Let Go 1
Let Go Karya Windhy Puspitadewi Bagian 1
LET GO Windhy Puspitadewi Kau tahu apa artinya kehilangan" Yakinlah, kau
tak akan pernah benar-benar tahu sampai kau
sendiri mengalaminya. Raka tidak pernah peduli pendapat orang lain,
selama ia merasa benar, dia akan
melakukannya. Hingga, suatu hari, mau tidak
mau, ia harus berteman dengan Nathan, Nadya,
dan Sarah. Tiga orang dengan sifat yang
berbeda, yang terpaksa bersama untuk
mengurus mading sekolah. Nathan, si pintar yang selalu bersikap sinis.
Nadya, ketua kelas yang tak pernah meminta
bantuan orang lain, dan Sarah, cewek pemalu
yang membuat Raka selalu ingin membantunya.
Lagi-lagi, Raka terjebak dalam urusan orang lain,
yang membuatnya belajar banyak tentang
sesuatu yang selama ini ia takuti. Kehilangan.
- Prolog - "Raka..." Bu Ratna menghela napas. "Kali ini,
kenapa lagi?" "Mereka duluan yang ganggu saya," jawab Raka
tegas. "Bukan alasan!" kata Bu Ratna tak kalah tegas.
"Apa kamu lupa kalau kamu ini baru kelas X"
Artinya, kamu baru empat bulan di sekolah ini,
empat bulan Raka! Dan, kamu sudah berkelahi
sebanyak dua kali!" "Jadi, maksud Ibu, kalau ada yang ganggu saya,
saya harus diam saja?" protes Raka. Rahangnya
mengeras dan tangannya tergenggam erat.
"Bukan!" sergah Bu Ratna. "Tapi, Ibu ingin kamu
membalasnya bukan dengan otot, tapi otak!"
Raka mengernyitkan dahi. "Ah, sudahlah." Bu Ratna menggeleng. "Setelah
ini, saya mau menghadap Kepala Sekolah untuk
mendiskusikan hukuman yang cocok untukmu,
sepertinya skorsing saja tidak cukup. Aku harus
memberi tahumu, Pak Kepala Sekolah tidak
begitu suka ada biang kerok di sekolahnya.
Motonya: mumpung masih berupa larva, harus
secepatnya dibasmi sebelum menjadi nyamuk
dan menyebarkan penyakit. Kamu tahu maksud
Ibu, kan?" Raka mengangguk pasrah. "Kamu boleh pergi," kata Bu Ratna kemudian.
Namun, ketika Raka sudah hendak keluar dari
ruangannya, Bu Ratna menghentikannya
kembali. "Sebagai wali kelas, Ibu sungguh-sungguh tidak
ingin kamu dikeluarkan," ujar Bu Ratna. "Kamu
percaya pada Ibu?" Raka terdiam sejenak, lalu memasang tampang
pura-pura bingung. "Itu pertanyaan retoris?"
Bu Ratna tersenyum. Sejak tadi, Raka sudah cukup lama merasa
tegang akibat menahan emosi, apalagi setelah
dipakai berkelahi. Begitu berada di luar, dia
langsung meregangkan otot-otot tangannya
yang kaku. Dia mengerang pelan karena
beberapa bagian tubuhnya terasa sangat sakit.
Wajahnya memar di beberapa bagian.
Mengingat dia baru saja merobohkan lima
orang sekaligus, luka yang didapatnya tergolong
ringan. Setibanya di lapangan parkir, tiba-tiba dia
mendengar teriakan. "JANGAN BELAGU!!!!"
Raka menghentikan langkahnya, mencari-cari
sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari
belakang gedung yang letaknya tidak jauh dari
tempat dia berdiri sekarang. Dia melihat
segerombol orang yang sepertinya hendak
mengeroyok seseorang. Nathan" tanya Raka dalam hati melihat orang
yang akan dikeroyok. Setelah sadar kalau cowok yang akan dikeroyok
adalah teman sekelasnya, dia cepat-cepat
mengendap-endap mendekati mereka.
"Sebenarnya, apa masalah kalian?" tanya
Nathan tanpa rasa takut sedikit pun tersirat di
wajahnya. "Jangan kamu pikir karena tampangmu
lumayan, kamu bisa seenaknya sendiri tebar
pesona ke sana kemari!" bentak salah satu dari
empat orang yang ada di depannya itu.
"Terima kasih atas pujiannya," jawab Nathan
kalem. Mulut Raka menganga mendengar kata-kata
Nathan. Dia itu terlalu bodoh atau terlalu
berani"! Wajah keempat orang itu langsung merah
padam. Tangan mereka mengepal erat dan
rahang mereka terkatup. "KAMU...!!!!" Salah
seorang di antara mereka mulai mengeluarkan
tinjunya. Nathan berhasil menghindari pukulan pertama,
tetapi ternyata pukulan kedua sudah
menunggunya tidak lama kemudian. Tepat saat
itu, Raka keluar dari tempat persembunyiannya
dan berhasil menangkisnya.
"Siapa kamu"!!" tanya mereka. "Jangan ikut
campur!" "Pengecut!" ejek Raka kesal. "Atau, emang
sudah budaya sekolah ini selalu main
keroyokan?" "SIALLL!!!!" Salah satu dari gerombolan itu maju
siap menerjang Raka dan cowok ini pun sudah
bersiap hendak menghadapinya.
"TUNGGU!!!" teriak salah seorang dari
gerombolan itu. "KENAPA?" tanya cowok yang akan menerjang
Raka itu dengan marah. "Dia itu Caraka," jawab temannya. "Dia anak
kelas X yang baru aja bikin babak belur lima
anak basket itu." Sekarang, Raka memandang orang-orang itu
dengan heran. Tidak menyangka hanya karena
sebuah rumor, reaksi mereka langsung berubah
180 derajat. Keempat orang itu membeku. Bahkan dua di
antara mereka menelan ludah dengan suara
yang cukup keras, membuat Raka tertawa
dalam hati. "Hei, dengar, ya," kata cowok yang dari tadi
terlihat paling marah. "Kami nggak punya
masalah denganmu. Lagian, ini nggak ada
hubungannya sama kamu. Jadi, jangan ikut
campur." Raka mengangkat bahu. "Dia teman sekelasku.
Bisa dibilang, kami punya hubungan. Kalau
kalian emang mau mengeroyoknya, lakukan di
tempat yang nggak bisa aku lihat atau aku
dengar." Cowok itu tersenyum sinis, lalu mengalihkan
tatapannya pada Nathan. "Kali ini, kau
beruntung, tapi kau dengar sendiri apa kata
temanmu barusan, nggak selamanya kau akan
seberuntung sekarang."
"Wah, aku nggak sabar menunggunya," jawab
Nathan tenang. "Kurang ajar! Lihat saja nanti!"
Lalu, mereka pergi dengan sedikit gerutuan.
Raka menoleh menatap Nathan dengan tatapan
kau-bodoh-atau-apa" "Kau itu bodoh atau idiot"
Cari mati, ya! Kata-katamu tadi malah bikin
mereka tambah marah."
"Bukan urusanmu," kata Nathan sambil
membetulkan letak kacamatanya. "Itu
kulakukan dengan sengaja."
Raka langsung melongo. "Hah" Buat apa?"
Nathan mengabaikan pertanyaan Raka, lalu
berjalan pergi. "Sopan sekali," sindir Raka sambil berjalan
mengikutinya. "Kau ingin aku berterima kasih" Aku nggak
memintamu membantuku."
"Oh, ya" Tapi, tadi kau kelihatan seperti itu."
Raka tersenyum mengejek. "Kalau begitu, kau perlu kacamata."
Raka langsung membatu. Dia mengutuki dirinya
sendiri karena telah menolong orang sialan
seperti yang satu ini. "Sekarang, kau menyesal sudah menolongku?"
tanya Nathan seolah-olah bisa membaca pikiran
Raka. "Hah?" Raka berpura-pura tak mengerti apa
yang dikatakan cowok itu.
"Terima kasih," kata Nathan kemudian.
"Hah?" Raka melongo. "Aku nggak salah dengar,
kan?" "Puas?" tanya Nathan.
Raka memutar bola matanya. "Iya, iya."
"Oh, ya." Nathan menatapnya tajam. "Setelah
ini, jangan harap lantas hubungan kita jadi lebih
dekat." "Hah?" Kali ini Raka benar-benar tidak mengerti
maksud ucapan Nathan. Nathan tidak memedulikan kebingungan di
wajah Raka. "Sampai kapan pun, kita cuma
teman sekelas. Nggak kurang, nggak lebih.
Camkan itu!" Dia berbalik dan berjalan meninggalkan Raka
yang hanya bisa terbengong-bengong
melihatnya. "MAKSUDNYA APAAAAAAAAAAA"!!!" teriak
Raka begitu Nathan hilang dari pandangannya.
*** -1- "Raka." "APA?" jawab Raka dengan suara bass-nya yang
berat dan keras (tuing -,-).
Sarah tampak kaget dan spontan mundur
selangkah. Wajahnya memucat dan matanya
mulai berkaca-kaca. "Nggak perlu
membentakku, aku cuma..."
"Aku nggak membentakmu," jelas Raka sambil
menunjukkan wajah capek. "Berapa kali aku
harus bilang kalau suaraku..." Cowok itu
menghentikan kalimatnya, merasa percuma
karena sudah melakukannya berkali-kali tanpa
hasil. "Ah! Sudahlah! Ada perlu apa?"
"Aku cuma mau minta tolong..." Sarah terhenti
sejenak untuk menelan ludah. "Mintakan
persetujuan artikel ini sama Bu Ratna." Dia
menyodorkan beberapa lembar artikel kepada
Raka dan langsung buru-buru kembali ke depan
komputer tanpa berani menatap mata cowok
itu. Raka langsung mengernyit. "Cewek aneh."
"Bukan dia yang aneh, tapi kau!" komentar
Nathan yang berada di sebelahnya. "Kau yang
aneh karena nggak juga sadar, suaramu itu
menakutkan." "Suaraku" Tapi, dari dulu, suaraku emang
begini." Raka melirik Nathan tajam dengan
tatapan aku-akan-membunuhmu-kalau-kaungomong-lagi.
Nathan malah balas meliriknya. "Uuuu...
takuuut..." "KAU!!!" Raka mulai kehilangan kesabaran.
Tepat saat tangannya akan berbicara, Nadya
yang duduk di depan mereka menggebrak meja.
"DIAM!" katanya. "Bisa nggak, sih, kalian
meneruskan pertengkaran anak SD kalian itu di
luar" Aku jadi nggak bisa konsentrasi baca."
"Kamu bisa baca di perpustakaan," balas
Nathan. "Maunya sih begitu, tapi jam segini
perpustakaan sudah tutup dan baru buka besok
pukul 8." Nadya tersenyum, merasa menang.
"Kalau begitu, lakukan besok pagi," balas
Nathan dingin. Kali ini, sepertinya dia yang
menang. Nadya menatap marah ke arah Nathan yang
tampak tak peduli. Suasana berubah menjadi
panas di antara mereka berdua dan percikan api
terasa lebih banyak dari Nadya.
Raka menelan ludah, merasa sudah waktunya
dia pergi dari tempat itu.
"Aku... mau ke tempat Bu Ratna dulu, ya,"
katanya kemudian sambil mengacungkan
lembaran artikel yang tadi diberikan Sarah. Tak
ada seorang pun yang menjawab. Nadya dan
Nathan mungkin tidak mendengarnya.
Sementara, Sarah, dia terlalu takut untuk
mengeluarkan suara sedikit pun.
***
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bu Ratna! Saya protes!" teriak Raka begitu
sampai di meja kerjanya. "Saya lebih baik diskorsing dua tahun daripada dihukum kerja
paksa kayak gini." "Skorsing dua tahun?" Bu Ratna tersenyum geli.
"Enak di kamu kalau begitu."
"Tapi, sungguh! Saya sudah nggak tahan lagi,"
desah Raka sambil menjatuhkan diri di kursi
depan mejanya. "Ya ampun, Raka, kamu baru sebulan di situ."
"Tapi, rasanya sudah seperti seabad, Bu!"
protesnya. "Satu ruangan dengan Zombie
berlidah tajam, Ratu Salju, dan si cengeng
penakut itu, entah kenapa bikin jarum jam
terasa nggak bergerak ke mana pun."
Bu Ratna malah tertawa. "Hebat, bahkan, kamu
sudah punya julukan buat mereka, Ibu nggak
menyangka kalian sudah sedekat itu."
"Berapa lama lagi saya harus membantu, ah...
maksud saya, kerja rodi di redaksi majalah
sekolah?" Raka memasang tampang memelas.
"Mmmm..." Bu Ratna pura-pura berpikir.
"Nggak lama kok, Raka, paling-paling sampai
kenaikan kelas." "HAH"!!" teriak Raka spontan. Untung saja, saat
itu, ruang guru sudah sepi.
"Raka," kali ini Bu Ratna memasang muka
serius, "kamu masih kelas X, tapi dalam waktu
sebulan kamu sudah berkelahi dua kali. Jadi,
saran Ibu, supaya kamu tidak di-DO, jalani
hukumanmu sekarang, oke?"
Raka mengangguk lemas. Tak ada pilihan lain.
Bu Ratna menghela napas. "Jadi, kamu datang
ke tempat saya hanya untuk mengatakan hal
itu?" "Ah!" Raka langsung teringat artikel yang
diberikan Sarah. "Tadi, Sarah menitipkan ini
buat minta approve dari Ibu."
"Oh..." ujar Bu Ratna sambil memperhatikan
lembaran-lembaran artikel yang baru saja
disodorkan padanya. "Bu, kalau saya boleh tanya," kata Raka
kemudian. "Apa?" "Sebenarnya, ke mana anggota redaksi yang
lain?" tanyanya penasaran. "Setahu saya,
Nathan dan Nadya, kan, bukan anggota redaksi.
Tapi, kenapa mereka yang mengerjakan majalah
sekolah?" Ekspresi Bu Ratna tiba-tiba berubah, lalu ia
mengangkat wajahnya dan menatap Raka.
"Karena saya sebagai pembina majalah sekolah
membutuhkan bantuan mereka." Bu Ratna
memandang matanya lekat-lekat. "Dan,
bantuanmu." Raka terlihat bingung. "Sarah pun sebenarnya bukan pemimpin
redaksi," lanjut Bu Ratna. "Dia cuma ketiban sial
sebagai satu-satunya murid kelas X di redaksi
majalah sekolah. Senior-seniornya
memanfaatkan dia dan membebankan semua
pekerjaan kepada anak itu. Sementara, mereka
menghilang dengan alasan sibuk menghadapi
ujian. Suatu hari, Sarah datang kepada saya
sambil menangis. Dia tak sanggup lagi
mengerjakan semuanya sendirian. Itulah
sebabnya saya langsung minta bantuan Nathan
dan Nadya sebagai yang terpintar di kelas."
"Kenapa Sarah nggak protes saja sama seniorseniornya?" tanya Raka tak habis pikir.
"Jangan samakan semua orang dengan dirimu."
"Tapi, Ibu membuat sebuah kombinasi tim yang
aneh," protes cowok itu. "Si Penakut, si Sinis,
dan si Keras Kepala sampai kapan pun nggak
akan bisa jadi tim yang kompak."
Mendengar kritikan Raka, anehnya Bu Ratna
malah tersenyum. "Itulah sebabnya saya
memasukkanmu." Raka mengerutkan dahi. "Memasukkan"
Bukannya saya dihukum" Oleh Kepala Sekolah
pula." Bu Ratna menghela napas. "Bukan," sahut Bu Ratna. "Maafkan Ibu tidak
jujur padamu. Sebenarnya, Ibu yang memaksa
Pak Kepala Sekolah memasukkanmu di redaksi
majalah sekolah." Kepala Raka terasa dipukul palu mendengar
pengakuan Bu Ratna. "Kenapa?"
Bu Ratna terdiam sejenak sambil menatap mata
murid di hadapannya itu. "Kenapa?" Bu Ratna mengulangi pertanyaan
Raka. "Karena, Ibu pikir, kamu pasti bisa
membuat keajaiban." Hah" Raka langsung melongo.
*** "Malam ini kita makan apa?" tanya mama Raka
sesampainya perempuan itu di rumah.
"Nasi goreng," jawab Raka sambil menyiapkan
piring. "Lagi?" Mama pura-pura terkejut.
"Sudahlah, Ma, hanya ini masakan yang bisa
kubikin," sahut Raka tidak ingin meladeni
mamanya. "Tapi, Raka, ini nggak sehat," timpal Mama.
"Kamu masih dalam taraf pertumbuhan, harus
banyak makan makanan yang bergizi."
Raka memutar bola matanya. "Ma, tinggiku
sudah 180 sentimeter ("!#$@#$%). Sudah
cukup. Kalau tumbuh lagi, bisa-bisa, aku dikira
mengidap gigantisme."
"Lho, bukannya masih ada satu lagi yang perlu
tumbuh dari kamu?" "Apa?" "Otak! Hahahaha." Mama tertawa terbahakbahak.
Raka menyipitkan mata, tidak senang, tapi
melihat reaksi Raka, Mama malah mengusapusap rambut anaknya itu.
"Tampang merajukmu itu nggak berubah dari
kecil," kata Mama sambil tersenyum. "Ah, kalau
begitu, Mama mandi dulu ya, baru kita makan
sama-sama," katanya, lalu menghilang ke dalam
kamar. Sejak kepergian papanya dua tahun lalu, Raka
hanya hidup berdua dengan mamanya. Untuk
memenuhi kebutuhan mereka-terutama,
pendidikan Raka-Mama bekerja lagi sebagai
konsultan di Kantor Akuntan Publik. Jadi, dia
sering pulang sampai larut saking sibuknya.
Sebelumnya, Mama memang sudah pernah
bekerja, tapi setelah Raka lahir, dia
memutuskan untuk berhenti dan memilih
menjadi ibu rumah tangga agar bisa mengurus
keluarganya. Hal itu membuat Raka tidak
pernah kekurangan kasih sayang.
Mama menikah ketika berumur 23 tahun, lalu
setahun kemudian, Raka lahir. Hebatnya,
selama menjadi ibu rumah tangga, sang Mama
masih terus berusaha meng-update
pengetahuannya dan memutuskan mengambil
S2 saat Raka masuk SD. Kini, keputusankeputusannya itu terlihat sangat tepat,
terutama saat dia harus bekerja lagi.
Di usianya yang ke-40, Mama masih terlihat
cantik. Dia juga energik, memiliki selera humor
yang tinggi, pengetahuan dan wawasannya luas.
Dan, yang paling membuat Raka merasa
beruntung memiliki mama seperti dia adalah
karena wanita itu punya pemikiran yang
terbuka dan maju. Itulah sebabnya, Raka sangat
membenci papanya yang sudah sangat tega
meninggalkan Mama seorang diri.
"Lain kali, makan duluan saja, kamu nggak perlu
nunggu Mama," kata Mama begitu selesai
mandi. "Kalau Mama pulang larut gimana?"
"Tadi, aku belum lapar, Ma," jawab Raka
singkat. Mama tersenyum mendengar jawaban Raka, dia
tahu anaknya itu berbohong. Raka memang
sengaja menunggu dan akan selalu
menunggunya. "Yah sudahlah, apa katamu saja," desah Mama.
"Tapi, jangan nasi goreng terus, dong!"
rajuknya. "Jadi Mama maunya apa?" tanya Raka.
"Mmm... Mama mau sop buntut, capcay, soto
ayam..." jawab Mama, "eh, emangnya beneran
kamu mau bikinin kalau Mama mau itu?"
"Mau, aku mau beliin, bukan bikinin."
"Dasar!" Mama tertawa. "Mana piringnya,
Mama sudah lapar. Kamu nggak bikin masalah
lagi di sekolah, kan?" tanya sang Mama sambil
menyendok nasi goreng ke piringnya.
Raka menggeleng. "Nggak."
"Belum," ralat Mama sambil tersenyum.
"Tapi, kalau iya, emangnya kenapa?"
Mama mengangkat bahu. "Nggak apa-apa,
soalnya yang penting bagi Mama kamu masih
hidup." Raka terdiam. "Jangan ge-er dulu, soalnya kalau kamu mati,
Mama mesti ngeluarin duit menggaji pembantu
buat masakin Mama dan bersih-bersih rumah,"
kata Mama sambil tertawa terbahak-bahak.
DASAAAR! umpat Raka dalam hati.
*** -2- Sin2x + 2sinx-1 - cos2x. "Caraka Pamungkas , kamu mau berdiri di situ
sampai kapan?" tanya Pak Anung tajam.
Raka tidak menjawab. Kepalanya sudah pusing
dan keringat dingin mulai bercucuran. Perutnya
mual, sepertinya tinggal menghitung mundur
sampai dia benar-benar muntah di depan papan
tulis. "Sudah! Kembali ke tempat dudukmu," gerutu
Pak Anung tidak sabar. "Nathan, coba kamu
yang jawab." Akhirnya... Raka menghela napas lega. Dia
memang payah kalau sudah berurusan dengan
angka. "Bagaimana?" tanya Dhihan, teman sebangku
Raka begitu cowok ini menyandarkan diri di
kursi. "Parah," jawab Raka sambil memelorotkan
bahu. "Aku hampir mati berdiri di depan tadi."
Dhihan terkikik pelan. "Masa depanmu
kayaknya bakal suram."
"Berisik!" dengus Raka. "Nggak usah kamu
bilang juga, aku sudah tahu!"
"Bagus sekali Nathan, seperti biasanya," kata
Pak Anung sambil bertepuk tangan.
"Gila! Cuma lima menit," decak Dhihan kagum.
"Bukan manusia."
Raka menatap Nathan yang sedang berjalan ke
tempat duduknya. Dia balik menatap Raka
sekilas tanpa ekspresi, lalu mengalihkan
tatapannya lagi. Raka mengerutkan kening lalu
mencoba menerka apa yang dipikirkan cowok
itu saat ini. "Emang, batas antara genius dan gila cuma
setipis kertas," kata Raka kemudian.
Dhihan meringis. "Ah, kamu cuma sirik aja."
Raka menghela napas sambil menggaruk-garuk
kepala. "Apa katamu aja, deh."
Bagi Raka, selama pelajaran sains, entah kenapa
waktu berjalan begitu lambat. Dua setengah
jam terasa seperti dua setengah abad. Akhirnya,
bel penyelamat itu berbunyi juga.
"Baik," kata Pak Anung sambil membereskan
bukunya. "Kita sudahi sampai di sini saja.
Selamat siang." Raka menghela napas lega. Terima kasih, Tuhan.
Sebelum siswa kelas X itu sempat keluar, Nadyasang ketua kelas-maju ke depan dan memukulmukulkan penghapus papan tulis ke meja.
"Teman-teman, aku minta waktu sebentar!"
katanya tegas. Seisi kelas langsung membeku
mendengarkannya. "Sebentar lagi akan diadakan perayaan ulang
tahun sekolah kita," lanjut cewek itu. "Setiap
kelas diminta menampilkan suatu pertunjukan
dan wajib mengikuti bazar. Nggak ada
ketentuan akan apa yang harus ditampilkan dan
dijual, semua terserah kelas masing-masing.
Jadi, ada yang punya usul tentang apa yang
akan kita tampilkan?"
Tidak ada satu pun yang menjawab.
"Baik," kata Nadya lagi. "Kalau nggak ada, aku
sudah membuat kuisioner untuk diisi. Tolong
diisi dengan benar karena kalian jugalah yang
akan melaksanakannya. Tapi, sebelumnya, kita
harus terlebih dahulu memilih koordinator
pelaksana. Aku minta yang bersedia menjadi
koordinator mengacungkan tangan. Jangan
menunjuk orang lain!"
Seisi kelas terdiam. Tak ada yang berani
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajukan diri. Nadya mendesah kesal. "Karena nggak ada yang
berani, untuk sementara aku yang menjadi
koordinator pelaksana," lanjutnya. "Ada yang
keberatan?" tanyanya sambil menyapukan
pandangan ke seluruh kelas. Semua serempak
menggeleng dengan keras. "Baik," Nadya membagikan lembar kuisioner
yang dibuatnya, "kalau ada yang ingin
ditanyakan, tanyakan langsung padaku.
Kuisioner ini dikumpulkan paling lambat pulang
sekolah hari ini. Setelah selesai kurekap, baru
kita diskusikan bagaimana konsepnya."
Dhihan bersiul saat Nadya sudah keluar kelas.
"Well, di kelas kita ini, she is the man," ujarnya.
Raka mengangguk setuju. Kemudian, matanya
beralih pada Sarah dan tanpa sengaja
mendengarkan obrolan cewek itu dengan
teman sebangkunya. "Sori, aku lupa makalah sejarah kita," kata Nita,
teman sebangku Sarah, dengan nada menyesal.
"Nggak apa-apa," jawab Sarah, ia kelihatan
sungguh-sungguh. "Aku udah bikin tugas itu,
kok." "Atas nama kita berdua?" tanya Nita tak
percaya. Sarah mengangguk. "Aduuuh... Sarah, kamu baik banget," pekik Nita
sambil memeluk Sarah yang tampak tersenyum.
"Eh, buat tugas bahasa Inggris, kita satu
kelompok, kan" Sama Angel juga, kan?" tanya
Nita setelah melepaskan pelukannya.
"Iya." "Kamu udah bikin?"
Sarah menggeleng. "Belum, kupikir kita..."
"Eh, tolong buatin ya, Sar, aku sibuk banget,
nih," pinta Nita. "Kalau harus kerja bareng,
kayaknya nggak bakal ada waktu yang pas. Tadi,
Angel juga bilang gitu, dia sibuk banget sama
cheerleader-nya. Bisa nggak kamu buatin buat
kelompok kita" Ayolah Sar, kamu kan, yang
paling pintar..." Sarah tampak bimbang. "Ta-tapi..."
"Ayolah, Sar... Ya" Ya" Ya?" desak Nita.
"I-iya, deh," jawab Sarah, akhirnya.
"Aduuuuuh... makasiiihhh...!" seru Nita. "Aku
mau kasih tahu Angel dulu."
Dasar bodoh! umpat Raka dalam hati.
Kemudian, perhatiannya beralih pada suara
yang tiba-tiba meninggi dari dua meja di
depannya. "Ayolah, Than!"
Doni sedang membujuk Nathan untuk
melakukan sesuatu, tapi Nathan tampak tidak
menggubrisnya. "Aku nggak mau," jawab Nathan dingin.
"Kita ini satu kelompok!" ujar Doni yang tampak
kehilangan kesabaran. "Seharusnya, kita
kerjakan tugas ini bareng-bareng!"
Nathan meletakkan buku yang sedang
dibacanya, lalu mendongak dan menatap Doni
tajam. "Aku nggak mau," katanya. "Kalau kita
mengerjakannya sama-sama, yang bakal terjadi:
aku yang mengerjakannya dan kalian tinggal
menyalinnya." Dari ekspresi wajahnya, kelihatan sekali kalau
Doni tertohok. Namun, sepertinya, memang
itulah yang akan terjadi.
"Jadi, sebaiknya, masing-masing kita
mengerjakannya. Lalu, pada hari yang telah
ditentukan, hasilnya dikumpulkan dan
dikompilasi," tandas Nathan.
Doni terdiam. Dahinya mengernyit, masih tidak
setuju dengan usul Nathan.
"Kalau kamu nggak setuju dengan usulku,
terserah," ujar Nathan seakan-akan bisa
membaca pikiran Doni. "Kita bisa
mengumpulkannya secara individu. Kurasa, Bu
Husna nggak akan keberatan, soalnya tugas ini
dijadikan tugas kelompok cuma biar beban kita
ringan aja. Dan, mengerjakannya seorang diri
bukan masalah besar buatku."
Doni kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa
membalas, merasa kalah. "Terserah kamu aja, aku kasih tahu yang lain,"
katanya dengan lunglai. Mengerikan... batin Raka membayangkan harus
menghabiskan satu tahun pertamanya di SMA
dengan orang-orang seperti Nathan, Nadya, dan
Sarah. Bu Ratna pasti bercanda! *** "Di mana Sarah?" tanya Nadya saat anggota
majalah sekolah berkumpul di ruang redaksi.
"Mana aku tahu, emangnya aku baby sitternya?" jawab Raka asal.
"Seharusnya, dia sudah di sini buat rapat,"
gerutu Nadya. "Payah! Dia kan, ketuanya!"
"Sabar dan tunggu aja," ujar Nathan yang
sedang sibuk di depan komputer main football
manager. Walaupun masih tampak jengkel, Nadya
menurut pada Nathan. dia mengambil sebuah
buku dari dalam tasnya, lalu mulai membaca.
Raka seperti biasa, mengandalkan iPod untuk
menemaninya. Majalah sekolah yang mereka kerjakan itu diberi
nama Veritas oleh pendirinya, bahasa latin dari
"kebenaran". Seharusnya, redaksi Veritas
digawangi anak-anak kelas XI. Namun, entah
apa yang terjadi, sekarang, tinggal Sarah-yang
jelas-jelas duduk di kelas X-yang masih tersisa.
Karena itu, akhirnya, Bu Ratna mengajak paksa
murid-muridnya untuk jadi anggota tambahan.
Oleh Sarah, sang editor in chief, ketiga anggota
baru tersebut diberi tanggung jawab sesuai
dengan kapasitas kemampuannya masingmasing. Nathan yang paling pintar di kelas
bertanggung jawab atas artikel pengetahuan,
baik umum maupun khusus. Nadya, si ketua
kelas yang jaringan pertemanannya luas,
bertanggung jawab atas artikel tentang sekolah:
events, serba-serbi, sejarah, dan lain-lain.
Sementara itu, Raka, yang sudah jelas tidak bisa
apa-apa, membantu dalam hal-hal seperti
fotocopy, membeli alat-alat, mengangkat ini,
mengangkat itu-segala hal yang kalau saja ini
bukan hukuman, bisa dipastikan cowok ini
sudah lari. Raka melirik jam tangannya. Pukul dua lewat,
Sarah lama sekali. "Aku mau cari Sarah," kata Raka kemudian,
sambil bangkit dari duduknya. "Ini udah pukul
dua lewat." Nathan dan Nadya hanya menatapnya tanpa
mengatakan apa-apa. Lalu, kembali asyik
dengan apa yang sedang mereka lakukan.
Ternyata, Sarah sedang berada di kelas.
"Hoi!" Sarah mendongak. "Lagi ngapain?" tanya Raka. "Yang lain udah
nunggu dari tadi buat rapat."
"Ya, Tuhan!" pekik Sarah. "Aku lupa!
Bagaimana, dong?" "Ngerjain apa, sih?" tanya Raka lagi sambil
duduk di meja depan mejanya.
"Tugas kimia," jawab Sarah panik sambil
memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas.
"Tugas kimia?" Raka mengernyitkan dahi.
"Bukannya itu tugas kelompok?"
"Iya, tapi anggota kelompokku yang lain lagi
sibuk. Jadi, mereka minta tolong aku buat
mengerjakannya," ujar Sarah, seakan-akan apa
yang dilakukannya adalah hal wajar.
"Dan, kamu mau?" tanya Raka tak percaya.
"Emangnya kenapa?" Sarah balik bertanya
dengan agak takut-takut. "Kamu itu... bukannya sedang dimanfaatin?"
Sarah terdiam. Tampaknya, kata-kata Raka
tepat kena sasaran. "Maaf, aku akan cepat-cepat selesaikan,"
katanya kemudian, mencoba mengalihkan
pembicaraan. Raka menghela napas. "Sudahlah, nggak perlu
buru-buru. Lagian, cuacanya lagi enak."
"Eh?" Sarah memandang Raka dengan tatapan
aneh. "Harus benar-benar dinikmatin," ujar Raka.
"Soalnya, begitu kamu masuk ruang Veritas,
kamu akan langsung membeku gara-gara dua
orang itu. Mereka, kan, paling jago bikin
suasana berasa kayak Benua Antartika."
Sarah terkikik mendengar ucapan Raka.
"Kupikir, cuma aku yang berpikiran gitu."
Raka meringis. "Aku justru heran kalo ada yang
nggak berpikiran gitu."
Kedua orang itu tertawa. "Selesai!" kata Sarah nggak lama kemudian
sambil merapikan kertas-kertas di mejanya.
"Kalo gitu, aku tunggu di luar, ya," kata Raka.
"Eh, Ka!" cegah Sarah.
"Hm?" Sarah tampak bingung seperti sedang
menimbang-nimbang hendak mengatakan
sesuatu. "Aku ini..." katanya tanpa berani menatap mata
Raka. "Apa?" "Aku ini bodoh, ya?" tanya Sarah, sambil
menunduk. "Aku tahu aku dimanfaatin, tapi aku
nggak bisa nolak." Raka mendesah, lalu menggaruk-garuk kepala,
bingung harus mengatakan apa.
"Nggak," jawabnya akhirnya. "Kamu nggak
bodoh. Kamu cuma terlalu baik."
Sarah menatapnya tak percaya, kemudian
tersenyum. Wajahnya bersemu.
"Udahlah! Ayo cepat!" kata Raka. "Aku nggak
tahu lagi apa yang bakal terjadi kalau
meninggalkan mereka berdua lebih lama."
Sarah mengangguk. "He-eh."
*** "YOOOOO...!!!" Raka menoleh, Dhihan langsung menendang
bola ke arahnya. Sebuah umpan yang bagus.
Raka menerjang maju dengan bola di kaki. Satudua lawan berhasil dia kecoh dan tinggal
selangkah lagi... "GOOOOOOOLLLLL...!!"
"Nice," kata Dhihan sambil terengah-engah
menghampirinya. Napas Raka juga naik-turun. "Thanks, itu berkat
umpanmu juga." Dhihan meringis. "Capeknyaaaaa..." Toni merebahkan diri di
pinggir lapangan setelah permainan selesai.
"Gimana kalo lain kali kita main sepak bola aja,"
usul Virgo. "Bosan main futsal mulu."
"Aku penginnya juga gitu," ujar Raka. "Tapi,
orangnya kurang." "Kita ajak temen-temen sekelas aja." Dhihan
yang dari tadi hanya diam dan mengompres
mukanya dengan botol air mineral akhirnya
buka suara. "Ah... nggak! Nggak!" Leo menolak. "Orang, aku
ajak nonton Ligina aja mereka nggak mau!
Lagian, apa kamu nggak lihat, anak-anak yang
demen olahraga di kelas kita tuh bisa diitung
pake jari! Jari tangan pula! sepuluh orang, ya,
kita-kita ini!" "Eh, tapi siapa tahu, lho," kali ini Pupung angkat
bicara. "Kali aja mereka nggak suka nonton, tapi
main. Emangnya, kamu udah nanya mereka
satu-satu?" Doni mengangguk. "Bener! Bener! Coba aja kita
ajak temen-temen. Eh, si Nathan tuh jago
olahraga juga, kan?"
Raka dan Dhihan serempak menyahut. "YANG
BENER"!" "Iya!" kata Doni. "Dia kan, tadinya di Surabaya,
baru pindah ke sini waktu lulus SMP. Nah, di
Surabaya itu, dia udah menang beberapa
kejuaraan olahraga dari basket, sepak bola,
atletik, voli, sampai pencak silat."
"Hebaaaaat..." seru Raka kagum.
"Dia emang hebat!" Doni mengamini.
"Bukan dia," ujar Raka, "maksud aku, KAMUnya. Kok, bisa tahu sampe sedetail itu tentang
Nathan. Jangan-jangan, kamu nge-fans sama
dia, ya?" Dhihan dan Virgo langsung menyeringai.
"Bu-bukan!" sergah Doni salah tingkah. "Aku
cuma lihat di internet!"
"Nah! Itu dia!" seru Raka. "Kenapa kamu mesti
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngebela-belain cari di internet segala kalo bukan
nge-fans namanya?" "Bukaaaaan!! Itu..." Doni benar-benar salah
tingkah hingga kehabisan kata-kata. Semua
tertawa melihatnya. "Eh, tapi info itu kayaknya emang bener, lho,"
kata Pupung. "Inget nggak dulu, waktu Raka
ngehabisin anak-anak basket" Nah, sebelum itu,
si Nathan udah ngehabisin mereka duluan."
"Oh, ya?" tanya Raka tak percaya.
"Oh, iya! Bener! Bener!" timpal Dayat. "Aku juga
denger!" "Mereka juga digebukin sama Nathan?" tanya
Dhihan. "Kok, nggak kapok, sih" Udah
digebukin, masih juga pake acara nantang Raka
segala." "Nathan nggak ngegebukin. Itu bedanya yang
berotak dan yang nggak," jawab Dayat sambil
melirik Raka. Sialan, umpat Raka dalam hati.
"Nathan berhasil "ngehabisin" mereka waktu dia
ditantang tanding basket 5 lawan 1," lanjut
Dayat. "Dia tiga kali three point dan masuk
semua." "Hah! Gila! Bukan manusia tuh!" sembur Virgo.
"Tapi, kalo apa yang KAMU bilang itu bener,"
kali ini Alfi yang angkat bicara, "kenapa aku
nggak pernah lihat dia waktu jam olahraga, ya?"
"Dia punya dispensasi khusus kali," Leo angkat
bahu, "aku denger-denger sih, dia kena anemia.
Lagian, ayahnya kan, orang kaya. Jadi, mungkin
di situ juga "pendorong" dispensasinya."
"Hayah! Banci banget!" dengus Raka. Dia paling
tidak suka dengan anak yang memanfaatkan
kekayaan orangtuanya. "Eh, tapi aku penasaran sama anak-anak basket
itu," kata Dhihan. "Mereka ngapain, sih, pake
acara nantang-nantang gitu?"
"Alaaaah... kayak nggak tahu aja," cibir Leo.
"Dari zaman penjajahan Belanda sampe
sekarang, yang namanya klub basket SMA tuh
pasti jadi idola cewek-cewek satu sekolah. Jadi,
begitu dirasa ada "ancaman" terhadap
kepopuleran mereka, mereka pasti langsung
bertindak buat meredam atau, kalau perlu,
mencabut sampai ke akar-akarnya."
"Kalo Nathan, sih, aku ngerti kenapa dianggap
ancaman. Dia kan, punya tampang, duit, dan
otak," timpal Septian. "Nah, kalo Raka"
Ancaman dari Hong Kong!"
"Sialan!" umpat Raka sambil pura-pura hendak
memelintir leher Septian.
"Wah, jangan salah," ujar Toni. "Cewek-cewek
tuh justru seneng sama muka-muka badak, tapi
hati merpati kayak Raka gini."
Kontan mereka semua tertawa.
"Ntar malem, jadi ke tempatku, Ka?" tanya
Dhihan sambil berjalan menuju lapangan parkir,
saat mereka beranjak pulang.
Raka mengedikkan bahu. "Lihat-lihat entar, Han.
Kalo males, ya, aku nonton Liga Champion-nya
di rumah aja." "Yang pasti, aku pegang Liverpool!" seru Toni.
"Sori ya, Ton, kami bertiga Milanisti. Jadi, jauhjauh deh, kalo ngomongin Liverpool." Virgo ikut
menimpali. "Sial!" gerutu Toni sambil mengeluarkan
bungkusan rokok dari sakunya, lalu menawari
teman-temannya satu per satu.
Dhihan dan Virgo mengambil sebatang. Ketika
cowok itu menyodorkannya ke Raka, dia
menampiknya. "Sori, aku nggak ngerokok."
"Hah?" Virgo dan Toni langsung memandang
Raka dengan aneh, seakan-akan dia sedang
melihat singa yang tiba-tiba memutuskan jadi
vegetarian. "Iya, Raka nggak ngerokok," kata Dhihan
kemudian. "Masalah pribadi."
Mereka terdiam sejenak, tapi kemudian Toni
mengangguk, begitu juga Virgo. Mereka bisa
memaklumi dan berniat nggak akan
mempermasalahkannya. Raka bersyukur dia
nggak salah memilih teman.
Raka menoleh ke arah Dhihan lalu,
mengucapkan, "Thanks" tanpa suara. Dhihan
hanya mendelik sambil tersenyum. Raka dan
Dhihan berteman sejak SMP. Jadi, cowok itu
tahu benar alasan Raka tidak merokok adalah
karena ayahnya seorang perokok berat.
*** -3- Gara-gara percakapan kemarin, tanpa disadari,
hari ini, mata Raka tidak bisa beralih dari
Nathan. Raka-mungkin juga orang lain-tidak
akan menyangka kalau di balik kulit putih pucat
dan tubuh kurus tinggi Nathan itu terdapat
bakat olahraga yang demikian besar.
Kalau nggak dibuktiin sendiri, aku nggak akan
percaya, kata Raka dalam hati.
"Berhenti menatapku seperti itu!" kata Nathan
dingin. Raka terkejut seakan-akan disadarkan dari
lamunan. "Ma-maksudmu?" tanyanya purapura tidak mengerti.
Nathan menutup bukunya. "Nggak perlu
mengelak, soalnya aku bisa merasakannya.
Tatapanmu itu membuat bahu kananku
kesemutan." Raka kehilangan kata-kata. Berbohong juga
sepertinya percuma. Nathan menoleh. "Kalau kamu diam-diam
menyukaiku, bilang saja."
"Hah?" "Jangan takut, aku ini orang yang berpikiran
terbuka," lanjut cowok berkulit putih itu kalem.
"Aku tahu rasa suka itu nggak bisa dilawan.
Tapi, maaf, aku masih normal. Jadi, tolong kamu
cari cowok lain saja."
Raka langsung mendelik. APA" jeritnya dalam hati. Dapat pikiran sinting
dari mana dia! Raka bangkit. "Hei! Aku..." Belum sempat cowok
itu meneruskan ucapannya, Nadya berteriak
sambil memukul papan tulis dengan penggaris
kayu. Nathan pun membalikkan badannya lagi,
tak memedulikan Raka. "Teman-teman! Pak Guru lagi ada keperluan.
Beliau memberi tugas yang harus dikumpulkan
sepulang sekolah!" kata sang ketua kelas itu.
"Kerjakan soal halaman 41 Task 4-17 dan 4-18 di
kertas folio." Seisi kelas langsung mengerang, tetapi Nadya
tidak menggubrisnya. "Terus, setelah ini, saat jam olahraga, kita
diminta langsung berkumpul di lapangan voli,"
lanjutnya. "Hari ini, ada penilaian melalui
pertandingan." Kali ini, yang terdengar paling banyak
mengerang adalah para cewek. Tentu saja, tidak
banyak cewek yang benar-benar suka olahraga.
"Itu saja!" kata Nadya, lalu kembali ke tempat
duduknya. "Fuuuh..." Dhihan mengeluh.
"Huah! Males!" kata Raka sambil meregangkan
otot. "Sama! Tapi, kalo itu jadi alasanmu nggak
ngerjain tugas, bisa-bisa, kamu di-smack down
sama Nadya nanti," ujar Dhihan sambil
mengeluarkan buku dari dalam tasnya.
Raka menatap Dhihan dengan tatapan tidak
percaya. "Serius!" lanjut Dhihan, seperti mengerti
maksud tatapan teman sebangkunya itu. "Dia
itu kan, juara judo. Nah, kamu pikir, kenapa dia
yang dipilih jadi ketua kelas" Soalnya, cewek
maupun cowok nggak akan ada yang berani
ngelawan dia." Raka manggut-manggut. "Tapi, kayaknya,
emang dia yang paling cocok."
"Iyalah... masa kamu!" Dhihan memutar bola
matanya. "Bu Ratna mesti mikir seribu kali kalo
mau memilihmu. Eh, jangan-jangan, dalam
pikiran Bu Ratna, malah nggak pernah ada
namamu." "Kalau kamu ngomong lagi, gantian kamu yang
aku smack down!" geram Raka jengkel.
Dhihan hanya meringis. "Sekali-sekali, kata-kata
bales pake kata-kata dong, jangan pake otot
mulu!" "Aku juga penginnya begitu, tolol!" gerutu Raka.
Dhihan tertawa. *** "Tuh! Tuh lihat! Nathan nggak ikut olahraga
lagi," kata Doni sambil menunjuk Nathan yang
sedang duduk di pinggir lapangan dengan
pandangan matanya. "Lagi datang bulan kali," komentar Alfi asal.
"Mungkin amnesianya kumat," kata Leo.
"Anemia, bukan amnesia dodol!" ralat Dhihan.
"Terserah apalah itu namanya!" kilah Leo.
Raka melihat Nathan beberapa kali mencuri
pandang ke arah mereka. "Wah! Lihat tuh!" Tiba-tiba, ada yang berseru.
Raka menoleh dan melihat teman-temannya
sedang menatap kagum ke arah para cewek
yang sedang melakukan pertandingan voli.
Sekali melihat, dia langsung tahu siapa yang
membuat mereka kagum. Nadya.
"Gila! Lihat nggak tadi smash-nya?" Dhihan
sampai bersiul. "Tajam banget!"
"Nadya emang cewek favoritku di kelas," timpal
Doni yang langsung dijawab anggukan oleh yang
lain. "Udah cantik, pinter, serbabisa pula." Virgo ikut
menambahi. Raka hanya diam, tetapi dalam hati, dia setuju
dengan pendapat teman-temannya. Nadya
memang termasuk salah satu murid paling
cantik di kelas satu, atau, bahkan, di antara
cewek-cewek seangkatannya. Kulitnya putih,
rambutnya hitam panjang, dan tubuhnya tinggi
langsing. Dia paling pintar di kelas-setelah
Nathan-dan salah satu murid kepercayaan guruguru di sekolah ini. Selain andalan klub judo, dia
juga pengurus OSIS dan aktif berbagai
perkumpulan lain. Begitu melihatnya, siapa pun
akan langsung tahu Nadya bukan cewek
sembarangan. "Eh, tapi ngomong-ngomong, ada nggak dari
kalian yang pernah nyoba nembak dia?" celetuk
Leo tiba-tiba. Semua langsung terdiam.
"Ngg-, iya sih, dia cewek favoritku, tapi kalo
buat jadi pacar kayaknya nggak, deh," kata
Doni. "Lagian, dia agak menakutkan."
Alfi mengangguk. "Iya, kalo buat pacar, aku
akan lebih milih yang biasa-biasa aja. Kalo bisa,
malah yang agak rapuh dan manja gitu biar aku
dibutuhin. Kalo sama cewek yang serbabisa
kayak Nadya, kapan aku dibutuhinnya?"
"Bener! Bener!" timpal Dhihan. "Kita emang
seneng lihat cewek mandiri, tapi kalo semua
bisa dia lakuin sendiri, kayaknya nggak, deh.
Kesannya kita nggak dibutuhin banget!"
"Setuju!" Septian ikut angkat bicara. "Kalo aku,
mendingan yang kayak Sarah gitu, deh! Manis
banget! Hehehe." Beberapa orang mengangguk.
"Jadi, intinya, belum pernah ada yang nembak
Nadya?" tanya Raka akhirnya. Teman-temannya
menggeleng. "HOI! KALIAN YANG DI SANA! JANGAN BICARA
SENDIRI! SEKARANG, GILIRAN KALIAN!" bentak
Pak Tono, guru olahraga. Raka menoleh sekali lagi ke arah Nadya sebelum
siap-siap bertanding. Cewek itu sedang duduk
melemaskan otot, pertandingan grup cewek
sudah selesai. Ketika Raka sedang menatapnya
seperti itu, tiba-tiba Nadya menoleh tepat ke
arahnya hingga tatapan mereka bertemu.
Anehnya, Raka tidak berniat mengalihkan
pandangan secepatnya layaknya orang yang
sudah tertangkap basah. Malah Nadya yang
memalingkan wajahnya. "Raka!!!" panggilan Dhihan-lah yang
mengharuskan Raka berpaling.
*** Begitu jam olahraga selesai, hampir semua anak
menghambur kembali ke dalam kelas. Namun,
Raka masih terduduk di pinggir lapangan
melepas lelah. Ternyata, bukan hanya cowok ini
yang ada di lapangan. Di lapangan, Nadya
tampak sedang memunguti bola-bola voli yang
berserakan. Dia kelihatan kesulitan membawa
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bola-bola itu kembali ke gudang.
"Mau aku bantu?" tanya Raka menawarkan diri.
"Nggak usah, aku bisa sendiri," jawab Nadya
tegas walaupun ucapannya itu berbeda dengan
keadaan yang terlihat. Tanpa bicara lebih lanjut,
Raka langsung mengambil bola-bola yang ada di
tangan Nadya dan hanya menyisakan dua buah
untuk cewek itu. "HEEEEIII!!!!" protes Nadya.
Raka tidak menggubrisnya dan berjalan cepat
menuju gudang. Nadya hanya mengikutinya
sambil menggerutu. "Bukannya udah kubilang aku nggak butuh
bantuan"!" Raka hanya diam sambil memasukkan bola-bola
itu ke dalam keranjang. "Kamu pikir, aku nggak bisa melakukannya
sendiri?" Nadya masih melancarkan protesnya.
"Kamu tipe cowok yang merendahkan
kemampuan cewek ya" Kamu itu... bla... bla...
nya... nyaa... myu... myu..."
Entah kenapa, suara Nadya jadi terdengar
seperti itu di telinga Raka.
Cewek ini benar-benar berisik! gerutu Raka.
Raka tetap diam dan justru mengambil bola di
tangan Nadya, lalu memasukkannya ke dalam
keranjang. "Hei! Kamu belum menjawab pertanyaanku!"
sahut Nadya. Raka membersihkan tangannya, lalu menatap
cewek di depannya dengan dingin. Nadya
tampak terkejut dan langsung terdiam.
"Terima kasih kembali," kata Raka, kemudian
pergi. Nadya melongo. Tidak jauh dari tempatnya berjalan, Raka
melihat Nathan keluar dari kamar mandi dekat
lapangan. Mukanya pucat dan tampak
kepayahan. Raka langsung berlari menghampiri
cowok itu. "Hei! Hei!" Raka mencengkeram bahunya.
"Kamu nggak apa-apa?"
Nathan menatapnya setengah sadar. "Kamu
siapa?" Waduh! Berarti, bener nih anak kena amnesia
bukan anemia, pikir Raka.
"Aku Raka, Caraka," kata Raka panik.
"Oh... kamu, Ka..." kata Nathan lirih, dan
tampaknya sudah bicara sekuat tenaganya.
"Kamu kenapa?" "Nggak apa-apa," jawab cowok itu, tetapi
kemudian dia melorot dan jatuh terduduk. "Aku
cuma lapar." "Hah!!" Raka langsung mendelik. "Lapar sampai
kayak gini" Emang kamu berapa tahun nggak
makan?" Raka bercanda. "Eh, sudah minum
obat?" "Kamu pikir aku kayak gini gara-gara apa?"
Nathan balik bertanya dengan napas tersengalsengal.
"Hah" Gara-gara minum obat?" Raka
mengerutkan kening. "Obatmu kedaluwarsa
pasti! Aku anter ke UKS, Than!"
"BERISIK!" Nathan tiba-tiba berteriak.
Raka terdiam beberapa saat. Tak lama, ia segera
bangkit. "Terserah apa maumu!"
"Tunggu!" cegah Nathan sambil mencengkeram
kaki Raka tepat saat dia hendak melangkah.
"Temani aku di sini sebentar."
Raka menatap temannya itu dingin.
Nathan balas menatapnya. "Aku mohon."
Raka masih bergeming, mencari tahu apakah
cowok itu sungguh-sungguh mengatakan
permohonan itu. Dan, setelah sadar bahwa
Nathan tidak sedang berbohong, Raka
menyerah, lalu duduk di sampingnya.
"Oke, apa kata kamu aja." Raka menghela
napas. Nathan hanya diam sambil memejamkan
mata, berusaha mengumpulkan tenaganya lagi.
*** -4- Kegiatan favorit Raka setiap pulang sekolah
adalah meluncur ke rental VCD dekat
rumahnya. Sejak kecil, dia selalu ingin menjadi
sutradara film. Baginya, film adalah sebuah
dunia baru, dunia tempat semua imajinasi
terjelajahi, tidak ada sudut yang tak terkunjungi,
dan tidak ada pikiran yang tak terungkapkan.
"Flags of Our Father... Flags of Our Father..."
gumam Raka sambil menjelajahi deretan VCD,
mencari-cari film Clint Eastwood yang tidak
sempat dia tonton di bioskop. Film itu dibuat
berdasarkan foto tentang peristiwa penegakan
bendera di Gunung Suribachi, Iwo Jima-hasil
bidikan Joe Rosenthal-yang kemudian
memenangi Pulitzer pada 1945.
Ah ini dia! Tepat saat Raka hendak mengambil VCD yang
tinggal satu-satunya itu, ada satu tangan lagi
yang secara bersamaan memegangnya.
Sungguh! Di saat seperti ini, adegan ala sinetron
seperti ini adalah hal terakhir yang kuinginkan,
desah Raka dalam hati. Dia menoleh untuk
melihat pemilik tangan yang akan merampas
VCD incarannya itu. "Nadya!" Raka terpekik kecil.
"Kamu nggak perlu bereaksi seakan-akan aku ini
hantu," komentar Nadya dingin tanpa
melepaskan tangannya dari VCD yang dia
pegang. "Kenapa di sini?" tanya Raka heran.
Nadya memutar bola matanya. "Apa yang
biasanya kamu lakukan di rental VCD" Beli
baju?" "Bukan itu! Maksudku-"
"Kenapa di rental VCD ini?" potong Nadya
sebelum Raka sempat melanjutkan
omongannya. "Tentu saja karena tempat ini
yang paling dekat sama rumahku."
Raka melongo. "Emangnya, rumah-"
"Rumahku di Jalan Yogya, rumahmu di Jalan
Surabaya, kan?" potong Nadya seakan-akan
tahu apa yang ingin ditanyakan teman
sekelasnya itu. "Gimana-" "Bagaimana aku tahu alamatmu" Aku ini ketua
kelas, remember?" "Kenapa-" "Kenapa kita nggak pernah ketemu?" Lagi-lagi
Nadya memotong ucapan Raka. "Mana aku
tahu, kamu pikir kompleks kita selebar daun
kelor?" "Tunggu!" sergah Raka jengkel. "Kok, kamu bisa
membaca pikiranku"!"
Nadya menghela napas, lalu memandang cowok
di hadapannya itu dengan tatapan malas. "Apa
kamu nggak sadar kalau kepalamu itu
transparan?" Raka mengernyitkan dahi. Maksudnya" "Tapi,
kenyataannya, dunia ternyata memang selebar
daun kelor," gumamnya. "Buktinya, kita sampai
bisa ketemu di sini."
"Ah, sudahlah. Sekarang, bisakah kamu biarkan
aku yang terlebih dulu minjam VCD ini?"
"Nggak!" jawab Raka tegas.
"Bukannya cowok itu seharusnya mengalah
sama cewek?" desah Nadya.
"Sori," balas Raka, "di zaman sekarang, yang
berlaku adalah kesetaraan gender." Dia
menepis tangan Nadya dari VCD-nya.
"Sir!" seru Nadya jengkel. "You are no
gentlement!" Raka langsung terpaku. "And you, Miss,"
balasnya, mencoba menguji, "are no lady. Don"t
think that I hold that against you."
Sejurus kemudian, Nadya langsung membatu. Di
matanya, terlihat keheranan dan kekaguman
bercampur menjadi satu. Tebakan Raka benar,
barusan, Nadya memang mengutip kata-kata
dari film Gone with the Wind.
"Kamu... tahu juga..." katanya terbata-bata
seakan-akan masih tak percaya dengan apa
yang baru saja dia dengar.
Raka mengangkat bahu, lalu meringis. "My
favourite." "Terus" Terus, apa lagi?" tanya Nadya. Kali ini,
dia terlihat sangat antusias. Bahkan, tanpa
sadar, dia mencengkeram tangan Raka.
"Casablanca," jawab Raka sambil melepaskan
tangannya pelan-pelan. Lagi-lagi, Nadya membatu. Entah kenapa.
"Sutradara favorit?" tanyanya lagi.
"Clint Eastwood. Kamu pikir, ngapain aku ngotot
pinjam VCD ini?" Raka bertanya balik sambil
mengacung-acungkan VCD Flags of Our Father.
Cukup lama Nadya menatap Raka tanpa
berkata-kata. Kemudian, dia menggeleng. "Oke,
kamu mulai membuatku takut," katanya. "Jujur
aja, Ka, kamu diam-diam mencari tahu tentang
aku, ya?" "Hah?" gantian Raka yang membatu. Melongo.
"Casablanca dan Gone with the Wind bukan film
yang umum disukai anak-anak seumuran kita,"
jelas Nadya. "Apalagi, kamu."
Raka menyipitkan mata. "Apa maksudmu
dengan "apalagi, kamu?""
"Lagian, biasanya, Steven Spielberg lebih disukai
daripada Clint Eastwood," tambah Nadya.
"Sudahlah Ka, ngaku aja, semua persamaan ini
terlalu aneh." Otak sejempol Raka membutuhkan waktu agak
lama untuk mencerna kata-kata cewek itu
sampai akhirnya dia melotot. "Hah! Jadi kamu
juga suka Casablanca, Gone with the Wind, dan
Clint Eastwood"!!"
"Dan, kamu kira aku pura-pura suka gara-gara
tahu kamu juga suka?" lanjut Raka, padahal dia
sendiri hampir tidak bisa memercayai apa yang
baru saja dikatakannya. Nadya menghela napas. "Berhentilah pura-pura
nggak tahu." "Tapi, aku emang nggak tahu!" Raka membela
diri. "Dua film itu emang favoritku!"
Nadya memandang cowok itu tak percaya.
"Round up the usual suspect," Raka mencoba
mengutip salah satu line terkenal dari
Casablanca. "Nice try, Ka," cibir Nadya. "Kamu, kan, bisa
nyari di internet." Busyet! Jadi, dia pikir aku mati-matian mencari
tahu tentang Casablanca dan Gone with the
Wind gara-gara dia" Gila! Sinting! Nggak waras!
Kepedean! gerutu Raka. Lama berpikir demi membersihkan nama baik
supaya tidak dikira stalker alias penguntit,
akhirnya Raka menemukan salah satu kata-kata
khas Casablanca. "I stick my neck out for nobody."
Nadya terdiam, tetapi tidak lama kemudian, dia
mengangkat bahu. "Nggak kusangka kamu
bahkan rela nonton film itu demi aku."
Raka langsung mendelik. W-H-A-T"!
Malas berdebat lebih lanjut, cowok ini memutar
bola matanya sambil membalikkan badan. "Apa
katamu aja, deh." Tiba-tiba, Nadya menarik kaus Raka. "Maaf...
maaf... aku bercanda, aku tahu kamu nggak
pura-pura." Raka menoleh. "Permintaan maaf diterima,
sekarang bisa nggak kamu lepasin tanganmu,
melar nih." Nadya melepaskan pegangannya. "Sori..."
"Aku duluan," kata Raka sambil berjalan menuju
meja penjaga rental. Ketika dia keluar, ternyata Nadya berada di
belakangnya. "Jadi, kamu pinjem apa?" tanya Raka.
Nadya mengangkat bahu. "Nggak ada, orang
aku ke sini cuma mau pinjem yang sekarang di
tanganmu itu," katanya sambil menuju
sepedanya yang diparkir di depan toko.
Raka terdiam sejenak, berpikir, hingga akhirnya
menghela napas. "Oke, kamu duluan yang
nonton kalo emang segitu penginnya nonton
film ini." "Hah?" Nadya yang sudah bersiap-siap pergi
dengan sepedanya langsung melongo.
"Kamu tonton dulu saja, terus balikin ke aku
lagi," jelas Raka sambil mengacungkan VCD yang
baru dia pinjam. "Tapi, secepatnya, ya."
"Serius?" tanya Nadya, masih tak percaya, lalu
turun dari sepedanya.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang iya, tapi nggak tahu lima detik lagi."
Nadya cepat-cepat mengambil VCD yang
diacungkan Raka. "Kenapa kamu melakukan
ini?" tanyanya curiga.
Raka mendesah. Manusia itu memang aneh,
kalau ada yang berbuat jahat mereka marah,
tapi kalau ada yang berbuat baik, mereka
curiga. "Kalau nggak mau, ya, udah," kata cowok ini
sambil mengambil lagi VCD yang ada di tangan
Nadya. "Ah!" Nadya terpekik kecil. "Aku mau!" Dia
merebutnya kembali. "Thanks," ucapnya sambil
tersenyum. "Manis," kata Raka tanpa sadar.
"Hah?" Nadya memandangnya heran. "Manis
apanya?"" "Senyum," jawab Raka. "Kalau kamu senyum,
manis juga." Nadya langsung terdiam dan menatap cowok itu
sinis. "Lho, emangnya kata-kataku salah, ya?" tanya
Raka tak mengerti kenapa Nadya langsung
bereaksi seperti itu. "Kamu nggak tahu kalau
senyummu manis" Jangan-jangan, selama ini,
belum pernah ada yang memberi tahu tentang
itu, ya?" Nadya hanya diam, menunduk, seakan-akan
mengiyakan kata-kata teman sekelasnya ini.
Raka mendesah. "Wah! Teman-temanmu
selama ini payah." "Bukan," kata Nadya akhirnya. "Karena, selama
ini, teman-temanku adalah tipe orang yang
berpikir sebelum bertindak."
Raka langsung mengernyit. "Hah! Jadi,
maksudmu, aku ini tipe orang yang bertindak
sebelum berpikir?" "Lho, kamu nggak tahu?" Nadya pura-pura
terkejut. "Jangan-jangan, selama ini, belum
pernah ada yang memberi tahu tentang itu,
ya?" "Kembalikan VCD-nya!" teriak Raka. "Aku nggak
jadi minjemin ke kamu!" kata Raka sambil
mencoba merebutnya dari tangan Nadya.
Sayangnya, kali ini, cewek itu lebih gesit.
"Maaf, tapi kamu udah minjamin ke aku dan
laki-laki nggak boleh menarik ucapannya lagi,"
kata Nadya penuh kemenangan sambil berjalan
menuju sepedanya. Raka mengembuskan napas, lalu tersenyum.
*** -5- "Dhihan." "Mampus..." desis Dhihan.
"Coba kamu ceritakan isi kitab
Nagarakertagama," perintah Bu Hestu.
Dhihan langsung garuk-garuk kepala. Keringat
sedikit demi sedikit mulai mengucur dari
dahinya. "Ini pelajaran Sejarah SMP, lho, Dhihan," Bu
Hestu mulai nggak sabar. "Lagi pula, minggu
lalu, kan, sudah Ibu suruh mempelajarinya."
"Iya, Bu," kata Dhihan pasrah.
"Di SMP dulu, kamu belajar apa?" tanya Bu
Hestu setelah beberapa menit menunggu dan
tak satu pun kata terucap dari mulut Dhihan.
"Jangan-jangan, anggota Tiga Serangkai saja
kamu tidak ingat!" Dhihan menelan ludah, dia memang tidak ingat
siapa saja tokoh-tokoh itu.
"Kamu tidak ingat?" Bu Hestu mendelik.
Dhihan melirik Raka meminta pertolongan. Raka
berusaha memberi tahunya sebisa mungkin
tanpa ketahuan Bu Hestu. Pertama-tama, dia
menggerak-gerakkan mulut untuk membentuk
kata-kata, tetapi karena Dhihan tidak bisa
menangkap gerakan itu, akhirnya, Raka
memutuskan memberi tahu teman
sebangkunya itu dengan volume sepelan
mungkin-dalam rentang yang mungkin masih
dapat didengar cowok itu.
"Ki Hajar Dewantoro..."
Dhihan mengangguk-angguk mengerti.
"Raka!" bentak Bu Hestu. "Jangan bantu
Dhihan!" "Iya, Bu," kata Raka, lalu memandang Dhihan,
mengedikkan bahu sambil berkata, "Sori" tanpa
suara. Dhihan menghela napas panjang.
"Sekarang, Dhihan, apa jawabannya?" tanya Bu
Hestu. "Ki Hajar Dewantoro, Bu," jawab Dhihan.
Bu Hestu mengangguk. "Dua lagi siapa?"
Dhihan mengangkat bahu. "Ki Hajar Dewantoro
dan... dua orang temannya."
Kontan seisi kelas langsung tertawa.
"Nilaimu Ibu kurangi," kata Bu Hestu sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Raka, jawab."
"Ki Hajar Dewantoro, Douwes Dekker, dan Dr.
Cipto Mangunkusumo," jawab Raka. Sejarah
memang satu-satunya mata pelajaran yang
membuat cowok ini menonjol.
"Bagus," kata Bu Hestu. "Tapi, karena tadi kamu
mencoba membantu Dhihan, sekarang, jawab
pertanyaan awal Ibu, ceritakan isi kitab
Nagarakertagama." "Baik," jawab Raka. "Nagarakertagama bercerita
tentang Ken Arok atau Angrok, cikal bakal rajaraja Majapahit."
"Tunggu," potong Bu Hestu. "Kamu tahu siapa
yang membuatnya, kan?"
Raka mengangguk pasti. "Mpu Prapanca."
Bu Hestu memberi tanda untuk melanjutkan
penjelasannya. "Ken Arok adalah keturunan Bhatara Brahma
lewat hubungannya dengan Ken Endok, seorang
perempuan biasa," lanjut Raka. "Ia memperistri
Ken Dedes, seorang paroperempuan dari satu
kesatuan Siwa-Durga. Siapa pun yang berhasil
memperistri Ardhanariswari, dipercaya akan
menjadi penakluk dunia. Ken Arok berhasil
memperistri Ken Dedes setelah ia membunuh
suami Ken Dedes, Tunggul Ametung, seorang
bupati. "Ken Arok membunuh bupati itu dengan keris
yang belum selesai ditempa oleh Mpu Gandring.
Ken Arok minta dibuatkan keris lagi kepada Mpu
itu. Saat Ken Arok menagihnya, keris itu belum
selesai ditempa. Karena Mpu Gandring menolak
menyelesaikannya, Ken Arok memaksa dengan
menusukkan keris itu padanya. Mpu Gandring
sempat mengutuk, Ken Arok akan mati dengan
keris itu. Juga anak-anak dan keturunannya.
Tujuh Raja akan tewas dengan keris yang sama."
Bu Hestu mengangguk-angguk.
Raka berhenti sejenak untuk mengambil napas
sebelum melanjutkan lagi.
"Ken Arok yang rupanya merasa bersalah,
berjanji kalau nanti berhasil mencapai yang
dicita-citakan, akan membuktikan terima
kasihnya turun-temurun kepada keturunan Mpu
Gandring," dia meneruskan. "Ken Arok berhasil
membujuk temannya, Kebo Ijo untuk meminjam
keris yang telah dia gunakan untuk membunuh
Tunggul Ametung hingga akhirnya Kebo Ijo-lah
yang menjadi tertuduh. Ken Arok terbebas dari
tuduhan, tetapi tidak terbebas dari kutukan
Mpu Gandring." "Sudah selesai?" tanya Bu Hestu.
"Lanjutan kisahnya dijelaskan di kitab
Pararaton," jawab Raka. "Setelah membunuh
Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes,
Ken Arok berhasil menjadi raja dan
menaklukkan Daha-sekarang ini Kediri. Ia
memerintah Singasari. Tapi, ternyata, ramalan
Mpu Gandring terbukti, Ken Arok mati dibunuh
dengan keris tempaan Mpu Gandring oleh
suruhan Anusapati, putra Ken Dedes dengan
Tunggul Ametung. "Namun, seorang putra Ken Arok dengan Ken
Dedes yang bernama Raden Wijaya, akhirnya
menjadi pendiri Majapahit. Majapahit mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk. Nah, pada masa kejayaan Hayam
Wuruk itulah Mpu Prapanca mengubah
Desawarnana, yang sekarang lebih dikenal
dengan Nagarakertagama." Raka mengakhiri
penjelasannya. Seluruh kelas terdiam sejenak sampai akhirnya
Bu Hestu bertepuk tangan diikuti oleh yang lain.
"Canggih, Ka!" seru Toni.
Virgo bersiul. "Keren!"
"You Rock, Man!" seru Alfi tak mau kalah. Dan,
teman-teman yang lain yang tadi terdiam
mendengar penjelasan Raka bersorak-sorai.
Raka hanya tersenyum. Puas.
"Geniuuuus," puji Dhihan sambil menatap
teman sebangkunya dengan kagum.
"Thanks," balas Raka. "Tapi, genius itu buat
orang yang bisa semua mata pelajaran. Kalau
aku, cuma mata pelajaran ini aja yang aku bisa."
Tiba-tiba, Raka tersadar ada yang sedang
memperhatikannya. Bukan cuma seorang,
melainkan dua, Nadya dan Nathan.
Nadya langsung memalingkan wajahnya begitu
Raka melihatnya. Sementara itu, Nathan, ketika
Raka menatapnya, dia hanya menatap balik
tanpa reaksi apa pun. *** "RAKA! TANGKAP!"
Ketika Raka hendak menuju ruang Veritas,
sebuah suara keras memanggilnya-atau lebih
tepatnya memerintahnya. Raka menoleh dan mendapati sebuah barang
dilempar ke arahnya. Barang itu hampir
mengenai wajahnya kalau saja dia nggak punya
refleks yang bagus. "HEIIII!" bentak Raka.
"Sori... sori!" seru Nadya. "Aku nggak maksud
nggak sopan, tapi aku mau buru-buru ke ruang
OSIS buat rapat." Kemudian, cewek itu langsung menghilang di
balik dinding. Tapi, tak lama kemudian dia
muncul kembali. "Ah, aku lupa bilang," katanya. "Bilang ke Sarah,
hari ini, aku nggak bisa datang ke Veritas."
"Iya." "Terus..." "Apa lagi?" tanya Raka.
"Thanks VCD-nya," kata cewek itu, lalu dia
kembali menghilang, bahkan sebelum Raka
sempat mengucapkan apa pun.
"Sama-sama," gumamnya.
*** "Raka!" Kali ini, suara itu berasal dari lapangan parkir,
nggak jauh dari ruang Veritas.
Sekarang apa lagi" batin Raka.
Dia mencari-cari sumber suara yang ternyata
berasal dari Dea, salah satu teman sekelasnya.
Cewek itu sedang berdiri di dekat motornya.
"Ada apa?" tanya Raka sambil berjalan
menghampiri cewek itu. "Ini, motorku nggak bisa nyala," kata Dea.
"Bakar aja." "Sekarang, bukan waktunya becanda, Ka!"
gerutu Dea. "Iya... iya..." Raka mengalah. "Coba aku lihat
dulu." Sekali lihat, cowok ini langsung tahu apa
masalahnya. "Akinya habis tuh."
"Terus?" tanya Dea bingung.
"Terus, ya, disetrum atau beli aki lagi," jawab
Raka enteng. "Di mana?" Dea panik, tidak tahu apa-apa.
"Di toko buku."
Dea langsung memasang tatapan membunuh.
"Ya, di semua tempat yang jual aki!" kata Raka
kemudian. "Bengkel juga ada."
Dea langsung menghela napas. "Berarti, sepeda
motor ini harus kutuntun sampai bengkel?"
Tanpa berkata apa-apa, Raka membuka kunci
kontak sepeda motor dan mulai menuntunnya.
"Ka, mau ke mana?" tanya Dea.
"Bengkel," jawabnya santai.
Dea tersenyum. "Thanks ya, Ka, kamu emang
baik banget." "Thanks are nice but money is better."
"MATRE!" *** "Sori, aku telat," kata Raka buru-buru sambil
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepas sepatu. "Nggak apa-apa," sahut Sarah.
"Lho," Raka celingak-celinguk, "Nathan mana?"
"Dia bilang ada urusan sebentar, jadi agak
telat," jawab Sarah sambil mengetik sesuatu.
"Tapi, kalau Nadya, aku nggak tahu."
"Oh, Nadya, dia tadi bilang, hari ini, dia nggak
bisa datang." Raka melempar tasnya. "Ada rapat
OSIS." Sarah tersenyum. "Nadya emang hebat. Dia ikut
banyak kegiatan, tapi aku nggak pernah lihat dia
kewalahan, semua bisa beres. Kayaknya, dia
nggak punya kelemahan."
"Begitu, ya?" sahut Raka. "Menurutku, itu justru
bikin dia kelihatan menakutkan."
Sarah tertawa pelan. Setelah itu, nggak ada lagi
obrolan di antara mereka. Sarah tenggelam
dalam tulisan yang sedang diketiknya.
"Ah!" tiba-tiba Sarah terpekik. "Aku lupa ngasih
rancangan perubahan logo Veritas ke Bu Ratna."
Cewek itu langsung mengambil beberapa
lembar kertas dari dalam tasnya, lalu bangkit
berdiri. "Aku ke ruang guru dulu," katanya
sebelum pergi. "Mau aku aja yang nganter?" Raka menawarkan
diri. "Nggak usah," tolak Sarah. "Lagian, ada yang
mau kuomongin sama Bu Ratna."
Lalu, cewek itu menghilang di balik pintu.
Raka menghela napas. Tanpa sadar, matanya
langsung tertuju pada layar tempat Sarah tadi
mengetik. Dia bukan orang yang usil, tetapi rasa
ingin tahu yang kuat memaksanya untuk
melihat ke sana. Di meja komputer itu, tergeletak selebaran
bertuliskan "Lomba Menulis Esai Lingkungan
Hidup". Sepertinya, Sarah berniat mengikuti
lomba itu. Raka menggerakkan scroll-nya ke atas dan mulai
membaca apa yang telah ditulis Sarah.
"Mengusulkan modifikasi penanaman sejuta
pohon... takakura... membuat taman kota
seperti central park." Raka bergumam sambil
terus membaca hingga selesai.
Dia menghela napas begitu mendekati akhir
paragraf tulisan itu. Sangat inspiratif, bagus, dan
terencana. Sarah bisa membuat hal yang
tadinya tampak tidak masuk akal menjadi
sangat masuk akal. Ditambah lagi kalimat terakhir yang Sarah kutip
dari kata-kata George Bernard Shaw.
Genius, puji Raka sambil tersenyum.
Tepat ketika hendak mengembalikan kursor ke
atas, ke tempatnya semula, Raka mendengar
seseorang datang. Gawat! Raka buru-buru kembali ke tempatnya, semula
dengan tergopoh-gopoh dan langsung
memasang earphone berpura-pura
mendengarkan iPod. "Oh, ternyata kamu..." Raka menghela napas
lega sekaligus kecewa setelah mengetahui
ternyata Nathan-lah yang datang. Seharusnya,
dia nggak perlu jumpalitan seperti tadi.
"Percayalah, aku juga sekecewa kamu saat
melihat cuma kamu yang ada di ruangan ini,"
kata Nathan datar sambil menaruh tasnya.
"Dari mana?" tanya Raka.
"Bukan urusanmu," jawab Nathan sambil mulai
menyalakan komputernya. "Mana Sarah dan
Nadya?" "Sarah ke tempat Bu Ratna," jawab Raka.
"Nadya ada rapat OSIS."
Nathan tidak mengatakan apa pun, terlihat
sibuk mengetik. Raka merasa udara perlahanlahan mampat dan hawa dingin menjalar di
sekujur tubuhnya. Untunglah, sebelum dia
sempat membeku karena aura yang
dipancarkan Nathan, Sarah datang tepat pada
waktunya. "Maaf aku lama," ujar Sarah, "eh! Nathan udah
datang, ya." Terima kasih, Tuhan, desah Raka.
*** -6- Veritas edisi minggu ini sudah terbit. Saat
melihatnya, Raka langsung terpana membaca
apa yang ditulis oleh Sarah hingga dia nggak
memedulikan artikel-artikel lainnya.
Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan
senjata terampuhnya, melainkan justru berarti dia sedang
mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia tidak berusaha
menahannya, melainkan karena pertahanannya sudah tak
mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis, itu bukan karena dia ingin terlihat lemah,
melainkan karena dia sudah tidak sanggup
berpura-pura kuat. "Hoi!" Dhihan memukul bahu Raka.
"Hah?" Raka tergagap.
"Kamu baca apa, sih" Kok, serius banget?" tanya
Dhihan. Raka menggeleng. "Nggak, nggak lagi baca apaapa. Cuma lagi mikir aja."
Dhihan memandang temannya itu dengan
tatapan aneh. "Caraka" Mikir?" Dia terdiam
sejenak, lalu memutar bola matanya. "Yeah...
right!" "Hei, serius! Aku lagi mikir!" sembur Raka kesal
karena merasa diremehkan.
"Iya, iya, aku percaya, Einstein!" kata Dhihan
asal sambil mengambil iPod dari tasnya.
"Kamu nggak mau tahu aku lagi mikir apa?"
tanya Raka. "Nanti aja, pas kamu menang Nobel karena
berhasil menjelaskan bagaimana seorang
manusia tanpa otak bisa mikir kayak yang
terjadi sekarang," jawab cowok itu enteng
sambil memasang earphone.
Raka mengernyit. "Maksudmu?"
Dhihan sudah tidak bisa mendengar, tenggelam
dalam musik yang sedang didengarnya. Raka
menghela napas. Tanpa sadar, matanya
langsung tertuju pada Sarah yang duduk tak
jauh dari mejanya. Rambut ikal sebahu cewek
itu dibiarkan terurai. Dia sedang berbicara
dengan Nita, teman sebangkunya. Tiba-tiba, dia
menoleh. Ketika sadar Raka sedang
memperhatikannya, wajah cewek itu memerah.
*** "Heran," gumam Raka.
"Apanya?" tanya Nadya sambil membolak-balik
ensiklopedia. "Sadar nggak sih, ini kali pertama cuma ada kita
berdua di ruang Veritas?"
Nadya berhenti membalik ensiklopedia yang
dipegangnya, melirik Raka. "Kamu nyoba
merayu, ya?" "Hah?" Raka langsung melongo. "Ya Tuhan! Aku
nggak percaya kamu masih mikir aku ngejar
kamu!" ujarnya. "Dengar, ya, Nad," tambahnya
jengkel. "Aku nggak pernah ngerayu cewek.
Dan, kalaupun tiba-tiba aku berniat
melakukannya, orang itu sudah pasti bukan
kamu." Nadya terdiam sejenak dengan ekspresi datar.
Hal itu sempat membuat Raka agak panik, takut
kalau kata-katanya terdengar terlalu kejam.
"Thank God for that," kata Nadya kemudian
sambil meneruskan membolak-balik halaman
ensiklopedia. Raka sampai mendelik mendengar
kata-kata cewek itu. "VCD-nya udah kamu tonton?" tanya Nadya
ketika Raka bersiap-siap memasang earphone.
"Yang mana?" "Flags of our Fathers."
"Jangan tanya."
"Kenapa kamu suka Clint Eastwood?" tanya
Nadya tanpa mengalihkan pandangannya dari
ensiklopedia yang ada di depannya.
"Apa, nih?" tanya Raka. "Wawancara kerja buat
uji kelayakan atau tes kebohongan?"
"Kalau kamu lebih suka menghabiskan waktu
nunggu Sarah dan Nathan dalam diam, yang
sudah pasti membuat waktu terasa berjalan
sangat lambat dan efek relativitas Einstein,
kamu nggak perlu menjawabnya," jawab Nadya
tenang. Raka menghela napas. "Karena dia sutradara
yang hebat, tentu aja." Raka terdiam sejenak,
pandangannya menerawang. Nadya menghentikan kegiatannya dan
memandang cowok itu. "Itu aja?"
"Emangnya, kamu mengharapkan aku bilang
apa?" Nadya mengdikkan bahu. "Kamu sendiri?" Raka balik bertanya. "Kenapa
suka Clint Eastwood?"
"Karena aku penyuka film bagus," jawab Nadya.
"Itu aja?" Raka mengerutkan kening.
"Aku mengimbangi jawabanmu," kata Nadya
enteng. "Cih." "Tapi... rasa sukaku beda sama rasa sukamu,"
lanjut cewek itu. "Eh?" "Kamu mengaguminya sebagai seseorang yang
dijadikan panutan, kan?" Nadya menoleh ke
arah Raka. "Kamu mau belajar darinya sebagai
sutradara, kan?" "Kamu mind reader, ya?" tanya Raka penuh
selidik. Nadya hanya tersenyum. Raka mengangkat bahu, menyerah. "Kayak yang
kamu bilang-" Belum selesai Raka meneruskan kalimatnya,
Nathan dan Sarah muncul. "Wah, kami ketinggalan obrolan yang
menyenangkan, ya?" sindir Nathan.
"Sangat," jawab Nadya dingin.
"Eh, Nad, perayaan ulang tahun sekolah kita
jadi, kan?" Sarah mencoba mencairkan
keadaan. "Iya," jawab Nadya sambil menaruh kembali
ensiklopedia yang tadi dia baca ke rak buku.
"Rencananya, acaranya bakal sampai malam."
"Bukan pasar malam, kan?" tanya Sarah.
Raka terkikik, tanpa sadar. "Bagaimana kalau
Bumi Manusia aja atau Calon Arang?"
celetuknya. Raka jadi ingat buku Bukan Pasar
Malam yang pernah dibacanya, salah satu judul
buku karangan Pramoedya Ananta Toer. Bumi
Manusia dan Calon Arang juga merupakan karya
penulis tersebut. Tiba-tiba, ketiga orang itu langsung terdiam dan
menatap Raka dengan pandangan aneh.
"Kamu baca bukunya Pramoedya Ananta Toer
juga?" tanya Sarah. "Iya," jawab Raka kelihatan bingung, "emangnya
kenapa" Apanya yang aneh?"
"Eng... bukan apa-apa-" kata Sarah agak takuttakut.
"Pertama," potong Nathan. "Orang dengan
penampilan kayak kamu bukan tipe orang yang
suka baca. Kedua, kalau emang ternyata kamu
suka baca, kemungkinan besar, kamu nggak
akan menyentuh bukunya Pram. Ketiga, kalau
emang kamu baca bukunya Pram, kemungkinan
lebih besar lagi kamu bakal berkoar-koar sudah
membacanya kayak yang dilakukan orangorang." Nathan tampak berapi-api. "Dan,
ternyata, kamu menepis asumsi pertama,
kedua, dan ketiga. Itu yang aneh," tandasnya.
Raka terdiam sejenak, cukup tersinggung
dengan ucapan Nathan. "Pertama," katanya
kemudian. "Aku emang suka baca dan ini nggak
ada hubungannya sama penampilanku. Kedua,
walaupun aku bukan penggemar Pram, aku
baca hampir semua buku-buku dia. Ketiga, aku
baca buku karena aku suka, bukan karena aku
mengharap suatu penilaian dari orang-orang di
sekitar aku. Bukan karena aku ingin dianggap
hebat atau pintar atau berpendidikan atau
beradab cuma karena udah baca sebuah karya
sastra. Puas?" Mereka terdiam selama beberapa saat.
"Kamu suka?" Nadya memecah keheningan.
"Hah?" "Bukan Pasar Malam," lanjutnya. "Kamu suka?"
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka diam sebentar, berpikir. "Aku nggak tahu.
Aku nggak bisa bilang aku suka, tapi aku cukup
menikmatinya. Mungkin juga, karena kisah yang
ada dalam buku ini sebenarnya cerminan
hubungan Pram sama ayahnya sendiri. Si
pengarang pulang ke Blora buat pemakaman
ayah yang nggak pernah membahagiakannya.
Aku juga tersentuh sama sikap si Ayah, seorang
nasionalis yang kecewa dengan keadaan
pergerakan," kata Raka. "Khas Pram, penuh
dengan sindiran," tambahnya sambil mencoba
merenungi kembali kisah dari buku itu. "Karena
itu aku bilang aku menikmatinya-meski aku
nggak bisa bilang aku suka."
Tak disangka, Nadya tersenyum.
"Wow!" Nathan mendesah. "Kamu benar-benar
di luar bayanganku."
Raka langsung menatap cowok itu tajam.
"Maksudmu"!"
"Sudah... sudah..." Sarah berusaha mencegah
pertikaian lebih lanjut. "Kita mulai aja
rapatnya." Mereka semua langsung diam dan
mendengarkan Sarah. "Tadi pagi, Bu Ratna memberi tahu tentang
tema buat minggu depan." Sarah memulai
rapat. "Beliau ingin di edisi berikutnya, Veritas
mengusung tema Bahasa Indonesia."
"Bahasa Indonesia?" seru Raka dan Nadya
serempak. Nadya mengernyit.
"Aku nggak sengaja, oke?" kata Raka. "Aku
bukan mau niru kata-katamu."
Nadya memutar bola matanya.
"Lalu, apa yang mau kita buat?" tanya Nathan.
Sarah menggeleng pasrah. "Aku sendiri juga
nggak tahu. Aku mengharapkan usul dari
kalian." "Aku ingin kita menampilkan asal-usul kata
dalam bahasa Indonesia yang lahir karena
kesalahan persepsi," jawab Nathan mantap.
Kesalahan persepsi itu apa" Raka mengerutkan
kening. "Kesalahan persepsi itu apa?" tanya Nadya lagi.
Raka langsung melotot. Nadya menoleh ke arahnya. "Apa?"
"Ng... nggak. Nggak ada apa-apa." Raka
menggeleng. Sekarang, dia yakin kalau ternyata
Nadya nggak punya indra keenam, mungkin
kepalanya memang sangat transparan.
"Kesalahan persepsi... bagaimana
menjelaskannya, ya?" Nathan berpikir sejenak.
"Ah! Kayak ungkapan setali tiga uang. Dulu,
Belanda bikin uang dengan nilai setali atau 25
seri buat meringkas dua keping nilai ketip atau
10 sen dan satu keping nilai kelip atau lima sen.
Jadi, setali tiga uang yang jadi satu, maksudnya
sama saja nilainya. Makin lama, istilah setali
menjadi ungkapan pengganti sama saja."
Nadya, Sarah, dan Raka langsung menganggukangguk.
"Benar juga," kata Nadya antusias. "Yang kayak
gitu lebih menarik."
Sarah mengangguk. "Pernah dengar Holopis Kuntul Baris?" Nathan
melanjutkan. "Pernah," jawab Sarah. "Emangnya kenapa?"
"Tahu asal mula kata-kata itu?" tanyanya lagi.
Mereka bertiga berpandangan, lalu serempak
menggeleng. Nathan berusaha keras menahan seringainya.
Sepertinya, dia senang sekali kalau temantemannya tidak tahu apa-apa.
"Istilah itu digali oleh Bung Karno buat salah
satu pidatonya, kemudian dibikin lagu," jelas
Nathan. "Pada zaman Daendels, pekerja rodi
dicambuk supaya mereka giat bekerja. Ada
seorang mandor yang sangat kuat, asalnya dari
Spanyol, tapi datang ke Indonesia lewat Prancis.
Orang menyebutnya Don Lopez comte du Paris.
Untuk mendapat semacam kekuatan, pekerja-
pekerja rodi itu menyebut namanya. Begitulah
asal mulanya." "Kamu tahu apa lagi?" tanya Nadya penasaran.
"Banyak," jawab Nathan dengan sedikit nada
bangga. "Ada lagi dan menurutku ini lucu. Tapi,
ini kata dalam bahasa Jawa, bukan bahasa
Indonesia." "Apa?" tanya Nadya dan Sarah antusias.
"Kalian tahu bahasa Jawa-nya pisang?" tanya
Nathan. "Gedang," jawab Raka. "Kakek-nenekku orang
Jawa asli." "Bahasa Jawa ini berasal dari ucapan syukur
tentara Belanda yang berasal dari Indonesia
Timur dalam Perang Diponegoro." Nathan mulai
menjelaskan. "Sebuah peleton yang berhari-hari
nggak makan lantas menemukan kebun pisang.
Saking girangnya dapat makan, mereka berseru
dalam bahasa Belanda, "God Dank", artinya,
"Terima kasih Tuhan"."
Nadya tertawa. "Dan, di telinga orang Jawa, itu
kedengaran jadi gedang?"
"Valid nggak tuh?" tanya Raka tak percaya.
"Ngggg..." Nathan mengerutkan kening, "kalau
yang ini, aku nggak punya data pendukungnya,
sih." "Wah, kalau begitu jangan dimasukkan ke
Veritas, bisa bahaya," kata Sarah sambil
tersenyum. "Terus" Terus, apa lagi?" tanya Sarah lagi. Rapat
kali ini emang lain daripada biasanya. Di rapat
ini, untuk kali pertama, Nathan tersenyum,
Nadya bersemangat, Sarah tertawa, dan Raka
sangat antusias. Sepertinya, saat menyodorkan
tema ini, Bu Ratna tahu keadaan akan menjadi
menyenangkan. Tanggung jawab pembuatan artikel tentang
bahasa itu diserahkan kepada Nathan. Dialah
yang paling menguasai dan punya banyak
referensi yang berhubungan dengan hal itu.
Begitu rapat selesai, Nadya langsung cabut ke
pertemuan PMR dan Nathan langsung pulang
hingga tinggal Raka dan Sarah di Veritas. Ini
sudah entah keberapa kalinya hanya mereka
berdua di ruangan itu. "Tulisanmu bagus," kata Raka mencoba
memulai pembicaraan sambil membereskan
meja. "Eh?" Sarah tampak kaget.
"Itu, yang di Veritas kemarin."
Sarah langsung tersipu. "Masih belum
sebanding sama tulisan Nathan dan Nadya."
"Nggak, tulisanmu lebih bagus, kok," kata Raka
lagi. "Dalem dan bikin aku merenung."
"Ah nggak... kamu terlalu memuji," kata Sarah
sambil menggeleng, tetapi dia tampak cukup
tersanjung. "Serius, nih." Raka menoleh ke arahnya.
"Kenapa kamu nggak percaya sama bakatmu
sendiri?" Sarah menatap cowok itu bingung.
"Aku kemarin lihat esaimu tentang lingkungan
hidup." Raka mengaku. "Dan, itu tulisan paling
bagus yang pernah kubaca."
Sarah langsung melotot. "Kamu baca?"
tanyanya agak histeris. "Sori." Raka mengangkat bahu. "Yah... kamu
kan, nggak bilang nggak boleh dibaca, lagian
kamu juga nggak nutup file itu sebelum kamu
pergi. Udah gitu, itu komputer kan, milik
umum." "Ya, Tuhaan... aku malu banget," kata Sarah
gugup sampai-sampai dia terduduk.
"Seharusnya, nggak ada yang boleh baca tulisan
itu." "Sampai kamu kirim ke lomba esai?" tanya
Raka. Sarah tertawa getir. "Siapa yang mau kirim ke
lomba" Juri-juri itu pasti langsung
membuangnya ke tempat sampah. Aku nggak
mau ada yang baca itu, aku nggak mau
ditertawakan." Dia semakin menunduk. "Oh,
Tuhan, rasanya, aku mau muntah," kata Sarah
sambil cepat-cepat menutup mulutnya.
Wajahnya pucat. Cukup lama nggak ada satu
pun dari mereka yang bicara.
"Tunggu!" Sarah tiba-tiba berdiri dan
menghampiri Raka. "Kamu harus janji nggak
akan cerita ke mana-mana. Kamu boleh
ketawain isinya, tapi tolong jangan bilang sama
siapa pun," katanya penuh harap.
Raka menghela napas. bingung.
Sarah menatap kedua mata Raka lekat-lekat.
"Percaya, deh," kata Raka lagi dengan yakin.
"Kalau kamu cowok, sudah aku bikin babak
belur agar sadar. Kamu punya bakat besar yang
nggak dipunya sembarang orang dan kamu
menyia-nyiakan bakat itu. Apa kamu nggak
kasian sama orang yang sama sekali nggak
punya bakat kayak aku?"
"Tapi, aku..." Sarah masih ragu. "Bagaimana
kalau menurut juri tulisanku jelek" Bagaimana
kalau aku mempermalukan sekolah kita"
Bagaimana kalau-" "Yaelaaaah," potong Raka, "tulisanmu itu,
bahkan, belum kamu kirim dan kamu sudah
mikir "bagaimana kalau... bagaimana kalau...".
Bagaimana kamu tahu kalau juri bakal bilang
tulisanmu jelek atau bagus kalau kamu belum kirim?" Sarah tampak tertegun. Dia menggigit-gigit kuku
jarinya dan mengedarkan pandangan ke lantai,
tampak berpikir. Raka berbalik untuk
mengambil tasnya. "Menurutmu..." kata Sarah begitu cowok itu
hendak keluar dari ruangan. Raka menghentikan
langkahnya. "Apa tulisanku betul-betul bagus?" tanyanya
penuh harap. "Jujur."
Raka tersenyum. "Begini aja, kita tanya
pendapat Nathan tentang tulisanmu. Dia bakal
kasih jawaban yang sama denganku. Tapi,
kayaknya, dilihat dari muka, kamu lebih percaya
dia daripada aku." Sarah tersenyum. Begitu keluar dari Veritas, Raka mendengar
suara cowok samar-samar. Nathan. Dia berada
di balik dinding koridor dan ternyata, dia nggak
sendiri. Ada suara cewek juga.
"Kenapa?" tanya si cewek. "Ada cewek lain yang
kamu suka?" "Nggak," jawab Nathan mantap.
"Ada sesuatu yang nggak kamu sukai dari aku?"
"Nggak." "Kamu membenciku?" Si cewek sepertinya
benar-benar pantang menyerah.
"Nggak," jawab Nathan lagi.
"Terus, kenapa kamu bahkan nggak mau mikir
dulu?" protes cewek itu.
"Aku udah tahu jawabannya," tegas Nathan.
"Aku nggak punya perasaan yang sama
denganmu!" Sejenak mereak terdiam, kemudian terdengar
suara langkah cepat menjauh.
"Bener-bener sadis," komentar Raka, keluar dari
balik dinding. Nathan menoleh. "Sejak kapan kamu di situ?"
"Cukup lama buat mendengar kesadisanmu,"
jawab Raka dingin. "Bagaimanapun, dia itu
cewek. Cewek punya hati yang lebih peka
daripada kita. Kamu kan, bisa minta waktu buat
mikir, terus baru nolak dia baik-baik."
Nathan tersenyum sinis. "Kamu tahu apa"
Emangnya kamu pernah nolak cewek?"
"Emang nggak pernah, tapi aku tahu cara
memperlakukan cewek," balas Raka.
Nathan menatap Raka dengan sorot mata yang
lebih dingin daripada biasanya.
"Kamu itu," katanya kemudian sambil
membetulkan letak kacamatanya, "emang
orang yang suka ikut campur."
"Hah?" "Dan, suatu saat," tambahnya, "karena sifatmu
itu, kamu bakal melakukan sesuatu yang lebih
sadis daripada apa yang kulakukan."
Nathan berbalik, lalu berjalan meninggalkan
Raka yang hanya bisa melongo.
"Apa maksudmu?"
Nathan tidak menjawab dan hanya
melambaikan tangan kanannya tanpa menoleh
sedikit pun.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** -7- "Raka." Raka menoleh. "Ada apa, Bu?"
Bu Ratna berjalan agak cepat menghampiri
Raka. "Begini, Raka," kata guru itu sambil menyuruh
agak menepi karena koridor dipenuhi dengan
murid-murid yang sedang bergegas ke kelas
masing-masing. Setelah menghela napas agak panjang, Bu Ratna
meneruskan kalimatnya, "Ibu mau minta tolong
sesuatu." Raka mengangkat bahu. "Boleh, tapi lima menit
lagi pelajaran fisika dimulai. Kalau karena
membantu Ibu saya terlambat datang, Ibu yang
harus tanggung jawab atas upacara pemakaman
saya." Bu Ratna tersenyum geli. "Jangan khawatir, Bu
Nunuz akan sedikit terlambat. Anaknya tiba-tiba
sakit, jadi dia harus mengantar anaknya itu ke
dokter dulu." "Wow!" seru Raka. "Semoga Tuhan
mengampuni saya karena saya merasa senang
mendengarnya." Bu Ratna tertawa. "Kamu ini keterlaluan, Raka."
"Ibu belum pernah jadi muridnya Bu Nunuz,
kan?" "Ah, sudahlah, bukan itu yang mau Ibu
bicarakan," kata Bu Ratna. "Begini, sebentar
lagi, akan ada perayaan ulang tahun sekolah
kita. Selain bazar dan perlombaan, rencananya
akan ada pentas seni dan masing-masing kelas
wajib menampilkan sesuatu di panggung."
"Lalu, apa hubungannya dengan saya?" Raka
bingung. Setelah berdehem beberapa kali, Bu Ratna baru
menjawab. "Kelas kita akan menyuguhkan
pertunjukan musik. Band, tepatnya. Dan, kamu
Ibu minta jadi vokalisnya."
Raka terdiam sejenak. "Engg... maaf, Bu," katanya kemudian. "Tapi,
sepertinya, tadi saya mendengar Ibu minta saya
jadi vokalis?" Bu Ratna mengangguk. "Saya tidak salah dengar, ya?"
Bu Ratna menggeleng. Dia langsung melotot. "IBU PASTI BECANDA!!!"
Bu Ratna menggeleng dengan seringai lebar di
wajahnya. "Lagian, ini semua ide Dhihan cs.," lanjut Bu
Ratna. "Jadi, nanti, soal latihan, Ibu rasa tidak
akan menjadi masalah."
Dhihan cs." Sialan! umpat Raka dalam hati.
"Tapi... kalau toh emang saya terpaksa ikut
band ini, saya kan, bisa jadi gitaris saja." Raka
mulai memohon-mohon. "Ayolah, Ka. Alfi dan Dhihan lebih jago main
gitar dari pada kamu," jelas Bu Ratna.
"Terimalah kenyataan."
Raka berpikir sekeras mungkin mencari jalan
keluar dari masalah ini. Dia yakin suaranya akan
mempermalukan dirinya, bahkan setelah dia
keluar dari sekolah ini (?"?").
"Kenapa kelas kita nggak menampilkan drama
saja, Bu?" usulnya kemudian.
"Dan, kamu mau jadi Cinderella?" tanya Bu
Ratna sambil menggeleng, lalu melihat ke arah
jam tangannya. "Ibu harus mengajar di kelas
lain," katanya sambil bersiap pergi. "Oh, ya,"
kata Bu Ratna lagi sebelum berbalik. "Karena
pentas seni ini ide dari Pak Kepala Sekolah, you
have to take it seriously. Bagaimanapun, dalam
band, seorang vokalis pasti dapat porsi
perhatian yang besar."
Pikiran Raka langsung kosong mendengar katakata Bu Ratna.
"Hidup tidak pernah adil, Raka," kata Bu Ratna,
lalu tertawa. *** Begitu sampai di mejanya, Raka langsung
menghempaskan tubuhnya ke kursi. Dia
mencoba menenangkan diri sambil
mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Di
meja agak depan, dia melihat Sarah sedang
berbicara dengan Nathan. Sepertinya, cewek itu
sedang menunggu tanggapan atas tulisannya.
Raka tersenyum. Sarah benar-benar
mempertimbangkan usulnya.
Setelah membaca, Nathan mengangguk-angguk,
lalu mengatakan suatu hal yang membuat Sarah
tersenyum senang. Saat hendak kembali ke
tempat duduknya, Sarah menoleh sejenak ke
arah Raka dan tersenyum lebar. Raka membalas
senyum cewek itu. "Dia suka kamu, tuh," kata Dhihan sambil
memukul bahu Raka pelan. "Hah?" "Sarah suka sama kamu," ulang Dhihan, kali ini
dengan seringai. Mata Raka menyipit. "Jangan ngasih seseorang
harapan cuma buat menghempaskannya."
"Serius," kata Dhihan yakin. "Aku tahu ciri-ciri
cewek yang lagi jatuh cinta. Dan, dari apa yang
kulihat hari ini dari Sarah, dia memenuhi semua
ciri-ciri itu." "Tadinya, aku nggak tahu siapa cowok yang
beruntung itu. Tapi, begitu aku lihat gimana
Sarah memandangmu dengan senyuman itu..."
Dhihan menggeleng, "well... I have to say... you
are a lucky man. Damn! You broke my heart."
Lalu dia meringis. "Plisss... dia itu terlalu cantik buat aku." Raka
masih mencoba mengelak. "Nah! Itu dia yang namanya saling melengkapi,"
kata Dhihan masih mencoba mempertahankan
pendapatnya. "Dia CANTIK, kamu JELEK, cocok
kan" You two are made for each other."
"Jangan ngasih harapan sekaligus menghina
dalam waktu bersamaan," gerutu Raka.
"Denger, ya, Nyet," tambahnya nggak sabar.
"Aku cuma bantu kasih saran buat dia. Jadi,
senyuman yang itu cuma ungkapan terima
kasih." Dhihan mengernyit. "Kasih saran" Saran apa?"
"Off the record."
"Dia minta pendapatmu, gitu?"
Raka terdiam sejenak, mencoba mengingatingat. "Nggak sih, aku kasih saran atas inisiatifku
sendiri." "Sifatmu emang nggak bisa diubah," kata
Dhihan sambil geleng-geleng.
"Sifat yang mana?"
"Sifat suka ikut campur urusan orang lain,"
jawab Dhihan. Raka tertegun. "Orang itu kemarin juga bilang hal yang sama,
lho," katanya tiba-tiba.
"Orang itu?" Raka mengedikkan kepalanya ke arah Nathan.
"Dia bilang begitu setelah aku protes tentang
cara amoral dia nolak cewek."
"Busyet, Ka, itu kan, urusan dia!" sembur
Dhihan tak habis pikir. "Aku tahu, tapi aku nggak bisa nahan diri."
"Untung kamu masih bisa nahan diri buat nggak
mukul dia!" kata Dhihan. "Bisa dihukum masuk
klub balet kamu!" "Oh, iya. Bener juga." Raka langsung merasa
lega. "Setelah ini, aku nggak mau deket-deket
sama dia, ah." Dhihan mengangkat alis. "Terus, Veritas?"
"Ya, kecuali, saat itu."
"Tapi, gosip kalau dia itu kejam dalam hal nolak
cewek ternyata bener juga, ya?" kata Dhihan
lagi. "Maksudmu?" "Selama ini, aku cuma denger-denger aja,"
katanya. "Tapi, setelah kamu yang ngomong,
aku jadi percaya. Aku tambah sebel sama tuh
orang." "Karena?" "Karena, selama ini, nggak pernah ada cewek
yang nembak aku!!!" jawab Dhihan dengan
tatapan merana. "Nah, ini orang, udah banyak
yang nembak, ditolak semua pakai cara kejam
pula. Dan, yang lebih parah dari semua itu,
cewek-cewek kayaknya nggak ada yang kapok
buat nembak dia." "Masalahnya, dalam berbagai hal, dia jauh lebih
unggul, sih, dibanding kamu. Hidup itu nggak
adil, pren." Raka terkekeh.
Dhihan mendesah. "Aku jadi pengin tahu cewek
yang bakal dia terima tuh yang kayak gimana,
kok sampai semua cewek dia tolak."
"Only God knows."
Tidak lama kemudian, Bu Nunuz masuk dengan
tergopoh-gopoh setelah semua murid berharap
pelajaran fisika hari ini ditiadakan.
"Maaf anak-anak, hari ini, Ibu nggak bisa lamalama," kata Bu Nunuz. "Anak Ibu mendadak
sakit." Hampir seisi kelas menahan untuk tidak
berteriak kegirangan. "Tapi, Ibu akan memberi tugas secara
berkelompok," lanjutnya. "Kelompok terdiri atas
dua orang yang akan Ibu tentukan sendiri secara
acak dari absen kalian."
Lalu, Bu Nunuz mulai menyebut nama anakanak di kelas secara berpasang-pasangan.
"Dhihan Kawekas Nuraga dan Virgo Simbolon."
"Busyet," dengus Dhihan. "Jeruk sama Jeruk.
Kenapa aku nggak dipasangin sama cewek aja,
sih." Raka menyeringai. "Hidup itu nggak adil,
teman." "Caraka dan..."
Raka menahan napas. "Nathan Jonathan."
WHAAAAAAAAAAAAAAAAAAT?""!!!!!!
Dhihan kontan terkekeh. "Hidup itu emang
nggak pernah adil, Ka, terutama sama kamu,
huekekekekekek." *** "Teman-teman, maafkan aku," kata Nadya
tanpa diduga begitu bel pulang sekolah
berbunyi. Saat Bu Hestu meninggalkan kelas,
cewek itu langsung maju ke depan dengan
wajah panik. "Seminggu yang lalu, saat Pak Anung sakit,
beliau memberi tugas," jelasnya. "Dan, tugas itu
harus dikumpulkan seminggu kemudian yang
artinya... dua hari lagi."
"APAA"!!" Kontan, seisi kelas serempak
berteriak. "Emangnya, apa tugasnya?" tanya Alfi.
"Mengerjakan 50 soal latihan di akhir bab,"
jawab Nadya. "Dan, ini tugas perorangan."
"APA"!" teriak anak-anak sekelas lagi dengan
suara yang lebih keras dan intonasi yang lebih
tinggi. Nggak butuh waktu lama membuat kelas
itu menjadi gempar. Menjawab 50 soal dalam dua hari" jerit Raka
dalam hati. Matematika pula! Kayaknya, lebih
baik aku bunuh diri malam ini.
"Aku benar-benar minta maaf," pinta Nadya
dengan wajah tampak sangat bersalah. "Aku
lupa karena aku sibuk banget akhir-akhir ini.
Aku harus bantu menyiapkan acara buat ultah
sekolah, bikin proposal OSIS, bikin agenda
regenerasi buat tim basket."
"Ini salahmu!" kata Nathan tajam. "Kamu nggak
usah membela diri kayak gitu. Kalau kamu sibuk,
itu urusanmu kenapa kami yang harus
nanggung?" Nadya terdiam dan tak ada satu orang pun yang
berani mengeluarkan suara.
"Jangan sok penting," tambah Nathan. "Kalau
mengurusi hal sepele kayak gini aja kamu nggak
becus, lebih baik berhenti aja jadi ketua kelas,
atau hentikan semua kegiatanmu itu. Aku yakin
nggak akan ada yang merasa kehilangan."
Nadya yang berdiri di depan terdiam, menatap
tajam pada Nathan. "Tapi, sebelum berhenti, selesaikan dulu
masalah ini," tandas Nathan.
Semua anak terpana dengan kata-kata cowok
itu. Tidak ada yang menyangka dia bisa
mengatakan hal sesadis itu.
Cukup lama mata Nadya dan Nathan saling
menatap tajam. Semua yang ada di kelas itu
menahan napas, takut sebentar lagi akan ada
yang meledak dan terjadi pertumpahan darah.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah cukup tegang beberapa saat, akhirnya
Nadya mengangguk. "Kamu benar," katanya. "Ini salahku, aku akan
mencoba berbicara pada Pak Anung dan minta
perpanjangan waktu."
Setelah mengatakan itu, Nadya pergi dan seisi
kelas serentak menghela napas lega. Bukan
karena ada kemungkinan perpanjangan waktu
yang akan diberikan Pak Anung, melainkan
karena bersyukur tidak ada yang terluka.
"Orang itu benar-benar kejam," kata Dhihan
pelan sambil memandang Nathan yang sedang
merapikan buku-bukunya. "Stay alive, man," lanjut Dhihan prihatin sambil
menepuk-nepuk pundak Raka.
Raka menelan ludah. Semoga saja.
*** -8- "Jadi, kapan kita mulai latihan?" tanya Raka
dengan masih terengah-engah setelah bermain
bola. Dhihan yang merebahkan diri di lapangan hanya
menggeleng. "Minggu depan," jawab Alfi sambil meneguk
habis botol air mineral di tangannya.
"Di mana?" Tidak ada satu pun yang menjawab.
"Gimana kalau kita pinjam ruang seni musik?"
usul Virgo. "Good idea," kata Dhihan. "Tapi, entar kamu
yang ngomong sama Pak Tyo, soalnya aku
mending latihan di tengah Tol Jagorawi
daripada ngadepin bapak itu."
Raka tertawa. "Benar-benar butuh orang yang
punya nyali gede tuh."
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, semua
orang tiba-tiba langsung memandangnya.
"Hei, kalian ngelihatin apa?" tanya Raka curiga
dengan perasaan tidak enak. Mereka terdiam
sejenak sebelum Doni angkat bicara.
"Ka, karena kamu vokalis," katanya.
"Dan, vokalis biasanya berperan ganda sebagai
pemimpin," timpal Virgo.
"Kamu yang mesti ngomong sama Pak Tyo,"
tandas Leo. Raka hanya bisa berkata: "HAH?" Dia menggeleng, lalu bangkit sambil
menyambar tasnya dan segera pergi
meninggalkan mereka tanpa memedulikan
jeritan-jeritan minta tolong yang juga diiringi
tawa. Hari itu, Raka baru akan beranjak pulang setelah
bermain bola bersama teman-temannya.
Ketika menyusuri koridor menuju lapangan
parkir, Raka mendengar ada seseorang sedang
mengerjakan sesuatu di ruang Veritas.
Pukul setengah tujuh malam, dia melirik jam
tangannya. Siapa yang masih beraktivitas pukul
segini di sekolah" Raka membuka pintu Veritas perlahan-lahan.
Sepasang sepatu cewek tergeletak di atas keset.
Di ruangan, Nadya sedang sibuk mengetik
sesuatu di depan komputer.
"Nadya?" Nadya tampak sangat terkejut.
"Ngapain pukul segini masih di Veritas?" tanya
Raka heran. "Ng-nggak ngapa-ngapain," jawabnya. "Kamu
sendiri?" Raka mengangkat bahu. "Aku habis main bola,
baru mau pulang." "Oh..." kata Nadya, lalu kembali sibuk dengan
apa yang sedang dia kerjakan.
Raka menaruh tasnya di lantai, lalu duduk
sambil memperhatikan sekeliling yang tiba-tiba
penuh dengan tumpukan kertas. "Ini semua
apaan?" tanyanya. "Data siswa kelas XII," jawab Nadya tanpa
menoleh sedikit pun. "Kenapa ada di sini?"
"Aku harus merekap semuanya hari ini. Pak
Johan minta hasilnya besok pagi," jawab Nadya,
tapi kali ini nada suaranya mulai terdengar
panik. Raka bersiul. "Woh, aku nggak tahu kalau Bapak
itu sadis banget. Dia kasih kerjaan segini banyak
hari ini, tapi mesti selesai besok. Bukan OSIS tuh
namanya, tapi romusha."
"Bukan, ini bukan salah Pak Johan," kata Nadya.
"Sebagai Pembina OSIS, dia udah sangat baik,
tapi aku yang mengecewakannya. Dia udah
ngasih tugas ini sejak sebulan yang lalu."
"Kenapa baru kamu bikin sekarang?"
"Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini aku sering
lupa," kata cewek itu panik. "Aku terlalu sibuk
sama kegiatan yang lain. Manajemen waktuku
jelek banget." "Yah, walaupun begitu," Raka menghela napas,
"yang kayak gini nggak bisa dikerjain cuma
dalam waktu 2-3 jam. Kenapa nggak ngerjain di
rumah aja, sih" Daripada di sini sampai
malem?" "Aku takut kelupaan besok paginya."
Raka berpikir sebentar, lalu menyalakan
komputer satunya lagi dan mengambil
beberapa tumpukan kertas di meja.
"Ini belum direkap, kan?" tanyanya.
Pendekar Baja 2 Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru Batu Kematian 1
LET GO Windhy Puspitadewi Kau tahu apa artinya kehilangan" Yakinlah, kau
tak akan pernah benar-benar tahu sampai kau
sendiri mengalaminya. Raka tidak pernah peduli pendapat orang lain,
selama ia merasa benar, dia akan
melakukannya. Hingga, suatu hari, mau tidak
mau, ia harus berteman dengan Nathan, Nadya,
dan Sarah. Tiga orang dengan sifat yang
berbeda, yang terpaksa bersama untuk
mengurus mading sekolah. Nathan, si pintar yang selalu bersikap sinis.
Nadya, ketua kelas yang tak pernah meminta
bantuan orang lain, dan Sarah, cewek pemalu
yang membuat Raka selalu ingin membantunya.
Lagi-lagi, Raka terjebak dalam urusan orang lain,
yang membuatnya belajar banyak tentang
sesuatu yang selama ini ia takuti. Kehilangan.
- Prolog - "Raka..." Bu Ratna menghela napas. "Kali ini,
kenapa lagi?" "Mereka duluan yang ganggu saya," jawab Raka
tegas. "Bukan alasan!" kata Bu Ratna tak kalah tegas.
"Apa kamu lupa kalau kamu ini baru kelas X"
Artinya, kamu baru empat bulan di sekolah ini,
empat bulan Raka! Dan, kamu sudah berkelahi
sebanyak dua kali!" "Jadi, maksud Ibu, kalau ada yang ganggu saya,
saya harus diam saja?" protes Raka. Rahangnya
mengeras dan tangannya tergenggam erat.
"Bukan!" sergah Bu Ratna. "Tapi, Ibu ingin kamu
membalasnya bukan dengan otot, tapi otak!"
Raka mengernyitkan dahi. "Ah, sudahlah." Bu Ratna menggeleng. "Setelah
ini, saya mau menghadap Kepala Sekolah untuk
mendiskusikan hukuman yang cocok untukmu,
sepertinya skorsing saja tidak cukup. Aku harus
memberi tahumu, Pak Kepala Sekolah tidak
begitu suka ada biang kerok di sekolahnya.
Motonya: mumpung masih berupa larva, harus
secepatnya dibasmi sebelum menjadi nyamuk
dan menyebarkan penyakit. Kamu tahu maksud
Ibu, kan?" Raka mengangguk pasrah. "Kamu boleh pergi," kata Bu Ratna kemudian.
Namun, ketika Raka sudah hendak keluar dari
ruangannya, Bu Ratna menghentikannya
kembali. "Sebagai wali kelas, Ibu sungguh-sungguh tidak
ingin kamu dikeluarkan," ujar Bu Ratna. "Kamu
percaya pada Ibu?" Raka terdiam sejenak, lalu memasang tampang
pura-pura bingung. "Itu pertanyaan retoris?"
Bu Ratna tersenyum. Sejak tadi, Raka sudah cukup lama merasa
tegang akibat menahan emosi, apalagi setelah
dipakai berkelahi. Begitu berada di luar, dia
langsung meregangkan otot-otot tangannya
yang kaku. Dia mengerang pelan karena
beberapa bagian tubuhnya terasa sangat sakit.
Wajahnya memar di beberapa bagian.
Mengingat dia baru saja merobohkan lima
orang sekaligus, luka yang didapatnya tergolong
ringan. Setibanya di lapangan parkir, tiba-tiba dia
mendengar teriakan. "JANGAN BELAGU!!!!"
Raka menghentikan langkahnya, mencari-cari
sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari
belakang gedung yang letaknya tidak jauh dari
tempat dia berdiri sekarang. Dia melihat
segerombol orang yang sepertinya hendak
mengeroyok seseorang. Nathan" tanya Raka dalam hati melihat orang
yang akan dikeroyok. Setelah sadar kalau cowok yang akan dikeroyok
adalah teman sekelasnya, dia cepat-cepat
mengendap-endap mendekati mereka.
"Sebenarnya, apa masalah kalian?" tanya
Nathan tanpa rasa takut sedikit pun tersirat di
wajahnya. "Jangan kamu pikir karena tampangmu
lumayan, kamu bisa seenaknya sendiri tebar
pesona ke sana kemari!" bentak salah satu dari
empat orang yang ada di depannya itu.
"Terima kasih atas pujiannya," jawab Nathan
kalem. Mulut Raka menganga mendengar kata-kata
Nathan. Dia itu terlalu bodoh atau terlalu
berani"! Wajah keempat orang itu langsung merah
padam. Tangan mereka mengepal erat dan
rahang mereka terkatup. "KAMU...!!!!" Salah
seorang di antara mereka mulai mengeluarkan
tinjunya. Nathan berhasil menghindari pukulan pertama,
tetapi ternyata pukulan kedua sudah
menunggunya tidak lama kemudian. Tepat saat
itu, Raka keluar dari tempat persembunyiannya
dan berhasil menangkisnya.
"Siapa kamu"!!" tanya mereka. "Jangan ikut
campur!" "Pengecut!" ejek Raka kesal. "Atau, emang
sudah budaya sekolah ini selalu main
keroyokan?" "SIALLL!!!!" Salah satu dari gerombolan itu maju
siap menerjang Raka dan cowok ini pun sudah
bersiap hendak menghadapinya.
"TUNGGU!!!" teriak salah seorang dari
gerombolan itu. "KENAPA?" tanya cowok yang akan menerjang
Raka itu dengan marah. "Dia itu Caraka," jawab temannya. "Dia anak
kelas X yang baru aja bikin babak belur lima
anak basket itu." Sekarang, Raka memandang orang-orang itu
dengan heran. Tidak menyangka hanya karena
sebuah rumor, reaksi mereka langsung berubah
180 derajat. Keempat orang itu membeku. Bahkan dua di
antara mereka menelan ludah dengan suara
yang cukup keras, membuat Raka tertawa
dalam hati. "Hei, dengar, ya," kata cowok yang dari tadi
terlihat paling marah. "Kami nggak punya
masalah denganmu. Lagian, ini nggak ada
hubungannya sama kamu. Jadi, jangan ikut
campur." Raka mengangkat bahu. "Dia teman sekelasku.
Bisa dibilang, kami punya hubungan. Kalau
kalian emang mau mengeroyoknya, lakukan di
tempat yang nggak bisa aku lihat atau aku
dengar." Cowok itu tersenyum sinis, lalu mengalihkan
tatapannya pada Nathan. "Kali ini, kau
beruntung, tapi kau dengar sendiri apa kata
temanmu barusan, nggak selamanya kau akan
seberuntung sekarang."
"Wah, aku nggak sabar menunggunya," jawab
Nathan tenang. "Kurang ajar! Lihat saja nanti!"
Lalu, mereka pergi dengan sedikit gerutuan.
Raka menoleh menatap Nathan dengan tatapan
kau-bodoh-atau-apa" "Kau itu bodoh atau idiot"
Cari mati, ya! Kata-katamu tadi malah bikin
mereka tambah marah."
"Bukan urusanmu," kata Nathan sambil
membetulkan letak kacamatanya. "Itu
kulakukan dengan sengaja."
Raka langsung melongo. "Hah" Buat apa?"
Nathan mengabaikan pertanyaan Raka, lalu
berjalan pergi. "Sopan sekali," sindir Raka sambil berjalan
mengikutinya. "Kau ingin aku berterima kasih" Aku nggak
memintamu membantuku."
"Oh, ya" Tapi, tadi kau kelihatan seperti itu."
Raka tersenyum mengejek. "Kalau begitu, kau perlu kacamata."
Raka langsung membatu. Dia mengutuki dirinya
sendiri karena telah menolong orang sialan
seperti yang satu ini. "Sekarang, kau menyesal sudah menolongku?"
tanya Nathan seolah-olah bisa membaca pikiran
Raka. "Hah?" Raka berpura-pura tak mengerti apa
yang dikatakan cowok itu.
"Terima kasih," kata Nathan kemudian.
"Hah?" Raka melongo. "Aku nggak salah dengar,
kan?" "Puas?" tanya Nathan.
Raka memutar bola matanya. "Iya, iya."
"Oh, ya." Nathan menatapnya tajam. "Setelah
ini, jangan harap lantas hubungan kita jadi lebih
dekat." "Hah?" Kali ini Raka benar-benar tidak mengerti
maksud ucapan Nathan. Nathan tidak memedulikan kebingungan di
wajah Raka. "Sampai kapan pun, kita cuma
teman sekelas. Nggak kurang, nggak lebih.
Camkan itu!" Dia berbalik dan berjalan meninggalkan Raka
yang hanya bisa terbengong-bengong
melihatnya. "MAKSUDNYA APAAAAAAAAAAA"!!!" teriak
Raka begitu Nathan hilang dari pandangannya.
*** -1- "Raka." "APA?" jawab Raka dengan suara bass-nya yang
berat dan keras (tuing -,-).
Sarah tampak kaget dan spontan mundur
selangkah. Wajahnya memucat dan matanya
mulai berkaca-kaca. "Nggak perlu
membentakku, aku cuma..."
"Aku nggak membentakmu," jelas Raka sambil
menunjukkan wajah capek. "Berapa kali aku
harus bilang kalau suaraku..." Cowok itu
menghentikan kalimatnya, merasa percuma
karena sudah melakukannya berkali-kali tanpa
hasil. "Ah! Sudahlah! Ada perlu apa?"
"Aku cuma mau minta tolong..." Sarah terhenti
sejenak untuk menelan ludah. "Mintakan
persetujuan artikel ini sama Bu Ratna." Dia
menyodorkan beberapa lembar artikel kepada
Raka dan langsung buru-buru kembali ke depan
komputer tanpa berani menatap mata cowok
itu. Raka langsung mengernyit. "Cewek aneh."
"Bukan dia yang aneh, tapi kau!" komentar
Nathan yang berada di sebelahnya. "Kau yang
aneh karena nggak juga sadar, suaramu itu
menakutkan." "Suaraku" Tapi, dari dulu, suaraku emang
begini." Raka melirik Nathan tajam dengan
tatapan aku-akan-membunuhmu-kalau-kaungomong-lagi.
Nathan malah balas meliriknya. "Uuuu...
takuuut..." "KAU!!!" Raka mulai kehilangan kesabaran.
Tepat saat tangannya akan berbicara, Nadya
yang duduk di depan mereka menggebrak meja.
"DIAM!" katanya. "Bisa nggak, sih, kalian
meneruskan pertengkaran anak SD kalian itu di
luar" Aku jadi nggak bisa konsentrasi baca."
"Kamu bisa baca di perpustakaan," balas
Nathan. "Maunya sih begitu, tapi jam segini
perpustakaan sudah tutup dan baru buka besok
pukul 8." Nadya tersenyum, merasa menang.
"Kalau begitu, lakukan besok pagi," balas
Nathan dingin. Kali ini, sepertinya dia yang
menang. Nadya menatap marah ke arah Nathan yang
tampak tak peduli. Suasana berubah menjadi
panas di antara mereka berdua dan percikan api
terasa lebih banyak dari Nadya.
Raka menelan ludah, merasa sudah waktunya
dia pergi dari tempat itu.
"Aku... mau ke tempat Bu Ratna dulu, ya,"
katanya kemudian sambil mengacungkan
lembaran artikel yang tadi diberikan Sarah. Tak
ada seorang pun yang menjawab. Nadya dan
Nathan mungkin tidak mendengarnya.
Sementara, Sarah, dia terlalu takut untuk
mengeluarkan suara sedikit pun.
***
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bu Ratna! Saya protes!" teriak Raka begitu
sampai di meja kerjanya. "Saya lebih baik diskorsing dua tahun daripada dihukum kerja
paksa kayak gini." "Skorsing dua tahun?" Bu Ratna tersenyum geli.
"Enak di kamu kalau begitu."
"Tapi, sungguh! Saya sudah nggak tahan lagi,"
desah Raka sambil menjatuhkan diri di kursi
depan mejanya. "Ya ampun, Raka, kamu baru sebulan di situ."
"Tapi, rasanya sudah seperti seabad, Bu!"
protesnya. "Satu ruangan dengan Zombie
berlidah tajam, Ratu Salju, dan si cengeng
penakut itu, entah kenapa bikin jarum jam
terasa nggak bergerak ke mana pun."
Bu Ratna malah tertawa. "Hebat, bahkan, kamu
sudah punya julukan buat mereka, Ibu nggak
menyangka kalian sudah sedekat itu."
"Berapa lama lagi saya harus membantu, ah...
maksud saya, kerja rodi di redaksi majalah
sekolah?" Raka memasang tampang memelas.
"Mmmm..." Bu Ratna pura-pura berpikir.
"Nggak lama kok, Raka, paling-paling sampai
kenaikan kelas." "HAH"!!" teriak Raka spontan. Untung saja, saat
itu, ruang guru sudah sepi.
"Raka," kali ini Bu Ratna memasang muka
serius, "kamu masih kelas X, tapi dalam waktu
sebulan kamu sudah berkelahi dua kali. Jadi,
saran Ibu, supaya kamu tidak di-DO, jalani
hukumanmu sekarang, oke?"
Raka mengangguk lemas. Tak ada pilihan lain.
Bu Ratna menghela napas. "Jadi, kamu datang
ke tempat saya hanya untuk mengatakan hal
itu?" "Ah!" Raka langsung teringat artikel yang
diberikan Sarah. "Tadi, Sarah menitipkan ini
buat minta approve dari Ibu."
"Oh..." ujar Bu Ratna sambil memperhatikan
lembaran-lembaran artikel yang baru saja
disodorkan padanya. "Bu, kalau saya boleh tanya," kata Raka
kemudian. "Apa?" "Sebenarnya, ke mana anggota redaksi yang
lain?" tanyanya penasaran. "Setahu saya,
Nathan dan Nadya, kan, bukan anggota redaksi.
Tapi, kenapa mereka yang mengerjakan majalah
sekolah?" Ekspresi Bu Ratna tiba-tiba berubah, lalu ia
mengangkat wajahnya dan menatap Raka.
"Karena saya sebagai pembina majalah sekolah
membutuhkan bantuan mereka." Bu Ratna
memandang matanya lekat-lekat. "Dan,
bantuanmu." Raka terlihat bingung. "Sarah pun sebenarnya bukan pemimpin
redaksi," lanjut Bu Ratna. "Dia cuma ketiban sial
sebagai satu-satunya murid kelas X di redaksi
majalah sekolah. Senior-seniornya
memanfaatkan dia dan membebankan semua
pekerjaan kepada anak itu. Sementara, mereka
menghilang dengan alasan sibuk menghadapi
ujian. Suatu hari, Sarah datang kepada saya
sambil menangis. Dia tak sanggup lagi
mengerjakan semuanya sendirian. Itulah
sebabnya saya langsung minta bantuan Nathan
dan Nadya sebagai yang terpintar di kelas."
"Kenapa Sarah nggak protes saja sama seniorseniornya?" tanya Raka tak habis pikir.
"Jangan samakan semua orang dengan dirimu."
"Tapi, Ibu membuat sebuah kombinasi tim yang
aneh," protes cowok itu. "Si Penakut, si Sinis,
dan si Keras Kepala sampai kapan pun nggak
akan bisa jadi tim yang kompak."
Mendengar kritikan Raka, anehnya Bu Ratna
malah tersenyum. "Itulah sebabnya saya
memasukkanmu." Raka mengerutkan dahi. "Memasukkan"
Bukannya saya dihukum" Oleh Kepala Sekolah
pula." Bu Ratna menghela napas. "Bukan," sahut Bu Ratna. "Maafkan Ibu tidak
jujur padamu. Sebenarnya, Ibu yang memaksa
Pak Kepala Sekolah memasukkanmu di redaksi
majalah sekolah." Kepala Raka terasa dipukul palu mendengar
pengakuan Bu Ratna. "Kenapa?"
Bu Ratna terdiam sejenak sambil menatap mata
murid di hadapannya itu. "Kenapa?" Bu Ratna mengulangi pertanyaan
Raka. "Karena, Ibu pikir, kamu pasti bisa
membuat keajaiban." Hah" Raka langsung melongo.
*** "Malam ini kita makan apa?" tanya mama Raka
sesampainya perempuan itu di rumah.
"Nasi goreng," jawab Raka sambil menyiapkan
piring. "Lagi?" Mama pura-pura terkejut.
"Sudahlah, Ma, hanya ini masakan yang bisa
kubikin," sahut Raka tidak ingin meladeni
mamanya. "Tapi, Raka, ini nggak sehat," timpal Mama.
"Kamu masih dalam taraf pertumbuhan, harus
banyak makan makanan yang bergizi."
Raka memutar bola matanya. "Ma, tinggiku
sudah 180 sentimeter ("!#$@#$%). Sudah
cukup. Kalau tumbuh lagi, bisa-bisa, aku dikira
mengidap gigantisme."
"Lho, bukannya masih ada satu lagi yang perlu
tumbuh dari kamu?" "Apa?" "Otak! Hahahaha." Mama tertawa terbahakbahak.
Raka menyipitkan mata, tidak senang, tapi
melihat reaksi Raka, Mama malah mengusapusap rambut anaknya itu.
"Tampang merajukmu itu nggak berubah dari
kecil," kata Mama sambil tersenyum. "Ah, kalau
begitu, Mama mandi dulu ya, baru kita makan
sama-sama," katanya, lalu menghilang ke dalam
kamar. Sejak kepergian papanya dua tahun lalu, Raka
hanya hidup berdua dengan mamanya. Untuk
memenuhi kebutuhan mereka-terutama,
pendidikan Raka-Mama bekerja lagi sebagai
konsultan di Kantor Akuntan Publik. Jadi, dia
sering pulang sampai larut saking sibuknya.
Sebelumnya, Mama memang sudah pernah
bekerja, tapi setelah Raka lahir, dia
memutuskan untuk berhenti dan memilih
menjadi ibu rumah tangga agar bisa mengurus
keluarganya. Hal itu membuat Raka tidak
pernah kekurangan kasih sayang.
Mama menikah ketika berumur 23 tahun, lalu
setahun kemudian, Raka lahir. Hebatnya,
selama menjadi ibu rumah tangga, sang Mama
masih terus berusaha meng-update
pengetahuannya dan memutuskan mengambil
S2 saat Raka masuk SD. Kini, keputusankeputusannya itu terlihat sangat tepat,
terutama saat dia harus bekerja lagi.
Di usianya yang ke-40, Mama masih terlihat
cantik. Dia juga energik, memiliki selera humor
yang tinggi, pengetahuan dan wawasannya luas.
Dan, yang paling membuat Raka merasa
beruntung memiliki mama seperti dia adalah
karena wanita itu punya pemikiran yang
terbuka dan maju. Itulah sebabnya, Raka sangat
membenci papanya yang sudah sangat tega
meninggalkan Mama seorang diri.
"Lain kali, makan duluan saja, kamu nggak perlu
nunggu Mama," kata Mama begitu selesai
mandi. "Kalau Mama pulang larut gimana?"
"Tadi, aku belum lapar, Ma," jawab Raka
singkat. Mama tersenyum mendengar jawaban Raka, dia
tahu anaknya itu berbohong. Raka memang
sengaja menunggu dan akan selalu
menunggunya. "Yah sudahlah, apa katamu saja," desah Mama.
"Tapi, jangan nasi goreng terus, dong!"
rajuknya. "Jadi Mama maunya apa?" tanya Raka.
"Mmm... Mama mau sop buntut, capcay, soto
ayam..." jawab Mama, "eh, emangnya beneran
kamu mau bikinin kalau Mama mau itu?"
"Mau, aku mau beliin, bukan bikinin."
"Dasar!" Mama tertawa. "Mana piringnya,
Mama sudah lapar. Kamu nggak bikin masalah
lagi di sekolah, kan?" tanya sang Mama sambil
menyendok nasi goreng ke piringnya.
Raka menggeleng. "Nggak."
"Belum," ralat Mama sambil tersenyum.
"Tapi, kalau iya, emangnya kenapa?"
Mama mengangkat bahu. "Nggak apa-apa,
soalnya yang penting bagi Mama kamu masih
hidup." Raka terdiam. "Jangan ge-er dulu, soalnya kalau kamu mati,
Mama mesti ngeluarin duit menggaji pembantu
buat masakin Mama dan bersih-bersih rumah,"
kata Mama sambil tertawa terbahak-bahak.
DASAAAR! umpat Raka dalam hati.
*** -2- Sin2x + 2sinx-1 - cos2x. "Caraka Pamungkas , kamu mau berdiri di situ
sampai kapan?" tanya Pak Anung tajam.
Raka tidak menjawab. Kepalanya sudah pusing
dan keringat dingin mulai bercucuran. Perutnya
mual, sepertinya tinggal menghitung mundur
sampai dia benar-benar muntah di depan papan
tulis. "Sudah! Kembali ke tempat dudukmu," gerutu
Pak Anung tidak sabar. "Nathan, coba kamu
yang jawab." Akhirnya... Raka menghela napas lega. Dia
memang payah kalau sudah berurusan dengan
angka. "Bagaimana?" tanya Dhihan, teman sebangku
Raka begitu cowok ini menyandarkan diri di
kursi. "Parah," jawab Raka sambil memelorotkan
bahu. "Aku hampir mati berdiri di depan tadi."
Dhihan terkikik pelan. "Masa depanmu
kayaknya bakal suram."
"Berisik!" dengus Raka. "Nggak usah kamu
bilang juga, aku sudah tahu!"
"Bagus sekali Nathan, seperti biasanya," kata
Pak Anung sambil bertepuk tangan.
"Gila! Cuma lima menit," decak Dhihan kagum.
"Bukan manusia."
Raka menatap Nathan yang sedang berjalan ke
tempat duduknya. Dia balik menatap Raka
sekilas tanpa ekspresi, lalu mengalihkan
tatapannya lagi. Raka mengerutkan kening lalu
mencoba menerka apa yang dipikirkan cowok
itu saat ini. "Emang, batas antara genius dan gila cuma
setipis kertas," kata Raka kemudian.
Dhihan meringis. "Ah, kamu cuma sirik aja."
Raka menghela napas sambil menggaruk-garuk
kepala. "Apa katamu aja, deh."
Bagi Raka, selama pelajaran sains, entah kenapa
waktu berjalan begitu lambat. Dua setengah
jam terasa seperti dua setengah abad. Akhirnya,
bel penyelamat itu berbunyi juga.
"Baik," kata Pak Anung sambil membereskan
bukunya. "Kita sudahi sampai di sini saja.
Selamat siang." Raka menghela napas lega. Terima kasih, Tuhan.
Sebelum siswa kelas X itu sempat keluar, Nadyasang ketua kelas-maju ke depan dan memukulmukulkan penghapus papan tulis ke meja.
"Teman-teman, aku minta waktu sebentar!"
katanya tegas. Seisi kelas langsung membeku
mendengarkannya. "Sebentar lagi akan diadakan perayaan ulang
tahun sekolah kita," lanjut cewek itu. "Setiap
kelas diminta menampilkan suatu pertunjukan
dan wajib mengikuti bazar. Nggak ada
ketentuan akan apa yang harus ditampilkan dan
dijual, semua terserah kelas masing-masing.
Jadi, ada yang punya usul tentang apa yang
akan kita tampilkan?"
Tidak ada satu pun yang menjawab.
"Baik," kata Nadya lagi. "Kalau nggak ada, aku
sudah membuat kuisioner untuk diisi. Tolong
diisi dengan benar karena kalian jugalah yang
akan melaksanakannya. Tapi, sebelumnya, kita
harus terlebih dahulu memilih koordinator
pelaksana. Aku minta yang bersedia menjadi
koordinator mengacungkan tangan. Jangan
menunjuk orang lain!"
Seisi kelas terdiam. Tak ada yang berani
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajukan diri. Nadya mendesah kesal. "Karena nggak ada yang
berani, untuk sementara aku yang menjadi
koordinator pelaksana," lanjutnya. "Ada yang
keberatan?" tanyanya sambil menyapukan
pandangan ke seluruh kelas. Semua serempak
menggeleng dengan keras. "Baik," Nadya membagikan lembar kuisioner
yang dibuatnya, "kalau ada yang ingin
ditanyakan, tanyakan langsung padaku.
Kuisioner ini dikumpulkan paling lambat pulang
sekolah hari ini. Setelah selesai kurekap, baru
kita diskusikan bagaimana konsepnya."
Dhihan bersiul saat Nadya sudah keluar kelas.
"Well, di kelas kita ini, she is the man," ujarnya.
Raka mengangguk setuju. Kemudian, matanya
beralih pada Sarah dan tanpa sengaja
mendengarkan obrolan cewek itu dengan
teman sebangkunya. "Sori, aku lupa makalah sejarah kita," kata Nita,
teman sebangku Sarah, dengan nada menyesal.
"Nggak apa-apa," jawab Sarah, ia kelihatan
sungguh-sungguh. "Aku udah bikin tugas itu,
kok." "Atas nama kita berdua?" tanya Nita tak
percaya. Sarah mengangguk. "Aduuuh... Sarah, kamu baik banget," pekik Nita
sambil memeluk Sarah yang tampak tersenyum.
"Eh, buat tugas bahasa Inggris, kita satu
kelompok, kan" Sama Angel juga, kan?" tanya
Nita setelah melepaskan pelukannya.
"Iya." "Kamu udah bikin?"
Sarah menggeleng. "Belum, kupikir kita..."
"Eh, tolong buatin ya, Sar, aku sibuk banget,
nih," pinta Nita. "Kalau harus kerja bareng,
kayaknya nggak bakal ada waktu yang pas. Tadi,
Angel juga bilang gitu, dia sibuk banget sama
cheerleader-nya. Bisa nggak kamu buatin buat
kelompok kita" Ayolah Sar, kamu kan, yang
paling pintar..." Sarah tampak bimbang. "Ta-tapi..."
"Ayolah, Sar... Ya" Ya" Ya?" desak Nita.
"I-iya, deh," jawab Sarah, akhirnya.
"Aduuuuuh... makasiiihhh...!" seru Nita. "Aku
mau kasih tahu Angel dulu."
Dasar bodoh! umpat Raka dalam hati.
Kemudian, perhatiannya beralih pada suara
yang tiba-tiba meninggi dari dua meja di
depannya. "Ayolah, Than!"
Doni sedang membujuk Nathan untuk
melakukan sesuatu, tapi Nathan tampak tidak
menggubrisnya. "Aku nggak mau," jawab Nathan dingin.
"Kita ini satu kelompok!" ujar Doni yang tampak
kehilangan kesabaran. "Seharusnya, kita
kerjakan tugas ini bareng-bareng!"
Nathan meletakkan buku yang sedang
dibacanya, lalu mendongak dan menatap Doni
tajam. "Aku nggak mau," katanya. "Kalau kita
mengerjakannya sama-sama, yang bakal terjadi:
aku yang mengerjakannya dan kalian tinggal
menyalinnya." Dari ekspresi wajahnya, kelihatan sekali kalau
Doni tertohok. Namun, sepertinya, memang
itulah yang akan terjadi.
"Jadi, sebaiknya, masing-masing kita
mengerjakannya. Lalu, pada hari yang telah
ditentukan, hasilnya dikumpulkan dan
dikompilasi," tandas Nathan.
Doni terdiam. Dahinya mengernyit, masih tidak
setuju dengan usul Nathan.
"Kalau kamu nggak setuju dengan usulku,
terserah," ujar Nathan seakan-akan bisa
membaca pikiran Doni. "Kita bisa
mengumpulkannya secara individu. Kurasa, Bu
Husna nggak akan keberatan, soalnya tugas ini
dijadikan tugas kelompok cuma biar beban kita
ringan aja. Dan, mengerjakannya seorang diri
bukan masalah besar buatku."
Doni kehilangan kata-kata. Dia tidak bisa
membalas, merasa kalah. "Terserah kamu aja, aku kasih tahu yang lain,"
katanya dengan lunglai. Mengerikan... batin Raka membayangkan harus
menghabiskan satu tahun pertamanya di SMA
dengan orang-orang seperti Nathan, Nadya, dan
Sarah. Bu Ratna pasti bercanda! *** "Di mana Sarah?" tanya Nadya saat anggota
majalah sekolah berkumpul di ruang redaksi.
"Mana aku tahu, emangnya aku baby sitternya?" jawab Raka asal.
"Seharusnya, dia sudah di sini buat rapat,"
gerutu Nadya. "Payah! Dia kan, ketuanya!"
"Sabar dan tunggu aja," ujar Nathan yang
sedang sibuk di depan komputer main football
manager. Walaupun masih tampak jengkel, Nadya
menurut pada Nathan. dia mengambil sebuah
buku dari dalam tasnya, lalu mulai membaca.
Raka seperti biasa, mengandalkan iPod untuk
menemaninya. Majalah sekolah yang mereka kerjakan itu diberi
nama Veritas oleh pendirinya, bahasa latin dari
"kebenaran". Seharusnya, redaksi Veritas
digawangi anak-anak kelas XI. Namun, entah
apa yang terjadi, sekarang, tinggal Sarah-yang
jelas-jelas duduk di kelas X-yang masih tersisa.
Karena itu, akhirnya, Bu Ratna mengajak paksa
murid-muridnya untuk jadi anggota tambahan.
Oleh Sarah, sang editor in chief, ketiga anggota
baru tersebut diberi tanggung jawab sesuai
dengan kapasitas kemampuannya masingmasing. Nathan yang paling pintar di kelas
bertanggung jawab atas artikel pengetahuan,
baik umum maupun khusus. Nadya, si ketua
kelas yang jaringan pertemanannya luas,
bertanggung jawab atas artikel tentang sekolah:
events, serba-serbi, sejarah, dan lain-lain.
Sementara itu, Raka, yang sudah jelas tidak bisa
apa-apa, membantu dalam hal-hal seperti
fotocopy, membeli alat-alat, mengangkat ini,
mengangkat itu-segala hal yang kalau saja ini
bukan hukuman, bisa dipastikan cowok ini
sudah lari. Raka melirik jam tangannya. Pukul dua lewat,
Sarah lama sekali. "Aku mau cari Sarah," kata Raka kemudian,
sambil bangkit dari duduknya. "Ini udah pukul
dua lewat." Nathan dan Nadya hanya menatapnya tanpa
mengatakan apa-apa. Lalu, kembali asyik
dengan apa yang sedang mereka lakukan.
Ternyata, Sarah sedang berada di kelas.
"Hoi!" Sarah mendongak. "Lagi ngapain?" tanya Raka. "Yang lain udah
nunggu dari tadi buat rapat."
"Ya, Tuhan!" pekik Sarah. "Aku lupa!
Bagaimana, dong?" "Ngerjain apa, sih?" tanya Raka lagi sambil
duduk di meja depan mejanya.
"Tugas kimia," jawab Sarah panik sambil
memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas.
"Tugas kimia?" Raka mengernyitkan dahi.
"Bukannya itu tugas kelompok?"
"Iya, tapi anggota kelompokku yang lain lagi
sibuk. Jadi, mereka minta tolong aku buat
mengerjakannya," ujar Sarah, seakan-akan apa
yang dilakukannya adalah hal wajar.
"Dan, kamu mau?" tanya Raka tak percaya.
"Emangnya kenapa?" Sarah balik bertanya
dengan agak takut-takut. "Kamu itu... bukannya sedang dimanfaatin?"
Sarah terdiam. Tampaknya, kata-kata Raka
tepat kena sasaran. "Maaf, aku akan cepat-cepat selesaikan,"
katanya kemudian, mencoba mengalihkan
pembicaraan. Raka menghela napas. "Sudahlah, nggak perlu
buru-buru. Lagian, cuacanya lagi enak."
"Eh?" Sarah memandang Raka dengan tatapan
aneh. "Harus benar-benar dinikmatin," ujar Raka.
"Soalnya, begitu kamu masuk ruang Veritas,
kamu akan langsung membeku gara-gara dua
orang itu. Mereka, kan, paling jago bikin
suasana berasa kayak Benua Antartika."
Sarah terkikik mendengar ucapan Raka.
"Kupikir, cuma aku yang berpikiran gitu."
Raka meringis. "Aku justru heran kalo ada yang
nggak berpikiran gitu."
Kedua orang itu tertawa. "Selesai!" kata Sarah nggak lama kemudian
sambil merapikan kertas-kertas di mejanya.
"Kalo gitu, aku tunggu di luar, ya," kata Raka.
"Eh, Ka!" cegah Sarah.
"Hm?" Sarah tampak bingung seperti sedang
menimbang-nimbang hendak mengatakan
sesuatu. "Aku ini..." katanya tanpa berani menatap mata
Raka. "Apa?" "Aku ini bodoh, ya?" tanya Sarah, sambil
menunduk. "Aku tahu aku dimanfaatin, tapi aku
nggak bisa nolak." Raka mendesah, lalu menggaruk-garuk kepala,
bingung harus mengatakan apa.
"Nggak," jawabnya akhirnya. "Kamu nggak
bodoh. Kamu cuma terlalu baik."
Sarah menatapnya tak percaya, kemudian
tersenyum. Wajahnya bersemu.
"Udahlah! Ayo cepat!" kata Raka. "Aku nggak
tahu lagi apa yang bakal terjadi kalau
meninggalkan mereka berdua lebih lama."
Sarah mengangguk. "He-eh."
*** "YOOOOO...!!!" Raka menoleh, Dhihan langsung menendang
bola ke arahnya. Sebuah umpan yang bagus.
Raka menerjang maju dengan bola di kaki. Satudua lawan berhasil dia kecoh dan tinggal
selangkah lagi... "GOOOOOOOLLLLL...!!"
"Nice," kata Dhihan sambil terengah-engah
menghampirinya. Napas Raka juga naik-turun. "Thanks, itu berkat
umpanmu juga." Dhihan meringis. "Capeknyaaaaa..." Toni merebahkan diri di
pinggir lapangan setelah permainan selesai.
"Gimana kalo lain kali kita main sepak bola aja,"
usul Virgo. "Bosan main futsal mulu."
"Aku penginnya juga gitu," ujar Raka. "Tapi,
orangnya kurang." "Kita ajak temen-temen sekelas aja." Dhihan
yang dari tadi hanya diam dan mengompres
mukanya dengan botol air mineral akhirnya
buka suara. "Ah... nggak! Nggak!" Leo menolak. "Orang, aku
ajak nonton Ligina aja mereka nggak mau!
Lagian, apa kamu nggak lihat, anak-anak yang
demen olahraga di kelas kita tuh bisa diitung
pake jari! Jari tangan pula! sepuluh orang, ya,
kita-kita ini!" "Eh, tapi siapa tahu, lho," kali ini Pupung angkat
bicara. "Kali aja mereka nggak suka nonton, tapi
main. Emangnya, kamu udah nanya mereka
satu-satu?" Doni mengangguk. "Bener! Bener! Coba aja kita
ajak temen-temen. Eh, si Nathan tuh jago
olahraga juga, kan?"
Raka dan Dhihan serempak menyahut. "YANG
BENER"!" "Iya!" kata Doni. "Dia kan, tadinya di Surabaya,
baru pindah ke sini waktu lulus SMP. Nah, di
Surabaya itu, dia udah menang beberapa
kejuaraan olahraga dari basket, sepak bola,
atletik, voli, sampai pencak silat."
"Hebaaaaat..." seru Raka kagum.
"Dia emang hebat!" Doni mengamini.
"Bukan dia," ujar Raka, "maksud aku, KAMUnya. Kok, bisa tahu sampe sedetail itu tentang
Nathan. Jangan-jangan, kamu nge-fans sama
dia, ya?" Dhihan dan Virgo langsung menyeringai.
"Bu-bukan!" sergah Doni salah tingkah. "Aku
cuma lihat di internet!"
"Nah! Itu dia!" seru Raka. "Kenapa kamu mesti
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ngebela-belain cari di internet segala kalo bukan
nge-fans namanya?" "Bukaaaaan!! Itu..." Doni benar-benar salah
tingkah hingga kehabisan kata-kata. Semua
tertawa melihatnya. "Eh, tapi info itu kayaknya emang bener, lho,"
kata Pupung. "Inget nggak dulu, waktu Raka
ngehabisin anak-anak basket" Nah, sebelum itu,
si Nathan udah ngehabisin mereka duluan."
"Oh, ya?" tanya Raka tak percaya.
"Oh, iya! Bener! Bener!" timpal Dayat. "Aku juga
denger!" "Mereka juga digebukin sama Nathan?" tanya
Dhihan. "Kok, nggak kapok, sih" Udah
digebukin, masih juga pake acara nantang Raka
segala." "Nathan nggak ngegebukin. Itu bedanya yang
berotak dan yang nggak," jawab Dayat sambil
melirik Raka. Sialan, umpat Raka dalam hati.
"Nathan berhasil "ngehabisin" mereka waktu dia
ditantang tanding basket 5 lawan 1," lanjut
Dayat. "Dia tiga kali three point dan masuk
semua." "Hah! Gila! Bukan manusia tuh!" sembur Virgo.
"Tapi, kalo apa yang KAMU bilang itu bener,"
kali ini Alfi yang angkat bicara, "kenapa aku
nggak pernah lihat dia waktu jam olahraga, ya?"
"Dia punya dispensasi khusus kali," Leo angkat
bahu, "aku denger-denger sih, dia kena anemia.
Lagian, ayahnya kan, orang kaya. Jadi, mungkin
di situ juga "pendorong" dispensasinya."
"Hayah! Banci banget!" dengus Raka. Dia paling
tidak suka dengan anak yang memanfaatkan
kekayaan orangtuanya. "Eh, tapi aku penasaran sama anak-anak basket
itu," kata Dhihan. "Mereka ngapain, sih, pake
acara nantang-nantang gitu?"
"Alaaaah... kayak nggak tahu aja," cibir Leo.
"Dari zaman penjajahan Belanda sampe
sekarang, yang namanya klub basket SMA tuh
pasti jadi idola cewek-cewek satu sekolah. Jadi,
begitu dirasa ada "ancaman" terhadap
kepopuleran mereka, mereka pasti langsung
bertindak buat meredam atau, kalau perlu,
mencabut sampai ke akar-akarnya."
"Kalo Nathan, sih, aku ngerti kenapa dianggap
ancaman. Dia kan, punya tampang, duit, dan
otak," timpal Septian. "Nah, kalo Raka"
Ancaman dari Hong Kong!"
"Sialan!" umpat Raka sambil pura-pura hendak
memelintir leher Septian.
"Wah, jangan salah," ujar Toni. "Cewek-cewek
tuh justru seneng sama muka-muka badak, tapi
hati merpati kayak Raka gini."
Kontan mereka semua tertawa.
"Ntar malem, jadi ke tempatku, Ka?" tanya
Dhihan sambil berjalan menuju lapangan parkir,
saat mereka beranjak pulang.
Raka mengedikkan bahu. "Lihat-lihat entar, Han.
Kalo males, ya, aku nonton Liga Champion-nya
di rumah aja." "Yang pasti, aku pegang Liverpool!" seru Toni.
"Sori ya, Ton, kami bertiga Milanisti. Jadi, jauhjauh deh, kalo ngomongin Liverpool." Virgo ikut
menimpali. "Sial!" gerutu Toni sambil mengeluarkan
bungkusan rokok dari sakunya, lalu menawari
teman-temannya satu per satu.
Dhihan dan Virgo mengambil sebatang. Ketika
cowok itu menyodorkannya ke Raka, dia
menampiknya. "Sori, aku nggak ngerokok."
"Hah?" Virgo dan Toni langsung memandang
Raka dengan aneh, seakan-akan dia sedang
melihat singa yang tiba-tiba memutuskan jadi
vegetarian. "Iya, Raka nggak ngerokok," kata Dhihan
kemudian. "Masalah pribadi."
Mereka terdiam sejenak, tapi kemudian Toni
mengangguk, begitu juga Virgo. Mereka bisa
memaklumi dan berniat nggak akan
mempermasalahkannya. Raka bersyukur dia
nggak salah memilih teman.
Raka menoleh ke arah Dhihan lalu,
mengucapkan, "Thanks" tanpa suara. Dhihan
hanya mendelik sambil tersenyum. Raka dan
Dhihan berteman sejak SMP. Jadi, cowok itu
tahu benar alasan Raka tidak merokok adalah
karena ayahnya seorang perokok berat.
*** -3- Gara-gara percakapan kemarin, tanpa disadari,
hari ini, mata Raka tidak bisa beralih dari
Nathan. Raka-mungkin juga orang lain-tidak
akan menyangka kalau di balik kulit putih pucat
dan tubuh kurus tinggi Nathan itu terdapat
bakat olahraga yang demikian besar.
Kalau nggak dibuktiin sendiri, aku nggak akan
percaya, kata Raka dalam hati.
"Berhenti menatapku seperti itu!" kata Nathan
dingin. Raka terkejut seakan-akan disadarkan dari
lamunan. "Ma-maksudmu?" tanyanya purapura tidak mengerti.
Nathan menutup bukunya. "Nggak perlu
mengelak, soalnya aku bisa merasakannya.
Tatapanmu itu membuat bahu kananku
kesemutan." Raka kehilangan kata-kata. Berbohong juga
sepertinya percuma. Nathan menoleh. "Kalau kamu diam-diam
menyukaiku, bilang saja."
"Hah?" "Jangan takut, aku ini orang yang berpikiran
terbuka," lanjut cowok berkulit putih itu kalem.
"Aku tahu rasa suka itu nggak bisa dilawan.
Tapi, maaf, aku masih normal. Jadi, tolong kamu
cari cowok lain saja."
Raka langsung mendelik. APA" jeritnya dalam hati. Dapat pikiran sinting
dari mana dia! Raka bangkit. "Hei! Aku..." Belum sempat cowok
itu meneruskan ucapannya, Nadya berteriak
sambil memukul papan tulis dengan penggaris
kayu. Nathan pun membalikkan badannya lagi,
tak memedulikan Raka. "Teman-teman! Pak Guru lagi ada keperluan.
Beliau memberi tugas yang harus dikumpulkan
sepulang sekolah!" kata sang ketua kelas itu.
"Kerjakan soal halaman 41 Task 4-17 dan 4-18 di
kertas folio." Seisi kelas langsung mengerang, tetapi Nadya
tidak menggubrisnya. "Terus, setelah ini, saat jam olahraga, kita
diminta langsung berkumpul di lapangan voli,"
lanjutnya. "Hari ini, ada penilaian melalui
pertandingan." Kali ini, yang terdengar paling banyak
mengerang adalah para cewek. Tentu saja, tidak
banyak cewek yang benar-benar suka olahraga.
"Itu saja!" kata Nadya, lalu kembali ke tempat
duduknya. "Fuuuh..." Dhihan mengeluh.
"Huah! Males!" kata Raka sambil meregangkan
otot. "Sama! Tapi, kalo itu jadi alasanmu nggak
ngerjain tugas, bisa-bisa, kamu di-smack down
sama Nadya nanti," ujar Dhihan sambil
mengeluarkan buku dari dalam tasnya.
Raka menatap Dhihan dengan tatapan tidak
percaya. "Serius!" lanjut Dhihan, seperti mengerti
maksud tatapan teman sebangkunya itu. "Dia
itu kan, juara judo. Nah, kamu pikir, kenapa dia
yang dipilih jadi ketua kelas" Soalnya, cewek
maupun cowok nggak akan ada yang berani
ngelawan dia." Raka manggut-manggut. "Tapi, kayaknya,
emang dia yang paling cocok."
"Iyalah... masa kamu!" Dhihan memutar bola
matanya. "Bu Ratna mesti mikir seribu kali kalo
mau memilihmu. Eh, jangan-jangan, dalam
pikiran Bu Ratna, malah nggak pernah ada
namamu." "Kalau kamu ngomong lagi, gantian kamu yang
aku smack down!" geram Raka jengkel.
Dhihan hanya meringis. "Sekali-sekali, kata-kata
bales pake kata-kata dong, jangan pake otot
mulu!" "Aku juga penginnya begitu, tolol!" gerutu Raka.
Dhihan tertawa. *** "Tuh! Tuh lihat! Nathan nggak ikut olahraga
lagi," kata Doni sambil menunjuk Nathan yang
sedang duduk di pinggir lapangan dengan
pandangan matanya. "Lagi datang bulan kali," komentar Alfi asal.
"Mungkin amnesianya kumat," kata Leo.
"Anemia, bukan amnesia dodol!" ralat Dhihan.
"Terserah apalah itu namanya!" kilah Leo.
Raka melihat Nathan beberapa kali mencuri
pandang ke arah mereka. "Wah! Lihat tuh!" Tiba-tiba, ada yang berseru.
Raka menoleh dan melihat teman-temannya
sedang menatap kagum ke arah para cewek
yang sedang melakukan pertandingan voli.
Sekali melihat, dia langsung tahu siapa yang
membuat mereka kagum. Nadya.
"Gila! Lihat nggak tadi smash-nya?" Dhihan
sampai bersiul. "Tajam banget!"
"Nadya emang cewek favoritku di kelas," timpal
Doni yang langsung dijawab anggukan oleh yang
lain. "Udah cantik, pinter, serbabisa pula." Virgo ikut
menambahi. Raka hanya diam, tetapi dalam hati, dia setuju
dengan pendapat teman-temannya. Nadya
memang termasuk salah satu murid paling
cantik di kelas satu, atau, bahkan, di antara
cewek-cewek seangkatannya. Kulitnya putih,
rambutnya hitam panjang, dan tubuhnya tinggi
langsing. Dia paling pintar di kelas-setelah
Nathan-dan salah satu murid kepercayaan guruguru di sekolah ini. Selain andalan klub judo, dia
juga pengurus OSIS dan aktif berbagai
perkumpulan lain. Begitu melihatnya, siapa pun
akan langsung tahu Nadya bukan cewek
sembarangan. "Eh, tapi ngomong-ngomong, ada nggak dari
kalian yang pernah nyoba nembak dia?" celetuk
Leo tiba-tiba. Semua langsung terdiam.
"Ngg-, iya sih, dia cewek favoritku, tapi kalo
buat jadi pacar kayaknya nggak, deh," kata
Doni. "Lagian, dia agak menakutkan."
Alfi mengangguk. "Iya, kalo buat pacar, aku
akan lebih milih yang biasa-biasa aja. Kalo bisa,
malah yang agak rapuh dan manja gitu biar aku
dibutuhin. Kalo sama cewek yang serbabisa
kayak Nadya, kapan aku dibutuhinnya?"
"Bener! Bener!" timpal Dhihan. "Kita emang
seneng lihat cewek mandiri, tapi kalo semua
bisa dia lakuin sendiri, kayaknya nggak, deh.
Kesannya kita nggak dibutuhin banget!"
"Setuju!" Septian ikut angkat bicara. "Kalo aku,
mendingan yang kayak Sarah gitu, deh! Manis
banget! Hehehe." Beberapa orang mengangguk.
"Jadi, intinya, belum pernah ada yang nembak
Nadya?" tanya Raka akhirnya. Teman-temannya
menggeleng. "HOI! KALIAN YANG DI SANA! JANGAN BICARA
SENDIRI! SEKARANG, GILIRAN KALIAN!" bentak
Pak Tono, guru olahraga. Raka menoleh sekali lagi ke arah Nadya sebelum
siap-siap bertanding. Cewek itu sedang duduk
melemaskan otot, pertandingan grup cewek
sudah selesai. Ketika Raka sedang menatapnya
seperti itu, tiba-tiba Nadya menoleh tepat ke
arahnya hingga tatapan mereka bertemu.
Anehnya, Raka tidak berniat mengalihkan
pandangan secepatnya layaknya orang yang
sudah tertangkap basah. Malah Nadya yang
memalingkan wajahnya. "Raka!!!" panggilan Dhihan-lah yang
mengharuskan Raka berpaling.
*** Begitu jam olahraga selesai, hampir semua anak
menghambur kembali ke dalam kelas. Namun,
Raka masih terduduk di pinggir lapangan
melepas lelah. Ternyata, bukan hanya cowok ini
yang ada di lapangan. Di lapangan, Nadya
tampak sedang memunguti bola-bola voli yang
berserakan. Dia kelihatan kesulitan membawa
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bola-bola itu kembali ke gudang.
"Mau aku bantu?" tanya Raka menawarkan diri.
"Nggak usah, aku bisa sendiri," jawab Nadya
tegas walaupun ucapannya itu berbeda dengan
keadaan yang terlihat. Tanpa bicara lebih lanjut,
Raka langsung mengambil bola-bola yang ada di
tangan Nadya dan hanya menyisakan dua buah
untuk cewek itu. "HEEEEIII!!!!" protes Nadya.
Raka tidak menggubrisnya dan berjalan cepat
menuju gudang. Nadya hanya mengikutinya
sambil menggerutu. "Bukannya udah kubilang aku nggak butuh
bantuan"!" Raka hanya diam sambil memasukkan bola-bola
itu ke dalam keranjang. "Kamu pikir, aku nggak bisa melakukannya
sendiri?" Nadya masih melancarkan protesnya.
"Kamu tipe cowok yang merendahkan
kemampuan cewek ya" Kamu itu... bla... bla...
nya... nyaa... myu... myu..."
Entah kenapa, suara Nadya jadi terdengar
seperti itu di telinga Raka.
Cewek ini benar-benar berisik! gerutu Raka.
Raka tetap diam dan justru mengambil bola di
tangan Nadya, lalu memasukkannya ke dalam
keranjang. "Hei! Kamu belum menjawab pertanyaanku!"
sahut Nadya. Raka membersihkan tangannya, lalu menatap
cewek di depannya dengan dingin. Nadya
tampak terkejut dan langsung terdiam.
"Terima kasih kembali," kata Raka, kemudian
pergi. Nadya melongo. Tidak jauh dari tempatnya berjalan, Raka
melihat Nathan keluar dari kamar mandi dekat
lapangan. Mukanya pucat dan tampak
kepayahan. Raka langsung berlari menghampiri
cowok itu. "Hei! Hei!" Raka mencengkeram bahunya.
"Kamu nggak apa-apa?"
Nathan menatapnya setengah sadar. "Kamu
siapa?" Waduh! Berarti, bener nih anak kena amnesia
bukan anemia, pikir Raka.
"Aku Raka, Caraka," kata Raka panik.
"Oh... kamu, Ka..." kata Nathan lirih, dan
tampaknya sudah bicara sekuat tenaganya.
"Kamu kenapa?" "Nggak apa-apa," jawab cowok itu, tetapi
kemudian dia melorot dan jatuh terduduk. "Aku
cuma lapar." "Hah!!" Raka langsung mendelik. "Lapar sampai
kayak gini" Emang kamu berapa tahun nggak
makan?" Raka bercanda. "Eh, sudah minum
obat?" "Kamu pikir aku kayak gini gara-gara apa?"
Nathan balik bertanya dengan napas tersengalsengal.
"Hah" Gara-gara minum obat?" Raka
mengerutkan kening. "Obatmu kedaluwarsa
pasti! Aku anter ke UKS, Than!"
"BERISIK!" Nathan tiba-tiba berteriak.
Raka terdiam beberapa saat. Tak lama, ia segera
bangkit. "Terserah apa maumu!"
"Tunggu!" cegah Nathan sambil mencengkeram
kaki Raka tepat saat dia hendak melangkah.
"Temani aku di sini sebentar."
Raka menatap temannya itu dingin.
Nathan balas menatapnya. "Aku mohon."
Raka masih bergeming, mencari tahu apakah
cowok itu sungguh-sungguh mengatakan
permohonan itu. Dan, setelah sadar bahwa
Nathan tidak sedang berbohong, Raka
menyerah, lalu duduk di sampingnya.
"Oke, apa kata kamu aja." Raka menghela
napas. Nathan hanya diam sambil memejamkan
mata, berusaha mengumpulkan tenaganya lagi.
*** -4- Kegiatan favorit Raka setiap pulang sekolah
adalah meluncur ke rental VCD dekat
rumahnya. Sejak kecil, dia selalu ingin menjadi
sutradara film. Baginya, film adalah sebuah
dunia baru, dunia tempat semua imajinasi
terjelajahi, tidak ada sudut yang tak terkunjungi,
dan tidak ada pikiran yang tak terungkapkan.
"Flags of Our Father... Flags of Our Father..."
gumam Raka sambil menjelajahi deretan VCD,
mencari-cari film Clint Eastwood yang tidak
sempat dia tonton di bioskop. Film itu dibuat
berdasarkan foto tentang peristiwa penegakan
bendera di Gunung Suribachi, Iwo Jima-hasil
bidikan Joe Rosenthal-yang kemudian
memenangi Pulitzer pada 1945.
Ah ini dia! Tepat saat Raka hendak mengambil VCD yang
tinggal satu-satunya itu, ada satu tangan lagi
yang secara bersamaan memegangnya.
Sungguh! Di saat seperti ini, adegan ala sinetron
seperti ini adalah hal terakhir yang kuinginkan,
desah Raka dalam hati. Dia menoleh untuk
melihat pemilik tangan yang akan merampas
VCD incarannya itu. "Nadya!" Raka terpekik kecil.
"Kamu nggak perlu bereaksi seakan-akan aku ini
hantu," komentar Nadya dingin tanpa
melepaskan tangannya dari VCD yang dia
pegang. "Kenapa di sini?" tanya Raka heran.
Nadya memutar bola matanya. "Apa yang
biasanya kamu lakukan di rental VCD" Beli
baju?" "Bukan itu! Maksudku-"
"Kenapa di rental VCD ini?" potong Nadya
sebelum Raka sempat melanjutkan
omongannya. "Tentu saja karena tempat ini
yang paling dekat sama rumahku."
Raka melongo. "Emangnya, rumah-"
"Rumahku di Jalan Yogya, rumahmu di Jalan
Surabaya, kan?" potong Nadya seakan-akan
tahu apa yang ingin ditanyakan teman
sekelasnya itu. "Gimana-" "Bagaimana aku tahu alamatmu" Aku ini ketua
kelas, remember?" "Kenapa-" "Kenapa kita nggak pernah ketemu?" Lagi-lagi
Nadya memotong ucapan Raka. "Mana aku
tahu, kamu pikir kompleks kita selebar daun
kelor?" "Tunggu!" sergah Raka jengkel. "Kok, kamu bisa
membaca pikiranku"!"
Nadya menghela napas, lalu memandang cowok
di hadapannya itu dengan tatapan malas. "Apa
kamu nggak sadar kalau kepalamu itu
transparan?" Raka mengernyitkan dahi. Maksudnya" "Tapi,
kenyataannya, dunia ternyata memang selebar
daun kelor," gumamnya. "Buktinya, kita sampai
bisa ketemu di sini."
"Ah, sudahlah. Sekarang, bisakah kamu biarkan
aku yang terlebih dulu minjam VCD ini?"
"Nggak!" jawab Raka tegas.
"Bukannya cowok itu seharusnya mengalah
sama cewek?" desah Nadya.
"Sori," balas Raka, "di zaman sekarang, yang
berlaku adalah kesetaraan gender." Dia
menepis tangan Nadya dari VCD-nya.
"Sir!" seru Nadya jengkel. "You are no
gentlement!" Raka langsung terpaku. "And you, Miss,"
balasnya, mencoba menguji, "are no lady. Don"t
think that I hold that against you."
Sejurus kemudian, Nadya langsung membatu. Di
matanya, terlihat keheranan dan kekaguman
bercampur menjadi satu. Tebakan Raka benar,
barusan, Nadya memang mengutip kata-kata
dari film Gone with the Wind.
"Kamu... tahu juga..." katanya terbata-bata
seakan-akan masih tak percaya dengan apa
yang baru saja dia dengar.
Raka mengangkat bahu, lalu meringis. "My
favourite." "Terus" Terus, apa lagi?" tanya Nadya. Kali ini,
dia terlihat sangat antusias. Bahkan, tanpa
sadar, dia mencengkeram tangan Raka.
"Casablanca," jawab Raka sambil melepaskan
tangannya pelan-pelan. Lagi-lagi, Nadya membatu. Entah kenapa.
"Sutradara favorit?" tanyanya lagi.
"Clint Eastwood. Kamu pikir, ngapain aku ngotot
pinjam VCD ini?" Raka bertanya balik sambil
mengacung-acungkan VCD Flags of Our Father.
Cukup lama Nadya menatap Raka tanpa
berkata-kata. Kemudian, dia menggeleng. "Oke,
kamu mulai membuatku takut," katanya. "Jujur
aja, Ka, kamu diam-diam mencari tahu tentang
aku, ya?" "Hah?" gantian Raka yang membatu. Melongo.
"Casablanca dan Gone with the Wind bukan film
yang umum disukai anak-anak seumuran kita,"
jelas Nadya. "Apalagi, kamu."
Raka menyipitkan mata. "Apa maksudmu
dengan "apalagi, kamu?""
"Lagian, biasanya, Steven Spielberg lebih disukai
daripada Clint Eastwood," tambah Nadya.
"Sudahlah Ka, ngaku aja, semua persamaan ini
terlalu aneh." Otak sejempol Raka membutuhkan waktu agak
lama untuk mencerna kata-kata cewek itu
sampai akhirnya dia melotot. "Hah! Jadi kamu
juga suka Casablanca, Gone with the Wind, dan
Clint Eastwood"!!"
"Dan, kamu kira aku pura-pura suka gara-gara
tahu kamu juga suka?" lanjut Raka, padahal dia
sendiri hampir tidak bisa memercayai apa yang
baru saja dikatakannya. Nadya menghela napas. "Berhentilah pura-pura
nggak tahu." "Tapi, aku emang nggak tahu!" Raka membela
diri. "Dua film itu emang favoritku!"
Nadya memandang cowok itu tak percaya.
"Round up the usual suspect," Raka mencoba
mengutip salah satu line terkenal dari
Casablanca. "Nice try, Ka," cibir Nadya. "Kamu, kan, bisa
nyari di internet." Busyet! Jadi, dia pikir aku mati-matian mencari
tahu tentang Casablanca dan Gone with the
Wind gara-gara dia" Gila! Sinting! Nggak waras!
Kepedean! gerutu Raka. Lama berpikir demi membersihkan nama baik
supaya tidak dikira stalker alias penguntit,
akhirnya Raka menemukan salah satu kata-kata
khas Casablanca. "I stick my neck out for nobody."
Nadya terdiam, tetapi tidak lama kemudian, dia
mengangkat bahu. "Nggak kusangka kamu
bahkan rela nonton film itu demi aku."
Raka langsung mendelik. W-H-A-T"!
Malas berdebat lebih lanjut, cowok ini memutar
bola matanya sambil membalikkan badan. "Apa
katamu aja, deh." Tiba-tiba, Nadya menarik kaus Raka. "Maaf...
maaf... aku bercanda, aku tahu kamu nggak
pura-pura." Raka menoleh. "Permintaan maaf diterima,
sekarang bisa nggak kamu lepasin tanganmu,
melar nih." Nadya melepaskan pegangannya. "Sori..."
"Aku duluan," kata Raka sambil berjalan menuju
meja penjaga rental. Ketika dia keluar, ternyata Nadya berada di
belakangnya. "Jadi, kamu pinjem apa?" tanya Raka.
Nadya mengangkat bahu. "Nggak ada, orang
aku ke sini cuma mau pinjem yang sekarang di
tanganmu itu," katanya sambil menuju
sepedanya yang diparkir di depan toko.
Raka terdiam sejenak, berpikir, hingga akhirnya
menghela napas. "Oke, kamu duluan yang
nonton kalo emang segitu penginnya nonton
film ini." "Hah?" Nadya yang sudah bersiap-siap pergi
dengan sepedanya langsung melongo.
"Kamu tonton dulu saja, terus balikin ke aku
lagi," jelas Raka sambil mengacungkan VCD yang
baru dia pinjam. "Tapi, secepatnya, ya."
"Serius?" tanya Nadya, masih tak percaya, lalu
turun dari sepedanya.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang iya, tapi nggak tahu lima detik lagi."
Nadya cepat-cepat mengambil VCD yang
diacungkan Raka. "Kenapa kamu melakukan
ini?" tanyanya curiga.
Raka mendesah. Manusia itu memang aneh,
kalau ada yang berbuat jahat mereka marah,
tapi kalau ada yang berbuat baik, mereka
curiga. "Kalau nggak mau, ya, udah," kata cowok ini
sambil mengambil lagi VCD yang ada di tangan
Nadya. "Ah!" Nadya terpekik kecil. "Aku mau!" Dia
merebutnya kembali. "Thanks," ucapnya sambil
tersenyum. "Manis," kata Raka tanpa sadar.
"Hah?" Nadya memandangnya heran. "Manis
apanya?"" "Senyum," jawab Raka. "Kalau kamu senyum,
manis juga." Nadya langsung terdiam dan menatap cowok itu
sinis. "Lho, emangnya kata-kataku salah, ya?" tanya
Raka tak mengerti kenapa Nadya langsung
bereaksi seperti itu. "Kamu nggak tahu kalau
senyummu manis" Jangan-jangan, selama ini,
belum pernah ada yang memberi tahu tentang
itu, ya?" Nadya hanya diam, menunduk, seakan-akan
mengiyakan kata-kata teman sekelasnya ini.
Raka mendesah. "Wah! Teman-temanmu
selama ini payah." "Bukan," kata Nadya akhirnya. "Karena, selama
ini, teman-temanku adalah tipe orang yang
berpikir sebelum bertindak."
Raka langsung mengernyit. "Hah! Jadi,
maksudmu, aku ini tipe orang yang bertindak
sebelum berpikir?" "Lho, kamu nggak tahu?" Nadya pura-pura
terkejut. "Jangan-jangan, selama ini, belum
pernah ada yang memberi tahu tentang itu,
ya?" "Kembalikan VCD-nya!" teriak Raka. "Aku nggak
jadi minjemin ke kamu!" kata Raka sambil
mencoba merebutnya dari tangan Nadya.
Sayangnya, kali ini, cewek itu lebih gesit.
"Maaf, tapi kamu udah minjamin ke aku dan
laki-laki nggak boleh menarik ucapannya lagi,"
kata Nadya penuh kemenangan sambil berjalan
menuju sepedanya. Raka mengembuskan napas, lalu tersenyum.
*** -5- "Dhihan." "Mampus..." desis Dhihan.
"Coba kamu ceritakan isi kitab
Nagarakertagama," perintah Bu Hestu.
Dhihan langsung garuk-garuk kepala. Keringat
sedikit demi sedikit mulai mengucur dari
dahinya. "Ini pelajaran Sejarah SMP, lho, Dhihan," Bu
Hestu mulai nggak sabar. "Lagi pula, minggu
lalu, kan, sudah Ibu suruh mempelajarinya."
"Iya, Bu," kata Dhihan pasrah.
"Di SMP dulu, kamu belajar apa?" tanya Bu
Hestu setelah beberapa menit menunggu dan
tak satu pun kata terucap dari mulut Dhihan.
"Jangan-jangan, anggota Tiga Serangkai saja
kamu tidak ingat!" Dhihan menelan ludah, dia memang tidak ingat
siapa saja tokoh-tokoh itu.
"Kamu tidak ingat?" Bu Hestu mendelik.
Dhihan melirik Raka meminta pertolongan. Raka
berusaha memberi tahunya sebisa mungkin
tanpa ketahuan Bu Hestu. Pertama-tama, dia
menggerak-gerakkan mulut untuk membentuk
kata-kata, tetapi karena Dhihan tidak bisa
menangkap gerakan itu, akhirnya, Raka
memutuskan memberi tahu teman
sebangkunya itu dengan volume sepelan
mungkin-dalam rentang yang mungkin masih
dapat didengar cowok itu.
"Ki Hajar Dewantoro..."
Dhihan mengangguk-angguk mengerti.
"Raka!" bentak Bu Hestu. "Jangan bantu
Dhihan!" "Iya, Bu," kata Raka, lalu memandang Dhihan,
mengedikkan bahu sambil berkata, "Sori" tanpa
suara. Dhihan menghela napas panjang.
"Sekarang, Dhihan, apa jawabannya?" tanya Bu
Hestu. "Ki Hajar Dewantoro, Bu," jawab Dhihan.
Bu Hestu mengangguk. "Dua lagi siapa?"
Dhihan mengangkat bahu. "Ki Hajar Dewantoro
dan... dua orang temannya."
Kontan seisi kelas langsung tertawa.
"Nilaimu Ibu kurangi," kata Bu Hestu sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Raka, jawab."
"Ki Hajar Dewantoro, Douwes Dekker, dan Dr.
Cipto Mangunkusumo," jawab Raka. Sejarah
memang satu-satunya mata pelajaran yang
membuat cowok ini menonjol.
"Bagus," kata Bu Hestu. "Tapi, karena tadi kamu
mencoba membantu Dhihan, sekarang, jawab
pertanyaan awal Ibu, ceritakan isi kitab
Nagarakertagama." "Baik," jawab Raka. "Nagarakertagama bercerita
tentang Ken Arok atau Angrok, cikal bakal rajaraja Majapahit."
"Tunggu," potong Bu Hestu. "Kamu tahu siapa
yang membuatnya, kan?"
Raka mengangguk pasti. "Mpu Prapanca."
Bu Hestu memberi tanda untuk melanjutkan
penjelasannya. "Ken Arok adalah keturunan Bhatara Brahma
lewat hubungannya dengan Ken Endok, seorang
perempuan biasa," lanjut Raka. "Ia memperistri
Ken Dedes, seorang paroperempuan dari satu
kesatuan Siwa-Durga. Siapa pun yang berhasil
memperistri Ardhanariswari, dipercaya akan
menjadi penakluk dunia. Ken Arok berhasil
memperistri Ken Dedes setelah ia membunuh
suami Ken Dedes, Tunggul Ametung, seorang
bupati. "Ken Arok membunuh bupati itu dengan keris
yang belum selesai ditempa oleh Mpu Gandring.
Ken Arok minta dibuatkan keris lagi kepada Mpu
itu. Saat Ken Arok menagihnya, keris itu belum
selesai ditempa. Karena Mpu Gandring menolak
menyelesaikannya, Ken Arok memaksa dengan
menusukkan keris itu padanya. Mpu Gandring
sempat mengutuk, Ken Arok akan mati dengan
keris itu. Juga anak-anak dan keturunannya.
Tujuh Raja akan tewas dengan keris yang sama."
Bu Hestu mengangguk-angguk.
Raka berhenti sejenak untuk mengambil napas
sebelum melanjutkan lagi.
"Ken Arok yang rupanya merasa bersalah,
berjanji kalau nanti berhasil mencapai yang
dicita-citakan, akan membuktikan terima
kasihnya turun-temurun kepada keturunan Mpu
Gandring," dia meneruskan. "Ken Arok berhasil
membujuk temannya, Kebo Ijo untuk meminjam
keris yang telah dia gunakan untuk membunuh
Tunggul Ametung hingga akhirnya Kebo Ijo-lah
yang menjadi tertuduh. Ken Arok terbebas dari
tuduhan, tetapi tidak terbebas dari kutukan
Mpu Gandring." "Sudah selesai?" tanya Bu Hestu.
"Lanjutan kisahnya dijelaskan di kitab
Pararaton," jawab Raka. "Setelah membunuh
Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes,
Ken Arok berhasil menjadi raja dan
menaklukkan Daha-sekarang ini Kediri. Ia
memerintah Singasari. Tapi, ternyata, ramalan
Mpu Gandring terbukti, Ken Arok mati dibunuh
dengan keris tempaan Mpu Gandring oleh
suruhan Anusapati, putra Ken Dedes dengan
Tunggul Ametung. "Namun, seorang putra Ken Arok dengan Ken
Dedes yang bernama Raden Wijaya, akhirnya
menjadi pendiri Majapahit. Majapahit mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk. Nah, pada masa kejayaan Hayam
Wuruk itulah Mpu Prapanca mengubah
Desawarnana, yang sekarang lebih dikenal
dengan Nagarakertagama." Raka mengakhiri
penjelasannya. Seluruh kelas terdiam sejenak sampai akhirnya
Bu Hestu bertepuk tangan diikuti oleh yang lain.
"Canggih, Ka!" seru Toni.
Virgo bersiul. "Keren!"
"You Rock, Man!" seru Alfi tak mau kalah. Dan,
teman-teman yang lain yang tadi terdiam
mendengar penjelasan Raka bersorak-sorai.
Raka hanya tersenyum. Puas.
"Geniuuuus," puji Dhihan sambil menatap
teman sebangkunya dengan kagum.
"Thanks," balas Raka. "Tapi, genius itu buat
orang yang bisa semua mata pelajaran. Kalau
aku, cuma mata pelajaran ini aja yang aku bisa."
Tiba-tiba, Raka tersadar ada yang sedang
memperhatikannya. Bukan cuma seorang,
melainkan dua, Nadya dan Nathan.
Nadya langsung memalingkan wajahnya begitu
Raka melihatnya. Sementara itu, Nathan, ketika
Raka menatapnya, dia hanya menatap balik
tanpa reaksi apa pun. *** "RAKA! TANGKAP!"
Ketika Raka hendak menuju ruang Veritas,
sebuah suara keras memanggilnya-atau lebih
tepatnya memerintahnya. Raka menoleh dan mendapati sebuah barang
dilempar ke arahnya. Barang itu hampir
mengenai wajahnya kalau saja dia nggak punya
refleks yang bagus. "HEIIII!" bentak Raka.
"Sori... sori!" seru Nadya. "Aku nggak maksud
nggak sopan, tapi aku mau buru-buru ke ruang
OSIS buat rapat." Kemudian, cewek itu langsung menghilang di
balik dinding. Tapi, tak lama kemudian dia
muncul kembali. "Ah, aku lupa bilang," katanya. "Bilang ke Sarah,
hari ini, aku nggak bisa datang ke Veritas."
"Iya." "Terus..." "Apa lagi?" tanya Raka.
"Thanks VCD-nya," kata cewek itu, lalu dia
kembali menghilang, bahkan sebelum Raka
sempat mengucapkan apa pun.
"Sama-sama," gumamnya.
*** "Raka!" Kali ini, suara itu berasal dari lapangan parkir,
nggak jauh dari ruang Veritas.
Sekarang apa lagi" batin Raka.
Dia mencari-cari sumber suara yang ternyata
berasal dari Dea, salah satu teman sekelasnya.
Cewek itu sedang berdiri di dekat motornya.
"Ada apa?" tanya Raka sambil berjalan
menghampiri cewek itu. "Ini, motorku nggak bisa nyala," kata Dea.
"Bakar aja." "Sekarang, bukan waktunya becanda, Ka!"
gerutu Dea. "Iya... iya..." Raka mengalah. "Coba aku lihat
dulu." Sekali lihat, cowok ini langsung tahu apa
masalahnya. "Akinya habis tuh."
"Terus?" tanya Dea bingung.
"Terus, ya, disetrum atau beli aki lagi," jawab
Raka enteng. "Di mana?" Dea panik, tidak tahu apa-apa.
"Di toko buku."
Dea langsung memasang tatapan membunuh.
"Ya, di semua tempat yang jual aki!" kata Raka
kemudian. "Bengkel juga ada."
Dea langsung menghela napas. "Berarti, sepeda
motor ini harus kutuntun sampai bengkel?"
Tanpa berkata apa-apa, Raka membuka kunci
kontak sepeda motor dan mulai menuntunnya.
"Ka, mau ke mana?" tanya Dea.
"Bengkel," jawabnya santai.
Dea tersenyum. "Thanks ya, Ka, kamu emang
baik banget." "Thanks are nice but money is better."
"MATRE!" *** "Sori, aku telat," kata Raka buru-buru sambil
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepas sepatu. "Nggak apa-apa," sahut Sarah.
"Lho," Raka celingak-celinguk, "Nathan mana?"
"Dia bilang ada urusan sebentar, jadi agak
telat," jawab Sarah sambil mengetik sesuatu.
"Tapi, kalau Nadya, aku nggak tahu."
"Oh, Nadya, dia tadi bilang, hari ini, dia nggak
bisa datang." Raka melempar tasnya. "Ada rapat
OSIS." Sarah tersenyum. "Nadya emang hebat. Dia ikut
banyak kegiatan, tapi aku nggak pernah lihat dia
kewalahan, semua bisa beres. Kayaknya, dia
nggak punya kelemahan."
"Begitu, ya?" sahut Raka. "Menurutku, itu justru
bikin dia kelihatan menakutkan."
Sarah tertawa pelan. Setelah itu, nggak ada lagi
obrolan di antara mereka. Sarah tenggelam
dalam tulisan yang sedang diketiknya.
"Ah!" tiba-tiba Sarah terpekik. "Aku lupa ngasih
rancangan perubahan logo Veritas ke Bu Ratna."
Cewek itu langsung mengambil beberapa
lembar kertas dari dalam tasnya, lalu bangkit
berdiri. "Aku ke ruang guru dulu," katanya
sebelum pergi. "Mau aku aja yang nganter?" Raka menawarkan
diri. "Nggak usah," tolak Sarah. "Lagian, ada yang
mau kuomongin sama Bu Ratna."
Lalu, cewek itu menghilang di balik pintu.
Raka menghela napas. Tanpa sadar, matanya
langsung tertuju pada layar tempat Sarah tadi
mengetik. Dia bukan orang yang usil, tetapi rasa
ingin tahu yang kuat memaksanya untuk
melihat ke sana. Di meja komputer itu, tergeletak selebaran
bertuliskan "Lomba Menulis Esai Lingkungan
Hidup". Sepertinya, Sarah berniat mengikuti
lomba itu. Raka menggerakkan scroll-nya ke atas dan mulai
membaca apa yang telah ditulis Sarah.
"Mengusulkan modifikasi penanaman sejuta
pohon... takakura... membuat taman kota
seperti central park." Raka bergumam sambil
terus membaca hingga selesai.
Dia menghela napas begitu mendekati akhir
paragraf tulisan itu. Sangat inspiratif, bagus, dan
terencana. Sarah bisa membuat hal yang
tadinya tampak tidak masuk akal menjadi
sangat masuk akal. Ditambah lagi kalimat terakhir yang Sarah kutip
dari kata-kata George Bernard Shaw.
Genius, puji Raka sambil tersenyum.
Tepat ketika hendak mengembalikan kursor ke
atas, ke tempatnya semula, Raka mendengar
seseorang datang. Gawat! Raka buru-buru kembali ke tempatnya, semula
dengan tergopoh-gopoh dan langsung
memasang earphone berpura-pura
mendengarkan iPod. "Oh, ternyata kamu..." Raka menghela napas
lega sekaligus kecewa setelah mengetahui
ternyata Nathan-lah yang datang. Seharusnya,
dia nggak perlu jumpalitan seperti tadi.
"Percayalah, aku juga sekecewa kamu saat
melihat cuma kamu yang ada di ruangan ini,"
kata Nathan datar sambil menaruh tasnya.
"Dari mana?" tanya Raka.
"Bukan urusanmu," jawab Nathan sambil mulai
menyalakan komputernya. "Mana Sarah dan
Nadya?" "Sarah ke tempat Bu Ratna," jawab Raka.
"Nadya ada rapat OSIS."
Nathan tidak mengatakan apa pun, terlihat
sibuk mengetik. Raka merasa udara perlahanlahan mampat dan hawa dingin menjalar di
sekujur tubuhnya. Untunglah, sebelum dia
sempat membeku karena aura yang
dipancarkan Nathan, Sarah datang tepat pada
waktunya. "Maaf aku lama," ujar Sarah, "eh! Nathan udah
datang, ya." Terima kasih, Tuhan, desah Raka.
*** -6- Veritas edisi minggu ini sudah terbit. Saat
melihatnya, Raka langsung terpana membaca
apa yang ditulis oleh Sarah hingga dia nggak
memedulikan artikel-artikel lainnya.
Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan
senjata terampuhnya, melainkan justru berarti dia sedang
mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia tidak berusaha
menahannya, melainkan karena pertahanannya sudah tak
mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis, itu bukan karena dia ingin terlihat lemah,
melainkan karena dia sudah tidak sanggup
berpura-pura kuat. "Hoi!" Dhihan memukul bahu Raka.
"Hah?" Raka tergagap.
"Kamu baca apa, sih" Kok, serius banget?" tanya
Dhihan. Raka menggeleng. "Nggak, nggak lagi baca apaapa. Cuma lagi mikir aja."
Dhihan memandang temannya itu dengan
tatapan aneh. "Caraka" Mikir?" Dia terdiam
sejenak, lalu memutar bola matanya. "Yeah...
right!" "Hei, serius! Aku lagi mikir!" sembur Raka kesal
karena merasa diremehkan.
"Iya, iya, aku percaya, Einstein!" kata Dhihan
asal sambil mengambil iPod dari tasnya.
"Kamu nggak mau tahu aku lagi mikir apa?"
tanya Raka. "Nanti aja, pas kamu menang Nobel karena
berhasil menjelaskan bagaimana seorang
manusia tanpa otak bisa mikir kayak yang
terjadi sekarang," jawab cowok itu enteng
sambil memasang earphone.
Raka mengernyit. "Maksudmu?"
Dhihan sudah tidak bisa mendengar, tenggelam
dalam musik yang sedang didengarnya. Raka
menghela napas. Tanpa sadar, matanya
langsung tertuju pada Sarah yang duduk tak
jauh dari mejanya. Rambut ikal sebahu cewek
itu dibiarkan terurai. Dia sedang berbicara
dengan Nita, teman sebangkunya. Tiba-tiba, dia
menoleh. Ketika sadar Raka sedang
memperhatikannya, wajah cewek itu memerah.
*** "Heran," gumam Raka.
"Apanya?" tanya Nadya sambil membolak-balik
ensiklopedia. "Sadar nggak sih, ini kali pertama cuma ada kita
berdua di ruang Veritas?"
Nadya berhenti membalik ensiklopedia yang
dipegangnya, melirik Raka. "Kamu nyoba
merayu, ya?" "Hah?" Raka langsung melongo. "Ya Tuhan! Aku
nggak percaya kamu masih mikir aku ngejar
kamu!" ujarnya. "Dengar, ya, Nad," tambahnya
jengkel. "Aku nggak pernah ngerayu cewek.
Dan, kalaupun tiba-tiba aku berniat
melakukannya, orang itu sudah pasti bukan
kamu." Nadya terdiam sejenak dengan ekspresi datar.
Hal itu sempat membuat Raka agak panik, takut
kalau kata-katanya terdengar terlalu kejam.
"Thank God for that," kata Nadya kemudian
sambil meneruskan membolak-balik halaman
ensiklopedia. Raka sampai mendelik mendengar
kata-kata cewek itu. "VCD-nya udah kamu tonton?" tanya Nadya
ketika Raka bersiap-siap memasang earphone.
"Yang mana?" "Flags of our Fathers."
"Jangan tanya."
"Kenapa kamu suka Clint Eastwood?" tanya
Nadya tanpa mengalihkan pandangannya dari
ensiklopedia yang ada di depannya.
"Apa, nih?" tanya Raka. "Wawancara kerja buat
uji kelayakan atau tes kebohongan?"
"Kalau kamu lebih suka menghabiskan waktu
nunggu Sarah dan Nathan dalam diam, yang
sudah pasti membuat waktu terasa berjalan
sangat lambat dan efek relativitas Einstein,
kamu nggak perlu menjawabnya," jawab Nadya
tenang. Raka menghela napas. "Karena dia sutradara
yang hebat, tentu aja." Raka terdiam sejenak,
pandangannya menerawang. Nadya menghentikan kegiatannya dan
memandang cowok itu. "Itu aja?"
"Emangnya, kamu mengharapkan aku bilang
apa?" Nadya mengdikkan bahu. "Kamu sendiri?" Raka balik bertanya. "Kenapa
suka Clint Eastwood?"
"Karena aku penyuka film bagus," jawab Nadya.
"Itu aja?" Raka mengerutkan kening.
"Aku mengimbangi jawabanmu," kata Nadya
enteng. "Cih." "Tapi... rasa sukaku beda sama rasa sukamu,"
lanjut cewek itu. "Eh?" "Kamu mengaguminya sebagai seseorang yang
dijadikan panutan, kan?" Nadya menoleh ke
arah Raka. "Kamu mau belajar darinya sebagai
sutradara, kan?" "Kamu mind reader, ya?" tanya Raka penuh
selidik. Nadya hanya tersenyum. Raka mengangkat bahu, menyerah. "Kayak yang
kamu bilang-" Belum selesai Raka meneruskan kalimatnya,
Nathan dan Sarah muncul. "Wah, kami ketinggalan obrolan yang
menyenangkan, ya?" sindir Nathan.
"Sangat," jawab Nadya dingin.
"Eh, Nad, perayaan ulang tahun sekolah kita
jadi, kan?" Sarah mencoba mencairkan
keadaan. "Iya," jawab Nadya sambil menaruh kembali
ensiklopedia yang tadi dia baca ke rak buku.
"Rencananya, acaranya bakal sampai malam."
"Bukan pasar malam, kan?" tanya Sarah.
Raka terkikik, tanpa sadar. "Bagaimana kalau
Bumi Manusia aja atau Calon Arang?"
celetuknya. Raka jadi ingat buku Bukan Pasar
Malam yang pernah dibacanya, salah satu judul
buku karangan Pramoedya Ananta Toer. Bumi
Manusia dan Calon Arang juga merupakan karya
penulis tersebut. Tiba-tiba, ketiga orang itu langsung terdiam dan
menatap Raka dengan pandangan aneh.
"Kamu baca bukunya Pramoedya Ananta Toer
juga?" tanya Sarah. "Iya," jawab Raka kelihatan bingung, "emangnya
kenapa" Apanya yang aneh?"
"Eng... bukan apa-apa-" kata Sarah agak takuttakut.
"Pertama," potong Nathan. "Orang dengan
penampilan kayak kamu bukan tipe orang yang
suka baca. Kedua, kalau emang ternyata kamu
suka baca, kemungkinan besar, kamu nggak
akan menyentuh bukunya Pram. Ketiga, kalau
emang kamu baca bukunya Pram, kemungkinan
lebih besar lagi kamu bakal berkoar-koar sudah
membacanya kayak yang dilakukan orangorang." Nathan tampak berapi-api. "Dan,
ternyata, kamu menepis asumsi pertama,
kedua, dan ketiga. Itu yang aneh," tandasnya.
Raka terdiam sejenak, cukup tersinggung
dengan ucapan Nathan. "Pertama," katanya
kemudian. "Aku emang suka baca dan ini nggak
ada hubungannya sama penampilanku. Kedua,
walaupun aku bukan penggemar Pram, aku
baca hampir semua buku-buku dia. Ketiga, aku
baca buku karena aku suka, bukan karena aku
mengharap suatu penilaian dari orang-orang di
sekitar aku. Bukan karena aku ingin dianggap
hebat atau pintar atau berpendidikan atau
beradab cuma karena udah baca sebuah karya
sastra. Puas?" Mereka terdiam selama beberapa saat.
"Kamu suka?" Nadya memecah keheningan.
"Hah?" "Bukan Pasar Malam," lanjutnya. "Kamu suka?"
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka diam sebentar, berpikir. "Aku nggak tahu.
Aku nggak bisa bilang aku suka, tapi aku cukup
menikmatinya. Mungkin juga, karena kisah yang
ada dalam buku ini sebenarnya cerminan
hubungan Pram sama ayahnya sendiri. Si
pengarang pulang ke Blora buat pemakaman
ayah yang nggak pernah membahagiakannya.
Aku juga tersentuh sama sikap si Ayah, seorang
nasionalis yang kecewa dengan keadaan
pergerakan," kata Raka. "Khas Pram, penuh
dengan sindiran," tambahnya sambil mencoba
merenungi kembali kisah dari buku itu. "Karena
itu aku bilang aku menikmatinya-meski aku
nggak bisa bilang aku suka."
Tak disangka, Nadya tersenyum.
"Wow!" Nathan mendesah. "Kamu benar-benar
di luar bayanganku."
Raka langsung menatap cowok itu tajam.
"Maksudmu"!"
"Sudah... sudah..." Sarah berusaha mencegah
pertikaian lebih lanjut. "Kita mulai aja
rapatnya." Mereka semua langsung diam dan
mendengarkan Sarah. "Tadi pagi, Bu Ratna memberi tahu tentang
tema buat minggu depan." Sarah memulai
rapat. "Beliau ingin di edisi berikutnya, Veritas
mengusung tema Bahasa Indonesia."
"Bahasa Indonesia?" seru Raka dan Nadya
serempak. Nadya mengernyit.
"Aku nggak sengaja, oke?" kata Raka. "Aku
bukan mau niru kata-katamu."
Nadya memutar bola matanya.
"Lalu, apa yang mau kita buat?" tanya Nathan.
Sarah menggeleng pasrah. "Aku sendiri juga
nggak tahu. Aku mengharapkan usul dari
kalian." "Aku ingin kita menampilkan asal-usul kata
dalam bahasa Indonesia yang lahir karena
kesalahan persepsi," jawab Nathan mantap.
Kesalahan persepsi itu apa" Raka mengerutkan
kening. "Kesalahan persepsi itu apa?" tanya Nadya lagi.
Raka langsung melotot. Nadya menoleh ke arahnya. "Apa?"
"Ng... nggak. Nggak ada apa-apa." Raka
menggeleng. Sekarang, dia yakin kalau ternyata
Nadya nggak punya indra keenam, mungkin
kepalanya memang sangat transparan.
"Kesalahan persepsi... bagaimana
menjelaskannya, ya?" Nathan berpikir sejenak.
"Ah! Kayak ungkapan setali tiga uang. Dulu,
Belanda bikin uang dengan nilai setali atau 25
seri buat meringkas dua keping nilai ketip atau
10 sen dan satu keping nilai kelip atau lima sen.
Jadi, setali tiga uang yang jadi satu, maksudnya
sama saja nilainya. Makin lama, istilah setali
menjadi ungkapan pengganti sama saja."
Nadya, Sarah, dan Raka langsung menganggukangguk.
"Benar juga," kata Nadya antusias. "Yang kayak
gitu lebih menarik."
Sarah mengangguk. "Pernah dengar Holopis Kuntul Baris?" Nathan
melanjutkan. "Pernah," jawab Sarah. "Emangnya kenapa?"
"Tahu asal mula kata-kata itu?" tanyanya lagi.
Mereka bertiga berpandangan, lalu serempak
menggeleng. Nathan berusaha keras menahan seringainya.
Sepertinya, dia senang sekali kalau temantemannya tidak tahu apa-apa.
"Istilah itu digali oleh Bung Karno buat salah
satu pidatonya, kemudian dibikin lagu," jelas
Nathan. "Pada zaman Daendels, pekerja rodi
dicambuk supaya mereka giat bekerja. Ada
seorang mandor yang sangat kuat, asalnya dari
Spanyol, tapi datang ke Indonesia lewat Prancis.
Orang menyebutnya Don Lopez comte du Paris.
Untuk mendapat semacam kekuatan, pekerja-
pekerja rodi itu menyebut namanya. Begitulah
asal mulanya." "Kamu tahu apa lagi?" tanya Nadya penasaran.
"Banyak," jawab Nathan dengan sedikit nada
bangga. "Ada lagi dan menurutku ini lucu. Tapi,
ini kata dalam bahasa Jawa, bukan bahasa
Indonesia." "Apa?" tanya Nadya dan Sarah antusias.
"Kalian tahu bahasa Jawa-nya pisang?" tanya
Nathan. "Gedang," jawab Raka. "Kakek-nenekku orang
Jawa asli." "Bahasa Jawa ini berasal dari ucapan syukur
tentara Belanda yang berasal dari Indonesia
Timur dalam Perang Diponegoro." Nathan mulai
menjelaskan. "Sebuah peleton yang berhari-hari
nggak makan lantas menemukan kebun pisang.
Saking girangnya dapat makan, mereka berseru
dalam bahasa Belanda, "God Dank", artinya,
"Terima kasih Tuhan"."
Nadya tertawa. "Dan, di telinga orang Jawa, itu
kedengaran jadi gedang?"
"Valid nggak tuh?" tanya Raka tak percaya.
"Ngggg..." Nathan mengerutkan kening, "kalau
yang ini, aku nggak punya data pendukungnya,
sih." "Wah, kalau begitu jangan dimasukkan ke
Veritas, bisa bahaya," kata Sarah sambil
tersenyum. "Terus" Terus, apa lagi?" tanya Sarah lagi. Rapat
kali ini emang lain daripada biasanya. Di rapat
ini, untuk kali pertama, Nathan tersenyum,
Nadya bersemangat, Sarah tertawa, dan Raka
sangat antusias. Sepertinya, saat menyodorkan
tema ini, Bu Ratna tahu keadaan akan menjadi
menyenangkan. Tanggung jawab pembuatan artikel tentang
bahasa itu diserahkan kepada Nathan. Dialah
yang paling menguasai dan punya banyak
referensi yang berhubungan dengan hal itu.
Begitu rapat selesai, Nadya langsung cabut ke
pertemuan PMR dan Nathan langsung pulang
hingga tinggal Raka dan Sarah di Veritas. Ini
sudah entah keberapa kalinya hanya mereka
berdua di ruangan itu. "Tulisanmu bagus," kata Raka mencoba
memulai pembicaraan sambil membereskan
meja. "Eh?" Sarah tampak kaget.
"Itu, yang di Veritas kemarin."
Sarah langsung tersipu. "Masih belum
sebanding sama tulisan Nathan dan Nadya."
"Nggak, tulisanmu lebih bagus, kok," kata Raka
lagi. "Dalem dan bikin aku merenung."
"Ah nggak... kamu terlalu memuji," kata Sarah
sambil menggeleng, tetapi dia tampak cukup
tersanjung. "Serius, nih." Raka menoleh ke arahnya.
"Kenapa kamu nggak percaya sama bakatmu
sendiri?" Sarah menatap cowok itu bingung.
"Aku kemarin lihat esaimu tentang lingkungan
hidup." Raka mengaku. "Dan, itu tulisan paling
bagus yang pernah kubaca."
Sarah langsung melotot. "Kamu baca?"
tanyanya agak histeris. "Sori." Raka mengangkat bahu. "Yah... kamu
kan, nggak bilang nggak boleh dibaca, lagian
kamu juga nggak nutup file itu sebelum kamu
pergi. Udah gitu, itu komputer kan, milik
umum." "Ya, Tuhaan... aku malu banget," kata Sarah
gugup sampai-sampai dia terduduk.
"Seharusnya, nggak ada yang boleh baca tulisan
itu." "Sampai kamu kirim ke lomba esai?" tanya
Raka. Sarah tertawa getir. "Siapa yang mau kirim ke
lomba" Juri-juri itu pasti langsung
membuangnya ke tempat sampah. Aku nggak
mau ada yang baca itu, aku nggak mau
ditertawakan." Dia semakin menunduk. "Oh,
Tuhan, rasanya, aku mau muntah," kata Sarah
sambil cepat-cepat menutup mulutnya.
Wajahnya pucat. Cukup lama nggak ada satu
pun dari mereka yang bicara.
"Tunggu!" Sarah tiba-tiba berdiri dan
menghampiri Raka. "Kamu harus janji nggak
akan cerita ke mana-mana. Kamu boleh
ketawain isinya, tapi tolong jangan bilang sama
siapa pun," katanya penuh harap.
Raka menghela napas. bingung.
Sarah menatap kedua mata Raka lekat-lekat.
"Percaya, deh," kata Raka lagi dengan yakin.
"Kalau kamu cowok, sudah aku bikin babak
belur agar sadar. Kamu punya bakat besar yang
nggak dipunya sembarang orang dan kamu
menyia-nyiakan bakat itu. Apa kamu nggak
kasian sama orang yang sama sekali nggak
punya bakat kayak aku?"
"Tapi, aku..." Sarah masih ragu. "Bagaimana
kalau menurut juri tulisanku jelek" Bagaimana
kalau aku mempermalukan sekolah kita"
Bagaimana kalau-" "Yaelaaaah," potong Raka, "tulisanmu itu,
bahkan, belum kamu kirim dan kamu sudah
mikir "bagaimana kalau... bagaimana kalau...".
Bagaimana kamu tahu kalau juri bakal bilang
tulisanmu jelek atau bagus kalau kamu belum kirim?" Sarah tampak tertegun. Dia menggigit-gigit kuku
jarinya dan mengedarkan pandangan ke lantai,
tampak berpikir. Raka berbalik untuk
mengambil tasnya. "Menurutmu..." kata Sarah begitu cowok itu
hendak keluar dari ruangan. Raka menghentikan
langkahnya. "Apa tulisanku betul-betul bagus?" tanyanya
penuh harap. "Jujur."
Raka tersenyum. "Begini aja, kita tanya
pendapat Nathan tentang tulisanmu. Dia bakal
kasih jawaban yang sama denganku. Tapi,
kayaknya, dilihat dari muka, kamu lebih percaya
dia daripada aku." Sarah tersenyum. Begitu keluar dari Veritas, Raka mendengar
suara cowok samar-samar. Nathan. Dia berada
di balik dinding koridor dan ternyata, dia nggak
sendiri. Ada suara cewek juga.
"Kenapa?" tanya si cewek. "Ada cewek lain yang
kamu suka?" "Nggak," jawab Nathan mantap.
"Ada sesuatu yang nggak kamu sukai dari aku?"
"Nggak." "Kamu membenciku?" Si cewek sepertinya
benar-benar pantang menyerah.
"Nggak," jawab Nathan lagi.
"Terus, kenapa kamu bahkan nggak mau mikir
dulu?" protes cewek itu.
"Aku udah tahu jawabannya," tegas Nathan.
"Aku nggak punya perasaan yang sama
denganmu!" Sejenak mereak terdiam, kemudian terdengar
suara langkah cepat menjauh.
"Bener-bener sadis," komentar Raka, keluar dari
balik dinding. Nathan menoleh. "Sejak kapan kamu di situ?"
"Cukup lama buat mendengar kesadisanmu,"
jawab Raka dingin. "Bagaimanapun, dia itu
cewek. Cewek punya hati yang lebih peka
daripada kita. Kamu kan, bisa minta waktu buat
mikir, terus baru nolak dia baik-baik."
Nathan tersenyum sinis. "Kamu tahu apa"
Emangnya kamu pernah nolak cewek?"
"Emang nggak pernah, tapi aku tahu cara
memperlakukan cewek," balas Raka.
Nathan menatap Raka dengan sorot mata yang
lebih dingin daripada biasanya.
"Kamu itu," katanya kemudian sambil
membetulkan letak kacamatanya, "emang
orang yang suka ikut campur."
"Hah?" "Dan, suatu saat," tambahnya, "karena sifatmu
itu, kamu bakal melakukan sesuatu yang lebih
sadis daripada apa yang kulakukan."
Nathan berbalik, lalu berjalan meninggalkan
Raka yang hanya bisa melongo.
"Apa maksudmu?"
Nathan tidak menjawab dan hanya
melambaikan tangan kanannya tanpa menoleh
sedikit pun.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** -7- "Raka." Raka menoleh. "Ada apa, Bu?"
Bu Ratna berjalan agak cepat menghampiri
Raka. "Begini, Raka," kata guru itu sambil menyuruh
agak menepi karena koridor dipenuhi dengan
murid-murid yang sedang bergegas ke kelas
masing-masing. Setelah menghela napas agak panjang, Bu Ratna
meneruskan kalimatnya, "Ibu mau minta tolong
sesuatu." Raka mengangkat bahu. "Boleh, tapi lima menit
lagi pelajaran fisika dimulai. Kalau karena
membantu Ibu saya terlambat datang, Ibu yang
harus tanggung jawab atas upacara pemakaman
saya." Bu Ratna tersenyum geli. "Jangan khawatir, Bu
Nunuz akan sedikit terlambat. Anaknya tiba-tiba
sakit, jadi dia harus mengantar anaknya itu ke
dokter dulu." "Wow!" seru Raka. "Semoga Tuhan
mengampuni saya karena saya merasa senang
mendengarnya." Bu Ratna tertawa. "Kamu ini keterlaluan, Raka."
"Ibu belum pernah jadi muridnya Bu Nunuz,
kan?" "Ah, sudahlah, bukan itu yang mau Ibu
bicarakan," kata Bu Ratna. "Begini, sebentar
lagi, akan ada perayaan ulang tahun sekolah
kita. Selain bazar dan perlombaan, rencananya
akan ada pentas seni dan masing-masing kelas
wajib menampilkan sesuatu di panggung."
"Lalu, apa hubungannya dengan saya?" Raka
bingung. Setelah berdehem beberapa kali, Bu Ratna baru
menjawab. "Kelas kita akan menyuguhkan
pertunjukan musik. Band, tepatnya. Dan, kamu
Ibu minta jadi vokalisnya."
Raka terdiam sejenak. "Engg... maaf, Bu," katanya kemudian. "Tapi,
sepertinya, tadi saya mendengar Ibu minta saya
jadi vokalis?" Bu Ratna mengangguk. "Saya tidak salah dengar, ya?"
Bu Ratna menggeleng. Dia langsung melotot. "IBU PASTI BECANDA!!!"
Bu Ratna menggeleng dengan seringai lebar di
wajahnya. "Lagian, ini semua ide Dhihan cs.," lanjut Bu
Ratna. "Jadi, nanti, soal latihan, Ibu rasa tidak
akan menjadi masalah."
Dhihan cs." Sialan! umpat Raka dalam hati.
"Tapi... kalau toh emang saya terpaksa ikut
band ini, saya kan, bisa jadi gitaris saja." Raka
mulai memohon-mohon. "Ayolah, Ka. Alfi dan Dhihan lebih jago main
gitar dari pada kamu," jelas Bu Ratna.
"Terimalah kenyataan."
Raka berpikir sekeras mungkin mencari jalan
keluar dari masalah ini. Dia yakin suaranya akan
mempermalukan dirinya, bahkan setelah dia
keluar dari sekolah ini (?"?").
"Kenapa kelas kita nggak menampilkan drama
saja, Bu?" usulnya kemudian.
"Dan, kamu mau jadi Cinderella?" tanya Bu
Ratna sambil menggeleng, lalu melihat ke arah
jam tangannya. "Ibu harus mengajar di kelas
lain," katanya sambil bersiap pergi. "Oh, ya,"
kata Bu Ratna lagi sebelum berbalik. "Karena
pentas seni ini ide dari Pak Kepala Sekolah, you
have to take it seriously. Bagaimanapun, dalam
band, seorang vokalis pasti dapat porsi
perhatian yang besar."
Pikiran Raka langsung kosong mendengar katakata Bu Ratna.
"Hidup tidak pernah adil, Raka," kata Bu Ratna,
lalu tertawa. *** Begitu sampai di mejanya, Raka langsung
menghempaskan tubuhnya ke kursi. Dia
mencoba menenangkan diri sambil
mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Di
meja agak depan, dia melihat Sarah sedang
berbicara dengan Nathan. Sepertinya, cewek itu
sedang menunggu tanggapan atas tulisannya.
Raka tersenyum. Sarah benar-benar
mempertimbangkan usulnya.
Setelah membaca, Nathan mengangguk-angguk,
lalu mengatakan suatu hal yang membuat Sarah
tersenyum senang. Saat hendak kembali ke
tempat duduknya, Sarah menoleh sejenak ke
arah Raka dan tersenyum lebar. Raka membalas
senyum cewek itu. "Dia suka kamu, tuh," kata Dhihan sambil
memukul bahu Raka pelan. "Hah?" "Sarah suka sama kamu," ulang Dhihan, kali ini
dengan seringai. Mata Raka menyipit. "Jangan ngasih seseorang
harapan cuma buat menghempaskannya."
"Serius," kata Dhihan yakin. "Aku tahu ciri-ciri
cewek yang lagi jatuh cinta. Dan, dari apa yang
kulihat hari ini dari Sarah, dia memenuhi semua
ciri-ciri itu." "Tadinya, aku nggak tahu siapa cowok yang
beruntung itu. Tapi, begitu aku lihat gimana
Sarah memandangmu dengan senyuman itu..."
Dhihan menggeleng, "well... I have to say... you
are a lucky man. Damn! You broke my heart."
Lalu dia meringis. "Plisss... dia itu terlalu cantik buat aku." Raka
masih mencoba mengelak. "Nah! Itu dia yang namanya saling melengkapi,"
kata Dhihan masih mencoba mempertahankan
pendapatnya. "Dia CANTIK, kamu JELEK, cocok
kan" You two are made for each other."
"Jangan ngasih harapan sekaligus menghina
dalam waktu bersamaan," gerutu Raka.
"Denger, ya, Nyet," tambahnya nggak sabar.
"Aku cuma bantu kasih saran buat dia. Jadi,
senyuman yang itu cuma ungkapan terima
kasih." Dhihan mengernyit. "Kasih saran" Saran apa?"
"Off the record."
"Dia minta pendapatmu, gitu?"
Raka terdiam sejenak, mencoba mengingatingat. "Nggak sih, aku kasih saran atas inisiatifku
sendiri." "Sifatmu emang nggak bisa diubah," kata
Dhihan sambil geleng-geleng.
"Sifat yang mana?"
"Sifat suka ikut campur urusan orang lain,"
jawab Dhihan. Raka tertegun. "Orang itu kemarin juga bilang hal yang sama,
lho," katanya tiba-tiba.
"Orang itu?" Raka mengedikkan kepalanya ke arah Nathan.
"Dia bilang begitu setelah aku protes tentang
cara amoral dia nolak cewek."
"Busyet, Ka, itu kan, urusan dia!" sembur
Dhihan tak habis pikir. "Aku tahu, tapi aku nggak bisa nahan diri."
"Untung kamu masih bisa nahan diri buat nggak
mukul dia!" kata Dhihan. "Bisa dihukum masuk
klub balet kamu!" "Oh, iya. Bener juga." Raka langsung merasa
lega. "Setelah ini, aku nggak mau deket-deket
sama dia, ah." Dhihan mengangkat alis. "Terus, Veritas?"
"Ya, kecuali, saat itu."
"Tapi, gosip kalau dia itu kejam dalam hal nolak
cewek ternyata bener juga, ya?" kata Dhihan
lagi. "Maksudmu?" "Selama ini, aku cuma denger-denger aja,"
katanya. "Tapi, setelah kamu yang ngomong,
aku jadi percaya. Aku tambah sebel sama tuh
orang." "Karena?" "Karena, selama ini, nggak pernah ada cewek
yang nembak aku!!!" jawab Dhihan dengan
tatapan merana. "Nah, ini orang, udah banyak
yang nembak, ditolak semua pakai cara kejam
pula. Dan, yang lebih parah dari semua itu,
cewek-cewek kayaknya nggak ada yang kapok
buat nembak dia." "Masalahnya, dalam berbagai hal, dia jauh lebih
unggul, sih, dibanding kamu. Hidup itu nggak
adil, pren." Raka terkekeh.
Dhihan mendesah. "Aku jadi pengin tahu cewek
yang bakal dia terima tuh yang kayak gimana,
kok sampai semua cewek dia tolak."
"Only God knows."
Tidak lama kemudian, Bu Nunuz masuk dengan
tergopoh-gopoh setelah semua murid berharap
pelajaran fisika hari ini ditiadakan.
"Maaf anak-anak, hari ini, Ibu nggak bisa lamalama," kata Bu Nunuz. "Anak Ibu mendadak
sakit." Hampir seisi kelas menahan untuk tidak
berteriak kegirangan. "Tapi, Ibu akan memberi tugas secara
berkelompok," lanjutnya. "Kelompok terdiri atas
dua orang yang akan Ibu tentukan sendiri secara
acak dari absen kalian."
Lalu, Bu Nunuz mulai menyebut nama anakanak di kelas secara berpasang-pasangan.
"Dhihan Kawekas Nuraga dan Virgo Simbolon."
"Busyet," dengus Dhihan. "Jeruk sama Jeruk.
Kenapa aku nggak dipasangin sama cewek aja,
sih." Raka menyeringai. "Hidup itu nggak adil,
teman." "Caraka dan..."
Raka menahan napas. "Nathan Jonathan."
WHAAAAAAAAAAAAAAAAAAT?""!!!!!!
Dhihan kontan terkekeh. "Hidup itu emang
nggak pernah adil, Ka, terutama sama kamu,
huekekekekekek." *** "Teman-teman, maafkan aku," kata Nadya
tanpa diduga begitu bel pulang sekolah
berbunyi. Saat Bu Hestu meninggalkan kelas,
cewek itu langsung maju ke depan dengan
wajah panik. "Seminggu yang lalu, saat Pak Anung sakit,
beliau memberi tugas," jelasnya. "Dan, tugas itu
harus dikumpulkan seminggu kemudian yang
artinya... dua hari lagi."
"APAA"!!" Kontan, seisi kelas serempak
berteriak. "Emangnya, apa tugasnya?" tanya Alfi.
"Mengerjakan 50 soal latihan di akhir bab,"
jawab Nadya. "Dan, ini tugas perorangan."
"APA"!" teriak anak-anak sekelas lagi dengan
suara yang lebih keras dan intonasi yang lebih
tinggi. Nggak butuh waktu lama membuat kelas
itu menjadi gempar. Menjawab 50 soal dalam dua hari" jerit Raka
dalam hati. Matematika pula! Kayaknya, lebih
baik aku bunuh diri malam ini.
"Aku benar-benar minta maaf," pinta Nadya
dengan wajah tampak sangat bersalah. "Aku
lupa karena aku sibuk banget akhir-akhir ini.
Aku harus bantu menyiapkan acara buat ultah
sekolah, bikin proposal OSIS, bikin agenda
regenerasi buat tim basket."
"Ini salahmu!" kata Nathan tajam. "Kamu nggak
usah membela diri kayak gitu. Kalau kamu sibuk,
itu urusanmu kenapa kami yang harus
nanggung?" Nadya terdiam dan tak ada satu orang pun yang
berani mengeluarkan suara.
"Jangan sok penting," tambah Nathan. "Kalau
mengurusi hal sepele kayak gini aja kamu nggak
becus, lebih baik berhenti aja jadi ketua kelas,
atau hentikan semua kegiatanmu itu. Aku yakin
nggak akan ada yang merasa kehilangan."
Nadya yang berdiri di depan terdiam, menatap
tajam pada Nathan. "Tapi, sebelum berhenti, selesaikan dulu
masalah ini," tandas Nathan.
Semua anak terpana dengan kata-kata cowok
itu. Tidak ada yang menyangka dia bisa
mengatakan hal sesadis itu.
Cukup lama mata Nadya dan Nathan saling
menatap tajam. Semua yang ada di kelas itu
menahan napas, takut sebentar lagi akan ada
yang meledak dan terjadi pertumpahan darah.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah cukup tegang beberapa saat, akhirnya
Nadya mengangguk. "Kamu benar," katanya. "Ini salahku, aku akan
mencoba berbicara pada Pak Anung dan minta
perpanjangan waktu."
Setelah mengatakan itu, Nadya pergi dan seisi
kelas serentak menghela napas lega. Bukan
karena ada kemungkinan perpanjangan waktu
yang akan diberikan Pak Anung, melainkan
karena bersyukur tidak ada yang terluka.
"Orang itu benar-benar kejam," kata Dhihan
pelan sambil memandang Nathan yang sedang
merapikan buku-bukunya. "Stay alive, man," lanjut Dhihan prihatin sambil
menepuk-nepuk pundak Raka.
Raka menelan ludah. Semoga saja.
*** -8- "Jadi, kapan kita mulai latihan?" tanya Raka
dengan masih terengah-engah setelah bermain
bola. Dhihan yang merebahkan diri di lapangan hanya
menggeleng. "Minggu depan," jawab Alfi sambil meneguk
habis botol air mineral di tangannya.
"Di mana?" Tidak ada satu pun yang menjawab.
"Gimana kalau kita pinjam ruang seni musik?"
usul Virgo. "Good idea," kata Dhihan. "Tapi, entar kamu
yang ngomong sama Pak Tyo, soalnya aku
mending latihan di tengah Tol Jagorawi
daripada ngadepin bapak itu."
Raka tertawa. "Benar-benar butuh orang yang
punya nyali gede tuh."
Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, semua
orang tiba-tiba langsung memandangnya.
"Hei, kalian ngelihatin apa?" tanya Raka curiga
dengan perasaan tidak enak. Mereka terdiam
sejenak sebelum Doni angkat bicara.
"Ka, karena kamu vokalis," katanya.
"Dan, vokalis biasanya berperan ganda sebagai
pemimpin," timpal Virgo.
"Kamu yang mesti ngomong sama Pak Tyo,"
tandas Leo. Raka hanya bisa berkata: "HAH?" Dia menggeleng, lalu bangkit sambil
menyambar tasnya dan segera pergi
meninggalkan mereka tanpa memedulikan
jeritan-jeritan minta tolong yang juga diiringi
tawa. Hari itu, Raka baru akan beranjak pulang setelah
bermain bola bersama teman-temannya.
Ketika menyusuri koridor menuju lapangan
parkir, Raka mendengar ada seseorang sedang
mengerjakan sesuatu di ruang Veritas.
Pukul setengah tujuh malam, dia melirik jam
tangannya. Siapa yang masih beraktivitas pukul
segini di sekolah" Raka membuka pintu Veritas perlahan-lahan.
Sepasang sepatu cewek tergeletak di atas keset.
Di ruangan, Nadya sedang sibuk mengetik
sesuatu di depan komputer.
"Nadya?" Nadya tampak sangat terkejut.
"Ngapain pukul segini masih di Veritas?" tanya
Raka heran. "Ng-nggak ngapa-ngapain," jawabnya. "Kamu
sendiri?" Raka mengangkat bahu. "Aku habis main bola,
baru mau pulang." "Oh..." kata Nadya, lalu kembali sibuk dengan
apa yang sedang dia kerjakan.
Raka menaruh tasnya di lantai, lalu duduk
sambil memperhatikan sekeliling yang tiba-tiba
penuh dengan tumpukan kertas. "Ini semua
apaan?" tanyanya. "Data siswa kelas XII," jawab Nadya tanpa
menoleh sedikit pun. "Kenapa ada di sini?"
"Aku harus merekap semuanya hari ini. Pak
Johan minta hasilnya besok pagi," jawab Nadya,
tapi kali ini nada suaranya mulai terdengar
panik. Raka bersiul. "Woh, aku nggak tahu kalau Bapak
itu sadis banget. Dia kasih kerjaan segini banyak
hari ini, tapi mesti selesai besok. Bukan OSIS tuh
namanya, tapi romusha."
"Bukan, ini bukan salah Pak Johan," kata Nadya.
"Sebagai Pembina OSIS, dia udah sangat baik,
tapi aku yang mengecewakannya. Dia udah
ngasih tugas ini sejak sebulan yang lalu."
"Kenapa baru kamu bikin sekarang?"
"Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini aku sering
lupa," kata cewek itu panik. "Aku terlalu sibuk
sama kegiatan yang lain. Manajemen waktuku
jelek banget." "Yah, walaupun begitu," Raka menghela napas,
"yang kayak gini nggak bisa dikerjain cuma
dalam waktu 2-3 jam. Kenapa nggak ngerjain di
rumah aja, sih" Daripada di sini sampai
malem?" "Aku takut kelupaan besok paginya."
Raka berpikir sebentar, lalu menyalakan
komputer satunya lagi dan mengambil
beberapa tumpukan kertas di meja.
"Ini belum direkap, kan?" tanyanya.
Pendekar Baja 2 Raja Naga 14 Jejak Malaikat Biru Batu Kematian 1