Pencarian

Jun 2

Jun Karya Mia Arsjad Bagian 2


saja sudah cukup. Sejak usahanya melonjak sukses, papa Juna jadi orang yang kaku dan dingin.
Meski sudah pisah rumah, papanya tetap munyuplai semua kebutuhan materi, padahal mereka
nyaris nggak pernah saling ketemu lagi.
''Tuh kan, melamun. Memikirkan Juna ya" Ya udah ah, Mama mau telepon Tante Halim. Besok
ada arisan. Kalian terusin aja makannya...'' Mama bangkit dari kursi makan dan berjalan ke ruang
depan. ''Ra, nyokap lo seneng tuh sama Juna. Semangat banget godain lo,'' kata Tasha pelan setelah
Mama pergi. Dira mengedikkan bahu malas. ''Tapi, Tash, lo harusnya liat tampang Aleen tadi deh waktu
ditegur Juna. Kocak banget. Sekarang gue percaya Aleen naksir Juna...''
Mata Tasha membulat antusias. ''Wah, nyesel banget gue melewatkan peristiwa besar!''
Lalu mereka cekikikan bareng.
Gara-gara tadi kepikiran papanya Juna dan Jessie, Dira penasaran bagaimana kabar mereka.
Waktu Dira SMP kan Jessie masih SD. Waktu Tante Tyas ke sini juga nggak menyebut-nyebut
Jessie. Kapan-kapan Dira mau tanya ah...
Bab 8 ''Pokoknya, Ra, kue ini harus sampai ke Tante Tyas . Jadi hari ini juga, secepatnya kamu kasih ke
Juna. Mama sudah bilang ke Tante Tyas kalau Mama bakal titipin kuenya ke Juna... Oke" Awas
lho, jangan ceroboh. Janagan sampai kuenya rusak.''
Dira bengong menatap kotak kue di tangannya. Di telinganya terngiang-ngiang pesan Mama
waktu menitipkan kue ini tadi pagi.
Mama aneh-aneh aja deh. Ngapain nitipin kue buat Tante Tyas lewat Dira dan Juna" Kenapa
Mama nggak sekalian mampir ke rumah Tante Tyas sambil mengantar kue" Atau Tante Tyas
saja yang main ke rumah sekalian mengambil kue. Sekarang Dira bingung harus mencari Juna ke
mana. Tasha juga nggak bisa menemani Dira gara-gara harus pergi menjenguk neneknya yang
sakit. Dira mengintip ke kelas Juna. Cowok itu sudah tidak ada. Di kelasnya tinggal dua cewek
berjilbab yang dapat giliran piket sepulang sekolah. Kacau nih, bagaimana mencari Juna" Dira
nggak punya nomor HP Juna, tapi ogah banget minta nomornya. Juna sendiri juga nggak pernah
minta nomor HP Dira. ''Nyari siapa, Neng"'' Tiba-tiba Pak Yos muncul sambil membawa sapu lidi raksasa untuk
menyapu halaman. ''Ah, Pak Yos, liat Juna nggak"''
''Den Juna"'' ulang Pak Yos sambil senyam-senyum menatap Dira dan kotak kue di tangannya.
Wah, nggak beres nih. ''Ini, Pak, saya mau nganterin titipan mama saya buat mamanya Juna...'' Jangan sampai Pak Yos
menyangka Dira ini penggemar Juna yang kebelet nembak deh.
Pak Yos malah senyam-senyum. ''Wah, titipan dari mama Neng buat mamanya Den Junaaa"''
Makin melenceng nih pikiran Pak Yos. ''Iya, titipan ibu-ibu arisan, Pak Yos. Pak Yos lihat Juna
nggak" Ntar saya kena marah kalo kuenya nggak sampe dengan selamat.''
Pak Yos akhirnya mengangguk. ''Tadi sih Bapak liat Den Juna keluar lewat gerbang belakang.
Belum lama kok. Paling-paling masih pada ngumpul tuh. Susulin aja, Neng...''
''Ya udah. Makasih ya, Pak Yos.'' Dira buru-buru jalan ke gerbang belakang.
Supay nggak bertele-tele dan heboh seperti setiap kali Dira dan Juna bertemu, Dira harus ekstra
hati-hati. Ketemu, kasih kue, terus pergi. Itu rencananya. Jangan sampai Dira melakukan
kecerobohan yang bikin Juna turun tangan seperti sebelumnya. Soalnya, setelah Dira analisis,
setiap kali sahabatnya itu ikut turun tangan, masalahnya semakin heboh. Lagi pula, Dira pengin
buru-buru pulang. Tapi Juna mana ya" Jangan-jangan dia keburu pulang" Nggak lucu nih kalau cowok itu sudah
pulang. Masa Dira harus ke tata usaha, menanyakan alamatnya, lalu mengantar kue ini ke
rumahnya" Soalnya, kalau kue ini dibawa pulang lagi, Mama pasti mengomel lebih panjang
daripada pidato sambutan Pak RT setiap acara tujuh belasan.
Eh, ntar dulu. Itu kayaknya Juna.
Dira menyipitkan mata ke arah segerombolan cowok yang berdiri di lapangan kosong dekat
sekolah. Di sana ada juga Brata dan teman-teman segeng Juna yang lain. Dan selebihnya... hm...
kayaknya Dira belum pernah liat mereka.
Ah, bodo amat deh, yang penting kue ini sampai ke tangan Juna sekarang.
Dira mempercepat langkahnya dari berjalan menjadi lari-lari kecil.
''Juna, sori, ini gue bawa...''
''Kalian pikir kami pengecut, hah"! Oke! Yang kalah hari ini harus tunduk selamanya pada yang
menang!!!'' Waduh! Dira spontan mematung beberapa meter di belakang Juna.
Mata Juna melotot sampai nyaris mental keluar begitu menoleh dan mendapati Dira berdiri
dengan pucat sambil meringis ngeri membawa kotak kue. ''Elo...?" Ngapain di sini"''
Salah satu cowok yang Dira nggak kenal-yang badannya gede banget kayak Buto Ijo-menatap
Juna dan Dira garang. Dira serasa melihat tanduk iblis muncul dari kepala cowok itu. ''Heh,
Juna! Ngapain dia di sini" Cewek lo ya" Lo mau nyuruh dia ngadu" Atau lo mau nyuruh dia
belagak ngelarang lo berantem biar lo bisa kabur, hah"''
Rahang Juna mengeras. Tangannya juga mengepal sampai urat-uratnya menonjol. Ibarat gunung
berapi, tinggal ditowel dikit langsung meledak. Kalau ibarat naga, tinggal mangap dikit langsung
menyemburkan api. ''Jangan sembarangan. Dia bukan cewek gue dan gue nggak nyuruh dia ke
sini.'' Dengan nada datar dan sedingin es, Juna menatap cowok Buto Ijo itu dengan emosi.
Lau Juna berbalik dan berdiri dekat sekali dengan Dira. Saking dekatnya, Dira sampai bisa
merasakan hawa panas dengusan napas Juna. ''Sini!'' Juna menyeret Dira agak menjauh dari
gerombolan cowok-cowok itu.
''Tuh kan, emang dasar pengecut!!! Kalian bawa-bawa cewek buat ngeles! Pemimpinnya aja
pengecut, apalagi kalian anak buahnya!'' Si Buto Ijo makin nyolot.
''Eh! Jaga mulut lo! Kami nggak bakalan kabur. Kami pasti jadi perang hari ini! Juna bakal
segera mengurus cewek itu dan kembali ke sini!'' gertak Brata dengan suara yang nggak kalah
lantang dan menggelegar. Dira mengintip ke arah Juna takut-takut.
Juna melepas pegangannya dari pergelangan tangan Dira, menggaruk-garuk rambutnya gelisah,
sementara tulang rahangnya tampak masih menahan emosi.
''Gue tanya sekali lagi. Lo ngapain di sini" Lo odah gila ya" Keadaan lagi genting, tau! Kita ini
lagi...'' ''M... mau tawuran"'' sambung Dira dengan suara nyaris hilang ditelan angin.
Juna meremas-remas rambutnya frustasi. ''Ini... Mama titip kue buat... buat mama lo...''
''Kue..."'' ulang Juna syok.
Dira mengangguk. ''Lo nyusulin gue di suasana yang lagi panas kayak gini demi kue"'' kata Juna lagi.
Dira mengangguk lagi. ''Lo ganggu urusan penting demi nganter kue"''
Dira mengang... eh, tunggu dulu. Dira melempar tatapan nggak setuju. ''Iya, untuk nganter kue.
Tapi sekali lagi gue bilang ya, yang namanya tawuran itu sama sekali nggak baik dan...''
''Stop!'' HAP! Juna membekap mulut Dira dengan telapak tangannya. Wajahnya tiga juta kali lebih stres
daripada sebelumnya. ''Gue nggak butuh nasihat lo. Sekarang gue ada urusan yang lebih penting
daripada...'' ''Hei, Juna! Kalo mau mundur, bilang aja! Nggak usah ngulur-ngulur waktu!'' Dengan rese si
Buto Ijo berteriak lagi. Pastinya langsung bikin emosi Juna melesat ke ubun-ubun.
''Lo jangan sembarangan! Gue nggak mungkin mundur! Tunggu!'' Dengan garang Juna balas
membentak. Habis itu, dengan terburu-buru, Juna menyambar kotak kue dari tangan Dira. ''Nih,
kue udah di tangan gue. Udah, kan" Cuma ini, kan" Sekarang cepetan lo pulang... banyak yang
harus gue beresin!'' Dira melongo. Bingung. ''Lo tetep mau tawuran" Sambil bawa kue itu..."''
Juna memegang bahu Dira lalu dengan cepat membalik badan Dira menghadap jalanan. ''Udah
deh, pokoknya kue ini pasti sampai ke tangan mama gue. Sekarang cepetan lo pulang. Di sini
nggak aman.'' Juna mendorong bahu Dira pelan supaya Dira cepat-cepat pergi.
Ya jelaslah nggak aman! Dira juga tahu. Lagian Dira kapok berada di tengah-tengah tawuran.
Tanpa disuruh pun Dira akan sesegera mungkin ngibrit dari sini.
Dira menatap Juna sekilas. ''Tapi tolong ya, Jun... kuenya harus sampe ke tangan mama lo...''
Juna semakin nggak sabar. ''Iyaaaa...! Udah sana, pergi! Gue ini pimpinan geng, masa gue bisa
jaga nama almamater tapi nggak bisa jaga kue"!''
''Inget ya, Jun, tawuran itu sama sekali nggak keren!'' Sambil cemberut Dira melangkah pergi.
Begitu Dira menyeberang jalan, Juna buru-buru lari kembali ke medan perang.
Dasar cowok sok jagoan. Masih saja ngotot bahwa tawuran adalah membela almamater. Dia
pikir sekolah, guru, dan siswa lain bangga kalau mereka tawuran" Yang ada malah malu.
Apalagi orangtua. Punya pacar yang suka tawuran juga sama sekali nggak asyik. Udah
jadwalnya sibuk berantem, ke mana-mana nggak aman pula. Ih!
''Hei, Neng. Sendirian aja"'' Tiba-tiba ada suara cempreng nyelutuk.
Dira melirik ke arah suara.
Duh, kenapa halte ini sepi banget sih" Dira panik menatap tiga preman yang tampak teler sambil
terkekeh-kekeh mengerikan. Salah satunya berdiri dan mendekati Dira.
Dira mundur selangkah. Ugh, udah bau alkohol, bau ketek pula! Mungkin preman-preman ini
nggak tahu kalau ada kekayaan alam yang namanya air buat mandi.
''Neng, di sini bahay lho kalo sendirian. Abang temenin ya"''
Menakutkan. Mendadak Dira gemetar. Berita-berita di TV soal kejahatan di jalan dan di tempat
umum berseliweran di kepalanya. Jangan-jangan dia calon korban berikutnya" Sosok para
preman ini betul-betul sesuai dengan gambaran pelaku kriminal. ''Jangan ganggu saya, Bang...''
Preman bau ketek itu malah makin semangat gangguin Dira. ''Lho, Neng, siapa yang mau
ganggu" Kami justru mau nemenin, Neng. Tapi ada syaratnya. Neng mau ya jadi pacar Abang"''
Sementara itu, di lapangan kosong dekat sekolah... ''Oke! Inget perjanjian kita ya! Yang kalah
takluk selamanya!'' Juna saling tatap dengan Buto Ijo yang memimpin geng sekolah lawan.
''Gue nggak takut,'' jawab Juna dingin. ''Lo rasain tangan gue...'' Juna mengangkat tangannya
yang mengepal tingi-tinggi dan bersiap untuk...
''Aaaah! Jangan colek-colek!''
Tinju Juna menggantung di udara dan refleks menoleh ke arah jeritan melengking di seberang
jalan. ''Dira"!'' Mata Juna menyipit tajam melihat Dira dikerubuti dan digoda preman di seberang
jalan, tempat menunggu angkot. Tinju Juna melesat turun. ''DIRA!!!'' Dengan heboh, Juna
berbalik dan pergi meninggalkan si Buto Ijo yang juga siap meninju Juna dengan kepalan
raksasanya. ''Hei, Juna! Mau ke mana" Juna!''
''Juna! Ngapain sih lo"'' Brata ikut berteriak panik memanggil Juna. Gimana urusannya nih"
Tawuran penting begini, tapi Juna nggak fokus" Sampai dua kali pula!
Tapi Juna mendadak budek dan berlari grasak-grusuk menyeberangi jalan sampai empat kali
nyaris ditabrak angkot. ''Eh! Ngapain lo ganggu-ganggu dia" Mau gue hajar"''
Tiga preman yang semuanya bau ketek itu tampak kaget melihat Juna yang tiba-tiba muncul
sambil ngos-ngosan. ''Weis... pacarnya ya" Sok jagoan" Tanang, Bos,. Kami cuma mau nemenin kok. Habis kasian,
cewek imut begini sendirian...''
BUKKK! ''Jangan berani-berani sentuh dia!'' Brak!
Preman yang tadi nyaris mencolek Dira terpental ke belakang kena pukulan Juna yang tanpa abaaba. Sementara yang satu kesakitan dan berusaha berdiri, dua preman lainnya tampak marah
menatap Juna. Juna menarik Dira ke balik punggungnya, lalu dengan marah dan emosi menuding premanpreman itu. ''Jangan banyak cincong lo semua! Mendingan lo pergi!''
''Eh, nyolot! Nih, rasain!'' BUK! Satu bogem langsung melayang ke wajah Juna sampai Juna
terhuyung ke belakang dan refleks ditahan Dira dengan panik.
''Astaga, Jun, udah jangan dilawan! Kita pergi aja!'' Spontan dengan sekuat tenaga dan ketakutan,
Dira berusaha menahan lengan Juna supaya cowok itu nggak membalas pukulan tadi.
Tapi percuma... BUK! ''Berani lo mukul gue!'' Satu preman lagi terjengkang ke belakang setelah
terkena tinju yang sepertinya pakai efek tenaga dalam dari Juna. Kenceng banget!
Sambil menyeka bibir dan berusaha berdiri, preman itu menatap Juna marah. ''Sinting nih anak
SMA! Berani sama kita. HAJAR!'' katanya, menginstruksikan teman-temannya.
''Jun! Udah, Jun! Ayo lari!'' pekik Dira panik melihat preman-preman itu maju dengan kompak,
siap mengeroyok Juna. Juna menyentak cengkeraman Dira sampai terlepas. ''Gue udah bilang, nggak ada kata lari dalam
kamus gue. Kalo gue lari, mereka bakal ganggu lo lagi!''
Selanjutnya Dira cuma bisa mematung ngeri melihat Juna bergulat melawan tiga preman
sekaligus. Ini benar-benar gila! Juna bener-benar sudah jadi monster, jadi mesin perang.
''Woi, woi!'' Dira tersentak sadar begitu terdengar teriakan dari seberang jalan. Brata dan temanteman Juna tampak berlarian marah ke arah mereka.
''Men, temen-temennya datang! Cabut, men, banyak!'' salah satu preman yang lagi asyik
menghajar Juna jadi panik.
''Woiii...! Mau ke mana kalian"!'' Teriakan Brata makin menggelegar dan emosi melihat tiga
preman kurang ajar itu lari tunggang langgang, takut dikeroyok.
Dengan panik, Dira menghampiri Juna yang masih berlutut sambil tertunduk seperti menahan
pusing. ''Jun... lo nggak papa"! Ya ampun, Jun... hidung sama bibir lo berdarah gini...'' Dira
mengeluarkan tisu dari tasnya. Sebetulnya dia sangat takjub. Bukannya Juna lagi sibuk tawuran
ya" Tapi Juna masih sempat datang ke sini dan menolong Dira. Kalau Juna nggak datang,
sepertinya nggak bakal ada yang peduli dan menolong Dira. Soalnya di sini sepi banget. Ada sih
pedagang minuman dan gorengan, tapi mereka pasti nggak berani sama preman-preman itu.
Tiba-tiba Juna mendongak menatap Dira. ''Bisa nggak sih lo nggak ceroboh" Lo ngapain nunggu
di tempat sepi kayak gini" Kenapa lo nggak balik ke depan sekolah yang rame" Lo tuh kalo
ngapa-ngapain mikir dulu...''
Dira malah kena omel. Juna sudah babak belur tapi masih bisa ngomel. ''Ya... mana gue kepikiran sih" Tadi kan lo
nyuruh gue buru-buru pergi. Gue juga pengin secepatnya pergi dari sini. Emangnya gue sengaja
nyamperin preman" Lo kan nggak wajib nolongin gue. Gue juga nggak minta...'' Dira nggak bisa
menahan hasratnya untuk balas mengomel.
Di mana-mana, kalau habis jadi jagoan dan menolong orang, nanya dong apa orangnya baik-baik
saja" Ini malah mengomel! Kesannya nggak ikhlas banget. Memangnya Juna nggak lihat, Dira
cemas setengah mati lihat dia babak belur"!
''Maksud lo apa, Dira" Jeritan lo itu kedengeran sampe seberang sana. Lo pikir gue akan diem
aja" Di mana tanggung jawab gue kalo gue tau lo dalam masalah tapi gue diem aja" Jangan
ngaco! Kalo tadi gue nggak dateng, mereka bisa ngapa-ngapain lo! Lo jangan pernah ke halte
yang tadi lagi. Gue nggak mau lo ke tempat yang berbahaya.''
Ternyata Juna memang betul-betul memegang janjinya.
''Juna! Lo jangan maen-maen ya! Lo nggak menganggep serius masalah kita"''
Entah kapan datangnya, Brata dan yang lain, plus si Buto Ijo dan gengnya sudah berdiri di dekat
Dira dan Juna. Brata menatap Juna protes, cemas melihat keadaan Juna yang babak belur. ''Lo kok nggak fokus
gitu sih" Urusan kita sama mereka penting, Jun. Lo mau biarin mereka nganggep kita nggak
serius" Lo nggak papa, kan"''
Mata Juna bergantian melihat Brata dan Dira. Dahinya berkerut-kerut bingung. ''Gue nggak
papa,'' katanya pelan. ''Jun, gue bisa pulang sendiri. Lo beresin aja... ng, urusan lo... Gue pulang duluan, Jun.'' Sambil
meringis aneh, Dira melipir pelan-pelan.
''Eh, Dira, tunggu!'' Brata langsung menepuk jidat Juna. ''Apa lagi sih, Jun" Dia udah mau pulang kenapa lo panggil
lagi" Biarin aja! Preman-preman itu kan udah kabur.''
Juna menggeleng cepat. ''Nggak, bro, nggak bisa. Gue nggak bisa biarin dia pergi sendirian.''
''Yang bener aja, Bos. Nih orang maenin kita atau gimana sih" Sekarang malah mau nganter
ceweknya pulang.'' Tiba-tiba salah satu cowok dari sekolah lawan yang rambut keritingnya
sangat berminyak nyelutuk ngomporin bosnya, si Buto Ijo.
Buto Ijo menatap temannya, mengangguk setuju. ''Lo jangan maen-maen ya, Juna. Debenarnya
lo siap ngelawan kita atau nggak"''
Juna tampak terdiam dengan dahi berkerut dan rahang mengeras, berpikir. Betul-betul berpikir.
Nggak lama kemudian Juna mendongak. ''Gue siap, tapi nggak hari ini...''
''HAAAAAAAA"! Dira mengernyit. Baru kali ini dia lihat cowok-cowok garang, berandalan, dan sangar barengbareng bilang ''HAAAAAAAA"!''
Brata menggeleng-geleng, nggak ngerti. ''Maksud lo apa, bro"''
''Gue nggak mungkin melakukan hal sepenting ini sementara pikiran gue nggak fokus. Ferry, kita
jadwalin ulang urusan ini.''
Oh, si Buto Ijo itu namanya Ferry. Dan si Ferry itu sekarang kelihatan nggak suka dan marah
banget. ''Lo ngomong apa sih" Lo pikir ini konsultasi ke dokter, pakai lo jadwalin ulang segala"
Kalo begitu caranya, lo kalah!''
Dira bisa melihat kilatan tak terima di mata Juna, tapi cowok itu berusaha menahan diri dan tetap
bernegosiasi. ''Oya" Jadi begitu cara lo" Menang tanpa usaha" Menang WO" Ckckck, nggak
nyangka gue.'' Gantian mata Ferry yang berkilat tak terima. ''Lo menghina gue" Gue dan temen-temen gue
nggak bisa terima kalau lo batalin begitu aja. Lo pikir ngapain kami ke sini, hah" Kami nggak
mau pergi begitu aja tanpa membawa apa-apa.''
Brata menatap Juna, tak sabar meminta jawaban.
Juna terdiam. Lagi-lagi harus berpikir, lebih keras daripada tadi. Juna meremas-remas tangannya
gelisah. ''Oke, lima orang tim inti kalian boleh pukul gue bergantian. Karena gue yang bikin
urusan hari ini batal.'' ''Hah"'' Kali ini Dira yang memekik kaget. ''Juna" Ngapain sih, Jun"'' Dira panik melihat cowokcowok garang dari sekolah lawan.
Dalam hati Dira menghitung. Ya ampun, yang badannya gede banget ada tujuh orang. Berarti
merekalah yang sudah pasti bakal maju menggunakan voucher pukulan gratis dari Juna. Duh...
tawaran itu kan berarti Juna nggak boleh ngelawan dan harus pasrah menerima pukulan-pukulan
itu. Kalau pas tawuran, Juna bisa melawan. Aduh... Dira mendadak bingung. Masa dia harus
membiarkan orang dipukuli demi dia"
''Eh, jangan. Jangan ada yang mukulin dia ya!'' pekik Dira tiba-tiba.
Semua mata tertuju ke Dira.
Juna menyipitkan mata dengan tajam. ''Ngomong apa sih lo" Udah deh, nggak usah ikut
campur.'' Dira menggeleng kuat-kuat. ''Jun, lo pikir gue gila ngebiarin lo dipukulun" Udah deh, lanjutin aja
berantemnya. Gue bisa pulang sendiri. Dari tadi juga gue emang mau pulang sendiri.''
Sulit bagi Dira merelakan Juna tawuran, tapi itu lebih baik dari-pada dia membiarkan Juna
pasrah digebukin demi dia. Kalau Juna mati, bagimana" Apalagi tadi dia sudah dipukuli tiga


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

preman pengecut itu. Tapi Juna semakin tajam menatap Dira. ''Dan lo pikir gue bakal ngebiarin lo pulang sendiri"''
Ferry melotot kesal melihat perdebatan Dira dan Juna. ''Heh! Kenapa jadi sinetron gini sih" Kalo
kelamaan gini, kami akn tetap menyerang anak buah lo, tanpa lo,'' ancam Ferry geram.
Juna tampak memberi pesan kilat ke arah Brata, lewat anggukan kepala. Dengan masih agak
bingung dan nggak setuju, tiba-tiba Brata mendekat ke arah Dira dan memegang bahu Dira
sampai Dira nggak bisa bergerak. ''Eh, eh, apa-apaan sih"'' Mata Dira terbelalak melihat maksud
semua itu. Juna berjalan ke tengah gerombolan musuh. ''Jun! Juna! Udah deh, jangan aneh-aneh!
Jun, gue bisa pulang sendiri.''
Juna menatap lawannya stu per satu-yang tubuhnya besar-besar itu. ''Ayo cepat! Lima orang,
SEKARANG!'' ''Junnn! Jangan, Jun!!!'' Dira meronta-ronta karena cengkeraman Brata yang superkencang.
''Sikat!'' perintah Ferry pada lima temannya.
Lutut Dira serasa lemas dan matanya mendadak panas. Seumur hidup baru sekali ini Dira
melihat orang dipukuli dari jarak sedekat ini. Apalagi Juna dipukuli gara-gara dia. Duh, kenapa
sih Dira selalu ceroboh dan nggak bisa jauh dari masalah"
Kalau dia nggak asal ngibrit dan menunggu angkot di depan sekolah, kalu bukan di halte sepi
berpreman di seberang lapangan tadi, pasti sekarang dia sudah dalam perjalanan pulang, dan
Juna sibuk dengan urusannya.
Dan kenapa urusan jaga-menjaga ini jadi serius"
Waktu itu Dira senang mendengar usul Mama karena dia pikir bisa kembali dekat dengan
sahabat lamanya yang sempat hilang itu, bukannya jadi masalah buat Juna kayak gini!
Dan... BUK! Satu cowok berbadan besar terakhir melayangkan tinjunya ke perut Juna sampai
Juna mundur dan jatuh terduduk. Wajahnya lebam, sudut bibirnya berdarah.
''Bro!'' Brata berteriak emosi dan siap menyerang.
Juna yang masih terduduk, refleks menoleh dan mengangkat tangannya, memberi isyarat pada
Brata agar tidak melakukan apa-apa. Dira bisa merasakan napas Brata yang berdengus keras
karena menahan emosi. Begitu juga dengan teman-teman Juna yang lain. Ekspresi mereka sangat
mengerikan. Ferry menatap Juna sinis. ''Gue tunggu kabar dari lo kapan mau menyelesaikan semua ini.''
Telunjuk Ferry menuding ke arah Juna lalu mengangkat tangannya, mengajak teman-temannya
pergi. Brata melepas cengkeramannya dari tangan Dira lalu bergegas menghampiri Juna.
Dira buru-buru lari, mengekor di belakangnya bersama teman-teman Juna yang lain.
''Bro, lo nggak papa"''
Brata dan beberapa teman Juna yang lain membantu Juna berdiri. ''Harusnya lo biarin kita hajar
mereka tanpa lo! Lo masih bisa nganter dia pulang, dan urusan ini bisa selesai.'' Teman Juna
yang lain, kalau tidak salah namanya Erwin, masih penasaran pengin melayangkan bogemnya
pada Ferry dan teman-temannya.
''Gue nggak papa. Gue nggak bakal ngebiarin kalian melawan mereka tanpa gue, oke"''
Semua teman Juna spontan terdiam. Mereka sangat menghormati Juna sebagai pimpinan. Di
mata teman segengnya, Juna itu ketua geng yang sangat baik dan loyal.
''Sekarang lo semua balik ke basecamp,'' perintah Juna.
''Terus lo gimana, bro"'' tanya Brata khawatir.
''Gue nganter dia dulu.'' Juna menunjuk Dira.
Diam-diam Dira membuang napas. Lututnya masih lemas, tapi setidaknya keadaan Juna setelah
dipukuli nggak seseram yang dia bayangkan. Juna nggak berdarah-darah, cuma lebam-lebam,
dan sedikit luka di sudut bibir. Ada sedikit darah juga dari hidung, tapi Dira masih bisa melihat
semua itu tanpa perlu pingsan.
''Aduh!'' Juna, yang mau memasukkan kunci kontak motornya, tiba-tiba membungkuk dan
memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.
''Eh, Jun, kenapa"'' tanya Dira panik. Jangan sampe setelah mereka tinggal berdua, Juna malah
terkapar. Jangan-jangan gara-gara tinju lima orang itu, ada organ tubuh Juna yang terluka atau
bocor dan baru terasa sekarang. Sering kan ada kejadian seperti itu, tiba-tiba saja orangnya mati.
''Jun, lo masih bisa liat gue, kan"'' Dira menepuk-nepuk pelan bahu Juna yang masih
membungkuk. Soalnya, tanda-tanda orang yang mau pingsan-atau mungkin tewas-biasanya
pandangannya jadi buram. Juna mendongak dengan tatapan aneh. ''Yang sakit itu perut gue. Gue ditinju, bukan dicolok
matanya,'' jawab Juna pelan, sambil masih meringis.
Dira menatap ke arah kursi kayu kecil dekat mereka. Biasanya satpam yang menjaga parkir
motor atau abang-abang yang jual es cincau suka duduk di situ sambil mengobrol. Soalnya kursi
itu letaknya persis di bawah pohon yang superrindang.
Dira memegang lengan Juna. ''Kita duduk ki situ dulu, Jun...''
Juna menatap pohon yang ditinjuk Dira.
Akhirnya Juna mengangguk pasrah dan bersedia dipapah Dira ke kursi kayu di bawah pohon
rindang itu. ''Sakit, Jun"'' Melihat Juna meringis, Dira bertanya sambil menahan wajahnya agar tidak ikut
meringis. Pertanyaan Dira cuma dijawab dengan tatapan penuh makna. Kalau menurut penerawangan Dira,
jawaban dalam tatapannya itu kira-kira, ''Menurut lo, digebukin lima orang segede-gede gitu
sakit nggak"'' Jawaban yang cukup membuat Dira nyengir dan nggak nanya lagi soal sakit apa
nggak. Juna masih meringis sambil memegangi perut mendongak menatap Dira. ''Lo nggak papa kan
pulang telat dikit" Gue cuma perlu duduk sebentar...''
Dira buru-buru mengangguk. ''I... iya, nggak papa kok, Jun. Nggak papa juga kalo lo nggak bisa
nganter gue pulang.'' ''Gue bakal nganter lo pulang. Gue cuma minta lo nunggu sebentar,'' potong Juna tegas.
Galak banget. Dira langsung bungkam dan manyun dalam hati. Habis, kalau terang-terangan manyun, takut
kena bentak lagi. Males banget. Dira sudah cukup mendengar bentakan-bentakan dan suara
menggelegar hari ini. Kalau cewek-cewek yang naksir Juna, terutama Aleen, lihat Dira sedekat
ini dengan Juna sekarang, duduk berdua di bawah pohon, malah bakal dianterin pulang segala,
kira-kira mereka gimana ya"
GLEK. Dira mendadak pucat. Gimana kalo reaksi mereka cukup ekstrem dan jadi membenci
Dira" Bisa-bisa Dira dikerjai habis-habisan. Padahal sekarang Aleen dan gengnya sudah
mengerjai Dira terus. Kalo lebih parah daripada itu... ih, gimana dong"
Dira spontan melirik Juna. Lho" Pelipisnya juga luka. Berdarah. ''Eh, Jun, itu... pelipis lo
berdarah.'' Dira menunjuk pelipis Juna takut-takut.
Refleks Juna menyentuh pelipisnya yang luka. ''Berdarah sedikit nggak papa.''
Juna santai banget, padahal Dira ngilu melihat lebam dan luka di wajah Juna.
Dira buru-buru mengaduk isi tasnya dengan heboh. ''Nih, Jun, pakai ini...'' Dira menyodorkan
plester yang selalu ada di dalam tasnya.
''Lo masih bawa beginian ke mana-mana"'' tanya Juna heran. Dia saja yang tukang tawuran
nggak bawa-bawa P3K begini di dalam tas.
Dira memutar bola matanya bete. Dikasih plester untuk menutup luka, bukannya bilang makasih,
malah ngeledek begitu. ''Buat jaga-jaga, Jun. Lo tau gue lah...''
''O iya, lupa. Lo kan ceroboh.'' Juna mengambil plester dari tangan Dira.
Masih saja ngeledek. Juna benar-benar berandalan sekolah yang menyebalkan. Bagaimana kalau jadi pacarnya"
Jangan-jangan pacarnya juga diledekin melulu. ''Sini, gue aja yang pasangin, Jun,'' celutuk Dira,
melihat Juna siap memasang plester ke lukanya.
''Kenapa harus lo yang pasang"''
Dira menunjuk letak luka Juna. ''Emang lo bisa liat pelipis lo sendiri" Kalo nempelnya asal, bisabisa lemnya nempel di luka. Makin sakit, kan" Udah sini, gue aja...'' Dira menyambar plester dari
tangan Juna, membuka pelapis lem plester, lalu berbalik ke arah Juna. ''Jun, nunduk dikit dong.''
Juna menurut, membungkuk, dan mendekatkan kepalanya ke arah Dira.
Dira terenyak. Ya ampun, cowok ini sebenarnya berubah jadi berandalan atau cowok
metroseksual sih" Kirain rambutnya bau asem atau bau matahari, ternyata rambutnya wangi
sampo, ditambah lagi semilir parfumnya itu. Parfum yang selalu Dira suka.
Wangi khas Juna. ''Jadi mau nempelin plesternya nggak" Apa takut darah"''
''Eh" Ya jadi lah...'' Dira gelagapan.
Kepala Juna semakin mendekat. Ya Allah, ya ampun, kenapa jadi deg-degan begini ya" Setelah
berpisah nyaris dua tahun, baru sekarang mereka bisa sedekat ini lagi.
Dulu, waktu Juna mengajak Dira ketemuan berdua, dia mau ngomong apa ya" Apa dia masih
ingat, dia pernah bikin Dira menunggu sampai nyaris magrib" Apa dia tahu Dira nggak bisa
berhenti bertanya-tanya ke mana dia sebenarnya" Kalau Dira bertanya tentang itu, apa Juna bakal
menjawab" Dira menekan plesternya pelan.
Juna menegakkan badan lalu menyentuh plester di pelipisnya. ''Trims.''
Dira tersenyum kecil sambil mengangguk pelan. Akhirnya plester di tasnya bukan dipakai untuk
diri sendiri. ''Jun, makasih ya, udah nolongin gue sampe kayak gini...''
''Preman'preman itu bisa mencelakakan lo. Gue nggak bakal ngebiarin.'' Jawaban Juna tetap keras
dan penuh aura dingin. Dira menghela napas pelan. ''Ternyata lo emang udah berubah ya" Gue kaget lo bisa senekat tadi,
melawan tiga orang sendirian, menerima pukulan dari lima orang... lo kuat banget, Jun.'' Dira
menatap Juna sambil tersenyum tipis.
Juna nggak menjawab. Tangannya masih sibuk menekan-nekan pelipis dan sudut bibirnya yang
luka. Diam-diam Dira mengamati Juna dari samping. Dulu, Juna cowok berkacamata yang ganteng
dan imut-imut. Tapi sekarang kata imut nggak bakal berani lagi nempel pada Juna. Dia tetap
ganteng, tapi ganteng yang keras dan dingin.
''Jun...'' Juna menatap Dira. ''Lo masih suka nonton DVD sama baca novel" Gue punya banyak DVD sama novel baru lho...''
Juna masih menatap Dira. Tatapan matanya sekilas melunak. Bibirnya bergerak sedikit seperti
nyaris mau menjawab pertanyaan Dira, tapi nggak jadi. Dia malah berdiri. ''Ayo, gue anter lo
pulang sekarang. Preman-preman itu bisa aja balik lagi ke sini. Gue harus anter lo selamat sampe
rumah.'' Dira memang nggak kepikiran sampai ke situ. Melihat preman-preman itu langsung melipir
pergi, Dira pikir mereka nggak bakal berani ganggu Dira lagi. Tapi, preman itu bisa saja
menunggu Dira sendirian. ''Gue kok nggak kepikiran sampe situ ya, Jun"''
''Makanya, sekarang ayo pulang.''
Dira ikut berdiri. ''Tapi habis ini lo langsung pulang, kan" Soalnya... takutnya kue titipan Mama
meleleh...'' TRING! Tiba-tiba Juna mematung. ''Kue..."''
Waduh! Perasaan Dira nggak enak nih. Dira mengangguk ngeri. ''Iya... kue yang tadi gue kasih
ke lo... Mana"'' PAK! Juna malah menjawab pertanyaan Dira dengan menepuk jidatnya sendiri. Lalu, tanpa
babibu Juna berlari kembali ke lapangan tempat dia berantem tadi.
Dira lari mengejar Juna. Jangan bilang kuenya kenapa-kenapa!
Yak, ternyata memang kenapa-napa.
Dira melongo menatap kue bikinan Mama yang sudah benyek dan babak belur seperti habis
diinjak gajah. Juna melirik Dira, yakin cewek itu panik. ''Tenang aja, nggak usah mikirin kue ini. Gue anter lo
pulang, nanti di rumah gue bilang sama nyokap kalo kuenya rusak gara-gara jatuh dari motor.
Gue jamin nyokap gue nggak bakalan rese. Ayo, sekarang kita balik.'' Juna berbalik, berjalan ke
arah motornya. ''Eh, Jun!'' Juna menoleh. ''Ya"''
Duh, jadi grogi. Ternyata sekesal apa pun pada Juna yang suka tawuran, Dira tetap nggak bisa
memendam perasaannya dan harus mengakui bahwa Juna benar-benar sudah menjadi cowok
keren dan macho, yang dengan gampang bisa bikin orang deg-degan dengan satu tatapan saja.
''Ya"'' ulang Juna membuyarkan lamunan Dira.
''Eh, nggak, cuma mau bilang makasih, Jun. Makasih ya. Lo belain gue sampe kayak tadi. Gue
tau lo emang masih Juna yang dulu, yang peduli sama gue, meski semua itu lo tunjukin dengan
cara yang berbeda.'' Juna terenyak sekilas. ''Iya, sama-sama. Sekarang kita pulang, yuk.'' Juna berbalik lagi dan
berjalan ke arah motornya.
Dira menatap punggung Juna. Dua kali Dira melihat Juna yang dulu muncul di mata Juna hari
ini. Waktu Dira tanya soal DVD dan novel, lalu barusan... waktu Dira bilang Juna masih Juna
yang dulu. Dari mana asalnya Juna yang sekarang"
Dira tertegun. Harusnya Dira mencari tahu. That's what friends are for, kan" Kalo emang Dira
adalah sahabat sejati, seharusnya dia nggak cuma hadir waktu mereka lagi sama-sama saja, tapi
juga saat mereka ''jauh'' seperti sekarang.
Sahabat bukan cuma ada waktu sahabatnya bilang dia lagi ada masalah, tapi juga saat sahabatnya
nggak sadar bahwa dia sedang ada masalah.
Bab 9 ''Eh, apa, Tante"'' Untung potongan cumi yang sedang Dira kunyah sudah tertelan. Kalau nggak,
dia pasti menyemburkannya karena kaget. Sekarang mereka makan siang bareng di restoran,
tiba-tiba saja Tante Tyas dan Mama meminta Dira menemani Juna ke pesta sweet seventeen
salah satu sepupu Juna. Katanya, Tante Tyas dan Mama ada pengajian bersama ibu-ibu arisan
dan anak-anak yatim piatu. Selain itu, karena ini acara ulang tahun remaja, yang diundang
memang sebenarnya Juna, tapi karena Bude Irma juga kenal Mama, jadi Dira juga dapat
undangannya lewat Mama. Tanta Tyas sempat lupa dengan undangan ini, dan tadi begitu ketemu
Dira dan Mama, Tante Tyas mendadak ingat, padahal acaranya nanti malam.
Dira buru-buru mengatur ekspresinya, biar nggak terlalu girang. Biarpun deg-degan karena Juna
selalu dingin dan galak, tapi ini kesempatan Dira untuk bisa mengobrol dan bertanya pada Juna.
Siapa tahu kalau mereka lumayan lama berduaan dan bukan dalam suasana sekolah, Juna mau
mengobrol lebih luwes dengan Dira. Bukan cuma dalam rangka menjalankan tugas dari Mama
karena harus ''jagain'' Dira yang ceroboh. ''Tante, aku sih...''
''Mam, udahlah. Nggak usah datang aja kenapa sih, Mam"'' Akhirnya Juna buka suara.
Dira refleks bungkam. Belum juga selesai menjawab, sudah ditolak mentah-mentah.
''Jun, nggak enak dong. Keluarga Bude Irma kan deket banget sama kita. Asal nongol aja lah,
Jun. Dira, kamu kan waktu kecil suka main sama Sissy.'' Tante Tyas memelas lagi.
''Datang saja ya, Dira. Mama juga nggak enak sama Tante Irma kalo kamu nggak datang.''
Kalimat Mama sih terdengar enteng dan santai, tapi Dira tahu persis itu perintah yang nggak bisa
dibantah. Kalau begitu, Dira pasrah aja deh. ''Ah, Ma. Juna kan nggak mau pergi. Aku pergi sendiri aja
deh, atau ngajak Tasha. Atau mungkin Juna mau pergi tapi nggak mau sama aku, Ma. Tante,
siapa tau Juna mau pergi sama pacarnya.''
Mata Juna langsung menghunus ke Dira. ''Siapa yang bikin gosip gue punya pacar"''
Hihihi... pancingan kena. ''Bukan gosip, Jun. Gue kan cuma memastikan. Jangan sampe ada yang
salah paham.'' Juna tidak menjawab penjelasan Dira, dan malah ngomong pada Tante Tyas. ''Ya udah, Mam,
aku pergi sama Dira, tapi nggak lama-lama ya. Mama cuma mau keluarga kita setor muka aja,
kan"'' Tante Tyas langsung sumringah dan saling tatap riang dengan Mama. Akhirnya Juna mau pergi
dengan Dira, dan Dira juga mau pergi dengan Juna. Artinya Tante Tyas nggak perlu khawatir
akan merasa nggak enak dengan Bude Irma karena baru teringat tentang undangannya.
*** Dira mengintip Juna dari kaca rias salon yang mejeng di depannya. Karena pas Juna datang, Dira
belum siap sama sekali. Akhirnya beginilah kejadiannya, Dira ke salon ditemani Juna. Ternyata
memang Juna nggak main-main dengan janjinya untuk pergi dengan Dira ke acara ulang tahun
Sissy, yang berarti Juna harus siap denagn risiko harus mengantar Dira ke salon, seperti
sekarang. Berandalan sekolah, jago tawuran, yang bahkan cuma sedikit sakit perut dan luka kecil di bibir
setelah dikeroyok tiga preman dan dipukul bergantian oleh lima orang, sekarang duduk manis di
salon dengan muka lempeng dan dingin. Hhh, Dira menghela napas. Kalo Juna yang dulu pasti
lagi sibuk gangguin Tesa-hair stylish salon yang sedang mengurus rambut Dira.
''Ih, kamu, Diraaa... nggak nyangka deh, ciin... punya cowok kereen... tapi sangaarrrr...,'' bisik
Tesa, cowok setengah cewek, hair stylish langganan Dira dan Mama soal urusan rambut di salon
ini. Dira melotot ke arah Tesa lewat kaca. ''Sst! Jangan ember deh. Dia temen sekolah gue, tau!''
desis Dira sebel. Dira mengintip Juna lagi. Dari kaca rias, Dira bisa lihat cowok itu lagi duduk
sambil serius baca novel detektif yang saking tebalnya bisa bikin pingsan selusin kucing sekali
timpuk. Nggak semua orang mau baca buku setebal itu kecuali benar-benar kutu buku. Tanpa
sadar, Dira senyum2 sendiri. Kontras banget hobi Juna sekarang. Baca dan belajar vs tawuran
dan kebut-kebutan" Mungkin sesekali kalau tawuran, Juna bisa jadikan novel-novelnya yang
tebal dan hard cover itu sebagai senjata. Sekali gebok dijamin pingsan. Dira terenyak lagi.
Tersadar bahwa sejak pertama bertemu Juna di SMA, baru sekali Dira melihat cowok itu benar2
memakai kacamata bacanya. Waktu pertama bertemu, Dira cuma melihat Juna keluar dari
perpustakaan sambil melepas kacamatanya. Sebenarnya Juna cuma memerlukannya sewaktu
membaca, tapi dulu Juna selalu memakai kacamatanya ke mana2. Dengan alasan konyol khas
Juna, ''Biar kelihatan pintar.'' Padahal dia memang pintar.
Belakangan ini Dira sempat menyangka Juna memang sudah tidak memakai kacamata lagi.
Kacamatanya baru dan lebih keren. Wajah Juna jadi lebih tegas dan dewasa, sangat berbeda
dengan Juna yang dulu. Kalau dulu kacamatanya memberi kesan cowok pintar, jail, dan tukang
bercanda, tapi sekarang Juna adalah cowok keren, dingin, serius, dan pintar. Jantung Dira
mendadak deg2an. Seperti bukan Juna, batin Dira.
''Ciiin, rambutnya udah nih. Duh, cute banget deh dirimu...'' Tesa mengamati rambut Dira yang
sudah tertata dari segala arah, lalu dengan gerakan superlihai, Tesa memoles wajah Dira dengan
makeup ringan. ''Oke cyin, siap brancut pake kereta kuda sama pangeran yey,'' suara cempreng
Tesa membuyarkan lamunan Dira.
Dira menjulurkan lidah keki.
Dira berdiri di hadapan Juna. Juna tetap menunduk menatap ke halaman novel di tangannya.
Sama sekali nggak sadar Dira berdiri di depannya. Ini bukti bahwa cowok ini beneran baca buku
atau mungkin ketiduran sambil duduk.
''Jun, gue udah nih.'' Akhirnya Dira membuka mulut.
Pluk. Tangan Juna menutup novelnya lalu mendongak, menatap Dira. Oke, mungkin Dira cuma


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ge-er, tapi tadi sepertinya Juna agak tercengang melihat Dira.
Dira nggak biasa dilihatin cowok kayak begini. Kalau Bimo sepertinya tidak termasuk hitungan.
Apalagi, ternyata dari dekat, Juna yang berkacamata kelihatan semakin keren. Rambutnya yang
agak panjang jatuh sedikit mengenai bingkai kacamatanya.
Baiklah, anggap saja Dira kutu buku sejati, tapi dia memang sangat menyukai cowok
berkacamata, makanya dulu dia sempat menyukai Juna. Dan cowok yang ada di hadapannya
sekarang ini tatapannya betul-betul bikin meleleh. Juna yng Dira kenal dulu selalu bikin dia
nyaman karena sikapnya yang hangat dan menyenangkan. Kalau Juna yang ini bikin dia degdegan dan, entah sejak kapan, Dira mulai merasa aman dan terlindungi. Seperti ada kelembutan
yang membingkai ke-macho-an Juna.
Astaga. Dira menelan ludah karena pikirannya barusan.
''Udah...!'' tanya Juna tiba-tiba.
Seperti kepergok sedang memanjat pohon jambu tetangga, Dira langsung gelagapan. ''U... udah,
Jun. Kan tadi gue bilang udah selesai. Eh, mm, Jun, gue pikir lo udah nggak pake kacamata lagi.
Ternyata masih ya"''
Juna refleks menyentuh kacamatanya, sepertinya kelupaan mencopotnya karena tadi dia
tercengang melihat penampilan Dira yang sudah memakai drees brokat simpel dan didandani ala
Tesa. Cowok itu langsung melepas kacamatanya dan berdiri. ''Cuma buat baca aja.''
Dira mengernyit. ''Emangnya kenapa" Bukannya dulu lo selalu pake kacamata ke mana-mana"
Emangnya sekarang nggak keren ya kalo tawuran pake kacamata" Kelihatan lemah atau apa
gitu"'' ''Gue masih bisa liat orang kalo nggak pake kacamata. Yang gue nggak bisa liat cuma huruf,''
jawab Juna sambil merogoh kunci mobil dari sakunya. Hari ini Juna dapat pinjaman mobil dari
Tante Tyas khusus untuk ke pesta bersama Dira. ''Ayo berangkat, supaya nggak perlu lama-lama
di sana.'' Dira menurut masuk mobil.
*** Astaga... Untung tadi Dira memutuskan ke salon. Kalau nggak, dia bisa mempermalukan Mama
di depan keluarga besar Juna. Dira nggak mengira pestanya akan semewah ini. Pesta itu diadakan
di salah satu ballroom hotel berbintang di Bandung. Kalau Dira boleh menyusun daftar model
pesta pernikahan impiannya, mungkin ini salah satunya, tapi sepupu Juna ini malah menjadikan
desain pesta seperti ini sebagai pesta ulang tahun. Juna sempat memberitahu bahwa usaha Om
Barli, suami Tante Irma, sedan sukses-suksesnya. Mereka sebetulnya tinggal di Garut, tapi
memutuskan untuk mengadakan pesta di Bandung karena mengundang beberapa anak kolega
penting Om Barli dari Bandung dan Jakarta. Teman-teman Sissy yang di Garut sampai
disediakan transpor khusus untuk ke sini.
Ruangan ballroom didekor manis, mewah, dan elegan dengan warna putih dan emas. Semua
kelihatan mahal dan berkelas. Dan suasananya romantis berat! Tiba-tiba Dira seperti bukan
berada di Bandung. Dia merasa ada di Korea, Jepang, atau Paris... atau negara mana pun yang
romantis dan bikin Dira mendadak pengin duduk di pelaminan! Kalau Mama tahu, pasti Dira
bakalan dicubit bertubi-tubi dan dijitak tiga hari tiga malam sampai benjol.
''Junaaaaa...'' Tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil. Sissy, yang jadi ratu malam ini,
kelihatan cantik dan ''mahal''. Dia menghampiri Juna dan langsung memeluk sepupunya itu.
''Makasih ya, udah datang.''
Juna tersenyum kaku. ''Selamat ulang tahun, Sy.''
Sissy mengangguk ceria, lalu matanya menangkap Dira yang berdiri canggung di samping Juna.
''Ini..."'' ''Dira, anaknya Tante Dinda. Temen nyokap kita.''
Mata Sissy membulat ceria. ''Oh iya, Dira... sobat lo juga kan, Jun" Makasih ya, Dira udah
dateng.'' Dira tersenyum sambil menyalami Sissy dan bercipika-cipiki. Dulu waktu SMP, Dira beberapa
kali ketemu Sissy waktu menemani Mama mengantar uang arisan ke rumah Tante Irma. Tapi
waktu Dira kelas VIII, Tante Irma sekeluarga pindah karena bisnis Om Barli. ''Selamat ya, Sy.''
''Ya udah, gue mau nyamperin yang lain dulu ya,'' jawab Sissy.
Dira dan Juna mengangguk kompak.
''Junaaa...!'' Nah, ini dia. Mereka menoleh pada tiga wanita seumuran Mama dengan senyum
lebar yang berjalan ke arah mereka begitu Sissy pergi.
Juna mencium tangan dan bercipika-cipiki dengan ketiga wanita yang kemungkinan besar adalah
saudaranya. ''Ini siapa"'' Dengan wajah kepo, salah satunya bertanya Juna.
Sementara dua wanita lainnya menatap Juna sambil menyeringai lebar, menunggu jawaban.
Juna melirik Dira sekilas. ''Oh iya, kenalin, Tante. Ini Dira. Dira ini...''
Lalu salah satu Tante malah menyikut Juna penuh arti. ''Iya, Tante ngerti. Halo, Dira.'' Lalu
giliran Dira bercipika-cipiki dengan ketiga tante Juna. Mereka nggak langsung pergi, malah
berdiri di situ ngeliatin Dira sampai Dira pengin nari India saking saltingnya.
''Kamu imut banget, Dira,'' tante yang berambut ikal mengomentari Dira lalu melirik yang lain,
minta persetujuan. ''Iya, kan" Juna emang pinter nyarinya.''
Tante yang berjilbab mengangguk. ''Iya, imut banget dia. Persis Jes...''
Tiba-tiba Dira seperti bisa merasakan seluruh tubuh Juna menegang. Senyum langsung lenyap
dari wajah ketiga tante Juna. Kenapa sih" Tadi itu kalo nggak salah tebak, tantenya mau
menyebut Dira mirip Jessie" Pasti maksudnya Jessie adiknya Juna. Dira jadi teringat lagi
kepingin nanya soal Jessie. Kok pas makan siang bersama Mama dan Tante Tyas, Jessie nggak
diajak" Terus, kok sekarang Jessie juga nggak datang" Masa sih nggak diundang"
Mobil Juna menepi di dekat deretan warung tenda dengan berbagai menu. Mulai dari pecel lele,
bubur ayam, nasi goreng, roti bakar, jagung bakar, sampai bandrek dan bajigur. Juna mematikan
mesin mobil dan membuka kunci otomatis mobil. ''Yuk"''
Dira meringis, meratapi rambutnya yang baru ke salon, baju pestanya yang keren banget, plus
high heels-nya yang kelihatan bakal menjerit minta tolong karena harus menginjak paving block.
''Serius"'' Juna balas menatap Dira lurus-lurus. ''Lo nggak laper"''
Sekarang Dira refleks menyentuh perutnya. Setelah obrolan dengan tante-tantenya tadi, tiba-tiba
Juna ''menyeret'' Dira keluar dari pesta tanpa alasan jelas. Dira bahkan belum sempat mencicipi
secuil makanan pun. Mana mungkin Dira nggak lapar"
''Ya gue laper, Jun, tapi ini...''
''Gara-gara masih dandan habis pesta" Namanya juga baru pulang dari pesta, wajarlah
dandanannya kayak gini.''
Dira merengut. ''Pulang pesta kok masih laper, itu yang aneh. Kalo gue penyanyi dangdut yang
habis manggung, baru wajar kalau masih lapar.''
Juna nggak merespons dumelan Dira, malah turun dari mobil lalu berjalan menuju pintu tempat
Dira duduk, dan langsung membuka pintu. ''Kalo ada yang ngetawain lo, ntar gue hajar.''
Dira mendelik. ''Eh, nggak. Nggak boleh main hajar! Kalo lo udah punya niat aneh begitu,
mendingan nggak usah makan sama sekali.''
Juna memutar bola matanya capek. ''Ya udah, kalo ada yang ngeliatin lo, gue liatin balik. Nggak
papa, kan"'' Dira bengong menatap Juna. Aneh banget sih" Ngapain lihat-lihatan sama orang lain" Kalo
ngelihatin orang pakai tatapan nyolot dan menantang, ya pasti jadinya berantem.
Ngaco. Tiba-tiba Juna menggandeng tangan Dira dan menariknya pelan ke luar mobil dengan tampang
nggak sabar. ''Ayo turun. Lo kebanyakan mikir. Gue laper.''
Dira akhirnya pasrah diajak duduk di kursi plastik tukang soto yang miring kanan-kiri karena
lantainya nggak rata. Ujung gaunnya terinjak-injak kursi Juna. Tumit sepatunya bergantian
menancap kiri dan kanan. Sepanjang jalan dari hotel tempat pesta ke sini, Juna menyetir dalam diam seribu bahasa dan
muka keruh. Padahal Dira pengin banget menanyakan alasannya. Melihat tangan Juna
mencengkeram setir sampai urat-urat di punggung tangannya menonjol, Dira langsung tahu
waktunya nggak tepat. Juna baru selesai memesan soto, langsung menyeret kursi plastik berwarna biru somplak dan
duduk di samping Dira. ''Karena lo bilang terserah gue, udah gue pesenin soto ayam ya.''
Dira nyengir setengah meringis. Sebentar lagi dia harus berjuang makan soto ayam sambil
menjaga keseimbangan duduk nih. ''Emang soto ayam di sini enak"''
''Ha...!'' Juna melongo. ''Emang soto ayam di sini enak"'' ulang Dira.
Juna malah mengedikkan bahu. ''Nggak tau juga. Gue belum pernah nyoba.''
''Terus" Ada yang bilang makanan di sini enak atau sotonya enak"'' tanya Dira lagi.
Juna mengedikkan bahu lagi, lalu menggeleng santai. ''Nggak juga.''
Gantian Dira yang melongo. ''Terus ngapain kita ke sini sampe buru-buru pergi dari pesta sepupu
lo tanpa makan dulu" Kirain karena makanan di sini lebih enak daripada makanan di acara tadi.''
Juna mengernyit. ''Siapa yang bilang gitu"''
Iih! Susah banget sih ngomong sama Juna sekarang. Dira menatap Juna nggak sabar.
''Nggak ada hubungannya sama makanan di sini enak atau nggak. Gue cuma males makan dan
berlama-lama di sana. Gue nggak suka tante-tante gue tanya ini-itu.''
Dira mengerutkan dahi penuh tanda tanya. ''Emangnya kenapa"''
Alis Juna bertaut. Matanya menatap Dira takjub. Dan beberapa detik kemudian... Juna terkekeh
geli. ''Hahaha... lo bawel juga ya, Dira. Udah ah gue ke sini mau ngajak lo makan, bukan mau
diinterogasi sama lo. Pokoknya gue males di sana. Ntar deh, kalo gue jadi artis dan lo jadi
wartawan infitaiment, baru gue jawab pertanyaan lo. Oke"''
Dira menatap Juna terheran-heran. Baru kali ini dia melihat Juna tertawa ringan dan lepas seperti
sekarang. Waktu tertawa seperti itu, wajah Juna yang biasanya sangar dan dingin tampak lebih
hangat dan menyenangkan, seperti yang Dira kenal. Juna jadi semakin ganteng dan auranya
berubah total. Suasana mendadak bersahabat. Refleks, Dira merasa dinding tinggi yang Juna
bangun dengan perubahannya yang drastis, tiba-tiba runtuh perlahan. Baru sedikit, tapi Dira
senang banget bisa lihat Juna tertawa lagi.
Dira juga baru tahu, ternyata Juna si tukang tawuran ini, level narsisnya setingkat dewa kingkong
alias gede banget. Dira menatap lempeng Juna yang masih terkekeh. ''Kok lo pede banget sih
bakalan jadi artis" Lagian, kalo lo jadi artis papan atas Indonesia, gue nggak bakal wawancara lo.
Gue pasti sibuk kan di Hollywood.''
Juna ternganga sejenak. Dira tetap menatap Juna lempeng. ''Lo bercanda, Ra"''
Dira menaikkan sebelah alisnya. ''Emang lo pikir gue beneran bakal jadi artis Hollywood"''
Mendadak Juna mati gaya. Dia sama sekali nggak bisa menebak apakah Dira bercanda atau
serius. Dira adalah cewek bertampang lempeng yang misterius. Sejak dulu Juna sering terlambat
menangkap candaan Dira. Juna ingat dulu dia pernah memberi Dira predikat poker face. ''Ya, gue
pikir...'' ''Silakan, sotonya...'' Abang tukang soto meletakkan pesanan Dira dan Juna.
Sambil mengangkat mangkuk sotonya, dengan serius Dira berkata, ''Gue itu penginnya jadi
presiden Amerika, Jun...''
Kali ini Juna benar-benar melotot syok sampai membuat Dira nggak bisa menahan tawa.
Perpaduan antara syok dan kepingin ngakak. Dira nggak kuasa menahan cekikikan.
Mata Juna makin melebar menatap Dira gemas. ''Lo ngerjain gue, Ra"''
Sambil sok cemberut, Dira menatap Juna keki. ''Ya salah lo sendiri. Belum sempet nyicipin
makanan yang enak-enak, malah diajak ke sini. Kirain gue tempat ini sotonya yang paling enak
se-kotamadya atau gimana gitu. Sampe sekarang lo masih aja kena sama poker face gue.''
Tiba-tiba ekspresi Juna kembali dingin. ''Gue udah bilang, Dira, nggak usah ngungkit-ngungkit
dulu lagi.'' Juna menyuap sendok terakhir makanannya lalu menatap Dira serius. ''Kalo lo nggak
suka sotonya, ya nggak usah dihabisin. Sori, lo udah capek-capek nemenin gue ke kondangan
malah jadi makan di sini. Lo tenang aja, ntar gue tebus.''
Dira jadi nggak enak dan serbasalah. ''Eh, Jun, nebus apaan sih" Gue nggak papa kok makan di
sini. Gue cuma bercanda kok, Jun. Serius banget sih.''
Juna cuma tersenyum tipis.
Sebetulnya Dira masih mau menanyakan kenapa mereka buru-buru pulang dari kondangan. Dira
masih penasaran, tapi... dilihat dari ekspresi Juna, sepertinya dia nggak mau membahas soal itu.
Juna memang ingin menegaskan bahwa hubungan mereka sekarang tidak seperti dulu lagi. Juna
sekadar merasa bertanggung jawab untuk menjaga Dira demi Mama.
Tapi, mengingat tadi Juna bisa bercanda, itu merupakan kemajuan besar. Dira harus sabar. Dia
yakin, kalau sabar, dia bisa ''ketemu'' lagi dengan Juna yang dulu dan mereka bisa hunting buku
dan film seru bareng-bareng lagi, ketawa-ketawa nggak jelas lagi, atau mungkin renuinan denagn
Mayang dan Irwan. Dira jadi senyum sendiri. Juna pasti kaget kalau tahu Irwan sekarang gendut
banget. ''Kenapa lo"'l ''Eh"'' Dira spontan membuang senyumnya jauh-jauh, sok polos menatap Juna. ''Kenapa
apanya"'' ''Itu... senyum-senyum sendiri.''
Dira melengos. ''Emangnya nggak boleh senyum"''
''Siapa yang bilang nggak boleh" Gue cuma nanya. Kalo lo udah selesai makan, gue tunggu di
mobil.'' Juna beranjak ke mobil.
Iih! Dira manyun meletakkan mangkuk sotonya, lalu berdiri menyusul langkah Juna ke mobil.
Juna melirik Dira yang duduk di sebelahnya.
Juna pengin banget nyelutuk dan main ejek-ejekan lagi sama Dira kayak dulu. Bercanda, nonton
DVD, berburu novel atau jajanan enak bersama cewek yang pernah bikin jantungnya deg-degan
setiap cewek itu tersenyum atau bahkan cuma ngambek. Sejujurnya, Juna juga kangen sama
Dira. Nggak ada yang tahu bagaimana jantungnya nyaris melompat keluar waktu Dira tiba-tiba
mencegat dia di depan perpustakaan sekolah dan bilang bahwa dia pindah sekolah yang sama
dengan Juna. Kalo bisa, Juna pengin menggenggam tanga
n Dira dan menjelaskan semuanya,
terutama kenapa dia nggak datang waktu mereka janjian dulu dan malah menghilang tanpa
kabar. Tapi Juna nggak bisa. Dia nggak boleh mengambil risiko. Dira nggak boleh dekat lagi
dengan Juna. Seharusnya Juna nggak pernah menyanggupi permintaan tolong mamanya Dira. Seharusnya dia
menolak karena dia tahu akibatnya akan seperti ini. Dia terpaksa harus berinteraksi terus dengan
Dira. Tapi sekarang terlanjur, Juna harus menjaga jarak. Nggak boleh lebih dekat daripada ini.
Dia harus bisa menahan diri.
Juna menghentikan mobil di depan rumah Dira. ''Udah sampe. Buruan turun. Jangan sampe lo
keliatan jalan sama gue.''
Huh, gitu banget sih. Baru juga berhenti sudah disuruh turun. Kenapa nggak sekalian saja waktu
mobilnya ngebut, Dira disuruh lompat dari jendela dan menggelinding sampai rumah. Dira
melirik Juna sebel. ''Kenapa" Udah sampe nih.''
''Sebelum turun, gue boleh tanya nggak"''
''Tanya apa"'' Dira nggak yakin ini waktu yang tepat, tapi sikap Juna betul-betul bikin dia nggak bisa menahan
diri untuk bertanya. ''Ya soal tadi. Kenapa lo tiba-tiba ngajak pulang dari pesta" Gara-gara tante
loa itu" Emang kenapa sih, Jun"''
Juna menoleh ke arah Dira, menatap tajam. ''Dira, gue serius. Gue bakal tebus kekesalan lo
karena gue ngajak buru-buru pulang dari pestanya Sissy. Gue akan ganti acara makan lo dengan
makanan mewah yang sama, tapi gue minta lo nggak usah nanya-nanya apa pun yang bukan
urusan lo,'' ujar Juna dingin. Juna meremas sisi jok di belakang Dira.
Sebetulnya Juna nggak mau sedingin ini pada Dira. Juna takut Dira sakit hati, dan Juna nggak
pernah mau menyakiti Dira.
Tanpa sadar Dira melongo. Juna ngomongin apa sih" Emangnya dia pikir Dira matre atau rakus,
nanya-nanya kayak gini cuma gar-gara makanan" ''Jun, gue nanya kayak gitu sama sekali nggak
ada hubungannya sama makanan! Gue nanya karena gue penasaran.''
Oke, Dira, tenang... tarik napas... ingat, Dira, jangan bikin Juna menjauh. Dira membuang napas
pelan. ''Oke, sori, itu memang bukan urusan gue. Eh, iya, tadi tante lo sempat nyebut soal Jessie.
Adik lo itu gimana kabarnya" Sekarang SMP dong ya" Kangen juga gue sama Jessie... Gue sama
dia suka pinjem-pinjeman komik.'' Dengan sesenang mungkin, Dira mengganti arah
pembicaraan. Mencoba mencairkan suasana dengan menanyakan kabar adik Juna.
Tapi lagi-lagi salah langkah. Juna betul-betul sulit ditebak. Dira mengira dengan membicarakan
adik kesayangan Juna, bisa mencairkan suasana, tapi malah sebaliknya. Juna tampak meremas
setir dengan tangan kirinya, matanya semakin tajam menatap Dira. Napasnya naik-turun seperti
setengah mati menahan emosi. ''Dira! Gue udah bilang kan sama lo, nggak usah nanya-nanya
urusan yang bukan urusan lo dan nggak ada hubungannya sama lo. Nggak usah nanya-nanya
kehidupan pribadi gue!'' Dira tersentak. Dulu, Juna sangat sabar, tapi sejak mereka ketemu lagi di SMA, Dira sering harus
menghadapi emosi Juna yang meledak-ledak kayak gini. Dira sulit mengakui ini, tapi... kalau
begini terus... Juna menakutkan. Baru kali ini Dira takut sama Juna. Dira memang bertekad ingin
mendapatkan sahabatnya kembali, tapi keberanian Dira sedikit luntur. Setelah sempat merasa
aman di dekat Juna, sekarang Dira malah takut. ''Jun... lo ngapain marah gitu sih" Gue kan cuma
nanya kabar Jessie karena gue kenal sama dia. Lo nggak perlu sampe...''
''Dira!'' potong Juna tegas dan langsung bikin Dira diam. ''Kalo kayak gini, sepertinya nanti gue
harus ngomong sama nyokap lo. Gue mau minta maaf karena gue nggak bisa lagi menepati
omongan gue untuk jagain lo...''
Jantung Dira terasa tertohok.
Memangnya Dira salah apa sih" Dira kan cuma mencoba mencairkan suasana. ''Jun... kok lo gitu
sih" Gue kan cuma...''
''Cukup, Ra, lo turun dari mobil gue sekarang, atau gue yang turun dan mobil ini yang gue
tinggal di sini!'' perintah Juna tajam.
Dira terenyak. Dia turun dari mobil tanpa bisa ngomong apa-apa saking bingungnya.
Juna menatap punggung Dira yang berjalan gamang menuju pintu rumahnya. Dan begitu cewek
itu menoleh ke arah Juna, Juna buru-buru menginjak gas dan pergi. Nggak bisa kayak gini, dia
nggak boleh membiarkan Dira mencoba mendekat.
*** Dira memeluk guling sambil menatap kosong ke langit-langit kamar. Rasanya sulit sekali
percaya bahwa cowok yang tadi membentak-bentak dia di mobil dan mengusirnya turun adalah
Juna. Apa memang Dira terlalu yakin Juna masih bisa kembali seperti dulu" Apa sebenarnya
memang sudah nggak ada sisa-sisa Juna yang dulu yang bisa Dira selamatkan"
Dira menghela napas berat.
Juna bilang dia mau ngomong ke Mama bahwa dia nggak bisa menepati janjinya ke Mama.
Biarpun sedih, sepertinya Dira harus berhenti berharap. Dira harus menerima bahwa sekarang
Juna adalah orang yang berbeda. Juna nggak perlu teman atau sahabat di luar urusan gengnay.
Nggak perlu sahabat yang bawelan pengin dekat dengannya, seperti Dira. Nggak perlu teman
nonton DVD, berburu, dan membaca novel, atau berburu jajanan seru.


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juna nggak membutuhkan Dira lagi. Bersenang-senang sudah tidak ada lagi dalam kamus Juna.
Hidupnya sekarang cuma untuk menjaga gengsi dan kekuasaan-yang katanya membela
almamater itu. Mungkin mulai besok Juna nggak akan memedulikan Dira lagi.
Dira menutup mulkanya dengan bantal.
Padahal setelah sempat berpisah, Dira nyaris bisa benar-benar melupakan Juna. Setelah ketemu
Juna lagi dengan kenyataan yang seperti ini, Dira merasa dua kali lebih berat.
Bab 10 Dira berjalan dengan penuh perjuangan menuju meja kantin yang sudah diduduki Tasha. Tangan
kanan memegang mangkuk soto, tangan kiri memegang gelas es jeruk. Lengan kanan dan kiri
menjepit kerupuk, sementara ujung jari di depan mangkuk dan gelas berusaha sekuat tenaga
menahan HP yang lupa dimasukkan ke saku seragam.
''Permisi...'' Sambil menjaga semua bawaannya supaya tidak tersenggol orang lain, Dira berusaha
menyusup di sela-sela kerumunan siswa di kantin pada jam istirahat. Sebetulnya Dira bisa
membawa sotonya lebih dulu, baru kembali lagi mengambil es jeruk, tapi menurut pengalaman,
kalo begitu caranya, saat Dira kembali lagi ke meja setelah mengambil es jeruk, sotonya selalu
sudah dingin. Soalnya ibu penjual es jeruk punya prinsip, siapa cepat dia dapat duluan. Jadi
nggak bisa tuh titip-titip es jeruk kalau nggak langsung dibawa. Kalau nekat menaruhnya di meja
dagangan, pasti langsung divonis sebagai es jeruk tak bertuan dan bakal langsung dijual. Jadi,
begitu kembali untuk mengambil es jeruk, Dira terpaksa mengantre lagi. ''Permisi... sotonya
panas nih! Uh,oh,uh!'' pekik Dira karena nyaris bertabrakan denganpunggung cewek berambut
keriting yang mendadak bergerak mundur.
Dira memperlambat langkahnya. Kacau nih... kalau kantinnya makin penuh begini. Sebelum
meja bisa-bisa tumpah semua. Kalau balik lagi ke tukang soto atau es jeruk, sama saja, jalannya
penuh. Oke, kalau keadaan darurat, Dira memutuskan, es jeruknya yang bakal dia lepas lalu
menyelamatkan si soto yang harganya lebih mahal-dan HP tentunya.
''Soal ginian aja linggak pake perhitungan. Betul-brtul ceroboh!''
Ha" Dira melongo mendapati Juna berdiri di hadapannya sambil mengamati semua bawaan Dira.
''Gue pikir lo udah nggak mau ngomong sama gue lagi.'' Entah kenapa malah kalimat itu yang
meluncur dari mulut Dira. Kemungkinan besar karena semalam Dira nyaris nggak bisa tidur
memikirkan kemungkinan bahwa Juna nggak bakal mau menegur dia lagi.
Juna tidak merespons, malah mengambil alih soto dari tangan Dira. ''Biar gue yang bawa ini
sebelum lo kesandung atau nabrak orang, terus kena kuah panas atau lo dimaki-maki orang
karena nyiram mereka pake kuah panas.''
Dira makin melongo. ''Gue pikir lo udah nggak mau nolongin gue lagi.'' Satu lagi kalimat aneh
dilontarkannya. ''Gue berpikir ulang. Gue nggak pernah ingkar janji. Dan nggak akan pernah. Termasuk sama
nyokap lo. Udah, lo nggak usah bahas apa-apa lagi. Lo harus makan ini secepatnya sebelum
istirahat habis.'' Juna berjalan meninggalkan Dira menuju meja yang sudah ditunggui Tasha.
Dira tercenung. Jadi, apa maksudnya" Juna nggak jadi membatalkan janjinya pada Mama dan akan terus menjaga
Dira supaya Dira nggak celaka gara-gara kecerobohannya sendiri"
Terus kalau Juna ada di sekitar Dira lagi, Dira nggak mungkin nggak peduli pada Juna. Kalau
Juna masih di sekitar Dira dan melindunginya, masa Dira mau sok cuek dengan apa pun yang
terjadi pada Juna" Mungkin ini petunjuk Tuhan bahwa Dira nggak boleh menyerah untuk menyadarkan Juna bahwa
menjadi kutu buku lebih baik daripada jadi biang kerok sekolah yang ditakuti semua orang.
*** Langkah Dira terhenti ketika sebuah SUV silver menepi dan berhenti di depan Dira yang sedang
menunggu angkot lewat di halte dekat sekolah. Kaca jendela SUV silver itu turun perlahan.
Kayaknya dia kenal mobil ini.
''Dira...'' ''Tante Tyas"'' Dira berjalan mendekat ke jendela mobil. ''Tante kok ke sini" Mau jemput Juna
ya" Mau aku panggilin"'' Pantesan Dira merasa kenal SUV silver ini, ternyata memang mobil
yang dipakai Juna waktu mereka kondangan.
Tante Tyas buru-buru menggeleng. ''Eh, nggak, Dira. Tante ke sini bukan mau jemput Juna kok.
Dira, kamu rencananya mau ke mana sekarang"''
''Aku mau pulang, Tante.''
''Tante antar kamu pulang ya" Kita makan dulu sebentar. Tante ke sini memang mau ketemu
kamu. Tante sengaja menunggu kamu keluar gerbang. Ada yang mau Tante bicarakan sama
kamu. Bisa, kan"'' Lho, kok mau ketemu Dira"
Ya udahlah, toh Dira memang nggak ada acara apa-apa.
Dira mengangguk. ''Iya, Tante, boleh...'' Lalu Dira membuka pintu dan naik ke SUV Tante Tyas.
Dira masih tetap terpesona dengan wangi dan rapinya mobil ini. Kadang Dira mikir mungkin
salon mobil se-Indonesia bakal bilang nggak sanggup kalau harus membersihkan mobil Mama
yang berantakan dan nggak wangi itu. Mama bukan tipe ibu-ibu yang suka merawat mobil. Jadi
kalau Dira ceroboh, sepertinya itu turunan dari sifat asal cueknya Mama. Dira pernah
menemukan dodol oleh-oleh dari tetangga, sudah mengeras seperti fosil batu bata di kantong jok
mobil karena Mama lupa membawa turun dan jarang membersihkan mobil.
Dira mendadak tertegun. Bagaimana kalau Tante Tyas yang rapi, lembut, dan anggun ini tahu
bahwa anak laki-lakinya adalah pimpinan geng yang paling ditakuti di sekolah"
Tante Tyas mengajak Dira ke salah satu resto khusus pasta yang terkenal banget di Bandung.
Tante Tyas memilih sofa di pojok kafe, persis di samping jendela besar yang menghadap ke
taman. ''Satu spaghetti aglio olio, satu lasagna, dan dua lychee iced tea.'' Si pramusaji membacakan
kembali pesanan mereka. Tante Tyas mengangguk kompak.
''Ditunggu sebentar ya... permisi.'' Pramusaji berbaju kotak-kotak itu lalu melenggang ke dapur.
Tante Tyas tampak melamun.
''Tante"'' ''Ya, Dira" Kamu mau pesen apa lagi"''
Dira menggeleng pelan. ''Nggak, Tan, bukan itu. Tadi Tante bilang ada yang mau Tante omongin
sama aku. Ada apa, Tan" Kok aku ditraktir makan siang segala"''
Raut wajah Tante Tyas mendadak muram. ''Soal itu...'' Lalu hening.
Tante Tyas tampak menarik napas dalam-dalam. Matanya yang muram menatap Dira. ''Dira...
ada yang perlu Tante ceritakan ke kamu soal Juna. Sebetulnya... Tante nggak tahu apakah tepat
jika Tante menceritakan semua ini ke kamu. Tapi, setelah Tante dengar soal apa yang dia
lakukan padamu sepulang pesta ulang tahun Sissy...''
''Mm... maksudnya" Tentang Juna marah-marah sama aku..."'' Dira mengernyit. ''Kok Tante Tyas
tahu" Apa Juna cerita"''
Tante Tyas mengangguk. ''Dia bilang dia mau minta maaf pada mamamu karena nggak bisa
menepati janji soal menjaga kamu, Dira.''
Mendadak Dira speechless.
Perut Dira mendadak mules.
''Dira apa kamu nggak bertanya-tanya kenapa waktu SMP Juna menghilang begitu saja tanpa
kabar, dan Tante sekeluarga pindah sangat mendadak"''
Tentu saja Dira penasaran banget. Kenapa Juna sekeluarga tiba-tiba pindah dan menghilang"
Kenapa Juna nggak ngomong apa-apa sama Dira sebelum pergi, padahal sudah ada janji"
Kenapa Juna juga nggak ngasih kabar setelahnya" Apa Juna tahu sejak Juna pergi, Dira nggak
bisa berhenti mikirin kemana dan kenapa" Apa Juna tahu Dira penasaran setengah mati,
sebenarnya ada hal penting apa yang mau Juna omongin kalau jadi ketemuan waktu itu" Apa
Juna mau bilang Juna suka sama Dira" Atau cuma Dira saja yang ge-er" Dira perlu semua
jawaban itu. Tapi Dira cuma bisa mengucapkannya dalam hati. Jelas nggak mungkin Dira
merepet begitu ke Tante Tyas.
''Iya, Tante. Aku bingung kenapa Juna sama sekali nggak ngasih kabar ke aku, Mayang, atau
Irwan. Padahal... kami kan sahabat.''
Mata Tante Tyas tampak sendu dan muram. ''Dira, pertama Tante mau minta maaf atas kata-kata
Juna ke kamu semalam. Tapi Tante sudah bicara sama dia, dan dia akan tetap memegang
janjinya ke mamamu.'' Dira berjengit ngilu. Jadi, hari ini Juna memedulikan Dira karena permintaan Tante Tyas"''
''Kalau begitu, aku akan bilang sama Juna bahwa itu nggak perlu. Aku nggak mau dia peduli
sama aku karena terpaksa. Lagian, selama ini aku baik-baik saja tanpa Juna. Permintaan Mama
Nggak usah dianggep serius kok, Tante. Mama cuma khawatir berlebihan karena aku habis
ditabrak motor.'' Entah kenapa Dira jadi emosi. Mendadak wajah Dira terasa panas. ''Tante bilang
aja sama Juna, mulai besok dia nggak u...''
''Dira, dengar dulu...'' Tiba-tiba tangan Yante Tyas terulur dan menggenggam tangan Dira.
Suasana jadi canggung. Dira mendadak merasa bersalah karena merepet terbawa emosi. ''Maaf
Tante, aku...'' tante Tyas mengangguk cepat. ''Tante ngerti, Dira. Kamu, Mayang, dan Irwan pasti bertanyatanya, malah mungkin sakit hati dengan sikap Juna yang pergi begitu saja, meninggalkan kalian
sahabatnya. Tante nggak terpikir harus menjelaskan ini sama kamu. Tante pikir setelah kami
pergi, dan Juna berada di tempat baru, masa-masa sebelum kepindahan itu cuma masa lalu yang
nggak perlu diungkit. Lingkungan baru, teman-teman baru, tapi ternyata nggak semudah itu.
Apalagi setelah nggak sengaja ketemu mama kamu, lalu ketemu kamu, dan melihat Juna seperti
semalam, Tante sadar kita nggak bisa kabur dari masa lalu. Masa lalu itu bagian dari hidup kita,
harus diterima bahkan seharusnya jadi pemicu untuk menjadikan masa depan lebih baik.''
Boleh nggak ya kalau Dira mengaku bingung" Masa lalu apa sih yang bikin kabur" Omongan
Tante Tyas yang panjang tadi nggak ada yang nyangkut di kepala Dira. ''Tante maaf... tapi aku
bingung. Maksud Tante apa"'' Dira meringis kecil.
Tante Tyas tampak menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan dan berat.
''Waktu Juna pulang ke rumah dengan gusar dan marah-marah, dia sempat menyebut nggak bisa
drkat-dekat kamu kalo kamu selalu mengungkit masa lalu, membanding-bandingkan dia yang
dulu dan sekarang, bertanya soal Jessie... Apa benar, Ra" Kamu sempat bertanya soal Jessie"''
Dira mengernyit lalu mengangguk pelan. ''Iya, Tante, aku nanya kabar Jessie karena Juna marahmarah waktu aku pengin tau kenapa dia ngajak buru-buru pulang dari pesta setelah ketemu tantetantenya. Aku kan kenal Jessie aku pikir menanyakn kabar Jessie bisa mengalihkan pertengkaran
kami, tapi dia malah tambah marah dan menyuruhku turun dari mobil. Aku jadi bingung.''
''Dira, sebetulnya Jessie... udah nggak tinggal sama kami lagi.''
''Hah"'' Nggak ada yang keluar dari mulut Dira selain kata itu.
Syok. Cuma kata itu yang pas menggambarkan perasaan Dira setelah mendengar cerita singkat
Tante Tyas. Mendadak Dira merasa bersalah dan jahat banget karena menganggap Juna cuma
berandalan yang nggak punya perasaan dan nggak peduli sama orang lain selain gengnya dan
urusan adu jagonya dengan semua lawannya.
Kenapa coba Dira sampai nggak tau kalo ada kejadian buruk sebesar ini yang menimpa Juna
dulu" Terjadinya hanya satu jam setelah mereka mengobrol di rumah Irwan, janjian buat ketemu
berdua aj di hari Minggu. Hari ketika Juna nggak pernah datang.
Mendadak Dira menyesal, kenapa saking senagnya diajak ketemuan hari Minggu, Dira nggak
berbasa-basi menghubungi Juna pada Jum'at sore dan Sabtu" Dira nggak basa-basi menghubungi
Juna lagi" Kalo dia menghubungi Juna Jum'at atau Sbtu, mungkin Dira bakal tau apa yang terjadi
sebelum Juna pergi dan mereka nggak harus putus kontak dan Dira nggak perlu bertanya-tanya
selama nyaris satu tahun lebih sampai mereka ketemu lagi sekarang.
Dira nggak tahu harus ngomong apa lagi untuk menanggapi cerita Tante Tyas. Siapa yang
menyangka, pada Jum'at terakhir Dira ketemu Juna, hari itu menjadi hari yang mengerikan untuk
Juna. Sepulang sekolah Jum'at itu, kata Tante Tyas, Juna langsung pergi ke sekolah Jessie untuk
menjemput adiknya yang saat itu masih SD. Mereka pulang naik Metromini yang tiba-tiba
diserang segerombolan anak-anak SMA yang terlibat tawuran dengan siswa sekolah lain di
dalam Metromini itu. Dira menatap Tante Tyas ragu. ''Jadi, Tante, setelah kejadian itu... bagaimana keadaan Jessie"''
''Bekas jahitan di lengan Jessie cukup besar. Setiap melihat Jessie dan bekas lukanya, emosi Juna
langsung terpancing. Kadang dia emosi seperti orang marah, kadang dia histeris, bahkan sampai
menangis. Menurut dokter, secara psikologis Juna sangat terpukul atas apa yang menimpa Jessie.
Dia merasa bersalah dan bertanggung jawab karena nggak bisa melindungi Jessie. Apalagi Jessie
sempat kritis karena kehilangan banyak darah. Dan... Juna pun menjadi seperti sekarang. Juna
yang merasa dirinya harus jadi yang paling kuat supaya dia dan lingkungannya bisa aman...''
Dira terdiam mendengar lanjutan cerita Tante Tyas. Kata Tante Tyas, gerombolan anak SMA
yang kalap mengepung Metromini yang dinaiki Juna dan Jessie. Mereka masuk dengan senjatasenjata mengerikan di tangan. Ikat kepala dari ikat pinggang besi, gerigi motor, batu bata, dan
beberapa senjata tajam. Mereka berteriak-teriak menyebut nama sebuah sekolah yang mereka
cari. Para penumpang kocar-kacir ketakutan, semua berebutan turun dari Metromini itu, tapi Juna
dan Jessie terjebak di kursi mereka. Nggak bisa keluar karena lorong bus sudah penuh oleh
gerombolan itu. Jessie menangis ketakutan. Juna panik. Sambil berdiri di kursinya, Juna berusaha minta tolong
agar mereka diberi jalan untuk keluar, tapi anak-anak yang tawuran nggak ada yang peduli.
Mereka malah marah dan membentak Juna supaya jangan macam-macam. Mereka bilang nggak
ada yang boleh keluar dari Metromini itu sebelum mereka selesai. Juna terpaksa nurut. Jumlah
mereka terlalu banyak. Sementara ada dua anak SMA yang duduk di depan Juna mereka izinkan
keluar. Juna mendengar mereka bilang dua orang itu adalah siswa dari sekolah yang memegang
predikat ''penguasa'' atau ''pemenang'' dalamperiode perebutan wilayah saat itu. Mereka nggak
boleh diganggu sampai mereka bertarung ulang untuk merebutkan kekuasaan lagi.
Jessie terus menangis, sementara gerombolan kalap itu terus menyortir dan mencari murid
sekolah yang mereka maksud. Kemudian... PRANG! Lemparan gerigi motor dari luar mengenai
kaca tempat duduk Juna dan Jessie sampai pecah. Jessie yang duduk di sisi jendela langsung
terkena gerigi motor dan pecahan kaca jendela. Lengan Jessie robek dan berdarah hebat.
''Ternyata murid sekolah yang mereka cari nggak ada di dalam bus, tapi justru di luar bus.
Mereka yang melempar benda-benda ke kaca Metromini untuk memancing lawannya keluar.
Juna menggendong Jessie yang terluka parah turun dari Metromini. Orang-orang di sekitar nggak
ada yang terlibat karena takut. Darah Jessie terus mengucur sampai baju mereka berdua penuh
darah. Juna menggendong Jessie sambil menangis, sampai akhirnya ada sopir taksi berhenti dan
mengantar mereka ke rumah sakit...'' Tante Tyas melanjutkan ceritanya dengan mata
menerawang. ''Waktu Tante sampe di rumah sakit, Juna kelihatan syok. Matanya kosong. Begitu Tante sentuh,
dia teriak-teriak histeris, ketakutan, dan menyalahkan diri sendiri, menyesal kenapa dia tidak
berusaha keluar sebelum -aca jendela itu pecah. Menyesal kenapa dia malah menurut saat
disuruh diam di dalam bus, padahal dia jago karate dan seharusnya dia bisa melewati dua-tiga
orang yang menghalanginya. Intinya, dia merasa gagal menjaga adiknya yang saat itu sedang
bersamanya. Juna masih terlalu muda waktu itu. Kejadian itu terlalu berat buat dia tanggung.''
Dira tertegun. Semakin tidak tahu ingin bicara apa.
Tawuran itu memang biadab. Pelaku tawuran itu memang nggak punya otak.
Lalu Dira menelan ludah, mengingat sekarang Juna adalah salah satunya.
Mata Tante Tyas sekarang berkaca-kaca. ''Tante nggak tega liat Juna kayak gitu. Seharian dia
mengurung diri di kamar. Nggak mau makan, nggak mau minum. Tante berpikir, Tante harus
secepatnya bertindak supaya keadaan Juna nggak semakin buruk. Tante nggak pernah liat Juna
seperti itu. Tante... Tante telepon papanya Juna dan menceritakan apa yang terjadi. Dia kaget
banget dan syok karena anak perempuannya yang jarang dia temui terluka parah sampai harus
masuk ICU, dan anak laki-lakinya stres karena sejak papanya pergi, Juna selalu merasa dialah
laki-laki yang bertanggung jawab atas keluarga ini.'' Tante Tyas menarik napas sejenak. ''Dia
kembali, Dira. Papanya Juna kembali dan mau membantu Tante, apa pun yang Tante ingin
lakukan. Tante pikir, memisahkan Juna dari apa pun yang ada hubungannya dengan peristiwa
mengerikan itu akan membuat dia lebih baik.''
''Termasuk... memisahkannya dari Jessie, Tante"'' tanya Dira ragu.
Dengan sedih Tante Tyas mengangguk. ''Awalnya papanya Juna nggak setuju, Dira. Tapi itu
keputusan Tante. Tante mau mengungsikan Juna ke Bandung. Tadinya mau Tante titipkan pada
salah satu keluarga Tante. Tapi, papanya Juna bilang sebaiknya Tante menemani Juna, dan dia
mau merawat Jessie sampai mental Juna benar-benar pulih. Tapi sampai sekarang, kejadian itu
tetap jadi bayangan menakutkan buat Juna. Juna belum pernah ketemu Jessie lagi. Tante terlalu
takut mempertemukan mereka karena Juna seperti nggak mau lagi membicarakan apa-apa soal
kejadian itu dan Jessie. Dia jadi tertutup. Tante nggak bisa lagi berkomunikasi dengan dia seperti
dulu. Tante... Tante sempat merasa nggak kenal dia, Dira...''
Dira menelan ludah. Pantas saja Dira seperti tidak mengenal Juna.
Tiba-tiba air mata Tante Tyas menetes. ''Yang semakin membuat Tante sedih, Jessie juga
berubah. Dia jadi pendiam dan penyendiri. Papanya bilang, waktu dia menanyakan tentang Juna
pada Jessie, Jessie bilang dia nggak mau ketemu Juna kalau bukan Juna yang memang mau
ketemu dia. Kajadian itu benar-benar membuat mereka seperti orang lain, Dira.''
Dira langsung menggenggam tangan Tante Tyas. ''Maafin aku, Tante. Aku... aku nggak tau kalo
kejadiannya separah itu.''
Tante Tyas menangis lalu menatap Dira. ''Dira, Tante nggak tau gimana mengatakan ini sama
kamu, tapi... melihat kamu lagi, melihat Juna menyanggupi permintaan kecil mama kamu untuk
menjagamu, Tante seperti punya harapan lagi. Mungkin sebenarnya bukan mama kamu yang
menitipkan kamu ke Juna, tapi... Tantelah yang ingin menitipkan Juna pada kamu... sebagai
sahabatny:'' Hah?" Sepertinya ini adalah saat yang sangat salah untuk melongo, tapi kalimat Tante Tyas tadi
betul-betul bikin Dira melongo tanpa bisa ditahan. Apa bisa"
*** Pukul 22.15. Biasanya jam sembilan Dira sudah bobok manis, meringkuk di dalam selimut, tapi
sekarang dia cuma berguling ke kanan-kiri, gelisah. Padahal lampu kamar sudah mati, AC sudah
dihidupkan. Seharusnya sekarang dia sudah bermimpi indah.
Omongan Tante Tyas soal menitipkan Juna tadi siang itu betul-betul memenuhi kepala Dira. Dira
baru tahu ternyata Tante Tyas mengetahui reputasi Juna di sekolah. Tante Tyas cerita bahwa
sejak awal mendaftarkan Juna di SMA Sinar Pertiwi, Tante Tyas menceritakan kondisi Juna. Jadi
semua guru di sekolah tahu keadaan Juna dan mereka semua berjanji pada Tante Tyas untuk
membantu Juna. Mereka tidak menyangka, begitu mulai sekolah di sana, Juna bertekad jadi
''penguasa''. Setelah Juna melihat dua siswa di Metromini yang diturunkan tanpa syarat hanya
karena mereka bersekolah di SMA yang sedang memegang tonggak kekuasaan waktu itu, Juna
bertekad mematenkan statusnya sebagai yang terkuat supaya dia dan lingkungannya aman;
supaya nggak ada yang berani mengganggu teman-teman sekolahnya atau orang-orang yang
dekat dengan dia. Jadi selama ini Juna nggak dikeluarkan dari sekolah karena guru-guru memang dititipi misi
untuk menyelamatkan Juna. Olimpiade sains, kuis, dan lain-lain itu semua sengaja ditujukan
untuk Juna supaya dia sibuk dan nggak punya waktu buat tawuran. Guru-guru itu nggak tahu
bahwa Juna selalu punya waktu untuk tawuran. Tante Tyas bilang dia beberapa kali dipanggil ke
sekolah karena masalah Juna.
Dan setiap habis dipanggil ke sekolah karena Juna berantem, Tante Tyas selalu menegur Juna
dan memohon pada Juna supaya tidak mengulangi lagi. Pada akhirnya, Tante Tyas selalu


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangis dan Juna berjanji pada Tante Tyas: ''Aku janji akan baik-baik aja.'' Bukan janji bahwa
dia akan berhenti. Sekarang, kata Tante Tyas, dia merasa situasinya jadi aneh dan Juna jadi
''jauh'' dari Tante Tyas dan guru-gurunya. Tante Tyas memang nggak pernah lagi dipanggil ke
sekolah, tapi menurut Tante Tyas itu bukan karena Juna berubah dan nggak pernah berantem
lagi, tapi karena Juna sekarang ''main aman''. Dira menelan ludah. Rasanya dia pengin berkoarkoar pada Tante Tyas bahwa memang Juna masih sering berantem di wilayah yang aman dari
pantauan guru atau di waktu-waktu yang nggak dipantau guru, tapi kalu Dira menceritakan apa
yang dia tahu, bisa-bisa Tante Tyas nggak bisa menahan diri dan berbicara pada Juna. Kalau
Juna tahu Tante Tyas mendengarnya dari Dira, bisa-bisa Juna bukan hanya semakin menjauh
dari mamanya, melainkan dari Dira juga. ''Tante cuma ingin Juna nggak terjebak lagi di masa
lalu dan terus merasa bersalah terhadap kejadian itu. Tante cuma pengin Juna sadar bahwa nggak
ada yang menyalahkan dia soal hari itu. Tante pengin dia membuang traumanya. Tante pengin
kami bisa berkumpul lagi, Dira. Tante pengin berhenti cemas dan khawatir menunggu Juna
pulang ke rumah. Tante tahu ini semua karena Juna terlalu sayang sama Jessie. Sekarang
akhirnya Juna malah sama sekali jauh dari adiknya...'' Mata Tante Tyas berkaca-kaca waktu
mereka selesai mengobrol.
''Haduh...,'' keluh Dira dengan muka ditutup bantal. Dira terenyak. Tiba-tiba kilasan
persahabatannya dan Juna sewaktu SMP melintas seperti potongan film. Dira menghela napas
dan tersadar. Juna kan sahabatnya, dan sekarang sahabatnya itu sedang terpuruk. Juna butuh
pertolongan. Dira akan menolong Juna. HARUS! Tentu aja Dira juga harus menyimpan rahasia
bahwa dia sudah tahu peristiwa sebenarnya dari Tante Tyas.
Bab 11 ''Lo nggak papa kan pulang sendiri, Ra"'' Tasha sok cemas menatap Dira. Karena ada acara
keluarga, hari ini sepulang sekolah Tasha harus langsung ke rumah tantenya di Lembang. ''Hatihati ya, Ra, jangan salah naik angkot. Jangan nginjek buntut anjing, kucing, atau hewan apa pun
yang lagi tidur. Jangan lewt daerah yang banyak premannya, sama jangan lupa ngerjain PR,''
pesan Tasha dengan lebaynya.
Dasar nyebelin. Emang Dira separah itu"
Dira mendelik sebal. ''Lo khawatir apa menghina sih" Tenang aja, gue udah biasa melewati
semua tantangan tadi. Elo tuh yang hati-hati, pastiin angkot yang lo naiikin ke Lembang isinya
beneran manusia semua ya. Jangan sampe lo masuk angkot gaib.''
Tasha langsung pucat. ''Ih, Diraaa... Jangan ngomong gitu dong! Gue jadi takut nih.''
Rasain! Dira mencibir. ''Makanya... Udah tau penakut, sok-sok menghina orang. Udah sana.
Angkot tuh, angkot ke Lembang. Naik sana.'' Dira menunjuk-nunjuk angkot yang mendekat.
Tasha yang beneran jadi takut menatap Dira ragu. Matanya sibuk mengecek kaki kenek yang di
pintu angkot itu tampak menapak atau nggak.
''Sanaaa naikkk...'' Dengan kejam Dira berlagak nggak ngeh Tasha ketakutan.
Tasha akhirnya naik angkot itu dengan muka pucat. Saking takutnya, Tasha memilih duduk di
sebelah pintu. Dira tau, Tasha pasti siap-siap lompat kalau memang ternyata angkot itu
mendadak terbang, atau masuk lorong dunia dimensi lain. Hihihi....
''Dah, Tashaaa... Jangan lupa baca doa ya. Ingat, semua yang terjadi di dunia ini atas kehendak
Tuhan.'' Sambil nyengir jail, Dira melambai-lambaikan tangan ke arah Tasha yang angkotnya
pelan-pelan menjauh. Huh, berarti hari ini Dira pulang sendiri. Jadi teringat, hari ini kok dia nggak lihat Juna ya pas
jam istirahat" Tadi juga pas bubaran sekolah nggak kelihatan. Padahal setelah obrolannya
dengan Tante Tyas kemarin, Dira pengin banget ketemu Juna. Nggak ada perlu apa-apa sih,
cuma pengin ketemu. Dia kan sudah bertekad ingin membantu Tante Tyas untuk menolong Juna
supaya nggak berlarut-larut dengan identitas berunya yang nyeremin ini.
Tadinya kalau ketemu Juna, Dira pengin saja ngobrol-ngobrol ringan.
''Eh, gila! Anak-anak Pembangunan Raya udah ada di seberang sana tuh. Mendingan kita jangan
lewat sana deh kalo nggak mau kenapa-kenapa...''
''Ih, mereka banyaj juga! Ini pasti bakal ribut besar. Mending buruan menjauh dari sekolah.
Biarpun ributnya nggak mungkin di sekolah, tapi serem aja. Kayaknya mereka bakal ribut di
lapangan kosong yang di belakang apartemen nggak jadi itu deh.''
Dira refleks menoleh saat mendengar obrolan dua siswa sekolahnya yang lewat dekat dia.
Refleks juga Dira menatap ke seberang jalan yang ditunjuk mereka. Dira menyipit. Di seberang
jalan yang jauh tampak segerombolan cowok-cowok SMA yang sudah berganti baju bebas dan
sedang mondar-mandir sambil menatap ke arah sekolah mereka. Mendadak Dira deg-degan.
Bukan karena cowok-cowok itu ada yang keren, tapi karena dari sikap dan bahasa tubuh mereka,
plus melihat potongan kayu yang menyembul dari balik baju beberapa orang, Dira langsung
tersadar apa yang dimaksud ''ribut besar'' oleh dua teman sekolahnya tadi.
Ini pasti bakal ada tawuran. Kalau tawuran lawan sekolah Dira, berarti... berarti Juna...!
Dengan panik Dira berbalik menatap sekolahnya. Pantas dari tadi Dira nggak lihat Juna.
Mungkin Juna memang nggak ke mana-mana selain ke kelas dan ke... ke dekat gerbang belakang
tempat Juna dan gengnya selalu berkumpul. Dan kalau sekarang mau ada tawuran, Juna dan
gengnya kemungkinan pasti di sana, bersiap-siap. Nggak, nggak bisa... Dira nggak bisa diam
saja. Tante Tyas secara resmi meminta tolong pada Dira dan Dira juga bertekad untuk berusaha sekuat
tenaga menolong Juna lepas dari dunia hitam preman tawuran. Tapi gimana caranya
menghentikan tawuran" Atau, gimana caranya bikin Juna nggak ikut tawuran" Dia kan
pemimpinnya. Ah! Nanti saja deh Dira pikirkan. Kalau benar tawurannya nggak bakal di sini, mungkin anakanak Pembangunan Raya terlihat memantau dari jauh cuma untuk memastikan Juna dan temantemannya nggak akan kabur. Mereka pasti bakal bertemu di tempat yang mereka setujui, jadi
masih ada waktu! Dira buru-buru lari dari sana.
*** Duh, bagian belakang sekolah ini memang seram. Sepi, banyak rongsokan, terkadang malah ada
tikus atau kecoak numpang nyeberang. Setelah beberapa kali lewat sini, Dira jadi berpikir
mungkin saat siang wilayah ini jadi tempat ngumpul berandalan dan pentolan sekolah alias
gengnya Juna, tapi kalau malam... sepertinya tempat ini cocok banget buat ngumpul... kuntilanak
dan teman-temannya. Hiii... Dira mempercepat langkahnya gara-gara ketakutan sendiri. Gawat kalau bener malammalam di sini ada makhluk-makhluk itu. Bagaimana kalau sesiang ini ada makhluk yang iseng
berkeliaran, terus ngajak kenalan" Hiii... Tidaakkk!
Dari jalan cepat, Dira menambah kecepatan jadi lari-lari kecil.
''Mereka udah di sini. Sekarang mereka udah ke lapangan belakang apartemen. Kita langsung aja
ke sana. Jangan sampe mereka pikir kita takut sama tantangan mereka. Mereka udah sesumbar
kalo kali ini mereka bakalan menang lawan kita dan jadi penguasa wilayah ini! Sombong banhet
mereka gara-gara ada anak baru yang jadi pentolan di sana sekarang! Juga gara-gara kita batal
tarung waktu itu, bro, pas lo nganter Dira pulang. Mereka yakin kali ini lo bakal batalin dan
minta waktu lagi!'' Dira terkesiap. Suara cowok yang tadi itu pasti salah satu anggota gengnya Juna. Mereka benarbenar di sini. Tebakan Dira tepat.
Antara takut dan nekat, Dira mendekat sambil berjalan agak merapat ke tumpukan kursi dan
meja yang sudah nggak terpakai.
''Kita nggak boleh lengah, bro. Kita nggak tau mereka berapa orang. Mereka benar-benar
menganggap kita lemah sekarang. Mereka yakin mereka akan menggantikan posisi kita
memegang wilayah ini.'' Yang ini suara Brata.
''Gue mau beberapa orang jangan langsung ikut ke sana. Siaga di tempat aman. Kalau mereka
curang dan ada apa-apa sama yang di lapangan, langsung bertindak. Kali ini kita bungkam mulut
mereka supaya jangan macam-macam di wilayah kita.'' Dada Dira berdegup kencang mendengar
suara Juna memberi instruksi.
Udah kayak tentara mengatur strategi perang aja. Tapi dari obrolan yang sekilas Dira dengar tadi,
sepertinya ini musuh lama. Duh, tapi ini bukan waktunya mikirin siapa musuh mereka. Sekarang
Dira harus cari akal-segera-supaya Juna nggak terjun ke medan perang. Baiklah, dengan satu kali
mencegah Juna tawuran bukan berarti bakal langsung bikin Juna sadar dan berhenti tawuran dan
pensiun dari jabatannya sebagai bos geng, tapi paling nggak kan Dira menyelamatkan Juna untuk
hari ini. Cuma... gimana caranya ya"
''Ya udah, sekarang kita jalan.''
Waduh, mereka sudah mau pergi. Gawaattt...!
Mikir, Diraaa... mikiirrr...
''Aduhhh!!!'' Bruak brukk bruk! Tumpukan meja dan kursi roboh karena tertabrak badan Dira.
''Apaan tuh, bro"'' Suara Brata menggelegar heboh bersamaan dengananggota geng Juna yang
lain. Mereka berbalik dan menatap ke arah Dira yang tergeletak meringkuk di lantai sambil
kesakitan memegangi perutnya.
Mata Juna terbeliak kaget. Cowok itu buru-buru menghampiri Dira dengan panik dan langsung
berlutut di samping Dira. ''Dira" Lo ngapain di sini" Lo kenapa"''
Sambil terus meringkuk memegangi perut, Dira meringis menatap Juna. ''A... Aduh... nggak tau,
Jun... Perut gue... ss... sakit banget... Aduuhh, Jun...''
Juna makin panik. Tangannya yang kekar membantu Dira duduk. Sementara teman-temannya
mulai saling tatap gelisah dan nggak tenang karena urusan penting mereka terhambat gara-gara
kemunculan Dira. ''Lo sakit"''
Dira menggigit bibirnya kuat-kuat dengan wajah makin kesakitan. ''M... maag gue... kayaknya
kambuhhh... aaaduhh... Saaakit bangettt...''
''Bro, bawa ke ruang UKS aja. Kita harus buru-buru nih,'' usul salah satu teman Juna yang kalau
Dira nggak salah ingat namanya Vino.
Juna mengernyit ragu. ''Memangnya di ruang UKS masih ada orang" Anak-anak PMR kan jaga
cuma sampe jam pulang sekolah. Jam segini mana ada orang"''
''Tapi pasti ada guru piket kan, bro" Palingan juga dianter ke rumah sakit, atau ditelepon ke
rumahnya, bro. Bener kata Vino, anter aja ke ruang UKS.'' Brata yang tahu banget posisi Dira di
mata Juna, ikutan berusaha membujuk Juna dengan jurus menenangkan supaya jangan khawatir
menitipkan Dira di ruang UKS bersama guru piket.
Juna mengernyit lagi. ''Lo yakin guru piket bakal ngurusin"''
Brata ngangguk semangat. ''Ya iyalah. Masa guru nggak peduli sama murid"''
''Eeh, J... Junaa... jangan. Jangan bawa gue ke ruang UKS ya" Panggilin aja taksi buat gue, biar
gue ke... rumah sakit sendirian. Gue... gue nggak mau nyokap gue tau, Jun. Dia lagi... lagi
ketemu klien. Gue nggak mau dia panik... terus... aduh... terus urusan bisnisnya kacau, Jun.'' Dira
meremas perutnay. ''La... lagian... ini kambuh gara-gara... gue sendiri kok. Tadi nggak makan
apa-apa. Ntar... kalo dikasih obat di UGD, ntar juga sembuh...''
''Lo gila apa mau naik taksi sendirian lagi kayak gini"''
Dira meringis lagi. ''Ha... habis gimana, Jun" G... gue harus ke rumah sa... sakit.''
Juna meremas rambutnya sendiri.
Dia harus memutuskan: Dira atau urusannya dengan anak-anak Pembangunan Raya. Seperti dulu
waktu dia bersama Jessie, dia harus memilih antara menyeret Jessie keluar dari bus dengan risiko
kemungkinan besar terluka atau diam dan menuruti perintah anak-anak tawuran itu, sampai
akhirnya pecahan kaca membuat tangan Jessie nyaris diamputasi.
Juna menelan ludah dengan getir. Semua bayangan hari itu bertubi-tubi kembali ke dalam
ingatannya. Waktu itu dia gagal melindungi Jessie, adik kesayangannya. Waktu itu dia bodoh
karena waktu gerombolan berandalan itu masuk Metromini, dia nggak buru-buru menyeret Jessie
keluar dari bus, mengikuti penumpang lainnya. Dulu dia gaga! Sekarang dia nggak boleh gagal
lagi. Dia nggak boleh salah mengambil keputusan lagi. Buat apa dia jadi sekuat sekarang dan
ditakuti seperti ini kalau dia nggak bisa menepati janjinya pada mamanya Dira"
Juna mau membuktikan bahwa dia bisa dipercaya menjaga orang... orang yang... dia sayang.
Dia adalah cowok yang paling ditakuti di sekolah, yang bisa membawa sekolahnya menjadi yang
paling disegani oleh sekolah lain di wilayah ini, dan Dira seharusnya jadi orang yang paling
aman karena berada di dekat dia. Juna nggak bisa melupakan waktu pertama kali Dira menegur
dia di depan perpustakaan. Jantungnya serasa berhenti, senang sekaligus kaget. Dia bisa ketemu
Dira lagi. Meski dalam sekejap Juna sadar bahwa dia yang sekarang berbeda dengan yang dulu,
dan sebaiknya Dira nggak usah dekat-dekat dia dan lingkungannya yang berbahaya.
Tapi... ternyata Dira masih ceroboh, sering sial, dan celaka gara-gara kecerobohannya sendiri.
Bahkan sampai ditabrak motor. Kalau seperti itu, mana mungkin Juna tega menolak permintaan
mamanya Dira" Karena cewek yang paling pengin dia lindungi di dunia ini selain mamanya
sendiri dan Jessie adalah Dira. Dan saat kesempatan itu muncul, masa Juna bilang nggak"
Juna menatap teman-temannya. ''Kalian duluan ke sana, gue anter dia ke rumah sakit dulu, habis
itu gue nyusul.'' ''Hah"! Yang bener aja, bro! Mereka pengin ada lo. Pemimpin baru mereka itu mau ketemu lo.
Dan kalo lo sekarang nggak datang, berarti udah kedua kalinya, bro. Yang lalu juga semua batal
gara-gara lo nganter dia pulang, kan" Malah lo babak belur dihajar bergantian. Bos mereka yang
baru itu sudah dengar soal lo yang minta menunda pertarungan kita,'' protes Brata, spontan tidak
terima jika Juna memilih Dira daripada harga diri kelompok mereka. ''Jun, kalo nggak, lo telepon
aja temennya, si Tasha yang penakut itu. Dia pasti mau nganter Dira ke rumah sakit. Ini harga
diri kita Jun!'' Juna menggeleng cepat. ''Kelamaan. Kita nggak tau si Tasha ada di mana. Gue tetep harus
nemenin Dira sampe Tasha datang karena gue nggak mungkin ninggalin dia sendirian. Udahlah,
Ta, lo pimpin anak-anak ke sana gantiin gue sementara. Bilang sama mereka, gue pasti datang.
Gue cuma nganter Dira ke rumah sakit sebentar. Dan kalo bener-bener pemimpin baru mereka
itu mau ketemu gue, mereka pasti nunggu. Inget, waktu itu gue sama sekali nggak mundur. Gue
cuma harus menganter Dira pulang karena dia tanggung jawab gue. Gue kan udah terima
konsekuensinya dipukulin bergantian sama mereka.''
Brata menggeleng nggak setuju. ''Tapi beda dong, bro. Dengan lo dipukulin, posisi nggak
berubah. Mereka menganggap lo mempertahankan status kita dengan syarat yang gampang,
cuma gantian dipukulin doang. Mereka merasa rugi karena mereka pikir kali itu mereka bisa
menang. Masa kali ini lo mau minta waktu lagi"''
HAP! Tibaktiba Juna berdiri sambil menggendong Dira. ''Lo semua denger kan gue bilang apa
tadi" Gue nggak mundur. Gue cuma mau nganter dia ke rumah sakit. Dan gue harus nganter dia
ke rumah sakit. Bilang sama mereka, gue pasti datang. Gue pergi dulu.''
''Eh, JUNA!! BRO!!'' Juna nggak peduli dan terus berjalan sambil menggendong Dira. Kalau dia nggak bisa bikin Dira
menjauh dari dia dan bahaya di sekitar Juna, itu artinya dia akan bikin Dira sangat aman berada
di dekatnya. Aman dari bahaya, aman dari kesialannya yang sering konyol, dan aman dari
penyakit yang tiba-tiba datang seperti sekarang. Juna menggigit bibirnya kuat-kuat. Selama ini,
itu kan tujuannya" Menjadi yang paling kuat supaya orang-orang di sekitarnya aman. Kalau dia
nggak mengantar Dira ke rumah sakit lalu Dira nekat ke rumah sakit sendirian, bagaimana"
Kalau terjadi apa-apa di jalan, bagaimana" Kalau dia diculik sopir taksi jahat, bagaimana"
Juna menggigit bibir. Dia harus mengakui, pada diri sendiri, bahwa keinginannya melindungi
Dira sama seperti dia ingin melindungi Jessie dulu. Dia nggak akan gagal lagi! NGGAK AKAN!
Biarpun Dira nggak tau perasaannya, dan mungkin nggak akan pernah tahu, tapi dengan bisa
menjaga Dira dan melihatnya aman, sudah cukup bagi Juna sekarang. Kalau Juna nekat
membuka semuanya dan menyatakan cinta pada Dira, kemudian mereka pacarann, situasinya
akan berubah. Dira akan jadi orang yang paling nggak aman di dekat Juna. Bagi lawan-lawan
yang pengecut, pacar dari pentolan geng adalah sasaran empuk.
''Masih sakit, Ra"'' Juna menatap Dira cemas.
Dira meringis lalu mengangguk, masih dalam gendongan Juna. ''Masih, Jun. Gu... gue naik taksi
sendiri aja... Nggak papa.''
''Nggak. Gue udah memutuskan untuk nganter lo. Oke"''
''Dira, lo jangan ngarang deh.''
''Gue nggak ngarang, Jun. Gue seriusss. Gue kan tau badan gue sendiri. Ayo, Jun, nanti keburu
tambah sakit kayak tadi lagi.'' Dira menatap Juna yang sejak tadi memapah Dira dari gerbang
rumah sakit sampai ke sini-ke depan kafetaria rumah sakit.
Juna masih kelihatan bingung. ''Lo sakit kan" Kita ke rumah sakit mau nganter lo berobat, masa
lo malah ngajak ke kafetaria"''
''Jun, kan gue udah bilang, sakitnya mereda. Biasanya kalo reda gini, diisi makanan suka
sembuh. Lagian emang orang sakit nggak boleh lapar"''
''Bisa sembuh pake makanan" Terus ngapain kita ke rumah sakit"''
Dira meringis lagi dengan muka menahan perih. ''Ya biasanya kalo diisi makanan sembuh.
Makanya coba isi makanan dulu. Kalo nggak sembuh kan bisa langsung periksa. Kalo nggak
perlu diperiksa dokter kan lebih baik.''
Tatapan memelas Dira belum berubah.
Dulu kalau Dira meminta tolong tapi Juna nggak mau, jurus tatapan memelas ala anak kucing
minta dipungut ini selalu sukses meluluhkan Juna. Sekarang ternyata masih sama ampuhnya.
Juna akhirnya menurut dan mengekor masuk ke kafetaria.
Melihat Dira agak mendingan saat tiba di rumah sakit, Juna lega banget. Soalnya tadi sepanjang
perjalanan, Dira betul-betul kesakitan. Untung Juna memutuskan untuk mengantar Dira, karena
kalau sakitnya kayak tadi, Dira nggak mungkin berangkat sendiri ke rumah sakit. Buat Juna,
permintaan mamanya Dira adalah tantangan untuk membuktikan bahwa dia bisa dipercaya
menjaga Dira. Kalau dia berhasil menjaga Dira, mungkin dia bisa ketemu Jessie lagi. Kalau
Jessie lihat Juna sudah bisa jadi pelindung, mungkin Jessie mau berkumpul lagi dengan Juna dan
Mama. Juna juga mungkin berani melihat Jessie lagi tanpa harus ketakutan adiknya celaka
karena kelalaiannya. Batagor dan es teh manis terhidang manis di meja Juna dan Dira. Semuanya punya Dira, Juna
sama sekali nggak pesan apa-apa. ''Jun, lo kok nggak pesan apa-apa sih" Gue yang bayarin deh,
kan gue yang bikin lo ada di sini.''
Bukannya langsung menjawab, Juna malah dengan gelisah melihat jam tangan. Jari tangan
kirinya sibuk mengetuk-ngetuk meja.
''Jun!'' ''Dira, lo bisa nggak cepetan makannya" Jadi kita bisa tau lo perlu ke dokter apa nggak setelah
makan. Gue mesti buru-buru pergi dari sini nih, jadi tolong dong, lo buruan makan.'' Sambil
ngomong, Juna nggak berhenti melirik jam tangan dan mengetuk-ngetuk meja.
Ternyata dia masih memikirkan tawurannya. Huh, padahal ya, kenapa nggak si Brata yang
segede Buto Ijo itu sih yang jadi pimpinan geng" Kenapa harus Juna" Biar Buto Ijo vs Buto Ijo.
Tawuran itu benar-benar budaya barbar. Daripada ngikutin budaya rimba begitu, sekalian aja
ngikutin budaya guk-guk, menandai wilayah pakai pipis. Nggak bahaya karena nggak pakai
menyakiti orang lain. Paling cuma bau. Dira menusuk satu potong batagornya pelan-pelan, lalu
memasukkannya ke mulut dan mengunnyahnya pelan-pelan juga.
''Dira, makannya yang bener bisa, kan" Pelan banget. Ck, kacau nih!'' Juna makin gusar sambil
terus mengetuk meja dengan jarinya.
''Mana bisa makan cepet-cepet, Jun. Kalo nggak dikunyah bener-bener, perut gue makin sakit.''
Juna mendengus nggak sabar. Sekarang bukan cuma mengetuk-ngetuk meja dan melihat jam.
Gerakan Juna bertambah satu lagi: garuk-garuk kepala. Tiba-tiba mata Juna tertuju pada
makanan Dira. Matanya melebar.
''Eh, Jun... Batagor gue mau diapain"'' Dira memekik kaget karena Juna tiba-tiba menarik
piringnya menjauh dari hadapan Dira.
''Kalo gini caranya, habis ini lo nggak bakalan mendingan. Gimana sih! Katanya sakit maag, kok
malah makan batagor" Harusnya lo makan bubur! Lo tunggu di sini, gue beliin lo bubur.'' Tanpa


Jun Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu jawaban, Juna beranjak berdiri.
''Eh, Jun, tapi...'' Ponsel Juna berbunyi. Juna buru-burumerogoh sakunya. ''Halo, bro"''
Bro" Itu pasti Brata atau salah satu teman segengnya. Dira langsung menutup mulut dan pasang
kuping. Ngapain Brata telepon Juna" Pasti mau nyuruh Juna segera ke sana.
''Apa"! Mereka bilang begitu"! Ya gimana dong, lo tau kan posisi gue. Iya, gue tau... nggak
masalah. Gue nggak takut sama syarat mereka. Gue terima. Oke, thanks, bro.'' Lalu dengan
wajah tegang Juna memutus sambungan teleponnya dengan Brata.
Dira terdiam karena setelah menelepon, Juna yang semula berdiri berniat membelikan Dira
bubur, sekarang malah berdiri dengan ekspresi tegang dan mata menatap kosong ke depan. Ada
berita apa ya tadi di telepon"
''Ehm, Jun. Kalo lo mau pergi, nggak papa kok. Kayaknya... gue udah nggak papa. Udah nggak
sakit nih. Gue bisa minta jemput Mama pas Mama pulang meeting. Gue bisa nunggu di toko
Goa Terkutuk 2 Pendekar Rajawali Sakti 172 Mister Tabib Siluman Liang Pemasung Sukma 1
^