Pencarian

Jentera Bianglala 2

Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari Bagian 2


terheran-heran melihat adegan di hadapannya. Lebih heran lagi karena seorang
perempuan yang sedang bersimpuh di tengah jalan memintanya berhenti.
"Kang, sampean mau ke mana?"
"Lha, aku ya mau pulang."
"Ke mana?" "Lha, ya ke Pecikalan. Akukan orang Pecikalan. sampean orangDukuh Paruk,kan ?"
"sampean mengenal aku?"
"Lha, siapa yang tidak mengerti sampean?"
"Kebetulan, Kang. Aku minta dengan sangat sampean mau menolongku. Mau?"
49 "Menolong bagaimana?"
"Antarkan aku pulang ke Dukuh Paruk. sampean tidak malu menggoncengkan aku?"
"Lha, akukan Partadasim. Aku orang Pecikalan."
"Iya. Akukan Srintil, orang Dukuh Paruk. Kita satu kelurahan. Maka aku minta
tolong kepada sampean. Mau,kan ?"
"Ya mau saja. Lalu apa tidak salah, karena sampean
kan...kan ...kan ..."
"Tidak! Tidak salah," potong Marsusi yang sejak tadi merasa terkunci mulutnya.
"Orang Pecikalan harus mau menolong orang Dukuh Paruk."
"Ya, ya. Tetapi mengapa harus aku" Bapak sendiri bagaimana" Dan apa sebenarnya
yang telah terjadi?"
"Ah, begini, Kang Parta," ujar Srintil. "Tadi aku sedang berjalan di sini. Tiba-tiba ada
seekor kerbau lari. Aku takut dan lari ke pinggir. Kemudian aku jatuh. Bapak ini
sudah cukup menolongku dengan menemani aku sampai kamu datang."
"Ya, ya." "Nah, bawalah Mbakyu Srintil ini ke Dukuh Paruk. ini, kamu saya beri upah," kata
Marsusi sambil menyodorkan lembar-lembar ribuan. Partadasim terperangah.
"Lho, Bapak ini bagaimana" Akukan Partadasim orang Pecikalan."
50 "Aku sudah tahu. Mengapa?"
"Aku tidak minta upah. Aku sudah cukup senang berkesempatan menggoncengkan
ronggeng Dukuh Paruk karena aku sudah lama memimpikannya. Tetapi, betul,kan "
Aku tidak salah" Kalau aku ditangkap karena menggoncengkan orang yang ter...
ter... terlibat, Bapak yang bertanggung jawab,kan ?"
"Tentu. Kamu boleh mengatakan kepada siapa saja, akulah yang menyuruh kamu
menggoncengkan Srintil."
Dengan susah-payah Srintil berhasil duduk di bagasi sepeda Partadasim. Kedua
kakinya setengah berselonjor di atas gulungan daun jati. Meski kelihatan janggal
namun Srintil malah senang karena posisi demikian sedikit mengurangi rasa sakit
pada lukanya. Burung brondol sudah beberapa kali menetaskan telur di dalam sarangnya. Setiap
kali hendak menetaskan telur yang baru, dicurinya lembar-lembar atap ilalang
rumah Sakum untuk menambal-sulam sarang yang lama. Mereka tak bosanbosannya kawin dan bertelur. Entah siapa yang mengajari bahwa hanya dengan cara
itu maka kelangsungan hidup jenisnya akan bertahan. Sebab alap-alap siap
menyambar burung-burung kecil itu kapan dan di mana saja. Gagak dan bengkarung
hijau gemar mencuri telur mereka. Dari sepasang brondol ketika kali pertama
mereka membuat sarang dari atap ilalang rumah Sakum kini telah berbiak menjadi
empat pasang. Andaikan alam tidak menyediakan pemangsa burung brondol maka
jumlah mereka pasti sudah jauh lebih banyak.
Waktu kemarau kelompok burung brondol itu mencari makan jauh meninggalkan
Dukuh Paruk ke tempat-tempat di mana rumput atau padi-padian masih bisa
tumbuh. Mereka pergi menempuh bahaya menjadi mangsa alap-alap kala melintasi
hamparan sawah kering yang sangat luas, karena pada saat seperti itu tak ada lagi
makanan di sekitar sarang mereka. Pagi-pagi sekali mereka berangkat dan pulang
ketika matahari sepenggalan. Sore mereka terbang kembali ke tempat yang sama,
pulang ketika matahari hampir terbenam. Ketika pergi-pulang itulah mereka
melintasi serombongan manusia yang sedang mondar-mandir di tengah sawah di
sebelah barat Dukuh Paruk. Mobil mereka kelihatan jauh di tepi jalan besar.
Seorang anak Dukuh Paruk melihat rombongan itu. Dari tepi pedukuhan anak itu
memperhatikan mereka dengan mata curiga. Lalu dia lari terbirit sambil berseru
berulang-ulang, 51 "Adatentara!Ada tentara! Mereka sudah sampai di sawah.Ada tentara!"
"He! Kamu bilang apa?" tanya Kartareja gugup.
"Adatentara, Kek. Banyak. Lihat sendiri, Kek. Mereka sudah sampai di sawah!"
Kartareja berdiri beku dan kakinya gemetar. Wajahnya pasi seketika. Mungkinkah
Rasus yang datang" Kalau benar mengapa banyak sekali temannya" Kartareja tidak
percaya Rasus yang datang. Kemudian dia berjalan limbung kesana kemari. "Kamu
tidak habis berbuat sesuatu" Kalian tidak habis berbuat kesalahan?" tanya Kartareja
kepada setiap orang yang dijumpainya. Di depan pintu rumah Srintil, Kartareja
berseru keras, "Srintil! Kamu tidak lupa lapor ke markas?"
"Apa, Kek" Lapor?" jawab Srintil ketika muncul di pintu. "Aku sudah bebas lapor.Ada
apa?" "Adatentara datang! Ingat baik-baik, kamu habis berbuat apa?"
Wajah Srintil langsung pucat. Bibirnya gemetar.
"Ti... dak, Kek! Aku tidak berbuat apa-apa. Kemarin aku pergi ke pasar Dawuan
membeli baju buat Goder."
"Nah! Boleh jadi mulutmu bocor di pasar."
"Oh, tidak, Kek. Untuk urusan semacam itu akulah yang paling berhati-hati."
52 Kartareja termenung. Dia bingung karena semua orang berkata tidak. Dukuh Paruk
lengang. Semua orang bersembunyi di dalam gubuk masing-masing. Sakum yang
sedang berada di luar, ditarik-tarik masuk oleh anaknya. Dukuh Paruk sungguhsungguh hening sehingga desau angin ringan terdengar mendaulat suasana.
Akhirnya Kartareja pasrah. Dan dia tidak merasa perlu ikut bersembunyi. Muncul
kesadarannya bahwa setelah Sakarya meninggal maka dialah orang yang dituakan di
Dukuh Paruk. Dia merasa jadi anutan. Maka sambil bersedakap Kartareja berjalan ke
tepi pedukuhan untuk meyakinkan diri siapakah tentara yang datang. Matanya
menatap jauh. Dia dapat melihat jelas orang-orang yang hilir-mudik itu.Ada yang
mengintip-intip melalui perkakas berkaki tiga.Ada yang memegang tongkat panjang
yang ditegakkan dan ada pula yang mencatat-catat. Dan apa pun yang mereka
lakukan Kartareja kemudian yakin bahwa mereka tidak sedang berjalan menuju
Dukuh Paruk. Lalu Kartareja teringat suatu ketika di zaman Belanda. Kala itu ada
priayi yang melakukan kegiatan seperti yang sedang diperhatikannya: pengukuran
tanah! "Anak itu bangsat! Anak itu asu buntung!" desis Kartareja seorang diri. "Mereka
bukan tentara. Mereka priayi yang sedang mengukur tanah."
"He, Anak-anak. Kemarilah. Tidak ada apa-apa. Mereka bukan tentara. Mereka
bukan sedang menuju kemari. Keluarlah kalian!"
Sepi, tak seorang pun berani muncul dari persembunyian. Baru beberapa menit
kemudian satu-dua orang datang memenuhi panggilan Kartareja. Dan ternyata yang
lain-lain muncul berbondong ke tepi pedukuhan. Anak-anak masih bergayut pada
ujung kain emak masing-masing. Srintil datang dengan Goder di punggungnya.
"Lihat, mereka bukan tentara. Mereka sedang mengukur tanah. Kudengar sawah itu
akan dilalui saluran pengairan. Bendungannya sedang dibangun di bukitsana ."
Kartareja merasa mendapat kesempatan yang baik untuk menunjukkan kelebihan
pengalamannya di depan sesama warga Dukuh Paruk. Dia menerangkan bahwa
perkakas berkaki tiga itu bernama keker. Orang yang mengeker bernama mantri
ukur. Tetapi Kartareja tidak tahu mengapa keker harus selalu dipayungi. "Entahlah,
mungkin perkakas itu semacam jimat yang tidak boleh kena panas matahari,"
katanya. 53 "Dulu kita mengatakan mereka sedang klasiring ya, Kang?" kata Sakum. Bangga
dia, karena bisa ikut menerangkan sesuatu kepada teman-temannya.
"Ya. Klasiring itu dilakukan untuk menentukan kelas dan sekaligus batas-batas
tanah. Eh, mana anak yang tadi melolong-lolong ada tentara datang?"
Mata Kartareja menatap berkeliling. Tetapi anak yang dicarinya berdiri agak
menjauh dan tidak tahu dirinya sedang dicari. Dia sedang asyik memperhatikan
orang-orang yang sedang sibuk dengan alat-alat pengukur tanah.
Di tengah sawah, seratus meter di sebelah barat Dukuh Paruk, Bajus memimpin
teman-temannya mengukur dan membuat pancang-pancang. Tamir pada teodolit,
Kusen memegang payung serta Diding pada tongkat skala. Beberapa lainnya adalah
pembantu yang mengurus pematokan-pematokan. Mereka bekerja mengikuti alur
parit besar; bekas rencana saluran irigasi tersier yang pernah dibuat pada masa
pendudukan Jepang namun gagal diselesaikan. Bajus dan teman-temannya dikirim
langsung dariJakarta untuk mengawali pembangunan sebuah bendungan yang akan
mengairi dua ribulima ratus hektar sawah yang sebagian besar terletak di kecamatan
Dawuan. Pukul sepuluh tiga puluh. Di tengah pedusunan mungkin sinar matahari belum
terlampau terik. Tetapi di tengah sawah panas sudah demikian memanggang. Panas
yang langsung jatuh dari atas dan panas yang memantul dari bumi. Dari jauh udara
di permukaan tanah kelihatan berbinar seperti riak-riak panas pada telaga yang
mendidih. Bajus melihat wajah para anak buahnya sudah memerah dan punggung
mereka sudah basah. Kemudian dia menyuruh semuanya beristirahat.
"Mari kita kembali ke mobil. Kita mencari minuman di Dawuan," ajak Bajus. Kusen,
Diding dan yang lain mengikuti perintah. Tetapi Tamir masih asyik meneropong
dengan teodolitnya. Demikian asyik sehingga Tamir tak peduli bahwa teodolitnya
sudah tak berpayung lagi.
"Tamir!" seru Bajus. "Kamu tak mendengar kataku?"
"Nanti dulu, Pak. Ke sinilah kalau Pak Bajus mau lihat. Bukan main! Pak Bajus tidak
akan percaya di daerah seperti ini ada barang bagus."
54 "Kamu ngomong apa, Tam?"
"Lihatlah sendiri, Pak. Nanti dibilang aku ngecap."
Tamir surut ke belakang dan tempatnya digantikan oleh Bajus. Mandor ini
memejamkan mata kirinya. Mata kanan tepat di belakang lensa teodolit. Titik fokus
yang sudah dikunci oleh Tamir jatuh pada wajah seorang ibu muda yang sedang
menggendong anak. "Bagaimana, Pak. Hebat,kan ?"
"Iya, ya," jawab Bajus tanpa sedikit pun mengubah posisinya.
"Nah, aku bilang juga apa!"
"Periksa di peta, apa nama kampung itu."
"Aku sudah tahu," ujar Kusen dari belakang "Dukuh Paruk."
"Dukuh Paruk?" "Ya, kenapa, Pak Bajus?"
Bajus tidak sempat menjawab karena perhatiannya sedang terpusat pada sebentuk
wajah di tengah lensa teodolit. Dia melihat pesona klasik Jawa yang sudah jarang
ditemui di kota-kota besar. Keseimbangan antara bahu dan leher serta
kesempurnaan bentuk rahang. Dan rambut lebat yang sinomnya sedan diburai
angin. Semuanya terbingkai keremajaan yan sedang berangkat menuju kematangan.
Sesekali mata itu tertuju lurus ke pusat lensa. Tetapi tentu saja subyek disana tidak
merasa dirinya sedang menjadi pusat perhatian. Bajus melihat mata disana lain.
55 Mata yang dibekali daya tarik luar biasa, mata dunia perempuan. Tetapi pada saat
yang sama Bajus merasakan sesuatu sedang menyaput pesona mata itu. Mata yang
kehilangan harga diri, mata indah yang seperti menyimpan ketakutan.
"Pak Bajus!" seru Tamir cengar-cengir. "Mau istirahat,kan ?"
"Yaaah. Mari kita beristirahat."
"Bagaimana" Iya,kan ?"
Bajus hanya tersenyum. Dan dalam benaknya masih terbias wajah klasik yang
menerobos masuk menembus lensa teodolit. Adakalanya lelaki terkesan oleh
perempuan lantaran dia sedang berada di luar lingkungan kesehariannya seperti
yang terjadi pada para pekerja pengukur tanah itu. Adakalanya lelaki tunduk kepada
naluri pemberian alam; kecenderungan berpetualang. Adakalanya pula seorang
perempuan memang dibekali kelebihan-kelebihan tertentu sehingga kehidupan
memberinya tempat pada wilayah perhatian lawan jenis. Dalam ukuran ini Srintil
belum tergeser oleh siapa pun, setidaknya untuk wilayah kecamatan Dawuan atau
sekitarnya. Maka serta-merta Srintil menjadi urusan pertama dalam setiap pembicaraan di
antara para pekerja di bawah Bajus. Sering kali teodolit bukan mengarah pada
tongkat skala melainkan ke barisan manusia yang berjajar di tepi Dukuh Paruk.
Fokusnya selalu saja jatuh ke wajah Srintil meski sedemikian jauh anak Dukuh Paruk
itu belum tahu dirinya selalu menjadi pusat pengamatan. Tak kurang Bajus sendiri
tidak bisa berbuat banyak bila bawahannya memainkan teodolit untuk tujuan yang
bukan semestinya. Pada hari ketiga ketika Bajus dan teman-temannya sedang berada di sebuah
warung minuman di Dawuan, Tamir membuat pengakuan yang segar.
"Siapa yang percaya kepadaku ketika kemarin aku pergi ke Dukuh Paruk hendak
buang hajat?" "Bajingan. Jadi apa perlumu kesana " Menemui perempuan itu?" tanya Bajus.
"Jangan marah dulu, Pak. Pokoknya aku memperoleh info penting. Aku tahu
namanya: Srintil." 56 "Srintil" Nama yang aneh."
"Tak apa,kan " Yang penting bagaimana orangnya."
"Lalu?" "Dia tidak punya suami. Ini!"
Semua diam seakan berita yang keluar dari mulut Tamir memerlukan kekhususan
buat memahaminya. Dan Tamir cengar-cengir.
"Ya, andaikan benar dia tidak bersuami. Lalu kamu mau apa?" sela Diding.
"Ah berita apa pun memang tak penting bagimu kecuali berita pembayaran gaji.
Namun siapa tahu Pak Bajus menyukai keteranganku. Siapa tahu, Pak."
"Hus! Aku memang perjaka lapuk. Aku memang yang tertua di antara kalian.
Namun mestinya aku tidak harus menjadi sasaran untuk celoteh semacam ini."
Anehnya wajah Bajus memberi kesan yang berlawanan dengan makna katakatanya. Senyumnya tersungging dan matanya berkilat.
"Nanti dulu, Mir. Mulutmu bisa nyinyir seperti itu, dari mana kamu mendapat
keterangan?" tanya Kusen
"Itu memang keahlianku yang boleh kamu cemburui. Tetapi baiklah. Ketika aku
berpura-pura minta api, aku dilayani oleh seorang perempuan tua. Ramah sekali dia.
Barangkali dia menangkap perasaanku karena aku sering melirik Srintil. Nah, kalau
kamu tahu, perempuan itu langsung bocor mulutnya."
Tamir, Diding, Kusen dan yang lain tertawa. Hanya Bajus yang tetap diam karena
dalam benaknya sedang terbias wajah Srintil.
"Eh, kedengarannya kalian semua sedang menggunjingkan Srintil?" kata pemilik
warung sambil tersenyum. "Cantik, ya?"
"Lho. Ibu mengenal dia?"
"Di sini, siapa orangnya yang tidak mengenal Srintil. Bukan hanya karena cantiknya
melainkan juga karena dia seorang ronggeng."
"Benar dia tidak bersuami?"
"Benar." "Nah, aku heran. Orang seperti itu belum punya suami."
"Karena dia ronggeng," jawab pemilik warung datar.
"Bagaimana kalau aku..."
"Mengapa tidak. Dia ronggeng,kan " sampean semua mengerti ronggeng,kan ?"
Semua tertawa lagi dan hanya Bajus pula yang tinggal diam. Dia hanya tersenyum
ringan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Bajus juga tetap bungkam ketika
melihat Tamir bangkit melangkah ke ruang kosong dan mulai berjoget. Rupanya dia
memang mengerti ronggeng. Anak-anak bertepuk tangan dan Tamir makin
bersemangat. Kembali ke tempat duduk, Tamir mendekati Bajus.
"Pak, malam ini aku tidak ikut pulang ke penginapan. Aku dan Diding."
"He" Mengapa aku?" sela Diding.
"Sudahlah, nanti uang makanku buat kamu."
"Kamu tidak ikut kembali ke Eling-eling?"
"Satu malam saja, Pak. Ah, malah saya bisa bekerja gasik besok pagi. Percayalah,
Pak." "Mau keDukuh Paruk,kan " Bajul cilik kamu!"
"He... he... he."
Malam hari, bulan yang hampir bulat berlatar langit kemarau. Biru kelam. Langit
seperti akan menelan segalanya kecuali apa-apa yang bercahaya. Bintang berkelipkelip seakan selalu berusaha membebaskan diri dari cengkeraman gelap. Hanya
57 bulan yang tenang mengambang. Bulan yang makin anggun dan berseri karena
kelam tak mampu mendaulatnya.
Langit di atas pesawahan Dukuh Paruk dalam tatapan biasa adalah contoh wujud
kekosongan. Awang-uwung, hampa. Namun dengan tatapan yang sungguh langit
dalam kegelapan malam sama seperti keadaan siang hari, penuh kehidupan. Matra
dinamika ekosistem sedang berlangsung dalam sunyi dan kekelaman. Berjuta
serangga dari berbagai jenis terbang mengulang-ulang daur kehidupan kaumnya.
Mereka akan menang atau akan kalah. Menang kalau mereka selamat bisa bertemu
makanan dan kawin, kalah bila mereka bertemu pemangsa. Kelelawar beterbangan


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lintasan yang berkelok-kelok tajam menangkap segala jenis serangga yang
dijumpainya. Binatang mengirap ini bersaing dengan burung cabak yang terbang
tidak kalah gesitnya. Rentang sayapnya yang membulat dan condong ke depan akan
kelihatan sosoknya bila cabak terbang melintas garis pandang bulan.
Di bawah-sana tiga orang anak laki-laki merangkak-rangkak di tengah sawah
diterangi sebuah obor. Anak-anak Sakum ini sedang mencari serangga. Belalang
segala macam ditampung dengan bambu seruas. Juga jangkrik. Tetapi jangkrik
sungu diistimewakan. Jantan jenis ini deriknya nyaring dan biasa dipelihara anakanak. Siapa yang ingin memiliki jangkrik sungu tanpa harus kelayapan di malam hari
boleh membelinya kepada Sakum besok pagi di pasar Dawuan. Dan belalang dalam
ruas bambu itu besok akan disangrai dengan minyak jelantah dan garam. Pagi-pagi
sarapan nasi thiwul dengan lauk sangrai belalang. Dukuh Paruk yang tidak pernah
mengerti ilmu gizi mencukupi kebutuhan protein dengan belalang. Beri-beri dicegah
dengan serangga. Bagi anak-anak pada umumnya pekerjaan mencari jangkrik dan belalang adalah
bagian dunia bocah semata, dunia permainan. Tidak demikian halnya bagi anak-anak
Sakum. Ketiganya berada dalam kesadaran penuh bahwa jangkrik dan belalang
adalah urusan perut bagi seisi rumah. Maka mereka bekerja, bukan bermain. Tekun
dan bersungguh-sungguh. Mereka tak tertarik akan cantiknya bulan di atas kepala.
Bahkan mereka tidak melihat dua orang yang melintas menuju Dukuh Paruk.
Tamir dan Diding melangkah makin dekat ke Dukuh Paruk. Dalam angan-angan
Tamir, Dukuh Paruk pastilah semringah di malam hari, kesemringahan dan
kemelaratan lokalisasi. Yang demikian ini Tamir sudah hafal, sangat hafal. Maka
Tamir merasa tawar hati ketika memasuki Dukuh Paruk yang sepi, dan kering seperti
sepah. Hanya derik puluhan jangkrik di gubuk Sakum. Lainnya, senyap. Biasanya di
pemukiman yang melarat malam hari terdengar anak kecil menangis. Tetapi Dukuh
Paruk tidak mempunyai anak kecil yang lahir sesudah geger 1965. Dukuh Paruk
kehabisan daya semi. "Mir! Ini kampung jin apa kampung orang" Kok seperti kuburan?"
"Mau ramai" Nanti di Planet Senen atau Bongkaran Tanah Abang."
"Ah, susahnya ikut anak muda mata perempuan." "Sudah kubilang, uang makanku
buat kamu." "Bajingan!" "Hah?" "Aku yang bajingan, Mir. Aku selalu takut gaji tidak utuh bila pulang ke rumah.
Jadinya aku rela menjadi anjingmu asal aku bisa memperoleh uang prei."
Kedua pekerja dari Jakarta itu langsung menuju rumah Nyai Kartareja; perempuan
tua yang ramah, yang tanpa diminta telah memberikan keterangan banyak tentang
58 Srintil kepada Tamir. Rumah itu tidak beda dengan gubuk-gubuk lain, sepi. Sebuah
lampu minyak tergantung dengan nyala sekecil mungkin. Kulo nuwun Tamir lama
tidak berbalas. Tetapi dari dalam terdengar suara berbisik-bisik. Nyai Kartareja
sedang meyakinkan diri siapa yang datang. Setelah mengenal suara di luar
perempuan itu membuka pintu gubuknya. Kemudian nyala lampu dibesarkan.
"E, lha sampean. Mari, mari masuk. Wah ada priayi mau berkunjung ke gubuk di
Dukuh Paruk." "Ah, kedatangan kami tidak mengganggu, Nyai?"
"E, lha tidak. Dan ini teman sampean?"
"Ya, Nyai." "Nah, masuk dan duduklah."
Nyai Kartareja masuk menemui suaminya. Berbicara kecil, kemudian keluar seorang
diri. Tamir menyalakan rokok dan Diding diam karena tidak merokok, dia harus
bersikap sehemat mungkin agar aman bila pulang ke rumah.
"Malam-malam begini datang ke Dukuh Paruk yang gelap dan terpencil. Aku jadi
ingin tahu apa kiranya hajat sampean berdua," ujar Nyai Kartareja dengan
keramahannya yang khas. Tamir tidak menjawab dengan suaranya melainkan
dengan senyumnya. Komunikasi dengan isyarat senyum berlangsung demikian
efektif sehingga sungguh tak lagi diperlukan kata-kata. Apalagi yang menjadi nyonya
rumah adalah Nyai Kartareja yang tetap seorang seniman mucikari.
Dan Nyai Kartareja teringat pengalaman beberapa waktu yang lalu ketika
menyampaikan maksud Marsusi kepada Srintil. Maka dia merasa kecil hati. Tetapi
masalahnya siapa tahu. Tamunya kali ini adalah orangJakarta , muda-muda dan
lumayan tampan. Siapa tahu. Persoalannya tinggal mencari cara mempertemukan
Srintil dengan kedua pemuda itu. Memanggilnya hampir tidak mungkin karena Srintil
sangat mungkin akan menolak datang. Memberitahunya lebih dulu lalu membawa
pemuda-pemuda itu ke rumah Srintil memberi kemungkinan gagal karena Srintil bisa
menghindar. Yang paling jitu adalah cara pendadakan
"Jadi aku sudah tahu maksud kalian. Yah, Anak muda! Maka marilah kita bersama
ke rumah Srintil." "Jauh, Nyai?" "Hanya dua rumah dari sini."
Ah, rumah ilalang lagi. Tamir makin percaya diri. Tetapi pada saat yang sama
pertanyaan itu berulang, mengapa seorang penghuni salah satu gubuk di Dukuh
Paruk bernama Srintil. Bahkan Tamir percaya dirinya mampu menyediakan tempat
yang lebih layak bagi perempuan yang berkepatutan itu. Lalu pikiran Tamir
melambung, hatinya bernyanyi-nyanyi.
Nyai Kartareja masuk dan memanggil Srintil.Ada jawaban dari dalam bilik. Srintil
sedang ngeloni Goder. Mulutnya masih berdesis untuk mengantar Goder ke alam
tidur. Kemudian bangkit dengan lembut. Disanggulnya rambut yang tergerai.
"Ada apa, Nyai?" tanya Srintil. Nyai Kartareja kelihatan menata diri.
"Ada tamu, jenganten. Dua orang. Mereka sudah ada di luar. Mereka adalah priayipriayi yang sedang mengukur tanah itu."
59 Hening, dan Srintil mendengar seekor nyamuk yang terbang di dekat telinganya.
Suara jangkrik dari rumah Sakum terdengar jelas. Goder menggeliat tetapi matanya
tetap tertutup. Srintil mengendurkan pundak dan menunduk.
"Mengapa Nyai membawa mereka kemari?"
"jenganten, aku tidak mengundang mereka datang. Tidak. Lalu mereka sekarang di
sini. Apakah aku harus menyuruhnya pergi?"
"Duh, Pengeran... Suruhlah mereka pulang, Nyai. Katakan..."
"E, lha jangan begitu, jenganten. Tidak layak mengusir tamu sebelum kita berbicara
kepada mereka. Ingat, jenganten. Mereka adalah priayi dariJakarta . Apa tidak salah
bila kita tidak menghormati mereka?"
Menyadari posisinya yang sudah menguntungkan Nyai Kartareja keluar
meninggalkan Srintil yang terduduk dan mulai mengusap mata. Dengan suara yang
sengaja ditinggikan agar Srintil bisa mendengar Nyai Kartareja menyilakan Tamir
dan Diding masuk. Sementara di dalam biliknya sendiri Srintil masih mengusap air
mata meski tanpa isak tangis.
Tidak sekali-dua Srintil menyesal mengapa dirinya bereksis sebagai perempuan.
Perempuan yang demikian adanya sehingga sulit mendaulat dirinya sendiri.
Perempuan yang demikian adanya sehingga mau tidak mau dirinya banyak
bergantung kepada kelelakian. Dan kelelakian itu, ketelanjangannya sudah dikenal
Srintil melalui kedirian Rasus yang liar dan kenyal seperti anak kambing. Melalui
Marsusi atau puluhan lelaki lain. Bahkan dalam kelelakian, Srintil mengenal sisi
kemandulan Waras dari Alaswangkal. Atau kesejatian Kapten Mortir yang utuh dalam
kepribadiannya. Di mata Srintil hanya ada satu kelemahan Kapten Mortir. Mengapa
perwira komandan rumah tahanan itu tak mampu mencegah laki-laki lain yang
sering mengambil Srintil dari tahanan lain membawanya ke tempat pelesiran" Ya, di
tempat pelesiran itu Srintil bertambah kaya akan wawasan kelelakian. Bahwa dalam
ketelanjangannya laki-laki, umumnya, adalah manusia biasa dengan naluri kambing
jantannya, dengan naluri bayi yang merengek, dengan keblingsatannya yang kadang
cuma sebagai pelampiasan rasa tak percaya diri. Ingin disebut kuasa hanya karena
rasa kurang yakin akan guna keberadaannya.
Kini kelelakian muncul lagi dalam diri dua orang pemuda dari Jakarta. Duh,
Pengeran! Aku belum tahu harus bagaimana menghadapi laki-laki meski dulu
bertahun-tahun aku merasa bangga menjadi pemangku nalurinya.
Seperti tak terkendali oleh kesadarannya, Srintil bangkit perlahan. Ditatapnya wajah
Goder yang lelap dan damai. Lalu diambilnya kebaya yang baik untuk menutup
badan atasnya yang hanya terbungkus kutang. Kainnya juga diganti dengan yang
masih baru. Termangu sejenak, kemudian Srintil jongkok. Pada titik yang amat
dirahasiakan Srintil mencungkil tanah. Sebuah kantung kecil dikeluarkan. Dari
kantung itu Srintil mengambil kalung, gelang, giwang, dan cincin. Hampir dua ratus
gram emas serta-merta menghias badannya.
Tetapi Srintil kelibatan ragu. Dengan memamerkan hartanya Srintil ingin berkata
bahwa sebenarnya dia tidak melarat. Bukan kemelaratan yang berada di bawah atap
ilalang gubuknya. Atau Srintil ingin mencari sesuatu untuk membentuk keberanian
menghadapi kelelakian. Emas itu. Namun apakah tindakannya tidak mengundang
bahaya" Bukankah laki-laki di luar itu belum dikenalnya" Entahlah, dan Srintil
merasa tak kuasa berpikir lebih panjang lagi. Maka setelah mengusap mata Srintil
60 melangkah ke luar. Dua wajah mendongak serempak. Yang satu tertunduk kembali,
tetapi Tamir bertahan. Mata Tamir lurus ke depan. Garis-garis wajahnya baur antara gairah berahi dan
kegagapan. Mulutnya terbuka antara tertawa dan melongo. Sementara kepalanya
yang masih menyimpan pertanyaan: mengapa ada kemolekan di tengah
kemelaratan, kini Tamir menghadapi pertanyaan baru: mengapa ada kegemerlapan
di bawah atap ilalang. Hati Tamir berdesir tak menentu. Dan bimbang, mengapa ada
keramahan diiringi mata yang berkaca-kaca.
"O, silakan," ujar Srintil dalam suara yang tersaring di tenggorokan. Dan duduk di
samping Nyai Kartareja yang tak kurang rasa herannya melihat Srintil mengenakan
seluruh perhiasan yang selama ini sangat dirahasiakannya. Tetapi Nyai Kartareja
tersenyum ceria karena yakin penampilan Srintil adalah bukti kegairahan.
"Nah, yang ingin sampean temui sudah muncul," kata Nyai Kartareja kepada Tamir
dan Diding. "Maka, silakan. Aku ada urusan di rumahku sendiri."
"Nyai! Nyai harus menemaniku di sini," pinta Srintil sungguh-sungguh. Digapainya
pundak perempuan tua itu.
"E, lha. Bagaimana jenganten ini. Kayak perawan sunthi saja."
"Aku bersungguh-sungguh, Nyai. Kalau Nyai keluar, aku ikut."
"E... Oh ya, baiklah. Aku mau ke belakang sebentar. Nanti aku kemari lagi."
"Betul lho, Nyai!"
"Aku bukan anak kecil. Percayalah, jenganten."
Terdengar bunyi seleret pintu bambu sorongan. Nyai Kartareja melangkah ke luar
dan kemudian melingkar demikian rupa sehingga dua menit kemudian dia berada
61 hanya beberapa jengkal dari dinding rumah Srintil. Telinga dipasang baik-baik. Nyai
Kartareja tidak ingin satu kata pun terlepas dari pendengarannya.
Yang berada di dalam masih belum berhasil memecah kebekuan yang mendadak
menjebak mereka. Diding masih menunduk dan Tamir yang biasa amat cekatan bila
berhadapan dengan perempuan malah duduk gelisah. Kalimat pertama untuk
diucapkan ternyata menjadi barang yang sulit ditemukan. Srintil sengaja diam
karena tidak ingin berkata apa pun sebelum Nyai Kartareja datang. Tetapi lima,
bahkan sepuluh menit lamanya perempuan itu tidak muncul lagi. Kelihatan Tamir
yang hendak mengawali pembicaraan, namun niatnya hanya sampai kepada mimik.
Greget-nya diselewengkan menjadi gerak mengambil rokok dan terus menyulutnya.
"Jadi... jadi Adik berdua ingin bertemu saya. Nah, sekarang sudah terlaksana,
bukan?" ujar Srintil tiba-tiba. Kemandekan serta merta cair. Tamir tersenyum lebar.
Diding mengangkat muka sekilas. Dan Tamir mendapat kesulitan baru ketika hendak
menyambut kata-kata Srintil. Dia telah didahului disebut Adik. Mau membalasnya
dengan Mbakyu atau Kakak" Ini sebuah rintangan psikologis bila dihubungkan
dengan maksud kedatangan Tamir ke Dukuh Paruk. Atau inilah kemenangan kecil
pertama yang dilakukan oleh Srintil atas kelelakian yang kini kembali menghadang.
"Ya... ya," jawab Tamir patah.
"Tetapi maafkan bila saya tak bisa menjamu Adik. Yah, beginilah keadaan saya.
Adik melihat sendiri; sama sekali beda dengan keadaan kota, kan?"
"Ya... ya. Oh, tak mengapa. Anu. Kami mendengar sampean seorang ronggeng.
Masih suka meronggeng?"
Pertanyaan Tamir yang tak terduga membuat jantung Srintil terpukul dan membuat
dadanya menyesak. "Anu, Dik. Itu dulu. Sekarang saya tidak lagi meronggeng. Dulu pun saya cuma
ronggeng bobor, ronggeng yang jarang naik pentas."
"Jadi sampean sekarang tidak meronggeng lagi?" "Tidak."
"Ah, kenapa?" "Tidak. Tidak."
"Ya, tetapi mengapa?"
"Pokoknya tidak."
"Ya... ya. Tetapi anu. Bagaimana bila... Maksudku, sampean bisa menduga
kepentinganku datang kemari, kan?"
"Ya, saya tahu."
"Bagai..." "Tidak, Dik." Tamir terhenyak ke belakang. Hatinya buntu. Pandangan matanya berpindah-pindah
tak menentu. Cuping hidungnya bergerak-gerak.
Ti... dak. Kata-kata itu berulang-ulang terdengar dalam hati Tamir. Tidak. Menurut
pengalaman anak Jakarta itu bila perempuan sudah berkata tidak, dan hanya tidak,
maka susah. Lain bila 'tidak' itu masih diikuti kata-kata lagi, masih berbuntut. Maka
buntut itu, apa pun bunyinya, adalah sekadar prasyarat, sebuah tantangan yang
harus ditundukkan. Kalau hanya tidak dan tidak"
62 "Anu, Mbakyu," kata Diding dengan suara rendah dan mapan. "Kedatangan kami
kemari terutama memang ingin berjumpa Mbakyu. Lainnya tentu nomor dua."
"Ya, benar," tukas Tamir tangkas. Si dungu Diding secara tak terduga telah
membantu melepaskannya dari kebuntuan. "Diding memang benar, kami terutama
hanya ingin berjumpa. Soalnya siapa tahu kami harus minta bantuan sesuatu kepada
warga Dukuh Paruk. Kami masih bekerja beberapa hari lagi di sekitar sini."
"Oh, Dik. Kali ini saya tak perlu berkata tidak. Namun apa kiranya yang bisa kami
berikan" Kami tak punya apa-apa."
"Sekadar tempat berteduh pun jadilah. Di tengah sawah panasnya bukan main."
"O, ya. Kalau soal itu, bisa. Dukuh Paruk masih punya kerimbunan rumpun bambu,
pohon nangka, pohon bungur dan banyak lagi. Silakan, Adik, silakan."
"Terima kasih, Mbakyu," sahut Diding. Tamir hanya tersenymn, menunduk dan
menggelengkan kepala. Tawar. Keluhnya tersamar dalam desah napas yang
panjang. Melangkah di halaman Tamir dan Diding disambut oleh suara mencecet burung
bence yang terbang cepat di udara. Di tepi dukuh mereka berpapasan dengan anakanak Sakum yang baru pulang mencari serangga di sawah. Mereka ketakutan dan
lari. Obornya membuat suara gemuruh.
Sampai di tengah sawah Diding tak kuasa lagi menahan tawanya. Moralnya naik
sementara moral Tamir kacau-balau. Tamir tak bisa membuka mulut mendengar
seloroh temannya. "Mampus kamu, Mir. Menginap semalam di Dukuh Paruk" Bisa, bisa. Tetapi di
rumah Nenek Kartareja!"
"Bajingan!" "Tetapi jangan lupa, Mir. Uang makanmu sudah menjadi milikku."
"Ambil semua, Kere!"
"E, jangan sewot, Bung. Malah saya minta tambah. Itu uang yang semula kamu
sediakan buat Srintil. Wah, dia tidak butuh uangmu. Kamu lihat kalungnya"
Gelangnya" Giwangnya?"
"Sudah. Tengik kamu!"
Di tengah malam buta ada gelak tawa di tengah sawah. Ada kekalahan yang dibawa
berjalan dalam gelap. Dan dua pemuda Jakarta itu punya masalah yang tak terduga,
menginap di mana malam ini"
63 Bagian Ketiga Empat orang anak Sakum adalah bocah-bocah yang paling gembira meskipun
mereka bersarang dalam gubuk paling kecil di Dukuh Paruk. Kemarau memberi
mereka kesempatan yang luas untuk berburu serangga di malam hari. Hasilnya
adalah nasi thiwul dan sangrai belalang serta jangkrik. Kadang mereka juga berburu
burung kedasih. Unggas yang gemuk dan berlemak ini tidur dalam rumpun kecipir di
malam hari. Hanya dengan modal obor dan kemampuan bergerak hati-hati seperti
kucing anak-anak Sakum sering kali bisa menangkap tiga-empat ekor burung dalam
satu malam. Pagi hari ketika anak-anak lain masih meringkuk di balai-balai atau berjongkok lesu
di dekat kencing mereka, anak-anak Sakum sudah berkeliaran di pekarangan.
Ranting-ranting bambu dikumpulkan untuk kayu bakar, buah salam sisa kalong dan
kampret dipungut dan langsung dikulum. Kemarau juga memberi arena bermain
yang menyenangkan. Tanah pekarangan kering, halaman memadat dan rata, baik
sekali untuk berbagai permainan. Pada tempat yang teduh dan masih lembab
permukaan tanah adalah lapisan lumut yang lembut berwarna hijau kekuningan.
Mata anak-anak Sakum yang awas sangat pintar menangkap makna pertanda alam
yang sering kali tersamar. Bila ada tanah merekah di batas pekarangan, mereka
akan menggalinya dan secara pasti akan memperoleh jamur barat atau jamur suing
yang belum mekar. Bila ada tahi burung berserakan di tanah, mereka tahu pada
malam hari ada perkutut atau terkuku menginap di atasnya dan mereka menyiapkan


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alat penangkap, tali penjerat atau getah keluwih.
Pagi ini anak-anak Sakum sedang bermain di tepi dukuh sambil menunggu ayah
mereka pulang menjual jangkrik di pasar Dawuan. Mereka baru saja berhasil
gemilang menggantungkan sebuah ayunan bambu pada sebuah dahan yang tumbuh
mendatar. Teriakan-teriakan gembira dan gelak tawa. Ayunan berderit-derit
menggoyang pepohonan. Makin jauh mengayun makin riuh gelak mereka. Suka-ria
di tepi dukuh menarik perhatian anak-anak lain. Goder menarik-narik tangan Srintil
ingin melihat. Srintil mengikutinya dari belakang. Sementara Goder berbaur dalam
tawa riang anak-anak Sakum, Srintil duduk memperhatikannya.
Ayunan terus berderit-derit. Anak-anak Sakum silih berganti mengayun dan diayun.
Oh, ya, ayunan! Di tempat duduknya Srintil jadi teringat kakeknya, Sakarya, yang
sudah meninggal. Sekali waktu Srintil mendengar kakeknya berkata kepada orangorang Dukuh Paruk bahwa kehidupan tidak maju ke depan dalam lintasan lurus,
melainkan maju sambil mengayun ke kiri dan ke kanan dengan jarak yang sama
jauhnya. Padahal nurani kehidupan tak pernah sekali pun bergeser dari
kedudukannya di tengah. Apabila ayunan ke kanan bercorak hitam misalnya maka
ayunan ke kiri dalam banyak hal adalah kebalikannya, putih.
Itu nasihat Sakarya kepada puak Dukuh Paruk. Tetapi pengetahuan semacam itu
bagi orang Dukuh Paruk adalah ngelmu, bukan ilmu. Pemahamannya tidak pernah
64 menjadikan orang disana sampai kepada pengetahuan praktis. Tak pernah membumi
dan selalu dibungkus dengan pandangan-pandangan mistik.
Maka Dukuh Paruk dan Srintil sendiri tidak akan mengerti bahwa mereka adalah
korban yang jatuh ketika kehidupan mencapai puncak ayunan ke kiri dan kemudian
hendak berbalik ke kanan. Ketika itulah terjadi pergeseran dan penjungkirbalikan
nilai dan tatanannya. Andaikan nilai lama bisa bertahan bahkan menang maka
ayunan ke kanan tertunda, Dukuh Paruk bisa selamat. Namun yang terjadi di tahun
1965 itu adalah kekalahan nilai dan tatanan lama. Nilai baru yang sesungguhnya
selalu laten dan potensial muncul dengan gempita.
Atau Srintil tidak akan mampu mengerti bahwa kelimbungan luar biasa di dalam
dirinya berakar pada kegempitaan nilai baru yang sedang sibuk menata diri di
tengah kehidupan. Kesibukan yang penuh semangat sehingga suara nurani
kehidupan tak terdengar lagi. Banyak kendali kecenderungan yang menantang
nurani kehidupan melonggar. Kecenderungan laten yang akan segera melesat
lari ketika kekang kendali mengendur.
Gejala ayunan kehidupan sebenarnya sudah lama merembes jauh ke pelosok. Srintil
tidak mengerti bahwa makin banyaknya pesawat radio di Dawuan, atau kedatangan
orang-orangJakarta yang akan membangun sebuah bendungan adalah salah satu
pertanda teriadinya ayunan itu. Pintu negeri yang semula terkunci bagi bantuan,
modal serta banyak kultur luar kini terbuka lebar. Nilai-nilai kebangsaan yang
dirumuskan dalam semangat swadaya serta konservasi kultur dan budaya sendiri,
surut dalam sebuah pergulatan seru. Dan lagi-lagi nurani kehidupan sering
terlangkahi. "Mak!" seru Goder sambil menubruk pangkuan Srintil.
"E... ya" Apa, Nak?" jawab Srintil gagap.
"Bikin ayunan, Mak. Aku ingin punya ayunan."
"Ah, kau masih kecil, Nak. Nanti jatuh."
"Mak, bikin ayunan!" Goder mulai menuntut.
"Aku tidak bisa membuat ayunan bambu, Nak. Tetapi kalau ayunan kain Emak
bisa." "Buaian, Mak" Ya, aku mau berayun-ayun di buaian. Aku mau, Mak."
"Baik, Nak. Mari pulang, kita bikin buaian di rumah."
Ketika Goder berlari mendahului Srintil, yang kelihatan adalah citra kesegaran
sebuah kecambah kehidupan. Goder melompat-lompat, kadang berbalik merangkul
paha Srintil dan lari lagi sambil bersorak kegirangan. Wajah Srintil yang semenit lalu
masih keruh berubah jernih. Oh, Srintil selalu merasa sangat beruntung karena
Goder yang hijau-segar adalah miliknya meski dia tidak keluar dari rahim sendiri.
Miliknya! Srintil masih agak jauh dari gubuknya ketika dia melihat seorang lelaki berdiri
menunggu di halaman. Makin dekat dia tahu siapa yang berdiri disana , seorang
pamong desa. Dan di tangannya ada sehelai kertas terlipat. Mendadak langkah
Srintil tertahan-tahan. Bibirnya memucat seketika. Ingatannya melayang ke rumah
tahanan dikota Eling-eling.
65 "A... a... ada apa, Pak" Su...surat untuk saya?"
"Ya, oh bukan. Untuk Goder," kata pamong desa Pecikalan yang wilayahnya meliputi
Dukuh Paruk. "Goder?" tanya Srintil masih gemetar.
"Ya. Tetapi mestilah sampean yang harus mewakilinya. Ini urusan tanah yang
terkena jalur pengairan."
"Oh, ya. Saya memang punya tanah secuil yang saya atas namakan Goder. Jadi
bagaimana, Pak?" "Pagi ini sampean harus berkumpul di balai desa Pecikalan.Ada rapat yang akan
melaksanakan pembayaran ganti rugi. Nah, inilah suratnya. Eh, kenapa sampean
gemetar?" "Ah, tidak, Pak. Tidak."
Pak Pamong tersenyum yang dibalas dengan senyum rendah diri seorang yang
masih menyimpan sisa rasa menjadi aib kehidupan. Pamong tua menikmati senyum
seorang yang masih saja cantik. Srintil menikmati senyum kehidupan yang sudah
lama jarang dirasakannya. Tetapi Goder menarik-narik tangan Srintil dan masih
menuntut dibuatkan sebuah ayunan.
"Cepat, ya. Orang lain sudah mulai datang di balai desa," kata pamong itu sambil
melangkah pergi. "Ya. Ya, Pak. Aku segera ke sana."
"Ayo, Mak. Bikin ayunan. Cepat, Mak."
"Kita tidak jadi membuat ayunan, Nak. Kamu dan aku akan pergi ke balai desa."
"Tidak jadi, Mak" Tidak jadi?"
Bibir Goder bergerak-gerak hendak menumpahkan tangis. Air matanya sudah
mengambang. Srintil cepat meraup tubuh kecil itu dan mengangkatnya ke dada.
Goder diciuminya dengan lembut.
"Jangan menangis, Nak. Kamu akan memakai baju baru dan bersamaku akan pergi
ke balai desa. Kamu satu-satunya anak Dukuh Paruk yang diundang. Kamulah satusatunya anak yang punya sawah."
"Di balai desa ada jajanan, Mak?"
"Ah, tidak. Tetapi kita bisa mampir ke pasar Dawuan. Kamu ingin apa?"
"Meniran, Mak."
"Baik, nanti kita beli yang banyak."
66 "Ondol-ondol." "Ya, ya." "Balon, Mak. Balon."
"Boleh." "Anu, Mak. Anu, Mak. Jangkrik."
"Ah, jangkrik tinggal minta kepada Paman Sakum."
"Es!" "Nah, ayo kita cepat berdandan."
Selain di pasar Dawuan maka baru kali inilah Srintil berada di tengah rapat yang
dihadiri banyak orang. Dulu ketika masih meronggeng orang banyak yang berkumpul
semua tunduk di bawah pesonanya. Perasaan mereka, khayalan mereka, menjadi
bulan-bulanan alunan tembang dan lenggang-lenggok berahinya. Jantung mereka
menjadi permainan lirikan mata dan pacak gulunya. Dan orang-orang terpenting
yang sedang berkumpul di balai desa itu adalah mereka yang pernah merengek
minta belas kasihnya. Kini semuanya terbalik dengan semena-mena. Ketika Srintil memasuki balai desa
banyak perempuan yang berpindah tempat duduk, menjauh. Banyak lelaki dengan
gagahnya menipu diri dalam kepura-puraan, kecuali pamong yang tadi mengundang
Srintil yang menyilakannya duduk. Lainnya hanya menatap dengan cara demikian
rupa sehingga Srintil merasakan sebagai runcingnya ranting bambu yang
menghunjam dada. Oh, tetapi di sana ada seorang priayi yang melihatnya dengan
mata yang lunak. Srintil tahu dia adalah salah seorang yang sering dilihatnya
mengukur tanah sawah di sebelah barat Dukuh Paruk.
67 Srintil duduk sambil memangku Goder. Terus menunduk, hampir tak pernah
bergerak. Perasaan hati yang berpusar-pusar hanya bisa ditenangkan oleh
kehangatan tubuh Goder yang sedang dipangkunya. Kain kebayanya sangat
bersahaja. Srintil sama sekali tidak ingin keiihatan menonjol. Penampilan yang
merendah hendaklah diartikan sebagai pengakuan atas sebuah kesalahan hidup
yang terlanjur. Atan permohonan dalam kebisuan untuk dimengerti. Atau ucapan
tanpa kata-kata bahwa hendaknya semua cukuplah sudah, jangan lagi ada tatapan
mata yang mengiris hati, jangan lagi ada cibiran yang meremukkan jiwa.
Bajus duduk di samping lurah Pecikalan. Antara keduanya sudah terjadi beberapa
kali pertemuan. Pertama, ketika Bajus baru hendak mulai mengukur tanah-tanah
sawah yang terletak dalam wilayah desa Pecikalan. Kedua, di kantor kecamatan
ketika keduanya kebetulan punya urusan dengan Pak Camat. Pertemuan ketiga
sudah bersifat pribadi di rumah lurah. Waktu itu Bajus berterus terang masih
bujangan, sambil tersenyum dan mata bercahaya.
Waktu itu lurah Pecikalan yang kuno mencoba menangkap makna kata dan
suasana. Ada laki-laki tanpa diminta telah mengaku masih bujangan. Ada mata
bersinar-sinar dan ada senyum yang menyimpan sesuatu. Lalu mengapa semua
orang di wilayah Dawuan masih saja berpikir dalam pola lama bahwa di sana hanya
ada satu lubuk di mana semua air mengalir ke sana. Sepanjang menyangkut
petualangan berahi, Dukuh Paruk adalah lubuk dan Srintil adalah ikannya. Oh, ya.
Bajus dan teman-temannya sedang mengukur tanah sawah yang dekat sekali
dengan Dukuh Paruk. Mestinya dia sudah melihat ikan yang elok di lubuknya.
Lurah Pecikalan yang meski kuno tetapi kenal betul akan Srintil, kenal sosoknya
dalam arti yang paling harfiah, hanya tersenyum. Dan seorang seperti lurah
Pecikalan tidak bisa melepaskan diri dari sebuah nilai kuno bahwa seorang penguasa
kecil wajib asok glondbong pengareng-areng kepada penguasa besar. Upeti. Apabila
Bajus yang dianggapnya penguasa besar karena datang dari Jakarta mengaku
bujangan maka lurah Pecikalan mengerti apa yang dikehendakinya. Dan lurah
Pecikalan tidak mempunyai satu pun nilai yang bisa dijadikan pegangan untuk
menyalahkan orang dari Jakarta itu.
Setelah semua pemilik sawah datang maka acara pembayaran ganti rugi dimulai.
Lurah Pecikalan mengawalinya dengan pidato. Adalah kejayaan kekuasaan yang
menyebabkan tak satu kali pun terdengar pertanyaan atau usulan tentang harga
ganti rugi. Juga semua bungkam ketika lurah berkata bahwa uang ganti rugi akan
dipotong sekian persen untuk biaya perbaikan balai desa, sekian persen untuk
membeli seragam hansip, sekian persen biaya administrasi agraria, sekian persen
lain-lain. Semuanya menjadi empat puluh persen. Sebelumnya sudah beredar bisikbisik bahwa hanya mereka yang bersangkutan dengan geger 1965 akan
menyanggah ketentuan itu.
68 Srintil sungguh tidak tertarik mendengar persen-persen itu, tidak juga jumlah uang
yang akan diterimanya atas nama Goder. Yang amat diinginkannya adalah cepat
keluar dan terbebas dari pandangan mata orang banyak, kembali ke Dukuh Paruk
dan bersembunyi dalam dunia Goder. Tetapi panggilan untuknya tidak juga datang,
bahkan ketika matahari sudah jauh tergelincir dan hanya tinggal dua orang yang
belum mendapat bagian. Akhirnya Srintil sadar dia akan mendapat giliran paling
akhir. Tentu saja, dari sekian banyak orang hanya akulah bekas tahanan. Itu pikiran
Srintil dan itu pula nilai kecongkakan kenisbian masa.
Akhirnya tinggal Srintil bersama Goder. Lurah Pecikalan menyuruh tukang-tukang
jagal uang ganti rugi membereskan hasil potongan di ruang lain. Sekali lagi, tentu
saja. Seorang bekas tahanan tidak akan diperlakukan sama dengan orang lain. Maka
Srintil akan diperlakukan secara khusus. Mungkin uangnya akan dipotong lebih
banyak. Atau siapa tahu, Srintil akan dimintai keterangan macam-macam atau
persyaratan macam-macam. Itu dugaan semua orang.
"Srintil," kata lurah Pecikalan lirih, lirih sekali. Toh Srintil terkejut bukan main.
Wajahnya putih. Goder ditekan ke dadanya yang berdenyut hebat. Dan Pak Lurah
malah terkekeh. "Jangan takut seperti itu, jenganten. Dengar. Aku dan Pak Bajus ini akan berbicara
dengan kamu. Beliau ini jauh-jauh datang dari Jakarta. Mungkin saja, aku tidak tahu
persis, beliau membutuhkan teman. Begitu, Pak Bajus" Oh, aku hampir lupa. Ini
uang ganti rugi untuk tanah si Goder. Atas nasihat Pak Bajus uangmu tak dipotong
apa pun." Bajus terbatuk. Memutar ke samping untuk memperlihatkan sasmita kepada lurah
Pecikalan. Laki-laki tua itu tanggap lalu bangkit.
"Nah, aku minta kamu mematuhi Pak Bajus. Yah, tidak boleh tidak orang seperti
kamu harus patuh. Silakan." Dan lurah Pecikalan melangkah ke luar.
Bajus kembali terbatuk. Cengar-cengir sebentar lalu menyuruh Srintil pindah ke
kursi yang lebih dekat. Tangan Bajus mencubit pipi Goder. Kata pertama yang keluar
sungguh di luar dugaan Srintil.
69 "Ini bukan anakmu, kan?"
"Ya, Pak," jawab Srintil masih tetap menunduk.
"Aku sudah tahu banyak hal tentang kamu. Cobalah angkat mukamu. Kita berbicara
seperti biasa." "Ya, Pak." "Begini, Srin. Tadi Pak Lurah berkata seperti itu. Ada benarnya sepanjang tidak
diartikan secara berlebihan. Aku memang ingin berkenalan dengan kamu. Jangan
khawatir, aku belum punya istri. Bagaimana?"
"Tetapi, Pak..."
"Bagaimana?" "Jadi Bapak..."
"Tidak usah sebut aku begitu. Mas!"
"Oh, Pak. Eh, Mas. Jadi Mas sudah tahu siapa aku. Aku takut, Mas. Dan Mas tidak
pantas bergaul dengan seorang bekas tahanan."
"Sudahlah. Nah, kali ini cukup sekian. Besok atau lusa aku akan datang ke Dukuh
Paruk. Boleh, kan?" "Untuk apa, Mas?"
70 "Yang jelas bukan untuk menginap atau semacam itu. Percayalah. Bagaimana?"
"Boleh, Mas. Tetapi aku takut berbuat salah."
"Ya, aku mengerti perasaanmu. Untuk ini akulah yang bertanggung jawab."
Ada sebuah titik keberanian terbit di hati Srintil. Seperti sebuah bintang kecil
muncul di ufuk langit timur ketika alam yang terbentang adalah kegulitaan
sempurna. Tetapi Srintil belum percaya. Maka ditatapnya wajah Bajus sejenak. Ada
keramahan, ada pertanda pengakuan bahwa Srintil masih diakui sebagai warga
kehidupan. Dan ada senyum, senyum kelelakian. Srintil ingin surut. Pengalaman
dengan kelelakian yang telanjang adalah sejarahnya yang paling getir. Namun wajah
Srintil cerah kembali ketika tangan Bajus lagi-lagi menggamit pipi Goder. Itu bukan
sikap kelelakian telanjang, melainkan sepercik kemanusiaan yang betapapun
kecilnya terasa amat mahal bagi Srintil.
Keluar dari balai desa Srintil berjalan cepat. Kalau bukan karena Goder menagih
janji maka Srintil pasti akan langsung pulang. Tetapi karena Goder minta balon dan
es maka Srintil mampir ke sebuah warung. Dari sana Srintil meneruskan perjalanan.
Tiba-tiba saja dia kurang bernafsu melayani Goder yang berbicara macam-macam.
kannya bersuka-ria seorang diri di halaman. Rekaman pertemuannya dengan Bajus
berputar kembali dalam gambar yang demikian jelas. Dan Srintil masih kurang
percaya bahwa peristiwa itu baru terjadi kurang dari satu jam yang lalu; pertemuan
yang jauh lebih berharga daripada sejumlah uang yang masih berada di balik
setagennya. Duh, Pengeran, ada apa lagi dengan kelelakian. Besok atau lusa dia akan datang.
Aku harus bagaimana" Bajus akan datang sebagai warga kehidupan atau mewakili
dunianya sendiri" Entahlah. Namun aku tidak percaya tak ada pamrih. Kemudian
Srintil tertegun karena merasa telah berbuat sesuatu di luar wewenangnya;
menjatuhkan vonis bersalah terhadap orang yang punya pamrih. Srintil cepat-cepat
berusaha menghapus kecurigaannya terhadap maksud kedatangan Bajus. Namun
pada saat yang sama timbul angan-angan baru yang sama-sama menakutkan. Yakni
bila Bajus datang dengan tujuan yang sejati. Seorang lelaki bujangan ingin
berkenalan dengan seorang perempuan tanpa suami; maka bila tidak ada maksud
petualangan, tinggal satu makna yang bisa diterjemahkan. Dan Srintil merasa ngeri
terhadap angan-angan indah yang sekejap melintas dalam hatinya. Nelangsa dan
takut. 71 Nelangsa. Karena Srintil tak bisa membebaskan diri dari perasaan tidak
berkelayakan menerima kesejatian. "Duh Pengeran, andaikan aku bukan seorang
bekas tahanan." Srintil mengisak. Merebahkan diri ke samping dengan pinggul
melintir karena kaki Srintil masih dalam posisi ongkang-ongkang. Ketika pikiran
terhenti dan tak mampu menembus ketidakberdayaan maka angan-angan tentang
masa lalu, seribu kenangan, muncul silih berganti. Tentang rumah tahanan di kota
Eling-eling, di mana resminya Srintil diberi tugas membantu bagian dapur. Tentang
kuali raksasa yang digunakan untuk mengolah kangkung dan genjer hanya dengan


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bumbu garam untuk lauk grontol, rebus biji jagung. Atau sikap sesama tahanan
perempuan yang iri hati sebab Srintil mempunyai handuk bagus, sabun mandi, dan
di bawah tikar tempat tidurnya ada cermin serta pupur.
Kemudian muncul bayangan Bajus. Oh, dialah orang luar pertama yang bersikap
wajar. Ya. Srintil baru bisa memastikan sekarang bahwa yang dimintanya dari
kehidupan ini adalah kewajaran yang bisa diterima secara umum dan mendasar.
Tetapi mengapa kewajaran yang datang melalui penampilan Bajus jadi menakutkan"
Matahari melintas makin jauh ke barat. Angin mengalir membuat desah lembut
ketika menyelinap celah atap ilalang. Derit ayunan bambu di samping rumah Sakum
dan tawa riang Goder yang sedang bermain balon karet di halaman. Jasad dan jiwa
Srintil yang lemah dan lelah menuntut istirahat. Sekejap saja Srintil sudah berada
dalam alam antah-berantah. Kupingnya mendengar irama calung yang sangat
bergairah. Di hadapannya terlihat beribu-ribu pasang mata yang menatap kagum.
Srintil menantang mereka dengan lenggang-lenggok. Suaranya adalah sugesti berahi
yang tersamar dalam tembang. Wakul kayu cepone wadhah pengaron, kapanane
ketemu padha dhewekan... Tetapi entah mengapa kemudian penonton bubar kocarkacir. Rentetan tembakan. Srintil lari meninggalkan arena pentas. Dan sebuah
tangan besi mencekal tengkuknya. Dia ingin berteriak namun tangan besi itu
mencekik lehernya kuat-kuat. Srintil hanya bisa meronta-ronta. Ketika terasa tangan
besi itu mengendur Srintil melenguh seperti ternak dipotong.
"Eh, lha! Tidur siang kok mengigau. Bangun, jenganten. Bangun. Lihat ini anakmu
jatuh ke comberan. Ayo bangun."
Srintil menggelinjang. Bangun lalu duduk linglung. Terengah-engah. Matanya
blingsatan masih menampakkan sisa ketakutan. Dahi dan tengkuknya basah.
"Ada apa, jenganten, mimpi buruk" Eh, lha. Wong habis menerima uang kok malah
mengigau. Ini lihat. Anakmu habis masuk comberan dan sudah saya basuh kaki dan
tangannya." 72 Srintil masih linglung dan hanya sekejap melihat Goder yang sedang dibopong Nyai
Kartareja. Tanpa berkata sepatah pun Srintil bangkit dan masuk ke dapur. Dengan
gayung diciduknya air dari tempayan untuk membasuh muka. Segelas air di atas
meja ditenggaknya habis. "Sekarang katakan, jenganten. Mimpi apa. Digigit ular barangkali?" tanya Nyai
Kartareja sambil menyerahkan Goder kepada Srintil.
"Sudahlah, Nyai. Ketakutanku terbawa ke dalam mimpi."
"Takut" E, lha. sampean masih saja berkata begitu. Zaman sudah aman, jenganten.
Jadi apa lagi yang sampean takutkan?"
"Kapan-kapan dia mau datang kemari, Nyai. Aku takut. Aku tidak tahu harus
berbuat apa." "Dia siapa?" "Pak Bajus." "Pak Bajus yang suka memimpin orang mengukur tanah?"
Srintil mengangguk. Dan Nyai Kartareja terpaksa percaya bahwa Srintil sedang
menghadapi kebimbangan. Tak ada kepura-puraan pada wajahnya.
"Eh, lha. Aku jadi tidak mengerti, jenganten. Mengapa sampean sekarang takut
dengan setiap lelaki yang datang. sampean menolak Marsusi. Tamir juga sampean
tolak. Lalu sekarang sampean takut menghadapi Bajus. Aku tidak mengerti,
jenganten." 73 "Aku juga tidak mengerti, Nyai. Namun untuk menjawab Marsusi atau Tamir,
gampang saja. Tidak! Nah, Nyai. Aku tak sanggup berkata seperti itu kepada Pak
Bajus. Entahlah, Nyai. Harus bagaimanakah aku ini."
"Kenapa begitu, jenganten?"
"Nyai, aku melihat, aku merasa, Pak Bajus tidak ingin main-main. Nyai..."
Nyai Kartareja memperhatikan dengan saksama garis-garis ekspresi pada wajah
Srintil. Ada sesuatu yang berakar dari kedalaman jiwanya. Sedikit demi sedikit
dibangunnya pemahaman tentang apa yang sedang menjadi angan-angan Srintil.
Tidak sulit bagi Nyai Kartareja buat berpikir sampai kepada kesimpulan yang jitu.
Tersenymn, kemudian digamitnya pundak Srintil.
"Wah iya, jenganten. sampean masih muda. sampean baru dua puluh tiga tahun
dan cantik. Sungguh tidak aneh bila ada lelaki menginginkan sampean."
"Dan Mas Bajus masih bujangan."
"Nah!" "Tetapi, Nyai. Aku bekas ronggeng. Aku bukan perempuan ,somahan, perempuan
rumah tangga. Orang tidak akan percaya bahwa aku meski bekas seorang ronggeng
akan mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik. Nyai, siapa pun tidak akan
percaya." "Eh, lha belum tentu, jenganten. Buktinya, Pak Bajus itu. Bila dia tak percaya
sampean bisa menjadi perempuan somahan mengapa dia ingin bersungguh-sungguh
dengan sampean?" "Entahlah, Nyai. Tetapi bisa saja sekarang dia percaya karena sesuatunya belum
menghadapi ujian. Aku takut sekali waktu datang ujian aku harus menghadapi
kenyataan pahit, ketidakpercayaan itu. Bila sampai terjadi demikian, Nyai, sia-sialah
semuanya. Aku bisa lebih sengsara daripada sekarang."
74 "jenganten, andaikan aku adalah sampean, maka aku tidak akan berpikir sejauh itu.
Aku hanya akan berpikir bagaimana menggunakan kesempatan yang mungkin amat
langka ini. Pak Bajus bujangan dan priayi. Dia orang jauh sehingga sampean bisa
menempuh kehidupan baru di tempat yang baru pula. Dan seperti kata sampean
sendiri, Pak Bajus kelihatan bukan hendak bermain-main. Apa lagi, jenganten?"
"Ya, Nyai. Tetapi aku harus bagaimana?"
Nyai Kartareja tertegun. Baginya Srintil adalah sebuah sosok tanpa aling-aling.
Perempuan itu tahu segalanya, tahu bagaimana dulu Srintil menghadapi laki-laki,
puluhan laki-laki yang ia sukai. Srintil pernah menjadi gowok bagi Waras dari
Alaswangkal. Gowok adalah perempuan yang mengajari laki-laki tentang caranya
menjadi lelaki. Maka Nyai Kartareja amat yakin bahwa mencari jawaban bagi
pertanyam Srintil sama mudahnya dengan mengedipkan mata.
"Eh, lha. sampean ini cantik. sampean mempunyai pakaian yang bagus serta
mempunyai perhiasan emas. Mandi keramas, matut salira secantik mungkin lalu
bermanja kepada tamu yang akan datang itu. Masa iya nenek bangka ini harus
mengulangi pelajaran yang kuberikan kepada sampean sepuluh tahun yang lalu?"
Srintil melengos dengan sengit. Jawaban yang diucapkan oleh Nyai Kartareja sedikit
pun tidak menyentuh kebimbangan dalam hatinya. Kenyataan yang pahit; seorang
yang hingga menjadi nenek tetap hidup di Dukuh Paruk dan sekian tahun menjadi
semang Srintil tak mampu menggapai akar kepelikannya. Srintil mengeluh dan
mendesah. Dia ingin kembali merenung seorang diri. Dan dia tahu cara yang baik
untuk menyuruh Nyai Kartareja menyingkir: selembar uang.-bp-
*** Dukuh Paruk sesudah geger komunis 1965 adalah Dukuh Paruk yang sudah dibakar
dan hanya tersisa puing-puingnya. Apabila dulu beberapa rumah sudah beratap
genting atau seng dengan penerangan lampu pompa maka sekarang semua rumah
sama, gubuk beratap ilalang dengan penerangan pelita di malam hari. Tak ada
75 tembang, tak ada calung, dan tak ada lelaki luar yang datang karena tak ada satu
pun lelaki yang rela dikatakan berhubungan dengan ronggeng yang baru pulang dari
tahanan. Boleh jadi Marsusi adalah kekecualian karena dia pernah berusaha
menghubungi Srintil melalui Nyai Kartareja. Tetapi Marsusi tidak akan berani seperti
dulu, membawa motornya masuk ke Dukuh Paruk.
Meskipun Dukuh Paruk selalu paling terbelakang namun dulu dia mandiri. Dia
menyatu dengan ketenaran irama calung dan ronggeng. Dan ketika indang ronggeng
ada pada diri Srintil semua orang disana bangga disebut sebagai orang Dukuh Paruk.
Lalu apa yang kemudian terjadi adalah bukti kebenaran kata-kata mendiang
Sakarya. Bahwa zaman berjalan sambil mengayun ke kiri dan ke kanan. Setelah
Dukuh Paruk mencapai puncak kebanggaan kini zaman mengayunkannya ke kurun
yang membawa serba kebalikannya. Orang Dukuh Paruk merasa sukar berjalan
dengan kepala tegak apalagi bila sedang berada di luar tanah airnya. Orang Dukuh
Paruk tidak ingin berbuat sesuatu yang bisa diartikan sebagai penampilan rasa
bangga. Dalam segala urusan mereka ingin memberi kesan sedang meniti nasib
dengan penuh penyesalan serta rasa bersalah. Bukan salah yang kepalang tanggung
tetapi salah karena merasa seolah-olah ikut mengguncang kehidupan.
Apabila kebanyakan orang Dukuh Paruk mengidap perasaan demikian maka yang
terjadi pada diri Srintil beberapa kali kelipatannya. Dia, inisalnya, dengan kesadaran
penuh lebih suka bersarang di dalam gubuk kecil meskipun sebenarnya dia mampu
membangun atau membeli sebuah rumah yang layak. Sebuah kalung atau salah satu
gelangnya cukup untuk membeli sebuah rumah kayu beratap genting. Namun Srintil
tidak akan melakukannya. Tatapan mata semua orang menuntut setiap manusia
Dukuh Paruk memperlihatkan penyesalan dan keprihatinan.
Dulu Sakum sering bertembang di malam hari. Kalau perut seisi rumah kenyang
Sakum akan bertembang lagu-lagu dolanan yang gembira dan kadang kocak. Kalau
sehari tak ketemu makanan Sakum biasa membawakan kidung yang ngelangut
menusuk dasar jiwa. Kini keadaan rumah Sakum hanya bisa diperbandingkan
dengan kebun tembakau atau palawija di pelataran kali. Pada malam hari puluhan
jangkrik berderik mengadu kekuatan suara. Jangkrik yang kecil bersuara kering
nyaring menyakitkan gendang telinga, yang besar bersuara berat dan lebih enak
didengar. Sementara itu penghuni gubuk, Sakum anak-beranak, meringkuk
berdesakan seperti anak ayam kehujanan di emper rumah.
Di gubuk lain Srintil kelihatan sudah memejamkan mata tetapi sama sekali belum
tidur. Ketika Goder sudah lelap Srintil merasa melayang-layang seorang diri dalam
dunia tanpa pijakan. Besok atau lusa adalah hari-hari yang kedatangannya amat
menggelisahkan. Kadang Srintil ingin kembali bisa merengek seperti bayi. Kadang
ingin bisa berdendang lagu asmara seperti gadis muda. Tetapi kadang dia
mendambakan menjadi bekicot yang sewaktu-waktu bisa bersembunyi dengan aman
dalam rumah kapurnya yang keras. Lamban dan diam, asyik dengan dirinya sendiri,
76 tak peduli dengan apa pun di sekitarnya karena yang terpenting adalah selamat dan
tidak repot. Burung celepuk menggeram dari pepohonan di atas makam Ki Secamenggala yang
sudah lama tidak terawat. Gema suaranya membuat Srintil merasa kecil dan makin
kecil. Dia meringkuk di bawah selimut kainnya. Srintil benar-benar ingin menjadi
bekicot yang ingin mengundurkan diri ke dalam rumah labirin, melupakan segalanya
dan tidur. Tetapi kebimbangan tak bisa diajak berdamai. Dia mengusik, terus
mengusik. Srintil mengalah dan pelupuh bambu berderit ketika dia bangkit.
Ada kenangan bawah sadar yang menarik Srintil berjalan ke bilik sebelah. Membuka
pintunya perlahan-lahan kemudian Srintil melangkah masuk dan berhenti tepat di
pinggir balai-balai. Neneknya, Nyai Sakarya, sedang tidur. Kempis-kempis dan renta.
"Nek," ujar Srintil lirih sekali. Entah mengapa tiba-tiba hatinya diamuk nelangsa. Air
matanya meleleh. "Nek." "Oh, eh siapa" Srintil, kenapa engkau, Cucuku Wong Ayu?"
"Nek." "Ya, Cucuku. Eh, engkau menangis?"
"Nek. Aku mau tidur di sini bersama Nenek."
"Oalah. Mari, Cucuku, mari. Oalah eman, eman, Cucuku. Ada apa rupanya?"
Srintil tidak menjawab tetapi langsung merebahkan diri, melipat tubuh sekecil
mungkin dalam pelukan Nyai Sakarya yang ringkih dan apek. Ada setitik kesejukan.
Srintil surut dua puluh tahun ke belakang kala dia selalu mencari perlindungan pada
haribaan Nyai Sakarya bila hati sedang sedih dan nelangsa.
77 Sesungguhnya Srintil sadar neneknya tidak mampu memberikan sesuatu untuk
menyelesaikan kebimbangannya, namun belaian tangan perempuan tua itu bisa
meredam kegelisahan. Nyai Sakarya sendiri tidak mendesak Srintil mengutarakan
perasaannya karena pertanyaan yang berulang-ulang hanya dijawab dengan sedusedan. Seorang perempuan yang sudah tujuh puluh tahun menjadi warga
kehidupan; Nyai Sakarya mengerti ada keruwetan dalam hati cucunya. Dan pastilah
keruwetan itu terjadi pada pusat wilayah pribadi Srintil sehingga Nyai Sakarya
merasa tidak mampu berbuat sesuatu kecuali membelai rambut cucunya. Lama-lama
Srintil berhenti mengisak. Beberapa kali terdengar desah panjang sebelum napas
Srintil berubah lembut dan teratur. Seperti orang yang lama berjalan di bawah terik
matahari lalu mencapai kerindangan sebuah pohon besar. Sejuk dan teduh-nyaman.
Sejenak Srintil lepas dari kebimbangan. Berangkat tidur diantar oleh belaian nenek
adalah tidur seorang cucu yang dimanjakan. Buat sementara Srintil terbebas dari
kungkungan keberadaannya.
Pagi-pagi halaman dan tanah pekarangan di Dukuh Paruk berhias mosaik dedaunan
yang jatuh semalam. Daun nangka luruh dengan warna kuning tua kemerahan.
Tetapi daun ketapang benar-benar berwarna merah. Di bagian-bagian yang tidak
terkena terik matahari lumut dan beberapa jenis rumput masih hidup memberi corak
hijau lembut. Di bawah rumpun bambu berserakan daunnya yang gugur, cokelat dan
kuning tua. Keremangan pagi memberi penyinaran yang tepat sehingga mosaik alam
tampak demikian hidup. Dari hamparan daun-daun gugur itu sesekali terbias kilau
embun. Kadang terlihat uap tipis mengambang dari pangkal batang pisang yang
sudah ditebang. Adalah keajaiban hati yang mampu menyimpan perasaan yang berubah-ubah. Bila
malam hati Srintil masih dicekam kebimbangan maka pada pagi hari segala
kegalauan rasa sudah mengendap. Barangkali Srintil tetap tidak merasa pasti apa
yang harus dilakukannya. Namun dia sudah berbuat sesuatu yang ternyata membuat
Nyai Kartareja tersenyum-senyum di belakang rumah. Srintil sedang membakar
ikatan gagang padi buat keramas. Namun sebelum pergi ke pancuran Srintil
kelihatan berjalan menuju rumah Sakum.
"Masih menjual jangkrik di pasar Dawuan, Kang?" tanya Srintil kepada Sakum yang
sedang menata ruas-ruas bambu berisi dagangan, jangkrik.
"Lha iya. Mau apa lagi, jenganten. Untung ada jangkrik!"
"Ya. Aku mau minta tolong, Kang. Belikan gula dan bubuk kopi yang bagus. Juga
pepaya dan jeruk. Mau, Kang?"
78 Sakum diam sejenak. Kedua matanya yang keropos bergerak-gerak. Sakum yang
memiliki kepekaan luar biasa menangkap kelainan suasana. Memang bukan sekalidua Srintil minta tolong dibelikan sesuatu tetapi biasanyakelepon atau ondol-ondol
buat Goder. Kadang juga ketupat. Kali ini adalah gula, kopi, dan buah-buahan. Lebih
dari itu Sakum merasa suara Srintil keluar dari jiwa yang dalam.
"Mau, Kang" Ini uangnya."
"Tentu saja mau, jenganten," jawab Sakum yang cengar-cengir.
"Ada tamu ya! Siapa?"
"Kok kamu tahu, Kang?"
"Ya! sampean sudah kenal sejak bocah siapa Kang Sakum."
Benar, Kang. Ada orang mau bertamu ke rumahku."
"He... he. Marsusi, ya?"
"Salah. Orang Jakarta, Kang."
"Orang Jakarta" Ah, ya, di pasar Dawuan orang berkata sekarang ini banyak priayi
Jakarta berdatangan. Nah, jenganten, andaikan sampean masih meronggeng. Bukan
main!" "Aku tidak akan meronggeng lagi, Kang. Aku sudah tua."
79 "Iya! Si Sakum tahu sampean bukan lagi seorang ronggeng. Bukan karena sudah
tua. sampean masib muda. Tetapi si Sakum setiap hari mendengar suara sampean,
bukan lagi suara ronggeng. Tidak bisa tidak sekarang Dukuh Paruk tanpa ronggeng."
Ada tekanan yang khas dan pasti pada kata-kata Sakum. Sekarang Dukuh Paruk
tanpa ronggeng. Mula-mula Srintil agak terkejut mendengarnya. Matanya membulat
dan kedua alisnya naik pertanda Srintil sedang berusaha keras memahami kata-kata
si mata keropos. Memahami apa yang terucap dan apa yang tersembunyi di
baliknya. Lalu Srintil maju selangkah dan berbisik di dekat telinga Sakum.
"Betulkah aku bukan lagi seorang ronggeng, Kang?"
"Betul! Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku. Burung
indang telah terbang dari kurungan. Indang ronggeng kini tidak ada pada tubuh
sampean." Kedua pundak Srintil jatuh. Napas lega berembus dengan bebas dan lepas. Katakata Sakum terdengar sebagai mantra sakti yang telah membebaskan Srintil dari
beban moral yang teramat berat dan Srintil tak kuasa menahan air matanya.
"Lho, sampean menangis?"
"Aku tidak menangis, Kang. Tidak."
"Jangan bohong. Aku mendengar napas orang menangis. Percuma, jenganten.
Jangan menangis. Ditangisi pun indang ronggeng takkan kembali."
"Jangan salah duga, Kang. Aku menangis bukan karena sedih tetapi karena
senang." "He... he. Lha iya. Lebih baik nrimo pandum saja. Dan bergembira karena akan ada
tamu orang Jakarta."
80 "Kang?" "Eh, mana uangnya. Aku mau berangkat, nanti kesiangan."
Srintil menyerabkan uangnya. Lalu diperhatikannya Sakum yang berangkat menuju
pasar Dawuan. Meski buta kedua matanya Sakum dapat mengenali jalan yang akan
dilaluinya seperti dia mengenal setiap benda di ujung jari. Kemudian Srintil
meneruskan maksudnya mandi di pancuran. Selama melangkah ke sana Srintil tidak
mendengar suara anak-anak Sakum yang sudah heboh dengan ayunan bambunya.
Tidak didengarnya suara burung-burung. Di dalam telinga Srintil hanya terdengar


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara kecapi Wirsiter dan Ciplak, penjaja musik yang selalu membawakan asmara
dahana. Ketika sedang mandi kata-kata Sakum terus mengiang di telinga Srintil; dia bukan
lagi ronggeng. Duh, Pengeran, alangkah enak didengar. Sekarang baru Sakum
seorang yang mengatakan aku bukan ronggeng. Aku akan membuktikan diri
sehingga nanti semua orang berkata sama seperti Sakum.
Dan masih di pancuran itu Srintil mulai membuktikan diri siapa dia sekarang. Ketika
masih meronggeng Srintil selalu mandi telanjang dan tenang saja bila ada mata lakilaki mengintipnya, pura-pura tidak merasa sedang diintip atau bahkan sengaja demi
mempermainkan jantung laki-laki. Itu dulu. Kini Srintil mandi dengan kain petelesan
sehingga hanya dari dada ke atas yang terbuka. Dulu Srintil sering mandi sambil
greyengan, sekarang dia mandi dengan tertib dan khidmat.
Citra seorang perempuan kebanyakan, itulah yang ingin digapai oleh Srintil sampai
kepada hal yang sekecil-kecilnya. Srintil sudah lama memikirkannya, lama sekali.
Tetapi baru di pancuran itulah dia melaksanakan dalam tindakan setelah Sakum
mengatakan dengan sungguh-sungguh bahwa Srintil sudah ditinggal indang
ronggeng. Atau bahkan sebenarnya sudah lama Srintil mempertanyakan kembali konsep
keperempuanannya yang sekian lama diyakini sebagai bagian dari kebenaran.
Bahwa keperempuanan berada pada piring timbangan yang satu dan piring
timbangan yang lain berisi kelelakian. Itu yang utama. Dan bahwa seorang
perempuan tertentu adalah istri lelaki tertentu adalah nomor dua. Dalam pengertian
ini Srintil merasa bangga menjadi ronggeng karena seorang ronggeng adalah
dinginnya air bagi panasnya api kelelakian. Dia adalah pemangku naluri kelelakian,
bukan hanya pemangku naluri seorang laki-laki. Urusan kelelakian seperti demikian
adanya jauh lebih luas daripada urusan seorang lelaki. Maka dulu Srintil berpendapat
tugas seorang ronggeng dalam kehidupan lebih mulia daripada tugas seorang istri.
81 Kemudian Srintil sendiri yang merasakan kepahitan sejarah hidup yang
ditempuhnya sebagai perempuan milik umum. Dia ingin membalik pengertian
semula; menjadi istri laki-laki tertentu adalah inti keberimbangan antara
keperempuanan dan kelelakian. Maka tugas seorang istri lebih mulia daripada tugas
seorang ronggeng. Dan pagi ini Srintil mendengar Sakum berkata bahwa dia bukan
lagi ronggeng. Pulang dari pancuran Srintil menengok Goder, ternyata masih tidur. Kemudian ke
dapur. Mulai pagi ini Srintil akan mengambil alih segala urusan dapur yang semula
diserahkan kepada neneknya, Nyai Sakarya. Seorang perempuan somahan adalah
perempuan yang mengerti dan mau mengurusi keperluan dapur. Srintil akan
melakukannya dengan segala senang hati.
Di pasar Dawuan Sakum menarik perhatian orang karena berbelanja buah-buahan
dalam jumlah yang banyak. Orang tidak percaya dari uang penjualan jangkrik
Sakum bisa berbelanja sebanyak itu. Biasanya Sakum hanya membeli sedikit minyak
kelapa, setengah botol minyak tanah, singkong, dan kelapa. Kali ini ada jeruk dan
pepaya. "Hayah, Kang Sakum," ujar Babah Gemuk dari tempat dagangannya,
"kamu belanja-belanja. Kamu banyak duit sekalang. Dapat nomel buntut, ya?"
"Buntut jangkrik, Bah?" Sakum balik bertanya dengan seloroh.
"Nomel buntut. Apa olang Dukuh Paluk tidak doyan buntutan?"
"Tidak, Bah. Orang Dukuh Paruk tidak punya uang."
"Nah, itu kamu belanja-belanja" Uang dali mana?"
"Ini Srintil yang titip, Bah. Kalau aku, mana punya uang."
82 "E, iya. Hayah. Slintil sudah lama tidak kelihatan
di pasal. Pagimana dia?"
"Apa tidak tahu Srintil baru pulang dari tahanan?"
"Saya tahu, saya tahu. Tetapi sekalang dia di lumah. Suluh kemali dia. Hayah. Saya
ada balang bagus-bagus. Ada pupul dali Palis, ada gincu dali Hong Kong, ada tas dali
Singapula. Hayah, banyak balang bagus."
"Ada jangklik dali Amelika!" jawab Sakum dengan tawa. Orang-orang yang
mendengar ikut tertawa. "Aku tidak main-main. Suluh Slintil datang kemali. Dia
masih cantik, kan?" "Cantik memang miliknya, Bah."
"Naaa. Apa aku kata. Katakan sama dia. Bila datang kemali ada hadiah dali Babah
Gemuk. He... he... he..."
"Tidak bisa, Bah. Srintil akan menerima tamu orang Jakarta. Yang kubawa ini jeruk
dan pepaya, akan digunakan Srintil untuk menyuguh tamunya." Sakum berlalu
menjinjing bawaannya yang berat.
Babah Gemuk sudah lupa apa yang terjadi beberapa detik berselang. Dia mulai
sibuk melayani pembeli. Tetapi para perempuan mulai berceloteh.
"Memang untung jadi orang cantik. Biar habis ditahan, biar tinggal dalam gubuk
terpencil di Dukuh Paruk, masih ada saja lelaki yang mencarinya. Tamu Srintil kali ini
malah orang Jakarta."
"Memang. Dan salahmu sendiri, Mbakyu, kenapa mau jadi orang tidak cantik. Bibir
bergantungan dan hidung seperti buah salak."
83 "Iya. Untung suamiku bodoh sehingga aku sempat melahirkan anak-anak."
"Suamimu tidak bodoh, Mbakyu. Dia hanya melarat. Coba kalau dia punya uang.
Pasti dia tidak sudi punya istri sampean."
"Lalu suamimu?"
"Dia suamiku bila di rumah. Bila di luar saya tidak tahu."
"Iya. Aku sebenarnya juga tidak tahu apa yang dilakukan suami di rumah selagi aku
di pasar begini. Tetapi aku tak pernah berpikir macam-macam. Aku tak mau sakit
menahun." "Dalam kehidupan ini, Mbakyu, ada perempuan-perempuan semacam Srintil. Entah
mengapa." "Iya, Boleh jadi enak jadi perempuan macam dia. Tidak pernah susah-susah bekerja
tetapi dapat uang." "Mbakyu iri, ya!"
"Kadang ya, kadang tidak. Iri bila sedang menghadapi kerepotan macam-macam
dan suami banyak tingkah. Tetapi tidak iri bila aku sedang sadar awak ini buruk.
Punya suami sudah untung!"
"Tetapi, Mbakyu, coba lihat tetangga kita penjual kain batik itu. Di pasar Dawuan ini
pasti dialah yang paling kewes, anak orang kaya pula. Suaminya, Mbakyu. Sudah
jelek, kerjanya cuma memikat burung perkutut. Kadang malah mengambil uang
istrinya buat berjudi. Mbakyu, sampean mau berkata apa tentang perempuan seperti
tetangga kita itu?" 84 "Gampang. Tentu saja dia perempuan bodoh. Karena dia tidak menyadari dirinya
yang bisa bersanding dengan laki-laki yang lebih pantas. Misalnya aku..."
"Mbakyu, kok keluarga mereka tenang saja?"
"Bila demikian maka yang diperlukan perempuan seperti itu hanya seorang lelaki
yang menjadi ayah anak-anaknya. Itu saja. Tetapi bagaimanapun juga suaminya
adalah lelaki asu buntung, mau enaknya saja!"
"Nah, Mbakyu. Bagaimana tentang seorang suami yang gagah, punya duit, tetapi
istrinya royal?" "Itu perempuannya yang asu buntung!"
"Wah! Jadi yang benar mana?"
"Yang benar" Ya kita ini. Kita memang buruk tetapi punya suami dan anak-anak.
Dan suami kita tidak nyeleweng karena mereka melarat. Lho iya! Kita beruntung
karena kita nrimo pandum."
"Jadi sampean tidak iri dengan Srintil?"
"Yah, tidak." "Tidak mengeluh karena sampean punya hidung seperti buah salak?"
"Hus!" Cekikikan yang renyah terdengar dari sudut pasar. Renyahnya kehidupan bersahaja
dan penuh kerelaan. Hidup ini dihayati seperti apa adanya.-bp-
85 *** Rasus bimbang ketika mendapat cuti tiga hari sebelum dia bersama batalionnya
diterbangkan ke Kalimantan Barat untuk bertugas disana . Hampir semua temannya
pulang kampung; yang sudah kawin pulang berpamitan kepada anak-istri, yang
masih bujangan pulang hendak minta restu kepada orang tua. Rasus sudah tidak
punya siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya mati termakan racun bongkrek ketika
Rasus masih sangat bocah. Nenek yang terpaksa berperan sebagai satu-satunya
orang tua sudah meninggal lebih dari dua tahun yang lalu.
Dalam suasana biasa sebetulnya Rasus sudah berhasil membangun simbol
pengganti orang tua. Untuk menentramkan hati kadang Rasus meyakinkan diri
bahwa orang tuanya adalah kehidupan di mana dia menjadi salah seorang warganya.
Kadang dia meyakini bahwa ayahnya bernama Divisi ke-7 Diponegoro dan ibunya
adalah Batalion PQR. Saudara-saudaranya adalah seragam hijau dan bedil bersama
amunisinya. Namun ketika melihat teman-temannya bertebaran pulang ke rumah
masing-masing, simbol yang dibangun sedikit demi sedikit mendadak mandul. Divisi
ke-7 Diponegoro dan batalionnya adalah orang tua yang baru dikenal sejak Rasus
masuk tentara. Dia tidak menyimpan kenangan masa lalu, masa kanak-kanak yang
penuh tawa dan tangis. Divisi dan batalion tidak menyediakan daun gadung buat
bermain layang-layang, tidak memberikan tanah teduh di bawah pohon nangka
sebagai arena bermain. Dukuh Paruk dan hanya Dukuh Paruk. Meski sudah tidak ada orang tua atau kakeknenek disana , namun Dukuh Paruk masih mengundang kerinduan. Dulu, demi
kesetiaan kepada Dukuh Paruk, Rasus rela dipukul komandan hingga pingsan. Demi
Dukuh Paruk, Rasus pernah menempuh risiko besar dengan menerobos masuk
rumah tahanan guna menemui seorang warga Dukuh Paruk yang sedang menjalani
pengucilan. Bahwa dia yang dikucil bernama Stintil tidaklah utama. Tanah airnya
yang kecil terpencil sudah diketahui Rasus dalam keadaan yang lebih merana. Bila
dia kembali ke sana Rasus bukan hanya akan bertemu kumbang tahi yang
beterbangan di pagi hari dan perut anak-anak yang cacingan. Rasus bukan hanya
akan bertemu dengan wajah-wajah yang pucat serta serapah cabul. Kini Dukuh
Paruk akan menyambutnya pula dengan atap-atap ilalang, kebisuan dan ketakutan
yang bersembunyi di balik mata orang-orang sepuaknya.
86 Tetapi Rasus merasa tak mampu ingkar bahwa Dukuh Paruk adalah ibunya yang
paling sah. Dukuh Paruk adalah sejarahnya sendiri yang paling pantas dibaca
kembali ketika dia mendapat cuti tiga hari. Ke sanalah Rasus sedang melangkah
setelah turun dari bus di Dawuan untuk berkangen-kangenan dengan pertiwinya
yang kecil. Rasus ingin melihat rahim yang telah melahirkannya sebelum berangkat
ke Kalimantan Barat entah untuk berapa lamanya.
Mencapai pematang panjang yang lurus menuju Dukuh Paruk, Rasus melihat
seorang laki-laki berjalan jauh di depan. Dalam jarak beberapa puluh meter Rasus
tidak bisa mengenali siapa laki-laki itu. Tetapi makin dekat makin kelihatan langkah
kaki laki-laki itu meraba-raba.
"Kang Sakum, tunggu!"
Sakum serta-merta menghentikan langkah. Ingatannya bekerja untuk mengenali
siapa pemilik suara yang memanggilnya. Laki-laki buta itu kelihatan ragu karena
sudah lama tidak mendengar getar suara seperti yang baru didengarnya.
"Kang Sakum! Dari mana kau?"
"Eh" Rasus, Mas Rasus?"
"Iya, Kang." "Waduh, Pak Tentara. sampean masih mau kembali ke Dukuh Paruk" Saya kira
sudah lupa karena sampean sudah jadi tentara."
"Ah, masa begitu. Kucing saja tak pernah lupa di mana dia dilahirkan, apalagi saya."
"Syukur, kalau begitu, Mas. Sejuk hati orang Dukuh Paruk bila sampean pulang.
Apalagi sekarang, Kang Sakarya sudah meninggal."
"Meninggal" Innalillahi. Kapan?"
87 "Hampir seratus hari."
Rasus menggelengkan kepala dan sejenak tak bisa meneruskan bicaranya. Dukuh
Paruk yang merana kini bahkan ditinggal oleh tetuanya.
"Dan sampean mendengar Srintii sudah kembali?" sambung Sakum.
"Oh, jadi begitu" Syukurlah. Bagaimana dia sekarang?"
"Bagaimana" Dulu sekali saya sudah bilang pada sampean. Ambillah dia menjadi
istri sampean. Nah, hari ini rupanya Srintil mau punya tamu. Katanya orang Jakarta.
Ini jeruk dan pepaya adalah titipan Srintil, saya kira untuk menjamu tamunya nanti."
"Oh, jadi begitu. Masih sering menerima tamu dia?"
"Tidak pernah, Mas. Kemarin dulu saya dengar ada tamu, juga orang dari Jakarta.
Tetapi Srintil tidak melayaninya. Kali ini entahlah. Pokoknya, ambil saja dia, Mas!"
Rasus tersenyum karena tak bisa menanggapi kata-kata Sakum. Digelengkan
kepalanya buat mengusir pikiran macam-macam. Lalu dipandangnya ruas-ruas
bambu yang dibawa Sakum. Ada jalan keluar untuk mengalihkan pembicaraan.
"Kamu berjualan jangkrik di pasar, Kang?"
"Lha iya. Untung anak-anak saya sudah pintar mencari jangkrik. Kalau tidak entah
apa jadinya. Calung tak ada lagi. Ronggeng juga tidak ada lagi. Srintil kini bukan
ronggeng. Dia sudah tidak mungkin kembali meronggeng. Indangnya sudah terbang.
Itu pasti. sampean lihat sendiri nanti, suara Srintil bukan suara ronggeng seperti
dulu. Mungkin juga perilakunya. Aku kan tidak bisa melihatnya. Sekarang ini aku tak
pernah mendengar Srintil tertawa. Apalagi tembang ronggeng. Oh, kini tak ada
orang Dukuh Paruk yang berani bertembang lagu-lagu ronggeng."
88 Sakum terus berbicara seakan ingin mengatakan segalanya tentang Dukuh Paruk,
tentang Srintil. Tentang keris Kiai Jaran Guyang yang sudah lenyap. Keris itu yang
suatu ketika diserahkan oleh Rasus kepada Srintil ternyata adalah pusaka para
ronggeng Dukuh Paruk dari kurun ke kurun.
Ketika pembicaraan Sakum sampai kepada masalah Kiai Jaran Guyang ada
kenangan menyentak masuk ke dalam hati Rasus. Dulu, keris itu diberikan Rasus
kepada Srintil sebagai pernyataan kedekatan antara dua bocah Dukuh Paruk. Ketika
itu Srintil yang baru menapaki pintu dunia ronggeng adalah segalanya bagi Rasus.
Dia bukan hanya teman bermain. Pada diri Srintil, Rasus melihat bayang-bayang
Emak yang tidak pernah dilihatnya sepanjang hidup. Emak yang lenyap entah ke
mana sesudah dirawat di sebuah klinik setelah termakan racun tempe bongkrek.
Emak yang mati kemudian mayatnya dicincang-cincang dalam suatu upaya
penyelidikan racun bongkrek, atau Emak yang sembuh dan hidup tetapi kemudian
dibawa lari oleh mantri yang merawatnya entah ke mana. Kedua versi cerita sama
baurnya. Kedua-duanya dahulu membuat kekacauan luar biasa dalam jiwa Rasus
muda; mala petaka jiwa yang hanya tawar oleh sosok dan perilaku Srintil. Kemudian
jiwa Rasus mendapat bencana buat kali kedua setelah Dukuh Paruk menobatkan
Srintil menjadi ronggeng, perempuan milik semua laki-laki. Rasus tak mungkin bisa
melihat bayang-bayang emaknya pada diri seorang ronggeng. Rasus yang hancur
minggat meninggalkan Dukuh Paruk karena dia merasa tak punya dunia lagi di sana.
Srintil yang menjadi ronggeng adalah Srintil yang berdaulat atas dunianya sendiri
dan terhalang oleh jarak psikologis yang Rasus amat sulit menembusnya.
"Eh. sampean diam saja, Pak Tentara?"
"Ah, tidak, Kang. Ayolah kita terus. Aku sudah ingin segera sampai ke Dukuh
Paruk." Di rumahnya yang bertiang delapan potong bambu Srintil sudah kehabisan
pekerjaan. Dapur sudah beres namun dia sungguh tidak ingin makan. Halaman
sekitar rumah sudah disapu. Meja kursi bersahaja yang di sana-sini tersisa bekas
terbakar sudah dilap. Neneknya sedang pergi ke rumah Tampi, menitipkan Goder.
Seorang diri di rumah, Srintil berjalan hilir-mudik tak menentu. Kadang duduk
sebentar lalu bangkit lagi. Beberapa kali Srintil menatap wajah sendiri dalam sebuah
cermin kecil. Dia ingin selalu yakin bahwa bedak dan gincunya tidak berlebihan agar
tidak dikatakan mirip ronggeng. Sanggulnya ditata meniru sanggul istri Kapten
Mortir yang telah beberapa kali dilihatnya. Istri perwira itu cantik sekali, amat serasi
bila sedang berjalan berdampingan dengan suaminya. Cara memakai kain pun
meniru istri Kapten Mortir, tidak menyolok dalam hal pamer bentuk tubuh. Rapi.
89 Srintil meninggalkan cara lama, memakai kain tinggi-tinggi agar betisnya berperan
sebagai pemikat mata lelaki.
Setiap kali mata Srintil menatap lorong yang akan dilalui Sakum pulang dari pasar.
Ketinggian matahari makin menggelisahkan hatinya. Dan Sakum tidak kunjung
pulang. Apakah si buta itu terperosok ke dalam selokan" Atau celaka terlindas
andong" Akhirnya Srintil duduk, pasrah dan rela menunggu apa saja yang paling
pertama akan terjadi. Tetapi baru sejenak duduk Srintil mendengar heboh anakanak Sakum yang menyambut ayah mereka pulang. Srintil bangkit. Dan duh,
Pengeran, siapa tentara yang berjalan di samping Sakum. Darah Srintit lenyap dari
permukaan kulit. Matanya berkunang-kunang. Kesadaran pertama yang memercik
dalam hati Srintil adalah dirinya akan kembali ditahan. Tentara itu datang untuk
mengambilnya. Tetapi mata Srintil terbuka lebar ketika melihat tentara itu berlaku amat santun
terhadap anak-anak Sakum. Duh, Pengeran, Rasus. Tidak bisa salah anak kambing
yang liar itu datang. Srintil berhenti bernapas, berdiri tanpa gerak. Wajahnya
tegang. Matanya tak berkedip dan kedua tungkainya bergetar. Kemudian Srintil
duduk kembali. Lemas. Pipinya bernoda garis basah dan turun sejajar.
Duh, Gusti. Srintil melihat tanpa daya Rasus yang berjalan gagah tetapi hanya
menoleh sejenak ke arah gubuknya. Jeruji bambu menghalang pandangan Rasus


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas seorang perempuan muda yang sedang duduk lemas. Atau Rasus sengaja tidak
ingin melihatku" Duh, Gusti.
Tidak jauh dari rumah Srintil, Rasus disergap oleh suami-istri Kartareja. Oh, mereka
kangen-kangenan dengan mesra. Nyai Kartareja menepuk-nepuk pundak Rasus.
"Eh, lha, Cucuku Wong Bagus. Tambah gagah saja sampean ini. Mari singgah dulu."
"Ya," sambung Kartareja. "Lagi pula mau ke mana lagi. Nenekmu sudah mati. Malah
gubuknya hampir roboh."
Rasus tercengang. Tetapi sesaat kemudian dia tersenyum, tawar. Langkahnya tidak
gagah lagi ketika Rasus meneruskan perjalanan.
"Nanti aku akan kemari lagi. Sekarang aku mau melihat gubuk Nenek, gubukku."
90 Semua mata di Dukuh Paruk menatap ke sana ketika Rasus berjalan makin lambat
dan kemudian berhenti di depan gubuk neneknya. Dia tidak segera masuk.
Ditatapnya gubuk itu sambil termangu. Atapnya sudah tertutup daun-daun bambu
yang jatuh dan mengering lalu melapuk. Ada beringin kecil mulai tumbuh di pinggir
atap, akarnya seakan siap meremas keseluruhan gubuk yang sudah condong itu.
Galur rumah rayap naik dari tanah sampai ke bubungan. Dinding bambunya yang
sudah bolong di sana-sini tersaput hijau lumut.
Pintu dorongan berderak patah ketika Rasus menyorongnya agar terbuka. Rumah
rayap berhamburan jatuh. Rasus harus menyipitkan mata agar tanah dan serpihserpih kecil tidak melumpuhkan pandangannya. Lantai rumah hijau oleh lumut serta
berlubang-lubang oleh gangsir yang bersarang. Seekor si kaki seribu berjalan lambat
di dekat tiang kayu yang mulai ringsek. Rasus membersihkan muka yang terjaring
ramat ketika melangkah masuk.
Sebuah dunia kecil telah lama berakhir dan kini tinggal remahnya. Sebuah lincak
yang dulu menjadi tempat tidur Rasus pun kini telah menjadi remah. Di atas
pelupuhnya bertaburan segala tahi, dari tahi ngengat, tahi cicak sampai tahi tikus.
Rasus mencoba membersihkannya dengan topi lapangan yang bertengger di kepala.
Tidak bisa bersih sempurna, namun Rasus menurunkan ransel untuk diletakkan di
atas lincak itu yang berderik hebat ketika Rasus menindih dengan tubuhnya.
Berbantal ransel Rasus berbaring menengadah. Matanya tertutup seakan tak kuasa
lebih lama menatap sarang tua yang lebih lima belas tahun dihuninya, rahim yang
telah menetaskannya menjadi warga kehidupan. Ada keresek kadal lari di atas atap
yang penuh sampah kering. Sesaat kemudian terdengar kegaduban di kayu
bubungan. Seekor tikus mencicit dan sia-sia membebaskan diri dari gigitan ular ubi
yang mulai menggulungnya.
Rasus terus memejamkan mata. Boleh jadi demi menahan tetes air matanya. Atau
demi seribu kenangan yang hidup kembali dengan jelasnya. Mungkin juga demi
ingatannya kepada Srintil yang mendadak muncul di depan mata. Kemarin ketika
berangkat dari tempat tugasnya Rasus tidak menduga akan bertemu Srintil di Dukuh
Paruk karena menyangka dia masih dalam tahanan.
Anak-anak merasa heran ada tentara masuk bahkan tiduran di dalam gubuk
suwung. Mereka datang dan berdiri berkeliling di halaman, berbisik-bisik dan ada
yang mengintip ke dalam. Tetapi anak Sakum, yang terbesar di antara belasan anak
itu dengan bangga menerangkan kepada teman-temannya siapa tentara yang
91 berada di dalam itu. Semua tercengang hampir tak percaya bahwa Rasus sama
seperti mereka, anak Dukuh Paruk yang sebenar-benarnya.
"Jadi Pak Tentara itu saudara kita juga. Dulu, inilah rumahnya," kata anak Sakum.
Wajah semua anak berseri-seri.
Beruntung Rasus mendengar cakap anak-anak itu sehingga pikiran yang sedang
mengawang perlahan-lahan mengendap kembali. Ya, anak-anak. Kasihan mereka
tidak mengenal siapa aku, pikir Rasus. Dia bangun lalu berjalan ke luar dengan
senyum. Tetapi semua anak hendak berlari dan baru berhenti ketika Rasus
memanggil mereka berulang-ulang. "Kemarilah, Anak-anak. Aku ingin bicara dengan
kalian." Anak-anak berhimpun kembali. Dengan canggung mereka berbalik berjalan
mendekati Rasus. Namun Rasus sendiri bimbang hendak berbicara tentang apa
dengan anak-anak yang bertelanjang badan itu.
"Ah, begini, Anak-anak. Sekarang sedang musim permainan apa?"
Tak ada yang menjawab. Tetapi seorang anak yang memegang layang-layang daun
gadung menggerakkan tangannya.
"Ya, sekarang kemarau. Kalian suka main layang-layang?"
"Ya, Pak." Rasus menghitung anak-anak itu. Lelaki ada delapan, perempuan tiga. Anak lelaki
yang paling besar disuruh maju.
"Kamu lari ke Dawuan membeli delapan layang-layang dengan benangnya. Ini uang.
Kalian yang perempuan suka main apa?"
Tak ada jawaban. 92 "Baik. Kalian boleh bermain bola karet. Belilah tiga buah, ini uangnya."
Ada kegembiraan luar biasa di halaman gubuk kosong itu. Anak-anak perempuan
lari berlompatan setelah menerima uang dari tangan Rasus. Yang laki-laki
berjingkrakan karena sebentar lagi mereka akan memiliki sebuah layang-layang
kertas, bukan layang-layang daun gadung yang bertali rami batang pisang. Rasus
masuk ke gubuk dan mengambil pisau tentara dari dalam ransel.
"Mari, Anak-anak, aku pun masih suka bermain. Lihatlah."
Mata Rasus berkeliling mencari bahan sasaran. Sebuah batang pisang kepok.
Pisaunya dilempar ke sana, menghunjam masuk sampai ke gagangnya. Mata anakanak terbeliak. Mulut mereka membentuk bulatan. Sedetik kemudian sorak-sorai
mereka meledak. Rasus mengulang permainannya beberapa kali lagi. Kadang dia
melemparkan pisaunya setelah lebih dulu membuat gerakan jungkir balik di udara.
Anak-anak kelihatan menahan napas. Mereka sulit percaya balawa tentara yang
tangkas itu benar-benar orang Dukuh Paruk. Terakhir Rasus memegang pisau pada
ujungnya lalu menjatuhkannya lurus ke tanah. Pada saat terakhir kakinya mengayun
menendang gagang pisau itu dengan sepatunya. Sekali lagi batang pisang kepok di
sana merasakan tusukan yang keras dan jitu. Kali ini anak-anak membisu. Mulut
mereka terkunci oleh rasa kagum. Anak-anak meminta Rasus meneruskan
permainannya. Namun dengan halus Rasus menolak. Tiba-tiba saja semangatnya
jatuh. Rasus teringat seorang teman yang pernah bermain pisau seperti itu. Bedanya
bukan batang pisang yang dijadikan sasaran, melainkan seorang manusia yang
terikat kedua tangannya. Rasus memejamkan mata tanpa dimengerti oleh anakanak yang mengelilinginya.
Anak Sakum yang berlari ke pasar Dawuan untuk membeli layang-layang telah
kembali. Delapan layangan lengkap dengan benangnya diserahkan kepada Rasus.
"Bagi saja, seorang satu."
Rasus melepas sepatu dan bajunya lalu menggiring anak-anak ke sawah di utara
pedukuhan. Angin kemarau bertiup dari tenggara, mengapungkan delapan layanglayang aneka warna tinggi di udara. Kegembiraan siang itu adalah ceria yang sudah
sekian lama tidak terjadi di Dukuh Paruk. Rasus sendiri tidak ikut turun ke sawah.
Dia berdiri bersilang tangan di tepi dukuh, menatap anak-anak dengan wajah
berseri, menatap bagian masa lalunya yang paling mengesankan.
93 Satu-satu orang dewasa berdatangan, berdiri mengelilingi Rasus. Mereka terlarut
dalam kekangenan dan keakraban yang menyatu ditambah dengan ceria anak-anak
yang sedang bermain layang-layang di tengah sawah. Lama-kelamaan hampir
semua orang Dukuh Paruk muncul di tepi pedukuhan itu. Dalam diam dan dengan
pandangan mata mereka menyatakan bangga mempunyai Rasus yang masih tetap
berhati Dukuh Paruk, terbukti dengan keakrabannya yang tanpa cela terhadap anakanak itu.
Rasus memutar tubuh membelakangi sawah agar bisa melayani percakapan orangorang sepuaknya. Dan dia tidak melihat Srintil. Hati ingin bertanya di mana dia,
tetapi bibirnya tak mau bicara. Rasus hanya bisa menduga-duga, Srintil sedang
menerima tamunya, orang Jakarta. Siapa tahu.
Tidak. Srintil masih duduk seorang diri. Dia sedang merasakan perihnya hati yang
terbelah, ditarik oleh dua kekuatan yang saling berlawanan arah. Dari balik dinding
berjeruji bambu Srintil melihat orang-orang yang berjalan hendak menemui Rasus.
Bahkan sesudah menggeser kursinya Srintil dapat melihat Rasus sedang dikerumuni
oleh orang-orang Dukuh Paruk. Di antara semua warga Dukuh Paruk akulah yang
mempunyai catatan paling pribadi tentang Rasus. Dan mudah-mudahan dia pun
tidak menghapus catatan itu di hatinya. Tetapi mengapa aku tetap di sini"
Sudah beberapa kali Srintil mencoba melepaskan diri dari kungkungan khayali agar
dapat segera lari menjelang Rasus. Namun setiap kali hendak bangkit rasa takut
menghenyakkannya kembali ke kursi. Diketahuinya Sakum telah mengatakan
banyak hal kepada Rasus. Dan dia sudah tahu bahwa hari ini atau besok akan
datang seseorang dari Jakarta ke rumah Srintil. Dalam kebimbangan hati Srintil
sadar bahwa tanpa sengaja telah tercipta jarak tertentu antara dirinya dengan Rasus
justru ketika keduanya sangat berdekatan.
Mengapa dalam kehidupan ini sering terjadi letupan di luar kendali kesadaran ketika
suatu ketegangan telah mencapai titik kritisnya. Seperti letupan polong orok-orok
kering menyebar biji, begitu mendadak sehingga sulit diterka waktunya secara tepat.
Tiba-tiba sebuah motivasi praktis menggugah Srintil bangkit. Entah kapan lagi aku
dapat melihat anak liar itu kembali ke Dukuh Paruk. Aku harus menemuinya,
sekarang! Srintil berdiri diam sejenak. Matanya mengambang dan bibirnya lurus rapat.
Kemudian dia bergerak setengah berlari menuju orang-orang yang sedang
mengerumuni Rasus. Beberapa pasang mata melihat kedatangannya. Beberapa
mulut siap berkata sesuatu namun semuanya hanya berhenti sampai pada niat.
94 Tentang sejarah hubungan antara Srintil dan Rasus, Dukuh Paruk sudah
mengetahuinya. Bukan hanya tahu sosok lahir serta sifat hubungan itu, melainkan
sampai pada rohnya. Dulu sebagian nilai Dukuh Paruk tidak menghendaki hubungan
terjadi lebih lanjut antara Srintil dan Rasus karena perkawinan antara keduanya
akan membahayakan sendi utama kehidupan pedukuhan itu: ronggeng.
Kini zaman telah membawa perubahan besar. Dukuh Paruk baru saja dihukum oleh
sejarah sehingga kini dalam keadaan yang paling kocar-kacir. Dukuh Paruk telah
kehilangan harga dirinya, kebanggaannya dan kamituanya. Dalam keguncangan
seperti ini Dukuh Paruk hanya mempunyai sisa harapan pada Rasus. Dia tentara,
dengan demikian sangat dekat dengan kekuasaan. Atau dalam wawasan Dukuh
Paruk tentara adalah kekuasaan itu sendiri. Maka Rasus yang tentara adalah
harapan perlindungan, dan panutan. Dan Rasus hanya bisa memenuhi harapan itu
bila dia tetap tinggal di Dukuh Paruk. Kunci utamanya terletak pada kesetiaan Rasus
kepada tanah airnya yang kecil itu.
Semua orang diam menunggu adakah pertanda kesetiaan Rasus terhadap Dukuh
Paruk. Sikapnya terhadap Srintil adalah sasmita yang paling sah untuk mengukur
sampai di mana rasa senasib-sepenanggungan Rasus terhadap puaknya yang sedang
berada dalam puncak kesengsaraan. Karena Srintil adalah titik yang paling layak
untuk menambat agar Rasus tetap berada di Dukuh Paruk untuk dijadikan pelindung
dan pengayoman. Jelas sekali Rasus tidak siap berhadapan dengan Srintil. Dia kelihatan gugup melihat
Srintil yang melangkah makin dekat dengan mata sayu dan mulut sedikit terbuka.
Tetapi tiba-tiba Srintil mengubah arah jalannya. Dia membelok menyerbu Tampi.
Goder yang sedang berada di punggung Tampi didaulat kemudian dipeluknya eraterat. Tangisnya tertahan-tahan.
Rasus tahu, Srintil tahu, semua orang tahu makna bahasa suasana. Tanpa sepotong
kata pun semua mengerti siapa mengharap, siapa diharap, dan buat apa harapan.
Mereka juga menyadari Srintil adalah duta Dukuh Paruk yang memikul tugas
mempertahankan putra terbaiknya agar sebisa-bisa tidak pergi lagi meninggalkan
puak. Dukuh Paruk sangat berharap kedua anak kesayangannya bermanis-manis lagi
seperti ketika keduanya masih amat belia. Dan Dukuh Paruk sangat yakin Srintil
lebih dari berkelayakan menjadi istri Rasus.
Sebuah rapat akbar yang penuh makna tetapi berlangsung bisu. Hanya ada pundakpundak kaum telaki yang jatuh, serta kaum perempuan yang mengusap mata. Rasus
yang berdiri beku dan Srintil yang terus mengisak sambil merapatkan Goder ke
dadanya. Dukuh Paruk diam menanti peruntungan. Orangnya satu per satu pergi
meninggalkan Srintil dan Rasus. Mereka ingin membantu proses lahirnya sebuah
harapan dengan menciptakan suasana pribadi bagi dua anak manusia yang didamba
95 mampu dan mau memangku kelestarian Dukuh Paruk. Orang Dukuh Paruk kemudian
melihat dengan perhatian penuh ketika akhirnya Rasus bergerak. Srintil dibimbing
pada pundaknya. Keduanya berjalan lambat-lambat menuju rumah Srintil. Mulut
mereka lestari rapat. Sampai di rumah Rasus mendudukkan Srintil di atas lincak. Dia sendiri mengambil
kursi lalu menjatuhkan diri tanpa semangat. Diperhatikannya Srintil yang masih
sibuk dengan air matanya. Sosoknya yang sudah matang sempurna, cambang halus
yang menghias kedua tepi pipinya, masih seperti delapan tahun yang lalu ketika
Srintil baru enam belas tahun. Ketika itu beberapa malam Srintil dan Rasus tidur
bersama di rumah Nenek yang kini sudah menjadi gubuk doyong. Srintil juga masih
ingat betul waktu itu suatu pagi dia mendapati Rasus telah lenyap tanpa pamit.
Serpih-serpih kenangan yang melintas bersama dalam hati Srintil dan Rasus malah
membuat keduanya makin tenggelam dalam diam. Boleh jadi kebisuan makin
berkepanjangan bila Nyai Sakarya tidak muncul dari dalam.
"Kudengar si Rasus datang. Kaukah itu, Wong Bagus?"
"Ah, ya, Nek. Aku Rasus."
"Mataku tidak awas lagi. Kau baik-baik saja?"
"Beginilah, Nek. Aku sehat sehingga bisa kembali melihat Dukuh Paruk."
"Mestinya kamu sudah gagah sekarang. Sudah punya istri?"
"Ah, Nek. Belum. Aku belum bertemu jodoh rupanya."
"Bukan begitu, Wong Bagus. Kamu hanya tidak nrimo pandum. Sejak kanak-kanak
kamu sudah dipertemukan dengan jodohmu. Dukuh Paruk sudah memberikan
pertanda Srintil adalah jodohmu. Dan kamu tidak menyukai pepesthen ini?"
96 "Nek!..." Srintil bangkit hendak menghentikan ucapan Nyai Sakarya. Namun gerakannya
terhenti pada sikap setengah berdiri. Lalu duduk lagi dan tersedu lagi. Rasus pun
terkejut sehingga sukar baginya menanggapi ucapan Nyai Sakarya. Dia hanya
tercengang, menatap wajah nenek Srintil itu dengan mata tak berkedip. Rasus
merasa seperti seekor laron yang terbang menabrak ramat laba-laba. Tidak. Rasus
merasa seperti burung yang hinggap di atas cabang berlumur getah keluwih. Ah,
tidak juga. Dia merasa seperti seorang anak yang berjingkat-jingkat membuat jalan
pintas melalui kebun orang untuk menghindari jalan memutar yang lebih panjang.
Tetapi tiba-tiba si empunya kebun menegurnya dari belakang dengan senyum sambil
menunjukkan jalan benar yang harus ditempuhnya.
"Eh, Cucuku Wong Bagus dan Wong Ayu. Aku hanya mengutarakan perasaan
seorang nenek tua. Rasa, Cucuku. Memang, rasanya kalian sudah diperjodohkan
oleh Dukuh Paruk sendiri. Namun hendaknya kalian jangan salah mengerti. Sebab
ternyata dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak menyukai pandum."
"Nek, sudahlah. Aku malu, Nek," ujar Srintil di antara isaknya. "Lebih baik, Nek,
tolong antarkan Goder ini ke rumah Tampi."
Nyai Sakarya menurut lalu mengambil Goder dari tangan Srintil. Wajahnya tenang
sempurna, tak terlihat kesan dia baru saja berkata tentang perkara yang dalam
sehingga mengguncang dua hati manusia. Rasus masih diam. Mata dan garis-garis
wajahnya adalah gambar kebuntuan. Duduknya gelisah.
"Kang, maafkan nenekku, ya," kata Srintil lirih sekali. "Nenekku sudah tua sekali
sehingga dia lupa bahwa seorang seperti aku ini harus gedhe rumangsane harus
tahu diri. Berangan yang bukan-bukan sungguh memalukan. Kang, aku malu
kepadamu." Rasus menggeleng-gelengkan kepala tanpa makna yang jelas. Senyumnya sama
dengan gambar keseluruhan wajahnya; kebuntuan. Dan boleh jadi Rasus tidak sadar
sepenuhnya ketika dia bergumam,
"Persoalannya hanya karena sampai hari ini aku belum pernah memikirkan tentang
kawin, dan tentang siapa yang mungkin akan kukawini. Bahkan tentang dirimu, Srin.
Aku baru tahu bahwa kau sudah kembali karena Kang Sakum mengatakannya
kepadaku tadi pagi."
97 "Ya, Kang. Aku pun tidak akan berani berkhayal bahwa diriku bisa menjadi alasan
kepulanganmu kemari. Sekarang ini apalah arti diriku, Kang."
"Ah, Srin. Sesungguhnya kau tak perlu terus berkata dengan nada seperti itu.
Zaman memang selalu berubah-ubah. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Lebih baik
kita bersyukur. Kita selamat dan kita sudah kembali ke rumah sendiri. Kemudian,
Srin, aku minta diri. Aku belum mandi sejak kemarin sore."
"Kang?" "Aku masih sehari dan semalam di sini."
"Kang, nanti dulu. Aku punya jeruk dan pepaya."
"Jangan, jangan. Aku sudah tahu engkau punya jeruk dan pepaya. Tetapi aku mau
mandi sekarang. Ke pancuran."
'Jeruk dan pepaya' malah membuat Srintil sulit berkata-kata. Dia hanya mampu
membuka mulut ketika melihat Rasus melangkahi pintu. Pundaknya yang kokoh
amat berkesan di hati Srintil.
"Kapan kau kemari lagi, Kang?"
Rasus tak menjawab. Menoleh pun tidak. Dia sudah didaulat oleh Kartareja dan
istrinya. Ada puting beliung berkisar-kisar dalam dada Srintil, runcing dan menukik
menusuk jantungnya. Duh, Pangeran, kehidupan ini penuh manusia. Tetapi mengapa
aku tinggal seorang diri"
Sementara Srintil masuk dan menelungkupkan diri di kamar, Rasus berjalan sambil
menunduk menuju gubuk doyong. Sampai di halaman lagi-lagi Rasus berdiri buat
menatap bekas sarangnya di masa kanak-kanak. Lalu masuk. Hanya dengan
ketrampilan yang khas maka pintu gubuk itu tidak roboh ketika dibuka.


Jentera Bianglala Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

98 Dikeluarkannya perlengkapan mandi dari dalam ransel kemudian Rasus keluar
menuju pancuran. Keadaannya masih utuh seperti dulu ketika Rasus mandi di pancuran itu sehari
sekali, ketika sebagai anak-anak dia mulai belajar membedakan tubuh lelaki dan
tubuh perempuan. Juga masih seperti dulu bila kemarau pancuran mengecil tetapi
lebih bening. Batu besar dan pipih yang menjadi penumpu air pancuran mungkin tak
tergeser semili pun. Air yang jatuh merupakan batang kristal lengkung. Tepat di
permukaan batu kristal itu pecah menjadi ribuan percik air yang melompat divergen.
Dan sinar matahari yang menembus celah pepohonan jatuh di atas ribuan percik lalu
terbias menjadi bianglala.
Sayang jiwa Rasus berada dalam keadaan kurang peka terhadap keindahan di
pancuran. Dia hanya ingin membersihkan diri dari daki yang membuat badannya
terasa kurang segar. Ketika pulang ke gubuk Rasus melihat Nyai Kartareja sudah di
sana. Ada dua piring, satu berisi nasi dan yang lain lauknya.
"Bila pulang ke Dukuh Paruk jangan khawatir soal makan. Sudah ada yang siap
olah-olah, ngumbah-umbah, dan melumah. He... he. Ah, maafkan saya. Ini ada
kiriman dari Srintil. Hanya dia yang sampai saat ini mampu menanak nasi. Dan
jangan takut, karena tak ada apa-apanya. Aku tidak menaruh pekasih di situ."
"Ada pekasihnya pun akan saya makan, Nyai. Aku memang sudah lapar."
"Nah Srintil akan berhenti menangis bila sampean mau makan. Silakan. Aku mau
mengambil airnya." Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cepat dan
girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada pelepah pisang di halaman.
Baju dan celananya diganti, dan menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas
tanah dekat lincak. Rasus bersembahyang.
Nyai Kartareja datang lagi bukan hanya membawa gelas dan teko, melainkan juga
jeruk dan pepaya yang sudah dikupas.
"Yang ini juga tidak saya guna-gunai, dan Srintil akan menangis lagi bila sampean
tak man memakannya."
99 "Nasi dan lauknya akan saya makan dengan segala senang hati. Tetapi jeruk dan
pepaya akan saya makan dengan sungkan."
"Ah, aku tahu. Memang Srintil membeli buah-buahan ini semula bukan untuk
sampean. Nah, soalnya dia tidak tahu sampean mau pulang hari ini. Bila tahu bisa
jadi Srintil bahkan membeli juga sate dan gulai kambing khusus buat sampean.
Siapa pun lainnya tidak lagi penting, tidak juga bakal tamunya orang Jakarta itu."
"Kau memang pintar bicara, Nyai. Baiklah. Sekarang kembalilah ke rumah Srintil.
Katakan kepadanya aku sangat berterima kasih."
Anak-anak masih bersuka-ria dengan permainan yang selama hidup baru mereka
miliki, layang-layang kertas. Rasus seorang diri jongkok memperhatikan anak-anak
Dukuh Paruk yang sedang menikmati kegembiraan. Badannya terasa segar sesudah
mandi, apalagi dengan perut berisi sepiring nasi dan buah-buahan. Kegembiraan di
tengah sawah mengimbas ke dalam hati Rasus; dia tersenyum bila melihat anakanak bertingkah lucu karena riang. Kepala Rasus kadang memiring ke kiri atau ke
kanan mengikuti lenggang-lenggok layangan di angkasa. Apabila angin mereda
anak-anak tanpa aba-aba serempak berseru, simpe-simpe undangna barat gedhe,
tak upahi banyu tape, ora entong nggo mengke. Iramanya tinggi dan datar. Karena
anak-anak itu berseru berulang-ulang bibir Rasus komat-kamit mengikuti paduan
suara. Ketika tersadar Rasus tersenyum. Lucu, seorang tentara merasa terlalu jauh
masuk kembali ke dalam dunia anak-anak.
Rasus bangkit lalu berjalan ke barat tanpa tujuan yang pasti. Matanya menangkap
tiga titik yang bergerak sepanjang pematang yang menuju Dukuh Paruk. Makin lama
ketiga titik itu jelas menjadi sosok manusia. Yang terdepan mengenakan topi helm,
baju dan celananya berwarna terang. Dua yang di belakang masing-masing memakai
topi lapangan, berjaket. Sekilas Rasus bisa memastikan mereka adalah orang luar.
Dan sekilas pula Rasus menduga mereka adalah laki-laki yang akan bertamu ke
rumah Srintil. Dalam hati Rasus terasa ada garis batas hegemoni yang terlangkahi.
Ada batas keakuan Dukuh Paruk yang terlintasi; suatu dorongan primitif yang
mengusik harga diri seperti seekor binatang yang siap berlaga ketika wilayah
pribadinya dijamah binatang lain. Lama sekali Rasus berdiri tegang, matanya
menatap tajam ke depan. Napasnya makin pendek ketika kepastian makin jelas
bahwa ketiga laki-laki itu menuju ke rumah Srintil. Tubuh Rasus bergoyang ingin
bergerak ke depan. Tetapi tiba-tiba Rasus berbalik dan berjalan setengah berlari
menuju sawah. Diambilnya tali layang-layang dari tangan seorang anak, lalu
memainkannya penuh semangat. Kebimbangannya adalah lenggang-lenggok
delapan layang-layang yang meliuk-liuk tinggi di angkasa. Anak-anak bersorai riuh.
Rasus tersenyum. Senyum paling sulit yang dia lakukan selama dua puluh enam
tahun usianya. 100 Bajus datang bersama Tamir dan Diding. Dengan datang bertiga Bajus ingin
memberi tekanan kepada kata-katanya sendiri kemarin bahwa dia hanya ingin
berkenalan dengan Srintil. Tamir yang mengucap salam dibalas oleh Nyai Sakarya.
Dari dalam biliknya Srintil mendengar percakapan di luar. Dan tahu tamunya telah
datang. Bantal dipeluknya makin erat dan tubuhnya makin menyatu dengan tikar
pandan. Suara Nyai Sakarya terdengar galau di telinganya.
"Wong Ayu, bangun. Tamumu sudah datang." Srintil hanya menggerak-gerakkan
kakinya. "Bangun, Cucuku. Itu lho, mereka sudah duduk di depan."
Terdengar keluh tertahan ketika Srintil menggeliat dan duduk di pinggir balai-balai.
Matanya merah menatap kosong ke depan. Tanpa merapikan rambut yang tergerai
ke depan Srintil berdiri dan melangkah. Geraknya seperti didorong oleh kekuatan di
luar dirinya. Di depan ketiga orang tamunya Srintil berusaha tersenyum. Tetapi tiga
laki-laki itu pertama-tama menyambutnya dengan kernyitan alis. Mereka
memperoleh kesan kuat, Srintil tidak siap menerima tamu.
"Selamat datang, Pak Bajus. Juga sampean berdua," suara Srintil parau.
"Terima kasih. Ah, tetapi nanti dulu. Engkau pucat sekali. Sakit?" kata Bajus.
"Hanya kurang enak badan, Pak. Boleh jadi karena kemarin saya berpanasan ketika
pulang dari balai desa."
"Tetapi kamu sakit," kata Bajus sambil menyender ke belakang. Terlihat kesan dia
kecewa. "Begini, Pak," sela Tamir. "Nanti kita sekalian singgah ke dokter agar Mbakyu ini
bisa berobat." Diam. Bajus mengangguk-angguk kosong. Srintil kelihatan bingung mendengar
ucapan Tamir. Dia merasa ada sebuah rencana yang melibatkan dirinya telah
disusun oleh Bajus dan kedua temannya.
101 "Sebetulnya, Srin. Kami bertiga ingin mengajakmu berjalan-jalan ke kota Elingeling. Mobilku cukup buat kita berempat."
"Ah, Pak..." "Hanya berjalan-jalan. Atau nonton film bila kamu suka. Kamu percaya akan katakataku kemarin, bukan?"
"Yang bagaimana, Pak" Oh ya, aku ingat."
"Ya. Aku tidak bermaksud berbuat yang macam-macam. Bukan seperti Tamir ketika
datang kemari beberapa hari yang lalu. Tengik dia. Tetapi bila bersamaku dia harus
jinak." "Benar, Mbakyu. Maafkan saya yang sembrono kemarin. Sekarang saya sudah
jinak." "Terima kasih, Pak. Tetapi Bapak melihat sendiri saya tidak mungkin pergi."
"Maksudku, bagaimana bila kita sekalian mampir berobat?"
"Maaf, saya tidak biasa minum obat. Saya biasa minum jamu."
"Nah, kita ke depot jamu," ujar Tamir.
"Tidak. Biarlah saya sendiri besok membelinya di pasar Dawuan. Badanku sungguh
terasa tidak enak. Bila pergi jauh-jauh saya khawatir akan menjadi sakit sungguhsungguh."
102 "Yah, bagaimanapun juga Srintil memang benar," kata Bajus. "Memang dia tidak
sehat. Jadi kita tidak usah pergi ke mana pun. Kita ngobrol saja di sini."
Tamir nyengir, senyumnya pahit. Srintil juga tersenyum namun hanya kedua sudut
bibirnya yang meruncing. "Nanti sajalah bila semuanya baik, kita bisa pergi ke pantai selatan atau nonton.
Kamu mau bukan, Srin?"
"Anu, Pak. Entahlah. Saya takut. Ah, orang seperti saya ini harus tenang di rumah.
Rumangsa!" "Aku sudah mengerti mengapa demikian perasaanmu. Tetapi rasanya kamu tak
perlu memperturutkan perasaan itu. Apalagi takut. Dan tentang perkenalanku
dengan kamu secara tidak langsung aku sudah memberi tahu kepada camat dan
polisi. Sudahlah, pokoknya aku tidak ingin membuatmu mendapat kesulitan apa
pun." "Setuju, Pak. Nah, sekarang, ketika Mbakyu Srintil ini sedang sakit apakah kita akan
menyulitkan dia dengan cara mengajak ngobrol kosong?" kata Tamir dan tertawa
lebar. "Tentu saja tidak. Karena sudah kenal maka apa salahnya kita bercakap sebentar."
Namun ngobrol yang dikehendaki oleh Bajus ti
dak berjalan lancar. Hampir setengah
jam lamanya Srintil hanya menjadi pendengar. Wajahnya lestari pucat dan matanya
kuyu. Kegelisahan hatinya tidak bisa disembunyikan. Di mata ketiga tamunya Srintil
benar-benar kelihatan sakit. Ketika tamu-tamunya minta diri Srintil mengantar
mereka sampai ke pintu, tanpa basa-basi kecuali sebuah senyum tipis. Perilaku
sederhana itu adalah ketidaksengajaan yang memperkuat pernyataan Sakum bahwa
Srintil bukan lagi seorang ronggeng yang biasanya menggunakan senjata senyum
untuk menundukkan hati laki-laki.
Malam hari Rasus berada di rumah Sakum setelah makan malam seadanya di
rumah Kartareja. Gubuknya yang doyong ditinggalkan. Beruntung Rasus
menemukan sebuah pelita tua, mengisinya dengan sedikit minyak di rumah tetangga
103 lalu menyalakannya. Gubuk yang selalu gelap sejak kematian Nenek Rasus beberapa
tahun yang lalu kini berisi cahaya kelip-kelip. Sakum hanya tinggal bersama istri dan
anaknya yang paling kecil. Tiga orang anaknya yang lebih besar sedang mencari
serangga di sawah. Tak ada meja-kursi. Rasus dan Sakum duduk di atas lincak.
Kepala Sakum diliputi asap rokoknya yang mengepul tiada henti.
"Bagaimana, Mas Tentara. sampean sudah pikirkan kata-kata saya kemarin?" tanya
Sakum. "Kawin?" "Ya. Kan sampean sudah cukup usia. Dan Srintil itu, lho!"
Rasus mendesah. Pertanyaan Sakum adalah masalah yang tiba-tiba saja
menghadang sejak beberapa jam yang lalu. Rasus merasa tidak mudah
menjawabnya atau menyingkirkannya begitu saja.
"Entahlah, Kang."
Rasus mendesah lagi. Mata Sakum yang keropos berkedip cepat. Dan aneh, Sakum
kelihatan tidak terganggu oleh asap tebal yang mengelilingi wajahnya.
"Tetapi sampean sudah percaya bahwa Srintil bukan ronggeng lagi, bukan?"
Sosok Srintil tiba-tiba muncul demikian jelas di mata Rasus. Srintil sekarang. Tubuh
yang matang penuh dan kediriannya yang jelas sudah berubah. Srintil yang
menangis karena tidak tahu lagi siapa dirinya dan Srintil yang kelihatan ingin meraih
tempat yang paling sempit sekalipun di tengah kehidupan. Dan Srintil yang telah ikut
berperan dalam membentuk sejarah Rasus sendiri. Mata Srintil yang telah
kehilangan daya tantang; mataharinya telah berubah menjadi bulan yang redup.
Senyumnya tidak lagi seperti lambaian berahi; kumbang yang liar telah berubah
menjadi kupu-kupu yang jinak memelas.
"Ah, kok diam, Pak Tentara?" tanya Sakum mengetuk hati Rasus.
104 "Ya, Kang Sakum. Aku tidak bisa bicara apa-apa."
"Tidak bisa berkata apa-apa. Mengapa, Mas Tentara?"
"Anu, Kang. Lusa saya akan berangkat tugas ke Kalimantan. Pokoknya saya tidak
bisa apa-apa." "Tetapi..." "Tidak ada tetapi. Aku mungkin lama di luar Jawa. Mungkin satu, dua, atau entah
berapa tahun. Dengan demikian..."
"Mbok begini saja. Tugas ya tugas. Tetapi sampean harus merasa kasihan terhadap
kami di Dukuh Paruk. Berjanjilah suatu saat nanti sampean akan mengawini Srintil.
Yang demikian itu sudah lebih dari cukup buat membesarkan hati bukan hanya
Srintil, melainkan semua orang Dukuh Paruk. Lagi pula apakah perasaanku salah
bahwa sampean masih suka terhadap Srintil?"
Rasus tersentak ke belakang. Pelupuh yang berderit membuat Sakum tersenyum
dan menanti. Namun lama, sekali Rasus hanya mendesah dan mengeluh. Ketika
akhirnya Rasus membuka mulut kata-katanya sudah melompat jauh ke lain
persoalan. "Sudah ya, Kang. Saya mau berkeliling dulu. Banyak rumah saudara yang belum
saya kunjungi." "Oh, benar. sampean harus mengunjungi semua orang di sini. Tetapi hari masih
sore. Tinggallah lebih lama bersamaku di sini."
"Terima kasih, Kang."
105 "Baiklah. Mau ke rumah Srintil juga, kan?"
"Bagaimana nanti sajalah."
Muslihat Sang Ratu 3 Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Manusia Titisan Dewa 1
^