Pencarian

Tapis Ledok Membara 1

Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara Bagian 1


TAPIS LEDOK MEMBARA Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Serial Pendekar Kelana Sakti
Dalam Episode 001 :
Tapis Ledok Membara
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Suara-suara teriak para penyabung ayam memekakkan telinga. Saat dua ekor ayam
jago bertarung saling hantam.
Sekeliling arena pertarungan yang cukup besar itu dipagari oleh sederetan
batang-batang bambu yang dilapisi karung. Membatasi orang-orang yang menyaksikan
pertarungan itu. Teriakan mereka semakin menjadi ketika seekor ayam jago
berwarna hitam kemerahan menghantam lawannya. Beberapa lembar bulu
beterbangan.... Nampak ayam yang terkena jalu si jago hitam bergulingan
kelojotan, tapi ia masih bisa bertengger dengan kekar walaupun di bagian
sayapnya mulai mengeluarkan darah. Bagaimana tidak..." Masing-masing pada kaki
dua jaLgo itu terikat sepasang pisau kecil yang bukan main tajamnya. Banyak yang
menggerutu namun lebih banyak orang yang kegirangan.
Diluar dugaan, ayam yang sudah
terluka itu melompat membentangkan kedua sayapnya. Paruhnya yang runcing setajam
pedang, mencocor batang leher si hitam.
Kembali sekeliling arena itu riuh. Ada juga yang berjingkrak-jingkrak menyum-
pah. Kembali kedua jago itu saling berhadapan, dengan bulu-bulu leher berdiri
tegang. Kedua kakinya pun mulai bersiap-siap menerjang.
"Breeet...!"
Hantaman itu beradu keras, keduanya berpentalan. Si Hitam nampak tegar beringas.
Lawannya, jago berwarna putih bercampur abu-abu seloyongan mundur.
Sayap kirinya memerah bercampur darah.
Mendadak si Hitam menyerang lagi.
Hantaman jalunya tepat mengenai punggung lawannya. Darah pun mengalir lagi. Si
putih makin limbung. Langkah-langkahnya mulai goyah. Si Hitam yang masih garang
melompat menghantam dengan jalu
pisaunya. Semua orang sudah menyangka dan menatap ngeri. Sudah pasti leher si
Putih bakal putus...! Tapi ini tidak! Si Putih
Bergeserke kanan, sehingga
serangan itu dapat dielakkannya. Bahkan dalam kesempatan itu si Putih berhasil
membalas serangan itu dengan terjangan dua kaki. Kedua jalu pisaunya yang nampak
berkilat terlihat jelas menghantam dada si Hitam.
Siapa menyangka kalau si Putih yang sudah terluka parah itu masih dapat
melancarkan serangan balasan demikian mantapnya. Seluruh arena itu jadi semakin
bising. Para pencandu sabung ayam saling tuding meremehkan.
Si jago Hitam meskipun terluka di dadanya, ia nampak tenang. Seakan luka-luka di
dadanya itu tidak berarti sama sekali. Bulu-bulu di lehernya meregang. Si Putih
yang nampak lunglai mengais-ngaiskan sebelah kakinya. Di saat si Hitam datang
menyerang, si Putih
melompat dengan disertai sabetan jalu pisaunya.
Semua orang berhenti
berteriak. Semua mata memandang seakan tidak pereaya dengan apa yang mereka
lihat. Leher si Hitam putus! Tubuh ayam hitam berkelojotan, sesaat kemudian ia
diam tak berkutik.
Belasan orang melompati pagar karung sambil
berjingkrak jingkrak kegirangan.
Ki Sapta Nrenggana melotot seakan tidak percaya. Si jago Hitam miliknya tewas
begitu saja oleh lawannya. Ia menggeram sadis. Kedua telapak tangannya mengepal
erat menimbulkan gemeretak yang sangat kencang.... Seorang anak muda masuk dalam
arena persabungan itu... Ia memapah si Putih. Senyumnya terarah pada Ki Sapta
Nrenggana. Anak muda itu berjalan mendekati Ki Sapta Nrenggana.
Dengan senyum anak muda itu menjulurkan telapak tangannya. Ki Sapta Nrenggana
melemparkan sekantung uang logaman. Lalu dengan kesal ia meninggalkan arena
sabung ayam. Pemuda itu tidak perduli, ia pun melangkah dengan dikerubuti
orang-orang yang menyaksikan sabung ayam tadi. Maksud mereka ingin minta perse-
nan. Pemuda itu mengambil separuh dari isi kantong yang diberikan oleh Ki Sapta
Nrenggana. Kemudian membagikannya pada orang-orang itu. Kebanyakan dari mereka
mengelu-elukan si Putih. Tentu saja untuk mengambil hati si pemuda.
"Wuaaah.... Hebat benar ayam aden.
Jago Ki Sapta Nrenggana yang tak
terkalahkan itu akhirnya tewas juga di tangan si Putih. Benar-benar luar biasa."
kata Bayan, lelaki kurus tinggi yang selalu mengawal ke mana pemuda itu pergi.
"Itu namanya mujur, Mang Bayan.
Sebenarnya kita sudah kalah. Coba kau lihat
" jawab pemuda itu sambil
mengangkat ayam jagonya. Mang Bayan mengernyitkan alis.
"Nafasnya sudah kembang kempis.
Mungkin si Putih tidak akan bertahan la-ma. Aku yakin sampai di rumah pun tak
akan tertolong. " kata pemuda itu lagi.
"Kalau begitu cepat-cepat saja kita pulang, biar bisa motong ayam" usul Mang
Bayan. Pemuda itu pun melangkah. Mang Bayan ikut mengiringi di samping kanan.
"Makan ayam piaraan sendiri rasanya kurang enak, Mang"
"Jadi harus diapakan ayam itu, den"
Sayang kalau mati begitu saja"
"Bagaimana kalau dikasihkan orang saja...?"
Keduanya nampak menjauh mening-
galkan tempat itu.
Sekantung uang tidak ada artinya
bagi Ki Sapta Nrenggana. Kalau tadi dia merasa marah, bukan karena uang itu.
Tapi soal ayam kesayangannya. Siapa yang menyangka jago yang selama ini tak
terkalahkan, kini harus menerima
kematian dengan kepala yang terpisah.
Belum pernah ada kejadian seperti itu.... Itu yang membuat Ki Sapta Nrenggana
mendongkol. Selama dalam perjalanannya ia berpikir, bahwa ia akan sekali lagi
bertaruh dengan pemuda tadi.
Dan berharap dapat membalaskan kematian si Hitam.
* * * Ki Dulang Sungkar tersentak kaget di dalam kedainya. Ia melihat dua orang anak
buah Ki Sapta Nrenggana datang
menghampiri. Tiga orang yang sedari tadi asyik menikmati hidangan di kedai Ki
Dulang Sungkar langsung ngibrit ketika melihat dua orang yang baru datang. Ki
Dulang Sungkar tetap tenang. Ia
pura-pura menyibukkan diri membereskan perabotan. Setelah dua orang itu duduk
menghadapi meja yang penuh tersedia makanan. Barulah Ki Dulang Sungkar menyambut
ramah. "Ah.... Ada tamu rupanya. Silahkan.
Silahkan dimakan kue-kuenya. Sebentar akan saya buatkan kopi...."
"Tidak usah repot-repot, Ki. Kita langsung saja pada persoalan Ki Sapta
Nrenggana" kata salah seorang yang duduk di hadapannya.
"Oh.... Soal itu.... Sa... saya belum membicarakannya pada Maladewi anak
saya...." "Apa..." Jadi kapan soal lamaran Ki Sapta Nrenggana bisa dibicarakan" Apa Ki
Dulang sengaja mau mempermainkan majikan kami..." Jangan cari penyakit, Ki....
Turuti saja apa kemauan Ki Sapta
Nrenggana...."
"Bukan begitu.... Kalian sendirikan tahu.... Maladewi gadis yang macam
bagaimana" Saya sendiri sebagai orang tuanya sangat sukar mengaturnya....
Keras kepala...." kata Ki Dulang Sukar membohongi.
"Kami tidak perduli, Ki.... Ki Sapta Nrenggana pun lebih keras kepala
lagi.... Ini keputusan yang terakhir....
Hari ini beliau menginginkan Maladewi...
jelas bukan..." Mana anak gadismu....
Suruh dia keluar dan ikut bersama kami...."
"Dia tak ada di sini.... Dia...."
"Bohong...!" bentak salah seorang anak buah Ki Sapta Nrenggana. Telapak
tangannya menggebrak meja.
"Jangan sampai kami bertindak kasar, Ki.... Kami tahu.... Kau tidak menyukai Ki
Sapta Nrenggana. Sungguh bodoh...! Beliau orang terkaya di kampung ini, kalau Ki
Dulang menerima lamarannya. Hidup kalian tak akan kekurangan semacam ini.
Ayolah, Ki. Kami sudah cukup sabar. Suruh keluar anak gadismu"
"Saya mengerti.... Saya mengerti.
Tapi Maladewi sendiri yang tidak
menyukai. Mungkin ia belum berminat untuk berumah tangga, jadi...." Belum habis
Ki Dulang Sungkar bicara, salah seorang yang bertubuh tegap mencengkram kerah
baju Ki Dulang.
"Mau tidak mau, Maladewi akan kami bawa. Itu keputusan kami!" orang itu bicara
lantang. Ki Dulang Sungkar gelagapan.
Pada saat itu dari dalam kamar
keluar seorang gadis cantik. Tentu saja gadis ini khawatir terhadap ayahnya,
untuk itulah ia keluar. Apalagi ia tahu orang-orang bawahan Ki Sapta Nrenggana.
Melihat kemunculan gadis yang tak lain adalah Maladewi, kedua orang anak buah Ki
Sapta Nrenggana melotot. Tidak habis-habisnya mereka memandangi gadis itu.
"Lepaskan ayahku.... Lepaskan...!"
Maladewi langsung melabrak orang yang mencengkram kerah baju ayahnya. Tapi orang
itu malah semakin kuat
mencengkram. S-kalipun
Maladewi mengerahkan seluruh tenaganya.
"Kau membohongiku, Ki....
Jelas-jelas Maladewi ada di sini, tapi kau katakan tidak ada... Dularata pantang
untuk dibohongi...." kata-kata itu begitu tenang. Tapi kedua tangannya yang
kekar melempar keras tubuh Ki Dulang Sungkar ke luar kedai. Maladewi memekik
melihat ayahnya bergulingan di tanah.
Dularata menyeringai.
"Surakarma...! Bawa gadis itu...!"
Dularata memerintahkan temannya. Orang yang dipanggil Surakarma menurut. Dengan
kasar ia menarik tubuh Maladewi.
"Hari ini aku enggan membunuh. Aku masih
menghormatimu sebagai mertua
majikan kami..." nada bicara Dularata selalu tenang. Tanpa membantu Ki Dulang
Sungkar berdiri, mereka meninggalkan tempat itu.
Maladewi meronta-ronta dalam
dekapan Surakarma. Belum sempat mereka keluar dari pelataran kedai sesosok
bayangan berputar di udara kemudian berdiri tegak di hadapan mereka.
Dularata maupun Surakarma tidak yakin dengan penglihatan mereka sendiri. Di
hadapan mereka telah berdiri sosok tua Ki Dulang Sungkar.
"Surakarma... Lepaskan anakku..!"
Suara yang keluar dari mulut Ki Dulang Sungkar terdengar jelas. Tapi mana mau
Surakarma melepaskan Maladewi.
"Apa kau tuli Surakarma..." Kataku lepaskan anakku...!" katanya lagi.
"Huh...! Baru bisa berjumpalitan di udara saja sudah berani menggertak.
Menyingkirlah Ki Dulang. Aku si Dularata tidak pernah kenal takut"
"Bagus...! Orang-orang yang pernah kuhadapi, rata-rata tidak mengenal rasa
takut. Tapi orang-orang yang kuhadapi bukan orang-orang seperti kalian.
Berani, Nekad, Sadis. Hanya karena mata
uang. Sungguh memalukan..." kata Ki Dulang Sungkar. Mendengar kata-kata itu
Dularata melotot nanar!
"Ki Dulang Sukar...."
"Aku tahu apa yang akan kau
tanyakan, Dularata...." belum habis Dularata bicara Ki Dulang Sungkar langsung
memotong. "Aku si tua renta Dulang Sungkar pernah menyandang gelar Samber Nyawa".
Mungkin kalian tidak pernah
mendengar nama besar itu. Sekarang akan kutunjukkan pada kalian. Biar mata
kalian terbuka..." Ki Dulang Sungkar melesat lagi. Tubuhnya melayang berputar
hinggap di atas sebatang cabang pohon bergelantungan dengan kepala di bawah kaki
di atas. Surakarma belum juga melepaskan Maladewi.
Dularata melompat ke atas, tinjunya diikutsertakan mengarah pada Ki Dulang
Sungkar. Orang tua yang berada di atas pohon itu menepiskan dengan sebelah
tangan. "Plak...!"
Keduanya terjun ke tanah. Lengan
Dularata terasa kesemutan. Ia
menyeringai. Lalu memberi aba-aba pada Surakarma agar ikut membantu
menyingkirkan Ki Dulang Sungkar. Maka setelah menghantam pingsan Maladewi,
Surakarma merangsak menyerang. Melihat tindakan Surakarma, Ki Dulang Sungkar
marah bukan kepalang. Tinjunya berputar ke samping....
"Bweeet!"
Hampir saja mengenai bagian kepala Surakarma. Dularata mematahkan serangan
itu.... Tendangannya maju menjurus kearah perut....
"Deees!"
Cepat Ki Dulang Sungkar menangkis dengan lengan kanannya. benturan itu membuat
Dularata mundur beberapa
langkah. Surakarma melesat ke atas.
"Deees!"
Hantamannya tepat mengenai punggung Ki Dulang Sungkar. Tapi tak begitu telak.
Ia berbalik membalas serangan tadi.
Surakarma yang tadi melancarkan serangan dan belum sempat menginjak tanah,
gelagapan menyambut serangan balasan itu.
"Beg!"
Tendangan ke atas Ki Dulang Sungkar membuat Surakarma jatuh terbanting.
Dularata maju lagi, kali ini dengan dua pukulan beruntun berturut-turut.
Sayang kedua pukulan itu meleset. Karena saat Dularata maju menyerang, Ki Dulang
Sungkar sudah bergeser terlebih dahulu.
Malah Dularata sendiri yang setengah mati menerima serangan balik. Meskipun
hantaman-hantaman Ki Dulang Sungkar dapat diatasinya, Dularata harus berguling
menjauh. Kemudian bangkit lagi.
Sekarang mereka menyerang berba-
reng, Dularata melancarkan tendangan, Surakarma nyeruduk dengan jotosan-jotosan
keras. Ki Dulang Sungkar
menghentakkan kedua kakinya, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang di udara. Maka
kedua serangan itu terhmdar, masih dalam keadaan berputar di udara Ki Dulang
Sungkar sempat menendang ke dua kakinya.
"Bug...! Bug...!"
Dularata maupun Surakarma
bergulingan sambil memekik kesakitan.
Hampir-hampir saja ia tidak dapat bangkit, karena dirasakan tulang rusuk mereka
seperti patah. Dengan seloyongan akhirnya mereka dapat bangun juga. Wajah Surakarma memerah
menahan amarah. Dularata
mengepal kedua telapak tangannya dengan geram. Ki Dulang Sungkar tetap berdiri
tegak seolah-olah telah bersiap-siap menyambut serangan mereka. Kedua matanya
nyalang menatap Dularata dan Surakarma.
Menerima tatapan yang demikian sadis kedua orang ini jadi keder. Dularata maju
selangkah. "Baik, Samber Nyawa.
Kuakui kekalahan ini. Tapi ingat! Ki Sapta Nrenggana tidak akan senang menerima
perlakuan ini. Kami akan datang lagi dengan maksud yang sama...." kata Dularata
mengancam. "Sampaikan salamku kepada Ki Sapta Nrenggana. Aku tetap tidak akan menerima
lamarannya. Cuma itu! Kalau kalian mau datang lagi. Kapan saja akan kutunggu.
Asalkan jangan sampai menyakiti putriku Maladewi...." jawab Ki Dulang Sungkar


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang. Dularata dan Surakarma berjalan mundur beberapa langkah, kemudian mereka
berbalik meninggalkan pelataran itu.
Maladewi masih terbaring di tanah.
Ki Dulang Sukar mendekati, lalu
memeriksa sekujur tubuh putrinya.
Ternyata tak apa-apa. Ia hanya pingsan biasa.Maka cepat-cepat Ki Dulang Sungkar
membawanya masuk ke dalam kedai.
Direbahkan tubuh ramping itu pada serjuah tempat tidur di ruang kamar. Lalu ia
keluar lagi membereskan dagangan di depan. Pikirannya masih kalut, ia masih
membayangkan peristiwa tadi.
Untung saja tidak sampai terjadi
pertumpahan darah. Ia ingat betul nama besarnya sebagai si Samber Nyawa. Dan ia
merasa ada kekurangan dalam dirinya.
Tapi justru kekurangan itu ia sangat berterima kasih sekali. Karena ia tidak
sekejam seperti pada beberapa belas tahun yang lalu.
Samber Nyawa bukanlah sekedar nama kosong. Semua partai persilatan tahu akan
tindakan manusia yang berjuluk si Samber Nyawa. Pada sebelas tahun yang lalu
Samber Nyawa tidak pernah
membiarkan musuh-musuhnya kalah dengan nyawa tersisa, kecuali nama. Tokoh yang
paling ditakuti dan disegani ini telah
berubah sama sekali. Kalau dulu ia selalu membunuh lawan-lawannya, kenapa
sekarang Dularata dan Surakarma di-biarkan pergi hidup-hidup. Apalagi mereka
berani mengancam. Belum pernah ia mendapat ancaman dari musuh-musuhnya.
Mungkin dikarenakan usia yang
semakin lanjut, sehingga setiap
gerakannya menjadi lamban dan ragu-ragu, atau juga dikarenakan ia mempunyai
seorang putri yang membuat dirinya berubah pikiran.
"Ki... Ki Dulang...." Seseorang membuyarkan lamunannya. Ki Dulang Sungkar
tersentak. "Wuaaah... Ngelamunin apa, Ki"
Asyik benar" Tolong buatkan saya kopi, Ki! Jangan terlalu manis...." kata orang
yang baru datang itu. Melihat tamunya langsung duduk, Ki Dulang Sungkar
mengambil gelas. Ia membuatkan pesanan tamunya. Segelas kopi dihidangkan.
* * * 2 Warsih merasa jengkel. Sejak tadi putranya yang berumur lima tahun belum juga
berhenti menangis. Sudah berbagai cara Warsih mendiamkan, tapi anak itu tetap
saja terus menangis. Piring kaleng kecil berisikan beberapa potong singkong
rebus tergeletak di hadapan anak itu.
Hampir saja kakinya menyambar. Warsih cepat-cepat memindahkannya.
"Ding, sekarang emak belum punya uang. Hari ini makan singkong rebus saja ya.
Nanti kalau Bapak pulang, baru bisa beli beras...." bujuk Warsih. Oding anaknya
malah menangis semakin jadi.
"Sudah dong nangisnya. Masa dari tadi tidak mau berhenti. Cep, Ding....
Cep...." Oding berhenti juga menangis. Tapi hidungnya masih sesenggukan. Air matanya
meleleh. Warsih mengelus-elus rambut anaknya. Perasaannya juga sedih. Karena
sudah beberapa hari ini suaminya belum juga pulang. Pekerjaannya memang mencari
nafkah di kampung seberang. Suaminya tidak akan pulang sebelum membawa hasil.
Warsih menyodorkan piring kaleng
kecil pada anaknya. Oding mengambil sepotong singkong rebus, tapi ia tidak
langsung memakannya. Pandangannya yang kosong menatap kehalaman rumah. Begitu
juga Warsih, Ibu dan anak terdiam.
Dari kejauhan nampak dua orang
lelaki berjalan mendekati gubuk itu.
Seorang berperawakan kurus tinggi dan seorang lagi seorang pemuda tanggung
membawa seekor ayam jago yang sudah kepayahan. Warsih yang melihat
kedatangan dua orang itu langsung keluar dari teras gubuknya. Ia langsung
mendekati. "Den Wintara.... Sudah lama tidak kelihatan" Dari mana saja?" Warsih basa-basi.
"Tidak ke mana-mana, Bi. Di rumah saja. Kang Darman apa ada...?"
"Sudah lima hari ia tidak
pulang-pulang, Den.... Entahlah di mana dia sekarang. Biasanya paling lambat
tiga hari dia sudah pulang ke rumah...."
"Biar saja, Bi. Barangkali setelah dapat uang banyak baru kang Darman pulang."
"Ah! Den Wintara bisa saja. Mari masuk den...." Warsih mengajak mereka masuk.
Wintara menurut. Mereka duduk di
balai teras, sebelumnya mereka melihat Oding duduk di balai itu memakan singkong
rebus. Mang Bayan mencolek pipi anak itu yang masih basah oleh airmata.
"Tunggu sebentar ya, Den.... Bibi mau ambilkan air...." Warsih beranjak, tapi
Wintara buru-buru mencegah.
"Tidak usah, Bi.... Tidak usah repot-repot. Kedatangan saya ke mari cuma
mau...." Wintara menyerahkan ayam jagonya yang sudah berlumuran darah.
"Memberikan ayam ini kepada Bibi.
Sebentar lagi ayam ini pasti mati. Sayang kalau tidak segera dipotong...."
katanya lagi. Warsih menerima ayam itu. Di luar pikirannya Wintara mengambil beberapa keping
uang logam dari kantong kecil yang
didapat di tempat sabung,
lalu menyerahkannya lagi pada Warsih.
"Ayam dan uang ini buat bibi...?"
Warsih seakan tak pereaya.
"Iya.... Buat bibi! Buat siapa lagi.?" jawab Wintara cepat.
"Te-te-terima kasih, Den.
Kebetulan, Bibi sudah tak punya apa-apa lagi....".
"Ah.... Saya memang sudah niat memberikan itu semua kepada bibi...."
"Jarang ada orang seperti Aden. Hari ini bibi betul-betul merasa mendapat rejeki
yang sangat besar. Siang malam bibi berdoa, ternyata Tuhan masih mau
mengabulkan. Coba saja lihat, Den. Sudah dua hari bibi dan Oding hanya memakan
singkong. Itu pun masih untung, karena Kang Darman rajin menanam singkong di
samping rumah...."
"Tuhan memberikan akal kepada manusia agar bisa dipergunakan semasa hidupnya....
Begitu juga mengenai kebaikan. Sesama manusia sudah semestinya saling memberi
atau saling menolong. Tapi menurut saya, pujian bibi yang terlalu berlebihan itu tidak
benar. Pemberian ayam yang sudah hampir mati dan beberapa keping uang bukan berarti
saya ini orang yang budiman. Yang jelas saya hanya niat. Cuma itu...."
"Tapi, Den. Bagaimana pun ini rejeki bibi...."
"Benar, Den...." Mang Bayan ikut bicara. "Semua doa bi Warsih dikabulkan oleh
Tuhan melalui diri Den Wintara.
Bukannya begitu, Bi...." kata Mang Bayan lagi.
"Hati-hati Mang, jangan terlalu banyak memuji. Banyak orang yang jatuh karena
pujian...." kata Wintara tegas.
Mang Bayan nyengir. Bi Warsih
tersipu malu. "Ayolah, Mang.... Kalau kita di sini terus, kapan bi Warsih membereskan ayam
itu?" Wintara menarik lengan baju Mang Bayan. Ia hanya menurut.
"Kalian mau ke mana...?" tanya Warsih.
"Biasa, Bi. Anak muda kalau sedang jatuh cinta selalu tidak sabaran...."
Mang Bayan merajuk.
"Oh.... Memang sudah lama Den Wintara tidak ke kampung ini. Tentunya Maladewi di
rumahnya sudah rindu
setengah mati...." sahut bi Warsih. Ia masih berdiri memandangi kepergian mereka
yang nampak mulai menjauh. Ia menggelengkan kepala. Entah karena apa.
Wintara pemuda yang gemar menyabung ayam itu memang bukan orang kampung situ.
Mereka berasal dari desa Karang Hampar.
Kedatangannya ke kampung Tapis Ledok selain mengadu ayam, datang ke rumah
seorang kenalan gadisnya yang bernama Maladewi. Mereka memang sudah lama
berhubungan. Bahkan dengan Ki Dulang
Sungkar, Wintara sudah saling mengenai baik.
Ketika mereka mulai mendekati
sebuah kedai, langkah-langkah mereka semakin cepat. Nampak Ki Dulang Sungkar
tengah melayani seorang tamu yang duduk nangkring di atas sebuah kursi panjang.
Dari dalam kedai Ki Dulang Sungkar sudah dapat melihat kedatangan Wintara
bersama Mang Bayan. Ia tahu betul kesukaan kedua orang itu. Maka sebelum mereka
tiba, Ki Dulang Sungkar cepat-cepat membuat dua gelas teh manis. Begitu mereka
sampai, Wintara langsung menyapa orang yang duduk menghirup kopinya.
"Wuaah.... Kang Birdun sudah lebih dulu ke sini rupanya...."
Orang itu langsung menoleh ke arah suara di sampinghya, lalu....
"Eh...! Den Wintara. Kapan datang"
Kakang denger, Den Wintara habis menang taruhan. Bagi-bagi dong...."
Wintara hanya senyum. la langsung duduk menghadapi meja yang penuh
tersedia rupa-rupa makanan. Mang Bayan mengikuti. Ki Dulang Sungkar menyuguhkan
dua gelas teh manis.
Wintara mendelik kagum....
"Hebat.... Ki Dulang Sungkar benar-benar hebat. belum saya memesan beliau sudah
dapat membaca maksud saya.
Benar-benar luar biasa...." kata Wintara kagum.
"Siapa bilang...." sergah Mang Bayan. "Ki Dulang Sungkar belum tentu tahu apa
yang saya inginkan. Buktinya beliau salah menyediakan. Coba dengar keinginan
saya. Saya ingin makan dengan paha ayam dan pepes ikan...." kata Mang Bayan
lagi. Dia langsung menyambar gelas berisi teh manis, lalu ditenggaknya sampai tinggal
tiga perapat. Ki Dulang Sungkar tersenyum, lalu...
"Kalau teh manis yang saya suguhkan itu salah, kenapa barusan kau
meminumnya...?" Ki Dulang Sungkar protes.
"Ha... ha... ha.... Betul...! Betul apa yang diucapkan Ki Dulang Sungkar.
Buktinya sebelum kau makan campur paha ayam, kau sudah meminum teh manis
terlebih dahulu...." Kang Birdun ikut campur.
Ki Dulang Sungkar masuk ke dalam
kamar di mana tadi ia merebahkan
putrinya. Di ruangan itu Maladewi sudah siuman, bahkan sempat mendengarkan
percakapan di luar. Kini ia tengah menghadapi sebuah cermin. Rambutnya sudah
nampak rapih. Tidak seperti tadi.
Ki Dulang Sungkar menyentuh bahu
Maladewi. "Temui Wintara. Dan jangan
ceritakan persoalan tadi...." bisiknya perlahan. Maladewi bangkit sambil
mengangguk meskipun ia malas keluar. Ki
Dulang Sungkar sengaja berjalan lambat belakangan.
Mata Maladewi langsung tertuju pada Wintara ketika ia sudah berada di dalam
kedai. Wintara menunduk, sesaat kemudian ia membalas tatapan itu.... Maladewi
tersenyum. Ada suatu kelainan tergambar dalam raut wajah Maladewi. Diperhatikan
begitu tentu saja gadis itu merasa kikuk.
Ia melangkah berjalan menuju ke samping rumah.
Mang Bayan menyikut pinggang Winta-ra. Maksudnya memberi aba-aba. Sambil
menghela nafas Wintara beranjak dari bangku panjang mengikuti langkah
Maladewi. Gadis itu sudah berdiri menunggu pada sebatang pohon yang rindang.
Matanya kosong memandang hamparan padi yang hampir rata
ntenguning. Ia tahu betul kalau Wintara sudah berdiri di belakangnya.
"Masih suka menyabung ayam...?"
suara Maladewi halus sekali.
"Kadang-kadang. Itu pun kalau aku perlu hiburan. Kenapa?"
"Tidak.....Tidak apa-apa...."
"Kenapa harus kau tanyakan itu?"
"Aku hanya khawatir. Di tempat semacam itu biasanya akan banyak menemui resiko.
Dan lagi menurutku. Kau tidak pantas menjadi pecandu sabung ayam, Win...."
"Ah.... Aku akan coba-coba
menghilangkan kebiasaan itu. Karena
sekarang aku tidak memiliki lagi seekor ayam pun"
"Lucu... Berhenti jadi pecandu sabung ayam hanya lantaran tidak
memiliki ayam.."
"Bu..bukan itu maksudku, Dewi..."
Bukan. Kau tahu sudah berapa lama hubungan kita ini..?"
Maladewi diam tidak menjawab.
"Kenapa baru sekarang kau membicara kan soal sabung ayam. Dan kau pun tahu akan
kegemaranku. Bahkan sudah sejak dari dulu."
"Aku tidak melarang. Aku hanya khawatir, Win.... Banyak kejadian yang sudah-
sudah di arena persabungan ayam.
Kang Tohir, Kang Nurjan, semuanya tewas di sana...."
"Sungguh besar perhatianmu padaku, Dewi. Sekarang aku betul-betul baru merasa."
"Merasa" Merasa apa" Merasa pikun"
Merasa bodoh?"
"Bukan.... Baru sekarang aku merasa memilikimu, Dewi" Kedua lengan Wintara
melingkar di pinggang gadis itu. Maladewi tidak bereaksi.
"Kalau hanya menyaksikan saja
bagaimana" Tidak apa-apakan?" bisik Wintara.
"Hhh.. Sama saja!" jawab Maladewi cepat.
"Lantas, aku mesti bagaimana" Di saat-saat aku butuh hiburan. Perlu
menenangkan pikiran. Melihat sabung ayam saja tidak boleh. Apa aku harus datang
ke sini berdiri mematung memandangangi wajahmu terus menerus. Sampai aku
terlena. Sampai mabuk kepayang. Sampai mati berdiri. Sampai.. Aoooooo...!"
Wintara memekik. Belum habis Wintara meneruskan kalimatnya, Maladewi
mencubit lengan Wintara. Kemudian ia melepaskan diri dari dekapan Wintara.
Cubitan itu masih terasa panas dan membekas di lengannya.
Aneh kenapa jantungnya yang terasa lebih dingin"
Hamparan padi yang menguning
bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan tertiup angin. Seakan-akan menari
mengikuti irama hembusan angin. Di kejauhan nampak sebuah gunung samar kelabu
tertutup awan putih. Langit biru juga ikut menyemarakkan suasana cerah itu.
"Win.... Semalam aku bermimpi buruk."
"Mimpi buruk" Tentang aku?"
"Iya...!"
"Coba ceritakan!"
"Sebenarnya aku tidak percaya dengan arti-arti mimpi...."
"Tapi aku mau dengar, Dewi. Ceritakan saja...."
"Aku takut kau marah...."
"Cuma mimpi buruk. Kenapa musti marah"
"Janji...?"
Wintara mengangguk. Jari tangannya membetulkan rambut Maladewi yang
menutupi sebelah matanya karena
terhempas angin. Maladewi tidak berani menatap Wintara.
"Mimpiku buruk sekali. Rasanya terjadi seperti sungguhan. Aku melihat kau tewas
oleh cakaran-cakaran Siluman Jahat. Siluman itu merencah-rencah dengan taringnya
yang runcing-runcing, sampai tubuhmu terkoyak. Lalu Siluman Jahat itu pergi
membawa jasadmu ke alam lain. Ke alam gelap berbau busuk. Aku berlari mengikuti
sambil berteriak-teriak. Tapi seakan-akan teriakanku tidak lepas keluar" Maladewi tidak
meneruskan cerita mimpinya.
Wintara sudah menganggapnya tuntas.
"Sekarang kau baru percaya bahwa aku belum dibawa oleh Siluman Jahat, kan"
Wajar kalau hari ini kau nampak begitu gelisah. Sebuah mimpi memang kadang-
kadang mempunyai arti. Tapi...."
"Kata-katamu membuat diriku semakin takut, Win...." kata Maladewi lirih.
"Setiap orang mempunyai rasa takut.
Tapi bukan takut terhadap arti mimpi.
Apalagi mimpi tentang kematian
seseorang, Rasa khawatir memang selalu ada. Secara kenyataan pun, kematian
adalah suatu malapetaka yang paling menakutkan...." tutur Wintara.
"Ba.... bagaimana kalau kau mati sungguhan, Win...?"
"Pertanyaan yang sangat lucu.
Belum-belum kau sudah menganggap diriku mati."
"Aku memang tidak pereaya dengan arti mimpi. Tapi sekarang, aku
betul-betul takut."
Wintara menatap Maladewi yang luruh dalam pelukannya. Keduanya terasa hangat.
"Seandainya aku mati, kau boleh kehilangan jasad dan ragaku, Dewi. Tapi kau


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak boleh kehilangan namaku. Juga kasih sayangku. Kau dengar itu...?"
Wintara berbisik. Maladewi semakin
menyusup dalam pelukan itu.
Mang Bayan menyantap lahap
hidangannya. Kang Birdun melihatnya dengan menggeleng-gelengkan kepala. Dua
piring nasi semunjung gunung dilahap dalam waktu yang sangat singkat.
Sepiring nasi yang dihadapi Kang Birdun saja belum sempat habis. Tapi Mang Bayan
sudah hampir dua piring. Ki Dulang Sungkar yang juga ikut melihatnya langsung
menyodorkan segelas air. Ia takut kalau-kalau nanti Mang Bayan akan terselak.
Sebenarnya Mang Bayan sendiri sudah merasa keseretan. Maka ia cepat-cepat
menyambar gelas dan langsung meneng-gaknya sampai kering.... Ahhhhhhh....
"Hari ini Den Wintara menang banyak.
Ia baru saja mempecundangi ayam aduan milik Ki Sapta Nrenggana" kata Mang Bayan
sambih mengunyah makanannya. Bagaimana pun kata-kata itu jelas terdengar. Dan
bukan main kagetnya Ki Dulang Sungkar.
Cepat ia menyembunyikan perasaannya dengan pura-pura menyibukkan diri.
Tergambar lagi peristiwa tadi,
ketika ia menghadapi Dularata dan Surakarma suruhan Ki Sapta Nrenggana.
Betapa ia sakit hati dan tak dapat berbuat banyak. Kekalutannya muncul lagi.
"Kang Birdun kan tahu sendiri siapa Ki Sapta Nrenggana itu" Den Wintara berani
melawannya bertaruh sekantung uang. Padahal Den Wintara tidak punya uang
sebanyak itu." kata Mang Bayan lagi.
Telinga Ki Dulang Sungkar makin panas.
"Untung saja dia yang menang....
Kalau kalah" Mang Bayan masih terus menjejali mulutnya dengan makanan.
"Pasti Den Wintara berurusan dengan orang-orang tuan tanah itu"
"Prang...!"
Beberapa gelas terbanting pecah tak sengaja oleh Ki Dulang Sungkar. Mang Bayan
maupun Kang Birdun jadi tersentak.
Cepat-cepat Ki Dulang Sungkar
menenangkan suasana itu.
"Ah.... Tidak.. Tidak apa-apa!
Gelas-gelas ini masih terlalu basah dan
licin, sehingga mudah tergelincir" Ki Dulang Sungkar menutupi perasaannya.
Mendengar penjelasan Ki Dulang
Sungkar, Kang Birdun dan Mang Bayan kembali menyantap.
Ki Dulang Suh&kar membereskan pecahan-pecahan beling yang berserakan di tanah.
Namun dalam pikirannya masih terbayang wajah Ki Sapta Nrenggana yang menyebalkan
itu. * * * 3 "Tidak masuk akal! Kau cerita bohong, Dularata. Aku tahu betul siapa Ki Dulang
Sungkar!" kata Ki Sapta Nrenggana dengan nada marah. Kalau saja hari itu Ki
Sapta Nrenggana tidak kedatangan tamu, mungkin Dularata dan Surakarma sudah
habis-habisan dicaci maki. Tamu itu duduk tenang di sebelahnya. Ia menatap
Dularata dan Surakarma yang berdiri tertunduk.
"Orang setua itu mana mungkin memiliki kepandaian tinggi, aku tahu betul
keadaannya. Apalagi ia berani mengaku menamakan dirinya si Samber Nyawa...."
"Saya berkata yang sesungguhnya, Ki. Ki Dulang Sungkar berkepandaian luar
biasa!" Dularata meyakinkan.
"Bohong! Aku tetap tidak percaya!"
bentak Ki Sapta Nrenggana.
"Tunggu dulu, Ki" Tiba-tiba orang yang duduk di sebelah Ki Sapta Nrenggana ikut
bicara memotong. "Aku pernah dengar nama Samber Nyawa. Tapi itu dulu, pada.
Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Memang ada orang yang menyandang julukan
itu. Namun ia hilang begitu saja" tutur tamunya.
"Kalau pun ada orang yang berjuluk si Samber Nyawa, yang jelas bukan Ki Dulang
Sungkar. Aku tak yakin" Ki Sapta Nrenggana masih penasaran.
"Kalau benar yang kalian hadapi adalah si Samber Nyawa, kalian termasuk orang
yang beruntung. Setahuku, si Samber Nyawa tidak pernah membiarkan lawan-lawannya
hidup!" kata tamunya yang masih memandangi Dularata dan Surakarma.
"Apa yang kau ketahui tentang si Samber Nyawa itu, Gada Rencah?" tanya Ki Sapta
Nrenggana menoleh pada tamunya yang duduk di sebelahnya.
Tamunya yang ternyata bernama Gada Rencah berusaha mengingat-ingat.
Sebentar kemudian wajahnya memerah.
Telapak tangannya mengepal erat sampai timbul bunyi gemeretak.
"Dia seorang tokoh legendaris terkenal sangat sadis dan tak kenal ampun...."
Dularata maupun Surakarma mendelik mendengar penjelasan Gada Rencah.
"Jangan khawatir.... Aku tahu betul rupa si Samber Nyawa. Semuanya
tergantung pada Ki Sapta Nrenggana.
Bagaimana" Apa perlu kita buktikan sekarang?"
Ki Sapta Nrenggana kelabakan
mendapat pertanyaan seperti itu. Ia cepat bangkit dari kursinya menghadap Gada
Rencah. "Jangan.. Jangan sekarang, Gada Rencah..Kita masih banyak waktu..
Lagipula kau baru saja tiba di sini, tentu masih merasa lelah, bukan" He...
he... he.... Istirahat saja dulu" kata Ki Nrenggana pada tamunya.
Gada Rencah ikut bangkit mengikuti ajakan Ki Sapta Nrenggana memasuki sebuah
ruangan yang penuh berisi
perabotan-perabotan mewah. Ternyata itu ruangan keluarga. Di tengahnya terdapat
sebuah meja bundar besar dilengkapi dengan enam buah kursi. Di atas meja itu
tersedia bermacam-macam makanan.
Hidangan-hidangan yang tersedia di situ membuat Gada Rencah menelan air liur.
Ia langsung duduk setelah Ki Sapta Nrenggana mempersilahkan. Beberapa orang
perempuan keluar melayani Gada Rencah. Ada yang memberikan piring, ada yang
menuangkan arak. Ada juga yang memijit-mijit halus bagian punggung.
Gada Rencah sendiri terheran-heran memandangi perempuan-perempuan itu.
Apalagi para perempuan itu hanya
mengenakan kain, membungkus ketat tubuh-tubuh ramping mereka sampai
sebatas dada. Membuat buah dada itu nampak sekal menonjol ke depan.
Perempuan-perempuan itu hanya tersenyum dipandangi oleh Gada Rencah.
Ki Sapta Nrenggana tertawa melihat tamunya merasa puas di ruangan itu.
Selama Gada Rencah menyantap makan-an, perempuan perempuan itu belum juga
meninggalkan mereka. Malah perempuan perempuan itu melayani Gada Rencah tidak
ubahnya seperti seorang raja.
* * * Malamnya, dalam ruangan itu
mengalun musik tabuhan gendang. Para penari menari dengan lenggak-lenggok yang
menggairahkan. Rata-rata gerakan mereka sama mengikuti alunan musik.
Tamu-tamu di situ tidak banyak. Tapi semuanya nampak seperti para pembesar.
Pintu terkunci rapat. Hanya
jendela-jendela saja yang terbuka.
Mungkin agar angin dapat masuk.
Semuanya ada tiga rombongan. Tiap rombongan terdiri dari empat orang, masing-
masing ditemani oleh para
perempuan cantik. Rombongan-rombongan itu duduk berderet mengeliling ruangan.
Ki Sapta Nrenggana berada pada rombongan paling tengah. Hanya rombongan itu yang
terdiri dari dua orang. Yaitu bersama Gada Rencah. Tapi para perempuan
penghiburnya lebih banyak. Mungkin
karena Ki Sapta Nrenggana sebagai tuan rumah.
Beberapa pundi arak sudah
bergulingan di hadapan mereka. Namun Ki Sapta Nrenggana masih terus
memerintahkan pelayannya agar
mengeluarkan semua pundi-pundi arak.
Keadaan sudah semakin panas. Tabuhan gendang masih terus mengalun. Para penari
nampak lelah. "Cukup...!" Tiba-tiba saja Ki Sapta Nrenggana berteriak. Ia berdiri dengan
sempoyongan. Tiba-tiba pula musik gendang berhenti. Ki Sapta Nrenggana
melemparkan dua kantong uang pada pemimpin pemain musik.
"Kalian pulanglah. Juga kuucapkan terima kasih karena kalian telah
menghibur kami. Pulanglah!" Ki Sapta Nrenggana duduk lagi. Langsung memeluk
seorang perempuan di sebelahnya. Gada Rencah tidak perduli, karena ia sendiri
telah sibuk menghadapi dua orang
perempuan penghibur. Pe-
rempuan-perempuan itu kewalahan melayani Gada Rencah. Sebentar-sebentar mereka
harus repot membetulkan
pakaiannya yang menutupi bagian dada.
Pada rombongan-rombongan lain pun begitu. Nampak para pembesar itu tertawa puas
dengan para penghiburnya. Ruangan itu jadi riuh, sekalian terdengar dengusan
nafas lelaki terdengar pula
cekikikan manja dari mulut para
penghibur. Seorang pemimpin datang menghadap pada Ki Sapta Nrenggana. Langkahnya demikian
gemetar. Bagaimana tidak, Ia melihat jelas seorang perempuan
telanjang bulat menggeliat-geliat di bawah dekapan Ki Sapta Nrenggana.
"Maaf, Ki, Kami sudah membereskan semua peralatan. Kami mohon pamit" kata
pemimpin rombongan pemain musik.
"Hmmm.... Pergilah kalian. Dan jangan lupa menutup pintu kembali" jawab Ki Sapta
Nrenggana tanpa menoleh.
Orang itu langsung berbalik
sekaligus memberikan isyarat pada teman-temannya agar segera meninggalkan tempat
itu. Semua peralatan musik dibawanya serta, satu-satu mereka keluar. Dan yang
berjalan paling akhir menutup pintu kembali.
Beberapa pembesar sudah ada yang bangkit membawa pasangannya masuk ke dalam
kamar. Hanya beberapa orang saja yang tetap tinggal di situ. Termasuk Ki Sapta
Nrenggana dan Gada Rencah. Kalau tadi terdengar musik tabuhan gendang, sekarang
hanya terdengar rintihan-rintihan lirih dibarengi dengan dengusan yang saling
memburu. Tengah malam kian gelap. Tanpa awan dan bulan. Dularata dan Surakarma berjalan
sempoyongan karena terlalu banyak minum arak. Mereka berjalan
berkeliling memutari gedung yang masih terang benderang.
"Entah sedang apa orang-orang yang berada di dalam sana," pikir Dularata.
Sesekali Surakarma mengintip dari jendela, dan ia pun hanya nyengir kepada
Dularata. Kemudian berjalan lagi
berkeliling. Suara jangkrik terdengar di sekeliling gedung besar itu. Hawa
dingin pun menyengat kulit mereka. Untung saja mereka dihangatkan oleh beberapa
pundi arak, sehingga tubuh mereka cukup panas.
Bagaimana pun mereka tetap
mendongkol. Ki Sapta Nrenggana tidak memberikan jatah apa-apa. Mereka malah
mendapat tugas meronda. Tugas yang membosankan.
Tiga sosok bayangan mengendap-endap di belakang semak di samping gedung. Tiga
sosok itu langsung menyebar ketika Dularata dan Surakarma hampir
melewatinya. Dularata berjalan terus.
Tapi Surakarma sebentar-sebentar
mengintip ke arah jendela membuat langkah tertinggal oleh Dularata. Dan ketika
Surakarma bermaksud menyusul....
"Buuug...!"
Sebuah hantaman keras bersarang di ulu hatinya. Ia memekik kesakitan tapi
suaranya tidak sempat keluar. Karena sosok bayangan itu cepat menambahkan sebuah
tendangan. "Bruuuug...!"
Tubuh Surakarma terbanting keras.
Dularata mendengar suara berisik itu, maka ia cepat berlari ke belakang.
"Plaaak...!"
Tahu-tahu ia diserang tiga sosok
bayangan. Pipinya terasa panas menerima hantaman itu. Dularata tidak segera me-
balas, ia mengernyitkan alisnya mema-dang tiga orang itu. Namun tetap saja ia
tidak dapat mengenalinya. Karena ketiga orang itu mengenakan kain
penutup. Dularata maju dengan terjangan,
meskipun langkah-langkahnya sempoyongan ia masih bisa melancarkan beberapa kali
tinjunya. "Plak...! Plak...! Plak...!"
Semua hantamannya yang tidak
terarah dapat ditangkis oleh salah seorang yang memakai kain penutup di mukanya.
Malah tahu-tahu dari arah belakang Dularata mendapat serangan balasan.
"Beg...!"
Sebuah tendangan menghantam keras tidak kepalang tanggung. Dularata tersungkur
ke depan. Mukanya terseret pada tanah yang penuh dengan hamparan batu kerikil.
Begitu ia bangun, terlihat jelas luka di sekitar keningnya. Ia tidak sempat lagi
maju menyerang. Karena secara kilat ketiga orang itu langsung menghantam
berbareng. Dularata jatuh menggelosoh pingsan. Dilihat orang itu
sudah tidak berkutik lagi, ketiganya berlari menghampiri jendela kamar.
Mereka mendengar desahan nafas seorang perempuan disertai suara derit tempat
tidur. Salah seorang mengeluarkan sesuatu dari balik haju hitamnya. Dengan alat
itu ia berusaha mendongkel jendela.
Yang dua lagi berjaga-jaga. Tapi yang jelas mereka sudah tidak sabaran.
Dua tubuh bugil berlainan jenis
saling rengkuh menindih di atas sebuah tempat tidur diterangi dengan sebuah
lampu kecil. Keduanya tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba mereka mendengar
suara jendela kamar terbuka lebar.
Perempuan itu yang berada di atas tubuh seorang lelaki gemuk langsung menarik
sprei menutupi seluruh tubuhnya. Dari jendela itu ia melihat tiga sosok
bayangan. Ketika ia hendak menjerit.
Benda runcing kira-kira satu jengkal menerobos masuk menembus tenggorokan
perempuan itu. Tanpa mengeluarkan suara, perempuan itu ambruk di atas tubuh
lelaki gemuk yang melihat kejadian itu demikian cepatnya. Lelaki gemuk itu
ketakutan setengah mati melihat darah mengalir deras dari tenggorokan perempuan
yang digaulinya. Ketiga sosok hitam masuk dalam ruangan kamar melalui jendela.
Lelaki gemuk makin jadi gemetarannya.
Salah seorang mendekatinya lalu dengan pukulan karate, ia menghantam batang
leher lelaki gemuk itu.
"Deees!"
Si gemuk ambruk dengan tulang leher patah. Setelah keduanya betul-betul
dibereskan, mereka menggeledah tempat itu. Semua barang-barang berharga milik
lelaki gemuk yang ada di pakaiannya disikat habis. Lumayan! Beberapa
perhiasan dari emas. Benda kecil apa saja yang nampak berharga disatukannya
dalam satu kantong besar.
"Cari lagi! Di kamar sebelah masih ada! Ayo cepat!" Salah seorang yang
berperawakan tinggi besar memerintah.
Maka yang lain membuka pintu perlahan.
Dan menyelinap dengan mengendap-endap.
Di ruangan tengah masih terdengar suara.
Suara beberapa pasang manusia yang tengah bergumul.
Hati-hati sekali mereka melangkah.
Jarak kamar sebelah ada sekitar tiga meter. Mereka membuka pintu itu
perlahan, tanpa bersuara. Terlihat lagi pemandangan seperti tadi, Melihat
kemunculan ketiga orang, perempuan bugil yang telah banjir dengan keringat
berteriak kaget:
"Aaaooooooo...! Ada orang...!"
"Bug...! Bug...!" Dua tendangan sekaligus melempar tubuh bugil itu sampai tak
berkutik. Laki-laki yang ada di kamar itu bermaksud melawan, tapi hanya dengan
sebuah tikaman pisau kecil menghentikan gerakannya.
"Ram.... Ram.... Rampooooook...."
Laki-laki itu jatuh limbung ke lantai.
Suara teriakan perempuan tadi
terdengar sampai ke ruangan tengah. Para lelakinya segera bangkit berjalan ke
arah suara itu. Ki Sapta Nrenggana berlari limbung sambil membetulkan ikat
pinggangnya. Yang lain mengikuti... Gada Rencah menghempaskan dua perempuan yang
masih menindih tubuhnya. Ia ikut bangkit menyusul.
Sampai di pintu kamar Ki Sapta
Nrenggana tersentak kaget. Pada saat itu sebuah hantaman melempar tubuh Ki Sapta
Nrenggana menimpa orang-orang yang berada di belakangnya.
"Bruaaaaak!"
Ketiga orang berkerudung itu
langsung mengamuk melancarkan hantaman-hantaman terhadap orang-orang itu. Ki
Sapta Nrenggana merayap menjauh.
Babatan-babatan pisau maupun pedang berkelebat merencah tubuh para undangan.


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada yang sekaligus mati, ada juga yang berteriak-teriak kesakitan. Ketiganya
melangkah dengan mata yang nyalang menuju ke arah Ki Sapta Nrenggana. Dia
terlentang melihat ketiga orang yang mendatangi dengan senjata di tangan mereka.
Seorang dari perampok itu melompat menyerang dengan pedang siap membabat.
Tapi.... "Breeet!"
Pedang itu terpental jauh. Perampok itu pun mundur terhuyung.
Ternyata Gada Rencah datang tepat pada waktunya. Ketika pedang perampok itu
hampir menghujam Ki Sapta Nrenggana, Gada Rencah menyabetnya dengan ikat
pinggangnya yang terbuat dari kulit yang telah mengering.
Gada Rencah menatap ketiga rampok itu. Ki Sapta Nrenggana buru-buru menyurup ke
belakangnya. Ia merayap seperti seekor anjing. Para perempuan penghibur berdiri
ketakutan. Semuanya belum sempat mengenakan pakaian.
Rata-rata membugil. Dengan peluh yang masih deras mengalir.
Pedang yang terpental tadi cepat diambil kembali oleh pemiliknya. Dan sekarang
ia telah bersiap menyerang lagi. Seorang yang membawa karung berisi segala macam
barang berharga melepaskan bawaannya. Ia mencabut sebilah pedang dari
pinggangnya. Kini ketiga perampok itu siap menghadapi Gada Rencah. Mereka yakin
Gada Rencah bukannya orang yang sembarangan. Maka mereka perlu hati-hati
menghadapinya. Tiba-tiba dengan
serempak mereka maju menyerang.
Babatan-babatan senjata mereka berputar menerjang Gada Rencah. Serangan itu
cukup mematikan. Tapi hanya dengan memutar ikat pinggangnya Gada Rencah dapat
merobohkan ketiga penyerangnya.
Sekali lagi Gada Rencah menyabet.
Tahu-tahu saja ikat pinggang itu melilit di leher salah satu perampok itu. Dan
ketika Gada Rencah menariknya dengan sekuat tenaga, orang itu ikut terbawa.
Tubuhnya terlempar dengan kepala
membentur tembok.
"Praaak!"
Orang itu terbanting ke lantai
dengan kepala remuk mengeluarkan darah.
Tubuh itu kelojotan, kemudian diam kaku tak berkutik.
Dengan tenang Gada Rencah mengikat kulit kering itu melilit di pinggangnya.
Pada kesempatan itu dua orang perampok yang masih sisa langsung menerjang. Satu
orang menikam dengan pisau pendek dan seorang lagi membabatkan pedang
menyilang ke arah perut. Gada Rencah melompat ke atas. Babatan pedang serta
tikaman pisau kecil terhindar. Tapi kakinya bergerak cepat menghantam orang yang
memegang pedang.
"Bug!"
Orang itu bergalingan. Gada Rencah hinggap di lantai bagaikan daun jatuh.
Menyambut tikaman pisau kecil.
"Deb!"
Luar biasa pisau itu! Tidak dapat menembus dadanya. Membekas pun tidak.
Sudah tentu si penikam itu
terheran-heran dibuatnya. Dalam pada itu Gada
Rencah langsung melancarkan
serentetan hantaman.
"Des...! Des...! Des...!"
Rampok yang bersenjatakan pisau
kecil terlempar! Hantaman-hantaman itu tepat mengenai pada bagian yagn
mematikan. Dari mulut serta hidungnya mengalir darah segar. Pandangannya kabur.
Gada Rencah melompat lagi, kali ini tendangannya disertai tenaga penuh.
Dan saat telapak kakinya menggedor dada lawannya, orang itu langsung mati dengan
seketika. Tinggallah seorang perampok lagi. Kalau tidak salah dialah
pemimpinnya. Ia bersenjatakan sebilah pedang. Wajahnya masih tertutup rapat
dengan kain sarung. Hanya kedua matanya saja yang nampak menatap jalang.
Pedangnya yang tajam mengkilap terhunus.
Langkahnya bergerak perlahan maju.
Matanya mengamati posisi Gada Rencah.
* * * 4 Ketika Gada Rencah menggertak
menyerang. Pedang tajam memutar tiga kali babatan.
"Bret...! Bret...! Bret!"
Gada Rencah diam tak bergeming. Di tubuhnya membekas goresan-goresan putih.
Kemudian goresan-goresan itu menghilang kembali seperti semula. Ilmu kebal! Gada
Rencah memiliki ilmu yang langka seperti itu.
Perampok yang masih tersisa mundur beberapa langkah. Namun Gada Rencah
mengikutinya. Pedang itu menghantam lagi di lehernya. Gada Rencah menyambut
babatan itu dengan telapak tangan. Cepat ia mencengkeram erat bilah pedang yang
tajamnya bukan main. Sehingga perampok itu tak sanggup untuk menarik kembali.
Di luar dugaan, Gada Rencah menarik kuat bilah pedang yang dicengkeramnya,
sehingga perampok ikut terbawa. Dan ketika tubuhnya terseret mendekat, Gada
Rencah melancarkan hantaman ke bagian dada. Kontan saja darah menyembur.
Manusia berkedok itu terhuyung.
Ki Sapta Nrenggana langsung
menyambar pedang yang tergeletak di lantai. Ia membabat ke perut orang yang
masih sempoyongan. Sudah jelas orang itu tidak dapat mengelakkannya. Perutnya
robek melebar. Ia menggelepar gelepar bersimbah darah, seluruh lantai di
sekitarnya memerah. Tapi Ki Sapta Nrenggana belum juga puas dengan
babatannya tadi. Dengan geram ia
mencincang habis tubuh yang sudah diam membeku.
"Cukup, Ki. Cukup. Seluruh lantai ini akan menjadi kotor. Cukup!" Gada Rencah
mengguncang-guncangkan punggung Ki Sapta Nrenggana. Amukannya luar biasa. Cepat-
cepat Gada Rencah menahan genggaman pedang itu. Barulah Ki Sapta Nrenggana
berdiri tenang dengan nafas
saling memburu. Matanya melotot tegang.
Ia melempar pedang itu sampai menancap ditubuh yang tergeletak bersimbah darah.
Para perempuan penghibur yang masih telanjang bulat meluruk ke arah Ki Sapta
Nrenggana, mereka memberikan pakaian salin.
"Tenanglah, Ki..., Kita sudah membereskan ketiga perampok itu, kenapa musti
membuang tenaga hanya karena emosi. Sekarang kumpulkan mayat-mayat mereka dan
bukalah kain penutup wajah mereka. " kata Gada Rencah. Maka suasana menjadi
tenang. Para pembesar yang masih segar bugar mengumpulkan mayat-mayat itu, meskipun
sebenarnya mereka nampak jijik. Ketiga mayat itu berpakaian serba hitam semua.
Hanya kain penutup wajah mereka saja yang berlainan warna.
Ki Sapta Nrenggana yang sudah berpakaian rapih langsung membungkuk membuka kain
penutup wajah mereka satu per satu.
"Apakah Ki Sapta kenal dengannya?"
tanya Gada Rencah setelah Ki Sapta Nrenggana membuka kain berwarna hijau.
"Tidak! Aku tidak kenal orang ini!"
Ki Sapta Nrenggana menggeleng.
"Coba yang di sebelahnya itu"
perin-tah Gada Rencah. Ki Sapta
Nrenggana langsung menarik kain berwarna biru bergaris-garis hitam. Sesaat ia
memandangi wajah yang mengerikan. Ki
Sapta Nrenggana mengernyitkan alis, kemudian....
"Semua asing bagiku. Tidak kukenal sama sekali" Sambil berjalan merunduk, ia
mendekati tubuh yang terkoyak akibat cincangannya tadi.
Sebelum Ki Sapta Nrenggana membuka kain penutup, ia bergidik melihat sosok mayat
itu. Bagaimana tidak, dari leher sampai pada bagian pinggang nampak terkoyak.
Pakaiannya sudah basah dengan cairan kental berwarna merah.
Sekali sentak, kain penutup itu
terbuka. Ki Sapta Nrenggana mendadak melotot seakan tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri.
"Darman..." Tanpasengaja suaranya keluar.
"Darman" Siapa Darman?" Gada Rencah ikut heran.
"Orang kampung sini juga! Rumahnya tidak jauh dari sini!"
Ki Sapta Nrenggana bangkit. Ia tidak memperdulikan orang-orang di
sekitarnya. Dengan langkah tergesa-gesa ia keluar gedung. Diamatinya sekeliling
pekarangan. Nampak dingin dan sunyi. Ada sesuatu yang dicarinya di luar. Maka ia
berjalan mengitari rumahnya.
Tak berapa lama ia melihat dua sosok tubuh tergeletak dekat semak-semak. Ki
Sapta Nrenggana kenal betul dengan dua sosok itu. Dengan geram ia menendangi dua
sosok yang tergeletak. Keduanya mulai
menggeliat. Dularata membuka matanya, pandangannya masih samar. Tapi ia tahu
orang yang menendanginya itu majikannya sendiri. Maka ia cepat-cepat bangun.
Surakarma merintih. Ulu hatinya masih terasa ngilu.
"Ada orang, Ki. Barusan ada orang!"
kata Dularata tergagap.
"Kalian berdua betul-betul tidak dapat diandalkan. Makan tahi kerbau saja kalian
semua. Untung saja Gada Rencah ada di sini! Kalau tidak, kalian akan sama
mampusnya dengan aku" Mendengar amarah Ki Sapta Nrenggana, Dularata dan
Surakarma tertunduk diam.
"Tunggu apa lagi di sini! Ayo masuk!
Dasar tolol!" Ki Sapta Nrenggana beringsut meninggalkan mereka. Dua anak buahnya
mengikuti dengan
langkah-langkah pincang.
* * * Warsih terjaga dari tidurnya,
karena mendengar anaknya memanggil-manggil. Sebentar kemudian ia
menggeliat. Matanya nampak kusam. Ia melihat anaknya sudah duduk di samping
tubuhnya.... "Ada apa, Ding.... Mau minum?" tanya Warsih. Oding mengangguk.
"Kenapa tidak ambil sendiri, kan biasanya"
"Takut, mak"
Dengan lesu Warsih bangkit. Ia turun dari tempat tidur kemudian berjalan ke arah
dapur. Tak lama ia kembali lagi dengan membawa segelas air. Oding menyambutnya.
Ia langsung menenggak habis air minum itu sambil duduk. Warsih jadi tidak dapat
tidur lagi walaupun tubuhnya sudah terbaring.
Sebenarnya hari hampir pagi, kicau burung dan kokok ayam jantan terdengar saling
bersahutan. Suara azan Subuh sudah berhenti. Warsih bangkit lagi, ia membetulkan
rambutnya yang kusut
tergerai. Setelah ia menggulung rambut ia berjalan membiarkan Oding anaknya
tetap duduk di atas ranjang. Ia mendorong pintu. Derit pintu bambu terdengar
panjang. Suasana pagi itu masih nampak gelap, bahkan dingin.
Pandangannya menerawang jauh dalam kegelapan, rumah-rumah penduduk nampak samar
tertutup kabut.
"Ahhhhhhhhh!"
Ia menggeliat lagi. Hidungnya
mendengus. Ada sesuatu aroma yang kurang sedap. Bau anyir. Pastilah ada bangkai
tikus di sekitar gubuknya, pikir Warsih.
Mula-mula Warsih tidak perduli,
malah ia mengutuki bangkai tikus itu.
Paling-paling ia mati karena kekenyangan mencuri kebun singkongnya.
Tapi bau anyir semakin menyeruak terbawa oleh angin yang menghembus ke arahnya.
Sehingga Warsih tahu dari mana
asal bau itu. Warsih beranjak dari balai," ia berjalan menyusuri arah bau itu
sambil mengendus-endus. Bau anyir semakin santer! Itu berarti ia sudah dekat. Ia
mengawasi sekitar situ, pandangannya membentur pada sesuatu yang tergeletak di
bawah pohon pisang. Warsih bertanya-tanya.
Bentuknya seperti
manusia tertelungkup. Ia makin
penasaran, karena justru bau anyir berasal dari situ. Mungki-kah mayat manusia"
Rasanya tidak mungkin! Ia tidak mendengar suara apa-apa semalam. Mungkin ada
orang yagn sengaja membuang
bangkai-bangkai tikus atau kucing di situ. Karena dekat situ memang tempat
sampah. Dengan menggunakan sebatang ranting ia mengais-ngais onggokan itu. Dirasakan
ujung ranting itu menyentuh sesuatu yang empuk berlapis cairan lendir. Setelah
itu Warsih melihat ujung rantingnya telah melekat cairan merah merambat.
Warsih yakin sekali kalau yang
dilihatnya itu adalah cairan darah. Maka ia cepat berlari balik ke dalam
gubuknya. Oding sudah terlelap tidur. Hati-hati sekali ia mengambil sebuah pelita, lalu ia
keluar lagi menuju ke tempat tadi.
Sebelah telapak tangannya menjaga agar api pelita itu tidak mati. Sesampainya di
tempat tadi Warsih hampir memekik, cepat ia menutup mulutnya. Sesosok tubuh
tergeletak di atas tumpukan-tumpukan
sampah. Dengan memberanikan diri ia membalikkan tubuh itu dengan sebelah
kakinya. Dan.... Bagai disambar petir ia melihat mayat yang sudah terkoyak.
Bagaimana pun juga Warsih masih dapat mengenali.
"Kang!!! Kang Darman! Kang
Darmaaannnn!" teriakan Warsih keras memekakkan telinga. Pagi yang dingin dan
sunyi tersentak kaget oleh
jeritan-jeritan histeris Warsih.
"Kang Darmaaaannnn.!!! Hu, hu, hu, hu... Kanggggg!!!"
Warsih mengguncang-guncangkan tu-
buh yang berlumuran darah. Pelitanya mati tertiup angin. Beberapa penduduk
terdekat yang mendengar suara jeritan Warsih m-nyerbu. Mereka langsung dapat
menemui Warsih yang tengah menangisi mayat suaminya. Dan ketika para penduduk
berdatangan, Warsih terkulai lemas. Ia tidak sadarkan diri.
* * * Wintara dan Mang Bayan duduk sila menghadapi mayat yang sudah dibungkus kain
kafan. Para penduduk sudah memenuhi ruangan itu. Seorang Kyai nampak tengah
membacakan ayat-ayat suci pengantar untuk acara pemakaman jenasah Darman.
Oding anak tunggalnya nampak diam, tapi Warsih masih sesenggukan dalam pelukan
seorang perempuan tetangganya. Ia tidak
kuasa melihat tubuh Darman suaminya terbujur kaku yang sebentar lagi lenyap dari
pandangannya. Beberapa orang pelayat datang lagi ke dalam gubuk itu. Semua orang-orang yang
berada di situ mengarahkan
pandangannya kepada beberapa orang yang baru datang. Wintara langsung tersenyum
setelah melihat mereka. Orang yang berdiri paling tengah bersikap angkuh.
Matanya seakan tidak puas memandangi mayat Darman. Wintara langsung bangkit
menyambut beberapa pelayat itu.
"Silahkan duduk, Ki Sapta
Nrenggana. Maaf tempatnya sempit.!" kata Wintara ramah. "Sebentar lagi jenazah
akan dikuburkan di halaman belakang rumah. " katanya lagi.
"Terima kasih. Kami tidak akan berlama-lama di sini, masih banyak urusan-urusan
yang lebih penting" jawab Ki Sapta Nrenggana dengan nada bicara yang kurang enak
didengar. Lalu ia memberi isyarat pada orang yang berdiri di sebelahnya. Gada
Rencah mengerti isyarat yang sudah diatur sebelumnya.
Maka ia merogoh saku bajunya. Ia
mengeluarkan sekantong uang logam. Semua mata menatap pada Gada Rencah orang
asing di kampung Tapis Ledok. Di luar dugaan Gada Rencah melempar uang itu,
tepat mengenai wajah jenazah Darman.
"Sungguh suatu penghinaan," pikir Wintara. Mang Bayan sendiri melotot
tidak senang. Warsih tidak melihat peristiwa itu, karena ia telah hanyut dalam
perasaannya. Kalau saja tidak dalam keadaan
seperti ini, Wintara sudah melabrak para pelayat yang kurang sopan itu. Kenapa
harus dengan cara yang demikian" Apakah tadinya Kang Darman bermusuhan dengan Ki
Sapta Nrenggana"
Warsih menjerit histeris saat empat orang lelaki tetangganya menggotong jenazah
Darman. Sambil membacakan ayat-ayat suci mereka membawa jenazah itu untuk
dimakamkan. Wintara dan Mang Bayan tidak mengikuti upacara pemakaman.
Mereka sengaja diam di gubuk itu menemani Warsih. Saat itu Warsih sudah cukup
tenang. Ia menghapus air matanya yang mengembang di kedua kelopak matanya yang
membeng-kak. Ia baru sadar kalau Wintara dan Mang Bayan sudah ada di situ.
"Peristiwanya bagaimana, Bi.
Bagai-mana Kang Darman sampai mengalami nasib demikian tragis" tanya Wintara.
"Bibi juga tidak tahu, Den. Subuh tadi bibi menemukan mayat Kang Darman di depan
rumah. Bibi tidak tahu siapa yang membunuhnya" suara Warsih parau.
"Apa bibi tahu kalau kang Darman pernah bentrok dengan orang. Ng.... Atau


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barangkali punya musuh?"
"Tidak mungkin, Den. Tapi yah...
tidak tahu juga, mungkin ada orang yang sentimen terhadap kang Darman. Namanya
orang cari nafkah di kampung-kampung orang sudah tentu banyak saingan. "
Wintara menarik nafas panjang, lalu dihembuskan perlahan. Pandangan Warsih sayu,
air matanya mengembang lagi. Dan tangisnya pun meledak. Wintara langsung
mendekatinya. "Sudahlah, Bi. Pasrahkan saja.
Serahkan semua pada Tuhan, Kang Darman sudah tenang di alam sana. Tangisan bibi
akan mengusik ketenangannya...."
"Bibi pasrah. Bibi rela. Tapi bibi tidak kuat menerima ini semua"
Wintara diam, ia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia hanya mendengar isak tangis
Warsih. "Darimana Den Wintara tahu kejadian ini?" tanya Warsih sambil menghapus air
matanya. "Kampung Tapis Ledok dengan Kampung Karang Hampar tidak berjauhan, Bi. Semua
orang ramai membicarakan kematian Kang Darman. Karena itu suatu peristiwa yang
sangat menggemparkan" jawab Mang Bayan.
Wintara tetap diam. Sebenarnya ia ingin menjawab, tapi Mang Bayan sudah
menjawabnya lebih dahulu.
"Oh ya, Bi. Apakah sudah diterima uang selawatan yang sekantong tadi?" ka-ta
Mang Bayan lagi.
"Su-Sudah.... Kira-kira dari siapa ya" Bibi sampai tidak tahu"
"Dari Ki Sapta Nrenggana" jawab Wintara cepat.
"Apa" Dari Ki Sapta Nrenggana" Tidak mungkin, Den. Tidak mungkin. Tempo hari
saja bibi bermaksud minjam uang
kepadanya. Boro-boro sekantong uang, sepeser pun ia tidak memberi. Dia malah
menghina" suara Warsih tetap parau.
"Mungkin sekarang ia mulai prihatin terhadap bibi...."
* * * Ki Dulang Sungkar bukannya tidak
tahu kematian Darman suami Warsih.
Bahkan ia pun telah mendengar beberapa orang yang mati di rumah peristirahatan
Ki Sapta Nrenggana. Beberapa pembesar dan dua orang perampok. Hal itu bukan
suatu rahasia. Karena Ki Sapta Nrenggana sendiri yang menyuruh orang-orang Tapis
Ledok untuk menguburkan jenazah-jenazah mereka. Satu di antara orang itu
sekarang ada di kedainya. Menceritakan semua yang ia ketahui.
Ki Dulang Sungkar mempunyai
kesimpulan lain. Sekali pun Darman ikut merampok pada malam itu, Ki Dulang
Sungkar cukup bangga akan keberaniannya.
Hanya sayang Darman tidak berhasil.
Birdun masih mengoceh terus menceritakan pengalamannya setelah ia menguburkan
beberapa orang yang tewas di rumah peristirahatan Ki Sapta Nrenggana.
"Anehnya, Ki.... Pakaian yang dikenakan kang Darman sama betul dengan
kedua perampok yang tadi pagi saya kuburkan. Semuanya serba hitam.
Jangan-jangan" kata Birdun terputus.
"Jangan salah paham, Dun. Lagipula dua perampok itu kan bukan orang sini.
Mana mungkin Darman ikut terlibat. Semuanya terjadi secara kebetulan. "
potong Ki Dulang Sungkar.
Birdun menenggak kopinya. Lalu....
"Kematian kang Darman begitu sadis, Ki. Bagaimana ia tidak terlibat?"
"Stttt... Hati-hati kalau bicara.
Kau lihat di sana itu?" kata Ki Dulang Sungkar berbisik perlahan, Birdun
langsung menoleh mengikuti pandangan mata Ki Dulang Sungkar.
"Alihkan pembicaraanmu, Dun" bisik Ki Dulang Sungkar lagi. Birdun malah jadi
takut. Karena yang dilihatnya tidak lain adalah Ki Sapta Nrenggana bersama
kawan-kawannya menuju kedai di mana Birdun nangkring.
"Tenang.... Tenang, Dun. Jangan pergi dari tempat dudukmu. Kalau kau pergi
mereka akan bertambah curiga" kata Ki Dulang Sungkar. Tapi Birdun semakin takut.
* * * 5 Ki Sapta Nrenggana memandang sinis Ki Dulang Sungkar yang nampak sibuk melayani
seorang tamu. Ketika mereka tiba di depan kedai Ki Sapta Nrenggana langsung
mendorong tubuh Birdun sampai tersingkir dan jatuh ke tanah. Kemudian Birdun
lari menjauh. Dularata dan Surakarma mengu-rung Ki Dulang Sungkar, Gada Rencah
mengawasinya dengan teliti di samping Ki Dulang Nrenggana. Lalu ia berbisik.
"Benar kata mereka, Ki. Ki Dulang Sungkar betul-betul si Sambar Nyawa."
"Kau jangan menakut-nakuti, Gada Rencah"
"Brang...!
Gdombraaaang...!"
Tiba-tiba saja Dularata menendang meja dagangan itu, semua barang-barang dan
makanan terbalik habis. Tapi Ki Dulang Sungkar tetap tenang. Mendengar suara
berisik Maladewi keluar dari dapur, ia baru saja menanak nasi. Begitu ia keluar,
Surakarma menjegal. Ia langsung memdekap tubuh ramping itu.
Ki Dulang Sungkar cepat bertindak.
"Blak!"
Tendangannya menghantam di bagian tulang rusuk. Surakarma yang membekap Maladewi
jatuh. Maladewi yang terlepas dari bekapan itu lari berlindung di belakang Ki
Dulang Sungkar.
"He... he... he... he.... Serahkan anak gadismu padaku, Ki. Lebih baik kita
mengikat tali persaudaraan. Maka
urusannya akan beres. He... he...
he...." Ki Sapta Nrenggana membujuk.
"Chis.... Siapa sudi mengikat tali persaudaraan dengan lelaki tua bajingan!
Kau boleh berhasil mengawini gadis-gadis di kampung ini Tapi untuk mengawini
putriku, jangan harap kau akan bisa"
jawab Ki Dulang Sungkar.
"Kalau begitu, aku akan memaksa"
"Mentang-mentang kau orang terkaya di kampung ini, kau bisa bertindak
seenaknya?" kata Ki Dulang Sungkar lagi.
Ia langsung melompat. Tinjunya melayang menghantam Surakarma.
"Des...!"
Lalu tendangan memutar beraksi
menyambar Dularata.
"Beg...!"
Dularata kelojotan. Dadanya terasa sakit.
"Kalau kau bisa berbuat seenaknya, Aku pun bisa" kata Ki Dulang Sungkar.
Tendangannya berputar lagi.
"Wess...!"
Melempar ke luar Dularata maupun
Surakarma sampai bergulingan ke tanah.
Keduanya hampir tidak dapat bangun.
Ki Sapta Nrenggana mundur ke samping Gada Rencah. Ia jadi keder melihat
kehebatan Ki Dulang Sungkar. Sekarang ia
baru yakin kalau si Samber Nyawa, Ki Dulang Sungkarlah orangnya.
"Ki Dulang Sungkar. Sungguh bagus nama barumu itu" kata Gada Rencah yang tetap
berdiri dengan kedua lengan melipat di dada.
"Aku yang muda ini telah bersusah payah mencari seseorang yang berjudul Samber
Nyawa. Ternyata akhirnya selama bertahun-tahun kutemukan juga orangnya di sini.
Sekali pun rambut dan janggutmu telah mengalami perubahan, Aku masih dapat
mengenalimu" Gada Rencah menurunkan kedua lengannya. Ia menuding-n-ding seakan
meremehkan. "Siapa pun dirimu. Dan apa pun alasanmu. Kau sama saja bagai seekor anjing
piaraan" Jawab Ki Dulang Sungkar, ia melangkah semakin jauh ke luar dari kedai.
"Bukan anjing piaran. Tapi anjing pembunuh. Kau masih ingat dengan nama besar
Bah Lodaya?"
Ki Dulang Sungkar tidak menjawab.
Ingatannya mundur pada beberapa belas tahun yang lalu.
Bah Lodaya. Orang yang terakhir
dibunuhnya. Mereka pernah bertarung di sebuah lembah. Dan mengalami kematian
secara tragis di tangan Ki Dulang Sungkar. Membiarkan mayat Bah Lodaya
dikerubuti oleh burung-burung pemakan bangkai. Ki Dulang Sungkar tersenyum.
Lalu.... "Siapa yang tidak kenal dengan tokoh cabul seperti Bah Lodaya" Kalau saja ia
tidak membunuh dan memperkosa istriku, mungkin aku tidak akan bentrok
dengannya" jawab Ki Dulang Sungkar.
"Kalau begitu, aku si Gada Rencah akan membuat perhitungan!" Gada Rencah
bersiap-siap memasang jurus. Dularata dan Surakarma sudah bangkit siap
membantu. Mendadak Dularata dan
Surakarma menyerang berbarengan.
"Hreaaaaa!"
Ki Dulang Sungkar merunduk. Dua
lengannya memutar sekaligus ke atas.
"Bug...! Bug!"
Dularata mau pun Surakarma
terpelanting jatuh. Gada Rencah maju menyerang. Jotosannya melayang di atas
kepala Ki Dulang Sungkar. Meskipun tidak mengena, anginnya menggetar rambut
putih Ki Dulang Sungkar. Dan ketika Ki Dulang Sungkar membalas. Hantaman-
hantaman mereka beradu keras.
"Dessss...!"
Gada Rencah menarik lengannya,
kemudian ia mengganti serangan itu dengan sebuah tendangan cepat. Ki Dulang
Sungkar melompat ke atas. Di saat tubuhnya masih berada di udara, dua telapak
tangannya menepak tendangan tersebut.
"Blaaak!"
Gada Rencah menarik kakinya.
Surakarma melompat cepat menerjang dari arah belakang. Tinjunya mengarah di
punggung Ki Dulang Sungkar berbalik menyambut serangan Surakarma dengan sodokan
telapak tangan. Surakarma memekik kesakitan. Ulu hatinya seperti tertembus benda
tajam. Melihat Surakarma kelojotan Dularata menggantikan
posisinya. Ia pun maju melancarkan tendangan.
Gada Rencah juga sudah melancarkan serangan dari samping kiri. Menghadapi dua
serangan sekaligus Ki Dulang Sungkar berdiri tegak menyambut tendangan Dularata
tepat mengenai bagian dada.
"Deb!"
Sungguh aneh! Begitu telapak kaki Dularata menyentuh dada, tubuhnya terpental
seperti ada suatu tenaga dalam yang mendorongnya. Tapi menghadapi serangan Gada
Rencah, Ki Dulang tak dapat menahannya lagi.
"Bug...!"
Hantaman itu mampu menggeser sampai beberapa langkah. Ki Dulang Sungkar
terkesiap. "Anak muda! Dari mana kau mendapat ilmu pukulan 'Tinju Pasir Wesi'!" Ki Dulang
Sungkar heran. "Sudah kubilang aku harus berurusan denganmu, Samber Nyawa! Karena aku Gada
Rencah murid Bah Lodaya. Hreaaaaat!"
Sambil berkata begitu Gada Rencah melompat. Ki Dulang Sungkar mundur sambil
merunduk. Tendangan itu lolos melewati bagian atas. Tapi dalam keadaan seperti
itu Gada Rencah menghantamkan pukulan ke bawah.
"Blaaar!"
Ki Dulang menangkis serangan itu.
Rambutnya yang putih berubah tergerak terkena angin pukulan tersebut. Cepat Ki
Dulang Sungkar berguling ke depan, lalu bangkit menatap nanar.
"Baiklah. Rupanya murid dan guru harus dibikin mampus. majulah murid cabul!"
Teriakan Gada Rencah menggelegar disertai dengan terjangan" begitu juga dengan
Ki Dulang Sungkar. Ia pun tidak kalah gentar. Dua terjangan dari arah yang
berlawanan saling beradu.
"Duarrrrr!"
Keduanya terpental, Gada Rencah
terlempar beberapa tombak ke belakang.
Ki Dulang Sungkar pun demikian, dari sela-sela bibirnya mengalir darah merah.
Ia terbanting keras dekat Surakarma yang masih memegangi dadanya. Melihat
keadaan yang begitu, Surakarma melancarkan serangan. Tapi meskipun Ki Dulang
Sungkar terlentang di tanah, ia sempat menyambut serangan itu. Bahkan dua
hantamannya sekaligus menghantam bagian leher dan perut.
Surakarma memekik, suaranya tidak keluar. Ia masih berdiri di hadapan Ki Dulang
Sungkar. Kedua matanya melotot
menahan sakit. Sekali lagi Ki Dulang Sungkar menghentakkan sebelah kakinya
menghantam jatuh tubuh Surakarma.
"Des!"
Maka Surakarma terbanting ke
belakang. Tak bergeming lagi.
Dularata tidak berani maju. Ia
pura-pura mengelilingi Ki Dulang
Sungkar. Gada Rencah menggeram marah.
Nafas-nya masih terasa sesak akibat benturan tadi. Ki Dulang Sungkar sudah
bangkit, ia menghapus darah yang meleleh di sudut bibirnya. Matanya memerah
menatap Gada Rencah. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat ia menyerang Gada
Rencah. "Plaaak!"
Gada Rencah yang sudah tahu akan
mendapat serangan langsung menepis dengan sebelah lengannya. Lalu membalas
dengan sebuah tendangan yang mengarah bagian perut. Sebelum tendangan itu
mengenai, Ki Dulang Sungkar cepat bergerak mundur sambil tangannya
mengibas ke depan.
"Bweeeet!"
Maksudnya menghantam tendangan itu.
Tapi Gada Rencah membacanya, maka ia cepat menarik kakinya dan di luar dugaan
tinjunya melayang cepat menghantam muka Ki Dulang Sungkar.
"Dueeeeer!"
Ki Dulang Sungkar mundur terhuyung.
Dirasakan tulang rahangnya remuk. Tinju Pasir Wesi membuat kedua pandangan Ki
Dulang Sungkar meremang.
Ki Sapta Nrenggana tersenyum puas melihat
Ki Dulang Sungkar mundur
terhuyung. Ia mengalihkan perhatiannya ke arah kedai. Maladewi berdiri
ketakutan dan khawatir di balik pintu.
Langkahnya langsung menuju ke situ.
Maladewi melihat Ki Sapta Nrenggana mendatangi. Cepat ia berlari ke dalam
mengunci pintu. Ki Sapta Nrenggana yang sudah berada di depan pintu langsung
menendang. Setelah ia menendang ketiga kali, barulah pintu itu terbuka. Nampak
Maladewi gemetar ketakutan. Ia tidak bisa menolak lagi ketika Ki Sapta Nrenggana
menariknya dengan kasar.
Maladewi meronta-ronta, tapi cengkraman itu demikian kuat. Ki Sapta Nrenggana
menyeretnya keluar.
Maladewi menjerit-jerit. Ki Dulang Sungkar yang melihatnya, bukan kepalang marahnya.
"Wees!"
Tendangan Gada Rencah menghalangi langkahnya. Kalau saja Ki Dulang Sungkar tidak
cepat bergeser mungkin dadanya sudah remuk. Sekali lagi tendangan itu menyambar.
Ki Dulang Sungkar mengangkat lengannya, maka tendangan Gada Rencah menyimpang.
Tahu-tahu sikutnya bergerak maju menghantam pinggang.
"Beg!"
Tubuh Gada Rencah melintir setelah mendapat serangan itu. Tapi jotosannya sempat
pula membalas. "Deeees!"
Menghantam punggung Ki Dulang
Sungkar. Darah menyembur dari mulutnya.
Maladewi meronta-ronta dalam
dekapan Ki Sapta Nrenggana yang berusaha membawanya dari tempat itu. Dularata
juga ikut memegangi tubuh Maladewi yang meronta-ronta. Tiba-tiba saja....
"Deeees!"
Sebuah hantaman mendarat telak di punggung Ki Sapta Nrenggana.
"Argg...!"
Ki Sapta Nrenggana memekik
kesakitan. Maladewi terlepas dari dekapannya. Tapi bukan berarti Maladewi


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlepas dari cengkraman Dularata. Ki Sapta Nrenggana tersentak kaget melihat
sosok tubuh tegap yang barusan
menyerangnya. Wintara tersenyum
mengejek. "Ki Sapta Nrenggana. Orang yang cukup berpengaruh di Tapis Ledok, ternyata
seorang buaya darat yang rakus akan anak-anak perawan orang" Kata Wintara.
Selintas pandangannya tertuju pada pertarungan Ki Dulang Sungkar bersama Gada
Rencah. "Ini perampokan secara
terang-terangan namanya.
Merampok anaknya dengan cara kekerasan. Atau bila
perlu membunuh orang tuanya. Hukum apa ini?" Kata Wintara lagi.
Ki Sapta Nrenggana berjalan mundur ke arah Dularata yang masih memegangi
Maladewi. Gadis itu pun masih
meronta-ronta. "Wintara. Tolong!" Maladewi menjerit. Ki Sapta Nrenggana langsung membekap mulut
gadis itu. Dularata melepaskan bekapannya karena ia telah menerima isyarat dari
Ki Sapta Nrenggana. Selanjutnya ia menyerang Wintara.
Wintara buru-buru mundur. Dularata menyerang dengan melancarkan beberapa pukulan
beruntun. Tiga hantaman sekaligus melesat, tapi pada serangan terakhir.
"Des!"
Jotosan Dularata mengenai lengan.
Wintara memutar membalas. Dularata merunduk sambil merrangkis serangan itu.
Namun di luar dugaan kaki Wintara maju ke depan menghantam perut.
"Beg!"
Dularata terjungkal ke belakang.
Wintara sengaja menanti Dularata
bangkit. Dan begitu Dularata bangun, sebuah tendangan memutar menghantam
mukanya. "Blaaaak!"
Membuat Dularata ambruk lagi.
Melihat situasi yang tidak
memungkinkan, Ki Sapta Nrenggana
menyeret Maladewi menjauh dari tempat itu. Tentu saja Wintara tiak akan
membiarkannya, ia bermaksud
mengejarnya. Tapi....
"Splaaaak!"
Kaki Dularata menyambar menghalangi langkah Wintara.
Ia pun jatuh bergulingan. Dularata melompat
menyerang Wintara yang masih bergulingan di tanah.
"Des...! Des...!"
Dua kali hantaman bersarang di dada Wintara. Dengan sekuat tenaga ia
mendorong tubuh Duralara yang menindih.
"Des!"
Sebuah jotosan berhasil menggulingkan tubuh Dularata. Sekarang Wintara berada di
atas, Dularata meronta-ronta.
Tapi hantaman-hantaman Wintara yang bertubi-tubi yang diarahkan pada bagian
muka, membuat Dularata tak berkutik. Ia pingsan dengan seketika.
Ki Sapta Nrenggana sudah berada jauh dari kedai. Wintara yang melihat
Maladewi dalam bekapan Ki Sapta
Nrenggana langsung mengejar. Dalam pada itu Maladewi menggigit lengan yang
memeluk erat. Ki Sapta Nrenggana
memekik. Maladewi jatuh terbanting.
Wintara langsung mengarahkan tendangan melompat.
"Bug!" Ki Sapta terjungkal.
Gada Rencah melesat cepat
meninggalkan Ki Dulang Sungkar. Hanya
dengan beberapa kali jumpalitan di udara, Gada Rencah sudah berada di hadapan Ki
Sapta Nrenggana. Wintara begitu kaget. Ki Dulang Sungkar
mengikuti! Di saat Gada Rencah melesat, tubuh Ki Dulang Sungkar tidak kalah
cepatnya menyusul.
Dan di saat Gada Rencah melancarkan pukulan ke arah Wintara, Ki Dulang Sungkar
mematahkan serangan itu dengan sebuah tendangan.
"Blaaak!"
Terhindar Wintara dari maut. Pukul-an Tinju Pasir Wesi' menyerang lagi. Kali ini
kedua tinjunya melayang sekaligus.
Tinju kanan mengarah pada Wintara, dan tinju kiri menghantam keras ke bagian
dada Ki Dulang Sungkar.
Sebelum pukulan-pukulan itu mengenai, Ki Dulang Sungkar menendang tubuh Wintara.
Maksudnya agar ia tidak terkena 'Tinju Pasir Wesi'. Memang benar usaha itu
berhasil. Tapi ia sendiri tidak dapat mengelakkan pukulan yang menghantam
dadanya. "Deeer!"
Ki Dulang Sungkar tersungkur sambil menyemburkan darah. Namun hanya dengan satu
hentakan, Ki Dulang Sungkar sudah bangkit kembali. Wintara maju menyerang, tapi
Ki Dulang Sungkar menahannya sambil berbisik.
"Dia amat berbahaya. Kau jaga saja Maladewi. Biar keparat ini aku yang hadapi"
"Tidak, Ki. Justru dia berbahaya, kita hadapi berdua. Soal Ki Sapta Nrenggana
urusan belakangan" jawab Wintara.
"Awas!" Ki Dulang Sungkar teriak.
Gada Rencah menyerang mereka. Dua pukulannya menyilang, kemudian menyusul sebuah
tendangan. Ki Dulang Sungkar melompat sambil mendorong tubuh Wintara ke samping,
maka serangan-serangan itu gagal. Gada Rencah menatap geram.
"Ki Sapta Nrenggana, bawa pergi gadis itu dari sini! Sebentar lagi cecoro-cecoro
ini bakal mampus.
Hraaaaaaat!!" teriakan Gada Rencah menggelegar.
"Bug!"
Wintara terpelanting kena tendangan Gada Rencah.
"Blaaaar!"
Ki Dulang Sungkar menyambut pukulan
'Tinju Pasir Wesi'. Kedua lengannya terasa nyeri. Belum hilang rasa sakit itu,
sebuah tendangan menyambar bagian kepala. Cepat Ki Dulang Sungkar
merunduk. Tapi tangan kanan Gada Rencah menghantam telak kepala Ki Dulang
Sungkar. Wintara bangkit balas
menyerang. Tubuhnya berputar, lalu melakukan tendangan ke atas.
"Bwuaaaaak!"
Wintara mencelat ke belakang.
Ki Dulang Sungkar masih mengerang kesakitan, kedua telapak tangannya memegangi
kepala. Tubuhnya terhuyung seakan tak terkendali. Langkah-langkahnya pun
limbung. Gada Rencah berjalan mendekati dengan tatapan yang dipengaruhi oleh
dendam. Ki Dulang Sungkar sudah tidak dapat melancarkan serangan lagi. Ia masih
merasakan sakit yang begitu hebat.
Pandangannya seperti berputar. Sewaktu Gada Rencah mencengkram kerah bajunya, Ki
Dulang Sungkar tak dapat berbuat apa-apa.
Seluruh tulang-tulang Wintara
terasa remuk akibat tendangan tadi. Ia berusaha bangkit walaupun dengan susah
payah. Ia melihat Gada Rencah mengangkat leher Ki Dulang Sungkar ke atas, dan
tangan kanannya siap menghantam....
"Jangaaaaan...!" teriakan Wintara terlambat. Hantaman tangan kanan Gada Rencah
yang disertai tenaga dalam menembus ke perut Ki Dulang Sungkar. Lalu ia
mengangkat ke atas tubuh yang
berkelojotan tanpa nyawa. Darah mengalir deras membanjiri lengan kanan Gada
Rencah, bahkan menghambur sampai ke wajahnya.
"Bah Lodaya. Kau lihat ini! Aku muridmu Gada Rencah berhasil melumatkan si
Samber Nyawa. Kau lihat! Aku telah bermandikan darahnya! Semoga kau puas di alam
baka sana!"
* * * 6 "Semua hutang nyawa ini telah lunas, Bah Lodaya. Semuanya berakhir! Sesuai
dengan yang kau inginkan. Puaskah kau"
Puaskah" Hua.. ha..ha...ha!" Gada Rencah berteriak lantang, wajahnya menatap ke
langit. Tubuh Ki Dulang Sungkar masih tetap di atas dengan perut tertembus
lengan kanan Gada Rencah.
Wintara menatap geram. Dengan
tenaga sisa ia berusaha bangkit, lalu menerjang ke arah Gada Rencah. Emosinya
yang disertai hawa nekad membuat
serangannya makin bersemangat. Seluruh rasa sakitnya menghilang. Gada Rencah
menyambutnya dengan tenang. Sebelum Wintara melancarkan serangan, Gada Rencah
melempar tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke samping. Lalu kakinya berputar
keras menghantam"
"Dues!"
Tendangan itu menghantam telak ke muka. Wintara terguling Pandangannya kabur. I
a melihat Gada Rencah berdiri di hadapannya menyeringai.
"Sebelumnya kita tidak pernah berurusan, sobat. Tapi kau yang memulai mencampuri
Pendekar Laknat 11 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Naga Naga Kecil 11
^