Dia Tanpa Aku 4
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih Bagian 4
saja terucap dari mulut Reinald. Bagi Reinald, mengucapkan kalimat itu telah
membuatnya terguncang, sehingga cowok itu tak sanggup menatap Citra dan
terpaksa memalingkan muka.
"Jam berapa lo denger acara itu?"
"Biasa, jam tujuh. Biasa jam segitu gue mulai belajar."
Reinald terenyak! Waktu yang sama. Gelombang-gelombang yang sama. Bukan cuma dua-tiga
kali ia memutar tuning bolak-balik. Berkali-kali. Bagaimana bisa dirinya tidak
menangkap siaran itu"
Ketenangan sesaat yang tadi sempat hadir, seketika menghilang. Kembali
Reinald dicekam kegelisahan yang kini mulai bercampur dengan ketakutan.
Tapi belum tentu, bisiknya kemudian dalam hati. Barangkali tu orang punya
story yang sama kayak Ronald. Itu jenis cerita yang klasik kok.
"Siapa nama tu cowok?" tanyanya kemudian.
"Nggak tau. Gue dengerinnya udah telat."
"Trus, ending-nya gimana" Mereka jadian?"
"Itu dia yang gue kesel! Huh!" Citra mengetuk-ngetukan bolpoinnya ke meja.
"Di rumah gue semalem mati lampu! Cuma sebentar sih. Kira-kira sepuluh
menit. Tapi begitu listriknya nyala lagi, cerita tu cowok udah selesai. Yang
cerita udah penelpon berikutnya. Sebel! Padahal gue penasaran banget sama
ending-nya." Sementara muka Citra cemberut karena kesal tidak mengetahui ending
cerita yang didengarnya semalam, muka Reinald justru pucat pasi.
Ketiadaan nama dan ketiadaan ending".
Tidak diragukan lagi. Semuanya sudah jelas. Ronald memang telah kembali!
Reinald kacau. Jauh lebih kacau daripada kemarin. Cowok itu berusaha
menutupinya, meskipun dengan susah payah. Saat bel istirahat berbunyi,
Reinald segera berdiri. Tanpa peduli mejanya masih berantakan dan tanpa
mengatakan apa-apa pada Citra, cowok itu berjalan ke luar kelas. Citra
mengikutinya dengan pandangan heran dan bertanya-tanya.
Reinald berjalan dengan langkah cepat menuju toilet. Dimasukinya salah
satu bilik lalu dikuncinya dari dalam. Kemudian ia menyalakan keran agar tidak
ada orang yang tahu bahwa ia tidak melakukan apa-apa. Hanya ingin berdiam
diri. Merenung. Berpikir. Tanpa khawatir mengundang keheranan dan
pertanyaan. Cowok itu berdiri diam dengan punggung bersandar di salah satu sisi
dinding. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Di tengah kecemasan,
kegalauan, juga ketakutan yang semakin menikam, Reinald terus berpikir dan
bertanya-tanya dalam hati, apakah Ronald memang betul-betul datang
kembali namun tak lagi kasatmata. Tak lagi terlihat. Tak lagi teraba.
Pertanyaan itu jelas takkan menemukan jawaban yang pasti. Meskipun
Reinald sudah menghabiskan seluruh jam istirahat dengan berdiam diri di salah
satu bilik toilet, ketika ia keluar toh pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan.
Tidak ada jawabah yang berhasil ia dapatkan kecuali kalau ia mau percaya
intuisinya sendiri. Menjelang jam istirahat berakhir, Citra kaget melihat Reinald berjalan masuk
kelas dengan muka sangat pucat.
"Lo sakit, ya?" tantanya cemas. "Muka lo pucet banget."
"He-eh." Reinald menjawab singkat. "Punya makanan, nggak" Gue nggak
sempet ke kantin tadi."
"Ada, Bengbeng. Tapi tinggal dua menit lagi bel nih."
"Cukup kok. Mana?"
Citra mengeluarkan Bengbeng yang tadinya akan dibawanya pulang itu dari
dalam tas dan menyerahkannya pada Reinald. Cowok itu segera merobek
bungkusannya lalu melahap isinya dengan cepat.
"Thanks," Ia tersenyum dikunyahan terakhir. Ditepuknya bahu Citra.
"Sekarang gue udah sehat," katanya, untuk mengakhiri sorot cemas di kedua
mata itu. "Cepet amat" Cuma pake Bengbeng doang, lagi."
Reinald tertawa pelan. "Gue bukan sakit, tapi kelaperan" banget!" katanya berbohong. "Ulangan
Inggris nih. Siap?" "Siap nggak siaplah," dengus Citra. Cewek itu memang lemah di semua mata
pelajaran yang ada judul "bahasa"-nya. Reinald tertawa tanpa suara.
Bel berbunyi. Seluruh isi kelas segera menuju bangku masing-masing.
Mereka langsung mengeluarkan kertas ulangan. Bu Nana, guru bahasa Inggris,
memang sudah memberi tahu perihal ulangan ini sejak dua minggu lalu.
Tak lama Bu Nana memasuki kelas. Satu tangannya memeluk sebuah map
berisi fotokopian soal-soal. Tanpa banyak bicara, beliau langsung membagi
tumpukan soal itu menjadi empat bagian dan menaruhnya di empat meja
terdepan. Delapan murid yang duduk di meja terdepan segera mengopernya
ke teman mereka di belakang, setelah meninggalkan selembar untuk diri
mereka sendiri. Seisi kelas langsung bersiap-siap dan Bu Nana duduk tegak-tegak di kursinya.
Ia memastikan setiap murid di depannya mengerjakan soal hanya dengan
menggunakan otak mereka sendiri.
Kelas hening. Meskipun sempat merasa heran karena soal yang berjumlah
dua puluh itu keseluruhannya berformat jawaban B-S (Benar-Salah), seisi kelas
langsung berkonsentrasi dengan keras di hadapan masing-masing.
Termasuk Reinald. Cowok itu juga segera tenggelam dalam keseriusan
menjawab deretan soal di depannya. Ketika akhirnya selesai mengerjakan
kedua puluh soal tersebut, Reinald mendapati kenyataan bahwa seluruh
jawabannya adalah" Benar!
Ini belum pernah terjadi. Reinald membaca ulang seluruh soal dari awal.
Tetap, jawaban yang ia dapatkan adalah "Benar" untuk seluruh soal. Masih
tidak yakin, sekali lagi Reinald membaca ulang seluruh soal. Sekali lagi pula,
jawaban keseluruhan untuk soal itu adalah "Benar".
Seketika wajah Reinald memucat. Kini ia menyadari, inilah jawaban dari
pertanyaan yang diajukannya dalam hati saat mengurung diri di dalam bilik
toilet jam istirahat tadi.
"Apakah Ronald memang kembali?"
Di depan matanya, jawaban pertanyaan itu diberikan dalam dua puluh kali
perulangan. BENAR!!! BAB 15 RONALD datang! Dia kembali!
Reinald membeku di bangkunya. Di kelas yang dikosongkan oleh jam
istirahat, ia merasa dunia di sekelilingnya mengabur. Ada dunia lain bergabung.
Dunia tempat Ronald kini tinggal. Kekalutannya kini jadi ketakutan yang nyata.
Tiba-tiba Reinald tersentak. Ia menyapukan pandangan ke sekeliling, lalu ke
luar jendela. Citra tidak terlihat, berarti masih di kantin. Reinald cepat-cepat
berdiri lalu keluar kelas. Di kantin, Citra sedang duduk di antara cewek-cewek
teman sekelas lainnya, mengobrol dengan riuh sambil mengunyah tahu isi.
Reinald bergegas menghampiri.
"Cit, sebentar." Diraihnya tangan kiri Citra.
Cewek itu menoleh kaget. "Apa?"
"Ikut gue bentar."
Dengan paksa Reinald menarik Citra sampai berdiri dan membawanya ke
luar kantin, diiringi tatapan bingung cewek-cewek itu. Citra berlari-lari kecil,
mengimbangi langkah cepat Reinald. Begitu sampai di luar, Reinald
melepaskan genggamannya dan langsung ke masalah yang tadi muncul
mendadak di kepalanya. "Cit, lo kenal Ronald?"
"Ronald siapa?"
"Ronald siapa aja. Yang penting lo kenal dia. Ada nggak?"
"Mmm?" Citra mengingat-ingat. "Ada sih."
Muka Reinald langsung pucat. "Ada?" desisnya tegang.
"Ada. Itu juga gue yang kenal dia. Dia sih bisa dipastikan nggak kenal gue
sama sekali. Itu tuh, si Ronaldinho. Pemain bola," Citra menjawab kalem. Lalu
ia terkikik geli. "Siapa juga yang nggak kenal Ronaldinho?"
Reinald mendesis lagi. Kali ini karena kesal. Jantungnya sudah nyaris lepas,
tapi ternyata Citra cuma bercanda.
"Gue nanya serius banget nih, Cit."
Citra akan meneruskan candanya, tapi batal saat dilihatnya muka keruh
Reinald. "Nggak." Dia menggeleng.
"Yakin" Coba lo inget-inget"
"Nggak." Citra menggeleng lagi. "Temen-temen gue di SMP nggak ada yang
namanya Ronald. Kalo temen-temen SD?"
"Nggak perlu yang udah lama banget," Reinald langsung memotong.
"Temen-temen yang lo kenal waktu SMP aja."
"Ya itu tadi. Nggak ada." untuk ketiga kalinya Citra menggeleng.
"Yakin?" "Yakin!" Reinald terlihat lega. Citra jadi tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Emang kenapa sih?"
"Nggak apa-apa." Reinald langsung menggeleng. "Yuk, balik ke kelas. Udah
mau bel nih," ajaknya.
Citra mengangguk. Ia melambai ke arah teman-temannya yang masih asyik
ngobrol. "Gue dulan yaaa!" serunya.
Mereka menoleh dan berseru bersamaan, "Yaelaaaah! Ke kantin aja
dijemput!" Citra meringis lebar. Sekali lagi ia melambaikan tangan lalu menyusul
Reinald. *** Dia mungkin tidak lagi kasat mata. Dia kini maya. Abstrak. Tidak terlihat. Tidak
teraba. Tapi dia adalah Ronald! Kakak satu-satunya. Saudara cowok satusatunya. Musuh bebuyutan di dalam rumah, namun sekutu sahati untuk
urusan berkelahi di halaman rumah mereka. Sedetik mereka adu jotos, lima
menit kemudian Ronald bisa menghajar anak tetangga demi Reinald. Dan
sepanjang ingatan Reinald, mereka belum pernah tidak sekamar.
Jadi Reinald mengenal sosok invisible itu lebih baik daripada siapa pun!
Tapi keyakinan itu tidak bertahan lama. Mengenal baik sosok invisible
Ronald bukan berarti tahu pula cara menghadapinya. Reinald justru sangat
menyadari bahwa ia sama sekali tidak punya cara. Dan itu membuatnya putus
asa. Selain itu, Reinald tahu ia tak bisa membagi kekalutannya pada siapa pun.
Hanya pada satu orang, tapi ia tidak yakin dengan respons orang itu.
Andika kaget saat membuka pintu depan dan mendapati Reinald berdiri di
hadapannya dengan muka pucat.
"Ada apa?" tanyanya cemas.
Mulut Reinald sudah terbuka, tapi perlu waktu cukup lama sebelum
akhirnya Andika mendengar suara serak keluar dari sana.
"Ronald pulang."
Seketika wajah Andika tampak kaget, bingung, dan reaksi-reaksi shock
lainnya. Tumpukan reaksi yang membuatnya tak bisa bicara, hanya mampu
menatap Reinald dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Anak itu
sampai lupa menyuruh Reinald masuk sehingga sang tamu menceritakan
semuanya dengan berdiri di ambang pintu.
Cerita yang dituturkan Reinald tidak keruan. Suaranya yang serak kadang
terbata, dan kadang meluncur deras begitu saja.
Ketika Reinald selesai, Andika sedikit lega. Tadinya ia mengira Ronald
"pulang" dalam bentuk penampakan, dalam aura mistis atau horor, seperti di
film atau sinetron. Ia tidak sanggup membayangkan sahabatnya menjadi arwah
gentayangan, hanya karena soal cinta yang belum dimulai.
Masih berdiri di ambang pintu, Reinald menatap Andika. Tatapannya yang
seakan berkata "Gue mesti gimana?" jelas-jelas terbaca di kedua matanya.
"Masuk dulu." Andika melebarkan pintu. "Lo udah makan?"
"Nggak tau. Lupa." Reinald menggeleng.
"Makan dulu kalo gitu. Abis itu baru kita omongin. Kalo perut kenyang, otak
juga kerjanya lebih bener." Andika lalu berjalan ke dalam. Ia sengaja mengulur
waktu karena tak tega mengatakan bahwa penyebab kekalutan Reinald
sebenarnya cuma dua hal. Rasa bersalah dan kenangan.
*** Walaupun Andika menganggap sumber kekalutan Reinald berasal dari diri
Reinald sendiri, toh itu membuatnya tidak tenang juga. Terpaksa terus
dipantaunya kondisi adik almarhum sahabatnya itu, yang semakin dianggap
sebagai adiknya sendiri sejak kematian Ronald. Langkah pertama yang diambil
Reinald untuk mengatasi ketakutannya itu cukup membuat Andika kaget.
"Lo apain si Citra?"
"Cuma gue protect doang."
"Dengan cara yang lo sebut tadi, itu namanya dikerangkeng."
"Belom ketemu cara lain." Reinald malas berdebat.
Ia sadar usaha yang dilakukannya mungkin sia-sia. Tapi ia tidak tahu cara
lain. Untuk saat ini, hanya ini. Memastikan Citra tetap berada pada fokus
pandangannya, dan terus memastikan keadaanya lewat kontak telepon begitu
cewek itu harus dilepasnya.
Bukan hanya Andika yang bingung melihat sikap Reinald terhadap Citra.
Teman-teman sekelas mereka juga bertanya-tanya. Ke mana pun Citra pergi,
Reinald pasti mengikuti, kalo ia tidak bisa ikut, Citra harus lapor sebelumnya.
Pergi ke mana, dengan siapa, berapa lama.
Kalau Citra melanggarnya, Reinald pasti blingsatan mencari-cari Citra. Kalau
tidak menemukan Citra di mana pun, Reinald bisa panik, senewen, dan ujungujungnya cowok itu marah-marah karena Citra menghilang tanpa izin darinya.
Pemandangan Citra melakukan protes pun kemudian menjadi pemandangan
yang sering disaksikan teman-teman sekelas mereka.
"Gue udah bilang, kalo mau ke mana-mana, ngomong dong. Jangan ngilang
gitu aja!" ujar Reinald suatu hari.
"Orang gue cuma ke toilet. Masa mesti ngomong juga" Toiletnya keliatan
dari sini. Tuuuh!" Citra menunjuk toilet di ujung koridor dengan jengkel.
Reinald tidak peduli. "Toiletnya emang keliatan. Tapi kalo lo udah masuk ke situ, mana keliatan,
lagi" Mana gue tau lo ada di dalam sana?"
"Ya udah, lo ikut masuk aja, Ren," kata Ian dengan tampang bosan. "Lo
kelewatan juga sih. Masuk daerah orang aja lapor ke Pak RT-nya 1 x 24 jam.
Sekali doang. Nah kalo elo, masa tiap lima menit Citra kudu lapor sih?"
Reinald menoleh dan menatap Ian dengan ekspresi tidak suka. "Kalo nggak
tau masalahnya, mending nggak usah ngomong deh."
Kali lain, di jam istirahat, teman-teman sekelas mereka menemukan Citra
terduduk lesu di bangkunya, sambil memegangi perut. Di sampingnya, Reinald
sedang sibuk menulis sesuatu dengan cepat.
"Kenapa lo, Cit?" tanya Roni, yang baru saja memasuki kelas.
"Laper bangeeet!" Citra langsung menjawab dengan suara melengking
keras. Roni melirik Reinald dengan kesal, tapi wajahnya tetap ke arah Citra.
"Kalo laper ya ke kantin sana. Buruan. Udah mau bel nih."
"Nggak boleh pergi sendiri," ujar Citra sambil mencebik.
"Ya ampuuun! Ya udah, sini sama gue." Roni berjalan menghampiri Citra
sambil geleng-geleng kepala. Digamitnya lengan cewek itu. "Ren, Citra gue
temenin ke kantin. Lo ngapain sih" Nggak liat cewek lo udah mau semaput
gitu, apa?" "Ngerapiin catetan bio. Anak 1-3 diperiksa mendadak. Eh, Cit, lo kan udah
gue kasih kue tadi?" Reinald menghentikan kesibukannya dan menatap Citra.
"Sementara buat ganjel perut kan cukup" Ntar istirahat kedua, gue traktir."
"Kue kecil gitu, mana kenyang" Dibagi dua sama elo, lagi. Cuma sampe di
tenggorokan nih, sama ngotor-ngotorin gigi. Nggak nyampe perut!" Citra
bersungut-sungut sambil berdiri, lalu mengikuti Roni.
Reinald berseru saat kedua orang itu sampai di ambang pintu, "Kalo gitu gue
titip?" "Bodo!" tanpa menoleh, Citra langsung menolak. Roni tertawa dan
menghentikan langkahnya. "Titip apa lo?" tanyanya.
"Apa aja. Yang penting bisa bikin perut gue rada terisi. Lemper kek, tahu isi
kek. Bakwan juga boleh."
"Oke." Roni mengangguk, sementara Citra langsung menggerutu.
"Sendirinya kelaperan, tapi gue disuruh nunggu sampe jam istirahat kedua!"
"Jangan protes, Cit. Ntar lo nggak gue kasih izin ke kantin nih!" ancam
Reinald. Roni buru-buru mengajaknya pergi, "Buruan, Cit. Udah mau bel." cowok itu
berjalan ke luar kelas dengan langkah-langkah cepat. Citra buru-buru
mengikuti.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teman-teman sekelas yang menyaksikan adegan itu lagi-lagi tampak
bingung. Karena terlalu seringnya mereka menyaksikan itu, kemudian
merebaklah beberapa versi dugaan kenapa Reinald sampai overprotektif
begitu. Mereka menginterogasi Citra ketika cewek itu balik dari kantin.
"Lo pasti pernah nyolong ya, Cit, waktu main ke rumah Reinald. Makanya lo
diawasin terus sama dia. Takut lo nyolong di tempat lain," ujar Didot.
"Jangan-jangan lo cewek tukang selingkuh ya" Nggak bisa dipercaya.
Makanya ke mana-mana dibuntutin terus." Ini kata Toto.
"Lo punya penyakit ayan ya, Cit" Makanya Reinald nggak tega ngebiarin lo
sendirian. Takut lo kumat di jalan, trus nggak ada yang nolongin." Kalau ini
Derry yang ngomong. Diiringi tawa geli seisi kelas, Citra lalu berdiri dan bertolak pinggang. "Iyaaa,
sebutin aja yang jelek-jelek. Gue tukang nyolong, tukang selingkuh, ayan. Trus
apa lagi?" "Abis, kenapa dong Reinald sampe kayak gitu?" tanya Didot.
Reinald yang sedang asyik duduk di bangkunya, baru saja hendak menjawab,
tapi Citra sudah lebih cepat.
"Ya karena dia cinta banget sama gue!" tandas Citra. Langsung seisi kelas
bersuit-suit dan bertepuk tangan riuh.
"Cieeeh! Keren!" seru Toni.
"Romantis, bo!" timpal Alfian.
"Emang!" jawab Citra, dengan nada makin tandas tapi muka makin bete.
"Makanya lo-lo jangan pada berisik! Mengganggu kemesraan kami aja, tau!"
Kembali seisi kelas jadi ketawa-ketawa geli.
Citra berjalan ke arah bangkunya, sambil terus menatap Reinald. Cowok itu
balas menatap Citra dengan tampang bingung.
"Hai, darling honey!" seru Citra, dengan nada yang dibuat riang. "Mereka
pada ngiri tuh. Katanya kita mesra banget!"
Ketika Citra sudah duduk di sisi Reinald, cowok itu meraih Citra dengan satu
tangan lalu mencium puncak kepalanya. Sontak teriakan histeris memenuhi
ruang kelas mereka. "CUIH! BETE!" "NORAK!" "KAMPUNGAN!" "UDIK!" *** Tidak hanya itu. Reinald juga menjeput dan mengantar pulang Citra. Setiap
hari. Sementara bentuk proteksi lain yang dilakukan cowok itu begitu Citra
tidak lagi bersamanya adalah dengan mengiriminya SMS atau menelponnya,
untuk memastikan cewek itu dalam keadaan baik.
Tadinya Citra patuh. Ia membalas setiap SMS dan menjawab setiap telepon.
Tapi lama-lama cewek itu bosan juga. Karena bunyi setiap SMS dan telepon
Reinald selalu "Lo baik-baik aja, kan?", minimal sehari dua kali, lama-lama Citra
jadi stres. Jadinya malah nggak baik-baik aja, kan"
Pernah Citra mematikan ponselnya untuk melarikan diri sebentar saja dari
overprotektif Reinald. Tapi usahanya itu malah membuat telepon rumahnya
terus berdering. Kemudian didengarnya suara mamanya menjawab
pertanyaan, setelah itu mamanya muncul di kamar, menanyakan ada masalah
apa antara Citra dan Reinald. Citra tak bisa menjawab karena ia sendiri juga
tidak tahu. Cewek itu jadi dapat masalah baru, karena mamanya mengira ia
punya masalah gawat tapi tidak mau cerita.
Membiarkan ponselnya begitu saja tanpa memedulikan SMS dan telepon
dari Reinald, ternyata juga bukan jalan keluar. SMS yang masuk jadi bertubitubi dan ponsel itu jadi berdering terus. Bikin kepala mau pecah. Emosi Citra
akhirnya memuncak. Ketika kemudian diangkatnya telepon, siap marah-marah,
Reinald ternyata lebih galak lagi.
"Kenapa SMS gue nggak dibales!?" dari seberang langsung terdengar nada
tajam. "Bosen, tau! Isinya sama melulu. Telepon nanyanya itu-itu juga."
"Citra, denger ya!?" Reinald mendesis dengan nada yang semakin tajam.
"Gue kuatir sama elo, Cit. Makanya gue SMS, gue telepon. Kalo lo nggak bales
SMS gue, nggak ngangkat telepon, lo bikin gue tambah kuatir."
"Kan tiap hari lo nganter gue sampe rumah" Kenapa juga lo masih ngirim
SMS dan nelepon?" "Gue cuma nganter, Cit. Nggak nginep. Dan itu kan tadi sore. Sekarang udah
mau jam sembilan. Selisih berapa jam tuh" Bisa terjadi banyak hal, tau!"
"Tapi gue kan di rumah sendiri!"
"Nggak peduli lo ada di mana!" tandas Reinald. "Pokoknya, bales SMS gue
ya! Kalo gue telepon, angkat!" Reinald langsung mematikan telepon. Citra
menghentakkan kakinya. "Hiiih! Dasar otoriter!" makinya sambil melempar ponsel itu ke kasur.
Di seberang, Reinald tercenung. Masih dengan ponsel di tangan. Ia tahu,
ketakutannya telah menyebabkan dirinya bersikap terlalu keras terhadap Citra.
Tapi ia tidak tahu cara lain. Ia berharap, dengan begini Ronald tidak bisa
"mengambil" Citra. Cewek itu terus berada dalam pengawasan kedua
orangtuanya dan pengawasan Reinald.
Kalaupun bisa, apa pun wujud kakaknya itu kini, jiwa adalah kekal. Reinald
berharap hati juga kekal sama seperti jiwa.
*** Esok paginya, ketika hendak berangkat sekolah dan memeriksa isi dompetnya,
Reinald baru menyadari bahwa uang sakunya cekak banget. Ia nggak sadar
bahwa setiap hari meng-SMS dan menelpon Citra telah menguras isi
dompetnya untuk membeli pulsa. Sedangkan jadwal mendapatkan uang saku
bulanan masih jauh. Otak Reinald terus mengalkulasi sisa uang saku yang ada, plus sedikit
tabungan, kira-kira ia bisa bertahan berapa lama. Busa saja ia menghemat
transpor dan mengurangi jajan, tapi sampai kapan"
Karena sibuk memikirkan ini-itu, Reinald jadi tidak ingat sarapan. Akibatnya
saat ini, saat menelusuri trotoar menuju rumah Citra, perutnya melilit
kelaparan. Enak nggak ya, kalo numpang sarapan di rumah Citra" Gila, laper banget!
Katanya dalam hati. Kemudian cowok itu berdecak dan tersenyum sumbang.
Semalem gue marah-marahin tu cewek, dan sekarang gue minta makan" Tragis
banget! Kelaparan dan kepala sibuk mempertimbangkan untuk numpang makan
membuat Reinald tidak fokus pada jalanan di depannya. Tiba-tiba satu pukulan
keras mendarat di punggungnya. Cowok itu berteriak keras, kaget dan
kesakitan. Seketika ia balik badan. Seorang bapak menyambutnya dengan
tatapan marah. "Kamu tau nggak kalo semennya belum kering!?" bentaknya.
Reinald menunduk. Tidak jauh dari kakinya, ada satu area kecil berupa
lapisan semen yang masih basah, untuk menutupi lubang agar tidak semakin
lebar dan membahayakan pengguna jalan. Kedua jejak sepatunya tercetak
jelas di sana. Pantas saja bapak itu jadi berang.
"Maaf, pak. Maaf?" Reinald membungkukkan badan. "Saya nggak ngeliat."
"Makanya kalo jalan jangan sambil ngelamun. Jadi bisa liat-liat. Sana pergi!"
usir bapak itu. Sambil meraih ember kecil berisi adukan semen ia memelototi
Reinald. Reinald buru-buru pergi dari situ. Ketika ia sampai di rumah Citra, cewek itu
sedang menunggunya di teras. Tampangnya cemberut.
"Yuk!" Citra langsung mengajak Reinald berangkat. Tapi saat melihat wajah
Reinald yang pucat, Citra jadi bertanya, "Kok tampang lo kusut begitu" Belum
sarapan ya?" "Mmm"." Reinald berdeham. Ditatapnya Citra dengan senyum kikuk. "Iiya."
"Hah!?" Citra ternganga. "Gimana sih lo" Gimana bisa belajar kalo nggak
sarapan?" "Yaaah?" Reinald melebarkan senyumnya. Kemudian ia juga menceritakan
peristiwa ia dipukul tadi. Singkat tapi dilebih-lebihkan. Maksudnya jelas,
supaya Citra tambah kasihan, sekaligus melupakan soal marah-marah
semalam. "Sumpah, Cit. Sakit banget." Reinald menyentuh punggungnya hati-hati
dengan satu tangan. Citra meliriknya, masih dengan tampang kesal.
"Roti aja, ya" Makan sambil jalan. Soalnya kalo makan di sini, ntar kita telat."
"Oke. Lo sweet banget emang," Reinald langsung melontarkan pujian.
"Semalem lo udah marah-marah, sekarang gue yang ngasih sarapan. Kalo lo
masih bilang gue jelek, bener-bener gue kasih racun di roti lo ntar!" gerutu
Citra sambil balik badan dan berjalan ke dalam. Reinald menatapnya sambil
menyeringai. Namun seringai itu langsung menghilang begitu Citra sudah tidak
terlihat. Reinald tetap merasa apa yang menimpanya hari ini bukan kebetulan.
Tak lama Citra keluar, dengan satu tangkup roti dan segelas air mineral.
Reinald buru-buru mengubah air mukanya.
"Isinya selai kacang. Adanya cuma ini," kata Citra sambil mengeluarkan roti.
Reinald menerimanya dengan sigap.
"Ini juga udah oke banget. Yuk, jalan. Nyokap lo mana" Mau pamit."
"Lagi di kamar mandi. Udah gue pamitin tadi."
Keduanya pun melangkah keluar.
*** Sampai siang menjelang sore, saat Reinald menyusuri jalan menuju rumahnya,
rasa sakit di pungguang akibat pukulan tadi pagi tidak juga hilang. Reinald
kembali berpikir, apa yang menimpanya hari ini pasti bukan kebetulan.
Tiba-tiba saja ia melihat "tanda" itu, dulu sekali, di suatu hari saat ia dan
Ronald masih SD. Pertengkaran serius mereka yang pertama. Reinald sudah
lupa apa penyebabnya, dengan sebatang ranting kayu Ronald memukulnya
keras-keras di punggung. Reinald ingat, kejadian itu membuatnya menangis, setelah sebelumnya ia
menjerit keras dan Bi Minah tergopoh-gopoh menghampiri. Perempuan paruh
baya yang biasa sabar itu sampai marah-marah. Dia merebut ranting itu dari
tangan Ronald dan mengancam akan melakukan hal yang sama jika sekali lagi
Ronald berani memukul adiknya seperti itu.
Kenangan samar yang mendadak teringat lagi dengan sangat jelas itu
membuat Reinald tersentak. Langkahnya terhenti mendadak. Tanpa bisa
dicegah, jantungnya berdebar keras saat menyadari penyebab semua kejadian
yang menimpanya hari ini. Ronald marah!
*** Sudah lima belas hari berlalu sejak Reinald memasuki kamar dengan jantung
deg-degan dan pikiran campur aduk. Sudah selama itu pula ia berdiri di depan
foto Ronald. Tatapannya terpaku pada dua mata di dalam foto itu. Sepasang
mata yang sedang tertawa, tapi Reinald tidak menangkap kesan itu saat ini.
Ada banyak kalimat yang telah terlontar dalam diam yang cukup lama itu.
Reinald tidak ingin menyebut sikap yang diambilnya saat ini sebagai tantangan.
Ia tidak berniat menyakiti Ronald. Sama sekali.
Namun Citra milik dunia ini, dan cewek itu tidak tahu apa-apa. Jadi biarkan
Citra tetap di sini. Itulah permohonan Reinald pada sang kakak. Permohonan
yang digemakan dalam hati tapi ia yakin Ronald bisa mendengarnya.
Biarkan Citra tinggal. Yang artinya, Reinald juga memohon agar sang kakak
juga mau melepaskannya".
Pagi ini, sekali lagi dengan kedua mata menatap lurus pada kedua mata di
dalam foto itu, Reinald mengulangi permohonnanya, dalam diam dan dengan
sikap tubuh yang menantang.
Setelah sepuluh menit tegak di depan foto Ronald, Reinald membalikan
badan. Dilihatnya jam di pergelangan tangan. Astaga! Sudah lewat lima menit
dari jadwal ia harus berangkat. Diraihnya tas sekolahnya, tanpa memeriksa
isinya, kemudian bergegas keluar rumah.
Bus yang pertama lewat, penuh sesak. Reinald nekat berdiri di pintu. Sampai
di rumah Citra, cewek itu sudah senewen berat.
"Kok telat banget sih" Telepon gue nggak diangkat-angkat, lagi." sambutnya
begitu Reinald muncul di depan pagar.
"Mana nyokap lo" Mau langsung pamit nih," ucap Reinald langsung.
Citra berlari ke dalam, tak lama muncul bersama sang mama. Reinald
langsung pamit, juga Citra. Diiringi tatapan mama Citra, Reinald dan Citra balik
badan dan berlari ke luar halaman. Keduanya terus berlari di sepanjang gang
dan trotoar tepi jalan raya. Setiap kali Citra tertinggal, Reinald langsung meraih
satu tangannya dan menariknya.
Ditikungan, mereka melihat bus jurusan sekolah mereka baru saja
meninggalkan halte. Serentak keduanya memanggil. Reinald berteriak, Citra
menjerit. Bus itu berhenti. Meskipun pelajar adalah jenis penumpang yang
sama sekali tidak potensial memberikan keuntungan, histeria kedua pelajar itu
membuat sang sopir tak tega untuk meninggalkan mereka di belakang.
Bus itu penuh, tapi keduanya tidak peduli. Yang penting bisa memperkecil
persentase keterlambatan. Reinald menyuruh Citra naik lebih dulu, kemudian
ia menyusul. Untuk kedua kalinya di pagi ini, cowok itu harus berdiri di pintu.
Kali ini dengan Citra yang harus dijaganya. Yang harus ditahananya dengan
punggung setiap kali bus itu berbelok ke arah kanan.
Begitu bus berhenti di halte depan sekolah, keduanya langsung melompat
turun dan berlari sekencang-kencangnya menuju sekolah. Ternyata pintu
gerbang telah tertutup. Bel baru saja berbunyi. Keduanya memohon dengan
amat sangat pada Pak satpam agar bersedia membuka gerbang sedikit saja,
karena masih ada sedikit waktu sebelum guru piket datang dan sebelum guru
jam pertama sampai di kelas.
Dengan berat hati petugas sekuriti itu menggeser pintu gerbang yang berat
itu. Hanya sedikit, cukup untuk kedua anak itu menyelinap masuk. Keduanya
mengucapkan terima kasih, lalu berlari secepat-cepatnya menuju kelas.
Untung saja, guru belum datang. Keduanya masuk kelas dengan tubuh basah
oleh peluh tetapi lega karena berhasil selamat. Godaan teman-teman sekelas
mereka tanggapi hanya dengan cengengesan.
Selamat untuk Citra, tapi tidak untuk Reinald. Saat istirahat pertama, cowok
itu baru sadar bahwa ia tidak membawa buku pelajaran PKN!
"Mampus gue, Cit!" desis Reinald. "Buku PKN gue ketinggalan!"
"Yaaah!" Citra memekik tertahan. "Kok bisa" Hari ini yang ada PKN cuma
kelas kita, nggak bisa cari pinjeman."
"Makanya, ck!" Reinald berdecak.
"Ya udah. Kita pake cara kayak waktu itu lagi. Tapi jangan pinjem bukunya
Giri. Ntar nggak sukses lagi."
"Percuma!" Reinald menggeleng. "Yang ketinggalan bukan cuma buku
cetaknya. Semuanya. Buku catetan, PR, latihan."
"HAAAH!?" kali ini Citra memekik keras. "Ketinggalan, apa lo sengaja nggak
bawa sih?" "Ketinggalanlah!" jawab Reinald dengan intonasi yang tanpa sadar jadi
ketus. Ia enggan menceritakan alasan kenapa ia bisa lupa.
"Ya udah. Mendingan ntar lo jujur sama Bu Emi," usul Citra kemudian.
Reinald manggeleng. "Percuma!" "Iya sih." Citra mengangguk lemah. "Jadi?"
"Pasrah. Mau gimana lagi?"
Untuk Bu Emi, tidak membawa buku PKN adalah pelanggaran yang sifatnya
absolut. Meskipun cerita di balik tidak terbawanya buku tersebut sedramatis
kisah Anna Karenina atau Romeo-juliet, beliau tidak peduli. Nggak bawa, ya
nggak bawa. Titik! "Waktu itu, cuma nggak bawa buku cetak aja, lo dikeluarin dari kelas.
Sekarang lo bukan cuma nggak bawa buku cetak, tapi juga buku catetan, buku
PR, sama buku latihan!" Citra memandangi keempat jarinya. Kedua matanya
terbelalak saat menyadari betapa gawat masalah yang dihadapi Reinald.
"Kayaknya lo bakal dikeluarin dari sekolah!"
Reinald melirik jengkel, tapi tidak jadi marah ketika mendapati sorot cemas
di kedua mata Citra. Ternyata Bu Emi masih ingat bahwa sebelumnya Reinald juga pernah tidak
membawa buku PKN. Tidak mengherankan sih sebenarnya. Bedanya, dulu
beliau menganggapnya sebagai kasus ringan atau kasus umum, tapi sekarang
Bu Emi menganggapnya sebagai kasus khusus.
Karena Reinald tidak membawa seluruh buku yang berhubungan dengan
PKN -Bu Emi menekankan kata "seluruh" itu dengan menyebutnya tiga kaliberarti Reinald memang tidak tertarik untuk mengikuti pelajarannya. Jadi
dengan sangat berat hati, beliau membebaskan Reinald dari pelajaran PKN
selama satu bulan. Satu bulan"
What a wonderfull life! Beneran, sumpah! Kalau saja PKN bukan salah satu mata pelajaran yang
nilainya wajib berwarna biru di rapor. Dengan adanya kejadian ini, Reinald
tidak yakin sekeras apa pun ia berusaha dirinya akan punya peluang untuk
mendapatkan nilai biru. Reinald tidak tahu bagaimana cara Ronald melakukannya, atau bagaimana
semua peristiwa yang menimpanya selama dua hari terakhir ini terhubung
dengan almarhum kakaknya itu. Yang jelas, hari ini nasibnya lebih sial daripada
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemarin. Jauh lebih sial!
*** Reinald berjalan memasuki halaman rumah dengan muka kaku dan rahang
terkatup rapat. Ia begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga -tidak
seperti biasanya- ia masuk rumah begitu saja, tanpa memberi salam. Ia
langsung menuju kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Reinald lalu berdiri di
kaki tempat tidur Ronald. Karena hanya di situ satu-satunya tempat ia bisa
"berdiri berhadapan" dengan Ronald.
Masih dengan ransel tersandang di punggung, Reinald berdiri tegak di sana.
Ditentangnya sepasang mata Ronald yang berada di dalam foto berbingkai.
Sesaat hanya ada keheningan. Kemudian Reinald bicara dengan suara tenang.
Sangat tenang. Jenis ketenangan yang biasa terjadi sesaat menjelang badai.
"Sekarang Citra sama gue. Bukan sama elo!"
*** Kalimat yang sama, sikap yang sama, diulangi Reinald keesokan paginya,
sesaat sebelum berangkat ke sekolah. Tindakan yang tidak perlu sebenarnya.
Satu kali, cukup. Tapi dua kali, terlalu banyak!
Reinald pamit pada seisi rumah, lalu berangkat. Tidak sampai berdiri lima
menit di halte, bus yang ditanggungnya datang. Namun bus itu tidak pernah
sampai di halte tujuan. Di tengah jalan, bus yang sarat penumpang itu mogok.
Segala upaya yang dilakukan sopir berikut kondekturnya tidak berhasil
membuat mesin kendaraan itu menyala.
Akhirnya kedua orang itu pasrah dan memindahkan seluruh penumpang ke
bus-bus pada trayek yang sama. Tapi saat ini jam sibuk. Seluruh angkutan
umum dalam keadaan penuh. Bus pertama yang lewat cuma bisa memuat
tujuh orang lagi. Bus kedua malah lebih parah, hanya tiga orang yang bisa naik.
Itu pun sudah pasti di pintu.
Tak ayal, tiap kali sebuah bus muncul lalu berhenti di hadapan, terjadi saling
dorong di antara penumpang. Semua berebut naik. Reinald pilih mengalah.
Akibatnya, ia jadi tidak bisa menjemput Citra. Waktunya tidak cukup. Terpaksa
diteleponnya cewek itu. Memintanya untuk tidak menunggu dan berangkat ke
sekolah lebih dulu. Sebenarnya hal itu membuat Reinald sangat cemas. Tapi
tidak ada jalan lain. Ketika bus berikutnya muncul, Reinald memaksa naik karena waktu sudah
benar-benar mepet. Begitu sampai di halte tujuan, cowok itu langsung
melompat turun. Ditelusurinya trotoar dengan setengah berlari, karena bel
masuk sudah berbunyi dua menit yang lalu. Tapi Reinald lega karena tadi Citra
sudah mengirim SMS yang mengatakan dia sudah sampai di sekolah. Paling
tidak cewek itu tidak ikut terlambat.
Langkah setengah berlari Reinald mendadak terhenti. Seorang laki-laki yang
sepertinya tidak waras tiba-tiba muncul dari tikungan di depannya. Laki-laki itu
kurus, kumal, dekil dan bajunya compang-camping. Di kepalanya bertengger
helm rusak. Tapi bukan itu yang membuat Reinald mematung. Melainkan
benda yang tergenggam di tangan kanan laki-laki itu. Pentungan besi!
Orang gila itu menghampiri Reinald dengan mata melotot dan muka marah.
"Mau gue abisin lo!?" teriaknya.
Reinald memucat dan semakin tak mampu bergerak. Orang gila itu
mengayunkan pentungan besinya. Sesaat Reinald mengira dirinya sudah tewas,
tapi satu tangan menyambar lengan kiri Reinald dari belakang.
"Lari, goblok!" si pemilik tangan berteriak dan menariknya dengan sentakan.
Reinald tersadar. Ia balik badan, mengikuti tangan yang menariknya.
Ternyata Ian. Keduanya lari pontang-panting. Orang gila itu mengejar sambil
berteriak-teriak dan mengacung-acungkan pentungan besinya.
Kedua cowok itu terpaksa nekat memanjat pagar sebuah rumah, lalu
melompat masuk ke halamannya setelah tiga kali bunyi bel yang mereka tekan
dengan kalap tidak membuat satu orang pun keluar. Ian pucat. Reinald lebih
pucat lagi. Keduanya bersembunyi di belakang kursi teras, sambil mengintip ke
arah jalan. Tak lama orang gila itu muncul. Berlari melewati rumah tempat
mereka bersembunyi. Masih sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan
besi yang di pegangnya. Setelah teriakan orang gila itu tidak terdengar lagi,
baru kedua cowok itu menarik napas lega.
"Bego, lo!" bentak Ian kemudian. "Bukannya langsung kabur! Lo bisa mati
kalo tadi sempet kena sabetan!"
"Biasanya di situ nggak pernah ada orang gila. Kenapa tiba-tiba ada" Terus
kok sama sekali nggak ada polisi yang nangkep?" suara Reinald terdengar
mengambang. Seketika ia teringat kalimat yang dua kali diucapkannya di depan
foto Ronald. "Namanya juga orang gila, suka berkeliaran." Ia berdiri. "Yuk, ah. Buruan.
Keburu yang punya rumah nongol. Ntar kita dikira mau nyolong, lagi. Lagian
udah telat banget nih. Untung ada alesan yang oke!"
Keduanya kembali memanjat pagar, melompat keluar dan segera berlari ke
arah semula. Siangnya, sepulang sekolah, saat menyusuri kembali trotoar itu menuju
halte bersama Citra, Reinald mengawasi sekelilingnya dengan waspada. Citra
melakukan hal yang sama, juga semua murid yang berjalan menuju halte.
Kejadian yang menimpa Reinald dan Ian tadi pagi memang menjadi
pembicaraan ramai. Reinald menarik napas lega setelah bus yang mereka tunggu datang dan
orang gila berbahaya itu tidak terlihat sama sekali.
BAB 16 MALAM telah larut, namun Reinald masih tergolek di tempat tidur dengan
mata terbuka lebar. Sudah sejak siang tadi ia gelisah. Sangat cemas. Perasaan
itu muncul begitu saja setelah ia meninggalkan rumah Citra. Sampai saat ini
tidak tahu apa penyebab munculnya perasaan ini. Yang pasti ini terlepas dari
soal kemunculan orang gila dengan pentungan besi itu, karena sejak masuk
kamar Reinald berusaha keras tidak menatap foto Ronald.
Sudah tiga kali Reinald mengontak Citra, memastikan keadaanya. Cewek itu
baik-baik saja. Namun entah kenapa perasaan gelisah dan cemas ini tidak juga
hilang. Terus menekan dan tak bisa diabaikan.
Reinald menatap jam bekernya. Hampir jam satu dini hari. Terlalu larut
untuk menelpon, tapi perasaan cemas itu membuatnya tak bisa menahan diri.
Akhirnya ia bangkit lalu meraih ponselnya di meja. Ditekannya tombol kontak
dan ponselnya langsung terhubung dengan nomer yang dikontaknya terakhir
kali. Citra. Tidak diangkat. Jelas saja. Dicobanya lagi. Tetap tidak diangkat.
Reinald tidak peduli. Terus ditekannya tombol sampai ponsel di seberang
akhirnya diangkat. "Cit, sori bangunin. Lo baik-baik aja, kan?" tanyanya langsung.
Terdengar gumaman tidak jelas di seberang. Sepertinya Citra menempelkan
ponsel di telinga sambil tetap melanjutkan tidurnya.
"Cit" Lo baik-baik aja, kan?" Reinald mengulangi pertanyaannya, lebih keras.
"Iyaaa. Ada apa sih" Tadi kan juga udah ditanyain. Gue ngantuk banget
niiih?" "Sori. Sori. Ya udah, lanjutin deh tidurnya. Gue cuma mau mastiin lo nggak
kenapa-napa," ucap Reinald lalu mematikan ponsel. Dihelanya napas panjang.
Citra baik-baik saja. Seperti tiga kali kabar sebelumnya. Tapi kenapa perasaan
gelisah dan cemas ini tidak juga berkurang"
Kembali Reinald tergolek di tempat tidur dengan mata terbuka. Hampir tiga
jam setelah waktu pergantian hari ketika akhirnya cowok itu jatuh tertidur.
Keesokan paginya Reinald sama sekali tidak terbangun saat bekernya
melengking keras. Satu hal yang sangat jarang terjadi. Sepulas apa pun
tidurnya pasti akan terbangun kalau beker itu berbunyi. Reinald baru
membuka mata setelah adiknya, Raina, menjerit-jerit di telinganya setelah
gagal membangunkan sang kakak dengan guncangan tangan.
"Apa sih pagi-pagi jerit-jerit?" Reinald terlonjak bangun. "Hah, udah
setengah enam!?" kembali ia terlonjak. "Kenapa Mas baru dibangunin
sekarang sih, Rin?" serunya.
Raina, yang baru saja meraih hendel pintu dan hendak keluar, melirik
kakaknya dengan kesal. "Aku termasuk hebat, tau! Berhasil bangunin Mas Reinald. Mama sama Bi
Minah sampai nyerah tuh. Ini aja kalau aku gagal, Mas Reinald mau disiram air
sama papa. Tidurnya kebo banget sih?" katanya, lalu keluar.
Begitu kesadarannya pulih, hal pertama yang diingat Reinald adalah Citra,
lalu gimana keadaan cewek itu pagi ini. Perasaan gelisah itu kembali datang
dan semakin menggunung karena pagi ini Reinald tidak bisa menjemput.
Reinald meraih ponselnya. "Cit, lo udah bangun?"
"Udah dari tadi."
"Gimana kabar lo pagi ini?"
"Baik." Citra mulai bete. Ditanya itu melulu siapa juga yang nggak bosen.
"Udah mau berangkat, ya?"
"He-eh. Ngabisin sarapan dulu."
"Sori, Cit. Gue nggak bisa jemput elo pagi ini. Telat bangun."
"Nggak papa. Berangkat sendiri juga bisa."
"Berani, kan?" suara Reinald langsung terdengar cemas. Cowok itu tidak
menyadari bahwa ketakutan itu sebenarnya hanya milik dirinya sandiri.
"Berani. Emang kenapa" Dulu-dulu gue juga berangkat sendiri."
"Ya udah kalo gitu. Ati-ati di jalan, ya?"
"Iya." "Kontak gue kalau ada apa-apa."
"Iya." "Kalau bus penuh jangan paksa berdiri deket pintu. Bahaya."
"Iyaaa. Aduuuh!" Citra jadi kesal. "Ntar gue nggak berangkat-berangkat nih."
Reinald mengakhiri pembicaraan, karena ia sendiri juga belum apa-apa.
"Oke deh. Sampe ketemu di seko"."
"Oke. Daaah!" Citra buru-buru memotong dan menutup telepon.
Sesaat Reinald mengerutkan kening, kemudian tersenyum. Diletakannya
ponsel di meja lalu buru-buru berlari ke luar setelah menyambar handuk.
*** Citra melangkah ke luar rumah dengan perasaan gembira. Setelah berhari-hari
selalu berada dalam pengawasan dan pengawalan ketat Reinald, bisa sendirian
rasanya merdeka banget. Langkah-langkah ringan Citra menelusuri trotoar menuju halte melambat
saat ia melewati sebuah rumah. Ada suasana duka terasa di rumah itu. Yang
jelas, kematian itu bukan menimpa keluarga ini. Mungkin salah satu sanak
saudara mereka, karena sama sekali tidak terjadi kesibukan di rumah itu.
Hanya samar-samar terdengar isak tangis dari dalam.
Sepertinya mereka sudah siap berangkat menuju tempat duka, karena di
halaman telah terparkir sebuah sedan biru dengan mesin menyala. Di
dasbornya ada sebuah buket bunga bertuliskan "TURUT BERDU?" sisanya
tidak terbaca karena tertutup bunga, tapi sudah bisa dipastikan apa bunyi
kalimat lengkapnya. Citra sudah akan meneruskan langkahnya saat seseorang menabraknya dari
arah jalan raya. Cowok. Dia membawa buket bunga juga. Tabrakan itu cukup
keras hingga membuat Citra terhuyung. Cewek itu nyaris jatuh kalau tidak
cepat-cepat menyambar tiang listrik terdekat dengan kedua tangan.
Cowok itu juga terhuyung nyaris jatuh. Buket bunga di tangannya terlepas
dan terlempar ke trotoar tanpa bisa dicegah. Citra menatap terbelalak saat
melihat buket bunga itu menghantam kerasnya trotoar sehingga beberapa
tangkai bunganya patah. Citra melepaskan kedua tangannya yang tanpa sadar masih memegangi
tiang listrik. Cepat-cepat dihampirinya buket bunga itu. Ia hendak
memungutnya agar tidak semakin banyak bunga yang rusak, tapi cowok itu
sudah lebih dulu bergerak. Baru saja Citra akan mengulurkan tangan, sebuah
tangan sudah terulur lebih dulu, menyambar bunga naas itu dari trotoar.
"Maaf, ya," ucap Citra lirih, jadi merasa bersalah juga.
"Bukan salah lo," jawab cowok itu singkat, lalu bergegas pergi sebelum Citra
sempat menatap wajahnya. Gerakan cowok itu yang cepat dan tiba-tiba membuat tangkai bunga yang
membentur trotoar tadi akhirnya benar-benar patah dan terlepas dari
buketnya. Bunga itu terjatuh, tanpa cowok itu menyadarinya. Refleks, Citra
mengulurkan kedua tangannya. Bunga itu jatuh di sana. Di tengah kedua
telapak tangan Citra yang terbuka.
Mawar yang masih kuncup. Warnanya putih. Warna mawar yang paling
disukai Citra. Citra menengadahkan muka, akan memanggil cowok itu, namun batal
karena cowok itu sudah sampai di teras dan tak lama menghilang masuk ke
rumah lewat pintu depan yang terbuka. Citra hanya sempat melihat sekilas
punggung dan bagian belakang tubuh yang lumayan tinggi itu.
Setelah sempat tercenung beberapa saat, Citra mengedikkan bahu.
Ditatapnya kuncup mawar di telapak tangannya itu.
"Ya udah. Buat gue aja deh," ucapnya ringan, kemudian diteruskannya
langkah kakinya menuju halte. Selama di dalam bus, sepanjang perjalanan
menuju sekolah, Citra terus memandangi kuncup mawar di tangannya itu.
"Cantik banget," gumamnya. Satu senyum kecil muncul di bibirnya.
Sesampainya di kelas, Citra meletakkan kuncup mawar itu di meja, beralaskan
selembar tisu. Sementara itu, begitu bus sampai di halte tujuan, Reinald langsung
melompat turun, bahkan sebelum bus benar-benar berhenti. Cowok itu
kemudian berlari menuju sekolah.
Kecemasan itu semakin pekat, tapi tetap tanpa penjelasan hingga membuat
Reinald seakan gila dan ingin berteriak sekeras-kerasnya, "Ada apa sih
sebenernya!?" Begitu sampai di ambang pintu kelas, Reinald langsung mencari-cari sosok
Citra. Cewek itu ada di bangkunya. Kepalanya menunduk, serius dengan
sesuatu yang sedang disalinnya. Pasti PR bahasa Inggris.
Namun kali ini Reinald tidak peduli lagi dengan kebiasan jelek Citra itu.
Biarlah. Biar saja dia menyalin PR di sekolah. Biar saja dia cerewet, bawel, dan
kadang celotehnya yang ramai itu bikin kesal dan sakit kuping. Biar saja dia
suka iseng dan sering bikin orang pengin marah. Biar. Yang penting dia nggak
apa-apa. Reinald menarik napas panjang. Lega melihat Citra baik-baik saja. Sekaligus
melegakan paru-parunya yang sedari tadi terasa sesak. Cowok itu kemudian
memasuki kelas menuju bangkunya dengan langkah lambat. Sedikit
menyantaikan kedua kakinya yang tadi berlari dari halte.
"Pasti nyalin PR?"
Mulut Reinald masih terbuka, tapi kalimatnya tidak selesai. Langkahnya
terhenti mendadak. Tubuhnya lalu menegang di samping meja. Dua manik
matanya tertancap lurus-lurus ke satu titik. Ada gelombang dahsyat
ketidakpercayaan dan penolakan atas apa yang saat ini ada di depan matanya.
Kuncup mawar itu! Kuncup mawar itu adalah bunga yang paling dikenali Reinald. Bunga yang
paling diingatnya dari semua bunga yang pernah dilihatnya. Dan tidak akan
pernah bisa ia lupakan sampai mati nanti.
Satu-satunya bunga yang terlepas dari buketnya saat kecelakaan itu terjadi.
Tergenggam erat di satu tangan Ronald. Bunga itu lalu diberikan oleh Reinald
kepada Citra, agar cewek itu menyimpannya, biar menjadi kenangan Ronald
pada gadis yang dicintainya.
Tapi itu sudah lama berlalu. Dan seharusnya mawar itu sudah mengering.
Namun mawar itu sekarang ada di sini, dan masih tampak segar.
Ada di sini" Di dekat Citra! Ternyata inilah penjelasan dari kecemasan pekat yang muncul mendadak
kemarin siang itu. Kecemasan yang sekarang sudah menghilang karena sudah
menjelma menjadi rasa takut.
Rasa takut itu membuat Reinald tidak berada lagi dalam posisi seratus
persen sadar, saat kemudian disambarnya kuncup mawar itu.
"Eeeeeh!" Citra sudah akan merebut bunga itu tapi urung begitu dilihatnya
kondisi Reinald. Tertegun ditatapnya cowok itu. Sepasang matanya yang
menyorot tajam sarat dengan ketakutan.
"Dari mana lo dapet ini!?" bisikan Reinald seperti datang dari tempat yang
sangat jauh. "Mmm?" Citra jadi tergagap.
"Citra, dari mana lo dapet ini!?" bisik Reinald lagi. Kedua rahangnya terkatup
rapat. "Ng" itu" dari nemu."
"Di mana?" "Itu" tadi gue ditabrak cowok," Citra menjelaskan dengan suara terbatabata, karena Reinald masih menikamnya dengan tatapan tajam yang sarat
ketakutan itu. Citra tidak mengerti tatapan Reinald itu, tapi membuatnya takut.
Meskipun cerita yang didengarnya terputus-putus, meskipun tidak
mendengarkan dengan kesadaran penuh, Reinald bisa memastikan satu hal:
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Citra telah bertemu Ronald?"
BAB 17 KUNCUP mawar itu akhirnya menghentikan semua perlawanan Reinald. Orang
yang dihadapinya muncul dari ketiadaan. Dia maya. Dia abstrak. Dan
kemungkinan besar, dia memang tidak akan bisa dikalahkan.
Kini, setiap kali Reinald menatap Citra, ada perasaan hubungan ini tidak
selamanya. Akan ada hari terakhir, kemundian cewek itu takkan lagi dilihatnya.
Sama sekali. Sama seperti kini ia tak lagi melihat Ronald.
Reinald menghela napas. Panjang dan berat. Sebenarnya ia tidak ingin
pasrah, tapi ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan.
"Tinggal ngitung mundur aja," ucapnya dengan suara serak.
Ditatapnya Andika yang siang ini sengaja menjemputnya karena khawatir.
Andika menatap Reinald dengan nelangsa.
"Lo yakin?" tanyanya pelan. "Gue rasa karena selama ini elo terus di sebelah
Citra. Lo awasin dia sampe begitu. Kalo lo lepas dia, mungkin?"
"Percuma! Kalo gue lepas dia, nanti pasti ada cowok lain yang deketin dia.
Sama saja." Reinald menggeleng lemah.
Andika terpaksa mengakui kebenaran kata-kata itu.
*** Hanya tinggal menghitung mundur".
Sepasang mata Reinald menatap nanar kegelapan di sekelilingnya. Kamarnya
gelap gulita, juga di luar sana. Listrik padam dan satu-satunya cahaya yang
terlihat olehnya hanya sebatang lilin yang menyala di rumah tetangga. Di balik
tirai, cahaya itu begitu buram dan tidak menerangi apa-apa.
Buram". Dan jauh". Seperti itu yang terlihat olehnya sekarang. Citra dan hari-hari mereka harus
ditinggalkannya. Harus dilupakan. Semua yang pernah terjadi. Semuanya.
Reinald mengerti, Citra memang milik Ronald. Karena itu ia ikhlas berdiri di
tempatnya sekarang, yang dulu adalah tempat Ronald: menjaga Citra. Tidak
lebih dari itu. *** Hanya menjaga Citra. Satu kalimat pendek, namun berat karena Reinald harus mematikan hatinya.
Cowok itu memutuskan untuk melakukan dengan cepat. Dratis. Karena mati
dengan cara cepat lebih baik daripada mati pelan-pelan.
Begitu memutuskan itu, Reinald langsung mengontak Citra, mengatakan
besok pagi ia tidak bisa menjemput. Reinald juga mengatakan ia tidak bisa lagi
mengantar dan menjemput setiap hari. Hanya bisa sekali-sekali.
"Kenapa?" Ada nada kaget di dalam suara Citra. Reinald mengatakan alasan
yang paling masuk akal yang bisa ia temukan.
"Gue capek. Tiap hari kudu bangun lebih pagi. Trus pulangnya udah sore.
Rumah lo kan lumayan jauh, Cit."
"Oh" Iya sih."
"Nggak apa-apa kan berangkat sendiri?"
"Nggak apa-apa. Santai aja."
"Sip kalo gitu." Reinald meletakan telepon. Kedua matanya perlahan
terpejam. Kalau Ronald bisa memberikan Citra kuncup mawar itu, Ronald pasti
juga bisa menjaganya. Alasan Reinald memang masuk akal, karena itu Citra tidak berpikir apa-apa
sampai kemudian ia mendapati Reinald menjadi orang yang benar-benar
berbeda, yang nyaris tidak dikenalnya. Reinald tidak hanya tak pernah lagi
menjemput dan mengantarnya pulang. Cowok itu juga menjaga jarak. Setiap
kali Citra akan meraih lengannya -satu tindakan yang kerap dilakukan Citra
tanpa sadar karena telah terbiasa- reaksi Reinald adalah menjauh seketika.
Cowok itu berusaha keras agar Citra tidak dapat menyentuhnya. Setelah itu
Reinald akan berpura-pura itu tidak terjadi. Seakan-akan penolakan itu
dilakukannya tanpa sadar.
Reinald telah menciptakan jarak. Tinggal Citra yang kebingungan. Ia ingin
bertanya, tapi urung. Malu.
Keanehan Reinald yang lain yaitu cara kedua matanya menatap Citra.
Terkadang, Reinald menatap dengan sorot seakan Citra jauh di batas horizon
sana, bukan di depan matanya. Terkadang, cowok itu menatap dengan sorot
sedih dan putus asa. Namun untuk satu hal ini, Reinald tidak berusaha menyembunyikannya. Ia
tidak bisa mengelak setiap kali Citra memergoki tatapannya. Untuk satu
keanehan ini, Citra berani bertanya.
"Lo kenapa sih?"
Namun jawaban Reinald juga tidak berarti apa-apa untuknya.
"Nggak apa-apa. Cuma pengin ngeliatin elo aja. Nggak apa-apa, kan" Atau
nggak boleh juga?" Kening Citra sontak mengerut rapat. Sementara kedua matanya yang
menatap Reinald jadi menyipit. Cuma itu reaksi yang bisa ia berikan. Keanehan
Reinald yang lain lagi-lagi membuat Citra tidak tahu harus memberikan reaksi
apa. "Cit, lo tuh manis, ya" Bandel, tapi manis."
Citra tertegun. Reinald tengah menatapnya. Dengan sorot putus asa itu.
Namun kini sorot itu seakan menembusnya.
"Lo kenapa sih?" Citra bertanya lirih. Lagi-lagi ia mengajukan pertanyaan
yang itu-itu juga, karena ia tidak tahu bentuk bentuk pertanyaan bagaimana
yang bisa mendapatkan jawaban. Blur tidak apa-apa, daripada gelap sama
sekali. Namun lagi-lagi, jawaban Reinald tidak memberikan penjelasan apa pun.
"Nggak apa-apa. Cuma pengin ngomong gitu aja. Nggak apa-apa, kan" Atau
nggak boleh?" Lama-lama Citra juga jadi ikut putus asa, dan akhirnya melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan Reinald padanya. Menjauh. Mencipta jarak. Citra
malu bicara terus terang, apalagi mencecar seperti saran Loni. Karena kalau
diingat-ingat, Citra dan Reinald dekat tanpa komitmen apa-apa. Tanpa
ungkapan apa pun. Tanpa pernyataan. Dekat begitu saja, lalu merasa nyaman
satu sama lain. Akhirnya Citra sampai pada kesimpulan bahwa mungkin Reinald ingin di
antara mereka tidak ada hubungan apa-apa.
*** Esok paginya,saat berjalan dari halte ke sekolah, sendirian, Citra masih
merenungkan hal itu. "Ya udah. Mau gimana lagi?" desisnya lirih.
Cewek itu menghela napas tanpa sadar. Ditelusurinya trotoar dengan
langkah lambat dan kepala tertunduk. Sekarang berangkat ke sekolah jadi
sesuatu yang membuat sedih. Di mana-mana terasa sepi. Muram. Kosong.
Bahkan di saat kelas ingar-bingar karena cowok-cowok di bangku belakang
bikin ulah, Citra merasa keramaian itu jauh di tempat lain.
Kalau ada bangku yang kosong karena penghuninya tidak masuk, di mana
pun posisinya, Citra pasti akan langsung pindah. Toh tidak ada bedanya, di
mana-mana terasa sepi dan sedih. Cewek itu juga tidak lagi bersemangat
melakukan keisengan. Sudah tidak ada lagi orang yang akan melindunginya
kalau ia dapat masalah gara-gara keisengannya itu.
Reinald menyaksikan semua perubahan Citra itu. Walaupun itu sudah
diduganya, tak urung dia terpukul juga. Namun ia tidak bisa apa-apa selain
tetap berdiri di tempatnya.
Perubahan dratis keduanya sudah pasti membuat bingung seisi kelas.
Reinald-Citra mungkin memang pasangan paling unik. Paling membingungkan.
Waktu baru jadian, hebohnya minta ampun. Sebentar-sebentar berantem.
Sebentar-sebentar ribut. Tapi begitu bubaran, adem ayem. Sepi, tanpa sedikit
pun huru-hura. Kebalikan dari pasangan pada umumnya. Meskipun begitu,
semua bisa melihat kesedihan keduanya. Citra berusaha melarikan diri, dan
Reinald tetap di tempatnya.
Mendung yang muncul sejak pagi membuat udara hari ini terasa lebih sejuk.
Namun bagi Citra, mendung cuma membuat hatinya tambah nelangsa. Ia
kangen banget sama Reinald. Kangen sama cowok yang hanya duduk setengah
meter darinya itu, kangen sama suaranya saat berbicara pada siapa pun juga,
kangen sama setiap gerak tubuhnya yang tertangkap oleh ekor mata. Saat
suasana kelas sedang hening, ingin sekali Citra menoleh ke sebelah. Takut
Reinald ternyata sudah nggak ada. Namun saat jam istirahat, jam kosong, atau
saat-saat bebas lainnya, terpaksa cowok itu dijauhinya. Soalnya ia nggak tahu
mau ngomong apa. Reinald sekarang udah nggak asyik lagi buat diajak ngobrol.
Jawabannya pendek-pendek, kadang malah sekenanya. Sering juga dia nggak
ngomong apa-apa. Cuma mendengarkan dengan diam, dan menatapnya
dengan sorot yang kadang sedih, putus asa, atau nggak fokus itu. Pokoknya
nggak jelas dan bikin bingung, serta akhirnya membuat Citra seperti ini. Putus
asa juga. Menjelang siang, mendung bertambah pekat dan berubah menjadi hujan
lebat. Citra menatap tetes-tetes air itu dengan perasaan yang semakin
nelangsa lagi. Reinald masih di sebelahnya, tapi rasanya sepi banget. Sedih.
Kosong. Tak lama menjelang bel pulang, hujan berhenti. Perasaan Citra tidak
berubah menjadi lebih baik. Sebentar lagi ia akan mendengar kalimat yang
mulai akrab di telinganya akhir-akhir ini. Ucapan perpisahan Reinald.
"Gue duluan ya, Cit. Ati-ati di jalan."
Lima menit setelah bel pulang berbunyi, Citra berjalan pelan ke arah
gerbang. Sendiri. Hujan lebat tadi telah menciptakan kubangan air kotor di
depan trotoar sekolah. Mendadak keinginan itu muncul.
Ngisengin orang, ah. Kali aja bikin gue jadi bahagia dikit. Gila, udah lama
banget gue nggak ngusilin orang, ujar Citra dalam hati.
Keinginan itu kemudian memang memberinya sedikit kegembiraan. Cewek
itu melangkah menuju gerbang sekolah dengan perasaan yang jauh lebih
ringan. **** Andika sedang merapikan rak bukunya, saat matanya tertumbuk pada
sebuah komik yang tergeletak di rak paling atas. Dengan perasaan heran
diambilnya komik tersebut. Ia langsung ingat, komik itu dibawa Ronald saat
datang ke rumahnya untuk pinjam motor.
"Pinjem motor lo bentar, Dik. Mau jemput adik gue sekalian mau ngeliat
Citra. Udah tinggal tiga hari nih, dia pake putih-biru."
Andika masih ingat dengan jelas. Begitu ia serahkan kunci motor, Ronald
langsung berlari ke luar sambil berseru,
"Titip komik, ya" Di dalemnya ada fotonya Citra tuh!"
Andika tersentak. Tidak perlu mencari di anatara halaman-halaman komik,
karena foto yang diselipkan itu sudah membentuk sedikit celah. Andika
menarik keluar foto itu. Seketika kenangan itu datang. Memunculkan rasa
sedih, juga kangen yang menyakitkan.
Foto ini diambil di hari ia menemani Ronald ke sekolah Citra. Dihari ketika
dilihatnya cewek itu untuk yang pertama kali. Diambil sesaat sebelum momen
satu-satunya itu terjadi. Ketika itu Ronald memutuskan untuk mengejar Citra,
menemaninya berlari kemudian melindunginya. Momen ketika akhirnya
mereka saling menyebutkan nama.
Andika menghela napas. Tatapannya meredup. Masih bisa diingatnya
dengan jelas wajah bahagia Ronald saat itu, dan celotehan ramainya di
sepanjang perjalanan pulang. Kembali Andika menghela napas. Disisipkannya
lagi foto itu di antara halaman-halaman komik, lalu diletakkannya komik itu di
atas meja. Cover depannya yang sedikit tersibak memperlihatkan pemilik sah
komik tersebut. Ia meraih kembali komik itu dan membuka halaman
pertamanya. Ternyata itu milik Reinald. Bukan hal yang mengherankan, mengingat Ronald
dan Reinald sama-sama penggila komik. Keterbatasan dana membuat
keduanya lalu melakukan kesepakatan. Masing-masing akan membeli judul
yang berbeda, kemudian saling meminjam.
Andika langsung memutuskan akan mengembalikan komik itu besok siang.
Kalau ditunda, takutnya malah lupa. Cowok itu berjalan ke luar kamar dan
menuju meja telepon. Dikontaknya Reinald. Setelah berbasa-basi menanyakan
kabar, Andika mengatakan maksudnya.
"Besok siang ketemu ya, Ren. Mau balikin komik lo sama ngobrol bentaran."
"Komik yang mana?"
"Yang waktu itu dibawa Ronald ke rumah gue trus ketinggalan."
"Oh. Oke." *** Hari ini udara terasa sejuk, karena mendung sudah membayang sejak pagi.
Dua jam menjelang bel berbunyi, mendadak langit menjadi sangat pekat dan
turun hujan lebat. Andika menatap tetes-tetes air itu, mempertimbangkan
untuk membatalkan rencananya ke sekolah Reinald. Namun lima belas menit
menjelang bel, mendadak hujan berhenti sama sekali.
Begitu bel pulang berbunyi, Andika segera bangkit dan berjalan ke luar kelas.
Dianggukkan kepala pada guru mata pelajaran terakhir, yang masih sibuk
mengemasi buku dan kertas-kertasnya. Ia meminta maaf dengan senyum
karena keluar kelas lebih dulu.
Dua puluh menit kemudian, karena menumpang mobil seorang teman,
Andika sudah sampai di tujuan, di sebuah warung makan merangkap toko
stationery di seberang sekolah Reinald. Setelah memilih bangku dan memesan
minuman, Andika mengirimkan SMS pada Reinald, memberitahukan dirinya
sudah di tempat. Sambil menunggu kedatangan Reinald, Andika memperhatikan gedung
sekolah di depannya. Tatapannya lalu beralih ke trotoar di depan gedung itu.
Hujan yang cuma sesaat tapi sangat lebat telah memenciptakan genangan air
kotor di beberapa tempat di depan trotoar itu. Tak lama Reinald datang.
Sendirian. "Di mana Citra?" tanyanya.
Reinald mengedikkan bahu. "Tadi sih ada," jawabnya sambil lalu.
Andika jadi menyesal telah mengucapkan pertanyaan yang maksudnya
hanya untuk basa-basi itu, karena ia sudah tahu perkembangan terakhir
hubungan Reinald dan Citra.
"Itu Citra!" desis Andika tiba-tiba sambil menunjuk ke seberang jalan.
"Panjang umurnya tuh anak!"
Reinald menoleh. Dilihatnya Citra berjalan sendirian menuju gerbang
dengan langkah-langkah santai. Cara Citra berjalan dan ekspresi wajahnya yang
tampak wajar, cenderung polos malah, tanpa sadar membuat Reinald
waspada. Walaupun kini mereka telah saling asing, Reinald terlalu mengenal
cewek itu. "Sori, Dik. Ngobrolnya ditunda dulu, ya." Reinald memutar kursi yang ia
duduki. Kini cowok itu duduk membelakangi Andika, menghadap ke jalan raya.
Andika jadi mengerutkan kening melihat tingkah Reinald, dan perhatiannya
jadi ikut tertuju pada Citra.
Sementara itu, masih dengan langkah santai dan ekspresi biasa-biasa saja,
Citra menghampiri kerumunan teman-teman sekelasnya yang sedang berdiri di
tepi trotoar, menunggu jemputan atau bajaj kosong yang lewat, atau
menunggu orang yang akan bersama-sama berjalan ke halte bus.
Tiba-tiba, dengan gerakan yang begitu cepat dan tidak terduga, Citra
melompat ke tengah genangan air kotor, tepat di depan kerumunan temantemannya. Tak ayal, cipratan air kotor melayang ke segala arah. Mendarat di
baju, tas, tangan, kaki dan semua objek yang berada tepat dijalur cipratannya.
Seketika terdengar pekikan dan jeritan keras.
"CITRAAA"..!!!!"
Sambil terkikik, Citra langsung mengambil jurus langkah sejuta. Langkah
seribu sih masih kurang cepat. Cewek itu berlari secepat-cepatnya. Terbiritbirit meninggalkan tempat itu. Para korban keisengannya jelas tidak tinggal
diam. Mereka berlari mengejar, sambil menjerit dan berteriak-teriak.
Melontarkan ancaman dan sumpah serapah.
"Bener, kan!?" desis Reinald dan segera bangkit berdiri. "Bentar, Dik!"
ditepuknya bahu Andika tanpa menoleh, dan cowok itu langsung berlari keluar
dari warung makan. Sesaat Andika cuma bisa terkesima melihat peristiwa itu. Namun sedetik
kemudian ia tertegun saat menyadari peristiwa yang sama pernah terjadi. Dulu
sekali. D?j? vu! Tanpa berpikir lagi, Andika segera ikut berdiri dan berlari keluar. Disusulnya
Reinald. Di dalam kepalanya berkelebat peristiwa lampau, dan tanpa sadar ia
membandingkannya dengan apa yang saat ini sedang terjadi di depannya.
Citra melakukan keisengan yang persis sama. Akibatnya juga persis sama.
Cewek itu dikejar-kejar para korban keisengannya.
Dulu Ronald berlari mengejar Citra. Kini Reinald juga berlari untuk mengejar
cewek yang sama. Bedanya, Reinald berlari di bawah bayang-bayang
pepohonan atau lindungan mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan.
Dulu Ronald berlari menyebrangi jalan tepat di pertigaan untuk menghadang
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Citra. Kini Reinald juga melakukan hal yang pasti akan persis sama.
Dugaan Andika tepat. Di depan mereka ruas jalan bercabang tiga. Setelah
sesaat menengok ke belakang untuk meyakinkan Citra sudah tertinggal jauh di
belakangnya, Reinald berlari menyeberang dan langsung berbelok. Andika
segera menyusulnya. Mendadak Reinald berhenti berlari. Andika seketika juga menghentikan
larinya, dan menghentikan dugaan-dugaan di kepalanya. Reinald mengamati
pepohonan peneduh jalan tidak jauh di dekatnya, lalu menghampiri salah
satunya dengan langkah cepat. Batang pohon itu lumayan besar dan ada
semak-semak rimbun di kakinya.
Kemudian Reinald berdiri menunggu, di balik batang pohon itu, di sisi yang
tidak terlihat dari arah tikungan tempat Citra akan muncul nanti. Andika berdiri
mematung. Ia menyadari betapa miripnya jalinan peristiwa ini dengan
peristiwa lain yang pernah terjadi.
Setelah beberapa detik tubuh Reinald hilang di balik batang pohon, Andika
tersadar. Ia segera menghampiri Reinald. Reinald menyambutnya dengan
meletakan satu telunjuk di bibir, sambil tersenyum, lalu menunjuk ke seberang
dengan dagu. Ini sedikit berbeda. Hanya sedikit.
Andika mengangguk mengerti. Tak lama Citra muncul dari tikungan. Masih
berlari secepat-cepatnya. Napasnya terengah, namun bibirnya meringis geli.
Juga kedua matanya. Kilatan tawa itu muncul jelas-jelas di sana.
Andika tertegun. Ada sesuatu yang terasa luruh di dalam dadanya. Ekspresi
itu juga masih ekspresi yang sama.
Reinald yang juga mendengar suara orang berlari dan sudah menduga itu
pasti Citra, segera bersiap-siap. Ia menegakkan tubuh. Sesaat menjelang Citra
akan melewati pohon yang jadi tempatnya bersembunyi, Reinald mengulurkan
tangan kanannya dengan gerakan tiba-tiba.
Ia menangkap tubuh Citra dan menariknya ke semak-semak rimbun di dekat
pohon. Citra kaget dan seketika berontak, tapi langsung diam begitu
didengarnya suara bisikan.
"Sst! Ini gue!"
Sambil menarik Citra ke tengah rerimbunan semak, Reinald menoleh ke arah
Andika dan mengingatkan pesannya tadi dengan bahasa isyarat. Andika
mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan karena tak lama
kemudian senyum itu menghilang tanpa sisa.
Sepasang mata Andika berubah nanar. Menyaksikan apa yang terjadi tidak
jauh dari tempatnya berdiri. Reinald dan Citra merunduk dalam-dalam di balik
semak. Karena tidak bisa menahan tawa, dengan gemas Reinald terpaksa
memeluknya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya membekap
mulut cewek itu kuat-kuat.
Tiba-tiba Andika terpaku. Tubuhnya membeku saat menyadari sesuatu.
Persamaan setting tempat, persamaan situasi. Usai jam sekolah, hujan yang
baru saja reda meninggalkan genangan air kotor di depan trotoar sekolah. Citra
melakukan keisengan. Menciprtatkan genangan air kotor itu ke arah temantemannya, lalu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri!
Dulu, Ronald berlari mengejar untuk melindungi Citra. Dan kini ganti Reinald
yang melakukannya! Namun ada perbedaan ending!
Dulu Ronald hanya bisa melindungi Citra dengan berdiri untuk menutupi.
Tidak bisa lebih. Sementara kini, Reinald tidak bisa hanya seperti itu karena
Citra mengenalinya. Andika tersentak dari keterpakuannya saat didengarnya suara-suara orang
berlari dan tak lama kemudian beberapa cewek muncul di tikungan. Seragam
sekolah mereka penuh bercak cokelat. Enam atau tujuh cewek itu, semuanya
teman sekelas Citra, berlari sambil mengomel. Mereka berhenti tidak jauh dari
Andika, lalu memandang berkeliling. Mencari-cari. Masih sambil marah-marah.
"Si Citra tuh iseng banget deh. Heran! Tu anak kalo nggak ngisengin orang
sebentar aja langsung mati, kali ya?"
"Tapi sekarang isengnya dia nggak lucu. Pasti abis deh ntar gue diomelin
nyokap nih. Rok gue sampe kotor banget gini."
"Kalo sampe ketangkep, bakalan gue celupin tu anak di kubangan air tadi.
Sumpah!" Andika buru-buru bertindak, karena salah satu cewek sudah bergerak
mendekati semak tempat Reinald dan Citra bersembunyi.
"Nyari cewek yang lari sambil ketawa-ketawa, ya?" tanyanya.
"Iya!" langsung terdengar jawaban kompak.
"Tadi lari ke seberang." Andika menunjuk ke seberang jalan. Ke arah
kompleks perumahan. Tanpa berpikir lagi, cewek-cewek itu langsung berlari ke
seberang jalan begitu lalu lintas di depan mereka sepi.
"Makasih, kak!" seru mereka bersamaan.
"Oke!" Andika balas berseru, sambil menahan senyum. Begitu keadaan
sudah benar-benar aman, dia berseru ke arah semak-semak. "Oke, aman!"
Reinald keluar dari semak, menggandeng Citra yang mukanya memerah
karena menahan tawa. Reinald lalu menegurnya dengan nada kesal.
"Elo isengnya kadang suka kelewatan deh, Cit. Baju mereka sampe kotor
gitu." "Alaaah, direndem sebentar trus dicuci juga ilang," Citra menjawab ringan.
"Ya udah. Lo cucian gih sana!" Reinald melotot gemas.
"Hehehe." Citra menyuarakan tawanya dalam bentuk tiga suku kata, tapi
langsung didusul tawa yang benar-benar geli. Rasanya ingin sekali Reinald
menjitak kepala Citra. Rasa asing di antara mereka dengan cepat mencair.
Keduanya kembali seperti sebelum Reinald memutuskan untuk menjauh.
"Yuk, cabut, Dik. Keburu mereka nongol nanti," ajak Reinald.
Ketiganya segera meninggalkan tempat itu, berlari cepat ke arah tikungan
depan, menuju halte. Berlari di antara Reinald dan Andika, mendadak
membuat Citra teringat kembali akan peristiwa yang dialaminya. Cewek itu
tiba-tiba berhenti. Reinald dan Andika yang mengapitnya seketika
menghentikan laju langkah-langkah cepat mereka. Citra berdiri di hadapan
Andika. Ditatapnya cowok itu lurus-lurus.
"Kayaknya dulu gue pernah lari bareng elo juga deh."
Kata-katanya itu membuat kedua cowok di dekatnya membeku.
"Iya, bener elo!" Citra mengangguk. "Trus, kayaknya ada cowok satu lagi
deh." "Akhirnya lo inget juga." suara Andika tersekat di tenggorokan.
"Siapa ya nama tu cowok" Temen lo itu?"
"Siapa" masih inget, nggak?" suara Andika kini bergetar.
"Mmm"." Citra mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia menggeleng.
"Coba tolong diinget-inget, Cit. Inget bener-bener." Andika benar-benar
memohon. Sementara itu Reinald membeku di tempatnya berdiri. Kedua matanya yang
menatap Citra lurus-lurus mulai berkabut. Inikah hari itu" Hari terakhir Ronald
bertemu Citra, seperti yang ditulis Ronald di catatan hariannya"
Citra mengerutkan keningnya lagi. Tampak jelas ia berusaha mengingat.
Namun tak lama ia menyerah.
"Nggak inget." Ia menggeleng.
"Sama sekali?" "Iya." "Kalo tampangnya kayak gimana, masih inget, nggak?" nada suara Andika
mulai melemah. "Apalagi itu," jawab Citra sambil mengedikkan bahu dengan sikap santai.
"Ah, udah ah. Ngapain dibahas sih" Nggak penting."
Terputus! Andika merasa satu-satunya mata rantai yang masih menghubungkan cewek
ini dengan Ronald telah terputus.
Reinald juga merasakan hal yang sama, tapi dengan emosi yang membadai
kedua arah yang berlawanan. Senang, tapi juga sedih. Lega, tapi sesak juga.
Bersyukur, tapi menyesal. Ingin memeluk, namun sekaligus juga ingin
melepaskan. Sesaat hanya ada keheningan. Reinald terdiam. Andika terdiam. Citra
menatap keduanya dengan bingung.
"Kok jadi pada diem" Kenapa sih?" tanya Citra. Reinald dan Andika tersentak
bersamaan. Keduanya lalu berusaha keras menetralkan emosi masing-masing.
"Dik, katanya ada yang lo mau omongin?" suara Reinald terdengar
mengambang. "Besok-besok aja. Nggak terlalu penting." suara Andika juga terdengar jauh.
Saling pengertian yang tidak diucapakan.
"Kalo gitu gue duluan ya. Mau ngaterin si tukang iseng nih." Reinald melirik
Citra yang berdiri di sebelahnya. "Ntar keburu temen-temennya nongol, lagi."
Citra terkikik geli. Tapi tak lama tawa itu menghilang.
"Lo mau nganter gue pulang lagi?" Ditatapnya Reinald dengan heran.
"Kemaren-kemaren gue disuruh pulang sendiri."
"Udah, diem. Nggak usah cerewet. Gara-gara tadi, besok pagi kayaknya lo
juga mesti gue jemput."Reinald melotot. Citra langsung terkekeh-kekeh geli.
Terlihat jelas kegembiraan di wajahnya.
"Asyiiiik. Besok selamet," katanya tanpa dosa. Dua cowok yang berdiri di
dekatnya menatapnya dengan perasaan campur aduk.
"Oke deh." Andika menepuk bahu Reinald. "Ntar gue kabarin lagi kalo mau
ketemu." Mereka berpisah. Saat Reinald dan Citra sudah berjalan menjauh itulah
Andika teringat kembali apa tujuannya menemui Reinald siang ini. Sambil
mengeluarkan komik yang disisipi foto Citra, Andika mengejar keduanya.
Namun tak lama langkahnya terhenti. Ia membatalkan niatnya.
Kalau Citra melihat foto dirinya saat masih di SMP itu, pasti ia akan ribut
bertanya. Saat ini Andika dan Reinald sudah terlalu letih untuk menjawab.
Sambil menatap dua orang yang semakin jauh itu, Andika mengeluarkan foto
Citra dari halaman komik. Tatapannya kemudian bergerak turun. Mendadak ia
terkejut saat menyadari sesuatu. Dengan cepat diangkatnya kepala. Ditatapnya
Citra, yang walaupun sudah berjalan cukup jauh tapi masih bisa dilihatnya
dengan jelas. Tatapan Andika lalu kembali ke foto di tangannya, kemundian ke sosok Citra
yang menjauh. Lalu sekali lagi kembali ke foto di tangannya.
Tidak salah. Anting-anting yang sama, jam tangan yang sama, tas yang sama, ikat
pinggang yang sama, kaus kaki yang sama dan sepatu yang sama! Bahkan saat
ini Citra mengikat rambutnya dengan ikatan yang jadi ciri khasnya: asal-asalan.
Satu-satunya yang tidak lagi ada di dalam foto itu adalah seragam putih-biru.
Andika terpaku. Instingnya mengatakan, ini bukan kebetulan. Karena, ini
terlalu sempurna. Perlahan Andika menyisipkan kembali foto itu ke tengahtengah halaman komik. Saat dimasukkannya ke tas, komik itu tersangkut di
ritsleting. Lembaran-lembarannya terbuka tepat di halaman tempat foto Citra
diselipkan, menampakan bagian belakangnya. Ada sebaris kalimat di sana.
Seketika Andika batal memasukkan komik itu ke tas. Diambilnya lagi foto
Citra lalu dibaliknya dengan cepat.
Cowok itu terkesiap. Keterkejutannya yang teramat sangat membuat
tubuhnya limbung. Cepat-cepat disambarnya dahan pohon terdekat. Sambil
menyandarkan tubuh ke batang pohan yang kuat, ditekannya dadanya dengan
satu tangan. Gemuruh jantungnya bahkan sanggup menggetarkan kelima
jarinya. Diiringi kesadaran yang sepertinya sudah menurun jauh dari posisi seratus
persen, tatapan Andika turun perlahan, ke foto Citra yang masih ada di
tangannya. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kuat. Sekali lagi dibacanya
tulisan di balik foto, dengan kesadaran yang tidak lagi seratus persen itu.
Kasih tau Reinald, gue titip Citra.
BAB 18 MALAM itu, di kamar masing-masing, dua orang sama-sama dicekam satu
perasaan yang tidak bisa mereka uraikan dengan kata apa pun yang pernah
mereka kenal. Keduanya sama-sama duduk diam di depan jendela,
memandang ke langit malam. Tidak bergerak. Hanya dada mereka yang
bergerak teratur yang memberitahukan keduanya hidup, bukan patung lilin.
"Ah, udah ah. Ngapain dibahas sih" Nggak penting."
Kalimat yang diucapkan Citra siang tadi, bergema berulang kali di dalam
tempurung kepala Reinald.
Nggak penting". Nggak penting". Nggak penting". Perlahan, kedua mata Reinald mengelam dan berkabut. Perlahan pula
kepalanya kemudian tertunduk.
"Maaf, Ron," bisiknya serak.
*** Kalimat yang sama berdentam di kepala Andika. Berulang kali. Namun
perlahan menghilang saat satu kalimat lain menyeruak pelan-pelan.
Kasih tau Reinald, gue titip Citra"
Perlahan, sorot mata Andika mengelam. Perlahan pula kepalanya kemudian
tertunduk. "Lo bilang sendiri, Ron. Dia adik lo," bisiknya ke kegelapan malam.
*** Reinald menatap satu baris kalimat itu sejak beberapa menit yang lalu.
Tanpa bicara. Tanpa bergerak. Kepalanya terus menunduk karena Andika
meletakkan foto Citra dengan posisi terbalik itu di atas meja.
"Tulisan ini tadinya ada, nggak?" suara Reinald terdengar samar.
"Nggak tau. Gue nggak pernah balik-balik tu foto. Nggak kepikiran," Andika
menjawab pelan. "Kita tunggu apa kata Ronald."
"Hah?" kepala Reinald terangkat perlahan.
Andika tertegun menatap wajah di depannya. Kesedihan, kerinduan,
penyesalan. Semuanya terlihat jelas dan saling berperang.
"Kita tunggu apa kata Ronald. Gue udah bilang, gue nggak mau ikutan. Ini
urusan kalian berdua. Jadi dia yang harus ngomong."
Andika memasukkan foto itu ke dalam laci meja belajar Ronald, tempat fotofoto Citra yang lain disimpan. Tiba-tiba terdengar bunyi bel, lalu suara pintu
pagar dibuka dan ditutup kembali.
"Citra udah dateng," ucap Reinald pelan.
"Ngapain Citra ke sini?"
"Mau belajar bahasa Inggris. Senin ulangan. Tu anak Inggris-nya parah
banget. Makanya gue suruh ke sini."
"Pantes lo nggak ikut nyokap-bokap lo. Pilih jaga kandang."
"Bukannya pilih jaga kandang. Ikut juga percuma. Nggak bakalan enjoy.
Senin ada ulangan dua. Berat-berat pula."
Tak lama terdengar bunyi pintu depan diketuk. Namun tidak ada yang
bergerak. Suasana di dalam kamar itu masih terasa begitu emosional, hingga
keduanya merasa seperti terikat. Terdengar lagi pintu depan diketuk-ketuk,
disusul suara Citra yang mengucapkan rentetan salam keras-keras.
"HALOOO" PERMISIII! ASSALAAMU"ALAIK
UM! SPADAAA! EXCUSE ME" TOK-TOK-TOK" SHALOM" KULONUWUN"
PUNTEEEN!" Reinald dan Andika saling pandang lalu sama-sama tertawa geli sambil
geleng-geleng kepala. Keduanya berjalan ke luar kamar.
"Iya, halo," kata Reinald sambil membuka pintu. "Satu aja cukup kali, Cit."
"Maaf deh. Maksudnya supaya cepet dibukain, gitu. Soalnya gue aus banget
nih. Bagi minum dong. Yang dingin ya. Trus gelasnya yang gede," Citra langsung
nyerocos. "Masuk dulu, kaliii."
"Oke!" cewek itu melompat masuk. Andika menatapnya, tak mampu
menahan senyum. "Eh" Haiii!" sapa Citra begitu melihat Andika.
"Hai juga," balas Andika, masih sambil tersenyum.
"Lo istirahat sebentar, trus kita langsung mulai ya" Biar lo pulangnya nggak
kemaleman," kata Reinald sambil berjalan ke dapur.
"Oke!" Citra mengangguk. Ia berjalan menuju sofa panjang, meletakkan
tasnya di sana, lalu duduk dengan nyaman.
Jam lima lewat lima belas, Reinald dan Citra siap-siap belajar. Andika
menyingkir ke teras. Karena malam ini Reinald sendirian di rumah, Andika
memutuskan untuk menginap dan pulang besok siang.
"Setel radio dong. Kalo belajar suasananya sepi, gue malah cepet ngantuk."
Citra merosot dari sofa, kemudian duduk bersila di lantai. Ia menghadap ke
meja tamu yang rendah. Di atas meja buku cetak bahasa Inggris-nya sudah
dalam keadaan terbuka. Reinald menggeser sofa panjang di belakang Citra sampai menempel di
dinding agar tercipta ruang lapang, kemudian cowok itu berjalan ke dalam.
Malas menggotong radionya yang besar dari kamar, dipinjamnya radio-tape
kecil milik Bi Minah. "Radio apa?" "Apa aja. Yang penting penyiarnya asyik."
Reinald memutar-mutar tunning. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Samar-samar ia mendengar lagu Glenn-Dewi, When I Fall in Love.
Dibesarkannya volume. "Bosen, ah!" Citra langsung protes. "Ganti yang lain deh."
Reinald tidak mengacuhkan. Intuisinya mengatakan sesuatu akan terjadi,
karena jantungnya berdetak lebih detak tanpa sebab. Lagu itu berakhir. Suara
sang penyiar, cewek, langsung menyusul. Dengan nada riang penyiar itu
mengatakan di studio telah hadir seorang tamu yang khusus diundang atas
permintaan pendengar. "Nih orang punya story yang waktu itu bikin terharu. Trus banyak yang minta
dia cerita ulang. Makanya kami undang dia ke studio."
Sang penyiar kemudian menambahkan bahwa selama setengah jam ke
depan, hanya satu lagu itu yang akan diputar. Karena lagu itulah yang jadi lagu
kenangan. "Oh iya," sambungnya. "Dia nggak mau ngasih tau nama aslinya. Malu,
katanya. Takut ada yang ngenalin. Jadi di sini dia pake nama Tom. Oke" Yuk,
kita dengerin sama-sama ceritanya."
Tom! Nama itu menghantam Reinald seperti pukulan godam. Di teras Andika juga
mendengarnya. Ia tersentak. Sesaat tubuhnya diam menegang, kemudian ia
melompat berdiri dan berlari ke dalam.
Melalui sebuah gelombang radio, dari suatu tempat entah di mana di luar
sana. Seseorang bernama Tom memulai ceritanya.
Dan suara itu". membekukan aliran darah Reinald dan Andika. Merenggut
setengah kesadaran mereka. Menusuk tepat di pusat emosi keduanya, lalu
merobeknya, hingga jubah berlapis yang selama ini mereka kenakan ketegaran, ketabahan, kesabaran, keikhlasan- semuanya terkoyak dan
menampakan isi yang kesungguhannya.
"Eh, itu cowok yang waktu itu!" seru Citra, lalu meletakan buku yang sedang
dipegangnya. "Gue apal suaranya. Gedein! Gedein!"
Baik Reinald maupun Andika sama-sama tidak bergerak, jadi Citra
mengulurkan satu tangann ya. "Kok sore-sore sih" Waktu itu kan malem"
Asyiiiik, bisa dengerin cerita lengkapnya!" katanya senang, tidak menyadari
sesuatu telah menimpa kedua cowok yang saat ini berdiri di belakangnya. Ia
besarkan volume radio. Suara volume yang diperbesar itu seolah menghadirkan Ronald kembali ke
tengah-tengah Reinald dan Andika. Rasanya benar-benar tak bisa dipercaya,
mereka bisa mendengar lagi suara Ronald. Sungguh-sungguh suara Ronald.
Cowok yang mengaku bernama Tom itu menuturkan satu cerita yang baik
Reinald maupun Andika terlibat di dalamnya. Cinta pertamanya.
Pengamatannya. Penantiannya. Kecemasannya. Kesabaran sekaligus
ketidaksabarannya. Dan harapannya.
Namun, ternyata tidak hanya itu. Suara yang sudah sangat mereka kenal itu
juga bercerita tentang sang adik. Satu-satunya saudara cowok yang dimiliki.
Tentang tiada hari tanpa pertengkaran. Saling meledek, saling tuduh, saling
berteriak, saling tendang, saling jotos, saling jitak. Dan biasanya pertengkaran
itu berakhir dengan pemulihan fisik. Bisa di mana saja. Di sofa, di tempat tidur,
di lantai, di ambang pintu, hingga membuat orang jadi susah lewat, bahkan di
atas tanah dan rumput halaman.
Sesaat cerita itu terputus oleh tawa. Kemudian suara itu melanjutkan bahwa
gulat fisik itu bisa berlangsung cukup lama. Hingga mama mereka kemudian
memanggil kedua anak laki-lakinya itu dengan panggilan "Tom and Jerry".
Tokoh kucing dan tikus di film kartun yang jadi favorit mama sejak kecil sampai
jadi mahasiswi. Tatapan Reinald mengabur. Cerita itu tervisualisasi di sana, di fokus matanya
yang kini kembali ke hari-hari dulu itu.
Dia dan Ronald. Beda usia mereka kurang dari dua tahun. Sejak kecil sampai saat-saat
terakhir, Ronald hanya sedikit lebih tinggi darinya. Pertengkaran dan
perkelahian mereka mulai berkurang setelah Ronald masuk SMP. Perbedaan
seragam itu penyebabnya. Dengan seragam putih-biru, Ronald merasa sudah
besar dan ogah lagi meladeni Reinald yang waktu itu masih berseragam putihmerah.
Satu yang bisa dirasakan dengan jelas tidak hanya oleh Reinald, tapi juga
oleh Citra dan Andika, kasih dan cinta dalam cara suara itu menuturkan
ceritanya. Cowok itu menyayangi adiknya.
Kontras dengan Citra -yang tertawa-tertawa geli saat mendengar bagian
cerita yang lucu, mendesah pelan dengan kepala menggeleng ke samping, atau
kedua tangan tertangkup di depan dada saat cerita berada pada bagian yang
mengharukan- di kiri-kanannya, Reinald dan Andika membeku. Keduanya pucat
pasi, menggigil dalam keterdiaman.
Samar, kemudian terdengar lagi lagu When I Fall in Love. Kali ini lagu itu
cuma sebagai latar, rupanya tanda bahwa Tom akan kembali berkisah tentang
cinta pertamanya. Kali ini cowok itu tidak lagi menyebut "cewek gebetan gue",
tapi langsung menyebutkan namanya. Bukan Citra, tetapi Devi.
Nama lengkap Citra memang Citra Devi!
Citra memekik, tapi tetap tidak tahu apa-apa. Hal itu malah membuat
Reinald dan Andika merasakan sakit di dada kiri mereka, seakan ditikam.
Namun puncak dari semua hantaman bertubi yang diterima keduanya di sore
menjelang malam itu adalah saat Tom mengatakan bahwa" dia menyerahkan
cinta pertamanya itu untuk sang adik!
Seketika Reinald limbung. Dia terhuyung. Andika buru-buru menangkap
tubuhnya lalu menopangnya dari belakang.
Reinald benar-benar shock dan nyaris tak sadarkan diri. Andika yang tidak
kuat menopang berat badannya, dengan hati-hati kemudian mendudukkan
Reinald di lantai, di belakang Citra, agar cewek itu tidak tahu telah terjadi
sesuatu. Citra memang tidak tahu, karena dia sedang mendengarkan dengan
serius, dan cerita itu membuatnya semakin larut. Andika kemudian duduk
bersila di sebelah Reinald.
Tiba-tiba suara sang penyiar yang bernada riang itu menyeruak, mengatakan
bahwa siapa pun yang ingin berinteraksi langsung dengan Tom, ada satu
nomer telepon yang bisa dihubungi.
Berinteraksi langsung!"
Reinald dan Andika hanya mampu bereaksi dengan sisa-sisa kesadaran yang
masih mereka miliki. Ini mimpi. Pasti mimpi. Satu-satunya mimpi tapi mereka bisa tetap sadar dan
terjaga. Namun tetap saja, ini pasti cuma mimpi!
Citra langsung ribut. "Pinjem telepon dong, Ren. Hp gue kayaknya pulsanya udah sekarat." cewek
itu meraih tasnya, mengeluarkan ponselnya, lalu mengecek pulsa. "Tinggal
seribu!" keluhnya. "Nggak cukup dong."
Karena Reinald sama sekali tidak beraksi, Andika mengeluarkan ponsel
miliknya dari saku kemeja.
"Nih, pake punya gue aja," ucapnya pelan. Diulurkannya benda itu kepada
Citra. "Makasiiih." Citra menerima tanpa menoleh. Langsung ditekannya sederet
angka yang tadi disebutkan sang penyiar.
"Halo" Ini Citra," katanya begitu telepon tersambung.
"Hai, Citra." Melalui radio kecil di depan mereka, Reinald dan Andika bisa mendengar
suara "Ronald" melembut saat menjawab sapaan itu.
"Hai jugaaa," Citra menjawab penuh semangat. Radio kecil itu
menggaungkan tawa geli. "Eh, nama gebetan lo itu kayak nama gue lho. Nama
gue juga ada "Devi-nya!" ucap Citra kemudian.
"Gitu ya" Bagus deh. Seneng dengernya."
"Kenapa sih elo nyerah gitu" Kenapa gebetan lo itu lo kasih ke adik lo?" Citra
bertanya polos. Sama sekali tidak menyadari dampak pertanyaan itu terhadap
Reinald. Keheningan yang menghancurkan hadir sebagai jawaban sementara.
"Karena gue nggak bisa jaga dia," jawab "Ronald" sesaat kemudian.
"Emangnya lo kenapa?" kejar Citra.
Kembali keheningan yang menghancurkan tercipta. Reinald memejamkan
kedua matanya. Citra, please, bisik hatinya pedih.
"Soalnya gue harus pergi."
"Jauh?" "Jauh banget." "Ke mana?" "Ke tempat cewek itu nggak bisa nyusul."
"Ke mana tuh" Manusia paling jauh baru bisa sampe ke bulan tuh. Bisa
disusul. Asal punya duit banyak. Dan gue jamin, lo nggak mungkin pergi ke
sana. Pasti masih di bumi.
Terdengar tawa geli "Ronald". "Di bumi itu banyak tempat yang nggak bisa
disusul lho, Cit." katanya lunak.
Citra terdiam. Kemudian ia bicara dengan nada yang juga melunak, "Maaf
deh. Bukannya gue mau ikut campur. Abis gue sedih nih dengernya."
"Gue malah lebih sedih lagi."
"Iya sih. Ya udah. Thanks ya ngobrolnya."
"Sama-sama," jawab Tom lembut. "Baik-baik ya, Cit."
"Iya." Citra mengangguk tanpa sadar.
"Sekarang kasih teleponnya ke orang di sebelah kanan elo."
"Iya." Citra menyerahkan telepon itu pada Reinald. Setelah benda itu
berpindah tangan, baru cewek itu merasa heran. Bagaimana Tom bisa tahu ia
tidak sendirian" Keherannya makin bertambah saat kemudian didengarnya
percakapan itu. "Nggak ada yang mau lo omingin sama gue?" tanya Tom.
Reinald menelan ludah dengan susah payah. "Maaf, Ron," ucapnya serak.
Hening. Keheningan yang membuat tubuh Reinald menggigil hebat.
"Ron, maaf," bisiknya, dengan lebih susah payah, karena tenggorokannya
terasa sangat sakit. "Nggak apa-apa. Nggak usah merasa bersalah gitu. Daripada tu cewek gue
bawa ke sini. Mendingan dia sama elo."
Hening. Kemudian "Ronald" meneruskan dengan kalimat yang membuat
pertahanan Reinald akhirnya runtuh. "Gue sayang elo. Titip cewek itu, ya?"
Tak terjawab. Reinald tidak mampu lagi menahan isaknya. Ponsel di
tangannya terlepas dan hampir saja membentur lantai kalau saja Andika tidak
buru-buru menangkapnya. "Hai, kawan," Tom menyapanya.
Andika mendengar suara Ronald melalui radio kecil itu. Andika membeku,
tidak mampu menjawab. "Thanks banget. Buat semuanya. Baik-baik, ya" Bye."
Acara itu berakhir. Kembali lagu Glenn Fredly-Dewi Sandra mengalun. Hanya
di bagian akhir. Mengiringi suara penyiar yang mengucapkan terima kasih lalu
menutup acara itu dengan salam perpisahan. Kemudian hening. Radio kecil itu
tidak lagi mengeluarkan suara apa pun.
Reinald dan Andika tersadar. Keduanya bergerak bersamaan. Seperti
kesetanan, mereka mengguncang-guncang radio itu. Nihil. Mereka periksa
kabel. Masih tersambung ke stop kontak. Mereka pukul-pukul dengan telapak
tangan. Tetap tanpa hasil.
Jarum indikator masih di sana. Di tempat yang persis sama. Namun stasiun
radio itu menghilang. Tidak ada sedikit pun suara yang tertangkap. Hening.
Radio-tape kecil itu membisu.
Keduanya segera teringat nomer telepon tadi. Meskipun sudah bisa
menduga apa yang akan mereka dengar, Reinald menekan juga deretan angka
itu. Pada posisi speaker aktif, terdengar suara monoton dari mesin operator.
"Nomer yang anda tuju, belum terpasang?"
***** Hampir seperempat jam berlalu sejak radio-tape itu benar-benar membisu.
Dengan sorot mata sangat kebingungan, Citra menatap dua cowok yang duduk
tidak jauh di belakangnya itu. Reinald yang menangis tanpa suara. Andika yang
pucat dan seperti tidak sadar sepenuhnya. Hanya pada kedua mata mereka,
segala gejolak emosi yang ditahan mati-matian itu jelas-jelas terbaca.
"Ada apa sih?" Citra bertanya lirih dan hati-hati. "Kalian berdua kenapa?"
Sesaat tidak ada sedikit pun reaksi. Kemudian Reinald bergerak. Tangan
kanannya menghapus air mata, sementara tangan kirinya melambai pelan.
"Duduk sini, Cit," katanya pelan. Sambil menggeser tubuh, ditepuknya
tempat di sebelah kirinya. Citra tampak ragu, tapi kemudian bergerak juga. Ia
duduk di tempat kosong yang di berikan Reinald. Di antara cewek itu dan
Andika. "Ada apa sih?" Citra bertanya lagi, karena lagi-lagi kedua cowok di kirikanannya bungkam. Reinald kemudian merangkulnya. Sementara Andika
mengusap pelan kepalanya.
"Nanti gue ceritain," ucap Reinald lirih.
***** Beberapa saat yang lalu, kuncup mawar diletakkan dengan sangat hati-hati
di batu nisan Ronald. Dan kini, di sisi nisan, Reinald duduk bersila di atas rumput. Kepalanya
tertunduk dan kesepuluh jarinya bertaut. Di sebelah kirinya, Citra duduk
bersimpuh. Di atas pangkuannya, sebuah amplop cokelat tergenggam di antara
kesepuluh jarinya. Amplop itu berisi foto-foto dirinya dan secarik kertas yang
pernah ditempelkan Ronald di dinding di atas meja belajarnya.
Reinald mengangkat kepala lalu menoleh ke cewek yang duduk di
sebelahnya itu. Sama seperti dirinya, Citra sama sekali tidak mengeluarkan
suara. "Udah?" tanya Reinald lirih.
Citra menoleh. Kedua matanya masih berkabut. Ia mengangguk. "Yuk,
pulang." Reinald bangkit berdiri. Diulurkannya tangan kirinya. Lembut, ditariknya
Citra sampai berdiri. Keduanya meninggalkan tempat itu dalam diam, namun mereka yakin Tuhan
dan alam akan menyampaikan apa yang ternyata tadi tidak sanggup mereka
sampaikan selain dengan bahasa diam. Untuk seseorang yang kini dipeluk bumi
dan tidur dalam diam. Untuk Ronald, terima kasih dan seluruh cinta"..
Hilangnya Pusaka Kerajaan 1 Legenda Kematian Karya Gu Long Petualangan Di Dua Dunia 1
saja terucap dari mulut Reinald. Bagi Reinald, mengucapkan kalimat itu telah
membuatnya terguncang, sehingga cowok itu tak sanggup menatap Citra dan
terpaksa memalingkan muka.
"Jam berapa lo denger acara itu?"
"Biasa, jam tujuh. Biasa jam segitu gue mulai belajar."
Reinald terenyak! Waktu yang sama. Gelombang-gelombang yang sama. Bukan cuma dua-tiga
kali ia memutar tuning bolak-balik. Berkali-kali. Bagaimana bisa dirinya tidak
menangkap siaran itu"
Ketenangan sesaat yang tadi sempat hadir, seketika menghilang. Kembali
Reinald dicekam kegelisahan yang kini mulai bercampur dengan ketakutan.
Tapi belum tentu, bisiknya kemudian dalam hati. Barangkali tu orang punya
story yang sama kayak Ronald. Itu jenis cerita yang klasik kok.
"Siapa nama tu cowok?" tanyanya kemudian.
"Nggak tau. Gue dengerinnya udah telat."
"Trus, ending-nya gimana" Mereka jadian?"
"Itu dia yang gue kesel! Huh!" Citra mengetuk-ngetukan bolpoinnya ke meja.
"Di rumah gue semalem mati lampu! Cuma sebentar sih. Kira-kira sepuluh
menit. Tapi begitu listriknya nyala lagi, cerita tu cowok udah selesai. Yang
cerita udah penelpon berikutnya. Sebel! Padahal gue penasaran banget sama
ending-nya." Sementara muka Citra cemberut karena kesal tidak mengetahui ending
cerita yang didengarnya semalam, muka Reinald justru pucat pasi.
Ketiadaan nama dan ketiadaan ending".
Tidak diragukan lagi. Semuanya sudah jelas. Ronald memang telah kembali!
Reinald kacau. Jauh lebih kacau daripada kemarin. Cowok itu berusaha
menutupinya, meskipun dengan susah payah. Saat bel istirahat berbunyi,
Reinald segera berdiri. Tanpa peduli mejanya masih berantakan dan tanpa
mengatakan apa-apa pada Citra, cowok itu berjalan ke luar kelas. Citra
mengikutinya dengan pandangan heran dan bertanya-tanya.
Reinald berjalan dengan langkah cepat menuju toilet. Dimasukinya salah
satu bilik lalu dikuncinya dari dalam. Kemudian ia menyalakan keran agar tidak
ada orang yang tahu bahwa ia tidak melakukan apa-apa. Hanya ingin berdiam
diri. Merenung. Berpikir. Tanpa khawatir mengundang keheranan dan
pertanyaan. Cowok itu berdiri diam dengan punggung bersandar di salah satu sisi
dinding. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Di tengah kecemasan,
kegalauan, juga ketakutan yang semakin menikam, Reinald terus berpikir dan
bertanya-tanya dalam hati, apakah Ronald memang betul-betul datang
kembali namun tak lagi kasatmata. Tak lagi terlihat. Tak lagi teraba.
Pertanyaan itu jelas takkan menemukan jawaban yang pasti. Meskipun
Reinald sudah menghabiskan seluruh jam istirahat dengan berdiam diri di salah
satu bilik toilet, ketika ia keluar toh pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan.
Tidak ada jawabah yang berhasil ia dapatkan kecuali kalau ia mau percaya
intuisinya sendiri. Menjelang jam istirahat berakhir, Citra kaget melihat Reinald berjalan masuk
kelas dengan muka sangat pucat.
"Lo sakit, ya?" tantanya cemas. "Muka lo pucet banget."
"He-eh." Reinald menjawab singkat. "Punya makanan, nggak" Gue nggak
sempet ke kantin tadi."
"Ada, Bengbeng. Tapi tinggal dua menit lagi bel nih."
"Cukup kok. Mana?"
Citra mengeluarkan Bengbeng yang tadinya akan dibawanya pulang itu dari
dalam tas dan menyerahkannya pada Reinald. Cowok itu segera merobek
bungkusannya lalu melahap isinya dengan cepat.
"Thanks," Ia tersenyum dikunyahan terakhir. Ditepuknya bahu Citra.
"Sekarang gue udah sehat," katanya, untuk mengakhiri sorot cemas di kedua
mata itu. "Cepet amat" Cuma pake Bengbeng doang, lagi."
Reinald tertawa pelan. "Gue bukan sakit, tapi kelaperan" banget!" katanya berbohong. "Ulangan
Inggris nih. Siap?" "Siap nggak siaplah," dengus Citra. Cewek itu memang lemah di semua mata
pelajaran yang ada judul "bahasa"-nya. Reinald tertawa tanpa suara.
Bel berbunyi. Seluruh isi kelas segera menuju bangku masing-masing.
Mereka langsung mengeluarkan kertas ulangan. Bu Nana, guru bahasa Inggris,
memang sudah memberi tahu perihal ulangan ini sejak dua minggu lalu.
Tak lama Bu Nana memasuki kelas. Satu tangannya memeluk sebuah map
berisi fotokopian soal-soal. Tanpa banyak bicara, beliau langsung membagi
tumpukan soal itu menjadi empat bagian dan menaruhnya di empat meja
terdepan. Delapan murid yang duduk di meja terdepan segera mengopernya
ke teman mereka di belakang, setelah meninggalkan selembar untuk diri
mereka sendiri. Seisi kelas langsung bersiap-siap dan Bu Nana duduk tegak-tegak di kursinya.
Ia memastikan setiap murid di depannya mengerjakan soal hanya dengan
menggunakan otak mereka sendiri.
Kelas hening. Meskipun sempat merasa heran karena soal yang berjumlah
dua puluh itu keseluruhannya berformat jawaban B-S (Benar-Salah), seisi kelas
langsung berkonsentrasi dengan keras di hadapan masing-masing.
Termasuk Reinald. Cowok itu juga segera tenggelam dalam keseriusan
menjawab deretan soal di depannya. Ketika akhirnya selesai mengerjakan
kedua puluh soal tersebut, Reinald mendapati kenyataan bahwa seluruh
jawabannya adalah" Benar!
Ini belum pernah terjadi. Reinald membaca ulang seluruh soal dari awal.
Tetap, jawaban yang ia dapatkan adalah "Benar" untuk seluruh soal. Masih
tidak yakin, sekali lagi Reinald membaca ulang seluruh soal. Sekali lagi pula,
jawaban keseluruhan untuk soal itu adalah "Benar".
Seketika wajah Reinald memucat. Kini ia menyadari, inilah jawaban dari
pertanyaan yang diajukannya dalam hati saat mengurung diri di dalam bilik
toilet jam istirahat tadi.
"Apakah Ronald memang kembali?"
Di depan matanya, jawaban pertanyaan itu diberikan dalam dua puluh kali
perulangan. BENAR!!! BAB 15 RONALD datang! Dia kembali!
Reinald membeku di bangkunya. Di kelas yang dikosongkan oleh jam
istirahat, ia merasa dunia di sekelilingnya mengabur. Ada dunia lain bergabung.
Dunia tempat Ronald kini tinggal. Kekalutannya kini jadi ketakutan yang nyata.
Tiba-tiba Reinald tersentak. Ia menyapukan pandangan ke sekeliling, lalu ke
luar jendela. Citra tidak terlihat, berarti masih di kantin. Reinald cepat-cepat
berdiri lalu keluar kelas. Di kantin, Citra sedang duduk di antara cewek-cewek
teman sekelas lainnya, mengobrol dengan riuh sambil mengunyah tahu isi.
Reinald bergegas menghampiri.
"Cit, sebentar." Diraihnya tangan kiri Citra.
Cewek itu menoleh kaget. "Apa?"
"Ikut gue bentar."
Dengan paksa Reinald menarik Citra sampai berdiri dan membawanya ke
luar kantin, diiringi tatapan bingung cewek-cewek itu. Citra berlari-lari kecil,
mengimbangi langkah cepat Reinald. Begitu sampai di luar, Reinald
melepaskan genggamannya dan langsung ke masalah yang tadi muncul
mendadak di kepalanya. "Cit, lo kenal Ronald?"
"Ronald siapa?"
"Ronald siapa aja. Yang penting lo kenal dia. Ada nggak?"
"Mmm?" Citra mengingat-ingat. "Ada sih."
Muka Reinald langsung pucat. "Ada?" desisnya tegang.
"Ada. Itu juga gue yang kenal dia. Dia sih bisa dipastikan nggak kenal gue
sama sekali. Itu tuh, si Ronaldinho. Pemain bola," Citra menjawab kalem. Lalu
ia terkikik geli. "Siapa juga yang nggak kenal Ronaldinho?"
Reinald mendesis lagi. Kali ini karena kesal. Jantungnya sudah nyaris lepas,
tapi ternyata Citra cuma bercanda.
"Gue nanya serius banget nih, Cit."
Citra akan meneruskan candanya, tapi batal saat dilihatnya muka keruh
Reinald. "Nggak." Dia menggeleng.
"Yakin" Coba lo inget-inget"
"Nggak." Citra menggeleng lagi. "Temen-temen gue di SMP nggak ada yang
namanya Ronald. Kalo temen-temen SD?"
"Nggak perlu yang udah lama banget," Reinald langsung memotong.
"Temen-temen yang lo kenal waktu SMP aja."
"Ya itu tadi. Nggak ada." untuk ketiga kalinya Citra menggeleng.
"Yakin?" "Yakin!" Reinald terlihat lega. Citra jadi tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Emang kenapa sih?"
"Nggak apa-apa." Reinald langsung menggeleng. "Yuk, balik ke kelas. Udah
mau bel nih," ajaknya.
Citra mengangguk. Ia melambai ke arah teman-temannya yang masih asyik
ngobrol. "Gue dulan yaaa!" serunya.
Mereka menoleh dan berseru bersamaan, "Yaelaaaah! Ke kantin aja
dijemput!" Citra meringis lebar. Sekali lagi ia melambaikan tangan lalu menyusul
Reinald. *** Dia mungkin tidak lagi kasat mata. Dia kini maya. Abstrak. Tidak terlihat. Tidak
teraba. Tapi dia adalah Ronald! Kakak satu-satunya. Saudara cowok satusatunya. Musuh bebuyutan di dalam rumah, namun sekutu sahati untuk
urusan berkelahi di halaman rumah mereka. Sedetik mereka adu jotos, lima
menit kemudian Ronald bisa menghajar anak tetangga demi Reinald. Dan
sepanjang ingatan Reinald, mereka belum pernah tidak sekamar.
Jadi Reinald mengenal sosok invisible itu lebih baik daripada siapa pun!
Tapi keyakinan itu tidak bertahan lama. Mengenal baik sosok invisible
Ronald bukan berarti tahu pula cara menghadapinya. Reinald justru sangat
menyadari bahwa ia sama sekali tidak punya cara. Dan itu membuatnya putus
asa. Selain itu, Reinald tahu ia tak bisa membagi kekalutannya pada siapa pun.
Hanya pada satu orang, tapi ia tidak yakin dengan respons orang itu.
Andika kaget saat membuka pintu depan dan mendapati Reinald berdiri di
hadapannya dengan muka pucat.
"Ada apa?" tanyanya cemas.
Mulut Reinald sudah terbuka, tapi perlu waktu cukup lama sebelum
akhirnya Andika mendengar suara serak keluar dari sana.
"Ronald pulang."
Seketika wajah Andika tampak kaget, bingung, dan reaksi-reaksi shock
lainnya. Tumpukan reaksi yang membuatnya tak bisa bicara, hanya mampu
menatap Reinald dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Anak itu
sampai lupa menyuruh Reinald masuk sehingga sang tamu menceritakan
semuanya dengan berdiri di ambang pintu.
Cerita yang dituturkan Reinald tidak keruan. Suaranya yang serak kadang
terbata, dan kadang meluncur deras begitu saja.
Ketika Reinald selesai, Andika sedikit lega. Tadinya ia mengira Ronald
"pulang" dalam bentuk penampakan, dalam aura mistis atau horor, seperti di
film atau sinetron. Ia tidak sanggup membayangkan sahabatnya menjadi arwah
gentayangan, hanya karena soal cinta yang belum dimulai.
Masih berdiri di ambang pintu, Reinald menatap Andika. Tatapannya yang
seakan berkata "Gue mesti gimana?" jelas-jelas terbaca di kedua matanya.
"Masuk dulu." Andika melebarkan pintu. "Lo udah makan?"
"Nggak tau. Lupa." Reinald menggeleng.
"Makan dulu kalo gitu. Abis itu baru kita omongin. Kalo perut kenyang, otak
juga kerjanya lebih bener." Andika lalu berjalan ke dalam. Ia sengaja mengulur
waktu karena tak tega mengatakan bahwa penyebab kekalutan Reinald
sebenarnya cuma dua hal. Rasa bersalah dan kenangan.
*** Walaupun Andika menganggap sumber kekalutan Reinald berasal dari diri
Reinald sendiri, toh itu membuatnya tidak tenang juga. Terpaksa terus
dipantaunya kondisi adik almarhum sahabatnya itu, yang semakin dianggap
sebagai adiknya sendiri sejak kematian Ronald. Langkah pertama yang diambil
Reinald untuk mengatasi ketakutannya itu cukup membuat Andika kaget.
"Lo apain si Citra?"
"Cuma gue protect doang."
"Dengan cara yang lo sebut tadi, itu namanya dikerangkeng."
"Belom ketemu cara lain." Reinald malas berdebat.
Ia sadar usaha yang dilakukannya mungkin sia-sia. Tapi ia tidak tahu cara
lain. Untuk saat ini, hanya ini. Memastikan Citra tetap berada pada fokus
pandangannya, dan terus memastikan keadaanya lewat kontak telepon begitu
cewek itu harus dilepasnya.
Bukan hanya Andika yang bingung melihat sikap Reinald terhadap Citra.
Teman-teman sekelas mereka juga bertanya-tanya. Ke mana pun Citra pergi,
Reinald pasti mengikuti, kalo ia tidak bisa ikut, Citra harus lapor sebelumnya.
Pergi ke mana, dengan siapa, berapa lama.
Kalau Citra melanggarnya, Reinald pasti blingsatan mencari-cari Citra. Kalau
tidak menemukan Citra di mana pun, Reinald bisa panik, senewen, dan ujungujungnya cowok itu marah-marah karena Citra menghilang tanpa izin darinya.
Pemandangan Citra melakukan protes pun kemudian menjadi pemandangan
yang sering disaksikan teman-teman sekelas mereka.
"Gue udah bilang, kalo mau ke mana-mana, ngomong dong. Jangan ngilang
gitu aja!" ujar Reinald suatu hari.
"Orang gue cuma ke toilet. Masa mesti ngomong juga" Toiletnya keliatan
dari sini. Tuuuh!" Citra menunjuk toilet di ujung koridor dengan jengkel.
Reinald tidak peduli. "Toiletnya emang keliatan. Tapi kalo lo udah masuk ke situ, mana keliatan,
lagi" Mana gue tau lo ada di dalam sana?"
"Ya udah, lo ikut masuk aja, Ren," kata Ian dengan tampang bosan. "Lo
kelewatan juga sih. Masuk daerah orang aja lapor ke Pak RT-nya 1 x 24 jam.
Sekali doang. Nah kalo elo, masa tiap lima menit Citra kudu lapor sih?"
Reinald menoleh dan menatap Ian dengan ekspresi tidak suka. "Kalo nggak
tau masalahnya, mending nggak usah ngomong deh."
Kali lain, di jam istirahat, teman-teman sekelas mereka menemukan Citra
terduduk lesu di bangkunya, sambil memegangi perut. Di sampingnya, Reinald
sedang sibuk menulis sesuatu dengan cepat.
"Kenapa lo, Cit?" tanya Roni, yang baru saja memasuki kelas.
"Laper bangeeet!" Citra langsung menjawab dengan suara melengking
keras. Roni melirik Reinald dengan kesal, tapi wajahnya tetap ke arah Citra.
"Kalo laper ya ke kantin sana. Buruan. Udah mau bel nih."
"Nggak boleh pergi sendiri," ujar Citra sambil mencebik.
"Ya ampuuun! Ya udah, sini sama gue." Roni berjalan menghampiri Citra
sambil geleng-geleng kepala. Digamitnya lengan cewek itu. "Ren, Citra gue
temenin ke kantin. Lo ngapain sih" Nggak liat cewek lo udah mau semaput
gitu, apa?" "Ngerapiin catetan bio. Anak 1-3 diperiksa mendadak. Eh, Cit, lo kan udah
gue kasih kue tadi?" Reinald menghentikan kesibukannya dan menatap Citra.
"Sementara buat ganjel perut kan cukup" Ntar istirahat kedua, gue traktir."
"Kue kecil gitu, mana kenyang" Dibagi dua sama elo, lagi. Cuma sampe di
tenggorokan nih, sama ngotor-ngotorin gigi. Nggak nyampe perut!" Citra
bersungut-sungut sambil berdiri, lalu mengikuti Roni.
Reinald berseru saat kedua orang itu sampai di ambang pintu, "Kalo gitu gue
titip?" "Bodo!" tanpa menoleh, Citra langsung menolak. Roni tertawa dan
menghentikan langkahnya. "Titip apa lo?" tanyanya.
"Apa aja. Yang penting bisa bikin perut gue rada terisi. Lemper kek, tahu isi
kek. Bakwan juga boleh."
"Oke." Roni mengangguk, sementara Citra langsung menggerutu.
"Sendirinya kelaperan, tapi gue disuruh nunggu sampe jam istirahat kedua!"
"Jangan protes, Cit. Ntar lo nggak gue kasih izin ke kantin nih!" ancam
Reinald. Roni buru-buru mengajaknya pergi, "Buruan, Cit. Udah mau bel." cowok itu
berjalan ke luar kelas dengan langkah-langkah cepat. Citra buru-buru
mengikuti.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teman-teman sekelas yang menyaksikan adegan itu lagi-lagi tampak
bingung. Karena terlalu seringnya mereka menyaksikan itu, kemudian
merebaklah beberapa versi dugaan kenapa Reinald sampai overprotektif
begitu. Mereka menginterogasi Citra ketika cewek itu balik dari kantin.
"Lo pasti pernah nyolong ya, Cit, waktu main ke rumah Reinald. Makanya lo
diawasin terus sama dia. Takut lo nyolong di tempat lain," ujar Didot.
"Jangan-jangan lo cewek tukang selingkuh ya" Nggak bisa dipercaya.
Makanya ke mana-mana dibuntutin terus." Ini kata Toto.
"Lo punya penyakit ayan ya, Cit" Makanya Reinald nggak tega ngebiarin lo
sendirian. Takut lo kumat di jalan, trus nggak ada yang nolongin." Kalau ini
Derry yang ngomong. Diiringi tawa geli seisi kelas, Citra lalu berdiri dan bertolak pinggang. "Iyaaa,
sebutin aja yang jelek-jelek. Gue tukang nyolong, tukang selingkuh, ayan. Trus
apa lagi?" "Abis, kenapa dong Reinald sampe kayak gitu?" tanya Didot.
Reinald yang sedang asyik duduk di bangkunya, baru saja hendak menjawab,
tapi Citra sudah lebih cepat.
"Ya karena dia cinta banget sama gue!" tandas Citra. Langsung seisi kelas
bersuit-suit dan bertepuk tangan riuh.
"Cieeeh! Keren!" seru Toni.
"Romantis, bo!" timpal Alfian.
"Emang!" jawab Citra, dengan nada makin tandas tapi muka makin bete.
"Makanya lo-lo jangan pada berisik! Mengganggu kemesraan kami aja, tau!"
Kembali seisi kelas jadi ketawa-ketawa geli.
Citra berjalan ke arah bangkunya, sambil terus menatap Reinald. Cowok itu
balas menatap Citra dengan tampang bingung.
"Hai, darling honey!" seru Citra, dengan nada yang dibuat riang. "Mereka
pada ngiri tuh. Katanya kita mesra banget!"
Ketika Citra sudah duduk di sisi Reinald, cowok itu meraih Citra dengan satu
tangan lalu mencium puncak kepalanya. Sontak teriakan histeris memenuhi
ruang kelas mereka. "CUIH! BETE!" "NORAK!" "KAMPUNGAN!" "UDIK!" *** Tidak hanya itu. Reinald juga menjeput dan mengantar pulang Citra. Setiap
hari. Sementara bentuk proteksi lain yang dilakukan cowok itu begitu Citra
tidak lagi bersamanya adalah dengan mengiriminya SMS atau menelponnya,
untuk memastikan cewek itu dalam keadaan baik.
Tadinya Citra patuh. Ia membalas setiap SMS dan menjawab setiap telepon.
Tapi lama-lama cewek itu bosan juga. Karena bunyi setiap SMS dan telepon
Reinald selalu "Lo baik-baik aja, kan?", minimal sehari dua kali, lama-lama Citra
jadi stres. Jadinya malah nggak baik-baik aja, kan"
Pernah Citra mematikan ponselnya untuk melarikan diri sebentar saja dari
overprotektif Reinald. Tapi usahanya itu malah membuat telepon rumahnya
terus berdering. Kemudian didengarnya suara mamanya menjawab
pertanyaan, setelah itu mamanya muncul di kamar, menanyakan ada masalah
apa antara Citra dan Reinald. Citra tak bisa menjawab karena ia sendiri juga
tidak tahu. Cewek itu jadi dapat masalah baru, karena mamanya mengira ia
punya masalah gawat tapi tidak mau cerita.
Membiarkan ponselnya begitu saja tanpa memedulikan SMS dan telepon
dari Reinald, ternyata juga bukan jalan keluar. SMS yang masuk jadi bertubitubi dan ponsel itu jadi berdering terus. Bikin kepala mau pecah. Emosi Citra
akhirnya memuncak. Ketika kemudian diangkatnya telepon, siap marah-marah,
Reinald ternyata lebih galak lagi.
"Kenapa SMS gue nggak dibales!?" dari seberang langsung terdengar nada
tajam. "Bosen, tau! Isinya sama melulu. Telepon nanyanya itu-itu juga."
"Citra, denger ya!?" Reinald mendesis dengan nada yang semakin tajam.
"Gue kuatir sama elo, Cit. Makanya gue SMS, gue telepon. Kalo lo nggak bales
SMS gue, nggak ngangkat telepon, lo bikin gue tambah kuatir."
"Kan tiap hari lo nganter gue sampe rumah" Kenapa juga lo masih ngirim
SMS dan nelepon?" "Gue cuma nganter, Cit. Nggak nginep. Dan itu kan tadi sore. Sekarang udah
mau jam sembilan. Selisih berapa jam tuh" Bisa terjadi banyak hal, tau!"
"Tapi gue kan di rumah sendiri!"
"Nggak peduli lo ada di mana!" tandas Reinald. "Pokoknya, bales SMS gue
ya! Kalo gue telepon, angkat!" Reinald langsung mematikan telepon. Citra
menghentakkan kakinya. "Hiiih! Dasar otoriter!" makinya sambil melempar ponsel itu ke kasur.
Di seberang, Reinald tercenung. Masih dengan ponsel di tangan. Ia tahu,
ketakutannya telah menyebabkan dirinya bersikap terlalu keras terhadap Citra.
Tapi ia tidak tahu cara lain. Ia berharap, dengan begini Ronald tidak bisa
"mengambil" Citra. Cewek itu terus berada dalam pengawasan kedua
orangtuanya dan pengawasan Reinald.
Kalaupun bisa, apa pun wujud kakaknya itu kini, jiwa adalah kekal. Reinald
berharap hati juga kekal sama seperti jiwa.
*** Esok paginya, ketika hendak berangkat sekolah dan memeriksa isi dompetnya,
Reinald baru menyadari bahwa uang sakunya cekak banget. Ia nggak sadar
bahwa setiap hari meng-SMS dan menelpon Citra telah menguras isi
dompetnya untuk membeli pulsa. Sedangkan jadwal mendapatkan uang saku
bulanan masih jauh. Otak Reinald terus mengalkulasi sisa uang saku yang ada, plus sedikit
tabungan, kira-kira ia bisa bertahan berapa lama. Busa saja ia menghemat
transpor dan mengurangi jajan, tapi sampai kapan"
Karena sibuk memikirkan ini-itu, Reinald jadi tidak ingat sarapan. Akibatnya
saat ini, saat menelusuri trotoar menuju rumah Citra, perutnya melilit
kelaparan. Enak nggak ya, kalo numpang sarapan di rumah Citra" Gila, laper banget!
Katanya dalam hati. Kemudian cowok itu berdecak dan tersenyum sumbang.
Semalem gue marah-marahin tu cewek, dan sekarang gue minta makan" Tragis
banget! Kelaparan dan kepala sibuk mempertimbangkan untuk numpang makan
membuat Reinald tidak fokus pada jalanan di depannya. Tiba-tiba satu pukulan
keras mendarat di punggungnya. Cowok itu berteriak keras, kaget dan
kesakitan. Seketika ia balik badan. Seorang bapak menyambutnya dengan
tatapan marah. "Kamu tau nggak kalo semennya belum kering!?" bentaknya.
Reinald menunduk. Tidak jauh dari kakinya, ada satu area kecil berupa
lapisan semen yang masih basah, untuk menutupi lubang agar tidak semakin
lebar dan membahayakan pengguna jalan. Kedua jejak sepatunya tercetak
jelas di sana. Pantas saja bapak itu jadi berang.
"Maaf, pak. Maaf?" Reinald membungkukkan badan. "Saya nggak ngeliat."
"Makanya kalo jalan jangan sambil ngelamun. Jadi bisa liat-liat. Sana pergi!"
usir bapak itu. Sambil meraih ember kecil berisi adukan semen ia memelototi
Reinald. Reinald buru-buru pergi dari situ. Ketika ia sampai di rumah Citra, cewek itu
sedang menunggunya di teras. Tampangnya cemberut.
"Yuk!" Citra langsung mengajak Reinald berangkat. Tapi saat melihat wajah
Reinald yang pucat, Citra jadi bertanya, "Kok tampang lo kusut begitu" Belum
sarapan ya?" "Mmm"." Reinald berdeham. Ditatapnya Citra dengan senyum kikuk. "Iiya."
"Hah!?" Citra ternganga. "Gimana sih lo" Gimana bisa belajar kalo nggak
sarapan?" "Yaaah?" Reinald melebarkan senyumnya. Kemudian ia juga menceritakan
peristiwa ia dipukul tadi. Singkat tapi dilebih-lebihkan. Maksudnya jelas,
supaya Citra tambah kasihan, sekaligus melupakan soal marah-marah
semalam. "Sumpah, Cit. Sakit banget." Reinald menyentuh punggungnya hati-hati
dengan satu tangan. Citra meliriknya, masih dengan tampang kesal.
"Roti aja, ya" Makan sambil jalan. Soalnya kalo makan di sini, ntar kita telat."
"Oke. Lo sweet banget emang," Reinald langsung melontarkan pujian.
"Semalem lo udah marah-marah, sekarang gue yang ngasih sarapan. Kalo lo
masih bilang gue jelek, bener-bener gue kasih racun di roti lo ntar!" gerutu
Citra sambil balik badan dan berjalan ke dalam. Reinald menatapnya sambil
menyeringai. Namun seringai itu langsung menghilang begitu Citra sudah tidak
terlihat. Reinald tetap merasa apa yang menimpanya hari ini bukan kebetulan.
Tak lama Citra keluar, dengan satu tangkup roti dan segelas air mineral.
Reinald buru-buru mengubah air mukanya.
"Isinya selai kacang. Adanya cuma ini," kata Citra sambil mengeluarkan roti.
Reinald menerimanya dengan sigap.
"Ini juga udah oke banget. Yuk, jalan. Nyokap lo mana" Mau pamit."
"Lagi di kamar mandi. Udah gue pamitin tadi."
Keduanya pun melangkah keluar.
*** Sampai siang menjelang sore, saat Reinald menyusuri jalan menuju rumahnya,
rasa sakit di pungguang akibat pukulan tadi pagi tidak juga hilang. Reinald
kembali berpikir, apa yang menimpanya hari ini pasti bukan kebetulan.
Tiba-tiba saja ia melihat "tanda" itu, dulu sekali, di suatu hari saat ia dan
Ronald masih SD. Pertengkaran serius mereka yang pertama. Reinald sudah
lupa apa penyebabnya, dengan sebatang ranting kayu Ronald memukulnya
keras-keras di punggung. Reinald ingat, kejadian itu membuatnya menangis, setelah sebelumnya ia
menjerit keras dan Bi Minah tergopoh-gopoh menghampiri. Perempuan paruh
baya yang biasa sabar itu sampai marah-marah. Dia merebut ranting itu dari
tangan Ronald dan mengancam akan melakukan hal yang sama jika sekali lagi
Ronald berani memukul adiknya seperti itu.
Kenangan samar yang mendadak teringat lagi dengan sangat jelas itu
membuat Reinald tersentak. Langkahnya terhenti mendadak. Tanpa bisa
dicegah, jantungnya berdebar keras saat menyadari penyebab semua kejadian
yang menimpanya hari ini. Ronald marah!
*** Sudah lima belas hari berlalu sejak Reinald memasuki kamar dengan jantung
deg-degan dan pikiran campur aduk. Sudah selama itu pula ia berdiri di depan
foto Ronald. Tatapannya terpaku pada dua mata di dalam foto itu. Sepasang
mata yang sedang tertawa, tapi Reinald tidak menangkap kesan itu saat ini.
Ada banyak kalimat yang telah terlontar dalam diam yang cukup lama itu.
Reinald tidak ingin menyebut sikap yang diambilnya saat ini sebagai tantangan.
Ia tidak berniat menyakiti Ronald. Sama sekali.
Namun Citra milik dunia ini, dan cewek itu tidak tahu apa-apa. Jadi biarkan
Citra tetap di sini. Itulah permohonan Reinald pada sang kakak. Permohonan
yang digemakan dalam hati tapi ia yakin Ronald bisa mendengarnya.
Biarkan Citra tinggal. Yang artinya, Reinald juga memohon agar sang kakak
juga mau melepaskannya".
Pagi ini, sekali lagi dengan kedua mata menatap lurus pada kedua mata di
dalam foto itu, Reinald mengulangi permohonnanya, dalam diam dan dengan
sikap tubuh yang menantang.
Setelah sepuluh menit tegak di depan foto Ronald, Reinald membalikan
badan. Dilihatnya jam di pergelangan tangan. Astaga! Sudah lewat lima menit
dari jadwal ia harus berangkat. Diraihnya tas sekolahnya, tanpa memeriksa
isinya, kemudian bergegas keluar rumah.
Bus yang pertama lewat, penuh sesak. Reinald nekat berdiri di pintu. Sampai
di rumah Citra, cewek itu sudah senewen berat.
"Kok telat banget sih" Telepon gue nggak diangkat-angkat, lagi." sambutnya
begitu Reinald muncul di depan pagar.
"Mana nyokap lo" Mau langsung pamit nih," ucap Reinald langsung.
Citra berlari ke dalam, tak lama muncul bersama sang mama. Reinald
langsung pamit, juga Citra. Diiringi tatapan mama Citra, Reinald dan Citra balik
badan dan berlari ke luar halaman. Keduanya terus berlari di sepanjang gang
dan trotoar tepi jalan raya. Setiap kali Citra tertinggal, Reinald langsung meraih
satu tangannya dan menariknya.
Ditikungan, mereka melihat bus jurusan sekolah mereka baru saja
meninggalkan halte. Serentak keduanya memanggil. Reinald berteriak, Citra
menjerit. Bus itu berhenti. Meskipun pelajar adalah jenis penumpang yang
sama sekali tidak potensial memberikan keuntungan, histeria kedua pelajar itu
membuat sang sopir tak tega untuk meninggalkan mereka di belakang.
Bus itu penuh, tapi keduanya tidak peduli. Yang penting bisa memperkecil
persentase keterlambatan. Reinald menyuruh Citra naik lebih dulu, kemudian
ia menyusul. Untuk kedua kalinya di pagi ini, cowok itu harus berdiri di pintu.
Kali ini dengan Citra yang harus dijaganya. Yang harus ditahananya dengan
punggung setiap kali bus itu berbelok ke arah kanan.
Begitu bus berhenti di halte depan sekolah, keduanya langsung melompat
turun dan berlari sekencang-kencangnya menuju sekolah. Ternyata pintu
gerbang telah tertutup. Bel baru saja berbunyi. Keduanya memohon dengan
amat sangat pada Pak satpam agar bersedia membuka gerbang sedikit saja,
karena masih ada sedikit waktu sebelum guru piket datang dan sebelum guru
jam pertama sampai di kelas.
Dengan berat hati petugas sekuriti itu menggeser pintu gerbang yang berat
itu. Hanya sedikit, cukup untuk kedua anak itu menyelinap masuk. Keduanya
mengucapkan terima kasih, lalu berlari secepat-cepatnya menuju kelas.
Untung saja, guru belum datang. Keduanya masuk kelas dengan tubuh basah
oleh peluh tetapi lega karena berhasil selamat. Godaan teman-teman sekelas
mereka tanggapi hanya dengan cengengesan.
Selamat untuk Citra, tapi tidak untuk Reinald. Saat istirahat pertama, cowok
itu baru sadar bahwa ia tidak membawa buku pelajaran PKN!
"Mampus gue, Cit!" desis Reinald. "Buku PKN gue ketinggalan!"
"Yaaah!" Citra memekik tertahan. "Kok bisa" Hari ini yang ada PKN cuma
kelas kita, nggak bisa cari pinjeman."
"Makanya, ck!" Reinald berdecak.
"Ya udah. Kita pake cara kayak waktu itu lagi. Tapi jangan pinjem bukunya
Giri. Ntar nggak sukses lagi."
"Percuma!" Reinald menggeleng. "Yang ketinggalan bukan cuma buku
cetaknya. Semuanya. Buku catetan, PR, latihan."
"HAAAH!?" kali ini Citra memekik keras. "Ketinggalan, apa lo sengaja nggak
bawa sih?" "Ketinggalanlah!" jawab Reinald dengan intonasi yang tanpa sadar jadi
ketus. Ia enggan menceritakan alasan kenapa ia bisa lupa.
"Ya udah. Mendingan ntar lo jujur sama Bu Emi," usul Citra kemudian.
Reinald manggeleng. "Percuma!" "Iya sih." Citra mengangguk lemah. "Jadi?"
"Pasrah. Mau gimana lagi?"
Untuk Bu Emi, tidak membawa buku PKN adalah pelanggaran yang sifatnya
absolut. Meskipun cerita di balik tidak terbawanya buku tersebut sedramatis
kisah Anna Karenina atau Romeo-juliet, beliau tidak peduli. Nggak bawa, ya
nggak bawa. Titik! "Waktu itu, cuma nggak bawa buku cetak aja, lo dikeluarin dari kelas.
Sekarang lo bukan cuma nggak bawa buku cetak, tapi juga buku catetan, buku
PR, sama buku latihan!" Citra memandangi keempat jarinya. Kedua matanya
terbelalak saat menyadari betapa gawat masalah yang dihadapi Reinald.
"Kayaknya lo bakal dikeluarin dari sekolah!"
Reinald melirik jengkel, tapi tidak jadi marah ketika mendapati sorot cemas
di kedua mata Citra. Ternyata Bu Emi masih ingat bahwa sebelumnya Reinald juga pernah tidak
membawa buku PKN. Tidak mengherankan sih sebenarnya. Bedanya, dulu
beliau menganggapnya sebagai kasus ringan atau kasus umum, tapi sekarang
Bu Emi menganggapnya sebagai kasus khusus.
Karena Reinald tidak membawa seluruh buku yang berhubungan dengan
PKN -Bu Emi menekankan kata "seluruh" itu dengan menyebutnya tiga kaliberarti Reinald memang tidak tertarik untuk mengikuti pelajarannya. Jadi
dengan sangat berat hati, beliau membebaskan Reinald dari pelajaran PKN
selama satu bulan. Satu bulan"
What a wonderfull life! Beneran, sumpah! Kalau saja PKN bukan salah satu mata pelajaran yang
nilainya wajib berwarna biru di rapor. Dengan adanya kejadian ini, Reinald
tidak yakin sekeras apa pun ia berusaha dirinya akan punya peluang untuk
mendapatkan nilai biru. Reinald tidak tahu bagaimana cara Ronald melakukannya, atau bagaimana
semua peristiwa yang menimpanya selama dua hari terakhir ini terhubung
dengan almarhum kakaknya itu. Yang jelas, hari ini nasibnya lebih sial daripada
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemarin. Jauh lebih sial!
*** Reinald berjalan memasuki halaman rumah dengan muka kaku dan rahang
terkatup rapat. Ia begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga -tidak
seperti biasanya- ia masuk rumah begitu saja, tanpa memberi salam. Ia
langsung menuju kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Reinald lalu berdiri di
kaki tempat tidur Ronald. Karena hanya di situ satu-satunya tempat ia bisa
"berdiri berhadapan" dengan Ronald.
Masih dengan ransel tersandang di punggung, Reinald berdiri tegak di sana.
Ditentangnya sepasang mata Ronald yang berada di dalam foto berbingkai.
Sesaat hanya ada keheningan. Kemudian Reinald bicara dengan suara tenang.
Sangat tenang. Jenis ketenangan yang biasa terjadi sesaat menjelang badai.
"Sekarang Citra sama gue. Bukan sama elo!"
*** Kalimat yang sama, sikap yang sama, diulangi Reinald keesokan paginya,
sesaat sebelum berangkat ke sekolah. Tindakan yang tidak perlu sebenarnya.
Satu kali, cukup. Tapi dua kali, terlalu banyak!
Reinald pamit pada seisi rumah, lalu berangkat. Tidak sampai berdiri lima
menit di halte, bus yang ditanggungnya datang. Namun bus itu tidak pernah
sampai di halte tujuan. Di tengah jalan, bus yang sarat penumpang itu mogok.
Segala upaya yang dilakukan sopir berikut kondekturnya tidak berhasil
membuat mesin kendaraan itu menyala.
Akhirnya kedua orang itu pasrah dan memindahkan seluruh penumpang ke
bus-bus pada trayek yang sama. Tapi saat ini jam sibuk. Seluruh angkutan
umum dalam keadaan penuh. Bus pertama yang lewat cuma bisa memuat
tujuh orang lagi. Bus kedua malah lebih parah, hanya tiga orang yang bisa naik.
Itu pun sudah pasti di pintu.
Tak ayal, tiap kali sebuah bus muncul lalu berhenti di hadapan, terjadi saling
dorong di antara penumpang. Semua berebut naik. Reinald pilih mengalah.
Akibatnya, ia jadi tidak bisa menjemput Citra. Waktunya tidak cukup. Terpaksa
diteleponnya cewek itu. Memintanya untuk tidak menunggu dan berangkat ke
sekolah lebih dulu. Sebenarnya hal itu membuat Reinald sangat cemas. Tapi
tidak ada jalan lain. Ketika bus berikutnya muncul, Reinald memaksa naik karena waktu sudah
benar-benar mepet. Begitu sampai di halte tujuan, cowok itu langsung
melompat turun. Ditelusurinya trotoar dengan setengah berlari, karena bel
masuk sudah berbunyi dua menit yang lalu. Tapi Reinald lega karena tadi Citra
sudah mengirim SMS yang mengatakan dia sudah sampai di sekolah. Paling
tidak cewek itu tidak ikut terlambat.
Langkah setengah berlari Reinald mendadak terhenti. Seorang laki-laki yang
sepertinya tidak waras tiba-tiba muncul dari tikungan di depannya. Laki-laki itu
kurus, kumal, dekil dan bajunya compang-camping. Di kepalanya bertengger
helm rusak. Tapi bukan itu yang membuat Reinald mematung. Melainkan
benda yang tergenggam di tangan kanan laki-laki itu. Pentungan besi!
Orang gila itu menghampiri Reinald dengan mata melotot dan muka marah.
"Mau gue abisin lo!?" teriaknya.
Reinald memucat dan semakin tak mampu bergerak. Orang gila itu
mengayunkan pentungan besinya. Sesaat Reinald mengira dirinya sudah tewas,
tapi satu tangan menyambar lengan kiri Reinald dari belakang.
"Lari, goblok!" si pemilik tangan berteriak dan menariknya dengan sentakan.
Reinald tersadar. Ia balik badan, mengikuti tangan yang menariknya.
Ternyata Ian. Keduanya lari pontang-panting. Orang gila itu mengejar sambil
berteriak-teriak dan mengacung-acungkan pentungan besinya.
Kedua cowok itu terpaksa nekat memanjat pagar sebuah rumah, lalu
melompat masuk ke halamannya setelah tiga kali bunyi bel yang mereka tekan
dengan kalap tidak membuat satu orang pun keluar. Ian pucat. Reinald lebih
pucat lagi. Keduanya bersembunyi di belakang kursi teras, sambil mengintip ke
arah jalan. Tak lama orang gila itu muncul. Berlari melewati rumah tempat
mereka bersembunyi. Masih sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan
besi yang di pegangnya. Setelah teriakan orang gila itu tidak terdengar lagi,
baru kedua cowok itu menarik napas lega.
"Bego, lo!" bentak Ian kemudian. "Bukannya langsung kabur! Lo bisa mati
kalo tadi sempet kena sabetan!"
"Biasanya di situ nggak pernah ada orang gila. Kenapa tiba-tiba ada" Terus
kok sama sekali nggak ada polisi yang nangkep?" suara Reinald terdengar
mengambang. Seketika ia teringat kalimat yang dua kali diucapkannya di depan
foto Ronald. "Namanya juga orang gila, suka berkeliaran." Ia berdiri. "Yuk, ah. Buruan.
Keburu yang punya rumah nongol. Ntar kita dikira mau nyolong, lagi. Lagian
udah telat banget nih. Untung ada alesan yang oke!"
Keduanya kembali memanjat pagar, melompat keluar dan segera berlari ke
arah semula. Siangnya, sepulang sekolah, saat menyusuri kembali trotoar itu menuju
halte bersama Citra, Reinald mengawasi sekelilingnya dengan waspada. Citra
melakukan hal yang sama, juga semua murid yang berjalan menuju halte.
Kejadian yang menimpa Reinald dan Ian tadi pagi memang menjadi
pembicaraan ramai. Reinald menarik napas lega setelah bus yang mereka tunggu datang dan
orang gila berbahaya itu tidak terlihat sama sekali.
BAB 16 MALAM telah larut, namun Reinald masih tergolek di tempat tidur dengan
mata terbuka lebar. Sudah sejak siang tadi ia gelisah. Sangat cemas. Perasaan
itu muncul begitu saja setelah ia meninggalkan rumah Citra. Sampai saat ini
tidak tahu apa penyebab munculnya perasaan ini. Yang pasti ini terlepas dari
soal kemunculan orang gila dengan pentungan besi itu, karena sejak masuk
kamar Reinald berusaha keras tidak menatap foto Ronald.
Sudah tiga kali Reinald mengontak Citra, memastikan keadaanya. Cewek itu
baik-baik saja. Namun entah kenapa perasaan gelisah dan cemas ini tidak juga
hilang. Terus menekan dan tak bisa diabaikan.
Reinald menatap jam bekernya. Hampir jam satu dini hari. Terlalu larut
untuk menelpon, tapi perasaan cemas itu membuatnya tak bisa menahan diri.
Akhirnya ia bangkit lalu meraih ponselnya di meja. Ditekannya tombol kontak
dan ponselnya langsung terhubung dengan nomer yang dikontaknya terakhir
kali. Citra. Tidak diangkat. Jelas saja. Dicobanya lagi. Tetap tidak diangkat.
Reinald tidak peduli. Terus ditekannya tombol sampai ponsel di seberang
akhirnya diangkat. "Cit, sori bangunin. Lo baik-baik aja, kan?" tanyanya langsung.
Terdengar gumaman tidak jelas di seberang. Sepertinya Citra menempelkan
ponsel di telinga sambil tetap melanjutkan tidurnya.
"Cit" Lo baik-baik aja, kan?" Reinald mengulangi pertanyaannya, lebih keras.
"Iyaaa. Ada apa sih" Tadi kan juga udah ditanyain. Gue ngantuk banget
niiih?" "Sori. Sori. Ya udah, lanjutin deh tidurnya. Gue cuma mau mastiin lo nggak
kenapa-napa," ucap Reinald lalu mematikan ponsel. Dihelanya napas panjang.
Citra baik-baik saja. Seperti tiga kali kabar sebelumnya. Tapi kenapa perasaan
gelisah dan cemas ini tidak juga berkurang"
Kembali Reinald tergolek di tempat tidur dengan mata terbuka. Hampir tiga
jam setelah waktu pergantian hari ketika akhirnya cowok itu jatuh tertidur.
Keesokan paginya Reinald sama sekali tidak terbangun saat bekernya
melengking keras. Satu hal yang sangat jarang terjadi. Sepulas apa pun
tidurnya pasti akan terbangun kalau beker itu berbunyi. Reinald baru
membuka mata setelah adiknya, Raina, menjerit-jerit di telinganya setelah
gagal membangunkan sang kakak dengan guncangan tangan.
"Apa sih pagi-pagi jerit-jerit?" Reinald terlonjak bangun. "Hah, udah
setengah enam!?" kembali ia terlonjak. "Kenapa Mas baru dibangunin
sekarang sih, Rin?" serunya.
Raina, yang baru saja meraih hendel pintu dan hendak keluar, melirik
kakaknya dengan kesal. "Aku termasuk hebat, tau! Berhasil bangunin Mas Reinald. Mama sama Bi
Minah sampai nyerah tuh. Ini aja kalau aku gagal, Mas Reinald mau disiram air
sama papa. Tidurnya kebo banget sih?" katanya, lalu keluar.
Begitu kesadarannya pulih, hal pertama yang diingat Reinald adalah Citra,
lalu gimana keadaan cewek itu pagi ini. Perasaan gelisah itu kembali datang
dan semakin menggunung karena pagi ini Reinald tidak bisa menjemput.
Reinald meraih ponselnya. "Cit, lo udah bangun?"
"Udah dari tadi."
"Gimana kabar lo pagi ini?"
"Baik." Citra mulai bete. Ditanya itu melulu siapa juga yang nggak bosen.
"Udah mau berangkat, ya?"
"He-eh. Ngabisin sarapan dulu."
"Sori, Cit. Gue nggak bisa jemput elo pagi ini. Telat bangun."
"Nggak papa. Berangkat sendiri juga bisa."
"Berani, kan?" suara Reinald langsung terdengar cemas. Cowok itu tidak
menyadari bahwa ketakutan itu sebenarnya hanya milik dirinya sandiri.
"Berani. Emang kenapa" Dulu-dulu gue juga berangkat sendiri."
"Ya udah kalo gitu. Ati-ati di jalan, ya?"
"Iya." "Kontak gue kalau ada apa-apa."
"Iya." "Kalau bus penuh jangan paksa berdiri deket pintu. Bahaya."
"Iyaaa. Aduuuh!" Citra jadi kesal. "Ntar gue nggak berangkat-berangkat nih."
Reinald mengakhiri pembicaraan, karena ia sendiri juga belum apa-apa.
"Oke deh. Sampe ketemu di seko"."
"Oke. Daaah!" Citra buru-buru memotong dan menutup telepon.
Sesaat Reinald mengerutkan kening, kemudian tersenyum. Diletakannya
ponsel di meja lalu buru-buru berlari ke luar setelah menyambar handuk.
*** Citra melangkah ke luar rumah dengan perasaan gembira. Setelah berhari-hari
selalu berada dalam pengawasan dan pengawalan ketat Reinald, bisa sendirian
rasanya merdeka banget. Langkah-langkah ringan Citra menelusuri trotoar menuju halte melambat
saat ia melewati sebuah rumah. Ada suasana duka terasa di rumah itu. Yang
jelas, kematian itu bukan menimpa keluarga ini. Mungkin salah satu sanak
saudara mereka, karena sama sekali tidak terjadi kesibukan di rumah itu.
Hanya samar-samar terdengar isak tangis dari dalam.
Sepertinya mereka sudah siap berangkat menuju tempat duka, karena di
halaman telah terparkir sebuah sedan biru dengan mesin menyala. Di
dasbornya ada sebuah buket bunga bertuliskan "TURUT BERDU?" sisanya
tidak terbaca karena tertutup bunga, tapi sudah bisa dipastikan apa bunyi
kalimat lengkapnya. Citra sudah akan meneruskan langkahnya saat seseorang menabraknya dari
arah jalan raya. Cowok. Dia membawa buket bunga juga. Tabrakan itu cukup
keras hingga membuat Citra terhuyung. Cewek itu nyaris jatuh kalau tidak
cepat-cepat menyambar tiang listrik terdekat dengan kedua tangan.
Cowok itu juga terhuyung nyaris jatuh. Buket bunga di tangannya terlepas
dan terlempar ke trotoar tanpa bisa dicegah. Citra menatap terbelalak saat
melihat buket bunga itu menghantam kerasnya trotoar sehingga beberapa
tangkai bunganya patah. Citra melepaskan kedua tangannya yang tanpa sadar masih memegangi
tiang listrik. Cepat-cepat dihampirinya buket bunga itu. Ia hendak
memungutnya agar tidak semakin banyak bunga yang rusak, tapi cowok itu
sudah lebih dulu bergerak. Baru saja Citra akan mengulurkan tangan, sebuah
tangan sudah terulur lebih dulu, menyambar bunga naas itu dari trotoar.
"Maaf, ya," ucap Citra lirih, jadi merasa bersalah juga.
"Bukan salah lo," jawab cowok itu singkat, lalu bergegas pergi sebelum Citra
sempat menatap wajahnya. Gerakan cowok itu yang cepat dan tiba-tiba membuat tangkai bunga yang
membentur trotoar tadi akhirnya benar-benar patah dan terlepas dari
buketnya. Bunga itu terjatuh, tanpa cowok itu menyadarinya. Refleks, Citra
mengulurkan kedua tangannya. Bunga itu jatuh di sana. Di tengah kedua
telapak tangan Citra yang terbuka.
Mawar yang masih kuncup. Warnanya putih. Warna mawar yang paling
disukai Citra. Citra menengadahkan muka, akan memanggil cowok itu, namun batal
karena cowok itu sudah sampai di teras dan tak lama menghilang masuk ke
rumah lewat pintu depan yang terbuka. Citra hanya sempat melihat sekilas
punggung dan bagian belakang tubuh yang lumayan tinggi itu.
Setelah sempat tercenung beberapa saat, Citra mengedikkan bahu.
Ditatapnya kuncup mawar di telapak tangannya itu.
"Ya udah. Buat gue aja deh," ucapnya ringan, kemudian diteruskannya
langkah kakinya menuju halte. Selama di dalam bus, sepanjang perjalanan
menuju sekolah, Citra terus memandangi kuncup mawar di tangannya itu.
"Cantik banget," gumamnya. Satu senyum kecil muncul di bibirnya.
Sesampainya di kelas, Citra meletakkan kuncup mawar itu di meja, beralaskan
selembar tisu. Sementara itu, begitu bus sampai di halte tujuan, Reinald langsung
melompat turun, bahkan sebelum bus benar-benar berhenti. Cowok itu
kemudian berlari menuju sekolah.
Kecemasan itu semakin pekat, tapi tetap tanpa penjelasan hingga membuat
Reinald seakan gila dan ingin berteriak sekeras-kerasnya, "Ada apa sih
sebenernya!?" Begitu sampai di ambang pintu kelas, Reinald langsung mencari-cari sosok
Citra. Cewek itu ada di bangkunya. Kepalanya menunduk, serius dengan
sesuatu yang sedang disalinnya. Pasti PR bahasa Inggris.
Namun kali ini Reinald tidak peduli lagi dengan kebiasan jelek Citra itu.
Biarlah. Biar saja dia menyalin PR di sekolah. Biar saja dia cerewet, bawel, dan
kadang celotehnya yang ramai itu bikin kesal dan sakit kuping. Biar saja dia
suka iseng dan sering bikin orang pengin marah. Biar. Yang penting dia nggak
apa-apa. Reinald menarik napas panjang. Lega melihat Citra baik-baik saja. Sekaligus
melegakan paru-parunya yang sedari tadi terasa sesak. Cowok itu kemudian
memasuki kelas menuju bangkunya dengan langkah lambat. Sedikit
menyantaikan kedua kakinya yang tadi berlari dari halte.
"Pasti nyalin PR?"
Mulut Reinald masih terbuka, tapi kalimatnya tidak selesai. Langkahnya
terhenti mendadak. Tubuhnya lalu menegang di samping meja. Dua manik
matanya tertancap lurus-lurus ke satu titik. Ada gelombang dahsyat
ketidakpercayaan dan penolakan atas apa yang saat ini ada di depan matanya.
Kuncup mawar itu! Kuncup mawar itu adalah bunga yang paling dikenali Reinald. Bunga yang
paling diingatnya dari semua bunga yang pernah dilihatnya. Dan tidak akan
pernah bisa ia lupakan sampai mati nanti.
Satu-satunya bunga yang terlepas dari buketnya saat kecelakaan itu terjadi.
Tergenggam erat di satu tangan Ronald. Bunga itu lalu diberikan oleh Reinald
kepada Citra, agar cewek itu menyimpannya, biar menjadi kenangan Ronald
pada gadis yang dicintainya.
Tapi itu sudah lama berlalu. Dan seharusnya mawar itu sudah mengering.
Namun mawar itu sekarang ada di sini, dan masih tampak segar.
Ada di sini" Di dekat Citra! Ternyata inilah penjelasan dari kecemasan pekat yang muncul mendadak
kemarin siang itu. Kecemasan yang sekarang sudah menghilang karena sudah
menjelma menjadi rasa takut.
Rasa takut itu membuat Reinald tidak berada lagi dalam posisi seratus
persen sadar, saat kemudian disambarnya kuncup mawar itu.
"Eeeeeh!" Citra sudah akan merebut bunga itu tapi urung begitu dilihatnya
kondisi Reinald. Tertegun ditatapnya cowok itu. Sepasang matanya yang
menyorot tajam sarat dengan ketakutan.
"Dari mana lo dapet ini!?" bisikan Reinald seperti datang dari tempat yang
sangat jauh. "Mmm?" Citra jadi tergagap.
"Citra, dari mana lo dapet ini!?" bisik Reinald lagi. Kedua rahangnya terkatup
rapat. "Ng" itu" dari nemu."
"Di mana?" "Itu" tadi gue ditabrak cowok," Citra menjelaskan dengan suara terbatabata, karena Reinald masih menikamnya dengan tatapan tajam yang sarat
ketakutan itu. Citra tidak mengerti tatapan Reinald itu, tapi membuatnya takut.
Meskipun cerita yang didengarnya terputus-putus, meskipun tidak
mendengarkan dengan kesadaran penuh, Reinald bisa memastikan satu hal:
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Citra telah bertemu Ronald?"
BAB 17 KUNCUP mawar itu akhirnya menghentikan semua perlawanan Reinald. Orang
yang dihadapinya muncul dari ketiadaan. Dia maya. Dia abstrak. Dan
kemungkinan besar, dia memang tidak akan bisa dikalahkan.
Kini, setiap kali Reinald menatap Citra, ada perasaan hubungan ini tidak
selamanya. Akan ada hari terakhir, kemundian cewek itu takkan lagi dilihatnya.
Sama sekali. Sama seperti kini ia tak lagi melihat Ronald.
Reinald menghela napas. Panjang dan berat. Sebenarnya ia tidak ingin
pasrah, tapi ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan.
"Tinggal ngitung mundur aja," ucapnya dengan suara serak.
Ditatapnya Andika yang siang ini sengaja menjemputnya karena khawatir.
Andika menatap Reinald dengan nelangsa.
"Lo yakin?" tanyanya pelan. "Gue rasa karena selama ini elo terus di sebelah
Citra. Lo awasin dia sampe begitu. Kalo lo lepas dia, mungkin?"
"Percuma! Kalo gue lepas dia, nanti pasti ada cowok lain yang deketin dia.
Sama saja." Reinald menggeleng lemah.
Andika terpaksa mengakui kebenaran kata-kata itu.
*** Hanya tinggal menghitung mundur".
Sepasang mata Reinald menatap nanar kegelapan di sekelilingnya. Kamarnya
gelap gulita, juga di luar sana. Listrik padam dan satu-satunya cahaya yang
terlihat olehnya hanya sebatang lilin yang menyala di rumah tetangga. Di balik
tirai, cahaya itu begitu buram dan tidak menerangi apa-apa.
Buram". Dan jauh". Seperti itu yang terlihat olehnya sekarang. Citra dan hari-hari mereka harus
ditinggalkannya. Harus dilupakan. Semua yang pernah terjadi. Semuanya.
Reinald mengerti, Citra memang milik Ronald. Karena itu ia ikhlas berdiri di
tempatnya sekarang, yang dulu adalah tempat Ronald: menjaga Citra. Tidak
lebih dari itu. *** Hanya menjaga Citra. Satu kalimat pendek, namun berat karena Reinald harus mematikan hatinya.
Cowok itu memutuskan untuk melakukan dengan cepat. Dratis. Karena mati
dengan cara cepat lebih baik daripada mati pelan-pelan.
Begitu memutuskan itu, Reinald langsung mengontak Citra, mengatakan
besok pagi ia tidak bisa menjemput. Reinald juga mengatakan ia tidak bisa lagi
mengantar dan menjemput setiap hari. Hanya bisa sekali-sekali.
"Kenapa?" Ada nada kaget di dalam suara Citra. Reinald mengatakan alasan
yang paling masuk akal yang bisa ia temukan.
"Gue capek. Tiap hari kudu bangun lebih pagi. Trus pulangnya udah sore.
Rumah lo kan lumayan jauh, Cit."
"Oh" Iya sih."
"Nggak apa-apa kan berangkat sendiri?"
"Nggak apa-apa. Santai aja."
"Sip kalo gitu." Reinald meletakan telepon. Kedua matanya perlahan
terpejam. Kalau Ronald bisa memberikan Citra kuncup mawar itu, Ronald pasti
juga bisa menjaganya. Alasan Reinald memang masuk akal, karena itu Citra tidak berpikir apa-apa
sampai kemudian ia mendapati Reinald menjadi orang yang benar-benar
berbeda, yang nyaris tidak dikenalnya. Reinald tidak hanya tak pernah lagi
menjemput dan mengantarnya pulang. Cowok itu juga menjaga jarak. Setiap
kali Citra akan meraih lengannya -satu tindakan yang kerap dilakukan Citra
tanpa sadar karena telah terbiasa- reaksi Reinald adalah menjauh seketika.
Cowok itu berusaha keras agar Citra tidak dapat menyentuhnya. Setelah itu
Reinald akan berpura-pura itu tidak terjadi. Seakan-akan penolakan itu
dilakukannya tanpa sadar.
Reinald telah menciptakan jarak. Tinggal Citra yang kebingungan. Ia ingin
bertanya, tapi urung. Malu.
Keanehan Reinald yang lain yaitu cara kedua matanya menatap Citra.
Terkadang, Reinald menatap dengan sorot seakan Citra jauh di batas horizon
sana, bukan di depan matanya. Terkadang, cowok itu menatap dengan sorot
sedih dan putus asa. Namun untuk satu hal ini, Reinald tidak berusaha menyembunyikannya. Ia
tidak bisa mengelak setiap kali Citra memergoki tatapannya. Untuk satu
keanehan ini, Citra berani bertanya.
"Lo kenapa sih?"
Namun jawaban Reinald juga tidak berarti apa-apa untuknya.
"Nggak apa-apa. Cuma pengin ngeliatin elo aja. Nggak apa-apa, kan" Atau
nggak boleh juga?" Kening Citra sontak mengerut rapat. Sementara kedua matanya yang
menatap Reinald jadi menyipit. Cuma itu reaksi yang bisa ia berikan. Keanehan
Reinald yang lain lagi-lagi membuat Citra tidak tahu harus memberikan reaksi
apa. "Cit, lo tuh manis, ya" Bandel, tapi manis."
Citra tertegun. Reinald tengah menatapnya. Dengan sorot putus asa itu.
Namun kini sorot itu seakan menembusnya.
"Lo kenapa sih?" Citra bertanya lirih. Lagi-lagi ia mengajukan pertanyaan
yang itu-itu juga, karena ia tidak tahu bentuk bentuk pertanyaan bagaimana
yang bisa mendapatkan jawaban. Blur tidak apa-apa, daripada gelap sama
sekali. Namun lagi-lagi, jawaban Reinald tidak memberikan penjelasan apa pun.
"Nggak apa-apa. Cuma pengin ngomong gitu aja. Nggak apa-apa, kan" Atau
nggak boleh?" Lama-lama Citra juga jadi ikut putus asa, dan akhirnya melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan Reinald padanya. Menjauh. Mencipta jarak. Citra
malu bicara terus terang, apalagi mencecar seperti saran Loni. Karena kalau
diingat-ingat, Citra dan Reinald dekat tanpa komitmen apa-apa. Tanpa
ungkapan apa pun. Tanpa pernyataan. Dekat begitu saja, lalu merasa nyaman
satu sama lain. Akhirnya Citra sampai pada kesimpulan bahwa mungkin Reinald ingin di
antara mereka tidak ada hubungan apa-apa.
*** Esok paginya,saat berjalan dari halte ke sekolah, sendirian, Citra masih
merenungkan hal itu. "Ya udah. Mau gimana lagi?" desisnya lirih.
Cewek itu menghela napas tanpa sadar. Ditelusurinya trotoar dengan
langkah lambat dan kepala tertunduk. Sekarang berangkat ke sekolah jadi
sesuatu yang membuat sedih. Di mana-mana terasa sepi. Muram. Kosong.
Bahkan di saat kelas ingar-bingar karena cowok-cowok di bangku belakang
bikin ulah, Citra merasa keramaian itu jauh di tempat lain.
Kalau ada bangku yang kosong karena penghuninya tidak masuk, di mana
pun posisinya, Citra pasti akan langsung pindah. Toh tidak ada bedanya, di
mana-mana terasa sepi dan sedih. Cewek itu juga tidak lagi bersemangat
melakukan keisengan. Sudah tidak ada lagi orang yang akan melindunginya
kalau ia dapat masalah gara-gara keisengannya itu.
Reinald menyaksikan semua perubahan Citra itu. Walaupun itu sudah
diduganya, tak urung dia terpukul juga. Namun ia tidak bisa apa-apa selain
tetap berdiri di tempatnya.
Perubahan dratis keduanya sudah pasti membuat bingung seisi kelas.
Reinald-Citra mungkin memang pasangan paling unik. Paling membingungkan.
Waktu baru jadian, hebohnya minta ampun. Sebentar-sebentar berantem.
Sebentar-sebentar ribut. Tapi begitu bubaran, adem ayem. Sepi, tanpa sedikit
pun huru-hura. Kebalikan dari pasangan pada umumnya. Meskipun begitu,
semua bisa melihat kesedihan keduanya. Citra berusaha melarikan diri, dan
Reinald tetap di tempatnya.
Mendung yang muncul sejak pagi membuat udara hari ini terasa lebih sejuk.
Namun bagi Citra, mendung cuma membuat hatinya tambah nelangsa. Ia
kangen banget sama Reinald. Kangen sama cowok yang hanya duduk setengah
meter darinya itu, kangen sama suaranya saat berbicara pada siapa pun juga,
kangen sama setiap gerak tubuhnya yang tertangkap oleh ekor mata. Saat
suasana kelas sedang hening, ingin sekali Citra menoleh ke sebelah. Takut
Reinald ternyata sudah nggak ada. Namun saat jam istirahat, jam kosong, atau
saat-saat bebas lainnya, terpaksa cowok itu dijauhinya. Soalnya ia nggak tahu
mau ngomong apa. Reinald sekarang udah nggak asyik lagi buat diajak ngobrol.
Jawabannya pendek-pendek, kadang malah sekenanya. Sering juga dia nggak
ngomong apa-apa. Cuma mendengarkan dengan diam, dan menatapnya
dengan sorot yang kadang sedih, putus asa, atau nggak fokus itu. Pokoknya
nggak jelas dan bikin bingung, serta akhirnya membuat Citra seperti ini. Putus
asa juga. Menjelang siang, mendung bertambah pekat dan berubah menjadi hujan
lebat. Citra menatap tetes-tetes air itu dengan perasaan yang semakin
nelangsa lagi. Reinald masih di sebelahnya, tapi rasanya sepi banget. Sedih.
Kosong. Tak lama menjelang bel pulang, hujan berhenti. Perasaan Citra tidak
berubah menjadi lebih baik. Sebentar lagi ia akan mendengar kalimat yang
mulai akrab di telinganya akhir-akhir ini. Ucapan perpisahan Reinald.
"Gue duluan ya, Cit. Ati-ati di jalan."
Lima menit setelah bel pulang berbunyi, Citra berjalan pelan ke arah
gerbang. Sendiri. Hujan lebat tadi telah menciptakan kubangan air kotor di
depan trotoar sekolah. Mendadak keinginan itu muncul.
Ngisengin orang, ah. Kali aja bikin gue jadi bahagia dikit. Gila, udah lama
banget gue nggak ngusilin orang, ujar Citra dalam hati.
Keinginan itu kemudian memang memberinya sedikit kegembiraan. Cewek
itu melangkah menuju gerbang sekolah dengan perasaan yang jauh lebih
ringan. **** Andika sedang merapikan rak bukunya, saat matanya tertumbuk pada
sebuah komik yang tergeletak di rak paling atas. Dengan perasaan heran
diambilnya komik tersebut. Ia langsung ingat, komik itu dibawa Ronald saat
datang ke rumahnya untuk pinjam motor.
"Pinjem motor lo bentar, Dik. Mau jemput adik gue sekalian mau ngeliat
Citra. Udah tinggal tiga hari nih, dia pake putih-biru."
Andika masih ingat dengan jelas. Begitu ia serahkan kunci motor, Ronald
langsung berlari ke luar sambil berseru,
"Titip komik, ya" Di dalemnya ada fotonya Citra tuh!"
Andika tersentak. Tidak perlu mencari di anatara halaman-halaman komik,
karena foto yang diselipkan itu sudah membentuk sedikit celah. Andika
menarik keluar foto itu. Seketika kenangan itu datang. Memunculkan rasa
sedih, juga kangen yang menyakitkan.
Foto ini diambil di hari ia menemani Ronald ke sekolah Citra. Dihari ketika
dilihatnya cewek itu untuk yang pertama kali. Diambil sesaat sebelum momen
satu-satunya itu terjadi. Ketika itu Ronald memutuskan untuk mengejar Citra,
menemaninya berlari kemudian melindunginya. Momen ketika akhirnya
mereka saling menyebutkan nama.
Andika menghela napas. Tatapannya meredup. Masih bisa diingatnya
dengan jelas wajah bahagia Ronald saat itu, dan celotehan ramainya di
sepanjang perjalanan pulang. Kembali Andika menghela napas. Disisipkannya
lagi foto itu di antara halaman-halaman komik, lalu diletakkannya komik itu di
atas meja. Cover depannya yang sedikit tersibak memperlihatkan pemilik sah
komik tersebut. Ia meraih kembali komik itu dan membuka halaman
pertamanya. Ternyata itu milik Reinald. Bukan hal yang mengherankan, mengingat Ronald
dan Reinald sama-sama penggila komik. Keterbatasan dana membuat
keduanya lalu melakukan kesepakatan. Masing-masing akan membeli judul
yang berbeda, kemudian saling meminjam.
Andika langsung memutuskan akan mengembalikan komik itu besok siang.
Kalau ditunda, takutnya malah lupa. Cowok itu berjalan ke luar kamar dan
menuju meja telepon. Dikontaknya Reinald. Setelah berbasa-basi menanyakan
kabar, Andika mengatakan maksudnya.
"Besok siang ketemu ya, Ren. Mau balikin komik lo sama ngobrol bentaran."
"Komik yang mana?"
"Yang waktu itu dibawa Ronald ke rumah gue trus ketinggalan."
"Oh. Oke." *** Hari ini udara terasa sejuk, karena mendung sudah membayang sejak pagi.
Dua jam menjelang bel berbunyi, mendadak langit menjadi sangat pekat dan
turun hujan lebat. Andika menatap tetes-tetes air itu, mempertimbangkan
untuk membatalkan rencananya ke sekolah Reinald. Namun lima belas menit
menjelang bel, mendadak hujan berhenti sama sekali.
Begitu bel pulang berbunyi, Andika segera bangkit dan berjalan ke luar kelas.
Dianggukkan kepala pada guru mata pelajaran terakhir, yang masih sibuk
mengemasi buku dan kertas-kertasnya. Ia meminta maaf dengan senyum
karena keluar kelas lebih dulu.
Dua puluh menit kemudian, karena menumpang mobil seorang teman,
Andika sudah sampai di tujuan, di sebuah warung makan merangkap toko
stationery di seberang sekolah Reinald. Setelah memilih bangku dan memesan
minuman, Andika mengirimkan SMS pada Reinald, memberitahukan dirinya
sudah di tempat. Sambil menunggu kedatangan Reinald, Andika memperhatikan gedung
sekolah di depannya. Tatapannya lalu beralih ke trotoar di depan gedung itu.
Hujan yang cuma sesaat tapi sangat lebat telah memenciptakan genangan air
kotor di beberapa tempat di depan trotoar itu. Tak lama Reinald datang.
Sendirian. "Di mana Citra?" tanyanya.
Reinald mengedikkan bahu. "Tadi sih ada," jawabnya sambil lalu.
Andika jadi menyesal telah mengucapkan pertanyaan yang maksudnya
hanya untuk basa-basi itu, karena ia sudah tahu perkembangan terakhir
hubungan Reinald dan Citra.
"Itu Citra!" desis Andika tiba-tiba sambil menunjuk ke seberang jalan.
"Panjang umurnya tuh anak!"
Reinald menoleh. Dilihatnya Citra berjalan sendirian menuju gerbang
dengan langkah-langkah santai. Cara Citra berjalan dan ekspresi wajahnya yang
tampak wajar, cenderung polos malah, tanpa sadar membuat Reinald
waspada. Walaupun kini mereka telah saling asing, Reinald terlalu mengenal
cewek itu. "Sori, Dik. Ngobrolnya ditunda dulu, ya." Reinald memutar kursi yang ia
duduki. Kini cowok itu duduk membelakangi Andika, menghadap ke jalan raya.
Andika jadi mengerutkan kening melihat tingkah Reinald, dan perhatiannya
jadi ikut tertuju pada Citra.
Sementara itu, masih dengan langkah santai dan ekspresi biasa-biasa saja,
Citra menghampiri kerumunan teman-teman sekelasnya yang sedang berdiri di
tepi trotoar, menunggu jemputan atau bajaj kosong yang lewat, atau
menunggu orang yang akan bersama-sama berjalan ke halte bus.
Tiba-tiba, dengan gerakan yang begitu cepat dan tidak terduga, Citra
melompat ke tengah genangan air kotor, tepat di depan kerumunan temantemannya. Tak ayal, cipratan air kotor melayang ke segala arah. Mendarat di
baju, tas, tangan, kaki dan semua objek yang berada tepat dijalur cipratannya.
Seketika terdengar pekikan dan jeritan keras.
"CITRAAA"..!!!!"
Sambil terkikik, Citra langsung mengambil jurus langkah sejuta. Langkah
seribu sih masih kurang cepat. Cewek itu berlari secepat-cepatnya. Terbiritbirit meninggalkan tempat itu. Para korban keisengannya jelas tidak tinggal
diam. Mereka berlari mengejar, sambil menjerit dan berteriak-teriak.
Melontarkan ancaman dan sumpah serapah.
"Bener, kan!?" desis Reinald dan segera bangkit berdiri. "Bentar, Dik!"
ditepuknya bahu Andika tanpa menoleh, dan cowok itu langsung berlari keluar
dari warung makan. Sesaat Andika cuma bisa terkesima melihat peristiwa itu. Namun sedetik
kemudian ia tertegun saat menyadari peristiwa yang sama pernah terjadi. Dulu
sekali. D?j? vu! Tanpa berpikir lagi, Andika segera ikut berdiri dan berlari keluar. Disusulnya
Reinald. Di dalam kepalanya berkelebat peristiwa lampau, dan tanpa sadar ia
membandingkannya dengan apa yang saat ini sedang terjadi di depannya.
Citra melakukan keisengan yang persis sama. Akibatnya juga persis sama.
Cewek itu dikejar-kejar para korban keisengannya.
Dulu Ronald berlari mengejar Citra. Kini Reinald juga berlari untuk mengejar
cewek yang sama. Bedanya, Reinald berlari di bawah bayang-bayang
pepohonan atau lindungan mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan.
Dulu Ronald berlari menyebrangi jalan tepat di pertigaan untuk menghadang
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Citra. Kini Reinald juga melakukan hal yang pasti akan persis sama.
Dugaan Andika tepat. Di depan mereka ruas jalan bercabang tiga. Setelah
sesaat menengok ke belakang untuk meyakinkan Citra sudah tertinggal jauh di
belakangnya, Reinald berlari menyeberang dan langsung berbelok. Andika
segera menyusulnya. Mendadak Reinald berhenti berlari. Andika seketika juga menghentikan
larinya, dan menghentikan dugaan-dugaan di kepalanya. Reinald mengamati
pepohonan peneduh jalan tidak jauh di dekatnya, lalu menghampiri salah
satunya dengan langkah cepat. Batang pohon itu lumayan besar dan ada
semak-semak rimbun di kakinya.
Kemudian Reinald berdiri menunggu, di balik batang pohon itu, di sisi yang
tidak terlihat dari arah tikungan tempat Citra akan muncul nanti. Andika berdiri
mematung. Ia menyadari betapa miripnya jalinan peristiwa ini dengan
peristiwa lain yang pernah terjadi.
Setelah beberapa detik tubuh Reinald hilang di balik batang pohon, Andika
tersadar. Ia segera menghampiri Reinald. Reinald menyambutnya dengan
meletakan satu telunjuk di bibir, sambil tersenyum, lalu menunjuk ke seberang
dengan dagu. Ini sedikit berbeda. Hanya sedikit.
Andika mengangguk mengerti. Tak lama Citra muncul dari tikungan. Masih
berlari secepat-cepatnya. Napasnya terengah, namun bibirnya meringis geli.
Juga kedua matanya. Kilatan tawa itu muncul jelas-jelas di sana.
Andika tertegun. Ada sesuatu yang terasa luruh di dalam dadanya. Ekspresi
itu juga masih ekspresi yang sama.
Reinald yang juga mendengar suara orang berlari dan sudah menduga itu
pasti Citra, segera bersiap-siap. Ia menegakkan tubuh. Sesaat menjelang Citra
akan melewati pohon yang jadi tempatnya bersembunyi, Reinald mengulurkan
tangan kanannya dengan gerakan tiba-tiba.
Ia menangkap tubuh Citra dan menariknya ke semak-semak rimbun di dekat
pohon. Citra kaget dan seketika berontak, tapi langsung diam begitu
didengarnya suara bisikan.
"Sst! Ini gue!"
Sambil menarik Citra ke tengah rerimbunan semak, Reinald menoleh ke arah
Andika dan mengingatkan pesannya tadi dengan bahasa isyarat. Andika
mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan karena tak lama
kemudian senyum itu menghilang tanpa sisa.
Sepasang mata Andika berubah nanar. Menyaksikan apa yang terjadi tidak
jauh dari tempatnya berdiri. Reinald dan Citra merunduk dalam-dalam di balik
semak. Karena tidak bisa menahan tawa, dengan gemas Reinald terpaksa
memeluknya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya membekap
mulut cewek itu kuat-kuat.
Tiba-tiba Andika terpaku. Tubuhnya membeku saat menyadari sesuatu.
Persamaan setting tempat, persamaan situasi. Usai jam sekolah, hujan yang
baru saja reda meninggalkan genangan air kotor di depan trotoar sekolah. Citra
melakukan keisengan. Menciprtatkan genangan air kotor itu ke arah temantemannya, lalu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri!
Dulu, Ronald berlari mengejar untuk melindungi Citra. Dan kini ganti Reinald
yang melakukannya! Namun ada perbedaan ending!
Dulu Ronald hanya bisa melindungi Citra dengan berdiri untuk menutupi.
Tidak bisa lebih. Sementara kini, Reinald tidak bisa hanya seperti itu karena
Citra mengenalinya. Andika tersentak dari keterpakuannya saat didengarnya suara-suara orang
berlari dan tak lama kemudian beberapa cewek muncul di tikungan. Seragam
sekolah mereka penuh bercak cokelat. Enam atau tujuh cewek itu, semuanya
teman sekelas Citra, berlari sambil mengomel. Mereka berhenti tidak jauh dari
Andika, lalu memandang berkeliling. Mencari-cari. Masih sambil marah-marah.
"Si Citra tuh iseng banget deh. Heran! Tu anak kalo nggak ngisengin orang
sebentar aja langsung mati, kali ya?"
"Tapi sekarang isengnya dia nggak lucu. Pasti abis deh ntar gue diomelin
nyokap nih. Rok gue sampe kotor banget gini."
"Kalo sampe ketangkep, bakalan gue celupin tu anak di kubangan air tadi.
Sumpah!" Andika buru-buru bertindak, karena salah satu cewek sudah bergerak
mendekati semak tempat Reinald dan Citra bersembunyi.
"Nyari cewek yang lari sambil ketawa-ketawa, ya?" tanyanya.
"Iya!" langsung terdengar jawaban kompak.
"Tadi lari ke seberang." Andika menunjuk ke seberang jalan. Ke arah
kompleks perumahan. Tanpa berpikir lagi, cewek-cewek itu langsung berlari ke
seberang jalan begitu lalu lintas di depan mereka sepi.
"Makasih, kak!" seru mereka bersamaan.
"Oke!" Andika balas berseru, sambil menahan senyum. Begitu keadaan
sudah benar-benar aman, dia berseru ke arah semak-semak. "Oke, aman!"
Reinald keluar dari semak, menggandeng Citra yang mukanya memerah
karena menahan tawa. Reinald lalu menegurnya dengan nada kesal.
"Elo isengnya kadang suka kelewatan deh, Cit. Baju mereka sampe kotor
gitu." "Alaaah, direndem sebentar trus dicuci juga ilang," Citra menjawab ringan.
"Ya udah. Lo cucian gih sana!" Reinald melotot gemas.
"Hehehe." Citra menyuarakan tawanya dalam bentuk tiga suku kata, tapi
langsung didusul tawa yang benar-benar geli. Rasanya ingin sekali Reinald
menjitak kepala Citra. Rasa asing di antara mereka dengan cepat mencair.
Keduanya kembali seperti sebelum Reinald memutuskan untuk menjauh.
"Yuk, cabut, Dik. Keburu mereka nongol nanti," ajak Reinald.
Ketiganya segera meninggalkan tempat itu, berlari cepat ke arah tikungan
depan, menuju halte. Berlari di antara Reinald dan Andika, mendadak
membuat Citra teringat kembali akan peristiwa yang dialaminya. Cewek itu
tiba-tiba berhenti. Reinald dan Andika yang mengapitnya seketika
menghentikan laju langkah-langkah cepat mereka. Citra berdiri di hadapan
Andika. Ditatapnya cowok itu lurus-lurus.
"Kayaknya dulu gue pernah lari bareng elo juga deh."
Kata-katanya itu membuat kedua cowok di dekatnya membeku.
"Iya, bener elo!" Citra mengangguk. "Trus, kayaknya ada cowok satu lagi
deh." "Akhirnya lo inget juga." suara Andika tersekat di tenggorokan.
"Siapa ya nama tu cowok" Temen lo itu?"
"Siapa" masih inget, nggak?" suara Andika kini bergetar.
"Mmm"." Citra mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia menggeleng.
"Coba tolong diinget-inget, Cit. Inget bener-bener." Andika benar-benar
memohon. Sementara itu Reinald membeku di tempatnya berdiri. Kedua matanya yang
menatap Citra lurus-lurus mulai berkabut. Inikah hari itu" Hari terakhir Ronald
bertemu Citra, seperti yang ditulis Ronald di catatan hariannya"
Citra mengerutkan keningnya lagi. Tampak jelas ia berusaha mengingat.
Namun tak lama ia menyerah.
"Nggak inget." Ia menggeleng.
"Sama sekali?" "Iya." "Kalo tampangnya kayak gimana, masih inget, nggak?" nada suara Andika
mulai melemah. "Apalagi itu," jawab Citra sambil mengedikkan bahu dengan sikap santai.
"Ah, udah ah. Ngapain dibahas sih" Nggak penting."
Terputus! Andika merasa satu-satunya mata rantai yang masih menghubungkan cewek
ini dengan Ronald telah terputus.
Reinald juga merasakan hal yang sama, tapi dengan emosi yang membadai
kedua arah yang berlawanan. Senang, tapi juga sedih. Lega, tapi sesak juga.
Bersyukur, tapi menyesal. Ingin memeluk, namun sekaligus juga ingin
melepaskan. Sesaat hanya ada keheningan. Reinald terdiam. Andika terdiam. Citra
menatap keduanya dengan bingung.
"Kok jadi pada diem" Kenapa sih?" tanya Citra. Reinald dan Andika tersentak
bersamaan. Keduanya lalu berusaha keras menetralkan emosi masing-masing.
"Dik, katanya ada yang lo mau omongin?" suara Reinald terdengar
mengambang. "Besok-besok aja. Nggak terlalu penting." suara Andika juga terdengar jauh.
Saling pengertian yang tidak diucapakan.
"Kalo gitu gue duluan ya. Mau ngaterin si tukang iseng nih." Reinald melirik
Citra yang berdiri di sebelahnya. "Ntar keburu temen-temennya nongol, lagi."
Citra terkikik geli. Tapi tak lama tawa itu menghilang.
"Lo mau nganter gue pulang lagi?" Ditatapnya Reinald dengan heran.
"Kemaren-kemaren gue disuruh pulang sendiri."
"Udah, diem. Nggak usah cerewet. Gara-gara tadi, besok pagi kayaknya lo
juga mesti gue jemput."Reinald melotot. Citra langsung terkekeh-kekeh geli.
Terlihat jelas kegembiraan di wajahnya.
"Asyiiiik. Besok selamet," katanya tanpa dosa. Dua cowok yang berdiri di
dekatnya menatapnya dengan perasaan campur aduk.
"Oke deh." Andika menepuk bahu Reinald. "Ntar gue kabarin lagi kalo mau
ketemu." Mereka berpisah. Saat Reinald dan Citra sudah berjalan menjauh itulah
Andika teringat kembali apa tujuannya menemui Reinald siang ini. Sambil
mengeluarkan komik yang disisipi foto Citra, Andika mengejar keduanya.
Namun tak lama langkahnya terhenti. Ia membatalkan niatnya.
Kalau Citra melihat foto dirinya saat masih di SMP itu, pasti ia akan ribut
bertanya. Saat ini Andika dan Reinald sudah terlalu letih untuk menjawab.
Sambil menatap dua orang yang semakin jauh itu, Andika mengeluarkan foto
Citra dari halaman komik. Tatapannya kemudian bergerak turun. Mendadak ia
terkejut saat menyadari sesuatu. Dengan cepat diangkatnya kepala. Ditatapnya
Citra, yang walaupun sudah berjalan cukup jauh tapi masih bisa dilihatnya
dengan jelas. Tatapan Andika lalu kembali ke foto di tangannya, kemundian ke sosok Citra
yang menjauh. Lalu sekali lagi kembali ke foto di tangannya.
Tidak salah. Anting-anting yang sama, jam tangan yang sama, tas yang sama, ikat
pinggang yang sama, kaus kaki yang sama dan sepatu yang sama! Bahkan saat
ini Citra mengikat rambutnya dengan ikatan yang jadi ciri khasnya: asal-asalan.
Satu-satunya yang tidak lagi ada di dalam foto itu adalah seragam putih-biru.
Andika terpaku. Instingnya mengatakan, ini bukan kebetulan. Karena, ini
terlalu sempurna. Perlahan Andika menyisipkan kembali foto itu ke tengahtengah halaman komik. Saat dimasukkannya ke tas, komik itu tersangkut di
ritsleting. Lembaran-lembarannya terbuka tepat di halaman tempat foto Citra
diselipkan, menampakan bagian belakangnya. Ada sebaris kalimat di sana.
Seketika Andika batal memasukkan komik itu ke tas. Diambilnya lagi foto
Citra lalu dibaliknya dengan cepat.
Cowok itu terkesiap. Keterkejutannya yang teramat sangat membuat
tubuhnya limbung. Cepat-cepat disambarnya dahan pohon terdekat. Sambil
menyandarkan tubuh ke batang pohan yang kuat, ditekannya dadanya dengan
satu tangan. Gemuruh jantungnya bahkan sanggup menggetarkan kelima
jarinya. Diiringi kesadaran yang sepertinya sudah menurun jauh dari posisi seratus
persen, tatapan Andika turun perlahan, ke foto Citra yang masih ada di
tangannya. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kuat. Sekali lagi dibacanya
tulisan di balik foto, dengan kesadaran yang tidak lagi seratus persen itu.
Kasih tau Reinald, gue titip Citra.
BAB 18 MALAM itu, di kamar masing-masing, dua orang sama-sama dicekam satu
perasaan yang tidak bisa mereka uraikan dengan kata apa pun yang pernah
mereka kenal. Keduanya sama-sama duduk diam di depan jendela,
memandang ke langit malam. Tidak bergerak. Hanya dada mereka yang
bergerak teratur yang memberitahukan keduanya hidup, bukan patung lilin.
"Ah, udah ah. Ngapain dibahas sih" Nggak penting."
Kalimat yang diucapkan Citra siang tadi, bergema berulang kali di dalam
tempurung kepala Reinald.
Nggak penting". Nggak penting". Nggak penting". Perlahan, kedua mata Reinald mengelam dan berkabut. Perlahan pula
kepalanya kemudian tertunduk.
"Maaf, Ron," bisiknya serak.
*** Kalimat yang sama berdentam di kepala Andika. Berulang kali. Namun
perlahan menghilang saat satu kalimat lain menyeruak pelan-pelan.
Kasih tau Reinald, gue titip Citra"
Perlahan, sorot mata Andika mengelam. Perlahan pula kepalanya kemudian
tertunduk. "Lo bilang sendiri, Ron. Dia adik lo," bisiknya ke kegelapan malam.
*** Reinald menatap satu baris kalimat itu sejak beberapa menit yang lalu.
Tanpa bicara. Tanpa bergerak. Kepalanya terus menunduk karena Andika
meletakkan foto Citra dengan posisi terbalik itu di atas meja.
"Tulisan ini tadinya ada, nggak?" suara Reinald terdengar samar.
"Nggak tau. Gue nggak pernah balik-balik tu foto. Nggak kepikiran," Andika
menjawab pelan. "Kita tunggu apa kata Ronald."
"Hah?" kepala Reinald terangkat perlahan.
Andika tertegun menatap wajah di depannya. Kesedihan, kerinduan,
penyesalan. Semuanya terlihat jelas dan saling berperang.
"Kita tunggu apa kata Ronald. Gue udah bilang, gue nggak mau ikutan. Ini
urusan kalian berdua. Jadi dia yang harus ngomong."
Andika memasukkan foto itu ke dalam laci meja belajar Ronald, tempat fotofoto Citra yang lain disimpan. Tiba-tiba terdengar bunyi bel, lalu suara pintu
pagar dibuka dan ditutup kembali.
"Citra udah dateng," ucap Reinald pelan.
"Ngapain Citra ke sini?"
"Mau belajar bahasa Inggris. Senin ulangan. Tu anak Inggris-nya parah
banget. Makanya gue suruh ke sini."
"Pantes lo nggak ikut nyokap-bokap lo. Pilih jaga kandang."
"Bukannya pilih jaga kandang. Ikut juga percuma. Nggak bakalan enjoy.
Senin ada ulangan dua. Berat-berat pula."
Tak lama terdengar bunyi pintu depan diketuk. Namun tidak ada yang
bergerak. Suasana di dalam kamar itu masih terasa begitu emosional, hingga
keduanya merasa seperti terikat. Terdengar lagi pintu depan diketuk-ketuk,
disusul suara Citra yang mengucapkan rentetan salam keras-keras.
"HALOOO" PERMISIII! ASSALAAMU"ALAIK
UM! SPADAAA! EXCUSE ME" TOK-TOK-TOK" SHALOM" KULONUWUN"
PUNTEEEN!" Reinald dan Andika saling pandang lalu sama-sama tertawa geli sambil
geleng-geleng kepala. Keduanya berjalan ke luar kamar.
"Iya, halo," kata Reinald sambil membuka pintu. "Satu aja cukup kali, Cit."
"Maaf deh. Maksudnya supaya cepet dibukain, gitu. Soalnya gue aus banget
nih. Bagi minum dong. Yang dingin ya. Trus gelasnya yang gede," Citra langsung
nyerocos. "Masuk dulu, kaliii."
"Oke!" cewek itu melompat masuk. Andika menatapnya, tak mampu
menahan senyum. "Eh" Haiii!" sapa Citra begitu melihat Andika.
"Hai juga," balas Andika, masih sambil tersenyum.
"Lo istirahat sebentar, trus kita langsung mulai ya" Biar lo pulangnya nggak
kemaleman," kata Reinald sambil berjalan ke dapur.
"Oke!" Citra mengangguk. Ia berjalan menuju sofa panjang, meletakkan
tasnya di sana, lalu duduk dengan nyaman.
Jam lima lewat lima belas, Reinald dan Citra siap-siap belajar. Andika
menyingkir ke teras. Karena malam ini Reinald sendirian di rumah, Andika
memutuskan untuk menginap dan pulang besok siang.
"Setel radio dong. Kalo belajar suasananya sepi, gue malah cepet ngantuk."
Citra merosot dari sofa, kemudian duduk bersila di lantai. Ia menghadap ke
meja tamu yang rendah. Di atas meja buku cetak bahasa Inggris-nya sudah
dalam keadaan terbuka. Reinald menggeser sofa panjang di belakang Citra sampai menempel di
dinding agar tercipta ruang lapang, kemudian cowok itu berjalan ke dalam.
Malas menggotong radionya yang besar dari kamar, dipinjamnya radio-tape
kecil milik Bi Minah. "Radio apa?" "Apa aja. Yang penting penyiarnya asyik."
Reinald memutar-mutar tunning. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti.
Dia Tanpa Aku Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Samar-samar ia mendengar lagu Glenn-Dewi, When I Fall in Love.
Dibesarkannya volume. "Bosen, ah!" Citra langsung protes. "Ganti yang lain deh."
Reinald tidak mengacuhkan. Intuisinya mengatakan sesuatu akan terjadi,
karena jantungnya berdetak lebih detak tanpa sebab. Lagu itu berakhir. Suara
sang penyiar, cewek, langsung menyusul. Dengan nada riang penyiar itu
mengatakan di studio telah hadir seorang tamu yang khusus diundang atas
permintaan pendengar. "Nih orang punya story yang waktu itu bikin terharu. Trus banyak yang minta
dia cerita ulang. Makanya kami undang dia ke studio."
Sang penyiar kemudian menambahkan bahwa selama setengah jam ke
depan, hanya satu lagu itu yang akan diputar. Karena lagu itulah yang jadi lagu
kenangan. "Oh iya," sambungnya. "Dia nggak mau ngasih tau nama aslinya. Malu,
katanya. Takut ada yang ngenalin. Jadi di sini dia pake nama Tom. Oke" Yuk,
kita dengerin sama-sama ceritanya."
Tom! Nama itu menghantam Reinald seperti pukulan godam. Di teras Andika juga
mendengarnya. Ia tersentak. Sesaat tubuhnya diam menegang, kemudian ia
melompat berdiri dan berlari ke dalam.
Melalui sebuah gelombang radio, dari suatu tempat entah di mana di luar
sana. Seseorang bernama Tom memulai ceritanya.
Dan suara itu". membekukan aliran darah Reinald dan Andika. Merenggut
setengah kesadaran mereka. Menusuk tepat di pusat emosi keduanya, lalu
merobeknya, hingga jubah berlapis yang selama ini mereka kenakan ketegaran, ketabahan, kesabaran, keikhlasan- semuanya terkoyak dan
menampakan isi yang kesungguhannya.
"Eh, itu cowok yang waktu itu!" seru Citra, lalu meletakan buku yang sedang
dipegangnya. "Gue apal suaranya. Gedein! Gedein!"
Baik Reinald maupun Andika sama-sama tidak bergerak, jadi Citra
mengulurkan satu tangann ya. "Kok sore-sore sih" Waktu itu kan malem"
Asyiiiik, bisa dengerin cerita lengkapnya!" katanya senang, tidak menyadari
sesuatu telah menimpa kedua cowok yang saat ini berdiri di belakangnya. Ia
besarkan volume radio. Suara volume yang diperbesar itu seolah menghadirkan Ronald kembali ke
tengah-tengah Reinald dan Andika. Rasanya benar-benar tak bisa dipercaya,
mereka bisa mendengar lagi suara Ronald. Sungguh-sungguh suara Ronald.
Cowok yang mengaku bernama Tom itu menuturkan satu cerita yang baik
Reinald maupun Andika terlibat di dalamnya. Cinta pertamanya.
Pengamatannya. Penantiannya. Kecemasannya. Kesabaran sekaligus
ketidaksabarannya. Dan harapannya.
Namun, ternyata tidak hanya itu. Suara yang sudah sangat mereka kenal itu
juga bercerita tentang sang adik. Satu-satunya saudara cowok yang dimiliki.
Tentang tiada hari tanpa pertengkaran. Saling meledek, saling tuduh, saling
berteriak, saling tendang, saling jotos, saling jitak. Dan biasanya pertengkaran
itu berakhir dengan pemulihan fisik. Bisa di mana saja. Di sofa, di tempat tidur,
di lantai, di ambang pintu, hingga membuat orang jadi susah lewat, bahkan di
atas tanah dan rumput halaman.
Sesaat cerita itu terputus oleh tawa. Kemudian suara itu melanjutkan bahwa
gulat fisik itu bisa berlangsung cukup lama. Hingga mama mereka kemudian
memanggil kedua anak laki-lakinya itu dengan panggilan "Tom and Jerry".
Tokoh kucing dan tikus di film kartun yang jadi favorit mama sejak kecil sampai
jadi mahasiswi. Tatapan Reinald mengabur. Cerita itu tervisualisasi di sana, di fokus matanya
yang kini kembali ke hari-hari dulu itu.
Dia dan Ronald. Beda usia mereka kurang dari dua tahun. Sejak kecil sampai saat-saat
terakhir, Ronald hanya sedikit lebih tinggi darinya. Pertengkaran dan
perkelahian mereka mulai berkurang setelah Ronald masuk SMP. Perbedaan
seragam itu penyebabnya. Dengan seragam putih-biru, Ronald merasa sudah
besar dan ogah lagi meladeni Reinald yang waktu itu masih berseragam putihmerah.
Satu yang bisa dirasakan dengan jelas tidak hanya oleh Reinald, tapi juga
oleh Citra dan Andika, kasih dan cinta dalam cara suara itu menuturkan
ceritanya. Cowok itu menyayangi adiknya.
Kontras dengan Citra -yang tertawa-tertawa geli saat mendengar bagian
cerita yang lucu, mendesah pelan dengan kepala menggeleng ke samping, atau
kedua tangan tertangkup di depan dada saat cerita berada pada bagian yang
mengharukan- di kiri-kanannya, Reinald dan Andika membeku. Keduanya pucat
pasi, menggigil dalam keterdiaman.
Samar, kemudian terdengar lagi lagu When I Fall in Love. Kali ini lagu itu
cuma sebagai latar, rupanya tanda bahwa Tom akan kembali berkisah tentang
cinta pertamanya. Kali ini cowok itu tidak lagi menyebut "cewek gebetan gue",
tapi langsung menyebutkan namanya. Bukan Citra, tetapi Devi.
Nama lengkap Citra memang Citra Devi!
Citra memekik, tapi tetap tidak tahu apa-apa. Hal itu malah membuat
Reinald dan Andika merasakan sakit di dada kiri mereka, seakan ditikam.
Namun puncak dari semua hantaman bertubi yang diterima keduanya di sore
menjelang malam itu adalah saat Tom mengatakan bahwa" dia menyerahkan
cinta pertamanya itu untuk sang adik!
Seketika Reinald limbung. Dia terhuyung. Andika buru-buru menangkap
tubuhnya lalu menopangnya dari belakang.
Reinald benar-benar shock dan nyaris tak sadarkan diri. Andika yang tidak
kuat menopang berat badannya, dengan hati-hati kemudian mendudukkan
Reinald di lantai, di belakang Citra, agar cewek itu tidak tahu telah terjadi
sesuatu. Citra memang tidak tahu, karena dia sedang mendengarkan dengan
serius, dan cerita itu membuatnya semakin larut. Andika kemudian duduk
bersila di sebelah Reinald.
Tiba-tiba suara sang penyiar yang bernada riang itu menyeruak, mengatakan
bahwa siapa pun yang ingin berinteraksi langsung dengan Tom, ada satu
nomer telepon yang bisa dihubungi.
Berinteraksi langsung!"
Reinald dan Andika hanya mampu bereaksi dengan sisa-sisa kesadaran yang
masih mereka miliki. Ini mimpi. Pasti mimpi. Satu-satunya mimpi tapi mereka bisa tetap sadar dan
terjaga. Namun tetap saja, ini pasti cuma mimpi!
Citra langsung ribut. "Pinjem telepon dong, Ren. Hp gue kayaknya pulsanya udah sekarat." cewek
itu meraih tasnya, mengeluarkan ponselnya, lalu mengecek pulsa. "Tinggal
seribu!" keluhnya. "Nggak cukup dong."
Karena Reinald sama sekali tidak beraksi, Andika mengeluarkan ponsel
miliknya dari saku kemeja.
"Nih, pake punya gue aja," ucapnya pelan. Diulurkannya benda itu kepada
Citra. "Makasiiih." Citra menerima tanpa menoleh. Langsung ditekannya sederet
angka yang tadi disebutkan sang penyiar.
"Halo" Ini Citra," katanya begitu telepon tersambung.
"Hai, Citra." Melalui radio kecil di depan mereka, Reinald dan Andika bisa mendengar
suara "Ronald" melembut saat menjawab sapaan itu.
"Hai jugaaa," Citra menjawab penuh semangat. Radio kecil itu
menggaungkan tawa geli. "Eh, nama gebetan lo itu kayak nama gue lho. Nama
gue juga ada "Devi-nya!" ucap Citra kemudian.
"Gitu ya" Bagus deh. Seneng dengernya."
"Kenapa sih elo nyerah gitu" Kenapa gebetan lo itu lo kasih ke adik lo?" Citra
bertanya polos. Sama sekali tidak menyadari dampak pertanyaan itu terhadap
Reinald. Keheningan yang menghancurkan hadir sebagai jawaban sementara.
"Karena gue nggak bisa jaga dia," jawab "Ronald" sesaat kemudian.
"Emangnya lo kenapa?" kejar Citra.
Kembali keheningan yang menghancurkan tercipta. Reinald memejamkan
kedua matanya. Citra, please, bisik hatinya pedih.
"Soalnya gue harus pergi."
"Jauh?" "Jauh banget." "Ke mana?" "Ke tempat cewek itu nggak bisa nyusul."
"Ke mana tuh" Manusia paling jauh baru bisa sampe ke bulan tuh. Bisa
disusul. Asal punya duit banyak. Dan gue jamin, lo nggak mungkin pergi ke
sana. Pasti masih di bumi.
Terdengar tawa geli "Ronald". "Di bumi itu banyak tempat yang nggak bisa
disusul lho, Cit." katanya lunak.
Citra terdiam. Kemudian ia bicara dengan nada yang juga melunak, "Maaf
deh. Bukannya gue mau ikut campur. Abis gue sedih nih dengernya."
"Gue malah lebih sedih lagi."
"Iya sih. Ya udah. Thanks ya ngobrolnya."
"Sama-sama," jawab Tom lembut. "Baik-baik ya, Cit."
"Iya." Citra mengangguk tanpa sadar.
"Sekarang kasih teleponnya ke orang di sebelah kanan elo."
"Iya." Citra menyerahkan telepon itu pada Reinald. Setelah benda itu
berpindah tangan, baru cewek itu merasa heran. Bagaimana Tom bisa tahu ia
tidak sendirian" Keherannya makin bertambah saat kemudian didengarnya
percakapan itu. "Nggak ada yang mau lo omingin sama gue?" tanya Tom.
Reinald menelan ludah dengan susah payah. "Maaf, Ron," ucapnya serak.
Hening. Keheningan yang membuat tubuh Reinald menggigil hebat.
"Ron, maaf," bisiknya, dengan lebih susah payah, karena tenggorokannya
terasa sangat sakit. "Nggak apa-apa. Nggak usah merasa bersalah gitu. Daripada tu cewek gue
bawa ke sini. Mendingan dia sama elo."
Hening. Kemudian "Ronald" meneruskan dengan kalimat yang membuat
pertahanan Reinald akhirnya runtuh. "Gue sayang elo. Titip cewek itu, ya?"
Tak terjawab. Reinald tidak mampu lagi menahan isaknya. Ponsel di
tangannya terlepas dan hampir saja membentur lantai kalau saja Andika tidak
buru-buru menangkapnya. "Hai, kawan," Tom menyapanya.
Andika mendengar suara Ronald melalui radio kecil itu. Andika membeku,
tidak mampu menjawab. "Thanks banget. Buat semuanya. Baik-baik, ya" Bye."
Acara itu berakhir. Kembali lagu Glenn Fredly-Dewi Sandra mengalun. Hanya
di bagian akhir. Mengiringi suara penyiar yang mengucapkan terima kasih lalu
menutup acara itu dengan salam perpisahan. Kemudian hening. Radio kecil itu
tidak lagi mengeluarkan suara apa pun.
Reinald dan Andika tersadar. Keduanya bergerak bersamaan. Seperti
kesetanan, mereka mengguncang-guncang radio itu. Nihil. Mereka periksa
kabel. Masih tersambung ke stop kontak. Mereka pukul-pukul dengan telapak
tangan. Tetap tanpa hasil.
Jarum indikator masih di sana. Di tempat yang persis sama. Namun stasiun
radio itu menghilang. Tidak ada sedikit pun suara yang tertangkap. Hening.
Radio-tape kecil itu membisu.
Keduanya segera teringat nomer telepon tadi. Meskipun sudah bisa
menduga apa yang akan mereka dengar, Reinald menekan juga deretan angka
itu. Pada posisi speaker aktif, terdengar suara monoton dari mesin operator.
"Nomer yang anda tuju, belum terpasang?"
***** Hampir seperempat jam berlalu sejak radio-tape itu benar-benar membisu.
Dengan sorot mata sangat kebingungan, Citra menatap dua cowok yang duduk
tidak jauh di belakangnya itu. Reinald yang menangis tanpa suara. Andika yang
pucat dan seperti tidak sadar sepenuhnya. Hanya pada kedua mata mereka,
segala gejolak emosi yang ditahan mati-matian itu jelas-jelas terbaca.
"Ada apa sih?" Citra bertanya lirih dan hati-hati. "Kalian berdua kenapa?"
Sesaat tidak ada sedikit pun reaksi. Kemudian Reinald bergerak. Tangan
kanannya menghapus air mata, sementara tangan kirinya melambai pelan.
"Duduk sini, Cit," katanya pelan. Sambil menggeser tubuh, ditepuknya
tempat di sebelah kirinya. Citra tampak ragu, tapi kemudian bergerak juga. Ia
duduk di tempat kosong yang di berikan Reinald. Di antara cewek itu dan
Andika. "Ada apa sih?" Citra bertanya lagi, karena lagi-lagi kedua cowok di kirikanannya bungkam. Reinald kemudian merangkulnya. Sementara Andika
mengusap pelan kepalanya.
"Nanti gue ceritain," ucap Reinald lirih.
***** Beberapa saat yang lalu, kuncup mawar diletakkan dengan sangat hati-hati
di batu nisan Ronald. Dan kini, di sisi nisan, Reinald duduk bersila di atas rumput. Kepalanya
tertunduk dan kesepuluh jarinya bertaut. Di sebelah kirinya, Citra duduk
bersimpuh. Di atas pangkuannya, sebuah amplop cokelat tergenggam di antara
kesepuluh jarinya. Amplop itu berisi foto-foto dirinya dan secarik kertas yang
pernah ditempelkan Ronald di dinding di atas meja belajarnya.
Reinald mengangkat kepala lalu menoleh ke cewek yang duduk di
sebelahnya itu. Sama seperti dirinya, Citra sama sekali tidak mengeluarkan
suara. "Udah?" tanya Reinald lirih.
Citra menoleh. Kedua matanya masih berkabut. Ia mengangguk. "Yuk,
pulang." Reinald bangkit berdiri. Diulurkannya tangan kirinya. Lembut, ditariknya
Citra sampai berdiri. Keduanya meninggalkan tempat itu dalam diam, namun mereka yakin Tuhan
dan alam akan menyampaikan apa yang ternyata tadi tidak sanggup mereka
sampaikan selain dengan bahasa diam. Untuk seseorang yang kini dipeluk bumi
dan tidur dalam diam. Untuk Ronald, terima kasih dan seluruh cinta"..
Hilangnya Pusaka Kerajaan 1 Legenda Kematian Karya Gu Long Petualangan Di Dua Dunia 1