Pencarian

Crash Into You 1

Crash Into You Karya Aliazalea Bagian 1


CRASH INTO YOU Karya: aliaZalea PROLOG "Nadia pipis di celana, Nadia pipis di celana," Kafka menyanyikan kata-kata itu dengan nada mengejek
sebelum kemudian tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh Kris dan Gempur. Mereka adalah anak-anak
kelas lima paling bandel di sekolah ini, dengan Kafka Ananta sebagai ujung tombaknya.
"Aku nggak pipis di celana," bantahku sekeras-kerasnya.
Kafka terdiam sambil menatap rok merahku yang basah di bagian depannya, kemudian sekali lagi dia
tertawa dan mulai menyanyikan lagu ciptaannya berjudul "Nadia Pipis di Celana" dengan lebih kencang.
Aku sudah siap menangis mendengar lagu yang penuh ejekan ini. Rokku memang basah di bagian
depannya, tetapi bukan karena air kencing melainkan karena Ayu, teman sekelasku tidak sengaja
mengarahkan selang yang sedang mengucurkan air dengan cukup deras ke arahku. Kami sedang
melakukan piket pagi itu aku dan Ayu kebagian mencuci ember yang ada di dalam kelas, yang biasanya
digunakan para guru untuk mencuci serbuk kapur yang mengenai tangan mereka.
Ayu sudah mengatakan maaf berpuluh-puluh kali selama lima belas menit ini dan meskipun kesal
padanya, aku tidak bisa marah karena dia memang tidak sengaja. Hari itu hari senin, anak-anak lain
sudah berada di lapangan untuk upacara yang akan di mulai sebentar lagi, sehingga kelasku kosong
melompong. Aku dan Ayu sedang memikirkan cara untuk mengeringkan rokku ketika Kafka dan
pasukannya lewat di depan kelasku sebelum kemudian melangkah masuk untuk mengetahui kenapa aku,
anak kesayangan guru-guru, belum turun ke lapangan.
"Kafka ini Cuma air," omel Ayu yang sedang mencoba mengeringkan rokku dengan tisu. Aku sedang
berdiri dan Ayu sedang berlutut di hadapanku.
"Hahaha" kalau Cuma air kok baunya aneh?" Gempur bertanya yang langsung didukung anggukan
konco-konconya. "Memang ada baunya?" tanyaku sambil berbisik pada Ayu.
Tanpa ragu-ragu Ayu langsung mencium rokku. "Aku nggak nyium bau apa-apa," ucapnya.
Bel pun berbunyi yang menandakan bahwa upacara akan segera dimulai. Aku mulai panas-dingin karena
takut dihukum oleh Ibu Endang, wali kelasku, gara-gara belum berada di lapangan seperti seharusnya.
Tiba-tiba kudengar gelegar suara Pak Jack, kepala sekolah kami "Kalian masih di sini" Upacara sudah
mau dimulai." Ayu langsung bangun dari hadapanku dan menatap Pak Jack dengan mata terbelalak. Pak Jack memang
dikenal sebagai guru paling galak, semua anak takut padanya, termasuk aku. Ketiga anak laki-laki itu
langsung kabur, tetapi sebelumnya Kafka sempat mengatakan dengan suara rendah sehingga Pak Jack
yang berdiri di depan pintu tidak bisa mendengar.
"Kamu turun saja ke bawah, roknya nggak terlalu basah kok," ucapnya dengan senyuman khasnya yang
penuh keisengan. "Nggak terlalu basah gimana, aku sudah seperti tikus kecebur got," balasku.
"Nggak kok, kamu nggak kayak tikus kecebur got. Itu terlalu dangkal, kalau sumur, naaahhh" itu lebih
mungkin." Setelah mengatakan ini Kafka langsung tertawa terbahak-bahak sambil berjalan santai ke
arah pintu. "Kafka, kamu nggak lucu," omelku, tapi Kafka hanya melangkah mundur sambil nyengir dan menghilang
dari hadapanku, mengikuti kedua temannya yang sudah ngacir terlebih dahulu. Aku tidak tahu kenapa
Kafka yang aku kenal semenjak kami kelas satu SD dan selama ini tidak pernah ada masalah denganku
tiba-tiba mulai suka menggangguku ketika kami menginjak kelas lima. Selama ini aku tidak pernah peduli
padanya karena meskipun dia bandel, tetapi dia tidak pernah memilihku sebagai korbannya, hingga
beberapa bulan yang lalu. Dan semenjak itu pula hari-hariku jadi mulai berantakan. Awalnya aku tidak
menghiraukannya dengan harapan bahwa dia akan berhenti dengan sendirinya. Tetapi semakin aku
tidak menghiraukannya, keisengannya semakin hari justru semakin menjadi.
Pak Jack bertolak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ketiga anak itu. Aku
menggeram kesal. "Nadia, kamu nggak turun?" suara Pak Jack langsung terdengar ramah ketika menanyakan hal itu. Aku
akui bahwa aku memang anak emas guru-guru di sekolahku. Selain karena hampir selalu juara kelas, aku
juga selalu menurut dan tidak pernah membuat masalah dengan siapa pun.
"Sebentar lagi, Pak," balasku yang disambut anggukan Pak Jack sebelum beliau pun menghilang dari
hadapanku. Aku bisa saja meminta bantuan Pak Jack, tetapi aku terlalu malu untuk berbicara dengan
guru laki-laki. "Aduh, gimana dong, Yu, bel kedua sudah mau bunyi bentar lagi." Aku mulai panik. Kulirik rokku dan
berteriak terkejut ketika menyadari keadaannya yang lebih parah daripada setengah jam yang lalu
sebelum Ayu mencoba mengeringkannya dengan tisu. Rok itu masih tetap basah dan sekarang ada
beberapa serpihan putih yang menempel. "Ini sih lebih parah dari yang tadi," geramku.
"Sori ya, Nad, aku nggak sengaja," Nada Ayu yang penuh dengan penyesalan membuatku merasa
bersalah karena telah menyuarakan kefrustasianku.
Aku menutup mataku untuk berpikir. Aku tidak mungkin turun ke lapangan dengan keadaan seperti ini.
Aku harus meminta Ayu agar mencari Ibu Endang secepatnya. Aku rasa sekolahku pasti punya rok
cadangan yang bisa kupinjam selama menunggu rokku kering. Ketika aku mengemukakan pendapat itu,
Ayu langsung setuju dan menghilang juga dari hadapanku. Aku tiba-tiba merasa pusing dan harus duduk.
Aku pun duduk dikursi terdekat sebelum kemudian meletakkan kepala di antara kedua telapak tanganku
dan menutup mata, tetapi sakit di kepalaku justru semakin menjadi.
Nyut" nyut" nyut" dan ketika kubuka mataku kembali aku tahu bahwa aku sudah tidak berada di
ruangan kelas SD-ku itu. Kuperhatikan sekelilingku untuk mencoba menebak keberadaanku. Ruangan ini
terlihat terang karena disirami sinar matahari yang masuk melalui jendela besar yang terbentang di
hadapanku. Perlahan-lahan kuangkat kepalaku dari atas bantal, menggeram, dan memaksa tubuhku
untuk duduk. Kepalaku rasanya sudah mau pecah dan mulutku terasa kering, efek samping dari terlalu
banyak alcohol di dalam darah. Sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Kini dengan keadaan duduk aku
bisa lebih memahaminya. Sepertinya aku berada di dalam kamar hotel. Kamar hotel yang mewah kalau
di lihat dari set sofa yang ada di sebelah kiri dan TV plasma yang menempel pada dinding di depan
tempat tidur. Selain itu kamar hotel ini juga memiliki meja kerja yang sepertinya terbuat dari kayu antic.
Sebuah laptop berwarna putih terbuka di atas meja itu.
Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku, bermaksud untuk berdiri, tetapi kemudian kulihat bahwa
aku tidak mengenakan apa-apa di bawah selimut itu selain bra dan celana dalamku. Buru-buru kutarik
selimut itu hingga ke dagu. Sekali lagi aku mengintip ke dalam selimut untuk memastikan bahwa aku
memang hanya mengenakan pakaian dalam. Pemandangan di bawah sana tidak berubah dari sepuluh
detik yang lalu dan untuk kedua kalinya pagi itu, aku menggeram. Tempat tidur yang kutiduri berukuran
King dan masih terlihat cukup rapi, meskipun keempat bantal extra besar yang ada di atasnya terlihat
sudah ditiduri. Yang dua olehku, sedangkan yang dua lagi oleh seseorang yang bukan aku.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah kulakukan semalam. Aku hanya bisa mengingat suara
music yang superkeras, lampu yang gemerlapan, suara tawa ketiga sobatku, dan bergelas-gelas Apple
Martini. Entah berapa banyak alcohol yang sudah masuk ke dalam tubuhku. Para bartender seharusnya
dilarang untuk menyatukan alcohol dengan buah-buahan karena rasa manis atau asam dari buah itu
benar-benar bisa menyembunyikan rasa pahit yang seharusnya ada, sehingga seseorang tidak tahu
bahwa dia sudah mabuk sampai dia terbangun di kamar hotel yang bukan miliknya.
Ya Tuhan" jadi ini kamarnya siapa" Meskipun kamar ini memang mirip sekali dengan kamar hotelku,
tetapi aku yakin ini bukan kamarku yang memiliki dua tempat tidur berukuran Queen, bukannya satu
berukuran King. Tiba-tiba aku menyadari bahwa ada suara shower yang sedang dihidupkan. Itu berarti
bahwa aku tidak sendirian di dalam kamr hotel. Aku mencoba menenangkan rasa panic yang mulai
muncul ke permukaan. Nadia" tenang" itu mungkin Cuma salah satu sobat lo yang lagi mandi. Tapi di
dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tahu bahwa orang di dalam kamar mandi itu pasti bukan
temanku. Perlahan-lahan aku bangun dari tempat tidur dan tanpa menghiraukan tubuhku yang
setengah telanjang aku mulai mengelilingi ruangan untuk mencari bajuku. Kutemukan jinsku tersampir
pada lengan sofa, dibawahnya kutemukan kausku. Aku segera mengenakan keduanya sebelum
kemudian mulai mencari sepatuku.
Kutemukan sepatuku di bawah kursi meja kerja, pada saat itulah aku menyadari bahwa ada satu set
sepatu laki-laki persis di sebelah sepatuku. Aku harus menutup mulutku agar tidak meneriakkan
keterkejutanku. Sepatu laki-laki"! Panik, buru-buru kutarik sepatuku dari bawah kursi. Selama
melakukan ini semua aku berpikir, tadi malam aku nggak bercinta sama laki-laki tidak dikenal, kan"
Bukannya itu sesuatu yang baru karena aku sudah bukan perawan lagi semenjak kuliah, tetapi aku tidak
mau melakukannya dengan laki-laki yang aku bahkan tidak bisa ingat wajahnya. Tiba-tiba aku menyadari
bahwa sudah tidak ada bunyi shower lagi. Kusabet sepatuku, dan tanpa mengenakannya aku langsung
berlari menuju pintu keluar. Aku baru saja berhasil membuka pintu itu ketika kudengar pintu kamar
mandi di belakangku dibuka, disusul dengan suara berat yang hanya bisa dimiliki oleh laki-laki.
"Mau ke mana buru-buru?"
Aku terpekik karena terkejut dan langsung memutar tubuhku dan harus menarik napas ketika
berhadapan dengan dada paling bidang yang pernah kulihat sepanjang hidupku sebagai wanita dewasa.
Kemudian kutarik mataku ke atas untuk menatap pemilik dada itu dan suhu tubuhku langsung naik
sepuluh derajat. Kalau saja punggungku tidak bisa menempel pada daun pintu, aku mungkin akan
mengambil satu langkah mundur saat itu juga. Ternyata dia tidak hanya memiliki dada yang bidang dan
perut yang bisa digunakan sebagai papan untuk membilas baju, tetapi dia juga memiliki wajah yang bisa
membuat semua wanita histeris hanya karena melihatnya. Wajah itu memang tidak bisa digolongkan
ganteng karena garis-garis rahangnya terlalu kuat untuk disatukan dengan hidung yang berukuran kecil,
meskipun mancung. Selain itu alisnya juga terlalu tebal. Tapi ada sesuatu yang membuatku tidak bisa
memalingkan tatapanku dari wajah itu. Aku baru menyadari setelah beberapa menit bahwa daya tarik
laki-laki ini adalah aura misterius yang ada pada dirinya, seakan-akan dia tahu sesuatu yang kita tidak
tahu. "Iya" aku" harus" pergi," ucapku terbata-bata karena aku baru menyadari bahwa laki-laki ini pada
dasarnya sedang telanjang kecuali handuk putih yang tergantung rendah pada pinggulnya. Entah apa
yang bisa kulihat kalau berani menarik handuk itu ke bawah. Aku segera memerintahkan bagian diriku
yang sepertinya ingin bercentil-centil ria pagi ini untuk membuang jauh-jauh segala pikiran kotor yang
direncanakannya. "Kamu harus pergi ke mana hari Sabtu pagi begini?" Tanya laki-laki itu sambil melangkah keluar dari
kamar mandi dan masuk ke kamar dan dengan begitu berada lebih dekat denganku.
Aku hanya bisa menatap wajah laki-laki itu sambil memeluk kedua sepatuku seolah benda itu adalah
benda paling berharga yang pernah kumiliki. Otakku beku sehingga tidak ada satu kata pun yang
terlintas di dalam pikiranku. Tanpa kusangka-sangka laki-laki itu kemudian tersenyum sambil menyisir
rambut basahnya dengan jari-jari.
"Kamu nggak ingat aku, ya?" tanyanya.
Aku menatapnya terkejut. Apa aku seharusnya mengenal dia" Aku yakin kalau aku sampai kenal dengan
laki-laki berwajah seperti ini aku tidak akan lupa. Apa dia artis" Kusipitkan mataku mencoba untuk
memastikan. Nggak, dia bukan artis, tetapi ada sesuatu yang familier dengan matanya yang sekarang
sepertinya sedang menelanjangiku. Mata itu sekarang lebih gelap, mungkin karena telah melihat hal-hal
yang mengejutkannya selama dua puluh tahun ini, tetapi aku masih bisa melihat kebandelan yang dulu
juga. "Kafka?" ucapku pelan.
"Hei, Nad-Nad," ucap Kafka, sambil menyeringai.
Bab 1 27 Agustus Siapa sangka gue bakal ketemu dia lagi" Kenapa harus sekarang" Gue pakai bikin malu diri sendiri di
depan dia pula. Gue nggak tahu mau dikemanain muka gue ini. Terus kenapa juga dia harus sok ramah
sama gue sih" Toh gue sudah tahu belangnya dari dulu-dulu. Dan gue yakin dia nggak banyak berubah.
Oke, itu nggak benar. Ada beberapa perubahan pada dirinya, terutama tampangnya dan tubuhnya
yang" ya ampun, gue mungkin bakal masuk neraka kalau mikirin tubuh it uterus. Ermm" kalau dipikir
lagi. Sebenarnya gue sekarang nggak Cuma "Mungkin" masuk neraka. Gue memang sudah di neraka
*** "Ya ampun" apa kabar?" tanyaku sambil perlahan-lahan mengambil langkah untuk mendekatinya.
Hanya Kafka yang akan memanggilku Nad-Nad. Walaupun dulu dia akan mengatakannya dengan nada
mengejek sehingga lebih terdengar seperti "Nyat-Nyat". Aku masih tidak menyangka bahwa laki-laki
yang sekarang berdiri di hadapanku hanya dengan menggunakan handuk adalah anak laki-laki yang
paling kubenci sepanjang hayatku.
Kafka tertawa mendengar nadaku yang betul-betul terdengar terkejut ketika melihatnya. "Aku baik-baik
saja," jawabnya. "Kamu gimana?" tanyanya balik.
"Aku biasa saja," balasku
"Aku selalu mikir kamu pasti ada sisi liarnya, tapi aku nggak nyangka anak emasnya sekolah kita ternyata
suka clubbing dan minum." Cara Kafka mengatakannya tidak seperti orang yang sedang menilaiku. Dia
benar-benar terdengar terkejut bahkan sedikit penasaran.
Liar" Apa aku tidak salah dengar" Kafka menggunakan kata liar untuk menggambarkan diriku. Aku tidak
tahu apakah aku harus merasa tersinggung atau tersanjung dengan kata itu. Pada saat yang bersamaan,
aku mencoba memutuskan dari mana dia tahu bahwa aku memang pergi clubbing tadi malam" Tetapi
kemudian aku menyadari bahwa pakaian yang kukenakan pada dasarnya sudah meneriakkan statusnya
sebagai pakaian clubbing dengan glitter yang bisa membutakan mata kalau dipandang terlalu lama.
"Ooohhh" ini Cuma jarang-jarang saja kok. Aku nggak banyak berubah. Masih tetap kutu buku dan
ngebosenin." "Kamu nggak pernah ngebosenin dan style kutu buku kamu itu malah bikin aku selalu penasaran sama
kamu." Kafka lalu membuka lemari pakaian yang ada di sebelah kanannya dan narik sehelai kaus putih,
sehingga dia tidak melihat ekspresi wajahku yang sedang menatapnya dengan mulut terbuka. Kalau saja
kata-kata itu diucapkan dengan nada lain, aku mungkin tidak akan merasa ge-er, tetapi cara Kafka
mengucapkannya seakan-akan dia sedang mengujiku. Nggak" nggak mungkin. Aku pasti sudah salah
dengar. Kafka tidak memiliki kemampuan untuk menguji orang, dia hanya bisa mengejek.
Tanpa memedulikan diriku yang masih berdiri di hadapannya Kafka mengenakan kaus putih itu dan aku
harus menutup mataku ketika dia melepaskan handuk yang mengelilingi pinggulnya. Tetapi ketika aku
mengintip dia ternyata sudah mengenakan celana dalam jenis boxer-briefs berwarna hitam di bawah
handuk itu. Aku mencoba menahan diri agar tidak mendengus karena menyadari kekonyolanku yang
sudah berpikir terlalu jauh.
"Kamu tinggal di sini?" tanyaku mencoba mengisi keheningan. Meskipun sudah ingin melarikan diri dari
hadapan Kafka, tetapi aku telah dibesarkan untuk mengutamakan tata krama jika bertemu dengan
orang yang kita kenal. Meskipun orang tersebut adalah Kafka si anak sialan itu.
"Di hotel ini maksud kamu?" balas Kafka sambil menarik jins yang di gantung di dalam lemari sebelum
mengenakannya. Saat itu aku menyadari betapa gobloknya pertanyaanku itu. Mencoba menutupi kesalahanku, aku
menambahkan, "Bukan, maksudku di" uhm" di?" aku berusaha sebisa mungkin mengingat-ingat
dimana aku berada, tetapi tidak satu nama pun muncul di kepalaku.
"Di Bali?" Kafka mencoba membantuku.
"Iya" di Bali," teriakku antusias.
Kafka hanya menggeleng sambil memasang kancing celana jinsnya.
"Cuma ada seminar saja," jelasnya sembari mengeluarkan sabuk kulit suede berwarna cokelat muda dari
dalam lemari dan mulai melingkarkannya di pinggangnya.
Aku hanya mengangguk-angguk, mencoba untuk mencari topic lain, dan yang keluar dari mulutku adalah,
"Kenapa aku ada di sini?"
"Kamu nggak ingat?" tanyanya sambil bertolak pinggang dan mengerutkan dahi. Aku tidak memberikan
jawaban, tetapi hanya diam, menunggu penjelasannya.
"Aku temuin kamu lagi teller di lift dan aku bawa kamu ke sini," jelas Kafka.
"Kenapa harus ke sini" Kenapa dia tidak mengantarku kembali ke kamarku" Itulah pertanyaan
selanjutnya yang muncul di kepalaku.
Aku menyadari bahwa aku sudah menyinggung perasaannya ketika dia berkata, "Kamu pikir aku laki-laki
model apa?" Aku sebetulnya ada beberapa kata-kata seperti "Sialan","tidak punya hati", dan lain-lain,
yang bisa kugunakan untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi mendengar nada tajamnya aku memilih
untuk diam. "Nggak mungkin, kan,aku ngebiarin kamu ngerusak reputasi good girl kamu yang ditemukan
tidak sadar diri dan bau alcohol di dalam lift hotel" Lagian juga aku nggak tahu nomor kamar kamu, aku
Cuma tahu kamu tamu di sini, soalnya aku nemuin kartu kunci kamar hotel ini di dalam tas kamu, jadi
aku Cuma ngambil keputusan yang menurutku paling benar saat itu," lanjut Kafka.
Kuanggukan kepalaku, lebih karena aku masih terlalu pusing untuk adu mulut dengannya daripada
karena aku menerima alasan yang telah dikemukakannya. Kafka mengusap-usap dagunya sambil
menatapku dengan ekspresi antara kesal dan terhibur. Tiba-tiba aku menyadari betapa anehnya
keadaan ini dan mengucapkan satu-satunya hal yang muncul di kepalaku, "So, I"m gonna go. Nice to see
you again." Buru-buru kubuka pintu kamar hotel itu, melangkah ke lorong dan berjalan secepat mungkin tanpa
berlari ke arah kanan. Tetapi aku langsung menghentikan langkahku dan memutar tubuh.
"Nad, kamu mau kemana?" Tanya Kafka dengan suara dan wajah yang terlihat agak sedikit bingung.
"Ke lift," jawabku pendek dan memutar tubuhku untuk kembali berjalan ke arah yang tadi sedang kutuju
ketika kudengar suara Kafka lagi.
"Kamu salah arah, Nad," Mendengar kata-kata itu sekali lagi kuhentikan langkahku dan menatap
sumbernya. "Liftnya di sebelah sana," ucapnya sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dari arah yang telah
kuambil. Aku menahan diri untuk tidak menggeram dan tersenyum simpul kepada Kafka, lalu mulai berjalan ke
arah yang di tunjukkannya. Ketika aku melewati Kafka, sekali lagi langkahku terhenti oleh kata-katanya.
"Omong-omong ini kayaknya punya kamu deh. Soalnya jelas-jelas ini bukan punya aku. Not my style."
Dia sedang menggenggam clutch berwarna emas yang kubawa tadi malam.
Kuulurkan tangan untuk mengambil clutch itu dari genggamannya ketika tiba-tiba Kafka menarik
pergelangan tanganku. Aku terpekik karena terkejut, sedangkan Kafka hanya tersenyum dan meletakkan
clutch itu di dalam telapak tanganku yang terbuka sebelum kemudian menyelubungi tanganku dengan
kedua tanganku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap tanganku yang
ukurannya relatif kecil, yang kini hampir tidak kelihatan di dalam genggaman kedua tangannya yang
besar. Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian menunduk dan mencium pipi kananku.
*** Setelah merasa cukup aman berada di dalam lift yang kosong, kukenakan sepatuku kembali. Melalui lift
ini setidak-tidaknya aku tahu bahwa tebakanku benar. Aku memang masih berada di dalam hotelku
tetapi sekitar tiga lantai lebih rendah dibandingkan kamar hotelku. Selama perjalanan menuju lantai
enam kuputar otakku untuk mencari penjelasan bagaimana aku bisa berakhir di kamar Kafka, tetapi
ingatanku masih kabur. Kucoba untuk menenangkan jantungku yang berdetak dengan suara yang cukup keras dan tempo yang
tidak bisa terkendali . tetapi setidak-tidaknya sakit kepalaku sudah sedikit reda, hingga ketika kusadari
satu hal yang sudah aku coba kesampingkan dengan paksa selama beberapa menit ini karena aku belum
sanggup untuk menghadapinya, yaitu bahwa ada kemungkinan besar aku tadi malam bercinta dengan"
kutarik napas dalam-dalam mencoba menahan sakit kepala yang sepertinya akan kambuh lagi. Dengan
Kafka. Aku bercinta dengan Kafka" Apa mungkin" Nggak mungkin. Tapi" aggghhh" bencana! Ini
bencana. Setidak-tidaknya aku berharap bahwa dia memiliki kesadaran untuk mengenakan pelindung
karena sekarang bukan waktu yang tepat untukku untuk berhubungan seksual tanpa menggunakan
pelindungan. Kalau betul-betul sial, aku bisa hamil.
SHIT. Sepanjang hidupku aku hanya pernah bercinta satu kali dan tanpa perlindungan, yaitu dengan
Jimmy, pacar keduaku. Untungnya peristiwa itu tidak membuatku hamil. Yang aku ingat dari


Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengalaman pertamaku itu adalah bahwa aku cinta mati dengannya sehingga rela melakukan apa saja
untuknya. Tapi, ternyata Jimmy menyerangku dengan ganas. Alhasil, hubungan yang telah aku jalin
dengannya selama hampir dua tahun terpaksa aku akhiri seminggu kemudian karena aku tahu hakku
sebagai seorang wanita untuk memutuskan bahwa tidak ada laki-laki mana pun yang berhak
mengobrak-abrik diriku atas nama cinta. Setelah kejadian itu aku berjanji untuk tidak akan pernah
bercinta lagi dengan laki-laki mana pun sampai aku menikah.
Aku tahu bahwa kalau sampai orangtuaku, kedua kakakku, dan sobat-sobatku (kecuali Jana yang
kemungkinan besar kehilangan keperawanannya pada saat yang bersamaan denganku, tapi di benua
berbeda) tahu bahwa aku bukan perawan lagi dalam usia yang bisa dibilang relative muda, mereka pasti
akan terkejut dan sangat kecewa. Itu sebabnya aku tidak pernah bercerita apa-apa kepada mereka.
Tetapi aku tahu bahwa orang-orang terdekatku ini tidak buta, meskipun mereka tidak pernah dan tidak
akan pernah menanyakannya padaku.
Sejujurnya, aku telah diajari oleh orangtuaku bahwa bercinta di luar nikah itu tabu. Dan aku ingin
menjaga statusku agar tidak kelihatan seperti perempuan gampangan. Untungnya aku tidak perlu
khawatir gosip mengenai hilangnya keperawananku tersebar, karena sejujurnya, kalaupun gosip itu ada,
aku rasa tidak akan ada orang yang percaya. Aku bisa membayangkan kata-kata apa yang akan keluar
dari mulut mereka semua. "Nadia" Sudah nggak perawan" Nggak mungkin."
"Nadia" Seks" Gue rasa tuh anak mungkin nggak tahu seks itu apa."
"Nggak mungkinlah dia sudah ML sama cowoknya di luar nikah. Dia bukan tipe perempuan kayak gitu,
lagi." Kalau saja orang-orang ini tahu yang sebenarnya, mereka mungkin akan sama kagetnya seperti keluarga
dan sobat-sobatku. Ya ampuuu"nnn Tiba-tiba aku teringat pada STD, alias Sexually Transmited Diseases- penyakit menular
seksual. Bagaimana mungkin tiga huruf yang seharusnya tidak berarti apa-apa itu bisa membuat bulu di
tengkukku langsung berdiri" Aku membuat catatan di dalam kepalaku untuk pergi cek kesehatan begitu
aku sampai di Jakarta lagi. Aku akan bunuh Kafka kalau sampai dokter menemukan hal-hal yang aneh,
entah itu penyakit kelamin, AIDS, apalagi bayi di dalam tubuhku. Aggghhh" amit-amit jabang bayi.
Kututup mataku beberapa detik dalam usaha menenangkan diriku, dan ketika pintu lift terbuka lagi
kukeluarkan kartu kunci kamar hotel dari dalam clutch-ku. Setidak-tidaknya aku masih ingat di mana aku
menyimpan kartu kunci itu. Seperti kartu kunci kamar hotel pada umumnya, kartu kunci ini tidak
mencetak nomor kamar untuk keselamatan tamu hotel seandainya kartu kunci ini jatuh ke tangan yang
salah. Itu sebabnya kenapa Kafka tidak bisa mengantarku kembali ke kamarku karena dia memang tidak
bisa tahu nomor kamarku. Sambil masih bingung dengan kejadian pagi ini, kucoba untuk membuka pintu
kamarku sepelan mungkin agar tidak membangunkan teman-temanku. Tanpa kusangka-sangka pintu itu
ditarik dari dalam dan aku hampir saja jatuh tersungkur karena tanganku masih menggenggam gagang
pintu. "Ya ampun, Nad, lo ke mana sih tadi malam?" meskipun Adri sedang berbisik tetapi aku bisa merasakan
adanya nada hampir histeris di belakang bisikan itu. "Gue telepon Hp lo berkali-kali tapi lo nggak angkat,"
lanjutnya. Di antara ketiga sobatku, sebetulnya aku paling tidak mengenal Adri kalau dihitung dari
lamanya kami menghabiskan waktu bersama-sama. Adri baru-baru ini saja kembali dari Amerika, tempat
dia bermukim semenjak SMA. Tapi selalu ada satu hal yang bisa kuandalkan dari Adri, yaitu
kepeduliannya pada orang lain. Untuk hal yang satu itu, dia tidak pernah berubah semenjak SMP.
"Yang lain ke mana?" tanyaku sambil berbisik juga dan melangkah masuk ke dalam kamar sebelum
kemudian menutup pintu. "Dara baru saja tidur, habis nungguin elo nggak balik-balik juga. Kalau Jana, gue nggak yakin tuh anak
bakalan bisa bangun sebelum tengah hari," lapor Adri mengenai keadaan kedua sobatku yang lain
sambil terkikik. Dara adalah sobatku yang paling dekat, tapi lain dengan Adri, dia tidak bisa diandalkan
bahkan hanya untuk memastikan agar aku tetap sadar di bar semalam.
Kedatangan kami ke Bali memang untuk merayakan status baru Jana sebagai calon pengantin kurang
dari tiga bulan lagi. Aku, Adri, dan Dara memang sudah berniat dari awal untuk membujuk Jana, seorang
perawan kalau sudah urusan alcohol, untuk minum sebanyak-banyaknya. Kapan lagi dia bisa melakukan
hal itu kalau dia sudah menikah dengan calon suaminya yang berasal dari keluarga paling uptight yang
pernah aku temui" Aku yakin mereka tidak akan memperbolehkan Jana bertingkah laku tidak senonoh
sama sekali. Jana adalah satu-satunya sobatku yang hingga sekarang tidak pernah bisa kupahami betul
jalan pikirannya. Dia adalah tipe orang yang selalu melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan
apa yang diharapkan oleh orang lain darinya. Intinya dia tidak pernah bisa ditebak.
"Berapa banyak martini sih yang dia minum?" tanyaku sambil melepaskan sepatuku dan melangkah
masuk ke kamar mandi. "Gue sudah nggak ngitung lagi setelah yang kelima." Adri pun melangkah masuk ke kamar mandi yang
besar itu dan menutup pintu. Dia kemudian duduk di atas toilet yang sedang dalam keadaan tertutup.
"Kita kayaknya bakalan dibantai sama lakinya kalau dia sampai tahu," ucapku sambil menatap Adri yang
kusadari kelihatan agak kuyu dan pucat. "Jangan bilang ke gue kalau lo nggak tidur semalaman karena
nungguin gue deh?" lanjutku khawatir.
"Nggak. Gue sudah tidur dan tadi dibangunin sama Dara jam lima," jelas Adri. Aku pun mengembuskan
napas lega. Aku betul-betul tidak berniat untuk membebani sobatku hanya karena keteledoranku yang
tidak bisa menjaga diri sendiri. Lalu aku menghadap ke cermin dan berteriak.
"What" What?" Teriak Adri sambil melompat ke atas toilet dan melihat ke sekelilingnya dengan wajah
panik. Kuputar tubuhku untuk menghadap Adri. "Lo ngapain berdiri di atas toilet?" tanyaku bingung.
"Lha.. elo kenapa teriak?" balas Adri sambil bertolak pinggang.
"Lo kok nggak ngomong ke gue sih kalau tampang gue kayak gini?" omelku sambil menunjuk wajahku
dengan jari telunjuk. Rambutku yang tadi malam kelihatan seksi dengan bantuan curling iron dan hair spray kini terlihat
seperti rambut Kuntilanak. Selain itu, ada garis hitam di bawah kedua mataku akibat tidur dengan
mascara, dan lipstikku yang berwarna merah sudah berpindah ke pipi kananku. Bagaimana mungkin
Kafka tidak tertawa terpingkal-pingkal ketika melihatku, anak perempuan yang selalu terlihat rapid an
tidak akan pernah ditemukan dengan satu helai rambut pun yang salah tempat, berpenampilan seperti
ini" Untungnya aku tidak bertemu dengan tamu lain ketika berada di dalam lift, karena aku tidak yakin
bahwa mereka akan bisa mengontrol reaksi mereka sebaik Kafka.
Adri mengembuskan napas. "Lo Cuma teriak gara-gara tampang lo" Gue sangkain lo lihat kecoak."
Perlahan-lahan Adri turun dari atas toilet.
"Mana ada kecoak di hotel bintang lima?" balasku dengan nada agak sedikit tajam karena merasa sedikit
tersinggung sebab Adri sepertinya tidak memedulikan keluhanku akan penampilanku.
"Bisa saja kan kalau itu kecoak Hollywood," bantah Adri sambil mendudukkan dirinya kembali di atas
toilet dengan wajah sedikit kesal.
Aku hanya menggeleng-geleng sambil mengikat rambutku dan mulai memercikkan air dingin pada
wajahku. Perlahan-lahan pikiranku mulai jernih kembali.
"By the way serius deh, elo ke mana sih tadi malam" Gue bilang ke elo supaya tunggu gue di depan pintu
bar, gue masuk sebentar buat ambil tas. Eh" pas gue keluar elo sudah hilang," ucap Adri dengan nada
lebih serius. Adri yang memang tubuhnya sangat sensitive dengan alcohol, lebih memilih untuk minum
Coca-cola tadi malam, sehingga mungkin hanya dia semalam yang masih sadar seratus persen.
Sambil membersihkan wajahku dengan cleanser, sepotong demi sepotong kejadian tadi malam mulai
kembali lagi padaku. Aku memang sedang berdiri sambil menyandarkan punggung pada pintu kaca
masuk bar dan menunggu hingga Adri kembali. Aku sudah mengatakan padanya bahwa aku bisa kembali
ke kamar sendiri, tapi Adri tetap bersikeras untuk mengantarku. Perutku masih terasa agak sedikit mual
yang kemungkinan besar disebabkan oleh tiga gelas martini yang aku minum satu jam yang lalu tanpa
henti. Itulah sebabnya kenapa aku mau kembali ke kamar lebih dulu.
Setelah menunggu selama lima menit dan Adri masih belum muncul juga, aku memutuskan untuk
menuju ke kamar hotelku sendiri. Alcohol di dalam darahku sepertinya tidak memengaruhi penglihatan
ataupun pikiranku, hanya perutku dan aku berhasil masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong tanpa
mengalami kendala apa pun. Tetapi ketika aku mencoba untuk menekan tombol lantai di dalam lift,
pandanganku tiba-tiba kabur. Kukedipkan mataku berkali-kali dan mencoba membuka lebar kelopak
mataku agar bisa melihat dengan lebih jelas, tapi tetap tidak berhasil. Penglihatanku semakin kabur dan
aku harus menyandarkan punggung pada salah satu dinding lift karena tiba-tiba aku sepertinya
kehilangan keseimbangan yang disusul dengan serangan vertigo yang cukup dahsyat. Saat itu aku baru
betul-betul merasakan efek penuh dari alcohol di dalam darahku.
Selanjutnya yang kuingat adalah seseorang yang tidak aku kenal, yang kini aku tahu sebagai Kafka,
memapahku berjalan melalui lorong kamar hotel. Aku ingat bahwa aku sempat mencoba menyanyikan
lirik lagu Wannabe ketika sedang dipapah dan kudengar suara tawa Kafka. Andaikan bisa memutar balik
waktu, aku akan kembali ke enam jam yang lalu dan memilih untuk menunggu hingga Adri kembali
untuk mengantarku kembali ke kamar. Terutama ketika mengingat kata-kata yang keluar dari mulutku.
"I tell you what, what I really want. So tell me what you want what you really really want," teriakku
dengan cukup kencang. "Ssshhh, jangan kencang-kencang. Ini sudah malam," ucap Kafka mencoba memperingatkan aku. Tapi
dari nadanya sepertinya dia sedang menahan tawa.
"Ini bukan malam lagi, tapi sudah pagi," balasku lalu mulai cekikikan.
Kudengar Kafka ikut terkikik mendengar komentarku.
"If you wanna be my lover you gotta get with my friends."
"Husss," sekali lagi Kafka mencoba mengingatkanku agar menurunkan suaraku.
Kuulangi baris lagu Spice Girls itu tetapi sambil berbisik, "If you wanna be my lover you gotta get with
my friends." Pada saat itu langkahku terhenti. Kafka pun terpaksa menghentikan langkahnya jika tidak
mau terpaksa menggeretku.
"Kenapa?" tanyanya dengan ekspresi agak khawatir ketika melihat wajahku yang mungkin kelihatan
superbingung. "Teman-temanku masih di bae," ucapku.
"Kamu di sini sama teman-teman kamu?"
Aku mengangguk dengan semangat yang langsung membuatku pusing dan mungkin akan jatuh
terjerembab kalau Kafka tidak sedang melingkarkan lengan kanannya pada pinggangku.
"Nanti aku bilangin ke teman-teman kamu kalau kamu ada sama aku ya," kata Kafka sambil mulai
menarikku untuk kembali berjalan.
"Kamu kenal sama mereka?"
"Iya," jawab Kafka pendek.
"Hahaha" kamu ngaco ngomongnya. Kamu nggak mungkin kenal sama mereka, soalnya mereka nggak
pernah ketemu kamu," ucapku sambil tertawa.
"Kamu nggak usah khawatir soal itu. Aku pasti bisa ngenalin mereka."
"Oh ya" Gimana bisa?" tanyaku mencoba untuk memfokuskan diri pada percakapan ini.
"Karena pasti gayanya kayak kamu, kan?"
Aku terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban itu dan entah bagaimana tetapi aku tidak menemukan
adanya kejanggalan dari kata-katanya itu, sehingga aku hanya mengangguk sambil mencoba
memerintahkan kedua kakiku agar tetap melangkah.
"Who are you anyway?" tanyaku padanya.
"Kamu nggak kenal aku?" Tanya Kafka dengan nada serius.
Kugelengkan kepalaku. "I"am Jesus," ucap Kafka masih dengan wajah serius.
Dan meledaklah tawaku, diikuti tawa terkekeh-kekeh dari Kafka. Aku tidak menyangka bahwa
penolongku itu bisa ngelawak juga ternyata.
Kami lalu kembali melangkah menuju entah kemana. Tanpa kusadari aku sudah mulai
menyenandungkan lagu Spice Girls yang lain. Kemungkinan besar adalah Spice Up Your Life.
"Kamu suka Spice Girls, ya?" Tanya Kafka ketika mencoba untuk membuka pintu kamar hotelnya sambil
menopangkan agar tidak merosot dari pelukannya.
"Siapa coba yang nggak suka Spice Girls" They"re the best," ucapku. Setidak-tidaknya itulah kata-kata
yang aku coba ucapkan, tetapi sepertinya lidahku tidak mau bekerja sama sehingga aku tidak bisa
mengucapkan kata-kataku dengan jelas.
"Sudah nggak suka New Kids on the Block lagi?"
"Masih dooo"ng. they"re the best of the best," balasku. Dan setelah agak lama aku menambahkan. "I
love, love, love them," yang disambut gelak tawa Kafka.
"I suppose they were wicked," balas Kafka sambil masih tertawa.
Entah kenapa tapi bahasa Inggris yang di gunakan Kafka terdengar agak lain dari yang biasa kudengar,
sehingga membuatku tertawa.
Kafka telah berhasil membuka pintu kamar dan memapahku masuk ke dalam.
"Waaahhh" tempat tidur kamu besar," ucapku dan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan Kafka
lalu melangkah kearah tempat tidur. Tanpa menunggu undangan aku langsung merangkak naik ke
atasnya dan merebahkan tubuh dengan masih mengenakan semua pakaian, termasuk sepatu. Tempat
tidur itu nyaman sekali dengan sisa-sisa aroma parfum laki-laki. Kutarik napas dalam-dalam sebelum
mengembuskannya dengan suara yang cukup keras.
"Bantal. Aku mau bantal," teriakku dan dua bantal besar muncul di sebelah kiri dan kananku. Aku
merasakan seseorang sedang melepaskan sepatuku sebelum kemudian menarik bed cover untuk
menyelimuti tubuhku. "Mmmhhh" thank you," ucapku.
"You"re welcome," balas Kafka sebelum kemudian duduk di sampingku dan membelai rambutku.
"You"re nice," gumamku, dan kurasa aku langsung tertidur setelah itu karena aku tidak ingat apa-apa
lagi. Tetapi kalau aku langsung tidur pada saat itu juga dengan masih mengenakan semua pakaianku,
bagaimana mungkin aku terbangun hanya dengan pakaian dalam" Aku harus pergi menemui Kafka lagi
nanti untuk meminta penjelasannya atas kejadian tadi malam. Tiba-tiba tubuhku terasa panas-dingin.
Bagaimana mungkin setelah dua puluh tahun ini aku masih merasa takut untuk bertemu dengan Kafka"
Bab 2 29 Agustus Jangan sampai gue ketemu dia lagi. Bagaimanapun caranya terserah, tapi gue harus menghindar.
*** "Nadia" eh" ditanya kok diam saja sih?" omelan Adri membangunkanku dari lamunan.
"Eh iya" kenapa, Dri?" tanyaku dan berusaha mengontrol wajahku agar tidak memarah.
Dari cermin, kulihat Adri memutar bola matanya sebelum mengulangi pertanyaannya. "Lo tadi malam ke
mana?" "Gue ketemu sama temen gue, jadi gue tidur di kamar dia tadi malam," jelasku sambil memercikkan air
pada wajahku untuk membersihkan sisa-sisa cleanser. Aku berusaha mengatakan hal yang paling dekat
dengan keadaan yang sebenarnya tanpa betul-betul menceritakan kejadian tadi malam. Karena aku
sendiri masih belum jelas mengenai hal tersebut.
Dari cermin kulihat Adri sedang menyipitkan matanya curiga. Memang susah kalau punya sobat psikolog.
"Teman kerja?" tanyanya.
"Hah?" "Teman yang ketemu sama elo tadi malam, dia teman kerja?"
"Bukan. Teman SD gue," jawabku
"Dari Makassar?"
Aku pun mengangguk. Aku memang baru mengenal ketiga sobatku ketika orientasi masuk SMP sebagai
anak pindahan dari Ujung Pandang (Pada saat itu Presiden Republik Indonesia masih Soeharto dan
Makassar disebut sebagai UjungPandang). Dara dan Adri sudah mengenal satu sama lain semenjak
mereka SD kelas satu, sedangkan Jana menjadi orang ketiga yang memasuki lingkarang persahabatan itu
ketika dia baru pindah dari sekolah lain sewaktu kelas empat SD. Pada dasarnya ketiga sobatku sudah
mengenal satu sama lain cukup lama ketika tiga sekawan itu kemudian menjadi empat sekawan dengan
adanya aku. "Tumben lo nggak bersihin muka dulu sebelum tidur." Nah lho" bagaimana aku bisa menjelaskan
perkara ini kepada Adri" Ketiga sobatku tahu kebiasaanku: karena memiliki kulit paling sensitive, aku
jadi orang paling rajin untuk menjaga kesehatan kulit. Aku rela menghabiskan uang banyak untuk
perawatan wajah, oleh karena itu aku tidak akan pernah tertangkap basah tidur dengan masih
mengenakan make-up. Tiba-tiba pintu kamar mandi dibuka dan kulihat Dara dengan rambut berantakan melangkah masuk. Aku
pun mengembuskan napas lega karena terbebas dari kecurigaan Adri.
"Minggir, gue mau kencing." Dara berjalan dengan langkah sedikit sempoyongan menuju toilet karena
belum sadar betul dari kantuk atau mungkin mabuknya, tetapi Adri menolak menyerahkan
singgasananya. "Lo kencing kan bisa di bidet," ucap Adri.
Aku mengambil kesempatan ini untuk menghindar sebelum Adri memutuskan untuk membahas status
"Missing in action"-ku tadi malam. Kusambar handuk kecil dari batang logam tempatnya disampirkan
dan melangkah keluar dari kamar mandi. Samar-samar kudengar suara Dara dan Adri yang masih
berdebat urusan penggunaan yang tepat untuk toilet dan bidet. Kulihat Jana masih tertidur dengan
mulut agak ternganga. Kunyalakan TV dengan volume rendah agar tidak membangunkannya dan
mencoba mencari channel yang menarik perhatianku sambil menyeka sisa-sisa air dari wajahku dengan
handuk. Aku terhenti pada channel yang sedang menayangkan film 10 Things I Hate About You. Aku lalu
duduk bersila di atas tempat tidur dan meletakkan handuk di sampingku. Entah kenapa, tapi film ini
selalu bisa membuatku tertawa setiap kali melihatnya. Aku selalu menginginkan saudara perempuan,
tidak peduli itu kakak ataupun adik. Yang jelas aku selalu iri dengan Kat dan Bianca Stratford, yang
meskipun selalu berbeda dengan pendapat, tetapi pada akhirnya akan rela melakukan apa saja untuk
satu sama lain. Sayangnya permintaanku tidak pernah terkabul, sehingga aku harus puas dengan dua
kakak laki-laki yang umurnya cukup jauh denganku sehingga membuat mereka menjadi superprotektif
bahkan terkesan posesif terhadapku.
Aku selalu protes kepada papa dan mamaku bahwa aku akan jadi perawan tua selama kedua kakakku
membuat ancaman yang sama kepada semua anak laki-laki yang mencoba mendekatiku. Inti dari
ancaman itu adalah bahwa mereka dijamin akan babak belur kalau sampai membuatku sedih, apalagi
sampai menangis. Untung kemudian satu per satu dari mereka mulai meninggalkan rumah ketika aku
SMA. Kak Mikhel, kakakku yang paling besarlah yang menghilang lebih dulu karena harus kuliah di
Bandung. Setahun kemudian, Kak Viktor menyusul untuk kos di Depok. Meskipun mereka berdua selalu
meluangkan waktu untuk pulang setidak-tidaknya tiga bulan sekali, tetapi pada dasarnya untuk pertama
kalinya selama lima belas tahun hidupku aku benar-benar bebas dari cengkeraman mereka. Anehnya,
kurang dari satu bulan kemudian, aku mulai merindukan tatapan-tatapan curiga atau komentarkomentar penuh ancaman yang selalu diutarakan oleh kedua kakakku kepad setiap anak laki-laki yang
aku undang ataupun mengundang diri mereka untuk datang ke rumahku.
Entah bagaimana, tetapi dengan popularitasku sebagai murid yang aktif di organisasi semenjak SD
hingga kuliah dan sering bertemu dengan banyak laki-laki, aku masih berstatus single di umurku yang
sudah 28 ini. Bagaimana mungkin Jana, sobatku yang sama sekali tidak pernah pacaran selama SMP dan
SMA kini sudah mau menikah lebih dulu daripada aku" Aku bukannya iri dengan status Jana yang
sebentar lagi akan menjadi "Nyonya", aku hanya bingung. Tentunya selama ini aku sudah menghabiskan
waktuku dengan laki-laki yang salah kalau hingga kini aku masih belum juga menikah. Lain dengan Dara
yang sering sekali gonta-ganti pacar sampai terkadang aku mengalami masalah untuk mengingat
siapakah pacarnya bulan ini, aku adalah tipe perempuan yang selalu memiliki hubungan yang cukup
awet dengan laki-laki. Pacar pertamaku bernama Mario, hubungan itu bertahan selama hampir tiga tahun sehingga aku lulus
SMA. Kemudian sewaktu kuliah aku hanya berganti pacar sebanyak dua kali dan ketika aku mulai kerja
hingga sekarang, aku hanya ada dia pacar lainnya. Pacar terakhirku, Fendi baru saja menikah sekitar
sebulan yang lalu setelah putus dariku tiga bulan sebelumnya. Mungkin inilah pertama kalinya dalam
hidupku semenjak aku SMA saat aku tidak sedang memiliki hubungan yang special dengan seseorang


Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki tertentu selama lebih dari tiga bulan berturut-turut. Selama ini aku menyangka bahwa aku
adalah tipe wanita yang tidak bisa single, oleh karena itu selalu memastikan bahwa aku punya seorang
laki-laki yang mendampingiku. Tapi kini, harus kuakui bahwa aku mulai menikmati status baruku sebagai
wanita single. Sekarang aku mulai mengerti kenapa Adri tidak pernah terlihat risih sebagai satu-satunya
orang di dalam lingkaran persahabatan kami yang sudah dan masih tetap single semenjak dia pulang
dari Amerika beberapa bulan yang lalu.
Lamunanku terpotong tiba-tiba oleh suara Dara yang berteriak membangunkan Jana.
"Calon pengantin, tolong bangun, ya. Ini sudah mau jam Sembilan. Jam sarapan sudah mau habis."
Ketika Jana tidak juga bergerak, Dara kemudian mulai menarik selimut yang menutupi tubuhnya.
Kelakuan iseng Dara tidak menggangguku sama sekali. Tetapi bukannya bangun, Jana malah menarik
kakinya sehingga tubuhnya meringkuk dan melanjutkan tidurnya.
Karena Jana tidak bereaksi, akhirnya Dara mengalihkan perhatiannya padaku. "Omong-omong lo tadi
malam ke mana sih?" tanyanya sambil kemudian duduk bersila di sampingku.
Aku baru saja akan memberikan penjelasan yang sama yang telah kuberikan kepada Adri ketika tiba-tiba
sobatku yang satu itu keluar dari kamar mandi dengan mulut penuh busa dan tengah menggenggam
sikat gigi berwarna merah. Rupanya dia tengah menggosok gigi dan tidak bisa menunggu satu detik pun
untuk mengutarakan pendapatnya. Alhasil aku dan Dara berteriak untuk memintanya kembali ke kamar
mandi dan kumur sebelum memutuskan untuk bicara. Kurang dari sepuluh detik kemudian Adri muncul
kembali, minus busa odol di mulutnya.
"Gue tadi Cuma mau bilang kalau gue setuju banget kita turun sarapan. Gue laper banget, gila."
Begitu mendengar kata "sarapan", Dara langsung melupakan pertanyaan yang tadi diutarakannya
padaku. Kulihat dia berjalan menuju lemari pakaian untuk menarik jaketnya dari gantungan.
"Terus Jana kita tinggalin sendirian di sini dengan keadaan masih drunk, gitu?" tanyaku panik. "Lo pada
gila," omelku. "Memangnya lo mau nungguin dia sampai bangun, sambil kelaparan, gitu?" balas Adri yang kini juga
sedang melingkarkan syal pada bahunya.
Aku ragu sesaat. Di satu sisi aku tahu bahwa perutku memang sudah minta diisi, tetapi pada sisi lain, aku
tidak berani meninggalkan Jana dengan keadaan setengah sadar, sendirian di dalam kamar hotel.
Bagaimana kalau dia tiba-tiba bangun dan tidak bisa ingat dia sedang berada di mana" Tetapi aku tahu
bahwa alasan utama kenapa aku tidak mau turun sarapan adalah karena aku takut bertemu dengan
Kafka lagi. "Omong-omong perut lo gimana?" Tanya Dara. "Masih mual?" lanjutnya.
Adri langsung membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar jawabanku.
"Nggak, sudah nggak apa-apa. Kayaknya memang gara-gara gue minum martininya kecepetan tadi
malam," jawabku. Dara pun mengangguk setuju, kulihat Adri sedang mengenakan sandalnya sebelum kemudian mematut
dirinya di depan cermin. Setelah puas dengan penampilannya, dia pun menatapku dan berkata, "Yuk."
"Gue belum mandi," aku pun beralasan. Meskipun aku ingin tahu hal apa saja yang terjadi tadi malam
dengan Kafka, bukan berarti bahwa aku siap untuk bertemu dengannya tiga puluh menit setelah aku
"pada dasarnya" lari pontang-panting dari hadapannya. Kalau memang aku harus bertemu dengan Kafka
lagi, aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menunda pertemuan itu hingga detik-detik terakhir. Kalau
bisa segala percakapan yang aku akan miliki dengannya dilakukan melalui media telepon atau e-mail.
Suatu hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi karena aku tidak tahu nomor telepon ataupun e-mailnya. Aku pun tersenyum pada diriku sendiri yang menyadari betapa cerdiknya rencanaku ini.
"Kita juga belum pada mandi," bantah Dara sambil bertolak pinggang.
"Iya, tahu. Bau lo pada bisa gue cium dari sini," ledekku.
Dara hanya memutar bola matanya dengan tidak sabaran. "Ikutan nggak?"
"Breakfast sampai jam berapa ya?" tanyaku sambil melepaskan ikatan rambut dan mencium rambutku
yang seperti dugaanku, berbau seperti asbak.
"Setengah sebelas," jawab Adri yang sudah berjalan menuju pintu karena dia sudah tahu tanpa aku
harus mengatakannya bahwa aku tidak akan turun sarapan dengan mereka.
"Lo pada turun duluan deh. Gue kayaknya mau mandi dulu. Rambut gue baunya kayak lantai bar." Aku
pun mematikan TV dan melangkah turun dari tempat tidur untuk kembali menuju kamar mandi.
Kulihat Dara hanya mengangkat bahu sebelum kemudian mengikuti Adri keluar dari kamar. Sebelum
pintu kamar tertutup aku bisa mendengar Dara membahas tentang makanan apa yang akan dia serang
terlebih dahulu dari meja buffet pagi ini. Aku pun tersenyum sendiri mendengarnya. Satu hal yang
kusadari semenjak mengenal Dara adalah bahwa dia makannya banyak. Dan, selera dan porsi makannya
itu sepertinya tidak pernah memengaruhi bentuk badannya yang selalu tinggi semampai itu. Entah di
mana dia menyimpan semua makanan itu.
Kutanggalkan kausku sambil memikirkan pertemuanku dengan Kafka. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa
beramah-tamah padanya, orang yang telah membuat masa SD-ku sengsara. Satu-satunya penjelasan
yang masuk akal adalah aku masih terlalu kaget ketika bertemu dengannya lagi sehingga tak mampu
memberikan reaksi lain selain menanyakan kabarnya. Lagi pula aku memang dikenal sebagai orang yang
ramah, sehingga adalah hal yang wajar jika aku bisa melalui suatu percakapan dengan laki-laki yang
paling aku benci sepanjang hidupku tanpa mengeluarkan sumpah-serapah.
Puas dengan penjelasan ini aku pun melangkah masuk ke dalam bathub dan mengatur suhu air agar
sesuai dengan keinginanku. Tiba-tiba kudengar telepon kamar hotel berbunyi. Aku tadinya mau
membiarkan telepon itu tetap bordering, tetapi aku tidak mau sampai suara itu membangunkan Jana.
Mau tidak mau kumatikan air dan melangkah keluar dari bathtub. Tanpa menghiraukan tubuhku yang
telanjang aku pun mengangkat gagang telepon yang terletak di samping toilet.
"Halo," ucapku "Nadia?" Tanya suara diujung kabel telepon.
"Ya?" jawabku otomatis, meskipun dalam hati aku bingung siapa orang ini.
"Nad, ini Kafka." Satu-satunya hal yang muncul di kepalaku pada saat itu adalah dari mana dia bisa tahu
nomor kamar hotelku"
"Hei," ucapku. Entah kenapa tapi tiba-tiba detak jantungku jadi sedikit tidak teratur. "Kamu tahu nomor
kamarku dari mana?" Bukannya menjawab, Kafka hanya terkekeh-kekeh. "Kamu nggak turun sarapan?" tanyanya setelah
tawanya reda. "Sudah kok. Ini baru balik," ucapku. Aku tidak tahu kenapa aku berbohong, tetapi aku takut kalau aku
bilang aku belum sarapan nanti dia akan mengajakku sarapan dengannya yang aku yakin akan berakhir
dengan "Pertumpahan darah".
Kafka meledak tertawa, kali ini sepertinya dia benar-benar mendapati jawabanku superlucu yang
membuatku mempertanyakan kesehatan mentalnya. Meskipun aku dikenal sebagai orang yang ramah,
tetapi orang tidak pernah berpendapat bahwa aku ini lucu.
"Aku cariin kamu tadi di restoran, tapi kok nggak ketemu, ya?" Kafka sepertinya sedang bersusah-payah
untuk menahan tawa ketika mengatakan hal ini.
Mampus gue, ketahuan deh bohongnya, ucapku dalam hati. "Iya ya?" tanyaku berpura-pura bingung.
Tentunya Kafka tidak mempercayai kebingunganku sama sekali dan bertanya, "Kamu hari ini rencananya
mau ke mana?" Yang sebenarnya ingin kukatakan adalah, "Ke mana saja asal nggak ketemu kamu," tapi tentu saja aku
tidak bisa mengatakan hal ini. "Uhm" belum tahu juga. Tapi kayaknya kami mau ke pantai saja,"
jawabku akhirnya, sambil mencoba untuk mengingat-ingat percakapanku dengan ketiga sobatku
kemarin siang tentang rencana hari ini, yang pada dasarnya tidak diakhiri dengan satu keputusan
tertentu. Kudengar Kafka mengembuskan napasnya dengan cukup keras sebelum bertanya, "Kamu kapan rencana
pulang?" Pergantian arah percakapan ini membuatku sedikit terkejut karena aku sedang berusaha memikirkan
suatu cara untuk membujuk ketiga sobatku agar mau pergi ke pantai lagi setelah selama tiga haru
berturut-turut menghabiskan waktu di tempat yang sama. Kebohonganku akan ketahuan kalau ternyata
nanti Kafka menemukanku masih berada di hotel siang ini. Pertanyaan Kafka membuatku sedikit
tergagap ketika mengatakan, "Be-besok siang."
Kudengar Kafka tertawa sebelum bertanya, "Ke Jakarta?"
"Iya," jawabku dengan sedikit curiga. Dari mana dia bisa yakin bahwa aku kini bermukim di Jakarta"
Hanya keluarga dan teman dekat saja yang tahu bahwa aku dan keluargaku pindah ke Jakarta setelah
aku lulus SD, dan Kafka tidak termasuk di dalam dua kategori itu.
"Kamu naik Garuda?" Tanya Kafka lagi.
"Iya," jawabku semakin curiga
"Kebetulan. Aku juga."
"Kamu pulangnya ke Jakarta juga?" tanyaku terkejut
"Iya," balas Kafka datar
Hal pertama yang terpikir olehku adalah betapa sialnya hidupku saat ini sampai-sampai harus satu
pesawat dengan iblis satu itu. Hal kedua adalah kenapa aku bisa sampai tinggal satu kota dengannya.
Meskipun Jakarta memang kota besar dan kemungkinan bahwa kami akan pernah bertemu lagi sangat
kecil, tetapi aku tetap berharap bahwa Kafka tinggal di kota, pulau, atau bahkan benua yang berbeda
denganku. Aku seperti baru saja keluar dari kandang singa dan masuk ke mulut buaya (atau keluar dari
mulut buaya dan masuk ke kandang singa" Terserah deh). Kenapa juga sih aku harus bertemu
dengannya lagi" "Nad?" kudengar suara Kafka lagi.
"Eh iya" well, that"s great," ucapku sambil perlahan-lahan duduk di atas toilet. Tiba-tiba rasa mualku
kembali lagi. "Kamu free nggak untuk makan malam bareng aku nanti malam?"
NGGAK! Teriakku dalam hati. "I don"t know. Aku mesti Tanya sama teman-temanku. Kalau nggak salah
mereka mau coba makanan khas Bali." Dalam usahaku mencoba menghindar, satu-satunya hal yang
terpekik olehku adalah bahwa kebanyakan orang tidak tahu makanan Bali itu seperti apa, maka mereka
jarang mau mencoba. Memang sudah sifat manusia untuk takut mencoba hal-hal baru di dalam hidup
mereka. Aku berharap Kafka termasuk dalam golongan itu.
"Oh ya" Di mana?"
"Be-belum tahu lagi, Kaf." Pertanyaan Kafka yang terdengar mencecar membuatku semakin tergagap.
"Kamu keberatan kalau misalnya aku ikutan" Aku sudah lama juga nggak makan nasi Bali."
Kata-kata Kafka langsung membuatku ingin membanting gagang telepon yang sedang kupegang.
Bagaimana, oh, bagaimana caranya untuk membuat laki-laki satu ini sadar bahwa aku tidak berniat
bertemu dengannya lagi, kenapa permintaannya itu membuat jantungku baru saja melakukan senam
kesegaran jasmani" Rupanya aku sudah terdiam lebih lama daripada yang kuperkirakan karena kudengar Kafka bertanya,
"Nad, kamu masih bisa dengar aku, kan?"
"Kaf"," ucapku. Aku belum pasti apa yang akan kukatakan. Tetapi aku berusaha mengisi keheningan
dengan kata-kata, karena dengan begitu mungkin suatu ide akan tiba-tiba muncul dengan sendirinya.
"Nad, kamu nggak takut kan ketemu aku lagi?"
"Hah" Maksud kamu?" suaraku melengking ketika mengatakan ini.
Kafka malah justru tertawa mendengar balasanku ini. "Aku Cuma mau ngobrol saja sama kamu. Aku janji
nggak akan ngapa-ngapain kamu."
"Terakhir kali kamu janji untuk nggak ngapa-ngapain aku, toh akhirnya kamu bikin aku nangis juga,"
sebelum aku bisa mengontrol lidahku, kata-kata itu sudah meluncur.
Kafka terdiam sejenak ketika mendengar kata-kata itu. "Kapan aku pernah bikin kamu nangis?"
"Yang waktu itu, Kaf," balasku tidak sabaran.
Bagaimana mungkin dia bisa lupa kejadian satu itu" Kejadian yang paling memalukan sepanjang hidupku.
Belum lagi karena semua orang tidak berhenti meledekku tentang itu selama berminggu-minggu.
"Coba kamu ceritain lagi ke aku. Mungkin nanti aku bisa ingat," bujuk Kafka
Aku sudah pernah jatuh ke dalam perangkap ini sebelumnya. Apa Kafka pikir aku masih senaif ketika aku
SD" Dia salah pilih korban.
"Kaf, aku mau mandi. Nanti aku telepon kamu soal dinner, oke?" tanpa menunggu jawaban darinya aku
langsung menutup telepon. Dalam hitungan detik telepon itu berbunyi lagi, tetapi aku tidak lagi peduli
kalau deringnya yang keras akan membangunkan Jana. Aku pun melangkah masuk ke bathtub dan mulai
menyirami tubuhku dengan air hangat.
Breathe" breathe" clear" clear" clear my head" at peace. I am at peace, ucapku dalam hati. Aku
belajar menggunakan metode seperti ini untuk menenangkan pikiranku di kelas Self-improvement yang
kuambil beberapa bulan yang lalu atas permintaan kantorku. Selama ini aku selalu berpikir bahwa kelas
itu hanya membuang-buang waktuku dan uang perusahaan saja, dan pendapatku masih tidak berubah
ketika lima menit kemudian otot-otot tubuhku masih tetap tegang. Aku mengembuskan napas frustasi
dan memilih metode yang terbukti lebih efektif untuk menenangkan pikiranku. Aku mulai menyanyikan
salah satu lagu New Kids on the Block.
Dari sebegitu banyaknya boy band yang ada di industry music, favoritku selalu NKOTB. Orang lain
banyak yang sudah berganti ke Take That, Backstreet Boys, "N Sync, 98 degrees, bahkan The Moffats
seiring dengan waktu, tetapi aku tetap setia dengan Jordan yang jago main piano, Joey dengan tatapan
matanya yang mematikan, Jonathan yang diam-diam tapi seksi, Donny sang bad ass, dan suara berat
Danny. Music mereka selalu bisa menggambarkan apa yang ada di hatiku, meskipun dulu ketika bahasa
Inggris-ku masih minim, alasan utama kenapa aku menyukai NKOTB adalah karena menurutku kelima
anggotanya cute abisss! Tapi setelah aku beranjak dewasa dan betul-betul bisa mengerti arti dari liriklirik lagu mereka, aku jadi paham kenapa orang banyak yang tergila-gila dengan mereka. Siapa coba yang
bisa menolak segerombolan cowok super-cute yang bisa menciptakan lagu dan menunjukkan bahwa
mereka peduli pada apa yang terjadi dengan anak-anak di seluruh dunia ini" Belum lagi karena videonya
penuh dengan potongan-potongan klip anak-anak kecil dari berbagai Negara yang ceria dan penuh tawa.
Gemas jadinya. Ketiga sobatku selalu menertawakan selera jadulku ini, dan mereka bahkan lebih tertawa lagi ketika
datang ke rumahku untuk pertama kali ketika kami masih SMP dan menemukan poster NKOTB
berukuran raksasa yang kutempelkan di atas tempat tidurku. Sayangnya aku tidak sempat menonton
konser live mereka karena ketika mereka datang ke Jakarta, aku masih SD dan Mama tidak
mengizinkanku untuk datang ke Jakarta hanya untuk menjadi histeris karena lima cowok dari Amerika
yang menurutnya suaranya seperti anak perempuan itu. Kedua kakakku mencoba menenangkanku yang
menangis selama berhari-hari ketika mendengar komentar Mama tentang idolaku dan juga karena tidak
bisa menonton konser mereka. Memang kini aku sudah tidak lagi menempelkan poster NKOTB di mana
pun di dalam kamarku, tetapi aku masih tetap ngefans sama mereka.
Sambil menyanyikan lirik lagu itu dengan suara pelan aku jadi teringat akan masa-masa SD-ku. Lain
dengan Kafka yang sepertinya memang tidak bisa mengingat masa-masa SD-nya yang dihabiskan untuk
menyiksaku, aku ingat setiap detik dari satu tahun yang lebih yang aku habiskan dengannya. Aku ingat
bahwa dia selalu menyempatkan diri untuk menarik karet yang mengikat rambutku sampai lepas atau
menjambak rambutku kalau aku berada dalam jarak lengannya, tergantung mood-nya hari itu. Ketika
kami sama-sama mengambil les renang, dia sengaja mendorongku ke dalam kolam renang sebelum aku
sempat berganti ke pakaian renangku dan alhasil aku harus pulang dengan mengenakan kaus dan celana
panjang kedodoran milik guru renangku karena pakaianku basah semua. Aku bisa menerima semua
keisengannya itu hanya sebagai" ya keisengan yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki, tapi kemudian
keisengannya itu berubah menjadi ejekan ketika suatu hari dia melihat bros dengan foto NKOTB yang
kutempelkan pada tas sekolahku dan mulai mencaci-maki boy band kecintaanku itu dengan mengatakan
bahwa mereka suaranya hanya pas-pasan dan kemungkinan besar kalau manggung live pasti lip-sync.
Masih belum puas dengan cacian ini, dia menambahkan, "Dan kamu tahu nggak mereka itu semua
banci?" aku rasanya sudah mau membunuhnya saat itu juga. Tapi semua ejekan dan keisengan yang
dilakukan olehnya tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya siang itu, yang tercatat di dalam buku
harianku sebagai salah satu hari paling bersejarah, tetapi juga paling mengenaskan di dalam hidupku
Bab 3 4 September Oke gue sekarang yakin hidup gue disumpahin sama orang. Kalau gue sampai temuin tuh orang yang
nyumpahin gue, bakalan gue mutilasi badannya. Gimana bisa sih orang seramah dan sebaik gue bisa
sesial ini Cuma dalam jangka waktu beberapa hari" Serius deh.
*** Aku baru saja kalah pemilihan kepala regu Pramuka. Aku sudah jadi Pramuka semenjak kelas tiga SD
dengan harapan dalam tiga tahun aku akan bisa jadi kepala regu. Alhasil, aku tidak bisa menerima
kekalahan ini dengan baik, terutama karena yang terpilih menjadi kepala regu adalah seorang cewek
bernama Ria yang menurutku sangat tidak kompeten. Karena kesal dan kecewa pada diriku sendiri, aku
pun pergi ke halaman belakang sekolah untuk menangisi kekalahanku. Kutinggalkan teman-temanku
yang lain yang sedang merayakan kemenangan Ria dengan mengatakan bahwa aku mau pergi ke kamar
kecil. Halaman belakang biasanya memang selalu kosong kalau siang karena anak-anak lebih suka main
di halaman depan yang banyak rumputnya dan rindang karena banyak pepohonan.
Aku baru saja mulai menangis sambil menyandarkan tubuh pada dinding belakang salah satu kelas.
Kutenggelamkan wajahku di antara telapak tanganku. Tiba-tiba kudengar langkah kaki dan ketika
kuangkat wajahku, kekesalanku semakin menjadi dengan kemunculan mimpi burukku.
"Nad-nad, kamu kenapa nangis?" Tanya Kafka sambil nyengir.
"Nggak ada apa-apa," ucapku sambil mengusap wajahku yang basah dengan air mata. "Kamu pergi sana.
Jangan ganggu aku," lanjutku sambil berjalan kembali menuju halaman depan.
"Kamu mau cerita ke aku" Aku mungkin bisa bantu." Kata-kata Kafka yang untuk pertama kalinya
terdengar tulus membuatku menghentikan langkahku untuk menatap wajahnya.
"Kalau aku cerita ke kamu nanti kamu malah ngetawain aku."
"Aku nggak akan ngetawain kamu," Kafka mencoba meyakinkanku.
"Nanti kamu cerita ke Gempur sama Kris dan mereka bakalan ngetawain aku," aku masih terdengar
tidak yakin. "Aku nggak akan cerita ke mereka kalau kamu nggak mau aku cerita ke mereka."
"Nanti kamu?" "Aku janji untuk nggak ngapa-ngapain kamu. Suwerrr"," Kafka memotongku sambil mengacungkan jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
Sekali lagi aku ragu, tetapi melihat wajah Kafka yang terlihat benar-benar ingin membantu, aku pun
luluh dan sambil duduk di atas bangku kayu panjang yang memang tersedia di sekitar situ, kutumpahkan
semua masalahku pada Kafka. Aku sempat terkejut ketika Kafka memang mendengarkan masalahku
dengan saksama dan tidak menertawakanku. Pada saat itu aku menyadari bahwa di bawah semua
pesona anak laki-laki isengnya, Kafka ternyata juga bisa serius dan pengertian. Kemudian kudengar
bunyi bel, yang menandakan bahwa waktu istirahat sudah selesai dan kami harus kembali ke kelas untuk
melanjutkan pelajaran hari itu.
"Makasih ya, Kaf," ucapku sambil berdiri dan mencoba merapikan rokku. Aku masih tidak percaya
bahwa aku sudah menceritakan masalahku pada Kafka, sehingga merasa agak malu dan risi untuk
menatapnya. "Jangan nangis lagi, ya."
Mendengar nada Kafka yang terdengar lembut kuangkat tatapanku dari rokku ke wajahnya. Dan pada
detik itu, aku menyadari bahwa aku dan Kafka mungkin bisa berteman, kalau saja dia menghentikan
keisengannya pada diriku. Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian mencium pipiku, bersamaan dengan
terdengarnya bunyi bel kedua.
Aku hanya terdiam ketika bibirnya menyentuh kulit wajahku karena terlalu terkejut untuk bereaksi.
Seumur hidupku, aku tidak pernah dicium oleh anak laki-laki mana pun, sehingga aku betul-betul tidak
tahu reaksi apa yang harus kuberikan.
"Cieee" Kafka sama Nadia?" terkejut aku langsung menolehkan kepalaku dan melihat Gempur dan Kris
sedang berdiri tidak jauh dari kami dengan senyuman lebar mereka.
Pipiku rasanya seperti terbakar. Bukan hanya karena bekas ciuman Kafka, tetapi juga karena malu. Aku
tahu bahwa berita tentang Kafka menciumku akan tersebar ke seluruh sekolah sebelum akhir jam
sekolah hari ini. Tanpa berpikir panjang lagi aku pun langsung berlari menuju kelas. Kudengar Kafka


Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggil-manggil namaku, tetapi aku tetap berlari.
Seperti dugaanku, pada akhir jam sekolah setiap anak tidak henti-hentinya meledekku. Kalau saja
ledekan mereka berdasarkan fakta, mungkin aku tidak akan merasa terlalu sedih, tetapi kenyataannya
adalah bahwa hanya dalam selang waktu beberapa jam, fakta sudah berubah 180 derajat. Kini berita
yang tersebar mengatakan bahwa akulah yang memaksa Kafka untuk menciumku. Saking kesalnya, aku
langsung berlari menuju kelasnya begitu jam akhir sekolah berbunyi.
Kutemukan Kafka sedang berjalan keluar dari kelas sambil ngobrol dengan Gempur dan Kris yang
langsung memberi tanda padanya bahwa aku datang menemuinya dengan wajah siap perang.
Aku baru menghentikan langkahku ketika ujung sepatuku hampir saja menyentuh ujung sepatu Kafka.
"Kamu ngomong apa sih ke semua orang?" desisku.
Kafka menatapku dan berkata tanpa merasa bersalah, "Apa adanyalah."
"Apa adanya" Kalau apa adanya, kamu harusnya bilang ke mereka kamu yang tiba-tiba cium aku, bukan
aku yang maksa kamu untuk cium aku."
"Tapi memang kamu maksa Kafka kan, Nad" Ngaku saja kenapa sih" Nggak usah malu gitu, lagi,"
komentar Gempur. Mendengar komentar itu kutatap Gempur dengan tajam dan dia langsung terdiam dengan ekspresi
sedikit terkejut karena sepanjang sepengetahuan anak-anak dan guru-guru di sekolahku, aku memang
tidak pernah marah. Maka, aku pasti punya alasan yang tepat kalau sampai semarah ini.
"Kaf, Nadia kan yang maksa lo untuk cium dia?" tatapan Kris beralih dari wajahku ke wajah Kafka,
kemudian beralih lagi padaku.
Tatapanku kualihkan dari Gempur kepada Kafka dan menantangnya untuk mengatakan hal yang
sebenarnya. "Yo"i, man. Nadia yang maksa gue," ucap Kafka santai.
Gempur dan Kris terlihat puas dengan jawaban ini dan kini sedang menatapku dengan penuh
kemenangan. Mulutku langsung terbuka ketika mendengar kata-kata ini. "Kafka" kamu" kamu?" aku
tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk memaki-makinya. Itu mungkin karena aku tidak
pernah perlu memaki-maki siapa pun di dalam hidupku. Sekali lagi kutatap Kafka, menunggu hingga dia
memberanikan diri untuk mengakui kebohongannya, tetapi aku tetap tidak menerima reaksi apa-apa
darinya. Kecewa, aku pun memberanikan tatapan paling sangar yang pernah kuberikan kepada siapa
pun dan meninggalkannya. Begitu sampai di rumah aku langsung mengunci diri di dalam kamarku dan menangis sepuasnya. Tingakh
lakunya yang bertolak belakang hanya dalam beberapa jam membuatku bertanya-tanya. Untuk apa dia
bertingkah laku baik selama beberapa menit, bahkan meredakan tangisku kalau akhirnya akan
mempermalukan juga" Dan entah bagaimana, tetapi satu-satunya kesimpulan yang bisa aku tarik dari
kejadian ini adalah bahwa aku sama sekali tidak menarik sebagai seorang anak perempuan, sampaisampai anak laki-laki bandel seperti Kafka saja malu untuk mengakui bahwa dia telah menciumku.
Kenyataan ini bukannya meredakan tangisku, tetapi membuatku menangis semakin tersedu-sedu.
Betekad untuk menunjukkan bahwa pengkhianatan Kafka tidak memengaruhiku sama sekali, aku
muncul di sekolah keesokan harinya dengan kepala tegak dan senyuman ramah. Melihatku seperti ini
sepertinya membuat Kafka dongkol dan dia mencoba berbagai macam cara lagi untuk membuatku
menangis, tetapi aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak lagi memedulikan semua ledekan
dan ejekan yang datang dari Kafka dan kedua temannya. Isu mengenai aku memaksa Kafka untuk
menciumku pun lambat laun reda dan pada saat aku lulus SD, isu itu sudah hilang sama sekali. Meskipun
aku masih bisa merasakan bekasnya hingga hari ini. Aku selalu mengharapkan Kafka mau mengakui
kebohongan besarnya itu dan meminta maaf padaku, tetapi kedua hal itu tidak pernah terjadi.
Ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi dengan otot-otot yang lebih relaks berkat NKOTB, kulihat
Jana sudah bangun dan sedang berdiri di depan lemari pakaian sambil mengeluarkan bajunya.
"Bangun juga lo akhirnya. Gue sangkain lo bakalan tidur seharian," ucapku sambil menunduk agar bisa
mengeringkan rambutku dengan handuk.
"Tadinya sih memang masih mau tidur. Tapi tadi ada telepon, jadi gue terpaksa bangun," balas Jana
sambil menggenggam sepasang pakaian dalam di tangannya. "Omong-omong aneh benget deh. Tuh
cowok bilang dia temen lo dan mau bikin janji untuk dinner nanti malam. Gue nggak tahu lo ada temen
di Bali, Nad," lanjut Jana.
"Dia Cuma orang yang gue kenal waktu SD. Tolongin gue deh. Kalau nanti dia sampai telepon lagi, bilang
kita sibuk. Gue nggak mau ketemu sama dia lagi, kalau bisa." Ucapku sambil kembali melangkah masuk
ke kamar mandi. "Lho kok gitu?" Jana terlihat bingung.
"Panjang deh ceritanya. Nggak usah diambil pusing." Kemudian kunyalakan pengering rambut untuk
menenggelamkan segala kemungkinan Jana menginterogasiku.
*** Selama ini aku selalu merasa bahwa bunuh diri adalah hal paling tidak masuk akal yang akan dilakukan
oleh manusia. Apakah hidup ini sebegitu buruknya sehingga mereka mau meninggalkannya buru-buru"
Atau apakah memang tidak ada jalan lain sama sekali sehingga mereka mengambil keputusan ini" Tapi
kini aku betul-betul paham bahwa kadang kala keadaan di dunia ini memang sangat buruk dan kita tidak
memiliki pilihan lain selain untuk meninggalkannya selama-lamanya.
Sewaktu di Bali, aku memang berhasil menghindari Kafka dengan bantuan ketiga sobatku yang pada
dasarnya memblokir saluran telepon, Kafka tidak berkesempatan untuk berbicara denganku. Aku
bahkan berhasil menghindarinya di bandara dengan waktu check-in yang mepet dan berpura-pura tidur
di dalam pesawat. Ketika sampai di Soekarno-Hatta, aku dan sobat-sobatku langsung menghilang
secepat mungkin setelah mengambil bagasi, sehingga Kafka hanya sempat melambaikan tangan
sebelum aku kemudian menghilang dari pandangannya untuk selama-lamanya. Aku sangat bersyukur
kepada ketiga sobatku yang mau bekerja sama menghindari Kafka, meskipun mereka tidak habishabisnya menginformasikan kepadaku bahwa Kafka itu "A hot piece of ass", kata Adri. "Ha-Oo-Te
banget", menurut Dara, dan "Cute juga", menurut Jana. Mungkin itulah fungsinya sobat, mereka akan
membela dan melindungi kita meskipun mereka tidak tahu duduk permasalahannya dan membuatku
ingin menyumbat mulut mereka dengan gumpalan kertas pada saat yang bersamaan.
*** Sepulangnya dari Bali pada hari Minggu itu, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku
dulu daripada langsung pulang ke kos. Sudah satu bulan lebih aku tidak bertemu dengan mereka, aku
jadi merasa agak bersalah karena telah menelantarkan mereka.
Aku baru saja melangkah turun dari mobilku ketika Mama menghujaniku dengan permintaan agar aku
membujuk Papa supaya mau dibawa ke rumah sakit. Keluarga Papaku memang memiliki keturunan
penyakit jantung dan darah tinggi, jadi mamaku sedikit khawatir Papa mengidap penyakit yang sama.
Sudah beberapa bulan belakangan ini Papa mengeluh karena dadanya sakit, terutama pagi hari setelah
bangun tidur. Tapi Papa, yang juga memiliki keturunan sifat bandel kalau sudah urusan kesehatan, selalu
menunda atau menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Hingga hari ini, tiga bulan semenjak keluhan
pertama yang semakin menjadi sehingga membuat Mama super khawatir, Papa belum juga mau
meluangkan waktu untuk pergi ke dokter.
Papaku yang berumur 65 tahun itu sudah pension beberapa tahun yang lalu dari posisinya sebagai Chief
Financial Officer salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Aku selalu berpendapat mungkin Papa
merasa sedikit stress setelah pension. Aku tidak heran dengan fenomena ini, ada beberapa orangtua
teman-temanku yang mengalami masalah yang sama. Mereka mungkin merasa tersingkir dan tidak lagi
dibutuhkan. Aku selalu meminta papaku agar menekuni suatu hobi untuk mengisi hari-harinya. Papaku
sebetulnya pemain tenis yang cukup andal, tetapi mamaku tidak lagi memperbolehkannya menyentuh
raket tenis setelah dua teman mamaku meninggal karena serangan jantung ketika sedang main tenis.
Aku mengusulkan agar papaku memilih olahraga baru yang sesuai dengan kondisi kesehatannya,
misalnya golf. Tetapi ketika kusarankan ini, Papa langsung berkata bahwa golf tidak bisa digolongkan
sebagai olahraga karena orang-orang yang main golf hanyalah orang-orang yang terlalu buncit perutnya
dan terlalu malas untuk betul-betul berolahraga. Sekarang aku tidak pernah bisa melihat orang main golf
tanpa memperhatikan perut mereka, yang akhirnya selalu membuatku tertawa terkekeh-kekeh.
"Nadia, kamu bujuk papa kamu itu supaya mau pergi ke dokter. Viktor sudah carikan informasi tentang
itu dan ada banyak dokter ahli jantung bagus yang praktik di Jakarta," ucap mamaku. Tidak peduli
berapa lama mamaku sudah tinggal di Jakarta, tetapi nada bicara Makassar-nya tidak pernah hilang.
"Lho, memangnya nggak jadi pergi ke dokter yang disaranin sama internisnya Papa?" tanyaku sambil
mengeluarkan sekotak jus jambu dari lemari es dan menuangkannya ke gelas.
"Viktor bilang ada yang lebih bagus lagi. Mama sudah dikasih informasinya. Yang ini kalau nggak salah
lulusan Inggris. Nanti Mama kasih ke kamu datanya sebelum kamu pulang."
Aku hanya mengangkat bahu karena aku tidak tahu menahu tentang nama-nama universitas di Inggris
kecuali Oxford. Entah dari mana Kak Viktor dapat informasi ini. Aku hanya berharap bahwa dokter ini
memang benar-benar bagus karena aku tidak mau mengambil resiko soal urusan kesehatan keluargaku.
Kumasukkan kembali kotak jus ke dalam lemari es dan membawa gelasku ke teras belakang. Disana
kutemui papaku sedang membaca Koran. Untungnya papaku bukan perokok sehingga setidak-tidaknya
meskipun ada keturunan, papaku lebih memiliki kemungkinan bebas untuk dibedah jantungnya.
"Pah, minggu depan mau ya aku bawa ke dokter," ucapku sambil mencium keningnya.
Papaku mengeluarkan suara khasnya, yang terdengar sedikit seperti dengkuran dan batuk. "Gimana
Bali?" tanyanya. "Panas," jawabku.
"Jana sudah mantap sama rencana nikahnya itu?" Tanya Papaku sambil melipat Koran yang tadi
dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Aku tahu papaku sedang mencoba menghindari
pertanyaanku. "Siap nggak siap deh, Pa, tapi sudah waktunya memang. Sudah terlalu lama tertunda."
Papa mengangguk-angguk. Keluargaku tahu betul tentang bagai
mana ketiga sahabat itu. Papaku
kemudian terdiam, sepertinya dia sudah kehabisan topic berbasa-basi denganku. Mamaku selalu bilang
bahwa aku adalah anak kesayangan Papa, sehingga dia akan melakukan apa saja yang aku minta. Aku
yakin satu-satunya alasan kenapa aku jadi anak kesayangan Papa adalah karena akulah anak perempuan
satu-satunya. Kucoba sekali lagi membujuk Papa. "Minggu depan cek jantung ya, Pa," pintaku sambil menggenggam
tangannya. Papa siap untuk protes, tetapi aku potong, "Ini Cuma untuk cek saja, supaya kita bisa tahu kalau
memang ada apa-apa. Aku yakin jantung Papa masih sehat dan nggak ada yang perlu di khawatirkan,
tapi Mama, Kak Viktor, dan Kak Mikhel khawatir, Pa. dan kalau mereka khawatir, aku juga jadi ikut
khawatir. Nah" supaya kita semua nggak khawatir dan Mama nggak akan ganggu Papa lagi soal ini, kita
pergi cek, ya?" Papaku mengembuskan napasnya dan garis-garis keras kepala muncul pada keningnya, tapi kemudian
dia mengangguk dan berkata sambil menggerutu, "Tapi harus kamu yang bawa Papa ke dokter, ya. Papa
nggak mau pergi sama Kak Viktor, dia itu betul-betul nggak ada belas kasihannya sama orang. Sudah
tahu orang lagi sakit, bukannya disayang-sayang malah habis diomeli sama dia."
Aku mencoba menahan tawaku. Aku sudah mendengar tentang pertengkaran Papa dan Kak Viktor dari
mulut kakak keduaku itu beberapa hari sebelum aku berangkat ke Bali. "Kak Viktor bukannya ngomel, Pa.
dia Cuma khawatir. Habis papa juga sih bandel. Sudah tahu sakit, tetap saja ngotot nggak mau ke rumah
sakit. Papa tahu sendiri Kak Viktor orangnya nggak sabaran. Ya jelaslah dia ngomel," kataku mencoba
menenangkan Papa. "Kamu memangnya bisa ambil cuti lagi" Bukannya kamu baru ambil cuti untuk pergi ke Bali" Papa nggak
mau kamu kena masalah sama bos kamu gara-gara mesti nganter Papa ke rumah sakit lho."
"Nggak masalah kok," balasku. Pada dasarnya dengan statusku sebagai seorang senior web designer,
aku hanya perlu berada di kantor kalau memang ada perlu saja. Untungnya bosku cukup fleksibel dan
tidak bawel. Selama pekerjaanku yang seabrek itu selesai tepat waktu, dia tidak pernah
mempermasalahkan di mana aku mengerjakannya. Harus kuakui bahwa kreativitasku lebih mudah
mengalir kalau aku sedang duduk di depan laptopku di kamar kos daripada di kantor yang kadang suka
terlalu berisik. Meskipun aku sudah bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan itu dan membawa
masuk keuntungan yang cukup besar untuk perusahaan, tetapi aku belum juga diberi ruangan pribadi.
"Cuma kamu memang yang peduli sama Papa. Jangan Tanya soal Viktor atau Mikhel. Mereka terlalu
sibuk untuk peduli kalau Papa sakit."
Aku hanya tersenyum dan mencoba menenangkan Papa yang kebiasaan ngambeknya semakin hari
semakin menjadi. "Pa, Kak Viktor lho yang sudah cari info tentang dokter yang bagus untuk cek jantung
dan Kak Mikhel kan sudah berkali-kali nawarin untuk nganter Papa cek jantung, tapi Papa selalu nolak.
Jadi bukan salah dia dong kalau akhirnya dia nggak nawarin lagi?"
"Eh" eh" jangan salahin Papa, ya. Kalau sampai Mikhel yang antar Papa untuk cek jantung, bisa-bisa
Papa meninggal di jalan karena kena serangan jantung. Cara dia bawa mobil itu lho. Kayaknya sopur
metromini saja kalah ganas sama dia," omel Papa.
Aku mencoba menahan tawa, tetapi tidak berhasil. Kakakku yang satu itu memang selalu bercita-cita
menjadi pembalap semenjak keci, tetapi cita-cita tersebut tidak pernah kesampaian. Parahnya lagi,
setelah film The Fast and the Furious keluar di pasaran, dia jadi suka menggunakan jalan tol sebagai
arena balapnya. Kak Mikhel juga pernah bilang dia cukup mirip dengan Vin Diesel, actor utama di film
favoritnya itu. Aku selalu berkata hanya ada tiga kemungkinan bagi orang lain untuk sependapat
dengannya. Pertama, mungkin orang itu sedang picek atau berhalusinasi, atau dua-duanya. Kedua, Kak
Mikhel bisa dibilang cukup mirip Vin Diesel kalau mampu membuat perut buncitnya itu menjadi rata dan
six-packs dengan pergi ke gym setiap hari supaya tubuhnya bisa jadi sekekar actor itu yang jelas-jelas
tidak mungkin terjadi karena Kak Mikhel tidak bisa hidup tanpa makanan yang berminyak-minyak. Dan
ketiga, meskipun Kak Mikhel telah melakukan semua hal yang kusebutkan sebelumnya, dia mungkin
baru akan kelihatan sedikit mirip Vin Diesel kalau dilihat dari atas Monas" dengan sedotan. Aku dan Kak
Viktor selalu tertawa terbahak-bahak kalau sampai topic perbincangan ini keluar dan alhasil membuat
Kak Mikhel jadi ngambek dan cemberut sepanjang hari.
"Kenapa juga kamu senyum-senyum begitu" Kamu juga nggak pernah mau diajak pergi sama Mikhel
kalau dia yang nyetir."
Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkah laku Papa yang sudah seperti anak umur lima tahun.
*** Hari kamis pagi aku dan orangtuaku duduk di ruang tunggu rumah sakit bagian Kardiologi. Entah kenapa,
tapi beberapa hari belakangan ini aku merasa sedikit waswas, tapi berusaha untuk tidak menghiraukan
perasaan itu. Aku beralasan mungkin aku agak khawatir saja dengan keadaan papaku.
Kak Viktor sudah membuatkan janji untuk jam sepuluh pagi itu dengan Dokter Kafka. Aku menahan diri
untuk tidak mengerutkan wajah ketika tahu nama dokter ini. Kenapa juga kok ada orang lain lagi di
dunia ini yang namanya Kafka, bukannya satu saja sudah cukup" Aku diminta mamaku untuk mengisi
formulir yang diberikan suster, yang pada dasarnya menanyakan tentang kondisi kesehatan Papa
beberapa bulan belakangan ini. Mama dengan bantuan Papa sekali-sekali, membantuku memastikan
agar tidak ada informasi yang tertinggal. Seorang suster lalu meminta Papa masuk ke suatu ruangan lain
untuk mengukur tekanan darah dan berat badan sebelum kemudian mencatatnya pada formulir yang
baru saja selesai kuisi. Kami lalu diminta menunggu lagi sebelum kemudian dipersilahkan masuk
menemui dokter. Mamaku yang berjalan paling depan berkesempatan bertemu muka dengan Pak Dokter lebih dulu
dibandingkan aku dan Papa. "Selamat pagi, Dok," sapa Mama dengan ceria. Untuk orang yang belum
mengenal mamaku, mereka mungkin akan menyangka bahwa Dokter Kafka adalah teman lamanya,
tetapi bagi orang yang sudah mengenalnya, mereka akan tahu bahwa memang begitulah mamaku
menyapa setiap orang. Mama adalah orang yang paling ramah yang kukenal. Kurasa aku mendapatkan
sifat ramahku darinya. "Selamat pagi." Kudengar balasan dari sang dokter yang terdengar jauh lebih muda daripada yang
kuperkirakan. Aku selalu menyangka seorang ahli kardiologi setidak-tidaknya sudah berumur diatas
empat puluh tahu, berkacamata, dan berkepala botak. Suster yang tadi mempersilahkan kami masuk
sudah menghilang. Aku memastikan agar pintu ruang dokter itu tertutup rapat sebelum mengalihkan
perhatianku kepada orangtuaku lagi. Dan" aku merasa mendapat serangan jantung.
Bab 4 12 September Dunia ini memang nggak adil. Hahaha" who am I kidding. Kalau dunia ini adil, itu namanya bukan dunia,
tapi surga. Apa jangan-jangan ada tuyul yang ikut sama gue dari Bali dan bikin gue jadi sial ya"
*** "NADIA?" ucap Kafka yang berdiri di belakang meja kerja dokter dari kayu jati. Dari wajahnya, sepertinya
dia sama terkejutnya denganku, bahkan mungkin lebih terkejut lagi.
Aku hanya bisa menatap Kafka sambil melongo seperti orang idiot. Kucoba mengedipkan mataku
berkali-kali, berharap dan berdoa agar ini semua hanyalah mimpi buruk. Tetapi setelah mengedip
berkali-kali dan wajah Kafka malah justru kelihatan semakin jelas, aku harus menerima kenyataan
bahwa aku tidak sedang bermimpi. Ini semua kenyataan.
"Kamu?"" akhirnya aku bisa berkata-kata. Mamaku langsung mengerlingkan mata padaku mendengar
nada bicaraku yang memang kurang sopan.
"Kamu ngapain di sini?" ucapku dan Kafka bersamaan.
"Aku ngantar papaku," jawabku merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan Kafka, meskipun aku
juga baru saja mengutarakan pertanyaan yang sama padanya. Tapi aku merasa pertanyaan itu memang
lebih masuk akal untuk diutarakan olehku, karena jelas-jelas aku sekarang sedang berada di ruang
dokter. Kalau aku mau mincing ikan aku akan pergi ke laut, bukan ke dokter, kan"
"Nadia, kamu kenal sama Pak Dokter?" kudengar suara mamaku.
Papaku yang sepertinya terlalu lelah untuk mengikuti arah pembicaraan ini memilih duduk di salah satu
kursi yang ada di depan meja kerja dokter sambil menyipitkan mata pada Kafka.
"Dokter?" ucapku bingung. Dan pada saat itu aku baru betul-betul menyadari Kafka memang
mengenakan jaket putih yang biasanya dikenakan para dokter.
NGGAK MUNGKIN! Teriakku dalam hati. Kafka nggak mungkin dokternya papa. Dia masih terlalu muda
untuk jadi ahli kardiologi. Aku mencoba mengingat-ingat apakah Kafka pernah jadi juara kelas sewaktu
kami SD dan aku yakin aku tidak pernah melihatnya ikut ujian beasiswa sekolah yang biasanya
diperuntukkan bagi anak-anak yang berhasil meraih ranking tiga besar di kelas masing-masing.
"Kamu Dokter Kafka?" tanyaku curiga.
Kafka hanya menunjuk kepada plak ukiran kayu di atas meja kerjanya yang bertuliskan Dr. Kafka Ananta.
Ternyata memang hanya ada satu Kafka di dunia ini, dan ini menjelaskan perasaan tidak enak yang
sudah kurasakan beberapa hari ini. Ohhh" rasanya aku mau bunuh diri saja atau mungkin meminta
orang lain membunuhku. Sel-sel otakku sepertinya mengalami korsleting dengan banyaknya pertanyaan
yang ingin kulontarkan kepada Kafka tetapi tidak bisa kuucapkan di depan orangtuaku.
"Silahkan duduk, Ibu," ucap Kafka sopan. Mamaku menuruti permintaan Kafka dan duduk di satusatunya kursi yang masih tersedia. Dari tatapan matanya aku tahu bahwa mamaku sebetulnya ingin
menginterogasi statusku dengan Kafka, tetapi untungnya kali ini dia berhasil menahan diri dan hanya
tersenyum penuh arti padaku.
Aku masih berusaha mencerna semua informasi ini ketika terdengar ketukan pintu dan seorang suster
masuk sambil mendorong sebuah kursi untukku. Setelah tersenyum dan mengucapkan terima kasih, aku
pun mengempaskan diriku di kursi itu. Perasaan galauku tidak membaik ketika aku menyadari bahwa
Kafka sedang melemparkan senyum isengnya padaku. Aku tidak perlu jadi psychic untuk tahu apa yang
sedang ada di pikirannya. Kuberikan tatapanku yang paling ganas padanya dan Kafka mengalihkan
perhatian pada formulir yang tadi sudah kuisi. Ruangan itu hening beberapa detik.
"Apa Bapak ada keturunan darah tinggi sama jantung?" Tanya Kafka sambil menatap papaku dengan
serius. Aku harus menarik napas ketika melihat pergantian ini. Hanya dalam hitungan detik dia berubah
dari laki-laki iseng yang kutemui ketika terbangun di kamar hotelnya beberapa hari yang lalu menjadi
seorang laki-laki dewasa yang betul-betul serius dalam pekerjaannya. Yang jelas detik itu dia kelihatan
seperti seorang dokter. "Iya, Dok, beberapa anggota keluarga si Oom ini memang punya darah tinggi dan jantung," jelas
mamaku. "Sakit di dada yang Oom alami selama ini apa seperti di tusuk-tusuk jarum atau seperti ketindihan batu
dan nggak bisa napas?"


Crash Into You Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku hampir saja mendengus ketika mendengar Kafka menggunakan kata "Oom" untuk papaku. Dengan
susah payah aku mencoba mengendalikan perasaanku yang sepertinya siap untuk meledak-ledak. Jelasjelas mamaku yang duluan menggunakan kata itu, Kafka hanya mencoba menjadi pendengar yang baik
dengan menggunakan kata yang sama, ucapku pada diriku sendiri, mencoba merasionalkan tindakan
Kafka. "Kadang dua-duanya, Dok," papaku menjawab. Kulihat Kafka menuliskan sesuatu pada selembar kertas
lain. "Kalau rasa sakit itu terjadi, biasanya berapa lama?"
"Terkadang bisa sampai semenit," jelas papaku.
Kafka mengangguk dan sekali lagi menuliskan sesuatu pada kertas itu. Mamaku terlihat khawatir dan
takut ketika mendengar penjelasan papaku ini. Khawatir bahwa mamaku akan tiba-tiba menangis,
kutarik kursiku agar bisa duduk lebih dekat dengannya dan meremas bahunya. Mamaku menoleh
padaku dan meremas tanganku.
"Dan semua ini biasanya terjadi pada pagi hari, ya?" Kafka terlihat sangat serius ketika menanyakan hal
ini, yang membuatku bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang signifikan tentang informasi itu.
Kulihat kedua orangtuaku mengangguk untuk mengonfirmasikan pernyataan itu.
"Jadi bagaimana, Dok?" Tanya mamaku
Kafka menatap mamaku dan berkata, "Kalau dilihat dari gejalanya, sepertinya Oom memang mengalami
beberapa serangan jantung."
"Beberapa?" teriakku dan Mama bersamaaan.
"Dalam caliber kecil," sambung Kafka buru-buru dalam usahanya untuk menenangkan kami berdua. Dia
bahkan tersenyum. Papaku tidak mengatakan apa-apa, aku jadi curiga apa dia sudah tahu bahwa apa
yang dia alami selama tiga bulan belakangan ini bisa dibilang cukup serius.
"Jadi saran.. ehm" ehm" Dokter" bagaimana?" dengan susah payah aku mengucapkan kata "Dokter".
Aku masih belum terbiasa dengan status Kafka, si pembuat onar itu sebagai seorang dokter yang harus
kupercayai. Kafka menatapku dan berkata dengan pelan tapi pasti. "Saya sarankan supaya Oom menjalani beberapa
tes. Kita bisa mulai dengan tes darah untuk melihat beberapa hal, tapi terutama kadar kolesterol dalam
darah. Kalau nanti memang perlu, baru kita lakukan EKG dan Cardiac Stress Testing."
"EKG," gumamku. Latar belakangku memang bukan dari dunia kedokteran, tapi aku sudah menonton
cukup banyak seri ER dan Grey"s Anatomy untuk tahu fungsi tes tersebut.
"Electrocardiography," sambung Kafka. "Untuk memonitor aktivitas jantung supaya kita bisa melihat
apakah ada kelainan pada detak jantung Oom."
"Apa pasien harus menginap untuk dites?" Tanya mamaku dengan hati-hati.
Aku menarik napas menunggu jawaban dari Kafka. Aku tahu betul bahwa kalau jawabannya adalah "Iya",
sudah dapat kupastikan bahwa papaku tidak akan mau melakukannya. Papaku adalah jenis orang yang
sama sekali tidak suka tidur di tempat tidur yang bukan tempat tidurnya sendiri. Itulah sebabnya kenapa
papaku jarang sekali mau diajak travel kalau kami harus menginap.
"Oh, nggak. Pasien bisa langsung pulang. Hanya mungkin datang untuk beberapa jam saja." Entah
kenapa, tapi sepertinya ketika Kafka mengucapkan ini dia menatapku dan tersenyum simpul. Mungkin
dia bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan itu ketika kami menunggu jawaban
darinya, dan mencoba menenangkan kami semua.
"Apa tes darahnya harus di sini atau boleh di tempat lain?" tanyaku. Berdasarkan cerita yang sudah
kudengar, banyak dokter dan rumah sakit yang lebih mengutamakan factor materi daripada kesehatan
pasiennya. Banyak dari mereka yang bahkan akan memaksa agar segala macam tes harus dilakukan di
rumah sakit karena jasa tersebut tidak ditawarkan di tempat lain. Menurutku semua itu omong-kosong
saja. "Dimana saja boleh selama mereka bisa melakukan tes yang diminta. Cari saja lab yang dekat sama
rumah Oom dan Tante, tidak perlu datang ke sini," ucap Kafka.
Humph" sepertinya Kafka memang seorang dokter sejati, bukan pedagang obat yang bersembunyi di
belakang jaket putih dan menyebut diri mereka dokter. Meskipun rumah sakit ini bukanlah yang
terdekat dari rumahku, tapi inilah yang menurutku paling kompeten, jadi pada dasarnya pilihan kami
untuk datang ke rumah sakit ini tidak bisa dibantah lagi.
"Apa Oom sudah ada dokter penyakit dalam?"
Mamaku mengiyakan pertanyaan ini dan memberitahu Kafka nama dokter penyakit dalam papa. Mama
kemudian mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kafka yang dijawabnya dengan singkat dan padat.
Kuperhatikan bahwa sepertinya Kafka memang cukup ahli di bidangnya karena dia mencoba
menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kami semua. Dua puluh
menit kemudian kami pun keluar dari ruang dokter itu dengan perasaan lebih pasti tentang langkah
selanjutnya yang harus kami ambil.
Dalam perjalanan pulang Mama dan Papa sama sekali tidak menanyakan tentang hubunganku dengan
Kafka. Pikiran mereka sepertinya penuh dengan keadaan kesehatan Papa yang memang jauh lebih
penting. Meskipun begitu, aku baru bisa betul-betul bernapas lagi setelah keluar dari halaman rumah
orangtuaku dan mobilku sudah meluncur kembali ke jalan raya menuju kantor.
*** Selama beberapa hari aku tenggelam dalam pekerjaanku dan terbebas dari keharusan untuk bertemu
dengan Kafka lagi karena aku, Kak Mikhel dan Kak Viktor sepakat untuk merotasi tugas membawa Papa
ke rumah sakit. Tetapi sepertinya aku tidak bisa lari dari Kafka, karena kini Mama semakin sering
menyebutkan nama "Dokter Kafka" dengan nada antusias dan penuh pujian. Padahal aku sudah siap
muntah setiap kali mendengar nama itu disebut-sebut.
"Nadia, kamu ditanyain sama Dokter Kafka kemarin," ucap Mamaku suatu hari ketika aku meneleponnya
untuk menanyakan perkembangan keadaan Papa.
Saking terkejutnya aku sampai menyobek bungkus Oreo dengan terlalu ganas, membuat semua Oreo
berhamburan ke atas meja kerjaku di kantor. Gita, seorang web designer yang masih junior,
melongokkan kepala dari atas kubikel di depanku. Aku hanya melambaikan tangan, menandakan bahwa
situasi masih terkendali. Wajah Gita kemudian menghilang dan aku kembali memfokuskan perhatianku
pada percakapan dengan mamaku yang sepertinya tidak sadar akan efek dari informasi yang baru saja
disampaikannya padaku. "Kamu nggak pernah bilang Dokter Kafka itu temen SD kamu?" lanjutnya dengan nada sedikit menuduh.
Aku mengembuskan napas dengan sedikit kesal sambil mulai mengumpulkan beberapa Oreo yang masih
ada di atas mejaku dan tidak terjatuh ke karpet. Humph" Kafka sudah cerita apa saja ke mamaku" Awas
saja kalau dia sampai cerita kejadian di Bali. Aku akan" akan" akan" yah pokoknya ngapain dialah. Dan
kalau bisa, apa pun yang akan kulakukan padanya itu bisa membuatnya babak-belur.
"Dia bukan temanku, Ma. Kebetulan saja dia juga murid di SD yang sama di tahun yang sama," ucapku
akhirnya sambil berusaha menyelamatkan satu Oreo yang menggelinding di atas meja dan hampir jatuh
ke karpet. "Berarti dia masih muda sekali, ya?" mamaku berdecak kagum.
"Tapi dia itu benar-benar baik banget. Perhatian sama papa kamu. Belum lagi?" mama lanjut
menyebutkan dengan detail setiap hal yang telah dilakukan oleh Kafka untuk papaku.
Rasanya aku ingin menutup telepon saat itu juga, tapi aku belum dapat update tentang papa. "Papa
gimana, Ma?" tanyaku, memotong omongan mamaku. Saat itu Gita muncul sambil membawa mangkuk.
Aku mengucapkan terima kasih tanpa suara padanya dan mulai menempatkan Oreo yang masih bisa
dimakan ke dalam mangkuk itu. Gita hanya mengangguk sambil mencomot satu Oreo sebelum
kemudian kembali ke kubikelnya.
Mamaku terdiam sejenak karena aku memotong alur pembicaraannya, bukan karena tersinggung, tapi
karena dia harus memfokuskan pikirannya pada hal baru. Selain sebagai orang yang ramah, mamku juga
terkenal sebagai orang yang pikirannya suka lompat dari satu topic ke topic yang lain tanpa ada titik
ataupun koma, dan dia berharap orang lain bisa mengikutinya.
"Papa" kata Dokter Kafka sih cukup baik, Cuma memang makanannya harus lebih dikontrol lagi supaya
tekanan darahnya bisa lebih stabil dan nggak terlalu tinggi."
"Kan Dokter Budi sudah bilang dari dulu supaya Papa jangan makan makanan yang terlalu berminyak,"
balasku sambil berlutut dan mulai memungut Oreo yang berserakan di karpet di bawah meja kerjaku
satu per satu untuk dibuang ke tempat sampah. Aku tahu betul bahwa selama setahun belakangan ini
Dokter Budi, internis langganan Papa, sudah mewanti-wanti orangtuaku soal ini. Aku tiba-tiba jadi curiga
kenapa mamaku terdengar seperti merasa bersalah. "Papa sudah nggak makan pisang goreng setiap
pagi lagi kan, Ma?" "Nggak sih" Cuma?"
"Cuma apa" Nggak pakai Cuma, Ma. Kalau memang nggak boleh ya nggak boleh."
"Tapi Mama suka kasihan sama Papa kamu. Dia kan memang sukanya pisang goreng."
"Ya aku juga sukanya makan cokelat setiap hari tapi aku nggak bisa soalnya nanti jerawatan," balasku
dengan sedikit tajam. Aku sudah berhasil membuang semua Oreo yang tadi berada di karpet ke tempat
sampah dan duduk kembali di kursiku.
Mamaku terdiam, yang membuatku jadi merasa bersalah karena sudah mengomelinya. "Kafka ngomong
apa lagi?" "Dokter Kafka?"
Aku terpaksa menggigit lidahku agar tidak berteriak frustasi. "Iya," jawabku pendek. Dalam hati aku
menyumpah, "Ya iyalah Kafka yang itu. Mana aku kenal Kafka yang lain" Satu Kafka saja sudah cukup.
Amit-amit, amit-amit kalau sampai ada dua," sambil mengetukkan buku jariku ke meja kerja.
"Oh iya, Mama kan bilang kamu kerja dan agak sibuk jadi mungkin nggak bisa nemenin Papa untuk
beberapa pertemuan ke depan, terus dia kelihatan agak kecewa gitu lho, Nad. Mama kan jadi nggak tega.
Jadi Mama kasih saja nomor HP kamu, jadi kan dia bisa kontak kamu kapan saja."
"Hah?" teriakku terkejut dan sekali lagi kepala Gita muncul dari atas kubikel untuk mengetahui apa yang
terjadi. Kali ini aku mengabaikannya dan hanya memutar kursiku agar membelakanginya.
"Lho, kok kamu kaget gitu" Nggak apa-apa kan kalau Dokter Kafka mau kontak kamu?"
"Mama kasih nomor HP aku?" aku masih tidak bisa memercayai nasibku yang semakin hari kok rasanya
semakin sial saja. Aku tidak menerima balasan atas pertanyaanku ini. Aku justru mendengar suara-suara yang teredam
dari ujung saluran telepon. Sepertinya Mama sedang berbicara dengan orang lain.
"Halo," ucapku. "Ma?" untuk menyakinkan bahwa percakapan ini bermasalah bukan karena sinyal HP
yang lemah aku pun melirik kepada HP yang berada di genggamanku. Hp-ku menunjukkan bahwa
sinyalnya penuh. Sekali lagi aku mencoba memanggil mamaku, tapi sepertinya dia kini terlibat dalam percakapan tentang
bermacam-macam cara memasak tahu Jepang, atau mungkin kembang tahu. Setelah beberapa menit
mencoba mengikuti arah percakapan itu dan aku malah jadi semakin bingung, akhirnya aku
memutuskan menunggu hingga mamaku selesai berbicara dengan siapa pun yang sedang ngobrol
dengannya dan kembali menumpukkan perhatiannya padaku. Kuambil satu Oreo dari dalam mangkuk
dan mulai memakannya sedikit demi sedikit. Di antara semua semua biscuit yang dijual di pasaran,
favoritku memang Oreo semenjak aku pergi ke Singapura sewaktu SMP dan merasakan biscuit dengan
jumlah kalori yang sama dengan burger McDonald"s itu.
"Sori, Nadia, sudah dulu ya teleponnya," ucap mamaku tiba-tiba, dan sebelum bisa betul-betul sadar
apakah Mama memang sedang berbicara padaku, dia sudah menutup telepon itu.
Kutatap HP-ku dengan gemas, seakan-akan benda itu adalah wajah mamaku. Jelas-jelas aku dongkol,
tapi aku akhirnya hanya menggeleng dan menyimpan HP-ku kembali ke dalam tas. Jam makan siang
sudah berlalu dan aku harus kembali kerja lagi.
"Ada masalah, Nad?" Tanya Gita. Kali ini dia tidak hanya melongokkan kepalanya di atas kubikel, tetapi
berdiri di pintu masuk kubikelku.
"Nggak ada," jawabku sambil tersenyum. Gita sepertinya tidak memercayai kata-kataku, tetapi dia tidak
memaksaku. Dia hanya mengangkat kedua alisnya seakan-akan menantangku untuk mengatakan hal
yang sebenarnya. Ketika aku tetap tidak mengucapkan apa-apa, dia akhirnya meninggalkanku sendiri
dengan pikiranku. Meskipun aku orang yang paling ramah di kantor ini, sebetulnya tidak banyak orang yang tahu tentang
kehidupan pribadiku. Dan aku mau tetap menjaga privacy itu. Lain dengan ketiga sobatku yang selalu
kelihatan nyaman dengan diri mereka sendiri, aku selalu merasa bahwa aku sangat kurang. Kurang
cantik dibandingkan Jana, kurang gaul daripada Dara, dan kurang ambisius dibandingkan Adri. Intinya,
aku merasa bahwa aku tidak memiliki kelebihan apa pun yang bisa kutonjolkan. Inilah yang membuatku
jadi kurang percaya diri. Alhasil, aku tidak pernah betul-betul jadi diriku sendiri di depan orang lain.
Semua orang yang mengenalku hanya tahu bahwa aku orang yang ramah dan selalu siap membantu.
Tapi kenyataannya adalah, aku melakukan itu semua agar orang menyukaiku dan mau jadi temanku.
Tidak ada yang tahu bahwa aku orangnya tidak suka basa-basi dan bahwa aku menyimpan buku harian,
satu-satunya tempat aku bisa betul-betul menumpahkan semua yang kurasakan tanpa harus
mengkhawatirkan pendapat orang lain jika mendengar apa yang telah kutuliskan di dalamnya. Mungkin
satu-satunya orang yang pernah melihat sifat asliku adalah Kafka. Aku berani menunjukkan diriku yang
sebenarnya padanya karena aku tidak perlu mengkhawatirkan pendapatnya tentangku, karena aku tidak
peduli akan pendapatnya. *** Aku sedang sibuk browsing Internet untuk mencari tahu tentang bermacam-macam penyakit jantung
ketika tiba-tiba suara Josh Groban terlantun. Kulirik layar HP-ku dan langsung mengerutkan keningku.
"Unknown". Itulah kata yang tertuliskan pada layar. Aku paling benci dengan orang yang menggunakan
fasilitas semacam ini. Menurutku nomor telepon adalah hak milik umum dan kecuali dia adalah Presiden
Republik Indonesia (itu pun tidak betul-betul pengecualian juga), orang seharusnya tidak diperbolehkan
menyembunyikan nomor telepon mereka. Kubiarkan telepon itu berbunyi. Kalau memang telepon itu
penting, maka mereka akan meninggalkan voicemail atau mengirimkan SMS. Untungnya aku memang
tidak pernah memberikan nomor HP-ku kepada klien, jadi aku bisa pasti bahwa yang menelepon
bukanlah salah satu klienku. Dan nomor telepon keluarga dekat-ku, orang-orang di kantorku dan temantemanku sudah tercatat di dalam address book HP-ku, jadi nama mereka pasti akan langsung muncul di
layar kalau memang mereka yang menelepon. Tidak lama kemudian lagi Broken Vow itu pun berhenti
dan aku kembali focus pada risetku.
Papa sudah menjalankan segala macam tes yang harus dilakukan, termasuk EKG dan tes stress jantung.
Untuk pertemuan selanjutnya, saat Kafka akan memberitahu hasil semua tes itu, akulah yang akan
mengantarkan Papa. Oleh karena itu aku melakukan riset ini supaya bisa lebih memahami keadaan
kesehatan Papa ketika Kafka menjelaskan hasil tes itu nanti. Aku tidak pernah tahu bahwa ternyata ada
bermacam-macam jenis penyakit jantung. Ada yang menyerang arteri saja, ada yang berurusan khusus
dengan otot jantung, pembuluh darah, atau bahkan organ jantung itu sendiri. Ada pula penyakit jantung
yang disebabkan tekanan darah tinggi. Penyakit jantung jenis inilah yang aku takutkan diderita papaku.
Aku sedang mencoba mengingat-ingat nama semua jenis penyakit ini ketika sekali lagi suara Josh
Groban terdengar dan ketika kulirik layar, ternyata si "Unknown" lagi yang menelepon.
"Halo, siapa nih?" ucapku menjawab telepon itu dengan nada acuh tak acuh. Aku tidak perlu terlalu
beramah-tamah dengan orang yang kemungkinan besar hanya mau iseng.
"Mudah-mudahan itu bukan cara kamu ngejawab setiap telepon. Kayaknya orang bakalan langsung
mikir kalau mereka salah sambung," ucap suara yang tidak aku kenal dari ujung saluran telepon.
"Mas, kayaknya salah sambung deh," balasku dan sudah siap untuk menutup teleponku.
"Eh, Nad, jangan ditutup. Ini Kafka."
Aku tidak tahu apa yang kupikirkan ketika melakukannya, tetapi aku menyalahkan semua ini pada Oreo
yang dengan jumlah kalorinya telah memperlambat fungsi jantungku memompa darah ke otak, sehingga
menyebabkan organ tersebut tidak bisa berfungsi dengan sempurna.
"Ooo" hhh, cari Nadia, ya" Dia lagi nggak ada di sini. Dia lagi ke kamar mandi. Telepon lagi saja nanti,"
jawabku lalu buru-buru menutup telepon dan loncat-loncat seperti orang kesetanan sambil berteriak
kesal di dalam kamar kosku.
"Dasar goblooo"k. apa nggak ada alasan lain?" teriakku memarahi diriku sendiri. What is wrong with me"
Aku berharap bahwa Kafka percaya akan kebohonganku, tetapi aku tahu bahwa meskipun otak Kafka
mungkin agak kurang sewaktu SD, tetapi bukan berarti dia bodoh. Toh buktinya dia sekarang sudah jadi
seorang dokter yang cukup bergengsi, lulusan The Royal College of Surgeon di Inggris pula. Aku tahu
semua ini karena sebegitu bencinya aku sama makhluk satu ini sampai-sampai aku pergi ke website
rumah sakit spesialis jantung tempatnya praktik untuk mencari tahu tentang latar belakang
pendidikannya. Dia bukan hanya lulusan Inggris, tetapi dia juga menyelesaikan residency-nya di sebuah
rumah sakit bernama Beaumont, di Dublin, Irlandia selama dua tahun setelah mengambil spesialisasi
Kardiologi. Kalau saja aku tahu bahwa informasi selengkap ini tersedia di website rumah sakit, mungkin
aku sudah mengusulkan papaku untuk pergi ke dokter lain, sehingga menghindari dilemma yang
sekarang kuhadapi karena harus bertemu dengan Kafka lagi.
Sekali lagi kudengar teleponku berbunyi dan tanpa harus melihat layar, aku sudah tahu itu adalah Kafka.
"Halo, Kaf, sori, tadi aku lagi di kamar mandi," ucapku terburu-buru.
"Nadia?" kudengar suara mamaku yang terdengar agak panic.
"Mama?" ucapku terkejut, bercampur lega, tetapi juga agak sedikit kesal karena Kafka tidak
meneleponku balik. "Nadia, Papa baru kena serangan jantung dan akan dibawa ke UGD?"
Tiba-tiba aku tidak bisa mendengar apa pun yang mamaku sedang coba katakana. Kalau sampai papaku
harus dibawa ke UGD, berarti keadaan jantungnya lebih parah daripada yang kuperkirakan. Seperti tibatiba terbangun dari mimpi, aku langsung mengambil ahli keadaan dan memberitahu Mama bahwa aku
akan berangkat sekarang juga ke rumah sakit. Kulirik Jam dinding yang sudah menunjukkan jam delapan
malam. Aku hanya sempat mengambil tas dan kunci mobilku sambil berusaha mengenakan sepatuku
pada saat yang bersamaan. Setelah itu aku berlari menuju mobilku sambil menelepon keadaan kedua
kakakku yang ternyata sudah ditelepon lebih dulu oleh Mama.
Bab5 21 September Sori lama nggak ngasih kabar. Gue sibuk banget nih. Belum soal kerja, terus ketakutan urusan jantung
Papa. Pakai ditambah sama si kuya satu tuh yang nggak bosan-bosannya gangguin gue. Apa dia nggak
bisa cari korban lainnya apa" Kenapa mesti gue"
*** AKULAH yang terakhir sampai di rumah sakit karena memang kosku paling jauh dan di daerah yang
cukup macet untuk hari Sabtu malam. Kutemukan Mama sedang dipeluk oleh Kak Mikhel, aku tidak
melihat Kak Viktor sama sekali. Buru-buru aku berlari menghampiri mereka.
"Papa" gimana" Ma?" tanyaku sambil berusaha menarik napas. Lain dengan ketiga sobatku, aku
memang paling tidak atletis di antara kami berempat. Dengan keaktifanku di OSIS aku sama sekali tidak
punya waktu untuk melakukan apa-apa lagi. Boro-boro olahraga, biasanya sepulang sekolah aku sudah
mau pingsan rasanya, tambahan lagi dengan penyakit darah rendahku, aku lebih mudah merasa lelah.
Kulihat Kak Mikhel hanya mengangguk dengan wajah serius dan aku tiba-tiba panic, terutama ketika
menyadari bahwa wajah mamaku sudah basah kuyup oleh air mata. NOOO! Hatiku berteriak. Nggak
mungkin. Menurut Kak Viktor yang membawa Papa untuk dites seminggu lalu, Papa masih sehat-sehat
saja. "Kak?" kutatap wajah Kak Mikhel dan tiba-tiba aku tidak bisa lagi membendung air mataku.
Kutenggelamkan wajahku di antara kedua tanganku dan menangis sejadi-jadinya.
"Nad?" kudengar suara Kak Mikhel dan mamaku yang mengucapkan namaku pada saat yang bersamaan.
"Lho, ini kenapa kok tiba-tiba nangis?" lanjut Kak Mikhel yang terdengar bingung.
Aku masih tidak berani menunjukkan wajahku. Aku harusnya lebih banya menghabiskan waktu dengan
Papa selama ini. Setidak-tidaknya aku tidak perlu kos, aku bisa tinggal di rumah dengan mereka,
meskipun itu berarti aku harus menempuh jarak dua jam setiap pagi untuk ke kantor dan dua jam lagi
untuk pulang. Aku seharusnya tidak perlu menghiraukan Kafka dan tetap menemani papaku setiap kali
dia perlu pergi ke dokter beberapa minggu belakangan ini.
Kemudian kudengar ada bunyi roda yang bersentuhan dengan lantai rumah sakit dan tangisku jadi
semakin keras. Aku seperti sedang berada dalam sinetron saat para dokter baru saja selesai memeriksa
Pendekar Pemanah Rajawali 32 Wiro Sableng 105 Hantu Jatilandak Kill Mocking Bird 6
^