Pencarian

Dirty Little Secret 4

Dirty Little Secret Karya Aliazalea Bagian 4


tidak layak menjadi ibu. Oh God, oh God, oh God!!! Ketika Jana sedang memanggil-manggil
nama Tuhan inilah Ben muncul sambil menggendong Erga yang sedang merentangkan tubuhnya
seperti pesawat dan meneriakkan, "Wiii". Dan Raka yang melingkari kaki kanannya dalam
proses memanjat tubuh Ben. Dia bahkan tidak tahu bagaimana Ben masih bisa tetap berdiri,
apalagi berjalan, dengan anak-anak pating cerantelan begitu.
Suatu pikiran bahwa dia ingin menyantel pada Ben juga membuat Jana terkesiap cukup keras,
sehingga tatapan Ben langsung tertuju padanya. Dengan susah payah Jana berusaha
menempelkan senyuman pada wajahnya. Ben buru-buru menurunkan Erga dan menunduk untuk
menarik kaki Raka dan menggantungnya terbalik. Pertama kali melihat Ben melakukan ini, Jana
hampir terkena serangan jantung, tapi kemudian dia melihat Raka tertawa-tawa senang dan Ben
menurunkannya beberapa detik kemudian. Kini dia tahu Ben tidak akan melakukan itu kalau
tahu Raka tidak menyukainya atau akan membahayakannya.
Setelah menurunkan Raka, Ben bergegas ke arahnya dan seperti biasa, memberikan ciuman di
pipinya. Hanya satu ciuman, bukan dua, dan selalu di pipi kanan. Inilah satu hal lagi yang dia
tidak tahu bagaimana bisa terjadi, tapi semenjak dia memperbolehkan Ben mencium pipinya di
rumah mamanya, Ben menilai itu sebagai tanda dia bisa melakukannya setiap kali bertemu
dengannya. Sampai detik ini, Jana tidak tahu kenapa dia membiarkan kebiasaan ini berlanjut.
*** Ben membiarkan bibirnya menempel lebih lama pada pipi Jana daripada hari sebelumnya. Dia
tidak tahu apakah Jana sadar bahwa setiap kali Ben mencium pipinya, dia selalu menambahkan
setengah detik, membuat ciumannya semakin lama semakin panjang. Dia tidak tahu kenapa Jana
memperbolehkannya melakukannya, terutama karena dia selalu menciumnya dua kali, kadang
tiga kali dalam sehari. Intinya setiap kali ada kesempatan mencium pipi Jana, dia akan
melakukannya. Ciuman inilah yang paling ditunggu-tunggunya sepanjang hari. Bukannya dia
tidak menunggu-nunggu saat ketika bisa melihat wajah semringah Erga dan Raka setiap kali
melihat kedatangannya, karena itu adalah salah satu saat-saat terbaik dalam hidupnya, tapi dia
merasa lebih bisa menghargai kesempatan mencium Jana karena tahu ini tisak diberikan dengan
rela, lebih seperti reflex. Suatu hari dia ingin Jana balik menciumnya karena dia memang mau
melakukannya, bukan terpaksa.
Dengan enggan Ben menarik bibirnya dari pipi Jana dan berkata, "Hi."
"Hi," balas Jana.
Hmmm, ada yang sedikit aneh dengan Jana hari ini. Wajahnya merah dan napasnya terdengar
sedikit memburu. "Are you okay?" tanyanya.
"Yep. Fine. Never better. Just awesome. Just" kamu bawa apa itu?"
Ben masih mencoba mencerna kata-kata Jana yang diucapkan terburu-buru itu ketika Jana
menunjuk plastic yang dibawanya. "Oh, ini buah Naga. Mamaku bilang bagus untuk Raka dan
Erga. Aku pikir kita bisa makan ini untuk dessert. Kamu yakin kamu nggak pa-pa?"
Tanpa menjawab pertanyaan Ben, Jana justru meraih, lebih tepatnya merebut, plastic yang
digenggamnya itu sebelum berlalu sambil berseru, "Aku akan potong ini. Kamu main aja dulu
sama Erga dan Raka."
Weird!!! Tingkah laku Jana betul-betul aneh hari ini.
"Oom Ben, kita mau main apa hari ini?" pertanyaan Raka, yep, dia akhirnya bisa membedakan
suara Erga dan Raka tanpa melihat mereka, menariknya dari memikirkan Jana lebih lanjut.
"Oom akan ajari kalian main ludo."
"Yaaay." Seperti biasa, Erga dan Raka selalu antusias untuk diperkenalkan dengan hal-hal baru. Mereka
sudah hampir selesai membaca-koeksi, dibacakan buku Harry Potter yang pertama minggu ini, di
mana mereka, seperti juga berjuta-juta anak-anak di seluruh dunia, langsung jatuh cinta dengan
dunia sihir-menyihir ciptaan J.K Rowling. Jana tidak memperbolehkannya mengenalkan video
game kepada mereka, takut otak mereka yang cemerlang itu jadi bubur dan meskipun Ben tahu
itu tidak benar, dia menghormati permintaan ini. Lagi pula, masih ada banyak hal yang lain yang
ingin dia ajarkan kepada anak-anak. Papa mengusulkan agar mereka, dengan maksud dirinya dan
Papa, membawa Erga dan Raka memancing dan berkemah, sesuatu yang dia yakin akan disukai
mereka. *** "Apa kita biarin aja mereka tidur di situ?" bisik Ben.
Jana melirik anak-anaknya yang sudah tewas tertidur di sofa setelah memaksa Ben main Ludo
sampai empat kali. Jam dinding menunjukan pukul 14.30. tidur siang memang bukan kebiasaan
anak-anaknya, mereka terlalu energetic untuk menghabiskan waktu dengan tidur, tapi terkadang
kalau memang kecapekan mereka akan langsung tewas, tidak peduli dimana. Sudah cukup lama
semenjak mereka jatuh tertidur di sofa seperti ini, mereka betul-betul lelah rupanya.
"Lebih baik mereka tidur di kamar mereka sendiri. Mereka cenderung bangun dengan rewel kalo
tidur siang di sofa. Bisa tolong kamu gendong Raka" Aku bisa gendong Erga."
Ben mengangguk dan berjalan menuju anak-anaknya. Dengan sigap dia mengangkat Raka yang
terbangun sekejap untuk menggumamkan, "Oom Ben?"
"Sssshhh, just sleep. I"ve got you," bisik Ben dan Raka tertidur lagi.
Jana menarik napas dalam sebelum mengangkat Erga, yang meskipun lebih enteng daripada
Raka, tapi berat juga. Perlahan-lahan dia menaiki anak tangga menuju kamar tidur anak-anak
dilantai atas, yang letaknya berseberangan dengan kamar tidurnya, meskipun rumahnya memiliki
tiga kamar tidur dan bia mengakomondasi kamar terpisah untuk Raka dan Erga, anak-anak
memilih tidur satu kamar, dan menjadikan kamar satunya kamar main mereka.
Jana menurunkan Erga ke tempat tidurnya dan Ben melakukan yang sama dengan Raka. Setelah
yakin anak-anak tidak terbangun, Jana meminta Ben keluar lebih dulu sebelum dia
mengikutinya. Meninggalkan pintu kamar sedikit terbuka, Jana berjalan menuju tangga lebih
dulu. Dia sudah menuruni lima anak tangga ketika menyadari Ben tidak mengikutinya. Dia
menoleh, menemukan Ben berdiri di ambang pintu kamar tidurnya. Kamar tidurnya yang bisa
terlihat jelas oleh Ben karena dia lupa menutup pintu ketika turun beberapa jam lalu.
*** Mata Ben terpaku pada tempat tidur ukuran Queen dengan bantal dan selimut berantakan. Dia
tidak perlu bertanya untuk tahu ini kamar Jana. Lain dengan seluruh bagian rumah yang
bernuansa pastel dan cokelat, kamar ini bernuansa putih dan biru dongker. Ukurannya tidak
teralu besar, tapi cara Jana mendekorasi kamar ini, membuatnya kelihatan nyaman, tapi juga
seksi. Suatu percampuran yang sangat sulit ditemukan.
Sebelum bisa berpikir lagi, dia sudah mengambil satu langkah memasuki kamar itu dan pada saat
itulah Jana muncul di hadapannya. "Kamu nggak bisa masuk sini," ucap Jana sambil berusaha
ngblok jalan masuknya dengan tubuhnya.
Tangan kanan Jana naik dengan telapak tangan menghadapnya, memintanya berhenti,
sedangakan tangan kirinya berusaha meraih gagang pintu. Tahu Jana akan menutup pintu dan
dengan begitu menghalanginya memasuki kamarnya, Ben menahan daun pintu dengan
tangannya. "Kamu nggak bisa masuk sini, Ben" ucap Jana lagi, kini dengan nada memperingatkan.
"Emangnya kenapa?"
"Karena ini kamarku," geram Jana sambil berusaha menarik daun pintu.
"Aku tahu itu. Makannya aku mau lihat." Dengan mudah Ben menahan daun pintu hanya dengan
tangannya. Jana sudah gila kalau dia pikir akan bisa beradu otot dengannya. Dia bisa menahan daun pintu
dengan tangan kiri dan mengangkat tubuhnya dengan tangan kanannya. Hmm" kalau dipikir-
pikir, it"s not a bad idea. Jana terpekik ketika Ben mengangkat tubuhnya lalu memutarnya,
dengan begitu posisi Jana kini di ambang pintu, sedangkan Ben di dalam kamar Jana. Well, that
was easy. Dia ingin tertawa kencang untuk merayakan kemenangannya, tapi menahan diri, takut
membangunkan anak-anak. "BEEENNN, KAMU NGGAK BISA ADA DI SINI!" teriak Jana panic.
"Ssssttt, jangan berisik, nanti anak-anak bangun," ucap Ben dan menarik Jana ke dalam kamar
lalu menutup pintu. Ketika Ben berbalik menghadap Jana, dia menemukannya sedang ngacir nggak karuan ke
seluruh ruangan, mencoba melakukan beberapa hal pada saat bersamaan. Menarik bedcover
tempat tidur untuk menutupi tempat tidur yang berantakan; mengambil beberapa helai pakaian
yang tersampir di sandaran kursi, bergeletakan di karpet dan nakas di sebelah tempat tidur, lalu
melemparkan semua pakaian itu ke keranjang baju kotor di sudut ruangan. Dia kemudian mulai
membereskan meja riasnya yang penuh botol-botol berisi entah apa, kemungkinan segala tetekbengek keperluan wanita.
"Awww, kamu ngeberesin kamar kamu untuk aku" Thank"s honey," ucap Ben.
"Shut up, Ben," geram Jana sambil memberikan tatapan membunuh padanya.
Berhasil membuat Jana mengalihkan perhatiannya dari mengusirnya ke aktivitas bersih-bersih,
Ben hanya bisa nyengir. Jana menggeram kesal sebelum kembali focus membereskan meja
riasnya. Ben mengambil kesempatan ini untuk betul-betul mensurvei kamar tidur itu. Jendela
berkusen putih dengan tirai warna biru yang disingkapkan telah membiarkan sinar matahari siang
menerangi setiap sisi kamar. Pintu setengah terbuka di sebelah kanan kamar menunjukkan kamar
mandi. Dia bisa mencium aroma citrus, meskipun samar, dari area itu. Dia memutar tubuhnya
dan perhatiannya jatuh pada dinding dengan lukisan berukuran besar. Itu lukisan paling
mengerikan yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya.
"WHAT THE HELL IS THIS?" teriaknya.
BAB 17 Hold me right and don"t let me go
Surrender to the sound Hold on and don"t look down
Mendengar teriakan Ben, Jana langsung menoleh dan mendapatinya sedang bertolak pinggang di
depan poster kanvas Ophelia karya Millais, yang dia beli beberapa tahun lalu. Tubuh Ben
menghadap lukisan itu, Jadi dia hanya bisa melihat punggungnya.
"Kamu ada masalah sama lukisan aku?"
Ben menoleh dan berteriak, "Tentu aja aku ada masalah."
Tanpa Jana sangka-sangka Ben meraih bagian kiri dan kanan bingkai dan mengangkatnya
seakan-akan siap menurunkannya dari singgasananya. Meja rias terlupakan, Jana langsung
berlari menuju Ben. "Eh" eh" kamu mau ngapaian?" teriaknya panik.
"Aku mau nurunin lukisan ini," geram Ben sebelum menarik bingkai dari gantungannya di
dinding. Kalau saja otot lengannya sebesar Ben, Jana mungkin sudah mencoba menarik bingkai itu dari
Ben. Tapi dia tahu bingkai itu terlalu berat untuknya, alhasil dia hanya bisa berteriak-teriak
seperti orang gila. "Ben, kamu udah gila, ya" Balikin bingkai itu ke tempatnya sekarang juga!"
Ben justru menurunkan bingkai itu ke lantai lalu mengistirahatkan tangannya di atasnya. "Aku
nggak percaya kamu punya gambar seperti ini di dalam kamar tidur kamu," ucapnya sambil
memberikan tatapan kesal padanya.
Jana hanya menatap Ben bingung, tidak mengerti kenapa laki-laki itu bertingkah seperti ini
hanya gara-gara lukisan. "Ini lukisan paling mengerikan yang pernah aku lihat, Jana!" geram Ben ketika melihat wajah
bingung Jana. "Mengerikan" Bercanda kamu. Ini poster lukisan Ophelia."
"Who the hell is Ophelia?"
"Ophelia calon istrinya Hamlet?" Jana mencoba menjelaskan dan ketika wajah Ben masih
kelihatan bingung, dia menambahkan dengan tidak sabaran, "Yuu huuu" play-nya Shakespeare
yang paling ngetop setelah Romeo and Juliet?"
Pemahaman muncul pada wajah Ben. "Bukannya dia jadi gila dan bunuh diri di akhir play itu?"
tanyanya. "Dia nggak bunuh diri, dia jatuh dari pohon ke sungai terus tewas tenggelam." Geram Jana.
"Dan itu mengonfirmasikan pendapat aku sebelumnya, bahwa lukisan ini mengerikan. Aku bisa
punya nightmare mala mini gara-gara lukisan ini."
"Lukisan ini nggak mengerikan. Ophelia itu lukisan paling indah yang pernah aku lihat.
Makanya aku beli posternya untuk dipajang di sini."
"Are you crazy" Gimana bisa gambar orang tenggelam bisa indah?"
"Aku nggak peduli apa pendapat kamu. Ini kamar aku dan aku bisa masang apa aja yang aku
suka." "Apa pernah kamu mikir kalo Erga dan Raka bisa punya nightmare gara-gara lukisan ini?"
"Asal kamu tahu aja ya, Erga dan Raka itu bukan banci kayak kamu yang langsung takut Cuma
gara-gara lukisan. Mereka udah ngeliat lukisan ini hampir setiap hari selama dua tahun
belakangan dan mereka nggak pernah punya nightmare sama sekali. Sekarang kesiniin
lukisanku!" Jana mencoba merebut lukisannya dari Ben. Dia tidak lagi peduli bingkai itu terlalu berat
untuknya dan bahwa otot pinggangnya yang suka bermasalah semenjak dia melahirkan akan
kumat jika melakukan gerakan ini. Setelah menggenggam bagian atas bingkai, dia langsung
menarik sekuat tenaga. Tapi di dalam genggaman Ben, bingkai itu tidak bergerak sama sekali.
Damn it!!!! "Ben, tolong lepasin bingkai aku," pinta Jana dengan satu tarikan. "Lepasin!" geramnya. Lagilagi dengan satu tarikan, tapi kini lebih kuat. "Ben, sumpah kalo kamu nggak ngelepasin bingkai
ini aku akan?" Kata-kata Jana terhenti ketika pada saat itu dia mendongak dan melihat wajah gelap Ben yang
sudah mirip langit sebelum badai. Dia tidak lagi kelihatan kesal, dia kelihatan marah besar.
Padanya. What the hell?""!!! Otomatis dia melepaskan genggamannya pada bingkai dan
mengambil langkah mundur.
"What. Did. You. Just. Call. Me?" geramnya.
What?""!! Nggak waraskah si Ben ini" Dia nggak memanggilnya apa-apa. Seingatnya Ben-lah
yang sudah mengatainya. "I didn"t call you anything. Yang ada juga kamu yang bilang aku gila."
"Setelah itu." "Setelah itu yang mana?"
Jana betul-betul bingung. Apa sih maunya Ben" Bosan dan tidak mengerti permainan ini, dia
berkata, "You know what, Ben, aku nggak ada waktu untuk ini. Gimana kalo kamu balikin
lukisan aku, setelah itu kamu bisa keluar dari kamarku."
"Kamu bilang aku banci," desis Ben.
Jana mendapati dirinya mengatakan, "Ooohhh, itu toh maksudnya," di dalam hati. Oke, dia tahu
telah memanggil seorang laki-laki maskulin dewasa seperti Ben "Banci" dan itu memang jauh
dari sopan. Sebetulnya kalau dipikir-pikir lagi, memanggil laki-laki mana pun dengan kata itu
adalah penghinaan. Raka pernah membuat teman sekolahnya babak-belur gara-gara penggunaan
kata itu. Tapi, Jana menolak meminta maaf. Ben sudah bertingkah seperti asshole dengan
memasuki kamarnya, area yang dia hitung sebagai teritori yang sangat private baginya, tanpa
diundang dan mencoba mengatur-aturnya. Memang dia pikir dia siapa"
"So what kalo aku manggil kamu banci?" ucap Jana sambil bertolak pinggang dan mengangkat
dagu setinggi-tinggunya. Ben kelihatan siap mengamuk sebelum meneriakkan, "So what?""!! Aku tunjukin ke kamu "so
what"." Sebelum Jana bisa berkedip, Ben sudah melepaskan bingkai, membiarkannya jatuh ke lantai
dengan bunyi "baaam" yang cukup keras, dan berjalan cepat ke arahnya. Wajahnya penuh
dengan kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang Jana yakin berhubungan
dengannya. Spontan dia langsung mundur cepat. Dia tahu wajahnya pasti sudah memaparkan
ketakutan, tapi Ben tidak menghentikan langkahnya. Membuatnya sadar bahwa Ben berniat
memojokkannya. Kepanikan mulai merambat. Dia tahu Ben tidak akan menyakitinya, tapi dia juga tahu dari
ekspresi wajahnya, bahwa Ben akan membuatnya membayar kata-katanya tadi. Entah dengan
apa. Dan dia lebih memilih tidak akan pernah mengetahuinya. Dia berpikir cepat. Hanya ada satu
jalan keluar dari kamarnya, yaitu pintu yang berada di belakang Ben. Pintu yang sekarang
tertutup rapat. Kenapa pintu itu bisa tertutup rapat" Dia hampir saja tersedak ketika sadar dia
sudah sendirian dengan Ben, laki-laki yang bukan suaminya, di dalam ruangan dengan pintu
tertutup selama beberapa menit belakangan ini. Entah apa yang Mami akan pikir kalau beliau
sampai tahu tentang ini. Satu kata yang sering diasosiasikan dengan PSK muncul di kepalanya.
Oh, peduli setan dengan pendapat Mami. Dia masih perlu memikirkan rute keluar hidup-hidup
dari kamar ini. Satu-satunya cara yang bisa dia lihat adalah dengan loncat ke atas tempat tidur dan berlari
secepat mungkin menuju pintu. Tapi mengingat betapa panjangnya kaki Ben, dia hanya perlu
mengambil dua langkah untuk menggagalkan rencananya. Kecuali dia bisa"
"Hey look," ucap Jana sambil menunjuk ke satu titik di belakang kepala Ben.
Dan rencananya berhasil, karena Ben langsung menoleh, dengan begitu memberinya kesempatan
untuk lari lebih dulu. Secepat kilat dia loncat ke atas tempat tidur dan berlari ke sisi satunya. Dia
baru saja mengambil tiga langkah ketika kakinya tiba-tiba hilang pijakan. Untuk seperempat
detik dia melayang di udara sebelum tubuhnya menghantam kasur, punggung duluan dengan
cukup keras. "Oommphhh." Dan untuk beberapa detik mata Jana berkunang-kunang dan dia tidak bisa bernapas. Ketika dia
baru saja mendapatkan napasnya kembali dan sadar yang menyebabkannya jatuh telentang
seperti ini adalah tangan Ben yang kini melingkari pergelangan kakinya, tahu-tahu Ben sudah
menindihnya dengan tubuhnya dan wajahnya hanya sekitar sepuluh senti meter darinya. Seakan
itu belum cukup, Jana juga sadar kedua tangannya sudah ditahan oleh tangan kiri Ben di atas
kepalanya, membuatnya tidak bisa membela diri sama sekali.
"Tarik kembali kata-kata kamu," geram Ben.
"Are you crazy" Kamu bisa nyelakain aku barusan."
Ben langsung mengangkat bagian atas tubuhnya dengan menggunakan otot lengan kanannya.
Wajahnya khawatir. "Are you hurt?" tanyanya.
Jana tadinya mau berbohong, mengatakan otot pinggangnya ketarik, atau apalah, tapi yang ada
dia justru berkata, "Well, no."
"Are you sure?" Tanya Ben lagi, masih dengan nada khawatir.
Jana baru saja menurunkan dagunya untuk mengangguk sebelum Ben mulai memarahinya lagi.
"Tarik kembali kata-kata kamu!" perintahnya.
"What the hell is wrong with you" Get off me!!!"
"Tarik nggak?""!!!
Kesal karena Ben tidak menghiraukan permintaannya, Jana berteriak, "Nggak akan!!!"
Untuk beberapa detik Ben tidak berkata-kata, hanya menatapnya dengan kening berkerut, seakan
mempertimbangkan sesuatu. Gejolak emosi terbaca jelas di dalam matanya. Ada kemarahan,
ketidakpastian, keinginan, dan satu lagi emosi yang dia tidak tahu maksudnya. Lalu mulutnya
terbuka dan dia mengucapkan, "Kalo gitu, aku nggak ada pilihan selain meyakinkan kamu kalo
aku bukan banci." Jana tidak sempat memproses kata-kata ini sebelum bibir dan lidah Ben menyerangnya. Ciuman
ini terjadi begitu cepat dan tiba-tiba sehingga Jana tidak bisa melakukan apa-apa selain
menerimanya. Menolak memberikan reaksi, Jana menolehkan kepalanya dan mendengar Ben


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeram kesal. Dengan paksa Ben menarik dagunya agar mata mereka bertemu sebelum
menciumnya lagi. Tersinggung dengan perlakuan barbar Ben, Jana menggigit bibir bawah Ben
dengan cukup keras sehingga Ben berhenti menciumnya.
"You wanna play rough, honey" I"ll play rough," geram Ben sebelum balik menggigit bibir Jana.
Dan satu rintihan meluncur keluar dari bibir Jana. Bukan karena rasa sakit, tapi ekstasi. Sebelum
menyadari apa yang dia lakukan, Jana sudah mencium Ben balik dengan ganas. Seperti
menyadari dia sudah dengan sukacita membalas ciumannya, Ben menggeram dan mencium Jana
lebih dalam lagi. Tangan kiri Ben melepaskan genggamannya pada tangan Jana dan mulai
melakukan eksplorasi dengan meremas bagian tubuh mana saja yang bisa diraihnya, membuat
Jana menggeram. Jana bahkan tidak tahu dia rindu merasakan tubuh laki-laki di atasnya,
menindihnya, mendominasinya seperti ini sampai detik ini. Dan dia tahu ini salah, bahwa wanita
tidak seharusnya merasa seperti ini terhadap laki-laki yang bukan suaminya, tapi oh God, dia
ingin mengingat lagi bagaimana rasanya menginginkan dan diinginkan oleh laki-laki. Walaupun
untuk beberapa menit saja.
Di luar kontrolnya, kakinya sudah melingkari tubuh Ben. Satu pada pinggangnya, satu lagi pada
betisnya, sebelum menenggelamkan dirinya pada rasa laki-laki ini. Ben mengeluarkan satu suara
yang sangat animalistic sebelum menggigit bibir atas Jana dan melarikan lidahnya pada tempat
yang baru dia gigit itu sebagai tanda bahwa mereka harus slow down kalau tidak mau berakhir
naked di atas tempat tidur ini dalam hitungan detik. Jana menuruti keinginannya dan menjauhkan
bibirnya dari Ben, yang langsung mendekatkan keningnya pada kening Jana. Jana bisa
mendengar dan merasakan betapa kacau-balaunya napas Ben, membuatnya tersenyum penuh
kemenangan. Hanya karena dia sudah tidak menyentuh laki-laki selama delapan tahun, bukan
berarti dia lupa caranya. Dan walaupun dia kini seorang ibu-ibu, bukan berarti dia tidak bisa
membuat laki-laki kehilangan akal sehatnya dengan ciumannya. Terutama laki-laki ini.
Ben mencium kening Jana sebelum menjatuhkan kepalanya di samping kepala Jana. Tubuhnya
sudah gemetaran dan napasnya yang tadinya hanya tidak teratur sudah menderu, seperti orang
terkena serangan asma. Dia tahu Ben tidak punya asma, epilepsy, atau penyakit apa pun yang
menyebabkan reaksi tubuh seperti ini, tapi itu dulu.
"Ben, are you okay?" bisiknya khawatir.
Untuk beberapa menit Ben tidak berkata-kata, hanya berdiam diri dengan tubuh gemeteran dan
napas memburu. Dan Jana melakukan sesuatu yang dia janji tidak akan pernah dia lakukan. Dia
memeluk Ben dengan erat, seakan dia tidak mau melepaskannya lagi. Dengan pelukannya ini dia
mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia ada di sini kalau Ben
memerlukannya. Ben membutuhkan beberapa menit sebelum bersuara lagi. Tanpa menjawab pertanyaan Jana,
Ben berkata, "Touch me."
Karena bibir Ben menempel pada lehernya ketika mengatakan itu, Jana pikir dia sudah salah
dengar. "Apa kamu bilang?"
Ben mengangkat kepalanya dari leher Jana untuk menatapnya. Dan apa yang dia lihat
membuatnya terkesiap. Ada cinta yang mendalam pada tatapan itu, tapi juga ada ketakutan
bahwa cintanya ini hanya bertepuk sebelah tangan. "Sentuh aku, Jana."
Dan semua oksigen baru saja ditarik keluar dari paru-parunya. Oh my God, no. no, no, no. not
this. Ben baru saja membuatnya jatuh cinta lagi padanya. Bukan "Cinta" tapi "jatuh cinta", dua
istilah yang sering dipertukarkan penggunaannya, padahal artinya berbeda sama sekali. Kita
mungkin mencintai orangtua, adik, kakak, atau teman karena mereka adalah sebagian hidup kita,
tapi kita hanya akan jatuh cinta dengan orang yang membuat kita tidak bisa membayangkan
hidup tanpa mereka. Semua perasaan yang dia rasakan terhadap Ben ketika mereka pacaran
kembali lagi. Ben bukan hanya seorang pacar baginya, Ben adalah soulmate-nya.
Jana mencoba menenangkan dirinya yang sedang dalam proses menuju kepanikan. Stop
freaking-out, Jana. Ambil napas, buang napas, ambil napas, buang napas. Shit, ini tidak bekerja
sama sekali. Dia betul-betul freaking-out.
"Please," ucap Ben lagi ketika melihat Jana hanya bisa menatapnya dengan mata melebar.
Tatapan Ben yang ragu itu membuat hati Jana merasa seperti sedang ditusuk-tusuk sejuta jarum
dan kepanikannya terlupakan sesaat. Dengan sedikit tergagap, dia bertanya, "Di-di mana?"
"Anywhere. Everywhere. I don"t care. Just touch me."
Dengan sedikit gemetaran, perlahan-lahan Jana mengangkat kedua tangannya untuk menyentuh
Ben. Hanya dengan ujung-ujung jarinya. Begitu jarinya bersentuhan dengan rambut Ben, lelaki
itu langsung mendesah, seakan-akan sentuhannya adalah sentuhan malaikat yang bisa
menghapus semua dosanya. Jana membiarkan jari-jarinya menyentuh kulit kepala Ben di bawah
rambut yang sudah lebih panjang dari sebulan yang lalu. Dia lalu turun ke kening, di mana dia
melarikan jari-jarinya pada kerutan di antara alis Ben, memintanya untuk relaks. Alis, yang
memberikan aksen kuat pada wajah Ben; mata, yang memperhatikannya dengan seksama selama
dia melakukan ini semua; hidung yang mancung; tulang pipi yang membuat wajahnya kelihatan
seperti orang bule; dan bibir yang masih merah hasil menciumnya habis-habisan barusan.
Ben meraih tangan kanannya lalu memberikan ciuman pada telapak tangannya sebelum
melepaskannya lagi. Jana melanjutkannya eksplorasinya dengan menyentuh daun telinga, yang
berhasil membuat Ben mendekatkan kepalanya pada sentuhannya itu sambil menutup mata, bak
kucing yang sedang dibelai. Ketika tangannya sampai pada dada Ben, dia menempelkan telapak
tangannya tepat di atas jantungnya. Jana bisa merasakan betapa cepat detak jantung Ben pada
saat itu. "Anything wrong?" jana mendengar Ben bertanya. Dia mengangkat alisnya, tidak mengerti
pertanyaan Ben. "Muka kamu kelihatan khawatir," jelas Ben.
"Oh" aku Cuma" Cuma lagi ngitung detak jantung kamu. Dan menurut perhitunganku detak
jantung kamu di atas normal."
Untuk pertama kalinya selama mereka berada di dalam kamar, Ben tertawa kecil. Tawa kecil
yang terdengar agak garing. "Itu biasanya kejadian kalo orang nervous, takut, atau excite,"
ucapnya. "Dan emosi yang mana yang kamu rasakan sekarang?"
"Tiga-tiganya. Tapi lebih ke nervous."
"Dan kenapa kamu nervous?"
"Karena aku perlu membicarakan sesuatu yang penting sama kamu, tapi aku nggak tahu gimana
mulainya." Merasa waswas, Jana langsung menarik kakinya.
"Kamu mau ke mana?" Tanya Ben bingung.
"Aku Cuma perlu bangun. Bisa tolong kamu mundur sedikit?" pinta Jana.
Menuruti permintaannya, Ben mengangkat tubuhnya dan mundur. Tapi dia tidak pergi jauh, dia
mendudukkan dirinya di atas paha Jana sebelum mengulurkan tangannya membantu Jana
bangun. Jana menggeleng, memilih menggunakan kedua sikunya untuk menopang bagian atas
tubuhnya. "Oke" apa pembicaraan ini menyangkut Erga dan Raka?" Tanya Jana.
Ben menggeleng , lalu mengangguk, lalu menggeleng sebelum kelihatan pasrah sambil
menggigit bagian dalam mulutnya. Whoaaa!!! Jana tidak pernah melihat Ben sebingung dan se-
nervous ini sebelumnya. Apa yang membuatnya jadi seperti ini" Apa Ben sudah bosan main
ayah-ayahan kepada Erga dan Raka, dan memutuskan untuk kembali ke Chicago" Tapi
bagaimana dia bisa berpikir seperti itu setelah menghabiskan setiap waktunya dengan penuh
kegembiraan dengan mereka" Dari cara Ben menatap Erga dan Raka, Jana tahu dia lebih baik
mati daripada meninggalkan mereka lagi. Tapi kalau bukan itu, hal penting apa lagi yang perlu
dia bicarakan dengannya" Apa jangan-jangan Ben ingin mengabarkan bahwa dia punya pacar
atau lebih parah lagi, istri yang dia tinggalkan di Chicago"
SIAL! Kenapa ini tidak pernah terlintas di pikirannya" Topik ini bahkan tidak pernah muncul di
dalam semua percakapan mereka karena mereka terlalu fokus dengan urusan Raka dan Erga.
Selama ini dia berkesimpulan bahwa Ben single. Bagaimana dia bisa menyimpulkan ini" Dari
cara Ben mengejar-ngejarnya sampai termehek-mehek, that"s why. Tapi bukanlah hal aneh bagi
Ben untuk mendekati lebih dari satu perempuan sekaligus, mengingat sejarah dating-nya
sebelum mereka bertemu. Shit, shit, shit, jangan bilang dia sudah flirting dan make-out dengan
pacar apalagi suami orang selama beberapa minggu ini" Oh, dia tidak bisa dibiarkan
menggantung seperti ini. Dia perlu jawaban sekarang juga.
"Are you married?" Tanya Jana, tidak bisa menahan diri lagi.
"Whaaat?" Ben menatapnya heran.
"Are you married?" ulang Jana.
"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan ini ke aku?"
"Just answer the question, Ben."
"No, I"m not married, Jan. jesus, aku nggak tahu pandangan kamu tentang aku sebegitu
rendahnya sampe kamu mikir aku tipe laki-laki yang masih suka main perempuan meskipun
udah married," ucap Ben kesal.
Dia lalu bangun dari pangkuan Jana untuk berdiri, tapi Jana meraih lengannya. "Apa kamu punya
pacar di Chicago?" Mata Ben melebar dan dia menatapnya tidak percaya. Tapi Jana tetap keukeuh memegangi
lengannya sampai Ben menjawab, "Ya, aku punya pacar di Chicago. Ada dua. Satu rambut
pirang, satu lagi cokelat," lalu menarik lengannya dengan paksa dan berdiri.
Dua pacar sekaligus" Dia tidak tahu kenapa dia terkejut mendengar ini, tapi begitulah
kenyataannya. Untuk beberapa menit dia hanya bisa menatap Ben yang kini sedang berdiri cuek
di hadapannya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. Ya Tuhan,
bagaimana dia bisa sebodoh ini" Bagaimana setelah delapan tahun, Ben masih bisa
memperdayanya dengan mempermainkan emosinya seperti ini" Matanya mulai terasa panas dan
dia tahu sebentar lagi dia akan nangis. Satu isak tangis keburu keluar dari mulutnya sebelum dia
bisa menahannya dan dia langsung cabut lari menuju kamar mandi dan mengunci dirinya di sana.
*** What just happened?"!! Adalah hal pertama yang terlintas di kepala Ben ketika melihat Jana
ngibrit ke kamar mandi dengan tangan menutupi mulutnya. Dia pikir Jana sudah marah padanya,
oleh karena itu dia terkejut setengah mati ketika beberapa detik kemudian dia mendengar suara
tangisan yang tertahan, seakan-akan Jana tidak mau dia tahu bahwa dia sedang menangis.
Is she crying" What the hell"
Ben berjalan menuju pintu kamar mandi dan mengetuknya. "Jan?" panggilnya.
Tidak ada jawaban dari balik pintu selain suara tangis Jana yang kini semakin teredam, seakanakan dia sengaja menguburkan wajahnya pada handuk. Membayangkan Jana menangis seperti
ini karena sesuatu yang telah diperbuatnya, meskipun dia tidak yakin itu apa, membuat hatinya
remuk. "Jana, kamu kenapa nangis?"
Ada satu pekikan dan suara beberapa benda jatuh, diikuti langkah cepat sebelum Ben mendengar
suara air mengalir deras dari keran. Jana sepertinya berpikir dia bisa menyembunyikan suara
tangisnya di balik aliran air. Tapi bahkan di antara bunyi air, Ben masih bisa mendengar isak
tangisnya. Ben mencoba memutar gagang pintu, tapi Jana sudah menguncinya. Kejadian delapan
tahun di Eaton Hall terlintas di kepalanya, membawa sesuatu yang mirip seperti kepanikan ke
dalam hatinya. Dia mulai mengetuk pintu dengan lebih keras sementara memutar gagang pintu
berkali-kali. "Jana, tolong buka pintunya. I"m sorry, okay" Apa pun kesalahan aku sampe bikin kamu nangis,
aku minta maaf. Please, just open the door."
Sementara melakukan semua ini, otaknya berputar memikirkan alasan kenapa Jana menangis.
Satu-satunya penjelasan adalah bahwa Jana jealous ketika mendengarnya punya pacar. Setitik
harapan muncul dalam hatinya. Dia tahu Jana masih peduli padanya, well, tidak ada waktu yang
lebih baik daripada sekarang untuk mencari tahu seberapa dalam.
BAB 18 I"ll be your saint and I"ll be your sinner
I"ll be an actor or an acrobat
"Oke, kalo kamu nggak mau buka pintunya, can you at least talk to me?" Tanya Ben memohon
Jantungnya berdebar-debar, menunggu jawaban Jana. Kalo Jana masih menolak berbicara
dengannya, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
"O-oke. " Ben mendengar Jana mengucapkan kata itu dengan sedikit terbata-bata di antara
tanginya, dan dia bisa bernapas lagi.
"Kamu tahu kan aku Cuma bohong waktu bilang aku punya pacar di Chicago" Karena sumpah
mati aku nggak punya, Jan."
"Ke-kenapa kamu harus bohong, Ben?" Tanya Jana masih sesenggukan.
Because I"m a dumbass. Dia tidak tahu kenapa dia mengatakan punya dua pacar di Chicago,
padahal jelas-jelas tidak ada wanita lain di dalam pikirannya selain Jana. Dia bahkan tidak tahu
bagaimana percakapan mereka bisa berakhir ke situ. Satu detik dia sedang memikirkan cara
untuk berbicara dengan Jana tentang kemungkinan baginya mengajaknya nge-date. Detik
selanjutnya Jana sudah menanyakan apakah Ben sudah menikah. Dan ketika Jana menanyakan
apa dia punya pacar" He just lost it.
"I don"t know," ucap Ben akhirnya. Selang beberapa detik dia menambahkan, "Aku Cuma
pissed, I guess, karena kamu Tanya-tanya soal itu, padahal kamu tahu persis perasaan?"
Kata-katanya terpotong karena tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan Jana sudah berdiri di
hadapannya. Wajahnya masih sedikit merah habis menangis, dan ada sisa air mata pada bulu
matanya. Ben ingin memeluknya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali, tapi menahan diri.
"Aku minta maaf karena udah nanya-nanya tentang status kamu kayak begitu. Itu sama sekali
bukan urusan aku. Kamu bisa nge-date atau married dengan siapa aja yang kamu mau. Kita
emang punya hubungan karena keberadaan Erga dan Raka, tapi itu nggak berarti aku punya hak
apa-apa atas kamu." What the hell is she doing" Bahkan setelah menangis tersedu-sedu, wanita satu ini masih
menolak mengakui perasaannya terhadapnya. Oke, kalo Jana mau main genjat senjata, dia bisa
main genjat senjata. "Jadi kenapa kamu nangis?" tanyanya
Dan Ben menahan senyum kemenangan yang mulai muncul di sudut bibirnya ketika Jana hanya
bisa menatapnya dengan mulut ternganga, tidak bisa berkata-kata. "Mahu tahu teori aku tentang
kenapa kamu nangis?"
Jana tidak bereaksi dan Ben melanjutkan. "Kamu nangis karena jealous waktu denger aku punya
pacar. Dan satu-satunya penjelasan kenapa kamu merasa seperti itu adalah karena untuk pertama
kalinya kamu sadar kalo kamu masih ada rasa sama aku."
Ben melihat Jana sudah siap lari, membuat kata-kata yang ada di pikirannya meluncur keluar
tanpa bisa dikontrol lagi.
"I love you, Jan. always have. Always will. Do you seriously not know that" Gimana bisa kamu
pikir aku bisa ngelirik perempuan lain sementara kamu selalu ada di pikiran aku" Aku mau
nikahin kamu, Jan. dan itu bukan karena kita udah punya anak dan itu langkah selanjutnya yang
patut kita ambil. Aku mau nikahin kamu karena aku mau kamu, karena aku bener-bener cinta
sama kamu. Aku tahu kamu mungkin nggak siap mendengar kata-kata ini, tapi kamu perlu tahu
perasaan aku ke kamu."
Ben menutup monolognya dan menunggu reaksi Jana yang hanya bisa menatapnya dengan mata
melebar. Shock berat. Ben tidak menyalahkannya karena dia pada dasarnya sudah membuka
hatinya lebar-lebar, dengan begitu member Jana akses penuh untuk mencabik-cabiknya sampai
tidak berbentuk lagi kalau dia mau. Ben hanya berharap Jana tidak akan sesadis itu. Dia melihat
Jana mengambil satu langkah mendekatinya, kemudian satu langkah lagi. Dia hanya bisa
mengikuti gerakan Jana dengan matanya, tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali. Jana berdiri
ragu di hadapannya sebelum tanpa Ben sangka-sangka, menariknya ke dalam pelukannya.
Meskipun bingung akan tindakan Jana, Ben membalas pelukan itu sepenuh hati. Setelah
beberapa menit yang Ben tahu tidak cukup lama, Jana melepaskannya.
"Thank you." Ucap Jana sebelum meninggalkannya terbengong-bengong di dalam kamar
tidurnya. Yang terlintas di kepalanya adalah "That"s it?" dia sudah menumpahkan isi hatinya seperti itu
dan Jana hanya mengatakan "Thank you?" this is bullshit!!! Dia memang tidak mengharapkan
Jana berteriak gembira dan membalas kata cintanya, tapi setidak-tidak nya Jana bisa memberikan
reaksi lebih positif daripada dua kata itu.
*** Tiga hari kemudian, Jana masih mencoba memproses apa yang terjadi. Thank you" THANK
YOU" Itu saja yang bisa dia ucapkan ketika Ben mengatakan mencintainya dan ingin
menikahinya" Gimana mungkin dia punya gelar S1 kalau sebodoh ini" Tidak bisakah dia
mengatakan, "Aku juga cinta mati sama kamu, Ben" atau "Ya, aku mau nikah sama kamu, Ben."
Kenapa dia masih stuck di masa lalu, masih tidak bisa melupakan kesalahan Ben bertahun-tahun
lalu" Bukankah sudah tiba saatnya melupakan itu semua dan membuka lembaran baru dengan
Ben yang selama beberapa minggu ini sudah mencoba menembus kesalahannya"
Kalau saja dia berani memberi Ben kesempatan, dia mungkin sudah dalam proses merencanakan
pernikahan dengan laki-laki yang dicintainya, tapi yang ada, dia kini duduk di meja kantornya,
memikirkan betapa berantakan love-life-nya. Tapi betapa pun dia ingin member Ben kesempatan
kedua, dia tahu dia tidak bisa membiarkan Ben masuk lagi ke dalam hatinya. Karena apa
jaminannya bahwa Ben tidak akan mengalami episode freak-out-nya dan meninggalkannya lagi"
Dia tidak yakin bisa survive kalau itu terjadi. Ini bukan lagi hanya masalah cinta dan perasaan,
ini self-preservation. Bunyi intercom membuyarkan pikirannya. "Bu Jana, ada Erga di telepon line dua."
Mendengar ini Jana langsung waswas. Anak-anak tidak pernah meneleponnya di kantor. Jana
langsung mengangkat telepon dan menekan tombol untuk menyambungkan panggilan, Jeda
sedetik dia mendengar suara Erga. "Bunda?"
"Erga, apa kamu nggak pa-pa?"
"Aku nggak pa-pa, Bunda."
"Raka?" "Raka juga nggak pa-pa."
Jana mengembuskan napas lega. "Jadi kenapa kamu telepon Bunda, Sayang?"
"Bunda, hari ini boleh nggak aku sama Erga nggak ke rumah Mbah?"
"Apa kamu mau ke rumah Oom Ben?"
"Nggak, Bunda. Aku sama Erga mau langsung pulang ke rumah aja. Oom Ben bilang dia bisa
nemenin kami sampe Bunda pulang. Boleh, Bunda?"
Jana ingin berteriak "NGGAK BOLEEEHHH!!!" sudah cukup parah Ben berada di rumahnya
beberapa hari yang lalu dan masuk ke kamar tidurnya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang
akan dilakukan Ben kalau ditinggalkan sendiri tanpa pengawasannya. Tapi ketidaksetujuannya
pada ide ini bukan hanya karena itu. Semenjak dia ngibrit setelah Ben menumpahkan isi hatinya
beberapa hari yang lalu, dia berusaha sebisa mungkin menghindarinya. Dan meskipun Ben
memang tidak pernah menyinggung kejadian itu sama sekali, dia tahu dari tatapannya bahwa
Ben jelas-jelas sudah tersinggung dan sakit hati karena reaksi dinginnya. Selama ini dia memang
bisa menghindari Ben dengan selalu memastikan ada orang lain bersama mereka, entah itu Mami
dan Papi atau Mama dan Papa Ben, tapi dia tidak akan bisa melakukan itu kalau dia menyetujui
rencana Raka, yang memberi Ben kesempatan untuk memojokkannya kalau dia mau setelah
anak-anak pergi tidur.

Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi boleh nggak, Bunda?"
Desakan Raka membuatnya sadar bahwa dia masih menunggu jawaban darinya. Dia tahu bahwa
dengan Erga dan Raka sudah ada di rumah waktu dia pulang, maka itu akan menghemat
waktunya, dengan begitu untuk pertama kalinya selama tiga bulan ini dia mungkin bisa sampai
di rumah sebelum malam tiba. Dan anak-anak tidak akan terlalu lelah karena mereka tidak harus
travel dari sekolah ke rumah Ben, kemudian dari rumah Ben ke rumahnya.
"Oke," ucap Jana akhirnya. "Tapi bilang sama Oom Ben, kalian harus mampir ke kantor Bunda
untuk ngambil kunci rumah, oke?"
*** Ketika Jana sampai di rumah sore itu, dia menemukan rumahnya yang biasanya sepi kelihatan
hidup. Suara tawa Erga dan Raka serta aroma makanan yang membuatnya ngiler menyambutnya
ketika dia membuka pintu.
"Hellooo" Ada orang di rumah?"
Sedetik kemudian Raka muncul dari arah dapur sambil berlari dan berteriak, "Bundaaa!!"
Jana langsung berlutut untuk menyambut pelukan Raka. Setelah dia memberikan ciuman
beberapa kali pada pipinya, Jana melepaskannya untuk memeluk dan mencium Erga yang sudah
mendekatinya dengan langkah lebih tenang daripada Raka beberapa menit yang lalu.
"Gimana hari kalian?"
"Seru, Bunda," ucap Raka, yang nonstop menceritakan petualangan mereka dengan "Oom Ben"
hari ini. Jana tidak tahu bagaimana Raka bisa begitu antusias di ajak pergi ke supermarket oleh Ben,
karena biasanya anak-anak paling rewel kalau diajak pergi ke sana olehnya. Mungkin itu karena
dia tidak memperbolehkan mereka membeli setiap jajanan yang mereka mau, yang untuk anak
berumur tujuh tahun berarti isi seluruh supermarket.
"Ayo, Bunda ke dapur sekarang. Oom Ben lagi bikini" apa makanan yang Oom Ben lagi bikin,
Erga?" Tanya Raka. "Oh Melet," jawab Erga.
Ketika Jana sadar beberapa detik kemudian bahwa yang dimaksud Erga adalah omelette, alias
telur dadar, dia tertawa terbahak-bahak. Membuat wajah Erga memerah.
"Aduh, sori, Sayang. Bun-bunda bukan nge-ngetawain kamu. Hihihi" sumpah!!! Tapi kamu
lucu banget," ucap Jana di antara tawanya.
Pada saat itu Ben keluar dari dapur sambil membawa dua piring makan dengan serbet putih
disampirkan di bahu, membuatnya kelihatan menggemaskan setengah mati. Kemudian Ben
menebarkan senyum sumringahnya dan Jana tidak ingat alasan kenapa dia menghindarinya
selama beberapa hari ini. Ben betul-betul kelihatan nyaman menjadi bapak rumah tangga sejati
yang menyambut sang istri pulang kerja.
Wow, I can get used to this, ucap Jana dalam hati. Say What?""!!! Itu pikiran gila datang dari
mana coba" Slow down, Jana. Jangan mikirin yang nggak-nggak Cuma gara-gara kamu ngeliat
Ben dengan serbet di bahu. Stay cool.
"Hey you," ucap Ben dan meletakkan piring di atas meja sebelum mendekatinya dan
memberikan ciuman pada pipinya. "How"s your day?" tanyanya
Aww crap!!! Gimana dia bisa tetap "cool" kalau Ben bertingkah laku seperti dia betul-betul
peduli dengan harinya"
"It"s good," balas Jana dengan suara seperti tikus kejepit.
"You okay?" Tanya Ben dan menatapnya heran.
"Ya, good," jawab Jana cepat sambil pura-pura tersenyum.
Melihat Ben mengangkat alisnya tidak percaya, Jana buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Aku
denger kamu bikin omelette?"
"Yep. Aku juga bikin nasi goring. Mudah-mudahan kamu laper karena aku bikin banyak
benget." Sejujurnya Jana lebih memilih makan pasir daripada makan masakan Ben karena seingatnya Ben
sama sekali nggak bisa masak. Dia memiliki kecenderungan memasukkan apa saja ke dalam
masakanya, pas atau nggak. Tapi melihat keantusiasan pada wajah Ben, dia nggak tega.
"Laper banget," ucapnya dengan harapan dia nggak akan keracunan makanan setelah ini
*** Tiga jam kemudian Jana menemukan dirinya selonjoran di sofa dengan perut nyaris meledak.
Dia tidak pernah merasa sekenyang ini. Itu mungkin karena dia tidak pernah makan sebanyak ini.
Ketakutannya akan rasa makanan Ben tidak terbukti karena dia tidak pernah merasakan nasi
goring dan omelette seenak itu sepanjang hidupnya. Dan dia tidak mengatakan ini hanya karena
lapar, atau karena Ben yang memasaknya, tapi karena masakan itu betul-betul enak. Dia tidak
tahu bagaimana Ben bisa membuat makanan yang begitu membosankan seperti nasi goreng dan
telur dadar menjadi special, tapi dia tahu dia tidak akan keberatan kalau harus memakan menu itu
setiap hari. Dia menoleh ketika mendengar langkah mendekat. "Mereka udah tidur?" tanyanya.
Selesai makan malam, Ben memintanya untuk relaks dan memerintahkan Erga dan Raka
mencuci piring. Sebagai hadiah atas kerja keras mereka, Ben naik ke atas untuk membacakan
beberapa bab terakhir buku Harry Potter sebelum mereka tidur.
"Yeah," jawab Ben sambil tersenyum puas dan mengambil tempat duduk di sebelah Jana di sofa.
Kenyamanan yang mereka miliki selama beberapa jam ini perlahan-lahan menghilang,
membawa kembali ketegangan hubungan mereka, membuat Jana resah. Dia tahu dia tidak bisa
membiarkan keadaan ini berlarut-larut dan bahwa Ben berhak menerima kata maaf dan
penjelasan atas tindakannya yang kekanak-kanakan selama beberapa hari ini. Dan tidak ada
waktu yang lebih baik untuk melakukannya daripada sekarang.
Jana menarik napas dalam-dalam dan berkata, "I"m sorry."
Tatapan Ben yang tadinya terfokus pada TV langsung beralih padanya. Ekspresinya tidak
terbaca. Jana memutar tubuhnya untuk betul-betul mengahadap Ben dan Ben melakukan hal
yang sama. "Aku minta maaf karena udah bertingkah laku" bitchy selama beberapa hari ini. Kamu sama
sekali nggak berhak diperlakukan seperti itu. Terutama setelah kamu bilang?" Jana sedikit
tersedak, tidak bisa mengulangi kata-kata yang Ben ucapkan padanya. "Apa yang kamu bilang.
Aku minta maaf karena nggak bisa ngucapin kata-kata itu balik, Ben. Sejujurnya, aku nggak tahu
apa aku pernah bisa mengucapkannya lagi ke kamu," ucap Jana akhirnya.
Untuk mencintai Ben dalam hati dan mengucapkannya adalah dua hal berbeda. Jana melihat
mata Ben melebar, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, jadi dia melanjutkan.
"Nggak peduli berapa kali aku coba untuk ngelupain kejadian delapan tahun lalu, aku nggak
bisa. Hatiku masih sakit sampe sekarang. Dan aku tahu aku seharusnya nggak ngerasa seperti ini,
terutama karena selama beberapa minggu ini kamu awesome banget dengan Raka dan Erga.
Kamu udah nyoba sedaya upaya untuk nunjukin kalo kamu beda, dan aku hargai itu, more than
anything. Aku Cuma mau kamu tahu aku nggak akan pernah menghalangi kamu kalo kamu ma u
terus berhubungan dengan Erga dan Raka, tapi aku rasa hubungan kita nggak akan pernah bisa
lebih daripada teman."
Ben memutar tubuhnya kembali menghadap TV sebelum mengistirahatkan kedua sikunya di atas
lutut, lalu menunduk. Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa menit, wajah dan postur
tubuhnya kelihatan seperti orang yang sudah kalah berantem, meninggalkannya babak-belur
luar-dalam. Jana betul-betul nggak tega melihatnya seperti ini. Andaikan dia bisa menarik katakatanya kembali, tapi dia tahu kalau dia melakukan itu maka dia sudah bersikap tidak adil
terhadap dirinya dan juga Ben. Dia tidak mau membuat Ben mengharapkan sesuatu darinya yang
tidak bisa dia berikan. Ketika Jana berkedip, Ben sudah memutar tubuhnya menghadapnya kembali dan Jana menunggu
apa yang akan dikatakannya.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Aku ngerti kenapa kamu ngerasa seperti itu. Makasih karena
udah jujur sama aku. Makasih juga karena udah ngebolehin aku jadi bagian hidup Raka dan
Erga. Aku terima tawaran kamu untuk jadi teman," ucap Ben dengan nada tenang.
Dan Jana merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting di dalam hidupnya, tapi tidak
tahu apa. Dia masih memikirkan tentang ini ketika Ben bangun dari sofa untuk pamit. "Aku lebih
baik pulang. Udah malem, nggak enak sama tetangga kamu."
Jana hanya bia mengangguk dan mengikuti Ben ke pintu.
"Omong-omong, gimana menurut kamu tentang arrangement ini?" Tanya Ben
"Arrangement apa?"
"Aku bawa pulang anak-anak langsung ke sini daripada ke rumah aku atau mami kamu?"
"Um" It"s good."
Ben tersenyum. "Apa kamu oke kalo kita selingi kunjungan ke rumah mami kamu atau mama
aku dengan arrangement ini, then?"
"Oke." Ben kelihatan terkejut dengan jawabannya. "Oke?" tanyanya untuk mengonfirmasi.
"Oke." "Oke, kalo gitu," balas Ben sambil tersenyum puas. "Besok pagi mungkin kamu bisa kasih
pinjam kunci rumah supaya aku bisa bikin duplikatnya" Jadi aku nggak usah bergantung sama
kamu untuk masuk rumah, gimana?"
"Er" oke," ucap Jana, memahami logika Ben
"Excellent." Dan sebelum Jana bisa mengatakan apa-apa lagi, Ben sudah mencium pipinya dan masuk ke
dalam mobil. Detik selanjutnya dia sudah menghilang dari hadapannya, meninggalkan Jana
bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi"
*** Teman" TEMAN"! Teman, nenek moyang lo gundul! Setelah beberapa hari Ben masih tidak
percaya bahwa Jana sudah mengatakan dia hanya menginginkan mereka jadi teman. Dia lebih
tidak percaya lagi bahwa bukannya mengamuk dan memaksa Jana mengakui perasaannya
daripada kebohongan yang keluar dari mulutnya, dia justru menerima tawaran ini dengan tangan
terbuka. Dasar idiot! Dia nggak akan pernah bisa hanya berteman dengan Jana. Nggak dulu,
apalagi sekarang. Dia terlalu mencintainya untuk melepaskannya begitu saja. Pepatah yang
mengatakan "If you love someone, you gotta let them go" jelas-jelas di ucapkan oleh seorang
banci yang tidak pernah merasakan jatuh cinta.
Ben tahu Jana masih paranoid dia akan menyakitinya, sesuatu yang tidak bisa dia salahkan
mengingat apa yang sudah dilakukannya. Tapi tidak bisakah dia melihat bahwa Ben tidak akan
mengulangi kesalahan itu" Bahwa dia lebih baik mati daripada menyakitinya lagi" Ya, Jana
memang memperbolehkannya berhubungan dengan Raka dan Erga, sesuatu yang dia inginkan
lebih dari apa pun, tapi itu tidak cukup. Dia juga menginginkan Jana di dalam kehidupannya.
Dan ini bukan hanya karena Jana adalah wanita paling cantik, seksi dengan bentuk tubuh yang
membuatnya ngiler, tapi juga karena mereka berdua memiliki daya tarik luar biasa satu sama lain
dan itu bukan tentang daya tarik seksual saja, yang dia harus akui mereka miliki dengan empat
kartu As. Jana memang keras kepala dan teguh akan pendiriannya, membuat Ben sering ingin
mencekiknya, tapi begitu juga dirinya, dan dia yakin Jana membayangkan memancung kepala
Ben lebih dari sekali semenjak mereka bertemu. Tapi inilah yang membuatnya semakin
menginginkan Jana. Dia tidak mau pendamping hidup yang hanya akan menuruti semua
keinginannya tanpa memberikan input, yang tujuan hidupnya adalah memompa egonya sebagai
seorang laki-laki. Dia bisa mati bosan dengan kehidupan seperti ini. Tapi Jana" Seperti yang dia
ketahui beberapa minggu ini, tidak akan segan-segan mengemukakan pendapatnya dan memakimakinya kalau dia mencoba menginjak-injak haknya. Hidupnya tidak akan pernah membosankan
dengan Jana. Dia tidak pernah berada dalam posisi ini dan tidak tahu harus bagaimana. Hanya ada dua reaksi
perempuan padanya, mengejar-ngejar kayak stalker, atau membencinya setengah mati karena dia
nggak bisa commit. Dia tidak pernah hanya "Berteman" dengan kaum wanita. Tapi sepertinya
dia tidak ada pilihan. Kalau pertemanan yang Jana inginkan darinya, pertemananlah yang akan
dia berikan padanya. Dia akan menjadi teman yang sangat baik, bertanggung jawab, dan bisa
dipercaya hingga Jana tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Ben lagi.
BAB 19 Don"t be shy The night has made you drowsy and the pills have got you high
Beberapa hari setelah dia menolak Ben adalah hari-hari paling membingungkan sepanjang hidup
Jana. Ben mengikuti keinginannya untuk menjadi teman dengan bersikap sopan dan ramah, tapi
tetap menjaga jarak. Berdasarkan keinginan anak-anak, mereka tidak lagi menghabiskan waktu
di rumah Mami atau orangtua Ben sepulang sekolah, lebih memilih langsung pulang ke rumah.
Awalnya dia memang merasa agak aneh menemukan Ben di rumahnya setiap kali dia pulang
kerja, tapi lambat-laun, dia mulai terbiasa dengan itu.
Untuk memudahkan hidupnya, Ben selalu memastikan anak-anak sudah mengerjakan pe-er
sebelum memperbolehkan mereka main, sudah mandi sebelum dia pulang kerja, dan
memasakkan makan malam untuk mereka, jadi Jana tidak perlu memusingkan tentang itu.
Ben masih mencium pipinya setiap kali bertemu, tapi selalu sekilas saja. Seakan dia
melakukannya hanya karena kebiasaan, bukan karena mau. Dia masih menatapnya kalau
berbicara dengannya, tapi tatapannya itu kini terlihat kosong, tanpa emosi. Sejujurnya Ben
terlihat agak cuek terhadapnya. Dan Jana menemukan dirinya merindukan Ben yang dulu. Ben
yang bisa membuat celana dalamnya kebakaran hanya dengan tatapannya, yang akan
menciumnya seakan dia bisa mati kalau tidak melakukannya, yang tidak malu-malu
mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Dia tahu tidak seharusnya dia merasa seperti ini,
terutama setelah mengatakan kepada Ben bahwa inilah yang dia inginkan. Dia seharusnya
merasa lega karena Ben tidak lagi mengganggunya, dengan begitu mereka sama-sama bisa
move-on dengan kehidupan mereka.
Tapi bagaimana dia bisa move-on kalau harus bertemu Ben setiap hari" Ben-lah alasan dia belum
menikah sampai sekarang. Kenapa selama delapan tahun ini dia menggunakan anak-anaknya
sebagai alasan untuk nggak nge-date. Tanpa dia sadari, dia masih mengharapkan Ben. Jadi
kenapa ketika Ben mengatakan mencintainya, dia justru lari" Oh God, I"m a mess. Mungkin ada
baiknya dia pergi menemui psikolog untuk menangani masalah emosinya yang berantakan ini.
Atau, untuk penyelesaian cepat dan tanpa biaya, dia bia menyingkirkan penyebab utama
kebingungannya ini. Dia harus menyingkirkan Ben dari hidupnya.
*** Ben tidak tahu kesalahan apa yang dia sudah buat terhadap Jana karena selama beberapa hari ini
wanita itu memperlakukannya seperti dia mengidap virus mematikan yang bisa menyebar hanya
dengan berbagi udara dengannya. Dia sudah memenuhi keinginannya untuk menjadi teman. Dia
sudah mengontrol sikap dank at-katnya kalau ada di sekelilingnya, agar tidak dituduh mencoba
menggodanya. Apa lagi yang dia inginkan darinya"
Hari pertama dia melihat Jana menghindar, dia pikir Jana hanya lelah saja, makanya dia langsung
naik ke kamar setelah makan malam dan tidak turun-turun lagi sampai waktunya Ben pulang.
Ketika dia mencoba mencium pipinya, Jana mengelak dengan mengatakan dia sudah pakai
pelembab wajah. Keesokkan harinya ketika Ben baru saja akan menjemput anak-anak dari
sekolah, dia menerima SMS dari Jana yang mengatakan hari ini Jana yang akan menjemput
anak-anak dan membawa mereka ke kantor bersamanya. Hari selanjutnya Jana berkata Ben
sebaiknya membawa Erga dan Raka ke rumah Mama dengan alasan anak-anak kangen dengan
Mama dan Jana akan menjemput mereka dari sana. Satu hari sesudah itu Jana meminta Ben
mengantarkan anak-anak ke rumah Maminya.
Ketika sekali lagi Jana tidak menyetujui rencananya untuk membawa anak-anak langsung ke
rumah, dia harus angkat bicara.
"Jan, anak-anak lebih seneng kalo bisa langsung pulang ke rumah. Mereka terlalu capek kalo
harus travel ke sana kemari. Lagi pula kalo Mami kamu atau Mama aku mau ketemu anak-anak,
mereka bisa ketemu akhir minggu," Ucap Ben pada ponselnya.
"They"ll be fine, Ben. Kan Travel-nya nggak setiap hari. Lagi pula ada bagusnya Erga dan Raka
hangout sama mbah-mbah mereka juga daripada sama kamu melulu."
Tunggu sebentar, apa Jana sudah menuduhnya memonopoli anak-anak" That"s bullshit. Apa dia
salah kalau ingin menghabiskan waktu dengan anak-anaknya" Lagi pula dia harus mengejar
tujuh tahun waktu hangout yang sudah dirampas darinya. Ben harus mengambil beberapa napas
dalam sebelum berkata-kata lagi. Dia menolak bertengkar dengan Jana.
"Tapi kamu capek kalo harus jemput mereka setelah pulang kerja," ucapnya setenang mungkin.
"Oh, aku sih nggak pa-pa. seperti yang aku bilang, kan nggak setiap hari."
Nada santai Jana membuat Ben kesal. Dia tahu ada alasan lain kenapa Jana bersikap seperti ini,
dan dia mau tahu itu apa.
"Jana, what"s going on?"
"Nothing is going on."
Jana menjawab pertanyaan ini terlalu cepat, membuat Ben semakin curiga. "Jangan bohong sama
aku. Udah beberapa hari ini kamu mengelak dari aku dan jangan kamu pikir aku nggak tahu itu."
Ben mendengar Jana terkesiap sebelum berkata dengan nada melengking, "Siapa bilang aku
mengelak?" "Jadi kenapa kamu nggak pernah mau aku cium lagi?"
"Kan aku udah bilang, aku udah pake pelembab?"
"Don"t you dare lie to me!!!" geram Ben memotong penjelasan Jana.
"Aku nggak bohong!" teriak Jana.
Untuk beberpa menit saluran telepon sunyi. Masing-masing mencoba mengontrol kemarahan
mereka. Ketika Ben yakin dia bisa berbicara lagi tanpa meninggikan suara, dia berkata, "Jan,
bantu aku untuk ngertiin apa yang kamu mau dari aku. Kamu bilang mau kita jadi teman dan
meskipun aku nggak setuju sama sekali dengan ini, aku turutin kemauan kamu. Aku udah
memperlakukan kamu sebagai teman."
"Teman nggak perlu cium pipi setiap kali ketemu, Ben."
That"s it!!! Perempuan satu ini sudah membuatnya marah. Tidakkah dia tahu betapa tersiksanya
dia hanya bisa mencium pipinya padahal yang di inginkannya adalah untuk pelan-pelan
menanggalkan setiap pakaian yang dikenakannya sebelum menggodanya dengan sentuhan
tangan, bibir, dan lidahnya sampai seluruh tubuhnya menggeletar dan dia memanggil-manggil
namanya. Dan baru setelah dia tahu tubuh Jana bisa menerimanya tanpa menyakitinya, dia akan
menenggelamkan dirinya di sana dan tidak akan keluar-keluar lagi.
Dia ingin menjadi orang yang bisa melihat wajah Jana ketika dia tertidur nyenyak kapan pun dia
mau karena mereka tidur di satu tempat tidur. Dia ingin melakukan hal-hal kecil yang tidak di
anggap penting oleh orang-orang, tapi penting baginya, seperti menggosok gigi sama-sama,
mandi sama-sama, bahkan memasangkan ritsleting bajunya. Intinya dia ingin melakukan semua
hal dengan Jana. Kalau mengejarnya habis-habisan dan membiarkannya sendiri tidak berfungsi,
hanya ada satu cara lagi yang dia tahu bisa melelehkan wanita.
"Apa kamu lebih memilih aku dorong kamu ke dinding dan mencium kamu sampe kamu nggak
inget nama kamu sendiri?" Tanya Ben.
Dia mendengar Jana menarik napas terkejut dan melanjutkan, "Atau lebih baik lagi, aku akan
mulai dari paha sebelum pelan-pelan naik ke atas. Aku akan menghabiskan berjam-jam pada
payudara kamu, dan aku pastikan kamu nggak akan protes."
"Stop it," Jana menggeram. Atau setidak tidaknya itulah yang Ben pikir Jana coba lakukan
karena yang dia dengar hanyalah desahan.
"Aku akan menyembah tubuh kamu, Jana, terutama di bagian?"


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beeennn!!!" meskipun Ben merasa turn-on setengah mati membayangkan dirinya melakukan
apa yang baru saja dikatakannya kepada Jana, tapi dia tidak bisa menghentikan dirinya dari
tertawa mendengar nada histeris Jana.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya, Jana. All you have to do ask. Kamu tahu kan aku akan
selalu available untuk kamu."
"Well, aku mau kamu available untuk nganter Erga dan Raka ke rumah Mami hari ini. Can you
do that?" "Yes." "Good," tandas Jana dan memutuskan sambungan telepon.
Dan Ben tidak bisa berhenti tertawa terbahak-bahak. Menertawakan kehidupannya yang merana
karena cinta ini. Love sucks. Being in love is even suckier. Jadi kenapa orang-orang tetap
melakukannya" Karena kita semua suckers.
*** Beberapa hari kemudian Ben memasuki rumah Jana dan mendapati Erga dan Raka sudah
menunggunya untuk di antar ke sekolah, tapi lain dari biasanya, wajah mereka sedikit sendu.
Lalu dia sadar Jana tidak ada bersama mereka, "Bunda ke mana?" tanyanya.
"Ada di atas, Oom. Lagi sakit," jawab Erga muram.
Ben langsung mengerutkan dahi. Bukan karena dia tidak menyangka Jana bisa sakit dengan
jadwalnya yang padat, dia justru heran bagaimana Jana masih sehat-sehat saja tapi juga karena
Jana tidak menyinggung ini sama sekali waktu dia mengirimkan SMS tadi malam,
mengonfirmasikan jadwal jemputannya. Kemarin, atas permintaan Jana, dia membawa Erga dan
Raka ke rumah mami Jana dan meninggalkan mereka di sana untuk menghabiskan waktu dengan
mbah mereka. Oleh karena itu dia tidak melihat Jana semenjak kemarin pagi. Dia pikir setelah
percakapan mereka tentang menjadi teman, Jana akan merasa cukup nyaman untuk meminta
bantuannya kalau memerlukannya. Sepertinya dia marah besar akan aksi menggoda Ben
beberapa hari yang lalu, karena meneleponnya untuk mengatakan dia sakit saja, dia tidak sudi.
"Apa Bunda udah ke dokter?"
Erga dan Raka menggeleng. "Bunda bilang Cuma kecapekan dan perlu istirahat aja," jelas Erga,
tapi dari wajah khawatirnya Ben tahu sakit Jana lebih serius dari itu.
Ben ragu sesaat. Apa dia sempat lari ke atas untuk ngecek keadaan Jana" Melihat waktu yang
sudah sangat mepet akhirnya dia memutuskan untuk mengantar Erga dan Raka dulu kesekolah
sebelum kembali untuk melakukan itu. Buru-buru dia menggiring Erga dan Raka ke mobil, lalu
mengunci pintu di belakangnya.
*** Kurang dari dua jam kemudian Ben kembali berada di rumah Jana. Rumah yang biasanya terangbenderang dan berudara segar kelihatan gelap dan pengap karena tirai dan jendela masih belum
dibuka. Ben buru-buru membukanya, lalu menuju lantai atas, ke kamar Jana. Pintu kamar dalam
keadaan setengah tertutup. Sejenak dia mempertimbangkan apakah dia perlu mengetuk pintu
atau langsung masuk saja. Akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk dan menunggu sesaat.
Ketika tidak mendengar gerakan sama sekali dari dalam kamar, dia mendorong pintu dan
memasukinya. Langkahnya terhenti ketika dia menemukan Jana terbaring menyampingnya, setengah ditutupi
selimut. Dan meskipun dia kelihatan tertidur karena matanya tertutup, tapi Ben bisa melihat ada
kerutan pada keningnya, seakan dia sedang berpikir wajahnya yang biasanya cerah kelihatan
pucat dan ada beberapa helai rambut yang lembap oleh keringat menempel pada pelipisnya. Dia
kelihatan begitu kecil dan lemah terbaring sakit seperti ini. His Jana, yang selalu bersinar terang
bagai matahari, kininterlihat redup tidak bermaya. Ben melarikan matanya pada beberapa botol,
obat di atas nakas di samping tempat tidur dan gelas dan botol minuman yang sudah kosong.
Seperti dugaannya, Jana ternyata lebih sakit daripada yang dia mau akui.
"Jan?" panggil Ben.
Tidak ada jawaban. Perlahan-lahan Ben melangkah mendekati tempat tidur dan menyentuh bahu
Jana. Dia bisa merasakan suhu tubuh Jana yang panas, bahkan melalui selimut. Jana jelas-jelas
demam cukup tinggi. Jesus, kenapa dia tidak meneleponnya dan memintanya membawanya ke
dokter?"!!!! "Jan," panggilnya lagi.
Kali ini Jana bereaksi dengan perlahan-lahan membuka matanya yang sedikit tidak focus karena
panas tubuhnya terlalu tinggi. Ketika dia mengenali Ben, matanya langsung melebar.
"Ben?" "Hey, abby," ucap Ben
"What are you doing here?" Tanya Jana
"Erga bilang kamu sakit," jelasnya.
Jana menggeram. "You shouldn"t be here. Aku nggak mau kamu ngeliat aku kayak begini. You
should go, Ben." Yeah like that ever gonna happen. Perempuan ini sudah gila kalau berpikir dia akan
meninggalkannya. Wanita yang dicintainya dengan sepenuh hatinya meskipun dia sepertinya
tidak merasakan hal yang sama. Tergeletak sakit seperti ini tanpa melakukan apa-apa.
"Not happening, Babe. Aku nggak akan ke mana-mana sampe aku pastiin kamu baik-baik aja,
terserah kamu mau atau nggak. Now, just shut it, okay?"
Jana menutup matanya dan mengerang. Otomatis Ben langsung duduk di atas tempat tidur untuk
mengusap punggungnya. "Bilang ke aku sakitnya di mana."
Jana menelan ludah berkali-kali sebelum menjawab, "Perut sakit. Kepala sakit. Badan panas."
"Mau ke dokter?"
Jana membuka mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu, sebelum menutupnya kembali,
seakan usaha untuk berkata-kata telah menguras semua energinya. Akhirnya dia hanya
menggerakkan kepalanya sedikit sebagai tanda "Tidak".
Ben betul-betul ingin mendesak agar Jana pergi ke dokter, tapi dia nggak tega berdebat
dengannya sekarang. Dia melirik botol-botol obat di atas nakas. Ada Aspirin, obat untuk sakit
maag, dan obat penurun demam. Oke, biarlah kalau Jana memang ingin berobat sendiri sekarang
ini , tapi kalau dalam beberapa jam lagi dia masih tidak membaik, Ben akan membawanya ke
rumah sakit. Untuk sementara waktu yang dia perlu lakukan adalah mengambil makanan untuk
Jana supaya dia bisa minum obatnya.
"I"ll be right back, okay?"
Reaksi Jana hanyalah satu anggukan kecil.
*** Sejam kemudian Ben kembali ke kamar Jana dengan bubur, segelas teh hangat manis, dan
segelas air putih. Dia membutuhkan beberapa menit untuk mencari segala sesuatu di dapur Jana
dan harus menelepon Eva untuk menanyakan bagaimana caranya membuat bubur. Tapi dasar
Eva yang seumur hidupnya nggak pernah bisa masak kecuali bikin oatmeal cookies, justru
meminta pembantunya untuk memberikan instruksi itu kepadanya. Dia hanya berharap bubur ini
sesuai dengan perut Jana.
Dia meletakkan nampan di atas nakas sebelum membangunkan Jana. "Jan, kamu bisa bangun"
Kamu harus makan supaya bisa minum obat. Ini aku udah bikinin bubur," ucap Ben pelan.
Jana membuka matanya dan langsung meringis ketika mencoba menarik tubuhnya untuk duduk.
Melihat ini Ben langsung membantunya dengan menumpukkan bantal di belakangnya. Dia lalu
duduk di samping Jana dan sedikit-sedikit mulai menyuapi bubur untuknya. Dia tidak pernah
menyangka bisa menjadi seorang suster, tapi dia mendapati dirinya semakin menyukai peran ini
setiap kali Jana membuka mulut untuk menerima suapannya. Sesuatu yang mirip dengan rasa
bangga karena Jana bisa mempercayainya untuk mengurusnya meremas hatinya. Setelah enam
suapan, Jana menggelengkan kepala. Dia meminta Jana meminum teh hangat manis sampai habis
sebelum memberinya obat demam.
"Thank you," ucap Jana.
Ben tersenyum dan berkata, "Anytime, babe."
Setelah memastikan Jana terbaring dengan nyaman, Ben meninggalkannya untuk membawa
peralatan makan kotor kembali ke dapur. Melihat keadaan dapur yang sudah mirip kapal pecah
setelah aksi memasaknya, dia memutuskan membersihkannya.
*** Puas dengan dapur yang sudah mengilat kembali Ben melirik jam tangannya. Melihat bahwa
hampir dua jam sudah berlalu, dia memutuskan untuk memeriksa Jana lagi. Dia menemukan
Jana sedang duduk di atas tempat tidur dengan kaki menyentuh lantai, seakan sedang mencoba
bangun. "Jan, kamu mau ke mana?"
"Aku perlu ke toilet. Tapi nggak bisa bangun," ucapnya.
"Mau aku bantu?"
Wajah Jana sedikit memerah sebelum dia mengangguk. Ben menunduk dan meminta Jana
melingkarkan lengannya pada lehernya sebelum menggendongnya. Jana sedikit mengerang
sebelum mengistirahatkan kepalanya pada bahu Ben. Dia bisa merasakan suhu tubuh Jana mulai
menurun. Ben mendudukkan Jana di atas toilet sebelum bertanya, "Kamu bisa sendiri apa perlu bantuan
aku?" "Bisa sendiri." Ucap Jana.
"Oke. Aku tunggu di luar. Call me when you"re done, I"ll take you back to bed."
Ben lalu meninggalkan Jana sendiri. Melihat tempat tidur Jana yang berantakan, dia langsung
bergegas membereskannya. Dia baru setengah jalan ketika mendengar bunyi keran yang disusul
bunyi shower yang di hidupkan. What the.. panik, Ben langsung menerobos pintu kamar mandi
tanpa mengetuknya terlebih dahulu dan menemukan Jana sedang duduk naked dan menggigil di
bawah pancuran air. Tidak ada uap sama sekali dari pancuran itu, yang berarti itu air dingin.
"Jana, what are you doing?" teriak Ben yang langsung mematikan shower.
Ben bertanya-tanya apakah Jana sudah "High" karena kebanyakan minum obat, membuatnya
melakukan hal gila seperti ini. Apa orang bisa "High" hanya dengan dua tablet obat demam" I
don"t know, memangnya kamu pikir aku dokter apa" Ben mengomeli dirinya sendiri. Geez,
jangankan jadi dokter, mata pelajaran kimia saja membuatnya muntah darah.
"Ja-jangan dimatiin. A-aku mau mandi," ucap Jana dengan gigi bergemertak.
Ben tidak menghiraukannya dan melihat sekelilingnya, mencari handuk untuk menutupi tubuh
Jana. Bukan karena dia malu melihat Jana naked, tapi karena dia tidak mau Jana kedinginan.
Ketika menemukan handuk di atas toilet dia langsung menyambarnya dan buru-buru
membungkus tubuh Jana yang masih gemetaran.
"Baby, suhu tubuh kamu masih terlalu panas untuk mandi. Gimana kalo dilap aja?"
"Pa-panasku udah turun. Badan leng-lengket. Ng-nggak bisa tidur. Please, Ben."
Ben ragu sesaat. Apa aman bagi Jana untuk mandi" Gimana kalau tiba-tiba dia kejang karena itu.
Tapi semakin dia berdebat dengan dirinya seperti ini, semakin lama Jana duduk di lantai shower
yang dingin. "Oke, kamu bisa mandi, tapi pake air hangat ya?"
Jana hanya mengangguk. Ben mengangkat tubuh Jana dan mendudukkannya di atas toilet
sementara dia mengatur suhu air shower. Setelah puas bahwa dia mendapatkan suhu air yang
pas, dia membantu Jana menanggalkan handuk yang menyelimutinya dan mendudukkannya di
bawah pancuran air. Otomatis bajunya langsung basah karena ini, tapi Ben tidak peduli. Ben
menurunkan botol sampo dan sabun dari tempatnya dan meletakkannya di lantai dekat Jana.
Melihat Jana hanya diam saja, Ben berkata, "Apa kamu perlu bantuan?"
Sesuatu yang mirip kepanikan dan keraguan terlintas sekejap di mata Jana, sebelum dia
mengangguk. Ben langsung berlutut di hadapan Jana dan mulai mencuci rambutnya, setelah itu
baru tubuhnya. Jana tidak protes sama sekali selama Ben melakukan ini semua. Ketika dia
menyabuni tubuh Jana, terlintas di pikirannya bahwa dia sudah melakukan sexual harassment
kepada Jana dengan melihatnya naked dan menyentuhnya ketika Jana terlalu lemah untuk
mengatakan "Tidak". Mungkin sebaiknya dia menghentikan apa yang dia lakukan sekarang dan
menelepon mami Jana untuk memintanya menggantikannya. Tapi dia tahu betapa bodohnya ide
ini. Mencoba membuat dirinya merasa lebih baik, Ben berkata dalam hati, "Jana membutuhkan
pertolongannya dan dia sedang memberikannya, itu saja."
Lima menit kemudian Jana sudah bersih dan Ben menghanduki seluruh tubuhnya hingga kering.
Dia lalu meminta Jana menunggu sebentar supaya dia bisa mengambilkan pakaian untuknya.
Ben membuka pintu lemari Jana dan mengambil kaus dan celana dalam pertama yang
ditemukannya sebelum kembali ke kamar mandi dan memberikan pakaian itu kepada Jana. Dia
melihat Jana sedang menunduk sambil menutup mata. Dia kelihatan siap jungkir-balik dari
tempat duduknya di atas toilet. Sadar Jana kemungkinan terlalu lemah untuk memakai pakaian
sendiri, Ben membantunya.
Setelah Jana berpakaian, Ben betanya, "You feel better?"
Jana hanya mengangguk. Ben baru saja akan meninggalkannya ketika dia melihat air mata keluar
dari sudut mata Jana. "Baby, why are you crying?"
"Aku nggak tahu kenapa kamu baik banget sama aku. Aku udah nyebelin banget sama kamu
beberapa hari ini, tapi kamu malah di sini ngurusin aku sakit. Kenapa kamu masih di sini, Ben?"
Ben berlutut di hadapan Jana yang menatapnya dengan tatapan sedih dan tidak percaya. Dia
membelai rambut Jana yang masih agak basah, menarik satu untaian ke belakang telinganya.
"Karena kamu sakit dan perlu bantuan aku," ucap Ben akhirnya dan buru-buru bangun sebelum
dia melakukan sesuatu yang bodoh dengan mengatakan apa yang sebetulnya ada di kepalanya.
Ben meninggalkan Jana untuk menyelesaikan membereskan tempat tidur. Setelah tempat
tidurnya rapi kembali, Ben kembali ke kamar mandi untuk menggendong Jana ke tempat tidur.
Jana hanya sempat menggumamkan kata terima kasihnya sebelum tewas kembali.
BAB 20 You told me not to worry Then I told you where to sleep tonight
I wanted to be with you And you wanted me to come around
Jana tidak tahu berapa jam sudah berlalu ketika dia terbangun. Dia hanya tahu kepalanya sudah
tidak pusing lagi. Perlahan-lahan dia mencoba mendorong tubuhnya, yang masih terasa agak
lemas, agar bisa duduk. Dan untuk beberapa menit, itu saja yang bisa dia lakukan. Duduk dan
mencoba tidak bernapas terlalu dalam, kalau-kalau pusing kepalanya kembali lagi. Dia tidak tahu
kenapa dia sakit seperti ini. Sepanjang hari kemarin dia merasa baik-baik saja, dia masih merasa
oke ketika menjemput anak-anak dari rumah Mami, tapi kemudian dia sampai rumah dan
kepalanya mulai terasa agak pusing. Dia tidak menghiraukannya karena berpikir itu hanya
pusing biasa. Tapi tadi pagi dia bahkan nggak bisa mengangkat kepalanya dari atas bantal.
Samar-samar dia ingat beberapa kali Ben memintanya makan bubur sebelum menyodorkan obat
padanya. Dia juga ingat melihat Erga dan Raka di kamarnya. Dia melirik ke arah jendela untuk
mengukur waktu, tapi mendapati seseorang sudah menutup tirai jendela. Kamarnya kini juga
diterangi sinar lampu kekuningan dari nakas sebelah kanan. Jana memicingkan matanya untuk
melihat jam dinding dan menemukan waktu sudah menunjukkan pukul 22.15. berpikir dia sudah
salah lihat, dia meraih jam tangan di atas nakas dan waktu menunjukkan saat yang sama. Jam
sepuluh" Malam atau pagi" Perlahan-lahan dia berjalan menuju jendela dan menyingkapkan
tirainya, menemukan langit di luar gelap tanpa bintang.
Malam. Whoa" sudah berapa lama dia tidur" Siapa yang mengurus anak-anak sementara dia
tidur" Dimanakah mereka sekarang" Sambil sedikit meringis dia bergerak ke pintu kamar yang
setengah terbuka, menuju kamar anak-anak. Dia mendorong pintu kamar anak-anak dan melihat
pemandangan teraneh yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya. Membutuhkannya beberapa
menit untuk menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan tenda yang terbuat dari sprai. Jana
tidak tahu bagaimana tenda itu bisa berdiri karena dia tidak melihat sebatang pasak pun untuk
menyangganya. Tapi harus dia akui, ini adalah tenda paling kreatif dan cool yang pernah dia
lihat. Lain dengan kamarnya, kamar anak-anak disinari lampu Natal yang merambat pada langit-langit
kamar, membuatnya terlihat seperti bintang di langit pada waktu malam. Lampu itu memberikan
cukup sinar pada mulut tenda yang terbuka sehingga dia bisa melihat dengan jelas tubuh Ben di
antara Erga dan Raka. Ketiga-tiganya sedang tidur lelap. Tangan Erga dan Raka memeluk tubuh
Ben erat dan kedua tangan Ben memeluk tubuh anak-anaknya dengan tidak kalah eratnya.
Bahkan dalam tidur Ben masih mampu terlihat posesif dan protektif. Jana yakin dia akan
membuat siapa pun yang cukup bodoh mencoba mengambil anak-anak darinya babak-belur
dalam hitungan detik. Suatu keinginan untuk bergabung tidur bersama mereka menyerangnya, membuatnya mundur
selangkah dan menyandarkan kepalanya pada kusen pintu. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia
tidur dengan anak-anak. Mungkin ketika mereka berumur tiga tahun dan mengalami krisis "Ada
monster di dalam lemari". Atau mungkin waktu Raka terkena cacar dan menularkannya kepada
Erga sekitar dua tahun yang lalu. Dia tidak pernah membolehkan anak-anak tidur dengannya,
tidak peduli mereka takut atau sakit, semenjak mereka menginjak umur empat tahun dengan
alasan mereka harus belajar mandiri, dimulai dengan tidur sendiri.
Jadi kenapa dia tiba-tiba menginginkan ini" Apa karena Ben tidur bersama mereka dan dia tidak"
Bahwa dia hanya jealous saja atas kedekatan anak-anak dengan Ben" Semakin Jana mencoba
memahami keinginannya, semakin takut dia dibuatnya. Karena dia tahu alasan utama dia mau
tidur dengan anak-anak adalah karena Ben. Dia ingin tidur dengan Ben, No, no, no" itu salah.
Kata "dengan" mengimplikasikan tidur dengan tanda kutip. Sesuatu yang tidak dia inginkan
sama sekali. Oke, itu tidak benar. Dia memang mau tidur dengan Ben, tapi tidak sekarang. Yang
dia inginkan sekarang adalah tidur "Disebelah" Ben.
Untuk mendengarkan suara napasnya yang perlahan-lahan melambat dan teratur ketika dia sudah
tertidur. Untuk melihat wajahnya yang bersih dari kerutan kekhawatiran, dan untuk mengambil
kesempatan menyentuhnya dengan bebas ketika dia tidak sadar diri dan tidak bisa menolak. Oh,
God, dia terdengar seperti seorang stalker. Jana menyalahkan semua ini pada jumlah obat yang
dia minum hari ini, yang sudah membuatnya memikirkan yang tidak-tidak. Buru-buru dia keluar
dari kamar itu dan menutup pintu sebelum Ben terbangun dan menemukannya sedang
menatapnya dengan mupeng.
Suara perutnya menandakan minta diisi. Untuk pertama kali semenjak tadi pagi, dia merasa
lapar. Kalori dari beberapa suap bubur buatan Ben yang bisa dia telan sudah lama terbakar. Dia
masih tidak percaya laki-laki itu sudah mengurusnya dengan sangat telaten sepanjang hari ini
tanpa sekali pun kelihatan tidak sabaran menghadapinya. Ben bahkan sudah memanggilnya
"baby" dan "babe" beberapa kali. Tentunya dia lebih baik mati daripada membiarkan Ben tahu
bahwa diam-diam dia menyukai panggilan itu.
*** Ben tidak tahu apa yang membangunkannya, tapi sebelum dia mencapai kesadaran penuh, dia
ingat akan Jana dan matanya langsung terbuka lebar. Dia melihat Erga dan Raka masih tertidur
di sampingnya dan dengan sangat berhati-hati dia mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka.
Erga hanya membalik badannya sebelum tertidur kembali, sedangkan Raka tidak bangun sama
sekali. Tidak bisa menahan diri melihat betapa menggemaskannya anak-anaknya kalau sedang
tidur, dia memberikan ciuman pada kepala mereka.
"I love you," bisiknya pada keduanya.
Setelah menutup pintu di belakangnya, Ben segera menuju kamar Jana. Dia melirik jam tangan


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menemukannya sudah menunjukkan pukul 23.00. dia tidak percaya sudah tidur bersama
anak-anak selama hampir tiga jam, padahal dia hanya berencana menemani mereka sampai
mereka tertidur. Tadi siang sebelum menjemput anak-anak dan menemukan Jana masih tewas di
tempat tidur setelah mandi, dia memutuskan mengambil beberapa helai pakaian dari rumah
untuk menginap di rumah Jana mala mini. Dia tahu keputusannya menginap mungkin akan
menimbulkan sedikit gossip di antara tetangga Jana, tapi dia tidak peduli. Yang dia tahu adalah
bahwa Jana tidak akan bisa mengurus anak-anak kalau dia bahkan tidak bisa bangun dari tempat
tidur. Ben mendorong pintu kamar Jana dan harus mengedipkan matanya beberapa kali ketika melihat
tempat tidur kosong. Matanya langsung beralih ke pintu kamar mandi yang terbuka. Lho kok"
Ke mana perginya Jana" Dia memutar tubuhnya dan melangkah menuju tangga. Di lantai dasar,
ruang TV masih gelap seperti ketika dia tinggalkan beberapa jam yang lalu. Dia langsung
menoleh kea rah dapur yang lampunya dibiarkan menyala ketika dia menangkap gerakan pada
sudut matanya. "Jan?" panggilnya.
Dia mendengar suara Jana, meskipun sedikit parau memanggil namanya. Buru-buru dia masuk
ke dapur dan menemukan Jana duduk di salah satu kursi bar yang mengitari sebuah meja di
tengah-tengah dapur dengan semangkuk makanan yang masih panas di hadapannya. Ben melihat
bungkus mi instan yang sudah kosong tergeletak di samping kompor.
"How do you feel?" tanyanya.
"A lot better," jawab Jana sambil melahap mi instannya dengan agak ganas.
"Laper?" Tanya Ben lagi.
"Banget," jawab Jana dengan mulut penuh.
Dan Ben tidak bisa menahan dirinya tersenyum lebar. Beberapa jam yang lalu Jana kelihatan
sudah mau mati saking pucatnya, tapi sekarang, wajahnya sudah jauh lebih berwarna dan
matanya bahkan sedikit berbinar. Suatu rasa bangga menyusup ke dalam hatinya ketika
menyadari bahwa dia sudah berperan untuk membuat Jana merasa lebih baik.
"Jangan berdiri saja di situ sambil ngelihat aku kayak orang minta makan, Ben."
Kata-kata Jana membuatnya sadar bahwa dia sudah ngelihatin Jana selama beberapa menit tanpa
berkedip. Buru-buru dia mengedipkan matanya dan berjalan menuju Jana.
"Kamu mau?" Tanya Jana sambil menunjuk mangkuk dengan sumpitnya.
Ben menggeleng dan mendudukkan dirinya di kursi bar yang berhadapan dengan Jana. "Kamu
bangun jam berapa tadi?" tanyanya.
"Sekitar sejam yang lalu."
"Kenapa nggak bangunin aku?"
"Aku nggak mau ganggu. Kamu kelihatan ngantuk banget."
Ben menutup matanya dan memijat kelopak matanya untuk mengusir kantuk yang masih tersisa.
"Sori. Aku mestinya jagain kamu, tapi malah ketiduran."
Ketika membuka matanya lagi, dia melihat sumpit yang sedang dalam perjalanan menuju mulut
Jana tergantung di udara. Jana sedang menatapnya dengan mulut ternganga sebelum perlahanlahan menurunkan sempit yang penuh dengan mi itu. Untuk seperempat detik dia kelihatan
sangat tidak nyaman. Damn!! Sumpah Ben dalam hati. Jana hanya mau jadi teman, Ben.
TEMAN. Ingat itu! "About that" makasih ya udah ngurusin aku hari ini. Aku tahu itu nggak ada dalam rencana
kamu hari ini. Dan aku minta maaf karena bikin kamu harus jagain anak-anak seharian penuh,"
ucap Jana. "Don"t worry about it. Sudah jadi tugas aku sebagai orangtua untuk ngurus anak-anak. Lagi pula
Erga dan Raka gampang diurusnya," jelas Ben, sengaja memfokuskan jawabannya pada anakanak agar tidak membuat Jana tambah tidak nyaman.
Usahanya sepertinya berhasil karena Jana mengangguk terima kasih sambil tersenyum sebelum
kembali mengangkat sumpit untuk melanjutkan makannya.
"Aku lihat kamu bikin tenda untuk mereka," ucap Jana
Ben terkekeh mengingat kejadian beberapa jam yang lalu ketika dia sudah kehabisan ide untuk
menghibur anak-anak. Dia menelepon Eva yang mengusulkan ide brilian itu. Tidur di bawah
tenda adalah satu hal yang paling dia sukai ketika dia seumuran Erga dan Raka dan dia tidak tahu
kenapa dia tidak memikirkan hal ini sebelumnya.
"Kamu belajar bangun tenda dari mana?" Tanya Jana setelah menelan gulungan mi instan
terakhir ke dalam mulutnya.
"Pramuka." "Kamu serius?" Ben ingin tertawa melihat wajah tercengang Jana. "Iya, aku serius."
"Apa kamu bisa bikin api hanya pake dua tangkai pohon atau batu kayak yang aku lihat di TV?"
Ben tersenyum melihat keantusiasan Jana mendengar tentang pramuka. Jarang-jarang ada orang
yang masih bisa menghargai pramuka zaman sekarang. Anak-anak gaul masa kini lebih milih
ekskul yang menurut mereka cool, seperti ngeband, cheerleading, modern dance, dan segala
tetek-bengek lainnya. Dia sama sekali tidak mau mengentengkan aktivitas ekskul seperti itu, tapi
terkadang dia suka bertanya-tanya apakah ekskul yang tujuannya hanya untuk menghibur betulbetul berguna untuk masa depan anak-anak. Apa yang akan mereka lakukan kalau misalnya
terdampar di suatu pulau tanpa persediaan" Apa mereka akan makan gitar atau drum mereka"
Atau berteriak-teriak sambil loncat-loncat meminta pertolongan sampai tenaga mereka habis"
"Mungkin kalo terus jadi pramuka, aku bisa bikin api Cuma pake kaca pembesar dan sinar
matahari, tapi sayangnya aku berhenti waktu SMA."
"Kenapa berhenti?"
Ben mengangkat bahu. "Sibuk sama sekolah dan hal lainnya."
"Well, setidak-tidaknya kamu belajar sesuatu dari pramuka," ucap Jana.
Ben hanya mengangguk. Tanpa Ben sangka-sangka Jana mengangkat mangkuk dan menyeruput
kuah mi instan sampai habis. "Mangkuknya jangan dimakan, Jan," ledek Ben.
"Sori," ucap Jana tersenyum malu ketika menurunkan mangkuk.
Dari wajah puasnya dan lidahnya yang keluar untuk menjilat sisa-sisa kuah pada bibirnya, Ben
tahu Jana nggak "Sori" sama sekali.
"Kamu masih laper" Aku ada sisa nasi goreng di dalam container di lemari es."
Mata Jana langsung berbinar-binar mendengarnya dan dia kelihatan betul-betul
mempertimbangkan tawaran ini sejenak. Satu hal yang dia ketahui tentang Jana akhir-akhir ini
adalah, seperti anak-anaknya, dia sudah ketagihan sama nasi goreng dan telur dadar Ben. Sesuatu
yang dia syukuri, karena selain ayam panggang, hanya ada dua masakan itulah yang dia tahu
cara membuatnya. Dia tahu Erga dan Raka tidak menyukai sup terongnya karena mereka tidak
pernah lagi memintanya membuatnya.
Dia melihat Jana menggeleng dengan wajah sedikit bersalah. "Nggak ah, nanti makin gendut,
lagi," ucapnya sambil mengusap perutnya dengan penuh sesal.
Gendut" Sudah gila si Jana. Dia bisa makan berember-ember pasta, nasi, roti dan mi instan dan
Ben yakin dia masih nggak bisa gendut. Gen gendut sama sekali nggak ada di dalam
keturunannya. Lihat saja maminya yang kurus kering kerontang.
"Jan, kamu nih jauh dari gendut," omel Ben,
Jana yang sedang berjalan ke bak cuci piring menoleh. Kemudian wajahnya sedikit memerah
sebelum berkata, "Kamu nggak usah ngomong gitu Cuma untuk bikin aku ngerasa lebih baik,
Ben. Kamu udah lihat aku naked tadi siang di kamar mandi. I looked horrible."
Untuk beberapa detik Ben hanya bisa menganga, tidak percaya akan apa yang didengarnya. Tapi
kemudian dia melihat wajah Jana yang sedang memberikan senyuman rendah diri dan dia sadar
Jana serius. What the hell" Apa dia sebegini tidak percaya dirinya dengan bentuk tubuhnya yang
menurut Ben perfect itu"
"Coba kesiniin perut kamu, aku mau lihat apa betul-betul gendut," ucapnya
Meskipun Ben mengatakannya dengan nada bercanda, dan awalnya hanya melakukan ini untuk
membuat Jana merasa lebih baik, dia mendapati dirinya betul-betul ingin melihat perut Jana. Hei,
dia laki-laki, oke" Laki-laki dengan seksualitas tinggi kalau mau lebih spesifik lagi. Wajar-wajar
saja kalau dia memikirkan tentang tubuh wanita setidak-tidaknya sejam sekali. Terutama kalau
dia pada dasarnya sudah tidak melihat wanita naked beberapa bulan ini. Beberapa jam yang lalu
ketika dia memandikan Jana tidak masuk hitungan, karena dia terlalu mengkhawatirkan wanita
itu. Jana mendengus sebelum tertawa kecil. "Aku udah ngasih kamu lihat perut aku dan beberapa
bagian lain yang sebetulnya aku lebih pilih nggak pernah dilihat sama orang lain, sekali hari ini.
Nggak pake dua kali," ucapnya sambil mulai mencuci mangkuknya.
Ben nyengir puas sudah membuat Jana kembali ceria."Well, nggak ada salahnya nyoba. Sini biar
aku aja," ucapnya sudah siap mengambil mangkuk dari tangan Jana.
Jana hanya memelototinya dan dia harus puas memarkir diri dengan menyandarkan bokongnya
pada meja dapur di samping Jana, memperhatikan gerakan tangannya yang lemah gemulai
mencuci mangkuk dan sumpit. Oh God, dia ingin jadi mangkuk dan sumpit itu!
"Apa pernah ada cewek yang nurutin permintaan konyol kamu itu?" Tanya Jana setelah beberapa
menit, menyentakkan Ben dari fantasinya.
"Aku nggak tahu juga. Aku nggak pernah minta itu dari cewek lain."
Jana menatapnya dalam-dalam, sebelum mendengus dan berkata, "Wow, that was just lame,
Ben." Ben tidak bisa menahan diri lagi, dia sudah terkekeh. Ya, dia tahu gombalannya itu lame banget
dan dia sebaiknya berhenti sekarang juga sebelum Jana kembali menarik diri darinya, tapi dia
having too much fun bercanda dengan Jana lagi. Ada kepuasan tersendiri untuk bisa melihat Jana
kembali relaks di sekelilingnya setelah dia menjadi kaku dan menghindarinya selama beberapa
hari ini. Dan hanya untuk membuat Jana tetap berbicara padanya, dia menyangkal tuduhan Jana
dengan nada sok tersinggung.
"No, it was not."
"It sooo was and you know it," balas Jana sambil meletakkan mangkuk dan sumpitnya yang
sudah bersih pada rak pengering dan mengambil serbet untuk mengeringkan tangannya.
"Oke, fine. It was lame. Tapi in my defense, cara kamu ngomongin perut kamu terkesan
undangan untuk aku buat ngeliat, dan aku nggak mau rude dengan nolak undangan itu. Takut
kamu jadi rendah diri dengan mikir kalo nggak ada laki-laki yang mau lihat perut kamu. Karena
kalo itu yang kamu pikir, kamu salah. Aku mau banget lihat perut kamu."
Ketika dia selesai bicara, Jana sudah menutup mulutnya untuk membendung suara tawa
terbahak-bahaknya. "Aku nggak tahu di planet mana kamu tinggal selama ini, tapi di bumi, itu
bukan tawaran," ucap Jana.
"Oh, gitu, ya" Tanya Ben polos.
Jana hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuannya. Ben mengikuti gerakan Jana yang sedang
membuang bungkus mi instan ke tempat sampah dengan matanya, tidak menginginkan
kebersamaan mereka berakhir. Dia tahu Jana sudah kelihatan cukup sehat untuk mengurus
dirinya sendiri dan dia sebaiknya pulang daripada menginap, tapi dia tidak bisa membuat dirinya
melakukan itu. Dia ingin menginap di rumah Jana, meskipun hanya untuk semalaman saja. Tidak
peduli dia harus tidur di atas tumpukan bedcover dan selimut di bawah tenda seprai daripada di
atas tempat tidur dan kasur empuk. Tidak peduli juga bahwa dia akan berbagi tempat tidur
dengan Erga dan Raka daripada Jana. Dia hanya mau ada di sini.
"Can I stay?" Tanya Ben sebelum dia bisa menahan diri lagi.
Jana menatapnya sambil mengangkat alis. "Of course. Aku sangka kamu emang mau nginep.
Lagian sekarang udah terlalu malam untuk nyetir sendirian."
YESSS!!! Ben berusaha mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat biasa-biasa saja. Padahal
dalam hati dia sudah jingkrak-jingkrak nggak karuan.
"Apa kamu oke tidur di karpet sama Erga dan Raka?"
"Fine, no problem."
"Oke, kalo gitu. Aku sebaiknya tidur. Udah malem dan besok aku harus ke kantor. Goodnight,
Ben," ucap Jana. "Goodnight, Jana," balas Ben
Meskipun Jana tidak menawarkan pipinya untuk dicium sebelum meninggalkannya sendirian di
dapur, tapi Ben tidak mengeluh. Karena Jana telah memberinya sesuatu yang lebih berharga.
Yaitu kesempatan. BAB 21 Let"s run Let"s run away together far away from everyone
To where the desert meets the sky
And the mountain meets the sun
Where no one will ever find us
No one at all No one Menginjak bulan November, Ben memutuskan mengajak Eva melihat-lihat rumah sementara
Erga dan Raka di sekolah. Selama ini dia selalu pergi sendiri, tapi setelah beberapa kunjungan
masih tanpa rumah karena dia tidak tahu apa yang dia perlukan untuk menciptakan rumah yang
nyaman untuk Erga dan Raka, dia tahu dia perlu bantuan. Tadinya dia mau mengajak Jana, tapi
dia tidak mau mengancam kedekatan dan kenyamanan yang dia sudah bangun dengannya selama
seminggu ini. Karena jelas-jelas dia sedang melihat-lihat rumah untuk keluarga, bukan rumah
untuk laki-laki single sepertinya, sesuatu yang dia yakin akan menyalahkan alarm "Kabur
sekarang, laki-laki ini menginginkan sesuatu yang lebih dari hanya pertemanan" untuk Jana.
Alhasil dia stuck dengan Eva karena Mama nggak punya cukup kesabaran untuk melakukan ini
dengannya. "Rumah ini ada empat kamar tidur dan tiga kamar mandi. Ada halaman belakang yang cukup
luas, sesuai dengan permintaan Mas Ben." Ucap Nia, agen property perumahan yang Ben sewa
beberapa hari yang lalu untuk membantunya mencari rumah.
Ben melirik Eva yang sedang memutar bola matanya. Sesuatu yang Ben dapati sering
dilakukannya, meskipun tidak di depan Nia langsung, semenjak bertemu sejam yang lalu. Dia
tahu Eva tidak menyukai Nia. Bukan saja karena menurutnya suara Nia terlalu cempreng dan
kalau ketawa mirip kuda, tapi juga karena Nia terlihat sok ramah, bahkan mendekati ganjen
terhadap Ben. Ya, Ben tahu Nia sudah flirt habis-habisan dengannya meskipun dia sama sekali
nggak memberikan sinyal "Aku available" atau "Aku tertarik" padanya. Kalau Nia bukan agen
property yang kompeten dengan rekomendasi yang baik dari salah satu teman Mama, Ben
mungkin sudah mencari agen lain.
"Saya masih nggak tahu kenapa Mas Ben mau property sebesar ini kalo hanya akan tinggal
sendiri. Saya bisa cari property yang lebih kecil dan cocok untuk laki-laki single seperti Mas
Ben." Ketika Nia melangkah ke ruangan lain, Ben mendengar Eva menggeram pelan, "Ugh, aku mau
tonjok aja muka nih cewek. Boleh nggak aku tonjok mukanya?"
Dan Ben harus mengulum senyum dan memutar tubuhnya untuk memelototi Eva. Eva hanya
mengucapkan, "What?" dengan tampang tidak bersalah dan mereka mengikuti Nia keruangan
yang terlihat seperti ruang keluarga dengan French doors yang terbuka ke halaman belakang
ekstraluas dan hijau. Dia yakin bisa menggali kolam renang di halaman itu dan masih punya
cukup ruang untuk bergerak dengan leluasa.
"Dan ini adalah ruang keluarga yang juga bisa dijadikan ruang makan."
Kata-kata Nia menarik perhatiannya dari halaman belakang. Ruang keluarga itu begitu terang
dengan sinar matahari sehingga tidak membutuhkan lampu sama sekali. Dia bisa membayangkan
dirinya dan Jana duduk santai di sini pada hari Minggu sore sementara Erga dan Raka berenang
di luar atau main di karpet di hadapan mereka.
"Ada dua dapur di rumah ini. Dapur kotor dan dapur bersih," ucap Nia sebelum suara sepatu
haknya menghilang entah ke mana.
"This is a nice room, Ben. Aku rasa Jana bakalan suka duduk-duduk di sini."
Mendengar komentar Eva, dia langsung menoleh dan melihatnya sedang menatapnya sambil
tersenyum penuh pengertian. Seperti biasa, Eva sepertinya tahu apa yang ada di pikiran Ben
tanpa dia perlu mengungkapkannya dengan kata-kata.
Eva mendekatinya dan berbisik, "Mungkin kamu lebih baik bilang ke Nia kalo kamu udah nikah.
Dengan begitu dia bakalan berhenti flirting sama kamu."
"Don"t be mean. Dia Cuma mau jual rumah dan dia ngeliat aku sebagai sumber komisinya bulan
ini." Eva mendengus. "Percaya sama aku, komisi adalah hal terakhir yang ada di pikirannya. Dia
ngeliat kamu sebagai potensi suami."
Oke, Ben tidak bisa menyalahkan Eva yang berpendapat seperti ini. Dia melihat dengan mata
kepala sendiri bagaimana Nia menatap Eva dengan sedikit curiga, bahkan bermusuhan, sampai
Ben mengenalkannya sebagai kakaknya dan wajah Nia langsung berubah 180 derajat menjadi
superramah. God, he hates fake women. Tingkah laku Nia dan ibu bernama Asti dari sekolah
Erga dan Raka, yang sampai sekarang masih selalu mecoba berbicara dengannya setiap kali
melihatnya, membuatnya semakin sadar betapa uniknya Jana dibandingkan mereka semua.
"Ev, bisa nggak sih kamu konsentrasi sama tugas kamu mengevaluasi rumah ini, bukan agen
property aku?" Ben mencoba membisikkan omelannya itu.
"Okay, fine," gerutu Eva.
Sisa tur property itu berlangsung dengan lebih efektif dan efisien karena tanpa
sepengetahuannya, ternyata Eva cukup tahu tentang tata ruangan rumah, dan apa yang dia
butuhkan kalau memiliki dua anak laki-laki tinggal dengannya. Pada akhir tur, Eva berkata
rumah ini cocok untuknya dan mengusulkan agar Ben mengajukan penawaran. Mereka
kemudian menghabiskan beberapa menit untuk membicarakan penawaran itu, dengan Nia yang
sepertinya tidak bisa berhenti tersenyum. Ben tidak bisa menyalahkannya, dengan jumlah komisi
yang akan dia dapatkan dari penjualan rumah ini, dia mungkin tidak perlu menjual rumah lagi
sampai tahun depan. Ketika mereka memasuki mobil setelah Nia berjanji akan mengajukan tawaran itu kepada
pemilik rumah, Eva bertanya, "So, I guess kamu serius ya mau jadi family man?"
"Heck yeah aku serius," balas Ben sambil memundurkan mobil dan masuk ke jalan utama
menuju sekolah Erga dan Raka.
"Kamu serius akan berhenti dari kerjaan kamu yang udah bagus di Chicago untuk balik ke sini
dan mulai dari awal lagi?"
"Yep. Jana kasih aku waktu sebulan untuk mikirin ini semua. Aku sebetulnya nggak perlu
sebulan untuk mutusin apa yang aku mau. Aku udah tahu dari awal kalo aku akan give up apa aja
untuk bisa deket sama anak-anak."
"Hanya anak-anak?" Tanya Eva hati-hati.
"Well, untuk bisa deket sama Jana juga," jelas Ben akhirnya.
"Ben," ucap Eva dengan nada mengingatkan.
"Ev, aku tahu apa yang akan kamu omongin. Dan untuk ngejawab pertanyaan yang berputarputar di kepala kamu meskipun kamu nggak mau ngucapinnya, ya aku yakin sama keputusan
kamu." Ben melirik Eva yang sedang menatapnya prihatin. "Aku Cuma nggak mau kamu
menggantungkan semua harapan ke dia tanpa ada jaminan bahwa dia on the same page sama
kamu. Don"t get me wrong. I love Jana. I think she"s great. Dan aku hormat sama dia karena
udah ngebesarin keponakan-keponakanku dengan sangat baik sendirian, sementara masih jadi
wanita karier. Aku juga tahu dia masih cinta sama kamu. Cuma orang buta aja yang nggak bisa
ngeliat itu." Ben hanya bisa tersenyum atas assessment Eva sebelum dia melanjutkan, "Tapi aku juga nggak


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu kalo dia takut untuk ngebiarin dirinya percaya sama kamu lagi. Mama bahkan bilang Jana
masih kelihatan agak-agak canggung sampe sekarang. Aku rasa dia nyoba untuk jaga jarak
dengan keluarga kita, kalau-kalau hubungan kamu dan anak-anak nggak work-out. So,
pertanyaannya adalah, apa dia akan membiarkan cinta atau ketakutan mendikte langkah
selanjutnya menyangkut kamu," lanjut Eva.
Ben mendesah panjang. "Itulah yang aku masih coba cari tahu, Ev. Aku nggak bisa paksa dia
untuk menerima aku atau percaya sama aku dalam hitungan minggu. Dia bahkan bilang dia
Cuma mau jadi teman."
"She did not?"!!!" teriak Eva penuh horor.
Ben mengangguk mengiyakan.
"Kapan dia ngomong begitu?"
"Minggu lalu," jawab Ben, mencoba tidak meringis mengingat pembicaraan malam itu.
"Dan kamu malahan lihat-lihat rumah yang cukup untuk menampung keluarga besar minggu
ini?" sekali lagi Ben mengangguk. "God, you"re stupid."
"Hey!" omel Ben tersinggung.
"Sori. But, seriously, Ben" Apa kamu sebegini desperate-nya untuk Jana" Dia Cuma mau jadi
teman, dude!!!" "Ev, aku ini nggak tuli, aku tahu apa yang Jana bilang ke aku. Tapi selama dia nggak bilang dia
nggak mau lihat aku lagi, nggak mau aku ketemu sama anak-anak, aku akan ada di sini. Dan
selama dia nggak bilang "Aku udah nggak cinta sama kamu lagi", aku tetep akan melakukan apa
aja untuk ngeyakinin dia supaya mengubah pendapatnya, betapa pun lamanya itu."
"Kamu tahu kan itu bisa selama-lamanya?"
"Yeah, I know," ucap Ben pasrah.
"Damn boy. You got it bad," ledek Eva
Kalau saja orang selain Eva yang mengatakannya dan kalau orang itu mengatakannya tentang
orang lain selain Jana, dia mungkin sudah meninjunya. Yang ada, sekarang dia hanya bisa
tersenyum. *** Malam itu Ben menelepon bosnya di Chicago untuk memberitahu tentang pengunduran dirinya.
Meskipun George menerima pengunduran dirinya tanpa mengomel, Ben tahu kalau saja ada
pilihan, dia mau tetap mempekerjaannya. Dia bahkan memintanya untuk menghubunginya lagi
kalau saja dia menemukan dirinya kembali di Chicago. Tanpa Ben sangka-sangka, George
berjanji akan mengirimkan daftar nama beberapa orang yang bisa dia hubungi tentang pekerjaan
sebagai konsultan manajemen di Jakarta. Dia bahkan tidak tahu George punya koneksi di Asia,
apalagi di Indonesia. Setelah memastikan dia akan ke Chicago dalam waktu dekat untuk
membereskan mejanya dan menyerahkan surat pengunduran dirinya, Ben menutup telepon
dengan penuh tujuan. Dia sudah dalam proses mendapatkan rumah, yang dia perlukan sekaraang adalah pekerjaan
untuk memulai hidupnya di Jakarta. Meskipun dia bersyukur bisa mengambil cuti dari pekerjaan
dan hangout dengan anak-anak, tapi dia mulai merindukan hidup dengan pekerjaan yang
menantang dan tanggung jawab lebih daripada hanya mengantar-jemput anak-anak dari sekolah
dan menghibur mereka sampai waktu tidur. Dan dengan semangat menggebu-gebu, dia
membuka laptop untuk mulai meng-update resume-nya. Selama melakukan ini, dia memikirkan
waktu yang tepat untuk berbicara dengan Jana tentang keberangkatannya ke Chicago. Tapi ada
satu hal yang lebih penting yang ingin dia kemukakan kepada Jana. Dia ingin Erga dan Raka
tahu bahwa dia ayah mereka sebelum dia berangkat ke Chicago.
*** Beberapa hari kemudian, mami Jana menundang Ben makan siang di rumahnya pada hari
Minggu. Sesuatu yang menurut Jana adalah tradisi, dan menurut Ben adalah hell. Sepanjang
makan siang yang ada di dalam pikirannya adalah bahwa ini terakhir kalinya dia akan melakukan
ini. Peduli setan dengan apa yang orangtua Jana mau dan tradisi yang mereka sudah terapkan.
Dia tidak mengerti bagaimana Jana bisa tahan duduk satu meja dengan Papinya yang sepanjang
makan siang terus mengomentari segala sesuatu yang salah dengan Jana, mulai dari caranya
menangani proyek di kantor hingga hubungan dekatnya dengan orang-orang yang dinilai tidak
satu level dengannya. Ketika Jana mencoba menjelaskan, beliau langsung mengganti topic, tidak
mau mendengarkan. Untung saja beliau masih tersenyum kepada Erga dan Raka, kalau tidak,
Ben yakin dia sudah mencekiknya. Entah kenapa, papi Jana mengundang sisi ganasnya keluar.
Dan dia yakin kehadirannya juga mengundang perasaan yang sama terhadap papi Jana, yang
terus memberikan stink eye padanya. Oke, dia mungkin berhak menerima tatapan tidak suka
Papi Jana mengingat sejarahnya dengan Jana. Dan dia juga mungkin berhak menerimanya karena
dia baru bertatap muka dengan beliau setelah selama sebulan menjadi bagian kehidupan Jana dan
cucu-cucunya. Tapi sejujurnya, dia terlalu sibuk mencoba merebut hati Jana kembali dan
berusaha menjadi ayah yang baik bagi anak-anak untuk memikirkan tentang mertuanya. Bah,
mertua?""!!! Dia bahkan tidak tahu apakah dia bisa memanggil papi Jana mertua, mengingat dia
dan Jana tidak pernah menikah. Kalau dipikir-pikir lagi, dia bahkan tidak tahu apakah dia mau
mengasosiasikan dirinya pada papi Jana setelah hari ini.
Sekali lagi Jana mencoba mengucapkan maaf dengan matanya dari seberang meja dan ini
membuat Ben kesal. Jana tidak seharusnya minta maaf atas sikap papinya. Beliau adalah lakilaki dewasa yang bisa meminta maaf sendiri kalau mau. Sesuatu yang Ben yakin tidak akan
terjadi. Kesan yang Ben dapatkan tentang papi Jana adalah bahwa beliau dictator sejati. Beliau
Satria Terkutuk Kaki Tunggal 2 Pendekar Mabuk 075 Bencana Selaput Iblis Mantra Penjinak Ular 2
^