Pencarian

Runner Up Girl 2

Runner Up Girl Karya Hanna Natasha Bagian 2


ke orang." Mira tertawa kecil. Aneh. Tiba-tiba saja seluruh tumpukan
kekesalan Mira pada Aoi musnah seketika. Apakah karena Aoi
telah menolongnya" Entahlah. Mira merasa lebih baik berdamai
dengan sang ketua OSIS itu daripada terus-menerus
menganggapnya musuh. Ya, mereka kan harus bekerja sama
mernajukan OSIS. Kalau ketua dan wakilnya saja musuhan,
bagaimana program OSIS bisa berjalan dengan baik"
Setelah diobati, Mbak Nunuk diperbolehkan pulang. Jalanan
macet parah. Mobil Mira maju sedikit demi sedikit, sementara
hari mulal gelap. "Orangtuamu nggak nyariin kamu, Aoi" Biar aku telepon
orangtuamu ya, supaya mereka nggak khawatir?"
"Nggak usah. Nggak apa-apa kok. Ayah ngasih kepercayaan
penuh ke aku. Jadi nggak apa-apa," kata Aoi sambil terus
konsentrasi mengemudi. "Ibu kamu" Ibu-ibu biasanya panik kalau anaknya nggak
pulang-pulang." "Aku nggak punya ibu. Jadi jangan khawatir," balas Aoi. Air
muka Aoi berubah kaku sehingga Mira tak berani bertanya lagi
tentang keluarga Aoi. Hening. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak
ada yang membuka mulut hingga mereka sampai di rurnah Mira.
Hari telah gelap ketika Mira melepas kepergian Aoi. Mereka
saling melempar senyum sebelum Aoi masuk ke taksi. Ah, telah
terjadi gencatan senjata rupanya!
SEMINGGU telah berlalu. Siang itu Mira duduk dengan tegang
di sofa cokelat yang terasa dingin. Jantungnya jumpalitan saking
takutnya. Sementara itu di dekat jendela Aoi menelepon
seseorang. Seorang polisi berkumis tebal mengamati mereka
dari meja kerjanya. Ya, kini mereka berada di kantor polisi.
Rupanya Aoi menyetir sambil melamun sehingga salah jalur.
Mereka ditilang. Celakanya, ternyata Aoi tidak mempunyai
SIM. Sejam lalu mereka baru saja pulang dan rumah Mei. Cewek
cantik itu didaulat menjadi ketua panitia pentas seni sekolah
yang akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Berhubung hujan,
Mira berinisiatif membawa mobil untuk menjemput Aoi yang
sedang berada di rumah Riku. Dan situ keduanya menuju rumah
Mei. Eh, pulang dan rumah Mei, mereka malah kena tilang.
Kalau mamanya tahu, Mira pasti disemprot habis-habisan. Itu
yang membuat Mira gemetar. Dibandingkan pada pak polisi,
Mira lebih takut pada mamanya.
Aoi mengempaskan tubuh di sisi Mira. Dia mendesah panjang,
lalu menatap Mira penuh belas kasihan. "Maaf ya, Mir.
Masalahnya malah jadi runyam begini."
"Ini salahku kok." Mira berbesar hati mengakui kesalahan.
"Tapi... siapa yang akan mengeluarkan kita dari sini"
Orangtuaku lagi di luar kota. Kalaupun orangtuaku ada di sini,
aku takut dirnarahi Mama." Mira kian sedih.
"Ayahku sedang dalam perjalanan kemari. Tenanglah." Aoi
mencoba tersenyum. Dia merangkul bahu Mira dan menepuknepuk lengan Mira supaya gadis itu merasa tenang.
Mira memang merasa lebih tenang. Perhatian Aoi
menghangatkan hatinya. Mira tidak menyangka Aoi begitu tegar
dan mandiri. Tak tampak sedikit pun ketakutan di wajah Aoi.
"Kamu nggak takut, Aoi?" tanya Mira.
"Aku nggak takut apa pun, Mira," desis Aoi. "Hidupku nggak
semulus hidupmu. Aku terbiasa dengan situasi yang nggak
nyaman. Hal seperti ini akan segera berlalu. Jadi, kenapa harus
takut?" Mira tersenyum. "Memangnya ayahmu nggak marah?"
"Tadi juga sudah marah-marah sewaktu aku menelepon. Tapi
dia tetap ayahku, kan" Jadi tentu saja ayahku akan datang
menjemput kita. Lagi pula, aku akan mengganti semua uang
yang Ayah keluarkan untuk menebus kita nanti."
"Tapi, bagaimana caranya" Berapa lama kamu harus menabung
uang sakumu sampai bisa membayar uang yang telah
dikeluarkan ayahmu?"
"Oh, kamu belum tahu ya?"
Mira menggeleng. "Tahu apa, maksudmu?"
"Aku mendesain kaus. Pelanggan tetapnya tim sepak bola dan
tim basket sekolah kita. Kaus olahraga tahun lalu juga
karyaku." "Oh ya" Wah... hebat banget! Sungguh, aku sama sekali nggak
tahu kamu berbakat seni."
"Aku juga menjual kaus pada teman-teman sekolah lain, para
tetangga, dan kenalan-kenalanku. Semua desainku sendiri,"
lanjut Aoi bangga. "Wow! Kamu juga berbakat dagang, ya" Hebat deh, Aoi. Jarang
ada anak seumuran kita yang sudah pintar cari uang," puji Mira
tulus. Temyata selama ini Mira benar-benar salah menilai Aoi. Mira
jadi menyesal telah memusuhi Aoi. Cowok itu ternyata kreatif
dan gigih. "Makanya kamu harus bersyukur punya orangtua lengkap dan
memberimu semua fasilitas, sehingga nggak susah payah
mencari uang saku sendiri seperti aku." Aoi menatap Mira
dengan pancaran mata bersungguh-sungguh.
Mira tak berani menatap mata Aoi. Ia hanya menunduk sambil
berkata, "lya, aku patut bersyukur. Meski mereka jarang sekali
berada di rumah, mereka tetap saja milikku yang sangat
berharga." "Oh, iya. Babi-babimu temyata benar-benar gemuk. Kurasa
kamulah penyumbang terbanyak. Kamu benar-benar tidak
sayang menyerahkan semua tabunganmu?"
"Ah, sudahlah. Aku nggak pernah memecahkan celengan karena
malas menghitung koinnya, itu saja. Kemarin aku jadi punya
kesempatan mengetahul isi babi-babi itu." Mira tertawa
kecil. "Aku ikhlas kok menyerahkan semua tabunganku.
Saudara-saudara kita yang menjadi korban letusan Merapi Iebih
membutuhkannya ketimbang aku."
Aoi tersenyum lebar pada Mira, membuat Mira jadi salah
tingkah. Menjelang sore, seorang lelaki berambut gondrong dan beruban
memasuki ruangan. Topi kulit bertengger di kepalanya,
sementara tubuhnya terbungkus jaket kulit. Dia menyandang
sebuah tas besar hitam. Dilihat dan tulisan yang tertera di tas
tersebut, sepertinya berisi kamera. Dia ayah Aoi.
Sejenak ayah Aoi menatap Mira dengan pandangan menakutkan.
Mata itu agak merah. Bibir kakunya yang tanpa senyum seakan
melengkapi penampilannya yang tidak bersahabat. Bahkan
terkesan galak. Mira gentar.
Setelah berbicara dengan petugas polisi dan menandatangani
beberapa surat, ayah Aoi menghampiri Mira dan Aoi yang
duduk menunggu di sofa. "Kalian bebas," kata ayah Aoi. Sikap tubuhnya tetap kaku. Dia
berdiri tegak dan tak terllhat tanda-tanda hendak menyapa Mira
dengan lebih ramah. "Terima kasih, Oom." Mira berdiri dan memberanikan diri
mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
Ayah Aoi tak menggubris Mira. Beliau justru memalingkan
wajah, menatap anaknya yang masih duduk di sofa. "Aoi, cukup
sekali kamu melakukan kesalahan seperti ini. Kalau sampai
terulang, tanggunglah sendiri. Ayah tidak mau bantu lagi. Kamu
sudah besar. Ingat yang selalu Ayah ajarkan: jangan bergantung
pada orang lain, kamu harus mandiri, apalagi untuk kesalahan
yang kamu lakukan sendiri!"
"Terima kasih, Yah." Aoi berdiri lalu mengangguk patuh. "Aoi
janji, ini yang pertama dan terakhir."
Kini Ayah Aoi menatap Mira. Pandangannya tajam menusuk.
"Jangan ajak anak saya mengikuti gaya hidupmu! Dia biasa
hidup sederhana," desisnya.
Mira tersentak. Walau pelan, ucapan ayah Aoi menohok
hatmnya. Tiba-tiba Mira menjadi gentar.
"Yah..." Aoi terperangah. Dia mencoba menghentikan omongan
ayahnya, tapi mulut lelaki beruban itu tak dapat ditahan.
"Jangan jatuh karena perempuan!"
Mira pucat pasi. Ia tidak mengerti alasan ayah Aoi
memusuhinya, bahkan pada saat pertama pertemuan mereka.
"Please deh, Yah... ."
"Sudahlah, ayo kita pulang setelah mengantar Nona Kaya ini,"
kata ayah Aoi sambil berlalu. Nada bicaranya sangat sinis ketika
menyebut kata "Nona Kaya".
Aoi menarik tangan Mira. Mereka mengikuti langkah cepat ayah
Aoi. Setelah meminta izin pada Mira untuk mengambil alih kemudi,
ayah Aoi menyetir mobil Mira. Aoi menemani ayahnya di
depan, sementara Mira duduk sendirian di belakang. Mira tak
berani berbicara sedikit pun. Dia membeku.
"Kalian masih SMA, seharusnya berempati pada jutaan orang
miskin di negeri kita, bukan gaya-gayaan memakai mobil
pemberian orangtua. Kalian bisa memakai angkutan umum atau
naik sepeda. Itu lebih membumi. Apa kalian juga nyaman
terjebak macet di jalanan seperti ini" Ada cara yang sederhana
kok malah cari kerepotan!" omel ayah Aoi sambil sesekali
melirik Mira dan spion. "Aoi minta maaf, Yah. Tadi hujan, dan sudah telanjur janji
dengan Mei. Jadi Mira berinisiatif membawa mobil."
"Mei lagi... Mei lagi! Mei yang mirip cemara angin yang habis
terbakar itu, kan" Kurus kering, tinggi, sampai ngomong saja
nggak becus karena kehabisan energi."
Sebenarnya Mira ingin tertawa mendengar komentar ayah Aoi
tentang Mel, si foto model itu, tapi ditahannya sekuat tenaga.
Mira jadi tahu ayah Aoi tidak menyukai Mei dan mungkmn
gadis lain yang seperti Mei. Entahlah, mungkin ayah Aoi tidak
menyukai gadis macam apa pun. Buktinya, kepada Mira yang
sangat berbeda tipe dengan Mei, ayah Aoi pun bersikap antipati.
"Yah, Mei kan teman Aoi. Biarpun seperti itu, Mei baik kok!"
Aoi membela Mei. "Cari teman yang sepadan. Jangan cari teman kaya. Bisa hancur
kamu nanti. Orang kaya hidupnya di awing-awang, tidak seperti
kita," cetus ayah Aoi. Tegas dan dingin.
Deg! Mira makin mengerut di tempat. Seolah tubuhnya
mengecil begitu saja hingga tak kelihatan. Sepertin ya ayah Aoi
tidak menyukai orang kaya, padahal tak semua orang kaya
seperti yang ada dalam pikirannya.
Mobil berhenti di carport rumah Mira yang megah. Aoi dan
ayahnya segera turun, lalu menyerahkan kunci mobil pada Mira.
"Saya sudah mengantarmu pulang dengan selamat. Sekarang
kami pulang. Tenma kasih. Salam untuk orangtuamu," kata ayah
Aoi, tetap tanpa senyum. "Saya mohon mampirlah dulu, Oom. Minum teh hangat dulu
dan makan malam. Mbak Nunuk bisa menyiapkannya untuk
Oom dan Aoi. Orangtua saya sedang di luar kota," balas Mira
takut-takut. "Terima kasih. Tapi maaf, kami harus segera pulang. Selamat
malam," kata ayah Aoi, kemudian berlalu.
Aoi tak sempat berkata apa-apa pada Mira, dia langsung
mengejar ayahnya. Mira masih termangu di sisi mobil, menatap dua punggung yang
kini tak tampak lagi. Mira mendesah sedih, kemudian berbalik,
lalu duduk di teras. Kenapa ayah Aoi seperti itu" tanya Mira pada dirinya sendiri.
Mira menggeleng-geleng bingung. Sedih juga ada orang yang
sebegitu bencinya pada orang kaya tanpa sebab. Menurut Mira,
ayah Aoi picik sekali karena menyamaratakan semua orang kaya
sebagai orang yang nggak baik. Mira tak mengerti apa yang
dimaksud ayah Aoi, tapi sungguh, dia gelisah setelah bertemu
ayah Aoi yang kaku dan menyeramkan.
*** "Aoi!" Mira berlari kecil menghampiri Aoi yang sedang duduk
sendirian di pinggir lapangan sepak bola. Aoi sedang membuka
bekal dan bersiap makan. "Oh... hal, Mira." Aoi menengadah sambil tersenyum. Dia urung
menyuapkan nasi ke dalam mulut.
Mira tersenyum hangat. Entah mengapa, hatinya tenang melihat
Aoi tersenyum. Segera gadis tombol itu menjejeri Aoi.
"Kok nggak bawa bekal?" tanya Aoi melihat Mira tak membawa
apa pun di tangannya. "Aku masih kenyang. Tadi waktu jemput
Kelly, aku ikut sarapan nasi goreng."
"Wah, enak ya. Besok ikutan dong!" seloroh Aoi. "Hehe,
boleeeh. Ibu Kelly pasti senang kalau banyak yang memuji
masakannya. Emang enak banget lho masakan ibu Kelly," Mira
berpromosi. "Baiklah, sekali-sekali aku jemput kamu, trus kita barengbareng jemput Kelly," kata Aoi sambil tertawa.
Mira tersenyum lebar. Temyata, kalau sudah kenal dekat, Aoi
menyenangkan, tidak seperti waktu pertama kali bertemu.
Kebetulan, ada yang ingin Mira tanyakan pada Aoi: tentang
insiden semalam. "Aoi, aku minta maaf tentang kejadian kemarin. Gara-gara pakai
mobilku, kamu dimarahi ayahmu. Dan... ng... ayahmu sepertinya
marah sama aku." Mira meringis. Wajahnya memelas sekali
ketika menatap Aoi. "Ah, itu kesalahanku. Nggak ada hubungannya sama kamu atau
mobilmu. Jadi jangan merasa bersalah begitu. Justru aku yang
harus minta maaf karena kata-kata ayahku semalam." Aoi
menenangkan Mira. Mira mengangguk. Tiba-tiba dia ingin sekali ke rumah Aoi.
"Aoi, boleh nggak sepulang sekolah nanti aku main ke
rumahmu?" Aoi berhenti mengunyah. Dahinya mengernyit memandang
Mira. Mira menelan ludah dan buru-buru meralat, "Eh, nggak. Aku
cuma bercanda. Kalo kamu keberatan, nggak apa-apa kok."
"Kamu yakin?" potong Aoi. "Rumahku di gang kecil perumahan
padat. Di sana panas sekali. Kamu nggak akan betah di
rumahku," balas Aoi.
Mira tersenyum. "Nggak apa-apa. Lagi pula ada tugas OSIS
yang harus kita kerjakan bersama, kan" Kita kerjakan di
rumahmu aja, ya?" Aoi mengangguk, meski ragu. Dia memandang mata Mira yang
berbinar senang. Ah, bagaimana pendapat Mira nanti"
Rumahnya dan rumah Mira sangat jauh berbeda. Rumah Aoi
mungkin hanya seluas kamar tidur Mira. Itu pun kamar Mira
sudah pasti lebih bagus. Setelah makan siang dan istirahat sebentar di rumah, Mira
mengajak Kelly ke rumah Aoi naik angkutan umum. Sepanjang
jalan Kelly terus-terusan mengomel.


Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"lih... gerah banget sih?" bisik Kelly di dalam angkot.
"Keringatan nih, kalau desak-desakan kayak gini. Lagi pula,"
Kelly mendekatkan mulut ke telinga Mira, "bapak di sebelahku
bau keringat. Hii..."
Mira tertawa kecil. "Itu rezekimu, haha."
Kelly cemberut. "lh! Kapok deh naik angkot kayak gini. Kamu
sih aneh banget, Mir. Untuk apa di garasimu ada mobil" Untuk
apa punya sopir" Untuk apa kalau nggak kamu gunakan"
Huhuhu..." Kelly mulai lebay.
"Ssst... diam ah! Nggak enak sama penumpang lain. Kesannya
sombong amat," bisik Mira.
"Ah, biarin!" Kelly masih merajuk. "Kepalaku pusing, tau!
Angkotnya ngerem-ngerem mulu." Mira pura-pura nggak
peduli. Dia sibuk melihat jalanan dari jendela angkot.
Dicocokkannya jalanan dengan denah rumah yang tadi diberi
Aoi. "Stop!" pekik Mira tiba-tiba.
Ciiittt! Angkot mengerem mendadak, membuat penumpangnya
terguncang. Seisi angkot langsung menatap sebal pada Mira.
Kelly apalagi, dia langsung menyenggol lengan Mira.
"Memang rumahnya di sini?" tanya Kelly jengkel.
"Kayaknya sih," balas Mira sambil buru-buru turun. Kelly
mengikuti di belakang sambil mengomel.
Setelah membayar ongkos angkot, Mira melihat kernbali denah
yang dibuat Aoi untuknya. Aoi yakin Mira tidak akan bisa
menemukan rumahnya, meski denahnya sangat jelas. Tapi Mira
yakin bisa menemukan rumah Aoi tanpa hams menelepon
cowok itu terlebih dahulu. Bagi Mira, anggap saja ini permainan
mencari jejak seperti dalam eskul pramuka.
"lya, aku bingung melihat denah ini. Rumit. Banyak sekali
petunjuk gang di sini. Tapi kayaknya kita masuk gang yang itu
aja deh" Mira menunjuk salah satu gang di samping pos ronda.
"Ya udah. Kalau kamu yakin, kita cepetan ke sana. Panas sekali
di sini nih, Mir. Kulitku bisa gosong!" rengek Kelly.
Mereka memasuki gang kecil itu sambil mencari-cari penjual
bensin eceran. Kata Aoi, rumahnya hanya selisih beberapa
rumah saja dari kios bensin eceran itu. Tapi Mira tidak
menemukannya. Ia kebingungan. Berulang kali ia melihat
denah. "Aduh, Mir. Panas. Pusing. Haus. Lengket. Pulang saja yuk!"
keluh Kelly sambil mengipasi wajah menggunakan buku.
"Aku sudah janji mau ke rumah Aoi kan, Kel!" jawab Mira
sambil mendelik sebal. Dia sengaja minta Kelly menemaninya
supaya bisa bekerja sama menemukan rumah Aoi, temyata
keberadaan Kelly justru membuatnya repot.
"Yang janji kan kamu, bukan aku!" tukas Kelly. "Kalau kita
muter-muter terus kayak gini, pasti ada orang yang
memperhatikan. Kalau kita diincar orang jahat lalu diculik,
bagaimana" Aduh... ini kan daerah yang nggak aman, Mir.
Banyak orang jahat!" Kelly mulal panik.
Mira semakin kesal. "Kamu nakut-nakutin aja sih" Ah, biarin!
Aku nggak mau menyerah. Kita pasti menemukan rumah Aoi!"
"Kita" Huh, aku mau pulang! Aku nggak tahan dengan
panasnya!" kata Kelly, kemudian berbalik dan berjalan tergesa.
"Kok kamu gitu sih, Kel?"
"Aku mau pulang naik taksi. Kalau kamu mau ikut pulang ya
ayo. Tapi kalau masih mau terus mencari rumah Aoi, aku
menyerah!" teriak Kelly tanpa menoleh ke belakang. Ia terus
saja berjalan menuju jalan besar.
Mira mendesah sedih sambil memandangi denah. "Kelly... kok
nggak setia sih... ," gumamnya.
Sudah telanjur pergi jauh, Mira memutuskan akan terus mencari
rumah Aoi. Lingkungan itu asing sekali. Seumur-umur dia
belum pernah berada di gang Sesempit ini, dengan rumah-rumah
kecil yang berdempetan rapat. Sesekali Mira bertanya pada
beberapa orang yang lewat atau berada di depan rumah, tapi tak
ada satu pun yang mengenal Aoi. Mira putus asa. Kulitnya mulal
berkilat banjir keringat. Tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekat
Mira. Sontak Mira menoleh dan seketika memucat. Pengendara motor
adalah ayah Aoi! "Tersesat di hutan rimba?" sapa ayah Aoi sinis.
Cleguk... Mira menelan ludah. "lya, Oom," Mira tersenyum
rikuh. "Saya mencari rumah Oom." Ayah Mira menghela napas
berat sambil menatap Mira tajam. Mira memperlihatkan
senyumnya yang paling memelas.
"Yuk, naik!" Ayah Aoi memberi kode pada Mira untuk naik di
boncengannya, namun kentara sekali, ekspresi wajahnya kurang
senang. Hati Mira bersorak. Ia langsung nangkring di boncengan motor
ayah Aoi sarnbil mengucapkan terima kasih. Entah berapa kali
motor itu berbelok memasuki gang-gang kecil. Wah... temyata
rumah Aoi masih jauh sekali dan jalan tempat Mira turun angkot
tadi. Berarti setiap hari Aoi jalan kaki beberapa ratus meter saat
pergi dan pulang sekolah. Wow!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah rumah kecil.
Mendengar suara motor berhenti, Aoi ke luar rumah. Betapa
terkejutnya Aoi saat melihat Mira datang bersama ayahnya.
Penampilan Mira benar-benar kucel dan lelah.
"Ya ampun, Mira! Masuk yuk!" ajak Aoi kemudian buru-buru
mengambil air putih untuk Mira. Dalam sekali tenggak, air putih
di gelas tandas. Aoi sampal geleng-geleng.
"Lho, katanya sama Kelly?" tanya Aoi dengan suara keras. Dia
sengaja melakukan itu supaya ayahnya mendengar.
"Kelly pulang karena kepanasan waktu nyari-nyari rumah
kamu," balas Mira, juga dengan suara keras. Ia tahu maksud
Aoi. Mungkin Aoi nggak enak hati sama ayahnya karena teman
cewek sekolahnya datang sendirian menemuinya. Mira takut
ayah Aoi mengira ia dan Aoi pacaran.
Mira dan Aoi kemudian berdiskusi soal beberapa program kerja
OSIS yang harus segera dijalankan. Mira sesekali mengamati
ayah Aoi yang duduk menghadap laptop di ruang makan. Tak
ada sekat antara ruang makan dengan ruang tamu yang sempit.
Rumah Aoi yang kecil terdiri atas ruang tamu yang dijejali
koleksi buku dan berbagal foto di dinding, dua kamar tidur
bersebelahan, serta ruang makan, dapur, dan kamar mandi di
bagian belakang. Ada sedikit sisa tanah di belakang dapur untuk
menjemur pakalan. Teras depan yang hanya berukuran 2X4
meter disesaki tanaman hias dan tanaman gantung. Tidak ada
ruang keluarga untuk menonton televisi. Bahkan, Mira tidak
menemukan televisi di rumah itu.
"Sudah sore, Aoi. Ingat tugasmu!" seru ayah Aoi dan ruang
makan. Tatapan ayah Aoi tetap ke layar laptop, tak sedikit pun
dia memandang Aoi dan Mira.
"Tugas apa?" bisik Mira pada Aoi.
"Mmm... masak untuk makan malam. Eh, diskusinya besok lagi
aja, ya" Kan kita juga perlu pendapat teman-teman lain," kata
Aoi agak canggung. Sepertinya dia malu ketahuan harus masak.
"Boleh. Mmm... aku bisa bantu kamu masak lho. Aku biasa
masak. Serius!" kata Mira sungguh-sungguh.
Aoi menoleh pada ayahnya. "Mira boleh membantu kan, Yah?"
"Mmm..." Ayah Aoi hanya berdeham.
Aoi tersenyum. Sepertinya dehaman itu berarti boleh. Aoi
mengajak Mira ke dapur. Saat melewati ayah Aoi, Mira sempat
melihat layar monitor laptopnya. Temyata pria itu sedang
mengedit foto. "Tapi dapumya kecil lho, Mir. Yang kami masak juga bahanbahan sederhana. Maklumlah..." Ucapan Aoi menggantung. Dia
sibuk mengeluarkan sayuran dari kulkas dan meletakkannya ke
meja keramik di sebelah kompor.
Mira tersenyum. "lya, nggak apa-apa. Sini, biar aku yang potong
sayurannya. Sudah dicuci, kan?" kata Mira sambil mengambil
pisau dari rak piring. Sambil memotong-motong sayuran, Mira sesekali melirik ayah
Aoi. Tampang ayah Aoi serius sekali. Merasa sedang
diperhatikan, tiba-tiba ayah Aoi menoleh pada Mira. Gadis itu
tentu kaget, kemudian buru-buru menunduk, bergegas
mengambil sayuran. Suasana mendadak hening. Tak ada yang membuka mulut.
"Mmm..." Aoi berdeham. "Kamu sering masak, ya?" tanya Aoi,
heran melihat betapa cekatannya Mira mengaduk sayuran dalam
wajan di kompor. "lya. Aku suka bantuin Mbak Nunuk kalau teman-teman Mama
datang. Kan kami harus menyiapkan banyak makanan," kata
Mira sambil mematikan api. Tanda masakannya matang.
"Wah, kayaknya enak nih!" Aoi mengambil sedikit masakan
dengan sendok, lalu mencicipi. Matanya melebar.
"Enak?" "Jauh Iebih enak daripada tumis buatanku," puji Aoi.
Mira senang sekali. Kemudian dia juga menggoreng tempe.
Setelah selesai, dia menyajikan masakan buatann ya di meja.
"Sudah siap nih, Oom," kata Mira takut-takut. Ayah Aoi
menutup laptop. Kemudian dia menatap Mira dengan tajam.
Mira ketakutan. Akankah ia diusir, atau masakannya dicemooh"
"Baik. Mari kita makan bersama. Duduklah." Hati Mira
melonjak girang. "Terima kasih, Oom." Mira mengambilkan
nasi, yang tampaknya sudah dimasak sejak pagi, untuk Aoi dan
ayahnya dengan riang. Dia bahagia luar biasa. Perasaan yang sangat aneh menyelusup
ke hatinya. Tahu-tahu Mira merasa dirinya sungguh berharga.
"Enak kan, masakan Mira, Yah?" tanya Aoi begitu mel ihat
ayahnya makan dengan lahap.
"lya, enak sekali. Seperti masakan... mmm... masakan..." Ayah
Aoi seolah berusaha mengingat seseorang.
"Masakan Ibu seperti ini, Yah?"
"Bukan... bukan masakan ibumu. Ini rasanya seperti masakan
seseorang dari masa lalu Ayah."
Ayah Aoi termenung beberapa saat. "Tapi sudahlah... nggak
penting!" katanya buru-buru begitu melihat Aoi dan Mira
menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ayah Aoi melanjutkan
makan, hanya kali ini dengan gerakan canggung.
Selesai makan, ayah Aoi menatap wajah Mira. Tapi dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya, dia tengah
mengingat sesuatu. SEMUA orang dapat melihat betapa ramah dan cerianya Mira
akhir-akhir ini. Mata bulatnya selalu berbinar-binar. Wajah Mira
yang manis terlihat semringah dan ramah karena bibirnya selalu
menyunggingkan senyum. Sungguh, Mira cantik sekali, seakan
hatinya tengah berbung-bunga.
"Wah, belakangan ini kamu ceria sekali!" seru ibu Kelly ketika
Mira menjemput Kelly. "Terima kasih, Tante," jawab Mira memberikan Senyum manis.
"Lagi jatuh cinta, ya?" goda ibu Kelly.
"Ah, Tante. Nggak kok, Tan!" Mira tersipu.
Kelly keluar dari kamar, berseragam rapi. "lya tuh, Mira
kayaknya lagi jatuh cinta," ujarnya sambil mengedipkan mata ke
arah ibunya. "Jangan-jangan... aha! Jangan-jangan Mira jatuh
cinta pada Aoi deh! Betul kan tebakanku, Mir?" Kelly nyengir
pada Mira. Pikiran Mira melayang. Ia mengingat kembali kebersamaannya
bersama Aoi di rumah sakit, di kantor polisi, dan yang paling
berkesan tentu saja di rumah Aoi saat mereka memasak
bersama. Sekarang Mira dan Aoi sering mengerjakan tugas
OSIS berdua. Mira akui, setiap bersama Aoi, hatinya senang dan
nyaman. "Nah, kamu melamun, kan" Idih... benar nih, kamu jatuh cinta
pada Aol?" Mata Kelly melebar. Ekspresinya lucu sekali.
"Udah, ah. Yuk berangkat!" Mira bangkit, kemudian melakukan
ritual. Dia mencium tangan ibu Kelly, kemudian mencium pipi
Morati. "Dah, Tante... Dah, Morati sayang..."
"Mira, Aoi kan miskin... ," kata Kelly hati-hati, saat mereka
bejalan di trotoar. "Memang kenapa kalau miskin?" tanya Mira.
"Mmm... apa cocok denganmu" Walau gaya hidupmu tidak
mewah, kamu kaya, banyak perbedaan, kan?"
Mira mengangkat bahu. "Nggak kerasa tuh. Aoi asyik-asyik aja
orangnya. Aku toh bukan tipe orang yang senang
menghamburkan uang. Lagi pula, Aoi mandiri. Pada usia
semuda kita, dia sudah punya penghasilan sendiri."
"Tapi katamu, ayahnya galak?"
"Memang iya sih, tapi nggak masalah juga. Yang penting
buatku, Aoi baik dan otaknya pintar. Aku selalu mengagumi
cowok pintar." "Aiiih... yang lagi jatuh cinta!" Kelly geleng-geleng geli.
"Akhirnya kamu mengalami sendiri rasanya jatuh cinta. Semoga
kamu nggak ngerasain patah hati jugaseperti aku." Kelly
menggigit bibir. Rupanya dia masih terkenang penolakan Riku.
"Hai, Mira... Hai, Kelly..." Seperti biasa Riku menunggu mereka
setiap berangkat sekolah. "Kamu cerah sekali, Mir."
Riku tersenyum pada Mira. Namun ada yang aneh dengan
senyum Riku. Ya, Riku tahu Mira tengah jatuh cinta pada Aoi.
Aoi sering cerita pada Riku tentang kedekatannya dengan Mira
sekarang. Riku cemburu. Dia menyayangi Mira lebih dan
sekadar sahabat. Dia ingin Mira jadi pacarnya.
Di gerbang sekolah ternyata ada yang menanti kedatangan
mereka. Aoi bersender di pagar besi. Senyumnya mengembang
begitu melihat Mira. Ya, tatapannya fokus pada Mira sebelum
kemudian ia menyapa Kelly dan Riku.
Mira semakin berbunga-bunga. Ah, jatuh cinta memang indah!
*** Mira kembali bertandang ke rumah Aoi pada hari Sabtu.
Biasanya Mira melewatkan akhir pekan di rumah Kelly.
Namun kini dia lebih suka memasak bersama Aoi. Mira senang
Aoi dan ayahnya menyukai masakannya. Sebaliknya, Mira
bahagia bisa menghabiskan waktu bersama cowok pujaannya.
"Tumben ayahmu belum pulang jam segini?" tanya Mira ketika
sedang menggoreng udang. "Jam kera Ayah nggak teratur. Kebetulan saja waktu itu Ayah
pulang sore. Kerja jadi juru kamera TV sering sampai larut
malam. Itu pun, sehabis kerja, kadang ayah masih hunting
pemandangan bagus atau ngumpul dengan teman-temannya di
bengkel fotografi." "Ayahmu hobi fotografi juga?"
"lya. Ayah sering memboroskan uangnya untuk hobi yang satu
itu. Salah satunya untuk jalan-jalan mencari gambar bagus."
"Oh!" Mira manggut-manggut. "Eh, kamu kok nggak pernah
cerita tentang ibumu?"
Aoi diam sejenak. "Ibu berpisah dan Ayah waktu aku masih
bayi. Ibu kuliah lagi di luar negeri atas biaya orangtuanya yang
kaya raya. Pernikahan Ayah dan Ibu memang tidak direstui
keluarga Ibu."

Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, pantas ayahmu alergi sama orang kaya," sambung Mira
sambil tersenyum kecut. "Oh, itu ceritanya lain. Sebelum menikah dengan Ibu, ayahku
pernah tergila-gila pada seorang perempuan kaya raya. Mereka
pacaran beberapa tahun. Ayah sangat mencintai perempuan itu.
Tapi setelah lulus kuliah, perempuan itu mencampakkan Ayah
dan berpaling pada cowok kaya. Sakit hati Ayah terbawa sampai
Sekarang," terang Aoi. "Padahal Ayah sudah menyiapkan
tabungan untuk pernikahan mereka. Ayah stres berat. Hingga
akhirnya Ayah bertemu dengan ibuku dan dalam waktu cepat
mereka menikah. Tapi apa boleh buat, mereka berpisah juga.
Ayah punya kehidupan aneh. Dia suka bepergian dalam waktu
lama, berburu gambar bagus di hutan dan daerah pedalaman,
bahkan pernah sampai ke luar negeri. Sebenarnya penghasilan
Ayah lumayan, tapi uangnya habis untuk hobinya itu. Juga
untuk anak-anak asuhnya..."
"Anak asuh?" "Iya. Sejak kecil aku punya saudara-saudara asuh. Ayah
penyumbang tetap di beberapa panti asuhan. Kami berusaha
nggak egois, Mir. Bagi kami, hidup Sederhana seperti ini cukup.
Ada kelebihan uang kami sumbangkan untuk orang yang masih
kekurangan." Mira mendesah, rnerasa tak enak hati rnendengar cerita Aoi.
Walau sekarang sikap ayah Aoi sudah mencair, tetap saja Mira
cemas ayah Aoi mendadak tidak menyukainya. Mira terdiam
cukup lama sampai akhirnya dikagetkan kedatangan ayah Aoi.
"Eh, ada Mira di sini. Lagi masak apa, Mir?" sapa ayah Aoi.
"Udang goreng tepung, Oom."
"Wow! Aromanya tercium dan luar. Tapi kayaknya Oom nggak
belanja udang deh." Ayah Aoi mengerutkan dahi.
"Tadi saya mampir ke supermarket sebelum ke sini."
"Oh..." Ayah Aoi duduk di wang makan. Dia memperhatikan
gerak-gerik Mira. Ekspresinya lagi-lagi seperti sedang
mengingat-ingat sesuatu atau seseorang.
"Ayah mau minum apa?" tanya Aoi.
"Mmm... Mir, yang segar dan menghangatkan saat udara dingin
begini apa ya?" Ayah Aoi malah bertanya pada Mira.
"Mmm, apa ya?" Mira berpikir sejenak. "Aha! Saya akan
buatkan minuman hangat untuk Oom! Tunggu lima belas menit
ya!" Ayah Aoi menganggu-angguk sambil tersenyum samar. Lagilagi dia terlihat seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri atas
sesuatu. Lima belas menit kemudian, saat Aoi menyiapkan
makan malam di meja, Mira menyajikan minuman istimewa
untuk ayah Aoi. "Ini terdiri dari..."
"Jahe, sereh, sedikit asam, madu, dan gula merah," kata ayah
Aoi memotong keterangan Mira.
Mira kaget, tak menyangka ayah Aoi tahu racikan minuman
yang dibuatnya. Padahal seingat Mira, Mama bilang, minuman
itu memakai resep khusus keluarga Mama.
Ayah Aoi mengambil sendok kecil untuk mencicipi minuman
buatan Mira. "Mmm... persis!" desis ayah Aoi sambil menatap Mira.
Mira duduk termangu. Dia heran, dan mana ayah Aoi tahu resep
minuman keluarganya itu" Minuman itu kesukaan Mama dan
Mama selalu membuat sendiri, tidak pemah minta tolong Mbak
Nunuk. Aneh! Ayah Aoi manyantap makan malam tanpa bicara Sepatah kata
pun. Bahkan dia tidak mengomentari lagi udang tepung yang
dibuat Mira. Aoi ikut diam. Yang terdengar hanya denting
sendok dan pining. Tak ada yang bennisiatif memulai
pembicaraan. Mira merasa tak nyaman dengan situasi tegang
seperti itu. Usai makan, saat Mira dan Aoi mencuci pining, ayah Aoi tetap
bergeming di kursi makan, menikmati minuman hangatnya
sambil melamun. "Ayahmu kenapa?" bisik Mira.
"Nggak tahu," jawab Aol, menggeleng.
"Abis ini aku Iangsung pulang aja ya."
"Aku antar sampai halte."
Mira mengangguk. Usai mencuci piring dan membersihkan dapur, Mira pamit pada
ayah Aoi. Lelaki itu tak menjawab, hanya mengibaskan tangan.
Sikapnya kembali dingin, seperti pertama kali berjumpa Mira.
Dengan perasaan tak keruan, Mira beringsut undur diri.
"Ayahmu kenapa?" tanya Mira lagi saat dia dan Aoi sudah di
luar rumah. "Entahlah." Aoi mengangkat bahu. "Ayahku memang aneh."
"Ada apa dengan minuman buatanku" Ayahmu menikmatinya
sambil melamun. Sepertinya sejak kuberi minuman itu ayahmu
jadi aneh." "Entahlah. Mungkin Ayah teringat seseorang. Aku juga nggak
tahu, Mira." Mira mendesah sedih. "Sepertinya ayahmu betu-lbetul nggak
menyukaiku. Padahal aku senang sekali tadi ayahmu menyapaku
ramah, saat mencium udang masakanku. Ternyata sebentar saja
ayahmu berubah." "Sudahlah, Mir. Sifat ayahku memang unik. Mmm... maaf ya.
Aku mengantarmu sampal halte aja, nggak bisa mengajakmu
jalan-jalan malam Minggu begini."
Mira berhenti sambil menatap Aoi. "Kebersamaan kita di
rumahmu itu lebih berarti daripada seribu kali jalan-jalan ke
mal. Aku senang bersamamu, memasak, dan berbincang
denganmu," kata Mira sungguh-sungguh.
Aoi tersenyum lembut. Dia berdiri di hadapan Mira, lalu meraih
kedua tangan cewek itu. Tanpa Mira duga, Aoi mencium punggung tangan Mira dengan
sepenuh hati. Jantung Mira berdegup kencang. Rasanya bagai
terbang ke langit ketujuh. Selain itu, Mira juga rikuh. Mereka
ada di gang sempit dan bagai sedang melakukan adegan film
romantis. Wajah Mira merona merah. Senang, sekaligus malu.
Aoi menatap wajah Mira yang kemerahan. "Terima kasih ya,
Mir. Hidupku jadi berwarna karena kehadiranmu. Aku juga
nggak merasa kesepian lagi karena ada kamu yang bisa
kulamunkan. Kamu mengisi hidupku yang kering dengan
senyum dan kecenaanmu. Kini hidupku betul-betul indah.
Semua karena kamu, Mir."
Mira tersenyum. "Aku juga sangat bahagia. Aku senang bisa
bersamamu." Keduanya tersenyum, kemudian melanjutkan perjalanan sambil
bergandengan tangan. Mira merasa sedih saat sampai di halte.
Itu berarti dia harus segera berpisah dan Aoi. Begitu pun Aoi,
berat sekali melepas Mira pulang. Ingin rasanya Aoi memeluk
Mira dan tak melepaskannya lagi.
"Mira..." "Mmm... hati-hati, ya... ," kata Aoi akhirnya.
Mira mengangguk. Dengan berat hati dia melepas tangan Aoi
saat bus datang. Dengan enggan Mira memasuki bus, duduk di
sisi jendela, kemudian memandang Aoi yang melambaikan
tangan ke arahnya. Entahlah, ada perasaan aneh merayapi
hatinya. Perpisahan yang seharusnya menjadi peristiwa biasa
kali itu terasa menyedihkan.
Sepanjang perjalanan pulang Mira melamun. Hatinya sedih
karena tak sempat bermalam mingguan dengan Aoi dan ngobrol
banyak hal.Begitu pun Aoi. Ia berjalan lesu pulang ke rumah.
Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak, entah apa.
*** Hingga larut malam Mira masih gelisah, tak mampu terpejam
sekejap pun. Jantungnya berdebar kencang, sekalipun posisinya
terbaring. Yang ada di otaknya hanya Aoi. Ingin rasanya dia
berlari kembali ke rumah Aoi, memeluknya, dan mengatakan
betapa dia sangat mencintai cowok itu. Yah, Mira yakin dia
jatuh cinta pada Aoi. Mira menghubungi nomor HP Aol, tapi HP Aol tidak aktif.
Akhirnya Mira memberanikan diii menelepon rumah Aol.
"Halo..." Suara di seberang jelas suara ayah Aoi.
"Oom, Aoi sudah tidur atau belum?"
"Ini sudah hampir tengah malam!"
Telepon di seberang ditutup dengan kasar, Mira terperangah.
Dia menyesal teiah bertindak bodoh.
Aduh! Mengapa aku nekat nelepon Aoi ya" Ayah Aoi pasti
marah besar! Duh, apa yang salah sih dengan sore tadi" Kok
ayah Aoi bisa berubah seperti itu" Duh... bagaimana dong" Aku
mengacaukan segalanya, keluh Mira. Dia membanting tubuh ke
ranjang, memeluk guling, dan mulal menangis. Hatinya kesal
dan semakin gelisah. Mira baru pulas setelah jam dua dini hari. Padahal pagi-pagi
sekali Mira janji menjemput Mama di bandara. Sekarang jelas
tidak mungkin. Mira bangun kesiangan. Begitu melihat jam,
waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Mira takut mamanya marah padanya. Buru-buru dia mandi. Dia
tidak sarapan karena nggak keburu. Mama pasti sedang
menunggu di bandara sambil ngomel-ngomel. Mira turun ke
ruang makan untuk pamit pada Mbak Nunuk. Namun, ternyata
mamanya sudah duduk manis di ruang makan sambil membaca
koran. "Mama!" pekik Mira.
"Mmm, tumben kamu malas" Matahari sudah tinggi baru
bangun, sampai nggak menjemput Mama di bandara," tegur
Mama sambil menurunkan koran. Diageleng-geleng memandang
anaknya. Mira meringis. "Maaf, Ma. Semalam Mira belajar sampal larut
malam," katanya berbohong.
"Ya sudah. Sekarang kita sarapan dulu yuk!" ajak Mama.
"Mbak Nunuk bikin telur dadar kesukaanmu nih."
Mira menghela napas lega. Tumben, mamanya nggak marahmarah seperti biasa. Sebetulnya Mira heran dengan kebiasaan
mamanya marah-marah di rumah. Emosi Mama berada pada
posisi tegangan tinggi melulu. Mama tak pernah menghabiskan
waktu di rumah untuk santai.
"Kapan Papa pulang, Ma?"
"Wah, Mama juga belum tahu. Mungkin Selasa. Bagaimana
sekolahmu, Mir" Tidak ada kesulitan, kan?"
"Mmm... menyenangkan kok, Ma." Mira tersenyum.
Mendadak sosok Aoi menghiasi pikirannya. Ya, Aoi yang
membuat sekolah menjadi sangat menyenangkan baginya kini.
Mama menatap Mira curiga. "Menyenangkan?"
Mira menelan ludah. Glek. Salah jawab deh!
"Maksud Mira... ngg... penuh tantangan! Ya, semua siswanya
pintar, jadi Mira harus menyiapkan diri untuk bersaing," ralat
Mira sambil menunjuk kepala.
Mama tersenyuni samar, kemudian meneruskan sarapan.
Mira menghela napas lega. Untunglah Mama tak
memperpanjang. Jantung Mira sempat melompat. Dia takut
mamanya tahu dirinya sedang jatuh cinta. Bisa marah besar deh
Mama, lalu Mama bakal tinggal lama nih untuk mengawasi
semua gerak-gerik Mira. Bisa jadi Mama ngotot mengantar dan inenjemput Mira sekolah.
Mira tak akan leluasa bergerak bebas, apalagi untuk main
bersama Aoi. "Ma, Mira boleh nggak sore nanti main ke rumah teman?"
"Siapa" Kelly?"
"Bukan, teman cowok. Dia ketua OSIS, ada beberapa hal yang
ingin Mira bicarakan dengannya."
Ups. Mira langsung menutup mulut. Kenapa dia kelepasan
ngomong mau ke rumah cowok sih"
"Orangtuanya kerja apa?" tanya Mama menyelidik.
"Mmm..." Mira bingung mau menjawab apa.
"Dan kelas atas seperti kita?" lanjut Mama tanpa menunggu
Mira menjawab pertanyaannya yang pertama.
"Mmm..." Sekarang Mira garuk-garuk kepala.
"Kalau nggak, nggak usah. Jangan bergaul sama kaum bawah.
Hidupmu akan susah. Bagaimanapun uang tetap berperan besar
dalam menciptakan kebahagiaan.Makanya kamu sekolah yang
pintar, supaya kamu bisa kuliah di luar negeri dan kelak jadi
orang sukses." Mira menatap mamanya dengan sedih. "Ma... Mama kok gitu
sih" Mira ingin bergaul dengan semua orang tanpa membedakan
status sosialnya, Ma."
"Bergaul boleh. Tapi ingat, kamu tidak boleh jatuh cinta pada
cowok yang tidak jelas status sosialnya. Tidak baik buat masa
depanmu!" Mira mematung, nanar menatap Mama yang masih asyik
sarapan sambil niembaca koran. Kata-kata yang meluncur
dengan nada datar dan mulut mamanya begitu menohok hati
Mira. Mama mendongak, menatap Mira. "Kok malah melamun" SI
ketua OSIS apamu" Bukan pacarrnu, kan?"
Kali ini Mama menatap Mira dengan penuh selidik, rnembuat
Mira salah tingkah. "Dia hanya teman kok," jawab Mira lirih.
Mamanya menatapnya tajam. "Benar?"
Mira mengangguk. "Tapi matamu mengatakan yang sebaliknya. Sore nanti Mama
akan ajak kamu belanja. Kamu boleh membeli apa saja yang
kamu inginkan. Sekarang Mama mauistirahat sebentar, lalu ke
salon. Mau ikut?" Mira melipat wajah. Mamanya selalu mengimingi minginya
barang mewah. Mira sudah hafal hal itu dan dia tidak tertarik.
Tapi Mama juga pantang ditolak. Mira harus selalu menuruti
kemauannya, bahkan dalam hal memberi hadiah pun, Mira
dipaksa menerimanya. Tapi kali mi dada Mira sesak karena
mengingat Aoi. Seandainya Mama tahu keadaan Aoi. Jika saja
Mama melihat rumah Aoi. Kalau Mama kenal ayah Aoi. Sudah
pasti...ya, sudah pasti hubungannya dengan Aoi akan ditentang
habis-habisan. "Gimana" Mau ikut ke salon?" desak Mama.
"Nggak, Ma," sahut Mira, kemudian berjalan Setengah berlari
naik ke kamarnya. Gadis manis itu melempar tubuh ke kasur dan
menangis sedih. Ternyata jatuh cinta rasanya sangat nggak enak. Hati selalu
gelisah, rindu, dan ingin bertemu orang yang dicintai. Kalau
jatuh cinta rasanya nggak enak begini!, kenapa semua orang
mau mengalaminya" Jatuh cinta sungguh membuatku aneh,
tertawa sendiri, melamun, berkhayal, dan jantungku selalu
berdebar. Aku sulit tidur dan susah makan. Aku tiba-tiba
menjadi pemalas. Auhhh! Begini ya rasanya jatuh cinta. Lantas,
apakah Aoi juga mengalaminya" Oh God, aku bisa gila kalau
Aoi nggak mencintaiku. Mira menuliskan rasa hatinya dalarn buku biru. Dia hanya bisa
menulis dan menulis. Dia tak mau berbagi pada siapa pun saat


Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, bahkan pada Kelly sekalipun.
Mira kemudian duduk di balkon kamar, mendengarkan lagu
First Love sambil tersenyum-senyum sendini. Mira merasa link
lagu itu persis dengan yang dialaminya saat itu. Seorang gadis
yang sedang jatuh cinta, tingkahnya mendadak aneh sehingga
semua orang dapat melihat perubahannya. Sepanjang hari hanya
melamun, namun malu untuk menceritakannya.
Mira tersenyum sendiri. Mmm... aku nggak sabar menanti han
esok untuk menyatakan cintaku pada Aoi. Ya ampun, Aoi, aku
harap kamu juga merasakan apa yangkurasakan.
"Mira!" panggil Mama dan lantai bawah. "Mau ikut ke salon
nggak" Kalau mau, buruan slap-slap!"
"Nggak, Ma!" seru Mira kesal karena lamunan indahnya
terputus begitu saja. Ya, untuk saat ini Mira tidak menginginkan apa pun.
Dia hanya ingin mengkhayalkan Aoi. Rasanya mengasyikkan
merangkai cerita tentang kedekatan mereka, walaupun cuma di
pikiran. Mira tersenyum. Dia teringat saat Kelly jatuh cinta pada Riku.
Mira menertawakan kekonyolan Kelly, namun sekarang Mira
kena batunya. Ah, mumpung Mama ke salon, kenapa aku nggak ke rumah Aoi
saja" pikir Mira. SEORANG bapak berumur enam puluhan menginjak kaki Mira
sehingga Mira yang saat itu hanya memakai sandal meringis.
Namun sebelum bapak tersebut minta maaf, Mira sudah
tersenyum terlebih dahulu padanya. ltulah hebatnya orang jatuh
cinta. Rasa sakit terkalahkan rasa bahagia di hati yang begitu
indah. Siang itu Mira sedang dalam perjalanan ke rumah Aoi. Udara
panas dan keharusan berdini berdesakan di bus yang penuh
sesak tidak dipedulikannya. Mira rela berkeringat dan
merasakan ketidaknyamanan sesaat demi bertemu pujaan
hatinya. Jantung Mira semakin berdebar begitu mendekati
rumah Aoi. Perasaannya tak keruan, antara takut bertemu ayah
Aoi dan keinginan yang kuat untuk berjumpa Aoi.
"Aoi!" panggil Mira sambil mengetuk pintu rumah Aoi.
Sunyi. Tak ada sahutan dan dalam.
"Aoi!" seru Mira sambil mengintip dari sela-sela jendela kaca.
Di dalam terlihat gelap. Mira mendesah, kemudian duduk di bangku teras untuk melepas
lelah. Aoi tidak di rumah. Bodohnya Mira, karena tak
menghubungi Aoi Iebih dahulu sebelum bertandang. Oh iya...
HP! Mira mengeluarkan HP, lalu mulal menghubungi nomor
Aoi. Berkali-kali Mira mencoba menelepon Aoi, tapi nomor
tersebut tak bisa dihubungi.
Aoi... kamu di mana" Aku kangen sekali, gumam Mira sambil
menatap langit yang baru disadarinya sangat mendung.
Mira mempemiainkan HP di tangannya. Dia gelisah tiada tara.
Dadanya sesak oleh rindu dan kecewa. Seandainya sedang
berada di dalam kamarnya, mungkin Mira sudah menangis
sesenggukan. Apa boleh buat, cairan bening di kelopak mata
harus ditahan sekuatnya. Dia berada di halaman rumah orang.
Malu kalau sampai ada yang melihatnya menangis di situ.
Tiba-tiba bulir-bulir air turun dari langit. Pertama-tama berupa
gerimis, namun menderas dengan cepat. Mira terjebak di teras
Aoi. Dia tak mungkin pulang karena tidak membawa payung.
Terlebih hujan turun disertai angin yang bertiup kencang. Mira
sampai harus berdiri merapat pada pintu agar tidak terkena
semburan air yang terbawa angin.
Aoi, pulang dong, keluh Mira sambil menggosok-gosok kedua
lengan yang terasa dingin. Masih untung dia memakai celana
panjang sehingga kakinya terasa lebih hangat.
Duh, kenapa harus hujan sih" Tadi kan matahari terik sekali,
keluh Mira seraya mendesah sedih. Hujan tak kunjung berhenti.
Berkali-kali Mira melihat arlojinya. Sepuluh menit, setengah
jam, satu jam, satu jam lima belas menit...
Kalau Mama pulang dan tahu aku nggak ada di rumah,
bagaimana" Mira kian gelisah. Meski kedinginan dan dihantui
rasa takut pada mamanya, Mira tetap tak menyesali pilihannya
untuk pergi ke rumah Aoi. Mira bahkan bertekad akan
menunggu sampai Aoi pulang. Mira berjanji akan melupakan
penderitaannya slang itu bila dia berhasil bertemu Aoi dan
melihat wajah tenang serta menatap mata teduhnya. Mira
tersenyum. Membayangkan wajah Aoi menghibur hatinya. Ah,
cinta memang aneh! Hujan tetap deras, teras Aoi mulal digenangi air. Mira duduk
kembali di bangku sambil mengangkat kedua kaki. Dia tak
menyangka teras tersebut bisa banjir. Ternyata teras Aoi Iebih
rendah daripada jalanan. Air mulal masuk, meski dihalangi
tanggul seadanya. Mira termenung. Dia duduk sambil memeluk
lutut. Hatinya berharap Aoi atau ayahnya segera pulang.
Berkali-kali Mira mencoba menghubungi Aol lagi, namun
teleponnya tak pemah tersambung.
Kira-kira Aoi ke mana ya" Ke pasar" Ke mal" Mengunjungi
saudara" Mengapa belum pulang juga" Ah, Mira, kenapa kamu
jadi bodoh" Ini kan hujan. Aoi pasti menunda pulang! Huh...
Mira mendengus kesal. Mira mencoba menghibur diri dengan mendengarkan musik dan
HP. Namun, yang terjadi Mira justru menangis saat musik
syahdu menyentuh hatinya. Lama Mira berurai air mata sambil
terisak-isak karena terh anyut lagu-lagu Lawas bertema cinta.
Uh... Aoi, pulang dan hibur aku dong! batin Mira merengek.
Tuuut...! Hp Mira mati karena kehabisan baterai. Mira. terpaku. Dia tak
tahu harus bagaimana lagi menghibur dirinya sendiri.
Aku benci jatuh cinta. Jatuh cinta membuatku begitu bodoh.
Mengapa aku harus ke rumah Aoi" Mengapa harus mau
menunggu begitu lama dalam kedinginan dan tapar" Jatuh cinta
rnembuatku begitu tolol! Mira merutuki kesialannya. Tapi tak
ada yang bisa dilakukannya selain duduk dan menunggu hujan
reda. Hujan baru berhenti menjelang sore. Mira betul-betul lapar dan
haus. Dia nekat menurunkan kakinya yang pegal ke dalam air
keruh yang menggenang di teras. Lalu kedua kakinya diayunayunkan.
Kalau pulang sekarang, nanggung. Sebentar lagi pasti Aoi
pulang. Ya, Aoi akan segera pulang. Aku harus sabar menunggu
dan nggak boleh putus asa, Mira menguatkan hati. Huh, kenapa
sih nggak ada penjual makanan yang lewat" Aku lapar sekali.
Ah, aku memang bodoh. Jalanan tergenang banjir begini, siapa
yang mau jualan" Sabaaar. Aoi pasti dalam perjalanan pulang,
lagi-lagi Mira menghibur diri.
Mira mendesah sedih. Kakinya terus bermain air, tak peduli
ujung-ujung jarinya mulai keriput. Akhirnya hati Mira sampal
juga pada titik yang menunjukkan perjuangannya menunggu Aoi
sia-sia belaka. Mira menyerah dan memutuskan pulang. Petang
menjelang. Malam siap memayungi Jakarta dengan kegetapan.
Mira menggigil kedinginan. Sebelum meninggalkan rumah Aoi,
dia menuliskan sebuah pesan, lalu meletakkannya di bangku.
Kemudian Mira melangkah pelan, menerjang banjir yang masih
menggenangi jalan. Hatinya pilu. Air mata deras mengalir di
pipi. Beberapa kali Mira hampir jatuh. Tubuhnya lemah dan
sempoyongan karena lapar. Dia berhasil sampal di pinggir jalan
raya, namun sama sekali tidak berpapasan dengan Aoi di gang.
Pupus sudah harapannya bertemu Aoi saat itu. Mira mencegat
taksi. Dia meringkuk di kursi belakang sambil terus menangis
dan menggigil. "Saya antar Mbak ke dokter saja ya?" Sopir taksi terlihat cemas.
Berkali-kali dia melihat Mira dan kaca spion.
"Tidak usah, Pak. Terima kasih," balas Mira pelan.
"Mbak yakin baik-baik saja?"
"Iya. Saya cuma kedinginan. Tolong kecilkan AC-nya." Sopir
taksi menuruti permintaan penumpangnya. Kalau bisa dia ingin
memacu taksinya kencang, tapi jalanan macet. Tak ada yang
bisa diperbuat. Mira mencoba bertahan. Dia tak mau kalah oleh
rasa dingin dan lapar. Mira meyakinkan din sendiri bahwa dia
baik-baik saja, hanya hatinya yang sakit. Dia memb ayangkan
pengungsi korban bencana yang jauh Iebih menderita.
Kehilangan keluarga, kehilangan harta, dan tak ada yang bisa
dimakan. Tubuh Mira menjadi Iebih hangat saat membayangkan
betapa beruntungnya dia karena tak kehilangan apa pun.
Bahkan, Mira masih dianugerahi perasaan cinta.
Begitu tiba di rumah, Mira disambut wajah cemas Mama dan
Mbak Nunuk. Belum sernpat menjawab satu pertanyaan pun,
Mira pingsan. "Mira!" seru Mama kaget. Segera ?a menangkap tubuh Mira
yang basah kuyup. Mbak Nunuk menangis melihat Mira yang ambruk bagai pohon
layu diterjang angin. Berdua Mama, Mbak Nunuk membopong
tubuh ningkih Mira menuju sofa.
Mama mengganti baju Mira, melap dengan handuk bersih, dan
menghangatkan tubuhnya dengan minyak kayu putih. Dokter
keluarga segera dipanggil.
Dokter bilang, Mira hanya kedinginan dan akan segera pulih.
Mama sampai geleng-geleng. Dia begitu ingin menanyai Mira
kenapa bisa seperti itu, tapi masih belum tega melihat kondisi
lemah anaknya. Begitu Mira siuman, Mbak Nunuk senang bukan main. Dia
memijiti tangan Mira. Melihat itu, Mira tersenyum haru.
"Mama mana, Mbak?" tanya Mira.
"Sedang makan malam dengan Dokter Awan. Non kenapa bisa
sampai kelaparan sih" Non kan bawa uang. Kenapa nggak
jajan?" Mira menghela napas panjang. Dadanya kembali sesak dan
matanya berkaca-kaca. Namun dia tak ingin menangis lagi.
Mbak Nunuk menatapnya, menunggu jawaban dan mulut Mira.
"Mama Non tadi khawatir sekali. HP Non nggak bisa dihubungi.
Mbak Kelly dan Mas Riku juga nggak tahu Non pergi ke
mana." "Sudahlah, Mbak. Nggak penting lagi sekarang."
"Non, ini Jakarta. Mbak khawatir Non diculik. Lain kali kalau
pergi HP-nya diaktifkan. Hampir saja tadi mama Non lapor
polisi saking cemasnya."
Mira termenung. Tiba-tiba Mama memasuki kamar dengan wajah datar,
kemudian duduk di tepi ranjang. "Mir, ke mana kamu seharian"
Mama hampir mati ketakutan. Mama takut kamu kenapa-napa.
Tolong jawab Mama sejujurnya. Mama janji nggak akan
marah," pinta mamanya.
Mira memiringkan tubuh, kemudian menarik selimut hingga
menutup kepala. Mira menangis tertahan. Dia belum siap
berbicara pada mamanya. Mira tahu mamanya pasti marah.
Nggak mungkin nggak marah kalau tahu Mira jadi seperti itu
gara-gara seorang cowok. Mama mendesah panjang. "Mama janji nggak akan marah, asal
kamu bercerita jujur. Kamu ke mana tadi?"
Tubuh Mira berguncang. Tangisnya meledak. Dia tetap menutup
mulut rapat-rapat karena betul-betul tidak mau membagi
kisahnya tentang Aoi. Mama menyerah, dan tidak lagi membujuk Mira bicara. Dia
meninggalkan Mira dan Mbak Nunuk yang ikut menangis.
Mbak Nunuk tak pernah tahan melihat Mira menangis. Apalagi
kali ini Mira menangis begitu hebat.
"Mira mau sendirian, Mbak!" pinta Mira dengan suara serak.
"Tapi Non makan dulu ya?"
"Mira mau bobo."
"Tapi, Non..." "Tinggalkan Mira sekarang, Mbak. Mira kepingin sendiri," kali
itu Mira betul-betul memohon.
Mbak Nunuk tak berdaya. Nasi dan lauk di meja samping
ranjang ditutupnya dengan tudung saji kecil. "Nanti makan ya,
Non. Teh angetnya juga diminum biar Non kuat kembali. Mbak
keluar dulu. Kalau ada apa-apa, panggil Mbak aja. Ntar Mbak ke
sini." Mira tidak menjawab. Dia semakin membenamkan kepala ke
bawah selimut dan kembali menangis.
*** Pagi-pagi sekali, meski tubuhnya masih panas dan suaranya
serak, Mira nekat berangkat ke sekolah diantar Pak Bardi, sopir
keluarga Mira. Mama dan Mbak Nunuk tak bisa menahan Mira.
Gadis manis itu tetap keukeuh menganggap dirinya baik-baik
saja. Mira memaksakan diri ke sekolah untuk bertemu Aoi. Dia
sampal lupa menjemput Kelly seperti biasanya.
"Nanti saya jemput ya, Non," kata pak Bardi saat Mira turun dan
mobil. "lya, terima kasih, Pak," balas Mira, kemudian berlari tak sabar
untuk menemui Aoi. Aoi belum datang, Mira menunggu di depan kelas Aoi dengan
sabar, meski terselip kegelisahan di hatinya. "Mira!"
Sebuah suara mengagetkan Mira. Kelly berdiri di hadapan Mira.
Wajahnya cemas campur dongkol.
"Ya ampun, Mira! Kemarin mamamu lebih dan sepuluh kali
meneleponku, nanyain kamu. Kamu ke mana saja?"
"Nanti aku cerita. Sekarang aku menunggu Aoi."
"Memangnya Aoi kenapa?"
Mira mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu untuk apa
menunggu Aoi: ingin menyatakan perasaannya atau ingin marah
karena sampal pagi ini Aoi tidak juga menghubunginya. Padahal
kemarin Mira meninggalkan pesan di bangku teras Aoi.
Seharusnya Aoi melihat pesan Mira ketika pulang ke rumah.
"Mir, kok kamu pucat?" kata Kelly sambil meletakkan tangan di
dahi Mira. "Ya ampun, kamu panas sekali! Kamu pulang saja
deh, Mir. Aku teleponkan sopirmu ya" Atau mau langsung
pulang sekarang" Aku antar pakal taksi."
Mira menggeleng. "Aku mau ketemu Aoi dulu."
"Hei, kalian berdua kok ada di sini?" Riku datang dan menyapa.
"Aku menunggu kalian di jalan, kok nggak lewat-lewat.
Temyata sudah sampai di sini. Ada apa" Mau bertemu siapa di
kelasku?" Mira dan Kelly tidak menjawab. Dua cewek itu terlihat bingung.
Riku merasa ada yang tidak beres saat dia menatap Mira.
"Mira" Kamu pucat banget! Oh iya, ke mana seharian kemarin"
Kami ikut cemas karena nggak mendengar kabarmu."
Mira hanya mengangkat bahu dengan lesu. Riku menatap Kelly
dengan pandangan bertanya. Kelly menggeleng. Dia juga tidak
tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu. "Mira menunggu
Aoi," sahut Kelly. "Biasanya Aoi sudah datang jam segini," kata Riku, kemudian
melongok ke kelas. "Aneh. Biasanya dia datang paling awal Iho.
Sungguh!"

Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Riku kemudian mengambil HP dan dalam tas. Dia beru saha
menghubungi Aoi. "Aneh. HP.nya nggak aktif tuh! Memangnya
ada masalah apa antara kamu dengan Aoi, Mir?"
Mira menggeleng. Matanya yang kemerahan terus menatap
lorong depan kelas, berharap Aoi muncul dari kejauhan.
Kelly mendesah. Dia menemani sahabatnya itu menanti Aoi.
Namun hingga bel masuk berbunyl, Aoi tak juga muncul.
"Mir, aku masuk kelas dulu, ya. Mungkmn Aoi terlambat. Atau
kalau hari ini dia nggak datang, nanti sepulang sekolah aku antar
kamu ke rumahnya," kata Riku sebelum masuk kelas.
"lya... terima kasih," balas Mira.
Mira berjalan lunglai ke kelasnya bagai macan kalah tarung.
Macan yang luka parah dan berdarah-darah, hingga tak mampu
merasakan sakitnya lagi. Di dalam kelas Mira bengong kayak
macan ompong. "Sudahlah, Mir. Aku antar kamu pulang, ya?" Kelly prihatin
melihat Mira. Wajah Mira semakin pucat.
Akhirnya Mira mengangguk. Tubuhnya semakin lemah dan
kepalanya berat. Mira butuh tidur. Guru mengizinkan Mira
pulang. Namun sebelum pulang, Mira sengaja melewati kelas
Aoi. Mira melongok ke kelas Aoi. Ternyata orang yang
dicarinya ada di dalam kelas!
"Aoi," gumam Mira seraya menuju pintu kelas Aoi.
"Mir, mau ngapain?" bisik Kelly cemas.
Mira nekat mengetuk pintu kelas Aoi. Lalu Ia minta izin pada
guru kelas Aoi, agar Aoi boleh keluar kelas sebentar. Mira
berbohong pada bu guru bahwa ada tugas OSIS yang harus
dibicarakan dengan Aoi segera.
Aoi keluar kelas dengan wajah tak ramah. "Ada apa ya"
"tanyanya dengan nada datar.
"Kita bicara di ruang OSIS, ya?" pinta Mira memelas.
Tanpa menjawab, Aoi berjalan mendahulul menuju ruang OSIS,
dilkuti Mira dan Kelly. Tiba di ruang OSIS, Kelly duduk di
bangku kayu di koridor, sementara Mira dan Aoi masuk ke
ruangan. "Kamu menerima pesanku kemarin?"
"Pesan" Nggak tuh!" balas Aoi tak bersahabat. Sikapnya
mendadak kembali seperti dulu waktu mereka baru kenal.
"Oh...," desah Mira kecewa. Melihat sikap Aoi, rasanya Mira
tak sanggup lagi bicara. Tubuhnya terasa lemas dan demamnya
nieninggi. Aoi diam saja, tak menanyakan keadaan Mira yang tampak
payah. Aoi bahkan tak menatap Mira sedikit pun. Dia
memandangi deretan poster di dinding.
"Seharian kemarin aku menunggumu dalam hujan. Dingin,
lapar, dan kakiku terendam banjir. Kamu ke mana saja, Aoi"
Aku mencoba menghubungimu, tapi HP-mu nggak aktif."
"Ya salahmu sendiri!" desis Aoi.
Mira tak percaya Aoi mengatakan hal itu. Dada Mira begitu
sesak, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya kelu. Ada apa
dengan Aoi" Mira tak habis pikir. Hanya dalam waktu kurang
dan 24 jam, sikap cowok itu berubah 180 derajat.
Mira menelan ludah. Matanya basah saat Ia menatap Aoi dengan
hati hancur berkeping-keping. Namun, Aoi terus menatap ke
dinding, tak mau berpaling untuk memandang wajah Mira
barang sebentar. "Aoi... aku sayang banget sama kamu. Kemarin aku datang
untuk mengatakan betapa aku menyukaimu," kata Mira lemah.
Aoi tetap membeku. Mira berdiri susah payah sambil
berpegangan pada meja. Ia melangkah sempoyongan
meninggalkan Aoi. Kelly menyambutnya di luar, kemudian
membantu Mira berjalan. Aoi membeku di tempatnya, tatapan matanya kosong, namun
matanya basah oleh air mata. Aku juga sangat menyayangimu,
Mira, gumam Aoi pilu. MIRA tergolek lemah di rumah sakit. Ia terserang tifus. Tapi
bagi Mira, yang paling sakit adalah hatin ya, bukan tubuhnya.
Dia terus berurai air mata. Namun gadis itu tak mau berbicara
pada siapa pun untuk men gurangi bebannya. Tiap kali ditanya,
Mira hanya men angis. Bahkan saat Kelly menjenguknya, belum
sempat sahabatnya itu bertanya, Mira sudah menangis. Mama
Mira sangat mengkhawatirkan kondisi putri tunggalnya itu. Papa
Mira juga tak bisa membujuk anakn ya untuk bercerita. Mira
seolah menyimpan sendiri isi hatinya yang meluap-luap, hingga
meluber dalam bentuk air mata.
"Ini tentang Aoi, kan" Kemarin kamu hampir pingsan saat
keluar ruang OSIS. Aku akan menemui Aoi sekarang juga," kata
Kelly geram. "Tolong tanyakan kenapa dia seperti memusuhiku kemarin,"
pinta Mira memelas. "Pasti. Aku akan mengorek apa pun yang bisa ku apat darinya,"
balas Kelly sebelum pergi.
Di depan rumah sakit Kelly bertemu Riku yang hendak
menjenguk Mira. Kelly menceritakan keadaan Mira.
"Mmm... kalau gitu aku antar kamu ke rumah Aoi saja. Mungkin
aku bisa membujuk Aoi bicara," kata Riku.
Kelly tersenyum senang. Terus terang, sebenarnya Kelly tidak
suka harus ke rumah Aoi seorang din. Tapi demi sahabatnya, dia
rela. Untung ada Riku yang menemaninya. Mereka berdua naik
taksi menuju rumah Aoi. Kelly tak habis pikir, mengapa Mira, si tegar dan tombol itu,
tiba-tiba bisa menjadi sangat lemah dan sensitif.
"Menurutmu apa yang terjadi?" tanya Riku penasaran.
"Entahlah. Kemarin mereka bicara dl ruang OSIS hanya
sebentar. Saat keluar ruangan, Mira tampak begitu terpukul. Dia
terus menangis sampai tiba di rumahnya."
Riku mendesah panjang. "Kemarin Aoi bahkan tak masuk kelas
lagi setelah bicara dengan Mira. Aoi cuma mengambil tas saat
istirahat pertama, lalu kabur entah ke mana."
"Ada apa kira-kira ya?"
"Kita akan segera tahu. Nanti, saat kita bertemu Aoi."
Aoi sedang membantu ayahnya mengedit foto sewaktu Kelly
dan Riku datang. Riku mengajak Aoi ke luar supaya mereka
leluasa mengobrol. Aoi terlihat salah tingkah. Dia tahu temantemanya datang karena Mira.
"Mira diopname," kata Kelly. "Apa yang terjadi, Aoi" Kamu
pasti tahu kenapa Mira tiba-tiba ambruk begitu."
"Sungguh aku tidak tahu," sahut Aoi, tak berani menatap mata
Kelly. "Kamu bohong. Kamu tahu semuanya!"
Aoi mendesah. "Aku nggak tahu, Kelly. Kamulah sahabat
dekatnya. Seharusnya kamu tahu apa yang terjadi dengannya."
"Tapi akhir-akhir ini kalian sangat dekat. Aku rasa Mira jatuh
cinta sama kamu. Apakah kamu menolak cintanya?" tanya Kelly
tegas. "Kamu menolak cinta Mira?" Riku ikutan bertanya dengan nada
bingung. "Mira nggak ngomong apa-apa padaku. Jadi aku nggak tahu apa
masalahnya sekarang," jawab Aoi.
"Kamu tahu! Kamu tahu, Aoi! Kenapa kamu bohong?" teri
ak Kelly kehilangan kendali. Dia gemas melihat sikap Aoi.
Ayah Aoi keluar karena suara ribut-ribut itu. "Ada apa ini?"
"Oom!" seru Kelly. "Mira sakit. Sekarang dia di rumah sakit.
Saya yakin Aoi tahu apa yang terjadi pada Mira! Tapi dia nggak
mau mengatakannya!" Air mata Kelly mulai mengalir.
Ayah Aoi mendesah. Dia menatap sedih putra semata
wayangnya. Sementara itu Aoi menunduk dalam-dalam. Hatinya
pilu. "Minggu depan Aoi ikut ibu kandungnya. Dia akan meneruskan
sekolah di luar negeri," terang ayah Aoi.
Kelly dan Riku terpana. Aoi bergegas masuk. Terdengar suara pintu dibanting dan dalam
rumah. Kelly dan Riku tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Sepertinya Aoi marah. "Mira kehilangan Aoi. Apakah karena itu dia sakit?"
"Entahlah," balas ayah Aoi sedih, kemudian berbalik dan masuk
ke rumah, meninggalkan Kelly dan Riku di teras.
Riku dan Kelly bengong. Mereka merasa ditolak sehingga
memutuskan pulang. Sepanjang jalan Kelly marah-marah.
Menurut dia, sikap Aoi dan ayahnya san gat tidak bersahabat.
"Ada sesuatu yang terjadi pada Aoi dan Mira. Wajah Aoi sangat
sedih. Dan ketika ayahnya bilang Aoi akan pergi jauh, wajah
Aoi bukan hanya sedih, tapi bercampur kecewa. Dia marah
dengan keadaan yang tak diinginkannya, lalu membanting pintu
kamar. Kurasa Aoi juga terluka seperti Mira," Riku
menganalisis kejadian barusan dengan panjang lebar.
"Menurutmu begitu?"
"Ya, aku teman balk Aoi. Dia berhati lembut dan penyayang.
Dia nggak mungkin menyakiti Mira kalau bukan keadaan yang
memaksanya." Kelly mendesah sedih. "Mira begitu terluka. Tapi sebaiknya kita
rahasiakan dulu kepergian Aoi ke luar negeri sampal Mira
sehat." "lya. Sebaiknya dia nggak tahu Aoi akan pergi jauh. Kalau dia
tahu, sakitnya bisa semakin parah."
"Kita kembali ke rumah sakit sekarang?" tanya Kelly.
Riku mengangguk. Mereka segera mencari taksi. Dalam perjalanan menuju rumah
sakit kedua sahabat itu hanya membisu. Kisah Mira dan Aoi
memenuhi benak mereka dan membangkitkan rasa iba.
AOI mengemasi beberapa barang ke dalam koper. Dia membuka
buku hariannya, lalu mengeluarkan pesan dari Mira yang dia
temukan hari Minggu lalu. Hatinya bagai tersayat ketika
membuka kertas itu. Aoi, aku menunggumu sepanjang hari. HP-mu nggak bisa
kuhubungi. Aku bertekad menunggumu hingga kamu pulang,
tapi aku menggigil kedinginan. Aku lapar sekali. Aku nggak mau
membuatmu repot, maka kuberanikan diri pulang menerjang
banjir. Aoi, kumohon, bila kamu telah membaca pesan ini,
hubungi aku, ya. Mira. Aoi kembali melipat kertas itu, kemudian menyelipkannya ke
dalam buku harian. Sejenak dia mendesah.
"Memang sakit sekali, Nak. Tapi Ayah yakin seiring berjalannya
waktu, kimu bisa melupakan Mira. Raihlah dulu masa depanmu.
Mungkin kelak kalian bisa bersatu," kata ayahnya yang telah
berdiri di ambang pintu. Dengan mata sembap Aoi menatap ayahnya. "Bolehkah Aoi
mengucapkan salam terakhir pada Mira, Yah" Aoi ingin
menjenguk Mira. Dia sakit karena Aoi."
"Kalau kamu bertemu Mira dan melihat kesedihannya, kamu
akan terikat dengannya dan semakin sulit melupakannya. Tapi
Itu pilihanmu. Ayah tak akan melarangmu."
Aoi mengangguk. "Aoi yakin bisa mengatasinya. Besok Aoi
menjenguk Mira." *** Aoi bangun pagi-pagi sekali. Dia berencana masak. Hanya
bubur, tapi tentu bukan sembarang bubur. Aoi memasak bubur
dengan penuh cinta. Setiap membubuhkan bumbu, Aoi
membarenginya dengan doa. Setiap mengaduk bubur yang
mengepul di panci, Aoi menyertainya dengan harapan. Aoi
berharap Mira segera sembuh, sehat, dan kembati ceria,
walaupun Aoi mungkin takkan melihat wajah ceria Mira selepas
Mira sembuh. Karena Aoi harus segera berangkat...
Aoi mendesah sedih. Sungguh dia sangat sedih.
Aoi memasukkan bubur ayam buatannya ke rantang kecil. Dia
juga menata nugget jamur yang dibuatnya semalarn di rantang
satunya. Selesai sudah. Dua rantang masakan sederhana namun
spesial itu siap diantar untuk gadis yang sedang sakit. Aoi
berharap Mira senang melihatnya datang dan mau menyantap
masakan buatannya dengan lahap.
Aoi gugup sekali saat melangkah di lorong rumah sakit.
Tangannya dingin, dan jantungnya bagai meloncat-loncat. Aoi
sangat mencintai Mira. Pada Mira-lah Aoi merasakan jatuh cinta
pertama kali. Langkah kaki Aoi terhenti di depan pintu kamar tempat Mira
dirawat. Pintu tidak tertutup rapat. Ada celah sehingga dia bisa
mengintip. Di kamar ada seseorang yang tengah membujuk Mira
makan. Aoi memastikan penglihatannya. Bukan, wanita itu
bukan Mbak Nunuk. Wajahnya cantik dan penampilannya
berkelas. Mama Mira" Ya, itu pasti dia. Wajahnya mirip Mira.
Hanya saja, penampilannya begitu feminin dan rapi, beda
dengan Mira yang tomboi dan sporty.
Tiba-tiba kebencian menerjang dada Aoi. Dia teringat cerita
ayahnya tentang mama Mira. Waktu dia kembali ke rumah
sehabis mengantar Mira menunggu bus pada Sabtu lalu, ayah
Aoi berbagi rahasia, sekaligus ultimatum. Hal itulah yang
membuat Aoi harus pergi meninggalkan Indonesia.
Meninggalkan Mira. Ya, Aoi harus melupakan pujaan hatinya
hanya gara-gara wanita yang telah melahirkan Mira.
Karena peristiwa pahit pada masa lalu, ayah Aoi nekat
menghubungi ibu Aoi yang telah lama putus hubungan karena
tinggal di luar negeri bersama keluarga barunya. Ayah
memutuskan untuk menyerahkan Aoi pada ibunya. Padahal Aoi
sudah lupa rupa ibunya. Dia tak bertemu ibunya sejak umur dua
tahun. Sampai remaja sekarang ini dia tak pernah lagi
berhubungan dengan ibunya. Kini, tiba-tiba saja Aoi harus
tinggal bersama ibunya di tempat yang jauh dan asing.
Aoi berbalik. Dia tidak ingin bertemu mama Mira. Perasaannya
sungguh tak keruan. Aoi rindu Mira, namun benci mama Mira.
Apa boleh buat, Aoi memilih pulang. Sebelum meninggalkan
rumah sakit, Aoi meminta tolong perawat untuk menyerahkan
masakan istimewa yang dibawanya kepada Mira.
Sementara itu mama Mira mulai kehilangan kesabaran karena
Mira tidak mau makan. "Mira, terserah apa maumu! Tapi kalau kamu terus-terusan
begini, kamu bisa kurus kering dan menjadi gila!" kata mama
Mira kesal sambil meletakkan piring di meja. Wajah wanita itu
merah penuh amarah. Tepat pada saat itu, seorang perawat datang membawa rantang.
"Bu, ini tadi ada titipan dari teman Mira untuk Mira."
"Oh, terima kasih," sahut mama Mira sambil menerima rantang
tersebut. Mira mengenali rantang khas itu sehingga menjadi bersemangat.
Dengan susah payah dia berusaha duduk.
Lehernya dipanjangkan untuk melongok isi rantang saat
mamanya mulai membukanya. "Bubur ayam, dan... masakan apa
ini?" gumam Mama. Hati Mira melonjak kegirangan. "Itu pasti
nugget jamur. Sini, Ma, biar Mira makan!"
Mama Mira meletakkan rantang itu di meja di sisi Mira. Karena
tidak ada mangkuk kosong, maka Mira tidak keberatan makan


Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung dari rantang itu. Dengan lahap dia mulai memakan
bubur ayam. Mamanya sampai terheran-heran.
Mira bahagia sekali. Sekarang dia tahu Aoi sayang padanya. Dia
tahu Aoi peduli padanya, sampai-sampai mau bersusah payah
memasak dan mengantarkan makanan untuk dirinya ke rumah
sakit. Tanpa Mira ketahul, Aoi sedang mengintipnya diam-diam dan
balik pintu. Aoi tidak jadi pulang. Dia berbalik kembali ke
depan kamar Mira. Kalau saja ada keberanian, ingin rasanya Aoi
menyerbu masuk dan menyuapi Mira. Tapi tidak. Kaki Aoi
seolah lumpuh. Dia hanya sanggup mengintip gadis yang
dicintainya. Itu pun hanya sesaat, sekadar memastikan Mira
menyukai masakannya, kemudian dia pergi.
Mira meletakkan rantang bubur yang sudah licin tandas.
Kemudian, dia mencomot satu nugget jamur. Hmm... enak! Mira
menikmatinya sambil membayangkan kesibukan Aoi saat
membuatnya. Ah, saat-saat berdua di dapur bersama Aoi
sungguh indah dikenang. Mira ingin cepat sembuh dan memasak
kembali dl rumah Aoi. Mulut Mira seolah tak berhenti
mengunyah. Habis nugget pertama, diambilnya nugget kedua
dan dimakanya dengan semangat.
"Siapa yang mengirim makanan itu?" tanya Mama heran.
"Aoi, Ma!" sahut Mira. Namun buru-buru ia menutup mulut.
Saking gembira dan enak makan, Mira sampai keceplosan.
"Aoi" Pesaingmu itu?" tanya Mama heran dengan dahi
berkerut. "Aoi... mmm... Aoi teman dekat Mira kok. Dia baik, Ma."
Dahi Mama kian berkerut. "Anak mana sih dia?"
"Maksud Mama, anak siapa dan berapa banyak kekayaannya,
bukan?" tanya Mira sinis. Entah mengapa, tiba-tiba timbul
keberanian pada diri Mira untuk mendebat mamanya. "Aoi
bukan orang kaya, tapi dia punya daya juang. Dia juga cerdas
dan kreatif. Ayahnya juru kamera televisi. Hidup mereka
sederhana dan hemat agar mereka dapat menabung untuk
berlibur ke daerah-daerah terpencil di Indonesia setiap tahun,"
terang Mira bangga. "Mmm... pasti hidup mereka berantakan."
"Nggak, Ma. Mereka sangat bahagia," sindir Mira.
"Huh!" dengus Mama. "Dulu Mama punya ternan seperti itu.
Sukanya berlibur ke daerah pedalaman dan memotret. Aneh.
Hidup kok nggak mikirin uang, tapi hanya memburu kepuasan
dan kesenangan pribadi."
Mira terkejut. "Mama pemah bergaul dengan orang macam itu"
Bukannya Mama berteman dengan kalangan atas saja?"
Mama menghela napas panjang. Matanya menerawang. "Pemah.
Bahkan selama kuliah Mama pacaran dengan orang macam itu,"
ujamya Iirih. "Tapi, Mama pikir nggak ada gunanya buat Mama
selain Mama jadi ikutan tampil saat dia menggelar pameran
foto." Nada suara Mama berubah sinis.
"Oh, ya" Mama nggak pemah bercerita soal pacaran dengan
fotografer. Kok bisa sih" Bukannya selera Mama cowok kaya?"
Mira terheran-heran. Dia tidak tahu Mama punya masa lalu
bersama pria selain papanya.
"Itu kan masa lalu, Mir. Mama membukanya lagi hanya sekadar
pengingat agar kamu melupakan Aoi. Aoi... siapa nama lengkap
Aoi?" Dahi Mama lagi-lagi berkerut, seperti ada yang
berkecamuk di otaknya. Ekspresi wajah Mama sulit ditebak.
"Aoi Lucios," Mira menyebut nama panjang Aoi.
Mama terpaku. Wajahnya memucat. Sesaat wanita keras hati itu
terlihat gugup. Mira terpana. Dia mengamati raut wajah mamanya yang salah
tingkah dan gelisah.. "Ma, Mama kenapa?"
Mama menggeleng gugup. "Ah, nggak. Mama..."
"Mama kenal Aoi" Ma, kita baru saja menjalin hubungan yang
lebih baik antara ibu dan anak. Mira telah jujur tentang Aoi.
Mira harap Mama juga jujur pada Mira," Mira berkata tegas.
"Mmm..." Mama Mira terdiam, terlihat seperti menimbangnimbang. Namun akhimya dia menyerah. Dia memilih bercerita
tentang masa lalunya pada Mira. "Begini... ini sudah lama sekali
kejadiannya. Teman yang Mama ceritakan tadi namanya Oscar.
Dia punya sanggar fotografi yang diberi nama Aku Orang
Indonesia, yang biasa disingkat AOl. Ya, persis seperti nama
temanmu. Dan Mama rasa... Lucios adalah sebuah akronim."
"Maksud Mama?" Mira mengernyit. "Oh... auw!" Mira
memekik. Otaknya bekerja cepat hingga menemukan akronim
yang dimaksud. "Lucios. Lu untuk Lulu dan Os untuk Oscar?"
tebak Mira. Lulu adalah nama mama Mira. "Lalu, siapa Ci?"
Mama kembali gugup. "Tapi, jangan cerita sama Papa, ya?"
bisik Mama. Mira mengangguk. "Cl adalah cinta. Mama yang bikin akronim
itu. Lucios adalah panggilan sayang Mama untuk Oscar."
Mira pucat. "Jadi... Aoi putra mantan pacar Mama" Mama gadis
kaya raya yang mencampakkan Oom Oscar setamat kuliah itu"
Mama orang yang membuat Oom Oscar terpuruk bertahuntahun hingga dia membenci orang kaya?" Mira nyerocos
membabi buta. Air matanya berlinang.
Mama menatap Mira dengan pandangan heran. "Maksudmu?"
"Mira heran ketika Oom Oscar tahu resep minuman jahe sereh
itu. Kini Mira mengerti mengapa Oom Oscar melamun saat
menikmati minuman yang Mira buat. Sekaligus Mira paham,
mengapa Oom Oscar sering menatap Mira dengan pandangan
aneh. Karena Mira mengingatkan dirinya pada Mama!" seru
Mira, nyaris histeris. "Mir" Mira... Katakan pada Mama, benarkah ayah Aoi adalah
Oscar?" Mira menangis keras-keras. "Mira mengerti sekarang, mengapa
Aoi nggak rnau menemui Mira lagi. Pasti ayahnya sudah tahu
lama mengenai Mira, lalu melarang Aoi berhubungan dengan
anak mantan pacarnya."
Mama Mira sesenggukan. Ia merasa bersalah sekali pada Mira.
Semua penderitaan Mira ternyata disebabkan perbuatannya, ibu
kandungnya sendiri. Mama Mira menangis sedih. Bagaimana
mungkin masa lalunya kembali muncul dan terkait dengan kisah
cinta anaknya saat ini"
"Mira, tenanglah. Mungkin ada hal lain yang membuat Aoi tidak
bisa menemuimu," hibur Mama.
Mira terus menangis. "Mama! Oom Oscar nggak akan pernah
menerima Mira lagi di rumahnya. Aoi mungkin nggak akan mau
bertemu Mira lagi. Mira bisa hancur karena dibenci orang-orang
yang Mira cintai!" "Maafkan Mama, Mir." Kata-kata Mama berhenti di situ.
Dengan penuh iba, dia memandangi anak semata wayangnya
yang terus menangis. Mira tak peduli apa yang dikatakan mamanya. Dia menangis
karena kasihan pada dirinya sendiri, juga pada ayah Aoi dan
Aoi. Pasti Aoi terluka harus pura-pura membenci Mira. Ingin
rasanya saat itu juga Mira berlari ke rumah Aoi, tapi tubuhnya
belum mampu melakukannya.
Aoi... aku rindu kamu! jerit batin Mira dalam tangisnya.
PERAWATAN beberapa hari di rumah sakit memulihkan
kesehatan Mira. Matanya kembali berbinar dan pipinya
memerah segar. Hari itu ia boleh pulang. Kelly dan Riku ikut
menjemput Mira. Mira memang bertekad cepat sembuh agar bisa segera menemui
Aoi dan ayahnya. Dia berjanji memasak makanan kesukaan
ayah Aoi. Istirahat satu-dua hari di rumah membuat gadis itu
sehat sempurna sehingga bisa kembali ke rutinitasnya, termasuk
ke sekolah. Mira sangat bersemangat menjalankan idenya. "Riku, Kelly,
besok antar aku ke rumah Aoi, ya!" pinta Mira saat mereka
sedang bersantai di tepi kolam renang rumah Mira. Dua sahabat
itu sengaja datang menjenguk Mira.
Kelly dan Riku saling pandang. Wajah mereka resah.
"Mmm... tunggu tubuhmu benar-benar sehat dulu, Mir.
Bukannya aku nggak mau mengantarmu, tapi aku nggak mau
disalahkan mamamu kalau kamu sakit lagi," Riku memberi
alasan. "lya, Mir. Kalau kamu sudah pulih seperti sediakala, aku akan
mengantarmu ke mana pun kamu mau," imbuh Kelly.
Mira tampak kecewa. Tapi dia bertekad tetap akan ke rumah Aoi
besok pagi. Mira tak peduli badannya masih lemah. Bahkan,
larangan Mama sekalipun akan dia terj ang. Toh besok
mamanya sudah keluar kota lagi. Mira bebas!
"Mir, sebenamya apa yang terjadi padamu hari Minggu itu, saat
kamu rnenghilang?" tanya Kelly takut-takut.
"Aku di rumah Aoi, terjebak hujan lebat. Aoi dan ayahnya
nggak ada, jadi aku menunggunya sampai sore. Kakiku
terendam banjir, tubuhku basah kuyup tersiram hujan. Aku pun
harus menahan lapar karena nggak ada penjual makanan lewat."
Kelly menatap Mira tak percaya. "Jadi, saat hujan yang luar
biasa lebat itu, kamu sedang menunggu Aoi di teras rumahnya
sampal malam?" Mira mengangguk. "Ya ampun!" Kelly geleng-geleng tak percaya.
Riku mendesah. Dia mencoba mengatasi perasaannya sendiri.
Andai waktu itu Riku yang ditunggu Mira, alangkah bahagia
dirinya. Seketika Rik merasa cemburu.
Yah, perasaan khusus Riku pada Mira belum berubah. Dia
masih menyayangi Mira dan berharap gadis itu mau menjadi
pacarnya. "Jadi kamu demam dan akhimya terserang tifus gara-gara
menunggu Aoi?" tanya Riku.
"lya," Mira tersenyum kecut. "Tapi, setelah kejadian itu Aoi
malah bersikap ketus waktu di sekolah. Padahal sengaja kubelabelain berangkat ke sekolah untuk menemuinya, meski aku
demam dan pusing tak terkira."
Riku menelan ludah kecewa. "Kamu sangat mencintai Aoi,
ya?" "lya," jawab Mira mantap. "Aku mencintainya, dan baru kali ini
aku jatuh cinta," lanjut Mira sambil tersenyum manis.
Riku dan Kelly saling pandang lagi. Mereka tampak bersedih
melihat Mira begitu bahagia. Sebentar lagi Mira pasti patah hati
bila tahu Aoi akan sekolah di luar negeri.
"Mamamu nggak melarangmu berhubungan dengan Aoi"
Maksudku, Aoi kan nggak setara denganmu," kata Kelly.
"Nggak. Andal dilarang pun, aku akan nekat. Apa pun yang
terjadi, aku tetap mempertahankan hubunganku dengan Aoi."
Kelly. dan Riku menatap nanar Mira. Terutama Riku. Bagai ada
peluru yang menembus dadanya. Riku dibakar cemburu.
*** Semalaman Mira sulit tidur. Benaknya dipenuhi khayalan
tentang pertemuannya dengan Aoi esok hari. Ya, apa pun yang
terjadi, Mira tetap akan ke rumah Aoi. Mira berharap ayah Aoi
akan menerimanya. Mira sibuk merangkai kata-kata indah untuk
mengambil hati ayah Aoi. Pintu kamar Mira diketuk seseorang. Pasti Mama mau pamitan
karena besok pagi-pagi harus ke luar kota.
Benar saja. Mama yang masuk.
"Kamu belum tidur?" tanya Mama sambil memegang dahi
Mira. "Belum," sahut Mira tak bersahabat.
"Mama minta maaf, Mir."
Mira diam saja. Mama mendesah sedih. "Kamu boleh menjalin hubungan
dengan Aoi bila mereka memaafkan Mama. Kamu boleh
berteman dengan siapa pun, Mama tidak akan menuntut apa pun
padamu. Mama sadar selama ini Mama terlalu keras padamu."
"Eh?" Mira tak percaya.
Mama menghela napas. "Mama menyesal selama ini tidak
menjadi mama yang baik bagimu. Mama hanya pergi sebentar,
lusa Mama pulang." Mira tak menggubris perkataan mamanya.
Mama mengecup dahi Mira sebelum meninggalkan kamar. Mira
makin tak bisa tidur. Sebenarnya Mira senang sekali mamanya
telah berubah. Namun, Mira masih gelisah mernbayangkan
sikap ayah Aoi padanya. Apakah ayah Aoi bisa memafkan
Mama kemudian merestui hubungannya dengan Aoi"
*** Esoknya Mira membakar ikan dan memasak masakan aneh yang
pernah ia buat bersama Aoi. Itu rnasakan kesukaan ayah Aoi,
yang dimakan pertama kali di Timor Leste waktu negeri itu
masih menjadi bagian NKRI. Mbak Nunuk sengaja mencarikan
bahan-bahan tersebut di pasar tradisional.
Bahannya daun singkong dan jantung pisang. Keduanya direbus,
lalu diperas hingga airnya tak bersisa. Bumbunya, kalau Mira
nggak salah ingat, cabai, bawang merah, bawang putih, terasi,
dan kemiri. Mira tak sepenuhnya hafal, tapi semoga saja rasanya
nanti enak. Mira puas bisa memasak lauk tersebut. Saat mencicipinya, dia
makin senang karena pedasnya sesuai selera ayah Aoi. Untuk
Aoi, Mira sengaja minta Mbak Nunuk membuatkan puding
pandan. Harum sekali. "Nanti saya antar ya, Non. Non masih lemah begitu."
"Nggak usah, Mbak. Nanti Mira diantar Pak Bardi kok. Jangan
khawatir. Mobilnya bisa parkir di ujung gang. Mira jalannya
dekat saja." "Ya sudah. Tapi Pak Bardi disuruh menunggu ya, Non. Jadi
pulangnya sama-sama lagi."
"Iya, Mbak," sahut Mira sambil menata masakan dan puding di
rantang Aoi, yang dulu dipakai untuk makanan Mira sewaktu di
rumah sakit. Mira berdandan rapi. Dia ingin tampil cantik, meski badannya
agak kurus dan matanya masih terlihat cekung. Sepanjang
perjalanan Mira tersenyum. Hatinya semarak membayangkan
pertemuannya dengan Aoi. Mira sungguh berharap Aoi akan
senang bertemu dengannya.
"Tunggu ya, Pak," kata Mira saat dia turun di ujung gang.
Pak Bardi mengangguk. "Hati-hati, Non."
Mira tersenyum, kemudian berlalu pergi. Dia girang dan lega
saat melihat pintu rumah Aoi terbuka.
"Permisi... ," kata Mira sambil melongok ke dalam.
"Hei, Mira!" Ayah Aoi yang sedang membaca koran Iangsung
berdiri. Dia menyambut Mira dengan ramah. "Ayo masuk!"
Mira duduk di ruang makan sambil meletakkan rantang. "Ini
saya yang masak, buat Oom dan Aoi."
"Wah Terima kasih ya. Apa ini?" tanya ayah Aoi sambil
membuka rantang. Matanya berbinar begitu melihat masakan
Mira. "Wah, terima kasih, Mira! Sepertinya nikrnat nih!" seru
ayah Aoi bersemangat. Dicoleknya sedikit masakan Mira
dengan jari, lalu dicicipinya. "Hm... enak sekali!"
"Aoi mana, Oom?" kepala Mira melongok ke dapur. Ayah Aoi
menatap Mira sejenak, kemudian beranjak ke dapur. Ayah Aoi


Runner Up Girl Karya Hanna Natasha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminum segelas air putih, lalu kembali ke hadapan Mira. Dia
duduk dengan sikap kaku. Dipandangnya Mira dengan jengah.
"Mira... mmm... begini..." Lelaki itu diam sejenak. Setelah
menghela napas panjang, dia mulai membuka suara. "Aoi
meneruskan sekolah di luar negeri. Dia ikut ibunya."
"Apa, Oom?" Mira tidak yakin dengan pendengarannya.
"Aoi ke luar negeri. Sekolah." Ayah Aoi berkata dengan nada
dingin. Seolah ada petir menyambar kepala Mira, gadis itu terdiam dan
tubuhnya gemetar. Dia mencoba memproses kalimat yang baru
saja didengarnya dan dadanya terasa sesak karenanya. Ayah Aoi
menatap Mira prihatin. "Tapi... tapi... bukahkah Aoi berpisah dengan ibunya sejak dia
masih kecil" Oom bohong, kan?" tanya Mira di tengah isaknya.
Ayah Aoi rnenggeleng. "Oom..." Mira kehabisan kata-kata. Dia ingin tak percaya, tapi
ayah Aoi tampak bersungguh-sungguh. "Tapi kenapa, Oom"
Kenapa dia pergi?" tanya Mira lagi setelah bisa menata
emosinya. "Dia akan meraih masa depan yang lebih baik bila bersama
ibunya. Oorn bukan ayah yang baik buat dia. Oom terlalu sibuk
dengan pekerjaan Oom."
"Tapi, tapi... Aoi nggak pemah mengeluh. Aoi sayang Oom.
Bahkan, saya merasakan kehangatan sebuah keluarga saat
berada di sini. Mengapa, Oom" Mengapa Aoi pergi?" "Itu yang
terbaik, Mira." Air mata Mira semakin deras mengalir di pipinya. "Oom, semua
ini karena saya, kan" Oom nggak mau Aoi dicampakkan orang
kaya" Oom nggak mau putra Oom berhubungan dengan putri
Lulu, perempuan yang telah menyakiti hati Oom. Begitu, kan?"
Sejenak ayah Aoi terkejut. Dia tak rnenyangka Mira telah
rnengetahui masa Ialunya bersama rnarnanya.
"Mira, tolong mengertilah. Bukan itu alasan Oom mengirim Aoi
pada ibunya. Oom hanya ingin Aoi bersekolah di tempat yang
lebih baik. Oom ingin Aoi jadi orang sukses, tidak seperti
Oom." Mira terisak. "Saya nggak bersalah, Oom. Saya nggak harus
menebus dosa-dosa Mama pada masa lalu. Saya bahkan ingin
sekali menunjukkan pada Oom bahwa saya sayang banget sama
Aoi. Saya nggak akan pernah meninggalkan Aoi seperti Mama
dulu ninggalin Oom. Saya sayang sekali sama Aoi!"
"Mira, itu hanyalah emosi sesaat. Cinta monyet yang menggebu,
tapi kelak bila terbentur ganasnya hidup, cinta itu akan luntur.
Kamu terlalu muda untuk mengerti kehidupan, Mira."
Mira tak bisa berkata apa-apa lagi. Prasangkanya terbukti: Aoi
tidak boleh menjalin hubungan dengannya karena masa lalu
ayah Aoi dengan mama Mira. Mira menunduk, mencoba
menguasai diri. Matanya tertumbuk pada puding pandan yang
tidak keburu dilihat Aoi. Hati Mira kembali tersayat. Dia
menangis tersedu. "Mira, kamu bisa segera melupakan Aoi. Aoi bukan cowok yang
tepat buatmu, Mir. Kamu gadis yang baik dan pintar. Jadi, mulai
sekarang fokuslah belajar dan lupakan Aoi."
"Terima kasih, Oom. Tapi rasanya melupakan seseorang butuh
waktu seumur hidup. Saya akan menyusul Aoi kelak, setelah
lulus SMA. Saya akan kuliah di Australia juga. Oom akan
menariknya kembali ke Indonesia kalau saya menyusul?"
tantang Mira. Mata Mira melebar, menatap Ayah Aoi.
Ayah Aoi hanya mendesah panjang. "Mira... kamu benar. Oom
memang tidak menyetujui hubungan kalian."
Mira menatap lekat wajah ayah Aoi. "Kenapa Oom belum bisa
berdamai dengan masa lalu" Oom masih saja belum bisa
menerima kenyataan. Padahal Oom sudah punya Aoi dan wanita
lain." "Oom tidak mau menjadi besan ibumu. Oom tidak mau bertemu
ibumu. Oom sudah bersumpah bahwa Oom tidak akan pernah
menjalin pertemanan, apalagi persaudaraan, dengan ibumu,"
balas ayah Aoi tegas. "Oom egois!" "Kamu terlalu muda untuk dapat memahami semuan ya, Mira.
Ibumu bukan hanya mencampakkan Oom, tapi lebih daripada
itu, dia menginjak-injak harga diri Oom. Dia memupus harapan
dan cita-cita Oom. Dia menghancurkan hidup Oom."
Hening. Mira mencoba memahami rasa sakit yang pernah dirasakan ayah
Aoi. Mungkin kejadian puluhan tahun silam itu begitu buruk dan
membuat ayah Aoi terpuruk. Mira menyeka air mata. "Oom,
maafkan kesalahan mama saya. Tapi saya nggak seperti Mama,"
ucap Mira berat. Ayah Aoi menatap Mira prihatin, seolah
hatinya sendiri juga teriris sakit. "Oom yang minta maaf, karena
Oom begitu egois. Kemarin mamamu menghubungi Oom dan
meminta maaf. Mamamu berharap Oom mengizinkan kamu dan
Aoi bersama-sama. Tapi, luka itu rnasih menganga, Mira."
"Saya dan Aoi akan rnenyembuhkannya, Oom. Percayalah. Saya
sangat mencintai putra Oom. Semua ini sudah diatur alam
semesta, supaya Oom berdamai dengan masa lalu Oom dan juga
Mama. Please, izinkan kami tetap bersama, Oom."
Ayah Mira menggeleng. Meski sebenarnya dia juga merasa
bersalah karena telah memisahkan cinta Mira dan Aoi, tapi
baginya, lebih baik menderita sekarang daripada sakit nanti,
ketika cinta Aoi dan Mira telanjur dalam.
"Pulanglah, Mira, dan jangan pernah menginjakkan kaki di
rumah Oom lagi," kata ayah Aoi tegas.
Mira menghapus air mata, kemudian beranjak pergi. Dia tahu
ayah Aoi rnelakukan itu untuk menyakiti hatinya. Ayah Aoi
ingmn Mira mernbencinya. Mungkin ayah Aoi menganggap,
rasa benci bisa membantu Mira rnelupakan Aoi.
Tapi tidak! Mira tak rnau dikalahkan rasa benci!
*** Berhari-hari Mira dirundung kesedihan dan rasa kecewa yang
mendalam atas keputusan ayah Aoi. Dia juga kesal pada Aoi
yang sarna sekali tidak meninggalkan pesan untuknya. Tapi
pada hari ketujuh, Mira bangkit. Dia bertekad untuk berprestasi
setinggi mungkin hingga bisa kuliah di luar negeri dan bertemu
Aoi. Harapan untuk bertemu Aoi itulah yang membuat Mira
bersemangat. Waktu pasti akan mempertemukan dan
menyatukan cinta mereka. Mira percaya itu. Mira akan
rnenciptakan kehidupan menyenangkan, yang dulu pernah
diangankan ayah Aoi dan mama Mira, bersama Aoi.
Mira juga memiliki hubungan lebih baik dengan mamanya, yang
kini mengurangi kesibukan hingga bisa mendarnpingi putrinya.
Ternyata selalu hadir keindahan di balik peristiwa pahit. Andai
saja Mira tidak mengalami semua penderitaan akibat cintanya,
dia tak akan mengerti betapa berartinya memiliki cinta yang
tulus. Mira optimistis takdir akan memperternukannya kernbali dengan
Aoi. Mira tak tahu mengapa bisa seyakin itu. Tapi keyakinan
itulah yang membuatnya mampu menjalani hari-harinya. Dalam
setiap desah napas, tak henti Mira merapal rnantra yang
membuatnya tetap bersemangat: Aoi, I will come to love you.
Pendekar Aneh Naga Langit 37 Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang Ching Ching 10
^