Filosofi Kopi 1
Filosofi Kopi Karya Dewi Dee Lestari Bagian 1
Filosofi Kopi Dewi "Dee" Lestari
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Pemaknaan kembali kembali kopi, Buddha, Herman, surat tak terkirimkan, cinta sejenis yang manis, atau apa pun, membuktikan Dee tetap memesona. Kalau kemarin panitia Nobel Sastra masih maju mundur dengan nama Pramoedya, sekarang bisa memaknai kembali, melalui karya-karya ini.
[ Arswendo Atmowiloto ] Ruang cerpen yang sempit dijadikannya wahana yang intens namun tidak sesak untuk mengungkapkan apa yang tak selalu mampu dikatakan. Lewat refleksi dan monolog interior yang digarap dengan cakap dan jernih, pembaca diajaknya menjelajahi halaman-halaman kecil dalam cerpen yang kini dijadikannya semesta kehidupan.
[ Manneke Budiman ] Cerpen-cerpen Dee itu persis racikan kopi dari tangan
seorang ahli peramu kopi; harum, menyegarkan, dan
nikmat. Pahit, tapi sekaligus mengandung manis.
[ FX Rudy Gunawan ] Dee adalah salah satu penulis yang perlu diperhatikan saat ini. Ekspresinya unik, visinya sering mengagetkan.
[ Richard Oh ] FILOSOFI KOPI Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade
Dee Dee adalah sebuah Tangkisan
[ Goenawan Mohamad ] Dee adalah sebuah tangkisan: ia membuktikan tak ada 'sastra wangi'. Istilah ini bagi saya sebuah cemooh orang laki-laki terhadap karya-karya sastra Indonesia mutakhir, yang menarik perhatian khalayak dan ditulis sejumlah perempuan. Dee adalah sebuah tangkisan, bukti bahwa cemooh itu tak adil. Tulisannya, seperti tulisan sejumlah penulis perempuan lain, tak ada hubungannya dengan parfum, bedak, lulur, dan daya tarik erotis.
Jika ada yang memikat pada Dee adalah cara dia bertutur: ia peka pada ritme kalimat. Kalimatnya berhenti atau terus bukan hanya karena isinya selesai atau belum, tapi karena pada momen yang tepat ia menyentuh, mengejutkan, membuat kita senyum, atau memesona. Kepekaan pada ritme itulah yang menyebabkan sebuah tulisan berarti-bukan sederet pesan dibungkus rokok Dji Sam Soe, bukan pula sepotong tesis doktorat.
Tak kalah penting; ritme itu tak mendayu-dayu. Juga tidak ruwet, bahkan rapi. Dee peduli ejaan dan mematuhi gramar (ia tak akan pernah salah untuk membedakan mana 'di' yang awalan dan mana pula 'di'
yang preposisi), ketika pada saat yang sama dengan luwes, tanpa terasa dibikin-bikin, memasukkan kata asing ke dalam kalimatnya, baik melalui asimilasi ('meng-kondens) atau tidak ('breach of contract'), juga ketika ia memasukkan kata 'pipis' atau 'curhat' atau dialog bahasa Jawa.
Tidak ruwet, bahkan terang benderang, tak berarti tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir. Aforismenya yang orisinal menunjukkan kemampuan untuk tanpa bersusah payah menggabungkan konseptualisasi dengan metafor, yang abstrak dengan yang konkret. "Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh", begitu salah satu kalimat dalam Surat Yang Tak Pernah Sampai.
Pada Dee ada seorang eseis unggul yang bersembunyi, menunggu, di balik seorang pencerita. Ada sebuah kata bahasa Inggris, wit, yang mungkin bisa diterjemahkan dengan ungkapan 'cerkas'. Kumpulan prosa ini menghidupkan yang cerkas dalam sastra Indonesia.
-Goenawan Mohamad- Daftar Isi 1. Filosofi Kopi 1996 2. Mencari Herman 2004 3. Surat Yang Tak Pernah Sampai 2001
4. Salju Gurun 1998 5. Kunci Hati 1998 6. Selagi Kau Lelap 2000 7. Sikat Gigi 1999 8. Jembatan Zaman 1998 9. Kuda Liar 1998 10. Sepotong Kue Kuning 1999
11. Diam 2000 12. Cuaca 1998 13. Lara Lana 2005 14. Lilin Merah 1998 15. Spasi 1998 16. Cetak Biru 1998 17. Buddha Bar 2005 18. Rico de Coro 1995 Cuap-Cuap Penulis Dalam setiap wawancara dan diskusi buku yang saya jalani, salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan adalah: 'kenapa tiba-tiba menulis"'. Konsep 'tiba-tiba'. Seakan-akan kemampuan/minat/bakar itu runtuh dari langit begitu saja, pada satu malam yang tak terduga, dan esok paginya saya menyalakan komputer lalu seperti orang kesurupan menulis novel pertama saya, Supernova.
Menulis, sesungguhnya merupakan karier panjang yang berjalan paralel dengan karier saya yang lain, yakni musik. Yang kedua lebih dulu menemukan lampu sorotnya, sementara yan
g pertama berjalan diam-diam, di bawah tanah, seperti wombat yang keasyikan menggali.
Tidak pernah ada yang tahu kehidupan si wombat tadi kecuali orang-orang dekat, keluarga, dan para sahabat. Banyaknya cerita yang tak selesai, cerpen yang terlalu panjang hingga tak bisa dikirim ! Dari delapan belas karya dalam kumpulan ini, dua di antaranya (Rico de Coro dan Sikat Gigi) sudah pernah
dipublikasikan, dan pada sebagian besar lainnya dilakukan proses penyuntingan ulang sehingga bagi yang sudah pernah membacanya akan menemukan sedikit perbedaan.
Tidak pernah saya mengompilasi karya sebelumnya, dan itu membuat saya menyadari beberapa hal untuk pertama kali: cinta, tetap menjadi topik favorit (dan tentunya favorit 99,9% para kreator di muka bumi ini), cinta yang bertransformasi, menjadi pilihan saya secara khusus. Baik itu cinta antarinsan, cinta pada kopi, atau cintanya kecoak, kisah-kisah dalam kumpulan ini menggambarkan proses transformasi cinta dari sekadar kumpulan emosi menuju sebuah eksistensi. Sebuah pilihan, jatidiri.
Alasan lain" Venrilasi. Sebagaimana saya percaya bahwa karya adalah anak jiwa, dan ia sepatutnya hidup di alam terbuka. Ia akan lebih sehat dan kuat di sana, daripada dibekam dalam format bahasa biner. Membiarkannya berbicara dalam bahasa yang kita mengerti bersama.
Wombat... terus menggali.
Dee. Untuk Mama, Pembaca pertama yang selalu percaya bakat itu ada.
Filosofi Kopi [1996] 1. Kopi... k-o-p-i. Sudah ribuan kali aku mengeja sembari memandangi serbuk hitam itu. Memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila: Ben... B-e-n.
Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponsden di mana-mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma, Paris, Amsterdam, London, New York, bahkan Moskow.
Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, me-ngemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia ramuan kopi dari barista-barista kaliber kakap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappucinno, espresso, russian coffee, irish coffee, macchiato, dan lain-lain. Sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis.
Setahun lalu aku resmi menjadi partner kerjanya. Berdasarkan asas saling percaya antarsahabat ditambah kenekatan berspekulasi, kuserahkan seluruh tabunganku menjadi saham di kedainya. Selain modal dalam bentuk uang dan ilmu administrasi, aku tak tahu apa-apa tentang kopi. Itu menjadi modal Ben seutuhnya.
Sekarang, boleh dibilang Ben termasuk salah satu peramu kopi atau b arista terandal di Jakarta. Dan ia menikmati setiap detik kariernya. Di kedai kami ini, Ben tidak mengambil tempat di pojok, melainkan dalam sebuah bar yang terletak di tengah-tengah sehingga pengunjung bisa menontoni aksinya membuat kopi. Dengan seleksi kopi yang kami miliki, kebanyakan pelanggan kedai memang penggemar kopi sejati yang tak henti-hentinya mengagumi daftar menu kami. Benar-benar mengagumi, karena mereka mengerti.
Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dan kayu merbau yang berurat kasar, poster-poster kopi berbagai macam pose di sepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca. Puncaknya, sebuah jendela kaca besar, bertuliskan nama kedai kopi kami dalam huruf-huruf dicat yang mengingatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda:
Kedai Koffie BEN&JODY Jody... J-o-d-y. Kau dapat menemuinya di tempat yang kurang menarik, yakni di belakang mesin kasir atau di pojokan bersama kalkulator. Sementara di pusat orbit sana, Ben mengoceh tanpa henti, kedua tangannya menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Tempat kami tidak besar dan sederhana dibandingkan kafe-kate lain di Jakarta. Namun di sini, setiap inci dipersiapkan dengan intensitas. Ben memil
ih setiap kursi dan meja-yang semuanya berbeda-dengan mengetesnya satu-satu, paling tidak seperempat jam per barang, ia mencobanya sambil menghirup kopi, dan merasa-rasa dengan instingnya, apakah furnitur itu cukup 'sejiwa' dengan pengalaman minum kopi. Begitu juga dengan gelas, cangkir, bush kettle, poci, dan lain-lain. Tidak ada yang tidak melalui tes kompatibilitas Ben terlebih dulu. Dengan ia menjadi pusat, dikelilingi mereka yang duduk di susunan rapat meja-kursi beraneka model, aku seolah menyaksikan sebuah perhelatan pribadi. Pesta minum kopi, kecil dan akrab, dengan Ben sebagai tuan rumah.
Tapi, yang benar-benar membuat tempat ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang diciptakan Ben. Ia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik ani, membuai analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi.
'Itu yang membuat saya mencintai minuman ini. Kopi itu sangat berkarakter.' Kudengar sayup-sayup Ben berkata pada salah satu pengunjung perempuan yang duduk di bar.
Seperti pilihan Anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan.' Ben tersenyum seraya menyorongkan cangkir. Anda tahu, cappuccino ini kopi paling genit"'
Perempuan itu tertawa kecil.
'Berbeda dengan cafe latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat seindah mungkin.'
'Oh, ya"' 'Seorang penikmat cappuccino sejari, pasti akan meman dangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum.' Sambil menjelaskan, dengan terampil Ben membentuk buih cappuccino yang mengapung di cangkir itu menjadi bentuk hati yang apik.
'Bagaimana dengan kopi tubruk"' Seseorang bertanya iseng.
'Lugu, sederhana, tapi sangar memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,' Ben menjawab cepat. 'Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai Anda mencium aromanya,' bak pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk, 'silakan, komplimen untuk Anda.'
Dengan wajah terpukau, orang itu menerima cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput.
'Tunggu dulu!' tahan Ben. 'Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperatur, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: aroma. Coba hirup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung Kilimanjaro.'
Orang itu mengembangkan cuping hidung, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang membubung dari cangkirnya. Mata itu tampak berbinar puas.
Melihat reaksi tersebut, Ben mengangguk sama puas. Sekejap kemudian dia sudah berpindah tempat, berbincang-bincang dengan pengunjung lain, dengan semangat dan atensi yang sama.
Ketika kedai tutup dan semua pulang, tinggallah kami berdua berbincang-bincang di salah satu sudut. Satu-satunya kesempatan kami unruk akhirnya minum kopi.
'Tidak cerasa, kita sudah punya kedai ini setahun lebih.' Mataku berputar bersama putaran kayu manis, lamunanku terisap pusaran kopi dalam cangkirku sendiri.
'Sekian banyak manusia sudah datang dan pergi...' nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya, 'dan kamu tahu apa kesimpulanku"'
'Kita akan kaya raya"'
'Belum tentu. Tapi semua karakter dan arti kehidupan ada di sini.'
'Di dalam daftar minuman ini"' Aku menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja. Mantap, Ben mengangguk.
'Bagaimana kamu bisa mengkondens jumlah yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman"' aku menatapnya geli, 'Ben... Ben...:
'Jody... Jody..." ia malah ikutan geleng-geleng. 'Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan menemukan dirinya di sini.' Ben mengacungkan daftar ramuan kopinya tepat di depan hidungku.
Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan ia terpikir untuk ak
hirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu.
Sesudah pembicaraan kami malam itu, Ben melakukan berbagai terobosan baru.
Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosofi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi:
FILOSOFI KOPI Temukan Diri Anda di Sini
Nama kedai kami berikut slogannya ternyata menjadi sangat populer. Kuamati semakin banyak orang yang berhenti, membaca, kemudian dengan wajah ingin tahu mereka masuk ke dalam, waswas sekaligus harap-harap cemas, seperti memasuki tenda peramal. Dan tanpa perlu bola kristal, omset kedai kami meningkat pesat.
Kini, bukan para kopi mania saja yang datang, bahkan mereka yang tidak suka kopi sama sekali pun ada yang berkunjung. Golongan terakhir ini adalah orang-orang penasaran dan akhirnya rela mencicipi kopi demi rasa ingin tahu. Ada juga grup gila filsafat, yang lebih menikmati diskusi mereka dengan Ben daripada kopi yang mereka pesan, tapi ujung-ujungnya menjadi lang-ganan tetap juga.
tak sampai di situ, Ben juga membuat kartu kecil yang dibagikan kepada setiap orang sehabis berkunjung. Kartu itu bertuliskan: 'KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:...' dan keterangan filosofisnya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari. Kadang-kadang aku mendengar mereka mulai menyebut kedai kopi kami dengan panggilan sayang versi masing-masing seperti Fil-Kop, So-Pi, Filo, FK, dan lain-lain.
Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman.
Dan yang kupikir sudah luar biasa ternyata belum apa-apa. Malam itu Ben mengungkapkannya padaku, saat kami menghirup kopi panas pertama kami, larut malam di kursi bar.
'Jody, hari ini aku mendapat tantangan besar.'
Aku, yang sedang sibuk berhitung dengan mesin hitung, hanya tergerak untuk mengangkat alis. 'Oh, ya" Tantangan apa"'
Ben menggeser mesin hitung itu jauh ke ujung meja. 'Dengar dulu baik-baik..."
Dia mulai bercerita. Sore tadi dia kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingi pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenangan. Mungkin saja benar dia baru dapat
satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar.
Di hadapan mereka, ia bertanya pada Ben- tepatnya, mengumumkan keras-keras: 'Di kedai ini, ada tidak kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! Ada tidak" Kalau ada, saya pesan satu cangkir besar.'
Ben menjawab sopan, 'Silakan lihat saja di daftar, barangkali ada yang cocok.'
Pria itu menggeleng. 'Barusan sudah saya baca. Tidak ada yang artinya itu.'
'Yang mendekati, mungkin"'
Ucapan Ben justru memancingnya tertawa. 'Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istilah mendekati. Saya ingin kopi yang rasanya sempurna, tidak bercacat.'
Ben mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal.
'Berarti Anda belum bisa pasang slogan seperti itu di depan,' pria itu menunjuk kaca jendela. 'Saya ke mari karena ingin menemukan gambaran diri...'. Selanjutnya dia bercerita panjang lebar mengenai kesuksesan hidupnya sebagai pemilik perusahaan importir mobil, istrinya seorang artis cantik yang sedang di puncak karier, dan di usianya yang masih di bawah 40 dia udah menjadi salah satu pebisnis paling berpengaruh versi beberapa majalah ekonomi terkenal.
Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu.
Ben lanjut bercerita. Ia ditantang pria itu untuk membuat kopi dengan rasa sesempurna mungkin. 'Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa berkata: hidup ini sempurna.' Pria itu menjelaskan dengan ekspresi kagum yang mendalam, kemungkinan besar sedang membayangkan dirinya sendiri. Dan, gongnya, ia menawarkan imbalan sebesar 50 juta.
Seketika mataku terbeliak. Ini baru menarik. '50 jut
a"!' 'Dan aku menerima tantangannya."
'Sebentar, ini bukan taruhan, kan""
'Bukan. Kalau aku ternyata mampu, aku dapat uangnya. Kalau tidak, ya sudah. Tanpa risiko.'
'Kalau begitu, buat apa pikir-pikir lagi, sikaaat!' seruku berkobar-kobar. Terbayang pengembangan apa saja yang bisa dibuat dengan 50 juta di tangan.
Ben hanya mengangguk kecil, keningnya berkerut. Aku tahu pasti, bukan uang 50 juta yang menarik minatnya.
'Berarti, aku harus kerja keras. Mulai sekarang!' Sekonyong-konyong Ben berdiri, meninggalkanku dan kopinya yang baru diminum seteguk. Entah apa yang dimaksudnya dengan 'kerja keras'.
Belakangan aku tahu maksudnya. Tak ada lagi bincang-bincang malam hari seperti yang biasa kami lakukan. Ketika kedai sudah tutup, Ben tetap tak beranjak dari dalam bar. Pemandanganku setiap malam kini berganti menjadi Ben dikelilingi gelas-gelas ukur, tabung-tabung reaksi, timbangan, sendok takar, dan aneka benda yang rasanya lebih cocok ada di laboratorium kimia daripada di kedai kopi.
Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam membundari matanya akibat terlalu banyak begadang, tubuhnya menipis karena sering lupa makan. Sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankenstein. The Mad Barista.
Minggu-minggu berlalu sudah. Sekitar tengah malam, Ben tahu-tahu meneleponku, memaksaku datang ke kedai.
Aku tiba sambil bersungut-sungut. 'Urusan apa yang sebegitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu besok"'
Ben tidak menjawab. Namun kutangkap kilau mata yang-menyala terang, terpancar dari wajahnya yang kusut berantakan.
Ke depan batang hidungku, ia menyodorkan sebuah gelas ukur. Ada kopi hangat di dalamnya. 'Coba cium...'
Aku mengendus. Wangi. Sangat wangi.
'Coba minum...' Dengan sedikit ragu aku menyeruput. Sebuah kombinasi rasa merambati lidahku. Hmm... ini... 'Ben, kopi ini...' aku mengangkat wajahku, 'SEMPURNA!'
Kujabat tangan Ben keras-keras sampai badannya terguncang-guncang. Kami berdua tertawa-tawa. Lama sekali. Seakan-akan ada beban berat yang tahu-tahu terangkat. Seolah-olah sudah tahunan kami tidak tertawa.
'Ini kopi yang paling enak!' seruku lagi, takjub.
'... di dunia,' sambung Ben. Aku sudah keliling dunia dan mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya seperti ini. Akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang rasanya SEMPURNA.'
Aku mengangguk setuju. 'Mau diberi nama apa ramuan ini""
Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke dunia. 'BEN's PERFECTO,' tandasnya mantap.
2. Pagi-pagi sekali Ben menelepon penantangnya. Tepat pukul empat sore. orang itu datang lengkap bersama pacarnya.
Siapa pun akan mati bertukar nasib dengannya. Dari langkah pertama ia masuk kedai, auranya menyiarkan kesuksesan, kekayaan, dan pacarnya itu, tidak butuh lagi foro aura untuk menangkap kecantikannya.
Disaksikan semua pelanggan yang sengaja kami undang, Ben menyuguhkan secangkir Ben's Perfecto pertamanya dengan raut tegang.
Pria itu menyeruput, menahan napas, kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan, 'Hidup ini sempurna.'
Kedai mungil kami gegap gempita. Semua orang bersorak.
Pria itu mengeluarkan selembar cek. 'Selamat. Kopi ini perfect. Sempurna.'
Sebagai ganti, Ben memberikan kartu Filosofi Kopi. Kartu itu bertuliskan:
KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
BEN'S PERFECTO Artinya: Sukses adalah Wujud Kesempurnaan Hidup Pria itu tertawa lebar membacanya. 'Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini,' ujarnya, lalu memasukkan karru itu ke balik kantong jasnya yang tampak mahal.
Sore itu berlalu dengan sempurna. Kami membagikan sampel Ben's Perfecto pada semua pengunjung, dan minuman itu mendapat sambutan yang luar biasa.
Demikian pula dengan hari-hari selanjutnya. Sejak diciptakannya Ben's Perfecto, keuntungan kami meningkat, bahkan berlipat ganda.
Minuman itu menjadi menu favorit semua langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk datang. Walau harganya lebih mahal diban dingkan minuman lain, kepuasan yang didapat dari Ben's Perfecto memang tak bisa didapat di
mana pun. Kesohoran minuman itu juga menarik perhatian banyak orang asing, dan mereka semua tercengang-cengang ketika mencobanya.
tak ada yang menyangka akan menemukan ramuan kopi sedahsyat itu di kota Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi Kopi.
3. Hari ini, aku iseng mendampingi Ben di bar. Ingin sekali-kali kunikmati kepuasan bercakap-cakap dengan para pelanggan setia, atau sekadar menontoni ekspresi orang-orang baru saat mencicip ramuan kopi spektakuler Ben.
'First timer,' Ben yang hafal semua muka pelanggannya berbisik ketika seorang pria setengah baya masuk.
Dengan ekstra ramah aku langsung menyambut. 'Selamat pagi, Pak,' sapaku seraya membungkukkan badan.
'Selamat pagi.' Tampak terkesan dengan sambutanku, ia kemudian duduk di salah satu bangku bar. 'Bisa pesan kopinya satu, Dik"'
'jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai kopi.'
Dia ikut tersenyum. Agak canggung dia membenarkan posisi duduknya, celingak-celinguk mempelajari tempat kami, lalu perlahan membuka koran yang ia kempit. Dari gelagatnya, aku menduga bapak satu itu tidak biasa minum kopi di kafe.
'Silakan, Pak. Mau pesan yang mana"' Aku menyodorkan daftar minuman.
Bapak itu hanya memandang sekilas, membaca pun tidak.
'Ah, yang mana saja terserah Adik. Pilihkan saja yang enak,' jawabnya kalem.
Dengan cepat aku berseru pada Ben, 'Ben! Perfecto satu!'
Dalam waktu singkat, Ben sudah menyuguhkan secangkir Ben's Perfecto.
Nah, yang ini bukan sekadar enak, Pak. Tapi ini yang pualiiing... enak! Nomor satu di dunia,' aku berpromosi.
Bapak memang hobi minum kopi"' tanya Ben ramah. Pertanyaan rutinnya pada setiap pengunjung baru.
'Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. Aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. Kata temenku, kopi di sini enak sekali,' tuturnya bersemangat dalam logat Jawa kental.
Setelah meminum seteguk, bapak itu meletakkan cang kir dan kembali membuka halaman korannya.
Ben segera bertanya antusias, 'Bagaimana, Pak"'
Bapak itu mendongak. 'Apanya"'
'Ya, kopinya.' Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk. 'Lumayan,' jawabnya singkat lalu terus membaca.
'Lumayan bagaimana"' Ben mulai terusik.
'Ya, maksudnya lumayan enak toh, Dik,' ia membalas.
'Pak, yang barusan Bapak minum itu kopi yang paling enak di dunia.' Aku tidak tahan untuk tidak menjelaskan.
'Yang bener toh" Masa iya"' Seperti mendengar lelucon bapak itu malah tertawa kecil.
Wajah Ben langsung mengeras. Tamu kami itu pun tersadar akan ketegangan yang ia ciptakan. 'Aku bercanda kok, Dik. Kopinya uenak, uenak! Sungguh!'
'Memangnya Bapak pernah coba yang lebih enak dari ini"' Ben bertanya dengan otot-otot muka ditarik.
Tambah panik, bapak itu terkekeh-kekeh, 'Tapi ndak jauhlah dengan yang Adik bikin.'
'Tapi tetap lebih enak, kan"' Suara Ben terus meninggi
Jakun bapak itu bergerak gugup, ia melirikku, melirik Ben, dan akhirnya mengangguk. 'Di mana Bapak coba kopi itu"'
'Tapi... tapi... ndak jauh kok enaknya! Bedanya se-dikiiit... sekali!'
Usahanya untuk menghibur malah memperparah keadaan. Beberapa pengunjung memanggili Ben, tapi tidak digubris sama sekali. Kaki Ben tertanam di lantai. Seluruh keberadaannya terpusat pada bapak itu. Dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.
'Di mana"' 'Wah. jauh tempatnya, Dik.' 'DI-MA-NA"'
Belum pernah kulihat Ben seperti itu. Seolah tidak satu hal pun di dunia ini yang bisa mengalihkan energinya, fokusnya. Aku memilih beringsut menjauh, memenuhi panggilan orang-orang yang sudah resah karena tidak dilayani.
Tak lama kemudian, Ben menghampiriku. 'Jo, tengah hari kita tutup. Temani aku pergi ke suatu tempat. Bawa perlengkapan untuk beberapa hari.' 'Ke mana"'
Ben tidak menjawab. Dan mulut itu terus terkatup rapat lak sampai sejam, kedai kami ditutup.
Siapa yang menyangka kalau sisa hariku akan dihabiskan dengan mengemudi, menyusuri jalan menuju pedesaan di Jawa Tengah.
Mata Ben seperti sudah mau copot mempelajari peta minimalis yang digambar oleh bapak malang itu-yang tentunya dibuat dalam keadaan tertekan.
'Ben, sudah tambah gelap. Sepertinya kita tersasar. Cari penginapan saja dulu, besok pagi baru kita keluar lagi.'
Ben bersandar kel elahan. 'Oke. Kita kembali ke Klaten.
Aku langsung banting haluan, sesuatu yang sudah ingin kulakukan sejak tadi, sejak punggungku rasanya meremuk diguncang-guncang jalan berbatu.
Kami menginap di Klaten semalam. Keesokan paginya, Ben mengambil alih kemudi. Aku sudah tahu kenapa kita nyasar kemarin. Ada satu belokan yang tidak kulihat!' serunya berapi-api.
Aku mengiyakan saja. Bagiku perjalanan ini hanya kekonyolan belaka, pemenuhan obsesi Ben terhadap kopi yang katanya lebih enak menurut pendapat subjektif seorang bapak yang tidak berpengalaman ke kafe-yang kemungkinannya 99% tak akan terbukti apabila melihat lokasi kami sekarang.
Di belokan yang dimaksud Ben, kami berhenti untuk bertanya pada seorang perempuan yang melintas.
'Oh, barangkali yang sampean maksud itu warungnya Pak Seno"'
'Pokoknya di sana ada kopi yang enak sekali,' jelas Ben
'Oh, iyo, iyo!' perempuan itu menjawab semangat. 'pokoke warung Pak Seno mlakune terus rono (pokoknya warung Pak Seno jalannya terus ke sana), tapi jalanannya jelek lho Mas, alon-alon wae(pelan-pelan saja).'
Ben buru-buru mengucapkan terima kasih, siap tancap gas.
'Jenenge(namanya) kopi tiwus, Mas,' perempuan itu menambah kan.
Ben menginjak rem sekaligus. 'Apa"'
'Kopi tiwus! iki lho... aku juga baru bawa dari sana.' ia menunjukkan isi bakul yang dipanggulnya. Biji-biji kopi yang sudah kering terpanggang.
Ben langsung mengambil seraup. 'Maaf Mbak, saya ambil sedikit, ya," katanya seraya memberikan selembar lima ribuan.
Perempuan itu tampak terlongo. Dari kejauhan kami mendengar ia berteriak, 'Maaas... limang ewu iki entuk sak bakuuul! (lima ribu ini untuk satu bakul)
Ben seperti kerasukan setan. Jalanan becek dan berlubang itu dilewarinya dengan kecepatan jalan tol. Tinggallah aku yang sekuat tenaga menahan mual.
Tepat di penghujung jalan, sebuah warung reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil, ternaungi pepohonan besar. Di halamannya terdapat tampi-tampi berisi biji kopi yang baru diperik. Di sekitar gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan bunga-bunga putih yang semarak bermunculan di sana-sini. Aku baru tersadar, seluruh bukit kecil itu ditanami tanaman kopi.
'Tidak mungkin...' desis Ben tak percaya, 'tempat dengan ketinggian seperti ini bukan tempat yang ideal ditanami kopi. Dan, lihat, mana ada petani kopi yang menanam dengan kuantitas sekecil ini.'
Di dalam warung, seorang bapak tua menyambut kami dengan senyuman ramah. 'Dari kota ya, Mas"'
Aku mengangguk, 'Dari Jakarta, Pak.'
'Jauh sekali!' Bapak itu geleng-geleng takjub.
Ben langsung duduk di bangku panjang yang tersedia, mukanya masih ruwet, 'Kopi tiwusnya dua.'
'Jarang-jarang ada orang Jakarta yang ke mari. Paling-paling dari kota-kota kecil dekat sini,' tuturnya sambil meraih dua gelas belimbing yang tertangkup di hadapan kami.
'Bapak ini Pak Seno, ya"' tanyaku. 'Iya. Kok bisa tahu, toh"'
'Bapak terkenal sampai ke Jakarta,' jawabku sambil nyengir, berusaha menyindir Ben yang sama sekali tidak merasa tersindir. Matanya tidak lepas mengamati seluruh gerak-gerik Pak Seno membuat kopi.
Pak Seno rertawa lepas. 'Walaaah, ya mana mungkin!'
Di hadapan kami kini tersaji dua gelas berisikan kopi kental yang mengepul.
'Gorengannya sekalian dicoba, Mas. Monggo.'
Aku menyomot satu pisang goreng. Masih ada beberapa lagi piring-piring berisi gorengan beraneka macam.
Ben tak banyak bicara, ia cuma memandangi gelas di hadapannya, seolah menunggu benda itu bicara padanya.
'Satu gelas harganya berapa, Pak"'
'Kalau gorengannya 50 perak satu. Tapi kalau kopinya, sih, ya berapa saja terserah situ.'
'Kenapa begitu, Pak"' tiba-tiba Ben bersuara.
'Habis Bapak punya buanyaaak... sekali. Kalau memang mau dijual biasanya langsung satu bakul. Kalau dibikin minuman begini, cuma-cuma juga ndak apa-apa. Tapi, orang-orang yang ke mari biasanya tetap saja mau bayar. Ada yang kasih 150 perak, 100, 200... ya, berapa sajalah."
'Mari, diminum. Pak,' aku bersiap menyeruput. 'Oh, monggo, monggo'
Ternyata Ben sudah duluan meneguk. Sejenak aku terpaku, menunggu reaksi yang muncul. Ben cuma membisu. Hanya matanya diliputi misteri. Perlahan, aku ikut mene
nggak. Dan... Kami berdua tak bersuara. Teguk demi teguk berlalu dalam keheningan.
'Tambah lagi, toh"" Suara lembut Pak Seno menginterupsi.
Baik aku maupun Ben tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan saja gelas-gelas kami diisi lagi.
'Banyak sekali orang yang doyan kopi tiwus ini. Bapak sendiri ndak ngerti kenapa. Ada yang bilang bikin seger, bikin tentrem, bikin sabar, bikin tenang, bikin kangen... hahaha! Macem-macem! Padahal kata Bapak sih biasa-biasa saja rasanya. Barangkali memang kopinya yang ajaib. Bapak ndak pernah ngutak-ngutik, tapi berbuah terus. Dari pertama kali tinggal di sini, kopi itu sudah ada. Kalau 'tiwus' itu dari nama almarhumah anak gadis Bapak. Waktu kecil dulu. tiap dia lihat bunga kopi di sini, dia suka ngomong 'tiwus-tiwus' gitu,' dengan asyik Pak Seno mendongeng.
Tiba-tiba Ben menghambur keluar.
Aku tak menahannya. Kubiarkan dia duduk sendirian di bawah pohon besar di luar sana.
Matahari sudah menyala Jingga. Aku menghampiri Ben. 'Apa lagi yang kamu cari" Kita pulang sajalah.'
'Aku kalah,' desisnya lesu.
'Kalah dari apa" Tidak ada kompetisi di sini.'
'Berikan ini pada Pak Seno,' Ben menyodorkan selembar kertas.
Mataku siap meloncat keluar ketika tahu apa yang ia sodorkan. 'Kamu sudah gila. Tidak bisa!'
'Jo, kamu sendiri sudah mencoba rasa kopi tadi. Apa itu tidak cukup menjelaskan"'
Setengah mati aku berusaha memahaminya. 'Oke, kopi itu memang unik. Lalu"'
'Kamu masih tidak sadar"' Ben menatapku prihatin. 'Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial!' serunya gemas, 'Aku malu pada diriku sendiri, pada semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben's Perfecto.'
Filosofi Kopi Karya Dewi Dee Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gombal" Aku positif tidak mengerti.
'Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu"' katanya dengan tatapan kosong, 'Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, lapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!'
'Coba diingat-ingat, rencana pengembangan Filosofi Kopi yang sudah kususun. Dan semuanya itu membutuhkan kertas ini sebagai modal,' bujukku.
'Aku pensiun meramu kopi.'
Kali ini ketidakpahamanku meledak. 'Kenapa kamu
harus membuat urusan kopi ini jadi kompleks" Romantis overdosis" Okelah, kamu cinta kopi, tapi tidak usah jadi berlebihan. Pakai rasio...'
Ben bangkit berdiri. 'Memang cuma duit yang kamu pikir! Profit, laba, omset... kamu memang tidak pernah mengerti arri kopi buatku. Ambil saja Filosofi Kopi. Kamu sama dengan laki-laki goblok sok sukses itu...'
Tinjuku sudah ingin mampir ke mukanya, tapi kutahan kuat-kuat. 'Ben, kamu masih kalut. Jangan asal ngomong. Kita pulang ke Jakarta sekarang.'
'Berikan dulu itu ke Pak Seno.'
'Jangan tolol! Sampai kapan pun aku tidak akan kasih. Itu jelas bukan haknya, uang ini kamu dapat karena kerja kerasmu menciptakan Ben's Perfecto.'
Namun nama itu seperti penghinaan sampai ke kupingnya, membuat Ben malah bergidik jijik. 'Jo, ingat,' ancamnya, 'uang itu hakku sepenuhnya.'
'Tidak lagi, ketika kita sepakat memasukkannya ke dalam kapital yang akan digunakan untuk pengembangan kedai,' bantahku cepat.
Kuat-kuat Ben menggeleng. 'Ambil saja bagianku di kedai. Aku serius.'
'Bukan begitu...' 'Kalau kamu memang sahabatku, jangan paksa aku apa-apa.' Ia berkata lirih.
Mendengarnya, otakku seperti macet berargumentasi. Namun sampai langkah gontai kami berdua akhirnya menggiring kami masuk ke mobil, sampai lambaian Pak Seno mengantar kepergian kami kembali ke Jakarta, secarik kertas itu tetap kugenggam erat-erat.
4. Ben benar. Aku tak bisa memaksanya. Tak ada yang bisa. Semangat hidupnya pupus seperti lilin tertiup angin, sama nasibnya seperti kedai kami yang padam. Tutup.
Tinggal aku yang kerepotan melayani telepon, surat-surat yang menanyakan kabar Filosofi Kopi, bahkan beberapa orang menawarkan bantuan uang kala
u memang kami kesulitan finansial. Ada juga yang mengirimkan bunga dan parse! buah-buahan karena dikiranya Ben jatuh sakit.
Ben sehat-sehat saja. ia hanya tak mau berurusan dengan kopi, sekalipun setiap malam ia ada di sana, di dalam bar yang dibekukan oleh kesunyian.
Kuurut kedua pelipisku pelan. Sejujurnya, aku pun kalut, dan lama-lama meragukan sikapku sendiri. Mungkin Ben benar. Yang kupikirkan hanyalah uang, profit, dan nasib yang entah apa jadinya tanpa Filosofi Kopi. Benlah sesungguhnya tungku tempat ini, dan aku malah memadamkannya dengan ketidakmengertianku.
Tiba-tiba perhatianku terusik. Sebuah kantong plastik
yang masih terikat di pojok meja tertangkap ekor mataku. Kopi tiwus.
Tiba-tiba saja tanganku bergerak cepat meraih kantong itu, membuka simpulnya, meraup secukupnya, lalu memasukkannya ke dalam mesin penggiling. Tak lama kemudian, siap sudah secangkir kopi tiwus panas. Untuk pertama kalinya aku membuat kopi sendiri.
Kuhirup tegukan tiwusku yang pertama... di benakku membayang wajah Ben. Saat ia datang padaku bersama setumpuk ide cemerlang mengenai kedai ini. Dua tahun yang lalu.
Kuhirup tegukanku yang kedua... membayanglah potongan-potongan gambar, kerja keras kami berdua. Modal pas-pasan. Uang nyaris tak tersisa. Semuanya dikorbankan habis-habisan untuk tempat ini. Membayang wajah Ben yang seperti gelandangan ketika pulang dari rur kopinya ke Eropa. Aku tersenyum, dia memang manusia gigih.
Tegukan yang ketiga... senyumku kian melebar. Kenangan suka-duka melintas: satu hari tanpa pengunjung hingga kami dengan frustrasinya meminum bercangkir-cangkir kopi sampai pusing... mesin penggiling bekas yang sering ngadat... tamu yang lupa bawa uang dan akhirnya meninggalkan sepatu sebagai jaminan... aku tertawa.
Teguk demi teguk berlalu. Semakin padat kenangan yang terkilas balik. Dan ketika tinggal tetes-tetes terakhir yang tersisa, ampas di dasar cangkirku ternyata sebuah perasaan kehilangan. Aku kehilangan sahabatku.
Dua hari sudah aku meninggalkan Jakarta. Begitu tiba, aku singgah di kedai untuk mengambil kunci rumahku yang tertinggal.
Tidak kuduga akan bertemu Ben ada di sana, padahal waktu sudah hampir tengah malam. Ia duduk sendirian, tak bereaksi apa-apa sekalipun telah mendengarku masuk dari tadi.
Dari dapur, aku keluar dan menyuguhkannya secangkir kopi.
'Tidak, terima kasih,' gumamnya.
'Jangan begitu. Kapan lagi aku yang cuma tahu menyeduh kopi sachet ini nekat membikinkan kopi segar untuk seorang barista"' kelakarku.
Ben menyunggingkan senyum kecil, lalu mencicipi sedikit kopi buatanku. Seketika air mukanya berubah.
'Apa maksudnya ini"' Ben setengah menghardik.
Aku tak menjawab, hanya memberinya sebuah kartu.
KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
'KOPI TIWUS' Artinya: Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.
'Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus... memberikan sisi pahit yang membuaimu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran,' napasku harus dihela agar lega dada ini, 'bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben's Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.'
'Benar, kan,' Ben menyunggingkan senyum getir, 'kita memang cuma tukang gombal.'
'Tapi masih banyak yang harus kamu pikirkan. Seperti ini...' kutumpahkan kartu ucapan dan surat-surat ke meja, 'orang-orang ini tidak menuntut kesempurnaan seperti Ben's Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi, apa adanya.'
Ben menatapi berantak kertas di hadapannya. Kutunggu hingga tangan itu bergerak pelan, meraih satu per satu kartu, surat. Sedikit demi sedikit kehidupan Filosofi Kopi mengembus lewat tulisan mereka. Ben kenal semuanya. Wajah-wajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari cangkir-cangkir yang ia suguhkan setiap harinya dengan cinta.
Aku masih diam, menunggu Ben yang meraupkan kedua rangannya menutupi muka. Lama sek
ali. Dan ketika kusangka penantianku tak bakal usai, tiba-tiba Ben berdiri, tangannya mencengkeram bahuku, 'Uang itu"' desisnya. 'Ada di tangan yang tepat.'
Kulihat Ben mengangguk samar. Dan di balik punggungnya, aku yakin ia akan tertawa lebar.
Pada kaca besar kedai, tampak siluet tangan yang kembali menari di dalam bar, menyiapkan perataran untuk esok hari, membangunkan Filosofi Kopi yang lama diam bagai bubuk kopi tanpa riak air. Seduhan secangkir kopi tiwus malam ini mengawinkan lagi keduanya.
Ratusan kilometer dari Jakarta...
'Mbok, mau ana sing njupuk kopi tiwus, aku dijoli iki..'(tadi ada yang membeli kopi tiwus. aku diberi ini) Pak Seno berkata pada istrinya dan menunjukkan selembar kertas bertuliskan angka-angka.
'Iki opo (ini apa")', Mas"' istrinya garuk-garuk kepala tak mengerti.
'Aku ya ora ngerti...(aku tidak mengerti)' Pak Seno pun mengangkat bahu.
'Ya wis. Mas, disimpen wae. Dienggo kenang-kenangan
to'(ya sudahlah, disimpan saja. Untuk kenang-kenangan kan)
Pak Seno manggut-manggut, lalu menyimpan kertas itu di bawah tumpukan baju dalam lemari pakaiannya.
Mencari Herman [2004] Seharusnya ada pepatah bijak yang berbunyi: 'Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan'. Sekalipun ganjil terdengar, tapi itu penting. Pepatah bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila. Dibutuhkan seorang Hera yang mencari Herman.
Gadis berumur tiga belas tahun itu favorit semua orang, termasuk aku, sekalipun dia bukan adikku kandung melainkan adik sahabatku. Hera yang manis
dan manut. Tak ada pergolakan berarti dalam hidup remaja belasan tahun yang taat pada orang tua, negara, dan agama.
Sampai satu sore kami bicara-bicara tentang Herman Felany di reras rumahnya; filmnya yang baru kami tonton; kumisnya yang mengagumkan; yang mengilhami-ku beserta seluruh teman abangnya membuat kompetisi untuk dulu-duluan menumbuhkan kumis menyerupai Herman. Hera, yang cuma menonton! kami bicara, dengan polos tahu-tahu berujar, dia belum pernah punya teman bernama Herman. Teman-teman abangnya yang lain tidak mengindahkan, kecuali aku. Kusempatkan berbisik di kupingnya: Pasti ada di sekolah, kamu cari saja.
Seminggu kemudian Hera kembali padaku dan melaporkan bahwa ternyata tidak ada yang bernama Herman di sekolahnya, bahkan guru-guru sekalipun. Aku cukup tersentak. Ratusan siswa, puluhan guru, tidak ada yang bernama Herman" Budi banyak, Ahmad banyak, bahkan Ludwig juga ada, rapi tidak Herman. Aku jadi tersadar, aku juga tidak punya kenalan bernama Herman.
Hera melebarkan sayap, mencari Herman di lingkungan rumah. Ia mendatangi Pak RT dan Pak Lurah. Tetap tidak ada Herman atau Pak Herman atau Dik Herman. Aku menawarkan RT dan kelurahanku, kami berdua mencari, dan tetap tidak kami temukan Herman. Hera mulai mencari tahu ke sanak saudaranya, teman-temannya, adakah yang kenal seseorang bernama Herman" Ajaibnya, tidak ada. Beberapa orang memiliki unsur Herman atau ke-'herman-herman'-an dalam namanya: Feri Hermansyah, Dudi Hermanto, Indra Hermadi, Her-mawan Adi, tapi Hera tak terpuaskan. Ia menginginkan seorang Herman sejati.
Tentu tak setiap hari kami disibukkan oleh pencarian Herman. Waktu berlalu, dan Flera sudah siap lulus SMA. Flera, yang ingin jadi dokter anak, berpamitan akan kuliah di Jakarta. Semoga bertemu Herman! Demikian ucapan terakhirku sebelum Hera naik ke gerbong kereta.
Beberapa tahun kemudian anak pertamaku lahir. Baru saja kukhayalkan kunjungan kami ke Dokter Hera yang cakap, tiba-tiba kudengar kabar Hera drop out. Ternyata si anak sempurna itu sudah berubah jadi manusia biasa. Katanya, Hera terkenal suka gonta-ganti pasangan. Satu kali, ia kena batunya. Hera hamil di luar nikah. Ironisnya, pengetahuannya sebagai calon dokter gagal menuntunnya untuk berbuat masuk akal. Karena takut diamuk, Hera ke dukun.
Perutnya digilas dan digerus. Tak ada janin yang keluar, hanya darah dan kerusakan permanen di rahim. Flera sakit keras lalu terpaksa pulang.
Lama Hera mendekam seperti tahanan rumah. Wajah manisnya berubah pahit sekian lama. Ia lantas dikirim ke beberapa pesantren. Baru setelah ia dinilai sembuh luar-dalam-lahir-batin, Flera diizinkan untuk punya cita-cita. Dan Hera memilih terbang. Aku menemuinya saat ia pamit mau pendidikan pramugari. Supaya ketemu Herman di angkasa" Aku bercanda. Hera tertawa, entah itu berarti iya, atau tidak, atau menertawakanku. Seakan-akan pertanyaan tadi langsung mengklasifikasikanku ke dalam kantong sampah bernama masa lalu' yang ingin ditinggalkannya secepat mungkin.
Pada pertemuan kami berikut, Hera sudah berseragam pramugari sungguhan. Cantik sekali. Mau terbang sampai kapan, kapan ada niat menikah, tanyaku. Hera tersenyum setengah mendengus sambil menggeleng kenes, seolah merespons pertanyaan sekonyol 'adakah garam yang tak asin"'. Aku mengartikannya sebagai 'tidak'. Hera telah bermetamorforsis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku.
'Sudah ketemu Herman"' tanyaku lagi. Kembali Hera tertawa lepas. Ia lalu bercerita, sejak tahunan lalu ia sudah stop mencari, apalagi menyusuri daftar nama, karena bukan itu yang ia mau. Hera ingin langsung bertemu dengan seseorang, menjabat tangannya, lalu orang itu berkata: Herman. Kamu membuat pencarian ini tambah susah, kataku. Lebih alami lebih seru, jawabnya mantap. Dan tetap ia meninggalkan nomor telepon, kalau-kalau alam menentukan akulah yang menemukan Herman untuknya.
Tentu tidak kupikirkan Herman setiap saat. Lebih sering aku berpikir tentang Hera. Sahabatku bercerita kalau adik perempuannya itu menjalin hubungan dengan Pak pilot yang sudah beranak lima. Namanya Herman" Aku bertanya, karena kalau iya, rasanya aku bisa sedikit maklum. Bukan, namanya Bajuri. Pak pilot Bajuri ini sebentar lagi akan menceraikan istrinya demi hidup tenteram dengan Hera. Tak ada yang memberi restu- termasuk aku, karena nama orang itu Bajuri, bukan Herman.
Semakin sering aku berpikir tentang Hera. Kabarnya, ia keguguran kandungan dua kali, dan akhirnya mogok hamil sama sekali. Tak lama, pak pilot dan Hera bercerai-atau putus cinta saja, tidak kutahu pasti. Hera, yang sudah berkorban pindah ke maskapai lain, tahu-tahu kehilangan pekerjaan karena perusahaannya gulung tikar. Lalu Hera sekarang di mana" Aku bertanya pada sahabatku. Di Jakarta, tidak pulang-pulang, mungkin malu, dia sudah tidak pernah sowan dengan bapak-ibu sejak kumpul kebo sama pilot gaek itu, demikian sahabatku menjawab. Biarkan saja, katanya, nasib sialnya itu gara-gara tidak diberi restu.
Tak kusangka, justru akulah yang harus menemui Hera duluan. Sebenarnya keluarga Hera tahu dia di mana, tapi pura-pura tidak tahu. Hera berdagang kain batik dari pintu ke pintu, sesekali menyambi menjadi sales barang elektronik. Mukanya lelah dan cahaya matanya lenyap diisap kecewa. Saat kutemui, Hera menghabiskan satu jam hanya untuk menangis, dan berjam-jam
untuk berkesah dan berkeluh. Lama tak ada yang mendengarkannya. Hera bilang, ia kecewa dengan hidup. Hidup tidak adil. Hidup itu kejam. Hidup itu ini, hidup itu itu... sampai kosa katanya habis. Barulah aku berkesemparan bicara, bahwa telah kutemukan Herman untuknya.
Barangkali itu kabar baik pertama yang pernah ia terima selama bertahun-tahun. Tanpa berpikir, Hera ikut menemui teman mertuaku yang bernama Ny. Herman. Suaminyalah yang bernama Herman. Tulen, tanpa campuran 'to', 'syah', atau yang lainnya. Ditemukan secara alami, sesuai pesanan. Bukan lihat buku telepon, atau daftar kelurahan.
Namun Ny. Herman yang kutemui sebulanan lalu sudah berubah. Tak lagi ceriwis dan murah senyum. Pak Herman baru saja meninggal seminggu lalu. Pergi meninggalkan istri yang tak punya siapa-siapa lagi di dunia, pergi meninggalkan Hera tanpa sempat berjabat tangan dan berkara: Herman. Ny. Herman menangis, Hera menangis, dan aku ikut murung. Seolah ada dua janda yang ditinggal mati.
Sepulang dari sana, aku tak banyak bicara, hanya sekali sebelum kami berpisah: Bah
kan untuk menemukan seorang Herman buatmu, saya gagal.
Hera menunduk, dan hampir berbisik kudengar ia berkata: Abang, dari aku kecil dulu, cuma Abang yang selalu peduli padaku. Dan aku selalu sayang sama Abang,
capi Abang seperti buta. Tolong jangan lagi mencarikan Herman. Jangan lagi bertanya soal Herman. Karena sebetulnya aku tidak butuh Herman. Aku butuh orang seperti Abang.
Aku tidak langsung paham arti ucapannya, tapi tanganku refleks menjauh ketika Hera meraih jemariku. Sepertinya ada yang salah, ia selalu kukenang sebagai Hera yang mencari Herman. Bukan mencari aku. Segalanya salah hari itu. Kakiku berjalan cepat meninggalkannya, yang lamat-lamat kudengar memanggil namaku.
Sejak hari itu, aku berusaha berhenti memikirkan Hera. Tidak gampang, sungguh. Aku begitu terbiasa memikirkannya. Saat Herman Felany sesekali muncul di televisi, atau kubaca nama Herman di surat kabar, atau bersentuhan dengan segala yang berhubungan dengan Hera, maka kudengar lagi suaranya sore itu, memanggil namaku. Dan betapa pun punggung ini ingin berbalik, aku tahu lebih baik untuk terus berjalan. Terus berjalan.
Kini, sering aku bertanya, akankah segalanya berbeda, jika hari itu aku memilih menghadapi Hera dan isi hatinya" Bila aku terus berusaha mencarikan Herman sekalipun bukan itu sesungguhnya yang ia cari" Bila aku berani mengakui bahwa pencarian Herman adalah alasanku untuk sekadar menemuinya"
Seratus hari. Kuselipkan cetakan surat Yasin itu ke dalam tas. Bersalaman dengan sahabatku dan keluarganya seolah untuk yang terakhir kali. Karena rasa-rasanya aku
tidak akan kuat kembali lagi. Setiap malam selama seratus hari terakhir mataku basah, sejak mendengar kabar duka dari sahabatku tentang Hera yang satu hari pergi dan rak kembali.
Teman Hera yang bersamanya terakhir kali bercerita bahwa dia dan Hera didatangi seorang pria yang tertarik pada wajah Hera dan menawarkannya jadi model iklan. Hera sama sekali tidak tertarik, ia terima kartu nama yang diberikan pria itu dengan sebelah mata. Namun setelah beberapa lama, Hera seperti tersadar akan sesuatu. Tepatnya, ketika benar-benar membaca kartu nama tadi. ia berlari mengejar pria itu, dan tak pernah kembali. Jasad Hera ditemukan dua hari kemudian, tersangkut di tengah jurang. Dibuang dari mobil bernomor polisi Surabaya, demikian keterangan seorang saksi mata. Kubaca berita itu di pojok halaman depan sebuah koran merah.
Sahabatku bahkan sempat menunjukkan kartu nama yang menjadi petunjuk lenyapnya Hera. Saat kubaca nama yang tertera di sana, seketika aku dapat merasakan kaki Hera yang berlari, sekuat tenaga, mengejar satu-satunya impian yang terwujud dalam hidupnya yang bergelimang kecewa, mengajak pemilik kartu nama itu berkenalan sekali lagi. Demi mendengar sepotong nama disebut: Herman.
Kubayangkan wajah cantik itu berseri.
Herman Suherman. Kebahagiaan Hera pasti berlipat dengan ditemukannya seorang Herman kuadrat, tanpa tahu bahwa satu Herman menggenapinya, tetapi dua dapat membunuhnya.
Aku juga tak tahu itu. Tidak ada yang tahu. Tak ada pepatah yang bisa jadi pemandu. Karena setidaknya, bila kudapatkan seorang Herman terlebih dahulu, Hera masih bernyawa, ia mungkin ada di rumah ini, menemaniku melewati hari tua. Hingga tak perlu lagi aku berandai-andai tentang apa jadinya hidup memiliki dua cinta. Satu menggenapi, tetapi adakah dua akan membunuhku" Aku rak akan pernah tahu.
-Untuk Fanny, yang mencari Herman-
Suratyang tak Pernah Sampai
[2001] Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dan tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam... tentang dia.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah
setiap kali kali an berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon resroran, semua tulisannya-dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan-bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila-berterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
Tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan Cinta. Kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di saru samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala... dan itulah tujuan kalian.
Kalau saja hidup tidak ber-evolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.
Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membatu untuk itu.
Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.
Kamu takut. Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyu-dutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata 'sejarah' mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup ma nusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika di sentuh menjadi embun yang rapuh.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkan nya ulang di kepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan
yang Tidak Boleh Sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.
Lama baru kamu menyadari bahwa Pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama"
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak-terjang-nya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkan-mu-entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah, dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan... karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud.
Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergul
ir tanpa beban. Dan kamu tahu. itulah yang tidak bisa dia berikan kini.
Hingga akhirnya... Di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu batu sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa").
Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidak-relaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata 'jangan' yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lap.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika surar itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap uncuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan bertetiak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan
sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.
Salju Gurun [1998] Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi men-jadi butiran pasir. Sekalipun nyaman engkau di tengah impitan sesamamu, tak akan ada yang tahu jika kau melayang hilang.
Di lingkungan gurun yang serba serupa, untuk apa lagi menjadi kaktus. Sekalipun hijau warnamu, engkau tersebar di mana-mana. Tak ada yang menangis rindu jika kau mati layu.
Di lansekap gurun yang mahaluas, lebih baik tidak menjadi oase. Sekalipun rasanya kau sendiri, burung yang tinggi akan melihat kembaranmu di sana-sini.
Di tengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau... berbeda.
Kunci Hati [1998] Dalam raga ada hati, dan dalam hati, ada satu ruang tak bernama. Di tanganmu tergenggam kunci pintunya.
Ruang itu mungil, isinya lebih halus dari serat sutera. Berkata-kata dengan bahasa yang hanya dipahami oleh nurani.
Begitu lemahnya ia berbisik, sampai kadang-kadang engkau tak terusik. Hanya kehadirannya yang terus terasa, dan bila ada apa-apa dengannya duniamu runtuh bagai pelangi meluruh usai gerimis.
Tahukah engkau bahwa cinta yang tersesat adalah pembuta dunia" Sinarnya menyilaukan hingga kau terperangkap, dan harimu menjadi sasa
ran sekalinya engkau tersekap. Banyak garis batas memuai begitu engkau terbuai, dan dalam puja kau sedia serahkan segalanya. Kunci kecil itu kau anggap pemberian paling berharga.
Satu garis jangan sampai kau tepis: membuka diri tidak sama dengan menyerahkannya.
Di ruang kecil itu, ada teras untuk tamu. Hanya engkau yang berhak ada di dalam inti hatimu sendiri.
Selagi Kau Lelap [2000] Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal"
Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir riga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh.
Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 4.354.560.000
Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi...
Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. Meman dangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.
Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku di sini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.
Aku tak pernah rerlalu tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling... sudah. Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretensi" Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya" Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi men-capai Tanah Perjanjian.
Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.
Begitu banyak yang ingin kubicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, carik tambang... cak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan" Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.
Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi ber mentega, dan mulut asam... mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa 'selamat pagi'.
Sikat Gigi [1999] Pujangga itu melongokkan kepala dari jendela mobil tanpa takut kepalanya tersambar kendaraan nakal yang kadang menyalip dari kiri, tetap menatap langit yang berantakan oleh bintang lalu ribut sendiri. Ia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti.
Setelah kami berdua duduk di atas rumput, dengan tabah ia menjelaskan. 'Coba lihat. Langit beg
itu hitam sampai batasnya dengan Bumi hilang. Akibatnya, bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Indah, kan"'
ia pun dianugerahi kemampuan untuk menjelaskan segalanya dengan tepat, rasional, dan masih kedengaran cantik. Itulah satu-satunya cara agar aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan pujangga dan tak pernah bisa bermetafora. Monokrom dan kurang dimensi, kacanya selalu tentang diriku. Praktis dan realistis, begitu aku menerjemahkannya.
Dengan segenap rasio dan akal, aku mencintai perempuan di sampingku itu. Egi, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang kubanggakan dan kukagumi, ia mampu berpanjang lebar menjelaskan cinta dan adiek-sistensinya pada aku yang tak pernah mau repot menganalisis. Yang kutahu, aku peduli padanya, tidak pernah bosan seharian bersamanya, dan yakin bahwa kami dapat bekerja sama membina apa pun, termasuk rumah tangga. Itulah aplikasi substansi berjudul 'cinta bagiku. Cukup sekian. Egi juga tahu itu.
'Kamu kedinginan"' tanyaku sambil siap-siap membuka jaket.
Mendengarnya, Egi yang hanya memakai cardigan tipis menjadi sadar akan dinginnya cuaca, ia pasti telah hanyut jauh dalam dunianya sendiri. Di sana jiwanya barangkali dihangatkan, lalu merembet hingga ke kulit.
Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-layang. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang hanya membuat pikiranku terganggu.
Tak lama kemudian kami kembali ke Jakarta.
'Sudah lama kita tidak ke Puncak lagi,' ujar Egi yang melenggang dengan sikat gigi di tangan. "Terakhir kapan, ya"'
'Enam minggu yang lalu" Waktu langit dan Bumi jadi satu itu.'
Egi menatapku lucu. 'Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengucapkannya sama datar dengan bilang 1+1=2...'
Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. Aku pun kembali membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Egi selalu lama bila menyikat gigi.
Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti. Malam yang hening membuatku menjadi awas akan perubahan yang terjadi. Dari pantulan kaca, kulihat pintu kamar mandi terbuka dan Egi tengah mematung dengan mulut penuh busa.
'Egi, kenapa"' Terdengar suara berkumur. Keran dimatikan.
'Tio, saya pulang, ya.' Lunglai ia menghampiriku.
'Kamu di sini saja. Besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi,' kataku sambil menguap. Tak perlu berbasa-basi dengan Egi. Kami sudah cukup dewasa dan cukup dekat untuk tidak lagi canggung kalau Egi terpaksa menginap di tempat tidurku, bangun pagi dan sarapan bersama, lantas aku mengantar dia pulang atau ke tempat kerjanya. Egi bahkan menginventaris sebuah sikat gigi di sini.
Mara itu bersaput air. 'Saya merasa tidak karuan, gumamnya pelan.
Rasa bersalah menggigitku. Sikap terlampau kritis pada Egi dan air matanya seringkali mendorongku untuk menginjeksikan logika yang kupikir perlu, yang malah membuatnya tambah sedih dan menganggap aku tak bisa atau tak suka menolongnya. Pantas jika ia memilih pulang daripada meledakkan rangisnya di depanku.
'Silakan kamu menangis selama mungkin. Saya janji akan diam.' Aku tersenyum dan menariknya duduk di sampingku, kembali membaca.
'Tio...' panggilnya setelah lama mematung. 'Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa"'
Ingin kulontarkan jawaban spontan seperti 'supaya gigi tidak bolong', atau 'afeksi berlebihan pada rasa odol', tapi kuputuskan untuk diam.
'Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit., cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak.'
Aku tahu apa yang kau maksud, wahai Egi, pujanggaku sayang. Cukup lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan di balik itu semua, misalnya, buat apa ia pelihara luka hati yang cuma bikin matanya berair"
Aku menatapnya iba. Egi dengan pipi basah, tangisan nya yang tak pernah bersuara, dan linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih untuk merangkulnya.
'Kamu... p asti sebenarnya... sudah ingin ngomel-ngomel," ia berbisik susah payah.
Kutepuk-nepuk bahunya, 'Saya tetap tidak mengerti. Tapi semuanya terserah kamu.'
Saat seperti ini selalu membuatku berpikir, jangan-jangan aku yang terlahir cacat. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak terikut ke dalam paket genetikku, makanya aku selalu gagal mengerti. Padahal seorang ahlinya ada sangat dekat di sini, Egi, guru besar bahasa aneh itu. Bahasa dari planet tempat cinta punya logika serta hukum sendiri.
Aku dikutuk selamanya menjadi makhluk ekstra-teres-trial.
Ulang tahunnya yang ke-27. Setelah bersenang-senang bersama serombongan teman, kini kami kembali berdua. Mata yang menerawang jauh, kaki yang meringkuk, napas yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah Egi, bahkan pada hari seistimewa ini.
Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara dunia tempat kami ada dan dunia yang tak mengikutkanku serta. Tak pula ada yang bisa menahannya menyeberang pergi.
'Ini... hadiah untuk kamu.' Aku menjegal langkah terakhirnya sebelum menginjak antah berantah itu.
Egi terkejut melihat kotak di depan mukanya. 'Sejak kapan kamu kasih kado segala"
'Usia 27 itu usia penting,' jawabku sekenanya.
Tawanya semringah ketika tahu apa isi kotak itu.
Aku sibuk menjelaskan. 'Sikat gigi elektronik. Ber garansi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di dalam tas. Ini buku panduannya...'
'Tio,' potongnya geli seraya menahan tanganku, 'saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi... kenapa sikat gigi"'
Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang membuatku gelagapan, 'Soalnya... ehm. soalnya...' kubersihkan renggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambar lidah, melirik dan mendapat kan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Se nyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Se nyuman yang meyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan.
'Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,' kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, 'peng harapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu'
Ia terperangah. Bahunya bergerak, Menjauh. 'Egi... jangan..." bisikku waswas.
'Kamu tahu perasaan saya, dan saya tidak pernah mau membahas soal ini lagi.'
'Tapi beginilah kenyataannya, saya tidak pernah berubah dari bertahun-tahun yang lalu... kamu tahu itu...'
'Kamu sahabat saya... sahabat terbaik...' ia makin menjauh. Bersiap menutup diri.
'Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia"!' Tak tahan aku berseru. 'Orang yang tidak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan buat melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu"'
'Dia ingin datang. Biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya, pada kesempatan pertama yang dia punya. Saya bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya.'
'Kapan kamu akan bangun"' keluhku letih.
Tegas kepalanya menggeleng. 'Ini namanya cinta sejati. Satu hal yang tidak pernah kamu tahu.'
Aku balik menggeleng. 'Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka. bukan obat merah.'
Lama Egi rerdiam, menatapku kasihan. Wajahku di sentuhnya sekilas. 'Semoga satu saat kamu mengerti.'
Habis sudah persediaan kata-kata. Keyakinannya berada di luar akalku. Aku ini ET. Jadi, mana mungkin aku bisa 'ngerti'.
Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang menahun sudah membiarkannya terkatung-katung. Dem
i kianlah fakta sederhana yang kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena keinginanku yang logis untuk memilikinya bukanlah cinta bagi Egi, semen tara cintanya Egi yang masokis juga alien bagiku.
Jembatan komunikasi kami runtuh. Dua manusia yang telah bersahabat bertahun-tahun lamanya berubah asing dalam semalam. Mungkin sudah saatnya.
Hampir genap setahun tak ada Egi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang menerjemahkan keindahan alam Tidak ada lagi yang menunjukkan signifikansi di balik
hal-hal remeh. Tidak ada lagi yang duduk di sofa panjangku untuk melalap tulisan para filsuf yang mendedah makna hidup. Dan yang paling aku kehilangan adalah mendengarkannya menyikat gigi.
Setiap kali aku berusaha merasionalisasikan semua ini, kesimpulanku selalu sama: aku harus menemuinya lagi.
Bukan hal sulit untuk menemukannya. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman yang berbukit-bukit di kompleks rumahnya. Yang sulit justru mengungkapkan apa yang tak pernah kusadari, dan lebih sulit lagi untuk tidak punya harapan apa-apa sesudahnya.
'Egi..' Punggung itu berbalik, matanya terbeliak tak percaya mendapatkanku muncul kembali dalam hidupnya begitu saja. Lebih kaget lagi saat aku berlutut dan meraih jemarinya dengan tanganku yang dingin. 'Sebentar saja. Saya tidak akan lama,' ucapku cepat dengan kepala tertunduk.
Ia tidak berkata apa-apa, jemarinya saja ikut dingin.
'Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat, Saya tetap Tio, si monokrom-whatever yang melihat segalanya dengan tiga dimensi, dan bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu...' aku menantang matanya, menelanjangi diri sendiri, 'karena saya sudah mengalaminya. Kebutaan itu. Saya tahu sekarang, saya mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan sekadar kamu memenuhi standar ideal saya. Tapi... karena saya juga mencintai kamu di luar akal. Satu tahun saya menemukan cukup banyak alternatif yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya. Termasuk alam lamunan yang tidak pernah melibatkan saya.
Pedang Pembunuh Naga 7 Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 Raja Pedang 10
Filosofi Kopi Dewi "Dee" Lestari
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Pemaknaan kembali kembali kopi, Buddha, Herman, surat tak terkirimkan, cinta sejenis yang manis, atau apa pun, membuktikan Dee tetap memesona. Kalau kemarin panitia Nobel Sastra masih maju mundur dengan nama Pramoedya, sekarang bisa memaknai kembali, melalui karya-karya ini.
[ Arswendo Atmowiloto ] Ruang cerpen yang sempit dijadikannya wahana yang intens namun tidak sesak untuk mengungkapkan apa yang tak selalu mampu dikatakan. Lewat refleksi dan monolog interior yang digarap dengan cakap dan jernih, pembaca diajaknya menjelajahi halaman-halaman kecil dalam cerpen yang kini dijadikannya semesta kehidupan.
[ Manneke Budiman ] Cerpen-cerpen Dee itu persis racikan kopi dari tangan
seorang ahli peramu kopi; harum, menyegarkan, dan
nikmat. Pahit, tapi sekaligus mengandung manis.
[ FX Rudy Gunawan ] Dee adalah salah satu penulis yang perlu diperhatikan saat ini. Ekspresinya unik, visinya sering mengagetkan.
[ Richard Oh ] FILOSOFI KOPI Kumpulan Cerita & Prosa Satu Dekade
Dee Dee adalah sebuah Tangkisan
[ Goenawan Mohamad ] Dee adalah sebuah tangkisan: ia membuktikan tak ada 'sastra wangi'. Istilah ini bagi saya sebuah cemooh orang laki-laki terhadap karya-karya sastra Indonesia mutakhir, yang menarik perhatian khalayak dan ditulis sejumlah perempuan. Dee adalah sebuah tangkisan, bukti bahwa cemooh itu tak adil. Tulisannya, seperti tulisan sejumlah penulis perempuan lain, tak ada hubungannya dengan parfum, bedak, lulur, dan daya tarik erotis.
Jika ada yang memikat pada Dee adalah cara dia bertutur: ia peka pada ritme kalimat. Kalimatnya berhenti atau terus bukan hanya karena isinya selesai atau belum, tapi karena pada momen yang tepat ia menyentuh, mengejutkan, membuat kita senyum, atau memesona. Kepekaan pada ritme itulah yang menyebabkan sebuah tulisan berarti-bukan sederet pesan dibungkus rokok Dji Sam Soe, bukan pula sepotong tesis doktorat.
Tak kalah penting; ritme itu tak mendayu-dayu. Juga tidak ruwet, bahkan rapi. Dee peduli ejaan dan mematuhi gramar (ia tak akan pernah salah untuk membedakan mana 'di' yang awalan dan mana pula 'di'
yang preposisi), ketika pada saat yang sama dengan luwes, tanpa terasa dibikin-bikin, memasukkan kata asing ke dalam kalimatnya, baik melalui asimilasi ('meng-kondens) atau tidak ('breach of contract'), juga ketika ia memasukkan kata 'pipis' atau 'curhat' atau dialog bahasa Jawa.
Tidak ruwet, bahkan terang benderang, tak berarti tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir. Aforismenya yang orisinal menunjukkan kemampuan untuk tanpa bersusah payah menggabungkan konseptualisasi dengan metafor, yang abstrak dengan yang konkret. "Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh", begitu salah satu kalimat dalam Surat Yang Tak Pernah Sampai.
Pada Dee ada seorang eseis unggul yang bersembunyi, menunggu, di balik seorang pencerita. Ada sebuah kata bahasa Inggris, wit, yang mungkin bisa diterjemahkan dengan ungkapan 'cerkas'. Kumpulan prosa ini menghidupkan yang cerkas dalam sastra Indonesia.
-Goenawan Mohamad- Daftar Isi 1. Filosofi Kopi 1996 2. Mencari Herman 2004 3. Surat Yang Tak Pernah Sampai 2001
4. Salju Gurun 1998 5. Kunci Hati 1998 6. Selagi Kau Lelap 2000 7. Sikat Gigi 1999 8. Jembatan Zaman 1998 9. Kuda Liar 1998 10. Sepotong Kue Kuning 1999
11. Diam 2000 12. Cuaca 1998 13. Lara Lana 2005 14. Lilin Merah 1998 15. Spasi 1998 16. Cetak Biru 1998 17. Buddha Bar 2005 18. Rico de Coro 1995 Cuap-Cuap Penulis Dalam setiap wawancara dan diskusi buku yang saya jalani, salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan adalah: 'kenapa tiba-tiba menulis"'. Konsep 'tiba-tiba'. Seakan-akan kemampuan/minat/bakar itu runtuh dari langit begitu saja, pada satu malam yang tak terduga, dan esok paginya saya menyalakan komputer lalu seperti orang kesurupan menulis novel pertama saya, Supernova.
Menulis, sesungguhnya merupakan karier panjang yang berjalan paralel dengan karier saya yang lain, yakni musik. Yang kedua lebih dulu menemukan lampu sorotnya, sementara yan
g pertama berjalan diam-diam, di bawah tanah, seperti wombat yang keasyikan menggali.
Tidak pernah ada yang tahu kehidupan si wombat tadi kecuali orang-orang dekat, keluarga, dan para sahabat. Banyaknya cerita yang tak selesai, cerpen yang terlalu panjang hingga tak bisa dikirim !
dipublikasikan, dan pada sebagian besar lainnya dilakukan proses penyuntingan ulang sehingga bagi yang sudah pernah membacanya akan menemukan sedikit perbedaan.
Tidak pernah saya mengompilasi karya sebelumnya, dan itu membuat saya menyadari beberapa hal untuk pertama kali: cinta, tetap menjadi topik favorit (dan tentunya favorit 99,9% para kreator di muka bumi ini), cinta yang bertransformasi, menjadi pilihan saya secara khusus. Baik itu cinta antarinsan, cinta pada kopi, atau cintanya kecoak, kisah-kisah dalam kumpulan ini menggambarkan proses transformasi cinta dari sekadar kumpulan emosi menuju sebuah eksistensi. Sebuah pilihan, jatidiri.
Alasan lain" Venrilasi. Sebagaimana saya percaya bahwa karya adalah anak jiwa, dan ia sepatutnya hidup di alam terbuka. Ia akan lebih sehat dan kuat di sana, daripada dibekam dalam format bahasa biner. Membiarkannya berbicara dalam bahasa yang kita mengerti bersama.
Wombat... terus menggali.
Dee. Untuk Mama, Pembaca pertama yang selalu percaya bakat itu ada.
Filosofi Kopi [1996] 1. Kopi... k-o-p-i. Sudah ribuan kali aku mengeja sembari memandangi serbuk hitam itu. Memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila: Ben... B-e-n.
Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponsden di mana-mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Roma, Paris, Amsterdam, London, New York, bahkan Moskow.
Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, me-ngemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia ramuan kopi dari barista-barista kaliber kakap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappucinno, espresso, russian coffee, irish coffee, macchiato, dan lain-lain. Sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis.
Setahun lalu aku resmi menjadi partner kerjanya. Berdasarkan asas saling percaya antarsahabat ditambah kenekatan berspekulasi, kuserahkan seluruh tabunganku menjadi saham di kedainya. Selain modal dalam bentuk uang dan ilmu administrasi, aku tak tahu apa-apa tentang kopi. Itu menjadi modal Ben seutuhnya.
Sekarang, boleh dibilang Ben termasuk salah satu peramu kopi atau b arista terandal di Jakarta. Dan ia menikmati setiap detik kariernya. Di kedai kami ini, Ben tidak mengambil tempat di pojok, melainkan dalam sebuah bar yang terletak di tengah-tengah sehingga pengunjung bisa menontoni aksinya membuat kopi. Dengan seleksi kopi yang kami miliki, kebanyakan pelanggan kedai memang penggemar kopi sejati yang tak henti-hentinya mengagumi daftar menu kami. Benar-benar mengagumi, karena mereka mengerti.
Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dan kayu merbau yang berurat kasar, poster-poster kopi berbagai macam pose di sepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca. Puncaknya, sebuah jendela kaca besar, bertuliskan nama kedai kopi kami dalam huruf-huruf dicat yang mengingatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda:
Kedai Koffie BEN&JODY Jody... J-o-d-y. Kau dapat menemuinya di tempat yang kurang menarik, yakni di belakang mesin kasir atau di pojokan bersama kalkulator. Sementara di pusat orbit sana, Ben mengoceh tanpa henti, kedua tangannya menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Tempat kami tidak besar dan sederhana dibandingkan kafe-kate lain di Jakarta. Namun di sini, setiap inci dipersiapkan dengan intensitas. Ben memil
ih setiap kursi dan meja-yang semuanya berbeda-dengan mengetesnya satu-satu, paling tidak seperempat jam per barang, ia mencobanya sambil menghirup kopi, dan merasa-rasa dengan instingnya, apakah furnitur itu cukup 'sejiwa' dengan pengalaman minum kopi. Begitu juga dengan gelas, cangkir, bush kettle, poci, dan lain-lain. Tidak ada yang tidak melalui tes kompatibilitas Ben terlebih dulu. Dengan ia menjadi pusat, dikelilingi mereka yang duduk di susunan rapat meja-kursi beraneka model, aku seolah menyaksikan sebuah perhelatan pribadi. Pesta minum kopi, kecil dan akrab, dengan Ben sebagai tuan rumah.
Tapi, yang benar-benar membuat tempat ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang diciptakan Ben. Ia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik ani, membuai analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi.
'Itu yang membuat saya mencintai minuman ini. Kopi itu sangat berkarakter.' Kudengar sayup-sayup Ben berkata pada salah satu pengunjung perempuan yang duduk di bar.
Seperti pilihan Anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan.' Ben tersenyum seraya menyorongkan cangkir. Anda tahu, cappuccino ini kopi paling genit"'
Perempuan itu tertawa kecil.
'Berbeda dengan cafe latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat seindah mungkin.'
'Oh, ya"' 'Seorang penikmat cappuccino sejari, pasti akan meman dangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum.' Sambil menjelaskan, dengan terampil Ben membentuk buih cappuccino yang mengapung di cangkir itu menjadi bentuk hati yang apik.
'Bagaimana dengan kopi tubruk"' Seseorang bertanya iseng.
'Lugu, sederhana, tapi sangar memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,' Ben menjawab cepat. 'Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai Anda mencium aromanya,' bak pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk, 'silakan, komplimen untuk Anda.'
Dengan wajah terpukau, orang itu menerima cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput.
'Tunggu dulu!' tahan Ben. 'Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperatur, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: aroma. Coba hirup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung Kilimanjaro.'
Orang itu mengembangkan cuping hidung, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang membubung dari cangkirnya. Mata itu tampak berbinar puas.
Melihat reaksi tersebut, Ben mengangguk sama puas. Sekejap kemudian dia sudah berpindah tempat, berbincang-bincang dengan pengunjung lain, dengan semangat dan atensi yang sama.
Ketika kedai tutup dan semua pulang, tinggallah kami berdua berbincang-bincang di salah satu sudut. Satu-satunya kesempatan kami unruk akhirnya minum kopi.
'Tidak cerasa, kita sudah punya kedai ini setahun lebih.' Mataku berputar bersama putaran kayu manis, lamunanku terisap pusaran kopi dalam cangkirku sendiri.
'Sekian banyak manusia sudah datang dan pergi...' nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya, 'dan kamu tahu apa kesimpulanku"'
'Kita akan kaya raya"'
'Belum tentu. Tapi semua karakter dan arti kehidupan ada di sini.'
'Di dalam daftar minuman ini"' Aku menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja. Mantap, Ben mengangguk.
'Bagaimana kamu bisa mengkondens jumlah yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman"' aku menatapnya geli, 'Ben... Ben...:
'Jody... Jody..." ia malah ikutan geleng-geleng. 'Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan menemukan dirinya di sini.' Ben mengacungkan daftar ramuan kopinya tepat di depan hidungku.
Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan ia terpikir untuk ak
hirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu.
Sesudah pembicaraan kami malam itu, Ben melakukan berbagai terobosan baru.
Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosofi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi:
FILOSOFI KOPI Temukan Diri Anda di Sini
Nama kedai kami berikut slogannya ternyata menjadi sangat populer. Kuamati semakin banyak orang yang berhenti, membaca, kemudian dengan wajah ingin tahu mereka masuk ke dalam, waswas sekaligus harap-harap cemas, seperti memasuki tenda peramal. Dan tanpa perlu bola kristal, omset kedai kami meningkat pesat.
Kini, bukan para kopi mania saja yang datang, bahkan mereka yang tidak suka kopi sama sekali pun ada yang berkunjung. Golongan terakhir ini adalah orang-orang penasaran dan akhirnya rela mencicipi kopi demi rasa ingin tahu. Ada juga grup gila filsafat, yang lebih menikmati diskusi mereka dengan Ben daripada kopi yang mereka pesan, tapi ujung-ujungnya menjadi lang-ganan tetap juga.
tak sampai di situ, Ben juga membuat kartu kecil yang dibagikan kepada setiap orang sehabis berkunjung. Kartu itu bertuliskan: 'KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:...' dan keterangan filosofisnya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkan harap untuk menjalani hari. Kadang-kadang aku mendengar mereka mulai menyebut kedai kopi kami dengan panggilan sayang versi masing-masing seperti Fil-Kop, So-Pi, Filo, FK, dan lain-lain.
Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman.
Dan yang kupikir sudah luar biasa ternyata belum apa-apa. Malam itu Ben mengungkapkannya padaku, saat kami menghirup kopi panas pertama kami, larut malam di kursi bar.
'Jody, hari ini aku mendapat tantangan besar.'
Aku, yang sedang sibuk berhitung dengan mesin hitung, hanya tergerak untuk mengangkat alis. 'Oh, ya" Tantangan apa"'
Ben menggeser mesin hitung itu jauh ke ujung meja. 'Dengar dulu baik-baik..."
Dia mulai bercerita. Sore tadi dia kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingi pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenangan. Mungkin saja benar dia baru dapat
satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar.
Di hadapan mereka, ia bertanya pada Ben- tepatnya, mengumumkan keras-keras: 'Di kedai ini, ada tidak kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! Ada tidak" Kalau ada, saya pesan satu cangkir besar.'
Ben menjawab sopan, 'Silakan lihat saja di daftar, barangkali ada yang cocok.'
Pria itu menggeleng. 'Barusan sudah saya baca. Tidak ada yang artinya itu.'
'Yang mendekati, mungkin"'
Ucapan Ben justru memancingnya tertawa. 'Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istilah mendekati. Saya ingin kopi yang rasanya sempurna, tidak bercacat.'
Ben mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal.
'Berarti Anda belum bisa pasang slogan seperti itu di depan,' pria itu menunjuk kaca jendela. 'Saya ke mari karena ingin menemukan gambaran diri...'. Selanjutnya dia bercerita panjang lebar mengenai kesuksesan hidupnya sebagai pemilik perusahaan importir mobil, istrinya seorang artis cantik yang sedang di puncak karier, dan di usianya yang masih di bawah 40 dia udah menjadi salah satu pebisnis paling berpengaruh versi beberapa majalah ekonomi terkenal.
Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu.
Ben lanjut bercerita. Ia ditantang pria itu untuk membuat kopi dengan rasa sesempurna mungkin. 'Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan cuma bisa berkata: hidup ini sempurna.' Pria itu menjelaskan dengan ekspresi kagum yang mendalam, kemungkinan besar sedang membayangkan dirinya sendiri. Dan, gongnya, ia menawarkan imbalan sebesar 50 juta.
Seketika mataku terbeliak. Ini baru menarik. '50 jut
a"!' 'Dan aku menerima tantangannya."
'Sebentar, ini bukan taruhan, kan""
'Bukan. Kalau aku ternyata mampu, aku dapat uangnya. Kalau tidak, ya sudah. Tanpa risiko.'
'Kalau begitu, buat apa pikir-pikir lagi, sikaaat!' seruku berkobar-kobar. Terbayang pengembangan apa saja yang bisa dibuat dengan 50 juta di tangan.
Ben hanya mengangguk kecil, keningnya berkerut. Aku tahu pasti, bukan uang 50 juta yang menarik minatnya.
'Berarti, aku harus kerja keras. Mulai sekarang!' Sekonyong-konyong Ben berdiri, meninggalkanku dan kopinya yang baru diminum seteguk. Entah apa yang dimaksudnya dengan 'kerja keras'.
Belakangan aku tahu maksudnya. Tak ada lagi bincang-bincang malam hari seperti yang biasa kami lakukan. Ketika kedai sudah tutup, Ben tetap tak beranjak dari dalam bar. Pemandanganku setiap malam kini berganti menjadi Ben dikelilingi gelas-gelas ukur, tabung-tabung reaksi, timbangan, sendok takar, dan aneka benda yang rasanya lebih cocok ada di laboratorium kimia daripada di kedai kopi.
Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam membundari matanya akibat terlalu banyak begadang, tubuhnya menipis karena sering lupa makan. Sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankenstein. The Mad Barista.
Minggu-minggu berlalu sudah. Sekitar tengah malam, Ben tahu-tahu meneleponku, memaksaku datang ke kedai.
Aku tiba sambil bersungut-sungut. 'Urusan apa yang sebegitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu besok"'
Ben tidak menjawab. Namun kutangkap kilau mata yang-menyala terang, terpancar dari wajahnya yang kusut berantakan.
Ke depan batang hidungku, ia menyodorkan sebuah gelas ukur. Ada kopi hangat di dalamnya. 'Coba cium...'
Aku mengendus. Wangi. Sangat wangi.
'Coba minum...' Dengan sedikit ragu aku menyeruput. Sebuah kombinasi rasa merambati lidahku. Hmm... ini... 'Ben, kopi ini...' aku mengangkat wajahku, 'SEMPURNA!'
Kujabat tangan Ben keras-keras sampai badannya terguncang-guncang. Kami berdua tertawa-tawa. Lama sekali. Seakan-akan ada beban berat yang tahu-tahu terangkat. Seolah-olah sudah tahunan kami tidak tertawa.
'Ini kopi yang paling enak!' seruku lagi, takjub.
'... di dunia,' sambung Ben. Aku sudah keliling dunia dan mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya seperti ini. Akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang rasanya SEMPURNA.'
Aku mengangguk setuju. 'Mau diberi nama apa ramuan ini""
Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke dunia. 'BEN's PERFECTO,' tandasnya mantap.
2. Pagi-pagi sekali Ben menelepon penantangnya. Tepat pukul empat sore. orang itu datang lengkap bersama pacarnya.
Siapa pun akan mati bertukar nasib dengannya. Dari langkah pertama ia masuk kedai, auranya menyiarkan kesuksesan, kekayaan, dan pacarnya itu, tidak butuh lagi foro aura untuk menangkap kecantikannya.
Disaksikan semua pelanggan yang sengaja kami undang, Ben menyuguhkan secangkir Ben's Perfecto pertamanya dengan raut tegang.
Pria itu menyeruput, menahan napas, kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan, 'Hidup ini sempurna.'
Kedai mungil kami gegap gempita. Semua orang bersorak.
Pria itu mengeluarkan selembar cek. 'Selamat. Kopi ini perfect. Sempurna.'
Sebagai ganti, Ben memberikan kartu Filosofi Kopi. Kartu itu bertuliskan:
KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
BEN'S PERFECTO Artinya: Sukses adalah Wujud Kesempurnaan Hidup Pria itu tertawa lebar membacanya. 'Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini,' ujarnya, lalu memasukkan karru itu ke balik kantong jasnya yang tampak mahal.
Sore itu berlalu dengan sempurna. Kami membagikan sampel Ben's Perfecto pada semua pengunjung, dan minuman itu mendapat sambutan yang luar biasa.
Demikian pula dengan hari-hari selanjutnya. Sejak diciptakannya Ben's Perfecto, keuntungan kami meningkat, bahkan berlipat ganda.
Minuman itu menjadi menu favorit semua langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk datang. Walau harganya lebih mahal diban dingkan minuman lain, kepuasan yang didapat dari Ben's Perfecto memang tak bisa didapat di
mana pun. Kesohoran minuman itu juga menarik perhatian banyak orang asing, dan mereka semua tercengang-cengang ketika mencobanya.
tak ada yang menyangka akan menemukan ramuan kopi sedahsyat itu di kota Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi Kopi.
3. Hari ini, aku iseng mendampingi Ben di bar. Ingin sekali-kali kunikmati kepuasan bercakap-cakap dengan para pelanggan setia, atau sekadar menontoni ekspresi orang-orang baru saat mencicip ramuan kopi spektakuler Ben.
'First timer,' Ben yang hafal semua muka pelanggannya berbisik ketika seorang pria setengah baya masuk.
Dengan ekstra ramah aku langsung menyambut. 'Selamat pagi, Pak,' sapaku seraya membungkukkan badan.
'Selamat pagi.' Tampak terkesan dengan sambutanku, ia kemudian duduk di salah satu bangku bar. 'Bisa pesan kopinya satu, Dik"'
'jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai kopi.'
Dia ikut tersenyum. Agak canggung dia membenarkan posisi duduknya, celingak-celinguk mempelajari tempat kami, lalu perlahan membuka koran yang ia kempit. Dari gelagatnya, aku menduga bapak satu itu tidak biasa minum kopi di kafe.
'Silakan, Pak. Mau pesan yang mana"' Aku menyodorkan daftar minuman.
Bapak itu hanya memandang sekilas, membaca pun tidak.
'Ah, yang mana saja terserah Adik. Pilihkan saja yang enak,' jawabnya kalem.
Dengan cepat aku berseru pada Ben, 'Ben! Perfecto satu!'
Dalam waktu singkat, Ben sudah menyuguhkan secangkir Ben's Perfecto.
Nah, yang ini bukan sekadar enak, Pak. Tapi ini yang pualiiing... enak! Nomor satu di dunia,' aku berpromosi.
Bapak memang hobi minum kopi"' tanya Ben ramah. Pertanyaan rutinnya pada setiap pengunjung baru.
'Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. Aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. Kata temenku, kopi di sini enak sekali,' tuturnya bersemangat dalam logat Jawa kental.
Setelah meminum seteguk, bapak itu meletakkan cang kir dan kembali membuka halaman korannya.
Ben segera bertanya antusias, 'Bagaimana, Pak"'
Bapak itu mendongak. 'Apanya"'
'Ya, kopinya.' Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk. 'Lumayan,' jawabnya singkat lalu terus membaca.
'Lumayan bagaimana"' Ben mulai terusik.
'Ya, maksudnya lumayan enak toh, Dik,' ia membalas.
'Pak, yang barusan Bapak minum itu kopi yang paling enak di dunia.' Aku tidak tahan untuk tidak menjelaskan.
'Yang bener toh" Masa iya"' Seperti mendengar lelucon bapak itu malah tertawa kecil.
Wajah Ben langsung mengeras. Tamu kami itu pun tersadar akan ketegangan yang ia ciptakan. 'Aku bercanda kok, Dik. Kopinya uenak, uenak! Sungguh!'
'Memangnya Bapak pernah coba yang lebih enak dari ini"' Ben bertanya dengan otot-otot muka ditarik.
Tambah panik, bapak itu terkekeh-kekeh, 'Tapi ndak jauhlah dengan yang Adik bikin.'
'Tapi tetap lebih enak, kan"' Suara Ben terus meninggi
Jakun bapak itu bergerak gugup, ia melirikku, melirik Ben, dan akhirnya mengangguk. 'Di mana Bapak coba kopi itu"'
'Tapi... tapi... ndak jauh kok enaknya! Bedanya se-dikiiit... sekali!'
Usahanya untuk menghibur malah memperparah keadaan. Beberapa pengunjung memanggili Ben, tapi tidak digubris sama sekali. Kaki Ben tertanam di lantai. Seluruh keberadaannya terpusat pada bapak itu. Dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.
'Di mana"' 'Wah. jauh tempatnya, Dik.' 'DI-MA-NA"'
Belum pernah kulihat Ben seperti itu. Seolah tidak satu hal pun di dunia ini yang bisa mengalihkan energinya, fokusnya. Aku memilih beringsut menjauh, memenuhi panggilan orang-orang yang sudah resah karena tidak dilayani.
Tak lama kemudian, Ben menghampiriku. 'Jo, tengah hari kita tutup. Temani aku pergi ke suatu tempat. Bawa perlengkapan untuk beberapa hari.' 'Ke mana"'
Ben tidak menjawab. Dan mulut itu terus terkatup rapat lak sampai sejam, kedai kami ditutup.
Siapa yang menyangka kalau sisa hariku akan dihabiskan dengan mengemudi, menyusuri jalan menuju pedesaan di Jawa Tengah.
Mata Ben seperti sudah mau copot mempelajari peta minimalis yang digambar oleh bapak malang itu-yang tentunya dibuat dalam keadaan tertekan.
'Ben, sudah tambah gelap. Sepertinya kita tersasar. Cari penginapan saja dulu, besok pagi baru kita keluar lagi.'
Ben bersandar kel elahan. 'Oke. Kita kembali ke Klaten.
Aku langsung banting haluan, sesuatu yang sudah ingin kulakukan sejak tadi, sejak punggungku rasanya meremuk diguncang-guncang jalan berbatu.
Kami menginap di Klaten semalam. Keesokan paginya, Ben mengambil alih kemudi. Aku sudah tahu kenapa kita nyasar kemarin. Ada satu belokan yang tidak kulihat!' serunya berapi-api.
Aku mengiyakan saja. Bagiku perjalanan ini hanya kekonyolan belaka, pemenuhan obsesi Ben terhadap kopi yang katanya lebih enak menurut pendapat subjektif seorang bapak yang tidak berpengalaman ke kafe-yang kemungkinannya 99% tak akan terbukti apabila melihat lokasi kami sekarang.
Di belokan yang dimaksud Ben, kami berhenti untuk bertanya pada seorang perempuan yang melintas.
'Oh, barangkali yang sampean maksud itu warungnya Pak Seno"'
'Pokoknya di sana ada kopi yang enak sekali,' jelas Ben
'Oh, iyo, iyo!' perempuan itu menjawab semangat. 'pokoke warung Pak Seno mlakune terus rono (pokoknya warung Pak Seno jalannya terus ke sana), tapi jalanannya jelek lho Mas, alon-alon wae(pelan-pelan saja).'
Ben buru-buru mengucapkan terima kasih, siap tancap gas.
'Jenenge(namanya) kopi tiwus, Mas,' perempuan itu menambah kan.
Ben menginjak rem sekaligus. 'Apa"'
'Kopi tiwus! iki lho... aku juga baru bawa dari sana.' ia menunjukkan isi bakul yang dipanggulnya. Biji-biji kopi yang sudah kering terpanggang.
Ben langsung mengambil seraup. 'Maaf Mbak, saya ambil sedikit, ya," katanya seraya memberikan selembar lima ribuan.
Perempuan itu tampak terlongo. Dari kejauhan kami mendengar ia berteriak, 'Maaas... limang ewu iki entuk sak bakuuul! (lima ribu ini untuk satu bakul)
Ben seperti kerasukan setan. Jalanan becek dan berlubang itu dilewarinya dengan kecepatan jalan tol. Tinggallah aku yang sekuat tenaga menahan mual.
Tepat di penghujung jalan, sebuah warung reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil, ternaungi pepohonan besar. Di halamannya terdapat tampi-tampi berisi biji kopi yang baru diperik. Di sekitar gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan bunga-bunga putih yang semarak bermunculan di sana-sini. Aku baru tersadar, seluruh bukit kecil itu ditanami tanaman kopi.
'Tidak mungkin...' desis Ben tak percaya, 'tempat dengan ketinggian seperti ini bukan tempat yang ideal ditanami kopi. Dan, lihat, mana ada petani kopi yang menanam dengan kuantitas sekecil ini.'
Di dalam warung, seorang bapak tua menyambut kami dengan senyuman ramah. 'Dari kota ya, Mas"'
Aku mengangguk, 'Dari Jakarta, Pak.'
'Jauh sekali!' Bapak itu geleng-geleng takjub.
Ben langsung duduk di bangku panjang yang tersedia, mukanya masih ruwet, 'Kopi tiwusnya dua.'
'Jarang-jarang ada orang Jakarta yang ke mari. Paling-paling dari kota-kota kecil dekat sini,' tuturnya sambil meraih dua gelas belimbing yang tertangkup di hadapan kami.
'Bapak ini Pak Seno, ya"' tanyaku. 'Iya. Kok bisa tahu, toh"'
'Bapak terkenal sampai ke Jakarta,' jawabku sambil nyengir, berusaha menyindir Ben yang sama sekali tidak merasa tersindir. Matanya tidak lepas mengamati seluruh gerak-gerik Pak Seno membuat kopi.
Pak Seno rertawa lepas. 'Walaaah, ya mana mungkin!'
Di hadapan kami kini tersaji dua gelas berisikan kopi kental yang mengepul.
'Gorengannya sekalian dicoba, Mas. Monggo.'
Aku menyomot satu pisang goreng. Masih ada beberapa lagi piring-piring berisi gorengan beraneka macam.
Ben tak banyak bicara, ia cuma memandangi gelas di hadapannya, seolah menunggu benda itu bicara padanya.
'Satu gelas harganya berapa, Pak"'
'Kalau gorengannya 50 perak satu. Tapi kalau kopinya, sih, ya berapa saja terserah situ.'
'Kenapa begitu, Pak"' tiba-tiba Ben bersuara.
'Habis Bapak punya buanyaaak... sekali. Kalau memang mau dijual biasanya langsung satu bakul. Kalau dibikin minuman begini, cuma-cuma juga ndak apa-apa. Tapi, orang-orang yang ke mari biasanya tetap saja mau bayar. Ada yang kasih 150 perak, 100, 200... ya, berapa sajalah."
'Mari, diminum. Pak,' aku bersiap menyeruput. 'Oh, monggo, monggo'
Ternyata Ben sudah duluan meneguk. Sejenak aku terpaku, menunggu reaksi yang muncul. Ben cuma membisu. Hanya matanya diliputi misteri. Perlahan, aku ikut mene
nggak. Dan... Kami berdua tak bersuara. Teguk demi teguk berlalu dalam keheningan.
'Tambah lagi, toh"" Suara lembut Pak Seno menginterupsi.
Baik aku maupun Ben tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan saja gelas-gelas kami diisi lagi.
'Banyak sekali orang yang doyan kopi tiwus ini. Bapak sendiri ndak ngerti kenapa. Ada yang bilang bikin seger, bikin tentrem, bikin sabar, bikin tenang, bikin kangen... hahaha! Macem-macem! Padahal kata Bapak sih biasa-biasa saja rasanya. Barangkali memang kopinya yang ajaib. Bapak ndak pernah ngutak-ngutik, tapi berbuah terus. Dari pertama kali tinggal di sini, kopi itu sudah ada. Kalau 'tiwus' itu dari nama almarhumah anak gadis Bapak. Waktu kecil dulu. tiap dia lihat bunga kopi di sini, dia suka ngomong 'tiwus-tiwus' gitu,' dengan asyik Pak Seno mendongeng.
Tiba-tiba Ben menghambur keluar.
Aku tak menahannya. Kubiarkan dia duduk sendirian di bawah pohon besar di luar sana.
Matahari sudah menyala Jingga. Aku menghampiri Ben. 'Apa lagi yang kamu cari" Kita pulang sajalah.'
'Aku kalah,' desisnya lesu.
'Kalah dari apa" Tidak ada kompetisi di sini.'
'Berikan ini pada Pak Seno,' Ben menyodorkan selembar kertas.
Mataku siap meloncat keluar ketika tahu apa yang ia sodorkan. 'Kamu sudah gila. Tidak bisa!'
'Jo, kamu sendiri sudah mencoba rasa kopi tadi. Apa itu tidak cukup menjelaskan"'
Setengah mati aku berusaha memahaminya. 'Oke, kopi itu memang unik. Lalu"'
'Kamu masih tidak sadar"' Ben menatapku prihatin. 'Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial!' serunya gemas, 'Aku malu pada diriku sendiri, pada semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben's Perfecto.'
Filosofi Kopi Karya Dewi Dee Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gombal" Aku positif tidak mengerti.
'Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu"' katanya dengan tatapan kosong, 'Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, lapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!'
'Coba diingat-ingat, rencana pengembangan Filosofi Kopi yang sudah kususun. Dan semuanya itu membutuhkan kertas ini sebagai modal,' bujukku.
'Aku pensiun meramu kopi.'
Kali ini ketidakpahamanku meledak. 'Kenapa kamu
harus membuat urusan kopi ini jadi kompleks" Romantis overdosis" Okelah, kamu cinta kopi, tapi tidak usah jadi berlebihan. Pakai rasio...'
Ben bangkit berdiri. 'Memang cuma duit yang kamu pikir! Profit, laba, omset... kamu memang tidak pernah mengerti arri kopi buatku. Ambil saja Filosofi Kopi. Kamu sama dengan laki-laki goblok sok sukses itu...'
Tinjuku sudah ingin mampir ke mukanya, tapi kutahan kuat-kuat. 'Ben, kamu masih kalut. Jangan asal ngomong. Kita pulang ke Jakarta sekarang.'
'Berikan dulu itu ke Pak Seno.'
'Jangan tolol! Sampai kapan pun aku tidak akan kasih. Itu jelas bukan haknya, uang ini kamu dapat karena kerja kerasmu menciptakan Ben's Perfecto.'
Namun nama itu seperti penghinaan sampai ke kupingnya, membuat Ben malah bergidik jijik. 'Jo, ingat,' ancamnya, 'uang itu hakku sepenuhnya.'
'Tidak lagi, ketika kita sepakat memasukkannya ke dalam kapital yang akan digunakan untuk pengembangan kedai,' bantahku cepat.
Kuat-kuat Ben menggeleng. 'Ambil saja bagianku di kedai. Aku serius.'
'Bukan begitu...' 'Kalau kamu memang sahabatku, jangan paksa aku apa-apa.' Ia berkata lirih.
Mendengarnya, otakku seperti macet berargumentasi. Namun sampai langkah gontai kami berdua akhirnya menggiring kami masuk ke mobil, sampai lambaian Pak Seno mengantar kepergian kami kembali ke Jakarta, secarik kertas itu tetap kugenggam erat-erat.
4. Ben benar. Aku tak bisa memaksanya. Tak ada yang bisa. Semangat hidupnya pupus seperti lilin tertiup angin, sama nasibnya seperti kedai kami yang padam. Tutup.
Tinggal aku yang kerepotan melayani telepon, surat-surat yang menanyakan kabar Filosofi Kopi, bahkan beberapa orang menawarkan bantuan uang kala
u memang kami kesulitan finansial. Ada juga yang mengirimkan bunga dan parse! buah-buahan karena dikiranya Ben jatuh sakit.
Ben sehat-sehat saja. ia hanya tak mau berurusan dengan kopi, sekalipun setiap malam ia ada di sana, di dalam bar yang dibekukan oleh kesunyian.
Kuurut kedua pelipisku pelan. Sejujurnya, aku pun kalut, dan lama-lama meragukan sikapku sendiri. Mungkin Ben benar. Yang kupikirkan hanyalah uang, profit, dan nasib yang entah apa jadinya tanpa Filosofi Kopi. Benlah sesungguhnya tungku tempat ini, dan aku malah memadamkannya dengan ketidakmengertianku.
Tiba-tiba perhatianku terusik. Sebuah kantong plastik
yang masih terikat di pojok meja tertangkap ekor mataku. Kopi tiwus.
Tiba-tiba saja tanganku bergerak cepat meraih kantong itu, membuka simpulnya, meraup secukupnya, lalu memasukkannya ke dalam mesin penggiling. Tak lama kemudian, siap sudah secangkir kopi tiwus panas. Untuk pertama kalinya aku membuat kopi sendiri.
Kuhirup tegukan tiwusku yang pertama... di benakku membayang wajah Ben. Saat ia datang padaku bersama setumpuk ide cemerlang mengenai kedai ini. Dua tahun yang lalu.
Kuhirup tegukanku yang kedua... membayanglah potongan-potongan gambar, kerja keras kami berdua. Modal pas-pasan. Uang nyaris tak tersisa. Semuanya dikorbankan habis-habisan untuk tempat ini. Membayang wajah Ben yang seperti gelandangan ketika pulang dari rur kopinya ke Eropa. Aku tersenyum, dia memang manusia gigih.
Tegukan yang ketiga... senyumku kian melebar. Kenangan suka-duka melintas: satu hari tanpa pengunjung hingga kami dengan frustrasinya meminum bercangkir-cangkir kopi sampai pusing... mesin penggiling bekas yang sering ngadat... tamu yang lupa bawa uang dan akhirnya meninggalkan sepatu sebagai jaminan... aku tertawa.
Teguk demi teguk berlalu. Semakin padat kenangan yang terkilas balik. Dan ketika tinggal tetes-tetes terakhir yang tersisa, ampas di dasar cangkirku ternyata sebuah perasaan kehilangan. Aku kehilangan sahabatku.
Dua hari sudah aku meninggalkan Jakarta. Begitu tiba, aku singgah di kedai untuk mengambil kunci rumahku yang tertinggal.
Tidak kuduga akan bertemu Ben ada di sana, padahal waktu sudah hampir tengah malam. Ia duduk sendirian, tak bereaksi apa-apa sekalipun telah mendengarku masuk dari tadi.
Dari dapur, aku keluar dan menyuguhkannya secangkir kopi.
'Tidak, terima kasih,' gumamnya.
'Jangan begitu. Kapan lagi aku yang cuma tahu menyeduh kopi sachet ini nekat membikinkan kopi segar untuk seorang barista"' kelakarku.
Ben menyunggingkan senyum kecil, lalu mencicipi sedikit kopi buatanku. Seketika air mukanya berubah.
'Apa maksudnya ini"' Ben setengah menghardik.
Aku tak menjawab, hanya memberinya sebuah kartu.
KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
'KOPI TIWUS' Artinya: Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.
'Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus... memberikan sisi pahit yang membuaimu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran,' napasku harus dihela agar lega dada ini, 'bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben's Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.'
'Benar, kan,' Ben menyunggingkan senyum getir, 'kita memang cuma tukang gombal.'
'Tapi masih banyak yang harus kamu pikirkan. Seperti ini...' kutumpahkan kartu ucapan dan surat-surat ke meja, 'orang-orang ini tidak menuntut kesempurnaan seperti Ben's Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi, apa adanya.'
Ben menatapi berantak kertas di hadapannya. Kutunggu hingga tangan itu bergerak pelan, meraih satu per satu kartu, surat. Sedikit demi sedikit kehidupan Filosofi Kopi mengembus lewat tulisan mereka. Ben kenal semuanya. Wajah-wajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari cangkir-cangkir yang ia suguhkan setiap harinya dengan cinta.
Aku masih diam, menunggu Ben yang meraupkan kedua rangannya menutupi muka. Lama sek
ali. Dan ketika kusangka penantianku tak bakal usai, tiba-tiba Ben berdiri, tangannya mencengkeram bahuku, 'Uang itu"' desisnya. 'Ada di tangan yang tepat.'
Kulihat Ben mengangguk samar. Dan di balik punggungnya, aku yakin ia akan tertawa lebar.
Pada kaca besar kedai, tampak siluet tangan yang kembali menari di dalam bar, menyiapkan perataran untuk esok hari, membangunkan Filosofi Kopi yang lama diam bagai bubuk kopi tanpa riak air. Seduhan secangkir kopi tiwus malam ini mengawinkan lagi keduanya.
Ratusan kilometer dari Jakarta...
'Mbok, mau ana sing njupuk kopi tiwus, aku dijoli iki..'(tadi ada yang membeli kopi tiwus. aku diberi ini) Pak Seno berkata pada istrinya dan menunjukkan selembar kertas bertuliskan angka-angka.
'Iki opo (ini apa")', Mas"' istrinya garuk-garuk kepala tak mengerti.
'Aku ya ora ngerti...(aku tidak mengerti)' Pak Seno pun mengangkat bahu.
'Ya wis. Mas, disimpen wae. Dienggo kenang-kenangan
to'(ya sudahlah, disimpan saja. Untuk kenang-kenangan kan)
Pak Seno manggut-manggut, lalu menyimpan kertas itu di bawah tumpukan baju dalam lemari pakaiannya.
Mencari Herman [2004] Seharusnya ada pepatah bijak yang berbunyi: 'Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan'. Sekalipun ganjil terdengar, tapi itu penting. Pepatah bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila. Dibutuhkan seorang Hera yang mencari Herman.
Gadis berumur tiga belas tahun itu favorit semua orang, termasuk aku, sekalipun dia bukan adikku kandung melainkan adik sahabatku. Hera yang manis
dan manut. Tak ada pergolakan berarti dalam hidup remaja belasan tahun yang taat pada orang tua, negara, dan agama.
Sampai satu sore kami bicara-bicara tentang Herman Felany di reras rumahnya; filmnya yang baru kami tonton; kumisnya yang mengagumkan; yang mengilhami-ku beserta seluruh teman abangnya membuat kompetisi untuk dulu-duluan menumbuhkan kumis menyerupai Herman. Hera, yang cuma menonton! kami bicara, dengan polos tahu-tahu berujar, dia belum pernah punya teman bernama Herman. Teman-teman abangnya yang lain tidak mengindahkan, kecuali aku. Kusempatkan berbisik di kupingnya: Pasti ada di sekolah, kamu cari saja.
Seminggu kemudian Hera kembali padaku dan melaporkan bahwa ternyata tidak ada yang bernama Herman di sekolahnya, bahkan guru-guru sekalipun. Aku cukup tersentak. Ratusan siswa, puluhan guru, tidak ada yang bernama Herman" Budi banyak, Ahmad banyak, bahkan Ludwig juga ada, rapi tidak Herman. Aku jadi tersadar, aku juga tidak punya kenalan bernama Herman.
Hera melebarkan sayap, mencari Herman di lingkungan rumah. Ia mendatangi Pak RT dan Pak Lurah. Tetap tidak ada Herman atau Pak Herman atau Dik Herman. Aku menawarkan RT dan kelurahanku, kami berdua mencari, dan tetap tidak kami temukan Herman. Hera mulai mencari tahu ke sanak saudaranya, teman-temannya, adakah yang kenal seseorang bernama Herman" Ajaibnya, tidak ada. Beberapa orang memiliki unsur Herman atau ke-'herman-herman'-an dalam namanya: Feri Hermansyah, Dudi Hermanto, Indra Hermadi, Her-mawan Adi, tapi Hera tak terpuaskan. Ia menginginkan seorang Herman sejati.
Tentu tak setiap hari kami disibukkan oleh pencarian Herman. Waktu berlalu, dan Flera sudah siap lulus SMA. Flera, yang ingin jadi dokter anak, berpamitan akan kuliah di Jakarta. Semoga bertemu Herman! Demikian ucapan terakhirku sebelum Hera naik ke gerbong kereta.
Beberapa tahun kemudian anak pertamaku lahir. Baru saja kukhayalkan kunjungan kami ke Dokter Hera yang cakap, tiba-tiba kudengar kabar Hera drop out. Ternyata si anak sempurna itu sudah berubah jadi manusia biasa. Katanya, Hera terkenal suka gonta-ganti pasangan. Satu kali, ia kena batunya. Hera hamil di luar nikah. Ironisnya, pengetahuannya sebagai calon dokter gagal menuntunnya untuk berbuat masuk akal. Karena takut diamuk, Hera ke dukun.
Perutnya digilas dan digerus. Tak ada janin yang keluar, hanya darah dan kerusakan permanen di rahim. Flera sakit keras lalu terpaksa pulang.
Lama Hera mendekam seperti tahanan rumah. Wajah manisnya berubah pahit sekian lama. Ia lantas dikirim ke beberapa pesantren. Baru setelah ia dinilai sembuh luar-dalam-lahir-batin, Flera diizinkan untuk punya cita-cita. Dan Hera memilih terbang. Aku menemuinya saat ia pamit mau pendidikan pramugari. Supaya ketemu Herman di angkasa" Aku bercanda. Hera tertawa, entah itu berarti iya, atau tidak, atau menertawakanku. Seakan-akan pertanyaan tadi langsung mengklasifikasikanku ke dalam kantong sampah bernama masa lalu' yang ingin ditinggalkannya secepat mungkin.
Pada pertemuan kami berikut, Hera sudah berseragam pramugari sungguhan. Cantik sekali. Mau terbang sampai kapan, kapan ada niat menikah, tanyaku. Hera tersenyum setengah mendengus sambil menggeleng kenes, seolah merespons pertanyaan sekonyol 'adakah garam yang tak asin"'. Aku mengartikannya sebagai 'tidak'. Hera telah bermetamorforsis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku.
'Sudah ketemu Herman"' tanyaku lagi. Kembali Hera tertawa lepas. Ia lalu bercerita, sejak tahunan lalu ia sudah stop mencari, apalagi menyusuri daftar nama, karena bukan itu yang ia mau. Hera ingin langsung bertemu dengan seseorang, menjabat tangannya, lalu orang itu berkata: Herman. Kamu membuat pencarian ini tambah susah, kataku. Lebih alami lebih seru, jawabnya mantap. Dan tetap ia meninggalkan nomor telepon, kalau-kalau alam menentukan akulah yang menemukan Herman untuknya.
Tentu tidak kupikirkan Herman setiap saat. Lebih sering aku berpikir tentang Hera. Sahabatku bercerita kalau adik perempuannya itu menjalin hubungan dengan Pak pilot yang sudah beranak lima. Namanya Herman" Aku bertanya, karena kalau iya, rasanya aku bisa sedikit maklum. Bukan, namanya Bajuri. Pak pilot Bajuri ini sebentar lagi akan menceraikan istrinya demi hidup tenteram dengan Hera. Tak ada yang memberi restu- termasuk aku, karena nama orang itu Bajuri, bukan Herman.
Semakin sering aku berpikir tentang Hera. Kabarnya, ia keguguran kandungan dua kali, dan akhirnya mogok hamil sama sekali. Tak lama, pak pilot dan Hera bercerai-atau putus cinta saja, tidak kutahu pasti. Hera, yang sudah berkorban pindah ke maskapai lain, tahu-tahu kehilangan pekerjaan karena perusahaannya gulung tikar. Lalu Hera sekarang di mana" Aku bertanya pada sahabatku. Di Jakarta, tidak pulang-pulang, mungkin malu, dia sudah tidak pernah sowan dengan bapak-ibu sejak kumpul kebo sama pilot gaek itu, demikian sahabatku menjawab. Biarkan saja, katanya, nasib sialnya itu gara-gara tidak diberi restu.
Tak kusangka, justru akulah yang harus menemui Hera duluan. Sebenarnya keluarga Hera tahu dia di mana, tapi pura-pura tidak tahu. Hera berdagang kain batik dari pintu ke pintu, sesekali menyambi menjadi sales barang elektronik. Mukanya lelah dan cahaya matanya lenyap diisap kecewa. Saat kutemui, Hera menghabiskan satu jam hanya untuk menangis, dan berjam-jam
untuk berkesah dan berkeluh. Lama tak ada yang mendengarkannya. Hera bilang, ia kecewa dengan hidup. Hidup tidak adil. Hidup itu kejam. Hidup itu ini, hidup itu itu... sampai kosa katanya habis. Barulah aku berkesemparan bicara, bahwa telah kutemukan Herman untuknya.
Barangkali itu kabar baik pertama yang pernah ia terima selama bertahun-tahun. Tanpa berpikir, Hera ikut menemui teman mertuaku yang bernama Ny. Herman. Suaminyalah yang bernama Herman. Tulen, tanpa campuran 'to', 'syah', atau yang lainnya. Ditemukan secara alami, sesuai pesanan. Bukan lihat buku telepon, atau daftar kelurahan.
Namun Ny. Herman yang kutemui sebulanan lalu sudah berubah. Tak lagi ceriwis dan murah senyum. Pak Herman baru saja meninggal seminggu lalu. Pergi meninggalkan istri yang tak punya siapa-siapa lagi di dunia, pergi meninggalkan Hera tanpa sempat berjabat tangan dan berkara: Herman. Ny. Herman menangis, Hera menangis, dan aku ikut murung. Seolah ada dua janda yang ditinggal mati.
Sepulang dari sana, aku tak banyak bicara, hanya sekali sebelum kami berpisah: Bah
kan untuk menemukan seorang Herman buatmu, saya gagal.
Hera menunduk, dan hampir berbisik kudengar ia berkata: Abang, dari aku kecil dulu, cuma Abang yang selalu peduli padaku. Dan aku selalu sayang sama Abang,
capi Abang seperti buta. Tolong jangan lagi mencarikan Herman. Jangan lagi bertanya soal Herman. Karena sebetulnya aku tidak butuh Herman. Aku butuh orang seperti Abang.
Aku tidak langsung paham arti ucapannya, tapi tanganku refleks menjauh ketika Hera meraih jemariku. Sepertinya ada yang salah, ia selalu kukenang sebagai Hera yang mencari Herman. Bukan mencari aku. Segalanya salah hari itu. Kakiku berjalan cepat meninggalkannya, yang lamat-lamat kudengar memanggil namaku.
Sejak hari itu, aku berusaha berhenti memikirkan Hera. Tidak gampang, sungguh. Aku begitu terbiasa memikirkannya. Saat Herman Felany sesekali muncul di televisi, atau kubaca nama Herman di surat kabar, atau bersentuhan dengan segala yang berhubungan dengan Hera, maka kudengar lagi suaranya sore itu, memanggil namaku. Dan betapa pun punggung ini ingin berbalik, aku tahu lebih baik untuk terus berjalan. Terus berjalan.
Kini, sering aku bertanya, akankah segalanya berbeda, jika hari itu aku memilih menghadapi Hera dan isi hatinya" Bila aku terus berusaha mencarikan Herman sekalipun bukan itu sesungguhnya yang ia cari" Bila aku berani mengakui bahwa pencarian Herman adalah alasanku untuk sekadar menemuinya"
Seratus hari. Kuselipkan cetakan surat Yasin itu ke dalam tas. Bersalaman dengan sahabatku dan keluarganya seolah untuk yang terakhir kali. Karena rasa-rasanya aku
tidak akan kuat kembali lagi. Setiap malam selama seratus hari terakhir mataku basah, sejak mendengar kabar duka dari sahabatku tentang Hera yang satu hari pergi dan rak kembali.
Teman Hera yang bersamanya terakhir kali bercerita bahwa dia dan Hera didatangi seorang pria yang tertarik pada wajah Hera dan menawarkannya jadi model iklan. Hera sama sekali tidak tertarik, ia terima kartu nama yang diberikan pria itu dengan sebelah mata. Namun setelah beberapa lama, Hera seperti tersadar akan sesuatu. Tepatnya, ketika benar-benar membaca kartu nama tadi. ia berlari mengejar pria itu, dan tak pernah kembali. Jasad Hera ditemukan dua hari kemudian, tersangkut di tengah jurang. Dibuang dari mobil bernomor polisi Surabaya, demikian keterangan seorang saksi mata. Kubaca berita itu di pojok halaman depan sebuah koran merah.
Sahabatku bahkan sempat menunjukkan kartu nama yang menjadi petunjuk lenyapnya Hera. Saat kubaca nama yang tertera di sana, seketika aku dapat merasakan kaki Hera yang berlari, sekuat tenaga, mengejar satu-satunya impian yang terwujud dalam hidupnya yang bergelimang kecewa, mengajak pemilik kartu nama itu berkenalan sekali lagi. Demi mendengar sepotong nama disebut: Herman.
Kubayangkan wajah cantik itu berseri.
Herman Suherman. Kebahagiaan Hera pasti berlipat dengan ditemukannya seorang Herman kuadrat, tanpa tahu bahwa satu Herman menggenapinya, tetapi dua dapat membunuhnya.
Aku juga tak tahu itu. Tidak ada yang tahu. Tak ada pepatah yang bisa jadi pemandu. Karena setidaknya, bila kudapatkan seorang Herman terlebih dahulu, Hera masih bernyawa, ia mungkin ada di rumah ini, menemaniku melewati hari tua. Hingga tak perlu lagi aku berandai-andai tentang apa jadinya hidup memiliki dua cinta. Satu menggenapi, tetapi adakah dua akan membunuhku" Aku rak akan pernah tahu.
-Untuk Fanny, yang mencari Herman-
Suratyang tak Pernah Sampai
[2001] Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dan tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam... tentang dia.
Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah
setiap kali kali an berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon resroran, semua tulisannya-dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan-bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila-berterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
Tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan Cinta. Kemudian mendamparkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di saru samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala... dan itulah tujuan kalian.
Kalau saja hidup tidak ber-evolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.
Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membatu untuk itu.
Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.
Kamu takut. Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyu-dutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas. Kata 'sejarah' mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup ma nusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika di sentuh menjadi embun yang rapuh.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkan nya ulang di kepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan
yang Tidak Boleh Sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.
Lama baru kamu menyadari bahwa Pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama"
Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak-terjang-nya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkan-mu-entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah, dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan... karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud.
Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergul
ir tanpa beban. Dan kamu tahu. itulah yang tidak bisa dia berikan kini.
Hingga akhirnya... Di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu batu sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus kamu yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa").
Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temperaturnya.
Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidak-relaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata 'jangan' yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lap.
Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
Ketika surar itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap uncuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.
Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan bertetiak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan
sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.
Aku, yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.
Salju Gurun [1998] Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi men-jadi butiran pasir. Sekalipun nyaman engkau di tengah impitan sesamamu, tak akan ada yang tahu jika kau melayang hilang.
Di lingkungan gurun yang serba serupa, untuk apa lagi menjadi kaktus. Sekalipun hijau warnamu, engkau tersebar di mana-mana. Tak ada yang menangis rindu jika kau mati layu.
Di lansekap gurun yang mahaluas, lebih baik tidak menjadi oase. Sekalipun rasanya kau sendiri, burung yang tinggi akan melihat kembaranmu di sana-sini.
Di tengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau... berbeda.
Kunci Hati [1998] Dalam raga ada hati, dan dalam hati, ada satu ruang tak bernama. Di tanganmu tergenggam kunci pintunya.
Ruang itu mungil, isinya lebih halus dari serat sutera. Berkata-kata dengan bahasa yang hanya dipahami oleh nurani.
Begitu lemahnya ia berbisik, sampai kadang-kadang engkau tak terusik. Hanya kehadirannya yang terus terasa, dan bila ada apa-apa dengannya duniamu runtuh bagai pelangi meluruh usai gerimis.
Tahukah engkau bahwa cinta yang tersesat adalah pembuta dunia" Sinarnya menyilaukan hingga kau terperangkap, dan harimu menjadi sasa
ran sekalinya engkau tersekap. Banyak garis batas memuai begitu engkau terbuai, dan dalam puja kau sedia serahkan segalanya. Kunci kecil itu kau anggap pemberian paling berharga.
Satu garis jangan sampai kau tepis: membuka diri tidak sama dengan menyerahkannya.
Di ruang kecil itu, ada teras untuk tamu. Hanya engkau yang berhak ada di dalam inti hatimu sendiri.
Selagi Kau Lelap [2000] Sekarang pukul 01.30 pagi di tempatmu. Kulit wajahmu pasti sedang terlipat di antara kerutan sarung bantal Rambutmu yang tebal menumpuk di sisi kanan, karena engkau tidur terlungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari di bawah bantal"
Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk ke dalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang terbaring.
Sudah hampir riga tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh.
Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 4.354.560.000
Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silakan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada di situ. Di tiap inti detik, dan di dalamnya lagi, dan lagi, dan lagi...
Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. Meman dangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.
Sekarang pukul 02.30 di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku di sini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon ke dalam rekening waktuku. Terima kasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, di belakangnya. Tapi engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang di tengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tak juga yen, mampu menyajikannya.
Aku tak pernah rerlalu tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada di situ. Entah siapa. Mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling... sudah. Stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretensi" Itulah surga. Dan manusia perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya" Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi men-capai Tanah Perjanjian.
Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Pastikan kau ada di sana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.
Begitu banyak yang ingin kubicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, carik tambang... cak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan" Tapi kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur di sebelahmu. Ada tanganku di bawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk ke sebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku di sana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.
Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Dengan muka berkilap, bau keringat, gigi ber mentega, dan mulut asam... mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa 'selamat pagi'.
Sikat Gigi [1999] Pujangga itu melongokkan kepala dari jendela mobil tanpa takut kepalanya tersambar kendaraan nakal yang kadang menyalip dari kiri, tetap menatap langit yang berantakan oleh bintang lalu ribut sendiri. Ia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti.
Setelah kami berdua duduk di atas rumput, dengan tabah ia menjelaskan. 'Coba lihat. Langit beg
itu hitam sampai batasnya dengan Bumi hilang. Akibatnya, bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Indah, kan"'
ia pun dianugerahi kemampuan untuk menjelaskan segalanya dengan tepat, rasional, dan masih kedengaran cantik. Itulah satu-satunya cara agar aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan pujangga dan tak pernah bisa bermetafora. Monokrom dan kurang dimensi, kacanya selalu tentang diriku. Praktis dan realistis, begitu aku menerjemahkannya.
Dengan segenap rasio dan akal, aku mencintai perempuan di sampingku itu. Egi, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang kubanggakan dan kukagumi, ia mampu berpanjang lebar menjelaskan cinta dan adiek-sistensinya pada aku yang tak pernah mau repot menganalisis. Yang kutahu, aku peduli padanya, tidak pernah bosan seharian bersamanya, dan yakin bahwa kami dapat bekerja sama membina apa pun, termasuk rumah tangga. Itulah aplikasi substansi berjudul 'cinta bagiku. Cukup sekian. Egi juga tahu itu.
'Kamu kedinginan"' tanyaku sambil siap-siap membuka jaket.
Mendengarnya, Egi yang hanya memakai cardigan tipis menjadi sadar akan dinginnya cuaca, ia pasti telah hanyut jauh dalam dunianya sendiri. Di sana jiwanya barangkali dihangatkan, lalu merembet hingga ke kulit.
Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-layang. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang hanya membuat pikiranku terganggu.
Tak lama kemudian kami kembali ke Jakarta.
'Sudah lama kita tidak ke Puncak lagi,' ujar Egi yang melenggang dengan sikat gigi di tangan. "Terakhir kapan, ya"'
'Enam minggu yang lalu" Waktu langit dan Bumi jadi satu itu.'
Egi menatapku lucu. 'Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengucapkannya sama datar dengan bilang 1+1=2...'
Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. Aku pun kembali membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Egi selalu lama bila menyikat gigi.
Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti. Malam yang hening membuatku menjadi awas akan perubahan yang terjadi. Dari pantulan kaca, kulihat pintu kamar mandi terbuka dan Egi tengah mematung dengan mulut penuh busa.
'Egi, kenapa"' Terdengar suara berkumur. Keran dimatikan.
'Tio, saya pulang, ya.' Lunglai ia menghampiriku.
'Kamu di sini saja. Besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi,' kataku sambil menguap. Tak perlu berbasa-basi dengan Egi. Kami sudah cukup dewasa dan cukup dekat untuk tidak lagi canggung kalau Egi terpaksa menginap di tempat tidurku, bangun pagi dan sarapan bersama, lantas aku mengantar dia pulang atau ke tempat kerjanya. Egi bahkan menginventaris sebuah sikat gigi di sini.
Mara itu bersaput air. 'Saya merasa tidak karuan, gumamnya pelan.
Rasa bersalah menggigitku. Sikap terlampau kritis pada Egi dan air matanya seringkali mendorongku untuk menginjeksikan logika yang kupikir perlu, yang malah membuatnya tambah sedih dan menganggap aku tak bisa atau tak suka menolongnya. Pantas jika ia memilih pulang daripada meledakkan rangisnya di depanku.
'Silakan kamu menangis selama mungkin. Saya janji akan diam.' Aku tersenyum dan menariknya duduk di sampingku, kembali membaca.
'Tio...' panggilnya setelah lama mematung. 'Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa"'
Ingin kulontarkan jawaban spontan seperti 'supaya gigi tidak bolong', atau 'afeksi berlebihan pada rasa odol', tapi kuputuskan untuk diam.
'Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit., cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak.'
Aku tahu apa yang kau maksud, wahai Egi, pujanggaku sayang. Cukup lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan di balik itu semua, misalnya, buat apa ia pelihara luka hati yang cuma bikin matanya berair"
Aku menatapnya iba. Egi dengan pipi basah, tangisan nya yang tak pernah bersuara, dan linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih untuk merangkulnya.
'Kamu... p asti sebenarnya... sudah ingin ngomel-ngomel," ia berbisik susah payah.
Kutepuk-nepuk bahunya, 'Saya tetap tidak mengerti. Tapi semuanya terserah kamu.'
Saat seperti ini selalu membuatku berpikir, jangan-jangan aku yang terlahir cacat. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak terikut ke dalam paket genetikku, makanya aku selalu gagal mengerti. Padahal seorang ahlinya ada sangat dekat di sini, Egi, guru besar bahasa aneh itu. Bahasa dari planet tempat cinta punya logika serta hukum sendiri.
Aku dikutuk selamanya menjadi makhluk ekstra-teres-trial.
Ulang tahunnya yang ke-27. Setelah bersenang-senang bersama serombongan teman, kini kami kembali berdua. Mata yang menerawang jauh, kaki yang meringkuk, napas yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah Egi, bahkan pada hari seistimewa ini.
Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara dunia tempat kami ada dan dunia yang tak mengikutkanku serta. Tak pula ada yang bisa menahannya menyeberang pergi.
'Ini... hadiah untuk kamu.' Aku menjegal langkah terakhirnya sebelum menginjak antah berantah itu.
Egi terkejut melihat kotak di depan mukanya. 'Sejak kapan kamu kasih kado segala"
'Usia 27 itu usia penting,' jawabku sekenanya.
Tawanya semringah ketika tahu apa isi kotak itu.
Aku sibuk menjelaskan. 'Sikat gigi elektronik. Ber garansi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di dalam tas. Ini buku panduannya...'
'Tio,' potongnya geli seraya menahan tanganku, 'saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi... kenapa sikat gigi"'
Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang membuatku gelagapan, 'Soalnya... ehm. soalnya...' kubersihkan renggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambar lidah, melirik dan mendapat kan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Se nyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Se nyuman yang meyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan.
'Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,' kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, 'peng harapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu'
Ia terperangah. Bahunya bergerak, Menjauh. 'Egi... jangan..." bisikku waswas.
'Kamu tahu perasaan saya, dan saya tidak pernah mau membahas soal ini lagi.'
'Tapi beginilah kenyataannya, saya tidak pernah berubah dari bertahun-tahun yang lalu... kamu tahu itu...'
'Kamu sahabat saya... sahabat terbaik...' ia makin menjauh. Bersiap menutup diri.
'Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia"!' Tak tahan aku berseru. 'Orang yang tidak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan buat melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu"'
'Dia ingin datang. Biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya, pada kesempatan pertama yang dia punya. Saya bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya.'
'Kapan kamu akan bangun"' keluhku letih.
Tegas kepalanya menggeleng. 'Ini namanya cinta sejati. Satu hal yang tidak pernah kamu tahu.'
Aku balik menggeleng. 'Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka. bukan obat merah.'
Lama Egi rerdiam, menatapku kasihan. Wajahku di sentuhnya sekilas. 'Semoga satu saat kamu mengerti.'
Habis sudah persediaan kata-kata. Keyakinannya berada di luar akalku. Aku ini ET. Jadi, mana mungkin aku bisa 'ngerti'.
Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang menahun sudah membiarkannya terkatung-katung. Dem
i kianlah fakta sederhana yang kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena keinginanku yang logis untuk memilikinya bukanlah cinta bagi Egi, semen tara cintanya Egi yang masokis juga alien bagiku.
Jembatan komunikasi kami runtuh. Dua manusia yang telah bersahabat bertahun-tahun lamanya berubah asing dalam semalam. Mungkin sudah saatnya.
Hampir genap setahun tak ada Egi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang menerjemahkan keindahan alam Tidak ada lagi yang menunjukkan signifikansi di balik
hal-hal remeh. Tidak ada lagi yang duduk di sofa panjangku untuk melalap tulisan para filsuf yang mendedah makna hidup. Dan yang paling aku kehilangan adalah mendengarkannya menyikat gigi.
Setiap kali aku berusaha merasionalisasikan semua ini, kesimpulanku selalu sama: aku harus menemuinya lagi.
Bukan hal sulit untuk menemukannya. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman yang berbukit-bukit di kompleks rumahnya. Yang sulit justru mengungkapkan apa yang tak pernah kusadari, dan lebih sulit lagi untuk tidak punya harapan apa-apa sesudahnya.
'Egi..' Punggung itu berbalik, matanya terbeliak tak percaya mendapatkanku muncul kembali dalam hidupnya begitu saja. Lebih kaget lagi saat aku berlutut dan meraih jemarinya dengan tanganku yang dingin. 'Sebentar saja. Saya tidak akan lama,' ucapku cepat dengan kepala tertunduk.
Ia tidak berkata apa-apa, jemarinya saja ikut dingin.
'Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat, Saya tetap Tio, si monokrom-whatever yang melihat segalanya dengan tiga dimensi, dan bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu...' aku menantang matanya, menelanjangi diri sendiri, 'karena saya sudah mengalaminya. Kebutaan itu. Saya tahu sekarang, saya mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan sekadar kamu memenuhi standar ideal saya. Tapi... karena saya juga mencintai kamu di luar akal. Satu tahun saya menemukan cukup banyak alternatif yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya. Termasuk alam lamunan yang tidak pernah melibatkan saya.
Pedang Pembunuh Naga 7 Wiro Sableng 094 Pedang Naga Suci 212 Raja Pedang 10