Dirty Little Secret 1
Dirty Little Secret Karya Aliazalea Bagian 1
PROLOG Ben, You are an asshole. I don"t know why I have ever thought that my world revolves around you,
that I love you and that you felt the same way. It took you abandoning me when I needed you the
most to realize that I meant NOTHING to you. So, thank you for opening my eyes to who you
really are before I wasted any more of my life with someone like you.
Jana PS: Don"t worry,I"ve taken care of "our fuck-up" (as you called our baby), just like you asked
me to. BAB 1 Let me know that I"ve done wrong
When I"ve known this all along
I go around a time or two
Just to waste my time with you
Sekali lagi Ben memfokuskan perhatiannya pada layar laptop di hadapannya, tapi dia mengalami
masalah berkonsentrasi. Bintik-bintik keringat mulai bermunculan pada keningnya dan kaus
yang dikenakannya sudah lembap dan lengket ke punggung. Tubuhnya yang lebih dari sepuluh
tahun ini sudah terbiasa dengan suhu lebih dingin, mengalami masalah menyesuaikan diri
dengan Jakarta yang panasnya setengah mampus. Dia bisa saja masuk ke dalam rumah dan
menyalakan AC, tapi dia menolak menjadi orang seperti itu. Yaitu orang Indonesia sok bule
yang nggak tahan sama Indonesia padahal besar di Indonesia. Akhirnya dia memaksakan diri
tetap duduk di teras belakang dan memohon kepada Tuhan agar meniupkan angin untuknya.
Lima menit kemudian Ben menyerah setelah sadar keringatnya sudah menetes ke keyboard
laptop. Ugh, gross!!! Buru-buru dilapnya keyboard itu dengan bagian bawah kausnya sebelum
menutup laptop dan mendorongnya ke tengah meja. Diusapnya kedua matanya sambil mendesah
panjang. Dia baru berada di Jakarta selama seminggu, yang berarti bahwa masih ada tiga minggu
lagi sebelum harus kembali ke Amerika. Itu berarti tiga minggu penuh dengan kepanasan,
keringat yang sampai menetes ke mana-mana, dan mandi tiga kali sehari supaya nggak mabok
dengan bau keringat sendiri.
"why, oh, why I here?" gumam Ben sambil menggunakan lengan kaus yang dikenakannya untuk
menyeka keringat yang mengalir ke pelipis.
Oh right, because I"m an idiot, omel Ben dalam hati.
Seorang idiot yang masih stuck sama cewek yang sudah tidak di temui selama delapan tahun.
Cewek yang sudah dihamili. Dan bukannya bertanggung jawab dengan menikahinya, dia malah
meminta cewek itu menggugurkan kandungannya, Cuma karena dia nggak siap menjadi seorang
ayah. Yeah, bukan saja dia seorang idiot, tapi juga seorang "chicken" yang lari dari tanggung
jawab. Dia masih ingat betul kejadian sore itu, ketika Jana datang ke apartemennya untuk
memberitahukan kehamilannya, yang kini dia sadari merupakan kejadian terpenting dalam
hidupnya. And he screwed that up, bad
*** "You can"t be pregnant," ucapnya tidak percaya
"Hellooo" emangnya kamu piker apa yang bakal kejadian kalo kita have sex tanpa kondom?"
Dia tidak menghiraukan nada sinis Jana, dan bertanya, "How far along are you?"
"Lima minggu" Dia melakukan perhitungan di dalam kepalanya untuk mengingat tanggal yang tepat kapan benih
bayi itu ditanamkan dalam rahim Jana. Ketika dia mendapatkannya, dia langsung berkata dengan
nada menuduh, "Tapi kamu bilang malam itu nggak pa-pa. kalo tubuh kamu lagi nggak fertile."
"Jelas-jelas hitungan aku salah, karena sekarang aku hamil. Lagian juga hitungan itu kan nggak
bisa dijadiin jaminan seratus persen."
"Whaaattt?""!!! Kamu seharusnya bilang ke aku!!!"
Jana menyedekapkan tangannya,tidak sabar. "Kamu kan lebih berpengalaman daripada aku
tentang hal-hal beginian, jadi seharusnya kamu yang lebih tau."
Ben mengangkat kedua tangannya dan menjalin jemarinya di belakang kepala. "Goooddd, aku
nggak percaya kamu ngebiarin ini kejadian," geram Ben sambil mondar-mandir di depan Jana.
"Ngebiar" Wait a second, are you blaming this on me?""!!!"
Suara Jana langsung melengking begitu dia memahami tuduhan itu. " Apa kamu pikir perempuan
bisa hamil sendiri?"
Untuk beberapa menit Ben tidak menjawab pertanyaan Jana, hanya mondar-mandir bingung.
Segala macam skenario hidup berkelebatan di kepalanya. Dalam Sembilan bulan, dia akan
masuk kantor sambil mendorong kereta bayi. Tatapan menghakimi yang diberikan rekan-rekan
kerja kepadanya karena sudah punya anak pada usia muda padahal baru mulai kerja membuatnya
panas-dingin. Dia baru berumur 22 tahun, for crying out loud. Masih seorang mahasiswa di
universitas dengan masa depan terbentang cerah di hadapannya. Masih ada banyak hal yang
ingin dia lakukan sebelum dia settle down, seperti bungee jumping di Hoover Dam, snorkeling di
Great Barrier Reef, backpacking keliling Eropa, dan hal-hal lainnya yang hanya bisa dilakukan
seseorang kalau mereka nggak punya anak.
Lebih dari itu semua, dia tidak bisa membayangkan betapa marah dan kecewanya Papa dan
Mama begitu mereka tahu bahwa anak laki-laki meraka satu-satunya, harapan penerus nma
keluarga yang sudah dikirim jauh-jauh ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan terbaik,
bukannya pulang ke tanah air dengan ijazah, justru dengan seorang pacar yang sedang
mengandung. DAMN IT!!! This can"t be happening to me.
*** Ini sama sekali nggak ada dalam rencananya. Dia seharusnya lulus kuliah dengan cum laude,
bekerja sebagai konsultan manajemen di salah satu kantor paling bonafide di Amerika dan baru
setelah kariernya mapan, dia akan memikirkan pernikahan. Dia bisa melihat masa depannya satu
per satu terlepas dari genggaman dan itu membuatnya panik.
Hanya ada satu solusi untuk ini semua. Bayi dan mencapai cita-cita tidak bisa hadir dalam
hidupnya pada saat bersamaan. Dan karena dia tidak mungkin mengesampingkan masa
depannya, maka satu-satunya jalan adalah untuk men-delete si "little fucker" yang memutuskan
bahwa dia ingin hadir sekarang, bukannya sepuluh tahun lagi, dan menghancurkan
kehidupannya. Dia hanya harus meyakinkan Jana agar menyetujui rencananya ini.
Ben berhenti mondar-mandir dan menatap Jana. "Jan,kamu harus gugurkan kandungan kamu,"
ucapnya. Jana tidak langsung membalas, hanya menatapnya dengan mata terbelalak saking kagetnya. Ben
berlutut dihadapannya dan merangkum wajahnya dengan dedua tangan.
" Aku nggak akan bisa kerja dan mengurus bayi pada saat bersamaan. Dan kamu tahu sendiri
kalo bayi itu perlu biaya. Biaya yang kita sama sekali nggak punya," bujuk Ben.
Jana menggigit bibirnya dan berkata pelan, "Kita bisa" bilang ke mami dan papiku."
"Dan diomeli abis-abisan sama mereka?" potong Ben ketus.
"come on, Jan, kamu nggak mungkin senaif itu, kan" Mereka akan menggoreng kamu hiduphidup kalo mereka tahu kamu hamil di luar nikah. Kamu bahkan nggak pernah cerita ke mereja
tentang aku." Dia kembali berdiri, memaksa Jana mendongak agar mata mereka bertemu. Jana kelihatan siap
menangis dan Ben, yang seumur hidupnya nggak pernah menyakiti cewek, ingin mengguncang
bahu Jana agar dia fokus pada dilema yang mereka sedang hadapi daripada tenggelam dalam
emosi yang nggak akan membantu sama sekali. God, help me!!!
Dia mencoba mengatur pernapasan dan emosinya sebelum berkata-kata lagi. "Ini jalan terbaik
untuk kita berdua. Kita terlalu muda untuk punya anak. Aku nggak siap jadi ayah, Jan. dan aku
yakin kalo kamu punya waktu untuk mikir, kamu akan sadar kalo kamu juga belum siap jadi ibu.
Kamu harus pikirin cita-cita kamu yang nggak akan jadi prioritas lagi dengan adanya anak ini."
"Tapi aku cinta sama anak ini, Ben. Ini anak kita. Hasil hubungan kita," rengek Jana.
Dan kesabaran Ben yang memang sudah tipis, habis sama sekali mendengar rengekan ini. Tanpa
bisa mengontrol diri lagi, dia mulai meneriaki Jana. "Gimana kamu bisa cinta sama dia?""!!!
Kalian bahkan belum ketemu. Aduh, Jan bisa nggak sih kamu buka mata kamu" Ini?" Ben
menunjuk perut Jana, "Cuma kecelakaan. Our fuck-up yang seharusnya nggak pernah kejadian!"
"I can"t believe you just called our baby that!" teriak Jana.
"But it is a fuck-up. You and the baby are fuck-ups yang sekarang sedang berusaha
menghancurkan hidupku!!!" Ben balas berteriak tidak kalah kerasnya.
Ben tahu omelannya sudah kelewat kasar ketika Jana langsung bangun dari sofa dan dengan
tergesa-gesa meraih ranselnya sebelum menuju pintu keluar.
"Jan?" Ben berusaha menarik lengan Jana
"Don"t touch me!" teriak Jana sambil mengibaskan sentuhan Ben san membuka pintu apartemen.
Udara dingin langsung menerpa, tapi Jana sepertinya tidak menyadarinya, karena dia tidak
menggigil sama sekali. "Baby, I"m sorry" I didn"t mean it." Ben sekali lagi meraih lengan Jana, yang kini
menyentakkannya. "Yes, you did."
"Jana, please"."
Jana langsung berbalik lalu mendesis sambil menunjuk wajah Ben dengan jari telunjuknya.
"Kamu pikir we"re fuck-ups" You know what" Fuck you, Ben. FUCK" YOU!"
Ben hanya bisa menatap Jana dengan mulut menganga. Inilah pertama kalinya dia mendengar
Jana menyumpah. Jana adalah jenis cewek pemalu dan selalu bertutur kata lembut. Satu kata
yang tepat untuk menggambarkannya ketika dia pertama kali bertemu dengannya adalah
"innocent". Itulah kualitas yang membuatnya tertarik dengannya, tapi lihatlah dia sekarang,
menyumpah kiri-kanan. God, dia seharusnya tidak pernah menyentuhnya. Dia tahu dari awal
bahwa dia, cowok yang dikenal sebagai "man-whore" kampus karena sudah tidur dengan hamper
setengah populasi murid perempuan, tidak berhak mendekati Jana, tapi itu tidak
menghentikannya dari menginginkan gadis itu. Dan lihatlah apa yang terjadi sekarang.
Belum sempat Ben menyela, Jana sudah meneriakkan, " We are done, Ben. Aku nggak mau lihat
muka kamu lagi." *** Dan itulah kata-kata terakhir kali dia berbicara sambil bertatap muka dengan Jana. Berkali-kali
dia berpikir bahwa kalau saja dia mengatasi masalah itu dengan lebih baik, maka Jana mungkin
masih berada di sisinya sekarang. Bagaimana mungkin dia dengan mudahnya menyalahkan Jana
atas apa yang terjadi" Dan dia sudah memanggil Jana dan bayi mereka "fuck-ups. Bagaimana
mungkin dia bisa mengucapkan itu kepada orang yang dia cintai dengan sepenuh hatinya"
Satu pergerakan pada sudut matanya menarik perhatiannya. "Ooommm Beeennn!!!" teriak Erik,
keponakannya yang berumur empat tahun itu.
Erik berlari kencang ke arahnya di atas dua kaki kecil,gendut, dan pendek. Tanpa undangan dia
langsung loncat ke pangkuannya, seakan-akan tubuhnya trampoline. Ketika kaki Erik dengan
tidak sengaja menginjak testikelnya, Ben langsung berteriak kesakitan. Detik selanjutnya dia
melihat Mama dan Eva, kakaknya, setengah berlari menujunya.
"Ben?" Tanya Mama khawatir, sedangkan Eva menatapnya dengan sedikit bingung.
Melihat oomnya meringis, Erik bertanya, "Oom Ben kenapa?" dengan nada prihatin.
Ben mengangkat tubuh Erik dan mendudukkannya di kursi sebelah dan dia langsung menangkup
testikelnya dengan dua tangan sambil membungkukkan tubuhnya. Dia mendengar Eva bertanya
apa yang telah terjadi, tapi dia hanya bisa mengangkat jari telunjuknya meminta satu menit.
"He stepped" on" my balls," jelas Ben akhirnya dengan sedikit terputus-putus.
Mama dan Eva langsung meledak tertawa dan Erik celingukan bingung. "Kok malah diketawain
sih" Sakit, tahu,"gerutu Ben yang setelah lima menit testikelnya masih nyut-nyutan.
Bukannya mengasihani, tawa Mama dan Eva justru semakin keras.
" Apa ini rebut-ribut siang-siang begini?" sebuah suara berat terdengar.
Melihat mbah kakungnya, Erik langsung berlari menuju beliau sambil berteriak, "Mbaaahhh,"
dengan sangat antusias. Ketika dia sudah cukup dekat, Erik melompat dengan kepercayaan vahwa mbahnya akan
menangkapnya, dan beliau memang melakukanny, lalu memutar-mutar cucu satu-satunya itu
hingga kedua kaki Erik melayang seperti ontang-anting.
"Pa, hati-hati, inget umur, nanti punggungnya sakit lagi lho kalo ngangkat yang berat-berat,"
Mama mencoba mengingatkan suaminya.
"Ver, aku ini belum setua itu," balas Papa, tapi dia berhenti memutar-mutar Erik dan
memutuskan untuk memeluk sambil memandikan berpuluh-puluh ciuman pada wajah cucunya.
Melihat Papa begitu relaks dengan keluaganya, nggak aka nada yang percaya bahwa beliau
adalah pengacara kawakan Indonesia yang cukup disegani, bahkan ditakuti oleh banyak orang.
"Hihihi" geli. Mbah belum cukur," ucap Erik sambil cekikikan dan mencoba menghindari
ciuman Papa. Puas telah menyiksa cucunya, Papa menurunkannya. Melihat Erik berjalan ke arahnya, Ben
segera berdiri. Testikelnya tidak akan bisa tahan kalau harus disiksa dua kali dalam satu hari ini.
Melihat oomnya tidak lagi duduk, oleh karena itu tidak bisa dijadikan trampoline lagi, Erik
menuju mbah putrinya. "Mbah, tebak, aku ngpain kemaren?" ucap Erik sambil menarik tangan kanan mbahnya dan
perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam rumah.
Mama kelihatan berpikir sejenak lalu berkata, "Pipis di celana?"
"Nggaaak," teriak Erik sambil tergelak. " Aku udah nggak pernah pipis di celana lagi."
"Oh ya" Wah, pinter ya cucu Mbah."
Papa mengikuti istri dan cucunya itu setelah menerima ciuman dari Eva, yang kemudian
mendekati Ben untuk mencium pipinya. Ben pun melakukan hal yang sama kepadanya.
"God, you"re so sweaty, Ben," ucap Eva sambil mengerutkan hidungnya.
"Yeah I know. Aku perlu ganti baju dulu sebelum makan siang," jawab Ben.
"Kayaknya mendingan mandi deh. Aku bisa pingsan nyium bau keringat kamu."
"I smell that bad?" Tanya Ben dengan wajah penuh horor dan dia menaikkan lengannya untuk
mencium ketiaknya. "Yes. Dan bisa nggak sih kamu nggak cium-cium ketiak kamu di depan aku" Bisa pingsan aku,"
balas Eva hanya untuk menggoda adiknya yang langsung permisi ke dalam rumah, dan
menghilang menuju kamar tidurnya di lantai atas.
Sebetulnya aroma tubuh Ben baik-baik saja, seperti Polo Sport, cologne yang telah dia gunakan
semenjak SMA, Eva hanya suka mengganggu adiknya ini setiap kali ada kesempatan. Setengah
jam kemudian Ben muncul dengan kaus baru dan wajah fresh. Harus Eva akui bahwa Ben adalah
adiknya dan dia merasa berkewajiban memujinya. Tidak sama sekali. Selama ini dia sudah
mendapat konfirmasi dari banyak orang tentang betapa gantengnya adiknya ini. Semenjak SMP
dan garis-garis wajahnya lebih menonjol, Ben harus belajar menghadapi perhatian cewek yang
berhamburan. Kepribadian ramah dan gampang diajak bicara juga menambahkan suatu aura
yang membuat semua orang lain ingin dekat dengannya.
Semua itu berubah ketika dia SMA dan nama Papa sebagai pengacara menjulang. Menurut
Mama, Ben jadi lebih pendiam dan sangat berhati-hati dalam bergaul karena takut orang hanya
akan mau bergaul dengannya karena dia anaknya Oscar Barata. Sifat ketidakpercayaan Ben
terhadap orang sedikit lebih relaks dan happy di sana. Untuk pertama kalinya Eva menemukan
keramahan Ben waktu SMP kembali lagi. Jadi masih juga belum menikah" Seingat Eva, dia
bahkan tidak pernah mengenalkan seorang pacar pun kepada keluarganya. Merasa agak sedikit
khawatir, dia akhirnya menanyakan hal ini kepadanya beberapa tahun yang lalu waktu dia
mengunjungi Ben di Chicago.
*** "So tell me, anything interesting going on in your life?" Tanya Eva sambil mengaduk-aduk
campuran lettuce, paprika, dan beberapa buah olive dengan dua spatula kayu.
"Nggak ada yang menarik, just normal. As usual," balas Ben sambil membalik dada ayam tanpa
kulit diatas panggangan. Eva melirik adiknya yang berusaha sebisa mungkin tidak menatapnya. Semenjak tiba lebih dari
dua minggu yang lalu,Eva mendapati perubahan pada diri Ben. Dia jauh lebih serius, bahkan
terlalu serius. Jadwal harian Ben penuh dengan kerja, kerja, dan kerja lagi. Bahkan pada akhir
minggu Eva menemukannya duduk di sofa ruang tamu dengan TV yang volumenya di-mute dan
tatapannya menempel pada laptop dipangkuannya.
"Omong-omong, aku udah di sini dua minggu kok masih belum dikenalin sama pacar kamu
sih?" pancing Eva sambil memercikkan merica ke salad.
Ben mendengus."Don"t have one."
"Oh, come on, how is that possible" Kamu kan ganteng, punya kerjaan yang mapan, lagi. Apa
lagi yang kurang coba" Unless you"re gay."
Eva yakin Ben nggak gay, karena dia menemukan majalah playboy di kamar tidurnya ketika dia
masuk ke sana beberapa hari yang lalu untuk membersihkannya, tapi bisa saja kan dia salah.
Banyak laki-laki gay yang nggak kelihatan gay sama sekali.
Dengan sangat hati-hati, Eva berbisik, "Are you gay" Karena kalo kamu emang gay, kamu tahu
kan kamu selalu bisa bilang ke aku" Aku nggak punya masalah sama sekali dengan orientasi
seksual kamu, Whatever that is. Kamu bisa suka perempuan atau laki-laki, atau dua-duanya, aku
nggak peduli, aku akan tetap support kamu."
"Aku nggak gay!!!" teriak Ben dengan penuh ketersinggungan.
"Jadi kenapa kamu masih juga belum punya istri?"
"Karena aku belum ketemu yang cocok, oke?"
"But, you are meeting women right?"
"What"s with all the questions?" Ben balik bertanya sambil membuka lemari es dan menuangkan
air putih ke dalam dua gelas sebelum menawarkan satu kepada Eva.
"Aku perhatiin kegiatan kamu sehari-hari Cuma kerja melulu, nggak ada yang lain." Eva
meminum seteguk air putihnya.
"Itu karena aku lagi ada proyek besar yang harus aku kelarin. Kalo aku berhasil, aku bakal naik
jabatan di kantor." "Tapi apa perlu kamu sampe terobsesi begitu" Dan biasanya Cuma ada dua alasan kenapa orang
terobsesi sama kerjaan mereka. Pertama, karena mereka mencoba membuktikan sesuatu, dan
yang kedua, karena mereka mencoba melarikan diri dari sesuatu."
Sejenak Ben kelihatan memikirkan kata-kata Eva, kemudian berkata, "Aku masuk ke dalam
kategori yang mana?"
"Yang kedua," jawab Eva pasti.
Ben mendengus. "Trust me, aku nggak sedang melarikan diri dari apa pun."
"I think you are. I mean, just look at you?"
"What"s wrong with me?"
"Everything. Kapan terakhir kali kamu in a committed relationship dengan seseorang
perempuan?" Tanpa pikir panjang Ben menjawab, "Sekitar setahun yang lalu."
"Really?" Eva betul-betul terkejut mendengarnya. Ben mengangguk lalu menenggak habis air
putihnya. "What happened?" lanjut Eva.
"Dia mutusin kalo dia udah bosen nunggu sampe aku ngelamar. Beberapa bulan yang lalu aku
diundang ke pesta pernikahannya dengan seorang pengusaha dari Alabama."
"That"s fast," gumam Eva.
"No, not really. Kalo emang udah ketemu yang cocok, kenapa harus nunggu lagi?"
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Udah berapa lama kamu pacaran sama dia?"
"Beberapa bulan." Ben mengangkat dada ayam yang sudah matang dari bakaran dan
meletakkannya ke atas dua piring makan.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dia ke aku?" Eva mengangkat baskom besar berisi
salad mereka dan berjalan menuju meja makan.
"Karena aku nggak ada rencana untuk nikahin dia," jawab Ben sambil mengangkat dua piring
yang penuh dengan makan malam mereka dan mengikuti Eva.
"Apa kamu pernah ketemu perempuan yang kamu mau kenalin ke keluarga kamu?" Eva duduk
di kursi makan dan menghadap Ben yang kelihatan sedang berkonsentrasi. Eva pikir dia akan
berkata "Ya", Tapi yang keluar justru, "Nggak."
Eva mengerutkan dahinya mengingat pembicaraan itu. Dia selalu ingin tahu siapa yang terlintas
di kepala Ben pada saat itu, sebelum dia memutuskan mengatakan"Nggak". Pikirannya buyar
pada detik itu karena Ben sudah berdiri di hadapannya, membuatnya sadar bahwa rambut Ben
agak basah. Tanpa bisa mengontrol diri dia sudah cekikikan. Ben langsung mengerutkan dahi
dan ketika sadar bahwa Eva sudah mengerjainya dengan berbohong mengenai bau badannya, dia
mendesis, "I will make you pay for this."
"Oh, come on Ben, don"t be mad. Aku Cuma bercanda, aku nggak nyangka kamu bakalan
keramas segala," ucap Eva sambil berjalan cepat mengejar Ben yang sudah berjalan
melewatinya. BAB 2 When we live such fragile lives
It"s the best way to survive
"Bunda akan hitung sampe tiga, kalo kalian belum turun juga, kalian bakalan jalan kaki ke
sekolah!" teriak Jana dari bawah tangga yang disusul teriakan-teriakan panik.
"Tunggu!!! Lho kok" kaus kaki aku di mana" Erga!!! Kamu ambil kaus kakiku, ya?" teriak
Raka. "Nggak kok. Aku udah ada," jawab Erga.
"Satu"," teriak Jana.
"Aggghhh". Tunggu!!! Kaus kaki Raka ilaaa"ng," teriak Raka lagi. Jana mendengar langkah
kecil berlari masuk kembali ke dalam kamar tidur.
"Pake yang lain aja kenapa sih?" Jana mendengar Erga sedikit mengomel.
"Aku nggak mau pake yang lain. Itu kaus kaki yang aku suka," jawab Raka.
"Sama aja. Sama-sama putih kok," balas Erga.
"Lain," Raka tetap bersikeras.
"Dua"," teriak Jana lagi sambil melirik jam tangannya. Sekarang sudah pukul 06.35. dia
mendongak ketika mendengar ada langkah halus sedang menuruni tangga. Erga terlihat rapi
dengan seragam sekolahnya.
"Raka mana?" Tanya Jana.
"Bentar lagi turun, lagi pake kaus kaki," ucap Erga lalu berjalan menuju lemari sepatu.
"Rakaaa!!! Panggil Jana.
"Bentar" bentar"," Raka menjawab sebelum kemudian tubuh kecilnya berlari menuruni
tangga. Lain dengan Erga, Raka masih terlihat berantakan. Rambutnya tidak disisir dengan rapi,
kemejanya sudah dimasukkan ke dalam celananya dengan asal dan kerahnya naik di bagian
belakang. "Dasinya mana?" Tanya Jana sambil menurunkan kerah kemeja Raka.
Raka langsung melirik Erga yang mengangguk kepalanya. "Ada di Erga," jawab Raka.
Jana mencoba melarikan jari-jarinya pada rambut Raka agar lebih rapi, tapi rambut keriting itu
menolak bekerja sama, sebelum melepaskan Raka berlari ke arah lemari sepatu.
"Lampu udah mati semua?" Tanya Jana.
"Dah," jawab Erga dan Raka bersamaan.
"AC?" Tanya Jana lagi.
"Dah," jawab Raka sambil mengenakan sepatunya.
"Yakin?" Tanya Jana. Raka mengangguk semangat.
"Ya udah, ayo berangkat. Kita udah telat ini," ucap Jana dan mematikan lampu ruang tamu. Dia
membuka pintu depan dan menunggu dengan sedikit tidak sabar hingga Raka selesai mengikat
tali sepatunya. Pukul 06.45 Erga dan Raka lari melewatinya sambil berteriak, "Aku duduk depan," pada saat
bersamaan. "Aku duduk depan, kamu kemaren udah duduk di depan," omel Erga.
"Tapi aku kemaren kan sakit, jadi Bunda kasih aku duduk depan," sangkal Raka.
"Kamu ngalah dong sekali-sekali. Minggir, sekarang giliran aku." Erga mencoba mendorong
Raka yang sedang mengadang di depan pintu penumpang mobil.
Jana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka. Setelah mengunci pintu rumah
dan dia pun menaiki mobil dan menghidupkan mesin. Dia menurunkan kaca jendela bangku
penumpang dan berteriak," Bunda nggak peduli siapa yang duduk depan, tapi kalo kalian nggak
masuk sekarang juga, Bunda berangkat sendiri."
Dari kaca spion kiri Jana melihat Erga menundukkan kepalanya dan membuka pintu belakang,
sedangkan Raka membuka pintu depan dengan senyum penuh kemenangan. Mau tidak mau dia
tersenyum melihat anak-anaknya ini. Meskipun mereka adalah anak kembar dengan wajah sama
persis, tingkah laku mereka seperti bumi dan langit. Keduannya memang memliki kepandaian
jauh di atas rata-rata, tetapi secara emosi Erga jauh lebih dewasa daripada Raka. Sehingga
walaupun kadang-kadang Erga kelihatan sudah kehabisan kesabarannya mengahadapi Raka,
akhirnya dia selalu mengalah juga. Untungnya mereka masih berumur tujuh tahun jadi masih ada
beberapa tahun lagi sebelum mereka mulai pacaran. Jana berharap mereka setidak-tidaknya akan
memiliki selera yang jauh berbeda, sehingga tidak akan bertengkar rebutan cewek. Dia betulbetul tidak tahu bagaimana cara menengahi pertengkaran seperti itu.
Jana mengucap syukur karena lalu lintas cukup lancer untuk hari Rabu, sehingga mereka bisa
sampai di sekolah sebelum bel berbunyi. "Belajar yang tekun, ya," ucap Jana sambil mencium
pipi Raka dan Erga. "Jangan bandel. Bunda nggak mau dipanggil sama Kepala Sekolah lagi
gara-gara kalian disetrap. Oke?"
"Oke, Bunda," jawab Erga dan Raka bersamaan. Lalu mereka turun dari mobil dan berjalan
memasuki area sekolah sambil bergandengan tangan. Anak-anaknya tidak pernah berhenti
membuatnya terkesima, satu menit bertengkar sudah seperti perang dunia ketiga, tapi menit
selanjutnya mereka sudah adem-ayem seakan-akan pertengkaran tidak pernah terjadi.
*** Setelah satu lambaian tangan kepada mereka, Jana membawa mobilnya kembali ke jalan raya.
Hari ini jadwalnya superpadat. Ada proyek pembangunan mall baru di kawasan Mangga Dua dan
Bos sudah merongrongnya agar segera menyelesaikan desain bangunan. Kalau saja Minah,
pengasuh anak-anaknya tidak memutuskan menikah dengan sopir Jana sebulan yang lalu, dan
dua-duanya balik ke Jawa, Jana yakin pekerjannya tidak akan terbengkalai seperti sekarang. Dia
betul-betul tidak bisa berpikir dikelilingi oleh dua anak berumur tujuh tahun yang bandelnya
ngalah-ngalahin Dennis the menace. Satu hari setelah Minah pergi, dia dipanggil ke sekolah
karena Raja baru saja membuat salah satu temannya babak-belur. Ketika dia melihat Raka yang
tidak lebam sama sekali meskipun wajahnya agak sedikit merah dan temannya dengan seragam
agak robek dan hidung disumbat tisu karena mimisan, hal pertama yang terlintas di kepalanya
adalah: sejak kapan anaknya jadi preman sekolah"
Ketika Jana Tanya kenapa dia ngegebukin temannya, Raka hanya menjawab, "Abis Mark bilang
Erga banci, soalnya Erga nggak mau bales pukulannya. Banci itu bad word kan, Bunda" Mark
nggak boleh kan pake kata itu?" dengan jawaban seperti itu Jana tidak bisa memarahinya,
apalagi karena dia hanya mau membela harag diri kembarannya.
Lain waktu Jana di telepon oleh Asti, ibunya Bowin, salah satu teman Raka dan Erga, yang
mengundang mereka ke acara ulang tahunnya. Asti berteriak histeris di telepon dan memintanya
segera menjemput anak-anak dari rumahnya saat itu juga. Jana terpaksa meninggalkan rapat
dengan kontraktor dan datang secepat mungkin ke tempat kejadian. Dia baru saja turun dari
mobil ketika melihat beberapa anak yang basah dari ujung rambut hingga ujung kaki dan
diselubungi busa berwarna putih, berhamburan keluar dari rumah Asti. Buru-buru dia masuk ke
dalam rumah dan mengikuti jejak-jejak basah menuju kolam renang di halaman belakang.
"Jeng Jana, akhirnya sampai juga," teriak Asti masih histeris.
Jana mencoba tidak menghiraukan cara Asti menyapanya. Dia paling benci dipanggil "Jeng",
karena terkesan seperti ibu-ibu pejabat dengan sasakan supertinggi dan kalau bicara biasanya
menggunakan bahasa Jawa halus atau bahasa Belanda.
"Erga sama Raka baik-baik aja, kan?" Tanya Jana khawatir.
"Mereka sih nggak pa-pa, kolam renang saya yang bermasalah," balas Asti sambil
menggiringnya ke halaman belakang.
Langkah Jana langsung terhenti ketika melihat kolam renang berukuran kecil dan lebih cocok
disebut kiddy pool(tapi Asti, yang bangga sekali karena punya kolam di halaman rumahnya
menolak menyebutnya kiddy pool), sudah berlimpah busa warna putih.
"Erga sama Raka numpahin detergen ke dalam kolam," jelas Asti. "Saya lagi pergi ke dapur
sebentar untuk ambil minuman, waktu saya balik keadaan udah begini."
"Seberapa banyak yang ditumpahin?" Tanya Jana mencoba serius, padahal dalam hati dia ingin
ketawa. Dia tidak tahu dari mana Raka dan Erga mendapat darah kebandelan mereka, karena
jelas-jelas dia tidak pernah sebandel ini waktu SD.
"Cukup untuk membuat kolam renang saya jadi begini," jawab Asti sambil melambaikan
tangannya kea rah kolam renang dengan putus asa.
Tanpa meminta penjelasan lebih lanjut, Jana segera mencari Erga dan Raka lalu menggeret
mereka untuk meminta maaf kepada Asti dan Bowin Karena telah merusak acara ulang tahun itu.
"Saya minta maaf sekali soal ini. Tolong saya dikirimi tagihan untuk membersihkan kolam
renang," ucap Jana sambil menyodorkan kartu namanya kepada Asti.
"Jeng Jana, mohon maaf lho, Jeng, kalo saya lancing. Saya tahu anak-anak seumuran Raka dan
Erga memang suka bandel, tapi kok sepertinya mereka bandelnya luar biasa, ya?"
Jana mencoba tersenyum ketika mendengar komentar ini, meskipun dalam hati dia ingin
meneriaki Asti agar tidak mengata-ngatai anak-anaknya. "Biasanya mereka nggak sebandel ini,
tapi babysitter mereka baru berhenti dan saya belum dapat pengganti yang cocok untuk mereka,"
ucapnya semanis mungkin. "Saya tahu Jeng sibuk, tapi apa nggak bisa Jeng berhenti kerja untuk jagain mereka?" meskipun
nada Asti lembut, Jana mendengar ada nada sinis di dalamnya.
"Asti, saya ini single parent. Kalo saya berhenti kerja, itu berarti anak-anak saya nggak bisa
makan," ucap Jana ketus.
"Oh, Jeng, saya minta maaf. Saya nggak tahu."
Asti adalah jenis orang yang selalu mau tahu urusan orang lain, sehingga Jana hanya harus
menunggu lima detik sebelum Asti menanyakan pertanyaan selanjutnya. "Ayah mereka ada di
mana?" Jana mengembuskan napasnya sebelum menjawab, "Ayahnya anak-anak sudah lama
meninggal." Suatu kebohongan besar, dia bahkan tidak tahu keberadaan laki-laki yang sudah menghamilinya
itu. Mata Asti langsung terbelalak, dan sebelum dia bisa bertanya-tanya lagi, Jana langsung
memotong, "Maaf, saya harus buru-buru. Sekali lagi saya mohon maaf soal ini, tolong saya
ditelepon kalo tagihannya udah sampai."
Jana langsung meninggalkan Asti yang masih kelihatan penasaran. Dia tahu bahwa
kehidupannya adalah suatu misteri di antara para orangtua teman-teman anak-anaknya.
Kebanyakan dari mereka menyangka dia pasti menikah muda karena di umurnya yang baru 27
tahun dia sudah punya anak berumur tujuh tahun. Dia bahkan yakin bahwa beberapa dari mereka
menudingkan jari padanya sebagai korban MBA alias Married by Accident. Tetapi dia sudah
hidup dengan gossip-gosip itu semenjak kehamilannya dan dia sudah kebal.
Jana kembali menumpukan perhatiannya ke jalan raya menuju Rasuna Said. Dia memasuki area
bangunan kantornya dan berhenti di depan lobi. Joko langsung mengambil alih posisinya di
belakang setir. "Selamat pagi, Mbak," ucapnya.
"Pagi, Jok," balas Jana dan melangkah masuk ke bangunan kantor.
Jana memasuki ruang kerjanya tepat pukul 08.30. dia meletakkan tas di atas meja dan tidak lama
kemudian Caca, asistennya, melangkah masuk sambil membawa agendanya.
"Pagi, Bu," ucapnya. Jana hanya menggangguk dan duduk di kursi kerja.
"Ibu ada pertemuan dengan TO jam 09.30 untuk membicarakan tentang desain Mangga Dua; jam
11.30 ada pertemuan dengan Ibu Marlene tentang proyek di yogya. Saya udah minta Joko supaya
menjemput anak-anak dari sekolah nanti, jadi ibu nggak usah khawatir tentang itu. Dari jam
14.00 sampai 17.00 udah saya blok supaya nggak ada yang ganggu ibu di kantor."
*** Jana sudah terbiasa dengan keefesienan Caca dalam mengatur jadwalnya sehingga dia hanya
perlu mengangguk sebagai tanda setuju. Setelah Caca berlalu, Jana menyalakan komputer di
mejanya dan menunggu hingga wajah Erga dan Raka menghiasi layar sebelum menyerang
outlook. Untungnya tidak banyak e-mail yang harus dijawab. Pukul 09.25 dia melangkah menuju
ruang kerja TO, alias Tjakra Oetomo, bosnya. Tubuh pak Tjakra yang tinggi besar sedang berdiri
dihadapan beberapa maket gedung-gedung yang telah didesain oleh para arsitek dan dibangun
oleh kontraktor di bawah pengawasannya.
"Pagi, Pap," ucap Jana lalu mencium pipinya.
"Pagi, saying," sambut Papi dan membalas ciuman Jana.
"Ayo kita lihat desain kamu untuk Mangga Dua," lanjutnya.
Mereka berjalan menuju sebuah meja besar dan Jana membuka gulungan plan di genggamannya
untuk di periksa oleh Papi, yang langsung mengeluarkan kacamata baca dari kantong kemejanya.
Setelah menenggerkan kacamata pada batang hidunganya, Papi membungkuk dengan pulpen
merah di tangan kanan. Jana sadar bahwa untuk orang seumurannya, Papi masih kelihatan
superfit dan ganteng dengan gaya dandy ala Sean Connery. Banyak orang mengatakan Papi
orangnya "sulit" dan "keras" karena selalu menuntut yang terbaik dari semua orang, tetapi
selama ini orang selalu menuntut yang terbaik dari semua orang, tetapi selama ini orang selalu
menoleransi sikapnya karena dia adalah salah satu arsitek terbai di Indonesia. Papi, seperti juga
Eyang Kung, adalah pemegang tujuh puluh persen saham PT. Oetomo Jaya yang menguasai
bisnis konstruksi pembangunan gedung-gedung di area Jawa dan Bali. Di dalam keluarga
Oetomo hanya ada dua jenis karier, yaitu arsitektur dan teknik lanskap. Semenjak kecil Jana
sudah di persiapkan oleh keluarganya untuk bergabung dengan perusahaan turun-temurun ini.
Entah insiden horor apa yang akan terjadi kalau misalnya dia memutuskan berkarier di dunia
lain. Kemungkinan Papi akan langsung kena stroke.
Beberapa menit kemudian, setelah Papi puas dengan coretannya, beliau menegakkan tubuh.
Tangannya mendorong plan yang ketika di bentangkan di atas meja setengah jam lalu masih rapi
dan bersih, dan sekarang kelihatan seperti salah satu adegan film Texas Chainsaw Massacre, ke
arah Jana. Itulah Papi, semua orang yang berpikir beliau orangnya "sulit" dan "keras", jelas-jelas
nggak pernah merasakan jadi anaknya. Kedua kata itu terlalu lembut untuk menggambarkan
sikap Papi padanya. Di dalam kepala Jana, hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan Papi,
yaitu "Impossible". Tidak peduli apa yang Jana sudah capai di dalam hidupnya, Papi tidak akan
pernah puas. Sifat Papi itu semakin parah setelah Jana pulang dari Amerika, tanpa membawa
ijazah dan hamil. Mungkin kalau dia membawa laki-laki yang sudah menghamilinya pulang,
Papi dan Mami masih bisa menoleransinya. Masalahnya Jana yang saat itu patah hati dan suoer
pissed-off dengan bajingansatu itu tidak sudi mengucapkan namanya.
Percakapan yang dia miliki dengan kedua orangtuanya delapan tahun lalu terlintas di benaknya.
"Siapa yang menghamili kamu, Jana?" teriak Papi.
"Cowok yang aku kenal di frat party beberapa bulan yang lalu." Jawab Jana yang disambut
pekikan, "Oh, lord, help us," dari Mami yang kini menatapnya seakan-akan dia memiliki tanduk.
Sepertinya beliau tidak percaya anaknya yang diajar untuk menghadiri misa di gereja setiap
minggu berkelakuan seperti perempuan jalang.
"Namanya siapa?" Tanya Papi penuh selidik.
"I don"t know," jawab Jana.
"Kamu bahkan nggak tahu namanya?" Papi sudah berteriak lagi dan Mami mencoba
menenangkannya. Papi menghela napas dalam sebelum berkata-kata lagi. "Apa dia tahu kamu hamil?" tanyanya
dengan lebih tenang. "Pap, gimana dia bisa tahu" Aku bahkan nggak pernah ketemu dia lagi setelah malam itu."
Dalam hati Jana berharap dia tidak akan disambar petir karena sudah membohongi orangtua.
"Oh my God, Jana. Papi dan Mami membesarkan kamu lebih baik dari ini. Mami nggak percaya
kamu bisa sebegini teledornya dengan hidup kamu. Muka Papi dan Mami mau dikemanain kalo
tetangga sampe tahu kamu hamil tanpa suami?" ucap Mami yang kelihatan sudah siap menangis.
Sekarang giliran Papi mencoba menenangkan Mami sambil memberikan tatapan penuh tuduhan
kepada Jana. Kalau saja tatapan bisa membunuh, Jana pasti sudah mati berlumuran darah.
Setelah Mami lebih tenang, Papi berkata, "Jana, kamu lihat kan kehamilan kamu ini sudah
membuat Mami stress" Apa kamu nggak kasihan sama Mami" Kamu harus menggugurkan
kandungan kamu, Jana."
"Pap?" "Sekarang, sebelum terlambat," potong Papi dengan nada meninggi.
"Papi?" Jana mencoba menyela tapi tidak dihiraukan.
"Papi akan cari tahu klinik aborsi yang bisa tutup mulut."
"Aku nggak mau aborsi, aku mau membesarkan bayi ini," teriak Jana mulai histeris
"Dan apa rencana kamu untuk ngasih makan bayi ini?"
"Aku bisa cari kerja."
"Dan kerja jenis apa yang kira-kira bisa kamu dapatkan hanya dengan ijazah SMA, hah?"
"I don"t know. Something."
Papi mendengus keras. "Kalo kamu pikir Papi akan ngebiarin kamu tinggal di rumah ini
sementara kamu punya anak haram itu, kamu salah."
"Aku nggak perlu bantuan Papi, oke" Aku bisa berdiri sendiri."
"No" you cannot. You are a child!!!"
Dan Jana yang seumur hidupnya selalu taat dan sopan pada orangtua, untuk pertama kalinya
meledak di hadapan mereka. "Yes, I am a child, yang masih suka bikin kesalahan dan perlu
bimbingan orangtua. Aku minta maaf karena udah ngecewain Papi, tapi keputusanku sudah
bulat, aku nggak mau aborsi. Bayi ini nggak salah apa-apa, dan dia nggak seharusnya jadi
sasaran cuma gara-gara kesalahan yang aku buat. Dia berhak hidup. Dan kalo Papi dan Mami
nggak bisa nerima kenyataan itu hanya gara-gara malu sama tetangga, itu berarti Papi dan Mami
nggak berhak mengenal anak ini."
Dan dengan dramatis Jana melangkah pergi, meninggalkan orangtuanya terbengong-bengong.
Dia tidak bisa menghabiskan satu detik lagi di bawah atap Papi kalau beliau tetap memaksanya
menggugurkan kandungannya dan memanggil anaknya "anak haram". Dia tidak tahu kemana dia
akan pergi meminta bantuan. Putra, adiknya yang baru saja menginjak bangku SMA masih
tinggal dengan orangtua mereka dan di bawah kontrol mereka. Papi adalah anak tunggal,
sedangkan Tante Mika, adik Mami, tinggal di Jepang. Untungnya dia tidak perlu pusing lamalama karena tanpa disangka-sangka, Papi menuruti permintaannya.
Sampai sekarang dia masih tidak percaya bahwa dia berani memberikan ultimatum seperti itu
kepada orangtuanya, tapi setiap hari melihat Raka dan Erga, dia bersyukur telah melakukannya.
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dia rasa Papi dan Mami juga merasakan hal yang sama karena mereka lebih memanjakan
cucu-cucu mereka daripada dirinya.
*** "Masih banyak perbaikan yang perlu kamu lakukan untuk desain itu." Kata-kata Papi menarik
Jana dari masa lalu. Jana tahu pertemuan mereka sudah berakhir ketika Papi meninggalkannya membereskan plan
dan melangkah menuju mejanya. Jana baru saja mengambil satu langkah menuju pintu ketika
Papi memanggilnya. "Jana, ada sesuatu yang Papi perlu bicarakan dengan kamu."
Hal pertama yang terlintas di kepala Jana adalah: "Oh no, what did I do this time?" dari
pengalaman, tidak pernah ada hal bagus yang mengikuti perintah itu. Dengan langkah ragu Jana
menuju meja Papi. Perhatian Papi tertuju pada selembar kertas di hadapannya, yang kelihatan
seperti undangan. Jana melirik amplop di atas meja, yang berlambangkan salah satu yayasan
yang menerima sumbangan dari keluarga Oetomo setiap tahunnya.
"Ini undangan untuk acara penggalangan dana minggu depan. Papi mau kamu menghadiri acara
ini." Papi meletakkan undangan yang tadi di bacanya di hadapan Jana, yang kini menatap Papi
dengan sedikit mengerutkan dahi.
"Bukannya biasanya Papi yang selalu datang sendiri ke acara ini?" tanyanya bingung.
"Biasanya memang begitu, tapi ada bagusnya kamu mulai lebih aktif mewakili Papi ke acaraacara seperti ini daripada ngedekem aja di rumah kayak kura-kura."
Jana hanya mengerlingkan matanya kepada Papi sebelum berkata, "Pap, aku punya anak kembar
umur tujuh tahun. Babysitter dan sopirku baru aja berhenti, kerjaanku seabrek, aku nggak punya
suami yang bisa bantu, mana aku ada waktu?"
"Kamu kan bisa titipin Erga dan Raka sama Mami dan Papi kalo kamu mau keluar," Papi
bersikeras Jana menatap Papi curiga, tidak biasanya beliau sebegini ngotot menginginkannya muncul di
hadapan publik. "Bukannya Papi bilang ke aku untuk nggak muncul di publik" Bahwa akan
mempermalukan keluarga kalo melakukan itu?" Tanya Jana curiga.
"Itu kan delapan tahun yang lalu waktu kamu hamil tanpa suami." Balas Papi tenang.
"So what, sekarang aku single mother. Masih tanpa suami di mana bedanya?"
Papi mengembuskan napas dan berkata, "Papi Cuma nggal mau kamu kesepian. Erga dan Raka
juga udh semakin besar, mereka perlu figure laki-laki dalam kehidupan mereka."
Hah" Sejak kapan Papi jadi sentimental begini" Jana menatap Papi tajam, kemudian menyipitkan
matanya untuk lebih memastikan lagi. Laki-laki di hadapannya kelihatan seperti Papi, tapi jelasjelas tidak bertingkah laku seperti Papi. Kalau dia ada waktu mungkin dia akan menginvestigasi
hal ini lebih lanjut, tapi karena dia tidak ada waktu, akhirnya dia hanya berkata, "Aku harus
membicarakan hal ini sama Erga dan Raka dulu, nanti Papi aku kasih tahu."
Tanpa menunggu balasan dari Papi, Jana langsung ngacir keluar ruangan itu.
BAB 3 I"ll keep you, my dirty little secret
Don"t tell anyone or you"ll be just another regret
Hope that you can keep it, my dirty little secret
Who has to know Malam itu, setelah anak-anak pergi tidur dan dia punya sedikit waktu untuk berpikir, jana
mengulang percakapan dengan Papi tadi pagi. Terutama tentang menemukan figuran laki-laki
untuk Erga dan Raka. Akhir-akhir ini dia memang sudah memiliki percakapan ini dengan dirinya
sendiri. Apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan menyembunyikan Raka dan Erga
dari Ben" Goooddd!!! Dia masih tidak percaya bahwa dia bilang sudah menggugurkan bayi
mereka di e-mail terakhir kepada Ben. Entah apa yang Ben akan lakukan kalau dia sampai tahu
Jana sudah membohonginya" Bayangan Ben menggelutinya sebelum membakarnya hidu-hidup
terlintas di kepalanya. Mungkin memang tiba saatnya untuk mulai dating lagi, meskipun prospek itu membuatnya
panas-dingin nggak karuan. Ben adalah pacar pertama dan terakhirnya. Selanjutnya, dia bahkan
tidak tahu cara dating yang benar. Apa yang dia alami dengan Ben bukanlah dating, lebih seperti:
mereka ketemu, makan siang, besoknya Ben menemaninya ke mana-mana, begitu juga dengan
hari-hari berikutnya, dan sebelum dia menyadari apa yang sedang terjadi, mereka sudah pacaran.
Tanpa Jana sadari, dia mengusap dadanya yang masih terasa sakit hingga sekarang mengingat
apa yang telah Ben lakukan padanya.
Kalau memang mau mencari figure ayah untuk anak-anak dengan menikah lagi, dia harus
melakukannya secepat mungkin. Karena Raka sudah pernah menanyakan keberadaan ayahnya
ketika dia berumur empat tahun. Saking paniknya, bukannya menjawab pertanyaan itu, dia justru
berkata, "Raka, habiskan makanan kamu."
Keesokan harinya tentunya dia langsung menelepon Mami dengan penuh kepanikan. Dan Mami
membantunya memformulasikan jawaban yang mudah dimengerti oleh balita. Awalnya dia tidak
setuju dengan jawaban itu, tapi ketika mendengar Mami mengomel, "Apa kamu lebih memilih
bilang ke mereka kalo ayah mereka itu bajingan cap kodok ngorek yang udh menghamili kamu
dan tidak bertanggung jawab?", dia tidak punya pilihan. Untungnya dia tidak perlu menggunakan
respons itu hingga beberapa bulan kemudian, ketika Erga mencegatnya dengan pertanyaan yang
sama. Jana mendudukkan Erga di pangkuannya dan berbisik, "Erga dan Raka punya ayah kok. Tapi dia
udah nggak sama kita lagi. Dia ada di surga, sama Tuhan dan malaikat-malaikatnya."
"Ayah Erga orang baik dong ya, karena kalo nggak kan nggak masuk surga?"
Kalau dibandingin sama serial killer mungkin, omel Jana dalam hati, tapi dia berkata dengan
penuh senyum, "Paling baik di seluruh dunia ini."
Jana bersyukur pertanyaan itu tidak pernah diajukan lagi oleh anak-anaknya, tapi dia tahu dia
sedang duduk di atas bom waktu. Sebentar lagi mereka akan beranjak dewasa, dan penjelasan
yang pernah dia berikan tidak akan cukup lagi. Dia tahu bahwa mereka berhak mengetahui yang
sebenarnya. Mereka berhak mengenal Ben dan Ben mengenal mereka.
Ben" terakhir kali dia bertemu dengannya adalah akhir april delapan tahun yang lalu. Seperti
apa dia sekarang" Apa dia masih memiliki senyumnya yang mematikan" Senyuman yang tidak
bisa dia hindari, terutama karena Erga dan Raka memiliki senyuman yang sama, berikut lesung
pipi di pipi kiri mereka. Suatu persamaan yang langsung membuatnya menangis tersedu-sedu
ketika pertama kali melihatnya. Seakan itu belum cukup parah untuk dihadapi oleh ibu tunggal
yang masih patah hati, semakin lama dia menghabiskan waktu dengan anak-anaknya, semakin
dia sadar bahwa mereka lebih mirip Ben daripada dirinya. Mulai dari rambut ikal, mata dalam,
dan alis tebal. Seakan kemiripan wajah belum cukup, aroma mereka juga mengingatkannya pada
Ben. Memori akan hari pertamanya berkenalan dengan Ben memenuhi ingatannya. Hari itu adalah
orientasi pelajar asing lowa state. Dia bukanlah jenis orang yang bisa langsung membuka
pembicaraan dengan orang lain, belum lagi karena dia harus menggunakan bahasa inggis kerika
melakukannya. Pada dasarnya hari itu adalah hari paling menakutkan sepanjang hidupnya. Dia
merindukan sobat-sobatnya yang terpaksa dia tinggalkan karena Papi bersikeras adar dia
mendapatkan pendidikan di Amerika. Dia sebetulnya sudah diterima di jurusan arsitektur di
universitas local yang menurutnya cukup bonafide, tetapi Papi bersikeras agar dia berangkat ke
lowa. Dia menangis selama seminggu karenanya.
*** Akhirnya Mami yang tidak tega melihatnya, menghampirinya dan menjelaskan semuanya.
"Otome," ucap Mami sepelan mungkin dan Jana tahu bahwa dia harus mendengarkan apa pun
yang akan dikatakan beliau, karena Mami hamper tidak pernah menggunakan bahasa Jepang,
bahasanya Sobo, yaitu ibu Mami yang memang orang Jepang.
"Mami minta kamu turuti kemauan Papi, ya. Mami janji bahwa inilah yang terbaik untuk kamu,"
lanjut Mami pelan. "Tapi, Mam" kenapa harus Amerika" Aku nggak kenal siapa-siapa di sana, Mam," balas Jana
diantara tangisnya. "Kamu kan bisa cari teman baru di sana. Bukannya Adriana ada di Amerika?" Mami
menyebutkan salah satu sobatnya.
"Tapi Adri di DC, Mam. Itu jauh dari Lowa." Jana mencoba mengontrol tangisnya. Dia sudah
mencabik-cabik tisu yang ada di genggamannya sampai tidak berbentuk lagi.
Mami menarik napas dalam, kemudian berkata, "Papi kamu ngotot mau kamu pergi ke Amerika
karena anak Oom Sofyan kuliah disana."
Dan pada saat itu Jana mengerti apa yang dimaksud Mami. Papi yang superkompetitif, ingin
menunjukkan kepada Oom Sofyan, saingan beratnya, bahwa anaknya pun bisa kuliah di
Amerika. Ya ampuuuunnn" dia tidak menyangka bahwa ego Papi sebegitu besarnya sehingga
tidak menghiraukan keinginan anaknya.
"Apa aku akan pernah bisa ngambil keputusan sendiri, Mam?" Tanya Jana pada Mami yang
menatapnya terkejut. "Kamu nih ngomong apa sih" Papi dan Mami selalu ngebolehin kamu ngambil keputusan
sendiri," bantah Mami.
"Oh ya" Coba Mami pikir" apa pernah Papi dengerin apa yang aku mau?" tantang Jana.
Untuk beberapa detik Mami hanya bisa terdiam, tapi beliau dibesarkan dengan budaya Jepang
yang keras, di mana seorang perempuan tidak bisa menentang kata-kata kepala keluarga. Mami
bangkit dari sisi Jana dan berjalan menuju pintu. "Kamu sekarang mungkin nggak ngerti kenapa
Papi mau kamu pergi ke Amerika, tapi nanti waktu kamu lulus dan kerja untuk Papi, kamu akan
ngerti." Dan hanya dengan kata-kata itu Mami meninggalkan Jana sendiri di kamarnya,
menangisi nasibnya. Sebulan kemudian, Jana menemukan dirinya di sebuah ruang pertemuan besar di kampus lowa
state. Dia berpapasan dengan beberapa bule yang sepertinya sedang berbicara dalam bahasa
Jerman. Kemudian ada seorang cewek yang sedang berbicara dalam bahasa Inggristetapi dengan
aksen Rusia yang sangat kental sehingga tidak pasti apakah cewek itu memang sedang berbicara
dalam bahasa Inggris. "Hey, you look lost. Can I help you whit anything?"
Jana menoleh kepada cewek yang baru berbicara padanya dan harus menunduk karena cewek itu
ternyata jauh lebih pendek darinya. Jana yakin tinggi cewek itu bahkan tidak mencapai 150
sentimenter. Cewek itu mengenakan kacamata minus cukup tebal sambil menggenggam suatu
papan dengan beberapa kertas yang di jepit di atasnya. Jana melirik stiker yang ditempelkan pada
dada kirinya, yang bertuliskan "Sabrina".
"I"m Sabrina, by the way," ucap cewek itu sambil menunjuk stikernya. "What"s your name?"
"Saya" I mean I"m Jana Oetomo," ucap Jana dengan gugup.
"Jane?" Tanya Sabrina dengan nada tidak pasti.
"No no" not Jane. It"s Jana."
Dia baru tiba di Amerika beberapa hari yang lalu dan dia sudah harus membetulkan kesalahan
penyebutan namanya sekitar seratus kali. Dia betul-betul merindukan negeranya, temantemannya, dan orang-orang yang akan langsung mengerti jika dia mengatakan bahwa namanya
Jana dengan huruf "J" yang dibaca seperti "J" pada kata "Japan", bukan "H" pada kata "Hello".
Dia mulai merasa jengkel pada orang-orang yang memanggilnya "Jane" atau "Hana". Sabrina
melirik papan yang ada di hadapannya. Mulutnya komat-kamit "Oh, here you are. You"re the
Indonesia girl," ucapnya setelah beberapa menit. "Welcome to lowa State," lanjutnya dengan
ceria, Jana hanya bisa mengangguk.
"We have an Indonesian guy who volunteers to help. Let me see" he was here a second ago,"
Sabrina memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu tanpa Jana sangka-sangka gadis itu mulai
loncat-loncat di hadapannya. Jana hanya menatap Sabrina sambil mencoba menahan senyum.
Jelas-jelas pendapat orang Asia bahwa semua orang bule bertubuh tinggi dan langsing sudah
kaprah. Dia berusaha untuk tidak menutup telingannya ketika Sabrina berteriak keras, "Ben, Beee" nnn.
Come here, I need you."
Beberapa detik kemudian dia mendengar suara laki-laki di belakangnya berkata, "God, stop
waving at me like a crazy person, Sabs. We"re in civilization for chrissake."
Jana memutar seluruh tubuhnya untuk bisa melihat cowok yang berdiri di belakannya dan
matanya jatuh pada dadanya. Dia harus mundur selangkah untuk bisa melihat wajahnya karena
cowok itu tinggi sekali. Dan ketika matanya akhirnya bisa menatap wajah cowok itu, Jana hanya
bisa menganga. Holy mother of Jesus!!! Ini adalah cowok Indonesia paling ganteng yang pernah
dia lihat dengan mata kepala sendiri sepanjang hidupnya. Koreksi, ini adalah cowok paling
ganteng yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya, TITIK! Cowok itu sedang tersenyum, dan
Jana bisa melihat lesung pipi pada pipi kirinya. Anehnya, lesung pipi itu tidak membuatnya
kelihatan seperti banci, justru membuatnya lebih maskulin.
"Ben, meet Jana, she"s from Indonesia too," ucap Sabrina tanpa menghiraukan nada sinis Ben
beberapa saat lalu dan dengan bangganya memperkenalkan Jana.
Ben mengalihkan perhatiannya ke Jana dan berkata, "Halo," dengan ramah. Dia lalu
menyodorkan tangannya. "Halo," balas Jana yang otomatis meraih tangan itu.
Dan sumpah mati, dia merasakan aliran listrik ketika telapak tangan mereka bersentuhan. Rasa
aman dan nyaman langsung menyelimutinya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi mengingat dia
tidak pernah merasa cukup nyaman dengan kaum cowok sampai bisa menjalin hubungan dengan
mereka. Jangankan menjalin hubungan, berteman dengan mereka saja dia tidak berani. Oleh
karena itu, dia langsung tahu bahwa Ben adalah boyfriend material. Menurut Dara, salah satu
sobatnya yang jauh lebih berpengalaman dengan hal-hal yang berhubungan dengan cowok,
hanya ada 3 jenis cowok di muka bumi ini. Pertama, cowok yang hanya bisa jadi temen karena
meskipun mereka bisa membuat kita merasa nyaman, bayangan mencium mereka membuat kita
menggelengkan kepala kuat-kuat; kedua, cowok yang Cuma bagus untuk dilihatin karena selain
tubuh dan wajah, tidak ada lagi yang menarik tentang mereka; ketika, cowok yang merupakan
boyfriend material. Mereka bukan saja ganteng nggak ketolongan, tapi juga membuat kita
merasa nyaman dengan mereka.
*** Dan Ben is definitely boyfriend material. Kesadaran ini membuat Jana terkesiap dan buru-buru
menarik tangannya. Ben kelihatan terkejut dengan reaksinya dan kini menatapnya dalam, seakan
sedang mencoba membaca pikirannya. Takut bahwa Ben betul-betul akan bisa membaca
pikirannya, Jana langsung menunduk.
"Okaaa"yyy, I"ll let you guys get acquainted while I"ll go greet other students."
Kata-kata Sabrina membuat Jana mendongak siap protes, tapi Sabrina sudah menghilang dari
peredaran, meninggalkannya sendiri dengan Ben.
"Kamu dari mana" Tanya Ben sambil tersenyum.
Lesung pipi Ben membuatnya sulit memikirkan jawaban pertanyaan itu. Jana menelan ludah
sebelum berkata, "Aku tadi dari Eaton Hall. Aku tinggal di sana."
Ben langsung menyeringai ketika mendengar jawaban itu, membuat Jana sadar bahwa dia sudah
salah mengartikan pertanyaannya. Buru-buru dia menutup mata saking malunya. "Itu bukan
maksud pertanyaan kamu, ya?" tanyanya dengan hati-hati sambil membuka satu matanya dan
melihat Ben sedang menggelengkan kepalanya.
Tapi setidak-tidaknya Ben masih tersenyum, yang berarti dia tidak menganggapnya cewek idiot.
"Aku dari Jakarta," ucap Jana secepat mungkin.
Ben mengangguk dan bertanya lagi. "Di sini rencananya mau ambil jurusan apa?"
"Arsitektur." "Oh ya?" Jana tahu bahwa dia seharusnya menanyakan hal yang sama kepada Ben, karena itulah sopan
santun, tapi otaknya seperti sedang kena brain freeze. Untuk pertama kalinya Jana mengerti
ungkapan "Love at first sight", karena dia sedang mengalaminya dengan Ben.
LOVE AT FIRST SIGHT, nenek moyang lo!!! Kalau saja dia tahu hubungannya dengan Ben
akan berakhir seperti itu, dia tidak akan sudi mengenalnya. Tapi itulah masalahnya dengan cinta.
Cinta membuat kita buta dan rela melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan kita lakukan.
Kalau dipikir-pikir lagi orang yang sedang jatuh cinta sudah seperti orang mabuk, tapi efek
samping mabuk masih lebih mendingan. Setidak-tidaknya mereka hanya perlu berurusan dengan
kepala pusing besok gara-gara hangover, tapi kalau putus cinta" Bah! Efek sampingnya bukan
hanya kepala pusing, tapi hati remuk dan masalah mental yang bahkan nggak bisa dibantu oleh
terapi seumur hidup. Nggak, tidak peduli apa yang terjadi, Ben tidak akan pernah tahu tentang keberadaan anakanaknya. Dia akan mencari laki-laki yang jauh lebih layak untuk menjadi seorang suami dan
ayah bagi anak-anaknya. Untung saja tidak ada yang tahu identitas Ben, dan dengan paras
kebule-bulean kedua anaknya, Papi dan Mami berkesimpulan bahwa ayah mereka adalah
seorang bule bejat yang sudah menghamilinya. Dan Jana tidak pernah membetulkan
kesalahkaprahan itu. Entah apa yang akan mereka pikirkan kalau sampai tahu bahwa bukan bule
bejat yang sudah menghamilinya, tapi laki-laki Indonesia bejat. Ya, Ben adalah dirty little secretnya yang akan dia simpan sampai mati.
*** Keesokan paginya Jana terbangun dan memori tentang Ben kembali melandanya, kini tentang
apa yang terjadi setelah mereka berkenalan. Sepanjang orientsi Ben tidak habis-habisnya
menatapnya sampai dia salah tingkah. Tatapan itu begitu intense, sampai cewek Malaysia
bernama Nurul yang duduk di sebelahnya mengomentari, "Dia pakwa you ke?"
Jana betul-betul tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nurul. Banyak orang bilang Bahasa
Indonesia dan Melayu itu mirip, tapi Jana bisa yakinkan bahwa itu tidak benar sama sekali.
Melihat kebingungan pada wajahnya, Nurul berbisik, "Dia boyfriend you?"
"Oh, bukan. Saya baru kenal dia."
"Mmmmhhh, kalau baru kenal, dia macam stalker je kan" Asyik je dia tengok you."
Membutuhkan waktu beberapa menit bagi Jana untuk mencerna kata-kata Nurul, dan ketika dia
memahaminya, buru-buru dia menutup mulutnya sebelum ada orang mendengar cekikikannya.
Untungnya pada detik itu orientasi berakhir. Jana baru saja say goodbay pada Nurul yang akan
kembali ke asramanya ketika sadar bahwa Ben sudah berdiri di ujung barus kursinya,
menunggunya. Dengan sedikit tidak pasti Jana berjalan mendekatinya.
"Kamu ada rencana apa setelah ini?" Tanya Ben.
"Cari makan siang, terus balik ke Eaton," jawab Jana.
"Oh, good. Aku juga mau makan siang. Aku tahu tempat makan enak deket Eaton, kita bisa
makan siang sama-sama. Abis itu aku bisa anter kamu pulang."
Yang terlintas di kepala Jana ketika mendengar ajakan ini adalah: "Hah?"" yang diikuti dengan,
"Maksud lo?"!!"
"A-aku?" Jana tergagap.
Pikirannya blank. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Oh, andaikan dia
Dara, dia pasti tahu respons terbaik untuk situasi seperti ini. Santai, Jana, santai. Cowok ini
ramah aja sama elo karena sama-sama orang Indonesia. Ini bukan date or anything like that, ucap
Jana dalam hati. "C"mon it"s just lunch. Kamu toh harus makan juga. Kenapa nggak makan sama aku aja?" ucap
Ben dengan nada sedikit memohon.
OH" MY" GOD. It is a date. Seumur hidupnya, tidak pernah ada cowok yang berani
mengajaknya nge-date. Beberapa kali dia mendengar bahwa ada segelintir cowok yang tertarik
padanya, tapi tidak ada dari mereka yang berani maju. Mereka terlalu takut dengan dirinya yang
dikenal sebagai cewek paling pintar satu sekolah. Dan sekarang Ben sedang mengajaknya ngedate, satu jam setelah mereka berkenalan. Hanya ada dia kemungkinan, cowok ini memang nekat
atau seperti yang Nurul bilang, seorang stalker.
"Aku janji kita nggak akan lama. Paling sejam. Kita bisa makan burger. Kamu suka burger,
kan?"
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jana hanya mengangguk, masih tidak bisa berkata-kata.
"So, makan burger sama aku," tandas Ben.
"I don"t think?"
Seperti membaca keraguannya, Ben menghaluskan nada bicaranya dan berkata sambil
tersenyum, "Sumpah aku bukan stalker, aku Cuma mau makan siang sama kamu."
Wow, cowok ini benar-benar jujur mengemukakan maksudnya, tanpa basa-basi. Jana mendapati
dirinya tidak bisa menolak dan tanpa dia sadari sudah mengangguk.
"Awesome. Let me say goodbye to these people and we can go," ucap Ben dengan senyum lebar.
Jana hanya perlu menunggu kurang dari lima menit sebelum Ben muncul lagi di hadapannya.
"Yuk," ucapnya dan menggiring Jana ke luar ruangan.
*** Sepanjang perjalanan menuju Union Drive yang biasanya hanya memakan waktu sepuluh menit
jalan kaki, hari ini molor menjadi dua puluh menit gara-gara mereka harus berhenti beberapa kali
karena Ben berpapasan dengan kenalannya. Ben tidak pernah menyapa duluan, selalu mereka.
Kelihatannya dia cukup popular di kampus ini, karena orang-orang itu keliahatan betul-betul
senang melihatnya. Semuanya memberikan tatapan ingin tahu ketika melihatnya bersama cewek
tidak dikenal, tapi hanya beberapa dari mereka yang dikenalkan Ben padanya. Beberapa menit
kemudian mereka sampai di Market place, salah satu dari banyak tempat makan dalam kampus.
"Apa kamu udah pernah makan disini?" Tanya Ben sambil berjalan menuju konter burger.
"Udah, tapi belum pernah coba burgernya."
"Aku jamin kamu pasti suka. Cheeseburger di sini yang paling enak di seluruh kampus..,"
Omongan Ben terpotong oleh teriakan seorang wanita kulit hitam berukuran besar. "Benjiii"
you"re back!!!"
Wanita itu sedang tersenyum lebar dan mempertontonkan deretan giginya yang putih. Ben
membalas sapaan itu dengan tidak kalah ramahnya. Tidak lama kemudian mereka bertukar cerita
tentang liburan musim panas. Whoa, bukan saja Ben memiliki banyak teman, tapi mereka
sepertinya datang dari berbagai kalangan. Harus Jana akui dia cukup terkesan melihatnya. Selain
keluarga, Papi dan Mami hanya memperbolehkannya bergaul dengan teman-teman dari sekolah.
Entah apa yang akan terjadi kalau dia berani berteman dengan orang dari kalangan yang mereka
nilai dibawah mereka. "I guess you want that cheeseburger with lost of fries then, huh?"
"Yes, Miss Rita. Can we have two of those, please."
Miss Rita terkekeh. "Boy, I don"t know how many times I"ve told you just call me Rita."
"Nawww, I like calling you Miss Rita," canda Ben.
Miss Rita memberikan pesanan mereka sambil geleng-geleng kepala. "You two have a good day
now." Jana hanya mengangguk dan mengikuti Ben yang sudah berjalan menuju konter minuman.
Mereka sama-sama mengambil sebotol air putih sebelum menuju sebuah meja kosong.
"Aku sangka nama kamu Ben," ucap Jana setelah dia duduk
"Namaku memang Ben," balas Ben dengan wajah sedikit bingung.
"Jadi kenapa Miss Rita manggil kamu Benji?"
Ben terkekeh sebelum berkata, "Oh, itu nick name yang dikasih Miss Rita waktu aku kerja di sini
semester lalu." Jana langsung tersedak potongan burger yang baru saja ditelannya dan untuk beberapa menit dia
terbatuk-batuk. Ben langsung berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Makannya pelan-pelan, Jan."
Andaikan saja Ben tahu bahwa alasan Jana tersedak adalah bukan karena dia makan terlalu
cepat, tapi karena pengakuan tanpa malu-malu Ben bahwa dia pernah bekerja di kantin sekolah.
Mami dan Papi bisa pingsan kalau dia membawa Ben pulang untuk dikenalkan kepada mereka.
Prospek ini membuat Jana tersenyum dalam hati.
BAB 4 The way she feels inside Those thoughts I can"t deny
These sleeping thoughts won"t lie
Entah sudah berapa lama Ben memandangi layar ponselnya yang memampangkan nomor ponsel
Jana, yang dia dapatkan setelah meneror seorang laki-laki yang dia kenal waktu kuliah dan tidak
sengaja ketemu lagi, yang seseorang, yang kebetulan mengenal Jana. God, laki-laki itu pasti
mengira dia orang paling aneh sedunia dengan aksi terornya untuk mendapatkan nomor telepon
Jana, but who cares, yang penting sekarang dia bisa menelepon Jana. Selama bertahun-tahun dia
sudah mencoba banyak cara untuk mencari perempuan itu. Mulai dari mengirimkan berpuluhpuluh e-mail yang nggak pernah dibalas, menguntit suki, mantan teman sekamar Jana, selama
berbulan-bulan sampai cewek itu mengancam akan ke polisi untuk minta restraining order,
hingga mengaduk-aduk friendster, facebook,linkedin, dan myspace, tapi semuanya berakhir nol
besar. Dia juga mencoba meng-google nama "Jana Oetomo", tapi nama itu pun tidak keluar di mana
pun. Akhirnya dia harus menyerah. Pada saat itu, dia baru menyadari betapa sedikit informasi
yang dia tahu tentang Jana. Dia bahkan tidak tahu nama kedua orangtuanya atau apa pekerjaan
mereka. Selama waktu yang singkat dulu, Jana hanya bercerita tentang betapa strict orangtuanya,
itu saja. Dan Ben belum segitu gilanya atau kayanya sampai mau menyewa tenaga professional
untuk mencari Jana. Jana memang selalu lebih tertutup daripada dirinya, dan selama mereka
pacaran, dia tidak pernah bertanya terlalu banyak, takut membuat Jana merasa tidak nyaman.
Suatu fakta yang membuatnya ingin menendang dirinya sendiri ketika Jana menghilang tanpa
jejak. Melihat ponsel di genggamannya membuatnya kembali lagi ke delapan tahun yang lalu,
seminggu setelah Jana kabur dari apartemennya. Entah berapa kali dia menelepon nomor kamar
Jana di Eaton Hall sehingga membuat Suki kedengaran sudah siap membunuhnya.
"She is not here!!!"
Mendengar nada Suki yang mendekati bentakan, membuat persepsi Ben tentang cewek-cewek
Jepang yang lemah lembut dan penuh senyum berubah 180 derajat. Tanpa menghiraukan nada
bicara Suki, Ben bertanya, "Do you know where she is?" untuk lebih menyakinkan dia
menambahkan,"I really REALLY need to talk to her."
Ben tahu dia kedengaran merengek, tapi dia tidak perlu. Selama dua hari setelah pertengkaran
mereka, pikirannya campur aduk. Dia sama sekali nggak bisa mikir, padahal dia seharusnya
belajar untuk ujian akhir semester minggu depan. Awalnya dia masih dalam tahap shock dan
yang terlintas dalam pikirannya adalah bahwa semua ini hanya mimpi buruk, bahwa sebentar lagi
dia akan bangun dan mendapati dirinya hanya sebagai anak kuliahan yang masalah terbesarnya
adalah untuk me-maintain IPK-nya agar tetap dia atas 3,5. Ketika sadar bahwa ini bukanlah
mimpi, tapi kenyataan, kemarahan datang.
Segala tuduhan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Dia yakin Jana sengaja membuat
dirinya hamil. Bahwa Jana sudah merencanakan malam itu, dan dia, sebagai cowok blo"on, tidak
tahu sama sekali dirinya sedang dijebak. Mereka memang sudah berhubungan intim beberapa
kali dengan mengenakan kondom, karena Jana tidak mau minum pil birth control. Tapi
kemudian mereka mulai lebih berani dengan berhubungan seks tanpa mengenakan kondom kalau
tubuh Jana sedang tidak fertil. Dan minggu itu adalah salah satu minggu tidak fertilnya. Shit, dia
seharusnya tidak pernah percaya kata-kata yang keluar dari makhluk yang masih bisa hidup
setelah mengalami pendarahan selama lima hari. Oleh karena itu, dia menolak menelepon Jana
duluan. Prinsipnya mengatakan pihak yang salahlah yang harus meminta maaf duluan, dan
menurutnya itu adalah Jana.
Tapi setelah semua kemarahannya resa, rasa bersalah datang. Dia seharusnya tidak blow-up
seperti itu di hadapan Jana. Dia lebih tua dari Jana dan lebih berpengalaman, tapi yang lebih
penting lagi, dia seorang laki-laki, jadi seharusnya lebih analitis dan berkepala dingin dalam
menhadapi krisis. Setelah dia pikir-pikir lagi, ada banyak solusi lain yang bisa mereka
pertimbangkan selain aborsi. Ya tuhan, dia sudah meminta Jana membunuh anak mereka. Dan
dengan rasa bersalah, kekhawatiran pun muncul. Apakah Jana sudah menggugurkan
kandungannya" Apa Jana betul-betul serius ketika dia berkata mereka putus" Apa dia baik-baik
saja" "Just like the last time I told you, I don"t know where she is. I"m not the boyfriend who she has
been spending so much time with."
Kata-kata Suki kali ini membuat Ben bertanya-tanya apa jangan-jangan Jana meminta Suki untuk
tidak memberitahukan keberadaannya kepada Ben. Bahwa Jana ada di dalam kamar ketika dia
menelepon, atau bahkan duduk di samping Suki, mendengarkan percakapan mereka. Tapi itu
tidak mungkin, karena meskipun Suki teman sekamar Jana selama tahun pertamanya di lowa
state, Suki bukanlah teman baik yang bisa diajak bersengkongkol untuk melakukan hal seperti
ini. Mereka bahkan nggak pernah hangout bareng. Mereka hanya teman sekamar, titik.
Tapi, apa ada kemungkinan dia salah menilai situasi ini" Mungkin karena desperate dan tidak
memiliki orang lain lagi yang bisa diajak bicara, Jana menceritakan kejadian di antara mereka
kepada Suki. Dan sebagai cewek, Suki merasa tersinggung juga atas kelakuan Ben dan setuju
menjauhkannya dari Jana. "Just tell me the truth. Is she with you right now?"
"I already told you. She"s not here!!!" teriak Suki, sebelum mulai ngedumel dalam bahasa
Jepang yang Ben yakin berisi makian tentangnya.
Dia tidak punya waktu untuk mendengar Suki ngedumel dan memotong, "Did she tell you where
she"s going?" "No!!! and even if she did, I won"t tell you," kata Suki dan langsung menutup telepon.
"Hello" Hello" Goddamn it!!!" teriak Ben frustasi
*** Buru-buru dia mengambil kunci dan lari keluar menuju mobil. Dia harus segera ke Eaton Hell,
dia yakin Jana sekarang ada di kamarnya. Sepanjang perjalanan dia mengomeli dirinya sendiri.
Bagaimana dia bisa sebegini butanya selama beberapa hari ini" Kenapa dia bahkan tidak
menyangka sampai beberapa detik yang lalu bahwa Suki sudah berbohong padanya" Kenapa dia
tidak punya inisiatif untuk mencegat Jana di kelas-kelasnya, toh, dia tahu jadwalnya" Atau lebih
baik lagi, tongkrongin Eaton Hall sampai Jana muncul, toh cepat atau lambat dia harus pulang
juga. Sepuluh menit kemudian dia sampai di Eaton Hall. Di parkir di tempat pertama dilihatnya, yang
ternyata tempat parker penyandang cacat, tapi dia tidak peduli. Ketika sampai di depan pintu
gedung dan sedang memikirkan cara masuk padahal tidak memiliki kartu residensi, dia melihat
serombongan cewek baru akan keluar. Tanpa peringatan, dia langsung menerobos rombongan itu
dengan paksa dan berlari menuju kamar Jana. Dia mendengar beberapa dari mereka meneriakkan
sumpah serapah padanya, yang dia biarkan tidak terjawab.
Dia baru saja memasuki lorong tempat kamar Jana terletak ketika dia melihat Suki dan" no
fucking way, Jana, sedang berjalan ke arahnya. Dua cewek itu membawa ransel yang kelihatan
cukup berat, kemungkinan dalam perjalanan menuju perpustakaan untuk belajar. Tentu saja Jana,
cewek paling pintar yang pernah dia pacari, siap menghadapi ujian akhir semester, tidak peduli
bencana apa yang sedang dia hadapi dalam kehidupannya. Sedangkan Ben sudah kalang kabut
nggak karuan. Dan sebelum menyadari apa yang dia lakukan, dia sudah menyeruakan nama Jana. Ben
mendengar Jana terkesiap. Satu detik Jana menatapnya dengan mata melebar, terkejut
melihatnya, dan detik selanjutnya dia sudah lari seakan bokongnya kebakaran menuju kamarnya
di ujung lorong. Ben membutuhkan beberapa detik untuk menyadari bahwa Jana lari darinya,
kemungkinan akan mengunci diri di dalam kamar dan menolak berbicara dengannya. Buru-buru
dia lari mengejarnya, tapi terlambat, karena Jana sudah menghilang ke dalam kamar dan buru-
buru menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras. Ketika ben sampai di depan pintu, dia
langsung mencoba memutar gagang, tapi tidak berhasil. Seperti dugaannya, Jana sudah
mengunci pintu itu. "Jana, tolong buka pintunya. Aku perlu ngomong sama kamu," ucap Ben sambil mengetuk pintu
itu dengan cukup keras. Sunyi. "Jan, please" just talk to me, okay," pintanya lagi.
"Dude, she doesn"t want to talk to you. Just leave her alone," ucap Suki yang tanpa disangkasangka sudah berdiri sambil bertolak pinggang di samping Ben.
Cewek satu ini kemungkinan keturunan Ninja karena bisa bergerak tanpa sepengetahuannya.
Well, keturunan Ninja atau bukan, dia akan mencekiknya kalau cewek ini mencoba mencampuri
urusannya. "This is between her and me. Just stay the hell out of this, okay" bentak Ben.
Suki kelihatan tersinggung karena dibentak, tapi dia tidak berkata-kata lagi.
"Jana, open the door," pinta Ben.
"Go away, Ben."
Mendengar suara Jana untuk pertama kali setelah seminggu ini, membuat lutut Ben lemas dan
untuk beberapa detik dia lupa tujuannya datang ke sini, tapi kemudian dia dapat mengontrol
reaksi tubuhnya dan berkata, "Nggak, aku nggak akan pergi sampe kamu ngomong sama aku,
goddamnit." Setelah lima detik dan pintu masih tertutup, Ben menggedor pintu itu sekencangkencangnya sambil berteriak, "Open the damn door!"
"No!" balas Jana tegas.
Pintu-pintu kamar di sepanjang lorong mulai terbuka satu per satu dan beberapa kepala
melongok ke luar untuk melihat keributan apa yang terjadi pada selasa malam begini.
"Buka pintunya, Jana. Sumpah mati aku akan dobrak pintu ini kalo kamu nggak buka pintu.
Keluar sini dan ngomong sama aku."
Kesunyian membalasnya, dan Ben betul-betul tidak tahu apalagi yang harus dia lakukan
sekarang. God, dia tahu dia menjadi laki-laki brengsek, tapi apa dia sebegitu tidak berharga
sampai Jana bahkan tidak mau bertatap muka dengannya"
Dengan penuh kesal dan sesal, dia meninju pintu kamar Jana dua kali hingga retak. "OPEN THE
DOOR," teriaknya. Dia mendengar beberapa tetangga Jana yang memang cewek semua, berteriak kaget melihat
keganasannya. Sejujurnya, dia sendiri kaget. Lalu salah satu dari mereka berteriak, "Somebody
call campus security!"
SHIT!!! Dia hanya memiliki beberapa menit sebelum polisi kampus muncul dan mendendanya
karena masuk ke property orang tanpa diundang atau lebih parah lagi, melemparkannya ke
penjara karena merusak property kampus.
"Fine. Kamu nggak mau ngomong sama aku, fine. Kamu mau putus sama aku, itu juga nggak papa. aku Cuma mau tahu apa yang udah kamu lakukan dengan bayi kita."
Tidak ada respons sama sekali dari balik pintu, dan Ben mendesah panjang. Dia baru saja akan
mengucapkan kalimat selanjutnya ketika dari sudut mata dia melihat polisi kampus muncul di
ujung lorong. SHIT, SHIT, SHIT!!! Dia buru-buru ngacir menuju pintu darurat di sebelah kanan
dan lari secepatnya menuju mobil, tidak menghiraukan teriakan orang-orang yang memmintanya
berhenti. Semua memori itu tiba-tiba membuat Ben kehabisan napas setiap kali Jana terlintas di kepalanya,
inilah reaksi yang dia dapatkan. Tidak peduli sudah berapa banyak wanita yang berseliweran di
dalam hidupnya, sebelum dan setelah itu, hanya Jana yang mampu mengacak-acak emosinya
seperti ini. Ben meletakkan ponselnya di atas meja dan mengusap wajahnya. Dia akan
menelepon Jana, tapi tidak sekarang. Dia belum siap melakukannya.
*** Ben sedang berkonsentrasi penuh membalas e-mail yang dikirim oleh salah satu anggota timnya
di Chicago ketika ponselnya bordering. Nama Eva berkedip-kedip di layar. Eva tidak pernah
meneleponnya selama dia di Jakarta, biasanya kakaknya ini langsung nongol saja. Dengan
sedikit waswas, Ben buru-buru menjawab panggilan itu.
"Hey, Ev, everything okay?"
"Yeah, everything"s good," balas Eva ceria dan Ben mengembuskan napas lega. "Kamu lagi
ngapain?" lanjut Eva.
"Ini baru kelar bales e-mail dari kantor," jawab Ben sambil menekan tombol send lalu mulai
membaca e-mailny a yang lain. Ben mendengar Eva mendengus sebelum berkata, "Ben, kamu itu lagi cuti, yang berarti nggak
boleh kerja. Kalo kamu kerja juga itu sih sama aja bohong."
"Well, nggak semua orang kan punya suami kaya yang bisa ngebiayain kita seumur hidup,"
ledek Ben. "Are you making fun of me?" teriak Eva pura-pura tersinggung.
Ben hanya terkekeh mendengar nada Eva. Inilah candaan mereka semenjak Eva menikah dengan
Martin. Sampai sekarang Ben tidak tahu apa yang dilihat oleh kakaknya pada kakak iparnya itu,
sudah sok bangsawang dengan aksen Inggris dibuat-buat, padahal dia lulusan Amerika dan
sekalinya ke Inggris Cuma ke London selama tiga hari untuk bisnis, that douchebag juga senang
sekali memamerkan orang-orang yang dikenalnya, mulai dari anggota DPR sampai artis. Satusatunya hal yang membuat Ben bisa menoleransi Martin adalah karena laki-laki itu jelas-jelas
tergila-gila pada Eva dan begitu juga sebaliknya.
"So kenapa kamu telepon aku siang-siang bolong begini?" Tanya Ben.
"Emang nya aku nggak boleh telepon kamu" Kakak kan boleh kangen sama adiknya."
"Cut the bullshit. What do you want, Ev?"
Kini giliran Eva yang terkekeh. Dia dan Eva memang selalu dekat meskipun umur mereka
berbeda empat tahun. ,menurut Mama, kata pertama yang diucapkan Ben bukanlah Mama atau
Papa, tapi Wawa. Membutuhkan waktu cukup lama bagi mereka untuk memahami bahwa yang
dia maksud adalah Eva. Nama panggilan itu bertahan sampai dia berumur empat tahun, ketika
dia bisa mengucapkan "Eva" dengan sempurna. Tapi saat itu sudah terlambat untuk
menambahkan kata"Kak" atau "Mbak" di depannya. Alhasil dia selalu memanggil kakaknya
dengan nama saja. "Aku ada undangan untuk acara penggalangan dana yayasan yang sering nerima sumbangan dari
kantornya Martin." "Oke"," ucap Ben, hanya setengah mendengarkan karena sambil membaca e-mail dari salah
satu klien. "Biasanya aku pergi sama dia untuk acara ini, tapi kali ini Martin nggak bisa karena ada di luar
kota." "Riiight." Ben mengaktifkan speaker pada ponselnya dan meletakkannya di samping laptop
sebelum menekan reply pada layar laptop dan mulai mengetik e-mail balasan.
"Aku tadinya nggak mau pergi karena nggak ada yang nganter. Tapi terus aku mikir, karena
kamu juga nggak ngapa-ngapain, gimana kalo kamu aja yang anter aku ke acara ini?"
"Mmmhh." "Ben, kamu dengerin aku nggak sih?"
"Denger kok." Bukan suatu kebohongan, dia memang mendengar apa yang Eva katakana
padanya, dia hanya tidak mencoba memahaminya.
"Sumpah mati kalo kamu ngejawab telepon aku sambil balas e-mail, aku bakar laptop kamu kalo
aku ke situ lagi." "Wait, dari mana kamu tahu kalo aku lagi bales e-mail?" Tanya Ben, buru-buru berhenti
mengetik dan melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan Eva tidak sedang mengintainya
dari dalam rumah. *** Terkadang Ben suka bertanya-tanya apa Eva bisa membaca pikiran, karena Eva terkadang bisa
membaca tindkan selanjutnya sebelum Ben melakukannya. Atau tahu persis apa yang sedang dia
lakukan padahal mereka tidak sedang bertatap muka, contahnya seperti sekarang.
"Oh, please" aku ini yang ngeganti popok kamu waktu kecil. Aku tahu segala sesuatu tentang
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamu. Termasuk ukuran pe.."
"Arrgghh, stop it. Aku bisa brain damage dengerin omongan kamu," omel Ben sambil
menghantam keningnya tiga kali dengan telapak tangan.
Eva tertawa terbahak-bahak. Man, kakaknya ini memang senang sekali meledeknya tentang
ukuran penisnya waktu bayi, yang menurut laporan Eva," Kecil banget, udah kayak baby carrot."
Parahnya, Eva senang sekali menceritakan hal ini kepada siapa saja yang mau mendengarkan.
"So, kamu bisa nggak temenin aku?" Tanya Eva setelah tawanya reda.
"Bisa pake jins nggak ke acara ini ?"
"Ya nggak bisalah. Ini acara formal, Ben."
"Mesti pake jas dan dasi segala, gitu" Nggak deh, makasih. Aku bisa keringatan kayak ayam
panggang dengan suhu seperti ini.
"Dude, apa kamu pikir kita hidup di zaman purba" Acaranya di dalam gedung pake AC. Kalo
kamu nggak mau pake jas dan dasi, kamu selalu bisa pinjem kemeja batik Papa."
"Gila amat aku pake kemejanya Papa. Ev, kamu tahu kan Papa itu dua ukuran lebih kecil dari
pada aku?" "Masa sih?" "Papa pake ukuran M, aku XL," teriak Ben tidak sabaran.
"Ya udah, kalo gitu pinjem kemeja Martin," balas Eva santai.
Dan sumpah mati Ben ingin mentransfer dirinya ke ujung saluran telepon untuk mencekik Eva.
Dia tidak percaya Eva baru saja menawarkan itu. Eva tahu betul perasaannya tentang gaya
berpakaian Martin, yang menurutnya banci nggak ketolongan.dia pernah melihat laki-laki itu
pakai celana pendek warna pink. PINK!!! Dia lebih baik pergi ke acara ini hanya mengenakan
celana dalam daripada harus meminjam kemeja Martin.
"Ev, kamu mau aku pergi ke acara ini apa nggak sih?"
"Tentu aja mau."
"Kalo gitu jangan ngusulin yang nggak-nggak kayak begini dong."
"Ya udah, kalo gitu kamu maunya gimana?"
"Apa celana panjang hitam dan kemeja putih bisa di terima?"
"Bisa sih bisa, kalo kamu mau disangka-sangka pelayan di acara ini. Sekalian aja tambahin dasi
kupu-kupu, Ben." "That"s it, I"m hanging up. Minta tolong kok malah ngeledekin melulu."
"Eh, Ben, Ben" tunggu, tunggu. Sori, sori. Sumpah, aku nggak akan ngeledek kamu lagi.
Sekarang kita serius. Kalo kamu bantuin aku kali ini, aku bakal utang sama kamu. Kamu bisa
minta apa aja dari aku, kapan aja"."
Ben tidak berkata-kata selama semenit, membiarkan Eva menyogoknya dengan segala macam
hal. Bukannya dia perlu disogok untuk membantu keluarga, tapi dia tidak akan menolak
kesempatan menjaili Eva. "Oke, fine, I"ll go. Aku akan pake kemeja warna lain, tapi aku nggak akan pake jas atau dasi.
Setuju?" "Setuju." "Dan satu hari nanti kalo aku nelepon untuk minta tolong, nggak peduli itu untuk ngapain atau
jam berapa, kamu harus siap."
"Whatever you want, little brother," janji Eva.
BAB 5 Don"t say it Don"t call me out Don"t be late Don"t make a sound Get it ready Get it out Jana sudah tidak bisa merasakan kakinya lagi, padahal belum dimulai. Setelah harus berjalan
kaki melewati pelataran parkir dan mall untuk mencapai lokasi ini dan berdiri selama setengah
jam berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak dia kenal sama sekali, dia rasanya ingin
melempar sepatu hak mahal yang dikenakannya malam itu. Pertanyaan yang berputar-putar di
kepalanya adalah: "Orang gila mana yang mendesain sepatu setidak nyaman ini?" yang diikuti
oleh: "Orang gila mana yang sudah membeli sepatu ini?" Jawaban dari pertanyaan kedua inilah
yang membuatnya kesal tujuh turunan.
Ugh!!! Dia betul-betul akan membunuh Papi karena memaksanya melakukan ini. Betul-betul
membunuhnya, bukan hanya mengancam akan membunuhnya kemudian mundur pada detikdetik terakhir. Kali ini dia serius. Kalau hakim bertanya kenapa dia melakukannya, dia akan
berkata, "That crazy old man had it coming." God, sejak kapan dia jadi seganas ini" Dia betulbetul perlu melepaskan sepatu ini.
"Bu Jana nggak pa-pa?" Tanya Caca yang dia geret untuk menemaninya malam ini, yang kini
sedang menatapnya prihatin.
Jana hanya tersenyum penuh keyakinan dan mengangguk. Dia harus menelan
ketidaknyamanannya karena tidak mau membuat Caca, yang kelihatan seperti anak hilang di
tengah keramaian orang-orang paling ngetop Indonesia setelah presiden RI, semakin gugup.
Rntah berapa kali dia melihat Caca melarikan tangannya pada gaun malamnya, merapikan
kekusutan yang hanya bisa dilihat olehnya.
"Makasih ya udah mau nemenin saya ke acara ini," ucap Jana." Kita Cuma perlu ada di sini
sekitar sejam, supaya panitia setidak-tidaknya tahu ada perwakilan dari Oetomo Jaya mala mini,
habis itu kita bisa pulang."
Caca hanya mengangguk. Pada detik itu pintu ballroom di buka dan para tamu perlahan-lahan
menuju meja yang sudah disediakan. Dia dan Caca kedapatan duduk satu meja dengan delapan
orang lainnya yang rata-rata bisa dikategorikan manula. Jana mengenali mantan gubernur DKI
dengan istri dan seorang bintang film senior dengan suami. Setelah melalui proses perkenalan.
Jana juga tahu bahwa pasangan yang duduk persis di sebelahnya adalah pemilik pasar swalayan
terbesar di Indonesia dengan anaknya, dan pasangan yang duduk berseberangan dengannya
adalah mantan rector sebuah universitas di Jakarta dengan istrinya.
Mereka hamper kehabisan topic pembicaraan ketika MC acara meminta para tamu untuk segera
duduk di tempat yang sudah disediakan karena acara akan segera dimulai. Menurut agenda, acara
penggalangan dana yang mencakup makan malam ini akan dimulai dengan beberapa pidato,
diikuti persembahan lagu dari beberapa penyanyi ternama dan ditutup oleh acara lelang. Selain
penjualan sepiring makan malam yang harganya lebih mahal daripada emas sepuluh gram, dana
juga akan digalang dari hasil penjualan barang lelang. Daftar barang yang akan dilelang sudah
diselipkan bersama undangan, jadi para tamu/penawar bisa memutuskan pilihan mereka
sebelumnya. Jana sudah menandai beberapa barang yang dia inginkan untuk diberikan kepada
Caca sebagai tanda terima kasih karena sudah menemaninya malam ini.
Dia baru saja akan menelepon Mami yang malam ini bersedia menjaga Raka dan Erga untuk
menanyakan kabar anak-anak ketika lampu ruangan meredup dan sebuah video mulai
ditayangkan pada beberapa layar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Jana memutuskan
menunda teleponnya hingga makanan pembuka dihidangkan.
*** "I can"t believe me"re late," ucap Eva sambil bergegas menuju ballroom tempat acara diadakan.
"Jangan salahin aku. Aku udah siap di jam yang kita setujui, kamunya aja yang telat jemput
aku," balas Ben. "Ben, bukan nyalahin kamu, aku Cuma bingung aja kok bisa aku salah hitung waktu."
Ben hanya memutar bola matanya mendengar ucapan Eva. Sumpah mati, dia nggak pernah
ketemu orang paling nggak bisa tepat waktu seperti kakaknya ini. Kalau dia bilang akan ketemu
jam 17.00, itu berarti paling cepat dia baru akan muncul jam 18.00. dan malam ini Eva dan
sopirnya baru muncul pukul 18.30. tentu saja mereka terlambat ke acara yang sudah dijadwalkan
untuk mulai pukul 20.00. dia saja yang sudah lama tidak tinggal di Jakarta tahu betapa macetnya
Jakarta pada sabtu malam. Selama ini dia pikir Eva sudah sembuh dari penyakit tukang telatnya
itu, ternyata belum. Begitu mereka tiba di meja penerimaan tamu dan Eva memberikan undangannya, salah satu staf
langsung melokasi meja mereka dari laptop dan menggiring mereka masuk ke dalam ballroom.
Ruangan sudah gelap, tapi untungnya sebuah video sedang ditayangkan, jadi mereka memiliki
cukup penerangan untuk mencapai meja mereka tanpa tersandung, sayangnya, itu tidak
menjamin Eva tidak melibas beberapa orang dengan selendangnya ketika melewati mereka. Ben
mengucapkan kata maafnya untuk Eva sementara Eva berlalu begitu saja, tanpa menyadari
kekacauan yang ditinggalkannya.
Begiru mereka sampai di meja yang berada di tengah, tiga baris dari panggung, Ben buru-buru
meminta Eva untuk duduk agar tidak menghalangi tamu-tamu lain yang sedang menonton video.
Begitu bokongnya bersentuhan dengan bantalan kursi, video berakhir dan lampu kembali
menyala yang diikuti tepukan meriah para tamu. Ben menyadari bahwa acara ini lebih besarbesaran daripada yang dia sangka. Ruangan dipenuhi oleh setidak-tidaknya lima puluh meja
dengan sepuluh orang setiap mejanya dan dari apa yang dia lihat, semua tamu berpakaian
superformal. Yang laki-laki mengenakan jas dan dasi, sementara para wanita mengenakan gaun
malam. "Kayaknya aku underdressed deh," bisik Ben pada Eva yang sekarang sedang membaca menu.
"Kan aku udah bilang ke kamu acaranya formal," balas Eva cuek tanpa mengalihkan tatapannya
dari menu. Pada saat itu MC mengundang seseorang untuk memberikan pidato pembuka dan Ben menahan
diri dari memberikan komentar lebih lanjut.
acara sudah berlangsung setengah jalan dan Jana harus akui bahwa dia cukup menikmati malam
ini dan sepertinya Caca merasakan hal yang sama, seperti yang dilihatnya dari wajah penuh
senyum yang diperlihatkan asistennya itu. Di luar perkiraannya, makanan yang dihidangkan
cukup enak, pengisi acaranya sangat ramah. Berbeda sekali dengan perkiraannya tentang orangorang kaya pada umumnya. Dia tahu komentar ini terdengar aneh datang darinya, Karena dia
tahu banyak orang mengkategorikan keluarganya sebagai keluarga kaya. Sesuatu yang sangat dia
sesali. Sejujurnya kalau diberikan pilihan, dia akan memilih tidak memiliki uang tapi bebas
melakukan apa saja yang dia mau daripada punya uang segambreng tapi terkekang.
Nama, uang, dan jabatan adalah hal-hal yang tidak pernah dia pahami pesonanya. Dia tahu
banyak orang akan menilai orang lain dari nama belakang mereka, berapa banyak uang dan apa
jabatan yang dimiliki oleh orang tersebut, termasuk Mami dan Papi. Dia ingat bagaimana
orangtuanya selalu memonitor teman-temannya di sekolah. Mami akan mengajukan pertanyaan
seperti: "Siapa namanya?", "Rumahnya di mana?", "Apa pekerjaan orangtua mereka?", sebelum
kemudian meminta Jana mengundang mereka datang ke rumah agar beliau bisa menilai mereka
langsung. *** Mengundang teman-temannya ke rumah adalah pengalaman paling tidak mengenakkan yang
pernah dia alami dan dia yakin Nadia, Adri, dan Dara, ketiga sobatnya waktu SMP, juga
merasakan hal yang sama. Itu adalah kunjungan pertama dan terakhir mereka ke rumahnya.
Karena sikap kedua orangtuanya inilah sampai sekarang Jana masih mengalami masalah
menyukai orang-orang yang memiliki uang, dia takut mereka juga akan sesombong orangtuanya.
Di depan cermin di dalam toilet wanita, Jana menaburkan bedak pada hidungnya. Toilet itu sepi,
hanya ada dirinya dan seseorang lagi yang sekarang sedang mengeringkan tangannya dengan
handuk. Tidak lama kemudian orang itu pun meninggalkan toilet. Jana sedang memasukkan
bedak compact-nya ke dalam tas ketika pintu toilet terbuka dengan sedikit bantingan dan seorang
wanita dengan gaun malam berwarna hijau tergesa-gesa menuju salah satu kubikel yang tersedia.
Dia sedang mencuci tangan ketika wanita itu keluar beberapa menit kemudian dari kubikel
dengan wajah lega. Tatapan mereka sempat bertemu di permukaan cermin dan mereka sama-sama tersenyum
sebelum wanita itu mengalihkan perhatiannya untuk mencuci tangannya. Entah kenapa, ada
sesuatu yang familier dengan wanita ini. Apa dia pernah bertemu dengannya sebelumnya" Tapi
kalau mereka ketemu, kenapa wanita itu tidak kelihatan mengenalinya sama sekali" Jana harus
segera memalingkan wajahnya dengan sedikit malu ketika tertangkap basah memandang wanita
itu. "Apa ada yang salah dengan baju saya?" Tanya wanita itu sedetik kemudian sambil kemudian
menunduk untuk memeriksa gaunnya.
"Oh, ng-ngak, nggak ada."
"Ada yang salah sama make-up saya?"Tanya wanita itu lagi, kini mendekatkan wajahnya pada
cermin dan memeriksa wajahnya.
"Nggak ada," ucap Jana sekali lagi.
Wanita itu menarik wajahnya dari depan cermin dan mengeringkan tangannya. Jana berdebat
dengan diri sendiri. Tanya, nggak, Tanya, nggak, Tanya, Tanya! Tanya!! Nggak bisalah, gila apa
gue?"!! Kalo nanti dia bilang nggak kenal, muke gue mau ditaro di mana"!
"Have we met?" Jana tidak tahu bagaimana pertanyaan itu bisa keluar dari mulutnya, tapi itulah
kenyataannya, dan ternyata itu tidak sememalukan yang dia bayangkan."
Wanita itu kelihatan mempertimbangkan pertanyaannya sejenak, sebelum berkata, "I don"t think
so," dengan senyum bingung dan penuh maaf.
Ternyata penilaian dia sebelumnya tentang kejadian ini salah. Ini jauh lebih memalukan daripada
yang dia bayangkan. Bahkan mengalahkan malu yang dia rasakan ketika salah satu cowok di
kelasnya mendapati ada bercak merah tepat di area bokong pada rok putih SMP yang di
kenakannya. Dia rasanya ingin lari keluar dari toilet sambil menagis tersedu-sedu saking
malunya, namun nyatanya Jana justru berkata, "Maaf, saya salah orang," sebelum bergegas
meninggalkan toilet dengan wajah kebakaran.
"Aku nggak tahu gimana kamu bisa ngebujuk aku untuk beli satu set peralatan make-up," ucap
Ben dengan nada ngedumel sambil melangkah keluar dari ballroom.
"Emangnya kenapa?"
"Apa kamu nggak lihat tampang bapak-bapak yang duduk di seberang aku" Dia pikir aku banci."
Eva hanya melambaikan tangannya santai seakan kekhawatiran itu tidak berdasar. Well, Eva sih
bisa santai, dia berhasil mendapatkan barang kekang yang diinginkannya. Sebuah lukisan dari
salah satu pelukis muda Indonesia yang sedang naik daun. Sedangkan Ben" Jangankan pakai
make-up, pakai sabun muka saja dia nggak pernah.
"Kamu sengaja ya bikin aku nmawar barang itu?" Tanya Ben curiga.
"Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin," balas Eva.
Tapi Ben tahu kakaknya berbohong karena dia menolak menatapnya. "Kamu ngebiarin aku
ikutan nawar, karena kamu tahu aku akan ngasih iru ke kamu kalo aku sampe menang. Well,
newsflash untuk kamu. Rencana kamu gagal total. Aku akan ngasih itu ke Mama, bukan ke
kamu." "You wouldn"t," ucap Eva terkejut dan dengan begitu mengonfirmasi kecurigaan Ben.
"Yes, I would."
Eva langsung cemberut, "God, terkadang aku suka Tanya ke diri aku sendiri, kenapa aku repotrepot ganti popok kamu waktu kecil kalo kamu akhirnya jadi kayak begini."
"Oh, please. Waktu itu kamu masih terlalu kecil untuk ganti popok kecil aku. Kamu aja mungkin
masih pake popok waktu aku lahir."
"Ben?" "Ya, Ev?" "Shut up." Mereka berdiri di depan pintu lift dengan tamu-tamu lain yang sekarang sedang menatap
keduanya sambil senyum-senyum karena mendengar perdebatan barusan. Ben sedang nyengir
kepada mereka untuk menandakan bahwa perdebatannya dengan Eva hanya bercanda ketika dari
sudut matanya dia menangkap gerakan yang membuatnya menoleh. Tatapannya jatuh kepada
seorang wanita yang berdiri sekitar sepuluh meter darinya. Dia hanya bisa melihat punggung
wanita itu. Entah kenapa, dia tidak bisa mengalihkan perhatiannya darinya. Keinginan agar
wanita itu menoleh supaya dia bisa melihat wajahnya mulai menggerogotinya. Semakin lama dia
memperhatikannya, semakin dia sadar bahwa ada sesuatu yang sangat familier tentang wanita
itu. Dan pada saat itulah dia mendengarnya tertawa dan dia tertegun.
*** Tawa itu. Dia akan selalu mengenalinya di mana pun. Hanya ada satu orang yang bisa
mengeluarkan tawa lepas seperti itu. JANA. Tanpa Ben sadari, dia sudah memutar tubuhnya agar
bisa menatap wanita itu dengan lebih seksama. Eva yang kini posisi berdirinya jadi agak
terhimpit menatapnya sambil menaikkan alis penuh tanda Tanya, tapi Ben tidak
menghiraukannya dan kembali menatap wanita itu. Mungkinkah itu Jana" Nggak, nggak
mungkin. Dia nggak mungkin seberuntung itu. dia sudah mencarinya selama delapan tahun
belakangan ini tanpa hasil dan tiba-tiba dia bertemu dengannya begitu saja mala mini" Come on,
Ben, bahkan sang Pangeran selalu akan menghadapi naga, ibu tiri jahat, dan tanaman liar
pemakan manusia terlebih dahulu sebelum akhirnya bertemu sang Putri.
DAMN!!! Kenapa juga gue jadi mikirin plot cerita dongeng" Ben mengomeli dirinya sendiri.
"Maybe I"m gay" adalah hal selanjutnya yang terlintas di kepalanya. DAMN, DAMN, DAMN!
Stop it. Perhatiannya kembali kepada wanita itu. Dalam hati dia memohon agar wanita itu memang Jana,
tapi sebagian lagi menginginkan dia sedang berhalusinasi. Pada saat itulah dia mendapat ide
brilian. Ben mengeluarkan ponselnya dan dengan jempolnya menggulir daftar nama pada contact
list sampai dia menemukan nama Jana sebelum menekan tombol call. Dia mengembuskan napas
dan mendekatkan ponsel itu pada daun telinganya.
"Kamu lagi nelepon siapa, Ben?" Tanya Eva.
Ben hanya mengangkat tangannya sebagai tanda dia akan menjelaskan nanti. Perhatiannya tetap
menempel kepada wanita itu, yang akhirnya mengakhiri percakapannya dengan teman bicaranya
ketika Ben mendengar ujung saluran selulernya berdering. Dan kejadian selanjutnya seakan
bergerak dalam slow motion. Samar-samar dia mendengar bunyi telepon bordering di seberang
ruangan kemudian wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Dan detik selanjutnya dia
mendengar sebuah suara berkata, "Halo," dari speaker telepon.
Suara itu. Suara yang terakhir kali didengarnya delapan tahun yang lalu. Ben tidak bisa bernapas,
apalagi berpikir. Semua suara jadi redup dan yang didengarnya hanyalah detak jantungnya yang
menggila. Tatapannya terfokus kepada sumber suara itu dan dunia seakan berhenti berputar.
Sekali lagi dia mendengar suara itu mengucapkan "halo", kali ini dengan nada sedikit tidak
sabar. "Jana." Ben bahkan tidak tahu bahwa dia sudah mengucapkan nama itu ketika mendengar
balasannya. "Ya, ini Jana. Siapa ini?"
HOLY SHIT! Ini memang Jana. Betul-betul Jana, bukan halusinasinya.
Pada detik itu pintu lift terbuka dan semua orang bergerak memasukinya, otomatis mendorong
Ben ke belakang. Tanpa pikir panjang Ben langsung menarik Eva ke samping, menghindari
serbuan orang-orang yang mau menaiki lift. Kemudian, tanpa penjelasan apa-apa, dia melangkah
cepat, setengah berlari menuju Jana, meninggalkan Eva di dekat lift. Dia tidak berhenti hingga
dia berdiri persis di belakang Jana. Dia menarik napas dan menyapa wanita yang memegang
separo hatinya itu. Jana baru saja selesai berpamitan dengan istri sang mantan rector, yang sekarang dia tahu
bernama Ibu Sumarsono, ketika ponselnya bordering. Dia buru-buru merogohnya dari clutch,
takut itu Mami. Nomor tidak dikenal terpampang pada layar dan dia mempertimbangkan untuk
membiarkan voicemail menjawabnya, tapi akhirnya memutuskan menjawab, takut emergency.
Sebuah suara yang terdengar agak aneh mengucapkan namanya dan Jana langsung
mengonfirmasinya sebelum balik menanyakan identitas orang tersebut, tapi tidak ada jawaban,
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian sambungan terputus. Jana menatap ponselnya dengan sedikit bingung sebelum
memasukkannya kembali ke dalam clutch. Dia baru sja akan mengajak Caca pulang ketika
mendengar seseorang di belakangnya memanggil namanya. Otomatis dia langsung berbalik dan
bertatapan langsung dengan Ben.
*** Ben, cowok yang sudah membuatnya merasa aman dan nyaman hanya dengan berada di sisinya,
membimbingnya jadi dewasa, dan mengajarkannya arti dicintai dan mencintai. Ben jugalah
cowok bajingan, anak setan, all around bastard yang sudah dia tinggalkan delapan tahun lalu
setelah dia menginjak-injak harga diri dan hatinya. What the hell is he doing here?""!!
"Hi," ucap Ben yang kini sedang tersenyum lebar.
Jana tidak bisa bernapas ketika melihat senyum itu. Jangankan ingat kenapa dia marah pada Ben,
dia bahkan tidak ingat namanya sendiri. DAMN!!! Bagaimana mungkin setelah bertahun-tahun
ini dan setelah apa yang dia sudah lakukan terhadapnya, Ben masih memiliki efek seperti ini
terhadapnya" Tanpa dia sadari, matanya sudah berlari dari ujung rambut, hingga ujung kaki Ben
sebelum kembali lagi ke wajahnya. DOUBLE DAMN!!! Dunia betul-betul tidak adil. Ben
bahkan kelihatan lebih yummy lagi daripada delapan tahun yang lalu. Dia mengenakan kemeja
biru muda dan celana hitam yang jatuh dengan sempurna pada tubuhnya. Entah bagaimana, Ben
kelihatan jauh lebih tinggi dan besar daripada dulu. Rambutnya juga lebih pendek dari terakhir
kali Jana melihatnya. Dan meskipun Jana menyayangkan itu, karena dia ingat betapa dia senang
melarikan jari-jarinya pada rambut Ben, tapi dia harus akui Ben kelihatan lebih cocok dengan
potongan yang sekarang. Ditambah dengan wajah yang ditutupi sedikit jenggot, Ben kelihatan
hot as hell. Seperti yang Jana lakukan, Ben juga melakukan hal yang sama terhadapnya. Dia melarikan
matanya ke rambut, mata, bibir, sebelum menghabiskan waktu agak lama pada dada dan pinggul
Jana. Tatapannya kemudian jatuh ke kakinya yang terpampang jelas karena gaun hitamnya
berhenti tepat di lutut. Terakhir, tatapannya jatuh pada sepatu yang dikenakannya. Jana rasanya
mau mati saja. Dia berharap dia masih kelihatan selangsing dan semenarik dulu, sesuatu yang
sangat tidak mungkin mengingat dia sudah melahirkan anak kembar laki-laki yang menyedot
semua hormone seksinya. Dia ingat payudaranya sudah turun, lengan atasnya sudah tidak
sekencang dulu, dan garis-garis stretch marks yang sekarang menjalari perut dan bokongnya.
Untuk pertama kalinya, dia menyesali kemalasannya berolahraga. Detik selanjutnya dia
memarahi diri sendiri karena mengkhawatirkan pendapat Ben tentangnya.
"You look good, Jan."
Oke, mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi apa suara Ben terdengar serak ketika mengatakan
itu" Sekilas, tatapan Ben kelihatan seperti orang kelaparan yang siap melahap steak di
hadapannya. Dan Jana terkejut ketika menyadari bahwa steak itu adalah dirinya. Saking
terkejutnya, dia tidak tahu apa dia harus merasa tersanjung atau tersinggung dengan tingkah laku
Ben ini. Yang ada dia hanya bisa menganga, kemudian dia sadar diri dan mulai ngedumel dalam
hati. Is he serious" Berani-beraninya dia menggodanya" Apa dia pikir bahwa dengan satu
senyum dan pujian, Jana bisa melupakan apa yang sudah terjadi di antara mereka" Well, laki-laki
ini sinting kalau dia punya pikiran seperti itu.
Tanpa bisa menahan kemarahan yang mulai menderu memenuhi dadanya, Jana berkata sinis,
"Well, you still look loke an asshole, Ben."
BAB 6 I"ve been up all night drinking
To drown my sorrow down Ben tahu pasti ada yang salah dengan dirinya ketika bukannya merasa tersinggung dengan katakata Jana, dia malah ingin menciumnya. Kata-kata hinaan itu terdengar seksi keluar dari bibir
Jana yang malam ini berwarna merah darah. Dia ingin membuat lipstik Jana berlepotan dengan
melarikan bibir, lidah, dan giginya pada bibir itu. Kemudian, setelah puas membuat bibir itu
bengkak, dia akan menyerang bagian tubuh Jana yang lain. Di mulai dari payudara yang
kelihatan lebih besar dan berisi daripada yang dia ingat. Yes, dia adalah laki-laki pecinta
payudara dan tidak malu mengakuinya. Banyak laki-laki yang terobsesi dengan kaki atau bokong
perempuan, tapi dia" Dia bisa hidup bahagia hanya dengan sepasang payudara.
This is not good!!! Dia harus menjauhkan diri dari segala hal yang berhubungan dengan
payudara, terutama payudara milik Jana. Dengan susah payah Ben memaksa matanya kembali
pada wajah Jana.wajah itu masih secantik yang dia ingat. Selain bibirnya yang merah, hanya ada
make-up tipis yang memberikan aksen pada tulang wajahnya. Jana memang tidak pernah suka
mengenakan make-up, lebih memilih penampilan natural, sesuatu yang Ben syukuri karena pada
saat ini dia tidak mau laki-laki lain menyadari betapa cantiknya Jana dan membajaknya darinya.
Setelah delapan tahun, dia masih menginginkan Jana seperti pada hari pertama dia bertemu
dengannya. Kenyataan ini dan kata-kata Jana yang mengatakan dia masih kelihatan seperti
bajingan membuatnya tertawa kencang, dengan kepala terlempar ke belakang segala. Dia tidak
Si Rajawali Sakti 1 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Gadis Penunggu Jenazah 3
PROLOG Ben, You are an asshole. I don"t know why I have ever thought that my world revolves around you,
that I love you and that you felt the same way. It took you abandoning me when I needed you the
most to realize that I meant NOTHING to you. So, thank you for opening my eyes to who you
really are before I wasted any more of my life with someone like you.
Jana PS: Don"t worry,I"ve taken care of "our fuck-up" (as you called our baby), just like you asked
me to. BAB 1 Let me know that I"ve done wrong
When I"ve known this all along
I go around a time or two
Just to waste my time with you
Sekali lagi Ben memfokuskan perhatiannya pada layar laptop di hadapannya, tapi dia mengalami
masalah berkonsentrasi. Bintik-bintik keringat mulai bermunculan pada keningnya dan kaus
yang dikenakannya sudah lembap dan lengket ke punggung. Tubuhnya yang lebih dari sepuluh
tahun ini sudah terbiasa dengan suhu lebih dingin, mengalami masalah menyesuaikan diri
dengan Jakarta yang panasnya setengah mampus. Dia bisa saja masuk ke dalam rumah dan
menyalakan AC, tapi dia menolak menjadi orang seperti itu. Yaitu orang Indonesia sok bule
yang nggak tahan sama Indonesia padahal besar di Indonesia. Akhirnya dia memaksakan diri
tetap duduk di teras belakang dan memohon kepada Tuhan agar meniupkan angin untuknya.
Lima menit kemudian Ben menyerah setelah sadar keringatnya sudah menetes ke keyboard
laptop. Ugh, gross!!! Buru-buru dilapnya keyboard itu dengan bagian bawah kausnya sebelum
menutup laptop dan mendorongnya ke tengah meja. Diusapnya kedua matanya sambil mendesah
panjang. Dia baru berada di Jakarta selama seminggu, yang berarti bahwa masih ada tiga minggu
lagi sebelum harus kembali ke Amerika. Itu berarti tiga minggu penuh dengan kepanasan,
keringat yang sampai menetes ke mana-mana, dan mandi tiga kali sehari supaya nggak mabok
dengan bau keringat sendiri.
"why, oh, why I here?" gumam Ben sambil menggunakan lengan kaus yang dikenakannya untuk
menyeka keringat yang mengalir ke pelipis.
Oh right, because I"m an idiot, omel Ben dalam hati.
Seorang idiot yang masih stuck sama cewek yang sudah tidak di temui selama delapan tahun.
Cewek yang sudah dihamili. Dan bukannya bertanggung jawab dengan menikahinya, dia malah
meminta cewek itu menggugurkan kandungannya, Cuma karena dia nggak siap menjadi seorang
ayah. Yeah, bukan saja dia seorang idiot, tapi juga seorang "chicken" yang lari dari tanggung
jawab. Dia masih ingat betul kejadian sore itu, ketika Jana datang ke apartemennya untuk
memberitahukan kehamilannya, yang kini dia sadari merupakan kejadian terpenting dalam
hidupnya. And he screwed that up, bad
*** "You can"t be pregnant," ucapnya tidak percaya
"Hellooo" emangnya kamu piker apa yang bakal kejadian kalo kita have sex tanpa kondom?"
Dia tidak menghiraukan nada sinis Jana, dan bertanya, "How far along are you?"
"Lima minggu" Dia melakukan perhitungan di dalam kepalanya untuk mengingat tanggal yang tepat kapan benih
bayi itu ditanamkan dalam rahim Jana. Ketika dia mendapatkannya, dia langsung berkata dengan
nada menuduh, "Tapi kamu bilang malam itu nggak pa-pa. kalo tubuh kamu lagi nggak fertile."
"Jelas-jelas hitungan aku salah, karena sekarang aku hamil. Lagian juga hitungan itu kan nggak
bisa dijadiin jaminan seratus persen."
"Whaaattt?""!!! Kamu seharusnya bilang ke aku!!!"
Jana menyedekapkan tangannya,tidak sabar. "Kamu kan lebih berpengalaman daripada aku
tentang hal-hal beginian, jadi seharusnya kamu yang lebih tau."
Ben mengangkat kedua tangannya dan menjalin jemarinya di belakang kepala. "Goooddd, aku
nggak percaya kamu ngebiarin ini kejadian," geram Ben sambil mondar-mandir di depan Jana.
"Ngebiar" Wait a second, are you blaming this on me?""!!!"
Suara Jana langsung melengking begitu dia memahami tuduhan itu. " Apa kamu pikir perempuan
bisa hamil sendiri?"
Untuk beberapa menit Ben tidak menjawab pertanyaan Jana, hanya mondar-mandir bingung.
Segala macam skenario hidup berkelebatan di kepalanya. Dalam Sembilan bulan, dia akan
masuk kantor sambil mendorong kereta bayi. Tatapan menghakimi yang diberikan rekan-rekan
kerja kepadanya karena sudah punya anak pada usia muda padahal baru mulai kerja membuatnya
panas-dingin. Dia baru berumur 22 tahun, for crying out loud. Masih seorang mahasiswa di
universitas dengan masa depan terbentang cerah di hadapannya. Masih ada banyak hal yang
ingin dia lakukan sebelum dia settle down, seperti bungee jumping di Hoover Dam, snorkeling di
Great Barrier Reef, backpacking keliling Eropa, dan hal-hal lainnya yang hanya bisa dilakukan
seseorang kalau mereka nggak punya anak.
Lebih dari itu semua, dia tidak bisa membayangkan betapa marah dan kecewanya Papa dan
Mama begitu mereka tahu bahwa anak laki-laki meraka satu-satunya, harapan penerus nma
keluarga yang sudah dikirim jauh-jauh ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan terbaik,
bukannya pulang ke tanah air dengan ijazah, justru dengan seorang pacar yang sedang
mengandung. DAMN IT!!! This can"t be happening to me.
*** Ini sama sekali nggak ada dalam rencananya. Dia seharusnya lulus kuliah dengan cum laude,
bekerja sebagai konsultan manajemen di salah satu kantor paling bonafide di Amerika dan baru
setelah kariernya mapan, dia akan memikirkan pernikahan. Dia bisa melihat masa depannya satu
per satu terlepas dari genggaman dan itu membuatnya panik.
Hanya ada satu solusi untuk ini semua. Bayi dan mencapai cita-cita tidak bisa hadir dalam
hidupnya pada saat bersamaan. Dan karena dia tidak mungkin mengesampingkan masa
depannya, maka satu-satunya jalan adalah untuk men-delete si "little fucker" yang memutuskan
bahwa dia ingin hadir sekarang, bukannya sepuluh tahun lagi, dan menghancurkan
kehidupannya. Dia hanya harus meyakinkan Jana agar menyetujui rencananya ini.
Ben berhenti mondar-mandir dan menatap Jana. "Jan,kamu harus gugurkan kandungan kamu,"
ucapnya. Jana tidak langsung membalas, hanya menatapnya dengan mata terbelalak saking kagetnya. Ben
berlutut dihadapannya dan merangkum wajahnya dengan dedua tangan.
" Aku nggak akan bisa kerja dan mengurus bayi pada saat bersamaan. Dan kamu tahu sendiri
kalo bayi itu perlu biaya. Biaya yang kita sama sekali nggak punya," bujuk Ben.
Jana menggigit bibirnya dan berkata pelan, "Kita bisa" bilang ke mami dan papiku."
"Dan diomeli abis-abisan sama mereka?" potong Ben ketus.
"come on, Jan, kamu nggak mungkin senaif itu, kan" Mereka akan menggoreng kamu hiduphidup kalo mereka tahu kamu hamil di luar nikah. Kamu bahkan nggak pernah cerita ke mereja
tentang aku." Dia kembali berdiri, memaksa Jana mendongak agar mata mereka bertemu. Jana kelihatan siap
menangis dan Ben, yang seumur hidupnya nggak pernah menyakiti cewek, ingin mengguncang
bahu Jana agar dia fokus pada dilema yang mereka sedang hadapi daripada tenggelam dalam
emosi yang nggak akan membantu sama sekali. God, help me!!!
Dia mencoba mengatur pernapasan dan emosinya sebelum berkata-kata lagi. "Ini jalan terbaik
untuk kita berdua. Kita terlalu muda untuk punya anak. Aku nggak siap jadi ayah, Jan. dan aku
yakin kalo kamu punya waktu untuk mikir, kamu akan sadar kalo kamu juga belum siap jadi ibu.
Kamu harus pikirin cita-cita kamu yang nggak akan jadi prioritas lagi dengan adanya anak ini."
"Tapi aku cinta sama anak ini, Ben. Ini anak kita. Hasil hubungan kita," rengek Jana.
Dan kesabaran Ben yang memang sudah tipis, habis sama sekali mendengar rengekan ini. Tanpa
bisa mengontrol diri lagi, dia mulai meneriaki Jana. "Gimana kamu bisa cinta sama dia?""!!!
Kalian bahkan belum ketemu. Aduh, Jan bisa nggak sih kamu buka mata kamu" Ini?" Ben
menunjuk perut Jana, "Cuma kecelakaan. Our fuck-up yang seharusnya nggak pernah kejadian!"
"I can"t believe you just called our baby that!" teriak Jana.
"But it is a fuck-up. You and the baby are fuck-ups yang sekarang sedang berusaha
menghancurkan hidupku!!!" Ben balas berteriak tidak kalah kerasnya.
Ben tahu omelannya sudah kelewat kasar ketika Jana langsung bangun dari sofa dan dengan
tergesa-gesa meraih ranselnya sebelum menuju pintu keluar.
"Jan?" Ben berusaha menarik lengan Jana
"Don"t touch me!" teriak Jana sambil mengibaskan sentuhan Ben san membuka pintu apartemen.
Udara dingin langsung menerpa, tapi Jana sepertinya tidak menyadarinya, karena dia tidak
menggigil sama sekali. "Baby, I"m sorry" I didn"t mean it." Ben sekali lagi meraih lengan Jana, yang kini
menyentakkannya. "Yes, you did."
"Jana, please"."
Jana langsung berbalik lalu mendesis sambil menunjuk wajah Ben dengan jari telunjuknya.
"Kamu pikir we"re fuck-ups" You know what" Fuck you, Ben. FUCK" YOU!"
Ben hanya bisa menatap Jana dengan mulut menganga. Inilah pertama kalinya dia mendengar
Jana menyumpah. Jana adalah jenis cewek pemalu dan selalu bertutur kata lembut. Satu kata
yang tepat untuk menggambarkannya ketika dia pertama kali bertemu dengannya adalah
"innocent". Itulah kualitas yang membuatnya tertarik dengannya, tapi lihatlah dia sekarang,
menyumpah kiri-kanan. God, dia seharusnya tidak pernah menyentuhnya. Dia tahu dari awal
bahwa dia, cowok yang dikenal sebagai "man-whore" kampus karena sudah tidur dengan hamper
setengah populasi murid perempuan, tidak berhak mendekati Jana, tapi itu tidak
menghentikannya dari menginginkan gadis itu. Dan lihatlah apa yang terjadi sekarang.
Belum sempat Ben menyela, Jana sudah meneriakkan, " We are done, Ben. Aku nggak mau lihat
muka kamu lagi." *** Dan itulah kata-kata terakhir kali dia berbicara sambil bertatap muka dengan Jana. Berkali-kali
dia berpikir bahwa kalau saja dia mengatasi masalah itu dengan lebih baik, maka Jana mungkin
masih berada di sisinya sekarang. Bagaimana mungkin dia dengan mudahnya menyalahkan Jana
atas apa yang terjadi" Dan dia sudah memanggil Jana dan bayi mereka "fuck-ups. Bagaimana
mungkin dia bisa mengucapkan itu kepada orang yang dia cintai dengan sepenuh hatinya"
Satu pergerakan pada sudut matanya menarik perhatiannya. "Ooommm Beeennn!!!" teriak Erik,
keponakannya yang berumur empat tahun itu.
Erik berlari kencang ke arahnya di atas dua kaki kecil,gendut, dan pendek. Tanpa undangan dia
langsung loncat ke pangkuannya, seakan-akan tubuhnya trampoline. Ketika kaki Erik dengan
tidak sengaja menginjak testikelnya, Ben langsung berteriak kesakitan. Detik selanjutnya dia
melihat Mama dan Eva, kakaknya, setengah berlari menujunya.
"Ben?" Tanya Mama khawatir, sedangkan Eva menatapnya dengan sedikit bingung.
Melihat oomnya meringis, Erik bertanya, "Oom Ben kenapa?" dengan nada prihatin.
Ben mengangkat tubuh Erik dan mendudukkannya di kursi sebelah dan dia langsung menangkup
testikelnya dengan dua tangan sambil membungkukkan tubuhnya. Dia mendengar Eva bertanya
apa yang telah terjadi, tapi dia hanya bisa mengangkat jari telunjuknya meminta satu menit.
"He stepped" on" my balls," jelas Ben akhirnya dengan sedikit terputus-putus.
Mama dan Eva langsung meledak tertawa dan Erik celingukan bingung. "Kok malah diketawain
sih" Sakit, tahu,"gerutu Ben yang setelah lima menit testikelnya masih nyut-nyutan.
Bukannya mengasihani, tawa Mama dan Eva justru semakin keras.
" Apa ini rebut-ribut siang-siang begini?" sebuah suara berat terdengar.
Melihat mbah kakungnya, Erik langsung berlari menuju beliau sambil berteriak, "Mbaaahhh,"
dengan sangat antusias. Ketika dia sudah cukup dekat, Erik melompat dengan kepercayaan vahwa mbahnya akan
menangkapnya, dan beliau memang melakukanny, lalu memutar-mutar cucu satu-satunya itu
hingga kedua kaki Erik melayang seperti ontang-anting.
"Pa, hati-hati, inget umur, nanti punggungnya sakit lagi lho kalo ngangkat yang berat-berat,"
Mama mencoba mengingatkan suaminya.
"Ver, aku ini belum setua itu," balas Papa, tapi dia berhenti memutar-mutar Erik dan
memutuskan untuk memeluk sambil memandikan berpuluh-puluh ciuman pada wajah cucunya.
Melihat Papa begitu relaks dengan keluaganya, nggak aka nada yang percaya bahwa beliau
adalah pengacara kawakan Indonesia yang cukup disegani, bahkan ditakuti oleh banyak orang.
"Hihihi" geli. Mbah belum cukur," ucap Erik sambil cekikikan dan mencoba menghindari
ciuman Papa. Puas telah menyiksa cucunya, Papa menurunkannya. Melihat Erik berjalan ke arahnya, Ben
segera berdiri. Testikelnya tidak akan bisa tahan kalau harus disiksa dua kali dalam satu hari ini.
Melihat oomnya tidak lagi duduk, oleh karena itu tidak bisa dijadikan trampoline lagi, Erik
menuju mbah putrinya. "Mbah, tebak, aku ngpain kemaren?" ucap Erik sambil menarik tangan kanan mbahnya dan
perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam rumah.
Mama kelihatan berpikir sejenak lalu berkata, "Pipis di celana?"
"Nggaaak," teriak Erik sambil tergelak. " Aku udah nggak pernah pipis di celana lagi."
"Oh ya" Wah, pinter ya cucu Mbah."
Papa mengikuti istri dan cucunya itu setelah menerima ciuman dari Eva, yang kemudian
mendekati Ben untuk mencium pipinya. Ben pun melakukan hal yang sama kepadanya.
"God, you"re so sweaty, Ben," ucap Eva sambil mengerutkan hidungnya.
"Yeah I know. Aku perlu ganti baju dulu sebelum makan siang," jawab Ben.
"Kayaknya mendingan mandi deh. Aku bisa pingsan nyium bau keringat kamu."
"I smell that bad?" Tanya Ben dengan wajah penuh horor dan dia menaikkan lengannya untuk
mencium ketiaknya. "Yes. Dan bisa nggak sih kamu nggak cium-cium ketiak kamu di depan aku" Bisa pingsan aku,"
balas Eva hanya untuk menggoda adiknya yang langsung permisi ke dalam rumah, dan
menghilang menuju kamar tidurnya di lantai atas.
Sebetulnya aroma tubuh Ben baik-baik saja, seperti Polo Sport, cologne yang telah dia gunakan
semenjak SMA, Eva hanya suka mengganggu adiknya ini setiap kali ada kesempatan. Setengah
jam kemudian Ben muncul dengan kaus baru dan wajah fresh. Harus Eva akui bahwa Ben adalah
adiknya dan dia merasa berkewajiban memujinya. Tidak sama sekali. Selama ini dia sudah
mendapat konfirmasi dari banyak orang tentang betapa gantengnya adiknya ini. Semenjak SMP
dan garis-garis wajahnya lebih menonjol, Ben harus belajar menghadapi perhatian cewek yang
berhamburan. Kepribadian ramah dan gampang diajak bicara juga menambahkan suatu aura
yang membuat semua orang lain ingin dekat dengannya.
Semua itu berubah ketika dia SMA dan nama Papa sebagai pengacara menjulang. Menurut
Mama, Ben jadi lebih pendiam dan sangat berhati-hati dalam bergaul karena takut orang hanya
akan mau bergaul dengannya karena dia anaknya Oscar Barata. Sifat ketidakpercayaan Ben
terhadap orang sedikit lebih relaks dan happy di sana. Untuk pertama kalinya Eva menemukan
keramahan Ben waktu SMP kembali lagi. Jadi masih juga belum menikah" Seingat Eva, dia
bahkan tidak pernah mengenalkan seorang pacar pun kepada keluarganya. Merasa agak sedikit
khawatir, dia akhirnya menanyakan hal ini kepadanya beberapa tahun yang lalu waktu dia
mengunjungi Ben di Chicago.
*** "So tell me, anything interesting going on in your life?" Tanya Eva sambil mengaduk-aduk
campuran lettuce, paprika, dan beberapa buah olive dengan dua spatula kayu.
"Nggak ada yang menarik, just normal. As usual," balas Ben sambil membalik dada ayam tanpa
kulit diatas panggangan. Eva melirik adiknya yang berusaha sebisa mungkin tidak menatapnya. Semenjak tiba lebih dari
dua minggu yang lalu,Eva mendapati perubahan pada diri Ben. Dia jauh lebih serius, bahkan
terlalu serius. Jadwal harian Ben penuh dengan kerja, kerja, dan kerja lagi. Bahkan pada akhir
minggu Eva menemukannya duduk di sofa ruang tamu dengan TV yang volumenya di-mute dan
tatapannya menempel pada laptop dipangkuannya.
"Omong-omong, aku udah di sini dua minggu kok masih belum dikenalin sama pacar kamu
sih?" pancing Eva sambil memercikkan merica ke salad.
Ben mendengus."Don"t have one."
"Oh, come on, how is that possible" Kamu kan ganteng, punya kerjaan yang mapan, lagi. Apa
lagi yang kurang coba" Unless you"re gay."
Eva yakin Ben nggak gay, karena dia menemukan majalah playboy di kamar tidurnya ketika dia
masuk ke sana beberapa hari yang lalu untuk membersihkannya, tapi bisa saja kan dia salah.
Banyak laki-laki gay yang nggak kelihatan gay sama sekali.
Dengan sangat hati-hati, Eva berbisik, "Are you gay" Karena kalo kamu emang gay, kamu tahu
kan kamu selalu bisa bilang ke aku" Aku nggak punya masalah sama sekali dengan orientasi
seksual kamu, Whatever that is. Kamu bisa suka perempuan atau laki-laki, atau dua-duanya, aku
nggak peduli, aku akan tetap support kamu."
"Aku nggak gay!!!" teriak Ben dengan penuh ketersinggungan.
"Jadi kenapa kamu masih juga belum punya istri?"
"Karena aku belum ketemu yang cocok, oke?"
"But, you are meeting women right?"
"What"s with all the questions?" Ben balik bertanya sambil membuka lemari es dan menuangkan
air putih ke dalam dua gelas sebelum menawarkan satu kepada Eva.
"Aku perhatiin kegiatan kamu sehari-hari Cuma kerja melulu, nggak ada yang lain." Eva
meminum seteguk air putihnya.
"Itu karena aku lagi ada proyek besar yang harus aku kelarin. Kalo aku berhasil, aku bakal naik
jabatan di kantor." "Tapi apa perlu kamu sampe terobsesi begitu" Dan biasanya Cuma ada dua alasan kenapa orang
terobsesi sama kerjaan mereka. Pertama, karena mereka mencoba membuktikan sesuatu, dan
yang kedua, karena mereka mencoba melarikan diri dari sesuatu."
Sejenak Ben kelihatan memikirkan kata-kata Eva, kemudian berkata, "Aku masuk ke dalam
kategori yang mana?"
"Yang kedua," jawab Eva pasti.
Ben mendengus. "Trust me, aku nggak sedang melarikan diri dari apa pun."
"I think you are. I mean, just look at you?"
"What"s wrong with me?"
"Everything. Kapan terakhir kali kamu in a committed relationship dengan seseorang
perempuan?" Tanpa pikir panjang Ben menjawab, "Sekitar setahun yang lalu."
"Really?" Eva betul-betul terkejut mendengarnya. Ben mengangguk lalu menenggak habis air
putihnya. "What happened?" lanjut Eva.
"Dia mutusin kalo dia udah bosen nunggu sampe aku ngelamar. Beberapa bulan yang lalu aku
diundang ke pesta pernikahannya dengan seorang pengusaha dari Alabama."
"That"s fast," gumam Eva.
"No, not really. Kalo emang udah ketemu yang cocok, kenapa harus nunggu lagi?"
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Udah berapa lama kamu pacaran sama dia?"
"Beberapa bulan." Ben mengangkat dada ayam yang sudah matang dari bakaran dan
meletakkannya ke atas dua piring makan.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dia ke aku?" Eva mengangkat baskom besar berisi
salad mereka dan berjalan menuju meja makan.
"Karena aku nggak ada rencana untuk nikahin dia," jawab Ben sambil mengangkat dua piring
yang penuh dengan makan malam mereka dan mengikuti Eva.
"Apa kamu pernah ketemu perempuan yang kamu mau kenalin ke keluarga kamu?" Eva duduk
di kursi makan dan menghadap Ben yang kelihatan sedang berkonsentrasi. Eva pikir dia akan
berkata "Ya", Tapi yang keluar justru, "Nggak."
Eva mengerutkan dahinya mengingat pembicaraan itu. Dia selalu ingin tahu siapa yang terlintas
di kepala Ben pada saat itu, sebelum dia memutuskan mengatakan"Nggak". Pikirannya buyar
pada detik itu karena Ben sudah berdiri di hadapannya, membuatnya sadar bahwa rambut Ben
agak basah. Tanpa bisa mengontrol diri dia sudah cekikikan. Ben langsung mengerutkan dahi
dan ketika sadar bahwa Eva sudah mengerjainya dengan berbohong mengenai bau badannya, dia
mendesis, "I will make you pay for this."
"Oh, come on Ben, don"t be mad. Aku Cuma bercanda, aku nggak nyangka kamu bakalan
keramas segala," ucap Eva sambil berjalan cepat mengejar Ben yang sudah berjalan
melewatinya. BAB 2 When we live such fragile lives
It"s the best way to survive
"Bunda akan hitung sampe tiga, kalo kalian belum turun juga, kalian bakalan jalan kaki ke
sekolah!" teriak Jana dari bawah tangga yang disusul teriakan-teriakan panik.
"Tunggu!!! Lho kok" kaus kaki aku di mana" Erga!!! Kamu ambil kaus kakiku, ya?" teriak
Raka. "Nggak kok. Aku udah ada," jawab Erga.
"Satu"," teriak Jana.
"Aggghhh". Tunggu!!! Kaus kaki Raka ilaaa"ng," teriak Raka lagi. Jana mendengar langkah
kecil berlari masuk kembali ke dalam kamar tidur.
"Pake yang lain aja kenapa sih?" Jana mendengar Erga sedikit mengomel.
"Aku nggak mau pake yang lain. Itu kaus kaki yang aku suka," jawab Raka.
"Sama aja. Sama-sama putih kok," balas Erga.
"Lain," Raka tetap bersikeras.
"Dua"," teriak Jana lagi sambil melirik jam tangannya. Sekarang sudah pukul 06.35. dia
mendongak ketika mendengar ada langkah halus sedang menuruni tangga. Erga terlihat rapi
dengan seragam sekolahnya.
"Raka mana?" Tanya Jana.
"Bentar lagi turun, lagi pake kaus kaki," ucap Erga lalu berjalan menuju lemari sepatu.
"Rakaaa!!! Panggil Jana.
"Bentar" bentar"," Raka menjawab sebelum kemudian tubuh kecilnya berlari menuruni
tangga. Lain dengan Erga, Raka masih terlihat berantakan. Rambutnya tidak disisir dengan rapi,
kemejanya sudah dimasukkan ke dalam celananya dengan asal dan kerahnya naik di bagian
belakang. "Dasinya mana?" Tanya Jana sambil menurunkan kerah kemeja Raka.
Raka langsung melirik Erga yang mengangguk kepalanya. "Ada di Erga," jawab Raka.
Jana mencoba melarikan jari-jarinya pada rambut Raka agar lebih rapi, tapi rambut keriting itu
menolak bekerja sama, sebelum melepaskan Raka berlari ke arah lemari sepatu.
"Lampu udah mati semua?" Tanya Jana.
"Dah," jawab Erga dan Raka bersamaan.
"AC?" Tanya Jana lagi.
"Dah," jawab Raka sambil mengenakan sepatunya.
"Yakin?" Tanya Jana. Raka mengangguk semangat.
"Ya udah, ayo berangkat. Kita udah telat ini," ucap Jana dan mematikan lampu ruang tamu. Dia
membuka pintu depan dan menunggu dengan sedikit tidak sabar hingga Raka selesai mengikat
tali sepatunya. Pukul 06.45 Erga dan Raka lari melewatinya sambil berteriak, "Aku duduk depan," pada saat
bersamaan. "Aku duduk depan, kamu kemaren udah duduk di depan," omel Erga.
"Tapi aku kemaren kan sakit, jadi Bunda kasih aku duduk depan," sangkal Raka.
"Kamu ngalah dong sekali-sekali. Minggir, sekarang giliran aku." Erga mencoba mendorong
Raka yang sedang mengadang di depan pintu penumpang mobil.
Jana hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka. Setelah mengunci pintu rumah
dan dia pun menaiki mobil dan menghidupkan mesin. Dia menurunkan kaca jendela bangku
penumpang dan berteriak," Bunda nggak peduli siapa yang duduk depan, tapi kalo kalian nggak
masuk sekarang juga, Bunda berangkat sendiri."
Dari kaca spion kiri Jana melihat Erga menundukkan kepalanya dan membuka pintu belakang,
sedangkan Raka membuka pintu depan dengan senyum penuh kemenangan. Mau tidak mau dia
tersenyum melihat anak-anaknya ini. Meskipun mereka adalah anak kembar dengan wajah sama
persis, tingkah laku mereka seperti bumi dan langit. Keduannya memang memliki kepandaian
jauh di atas rata-rata, tetapi secara emosi Erga jauh lebih dewasa daripada Raka. Sehingga
walaupun kadang-kadang Erga kelihatan sudah kehabisan kesabarannya mengahadapi Raka,
akhirnya dia selalu mengalah juga. Untungnya mereka masih berumur tujuh tahun jadi masih ada
beberapa tahun lagi sebelum mereka mulai pacaran. Jana berharap mereka setidak-tidaknya akan
memiliki selera yang jauh berbeda, sehingga tidak akan bertengkar rebutan cewek. Dia betulbetul tidak tahu bagaimana cara menengahi pertengkaran seperti itu.
Jana mengucap syukur karena lalu lintas cukup lancer untuk hari Rabu, sehingga mereka bisa
sampai di sekolah sebelum bel berbunyi. "Belajar yang tekun, ya," ucap Jana sambil mencium
pipi Raka dan Erga. "Jangan bandel. Bunda nggak mau dipanggil sama Kepala Sekolah lagi
gara-gara kalian disetrap. Oke?"
"Oke, Bunda," jawab Erga dan Raka bersamaan. Lalu mereka turun dari mobil dan berjalan
memasuki area sekolah sambil bergandengan tangan. Anak-anaknya tidak pernah berhenti
membuatnya terkesima, satu menit bertengkar sudah seperti perang dunia ketiga, tapi menit
selanjutnya mereka sudah adem-ayem seakan-akan pertengkaran tidak pernah terjadi.
*** Setelah satu lambaian tangan kepada mereka, Jana membawa mobilnya kembali ke jalan raya.
Hari ini jadwalnya superpadat. Ada proyek pembangunan mall baru di kawasan Mangga Dua dan
Bos sudah merongrongnya agar segera menyelesaikan desain bangunan. Kalau saja Minah,
pengasuh anak-anaknya tidak memutuskan menikah dengan sopir Jana sebulan yang lalu, dan
dua-duanya balik ke Jawa, Jana yakin pekerjannya tidak akan terbengkalai seperti sekarang. Dia
betul-betul tidak bisa berpikir dikelilingi oleh dua anak berumur tujuh tahun yang bandelnya
ngalah-ngalahin Dennis the menace. Satu hari setelah Minah pergi, dia dipanggil ke sekolah
karena Raja baru saja membuat salah satu temannya babak-belur. Ketika dia melihat Raka yang
tidak lebam sama sekali meskipun wajahnya agak sedikit merah dan temannya dengan seragam
agak robek dan hidung disumbat tisu karena mimisan, hal pertama yang terlintas di kepalanya
adalah: sejak kapan anaknya jadi preman sekolah"
Ketika Jana Tanya kenapa dia ngegebukin temannya, Raka hanya menjawab, "Abis Mark bilang
Erga banci, soalnya Erga nggak mau bales pukulannya. Banci itu bad word kan, Bunda" Mark
nggak boleh kan pake kata itu?" dengan jawaban seperti itu Jana tidak bisa memarahinya,
apalagi karena dia hanya mau membela harag diri kembarannya.
Lain waktu Jana di telepon oleh Asti, ibunya Bowin, salah satu teman Raka dan Erga, yang
mengundang mereka ke acara ulang tahunnya. Asti berteriak histeris di telepon dan memintanya
segera menjemput anak-anak dari rumahnya saat itu juga. Jana terpaksa meninggalkan rapat
dengan kontraktor dan datang secepat mungkin ke tempat kejadian. Dia baru saja turun dari
mobil ketika melihat beberapa anak yang basah dari ujung rambut hingga ujung kaki dan
diselubungi busa berwarna putih, berhamburan keluar dari rumah Asti. Buru-buru dia masuk ke
dalam rumah dan mengikuti jejak-jejak basah menuju kolam renang di halaman belakang.
"Jeng Jana, akhirnya sampai juga," teriak Asti masih histeris.
Jana mencoba tidak menghiraukan cara Asti menyapanya. Dia paling benci dipanggil "Jeng",
karena terkesan seperti ibu-ibu pejabat dengan sasakan supertinggi dan kalau bicara biasanya
menggunakan bahasa Jawa halus atau bahasa Belanda.
"Erga sama Raka baik-baik aja, kan?" Tanya Jana khawatir.
"Mereka sih nggak pa-pa, kolam renang saya yang bermasalah," balas Asti sambil
menggiringnya ke halaman belakang.
Langkah Jana langsung terhenti ketika melihat kolam renang berukuran kecil dan lebih cocok
disebut kiddy pool(tapi Asti, yang bangga sekali karena punya kolam di halaman rumahnya
menolak menyebutnya kiddy pool), sudah berlimpah busa warna putih.
"Erga sama Raka numpahin detergen ke dalam kolam," jelas Asti. "Saya lagi pergi ke dapur
sebentar untuk ambil minuman, waktu saya balik keadaan udah begini."
"Seberapa banyak yang ditumpahin?" Tanya Jana mencoba serius, padahal dalam hati dia ingin
ketawa. Dia tidak tahu dari mana Raka dan Erga mendapat darah kebandelan mereka, karena
jelas-jelas dia tidak pernah sebandel ini waktu SD.
"Cukup untuk membuat kolam renang saya jadi begini," jawab Asti sambil melambaikan
tangannya kea rah kolam renang dengan putus asa.
Tanpa meminta penjelasan lebih lanjut, Jana segera mencari Erga dan Raka lalu menggeret
mereka untuk meminta maaf kepada Asti dan Bowin Karena telah merusak acara ulang tahun itu.
"Saya minta maaf sekali soal ini. Tolong saya dikirimi tagihan untuk membersihkan kolam
renang," ucap Jana sambil menyodorkan kartu namanya kepada Asti.
"Jeng Jana, mohon maaf lho, Jeng, kalo saya lancing. Saya tahu anak-anak seumuran Raka dan
Erga memang suka bandel, tapi kok sepertinya mereka bandelnya luar biasa, ya?"
Jana mencoba tersenyum ketika mendengar komentar ini, meskipun dalam hati dia ingin
meneriaki Asti agar tidak mengata-ngatai anak-anaknya. "Biasanya mereka nggak sebandel ini,
tapi babysitter mereka baru berhenti dan saya belum dapat pengganti yang cocok untuk mereka,"
ucapnya semanis mungkin. "Saya tahu Jeng sibuk, tapi apa nggak bisa Jeng berhenti kerja untuk jagain mereka?" meskipun
nada Asti lembut, Jana mendengar ada nada sinis di dalamnya.
"Asti, saya ini single parent. Kalo saya berhenti kerja, itu berarti anak-anak saya nggak bisa
makan," ucap Jana ketus.
"Oh, Jeng, saya minta maaf. Saya nggak tahu."
Asti adalah jenis orang yang selalu mau tahu urusan orang lain, sehingga Jana hanya harus
menunggu lima detik sebelum Asti menanyakan pertanyaan selanjutnya. "Ayah mereka ada di
mana?" Jana mengembuskan napasnya sebelum menjawab, "Ayahnya anak-anak sudah lama
meninggal." Suatu kebohongan besar, dia bahkan tidak tahu keberadaan laki-laki yang sudah menghamilinya
itu. Mata Asti langsung terbelalak, dan sebelum dia bisa bertanya-tanya lagi, Jana langsung
memotong, "Maaf, saya harus buru-buru. Sekali lagi saya mohon maaf soal ini, tolong saya
ditelepon kalo tagihannya udah sampai."
Jana langsung meninggalkan Asti yang masih kelihatan penasaran. Dia tahu bahwa
kehidupannya adalah suatu misteri di antara para orangtua teman-teman anak-anaknya.
Kebanyakan dari mereka menyangka dia pasti menikah muda karena di umurnya yang baru 27
tahun dia sudah punya anak berumur tujuh tahun. Dia bahkan yakin bahwa beberapa dari mereka
menudingkan jari padanya sebagai korban MBA alias Married by Accident. Tetapi dia sudah
hidup dengan gossip-gosip itu semenjak kehamilannya dan dia sudah kebal.
Jana kembali menumpukan perhatiannya ke jalan raya menuju Rasuna Said. Dia memasuki area
bangunan kantornya dan berhenti di depan lobi. Joko langsung mengambil alih posisinya di
belakang setir. "Selamat pagi, Mbak," ucapnya.
"Pagi, Jok," balas Jana dan melangkah masuk ke bangunan kantor.
Jana memasuki ruang kerjanya tepat pukul 08.30. dia meletakkan tas di atas meja dan tidak lama
kemudian Caca, asistennya, melangkah masuk sambil membawa agendanya.
"Pagi, Bu," ucapnya. Jana hanya menggangguk dan duduk di kursi kerja.
"Ibu ada pertemuan dengan TO jam 09.30 untuk membicarakan tentang desain Mangga Dua; jam
11.30 ada pertemuan dengan Ibu Marlene tentang proyek di yogya. Saya udah minta Joko supaya
menjemput anak-anak dari sekolah nanti, jadi ibu nggak usah khawatir tentang itu. Dari jam
14.00 sampai 17.00 udah saya blok supaya nggak ada yang ganggu ibu di kantor."
*** Jana sudah terbiasa dengan keefesienan Caca dalam mengatur jadwalnya sehingga dia hanya
perlu mengangguk sebagai tanda setuju. Setelah Caca berlalu, Jana menyalakan komputer di
mejanya dan menunggu hingga wajah Erga dan Raka menghiasi layar sebelum menyerang
outlook. Untungnya tidak banyak e-mail yang harus dijawab. Pukul 09.25 dia melangkah menuju
ruang kerja TO, alias Tjakra Oetomo, bosnya. Tubuh pak Tjakra yang tinggi besar sedang berdiri
dihadapan beberapa maket gedung-gedung yang telah didesain oleh para arsitek dan dibangun
oleh kontraktor di bawah pengawasannya.
"Pagi, Pap," ucap Jana lalu mencium pipinya.
"Pagi, saying," sambut Papi dan membalas ciuman Jana.
"Ayo kita lihat desain kamu untuk Mangga Dua," lanjutnya.
Mereka berjalan menuju sebuah meja besar dan Jana membuka gulungan plan di genggamannya
untuk di periksa oleh Papi, yang langsung mengeluarkan kacamata baca dari kantong kemejanya.
Setelah menenggerkan kacamata pada batang hidunganya, Papi membungkuk dengan pulpen
merah di tangan kanan. Jana sadar bahwa untuk orang seumurannya, Papi masih kelihatan
superfit dan ganteng dengan gaya dandy ala Sean Connery. Banyak orang mengatakan Papi
orangnya "sulit" dan "keras" karena selalu menuntut yang terbaik dari semua orang, tetapi
selama ini orang selalu menuntut yang terbaik dari semua orang, tetapi selama ini orang selalu
menoleransi sikapnya karena dia adalah salah satu arsitek terbai di Indonesia. Papi, seperti juga
Eyang Kung, adalah pemegang tujuh puluh persen saham PT. Oetomo Jaya yang menguasai
bisnis konstruksi pembangunan gedung-gedung di area Jawa dan Bali. Di dalam keluarga
Oetomo hanya ada dua jenis karier, yaitu arsitektur dan teknik lanskap. Semenjak kecil Jana
sudah di persiapkan oleh keluarganya untuk bergabung dengan perusahaan turun-temurun ini.
Entah insiden horor apa yang akan terjadi kalau misalnya dia memutuskan berkarier di dunia
lain. Kemungkinan Papi akan langsung kena stroke.
Beberapa menit kemudian, setelah Papi puas dengan coretannya, beliau menegakkan tubuh.
Tangannya mendorong plan yang ketika di bentangkan di atas meja setengah jam lalu masih rapi
dan bersih, dan sekarang kelihatan seperti salah satu adegan film Texas Chainsaw Massacre, ke
arah Jana. Itulah Papi, semua orang yang berpikir beliau orangnya "sulit" dan "keras", jelas-jelas
nggak pernah merasakan jadi anaknya. Kedua kata itu terlalu lembut untuk menggambarkan
sikap Papi padanya. Di dalam kepala Jana, hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan Papi,
yaitu "Impossible". Tidak peduli apa yang Jana sudah capai di dalam hidupnya, Papi tidak akan
pernah puas. Sifat Papi itu semakin parah setelah Jana pulang dari Amerika, tanpa membawa
ijazah dan hamil. Mungkin kalau dia membawa laki-laki yang sudah menghamilinya pulang,
Papi dan Mami masih bisa menoleransinya. Masalahnya Jana yang saat itu patah hati dan suoer
pissed-off dengan bajingansatu itu tidak sudi mengucapkan namanya.
Percakapan yang dia miliki dengan kedua orangtuanya delapan tahun lalu terlintas di benaknya.
"Siapa yang menghamili kamu, Jana?" teriak Papi.
"Cowok yang aku kenal di frat party beberapa bulan yang lalu." Jawab Jana yang disambut
pekikan, "Oh, lord, help us," dari Mami yang kini menatapnya seakan-akan dia memiliki tanduk.
Sepertinya beliau tidak percaya anaknya yang diajar untuk menghadiri misa di gereja setiap
minggu berkelakuan seperti perempuan jalang.
"Namanya siapa?" Tanya Papi penuh selidik.
"I don"t know," jawab Jana.
"Kamu bahkan nggak tahu namanya?" Papi sudah berteriak lagi dan Mami mencoba
menenangkannya. Papi menghela napas dalam sebelum berkata-kata lagi. "Apa dia tahu kamu hamil?" tanyanya
dengan lebih tenang. "Pap, gimana dia bisa tahu" Aku bahkan nggak pernah ketemu dia lagi setelah malam itu."
Dalam hati Jana berharap dia tidak akan disambar petir karena sudah membohongi orangtua.
"Oh my God, Jana. Papi dan Mami membesarkan kamu lebih baik dari ini. Mami nggak percaya
kamu bisa sebegini teledornya dengan hidup kamu. Muka Papi dan Mami mau dikemanain kalo
tetangga sampe tahu kamu hamil tanpa suami?" ucap Mami yang kelihatan sudah siap menangis.
Sekarang giliran Papi mencoba menenangkan Mami sambil memberikan tatapan penuh tuduhan
kepada Jana. Kalau saja tatapan bisa membunuh, Jana pasti sudah mati berlumuran darah.
Setelah Mami lebih tenang, Papi berkata, "Jana, kamu lihat kan kehamilan kamu ini sudah
membuat Mami stress" Apa kamu nggak kasihan sama Mami" Kamu harus menggugurkan
kandungan kamu, Jana."
"Pap?" "Sekarang, sebelum terlambat," potong Papi dengan nada meninggi.
"Papi?" Jana mencoba menyela tapi tidak dihiraukan.
"Papi akan cari tahu klinik aborsi yang bisa tutup mulut."
"Aku nggak mau aborsi, aku mau membesarkan bayi ini," teriak Jana mulai histeris
"Dan apa rencana kamu untuk ngasih makan bayi ini?"
"Aku bisa cari kerja."
"Dan kerja jenis apa yang kira-kira bisa kamu dapatkan hanya dengan ijazah SMA, hah?"
"I don"t know. Something."
Papi mendengus keras. "Kalo kamu pikir Papi akan ngebiarin kamu tinggal di rumah ini
sementara kamu punya anak haram itu, kamu salah."
"Aku nggak perlu bantuan Papi, oke" Aku bisa berdiri sendiri."
"No" you cannot. You are a child!!!"
Dan Jana yang seumur hidupnya selalu taat dan sopan pada orangtua, untuk pertama kalinya
meledak di hadapan mereka. "Yes, I am a child, yang masih suka bikin kesalahan dan perlu
bimbingan orangtua. Aku minta maaf karena udah ngecewain Papi, tapi keputusanku sudah
bulat, aku nggak mau aborsi. Bayi ini nggak salah apa-apa, dan dia nggak seharusnya jadi
sasaran cuma gara-gara kesalahan yang aku buat. Dia berhak hidup. Dan kalo Papi dan Mami
nggak bisa nerima kenyataan itu hanya gara-gara malu sama tetangga, itu berarti Papi dan Mami
nggak berhak mengenal anak ini."
Dan dengan dramatis Jana melangkah pergi, meninggalkan orangtuanya terbengong-bengong.
Dia tidak bisa menghabiskan satu detik lagi di bawah atap Papi kalau beliau tetap memaksanya
menggugurkan kandungannya dan memanggil anaknya "anak haram". Dia tidak tahu kemana dia
akan pergi meminta bantuan. Putra, adiknya yang baru saja menginjak bangku SMA masih
tinggal dengan orangtua mereka dan di bawah kontrol mereka. Papi adalah anak tunggal,
sedangkan Tante Mika, adik Mami, tinggal di Jepang. Untungnya dia tidak perlu pusing lamalama karena tanpa disangka-sangka, Papi menuruti permintaannya.
Sampai sekarang dia masih tidak percaya bahwa dia berani memberikan ultimatum seperti itu
kepada orangtuanya, tapi setiap hari melihat Raka dan Erga, dia bersyukur telah melakukannya.
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dia rasa Papi dan Mami juga merasakan hal yang sama karena mereka lebih memanjakan
cucu-cucu mereka daripada dirinya.
*** "Masih banyak perbaikan yang perlu kamu lakukan untuk desain itu." Kata-kata Papi menarik
Jana dari masa lalu. Jana tahu pertemuan mereka sudah berakhir ketika Papi meninggalkannya membereskan plan
dan melangkah menuju mejanya. Jana baru saja mengambil satu langkah menuju pintu ketika
Papi memanggilnya. "Jana, ada sesuatu yang Papi perlu bicarakan dengan kamu."
Hal pertama yang terlintas di kepala Jana adalah: "Oh no, what did I do this time?" dari
pengalaman, tidak pernah ada hal bagus yang mengikuti perintah itu. Dengan langkah ragu Jana
menuju meja Papi. Perhatian Papi tertuju pada selembar kertas di hadapannya, yang kelihatan
seperti undangan. Jana melirik amplop di atas meja, yang berlambangkan salah satu yayasan
yang menerima sumbangan dari keluarga Oetomo setiap tahunnya.
"Ini undangan untuk acara penggalangan dana minggu depan. Papi mau kamu menghadiri acara
ini." Papi meletakkan undangan yang tadi di bacanya di hadapan Jana, yang kini menatap Papi
dengan sedikit mengerutkan dahi.
"Bukannya biasanya Papi yang selalu datang sendiri ke acara ini?" tanyanya bingung.
"Biasanya memang begitu, tapi ada bagusnya kamu mulai lebih aktif mewakili Papi ke acaraacara seperti ini daripada ngedekem aja di rumah kayak kura-kura."
Jana hanya mengerlingkan matanya kepada Papi sebelum berkata, "Pap, aku punya anak kembar
umur tujuh tahun. Babysitter dan sopirku baru aja berhenti, kerjaanku seabrek, aku nggak punya
suami yang bisa bantu, mana aku ada waktu?"
"Kamu kan bisa titipin Erga dan Raka sama Mami dan Papi kalo kamu mau keluar," Papi
bersikeras Jana menatap Papi curiga, tidak biasanya beliau sebegini ngotot menginginkannya muncul di
hadapan publik. "Bukannya Papi bilang ke aku untuk nggak muncul di publik" Bahwa akan
mempermalukan keluarga kalo melakukan itu?" Tanya Jana curiga.
"Itu kan delapan tahun yang lalu waktu kamu hamil tanpa suami." Balas Papi tenang.
"So what, sekarang aku single mother. Masih tanpa suami di mana bedanya?"
Papi mengembuskan napas dan berkata, "Papi Cuma nggal mau kamu kesepian. Erga dan Raka
juga udh semakin besar, mereka perlu figure laki-laki dalam kehidupan mereka."
Hah" Sejak kapan Papi jadi sentimental begini" Jana menatap Papi tajam, kemudian menyipitkan
matanya untuk lebih memastikan lagi. Laki-laki di hadapannya kelihatan seperti Papi, tapi jelasjelas tidak bertingkah laku seperti Papi. Kalau dia ada waktu mungkin dia akan menginvestigasi
hal ini lebih lanjut, tapi karena dia tidak ada waktu, akhirnya dia hanya berkata, "Aku harus
membicarakan hal ini sama Erga dan Raka dulu, nanti Papi aku kasih tahu."
Tanpa menunggu balasan dari Papi, Jana langsung ngacir keluar ruangan itu.
BAB 3 I"ll keep you, my dirty little secret
Don"t tell anyone or you"ll be just another regret
Hope that you can keep it, my dirty little secret
Who has to know Malam itu, setelah anak-anak pergi tidur dan dia punya sedikit waktu untuk berpikir, jana
mengulang percakapan dengan Papi tadi pagi. Terutama tentang menemukan figuran laki-laki
untuk Erga dan Raka. Akhir-akhir ini dia memang sudah memiliki percakapan ini dengan dirinya
sendiri. Apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan menyembunyikan Raka dan Erga
dari Ben" Goooddd!!! Dia masih tidak percaya bahwa dia bilang sudah menggugurkan bayi
mereka di e-mail terakhir kepada Ben. Entah apa yang Ben akan lakukan kalau dia sampai tahu
Jana sudah membohonginya" Bayangan Ben menggelutinya sebelum membakarnya hidu-hidup
terlintas di kepalanya. Mungkin memang tiba saatnya untuk mulai dating lagi, meskipun prospek itu membuatnya
panas-dingin nggak karuan. Ben adalah pacar pertama dan terakhirnya. Selanjutnya, dia bahkan
tidak tahu cara dating yang benar. Apa yang dia alami dengan Ben bukanlah dating, lebih seperti:
mereka ketemu, makan siang, besoknya Ben menemaninya ke mana-mana, begitu juga dengan
hari-hari berikutnya, dan sebelum dia menyadari apa yang sedang terjadi, mereka sudah pacaran.
Tanpa Jana sadari, dia mengusap dadanya yang masih terasa sakit hingga sekarang mengingat
apa yang telah Ben lakukan padanya.
Kalau memang mau mencari figure ayah untuk anak-anak dengan menikah lagi, dia harus
melakukannya secepat mungkin. Karena Raka sudah pernah menanyakan keberadaan ayahnya
ketika dia berumur empat tahun. Saking paniknya, bukannya menjawab pertanyaan itu, dia justru
berkata, "Raka, habiskan makanan kamu."
Keesokan harinya tentunya dia langsung menelepon Mami dengan penuh kepanikan. Dan Mami
membantunya memformulasikan jawaban yang mudah dimengerti oleh balita. Awalnya dia tidak
setuju dengan jawaban itu, tapi ketika mendengar Mami mengomel, "Apa kamu lebih memilih
bilang ke mereka kalo ayah mereka itu bajingan cap kodok ngorek yang udh menghamili kamu
dan tidak bertanggung jawab?", dia tidak punya pilihan. Untungnya dia tidak perlu menggunakan
respons itu hingga beberapa bulan kemudian, ketika Erga mencegatnya dengan pertanyaan yang
sama. Jana mendudukkan Erga di pangkuannya dan berbisik, "Erga dan Raka punya ayah kok. Tapi dia
udah nggak sama kita lagi. Dia ada di surga, sama Tuhan dan malaikat-malaikatnya."
"Ayah Erga orang baik dong ya, karena kalo nggak kan nggak masuk surga?"
Kalau dibandingin sama serial killer mungkin, omel Jana dalam hati, tapi dia berkata dengan
penuh senyum, "Paling baik di seluruh dunia ini."
Jana bersyukur pertanyaan itu tidak pernah diajukan lagi oleh anak-anaknya, tapi dia tahu dia
sedang duduk di atas bom waktu. Sebentar lagi mereka akan beranjak dewasa, dan penjelasan
yang pernah dia berikan tidak akan cukup lagi. Dia tahu bahwa mereka berhak mengetahui yang
sebenarnya. Mereka berhak mengenal Ben dan Ben mengenal mereka.
Ben" terakhir kali dia bertemu dengannya adalah akhir april delapan tahun yang lalu. Seperti
apa dia sekarang" Apa dia masih memiliki senyumnya yang mematikan" Senyuman yang tidak
bisa dia hindari, terutama karena Erga dan Raka memiliki senyuman yang sama, berikut lesung
pipi di pipi kiri mereka. Suatu persamaan yang langsung membuatnya menangis tersedu-sedu
ketika pertama kali melihatnya. Seakan itu belum cukup parah untuk dihadapi oleh ibu tunggal
yang masih patah hati, semakin lama dia menghabiskan waktu dengan anak-anaknya, semakin
dia sadar bahwa mereka lebih mirip Ben daripada dirinya. Mulai dari rambut ikal, mata dalam,
dan alis tebal. Seakan kemiripan wajah belum cukup, aroma mereka juga mengingatkannya pada
Ben. Memori akan hari pertamanya berkenalan dengan Ben memenuhi ingatannya. Hari itu adalah
orientasi pelajar asing lowa state. Dia bukanlah jenis orang yang bisa langsung membuka
pembicaraan dengan orang lain, belum lagi karena dia harus menggunakan bahasa inggis kerika
melakukannya. Pada dasarnya hari itu adalah hari paling menakutkan sepanjang hidupnya. Dia
merindukan sobat-sobatnya yang terpaksa dia tinggalkan karena Papi bersikeras adar dia
mendapatkan pendidikan di Amerika. Dia sebetulnya sudah diterima di jurusan arsitektur di
universitas local yang menurutnya cukup bonafide, tetapi Papi bersikeras agar dia berangkat ke
lowa. Dia menangis selama seminggu karenanya.
*** Akhirnya Mami yang tidak tega melihatnya, menghampirinya dan menjelaskan semuanya.
"Otome," ucap Mami sepelan mungkin dan Jana tahu bahwa dia harus mendengarkan apa pun
yang akan dikatakan beliau, karena Mami hamper tidak pernah menggunakan bahasa Jepang,
bahasanya Sobo, yaitu ibu Mami yang memang orang Jepang.
"Mami minta kamu turuti kemauan Papi, ya. Mami janji bahwa inilah yang terbaik untuk kamu,"
lanjut Mami pelan. "Tapi, Mam" kenapa harus Amerika" Aku nggak kenal siapa-siapa di sana, Mam," balas Jana
diantara tangisnya. "Kamu kan bisa cari teman baru di sana. Bukannya Adriana ada di Amerika?" Mami
menyebutkan salah satu sobatnya.
"Tapi Adri di DC, Mam. Itu jauh dari Lowa." Jana mencoba mengontrol tangisnya. Dia sudah
mencabik-cabik tisu yang ada di genggamannya sampai tidak berbentuk lagi.
Mami menarik napas dalam, kemudian berkata, "Papi kamu ngotot mau kamu pergi ke Amerika
karena anak Oom Sofyan kuliah disana."
Dan pada saat itu Jana mengerti apa yang dimaksud Mami. Papi yang superkompetitif, ingin
menunjukkan kepada Oom Sofyan, saingan beratnya, bahwa anaknya pun bisa kuliah di
Amerika. Ya ampuuuunnn" dia tidak menyangka bahwa ego Papi sebegitu besarnya sehingga
tidak menghiraukan keinginan anaknya.
"Apa aku akan pernah bisa ngambil keputusan sendiri, Mam?" Tanya Jana pada Mami yang
menatapnya terkejut. "Kamu nih ngomong apa sih" Papi dan Mami selalu ngebolehin kamu ngambil keputusan
sendiri," bantah Mami.
"Oh ya" Coba Mami pikir" apa pernah Papi dengerin apa yang aku mau?" tantang Jana.
Untuk beberapa detik Mami hanya bisa terdiam, tapi beliau dibesarkan dengan budaya Jepang
yang keras, di mana seorang perempuan tidak bisa menentang kata-kata kepala keluarga. Mami
bangkit dari sisi Jana dan berjalan menuju pintu. "Kamu sekarang mungkin nggak ngerti kenapa
Papi mau kamu pergi ke Amerika, tapi nanti waktu kamu lulus dan kerja untuk Papi, kamu akan
ngerti." Dan hanya dengan kata-kata itu Mami meninggalkan Jana sendiri di kamarnya,
menangisi nasibnya. Sebulan kemudian, Jana menemukan dirinya di sebuah ruang pertemuan besar di kampus lowa
state. Dia berpapasan dengan beberapa bule yang sepertinya sedang berbicara dalam bahasa
Jerman. Kemudian ada seorang cewek yang sedang berbicara dalam bahasa Inggristetapi dengan
aksen Rusia yang sangat kental sehingga tidak pasti apakah cewek itu memang sedang berbicara
dalam bahasa Inggris. "Hey, you look lost. Can I help you whit anything?"
Jana menoleh kepada cewek yang baru berbicara padanya dan harus menunduk karena cewek itu
ternyata jauh lebih pendek darinya. Jana yakin tinggi cewek itu bahkan tidak mencapai 150
sentimenter. Cewek itu mengenakan kacamata minus cukup tebal sambil menggenggam suatu
papan dengan beberapa kertas yang di jepit di atasnya. Jana melirik stiker yang ditempelkan pada
dada kirinya, yang bertuliskan "Sabrina".
"I"m Sabrina, by the way," ucap cewek itu sambil menunjuk stikernya. "What"s your name?"
"Saya" I mean I"m Jana Oetomo," ucap Jana dengan gugup.
"Jane?" Tanya Sabrina dengan nada tidak pasti.
"No no" not Jane. It"s Jana."
Dia baru tiba di Amerika beberapa hari yang lalu dan dia sudah harus membetulkan kesalahan
penyebutan namanya sekitar seratus kali. Dia betul-betul merindukan negeranya, temantemannya, dan orang-orang yang akan langsung mengerti jika dia mengatakan bahwa namanya
Jana dengan huruf "J" yang dibaca seperti "J" pada kata "Japan", bukan "H" pada kata "Hello".
Dia mulai merasa jengkel pada orang-orang yang memanggilnya "Jane" atau "Hana". Sabrina
melirik papan yang ada di hadapannya. Mulutnya komat-kamit "Oh, here you are. You"re the
Indonesia girl," ucapnya setelah beberapa menit. "Welcome to lowa State," lanjutnya dengan
ceria, Jana hanya bisa mengangguk.
"We have an Indonesian guy who volunteers to help. Let me see" he was here a second ago,"
Sabrina memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu tanpa Jana sangka-sangka gadis itu mulai
loncat-loncat di hadapannya. Jana hanya menatap Sabrina sambil mencoba menahan senyum.
Jelas-jelas pendapat orang Asia bahwa semua orang bule bertubuh tinggi dan langsing sudah
kaprah. Dia berusaha untuk tidak menutup telingannya ketika Sabrina berteriak keras, "Ben, Beee" nnn.
Come here, I need you."
Beberapa detik kemudian dia mendengar suara laki-laki di belakangnya berkata, "God, stop
waving at me like a crazy person, Sabs. We"re in civilization for chrissake."
Jana memutar seluruh tubuhnya untuk bisa melihat cowok yang berdiri di belakannya dan
matanya jatuh pada dadanya. Dia harus mundur selangkah untuk bisa melihat wajahnya karena
cowok itu tinggi sekali. Dan ketika matanya akhirnya bisa menatap wajah cowok itu, Jana hanya
bisa menganga. Holy mother of Jesus!!! Ini adalah cowok Indonesia paling ganteng yang pernah
dia lihat dengan mata kepala sendiri sepanjang hidupnya. Koreksi, ini adalah cowok paling
ganteng yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya, TITIK! Cowok itu sedang tersenyum, dan
Jana bisa melihat lesung pipi pada pipi kirinya. Anehnya, lesung pipi itu tidak membuatnya
kelihatan seperti banci, justru membuatnya lebih maskulin.
"Ben, meet Jana, she"s from Indonesia too," ucap Sabrina tanpa menghiraukan nada sinis Ben
beberapa saat lalu dan dengan bangganya memperkenalkan Jana.
Ben mengalihkan perhatiannya ke Jana dan berkata, "Halo," dengan ramah. Dia lalu
menyodorkan tangannya. "Halo," balas Jana yang otomatis meraih tangan itu.
Dan sumpah mati, dia merasakan aliran listrik ketika telapak tangan mereka bersentuhan. Rasa
aman dan nyaman langsung menyelimutinya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi mengingat dia
tidak pernah merasa cukup nyaman dengan kaum cowok sampai bisa menjalin hubungan dengan
mereka. Jangankan menjalin hubungan, berteman dengan mereka saja dia tidak berani. Oleh
karena itu, dia langsung tahu bahwa Ben adalah boyfriend material. Menurut Dara, salah satu
sobatnya yang jauh lebih berpengalaman dengan hal-hal yang berhubungan dengan cowok,
hanya ada 3 jenis cowok di muka bumi ini. Pertama, cowok yang hanya bisa jadi temen karena
meskipun mereka bisa membuat kita merasa nyaman, bayangan mencium mereka membuat kita
menggelengkan kepala kuat-kuat; kedua, cowok yang Cuma bagus untuk dilihatin karena selain
tubuh dan wajah, tidak ada lagi yang menarik tentang mereka; ketika, cowok yang merupakan
boyfriend material. Mereka bukan saja ganteng nggak ketolongan, tapi juga membuat kita
merasa nyaman dengan mereka.
*** Dan Ben is definitely boyfriend material. Kesadaran ini membuat Jana terkesiap dan buru-buru
menarik tangannya. Ben kelihatan terkejut dengan reaksinya dan kini menatapnya dalam, seakan
sedang mencoba membaca pikirannya. Takut bahwa Ben betul-betul akan bisa membaca
pikirannya, Jana langsung menunduk.
"Okaaa"yyy, I"ll let you guys get acquainted while I"ll go greet other students."
Kata-kata Sabrina membuat Jana mendongak siap protes, tapi Sabrina sudah menghilang dari
peredaran, meninggalkannya sendiri dengan Ben.
"Kamu dari mana" Tanya Ben sambil tersenyum.
Lesung pipi Ben membuatnya sulit memikirkan jawaban pertanyaan itu. Jana menelan ludah
sebelum berkata, "Aku tadi dari Eaton Hall. Aku tinggal di sana."
Ben langsung menyeringai ketika mendengar jawaban itu, membuat Jana sadar bahwa dia sudah
salah mengartikan pertanyaannya. Buru-buru dia menutup mata saking malunya. "Itu bukan
maksud pertanyaan kamu, ya?" tanyanya dengan hati-hati sambil membuka satu matanya dan
melihat Ben sedang menggelengkan kepalanya.
Tapi setidak-tidaknya Ben masih tersenyum, yang berarti dia tidak menganggapnya cewek idiot.
"Aku dari Jakarta," ucap Jana secepat mungkin.
Ben mengangguk dan bertanya lagi. "Di sini rencananya mau ambil jurusan apa?"
"Arsitektur." "Oh ya?" Jana tahu bahwa dia seharusnya menanyakan hal yang sama kepada Ben, karena itulah sopan
santun, tapi otaknya seperti sedang kena brain freeze. Untuk pertama kalinya Jana mengerti
ungkapan "Love at first sight", karena dia sedang mengalaminya dengan Ben.
LOVE AT FIRST SIGHT, nenek moyang lo!!! Kalau saja dia tahu hubungannya dengan Ben
akan berakhir seperti itu, dia tidak akan sudi mengenalnya. Tapi itulah masalahnya dengan cinta.
Cinta membuat kita buta dan rela melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan kita lakukan.
Kalau dipikir-pikir lagi orang yang sedang jatuh cinta sudah seperti orang mabuk, tapi efek
samping mabuk masih lebih mendingan. Setidak-tidaknya mereka hanya perlu berurusan dengan
kepala pusing besok gara-gara hangover, tapi kalau putus cinta" Bah! Efek sampingnya bukan
hanya kepala pusing, tapi hati remuk dan masalah mental yang bahkan nggak bisa dibantu oleh
terapi seumur hidup. Nggak, tidak peduli apa yang terjadi, Ben tidak akan pernah tahu tentang keberadaan anakanaknya. Dia akan mencari laki-laki yang jauh lebih layak untuk menjadi seorang suami dan
ayah bagi anak-anaknya. Untung saja tidak ada yang tahu identitas Ben, dan dengan paras
kebule-bulean kedua anaknya, Papi dan Mami berkesimpulan bahwa ayah mereka adalah
seorang bule bejat yang sudah menghamilinya. Dan Jana tidak pernah membetulkan
kesalahkaprahan itu. Entah apa yang akan mereka pikirkan kalau sampai tahu bahwa bukan bule
bejat yang sudah menghamilinya, tapi laki-laki Indonesia bejat. Ya, Ben adalah dirty little secretnya yang akan dia simpan sampai mati.
*** Keesokan paginya Jana terbangun dan memori tentang Ben kembali melandanya, kini tentang
apa yang terjadi setelah mereka berkenalan. Sepanjang orientsi Ben tidak habis-habisnya
menatapnya sampai dia salah tingkah. Tatapan itu begitu intense, sampai cewek Malaysia
bernama Nurul yang duduk di sebelahnya mengomentari, "Dia pakwa you ke?"
Jana betul-betul tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nurul. Banyak orang bilang Bahasa
Indonesia dan Melayu itu mirip, tapi Jana bisa yakinkan bahwa itu tidak benar sama sekali.
Melihat kebingungan pada wajahnya, Nurul berbisik, "Dia boyfriend you?"
"Oh, bukan. Saya baru kenal dia."
"Mmmmhhh, kalau baru kenal, dia macam stalker je kan" Asyik je dia tengok you."
Membutuhkan waktu beberapa menit bagi Jana untuk mencerna kata-kata Nurul, dan ketika dia
memahaminya, buru-buru dia menutup mulutnya sebelum ada orang mendengar cekikikannya.
Untungnya pada detik itu orientasi berakhir. Jana baru saja say goodbay pada Nurul yang akan
kembali ke asramanya ketika sadar bahwa Ben sudah berdiri di ujung barus kursinya,
menunggunya. Dengan sedikit tidak pasti Jana berjalan mendekatinya.
"Kamu ada rencana apa setelah ini?" Tanya Ben.
"Cari makan siang, terus balik ke Eaton," jawab Jana.
"Oh, good. Aku juga mau makan siang. Aku tahu tempat makan enak deket Eaton, kita bisa
makan siang sama-sama. Abis itu aku bisa anter kamu pulang."
Yang terlintas di kepala Jana ketika mendengar ajakan ini adalah: "Hah?"" yang diikuti dengan,
"Maksud lo?"!!"
"A-aku?" Jana tergagap.
Pikirannya blank. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Oh, andaikan dia
Dara, dia pasti tahu respons terbaik untuk situasi seperti ini. Santai, Jana, santai. Cowok ini
ramah aja sama elo karena sama-sama orang Indonesia. Ini bukan date or anything like that, ucap
Jana dalam hati. "C"mon it"s just lunch. Kamu toh harus makan juga. Kenapa nggak makan sama aku aja?" ucap
Ben dengan nada sedikit memohon.
OH" MY" GOD. It is a date. Seumur hidupnya, tidak pernah ada cowok yang berani
mengajaknya nge-date. Beberapa kali dia mendengar bahwa ada segelintir cowok yang tertarik
padanya, tapi tidak ada dari mereka yang berani maju. Mereka terlalu takut dengan dirinya yang
dikenal sebagai cewek paling pintar satu sekolah. Dan sekarang Ben sedang mengajaknya ngedate, satu jam setelah mereka berkenalan. Hanya ada dia kemungkinan, cowok ini memang nekat
atau seperti yang Nurul bilang, seorang stalker.
"Aku janji kita nggak akan lama. Paling sejam. Kita bisa makan burger. Kamu suka burger,
kan?"
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jana hanya mengangguk, masih tidak bisa berkata-kata.
"So, makan burger sama aku," tandas Ben.
"I don"t think?"
Seperti membaca keraguannya, Ben menghaluskan nada bicaranya dan berkata sambil
tersenyum, "Sumpah aku bukan stalker, aku Cuma mau makan siang sama kamu."
Wow, cowok ini benar-benar jujur mengemukakan maksudnya, tanpa basa-basi. Jana mendapati
dirinya tidak bisa menolak dan tanpa dia sadari sudah mengangguk.
"Awesome. Let me say goodbye to these people and we can go," ucap Ben dengan senyum lebar.
Jana hanya perlu menunggu kurang dari lima menit sebelum Ben muncul lagi di hadapannya.
"Yuk," ucapnya dan menggiring Jana ke luar ruangan.
*** Sepanjang perjalanan menuju Union Drive yang biasanya hanya memakan waktu sepuluh menit
jalan kaki, hari ini molor menjadi dua puluh menit gara-gara mereka harus berhenti beberapa kali
karena Ben berpapasan dengan kenalannya. Ben tidak pernah menyapa duluan, selalu mereka.
Kelihatannya dia cukup popular di kampus ini, karena orang-orang itu keliahatan betul-betul
senang melihatnya. Semuanya memberikan tatapan ingin tahu ketika melihatnya bersama cewek
tidak dikenal, tapi hanya beberapa dari mereka yang dikenalkan Ben padanya. Beberapa menit
kemudian mereka sampai di Market place, salah satu dari banyak tempat makan dalam kampus.
"Apa kamu udah pernah makan disini?" Tanya Ben sambil berjalan menuju konter burger.
"Udah, tapi belum pernah coba burgernya."
"Aku jamin kamu pasti suka. Cheeseburger di sini yang paling enak di seluruh kampus..,"
Omongan Ben terpotong oleh teriakan seorang wanita kulit hitam berukuran besar. "Benjiii"
you"re back!!!"
Wanita itu sedang tersenyum lebar dan mempertontonkan deretan giginya yang putih. Ben
membalas sapaan itu dengan tidak kalah ramahnya. Tidak lama kemudian mereka bertukar cerita
tentang liburan musim panas. Whoa, bukan saja Ben memiliki banyak teman, tapi mereka
sepertinya datang dari berbagai kalangan. Harus Jana akui dia cukup terkesan melihatnya. Selain
keluarga, Papi dan Mami hanya memperbolehkannya bergaul dengan teman-teman dari sekolah.
Entah apa yang akan terjadi kalau dia berani berteman dengan orang dari kalangan yang mereka
nilai dibawah mereka. "I guess you want that cheeseburger with lost of fries then, huh?"
"Yes, Miss Rita. Can we have two of those, please."
Miss Rita terkekeh. "Boy, I don"t know how many times I"ve told you just call me Rita."
"Nawww, I like calling you Miss Rita," canda Ben.
Miss Rita memberikan pesanan mereka sambil geleng-geleng kepala. "You two have a good day
now." Jana hanya mengangguk dan mengikuti Ben yang sudah berjalan menuju konter minuman.
Mereka sama-sama mengambil sebotol air putih sebelum menuju sebuah meja kosong.
"Aku sangka nama kamu Ben," ucap Jana setelah dia duduk
"Namaku memang Ben," balas Ben dengan wajah sedikit bingung.
"Jadi kenapa Miss Rita manggil kamu Benji?"
Ben terkekeh sebelum berkata, "Oh, itu nick name yang dikasih Miss Rita waktu aku kerja di sini
semester lalu." Jana langsung tersedak potongan burger yang baru saja ditelannya dan untuk beberapa menit dia
terbatuk-batuk. Ben langsung berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Makannya pelan-pelan, Jan."
Andaikan saja Ben tahu bahwa alasan Jana tersedak adalah bukan karena dia makan terlalu
cepat, tapi karena pengakuan tanpa malu-malu Ben bahwa dia pernah bekerja di kantin sekolah.
Mami dan Papi bisa pingsan kalau dia membawa Ben pulang untuk dikenalkan kepada mereka.
Prospek ini membuat Jana tersenyum dalam hati.
BAB 4 The way she feels inside Those thoughts I can"t deny
These sleeping thoughts won"t lie
Entah sudah berapa lama Ben memandangi layar ponselnya yang memampangkan nomor ponsel
Jana, yang dia dapatkan setelah meneror seorang laki-laki yang dia kenal waktu kuliah dan tidak
sengaja ketemu lagi, yang seseorang, yang kebetulan mengenal Jana. God, laki-laki itu pasti
mengira dia orang paling aneh sedunia dengan aksi terornya untuk mendapatkan nomor telepon
Jana, but who cares, yang penting sekarang dia bisa menelepon Jana. Selama bertahun-tahun dia
sudah mencoba banyak cara untuk mencari perempuan itu. Mulai dari mengirimkan berpuluhpuluh e-mail yang nggak pernah dibalas, menguntit suki, mantan teman sekamar Jana, selama
berbulan-bulan sampai cewek itu mengancam akan ke polisi untuk minta restraining order,
hingga mengaduk-aduk friendster, facebook,linkedin, dan myspace, tapi semuanya berakhir nol
besar. Dia juga mencoba meng-google nama "Jana Oetomo", tapi nama itu pun tidak keluar di mana
pun. Akhirnya dia harus menyerah. Pada saat itu, dia baru menyadari betapa sedikit informasi
yang dia tahu tentang Jana. Dia bahkan tidak tahu nama kedua orangtuanya atau apa pekerjaan
mereka. Selama waktu yang singkat dulu, Jana hanya bercerita tentang betapa strict orangtuanya,
itu saja. Dan Ben belum segitu gilanya atau kayanya sampai mau menyewa tenaga professional
untuk mencari Jana. Jana memang selalu lebih tertutup daripada dirinya, dan selama mereka
pacaran, dia tidak pernah bertanya terlalu banyak, takut membuat Jana merasa tidak nyaman.
Suatu fakta yang membuatnya ingin menendang dirinya sendiri ketika Jana menghilang tanpa
jejak. Melihat ponsel di genggamannya membuatnya kembali lagi ke delapan tahun yang lalu,
seminggu setelah Jana kabur dari apartemennya. Entah berapa kali dia menelepon nomor kamar
Jana di Eaton Hall sehingga membuat Suki kedengaran sudah siap membunuhnya.
"She is not here!!!"
Mendengar nada Suki yang mendekati bentakan, membuat persepsi Ben tentang cewek-cewek
Jepang yang lemah lembut dan penuh senyum berubah 180 derajat. Tanpa menghiraukan nada
bicara Suki, Ben bertanya, "Do you know where she is?" untuk lebih menyakinkan dia
menambahkan,"I really REALLY need to talk to her."
Ben tahu dia kedengaran merengek, tapi dia tidak perlu. Selama dua hari setelah pertengkaran
mereka, pikirannya campur aduk. Dia sama sekali nggak bisa mikir, padahal dia seharusnya
belajar untuk ujian akhir semester minggu depan. Awalnya dia masih dalam tahap shock dan
yang terlintas dalam pikirannya adalah bahwa semua ini hanya mimpi buruk, bahwa sebentar lagi
dia akan bangun dan mendapati dirinya hanya sebagai anak kuliahan yang masalah terbesarnya
adalah untuk me-maintain IPK-nya agar tetap dia atas 3,5. Ketika sadar bahwa ini bukanlah
mimpi, tapi kenyataan, kemarahan datang.
Segala tuduhan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Dia yakin Jana sengaja membuat
dirinya hamil. Bahwa Jana sudah merencanakan malam itu, dan dia, sebagai cowok blo"on, tidak
tahu sama sekali dirinya sedang dijebak. Mereka memang sudah berhubungan intim beberapa
kali dengan mengenakan kondom, karena Jana tidak mau minum pil birth control. Tapi
kemudian mereka mulai lebih berani dengan berhubungan seks tanpa mengenakan kondom kalau
tubuh Jana sedang tidak fertil. Dan minggu itu adalah salah satu minggu tidak fertilnya. Shit, dia
seharusnya tidak pernah percaya kata-kata yang keluar dari makhluk yang masih bisa hidup
setelah mengalami pendarahan selama lima hari. Oleh karena itu, dia menolak menelepon Jana
duluan. Prinsipnya mengatakan pihak yang salahlah yang harus meminta maaf duluan, dan
menurutnya itu adalah Jana.
Tapi setelah semua kemarahannya resa, rasa bersalah datang. Dia seharusnya tidak blow-up
seperti itu di hadapan Jana. Dia lebih tua dari Jana dan lebih berpengalaman, tapi yang lebih
penting lagi, dia seorang laki-laki, jadi seharusnya lebih analitis dan berkepala dingin dalam
menhadapi krisis. Setelah dia pikir-pikir lagi, ada banyak solusi lain yang bisa mereka
pertimbangkan selain aborsi. Ya tuhan, dia sudah meminta Jana membunuh anak mereka. Dan
dengan rasa bersalah, kekhawatiran pun muncul. Apakah Jana sudah menggugurkan
kandungannya" Apa Jana betul-betul serius ketika dia berkata mereka putus" Apa dia baik-baik
saja" "Just like the last time I told you, I don"t know where she is. I"m not the boyfriend who she has
been spending so much time with."
Kata-kata Suki kali ini membuat Ben bertanya-tanya apa jangan-jangan Jana meminta Suki untuk
tidak memberitahukan keberadaannya kepada Ben. Bahwa Jana ada di dalam kamar ketika dia
menelepon, atau bahkan duduk di samping Suki, mendengarkan percakapan mereka. Tapi itu
tidak mungkin, karena meskipun Suki teman sekamar Jana selama tahun pertamanya di lowa
state, Suki bukanlah teman baik yang bisa diajak bersengkongkol untuk melakukan hal seperti
ini. Mereka bahkan nggak pernah hangout bareng. Mereka hanya teman sekamar, titik.
Tapi, apa ada kemungkinan dia salah menilai situasi ini" Mungkin karena desperate dan tidak
memiliki orang lain lagi yang bisa diajak bicara, Jana menceritakan kejadian di antara mereka
kepada Suki. Dan sebagai cewek, Suki merasa tersinggung juga atas kelakuan Ben dan setuju
menjauhkannya dari Jana. "Just tell me the truth. Is she with you right now?"
"I already told you. She"s not here!!!" teriak Suki, sebelum mulai ngedumel dalam bahasa
Jepang yang Ben yakin berisi makian tentangnya.
Dia tidak punya waktu untuk mendengar Suki ngedumel dan memotong, "Did she tell you where
she"s going?" "No!!! and even if she did, I won"t tell you," kata Suki dan langsung menutup telepon.
"Hello" Hello" Goddamn it!!!" teriak Ben frustasi
*** Buru-buru dia mengambil kunci dan lari keluar menuju mobil. Dia harus segera ke Eaton Hell,
dia yakin Jana sekarang ada di kamarnya. Sepanjang perjalanan dia mengomeli dirinya sendiri.
Bagaimana dia bisa sebegini butanya selama beberapa hari ini" Kenapa dia bahkan tidak
menyangka sampai beberapa detik yang lalu bahwa Suki sudah berbohong padanya" Kenapa dia
tidak punya inisiatif untuk mencegat Jana di kelas-kelasnya, toh, dia tahu jadwalnya" Atau lebih
baik lagi, tongkrongin Eaton Hall sampai Jana muncul, toh cepat atau lambat dia harus pulang
juga. Sepuluh menit kemudian dia sampai di Eaton Hall. Di parkir di tempat pertama dilihatnya, yang
ternyata tempat parker penyandang cacat, tapi dia tidak peduli. Ketika sampai di depan pintu
gedung dan sedang memikirkan cara masuk padahal tidak memiliki kartu residensi, dia melihat
serombongan cewek baru akan keluar. Tanpa peringatan, dia langsung menerobos rombongan itu
dengan paksa dan berlari menuju kamar Jana. Dia mendengar beberapa dari mereka meneriakkan
sumpah serapah padanya, yang dia biarkan tidak terjawab.
Dia baru saja memasuki lorong tempat kamar Jana terletak ketika dia melihat Suki dan" no
fucking way, Jana, sedang berjalan ke arahnya. Dua cewek itu membawa ransel yang kelihatan
cukup berat, kemungkinan dalam perjalanan menuju perpustakaan untuk belajar. Tentu saja Jana,
cewek paling pintar yang pernah dia pacari, siap menghadapi ujian akhir semester, tidak peduli
bencana apa yang sedang dia hadapi dalam kehidupannya. Sedangkan Ben sudah kalang kabut
nggak karuan. Dan sebelum menyadari apa yang dia lakukan, dia sudah menyeruakan nama Jana. Ben
mendengar Jana terkesiap. Satu detik Jana menatapnya dengan mata melebar, terkejut
melihatnya, dan detik selanjutnya dia sudah lari seakan bokongnya kebakaran menuju kamarnya
di ujung lorong. Ben membutuhkan beberapa detik untuk menyadari bahwa Jana lari darinya,
kemungkinan akan mengunci diri di dalam kamar dan menolak berbicara dengannya. Buru-buru
dia lari mengejarnya, tapi terlambat, karena Jana sudah menghilang ke dalam kamar dan buru-
buru menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras. Ketika ben sampai di depan pintu, dia
langsung mencoba memutar gagang, tapi tidak berhasil. Seperti dugaannya, Jana sudah
mengunci pintu itu. "Jana, tolong buka pintunya. Aku perlu ngomong sama kamu," ucap Ben sambil mengetuk pintu
itu dengan cukup keras. Sunyi. "Jan, please" just talk to me, okay," pintanya lagi.
"Dude, she doesn"t want to talk to you. Just leave her alone," ucap Suki yang tanpa disangkasangka sudah berdiri sambil bertolak pinggang di samping Ben.
Cewek satu ini kemungkinan keturunan Ninja karena bisa bergerak tanpa sepengetahuannya.
Well, keturunan Ninja atau bukan, dia akan mencekiknya kalau cewek ini mencoba mencampuri
urusannya. "This is between her and me. Just stay the hell out of this, okay" bentak Ben.
Suki kelihatan tersinggung karena dibentak, tapi dia tidak berkata-kata lagi.
"Jana, open the door," pinta Ben.
"Go away, Ben."
Mendengar suara Jana untuk pertama kali setelah seminggu ini, membuat lutut Ben lemas dan
untuk beberapa detik dia lupa tujuannya datang ke sini, tapi kemudian dia dapat mengontrol
reaksi tubuhnya dan berkata, "Nggak, aku nggak akan pergi sampe kamu ngomong sama aku,
goddamnit." Setelah lima detik dan pintu masih tertutup, Ben menggedor pintu itu sekencangkencangnya sambil berteriak, "Open the damn door!"
"No!" balas Jana tegas.
Pintu-pintu kamar di sepanjang lorong mulai terbuka satu per satu dan beberapa kepala
melongok ke luar untuk melihat keributan apa yang terjadi pada selasa malam begini.
"Buka pintunya, Jana. Sumpah mati aku akan dobrak pintu ini kalo kamu nggak buka pintu.
Keluar sini dan ngomong sama aku."
Kesunyian membalasnya, dan Ben betul-betul tidak tahu apalagi yang harus dia lakukan
sekarang. God, dia tahu dia menjadi laki-laki brengsek, tapi apa dia sebegitu tidak berharga
sampai Jana bahkan tidak mau bertatap muka dengannya"
Dengan penuh kesal dan sesal, dia meninju pintu kamar Jana dua kali hingga retak. "OPEN THE
DOOR," teriaknya. Dia mendengar beberapa tetangga Jana yang memang cewek semua, berteriak kaget melihat
keganasannya. Sejujurnya, dia sendiri kaget. Lalu salah satu dari mereka berteriak, "Somebody
call campus security!"
SHIT!!! Dia hanya memiliki beberapa menit sebelum polisi kampus muncul dan mendendanya
karena masuk ke property orang tanpa diundang atau lebih parah lagi, melemparkannya ke
penjara karena merusak property kampus.
"Fine. Kamu nggak mau ngomong sama aku, fine. Kamu mau putus sama aku, itu juga nggak papa. aku Cuma mau tahu apa yang udah kamu lakukan dengan bayi kita."
Tidak ada respons sama sekali dari balik pintu, dan Ben mendesah panjang. Dia baru saja akan
mengucapkan kalimat selanjutnya ketika dari sudut mata dia melihat polisi kampus muncul di
ujung lorong. SHIT, SHIT, SHIT!!! Dia buru-buru ngacir menuju pintu darurat di sebelah kanan
dan lari secepatnya menuju mobil, tidak menghiraukan teriakan orang-orang yang memmintanya
berhenti. Semua memori itu tiba-tiba membuat Ben kehabisan napas setiap kali Jana terlintas di kepalanya,
inilah reaksi yang dia dapatkan. Tidak peduli sudah berapa banyak wanita yang berseliweran di
dalam hidupnya, sebelum dan setelah itu, hanya Jana yang mampu mengacak-acak emosinya
seperti ini. Ben meletakkan ponselnya di atas meja dan mengusap wajahnya. Dia akan
menelepon Jana, tapi tidak sekarang. Dia belum siap melakukannya.
*** Ben sedang berkonsentrasi penuh membalas e-mail yang dikirim oleh salah satu anggota timnya
di Chicago ketika ponselnya bordering. Nama Eva berkedip-kedip di layar. Eva tidak pernah
meneleponnya selama dia di Jakarta, biasanya kakaknya ini langsung nongol saja. Dengan
sedikit waswas, Ben buru-buru menjawab panggilan itu.
"Hey, Ev, everything okay?"
"Yeah, everything"s good," balas Eva ceria dan Ben mengembuskan napas lega. "Kamu lagi
ngapain?" lanjut Eva.
"Ini baru kelar bales e-mail dari kantor," jawab Ben sambil menekan tombol send lalu mulai
membaca e-mailny a yang lain. Ben mendengar Eva mendengus sebelum berkata, "Ben, kamu itu lagi cuti, yang berarti nggak
boleh kerja. Kalo kamu kerja juga itu sih sama aja bohong."
"Well, nggak semua orang kan punya suami kaya yang bisa ngebiayain kita seumur hidup,"
ledek Ben. "Are you making fun of me?" teriak Eva pura-pura tersinggung.
Ben hanya terkekeh mendengar nada Eva. Inilah candaan mereka semenjak Eva menikah dengan
Martin. Sampai sekarang Ben tidak tahu apa yang dilihat oleh kakaknya pada kakak iparnya itu,
sudah sok bangsawang dengan aksen Inggris dibuat-buat, padahal dia lulusan Amerika dan
sekalinya ke Inggris Cuma ke London selama tiga hari untuk bisnis, that douchebag juga senang
sekali memamerkan orang-orang yang dikenalnya, mulai dari anggota DPR sampai artis. Satusatunya hal yang membuat Ben bisa menoleransi Martin adalah karena laki-laki itu jelas-jelas
tergila-gila pada Eva dan begitu juga sebaliknya.
"So kenapa kamu telepon aku siang-siang bolong begini?" Tanya Ben.
"Emang nya aku nggak boleh telepon kamu" Kakak kan boleh kangen sama adiknya."
"Cut the bullshit. What do you want, Ev?"
Kini giliran Eva yang terkekeh. Dia dan Eva memang selalu dekat meskipun umur mereka
berbeda empat tahun. ,menurut Mama, kata pertama yang diucapkan Ben bukanlah Mama atau
Papa, tapi Wawa. Membutuhkan waktu cukup lama bagi mereka untuk memahami bahwa yang
dia maksud adalah Eva. Nama panggilan itu bertahan sampai dia berumur empat tahun, ketika
dia bisa mengucapkan "Eva" dengan sempurna. Tapi saat itu sudah terlambat untuk
menambahkan kata"Kak" atau "Mbak" di depannya. Alhasil dia selalu memanggil kakaknya
dengan nama saja. "Aku ada undangan untuk acara penggalangan dana yayasan yang sering nerima sumbangan dari
kantornya Martin." "Oke"," ucap Ben, hanya setengah mendengarkan karena sambil membaca e-mail dari salah
satu klien. "Biasanya aku pergi sama dia untuk acara ini, tapi kali ini Martin nggak bisa karena ada di luar
kota." "Riiight." Ben mengaktifkan speaker pada ponselnya dan meletakkannya di samping laptop
sebelum menekan reply pada layar laptop dan mulai mengetik e-mail balasan.
"Aku tadinya nggak mau pergi karena nggak ada yang nganter. Tapi terus aku mikir, karena
kamu juga nggak ngapa-ngapain, gimana kalo kamu aja yang anter aku ke acara ini?"
"Mmmhh." "Ben, kamu dengerin aku nggak sih?"
"Denger kok." Bukan suatu kebohongan, dia memang mendengar apa yang Eva katakana
padanya, dia hanya tidak mencoba memahaminya.
"Sumpah mati kalo kamu ngejawab telepon aku sambil balas e-mail, aku bakar laptop kamu kalo
aku ke situ lagi." "Wait, dari mana kamu tahu kalo aku lagi bales e-mail?" Tanya Ben, buru-buru berhenti
mengetik dan melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan Eva tidak sedang mengintainya
dari dalam rumah. *** Terkadang Ben suka bertanya-tanya apa Eva bisa membaca pikiran, karena Eva terkadang bisa
membaca tindkan selanjutnya sebelum Ben melakukannya. Atau tahu persis apa yang sedang dia
lakukan padahal mereka tidak sedang bertatap muka, contahnya seperti sekarang.
"Oh, please" aku ini yang ngeganti popok kamu waktu kecil. Aku tahu segala sesuatu tentang
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamu. Termasuk ukuran pe.."
"Arrgghh, stop it. Aku bisa brain damage dengerin omongan kamu," omel Ben sambil
menghantam keningnya tiga kali dengan telapak tangan.
Eva tertawa terbahak-bahak. Man, kakaknya ini memang senang sekali meledeknya tentang
ukuran penisnya waktu bayi, yang menurut laporan Eva," Kecil banget, udah kayak baby carrot."
Parahnya, Eva senang sekali menceritakan hal ini kepada siapa saja yang mau mendengarkan.
"So, kamu bisa nggak temenin aku?" Tanya Eva setelah tawanya reda.
"Bisa pake jins nggak ke acara ini ?"
"Ya nggak bisalah. Ini acara formal, Ben."
"Mesti pake jas dan dasi segala, gitu" Nggak deh, makasih. Aku bisa keringatan kayak ayam
panggang dengan suhu seperti ini.
"Dude, apa kamu pikir kita hidup di zaman purba" Acaranya di dalam gedung pake AC. Kalo
kamu nggak mau pake jas dan dasi, kamu selalu bisa pinjem kemeja batik Papa."
"Gila amat aku pake kemejanya Papa. Ev, kamu tahu kan Papa itu dua ukuran lebih kecil dari
pada aku?" "Masa sih?" "Papa pake ukuran M, aku XL," teriak Ben tidak sabaran.
"Ya udah, kalo gitu pinjem kemeja Martin," balas Eva santai.
Dan sumpah mati Ben ingin mentransfer dirinya ke ujung saluran telepon untuk mencekik Eva.
Dia tidak percaya Eva baru saja menawarkan itu. Eva tahu betul perasaannya tentang gaya
berpakaian Martin, yang menurutnya banci nggak ketolongan.dia pernah melihat laki-laki itu
pakai celana pendek warna pink. PINK!!! Dia lebih baik pergi ke acara ini hanya mengenakan
celana dalam daripada harus meminjam kemeja Martin.
"Ev, kamu mau aku pergi ke acara ini apa nggak sih?"
"Tentu aja mau."
"Kalo gitu jangan ngusulin yang nggak-nggak kayak begini dong."
"Ya udah, kalo gitu kamu maunya gimana?"
"Apa celana panjang hitam dan kemeja putih bisa di terima?"
"Bisa sih bisa, kalo kamu mau disangka-sangka pelayan di acara ini. Sekalian aja tambahin dasi
kupu-kupu, Ben." "That"s it, I"m hanging up. Minta tolong kok malah ngeledekin melulu."
"Eh, Ben, Ben" tunggu, tunggu. Sori, sori. Sumpah, aku nggak akan ngeledek kamu lagi.
Sekarang kita serius. Kalo kamu bantuin aku kali ini, aku bakal utang sama kamu. Kamu bisa
minta apa aja dari aku, kapan aja"."
Ben tidak berkata-kata selama semenit, membiarkan Eva menyogoknya dengan segala macam
hal. Bukannya dia perlu disogok untuk membantu keluarga, tapi dia tidak akan menolak
kesempatan menjaili Eva. "Oke, fine, I"ll go. Aku akan pake kemeja warna lain, tapi aku nggak akan pake jas atau dasi.
Setuju?" "Setuju." "Dan satu hari nanti kalo aku nelepon untuk minta tolong, nggak peduli itu untuk ngapain atau
jam berapa, kamu harus siap."
"Whatever you want, little brother," janji Eva.
BAB 5 Don"t say it Don"t call me out Don"t be late Don"t make a sound Get it ready Get it out Jana sudah tidak bisa merasakan kakinya lagi, padahal belum dimulai. Setelah harus berjalan
kaki melewati pelataran parkir dan mall untuk mencapai lokasi ini dan berdiri selama setengah
jam berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak dia kenal sama sekali, dia rasanya ingin
melempar sepatu hak mahal yang dikenakannya malam itu. Pertanyaan yang berputar-putar di
kepalanya adalah: "Orang gila mana yang mendesain sepatu setidak nyaman ini?" yang diikuti
oleh: "Orang gila mana yang sudah membeli sepatu ini?" Jawaban dari pertanyaan kedua inilah
yang membuatnya kesal tujuh turunan.
Ugh!!! Dia betul-betul akan membunuh Papi karena memaksanya melakukan ini. Betul-betul
membunuhnya, bukan hanya mengancam akan membunuhnya kemudian mundur pada detikdetik terakhir. Kali ini dia serius. Kalau hakim bertanya kenapa dia melakukannya, dia akan
berkata, "That crazy old man had it coming." God, sejak kapan dia jadi seganas ini" Dia betulbetul perlu melepaskan sepatu ini.
"Bu Jana nggak pa-pa?" Tanya Caca yang dia geret untuk menemaninya malam ini, yang kini
sedang menatapnya prihatin.
Jana hanya tersenyum penuh keyakinan dan mengangguk. Dia harus menelan
ketidaknyamanannya karena tidak mau membuat Caca, yang kelihatan seperti anak hilang di
tengah keramaian orang-orang paling ngetop Indonesia setelah presiden RI, semakin gugup.
Rntah berapa kali dia melihat Caca melarikan tangannya pada gaun malamnya, merapikan
kekusutan yang hanya bisa dilihat olehnya.
"Makasih ya udah mau nemenin saya ke acara ini," ucap Jana." Kita Cuma perlu ada di sini
sekitar sejam, supaya panitia setidak-tidaknya tahu ada perwakilan dari Oetomo Jaya mala mini,
habis itu kita bisa pulang."
Caca hanya mengangguk. Pada detik itu pintu ballroom di buka dan para tamu perlahan-lahan
menuju meja yang sudah disediakan. Dia dan Caca kedapatan duduk satu meja dengan delapan
orang lainnya yang rata-rata bisa dikategorikan manula. Jana mengenali mantan gubernur DKI
dengan istri dan seorang bintang film senior dengan suami. Setelah melalui proses perkenalan.
Jana juga tahu bahwa pasangan yang duduk persis di sebelahnya adalah pemilik pasar swalayan
terbesar di Indonesia dengan anaknya, dan pasangan yang duduk berseberangan dengannya
adalah mantan rector sebuah universitas di Jakarta dengan istrinya.
Mereka hamper kehabisan topic pembicaraan ketika MC acara meminta para tamu untuk segera
duduk di tempat yang sudah disediakan karena acara akan segera dimulai. Menurut agenda, acara
penggalangan dana yang mencakup makan malam ini akan dimulai dengan beberapa pidato,
diikuti persembahan lagu dari beberapa penyanyi ternama dan ditutup oleh acara lelang. Selain
penjualan sepiring makan malam yang harganya lebih mahal daripada emas sepuluh gram, dana
juga akan digalang dari hasil penjualan barang lelang. Daftar barang yang akan dilelang sudah
diselipkan bersama undangan, jadi para tamu/penawar bisa memutuskan pilihan mereka
sebelumnya. Jana sudah menandai beberapa barang yang dia inginkan untuk diberikan kepada
Caca sebagai tanda terima kasih karena sudah menemaninya malam ini.
Dia baru saja akan menelepon Mami yang malam ini bersedia menjaga Raka dan Erga untuk
menanyakan kabar anak-anak ketika lampu ruangan meredup dan sebuah video mulai
ditayangkan pada beberapa layar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Jana memutuskan
menunda teleponnya hingga makanan pembuka dihidangkan.
*** "I can"t believe me"re late," ucap Eva sambil bergegas menuju ballroom tempat acara diadakan.
"Jangan salahin aku. Aku udah siap di jam yang kita setujui, kamunya aja yang telat jemput
aku," balas Ben. "Ben, bukan nyalahin kamu, aku Cuma bingung aja kok bisa aku salah hitung waktu."
Ben hanya memutar bola matanya mendengar ucapan Eva. Sumpah mati, dia nggak pernah
ketemu orang paling nggak bisa tepat waktu seperti kakaknya ini. Kalau dia bilang akan ketemu
jam 17.00, itu berarti paling cepat dia baru akan muncul jam 18.00. dan malam ini Eva dan
sopirnya baru muncul pukul 18.30. tentu saja mereka terlambat ke acara yang sudah dijadwalkan
untuk mulai pukul 20.00. dia saja yang sudah lama tidak tinggal di Jakarta tahu betapa macetnya
Jakarta pada sabtu malam. Selama ini dia pikir Eva sudah sembuh dari penyakit tukang telatnya
itu, ternyata belum. Begitu mereka tiba di meja penerimaan tamu dan Eva memberikan undangannya, salah satu staf
langsung melokasi meja mereka dari laptop dan menggiring mereka masuk ke dalam ballroom.
Ruangan sudah gelap, tapi untungnya sebuah video sedang ditayangkan, jadi mereka memiliki
cukup penerangan untuk mencapai meja mereka tanpa tersandung, sayangnya, itu tidak
menjamin Eva tidak melibas beberapa orang dengan selendangnya ketika melewati mereka. Ben
mengucapkan kata maafnya untuk Eva sementara Eva berlalu begitu saja, tanpa menyadari
kekacauan yang ditinggalkannya.
Begiru mereka sampai di meja yang berada di tengah, tiga baris dari panggung, Ben buru-buru
meminta Eva untuk duduk agar tidak menghalangi tamu-tamu lain yang sedang menonton video.
Begitu bokongnya bersentuhan dengan bantalan kursi, video berakhir dan lampu kembali
menyala yang diikuti tepukan meriah para tamu. Ben menyadari bahwa acara ini lebih besarbesaran daripada yang dia sangka. Ruangan dipenuhi oleh setidak-tidaknya lima puluh meja
dengan sepuluh orang setiap mejanya dan dari apa yang dia lihat, semua tamu berpakaian
superformal. Yang laki-laki mengenakan jas dan dasi, sementara para wanita mengenakan gaun
malam. "Kayaknya aku underdressed deh," bisik Ben pada Eva yang sekarang sedang membaca menu.
"Kan aku udah bilang ke kamu acaranya formal," balas Eva cuek tanpa mengalihkan tatapannya
dari menu. Pada saat itu MC mengundang seseorang untuk memberikan pidato pembuka dan Ben menahan
diri dari memberikan komentar lebih lanjut.
acara sudah berlangsung setengah jalan dan Jana harus akui bahwa dia cukup menikmati malam
ini dan sepertinya Caca merasakan hal yang sama, seperti yang dilihatnya dari wajah penuh
senyum yang diperlihatkan asistennya itu. Di luar perkiraannya, makanan yang dihidangkan
cukup enak, pengisi acaranya sangat ramah. Berbeda sekali dengan perkiraannya tentang orangorang kaya pada umumnya. Dia tahu komentar ini terdengar aneh datang darinya, Karena dia
tahu banyak orang mengkategorikan keluarganya sebagai keluarga kaya. Sesuatu yang sangat dia
sesali. Sejujurnya kalau diberikan pilihan, dia akan memilih tidak memiliki uang tapi bebas
melakukan apa saja yang dia mau daripada punya uang segambreng tapi terkekang.
Nama, uang, dan jabatan adalah hal-hal yang tidak pernah dia pahami pesonanya. Dia tahu
banyak orang akan menilai orang lain dari nama belakang mereka, berapa banyak uang dan apa
jabatan yang dimiliki oleh orang tersebut, termasuk Mami dan Papi. Dia ingat bagaimana
orangtuanya selalu memonitor teman-temannya di sekolah. Mami akan mengajukan pertanyaan
seperti: "Siapa namanya?", "Rumahnya di mana?", "Apa pekerjaan orangtua mereka?", sebelum
kemudian meminta Jana mengundang mereka datang ke rumah agar beliau bisa menilai mereka
langsung. *** Mengundang teman-temannya ke rumah adalah pengalaman paling tidak mengenakkan yang
pernah dia alami dan dia yakin Nadia, Adri, dan Dara, ketiga sobatnya waktu SMP, juga
merasakan hal yang sama. Itu adalah kunjungan pertama dan terakhir mereka ke rumahnya.
Karena sikap kedua orangtuanya inilah sampai sekarang Jana masih mengalami masalah
menyukai orang-orang yang memiliki uang, dia takut mereka juga akan sesombong orangtuanya.
Di depan cermin di dalam toilet wanita, Jana menaburkan bedak pada hidungnya. Toilet itu sepi,
hanya ada dirinya dan seseorang lagi yang sekarang sedang mengeringkan tangannya dengan
handuk. Tidak lama kemudian orang itu pun meninggalkan toilet. Jana sedang memasukkan
bedak compact-nya ke dalam tas ketika pintu toilet terbuka dengan sedikit bantingan dan seorang
wanita dengan gaun malam berwarna hijau tergesa-gesa menuju salah satu kubikel yang tersedia.
Dia sedang mencuci tangan ketika wanita itu keluar beberapa menit kemudian dari kubikel
dengan wajah lega. Tatapan mereka sempat bertemu di permukaan cermin dan mereka sama-sama tersenyum
sebelum wanita itu mengalihkan perhatiannya untuk mencuci tangannya. Entah kenapa, ada
sesuatu yang familier dengan wanita ini. Apa dia pernah bertemu dengannya sebelumnya" Tapi
kalau mereka ketemu, kenapa wanita itu tidak kelihatan mengenalinya sama sekali" Jana harus
segera memalingkan wajahnya dengan sedikit malu ketika tertangkap basah memandang wanita
itu. "Apa ada yang salah dengan baju saya?" Tanya wanita itu sedetik kemudian sambil kemudian
menunduk untuk memeriksa gaunnya.
"Oh, ng-ngak, nggak ada."
"Ada yang salah sama make-up saya?"Tanya wanita itu lagi, kini mendekatkan wajahnya pada
cermin dan memeriksa wajahnya.
"Nggak ada," ucap Jana sekali lagi.
Wanita itu menarik wajahnya dari depan cermin dan mengeringkan tangannya. Jana berdebat
dengan diri sendiri. Tanya, nggak, Tanya, nggak, Tanya, Tanya! Tanya!! Nggak bisalah, gila apa
gue?"!! Kalo nanti dia bilang nggak kenal, muke gue mau ditaro di mana"!
"Have we met?" Jana tidak tahu bagaimana pertanyaan itu bisa keluar dari mulutnya, tapi itulah
kenyataannya, dan ternyata itu tidak sememalukan yang dia bayangkan."
Wanita itu kelihatan mempertimbangkan pertanyaannya sejenak, sebelum berkata, "I don"t think
so," dengan senyum bingung dan penuh maaf.
Ternyata penilaian dia sebelumnya tentang kejadian ini salah. Ini jauh lebih memalukan daripada
yang dia bayangkan. Bahkan mengalahkan malu yang dia rasakan ketika salah satu cowok di
kelasnya mendapati ada bercak merah tepat di area bokong pada rok putih SMP yang di
kenakannya. Dia rasanya ingin lari keluar dari toilet sambil menagis tersedu-sedu saking
malunya, namun nyatanya Jana justru berkata, "Maaf, saya salah orang," sebelum bergegas
meninggalkan toilet dengan wajah kebakaran.
"Aku nggak tahu gimana kamu bisa ngebujuk aku untuk beli satu set peralatan make-up," ucap
Ben dengan nada ngedumel sambil melangkah keluar dari ballroom.
"Emangnya kenapa?"
"Apa kamu nggak lihat tampang bapak-bapak yang duduk di seberang aku" Dia pikir aku banci."
Eva hanya melambaikan tangannya santai seakan kekhawatiran itu tidak berdasar. Well, Eva sih
bisa santai, dia berhasil mendapatkan barang kekang yang diinginkannya. Sebuah lukisan dari
salah satu pelukis muda Indonesia yang sedang naik daun. Sedangkan Ben" Jangankan pakai
make-up, pakai sabun muka saja dia nggak pernah.
"Kamu sengaja ya bikin aku nmawar barang itu?" Tanya Ben curiga.
"Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin," balas Eva.
Tapi Ben tahu kakaknya berbohong karena dia menolak menatapnya. "Kamu ngebiarin aku
ikutan nawar, karena kamu tahu aku akan ngasih iru ke kamu kalo aku sampe menang. Well,
newsflash untuk kamu. Rencana kamu gagal total. Aku akan ngasih itu ke Mama, bukan ke
kamu." "You wouldn"t," ucap Eva terkejut dan dengan begitu mengonfirmasi kecurigaan Ben.
"Yes, I would."
Eva langsung cemberut, "God, terkadang aku suka Tanya ke diri aku sendiri, kenapa aku repotrepot ganti popok kamu waktu kecil kalo kamu akhirnya jadi kayak begini."
"Oh, please. Waktu itu kamu masih terlalu kecil untuk ganti popok kecil aku. Kamu aja mungkin
masih pake popok waktu aku lahir."
"Ben?" "Ya, Ev?" "Shut up." Mereka berdiri di depan pintu lift dengan tamu-tamu lain yang sekarang sedang menatap
keduanya sambil senyum-senyum karena mendengar perdebatan barusan. Ben sedang nyengir
kepada mereka untuk menandakan bahwa perdebatannya dengan Eva hanya bercanda ketika dari
sudut matanya dia menangkap gerakan yang membuatnya menoleh. Tatapannya jatuh kepada
seorang wanita yang berdiri sekitar sepuluh meter darinya. Dia hanya bisa melihat punggung
wanita itu. Entah kenapa, dia tidak bisa mengalihkan perhatiannya darinya. Keinginan agar
wanita itu menoleh supaya dia bisa melihat wajahnya mulai menggerogotinya. Semakin lama dia
memperhatikannya, semakin dia sadar bahwa ada sesuatu yang sangat familier tentang wanita
itu. Dan pada saat itulah dia mendengarnya tertawa dan dia tertegun.
*** Tawa itu. Dia akan selalu mengenalinya di mana pun. Hanya ada satu orang yang bisa
mengeluarkan tawa lepas seperti itu. JANA. Tanpa Ben sadari, dia sudah memutar tubuhnya agar
bisa menatap wanita itu dengan lebih seksama. Eva yang kini posisi berdirinya jadi agak
terhimpit menatapnya sambil menaikkan alis penuh tanda Tanya, tapi Ben tidak
menghiraukannya dan kembali menatap wanita itu. Mungkinkah itu Jana" Nggak, nggak
mungkin. Dia nggak mungkin seberuntung itu. dia sudah mencarinya selama delapan tahun
belakangan ini tanpa hasil dan tiba-tiba dia bertemu dengannya begitu saja mala mini" Come on,
Ben, bahkan sang Pangeran selalu akan menghadapi naga, ibu tiri jahat, dan tanaman liar
pemakan manusia terlebih dahulu sebelum akhirnya bertemu sang Putri.
DAMN!!! Kenapa juga gue jadi mikirin plot cerita dongeng" Ben mengomeli dirinya sendiri.
"Maybe I"m gay" adalah hal selanjutnya yang terlintas di kepalanya. DAMN, DAMN, DAMN!
Stop it. Perhatiannya kembali kepada wanita itu. Dalam hati dia memohon agar wanita itu memang Jana,
tapi sebagian lagi menginginkan dia sedang berhalusinasi. Pada saat itulah dia mendapat ide
brilian. Ben mengeluarkan ponselnya dan dengan jempolnya menggulir daftar nama pada contact
list sampai dia menemukan nama Jana sebelum menekan tombol call. Dia mengembuskan napas
dan mendekatkan ponsel itu pada daun telinganya.
"Kamu lagi nelepon siapa, Ben?" Tanya Eva.
Ben hanya mengangkat tangannya sebagai tanda dia akan menjelaskan nanti. Perhatiannya tetap
menempel kepada wanita itu, yang akhirnya mengakhiri percakapannya dengan teman bicaranya
ketika Ben mendengar ujung saluran selulernya berdering. Dan kejadian selanjutnya seakan
bergerak dalam slow motion. Samar-samar dia mendengar bunyi telepon bordering di seberang
ruangan kemudian wanita itu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Dan detik selanjutnya dia
mendengar sebuah suara berkata, "Halo," dari speaker telepon.
Suara itu. Suara yang terakhir kali didengarnya delapan tahun yang lalu. Ben tidak bisa bernapas,
apalagi berpikir. Semua suara jadi redup dan yang didengarnya hanyalah detak jantungnya yang
menggila. Tatapannya terfokus kepada sumber suara itu dan dunia seakan berhenti berputar.
Sekali lagi dia mendengar suara itu mengucapkan "halo", kali ini dengan nada sedikit tidak
sabar. "Jana." Ben bahkan tidak tahu bahwa dia sudah mengucapkan nama itu ketika mendengar
balasannya. "Ya, ini Jana. Siapa ini?"
HOLY SHIT! Ini memang Jana. Betul-betul Jana, bukan halusinasinya.
Pada detik itu pintu lift terbuka dan semua orang bergerak memasukinya, otomatis mendorong
Ben ke belakang. Tanpa pikir panjang Ben langsung menarik Eva ke samping, menghindari
serbuan orang-orang yang mau menaiki lift. Kemudian, tanpa penjelasan apa-apa, dia melangkah
cepat, setengah berlari menuju Jana, meninggalkan Eva di dekat lift. Dia tidak berhenti hingga
dia berdiri persis di belakang Jana. Dia menarik napas dan menyapa wanita yang memegang
separo hatinya itu. Jana baru saja selesai berpamitan dengan istri sang mantan rector, yang sekarang dia tahu
bernama Ibu Sumarsono, ketika ponselnya bordering. Dia buru-buru merogohnya dari clutch,
takut itu Mami. Nomor tidak dikenal terpampang pada layar dan dia mempertimbangkan untuk
membiarkan voicemail menjawabnya, tapi akhirnya memutuskan menjawab, takut emergency.
Sebuah suara yang terdengar agak aneh mengucapkan namanya dan Jana langsung
mengonfirmasinya sebelum balik menanyakan identitas orang tersebut, tapi tidak ada jawaban,
Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian sambungan terputus. Jana menatap ponselnya dengan sedikit bingung sebelum
memasukkannya kembali ke dalam clutch. Dia baru sja akan mengajak Caca pulang ketika
mendengar seseorang di belakangnya memanggil namanya. Otomatis dia langsung berbalik dan
bertatapan langsung dengan Ben.
*** Ben, cowok yang sudah membuatnya merasa aman dan nyaman hanya dengan berada di sisinya,
membimbingnya jadi dewasa, dan mengajarkannya arti dicintai dan mencintai. Ben jugalah
cowok bajingan, anak setan, all around bastard yang sudah dia tinggalkan delapan tahun lalu
setelah dia menginjak-injak harga diri dan hatinya. What the hell is he doing here?""!!
"Hi," ucap Ben yang kini sedang tersenyum lebar.
Jana tidak bisa bernapas ketika melihat senyum itu. Jangankan ingat kenapa dia marah pada Ben,
dia bahkan tidak ingat namanya sendiri. DAMN!!! Bagaimana mungkin setelah bertahun-tahun
ini dan setelah apa yang dia sudah lakukan terhadapnya, Ben masih memiliki efek seperti ini
terhadapnya" Tanpa dia sadari, matanya sudah berlari dari ujung rambut, hingga ujung kaki Ben
sebelum kembali lagi ke wajahnya. DOUBLE DAMN!!! Dunia betul-betul tidak adil. Ben
bahkan kelihatan lebih yummy lagi daripada delapan tahun yang lalu. Dia mengenakan kemeja
biru muda dan celana hitam yang jatuh dengan sempurna pada tubuhnya. Entah bagaimana, Ben
kelihatan jauh lebih tinggi dan besar daripada dulu. Rambutnya juga lebih pendek dari terakhir
kali Jana melihatnya. Dan meskipun Jana menyayangkan itu, karena dia ingat betapa dia senang
melarikan jari-jarinya pada rambut Ben, tapi dia harus akui Ben kelihatan lebih cocok dengan
potongan yang sekarang. Ditambah dengan wajah yang ditutupi sedikit jenggot, Ben kelihatan
hot as hell. Seperti yang Jana lakukan, Ben juga melakukan hal yang sama terhadapnya. Dia melarikan
matanya ke rambut, mata, bibir, sebelum menghabiskan waktu agak lama pada dada dan pinggul
Jana. Tatapannya kemudian jatuh ke kakinya yang terpampang jelas karena gaun hitamnya
berhenti tepat di lutut. Terakhir, tatapannya jatuh pada sepatu yang dikenakannya. Jana rasanya
mau mati saja. Dia berharap dia masih kelihatan selangsing dan semenarik dulu, sesuatu yang
sangat tidak mungkin mengingat dia sudah melahirkan anak kembar laki-laki yang menyedot
semua hormone seksinya. Dia ingat payudaranya sudah turun, lengan atasnya sudah tidak
sekencang dulu, dan garis-garis stretch marks yang sekarang menjalari perut dan bokongnya.
Untuk pertama kalinya, dia menyesali kemalasannya berolahraga. Detik selanjutnya dia
memarahi diri sendiri karena mengkhawatirkan pendapat Ben tentangnya.
"You look good, Jan."
Oke, mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi apa suara Ben terdengar serak ketika mengatakan
itu" Sekilas, tatapan Ben kelihatan seperti orang kelaparan yang siap melahap steak di
hadapannya. Dan Jana terkejut ketika menyadari bahwa steak itu adalah dirinya. Saking
terkejutnya, dia tidak tahu apa dia harus merasa tersanjung atau tersinggung dengan tingkah laku
Ben ini. Yang ada dia hanya bisa menganga, kemudian dia sadar diri dan mulai ngedumel dalam
hati. Is he serious" Berani-beraninya dia menggodanya" Apa dia pikir bahwa dengan satu
senyum dan pujian, Jana bisa melupakan apa yang sudah terjadi di antara mereka" Well, laki-laki
ini sinting kalau dia punya pikiran seperti itu.
Tanpa bisa menahan kemarahan yang mulai menderu memenuhi dadanya, Jana berkata sinis,
"Well, you still look loke an asshole, Ben."
BAB 6 I"ve been up all night drinking
To drown my sorrow down Ben tahu pasti ada yang salah dengan dirinya ketika bukannya merasa tersinggung dengan katakata Jana, dia malah ingin menciumnya. Kata-kata hinaan itu terdengar seksi keluar dari bibir
Jana yang malam ini berwarna merah darah. Dia ingin membuat lipstik Jana berlepotan dengan
melarikan bibir, lidah, dan giginya pada bibir itu. Kemudian, setelah puas membuat bibir itu
bengkak, dia akan menyerang bagian tubuh Jana yang lain. Di mulai dari payudara yang
kelihatan lebih besar dan berisi daripada yang dia ingat. Yes, dia adalah laki-laki pecinta
payudara dan tidak malu mengakuinya. Banyak laki-laki yang terobsesi dengan kaki atau bokong
perempuan, tapi dia" Dia bisa hidup bahagia hanya dengan sepasang payudara.
This is not good!!! Dia harus menjauhkan diri dari segala hal yang berhubungan dengan
payudara, terutama payudara milik Jana. Dengan susah payah Ben memaksa matanya kembali
pada wajah Jana.wajah itu masih secantik yang dia ingat. Selain bibirnya yang merah, hanya ada
make-up tipis yang memberikan aksen pada tulang wajahnya. Jana memang tidak pernah suka
mengenakan make-up, lebih memilih penampilan natural, sesuatu yang Ben syukuri karena pada
saat ini dia tidak mau laki-laki lain menyadari betapa cantiknya Jana dan membajaknya darinya.
Setelah delapan tahun, dia masih menginginkan Jana seperti pada hari pertama dia bertemu
dengannya. Kenyataan ini dan kata-kata Jana yang mengatakan dia masih kelihatan seperti
bajingan membuatnya tertawa kencang, dengan kepala terlempar ke belakang segala. Dia tidak
Si Rajawali Sakti 1 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Gadis Penunggu Jenazah 3