Runner Up Girl 1
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha Bagian 1
Runner-Up Girl situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi
berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang.
Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi deru mesin dan asap
kendaraan yang berseliweran. Bising dan semrawutPagi selalu
menjadi saat sibuk bagi Mira, dan dia sadar betul hal itu.
maka"nya dla selalu mengisi kegiatan pagi dengan
bersenandungdung. Selain untuk menyamarkan suara bising
disekelilingnya, juga untuk menjaga suasana hatinya tetapriang.
Mlra biasa ke sekolah berjalan kaki. Sesekali ia selingi
bersepeda. Selain bugar, juga mengurangi dampak pemanasan
global. Mira memang peduli kelestarian lingkungan Lagi pula
sekolahnya dekat, jalan jelas hemat dan sehat.
Dari rumah Mira tidak langsung ke sekolah. Dia Mampir ke
rumah Kelly, sahabatnya, yang hanya jarak tiga ratus meter dari
rumahnya. Kadang Mira ikut sarapan bersama keluarga Kelly
yang hangat. Tak heran bila Mira betah meluangkan waktu
bersama mereka, bahkan kadang mampir hanya untuk menyapa
adik Kelly yang tueu. Selanjutnya Mira dan Kelly akan berlarilari kedl di trotaar sambil bereanda ria menuju sekolah."Wah,
siapa yang mendandani rambutmu, Kel" Oikepang satu di atas
begitu jadi sangat eantik Iho," puji Mira.
Kelly tersipu. "Ah, kamu bisa aja." "Betul. Pita pink yang kamu
pakai membuat penampilanmu semakin manis," lanjut Mira.
Tanpa sadar dia meraba rambutnya yang pendek dan keriting.
Sudah pasti tak bisa diikat.~ Bahkan tidak eoeok diberi aksesori
apa pun. Bukannya bertambah eantik, hiasan rambut justru
membuatnya kelihatan konyo!. Maklum, Mira tomboi abis.
"Kamu juga cantik! Aku memang memiliki rambut panjang, tapi
tidak punya mata lebar, berbinar, dan bening seperti matamu,
Mir!" "Mmm... t api kamu memiliki adik lucu!"
"Kamu punya rumah megah dengan segala macam fasilita s
kamplet," sahut Kelly tak mau kalah.
"Kamu punya ibu yang pintar memasak dan sangat
baik!" "Kamu punya ibu dan ayah kaya raya!" sahut Kelly
lagi. "Ah, sudahlah, kita memang nggak sarna, dan karena itulah
persahabatan kita langgeng. Iya, kan?" Mira tidak ingin
melanjutkan perdebatan. Kelly tidak menyahut. Oia justru
menghentikan langkahnya. Matanya melotot ke satu arah. Mira
ikut berhenti dan memandang Kelly dengan heran. Karena Kelly bergeming,
Mira segera mengalihkan pandangan ke arah yang sarna dengan
tatapan Kelly. Oi depan rumah megah di tepi jalan searang
cowok tengah memperhatikanmereka. Gelagatnya seolah
menunggu Kelly dan Mira lewat. Tanpa dikomanda, jantung
Kelly dan Mira beradu cepat. Kelly jadi grogi. "5epertinya dia menunggu kita deh."
"Udah, cuek aja!" sahut Mira sambil menggamit pergelangan
tangan Kelly. "Yuk jalan!"
Langkah Kelly mendadak canggung. Walau menunduk, Dia
masih mencuri pandang ke arah cowok bertubuh jangkung yang
masih berdiri di depan mereka. Semakin mendekat kearah
cowok itu, Kelly semakin salah tingkah. " hai"' sapa cowok itu
begitu Mira dan Kelly berada
dalamjarak satu meter dari tempat dia menjejakan kaki
Mira dan Kelly menghentikan langkah, menatap cowok itu
penuh penasaran"Boleh bergabung" tanya si cowok berkulit
hitam dan berhidung mancung itu sambil tersenyum ramah.
Mira mengangkat bahu. la menoleh pada Kelly. Yang
ditoleh tersenyum malu-malu. Tangan Kelly meremas rok, tanda
grogi. "Tiap pagi kulihat kalian ke sekolah jalan kaki, kayaknya asyik
banget. Makanya pagi ini aku mau ikutan.
Boleh, kan" Lagian seragam kita sama, berarti kita satu sekolah
dong!" cerocos cowok itu.
"Mmm.. . boleh saja, asal kamu nggak lebih cerewet daripada
Kelly, sahabatku ini," balas Mira sambil tertawa
ked l, lalu sedetik kemudian dibalas cubitan Kelly di lengannya.
Si cowok hitam manis tertawa renyah. Kemudian dia
mengulurkan tangan. "Aku Riku," ujarya memperkenalkandiri. "
Kalian?" "Aha! Riku!" Kelly memekik. "Iya... aku tahu kamu. Kamu yang
jago main sepak bola itu, kan" Wah, aku senang sekali bisa
berkenalan denganmu. Namaku Kelly." Kelly tersenyum riang,
kemudian menjabat tangan Riku lama. Mira melirik Kelly. Rupanya sahabatnya sudah mampu
menguasai diri. Bahkan terkesan sok akrab pada Riku.
"Aduh, t angan kalian ada lemnya ya?" tegur Mira karena Kelly
tak juga menarik tangannya dan genggaman Riku.
Kelly dan Riku langsung melepas tangan mereka. Wajah Kelly
memerah. Dia melirik jutek pada Mira.
"Udah yuk, berangkat! Keburu telat nih!" Mira mengandeng
Kelly, lalu kedua cewek itu berjalan dengan langkah cepat.
Riku berjalan di belakang kedua gadis itu. "Namamu siapa?"
tanya Riku pada Mira. "Aku Mira," balas Mira tanpa menoleh pada Riku.Riku
tersenyum. Dia mempercepat langkah agar tidaktertinggal dua
gadis yang berjalan supercepat itu.hampir saja mereka telat .
Begitu melewati gerbang sekolah, bel berbunyi. Riku beda
angkatan-kelas beda setahun di atas Mira dan Kelly.
" Dadaaah, Riku!" seru Kelly saat mereka berpisah menuju kelas
masing-masing. . "ih... kegenit an deh, Kel!" tegur Mira pelan.
"Aduh, Mir. Riku cakep banget! Kulit cokelat, sorot Mata tajam,
hidung mancung, dan tubuhnya atletis banget !" Kelly mulai
nyerocos. Anak itu memang nggak pernah lihat cowok ganteng.
Bawaannya suka histeris, kayak melihat aktor-aktor Korea di
film Korea kegemanranya. "papamu juga berkulit cokelat, bermata tajam, dan Hidung
mancung. Tubuhnya atletis!" kata Mira yang sekarang duduk di
bangkunya dan sedang memasukkan tas ke atas meja.
"lh, Mira!" sungut Kelly sewot.
"Mmm, apa kelak aku juga akan menyukai cowok seperti
papaku" Tinggi, kalem,berkacamata, rapi, dan...punya otak?"
ucap Mira, nyaris bergumam.
"Emang Riku nggak punya otak?"
"Vee, sewot amat. Aku kan tidak sedang membandingkan
papaku dengan Riku. Lagian, kamu udah lupa ya. ada tujuh
kecerdasan majemuk. Nah, pada Riku jelas kecerdasan
kinestetiknya yang dominan dan kayaknya interpersonalnya juga
bagus tuh!" Kelly mengangguk-angguk. Kelly sadar betul bahwa Mira anak
yang sangat cerdas, suka berpikir, dan gemar membaca.
Sedangkan Kelly lebih suka mengurus rumah, melakukan halhal yang berhubungan dengan keterampilan tangan dan
ketekunan. Va, sifat Kelly dan Mira bertolak belakang. Namun
itu bukan halangan bagi mereka untuk bersahabat. Mereka justru
saling melengkapi. *** Saat istirahat, Kelly dan Mira bertemu kembali dengan Riku di
pinggir lapangan sepak bola. Kali ilu Riku lidak sendirian. Dia
bersama seorang cowok. "Hai, Mira, Kelly!" sapa Riku ketika mereka berpapasan.
"Mau menyantap bekal, ya" Kita barengan yuk!" ajak Riku.
Mereka duduk di sebangku semen di tepi lapangan.
"Kenalkan,ini Aoi, teman sekelasku," Riku memperkenalkan
cowok yang sedari tadi diam membisu di sampingnya.
Kelly dan Mira segera menjabat tangan Aoi. Wajah Aoi tak
berhias senyum sama sekali. Jabatan tangannya pun terasa kaku,
seolah dia tidak tulus melakukannya.
Mata Aoi sipit. Kacamata minus bertengger di hidungnya yang
mungil. Rambut Aoi lurus dan dipangkas sangat pendek,
memberi kesan rapi. Sebenamya Aoi ' tampan. Sayang, raut
wajahnya yang kaku memberi kesan tidak ramah. Juga bibimya
yang mungil tanpa senyum menambah ekspresi sinis cowok itu.
"Wah, untung aku nggak seangkatan dan sekelas denganmu.
Kalau sampai sekelas, aku lebih baik pindah kelas," kata Mira
pada Aoi saat mereka tengah menikmati bekal.
Aoi menoleh pada Mira sambil mengerutkan dahi
"Wajahmu mengganggu pemandangan. Memang kalau
tersenyum, bibirmu bisa gatal-gatal ya?" tanya Mira cuek
dengan mulut penuh makanan.
Aoi diam saja, sementara Kelly dan Riku terbahak. MIra
memang suka ceplas-ceplos. Apa saja yang ada di plklrannya
sering keluar tanpa pertimbangan.
"oi memang pendiam, Mir. Tapi otaknya encer banget .Dia
mencalonkan diri jadi ketua osis tahun ini,"ucap riku
"Apa peduliku, " balas Mira sambi! Menggigit sandwich tuna
kesukaannya. "Mmm... oyam...." Riku cuma bisa geleng-geleng.
Sementara itu, Kelly segera memuji Aoi karena merasa tidak
enak dengan sikap Mira. 'Wah, Aoi hebat. Semoga kamu terpilih jadi ketua osis, ya."
Kelly tersenyum sambil menatap Aoi. Tapi Aoi diam saja seraya
menikmati snack-nya, tak menanggapi sedikit pun ucapan
simpatik Kelly. Aoi seolah hanya sendirian di tepi lapangan.
Kelly terlihat agak kecewa karena tak mendapatkan respons.
gadis manis itu mendesah lirih ketika memalingkan wajah dan Aoi. Suasana
seketika menjadi kaku. "Eh, nanti pulangnya kita bareng, kan?" tanya Riku pada Mira,
mencoba mencairkan suasana.
"Mmm, aku dan Kelly mau mampir ke apatek dulu," balas Mira
tanpa ekspresi sambil mengernasi wadah bekalnya.
"Ada yang sakit dan butuh obat, ya?" Riku ?bertanya lagi.
"Iya. Ternan di sebelah kamu itu kan butuh obat khusus.Siapa
tahu aku bisa nemuin obat yang bisa membuat wajahnya lebih
enak dilihat. Krim anticemberut, mungkin. Atau kalau mau
cepat sih aku bisa beliin puyer dosis tinggi sekalian!"Riku dan
Kelly lagi-Iagi terbahak.
Kini aoi menatap tajam mata Mira. Namun, bukan Mira
namanya kalau dia lantas rikuh atau gentar. Gadis tombai itu
justru membalas tatapan Aai dengan lebih tajam. Mereka berdua
bertatapan bagai dua musuh Padahal, mereka baru saja
berkenalan. "Apa sih maumu"cari perhatian, ya?" tanya Aoi ketus. Sontak
Mira ternganga mendengar suara yang akhirnya keluar dari
mulut Aoi. "Aha! Akhimya aku berhasil memancingmu
mengeluarkan suara. Wah... suara kamu cocok tuh untuk cari
receh di perempatan!" ejek Mira.Aoi menatap Mira kesal.
Sebenamya emosi Aoi sudah tersulut sedari tadi. Rasa?rasanya
dia ingin menonjok wajah Mira. Tapi itu tak mungkin
dHakukannya karena MIra cewek. Hanya cowak tak bermartabat
yang bisa melakukan hal serendah itu. Untuk melampiaskan
kesalannya, Aoi menyepak kerikil yang menempel digulung
sepatunya. "Hei... hei! Biasanya cowak dan cewek yang saling membenci
lama-lama jadi saling cinta Ioh!" goda Kelly, Mira dan Aoi
masih bertatapan dengan ekspresi tidak bersahabat.
" Ih, mana mungkin aku jatuh cinta sarna cowok robot kayak
gitu!" sambar Mira sambil pura-pura bergidik.
"Apalagi aku, balas Aoi. "Mending aku jomblo daripada punya
cewek .cabe rawit kayak kamu! Mulut kamupedes, tau!"
"Mending cabe rawit," Mira tak mau kalah.
" Biarpunpedes, banyak orang butuh dan suka cabe rawit.
Rumah makan yang banyak menu sambalnya malah lagi musim
dan laris manis. Nggak kayak robot, yang cuma bisa
menjalankan perintah, kaku kayak benda mati, dan nggak semua
orang butuh!" Aoi makin kesal pada Mira. Dia ingin membalas katakata Mira,
tapi Riku keburu berdiri dan melerai pertikaian mereka. "Hei,
sudah... sudah! Kok malah bertengkar sih?" Riku geleng-geleng
melihat kelakuan dua temannya. "Sebentar lagi bel. Yuk kita ke
kelas!" Kelly segera berdiri, lalu menarik tangan Mira. Sebenamya Mira
belum puas. Dia masih ingin berbalas kata-kata pedas dengan
Aoi. Namun bel istirahat berakhir bakal terdengar sebentar lagi.
Pelajaran berikutnya biologi. Guru biologi mereka t idak
memberikan toleransi sedikit pun kepada anak yang terlambat masuk pelajarannya.
Mau takmau Mira mengikuti langkah Kelly yang bergegas
menuju kelas. "Ih... aku nggak nyangka kamu punya teman seperti Lucifer
gitu!" kata Aoi pada Riku sepeninggal keduacewek itu.
Riku hanya tertawa sambil merangkul bahu Aoi. Kemudian
mereka juga berjalan menuju kelas.
MIRA duduk di tepi kolam renang sambi! Mendengarkan musik
dan menatap langit. langit terlihat cerah. Wrna biru dan awan-awan putih yang
menghiasinya terlihat begitu serasi. Indah sekali. Sayang, hati
Mira tengah mendung. Dia kesepian.
Di rumahnya yang besar dan megah hanya ada dia dan beberapa
pembantu rumah tangga. Kadang rumahnya ramai kala para
pembantu bekerja sambil bersenda gurau. Sesekali Mira terlibat
dalam canda mereka, tapi di lubuk hati, tetap ia merasa
kesepian. la menginginkan
kehadiran mama-papanya. Orangtuanya kerap ke luar kota.
Kalaupun ada di rumah, sedikit sekali waktu yang di luangkan
mereka untuk Mira. Papa terlalu sibuk mengurus perusahaan,
sementara Mama lebih suka mengatur dan menekan Mira untuk
selalu berprestasi optimal.
Mengapa Mama tak seperti ibu Kelly ya" Ibu Kelly baik,
lembut, selalu di rumah untuk memasak, merawat tanaman, dan
mendengarkan apa pun kisah yang diceritakan
Kelly. Beruntung banget Kelly punya ibu seperti itu, batin Mira.
Jika berada di tengah keluarga Kelly, Mira merasa senang
sekaligus iri. dia rindu berada
dalam keluarga yang hangat dan saling mempematikan seperti
keluarga Kelly. "Huh... mengapa aku melamun saja han ini"! Mama
bisa marah kalau tahu aku di rumah hanya melamun.
Bisa habis telinga terbakar amarah Mama!" keluh Mira dalam
hati. Dia pun bangkit dan menuju kamamya. Ada sesuatu yang
harus dikerjakannya segera.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mira menyalakan laptop. Dia memeriksa ulang karya ilmiah
yang sudah dia kirimkan ke Kementerian lingkungan Hidup. dua
minggu lalu gadis itu mengirimkan
tulisannya untuk lomba tersebut. Walau naskahnya sudah
terkirim, Mira selalu membaca ulang karyanya.ditelitinya lagi
setiap kata yang ia tulis. Jangan-jangan ada kesalahan. Sedikit
saja kekeliruan membuat hatinya tak tenang.
Kali itu Mira sangat yakin akan kesempurnaan tulisannya.
Banyak waktu yang sudah dia korbankan untuk meneliti dan
menyusun subjek pilihannya menjadi karya ilmiah yang benarbenar valid. Kalimat demi kalimat yang dituangkan berkali-kali
dia baca dan perbaiki hingga menjadi kalimat yang baik dan
enak dibaca. Mira yakin karyanya bakal menang. dia sudah
membayangkan, betapa senang mamanya bila dia menjadi juara
lomba tersebut. Hal itu memang dia lakukan demi mamanya.
"Tolong aku, Tuhan. Karyaku sangat bagus dan aku
berjuang keras membuatnya. Besok hari istimewa ka?
rena koran mengumumkan pemenangnya. Tuhan, aku
sungguh berharap, akulah juaranya. Bantu aku, Tuhan,
pliiis," Mira berdoa khusyuk. Setelah capek memelototi layar
laptop, Mira rebah di kasur. Terbayang di otaknya senyum
Mama yang akan mengembang lebar jika ia jadi juara nanti.
Mama pasti sangat bangga dengan prestasinya. Mama memang
perfeksionis dan sangat gila prestasi. Mira-Iah yang jadi sasaran
obsesi Mama. Mira dituntut berprestasi setinggi mungkin dalam
segala bidang. Sejak Mira kenyang mengikuti berbagai
perlombaan. di rumah sampai ada ruang khusus untuk
menyimpan piala dan piagam hasil
perlombaan yang diikuti Mira. Terkadang Mira tertekan
mengingat hal itu. Semalaman Mira tak bisa terpejam. la terus memikirkan hari
esok. Berita baik atau berita burukkah yang di terimanya besok"
Baik bila dia menjuarai lomba itu,atau buruk bila namanya
sama sekali tak tercantum pada deretan pemenang.
"Duh, aku menyesal telah memberitahu Mama dan
Papa bahwa aku ikut lomba. Kalau aku kalah, mereka
pasti san gat kecewa. Harusnya kuberitahu kalau sudah
jelas aku menang! "Mira mendadak gugup.
"Duh, ada mesin waktu nggak sih" Teknologi sudah
begitu maju, tetapi mengapa nggak ada mesin waktu
ya?" Saking gelisah, pikiran Mira mulai melantur. Kayaknya
aku harus jadi ilmuwan deh. Aku ingin membuat alat canggih
yang bisa membawa manusia ke masa lalu. Jadi, semua orang
bisa memperbaiki kesalahan masa lalunya. Ah, pasti
menyenangkan bila ada alat semacam
itu. Mira ngikik membayangkan ada alat secanggih itu.
Hampir tengah malam saat Mira baru saja terpejam, sebuah
ketukan halus di pintu kamar membuatnya urung tidur. Ternyata
Mama, yang baru pulang dari luar kota.
"Hai, Sayang," sapa Mama sambi! mengecup kening Mira
sekilas. "Lho, kok pulang, Ma" Tengah malam begini?" tanya Mira
heran. "Mira kirain masih beberapa hari lagi."
"Besok pengumuman lomba karya tulis yang kamu ikuti, bukan"
Mama yakin kamu juaranya,Mir!"kataMama.
"Mama khusus pulang untuk menyiapkanmu pada acara
penerimaan hadiah bagi pemenang. Kita harus belanja baju baru
untuk han istimewamu itu."
"Jangan berharap tertalu banyak, Ma. Saingan Mira juga banyak,
kan?" "Mir, jadi orang optirnis dong! Mau jadi apa kamu kalau sedikitsedikit berpikiran negatif dan menyerah begitu" Kamu hidup
dalam generasi yang kejam dan penuh persaingan. Kalau lembek
dan santai, kamu akan terlindas kehidupan. Kamu mati sia-sia
dan tak punya apa-apa Camkan itu baik-baik! Besok kamulah
juaranya!" tegas mama Mira.
Kata-kata Mama yang tajam menohok bagaikan pesawat tempur
yang menembaki Mira bertubi-tubi. Hati Mira jadi tak menentu.
Dia sungguh takut menghadapi esok.
MIRA bangun dengan wajah sembap karena kurang tidur. Dia
mencoba bemyanyi untuk menenteramk an hati. Tapi bibirnya
tak mampu mengeluarkan suara apa pun. Hatinya betul-betul
gentar. Keberadaan Mama dan pengumuman lomba betul-betul
kombinasi sempurna yang membuat nyalinya ciut.
Setelah mandi, sarapan, dan siap berangkat ke sekolah, Mira
berjalan tanpa semangat. Sesampainya di rumah Kelly, ?a hanya
mematung di depan pagar, menunggu sahabatnya ke luar.
"Mira... masuk dulu, Sayang!" terlak mama Kelly dan pintu
rumah. "Tante bikin roti bakar enak Iho!"
"Saya masih kenyang, Tante," sahut Mira. Karena ada Mama,
mau tak mau Mira harus sarapan di rumah. Jika tidak, Mama
pasti mengomel. Mira terpaksa menyantap nasi goreng walau
lidah dan perutnya belum kepingin makan. Masih lebih baiklah,
daripada dia sarapan nasihat Mama. Bisa pusing sepanjang han
kalau pagi-pagi telinganya sudah disembur omelan.
Kelly berlari kecil menghampiri Mira. "Hai, Mir" sapa Kelly
riang. "Ya ampun... tampangmu kusut benar pagi ni. Sudah
mandi belurn sih?" Mira memonyongkan bibir. "lh, enak saja! Sudah man- di dong.
Tapi lupa sabunan," ujarnya cuek sambil mel angkah.
Kelly menjejeri langkah Mira. Pandangan Mira tidak fokus.
Beberapa kali dia hampir menabrak orang yang herpapasan
dengannya. Bukannya minta maaf pada orang yang hampir
ditabraknya, Mira malah cemberut (Ian membisu.
"Hei, kamu kenapa sih" Butuh obat ketawa" Puyer dosis tinggi
barangkali?" Kelly menggoda Mira.
Mira melotot, kemudian menunduk lagi. Entah berapa kdli ujung
sepatunya menyepak kenikil yang dia temui di jalan.
"Lama-lama kamu mulai kayak Aol," gumam Kelly.
"ldih... sembarangan!" Mira sewot mendengar perk ataan
sahabatnya itu. Mira nyengir. "Son... aku kan hanya bercanda. Soaln ya pagi ini
tampangmu masam banget. Trus, kerikil nggak salah kok
disepak-sepak. Kasihan, kan?" Kelly lagi-lagi mencoba melucu.
Mira menghela napas. "Aku takut sekali, takut gagal hari ini."
"Oh... han mi pengumuman lomba, ya" Wah, aku yakin kamu
menang, Mir! Kamu pinter, teliti, pandai merangkai kata. Jadi
aku yakin kamulah pemenaflgflYa. Kalau kamu nggak menang,
pasti jurinya salah baca tuh! Atau jangan.iaflgan ada peserta
yang lebih pintar daripada kamu" Ah, tapi itu nggak mungkin,
kan?" cerocos Kelly.
Mira berhenti, kemudian menatap Kelly sehingga sahabatnya itu
jadi salah tingkah. "Hehe, memangnya ada yang salab dengan kata-kataku ya?"
tanya Kelly sambil nyengir cemas.
"Nggak usah ikut-ikutan menuntut kayak mamaku deh!" balas
Mira, lalu Ia kembali berjalan.
Kelly terpaku sesaat, kemudiar mengelar sahabatflYa. Saat
sampai di depan rumah Riku, terlihat cowok itu tersenyum di
depan gerbang sambil memegang koran pagi.
"Pagi, Mira! Ada kabar bagus untukmu!" kata Riku. Mira
berusaha merebut koran di tangan Riku, tapi cowok itu menang
cepat menghmndari gerakan gesit Mira.
"Please deh!" seru Mira tak sabar.
"Eits, janji dulu, kamu akan mentraktir kami kalau kamu jadi
salah satu juaranya."
"Yang namanya juara itu cuma satu! Aku tidak mengenal istilah
juara dua atau tiga. Kalau aku di urutan kedua atau ketiga,
bagiku itu bukan juara!"
Riku tercengang. "Sungguh" Tapi... yang kedua dan ketiga suatu
saat bisa menjadi yang pertama, Mir! Kegagalan adalah sukses
yang tertunda." "Katakan itu pada mamaku!" bentak Mira. Kemudian i merebut
koran dan tangan Riku. Cowok itu menyerah.
Mata Mira melotot, tangannya bergetar hebat hingga koran di
tangannya terjatuh. Sesaat kemudian, air mata mengalir di kedua
pipinya. Mira berlari. Dadanya sesak.
Kelly bengong melihat reaksi sahabatnya. Dia tidak mengira
Mira bisa sangat terpukul seperti itu. Kelly menatap Riku penuh
tanya. "Dia juara dua," kata Riku pelan, lebih menyerupai gumaman.
"Oh my God! Dunia bakal kiamat!" seru Kelly, kemudian
berlari mengejar Mira. Mau tak mau Riku ikut berlari. Mereka bagaikan orang yang
tengah berkejaran sehingga membuat penasaran orang-orang di
sekitar mereka. Apalagi sesampainya di sekolah Mira tak juga
mengurangi kecepatan larinya. Ditambah dengan air mata yang
bercucuran di pipi Mira, adegan lari tiga kawanan itu semakin
mencuri perhatian. Tapi Mira tak peduli. Hatinya benar-benar
kalut. Akhirnya Mira berhenti dan duduk di bangku semen di pinggir
lapangan sepak bola, tempat dia dan Kelly biasa menghabiskan
bekal makanan. Mira termenung. Air mata yang tadi mengucur
deras kini telah kering. Riku dan Kelly duduk mengapit Mira.
"Mengapa harus bersedih, Mir" Ratusan karya masuk ke meja
juri dan menjadi pesaingmu. Bahkan, mereka tidak masuk
menjadi pemenang urutan berapa pun. Kamu di urutan kedua.
Kedua dan ratusan karya!" Riku memberi penekanan pada
kalimat terakhir. "Kamu hebat! Wajar bila Aoi juara satu, karena
sejak kelas tiga SMP dia mengikuti lomba ini, meskipun belum
pernah menang sebelumnya. Namun hari ini, setelah berkali-kali
ikut, dia jadi pemenangnya. Aku yakin kamu baru pertama kali
ml ikut lomba tersebut, dan langsung juara dua. Kamu sangat
hebat, Mm!" hibur Riku penuh sem angat.
Mira menatap tajam pada Riku. "Jadi... juara satunya Aoi" Si
robot yang menyebalkan itu" Tadi aku hanya melihat namaku,
tidak baca nama lain."
"Namanya ada kok. Kamu aja yang nggak memperhatikan."
Riku mengangguk. "Yang penting, ini prestasi besar bagi
sekolah kita karena dua siswanya mengharumkan nama
sekolah." "Aku ikut lomba bukan untuk sekolah, tapi untuk Mama!" balas
Mira ketus. Dengan kasar dientakkannya tubuhnya ketika
berdiri, kemudian dia beranjak pergi ,tanpa berkata-kata.
Riku dan Kelly bengong kayak kepompong. Bahkan Riku tak
habis pikir, bagaimana bisa seseorang tidak berbahagia saat
dinmnya dinyatakan jadi juara, hanya karena jadi juara kedua"
Riku menggeleng-geleng bingung.
"Kenapa sih dia begitu" Dapat juara dua kok justru kayak orang
depresi gitu?" "Mamanya menuntut dia menjadi yang pertama, cIilam hal apa
pun. Di kamus mama Mira, nggak ada kilah kedua. Mira teman
yang sangat balk dan men yenangkan, tapi di rumah dia
tertekan," balas Kelly.
"Kasihan... apalagi yang jadi juara satu Aol, Mira pisti tambah
kesal. Terlebih dia selalu bersikap buruk pida Aoi karena tidak
menyukai cowok itu," Riku mendesah sedih.
"Hmm, pasti akan ada pertempuran sengit nih. Mira lalu ingin
jadi yang pertama, terbaik, dan terdepan. Dia begitu terobsesi
menjadi nomor satu, makanya dia ..sampai kurang gaul gitu.
Heran deh, padahal dia pintar. Kurang apa lagi, coba" Aku aja
yang rada o"on gini inasih nyantai... ," cerocos Kelly.
Riku tersenyum mendengar ocehan Kelly. Benar kata Mira,
ternyata Kelly memang terlalu banyak bicara alias cerewet!
Jantung Mira berdebar kencang. Kakinya gemetar ketika
melewati pintu masuk rumah. Benar saja, yang dia takutkan jadi
kenyataan. "Kenapa bisa begini, Mira?" tanya sebuah suara. Tegas dan
begitu mengintimidasi. Mira berhenti. Bahkan dia tidak berani menatap mata orang
yang barusan menyapanya. Mama berdiri tegak di depan Mira. Tangannya mengacungkan
sehelai koran. Mira sudah tahu, Mama pasti memburu koran han
itu demi melihat pengumuman hasil lomba. Begitu tahu Mira
hanya juara kedua, pasti Mama marah.
"Siapa Aoi" Dia satu sekolah denganmu, tapi kenapa dia yang
menang" Bukankah Mama sudah menekankan padamu untuk
selalu jadi yang terbaik" Pasti kamu tidak berusaha sungguhsungguh sampai bisa kalah dan anak bernama Aoi itu!"
Mira membisu. Mendengar marnanya menyebut nama Aoi, hati
Mira geram. Kalau sebelumnya dia hanya sebatas kesal melihat
wajah Aoi yang masam, kali itu dia betul-betul marah pada
cowok itu. Awas saja, akan kubalas sakit hatiku ini!. Jangan
harap kamu bisa hidup tenang, Aoi! batin Mira menyumpahnyumpah.
"Ingat, Mira, Mama sungguh kecewa padamu. Pokoknya tahun
ini Mama ingin melihat karnu jadi pemenang. Ikut sebanyakbanyaknya lomba, dan jadilah juara. Tidak ada artinya jika kamu
hanya jadi yang kedua. Buktikan pada Mama kamu memang
anak Mama yang hebat!"
Kepala Mira semakin tertunduk. Kata-kata dan suara Mama
menusuk-nusuk gendang telinganya. Kepalanya pusing seketika.
Obsesi Mama untuk menjadikan dirinya juara betul-betul
meneror mentalnya. Ah, Mira sungguh capek!
BERJAM-JAM membenamkan wajah di bantal sambil menangis
betul-betul menguras energi. Dada sesak, mata pedas, dan
suasana hati panas. Menyebalkan!
"Aku nggak boleh cengeng!" gumam Mira. "Daripada suntuk di
rumah, mendingan aku ke rumah Kelly saja."
Mira bangkit dan tempat tidur dan bersiap-siap mandi. Ia
memilih baju berwama ceria: T-shirt garis-garis merah dan
krem, serta celana jins selutut. Sepatu kanvas merah melengkapi
penampilannya. Sporty dan nyaman.
Walau pikiran masih ruwet, Mira bersenandung saat mandi dan
berdandan. Lumayan mengurangi kesedihan. Ah, kalau boleh
jujur, hati Mira masih mendung. Namun, cewek itu tak mau
larut dalam kesedihan. Mira bergegas ke luar kamar, ingin cepat-cepat sarnpai di rumah
Kelly. Namun, betapa kaget Mira saat membuka pintu rumah.
Kelly dan Riku tengah duduk di bangku teras.
"Kalian... ?" "Aih... kok segitu kagetnya sih, Mir" Biasa aja, kali!" celetuk
Kelly nyengir. "Kami mau mengajakmu jalan-jalan," kata Riku seraya hangkit
dan duduk. "Mau, kan?" Mira tersenyum lebar. Dia memeluk
Kelly. "Kelly, kamu sungguh pengertian. Aku baru saja mau ke
rumahmu, eh kalian justru ke sini."
"Oh, ya" Kebetulan banget dong kalau gitu. Yuk buruan,
sopirku menunggu!" ajak Riku.
Sepanjang perjalanan mereka mengobrol banyak hal. Rupanya
Kelly dan Riku memang berniat menghibur Mira. Tak hentihenti keduanya melemparkan lelucon. Mira benar-benar
merasakan hangatnya persahabatan. Apalagi sekarang ada Riku
yang sangat baik dan perh atian pada Mira. Walau baru kenal,
Riku cepat mengakrabinya tanpa canggung. Riku terkesan
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dewasa di mata Mira. "Eh... omong-omong, kita mau ke mana?" tanya Mira.
"Jalan-jalan ke mal, sekalian makan malam, biar kamu nggak
bete dan nggak perlu minum obat pembuat tawa!" balas Riku
sambil menoleh pada Mira yang duduk di belakangnya. Mira
tersenyum. "Terima kasih ya, Ri!"
"Yap!" balas Riku tersenyum. Hatinya berbunga-bunga karena
dapat kesempatan jalan-jalan bersama Mira.
"Tuh, Riku baik banget kan, Mir?" bisik Kelly. "He-eh," balas
Mira. Kelly tersenyum-senyum sendiri, kemudian mengajak Riku
ngobrol tentang hobi masing-masing. Mira mencoba jadi
pendengar yang balk. Dalam hati ia bersyukur punya sahabat
yang menopangnya saat ia jatuh. Mira tak lagi merasa sendirian.
Walau mungkin hanya sesaat saja dia bersenang-senang dan
harus kembali berhadapan dengan Mama sepulangnya dari
jalan-jalan, setidaknya Mira terhibur.
Sesampainya di mal, mereka main di game center. Mira tidak
begitu berselera bermain. Temyata tidak mudah membuang
gundah. Mira seperti linglung. Kepalanya celingukan mengamati
tingkah remaja-remaja yang tengah bermain, namun tatapannya
nyaris kosong. Mira merasa sepi di tengah keramaian.
"Ayo, Mir, gantian kamu yang main!" ajak Riku begitu game
over. Mira menggeleng. "Aku lagi nggak kepingin main, Ri. Aku mau
keliling-keliling dulu, ya. Kamu main lagi aja sama Kelly."
Riku mendesah kecewa, tapi dia mengerti suasana hati Mira.
Maka diberikannya senyum termanisnya buat Mira. "Oke, tapi
jangan sampai nyasar, ya. Kalau setengah jam lagi kamu nggak
balik ke sini, aku lapor ke bagian informasi Iho. Namamu bakal
berkumandang ke seantero mal ini. Hihihi."
"Ah, biar saja. Biar kondang sekalian!" balas Mira sambil
melengos dan berlalu, meninggalkan Riku yang bengong
melihat tingkah cuek Mira.
Mira berjalan-jalan di sekitar arena game center. Pikirannya
masih digelayuti peristiwa seharian tadi: kalah lomba dan
kemarahan Mama. Tak ada hal yang lebih menarik bagi Mira
selain menjadi juara dan kebanggaan Mama. Mira selalu
berpikir, Mama sibuk bekerja di luar kota karena Mira kurang
bisa dibanggakan. Mungkin Mira tak cukup berarti bagi Mama.
Seseorang yang tidak cukup berarti mudah ditinggalkan dan
dilupakan. Sungguh Mira sangat menyayangi Mama. Makanya dia matimatian mencoba menyenangkan hati Mama. Memang terselip
juga perasaan takut pada Mama. Mama keras dalam mendidik
putrinya sehingga Mira sering tertekan. Namun entah mengapa,
Iama-kelamaan obsesi Mama menjadi obsesinya juga. Jauh di
lubuk hati, Mira pun tergila.gila menjadi yang pertama dalam
segala hal. Mungkin itu yang dinamakan faktor genetik. Mira
mewarisi sifat mamanya. Mira mengangkat bahu. Terus-terusan berpikir tentang hal itu
membuat kepalanya pusing. Baiklah, aku harus mencoba santai.
Mumpung di mal, mendingan aku belanja barang yang kusukai.
Daripada stres tidak jelas, tak ada salahnya bersenang-senang,
pikir Mira. Ia menuju bagian fashion remaja. T-shirt dan jins
pakalan kebangsaan Mira, tapi kali itu dia ingin mencoba
sesuatu yang baru untuk mengusir jenuh.
Kalau aku pakai gaun, bagus nggak ya" batin Mira sambil
tertawa kecil. Hihihi, tak ada salahnya kucoba!
Mira menyambangi bagian gaun remaja. Lucu juga rasanya.
Sebelumnya, jika menemani Kelly membeli baju, Mira dibuat
mati bosan saat sahabatnya itu berulang kali minta pendapatnya.
Bagus yang polkadot atau yang gambar hati" Manis yang pink
atau hijau muda" Aduuuh... cute banget! Jadi pengen beli
semuanya! Seperti itu ocehan Kelly ketika memilih baju. Lebay!
Biasanya Mira geleng-geleng atau malah merutuk gemas.
Kini Mira kebingungan sendiri. Koleksi baju yang kecewekcewekan itu lucu-lucu. Variasi model, motif, dan warna sungguh
menarik. Seperti apa penampilan Mira saat mengenakan gaun"
Haha, pasti aneh. Rambut Mira kan cepak. Ditambah
pembawaannya yang tomboi, sudah pasti Mira bakal terlihat
ajaib. Apa aku coba dulu aja ya" Siapa tahu cocok.
Mira geli sendiri. Namun dibawanya juga dua gaun ke kamar
pas. Satu gaun kerut di bagian dada dan memakai tali bahu, satu
lagi gaun bergaya vintage tanpa lengan dan berkerah runcing.
Mira agak ragu saat berjalan menuju kamar pas. Sesekali ia
menoleh ke sekeliling, takut kepergok Riku dan Kelly, atau
kenalan yang mungkin sedang berkeliaran di mal ini. Maklum,
Mira menganggap dirinya sedang bersikap konyol. Tapi tak
apalah, buat variasi hidup, pikir Mira. Mira mematut diri di
depan cermin. Hahaha, aneh sekali! Ingin rasanya dia tertawa
sampai puas, tapi takut didatangi pramuniaga atau satpam.
Terpaksa dia menahan tawa dengan menggigit bibir. Mumpung
sendirian di kamar ganti, Mira bergaya bak foto model yang
tengah berpose untuk pemotretan sampul majalah. Lagi-lagi,
tawa Mira hampir meledak.
Bertingkah konyol ternyata kadang diperlukan untuk membuat
rileks pikiran. Karena itu, Mira tak ragu-ragu membawa dua
gaun yang telah dicobanya ke meja kasir. Dia bisa mencobanya
lagi di rumah sepulang nanti. Bahkan komplet sambil
berlenggak-lenggok Seperti peragawati di catwalk. Mira
tersenyum sendini memikirkan hal itu.
"Hai!" Seseorang menepuk punggung Mira.
Mira terlonjak kaget. Kelly dan Riku berdiri di belakangnya.
Ups... buru-buru Mira menyembunyikan tas belanjaan ke
belakang tubuhnya. Usaha yang sia-sia, tentu saja. Untunglah
dua temannya itu datang setelah kasir selesai memasukkan
belanjaan. "Eh, belanja apa tuh?" Kelly melongok ingin tahu.
"Cuma kaus kaki," jawab Mira asal saja.
"Beli berapa pasang" Perasaan kok isinya tebal amat?" Kelly
menyelidik. "Ah, mau tahu aja!" Mira melengos, lalu berjalan cepat.
Mau tak mau Kelly dan Riku ikut berjalan cepat menyusul
Mira. "Eh, jangan lupa, kita makan dulu," kata Riku.
"lya, Mir. Udah lapar nih!" kata Kelly sambil menjejeri langkah
Mira. "Kamu sih, tadi nggak ikutan ngegame. Tumben nggak
menggunakan otakmu untuk mengalahkan lawan dalam
permainan, hehehe. Kamu pasti bosan ya, selalu jadi pemenang
kalau lawan aku?" cerocos Kelly.
Mira manyun dan berjalan makin cepat.
"lh... sensi amat sih?" Kelly heran.
Riku menepuk punggung Kelly. "Mira masih kalut. Saat ini dia
tidak butuh kata-kata. Sebaliknya, dia butuh telinga yang siap
mendengarkan jeritan hatinya. Yuk, kita susul dia. Kita beri dia
kesempatan curhat biar hatinya plong."
Kelly mengangguk, lalu buru-buru menyusul Mira. Mereka
menuju food court dan mengambil tempat di pojokan.
Untunglah food court tidak terlalu ramai karena bukan malam
Minggu. Seandainya tadi Mama tidak berangkat lagi ke luar
kota, mana mungkin Mira berani keluar malam sementara
besoknya harus sekolah. "Ayo, pesen yuk!" ajak Kelly tidak sabar.
"Nanti dulu. Ada teman yang akan bergabung sebentar lagi,"
kata Riku. "Dia yang akan traktir kita."
"Wah, asyiiik!" pekik Kelly, sementara Mira hanya mengangkat
bahu dan kembali melamun. "Sudah lama menunggu?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan Mira. Dia mendongak,
menatap si empunya suara. Raut wajahnya langsung berubah
marah begitu melihat siapa yang datang. Aoi. Cowok congkak
itu berdiri tanpa senyum dan tak sedikit pun melihat pada Mira.
Dia langsung menarik kursi kosong dan mendudukmnya. Kursi
itu tepat berada di hadapan Mira.
Aoi tidak sendiri. Dia datang bersama Mei, teman sekelas Aoi
dan Riku. Mei yang cantik dan kerap jadi model sampul majalah
itu sangat ramah. Dengan hangat dia menyapa Mira dan Kelly
sambil menebar senyum. "Nah, ini dia orang yang akan mentraktir kita!" seru Riku.
"lya, kalian boleh makan apa saja Iho!" balas Aoi.
"Apa-apaan nih?" tanya Mira bingung bercampur geram.
"Hmm... ternyata ada kamu di sini." Komentar Aoi jelas
menampakkan ketidaksukaannya. "Tapi nggak apa-apa kok,
itung-itung bagi rezeki. Aku mentraktir kalian karena hari ini
aku menang lomba karya ilmiah," jelas Aoi sambil melirik Mira,
seolah menyindir cewek itu.
"Aku akan bayar sendiri makananku! Aku nggak mau ditraktir
dia!" balas Mira ketus.
"Oh, silakan saja. Aku juga malas mengeluarkan uang untuk
cewek ketus kayak kamu!" balas Aoi tak kalah sengit.
"Lho, Mira kan juga juara. Harusnya kita makan dua kali nih
karena ada dua juara!" seru Mei mencoba mencairkan suasana.
Tawanya yang renyah ikut memamerkan sederetan gigi putih
dan rapi. Ah, Mei memang cantik sekali.
"Tahun depan aku akan traktir kalian semua di restoran mahal.
Karena saat itu akulah juaranya," balas Mira tak mau kalah.
"Heh! Sudah-sudah! Kita berkumpul di sini kan untuk makan!"
lerai Riku sambil bangkit. "Aoi, kupesankan sekalian ya?"
Kelly juga beranjak mengikuti Riku sambil berkata ringan,
"Akan kupesankan untukmu juga, Mir!"
"Aku juga mau cari-cari makanan yang lezat, mumpung ditraktir
Aoi!" seru Mei, kemudian ngacir.
Mira dan Aoi tidak berkutik. Mereka duduk berhadapan, namun
sama-sama membuang muka ke arah lain. Keduanya diam dan
cemberut. Suasana jadi dingin dan kaku. Mira menyesal diajak
jalan-jalan oleh Riku dan Kelly. Kalau tahu dia bakal
dipertemukan dengan Aoi, Iebih baik dia di rumah saja. Mira
benar-benar kesal. Maksud hati menghibur diri, kok justru jadi
melihat Aoi merayakan kemenangan" Aaargh... sebal!
"Kamu nggak ngasih selamat buat aku?" akhimya Aoi buka
suara. Mira pura-pura tak mendengar, dia sok konsentrasi melihat
pengunjung food court yang lalu-lalang. Aoi tampak bersungutsungut, tapi tak mau menyerah.
"Memang, jadi pecundang nggak enak. Kalau memang kalah,
kita harus tetap sportif dan mengakui keunggulan lawan,
bukannya jadi pengecut."
Mira menatap tajam Aoi. "Kamu menyebalkan!"
"Yah... aku sadar, bagimu aku menyebalkan. Tapi aku punya
otak yang lebih cerdas daripada otakmu, yang isinya hanya satu,
r, satu, alias IRI." Aoi mencibir.
"Lihat saja nanti, saat aku seusiamu, aku akan jauh lebih
berprestasi dibandingkan kamu! Bahkan, sekarang saja aku
sudah satu tingkat di bawahmu. Padahal kita beda angkatan!"
balas Mira sombong. Aoi tersenyum mengejek. Matanya menyipit. "Tahu nggak"
Usia kita tuh sama. Aku masuk sekolah kemudaan setahun.
Kamu tahu kenapa" Karena aku terlalu cerdas!"
Mira kehabisan kata-kata. Wajahnya pucat pasi, seolah ada yang
menampamya dengan keras di depan umum. Dia hendak
beranjak pergi, tapi Riku dan Kelly keburu datang. Mereka
mencegah Mira. Setengah hati Mira kembali duduk. Walau kesal
tak terkira, dia menghargai usaha Riku dan Kelly yang sudah
mengajaknya jalan-jalan untuk menghiburnya.
"Mira, kami sudah pesan makanan. Kalian berbaikan dong. Kita
kan satu sekolah, jadi siapa pun yang menang tidak masalah.
Kalian sudah mengharumkan nama sekolah. Aoi bukan
pesaingmu, Mira," Kelly mencoba menasihati.
"Aku menyesal satu sekolah dengan dia!" seru Mira ketus.
"Kalau aku senang banget satu sekolah denganmu," balas Aoi.
"Kini jelas, aku bukan satu-satunya orang yang punya wajah
tanpa senyum. Dengan tampangmu yang seperti itu, jelas-jelas
kamu mengganggu pem andangan orang," sindir Aoi pada Mira.
Kesal bukan kepalang, Mira pergi begitu saja tanpa
memedulikan Kelly yang berusaha mencegahnya. Kelly hampir
saja mengikuti Mira, tapi Riku mencekal lengannya. "Sudahlah,
Kel. Biar dia tenang dulu. Biar dia belajar menghadapi
kegagalan dan mengendalikan perasaannya sendiri."
"Tapi dia sahabatku!"
"Sahabat yang baik nggak menjadi beban bagi sahabatnya, tapi
menjadi pendukung," balas Riku. Kelly duduk kembali. Hatinya
tak bisa kesal karena wajah Riku begitu menawan. Yah, Kelly
sangat menyukai Riku. Ia tak ingin wajahnya terlihat jelek di
hadapan Riku. "Memangnya kamu ngomong apa sama Mira tadi?" tanya Kelly
pada Aoi. Aoi mengangkat bahu. "Dasar cewek sensi! Ikutan lomba baru
pertama kali bisa langsung juara dua, kok masih merasa kurang"
Kalau mau jadi juara satu, ya harus berjuang lebih keras! Tapi
tetap saja butuh waktu. Aku memulainya jauh lebih awal
daripada dia, wajar kalau aku menang. Di luaran sana, bahkan
ada yang ikut berkali-kali tapi jadi juara harapan pun tidak.
Namanya perlombaan, pasti ada yang menang dan kalah. Kalau
dia nggak siap menerima kekalahan, mendingan nggak usah ikut
lomba deh" Kelly merengut mendengar ceramah Aoi. Bagaimanapun Mira
sahabatnya. Kelly tidak rela Aoi mengatan gatai Mira, walaupun
perkataan Aoi benar. "Ada yang kamu nggak tahu, Aoi," desah
Kelly. "Mira sebenarnya bisa menerima kekalahan. Tapi tidak
dengan mamanya. Itu makanya dia kalut."
Aoi tersenyum masam. Dalam hati timbul rasa kasihan pada
Mira. Tapi ia telanjur kesal pada kelakuan Mira saat di lapangan
sepak bola waktu itu. Cewek itu menyepelekannya.
"Lho, mana Mira?" Mei datang dan langsung mengambil tempat
duduk. "Kabur. Nggak usah mikirin dia deh. Dasar cewek bete!" balas
Aoi bersungut-sungut. "Ehem... kamu apa-apain dia ya?"
Aoi mendelik pada Mei. "lya. Aku kerokin punggungnya pakai
palu!" jawabnya ketus. Riku dan Kelly ngikik. Mei mengerutkan
kening, bingung karena belum paham apa yang terjadi antara
Mira dan Aoi. "Jadi, bagaimana nih" Nggak apa-apa, Mira kita biarkan pergi?"
Tak urung Kelly khawatir juga. "Sudahlah, dia kan sudah besar.
Nggak bakalan nyasar. Nanti kita cari Mira setelah kita makan.
Laper banget nih!" kata Riku.
Kelly mengangkat bahu dan mulai menyuap makanan ke mulut.
Namun suasana telanjur kaku. Mereka makan tanpa mengobrol
sedikit pun. Mei tidak bertanya lagi, walau sesekali matanya
menyelidiki raut wajah teman-temannya. Mungkin Mei sungkan
pada Aoi. Cowok itu benar-benar bermuka masam. Kalau tidak
kelewat lapar seperti saat itu, mungkin Kelly tidak berselera
makan sama sekali.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Usai makan, Kelly melihat arloji. "Hampir jam sembilan nih.
Sebentar lagi mal tutup. Terus, Mira gimana" Kasihan kan dia
kalau harus pulang sendirian?"
"Halah, susah amat sih! Kamu kan bawa HP. Tinggal ditelepon
aja tuh anak, pastiin ada di mana sekarang," kata Aoi ketus.
"Lagian, pulang sendiri juga apa susahnya. Taksi banyak kok."
"lh, kamu kok gitu sih?" Kelly rada emosi. "Kasihan dia kalau
pulang naik taksi sendirian malam-malam. Kalau di jalan
dirampok bagaimana" Atau di.. di... huh!" Kelly bergidik
sendiri. "Huss... jangan mikir yang nggak-nggak ah!" Mei ikutan
bergidik. "Betul kata Aoi, kamu telepon dulu aja. Dia ada di
mana sekarang. Supaya kita nggak susah nyarinya. Mal ini kan
luas. Atau jangan-jangan tadi dia langsung pulang naik taksi."
"Oke deh, aku telepon sekarang."
Tangan Kelly merogoh isi tas. Dahinya berkerut. Dia berhenti
sejenak. Wajahnya tampak berpikir. Lalu, kembali dirogohnya
tas cangklong kecil itu. Kelly menggigit bibir. Dia meringis.
"HP-ku temyata ketinggalan di rumah, hehehe."
"Nggak hafal nomornya?" tanya Mei.
"Nomor HP-ku sendiri saja aku nggak hafal," jawab Kelly lugu,
membuat Mei dan Riku tertawa. Sementara Aoi hanya
tersenyum sinis. "Terus gimana dong" Riku, kamu punya nomor Mira, kan?"
tanya Mei. "Nggak." "Jadi, sekarang kita harus cari Mira dulu nih?" tanya Mei
bingung. "Masalahnya, aku belum ngerjain PR!"
"Ya ampun! PR!" pekik Kelly panik. "Aku juga belum ngerjain
PR matematika! Aduh, bagaimana nih" Aku kan lemot kalau
ngerjain matematika. Satu soal aja mesti mikir setengah jam
lebih. Alamat nggak tidur sampai besok dong!" rengek Kelly.
Riku tertawa. "Hahaha, ada-ada aja kamu, Kelly. Ya sudah.
Kamu pulang duluan sama Aoi dan Mei aja deh. Biar aku sendiri
yang cari Mira. Tapi ingat, begitu sampai rumah, kamu telepon
Mira untuk memastikan. Siapa tahu dia memang betul sudah di
rumah. Lalu, segera telepon aku, ya. Aku nggak akan berhenti
mencari Mira sebelum dapat konfirmasi darimu. Tapi semoga
saja aku bisa menemukan Mira sebelum kamu sampai di
rumah." "Oke. Aku minta nomor HP-mu dong," pinta Kelly.
Riku menuliskan nomor HP-nya di tisu, lalu menyodorkannya
pada Kelly. "Jangan dipakai buat ngelap ingus, ya," selorohnya.
Kelly tertawa kecil. Bagaimana mungkin buat ngelap ingus"
kata Kelly dalam hati. Tisu ini bakal disimpan di bawah bantal,
siapa tahu bisa mimpiin Riku. Kelly senyum-senyum sendiri
memikirkan hal itu. "Hai, malah cengengesan!" tegur Mei. "Yuk, pulang. Kudu
cepat-cepat ngerjain PR biar besok bisa bangun pagi nih!"
"Oke deh!" Akhirnya Kelly, Aoi, dan Mei memisahkan diri dan Riku. Riku
sebenarnya bingung mau mencari Mira ke mana. Tapi karena
mal sudah mau tutup, cowok itu memutuskan untuk berdiri di
depan pintu utama. Dia mengamati orang-orang yang mulai
berbondong keluar. Lama Riku mematung dengan mata
jelalatan, namun sosok yang dicarinya tak juga muncul. Hingga
rombongan pegawai mal keluar, Mira belum juga nongol.
Oh, apa aku langsung ke parkiran saja" Jangan-jangan Mira
menunggu di dekat mobil, pikir Riku.
Riku memarkir mobil di luar mal, jadi dia tidak perlu masuk
kembali untuk menuju tempat parkir. Suasana di jalan masih
ramai. Para pegawai bergerombol sambil bercanda ria selagi
menunggu angkutan umum atau jemputan pacar. Begitu juga
para keluarga yang habis berbelanja kebutuhan sehari-hari atau
sekadar refreshing, dan para remaja yang sedang hang-out atau
pacaran. Riku tersenyum melihat sepasang remaja yang tengah
duduk di taman. Mereka asyik ngobrol sambil ngemil kentang
goreng. Sesekali tawa meledak, dan si cewek menghujani tubuh
cowoknya dengan cubitan mesra.
Riku tertegun. Di bangku di sebelah sepasang muda-mudi itu,
seorang gadis berambut pendek tampak duduk melamun.
Mira. Dengan hati-hati Riku menyapa gadis itu. "Mira" Untunglah aku
menemukanmu di sini," sapanya sambil duduk di samping Mira.
Mira menoleh sejenak pada Riku, kemudian kembali berpaling
ke arah semula. Dia masih sedih dan kesal.
"Kami mengkhawatirkanmu, tapi sengaja nggak mengikutimu
tadi. Soalnya kamu pasti ingin sendirian."
"Kelly mana?" "Dia pulang duluan sama Aoi dan Mei. Katanya dia belum
mengerjakan PR matematika."
"Anak itu," desis Mira, "selalu saja menunda mengerjakan PR
sampai malam terakhir. Ujung-ujungnya, tengah malam atau
dini hari dia kerap meneleponku, meminta jawaban yang benar."
"Hah" Sampai segitunya?"
Mira tertawa kecil. Ketegangan di wajahnya mulai cair. "Benar.
Kelly memang sering bersikap konyol. Tapi, dia baik dan lugu.
Aku senang bersahabat dengannya. Keluarganya pun hangat dan
ramah. Apalagi mamanya, baik sekali. Masakan mama Kelly tak
ada duanya deh!" Mira berbicara berapi-api.
Riku tersenyum lebar. Dia senang melihat wajah Mira cerah
kembali. Tapi tak lama kemudian Mira kembali muram.
"Seandainya mamaku seperti mama Kelly," gumam Mira.
"Ssstt... nggak balk membanding-bandingkan orangtua. Semua
orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Begitu
juga mamamu. Hanya mungkin saja caranya tidak sesuai dengan
keinginanmu." Mira mengangkat bahu. "Aku capek harus selalu jadi yang
nomor satu." "Kalau begitu, ya berhenti aja. Kamu nggak harus selalu
menuruti orangtuamu jika memang membuat jiwamu lelah.
Pelan-pelan, berilah pengertian pada mamamu. Aku yakin
mamamu akan mengerti."
Mira menggeleng sedih. "Kamu nggak mengerti mamaku, Ri.
Dia sangat ambisius. Keras. Dan kamu tahu, yang membuat
segalanya menjadi sulit karena...," Mira berhenti sejenak,
menghela napas berat, "di dalam diriku ada sifat mamaku.
Walau Ielah, temyata aku menginginkannya, Ri. Menjadi juara,
menjadi nomor satu, menjadi pemimpin. Hal-hal tersebut
menguasal pikiranku. Saat ini aku memikirkan untuk..."
"Apa yang kamu pikirkan, Mir?" Riku tidak sabar ingin tahu.
"Menjadi ketua OSIS."
Riku mendesah." Itu tujuanmu murni atau sekadar menjegal Aoi
yang juga mencalonkan diri?"
"Aoi mencalonkan din jadi ketua OSIS?" Mira mendelik
jengkel. "Dia lagi... dia lagi..."
Riku mengangguk. "Kukira kamu sudah tahu. Tapi kamu
mencalonkan diri memang kepingin atau karena mamamu" Atau
lebih konyol lagi, untuk balas dendam pada Aoi?" Riku menatap
tajam mata Mira. Mira mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi kurasa Mama akan
bangga kalau aku terpilih jadi ketua OSIS."
"Jadi, kamu melakukan semua hal karena mamamu" Kapan
kamu melakukan untuk dirimu sendiri" Motivasim u hanya agar
dibanggakan mamamu, bukan karena kamu ingin belajar
berorganisasi dan mengembangkan din. Dangkal sekali, Mira."
"Biar saja. Dan sekarang, setelah tahu Aoi mencalonkan diri,
hmm... mungkin kamu benar. Aku ingin balas dendam pada
cowok masam itu!" "Itu konyol, Mira!"
Mira menunduk. Kata-kata Riku benar dan kebenaran itu sangat
menyakitkan Mira. Tiba-tiba Mira malu pada Riku yang begitu
dewasa dan bijaksana. Tidak seperti remaja pada umumnya,
pemikiran dan sikap Riku jauh lebih dewasa.
"Terima kasih, Riku. Aku tahu kata-katamu benar. Tapi aku
belum bisa menerima kekalahan dari Aoi. Aku ingin
membuktikan bahwa aku lebih hebat daripada dia."
Riku mendesah, "Kamu ambisius, Mira. Cobalah melakukan
sesuatu karena dirimu, bukan harena hal-hal di luar dirimu.
Kalah atau menang, kamu tetap puas, karena kamu belajar dan
prosesnya, bukan mencari hasil semata."
Mira menerawang jauh, bagaimanapun dia belum bisa menerima
saran Riku. Tidak kali ini. Mira akan berjuang mati-matian
untuk menjadi ketua OSIS. Dia berjanji melakukan itu untuk
kepuasan dirinya, bukan untuk mamanya.
"Oke, kita ke mobilku yuk! Sopirku menunggu. Oh iya, ada
baiknya kamu telepon Kelly, supaya dia nggak cemas. Tadi HPnya ketinggalan, dan aku memintanya untuk menghubungimu
setibanya di rumah."
Mira mengangguk, kemudian mencoba tersenyum pada Riku,
meski belum berani menatap mata cowok itu yang selalu teduh.
Mira masih malu, karena dininya begitu lemah. Dikeluarkannya
HP dan kantong celana dan dicarinya nomor Kelly. Namun, HP
Mira keburu berbunyi. "Kelly," kata Mira pada Riku. "Halo, Kel..."
"Mira, kamu di mana" Baik-baik saja, kan" Aku khawatir sekali.
Kalo kamu hilang bagaimana" Nanti aku dimarahin mamamu
deh! Eh, kamu sudah sampai wmah keliling-keliling di mal"
Riku belum sih" Atau masih nyariin kamu tuh..."
"Stop, cereweeet! Aku sudah sama Riku nih!" potong Mira.
Mira dan Riku terbahak-bahak Ah, untunglah malam itu
berakhir dengan tawa. BEBERAPA hari kemudian Mira sudah ceria kembali. Ia
bernyanyi riang dalam perjalanan ke sekolah. Kaki jenjangnya
Iincah melompat dan berlan kecil. Saat mampir ke rumah Kelly,
ia meluangkan waktu untuk mencicipi masakan ibu Kelly. Ia
pun kembali pada kebiasaan lama: mencium pipi tembam
Morati, adik Kelly. "Wah, Tante senang sekali kamu kembali ceria, Mir! Kamu
cantiiik banget kalau tidak cemberut." Ibu Kelly mencubit
gemas pipi Mira sambil tertawa renyah. Wajah Mira bersemu
merah. "Terima kasih, Tante. Emang saya aslinya cantik sih!" Mira
mengerling. "lh, genit!" Kelly pura-pura mencibir.
"Hahaha!" Mira tertawa senang. "Kami berangkat dulu ya,
Tante. Dah, Morati sayang!"
"Hati-hati!"Mira dan Kelly berlari kecil sambil tertawa-tawa.
Seperti biasa, Riku menanti mereka di jalan.
"Pagi semua!" sapa Riku.
"Pagi, Riku!" balas Mira dan Kelly bersamaan. Kemudian
mereka meneruskan perjalanan sambil bersenda gurau. Kelly
berjalan di sisi Riku, sedangkan Mira berjalan sendirian di depan
mereka. Langkah Mira terlalu cepat untuk diimbangi langkah
Kelly. Namun, untuk menjejeri Mira, Riku tak tega pada Kelly,
sekalipun Riku ingin sekali berdampingan dengan Mira.
Terpaksalah posisi jalan ketiganya tetap seperti itu hingga di
sekolah. "Mir...," bisik Kelly saat mereka sampai di kelas.
"Hm?" Mira duduk bersandar di kursi sambil meluruskan kedua
kaki. "Riku cakep banget ya! Baik, lagi. Rasanya aku jatuh cinta deh
sama dia," kata Kelly sambil menatap langit-langit kelas.
Senyumnya mengembang. Sepertinya dia tengah
membayangkan sesuatu. Mira menatap sahabatnya dengan
perasaan aneh. Mendadak lidahnya kelu. Ia tak tahu harus
berkata apa. Kelly jatuh cinta pada Riku" Kenapa hati Mira jadi
tak keruan rasanya" Apa Mira cemburu" Ah, tapi Mira tidak
mencintai Riku. Mira yakin dirinya hanya mengagumi Riku.
Atau... atau Mira merasa dirinya ditendang keluar dan hati
Kelly, kemudian digantikan sosok Riku" Atau... atau karena
Mira belum pernah merasakan jatuh cinta pada siapa pun dan tak
rela sahabatnya punya pacar duluan" Jadi, siapa yang
dicemburui Mira sebenarnya"
"Mir, kok kamu melamun sih" Jangan-jangan..." Kelly menatap
curiga pada Mira. Kemudian dia melotot. "Oh, Mira! Jangan
bilang kamu juga suka Riku ya!" Mira membulatkan mata.
Tangannya berkacak pinggang. Ditatapnya Kelly dengan galak,
lalu disemburkann ya kata-kata, "Ck ck ck... sembarangan!
Makan tuh Riku!" Kelly nyengir.
"Serius, kamu nggak naksir dia?" tanyanya memelas. Mira
berdecak sekali lagi. Lalu, dengan overacting dia berkata, "Kelly-ku yang baik, aku
mengagumi Riku. Dia sahabat yang baik bagi kita, bukan" Tapi
itu bukan naksir. Kalau kamu suka dia, tembak secepatnya
sebelum Riku disambar sahabatmu yang cantik dan baik ini!"
Mira memeletkan lidah, menggoda Kelly. Kelly ngikik. Mira
tersenyum, kemudian menepuk punggung Kelly. "Tenang aja
deh, sobat. Riku milikmu, hehehe."
"Tapi, bagaimana cara menembaknya ya?" Kelly garuk-garuk
dahi tak jelas. "Ambil senapan. Taruh moncongnya di dada Riku, kemudian
tank pelatuknya. Gampang, kan?"
"Ah, Miraaaa!" Kelly kesal. "Aku serius, tauuu!"
"Yah, mana aku tahu. Aku kan belum pemah nembak cowok!"
"Hehe, iya ya..." Lagi-lagi Kelly menggaruk dahi yang tidak
gatal. Hari itu Kelly menjadi sangat aneh. Saat pelajaran tengah
berlangsung dia sering tersenyum sendiri dan tidak
berkonsentrasi pada materi yang diajarkan guru. Begitu ada
kesempatan bicara dengan Mira, yang dibicarakan Kelly
hanyalah Riku. Riku, Riku, dan Riku, nggak ada yang lain.
Sampai-sampai Mira sesak napas karena udara seakan terpolusi
nama Riku. Huh, menyebalkan kalo sahabat sedang jatuh cinta!
rutuk Mira dalam hati. *** "Kamu sadar nggak sih bahwa kamu beda banget sekarang,"
kata Mira saat dia dan Kelly sedang bersantai di kamar Mira
yang luas. "Masa sih" Beda bagaimana?" Kelly penasaran.
"Sejak kamu jatuh cinta pada Riku, setiap hari kerjamu
melamun terus. Sambil senyum-senyum sendiri, lagi. Kayak
orang nggak waras. Hiiy!" Mira mengedikkan bahu, pura-pura
jijik. "lh, yang benar?" Kelly meringis.
"Iya. Aku sampai mau meledak nih, karena kebanyakan
mendengar nama Riku. Tiap hari sampai berapa juta kali nama
Riku keluar dan mulutmu" Kayak di dunia ini nggak ada nama
lain aja," omel Mira.
"Ih, lebay!" seru Kelly manyun. "Di dunia ini memang banyak
nama lain. Cowok ganteng juga banyak. Tapi yang terganteng
dan terkeren cuma Riku. Riku is the best deh!" Kelly ikutan
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebay. "liiihh!" Mira terbawa gemes. Kelly terbahak-bahak melihat
tingkah sahabatnya. "Tenang, pren. Aku masih waras kok."
"By the way busway, serius nih, kamu suka Riku" Apa sih yang
kamu sukai dan dia?" selidik Mira.
"lya. Aku jatuh cinta betulan kali ini. Semua yang ada pada dia
aku suka. Aku suka matanya, hidungnya, kulitnya, tubuhnya,
senyumnya, tingkah lakunya, bahasa tubuhnya, cara berpikirnya,
caranya memandang dunia, caranya berpakaian, gerakan alisnya
saat bicara, giginya yang putih, hidungnya yang mancung..."
"Suka bulu hidungnya sekalian nggak?" potong Mira. Kalau
dibiarkan, Kelly bisa nyerocos sampai satu jam penuh.
"Oh... iya! Aku juga suka bulu hidungnya yang radar ada nongol
ke luar. Menurutku seksi, tau! Trus kalau dia sedang nyanyi,
badannya rada goyang-goyang gitu deh. lh, keren sekali. Aku
juga suka cara berjalannya. Tiap berangkat sekolah dia berjalan
di sampingku." Mira buru-buru menutup telinga dengan headset dan
mendengarkan musik. Sepertinya tidak bisa dicegah lagi, Kelly
tak akan berhenti bicara tentang Riku sampai tenggorokannya
serak. "Mira! Kamu nggak dengar ya"!" Kelly sewot begitu
menyadari sahabatnya itu memakai headset. Tangannya
mencabut headset di telinga Mira.
"Habis, kamu ngomongnya nyerocos kayak kereta api sih.
Telingaku sakit dan kepalaku hampir meledak mendengar nama
Riku." "Trus, gimana dong" Aku berbunga-bunga nih. Kayaknya aku
nggak bakalan bisa deh hidup tanpa dia. Aduh... menurutmu dia
akan menerimaku nggak?" Mira sampai bengong melihat
kelakuan Kelly. "Ya ampuuun! Sampai segitunya!" seru Mira sambil gelenggeleng.
"Yah, mana kita tahu kalau kamu nggak ngomong ke dia"
Makanya buruan tembak! Jadi kamu akan segera tahu dia suka
sama kamu apa nggak!"
"Kalau aku ditolak gimana" Kan tengsin!" Kelly menggigit
bibir. "Ya, terimalah penolakan itu dan tetap bersahabat seperti
sekarang. Gampang, kan?"
"Gampang menurutmu. Kamu nggak ngerasain sih! Kamu
belum pemah jatuh cinta, kan?"
"Udah. Aku jatuh cinta pada kucing, dan langsung patah hati
karena Mama nggak ngizinin aku piara kucing!" jawab Mira
asal. "Mira! Serius nih!" Kelly mulai merajuk. Dia melemparkan
bantal ke arah Mira. "Jangan godain mulu, kenapa" Aku
sungguh-sungguh sangat serius sekali banget-banget."
"Lebay!" sambar Mira sambil menjulurkan lidah.
"Aaah!" Satu bantal kembali dilempar ke tubuh Mira. "Ya udah,
tembak aja kalo udah nggak tahan!" Kelly tiba-tiba merenung.
Dia sedang menimbang-nimbang. Mira mendengus kesal. Tibatiba hatinya khawatir. Kalau Kelly jadian sama Riku, nanti dia
kesepian dong"! *** Di luar dugaan Mira, hari berikutnya sepulang sekolah Kelly
mengajak Riku untuk bertemu di pojok lapangan. Wow! Mira
tidak menyangka Kelly seberani itu. Selama ini dia kira
sarannya pada Kelly untuk nembak Riku hanyalah pepesan
kosong. Mira pikir Kelly tak akan berani. Mira gelisah. Apakah
itu artinya Mira takut kehilangan Kelly" Benarkah Mira belum
sanggup berbagi dengan Riku, karena menjadi nomor dua di hati
Kelly" Atau..." Ah, Mira tidak tahu. Harusnya dia senang bila
Kelly senang. Mengapa perasaannya jadi nggak kewan kayak
begini sih" Duh, sungguh Mira bingung bukan kepalang.
Mira menunggu Kelly di taman sekolah dekat gerbang. Kelly
tentu saja sedang nembak Riku di bawah pohon beringin di
pojok lapangan bola. Apa yang sedang terjadi ya" Kira-kira
Kelly gugup nggak" Terus, Riku nerima atau nolak" Ah... Kelly
memang nekat! Kepala Mira penuh pertanyaan. Dia nggak sabar
ingin segera tahu. "Ngelamun aja!" Mira tersentak, tapi tak ingin segera menoleh
ke asal suara, walaupun jelas-jelas suara itu menyapa dirinya.
Mira tahu itu suara Aoi. Cewek itu hanya melirik malas. Terlihat
Aoi tengah berdiri santai sambil menyenderkan sisi tubuhnya
pada tiang lampu taman. "Mikirin apa sih?" tanya Aoi. Nadanya
terkesan menyindir, bukan bertanya.
"Bukan urusanmu!"
"Kamu nggak rela ya Riku jadi pacar sahabatmu?" Aoi
tersenyum sinis. "Jangan-jangan, kamu juga suka pada Riku."
Kini Aoi mencibir. "lh! Apa sih maumu" Kamu senang banget ya, bikin aku kesal!"
Mira mengentakkan kaki kanannya. Matanya memelototi
Aoi. "Kamu juga udah membuatku kesal dengan pencalonanmu
itu!" desis Riku sambil menatap tajam Mira. Mira gugup ditatap
seperti itu. Tetapi ia tak ingin terlihat lemah di mata Aoi.
Disingkirkannya segenap perasaan aneh itu. Dia mendongak,
menatap Aoi dengan congkak.
"Kenapa" Kamu takut kalah" Kamu nggak mau melihatku jadi
ketua OSIS ya" Hmm... berarti kamu takut bersaing denganku
dong!" Mira memasang senyum meremehkan. Aoi mencibir.
"Lihat saja nanti, kamu akan menjadi nomor dua lagi, Nona
Jutek!" Aoi kemudian pergi. Apa" Nona jutek" Grrhh! Mira
kesal sekali dengan julukan yang diberikan Aoi. Enak saja aku
dipanggil Nona jutek. Huh, dasar Tuan Muka Masarn! Eh, tuan"
Mira meralat pikirannya sendiri. Enak saja dipanggil tuan.
Cowok Muka Masam mungkin tepat bagi cowok menyebalkan
itu. Menyebalkan... yah, julukan yang lebih pas buat dia.
"Aku akan jadi ketua, Mister M!" teriak Mira. "Lihat saja
nanti!" Aoi menghentikan langkah. Dia menoleh pada Mira
dengan dahi berkerut. "Apa kamu bilang tadi?"
"Mister M, alias me-nye-bal-kan!" Mira memberi penekanan
pada setiap suku kata. Wajahnya nyengir puas. Aoi melipat
muka sebelum berpaling dan pergi. Bibimya ngedumel nggak
jelas. Mira ngakak. Sungguh puas dan senang hatinya karena
berhasil membuat Aoi kesal. Rasain! Cowok sombong! rutuk
Mira dalam hati. Tawa Mira terhenti saat dia melihat
pemandangan di parkiran. Aoi memasuki mobil Mei. Ooh... jadi
Mei pacar Aoi" Perasaan aneh mampir di hati Mira. Apakah
semua temannya punya pacar" Apakah hanya dia seorang yang
belum punya pacar" Dan sebentar lagi, apakah sahabatnya juga
pacaran dengan Riku" Jika mereka pacaran, pasti mereka lebih
suka berduaan ketimbang bersama dirinya. Hati Mira tiba-tiba
kecut. "ADA apa, Kel?" Riku masih tak mengerti, mengapa Kelly
menyeretnya ke lapangan sekolah. Ingin berdua pula, sedangkan
Mira menunggu di taman. "Kamu mau minta diajarin main bola,
ya?" seloroh Riku. Kelly menggeleng kaku. Wajahnya tegang sekali. Diseretnya
Riku ke bangku di pinggir lapangan. "Duduk di sini yuk, Rik."
Riku menurut. Hatinya mulai dag dig dug, merasa ada yang
tidak beres. Tapi dia memilih tidak mengatakan apa-apa
sebelum Kelly mengucapkan sesuatu.
"Rik... aku... aku..." Kelly sangat gugup. Wajahnya sudah
semerah udang rebus. Keringat bercucuran di kening, bahkan
telapak tangannya dingin. Duh, kok kakiku gemetar ya" keluh
Kelly dalam hati. Untung saja dia duduk. Kalau berdiri,
mungkin sudah ambruk ke tanah.
Riku menunggu. Ia menatap Kelly penuh perhatian. Riku
prihatin, mengira Kelly sakit.
"Ng... Ri, jangan ketawa, dulu ya..." Kelly berhenti lagi.
Batinnya merutuk. Sialan! Mau ngomong cinta ternyata rasanya
kayak disidang di depan guru BP dan kepala sekolah!
"Apa kamu lihat aku sedang tertawa?" tanya Riku karena Kelly
tak juga mengeluarkan kata-kata lanjutan.
Kelly menggeleng. Kemudian dihelanya napas panjang,
dikumpulkannya segenap keberanian, dan dikeluarkannya katakata itu. Begitu cepat meluncur dan bibir Kelly sebelum
kemudian Kelly menutup wajah dengan kedua telapak
tangannya. "Aku cinta kamu."
Diam. Riku tercengang. Dia mendengar Kelly mengucapkan kata itu,
tapi tak begitu yakin. Selain ucapan Kelly tak jelas, juga karena
sesudahnya Kelly menutupi wajah. Itu tadi betulan tidak" Kelly
menembakku" pikir Riku.
"Bagaimana, Ri?" tanya Kelly, masih dengan wajah tertutup
telapak tangan. "Ha" Bagaimana apanya?" tanya Riku polos.
"Perkataanku barusan..." Suara Kelly semakin lemah.
"Tadi kamu ngomong apa sebenamya?" Riku tidak bermaksud
apa-apa, selain ingin mendengar kata-kata itu lebih jelas. Dia
takut tadi salah dengar. Kelly jadi sebal. Riku tahu nggak sih, tidak mudah
mengucapkan kata-kata keramat itu, kok malah disuruh
ngucapin sekali lagi" Kelly menurunkan tangan dan terlihatlah
wajahnya yang memerah. Dia melirik sebal pada Riku. "Masa
nggak dengar sih" Tadi kan aku bicaranya jelas. Kamu purapura nggak dengar, ya?" semprotnya.
Riku garuk-garuk kepala. Waduh, keluar galaknya deh! "Bukan
begitu, Kel. Aku cuma mau memastikan. Habisnya, begitu
ngomong, kamu langsung tutup mulut. Kan nggak jelas banget
tuh!" "Ya udah, yang tadi kamu dengar itu benar. Jawabanmu apa?"
Riku bengong. "Oh, harus dijawab ya" Perasaan kamu tadi
nggak nanya." "lh... Rikuuuu Aku serius. Kamu harus jawab, mau nggak kamu
jadi pacarku..." Kelly terdiam. Wajahnya yang sudah merah
semakin membara. Mendadak dia malu sekali.
Riku menghela napas panjang. Hatinya galau. Dia takut
menyakiti hati Kelly. Tapi bagaimanapun, Riku harus menjawab
sekarang. Dia tidak ingin menggantung Kelly dalam status
nggak jelas. Cewek sering kebanyakan harapan. Makanya Riku
harus tegas. "Kel, maaf. Aku dan kamu lebih baik bersahabat
saja seperti sekarang. Aku rasa itu hubungan yang paling indah
dan paling tepat bagi kita," kata Riku lembut.
Kelly terenyak. Rasa sakit menjalar di hatinya. Dia ingin nangis,
tapi gengsi dilihat Riku. Karena itu, dia hanya mengangguk
lemah. "Pulang yuk, Ri," ajak Kelly sedetik kemudian, walau
sebenarnya kakinya berat untuk melangkah. Ternyata, begini
rasanya ditolak cowok. Sakit!
*** Kelly tidak langsung pulang. Dia malu pada mama dan adiknya
karena bisa dipastikan dia tidak bisa menahan tangis
sesampainya di rumah. Dia memilih ke rumah Mira dulu. Di
rumah Mira sepi, jadi Kelly bisa nangis jejeritan sesuka hati.
Di kamar Mira, Kelly telungkup di ranjang. Wajahnya
dibenamkan di bantal. Dadanya naik-turun karena menangis
sesenggukan. Mira menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Kelly terus saja
menangis sehingga Mira tidak tahu harus berkata apa. Segala hal
yang dikatakan Mira pada Kelly seakan tak berarti sama sekali.
Namanya juga orang patah hati. Pasti perasaan sakit hatinya
lebih dominan ketimbang logika. Hingga akhimya tubuh Kelly
bergerak lebih teratur. Gadis itu berbalik, menatap Mira.
Matanya sembap dan merah. Kelly menghapus air mata.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Mira khawatir.
Kelly mengangguk. "Rasanya aku nggak mau lagi bertemu Riku
karena malu." "Sudahlah. Kan tadi waktu kita pulang bareng, sikap Riku biasabiasa saja, kan" Dia tetap mengajak kita bercanda seperti biasa.
Jadi, nggak akan ada masalah. Kamu dan Riku tetap bisa
berteman seperti sebelumnya."
"Tapi, aku takut Riku jijik melihat tingkahku tadi. Huhuhu..."
Kelly kembali menangis. "Tingkah yang mana?"
Wajah Kelly merona malu. "Tadi aku sempat ngomelin dia saat
dia pura-pura nggak dengar waktu kutembak." Mira ingin
tertawa, tapi ditahannya. Dia tak ingin membuat sahabatnya
makin malu. "Oh, Riku pasti mengerti. Itu reaksi wajar kok. Kamu harus
ingat, dia sangat dewasa dan tidak berpikiran sempit seperti kita.
Kan kamu sendiri yang bilang ke aku bahwa Riku dewasa,
bijaksana, blablabla..." Mira memerot-merotkan bibir. Tapi dia
menahan diri untuk tidak terus menggoda Kelly karena Kelly
kembali mew ek. "Besok kamu harus sekolah, dan lihatlah
betapa dunia masih baik-baik saja. Riku akan tetap menunggu
kita di depan pintu gerbang rumahnya, sambil tersenyum tentu."
"Tapi jangan singgung-singgung masalah ini, ya?" pinta Kelly
memelas. "Aku malu. Hiks!"
"He hem." Mira mengangguk sambil tersenyum.
Kelly tersenyum, lalu memeluk Mira erat.
Mira lega, Kelly akhirnya bisa tersenyum kembali. Mira yakin
Kelly bakal mampu mengatasi masalah itu sendiri.
*** Ternyata esok harinya Kelly demam. Mungkin karena dia tidak
nafsu makan sementara tenaganya habis untuk menangis. Mira
berangkat ke sekolah sendirian. Pikirannya melayang pada
Kelly. Ah, jatuh cinta ternyata tidak selalu indah. Jatuh cinta
bisa bikin demam! "Lho, sendirian" Mana Kelly?"
Suara Riku menyentakkan Mira dan lamunan. Ternyata
langkahnya telah sampal di depan rumah Riku. Untunglah ada
teman jalan. Kalau tidak, Mira bisa jatuh karena berjalan sambil
melamun. "Dia demam, mungkin karena kurang istirahat dan
kurang makan. Maklum, setelah kamu tolak, dia susah tidur dan
nggak mau makan." Mira melirik Riku.
"Ya ampun, cinta ditolak kan bukan akhir segala"
"Ya, dan dia bisa terima penolakanmu kok. Kemarin aku sudah
bicara dengannya. Tapi, Riku, kenapa sih kamu menolak Kelly"
Kelly kan manis, riang, dan menyenangkan. Dia cocok buat
kamu Iho." Sesaat Riku mendesah, kemudian menoleh pada gadis di sisinya.
"Aku nggak tertarik padanya. Aku lebih tertarik pada
sahabatnya." Langkah Mira terhenti. Spontan Riku juga berhenti. Mereka
berdiri berhadapan dan bertatapan. "Maksudmu?" tanya Mira.
"Hem, aku suka kamu, Mir," ucap Riku lembut. Ekspresinya
serius. Tatapannya semakin tajam saja, seolah menagih jawaban
segera dan Mira. Di luar dugaan Riku, Mira justru ngakak. Gadis berambut
pendek itu melanjutkan langkah panjang-panjang. Riku
terheran-heran dan menyusul pujaan hatinya.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya kenapa kalau aku suka kamu" Nggak boleh?"
"Ya nggak boleh dong! Aku kan sahabat Kelly. Nggak mungkin
aku menyukai orang yang disukainya. Itu namanya teman
makan teman!" "Kamu benar-benar nggak tertarik padaku sama sekali, Mir?"
Riku tetap mengejar Mira dengan pertanyaan. Dia penasaran.
Mira terdiam. Dia berhenti sejenak, kemudian menatap jalanan
yang ramai. "Itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu,"
gumam Mira. "Yang jelas dong jawabanmu," pinta Riku.
"Ah, sudahlah. Kita harus buru-buru. Hari ini aku kampanye
nih. Kamu pilih aku jadi ketua OSIS, kan?"
"Mmm, itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu," balas Riku
menirukan Mira. Mira manyun, lalu berlari kecil.
INI menyebalkan. Lagi-lagi saingan terkuat Mira di ajang
pemilihan ketua OSIS adalah Aoi. Walau termasuk anak yang
kurang populer karena tidak supel, Aoi mampu memikat temanteman di sekolah dengan gaya pidatonya yang karismatik.
Penampilannya cool sekali.
Mira kebalikannya. Dia berpidato dan berdebat dengan penuh
energi. Orasinya berapi-api. Setiap Mira pidato, penonton
berteriak heboh. Terutama yang cowok-cowok. Hihi, sejak jadi
kandidat ketua OSIS, Mira mendadak jadi idola baru. Wajah dan
penampilannya boleh saja pas-pasan, tapi cowok-cowok
menyukai cewek cerdas. Ya, penampilan bukanlah yang utama.
Yang penting apa yang ada di dalam hati dan otak.
Pada musim kampanye ini reaksi Mira kian sengit saja bila
bertemu Aoi. Pun sebaliknya. Aoi pasti mengejek Mira saat
mereka berpapasan. Dua anak itu bagai musuh bebuyutan, tak
sekali pun saling melempar senyum.
Akhirnya tiba juga saat penghitungan suara. Kali ini Mira dan
Aoi terpaksa duduk bersebelahan. Jantung Mira rasanya tak
keruan, berloncatan, dan berdetak kencang. Mira takut kalah.
Menjadi wakil Aoi jelas musibah. Dia tak akan sudi menjadi
orang kedua setelah Aoi. Lagi pula, kalau dia jadi wakil Aoi,
jangan-jangan cowok itu akan semakin mempermainkannya.
Pasti Aoi nyuruh-nyuruh melulu. Huh, nggak sudi deh!
Aoi melirik Mira. "Selamat jadi wakil ketua OSIS, Nona Jutek,"
bisik Aoi, membuat Mira terjaga dan Iamunan.
"Lihat saja nanti, kamu yang bakal jadi wakilku, Mister M!"
balas Mira sengit. Aoi hanya tersenyum simpul. "Belum pernah anak kelas 10 jadi
ketua OSIS. Anak kelas 10 selalu jadi wakil, jadi jangan terlalu
pede." Upf! Perkataan Aoi menohok tepat di ulu hati Mira. Mira
tercekat. Benarkah yang Aoi katakan" Mingkinkah dia menjadi
nomor dua" Lagi" Setelah Aoi" Argh... Mira mana mungkin
menerima kenyataan itu. Perhitungan suara masih berlangsung. Perolehan suara Mira dan
Aoi kejar-kejaran, sementara tiga calon lain jauh tertinggal. Sulit
memprediksi siapa yang bakal bertengger paling atas. Hingga
akhirnya perolehan suara Mira dan Aoi berada persis pada angka
yang sama. "Wah, tinggal satu suara yang tersisa," kata Ferdy, si penghitung
suara sambil mengangkat satu lintingan kertas.
Penonton ramai. Belum pemah ada calon yang sama kuat dalarn
kancah pemilihan ketua OSIS di sekolah mereka. Kini satu suara
itu akan menentukan nama sang ketua: Mira atau Aoi"
Mira sangat tegang, berbeda dengan Aoi yang terkesan cuek.
Mira mengetuk-ngetukkan sepatu di Iantai. Berulang kali dia
menelan ludah. Sementara itu Ferdy memperlambat gerakan
membuka lintingan kertas, itu pun sambil sengaja melirik Mira
dan Aoi secara bergantian. "Mmm... semakin tegang dua
kandidat kita ini," seru Ferdy bergaya bak MC profesional. Dia
berlagak mengintip tulisan di kertas.
Mira manyun, Aoi tersenyum basa-basi. Di barisan penonton,
Kelly komat-kamit berdoa. Sekelompok anak tak berhenti
menyebut nama Aoi, iramanya seperti yel-yel. Kubu Mira tak
mau katah, mengumandangkan nama Mira berulang-ulang
dengan nada ritmis. "Baiklah, saya umumkan saja saat ini..." Ferdy menghela napas.
"Ketua OSIS terpilih adalah... AOI!"
Jegerrr! Petir seolah menyambar kepala Mira. Badannya lemas
dan gemetar. Dadanya seolah meledak. Sementara itu, suara
tepukan tangan dan suit-suit membahana. Kontras dengan
kondisi Mira, Aoi tersenyum lebar merayakan kemenangan. Dia
mengangkat kedua tangan. "Sudah kubilang, kamu jadi wakilku, Nona Jutek," bisik Aoi
sarnbil tertawa kecil. Mira meradang. Dia kehilangan kendali
diri. Tak dipedulikannya teman-teman yang ramai di depannya.
Mira berlari ke luar aula. Semua terperangah. Aoi tersentak.
Ferdy memanggil nama Mira menggunakan pengeras suara.
Mira terus berlari sepanjang koridor sekolah. Air matanya
bercucuran deras. "Mir! Mira!" Seseorang mengejar Mira sambil meneriakkan
namanya. Ternyata Kelly. "Tinggalkan aku, Kel!" Mira menampik tangan Kelly ketika
Kelly hendak menenangkannya. Mira bergegas masuk ke toilet,
membanting pintu, dan mengunci dari dalarn.
Mira menangis di toilet. Dia benar-benar kesal. Lagi-lagi dia
harus menerima kenyataan pahit. Nasib baik tak pernah berpihak
padanya. Mira malu pada diri sendini, pada Aoi, dan pada Riku.
Mira malu pada teman-teman yang selama ini mendukungnya.
Juga pada seisi sekolah yang tadi tumpah ruah di aula untuk
menyaksikan perhitungan suara.
Bayangan Mama kembali datang di pikirannya. Mira takut
Mama akan marah lagi. Mira takut Mama tak lagi
membanggakan dirinya di hadapan teman-teman dan keluarga
besar. Mira ingin sekali lenyap dari dunia. Sungguh, Mira tak
sanggup menerima kegagalannya kali ini. Terlebih, lagi-lagi dia
dikalahkan Aoi. Dengan setia Kelly menunggu Mira di luar toilet. Biarlah Mira
meluapkan kekesalannya hingga puas.
Akhimya Mira keluar dengan mata merah dan sembap. Tanpa
suara Kelly membimbing Mira ke wastafel dan memutar keran.
"Kacau benar aku saat ini," gumam Mira saat melihat
bayangannya di cermin. "Mira, sudahlah... kamu tetap hebat kok. Kamu menjadi wakil
ketua OSIS, mengalahkan puluhan teman seangkatan yang juga
menginginkan jabatan itu. Kamu hebat, Mir! Tahun depan
kamulah ketuanya. Pasti!" Kelly mencoba menghibur Mira.
"Aku maunya tahun ini. Tapi Aoi... Cowok itu selalu
mengganggu langkahku!" teriak Mira gemas.
"Usia Aoi setahun lebih tua daripada kita. Wajar saja kalau dia
selangkah lebih maju..."
"Dia seusia kita," potong Mira. "Itu yang membuatku semakin
kesal!" Kelly mendesah sedih. Dia menatap sahabatnya melalui cermin
di atas wastafel. Wajah Mira tampak begitu kecewa. Matanya
yang lebar dan selalu berbinar kini kelihatan redup tak
bercahaya. "Aku mau sendinian," desis Mira.
Kelly men desah lagi. Dengan berat hati ia tinggalkan sahabatnya
itu. Mira selalu begitu, selalu ingin menyendiri bila punya
masalah. Berbeda dengan Kelly, yang selalu ingin
menumpahkan isi hati lewat kata-kata, secepatnya begitu
masalah menghampirinya. "Aku tunggu di depan pintu, ya," kata Kelly.
Mira tidak menjawab. Dia masih nanar memandang cerrnin.
Sore harinya Riku dan Kelly mengunjungi Mira di rumahnya.
Mira tampak tegar dan ceria. "Wah, aku senang sekali melihat
kamu sudah tersenyum kembali, Mir," ucap Kelly lega.
Mira tersenyum masam. "Mama pulang. Kalau wajahku ketekuk
kayak remasan kertas, bisa-bisa aku diinterogasi. Kamu jangan
cerita dulu ke Mama tentang kekalahanku ya, Kel. Aku belum
siap menerima omelan Mama."
Kelly mengangguk. Dia iba pada sahabatnya. Mama Mira
memang sangat berbeda dengan mama Kelly. Mama Kelly tak
pernah menuntut apa pun dan Kelly. Apa adanya Kelly sudah
membuat mamanya bangga dan bahagia. Yang penting putrinya
menjadi anak baik, begitu selalu mamanya berpesan.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Mir?" ajak Riku.
"Nggak ah! Paling nanti ada Aoi lagi. Sori ya, aku nggak mau
merayakan kemenangan dia!" Mira merengut.
"Ya ampun, Mir!" seru Kelly gemas. "Terima kekalahan dong!
Contoh nih, aku yang bisa berteman lagi dengan Riku. Aku
menerima kenyataan dia memang nggak menyukaiku. Ayolah,
Mir!" bujuk Kelly. "Aku kesal. Kenapa harus Aoi lagi" Mungkin kalau ketuanya
Riku, aku nggak akan merasa sesakit ini. Aoi gitu Iho!
Tampangnya saja menyebalkan kayak gitu. Bagaimana mungkin
aku bisa kerja sama dengan dia?"
"Mir, jangan salah sangka. Aoi baik banget Iho. Dia bisa bekerja
sama dengan siapa pun, termasuk kamu," jelas Riku sabar.
Mira mendesah. Hatinya masih kesal. Tapi dia mau juga jalanjalan ke taman kota bersama Riku dan Kelly. Tentu saja setelah
Riku meyakinkan Mira bahwa Aoi nggak akan ada di sana.
"Gimana, udaranya segar, kan" Jadi pikiranmu ikut segar dan
hatimu terbawa nyaman," kata Riku.
Mereka duduk di tepi danau kecil di tengah taman. Untuk sesaat
mereka hanya diam dan menikmati pemandangan asri. Air
danau beriak lembut, angin berembus sepoi-sepoi. Benar kata
Riku, pikiran Mira menjadi lebih tenang, hatinya pun berangsur
senang. "Aku punya cerita," Riku membuka suara. "Dulu waktu kelas
10, aku kalah telak saat adu gol dengan anak kelas 11. Anak itu
berhasil mencetak lima gol, sedangkan aku hanya mampu satu.
Kemudian selama di kelas 10 aku menjadi pesuruhnya. Sakit
banget rasanya. Tapi aku tetap menjalaninya. Hanya saja aku
bersumpah, aku akan menjadi pemain terbaik di kelas 11. Rasa
sakit itu menyemangatiku untuk berjuang dan berlatih lebih
keras. Lihatlah, sekarang aku berhasil. Aku menjadi bintang
lapangan hijau. Tiap bertanding selalu ada gol-gol indah dan
kakiku." "Idiih, kenapa kamu mau menjadi pesuruhnya?" tanya Kelly
heran. "Waktu itu kami taruhan. Yang kalah jadi pesuruh yang
menang. Bagaimanapun aku harus konsisten dengan
perkataanku sendiri. Permainan bola butuh sportivitas tinggi.
Kalah ya kalah saja. Harus ditenima dengan lapang dada. Akan
ada saat bagi kemenangan. Maka, aku jalani hukuman
kekalahanku itu. Ada hikmah yang bisa dipetik kok."
"Memangnya kamu disuruh ngapain aja?" tanya Mira
penasaran. "Apa pun yang dia inginkan. Membawakan pakaian bolanya,
membelikan minuman, rnengambilkan handuk, sampai disuruh
mengerjakan PR. Tapi tiap dia berlatih, aku selalu mengamati
teknik bermainnya. Kuamati dengan saksama. Aku rnempelajari
cara membawa bola dan menendang, posisi kaki, dan gerakan
badan." "Hebat sekali, Riku! Kamu berhasil mengubah masa
hukumanmu menjadi ajang belajar, yang membawamu menjadi
pemain terbaik di sekolah!" Kelly menatap Riku kagum.
"Ya. Sekarang dia sudah di kelas 12. Dia menjadi sahabat dan
teman bermain bola yang luar biasa untukku."
"Kini kalian bersahabat?" tanya Mira tak percaya.
"lya. Kalian kenal Ruto, kan?"
"Ya ampun!" pekik Kelly. "Jadi Ruto, pemain top yang dulu
menghukummu" ldih, aku mau dong kenalan sama Ruto! lya,
aku sering banget lihat kamu dan Ruto berlatih bersama!"
Mendadak Kelly kumat gaya lebaynya.
"Huh, dasar kamu tergila-gila pemain bola melulu!" canda Riku.
Tawanya berderai, membuat wajah Kelly bersemu merah.
"Maksudmu... aku juga harus belajar dan Aoi, gitu?" tanya Mira
dengan nada datar. "Yap! Kalau kamu mau belajar darinya, tahun depan aku yakin
kamulah yang jadi ketua OSIS. Aoi pasti mengajarimu banyak
hal. Tentu saja kalau kamu mau bersikap rendah hati sedikit,"
imbuh Riku. Mira mengangguk-angguk. Kata-kata Riku benar-benar tepat
mengenai sasaran. Mira semakin mengagumi Riku. Benar kata
Kelly, Riku sangat bijaksana dan dewasa. Mira bertekad menjadi
pribadi yang lebih baik lagi. Tapi benarkah Aoi sebaik yang
dikatakan Riku" Maukah Aoi bekerja sama dengan Mira yang
sejak awal tidak menyukainya" Mira menelan ludah. Dia takut
dirinya bakal menjadi bulan-bulanan Aoi seperti yang dilakukan
Ruto pada Riku. Mira takut Aoi mengejek dan menyuruhnya ini-itu.
Dirinya bakalan tampak seperti pelayan, bukan wakil OSIS.
Mira dan Aoi telanjur saling benci. Mungkinkah Aoi bisa
menerima Mira" Ah, Mira sungguh tak bisa menebak.
PELANTIKAN pengurus OSIS berjalan lancar, walau ketua dan
wakilnya tak bertegur sapa sama sekali. Sebetulnya sudah
banyak yang curiga pada ketidakharmonisan Aoi dan Mira. Tapi
gosip belum berkembang. Belum ada yang menanyakan hal
tersebut langsung kepada Mira. Seusai pelantikan, Mira buruburu kembali ke kelasnya.
Beberapa hari setelah pelantikan, suatu sore tiba-tiba Aoi
muncul di ambang pintu rumah Mira. Sudah pasti Mira kaget
bukan main. Tapi tampang Aoi tetap sedingin es. Ditambah
dengan kacamata kotak yang bertengger kaku di hidung, wajah
Aoi terlihat seram di mata Mira.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Mira tak ramah.
Aoi tidak langsung menjawab. Dia melenggang ke bangku teras
dan mendudukinya. "Ini kerjaan buat kamu, wakil ketua OSIS,"
kata Aoi sambil meletakkan setumpuk kertas di meja.
"Kerjaan apa?" "Baca aja sendiri. Tapi, tolong kamu jangan pelit. Minta minum
dong. Aku haus banget nih!" Mira bengong sesaat, lalu tertawa
dalam hati. Tapi diambilkannya juga minuman dingin untuk
Aoi. "Terima kasih," kata Aoi sambil tersenyum. Setelah menerima
segelas air dingin dari tangan Mira, Aoi meneguknya hingga
tandas. Tumben senyum, batin Mira. Tapi Mira tak membahas. Dia
sedang malas bertengkar. Tangannya meraih kertas-kertas yang
dibawa Aoi dan membacanya sekilas. "Oh, ini kerjaan OSIS
juga?" "Ya iyalah! Emang kamu kira kerjaan wakil hanya ngeceng di
mal?" Aoi kembali ketus.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mira mendelik kesal. "Ngeceng di mal tapi bareng ketua OSIS
sambil ngerjain tugas sih boleh juga."
Aoi menatap Mira. Yang ditatap pura-pura sibuk membaca.
"Oh... jadi kamu sebenarnya kepingin jalan-jalan sama aku"
Naksir aku, ya" Kok nggak bilang dan dulu-dulu sih, Non?" Aoi
menggoda Mira. "Naksir otakmu doang. Nggak naksir tampangmu yang
menyebalkan itu. Boro-boro!" balas Mira tanpa menatap Aoi.
Aoi mendengus kesal. Kemudian dia menjelaskan tugas-tugas
Mira di OSIS sebagai wakil ketua.
"Duh, sibuk juga ya, jadi wakil," keluh Mira.
"Emang!" sambar Aoi. "Kamu baru jadi wakil aja sudah
mengeluh, apalagi kalau jadi ketua. Bisa mati berdiri!"
"lya... iya. Galak amat sih?" Mira mendelik kesal. "Trus,
bagaimana cara mengoordmnir teman-teman ini?"
Aoi menepuk dahi. "Ya ampuuun! Nggak nyangka, ternyata
kamu lemot. Masa kayak gitu aja nggak tahu caranya" Lalu,
kemarin ngotot mau jadi ketua, memang pikirmu kerja ketua
OSIS seperti apa?" Aoi geleng-geleng.
Mira cemberut. "Ya sudah kalau nggak mau ngajarin. Aku bisa
belajar sendiri kok!"
Sekali lagi Aoi geleng-geleng. Akhirnya dia mau juga
menjelaskan kepada Mira mengenai cara kerja, berbicara efektif,
mengevaluasi, serta banyak hal lain yang menyangkut tugastugas Mira di OSIS. Aoi menjelaskannya dengan sabar dan
telaten. Mira mengangguk-angguk. Kalau masih kurang jelas, Aoi
menjelaskan lagi secara lebih rinci sampai Mira benar-benar
mengerti. Benar kata Riku, sebenarnya Aoi sangat balk. Mira
jadi merasa bersalah karena selama ini galak pada Aoi.
"Kerja pertama kita mulai besok, dan itu nggak ada dalam
catatan kita tadi. Kita mengumpulkan dana buat korban Merapi.
Kita akan keliling bersama seksi dana pada jam istirahat pertama
di sekolah," kata Aoi sambil menatap lekat Mira.
"Lalu kita ke Yogyakarta menyerahkan bantuan, gitu?"
"Ya nggak lah! Kita kan bisa transfer ke salah satu stasiun
televisi. Bisa juga lewat PMI, atau lewat lembaga nonprofit.
Banyak cara, Non! Nggak perlu ke Yogya. Ketimbang ngeluarin
uang transpor dan akomodasi di Yogya, mending uangnya
disumbangin aja buat para korban."
"Hehe, kok aku jadi o"on gini ya?" Mira garuk-garuk kepala.
"Kalau pintar, kamu udah jadi ketua OSIS."
Aoi tert awa. "lya... iya!" Mira cemberut.
"Besok, berapa pun hasilnya, kita umumkan pada teman-teman
dan guru. Oh iya, khusus untuk anak orang kaya kayak kamu,
minimal nyumbang lima ratus ribu."
"Apa"! Senus nih?" Mira membelalak.
"Nggak usah melotot! Lagian kamu kan wakil ketua OSIS.
Kasih contoh dong ke teman-teman bahwa kamu dermawan."
"Heh! Ini bukan rnelotot. Emang dari sononya mataku besar,
tahu!" Mira sewot. "Yang punya uang kan ortuku. Uang sakuku
tetap aja standar, nggak jauh beda sama remaja kebanyakan.
Lagian, amal kok dipaksa. Suka-suka aku dong, mau nyumbang
berapa!" cerocos Mira.
"lya... iya, aku cuma bercanda. Gimana soal sumbangan tadi?"
"Boleh deh. Besok aku nyumbang lima babi!"
Aoi membelalak. Lucu sekali tampangnya, sampai-sampai Mira
tertawa geli. "Aku punya beberapa celengen bentuk babi. Gemuk-gemuk
gitu, dan semua penuh karena nggak pernah kubuka. Nah, besok
kita bisa hitung sama-sama isinya. Siapa tahu jumlahnya
lumayan." "Sip! Tapi isinya bukan koin seratusan, kan?"
"lh, menghina amat sih! lsinya lebih dan satu juta tiap celengen,
tau! Itu celengan gede banget, dan isinya koin seribuan semua!"
"Serius?" Aoi tampak tak percaya. "Lima celengan belum
dipecah sama sekali?" Aoi terheran-heran. Dia tidak pernah
membiarkan celengannya penuh dan hanya menjadi pajangan.
Aoi selalu memecah celengannya, bahkan sebelum sempat
penuh. Selalu ada kebutuhan mendesak yang membuatnya harus
memakai uang celengan. Mira mengangguk sekilas. Dia enggan membahas isi
celengannya lagi. "Oh ya, rumahmu di mana?" tanya Mira
mengalihkan topik. "Jauh banget dan sini. Aku tadi naik bus sampal dekat rumah
Riku, kemudian jalan ke sini."
"Lho, kok Riku nggak ikut sekalian ke sini?"
"Riku mau nganterin mamanya belanja," balas Aoi. "Oh, begitu.
Pulangnya bagaimana dong" Kalau balik dulu ke rumah Riku,
dia kan nggak ada?" Aoi tersenyum. "Kan aku bisa naik bus dan sini. Tadi aku
mampir di rumah Riku karena aku nggak tahu rumahnu."
"Hehe, iya ya. Duh, aku kok mendadak jadi bego begini sih!"
Mira garuk-garuk kepala. "Karena berhadapan denganku?" Aoi menjulurkan lidah.
"ldih! Pede banget sih kamu!" pekik Mira sebal. "Karena
otakmu dipenuhi ambisi, Non. Makanya jadi orang jangan
terlalu jutek. Nanti cepat tua!"
Mira merengut lagi. Aoi memang pintar dan sabar kalau sedang
menjelaskan sesuatu. Tapi kalau sudah menyangkut diriinya
sendiri dan Mira, cowok itu lagi-lagi bersikap judes.
Menyebalkan! "Eh, minta minum lagi dong," pinta Aoi. "Mulutku sampai
kering nih, gara-gara harus menjelaskan panjang lebar tugastugasmu tadi."
Mira baru akan mengambilkan minuman ketika terdengar suara
jeritan dan arah dapur. Mira dan Aoi segera berlari ke dapur.
Mbak Nunuk, pembantu rumah tangga Mira, tengah duduk di
lantai. Tangannya memegang telapak kaki kanannya. Wajahnya
terlihat kesakitan. "Kenapa, Mbak?" tanya Mira panik.
"Tersiram air panas, Non."
"Aduh, gimana ini?" Mira bingung.
"Panggil sopirmu. Kita ke rumah sakit sekarang!" kata Aoi
tenang. "Sopirku lagi cuti. Bagaimana ini?"
"Oke. Tapi mobilmu tidak dibawa sopirmu, kan?"
Mira segera mengambil kunci mobil dan menyerahkannya pada
Aoi. Kemudian keduanya memapah Mbak Nunuk berjalan ke
mobil. Mbak Nunuk meningis kesakitan. Mira kian panik.
"Ayo, cepet, Aoi!"
"Sabar. Kalau terburu-buru malah kacau semua. Tenangkan
pikiranmu. Kaki tersiram air panas nggak bakalan menewaskan
Mbak Nunuk!" balas Aoi.
Mobil meluncur ke luar rumah. Sepanjang perjalanan Mira
berusaha menenangkan Mbak Nunuk. Tapi dia sendiri justru
berurai air mata. Dia tak tega melihat penderitaan Mbak Nunuk
yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.
Aoi tersenyum melihat Mira yang menangis tapi mulutnya tak
henti menghibur Mbak Nunuk.
"Heh! Mira cengeng! Kamu sendiri nangis gitu kok menghibur
orang lain!" "Makanya buruan dong!" balas Mira.
Aoi tertawa. Lewat kaca spion, ia melihat wajah Mira yang jelek
karena menangis. "lh, kamu jelek banget kalau menangis!
Nyesel banget aku punya wakil cengeng dan jelek kayak gitu!"
ledek Aoi. Mau nggak mau Mira menghapus air matanya. Ia merasa malu
karena ketahuan lemah dan cengeng. Aoi benar-benar tenang
menghadapi kejadian itu. Cowok itu bahkan masih bisa
bercanda dan menggoda Mira agar tidak terlalu tegang.
Begitu sampai di rumah sakit, Mbak Nunuk Iangsung masuk dan
diperiksa di UGD. Mira duduk menunggu dengan gelisah. Aoi
datang membawakan air mineral untuknya.
"Maaf banget ya. Aku merepotkanmu," kata Mira tulus.
"Daripada bilang maaf, lebih baik bilang terima kasih."
"E-hem, terima kasih, Aoi. Kamu telah membantuku. Aku
nggak tahu apa jadinya andai tadi nggak ada kamu." "Aku tahu
apa jadinya..." Mira menoleh. Aoi tertawa ringan.
"Kamu pasti akan lari ke jalan dan berteriak-teriak minta
tolong." Mira tersenyum kecut. "Hehe, mungkin. ltu yang paling mudah
kulakukan." Aoi menatap Mira serius. "Orangtuamu selalu pergi tiap hari?"
"Iya. Mereka sangat sibuk. Kadang berhari-hari mereka nggak
pulang karena ke luar kota. Sekalinya pulang, sehari doang. Itu
pun dihabiskan untuk istirahat. Aku sudah biasa menjalaninya
sejak kecil. Makanya aku dekat sekali sama Mbak Nunuk."
"Kamu bahagia?"
Mira menatap Aoi. "Bahagia yang seperti apa maksudmu?"
"Yah, apakah kamu senang menjalani hidupmu?" Pandangan
Aoi menusuk mata Mira, seolah ingin menyelidik lebih jauh.
"Mmm... bagaimana ya?" Mira bingung sendiri. "Senang nggak
senang, mereka bekerja demi aku juga, kan" Selebihnya sih
memang untuk kebanggaan dan kepuasan hidup mereka sendiri.
Aku paham, suatu saat mungkin aku juga seperti mereka. Lagi
pula aku sudah terbiasa. Jadi nggak masalah."
Aoi tersenyum. "Hmm... ternyata kamu cukup dewasa ya"
Kupikir selama ini kamu kolokan, doyannya ngambek dan jutek
Putera Harimau 2 Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra Dewi Maut 3
Runner-Up Girl situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
MIRA berlari keeil sambi! bersenandung. Gadis tomboi
berambut pendek itu mengayun kakijenjangnya dengan riang.
Pagi masih dingin, walau terkonntaminasi deru mesin dan asap
kendaraan yang berseliweran. Bising dan semrawutPagi selalu
menjadi saat sibuk bagi Mira, dan dia sadar betul hal itu.
maka"nya dla selalu mengisi kegiatan pagi dengan
bersenandungdung. Selain untuk menyamarkan suara bising
disekelilingnya, juga untuk menjaga suasana hatinya tetapriang.
Mlra biasa ke sekolah berjalan kaki. Sesekali ia selingi
bersepeda. Selain bugar, juga mengurangi dampak pemanasan
global. Mira memang peduli kelestarian lingkungan Lagi pula
sekolahnya dekat, jalan jelas hemat dan sehat.
Dari rumah Mira tidak langsung ke sekolah. Dia Mampir ke
rumah Kelly, sahabatnya, yang hanya jarak tiga ratus meter dari
rumahnya. Kadang Mira ikut sarapan bersama keluarga Kelly
yang hangat. Tak heran bila Mira betah meluangkan waktu
bersama mereka, bahkan kadang mampir hanya untuk menyapa
adik Kelly yang tueu. Selanjutnya Mira dan Kelly akan berlarilari kedl di trotaar sambil bereanda ria menuju sekolah."Wah,
siapa yang mendandani rambutmu, Kel" Oikepang satu di atas
begitu jadi sangat eantik Iho," puji Mira.
Kelly tersipu. "Ah, kamu bisa aja." "Betul. Pita pink yang kamu
pakai membuat penampilanmu semakin manis," lanjut Mira.
Tanpa sadar dia meraba rambutnya yang pendek dan keriting.
Sudah pasti tak bisa diikat.~ Bahkan tidak eoeok diberi aksesori
apa pun. Bukannya bertambah eantik, hiasan rambut justru
membuatnya kelihatan konyo!. Maklum, Mira tomboi abis.
"Kamu juga cantik! Aku memang memiliki rambut panjang, tapi
tidak punya mata lebar, berbinar, dan bening seperti matamu,
Mir!" "Mmm... t api kamu memiliki adik lucu!"
"Kamu punya rumah megah dengan segala macam fasilita s
kamplet," sahut Kelly tak mau kalah.
"Kamu punya ibu yang pintar memasak dan sangat
baik!" "Kamu punya ibu dan ayah kaya raya!" sahut Kelly
lagi. "Ah, sudahlah, kita memang nggak sarna, dan karena itulah
persahabatan kita langgeng. Iya, kan?" Mira tidak ingin
melanjutkan perdebatan. Kelly tidak menyahut. Oia justru
menghentikan langkahnya. Matanya melotot ke satu arah. Mira
ikut berhenti dan memandang Kelly dengan heran. Karena Kelly bergeming,
Mira segera mengalihkan pandangan ke arah yang sarna dengan
tatapan Kelly. Oi depan rumah megah di tepi jalan searang
cowok tengah memperhatikanmereka. Gelagatnya seolah
menunggu Kelly dan Mira lewat. Tanpa dikomanda, jantung
Kelly dan Mira beradu cepat. Kelly jadi grogi. "5epertinya dia menunggu kita deh."
"Udah, cuek aja!" sahut Mira sambil menggamit pergelangan
tangan Kelly. "Yuk jalan!"
Langkah Kelly mendadak canggung. Walau menunduk, Dia
masih mencuri pandang ke arah cowok bertubuh jangkung yang
masih berdiri di depan mereka. Semakin mendekat kearah
cowok itu, Kelly semakin salah tingkah. " hai"' sapa cowok itu
begitu Mira dan Kelly berada
dalamjarak satu meter dari tempat dia menjejakan kaki
Mira dan Kelly menghentikan langkah, menatap cowok itu
penuh penasaran"Boleh bergabung" tanya si cowok berkulit
hitam dan berhidung mancung itu sambil tersenyum ramah.
Mira mengangkat bahu. la menoleh pada Kelly. Yang
ditoleh tersenyum malu-malu. Tangan Kelly meremas rok, tanda
grogi. "Tiap pagi kulihat kalian ke sekolah jalan kaki, kayaknya asyik
banget. Makanya pagi ini aku mau ikutan.
Boleh, kan" Lagian seragam kita sama, berarti kita satu sekolah
dong!" cerocos cowok itu.
"Mmm.. . boleh saja, asal kamu nggak lebih cerewet daripada
Kelly, sahabatku ini," balas Mira sambil tertawa
ked l, lalu sedetik kemudian dibalas cubitan Kelly di lengannya.
Si cowok hitam manis tertawa renyah. Kemudian dia
mengulurkan tangan. "Aku Riku," ujarya memperkenalkandiri. "
Kalian?" "Aha! Riku!" Kelly memekik. "Iya... aku tahu kamu. Kamu yang
jago main sepak bola itu, kan" Wah, aku senang sekali bisa
berkenalan denganmu. Namaku Kelly." Kelly tersenyum riang,
kemudian menjabat tangan Riku lama. Mira melirik Kelly. Rupanya sahabatnya sudah mampu
menguasai diri. Bahkan terkesan sok akrab pada Riku.
"Aduh, t angan kalian ada lemnya ya?" tegur Mira karena Kelly
tak juga menarik tangannya dan genggaman Riku.
Kelly dan Riku langsung melepas tangan mereka. Wajah Kelly
memerah. Dia melirik jutek pada Mira.
"Udah yuk, berangkat! Keburu telat nih!" Mira mengandeng
Kelly, lalu kedua cewek itu berjalan dengan langkah cepat.
Riku berjalan di belakang kedua gadis itu. "Namamu siapa?"
tanya Riku pada Mira. "Aku Mira," balas Mira tanpa menoleh pada Riku.Riku
tersenyum. Dia mempercepat langkah agar tidaktertinggal dua
gadis yang berjalan supercepat itu.hampir saja mereka telat .
Begitu melewati gerbang sekolah, bel berbunyi. Riku beda
angkatan-kelas beda setahun di atas Mira dan Kelly.
" Dadaaah, Riku!" seru Kelly saat mereka berpisah menuju kelas
masing-masing. . "ih... kegenit an deh, Kel!" tegur Mira pelan.
"Aduh, Mir. Riku cakep banget! Kulit cokelat, sorot Mata tajam,
hidung mancung, dan tubuhnya atletis banget !" Kelly mulai
nyerocos. Anak itu memang nggak pernah lihat cowok ganteng.
Bawaannya suka histeris, kayak melihat aktor-aktor Korea di
film Korea kegemanranya. "papamu juga berkulit cokelat, bermata tajam, dan Hidung
mancung. Tubuhnya atletis!" kata Mira yang sekarang duduk di
bangkunya dan sedang memasukkan tas ke atas meja.
"lh, Mira!" sungut Kelly sewot.
"Mmm, apa kelak aku juga akan menyukai cowok seperti
papaku" Tinggi, kalem,berkacamata, rapi, dan...punya otak?"
ucap Mira, nyaris bergumam.
"Emang Riku nggak punya otak?"
"Vee, sewot amat. Aku kan tidak sedang membandingkan
papaku dengan Riku. Lagian, kamu udah lupa ya. ada tujuh
kecerdasan majemuk. Nah, pada Riku jelas kecerdasan
kinestetiknya yang dominan dan kayaknya interpersonalnya juga
bagus tuh!" Kelly mengangguk-angguk. Kelly sadar betul bahwa Mira anak
yang sangat cerdas, suka berpikir, dan gemar membaca.
Sedangkan Kelly lebih suka mengurus rumah, melakukan halhal yang berhubungan dengan keterampilan tangan dan
ketekunan. Va, sifat Kelly dan Mira bertolak belakang. Namun
itu bukan halangan bagi mereka untuk bersahabat. Mereka justru
saling melengkapi. *** Saat istirahat, Kelly dan Mira bertemu kembali dengan Riku di
pinggir lapangan sepak bola. Kali ilu Riku lidak sendirian. Dia
bersama seorang cowok. "Hai, Mira, Kelly!" sapa Riku ketika mereka berpapasan.
"Mau menyantap bekal, ya" Kita barengan yuk!" ajak Riku.
Mereka duduk di sebangku semen di tepi lapangan.
"Kenalkan,ini Aoi, teman sekelasku," Riku memperkenalkan
cowok yang sedari tadi diam membisu di sampingnya.
Kelly dan Mira segera menjabat tangan Aoi. Wajah Aoi tak
berhias senyum sama sekali. Jabatan tangannya pun terasa kaku,
seolah dia tidak tulus melakukannya.
Mata Aoi sipit. Kacamata minus bertengger di hidungnya yang
mungil. Rambut Aoi lurus dan dipangkas sangat pendek,
memberi kesan rapi. Sebenamya Aoi ' tampan. Sayang, raut
wajahnya yang kaku memberi kesan tidak ramah. Juga bibimya
yang mungil tanpa senyum menambah ekspresi sinis cowok itu.
"Wah, untung aku nggak seangkatan dan sekelas denganmu.
Kalau sampai sekelas, aku lebih baik pindah kelas," kata Mira
pada Aoi saat mereka tengah menikmati bekal.
Aoi menoleh pada Mira sambil mengerutkan dahi
"Wajahmu mengganggu pemandangan. Memang kalau
tersenyum, bibirmu bisa gatal-gatal ya?" tanya Mira cuek
dengan mulut penuh makanan.
Aoi diam saja, sementara Kelly dan Riku terbahak. MIra
memang suka ceplas-ceplos. Apa saja yang ada di plklrannya
sering keluar tanpa pertimbangan.
"oi memang pendiam, Mir. Tapi otaknya encer banget .Dia
mencalonkan diri jadi ketua osis tahun ini,"ucap riku
"Apa peduliku, " balas Mira sambi! Menggigit sandwich tuna
kesukaannya. "Mmm... oyam...." Riku cuma bisa geleng-geleng.
Sementara itu, Kelly segera memuji Aoi karena merasa tidak
enak dengan sikap Mira. 'Wah, Aoi hebat. Semoga kamu terpilih jadi ketua osis, ya."
Kelly tersenyum sambil menatap Aoi. Tapi Aoi diam saja seraya
menikmati snack-nya, tak menanggapi sedikit pun ucapan
simpatik Kelly. Aoi seolah hanya sendirian di tepi lapangan.
Kelly terlihat agak kecewa karena tak mendapatkan respons.
gadis manis itu mendesah lirih ketika memalingkan wajah dan Aoi. Suasana
seketika menjadi kaku. "Eh, nanti pulangnya kita bareng, kan?" tanya Riku pada Mira,
mencoba mencairkan suasana.
"Mmm, aku dan Kelly mau mampir ke apatek dulu," balas Mira
tanpa ekspresi sambil mengernasi wadah bekalnya.
"Ada yang sakit dan butuh obat, ya?" Riku ?bertanya lagi.
"Iya. Ternan di sebelah kamu itu kan butuh obat khusus.Siapa
tahu aku bisa nemuin obat yang bisa membuat wajahnya lebih
enak dilihat. Krim anticemberut, mungkin. Atau kalau mau
cepat sih aku bisa beliin puyer dosis tinggi sekalian!"Riku dan
Kelly lagi-Iagi terbahak.
Kini aoi menatap tajam mata Mira. Namun, bukan Mira
namanya kalau dia lantas rikuh atau gentar. Gadis tombai itu
justru membalas tatapan Aai dengan lebih tajam. Mereka berdua
bertatapan bagai dua musuh Padahal, mereka baru saja
berkenalan. "Apa sih maumu"cari perhatian, ya?" tanya Aoi ketus. Sontak
Mira ternganga mendengar suara yang akhirnya keluar dari
mulut Aoi. "Aha! Akhimya aku berhasil memancingmu
mengeluarkan suara. Wah... suara kamu cocok tuh untuk cari
receh di perempatan!" ejek Mira.Aoi menatap Mira kesal.
Sebenamya emosi Aoi sudah tersulut sedari tadi. Rasa?rasanya
dia ingin menonjok wajah Mira. Tapi itu tak mungkin
dHakukannya karena MIra cewek. Hanya cowak tak bermartabat
yang bisa melakukan hal serendah itu. Untuk melampiaskan
kesalannya, Aoi menyepak kerikil yang menempel digulung
sepatunya. "Hei... hei! Biasanya cowak dan cewek yang saling membenci
lama-lama jadi saling cinta Ioh!" goda Kelly, Mira dan Aoi
masih bertatapan dengan ekspresi tidak bersahabat.
" Ih, mana mungkin aku jatuh cinta sarna cowok robot kayak
gitu!" sambar Mira sambil pura-pura bergidik.
"Apalagi aku, balas Aoi. "Mending aku jomblo daripada punya
cewek .cabe rawit kayak kamu! Mulut kamupedes, tau!"
"Mending cabe rawit," Mira tak mau kalah.
" Biarpunpedes, banyak orang butuh dan suka cabe rawit.
Rumah makan yang banyak menu sambalnya malah lagi musim
dan laris manis. Nggak kayak robot, yang cuma bisa
menjalankan perintah, kaku kayak benda mati, dan nggak semua
orang butuh!" Aoi makin kesal pada Mira. Dia ingin membalas katakata Mira,
tapi Riku keburu berdiri dan melerai pertikaian mereka. "Hei,
sudah... sudah! Kok malah bertengkar sih?" Riku geleng-geleng
melihat kelakuan dua temannya. "Sebentar lagi bel. Yuk kita ke
kelas!" Kelly segera berdiri, lalu menarik tangan Mira. Sebenamya Mira
belum puas. Dia masih ingin berbalas kata-kata pedas dengan
Aoi. Namun bel istirahat berakhir bakal terdengar sebentar lagi.
Pelajaran berikutnya biologi. Guru biologi mereka t idak
memberikan toleransi sedikit pun kepada anak yang terlambat masuk pelajarannya.
Mau takmau Mira mengikuti langkah Kelly yang bergegas
menuju kelas. "Ih... aku nggak nyangka kamu punya teman seperti Lucifer
gitu!" kata Aoi pada Riku sepeninggal keduacewek itu.
Riku hanya tertawa sambil merangkul bahu Aoi. Kemudian
mereka juga berjalan menuju kelas.
MIRA duduk di tepi kolam renang sambi! Mendengarkan musik
dan menatap langit. langit terlihat cerah. Wrna biru dan awan-awan putih yang
menghiasinya terlihat begitu serasi. Indah sekali. Sayang, hati
Mira tengah mendung. Dia kesepian.
Di rumahnya yang besar dan megah hanya ada dia dan beberapa
pembantu rumah tangga. Kadang rumahnya ramai kala para
pembantu bekerja sambil bersenda gurau. Sesekali Mira terlibat
dalam canda mereka, tapi di lubuk hati, tetap ia merasa
kesepian. la menginginkan
kehadiran mama-papanya. Orangtuanya kerap ke luar kota.
Kalaupun ada di rumah, sedikit sekali waktu yang di luangkan
mereka untuk Mira. Papa terlalu sibuk mengurus perusahaan,
sementara Mama lebih suka mengatur dan menekan Mira untuk
selalu berprestasi optimal.
Mengapa Mama tak seperti ibu Kelly ya" Ibu Kelly baik,
lembut, selalu di rumah untuk memasak, merawat tanaman, dan
mendengarkan apa pun kisah yang diceritakan
Kelly. Beruntung banget Kelly punya ibu seperti itu, batin Mira.
Jika berada di tengah keluarga Kelly, Mira merasa senang
sekaligus iri. dia rindu berada
dalam keluarga yang hangat dan saling mempematikan seperti
keluarga Kelly. "Huh... mengapa aku melamun saja han ini"! Mama
bisa marah kalau tahu aku di rumah hanya melamun.
Bisa habis telinga terbakar amarah Mama!" keluh Mira dalam
hati. Dia pun bangkit dan menuju kamamya. Ada sesuatu yang
harus dikerjakannya segera.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mira menyalakan laptop. Dia memeriksa ulang karya ilmiah
yang sudah dia kirimkan ke Kementerian lingkungan Hidup. dua
minggu lalu gadis itu mengirimkan
tulisannya untuk lomba tersebut. Walau naskahnya sudah
terkirim, Mira selalu membaca ulang karyanya.ditelitinya lagi
setiap kata yang ia tulis. Jangan-jangan ada kesalahan. Sedikit
saja kekeliruan membuat hatinya tak tenang.
Kali itu Mira sangat yakin akan kesempurnaan tulisannya.
Banyak waktu yang sudah dia korbankan untuk meneliti dan
menyusun subjek pilihannya menjadi karya ilmiah yang benarbenar valid. Kalimat demi kalimat yang dituangkan berkali-kali
dia baca dan perbaiki hingga menjadi kalimat yang baik dan
enak dibaca. Mira yakin karyanya bakal menang. dia sudah
membayangkan, betapa senang mamanya bila dia menjadi juara
lomba tersebut. Hal itu memang dia lakukan demi mamanya.
"Tolong aku, Tuhan. Karyaku sangat bagus dan aku
berjuang keras membuatnya. Besok hari istimewa ka?
rena koran mengumumkan pemenangnya. Tuhan, aku
sungguh berharap, akulah juaranya. Bantu aku, Tuhan,
pliiis," Mira berdoa khusyuk. Setelah capek memelototi layar
laptop, Mira rebah di kasur. Terbayang di otaknya senyum
Mama yang akan mengembang lebar jika ia jadi juara nanti.
Mama pasti sangat bangga dengan prestasinya. Mama memang
perfeksionis dan sangat gila prestasi. Mira-Iah yang jadi sasaran
obsesi Mama. Mira dituntut berprestasi setinggi mungkin dalam
segala bidang. Sejak Mira kenyang mengikuti berbagai
perlombaan. di rumah sampai ada ruang khusus untuk
menyimpan piala dan piagam hasil
perlombaan yang diikuti Mira. Terkadang Mira tertekan
mengingat hal itu. Semalaman Mira tak bisa terpejam. la terus memikirkan hari
esok. Berita baik atau berita burukkah yang di terimanya besok"
Baik bila dia menjuarai lomba itu,atau buruk bila namanya
sama sekali tak tercantum pada deretan pemenang.
"Duh, aku menyesal telah memberitahu Mama dan
Papa bahwa aku ikut lomba. Kalau aku kalah, mereka
pasti san gat kecewa. Harusnya kuberitahu kalau sudah
jelas aku menang! "Mira mendadak gugup.
"Duh, ada mesin waktu nggak sih" Teknologi sudah
begitu maju, tetapi mengapa nggak ada mesin waktu
ya?" Saking gelisah, pikiran Mira mulai melantur. Kayaknya
aku harus jadi ilmuwan deh. Aku ingin membuat alat canggih
yang bisa membawa manusia ke masa lalu. Jadi, semua orang
bisa memperbaiki kesalahan masa lalunya. Ah, pasti
menyenangkan bila ada alat semacam
itu. Mira ngikik membayangkan ada alat secanggih itu.
Hampir tengah malam saat Mira baru saja terpejam, sebuah
ketukan halus di pintu kamar membuatnya urung tidur. Ternyata
Mama, yang baru pulang dari luar kota.
"Hai, Sayang," sapa Mama sambi! mengecup kening Mira
sekilas. "Lho, kok pulang, Ma" Tengah malam begini?" tanya Mira
heran. "Mira kirain masih beberapa hari lagi."
"Besok pengumuman lomba karya tulis yang kamu ikuti, bukan"
Mama yakin kamu juaranya,Mir!"kataMama.
"Mama khusus pulang untuk menyiapkanmu pada acara
penerimaan hadiah bagi pemenang. Kita harus belanja baju baru
untuk han istimewamu itu."
"Jangan berharap tertalu banyak, Ma. Saingan Mira juga banyak,
kan?" "Mir, jadi orang optirnis dong! Mau jadi apa kamu kalau sedikitsedikit berpikiran negatif dan menyerah begitu" Kamu hidup
dalam generasi yang kejam dan penuh persaingan. Kalau lembek
dan santai, kamu akan terlindas kehidupan. Kamu mati sia-sia
dan tak punya apa-apa Camkan itu baik-baik! Besok kamulah
juaranya!" tegas mama Mira.
Kata-kata Mama yang tajam menohok bagaikan pesawat tempur
yang menembaki Mira bertubi-tubi. Hati Mira jadi tak menentu.
Dia sungguh takut menghadapi esok.
MIRA bangun dengan wajah sembap karena kurang tidur. Dia
mencoba bemyanyi untuk menenteramk an hati. Tapi bibirnya
tak mampu mengeluarkan suara apa pun. Hatinya betul-betul
gentar. Keberadaan Mama dan pengumuman lomba betul-betul
kombinasi sempurna yang membuat nyalinya ciut.
Setelah mandi, sarapan, dan siap berangkat ke sekolah, Mira
berjalan tanpa semangat. Sesampainya di rumah Kelly, ?a hanya
mematung di depan pagar, menunggu sahabatnya ke luar.
"Mira... masuk dulu, Sayang!" terlak mama Kelly dan pintu
rumah. "Tante bikin roti bakar enak Iho!"
"Saya masih kenyang, Tante," sahut Mira. Karena ada Mama,
mau tak mau Mira harus sarapan di rumah. Jika tidak, Mama
pasti mengomel. Mira terpaksa menyantap nasi goreng walau
lidah dan perutnya belum kepingin makan. Masih lebih baiklah,
daripada dia sarapan nasihat Mama. Bisa pusing sepanjang han
kalau pagi-pagi telinganya sudah disembur omelan.
Kelly berlari kecil menghampiri Mira. "Hai, Mir" sapa Kelly
riang. "Ya ampun... tampangmu kusut benar pagi ni. Sudah
mandi belurn sih?" Mira memonyongkan bibir. "lh, enak saja! Sudah man- di dong.
Tapi lupa sabunan," ujarnya cuek sambil mel angkah.
Kelly menjejeri langkah Mira. Pandangan Mira tidak fokus.
Beberapa kali dia hampir menabrak orang yang herpapasan
dengannya. Bukannya minta maaf pada orang yang hampir
ditabraknya, Mira malah cemberut (Ian membisu.
"Hei, kamu kenapa sih" Butuh obat ketawa" Puyer dosis tinggi
barangkali?" Kelly menggoda Mira.
Mira melotot, kemudian menunduk lagi. Entah berapa kdli ujung
sepatunya menyepak kenikil yang dia temui di jalan.
"Lama-lama kamu mulai kayak Aol," gumam Kelly.
"ldih... sembarangan!" Mira sewot mendengar perk ataan
sahabatnya itu. Mira nyengir. "Son... aku kan hanya bercanda. Soaln ya pagi ini
tampangmu masam banget. Trus, kerikil nggak salah kok
disepak-sepak. Kasihan, kan?" Kelly lagi-lagi mencoba melucu.
Mira menghela napas. "Aku takut sekali, takut gagal hari ini."
"Oh... han mi pengumuman lomba, ya" Wah, aku yakin kamu
menang, Mir! Kamu pinter, teliti, pandai merangkai kata. Jadi
aku yakin kamulah pemenaflgflYa. Kalau kamu nggak menang,
pasti jurinya salah baca tuh! Atau jangan.iaflgan ada peserta
yang lebih pintar daripada kamu" Ah, tapi itu nggak mungkin,
kan?" cerocos Kelly.
Mira berhenti, kemudian menatap Kelly sehingga sahabatnya itu
jadi salah tingkah. "Hehe, memangnya ada yang salab dengan kata-kataku ya?"
tanya Kelly sambil nyengir cemas.
"Nggak usah ikut-ikutan menuntut kayak mamaku deh!" balas
Mira, lalu Ia kembali berjalan.
Kelly terpaku sesaat, kemudiar mengelar sahabatflYa. Saat
sampai di depan rumah Riku, terlihat cowok itu tersenyum di
depan gerbang sambil memegang koran pagi.
"Pagi, Mira! Ada kabar bagus untukmu!" kata Riku. Mira
berusaha merebut koran di tangan Riku, tapi cowok itu menang
cepat menghmndari gerakan gesit Mira.
"Please deh!" seru Mira tak sabar.
"Eits, janji dulu, kamu akan mentraktir kami kalau kamu jadi
salah satu juaranya."
"Yang namanya juara itu cuma satu! Aku tidak mengenal istilah
juara dua atau tiga. Kalau aku di urutan kedua atau ketiga,
bagiku itu bukan juara!"
Riku tercengang. "Sungguh" Tapi... yang kedua dan ketiga suatu
saat bisa menjadi yang pertama, Mir! Kegagalan adalah sukses
yang tertunda." "Katakan itu pada mamaku!" bentak Mira. Kemudian i merebut
koran dan tangan Riku. Cowok itu menyerah.
Mata Mira melotot, tangannya bergetar hebat hingga koran di
tangannya terjatuh. Sesaat kemudian, air mata mengalir di kedua
pipinya. Mira berlari. Dadanya sesak.
Kelly bengong melihat reaksi sahabatnya. Dia tidak mengira
Mira bisa sangat terpukul seperti itu. Kelly menatap Riku penuh
tanya. "Dia juara dua," kata Riku pelan, lebih menyerupai gumaman.
"Oh my God! Dunia bakal kiamat!" seru Kelly, kemudian
berlari mengejar Mira. Mau tak mau Riku ikut berlari. Mereka bagaikan orang yang
tengah berkejaran sehingga membuat penasaran orang-orang di
sekitar mereka. Apalagi sesampainya di sekolah Mira tak juga
mengurangi kecepatan larinya. Ditambah dengan air mata yang
bercucuran di pipi Mira, adegan lari tiga kawanan itu semakin
mencuri perhatian. Tapi Mira tak peduli. Hatinya benar-benar
kalut. Akhirnya Mira berhenti dan duduk di bangku semen di pinggir
lapangan sepak bola, tempat dia dan Kelly biasa menghabiskan
bekal makanan. Mira termenung. Air mata yang tadi mengucur
deras kini telah kering. Riku dan Kelly duduk mengapit Mira.
"Mengapa harus bersedih, Mir" Ratusan karya masuk ke meja
juri dan menjadi pesaingmu. Bahkan, mereka tidak masuk
menjadi pemenang urutan berapa pun. Kamu di urutan kedua.
Kedua dan ratusan karya!" Riku memberi penekanan pada
kalimat terakhir. "Kamu hebat! Wajar bila Aoi juara satu, karena
sejak kelas tiga SMP dia mengikuti lomba ini, meskipun belum
pernah menang sebelumnya. Namun hari ini, setelah berkali-kali
ikut, dia jadi pemenangnya. Aku yakin kamu baru pertama kali
ml ikut lomba tersebut, dan langsung juara dua. Kamu sangat
hebat, Mm!" hibur Riku penuh sem angat.
Mira menatap tajam pada Riku. "Jadi... juara satunya Aoi" Si
robot yang menyebalkan itu" Tadi aku hanya melihat namaku,
tidak baca nama lain."
"Namanya ada kok. Kamu aja yang nggak memperhatikan."
Riku mengangguk. "Yang penting, ini prestasi besar bagi
sekolah kita karena dua siswanya mengharumkan nama
sekolah." "Aku ikut lomba bukan untuk sekolah, tapi untuk Mama!" balas
Mira ketus. Dengan kasar dientakkannya tubuhnya ketika
berdiri, kemudian dia beranjak pergi ,tanpa berkata-kata.
Riku dan Kelly bengong kayak kepompong. Bahkan Riku tak
habis pikir, bagaimana bisa seseorang tidak berbahagia saat
dinmnya dinyatakan jadi juara, hanya karena jadi juara kedua"
Riku menggeleng-geleng bingung.
"Kenapa sih dia begitu" Dapat juara dua kok justru kayak orang
depresi gitu?" "Mamanya menuntut dia menjadi yang pertama, cIilam hal apa
pun. Di kamus mama Mira, nggak ada kilah kedua. Mira teman
yang sangat balk dan men yenangkan, tapi di rumah dia
tertekan," balas Kelly.
"Kasihan... apalagi yang jadi juara satu Aol, Mira pisti tambah
kesal. Terlebih dia selalu bersikap buruk pida Aoi karena tidak
menyukai cowok itu," Riku mendesah sedih.
"Hmm, pasti akan ada pertempuran sengit nih. Mira lalu ingin
jadi yang pertama, terbaik, dan terdepan. Dia begitu terobsesi
menjadi nomor satu, makanya dia ..sampai kurang gaul gitu.
Heran deh, padahal dia pintar. Kurang apa lagi, coba" Aku aja
yang rada o"on gini inasih nyantai... ," cerocos Kelly.
Riku tersenyum mendengar ocehan Kelly. Benar kata Mira,
ternyata Kelly memang terlalu banyak bicara alias cerewet!
Jantung Mira berdebar kencang. Kakinya gemetar ketika
melewati pintu masuk rumah. Benar saja, yang dia takutkan jadi
kenyataan. "Kenapa bisa begini, Mira?" tanya sebuah suara. Tegas dan
begitu mengintimidasi. Mira berhenti. Bahkan dia tidak berani menatap mata orang
yang barusan menyapanya. Mama berdiri tegak di depan Mira. Tangannya mengacungkan
sehelai koran. Mira sudah tahu, Mama pasti memburu koran han
itu demi melihat pengumuman hasil lomba. Begitu tahu Mira
hanya juara kedua, pasti Mama marah.
"Siapa Aoi" Dia satu sekolah denganmu, tapi kenapa dia yang
menang" Bukankah Mama sudah menekankan padamu untuk
selalu jadi yang terbaik" Pasti kamu tidak berusaha sungguhsungguh sampai bisa kalah dan anak bernama Aoi itu!"
Mira membisu. Mendengar marnanya menyebut nama Aoi, hati
Mira geram. Kalau sebelumnya dia hanya sebatas kesal melihat
wajah Aoi yang masam, kali itu dia betul-betul marah pada
cowok itu. Awas saja, akan kubalas sakit hatiku ini!. Jangan
harap kamu bisa hidup tenang, Aoi! batin Mira menyumpahnyumpah.
"Ingat, Mira, Mama sungguh kecewa padamu. Pokoknya tahun
ini Mama ingin melihat karnu jadi pemenang. Ikut sebanyakbanyaknya lomba, dan jadilah juara. Tidak ada artinya jika kamu
hanya jadi yang kedua. Buktikan pada Mama kamu memang
anak Mama yang hebat!"
Kepala Mira semakin tertunduk. Kata-kata dan suara Mama
menusuk-nusuk gendang telinganya. Kepalanya pusing seketika.
Obsesi Mama untuk menjadikan dirinya juara betul-betul
meneror mentalnya. Ah, Mira sungguh capek!
BERJAM-JAM membenamkan wajah di bantal sambil menangis
betul-betul menguras energi. Dada sesak, mata pedas, dan
suasana hati panas. Menyebalkan!
"Aku nggak boleh cengeng!" gumam Mira. "Daripada suntuk di
rumah, mendingan aku ke rumah Kelly saja."
Mira bangkit dan tempat tidur dan bersiap-siap mandi. Ia
memilih baju berwama ceria: T-shirt garis-garis merah dan
krem, serta celana jins selutut. Sepatu kanvas merah melengkapi
penampilannya. Sporty dan nyaman.
Walau pikiran masih ruwet, Mira bersenandung saat mandi dan
berdandan. Lumayan mengurangi kesedihan. Ah, kalau boleh
jujur, hati Mira masih mendung. Namun, cewek itu tak mau
larut dalam kesedihan. Mira bergegas ke luar kamar, ingin cepat-cepat sarnpai di rumah
Kelly. Namun, betapa kaget Mira saat membuka pintu rumah.
Kelly dan Riku tengah duduk di bangku teras.
"Kalian... ?" "Aih... kok segitu kagetnya sih, Mir" Biasa aja, kali!" celetuk
Kelly nyengir. "Kami mau mengajakmu jalan-jalan," kata Riku seraya hangkit
dan duduk. "Mau, kan?" Mira tersenyum lebar. Dia memeluk
Kelly. "Kelly, kamu sungguh pengertian. Aku baru saja mau ke
rumahmu, eh kalian justru ke sini."
"Oh, ya" Kebetulan banget dong kalau gitu. Yuk buruan,
sopirku menunggu!" ajak Riku.
Sepanjang perjalanan mereka mengobrol banyak hal. Rupanya
Kelly dan Riku memang berniat menghibur Mira. Tak hentihenti keduanya melemparkan lelucon. Mira benar-benar
merasakan hangatnya persahabatan. Apalagi sekarang ada Riku
yang sangat baik dan perh atian pada Mira. Walau baru kenal,
Riku cepat mengakrabinya tanpa canggung. Riku terkesan
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dewasa di mata Mira. "Eh... omong-omong, kita mau ke mana?" tanya Mira.
"Jalan-jalan ke mal, sekalian makan malam, biar kamu nggak
bete dan nggak perlu minum obat pembuat tawa!" balas Riku
sambil menoleh pada Mira yang duduk di belakangnya. Mira
tersenyum. "Terima kasih ya, Ri!"
"Yap!" balas Riku tersenyum. Hatinya berbunga-bunga karena
dapat kesempatan jalan-jalan bersama Mira.
"Tuh, Riku baik banget kan, Mir?" bisik Kelly. "He-eh," balas
Mira. Kelly tersenyum-senyum sendiri, kemudian mengajak Riku
ngobrol tentang hobi masing-masing. Mira mencoba jadi
pendengar yang balk. Dalam hati ia bersyukur punya sahabat
yang menopangnya saat ia jatuh. Mira tak lagi merasa sendirian.
Walau mungkin hanya sesaat saja dia bersenang-senang dan
harus kembali berhadapan dengan Mama sepulangnya dari
jalan-jalan, setidaknya Mira terhibur.
Sesampainya di mal, mereka main di game center. Mira tidak
begitu berselera bermain. Temyata tidak mudah membuang
gundah. Mira seperti linglung. Kepalanya celingukan mengamati
tingkah remaja-remaja yang tengah bermain, namun tatapannya
nyaris kosong. Mira merasa sepi di tengah keramaian.
"Ayo, Mir, gantian kamu yang main!" ajak Riku begitu game
over. Mira menggeleng. "Aku lagi nggak kepingin main, Ri. Aku mau
keliling-keliling dulu, ya. Kamu main lagi aja sama Kelly."
Riku mendesah kecewa, tapi dia mengerti suasana hati Mira.
Maka diberikannya senyum termanisnya buat Mira. "Oke, tapi
jangan sampai nyasar, ya. Kalau setengah jam lagi kamu nggak
balik ke sini, aku lapor ke bagian informasi Iho. Namamu bakal
berkumandang ke seantero mal ini. Hihihi."
"Ah, biar saja. Biar kondang sekalian!" balas Mira sambil
melengos dan berlalu, meninggalkan Riku yang bengong
melihat tingkah cuek Mira.
Mira berjalan-jalan di sekitar arena game center. Pikirannya
masih digelayuti peristiwa seharian tadi: kalah lomba dan
kemarahan Mama. Tak ada hal yang lebih menarik bagi Mira
selain menjadi juara dan kebanggaan Mama. Mira selalu
berpikir, Mama sibuk bekerja di luar kota karena Mira kurang
bisa dibanggakan. Mungkin Mira tak cukup berarti bagi Mama.
Seseorang yang tidak cukup berarti mudah ditinggalkan dan
dilupakan. Sungguh Mira sangat menyayangi Mama. Makanya dia matimatian mencoba menyenangkan hati Mama. Memang terselip
juga perasaan takut pada Mama. Mama keras dalam mendidik
putrinya sehingga Mira sering tertekan. Namun entah mengapa,
Iama-kelamaan obsesi Mama menjadi obsesinya juga. Jauh di
lubuk hati, Mira pun tergila.gila menjadi yang pertama dalam
segala hal. Mungkin itu yang dinamakan faktor genetik. Mira
mewarisi sifat mamanya. Mira mengangkat bahu. Terus-terusan berpikir tentang hal itu
membuat kepalanya pusing. Baiklah, aku harus mencoba santai.
Mumpung di mal, mendingan aku belanja barang yang kusukai.
Daripada stres tidak jelas, tak ada salahnya bersenang-senang,
pikir Mira. Ia menuju bagian fashion remaja. T-shirt dan jins
pakalan kebangsaan Mira, tapi kali itu dia ingin mencoba
sesuatu yang baru untuk mengusir jenuh.
Kalau aku pakai gaun, bagus nggak ya" batin Mira sambil
tertawa kecil. Hihihi, tak ada salahnya kucoba!
Mira menyambangi bagian gaun remaja. Lucu juga rasanya.
Sebelumnya, jika menemani Kelly membeli baju, Mira dibuat
mati bosan saat sahabatnya itu berulang kali minta pendapatnya.
Bagus yang polkadot atau yang gambar hati" Manis yang pink
atau hijau muda" Aduuuh... cute banget! Jadi pengen beli
semuanya! Seperti itu ocehan Kelly ketika memilih baju. Lebay!
Biasanya Mira geleng-geleng atau malah merutuk gemas.
Kini Mira kebingungan sendiri. Koleksi baju yang kecewekcewekan itu lucu-lucu. Variasi model, motif, dan warna sungguh
menarik. Seperti apa penampilan Mira saat mengenakan gaun"
Haha, pasti aneh. Rambut Mira kan cepak. Ditambah
pembawaannya yang tomboi, sudah pasti Mira bakal terlihat
ajaib. Apa aku coba dulu aja ya" Siapa tahu cocok.
Mira geli sendiri. Namun dibawanya juga dua gaun ke kamar
pas. Satu gaun kerut di bagian dada dan memakai tali bahu, satu
lagi gaun bergaya vintage tanpa lengan dan berkerah runcing.
Mira agak ragu saat berjalan menuju kamar pas. Sesekali ia
menoleh ke sekeliling, takut kepergok Riku dan Kelly, atau
kenalan yang mungkin sedang berkeliaran di mal ini. Maklum,
Mira menganggap dirinya sedang bersikap konyol. Tapi tak
apalah, buat variasi hidup, pikir Mira. Mira mematut diri di
depan cermin. Hahaha, aneh sekali! Ingin rasanya dia tertawa
sampai puas, tapi takut didatangi pramuniaga atau satpam.
Terpaksa dia menahan tawa dengan menggigit bibir. Mumpung
sendirian di kamar ganti, Mira bergaya bak foto model yang
tengah berpose untuk pemotretan sampul majalah. Lagi-lagi,
tawa Mira hampir meledak.
Bertingkah konyol ternyata kadang diperlukan untuk membuat
rileks pikiran. Karena itu, Mira tak ragu-ragu membawa dua
gaun yang telah dicobanya ke meja kasir. Dia bisa mencobanya
lagi di rumah sepulang nanti. Bahkan komplet sambil
berlenggak-lenggok Seperti peragawati di catwalk. Mira
tersenyum sendini memikirkan hal itu.
"Hai!" Seseorang menepuk punggung Mira.
Mira terlonjak kaget. Kelly dan Riku berdiri di belakangnya.
Ups... buru-buru Mira menyembunyikan tas belanjaan ke
belakang tubuhnya. Usaha yang sia-sia, tentu saja. Untunglah
dua temannya itu datang setelah kasir selesai memasukkan
belanjaan. "Eh, belanja apa tuh?" Kelly melongok ingin tahu.
"Cuma kaus kaki," jawab Mira asal saja.
"Beli berapa pasang" Perasaan kok isinya tebal amat?" Kelly
menyelidik. "Ah, mau tahu aja!" Mira melengos, lalu berjalan cepat.
Mau tak mau Kelly dan Riku ikut berjalan cepat menyusul
Mira. "Eh, jangan lupa, kita makan dulu," kata Riku.
"lya, Mir. Udah lapar nih!" kata Kelly sambil menjejeri langkah
Mira. "Kamu sih, tadi nggak ikutan ngegame. Tumben nggak
menggunakan otakmu untuk mengalahkan lawan dalam
permainan, hehehe. Kamu pasti bosan ya, selalu jadi pemenang
kalau lawan aku?" cerocos Kelly.
Mira manyun dan berjalan makin cepat.
"lh... sensi amat sih?" Kelly heran.
Riku menepuk punggung Kelly. "Mira masih kalut. Saat ini dia
tidak butuh kata-kata. Sebaliknya, dia butuh telinga yang siap
mendengarkan jeritan hatinya. Yuk, kita susul dia. Kita beri dia
kesempatan curhat biar hatinya plong."
Kelly mengangguk, lalu buru-buru menyusul Mira. Mereka
menuju food court dan mengambil tempat di pojokan.
Untunglah food court tidak terlalu ramai karena bukan malam
Minggu. Seandainya tadi Mama tidak berangkat lagi ke luar
kota, mana mungkin Mira berani keluar malam sementara
besoknya harus sekolah. "Ayo, pesen yuk!" ajak Kelly tidak sabar.
"Nanti dulu. Ada teman yang akan bergabung sebentar lagi,"
kata Riku. "Dia yang akan traktir kita."
"Wah, asyiiik!" pekik Kelly, sementara Mira hanya mengangkat
bahu dan kembali melamun. "Sudah lama menunggu?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan Mira. Dia mendongak,
menatap si empunya suara. Raut wajahnya langsung berubah
marah begitu melihat siapa yang datang. Aoi. Cowok congkak
itu berdiri tanpa senyum dan tak sedikit pun melihat pada Mira.
Dia langsung menarik kursi kosong dan mendudukmnya. Kursi
itu tepat berada di hadapan Mira.
Aoi tidak sendiri. Dia datang bersama Mei, teman sekelas Aoi
dan Riku. Mei yang cantik dan kerap jadi model sampul majalah
itu sangat ramah. Dengan hangat dia menyapa Mira dan Kelly
sambil menebar senyum. "Nah, ini dia orang yang akan mentraktir kita!" seru Riku.
"lya, kalian boleh makan apa saja Iho!" balas Aoi.
"Apa-apaan nih?" tanya Mira bingung bercampur geram.
"Hmm... ternyata ada kamu di sini." Komentar Aoi jelas
menampakkan ketidaksukaannya. "Tapi nggak apa-apa kok,
itung-itung bagi rezeki. Aku mentraktir kalian karena hari ini
aku menang lomba karya ilmiah," jelas Aoi sambil melirik Mira,
seolah menyindir cewek itu.
"Aku akan bayar sendiri makananku! Aku nggak mau ditraktir
dia!" balas Mira ketus.
"Oh, silakan saja. Aku juga malas mengeluarkan uang untuk
cewek ketus kayak kamu!" balas Aoi tak kalah sengit.
"Lho, Mira kan juga juara. Harusnya kita makan dua kali nih
karena ada dua juara!" seru Mei mencoba mencairkan suasana.
Tawanya yang renyah ikut memamerkan sederetan gigi putih
dan rapi. Ah, Mei memang cantik sekali.
"Tahun depan aku akan traktir kalian semua di restoran mahal.
Karena saat itu akulah juaranya," balas Mira tak mau kalah.
"Heh! Sudah-sudah! Kita berkumpul di sini kan untuk makan!"
lerai Riku sambil bangkit. "Aoi, kupesankan sekalian ya?"
Kelly juga beranjak mengikuti Riku sambil berkata ringan,
"Akan kupesankan untukmu juga, Mir!"
"Aku juga mau cari-cari makanan yang lezat, mumpung ditraktir
Aoi!" seru Mei, kemudian ngacir.
Mira dan Aoi tidak berkutik. Mereka duduk berhadapan, namun
sama-sama membuang muka ke arah lain. Keduanya diam dan
cemberut. Suasana jadi dingin dan kaku. Mira menyesal diajak
jalan-jalan oleh Riku dan Kelly. Kalau tahu dia bakal
dipertemukan dengan Aoi, Iebih baik dia di rumah saja. Mira
benar-benar kesal. Maksud hati menghibur diri, kok justru jadi
melihat Aoi merayakan kemenangan" Aaargh... sebal!
"Kamu nggak ngasih selamat buat aku?" akhimya Aoi buka
suara. Mira pura-pura tak mendengar, dia sok konsentrasi melihat
pengunjung food court yang lalu-lalang. Aoi tampak bersungutsungut, tapi tak mau menyerah.
"Memang, jadi pecundang nggak enak. Kalau memang kalah,
kita harus tetap sportif dan mengakui keunggulan lawan,
bukannya jadi pengecut."
Mira menatap tajam Aoi. "Kamu menyebalkan!"
"Yah... aku sadar, bagimu aku menyebalkan. Tapi aku punya
otak yang lebih cerdas daripada otakmu, yang isinya hanya satu,
r, satu, alias IRI." Aoi mencibir.
"Lihat saja nanti, saat aku seusiamu, aku akan jauh lebih
berprestasi dibandingkan kamu! Bahkan, sekarang saja aku
sudah satu tingkat di bawahmu. Padahal kita beda angkatan!"
balas Mira sombong. Aoi tersenyum mengejek. Matanya menyipit. "Tahu nggak"
Usia kita tuh sama. Aku masuk sekolah kemudaan setahun.
Kamu tahu kenapa" Karena aku terlalu cerdas!"
Mira kehabisan kata-kata. Wajahnya pucat pasi, seolah ada yang
menampamya dengan keras di depan umum. Dia hendak
beranjak pergi, tapi Riku dan Kelly keburu datang. Mereka
mencegah Mira. Setengah hati Mira kembali duduk. Walau kesal
tak terkira, dia menghargai usaha Riku dan Kelly yang sudah
mengajaknya jalan-jalan untuk menghiburnya.
"Mira, kami sudah pesan makanan. Kalian berbaikan dong. Kita
kan satu sekolah, jadi siapa pun yang menang tidak masalah.
Kalian sudah mengharumkan nama sekolah. Aoi bukan
pesaingmu, Mira," Kelly mencoba menasihati.
"Aku menyesal satu sekolah dengan dia!" seru Mira ketus.
"Kalau aku senang banget satu sekolah denganmu," balas Aoi.
"Kini jelas, aku bukan satu-satunya orang yang punya wajah
tanpa senyum. Dengan tampangmu yang seperti itu, jelas-jelas
kamu mengganggu pem andangan orang," sindir Aoi pada Mira.
Kesal bukan kepalang, Mira pergi begitu saja tanpa
memedulikan Kelly yang berusaha mencegahnya. Kelly hampir
saja mengikuti Mira, tapi Riku mencekal lengannya. "Sudahlah,
Kel. Biar dia tenang dulu. Biar dia belajar menghadapi
kegagalan dan mengendalikan perasaannya sendiri."
"Tapi dia sahabatku!"
"Sahabat yang baik nggak menjadi beban bagi sahabatnya, tapi
menjadi pendukung," balas Riku. Kelly duduk kembali. Hatinya
tak bisa kesal karena wajah Riku begitu menawan. Yah, Kelly
sangat menyukai Riku. Ia tak ingin wajahnya terlihat jelek di
hadapan Riku. "Memangnya kamu ngomong apa sama Mira tadi?" tanya Kelly
pada Aoi. Aoi mengangkat bahu. "Dasar cewek sensi! Ikutan lomba baru
pertama kali bisa langsung juara dua, kok masih merasa kurang"
Kalau mau jadi juara satu, ya harus berjuang lebih keras! Tapi
tetap saja butuh waktu. Aku memulainya jauh lebih awal
daripada dia, wajar kalau aku menang. Di luaran sana, bahkan
ada yang ikut berkali-kali tapi jadi juara harapan pun tidak.
Namanya perlombaan, pasti ada yang menang dan kalah. Kalau
dia nggak siap menerima kekalahan, mendingan nggak usah ikut
lomba deh" Kelly merengut mendengar ceramah Aoi. Bagaimanapun Mira
sahabatnya. Kelly tidak rela Aoi mengatan gatai Mira, walaupun
perkataan Aoi benar. "Ada yang kamu nggak tahu, Aoi," desah
Kelly. "Mira sebenarnya bisa menerima kekalahan. Tapi tidak
dengan mamanya. Itu makanya dia kalut."
Aoi tersenyum masam. Dalam hati timbul rasa kasihan pada
Mira. Tapi ia telanjur kesal pada kelakuan Mira saat di lapangan
sepak bola waktu itu. Cewek itu menyepelekannya.
"Lho, mana Mira?" Mei datang dan langsung mengambil tempat
duduk. "Kabur. Nggak usah mikirin dia deh. Dasar cewek bete!" balas
Aoi bersungut-sungut. "Ehem... kamu apa-apain dia ya?"
Aoi mendelik pada Mei. "lya. Aku kerokin punggungnya pakai
palu!" jawabnya ketus. Riku dan Kelly ngikik. Mei mengerutkan
kening, bingung karena belum paham apa yang terjadi antara
Mira dan Aoi. "Jadi, bagaimana nih" Nggak apa-apa, Mira kita biarkan pergi?"
Tak urung Kelly khawatir juga. "Sudahlah, dia kan sudah besar.
Nggak bakalan nyasar. Nanti kita cari Mira setelah kita makan.
Laper banget nih!" kata Riku.
Kelly mengangkat bahu dan mulai menyuap makanan ke mulut.
Namun suasana telanjur kaku. Mereka makan tanpa mengobrol
sedikit pun. Mei tidak bertanya lagi, walau sesekali matanya
menyelidiki raut wajah teman-temannya. Mungkin Mei sungkan
pada Aoi. Cowok itu benar-benar bermuka masam. Kalau tidak
kelewat lapar seperti saat itu, mungkin Kelly tidak berselera
makan sama sekali.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Usai makan, Kelly melihat arloji. "Hampir jam sembilan nih.
Sebentar lagi mal tutup. Terus, Mira gimana" Kasihan kan dia
kalau harus pulang sendirian?"
"Halah, susah amat sih! Kamu kan bawa HP. Tinggal ditelepon
aja tuh anak, pastiin ada di mana sekarang," kata Aoi ketus.
"Lagian, pulang sendiri juga apa susahnya. Taksi banyak kok."
"lh, kamu kok gitu sih?" Kelly rada emosi. "Kasihan dia kalau
pulang naik taksi sendirian malam-malam. Kalau di jalan
dirampok bagaimana" Atau di.. di... huh!" Kelly bergidik
sendiri. "Huss... jangan mikir yang nggak-nggak ah!" Mei ikutan
bergidik. "Betul kata Aoi, kamu telepon dulu aja. Dia ada di
mana sekarang. Supaya kita nggak susah nyarinya. Mal ini kan
luas. Atau jangan-jangan tadi dia langsung pulang naik taksi."
"Oke deh, aku telepon sekarang."
Tangan Kelly merogoh isi tas. Dahinya berkerut. Dia berhenti
sejenak. Wajahnya tampak berpikir. Lalu, kembali dirogohnya
tas cangklong kecil itu. Kelly menggigit bibir. Dia meringis.
"HP-ku temyata ketinggalan di rumah, hehehe."
"Nggak hafal nomornya?" tanya Mei.
"Nomor HP-ku sendiri saja aku nggak hafal," jawab Kelly lugu,
membuat Mei dan Riku tertawa. Sementara Aoi hanya
tersenyum sinis. "Terus gimana dong" Riku, kamu punya nomor Mira, kan?"
tanya Mei. "Nggak." "Jadi, sekarang kita harus cari Mira dulu nih?" tanya Mei
bingung. "Masalahnya, aku belum ngerjain PR!"
"Ya ampun! PR!" pekik Kelly panik. "Aku juga belum ngerjain
PR matematika! Aduh, bagaimana nih" Aku kan lemot kalau
ngerjain matematika. Satu soal aja mesti mikir setengah jam
lebih. Alamat nggak tidur sampai besok dong!" rengek Kelly.
Riku tertawa. "Hahaha, ada-ada aja kamu, Kelly. Ya sudah.
Kamu pulang duluan sama Aoi dan Mei aja deh. Biar aku sendiri
yang cari Mira. Tapi ingat, begitu sampai rumah, kamu telepon
Mira untuk memastikan. Siapa tahu dia memang betul sudah di
rumah. Lalu, segera telepon aku, ya. Aku nggak akan berhenti
mencari Mira sebelum dapat konfirmasi darimu. Tapi semoga
saja aku bisa menemukan Mira sebelum kamu sampai di
rumah." "Oke. Aku minta nomor HP-mu dong," pinta Kelly.
Riku menuliskan nomor HP-nya di tisu, lalu menyodorkannya
pada Kelly. "Jangan dipakai buat ngelap ingus, ya," selorohnya.
Kelly tertawa kecil. Bagaimana mungkin buat ngelap ingus"
kata Kelly dalam hati. Tisu ini bakal disimpan di bawah bantal,
siapa tahu bisa mimpiin Riku. Kelly senyum-senyum sendiri
memikirkan hal itu. "Hai, malah cengengesan!" tegur Mei. "Yuk, pulang. Kudu
cepat-cepat ngerjain PR biar besok bisa bangun pagi nih!"
"Oke deh!" Akhirnya Kelly, Aoi, dan Mei memisahkan diri dan Riku. Riku
sebenarnya bingung mau mencari Mira ke mana. Tapi karena
mal sudah mau tutup, cowok itu memutuskan untuk berdiri di
depan pintu utama. Dia mengamati orang-orang yang mulai
berbondong keluar. Lama Riku mematung dengan mata
jelalatan, namun sosok yang dicarinya tak juga muncul. Hingga
rombongan pegawai mal keluar, Mira belum juga nongol.
Oh, apa aku langsung ke parkiran saja" Jangan-jangan Mira
menunggu di dekat mobil, pikir Riku.
Riku memarkir mobil di luar mal, jadi dia tidak perlu masuk
kembali untuk menuju tempat parkir. Suasana di jalan masih
ramai. Para pegawai bergerombol sambil bercanda ria selagi
menunggu angkutan umum atau jemputan pacar. Begitu juga
para keluarga yang habis berbelanja kebutuhan sehari-hari atau
sekadar refreshing, dan para remaja yang sedang hang-out atau
pacaran. Riku tersenyum melihat sepasang remaja yang tengah
duduk di taman. Mereka asyik ngobrol sambil ngemil kentang
goreng. Sesekali tawa meledak, dan si cewek menghujani tubuh
cowoknya dengan cubitan mesra.
Riku tertegun. Di bangku di sebelah sepasang muda-mudi itu,
seorang gadis berambut pendek tampak duduk melamun.
Mira. Dengan hati-hati Riku menyapa gadis itu. "Mira" Untunglah aku
menemukanmu di sini," sapanya sambil duduk di samping Mira.
Mira menoleh sejenak pada Riku, kemudian kembali berpaling
ke arah semula. Dia masih sedih dan kesal.
"Kami mengkhawatirkanmu, tapi sengaja nggak mengikutimu
tadi. Soalnya kamu pasti ingin sendirian."
"Kelly mana?" "Dia pulang duluan sama Aoi dan Mei. Katanya dia belum
mengerjakan PR matematika."
"Anak itu," desis Mira, "selalu saja menunda mengerjakan PR
sampai malam terakhir. Ujung-ujungnya, tengah malam atau
dini hari dia kerap meneleponku, meminta jawaban yang benar."
"Hah" Sampai segitunya?"
Mira tertawa kecil. Ketegangan di wajahnya mulai cair. "Benar.
Kelly memang sering bersikap konyol. Tapi, dia baik dan lugu.
Aku senang bersahabat dengannya. Keluarganya pun hangat dan
ramah. Apalagi mamanya, baik sekali. Masakan mama Kelly tak
ada duanya deh!" Mira berbicara berapi-api.
Riku tersenyum lebar. Dia senang melihat wajah Mira cerah
kembali. Tapi tak lama kemudian Mira kembali muram.
"Seandainya mamaku seperti mama Kelly," gumam Mira.
"Ssstt... nggak balk membanding-bandingkan orangtua. Semua
orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Begitu
juga mamamu. Hanya mungkin saja caranya tidak sesuai dengan
keinginanmu." Mira mengangkat bahu. "Aku capek harus selalu jadi yang
nomor satu." "Kalau begitu, ya berhenti aja. Kamu nggak harus selalu
menuruti orangtuamu jika memang membuat jiwamu lelah.
Pelan-pelan, berilah pengertian pada mamamu. Aku yakin
mamamu akan mengerti."
Mira menggeleng sedih. "Kamu nggak mengerti mamaku, Ri.
Dia sangat ambisius. Keras. Dan kamu tahu, yang membuat
segalanya menjadi sulit karena...," Mira berhenti sejenak,
menghela napas berat, "di dalam diriku ada sifat mamaku.
Walau Ielah, temyata aku menginginkannya, Ri. Menjadi juara,
menjadi nomor satu, menjadi pemimpin. Hal-hal tersebut
menguasal pikiranku. Saat ini aku memikirkan untuk..."
"Apa yang kamu pikirkan, Mir?" Riku tidak sabar ingin tahu.
"Menjadi ketua OSIS."
Riku mendesah." Itu tujuanmu murni atau sekadar menjegal Aoi
yang juga mencalonkan diri?"
"Aoi mencalonkan din jadi ketua OSIS?" Mira mendelik
jengkel. "Dia lagi... dia lagi..."
Riku mengangguk. "Kukira kamu sudah tahu. Tapi kamu
mencalonkan diri memang kepingin atau karena mamamu" Atau
lebih konyol lagi, untuk balas dendam pada Aoi?" Riku menatap
tajam mata Mira. Mira mengangkat bahu. "Entahlah. Tapi kurasa Mama akan
bangga kalau aku terpilih jadi ketua OSIS."
"Jadi, kamu melakukan semua hal karena mamamu" Kapan
kamu melakukan untuk dirimu sendiri" Motivasim u hanya agar
dibanggakan mamamu, bukan karena kamu ingin belajar
berorganisasi dan mengembangkan din. Dangkal sekali, Mira."
"Biar saja. Dan sekarang, setelah tahu Aoi mencalonkan diri,
hmm... mungkin kamu benar. Aku ingin balas dendam pada
cowok masam itu!" "Itu konyol, Mira!"
Mira menunduk. Kata-kata Riku benar dan kebenaran itu sangat
menyakitkan Mira. Tiba-tiba Mira malu pada Riku yang begitu
dewasa dan bijaksana. Tidak seperti remaja pada umumnya,
pemikiran dan sikap Riku jauh lebih dewasa.
"Terima kasih, Riku. Aku tahu kata-katamu benar. Tapi aku
belum bisa menerima kekalahan dari Aoi. Aku ingin
membuktikan bahwa aku lebih hebat daripada dia."
Riku mendesah, "Kamu ambisius, Mira. Cobalah melakukan
sesuatu karena dirimu, bukan harena hal-hal di luar dirimu.
Kalah atau menang, kamu tetap puas, karena kamu belajar dan
prosesnya, bukan mencari hasil semata."
Mira menerawang jauh, bagaimanapun dia belum bisa menerima
saran Riku. Tidak kali ini. Mira akan berjuang mati-matian
untuk menjadi ketua OSIS. Dia berjanji melakukan itu untuk
kepuasan dirinya, bukan untuk mamanya.
"Oke, kita ke mobilku yuk! Sopirku menunggu. Oh iya, ada
baiknya kamu telepon Kelly, supaya dia nggak cemas. Tadi HPnya ketinggalan, dan aku memintanya untuk menghubungimu
setibanya di rumah."
Mira mengangguk, kemudian mencoba tersenyum pada Riku,
meski belum berani menatap mata cowok itu yang selalu teduh.
Mira masih malu, karena dininya begitu lemah. Dikeluarkannya
HP dan kantong celana dan dicarinya nomor Kelly. Namun, HP
Mira keburu berbunyi. "Kelly," kata Mira pada Riku. "Halo, Kel..."
"Mira, kamu di mana" Baik-baik saja, kan" Aku khawatir sekali.
Kalo kamu hilang bagaimana" Nanti aku dimarahin mamamu
deh! Eh, kamu sudah sampai wmah keliling-keliling di mal"
Riku belum sih" Atau masih nyariin kamu tuh..."
"Stop, cereweeet! Aku sudah sama Riku nih!" potong Mira.
Mira dan Riku terbahak-bahak Ah, untunglah malam itu
berakhir dengan tawa. BEBERAPA hari kemudian Mira sudah ceria kembali. Ia
bernyanyi riang dalam perjalanan ke sekolah. Kaki jenjangnya
Iincah melompat dan berlan kecil. Saat mampir ke rumah Kelly,
ia meluangkan waktu untuk mencicipi masakan ibu Kelly. Ia
pun kembali pada kebiasaan lama: mencium pipi tembam
Morati, adik Kelly. "Wah, Tante senang sekali kamu kembali ceria, Mir! Kamu
cantiiik banget kalau tidak cemberut." Ibu Kelly mencubit
gemas pipi Mira sambil tertawa renyah. Wajah Mira bersemu
merah. "Terima kasih, Tante. Emang saya aslinya cantik sih!" Mira
mengerling. "lh, genit!" Kelly pura-pura mencibir.
"Hahaha!" Mira tertawa senang. "Kami berangkat dulu ya,
Tante. Dah, Morati sayang!"
"Hati-hati!"Mira dan Kelly berlari kecil sambil tertawa-tawa.
Seperti biasa, Riku menanti mereka di jalan.
"Pagi semua!" sapa Riku.
"Pagi, Riku!" balas Mira dan Kelly bersamaan. Kemudian
mereka meneruskan perjalanan sambil bersenda gurau. Kelly
berjalan di sisi Riku, sedangkan Mira berjalan sendirian di depan
mereka. Langkah Mira terlalu cepat untuk diimbangi langkah
Kelly. Namun, untuk menjejeri Mira, Riku tak tega pada Kelly,
sekalipun Riku ingin sekali berdampingan dengan Mira.
Terpaksalah posisi jalan ketiganya tetap seperti itu hingga di
sekolah. "Mir...," bisik Kelly saat mereka sampai di kelas.
"Hm?" Mira duduk bersandar di kursi sambil meluruskan kedua
kaki. "Riku cakep banget ya! Baik, lagi. Rasanya aku jatuh cinta deh
sama dia," kata Kelly sambil menatap langit-langit kelas.
Senyumnya mengembang. Sepertinya dia tengah
membayangkan sesuatu. Mira menatap sahabatnya dengan
perasaan aneh. Mendadak lidahnya kelu. Ia tak tahu harus
berkata apa. Kelly jatuh cinta pada Riku" Kenapa hati Mira jadi
tak keruan rasanya" Apa Mira cemburu" Ah, tapi Mira tidak
mencintai Riku. Mira yakin dirinya hanya mengagumi Riku.
Atau... atau Mira merasa dirinya ditendang keluar dan hati
Kelly, kemudian digantikan sosok Riku" Atau... atau karena
Mira belum pernah merasakan jatuh cinta pada siapa pun dan tak
rela sahabatnya punya pacar duluan" Jadi, siapa yang
dicemburui Mira sebenarnya"
"Mir, kok kamu melamun sih" Jangan-jangan..." Kelly menatap
curiga pada Mira. Kemudian dia melotot. "Oh, Mira! Jangan
bilang kamu juga suka Riku ya!" Mira membulatkan mata.
Tangannya berkacak pinggang. Ditatapnya Kelly dengan galak,
lalu disemburkann ya kata-kata, "Ck ck ck... sembarangan!
Makan tuh Riku!" Kelly nyengir.
"Serius, kamu nggak naksir dia?" tanyanya memelas. Mira
berdecak sekali lagi. Lalu, dengan overacting dia berkata, "Kelly-ku yang baik, aku
mengagumi Riku. Dia sahabat yang baik bagi kita, bukan" Tapi
itu bukan naksir. Kalau kamu suka dia, tembak secepatnya
sebelum Riku disambar sahabatmu yang cantik dan baik ini!"
Mira memeletkan lidah, menggoda Kelly. Kelly ngikik. Mira
tersenyum, kemudian menepuk punggung Kelly. "Tenang aja
deh, sobat. Riku milikmu, hehehe."
"Tapi, bagaimana cara menembaknya ya?" Kelly garuk-garuk
dahi tak jelas. "Ambil senapan. Taruh moncongnya di dada Riku, kemudian
tank pelatuknya. Gampang, kan?"
"Ah, Miraaaa!" Kelly kesal. "Aku serius, tauuu!"
"Yah, mana aku tahu. Aku kan belum pemah nembak cowok!"
"Hehe, iya ya..." Lagi-lagi Kelly menggaruk dahi yang tidak
gatal. Hari itu Kelly menjadi sangat aneh. Saat pelajaran tengah
berlangsung dia sering tersenyum sendiri dan tidak
berkonsentrasi pada materi yang diajarkan guru. Begitu ada
kesempatan bicara dengan Mira, yang dibicarakan Kelly
hanyalah Riku. Riku, Riku, dan Riku, nggak ada yang lain.
Sampai-sampai Mira sesak napas karena udara seakan terpolusi
nama Riku. Huh, menyebalkan kalo sahabat sedang jatuh cinta!
rutuk Mira dalam hati. *** "Kamu sadar nggak sih bahwa kamu beda banget sekarang,"
kata Mira saat dia dan Kelly sedang bersantai di kamar Mira
yang luas. "Masa sih" Beda bagaimana?" Kelly penasaran.
"Sejak kamu jatuh cinta pada Riku, setiap hari kerjamu
melamun terus. Sambil senyum-senyum sendiri, lagi. Kayak
orang nggak waras. Hiiy!" Mira mengedikkan bahu, pura-pura
jijik. "lh, yang benar?" Kelly meringis.
"Iya. Aku sampai mau meledak nih, karena kebanyakan
mendengar nama Riku. Tiap hari sampai berapa juta kali nama
Riku keluar dan mulutmu" Kayak di dunia ini nggak ada nama
lain aja," omel Mira.
"Ih, lebay!" seru Kelly manyun. "Di dunia ini memang banyak
nama lain. Cowok ganteng juga banyak. Tapi yang terganteng
dan terkeren cuma Riku. Riku is the best deh!" Kelly ikutan
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebay. "liiihh!" Mira terbawa gemes. Kelly terbahak-bahak melihat
tingkah sahabatnya. "Tenang, pren. Aku masih waras kok."
"By the way busway, serius nih, kamu suka Riku" Apa sih yang
kamu sukai dan dia?" selidik Mira.
"lya. Aku jatuh cinta betulan kali ini. Semua yang ada pada dia
aku suka. Aku suka matanya, hidungnya, kulitnya, tubuhnya,
senyumnya, tingkah lakunya, bahasa tubuhnya, cara berpikirnya,
caranya memandang dunia, caranya berpakaian, gerakan alisnya
saat bicara, giginya yang putih, hidungnya yang mancung..."
"Suka bulu hidungnya sekalian nggak?" potong Mira. Kalau
dibiarkan, Kelly bisa nyerocos sampai satu jam penuh.
"Oh... iya! Aku juga suka bulu hidungnya yang radar ada nongol
ke luar. Menurutku seksi, tau! Trus kalau dia sedang nyanyi,
badannya rada goyang-goyang gitu deh. lh, keren sekali. Aku
juga suka cara berjalannya. Tiap berangkat sekolah dia berjalan
di sampingku." Mira buru-buru menutup telinga dengan headset dan
mendengarkan musik. Sepertinya tidak bisa dicegah lagi, Kelly
tak akan berhenti bicara tentang Riku sampai tenggorokannya
serak. "Mira! Kamu nggak dengar ya"!" Kelly sewot begitu
menyadari sahabatnya itu memakai headset. Tangannya
mencabut headset di telinga Mira.
"Habis, kamu ngomongnya nyerocos kayak kereta api sih.
Telingaku sakit dan kepalaku hampir meledak mendengar nama
Riku." "Trus, gimana dong" Aku berbunga-bunga nih. Kayaknya aku
nggak bakalan bisa deh hidup tanpa dia. Aduh... menurutmu dia
akan menerimaku nggak?" Mira sampai bengong melihat
kelakuan Kelly. "Ya ampuuun! Sampai segitunya!" seru Mira sambil gelenggeleng.
"Yah, mana kita tahu kalau kamu nggak ngomong ke dia"
Makanya buruan tembak! Jadi kamu akan segera tahu dia suka
sama kamu apa nggak!"
"Kalau aku ditolak gimana" Kan tengsin!" Kelly menggigit
bibir. "Ya, terimalah penolakan itu dan tetap bersahabat seperti
sekarang. Gampang, kan?"
"Gampang menurutmu. Kamu nggak ngerasain sih! Kamu
belum pemah jatuh cinta, kan?"
"Udah. Aku jatuh cinta pada kucing, dan langsung patah hati
karena Mama nggak ngizinin aku piara kucing!" jawab Mira
asal. "Mira! Serius nih!" Kelly mulai merajuk. Dia melemparkan
bantal ke arah Mira. "Jangan godain mulu, kenapa" Aku
sungguh-sungguh sangat serius sekali banget-banget."
"Lebay!" sambar Mira sambil menjulurkan lidah.
"Aaah!" Satu bantal kembali dilempar ke tubuh Mira. "Ya udah,
tembak aja kalo udah nggak tahan!" Kelly tiba-tiba merenung.
Dia sedang menimbang-nimbang. Mira mendengus kesal. Tibatiba hatinya khawatir. Kalau Kelly jadian sama Riku, nanti dia
kesepian dong"! *** Di luar dugaan Mira, hari berikutnya sepulang sekolah Kelly
mengajak Riku untuk bertemu di pojok lapangan. Wow! Mira
tidak menyangka Kelly seberani itu. Selama ini dia kira
sarannya pada Kelly untuk nembak Riku hanyalah pepesan
kosong. Mira pikir Kelly tak akan berani. Mira gelisah. Apakah
itu artinya Mira takut kehilangan Kelly" Benarkah Mira belum
sanggup berbagi dengan Riku, karena menjadi nomor dua di hati
Kelly" Atau..." Ah, Mira tidak tahu. Harusnya dia senang bila
Kelly senang. Mengapa perasaannya jadi nggak kewan kayak
begini sih" Duh, sungguh Mira bingung bukan kepalang.
Mira menunggu Kelly di taman sekolah dekat gerbang. Kelly
tentu saja sedang nembak Riku di bawah pohon beringin di
pojok lapangan bola. Apa yang sedang terjadi ya" Kira-kira
Kelly gugup nggak" Terus, Riku nerima atau nolak" Ah... Kelly
memang nekat! Kepala Mira penuh pertanyaan. Dia nggak sabar
ingin segera tahu. "Ngelamun aja!" Mira tersentak, tapi tak ingin segera menoleh
ke asal suara, walaupun jelas-jelas suara itu menyapa dirinya.
Mira tahu itu suara Aoi. Cewek itu hanya melirik malas. Terlihat
Aoi tengah berdiri santai sambil menyenderkan sisi tubuhnya
pada tiang lampu taman. "Mikirin apa sih?" tanya Aoi. Nadanya
terkesan menyindir, bukan bertanya.
"Bukan urusanmu!"
"Kamu nggak rela ya Riku jadi pacar sahabatmu?" Aoi
tersenyum sinis. "Jangan-jangan, kamu juga suka pada Riku."
Kini Aoi mencibir. "lh! Apa sih maumu" Kamu senang banget ya, bikin aku kesal!"
Mira mengentakkan kaki kanannya. Matanya memelototi
Aoi. "Kamu juga udah membuatku kesal dengan pencalonanmu
itu!" desis Riku sambil menatap tajam Mira. Mira gugup ditatap
seperti itu. Tetapi ia tak ingin terlihat lemah di mata Aoi.
Disingkirkannya segenap perasaan aneh itu. Dia mendongak,
menatap Aoi dengan congkak.
"Kenapa" Kamu takut kalah" Kamu nggak mau melihatku jadi
ketua OSIS ya" Hmm... berarti kamu takut bersaing denganku
dong!" Mira memasang senyum meremehkan. Aoi mencibir.
"Lihat saja nanti, kamu akan menjadi nomor dua lagi, Nona
Jutek!" Aoi kemudian pergi. Apa" Nona jutek" Grrhh! Mira
kesal sekali dengan julukan yang diberikan Aoi. Enak saja aku
dipanggil Nona jutek. Huh, dasar Tuan Muka Masarn! Eh, tuan"
Mira meralat pikirannya sendiri. Enak saja dipanggil tuan.
Cowok Muka Masam mungkin tepat bagi cowok menyebalkan
itu. Menyebalkan... yah, julukan yang lebih pas buat dia.
"Aku akan jadi ketua, Mister M!" teriak Mira. "Lihat saja
nanti!" Aoi menghentikan langkah. Dia menoleh pada Mira
dengan dahi berkerut. "Apa kamu bilang tadi?"
"Mister M, alias me-nye-bal-kan!" Mira memberi penekanan
pada setiap suku kata. Wajahnya nyengir puas. Aoi melipat
muka sebelum berpaling dan pergi. Bibimya ngedumel nggak
jelas. Mira ngakak. Sungguh puas dan senang hatinya karena
berhasil membuat Aoi kesal. Rasain! Cowok sombong! rutuk
Mira dalam hati. Tawa Mira terhenti saat dia melihat
pemandangan di parkiran. Aoi memasuki mobil Mei. Ooh... jadi
Mei pacar Aoi" Perasaan aneh mampir di hati Mira. Apakah
semua temannya punya pacar" Apakah hanya dia seorang yang
belum punya pacar" Dan sebentar lagi, apakah sahabatnya juga
pacaran dengan Riku" Jika mereka pacaran, pasti mereka lebih
suka berduaan ketimbang bersama dirinya. Hati Mira tiba-tiba
kecut. "ADA apa, Kel?" Riku masih tak mengerti, mengapa Kelly
menyeretnya ke lapangan sekolah. Ingin berdua pula, sedangkan
Mira menunggu di taman. "Kamu mau minta diajarin main bola,
ya?" seloroh Riku. Kelly menggeleng kaku. Wajahnya tegang sekali. Diseretnya
Riku ke bangku di pinggir lapangan. "Duduk di sini yuk, Rik."
Riku menurut. Hatinya mulai dag dig dug, merasa ada yang
tidak beres. Tapi dia memilih tidak mengatakan apa-apa
sebelum Kelly mengucapkan sesuatu.
"Rik... aku... aku..." Kelly sangat gugup. Wajahnya sudah
semerah udang rebus. Keringat bercucuran di kening, bahkan
telapak tangannya dingin. Duh, kok kakiku gemetar ya" keluh
Kelly dalam hati. Untung saja dia duduk. Kalau berdiri,
mungkin sudah ambruk ke tanah.
Riku menunggu. Ia menatap Kelly penuh perhatian. Riku
prihatin, mengira Kelly sakit.
"Ng... Ri, jangan ketawa, dulu ya..." Kelly berhenti lagi.
Batinnya merutuk. Sialan! Mau ngomong cinta ternyata rasanya
kayak disidang di depan guru BP dan kepala sekolah!
"Apa kamu lihat aku sedang tertawa?" tanya Riku karena Kelly
tak juga mengeluarkan kata-kata lanjutan.
Kelly menggeleng. Kemudian dihelanya napas panjang,
dikumpulkannya segenap keberanian, dan dikeluarkannya katakata itu. Begitu cepat meluncur dan bibir Kelly sebelum
kemudian Kelly menutup wajah dengan kedua telapak
tangannya. "Aku cinta kamu."
Diam. Riku tercengang. Dia mendengar Kelly mengucapkan kata itu,
tapi tak begitu yakin. Selain ucapan Kelly tak jelas, juga karena
sesudahnya Kelly menutupi wajah. Itu tadi betulan tidak" Kelly
menembakku" pikir Riku.
"Bagaimana, Ri?" tanya Kelly, masih dengan wajah tertutup
telapak tangan. "Ha" Bagaimana apanya?" tanya Riku polos.
"Perkataanku barusan..." Suara Kelly semakin lemah.
"Tadi kamu ngomong apa sebenamya?" Riku tidak bermaksud
apa-apa, selain ingin mendengar kata-kata itu lebih jelas. Dia
takut tadi salah dengar. Kelly jadi sebal. Riku tahu nggak sih, tidak mudah
mengucapkan kata-kata keramat itu, kok malah disuruh
ngucapin sekali lagi" Kelly menurunkan tangan dan terlihatlah
wajahnya yang memerah. Dia melirik sebal pada Riku. "Masa
nggak dengar sih" Tadi kan aku bicaranya jelas. Kamu purapura nggak dengar, ya?" semprotnya.
Riku garuk-garuk kepala. Waduh, keluar galaknya deh! "Bukan
begitu, Kel. Aku cuma mau memastikan. Habisnya, begitu
ngomong, kamu langsung tutup mulut. Kan nggak jelas banget
tuh!" "Ya udah, yang tadi kamu dengar itu benar. Jawabanmu apa?"
Riku bengong. "Oh, harus dijawab ya" Perasaan kamu tadi
nggak nanya." "lh... Rikuuuu Aku serius. Kamu harus jawab, mau nggak kamu
jadi pacarku..." Kelly terdiam. Wajahnya yang sudah merah
semakin membara. Mendadak dia malu sekali.
Riku menghela napas panjang. Hatinya galau. Dia takut
menyakiti hati Kelly. Tapi bagaimanapun, Riku harus menjawab
sekarang. Dia tidak ingin menggantung Kelly dalam status
nggak jelas. Cewek sering kebanyakan harapan. Makanya Riku
harus tegas. "Kel, maaf. Aku dan kamu lebih baik bersahabat
saja seperti sekarang. Aku rasa itu hubungan yang paling indah
dan paling tepat bagi kita," kata Riku lembut.
Kelly terenyak. Rasa sakit menjalar di hatinya. Dia ingin nangis,
tapi gengsi dilihat Riku. Karena itu, dia hanya mengangguk
lemah. "Pulang yuk, Ri," ajak Kelly sedetik kemudian, walau
sebenarnya kakinya berat untuk melangkah. Ternyata, begini
rasanya ditolak cowok. Sakit!
*** Kelly tidak langsung pulang. Dia malu pada mama dan adiknya
karena bisa dipastikan dia tidak bisa menahan tangis
sesampainya di rumah. Dia memilih ke rumah Mira dulu. Di
rumah Mira sepi, jadi Kelly bisa nangis jejeritan sesuka hati.
Di kamar Mira, Kelly telungkup di ranjang. Wajahnya
dibenamkan di bantal. Dadanya naik-turun karena menangis
sesenggukan. Mira menepuk-nepuk punggung sahabatnya. Kelly terus saja
menangis sehingga Mira tidak tahu harus berkata apa. Segala hal
yang dikatakan Mira pada Kelly seakan tak berarti sama sekali.
Namanya juga orang patah hati. Pasti perasaan sakit hatinya
lebih dominan ketimbang logika. Hingga akhimya tubuh Kelly
bergerak lebih teratur. Gadis itu berbalik, menatap Mira.
Matanya sembap dan merah. Kelly menghapus air mata.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Mira khawatir.
Kelly mengangguk. "Rasanya aku nggak mau lagi bertemu Riku
karena malu." "Sudahlah. Kan tadi waktu kita pulang bareng, sikap Riku biasabiasa saja, kan" Dia tetap mengajak kita bercanda seperti biasa.
Jadi, nggak akan ada masalah. Kamu dan Riku tetap bisa
berteman seperti sebelumnya."
"Tapi, aku takut Riku jijik melihat tingkahku tadi. Huhuhu..."
Kelly kembali menangis. "Tingkah yang mana?"
Wajah Kelly merona malu. "Tadi aku sempat ngomelin dia saat
dia pura-pura nggak dengar waktu kutembak." Mira ingin
tertawa, tapi ditahannya. Dia tak ingin membuat sahabatnya
makin malu. "Oh, Riku pasti mengerti. Itu reaksi wajar kok. Kamu harus
ingat, dia sangat dewasa dan tidak berpikiran sempit seperti kita.
Kan kamu sendiri yang bilang ke aku bahwa Riku dewasa,
bijaksana, blablabla..." Mira memerot-merotkan bibir. Tapi dia
menahan diri untuk tidak terus menggoda Kelly karena Kelly
kembali mew ek. "Besok kamu harus sekolah, dan lihatlah
betapa dunia masih baik-baik saja. Riku akan tetap menunggu
kita di depan pintu gerbang rumahnya, sambil tersenyum tentu."
"Tapi jangan singgung-singgung masalah ini, ya?" pinta Kelly
memelas. "Aku malu. Hiks!"
"He hem." Mira mengangguk sambil tersenyum.
Kelly tersenyum, lalu memeluk Mira erat.
Mira lega, Kelly akhirnya bisa tersenyum kembali. Mira yakin
Kelly bakal mampu mengatasi masalah itu sendiri.
*** Ternyata esok harinya Kelly demam. Mungkin karena dia tidak
nafsu makan sementara tenaganya habis untuk menangis. Mira
berangkat ke sekolah sendirian. Pikirannya melayang pada
Kelly. Ah, jatuh cinta ternyata tidak selalu indah. Jatuh cinta
bisa bikin demam! "Lho, sendirian" Mana Kelly?"
Suara Riku menyentakkan Mira dan lamunan. Ternyata
langkahnya telah sampal di depan rumah Riku. Untunglah ada
teman jalan. Kalau tidak, Mira bisa jatuh karena berjalan sambil
melamun. "Dia demam, mungkin karena kurang istirahat dan
kurang makan. Maklum, setelah kamu tolak, dia susah tidur dan
nggak mau makan." Mira melirik Riku.
"Ya ampun, cinta ditolak kan bukan akhir segala"
"Ya, dan dia bisa terima penolakanmu kok. Kemarin aku sudah
bicara dengannya. Tapi, Riku, kenapa sih kamu menolak Kelly"
Kelly kan manis, riang, dan menyenangkan. Dia cocok buat
kamu Iho." Sesaat Riku mendesah, kemudian menoleh pada gadis di sisinya.
"Aku nggak tertarik padanya. Aku lebih tertarik pada
sahabatnya." Langkah Mira terhenti. Spontan Riku juga berhenti. Mereka
berdiri berhadapan dan bertatapan. "Maksudmu?" tanya Mira.
"Hem, aku suka kamu, Mir," ucap Riku lembut. Ekspresinya
serius. Tatapannya semakin tajam saja, seolah menagih jawaban
segera dan Mira. Di luar dugaan Riku, Mira justru ngakak. Gadis berambut
pendek itu melanjutkan langkah panjang-panjang. Riku
terheran-heran dan menyusul pujaan hatinya.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya kenapa kalau aku suka kamu" Nggak boleh?"
"Ya nggak boleh dong! Aku kan sahabat Kelly. Nggak mungkin
aku menyukai orang yang disukainya. Itu namanya teman
makan teman!" "Kamu benar-benar nggak tertarik padaku sama sekali, Mir?"
Riku tetap mengejar Mira dengan pertanyaan. Dia penasaran.
Mira terdiam. Dia berhenti sejenak, kemudian menatap jalanan
yang ramai. "Itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu,"
gumam Mira. "Yang jelas dong jawabanmu," pinta Riku.
"Ah, sudahlah. Kita harus buru-buru. Hari ini aku kampanye
nih. Kamu pilih aku jadi ketua OSIS, kan?"
"Mmm, itu rahasia hatiku, kamu nggak berhak tahu," balas Riku
menirukan Mira. Mira manyun, lalu berlari kecil.
INI menyebalkan. Lagi-lagi saingan terkuat Mira di ajang
pemilihan ketua OSIS adalah Aoi. Walau termasuk anak yang
kurang populer karena tidak supel, Aoi mampu memikat temanteman di sekolah dengan gaya pidatonya yang karismatik.
Penampilannya cool sekali.
Mira kebalikannya. Dia berpidato dan berdebat dengan penuh
energi. Orasinya berapi-api. Setiap Mira pidato, penonton
berteriak heboh. Terutama yang cowok-cowok. Hihi, sejak jadi
kandidat ketua OSIS, Mira mendadak jadi idola baru. Wajah dan
penampilannya boleh saja pas-pasan, tapi cowok-cowok
menyukai cewek cerdas. Ya, penampilan bukanlah yang utama.
Yang penting apa yang ada di dalam hati dan otak.
Pada musim kampanye ini reaksi Mira kian sengit saja bila
bertemu Aoi. Pun sebaliknya. Aoi pasti mengejek Mira saat
mereka berpapasan. Dua anak itu bagai musuh bebuyutan, tak
sekali pun saling melempar senyum.
Akhirnya tiba juga saat penghitungan suara. Kali ini Mira dan
Aoi terpaksa duduk bersebelahan. Jantung Mira rasanya tak
keruan, berloncatan, dan berdetak kencang. Mira takut kalah.
Menjadi wakil Aoi jelas musibah. Dia tak akan sudi menjadi
orang kedua setelah Aoi. Lagi pula, kalau dia jadi wakil Aoi,
jangan-jangan cowok itu akan semakin mempermainkannya.
Pasti Aoi nyuruh-nyuruh melulu. Huh, nggak sudi deh!
Aoi melirik Mira. "Selamat jadi wakil ketua OSIS, Nona Jutek,"
bisik Aoi, membuat Mira terjaga dan Iamunan.
"Lihat saja nanti, kamu yang bakal jadi wakilku, Mister M!"
balas Mira sengit. Aoi hanya tersenyum simpul. "Belum pernah anak kelas 10 jadi
ketua OSIS. Anak kelas 10 selalu jadi wakil, jadi jangan terlalu
pede." Upf! Perkataan Aoi menohok tepat di ulu hati Mira. Mira
tercekat. Benarkah yang Aoi katakan" Mingkinkah dia menjadi
nomor dua" Lagi" Setelah Aoi" Argh... Mira mana mungkin
menerima kenyataan itu. Perhitungan suara masih berlangsung. Perolehan suara Mira dan
Aoi kejar-kejaran, sementara tiga calon lain jauh tertinggal. Sulit
memprediksi siapa yang bakal bertengger paling atas. Hingga
akhirnya perolehan suara Mira dan Aoi berada persis pada angka
yang sama. "Wah, tinggal satu suara yang tersisa," kata Ferdy, si penghitung
suara sambil mengangkat satu lintingan kertas.
Penonton ramai. Belum pemah ada calon yang sama kuat dalarn
kancah pemilihan ketua OSIS di sekolah mereka. Kini satu suara
itu akan menentukan nama sang ketua: Mira atau Aoi"
Mira sangat tegang, berbeda dengan Aoi yang terkesan cuek.
Mira mengetuk-ngetukkan sepatu di Iantai. Berulang kali dia
menelan ludah. Sementara itu Ferdy memperlambat gerakan
membuka lintingan kertas, itu pun sambil sengaja melirik Mira
dan Aoi secara bergantian. "Mmm... semakin tegang dua
kandidat kita ini," seru Ferdy bergaya bak MC profesional. Dia
berlagak mengintip tulisan di kertas.
Mira manyun, Aoi tersenyum basa-basi. Di barisan penonton,
Kelly komat-kamit berdoa. Sekelompok anak tak berhenti
menyebut nama Aoi, iramanya seperti yel-yel. Kubu Mira tak
mau katah, mengumandangkan nama Mira berulang-ulang
dengan nada ritmis. "Baiklah, saya umumkan saja saat ini..." Ferdy menghela napas.
"Ketua OSIS terpilih adalah... AOI!"
Jegerrr! Petir seolah menyambar kepala Mira. Badannya lemas
dan gemetar. Dadanya seolah meledak. Sementara itu, suara
tepukan tangan dan suit-suit membahana. Kontras dengan
kondisi Mira, Aoi tersenyum lebar merayakan kemenangan. Dia
mengangkat kedua tangan. "Sudah kubilang, kamu jadi wakilku, Nona Jutek," bisik Aoi
sarnbil tertawa kecil. Mira meradang. Dia kehilangan kendali
diri. Tak dipedulikannya teman-teman yang ramai di depannya.
Mira berlari ke luar aula. Semua terperangah. Aoi tersentak.
Ferdy memanggil nama Mira menggunakan pengeras suara.
Mira terus berlari sepanjang koridor sekolah. Air matanya
bercucuran deras. "Mir! Mira!" Seseorang mengejar Mira sambil meneriakkan
namanya. Ternyata Kelly. "Tinggalkan aku, Kel!" Mira menampik tangan Kelly ketika
Kelly hendak menenangkannya. Mira bergegas masuk ke toilet,
membanting pintu, dan mengunci dari dalarn.
Mira menangis di toilet. Dia benar-benar kesal. Lagi-lagi dia
harus menerima kenyataan pahit. Nasib baik tak pernah berpihak
padanya. Mira malu pada diri sendini, pada Aoi, dan pada Riku.
Mira malu pada teman-teman yang selama ini mendukungnya.
Juga pada seisi sekolah yang tadi tumpah ruah di aula untuk
menyaksikan perhitungan suara.
Bayangan Mama kembali datang di pikirannya. Mira takut
Mama akan marah lagi. Mira takut Mama tak lagi
membanggakan dirinya di hadapan teman-teman dan keluarga
besar. Mira ingin sekali lenyap dari dunia. Sungguh, Mira tak
sanggup menerima kegagalannya kali ini. Terlebih, lagi-lagi dia
dikalahkan Aoi. Dengan setia Kelly menunggu Mira di luar toilet. Biarlah Mira
meluapkan kekesalannya hingga puas.
Akhimya Mira keluar dengan mata merah dan sembap. Tanpa
suara Kelly membimbing Mira ke wastafel dan memutar keran.
"Kacau benar aku saat ini," gumam Mira saat melihat
bayangannya di cermin. "Mira, sudahlah... kamu tetap hebat kok. Kamu menjadi wakil
ketua OSIS, mengalahkan puluhan teman seangkatan yang juga
menginginkan jabatan itu. Kamu hebat, Mir! Tahun depan
kamulah ketuanya. Pasti!" Kelly mencoba menghibur Mira.
"Aku maunya tahun ini. Tapi Aoi... Cowok itu selalu
mengganggu langkahku!" teriak Mira gemas.
"Usia Aoi setahun lebih tua daripada kita. Wajar saja kalau dia
selangkah lebih maju..."
"Dia seusia kita," potong Mira. "Itu yang membuatku semakin
kesal!" Kelly mendesah sedih. Dia menatap sahabatnya melalui cermin
di atas wastafel. Wajah Mira tampak begitu kecewa. Matanya
yang lebar dan selalu berbinar kini kelihatan redup tak
bercahaya. "Aku mau sendinian," desis Mira.
Kelly men desah lagi. Dengan berat hati ia tinggalkan sahabatnya
itu. Mira selalu begitu, selalu ingin menyendiri bila punya
masalah. Berbeda dengan Kelly, yang selalu ingin
menumpahkan isi hati lewat kata-kata, secepatnya begitu
masalah menghampirinya. "Aku tunggu di depan pintu, ya," kata Kelly.
Mira tidak menjawab. Dia masih nanar memandang cerrnin.
Sore harinya Riku dan Kelly mengunjungi Mira di rumahnya.
Mira tampak tegar dan ceria. "Wah, aku senang sekali melihat
kamu sudah tersenyum kembali, Mir," ucap Kelly lega.
Mira tersenyum masam. "Mama pulang. Kalau wajahku ketekuk
kayak remasan kertas, bisa-bisa aku diinterogasi. Kamu jangan
cerita dulu ke Mama tentang kekalahanku ya, Kel. Aku belum
siap menerima omelan Mama."
Kelly mengangguk. Dia iba pada sahabatnya. Mama Mira
memang sangat berbeda dengan mama Kelly. Mama Kelly tak
pernah menuntut apa pun dan Kelly. Apa adanya Kelly sudah
membuat mamanya bangga dan bahagia. Yang penting putrinya
menjadi anak baik, begitu selalu mamanya berpesan.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan, Mir?" ajak Riku.
"Nggak ah! Paling nanti ada Aoi lagi. Sori ya, aku nggak mau
merayakan kemenangan dia!" Mira merengut.
"Ya ampun, Mir!" seru Kelly gemas. "Terima kekalahan dong!
Contoh nih, aku yang bisa berteman lagi dengan Riku. Aku
menerima kenyataan dia memang nggak menyukaiku. Ayolah,
Mir!" bujuk Kelly. "Aku kesal. Kenapa harus Aoi lagi" Mungkin kalau ketuanya
Riku, aku nggak akan merasa sesakit ini. Aoi gitu Iho!
Tampangnya saja menyebalkan kayak gitu. Bagaimana mungkin
aku bisa kerja sama dengan dia?"
"Mir, jangan salah sangka. Aoi baik banget Iho. Dia bisa bekerja
sama dengan siapa pun, termasuk kamu," jelas Riku sabar.
Mira mendesah. Hatinya masih kesal. Tapi dia mau juga jalanjalan ke taman kota bersama Riku dan Kelly. Tentu saja setelah
Riku meyakinkan Mira bahwa Aoi nggak akan ada di sana.
"Gimana, udaranya segar, kan" Jadi pikiranmu ikut segar dan
hatimu terbawa nyaman," kata Riku.
Mereka duduk di tepi danau kecil di tengah taman. Untuk sesaat
mereka hanya diam dan menikmati pemandangan asri. Air
danau beriak lembut, angin berembus sepoi-sepoi. Benar kata
Riku, pikiran Mira menjadi lebih tenang, hatinya pun berangsur
senang. "Aku punya cerita," Riku membuka suara. "Dulu waktu kelas
10, aku kalah telak saat adu gol dengan anak kelas 11. Anak itu
berhasil mencetak lima gol, sedangkan aku hanya mampu satu.
Kemudian selama di kelas 10 aku menjadi pesuruhnya. Sakit
banget rasanya. Tapi aku tetap menjalaninya. Hanya saja aku
bersumpah, aku akan menjadi pemain terbaik di kelas 11. Rasa
sakit itu menyemangatiku untuk berjuang dan berlatih lebih
keras. Lihatlah, sekarang aku berhasil. Aku menjadi bintang
lapangan hijau. Tiap bertanding selalu ada gol-gol indah dan
kakiku." "Idiih, kenapa kamu mau menjadi pesuruhnya?" tanya Kelly
heran. "Waktu itu kami taruhan. Yang kalah jadi pesuruh yang
menang. Bagaimanapun aku harus konsisten dengan
perkataanku sendiri. Permainan bola butuh sportivitas tinggi.
Kalah ya kalah saja. Harus ditenima dengan lapang dada. Akan
ada saat bagi kemenangan. Maka, aku jalani hukuman
kekalahanku itu. Ada hikmah yang bisa dipetik kok."
"Memangnya kamu disuruh ngapain aja?" tanya Mira
penasaran. "Apa pun yang dia inginkan. Membawakan pakaian bolanya,
membelikan minuman, rnengambilkan handuk, sampai disuruh
mengerjakan PR. Tapi tiap dia berlatih, aku selalu mengamati
teknik bermainnya. Kuamati dengan saksama. Aku rnempelajari
cara membawa bola dan menendang, posisi kaki, dan gerakan
badan." "Hebat sekali, Riku! Kamu berhasil mengubah masa
hukumanmu menjadi ajang belajar, yang membawamu menjadi
pemain terbaik di sekolah!" Kelly menatap Riku kagum.
"Ya. Sekarang dia sudah di kelas 12. Dia menjadi sahabat dan
teman bermain bola yang luar biasa untukku."
"Kini kalian bersahabat?" tanya Mira tak percaya.
"lya. Kalian kenal Ruto, kan?"
"Ya ampun!" pekik Kelly. "Jadi Ruto, pemain top yang dulu
menghukummu" ldih, aku mau dong kenalan sama Ruto! lya,
aku sering banget lihat kamu dan Ruto berlatih bersama!"
Mendadak Kelly kumat gaya lebaynya.
"Huh, dasar kamu tergila-gila pemain bola melulu!" canda Riku.
Tawanya berderai, membuat wajah Kelly bersemu merah.
"Maksudmu... aku juga harus belajar dan Aoi, gitu?" tanya Mira
dengan nada datar. "Yap! Kalau kamu mau belajar darinya, tahun depan aku yakin
kamulah yang jadi ketua OSIS. Aoi pasti mengajarimu banyak
hal. Tentu saja kalau kamu mau bersikap rendah hati sedikit,"
imbuh Riku. Mira mengangguk-angguk. Kata-kata Riku benar-benar tepat
mengenai sasaran. Mira semakin mengagumi Riku. Benar kata
Kelly, Riku sangat bijaksana dan dewasa. Mira bertekad menjadi
pribadi yang lebih baik lagi. Tapi benarkah Aoi sebaik yang
dikatakan Riku" Maukah Aoi bekerja sama dengan Mira yang
sejak awal tidak menyukainya" Mira menelan ludah. Dia takut
dirinya bakal menjadi bulan-bulanan Aoi seperti yang dilakukan
Ruto pada Riku. Mira takut Aoi mengejek dan menyuruhnya ini-itu.
Dirinya bakalan tampak seperti pelayan, bukan wakil OSIS.
Mira dan Aoi telanjur saling benci. Mungkinkah Aoi bisa
menerima Mira" Ah, Mira sungguh tak bisa menebak.
PELANTIKAN pengurus OSIS berjalan lancar, walau ketua dan
wakilnya tak bertegur sapa sama sekali. Sebetulnya sudah
banyak yang curiga pada ketidakharmonisan Aoi dan Mira. Tapi
gosip belum berkembang. Belum ada yang menanyakan hal
tersebut langsung kepada Mira. Seusai pelantikan, Mira buruburu kembali ke kelasnya.
Beberapa hari setelah pelantikan, suatu sore tiba-tiba Aoi
muncul di ambang pintu rumah Mira. Sudah pasti Mira kaget
bukan main. Tapi tampang Aoi tetap sedingin es. Ditambah
dengan kacamata kotak yang bertengger kaku di hidung, wajah
Aoi terlihat seram di mata Mira.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Mira tak ramah.
Aoi tidak langsung menjawab. Dia melenggang ke bangku teras
dan mendudukinya. "Ini kerjaan buat kamu, wakil ketua OSIS,"
kata Aoi sambil meletakkan setumpuk kertas di meja.
"Kerjaan apa?" "Baca aja sendiri. Tapi, tolong kamu jangan pelit. Minta minum
dong. Aku haus banget nih!" Mira bengong sesaat, lalu tertawa
dalam hati. Tapi diambilkannya juga minuman dingin untuk
Aoi. "Terima kasih," kata Aoi sambil tersenyum. Setelah menerima
segelas air dingin dari tangan Mira, Aoi meneguknya hingga
tandas. Tumben senyum, batin Mira. Tapi Mira tak membahas. Dia
sedang malas bertengkar. Tangannya meraih kertas-kertas yang
dibawa Aoi dan membacanya sekilas. "Oh, ini kerjaan OSIS
juga?" "Ya iyalah! Emang kamu kira kerjaan wakil hanya ngeceng di
mal?" Aoi kembali ketus.
Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mira mendelik kesal. "Ngeceng di mal tapi bareng ketua OSIS
sambil ngerjain tugas sih boleh juga."
Aoi menatap Mira. Yang ditatap pura-pura sibuk membaca.
"Oh... jadi kamu sebenarnya kepingin jalan-jalan sama aku"
Naksir aku, ya" Kok nggak bilang dan dulu-dulu sih, Non?" Aoi
menggoda Mira. "Naksir otakmu doang. Nggak naksir tampangmu yang
menyebalkan itu. Boro-boro!" balas Mira tanpa menatap Aoi.
Aoi mendengus kesal. Kemudian dia menjelaskan tugas-tugas
Mira di OSIS sebagai wakil ketua.
"Duh, sibuk juga ya, jadi wakil," keluh Mira.
"Emang!" sambar Aoi. "Kamu baru jadi wakil aja sudah
mengeluh, apalagi kalau jadi ketua. Bisa mati berdiri!"
"lya... iya. Galak amat sih?" Mira mendelik kesal. "Trus,
bagaimana cara mengoordmnir teman-teman ini?"
Aoi menepuk dahi. "Ya ampuuun! Nggak nyangka, ternyata
kamu lemot. Masa kayak gitu aja nggak tahu caranya" Lalu,
kemarin ngotot mau jadi ketua, memang pikirmu kerja ketua
OSIS seperti apa?" Aoi geleng-geleng.
Mira cemberut. "Ya sudah kalau nggak mau ngajarin. Aku bisa
belajar sendiri kok!"
Sekali lagi Aoi geleng-geleng. Akhirnya dia mau juga
menjelaskan kepada Mira mengenai cara kerja, berbicara efektif,
mengevaluasi, serta banyak hal lain yang menyangkut tugastugas Mira di OSIS. Aoi menjelaskannya dengan sabar dan
telaten. Mira mengangguk-angguk. Kalau masih kurang jelas, Aoi
menjelaskan lagi secara lebih rinci sampai Mira benar-benar
mengerti. Benar kata Riku, sebenarnya Aoi sangat balk. Mira
jadi merasa bersalah karena selama ini galak pada Aoi.
"Kerja pertama kita mulai besok, dan itu nggak ada dalam
catatan kita tadi. Kita mengumpulkan dana buat korban Merapi.
Kita akan keliling bersama seksi dana pada jam istirahat pertama
di sekolah," kata Aoi sambil menatap lekat Mira.
"Lalu kita ke Yogyakarta menyerahkan bantuan, gitu?"
"Ya nggak lah! Kita kan bisa transfer ke salah satu stasiun
televisi. Bisa juga lewat PMI, atau lewat lembaga nonprofit.
Banyak cara, Non! Nggak perlu ke Yogya. Ketimbang ngeluarin
uang transpor dan akomodasi di Yogya, mending uangnya
disumbangin aja buat para korban."
"Hehe, kok aku jadi o"on gini ya?" Mira garuk-garuk kepala.
"Kalau pintar, kamu udah jadi ketua OSIS."
Aoi tert awa. "lya... iya!" Mira cemberut.
"Besok, berapa pun hasilnya, kita umumkan pada teman-teman
dan guru. Oh iya, khusus untuk anak orang kaya kayak kamu,
minimal nyumbang lima ratus ribu."
"Apa"! Senus nih?" Mira membelalak.
"Nggak usah melotot! Lagian kamu kan wakil ketua OSIS.
Kasih contoh dong ke teman-teman bahwa kamu dermawan."
"Heh! Ini bukan rnelotot. Emang dari sononya mataku besar,
tahu!" Mira sewot. "Yang punya uang kan ortuku. Uang sakuku
tetap aja standar, nggak jauh beda sama remaja kebanyakan.
Lagian, amal kok dipaksa. Suka-suka aku dong, mau nyumbang
berapa!" cerocos Mira.
"lya... iya, aku cuma bercanda. Gimana soal sumbangan tadi?"
"Boleh deh. Besok aku nyumbang lima babi!"
Aoi membelalak. Lucu sekali tampangnya, sampai-sampai Mira
tertawa geli. "Aku punya beberapa celengen bentuk babi. Gemuk-gemuk
gitu, dan semua penuh karena nggak pernah kubuka. Nah, besok
kita bisa hitung sama-sama isinya. Siapa tahu jumlahnya
lumayan." "Sip! Tapi isinya bukan koin seratusan, kan?"
"lh, menghina amat sih! lsinya lebih dan satu juta tiap celengen,
tau! Itu celengan gede banget, dan isinya koin seribuan semua!"
"Serius?" Aoi tampak tak percaya. "Lima celengan belum
dipecah sama sekali?" Aoi terheran-heran. Dia tidak pernah
membiarkan celengannya penuh dan hanya menjadi pajangan.
Aoi selalu memecah celengannya, bahkan sebelum sempat
penuh. Selalu ada kebutuhan mendesak yang membuatnya harus
memakai uang celengan. Mira mengangguk sekilas. Dia enggan membahas isi
celengannya lagi. "Oh ya, rumahmu di mana?" tanya Mira
mengalihkan topik. "Jauh banget dan sini. Aku tadi naik bus sampal dekat rumah
Riku, kemudian jalan ke sini."
"Lho, kok Riku nggak ikut sekalian ke sini?"
"Riku mau nganterin mamanya belanja," balas Aoi. "Oh, begitu.
Pulangnya bagaimana dong" Kalau balik dulu ke rumah Riku,
dia kan nggak ada?" Aoi tersenyum. "Kan aku bisa naik bus dan sini. Tadi aku
mampir di rumah Riku karena aku nggak tahu rumahnu."
"Hehe, iya ya. Duh, aku kok mendadak jadi bego begini sih!"
Mira garuk-garuk kepala. "Karena berhadapan denganku?" Aoi menjulurkan lidah.
"ldih! Pede banget sih kamu!" pekik Mira sebal. "Karena
otakmu dipenuhi ambisi, Non. Makanya jadi orang jangan
terlalu jutek. Nanti cepat tua!"
Mira merengut lagi. Aoi memang pintar dan sabar kalau sedang
menjelaskan sesuatu. Tapi kalau sudah menyangkut diriinya
sendiri dan Mira, cowok itu lagi-lagi bersikap judes.
Menyebalkan! "Eh, minta minum lagi dong," pinta Aoi. "Mulutku sampai
kering nih, gara-gara harus menjelaskan panjang lebar tugastugasmu tadi."
Mira baru akan mengambilkan minuman ketika terdengar suara
jeritan dan arah dapur. Mira dan Aoi segera berlari ke dapur.
Mbak Nunuk, pembantu rumah tangga Mira, tengah duduk di
lantai. Tangannya memegang telapak kaki kanannya. Wajahnya
terlihat kesakitan. "Kenapa, Mbak?" tanya Mira panik.
"Tersiram air panas, Non."
"Aduh, gimana ini?" Mira bingung.
"Panggil sopirmu. Kita ke rumah sakit sekarang!" kata Aoi
tenang. "Sopirku lagi cuti. Bagaimana ini?"
"Oke. Tapi mobilmu tidak dibawa sopirmu, kan?"
Mira segera mengambil kunci mobil dan menyerahkannya pada
Aoi. Kemudian keduanya memapah Mbak Nunuk berjalan ke
mobil. Mbak Nunuk meningis kesakitan. Mira kian panik.
"Ayo, cepet, Aoi!"
"Sabar. Kalau terburu-buru malah kacau semua. Tenangkan
pikiranmu. Kaki tersiram air panas nggak bakalan menewaskan
Mbak Nunuk!" balas Aoi.
Mobil meluncur ke luar rumah. Sepanjang perjalanan Mira
berusaha menenangkan Mbak Nunuk. Tapi dia sendiri justru
berurai air mata. Dia tak tega melihat penderitaan Mbak Nunuk
yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.
Aoi tersenyum melihat Mira yang menangis tapi mulutnya tak
henti menghibur Mbak Nunuk.
"Heh! Mira cengeng! Kamu sendiri nangis gitu kok menghibur
orang lain!" "Makanya buruan dong!" balas Mira.
Aoi tertawa. Lewat kaca spion, ia melihat wajah Mira yang jelek
karena menangis. "lh, kamu jelek banget kalau menangis!
Nyesel banget aku punya wakil cengeng dan jelek kayak gitu!"
ledek Aoi. Mau nggak mau Mira menghapus air matanya. Ia merasa malu
karena ketahuan lemah dan cengeng. Aoi benar-benar tenang
menghadapi kejadian itu. Cowok itu bahkan masih bisa
bercanda dan menggoda Mira agar tidak terlalu tegang.
Begitu sampai di rumah sakit, Mbak Nunuk Iangsung masuk dan
diperiksa di UGD. Mira duduk menunggu dengan gelisah. Aoi
datang membawakan air mineral untuknya.
"Maaf banget ya. Aku merepotkanmu," kata Mira tulus.
"Daripada bilang maaf, lebih baik bilang terima kasih."
"E-hem, terima kasih, Aoi. Kamu telah membantuku. Aku
nggak tahu apa jadinya andai tadi nggak ada kamu." "Aku tahu
apa jadinya..." Mira menoleh. Aoi tertawa ringan.
"Kamu pasti akan lari ke jalan dan berteriak-teriak minta
tolong." Mira tersenyum kecut. "Hehe, mungkin. ltu yang paling mudah
kulakukan." Aoi menatap Mira serius. "Orangtuamu selalu pergi tiap hari?"
"Iya. Mereka sangat sibuk. Kadang berhari-hari mereka nggak
pulang karena ke luar kota. Sekalinya pulang, sehari doang. Itu
pun dihabiskan untuk istirahat. Aku sudah biasa menjalaninya
sejak kecil. Makanya aku dekat sekali sama Mbak Nunuk."
"Kamu bahagia?"
Mira menatap Aoi. "Bahagia yang seperti apa maksudmu?"
"Yah, apakah kamu senang menjalani hidupmu?" Pandangan
Aoi menusuk mata Mira, seolah ingin menyelidik lebih jauh.
"Mmm... bagaimana ya?" Mira bingung sendiri. "Senang nggak
senang, mereka bekerja demi aku juga, kan" Selebihnya sih
memang untuk kebanggaan dan kepuasan hidup mereka sendiri.
Aku paham, suatu saat mungkin aku juga seperti mereka. Lagi
pula aku sudah terbiasa. Jadi nggak masalah."
Aoi tersenyum. "Hmm... ternyata kamu cukup dewasa ya"
Kupikir selama ini kamu kolokan, doyannya ngambek dan jutek
Putera Harimau 2 Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra Dewi Maut 3