Pencarian

The Truth About Forever 1

The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 1


Neighbour from Mars Kereta jurusan Jakarta- Yogya berjalan tenang di antara persawahan. Di dalam kereta itu,
seorang cowok berumur dua puluh tahun tertidur dengan mulut separuh terbuka. Suara dentumdentum keras terdengar dari headphone besar yang merosot dari telinganya dan malah melingkari
lehernya. Seorang anak perempuan menatap wajah cowok di depannya itu dengan cermat. Ibu dari anak
perempuan itu juga sedang terkantuk-kantuk. Anak perempuan itu bangkit dan mendekati cowok
di depannya. Dia memperhatikan iPod yang ada di tangan cowok itu, lalu menjulurkan tangan,
bermaksud menyentuhnya. "Jangan!" seru cowok itu, membuat anak perempuan itu tersentak kaget. Namun, mata cowok itu
masih terpejam. Rupanya, dia hanya mengigau.
Anak perempuan itu menghela napas lega, lalu kembali menjulurkan tangannya. Tiba-tiba,
cowok iti bergerak gelisah.
"Jangan! Lepasin gue!! JANGAN!!!" seru cowok itu.
Si anak perempuan terlonjak kaget dan akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi.
"Ada apa?" kata ibu dari anak itu. Rupanya ibu itu terbangun karena teriakan keras si cowok.
"Ada apa, Lani?"
Anak perempuan bernama Lani itu dengan segera menangis, lebih karena kaget. Ibu si anak
menenangkannya, lalu melirik tajam ke arah cowok tadi.
Yogas, si cowok tadi, masih terlalu kaget dengan mimpinya. Mimpi buruk yang sudah sekian
tahun mengganggunya. Yogas menyeka keringat dingin yang mengalir deras di wajahnya, lalu
menatap si ibu yang juga menatapnya tajam.
"Oh. Maaf, Bu," kata Yogas setelah melihat Lani masih terisak meski dia tak tahu persis apa
kesalahannuya. Si ibu tidak begitu peduli dengan permintaan maaf Yogas, bahkan membuang muka. Yogas
menggigit bibirnya merasa bersalah, lalu membetulkan duduknya. Setelah memastikan si ibu
tidak kembali menatapnya, Yogas membuang pandangannya ke luar jendela. Kereta masih
melintasi persawahan. Yoga menghela napas berat mengingat mimpinya tadi. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram
lengan kirinya erat. *** Yogas sudah sampai di Yogya, kota yang dua hari lalu tidak pernah terpikirkan akan menjadi
kota tempat tinggalnya. Saat itu, temannya memberi tahu tempat tinggal seseorang yang sedang
dicarinya. Yogas berjalan ke luar stasiun, lalu menatap ke sekeliling. Di sebelah kanan, terdapat rel kereta
apa dan jalan Malioboro yang terkenal itu. Sekitar enam tahun lalu, saat studi tour bersanma
teman-teman sekolahnya, Yogas pernah ke sana. Selain itu, Yogas sama sekali tak tahu menahu
tentang kota itu. Nekat. Itulah modalnya datang ke kota ini. Sekarang, Yogas tak bisa mundur lagi. Dia sudah
mendapatkan info penting tentang seseorang yang dicarinya, dan dia tidak mau kehilangannya
lagi. Setelah menghela napas, Yogas memanggul carrier-nya dan mulai berjalan untuk mencari bus
kota. Yogas menatap rumah-rumah di depannya yang tampak seperti bangunan kost. Dia sampai
dengan selamat setelah penjual minuman di depan stasiun menyuruhnya untuk naik bus nomor 4.
Sekarang, dia berada di kawasan perumahan dekat kampus UGM dan berniat untuk memcari
kost. Yogas tidak memiliki banyak uang. Dia memiliki simpanan, tetapi tidak akan dihabiskannya
untuk sebuah kost yang bertingkat mewah. Dia akan mencari kost dengan harga sewa semurahmurahnya. Tidak perlu bagus, toh dia tidak akan lama berada di kota ini. Setelah bertemu dengan
orang yang dicarinya, Yogas akan segera pergi.
Setelah dua jam mencari, Yogas berhenti di sebuah ruang makan. Agar hemat, Yogas hanya
membeli nasi, sayur, dan dua tempe. Dia hanya membayar empat ribu rupiah untuk makanannya
itu. Seytelah menyelesaikan makan siangnya, Yogas bertanya pada si penjual letak kost cowok yang
murah. Si penjual menyarankan untuk pergi ke tempat kenalannya yan ada di gang sebelah.
Yogas pun mengikuti sarannya.
Dan, di sini lah dia berada, di depan sebuah bangunan reyot yang sepertinya hanya tinggal
menunggu waktu untuk rubuh. Bangunan itu bertingkat dua dan tampak menyeramkan karena
semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan itu juga tampak seperti akn jatuh kalau diterpa
angin sepoi. "Ada nih, yang tinggal di sini?" Yogas bergumam sangsi. Namun, dia tetap melangkahkan
kakinya masuk. "OH, MAU KOST" BOLEH-BOLEH!!!"
Seorang ibu berdaster batik yang merupakan pemilik kost menyambut Yogas dengan suara
stereo, membuat Yogas merasa headphone-nya akan sangat berguna untuk menghindari
kerusakan telinga. Ibu itu terlihat histeris. Yogas jadi curiga, jangan-jangan kost ini tidak
berpenghuni. "Saya mau masuk hari ini juga, Bu," kata Yogas sambil duduk di sofa yang segera mengeluarkan
debu. "MASUK HARI INI JUGA" OH, BOLEH!!" sahut ibu itu lagi, matanya sekarang berbinarbinar. Bahkan, nyaris berkaca-kaca.
"Saya juga mau bayar lunas sekarang," kata Yogas lagi, lalu dengan segera menutup telinganya
sebagai antisipasi. "OHHH!! BAYAR LUNAS SEKARANG JUGA BOLEEHHHH!" Ibu itu kembaki menyahut.
Kini, dia sudah menangis.
Yogas menatapnya simpati. Ibu itu menyeka air matanya, lalu menggenggam tangan Yogas erat.
Yogas tak sempat menghindar. "Nak... siapa tadi?"
"Yogas," jawab Yogas pendek.
"Nak Yogas, kost ibu ini udah hampir gak ada penghuninya. Tinggal orang di bawahdan satu
orang di atas. Kamu liat sendiri, kan, kondisi kost ini. Gak ada yang mau kost di sini," ratap ibu
itu dengan logat Jawa yang kental.
"Terus kenap..."
"Terus, ibu juga gak punya duit untuk renovasi," potong si ibu. "Jadi satu per satu semua pada
pergi. Sisanya bertahan karena mereka pada gak mampu bayar kost-kostan yang lain. Saya
kasihan sama mereka..."
Yogas mengangguk-angguk dengan mata kosong, seolah melakukannya hanya untuk formalitas.
Si ibu tidak memperhatikannya dan sekarang sudah kembali terisak. Yogas seperti sedang
nonton sinetron. "Tapi!! Kamu tiba-tiba datang menyelamatkan saya!! Terima kasih, Nak!!" sahutnya membuat
Yoga tersenyum kaku. Dia harus cepat menyelesaikan ini kalau tidak mau telinganya jadi
korban. "Kalo gitu... boleh saya tau di mana kamar saya, Bu?" tanya Yogas setelah memebri sejumlah
uang kepada ibu kost. Ternyat, biayanya amat sangat murah, jauh di luar perkiraan Yogas.
"Ohh! Kamu kamu di lantau dua, gak apa-apa ya?"
"Gak apa- apa, Bu. Emangnya kenapa?" tanya Yogas curiga.
"Ng... kamar yang di bawah, kecuali yang ditempatin rusak. Cuma sisa satu kamar di atas yang
masih bisa dipakai," kata si ibu dengan mata tertuju pada beberapa lembar uang seratus ribuan di
tangannya. "Ohh, oke deh. Gak apa-apa."
"Tapi, Nak, masalahnya, kamar yang di atas itu. Ng... gimana yah... kamar cewek," kata si ibu
lagi, membuat Yoogas melongo.
"Hah" Jadi, ini kost cewek?" tanya Yogas, merasa capek karena sudah mengobrol panjang lebar.
"Bukan, ini kost campuran. Yang cowok di bawah, yang cewek di atas. Tapi, berhubung yang di
bawah pada rusak, jadi yang sisa cuma di atas," ibu itu nyengir bersalah. "Tapi, gak apa-apa kok,
Nak. Si cewek anak baik!"
Yogas lagi-lagi melongo. Sebenarnya, yang harus merasa terancam itu siapa"
"Bu, saya buaknnya gak mau, tapi apa cewek itu mau?" tanya Yogas lagi.
"Oh, kamu tenang aja! Dia pasti mau, kok, pasti mau! Orang dia keponakn saya!" sahut si ibu
kost membuat Yogas melongo untuk kesekian kalinya. Orang macam apa yang membiarkan
orang asing tinggal di sebelah keponakannya sendiri?"
"Tapi, Bu..." "Sudah, sekarang kamu naik saja ke lantai dua. Kamar kamu nomor sebelas. Kalo kamu butuh
apa-apa, tinggal datang ke sini, ya?" kata Ibu kost tak sabar.
Yogas menganggu, lalu bangkit sambil melirik si ibu yang sudah sibuk menghitung uang. Dia
menghela napas, memanggul ranselnya, dan bergerak keluar rumah ibu kost.
"Duuh! Aku kenapa, sih?"
Sebuah teriakan cempreng terdengar dari dalam kamar nomor sepuluh. Penghuninya, Kana,
sedang tergeletak di lantai sambil menjambaki rambutnya dengan frustasi.
Tak lama, dia bangun dan menatap komputer yang ada di depannya. Di kayar komputer itu,
terdapat tulisan yang masih menunggu untuk diselesaikan. Kana memelototi tulisan itu, berharap
dengan begitu dia akan mendapatkan inspirasi untuk meneruskannya.
"Oh, inspirasi!! Datanglah!!" serunya lagi. Dia mengatupkan kedua tangan dan mengarahkannya
ke langit-langit seperti sedang menjampi-jampi orang.
Kana kembali menatap layar komputernya, tetapi tak ada inspirasi apa pun yang datang.
Perempuan itu menghela npas, meraih gelas di sebelahnya, dan meminum isinya, kopi. Cairan
hitam yang akhir-akhir ini selalu diminumnya.
Kana melirik papan target yang ada di sebelah komputernya. Di sana tertulis: Menjadi Penulis
Best Seller. Kana mendesah. Jangankan best seller, jadi penulis aja belum tentu.
"AAAHHH!! SEBEEELLL!!" seru Kana, membuat yogas yang sedang lewat di depan kamarnya
terlonjak kaget. "Ada apa, sih?" gumam yogas. Dia bergerak menuju sebuah kamar yang pintunya sudah
dipenuhi stiker. Yogas menengadah untuk melihat nomor kamar itu. Sebelas. Ini berarti kamarnya. Yogas melirik
kamar di sebelahnya. Pintu kamar itu ditempeli hiasan bertuliskan nama pemiliknya: Kana.
Yogas memasukkan kunci di tangannya ke lubang kunci. Sebelum pintu kamarnya terbuka, pintu
kamar sebelah sudah terbuka duluan.
Kana keluar kamar sambil menguap lebar. Dia melakukan gerakan-gerakan kecil untuk
melemaskan ototnya, belum memyadari kalau ada seseorang di sebelahnya yang sedang
menatapnya heran. Kana meregangkan otot leher dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, dan pada
saat itulah, dia mendapati seorang cowok asing sedang manatapnya.
Kana mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu akhirnya berkata. "Kamu siapa?"
"Yang mau kost di sini," jawab Yogas pendek.
"Oh," Kana mengangguk-angguk, kemudian kembali bersenam-senam. Yogas memanfaatkan
kesempatan ini untuk masuk ke kamarnuya. Sesaat kemudian, Kana tersentak. "HEEH" KAMU
MAU KOST DI SINI?" WOI!!!"
Kana segera mendatangi Yogas, tetapi pintu kamar yogas terbanting tepat saat Kana hendak
bicara. Kana bengong sejenak, lalu menggedor+gedor pintu. Tak ada jawaban.
Kana memandang pintu itu geram, lali segera tahu siapa biang keladinya. Dia langsung berderap
ke bawah. "BULIK!!" teriak Kana setelah sampai di rumah tantenya yang tak lain dan tak bukan adalah si
ibu kost. "Kenapa ada cowok yang ngekost di sebelah kamarku?"
"Gak apa-apa toh, Kan," Ibu kost berkata santai sambil menghitung uang yang telah dihitungnya
untuk kesekian kali. "Anaknya baek kok."
Kana menatap tantenya tak percaya. "Bulik tau dari mana kalo dia anak baek?" Emangnya
kenalan Bulik?" "Bukan," jawab Ibu kost. Sikapnya masih sesdantai yang sudah-sudah, membuat mulut Kana
terbuka lebar. "Bukan?" Terus kenapa Bulik bolehin dia ngekost di sebelahku?""
"Kamu tahu sendiri, di bawah kamarnya udah gak ada yang bisa dipake. Tinggal kamar yang ada
di sebelah kamu," kata Ibu kost lagi.
"Iya, tapi itu kan, khusus buat cewek! Yang tadi kan cowok!" Kana masih berusaha memprotes.
"Dia bayar lunas, Kan," jawab Ibu kot yang membuat Kana menganga semakin lebar.
"Bulik!" teriak Kana lagi sehingga membuat perhatian tantenya itu akhirnya teralihkan.
"Kana, kamu tahu, kan, Bulik lagi kesulitan uang. Anak-anak kost udah gak ada yang bayar.
Sekarang, ada yang mau bayar, yah, Bulik gak bisa nolak," jelas Ibu kost dengan ekspresi
memelas. "Iya sih, tapi Bulik, apa cowok itu bisa dipercaya" Kalo ntat dia ngapa-ngapain aku, gimana?"
tanya Kana, intonasi suaranya sudah menurun.
"Kalo dia ngapa-ngapain kamu, malah enak, tho, orangnya cakep ini," ujar Ibu kost santai. Tentu
saja Kana langsung melotot mendengar jawaban itu. "Iya, iya. Kalo ada apa-apa, kamu tinggal
teriak saja. Kamu jangan lupa selalu kunci pintu." Ibu kot cepat-cepat melanjutkan omongannya.
Kana menghela napas, tak tahu lagi harus berkata apa. Sepertinya, mulai sekarang, dia harus
terbiasa dengan makhluk asing yang tinggal di sebelahnya.
Kana naik ke kamarnya dengan tubuh lunglai. Sebenarnya, Kana merasa ngeri harus tinggal
bersebelahan dengan cowok asing, tetapi berhubung Kana tinggal di sini secara gratis. Dia tak
bisa protes lebih jauh. Memang benar, tantenya sedang mengalami kesulitan keuangan, jadi Kana
harus maklum kalau dia menerima siapa saja yang membayar untuk kost sebobrok ini.
Begitu sampai di tingkat dua, Kana menatap pintu di sebelah kamarnya dengan sebal. Di antara
dua puluh kamar, kenapa harus kamar itu yang masih bisa dipakai"
Kana berdecak sebal, lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Masih banyak yang harus
dikerjakannya daripada memikirkan makhluk tidak jelas di sebelah kamarnya itu. Menjadi
penulis best seller, misalnya.
Ketika dia baru hendak masuk, pintu di seblahnya terbuka. Yogas keluar dengan handuk
tersampir di bahunya. Kana dan Yogas saling tatap, seolah mempunyai pertanyaan untuk
ditanyakan kepada satu sama lain.
"Kamu..." "Kamar mandinya di mana?" tanya Yogas sebelum Kana sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Ha" Oh, di situ," Kana menunjuk pintu di ujung gang, membuat Yogas segera beranjak ke sana.
Kana tiba-tiba tersadar. "Eh! Woi, woi! Jangan pake kamar mandi di situ!"
Yogas berhenti dan menoleh. "Kenapa?"
"Itu kamar mandinya cewek! Kamar amndi cowok yang dibawah!" Kana menunjuk pintu reyot
di lantai bawah. Yogas hanya meliriknya tanpa minat.
"Kamar gue kan ada di lanta ini, jadi kamar mandinya juga yang di lantai ini dong," Yogas
membalas. "Hah" Tapi, itu kan... kamar mandi cewek!" Kana masih bersikeras meski tak punya alasan lain.
"Memang apa bedanya sih" Sama-sama kamar mandi, kan?" Yogas bertanya tak sabar.
"Ya, tapi, kan... jijik!" sahut Kana sambil membayangkan hal-hal apa yang bisa dilakukan cowok
itu di kamar mandi. Kamar mandi yang sudah beberapa bulan terakhir menjadi kamr mandi
pribadinya. "Oh..." gumam Yogas, membuat Kana lega karena sepertinya cowok itu mengerti. Namun,
perkiraan Kana salah karena setelah itu Yogas malah melengos dan tetap bergerak menuju kamar
mandi di depannya. "Woi!" teriak Kana, tetapi Yogas sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dengan
segera, Kana meraakan firasat buruk tentang kehidupannya ke depan bersama cowok aneh itu.
Baru beberapa detik, Yogas keluar lagi dari kamar mandi. Kana menatapnya heran sementara
Yogas melambai-lambaikan tangan memanggilnya.
"Apa?" tanya Kana sebal.
"Tolong, ya, peralatan perang lo di ambil dulu," ujar Yogas.
Kana mengernyitkan tak mengerti. Namun, beberapa detik berikutnya, Kana langsung teringat
akan pakaian dalamnya yang sejak mandi tadi pagi belum diambil.
"HUAAAA!!!" Kana berseri histeris dan segera berderap menuju kamar mandi untuk
mengamankan pakaian dalamnya yang tergantung di balik pintu. Dia melangkah keluar sambil
menatap curiga pada Yogas yang tampak malas.
"Makasih," kata Yogas pendek, lalu segera masuk ke kamar mandi, meninggalkan Kana yang
melongo parah. Detik berikutnya, Kana tersadar.
"WOI! Kamu tadi liat, ya?" WOI!!" Kana menggedor-gedor pintu, tetapi yang terdengar hanya
bunyi cebar cebur orang mandi.
*** Kana semakin tak bisa berkonsentrasi pafa karya tulisnya setelah kejadian aneh tadi sore.
Tetangga barynya tiba-tiba datang, memakai kamar mandinya, dan melihat pakaian dalamnya.
Sambil berbaring di lantai, Kana menghela napas putus asa.
"Kenapa sih, saat aku butuh konsentrasi, malah dateng orang aneh," gumamnya kesal.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah-langkah kaki di luar. Menurut Kana, itu pasti langkah si
cowok aneh. Tadi selepas magrib, orang itu pergi ke luar. Iseng, kana membuka pintunya dan
melongok ke kiri. Yogas tampak sedang mencari-cari kunci kamarnya. Di tangannya, terdapat
plastik besar berisi berbagai macam mie cup dan air mineral.
"Kamu bisa makan di rumah Bulik," kata Kana membuat yogas menoleh. "Semua anak kost
makan di sana." "Gak usah," tolak Yogas, masih sambil mencari-cari kunci di seluruh kantongnya. Kana
mengangguk-angguk pelan. "Soal minum, bakal mahal, lho, kalo selalu beli satu literan. Kamu bisa langganan galon di
bulik," tawar Kana lagi.
"Gak usah. Gue gak bakal lama di sini." Kali ini Yogas sudah mulai berkeringat dingin karena
tak kunjung menemukan kuncinya.
"Oh, gitu." Kana jadi penasaran. "Kalo gak bakal lama, kenapa ngekost" Pake bayar lunas, lagi."
Yogas menghela napas dan menatap Kana. "Gue punya alasan-alasan tertentu yang gak harus
gue bagi sama semua orang," jawabnya yang langsung membuat Kana cemberut.
"Iya, iya, sok rahasiaan amat," ujar Kana keki. Sementara itu, Yogas kembali mencari kuncinya.
"Terus, kamu asalnya dari mana?"
Putus asa karena tak juga menemukan kuncinya, yogas iseng membuka pintu. Ternyata, pintu itu
tidak terkunci dan kuncinya masih tergantung di dalam. Yogas menghela napas lelah. Dia
menoleh Kana yang tampak masih menunggu jawaban.
"Dari sana," kata Yogas sambil menunjuk ke atas. Kana mengikuti arah jari Yogas sambil
menatap langit-langit. Wajahnya mengisyaratkan keheranan.
"Hah" Dari mana?" tanya Kana kebingungan. "Oh, aku tahu. Magelang, ya?"
"Bukan," kata Yogas, hampir mendengus.
"Oh... kalo denger dari bahasa kamu, kayaknya kamu dari jakarta, ya?" tebak Kana lagi.
"Bukan, gue dari sana," yogas menunjuk ke atas lagi. "Dari Mars.
"Hah?" Kana bingung, tetapi yogas sudah masuk ke kamarnya sebelum Kana sempat bertanya
lagi. Kana menggeleng-geleng simpati. "Ha, udah kukira. Anak ini pasti punya kelainan jiwa,"
gumamnya lagi sebelum melangkah masuk ke kamarnya sendiri.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

First and Last Dinner "Hah" Ada orang yang ngekost di sebelah kamar kamu?"
Lian, teman sekampus Kana, menatapnya heran. Mereka sedang berada di kampus FISIPOL
UGM yang ramai dengan mahasiswa yang sedang asyik sarapan sambil bercengkerama. Kana
mengangguk menyambut pertanyaan Lian.
"Cowok aneh yang asalnya dari Mars," jawab Kana sambil menusuk tahu goreng dan
memasukkannya ke mulut. "Hah" Dari Mars?" tanya Lian bingung.
"Dia yang bilang sendiri. Memang sih, dia kayak alien," Kana berkata dengan mulut penuh tahu.
"Tapi, seru kan, punya tetangga cowok. Cakep gak?" Lian terus bertanya, membuat Kana
melotot. "Li, intinya adalah: dia cowok! Artinya, aku gak bakal punya privasi lagi!" sahut Kana.
"Iya, iya, tapi cakep gak?" Lian tak mau kalah.
"Oke. Jelas-jelas kamu gak dapet poinnya di sini," kata kana sebal. "Cakep sih, cakep..."
"Cakep, Kan" Bener?" Aku boleh dong dikenalin!" Lian tiba-tiba histeris.
Kana mengernyit. "Li, kayaknya kamu harus belajar membiarkan orang lain menyelesaikan
kalimatnya, deh. Tadi aku mau bilang, cakep sih, cakep, tapi tetep aja dia alien!"
"Gak apa-apa alien, asal cakep," balas Lian, sudah tenggelam dalam imajinasinya.
"Makan tuh cakep." Kana berubah sebal. "Aku sih males banget liat tampang sombong dan sok
misteriusnya itu." "Cowok misterius tuh justru lebih menarik, Kan," kata Lian. "Mereka punya aura yang jadi
magnet buat cewek-cewek. Kana menatap jijik temannya yang satu ini, dalam hati mengiyakan kata-katanya. Yogas
sepertinya punya aura seperti yang dikatakan Lian. Rambutmya yang ikal dan hampir menutupi
matanya yang tajam dan gelap membuatnya semakin misterius.
"Ngomong-ngomong namanya siap, kan?" Lian masih penasaran.
"Kata Bulik sih Yogas," jawab Kana yang langsung disambut teriakan histeris Lian. Kana
hampir tersedak dibuatnya.
"Kana! Namanya aja keren banget!" seru Lian, membuat kana menyesal sudah memberitahunya.
Temannya satu ini kadang memang bisa jadi sangat norak.
*** Yogas merasa sudah berjalan berkilo-kilo meter jauhnya sampai akhirnya menemukan salah satu
kampus di UGM terdekat, yaitu kampus Pertanian. Yogas duduk di bangku taman,
memperhatikan dengan cermat orang-orang yang melewatinya.
Yogas harus menemukan orang itu, bagaimanapun caranya. Info yang dia dapat dari temannya
sangat dikit. Eno, temannya itu, mengatakan kalau orang yang sekarang sedang dicari Yogas
pernah terlihat di sekitar kampus UGM. Eno tidak tahu kampus yang mana, tetapi Yogas tetap
pergi. Tak masalah jika Yogas harus mendatangi setiap kampus dan mencari orang itu dibanding
hanya duduk diam dan menyesali nasib. Yogas harus bertemu dengannya.
Yogas memasang headphone besarnya, dan lagu "Hold On" milik Good Cahrlotte mengalun dari
iPod-nya. Pikiran yogas melayang ke masa-masa SMA, dan tanpa disadarinya, dia
mencengkeram lengan kirinya kuat-kuat.
*** Yogas melangkah ke kost-nya yang terlihat gelap. Lampu depan kost itu sudah berpendar dan
hampir mati, membuat kost itu tampak jauh lebih horor dibandingkan saat siang hari. Saat
menaiki tangga, Yogas mendapati Kana sedang menyapu gang depan kamarnya.
Kana menoleh dan menatap Yogas yang tampak lelah.
"Abis kuliah?" tanya Kana, mencoba ramah.
"Gak," jawab yogas pendek, tak ingin membuat percakapan apa pun.
"Oh... abis kerja?" tanya kana lagi, membuat Yogas meliriknya sebal.
"Gak juga." Yogas menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengambil kunci.
"Lho, jadi ngapain kamu di sini?" kejar Kana. Sebelum yogas sempat menjawab, Kana sudah
berkata lagi. "Hm, aku tahu deh. Pasti lagi nyari kerjaan."
"Yah, begitulah," Yogas berusaha menyudahi percakapan dan tak ingin capek-capek menjawab.
Dia membuka pintu kamarnya dan masuk tanpa banyak bicara lagi.
Yogas melempar tasnya ke atas kasur yang tergeletak menyedihkan tanpa seprai, lalu
membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur itu walaupun tahu itu akan menyakitkan. Dengan
seketika, debu-debu dari kasur itu berterbangan hingga membuat Yogas terbatuk.
Yogas duduk, mengambil botol air mineral, lalu meminum isinya. Dia menatap sekeliling
kamarnya yang tampak mengenaskan. Selain kasur tadi, di dalam kamar itu hanya terdapat
lemari setinggi satu meter dan sebuah meja kecil. Ranselnya tergeletak sembarangan dengan isi
yang sudah berhamburan, sementara cup-cup bekas mie tergeletak di atas meja bersama sebuah
tas kecil. Yogas bangkit untuk mengambil tas kecil itu, lalu kembali duduk di kasur dan membuka tasnya.
Dia mengeluarkan sebuah handycam perak dengan model kuno. Sejenak Yogas menatap
handycam itu ragu, tapi lantas menyalakannya, bermaksud menonton kaset yang sudah beberapa
lama mengendap di sana. Baru sedetik setelah muncul gambar, Yogas cepat-cepat mematikannya. Dia melemparkan
handycam itu ke sebelahnya, lalu menjambak rambutnya kuat-kuat. Saat sedang melakukan itu,
ponsel di sakunya bergetar. Yogas tertegun begitu membaca nama di layar ponselnya. Mama.
Ragu, yogas mengangkatnya. "Halo?"
"Halo" Gas" Ini Mama. Kamu ada di mana sekarang?" tanya ibunya dari seberang. Yogas
terdiam sebentar. "Mama gak usah khawatir," tukas Yogas, menolak untuk menjawab pertanyaannya.
"Gas, jawab Mama. Sekarang kamu ada di mana?" desak ibunya lagi.
"Ma, aku harus nyelesain masalah ini. Aku bener-bener harus," kata Yogas tegas. Sementara itu,
ibunya mulai terisak. "Gas, udah lupain aja. Yang penting sekarang kamu pikirkan dirimu sendiri," bujuk ibunya lagi.
"Ma, aku harus nyelesain ini sebelum waktunya habis." Yogas bersikeras. "Ini kesempatanku,
Ma. Tolong jangan halangi aku."
Ibunya masih terisak. Yogas baru berniat untuk memutuskan sambungan ketika ibunya berkata
lagi," Kayaknya kamu gak akan ngedengerin Mama. Tapi, tolong Gas, jangan lakukan hal-hal
bodoh." "Mama tenang aja." Yogas menjawab dengan suara dingin.
"Obatnya jangan lupa diminum..." Desakan ibunya kali ini membaut yogas benar-benar
memutuskan sambungan. Dia lalu menonaktifkan ponselnya, berjaga-jaga kalo ibunya kembali
meneleponnya. Yogas mengaduk isi ranselnya sampai menemukan sebuah botol pil-pil. Dia mencengkeram
botol itu keras, lalu melemparnya ke dinding, membuat isinya berhamburan ke segala arah. Dia
terduduk lemas di lantai menatap pil-pil yang berceceran.
Pil-pil yang kabarnya dapat menyelamatkannya.
*** Yogas menatap sebuah bangunan dengan taman yang rindang. Kali ini, fakultas kehutanan
UGM. Yogas tak tahu harus menunggu berapa lama, mungkin sampai fakultas ini tutup, tetapi
dia harus melakukannya. Yogas duduk di salah satu bangku taman dan memperhatikan orang-orang yang sedang
berdiskusi di dekatnya. Tak ada satu pun dari mereka yang wajahnya mendekati orang yang
sedang dia cari. Yogas mengehela napas, memasang headphone-nya, lalu mengorek saku
celananya untuk mencari rokok.
Setelah beberpa jam dan menghabiskan sepuluh batang rokok, yogas memutuskan untuk
menghampiri orang-orang yang lewat dan menanyainya langsung. Yogas menyodorkan foto
orang yan dicarinya, tetapi semua orang yang ditanyainya menggeleng tak kenal.
*** Yogas berjalan gontai ke kamarnya yang masih tampak menyedihkan. Sebelum membuka pintu
kamarnya, Yogas melirik kamar Kana yang terlihat gelap. Yogas masuk ke kamarnya sendiri dan
membanting tubuhnya ke kasur, lalu langsung meringis saat sadar kalau kasur itu kadar
kelentingannya sama dengan nol.
Yogas mengorek saku celananya, menarik foto yang seharian tadi ditunjukkannya kepada semua
orang yang lewat. Cengkeramannya pada foto itu mengeras sehingga membuat foto itu kusut,
tetapi Yogas tak peduli. Foto itu telah mengingatkannya pada kenangan yang tak ingin
diingatnya lagi. Suara ketuka pintu membuat lamunan Yogas buyar. Penasaran, Yogas bangkit dan membuka
pintu. Kana. "Ada apa?" tanya Yogas malas. Di depannya, kana nyengir.
"Ini. Dari Bulik, dia takut kamu kena busung mapar." Kana menyodorkan nasi beserta lauk
pauknya di atas nampan. Yogas menatap nampan itu ragu.
"Gak usah, gue gak laper," tolak Yogas akhirnya.
Ketika Kana baru akan mengatakan sesuatu, terdengar suara janggal dari perut Yogas. Sesaat,
Kana dan Yogas sama-sama bengong.
"Kadang, otak sama perut kurang bisa berkoordinasi ya," kata Kana, setengah mati menahan
tawa. Yogas hanya tersenyum kecut.
"Yah, makasih." Yogas mengalah dan mengambil nampan itu dari tangan Kana.
"Jangan lupa setelah makan piringnya dicuci ya," perintah Kana. Dia terimgat akan
pengalamannya sendiri saat lupa mencuci piring dan kena marah tantenya.
"Ya, Bu," jawab Yogas membuat Kana tersenyum geli.
Sebelum Yogas menghilang ke dalam kamarnya, Kana berkata lagi, "Jangan lupa, sebelum
makan cuci tangan dulu, ya!"
Yogas menutup pintu, tersenyum sendiri mendengar kata-kata Kana. Dia menatap makanan di
tangannya. Gudeg buatan ibu kost. Rasanya sudah begitu lama Yogas tidak melihat nasi. Yogas
segera duduk dan dengan cepat menyantap nasi gudeg itu seakan tidak pernah makan
sebelumnya. *** "Hana tak kuasa lagi manahan perih di hatinya saat melihat Angga pergi... Kenapa bahasaku jadi
menjijikkan begini, ya?" gumam kana bingung saat membaca layar komputernya.
"Arrrggghhhh!!"
Kana berbaring di lantai, fristasi pada karyanya yang sedari tadi belum juga beranjak dari
halaman tiga puluh sembilan, dan malah makin ngaco. Kana menghela napas, bangkit, dan
seperti biasa, melakukan senam-senam kecil untuk kembali menyegarkan pikirannya. Dia melirik
jam dinding, dua belas lebih sepuluh.
Kana memutuskan untuk membaut secangkir susu cokelat panas untuk mengembalikan
semangatnya. Perempuan itu mengambil sebotol air dan sebungkus susu cokelat, lalu membuka
pintu untuk pergi ke dapur. Dia melirik ke kamar yogas yang lampunya masih menyala, lalu
buru-buru kembali lagi ke kamarnya.
*** Yogas menatap kosong layar handycam-nya. Di sana, tampak teman-teman SMA-nya sedang
bersama-sama mengerjakan pentas seni. Yogas menekan tombol stop, membuka kaset mini
DVD-nya, lalu melemparnya sembarangan. Di kaset itu, tertempel stiker bertuliskan "Pensi
2000'. Yogas menggapai-gapai kaset lain tanpa melihat dan yang terambil adalah yang
bertuliskan "Anyer 2000'. Alih-alih langsung menyetelnya, Yogas malah menatap kaset itu
dingin. "Gas..." Yogas tersentak kaget saat mendengar suara seseorang memanggil namanya. Yogas menatap
kaset di tangannya bingung. Mungkinkah...
"Gas..." Kali ini, Yogas segera melempar kaset itu. Suara itu mirip sekali dengan suara seseorang yang
pernah dikenalnya. Tetapi, tidak mungkin...
"Yogas!" Yogas menoleh ke arah pintu. Ternyata, suara itu berasal dari sana. Yogas menghela napas lega,
tetapi detik berikutnya, dia bingung. Diliriknya jam tangannya. Setengah satu pagi.
Yogas membuka pintu dan tampang Kana muncul. Di tangannya, terdapat dua buah mug yang
mengepul. Yogas mengernyit.
"Nih." Kana menyodorkan satu mug bergambar Mickey Mouse.
"Apa nih?" tanya Yogas, belum mengambil mug yang disodorkan.
"Susu cokelat. Katanya, bagus buat pertumbuhan," jelas Kana.
"Pertumbuhan gue udah maksimal," tukas Yogas.
"Ambil aja kenapa, aku gak mau minum dua-duanya, nih," balas Kana. "Udah susah-susah
dibuatin, juga." "Gak ada yang nyuruh lo ngebuatin." Tetapi Yogas menerima mug itu. "Thanks."
Kana mengangguk kecil sambil mengintip ke dalam kamar yogas. "Kamu lagi ngapain" Kok jam
segini belum tidur?" tanyanya, membuat yogas merasa harusnya dialah yang bertanya seperti itu.
"Gak ngapa-ngapain," yogas menjawab sambil berusaha menghalangi pandangan Kana. "Lo
sendiri" Gak takut lo jalan-jalan sendirian hari gini?"
"Udah terlalu biasa," jawab Kana. "Tinggal di kost ini bakal bikin kamu gak takut sama apa pun
lagi." Yogas membenarkan dalam hati. Kost ini memang lebih mirip rumah hantu.
"Oke. Kalo gitu, gue mau tidur." Yogas mengakhiri pembicaraan, tak berniat mengobrol malammalam. "Ini, thanks."
Tanpa menunggu jawaban kana, yogas masuk dan menutup pintu kamarnya. Tak berapa lkama,
dia mendengar suara pintu sebelah ditutup. Yogas duduk di kasur sambil menatap susu cokelat di
tangannya. Sepertinya, dia tidak boleh terlalu baik pada Kana. Dia tidak membutuhkan lebih
banyak masalah. Yogas menghirup susu cokeleat itu, lalu menghabiskannya dalam sekali teguk.
*** Sudah beberapa hari ini yogas menyantroni beberapa fakultas di kampus UGM, tetapi orang
yang dicarinya gak juga ketemu. Tak terkecuali hari ini. Lagi-lagi, dia pulang dengan tangan
kosong. Orang yang pertama kali diliat yogas di kost adalah seorang berambut gimbal. Kalau saja dia
tidak berpakaian lengkap, Yogas akan menyangka dia orang sakit jiwa. Itu pun, kalau hanya
boxer dan kaus oblong bisa dibilang lengkap.
"Hai" sapa orang itu membuat yogas berhentu. Yogas mengangguk pada orang itu. "Anak baru
ya?" Yogas mengangguk lagi. Ternyata, orang itu penghuni kost ini juga. Salah satu dari cowok yang
tertinggal di kost ini. "Namaku Ono," katanya sambil menyodorkan tangan.
yogas menyambutnya. "Yogas."
"Peace, yo," Ono tiba-tiba menunjukkan gerakan memukul dada dan mengancungkan simbol
Victory. Yogas menatapnya bingung.
"Peace," kata yogas akhirnya sambil mengancungkan jari telunjuk dan tengahnya juga.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa dari atas, membuat Yogas dan Ono sama-sama mendongak. Kana
sedang menatap mereka sambil memegangi perut. Wajahnya tampak geli. Yogas buru-buru
menurunkan tangannya saat sadar kalo perempuan itu sedang menertawainya.
"Cuekin aja, Gas, dia pikir dia Bob Marley," ucapannya mebuat Ono cemberut. Yogas tersenyum
sopan pada Ono, lalu naik.
"Ra kuliah, tho Kan?" Tanya Ono pada kana dnegan logat Jawa yang kental.
"Ora, Mas. Libur," jawab Kana, dan langsung nyengir pada Yogas yang sudah sampai di lantai
dua. "Gas, kamu hati-hati lho sama Kana. Siap nyerang kapan saja tuh!" teriak Ono dari bawah,
membuat Yogas tersenyum kaku. "Tiap malem harus kunci pintu.
"Heh, harusnya aku yang dibilangin begitu!" balas Kana keki.
"Wah, gak ada niat mau nyerang tuh," komentar yogas sambil merogoh saku celananya dan
mengambil kunci. Kana menatapnya sebal.
"Eh, jangan pede dulu, ntar-ntar kalo kamu naksir aku, repot lho!" sahut Kana membuat Yogas
mendengus. Yogas masuk ke kamarnya lalu menutup pintu. Benar sekali. Akan sangat repot baginya kalau
harus menyukai seseorang. Atau, disukai.
*** Yogas baru akan memasak air untuk mie cup-nya saat kana muncul tiba-tiba dan mematikan
kompor. Yogas mengernyit dan menatap cewek itu.
"Disuruh makan barenag Bulik. Ayo," kata Kana sambil menarik yogas yang belum sempat
menyanggupi menuju rumah ibu kost yang letaknya bersebelahan dengan bangunan kost.
Disana, ibu kost beserta suami dan anak satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun, Ono,
dan seorang lelaki dengan kacamata tebal yang diyakini Yogas sebagai penghuni kost satunya
lagi, sudah duduk manis mengelilingi sebuah meja makan.
"Aku berhasil bawa dia ke sini," sahut Kana ceria lalu menyuruh Yogas duduk. "Ini dia nih anak
baru yang gak sopan. Udah dua minggu lebih ngekost, tapi belum kenalan."
"Hus, jangan ngomong begitu ah, siapa tahu dia sibuk," kata ibu kost sambil tersenyum pada
Yogas yang membalasnya dengan kaku.
"Iya, nih. Nak yogas, maaf ya, kana memang agak judes," timpal suami ibu kost membuat kana
melotot. "Gak apa-apa, pak," jawab Yogas membuat kana pindah memelototinya.
"Yogas, ini suami saya Harun, dan ini Mela, anak saya satu-satunya. Terus kamu udah kenal
ono, kan" Nah, kalo yang ini namanya Agus," Ibu kost menunjuk kelaki yang berkacamata.
Yogas mengangguk padanya, yang dibalas anggukan singkat. "Dia anak kedokteran. Pintar
banget lho, sampai dapat beasiswa!"
Yogas mengangguk-angguk kecil, benar-benar kagum pada orang yang sudah kuliah di
kedokteran, dapat beasiswa pula. Tak heran bentuk Agus seperti itu. Mungkin dia terlalu sibuk
belajar sampai tak senpat bersisir.
"Yang bawel itu, kamu pasti udah kenal. Dia banyak nyusahin gak, Gas" tanya Ibu kost lagi.
Kana seperti siap mengamuk.
"Lumayan," jawab yogas menbuat Kana benar-benar mengamuk.
"Adu, maaf ya, kalo dia sering ribut, anaknya memang suka heboh sendiri. Tapi, sebenarnya dia
anak baik kok," kata ibu kost sambil nyengir pada Kana yang melangkah ke dapur masih sambil
misuh-misuh sendiri. "Besok-besok, kalo mau makan, datang saja ke sini. Kita makan bareng," kata Bapak kost.
"Kami semua biasa makan malam bareng."
Yogas mengangguk ragu sementara Kana sudah kembali dengan setumpuk piring. Ono
membantu mendistribusikannya.
"Yah, kalau begitu, ayo kita mulai makan!" sahut Bapak kost lagi setelah semua orang
mendapatkan piring. "Ayo, Gas, makan yang banyak!"
Yogas hanya mengangguk pelan sambil memperhatikan anak-anak lain berebut perkedel jagung.
Kana menatap yogas heran.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gas" Kenapa?" tanyanya membuat yogas menatapnya. "Jangan salahin kita lho, kalau lauk
pauknya habis. Di sini sistemnya seleksi alam."
Yogas tertawa garing dan menggapai satu perkedel jagung yang tersisa,kemudian menatap nasi
di piringnya. Dia melirik orang-orang di sekitarnya yang sudah mulai sibuk makan sambil
berkicau. Sudah lama Yogas. Tidak merasakan suasana makan malam seperti ini. Yogas
tersenyun dalam hati, lalu bermaksud untuk mulai makan.
"Bulik, nanti aku bantuin cuci piring," ujar kana di sela-sela cerita Agus tentang ujiannya.
Mendengar itu, yogas tersentak dan menatap sendok di tangannya yang sudah setengah terangkat
di udara. Sendok itu terlepas dengan sendirinya dan jatuh ke piring, membuat suara berdenting
keras. Semua orang berhenti berbicara dan menatap yogas yang wajahnya pucat pasi.
"Gas" Kamu kenapa, Nak?" tanya ibu kost, terlihat khawatir. "Masakan ibu gak enak?"
Yogas masih belum bisa menguasai dirinya. Wajahnya tegang dan dari dahinya keluar keringat
dingin. "Maaf, saya ke belakang dulu," katanya, lalu buru-buru bangkit dan pergi meninggalkan meja
makan. Semua orang saling tatap dengan pandangan heran.
Secepat mungkin, Yogas berjalan kembali ke kamar kost-nya, lalu masuk kamar mandi sambil
menjambak-jambak rambutnya sendiri. Bagaimana mungkin tado dia berpikiran untuk makan
bersama keluarga itu" Bagaimana mungkin kemarin-kemarin dia juga menerima makanan dan
minuman dari Kana" Yogas memukul dinding di depannya keras-keras. Napasnya tersengal, mulai memikirkan
dirinya yang nista itu dengan tamaknya mau merasakan sedikit kebahagiaan tanpa memikirkan
akibatnya. Yogas menatap cermin kecil di depannya. Dia tahu dia seharusnya tidak memulai hubungan baik
dengan siapa pun. Yogas membasuh wajahnya dengan air, menarik napas dalam-dalam, lalu
menghelanya. Tak lama kemudian, Yogas keluar dari kamar mandi dan tertegun melihat Kana yang sudah
menunggu di depan kamarnya sambil membawa nampan. Wajahnya terlihat khawatir.
"Gas, kamu gak enak badan, ya?" tanyanya sementara yogas menghampirinya. "Bulik khawatir
banget, makanya aku bawain makanan kamu ke sini."
"Gak perlu," tukas Yogas dingin sambil melewati Kana, bermaksud masuk ke kamar. Kana
menatap yogas bingung. "Tapi, ntar kamu sakit," kata Kana lagi, membuat Yogas berbalik.
"Apa peduli lo?" tanyanya tak sabar. Kana terdiam, jadi Yogas mendesah. "Denger,r. Jangan
pegi ke sini, karena gue gak perlu. Ngerti?"
Yogas masuk ke kamar dan membanting pintunya tepat di depan Kana yang masih mematung.
Yogas menjambak rambutnya, lalu terduduk di belakang pintu.
Lebih baik begini. Memang, lebih baik begini.
Misterious Guy "Aneh banget," kata Kana dengan mata menerawang.
Lian menatapo Kana, lalu beralih pada whiteboard. Saat ini mereka sedang berada di kelas,
menunggu dosen datang. "Apanya?" tanya Lian, setelah tak menemukan kejanggalan pada whiteboard yang ditatap Kana.
"Si alien," kata Kana lagi membuat Lian tiba-tiba bersemangat.
"Oh Yogas" Emangnya kenapa" Dia ngap-ngapain kamu?" serunya membuat Kana mendelik.
Begitu Lian nyengir kuda, Kana menghela napas.
"Kadang-kadang baik. Kadang-kadang judes. Semalam malah ngamuk," adu Kana.
Lian mengernyit. "Ngamuk kenapa?"
Kana mengangkat bahu. "Gak tahu, aku juga gak ngerti. Padahal aku cuma bawain dia makanan
kayak sebelum-sebelumnya. Kupikir aku punya salah, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya
gak," lanjut Kana lagi, lalu mendesah. "Memang bener-bener makhluk aneh."
"Kan," kata Lian membuat Kana menoleh. "Kamu gak naksir dia, kan?"
Kana tidak langsung menjawab. Dia menatap Lian sementara Lian balas menatapnya penuh arti.
"Li, kayaknya salah deh aku curhat ama kamu," kata Kana akhirnya.
"Naksir juga gak apa-apa, Kan. Aku ikhlas kok," jawab Lian membuat Kana mengernyit.
"Kenapa juga harus gak ikhlas?" tanya Kana dan Lian pun tertawa.
*** Yogas menatap bangunan di depannya. Fakultas Hukum UGM. Mungkin orang yang dicarinya
ada di sini. Setelah kejadian semalam, Yogas kembali bersemangat untuk menemukan orang itu,
menyelesaikan masalahnya, dan kembali ke Jakarta. Yogas tak mau berlama-lama di sini.
Yogas mengorek sakunya, mengeluarkan ponsel yang selama beberapa hari terakhir dia matikan,
lalu mengaktifkannya. Seketika, beberapa pesan masuk ke inbox-nya. Kebanyakan dari ibunya,
tetapi satu pesan dari seseorang membuat Yogas tertegun. Tanpa membacanya, Yogas mencatat
nomor Eno di kertas, mencabut SIM card dari ponselnya, lalu membuangnya ke kolam. Setelah
berhasil mendapatkan kartu perdana baru di penjual pulsa, Yogas langsung menelepon Eno.
"No" Gue. Gue di depan Hukum UGM. Kalo bisa, gue pengen ketemu," kata Yogas begitu
telepon tersambung, lalu dia mengangguk setelah mendengar jawaban Eno. "Oke, gue tunggu."
Dia memutus sambungan telepon dan duduk di halte bus. Beberapa orang dari dinas
perhubungan yang bertugas mengambil uang dari bus-bus mengobrol sambil sesekali meliriknya.
Yogas tidak memperdulikan mereka. Dia memasang headphone-nya dan mendengarkan
"Perfect" milik SUM 41.
Tak berapa lama, seorang cowok dengan motor bebek berhenti di depan Yogas. Cowok itu
membuka helmnya sedikit, lalu mengangguk pada Yogas.
"Ga," sapa Eno membuat Yogas bangkit. "Ayo."
Yogas memakai ranselnya dan melompat ke belakang Eno. Tanpa basa-basi, Eno segera tancap
gas. "Jadi, apa kabar lo, Gas?" tanya Eno sambil mengembuskan asap rokok.
"Gitu aja," jawab Yogas pendek sambil memainkan kotak rokoknya.
"Tadi, Eno membawanya ke kafetaria UGM. Karena belum saatnya makan siang, cafetaria itu
tampak sepi. Yogas sendiri tidak berminat untuk makan.
"Belum ketemu juga?" tanya Eno lagi. Yogas menggeleng. Eno mendesah sambil mematikan
rokok di asbak. "Lo masih dendam sama dia, Gas" Udah mau empat tahun."
Yogas mendengus. "Gimana gue gak dendam, No" Dia ngehancurin hidup gue."
"Gas, kalo lo masih mikirin kejadian itu, lo gak bakal maju. Lupain aja kenapa" Lagian lo gak
kenapa-kenapa, kan?" kata Eno membuat Yogas menatapnya tajam.
"Lo gak tahu apa-apa, No," tandasnya dingin.
"Kalo gitu, kasih tahu gue. Lo gak bisa ngarepin gue mau bantu lo, kalo lo gak ngasih tahu gue,"
kata Eno lagi. Yogas menatap Eno ragu.
Cafetarian mulai ramai saat Yogas akhirnya memberitahu Eno tentang apa yang terjadi padanya
selama empat thun terakhir. Eno mendengarkan ceritanya dengan mulut terbuka lebar.
"Serius lo, Gas?" tanya Eno, wajahnya menegang. Yogas mengangguk.
"Sekarang, mau ngomong apa lo tentang lupain dia?" cetus Yogas. "Gue harus cari dia sampe
dapet. Setelah itu, gue gak peduli apa yang bakal terjadi sama gue. Toh, gue juga udah gak punya
alasan buat hidup." Eno menatap ngeri Yogas yang sekarang menyalakan rokoknya.
"Stop dulu ngerokoknya," Eno merebut rokok dari mulut Yogas.
Yogas bengong, lalu tertawa terbahak-bahak. "Lo kedengeran kayak nyokap gue."
Tapi Eno tidak tertawa. Dia hanya menatap temannya itu, tak tahu harus melakukan atau
mengatakan apa. Yogas menyadarinya, jadi dia berhenti tertawa.
"Jangan lo juga, No," sambung Yogas, membuat Eno mengernyit. "Jangan lo juga kasian sama
gue. Gue muak dikasihani."
Eno mengangguk kecil. "Sori. Gue bakal bantu semampu gue, tapi gue gak janji bisa nemeni lo
karena gue kerja." "Gak apa-apa. Gue lega udah ngomong sama lo. Seenggaknya, lo orang yang paling kalem
setelah tahu gue kenapa," kata Yogas sambik tertawa miris.
Eno balas tersenyum tipis, lalu menatap Yogas yang kembali menyalakan rokok. Tak pernah
disangkanya kalau teman masa SMA-nya ini akan berubah menjadi orang seperti ini.
*** Kana memasukkan Vario birunua ke dalam garasi kost dan naik tangga dengan langkah gontai.
Setelah tadi kuliah seharian penuh, tubuhnya seolah baru ditimpa raksasa. Diam-diam, dia
mengutuk kehidupan perkuliahannya yang semakin berat. Kalau sudah begini, bagaimana dia
bisa menyelesaikan naskahnya"
Kata sedang memijat lehernya yang pegal saat dia melihat yogas keluar kamar mandi. Sesaat,
mereka saling tatap, tapi akhirnya yogas membuang muka dan berjalan cuek ke kamarnya.
"Dasar alien," ujar Kana membuat Yogas menoleh.
"Hah?" Yogas mengenyitkan dahi.
"Dasar alien. Sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar judes. Dasar gak knsisten," kata kana
lagi. Yogas menatap Kana yang cemberut. "Terserahlah," komentarnya pendek, lalu masuk ke
kamarnya. "Hiiihhhh!" seru Kana gemas sambil melemparkan sandalnya ke pintu kamar Yogas. "Orang
aneeehhh!" Sambil tersengal, Kana masuk ke kamarnya dan melemparkan tas sembarangan. Kana mendelik
ke dinding yang menempel dengan kamar Yogas. Tiba-tiba, kata-kata Lian tadi pagi terngiang di
telinga Kana. "Emangnya siapa yang suka sama orang aneh kayak kamu!" teriak Kana lagi, sambil
melemparkan boneka-bonekanya ke dinding itu.
Yogas mengenyit saat mendengar suara ribut-ribut dari kamar sebelahnya.
"Berisik!" sahutnya sambil memukul dinding di sebelahnya. Dia duduk di kasur, lalu
mengeluarkan handycam-nya.
Setelah suara-suara itu menghilang, Yogas berkonsentrasi pada layar handycam di depannya dan
memutar kembali kaset berisi rekaman saat kelasnya sedang bersiap-siap mengadakan pentas
seni. Sekilas, dia menangkap sosok Eno yang sedang memotong karton. Itu membuatnya teringat
pada pertemuan mereka tadi siang.
Yogas merasa bebannya sedikit terangkat setelah berterus terang pada Eno. Setidaknya, sekarang
Eno bersungguh-sungguh membantunya menemukan orang itu, dan tidak menjauhinya seperti
semua orang. Tahu-tahu, orang yang sedang dipikirkan Yogas muncul di layar handycam, tertawa-tawa sambil
mengancungkan sapu seolah tak ada yang terjadi. Memang, saat itu semuanya belum terjadi.
Yogas jadi ingin kembali ke masa-masa itu, masa-masa saat semuanya masih baik-baik saja.
Namun, itu sudah tak mungkin. Tak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Yogas
menutup layar handycam. Tangannya terkepal keras sampai bergetar.
Dia harus segera menemukannya. Harus.
*** Kana menatap kosong langit biri di atasnya. Tangannya memegang baju-baju yang baru
diangkatnya dari jemuran. Semalam, Kana tidak bisa tidur ataupun meneruskan tulisannya.
Otaknya tiba-tiba macet karena terhalang sosok Yogas.
"Kenapa dia harus kost di sini sih?" gumam Kana sebal. Lalu, meneruskan mengambil beberapa
baju yang masih tergantung.
Setelah selesai, Kana bergerak turun. Tempat jemuran berada di lantai tiga, yang tidak jadi
dibangun karena kurang dana. Sekarang, lantai itu hanya berupa lahan kosong, beratapkan langit
yang sering digunakan Kana sebagai tempat untuk mencari inspirasi.
Kana berjalan dengan baju menutupi pandangannya, tak sadar kalau ada yang terjatuh dari
pegangannya. "34A," kata seseorang membuat kana menoleh.
"Hah?" gumam Kana.
Yogas tampak sedang duduk di depan pintu sambil menggunting kuku.
"Itu," yogas mengendikkan kepalnya ke arah sesuatu yang tergeletak di lantai. Kana menatapnya
bingung, lalu mengikuti arah pandangan Yogas dan mendapati sesuatu berwarna pink di lantai.
Seketika, mata Kana membesar.
"Aaaaahh!" Kana berseru panik saat menyadari kalau benda pink itu adalah bra-nya. Dia cepatcepat memungutnya sambil mendelik ganas ke arah Yogas, yang dengan cueknya kembali
menggunting kuku. Setelah lama mendapat tatapan ganas dari Kana, Yogas mendongak.
"Apa?" tanyanya pada Kana yang masih memicing curiga.
"Ini udah kedua kalinya," ujar Kana lambat-lambat. "Kamu lihat benda-benda pribadiku."
Yogas bengong, lalu kembali menggunting kuku. "Kayak gue yang mau aja," komentarnya
pendek membuat Kana melotot.
"Sempet-sempetnya liat ukurannya lagi!" sahut Kana panas.
"Gak sengaja," kata Yogas, tak peduli pada kekesalan Kana.
"Cabul," umpat Kana dendam.
"Hah?" Yogas tak terima. Kana menatap Yogas ganas lalu bermaksud masuk ke kamarnya.
Namun, sebelum dia sempat masuk, Yogas berkata lagi, " Emangnya gak kebesaran ya, 34A?"
Kana menatap Yogas tak percaya, sementara Yogas pura-pura tak melihatnya.
"Dasar cabuuuull!" jerit Kana, lalu segera masuk ke kamar dengan membanting pintunya.
Begitu kana tak terlihat, Yogas terkekeh sendiri. Namun, tiba-tiba dia menyadari kalau lagi-lagi,
dia telah melakukan hal yang tidak semestinya.
*** "Kan, Yogas ke mana?" tanya ibu kost saat makan malam.
"Mana aku tahu," jawab Kana. Dia masih sebal karena kejadian tadi siang.
"Makannya dianterin lagi sana, siapa tahu dia lapar," kata ibu kost lagi. Di sampingnya,
suaminya mengangguk-angguk setuju.
"Bulik, kalo dia memang laper, dia pasti ke sini," kata Kana, malas mengantarkan makanan lagi.
"Kemarin dia kenapa, ya?" tanya Agus sambil membetulkan posisi kacamatanya.
"Mungkin ada masalah," kata ibu kost. "Atau gak enak badan. Makanya, sana kamu anterin lagi."
Kana menatap tantenya penuh harap supaya tidak jadi mengantarkan makanan, tetapi tantenya
malah sudah menyiapkannya untuk Yogas. Kana tertunduk lemas. Dengan terpaksa dia
menyanggupinya. Kana berjalan ragu ke kamar Yogas. Lampunya menyala, artinya cowok itu ada di kamar.
Tadinya, Kana bermaksud menaruh makanan itu begitu saja di depan pintu, tetapi dia
mengurungkan niatnya setelah melihat seekor kucing yang stand by di sebelahnya.
"Jangan harap," Kana berkata pada kucing itu, yang segera mengeong marah dan pergi. Kana
menghela napas, lalu akhirnya menedang pintu kamar Yogas karena tangannya penuh.
"Gas," panggil Kana, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin Yogas sedang tidur. Ketika Kana baru
akan membawa makanan itu kembali, dia mendengar suara-suara dari pintu tingkat atas. Kana
mengernyit, lalu berjalan ke arah tangga menuju lantai tiga. Kana segera naik dan mendapati
Yogas sedang berbaring di lantai, menatap langit yang bertaburan bintang.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Kana heran.
Yogas menoleh sebentar, lalu kembali menatap langit.
"Gak ngapa-ngapain," kata Yogas, yang segera duduk. "Udah gue bilang, kan, gak usah bawain
gue apa-apa lagi." "Eh, bukannya aku mau, ya, nganterin kamu makan. Kayak raja aja," Kana berkata sewot. "Tapi,
kalo emang kamu gak mau, sana balikin sendiri ke Bulik."
Kana meletakkan nampan di depan Yogas, membuat Yogas mau tak mau menatapnya. Kali ini,
nampan itu berisi sepiring nai rames dan segelas es jeruk. Yogas menelan ludah, teramat sangat
ingin mencicipi semua itu, tetapi berarti dia akan menerima kebaikan lagi.
Kana menatap bingung Yogas yang tampaknya sedang berpikir keras.
"Apa susahnya sih tinggal makan ini" Serius banget mikirnya," kata kana membuat Yogas
tersadar. "Nanti gue balikin sendiri," ujar yogas akhirnya. Sebisa mungkin, dia menatap ke arah lain,
selain sepering nasi rames di depannya.
Kana mengernyit, menelengkan kepalanya, dan akhirnya mengankat bahu.
"Udah aneh, cabul, banyak mikir lagu. Kamu pikir gimana kamu bisa menjalani hidup?" kata
Kana sok bijak, lalu meninggalkan Yogas yang menatapnya sebal.
Setelah Kana menghilang, Yogas kembali menatap nampan itu. Yogas tak boleh mengulangi hal
yang sama. Jadi, saat seekor kucing datang dan memakan isi piring itu, Yogas tak begitu
keberatan. *** Hari Minggu siang. Yogas baru saja bangun dan dia tidak berniat pergi ke mana pun karena
kampus libur. Itu membuat orang yang dicarinya akan semakin sulit untuk ditemukan. Hari ini,
Yogas akan berusaha pergi ke mal atau tempat hiburan lain, jika nyawanya sudah lebih
terkumpul. Yogas membuka pintu kamarnya dan sektika terbatuk karena debu-debu tebal yang berterbangan
di sekitarnya. Yogas menoleh dan mendapati Kana sedang memukul kasur kapuk yang
digantungi di depan kamarnya. Hidung dan mulutnya tertutup kain bermotif polkadot, sementara
di pinggangnya tergantung kemoceng.
Kana berhenti memukul, lalu menoleh pada Yogas. Dia berkacak pinggang dan menatap Yogas
dengan mata memicing. "Ya ampun, hari gini baru bangun" Mau jadi apa generasi sekarang?" katanya sambil gelenggeleng kepala.
"Bawel," balas Yogas sambil menggaruk kepalanya. "Lo ngapain sih" Bikin polusi aja. Kalo mau
di atas sana." "Oh, berhubung sekarang kamu ngomong gitu, tolong sekalian doibawain dong ke atas. Aku gak
kuat nih," pinta Kana membuat Yogas menyesal memberinya saran.
Yogas berdecak, tetapi dia mengangkat kasur Kana dan berjalan malas ke atas.
"Awas jatuh," kata Kana saat di tangga. "Kasurnya."
Yogas hanya mendelik sementara Kana tertawa. Tak berapa lama, Yogas sudah meletakkan
kasur itu di antara dua kursi di lantai tiga. Kana segera memukulinya dengan heboh, membuat
hujan debu di mana-mana. "Udah berapa tahun sih lo gak ngebasin kasur?" seru Yogas di sela-sela batuknya. "Mending
buang aja deh!" "Enak aja kamu ngomong. Memang mau beliin lagi?" sahut Kana tak jelas, karena megap-megap
di balik kain penutup hidungnya. "Kalo kamu mau tahu, kasur yang kamu pake itu lebih banyak
debunya, bisa buat adukan semen."
Yogas jadi teringat pada kasurnya di kamar, dalam hati segera berjanji tidak akan duduk
serampangan lagi. Selama beberapa saat, Yogas memperhatikan kesibukan Kana.
"Eh, lo tau mal di sini di mana?" tanya Yogas tiba-tiba.
"Mal!?" Kana balik bertanya. Memang kenapa?"
"Gak, cuma nanya doang," Yogas berkelit. Kana sendiri sudah berhenti mengebasi kasurnya dan
menatap yogas curiga. "Kamu mau ngelamar kerja jadi cleaning service, ya?" tanyanya membuat Yogas bengong. "Gak
diterima di mana-mana, makanya putus asa, ya?"
"Yogas berdecak. "Udahlah, lupain aja," katanya keki.
"Eh, kenapa harus dilupain?" sambar Kana sambill mendekati Yogas dan menatapnya seolah


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi semangat. "Cleaning service juga kerjaan kok. Yang penting halal. Ya gak?"
Yogas tertawa garing, lalu membalik badan dan menatap sekeliling. Pemandangan di depannya
hanyalah atap-atap rumah tetangga, tetapi langit biru cerah membuatnya perasaannya nyaman.
"Oh, iya, aku tahu!" seru Kana lagi, membuat perasaan Yogas kembali tidak enak. "Gimana kalo
kamu bantuin aku beres-beres kamarku, sekalian latihan jadi cleaning service nanti!"
Yogas menatap Kana datar, lalu melewatinya tanpa bicara sepatah kata pun. Cewek itu memang
makhluk yang kompleks. *** Sesiangan ini, Yogas sudah mengunjungi satu mal bernama Galeria. Karena sudh malas bertanya
pada Kana, akhirnya dia bertanya pada Eno. Selama beberapa jam dia mencari, tetapi orang yang
dicarinya tak ketemu juga. Yogas juga baru tahu, kalo di Yogya, setelah pukul enam tak ada lagi
bus yang beroperasi. Jadi, dia pulang berjalan kaki dan sekarang hampir tak punya tenaga lagi
untuk naik tangga. "Ngopo'e Gas" Kayak mbah-mbah ngono," komentar Ono yang tak sengaja melihat Yogas di
tangga. Yogas hanya membalasnya dengan cengiran tak jelas.
"Gas!" seru ibu kost yang sedang menyiram pot-pot di depan rumahnya. "Nanti makan malem
bareng ya!" "Saya sudah makan, Bu," kata yogas cepat. "Makasih."
Yogas buru-buru naik, sebelum ibu kost mulai membujuknya atau menanyainya macam-macam.
Setelah aman, Yogas kembalu terseok. Ketika lewat depan kamar Kana yang terbuka, Yogas tak
sengaja melirik. Di dalam, Kana yang sedang menatap kayar komputernua menoleh.
"Wah, udah pulang! Gimana, dapet kerjaannya?" tanya Kana, tapi Yogas memilih tak
menjawabnya. Kana bangkit dan melangkah keluar kamar. "Gitu aja gak dapet" Aduh, ternyata
kamu sebeg yang aku kira, ya..."
Kana terkekeh kejam smentara Yogas nenatapnya sebal.
"Berhenti ngegodain gue, oke" Yang kemaren-kemaren gue beneran gak sengaja," kata Yogas
membuat Kana memicing. 'Tapi, kamu sempat liat ukurannya!" balas Kana sengit. "Dalam waktu sesingkat itu, kamu bisa
liat ukurannya!" "Oke, oke, gue liat ukurannya. Jadi" Gak penting juga, kan?" kata Yogas membuat Kana
semakin panas. Yogas mendesah. "Oke, kalo ini memang penting buat lo, gue minta maaf."
"Kana menatap Yogas, menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangkat
bahu. "Ya, mau gimana lagi. Memang cowok zaman sekarang pikirannya selalu ke situ," kata Kana
membuat Yogas melotot. "Ke mana maksud lo?" katanya tak terima.
"Tapi, aku mau kamu ngelakuin sesuatu buat gantinya," Kana tak memperdulikan kata-kata
Yogas. "Ambilin kasurku, terus taro di kamarku."
Yogas bengong sesaat. "Bilang aja lo mau minta tolong ambilin kasur!" sahutnya keki. "Pake
menyudutkan gue, lagi!"
"Yah, itu kan salah kamu juga. Udah, ambilin sana!" balas Kana.
Yogas akhirnya pergi juga walaupun sambil bersungut-sungut. Kana nyengir penuh kemenangan.
Beberapa saat kemudian, Yogas kembali sambil memanggul kasurnya. Kana sudah menantinya
dengan senyum lebar. "Taro di mana?" tanya Yogas, tak repot-repoit menyembunyikan nada kesalnya.
"Di sini," Kana menunjuk karpet yang terhampar di lantai kamarnya. Yogas meletakkan kasur
itu, kemudian menepuk-nepuk pundaknya yang terkena debu kapuk.
Kana segera memasang seprai pada kasur itu, sementara Yogas mengedarkan pandangannya ke
sekeliling kamar Kana yang bernuansa pink. Tanpa disadarinya, dia melangkahkan kakinta ke
arah papan target Kana dan membacanya.
"Satu. Menjadi penulis best seller," gumam Yogas, lalu memoleh pada Kana dan menatapnya
sangsi. "Lo" Penulis best-seller?"
"Eh, jangan salah! Aku udah mulai nulis dari sekarang!" sahut Kana. "Suatu saat, kalo aku
beneran jadi penulis best-seller, kamu jangan nyesal ya, gak baik-baik sama aku."
Ucapan Kana membuat Yogas mendengus. Dia kemudian melirik sebuah pigura yang berisi foto
Kana dengan orang_orang yang kelihatannya adalah orang tuanya.
"Meninggal dua tahun lalu," jelas Kana seolah mengetahui pertanyaan di benak Yogas.
"Kecelakaan mobil."
"Oh," kata Yogas. "Sori."
"Gak apa-apa," kata Kana yang telah selesai memasang seprai. "Orangtuaku bilang, apapun citacita ku, aku pasti bisa raih kalo aku bener-bener berusaha. Makanya aku yakin bisa jadi penulis
best seller. Kalo cita-cita kamu apa, Gas?"
Yogas mendadak bergeming. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya di sini, di kamar ini. Dia
tidak tahu kenapa dia malah mengobrol tentang ini itu bersama seorang gadis yang hampir tidak
dikenalnya, dan tidak boleh dikenalnya lebih jauh.
"Gas?" tanya Kana, bingung pada Yogas yang tiba-tiba membatu.
"Gue... capek," kata Yogas dingin. Dia melangkah keluar dari kamar Kana dan segera masuk ke
kamarnya. Yogas terduduk di kasur, matanya menerawang. Selama ini, dia bertekad untuk tidak memulai
hubungan apa pun dengan siapa pun lagi, dan berhasil pada semua orang yang ditemuinya.
Tetapi, kenapa tidak pada gadis ini" Kenapa setiap kali Yogas berusaha menjauhinya dia selalu
saja lupa" Yogas tidak boleh lupa siapa dirinya. Tidak boleh.
Don't Fall in Love with Me
"Ternyata, memang bener-bener anah," kata Kana sambil melamun.
"Hem" Siapa?" tanya Lian sambil cemingak-celinguk. Saat ini, mereka sedang berada di kantin
menunggu mata kuliah selanjutnya.
"Si alien," ujar Kana lagi. Lian langsung tersedak es jeruknya.
"Apa lagi sekarang?" tanyanya, tertarik.
"Orangnya gak jelas. Kadang baik, kadang aneh. Gak bisa ditebak," cerita Kana lagi. Lian
mengangguk-angguk. "Aku jadi pengen liat, Kan," kata Lian, tampak benar-benar penasaran. "Pulang ntar aku main ke
kost mu, ya. Udah lama juga."
"Terserah aja," kata Kana, tak begitu mendengarkan sementara Lian sudah bersorak girang.
*** Kana men-starter Vario birunya, sementara Lian naik untuk dibonceng. Saat Kana sedang
mengendarai motornya keluar parkiran, Kana mengerem mendadak. Kepala Lian sampai
terantuk helm Kana. "Kenapa sih, Kan" Sakit, nih!" serunya, tetapi Kana tak menjawab. Matanya terpaku pda sesosok
cowok bersweter abu-abu dengan headphone besar mlingkar di lehernya di depang gerbang
kampus. Yogas sedang menyalakan iPod-nya. Setalh lagu terdengar, dia memasang headphone ke
telinganya kemudian dia berbalik dan mendapati Kana sedang menatapnya. Selama beberapa
saat, mereka saling tatap sampai akhirnya Yogas mengalihkan pandangam. Yogas sama sekali
tak tahu kalau Kana kuliah di kampus ini, FISIPOL.
Kana membawa motornya menuju Yogas, lalu berhenti tepat di sampingnya. Lian yang tadinya
sibuk memanggil Kana langsung terdiam begitu melihat sosok Yogas. Detik berikutnya, dia
sadar bahwa cowok itulah alien yang selama ini tinggal di sebelah Kana. Lian sampai lupa
bernapas saking senangnya.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Kana bingung. Yogas berusaha untuk tidak menatap Kana. Dia
sama sekali tak punya jawabannya. "Lagi nunggu seseorang?"
"Yah, begitulah,"jawab Yogas akhirnya.
"Siapa?" tanya Lian, membuat Yogas mengernyit.
"Ini Lian, temenku," kata Kana, membuat Yogas mengangguk-angguk sementara Lian nyengir
lebar, mencoba tebar pesona. "Jadi, lagi nunggu siapa?"
"Bukan urusan lo," jawan Yogas membuat Kana tertegun dan cengiran Lian lenyap.
"Oh," ujar Kana setelah beberapa saat. "Kalo gitu, aku duluan.
Yogas mengangguk tanpa menatap Kana kana menancap gas dan segera meluncur ke jalan
dengan pikiran kosong. "Kana!!" seru Lian membuat Kana kaget sehingga motornya oleng.
"Apaan sih?" Kana balas berseru setelah motornya kembali seimbang.
"Aku gak setuju kamu sama alien itu! Sok banget!" seru Lian lagi, terdengar benar-benar emosi.
Kana terdiam selama beberapa saat.
"Siapa bilang aku mau sama dia?" ujar Kana, sementara Lian masih terus mengoceh.
Kana tidak mendengarkan sisa kata-kata Lian karena sibuk memikirkan alasan yogas ada di
kampusnya. *** Kena menatap kosong layar komputernya. Sudah sejak dua jam lalu dia melakukannya. Kana
masih teringat dengan kejadian tadi siang, saat Yogas ada di kampusnya untuk menunggu
seseorang. Yogas tidak mau menatapnya dan kembali bersikap seperti pertama kali dia datang ke
sini. Kana membaringkan tubuhnya di lantai. Doa tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, jadi
apa yang membuat Yogas bersikap seperti itu padanya"
Pusing, Kana memutuskan untuk membuat susu cokelat untuk menenangkan pikirannya. Yogas
benar. Alasan dia datang ke sini bukan urusan Kana. Kana menghela napas sambil membuka
pintu kamarnya. Saat melewati kamar Yogas, dia melirik sedikit. Tampaknya cowok itu ada di
dalam. Kana membuang muka, lalu berderap ke dapur.
Dia tak mau tahu lagi soal cowok aneh itu.
*** Yogas menatap langit yang penuh bintang di atasnya. Hari ini, dia kembali pulang dengan tangan
kosong. Namun, bukan itu yang memenuhi pikirannya sekarang. Dia sama sekali tidak tahu
kalau kampus yang tadi didatanginya adalah kampus Kana. Kalau saja dia tahu, dia akan lebih
berhati-hati supaya tidak terlihat.
Yogas menghela napas berat. Kenapa sih, orang ini begitu susah dicari" Kalai sudah ketemu,
Yogas akan segera pergi dari tempat ini dan tak akan berurusan lagi dengan orang-orang di kost
ini. Baru saj Yogas mengingat kejadian semalam, subjek yang dipikirkan muncul dari pintu dengan
membawa mug yang mengepul. Wajahnya tampak kaget.
Kana menatap Yogas yang juga menatapnya, lalu bermakud untuk pergi. Kana tidak tahu kalau
Yogas juga ada di sini. Tahu begitu, Kana tidak akan naik.
"Mana buat gue?" tanya Yogas membuat Kana tak jadi turun. Dia berbalik dan menatap Yogas
bingung. "Hah?" tanyanya.
"Itu," Yogas mengendikkan kepalanya ke arah mug yang dipegang Kana. "Mana buat gue?"
"Ih, bikin sendiri sana," kata Kana cepat, bingung pada sikap Yogas yan sudab berubah lagi.
Yogas kembali menatap langit dan menutup matanya. Kana menatapnya ragu, lalu mendekati
cowok itu dan duduk di sampingnya. Angin semilir bertiup, menggerakkan poni Kana ke sana
kemari. "Aku tahu, apa pun yang terjadi sama kamu, itu bukan urusanku," Kana memulai pembicaraan,
membuat mata Yogas terbuka. "Tapi, bisa gak kita ngobrol apa pun selain itu" Kayak misalnya,
apa yang lagi kamu baca, udah nonton fil terbarunya Tobey Maguire atau belum...l
Sudut bibir Yogas terangkat sedikit. Dia mengamati punggung kana yang tampak kecil. Kepala
cewek itu menggeleng-geleng, seolah salah bicara. Yogas memejamkan matanya lagi.
"Jadi, udah nonton film itu belum?" tanya yogas membuat Kana menoleh dan menatapnya tak
percaya. "Belum. Kamu?" tanya Kana balik.
"Belum sempet," jawab Yogas menbuat kana mengangguk-angguk.
"Hm, di sini lagi diputer lho. Nonton yuk?" Ajakan Kana membuat mata Yogas kembali terbuka.
Tahu-tahu kana menoleh, panik. "Eh, bukan, bukan! Bukannya aku ngajak kamu ngedate atau
gimana! Cuma gak sengaja!"
Yogas terkekeh, lalu duduk dan menyalakan rokoknya. Kana memperhatikan kepulan-kepulan
asap yang dibuat Yogas. "Ng... cewek kamu ada di kampusku, ya?" tanya Kana tiba-tiba, membuat yogas menatapnya
heran. "Tadi di kampus, kamu nungguin cewek kamu, ya?"
Dahi Yogas segera mengerit, seolah tak suka dengan kata-kata Kana.
"Oke, oke, bukan urusanku, aku ngerti," kaya Kana cepat. "Sori."
Alih-alih menanggapi kata-kata Kana, Yogas malah menatap kosong atap-atap rumah di
depannya. Sejenak, tak ada yang berbicara di antara mereka.
"Oke, gini aja," kata Kana kemudian. "Berhubung kehidupan kamu top secret, aku aja yang
cerita. Gimana?" Yogas menatap Kana, tak mengerti.
"Jadi, aku lahir tanggal 21 Oktober 1986 di Bogor," Kana mulai bercerita sementara yogas
tersenyum simpul. "Papaku orang Yogya, mamaku orang Bogor. Aku cuma sampe SMP di
Bogor, terus waktu SMA aku pindah di sini..."
Yogas tak berusaha menghentikan Kana bercerita. Dia hanya mendengarkan dan tak sekalipun
menyela. *** "Wah, hujan," gumam Kana begitu keluar dari kamarnya.
Musim memang sudah berganti. Mulai sekarang hujan akan terus membasahi Yogya dan Kana
sebal karena dia tak suka naik motor menggunakan jas hujan. Selain merepotkan, dia selalu
paranoid dengan kemungkinan jas hujannya yang seperti sayap Batman terbelit jeruji ban
motornya. Tiba-tiba, pintu kamar sebelah terbuka. Yogas keluar dengan kaus oblong dan rambut acakacakan. Begitu bersentuhan dengan hawa di luar, dia langsung bergidik.
"Gila, dingin banget," komentarnya sambil menggosok-gosok
menghangatkan diri. Di sebelahnya, Kana menatapnya lekat.
lengannya, berusaha "Apa?" tanya Yogas begitu sadar Kana ada di sampingnya. Kana cuma menggeleng sabil
tersenyum tipis. Yogas menatap cewek itu heran, lalu bergewrak ke kamar mandi karena hasrat
alamnya. Kana menatap geli Yogas yang kebelet. Semalam, Kana seperti bermimpi bisa mengobrol
panjang lebar dengannya. Yah, tidak bisa dibilang mengobrok sih, karena cuma Kana yang
bicara, tetapi yang seperti itu juga sudah bisa disebut kemajuan.
"Eh, tunggu," gumam Kana, bingung sendiri. "Kemajuan apa?"
Kana mendadak kena serangan panik. Yogas yang sudah keluar dari kamar mandi menatapnya
bingung. "Kenapa lo?" tanyanya, tapi Kana hanya menatapnya dengan mata terbelalak.
"Ya ampun, ya ampun," Kana tak mau percaya. "Gak mungkin!"
"Apaan sih?" Yogas mulai kesal karea Kana seperti hidup dalam dunianya sendiri. "Ngomongngomng, di muka lo ada nasinya tuh."
"Ha" Masa iya?" kana segera mematut dirinya di jendela kamarnya sendiri. Setelah lama
bercermin dan tak menemukan satu butir nasi pun di wajahnya, Kana sadar kalau dia belum
sarapan dan tak mungkin ada nasi di sana.
"Woi!" Kana berseru sebal ke arah pintu kamar Yogas. Namun, setelah itu dia tersenyun dan
berangkat ke kampus dengan hati riang walaupun hujan turun semakin deras.
*** Yogas tidak pergi ke mana pun hari ini karena hujan turun dengan deras sepanjang pagi.
Sekarang, setelah langit cerah, dia sudah malas menggerakkan tubuhnya. Yogas menggapai
handycam, lalu menyetel kaset yang bertuliskan "Anyer 2000" setelah sempat ragu sejenak.
Baru sedetik film itu berputar, Yogas menutup lagi handycam-nya. Ternyat, dia memang maih
belum mampu menontonnya. Yogas menatap kosong handycam di tangannya. Seharusnya, dia
tak pernah menonton video itu.
Tiba-tiba, Yogas ingin melihat pantai. Dia ingin berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan semua
kepenatannya. Yogas bangkit dan bersiap-siap pergi. Tak berapa lama, dia sudah menuruni
tangga dan mendapati Kana baru memasukkan motornya ke garasi. Yogas mengamati motor
Kana dan seketika mendapat ide. Kana balas menatap Yogas bingung.
"Gue pinjem motor lo dong," kata Yogas tanpa basa-basi.
"Hah?" tanya Kana heran. "Memang mau ke mana?"
"Udah deh, gak usah banyak tanya," Yogas merebut helm Kana dan membawa motornya.
"Eh, tunggu! Ini motor baru! Aku ikut!" Kana mengambil helm dari motor Ono dan melompat ke
belakang Yogas. Kana tidak bisa membiarkan Yogas pergi dengan motor hasil warisan
orangtuanya. Lagipula, bisa repot kalo Yogas kena razia dan tidak bawa STNK.
Seolah Kana cuma sekarung beras, Yogas segera tancap gas. Kana terjengkang dan hampir jatuh
kalau tidak buru-buru menggamit bahu Yogas.
"Mau ke mana sih?" sahut Kana.
"Pantai," jawab Yogas tenang dan Kana cuma mengangguk-angguk. Tetapi, detik berikutnya dia
tersadar. "HEEE" Pantai?"" serunya membuat motor oleng. "Kamu gila ya?"
"Iya. Lo kasih tau jalannya, ya," kata Yogas lagi, membuat Kana semakin yakin kalau Yogas
benar-benar sakit jiwa. *** Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, mereka sampai juga di pantai Parangtritis. Yogas
berjalan tenang ke pantai, sementara Kana menatap sedih motor barunya yang kepanasan karena
baru diajak berjalan-jalan berkilo-kilo jauhnya.
"Gas, tunggu!" Kana menyusul Yogas yang seolah tak mendengarnya. Kana menatapnya curiga,
lalu menekan mulut saat melihat tatapan Yogas yang koson. Dia mengguncang-guncang bahu
Yogas. "Gas! Gas! Kamu gak diundang Nyi Roro Kidul, kan" Gas, sadar!"
Tepat ketika Yogas akan bicara, Kana menamparnya dengan sekuat tenaga. Pipi Yogas terasa
panas dan lehernya seperti patah.
"Apaan sih lo?" amuk Yogas. Pipinya berdenyut menyakitkan.
"Hh... Syukur deh," Kana mendesah dengan mata berkaca-kaca, lega.
"Syukur apanya?" sahut Yogas sambil mengelus pipinya.
"Lho" Kamu gak diundang Nyi Roro Kidul, ya?" kata Kana polos, membuat Yogas gemas dan
ingin menjitaknya. "Abis, kamu tiba-tiba aja mau ke pantai."
Yogas menghela napas, lalu meneruskan perjalanannya ke bibir pantai. Saat itu karena abis
hujan, laut menajdi pasang. Pantai ini tidak begitu bagus-pasirnya coklat dan airnya tidak sebiru
yang diinginkannya-tetapi lumayan untuk menenangkan pikiran Yogas.
"Wah, langit habis hujang cerah banget ya," komentar Kana saat melihat langit biru tanpa awan
di atasnya. "Udah lama juga aku gak ke pantai."
Kana meregangkan otot dengan merentangkan tangannya, bermaksud merasakan angin yangnya
sebentar, mengeluarkan handycam dan merekam Kana di luar kesadarannya.
Kana sendiri tidak sadar kalo Yogas sedang merekamnya. Dia benar-benar senang datang ke


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pantai setelah lama tidak melakukannya. Dia berlari-lari ke air dan bermain kejar-kejaran dengan
ombak sambil sesekali menjerit kedinginan saat kakinya terkena air.
Yogas melepaskan matanya dari layar dan menatap Kana yang sedang tertawa sendiri karena
ombak datang begitu besar sehingga membasahi jeans-nya yang sudah dilipat tonggi-tinggi.
"Gas! Kamu ngapain" Ayo sini!" sahut Kana membuat Yogas tersadar. Yogas segera mematika
handycam-nya dan mengikuti Kana turun ke air. Memang benar, airnya sangat dingin.
Sementara ombak berdebur ke kakinya, Yogas menatap ke laut lepas. Dia bermaksud untuk
berteriak sekuat tenaga, tetapi tiba-tiba Kana mendorongnya sekuat tenaga sehingga dia tercebur
dengan wajah terlebih dahulu menyentuh air. Kana tertawa lepas melihat Yogas yang sekarang
basah kuyup. Yogas menatap Kana sebal, lalu bangkit dan mengejar cewek itu. Kana segera berlari
menghindari Yogas, tetapi akhirnya tertangkap dalam waktu singkat. Walaupun Kana memberi
perlawanan, Yogas berhasil menceburkan cewek itu ke air. Yogas ganti tertawa penuh
kemenangan dan beberapa detik setelahnya, dia tersadar.
"Kenapa, Gas?" tanya Kana, heran melihat Yogas tiba-tiba berhenti tertawa.
"Gak apa-apa," jawab Yogas sambil kembali ke pasir, dan terduduk di sana sementara Kana
masih bermain-main dengan ombak. Yogas menatap pemandangan itu kosong. "Barusan gue
ngapain sih," gumamnya, lalu tertawa miris.
Yogas membaringkan tubuhnya di pasir yang masih lembap, lalu mencoba memejamkan
matanya. Dalam enam tahun, baru kali ini dia tertawa selepas itu. Dan, dia bahkan melakukannya
dengan cewek yang baru dikenalnya.
Kana menghampiri Yogas. "Gas, kok malah tidur?"
"Tolong, jangan ganggu gue sebentar," kata Yoga tanpa membuka matanya. "Gue butuh
sendirian." Benar. Rencana awalnya adalah datang sendirian ke pantai dan melepaskan semua kepenatannya.
Kenapa cewek ini malah ikut"
"Oh, oke," Kana mengangguk paham, lalu berjalan kembali ke pantai.
Entah berapa lama yogas tertidur, tetapi saat dia terbangun, langit sudah berganti warna.
Matahari sudah mau tenggelam, meyebar semburat jingga ke permukaan laut. Yogas duduk, lalu
melihat Kana yang sedang berlari ke sana kemarin sambil menyeret sesuatu yang bentuknya
seperti layangan. Yogas menatapnya heran.
"Lo ngapain?" tanya Yogas bingung.
"Oh, udah bangun?" tanya Kana dengan napas tersengal. "Aku lagi main layangan."
Ternyata benar, layangan. Yogas menghela napas. Cewek satu ini memang tidak bisa
diharapkan. Yogas bangkit, lalu merebut benang dari tangan Kana.
"Pegang layangannya," perintah Yogas dan Kana segera melakukannya. "Kalo gue bilang lepas,
dilepas." Kana mengangguk. Yogas menghela napas lagi, lalu berkata, "Lepas."
Kana melepaskan layangannya, dan tepat pada saat itu, Yogas menarik benangnya. Dalam
seketika, layangan berbentuk burung itu sudah terbang.
"Uwaaahhh! Hebaat!" sahut Kana sambil bertepuk tangan girang. Yogas meliriknya, heran
kenapa cewek itu begitu senang melihat layangan terbang.
"Memang begini harusnya maen layangan. Gue gak pernah liat versi lo tadi," kata Yogas
membuat Kana mendelik. Tapi di detik berikutnya, Kana sudah asyik kembali menatap layangan.
"Eh, aku boleh pegang gak?" tanya Kana penuh harap. Yogas menyerahkan benangnya.
"Uwaaahhh!!" Sebenarnya, Kana agak grogi saat menerima benang layangan itu, takut layangan itu putus di
tangannya. Kana tak pernah sekalipun memegang layangan yang benar-benar terbang seperti itu.
Itulah sebabnya, dia memegang benangnya dengan ekstra hati-hati. Yogas kembali ke pasir dan
duduk sambil melihat Kana yang masih berteriak-teriak girang seperti anak kecl, takjub melihat
ekor layangan yang berkibar-kibar indah tertiup angin. Yogas lantas merekamnya lagi dengan
handycamnya. Tak terasa, matahari sudah hampir tenggelam. Kana merasa sudah puas dengan layangannya
yang terbang karena pegangannya lepas. Sekarang, dia terduduk kelelahan di samping Yogas
yang sudah kembali tertidur.
Kana mengamati wajah polos Yogas yang terlelap. Kana benar-benar senang bisa menghabiskan
sore bersama coewok itu seperti ini.
"Jangan ngeliatin terus," kata Yogas tiba-tiba membuat Kana kaget.
"Siapa juga," Kana segera salah tingkah dan berusaha membuang pandangannya. Namun, tak
berlangsung lama, karena di luar kesadarannya, dia kembali menatap Yogas.
"Serius. Ntar lo suka sama gue," kata yogas lagi.
"Emangnya kenapa kalo aku suka sama kamu?" tanya Kana menantang.
"Jangan," jawab Yogas setelah beberapa detik.
"Kenapa?" tanya Kana lagi, membuat Yogas menghela napas.
"Karena kita gak punya masa depan," katanya tanpa membuka mata.
Kana menatap wajah it Neighbour from Mars Kereta jurusan Jakarta- Yogya berjalan tenang di antara persawahan. Di dalam kereta itu,
seorang cowok berumur dua puluh tahun tertidur dengan mulut separuh terbuka. Suara dentumdentum keras terdengar dari headphone besar yang merosot dari telinganya dan malah melingkari
lehernya. Seorang anak perempuan menatap wajah cowok di depannya itu dengan cermat. Ibu dari anak
perempuan itu juga sedang terkantuk-kantuk. Anak perempuan itu bangkit dan mendekati cowok
di depannya. Dia memperhatikan iPod yang ada di tangan cowok itu, lalu menjulurkan tangan,
bermaksud menyentuhnya. "Jangan!" seru cowok itu, membuat anak perempuan itu tersentak kaget. Namun, mata cowok itu
masih terpejam. Rupanya, dia hanya mengigau.
Anak perempuan itu menghela napas lega, lalu kembali menjulurkan tangannya. Tiba-tiba,
cowok iti bergerak gelisah.
"Jangan! Lepasin gue!! JANGAN!!!" seru cowok itu.
Si anak perempuan terlonjak kaget dan akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi.
"Ada apa?" kata ibu dari anak itu. Rupanya ibu itu terbangun karena teriakan keras si cowok.
"Ada apa, Lani?"
Anak perempuan bernama Lani itu dengan segera menangis, lebih karena kaget. Ibu si anak
menenangkannya, lalu melirik tajam ke arah cowok tadi.
Yogas, si cowok tadi, masih terlalu kaget dengan mimpinya. Mimpi buruk yang sudah sekian
tahun mengganggunya. Yogas menyeka keringat dingin yang mengalir deras di wajahnya, lalu
menatap si ibu yang juga menatapnya tajam.
"Oh. Maaf, Bu," kata Yogas setelah melihat Lani masih terisak meski dia tak tahu persis apa
kesalahannuya. Si ibu tidak begitu peduli dengan permintaan maaf Yogas, bahkan membuang muka. Yogas
menggigit bibirnya merasa bersalah, lalu membetulkan duduknya. Setelah memastikan si ibu
tidak kembali menatapnya, Yogas membuang pandangannya ke luar jendela. Kereta masih
melintasi persawahan. Yoga menghela napas berat mengingat mimpinya tadi. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram
lengan kirinya erat. *** Yogas sudah sampai di Yogya, kota yang dua hari lalu tidak pernah terpikirkan akan menjadi
kota tempat tinggalnya. Saat itu, temannya memberi tahu tempat tinggal seseorang yang sedang
dicarinya. Yogas berjalan ke luar stasiun, lalu menatap ke sekeliling. Di sebelah kanan, terdapat rel kereta
apa dan jalan Malioboro yang terkenal itu. Sekitar enam tahun lalu, saat studi tour bersanma
teman-teman sekolahnya, Yogas pernah ke sana. Selain itu, Yogas sama sekali tak tahu menahu
tentang kota itu. Nekat. Itulah modalnya datang ke kota ini. Sekarang, Yogas tak bisa mundur lagi. Dia sudah
mendapatkan info penting tentang seseorang yang dicarinya, dan dia tidak mau kehilangannya
lagi. Setelah menghela napas, Yogas memanggul carrier-nya dan mulai berjalan untuk mencari bus
kota. Yogas menatap rumah-rumah di depannya yang tampak seperti bangunan kost. Dia sampai
dengan selamat setelah penjual minuman di depan stasiun menyuruhnya untuk naik bus nomor 4.
Sekarang, dia berada di kawasan perumahan dekat kampus UGM dan berniat untuk memcari
kost. Yogas tidak memiliki banyak uang. Dia memiliki simpanan, tetapi tidak akan dihabiskannya
untuk sebuah kost yang bertingkat mewah. Dia akan mencari kost dengan harga sewa semurahmurahnya. Tidak perlu bagus, toh dia tidak akan lama berada di kota ini. Setelah bertemu dengan
orang yang dicarinya, Yogas akan segera pergi.
Setelah dua jam mencari, Yogas berhenti di sebuah ruang makan. Agar hemat, Yogas hanya
membeli nasi, sayur, dan dua tempe. Dia hanya membayar empat ribu rupiah untuk makanannya
itu. Seytelah menyelesaikan makan siangnya, Yogas bertanya pada si penjual letak kost cowok yang
murah. Si penjual menyarankan untuk pergi ke tempat kenalannya yan ada di gang sebelah.
Yogas pun mengikuti sarannya.
Dan, di sini lah dia berada, di depan sebuah bangunan reyot yang sepertinya hanya tinggal
menunggu waktu untuk rubuh. Bangunan itu bertingkat dua dan tampak menyeramkan karena
semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan itu juga tampak seperti akn jatuh kalau diterpa
angin sepoi. "Ada nih, yang tinggal di sini?" Yogas bergumam sangsi. Namun, dia tetap melangkahkan
kakinya masuk. "OH, MAU KOST" BOLEH-BOLEH!!!"
Seorang ibu berdaster batik yang merupakan pemilik kost menyambut Yogas dengan suara
stereo, membuat Yogas merasa headphone-nya akan sangat berguna untuk menghindari
kerusakan telinga. Ibu itu terlihat histeris. Yogas jadi curiga, jangan-jangan kost ini tidak
berpenghuni. "Saya mau masuk hari ini juga, Bu," kata Yogas sambil duduk di sofa yang segera mengeluarkan
debu. "MASUK HARI INI JUGA" OH, BOLEH!!" sahut ibu itu lagi, matanya sekarang berbinarbinar. Bahkan, nyaris berkaca-kaca.
"Saya juga mau bayar lunas sekarang," kata Yogas lagi, lalu dengan segera menutup telinganya
sebagai antisipasi. "OHHH!! BAYAR LUNAS SEKARANG JUGA BOLEEHHHH!" Ibu itu kembaki menyahut.
Kini, dia sudah menangis.
Yogas menatapnya simpati. Ibu itu menyeka air matanya, lalu menggenggam tangan Yogas erat.
Yogas tak sempat menghindar. "Nak... siapa tadi?"
"Yogas," jawab Yogas pendek.
"Nak Yogas, kost ibu ini udah hampir gak ada penghuninya. Tinggal orang di bawahdan satu
orang di atas. Kamu liat sendiri, kan, kondisi kost ini. Gak ada yang mau kost di sini," ratap ibu
itu dengan logat Jawa yang kental.
"Terus kenap..."
"Terus, ibu juga gak punya duit untuk renovasi," potong si ibu. "Jadi satu per satu semua pada
pergi. Sisanya bertahan karena mereka pada gak mampu bayar kost-kostan yang lain. Saya
kasihan sama mereka..."
Yogas mengangguk-angguk dengan mata kosong, seolah melakukannya hanya untuk formalitas.
Si ibu tidak memperhatikannya dan sekarang sudah kembali terisak. Yogas seperti sedang
nonton sinetron. "Tapi!! Kamu tiba-tiba datang menyelamatkan saya!! Terima kasih, Nak!!" sahutnya membuat
Yoga tersenyum kaku. Dia harus cepat menyelesaikan ini kalau tidak mau telinganya jadi
korban. "Kalo gitu... boleh saya tau di mana kamar saya, Bu?" tanya Yogas setelah memebri sejumlah
uang kepada ibu kost. Ternyat, biayanya amat sangat murah, jauh di luar perkiraan Yogas.
"Ohh! Kamu kamu di lantau dua, gak apa-apa ya?"
"Gak apa- apa, Bu. Emangnya kenapa?" tanya Yogas curiga.
"Ng... kamar yang di bawah, kecuali yang ditempatin rusak. Cuma sisa satu kamar di atas yang
masih bisa dipakai," kata si ibu dengan mata tertuju pada beberapa lembar uang seratus ribuan di
tangannya. "Ohh, oke deh. Gak apa-apa."
"Tapi, Nak, masalahnya, kamar yang di atas itu. Ng... gimana yah... kamar cewek," kata si ibu
lagi, membuat Yoogas melongo.
"Hah" Jadi, ini kost cewek?" tanya Yogas, merasa capek karena sudah mengobrol panjang lebar.
"Bukan, ini kost campuran. Yang cowok di bawah, yang cewek di atas. Tapi, berhubung yang di
bawah pada rusak, jadi yang sisa cuma di atas," ibu itu nyengir bersalah. "Tapi, gak apa-apa kok,
Nak. Si cewek anak baik!"
Yogas lagi-lagi melongo. Sebenarnya, yang harus merasa terancam itu siapa"
"Bu, saya buaknnya gak mau, tapi apa cewek itu mau?" tanya Yogas lagi.
"Oh, kamu tenang aja! Dia pasti mau, kok, pasti mau! Orang dia keponakn saya!" sahut si ibu
kost membuat Yogas melongo untuk kesekian kalinya. Orang macam apa yang membiarkan
orang asing tinggal di sebelah keponakannya sendiri?"
"Tapi, Bu..." "Sudah, sekarang kamu naik saja ke lantai dua. Kamar kamu nomor sebelas. Kalo kamu butuh
apa-apa, tinggal datang ke sini, ya?" kata Ibu kost tak sabar.
Yogas menganggu, lalu bangkit sambil melirik si ibu yang sudah sibuk menghitung uang. Dia
menghela napas, memanggul ranselnya, dan bergerak keluar rumah ibu kost.
"Duuh! Aku kenapa, sih?"
Sebuah teriakan cempreng terdengar dari dalam kamar nomor sepuluh. Penghuninya, Kana,
sedang tergeletak di lantai sambil menjambaki rambutnya dengan frustasi.
Tak lama, dia bangun dan menatap komputer yang ada di depannya. Di kayar komputer itu,
terdapat tulisan yang masih menunggu untuk diselesaikan. Kana memelototi tulisan itu, berharap
dengan begitu dia akan mendapatkan inspirasi untuk meneruskannya.
"Oh, inspirasi!! Datanglah!!" serunya lagi. Dia mengatupkan kedua tangan dan mengarahkannya
ke langit-langit seperti sedang menjampi-jampi orang.
Kana kembali menatap layar komputernya, tetapi tak ada inspirasi apa pun yang datang.
Perempuan itu menghela npas, meraih gelas di sebelahnya, dan meminum isinya, kopi. Cairan
hitam yang akhir-akhir ini selalu diminumnya.
Kana melirik papan target yang ada di sebelah komputernya. Di sana tertulis: Menjadi Penulis
Best Seller. Kana mendesah. Jangankan best seller, jadi penulis aja belum tentu.
"AAAHHH!! SEBEEELLL!!" seru Kana, membuat yogas yang sedang lewat di depan kamarnya
terlonjak kaget. "Ada apa, sih?" gumam yogas. Dia bergerak menuju sebuah kamar yang pintunya sudah
dipenuhi stiker. Yogas menengadah untuk melihat nomor kamar itu. Sebelas. Ini berarti kamarnya. Yogas melirik
kamar di sebelahnya. Pintu kamar itu ditempeli hiasan bertuliskan nama pemiliknya: Kana.
Yogas memasukkan kunci di tangannya ke lubang kunci. Sebelum pintu kamarnya terbuka, pintu
kamar sebelah sudah terbuka duluan.
Kana keluar kamar sambil menguap lebar. Dia melakukan gerakan-gerakan kecil untuk
melemaskan ototnya, belum memyadari kalau ada seseorang di sebelahnya yang sedang
menatapnya heran. Kana meregangkan otot leher dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, dan pada
saat itulah, dia mendapati seorang cowok asing sedang manatapnya.
Kana mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu akhirnya berkata. "Kamu siapa?"
"Yang mau kost di sini," jawab Yogas pendek.
"Oh," Kana mengangguk-angguk, kemudian kembali bersenam-senam. Yogas memanfaatkan
kesempatan ini untuk masuk ke kamarnuya. Sesaat kemudian, Kana tersentak. "HEEH" KAMU
MAU KOST DI SINI?" WOI!!!"
Kana segera mendatangi Yogas, tetapi pintu kamar yogas terbanting tepat saat Kana hendak
bicara. Kana bengong sejenak, lalu menggedor+gedor pintu. Tak ada jawaban.
Kana memandang pintu itu geram, lali segera tahu siapa biang keladinya. Dia langsung berderap
ke bawah. "BULIK!!" teriak Kana setelah sampai di rumah tantenya yang tak lain dan tak bukan adalah si
ibu kost. "Kenapa ada cowok yang ngekost di sebelah kamarku?"
"Gak apa-apa toh, Kan," Ibu kost berkata santai sambil menghitung uang yang telah dihitungnya
untuk kesekian kali. "Anaknya baek kok."
Kana menatap tantenya tak percaya. "Bulik tau dari mana kalo dia anak baek?" Emangnya
kenalan Bulik?" "Bukan," jawab Ibu kost. Sikapnya masih sesdantai yang sudah-sudah, membuat mulut Kana
terbuka lebar. "Bukan?" Terus kenapa Bulik bolehin dia ngekost di sebelahku?""
"Kamu tahu sendiri, di bawah kamarnya udah gak ada yang bisa dipake. Tinggal kamar yang ada
di sebelah kamu," kata Ibu kost lagi.
"Iya, tapi itu kan, khusus buat cewek! Yang tadi kan cowok!" Kana masih berusaha memprotes.
"Dia bayar lunas, Kan," jawab Ibu kot yang membuat Kana menganga semakin lebar.
"Bulik!" teriak Kana lagi sehingga membuat perhatian tantenya itu akhirnya teralihkan.
"Kana, kamu tahu, kan, Bulik lagi kesulitan uang. Anak-anak kost udah gak ada yang bayar.
Sekarang, ada yang mau bayar, yah, Bulik gak bisa nolak," jelas Ibu kost dengan ekspresi
memelas. "Iya sih, tapi Bulik, apa cowok itu bisa dipercaya" Kalo ntat dia ngapa-ngapain aku, gimana?"
tanya Kana, intonasi suaranya sudah menurun.
"Kalo dia ngapa-ngapain kamu, malah enak, tho, orangnya cakep ini," ujar Ibu kost santai. Tentu
saja Kana langsung melotot mendengar jawaban itu. "Iya, iya. Kalo ada apa-apa, kamu tinggal
teriak saja. Kamu jangan lupa selalu kunci pintu." Ibu kot cepat-cepat melanjutkan omongannya.
Kana menghela napas, tak tahu lagi harus berkata apa. Sepertinya, mulai sekarang, dia harus
terbiasa dengan makhluk asing yang tinggal di sebelahnya.
Kana naik ke kamarnya dengan tubuh lunglai. Sebenarnya, Kana merasa ngeri harus tinggal
bersebelahan dengan cowok asing, tetapi berhubung Kana tinggal di sini secara gratis. Dia tak
bisa protes lebih jauh. Memang benar, tantenya sedang mengalami kesulitan keuangan, jadi Kana
harus maklum kalau dia menerima siapa saja yang membayar untuk kost sebobrok ini.
Begitu sampai di tingkat dua, Kana menatap pintu di sebelah kamarnya dengan sebal. Di antara
dua puluh kamar, kenapa harus kamar itu yang masih bisa dipakai"
Kana berdecak sebal, lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Masih banyak yang harus
dikerjakannya daripada memikirkan makhluk tidak jelas di sebelah kamarnya itu. Menjadi
penulis best seller, misalnya.
Ketika dia baru hendak masuk, pintu di seblahnya terbuka. Yogas keluar dengan handuk
tersampir di bahunya. Kana dan Yogas saling tatap, seolah mempunyai pertanyaan untuk
ditanyakan kepada satu sama lain.
"Kamu..."

The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamar mandinya di mana?" tanya Yogas sebelum Kana sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Ha" Oh, di situ," Kana menunjuk pintu di ujung gang, membuat Yogas segera beranjak ke sana.
Kana tiba-tiba tersadar. "Eh! Woi, woi! Jangan pake kamar mandi di situ!"
Yogas berhenti dan menoleh. "Kenapa?"
"Itu kamar mandinya cewek! Kamar amndi cowok yang dibawah!" Kana menunjuk pintu reyot
di lantai bawah. Yogas hanya meliriknya tanpa minat.
"Kamar gue kan ada di lanta ini, jadi kamar mandinya juga yang di lantai ini dong," Yogas
membalas. "Hah" Tapi, itu kan... kamar mandi cewek!" Kana masih bersikeras meski tak punya alasan lain.
"Memang apa bedanya sih" Sama-sama kamar mandi, kan?" Yogas bertanya tak sabar.
"Ya, tapi, kan... jijik!" sahut Kana sambil membayangkan hal-hal apa yang bisa dilakukan cowok
itu di kamar mandi. Kamar mandi yang sudah beberapa bulan terakhir menjadi kamr mandi
pribadinya. "Oh..." gumam Yogas, membuat Kana lega karena sepertinya cowok itu mengerti. Namun,
perkiraan Kana salah karena setelah itu Yogas malah melengos dan tetap bergerak menuju kamar
mandi di depannya. "Woi!" teriak Kana, tetapi Yogas sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dengan
segera, Kana meraakan firasat buruk tentang kehidupannya ke depan bersama cowok aneh itu.
Baru beberapa detik, Yogas keluar lagi dari kamar mandi. Kana menatapnya heran sementara
Yogas melambai-lambaikan tangan memanggilnya.
"Apa?" tanya Kana sebal.
"Tolong, ya, peralatan perang lo di ambil dulu," ujar Yogas.
Kana mengernyitkan tak mengerti. Namun, beberapa detik berikutnya, Kana langsung teringat
akan pakaian dalamnya yang sejak mandi tadi pagi belum diambil.
"HUAAAA!!!" Kana berseri histeris dan segera berderap menuju kamar mandi untuk
mengamankan pakaian dalamnya yang tergantung di balik pintu. Dia melangkah keluar sambil
menatap curiga pada Yogas yang tampak malas.
"Makasih," kata Yogas pendek, lalu segera masuk ke kamar mandi, meninggalkan Kana yang
melongo parah. Detik berikutnya, Kana tersadar.
"WOI! Kamu tadi liat, ya?" WOI!!" Kana menggedor-gedor pintu, tetapi yang terdengar hanya
bunyi cebar cebur orang mandi.
*** Kana semakin tak bisa berkonsentrasi pafa karya tulisnya setelah kejadian aneh tadi sore.
Tetangga barynya tiba-tiba datang, memakai kamar mandinya, dan melihat pakaian dalamnya.
Sambil berbaring di lantai, Kana menghela napas putus asa.
"Kenapa sih, saat aku butuh konsentrasi, malah dateng orang aneh," gumamnya kesal.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah-langkah kaki di luar. Menurut Kana, itu pasti langkah si
cowok aneh. Tadi selepas magrib, orang itu pergi ke luar. Iseng, kana membuka pintunya dan
melongok ke kiri. Yogas tampak sedang mencari-cari kunci kamarnya. Di tangannya, terdapat
plastik besar berisi berbagai macam mie cup dan air mineral.
"Kamu bisa makan di rumah Bulik," kata Kana membuat yogas menoleh. "Semua anak kost
makan di sana." "Gak usah," tolak Yogas, masih sambil mencari-cari kunci di seluruh kantongnya. Kana
mengangguk-angguk pelan. "Soal minum, bakal mahal, lho, kalo selalu beli satu literan. Kamu bisa langganan galon di
bulik," tawar Kana lagi.
"Gak usah. Gue gak bakal lama di sini." Kali ini Yogas sudah mulai berkeringat dingin karena
tak kunjung menemukan kuncinya.
"Oh, gitu." Kana jadi penasaran. "Kalo gak bakal lama, kenapa ngekost" Pake bayar lunas, lagi."
Yogas menghela napas dan menatap Kana. "Gue punya alasan-alasan tertentu yang gak harus
gue bagi sama semua orang," jawabnya yang langsung membuat Kana cemberut.
"Iya, iya, sok rahasiaan amat," ujar Kana keki. Sementara itu, Yogas kembali mencari kuncinya.
"Terus, kamu asalnya dari mana?"
Putus asa karena tak juga menemukan kuncinya, yogas iseng membuka pintu. Ternyata, pintu itu
tidak terkunci dan kuncinya masih tergantung di dalam. Yogas menghela napas lelah. Dia
menoleh Kana yang tampak masih menunggu jawaban.
"Dari sana," kata Yogas sambil menunjuk ke atas. Kana mengikuti arah jari Yogas sambil
menatap langit-langit. Wajahnya mengisyaratkan keheranan.
"Hah" Dari mana?" tanya Kana kebingungan. "Oh, aku tahu. Magelang, ya?"
"Bukan," kata Yogas, hampir mendengus.
"Oh... kalo denger dari bahasa kamu, kayaknya kamu dari jakarta, ya?" tebak Kana lagi.
"Bukan, gue dari sana," yogas menunjuk ke atas lagi. "Dari Mars.
"Hah?" Kana bingung, tetapi yogas sudah masuk ke kamarnya sebelum Kana sempat bertanya
lagi. Kana menggeleng-geleng simpati. "Ha, udah kukira. Anak ini pasti punya kelainan jiwa,"
gumamnya lagi sebelum melangkah masuk ke kamarnya sendiri.
First and Last Dinner "Hah" Ada orang yang ngekost di sebelah kamar kamu?"
Lian, teman sekampus Kana, menatapnya heran. Mereka sedang berada di kampus FISIPOL
UGM yang ramai dengan mahasiswa yang sedang asyik sarapan sambil bercengkerama. Kana
mengangguk menyambut pertanyaan Lian.
"Cowok aneh yang asalnya dari Mars," jawab Kana sambil menusuk tahu goreng dan
memasukkannya ke mulut. "Hah" Dari Mars?" tanya Lian bingung.
"Dia yang bilang sendiri. Memang sih, dia kayak alien," Kana berkata dengan mulut penuh tahu.
"Tapi, seru kan, punya tetangga cowok. Cakep gak?" Lian terus bertanya, membuat Kana
melotot. "Li, intinya adalah: dia cowok! Artinya, aku gak bakal punya privasi lagi!" sahut Kana.
"Iya, iya, tapi cakep gak?" Lian tak mau kalah.
"Oke. Jelas-jelas kamu gak dapet poinnya di sini," kata kana sebal. "Cakep sih, cakep..."
"Cakep, Kan" Bener?" Aku boleh dong dikenalin!" Lian tiba-tiba histeris.
Kana mengernyit. "Li, kayaknya kamu harus belajar membiarkan orang lain menyelesaikan
kalimatnya, deh. Tadi aku mau bilang, cakep sih, cakep, tapi tetep aja dia alien!"
"Gak apa-apa alien, asal cakep," balas Lian, sudah tenggelam dalam imajinasinya.
"Makan tuh cakep." Kana berubah sebal. "Aku sih males banget liat tampang sombong dan sok
misteriusnya itu." "Cowok misterius tuh justru lebih menarik, Kan," kata Lian. "Mereka punya aura yang jadi
magnet buat cewek-cewek. Kana menatap jijik temannya yang satu ini, dalam hati mengiyakan kata-katanya. Yogas
sepertinya punya aura seperti yang dikatakan Lian. Rambutmya yang ikal dan hampir menutupi
matanya yang tajam dan gelap membuatnya semakin misterius.
"Ngomong-ngomong namanya siap, kan?" Lian masih penasaran.
"Kata Bulik sih Yogas," jawab Kana yang langsung disambut teriakan histeris Lian. Kana
hampir tersedak dibuatnya.
"Kana! Namanya aja keren banget!" seru Lian, membuat kana menyesal sudah memberitahunya.
Temannya satu ini kadang memang bisa jadi sangat norak.
*** Yogas merasa sudah berjalan berkilo-kilo meter jauhnya sampai akhirnya menemukan salah satu
kampus di UGM terdekat, yaitu kampus Pertanian. Yogas duduk di bangku taman,
memperhatikan dengan cermat orang-orang yang melewatinya.
Yogas harus menemukan orang itu, bagaimanapun caranya. Info yang dia dapat dari temannya
sangat dikit. Eno, temannya itu, mengatakan kalau orang yang sekarang sedang dicari Yogas
pernah terlihat di sekitar kampus UGM. Eno tidak tahu kampus yang mana, tetapi Yogas tetap
pergi. Tak masalah jika Yogas harus mendatangi setiap kampus dan mencari orang itu dibanding
hanya duduk diam dan menyesali nasib. Yogas harus bertemu dengannya.
Yogas memasang headphone besarnya, dan lagu "Hold On" milik Good Cahrlotte mengalun dari
iPod-nya. Pikiran yogas melayang ke masa-masa SMA, dan tanpa disadarinya, dia
mencengkeram lengan kirinya kuat-kuat.
*** Yogas melangkah ke kost-nya yang terlihat gelap. Lampu depan kost itu sudah berpendar dan
hampir mati, membuat kost itu tampak jauh lebih horor dibandingkan saat siang hari. Saat
menaiki tangga, Yogas mendapati Kana sedang menyapu gang depan kamarnya.
Kana menoleh dan menatap Yogas yang tampak lelah.
"Abis kuliah?" tanya Kana, mencoba ramah.
"Gak," jawab yogas pendek, tak ingin membuat percakapan apa pun.
"Oh... abis kerja?" tanya kana lagi, membuat Yogas meliriknya sebal.
"Gak juga." Yogas menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengambil kunci.
"Lho, jadi ngapain kamu di sini?" kejar Kana. Sebelum yogas sempat menjawab, Kana sudah
berkata lagi. "Hm, aku tahu deh. Pasti lagi nyari kerjaan."
"Yah, begitulah," Yogas berusaha menyudahi percakapan dan tak ingin capek-capek menjawab.
Dia membuka pintu kamarnya dan masuk tanpa banyak bicara lagi.
Yogas melempar tasnya ke atas kasur yang tergeletak menyedihkan tanpa seprai, lalu
membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur itu walaupun tahu itu akan menyakitkan. Dengan
seketika, debu-debu dari kasur itu berterbangan hingga membuat Yogas terbatuk.
Yogas duduk, mengambil botol air mineral, lalu meminum isinya. Dia menatap sekeliling
kamarnya yang tampak mengenaskan. Selain kasur tadi, di dalam kamar itu hanya terdapat
lemari setinggi satu meter dan sebuah meja kecil. Ranselnya tergeletak sembarangan dengan isi
yang sudah berhamburan, sementara cup-cup bekas mie tergeletak di atas meja bersama sebuah
tas kecil. Yogas bangkit untuk mengambil tas kecil itu, lalu kembali duduk di kasur dan membuka tasnya.
Dia mengeluarkan sebuah handycam perak dengan model kuno. Sejenak Yogas menatap
handycam itu ragu, tapi lantas menyalakannya, bermaksud menonton kaset yang sudah beberapa
lama mengendap di sana. Baru sedetik setelah muncul gambar, Yogas cepat-cepat mematikannya. Dia melemparkan
handycam itu ke sebelahnya, lalu menjambak rambutnya kuat-kuat. Saat sedang melakukan itu,
ponsel di sakunya bergetar. Yogas tertegun begitu membaca nama di layar ponselnya. Mama.
Ragu, yogas mengangkatnya. "Halo?"
"Halo" Gas" Ini Mama. Kamu ada di mana sekarang?" tanya ibunya dari seberang. Yogas
terdiam sebentar. "Mama gak usah khawatir," tukas Yogas, menolak untuk menjawab pertanyaannya.
"Gas, jawab Mama. Sekarang kamu ada di mana?" desak ibunya lagi.
"Ma, aku harus nyelesain masalah ini. Aku bener-bener harus," kata Yogas tegas. Sementara itu,
ibunya mulai terisak. "Gas, udah lupain aja. Yang penting sekarang kamu pikirkan dirimu sendiri," bujuk ibunya lagi.
"Ma, aku harus nyelesain ini sebelum waktunya habis." Yogas bersikeras. "Ini kesempatanku,
Ma. Tolong jangan halangi aku."
Ibunya masih terisak. Yogas baru berniat untuk memutuskan sambungan ketika ibunya berkata
lagi," Kayaknya kamu gak akan ngedengerin Mama. Tapi, tolong Gas, jangan lakukan hal-hal
bodoh." "Mama tenang aja." Yogas menjawab dengan suara dingin.
"Obatnya jangan lupa diminum..." Desakan ibunya kali ini membaut yogas benar-benar
memutuskan sambungan. Dia lalu menonaktifkan ponselnya, berjaga-jaga kalo ibunya kembali
meneleponnya. Yogas mengaduk isi ranselnya sampai menemukan sebuah botol pil-pil. Dia mencengkeram
botol itu keras, lalu melemparnya ke dinding, membuat isinya berhamburan ke segala arah. Dia
terduduk lemas di lantai menatap pil-pil yang berceceran.
Pil-pil yang kabarnya dapat menyelamatkannya.
*** Yogas menatap sebuah bangunan dengan taman yang rindang. Kali ini, fakultas kehutanan
UGM. Yogas tak tahu harus menunggu berapa lama, mungkin sampai fakultas ini tutup, tetapi
dia harus melakukannya. Yogas duduk di salah satu bangku taman dan memperhatikan orang-orang yang sedang
berdiskusi di dekatnya. Tak ada satu pun dari mereka yang wajahnya mendekati orang yang
sedang dia cari. Yogas mengehela napas, memasang headphone-nya, lalu mengorek saku
celananya untuk mencari rokok.
Setelah beberpa jam dan menghabiskan sepuluh batang rokok, yogas memutuskan untuk
menghampiri orang-orang yang lewat dan menanyainya langsung. Yogas menyodorkan foto
orang yan dicarinya, tetapi semua orang yang ditanyainya menggeleng tak kenal.
*** Yogas berjalan gontai ke kamarnya yang masih tampak menyedihkan. Sebelum membuka pintu
kamarnya, Yogas melirik kamar Kana yang terlihat gelap. Yogas masuk ke kamarnya sendiri dan
membanting tubuhnya ke kasur, lalu langsung meringis saat sadar kalau kasur itu kadar
kelentingannya sama dengan nol.
Yogas mengorek saku celananya, menarik foto yang seharian tadi ditunjukkannya kepada semua
orang yang lewat. Cengkeramannya pada foto itu mengeras sehingga membuat foto itu kusut,
tetapi Yogas tak peduli. Foto itu telah mengingatkannya pada kenangan yang tak ingin
diingatnya lagi. Suara ketuka pintu membuat lamunan Yogas buyar. Penasaran, Yogas bangkit dan membuka
pintu. Kana. "Ada apa?" tanya Yogas malas. Di depannya, kana nyengir.
"Ini. Dari Bulik, dia takut kamu kena busung mapar." Kana menyodorkan nasi beserta lauk
pauknya di atas nampan. Yogas menatap nampan itu ragu.
"Gak usah, gue gak laper," tolak Yogas akhirnya.
Ketika Kana baru akan mengatakan sesuatu, terdengar suara janggal dari perut Yogas. Sesaat,
Kana dan Yogas sama-sama bengong.
"Kadang, otak sama perut kurang bisa berkoordinasi ya," kata Kana, setengah mati menahan
Bara Dendam Menuntut Balas 5 Pendekar Mabuk 061 Setan Rawa Bangkai Medali Wasiat 7
^