan Karang bergerak mengembang, menyentuh udara di depannya, seolah hendak menangkap salah-satu capung yang disebutnya dengan mata terpejam. "Kaki kecil melangkah riang, ombak menjilati ujung-ujung tumitnya.... Kaki kecil berlari riang.... Menjejak pasir yang bagai es krim terhampar.... Jejak kaki.... Siluet bayangan badan.... Rambut ikal bergelombang.... Pita biru di kepala.... Boneka panda di pelukan...."
Terdiam. Karang membuka matanya. Mata itu sekarang menatap redup (meski tetap dingin). Menatap Bunda lamat-lamat.
"Melati tidak akan pernah bisa disembuhkan, Nyonya.... Ia seumur hidupnya akan tetap buta dan tuli. Maafkan aku telah mengatakan kabar buruk itu. Tapi kita bisa menemukan cara agar ia mengenal dunia ini. Mengenal Tuhan, mengenal penciptanya yang tega sekali telah menciptakannya dengan segala keterbatasan. Nyonya, aku bisa membantunya, tapi kita punya aturan main.... Tidak ada protes, tidak ada keberatan. Jika kau ingin aku melakukannya, turuti semua yang kukatakan, biarkan semua yang ingin kukerjakan.... "Selamat pagi. Nyonya! Kutunggu surat kesepakatan kalian besok pagi-pagi!" Dan Karang melangkah anggun keluar dari ruang makan tersebut.
Malam sekali lagi datang. Satu hari lagi berlalu (tidak peduli kita suka atau tidak dengan hari itu).
Hujan deras kembali menggantang kota. Padahal tadi burung layang-layang menarikan formasi: 'tidak hujan". Ah, mereka kan juga sama dengan manusia, menebak! Hanya kuasa langit yang tahu pastinya akan seperti apa. Jadi siapa bilang kalau hewan-hewan turun dari gunung itu pertanda gunung akan meletus" Bisa saja hewan itu salah baca pertanda alam, kan" Siapa bilang mereka 100% benar"
Lengang. Jalanan kota sepi. Hujan buncah membasuh trotoar. Ciprat. Ciprat. Ciprat. Got mengeluarkan suara air deras mengalir. Bungg. Bungg. Bungg. Dedaunan bergoyang terkena ribuan larik bilur air. Bak penampungan air luber, ember-ember plastik melimpah.... Suara ketukan mesin ketik tua itu terdengar berirama di sela-sela buncah suara air hujan.... Daun jendela kamar itu terbentang lebar-lebar. Angin malam yang dingin menderu masuk kamar berukuran 6x9 meter. Dari sini, kerlip mercu suar di kejauhan terlihat syahdu, lampu perahu nelayan yang tetap bertahan mencari nafkah, kapal ferry besar yang membuang sauh di dermaga. Karang duduk bersila di atas ranjang kayu jati, mesin ketik tua yang belasan tahun tak pernah disentuh itu tergolek di depannya. Putaran kertasnya bergerak pelan seiring huruf demi huruf diketukkan. Tak! Tak! Tak! Cengklang! Spasi baru. Jemari tangan kanan Karang menggeser putaran. Baris baru. Paragraf baru.
Malam ini ada banyak sekali perubahan di kamar
tersebut. Malam ini ada banyak sekali yang dipikirkan Karang. "Ibu, dulu aku pernah sendiri bertanya dalam geiap.... Apa beda sebutir air bening di ujung daun dengan sebutir debu di dinding kusam" Dufu, tiada yang bisa memberi jawab. Tidak ada. Hari ini aku menemukan sendiri jawabannya. Apa bedanya" Tidak ada. Sama sekali tidak, ada bedanya.... Keduanya sama-sama keniscayaan kekuasaan-Nya. Keduanya sama-sama men-sucikan, meski hakikat dan fisiknya jelas berbeda.
"Ibu, dulu aku pernah sendiri bertanya dalam sesak.... Apa bedanya tahu dan tidak tahu" Apa bedanya kenal dan tidak mengenal" Apa bedanya ada dan tiada" Apa bedanya sekarang dengan kemarin, satu jam lalu, satu menit lalu, satu detik lalu" Dulu, tiada yang bisa memberi jawab. Hari ini aku juga tetap tidak, tahu begitu banyak, potongan pertanyaan. Tapi tak mengapa. Setidaknya tetap bisa melihat, mendengar, dan terus berpikir. Ada banyak yang tidak lagi. Tepatnya membutakan diri. Menulikan kepala. Atau mem-bebalkan hati.... "Ibu, sudah lama sekali aku tidak merasakan kekuatan itu.... Tadi pagi kekuatan itu kembali. Kembali begitu saja setelah bertahun-tahun pergi dengan segala kesedihan. Begitu menghentak, begitu mengejutkan, membasahi seluruh tubuh, merasuk, dalam segenap aliran darah. Aku bisa merasakannya lagi. Bisa berpikir, merasakan persis seperti kanak-kanak yang ada di depanku.... Kekuatan itu kembali, Ibu...."
Ketukan huruf demi huruf terhenti sejenak. Karang mengusap dahinya yang berkeringat. Angin malam yang dingin (bersama bulir air hujan yang terbawa) tidak membantunya banyak. Kepalanya yang terus bekerja membuat kelenjar keringatnya juga bekerja keras. Sudah lama dia tidak menuliskan sesuatu.... Padahal dulu hampir setiap malam dia menulis apa saja. Menuliskan rencana-rencana besar itu. Menuliskan cerita-cerita untuk anak-anak di Taman Bacaan. Apa saja.
Lebih banyak lagi menulis tentang kerinduan itu! Menyebut nama Ibu di dalam semua catatan harian, menyebut nama seseorang yang tidak pernah dikenal sepanjang hidupnya sebagai yatim-piatu (selain ibu-ibu gendut, istri pemilik rumah singgah yang baik hati). Malam ini, entah apa sebabnya keinginan menulis lagi semua kerinduan itu kembali, jemarinya menuntun mengetikkan apa saja yang selama tiga tahun sesak terpendam. Bukan! Bukan hanya tiga tahun, tapi nyaris sepanjang hidupnya.... Tadi pagi ibu-ibu gendut pemilik rumah benar-benar terkejut saat melihat Karang turun mandi pagi! Ingin bertanya. Ingin tahu. Urung. Memutuskan hanya memperhatikan sambil tersenyum. Menyiapkan sarapan. Karang sama tidak-pedulinya seperti hari-hari kemarin, sama sinisnya dalam percakapan, tapi ia tahu, Karang akan pergi ke rumah lereng bukit itu. Apapun yang akhirnya membuat Karang pergi tidak penting, yang penting perkembangan ini menarik, menyenangkan. Ibu-ibu gendut bergumam riang, menahan diri bertanya
kenapa, takut merusak kabar baik yang sedang dilihatnya.
Semalam ibu-ibu gendut tidak tahu kalau Karang pulang lebih cepat. Menjelang tengah malam Karang sudah kembali. Jadi amat terkejut, saat bersiap mengantarkan termos baru berisi air panas ke kamar atas. Karang justru menuruni anak tangga berkeriut (ia pikir anak-muda itu masih tidur tertelentang seperti biasa).
Angin menderu melewati bingkai jendela. Karang menyentuh kembali mesin ketik tuanya.... "Ibu, saat menatap wajah kanak-kanak itu seperti ada sejuta voltase listrik yang menyentrum mata.... Seperti ada seribu jarum akupuntur yang menusuk, badan. Benar-benar membuat sesak..... Seandainya kau ada di sini untuk, tahu dan melihat sendiri perasaan seperti itu! Saat aku menyentuh jemarinya, seluruh perasaan itu buncah memenuhi kepala. Saat aku menyentuh kulitnya seluruh tubuh merinding oleh perasaan gentar.... Ibu, kekuatan itu akhirnya kembali...."
Suara ketukan huruf demi huruf terus terdengar. Tak! Tak! Tak! Cengkiang! Spasi baru. Baris baru. Paragraf baru.
Karang menyeka sekali lagi dahinya. Terdiam sejenak. Menatap langit-langit kamar. Sudah lama sekali hatinya tidak selega ini. Tidak. Belum sempurna lega. Masih banyak pertanyaan. Masih banyak sesak penyesalan. Bahkan baru saja wajah membeku, tangan membiru, kepala terkulai Qintan melintas di pelupuk matanya. Baru saja serunai
kesedihan tiga tahun lalu itu terdengar, melesat mengukir visualisasi sempurna di depannya. Tapi sekarang dia tidak mendesah tertahan, Karang hanya menghela nafas pelan.... Di lantai bawah ibu-ibu gendut meneruskan rajutan. Tersenyum tipis mendengar suara ketukan mesin ketik. Berkata lirih, "Terima kasih, Tuhan...." Ia tahu dirinya tidak akan pernah bisa membujuk Karang untuk berubah. Tidak dengan kalimat kalimatnya. Bukan karena percakapan mereka. Tuhan pasti melibatkan diri dalam urusan ini. Dan memang begitulah urusan ini....
Kemarin malam, ketika Karang yang sebal karena bar langganannya kehabisan stok minuman keras favorit-nya, lantas bersungut-sungut memutuskan pindah ke bar lain, ketika itulah Tuhan mengambil alih urusan ini.... Karang tidak sengaja berpapasan dengan pemandangan yang menyedihkan itu. Dua tua renta (sebenarnya tidak serenta yang terlihat) dikerubuti oleh remaja tanggung anak jalanan, dekat pintu keluar bar. Tanpa perlu bertanya, Karang tahu kedua tua renta itu peminta-minta. Karang juga tahu apa yang sedang terjadi. Mereka sedang berusaha mempertahankan kantong uangnya dari anak-anak jalanan (dia juga dulu pernah melakukan hal itu). Apa daya, jumlah dan tenaga dua tua renta kalah jauh. Mereka hanya bisa mengeluh tertahan saat kantong uang hasil mengemis seharian itu berpindah tangan, satu di antara mereka malah jatuh terjungkal di parit jalan. Malam itu, entah mengapa kadar tinggi sinisme dan
tidak peduli Karang menguap, dia malah ringan-hati
menjulurkan tangan, berusaha membantu salah
seorang dari mereka yang barusan terjerambab ke
parit berisi air-limbah kotor dan bau.
"PERGI SANA! Kami tidak membutuhkan bantuan
pemabuk sepertimu!" Salah seorang dari mereka
menghardik marah, justru mengibaskan tangan
Karang. Mungkin karena mencium bau alkohol yang
keluar dari mulut Karang.
Karang melipat dahi. Menarik tangannya.
"Kalian selalu merasa harus memberikan pertolongan
kepada orang-orang seperti kami, selalu merasa
kasihan... tapi kalian lupa kalian-lah yang terlihat
normal tidak kurang satu apapun yang sebenarnya
lebih membutuhkan pertolongan di dunia ini. Lebih
patut dikasihani...." Tertawa, orang yang jatuh ke
parit barusan tertawa sinis, sambil menepuk-nepuk
baju basah berlendirnya, berdiri tertatih di trotoar
jalan. Karang terdiam. Bukankah tiga tahun terakhir dia-lah yang sarkas pada orang lain" Lah, malam ini justru ada orang lain yang mengeluarkan kalimat-kalimat sok-tahu menyebalkan itu padanya" Dia menelan ludah, memutuskan beranjak pergi tidak peduli. Mendengus sebal. Tapi saat itulah dia menyadari sesuatu, kedua tua renta itu cacat, pasangan cacat yang ganjil sekali. "Apa yang kau tunggu. Segera minggir dari hadapanku!" Orang yang tadi tertawa sarkas, mendorong kasar tubuh Karang yang masih menghalangi langkahnya.
"Kau... Kau bu-ta?" Karang bertanya, sedikit terbata.
"Apa kau tidak pernah melihat orang buta hingga harus bertanya memastikan! Atau kau sudah terlalu mabuk hingga tidak tahu?" Tertawa menyebalkan. Karang mendengus sekali lagi.
"Ya! Aku buta, temanku yang satunya tuli.... Pasangan yang hebat sekali, bukan" Dia meminjamkan matanya kepadaku agar kami bisa berjalan, sementara aku meminjamkan mulutku padanya agar kami bisa bicara... Dan malam ini, kami berdua harus meminjamkan uang kepada berandalan sehat-bugar tadi.... Malam ini, kami berdua juga harus meminjamkan penjelasan padamu yang jelas-jelas terlihat lebih pintar.... Benar-benar lelucon kehidupan yang hebat, bukan?" Orang buta itu tertawa dengan intonasi suara amat menyebalkan. Menggerakkan tangan kepada temannya yang bisa melihat, menyuruhnya segera beranjak pergi dari trotoar itu. Temannya yang dia bilang tuli (tapi bisa melihat) melangkahkan kakinya. Menyibak tubuh Karang yang masih terdiam menghalangi. Dan sekejap....
Kesadaran itu datang (tepatnya dikembalikan"). Bagai anak panah yang melesat dari langit. Jutaan jumlahnya. Sekejap semua perasaan itu dipulihkan. Mengungkung Karang seperti air terjun besar, dan dia duduk persis di bawahnya. Membuat kuyup. Membuat basah. Karang mengusap dahinya. Berpegangan pada tiang lampu trotoar jalan. Ya
Tuhan, dia pernah mengenali perasaan seperti ini. Dia amat mengenalinya. Kerinduan itu. Kerinduan....
Malam-malam gelap anak jalanan. Perkelahian. Mencuri. Malam-malam gelap sesak dengan banyak pertanyaan. Kerinduan kepada Ayah-Ibu yang tidak pernah dimilikinya.... Rasa iri ketika hari lebaran tiba, menatap anak-anak yang beruntung berbaris menuju lapangan. Pakaian baru. Mainan baru. Makanan berlimpah.... Perasaan ini! Kerinduan atas hidup yang lebih baik. Berbagi. Merasa cukup. Sumpahnya untuk membalas seluruh kehidupan sesak itu. Dendam yang menjelma begitu hebat. Janjinya untuk menukar seluruh masa depan dan kebahagiaan dunia.
Menukarnya demi kanak-kanak.... Membangun belasan Taman Bacaan, mengajarkan anak-anak sejak kecil betapa indah berbagi, betapa indah merasa cukup, betapa indah bekerja keras kemudian bersyukur atas apapun hasilnya. Ya Tuhan, dia pernah mengenali perasaan ini. Dulu dia tidak mengerti, ketika kuasa langit menukar seluruh janji jual-beli itu dengan kekuatan itu. Jual beli yang menguntungkan....
Benar! Karang lebih mengenal kanak-kanak dari siapapun. Dia seperti ditakdirkan untuk mengerti mereka. Itu anugerah baginya. Kehadirannya membuat anak-anak yang sedang bertengkar berhenti dengan sendirinya, kehadirannya membuat anak-anak yang sedang menangis berhenti seketika, hanya dengan sentuhan....
Sentuhannya menenangkan! Karang mendesah panjang.... Terhuyung, terus berusaha berpegangan pada tiang lampu trotoar jalan. Malam semakin tinggi. Jalanan kota semakin lengang. Bintang-gemintang membentuk formasi indah. Bulan sabit menggantung mempereloknya. Malam itu kesadaran tersebut dikembalikan. Sejak tiga tahun lalu, ketika dengan mata-kepala sendiri dia harus menyaksikan sendiri takdir menyakitkan itu. Menatap wajah kanak-kanak yang dicintainya mengambang tak berdaya. Tubuh-tubuh kecil yang dingin-membeku. Bibir pucat. Jemari biru.... Karang tertatih, memutuskan untuk, pulang.
Hujan semakin deras. Malam semakin tinggi. Bulan-bulan ini memang musim penghujan, jadi seluruh penduduk kota maklum dengan jadwal rutinnya.
Ruang tidur besar dan mewah itu lengang. Dinding-dinding tebal meredam suara hujan dari luar. Menyisakan irama pelan pengantar tidur. Tapi belum ada di antara mereka yang sudah tertidur. Tuan HK akhirnya mendesah, menoleh menatap istrinya yang memeluk guling membelakanginya.... "Apa yang sedang kau pikirkan, yang?" Tuan HK bertanya pelan.
"Tidak ada-" Bunda juga menjawab pelan. Tuan HK meletakkan buku tebal yang dibacanya. Dia tahu persis apa yang sedang istrinya pikirkan. Mereka sudah tinggal satu atap lebih dari seperempat abad. Pasti ada kaitannya dengan
keributan tadi pagi di meja makan. Keributan yang membuat Tuan HK sepanjang hari uring-uringan. Staf di pabrik sampai harus menyalakan kode: bahaya satu. Dia sepanjang hari berteriak, marah, mengomel dan apa saja setiap bertemu dengan staf-nya.
Tuan HK menatap punggung istrinya, menghela nafas. Dia selama ini sudah berusaha untuk tidak banyak mencampuri rencana istrinya mengatasi keterbatasan Melati, tapi kalau istrinya sampai berharap banyak pada pemuda sialan tadi pagi, jelas itu keliru.
Yang, kalau kau tetap tidak mau mengatakan apa yang sedang kau pikirkan sekarang juga, aku terpaksa mencekikmu, menutup wajahmu dengan bantal, hingga kau mau mengaku...." Tuan HK mengancam, lembut menjawail telinga istrinya, lantas pura-pura mengangkat bantal. Bunda menoleh, membalik badannya, tersenyum menatap ekspresi sok-galak Tuan HK. Mereka bersitatap sejenak. Tertawa lemah satu-sama-lain.
"Tidak bisakah kau memberikan kesempatan pada anak muda itu?" Bunda menatap lamat-lamat wajah suaminya. Langsung ke pokok permasalahan, mengatakan apa yang ada di pikirannya. Tuan HK menghela nafas. Tadi pagi mereka sudah membicarakan ini. Dan keputusannya sudah jelas. TIDAK BOLEH. Apa yang diharapkan istrinya dari pemuda itu" Orang pertama yang berani sekali telah membanting Melati terduduk.
"Kita bisa memanggil lagi tim dokter dari Singapore, yang! Atau tim dokter dari Jerman saat aku pergi ke sana minggu depan. Mereka pasti lebih hebat, lebih canggih."
Bunda menggeleng. Kita sudah berpuluh kali melakukan itu. Sia-sia.
Terdiam sejenak. Tuan HK mengelus pipi istrinya, "Kau tahu, kita sudah bertahan dengan baik atas segala kesulitan ini.... Aku bahkan sedikit pun tidak bisa membayangkan harus melaluinya sendirian tanpa kau.... Kau Ibu yang baik bagi Melati, bagi keluarga ini.... Aku sungguh mencintaimu, yang!" Bunda tersenyum. Mengangguk. "Tidak bisakah kau memberikan kesempatan seminggu saja pada anak muda itu?" Bertanya lagi. Tuan HK menghela nafas. Dia pikir, kalimat 'romantis'-nya barusan akan membuat istrinya mengalah, mengurungkan membujuknya. "Apa yang kita harapkan dari pemuda aneh itu, yang?"
Bunda menelan ludah. Terdiam. Apa yang diharapkannya" Kemarin, saat pertama kali mendatangi kamar itu, melihat betapa pengap dan joroknya kamar itu, betapa berantakan dan awut-awutan pemuda itu (Heran lagi), ia sama sekali tidak berharap banyak. Malah berpikir salah orang. Tapi setelah menyaksikan sendiri beberapa hal ganjil sepanjang hari ini. Ia tidak tahu apa penjelasan baiknya.
"Apa yang aku harapkan.... Entahlah! Aku tidak tahu, yang. Hanya saja aku sungguh tidak
mengerti, bagaimana pemuda itu tahu" Bagaimana dia tahu kejadian tiga tahun lalu.... Dia menyebutkan kejadian itu. Persis. Detail." Bunda terdiam sejenak. Sesak oleh perasaan gentar (sebenarnya rada-rada takut; semua terasa ganjil sekali), sesak mengenang kejadian itu. "Musim panas.... Pantai yang indah.... Payung-payung kanopi terkembang, warna-warni indah.... Capung berterbangan.... Kaki kecii melangkah riang, ombak menjilati ujung-ujung tumitnya. Kaki kecil berlari riang.... Menjejak, pasir yang bagai es krim terhampar.... Jejak kaki.... Siluet bayangan badan.... Rambut ikal bergelombang. Pita biru di kepala. Boneka panda di pelukan...."
Kalimat Karang tadi pagi seolah mengiang di langit-langit kamar.
"Anak muda itu tahu persis! Seperti berada di sana. Seperti melihat sendiri semua kejadian.... Dan kau tahu," Bunda menelan ludah, terhenti sejenak, "Anak muda itu bilang tentang dua jendela kaca yang dipecahkan Melati saat aku menemuinya kemarin pagi. Itu benar-benar terjadi. Dua jendela kaca...."
Tuan HK mengusap dahi. Dia tidak tahu soal jendela kaca itu. Tapi dia mendengar sendiri kalimat Karang tadi pagi. Hanya dia, istrinya, dan sembilan pembantu di rumah ini yang tahu detail kejadian itu. Tiga tahun lalu, saat keluarga besar mereka berlibur di Palau, Mikronesia. Dia juga sama bingungnya, bagaimana caranya pemuda itu tahu" Bukankah itu
tidak masuk akal" Tapi membiarkan dia mengajari Melati" Tuan HK terdiam sejenak. "Aku mohon, yang. Seminggu saja. Jika Melati tetap tidak mengalami kemajuan, aku sendiri yang akan memintanya pergi, baik-baik!" Bunda menyentuh lembut lengan suaminya, mendesah berharap. Tuan HK menatap lamat-lamat wajah istrinya. Mengusap dahi wanita yang amat dicintainya. Berpikir. Menghela nafas....
Lengang. Meski di luar sana hujan tetap buncah menggantang kota. Meski di kamar lantai dua, Melati seperti biasa menyentuh jendela kaca yang berembun dengan tangan bergetar ingin tahu.... Apa ini" Terasa menyenangkan, terasa nyaman....
Satu Minggu Berlalu Esok harinya. Karang tiba di rumah besar lereng bukit saat senja membungkus kota. Ketika lautan terlihat Jingga. Ketika matahari dengan penuh khidmat bersiap menghujam bumi di balik pegunungan. Karang datang membawa koper berukuran sedang yang sudah kusam, tua dimakan waktu. Juga menenteng mesin ketik tua itu. Bunda tersenyum riang menyambut di depan pintu. Salamah takut-takut menawarkan diri membantu membawakan tasnya, "Urus saja pekerjaanmu. Tanganku masih lebih dari sehat untuk membawa sendiri semuanya!" Karang mendesis, menatap tajam. Salamah langsung menciut. Berjinjit undur ke belakang.
Tadi pagi, Bunda mengirimkan surat yang 'menyepakati' banyak hal. Sebenarnya satu hal. Tapi isi satu kesepakatan itu adalah ia tidak akan protes, tidak akan banyak bertanya. Jadi itu sama saja Bunda telah menyepakati banyak hal, karena ia tidak tahu apa yang direncanakan oleh Karang. Tuan HK semalam akhirnya mengalah, untuk kesekian kalinya. Memberikan kesempatan selama
seminggu. Setengah jam yang lalu, di komplek rumah dengan gang-gang sempit, ibu-ibu gendut menahan haru berusaha memeluk Karang saat dia berpamitan pergi. Karang bilang dia akan tinggal di rumah besar itu untuk sementara. Karang mendelik kasar, menghindari pelukan itu. Ibu-ibu gendut menyeka matanya, tersenyum salah-tingkah, lirih berkata, "Kau pasti bisa membantu banyak anak itu.... Pasti...." Karang sudah melangkah keluar pintu, melambaikan tangan, lupakan saja! Inilah aturan main yang diinginkan Karang. "Aku menginginkan kamar terpisah dari kalian, Nyonya!" Sambil melangkah mengikuti Bunda di sepanjang koridor lantai satu.
Bunda mengangguk. Kamar tamu di lantai atas memang sudah terpisah. Tidak masalah benar. "Aku tidak mengijinkan siapapun masuk ke kamarku, Nyonya! Aku tidak makan bersama kalian, kecuali sarapan, antarkan makanan ke kamar, letakkan di depan pintu."
Bunda mengangguk. Juga tidak masalah. "Sekali lagi, tidak ada protes, tidak ada keberatan. Apapun yang Nyonya lihat atas apa yang aku lakukan, yakinlah itu belum tentu seperti yang Nyonya bayangkan.... Dan apapun yang Nyonya lihat atas apa yang tidak aku lakukan, yakinlah itu belum tentu seperti yang Nyonya pikirkan! Mengerti?"
Bunda mengangguk. Meski tidak mengerti benar apa maksud kalimat itu. Tetap tersenyum penuh
penghargaan. Hanya Salamah yang nyengir sendirian. Ingat cerita kakeknya tentang serdadu kompeni yang hobi banget nakut-nakutin penduduk inlander alias pribumi: "Pasat pertama, kompeni tidak pernah saiah; Pasai kedua, jika serdadu kompeni membuat kesalahan lihat pasal pertama!" Langit semakin merah. Karang melempar kopernya ke atas ranjang setelah mendesis, "Tidak ada!" pada Bunda yang bertanya, "Apa ada yang bisa kubantu sore ini?" Bunda beranjak pergi. Kamar itu tidak sebesar kamar milik di rumah ibu-ibu gendut. Tapi jelas tidak pengap. Karang tidak peduli dengan fasilitas mewah itu, malah mematikan pendingin ruangan. Membuka jendela lebar-lebar. Pemandangannya terbentang sama seperti kamar pengap. Menghadap persis ke persawahan, perkotaan, dan hamparan laut.
Karang menatap tajam siluet pemandangan hebat itu. Tanpa ekspresi. Tanpa berkedip. Burung camar melenguh di kejauhan. Pulang setelah seharian lelah mencari ikan.... Sebuah kapal ferry besar yang lampu-lampunya menyala indah merapat di dermaga yang beranjak remang. Membawa orang-orang pulang dari merantau. Karang mengusap pelan dahinya yang berkeringat. Dia juga selama ini lelah mencari, telah pergi.... Sudah lama tidak merapat pada 'dermaga' yang jelas dan terlihat. Semoga besok atau lusa. Tuhan berbaik hati memberikan kesempatan menemukan jawaban, penjelasan, atau entahlah atas kejadian menyedihkan itu.... Karang tiba-tiba mendesis, mengkal sendiri. Sejak kapan
coba dia mulai memikirkan kalimat puitis seperti dulu"
Malam pertama. Tidak banyak yang dilakukan Karang. Dia lazimnya seperti penghuni baru, tidak sok-sibuk mengenalkan diri ke anggota keluarga rumah besar lainnya. Malah mendesis galak saat Bunda menawarkan diri untuk memandunya melihat-lihat rumah. "Tidak ada yang sedang plesir di rumah ini, Nyonya! Terakhir kalian berwisata, bukankah berubah menjadi menyakitkan?" Bunda undur diri, menelan ludah, meski tetap berusaha tersenyum lebar. Kembali ke ruang makan. Makan malam bersama suaminya. Malam itu Karang hanya duduk di atas ranjang barunya. Mengurung diri. Mesin ketik tua itu tergeletak di hadapannya. Langit terlihat cerah dari bingkai jendela. Bintang-gemintang menghias angkasa. Bulan sabit terlihat semakin membesar. Tuan HK di meja makan bertanya, "Apakah pemuda itu sudah tiba?" Bunda mengangguk, tersenyum. Semuanya akan baik-baik saja.
Melati seperti biasa mengaduk-aduk makanan. Menggerung pelan. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar. Menumpahkan butir nasi ke mana-mana. Tuan HK balas tersenyum tanggung kepada Bunda, setidaknya malam ini masih baik-baik saja. Tuan HK enggan meneruskan pembicaraan. Dia tidak mungkin kan bertanya, "Kenapa anak muda itu tidak ikut makan malam bersama mereka sekarang?" Jelas-jelas dia justru berharap pemuda sialan tersebut tidak ada di
rumahnya. Sementara Salamah sibuk ber-gosip tentang anggota keluarga baru mereka di dapur dengan pembantu lain, "Orangnya seram...." "Seram apanya, Salamah" Biasa saja, kok. Hanya gondrong doang!" Mang Jeje menyela. "Ergh, pokoknya seram.... Macam serdadu kompeni dulu!" Salamah ngotot menjelaskan. Yang lain hanya bersitatap tanggung satu-sama lain. Tidak mengerti di mana miripnya anak-muda itu dengan serdadu kompeni" Lagian memangnya Salamah pernah lihat kompeni" Mang Jeje undur diri, menguap (sebenarnya malas melanjutkan acara gosip-gosip-gosip itu).
Ah, setidaknya malam itu, rumah mewah itu masih terlihat tenang.
Dan Tuan HK benar sekali. Hanya malam pertama semuanya baik-baik saja. Esok, saat sarapan, situasi dengan segera tidak menjadi baik-baik saja. Keributan itu hanya menunggu hitungan detik terulang lagi.
"BA.... BA.... MAAAAA!!" Melati berteriak. Kencang sekali. Seperti hendak meruntuhkan langit-langit ruang makan. Membuat seluruh peserta makan di meja besar tersebut mengernyit.
"KAU HARUS MAKAN DENGAN SENDOK!" Kecuali Karang yang justru mendesis galak padanya! Tidak kalah kencangnya.
"BAAA!" Melati berniat melempar sendok itu. Terlambat, gerakan tangan Karang lebih cepat.
Sama lebih cepatnya ketika tadi Melati hendak melempar piring di hadapannya. Karang mencengkeram kasar tangan Melati. Merebut kembali sendoknya.
"MAKAN DENGAN SENDOK!" Menghardik.
"BAAAA!!" Melati berteriak. Ngamuk. Mana mau
menurut. "Baik! Kalau kau tidak mau. Tidak mau makan dengan sendok. Itu berarti tidak ada sarapan pagi ini!" Karang berdiri marah, menyeret paksa Melati. Bunda menggigit bibir demi melihatnya. Tuan HK mendesis, meski sekarang tidak bisa melakukan apapun. Mereka sudah bersepakat, kan" Salamah, entahlah apa yang sedang dipikirkan Salamah, yang pasti wajahnya sebal sekali melihat Karang. "BA.... MA.... BAAA....!" Melati berontak, tangan kanannya yang bebas berusaha memukul, kakinya berusaha bertahan dari seretan.
Menghentak-hentak keramik.
Karang tidak peduli, seperti menyeret boneka besar, terus melangkah ke pojok ruangan. Ke anak tangga pualam.
"IKUT DENGANKU!"
"BA.... BAAAA!!" Melati tersengal.
"BAA.... MAAA...." Tubuh Melati terseret tanpa
ampun, kakinya terantuk-antuk, lutut dan
pantatnya menghantam keramik. Sakit.
Bunda tertunduk dalam, tidak tega melihat putrinya
yang meronta-ronta. Tuan HK mengatupkan rahang.
"KAU! Duduk di sini hingga kami selesai sarapan!"
Karang mendesis galak, lantas membanting tubuh


Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil itu duduk. "Ba.... B-a-a-a-" Melati terhenyak. Teriakan marahnya tertahan. Seruan sebalnya terhenti. Mengernyit sakit untuk ke sekian kalinya. Kali ini Karang membantingnya lebih kuat. Lebih sakit. "Ba.... Baaa...." Melati menggerung pelan. Melati tertunduk. Kafan! Melipat kaki, memeluknya. Seperti seseorang yang duduk kedinginan di dekat api unggun. Merapatkan tubuhnya di pojokan anak tangga pualam. Rambut ikalnya bergerak-gerak oleh nafas yang tersengal. Ia marah sekali (kalau ia mengerti apa perasaan itu), tapi ia juga bingung dengan situasi baru yang dihadapinya. Kenapa semua berubah menjadi seperti ini" Kenapa harinya jadi menyebalkan (kalau ia sekali lagi mengerti jenis perasaan itu)" Gelap. Hitam. Senyap. Kosong. Hatinya dingin oleh berjuta pertanyaan.... "KAU! Sebagai hukuman, kau tetap di sini hingga sarapan selesai!" Karang mendelik marah. "Baa.... B-a-a...." Melati menggerung lemah, suara gerungan itu terdengar serak menyedihkan. Tubuhnya bergetar, semakin rapat memeluk lututnya.
"Well, kalau sudah begini kita bisa melanjutkan
sarapan tanpa gangguan menyebalkan itu lagi!"
Karang tanpa dosa, kembali duduk di kursinya,
berkata sambil tersenyum lebar menatap Bunda dan
Tuan HK. Rileks tanpa beban.
Bunda menggigit bibirnya. Tertunduk.
Tuan HK mendesiskan sumpah-serapah dalam hati.
Lengang. Lima detik. Lima belas detik. Setengah
menit.... "Aku sudah selesai." Tuan HK mendorong piringnya (yang masih setengah penuh). Bangkit dari duduknya.
Bunda mengangkat kepalanya. Sudah selesai" "Aku pergi ke pabrik, yang!" Tuan HK mengangguk patah-patah pada istrinya. Lantas bergegas melangkah menuju pintu keluar.
Bunda mengangguk pelan. Menatap punggung suaminya lamat-lamat. Menelan ludah. Suaminya pasti amat jengkel hingga mencium keningnya pun tidak sempat sebagai tanda berpamitan. Bunda menoleh menatap nanar Melati yang masih menggerung serak di pojok ruangan dekat anak tangga pualam. Berdiri. Panggilan ke-ibuannya memerintahkannya untuk mendekati Melati. Bunda ingin memeluknya. Berbisik menenangkan,... "Biarkan ia sendirian di sana, Nyonya!" Karang berkata tajam. Menghentikan gerakan tubuh Bunda. "Eee, hanya, aku hanya ingin-"
"Tidak boleh ada yang menemaninya. Biarkan ia sendirian. Nyonya!" Karang berkata semakin tajam. "Ma-af!" Bunda menyeka dahinya setelah terdiam sejenak, kembali duduk. Menatap Karang yang santai sekaii duduk di depannya. "Bisa ambilkan sup jagung lagi, Nyonya" Ternyata enak sekaii...."
Sesiang itu hanya saat sarapan Karang bersama Melati. Sisanya dia mengurung diri di kamar. Mengeluarkan botol minuman keras yang
dibawanya. Satu gelas di malam hari. Satu gelas di siang hari. Tentu saja Karang masih mabuk. Itulah gunanya peraturan yang dia buat: Tidak boleh ada yang masuk ke kamarnya.
Mengetik beberapa lembar entahlah. Lantas terkapar tertidur. Hingga sore datang menjelang. Sudah lama dia tidak tidur lelap. Kali ini tidurnya tanpa interupsi mimpi-mimpi buruk itu. Bunda mulai mengerti soal kalimat Karang: jangan protes apa yang tidak dia lakukan. Ia hendak bertanya kenapa Karang tidak mulai mengajari Melati tentang apa saja sepanjang siang. Bukankah begitu lazimnya kalau dia ingin membantu Melati. Setidaknya menemani atau mengawasi Melati, mengajarinya entahlah, melakukan apalah, yang penting melakukan sesuatu, bukan hanya mengurung diri di kamar.... Tapi Bunda urung bertanya, ingat perjanjian itu.
Melati ditemani Suster Tya yang terlihat amat tersiksa, karena mendadak Melati sepanjang sisa hari lebih aktif dibandingkan sebelum-sebelumnya. Melati seperti hendak membalas perlakuan yang diterimanya saat sarapan tadi pagi. Melempar apa saja. Menjambak rambut Tya. Berteriak. Belari tersuruk-suruk ke sana ke kemari. Benar-benar mengamuk....
Lepas malam. Karang akhirnya keluar kamar menemui Bunda, itu pun hanya untuk berkata sepotong kalimat, "Besok, aku ingin anak itu makan terpisah dengan kalian."
Bunda hendak bertanya mengapa" Bukankah Melati
tidak pernah makan terpisah dari mereka selama ini. "Lakukan saja-" Karang mendesis, mengusap rambut panjangnya. Matanya terlihat sedikit merah, tubuhnya terhuyung.
Bunda mengangguk. Sambil mengeluh dalam hati. Apakah anak-muda di hadapannya mabuk seperti yang dilihatnya di kamar pengap beberapa hari lalu" Sedikit cemas melihat Karang yang melangkah tak-seimbang. Bunda berusaha tetap tersenyum ramah. Setidaknya dengan makan di ruang terpisah, suaminya tidak perlu menyaksikan pemandangan menyedihkan itu secara langsung. Tuan HK yang berusaha memasang wajah senormal mungkin saat berpapasan dengan Karang di koridor atas mengernyitkan dahi. Apa dia tidak salah lihat. Tapi urung bertanya. Mungkin hidungnya keliru. Tidak mungkin ada yang berani mabuk di rumahnya....
"B-a-a-a...." Melati menggerung. "Apa yang hendak kau keluhkan! Makan saja sarapan-mu!" "B-a-a-a...."
"DIAM, MELATI! Di sini tidak ada Ibu-mu! Juga tidak Ayah-mu! Buat apa kau mengeluh!" Karang menghardik, tidak peduli, meneruskan menyendok semangkok pasta mie di hadapannya. "Baaa...." Tangan Melati yang tadi tersimpan di bawah meja mulai terangkat menjulur-julur. Mata hitam biji buah lecinya berputar cepat. Gigi kelincinya bergemeletuk.
"Pakai sendokmu!" Karang berkata tajam. Menghentikan makan.
Pagi ini, seperti yang diinginkan Karang, Melati sarapan di ruang makan terpisah. Ruang makan kecil yang berbatasan dengan dapur dan ruang makan utama. Di meja yang juga kecil, hanya Melati dan Karang, dengan dua mangkuk pasta mie yang disiapkan Salamah. Melati seperti biasa makan sambil berdiri. Tadi sempat mendongak bingung. Sempat terdiam bingung.
Ada sesuatu yang berbeda pagi ini.... Tangannya terus terjulur.
"Bukankah sudah kubilang! Pakai sendokmu!" Karang membentak. Memukul meja.
"BAA...." Melati juga mulai ikutan berteriak, getaran meja yang dipukul seperti kode morses yang memancing sinyal marah.
Tadi pagi saat Bunda membimbingnya turun dari ranjang, menuruni anak tangga pualam, menuju meja makan untuk sarapan, ia sudah merasakan ada sesuatu yang ganjil. Berbeda, semua terasa berbeda. Tidak ada tangan lembut itu.... Lihatlah, Bunda (si tangan lembut itu) hanya bisa menatap dari balik pintu kaca. Karang melarang siapa saja masuk ke ruangan itu. Menyuruh Bunda meneruskan sarapan bersama Tuan HK. Tapi bagaimanalah bisa" Bunda terlanjur cemas, terlanjur bingung. Jadi bukannya menemani Tuan HK, ia sibuk mengintip dari balik pintu kaca. Sementara Tuan HK bergeming sendirian di meja makan ruangan besar, mengunyah makanan seperti mengunyah ampas.
"PAKAI SENDOKMU!"
"Baaa...." Melati tidak peduli (tepatnya mana pula ia bisa mendengarkan teriakan Karang), tetap menjulurkan tangan ke mangkuk pasta. Bersiap mengaduk-aduk makanan.
"PAKAI SENDOKMU, MELATI!" Karang memukul meja sekali lagi. Lebih kencang.
"BAA...." Melati yang kembali merasakan meja bergetar berteriak.
Karang mendorong kursinya ke belakang, gesit menangkap tangan Melati yang bersiap menyambar mangkok di hadapannya.
"BAAA.... MA.... BAAA!!!" Melati berteriak-teriak. "INI SENDOK- INI GARPU! Pakai ini jika kau ingin makan!" Karang mencengkeram tangan Melati, memaksanya memegang sendok-garpu itu. Sia-sia. Yang dipaksa justru berontak marah. "Tidak ada sarapan jika kau membantingnya*." Karang mengancam.
"BAAA...." Hanya dalam hitungan detik, Melati yang sedikit pun tidak peduli membanting sendok-garpu itu. Terpelanting. Membal di atas keramik mahal. Bunda yang mengintip dari pintu kaca ruangan mendekap mulutnya.
"BAIK! KALAU BEGITU TIDAK ADA SARAPAN PAGI INI!" Karang kasar menyeret Melati. Untuk ketiga kalinya dalam tiga hari terakhir.
"BAAA.... BAAA.... MAAA...." Melati berontak lebih berani. Lebih kuat. Ia sudah tertatih! Cengkeraman Karang terlepas. Kanak-kanak kecil itu berhasil meloloskan diri, berusaha cepat
menyeret kakinya, berlari, entah menuju ke mana. Tangannya terjulur ke depan, meraba-raba udara. Mata hitam buah lecinya bersinar-sinar marah. Gerungan Melati, gerakan tangannya yang bak moncong tapir mencari semut di dalam lubang, langkah kakinya yang melangkah membabi-buta, rambut ikalnya yang bergoyang-goyang, semua itu terlihat menyedihkan.
Kalau kalian tidak tahu apa keterbatasan Melati, melihatnya sekarang persis seperti melihat kanak-kanak normal lainnya yang sedang merajuk. Berusaha lari menghindar dari hukuman. Tapi pemandangan ini beratus kali lebih menyedihkan (ah-ya, paradoks, bukankah kalian justru cenderung jengkel saat melihat kanak-kanak menangis di bus umum, di dalam kereta, di stasiun, dan entahlah"). "GEDEBUK!" Kaki Melati tersangkut sandal kepala kelincinya sendiri. Tubuh kecil itu terbanting tanpa ampun di lantai.
"Me-la-ti-" Bunda berseru, mendekap mulutnya. Lantas sedetik kemudian berusaha mendorong pintu kaca.
Karang mendelik marah ke Bunda. Tidak, ada boleh yang masuk.
"Ba.... Baaa...." Melati merintih, gadis kecil itu mengeluh.
Tidak. Melati tidak menangis. Sejak tiga tahun lalu ia kehilangan kosa-kata menangis. Ia tidak mengerti apa itu menangis" Sejak tiga tahun lalu ia tidak pernah melihat dan mendengar orang menangis, jadi bagaimana ia akan meniru (dan tahu itu cara
terbaik untuk membujuk orang dewasa). "Ba.... Maaa..." Melati tertatih, berusaha berdiri. Kali ini ia tidak akan menyerah begitu saja. Sayang, ia terjatuh lagi. Kakinya yang sakit tak kuasa menopang tubuhnya. Melati menggerung serak. "Jangan masuk, Nyonya!" Karang mendesis. Membuat langkah Bunda tertahan. Sejenak. Lengang. Tegang. Bunda mengusap dahinya, lantas mengalah kembali ke balik pintu kaca. "Dengarkan aku! Kau sendiri yang memintanya. Jangan salahkan aku.... Tidak ada sarapan. Tidak adai Kau tetap disitu selama kau tidak mau menggunakan sendok-garpu!" Karang berteriak tidak peduli pada Melati yang masih terbaring di atas karpet, lantas kembali duduk di kursinya, santai meneruskan sarapan.
Melati menggerung lemah. Memeluk lututnya. Pagi ini, tidak ada pojok ruang makan tempat biasanya ia bersembunyi, tidak ada anak tangga pualam tempat biasanya ia sendirian. Bahkan lantai keramiknya pun beda. Tidak ada tempat biasa ia menggurat motif-motifnya. Gelap. Hitam. Senyap. Kosong....
Hanya itu yang ada di kepalanya.
Dan Karang mendadak merubah lagi peraturan berikutnya.
Makan siang. Makan malam, Melati harus bersamanya. Karena Melati tetap keras kepala seperti sarapan, itu berarti sepanjang hari ia tidak menyentuh makanan apapun. Bahkan dalam artian
sebenarnya. Benar-benar tidak menyentuh, karena Karang selalu merenggut piring dari hadapannya, setiap kali tangan Melati terjulur ingin menjamah makanan tersebut dengan jari-jarinya. Berteriak, "Sendok! Ini Sendok, Melati!" "GUNAKAN SENDOK!" "SENDOK, MELATI!!"
Melati menggerung marah. Percuma. Mana pula ia mendengar-
"Tidak ada Ibu yang akan mendengarkanmu.... Tidak ada! Bahkan Ayah-mu pun tidak ada di sini! Percuma kau merajuk memeluk lutut! Tidak ada gunanya!" Karang acuh tak acuh, meneruskan makannya. Bahkan santai mengambil 'jatah' makanan Melati.
"Bu, apa tidak sebaiknya orang aneh ini kita usir saja?" Salamah yang ngintil berdiri di belakang Bunda berbisik pelan. Mereka berdua mengintip dari balik kaca pintu ruang makan terpisah itu. Bunda menghela nafas pelan. Tidak menjawab. "Kan kasihan Melati, dari tadi pagi nggak makan...." Bunda mau bilang apa" Kasihan" Lihatlah, putri semata wayangnya duduk menjeplak di sudut ruangan, baju putih bertali yang dipakainya terlipat di sana-sini, berantakan, gadis kecilnya memeluk lutut, menggerung pelan, seperti lebah.... Rambut ikalnya bergerak-gerak oleh sengal nafas. Tadi Karang tega memukul kencang tangan Melati yang hampir berhasil melempar piring.... Pasti sakit sekali. Mata hitam biji buah leci kanak-kanak itu berputar pelan. Redup. Melati sungguh tidak tahu apa
masalahnya. Yang ia tahu masalahnya: perutnya terasa lapar.
Sudah hampir 24 jam ia tidak makan. Di mana makanan (yang entah apa namanya) itu. Bukankah selalu ada ketika tangannya menjamah. Lantas memasukkannya ke mulut sembarangan. Tumpah di mana-mana. Di mana makanannya.... Tangan Melati meraba-raba dinding ruangan. Apakah ia sendirian" Di mana sentuhan lembut itu (gadis kecil itu mencari Bunda)" Di mana sentuhan lembut yang setiap hari selalu menuntunnya turun dari ranjang" Bukankah dulu ia bisa makan tanpa masalah.
"Ba-a-aaa-aaa." Melati menggerung serak. Tubuhnya bergerak-gerak. Maju-mundur.
Maju-mundur. Lantas tersungkur lemah di pojok ruangan, lelah.
Bunda sudah mengusap sudut-sudut matanya. Bertahanlah anakku, bersabarlah.... Berbisik lemah, menguntai doa. Bunda sungguh tidak tahu apa maksud semua ini. Dia juga tidak mengerti mengapa Karang begitu keras kepala menyuruh anaknya makan memakai sendok-garpu. Apa bedanya dengan tangan" Apa bedanya" Yang penting Melati bisa makan. Ya Allah, tidak masalah putrinya makan dengan tangan, mengaduk-aduk makanannya seperti binatang, jika untuk melatihnya makan dengan baik harus melalui semua hal menyakitkan ini. Sungguh, tidak masalah.... Bunda sekali lagi mengusap sudut-sudut matanya. "Bu, apa perlu Salamah yang ngusir tamu aneh ini?"
Bunda menggeleng. Tidak. Ia tidak akan melakukan itu. Meski ia tidak mengerti apa gunanya proses belajar ini, ia menyimpan harapan besar. Besaaar sekali. Kata seseorang, pemuda ini bagai malaikat di mata anak-anak.... Pemuda ini bahkan bisa membuat seorang anak yatim-piatu lumpuh-layu bisa berdirii....
Hanya dengan cerita yang didongengkan setiap malam. Hanya dari cerita yang menumbuhkan semangat. Membuat anak itu akhirnya bisa bertari.... Bunda tidak tahu kenapa harus berharap banyak dengannya. Ia juga tak mengerti apa yang sedang diajarkan pemuda ini kepada putrinya. Yang ia tahu, hatinya sekarang sesak melihat Melati tersungkur memeluk lututnya. Menggerung pelan.... Pintu kaca ruang itu terbanting pelan. Karang keluar dari ruangan.... Sudah selesai makan matam. Bunda yang tidak sempat memperhatikan sedikit tergagap, apalagi Salamah yang dari tadi sibuk melirik Bunda.
"Ka-mi sudah selesai makan. Waktunya Melati tidur, Nyonya! Jangan coba-coba memberinya makan sembunyi-sembunyi.... Salamah, kalau kau berani memberinya makan walau sepotong roti kupotong kedua-belah tanganmu!" Karang mendesis, menatap tajam kepada Salamah.
Salamah mencicit. Habis sudah keberaniannya tadi yang sempat sok-gagah bilang, "Apa perlu Salamah yang ngusir?"
Bunda menggangguk pelan. Melangkah masuk ke ruangan. Melati masih menggerung. Bunda bergetar
mendekati putrinya. "Waktunya tidur, sayang-" Bunda berbisik serak, merengkuh tubuh Melati yang terlipat. Penuh kasih-sayang.
Biasanya, Melati tidak suka dipeluk. Melati benci sekali tubuhnya dipegang-pegang (kecuali hanya dibimbing tangannya). Tapi hatinya yang setengah jam, ah, tepatnya sepanjang hari bertanya-tanya di mana tangan lembut itu lelah untuk marah. Gadis kecil itu malam ini menurut. Bahkan reflek memeluk leher Bunda. Melati menggerung pelan, seperti kanak-kanak yang sedang berbisik mengadu, "Bunda, tadi tangan Melati dipukuli Sakit sekali...." Dan Bunda seketika menangis menatap wajah mengadu Melati....
Menciumi wajah putrinya, seperti tidak pernah berjumpa berpuluh-puluh tahun.... Bertahanlah anakku.... Bertahanlah! Bunda tersedu. Semoga janji kemudahan Tuhan akhirnya datang. Semoga keajaiban itu akhirnya tiba.... Bunda berbisik di tengah sedannya. Kanak-kanak itu menggerung lemah. Kepalanya terkulai di leher Bunda. Salamah" Sudah dari tadi ikut menyeka pipinya. Melangkah memberesi meja makan sambil menangis. Menatap sedih piring-piring kosong itu. Ia kan masak bukan buat tamu sialan itu. Ruang keluarga rumah besar itu lengang saat Bunda melangkah menggendong Melati. Tuan HK yang sedang mengerjakan sesuatu di meja kerja menatap lamat-lamat istrinya. Menghela nafas. Tuan HK meski tidak mendengarkan cerita langsung dari
istrinya tentang kelakuan Karang seharian, dia mendapatkan akses informasi itu dari Salamah (yang tiga jam sekali rusuh menelepon ke pabrik, dengan suara panik). Tapi apa yang bisa dia lakukan" Mereka sudah bersepakat memberikan waktu seminggu kepada pemuda sok-tahu itu! Ini baru dua hari! Dan kondisinya benar-benar tidak baik-baik saja....
Malam itu, langit lagi-lagi cerah. Bintang gemintang bersinar elok. Bulan sabit semakin besar. Melati tidak seperti malam-malam sebelumnya langsung jatuh tertidur.... Ia lelah. Juga lapar. Karang sudah duduk di kursi dalam kamarnya, menatap lautan luas. Kerlip lampu nelayan menambah pesona pemandangan. Menghabiskan bir di gelas kecil. Terbatuk pelan. Persetan dengan semuanya. Mendengus marah. Persetan! Sekejap barusan, siluet kejadian tiga tahun lalu kembali memenuhi sudut-sudut matanya. Itulah sebabnya jendela di kamar pengap itu tidak pernah terbuka selama tiga tahun. Setiap kali melihat laut, kenangan itu kembali bagai peluru yang ditembakkan.
Karang melempar sembarang gelas plastik ke sudut kamar. Melangkah sedikit terhuyung ke ranjang. Menyambar mesin ketik tua. Memasukkan buru-buru selembar kertas kosong. Sedikit miring posisinya. Tidak peduli.
"Ibu, rasa nyaman selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya, kami sering kali tidak.
tahu kalau kami sudah terjebak oleh perasaan nyaman itu.... Padahal di luar sana, di tengah hujan deras, petir, guntur, janji kehidupan yang lebih baik. boleh jadi sedang menanti. Kami justru tetap bertahan di pondok reot dengan atap rumbia yang tempias di mana-mana, merasa nyaman, selalu mencari alasan untuk berkata tidak atas perubahan, selalu berkata 'tidak'.... Ibu, rasa takut juga selalu membuat orang-orang sulit berubah. Celakanya, kami sering kali tidak tahu kalau hampir semua yang kami takuti hanyalah sesuatu yang bahkan tidak, pernah terjadi.... Kami hanya gentar oleh sesuatu yang boleh jadi ada, boleh jadi tidak. Hanya mereka-reka, lantas menguntai ketakutan itu, bahkan kami tega menciptakan sendiri rasa takut itu, menjadikannya tameng untuk tidak mau berubah...."
Suara ketikan huruf demi huruf memenuhi langit-langit kamar. Tak! Tak! Tak! Cengklang! Spasi baru. Baris baru. Paragraf baru. Karang menyeka keringat di dahi. Menghela nafas panjang, kepalanya sedikit nyeri. Menyeringai sebal, beranjak menuju meja kecil, menuangkan botol bir ke gelas kecil.
Malam ini, dua gelas tak. apalah! Besok, bisa beli botol baru-
"PYAR!" Piring itu menghantam dinding ruangan. Bunda di balik pintu kaca mendekap mulutnya, terkesiap.
Salamah memegang ujung-ujung baju Bunda. Menahan nafas.
"KAU MARAH" INGIN MELEMPAR SEMUANYA" BERANI SEKALI!!" Karang berteriak. Mencengkeram lengan Melati.
Pagi ini, ada perubahan besar.
Melati entah-kenapa akhirnya memutuskan untuk melawan. Pagi ini gerakan tangannya yang sembarangan lebih cepat menyambar piring makanan di atas meja (tanpa perlu prolog mengaduk-aduk makanan itu terlebih dahulu). Langsung melemparkannya seketika. "KAU INGIN MELEMPARKANNYA" SEPERTI INI?"" "PYAR!" Karang mendesis galak, melemparkan piring miliknya.
Bunda semakin pias. "DUDUK DI POJOK RUANGAN!" Karang membentak. "BAAAA.... BAA.... MA...." Melati melonjak-lonjak. Tangan kanannya meninju sembarangan. Terkena pelipis Karang.
Karang meringis, lumayan sakit. Siapa bilang tinju
kanak-kanak tidak sakit. Karang mendengus.
Memukul keras tangan itu. Tidak peduli. Menyeret
kasar Melati menuju sudut ruangan.
"BA.... MA.... BAAAA!!" Melati berteriak-teriak
kencang. Perubahan kedua, Melati entah kenapa, juga tidak terduduk diam saat Karang membantingnya di pojok ruangan. Kali ini ia langsung berdiri. Tidak ada lagi duduk memeluk lutut itu. Tidak ada gerungan serak itu. Melati terhuyung langsung berusaha berdiri.
Tangannya meraba-raba dinding, melangkah sembarangan. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar amat benci. Rambut ikalnya bergerak-gerak.
"Apa yang kau lakukan?" Karang mendesis, menelan ludah, tidak menyangka kanak-kanak itu seketika berdiri.
"BA.... BA.... MAAA!!!" Melati berseru-seru, tangannya menggapai-gapai udara mencari. Ia mencari tangan lembut itu. Ia ingin mengadu. Ia mencari perlindungan.
Bunda demi melihat gerakan tubuh Melati, sudah menangis tersedan di balik kaca pintu. Mendekap wajahnya.
"BA.... BAAA...." Melati terantuk ke sana-ke mari.
"Berhenti!" Karang galak mengejar.
"BA.... BAAA...." Melati terus melangkah sembarang
arah. "BERHENTI!!!" Ya! Melati seketika berhenti, tapi bukan karena mendengar teriakan mengancam Karang, mana pula gadis kecil itu bisa mendengar. Melati berhenti karena kakinya tersangkut karpet ruangan. Tubuhnya terbanting. Jatuh tanpa ampun. "Me-la-ti,-" Bunda berseru tertahan, membuka pintu. Salamah mengurut dadanya.
Tidak. Melati tidak menggerung tertahan, lantas memeluk lututnya, gadis kecil itu berdiri lagi, tidak kenal menyerah....
"BA.... M-A-a-a-a...." Menggerung, meski dengan suara lebih pelan. Terus berlari ke sana- ke mari
meski lututnya gemetar sakit sekali.
Sayang, Karang berhasil mengejarnya. Menangkap
lengannya. Melati jatuh, terduduk. "BA.... B-a-a-a-a!" Suara kanak-kanak itu serak. Tenaganya habis, tangannya yang dicengkeram Karang terasa sakiiit sekali. Matanya berputar-putar semakin lemah.
"B-a-a-a-..." Menggerung lirih.
"Apa yang tadi kau lakukan" Marah! Berteriak! Memaki-maki! Menyumpah-nyumpah! Mencoba lari?" Karang galak membentak.
"Apa yang tadi kau lakukan?" Karang menekankan jari telunjuknya di dahi Melati. "Kau ingin berteriak" Baik! Berteriaklah kalau kau ingin berteriak! Memakilah. Ayo berteriak! Ayo berdiri lagi...." Melati menggerung lemah. Cengkeramn Karang di lengannya terasa sakit sekali. Ia seolah-olah mengerti, gerungan, lari, perlawanan berikutnya akan membuat lengannya terasa lebih sakit. Rambut ikalnya luruh ke wajah. "BERTERIAKLAH!" Karang mendesis galak. "B-a-a-a-a...." Melati menggerung lirih. "Berteriaklah kalau kau marah. AYO BERTERIAK!...." Karang menghardik.
Lengang. Hanya suara sedan Bunda di luar yang terdengar.
Tapi, tapi itu semua percuma.... Benar-benar percuma!" Karang menelan ludahnya. Suaranya tiba-tiba melunak demi melihat wajah Melati yang menatapnya kuyu. Wajah kanak-kanak itu terlihat
lemah. Kalah! Kepala gadis kecil itu bahkan dalam hitungan detik malah pelan rebah ke lengan Karang. Terkulai.
"B-a-a-a-a.... Ma...." Melati menggerung amat lirih. Bunda menutupkan kedua belah telapak tangan ke wajah. Terisak....
"Percuma, Melati!" Suara Karang mendadak serak, "Percuma.... Kalau kau tidak suka dengan keputusan Ayah-Ibumu, kau masih bisa berontak melawan. Kau bisa berteriak, merajuk, atau pergi sekalian. Kalau kau tersiksa oleh sesuatu, kau juga masih bisa memutuskan melawan, menukar kehidupan dengan kebebasan... kau tetap masih bisa menyumpahinya, memakinya. "Tapi urusan ini benar-benar percuma, Melati.... Kau marah dengan keterbatasan ini, kau marah karena tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, kau ingin marah. Berteriak. Tapi itu tak ada gunanya. Tak ada gunanya memaki Tuhan, tidak ada gunanya meneriaki-Nya. Dan begitulah hidup ini...." Suara Karang semakin serak. "Begitulah kehidupan ini, kau tidak pernah berhak bertanya atas keputusan Tuhan. Kita mengenal kehidupan demokratis, kebebasan memilih, kebebasan keinginan, diajarkan langsung oleh-Nya melalui kitab suci, tapi ironisnya justru tidak ada kata demokratis, tidak ada kesempatan memilih dengan takdir milikNya. Kau tidak berhak protes. Tidak sama sekali....
"Setiap kali kau protes, maka seseorang akan mengingatkan bahwa Tuhan maha adil.... Yaa,
Tuhan maha adil. Karena kita terlalu bebal maka kita-lah yang tidak tahu di mana letak keadilan-Nya, tidak tahu apa maksudnya.... Kalau kita tidak pernah mengerti, itu jelas karena kita terlalu tolol, bukan berarti Tuhan tidak adil. Tuhan selalu benar...." Karang tertunduk pelan, mendekap kepala Melati.
"B-a-a-a.... Ba...." Melati menggerung lirih, rambut ikalnya yang luruh mengenai wajah Karang. "Kau ingin marah" Marahlah, sayang. Berteriaklah.... Tapi semua itu percuma. Tidak ada ijin demonstrasi untuk Tuhan, tidak ada pengadilan banding, tidak ada petisi, abolisi, grasi dan sebagainya. Keputusan Tuhan tidak bisa diganggu-gugat! 100% pasti adil! 100% pasti baik bagi kita.... Ya Allah, padahal apa salahnya anak ini" Umurnya baru enam tahu. Matanya buta, telinganya tuli, seluruh dunia terputus darinya.... Apa salahnya anak ini?" Suara Karang terputus. Tertunduk menatap keramik. Bunda sudah mengusap matanya. Tergugu. Menangis di balik pintu kaca. Semua pemandangan ini menyedihkan. Amat menyedihkan. Ya Allah, pemuda itu benar.... Apa salah putrinya" Itu pertanyaan yang bertubi-tubi keluar dari kepalanya sejak dulu. Pertanyaan yang ia hamparkan di sepotong sajadah saat dua pertiga malam waktu mulia-Mu.... Atau semua ini salahnya" Salah suaminya" Salah keluarga mereka" "Lihatlah anak ini...." Karang melanjutkan kalimatnya, berkata semakin serak, "Ya Tuhan, seharusnya ia seriang anak-anak lain, sesenang
kanak-kanak kecil menggemaskan lain. Tapi yang ada baginya sekarang hanya gelap. Hitam. Lengang.... Baik, baiklah! Aku mengerti.... Tentu saja ini tetap adil baginya. Amat adil malah, meski aku sungguh tidak tahu di mana letak keadilannya...."
Karang terdiam. Menghembuskan nafas perlahan. "Dengarkan aku, sayang.... Kita akan membuat keadilan itu terlihat! Kita akan membuatnya terlihat agar semua orang di dunia mengerti. Menjadi saksinya! Karena tidak setiap hari Tuhan berbaik hati menunjukkannya. Kita akan membuatnya terlihat. Melati. P-a-s-t-i...." Karang mengusap rambut ikal kanak-kanak dalam dekapannya, menciumnya, lantas berdiri menggendong gadis kecil itu, melangkah menuju pintu ruang makan. Bunda menangis tertahan di depan pintu kaca. Salamah tertunduk, berpikir, kalimat tamu aneh menyebalkan barusan, meski tidak banyak yang dimengertinya amat menusuk hati. Bagaimana tidak" Berani sekali tamu sialan ini menyumpahi Tuhan!
"Melati butuh istirahat, Nyonya!" Karang berkata pelan sambil menyerahkan tubuh kanak-kanak yang terkulai itu.
Bunda menyambut tubuh lemah Melati.
"A-pa, a-pa.... Aku boleh memberinya sarapan
sekarang?" Bunda bertanya gagap, menatap
lamat-lamat Karang, memohon, sambil mendekap
lemah tubuh putri semata-wayangnya.
Karang menggeleng. Tersenyum getir, "Maafkan
aku. Ia tidak boleh makan kalau ia tidak mau
menggunakan sendok. Nyonya!"
"Ta-pi, ta-pi sudah hampir tiga hari Melati tidak
makan, anakku!" Bunda berbisik lirih.
"Ia tidak akan mati meski tidak makan seminggu,
Nyonya!" Karang berkata pelan, intonasi suaranya
berubah tajam. Percakapan terputus. Karang sudah melangkah pelan menuju tangga pualam ke lantai atas. Mengusap dahinya. Berkata dalam senyap, dia bisa merasakan putus-asa itu.... Dia bisa merasakannya. Keputus-asaan yang menyesakkan yang ada di kepala Melati.
Kekuatan itu selama ini seperti anugerah! Itulah pembayaran pertama Tuhan atas jual-beli masa depan yang dilakukannya. Karang bisa berpikir, melihat, dan merasakan apa yang sedang kanak-kanak pikir, lihat dan rasakan. Dan sekejap tadi, seluruh perasaan Melati yang terkulai memeluknya pindah ke kepalanya, seperti sengat sentrum listrik sejuta voltase.... Dia bisa melihatnya. Sempurna merasakannya. Persis seperti apa perasaan Melati yang ada dalam dekapannya. Hanya beberapa detik memang, tapi sempurna mengungkungnya.
Gelap. Hitam. Gadis kecil itu tidak melihat apapun. Di sekelilingnya hanya ada gelap! Hanya ada hitam! Tidak ada warna.
Lengang. Sepi. Senyap. Gadis kecil itu tidak mendengar apapun. Hanya kosong! Di sekelilingnya sempurna kosong. Tidak ada suara apalagi nada-
Karang mendengus pelan. Melati hanya minum. Tidak makan. 24 jam ke depan Karang melunak. Membiarkan Bunda memberikan Melati air putih. Salamah awalnya ngotot sok-tahu ingin memberi suplemen energi ke Melati (seperti yang ia tonton di iklan-iklan selingan sinteron), tapi keburu ketahuan. Gadis yang terus menjomblo meski usianya sudah menginjak tiga puluh tahun itu terbirit-birit menatap wajah seram Karang. Berjanji, tidak akan pernah berani mencobanya lagi.
Hari ke empat menjelang malam hari. Melati akhirnya jatuh sakit. Sekujur tubuhnya yang lemah, jadi panas. Tidak ada lagi teriakan marah, berlarian menghindari Karang, ia hanya menggerung pelan di atas ranjang. Rambut ikalnya luruh menutupi wajah. Mata hitam biji buah leci itu menatap redup. Melati demam.
Bunda cemas, berseru panik meminta Salamah menelepon dokter Ryan. Tuan HK yang tahu Melati nyaris empat hari tidak makan menggigit bibir menahan amarah. Kalau saja dia tidak mengasihani istrinya yang entah mengapa amat berharap keajaiban itu datang dari pemuda ini, sudah dari tadi dia ingin meninju Karang (yang pasti bakal didukung banget oleh Salamah). Semua ini benar-benar ganjil dan menyebalkan! Apa yang diharapkan pemuda sialan ini dengan memaksa anaknya makan memakai sendok dan garpu" Tapi Tuan HK tidak punya alasan kuat untuk
mengusir Karang. Dia tidak memiliki argumen. Jadi hanya menunggu. Sudah empat hari, tinggal tiga hari lagi. Seandainya hari ke tujuh keajaiban itu tidak datang (dan jelas itu tidak akan pernah datang dengan cara pemuda ini) maka dia memiliki argumen untuk melakukannya.
Lihatlah, pemuda sialan ini hanya menatap selintas Melati yang lirih menggerung di atas ranjangnya. Seperti tidak peduli dengan keringat mengucur dari dahi kanak-kanak itu. Piyama tidur Melati yang basah oleh peluh. Bunda mengusapnya berkali-kali (termasuk berkali-kali mengganti kompres). Berbisik menenangkan.
"Tidak ada yang perlu dicemaskan. Melati akan baik-baik saja, Nyonya!" Karang berkata tanpa beban.
Bunda mengangguk, berusaha tersenyum. Tetap menghargai. Ia tentu saja tahu iangsung atau tidak Melati sakit karena ulah Karang. Tapi hingga detik ini, Bunda tetap menghargai Karang. Tetap berharap banyak. Tuan HK mendesis pelan, menahan diri untuk tidak berkomentar. "Selamat malam semua, aku harus menghabiskan waktu sejenak di luar sana. Di sini nampaknya terlalu pengap dan panas." Karang mengangkat bahunya, lantas melangkah keluar kamar. Meneriaki salah seorang sopir keluarga untuk mengantarnya turun ke kota. Stok minuman kerasnya habis. Lagi pula empat hari terbenam di rumah itu membuatnya sedikit tegang. Jalan-jalan ke kota akan membantunya rileks. Bergumam tidak peduli naik ke
atas mobil. Ibu, semua urusan ini sedikit pun belum terlihat ujung terangnya.... Kalimat itu benar sekali, jika ingin menyembuhkan bisui, pecahkan saja sekalian! Sakit memang. Tapi cepat atau lambat bisui itu juga tetap akan pecah.... Banyak sekaii orang-orang yang takut melakukannya.... Berpikir terlalu panjang, berhitung terlalu rumit! Padahal setelah bisulnya pecah, malah berseru lega. Benar-benar omong-kosong menyedihkan manusia yang setiap hari justru sombong atas kehebatan otaknya!!
Mobil yang ditumpangi Karang menuruni jalan licin lereng pebukitan. Dubungkus gerimis yang sekali lagi lembut membasuh kota, membuat syahdu suasana....
Gadis Lesung Pipit Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Kinasih berdiri di depan pintu salah-tingkah. Menyeka dahinya, memperbaiki kerudung biru mudanya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat.... Berusaha mencengkeram tas peralatan medis lebih erat.
"Salam buat Papa, Kinasih-" "Ergh, apa Bunda?" "Salam buat Papa-mu!"
"Ah-ya! Eee, nanti Kinasih sampaikan.... Eee, daa, Bun-da!" Gadis keturunan berwajah cantik itu mengangguk buru-buru. Menggigit bibir. Lantas melangkah gemetar menuju mobilnya yang terparkir persis di teras depan.
Bunda tersenyum mengantarkan, berdiri di bawah bingkai pintu.
Karang yang sedetik lalu baru turun dari mobil yang berhenti persis di sebelah mobil Kinasih, melangkah masuk. Melambaikan tangan tidak peduli ke sopir keluarga yang barusan mengantarnya ptesir keliling kota. Sebenarnya tidak keliling kota, Karang hanya turun membeli keperluan-nya.
Dan dalam hitungan detik, mereka berdua
bersitatap satu sama lain.
Kesunyian mendadak menggantung di udara. Jarak mereka hanya lima langka, tapi tanah seolah merekah, memisahkan satu dengan yang lain sejauh lima samudera. Kinasih sekaii iagi memperbaiki ujung-ujung kerudungnya, membujuk hatinya untuk tetap terkendali. Aduh, ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Padahal ia tahu persis, cepat atau lambat pertemuan ini pasti terjadi. Tapi bagaimana" Ia sungguh belum siap. Tepatnya mungkin hingga kapan pun ia tidak akan pernah siap. Tadi ia datang terlambat memenuhi panggilan Bunda lewat telepon Salamah. Ia kebetulan sedang di bandara. Menunggu penerbangan Papa-nya, dokter Ryan baru pulang dari Perfekture Hanjin, China. Tadi sepanjang memeriksa Melati di kamar biru, jantungnya berdetak lebih kencang, tegang. Siapa tahu pemuda itu muncul mendadak. Siapa tahu mereka berpapasan. Siapa tahu.... Ternyata mereka justru bertemu di sini, saat ia bersiap pulang, saat ia menghela nafas lega karena pertemuan itu belum terjadi malam ini. Sekarang" Ia menatap canggung kepadanya. Kinasih gugup, sungguh bingung ingin melakukan, mengatakan, bahkan memikirkan apa. Wajahnya mendadak bersemu merah. Seperti buah apel yang matang.... "Selamat malam. Nyonya-" Karang memecah sepi. Menegur Bunda. Mata tajamnya berkedut. Hanya sekejap, setelah itu kembali 'normal'. Pelan melangkah masuk, seperti tidak melihat siapapun di depannya, berusaha menyibak Bunda yang berdiri di
depan pintu. "Malam, Karang." Bunda yang tidak mengerti situasinya tersenyum, bergeser memberikan ruang jalan bagi Karang.
Kinasih sudah bersandar pada pintu mobil yang terbuka.
Menelan ludahnya. Ingin sekali saat itu ia berlari. Berseru memanggil namanya. Tapi ia tidak bisa. Suara itu tersendat di kerongkongan. Kakinya seolah dipaku dalam-dalam. Jantungnya berdegup amat kencang. Oleh perasaan rindu. Perasaan salah-tingkah. Perasaan berharap. Entahlah. Lihatlah, pemuda itu sempurna tidak peduli, persisnya menganggapnya tidak ada.... Tapi ia barusan bisa merasakan tatapan itu. Meski sekejap. Bunda melambaikan tangannya kepada Kinasih. Gadis itu sekali lagi menguatkan hati. Masuk ke dalam mobil. Sempat melirik selintas punggung Karang yang menghilang di anak tangga pualam. Menggigit bibir. Menghidupkan mobil. Menginjak pedal gas pelan....
Satu menit berlalu. Karang sudah membanting pintu kamarnya. Melempar bungkusan palstik botol minuman keras ke atas ranjang. Mendengus. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Akhirnya dia tahu. Jelas sudah bagaimana caranya keluarga ini mengirimkan surat-surat itu. Tahu alamatnya, dan boleh jadi tahu segalanya.
Karang menghujamkan badannya di atas ranjang. Mengusap wajahnya yang berkeringat. Mengusap rambut gondrongnya. Tertunduk satu menit.
Menyisakan suara angin yang masuk lewat jendela besar. Mengangkat kepala menatap lurus ke depan. Kerlip cahaya lampu perkotaan tampak indah, mercu suar di kejauhan, lampu perahu nelayan, kapal ferry yang membuang sauh di pelabuhan, bintang-gemintang, dan bulan yang semakin membesar.
Karang menghela nafas. Lihatlah, gadis itu sedikit pun tidak berubah. Tetap cantik. Gadis lesung pipi-nya. Kerudung warna lembut itu. Matanya yang menatap bercahaya. Karang mendesah pelan. Itu sudah tiga tahun berlalu. Bukankah saat memutuskan pergi dulu, dia memutuskan mengubur seluruh kehidupannya, termasuk urusan perasaannya. Karang menyeringai, tapi gadis itu tetap sama manisnya seperti dulu.... Matanya berkedut lagi.
Satu menit berlalu. Mobil Kinasih sudah menuruni jalanan licin lereng bukit. Jemari Kinasih masih bergetar. Jantungnya masih berdetak kencang. Dia tidak pernah berubah. Tidak pernah. Kecuali rambut panjang, cambang dan kumis yang tidak dipotong.... Ah, itu justru membuatnya terlihat gagah.... Kinasih bersemu merah, berusaha memperlambat laju kendaraan. Celaka kalau hatinya yang entah tiba-tiba kemana-mana membuat konsentrasi nyetirnya berantakan. Satu menit berlalu. Begitulah. Apalagi lima menit, sepuluh menit, dan seterusnya. Malam itu dua perasaan (perasaan yang terpendam juga bisa dibilang doa, kan") kembali berpilin di langit-langit
kota, dengan masing-masing prasangka dan harapan yang berbeda! Jawaban dari langit" Entahlah!
Hari kelima. Esok pagi ruang makan besar itu sepi. Hanya Tuan HK yang duduk di sana. Sarapan. Sendirian. Bunda menyuapi Melati di kamarnya. Karang setelah berdebat sebentar, akhirnya mengalah. Membiarkan Melati menyentuh makanan. Kondisi Melati masih lemah. Jadi ia menurut saat Bunda menyuapinya. Tidak banyak menggerung. Jemari tangannya tidak memukul-mukul. Mata hitam biji buah lecinya menatap redup.
"B-a-i-k.... Setidaknya ini tetap tidak melanggar peraturan. Melati hanya boleh makan kalau menggunakan sendok...." Karang mendengus, melangkah keluar dari kamar biru Melati. Siang itu Melati sudah bisa duduk di atas ranjang. Tubuhnya masih lemah, meski perutnya sudah berisi. Suster Tya tersenyum lebar sepanjang hari. Karena seharian, ia bisa dibilang hanya menunggui Melati. Tidak ada rajukan marah itu. Tidak ada jambakan di rambutnya. Apalagi sesuatu yang dilempar.
Karang entah apa yang ingin dilakukannya, memutuskan berjalan-jalan di lereng bukit. Pertemuan semalam membuat hatinya merekah, meski sinisme itu masih bertebaran di mana-mana, termasuk kepada Mang Jeje yang sedang serius memotong rumput halaman. "Percuma kau
memotong rumput halaman ini! Hanya untuk menunggunya tumbuh lagi, kemudian memotongnya lagi!"
"Lantas apa yang harus aku lakukan. Den?" Mang Jeje bertanya bingung, sungguh-sungguh meminta petunjuk. Memang itu tugasnya, kan" Tukang kebun. Setiap minggu memotong rumput di halaman biar rapi. Tidak pernah alpa. Rutin. Membosankan" Percuma" Lah, tapi kan setidaknya jadi indah (meski di rumah ini hanya dia yang menikmati keindahan halaman tersebut)"
Karang mendengus, melambaikan tangan. Lupakan saja. Meneruskan langkah menuju pagar halaman. Dia ingin menatap senja dari sela-sela pepohonan. Menghabiskan waktu sendirian. Memikirkan banyak hal, termasuk juga menyumpahi banyak hal. Tuing! Tuing! Saat itulah, Karang yang lupa mengunci pintu kamar tidak tahu, tidak menyadari, baru saja ada yang melanggar aturan main terpentingnya. Salamah! Salamah iseng membersihkan kamar Karang. Niat awalnya sih baik (meski di sana-sini disertai rasa ingin tahu). Salamah membawa sapu dan bulu ayam masuk ke kamar itu.
Membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas tempat tidur, di bawah tempat tidur. Membaca satu-dua. Tidak mengerti. Bahasanya rumit. Maksudnya nggak jelas. Salamah melipat dahinya sekaligus melipat kertas-kertas itu. Menumpuknya jadi satu agar terlihat rapi. Terpesona sebentar melihat mesin ketik tua di atas ranjang. "Duh,
bagusnya!" Berseru tertarik. Menyentuh lama huruf-huruf tuanya, bahkan iseng mencoba mengetik satu-dua kata di kertas yang masih terpasang. Membereskan pakaian Karang yang berserakan, bergantungan. Koper lusuh. Seprai berantakan. Dan....
Salamah tertegun. Botol minuman keras itu tergeletak di dekat bantal. Ini apa" Botol apa" Pelan-pelan (sebenarnya takut-takut) membuka tutupnya, siapa tahu isinya bom, kan". Mencium baunya. Mengernyit. Lantas menyeringai. Baunya menyengat. Hati-hati meletakkan kembali botol itu. Berpikir. Kalau tidak salah, ia tahu ini botol apa. Dulu bukankah pernah salah satu pembantu di rumah ini juga punya botol mirip banget dengan yang ini. Dan Tuan HK saat tahu urusan itu, marahnya minta ampun. Langsung kasar mengusir pembantu itu. Pakai acara panggil polisi segala.... Salamah berpikir lagi. Lantas nyengir lebar. Ini kabar baik! Sungguh kabar baik! Dan dalam sekejap Salamah sudah lari keluar kamar. Lupa soal bersih-bersih. Terbirit-birit membawa botol itu. Ingin bilang ke Bunda. Lapor. Langkahnya mendadak terhenti. Urung. Tidak. Tidak perlu lapor ke Bunda. Lebih baik langsung telepon Tuan HK di pabrik (lagipula Tuan HK selalu pesan agar ia lapor langsung kepadanya). Pasti kejadiannya akan seru....
"Biar Salamah yang usir, Bu!" Akhirnya kalimatnya dua hari lalu itu bakal jadi kenyataan. Salamah nyengir senang. Tidak. Bukan ia yang ngusir secara
langsung, tapi ia memiliki peran penting. Tidak akan ada ampun buat tamu sok-galak ini! Tuan HK benci banget sama pemabuk.
Dan apa yang diharapkan Salamah benar-benar terjadi.
Kalau menurutkan hatinya. Tuan HK ingin pulang saat itu juga. Tapi ia berusaha menyabarkan diri. Bahkan berpikir, persiapan yang baik untuk melakukan pembicaraan sepenting ini akan membantunya. Dia tidak ingin menyakiti perasaan istrinya (meski bodo amat pemuda sialan itu tersinggung sampai mampus). Maka Tuan HK menunggu jadwal pulang seperti biasanya. Sambil menunggu tak sabaran, dia menyuruh salah satu staf-nya untuk mencari tahu siapa pemuda itu. Tidak sulit untuk mengumpulkan informasi. Dan informasi tambahan itu bagai durian runtuh, bonus bagi Tuan HK. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin dia membiarkan seorang pemabuk, sekaligus juga pernah dituntut pengadilan atas tenggelamnya perahu nelayan itu, dituduh bertanggung-jawab atas meninggalnya delapan belas kanak-kanak, tinggal nyaman di rumahnya" Berkeliaran di ruang makannya" Celakanya lagi bagaimana mungkin dia membiarkan pemuda ini mengajari Melati" Gigi Tuan HK bergemeletukan.
Tidak sabar di sepanjang perjalanan. Tidak sabar saat makan malam sendirian. Tidak sabar menunggu istrinya selesai menyuapi Melati di kamar biru. Tidak sabar. Apalagi saat melihat Karang menyapanya
sambil lalu, "Selamat malam. Tuan!" Lantas naik ke anak tangga pualam, baru pulang dari plesirnya sepanjang hari dari lereng bukit.
Tuan HK memutuskan segera naik ke kamar Melati. Istrinya harus segera tahu-
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, yang!" Tuan HK berdiri di depan pintu kamar biru Melati. Langsung ke pokok permasalahan. Bunda menoleh, baru selesai menyuapi Melati. Panas Melati sudah reda. Tapi kanak-kanak itu kata Kinasih kemarin malam, 24 jam ke depan belum boleh turun dari ranjang. Harus banyak beristirahat. Suaminya ingin membicarakan apa" Wajah Tuan HK terlihat tegang. Bunda tersenyum, bangkit dari pinggir ranjang Melati. Mendekat. "Apakah kau tahu siapa sebenarnya pemuda itu?" Tuan HK bahkan merasa tidak perlu berbasa-basi lagi (misalnya bertanya apa kabar Melati). "Siapa?" Bunda melipat dahinya. Bingung. Menunjuk kursi busa di kamar Melati. Sambil duduk pembicaraan pasti lebih nyaman. Tuan HK sedikit pun tidak merasa perlu untuk duduk, dia justru membentangkan lebar-lebar kliping koran yang dibawanya. Bunda mengernyitkan dahi. Menerimanya. Membacanya sekilas. Sejenak tergagap. Membacanya ulang lebih detail. Ia tidak tahu ini! Tidak! Meski Kinasih pernah bilang kalau pemuda itu punya masalah yang serius, yang membuatnya tertutup. Bunda menelan ludah. Mengangkat kepalanya dari kliping koran, menatap Tuan HK.
"Kau tahu siapa sebenarnya pemuda itu?" Tuan HK bertanya tajam.
Bunda menggeleng. Bingung. Apa masalahnya" Bukankah kliping koran ini bilang pemuda itu tidak bersalah" Pengadilan-pengadilan itu" Delapan belas tubuh kanak-kanak yang membeku. Bunda menggigit bibirnya. Sepertinya ia mulai mengerti arah pembicaraan ini....
Pedang Golok Yang Menggetarkan 4 The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum Persembahan Raja Setyagara 1
^