Pencarian

That Summer Breeze 1

That Summer Breeze Karya Orizuka Bagian 1


That Summer Breeze Karya : Orizuka Prolog "AYO kita sama-sama bikin surat permohonan! Ntar kalo kita udah gede, kita baca bareng!"
sahut Reina bersemangat. Orion dan Ares berpandangan sesaat, lalu kembali memandang gadis kecil berkepang dua yang
ada di depan mereka. "Surat permohonan?" sahut Orion dan Ares bersamaan.
"Iya!" jawab Reina mantap. Dia mengeluarkan tiga helai kertas dan sebuah spidol. Orion dan
Ares memandangnya bingung. "Aku tulis duluan deh!" kata Reina lagi, lalu beberapa saat
kemudian dia sibuk menulis. "Nah, selesai! Sekarang Rion, kamu tulis apa yang kamu inginkan
waktu kita udah gede nanti!"
Orion menyambut sehelai kertas dan sebatang spidol dari Reina, memandangnya sesaat, lalu
mulai menulis. Setelah itu, Ares melakukan hal yang sama.
"Terus, mau diapain surat ini?" tanya Ares setelah selesai menulis.
"Kita kubur!" seru Reina lagi. "Di bawah pohon ini!"
Reina menghampiri sebuah pohon akasia besar yang tubuhnya sudah habis ditulisi 'Ares-ReiRion', lalu mulai menggali. Orion dan Ares mengikuti dan membantunya menggali sambil
sesekali mengelap peluh yang bercucuran. Setelah selesai, Reina memasukkan ketiga surat itu
ke kaleng biskuit, lalu menguburnya.
"Aku kan belum baca punya kamu!" protes Ares kepada Reina.
"Memang nggak boleh dibaca sekarang!" seru Reina pura-pura marah. "Kita bacanya nanti, kalo
udah gede!" "Kapan?" sahut Ares lagi.
"Um... kapan ya" Sepuluh tahun lagi" Sepuluh tahun lagi kita sama-sama ke sini! Kita tulis
tanggalnya di pohon ajaib!" seru Reina sambil memahat tulisan 14 Februari di pohon. "Eh,
sepuluh tahun dari sekarang, tahun berapa sih?"
"2005," kata Orion, dan Reina segera memahat angka itu.
"Nah, udah selesai. Tanggal 14 Februari 2005, kita ke sini lagi, terus kita baca deh surat-surat
kita!" kata Reina ceria.
"Kalo nggak ketemu lagi?" tanya Ares tiba-tiba.
"Nggak akan!" sahut Reina cepat. "Kita kan selalu bersama-sama! Kita nggak akan pernah
terpisah!" katanya mantap sambil bersungguh-sungguh menatap kedua wajah anak laki-laki
yang persis sama itu. Ares sejenak memandang ragu Reina, lalu menganggukkan kepalanya kuat-kuat.
Bab 1 Bitter Beginning "RES! Bisa lo berhenti nyetel musik nggak keruan kayak gini?" sahut Orion dari luar kamar Ares.
Ares tidak menggerakkan satu pun anggota tubuhnya untuk menuruti permintaan Orion. 'Saint
Anger' masih berkumandang di kamarnya dengan volume maksimal.
Orion menggedor-gedor pintu kamar Ares dengan sekuat tenaga. "Res! Gue lagi belajar nih!"
serunya lagi. Ares memutar bola matanya, tapi tetap tak melakukan apa pun. Ares memejamkan matanya lagi
sambil menggerak-gerakkan tangannya sesuai irama drum.
"RES!" teriak Orion bersamaan dengan terbukanya pintu dengan paksa.
Ares melirik kesal ke arah Orino. Orion menghela napas sebentar, lalu berjalan kaku ke arah
tape dan menekan tombol stop. Seketika ruangan menjadi sepi.
Ares bangkit dan terduduk di tempat tidurnya. "Lo tau, yg kata lo musik nggak keruan itu
Metallica. Dan gue masih nggak ngerti, kalo ada cowok yg nggak bisa ngerti musiknya
Metallica," kata Ares sengit.
"Oh, gue jelas2 bisa ngerti musiknya Korn kalo dipasangnya sesuai batas ambang pendengaran
manusia," balas Orion dengan tangan terlipat di dadanya.
"Alah, nggak usah bokis deh lo. Kayak lo bisa aja ngebedain Korn sama P.O.D." Ares bangkit
dari tempat tidurnya dan mulai mencari handuk.
Orion memerhatikan saudara kembarnya sesaat. "Gue bisa liat dengan jelas masa depan lo,"
katanya setelah melihat Ares yg tak kunjung menemukan handuknya. "Maksud gue, liat aja
tempat ini. Tempat ini bahkan nggak pantes dibilang kamar. Kandang sapi masih lebih pantes
dapet penghargaan dekorasi."
Orion menendang handuk yg sedari tadi berada tepat di depan kakinya. Handuk itu mendarat
mulus di kepala Ares. "Gue juga bisa liat masa depan lo," kata Ares dingin sambil beranjak keluar kamarnya. "Atlet
hebat, penerima beasiswa, cowok populer di kampus... Ups, itu bukan masa depan ya" Cuma
sayangnya, lo pernah salah ngebedain Marilyn Manson sama Marilyn Monroe..."
Orion menatap masam kakak kembarnya yg keluar tanpa memandangnya, lalu kembali menatap
kamar yg dipenuhi segala macam barang milik Ares. Dindingnya sudah tak terlihat lagi warna
aslinya, karna sudah penuh ditempeli poster2 bintang2 rock dan alternative mulai dari Kurt
Cobain, Queen, sampai Metallica. Lantainya pun bernasib serupa. Baju2 kotor -atau bersih,
Orion tak bisa membedakannya- bercampur baur di sana dengan segala macam CD bertebaran
di atasnya. Orion menghela napas sebentar, lalu memutuskan untuk pergi dari kamar itu, karna
aura2 yg dikeluarkan poster2 itu membuat Orion tidak nyaman. Tapi beberapa langkah sebelum
mencapai pintu, kakinya menyandung sebuah travo.
"Sialan!" umpat Orion sambil memegangi jempolnya yg nyut-nyutan, lalu menatap ingin tahu ke
arah benda yg tadi menghalanginya. "Travo!" keluhnya kesal. "Travo di tengah jalan!" sahutnya
lagi sambil menendannya dengan sekuat tenaga. Tentu saja, travo itu tak bergerak dari
tempatnya semula dan sekarang jempolnya terasa luar biasa sakit. "Awas kalian semua!" kutuk
Orion kepada kamar Ares dan semua barang yg ada di dalamnya, lalu dengan langkah
berjingkat dia keluar dari sana.
"Res, nggak kuliah?" tanya Ibu begitu Ares keluar dari kamar mandi.
"Nggak," jawab Ares singkat, lalu duduk di sofa. Tangannya sibuk memindah-mindahkan
channel dengan remote. "Oh, tapi kok barusan Orion berangkat kuliah ya?" tanya Ibu heran.
"Bu," tukas Ares kesal. "Aku sama Orion kan beda jurusan. Nggak mungkin lah jadwal kuliahnya
bareng." "Oh, iya ya. Ibu pikir kamu sama Orion sejurusan," kata Ibu lagi sambil mengaduk adonan kue.
"Makanya kasih perhatian dikit," gumam Ares. "Udah mau dua taun kuliah, juga."
"Apa, Res?" Ibu tak mendengar perkataan Ares karna suara putaran mixer.
"Bukan apa2. Nggak penting." Ares mematikan TV, lalu bergerak ke arah kamarnya.
"Res, kamarnya diberesin dong," kata Ibu sebelum Ares sempat menutup pintu. "Kamu nih
males banget. Liat tuh kamarnya Orion. Rapi, bersih..."
"Kayak kamar perempuan," sambar Ares.
Ibu berhenti mengaduk adonan, lalu mengernyit kepada Ares. "Kejantanan cowok bukan diukur
dari keadaan kamarnya," katanya serius.
"Ha-ha," Ares menanggapi dingin komentar Ibu, lalu masuk ke kamar. Dia melangkahi travo-nya
yg melintang, menggapai gitarnya, lalu duduk di pinggir jendela.
Kejantanan seorang cowok tidak dilihat dari keadaan kamarnya. Yg benar saja, pikir Ares sambil
mendengus. Kalau kamar cowok itu bersih, tidak ada satu poster pun, yg ada hanya foto-fotonya
bersama piala2 dan medali-medalinya, dengan banyak CD Glenn Fredly atau Josh Groban di
atas meja, jelas2 kejantanannya patut dipertanyakan. Juga bisa dipastikan kalau pemilik kamar
tersebut memiliki kadar kenarsisan yg sangat tinggi.
Ares mulai memainkan lagu kebangsaannya.
'Creep' milik Radiohead. 'But I'm a creep, I'm a weirdo.
What the hell am I doing here"
I don't belong here.' "Hai Ri!" Orion mencari sumber suara itu. Dia berbalik, dan mendapati Lala sedang berlari-lari kecil ke
arahnya dengan riang. Orion tersenyum kepadanya. Lala masih belum berubah sejak Orion
memutuskan hubungan dengannya.
"Hei," sapa Orion.
Lala menatap Orion dengan mata bulatnya. Orion lantas mengalihkan pandangannya, karna
kenyataannya dia masih tidak bisa menahan keinginan untuk memeluk Lala setiap kali melihat
sepasang mata yg bersinar itu.
"Kenapa lo?" tanya Lala. "Lesu amat."
"O ya?" Orion tertawa kecil.
Lala mengangguk, lalu mulai berjalan. Orion mengikutinya. Mereka mengambil jurusan yg sama,
dan juga kelas yg sama. "Kenapa" Marahan lagi sama Ares?" tanya Lala lagi.
Mendengar pertanyaan Lala, Orion mendengus. "Kapan sih gue pernah nggak marahan sama
dia?" Lala menatapnya dengan pandangan serius.
"La, gue kan pernah bilang, kalo gue sama Ares itu udah ditakdirkan nggak bisa baikan. Kita
malah udah berantem sejak masih di perut. Tendang-tendangan," kata Orion lagi.
Lala terbahak saat mendengarnya. "Hiperbolis lo," sahutnya sambil mendorong Orion.
"Serius," Orion balas mendorongnya.
"Udah deh," kata Lala setelah pulih dari gelinya. "Bilang aja lo sayang sama Ares. Kata orang,
benci itu artinya peduli. Peduli itu artinya sayang."
"Kata siapa tuh?" Orion mengetuk kepala Lala pelan. Lala hanya mengedikkan bahu sambil
melirik penuh arti kepada Orion.
Orion menghela napas, lalu berhenti berjalan. Dia memegang kedua pundak Lala dan
menatapnya lekat2. "La, kalo ada orang yg paling gue benci di dunia ini, itu udah pasti Ares."
"Ares!!" Ares membuka matanya dengan malas. Suara Ayah membuatnya mual seketika.
"ARES!" sahut Ayah lagi, kali ini sambil menggedor-gedor pintunya.
"Apaan?" sahut Ares tanpa beranjak dari tempat tidurnya.
"Apaan" APAAN"! Makan malam bersama! Cepat keluar!" sahut Ayah lagi.
Ares bangun dengan sangat terpaksa, lalu membuka pintu kamarnya. Seluruh keluarganya
tampak sudah berkumpul di meja makan. Walau demikian, Ares lebih merasakan suasana yg
suram dibandingkan dengan suasana yg hangat. Tanpa mencuci muka, Ares langsung
mengambil tempat di meja.
"Apa Ayah harus selalu teriak2 manggil kamu setiap kita mau makan?" tanya Ayah ketus begitu
Ares menampakkan diri. "Kalian bisa mulai makan tanpa aku," jawab Ares sambil memandang Ayah dingin.
"Saat makan malam itu waktu untuk keluarga berkumpul," Ayah tidak membalas pandangannya
dan menyendok sosis. "Kayak yg ada pembicaraan keluarga aja," gumam Ares sengit.
Ayah tampak tak memedulikan kata2 Ares. Dia mengalihkan pandangannya kepada Orion yg
sedang asyik melahap ayam goreng.
"Gimana kuliahnya, Nak?" tanyanya. Ares langsung mendengus.
"Oh, baik, Yah. Bentar lagi ujian," jawab Orion tenang.
"Oh, gitu. Belajar yg rajin ya. Biar IP-mu nggak merosot kayak kakakmu ini," sindir Ayah
membuat Ares melotot. "IP-ku nggak merosot," sambar Ares.
"Oh, ya, sama kayak semester sebelumnya, tapi sama jeleknya," kata Ayah sambil melemparkan
pandangan masam. "Kamu tau Res, kalo kamu begitu terus, kamu bisa di-DO."
"Cepat atau lambat aku juga bakal di DO, kan" Aku cuma mempermudah prosesnya aja," tandas
Ares. "IP-mu yg cuma dua koma satu itu nggak bisa membanggakan siapa pun, Res. Apa kamu nggak
malu, hah?" Intonasi Ayah sekarang mulai naik.
"Malu" Untuk apa malu" Itu udah hasil terbaik yg aku bisa," jawab Ares tak peduli.
Ayah mendengus. "Bohong. Kamu bisa lebih baik dari itu. Kamu aja yg nggak mau usaha. Kamu
cuma mau cari sensasi supaya kamu lebih diperhatikan."
Ares memandang Ayah tak percaya. "Aku ragu sensasi apa yg bisa aku lakuin supaya lebih
diperhatiin. Mungkin aku harus ngebakar rumah ini baru bisa diperhatiin," jawab Ares ketus, lalu
meninggalkan meja, tak berminat untuk makan malam dengan situasi seperti ini.
"Ares! Kembali ke sini sekarang juga!" sahut Ayah garang.
Ares tak memedulikan teriakan2 Ayah. Dengan langkah besar2, dia masuk ke kamarnya, lalu
membanting pintunya. Dia melangkah ke tape, menyetel CD Disturbed dengan volume
maksimum, lalu dengan kalap membanting semua benda yg dilihatnya.
"Brengsek!" serunya setelah dia kehabisan tenaga.
Ares terduduk di samping tempat tidur, lalu menjambak-jambak rambutnya. Dunia tidak adil.
Dunia tak pernah adil padanya.
Ayah memang menyebalkan. Ibu juga menyebalkan. Orion lebih menyebalkan. Seisi rumah ini
menyebalkan. Semuanya selalu bersikap seperti keluarga kecil bahagia. Ares merasa dia tidak
diterima di keluarga ini. Ares selalu saja berbeda.
Ares membanting tubuhnya ke tempat tidur, lalu mulai menyesali keberadaannya di dunia, sama
seperti malam2 sebelumnya.
Ares perlahan membuka pintu kamarnya dan mendapati ruang keluarga pagi ini sudah kosong.
Ares mensyukuri keadaan itu, tak mau harinya diawali oleh suara salah satu anggota
keluarganya. Setelah mengembuskan napas lega, Ares berjalan menuju lemari es. Dibukanya lemari es itu,
tapi ternyata lemari es itu kosong. Tidak ada susu, tidak sereal, tidak juga roti. Ares membanting
pintu lemari es dengan sekuat tenaga.
"Wah, wah. Bisa rusak semua barang2 elektronik di rumah ini kalo lo nyentuhnya pake tenaga
dalam terus," komentar Orion yg tiba2 muncul dari balik lemari es.
Ares menatapnya sebal. "Lo bisa beliin lagi, kan lo udah pasti sukses," kata Ares ketus. "Selalu
ada hukum alam. Ada yg ngerusak, ada juga yg nyiptain," sambungnya sambil melangkah keluar
rumah dengan juga membanting pintunya.
Orion menatapnya sambil geleng2 kepala.
Ares melangkah cepat menuruni jalan kompleksnya. Tak seperti Orion yg memiliki motor, Ares
selalu naik bus saat pergi kuliah. Bukannya Ares tak pernah meminta, tapi dia 'tak mau' meminta
apa pun dari Ayah, juga apa pun yg dimiliki Orion. Ayah memberi motor itu kepada Orion karna
dia lulus UAN dengan nilai rata2 delapan, bukan karna Orion memintanya. Dan Ares tak bisa
berbuat apa pun kecuali diam dan menelan bulat2 nilai rata2 merahnya.
Tahu2, Ares melihat ke sebuah taman yg terletak tak jauh dari kompleks rumahnya. Ares
berhenti sebentar, dan menatap taman yg tak pernah berubah dari sejak dia masih kecil. Taman
yg asri dengan lapangan basket di tengahnya dan beberapa kursi taman di pinggirannya. Taman
yg menyimpan banyak kenangan. Terlalu banyak kenangan.
Ares memutuskan untuk memasuki taman itu. Entah kekuatan apa yg menariknya ke sana.
Terakhir kali dia ke sana adalah ketika umurnya masih sembilan tahun. Sejak itu, dia tak pernah
ke sana lagi, untuk menunggu janji sepuluh tahun yg pernah dibuatnya dengan gadis kecil
berkepang dua. Ares memaksakan diri untuk berjalan ke sebuah pohon, tempat janji itu dipahat. Setelah
bertahun-tahun berlalu, tulisan itu masih di sana. Tulisan Ares-Rei-Rion. Ares menatapnya tanpa
ekspresi. Baginya, janji ini hanya kekonyolan. Hanya kerjaan iseng anak2. Gadis itu tak akan
pernah muncul lagi. Tak akan pernah lagi setelah ia mengingkari janjinya sendiri.
Reina. Gadis kecil itu pergi ke Amerika sebulan tepat setelah mereka berjanji untuk selalu
bersama. Dia pergi begitu saja setelah mereka membuat surat permohonan. Dan sekarang,
sudah sepuluh tahun lebih semenjak perjanjian itu dibuat. Tanggal 14 Februari 2005 bahkan
masih terpahat di sana. Tidak mungkin kalau tulisan itu tulisan Reina yg dulu, pikir Ares. Orion pasti sudah memahatnya
kembali selama sepuluh tahun ini. Orion masih saja percaya bahwa gadis itu akan datang. Dulu,
anak bodoh itu bahkan pernah menyebut nama Reina muncul di sebuah forum di dunia maya.
Benar2 penuh imajinasi. Benar2 sebuah lelucon. Gadis itu tak akan pernah datang. Reina tak
mungkin datang lagi. Ares yakin, Reina bahkan tidak ingat lagi akan perjanjian ini.
Ares menatap pohon itu benci, lalu memukulnya dengan keras hingga buku2 jarinya terasa sakit.
Ares tak peduli lagi pada masa lalunya. Tak ada lagi yg bisa diharapkan dari masa lalunya.
Bahkan, kenyataan, tak ada lagi yg bisa diharapkannya dari masa kini maupun masa depannya.
Semuanya omong kosong. Ares meninggalkan taman segera setelah menendang pohon itu.
"Ri, bantuin Ibu dong."
Orion langsung melompat dari sofa begitu melihat Ibu muncul di ambang pintu, tampak
kesusahan membawa barang2 belanjaan.
"Ibu beli apaan aja sih" Heboh amat," komentar Orion sambil membawa belanjaan itu masuk
dan menaruhnya ke meja makan.
"Makanan," jawab Ibu singkat sementara Orion mengernyitkan dahi.
"Persediaan buat setahun?" Orion memandang bungkusan2 besar di depan matanya. "Apa sih
ini?" Ibu tak banyak berkomentar dan hanya mengedikkan bahu. "Ada, aja," jawabnya misterius
sambil menata sayuran di lemari es.
Orion mencoba membuka sebuah bungkusan, tapi tangannya langsung ditepis oleh Ibu.
Orion meringis sambil mengelus punggung tangannya. "Ada apaan sih, Bu" Mau ada pesta?"
"Udah deh, kamu nonton aja sana, nggak usah banyak tanya. Ntar juga tau," kata Ibu, masih
dengan nada misterius. Orion menuruti kata2 Ibu walaupun dengan menggerutu.
"Eh, Ri, Ares ke mana?" tanya Ibu sambil melongok ke ruang TV.
"Kuliah, kali," jawab Orion malas, tangannya sibuk mengganti channel.
"Lho, trus dia sarapan apa" Kan nggak ada apa2 di kulkas," kata Ibu lagi.
Orion mengangkat bahu. "Paling sarapan di kampus," gumamnya.
Ibu mengangguk-anggukkan kepala, lalu mengamati Orion yg bergerak mendekat dan
mengambil sebuah apel dari salah satu bungkusan belanjaan yg sudah terbuka.
"Ri, Ibu khawatir sama Ares... Beberapa hari ini dia semakin sering berantem sama Ayah," kata
Ibu pelan. Orion menatap ibunya yg sekilas tampak lebih tua dari biasanya, lalu mendesah pelan. "Ibu
tenang aja. Ares udah gede. Dia bisa nyelesain masalahnya sendiri," kata Orion, lalu bergerak
mengambil bola basketnya yg tergeletak di samping sofa. "Aku main basket dulu ya Bu."
Setelah berpamitan pada ibunya Orion berjalan keluar rumah dan menghirup udara pagi yg
segar. Hari ini cuaca agak mendung. Orion mendesah pelan.


That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ares itu, pikir Orion. Selalu saja membuat Ayah dan Ibu kesal. Selalu saja membuat keonaran
supaya bisa diperhatikan. Padahal perbuatannya justru tidak akan mendatangkan simpati dari
siapa pun. Orion men-dribble bolanya sampai ke taman. Orion berhenti sebentar, menatap taman yg penuh
akan kenangan masa kecilnya. Setelah menghela napas, dengan mantap dia mulai berlari ke
lapangan basket dan memasukkan bolanya ke ring.
Lima belas menit kemudian, dia terduduk di bawah pohon akasia besar yg terletak persis di
samping lapangan. Dia mendongakkan kepala, lalu melihat tulisan 'Ares-Rei-Rion' yg terpahat di
pohon itu. Pikirannya lantas melayang ke masa kecilnya.
Reina. Gadis cilik berkepang dua yg selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Seharusnya Orion
melupakannya, tapi setiap kali berpikir seperti itu, dia semakin tidak bisa melakukannya.
Seorang Reina malah tumbuh semakin besar dalam fantasi terliarnya dan menjadi sorang gadis
yg sangat cantik. Ingin rasanya Orion menganggap bahwa semua ini konyol dan tidak masuk
akal, tapi ia tidak mampu. Tidak pernah mampu.
Dia memiliki keyakinan itu. Keyakinan bahwa Reina, gadis kecilnya yg cantik, akan kembali
suatu saat nanti. Orion bangkit, mengambil sebuah batu berujung tajam, lalu menggoreskannya ke tempat yg
sama di mana tulisan 'Ares-Rei-Rion' terpahat. Dia memahatnya kembali agar tidak hilang. Orion
sudah melakukan hal itu selama sepuluh tahun ini. Dia masih berharap bahwa janji sepuluh
tahun yg lalu itu masih berlaku, walaupun sudah melewati batas yg ditentukan.
Sejak beberapa bulan yg lalu, Orion sering berpikir untuk membongkar kaleng yg dikubur di
dalam tanah, dengan persetujuan Ares. Tapi Orion tak pernah melakukannya. Ares juga.
Sepertinya orang itu bahkan sudah lupa akan perjanjian itu. Hal ini membuat Orion sedikit
enggan untuk ikut menebalkan tulisan 'Ares'-nya, tapi entah mengapa, tangannya bergerak di
luar keinginannya. Orion merebahkan tubuhnya di rumput yg hijau. Selama sepuluh tahun ini, Ares tak pernah
bicara tentang Reina ataupun pohon, ataupun perjanjian itu. Bahkan, Ares tak banyak bicara
tentang apa pun kepada Orion. Rasanya Ares sudah melupakan semua memori masa kecilnya
begitu saja. Tidak ada keingintahuan. Bahkan, tidak ada respon saat Orion menyebut nama
Reina di depannya sekitar dua bulan yg lalu, saat sebuah e-mail masuk ke kotak surat Orion.
E-mail itu mengejutkan Orion dan membangkitkan semua kenangan yg selama ini terkubur
dalam2 di otaknya. E-mail itu dari Reina. Reina-nya. E-mail itu mengatakan semua yg ingin
didengar Orion. Bahwa Reina baik2 saja, bahwa Reina tidak lupa akan perjanjiannya, bahwa
Reina akan kembali, walaupun tidak akan tepat pada tanggal 14 Februari karna dia belum
mendapat libur sekolah. Senyum lebar menghias wajah Orion. Gadis itu masih SMA. Orion sering kali melupakannya,
menganggap Reina seumuran dengannya. Tapi semua itu tidak penting. Yg penting Reina akan
kembali, walau entah kapan. Dan nanti malam, Reina akan masuk ke chat room untuk
mengobrol dengannya. Lagi. Rutin selama dua bulan terkhir ini. Kegiatan yg membuatnya
melupakan Lala. Seperti biasa, Ares memasuki kampus tanpa semangat macam apa pun. Tidak ada niat untuk
belajar. Dia hanya datang ke kampus untuk menghindari rumah selama mungkin. Tidak ada
alasan lain selain itu. Ares berjalan menuju kelas mata kuliah Telaah Drama Inggris. Ares betul2 muak. Segala paket
yg dihidangkan dalam mata kuliah, baik dosen, diktat, maupun Shakespeare membuatnya sakit
perut seketika. Selama dua tahun ini, Ares menyesali seluruh kehidupan perkuliahannya.
Ares membuka pintu kelasnya dengan malas. Begitu menampakkan diri, Pak Wisnu, sang dosen
lah yg pertama kali terlihat. Ares menatapnya sebal sesaat lalu memtutuskan untuk mencari
tempat duduk paling belakang, yg paling memungkinkannya untuk tidur dengan nyaman. Tapi
sebelum Ares sempat bergerak, Pak Wisnu menghalanginya.
"Look who's coming?" katanya sinis sambil memindai Ares dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Worn out t-shirt, refugee-like pants, dog necklace... So a next generation. I'm wondering... What
are you doing in my class, Mr Antares?"
Ares menatap Pak Wisnu dengan pandangan menantang. Si tua ini merasa dirinya sebagai
pemilik kampus ini. "You have a problem with that?" tanya Ares dingin. Pak Wisnu langsung membelalakkan
matanya. "YOU!" seru Pak Wisnu berang, tapi detik berikutnya langsung mengendalikan diri karna seluruh
kelas memerhatikannya. "If you don't have any intention to get along in my class, you may leave
now. Please," Pak Wisnu menunjuk ke pintu pintu.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Ares melangkah keluar dengan menendang pintu kelas hingga
menjeblak terbuka. Di koridor, dia masih menendang apa pun yg dilihatnya. Tempat sampah,
kursi, bahkan pot bunga. Tanahnya sampai berhamburan. Ares diteriaki oleh semua orang, tapi
Ares tak peduli. Saat ini, dia benar2 di luar kendali.
"Res!" Seseorang memanggil Ares, tapi Ares sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun. Yg
memanggilnya ternyata Lala. Gadis manis itu berlari sekut tenaga untuk menyamai langkah
Ares. "Res! Lo kenapa sih" Kok semua ditendangin?" serunya setelah bisa sejajar dengan Ares.
"Apa urusan lo?" bentak Ares tanpa menoleh.
"Res, lo tau si Rion ada di man-"
Langkah Ares segera terhenti. Dia mendelik sengit ke arah Lala yg malah tersenyum. Ares
menatapnya seakan ingin membunuh seseorang.
"Apa lo serius mau tau jawaban dari gue?" sahut Ares keras.
"Nggak," jawab Lala tenang, sudah mengetahui watak Ares dengan jelas. "Gue cuma mau bikin
lo berhenti jalan kayak The Flash aja," sambungnya, lalu tertawa kecil.
Ares tidak ikut tertawa. Dia masih memandang tajam Lala, membuat Lala segera menghentikan
tawanya. "Gue mau ngomong," kata Lala akhirnya. "Tapi setelah lo kasih tau kenapa lo jalan kayak orang
kesurupan gitu." "Gue udah bilang bukan urusan lo," tandas Ares sambil kembali berjalan. Lala segera
mengikutinya. "Kok bisa begitu" Perasaan gue, dulu apa pun urusan lo urusan gue juga," kata Lala lagi.
Ares berhenti mendadak sehingga Lala menabrak punggungnya. Ares menatap Lala lagi, lalu
tertawa sinis. "Lo bercanda, kan?" tanyanya.
"Bercanda gimana?" Lala balas bertanya. "Gue serius, Res. Kenapa sih lo?"
"Gue juga serius," Ares mencondongkan wajahnya ke wajah Lala, tatapannya menjam. "Lo
jangan bercanda lagi. Gue muak dengan tampak sok innocent lo, dengan kata2 lo yg seakan
nggak pernah terjadi apa2," sambungnya, lalu kembali berjalan cepat menuju taman.
Lala terdiam sesaat, lalu mengejar Ares. Lala meraih tangan Ares yg kekar dan membalik
tubuhnya. "Apa, Res" Apa" Apa yg udah terjadi" Kita baik2 aja, kan?" seru Lala, matanya sudah berkacakaca.
Ares benar2 muak dengan gadis ini, walau juga diam2 menyayanginya. Tapi, perasaan itu
segera sirna setelah dia ingat bahwa gadis ini, gadis yg sangat dekat dengannya setahun lalu,
adalah kekasih Orion. "Denger ya, La. Jangan lo pikir kita masih bisa baik2 aja setelah apa yg lo lakuin terhadap gue!
Udahlah, lo minggir, cari sana si atlit tengik itu," Ares berkata lelah, lalu berbalik.
"Res! Gue sama Orion udah putus!" sahut Lala, membuat langkah Ares terhenti. "Gue sama dia
udah putus! Lo denger kan?"
Ares bergeming. Berita itu mengejutkannya. Selama ini, dia menyangka hubungan Lala dan
Orion baik2 saja. "Gue baru sadar kalo yg gue peduliin tuh elo. Dan gue nyesel banget kehilangan lo," kata Lala
lagi, suaranya sudah bergetar.
Selama beberapa menit, yg terdengar hanyalah isakan Lala.
"Penyesalan selalu datang belakangan," komentar Ares akhirnya, lalu untuk ke sekian kalinya
mencoba untuk pergi. Tapi untuk kesekian kalinya juga, tangan Lala mencegahnya.
"Res, tolong dengerin gue!" jerit Lala.
Ares menatap Lala lagi. Gadis yg pernah dekat dengannya, bahkan satu-satunya yg pernah
berbicara dengannya. Gadis yg dulu pernah mendapat tempat di hatinya. Tapi semua lenyap
dan terbakar menjadi kemarahan saat Lala dengan cerianya mengatakan bahwa dirinya dan
Orion sudah bersama. Ternyata, selama setahun Lala mendekati Ares, hanyalah untuk
mendapatkan seorang Orion. Oh, bukan 'hanya' seorang Orion, tapi seorang cowok yg hebat di
segala bidang, baik akademis maupun ekstrakurikuler, sekaligus cowok paling populer di
kampus. "La, denger. Denger baik2 karna gue cuma mau ngomong sekali. Gue nggak mau dengerin apa
pun lagi. Lo pikir, setelah lo putus sama Orion dan lo bilang nyesel dan segala macem, lo bisa
deket lagi sama gue" Jangan mimpi lo," kata Ares dingin sambil berusaha melepaskan tangan
Lala. Tapi gadis itu memegangnya dengan sekuat tenaga.
"Res, tolong kasih gue kesempatan...," kata Lala lirih. "Gue mohon..."
Ares menatap Lala jijik. Dia tak menyangka Orion sudah memutuskan hubungannya dengan
gadis ini. Dulu, Ares mengira Orion tak akan menyia-nyiakan Lala. Tapi tidak. Ares tiak akan
peduli apa pun lagi. Kebenciannya kepada Lala sudah terbentuk sejak Lala mengatakan bahwa
diam mencintai Orion. Dan karna statusnya sebagai pasangan dari Orion, Lala yg tadinya bukan
siapa2 mendadak menjadi cewek terpopuler saat itu. Lala jelas menikmatinya sehingga
melupakan keberadaan Ares.
Tetapi dari semua itu, yg paling membuat Ares muak adalah, Lala mengetahui ada persaingan di
antara Ares dan Orion. Maka dari itu, dia mendekati Ares dengan tujuan membuat Orion
cemburu. Ares tahu betul hal itu. Hal bahwa selama ini Lala sudah memperalatnya.
"La. Lo tau gue bukan tipe orang yg ngasih kesempatan kedua. Jadi lo harusnya tau nggak ada
gunanya lo ngelakuin yg kayak begini," kata Ares. Disentaknya tangan Lala sehingga terlepas
dari tangannya. "Res, gue nyesel! Gue nyesel, oke" Gue nyesel!" sahut Lala putus asa. Gadis itu mulai
menangis lagi. Ares mencoba untuk tidak menatapnya. "Bagus kalo lo nyesel. Tapi itu nggak ada artinya buat
gue." "Res! Gue kangen elo. Gue kangen saat2 dulu kita main bareng!" sahut Lala lagi. Ares
meliriknya tajam. "La, lo kenapa sih" Pengen balik lagi sama Orion tapi nggak tau caranya" Mau ngegunain cara
licik kayak dulu" Udah nggak populer lagi lo rupanya?" bentak Ares, membuat Lala menangis
lebih keras. Ares membuang mukanya. Kalau saja Lala menangis bukan karna hal sepenting ini, Ares pasti
sudah memeluknya untuk menenangkannya. Tapi Ares pantang menyentuh apa pun yg sudah
disentuh Orion. Lala tiba2 melompat ke arah Ares dan memeluknya erat. Sejenak, Ares terdiam karna terkejut.
Tapi detik berikutnya, dia sadar dan melepas pelukan Lala. Lala masih terisak.
"Res, apa bener nggak ada jalan buat kita balik kayak dulu?" tanya Lala di tengah isakannya.
Ares menghela napas. "Benar," katanya mantap. "Jadi, jangan sangkut pautin gue ke dalam
urusan lo sama Orion lagi."
Ares meninggalkan Lala yg menatapnya sedih. Ares tak mau tahu lagi soal Lala dan Orion.
Cukup sudah semua pengkhianatan yg dialaminya.
"Ares, lo dapet pesen. Ada yg manggil lo di belakang kampus."
Seorang cewek tiba2 mendekati Ares saat dia baru beranjak pulang. Ares menghabiskan
sepanjang hari dengan berbaring di kursi taman kampusnya sambil menghabiskan dua bungkus
rokok. Ares menatapnya heran. "Siapa?"
"Gue nggak tau. Gue nggak kenal. Tapi cowok2," kata cewek itu, lalu pergi begitu saja, seolah
tak mau berurusan lebih lanjut dengan Ares.
Ares menatap kepergian cewek itu, lalu menutup loker dan berjalan menuju belakang
kampusnya. Dalam hati, dia merasakan adanya ketidakberesan. Benar saja, segerombolan anak
lelaki yg tampak marah sedang menunggunya di sana.
"Mau apa cari gue?" tanya Ares begitu dirinya sudah berjarak tiga meter dari gerombolan itu.
Salah satu dari mereka maju, tampaknya yg paling kuat. Wajahnya legam dan memiliki banyak
bekas luka. "Lo Ares?" tanyanya dengan suara yg berat, khas perokok. Sama seperti yg dimiliki Ares.
"Bisa dibilang begitu," jawab Ares dengan nada menantang. "Dan lo" Bang napi?"
Laki2 itu mendengus. "Gede juga nyali lo."
"Mau apa kalian" Suruhan siapa?" tanya Ares ringan. Dirinya sudah terbiasa akan hal2 seperti
ini. Orang yg membencinya tidak bisa dibilang sedikit. Malah orang yg menyukainya yg luar
biasa sulit dicari. "Nggak penting suruhan siapa. Yg jelas, lo pastinya udah tau kita mau ngapain," jawab seorang
laki2 lainnya. Ares menarik napas, lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Diisapnya dalam2,
lalu dihembuskannya tepat ke wajah si hitam.
"Gue tau," katanya singkat.
Laki2 itu segera melayangkan tinjunya pada Ares, yg dapat dihindari dengan mudah. Secepat
mungkin Ares meraih tangannya, memelintirnya, lalu mematikan rokoknya pada tengkuk laki2
itu, yg langsung berteriak kesakitan. Teman-temannya memandang Ares geram.
"BAJINGAN!!" seru gerombolan itu, lalu menyerbu Ares dengan membabi buta.
"Mau ada pertandingan lagi, Yah."
Suara Orion terdengar ketika Ares memasuki rumah. Ares menarik napas sebentar,
mengembuskannya, lalu meneruskan langkahnya melewati ruang tamu. Ayah, Ibu, dan Orion
sedang duduk di sana. Benar2 sial. Pertemuan keluarga tepat di saat keadaannya berantakan.
Ares memutuskan untuk bergerak cepat ke kamar, bermaksud menghindari pertemuan itu. Tapi
rupanya tak cukup cepat, karna semua keluarganya menyadari keadaan Ares dan tubuhnya yg
kotor dan wajahnya yg lebam.
"Ares! Kamu berantem lagi ya"!" teriak Ayah berang.
Ares tidak berhenti untuk menerima lebih banyak pukulan lagi. Dia segera masuk ke kamarnya
dan membanting pintu tepat di depan hidung ayahnya.
"ARES! ARES! BUKA PINTUNYA! DASAR ANAK KUR-"
Suara Ayah teredam oldi suara Kurt Cobain dengan 'Smells Like Teen Spirit'-nya. Ares
membanting tubuhnya ke atas ranjang, lalu terduduk karna rasa sakit luar biasa yg menyerang
perutnya. Gerombolan sialan tadi berhasil memukulnya sekali pada perut dengan sebuah balok
kayu besar. Rupanya tadi Ares bergerak kurang lincah. Biasanya dia tak pernah terluka separah
ini. Ares sudah melumat semua anak yg tadi menyerangnya. Semua dibiarkan terkapar tak berdaya
dengan berbagai macam keluhan. Mungkin yg terbanyak adalah patah hidung dan gigi. Tapi
Ares cukup yakin tadi dia berhasil mematahkan tangan satu-dua orang.
Gerombolan tadi suruhan Raul, saingan utama Orion dalam kompetisi basket antar kampus. Dia
adalah mantan pacar Lala sebelum Orion, dan ternyata kabar bahwa Lala memeluk Ares
langsung sampai ke telinganya. Ares mendengus sebal. Rupanya banyak sekali mata2 Raul di
kampus. Baru beberapa jam kejadian itu berlalu, si pengecut itu sudah mengirim pasukan tak
berguna untuk menghabisi Ares.
Ares memaksakan dirinya untuk mendekati kaca, lalu memerhatikan wajahnya yg lebam di
bagian tulang pipi kirinya. Ares bersumpah dalam hati, akan terus mengingat bajingan yg
berhasil menempatkan kepalannya di sana, lalu balas dendam dua kali lebih parah.
Tiba2 Ares bergeming. Bukan karna dia menemukan luka baru di wajahnya, tapi karna dia
menemukan wajah Orion di sana. Wajah yg persis dengan yg dimilikinya. Wajah yg tidak
diinginkannya. Ares pun sadar kalau dia sudah terlalu lama tidak bercermin. Dia terlalu takut
untuk melihat wajah yg selalu membuatnya marah itu. Karna itulah, cermin pernah menjadi hal
terkutuk baginya. Ares melangkah menjauhi cermin, lalu kembali terduduk di pinggiran ranjang. Mungkin lebih baik
dia merubah wajahnya agar tidak terlihat mirip lagi dengan sang atlet. Terlalu banyak yg terjadi
dalam satu hari ini. Dan semuanya membuatnya luar biasa lelah, sampai dia merasa ingin mati.
Orion buru2 melangkah ke kamarnya begitu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Malam ini, Reina akan muncul di chat room, seperti janjinya.
Orion segera duduk, menyalakan notebook-nya yg segera terkoneksi dengan internet. Setelah
beberapa lama mencari, nama Reina belum muncul. Orion sudah mencoba berbagai nama yg
mungkin digunakan Reina, tapi tak satu pun benar. Reina belum muncul.
Selama satu jam dihabiskan Orion untuk menunggu kehadiran Reina. Tapi, gadis itu tak muncul
juga. Orion mulai menggigiti kuku jarinya. Apa mungkin Reina lupa"
Orion memutuskan untuk menunggu lebih lama. Sementara itu, dia mencoba membunuh waktu
dengan membuka situs2 tentang NBA. Walaupun demikian, Orion hanya bisa memandang
sosok Jason Kidd dengan tatapan kosong. Nama Reina belum muncul juga.
Satu jam berikutnya, Orion memandang layar notebook-nya hampa. Mungkin Reina memang
lupa. Orion mengklik tampilan compose new message, lalu mulai membuat pesan.
To: lareina_thequeen@yahoo.com
Subject: Hi! Rei, lupa ya, janji kita ketemuan di chat world" Nggak apa2 deh, tapi besok ketemu ya" Banyak
yg mau diobrolin nih! Miss U always. Orion. Orion menekan tampilan send, lalu mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Reina. Gadis
itu sudah membuatnya gila.
Setelah menutup notebook-nya dengan berat hati, Orion bergerak menuju ranjang dan
membangting tubuhnya. Dia mencoba untuk menutup mata dan sosok Reina langsung
terbayang di pelupuk matanya.
Reina tidak pernah mau mengirimkan fotonya. Dia juga tidak menampilkan foto pada profil media
sosialnya. Gadis itu tidak tahu betapa Orion benar2 merindukannya.
Tidak lama kemudian, Orion tertidur pulas, masih memimpikan Reina yg tumbuh dewasa.
Perlahan, Ares membuka pintu kamarnya. Benar saja. Pagi ini semuanya berkumpul di ruang
tamu, karna ini hari Minggu. Harusnya Ares tadi tetap berada di dalam kamar saja.
Ares tidak dapat mundur lagi, karna Ayah sudah keburu melihatnya dan memberinya tatapan
tajam. Jadi, dia melangkah ke luar kamar, lalu duduk di meja makan. Dia menyomot sosis
goreng dan makan dalam diam.
Ayah mendengus sambil membuka koran dengan kasar setelah melihat wajah Ares yg lebam.
"Kamu ini mau sampe kapan ngelakuin hal2 yg nggak berguna?" serunya tanpa melepaskan
matanya dari koran. Ares terdiam sesaat. Ayah sudah mulai lagi membicarakan hal ini. Ares hanya menggerakkan
bahu, malas menjawab.

That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu tahu Ares tak menjawab, Ayah mendelik sewot kepadanya. Orion dan Ibu memilih diam.
Sebentar lagi pasti terjadi pertengkaran, seperti yg biasa terjadi di hari Minggu pagi.
"Kamu ini kerjaannya mencoreng nama baik Ayah," kata Ayah lagi. Urat2 di dahinya sudah mulai
tampak. "Aku nggak pernah nyebut2 nama Ayah waktu berantem," jawab Ares tak peduli.
Ayah mengempaskan koran yg sedang dibacanya ke meja makan, lalu menatap Ares galak.
"Kecuali kamu bukan anak Ayah, sana berantem sepuasnya!" serunya dengan suara
menggelegar. Ares balas menatapnya geram. Sosis yg dipegangnya sudah terasa lembek.
"Mungkin cuma kematian yg bisa buat kamu berhenti berkelahi," sambung Ayah, lalu mendesah
panjang. Ares mendengus. "Mungkin aja," katanya, lalu kembali melahap sosisnya.
Ibu menatap Ares khawatir, lalu mengulurlan tangan untuk membelai pipinya yg biru dan
bengkak. Ares segera menepis tangan ibunya.
"Apa nggak sebaiknya kamu ke dokter aja, Res?" tanya Ibu pelan.
"Nggak usah," tandas Ayah sebelum Ares sempat mengeluarkan suara. "Biar kapok."
Ares memilih tak menanggapi perkataan Ayah. Ares tak akan kapok hanya dengan pukulan
ringan di pipi. Selama beberapa menit, keheningan merayapi keluarga itu.
"Yah. Pinjem korannya," Orion mencoba mencairkan suasana.
Ayah menyodorkan koran ke tangan Orion, sambil melirik Ares yg tampak tidak berminat.
"Coba sekali-kali kamu baca koran. Kerjaannya denger musik aneh terus. Gimana bisa nambah
pengetahuan, kamu?" sindir Ayah sinis.
Baca koran. Kerja yg bagus, Orion, pikir Ares. Membaca koran adalah hal yg paling dibenci Ares
selain apa pun yg berhubungan dengan Ayah dan Orion.
Bukannya Ares tidak mau membaca, tapi Ares divonis menderita disleksia lima tahun yg lalu.
Tidak ada yg mengetahui hal tersebut di keluarganya, karna Ares selalu menutupinya. Seumur
hidupnya, Ares menderita dan dia tidak tahu apa yg terjadi padanya. Baru setelah remaja, Ares
memutuskan untuk memeriksakan diri tanpa ada yg menemani, dan dari dokter dia tahu bahwa
dia ternyata penderita disleksia, penyakit gangguan saraf pada otak yg menyerang anak yg lahir
prematur atau otaknya kekurangan oksigen saat baru lahir.
Kemungkinan besar, penyebab kedua lah yg terjadi kepada Ares, karna dia dan Orion lahir pada
waktunya. Penyakit ini menyebabkan Ares tidak dapat membaca, menulis, atau mengeja dengan
benar. Walaupun disleksia yg terjadi pada Ares tidak begitu parah, dia tumbuh menjadi anak yg
emosinya labil karna terbiasa dikatakan bodoh oleh semua orang.
Selama dua puluh tahun, Ares berusaha keras untuk menyetarakan dirinya dengan Orion -yg
sialnya, begitu cemerlang. Ayah menyerah mengajari Ares karna dia lambat dalam menangkap
pelajaran dan akhirnya menganggapnya lebih bodoh dari Orion. Sementara itu, ibunya tidak bisa
berbuat apa2. Bukannya Ibu tidak mencintainya, dia dilarang oleh Ayah untuk membantu Ares
supaya Ares jera. Tidak punya pilihan lain, Ares belajar membaca, menulis, juga mengeja sendiri
pada waktu malam hari. Ares selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran matematika ataupun sains. Dia juga tidak
begitu bisa menghapal. Maka dari itu, dia selalu menjadi urutan terbawah di kelasnya. Ares
selalu disimbolkan dengan elemen yg selalu berkebalikan dengan Orion. Tidak seperti Orion,
Ares tidak begitu mengerti musik jazz yg mengutamakan ketepatan nada. Ares lebih akrab
dengan musik2 rock atau metal yg keras.
Perjuangannya selama dua puluh tahun membuahkan hasil. Kini Ares sudah lebih terbiasa untuk
membaca dan menulis, tapi dia tetap tidak senang melihat tulisan2 kecil di koran karna dia masih
harus berpikir keras. Ares tidak akan membaca apa pun kecuali memang perlu.
"Res" Kok bengong?" Ibu tahu2 mengusap rambut Ares -hal yg tidak pernah dilakukannya lagi
selama bertahun-tahun. Ares menatap Ibu muram. Sebenarnya Ares merindukan pelukan Ibu, merindukan ceritaceritanya sebelum tidur, yg terhenti saat usianya baru tujuh tahun, segera setelah orangtuanya
mengetahui ada yg tidak beres pada otak Ares. Selanjutnya, hanya Orionlah yg masih dibelai
dan diceritakan dongeng sebelum tidur, sementara Ares dipukuli karna tidak bisa menjawab
pertanyaan yg benar dari Ayah.
"Kerjaannya kan memang begitu. Bengong saja kayak orang bodoh," kata Ayah tiba2 sambil
bangkit untuk mengisap rokok. "Cobalah, buat sesuatu yg berguna. Sekali saja, bikin ayahmu
bangga." Mata Ares mengikuti Ayah yg segera berbalik dan berjalan menuju pintu depan. Ares merasakan
darahnya sudah mendidih dan naik ke kepalanya. Ibu menatapnya simpati, tapi bergerak menuju
dapur. Orion juga bangkit dan membawa koran ke depan TV.
Selalu begini. Selalu Ares yg tertinggal di belakang.
"Wow, panas banget!" keluh seorang gadis saat keluar dari bandara. Dia menyibak rambut
indahnya yg panjang dan bergelombang, lalu menyeka keringat yg mengalir di dahinya dengan
sekali gerakan indah. Orang2 yg berada di sekitar gadis itu menatapnya kagum. Gadis itu menengok ke kanan,
bermaksud mencari taksi. Dia sudah tak sabar bertemu dengan seseorang. Seseorang yg sangat dirindukannya.
Bab 2 The Queen "BESOK, jangan pada ke mana2," kata Ayah saat makan malam.
Ares dan Orion mendongak, lalu menatap Ayah heran.
"Emang ada apaan Yah?" tanya Orion. "Besok aku ada kuliah, trus latihan basket."
"Bolos dulu kuliahnya," kata Ayah tak peduli.
Ares menganga lebar. Ayah menyuruh Orion untuk bolos kuliah. Pastilah hal ini sangat darurat.
Mungkin besok Ayah akan mengadakan acara pemancungan bagi Ares, dan Orion wajib bolos
kuliah supaya tidak melewatkannya.
"Bolos" Emang ada apaan sih?" desak Orion, seakan setengah mati tak mau kehilangan satu
hari kuliah demi hal yg tidak benar2 penting.
"Pokoknya bolos saja. Ayah juga minta izin sejam-dua jam dari kantor. Nanti kamu juga bakal
tau," Ayah menutup percakapan itu, lalu kembali melahap sarden-nya.
Ares segera memutar rencana pelarian dirinya.
"Ares! Bangun! Udah jam berapa ini?" seru Ibu sambil mengetuk pintu kamar Ares dengan
keras. Ares tersentak, lalu terbangun. Dengan segera, dia meraih wekernya. Jam itu ternyata mati di
angka tujuh. Sialan. Rencana pelariannya yg sudah dipikirkan secara matang lenyap sudah.
Ares harus menghadiri upacara pembantaian ini.
Ares bangun dengan seribu satu kutukan, sebelum membuka pintu untuk Ibu. Ibu terlihat sangat
rapi, juga heran. "Kenapa kamu baru bangun jam segini" Ayo cepet mandi!" teriaknya histeris lalu mendorong
Ares ke dalam kamar mandi. Tapi, sebelum sempat masuk kamar mandi, bel berbunyi.
"Biar aku-" "AHH!!" seru Ibu membuat Ares kaget, sekaligus memutus kalimatnya. Ares menatap Ibu yg
seperti kebakaran jenggot. "Udah Res, nggak usah mandi! Duduk aja di sana!" serunya panik,
lalu menarik Ares ke ruang tamu yg terlihat luar biasa ganjil.
Tak seperti biasanya, ruang tamu itu penuh dengan pita, balon, juga makanan. Yg paling terlihat
aneh adalah kue besar dengan angka dua puluh di atasnya. Cukup lama waktu yg dibutuhkan
Ares untuk menyimpulkan bahwa ada seseorang yg berulang tahun. Saat melihat Orion yg
tampak berbunga-bunga, dia menyadari bahwa hari ini ulang tahun Orion. Dan oh, benar,
dirinya. "Selamat ulang tahun!" seru Ibu sambil mencium kedua pipi Ares. Ares sendiri belum bergerak,
masih shock dengan keadaan yg kacau itu.
Tak lama kemudian, Ayah muncul dari pintu depan, lalu menyalami Ares dengan canggung,
seolah Ares baru saja berhasil membaca sebuah buku sampai selesai. Ares lantas duduk di
sebelah Orion yg tak tampak ingin menyelamatinya.
"Res" Kok bengong" Bukannya seneng," kata Ibu.
"Seneng, kok," Ares berbohong. Sebenarnya dia masih sangat terkejut. Seluruh paket ini: hari
Senin, Ayah belum berangkat ke kantor, Orion bolos kuliah, kue besar berangka dua puluh, hari
ulang tahunnya, semuanya membuatnya luar biasa bingung.
"Tadi siapa Yah, yg ngebel?" tanya Orion.
"Hah" Oh, bukan siapa2. Tukang susu," kata Ayah cepat2. Ares memandangnya tajam. Jelas
saja bukan tukang susu. Ares malah baru mendengar kalau keluarga ini berlangganan susu.
"Eh, ngomong2, kalian kok nggak saling kasih selamat?" tanya Ibu lagi, berusaha membelokkan
arah pembicaraan. Ares dan Orion saling pandang bersamaan, lalu secara bersamaan lagi membuang muka.
"Selamet, deh," gumam Orion tak jelas.
"Lo juga," balas Ares.
Ayah dan Ibu memandang mereka bergantian, tapi langsung maklum. Ares sendiri menyadari
bahwa ada yg aneh dari Ayah pagi ini. Tampaknya dia sedang senang atau apa, karna tak ada
sindiran2 yg biasa dilancarkannya setiap pagi.
"Yah, sekarang aja nih?" tanya Ibu sambil menatap Ayah dengan senyum penuh arti. Ares dan
Orion sudah menyangka bahwa ada yg tidak beres.
Ayah mengangguk, lalu bangkit. "Ya sudah. Berhubung tidak ada acara lagi, Ayah mau kasih
kalian hadiah." Ares mendengus. Sejak kapan Ayah membelikan hadiah saat ulang tahun" Untuk Orion masih
mungkin, tapi Ayah seringkali berpura-pura melupakan hari ulang tahun Ares yg -kebetulan
sekali- sama dengan hari ulang tahun Orion.
"Yg bener, Yah?" seru Orion dengan mata berbinar, persis anak anjing di mata Ares.
"Bener. Tapi kali ini hadiahnya sangat spesial. Kalian pasti tidak menyangka. Dan kalian harus
berterima kasih kepada Ayah atas hadiah ini," Ayah tersenyum misterius, lalu bergerak menuju
pintu depan. "Ayah sampe harus ngedatengin dari Amerika sana, lho."
Mendengar itu, Ares jadi sangat yakin hadiah itu akan berupa motor Ducati atau apalah yg
diinginkan Orion. Dan seperti biasa, pastinya Ares tidak mendapatkan apa pun lagi.
Selama beberapa menit, Ayah menghilang dan kembali dengan wajah semringah. Bukannya
membawa kunci motor, dia malah membawa koper.
"Siap2 ya, ini hadiahnya!" seru Ayah, lalu menyingkir sekitar dua langkah ke kiri.
Seorang gadis cantik dengan rambut yg sangat panjang dan bergelombang muncul dari balik
Ayah, tersenyum bagai bidadari. Seorang gadis yg sepertinya familier bagi Ares.
Selama beberapa detik, ruangan itu senyap. Baik Ares dan Orion tidak ada yg bergerak.
Keduanya terdiam menatap sosok gadis itu, berusaha mengingat-ingat, menggali memori yg
sudah sekian lama terkubur.
"Halo," sapa Reina ramah sambil tetap tersenyum.
Yg pertama tersadar adalah Orion. Dia bangkit dan tersaruk ke arah Reina, menyangka dirinya
sedang berada di dalam mimpi.
"Rei... na?" gumam Orion tak percaya.
Reina mengangguk kecil. "Orion!" serunya, lalu melompat ke arah Orion yg masih berdiri kaku.
Reina memeluk Orion erat. Sudah lama dia tidak bertemu dengan laki2 ini. Laki2 yg pernah
menjadi bagian dari memori masa kecilnya yg indah.
Orion balas memeluk Reina setelah sadar apa yg terjadi, lalu menganyunnya sambil berputarputar. Dia begitu merindukan sosok gadis kecil ini, yg ternyata tumbuh dewasa sesuai dengan
fantasinya. Tapi ini bukan lagi di alam khayalnya. Ini nyata. Ini Reina yg nyata, yg ada di
depannya. Oh tidak, ada di dalam pelukannya.
Reina melepas pelukan Orion dan menatap kedua matanya. Anak laki2 itu telah banyak
berubah, walaupun Reina masih bisa mengenalinya dengan mudah dari pancaran mata itu.
Orion tumbuh menjadi laki2 yg tampan dan tegap, sudah bukan lagi anak cengeng yg selalu
minta perlindungan. "Apa kabar?" tanya Reina dengan wajah berseri-seri.
"Baik banget, nggak pernah sebaik ini!" seru Orion, sedikit lepas kendali. "Kamu sendiri?"
"Aku juga baik!" sahut Reina. "Kaget ya?"
"You have no idea," jawab Orion, sambil berusaha menahan diri untuk tidak memeluk gadis itu
sekali lagi. Reina tersenyum, lalu menoleh ke arah Ares yg masih terduduk diam di sofa.
Ares sendiri hanya bisa menatap Reina nanar. Sosok gadis itu yg nyata, yg berdiri di depannya
ini membuat segala kenangan masa lalunya berkelebat cepat di otaknya tanpa kendali.
Semuanya benar2 memusingkan kepalanya sehingga Ares tidak dapat bergerak.
Semuanya terputar di benak Ares seperti sebuah video. Tanggal 14 Februari yg seharusnya
menjadi tanggal pertemuan mereka, kepergian Reina yg tiba2, keabsenan Reina memberi kabar,
semua berkelebat cepat dan menusuk segala pertahanan yg selama ini dibangun oleh Ares.
Sosok yg pernah mengkhianatinya tiba2 muncul dan terlihat sangat berkilauan di mata Ares,
sampai Ares tidak berani menatapnya lama2.
Ares menatap Reina yg berjalan riang menuju dirinya, hatinya terasa geram. Masih bisa seceria
ini setelah apa yg dilakukannya dulu"
"Halo, Res!" seru Reina, berharap Ares bangkit sehingga dia dapat memeluk sosok tegap itu.
Tapi, Ares hanya menatapnya tanpa ekspresi. Jadi, Reina berhenti dan menyodorkan tangan.
"Hai," Ares membalasnya sedingin es, tak menyambut tangan Reina dan malah mengalihkan
pandangan. Dia benar2 tidak bisa berlama-lama menatap mata itu. Ares takut dia dapat dengan
mudah memaafkan Reina jika terlalu lama melakukannya.
Reina menatap Ares bingung sebentar, lalu menurunkan tangannya.
"Ah, aduh! Rei, maafin Ares ya, dia emang suka begitu," Ibu merangkul Reina dan membawanya
duduk di depan Ares. Reina menurutinya, tapi matanya masih terpancang ke arah Ares.
Sementara itu, Orion mengambil tempat duduk di samping Ares.
"Iya, dia memang suka kurang ajar," Ayah menimpali. "Jadi, gimana perjalanannya, lancar?"
"Eh" Oh, baik, Om. Tadi malem sempat nginep di hotel," jawab Reina, tak bisa berkonsentrasi.
Matanya masih terpaku pada Ares yg malah memandang ke luar jendela.
"Ayah, aku bener2 kaget!" seru Orion terlihat senang. "Bisa-bisanya Ayah ngedatengin Reina ke
sini." "Bukan gitu. Sebulan yg lalu Reina telepon ke sini, katanya dapat nomor telepon rumah kita dari
kamu. Reina yg ngomong ke Ayah kalo mau ke sini pas ulang tahun kalian, sekalian dia lagi
habis lulus SMA," jelas Ayah kepada Orion, lalu menghirup kopi.
"Wah" Udah lulus SMA" Udah gede dong," goda Orion, membuat pipi Reina bersemu.
"Ya iyalah, masa SMA melulu," kata Reina sambil mengawasi Ares dari sudut matanya. Ares
masih tak bereaksi. "Trus, trus, gimana kamu selama di sana?" tanya Orion lagi, tak sabar. Orion benar2 ingin
mendengar apa saja yg Reina lakukan selama ini.
Ayah mengernyit pada Orion. "Sabar dong, Ri. Masih banyak waktu. Sekarang, kita tentuin aja
dia bisa istirahat di mana."
Mata Orion membelalak, sementara Ares bergerak sedikit mendengar perkataan Ayah.
"Reina nginep di sini, Yah?" seru Orion, mewakili keingintahuan Ares.
"Nggak, di kantor Ayah. Ya di sini dong, Ri, dia kan tamu kita?" Ayah melempar senyum kepada
Reina. "Dia nanti bakal di kamar kamu. Kamu ntar sama Ares."
Orion bengong sesaat, tapi segera tersenyum ke arah Reina yg tampak menatap Ares dengang
pandangan khawatir. "Ya udah, demi Reina, aku mau deh tinggal di kandang sapi," kata Orion, lalu tertawa kecil.
"Kalo lo keberatan, lo bisa tidur di sofa depan TV," tandas Ares dan bangkit.
"Mau ke mana kamu?" sahut Ayah, tak bisa menyembunyikan nada geramnya.
"Ke WC," jawab Ares singkat, lalu berjalan menuju kamar mandi. Reina memandanginya sampai
dia menghilang ke kamar mandi.
Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf, ya Rei. Emang tabiatnya begitu."
"Hah" Oh, nggak apa2 kok, Om," kata Reina cepat.
"Ya udah, sekarang kamu pindah-pindahin koper kamu ya, dibantu sama Tante dan Orion. Om
harus ke kantor nih, udah telat," Ayah bangkit sementara Reina mengangguk.
"Ayo," Ibu mengajak Reina ke kamar Orion begitu Ayah menghilang di balik pintu depan.
Langkah Reina tiba2 terhenti di depan kamar Ares saat Ibu dan Orion menaruh barangbarangnya di kamar Orion. Di pintu kamar itu tertempel gambar tengkorak dengan tulisan
'Biohazard. Dangerous.' sementara pita kuning panjang bertuliskan 'Police Line. Do not Cross.'
ditempel melintang. Reina tersenyum geli, bertanya-tanya dari TKP mana Ares berhasil
mencurinya, lalu membuka pintu kamar itu dengan hati2.
Saat Reina menginjakkan kaki di kamar itu, dia merasa seperti sedang masuk ke dunia lain.
Seperti sedang menonton konser berpuluh-puluh bintang rock sekaligus. Reina berdecak kagum
melihat kamar itu. Hanya langit-langitnya yg bersih dari poster.
Sambil menghindari berbagai benda di lantai, Reina berjalan hati2 ke arah meja belajar Ares -yg
sepertinya sudah berubah fungsi. Alih2 buku teks, di meja itu berserak berbagai macam CD.
Reina mengambil satu secara acak. Ternyata Sex Pistols 'Anarchy in The UK'.
"Seleranya boleh juga," gumam Reina sambil tersenyum. Saat dia hendak berbalik untuk
mengagumi hal lain, Ares sudah berdiri di ambang pintu. Reina terlonjak kaget.
"Lagi ngapain lo?" tanya Ares curiga.
"Ng... lagi liat2 aja," jawab Reina, salah tingkah. Dia bersandar pada meja, menggapai barang
apa saja di atasnya untuk dijadikan alasan, tapi yg terambil ternyata celana boxer Ares. Reina
bengong sesaat, lalu melemparnya. Wajahnya langsung merah padam.
"Oh, sori, aku nggak..."
Ares meraih boxer yg dilempar Reina, lalu memasukkannya ke keranjang pakaian kotor tanpa
bicara. Reina mengamatinya. Ares merasakan tatapan Reina, tapi dia mencoba untuk tidak
peduli. Ares malah memunguti pakaian kotor yg berserakan di kamarnya.
Ketika Reina baru akan membuka mulut, Ibu dan Orion muncul di pintu.
"Lho, Rei" Ngapain di sini" Semua barangmu udah di kamar Orion lho," kata Ibu.
"Ng... Tante" Boleh nggak kalo aku tidur di sini aja?" pinta Reina membuat semua orang yg
mendengarnya melongo. Tumpukan baju yg tadinya digendong Ares melorot dan berjatuhan.
"Hah" Di kamar Ares" Berantakan dan nyeremin gini?" seru Orion tak percaya.
"Please... boleh ya?" Reina mengeluarkan tatapan memohon. Ibu melempar pandangan ke arah
yg Orion hanya mengangkat bahu.
"Yah... boleh sih, tapi-"
"Kata siapa boleh?" potong Ares cepat. "Kenapa nggak di kamarnya Orion aja, sih" Nyusahin
orang aja," sambungnya sambil kembali memunguti baju-bajunya yg terjatuh.
Reina menatap Ares sedih. Ibu langsung menghela napas, tidak habis pikir dengan sikap sinis
anaknya. "Apa sih kamu ini, Res" Ya udah. Ri, ambilin barang-barangnya Reina, taro sini. Res, kamu
beresin kamar kamu sampe bersih," kata Ibu lalu melangkah keluar kamar.
Reina tersenyum penuh kemenangan ke arah Ares yg langsung membuang muka. Orion
mendesah pendek, lalu menghilang.
"Nggak apa2 kan, Res?" Reina mendekati Ares yg bergerak ke meja untuk membereskan CDCD.
Ares tak menjawab. Harum tubuh Reina membuatnya tak bisa berpikir. Saat ini, jaraknya dan
Reina hanya satu meter saja, dan terus berkurang. Ares berbalik cepat dan beralih
membereskan gitarnya yg tergeletak di samping jendela.
Melihat tingkah Ares, Reina menghela napas. Tak lama kemudian, Orion datang mengantarkan


That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barang2, lalu pergi lagi setelah mengatakan dengan sangat2 menyesal kalau dia harus berlatih
basket karna sudah dekat pertandingan. Orion berjanji kepada Reina untuk pulang cepat karna
ingin mendengar ceritanya.
Kembali tinggal Ares dan Reina berdua di kamar. Tapi tidak berlangsung lama. Detik berikutnya,
Ibu masuk membawa seprai baru. Reina segera menawarkan diri untuk memasang seprai.
Merasa situasinya cukup aman, Ares kembali membereskan CD.
"Diganti seprainya, Rei. Takut ada apa-apanya," Ibu mengedipkan mata jenaka ke arah Reina yg
tertawa kecil. "Tau kan, laki-laki..." lanjut Ibu lagi, membuat Ares memutar-mutar bola mata
sambil mendesah panjang. Ares menoleh sebentar dari kegiatan menyurun CD-nya, lalu terbelalak saat melihat benda yg
dipegang ibunya. "Bu, motif seprai itu bunga2," kata Ares dingin.
Ibu dan Reina menatap Ares dengan ekspresi bingung.
"Iya. Terus kenapa?" tanya Ibu tanpa rasa bersalah.
"Seprai motif bunga2 di kamarku," kata Ares lagi dengan penekanan yg lebih di kata 'bungabunga' dan 'kamarku'. "Ini bukan kamar Orion, Bu!"
"Ah, Ares ini. Nggak apa2, kan" Manis banget, lagi," kata Ibu sambil membentangkan seprai itu
ke ranjang Ares, tampak kontras dengan poster Queen di belakangnya.
Ares menatap seprai itu jijik sesaat, geleng2 kepala, lalu meletakkan CD-CD-nya begitu saja di
meja dan bergerak menuju pintu.
"Aku sumpah nggak akan masuk lagi ke kamar ini selama seprai itu masih di sana," kata Ares
dengan wajah masam sebelum keluar dari kamarnya. Ibu dan Reina terkikik bersama.
Malam ini, semuanya sudah berkumpul di ruang makan. Makanan yg disuguhkan benar2
spesial. Ares sampai bingung sendiri karna meja makan mereka tiba2 penuh sesak dengan
gurami goreng tepung, capcay, dan sapo tahu.
"Jadi, kamu mau sampe kapan di sini?" tanya Orion kepada Reina.
"Oh, kamu nyuruh aku pulang ya?" Reina pura2 merajuk. Orion, Ayah, dan Ibu tertawa.
"Nggak, aku sih pengennya kamu di sini terus, nggak pulang ke Amerika lagi," kata Orion jujur.
"Aduh, kalo gitu nggak bisa," kata Reina. "Aku harus balik lagi ke Amerika sekitar tiga mingguan
lagi." "Tiga minggu aja nggak cukup," Orion berkata dengan wajah serius. "Harusnya kamu tinggal di
sini." Reina tertawa renyah. "Yah, pengennya juga gitu," katanya sambil melirik Ares yg tampaknya
sama sekali tidak tertarik akan pembicaraan mereka.
"Res, kamu kok diem aja. Nggak kangen sama Reina?" tanya Ibu, membuat Ares hampir saja
tersedak tahu Jepang. "Biasa aja," jawab Ares sambil meraih gelasnya dan minum banyak2. Sejak itu, Reina tidak lagi
tersenyum selama makan malam.
Orion berhenti makan, lalu menatap Ares lekat2, bertanya-tanya apa yg membuatnya tampak
sinis seperti biasa di saat ada Reina di sini, bersama mereka. Tidak mungkin Ares sudah begitu
saja melupakan Reina. Setelah selesai makan, Reina dan Orion mengobrol di gazebo. Ares memilih untuk menonton
TV, tidak ingin melihat Reina dan Orion berdua.
Ares menyandarkan kepalanya di bantalan sofa. Terlalu banyak yg terjadi hari ini dan entah
kenapa Ares tidak mampu menghadapinya. Ini bukan Orion. Ini bukan Ayah. Ini bukan Raul atau
siapa pun itu. Ini Reina. Gadis yg selalu ada dalam mimpinya.
Reina menatap ke sekeliling ruangan kamar Ares. Entah mengapa, semua ini, poster-posternya,
suasananya yg gelap, udaranya yg dingin, membuat Reina tenang. Reina merebahkan dirinya ke
atas tempat tidur. Ini tempat tidur Ares. Setiap hari Ares tidur di sini. Mungkin hal ini yg
membuatnya merasa nyaman.
Reina mencoba memejamkan mata, tapi yg terbayang olehnya adalah saat makan malam tadi.
Ares sama sekali tidak memandangnya, tidak juga mencuri pandang. Sepertinya, Ares sudah
sama sekali melupakannya. Saat Reina baru datang tadi, Ares bahkan tidak mau menjabat
tangannya. Reina membalikkan badannya, lalu sebutir air mata jatuh dari matanya.
Sebenarnya, Ares lah satu-satunya alasan Reina datang kembali ke Indonesia. Tapi bahkan
alasan itu tidak mengharapkan kedatangannya.
Pagi ini, Ares terbangun dengan perasaan hampa. Dia berharap kedatangan Reina hanya
mimpi, tapi wangi tubuh gadis itu ada di mana2 di rumahnya.
Ares bangkit, mengambil handuk, lalu masuk ke kamar mandi. Dia membasuh kepalanya
dengan air, berharap air itu bisa menghapus bayangan Reina di otaknya. Ares menengadahkan
kepalanya, membiarkan air yg dingin dari shower jatuh tepat ke wajahnya.
Tanggal 14 Februari 2005, kita ke sini lagi, terus kita baca deh surat2 kita!
Ares menghajar tembok di depannya keras2 sampai buku2 jarinya terasa nyeri.
Setelah selesai mandi, Ares segera melangkah menuju kamarnya, sejenak lupa bahwa ada
sesosok gadis yg tidur di sana. Dia baru teringat setelah membuka pintunya dengan berisik dan
mendapati Reina sedang berbaring di tempat tidurnya.
Ares menghela napas. Dia sudah terlanjur masuk, lagi pula semua baju-bajunya ada di
kamarnya. Tak lama lagi Ares harus berangkat kuliah.
Ares melangkah hati2 ke dalam kamar menuju lemari pakaiannya yg terletak tepat di samping
ranjang. Ares tak bisa menahan godaan untuk tidak menoleh.
Reina terlihat sangat manis saat tertidur. Rambutnya yg lembut menutupi sebagian wajahnya.
Ingin rasanya Ares membelai kepala gadis itu, menyibak rambutnya supaya wajahnya yg cantik
itu tidak tertutupi... Detik berikutnya, Ares tersentak. Dia tidak boleh membiarkan fantasinya terus berkeliaran. Ares
segera membuka lemari dan mengambil acak sebuah t-shirt hitam.
"Res?" kata Reina, ternyata terbangun oleh suara deritan lemari.
Ares menoleh kaget, tapi segera menenangkan perasaannya dengan memalingkan muka dan
membuka kausnya. Reina menatapnya takjub.
"Baju gue semua di sini," Ares menjelaskan sambil melempar kaus kotornya ke seberang
ruangan, yg masuk tepat ke dalam keranjang baju kotor.
"Oh," gumam Reina sambil duduk bersandar lalu mengawasi Ares yg mengenakan kaus baru.
Ares merasakan tatapan itu, tapi sebisa mungkin mengacuhkannya.
Reina tiba2 terkikik. "Res, kamu tau nggak, kalo ada orang yg masuk sekarang, dia bisa aja
salah paham." Ares menoleh, mencari tahu maksud kata2 Reina, lalu detik berikutnya paham. Keadaan di
mana Ares sedang berganti baju dan Reina sedang duduk di ranjang dengan selimut
menutupinya, benar2 seperti adegan kalau mereka baru menghabiskan malam bersama atau
apa. Ares membuang muka, lalu membanting pintu lemari pakaiannya.
"Nggak ada yg akan salah paham," kata Ares sambil menyambar ranselnya, menyurukkan
buku2 yg dipilihnya secara acak, lalu berderap ke luar kamar.
Reina menatap sedih punggung Ares yg menghilang di balik pintu.
"Aduh, buku apa sih yg kebawa?" gumam Ares kesal setelah sampai di kampus. Ternyata, tadi
dia membawa novel Dave Pelzer hadiah dari Lala setahun yg lalu. Hadiah yg ironis, menurut
Ares. Dia benar2 kesusahan membacanya, bahkan hanya prolognya. "Berat-beratin aja," gumam
Ares lagi sambil menyurukkannya kembali ke dalam ransel.
Ares menundukkan kepala, lalu memegangnya dengan kedua tangan. Kepalanya berdenyut
sangat hebat saat memikirkan kejadian tadi pagi. Wajah Reina begitu cantik, bahkan saat dia
baru bangun tidur. Ares tak mengira Reina akan menjadi gadis secantik itu dalam tempo sepuluh
tahun. Dulu, Reina sangat culun dengan dua gigi depan besarnya dan kepang dua.
Ares hampir saja tertawa kalau tidak ingat gadis itu sekarang ada di rumahnya. Semua ini terasa
seperti keajaiban. Ares tak pernah mengharapkan kedatangannya lagi, semenjak dia menyerah
setelah menunggu selama sepuluh tahun.
"Res" Lo kenapa" Sakit?" seru Lala yg datang tiba2. Ares mendongakkan kepalanya.
Ares menggeleng tanpa menatap Lala. Sudah cukup parah sakit kepalanya, tak perlu ditambah
dengan kehadiran Lala segala.
Lala menatap Ares yg bergeming, menghela napas, lalu duduk di sebelahnya.
"Lo masih marah, Res?" tanya Lala sambil menatap Ares lekat2. Ares tak membalasnya.
"Udah deh, lo nggak usak deket2 gue lagi. Terakhir kali lo ada di deket gue, gue udah mukul
banyak orang," kata Ares ketus, tanpa memedulikan mata Lala yg membelalak.
"Apa" Lo diserang orang, Res" Di mana" Kapan" Sama siapa?" tanyanya histeris.
Ares menatapnya sebal. "Lo nggak usah pura2 nggak tau, deh. Lo tau kan, fans lo yg cinta mati
sama lo itu paling nggak bisa kalah?"
Lala terpekur. Raul. Pasti anak itu. Dia terus mengejar-ngejar Lala semenjak mereka putus dan
tahu bahwa Lala memiliki hubungan dengan Orion. Raul menolak menyerah saat tahu Lala
sudah putus dengan Orion dan malah menyukai Ares.
"Res, apa salah gue kalo dia suka sama gue" Emangnya gue mau" Gue juga nggak mau, Res!"
sahut Lala. Ares terdiam. Memang bukan kesalahan Lala, tapi Ares sudah terlanjur menganggapnya
demikian. Kalau saja dulu Lala tidak memilih Orion sehingga membuat Raul merasa tersaingi,
tidak akan begini jadinya. Ares meyakini ini sebagai sebuah karma.
"Lo tau" Ada satu hal yg bisa bikin kejadian itu nggak terulang lagi. Lo jauh2 dari gue," kata Ares
dingin, lalu bangkit dan meninggalkan Lala.
Orion memasukkan bola basketnya ke loker sambil bersiul. Hari ini dia tidak akan latihan. Dia
sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membolos latihan sesering mungkin selama Reina di
Indonesia. Orion tak ingin membuang waktu sedetik pun. Sudah cukup lama waktu terbuang,
dan sekarang, Orion ingin menebusnya.
"Ri, ntar jam tiga, ya!" seru Odi, teman setimnya.
"Wah, sori, gue nggak bisa," kata Orion, gagal menyembunyikan senyum lebar-nya. "Ntar2 gue
juga bakalan jarang latihan. Ada hal yg lebih penting."
Odi mengernyitkan dahi. "Lo becanda, kan" Bentar lagi ada turnamen, Ri! Lo mau tempat lo
digantiin sama Raul?"
"Sebodo," tukas Orion sambil menutup lokernya. "Masih banyak turnamen lain. Yg ini, gue udah
nunggu selama sepuluh tahun. Gue nggak akan ninggalin dia cuma gara2 turnamen."
"Apaan sih" Sampe lo bisa-bisanya nyerahin posisi lo buat Raul?"
"Sereorang," Orion kembali tersenyum membayangkan Reina. "Seseorang yg lebih berharga
dari apa pun juga di dunia ini. Bahkan medali MVP."
Odi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Orion yg sekarang telah menerawang
jauh dengan ekspresi bahagia.
"Sini Rei bantu, Tan."
Reina mengambil bawang lalu mulai mengupasnya. Di sampingnya, Tante Risa sedang
memasak makanan untuk makan malam.
"Wah, bisa ngupas bawang, Rei?" tanya Tante Risa, ibu dari Orion dan Ares.
"Ya bisa lah, Tan. Dalemnya kan masih orang Indonesia," jawab Reina, membuat Tante Risa
tertawa. "Bahasa Indonesia kamu juga bagus banget. Padahal waktu kamu pindah ke Amerika kan masih
kecil," kata Tante Risa.
"Aku selama di rumah selalu pake bahasa Indonesia, Tan," jelas Reina. "Lagian, temenku yg
juga orang Indonesia di sana banyak, tapi kebanyakan udah pada kuliah."
Tante Risa mengangguk-angguk mengerti. Selama beberapa menit kemudian, mereka berdua
sibuk dengan kegiatan masing2. Namun akhirnya, Reina tidak tahan untuk tidak bertanya
tentang Ares. "Tant, Ares kuliahnya di jurusan apa?" tanya Reina, merasa Ares tidak akan menjawab jika dia
menanyakannya langsung. "Eh?" Tante Risa menghentikan kegiatan mengaduk sayur, berusaha mengingat-ingat. "Ng... di
mana ya" Tante kok lupa" Kalo nggak salah sih di Teknik Industri... ato apa yah" Itu sih si
Orion..." Reina bengong mendengar jawaban polos Tante Risa. "Jadi?" tanya Reina lagi setelah
beberapa lama menunggu. "Ng... Tante lupa, Rei. Dulu pas mau masuk kuliah, dia sendiri bingung milih apa sampai kita jadi
nggak tau lagi. Ntar tanyain aja sama anaknya langsung, yah?" katanya, lalu kembali mengaduk
sayur. Reina semakin bingung. Kenapa Tante Risa sampai tidak tahu anaknya kuliah di mana" Tapi
Reina tidak ambil pusing. Mungkin saja Tante Risa memang lupa.
"Terus Tan, anaknya emang nggak suka ngomong, ya?" tanya Reina lagi. "Perasaan dulu nggak
segitunya." "Emang, dari kecil tabiatnya emang kayak begitu. Tepatnya sih, setelah kamu pindah," kata
Tante Risa lagi. "Kamu dijudesin ya" Maklumin aja ya, dia emang bandel."
Reina terdiam sesaat. Ternyata Ares sudah berubah menjadi orang yg dingin. Dulu, Ares
memang tidak banyak bicara, tapi itu kepada semua orang kecuali Reina. Dulu Reina adalah
orang yg paling sering diajak bicara oleh Ares. Entah kenapa, sekarang Ares terkesan menjauhi
Reina, padahal Reina sangat merindukan Ares.
"Dia itu nakal banget, doyan berkelahi," kata Tante Risa lagi, wajahnya mengeruh. "Waktu SMP
sama SMA, dia nggak satu sekolah sama Orion."
Reina berhenti mengupas bawang lalu menatap Tante Risa. "Nggak pernah satu sekolah"
Kenapa?" "Sebenernya Tante masukin dia di sekolah yg sama dengan Orion, tapi dia selalu dikeluarin,"
Tante Risa tersenyum getir. "Kerjaannya berantem melulu. Semua anak pernah ngerasain
bogem mentahnya. Masuk BP sampe berpuluh-puluh kali. Sempet mau nggak naik kelas karna
keseringan bolos, tapi setelah Tante ngelobi pihak sekolah, dia akhirnya bisa naik kelas. Tante
sampe terharu waktu sekolah nyatain Ares lulus SMA. Habis, rapotnya banyakan merahnya."
Reina ikut tersenyum mendengar Tante Risa bercerita. Reina tahu Ares memang lemah dalam
pelajaran, tapi tak menyangka akan pindah sekolah sebanyak itu.
"Ares telat setahun masuk kuliah, soalnya Orion ikut kelas akselerasi," kata Tante Risa lagi,
membuat Reina tertegun. "Atau lebih tepatnya, Orion lebih cepat setahun."
Ares masuk kuliah setahun setelah Orion. Reina tak pernah tahu. Kenyataannya, Reina tak tahu
apa pun tentang Ares lagi.
"Rei." Orion menepuk bahu Reina, lalu duduk di sebelahnya. Tadi sepulang kuliah, Orion melihat gadis
itu sedang duduk sendirian di gazebo.
"Hei," balas Reina sambil tersenyum. "Aku kirain Ares."
Senyumnya segera menghilang dari wajah Orion, tapi detik berikutnya muncul lagi. "Emang
segitu miripnya ya?"
Reina hanya menghela napas. Betapa dia sangat mengharapkan yg tadi datang dan
menyapanya adalah Ares. "Ares belom pulang kuliah ya?" tanya Reina lagi.
Orion menatap Reina lekat2, bertanya-tanya apa yg sudah dilakukan Ares sehingga membuat
Reina sedih seperti ini. "Udah biasa dia hari gini belom pulang. Ntar pulang2 kalo nggak mabok, pasti bonyok," kata
Orion, membuat raut wajah Reina seketika menjadi khawatir. "Becanda kok," ralat Orion. "Paling
lagi latihan nge-band."
Mata Reina membulat. "Nge-band?"
"Iya, dia punya band. Ancur sih, cuma dia nggak mau ngakuin. Udah deh, dari tadi nanyain Ares
mulu. Yg laen!" Orion menyenggol bahu Reina dengan bahunya.
Reina tersenyum lemah. "Abis, dia kayak yg udah ngelupain aku, Ri. Aku kan jadi sedih."
Orion menatap Reina lagi. Gadis ini dari dulu memang lebih memerhatikan Ares daripada Orion,
dan Orion tak pernah mau hal itu terjadi lagi. Ares tak layak untuk mendapatkan perhatian Reina.
Ares sudah memutuskan untuk melupakan Reina, sedangkan Orion tak pernah berhenti
memikirkannya. "Dulu pas kita ketemu di internet, aku udah bilang sama dia, tapi dia cuek aja," kata Orion. "Dan
dia juga nggak pernah nyebut2 nama kamu lagi selama sepuluh taun ini."
Orion sebenarnya tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan Ares, tapi Ares memang melakukan
semua itu. Orion juga tidak mengerti kenapa Ares melakukannya. Bagi Orion, Reina adalah
seseorang yg sangat penting, tapi ternyata tidak begitu menurut Ares.
Reina menggigit bibirnya, menahan tangis. "Oh, gitu," katanya pelan.
"Sori," Orion merengkuh tubuh Reina yg mungil. "Aku nggak bermaksud ngomong kayak gitu.
Tapi nggak ada yg bisa ngerti Ares. Nggak ada seorang pun yg tau apa alasannya ngelupain lo."
Setelah mendengar kata2 Orion, Reina merasakan air mata jatuh di pipinya.
Ares ternyata telah benar2 melupakannya. Reina mendengus miris. Kenapa juga Ares harus
mengingatnya. Reina waktu itu hanyalah gadis jelek berkepang dua.
Dia dan Orion tidak tahu bahwa sudah beberapa saat, Ares mengawasi mereka berdua dari
dalam rumah. Kaleng Pepsi remuk di tangannya, menumpahkan isinya ke segala arah.
Bab 3 I Don't Want Her ARES mengisap rokoknya dalam2 sampai dadanya terasa sesak, lalu mengembuskannya
keras2. Dibenturkannya bagian belakang kepalanya ke pohon sehingga terasa sakit, lalu dia
menengadah ke langit. Tadi, setelah melihat Reina dan Orion bersama di gazebo, Ares segera berjalan kalap keluar
rumah tanpa memedulikan teriakan Ayah, lalu akhirnya sampai di tempat ini, taman tempat Ares,
Reina, dan Orion berjanji sepuluh tahun lalu. Ares juga tidak tahu mengapa kakinya
membawanya ke tempat ini.
Ares berjongkok, bersandar pada pohon yg bertuliskan 'Ares-Rei-Rion', lalu mengisap rokok lagi.
Orion. Dia selalu saja mengambil apa pun milik Ares. Ayah dan Ibu. Semua pemberian Ayah dan
Ibu. Lala. Juga Reina. Ares mendengus keras. Reina. Gadis itu bukan milik Ares. Gadis itu mungkin saja sudah
menjadi milik Orion. Seperti semuanya, Orion tidak akan melepaskan begitu saja Reina yg
pernah menjadi bagian dari hidup Ares.
Masih menjadi bagian dari hidup Ares.
Ares membenturkan kepalanya lagi dengan lebih keras ke pohon untuk menyingkirkan
pikirannya barusan. Reina sudah keluar dari hidupnya sejak sepuluh tahun yg lalu, sejak Reina
memutuskan untuk pergi ke luar negeri. Reina sudah tak ada baginya. Saat ini, yg ada di
rumahnya hanyalah gadis biasa yg akan menjadi kekasih Orion.
"Ares?" Ares menundukkan kepala, melihat siapa yg memanggilnya. Sebenarnya, Ares tak perlu
melakukannya, karna dia sudah tahu dari suaranya.
Reina. Berdiri tepat di depan Ares dengan kedua tangan di depan dada. Ares mendengus
melihat gadis itu, yg lebih terlihat defensif daripada kedinginan.
"Ngapain kamu di sini" Kenapa nggak pulang?" tanya Reina cemas.
"Lo bukan istri gue," jawab Ares spontan, lalu detik berikutnya menyesal telah berkata sesuatu


That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yg akan menjadi fantasinya seumur hidup.
Reina menatap Ares sedih. Ares sekarang sudah tak bisa dikenalinya lagi. Reina mengawasi
Ares yg kembali mengisap rokoknya.
"Rokok nggak bagus lho, buat kesehatan," kata Reina.
"Nggak ada yg peduli sama kesehatan gue," tukas Ares. Bahkan Ares sendiri tak peduli pada
kesehatannya. "Aku peduli," kata Reina tiba2, membuat Ares selama beberapa saat merasakan perhatian yg
tak pernah didapatkannya. Namun detik berikutnya, Ares mendengus.
"Kayak gue percaya," kata Ares datar.
"Kenapa kamu nggak percaya?" tanya Reina.
Ares memandang Reina tak percaya. "Kenapa gue nggak percaya" Pertanyaan bagus. Akting
yg bagus," Ares bangkit dan menghampiri Reina, lalu melewatinya.
"Res," Reina memegang tangan Ares. Darah Ares berdesir, dan detak jantungnya mengalami
percepatan gila-gilaan. "Aku peduli sama kamu."
"Simpen perhatian lo buat Orion," sergah Ares. "Gue udah terbiasa nggak dikasih perhatian."
Saat Ares melangkah menjauh, Reina merasa sesak napas. Reina tidak mau Ares pergi. Reina
sudah menunggu saat yg tepat untuk berdua saja dengan Ares.
"Apa kamu udah ngelupain aku?" sahut Reina membuat langkah Ares terhenti. "Aku harus
denger dari mulut kamu sendiri. Aku nggak percaya sama orang lain! Aku percaya sama kamu!"
Pasti Orion yg sudah memberitahu Reina bahwa Ares sudah melupakan Reina.
"Orion bener. Gue udah ngelupain lo. Lo pikir, gue bakal inget lo terus selama sepuluh taun"
Kayak lo pantes diinget aja," Ares mengirup rokoknya dengan emosi.
Reina hampir menangis. "Kenapa, Res" Kenapa kamu berhenti inget sama aku" Kenapa" Aku
selalu inget sama kamu! Aku nggak pernah berhenti mengharapkan hari itu tiba!" sahutnya
parau. "Hari itu tiba" Hari itu udah lewat, Rei, hampir setengah taun! Lo pikir, pue mau nungguin lo
sampe tua" Yg bener aja! Dan lo selama sepuluh taun inget sama gue" Lo pikir gue bego?"
sahut Ares tak sabar. Kepalanya terasa sangat sakit.
"Res, aku nggak bohong!" sahut Reina, sekarang air matanya sudah mengalir.
Ares membuang rokoknya. "Oh, jadi gue yg bohong" Jadi, lo selama sepuluh taun in
i ngirim surat" Nelepon" Ngasih alamat lo di sana" Ngasih kabar kalo lo masih idup, hah, iya?""
Reina menangis tersedu-sedu. Ares menatapnya sebal, lalu menginjak puntung rokok hingga
nyalanya padam. "Lo tau, lo seharusnya nggak usah dateng lagi ke sini," kata Ares sebelum berbalik dan
meninggalkan Reina yg masih terisak.
Reina merasa lututnya bergetar dan tak kuat lagi menyangganya. Dia terduduk di lapangan
basket yg dingin sambil terus terisak.
Mungkin memang sebaiknya dia tak datang lagi ke sini.
"Mau ke mana kamu?" jerit Ayah begitu Ares memasuki rumah. Jarum jam baru saja bergerak ke
pukul sembilan malam. "Ke kamar," jawab Ares ketus sambil bergerak cepat menuju kamarnya.
"Seharusnya kamu nggak usah pulang!" sahut ayahnya lagi. "Sana tidur di luar!"
"OKE!" Ares balas menyahut dari dalam kamar. Dia memasukkan beberapa pakaian dan buku
ke ranselnya, lalu keluar kamar dan berderap menuju pintu.
"HEH" Anak nakal!! Mau ke mana lagi kamu?" Ayah terdengar semakin berang karna Ares
malah menurutinya. "Katanya tidur di luar! Aku jabanin!" Ares membanting pintu, lalu menghilang di kegelapan
malam. "Anak kurang ajar!" sahut Ayah yg langsung ditenangkan oleh Ibu.
Ibu melirik cemas ke arah Orion. "Ri, Reina mana?"
"Tadi sih katanya mau ke kamar," kata Orion lalu memeriksa kamar Ares. Tak ada siapa pun.
Orion bergerak ke arah kamar mandi, tetapi juga kosong.
Menyadari ada hal yg tidak beres, Orion segera menyambar jaketnya dan berlari ke luar rumah,
menyusuri jalan kompleksnya. Langkah Orion terhenti di depan taman. Reina tampak sedang
terduduk di lapangan basket sambil terisak.
Dada Orion mendadak terasa sakit. Dengan langkah cepat Orion mendekati Reina, melepas
jaketnya, lalu meletakkannya di atas tubuh Reina yg berguncang.
Mendadak, Reina bergeming. Dia tahu itu Orion, wakaupun dia belum melihatnya. Ares tidak
akan melakukan hal seperti ini.
Orion sendiri duduk di depan Reina, lalu mengusap-usap pelan kepalanya. Orion tahu ini
perbuatan Ares. Pasti Ares telah mengatakan sesuatu yg menyakiti hati Reina.
Sesuatu tentang melupakannya.
Ares belum pulang semenjak kejadian semalam. Reina menatap ke luar jendela depan, berharap
sosok Ares akan muncul dari balik pagar. Tapi Ares tak kunjung datang.
"Jangan khawatir, Rei," hibur Tante Risa. "Ares pasti pulang. Dia sering kabur kalo lagi banyak
masalah." Reina hanya mengangguk sambil tersenyum miris, tapi tidak beranjak dari tempatnya semula.
Matanya masih menatap ke luar jendela.
Sementara itu, Orion mengawasinya dari meja makan, tidak habis pikir dengan jalan pikiran
Ares. Ares bahkan kabur dari rumah saat Reina sudah susah2 datang dari Amerika. Orion
mendesah, lalu melangkah menuju Reina.
Orion menepuk pundak Reina pelan. "Rei, ngelamun mulu."
Reina memaksakan senyum, dan itu membuat Orion sedikit sakit hati.
"Kita jalan yuk" Biar nggak bosen. Masa dari Amerika ke sini kerjaannya di rumah mulu," kata
Orion. Reina tampak menimbang-nimbang sebentar, lalu akhirnya menoleh ke arah Orion. "Boleh."
"Ini tempat nongkrong anak2 gaul Jakarta," kata Orion begitu mereka masuk ke salah satu mal
terkenal di Jakarta. Reina memandang mal itu tanpa minat. Sebenarnya, Reina lebih mengharapkan tempat2 yg
lebih nyaman seperti cafe.
"Ri," Reina mencegah Orion memasuki mal itu. "Kita ke kampus kamu aja, yuk?"
"Kampusku" Ngapain?" tanya Orion bingung.
"Ya, aku pengen liat aja kayak apa tempat kamu sama Ares kuliah," kata Reina dengan wajah
memohon. "Ya?" "Ya deh," Orion akhirnya mengalah. "Apa sih yg nggak buat sang ratu?" godanya sambil
mengetok kepala Reina. "Asyik!" seru Reina senang. Dengan demikian dia bisa mengetahui tempat Ares kuliah, dan dia
berharap Ares ada di sana.
"Nih, kampusku," kata Orion setelah akhirnya sampai.
"Wah, gede juga ya," komentar Reina, sambil mengagumi beberapa bangunan yg tampak
menjulang ke langit dan taman besar dengan lapangan basket luas di tengahnya.
"Ayo, kita jalan2," ajak Orion sambil menggandeng Reina.
Sesekali Orion melirik Reina ketika semua orang menatap mereka. Reina sangat cantik
dibandingkan dengan semua gadis di kampus ini, dan Orion bangga karnanya.
"Orion!" sahut seseorang, membuat Orion dan Reina menoleh.
Lala berlari-lari kecil ke arah mereka, raut wajahnya yg tadinya ceria berubah bingung saat
melihat Reina. Orion yg belum melepaskan pegangan dari Reina membuat dahi Lala berkerut.
"Hai, La," sapa Orion santai.
"Hai," balas Lala dingin, lalu melirik Reina yg tersenyum kepadanya. "Hai," sapa Lala kepada
Reina. "Halo," Reina mengulurkan tangannya yg segera disambut Lala. "Reina, temen Orion sama
Ares." "Lala," Lala mengerling Orion. "Temen Orion sama Ares" Kok gue nggak pernah liat?"
"Oh, temen waktu kecil," kata Reina lagi.
"Oh," Lala sekarang melirik tangan kiri Reina yg masih digenggam Orion.
"Ng... Lala liat Ares, nggak?" tanya Reina, membuat ekspresi Lala menjadi curiga.
"Liat sih tadi. Emang kenapa?" tanya Lala.
"Dia kuliah?" sahut Reina, hampir berteriak karna terlalu senang. "Trus dia ke mana?"
"Mana gue tau?" Suara Lala tiba2 terdengar ketus, "Gue duluan ya, ada kelas. Dah," katanya
sambil bergegas pergi. Masih bahagia karna kabar dari Lala, Reina tersenyum lebar. Orion melepaskan genggamannya
dengan sedikit menyentak. Reina menoleh ke arah Orion.
"Aku tau sekarang kenapa kamu ngajak aku ke kampus," Orion berkata dingin.
Reina menatap Orion dengan perasaan bersalah. "Ri, Ares udah nggak pulang dari tadi malem.
Apa kamu nggak khawatir?"
"Kamu nggak perlu khawatir, dia tuh udah gede! Bisa jaga diri! Lagian siapa sih yg mau cari
gara2 sama dia" Dia tuh preman kampus ini!" sahut Orion, mulai emosi.
Reina terdiam beberapa saat. Sadar kalau dia barusan lepas kendali, Orion menarik napas
panjang dan menghelanya. "Sori, tadi aku kelepasan," sesal Orion. "Rei, kamu nggak usah cemas soal dia, oke" Dia pernah
kok nggak pulang sampe tiga hari, dan pulangnya dia baik2 aja. Jadi kamu tenang aja, oke?"
Reina menatap Orion tidak yakin, tapi akhirnya mengangguk. Ares memang jago berkelahi. Pasti
tidak akan terjadi apa2 padanya. Tapi bagaimana kalau dia mencelakakan dirinya sendiri"
Semalam Ares pergi dengan kemarahan, bukan tidak mungkin dia akan melakukan hal2 bodoh.
"Orion!" seru Odi dari kejauhan. Dia berlari menuju Orion dan Reina.
"Kenapa, Di?" tanya Orion.
"Kenapa" Latihan, Ri!" sahut Odi setelah memutar bola mata. "Tadi si Raul udah kegirangan pas
tau lo mau diganti! Lo harus ngelakuin sesuatu!"
"Di, santai aja. Kemaren kan gue udah bilang gue nggak keberatan," kata Orion sambil memberi
isyarat tentang kehadiran gadis di sebelahnya dengan matanya.
Odi melirik Reina yg tampak sedikit bingung.
"Tapi Ri, lo bisa kehilangan posisi itu selamanya! Reno kecewa berat karna lo tiba2 ngundurin
diri," desak Odi membuat Orion terdiam selama beberapa detik, memikirkan wajah pelatihnya yg
galak itu. "Ada apaan sih Ri?" tanya Reina akhirnya.
"Aku bolos latihan supaya bisa nemenin kamu selama kamu ada di sini, Rei. Kapan lagi sih
kamu ke sini," jelas Orion, membuat Reina mengangakan mulutnya.
"Kamu ngapain pake bolos2 segala" Bodoh! Kamu latihan aja!" sahut Reina sambil mendorong
tubuh Orion yg besar. "Ayo sana, latihan! Ntar kamu kehilangan kesempatan!"
"Trus kamu" Aku bakal kehilangan banyak waktu sama kamu kalo aku ikut latihan sama
turnamen!" sahut Orion tidak rela.
"Aku temenin deh pas kamu latihan sama turnamen!" sahut Reina.
Mata Orion segera berbinar. "Wah, serius kamu" Janji?"
"Iya! Udah sana! Dasar manja," kata Reina sambil tersenyum, lalu mengikuti langkah Orion
menuju lapangan basket. Ares mengisap rokoknya dalam2 sambil mengangguk-anggukkan kepala menurut irama lagu
B.Y.O.B milik System of a Down. Saat ini dia sedang berada di atap gedung kampus utama,
tempat yg sebenarnya terlarang bagi mahasiswa, tapi Ares menganggap dirinya penemu tempat
itu. Dari sini, terlihat taman belakang kampus yg luas dengan sebuah kolam besar beserta
beberapa gedung perkuliahan lain.
Ares mengembuskan asap rokok dan berusaha membentuk lingkaran2 kecil dengannya. Ares
menatap cincin2 asap itu yg langsung hilang dan menyatu dengan angin. Musim kemarau ini,
angin bertiup cukup kencang, cukup kencang untuk menggoyangkan rambut ikal setengkuk Ares
ke sana kemari. Ares kembali mengisap rokoknya, mematikan CD player-nya, lalu mengubah posisi duduknya
untuk memandang taman belakang kampus yg luas. Dari sini, Ares sering mendapati Orion
sedang berlatih basket di lapangan basket di tengah taman itu.
Mendadak Ares berhenti mengisap saat melihat sesuatu yg tidak ingin dilihatnya.
Reina. Duduk di bangku penonton, menyaksikan Orion yg sedang berlatih dengan wajah ceria.
Kadang2 Reina bersorak saat Orion berhasil memasukkan bola. Ares mengawasi mereka
dengan pandangan jijik. Ares tak tahu apa yg menyebabkannya tidak cepat2 pergi dan malah mengawasi mereka.
Mungkin karna Ares ingin memandang Reina lebih lama tanpa disadari siapa pun.
Semuanya sudah benar2 berubah. Keadaan sudah tak seperti dulu lagi. Dulu, saat Ares harus
menerima segala ketidakadilan, Reina-lah satu-satunya kekuatan yg dia punya. Saat Reina
pergi, Ares kehilangan semuanya. Sekarang, saat Reina kembali, kekuatan itu malah berbalik
menyerangnya dengan selalu memilih orang yg dari lahir sudah dibencinya. Awal dari segala
ketidakadilan itu. Orion.
Ares tidak bertanya-tanya mengapa Reina memilih Orion. Orion jelas lebih segalanya dari Ares.
Orion hampir tanpa cela. Orion nyaris sempurna. Ares terlihat sangat buruk bila disandingkan
dengan Orion. Dan gadis seperti Reina tidak mempunyai alasan untuk tidak bersama orang
seperti Orion. Ares tidak berharap apa pun. Ares tidak biasa berharap. Ares sudah berhenti berharap. Dia
pernah melakukannya beberapa kali saat masih kecil, tapi harapan itu tidak pernah terjadi. Ares
pernah berharap Ayah dan Ibu datang saat pengambilan rapor, tapi mereka berdua tidak datang
karna harus menghadiri pengambilan rapor Orion yg menjadi juara kelas selama hidupnya. Ares
pernah berharap pergi sekeluarga ke Dufan saat libur kenaikan kelas, tapi Ayah dan Ibu terlalu
sibuk mengajak Orion berjalan-jalan, sementara Ares ditinggal di rumah karna tidak bisa
menghabiskan buku bacaan yg disuruh Ayah.
Ares suah tidak tahu lagi bagaimana caranya berharap. Karna itu, dia tidak mau mengharapkan
apa pun lagi dari seorang Reina, apalagi berusaha untuk merebutnya dari tangan Orion. Di mata
Ares, Reina juga merupakan seorang pengkhianat. Dan Ares tidak memercayai siapa pun lagi.
Reina bersorak lagi saat Orion berhasil mencetak angka, membuat Ares tersadar dari
lamunannya. Orion berlari menuju Reina dengan cengiran bangga, berhenti di depannya, lalu
Reina mengacak rambutnya seolah Orion seekor anak anjing yg berhasil menangkap frisbee.
Res, aku peduli sama kamu! Kata-kata Reina terngiang di telinga Ares, membuat Ares
mendengus keras. Peduli apanya" Ares bangkit dengan gerakan menyentak, lalu segera pergi
dari tempat itu. "Res, bagi rokok dong."
Ares mengeluarkan kotak rokoknya, lalu melemparkannya kepada Dipo -teman satu band-nyayg menangkapnya dengan gesit. Sementara itu, Wanda, anggota band-nya yg lain,
mengamatinya dari pojok ruangan. Saat ini, mereka sedang berada di gudang rumah Wanda yg
dijadikan markas band mereka.
"Res, lo kabur lagi?" tanya Wanda.
Ares hanya mengangguk sambil memetik gitarnya.
"Kayaknya masalah lo cukup gawat. Emang apaan sih?" tanya Dipo.
"Nggak usah ikut campur," kata Ares datar sambil bangkit. "Ayo, kita berangkat ke kelab. Ntar
telat gak dapet bayaran, lagi."
Dipo dan Wanda berpandangan sebentar, mengedikkan bahu, lalu mengikuti Ares.
Reina menatap ke luar jendela. Ares masih belum pulang walaupun hari sudah larut. Reina
melirik jam tangannya dengan gelisah. Pukul sepuluh malam.
"Rei, nggak usah sekhawatir itu," kata Orion, lalu menguap. "Paling dia lagi manggung."
Reina menatap Orion ingin tahu, tapi segera mengubah ekspresinya agar Orion tidak curiga.
"Oh," kata Reina seolah tak peduli. "Emangnya suka manggung di mana?"
"Di The Club, kali. Itu kelabnya orang2 katro," Orion kembali menguap, tak menyadari Reina
mengangguk-angguk. "Rei, tidur sana. Udah malem."
"Iya deh," kata Reina, lalu melangkah riang ke dalam kamar Ares.
Setelah berada di dalam kamar, Reina segera mengunci pintunya, lalu melangkah cepat menuju
kopernya dan mengeluarkan baju2 andalannya. Setelah menemukan sebuah setelan cantik,
Reina mengenakannya dan memoles wajahnya dengan make up tipis. Reina kemudian
membuka jendela kamar Ares dan tersenyum simpul.
Memang jendela khas anak nakal yg sering kabur. Jendela kamar Ares terbuka lebar tanpa
memiliki teralis. Reina dengan mudah melompat keluar, lalu dengan langkah berjingkat, dia
bergerak menuju pagar dan melompatinya.
Reina menelepon penerangan, meminta nomor telepon taksi. Setelah berhasil memesan taksi,
dia menunggu di kegelapan. Angin malam yg berembus membuat Reina merasa bulu kuduknya
berdiri. Dia tak pernah melakukan hal yg menegangkan seperti ini, tapi dia melakukannya demi
Ares. Tak lama taksinya datang, dan Reina bergegas masuk.
"The Club ya Pak," kata Reina, dan taksi pun bergerak maju.
"Makasih, Pak," kata Reina setelah memberi uang kepada sopir taksi.
Reina menoleh ke belakang dan mendapati sebuah kelab malam yg ramai pengunjung dengan
papan nama besar 'The Club'. Walaupun demikian, kelab ini tidak seperti kelab2 mewah seperti
yg sering Reina liat di serial TV Amerika, tapi lebih seperti kelab untuk kalangan menengah ke
bawah mencari hiburan. Reina sempat bimbang apa kelab ini yg dimaksud Orion.
Reina melangkahkan kaki ke pintu kelab yg dijaga seorang laki2 bertubuh besar. Sebuah tangan
tahu2 menjawil lengan Reina.
"God!" seru Reina kaget.
Reina mendelik ke arah segerombolan preman yg kira2 seusianya. Anak2 itu menatap balik
Reina dengan tatapan bernafsu. Reina bergidik sebentar, lalu berlari menuju penjaga pintu.
"ID," kata penjaga itu dengan suara berat.
Reina menyerahkan pengenalnya yg berupa kartu pengenal penduduk Amerika Serikat. Penjaga
itu mengernyit sebentar, lalu memindai Reina. Detik berikutnya, dia mengedikkan kepala yg
artinya membolehkan Reina masuk.
Reina memasuki tempat itu dengan riang, kepalanya dipenuhi pikiran2 bahagia karna akhirnya
akan bertemu dengan Ares. Dia kemudian mengambil tempat di depan meja bar. Kelab ini penuh
sekali. "Ya, berikutnya, kita akan ber-headbanging bersama The Forsaken!!" seru sang MC, membuat
Reina menoleh ke arah panggung.
Ares tampak bergerak ke atas ke panggung tanpa ekspresi sementara semua orang bersorak
riuh. Reina tiba2 paham. Kelab ini ternyata tempat berkumpul para pecinta rock. Hampir semua
orang yg ada di sini berdandan ala punk dan rock star, sementara Reina mengenakan sebuah
blus berenda dan rok mini yg juga berenda. Pantas dari tadi ada saja yg terus memerhatikannya.
Walaupun demikian, Reina ikut bersorak saat Ares bergerak menuju mikrofon. Ares menarik
napasnya sebentar, lalu mengembuskannya sambil menyapukan pandangan ke arah kerumunan
di depan panggung. Detik berikutnya, dia tersentak.
Reina. Ada di depan meja bar, tepat di depannya. Ares memejamkan matanya -berharap ini
sekadar ilusi- tapi gadis itu masih ada di sana saat dia kembali membuka mata, sangat kentara
dengan baju warna pink-nya. Reina melambai ke arah Ares.


That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama beberapa detik, Ares serasa mati rasa, sampai Dipo menyenggolnya.
"Res, ngapain lo?" bisiknya.
Ares tersadar, lalu sekali lagi menarik napas panjang. Ares akan bersikap seolah tidak ada siapa
pun di depannya. Tidak ada Reina. Sama seperti malam2 sebelumnya.
Tapi... sedang apa dia di sini"
"Res!" bisik Dipo lagi, dan Ares tau dia harus memulai pertunjukannya.
"Oke," kata Ares dengan suara berat khas perokok-nya. "Selamat malam. Malam ini, The
Forsaken bakal ngebawain lagu baru, dan lagu ini agak slow. Buat yg mau head banging, sori
mengecewakan." Perkataan Ares disambut keluhan bercanda dari berbagai pihak. "Judulnya, I
Don't Want Her." Penonton bersorak riuh dan mulai menyalakan korek masing2 saat lampu diredupkan. Reina
sampai menganga. Dia tidak menyangka band Ares bisa sehebat ini, membuat orang2 mau saja
mengikuti musiknya. Ternyata The Forsaken sudah memiliki fans tetap. Reina ingin ikut
memberikan cahaya, tapi dia tidak mempunyai korek api.
"Ten years ago, there was a girl
She was bright like a star in the sky,
She gave me strength, gave me hopes
We had a promise to be Always together But then she went away Far, far away, without a trace
I've been waiting for her everyday
Dreaming of her every night
Picturing her face" Reina merasakan air matanya mengalir saat mendengar Ares bernyanyi. Suara Ares memang
tidak begitu bagus, tapi bukan itu yg Reina permasalahkan. Lagu ini adalah lagu untuk Reina,
Reina tahu betul itu. Ares menatap Reina lurus2 selama menyanyikan lagu itu. Dia tidak punya pilihan lain. Ares tidak
menyangka Reina akan datang. Ares juga tidak menyiapkan lagu lain.
"Now she comes, and I don't want her
She's so fine and all that, but that don't impress me
She said she'd come back but she never came
Now she returns, but I don't want her"
Reina menangis lebih keras. Lagu ini diciptakan Ares. Pasti lagu ini diciptakan berdasarkan
perasaannya. "She's staring at me and sayin'
'I care about you, I really do'
but that doesn't work to my frozen heart
She made it that way, she broke it once
And now, I don't want her anymore"
Ares menyudahi lagunya, dengan permainan gitarnya yg mengagumkan. Ares berusaha keras
untuk bermain gitar, padahal dulu Ares ingat betapa susahnya menghapal semua kunci dan
chord. Semua orang bertepuk tangan riuh begitu Ares selesai membawakan lagu. Ares menunduk
untuk memberi penghormatan atas apresiasi para penontonnya, lalu turun dari panggung dan
berderap menuju Reina. Reina sendiri sudah berhenti menangis, tapi masih menggigit bibirnya. Dia menatap Ares yg
sekarang sudah berdiri tepat di depannya dengan ekspresi marah.
"Ngapain lo" Sama siapa lo ke sini" Dari mana lo tau gue di sini?" cecar Ares emosi.
Reina tidak langsung menjawab. Dia menatap Ares lama. "Res," katanya lirih. "Apa bener" Apa
bener kamu udah nggak menginginkan aku lagi?"
Ares menatap Reina sejenak, lalu membuang pandangannya. "Lo denger sendiri lagunya," kata
Ares dingin. "Sekarang, jawab pertanyaan gue. Gimana lo bisa sampe sini?"
"Res, aku nggak ada maksud nggak ngasih kamu kabar!" sahut Reina, tangisnya kembali pecah,
membuat beberapa pengunjung menoleh.
"Jadi?" tanya Ares. Dalam hatinya, dia sangat ingin mendengarkan penjelasan Reina. Secuil
sinar harapan tiba2 muncul di dalam hatinya yg gelap.
Reina tidak menjawab walaupun ingin. Air matanya terus mengalir tanpa bisa dikendalikan. Ares
segera tahu Reina sebenarnya tak ingin memberikan penjelasan apa pun.
"Lo tau," kata Ares sambil memandang tajam Reina yg masih terisak. "Persetan dengan ini
semua. Lo nggak harus kasih penjelasan apa pun."
Ares beranjak pergi, tapi Reina menahannya. Darah Ares kembali berdesir saat tangan Reina
menyentuh tangannya. "Res, ayo pulang," kata Reina di tengah isakannya.
Ares memicing Reina. Gadis ini jelas tak paham dengan kata2 Ares barusan.
"Gue ada kerjaan. Gue balik kalo gue mau balik," Ares menepis tangan Reina. "Lo pulang aja
sendiri." "Res, ini bukan tempat yg cocok buat kamu," Reina memerhatikan beberapa laki2 yg sedang
merepet karna mabuk. "O ya?" sergah Ares. "Trus di mana tempat yg cocok buat gue, hah" Di rumah?" Tawa Ares
membahana, membuat Reina bingung. Ares mendekati Reina dan memandangnya tepat di
mata. "Lo denger ya. Ini satu-satunya tempat yg cocok buat brengsek kayak gue. Lo yg nggak
cocok di sini." Reina membalas tatapan Ares dengan berani. "Kamu pikir aku nggak bisa kayak mereka?" tanya
Reina marah. "Mas, bir-nya segelas."
Ares melongo melihat Reina yg tiba2 memesan bir. Sebelum bir itu sampai di tangan Reina,
Ares sudah meraih tangannya dan menariknya ke luar kelab. Reina mengikuti Ares dengan
segumpal harapan bahwa Ares akan pulang.
Ares membawa Reina ke pelataran parkir, lalu melepaskannya di depan sebuah boks telepon
umum. Ares mengeluarkan uang receh, lalu menelepon taksi. Reina secepat mungkin
memutuskan pembicaraan Ares.
"Ngapain sih lo?" tanya Ares kesal.
"Kamu yg ngapain" Siapa yg bilang aku mau pulang?" tanya Reina.
"Lo harus pulang," Ares kembali memasukkan uang receh, dan Reina lagi2 menggagalkan
usahanya. Ares menarik napas panjang, mengembuskannya, lalu melangkah ke luar boks telepon. Dia
mengeluarkan rokok, menyalakannya, lalu mengisapnya dalam2 supaya tidak terbawa emosi.
Reina memerhatikannya lekat2.
"Rokok nggak baik buat kesehatan, Res." Reina mengulang apa yg pernah dikatakannya di
taman. Ares meliriknya sebal. "Nggak usah pake nentuin apa yg terbaik buat gue. Lo bukan siapa2."
Reina menatap Ares yg asyik mengisap rokoknya sambil bersandar ke kap sebuah mobil. Ares
terlihat seperti seorang anak yg sangat kesepian dan butuh perhatian. Reina ingin sekali
memeluknya. Reina berjalan mantap mendekati Ares.
"Kamu kesepian," kata Reina.
Ares menatap Reina tajam. "Bener. Lo bener. Seumur hidup gue, gue kesepian. Jadi sekarang
lo nggak usah berusaha keras mengubah sejarah itu."
Reina terdiam tapi tetap membalas tatapan Ares yg hanya berjarak setengah meter darinya.
Ares kembali mengembuskan asap rokoknya, sengaja mengarahkannya ke wajah Reina. Reina
segera saja terbatuk, tapi Reina berusaha menyembunyikannya.
Kesal, Reina mencabut rokok yg sedang dipegang Ares, lalu membuangnya ke aspal. Ares
bengong sesaat, lalu memutuskan untuk tidak peduli dan menyalakan sebatang lagi. Reina
dengan sigap membuangnya lagi. Begitu terus sebanyak empat kali. Saat Reina membuang
rokok keempatnya, Ares tak mengeluarkan rokok lagi.
"Lo apaan sih"! Semua gue beli pake duit, tau!" sahut Ares kesal.
"Ya, trus kamu bakarin semua," tukas Reina.
Ares tak berkomentar. Dia hanya memandang Reina sebal sebentar, lalu kembali menyalakan
rokok, tak mengacuhkan tatapan Reina yg menajam.
"Jangan ngerokok lagi," kata Reina setengah memohon.
"Kalo nggak?" tantang Ares sambil bermaksud mengisap rokok yg sudah nyala.
Reina menatap Ares dengan mata berkilat-kilat, lalu dengan nekat menyambar rokok Ares. Tapi,
dia tidak membuangnya. Reina mematikan rokok itu dengan menggenggamnya. Ares terbelalak
melihat tindakan Reina. Reina meringis saat rokok itu membakar telapak tangannya.
Telapak itu terbakar kehitaman. Ares segera membuang puntung rokoknya yg tadi digenggam
gadis itu, lalu meniup tangan Reina yg melepuh. Reina malah tersenyum melihat sikap Ares.
Menyadari ekspresi Reina, Ares menatapnya sebentar, lalu berhenti meniup.
"Lo gila," keluh Ares, lalu menggandeng Reina menuju kelab untuk mencari obat-obatan.
Reina berjalan di belakang Ares tanpa berhenti tersenyum. "Susah juga ya ngedapetin perhatian
kamu," katanya jenaka. "Aku harus menderita dulu."
Ares tidak menjawab. "Welcome home," kata Reina riang setelah mereka sampai di depan rumah.
Tadi Reina telah meyakinkan Ares untuk kembali ke rumah setelah mengancam untuk naik ke
atas meja bar dan menari kalau Ares tidak mau pulang. Ares tidak punya pilihan lain selain
menurutinya. Ares meloncati pagar rumahnya, tapi tidak berusaha membantu Reina. Reina cemberut
sebentar, lalu ikut memanjat pagar. Ares membuka jendela kamarnya yg gelap dan
memanjatnya. Mendadak, lampu kamar dinyalakan saat Ares baru masuk. Ayah, Ibu, dan Orion
ternyata sudah menunggu di sana dengan ekspresi yg tak dapat ditebak.
Ares membatu saat melihat mereka. Detik berikutnya, Reina melemparkan tasnya ke dalam
kamar lalu ikut memanjat jendela. Ares merasa sebentar lagi hidupnya pasti berakhir.
Reina berhasil memanjat jendela, tapi langsung tersentak saat melihat kedua orangtua Ares dan
Orion. Reina buru2 melirik Ares yg sedang menatap nanar keluarganya.
"Ares ke kamar Ayah sekarang. Ayah mau bicara," kata Ayah dingin.
Ares langsung tahu apa yg akan terjadi selanjutnya. Dulu, Ares pernah dihajar habis-habisan
saat Orion tidak sengaja tercebur ke selokan dan kepalanya terbentur. Itu hanya hukuman karna
Ares dianggap telah lalai menjaga adiknya. Sekarang, Ares pasrah jika dianggap membawa
kabur seorang gadis di tengah malam.
Jadi, Ares bergerak mengikuti Ayah. Reina berusaha menahan Ares dengan meraih tangannya yg langsung ditepis.
"Om, Ares nggak salah!" seru Reina, hampir menangis.
"Reina, kamu tidur saja," kata Ayah terdengar lelah.
Ares mendahului Ayah memasuki kamarnya. Ares segera meneguk ludah, ingat kalau dia
memiliki banyak kenangan pahit di kamar ini. Ares pernah dipukul dengan sapu lidi. Dia juga
pernah dilecut dengan ikat pinggang.
Belum selesai Ares mengingat semua kenangannya, Ares merasakan tamparan keras pada pipi
kirinya. Lalu pipi kanannya. Ares tidak berusaha melawan walaupun hatinya teramat ingin. Ares
sudah terlalu terbiasa disalahkan atas sesuatu yg tidak diperbuatnya.
"DASAR KAMU MEMANG ANAK KURANG AJAR!" sahut Ayah dengan volume yg membuat
telinga Ares berdenging. "BERANI-BERANINYA NGAJAK REINA KABUR!!"
Ares menatap Ayah berani. Wajah Ayah sudah memerah karna marah. Entah mengapa Ares
tidak bisa membalas jika melihatnya. Ayah sudah tua. Ayah yg disayanginya. Dulu,
disayanginya. Sebelum dia mulai menarik diri.
Pipi kiri Ares ditampar lagi, kali ini cukup keras sampai membuat bibir Ares robek dan gusinya
berdarah. Ares menatap Ayah yg sudah terengah-engah. Ayah punya penyakit jantung.
"Apa nggak capek kamu bikin Ayah marah, Res?" tanya Ayah setelah emosinya mereda. "Udah,
sana keluar," perintah Ayah tanpa menunggu jawaban Ares. "Ayah nggak pengen denger kamu
bikin masalah apa pun lagi."
Ares melangkah keluar dari kamar dengan darah menggelegak di kepalanya. Reina ada di ruang
keluarga, begitu pula Ibu dan Orion. Reina langsung menekap mulutnya sendiri saat melihat
Ares. Ibu juga terlihat khawatir, tapi Ibu tak pernah melakukan apa pun dan cuma meremasremas tangannya sendiri.
"Res, kamu baik2 aja?" Reina menghamphri Ares. "Sini aku bersihin-"
Tangan Reina sudah dipegang oleh Orion sebelum sempat sampai ke wajah Ares. Reina
menoleh kepadanya. "Masuk kamar, Rei. Udah malem. Kamu harus tidur," Orion menggiringnya ke kamar Ares. Reina
hanya bisa mengikutinya tanpa mengalihkan pandangannya dari Ares.
Orion menatap Ares benci setelah Reina masuk ke kamar, lalu masuk ke kamarnya sendiri tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah Orion menghilang, Ares bergerak menuju sofa -yg sudah beberapa hari ini menjadi
tempat tidurnya. Dia duduk di sebelah Ibu yg terlihat salah tingkah. Mendadak, Ibu bangkit.
"Tidur ya, Res," katanya, lalu masuk ke kamarnya tanpa melihat Ares.
Ares merebahkan dirinya ke sofa, lalu seketika semua lukanya terasa sangat menyakitkan.
Luka2 saat kecil, luka2 saat remaja, luka2 yg baru saja berbekas, semuanya mendadak terasa
oleh Ares. Pipinya yg berdenyut terasa hangat karna air matanya. Ares tak berusaha menghapusnya.
Semakin banyak air mata yg keluar. Yg bisa Ares lakukan hanyalah membiarkannya.
Ares terbangun sangat siang keesokan harinya. Semua keluarganya sudah sibuk dengan
aktivitasnya masing2, begitu pula Reina. Begitu Ares membuka mata dan melemparkan
pandangan ke arah meja makan, Ares menangkap Reina sedang memerhatikannya. Ternyata
sudah waktunya makan siang.
"Makan siang, Res," kata Ibu. "Tapi lukanya dibersihin dulu."
Ares merasa tidak berselera untuk makan. Dia masih merasakan darah di mulutnya. Tapi Ares
akhirnya bangkit untuk mencuci mukanya dan membersihkan lukanya. Setelah itu, Ares
bergabung dengan semua orang di meja makan. Ares tidak berusaha melihat Reina.
Sebenarnya, Ares berusaha untuk tidak melihat siapa pun dan berkonsentrasi pada piringnya.
Semua orang sepertinya bersikap tak pernah terjadi apa pun.
Makan siang berjalan begitu tenang. Tak seorang pun ingin membuka pembicaraan. Ares yg
pertama kali menyudahi makannya, bergerak ke gazebo untuk menjauhkan diri dari semua
anggota keluarganya. Baru beberapa menit Ares menatap taman, Reina muncul. Ares sedang sangat tak ingin bertemu
dengannya, terutama setelah semalam Ares dihabisi karna dirinya. Tampak tak menyadari itu,
Reina mengambil tempat duduk di depan Ares. Ares harus mengalihkan pandangannya ke arah
kolam renang. "Res, aku udah cerita yg sebenernya sama mereka," kata Reina. "Dan mereka percaya sama
aku." Ares mengangguk-anggukkan kepala. "Mereka percaya lo tapi nggak kasih kesempatan buat
gue cerita," gumam Ares, tak tampak kecewa. "Dan siapa pun terlalu gengsi untuk minta maaf."
Reina tampak serba salah setelah Ares mengatakannya. Ares melirik Reina sebentar. "Lo nggak
perlu ngerasa bersalah. Gue udah terlalu terbiasa sama itu semua."
"Res, aku minta maaf," sesal Reina. "Gara2 aku-"
"Bukan gara2 lo," sambar Ares cepat. "Nggak ada lo juga, ini selalu terjadi. Lo cuma ada di
tempat dan waku yg salah."
Reina mengamati sosok yg terlihat tegar itu. Ares sebenarnya menderita. Reina bisa merasakan
itu. "Res, aku mau ngebantu kamu," kata Reina sungguh2.
"Gue baik2 aja," sergah Ares sambil mengernyitkan dahi.
Tapis Ledok Membara 1 Rajawali Emas 26 Tumbal Nyawa Perawan Pulau Rahasia 3
^