Pencarian

Dirty Little Secret 5

Dirty Little Secret Karya Aliazalea Bagian 5


hidup untuk mengatur orang-orang di sekitarnya. Mungkin itu sebabnya beliau bisa begitu sukses
sebagai pemimpin, tapi suck as hell sebagai ayah. Bertemu dengan papi Jana membuat Ben sadar
bahwa dia lebih baik mati daripada memperlakukan anak-anaknya seperti papi Jana
memperlakukan Jana. Semenjak mereka tiba di rumah ini, Jana kelihatan sangat tidak nyaman. Seolah dia takut akan
membuat kesalahan dan diomeli. Hilang sudah wanita dewasa yang independent dan percaya diri
yang biasa di lihat Ben, yang tersisa hanyalah sesorang yang kelihatan tidak pasti dengan
hidupnya. Dia sudah melihat interaksi Jana dengan Maminya yang memang tidak bisa di bilang
normal, tapi setidak-tidaknya mereka masih berbicara bak ibu dan anak. Lain halnya dengan papi
Jana yang memperlakukannya seperti orang asing. Ben betul-betul tidak mengerti hubungan
orangtua dan anak yang seperti ini. Anak-anak seharusnya bisa relaks di hadapan orangtua
mereka, karena orangtua adalah tempat anak bisa mengadu tanpa dinilai yang tidak-tidak.
Ben tahu bahwa orangtuanya, bahkan keluarganya, sering dinilai kaku oleh orang luar, tapi dia
tahu keluarganya akan selalu mendukungnya seratus persen dan rela melakukan apa saja
untuknya. Sesuatu yang tidak dia lihat dari orangtua Jana. Pengalaman hari ini telah membuka
matanya akan apa yang harus dihadapi Jana selama 27 tahun dan dia ingin menendang dirinya
karena meninggalkan Jana sendirian di dalam lingkungan yang tidak sehat ini. Dia ingin
membawa Jana dan anak-anaknya keluar dari sini sekarang juga dan tidak pernah kembali lagi.
Dia tidak tahu bagaimana dia bisa menghabiskan makanan yang ada di piringnya, tapi tahu-tahu
Jana sudah bangun dari kursinya untuk membersihkan meja dan papi Jana memerintahkan Ben
untuk mengikutinya ke taman belakang. Ya, satu lagi yang Ben dapati tidak bisa dia toleransi
dari papi Jana adalah bahwa beliau sepertinya tidak mengenal kata "meminta". Semua yang
keluar dari mulutnya diucapkan sebagai perintah.
Papi Jana duduk di salah satu kursi taman dan menyodorkan kotak kayu berisi cerutu padanya.
Dengan sopan Ben menolak. Papi Jana tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa menit, sibuk
dengan cerutunya. Ben mencoba memikirkan berapa lama lagi dia harus ada di rumah ini
sebelum bisa pulang membawa Jana dan anak-anaknya ketika dia melihat kepulan asap keluar
dari mulut papi Jana dan aroma tembakau kuat menyerang indra penciumannya.
"Saya rasa nggak ada gunanya bagi saya untuk basa-basi, jadi saya akan ngomong langsung apa
yang ada di pikiran saya."
Ben hanya bisa mengangkat alisnya sebelum papi Jana berkata-kata lagi. "Saya nggak suka sama
kamu. Dan apa pun rencana kamu dengan Jana dan cucu-cucu saya, saya sarankan kamu lupakan
saja. Kamu bukan orang baik dan saya nggak mau kamu dikehidupan mereka."
Inilah kalimat terpanjang yang papi Jana ucapkan padanya semenjak mereka bertemu sehingga
Ben membutuhkan beberapa menit untuk meyakinkan dirinya bahwa beliau betul-betul sedang
berbicara padanya. Dan ketika dia bisa mencerna kata-kata itu, segala kekesalan yang dia
rasakan terhadap papi Jana berubah menjadi kemarahan. Berani-beraninya laki-laki ini ngomong
dengan nada menghina seperti itu padanya. Dia bahkan tidak mengenalnya sehingga bisa
membuat penilaian seperti itu. Untuk beberapa detik Ben berdiam diri, mencoba menenangkan
kemarahan yang akan meluap sebentar lagi. Dia memutar otaknya mencari balasan yang tepat
atas kata-kata papi Jana. Membalas penghinaan dengan penghinaan bukanlah jawaban. Dia baru
saja akan memohon maaf ketika dia melihat wajah papi Jana yang penuh dengan kesombongan
dan lupa sama sekali dengan sopan santunnya.
Sebelum bisa berpikir lagi, Ben sudah berkata, "Bagus Oom ngomong begitu karena saya juga
memikirkan hal yang sama tentang Oom. Saya nggak mau Jana dan anak-anak saya hidup di
bawah control Oom lagi. Saya akan nikahi Jana dan jadi ayah yang baik untuk anak-anak saya.
Saya akan member mereka kehidupan yang lebih dari cukup, lebih dari yang Oom pernah
berikan ke istri dan anak-anak Oom."
Papi Jana hanya menatapnya dengan tenang sambil mengepulkan asap cerutunya pada wajah Ben
dan Ben berusaha menahan diri agar tidak mencekik beliau.
"Apa yang kamu pikir kamu tahu tentang menjadi suami dan ayah yang baik, son" Nothing.
Jangan pikir hanya karena kamu sudah menghabiskan beberapa minggu ini dengan Erga dan
Raka, membuat kamu berhak untuk memanggil diri kamu ayah."
Hell no!!! he did not just say that.
"Setidak-tidaknya anak-anak saya selalu senang hangout sama saya, bukannya kelihatan
tertekan. Dan saya nggak perlu membeli kasih sayang mereka dengan pura-pura membantu, tapi
sebagai balasannya memeras emosi mereka seperti yang Oom lakukan terhadap Jana. Oom lihat
saja , saya akan bawa mereka keluar dari lingkungan nggak sehat ini."
"Apa kamu mengancam saya di rumah saya sendiri?"
Ben tidak tahu bagaimana suara dan tatapan papi Jana bisa lebih dingin dari sebelumnya, tapi
itulah yang dia dapati. Menolak mundur, Ben menegakkan punggungnya dan balik memerikan
tatapan yang tidak kalah dinginnya kepada papi Jana. Dia seorang Barata, dia bisa membuat
orang merinding hanya dengan tatapannya kalau dia mau.
"Itu bukan ancaman, Oom. Itu janju," ucap Ben setenang mungkin.
Papi Jana menyipitkan mata, jelas-jelas tidak menyukai komentar ini dan pada detik itu Ben tahu
kata-katanya sebelumnya sudah mengenai beliau. Memutuskan dia tidak mau berakhir dengan
membunuh papi Jana kalau dia tetap duduk di sini, Ben berdiri dari kursinya, siap melangkah
pergi begitu saja meninggalkan papi Jana, membiarkannya memikirkan kata-katanya. Tapi dia
dibesarkan dengan tata krama untuk menghormati tuan rumah tempat dia bertamu meskipun tuan
rumah itu jelas-jelas tidak berhak menerimanya.
Ben menatap papi Jana lekat-lekat dan berkata, "Terima kasih atas makan siangnya. Selamat
siang, Oom." Dan Ben melangkah pergi dengan keyakinan bahwa lain kali dia bertatap muka dengan papi
Jana, dia akan membawa pengacaranya.
*** "Mami lihat hubungan kamu dengan Ben udah jauh lebih baik dari minggu-minggu kemarin."
Jana hanya tersenyum mendengar komentar Mami, tapi memilih tetap menutup mulut. Ya,
hubungannya dengan Ben memang sudah jauh lebih baik. Meskipun Ben menganggap enteng
semua pertolongannya ketika dia sakit, Jana tidak bisa melupakan kebaikan itu begitu saja. Oleh
karenanya selama beberapa hari ini dia sudah berusaha sebisa mungkin menerima kehadiran Ben
dengan tangan dan hati lebih terbuka.
"Apa itu ada hubungannya dengan Ben menginap di rumah kamu?" Jana yang sedang
menumpukkan piring langsung menoleh terkejut. "Mami tahu dari mana Ben nginep di
rumahku?" Tanpa menjawab, Mami justru balik bertanya. "Jadi betul Ben nginep di rumah kamu?" tanyanya
dengan mata sedikit terbelalak.
Jana bisa menebak apa yang terlintas di kepala Mami dan dia tidak menyukainya sama sekali.
"Mam, tolong jangan mikir yang nggak-nggak. Aku lagi sakit dan Ben yang ngurusin aku sampe
malem. Aku nggak mau dia nyetir sendirian malem-malem, jadi aku kasih dia tidur sama anakanak," jelas Jana.
Dasar si Mami, bukannya mengkhawatirkan kesehatannya, beliau justru bertanya, "Apa ada
tetangga yang tahu kalo dia nginep?"
"Aku nggak tahu dan nggak peduli," jawab Jana, langsung mengangkat tumpukan piring ke
dapur. Mami mengikutinya. "Gimana bisa kamu nggak peduli" Apa yang bakal mereka pikir tentang
kamu dengan laki-laki bukan suami di rumah kamu semalaman?"
"Aku yakin tetangga-tetangga aku punya kerjaan lain yang lebih penting daripada ngeliatin siapa
yang datang dan pergi dari rumah aku."
Dia mulai membasuh piring-piring kotor sebelum menatanya di dalam dishwasher. Mami hanya
berdiri sambil bertolak pinggang di sampingnya.
"Jana, jangan anggap enteng masalah ini. Ini masalah serius. Kita sudah susah payah
membersihkan nama Oetomo beberapa tahun ini."
Jana memutar bola matanya. Dia paling nggak tahan kalau Mami mulai bersikap dramatis seperti
ini. Sejujurnya, nama Oetomo tidak sebegitu terkenalnya seperti yang Mami dan Papi pikir.
Banyak orang yang tidak tahu dan tidak peduli siapa mereka. Tapi tentu saja dia tidak bisa
mengatakan itu kalau tidak mau diteriaki sebagai anak kurang ajar oleh Mami.
"Mam, bisa nggak sih untuk kali ini aja Mami nggak mendramatisasikan keadaan?" Jana mulai
membasuh sendok dan garpu kotor dan memasukkannya juga ke dalam dishwasher.
"Mami nggak mendramatisasi keadaan. Ini masalah genting, Jana. Mami mau kamu ngomong
sama Ben kalo dia memikirkan mau menghabiskan lebih banyak waktu di rumah kamu sampe
tengah malam buta, dia harus menikahi kamu."
BAB 22 They"re telling secret that should never be revealed
There"s nothing to be gained from this
But disaster" Segenggam peralatan makan yang ada di genggaman Jana langsung meluncur ke bak cuci piring
dengan bunyi "klang, klang, klang" nyaring.
"Mami udah gila!!!" teriaknya.
"Jana Harumi Oetomo, jangan pernah kamu ngomong sama Mami dengan nada itu. Mami Cuma
berusaha menjaga kamu!!!" Mami mendesis dengan mata berapi-api.
Jana menolak menarik kembali kata-katanya dan mengalihkan perhatiannya pada tugasnya.
Dengan sedikit kasar, Jana mengangkat semua garpu dan sendok yang tersisa di dalam bak cuci
dan memindahkannya ke dalam dishwasher.
Dia merasakan tangan Mami mencengkeram lengannya sebelum beliau berkata, "Jana,
dengar?" "Terserah apa yang Mami bilang, tapi aku nggak akan pernah mau nikah sama Ben," potong
Jana. Mami melepaskan lengannya dan mengangkat kedua tangannya putus asa. "Apa lagi yang kamu
mau dari seorang suami, Jana" Ben dari keluarga ternama yang punya uang dan bisa menjamin
kehidupan kamu dan anak-anak. Ya, dia memang sudah salah sama kamu, tapi itu sudah lama
sekali. Dan dari yang Mami lihat selama beberapa minggu ini, dia sudah nyoba memperbaiki
kesalahannya. Anak-anak juga kelihatan akur sama dia. Kalo kamu nggak mau ngomong
masalah pernikahan ke dia, biar Mami aja."
Jana menutup pintu dishwasher dan meluruskan punggungnya sebelum berkata,"No, Mam,
please, jangan ngomong apa-apa ke dia."
"Jadi kamu maunya apa, Jana?" Tanya Mami gemas.
"Aku mau Mami nggak turut campur dalam kehidupan aku. Aku udah 27 tahun for crying out
loud. Biarin aku ngatur kehidupan aku sendiri. Aku bisa ngambil keputusan sendiri, Mam."
"Gimana bisa Mami membiarkan kamu ngambil keputusan sendiri kalau Mami tahu keputusan
itu salah untuk kamu?"
Jana menggeram frustasi. Dia sudah kehabisan akal untuk membuat Mami mengerti. Dia tidak
mau harus menumpahkan perasaan sebenarnya tentang Ben sekarang, ketika Ben hanya beberapa
meter dari mereka dan kemungkinan bisa mendengarnya, tapi sepertinya dia tidak ada pilihan
lain. "Mami mau tahu kenapa aku nggak mau nikah sama Ben" He broke my heart, Mam. Aku kasih
dia seluruh hatiku dan dia" dia ngelempar semuanya balik ke mukaku seakan-akan itu nggak
ada artinya. Gimana pernah aku bisa nikah sama dia, ngasih seluruh hatiku lagi ke dia setelah
ini" Soal hubungannya dengan anak-anak, apa Mami pikir aku nggak tahu kalo Ben akur dan
sayang sama mereka" Setiap hari aku berhadapan dengan itu, Mam. Dan setiap hari aku ngerasa
seperti ibu paling parah di dunia ini karena udah misahin Erga dan Raka dari Ben. Erga dan Raka
berhak tahu gimana rasanya punya ayah, tapi sampe sekarang, aku bahkan masih belum mampu
bilang kalo Ben ayah mereka karena takut kalo mereka tahu mereka punya pilihan orangtua,
mereka akan memilih Ben daripada aku. Ibu macam apa aku ini?"
Tanpa Jana sadari tubuhnya sudah terasa panas dan napasnya sedikit memburu ketika dia
menutup penjelasannya. Dia melihat Mami hanya berdiri diam saja di hadapannya dengan mata
terbelalak. Dalam hati dia mengucap syukur karena akhirnya bisa membuat Mami mengerti
perasaannya. Namun pengucapan syukur ini terpotong pendek ketika dia sadar bahwa mata
terbelalak Mami bukan untuknya, tapi sesuatu di belakangnya. Merasa agak kesal karena merasa
diremehkan oleh Mami yang lebih memilih menumpukan perhatiannya pada hal lain padahal dia
sedang menumpahkan isi hatinya, jana memutar tubuhnya dan matanya langsung terkunci pada
Erga dan Raka yang sedang berdiri di ambang pintu dapur dengan Ben. Ketiga-tiganya sedang
menatapnya dengan ekspresi yang sama, yaitu ekspresi "What the hell?"
Untuk beberapa detik dia hanya berdiri di tempatnya, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Dalam hati dia berharap anak-anak tidak mendengar apa yang baru saja dikatakannya. Tapi
harapannya kandas di tengah jalan ketika Erga dan Raka sama-sama menarik perhatian mereka
darinya untuk mendongak menatap Ben, yang hanya bisa berdiri kaku menatap mereka.
"Apa betul Oom Ben ayah Erga dan Raka?" Tanya Erga pelan tapi jelas.
Jana tidak bisa melihat wajah kedua anaknya yang kini sedang membelakanginya, tapi dia bisa
melihat wajah Ben dengan jelas. Ben kelihatan takut setengah mati dan Jana tahu dalam hati Ben
sedang meneriakkan semua kata sumpahan yang bisa ditemukan dalam kamus. Jana melihat Ben
menutup matanya dan menarik napas dalam. Ketika dia membuka matanya lagi, tatapan
ketakutan sudah hilang. Dia kini bergantian menatap Erga dan Raka dengan dalam. Jana tahu dia
seharusnya menyelamatkan Ben dari harus menjawab pertanyaan ini, tapi dia tidak bisa bergerak
sama sekali. Perlahan-lahan dilihatnya Ben mengangguk.
"Iya. Oom Ben ayah Erga dan Raka."
Jana mendengar Erga dan Raka menarik napas bersamaan, sebelum Raka bertanya, "Serius,
nggak bohong?" Ben menurunkan tubuhnya dan berlutut di hadapan mereka. Dia tidak menyentuh mereka sama
sekali, seakan takut Erga dan Raka akan lari kalau dia melakukannya.
"Nggak. Oom Ben nggak bohong. Oom Ben memang ayah Erga dan Raka," ucap Ben untuk
menyakinkan mereka. Untuk beberapa detik hanya ada keheningan, yang disusul suara Erga dan Raka yang menangis
sekeras-kerasnya. *** Melihat Erga dan Raka menangis seakan-akan hati mereka hancur berkeping-keping,
mengundang insting kebapakan yang Ben bahkan tidak tahu dia miliki.
"Erga, Raka" jangan nangis," ucap Ben sambil mengangkat kedua tangannya ingin menarik
anak-anaknya, separo hati dan jiwanya, ke dalam pelukannya, tapi keduanya mundur pada saat
bersamaan menjauhinya. Ben merasa dadanya seperti baru dilindas bulldozer. Melihat anak-anaknya lebih memilih
menangis sendirian daripada di dalam pelukannya membuat hatinya perlahan-lahan retak. Lebih
dari apa pun juga, yang dia ingin lakukan sekarang adalah menarik Erga dan Raka dengan paksa
ke dalam pelukannya dan menenangkan mereka, tapi dia tahu ini bukanlah yang mereka
inginkan. Akhirnya dia hanya bisa menatap kedua anaknya pasrah ketika Jana yang tiba-tiba
sudah berlutut dihadapannya menarik mereka ke dalam pelukannya.
"BUNDAAA"," tangis Erga dan Raka sambil menenggelamkan wajah mereka di leher Jana.
"Sshhh, cup cup" bunda di sini. Bunda di sini," bisik Jana memeluk Erga dan Raka erat.
Sambil memeluk anak-anaknya, Jana mendongak dan menatapnya. Rasa bersalah terpancar jelas
pada matanya dan meskipun dia tidak mengatakannya, Ben tahu Jana sedang mengucapkan maaf
padanya. Maaf karena sudah tidak sengaja membongkar rahasia terbesarnya di depan anak-anak,
reaksi anak-anak mendengar rahasia itu, reaksi mereka pada Ben sekarang, dan karena Jana tidak
bias memeluknya untuk menenangkannya seperti apa yang sedang dia lakukan untuk anak-anak.
Ben hanya bisa memberikan satu anggukan tanda mengerti padanya.
Lambat laun suara tangis Erga dan Raka reda hingga hening sama sekali. Melihat Jana berhasil
menenangkan anak-anaknya dalam hitungan menit sementara mereka bahkan tidak mau disentuh
olehnya, membuat Ben merasa seperti ayah paling tidak berguna di dunia ini. Pikirannya
berkecamuk dengan alasan kenapa anak-anaknya menangis. Selama ini dia menyangka mereka
akan senang begitu tahu ayah mereka masih ada. Dia juga berharap dengan hubungan mereka
yang sudah sangat dekat selama sebulan ini, maka mereka lebih senang lagi mengetahui dialah
ayah mereka. Sepertinya dia sudah salah sangka.
Kecurigaan bahwa anak-anaknya sendiri tidak menginginkannya sebagai ayah, membuat Ben
lemas dan jatuh terduduk di lantai. Cara Erga dan Raka memeluk Jana, seakan-akan mereka takut
melepaskannya, dan cara Jana memeluk mereka dengan sangat protektif membuat Ben merasa
seperti orang asing yang kehadirannya tidak di inginkan atau diperlukan. Kesedihan yang sangat
mendalam menyerangnya dan matanya mulai terasa panas. Dia harus menutup matanya beberapa
detik untuk mengontrol emosi yang akan meluap sebentar lagi.
"Aku mau pulang."
Mendengar gumaman Erga, Ben langsung membuka matanya kembali dan mendengar Raka
berkata, "Aku juga."
"Oke, ayo kalo gitu," ucap Jana tegas.
Ben melihat Jana dengan susah payah mencoba berdiri sambil menggendong Erga dan Raka. Ben
mengulurkan tangannya untuk mengambil Raka dari pelukan Jana, tapi Jana hanya
menggelengkan kepala. Dan hatinya yang tadinya hanya retak kini sudah hancur berkepingkeping. Bukan saja anak-anaknya menolaknya, tapi Jana juga. Dengan susah payah dia
mengontrol ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan kesedihan dan kekecewaan.
"Bisa tolong kamu bukain pintu mobilku" Kuncinya ada di dalam tas," pinta Jana.
Dengan satu anggukan, Ben langsung meraih tas Jana, mengeluarkan kunci dan berlari menuju
mobil Jana. Menghidupkan mesin, menyalakan AC, dan membuka pintu belakang. Hari ini
mereka datang dengan mobil terpisah karena Jana tidak mau membuat Ben harus mengitari
Jakarta hanya untuk menjemputnya dan anak-anak dulu sebelum ke rumah Maminya. Suatu
keputusan yang sangat dia sesali sekarang karena dia tidak memiliki alasan untuk tetap berada di
sisi anak-anak selepas mereka meninggalkan rumah mami Jana. Rasa ketakutan bahwa anakanaknya tidak mau bertemu dengannya lagi setelah hari ini, menyerangnya. Sebagai pelampiasan
kefrustrasinya atas ketidakmampuannya melakukan apa-apa untuk menyelamatkan situasi ini,
Ben memutar tombol AC hingga maksimum.
*** Ketika Jana muncul, interior mobil sudah cukup dingin dan dia pertama mendudukan Raka,
kemudian Erga di bangku belakang. Setelah menutup pintu, dia menghadap Ben yang sedari tadi
mencoba memberikan privasi dan jarak yang di butuhkan anak-anak. Dari wajahnya yang terlihat
bingung, takut, sedih, dan frustasi, Jana tahu ini adalah hal tersulit yang pernah harus dihadapi
Ben. "Aku minta maaf, Ben untuk" untuk?" Jana menggelengkan kepalanya mencoba mencari
kata-kata yang tepat," untuk semuanya," ucapnya akhirnya.
Ben mengalihkan tatapannya ke Erga dan Raka, seakan ingin mendorong mereka untuk
memberikan senyuman sumringah mereka padanya, tapi anak-anak hanya duduk diam di dalam
mobil dengan kepala menunduk. Secercah kerinduan yang ngak kesampaian terpancar pada
wajah Ben sebelum dia menunduk, mencoba menyembunyikan emosi itu.
"Mereka nggak mau aku sebagai ayah mereka," gumamnya.
Dan Jana tidak bisa bernapas sementara hatinya hancur berkeping-keping mendengar kata-kata
Ben. Buru-buru dia merangkum wajah Ben, memaksanya menatapnya. "NO! jangan pernah
kamu berpikir seperti itu. Do you hear me?""!!! Jangan pernah!!!" ucap Jana tegas.
Ben mencoba menoleh dan meremas pergelangan tangan Jana dengan paksa melepaskan


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya pada saat bersamaan, tapi Jana tidak memperbolehkannya.
"Ben, look at me. Look at me!" seru Jana keras sehingga Ben kembali menatapnya. "You"re the
best thing that has ever happened to them. Mereka Cuma masih" kaget dan mungkin sedikit,...
takut dengan berita ini. Aku akan bicara dengan mereka. Aku akan jelaskan semuanya,"
lanjutnya sedikit kesandung dengan kata-katanya sendiri, yang diucapkan terlalu cepat dalam
usaha menyakinkan Ben. Ben masih kelihatan ragu. "Semua ini salahku. Aku seharusnya nggak pernah ngebiarin kamu
pergi begitu aja. Aku seharusnya ngejar kamu?"
Jana menggeleng keras dan mengeratkan rangkumannya pada wajah Ben. Saking eratnya dia
bisa merasakan gesekan jenggot Ben, yang dicukur habis hari ini agar tidak membuatnya
kelihatan seperti penjahat (kata Ben), pada telapak tangannya.
"No, Ben. Jangan nyalahin diri kamu kayak gini. Kalo ada orang yang harus disalahin untuk
semua ini, itu aku. Aku yang udah lari duluan. Aku yang udah misahin kalian. Aku udah bohong
sama kamu dan mereka. Ini semua salah aku dan aku janji akan memperbaikinya."
"I don"t think you can."
"B, trust me, I"ll fix this."
Jana kaget sendiri ketika dia mendengar caranya memanggil Ben barusan dan dari mata
terbelalaknya, sepertinya Ben sudah sama kagetnya. "Did you just call me, B?" tanyanya dengan
nada dan wajah tidak percaya.
Tadinya Jana mau menghindar dengan mengatakan bahwa dia sudah salah dengar, tapi dia tahu
Ben berhak menerima perlakuan lebih baik dari itu setelah apa yang baru saja dia alami. Jana
menarik napas dalam-dalam dan mengangguk.
"Say it again," pinta Ben.
"Say what again?" Tanya Jana sedikit bingung.
Ben mengambil langkah maju sehingga dada mereka bersentuhan sebelum telapak tangnya
meraih belakang kepala Jana dan menunduk , mendekatkan wajahnya hingga kening mereka
bertemu. Jana bisa merasakan embusan napas Ben pada wajahnya. Dan sekujur tubuhnya tibatiba terasa terlalu panas dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan udara Jakarta.
"Namaku," bisik Ben.
"Ben?" Ben menggeleng. "Bukan, bukan itu."
Jana menelan ludah dan memenuhi permintaannya.
"B," ucapnya. Jana mendengar Ben menarik napas keras dank arena wajah mereka sangat dekat, dia bisa
merasakan gelitikan bulu mata Ben ketika dia menutup matanya, seakan ingin menyerap
pengucapan huruf itu ke seluruh jiwa raganya. Melihat Ben begitu vulnerable di hadapannya,
membuat Jana sadar bahwa bukan hanya anak-anak yang memerlukannya saat ini, tapi Ben juga.
Sebelum bisa membiarkan dirinya berpikir lagi, Jana sudah menarik wajah Ben ke bawah dan
menciumnya" di bibir. Dia berusaha melakukannya selembut mungkin, membiarkan bibirnya
tetap tertutup. Ciuman ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan gairah atau nafsu, tapi
pernyataan rasa sayang yang dia tidak bisa ucapkan.
Awalnya Ben yang terlalu terkejut seakan tidak percaya ini sedang terjadi, hanya bisa diam saja.
Tapi sedetik kemudian, ketika menyadari Jana memang sedang betul-betul menciumnya, dia
memiringkan kepala agar posisi bibir mereka bisa lebih pas dan membalas ciuman itu. Pada
sudut pikirannya jana sadar anak-anak sedang duduk di mobil hanya sekitar semester dari
mereka dan bisa melihat semua ini dengan jelas, dan itu menambahkan satu lagi penjelasan yang
harus dia berikan kepada mereka. Namun, dia bersedia melakukan itu semua untuk bisa
menenangkan Ben saat ini.
Ben terus menciumnya selama beberapa menit dan Jana membiarkannya. Ciuman Ben kali ini
sangat berbeda dengan ciuman-ciuman sebelumnya yang main serang saja tanpa peduli apa
orang yang sedang diciumnya mau dicium atau tidak. Kali ini Ben hanya menciumnya dengan
bibirnya. Kalau ciuman bisa digambarkan dengan music, ciuman-ciuman Ben sebelumnya sudah
seperti musiknya Metallica, sedangkan ciumannya yang sekarang lebih seperti musiknya Enya.
Dan Jana menemukan dirinya meleleh, lebih dari sebelum-sebelumnya setiap kali bibir Ben
menyentuhnya. Jana kini sadar bahwa terserah apa yang dia sudah katakana pada dirinya sendiri, bahwa dia tidak
akan pernah bisa memberikan hatinya lagi kepada Ben, dia tahu bahwa kenyataannya adalah dia
tidak pernah mendapatkan hatinya kembali dari Ben setelah laki-laki itu mengambilnya
bertahun-tahun yang lalu. Ben selalu memiliki hatinya, dan dari cara Ben menciumnya dan
memeluknya sekarang, seakan dia adalah benda paling berharga yang pernah dia sentuh,
sepertinya tanpa dia sadari, dia sudah memegang hati Ben di dalam genggamannya bertahuntahun ini juga.
Memori tentang sikap Ben selama sebulan ini tumpang tindih memenuhi kepalanya. Ben sudah
jungkir-balik melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukan seorang laki-laki untuk
menunjukkan bahwa dia serius ingin menjalin hubungan dengannya. Dia sudah mengatakan
mencintainya, ingin menikahinya, ingin menjadi ayah anak-anaknya, kemudian mengonfirmasi
kata-katanya dengan sikapnya. Dan kalau saja yang melakukan ini semua adalah laki-laki lain
selain Ben, Jana tahu dia pasti sudah luluh dari dulu-dulu. Kenapa membutuhkan sebegini lama
sampai akhirnya matanya terbuka dan bisa menerima kenyataan yang sudah ada di depan
matanya selama ini, dia tidak tahu. Yang dia tahu adalah bahwa rasa berat yang dia rasakan
selalu menindih dadanya perlahan-lahan terangkat, meninggalkan emosi yang hanya bisa
digambarkan sebagai kebahagiaan.
Ketika Ben memisahkan bibir mereka beberapa menit kemudian dan melepaskan pelukannya,
Jana mendapati dirinya sedikit linglung. Ben mencoba memberi senyuman meskipun sedikit
terpaksa dan Jana ingin menariknya ke dalam pelukannya lagi hingga dia bisa melihat senyuman
iseng yang selalu terpancar pada wajah Ben setiap kali mereka bertemu. Tapi dia tahu dia harus
memprioritaskan anak-anak saat ini.
"Aku akan telepon kamu nanti, oke?"
Ben hanya mengangguk dan Jana meremas lengannya sebelum masuk ke dalam mobil. Semenit
kemudian dia sudah dalam perjalanan pulang.
*** Selama perjalanan pulang, Erga dan Raka tidak berbicara sepatah kata pun bahkan pada satu
sama lain, lebih memilih memperhatikan lalu-lintas melalui jendela mobil. Jana bersyukur
mereka setidak-tidaknya tidak menangis lagi. Beberapa kali Jana membuka mulut untuk
mengatakan sesuatu, tapi lalu menutup mulut sebelum bisa memulai. Dia tidak pernah melihat
Erga dan Raka sebagai upset. Erga lebih daripada Raka. Jana ada feeling kalau Raka sebetulnya
tidak betul-betul mengerti apa yang sedang terjadi, dia hanya upset karena Erga upset. Dia
menghabiskan sisa perjalanan memformulasikan penjelasan yang harus dia berikan kepada anakanak.
Dia tidak tahu cara terbaik untuk melakukannya tanpa membuat Erga dan Raka bingung atau
lebih parah lagi, membencinya. Dia mungkin masih mampu menghadapi kemarahan atau
kekecewaan mereka, tapi tidak kebencian. Selain itu, dia juga tidak tahu cara mengatakan kepada
mereka bahwa awalnya Ben tidak menginginkan mereka. No! dia tidak akan menceritakan ini
kepada mereka. Ini hanya akan membuat mereka membenci Ben dan menghancurkan hati Ben.
Lebih dari apa pun juga, dia tahu Ben berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki
kesalahannya. Masalah Ben mau menceritakan betapa messed-upnya dia delapan tahun yang
lalu, itu urusan Ben. Ketika mereka sampai rumah kurang dari sejam kemudian, Erga dan Raka langsung naik ke
lantai atas setelah melepaskan sepatu, meninggalkan Jana bingung sendiri di lantai bawah. Tahu
bahwa dia tidak bisa menunda pembicaraan lagi, Jana menuju kamar mereka. Dia menemukan
Erga dan Raka menyamping dengan punggung menghadap pintu. Raka tidur di belakang Erga,
tangan nya melingkari pinggang kembarannya dengan penuh perlindungan. Samar-samar dia
mendengar isak tangis dan suara kecil yang mencoba menenangkan.
Membutuhkan beberapa menit untuk sadar bahwa yang menangis adalah Erga, sementara Raka
sedang mencoba menghiburnya dengan membisikkan, "Erga jangan nangis. Raka ada di sini."
Dan Jana menarik napas dalam-dalam untuk mengusir kesedihan dan keharuan luar biasa yang
tiba-tiba menyerangnya. Kesedihan karena melihat Erga menangis lagi dan keharuan karena
untuk pertama kali menyaksikan peran Erga dan Raka dibalik. Seumur hidup, dia tidak pernah
melihat Raka bersikap sedewasa ini.
"Raka, Erga," panggil Jana sambil berjalan mendekati tempat tidur.
"Ya, Bunda," jawab Raka dan langsung memutar tubuhnya untuk menghadapnya.
Wajah Raka kelihatan kering, meskipun matanya sedikit merah. Jana tidak mendapatkan
jawaban dari Erga. Satu-satunya indikasi bahwa dia mendengarnya adalah gerakan tangan
menghapus air mata. "Sayang, kita perlu bicara tentang apa yang kamu dengar di rumah Mbah tadi."
Raka langsung menarik tubuh kecilnya ke posisi duduk, dengan begitu memberikan Jana ruang
untuk duduk di atas tempat tidur.
"Oom Ben bi-bilang kalo dia a-ayah Erga dan Raka?" ucap Erga masih sesenggukan.
Jana tidak mencoba membetulkan bahwa sebetulnya informasi itu datangnya dari dia, bukan
Ben. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh Erga dan Raka sebelum berkata, "Iya, Oom
Ben memang ayah kalian."
Mendengar ini Erga langsung berbalik badan untuk menatapnya. "Jadi Oom Ben nggak
bohong?" Tanya nya. "Nggak, Oom Ben nggak bohong," jelas Jana.
"Ta-tapi, Bunda bilang ayah Erga dan Raka ada di surge."
Jana mencoba tidak meringis mendengar nada tuduhan Erga. Tidak mendapatkan reaksi darinya,
Erga mencecarnya. "Jadi Bunda udah bohong sama Erga?"
Jana menarik napas sambil berdoa dalam hati bahwa Erga akan memaafkannya atas dosanya ini.
Dia meremas kaku Erga dan berkata, "Ya, Bunda udah bohong sama Erga. Maafin Bunda ya,
Sayang." BAB 23 You"re seeing life like a painting, and hear it like a lullaby
And all the colors are amazing, I wonder why
Di dalam kamarnya Ben tidak bisa duduk diam, menunggu hingga Jana meneleponnya. Tiga jam
sudah berlalu semenjak tiga orang terpenting dalam hidupnya pergi meninggalkannya. Yang
berarti tiga jam penuh dengan kekhawatiran dan mondar-mandir nggak karuan hingga
menipiskan karpet antic Mama. Ketika yakin dia akan gila kalau harus menunggu sedetik lagi,
ponselnya bordering dan nama Jana berkedip-kedip pada layar.
"Jan, are they okay?" tanyanya.
"Yeah, they"re okay. Mereka lagi tidur sekarang," desah Jana.
"Apa mereka marah sama aku sehingga mereka nangis dan nggak mau aku pegang?"
"Nggak. Mereka nggak marah sama kamu. Mereka Cuma" bingung aja. Tapi aku udah jelasin
semuanya dan sepertinya mereka ngerti."
Ben duduk di atas tempat tidur dan membenamkan kepalanya pada telapak tangan kanannya. Dia
tahu bahwa dia harusnya merasa lega mendengar berita ini, tapi entah kenapa, dia masih resah
dan tahu tidak akan bisa tidur sampai bisa melihat anak-anaknya lagi.
"Can I come over now" I just" I just need to see them, Jan. To make sure they"re really okay.
Bukannya aku nggak percaya omongan kamu, tapi aku Cuma" aku perlu ngeliat mereka."
"Aku rasa lebih baik kamu kasih mereka waktu untuk mencerna berita ini dulu sebelum ketemu
kamu lagi." Meskipun Jana mengatakannya dengan lembut dan apa yang dia katakana masuk akal, tapi Ben
tidak bisa menghentikan kekecewaan yang memberati hatinya.
"Oh, oke," ucap Ben lemah.
Saluran telepon hening sejenak. Ben tahu dia seharusnya menutup telepon karena tidak ada apaapa lagi yang bisa dia lakukan, tapi dia mendapati dirinya masih menempelkan ponsel pada daun
telinganya. Ada begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan, dimulai dengan ciuman mereka
beberapa jam yang lalu yang terasa berbeda dan memiliki rasa yang mendalam daripada ciumanciuman mereka sebelumnya, tapi tak satu pun dari mereka mau membuka pintu itu. Mungkin
karena mereka tidak tahu bagaimana memulainya, atau takut memulainya. Karena keduanya tahu
bahwa begitu pintu percakapan itu dibuka, mereka tidak akan bisa menghentikan apa pun yang
keluar darinya. "Kamu bilang apa ke mereka?" Tanya Ben akhirnya.
"Aku ceritain semuanya. Gimana aku marah sekali sama kamu delapan tahun lalu, yang
mengakibatkan aku bohong ke mereka tentang kamu. Aku jelasin bahwa kamu nggak pernah
tahu mereka ada, makanya kamu nggak pernah datang mencari mereka."
"Apa kamu cerita "kenapa" kamu marah sama aku" Dimana aku minta kamu ngegugurin
kandungan kamu?" "No. aku Cuma bilang kita nggak setuju tentang sesuatu dan bahwa suatu hari waktu mereka
udah cukup dewasa kita akan membicarakan hal ini lagi."
Mendengar ini Ben mengembuskan napasnya. Otot-otot tubuhnya yang kaku selama tiga jam ini
tiba-tiba lemas dan dia jatuh telentang di atas tempat tidur. Dan untuk pertama kali dia
menyadari bahwa kepanikannya tiga jam belakangan ini bukan karena anak-anaknya menangis
begitu mendengar dia ayah mereka, tapi karena mereka akan tahu bajingan seperti apa ayah
mereka ini. Andaikan Jana sedang berdiri di hadapannya, dia pasti sudah memeluknya dan
menghujani wajahnya dengan berjuta-juta ciuman sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Tapi karena mereka sedang berbicara di telepon, Ben hanya bisa mengatakan, "Thank you for
doing that." "It"s the least I could do after everything I"ve put you through."
Hah?""!!! Jana sudah menyelamatkannya dari dibenci selama-lamanya oleh anak-anaknya dan
dia yang malahan yang meminta maaf padanya" Dia baru saja akan mengklarifikasi hal ini ketika
mendengar Jana mengucapkan namanya dengan nada takut-takut.
"Ya?" jawab Ben.
"Aku" aku minta maaf atas semuanya."
Ben belum sempat mencerna kata-kata Jana ketika dia sudah nyerocos cepat, tidak memberinya
kesempatan menyela. "Aku minta maaf karena nggak pernah bilang ke kamu tentang Erga dan Raka, dengan begitu
udah bikin kamu kelewatan tujuh tahun hidup mereka. Aku minta maaf karena nggak pernah
sekali pun mengucapkan kata "maaf" dan mengakui kesalahan aku ke kamu sebelum ini. Selama
ini aku terlalu focus dengan apa yang udah kamu lakukan ke aku, nggak sekali pun aku mikir
tentang apa yang udah aku lakukan ke kamu. I"m sorry, Ben. I"m really really sorry for
everything. Please don"t hate me."
Terkejut dengan kata-kata Jana, Ben langsung menarik tubuhnya hingga duduk sebelum berkata,
"I don"t hate you. I would never hate you. Gimana bisa kamu berpikir seperti itu tentang aku?"
"Karena kamu berhak membenci aku," desah Jana pasrah.
"No!" teriak Ben cepat. "Jangan pernah kamu berpikir seperti itu, oke?"
"Tapi?" "Nggak pake tapi-tapi, Jana. Janji sama aku, kamu nggak akan pernah berpikir seperti itu lagi
tentang aku," tegas Ben.
"But?" "Jana!" geram Ben.
Ben mendengar Jana mengembuskan napas lalu berkata, "Oke, aku janji."
Ben mendesah, bersyukur Jana melepaskan topic tersebut, tapi itu sebelum Jana berkata, "Aku
juga minta maaf atas perlakuan Papi terhadap kamu sepanjang makan siang."
Ben mengeratkan genggamannya pada ponselnya, segala kemarahan yang sudah terlupakan
terhadap Papi Jana kembali lagi. "It"s fine, Jan. kamu nggak perlu minta maaf untuk papi kamu,"
ucap Ben. "Papi memang orangnya" agak sulit."
Ben memutar bola matanya dan mengatakan, "Tell me about it," dalam hati.
"Kalian membicarakan apa di taman belakang?"
"Nggak ada yang penting," ucap Ben. Dia menolak menghabiskan energy memikirkan kata-kata
Papi Jana yang masih membuatnya naik darah.
"Kira-kira berapa lama waktu yang Erga dan Raka butuhkan sebelum mau ketemu aku lagi?"
tanyanya, mengalihkan percakapan mereka.
Jana terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku nggak bisa pasti, tapi mungkin 24 jam " aku akan
lihat keadaan mereka besok pagi dan kasih tahu kamu. Kita coba membiasakan ide kamu sebagai
ayah mereka pelan-pelan. Mulai dari makan malam di rumah besok, mungkin" Aku yakin Raka
nggak pa-pa, tapi Erga?"
"Dia lebih sensitive."
"Ya." Ben memijat pelipisnya. Pusing memikirkan hidupnya yang sudah jungkir-balik nggak karuan
selama sebulan ini. Selama ini dia selalu berpikir dia tipe orang yang mampu menghadapi
tantangan jenis apa pun yang diberikan padanya, tapi semua tantangan itu tidak ada apa-apanya
dengan apa yang dia hadapi sekarang. Dia tidak pernah ragu dalam mengambil keputusan, itu
sebabnya dia salah satu konsultan manajemen terbaik di perusahaannya, karena dia hanya perlu
memikirkan apa yang terbaik baginya atau proyeknya, peduli setan dengan yang lain. Tapi dalam
situasi ini, dia tidak bisa menggunakan logika yang sama. Dia harus mengutamakan apa yang
terbaik untuk anak-anak, peduli setan dengan dirinya. Kata-kata Papa tentang menjadi laki-laki
sejati terngiang kembali. Menurut beliau, seorang laki-laki tidak akan menjadi laki-laki sejati
hingga mereka menjadi seorang suami sejati hingga mereka menjadi seorang ayah, dan dia tidak
pernah betul-betul mengerti kata-kata itu hingga sekarang.
Mengingatkan dirinya untuk mengucapkan terima kasih kepada Papa, Ben berkata, "Apa kamu
ada waktu kosong besok" Ada beberapa hal yang aku perlu bicarakan empat mata dengan
kamu." "Hal seperti apa itu?" Tanya Jana curiga.
"Hal yang nggak bisa dibicarakan melalui telepon. Gimana" Apa kamu ada waktu besok?"
"Ya, aku rasa aku bisa ke kantor agak siangan besok. Aku harus anter anak-anak ke sekolah dulu
besok pagi, habis itu aku bisa ketemu kamu di rumah. Gimana kalo kamu mampir ke rumah
sekitar jam 08.00?" "Oke. I"ll be there."
"Oke." "Jan?" panggil Ben sebelum Jana menutup telepon.
"Ya?" "Cium Erga dan Raka dari aku. Bilang ke mereka" I love them," ucap Ben dan berusaha tidak
tersedak ketika mengucapkannya.
Meskipun Ben tidak bisa melihatnya, tapi dia yakin Jana sedang tersenyum ketika berkata, "I
will." Lama setelah Jana sudah menutup telepon, Ben masih menempelkan ponsel pada daun
telinganya untuk membisikkan, "And I Love You."
*** Jana menemukan Ben sudah menunggunya ketika dia sampai di rumah setelah mengantar Erga
dan Raka. Ben tidak mengatakan apa-apa, hanya mencium pipinya sebelum duduk di sofa.
Wajahnya kelihatan tertutup, membuat jantung Jana deg-degan. Rasa panic yang dia rasakan tadi
malam setelah men dengar permintaan Ben kembali lagi. Hanya ada satu alasan kenapa Ben ingin
berbicara dengannya langsung. Dia hanya berharap ketakutannya ini tidak berdasar,


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengambil tempat duduk di ujung sofa sebelum memulai pembicaraan. "Apa yang kamu
ingin bicarakan?" "I"m ready," potong Ben.
"Excuse me?" Tanya Jana bingung.
"Aku siap jadi ayah Erga dan Raka. Kamu kasih aku waktu satu bulan untuk betul-betul
mempertimbangkan ini. Well, aku sudah mempertimbangkannya. Aku mau jadi bagian
permanen kehidupan mereka. Aku mau mereka manggil aku "Ayah"."
"Ben, slow down?"
Seakan tidak mendengarnya, Ben melanjutkan, "Ya, mungkin aku lebih milih mereka tahu aku
ayah mereka dalam situasi lain, tapi aku bersyukur mereka akhirnya tahu." Ben berhenti sesaat
untuk mengambil napas, "Aku mau kamu melegalisasi aku sebagai ayah biologis mereka supaya
aku bisa mulai ngurus pembayaran tunjangan anak yang tertunda. Mulai detik ini aku akan
pastiin mereka menerima support keuangan sampai mereka bisa berdiri sendiri."
"Ben, aku nggak?"
"Tolong jangan tolak ini, Jana. Ini satu-satunya cara yang bisa aku pikirkan sekarang untuk
mastiin masa depan mereka terjamin. Mereka anak-anakku, aku wajib menjaga mereka. Kamu
udah jagain mereka selama tujuh tahun ini, sekarang giliran aku."
Jana hanya bisa menganga, terlalu banyak hal yang berkelebatan di dalam kepalanya sehingga
otaknya tidak tahu mana dulu yang harus diprioritaskan.
"Kalo bisa aku mau menyelesaikan semua ini dalam minggu-minggu ini karena aku harus ke
Chicago pertengahan bulan ini," lanjut Ben.
Dan Jana merasa seperti baru ditampar. Bagaimana mungkin satu menit dia bilang mau Erga dan
Raka memanggilnya "Ayah" dan menit selanjutnya dia berencana meninggalkan mereka"
"Are you kidding me?" teriak Jana sebelum dia bisa menahan diri lagi. "Itu sebabnya kenapa
kamu ngomongin tunjangan anak, supaya kamu bisa ninggalin mereka tanpa ngerasa bersalah?"
"Jana, kamu nih ngomong apa sih?" Tanya Ben bingung.
"Nggak usah pura-pura bingung. Kamu tahu persis apa yang aku lagi omongin. Aku nggak tahu
apa kamu bahkan ngerti maksud kata permanen, Ben, karena di kampus aku permanen
maksudnya kamu akan ada di sini untuk anak-anak, bukan beribu-ribu mil jauhnya. Dan jangan
pikir hanya dengan uang semua masalah akan terselesaikan."
"Jana, dengerin aku. Kamu udah salah mengerti," Ben mengangkat kedua tanganya, mencoba
menenangkan dan Jana langsung meledak.
"You know what, Ben" Aku ada ide yang lebih baik lagi untuk kamu. Gimana kalo kamu keluar
dari rumah ini sekarang juga" Bawa sekalian tunjangan anak kamu itu dan nggak kembalikembali lagi. Aku dan anak-anak nggak perlu charity dari kamu."
Satu detik Jana melihat Ben yang duduk di seberang sofa sedang menatapnya dengan penuh
kebingungan, detik selanjutnya, dia menemukan dirinya sudah setengah telentang dengan kepala
menyandar pada lengan sofa dan wajah Ben hanya sekitar sejengkal dari wajahnya. Kedua
tangannya tidak bisa bergerak. Yang satu tertindih badannya sendiri, sedangkan yang satu lagi di
jepit tangan Ben. Ben kelihatan siap mengamuk. Bibirnya tertarik lurus dan matanya berapi-api.
"Jangan pernah kamu berani menggunakan kata charity untuk ngegambarin kamu dan anak-anak
di depan aku lagi. Do you hear me" NEVER!" desis Ben.
Jana hanya sempat mengatakan, "What?" sebelum telapak tangan Ben mendarat menutupi
mulutnya, dengan begitu menghentikannya dari berkata-kata.
"Kamu dan anak-anak adalah hidup aku. HIDUP AKU. Ngerti kamu?" ucap Ben tegas.
"Ngangguk kalo kamu ngerti."
Tidak tahu lagi apa yang bisa dia lakukan selain menuruti perintah Ben, Jana mengangguk dan
Ben langsung melepaskannya. Dan untuk beberapa menit Jana hanya bisa terbaring di sofa,
mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi. Ketika dia bisa mengumpulkan cukup energy
untuk duduk beberapa menit kemudian, dia menemukan Ben berdiri kaku di seberang ruangan.
"You okay?" tanyanya.
"Yeah," jawab Jana
Ben mengangguk, tapi tidak berusaha mendekat. Dengan susah payah Ben mencoba mengontrol
kemarahan yang jelas-jelas masih menyelimutinya kalau dilihat dari gerakan naik-turun dadanya.
Tapi lambat-laun Jana melihat kerutan wajahnya mengendur dan ekspresi kemarahan berganti
menjadi keraguan. Jana kenal betul ekspresi itu, ekspresi yang Ben akan paparkan kalau ada
sesuatu yang ingin dia bicarakan namun tidak tahu bagaimana memulainya. Tapi kemudian Ben
menarik napas, dan Jana melakukan hal yang sama.
"Untuk sepulu menit ke depan, bisa kamu dengerin apa yang aku harus omongin tanpa
menyela?" tanyanya. Jana tidak menyukai permintaan yang terdengar seperti perintah ini, tapi melihat betapa
seriusnya Ben, dia mengangguk.
"Aku harus pergi ke Chicago pertengahan bulan ini karena minggu lalu aku udah resmi resign
dari kerjaanku. Aku harus balik ke kantorku di sana untuk ngeberesin meja dan beberapa hal
kantor lainnya. Setelah itu aku akan ngurus kepindahanku ke Jakarta yang mungkin akan makan
waktu sebulan, bisa lebih. Tapi aku akan usahakan untuk udah kembali sebelum ulang tahun
anak-anak." Seperti tidah tahan jauh-jauh darinya, Ben perlahan-lahan mendekat. "Minggu depan aku ada
interview pekerjaan baru di salah satu perusahaan konsultan manajemen di Jakarta. Mereka perlu
senior consultant. Kalo aku dapet kerjaan ini, then it"s good, tapi kalo aku nggak dapet, aku bisa
cari yang lain." Jana mengangguk meskipun Ben tidak melihatnya, yakin Ben akan mendapatkan perkerjaan itu.
"Minggu lalu aku juga mulai lihat-lihat rumah. Dan rasanya aku udah nemuin satu yang cocok.
Ukurannya besar dan cukup untuk keluaga anak tiga. Letaknya persis di tengah-tengah antara
kantor kamu dan sekolah anak-anak. Ada halaman belakang yang cukup luas, yang bisa digali
untuk dijadiin kolam renang kalo memang itu yang kamu mau untuk anak-anak. Areanya di
gated community, jadi anak-anak bisa main di luar rumah kalo mereka mau tanpa kamu harus
khawatir bakal ketabrak mobil atau diculik orang atau apalah."
Semakin lama Ben menggambarkan rumah itu, semakin bingung Jana dibuatnya. Kenapa Ben
mencari rumah besar yang menurutnya cukup untuk keluarga beranak tiga, toh dia hanya akan
tinggal di rumah itu sendiri" Detik ketika dia menyadari rencana Ben adalah detik ketika Ben
mengatakan, "Aku mau beli rumah itu untuk kamu dan anak-anak. Aku mau kau, Erga, dan Raka
sepenuhnya dibawah penjagaan aku. Aku mau mengurus kalian bertiga. Aku akan pastikan kamu
dan anak-anak nggak akan pernah kekurangan apa pun selama aku ada. Dan aku akan mulai
dengan minta kalian tinggal di rumah aku."
Pada saat itu Ben mendekat dan duduk di sampingnya. Jana hanya bisa memperhatikan
gerakannya tanpa berkata-kata. Ben menatapnya dalam-dalam sebelum mengatakan, "Aku mau
jadi bagian kehidupan kamu, Erga, dan Raka, dan aku bukan ngomongin tentang bisa nganter
mereka ke sekolah setiap hari atau ngabisin akhir minggu aku sama kamu dan anak-anak. Aku
mau ngabisin setiap hariku" setiap jam, menit, dan detik dengan kalian, tapi terutama kamu.
Karena aku yakin aku nggak akan bisa" atau mau hidup tanpa kamu lagi."
Jana hanya bisa berkedip. Melihatnya diam saja, Ben meraih kedua tangannya dan
menggenggamnya erat sebelum menjatuhkan bom atomnya.
"Aku mau membangun kehidupan dengan kamu dan aku berharap kamu menginginkan hal yang
sama dengan aku. Nikah sama aku, Jan. aku mau jadi suami kamu dan ayah anak-anak kita."
*** Ben tahu ini permintaan gila, terutama karena dia tahu kemungkinan Jana menolaknya adalah
Sembilan puluh persen, tapi dia tidak akan menariknya kembali. Ben membiarkan Jana
memproses kata-katanya, tapi ketika mulut Jana masih menganga juga setelah beberapa menit,
dia mulai khawatir dan tahu harus mengambil beberapa langkah mundur.
"I know this is a lot to ask. Aku minta maaf karena memborbardir kamu dengan semua
permintaan ini pada saat bersamaan. Aku Cuma nggak ngeliat cara atau waktu lain yang lebih
tepat untuk ngomongin ini ke kamu."
Jana mengatupkan mulutnya dan Ben melihatnya susah payah menelan ludah dan akhirnya
bersuara. "Gimana bisa kamu minta ini semua dari aku hanya setelah kenal aku lagi selama
sebulan, Ben?" "Nggak sebulan. Sembilan tahun." Jana menatap Ben bingung dan Ben menjelaskan, "Kita udah
kenal satu sama lain selama Sembilan tahun."
"Dimana hampir delapan tahunnya kita habiskan nggak menghiraukan satu sama lain," sangkal
Jana. "Hanya karena kamu nggak menghiraukan aku semala ini, bukan berarti aku nggak terus-terusan
mikirin kamu." Sejenak mata Jana melebar, terkejut mendengar pengakuannya. "Look, aku nggak minta jawaban
sekarang. Aku Cuma minta kamu mempertimbangkan permintaanku. Can you do that for me?"
pinta Ben. Wajah Jana memaparkan gejolak emosi yang sedang berperang di dalam dirinya. Dalam hati Ben
berdoa agar Jana mengikuti sarannya dan mempertimbangkan situasi ini terlebih dahulu,
bukannya langsung menolaknya. Jana menarik kedua tangannya minta di lepaskan, dan dengan
berat hati ben melepaskannya.
"Kenapa kamu mau nikah sama aku?"
Kata-kata itu diucapkan dengan begitu pelan, sehingga Ben hampir tidak mendengarnya, tapi dia
mendengarnya dan ketika sadar apa yang Jana baru tanyakan, dia harus dengan susah payah
mengontrol omelan yang siap keluar dari mulutnya. Bagaimana mungkin Jana menanyakan ini
padanya" Tidakkah dia mendengarkan semua yang baru saja dia katakana" Dia sudah
mengatakan dan melakukan segala sesuatu yang dia tahu dan mampu lakukan untuk
menyakinkan Jana bahwa dia serius. Apa lagi yang dia inginkan darinya" Tersinggung karena
kata-kata tulusnya dipertanyakan, Ben menembakkan jawaban pertama yang terlintas di
kepalanya. "Karena aku cinta kamu."
Bukannya kelihatan luluh mendengar kata-katanya, Jana justru mengerutkan dahi sebelum
bertanya dengan nada ngeledek, "Karena kamu cinta aku?"
"Iya, kenapa kamu kelihatan nggak yakin gitu" Kamu tahu kan kalo cinta adalah alasan utama
kenapa orang mau nikah?"
"Dan aku juga tahu hanya karena orang saling cinta, bukan berarti mereka harus nikah."
Menolak bertengkar dengan Jana, Ben memilih humor dengan mengatakan, "Apa ini cara kamu
untuk bilang ke aku kalo kamu juga cinta aku?"
Ben menyangka Jana akan menolak mentah-mentah asumsi tersebut, tapi yang ada Jana malah
menggigit bagian dalam mulutnya dan memaparkan wajah ragu. Membutuhkannya beberapa
detik untuk memahami reaksi Jana ini.
"Jan, apa kamu masih cinta sama aku?" tanyanya dengan hati-hati.
Mata Jana sejenak terbelalak, seakan tidak percaya Ben berani-beraninya menanyakan hal ini
padanya. Dia kemudian membuka mulutnya seakan siap meneriakkan sumpah serapah, tapi tidak
ada sepatah kata pun yang keluar. Ben melihat Jana melakukan ini dua kali lagi sebelum
akhirnya dia membuang muka sambil mendesis, "We"re not having this conversation."
Dengan kata-kata ini Jana buru-buru bangun dari sofa, tapi Ben yang sudah mengantisipasi
tindakan ini langsung mencengkeram pergelangan tangan kanannya dan menariknya dengan
agak kasar sehingga Jana terbanting duduk kembali.
"We Are having this conversation. Right here, right now. Jawab aku, Jana. Apa kamu masih
cinta sama aku?" BAB 24 We"re star catching, baby
Always star catching "GODDAMMIT, Ben. Lepasin tangan aku. Apa perlu kamu pake kekerasan untuk bikin wanita
tunduk sama kamu?" omel Jana sambil dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan pergelangan
tangannya dari cengkeraman Ben.
Sebagai jawaban atas pertanyaan Jana, Ben justru mengeratkan genggaman tangannya. "Kamu
masih belum ngejawab pertanyaanku, sweetheart."
"Sweetheart" Sweetheart?""!!! Screw this!!! Aku menolak diperlakukan seperti ini sama siapa
pun, terutama sama kamu," teriak Jana dan melayangkan kepalan tinju dengan tangan kirinya ke
dada Ben. Dengan sigap Ben meraih tangan itu sebelum kepalan tinju itu mengenai tubuhnya. Ben tidak
tahu kekuatan kosmik apa yang sedang memengaruhi zodiaknya sebulan belakangan ini, yang
membuat para wanita di dalam hidupnya spertinya ingin membuatnya memar-memar, tapi yang
jelas dia sudah muak diperlakukan seperti sansak. Dia hanya ingin Jana menjawab
pertanyaannya. Itu saja. "Kamu Cuma perlu kasih jawaban atas pertanyaanku dan setelah itu aku akan lepasin kamu. Aku
akan Tanya sekali lagi. Are. You. Still. In. love. With. Me?"
Jana berontak sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri tanpa sukses, karena setiap kali dia
melakukannya semakin erat pula genggaman Ben.
"YES, I"M STILL IN LOVE WITH YOU! GODDAMN YOU. Puas kamu sekarang" Teriak
Jana akhirnya dan untuk pertama kalinya berhenti berontak.
Sesuai janjinya Ben melepaskan genggamannya pada kedua pergelangan tangan Jana, yang
langsung mengusap-usapnya sambil memberikan tatapan "Kamu bajingan nggak bermoral yang
sudah memaksakan kehendaknya pada wanita". Dan Ben tahu dia tidak seharusnya tersenyum
atau merasakan kebahagiaan yang tidak tergambarkan, tapi dia tidak bisa menahan diri lagi.
Hatinya terasa seperti akan meledak, tidak lagi mampu menampung kebahagiaan yang
menggebu-gebu. Senyuman yang semakin lama semakin lebar sudah menghiasi wajahnya.
"Ya, aku puas," ucap Ben sambil nyengir, alhasil membuat Jana megap-megap. "Aku rasa
percakapan kita udah selesai. Kamu sebaiknya berangkat ke kantor sekarang kalo nggak mau
terlalu kesiangan. Aku akan ke sini untuk makan malam nanti. Jam 19.000 oke sama kamu?"
lanjutnya sambil bangun dari sofa. Melihat Jana masih tidak bisa berkata-kata, dia menunduk
untuk mencium pipinya dan membisikkan, "I"ll see you at seven, J."
Dia sudah setengah jalan menuju mobil ketika mendengarkan Jana yang akhirnya sadar kembali
dari kekagetannya, meneriakkan sumpah serapah padanya.
*** Pukul 18.50 Ben sudah berdiri di depan pintu rumah Jana namun tidak bisa membuat dirinya
menekan bel. Rasa nervous yang tidak tergambarkan tiba-tiba menyerangnya. Dia terlalu excited
ketika bersiap-siap beberapa jam yang lalu dan dalam perjalanan ke sini, namun sepertinya
adrenalinnya kini sudah habis sama sekali, meninggalkannya dengan jantung berdebar-denar
nggak karuan dan tangan gemeteran. Ben mengepalkan kedua tangannya, mencoba mengontrol
getaran itu. Jesus Christ!!! Dia bukan saja nervous, tapi ketakutan setengah mati.
Stop being a pussy! Mereka hanya anak kecil, bukan pasukan tembak mati, omel Ben dalam hati.
Menyadari apa yang baru terlintas di dalam pikirannya, Ben menggeleng dan tertawa garing.
What the hell is he talking about" Saat sekarang, dia lebih memilih berhadapan dengan pasukan
tembak mati daripada anak-anaknya. Tahu dia tidak bisa menunda apa yang akan terjadi, Ben
mengangkat tangannya untuk menekan bel. Dia tidak pernah menekan Bel sebelumnya, biasanya
langsung masuk saja, tapi hari ini dia tidak tahu apakah kehadirannya diinginkan di rumah ini,
oleh karenanya dia menekan bel. Namun pada saat itu pintu pintu rumah terbuka dan Jana berdiri
di hadapannya. Mengingat apa yang terjadi di antara mereka beberapa jam lalu, Ben bersyukur
Jana setidak-tidaknya tidak menatapnya dengan tatapan siap perang.
Kemudian tatapannya jatuh pada blus katun tipis yang dikenakan Jana dan Ben hanya bisa
berkedip. Saking tipisnya blus itu dia bisa melihat warna dan motif bra yang dikenakan Jana.
Biru langit renda-renda. Ditambah dengan senyuman yang dipaparkannya seakan Jana memang
sengaja mengenakan bra ini untuk menyambut kedatangannya, otak Ben langsung korslet dan dia
hanya bisa mendesahkan, "Hey," dengan garingnya.
Jana hanya mengangkat alisnya bingung atas reaksinya dan mengatakan, "Apa kamu berencana
untuk masuk ke rumah dalam waktu dekat ini, Ben?" dengan nada bercanda dan melangkah ke
samping mempersilahkannya masuk.
Untuk mengalihkan perjatiannya dari blus Jana, Ben mencium pipinya dan bertanya, "Erga dan
Raka di mana?" "Di atas. Aku masih harus nata meja makan. Kamu bisa langsung ke kamar main mereka kalo
mau. Mereka tahu kamu akan ke sini jadi mereka nggak akan kaget ngeliat kamu. Aku kasih tahu
kalo makan malam udah siap."
"Apa mereka oke aku dateng ke sini malam ini?"
"Yes, they"re okay. Aku nggak akan kasih kamu ketemu mereka kalo menurutku mereka nggak
siap." Ketika Jana melihat Ben masih berdiri di hadapannya dia mencoba menyakinkan dengan
mengatakan, "Go."
Ben langsung ngacir menuju tangga, bukan saja karena dia harus menghindari Jana dan
keinginannya untuk menariknya ke dalam pelukannya, tapi karena dia sudah tidak sabar ingin
bertemu anak-anaknya. Ketika dia sampai di depan pintu kamar yang setengah terbuka, Ben
mengetuknya sebelum mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Erga dan Raka yang sedang
tengkurap di atas karpet sambil main dengan robot-robot Transformers mendongak. Tatapan
yang mereka berikan padanya hampir membunuhnya. Mereka bukan saja kelihatan nervous, tapi
takut. Erga bahkan kelihatan sedikit curiga.
Panic nggak ketolongan dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan dalam situasi ini, karena
jelas-jelas tidak ada manual yang pernah dia baca tentang cara berkomunikasi dengan anak kecil
yang baru saja tahu bahwa Oom Ben yang selama ini main dengan mereka adalah ayah mereka,
Ben mengikuti instingnya dengan menyapa, "Halo, Erga, Raka," sebelum menurunkan tubuhnya
ke karpet dan merangkak mendekati mereka.
"Hai," sapa Raka, yang memberikan senyuman kecil padanya.
"Halo," ucap Erga sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada robotnya.
Ben melihat bahwa Raka sebetulnya ingin mendekat, tapi karena kembarannya diam saja,
sebagai tanda solidaritas dia pun melakukan hal yang sama. Untuk beberapa menit tidak ada dari
mereka yang mengatakan apa-apa. Erga dan Raka tetap focus pada robot mereka dengan Raka
sesekali melirik padanya di antara mengeluarkan suara berantem-beranteman. Mereka stuck
dalam posisi itu hingga Ben tidak tahan lagi.
"Apa kalian marah sama?" Ben ragu sesaat, tidak tahu bagaimana harus menyebut dirinya.
"Oom Ben" tidak lagi tepat untuk di gunakan, mengingat kini Erga dan Raka tahu dia ayah
mereka, tapi memanggil dirinya "Ayah" juga terdengar asing. "Apa kaliam marah sama Oom
Ben?" Ben mengulangi pertanyaanya, sambil meringis ketika mendengarnya mengucapkan
"Oom Ben"/ Raka mendongak menatapnya dan menggeleng, membuat Ben tersenyum. Erga tidak
mendongak, tapi dia mendengarnya menggumamkan, "Nggak."
"Jadi kalian nggak pa-pa kalo Oom main ke sini?"
Erga hanya mengangkat bahunya, untungnya Raka mengangguk sambil tersenyum malu-malu,
membuat Ben merasa lebih baik. Ben berpikir sejenak. Ada satu pertanyaan penting yang ingin
dia tanyakan semenjak kemarin. Pertanyaan yang membuatnya tidak bisa tidur tadi malam
karena hatinya di gerogoti oleh kekhawatiran. Betapapun berat untuk menanyakannya, tapi dia
mesti mendapatkan jawaban. Kalau Erga dan Raka menjawab"Tidak" atas pertanyaan ini, dia
tidak akan pernah mengganggu mereka lagi. Meskipun itu akan membunuhnya, tapi dia akan
menuruti kemauan mereka. Menolak menyiksa diri dengan ketidakpastian, Ben bertanya, "Apa


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian mau Oom jadi ayah kalian?"
Ben menunggu jawaban pertanyaannya dengan jantung berdebar-debar. Dia yakin Erga dan Raka
bisa mendengar detak jantungnya yang sudah seperti gebukan drum music aliran Death Metal.
Raka yang sepertinya mengerti dilemanya tidak membuatnya menunggu lama untuk
mengangguk sambil tersenyum sumringah. Namun Erga sepertinya menikmati membuatnya
panas-dingin terlebih dahulu sebelum akhirnya mengangguk. Ben mengembuskan napas lega.
Embusan naapasnya ini rupanya lebih keras daripada yang dia antisipasi, membuat Erga
mendongak menatapnya. Mata Erga sudah berkaca-kaca, siap menangis, meskipun dia berusaha
sekuat tenaga menahannya kalau dilihat dari getaran pada dagunya. Keinginan menarik Erga ke
dalam pelukannya untuk mengusir kesedihan putranya itu membuat dadanya sesak.
Dia baru saja mendapatkan napasnya kembali ketika pertanyaan Erga membuatnya terkena
serangan jantung. "Apa aku sama Raka sekarang harus manggil Oom Ben "Ayah?""
Oh dear God, please, yes!!! Teriak Ben dalam hati. Untungnya dia bisa mengontrol emosinya
sebelum membuat Erga dan Raka takut dengan teriakkanya. Menyadari bahwa percakapan ini
harus dilakukan dengan sangat hati-hati, perlahan-lahan Ben menarik tubuhnya untuk duduk.
"Itu terserah kalian. Kalian bisa terus manggil Oom "Oom Ben", atau?" Ben tersedak dan
menelan ludah sebelum melanjutkan, ?"Ayah", kalo kalian mau."
Erga berkedip dan Raka mengangguk. "Bunda bilang Oom mesti pergi jauh bulan ini," ucap
Raka. Ben agak sedikit terkejut bahwa Jana sempat membicarakan ini dengan anak-anak dalam waktu
beberapa jam saja. "Iya, Oom ada urusan yang mesti di selesaikan."
"Apa Oom bakal balik lagi ke sini?"
"Tentu aja Oom bakal balik lagi. Oom bakal nalik sebelum ulang tahun kalian, oke?"
Raka mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apa Oom rencana pergi jauh ninggalin kita lagi
setelah ini?" Tanya Erga.
Remuk-muk-muk hati Ben mendengar pertanyaan Erga. Dia menarik napas dalam-dalam
sebelum berkata, "Nggak akan.. oom janji nggak akan ninggalin kalian lagi."
Erga mengangguk. "Apa Oom bakal nikah sama Bunda dan tinggal di sini?" lanjutnya.
Ben mengulum senyumnya melihat tatapan penuh harap Erga dan Raka. "Itu terserah Bunda.
Oom udah minta Bunda nikah sama Oom, tapi Bunda nggak mau."
"Bunda nggak mau?" teriak Erga
"Kenapa Bunda nggak mau?" teriak Raka
Serentak kedua anaknya langsung duduk bersila di atas karpet dan menatapnya dengan mata
terbelalak, membuat Bentersenyum. "Gimana kalo kamu Tanya ke Bunda tentang itu, oke?"
Ben hampir saja meledak tawanya melihat ekspresi penuh tekad yang diberikan Erga dan Raka.
Pada saat itu dia bersyukur dia bukan Jana, lalu dia mengingatkan dirinya agar tidak berada di
dalam satu ruangan dengan Jana ketika anak-anaknya memutuskan menginterogasikan Bunda
mereka. "Oom Ben?" panggil Raka.
"Ya, Raka?" "Apa Oom Ben sayang sama aku dan Erga?" Raka kelihatan ragu dan menunduk. "Maksudku,
kayak Bunda sayang sama kami" Aku pikir karena Oom ayah Raka dan Erga, Oom mungkin
juga sayang sama kami. Aku Cuma mau tahu aja."
Ben hanya bisa megap-megap menatap ubun-ubun Raka dan mengalihkan perhatiannya ke Erga
yang menatapnya tanpa berkedip. Kerongkongannya tiba-tiba kering dan kata-kata yang sudah
sering terlintas di dalam pikirannya, yang hanya bisa dia ucapkan kepada mereka di dalam hati
atau ketika mereka sedang tertidur jadi tidak bisa mendengarnya, nyangkut tidak bisa keluar.
Matanya mulai berasa panas dan hidungnya mulai berair dan dia yakin sebentar lagi dia akan
menangis. Dengan susah payah dia mengontrol emosinya. Dia tidak mau membuat anak-anaknya
berpikir bahwa dia laki-laki yang gampang nangis. Laki-laki tidak pernah menangis. Apalagi
laki-laki keluarga Barata. Ya, dia tahu itu semua hanya a load of bullshit, mengingat dia sudah
menangis meraung-raung sebulan yang lalu, tapi dia tetap tidak ingin ingatan pertama anak-anak
tentangnya adalah bahwa ayah mereka sudah menangis kayak cewek di depan mereka. So not
cool!!! Alhasil dia harus berdeham beberapa kali sebelum akhirnya bisa berkata-kata. "Oom sayang
sekali sama kalian, lebih dari apa pun juga." Ucap Ben.
Selang sedetik Raka berkata, "Oh, oke kalo gitu." Erga hanya mengangguk.
Detik selanjutnya Erga dan Raka sudah menyerangnya dengan pelukan mereka. Kedua lengan
mereka melingkari lehernya dan wajah mereka terkubur pada lehernya. Erga di sebelah kiri dan
Raka di sebelah kanan. Yang ben bisa lakukan adalah memeluk mereka balik dengan seerateratnya. Ini adalah pelukan pertama mereka sebagai ayah dan anak-anak dan dia tidak pernah
merasa betul-betul menjadi seorang ayah, hingga detik ini. God, he loves them to death. Dia
bahkan tidak tahu bahwa dia mampu mencinta seseorang sedalam ini. Segala kekosongan yang
dia rasakan selama ini perlahan-lahan mulai tertutup. Dia sudah mendapatkan 66 persen
keluarganya. Yang dia butuhkan adalah 34 persen lagi dan keluarganya akan komplet. Hidupnya
akan komplet. *** Beberapa hari berlalu dengan begitu cepat sehingga tanpa Jana sadari lima hari sudah lewat. Ben
pergi wawancara pekerjaan di perusahaan yang di sarankan mantan bosnya dan kelihatannya
wawancara itu berjalan lancar karena Ben tersenyum lebar ketika bertemu dengannya sore itu.
Well, Ben memang selalu tersenyum lebar kalau melihatnya, tapi kali ini senyumannya
ekstralebar. "I guess interview-nya goes well?" Tanya Jana sambil melepaskan sepatunya.
"Yep," jawab Ben pendek sambil menunggu hingga Jana mengenakan sandal rumah sebelum
mencium pipinya. Reflex, Jana mencium Ben balik. Dia menangkap aroma sabun dan sampo
Johnson& Johnson milik anak-anak. Sepertinya sekali lagi Ben sudah mandi di kamar mandi
anak-anak dan menggunakan sabun dan sampo mereka. Semenjak identitas Ben sebagai ayah
anak-anak terbongkar, Ben menghabiskan setiap detik waktunya dengan mereka seakan besok
akan kiamat dan Jana berusaha mengakomondasi situasi ini sebaik mungkin mengingat Ben akan
berangkat ke Amerika sebentar lagi dan nggak bisa ketemu anak-anak sesering sekarang.
Meskipun begitu, dia berusaha menjaga jarak anatara anak-anak dengan Ben agar mereka tidak
terlalu lengket. Dia tahu anak-anak akan mengalami masalah berpisah dengan Ben waktu saatnya
tiba. Dia tidak mau menjadi orangtua yang harus menenangkan mereka setiap malam kalau
mereka nangis kangen dengan Ben sementara Ben berleha-leha di Chicago. Oleh karena itu,
tidak peduli berapa kali anak-anak memintanya membolehkan Ben menginap, dia selalu
mengatakan tidak. Satu kali sudah cukup, nggak pakai dua kali. Namun sebagai kompromi, dia
harus membolehkan Ben mandi bahkan meninggalkan beberapa helai pakaiannya di rumah.
Sejujurnya kompromi ini bukan hanya karena dia tidak ingin dicemberuti anak-anaknya karena
keukeuh dengan pendiriannya tentang inap-menginap, tapi juga karena dia merasa sedikir
bersalah terhadap Ben. Sampai sekarang dia masih tidak bisa membalas kata cinta Ben atau
menolaknya dan membiarkannya move-on dan berhenti mengharapkannya. Dia merasa seperti
sedang main yoyo dengan perasaan Ben, tapi tidak peduli cara apa yang dia gunakan untuk
memberanikan diri mengatakan "Tidak" kepada Ben, dia selalu mundur pada saat-saat terakhir.
Alhasil selama beberapa hari ini Jana bersikap seakan-akan pembicaraan penting mereka tidak
pernah terjadi dan untungnya Bn sepertinya mengerti dilemanya, sehingga dia tidak pernah
menyinggungnya juga. "So mereka bilang apa?" Tanya Jana, kembali focus pada percakapan mereka.
"Mereka bilang akan kontak aku lagi secepatnya sebelum aku berangkat ke Amerika untuk
interview selanjutnya kalo aku di short-list."
"Interview selanjutnya?" Tanya Jana sambil berjalan menuju ruang makan. "Memangnya ada
berapa interview untuk ngedapetin kerjaan itu?" dia bisa mencium aroma nasi goreng dan telur
dadar. Dan indra penciumannya mendapat konfirmasi ketika dia melihat dua menu ini di atas
meja makan. Kini giliran Ben yang mengangkat bahu. "Tiga. Pertama, dengan orang yang akan kerja sama
aku. Kedua, dengan HRD . ketiga, dengan senior partner perusahaan."
"What" That is crazy! Mereka harus interview sebegitu banyak untuk posisi senior consultant?"
"Well, sebelum wawancara yang ini aku juga harus ngambil tes personality dan IQ. Dan aku
nggak tahu apa proses ini normal atau nggak untuk Indonesia, tapi aku ikutin aja kemauan
mereka, toh nggak ada ruginya. Hitung-hitung belajar proses lamaran kerja di Indonesia kalo aja
aku nggak dapet kerjaan yang ini."
"Oh, you"ll get the job. They"ll be crazy not to have you."
"Awww" that is sweet. Thanks, babe," ucap Ben dengan nada bercanda
Jana mengerutkan keningnya. "Kamu bisa nggak berhenti manggil aku "babe?" itu bikin aku
ngerasa kayak piggy di film "Babe."
Ben kelihatan berpikir sejenak, mencoba mengingat film itu mungkin, sebelum tertawa terbahakbahak dan Jana hanya bisa bertolak pinggang menunggu hingga dia berhenti. Pada saat itu dia
mendengar dua pasang langkah kecil menuruni tangga, tidak lama kemudian Erga dan Raka
muncul di ujung tangga. "Bundaaa," teriak Raka dan berlari memeluknya.
Jana menunduk mencium kepala Raka, kemudian Erga.
"Anak-anak Bunda apa kabarnya hari ini?"
"Baik," jawab Raka dan Erga bersamaan.
"Pe-er udah selesai?"
"Dah," jawab Erga
Jana melirik kepada Raka yang tidak menjawab namun justru mengambil posisi di meja makan.
"Raka" Pe-er kamu gimana?"
"Udah selesai dari tadi. Cuma ada satu dan gampang banget, ya kan, Ga" Ayo, Bunda duduk
supaya kita bisa makan. Aku laper."
Jana melirik Ben, meminta kepastian dan mendapatinya kelihatan terhibur dengan kelakuan
Raka. Satu hal yang dia dapati tentang Ben selama sebulan ini adalah dia tidak pernah sekali pun
mengomeli anak-anak. Menurutnya segala sesuatu yang dilakukan mereka adalah "Lucu dan
menghibur" atau "pintar dan membanggakan". Intinya, di mata Ben anak-anak adalah malaikatmalaikat kecil yang turun dari surge. Sesuatu yang Jana tahu tidak benar sama sekali. Namun
Jana bisa memahami kenapa Ben sangat men-support anak-anaknya. Kehadiran Ben bukan saja
membongkar misteri siapa ayah Erga dan Raka, tapi juga asal-muasal kebandelan mereka.
Dan dia mungkin seharusnya mengomeli Ben karena sudah memberikan gen yang tidak-tidak
pada turunannya, tapi mengingat semenjak adanya Ben, dia semakin jarang dipanggil guru atau
Kepala Sekolah, maka dia berkesimpulan bahwa entah bagaimana. Ben mampu menyalurkan
semua ekstra energy dan kebandelan anak-anaknya ke sesuatu yang positif, seperti membuat
aktivitas membereskan rumah begitu menyenangkan hingga Jana mendapati rumah selalu
kelihatan rapi meskipun tanpa pembantu. Ya, memiliki Ben di dalam hidupnya sudah membuat
semuanya jadi lebih mudah. Untuk pertama kalinya dia tidak lagi merasa sendirian, bahwa ada
orang yang bisa membantu meringankan bebannya, dan memberikan emotional support yang
semakin sering dia perlukan untuk membesarkan anak-anak. Jadi kenapa dia tidak membuat
situasi ini permanen dengan menikahi Ben sekalian, toh dia mencintainya dan mereka sudah
menghabiskan begitu banyak waktu bersama-sama"
Itu mungkin karena mencintai Ben dan menikah dengannya sudah seperti mencoba menangkap
bintang. Posisi bintang-bintang di langit tidak pernah berubah dan kita selalu bisa melihatnya
setiap malam yang cerah pada posisi yang sama. Namun hanya karena kita bisa melihatnya dan
tahu posisinya, bukan berarti kita bisa menyentuhnya. Karena setiap kali kita mengangkat
tangan, tidak peduli seberapa tingginya, bintang-bintang itu akan selalu di luar jangkauan.
Mencoba menangkap bintang adalah aktivitas sia-sia, seperti juga mencintai dan bermimpi
menikah dengan Ben. Jana masih tenggelam dalam pikirannya sendiri ketika dia mendengar Erga memanggil-manggil
memintanya duduk. Dari sudut mata dia melihat Ben sedang memperhatikannya dengan
seksama. Takut Ben bisa membaca pikirannya, dia buru-buru menuruti permintaan Erga.
*** Ben menunggu kedatangan Jana dengan Erga dan Raka dengan sedikit tidak sabar. Pesawatnya
akan berangkat sejam lagi dan dia seharusnya sudah melewati imigrasi sekarang. Tapi dia tidak
bisa melakukannya karena masih menunggu kedatangan keluarganya. Ya, dia tahu apa yang dia
baru ucapkan dan dia akan mengucapkannya sekali lagi. KELUARGANYA. Dulu kalau dia
mendengar kata "keluarga", yang terlintas di kepalanya adalah Mama, Papa, dan Eva. Namun
kini kata itu berkonotasi tiga orang terpenting lain dalam hidupnya.
Where the hell are they?""!!! Omel Ben dalam hati. Dia tahu sekarang hari rabu malam dan
anak-anak besok sekolah, oleh sebab itu dia menawarkan untuk mampir ke rumah Jana dalam
perjalanan ke bandara untuk say goodbye dengan anak-anak daripada Jana harus nyetir ke
bandara malam-malam. Tapi karena itu berarti Ben harus mengitari Jakarta dan membuatnya
capek padahal dia masih harus menempuh lebih dari dua puluh jam terbang, Jana berkeras akan
menemuinya di bandara saja. Setelah beargumentasi bolak-balik, akhirnya Ben mengalah dan
menuruti rencana Jana. Kini dia menyesali keputusannya itu dengan sepenuh hatinya.
BAB 25 Nothing seems to help me since you went away
I"m so tired of this town
Untuk yang kesekian kalinya dia menelepon ponsel Jana dan untuk yang kesekian kalinya pula
panggilannya dibiarkan tidak terangkat. God, dia akan membunuh Jana kalau sampai terlambat
nongol di bandara. Dua jam lalu dia sampai di bandara di antar oleh Eva dan sopirnya. Setelah
selesai check-in dan Jana masih belum muncul juga, dia pikir Jana hanya terjebak kemacetan
saja dank arena dia tidak mau mengganggu Jana yang kemungkinan sedang nyetir, dia menunggu
hingga sejam baru kemudian meneleponnya. Sejujurnya, sekarang kekesalannya sudah beralih ke
khawatiran. Apa sesuatu terjadi pada Jana dan anak-anak, sehingga mereka terlambat datang"
Oh, dear God. Jangan biarkan apa-apa terjadi kepada mereka. Dan dengan begitu
kekhawatirannya berubah menjadi kepanikan.
"Ben, tenang, Ben. Mereka akan sampe sebentar lagi," ucap Eva mencoba menenangkannya,
namun tidak berhasil karena goyangan kakinya justru semakin parah.
Ben hanya bisa mengangguk dan duduk diam di bangku tempat banyak orang menunggu. Tidak
ada gunanya membuka mulut dan dengan tidak sengaja mengomeli Eva, toh yang ingin dia omeli
adalah Jana. Dan kemacetan Jakarta. Dan semua orang yang punya mobil dan memutuskan
nyetir mobil mereka mala mini dan menyebabkan jalan macet. Mmmhhh, sementara dia lagi
ngomel, tambahkan sekalian".
"Ayah!" Anak kecil itu memanggil-manggil ayahnya, sementara anak-anaknya sampai sekarang belum
memanggilnya "Ayah?" God, dia ingin meninju semua ayah yang memiliki kemewahan
dipanggil seperti itu oleh anak-anak mereka. FUCKING BASTARDS!!!
"AYAAAHHH!!!!" Ben mendengus kesal mendengar suara anak kecil itu semakin keras memanggil ayahnya. Serius
deh. Mana sih ayah anak itu" Apa dia tuli sampai nggak bisa dengar anaknya manggil-manggil
dari tadi" Pada saat itu dia mendengar Eva memanggil namanya sambil menarik-narik bahu
kemejanya. "Apa sih, Ev?" geram Ben pada Eva yang berdiri di hadapannya, yang tatapannya sedang
mengarah kepada satu titik di kejauhan.
"Ben, they"re here."
"Who?" "Anak-anak kamu, you idiot," omel Eva sambil menunjuk.
Ben mengikuti arah telunjuk itu dan menemukan Erga dan Raka sedang berlari ke arahnya
meneriakkan, "Ayaaah!!!"
Untuk beberapa detik Ben hanya bisa berdiam diri, tidak mempercayai penglihatan dan
pendengarannya. Apa Erga dan Raka memang ada di sini dan baru saja memanggilnya "Ayah?"
seakan ingin membuktikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi, Erga dan Raka melemparkan
diri mereka pada tubuh Ben dan sama-sama meneriakkan, "AYAAAHHH!!!"
Oh my God! Dia tidak sedang berhalusinasi. Anak-anaknyalah yang baru saja memanggilnya.
Oh! Dia tidak akan pernah melupakan momen ini. Momen saat anak-anaknya untuk pertama kali
mengakuinya sebagai milik mereka. Dia sudah menunggu momen ini semenjak mereka tahu
siapa dirinya hampir dua minggu lalu. Setiap kali dia mendengar mereka masih memanggilnya
"Oom Ben", semakin retak hatinya dibuatnya. Selama ini dia selalu mencoba meyakinkan diri
bahwa mereka perlu waktu untuk mulai memanggilnya "Ayah", tapi bukan berarti dia bisa tidak
mengeratkan rahangnya setiap kali mendengarnya. Namun sekarang, semua itu tidak penting.
Yang penting adalah mereka di sini, memeluknya seakan mereka tidak akan pernah mau
melepaskannya lagi. Which is fine by him, karena tidak yakin akan mampu melepaskan mereka.
Ben mengangkat tubuh Erga dan Raka dan mendudukkan mereka di pangkuannya dan
menghujankan berjuta-juta ciuman pada wajah mereka. Dia tahu tindakannya ini mungkin sudah
membuat mereka malu atau takut karena seorang ayah tidak seharusnya mencium anak laki-laki
mereka di depan umum dan menunjukkan kasih sayangnya sampai sebegini intensnya, tapi dia
tidak peduli. Dia mencintai anak-anaknya setengah mati dan sepertinya anak-anaknya merasakan
hal yang sama terhadapnya dan dia ingin semua orang satu bandara, bahkan satu dunia, tahu itu.
*** Jana tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berdiri diam beberapa meter dari Ben dan anakanaknya sambil menutup mulut dengan tangan kanan, mencoba menahan rasa haru yang dia
rasakan. Inilah pertama kali dia mendengar Erga dan Raka memanggil Ben "Ayah". Dan
bukannya merasakan kejanggalan dengan panggilan ini, dia justru merasakan a sense of
rightness. Tidak ada laki-laki lain yang lebih pantas dipanggil ayah oleh Erga dan Raka selain
Ben karena Ben adalah ayah terbaik yang bisa dia minta untuk anak-anaknya. Dan dengan begitu
Jana merasakan dirinya semakin jatuh cinta lagi pada Ben.
Oh God! Apa yang telah dia lakukan selama ini" Mencoba menjauhkan Ben darinya" Mencoba
melawan perasaanya" Tidakkah dia tahu itu sia-sia" Dia tidak akan pernah bisa melihat dirinya
dengan orang lain setelah ini Karen Ben sudah menghancurkannya untuk laki-laki lain. Sekarang
setiap kali dia memikirkan membagi hidupnya dengan seseorang, yang terlintas di kepalanya
adalah Ben. Dia mencintai Ben dengan seluruh hati dan jiwanya, dan dia tahu Ben merasakan hal
yang sama. Asumsinya terdahulu sudah salah. Mencintai Ben memang seperti mencoba
menangkap bintang, yang dia tidak pernah perhitungkan adalah bahwa terkadang bintang suka
jatuh ke bumi. Dan itulah Ben. Sebuah bintang yang sudah lama jatuh ke bumi untuk dirinya.
Seperti sadar dia sedang diperhatikan, Ben mendongak dan ketika tatapan mereka bertemu dia
langsung nyengir lebar. Dear God! Dia mau bangun setiap pagi melihat cengiran itu pada wajah
Ben. Koreksi" dia ingin bangun setiap pagi di sisi Ben dengan cengiran atau tanpa cengiran.
Lebih baik dengan cengiran, tapi kalau nggak juga nggak pa-pa. SHIT! Kenapa juga pikirannya
jadi ke mana-mana" Ketika dia melirik Ben lagi dia sedang mencoba melepaskan diri dari pelukan Erga dan Raka,
yang seperti biasa berbicara satu mil per menit. Tahu sebentar lagi Ben akan menghampirinya
membuat Jana panik. Dia belum siap berbicara dengan Ben tentang perasaanya sekarang,
beberapa menit sebelum Ben akan pergi meninggalkannya selama sebulan. Dia tidak mau Ben
berpikir dia mengatakan kata cintanya hanya karena kepepet seperti waktu itu atau emosi yang
tiba-tiba meluap gara-gara mereka sedang ada di terminal keberangkatan bandara, tempat yang
paling banyak mengundang ucapan kata cinta setelah gereja dan kamar tidur. Tidak! Kata
cintanya lebih berharga dari itu dan Ben berhak mendengarnya di tempat lain pada waktu lain.
Wajahnya pasti menggambarkan dilemanya karena Ben mengangkat alisnya penuh pertanyaan.


Dirty Little Secret Karya Aliazalea di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jana hanya bisa melambaikan tangannya kaku, caranya mengatakan "Hi" tanpa harus
mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak berani membuka mulut, takut bahwa kata-kata pertama
yang akan keluar adalah "I love you. I want to marry you, have more kids with you, and spend
the rest of my life with you".
Tidak tahan dengan tatapan Ben yang semakin lama semakin intens, Jana mengalihkan
perhatiannya kepada" Eva, yang dia tidak sadari berdiri tidak jauh darinya. Tanpa pikir panjang
lagi dia langsung mendekatinya. Eva kelihatan terkejut ketika Jana memeluk dan mencium
pipinya, namun Jana tidak peduli. Saat sekarang dia akan melakukan apa saja untuk mengusir
berjuta-juta kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Jana baru saja akan membuka
pembicaraan dengan Eva ketika dia mendengar suara Ben di belakang telinga kanannya. "Hey."
Jana menutup matanya, mencoba mengontrol detak jantungnya yang menggila. Ya Tuhan, tidak
bisakkah engkau memberiku sedikit waktu untuk bisa menenangkan perasaanku yang tidak
keruan ini sebelum membuat orang yang menjadi penyebab perasaan tersebut mengistirahatkan
tangannya pada pinggangnya seperti ini dan mengatakan "Hey" dengan suara seseksi itu" Setelah
beberapa detik dan tangan Ben masih menempel pada pinggangnya, Jana memutuskan dia harus
mengambil tindakan sendiri karena Tuhan belum berkenan mengabulkan pintanya hari ini.
Jana memutar tubuhnya dan sebelum betul-betul menghadap Ben, dia sudah nyerocos, "Sori
terlambat. Aku ninggalin kantor agak telat dan anak-anak perlu waktu lama sekali untuk siapsiap. Pas kami udah di jalan, macet lagi di tol. Terus tempat parkir penuh banget jadi?"
Kata-kata Jana terpotong oleh bibir Ben yang mendarat di bibirnya dan segala usahanya untuk
tetap stay cool, buyar. Dia membalas ciuman Ben seakan Ben akan berangkat ke medan perang
dan kemungkinan tidak akan kembali lagi. Samar-samar dia mendengar seseorang mengatakan,
"Ewww" Ayah, Bunda, berhenti ciuman!" diikuti kekehan Eva, namun sepertinya Ben tidak
mendengar atau sengaja nyuekin mereka karena dia tidak berhenti mencium Jana.
Beberapa menit kemudian ketika mereka sama-sama kehabisan napas, Ben mengangkat kepala,
menatap Jana dalam-dalam dan mendesahkan, "Hi."
Jana tidak bisa menahan diri dan mendengus mencoba menahan tawa atas kegirangan ucapan
Ben. Ben sepertinya sadar akan kegirangannya dan mengatakan, "You"re here."
"Yes, I"m here. Sori terlambat?"
Ben menempelkan jari telunjuknya pada bibir Jana, memotong permintaan maafnya. "Aku nggak
peduli kenapa kamu terlambat. Yang penting kamu dan anak-anak ada di sini."
Jana mengangguk dan Ben mengangkat jari telunjuknya dari bibirnya. "Apa kamu nggak
sebaiknya masuk sekarang" Pesawat kamu bakalan boarding sebentar lagi."
Ben melirik jam tangannya. "Aku bisa tunggu lima menit lagi. Aku mau ngabisin sebanyakbanyaknya waktu sama kamu dan anak-anak sebelum berangkat."
Oh my God! Bagaimana dia bisa tidak mengucapkan kata cintanya pada Ben sekarang saat Ben
melemparkan kata-kata seperti itu padanya dengan wajah begitu tulus"
"Aku akan telepon kamu begitu sampai di Chicago." Jana mengangguk, hanya setengah
mendengarkan kata-kata Ben. "Inget computer di rumah kamu udah aku set-up pake Skype, jadi
kita bisa video chat kapan aja kamu dan anak-anak mau. Oke?"
Bilang sekarang. Jangan. Sekarang. Nggak, tunggu. Sekarang. Sekarang. Sekarang. Oh for
heaven sakes. SHUT UP!!! "Jana, are you okay" Kamu kok kelihatan nggak focus gitu?" Tanya Ben
Untuk beberapa detik Jana hanya bisa menatap Ben yang menatapnya bingung. Tiba-tiba Jana
merasa tidak lagi bisa menahan keinginannya untuk mengatakan kepada Ben semua yang ada di
dalam hatinya. Dadanya akan meledak kalau dia harus menunggu lagi. Dia akan mengatakannya
sekarang. Peduli setan mereka sedang di bandara. Jana menarik napas, siap menumpahkan isi
hatinya. "A?" Kata-kata Jana terpotong suara pengumuman bandara yang meminta semua penumpang pesawat
yang Ben tumpangi untuk masuk ke ruang tunggu. Dari sudut mata dia melihat Eva
melambaikan tangan meminta Ben segera masuk. Kemudian Erga dan Raka menyerang Ben,
meminta dipeluk untuk terakhir kali, dan dengan begitu membuldozer kesempatan Jana untuk
mengucapkan kata cintanya. Ben melangkah menjauh darinya untuk mencium dan memeluk
anak-anak untuk terakhir kali, kemudian Ben mencium Eva di pipi, dan terakhir dirinya, di bibir.
Jana hanya mengikuti semua ini bagai orang sedang bermimpi, ketika dia sadar kembali, Ben
sudah menghilang dari pandangannya, tanpa tahu apa yang dia rasakan tentangnya.
NOOOOOO!!! *** Dengan langkah sedikit terhuyung Ben mengikuti arus orang-orang yang baru turun dari pesawat
di Bandara Chicago O"Hare menuju imigrasi. Matanya terasa pedas karena sepanjang perjalanan
dia tidak bisa tidur. Dia bahkan hampir tidak bisa menelan makanan yang diberikan kru pesawat,
dan ini bukan karena makanannya tidak enak, karena orang-orang di sekitarnya seperti tidak
mengalami masalah melahap makanan taraf kelas bisnis mereka itu. Berpikir dia kemungkinan
agar tidak enak badan, makannya tidak bisa makan atau tidur, dia menelan Aspirin. Ketika itu
tidak membantunya, dia menelan satu lagi yang malah membuat perutnya mual. Akhirnya dia
hanya bisa tiduran merana di atas kursi pesawatnya selama sisa perjalanan, mencoba memikirkan
kenapa dia merasa seperti itu.
Dia sedang memikirkan apa dia sudah salah makan waktu di Jakarta sebelum berangkat ketika
tatapannya jatuh pada seorang ibu yang duduk berseberangan dengannya dan berbicara dengan
nada membujuk kepada anaknya. Ben tidak tahu apa yang dikatakannya karena ibu itu
menggunakan bahasa Jepang, tapi dari cara ibu itu menunjuk sayuran tak termakan di piring
anaknya, dan gelengan kencang anak itu Ben bisa menebak isi pembicaraan mereka. Ben
mengucap syukur dia tidak perlu menghadapi masalah itu dengan Erga dan Raka. Oh, Erga dan
Raka. His boys, his love, his life. Entah bagaimana dia bisa melalui sebulan ke depan tanpa
mereka. Well, jawabannya gampang saja. Dia nggak bisa. Baru pada saat itulah dia sadar bahwa alasan
dia merasa like shit beberapa jam belakangan ini adalah karena kangen pada anak-anaknya.
Pengakuan ini membuatnya meringis. Damn it! What the hell is wrong with him" Dia baru
meninggalkan mereka kurang dari sehari dan dia merasa seperti ingin menjambak rambutnya
sendiri saking kangennya. Hell! Apakah begini rasanya menjadi Ayah" Apakah ini normal" Dan
kalau ini normal, bagaimana para ayah yang jauh dari anak-anak mereka setiap harinya" Dia
hanya berharap rasa kehilangan ini lambat laun akan berkurang, karena kalau tidak, dia tidak
tahu apa yang akan dia lakukan.
Semburan udara dingin November di Chicago menyandarkan bahwa dia sudah melewati imigrasi
dan pengambilan bagasi dan sekarang sedang mengantre taksi untuk pulang. Dia melirik jam
tangannya yang baru menunjukkan pukul 10.30, yang berarti dia harus memastikan dirinya tetap
terjaga selama setidak-tidaknya delapan jam ke depan kalau tidak mau jetlag besok waktu pergi
ketemu George di kantor. Tidak lama kemudian gilirannya menaiki taksi tiba dan setelah
memberitahukan alamatnya pada sopir taksi, Ben menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil dan
menutup mata. Dia merasa baru saja memejamkan mata selama sedetik, tapi ketika membuka matanya kembali,
dia sudah sampai di depan bangunan apartemennya. Whoa" dia sudah tertidur selama empat
puluh menit, dia harus memastikan itu tidak terjadi lagi. Namun sepertinya tekad dan kenyataan
tidak selalu sejalan karena Ben menemukan dirinya tengkurap di atas tempat tidur dengan masih
berpakaian lengkap. Dan dilihat dari letak matahari yang masuk melalui jendela, hari sudah lebih
sore daripada yang dia perkirakan. DAMN! Dia ternyata lebih lelah daripada yang dia
perkirakan. Dia ingin menelepon Jana untuk memberitahu dia sudah sampai, tapi membatalkan
niatnya ketika melirik jam pada nakas di samping tempat tidur. Pukul 03.00. yang ada Jana akan
ngamuk-ngamuk di telepon. Merasa kesal karena ketiduran oleh karena itu harus menunggu
empat jam lagi sebelum bisa mendengar suara Erga dan Raka, tapi lebih fresh daripada beberapa
jam yang lalu, Ben memutuskan mandi untuk membersihkan aroma pesawat dari tubuhnya. Dia
mungkin bahkan akan berendam air hangat untuk mengusir rasa pegal-pegal pada sendinya.
Sejam kemudian dan merasa seperti manusia lagi, Ben menyadari untuk pertama kalinya dia
merasa lapar. Dia menelepon restoran Cina favoritnya untuk memesan makanan. Setelah
menutup telepon, Ben memutar tubuhnya dan untuk pertama kali selama bertahun-tahun tinggal
di Apartemen ini, mengambil inventori apartemen tersebut. Apartemennya masih kelihatan rapi
dan bersih, seperti biasa, tapi kini juga kelihatan sepi dan dingin. Observasi ini semakin
membuatnya merindukan Jana dan anak-anak. Dia kini sadar bahwa selama ini dia sudah hidup
dalam hitam-putih dan kehadiran mereka sudah memberikan warna dalam hidupnya. Dan seperti
banyak orang yang sudah mengalami dunia penuh warna, dia tidak mau kembali lagi ke hitamputih.
Dengan satu desahan panjang, Ben mengeluarkan laptop dari tasnya dan menuju ruang
tamu/ruang TV. Dalam perjalanan dia menyalakan TV dengan remote, tanpa memedulikan
channel, dia langsung menekan tombol mute sebelum duduk di sofa, sebagaimana kebiasaannya.
Namun setelah beberapa menit dia merasa kesepian dan harus mengaktifkan volume TV. Suara
announcer melaporkan hasil pertandingan ice hockey kemarin malam mengisi ruangan. Merasa
lebih baik, dia menyalakan laptopnya. Pertama-tama dia mengecek e-mail kantor yang ternyata
sepi-sepi saja, hanya ada beberapa update dan reminder tentang pertemuannya dengan George
besok. Kemudian dia membuka akun Yahoo-nya dan mendapati sepuluh e-mail baru. Dia
melarikan matanya pada daftar e-mail yang kebanyakan dari Facebook, tapi kemudian matanya
berhenti pada e-mail terakhir. E-mail itu dari Jana dengan topik URGENT!!!
What the hell?""!!! Ben langsung duduk tegak sambil membuka e-mail itu yang berisi pesan
paling pendek yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya.
B, I love you. Aku mengatakan ini bukan karena dipaksa, terpaksa, atau rela, tapi karena dadaku rasanya bisa
meledak kalo nggak bilang ini ke kamu. Aku perlu kamu tahu kalo aku cinta kamu dgn sepenuh
hatiku. Selalu dan selamanya.
J. Ben hanya bisa menatap e-mail itu selama beberapa menit tanpa bisa berkata-kata. Berpikir dia
sudah salah baca, dia membaca e-mail itu sekali lagi dan beberapa kali lagi setelah itu. Kata-kata
pada e-mail itu tidak berubah. Apa Jana betul-betul baru mengatakan dia mencintainya" Melalui
e-mail"! Is she kidding me?""!!! Ben tertawa, menertawakan dirinya karena mencintai wanita
paling menggemaskan yang pernah dia temui sepanjang hidupnya. Dia tidak tahu apakah dia
ingin mencekik atau mencium Jana sekarang. Dia memutuskan mencari jalan tengah dan menulis
e-mail balasan. *** Jana sedang duduk bengong di meja dapur pada pukul 04.00 dengan secangkir teh hangat di
hadapannya, menunggu telepon dari Ben. Pesawatnya sudah mendarat berjam-jam yang lalu, jadi
kenapa Ben masih belum meneleponnya juga" Dia sudah mencoba menelepon nomor ponsel
yang diberikan Ben beberapa kali, tapi operator mengatakan ponsel itu tidak aktif. Sekali lagi dia
melirik ponselnya, menginginkannya bordering. Dan setelah lima menit ponsel itu masih diam
saja, Jana meletakkannya kembali ke meja dan mengusap mata. Semalaman dia tidak bisa tidur,
bukan saja karena menunggu telepon dari Ben untuk mengatakan dia telah sampai dengan
selamat, tapi juga reaksi Ben atas e-mail yang dikirimnya beberapa jam setelah pesawat Ben
lepas landas. Dia msaih tidak percaya sudah mengatakan apa yang dia katakana kepada Ben,
kata-kata paling penting yang pernah dia ucapkan sepanjang hidupnya kepada Ben, melalu emali.
Tapi apa pilihan yang dia punya" Hatinya sudah tidak lagi mampu menampung semua perasaan
itu, dia perlu pelampiasan. Alhasil tertulis dan terkirimlah e-mail itu. Oh, God! Gimana kalau
ternyata Ben sudah tidak mencintainya lagi" Bahwa dia sudah bosan menunggu dan memutuskan
mencintainya hanya buang-buang waktu saja" Toh Ben tidak pernah lagi menyinggungnyinggung tentang perasaannya selama dua minggu belakangan ini. Entah mau ditaruh di mana
mukanya ini kalau Ben ternyata sudah tidak menginginkannya lagi. Stupid! Stupid! Stupid! Dia
tidak seharusnya mengirim e-mail itu. Dia seharusnya menunggu hingga Ben mengucapkannya
sekali lagi, sebelum dia balas mengucapkannya. Setidaknya dengan begitu dia bisa yakin bahwa
perasaan Ben terhadapnya masih belum berubah. Shit!
Apa Ben sudah membaca e-mail itu" Mudah-mudahan belum, mungkin dia bisa mencari tahu
cara untuk menarik kembali e-mail tersebut sebelum Ben sempat membacanya. Jana buru-buru
berlari menuju laptonya yang layarnya masih memampangkan inbox e-mailnya sebagaimana dia
tinggalkan 30 menit yang lalu. Dia baru saja akan menutup e-mail itu ketika melihat e-mail baru
yang terletak paling atas pada inbox-nya. E-mail itu dari Ben. Jelas-jelas dia tidak melihat e-mail
ini setengah jam lalu, yang berarti Ben baru saja mengirimkannya. Buru-buru dia membukanya.
My dearest J, It"s about goddamn time. I love you too. Always. Call me once you read this e-mail so I can hear
you say it. Love. B. Jana mengangkat tanganya menutupi mulut agar tidak tersedak. God! Ben masih mencintainya.
Setelah dia membuatnya menunggu sebegini lama, dia masih mencintainya. Dengan tangan
gemeteran Jana menekan nomor ponsel Ben di Chocago yang hanya perlu bordering satu kali
sebelum dia mendengar suara Ben mengatakan, "Hi"
Dan yang Jana bisa lakukan hanya mengucapkan, "I love you."
Hening, tidak ada balasan apa-apa dari Ben. Berpikir bahwa Ben tidak mendengarnya, dia
mengulangi, "Ben" Kamu dengar aku nggak" Aku bilang aku cinta kamu."
Sekali lagi hanya ada keheningan dan Jana menarik ponselnya dari daun telinga untuk
memastikan telepon mereka masih tersambung. Ya, telepon mereka masih tersambung. Jadi
kenapa Ben tidak mengatakan apa-apa"
"Ben" Are you there" Can you hear me?"
Jana mendengar Ben mengembuskan napasnya sebelum mengatakan, "Yes, baby, I hear you.
Aku Cuma lagi nyoba ngeyakinin diriku sendiri kalo aku lagi nggak mimpi."
Dalam hati Jana tersenyum. Dia memang betul-betul suka kalau Ben memanggilnya "J", tapi dia
nggak keberatan dengan "baby". "No, kamu nggak lagi mimpi. Kita sedang bicara dan aku
bilang aku cinta kamu."
"Coba ulang sekali lagi."
Mau tidak mau Jana terkekeh dan mengucapkannya sekali lagi, "Aku cinta kamu, B"
"Dan aku cinta kamu, J"
Jana menutup matanya, mencoba menyerap kata-kata itu. Ya, dia akhirnya bisa menangkap
bintangnya. EPILOG Dear B, You are the most infuriating and annoying man I have ever known. And I couldn"t have asked
for anyone better. I don"t know why I have ever thought that I can live without you. It took me
awhile to realize and accept that I can"t. so, thank you for taking the time to open my eyes to see
how much you mean to me. If you want to ask the question that you have been asking but I keep
saying "No" to, you can ask it one more time and I promise I will say "Yes".
Love, J Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Cowok Misterius 3 Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi Golok Bulan Sabit 9
^