Pencarian

Jun 3

Jun Karya Mia Arsjad Bagian 3


buku di depan rumah sakit biar Mama nggak curiga.''
Terdenagr Juna menghela napas pelan. ''Nggak, gue nggak perlu balik ke sana. Anak-anak
Pembangunan Raya udah balik. Mereka akan tentuin waktu lain.''
''Ha" Maksudnya tawurannya batal"''
Juna menggeleng cepat. ''Bukannya batal, tapi akan diganti waktu lain. Mereka yang akan
menentukan waktunya. Jadi sekarang gue bisa nungguin lo sampe beres.''
Wah, jadi nggak ada tawuran dong hari ini" Gila! Cuma dengan ''menculik'' Juna ke rumah sakit,
Dira sukses menggagalkan acara adu barbar antara geng Juna dan anak Pembangunan Raya.
Oke, ini pertanda bagus. Berarti kegiatan purba itu bisa digagalkan. Kalau sekali ini berhasil, lain
kali pasti bisa berhasil lagi, kan" Lama-lama kayaknya bisa berhenti selamanya karena nggak
jadi terus dan akhirnya mereka lupa. Bisa kan"
''Jadi, lo mau periksa dokter nggak"'' tanya Juna lagi.
''Kayaknya nggak, Jun. Gue cuma perlu makan. Lo... jadi beliin gue bubur"''
''Bentar.'' Juna beranjak ke meja pemesanan.
Dira membuang napas lega. Ternyata bisa selega ini ya membuat orang yang kita pedulikan batal
melakukan hal bodoh seperti tawuran" Biarpun harus rela tiduran di lantai koridor belakang
sekolah yang kotor dan penuh debu demi akting sakit yang meyakinkan. Dira nggak punya
penyakit maag, apalagi sampai kambuh-kambuhan begitu. Dira terpaksa pura-pura, karena tadi
nggak menemukan cara lain untuk membawa Juna pergi dari sana. Janrung Dira berdebar.
Wajahnya panas. Sekarang yang terbayang-bayang malah adegan Juna menggendong dia dari
sekolah sampai taksi. Mungin Dira cuma ge-er, tapi kalau Juna nggak benar-benar peduli, kenapa
tadi Dira bisa melihat wajah Juna yang begitu khawatir"
Bab 12 ''Gue yakin, Tash, kalo gue berkali-kali bisa menggagalkan tawurannya, lama-lama lawannya
pasti males ngelawan Juna dan gengnya. Kalo kayak gitu kan otomatis mereka menganggap Juna
dan gengnya nggak serius lagi. Habis itu paling mereka cari lawan lain dan ngelupain anak-anak
dari sekolah kita. Kalo kayak gitu kan Juna juga terpaksa berhenti tawuran. Ya nggak sih"''
Tasha menutup buku yang sedang dibacanya. Buku tentang cara memelihara hamster agar sehat
dan cepat beranak. Entah ide gila dari mana, tiba-tiba Tasha pengin mencoba beternak hamster.
Yang lebih gilanya lagi, di sekolah ini ternyata ada buku cara beternak hamster. ''Ya bisa aja
kayak gitu, Ra, tapi bisa juga lawannya malah tambah dendam karena menganggap Juna dan
gengnya main-main.'' Dira menggigit ujung pensilnya. Dia sih nggak mikir ke situ. Buktinya pas Juna mengantar Dira
ke rumah sakit, anak-anak Pembangunan Raya dengan gampangnya membatalkan ''acara'' hari
itu dan menggantinya dengan hari lain. ''Tapi masa ganti waktunya santai-santai aja tuh, Tash.
Juna cuma bilang mereka bakal nentuin waktu lain. Nyantai banget, kan"''
Tasha angkat bahu. ''Nggak tau deh, Ra. Intinya sekarang lo serius mau mengubah Juna"''
Tuing, tuing, tuing! Telunjuk Dira bergoyang di depan hidung Tasha. ''No, no, bukan mengubah,
tapi mengembalikan Juna yang dulu.''
Tasha mengedikkan bahu. ''Sama ajaaa...''
''Nggak samaaa...'' Tasha mengangkat tangan, malas berdebat. ''Jadi, lo akan minta diantar Juna hari ini"''
Dira nyengir lebar. ''Iya dooonggg! Inget ya, kita sepakat ngarang, kakak lo mau tunangan. Jadi
kita harus kompak. Jangan sampe gue ketauan bohong.''
Tasha mengangguk-angguk. ''Iya, iya... Tenang aja.''
Dira mengacungkan dua jempolnya.
*** ''Tangkuban Perahu" Lo keterlaluan, Ra... Bener-bener keterlaluan.'' Sambil berkacak pinggang
Juna melempar pandangan ke segala penjuru tempat wisata itu. ''Kenapa harus Tangkuban
Perahu sih"'' Juna masih setengah nggak percaya dia benar-benar mengantar Dira ke Tangkuban
Perahu naik motor. Tapi mana mungkin Juna bisa menolak waktu Dira menghampirinya dan
menanyakan kalau mau ke Tangkuban Perahu naik apa. Cewek itu bilang sebetulnya dia pengin
naik taksi, tapi argonya pasti bakal mahal banget, jadi dia mau naik angkot saja.
Dan di sinilah Juna sekarang. Setelah memberitahu teman-teman segengnya bahwa dia nggak
bisa ngumpul hari ini, Juna memutuskan akan mengantar Dira. Juna gila kalau membiarkan Dira
ke Tangkuban Perahu sendirian karena dari sekolah mereka ke sana harus naik-turun angkot
beberapa kali. Bagaimana kalau Dira dicopet" Atau diculik" Atau malah di...
Pokoknya Juna nggak bisa membiarkan Dira pergi sendiri. Melihat kejahatan-kejahatan di
angkot yang sering disiarkan di TV, idiot banget kalau Juna membiarkan Dira pergi sendiri.
Dira manggut-manggut. ''Iya, Tangkuban Perahu. Emang kenapa sih" Kok kayaknya takjub
banget" Tugasnya kan tentang tempat wisata di Jawa Barat. Gue pilih Tangkuban Perahu, wajar
dooong" Apalagi ini kan salah satu legenda terkenal.''
Juna mengunci motornya. ''Oke, oke... Sekarang kita ke mana" Mau ngapain dulu" Ayo cepat.
Habis dari sini gue masih harus ngumpul sama anak-anak.''
Anak-anak, anak-anak. Kalau sudah berkumpul sama anak-anak pasti urusannya ''peperangan''
deh, tapi ternyata mengalihkan Juna nggak sesulit yang Dira sangka.
Dira akui, Juna betul-betul bisa memegang janji. Terbukti dia nggak mau mengambil risiko
keamanan Dira dan memilih mengawal Dira daripada mengurusi gengnya. ''Eh, Jun, lo tau
nggak, katanya di sini ada kawah yang bisa ngerebus telur lho. Kita ke sana ya"''
''Lo mau masukin itu ke tugas lo"''
Dira terenyak sedikit, lalu mengangguk. ''Iya dong. Kan menarik banget. Kita ke sana ya"''
Juna mengangkat tangan tanda menyerah alias ''terserah''.
Dan Juna menyesal setelahnya. Ternyata menuju kawah yang bisa merebus telur itu harus jalan
kaki setengah jam. Setengah jam pergi dan setengah jam pulang. Total satu jam cuma
perjalanannya doang. Belum lagi di sana mau ngerebus telur dulu, kan" Bisa-bisa totalnya satu
setengah jam sampai dua jam nih! Bukannya Juna nggak kuat jalan, tapi kalau begini caranya,
bisa-bisa Juna nggak sempat ngumpul bareng gengnya. Dia sudah menggagalkan urusan penting
mereka dengan SMA Pembangunan Raya sampai-sampai SMA tersebut mengultimatum bahwa
mereka yang akan menentukan tanggal baru dengan syarat Juna harus diberikan persyaratan yang
benar-benar nggak masuk akal. Masa sekarang Juna harus batal ke tempat kumpul"
''Dira, apa lo nggak bisa foto-foto yang penting-penting aja, yang keliatan buat dokumentasi foto
tugas lo" Soal masak telur ini kan lo bisa tulis aja artikelnya, nggak perlu kita turun segala.'' Juna
mencoba melunturkan semangat Dira. Mumpung mereka berjalan selama lima menit.
''Ya nggak lengkap dong, Jun. Masa cuma artikel aja"''
SET! Tiba2 Dira berdiri di hadapan Juna dan berjalan mundur supaya bisa langsung menatap
Juna. ''Gue maunya tugas gue ini dapet A. Jadi, gue mesti detail dong.''
Juna menatap Dira datar. ''Mendingan lo jangan jalan mundur deh.''
Sambil terus berjalan mundur, Dira mengibas-ngibaskan tangannya. ''Yeee... jangan mengalihkan
pembicaraan dong. Gue tau lo detail banget, jadi harusnya lo tau makalah kayak apa yang pengin
gue bikin, Jun. Masa lo nggak mau nolongin gue sih" Kita kan udah sampe siniii...''
Alis Juna berkerut nggak terima. ''Gue bawa lo ke sini, pake motor gue, itu belum nolong lo"
Gue kan juga mesti cepet-cepet balik. Nggak usah turun sejauh ini deh, Ra. Kawah yang di atas
juga menarik kan" Dira, stop jalan mundur.''
''Lo emang udah nolongin, tapi nolongnya jangan tanggung dong, Jun. Lagian cuma setengah
jam jalan kaki. Lo juga belum pernah nyoba ngerebus telur di kawah"''
Masih Dira yang dulu Juna kenal, yang ngotot dengan segala cara kalau meminta sesuatu. Dan
masih menggemaskan kalau dia bersemangat kayak gini. Selalu bikin Juna nggak bisa menolak
dan pengin menuruti semua keinginannya. Tapi kali ini Juna betul-betul nggak perlu mencoba
telur yang direbus di kawah. Kalau dia pengin makan telur rebus kan bisa ngerebus di rumah,
nggak perlu jauh-jauh sampai ke kawah gunung Tangkuban Perahu. ''Emang apa bedanya telur
yang direbus di kawah sama yang direbus di panci" Tetep sama-sama jadi telur rebus, kan" Apa
yang direbus di kawah hasilnya jadi telur mata sapi" Nggak juga, kan" Dira, berhenti jalan
mundur. Gue bisa denger lo biarpun ngomong sambil nangkring di pohonitu.'' Juna menunjuk
pohon tinggi yang menjulang di antara pohon-pohon lainnya.
''Lo selain jadi kaku, dingin, dan nakutin, ternyata lo juga jadi nggak asyik ya, Jun" Hal-hal
kayak gini kan biasanya bikin lo penasaran. Apalagi fenomena alam kayak gini.''
''Dira, lo stop jalan mundur...''
''Masa sih lo nggak penasa... AAAAA!!!'' BLAK! Dengan sukses kaki Dira kesandung akar
pohon dan jatuh terjengkang dengan posisi yang nggak banget-terlentang ke belakang. Kalau
boleh dikasih predikat, peristiwa ini sakit iya mali iya. Mengingat ada predikat jatuh yang
sakitnya nggak seberapa, tapi malunya itu lho. Nah, yang ini dua-duanya.
Juna mematung kaget. Cewek yang lagi mencerocos ke dia sambil jalan mundur tiba-tiba
terjengkang ke belakang. Astaga! Juna buru-buru maju mendekati Dira. ''Udah gue bilang,
jangan jalan mundur! Lo nggak papa, kan"''
Dira menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan diri supaya nggak teriak, tapi ini sungguh, dia
nggak bisa berdiri. ''Sini, gue bantu berdiri.''
''Eh, Jun, jangan! JANGAN! Sakit, sakit, sakiittt!'' pekik Dira histeris.
''Kenapa" Apa yang sakit" Kaki lo ada yang patah" Apa tangan" Sini gue periksa.'' Juna
mendadak panik. ''Bukan, bukaaaan. Aduh... pokoknya jangan berdiri dulu.''
Jawaban Dira malah bikin Juna makin panik. ''Ya, tapi kenapa" Lo bilang dong, Dira. Jangan
bikin gue panik. Apa gue perlu lari ke atas manggil paramedis"''
Hah" Paramedis" Wah, bisa malu kalau begitu urusannya. ''Eh, jangan. Juna, kaki sama tangan
gue baik-baik aja, tapi... pantat gue yang nyut-nyutan. Pantat gue kayaknya bengkak deh.''
Akhirnya Dira bilang juga.
Lho, kok muka Juna aneh begitu sih" Juna hening menatap Dira yang masih terduduk dengan
gaya duduk menghindari bisul pecah. Entah pantatnya kenapa, tapi nyut-nyutannya bikin Dira
pengin cari pijat refleksi khusus pantat bengkak. ''Pffft...''
''Jun, lo ketawa ya" Lo ngetawain gue"'' Mata Dira melebar karena jelas-jelas pffft tadi itu Juna
ketawa. Nyebelin banget. Orang kesakitan malah diketawain. Eh, tapi tunggu, Juna ketawa, ya
kan" Dia ketawa, kan"
''Pfffttt... hahahahahaha...!'' Akhirnya Juna tak bisa menahan tawa. Dia bukannya menertawakan
penderitaan Dira, tapi rasanya dia pengin aja ketawa. Dira yang merepet tiba-tiba kesandung dan
nyaris dia panggilin paramedis, tapi ternyata... ''Udah gue bilang berkali-kali, lo jangan jalan
mundur. Coba bayangin kalo gue panggil paramedis, disangka patah tulang, keseleo, atau apa
kek... ternyata pantat lo bengkak. Untung belum gue panggilin ambulans. Makanya, lo jangan
kebiasaan ngomong sambil jalan mundur, nggak liat jalan. Lo pikir kaki lo ada spionnya"'' tegur
Juna panjang lebar sambil geleng-geleng kepala setelah tawanya yang tiba-tiba dan singkat itu
mereda. ''Hmm, jadi gitu ya caranya"'' Dira manggut-manggut.
''Cara apa"'' ''Cara bikin lo ketawa. Ngeliat gue jatuh konyol, baru lo ketawa ya" Kalo itu bisa bikin lo
ketawa, gue nggak papa deh jatuh sering-sering. Nanti gue cari inovasi gaya jatuh yang lebih
spektakuler lagi, biar lo nggak bosen.''
Juna mengernyit. ''Lo ngomong apa sih"''
Dira menangkap uluran tangan Juna dan berdiri sambil meringis karena masih cenat-cenut. ''Gue
seneng bisa liat 'mantan' sahabat gue bisa ketawa kayak tadi...'' Dira bikin tanda kutip pake jari
waktu menyebut kata mantan. ''... Ternyata emang sampe detik ini gue lebih suka lo yang ketawa
daripada yang dingin dan tukang berantem.''
Juna terenyak. Dira menunggu Juna bersuara menanggapinya.
''Lo udah nggak papa, kan" Ayo jalan lagi. Jadi mau ngerebus telur di kawah, kan"'' Juna
berjalan melewati Dira. ''Eh, Jun! Tungguin dong...''
''Cepet. Kalo mau cepet sampe, jangan kebanyakan ngobrol,'' jawab Juna sambil berhenti dan
tetap memunggungi Dira. Dira buru-buru berjalan menyusul Juna. Juna memejamkan matanya sesaat, berusaha menahan
perasaannya. Seharusnya tadi dia jangan kelepasan ketawa. Seharusnya dia bisa menahannya.
Kalau tembok yang dia bangun runtuh, Juna nggak yakin dia bakal bisa membangunnya lagi.
Sekali melepaskan perasaannya buat Dira, Juna nggak tahu bagaimana caranya menahan
perasaan itu lagi karena, makin hari, tiap menit, tiap detik yang dilaluinya bersama Dira, Juna
semakin sadar bahwa perasaannya buat Dira yang dulu tidak akan hilang begitu saja cuma garagara dia pergi dan putus kontak. Rasanya Juna sedikit frustasi karena perasaannya justru makin
kuat setelah mereka ketemu lagi dan Dira sama sekali nggak berubah.
Tetap Dira cinta pertamanya yang bikin jantungnya nggak bisa tenang.
Tapi sekarang, Juna bukan cowok yang tepat untuk berada di dekat Dira. Dia cuma bakal bikin
Dira dalam bahaya. ''Ayo.'' Dengan santai Dira menepuk lengan Juna.
Jantung Juna serasa berjengit. Sekujur tubuhnya serasa kesetrum saat disentuh Dira. Refleks Juna
membuka mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Dia harus
tenang... tenang... Wajah Dira serius banget waktu mengamati keranjang berisi dua butir telur yang dimasukkan ke
air belerang yang mendidih di kawah. Juna memutuskan untuk menonton saja dengan duduk di
samping Dira-dan nggak tahan untuk memandangi Dira diam-diam. Rasanya seperti mimpi, tibatiba ada Dira lagi dalam kehidupannya.
Apa kabar juga Irwan dan Mayang" Apa Dira cerita kalo dia ketemu Juna lagi" Seandainya
keadaan Juna nggak kayak sekarang, mungkin Juna berani menyatakan perasaannya pada Dira.
Nggak, nggak, bukan menyatakan cintanya sekarang, tapi kalau nggak ada kejadian itu, mungkin
Juna nggak akan mengingkari janjinya pada Dira dan menyatakan perasaannya sebelum mereka
masuk SMA. Sekarang, mungkin sekarang mereka sedang merayakan hari jadian mereka.
''Jun, Jun! Liat deh, liat...''
''Ha"'' Dahi Dira berkerut. ''Lo ngelamun ya" Kok kaget"''
Juna menggeleng cepat. ''Nggak. Gue nggak ngelamun. Lagian ngelamunin apaan"''
Dira mengibas-ngibaskan tangannya. ''Eh, eh, liat, Jun, telurnya beneran kerebus lho! Liat deh.''
Klik, klik, klik, klik! Juna mengeluarkan ponselnya dan langsung foto-foto.
''Ngapain sih, Jun" Banyak banget ngambil fotonya"''
Juna mengangkat sebelah alisnya dan memasang ekspresi superduper heran. ''Lo ke sini buat
bikin tugas, kan" Seinget gue tadi lo maksa ke sini karena lo mau makalah lo lengkap sama
fotonya, kan" Dari tadi lo sibuk ngerebus telur dan nggak ngambil foto satu pun.''
Ups. Dira meringis. Dira dan Tasha memang mengambil topik Tangkuban Perahu untuk tugas
makalah, tapi sebenarnya bahan yang mereka perlukan sudah lengkap. Isi artikel sudah lengkap.
Foto-foto juga sudah lengkap. Karena sebetulnya beberapa hari lalu Tasha mengantar sepupusepupunya yang datang dari luar kota ke sini. Foto-fotonya lebih dari cukup, bahkan mungkin
masuk kategori stok foto terlebay untuk tugas bahasa Indonesia. Segala sudut, segala isi, semua
titik di Tangkuban Perahu ada di foto-foto Tasha. Jadi sebetulnya Dira nggak perlu ke sini. Ini
cuma salah satu strategi Dira supaya bisa lebih dekat dengan Juna, dan kebetulan banget hari ini
Juna ada janji kumpul dengan gengnya.
''Ng, iya sih. Haha, saking serunya gue sampe lupa foto-foto. Makasih lho, diingetin.''
''Habis telur itu mateng, kita pulang, kan"'' Juna buru-buru mengalihkan tatapan dari mata Dira.
''Gue belum tau ada apa lagi yang menarik di sini buat makalah gue.''
Juna melirik jam tangannya. Kalau nggak langsung pulang setelah dari kawah ini, dia benarbenar bisa terlambat kumpul dengan gengnya. ''Ra, tapi gue...''
''Eh, telurnya mateng, Juna! Telurnya mateng,'' pekik Dira heboh sambil mengangkat keranjang
telurnya keluar dari air belerang yang mendidih. Dan memotong protes Juna. ''Wah, serius, Jun.
Telurnya mateng. Liat deh, liat!''
Juna mengamati dua butir telur yang tampak merekah karena kelamaan direbus di keranjang
Dira. Klik, klik, klik! Lalu langsung difoto.
Dira menatap Juna dengan heran.
Juna balas menatap Dira. ''Kenapa ngeliatin gue kayak gitu" Lo pasti perlu bukti foto kalo
telurnya beneran mateng, kan"''
Dira nyengir. ''Iya, bener.''
Juna memasukkan lagi ponselnya ke saku celana. ''Ya udah, sekarang buruan makan telurnya.
Habis itu kita cabut.'' ''Haaa... makan"'' ''Iya, makan. Emang telur rebus buat diapain lagi selain dimakan"''
Dira menatap dua butir telur yang tampak nyaris meledak karena merekah, lalu menatap Juna.
''Gue kan bilangnya ke sini mau ngerebus telur, bukan mau makan telur. Lagian nggak mau ah,
itu di kawah atas ada yang ngerendam kaki terus airnya ngalir juga ke tempat ngerebus telur.
Masa makan telur rasa rendaman kaki"''
Juna mengangkat bahu sekilas. ''Ya udah, kalo gitu ayo kita pulang.''
''Eh, Jun. Ntar dulu, kita...''
Tes, tes, tes... tiba-tiba hujan. Dari setetes-dua tetes lama-lama makin deras... makin deras... dan
semua orang berlarian panik, berteduh ke warung mi rebus yang ada di situ. ''Jun, ujannya deras.
Mendingan kita...'' Tiba-tiba Juna merangkul Dira. Tangannya menutupi kepala mereka dengan jaketnya. ''Kita ke
warung itu dulu...'' Dira dan Juna berlarian masuk ke warung mi rebus yang mendadak penuh gara-gara hujan.
Untung masih ada tempat duduk. Dira menggosok-gosokkan tangannya. Padahal tadi panas,
begitu hujan langsung mendadak dingin.
''Nih...'' Juna memakaikan jaketnya-wangi parfumnya khas Juna banget-ke bahu Dira. Badan Dira kaku
mendadak karena deg-degan. Saking deg-degannya, kalau ada dokter nekat periksa jantungnya
pakai stetoskop, dipastikan dokter itu bakal budek tiba-tiba. ''M... makasih, Jun.''
Juna cuma mengangguk. Entah ada efek apa, tiba-tiba suasana jadi kaku. Dira sibuk berusaha menjinakkan jantungnya
yang kayaknya lagi lompat-lompat sambil salto, sedangkan Juna... cowok itu kayaknya salah
tingkah. Mungkin memasangkan jaket ke cewek itu melanggar kode etik Undang-undang
Berandalan Sekolah pasal Jaga Wibawa, butir Awas Gangguan Cewek. ''Lo mau mi rebus
nggak" Supaya badan kita rada anget sambil nunggu hujan,'' tanya Juna memecah keheningan.
Mi rebus bolehlah. Gara-gara jantung deg-degan dan Juna yang kayak orang salting, Dira
mendadak nggak ada ide buat ngobrol. Sepertinya makan ide bagus, brilian. Kalau makan kan
mereka nggak perlu ngobrol dulu.
Dira mengangguk. ''Boleh deh.''
Juna mengangkat tangan dan pesan dua mi rebis ke ibu-ibu pemilik warung. ''Yang satu jangan
terlalu mateng, pake cabe rawit diiris-iris ya, Bu...''
''Jun, lo inget mi rebus kesukaan gue"'' Selain telur yang ternyata benar-benar bisa matang di
dalam air belerang, ternyata ada satu hal lagi yang sukses bikin Dira takjub hari ini. Juna masih
ingat mi rebus kesukaannya"!
''Eeh...'' Juna gelagapan salting. Tertangkap basah. Mau ngeles nggak bisa, tapi kalau nggak
ngeles malu. ''Y... ya, gue inget aja. Kayak gitu doang nggak susah kan ngingetnya. Setengah


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mateng, cabe rawit diiris, apa susahnya nginget dua hal itu doang" Bahkan kalo misalnya mi lo
itu setengah mateng, pake cabe diiris, bumbunya ditabur dari ketinggian satu meter, kuahnya
diciprat-ciprat pake air dukun juga gue masih bisa inget. Hal-hal kayak gitu nggak susah kok
diinget...'' ''Oke, oke, Jun. Santai. Nggak usah dijelasin sampe kayak gitu juga, kali. Gue takjub aja, Jun. Lo
masih inget kebiasaan gue.'' Dira tersenyum tulus sambil menatap Juna. ''Makasih ya...''
Senyum Dira bikin Juna kena serangan sesak napas. Rasanya sejak Dira masuk sekolah ini
semuanya berubah. Dira selalu bikin hari-harinya jadi unik, bahkan aneh. Sejak kapan orang mau
tawuran tiba-tiba disamperin dan dititipin kue" Atau malah harus mengantar berobat ke rumah
sakit" Tapi yang pasti, berkali-kali Dira membuat sisi Juna yang sudah Juna kubur sebagai masa
lalu, tanpa sadar muncul lagi. Gara-gara Dira, Juna bisa nggak sengaja tertawa geli atau diamdiam, DVD player-nya yang akhir-akhir ini cuma memutar film action, beberapa hari belakangan
mulai memutar film-film komedi lagi-genre kesukaan mereka kalau menonton DVD bareng
dulu. Dira masih menggosok-gosok tangannya sambil sesekali telapak tangannya yang hangat
ditempelkan ke pipi. ''Dira...'' ''Ya"'' GLEK. Juna menelan ludah, menyimpan rasa bersalah sekian lama betul-betul nggak enak.
''Dira, gue... gue cuma mau minta maaf karena gue nggak dateng waktu itu...''
Waktu serasa mendadak berhenti. Suara orang-orang yang berisik mendadak nggak kedengaran
lagi di kuping Dira. Cuma suara Juna yang dia dengar.
Apa tadi katanya" Apa Dira nggak salah dengar" Ini Dira masih hidup, kan" Ini bukan halusinasi
karena dia nyaris mati beku kedinginan, kan"
''J... Jun...'' ''Tapi please, Dira, lo jangan tanya kenapa. Gue cuma pengen lo tau kalo gue merasa bersalah
karena nggak datang waktu itu. Dan gue pengin lo tau juga kalo gue sama sekali nggak
bermaksud ngerjain lo atau bikin lo bingung. Itu semua kesalahan gue... gue minta maaf. Please,
jangan tanya kenapa. Percaya sama gue. Gue sama sekali nggak ada niat bikin lo kecewa.''
Dira terdiam. Andai Juna tahu bahwa Dira sudah tahu semuanya dari Tante Tyas.
Tapi ini kemajuan besar. Juna minta maaf pada Dira atas kejadian dua tahun lalu. Dira nggak
mau merusak semua ini. Juna... Juna belum perlu tahu bahwa Dira tahu semuanya. Cowok itu
sudah mendekat. Dira nggak mau Juna menjauh lagi.
''Gue udah maafin lo kok, Jun. Tapi makasih ya, lo udah mau ngomong kayak gitu ke gue.
Makasih banget.'' Lalu mi rebusnya datang. Jadi Dira dan Juna bisa fokus pada pikiran masingmasing sambil pura-pura serius makan mi. Hari ini, Dira janji dalam perjalanan pulang, dia
nggak bakal bawel dan nanya ini-itu gangguin Juna. Permintaan maaf tadi cukup untuk
mengganti semuanya hari ini.
Bab 13 Juna menatap Dira nggak yakin. ''Udah, lo gunting kertas aja sana bantuin Tasha.''
''Kenapa sih" Emangnya niup balon perlu skill khusus kayak mau kungfu atau pencak silat, gitu"
Sini ah, gue bantuin. Kalo gunting kertas Tasha nggak perlu dibantuin. Pipi lo bisa meledak
kalau niup balon segini banyak sendirian. Pipi lo diasuransi nggak" Nggak, kan"''
''Nih, terserah...'' Juna menyodorkan balon ke arah Dira.
Seminggu ini, setelah kejadian di Tangkuban Perahu, Dira merasa Juna mulai membuka diri lagi.
Sikap Juna bisa dibilang normal seperti teman, bukan cuma seperti bodyguard. Beberapa kali
Juna mengantar-jemput Dira sekolah, bantuin Dira, dan yang menurut Dira kemajuan besar
adalah Juna sudah bisa diajak ngobrol. Biarpun bukan soal pribadi-kalo soal itu Juna tetap keras
dan tertutup-tapi Juna sekarang mau diajak membahas novel-novel atau film-film terbaru.
Ekspresi cowok itu juga nggak kaku kayak robot. Meski belum lepas, sesekali Juna tersenyum
dan tertawa. Dira seneeeng banget karena ini pertanda superpositif. Apalagi seminggu ini geng
brutalnya sepi kegiatan. Mereka cuma sesekali ngumpul-dan beberapa kali sukses Dira gagalintapi sama sekali nggak ada kegiatan berantem. Entah lawannya yang nggak ada, atau mudahmudahan, Juna sebagai pemimpin geng sekolah ini mulai malas tawuran. Itu sih harapan Dira.
Dira mencomot satu balon berwarna hijau. ''Pffffff.... pffff.... pfff...'' Ternyata sudah lama nggak
pernah meniup balon, sekarang meniup balon lagi rasanya berat banget. Tapi tetap saja Dira
pengin bantuin Juna meniup balon, soalnya cowok itu sudah baik banget mau bantuin Dira,
Tasha, dan dua anggota perpustakaan yang piket mendekor perpustakaan dalam rangka ''Minggu
Baca'' yang rutin diadakan di SMA mereka.
''Eh, eh, Dira...udah cukup segitu aja.''
PFFFF! PFFF! PFFFF! Dira terus meniup sambil merem saking menghayatinya, sampai nggak
dengar suara Juna. ''DIRA!'' ''Pfff"'' Dira melek. ''Pffff... pfffff...''
''Niupnya jangan terlalu besar soalnya balonnya tip...''
DUARRR!!! ''Niup balonnya jangan terlalu besar, soalnya balonnya tipis.'' Juna refleks meringis melihat bibir
Dira yang jadi agak jontor gara-gara balon yang ditiupnya monyong.
''Sakit nggak" Bibir lo sampe merah gini... Coba gue liat, luka nggak"''
Refleks telunjuk Juna menyentuh bibir Dira yang memerah kena balon. ''Lecet ya kayaknya"''
Mana Dira tau! Mana Dira tau! Mana Dira bisa tauuuu!!! Ini sebentar lagi kayaknya jantungnya
meledak karena berdetak dengan kecepatan motor ojek yang ikut balapan liar. Gila juga nih si
Juna. Kalau mencemaskan keadaan bibir Dira yang kena ledakan balon, memangnya dia perlu
banget menyentuh bibir Dira dan bikin Dira nyaris menelepon UGD minta ambulans begini"
Sekarang jangan salahkan Dira atau rumput yang bergoyang kalau Dira cuma bisa bengong
dengan muka panas dan pastinya merah padam.
''Eh...'' Juna tersadar. Cepat-cepat dia menarik jarinya dari bibir Dira. Parah! Kenapa dia lagi-lagi
nggak bisa menahan diri sih" Tadi itu kan dia cukup nanya aja, nggak perlu sampai refleks
menyentuh bibir Dira segala untuk mengecek bibirnya.
Seminggu ini, jarak antara dia dan Dira semakin dekat. Meski Dira tetap nggak Juna izinkan
masuk ke wilayah pribadinya, Juna nggak tahan kalau harus terus sekeras dan sekaku itu pada
Dira. Sekarang dia cuma harus menahan diri supaya nggak mencubit gemas pipi Dira atau
mengacak-acak rambutnya sewaktu cewek itu berapi-api membicarakan novel atau film baru,
dan menahan diri untuk nggak menyatakan cinta tentunya.
''K... Kayaknya bibir lo butuh es batu aja. Gue ambilin ke kantin ya...''
''Jun, Jun, nggak usah. Mendingan kita lanjutin dekor aja. Bibir gue nggak papa. Lagian gue ada
plester.'' ''Ngaco. Masa bibir lo mau diplester" Apa gue tempelin dua plester dibentuk X aja ya di bibir lo"
Tanda dilarang ngomong sama dilarang niup balon.''
''Ihhh... Juna. Jahat banget sih!''
Juna terkekeh pelan. Dira sok-sok manyun. Padahal dia senang diledekin Juna karena itu justru sukses mencairkan
suasana yang mendadak kaku gara-gara insiden menyentuh bibir barusan.
Juna mencomot satu balon lagi dan mulai meniup.
Sambil menggunting kertas, Dira diam-diam menatap Juna. Dia semakin yakin bisa
mendapatkan sahabatnya lagi. Dia sudah beberapa kali bikin Juna batal tawuran dan batal
kumpul bareng gengnya. Dia pasti bisa membatalkannya untuk selamanya. Bikin Juna berhenti
total dan kembali jadi Juna yang anti kekerasan.
TOK TOK! Ketukan pintu kompak bikin Juna dan Dira mendongak dan menoleh ke arah pintu yang terbuka.
Brata. Ngapain dia ke sini"!
Brata tergopoh-gopoh masuk menghampiri Juna. ''Bro... kita mesti cabut sekarang. Anak-anak
Negeri Maju nyerang anak-anak Putra Sentosa cs kita. Cuma gara-gara ada yang lewat depan
sekolah mereka agak ngebut. Kita mesti bantuin mereka, bro. Mereka kan waktu itu bantuin kita
juga.'' Wajah Juna menegang. ''Lo serius, bro, anak-anak Negeri Maju berani kayak gitu!! Mereka itu
udah jelas-jelas nggak boleh ganggu wilayah kita. Mereka kan pasukan kalah!''
Brata makin gelisah. ''Serius, bro! Gue udah konfirm ke anak-anak Putra Sentosa. Anak-anak
Negeri Maju malah berani gangguin anak biasa yang bukan pasukan pera
ngnya anak Putra Sentosa!'' BRAK! Tiba-tiba Juna berdiri. ''Kita jalan sekarang! Kasih tau anak-anak!''
Brata mengangguk lalu berlari ke luar perpustakaan dengan heboh.
''Jun, tunggu. Lo mau ke mana" Lo bukan mau tawuran kan"''
Hati Dira mencelos karena Juna menatapnya dengan keras dan dingin khas pribadi Juna yang
baru. Juna yang tadi sedang membantunya meniup balon dan mendekor perpustakaan seolah
hilang begitu saja, nggak tau ke mana. ''Gue ada urusan penting. Gue harus pergi.''
''Jun, tungguuu!'' Entah dapat keberanian dari mana Dira berani menangkap pergelangan tangan
Juna. Sudah jelas Juna mau kembali ke medan perang. Dira harus mencegahnya. Harus! ''L... lo
jangan pergi dong, Jun. Lo kan udah janji meu bantuin kami dekor. Masa lo pergi gitu aja" J...
Jun, terus siapa yang niup balon" B... balonnya masih banyak...''
''Dira, nanti gue suruh Pak Yos ke sini buat bantuin kalian tiup balon. Gue harus pergi. Gue harus
menolong temen-temen gue. Mereka partner tim gue, dan tim gue adalah tim yang berkuasa
sekarang. Gue udah jamin bahwa mereka harus aman! Lo nggak ngerti urusan ini, jadi tolong
nggak usah larang-larang gue.'' Juna melepaskan tangannya dari pegangan Dira lalu berjalan
cepat ke luar perpustakaan.
Dira merenung. Mendadak jarak Juna jadi begitu jauh lagi dari Dira. Dira kontan nggak tahu
harus ngomong apa atau harus ngapain untuk mencegah Juna pergi. Ternyata keakrabannya
memang cuma di permukaan, Dira nggak punya pengaruh apa-apa lagi di mata Juna. Tapi dia
sudah bertekad. Dia pengin Juna berhenti!
Dira buru-buru mengejar Juna ke koridor sekolah.
''JUN!! Junaaa...! Tungguuu!!! Gue tahu soal Jessie!''
Juna yang sedah berlari ke gerbang sekolah tampak berhenti. Dia berdiri diam, masih
membelakang diri, seperti nggak yakin dengan apa yang didengarnya tadi.
Dira berhenti beberapa meter di belakang Juna, mengulang apa yang diteriakkannya tadi, tapi
lebih lambat dan jelas. ''Juna, gue tau soal Jessie.''
Pelan-pelan Juna berbalik menghadap Dira, menatap gadis itu lurus-lurus.
''Itu bukan salah lo, Jun. Lo nggak harus jadi jagoan yang ditakuti untuk menebus apa yang
terjadi pada Jessie waktu itu. Lo nggak harus jadi jago tawuran supaya nggak jadi korban
tawuran. Lo nggak salah waktu itu, Jun!''
Telapak tangan Juna tampak mengepal. Rahangnya mengeras. Matanya menyipit makin tajam.
''Lo nggak tau apa-apa soal hari itu, Dira. Gue gagal melindungi Jessie! Harusnya gue bisa
membawa Jessie keluar dari Metromini sialan itu. Atau... atau kalo waktu itu gue adalah orang
yang memegang kuasa dan mereka kenal gue, gue pasti dilepas! Kayak dua orang itu! Lo nggak
tau apa-apa. Dira. Gue harus jadi orang yang berkuasa dan ditakuti supaya siapa pun yang ada di
sekitar gue aman! Terutama kalo suatu saat gue bisa kumpul sama Jessie lagi, gue mau nggak
ada seorang pun yang berani ganggu dia!''
Dira terenyak melihat Juna melontarkan semua kalimat tadi dengan napas tersengal-sengal dan
tampak tak bisa menahan emosi. Juna kelihatan galak dan marah, tapi matanya.... matanya nggak
bisa bohong bahwa dia frustasi. Juna trauma. Dia... dia memikul rasa bersalah yang besar.
''J... Jun, Jessie nggak mungkin nyalahin lo. Dia juga tau keadaannya, kan" Lo nggak boleh terus
menyalahkan diri sendiri. Lo udah ngebiarin kejadian itu merusak diri lo, Jun. Juna, please, gue
peduli sama lo. Gue, nggak mau liat lo kayak gini. Gue yakin nyokap lo juga nggak mau, dan
Jessie juga nggak mau...''
Juna meremas rambutnya. Sebelah tangannya masih mengepal. Cowok itu tampak bergumul
dengan diri sendiri. Tapi beberapa detik kemudian Juna menatap Dira lagi. ''Kalo lo emang
peduli sama gue, mendingan lo balik ke perpustakaan, dan biarin gue melakukan apa yang
menurut gue adalah harga diri gue sekarang. Gue harus pergi!''
''Jun, please!!!'' Juna berbalik, bicara sambil memunggungi Dira. ''Kalo lo masih mau berteman sama gue,
mendingan lo jangan lagi menahan gue dan jangan mengungkit masalah pribadi gue. Atau mulai
besok, gue nggak mau kenal lo lagi.'' Juna memejamkan mata dan menarik napas, lalu
melangkah maju. Dia berdoa dalam hati, semoga Dira tidak memanggil dia dan mencoba
menahan dia lagi. Karena kalau Dira melakukan itu, Juna benar-benar akan menjauhinya.
Juna nggak mau Dira menyentuh masalah pribadinya. Dia nggak mau membahas itu dengan
siapa pun. Dia sudah punya cara untuk menyelesaikan semua itu dengan menjadi seperti ini,
menjadi orang yang nggak tersentuh dan ditakuti.
Dira terdiam. Dia tahu kalimat Juna tadi nggak main-main. Dia nggak mau Juna pergi tawuran
sekarang, tapi dia lebih nggak mau sama sekali kehilangan Juna kalau cowok itu nggak mau lagi
berteman sama dia. Ya Tuhan, Dira cuma bisa berdoa, turunkan hujan es batu yang sakit banget
kalau kena kepala dan bikin tawuran itu batal daripada benjol, atau tolong lindungi Juna supaya
bisa pulang dengan selamat, jadi Dira masih punya kesempatan untuk berusaha mendapatkan
Juna lagi. Dira menatap miris punggung Juna yang menjauh. Ternyata jarak dia dan Juna
memang sejauh ini. *** ''Dira"'' Juna kaget banget waktu tahu ternyata waktu Bibi bilang ada tamu yang mencarinya itu
adalah Dira. Juna menutup pintu ruang depan rumahnya lalu berjalan mendekati Dira yang
menunggu di kursi teras. ''Lo ngapain ke sini"'' Dira ada dalam daftar paling belakang dari orang
yang Juna anggap mungkin datang ke rumahnya malam-malam begini.
Juna melirik jamnya. Jam tujuh malam. Dia pikir yang ke sini Winda, anaknya Tante Vira,
tetangganya, yang kalau Mama nggak ada kayak sekarang, selalu diultimatum untuk
menyerahkan uang arisan langsung ke tangan Juna, dan bukan ke si Bibi.
''Gimana ya"'' Mendadak Dira jadi nggak enak. Dia belum pernah sama sekali ke rumah Juna,
sekalinya datang dia nggak ngomong-ngomong dan main datang aja. Siapa tahu Juna lagi sibuk,
capek, atau sakit. Juna mengacak-acak rambutnya sendiri. ''Nggak, bukan gitu. Gue nggak lagi ngapa-ngapain,
tapi... Lo ada apa ke rumah gue malam-malam kayak gini" Lo naik apa" Sama siapa"'' Insting
bodyguard Juna langsung kumat.
Dira mengamati Juna dengan serius. Biarpun nggak terlalu kentara, Dira bisa lihat lebam samar
di bawah bibir Juna. Sepertinya cuma itu. Nggak ada luka berdarah atau lecet. Tanpa sadar Dira
membuang napas lega karena Juna baik-baik saja. Tuhan memang nggak menurunkan hujan es
batu yang bikin benjol, tapi seenggaknya Juna nggak terluka parah gara-gara tawuran yang
nggak berhasil Dira cegah tadi siang.
''Dira" Kenapa malah bengong ngeliatin gue"''
''Eh...'' Dira gelagapan, tertangkap basah. ''Mm, Jun... sori gue ke sini jam segini dan nggak
bilang-bilang sama lo. Tapi... bukannya gue mau ngurusin urusan pribadi lo, gue... gue cuma
khawatir sama keadaan lo. Gue nggak bisa tenang sejak lo... sejak lo pergi tadi siang itu.
Sebetulnya gue mau telepon lo, tapi... kita kan nggak pernah tukeran nomor telepon. Jadi, gue ke
sini aja. Jangan marah ya, Jun. Gue cuma pengin mastiin lo baik-baik aja.''
Juna terdiam. Dira nggak bisa membaca maksud ekspresi Juna. Dia marah" Atau nggak suka"
Atau nggak masalah" Sedih" Nahan sakit perut" Pusing" Sakit gigi" Atau apa"
Akhirnya Dira berdiri. ''Ya udah, Jun, gitu aja kok. Gue udah liat lo baik-baik aja. Udah tenang
gue. Kalo gitu gue balik dulu. Taksi gue nunggu di depan. Udah ya, Jun, sampe ketemu di
sekolah.'' Yang penting Dira sudah melak sanakan niatnya untuk memastikan keadaan Juna.
Yang penting niatnya baik. Biarpun nggak diterima dengan baik, tapi Tuhan tahu kok Dira cuma
khawatir. ''Dira...!'' Baru saja Dira melangkah dari teras, tiba-tiba Juna memanggil.
Dira berbalik. Ternyata Juna sudah berdiri begitu dekat di hadapannya. Mata cowok itu menatap
Dira dalam-dalam. ''Kenapa, Jun"''
''Berapa nomor HP lo" Biar gue missed call.''
Sambil setengah kaget Dira menyebutkan nomor HP-nya. Juna menekan nomor Dira, lalu HP
Dira berbunyi. ''Save nomor gue. Terus... makasih lo udah ke sini.''
Efek lega itu ternyata adalah mendadak nyengir. Dira mengangguk sambil nyengir. Dia nggak
bisa menahan perasaan girangnya karena Juna bilang ''Makasih''. Usahanya datang ke rumah
Juna naik taksi dengan mengorbankan uang jajannya jadi nggak sia-sia.
''Gue antar lo ke taksi.''
Ternyata efek lega itu bukan cuma mendadak nyengir, tapi nyengir berkepanjangan. Terbukti
sepanjang jalan dari teras ke taksi, Dira nggak bisa berhenti nyengir.
Rasanya lega banget. Ternyata kejadian tadi siang nggak bikin Juna marah dan mengusir dia dari
rumahnya, malah masih mau bilang makasih pada Dira. Dira nggak akan menyerah, dia pasti
bisa bikin Juna berubah. Bab 14 Bibir Dira serasa nyut-nyutan gara-gara Mang Encun tukang bakso di depan sekolah yang
sepertinya mengubah resep sambelnya menggunakan cabe rawit sesuai selera setan-setan di
neraka. ''Gue rasa si Mang Encun salah bawa sambel deh, Ra. Yang ini bukan sambel buat di jual, tapi
buat ngeracunin maling kutang! Sssh... pedes banget!'' Tasha juga sibuk mengipas-ngipas
bibirnya yang nggak kalah nyut-nyut9 dan merah merekah.
Slurp...! Dira menyeruput es teh manis yang nyaris tinggal es batu. Kalo nyut-nyutan di bibirnya
belum hilang juga, sepertinya Dira dan Tasha perlu mengoles-oles es batu di bibir deh.
Dan yak, memang belum hilang!
Ini saatnya mengesampingkan malu dan mengutamakan keselamatan bibir yang sudah hampir
matang kepedasan. Dira mencomot potongan es batu dan mulai mengoles-oles ke bibir. ''Mau
nggak, Tash"'' Dira melirik Tasha yang masih tampak monyong.
Tasha mengangguk dan mencomot sepotong es batu juga sambil ikutan mengoles-oles ke bibir.
Saking asyiknya mengoles bibir pakai es batu, Dira dan Tasha kaget karena tiba-tiba ada dua
pasang sepatu dekil mengadang di depan mereka. Dira dan Tasha refleks mendongak, dan
langsung menciut mendapati dua cowok berseragam SMA dan bertampang seram berdiri di
depan mereka. Seram dalam arti sebenarnya lho. Yang satu tampak ada codet melintang di jidat.
Untuk menghibur diri sendiri, Dira menebak luka itu adalah bekas jatuh dari sepeda atau kejedot
tembok waktu main petak umpet semasa SD. Jadi, kalau luka karena jatuh dari sepeda atau
kejedot tembok, berarti meski sangar, cowok ini baik-baik dooong"
Yang satu lagi, nggak ada codet di mukanya ssih, tapi waktu tadi menyeringai, Dira bisa lihat
ada dua giginya yang ompong. Untuk kasus keompongannya, Dira juga berusaha positif.
Mungkin saja giginya ompong bukan karena dia tukang berantem, tapi karena waktu lagi benerin
antena TV pas ibunya menonton sinetron penuh tangisan, dia kepleset dan terantuk pot bunga
ibunya. Bisa saja, kan" Ya, kan"
Tasha tampak pucat dan ketakutan. Sambil berjalan, Dira mendorong Tasha pelan supaya mereka
berdua bergeser ke kanan, supaya bisa melewati kedua cowok sangar itu. Eh... tapi... ngapain
mereka ikut-ikutan ke kanan"
Dira mendorong pelan Tasha ke arah sebaliknya supaya mereka bisa lewat dari sisi yang satu
lagi. Lho" Kok mereka juga ikut bergeser" Sudah waktunya Dira punya perasaan nggak enak dan
mengingat-ingat nonor telepon kantor polisi.


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

''Eeh, permisi... kami mau lewat.'' Akhirnya dengan mengumpulkan seluruh tenaga-debantu
dengan tenaga matahari dan tenaga polusi knalpot-Dira bersuara.
Air mata Tasha mulai menggenag saat si ompong menyeringai aneh dan si codet menatap tajam
sambil senyum-senyum misterius penuh arti. Dira meremas tasnya. Dia ikhlas kalau dua cowok
ini memalak mereka. Dira bakal menyerahkan seluruh isi dompetnya, termasuk isi dompet
Tasha. Karena kalau mereka melawan, lalu terjadi keributan, ditambah lagi kalau Tasha mewek
heboh, bisa-bisa cowok-cowok ini nekat dan malah mencelakai mereka. Soalnya menurut berita
kriminal di TV, kebanyakan pelaku berbuat nekat karena mereka panik korbannya melawan.
Dira harus menerapkan strategi ''menurut tapi bohong'', alias habis menyerahkan isi dompet
langsung kabur. ''Kalian mau apa" Uang" A... ada sih... tapi, nggak banyak... cuma...'' Dira sudah nyaris
mengeluarkan dompetnya. ''HAHAHAHAHA....'' Belum sempat dompet Dira keluar, si ompong malah tertawa
menggelegar. ''Siapa bilang kami mau uang" Hahahaha... bro... dia kira kita mau malak mereka...
HAHAHA!'' Lalu saat itulah si ompong dan si codet tertawa ngakak bersama-sama. Dan saat
itulah air mata Tasha meluncur.
''Kami keliatan kere di mata lo?"'' Si codet mendekatkan mukanya ke muka Dira.
Sebetulnya sih Dira pengin bilang iya. Dengan muka codet dan sepatu yang tampak nggak dicuci
dan diganti sejak masa kepemimpinan tiga presiden, mereka tampak kayak gelandangan. Tapi
kalau dia bilang iya, itu namanya bunuh diri denganikhlas. Sekarang si codet dan si ompong,
dengan gaya preman sejati, mengamati Dira dari atas sampai bawah lalu dari bawah ke atas.
''Nggak salah lagiiiii, bro. Ini memang dia!'' tuding si ompong ke arah Dira.
Tasha menahan napas lalu mencicit ketakutan dengan suara nyaris kehabisan napas. Bunyi yang
keluar dari mulut Tasha cuma ''ngiiik''.
Jantung Dira serasa berhenti mendadak. Apa maksud mereka menunjuk Dira dan bilang ''Ini
memang dia''" Berarti... mereka memang mencari Dira dong"!
Ya Allaaaahh... ada apa iniii" Sejak kapan Dira punya masalah sama cowok-cowok bermuka
menyeramkan ini" Ketemu aja baru sekali. Tapi... tunggu, apa jangan-jangan mereka terlibat
waktu Juna pertama kali menyelamatkan Dira itu" Atauuuu... mereka anggota geng lawannya
Juna dalam tawuran yang digagalkan Dira waktu mengantar kue dan digoda preman itu"
Huaaa... gimana niihhh?""
''Kamu cewek yang akhir-akhir ini suka bareng Juna, kan" Ngomongnya aja lo bukan ceweknya,
padahal bohong, kan"!'' tanya si codet galak.
Tuh, kan! Semua ini ada hubungannya sama Juna. Bener, kan"! Tapi apa" Kayaknya akhir-akhir
ini Juna dan gengnya lagi adem-ayem aja. Juna malah lagi aktif banget di perpustakaan setiap
Dira dan Tasha minta bantuin.
''Eh... itu...ng...'' ''Nggak usah pake ngeles!'' bentak si ompong lebih galak daripada si codet. ''Percuma deh lo
ngeles. Kami itu nanya cuma basa-basi karena kami udah sering liat lo sama Juna.''
''Iya, t...tapi gue itu sering bareng dia gara-gara...''
''Udah, nggak usah jelasin apa-apa. Terserah lo sama dia bareng gara-gara apa. Yang pasti lo
deket sama Juna. Jadi denger baik-baik, lo bilang sama dia, tanggal lima belas. Final atau
bidadari jatuh! Inget ya! Tanggal lima belas. Sampein sama dia dari mulut lo langsung!'' Lalu si
codet menepuk bahu si ompong, mengajak temannya itu pergi.
Mereka berdua melompat ke atas motor mereka yang tak kalah ajaib bentuknya dengan tampang
si codet dan si ompong. BRRRMMMM! Motor kedua cowok ajaib itu berisik menjauh, sementara Dira dan Tasha masih
berdiri bengong dengan muka syok, lega, sekaligus bingung. Syok karena ketakutan menghadapi
kedua cowok itu, lega karena mereka nggak diapa-apain, dan bingung mendengar pesan aneh
buat Juna yang katanya harus disampaikan langsung oleh Dira.
''Huhuhu... hiks, hiks... huhuhu...''
Suara tangis sesenggukan Tasha langsung bikin Dira tersadar dari bengongnya plus spontan
panik menenangkan Tasha sebelum sahabatnya ini menjerit-jerit histeris. ''Tash, eh, Tashaaa...
udah dong. Jangan nangis...''
Tasha makin sesenggukan. ''H...habis... ngeri bangeeett...''
Dira menyambar pergelangan tangan Tasha. ''Yang penting kita nggak papa. Ayo, Tash, kita
pulang!'' Dira menggeret Tasha, buru-buru pergi dari sana, masih bingung.
*** Dari tadi Dira nggak konsentrasi ngerjain PR. Sudah setengah jam dia cuma gigit-gigit ujun
pensil dan menusuk-nusuk penghapus dengan bolpoin. Dira belum memberitahu Juna soal pesan
kedua cowok mengerikan tadi siang. Pesan yang disampaikan dengan cara aneh begitu bikin Dira
yakin pasti nggak beres. Tapi siapa mereka ya" Maksudnya apa" Kenapa disampaikan lewat
Dira" Tanggal lima belas. Final atau bidadari jatuh.
Pesan yang aneh. Tanggal lima belas ya" Final... Ya ampun! Bego banget sih Dira. Itu kan sudah jelas! Itu jelasjelas undangan. Dira buru-buru mengambil HP-nya dan menekan nomor telepon Tasha.
''Udah jelas ini undangan tawuran, Tasha. Gue yakin ini pasti tantangan tawuran pengganti yang
gagal gara-gara gue itu. Ini pasti parah banget.'' Dira merepat di telepon dengan panik.
Tasha ikutan panik. ''Ya ampun. Masa sih, Ra" Terus gimana dong"''
Pletak! Ujung pensil yang Dira gigit patah karena digigit kekencengan. ''Nggak tau, Tash. Gue
jadi panik nih. Tanggal lima belas sudah jelas maksudnya. Terus, final sama bidadari jatuh
maksudnya apa ya"'' ''Ya mana gue tau, Dira...! Lo udah kasih tau Juna"''
Dira menggeleng kuat biarpun Tasha di seberang telepon nggak bisa lihat. ''Ya belum lah, Tash.
Masa gue yang harus nyampein tantangan tawuran ke gengnya Juna" Kenapa harus gue" Masa
cuma gara-gara gue sering bareng Juna sih"''
''Ng... mungkin mereka sangka lo...''
''Eh, tunggu Tash, tunggu... tapi dipikir-pikir malah bagus.''
''Bagus gimana, Ra"''
Dira mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja. Dia ada ide. Harusnya ide ini cemerlang! ''Tasha,
coba lo pikir deh. Mereka nyampein tantangan ini kan lewat gue, itu artinya... kalo gue nggak
sampein ke Juna, berarti Juna dan gengnya nggak akan pernah tau soal tawuran ini.''
''Maksudnya, Ra" Lo nggak bakal ngasih tau Juna soal ini"''
Dira mengusap-usap hidungnya dengan wajah serius dan penuh pertimbangan. Lalu akhirnya
mengangguk. ''Iya, Tash. Gue nggak akan kasih tau Juna soal ini. Dan kalo Juna nggak datang
karena dia nggak tau, harusnya nggak masalah, kan" Ini kesempatan gue, Tash, kesempatan
untuk menggagalkan tawuran nggak penting itu sekali lagi!'' Dira berapi-api.
''Serius lo, Ra"'' tanya Tasha cemas.
''Maksud lo, Tash" Ya serius lah. Emang kenapa" Bener kan ide gue" Gue sama Juna memang
nggak pernah soal pribadi, apalagi setelah waktu itu, gue harus lebih hati-hati ngomong sama
dia. Tai, Tash, tekad gue buat bikin dia berhenti tawuran dan main kekerasan sudah bulat. Jadi
selama gue bisa mencegah, gue nggak akan biarin Juna tawuran. Kalo gue nggak ngomong apaapa sekarang, mereka nggak mungkin tau ada undangan ini. Oke, Tash, gue bakal tutup mulut.
Lo juga. Ngerti"'' Tasha terdengar makin gusar. ''Tapi gimana kalo malah jadi tambah ribut" Kalo lawannya
tersinggung gimana, Ra" Untuk orang kayak mereka, harga diri kan penting. Kalo mereka
merasa nggak ditanggapi terus malah marah, gimana"''
''Tasha, pokoknya kita tutup mulut, oke" Lo nggak denger apa-apa dan gue lupa. Titik.''
Dalam hati Dira setuju dengan Tasha. Kalau tawuran ini sampai terlaksana, kayaknya bakal
besar. Mereka gagal menyelesaikan urusan mereka dua kali. Pasti kalau terlaksana, geng Juna
dan geng lawannya bakal habis-habisan. Dira yakin, menyembunyikan informasi ini dari Juna
adalah yang terbaik. Kalau cuma akting pura-pura nggak tahu, pasti nggak sulit, kan"
Bab 15 ''Keripik pedas dua, bakwan dua, gulali satu, bakpao satu, es jeruk satu, sama...''
''Hah" Gila! Banyak banget sih, Ra, titipannya" Kayak belanjaan ibu-ibu ke pasar. Kalo gitu, lo
aja sendiri yang ke kantin. Gimana bawanya segitu banyak" Lo bawa keranjang belanjaan
sekalian,'' Tasha protes mendengar daftar titipan jajanan Dira.
Dira merengut. ''Ya ampun, Tasha, gitu banget sih" Titipan gue kan kecil-kecil semuaaa... Gue
nggak minta dibeliin bakso, soto atau kupat tahu, makanya diganti sama yang kecil-kecil.''
Tasha tetap manyun protes. ''Mendingan bakso sama es jeruk daripada yang kecil-kecil segitu
tapi banyak. Udah kayak menu restoran padang.''
''Ya udah, kalo gitu bakso, es jeruk, gulali, sama...''
''Yeeee...'' Tasha buru-buru protes lagi. ''Kalo udah bakso sama es jeruk, jangan ada pesenan lagi
dong! Gimana caranya bawa mangkuk sama gelas terus terus harus bawa yang lain juga"
Sekalian aja lo suruh gue ke pasar beliin ikan, tahu, terasi, jengkol, pete. Udah, Ra, ke kantin aja
yuk, biar gue nggak sendirian.''
Dira menggeleng. ''Nggak ah, Tash. Gue nggak mau ngambil risiko ketemu Juna. Lo kan tau, gue
mau menghindari Juna dulu sampe lewat tanggal lima belas, tanggal tantangan tawuran itu. Jadi
nggak ada risiko gue ketauan. Soalnya, biarpun sekarang cuek dan dingin gitu, dia tau banget
gue. Kalo gue nyembunyiin sesuatu, dia bisa curiga. Makanya mendingan gue di kelas terus
sampe dua hari lagi. Dia kan nggak pernah nyamperin kalau gue di kelas.''
Tasha menghela napas. Nggak tega juga merusak misi Dira. ''Ya udah, pilih bakso sama es jeruk
atau bakpao sama es jeruk"''
Muka Dira langsung memelas. ''Yaahhh... masa cuma dua" Tambah keripik pedas ya" Satuuu
aja... kan muat di saku lo. Ya ya ya"''
Tasha nggak tega, akhirnya mengangguk. ''Iyaaa... ya udah, lo tunggu aja.'' Tasha berangkat ke
kantin. Dira menatap punggung Tasha yang berjalan keluar. Baru juga dua hari nggak ke kantin, rasanya
kangeeen banget pengin nongkrong di kursi tukang bakso langganannya di kantin. Mana masih
harus menunggu dua hari lagi. Setelah tanggal lima belas, Dira yakin semuanya akan aman
karena tawuran itu pasti batal kalau Juna dan gengnya nggak datang.
''Fuuuhhhhh...'' Dira membuang napas berat. Seandainya Juna membuka diri lagi pada Dira,
semua ini pasti lebih mudah. Kalau sekarang, diajak ngobrol saja topiknya terbatas. Begitu salah
ngomong, Juna bisa langsung menjauh. Tapi tetap, Dira nggak akan menyerah.
*** ''Gue udah beli hamsternya. Dua pasang, Ra. Nanti kalo hamster gue beranak banyak, bisa gue
jual-jualin tuh. Makin banyak, makin banyak, terus gue jadi pengusaha muda deh. Peternak
hamster,'' cerocos Tasha semangat.
Dira mencibir. ''Jangan mimpi jauh-jauh dulu. Yang penting itu hamster bakalan hidup nggak"
Paling nggak seminggu deh...''
''Ih, kok lo gitu sih" Nyumpahin hamster gue mati.'' Tasha langsung manyun.
Dira cekikikan. ''Bukannya nyumpahin, tapi tangan lo itu kan animal killer. Anjing mati, kucing
mati, kelinci mati. Terakhir lo berlagak jadi peternak ayam, mati juga, kan"''
Tasha cemberut, tapi nggak bisa ngeles karena selama ini dia nggak pernah sukses memelihara
binatang. Semuanya mati. Dira cekikikan lagi. ''Gue doain deh, hamster-hamster lo panjang umur dan sehat selalu.''
Tasha masih manyun. ''Dira!'' JENG! Tau-tau Juna berdiri mengadang Dira dan Tasha.
Setelah dua hari Dira nggak ketemu Juna, cowok itu nongol tiba-tiba seperti ini, bikin kaget, dan
bikin mati gaya. Ternyata dua hari saja Dira kangen sama Juna.
''Dira, ikut gue. Gue ada perlu sama lo.'' Setelah bicara dengan tegas dan dingin, Juna menangkap
pergelangan tangan Dira. ''Tasha, lo nggak papa kan pulang sendiri"''
Nggak ada yang Tasha bisa lakukan selain gelagapan dan mengangguk. ''E... eh, iya nggak papa.
Nyantai aja... Dira silakan dibawa.''
''Ada apa sih, Jun"'' Ya ampun, tangannya dipegang Juna kayak gini, boleh pingsan nggak sih"
Juna menarik tangan Dira. ''Ikut gue dulu. Ayo...'' Lalu Juna menyeret Dira pergi dari situ ke
pojok sepi di gerbang belakang sekolah.
Tidak lain tidak bukan, bukan sulap bukan sihir, tempat itu tempat ngumpul gengnya Juna. Brata
di sana. Cowok berbadan ekstra besar itu tampak mondar-mandir gelisah dan makin gelisah
begitu melihat Juna datang bersama Dira.
Perasaan Dira langsung nggak enak.
''Gimana, bro, udah tanya" Udah tau" Kapan" Di mana"'' Brata memberondong dengan
pertanyaan begitu Juna dan Dira tiba di dekatnya.
Juna melepaskan genggaman tangannya di pergelangan Dira. ''Dira, lo nyembunyiin sesuatu dari
gue"'' tanya Juna tajam.
''Ny...nyembunyiin apa"'' Perasaan Dira makin nggak enak.
Juna menatap Dira makin tajam. Tatapan Juna rasanya menusuk sampai jantung Dira. ''Dira,
jangan main-main. Lo terima pesan yang harus lo sampein ke gue, kan"''
DEG! Jantung Dira serasa mental ke tenggorokan. Begini kali rasanya keselek jantung sendiri.
Ini sih jelas maksud Juna adalah pesan dari dua cowok dekil itu. Jadi mereka tau?"" Bukannya
pesan itu harus disampaikan lewat Dira" Kok mereka tahu"
Oke, tenang, Dira, tenang... Akting, akting. Pasang muka polos. ''Ng... pesan apaan sih"''
Dan sepertinya Dira jangan pernah berharap bisa jadi artis, terima piala Citra, apalagi piala Oscar
karena aktingnya gagal dengan sukses. Juna memegang kedua bahu Dira dengan gusar. ''Dira, ini
serius! Pulang sekolah beberapa hari yang lalu ada yang nyamperin lo nyuruh lo nyampein pesen
ke gue, kan" Mereka bilang apa"''
Dira menelan ludah. Tiba-tiba suasananya mencekam. ''P...pesan..."''
Juna makin nggak sabar. Jarinya mencengkeram bahu Dira lebih keras. ''Dira, jangan bohong!
Gue tau kalo lo bohong. Lo nggak lupa kan, gue selalu tau kapan lo bohong!''
''Aw, Juna, sakit tau!'' Sekarang Dira betul-betul ketakutan. Matanya memanas. Juna yang seperti
itu betul-betul menakutkan sampai Dira pengin nangis. Dira seperti diinterogasi dan dibentakbentak oleh orang asing.
Juna terkesiap melihat mata Dira yang berkaca-kaca. Dia udah bikin Dira takut. Juna menahan
napasnya sejenak, berusaha menurunkan emosinya. ''Dira, denger gue baik-baik. Lo harus kasih
tau gue mereka ngomong apa atau lo maunya gue... gue yang ke tempat mereka sekarang untuk
bertanya langsung" Lo pasti udah tau, apa yang bakal terjadi kalo gue ke sana langsung...''
GLEK, Dira menelan ludah. Kalau Juna ke sana langsung sekarang, itu berarti 99.99% dia bakal
ribut. Berantem. Karena masuk ke daerah lawan sembarangan itu berarti perang. Tapi kalau Dira
memberitahukan itu, berarti... perang juga. Jadi apa bedanya"
''Oke.'' Tiba-tiba Juna mengangkat tangan. ''Kayaknya lo nggak mau jujur sama gue. Kalo gitu
gue akan tanya sendiri ke sana.''
''Eh, Juna!'' Dira refleks menangkap tangan Juna yang nyaris berbalik pergi. Dia nggak bisa
biarin Juna ke sekolah duo dekil itu. Itu sama saja Dira telak-telak membiarkan Juna berantem
hari ini. Biarpun pesan dari duo dekil itu isinya sama saja, tapi paling nggak Dira punya dua hari
untuk membatalkan semuanya. ''O...oke, gue bakal kasih tau.'' Dira refleks melirik Brata karena
merasa nggak nyaman berdebat sama Juna tapi diamati terus sama cowok raksasa itu.
Juna melirik Brata. ''Bro, lo tunggu gue di depan.''
Brata langsung protes. ''Tapi, bro...''
''Tunggu gue di depan,'' tegas Juna.
Brata beranjak dengan nggak rela.
''Mereka bilang apa, Dira"'' tanya Juna setelah ditinggal berdua dengan Dira.
Dira menarik napas, lalu berkata pelan, ''Tanggal lima belas. Final atau bidadari jatuh.''
JENG! Wajah Juna langsung menegang, kedua tangannya mengepal, tulang rahangnya tampak
menonjol. Tiba-tiba... ''Aargh!''
DUAK! Juna meninju dinding sampai Dira melompat mundur saking kagetnya.
''J... Jun..."'' Juna meremas-remas rambutnya gusar. ''Harusnya gue tau! Harusnya gue nggak biarin lo deketdeket gue! Harusnya lo nggak usah sok akrab sama gue! Harusnya gue nggak terima permintaan
tolong nyokap lo!'' DEG! Dira menatap Juna dengan bingung. Maksudnya apa sih" Kenapa Juna jadi marah-marah
sama Dira" Dira kan sudah memberitahukan pesannya. Sekarang malah dia dimarah-marahi
kayak gitu. Tiba-tiba Juna mencengkeram kedua bahu Dira lagi. Matanya yang tajam menatap Dira nggak
tenang. ''Dira, lo denger gue baik-baik. Mulai detik ini, sampai tanggal lima belas-dua hari lagilo jauh-jauh dari gue. Jangan berkomunikasi sama gue. Setiap pulang sekolah, gue mau lo
langsung pulang. Setelah tanggal lima belas semuanya beres, semua bakal normal lagi.''
Dira menatap Juna nggak ngerti. ''Maksudnya apa sih" Kenapa" Jun, tanggal lima belas lo mau
beresin apa" Lo mau tawuran, kan" Iya, kan" Tanggal lima belas, final... itu tantangan tawuran
lagi, kan" Apa hubungannya sama gue nggak boleh berkomunikasi sama lo"''
Frustasi, Juna mengacak-acak rambutnya sendiri. ''Lo mau tau kenapa" Mereka nyangka lo
cewek gue, makanya pesan itu disampaikan lewat lo.''
Dira melongo. ''A...apa" Gue disangka cewek lo"''
''Iya, Dira! Dua kali urusan gue batal karena lo, karena gue milih belain lo daripada
membereskan urusan gue sama mereka. Jelas aja mereka nyangka lo cewek gue. Dan itu fatal!
Fatal buat kami kalo mementingkan cewek daripada urusan ini! Itu sama aja gue meremehkan
mereka dua kali. Dan gue udah setuju dengan syarat mereka untuk yang ketiga kali ini, bahwa
gue akan melawan lima orang dari mereka sendirian!''
Melawan lima orang sendirian" Artinya Jun bakal dikeroyok lagi. Itu sama saja kalah sebelum
perang dong. Masa belum apa-apa sudah harus melawan dikeroyok lima orang"
''Lo gila ya, Jun" Syarat curang kayak gitu lo setujuin" Jun, please, masa tantangan nggak beres
kayak gitu lo terima" Jun, gue yakin di antara kalian pasti ada... ada kode etiknya, kan" Tawuran
yang fair atau apa gitu... ya, kan" Jun, tantangan itu kan sama aja undangan. Lo boleh datang
boleh nggak, ya kan"''
Juna mengangguk. Dira semringah. ''Nah, gitu dong...''
''Jawaban untuk undangan itu, gue pasti datang.''
''Ha" Jun, gimana sih" Lo itu bakal dikeroyok lima orang, dan gue yakin bukan cuma satu
pukulan kayak waktu itu. Kalau mereka nantangin pake syarat curang kayak gitu, sama saja
mereka pengecut! Ngapain sih ngelawan orang pengecut" Ngapain ngorbanin keselamatan lo"!''
''Dan keselamatan lo juga...,'' tukas Juna datar.
Dira terenyak. ''Maksudnya"''
''Lo nggak dengerin gue" Dira, mereka menyangka lo cewek gue. Lo pikir apa maksudnya
'bidadari jatuh'" Ini kesempatan terakhir gue dan anak-anak untuk membereskan urusan kami
dengan mereka, atau mereka bakal... atau mereka bakal ngapa-ngapain lo.''
Dira melongo syok. Ngapa-ngapain Dira" Diapain" Diculik" Dilukai" Atau di... diapain" Janganjangan malah di..." Dira bergidik. ''Memangnya... mereka bakal ngapain gue..."''
''Mereka bakal ngerjain lo, Dira! Lo harus ngerjain tugas-tugas sekolah mereka. Lo harus jadi...
jadi pembantu mereka, nyuci baju mereka, bawain makanan buat mereka, sampe batas waktu
yang ditentukan. Selain itu, gue dan anak-anak harus mau mengaku kalah selamanya.''
''APA"!'' Idih! Gila banget sih syaratnya. Itu sih parah!
''Nggak, nggak, gue nggak mau! Lo nggak perlu datang ke sana demi syarat gila kayak gitu, Jun.
Biarpun lo nggak datang, lo tenang aja, gue bakal tolak ngerjain hal bodoh kayak gitu. Dasar
cowok-cowok pengecut! Beraninya mengancam pakai bawa-bawa cewek! Emangnya kalo gue
nolak kenapa"''

Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juna meremas rambutnya lagi. Menjelaskan ini pada Dira membuat dia harus meremas-remas
rambutnya frustasi sampai beberapa kali. ''Kalo lo nggak ngerjain kemauan mereka, mereka
bebas ngerjain gue dan gue nggak boleh ngelawan sebagai gantinya. Mereka boleh hajar gue
habis-habisan.'' ''A...apa"'' Dira makin syok. ''J...Jun, gue nggak mungkin biarin mereka ngerjain lo.''
''Ya makanya, Diraaaa...! Menjauh dari gue sampe semua ini selesai. Jangan berkomunikasi sama
gue. Bikin mereka berpikir kalo lo itu bukan pacar gue!!! Biar gue urus urusan gue. Lo nggak
usah ikut campur. Gue akan hadapi apa pun tantangan mereka, apa pun risikonya. Ini harga diri
gue dan anak-anak. Kalo nggak, kami bakal kehilangan semuanya. Wilayah ini udah jadi wilayah
kekuasaan kami, nggak mungkin dilepas begitu aja. Kami sudah berjuang jadi yang paling kuat.''
Dira nggak tau harus ngomong apa. Ternyata urusan tawuran geng antarsekolah ini serumit itu.
Buat apa sih mereka memulai ''pertempuran'' bodoh kayak gitu" Kalo mereka nggak berantem,
nggak musuhan, nggak harus jadi penguasa, semua juga harusnya baik-baik aja, kan"
Memangnya kenapa kalau ngebut sedikit pas lewat di depan sekolah lain" Nggak perlu jadi
pemicu tawuran, kan" Lapor saja pada polisi lalu lintas, paling juga ditilang. Kalau satu murid
tersenggol pas di jalan, kenapa harus satu sekolah yang marah" Kenapa yang nyenggol nggak
minta maaf, dan yang disenggol nggak langsung memaafkan" Kan nggak sengaja. Kenapa kalau
sekolah A ngejar-ngejar kecengan pentolan di sekolah B, terus mereka harus menyerang sekolah
A" Orang suka sama siapa itu bebas, kan" Nggak ada urusan sekolah di mana, orang mana,
rumahnya di wilayah mana, kan"
Semua perseteruan atas nama gengsi yang disebut tawuran itu, semua didasarkan pada hal-hal
bodoh! Mereka merasa membela harga diri, padahal mereka cuma berantem dengan alasan
konyol. Tapi kalimat Juna yang paling bikin hati Dira sakit adalah waktu Juna bilang Dira bukan
pacarnya dengan nada begitu marah. Apa memang segitunya Juna nggak mau dianggap pacarnya
Dira" ''Udahlah, Dira. Lo nggak bakal ngerti gue mau jelasin apa pun soal ini. Pokoknya sekarang lo
jangan deket-deket gue atau berkomunikasi sama gue. Gue nggak mau kalau terjadi apa-apa,
mereka melibatkan lo. Gue pergi dulu.'' Juna berbalik pergi.
Astaga! Dira tersadar dari lamunannya. Kalau dia diam saja, itu artinya dia pasrah membiarkan
Juna maju ke pertempuran konyol. Kalau Dira bertekad melepaskan Juna dari dunia bodohnya
itu, artinya Dira harus lebih nekat daripada ini. Dia harus berani. Dia... dia sayang sama Juna.
Dira pengin Juna tahu bahwa dia bisa keluar dari semua ini. Dira pengin Juna melihat lagi bahwa
hidup lebih menyenangkan di luar lingkungannya yang suram dan menakutkan itu.
''JUN! JUNAAA...!'' Dira berlari menyusul Juna.
Juna berbalik menatap Dira. ''Apa lagi, Dira" Semuanya udah jelas, kan"''
Dira mendekat, menatap lurus mata Juna, mencari Juna yang dulu di dalam sana. ''Jun, gue tahu,
di hati lo yang paling dalam, lo pasti tau semua yang lo lakuin ini nggak bener. Lo sendiri yang
bilang lo merasa harus jadi paling kuat karena nggak mau orang di sekitar lo nggak aman. Lo
jelas-jelas benci semua ini kan, Jun"''
''Kenapa lo manggil gue, Dira" Lo mau ngomong apa" Cepet! Gue harus pergi.'' Juna berusaha
nggak memedulikan kalimat Dira tadi.
Dira melangkah makin dekat, menatap Juna makin dalam. Dira pengin Juna lihat bahwa dia
peduli pada Juna, sayang pada Juna, dan cuma pengin Juna yang dia kenal kembali.
''Gue nggak akan menjauhi lo, Jun. Gue nggak akan biarin lo tawuran. Lo boleh marah sama gue,
tapi sekarang gue mau terang-terangan sama lo. Gue nggak rela lihat lo kayak gini sekarang. Gue
pengin lo berhenti. Gue pengin bikin lo sadar bahwa apa yang terjadi dulu sama sekali bukan
salah lo, dan bukan begini caranya menghadapi masa lalu! Inget nyokap lo, Jun, inget Jessie.
Gue yakin Jessie juga nggak mau lo kayak gini. Gue nggak akan biarin lo terus kayak gini, Jun.
Gue... gue pengin ketemu lo yang dulu. Sahabat gue yang baik, lucu, nggak suka kekerasan. Lo
masih disitu kan, Jun"''
Lima detik Juna terdiam. Tangan Juna mengepal. Kepalanya tertunduk gelisah.
''Jun"'' Juna mendongak. ''Gue nggak akan biarin lo menghentikan gue, Dira. Gue udah sampe sini.
Nggak ada yang lebih baik daripada jadi yang paling kuat. Lupain gue yang dulu, Dira. Dia udah
nggak ada. Orang bisa berubah. Lo nggak bisa mengharapkan gue jadi orang yang sama
selamanya. Lo nggak tau apa yang gue alami. Nggak tau sama sekali...'' Juna berbalik pergi.
''JUN!'' Kali ini Juna nggak berhenti. Cowok itu terus berjalan meninggalkan Dira. Dan kali ini kaki Dira
seperti dipaku ke lantai, nggak sanggup bergerak. Tiba-tiba ada dinding mengelilingi Juna, dan
Dira takut, takut banget untuk mendekat. Dira nggak sanggup kalau harus menerima ekspresi
dingin Juna lagi hari ini. Dira harus menenangkan diri dulu, mungkin Juna juga.
Bab 16 Seharian ini Dira nggak melihat sosok Juna. Padahal biasanya cowok yang satu itu nggak pernah
lupa ke kantin pas jam istirahat, lalu belakangan ini juga selalu mampir ke perpustakaan. Tapi
hari ini Juna nggak ada di mana-mana. Apa dia di kelas seharian ya" Soalnya dengar-dengar kan
Juna dicalonkan jadi wakil sekolah untuk kompetisi sains dua bulan lagi.
Dira menebar pandangan ke seluruh penjuru kantin. Juna tetap nggak ada. Setelah kejadian
kemarin, perasaan Dira jadi nggak tenang dan semalaman Dira nggak bisa tidur karena pengin
cepat-cepat ketemu Juna hari ini, dan memastikan Juna masih mau ngomong dengan Dira setelah
kemarin meninggalkan Dira begitu saja.
Tunggu, jangan-jangan Juna sengaja nggak ada di mana-mana. Dira teringat kalimat Juna waktu
mereka bersitegang kemarin. Juna minta Dira jangan dekat-dekat dia dan jangan berkomunikasi
dengannya. Mungkin Juna memang menghindari Dira.
Dira terenyak. Nggak, nggak bisa kayak gini. Kalau Juna menghindar dan nggak mau
berkomunikasi sama Dira, terus gimana cara Dira bisa menggagalkan tawuran yang terjadwal
besok" Dira harus menemui Juna di kelasnya. Dia pasti ada di kelasnya.
''Nggak masuk" Kenapa" Sakit"'' Masa sih Juna nggak masuk" Yang pasti Juna nggak pernah
bolos sekolah. Satu-satunya yang bisa bikin dia nggak masuk sekolah adalah sakit atau alasan
mendesak seperti ada yang meninggal.
Teman sekelas Juna yang Dira tanyai menggeleng. ''Nggak tau juga deh. Nggak ada keterangan
sakit atau apa pun. Tapi ya mungkin juga sakit.''
Kemarin Juna kayaknya baik-baik saja, kok tiba-tiba sakit sampai nggak masuk sekolah" Janganjangan sakitnya parah. Aduh, atau jangan-jangan... kemarin dia nggak bisa menahan emosi, dan
memutuskan langsung nyamperin ke sekolah lawannya, terus Juna dipukuli sampai babak belur"
Ya ampun! Dira mendadak khawatir. Aduh... mudah-mudahan nggak ada apa-apa sama Juna. ''O...oh ya udah, makasih ya.'' Dira
bergegas meninggalkan kelas Juna.
Sambil jalan, Dira buru-buru menekan nomor telepon Juna. Nada tunggu. Nggak diangkat. Dira
menekan nomor telepon Juna lagi. Nggak diangkat lagi. Dira mencoba sampai lima kali, telepon
Juna tetap nggak diangkat. Dira makin khawatir. Apa Juna sesakit itu sampai nggak bisa
menjawab telepon" *** Pintu depan rumah Juna terbuka. Tante Tyas kaget mendapati Dira berdiri di depan pintu.
''Dira"'' Dira tersenyum manis. ''Assalamualaikum, Tante.''
''Walaikumsalam. Ada apa nih" Disuruh Mama ya" Padahal Tante udah bilang sama mama
kamu, buku resep yang Tante pengin pinjem itu biar Tante ambil saja ke rumah. Kasihan kamu
sampai nganterin kayak gini.''
Buku resep" ''Ng... bukan, Tante, aku ke sini mau nengokin Juna. Dia sakit ya, Tante"''
Tante Tyas mendadak bingung. ''Juna" Memang tadi di sekolah dia sakit" Aduh... kenapa lagi
dia" Soalnya dari tadi malam, Juna minta izin menginap di rumah temannya. Katanya dia ada
tugas proyek sains yang harus selesai besok. Makanya dia minta izin menginap sampai besok.''
Juna berbohong. Tante Tyas jelas-jelas dibohongin Juna. Proyek sains apaan" Juna bahkan nggak
masuk sekolah hari ini. Kalau Juna nggak sakit, berarti ini jelas, Juna bolos. Jantung Dira
berdebar kencang. Dia yakin banget ada yang nggak beres di balik bolosnya Juna dan bohongnya
Juna pada Tante Tyas. ''Dira"'' Tante memanggil dengan bingung karena Dira mendadak bengong.
Dengan gusar Dira mengeluarkan HP-nya. ''Tante, boleh nggak aku di sini dulu" Aku... mau
SMS Juna sebentar,'' Tante Tyas langsung mengangguk. ''Ya boleh dong, Dira. Di dalam saja yuk"''
''Nggak, Tante, nggak usah. Di sini aja... aku... aku cuma mau mastiin sesuatu.''
Tante Tyas mengangguk lagi. ''Ya sudah. Tapi Tante ke dalam dulu ya" Kalau perlu Tante, kamu
masuk aja. Pintunya nggak Tante tutup.''
Gantian Dira yang mengangguk. Begitu Tante Tyas masuk, Dira buru-buru mengetik SMS buat
Juna. Dira yakin dengan isi SMS yang dia kirim, Juna pasti membalas.
-Jun, lo sakit ya" Kok gak sekolah" Gue tengokin lo ke rumah ya" Td bbrp kali gue telp lo kok
gak diangkat"- Dira memutar-mutar HP-nya, gelisah menunggu jawaban Juna. Semenit... dua menit...
PIP PIP! Dira buru-buru membuka SMS-nya. Jantungnya berdebar makin kencang melihat nama
Juna. -Dira, gue cm bakal jwb SMS lo sekali. Gue gak sakit, gue baik2 aja. Percuma lo cari gue ke
rumah, gue gak ada d rmh. Gue cm mnta lo ikutin apa kt gue kmrn. Jauhi gue, smpe urusan gue
selesai. Sekali lagi, gue gak akan biarin apa pun menghalangi gue ngeberesin urusan ini. Gue pny
tanggung jawab sama kelompok gue. Gue tau lo gak ngerti, dan gue gak minta lo ngerti. Gue
cuma minta lo gak usah ikut campur masalah ini.-
Betul dugaan Dira. Juna memang sengaja bolos sekolah dan nggak ada di rumah karena dia tahu
Dira bakal terus berusaha mencegah dia tawuran. Juna sengaja menghindari Dira supaya Dira
nggak ada kesempatan melakukan apa pun yang bisa mengacaukan urusan barbar antar geng
mereka. Dan sepertinya Dira memang nggak bisa apa-apa. Tawuran gila itu akan terjadi besok, sementara
sekarang Dira sama sekali nggak bisa kontak dengan Juna, dan dia nggak tahu Juna ada di mana.
Mendadak perut Dira mules. Kepanikan Juna sampai membolos sekolah dan sembunyi entah di
mana demi itu, bisa disimpulkan tawuran kali ini bakalan besar dan mengerikan.
Eh, tunggu! Dira nggak boleh menyerah gitu saja. Dira kan tahu kapan dan di mana Juna dan
gengnya bakal berhadapan dengan geng lawannya. Masih ada yang bisa Dira lakukan. Dia bisa
mencoba rencana itu! Rencana yang beberapa kali muncul di kepalanya, tapi belum berani dia
lakukan. Kali ini dia harus berani. Gimana dia bisa tahu berhasil atau nggak kalau belum dicoba.
Iya, kan" *** ''APA"! Tante akan telepon dia sekarang. Tante akan tegur dia! Ini nggak bisa dibiarkan, Dira...
Tante nggak bisa biarkan itu terjadi!'' Tante Tyas panik mendengar cerita Dira soal apa yang
bakal Juna lakukan besok dan bahwa Juna selama ini masih tawuran, bahkan Dira beberapa kali
langsung jadi saksi, dan tentunya juga soal Juna yang berbohong tentang proyek sainsnya.
''Tante, Tante, tunggu... jangan...!'' cegah Dira buru-buru.
Tante Tyas menatap Dira bingung. ''Kenapa, Dira" Tante nggak peduli kalo habis ini dia bakal
menjauh dari Tante lagi. Tante bisa cari cara untuk mendekati dia lagi. Tapi Tante harus
mencegah tawuran yang akan dia lakukan besok, Dira, harus!''
Dira menyambar HP Tante Tyas dari atas meja, mengamankan dari jangkauan Tante Tyas yang
sudah nggak bisa menahan diri pengin segera menelepon Juna. ''Iya, Tante, aku ngerti. Aku juga
sama kayak Tante. Aku pengin Juna kayak dulu lagi. Tapi, Tante, aku mohon, kita kan nggak tau
Juna di mana sekarang. Kalo Tante telepon, dia bisa makin sembunyi. Tante, aku punya rencana,
tapi... aku perlu bantuan Tante karena aku pengin rencana ini berhasil dan bikin Juna berhenti
berantem.'' Alis Tante Tyas berkerut. ''Rencana apa, Dira" Demi Juna, kalo Tante bisa bantu, Tante pasti
akan bantu.'' ''Dengan bantuan Tante, mudah-mudahan kita berhasil, Tante.''
Tante Tyas menatap Dira tegang. Penasaran.
Bab 17 ''Bro, kalo lo keliatan udah nggak bisa lagi ngadepin lima orang yang nyerang lo, gue sama anakanak bakal turun tangan,'' tukas Brata dengan ekspresi khawatir. Bahkan buat orang segede dia,
dikeroyok lima orang dan mutlak harus dilawan sendiri itu menakutkan.
Juna mengangkat tangan. ''Nggak, bro, jangan! Lo urus aja yang lain. Jangan tolongin gue
kecuali gue yang minta. Lo jangan lupa, kalo kita melanggar peraturan, kita dianggap kalah. Gue
nggak mau kita kehilangan kekuasaan kita, bro. Jadi jangan tolongin gue, kecuali gue minta
tolong, ingat!'' Brata dan teman segeng Juna saling tatap cemas. Mereka tahu persis lawan mereka nggak akan
sembarangan memilih lima orang untuk mengeroyok Juna. Mereka sudah haus kemenangan.
Mereka betul-betul harus menumbangkan Juna untuk kemenangan mereka. Dua kali urusan ini
batal gara-gara Juna lebih memilih mengurus Dira, sekarang mereka harus menghadapi perang
yang nggak seimbang sebagai bayarannya.
''Udah waktunya. Kita berangkat sekarang. Ingat, kita ke sana untuk menang!'' Juna
menyemangati teman-temannya.
Brata dan teman segengnya mengangguk mantap. Mereka siap ke medan perang.
Juna berjalan gagah di depan, memasuki pelataran bangunan apartemen yang terbengkalai dan
baru setengah jadi. Rumput-rumput tinggi bikin orang malas masuk ke area ini. Untung bagi
Juna dan lawan-lawannya, selain lapangan sepi, tempat ini juga pas banget untuk urusan mereka.
''Junaaa... akhirnya lo dateng juga ya. Mudah-mudahan kali ini lo nggak baka jadiin cewek lo
sebagai alasan buat menghindar dari urusan kita ini.'' Sambil melipat kedua tangan di dada, salah
satu pentolan SMA lawan menyambut sombong.
''Dia bukan cewek gue,'' tukas Juna dingin dan langsung disambut suara terkekeh penuh sindiran
dari geng lawan. ''Oh ya" Kalo bukan cewek lo, terus ngapain lo sampe bela-belain dia daripada urusan kita hah"
Oh, gue tau! Lo jatuh cinta sama tuh cewek, kan"''
Juna mengepalkan tangannya kuat-kuat. Rahangnya gemelutuk menahan emosi. ''Cukup! Gue
rasa kita di sini bukan untuk ngebahas gue! Kita langsung aja ke urusan kita. Gue sama tim gue
ke sini untuk ngadepin lo semua. Dan kalo lo semua berpikir bisa merebut predikat penguasa
wilayah dari tangan kami, lo semua mimpi!''
Kalimat Juna langsung melenyapkan semua cengiran dan tampang cengengesan dari geng lawan.
Wajah mereka sekarang berganti tegang dan marah.
''Oke! Siapa takut"! Lagi pula kami nggak mimpi. Dengan keadaan sekarang, kalian nggak
mungkin menang. Dan itu semua karena lo, Juna, karena sebagai pemimpin lo udah lebih
mementingkan cewek daripada kelompok lo!'' Jari telunjuk salah satu pentolan geng lawan
menuding Juna. ''Mendingan lo jangan banyak omong! Keadaan sekarang nggak akan memengaruhi kemenangan
kami. Ngerti lo" Sekarang maju! Mana lima orang yang mau ngadepin gue!" MAJU!''
Pemimpin geng lawan tampak marah menatap Juna. ''Dia sudah menghina kita, maju!!!''
Juna memasang kuda-kuda untuk menghadapi lima orang yang tampak kuat mendekati dia. Dia
pasti bisa menghadapi mereka. Selama ini ilmu karatenya selalu berhasil mengalahkan
musuhnya. Mereka cuma asal berantem, tapi Juna nggak. Juna punya teknik, taktik, dan jurus.
Dia cuma perlu fokus. Melawan lima orang, dia harus fokus.
''Stoppp! Berhentiii! Junaaa! Stopp!''
Saat itu juga semua mata tertuju ke arah cewek yang berteriak kencang memanggil nama Junatermasuk Juna. Mata Juna terbelalak ngeri melihat Dira berlari ke arah mereka.
''Dira! Apa-apaan lo" Ngapain lo ke sini" Lo lupa apa yang gue bilang kemarin" Lo udah
kelewat batas, Dira!!! Kelewat batas! Sekarang lo pergi! Pergi!!!'' teriak Juna kalap.
''Apa-apaan ini, Juna" Lo mau main-main lagi" Ngapain cewek lo di sini" Ingat, Juna, ini final!
FINAL! Dan lo tau apa akibatnya kalau ini batal lagi!'' bentak cowok yang dulu Dira ingat
adalah salah satu orang yang ikut memukul Juna bergantian di lapangan dekat sekolah.
Juna menatap Dira emosi. ''Dira! Gue bilang pergi dari sini! Pergi!!!'' usir Juna marah.
Dira nggak bergerak dan malah berdiri menghadap Juna. ''Juna, gue nggak lupa apa yang lo
bilang waktu itu. Lo minta gue jangan ikut campur, tapi gue juga minta lo jangan lupa apa yang
gue bilang ke lo, bahwa gue nggak bakal nyerah untuk bikin lo berhenti dari semua ini, dan bikin
lo percaya bahwa semua ini nggak perlu dan lo nggak boleh terus-terusan nyalahin diri lo sendiri.
Apa yang terjadi sama Jessie bukan salah lo, dan bukan alasan untuk bikin lo jadi kayak gini!!!''
Mata Juna berkilat marah. ''Jessie lagi, Jessie lagi! Lagi-lagi lo bawa-bawa Jessie! Lo nggak tau
apa-apa soal Jessie. Kenapa lo selalu bawa-bawa dia"''
''Karena aku ada di sini, Kak...''
Saat itu juga Juna membeku. Wajahnya menegang. Ekspresinya yang tadi marah bercampur
kaget, bingung, kangen, dan ketakutan. Jessie datang digandeng Tante Tyas dan papanya Juna.
''J...Jessie" Kenapa kamu... ada di sini"''
Geng sekolah lawan semakin nggak sabar. ''Jun! Apaan nih" Reuni keluarga" Lo mau jadiin
alasan buat ngebatalin urusan kita lagi" Denger ya, Juna, kita udah di sini. Kita lanjutkan atau
kekuasaan kalian pindah ke tangan kami! Karena buat kami, nggak ada alasan apa pun yang bisa
membatalkan semua ini!!!''
''Ada! Kalian jangan coba-coba melakukan kekerasan atau kalian semua saya bikin nggak naik
kelas atau bahkan saya keluarkan dari sekolah!'' Suara menggelegar membungkam mulut
gerombolan cowok sangar itu.
Dira membuang napas lega. Kepala sekolah mereka dan kepala sekolah Dira datang tepat waktu.
Selain minta Jessie datang ke Bandung, Dira merasa jika dia pengin membuat Juna berhenti, dia
harus membuat semua berhenti. Setelah memberitahukan semuanya kepada kepala sekolahnya
sendiri, Dira minta tolong supaya kepala sekolahnya memberitahu kepala sekolah sekolah lawan.
Dan ternyata sukses. Mereka semua bungkam seribu bahasa dan mendadak menciut. Ancaman
nggak naik kelas dan dikeluarkan ternyata ampuh luar biasa.
''Sekarang kalian semua ikut kami ke sekolah Sinar Pertiwi. Kalian harus mendapat pembinaan,
dan orangtua kalian semua sudah dipanggil!'' perintah kepala sekolah lawan supaya semua
cowok-cowok itu ikut ke sekolah Dira. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, semua menurut
mengikuti langkah kepsek.
Dira menoleh lagi ke arah Juna dan Jessie. Juna tampak mematung, masih di tempatnya berdiri
tadi, beberapa meter dari Jessie yang digandeng papa dan mamanya. Dira bisa melihat bekas
jahitan panjang di lengan Jessie yang dulu sempat membuat gadis itu kritis dan membuat Juna
trauma. ''Juna... Jessie datang ke sini untuk menemui kamu. Kamu nggak kangen sama dia, Nak" Jessie
ke sini karena peduli sama kamu, dan nggak mau kamu kayak gini, Juna...'' Tante Tyas bicara
dengan lembut pada Juna yang masih mematung dengan ekspresi tak terbaca.
Juna terdiam. Jessie menatap Juna serbasalah. Dia sama sekali nggak menyangka kakanya jadi seperti ini. Juna
bahkan nggak langsung memeluknya begitu ketemu. Padahal Jessie kangen banget pada kakak
satu-satunya itu. ''Kak..."'' panggil Jessie pelan.
Mata Juna mengerjap. Dengan napas tersengal-sengal, tiba-tiba Juna bicara, ''Ini semua diatur,
kan" Ini semua... sengaja cuma untuk bikin aku nggak berantem hari ini. Iya, kan"! Lo! Ini pasti
rencana lo kan, Dira"'' Juna menuding Dira tajam. ''Kalo Jessie emang nggak marah sama aku,


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalo emang Jessie peduli sama aku, kenapa baru sekarang"! Kenapa baru hari ini Jessie nemuin
aku" Kenapa selama dua tahun aku merasa Jessie marah sama aku" KENAPA" Jessie, Kakak
udah bukan kakak kamu yang lemah kayak dulu! Kakak sekarang kuat. Kamu nggak perlu ke
sini kalo cuma karena Mama memohon. Kakak bisa melindungi diri Kaka sendiri, Jes. BISA!
Kamu nggak perlu terpaksa ke sini cuma karena kekhawatiran Mama. Papa juga nggak perlu, Pa!
NGGAK PERLU!'' Juna histeris sampai napasnya putus-putus tertekan emosi.
Dira terkesiap. Bulu kuduknya merinding melihat Juna histeris dengan suara gemetaran seperti
nyaris nangis. Kenapa jadi begini" Kenapa reaksi Juna begitu banget" Apa rencana Dira ini salah
total" Apa dia sudah terlalu ikut campur"
Jessie tampak tertegun, syok melihat Juna. Matanya berkaca-kaca, nggak sanggup melihat Juna
yang mendadak berubah sangat rapuh. Jessie maju selangkah. Matanya terus menatap Juna.
''Kak... kenapa Kakak mikir kayak gitu" Kakak kan kakak kesayanganku, aku nggak mungkin
marah sama Kakak. Semua itu bukan salah Kakak. Aku nggak pernah nyalahin Kakak.''
''Terus kenapa selama ini kamu nggak menanyakan soal Kakak, Jess" Kenapa kamu nggak minta
ketemu aku" Kenapa kamu tinggal sama Papa"''
Jessie tertegun. ''Aku takut, Kak. Justru... justru aku pikir Kakak yang marah sama aku. Waktu
itu aku masih SD, Kak, yang aku tau, setelah kejadian itu Mama menangis terus. Waktu di rumah
sakit, berkali-kali aku dengar dokter atau Mama menyebut kalau Kakak trauma. Kakak terpukul
secara psikologis. Aku dengar waktu Mama menelepon Papa dan bilang bahwa Mama akan
pindahkan Kakak ke Bandung sampai akhirnya Papa menawarkan ingin merawatku, jadi Mama
bisa nemenin Kakak di Bandung. Tiba-tiba kita harus meninggalkan rumah lama kita dan aku
pindah ke rumah Papa. Berkali-kali aku mencuri dengar waktu Papa telepon Mama dan
ngomongin perkembangan Kakak. Aku dengar waktu Mama bilang Kakak udah mendingan
setelah nggak melihat aku dan lukaku lagi.''
Juna terdiam. Jessie menarik napas panjang, menatap Juna lebih dalam. ''Aku pikir Kakak marah karena aku
udah bikin Kakak susah dan ada di posisi itu, tapi aku senang dengar Kakak udah lebih baik.
Sejak itu, aku memutuskan nggak akan memaksa ketemu Kakak, sampai Kakak siap dan mau
menemui aku lagi. Aku yakin, suatu saat, kalo Kakak udah bisa nerima semuanya dan nggak
marah lagi sama aku, Kakak pasti akan nemuin aku lagi.''
Semua hening. Pelan-pelan Juna balas menatap Jessie. ''Kamu salah, Jessie. Kakak nggak pernah marah sama
kamu. Kakak marah sama diri Kakak sendiri; kenapa nggak bisa melindungi kamu. Sedikit pun
aku nggak pernah marah sama kamu. Cuma satu yang aku rasain selama dua tahun ini. Perasaan
bersalah... karena keteledoranku, kamu jadi celaka. Selama dua tahun aku menunggumu datang,
Jessie, tapi kamu nggak pernah datang. Nggak pernah menghubungi Kakak. Aku semakin yakin
kamu... masih marah dan nggak pernah bisa maafin aku... aku...'' Juna kehilangan kata-kata.
Matanya berkaca-kaca. ''Juna, maafkan Papa. Papa mohon, berhenti menyalahkan diri kamu sendiri. Cukup...'' Tiba-tiba
papanya Juna maju dan memeluk Juna erat. ''Papa mohon, Juna, berhenti menyalahkan diri kamu
sendiri. Ini salah Papa, Nak, ini salah Papa... seharusnya Papa yang melindungi kalian.
Seharusnya Papa nggak pergi begitu saja. Seharusnya Papa yang mengantar-jemput Jessie yang
masih SD supaya dia selamat sampai rumah. Seharusnya Papa nggak membiarkan kamu yang
menjemput Jessie, yang sekolahnya jauh dari sekolah kamu... Papa yang salah, Juna. Maafkan
Papa. Seharusnya Papa nggak membiarkan kamu menanggung beban sebesar itu. Kamu hebat,
Juna. Papa tau... kamu hanya menjalankan tugas sebagai laki-laki yang bertanggung jawab di
rumah...'' Papa Juna memeluk Juna lebih erat. ''Dan seharusnya itu tugas Papa. Maafkan Papa.
Papa akan tebus semuanya sekarang.''
Pertahanan diri Juna jebol. Cowok yang dingin dan kuat itu menangis di pelukan papanya.
Jessie mendekat. Air matanya juga bercucuran. ''Kak, aku sayang Kakak. Sayang banget...
Maafin aku ya, Kak...'' Jessie ikut memeluk Juna.
Dan Tante Tyas memeluk mereka.
Dira merinding bahagia menyaksikan Juna dipeluk semua orang yang dia sayang dan
menyayangi dia. Juna masih menangis. Dira jamin itu tangis bahagia.
Dira mengusap air mata yang menetes gara-gara ikut terharu. Ternyata selama ini mereka
terjebak dalam kesalahpahaman. Juna menyangka Jessie yang marah dan nggak mau ketemu dia;
Jessie menyangka Juna yang marah dan nggak mau lagi ketemu dia. Dira lega ternyata
rencananya memanggil Jessie nggak gagal, dan malah sukses bikin kesalahpahaman itu jadi
lurus. Bukannya Dira sok tahu, tapi dia yakin Tuhan selalu menyelipkan satu kado rahasia dalam setiap
peristiwa ''berat''. Kalau menurut Dira, kado untuk Juna adalah kembalinya papanya dan
keutuhan keluarga mereka. Dira yakin, kado semacam itu nggak bakal bisa dibeli pakai uang.
''Dira, tunggu!'' Suara Juna memanggil Dira yang berniat pergi dari sana dan mengecek
perkembangan para jagoan sekolah yang lagi dapat pembinaan dari guru dan orangtua. Juna
berlari menghampiri Dira. ''Lo mau ke mana"''
''Sekolah. Gue yang bikin semua jadi begini. Paling nggak gue harus ke sana, kan"''
Juna menatap Dira serius. Tiba-tiba Juna meraih telapak tangan Dira dan menggenggamnya eraterat. ''Makasih, Dira... karena lo udah nekat melakukan semua ini.'' Juna tersenyum. ''Lo emang
sahabat gue.'' Senyum paling indah yang pernah Dira lihat. Senyum dari cowok yang dia kenal
sejak SMP. Bab 18 Akhirnya... Hari Minggu. Setelah peristiwa heboh Jumat kemarin, Dira jadi ingat dia belum kontak lagi
dengan Juna. Mungkin Juna sibuk menikmati kumpul-kumpul keluarga. Pasti Juna kangen
banget dengan Jessie dan papanya. Sampai detik ini Dira masih nggak percaya dia bisa
melakukan rencana gilanya itu.
Tapi untung semua berjalan baik. Juna sudah kembali. Dan satu hal lagi, cowok-cowok yang
dikumpulkan di sekolah ternyata mendapat pembinaan serius. Dua kepala sekolah memutuskan,
selain memanggil orangtua, mereka juga mengundang aparat kepolisian setempat untuk
membina mereka. Dira menyaksikan sendiri ibu-ibu mereka menangis sedih mendapati anak
mereka jadi pelaku tawuran. Dira juga menyaksikan kepala cowok-cowok itu tertunduk lesu
karena tersadar bahwa mereka sudah membuang-buang uang hasil kerja keras orangtua untuk
menyekolahkan mereka, dan malah membuat kecewa.
Setelah melewati pembinaan dan diskusi, kepala sekolah memutuskan tidak akan segan-segan
menskors, bahkan mengeluarkan dari sekolah, siapa pun yang terlibat tawuran. Bukan cuma
mendapat peringatan, mereka-termasuk Juna-juga mendapat ''tanggung jawab'' dari pihak
kepolisian sebagai mitra polisi. Mereka harus bekerja sama untuk menjaga keamanan wilayah
dari premanisme dan kejahatan dengan melaporkannya kepada pihak kepolisian. Dari jagoan
kandang, mereka harus jadi penjaga keamanan. Dira setuju banget dengan solusinya. Sekarang
mereka harus jadi pahlawan masyarakat.
TOK TOK TOK! ''Dira... ada tamu di bawah. Turun, Sayang...'' Terdengar suara Mama dari luar kamar.
Tamu" Tamu siapa lagi" ''Bentar, Ma...''
Dira menarik rambutnya asal-asalan dengan bandana butut kesayangannya. Nggak perlu mandi
dulu lah, yang penting sudah gosok gigi. Dira berlari ke ruang tamu, dan terbelalak plus langsung
menyesal karena keluar pakai piama dan bandana butut begitu melihat siapa tamunya.
''Apa" Ke Jakarta sekarang?""'' tanya Dira nggak percaya, karena tamunya ternyata adalah Juna,
dan cowok itu mengajak Dira ke Jakarta sekarang.
Juna yang tampak rapi dan wangi itu mengangguk. ''Iya, gue udah bilang nyokap lo kalo gue
mau ngajak lo ke Jakarta sebentar. Jakarta kan dekat dari Bandung lewat Cipularang. Bisa, kan"''
Dira mengernyit. ''Serius lo udah bilang nyokap gue"'' Juna benar-benar membuatnya kaget.
Setelah sehari nggak kontak, begitu nongol langsung mengajak ke Jakarta. Kan gila.
''Iya, Dira, Juna sudah bilang pada Mama. Kamu pergi saja. Nggak papa kok kalo sama Juna.
Juna juga sudah tau, Mama membolehkan kalian pergi sampai jam berapa.''
Dira melongo karena Mama Tiba-tiba nyelutuk menyuruhnya pergi. ''Emang mau ngapain sih,
Jun, ke Jakarta"'' ''Nanti di sana gue kasih tau. Sekarang lo mandi dulu sana.''
Bagai robot, dengan wajah bingung, Dira menurut dan langsung ke kamar mandi untuk bersiapsiap.
*** ''Jun... kenapa ditutup matanya segala sih" Lo nggak masukin gue ke acara-acara TV reality
show jebakan gitu, kan"'' protes Dira cerewet karena sebelum sampai di tempat tujuan, Juna
meminta Dira memakai penutup mata.
Juna tersenyum kecil mendengar tuduhan Dira. Enak banget rasanya bisa bebas tersenyum kapan
saja seperti sekarang. ''Nggak, Dira, gue bukan mau menjebak lo. Tenang aja. Gue tau lo pengin
masuk TV, tapi sayang sekali kita nggak lagi di acara TV. Gue buka ya penutup mata lo...''
Pelan-pelan Juna membuka penutup mata Dira.
Dira tertegun kaget. Taman dekat SMP mereka. Taman ini sering banget mereka datangi bareng Irwan dan Mayang sepulang sekolah, dan
seharusnya menjadi tempat ketemuan Dira dan Juna waktu Juna mengajak janjian, dua tahun
lalu. Yang akhirnya Juna nggak datang. ''Lo ke Jakarta ngajak gue ke sini, Jun"''
Juna mengangguk serius. ''Iya, Dira. Hari Minggu dua tahun lalu, seharusnya gue nemuin lo di
sini. Gue tau banget lo tipe yang tepat waktu dan nggak pernah ingkar janji. Jadi gue juga tau
waktu itu lo pasti nungguin gue di sini lama. Iya, kan"''
Dira mengangguk. ''Terus kenapa kita ke sini sekarang"''
Juna tersenyum lembut. ''Karena gue mau menebus yang dulu, Dira. Biarpun gue sempat minta
maaf sama lo karena gue nggak dateng, tapi kali ini gue pengin gantiin hari itu, boleh kan" Gue...
gue pengin melakukan apa yang seharusnya gue lakukan dua tahun lalu.''
Dira menatap Juna nggak ngerti.
Juna mengusap rambutnya gugup. Ekspresi itu belum pernah Dira lihat. Sampai saat ini cuma
''dua'' pribadi Juna yang dia kenal. Pertama, Juna yang kocak dan ceplas-ceplos waktu SMP, dan
kedua, Juna yang dingin dan menakutkan waktu SMA yang baru saja dipecat dari pimpinan geng
dua hari lalu. Tapi pribadi Juna yang gugup dan kikuk ini... ini baru. ''Ngg... Dira, gue... gue
pengin lo tau, kalo dua tahun lalu, gue ngajak lo ke sini karena gue... karena gue mau ngasih ini
buat lo.'' Juna menyodorkan dua lembar kertas yang tampak lecek.
Dengan bingung Dira meraih dua lembar kertas itu dan langsung terkaget-kaget.
''Ya ampun, Juna! Lo dapetin tiket premiere film ini"!'' Dira terpekik nggak percaya. Di
tangannya sekarang ada dua lembar tiket premiere film yang pengin banget Dira datangi dua
tahun lalu. Dira masih ingat waktu mereka ngumpul, Dira sempat bilang bahwa dia pengin
banget datang ke premiere film yang ceritanya diangkat dari novelnya novelis favotit Dira.
Dalam acara premiere film itu si pengarang juga datang dan membagi-bagikan tanda tangan buat
semua yang kebagian tiket premiere. Dira nggak percaya, waktu itu Juna mencarikan tiket ini
buat dia" Waktu itu sih Dira tetap jadi nonton film itu, tapi tentunya nggak premiere karena dia
nggak kebagian tiketnya. Juna mengangguk. ''Waktu lo bilang lo pengin dateng ke premiere-nya, gue langsung cari
tiketnya, dan gue dapet. Maafin gue, tapi gue nggak sempet kasih ini waktu itu.''
Dira masih menatap nggak percaya pada tiket di tangannya. ''Gila, Juuun... jadi lodapetin ini"
Jun, kok lo sampe segitunya nyariin tiket buat gue"''
Juna menelan ludah. ''Karena... gue liat itu penting banget buat lo. Gue ngerasa, apa yang penting
buat lo... juga penting buat gue.''
Dira terdiam. Tiba-tiba suasana jadi canggung. Kenapa yang penting buat Dira juga penting buat Juna" Cuma
karena dia sahabatnya" Tapi kan Mayang juga sahabat mereka. Kenapa Juna nggak segitunya
waktu Mayang pengin buku cetakan pertama Harry Potter"
''J...Jun... lo ngajak gue ke sini, cuma mau ngasih ini"'' Akhirnya Dira buka suara. Pertanyaannya
mungkin konyol dan agak-agak menyebalkan. Tapi bagaimana dong" Dira buntu banget, nggak
tahu mau ngomong apa. Pertanyaan Dira malah membuat wajah Juna merah padam. Tiba-tiba dia menggeleng. ''Nggak,
Dira. Ada lagi...'' ''Ada lagi"'' Juna mengangguk. Cowok itu tampak merogoh sesuatu lagi dari sakunya. ''Gue juga mau ngasih
ini buat lo...'' Juna menyodorkan dua lembar kertas lagi.
Dira mengambil dua lembar kertas itu dari tangan Juna. Tiket nonton di Blitz Megaplex hari ini
untuk jam lima sore. Dira menatap Juna bingung.
Juna meringis. ''Lo... mau kan nonton sama gue hari ini, minggu depan, bulan depan, tahun
depan, dan sampe kapan pun"''
''Ha" Lo udah booking tiket sampe tahun depan"''
Juna melotot gemas menatap Dira. Mana mungkin dia bisa booking tiket nonton sampai tahun
depan" Lagian kan nggak bisa. Juna menggaruk-garuk rambutnya yang nggak gatal. Maksudnya
mau berkiasan, malah gagal. ''Bukan, Dira, bukan itu maksud gua. Maksug gue...,'' Juna
mendadak nervous, ''...maksud gue... lo mau kan sama-sama gue terus" Lo... mau kan... jadi...
pacar gue..."'' Dira mematung. Nggak percaya Juna benar-benar minta dia jadi pacarnya. Rasanya seperti
mimpi bahwa ternyata selama ini Dira nggak salah duga. Juna mengajak janjian waktu itu karena
mau nembak Dira. Biarpun tertunda dua tahun, ternyata perasaan Dira buat Juna masih sama.
Juna mendadak panik karena Dira terdiam. ''Dira... lo... lo kok diam" So... sori kalo gue
lancang... gue cuma...'' Dira menggenggam kedua pergelangan tangan Juna dan menatap Juna semringah. ''Gue udah tau
kok, Jun. Gue tau maksud lo yang pake perumpamaan nonton sampe tahun depan itu. Gue iseng
aja, pengin denger yang lebih jelas dan to the point. Hehehe... masa ditembak cuma pake ngajak
nonton sampe tahun depan"''
Juna melongo. ''Lo ngerjain gue, Ra"''
Dira nyengir. ''Nggak ngerjain... cuma pengin denger lebih jelas dan lebih pasti.''
Juna membuang napas gemas, lalu balas menggenggam tangan Dira. ''Terus... jawaban lo apa"''
Dira tersenyum ''Iya, gue mau pacaran sama Juna yang gue kenal di SMP dulu, bukan Juna yang
gue baru kenal di SMA.'' Tangan Dira mencabut kacamata Juna dari saku kemeja seragamnya
lalu memasangkannya. ''Juna yang ini...''
Juna balas tersenyum lebar, menatap Dira penuh sayang, dan memegang pipinya... mentapnya
dalam lalu... ''Jun! Kita jadi nonton jam lima, kan" Ini udah jam dua siang lho... Lagian udah tau mau ke
Jakarta, ya beli tiketnya di Blitz Jakarta dong.''
Niat Juna mengecup dahi Dira langsung batal terkena interupsi. ''Ya udah, kita jalan sekarang
deh. Lagian perjalanan Jakarta-Bandung pasti nggak kerasa kalo berduaan sama pacaar... ya
nggak"'' ''Huuuu!'' Dira mencubit lengan Juna gemas.
Sambil berjalan ke mobil, Dira nggak bisa berhenti memandangi Juna.
Dira menghela napas. Dia belajar banyak dari semua ini. Yang paling penting, sekarang Dira
tahu, saat Tuhan membuat seseorang dalam posisi sulit, orang itu akan jadi lebih kuat dan
semakin menghargai apa yang dia miliki. Misalnya keluarga.
END Ratu Intan Kumala 2 Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga Perguruan Kera Emas 3
^