Let Go 2
Let Go Karya Windhy Puspitadewi Bagian 2
"Kamu mau apa?"
"Bantu," jawab Raka enteng.
"Nggak usah," tolak Nadya. "Aku nggak perlu
bantuan! Kamu pulang aja!"
Tiba-tiba, Raka membanting tumpukan kertas
itu ke meja. Dia kesal dengan sikap Nadya.
"Denger, ya!" katanya dengan nada tinggi. "Aku
nggak tahu, kamu menolak pertolonganku
karena kamu pikir bisa mengerjakan ini semua
atau karena kamu pikir aku mungkin cuma bakal
mengacaukannya. Tapi, kalau aku nggak bantu,
kamu bukan cuma bakal pulang malam, tapi
kamu-bahkan-bakal pulang pagi!" Raka
menatap Nadya. "Dan, kamu cewek!"
tambahnya. "Toh, walaupun aku yakin kamu
bisa jaga diri, kamu seharusnya jaga nama
baikmu juga!" Wajah Nadya memucat, sepertinya dia tidak
menyangka akan diberi reaksi seperti itu. Raka
menarik napas dalam-dalam, berusaha
mengendalikan diri. Lalu, dia mengambil lagi
tumpukan kertas yang tadi dia banting dan
mulai mengetik. Setelah itu nggak ada satu pun
dari mereka berdua yang bersuara.
"Aku..." kata Nadya kemudian dengan suara
tercekat. "Aku pengin melakukan semuanya dan
aku pikir, aku emang bisa melakukan
semuanya." Raka menoleh menatapnya. Mata cewek itu
mulai berkaca-kaca. "Awalnya, aku yakin aku bisa," katanya. "Tapi,
sekarang, aku sadar, aku salah."
Dia tersenyum getir seperti sedang
menertawakan dirinya sendiri.
"Ternyata, aku nggak sehebat yang kupikir,"
katanya lirih. "Ternyata, aku lemah.
Mengerjakan hal-hal sepele aja aku nggak bisa...
Bodoh banget kalau aku ingin mengerjakan halhal hebat. Bodoh banget kalau aku ingin diakui
sebagai orang yang hebat."
Raka menghela napas. "Kamu nggak lemah,"
katanya lalu tersenyum. "Kamu cuma lupa
meminta tolong." Begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan
Raka, air mata Nadya langsung menetes. Raka
menyodorkan tisu di atas meja.
Melihat Nadya menangis, Raka teringat puisi
yang dibuat oleh Sarah: "Ketika wanita
menangis, itu bukan karena dia ingin terlihat
lemah, tetapi karena dia sudah nggak sanggup
berpura-pura kuat." *** -9- "Raka," kata sang Mama sebelum berangkat ke
kantor. "Tahun ini, kamu mau, kan, ngunjungi
papamu?" Raka tertegun. Roti yang sudah digigitnya tidak
jadi tertelan. "Sudah dua tahun, Raka," lanjut sang Mama.
"Dan, kamu belum pernah menemuinya sejak
dia pergi." Raka masih bergeming. "Kali ini, anggap saja kamu melakukannya demi
Mama." Raka bangkit dari tempat duduknya,
menyambar koran yang ada di meja makan.
"Aku akan menemuinya kalau aku sudah siap,"
kata Raka sambil pergi menuju tangga.
*** Saat sampai di tempat parkir sekolahnya, Raka
mendapati Sarah sudah berdiri di sana dan
langsung berlari menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Raka sambil melepas helm.
Sarah menggeleng. "Nggak, aku cuma ingin
kamu melihat ini." Cewek itu menyodorkan beberapa lembar
kertas. "Ini apa?" tanya Raka bingung.
"Esai buat lomba yang udah diperbaiki Nathan,"
jawab Sarah dengan wajah berseri-seri. "Aku
baru aja menyelesaikannya tadi malam dan aku
nggak sabar nunjukin sama kamu."
"Kenapa?" "Eh?" Sarah tampak terkejut. Wajahnya tibatiba memerah.
"A-aku..." dia tergagap, "ka-karena kamu yang
mendorongku, jadi a-aku mau kamu jadi orang
pertama yang baca, sebelum aku kirim."
"Ooh..." Raka manggut-manggut. "Bukannya
lebih baik kamu minta bantuan Bu Ratna dulu
sebagai guru pembimbing?"
"Be-benar juga, ya," kata Sarah sambil
tersenyum kikuk. "Aku baca sambil jalan ke kelas aja, ya."
Sarah mengangguk. Karena terlalu tenggelam dalam tulisan yang
dibaca, hampir saja Raka melewati ruang
kelasnya sendiri. "Raka!" Sarah menarik tangan Raka. "Kelas kita
di sini." Raka menoleh. "Hah?"
"Ke-kelas kita..." Sarah tidak meneruskan
ucapannya, dia sepertinya kaget sendiri melihat
tangannya menggenggam tangan cowok itu.
"Ma-maaf! Maaf!" katanya sambil melepaskan
genggamannya. Wajahnya langsung berubah
merah padam. "Aku nggak maksud..."
Melihat wajah cewek itu, Raka tidak bisa
menahan tawa. "Mukamu lucu banget, sih!"
Sarah tidak mengatakan apa-apa, tapi wajahnya
semakin memerah. Dia malu setengah mati.
"Sori, sori..." kata Raka setelah berhasil
mencoba meredam rasa gelinya. Dia berdehem
beberapa kali. "Ini masterpiece," katanya serius,
sambil mengacungkan kertas-kertas yang berisi
tulisan Sarah. "Aku yakin kamu bisa menang.
Kalau kamu nggak menang, berarti tuh juri pasti
perlu kacamata baru."
Sarah tersenyum. Wajahnya memerah, tapi kali
ini lebih karena senang. "Masih perlu pendapat kedua?" tanya Raka.
"Soalnya, aku yakin kamu nggak akan percaya
seratus persen apa pun yang keluar dari
mulutku." Sarah terkikik, lalu menggeleng.
"Sekarang..." katanya, "aku percaya, kok, apa
pun yang Raka bilang."
Raka bersiul. "Kemajuan besar."
Sarah berbalik dan berjalan menuju mejanya
dengan wajah yang masih tersipu.
*** "Ck-ck-ck... lady killer," komentar Dhihan begitu
Raka mendekati meja. "Maksudmu?" "Sarah suka sama kamu," kata Dhihan sambil
menunjuk hidung temannya itu.
"Stop, ya," kata Raka, "jangan bikin aku jadi
berharap." "Lho, kamu suka juga?" tanya Dhihan antusias.
"Nggak tahu," jawabnya enteng.
Dhihan tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya
menghela napas. Nggak lama kemudian, tibatiba dia menegakkan badannya.
"Oh, ya!" serunya hingga Raka hampir terjatuh
dari kursi. "Apa"!" "Ada sesuatu yang aneh terjadi pagi ini,"
katanya serius. "Kamu mau tahu?"
"Nggak," jawab Raka, tapi Dhihan tidak
menggubrisnya dan tetap melanjutkan
ceritanya. "Pagi ini, tiba-tiba, Nadya nyamperin aku dan
minta aku menjadi koordinator pelaksana buat
acara ulang tahun sekolah kita nanti!"
Itu pasti halusinasi, batin Raka.
"Serius," kata Dhihan seakan-akan bisa
membaca pikiran temannya itu. "It really
happened!" "Dan, kamu terima?" tanya Raka.
Dhihan mengangkat bahu. "Gimana lagi"
Soalnya, dia minta tolongnya pake senyum
segala, sih. Kakiku, kan, langsung lemes."
Raka manggut-manggut. "Ternyata, kalau senyum, Nadya manis banget,
ya," lanjut Dhihan. "Aku tahu," kata Raka tanpa sadar sambil
membayangkan senyum Nadya yang sudah
beberapa kali ditunjukkan cewek itu kepadanya.
"Hah?" Dhihan mengernyitkan dahi. "Kok bisa
tahu" Kamu kan, nggak di sini tadi."
"Ah... oh... aku cuma ngebayangin aja."
Raka tidak habis pikir kenapa dia harus
berbohong. Tapi, hati kecilnya berkata dia tidak
ingin orang lain tahu kalau Nadya sudah
memberikan lebih banyak senyuman kepadanya
daripada ke yang lain. Dia merasa ini sangat
pribadi dan ingin itu hanya jadi miliknya saja.
Dhihan mengalihkan pandangannya lurus ke
depan, matanya menerawang. "Aku kayaknya
jatuh cinta, deh." "Sama Nadya?" Dia mengangguk. Raka mengernyitkan dahi. "Bukannya dulu
kamu takut sama dia?"
"Dulu, ya, dulu," kilahnya. "Apa yang terjadi
barusan bikin aku sadar kalau ternyata dia
manusiawi dan itu bikin dia menarik. Yah... juga
karena pada dasarnya, dia emang cantik,
hehehe..." "Tapi, kayaknya, yang nge-fans sama dia bukan
cuma kamu tuh," kata Raka sambil melirik ke
meja Alfi. "Hah?" Dhihan menelusuri sorot mata Raka dan melihat
Alfi sedang memandangi Nadya dengan mata
yang hampir tak berkedip.
"Waduh!" komentar Dhihan.
Raka tertawa. "Han," panggil Virgo.
"What?" Virgo menghampiri Dhihan. "Kapan nih, kita
bikin tugas fisika?" tanyanya.
"Terserah kamu, deh," jawab Dhihan pasrah.
"Nggak bikin juga nggak apa-apa."
"Penginnya, sih, juga gitu. Tapi, kamu mau
nggak lulus?" sahut Virgo.
Dhihan mendesah. "Nasib... nasib..."
"Kalau habis latihan band gimana?" usul Virgo.
"Terserah kamu, deh..."
"Emangnya, kita udah mulai latihan?" tanya
Raka. "Iya, besok pukul setengah tujuh malam," jawab
Dhihan. "Aku belum ngasih tahu, ya" Latihannya
di studio deket rumahku, tapi kumpulnya di
rumahku." Raka menyipitkan mata. "Belum."
"Studio?" "Iya, ternyata tetanggaku punya studio baru.
Baru perkenalan, dia ngasih pinjem studio itu
gratis," jelasnya. Raka langsung bersiul. "Eh, tugas fisika-mu udah selesai?" tanya Virgo.
Raka mengangkat bahu. "Tau! Aku sih,
berharapnya Nathan udah ngerjain, berhubung
otakku tiba-tiba menyusut kalau berhubungan
sama angka." "Mendingan kamu nanya Nathan, deh, daripada
ternyata nggak ada yang bikin," usul Dhihan.
Dia mendesah, lalu bangkit. "Yes, Sir..."
Begitu sampai, Nathan hanya menoleh dan
memandang Raka, tanpa berkata apa-apa.
"Tentang tugas fisika-"
"Kupikir, kamu nggak bakal nanya," kata Nathan
sebelum Raka sempat meneruskan kalimatnya.
"Besok, sepulang sekolah di rumahmu."
Raka langsung melongo. "Hah?"
"Kita bikin berdua!" tegasnya.
"Kenapa mesti di rumahku?"
"Karena, aku nggak mau bikin di rumahku,"
jawab cowok itu enteng. Raka sudah bersiap protes.
"Atau, kamu ingin kita bikin sendiri-sendiri?"
tanya Nathan yang membuat Raka tidak
berkutik. "Dan, tentu aja dengan nilai sendirisendiri juga."
Raka terdiam seketika. Dia bisa membayangkan
ada burung gagak yang terbang melintas di
kepalanya seperti di komik-komik Jepang sambil
berkaok-kaok, "Aho... Aho... Aho..." yang
artinya, "Bodoh... Bodoh... Bodoh..."
*** - 10 - Raka merasa pusing dan perutnya mual.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ulangan mendadak hari ini telah
memperpendek umurnya. "Waktunya tinggal lima menit lagi," kata Bu
Sukma memecah konsentrasi. Seisi kelas sudah
mulai gelisah, kecuali-tentu saja-Nathan dan
Nadya. Mereka sudah selesai sejak tadi. Ada
juga beberapa murid yang sudah selesai sejak
tadi, tetapi mereka lebih murid yang tidak
peduli dengan jawaban mereka. Bahkan, saat
ini, mereka sudah menunggu di luar.
Tiba-tiba, Bu Sukma menepukkan tangannya
sambil berkata. "Ya! Kumpulkan!"
Tunggu! Tunggu! Aku belum selesai! Masih dua
nomor lagi! jerit Raka dalam hati. Dhihan sudah
bangkit dari tempat duduknya.
"Kalian boleh pulang," kata Bu Sukma lagi.
Raka melihat sekeliling dan menghela napas
lega setelah mendapati bukan hanya dia yang
belum selesai. Ada sekitar sepuluh anaktermasuk dirinya-yang masih berusaha keras
menyelesaikan ulangan itu dengan semua
tenaga yang hampir tak bersisa.
"Baiklah, Ibu tunggu sepuluh menit lagi di
kantor," kata Bu Sukma kemudian. Raka
langsung mendongak, tetapi ternyata kata-kata
itu ditujukan pada Nadya yang sepertinya
sedang berusaha meminta toleransi. Nadya
tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih.
"Kelihatannya kamu masih lama," kata Nathan
menghampiri Raka. "Setelah selesai, kita
ketemu di lapangan parkir. Aku ada sedikit
urusan dulu di lab fisika."
Oh, ya! Sialan, aku lupa! Hari ini, aku ada janji
bikin tugas fisika sama orang itu. Sial (lagi!).
Setelah itu, aku harus latihan band juga! Bahu
Raka langsung merosot. WHAT A DAY!
Setelah selesai, Raka langsung menyambar
tasnya dan buru-buru menuju lapangan parkir.
Namun, ternyata Nathan belum datang. Hanya
ada seorang cewek yang tampak sedang
mencari-cari sesuatu di tanah.
"Hei, cari apa?" tanya Raka menghampiri cewek
itu. Cewek itu terkesiap. "Caraka!"
Sekarang giliran Raka yang kaget. "Hah" Kok
tahu namaku?" tanyanya heran. "Kita saling
kenal?" "Ki-kita sama-sama kelas X," jawab cewek itu
kikuk. "A-aku kelas X-12. Namaku Nova."
"Oooh..." Raka manggut-manggut walaupun
sebenarnya masih bingung. Jarak antara kelas X1, kelasnya, dan kelas X-12 cukup jauh dan dia
nggak mengenal cewek ini.
"Kamu lagi cari apa?"
"Kunci motorku hilang," jawab Nova panik. "Aku
udah nyari dari tadi, tapi..."
"Belum ketemu?"
Nova mengangguk. Raka mengangkat bahu. "Gantungan kuncinya
bentuknya gimana?" Nova menatap cowok di depannya tak percaya.
"Hei, gantungan kuncinya bentuknya gimana?"
"A-apel! Bentuknya buah apel!" jawabnya. "Mamakasih, ya, Caraka."
"Raka," ralat Raka, "aku agak risi dipanggil
dengan nama lengkap dan you are welcome."
Nova tersenyum. "Caraka emang kayak yang
dibilang teman-teman."
Raka menoleh. "Emangnya, apa yang temantemanmu bilang tentang aku?"
"Pokoknya, sesuatu yang baik," jawab Nova
sambil tersenyum. Raka tidak bertanya lebih lanjut. Tahu bahwa
dia dibicarakan atas suatu hal yang baik itu
sudah cukup baginya. Sekitar sepuluh menit kemudian, kunci motor
Nova ditemukan tergeletak di dekat tempat
sampah, sepertinya terjatuh ketika cewek itu
hendak membuang sesuatu. Nova berulangulang mengucapkan terima kasih hingga Raka
merasa agak risi. "Kamu orang pertama yang nawarin bantuan
setelah hampir satu jam aku nyari-nyari di sini,"
jelas Nova sebelum menyalakan motornya dan
melaju meninggalkan sekolah.
Nathan masih belum datang sehingga Raka
memutuskan menyusul cowok itu di lab fisika.
"Maaf." Suara Nathan terdengar samar-samar ketika
Raka sudah mendekati ruang lab fisika.
"Udah, jangan nangis lagi," kata Nathan lagi.
"Cari cowok yang lebih baik daripada aku."
Busyet! Lagi" Raka mengernyit.
"Kenapa?" tanya cewek itu.
Nathan terdiam sejenak. "Karena aku nggak suka kamu," jawab Nathan
kemudian. Sejenak tidak ada yang bersuara.
"Apa karena aku jelek?" tuntut cewek itu. "Itu
alasannya kamu nggak mau sama aku" Aku
emang jelek dan nggak punya kelebihan apa
pun. Tapi, apa cuma karena itu kamu nggak mau
jadi cowokku" Aku yakin kamu nggak sedangkal
itu." "Emangnya kamu merasa jelek?" tanya Nathan.
"Dan, nggak punya kelebihan apa pun?"
Cewek itu mengangguk. "Ya, aku nggak suka kamu karena alasan itu,"
kata Nathan sejurus kemudian, dia
mengeluarkan kata-kata paling kejam untuk
seorang cewek mana pun. "Mungkin aku emang
sedangkal itu." Cewek yang "nembak" Nathan itu langsung
berlari keluar ruang lab sambil menangis. Raka
yang tidak terima melihat bagaimana cara
Nathan memperlakukan cewek langsung
melabraknya. "Kamu sudah sangat keterlaluan!" geramnya
sambil mencengkeram kerah baju Nathan.
"Kamu harus diberi sedikit pelajaran."
Nathan tampak tenang. "Sejak kapan kamu menguping?"
"Cukup lama buat tahu kalau kamu harus diberi
pelajaran bagaimana memperlakukan seorang
cewek!" jawab Raka tanpa memedulikan
sindiran Nathan yang menggunakan kata
"menguping". Nathan menatap kedua mata Raka dalamdalam. "Bilang padaku, emangnya apa salahku?"
Raka melotot membalas tatapannya. "Kamu
bilang kalau dia jelek dan nggak punya
kelebihan! Itu keterlaluan!"
"Aku nggak pernah bilang begitu."
"Nggak usah mengelak!" bentak Raka. "Kamu
mengiyakan kata-kata dia tentang itu!"
"Kata-kata dia," ulang Nathan dengan nada
tenang, tetapi dalam. "Dia sendiri yang bilang.
Dia sendiri yang merasa kayak begitu."
"Eh?" Raka mengendurkan cengkeramannya.
"Orang yang nggak bisa menghargai dirinya
sendiri, nggak akan pernah bisa menghargai
orang lain," kata Nathan.
Mendengar ucapan terakhir Nathan, Raka
melepaskan tangannya. Dia tertegun, kata-kata
Nathan seperti sebuah palu godam yang dipukul
ke kepalanya. Ternyata, itu yang Nathan
pikirkan. Dia hanya ingin menyadarkan cewek
itu agar lebih menghargai dirinya sendiri
terlebih dahulu. Raka langsung mengingat-ingat lagi, janganjangan yang dia lihat sebelum ini juga seperti itu
maksudnya. Nathan menolak cewek itu secara
tegas karena tidak ingin memberi harapan semu
sedikit pun kepada si cewek. Dia tahu, memberi
harapan, lalu menghempaskannya ke tanah
pasti rasanya sangat menyakitkan-sesedikit apa
pun harapan itu. Nathan merapikan kerahnya, lalu mengambil
tasnya dari meja. "Ayo berangkat."
Raka tidak menjawab, hanya berjalan mengikuti
teman sekelasnya itu. Kepalanya terasa kosong.
Nathan telah menunjukkan kalau dia bukan
orang yang dangkal dan itu membuat Raka
merasa justru dirinyalah yang selama ini
berpikiran sempit. Dalam hati Raka, lambat
laun, tumbuh kekaguman pada cowok yang
memunggunginya itu. Ketika mereka mulai memasuki kompleks, tibatiba motor Raka mogok. Untungnya, tukang
reparasi motor langganan Raka berada tidak
jauh dari situ. Namun, karena kerusakannya
berat, motor Raka harus ditinggalkan di
bengkel. Jalan kaki sejauh satu kilometer di siang hari
lumayan jadi sebuah ujian tersendiri. Kalau
tidak terbiasa, mungkin rasanya seperti sedang
di gurun. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Raka khawatir
melihat Nathan yang terlihat lemas-mau tidak
mau, Raka jadi inget rumor penyakit yang
diderita Nathan. "Maksudmu?" "Kuat jalan nggak" Kamu nggak bakal kolaps
atau apa, kan?" Nathan tersenyum mengejek. "Kamu
mengkhawatirkanku?" "Ya, soalnya, kalau kamu kolaps, aku yang
susah," balas Raka tajam.
Senyum di wajah Nathan langsung memudar.
"Jangan khawatir, aku lebih kuat daripada yang
kamu bayangkan," katanya.
"Aku harap juga begitu."
Setelah itu, sepanjang perjalanan, mereka
habiskan dalam diam. Dan, walaupun Nathan
sudah mengatakan dia tidak apa-apa, Raka tidak
bisa menahan diri untuk tidak sekali mencuri
pandang ke arah cowok itu dan memastikan dia
baik-baik saja. Tinggal setengah kilometer lagi saat di depan
mereka tampak segerombol anak-anak SMA lain
sedang berkumpul di gardu jaga.
"Ngapain lihat-lihat?" tanya salah satu dari
gerombolan itu. Dan, tak butuh waktu lama,
yang lain berkumpul di belakangnya.
"Hah" Aku?" tanya Raka bingung.
"Ya! Kamu!" bentaknya. "Kamu mau cari
masalah?" Tiba-tiba dua di antara mereka maju
bebarengan dan menghujamkan pukulan ke
arah Raka. Untung saja gerakan Raka lebih
cepat sehingga berhasil menghindari keduanya,
bahkan dia berhasil menjatuhkan satu orang
sekali pukul. Begitu salah satu dari mereka
tumbang, yang lainnya maju untuk
menggantikannya. Korban keduanya memiliki
nasib tak jauh beda. Sadar mereka tidak akan
bisa mengalahkan cowok yang satu ini hanya
dengan dua lawan satu-apalagi satu lawan satugerombolan itu memutuskan main keroyok.
"Keroyok dia!" Anak yang dari tadi bertindak
sebagai juru bicara memberi aba-aba. Keempat
orang yang tersisa langsung serempak
menghujani Raka dengan pukulan dan
tendangan dari segala arah. Tiba-tiba, seseorang
menahan pukulan itu tepat pada waktunya.
"Nathan?" kata Raka tak percaya saat melihat
tangan yang menahan pukulan itu.
Nathan hanya diam dan tetap berusaha
menangkis pukulan serta tendangan apa pun
yang ditujukan kepadanya. Rumor bahwa cowok
ini cukup jago bela diri, ternyata bukan isapan
jempol belaka. Dia bisa menjatuhkan lawan
dengan mudahnya. Raka bangkit berdiri
mencoba membantunya membereskan ketiga
orang yang tersisa walaupun sepertinya Nathan
tidak begitu membutuhkan bantuan.
Keenam orang itu berhasil mereka kalahkan
dalam waktu singkat. Mereka langsung pergi
meninggalkan tempat itu diiringi umpatanumpatan serta gertak sambal.
Saat Raka menengok ke arah Nathan, dia
melihat mulut Nathan gemetar. Begitu juga
badannya. Dan, sejurus kemudian, dia ambruk.
Untung saja, Raka berhasil menahannya
sebelum dia jatuh ke tanah.
"Hoi, Than!" Raka mulai panik. "HOI!"
*** "Aku di mana?" tanya Nathan lirih sambil
berusaha untuk duduk. Raka meletakkan buku yang dibacanya.
"Kamarku," jawabnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Nathan memegangi kepalanya, lalu
menggeleng. "Nggak apa-apa. Kok aku bisa di
sini?" "Guess!" kata Raka. "Dan, ternyata, walaupun
dari luar badanmu kurus, ternyata kamu berat
juga. Punggungku rasanya mau patah."
Nathan menatap Raka tak percaya. "Kamu
menggendongku?"
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih tepatnya, memanggul," ralat Raka, "mau
apa lagi" Mau aku seret juga nggak tega."
Nathan terdiam. "Mana kacamataku?" tanyanya
kemudian. Raka memberikan kacamata yang tadi
tergeletak di meja. Nathan memakainya, lalu mengamati setiap
sudut kamar itu. "Ada yang salah sama kamarku?" tanya Raka
ingin tahu. Nathan masih memperhatikan poster-poster
film yang terpampang di dinding.
"Benar-benar di luar bayanganku," katanya.
"Emangnya, apa yang kamu bayangkan?"
"Yang bukan kayak gini, tentu aja," katanya.
Tiba-tiba, Nathan berdiri, lalu mendekati poster
film Unforgiven yang tertempel di dekat pintu,
lalu membalikkan badannya, mengamati poster
berikutnya: The Godfather-nya Francis Ford
Coppola. "Kamu tertarik sama film, ya?"
Raka mengangkat bahu. "I have a dream..."
Nathan membalikkan badannya, menatap Raka
sambil mengernyitkan dahi. "Kamu mau nyanyi
lagunya Westlife atau mau baca pidatonya
Martin Luther King?"
"Aku cuma mau ngomong pake bahasa Inggris!"
ujar Raka kesal. "Ooh..." Nathan membalikkan badannya.
"Ngomong-ngomong, aku heran kenapa kamu
nggak nanya siapa Martin Luther King."
"Biar aku tebak, berikutnya, kamu pasti pengin
tahu apa aku kenal sama Ratu Elizabeth II." Raka
menghela napas. "Dan, jawabanku, aku nggak
kenal. Aku nggak pernah punya kesempatan
buat nanya nomor HP dia. Puas?"
Nathan menoleh dan tersenyum sinis. "Aku
lupa, pengetahuan sejarahmu emang nggak bisa
diremehkan." Cowok itu berjalan ke arah rak buku Raka, lalu
mengamatinya satu per satu.
"Kayaknya, ucapanmu yang ngaku baca karya
Pram bukan bohong, ya," katanya. "Aku nggak
tahu kamu suka baca."
"Nggak ada yang pernah nanya!" dengus Raka
kesal. "John Grisham... Mitch Albom... Pramoedya
Ananta Toer... Umar Kayam... Jostein
Gaarder..." gumam Nathan, lalu mengambil
salah satu buku. "Edogawa Rampo," katanya sambil membolakbalik buku yang dipegangnya. "Aku nggak
nyangka kamu, bahkan, punya bukunya."
"Nggak semua hal harus dikasih tahu, kan."
Nathan mengembalikan buku itu lagi ke
tempatnya, lalu mulai mengamati. "Goenawan
Mohamad... P. Soewantoro... Lho, kamu koleksi
komik juga?" Nathan memperhatikan deretan
komik yang berada di rak. "H2... Bleach...
Samurai Deeper Kyo..." Sekarang, Nathan
membaca judul-judul komik tersebut. "Hobi?"
"Nggak ada buku yang begitu jelek-"
"Yang sedikit pun nggak bisa diambil
pelajarannya," lanjut Nathan memotong alasan
Raka. "Nullust Est Liber Tammalus..."
"Ut Non Aliqua Parte Prosit," Raka meneruskan
sambil meringis. "Plinius Jr. di Epistolae."
Nathan terdiam sejenak menatap teman
sekelasnya itu, lalu menggumam pelan. "Aku
nggak nyangka." "Eh, kamu beneran nggak apa-apa?" tanya Raka
kemudian. "Jangan khawatir, I"ll survive," jawabnya
mantap tanpa mengalihkan pandangannya
sedetik pun dari buku-buku di depannya.
"Sakit apa, sih?"
"Kanker otak," jawab Nathan santai.
"Hah?" Raka melongo. "Sori, bisa diulang lagi?"
"Kanker otak." "Kamu bilang kanker otak?" ulang Raka.
"Kamu budek, ya?" sahut Nathan. Raka
langsung terdiam. Selama ini, dia pikir, penyakit
itu hanya ada di sinetron-sinetron. Namun,
sekarang, dia sedang melihat dengan mata
kepala sendiri salah seorang pengidapnya.
Jadi, ini penyebab tubuh kurus, wajah pucat,
dispensasi olahraga, dan obat yang
membuatnya tampak kepayahan itu" batin
Raka. "Sejak kapan?" tanyanya.
"Apa pedulimu?"
"Kok, rambutmu nggak rontok?" Raka
mengernyit. "Jangan khawatir, sebentar lagi, kalau itu bikin
kamu senang," jawab Nathan.
Setelah itu, hening di antara mereka sampai
terdengar suara pintu rumah dibuka.
*** "RAKA" KAMU DI KAMAR?" terdengar teriakan.
"YA, MA!" Raka balas berteriak.
"KAMU BELUM MASAK MAKAN MALAM, YA?"
Sial! Aku lupa! umpat Raka dalam hati.
"Itu mamamu?" tanya Nathan.
Raka bangkit berdiri. "Ya."
"Papamu?" Nathan menunjuk foto di meja
belajar. "Begitulah... Ayo turun."
"Kudengar, kamu benci dia," kata Nathan sambil
mengamati foto itu. "Tapi, kalau emang kamu
benci dia, kenapa fotonya ada di sini?"
Raka menatapnya tajam. "Bukan urusanmu."
Lalu, keduanya berjalan menuju pintu dan
keluar dari kamar. "Kamu ngajak teman, ya?" tanya Mama ketika
melihat Nathan. "Yah..." Raka menggaruk-garuk kepala.
"Ya, ampun...!" pekik Mama panik, lalu
menghampiri Nathan. "Kamu pucat sekali...
Kamu nggak apa-apa?" tanya Mama khawatir
sambil memegang dahi Nathan, yang kemudian
ditepis cowok itu dengan halus.
Nathan tersenyum sopan. "Nggak apa-apa,
Tante." "Syukurlah kalau begitu," desah Mama lega, lalu
menoleh ke arah Raka dengan mata melotot.
"RAKA!" Raka menelan ludah. "Kalau emang kamu nggak sempat bikin makan
malam buat Mama, seenggaknya, bikin sesuatu
buat temanmu ini!" sembur Mama marah.
"Lihat! Dia sampai pucat begini. Pasti gara-gara
kamu nggak ngasih apa-apa. Teman macam apa
kamu ini?" "Hah" Lho... tapi..." Raka mencoba membela
diri. "Ini bukan salah Raka, Tante-" Nathan berusaha
membela. "Kamu nggak usah membela dia," potong
Mama. "Tunggu, siapa namamu?"
"Nathan." "Nathan..." Mama mengangguk-angguk. "Kamu
nggak usah membelanya, Nathan." Mama
mengambil dompet, lalu menyerahkan
beberapa lembar uang. "Sekarang, beli makanan buat makan malam
kita bertiga," perintahnya ke Raka. "Dan,
CEPAT!" Raka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk
mengatakan apa pun. Dengan langkah gontai,
dia pergi meninggalkan rumah menuju warung
terdekat. "Pukul delapan!" pekik Raka melirik jam
tangannya sambil berjalan buru-buru. Bisa
dipastikan Dhihan dkk. akan membunuhnya.
Sudah cukup buat hari ini, Raka menggelengkan
kepala. Kalau setelah ini akan ada hal buruk lagi
yang menimpa kepalaku, aku bunuh diri.
*** "Raka," panggil seseorang.
Raka menoleh. "Nadya" Ngapain kamu di sini?"
"Emangnya, apa yang kamu lakukan di warung
sate?" tanyanya balik.
Raka mengangkat bahu, lalu duduk di sebelah
cewek itu. "Udah lama?"
"Nggak juga, beberapa menit sebelum kamu,"
jawab Nadya. "Oh..." "Banyak banget pesen satenya," komentar
cewek itu. "Ada tamu?"
"Iya, ada Nathan," kata Raka ogah-ogahan.
"Ada acara apa?" tanya Nadya heran.
"Bukannya kalian nggak terlalu akrab?"
"Takdir yang mengakrabkan kami," jawab Raka
sekenanya. "Inget tugas fisika itu, kan" Nah, dia
sekelompok sama aku. Hari ini, tadinya, aku
sama dia mau ngerjain bareng-bareng."
"Itu... VCD apa?" tunjuk Raka ke tangan Nadya,
mencoba mencairkan suasana lagi.
"Ini?" tanya Nadya sambil mengacungkan VCD
di tangannya. "Radio. Aku baru aja pinjam."
Raka manggut-manggut. "Ed Harris dan Cuba
Gooding Jr." Nadya memandang Raka dengan antusias.
"Kamu udah nonton?"
Raka mengangkat alisnya. "Film bagus, menurut
aku, sih, kayak gabungan antara Remember the
Titans dan Rain Man."
"Remember the Titans?" Nadya mengerutkan
kening. "Bagian mananya" Kalau Rain Man, sih,
masih mirip." "Setting tempat, setting waktu, football team,
pelatih," jelas Raka. "Apanya yang nggak sama?"
Nadya menghela napas, lalu tersenyum. "Kalau
masalah film, kamu emang nggak bisa dilawan."
Raka meringis. "Wah, ternyata, kamu udah
kenal aku." "Benar-benar udah mantap jadi sutradara film,
ya?" "Dibilang mantap, sih, nggak." Pandangan Raka
lagi-lagi menerawang ke depan. "Tapi, dari dulu,
aku yakin memang itulah yang pengin
kulakukan." "Film apa yang pengin kamu bikin?"
"Dokumenter," jawab Raka yakin. "Aku pengin
bikin film dokumenter tentang sejarah
Indonesia." "Kenapa?" "Menarik," jawab Raka yang tanpa sadar
tersenyum sendiri. "Kamu tahu nggak, kalau
Perang Puputan dibikin film, mungkin hasilnya
nggak jauh beda sama The Last Samurai?"
Nadya tertawa. "Masa, sih?"
"Uhm," Raka mengangguk. "Nggak percaya?"
"Aku percaya," kata Nadya sambil tersenyum,
menatap dengan sorot mata kagum.
Melihat senyuman Nadya, tiba-tiba Raka
merasa jantungnya berdebar sangat kencang.
Bahkan, dia kaget setengah mati saat tukang
sate tiba-tiba menghampiri.
Setelah membayarnya, Nadya mengalihkan
pandangannya ke Raka. "Aku duluan, ya," katanya. "Dan, makasih, ini
kali pertama aku ngobrol menyenangkan kayak
tadi." Raka tidak mengatakan apa-apa, hanya
mengangguk. Kalau saja cewek itu tahu, ini juga
kali pertama bagi Raka bisa ngobrol dengan
seseorang. Kali pertama dia merasa sangat
nyaman menjadi dirinya sendiri.
*** "Aku pulang," kata Raka yang langsung
disambut dengan mata melotot oleh sang
Mama. "Lama banget," kata Mama cemberut. "Mama
sampai bikin mi buat Nathan, takut dia pingsan
kelamaan nunggu." "Ya, ampun, Ma, warung paling dekat tuh
jaraknya 500 meter. Aku harus jalan kaki,
soalnya motor lagi masuk bengkel." Raka
membela diri. "Ya, sudah, kamu terpaksa makan sendiri."
"Lho?" "Nathan udah nelepon rumahnya dan sebentar
lagi dijemput," jelas Mama.
"Aku udah beli tiga puluh tusuk!" protes Raka.
Mama menelengkan kepala. "Raka, Mama yang
melahirkanmu dan memberi makan. Jadi, aku
tahu, 100 tusuk pun, kamu pasti sanggup
menghabiskannya." Nathan terkikik. "Jangan ketawa!" gerutu Raka.
"Tante, saya tunggu di luar saja," kata Nathan
sambil bangkit dari kursi. "Terima kasih atas
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan malamnya tadi."
"Aduuh... Tante jadi nggak enak cuma bisa
buatin mi," keluh Mama.
"Nggak apa-apa, Tante," hibur Nathan. "Mi
buatan Tante enak." "Kamu benar-benar anak baik dan sopan. Kalau
saja Raka kayak kamu."
"Ma, jangan percaya," Raka mendelik. "Apa
yang baru aja Nathan bilang cuma basa-basi!"
Mama menyipitkan mata. "Jadi, maksudmu,
kamu mau bilang kalau masakan Mama nggak
enak?" Raka menelan ludah. Nathan yang berdiri di
belakang Mama sekuat tenaga menahan tawa.
"Sudah, kamu temani Nathan di depan sampai
dijemput," perintah Mama, lalu dia menoleh ke
arah Nathan. "Kapan-kapan, main ke sini lagi,
ya. Tante senang ngobrol sama kamu."
"Baik, Tante," jawab Nathan dan langsung
tersenyum sopan. RUBAH! DIA ITU RUBAH! teriak Raka dalam hati.
"Sebenarnya, kamu punya berapa kepribadian?"
tanya Raka ketika dia dan Nathan sudah duduk
di teras. "Menurutmu?" Nathan balik bertanya.
Raka menghela napas dan menyandarkan
tubuhnya ke kursi. "Maaf..." "Hah?" kata Raka langsung menegakkan
punggungnya. "Gara-gara aku, kamu jadi nggak ikut latihan
sama yang lain," kata Nathan. "Dan, kita juga
nggak jadi bikin tugas fisika."
"Nggak usah dipikirkan," desah Raka sambil
menyandarkan tubuhnya lagi. "Besok, aku akan
jelasin sama mereka, paling-paling juga aku
disate atau dipaketin ke Timbuktu. Lagian,
mendengar kamu yang sombong minta maaf,
semuanya jadi terasa worth it."
Nathan tidak mengatakan apa-apa.
"Kapan lagi kita bisa ngerjain tugas fisika?"
tanya Raka kemudian. "Dua hari lagi," jawab Nathan.
"Emangnya, kenapa kalau besok?"
"Aku harus ke rumah sakit."
Keduanya terdiam sesaat. "Tentang penyakitmu itu..."
"Aku nggak perlu belas kasihanmu," sahut
Nathan. "Aku udah terbiasa sama keadaan yang
sekarang. Jadi, jangan mengubahnya. Kamu juga
udah kuberi tahu sejak awal, kuharap kamu
menepati janjimu." Raka terdiam. "Percayalah, ini lebih baik buat kita berdua,"
tambah Nathan tepat saat sebuah mobil mewah
buatan Jerman tiba-tiba berhenti di depan
pagar. Nathan bangkit. "Itu jemputanku."
Dia menatap Raka beberapa saat sebelum
membuka pintu. "Kamu ingin jadi sutradara,
kan?" tanyanya setelah meminta sopirnya
menyalakan mesin. Raka mengangguk. "Itu mimpiku."
"Kamu yakin kamu bisa mewujudkannya?"
"Aku nggak tahu."
"Kamu yakin dengan kemampuanmu sekarang
kamu bisa jadi sutradara?"
"Aku nggak tahu."
"Apa kamu sadar kalau mimpimu ini terlalu
tinggi" Kamu nggak takut nggak bisa
mencapainya dan bakal menyesalinya nanti?"
"Aku nggak tahu."
Nathan menggeleng. "Kamu sedang berjudi
dengan hidupmu." "Mungkin," jawab Raka mantap. "Aku nggak
tahu apa-apa. Aku nggak tahu apa yang aku
lakukan ini benar atau salah. Bahkan, aku nggak
tahu bakal jadi apa aku nanti." Dia menatap
cowok berkacamata itu. "Tapi... karena nggak
tahu apa-apa itulah, esok hari jadi sesuatu yang
layak ditunggu-tunggu, kan?" katanya kemudian
sambil nyengir. "Lalu, tinggal kita lihat apa yang
bakal terjadi." Nathan tampak tertegun. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Raka khawatir.
Dia menggeleng sambil membetulkan letak
kacamatanya. "Kamu ini emang orang bodoh
yang menyebalkan," kata Nathan sebelum
menutup pintu mobilnya. "Tapi, wajar kamu
bisa bilang begitu, kamu nggak punya kelebihan
yang kumiliki." "Kelebihan?" tanya Raka bingung.
"Semua orang bisa aja bersikap seolah-olah
mereka berumur panjang kayak kamu ini," kata
Nathan sambil tersenyum sinis. "Tapi aku..." Dia
berhenti sejenak. "Aku bisa memperkirakan sisa waktuku. Jadi,
aku nggak mau buang-buang dengan percuma."
Mobil pun melaju. *** - 11 - "Ke mana aja kemarin?" tanya Dhihan dan yang
lain hampir berbarengan begitu Raka datang.
"First of all," kata Raka setelah berdehem
beberapa kali. "Bisa nggak kalian semua
membiarkan aku duduk dulu?"
"Boleh aja," kata Alfi ketus. "Tapi, apa
alasanmu?" Raka menggelengkan kepala. "Ayolah... kalian
kan, bisa latihan tanpa vokalis."
"Tapi, di panggung nanti, kita pake vokalis,
dodol!" sembur Virgo. "Apa jadinya kalau musik
sama penyanyinya nggak kompak."
"Oke, sori," kata Raka dengan nada menyesal.
"Aku yang salah. Kemarin, aku nggak bisa
datang gara-gara ada hal yang nggak terduga.
Tapi, latihan berikutnya, aku pasti datang, I
promise! I"ll be there!"
"Yeah, you better should!" kata Alfi tajam
sambil menunjuk dada Raka keras-keras.
Setelah yang lain kembali ke tempat duduknya
masing-masing, Dhihan memberinya selembar
kertas. "Apa ini?" tanya Raka.
"Daftar lagu yang bakal kita nyanyiin."
Ada sekitar delapan lagu di daftar itu.
"Emangnya, kita mau bikin konser tunggal?"
dengus Raka. "Nama band udah dibikin juga?"
"Tentu aja!" seru Dhihan sambil meringis. "La
Kepri." Raka mengernyit. "La Kepri" Apa artinya"
Bahasa Italia?" "Coba tambahin kata "band" di belakangnya."
"La Kepri Band?" Raka masih tak habis pikir
apanya yang aneh. "Ulangi," perintah Dhihan.
"La Kepri Band... Lakepri Band..." Tiba-tiba,
tersadar akan maksud kata-kata itu, Raka
tertawa keras-keras. "LHA KEPRIBEN?"
Semuanya tertawa berbarengan.
"Raka." Sarah berjalan dengan canggung ke arah
mereka. "Ya?" "Hari ini," kata Sarah tanpa berani menatap
mata Raka, "ada rapat Veritas sepulang
sekolah." "Bukannya Nathan ada urusan?"
"Dia bilang bakal datang setelah urusannya
selesai." Raka mengangkat alis. "Oke, kalo gitu."
Sarah mengangguk, lalu cepat-cepat pergi
sepertinya menyembunyikan sesuatu.
"Believe me," kata Dhihan setengah berbisik
setelah Sarah pergi, "she has a crush on you,
man!" Hari itu, Sarah bersikap sangat aneh, seolaholah menghindari Raka. Namun, kadang-kadang
Raka memergokinya mencuri pandang ke
arahnya dengan tampang bersalah. Entah apa
yang terjadi dengan cewek itu.
Sepulang sekolah, setelah menyelesaikan
ulangan kimia dadakan yang membuatnya jadi
orang terakhir berada di kelas, Raka buru-buru
menuju Veritas. "Hei," sambut Nadya.
DEG! Jantung Raka serasa berhenti beberapa
saat. Ada apa denganku" Raka memegangi
dadanya dengan heran. "Mana yang lain?"
tanyanya setelah berhasil menguasai diri.
"Sarah ada perlu sebentar sama Bu Ratna.
Nathan datang satu jam lagi," jawab Nadya
sambil asyik mengetik di keyboard komputer.
Raka menjatuhkan diri di karpet dan menghela
napas. "Lagi bikin apa?" tanyanya melihat
Nadya sibuk mengetik sesuatu.
"Laporan pertanggungjawaban dana klub judo
dan klub basket," jawab Nadya.
"Bukannya kamu ketuanya" Kenapa mesti kamu
yang susah-susah bikin" Nggak ada
bendaharanya?" "Ada," jawab Nadya. "Tapi, aku nggak mau
merepotkan mereka, lagian aku mau
melakukannya sendiri. Jadi, aku tahu dananya
buat apa dan bisa jawab kalau ditanya pas rapat
OSIS." "Masih berusaha melakukan semuanya
sendiri?" Nadya menoleh. "Sesekali, minta tolong nggak ada salahnya,
kan?" kata Raka. "Kamu, toh, udah memulainya
waktu minta tolong Dhihan ngurus acara kelas."
Raka terdiam sejenak. "Lagian," lanjutnya, "itu
bikin kamu kelihatan lebih manusiawi."
Nadya terdiam selama beberapa lama.
"A-akan kupikirkan," katanya kemudian sambil
cepat-cepat mengalihkan tatapannya lagi ke
layar komputer. Wajahnya memerah.
Raka memasang iPod-nya dan mulai
mendengarkan "Can"t Take My Eyes of You"-nya
Muse. Beberapa saat kemudian, Sarah muncul
tergopoh-gopoh. "Maaf, lama nunggu, ya."
"Ada tugas dari Bu Ratna lagi?" tanya Raka
sambil melepas iPod-nya. "Ng-nggak," jawab Sarah dan lagi-lagi dia
menghindari kontak mata dengan cowok itu.
Nadya turun dari kursinya dan duduk di dekat
Sarah. "Kali ini, apa temanya?"
"Olahraga." "Semua jenis olahraga?" tanya Raka.
"Seharusnya semua, tapi mungkin lebih baik-"
Kalimat Sarah terpotong oleh kedatangan
Nathan yang entah kenapa memasang muka
lebih dingin daripada biasanya.
"Sori telat," katanya sambil menjatuhkan diri di
sebelah Raka. "Gimana?" tanya Raka teringat Nathan baru saja
dari rumah sakit. Nathan melirik Raka, lalu tersenyum sinis.
"Kamu peduli?" Raka memutar bola mata dan mendesah. "Sorry
for caring." "Eh... aku lanjutkan," ujar Sarah. "Gini, Than, Bu
Ratna minta kita bikin Veritas dengan tema
Olahraga. Seharusnya, sih, semua cabang
olahraga ditampilkan, tapi buat liputan
khususnya, cukup olahraga yang di sekolah kita
ada klubnya kayak sepak bola, basket, vo-"
"Kata Bu Ratna, kamu batal ikut lomba esai itu,
ya?" potong Nathan. Mereka semua langsung terdiam.
"Lomba" Lomba apa?" tanya Nadya bingung.
Raka melongo sejenak, kemudian menatap
Sarah. "Kamu membatalkannya" Kenapa?"
Sarah tampak panik dan menolak membalas
tatapan mata Raka. "Kalau emang kamu nggak mau ikut, kenapa
nggak sejak awal aja kamu batalkan," kata
Nathan tajam. "Jadi, aku nggak perlu susahsusah bantu kamu. Dan, kamu juga nggak perlu
susah-susah bikin." Wajah Sarah memucat, mulutnya bergetar. Dia
memandang Raka seakan-akan memohon
bantuan supaya cowok itu membelanya.
Namun, kali ini, Raka hanya diam dan membalas
pandangan cewek itu dengan tatapan menuntut
penjelasan. "Aku nggak peduli kalau kamu emang tipe orang
yang mau susah-susah melakukan sesuatu,
terus membuangnya seakan-akan itu nggak
guna. Itu bukan urusanku," lanjut Nathan
dengan tatapan sinis. "Tapi, aku bukan kayak
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gitu. Waktu, tenaga dan pikiranku sangat
berharga. Karena itu, apa yang kamu lakukan ini
bikin aku kesal. Aku udah menyediakan semua
itu buat bantu kamu, tapi kamu malah buang
begitu saja ke tempat sampah. Apa
maksudmu?" "A-aku..." Sarah tergagap, lalu karena nggak bisa
menjawabnya, dia buru-buru bangkit sambil
mengambil tasnya. "Kalau kamu emang orang yang selalu ingin
menyenangkan hati orang lain, kenapa kamu
nggak coba menyenangkan hati orang yang
udah bantu kamu," desis Nathan tepat sebelum
Sarah keluar. Sarah terpaku selama beberapa saat, lalu berlari
keluar ruangan. Suasana hening. Nadya tampak bingung, hanya
dia yang tidak mengerti apa yang terjadi. Raka
mencoba menjelaskan sesingkat dan sejelas
mungkin. Nadya mengangguk-angguk. "Oh, begitu, lalu
kenapa dia tiba-tiba membatalkannya?"
Raka menatap Nathan. Mengerti maksud tatapan itu, Nathan langsung
menjawab. "Jangan tanyakan padaku, aku cuma
diberi tahu Bu Ratna kalau dia nggak jadi ikut
lomba." "Lalu, apa maksud kata-kata terakhirmu taditentang coba menyenangkan hati orang?" tanya
Raka. Nathan tersenyum sinis, lalu sambil berdiri dan
mencangklong ranselnya, dia berkata, "Karena,
meski aku nggak diberi tahu, aku udah bisa
nebak alasannya dan kurasa kamu pun pasti
juga tahu." Lalu, dia pergi meninggalkan ruang
Veritas. Nadya mendesah. "Kurasa, rapat akan
dibatalkan hingga batas waktu yang nggak bisa
ditentukan." Dia kembali duduk ke meja
komputer dan mulai mengetik lagi. Nathan
telah meninggalkan ruangan itu.
"Mau aku bantu?" Raka menawarkan diri.
"Nggak, terima kasih," jawabnya. "Aku aja nggak
memercayai anggota klubku sendiri buat
mengerjakannya, apalagi kamu."
"Hahaha, lucu sekali," dengus Raka. Dia sudah
hendak memasang iPod-nya lagi ketika Nadya
kemudian bertanya dengan heran.
"Kamu masih mau nunggu di sini?"
"Aku nggak ada rencana ke mana-mana, lagian
di rumah sepi. Nyokap baru pulang entar
malam." "Oh, iya, kamu cuma tinggal sama mamamu,
ya?" Raka mengangguk. "Apa nggak apa-apa?" tanya Nadya.
"Apanya?" "Kalau nanti kamu kuliah, kamu nggak mungkin
masih tinggal di situ, kan?" jelas Nadya. "Jarak
IKJ sama rumahmu kan, lumayan jauh.
Mamamu pasti kesepian."
"IKJ" Kenapa IKJ?" Raka mengernyit.
Nadya memutar bola matanya. "Karena cuma
IKJ yang punya jurusan film. Jangan bilang kamu
udah nggak tertarik lagi buat kerja di dunia
film." "Oh... aku lupa." Raka manggut-manggut
merasa tolol. "Soalnya, aku niat ambil jurusan
filmnya di luar negeri."
"Hah?" Nadya membelalakkan mata. "Serius"
Nggak apa-apa tuh?" Raka menyipitkan mata. "Bahasa Inggris-ku
lumayan bagus kali!"
"Bukan itu maksudku," sergah Nadya.
"Mamamu nggak apa-apa kamu tinggal ke luar
negeri" Kamu ke IKJ aja kayaknya bakal bikin
mamamu kesepian, apalagi ke luar negeri."
"Iya, juga, ya..." kata Raka pelan lebih kepada
dirinya sendiri. "Tapi, justru Nyokap yang
nyuruh aku kuliah di luar negeri, bahkan
kayaknya dana pun udah disiapkan. Berarti, it"s
okay with her, kan?"
"Oh, begitu..." sahut Nadya. Setelah terdiam
selama beberapa saat, dia menatap Raka, lalu
tersenyum. "Tentu aja, itu kan, mimpimu." Raka
balas tersenyum. "Impian itu seperti sayap,"
lanjut Nadya. "Dia membawamu ke berbagai
tempat. Kurasa, mamamu sadar akan hal itu.
Dia tahu, kalau dia mencegah mimpimu, itu
sama aja dengan memotong sayap burung.
Burung tersebut memang nggak akan lari, tapi
burung tanpa sayap sudah bukan burung lagi.
Dan, manusia tanpa mimpi, sudah bukan
manusia lagi." Mendengar kata-kata Nadya, Raka terpana.
"Hebaaat..." pujinya. "Dari mana kamu dapat
kata-kata itu?" Nadya mengangkat bahu, tersenyum. "Yah...
aku kan, nggak jadi juara lomba pidato garagara cuma keberuntungan."
"Kamu, apa mimpimu" Atau, apa cita-citamu"
Kamu ingin jadi apa?" tanya Raka.
Nadya mengalihkan tatapannya lagi ke
komputer. "Aku nggak tahu."
"Hah?" Raka mengerutkan kening. "Tapi, kamu
kan, bisa segala hal, bukannya tinggal nyebut
aja?" "Sungguh, aku nggak tahu," desahnya. "Kedua
ortuku dokter, jadi kemungkinan besar, aku
mengikuti jejak mereka. Aku tahu sekali bahwa
inilah yang mereka inginkan, tapi aku nggak
tahu apakah ini juga yang kuinginkan. Karena
merasa bisa melakukan semuanya, aku jadi
nggak tahu apa yang sebenarnya paling ingin
kulakukan." "Tapi, aku aja yang cuma bisa sejarah udah tahu
aku mau jadi apa nanti," kata Raka masih tak
percaya. Nadya menatap cowok itu. "Bersyukurlah buat
itu. Percaya, deh, buat hal yang satu itu, aku
sangat iri sama kamu."
"Kadang-kadang, aku sampai frustasi mikir
tentang ini," lanjutnya. "Tinggal dua tahun lagi
buat menentukan aku mau jadi apa. Tapi, aku
masih belum menemukan jawabannya."
"Masih dua tahun," ralat Raka. "Santai aja, nanti
pasti ketemu, kok. Aku aja yang mikirnya udah
kejauhan, hehehe." Nadya mengangguk pada cowok itu.
"Tapi, aku baru sadar, ternyata setiap orang
emang punya masalahnya masing-masing," kata
Raka sambil bersiul. "C"est La Vie," sahut Nadya sambil mulai
mengetik lagi. "Begitulah hidup."
*** Waktu menunjukkan pukul sembilan malam
ketika Nadya menyelesaikan kedua laporannya.
Raka sudah menawarkan diri untuk
mengantarnya pulang, tapi cewek itu
menolaknya dengan tegas. Keluar dari gerbang sekolah, beberapa meter di
depannya, Raka melihat Nadya sedang diganggu
oleh dua orang laki-laki. Dia langsung memacu
motornya dan berhenti di dekat cewek itu.
"CEPAT NAIK!" perintah Raka.
"Tapi..." "NAIK!!!!" Nadya tampak terkejut, tapi kemudian dia
menurut. Selagi Nadya naik ke motor, Raka
melotot ke arah kedua orang yang tadi
mengganggu Nadya. Walaupun dari balik helm
hanya matanya yang terlihat, orang-orang yang
tadi mengganggu Nadya tampak ketakutan dan
langsung cepat-cepat pergi.
"Sebenarnya, kamu nggak perlu repot-repot
menolongku," kata Nadya dalam perjalanan.
"Kalau mereka macam-macam, aku bisa
menjatuhkan keduanya sekali serang."
Raka tidak mengatakan apa-apa.
"Ka?" "Aku lupa," jawabnya kemudian. "Aku lupa
kamu juara judo. Yang ada di pikiranku, cuma
kamu itu cewek, sisanya badanku bergerak
sendiri. Sori kalau kamu tersinggung."
Nadya terdiam, tetapi kemudian Raka
merasakan samar-samar tangan Nadya
menyentuh punggungnya. Dadanya tiba-tiba
serasa bergemuruh, sebuah perasaan yang tidak
dapat dijelaskan perlahan-lahan
menyelimutinya malam itu.
*** "Ma, aku ingin tanya sesuatu." Raka membuka
pembicaraan ketika dia dan mamanya
menonton film Apocalypto-nya Mel Gibson.
"Uhm?" sahut Mama yang sedang asyik
memakan keripik kentang. "Kalau aku jadi kuliah ke luar negeri buat belajar
tentang film, apa Mama nggak kesepian?"
Mama tampak terkejut. Dia menoleh dan
memandang Raka dengan heran.
"Kamu baru mikir itu sekarang?" tanya Mama
tak habis pikir. "Padahal, hal itu udah kita
omongin setahun lalu. Jadi, kamu baru peduli
pada Mama akhir-akhir ini, ya?"
Raka menghela napas. "Bukan itu intinya, Ma."
"Hohoho, terus kenapa kamu tiba-tiba nanya
itu" Siapa yang memengaruhimu" Cewek, ya?"
tanya Mama penuh selidik sambil meringis.
"Ma!!!" Mama tersenyum. "Kesepian... itu pasti," kata
Mama dengan pandangan menerawang ke
depan. "Sekarang, cuma kamu satu-satunya
yang Mama punya. Tapi, kalau Mama
melarangmu pergi, itu sama aja Mama
membunuhmu pelan-pelan. Mama mau
melihatmu berkembang," lanjutnya. "Dan,
alasan paling utama Mama mendukungmu
kuliah di luar negeri adalah..." Mama menoleh
ke Raka, lalu memandang kedua mata anaknya
itu dalam-dalam, "itu mimpimu."
Raka menelan ludah. Saat itu, semua perasaan
bercampur aduk di dadanya. Tubuhnya mulai
bergetar. Dia cepat-cepat memalingkan wajah
dari sang Mama. "Selain itu," lanjut Mama, "karena, kurasa
papamu juga punya pikiran yang sama."
Raka langsung membatu dan tanpa berkata apaapa, bangkit pergi meninggalkan ruangan itu.
"Kapan kamu akan memaafkan papamu, Ka?"
tanya Mama dengan nada yang terdengar pahit.
Langkah Raka terhenti, tapi tak ada jawaban
yang keluar. Setelah termenung beberapa saat,
Raka meneruskan langkahnya menaiki tangga.
*** 12 - Hari ini, akan menjadi hari yang benar-benar
sibuk bagi Raka. Sepulang sekolah, dia ada
"kencan" dengan Nathan untuk menyelesaikan
tugas fisika dan malamnya-tepat pukul tujuhAlfi dkk. sudah menunggunya untuk latihan. Dia
harus datang untuk menebus latihan pertama
yang dilewatkannya. Setelah memarkir motor, Raka bergegas menuju
kelas karena jam pelajaran pertama akan
dimulai lima belas menit lagi. Di depan ruang
fisika di koridor yang tak jauh dari kelas, dia
melihat Sarah tampak kikuk diajak bicara oleh
tiga orang senior kelas XII. Semakin Raka
mendekat, percakapan mereka pun mulai
terdengar samar-samar. "Aku sudah mendengarnya," kata salah satu
senior itu. "Kamu udah membatalkan
keikutsertaanmu di lomba itu. Thanks, ya!"
"Kamu harus ngerti peluang kami cuma saat
ini," tambah yang lain. "Kamu kan, masih ada
waktu dua tahun lagi buat ikut lagi. Kalau kamu
ikut, sudah pasti kami nggak punya harapan
menang." "Tulisanmu emang bagus, Sar," tambah mereka.
"Aku yakin kamu pasti menang tahun depan.
Tahun ini nggak ikut, kan, bukan masalah."
Sarah mengangguk dan berusaha untuk
tersenyum. Namun, matanya tidak bisa
berbohong, dia tampak tertekan. Ketika melihat
Raka, cewek itu langsung mengirimkan sinyal
SOS. Raka menghela napas, lalu berjalan ke arah
cewek-cewek itu. "Sar! Lagi ngapain" Pelajaran pertama udah
mau mulai!" katanya sambil menarik tangan
Sarah. "Eh... oh... iya..." kata Sarah tergagap. "Mamaaf, Kak, aku harus cepat-cepat ke kelas."
*** Setelah agak jauh, barulah Raka melepaskan
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan Sarah. "Ini yang terakhir," katanya. "Lain kali, tolong
diri kamu sendiri." Sarah terdiam. "Ternyata, itu alasan kamu nggak jadi ikut
lomba?" tanya Raka. "Gara-gara kamu nggak
bisa nolak permintaan mereka?"
Sarah masih tidak mengatakan apa-apa dan itu
membuat Raka jengkel. Dia menghentikan
langkahnya, lalu mendorong cewek itu ke
dinding. Sarah terpekik kecil. Anak-anak yang
ada di sekitar tempat itu langsung
memperhatikan kedua orang itu dan mulai
berbisik-bisik. "Kamu mau ngapain?" tanya Sarah ketakutan.
Raka tidak mengatakan apa-apa, tetapi mulai
mencondongkan tubuhnya. Ketika wajahnya
dan wajah Sarah hanya tinggal beberapa senti,
Sarah menjerit dan mendorong Raka kuat-kuat.
"NGGAK!" Raka hampir terjatuh, tetapi cowok ini puas.
"Begitu," katanya sambil tersenyum, "begitu
seharusnya kamu menolak mereka."
Sarah tampak terkejut dan tak menyangka tadi
Raka hanya pura-pura. "Kamu nggak akan bisa menyenangkan hati
semua orang, Sar," lanjut Raka. "Itu sebabnya
kamu harus belajar bilang "NGGAK"." Lalu,
cowok ini berjalan meninggalkan Sarah,
melewati kerumunan orang yang menonton
kejadian tadi. *** "Aku dengar, tadi pagi, kamu mencoba
memerkosa Sarah," kata Nathan tiba-tiba ketika
ia dan Raka mengerjakan tugas fisika di rumah
cowok itu. "Hah?" Raka langsung melongo.
"Tapi, aku nggak percaya," lanjut Nathan.
"Kamu itu walaupun punya tampang penyerang,
kayaknya lebih cenderung jadi yang diserang."
Raka menyipitkan mata. "Pujian?"
Nathan mengangkat bahu. "Untukmu" Iya."
"Dari mana kamu dengar gosip itu?" Raka
penasaran juga. "Meski aku berusaha nggak dengar, seluruh
kelas membicarakannya hingga masuk juga ke
telingaku," jawab Nathan.
"Seluruh kelas?" ulang Raka. "Berarti Nadya
juga tahu?" "Mungkin," kata Nathan. "Tapi, apa pedulimu?"
"Eh?" Raka langsung tertegun. Setelah berpikir
sebentar, dia menggeleng. "Nggak... nggak ada,
cuma tiba-tiba aja pertanyaan itu muncul di
otakku." Nathan menatap Raka dengan pandangan yang
tidak dapat ditebak. "Apa lihat-lihat?"
"Nggak apa-apa," kata Nathan sambil
tersenyum. "Kayaknya, sebentar lagi, apa yang
dulu pernah kubilang bakal jadi kenyataan."
"Kata-katamu dulu" Yang mana?"
"Kalau waktunya tepat, akan kuingatkan," kata
Nathan sok misterius. Raka hanya mengangkat alis.
Tugas fisika kali ini benar-benar membuat Raka
ingin bunuh diri atau setidaknya membunuh
orang yang telah memberikan tugas ini atau
orang yang menciptakan soal ini atau orang
yang menemukan cabang ilmu FISIKA.
Kepalanya sampai berkunang-kunang dan
perutnya seperti dipukul-pukul.
Nathan sudah selesai mengerjakan bagiannya
sejak satu setengah jam yang lalu dan dia
melakukannya hanya dalam waktu lima belas
menit! Benar-benar bukan manusia, sakit saja begini,
apalagi kalau sehat, batin Raka. Dia melirik ke
arah jam dinding. Sekarang, sudah hampir pukul
tujuh dan bagiannya masih belum selesai juga.
"Kenapa kamu nggak pulang saja, sih?"
tanyanya pada Nathan. "Aku khawatir sama tugas yang harus
dikumpulkan besok pagi ini," jawabnya tegas.
"Kalau aku pulang, aku yakin kamu nggak bakal
menyelesaikannya." "Jangan khawatir, aku bukan orang seperti itu,"
kata Raka agak menggerutu.
Nathan menghela napas. "Sudahlah, biar aku aja
yang menyelesaikannya. Kamu ada latihan
band, kan?" "Nggak!" tegas Raka. "Tanggung jawabmu, kan,
udah selesai. Sekarang, aku akan selesaikan
bagianku." "Kalau kamu ngotot mau menyelesaikannya,"
kata Nathan, "aku yakin akan butuh waktu
sekitar dua jam lagi."
Raka bergeming dan mulai meneruskan
perjuangannya. "Benar-benar..." desah Nathan, "batas antara
keras kepala dan bodoh itu sangat tipis."
Selagi Raka "berjuang", Nathan melihat-lihat
koleksi VCD dan mengambil salah satu yang
terletak paling atas. "Casablanca..." gumam Nathan. "Ini film
favoritmu?" Raka mengangkat bahu. "Salah satunya."
"Iya, bagus." "Kamu nonton juga?"
"Dialognya cerdas dan lucu," Nathan tak
menggubris pertanyaan Raka.
"Nggak sembarang film hitam putih menarik
buat ditonton sampai saat ini," tambahnya.
Raka tersenyum, tidak menyangka ternyata
Nathan juga menggemari film. Dia
membayangkan dia, Nathan, dan Nadya ngobrol
bertiga tentang film. "I think this is the beginning of a beautiful
friendship." Raka menjatuhkan pensilnya dan memandang
Nathan tak percaya. "Kamu pikir begitu?" tanyanya setengah
terkejut-dan anehnya setengah senang.
"Aku cuma mengutip line terakhir di film itu,
bodoh!" ujar Nathan.
"Oh," sahut Raka mulai meneruskan
menyelesaikan tugasnya. Entah mengapa
merasa agak kecewa. "Sudah mau jam sembilan, dodol!" Nathan
mengingatkan. "Berisik!" "Mereka bakal membunuhmu besok."
"Udah, kamu pulang saja!"
Namun, Nathan tidak mau pulang, bahkan
sampai mama Raka pulang. Dia memastikan
Raka menyelesaikan tugas itu.
"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Raka saat
mobil yang menjemput Nathan datang.
"Karena aku khawatir," jawab Nathan.
"Khawatir aku mangkir atau karena benar-benar
mengkhawatirkanku?" "Sudah agak lama mengenalku, kamu masih
belum paham?" "Yang pertama?" jawab Raka asal. Nathan nggak
menjawab. *** Esoknya, Dhihan dan yang lain sudah menunggu
Raka di lapangan parkir dengan pandangan
membunuh. Mereka langsung menghampiri
Raka begitu dia turun dari motor.
"Sor-" Belum sempat Raka meneruskan kata-kata, Alfi
sudah melayangkan pukulan ke wajah cowok
itu. "APA-APAAN KAU!" protes Raka marah sambil
mengusap darah yang keluar dari sudut
bibirnya. "KAMU SUDAH JANJI, NYET!" balas Alfi emosi.
Raka berusaha meredam amarah karena dia
tahu dia memang salah. "Aku ngerjain tugas fisika bareng Nathan dan
belum selesai sampe pukul sembilan." Dia
memberi alasan. Alfi mendorong dada Raka keras-keras.
"KAMI NGGAK BUTUH ALASAN, KA!" nada
bicara Alfi semakin meninggi. "AKU NGGAK
PEDULI KAMU NGGAK NGANGGAP PENTING
LATIHAN BAND KITA INI! AKU NGGAK PEDULI
SEKARANG KAMU LEBIH SUKA TEMENAN SAMA
NATHAN KARENA DIA PINTAR, KAYA, ATAU
APALAH ITU! TAPI, KAMU UDAH MENGIYAKAN
BUAT JADI VOKALIS KITA, PEGANG KATAKATAMU!"
Virgo dan Doni menepuk-nepuk pundak Alfi,
mencoba menenangkannya. Raka menelan ludah, merasa sangat bersalah.
"Aku..." Alfi mengibaskan tangannya, lalu pergi
meninggalkan Raka diikuti yang lain, kecuali
Dhihan. "Pertunjukan band ini penting banget buat dia,"
kata Dhihan sambil merangkul bahu Raka.
"Katanya, adik Alfi mau datang nonton. Kamu
tahu sendiri, kan, sejak ortunya cerai, dia udah
lama nggak ngelihat adiknya" Nah Alfi pengin
bikin adiknya bangga ngeliat dia."
Raka termenung sejenak. "Aku..." katanya kemudian. "Apa kamu juga
berpikir, aku berteman sama Nathan gara-gara
dia kaya, populer, dan pintar?"
"Kalau orang lain, mungkin aku percaya," jawab
Dhihan. "Tapi, kalau kamu..." Dia menggeleng.
Raka menatap teman sebangkunya itu.
"Waktu SMP dulu," lanjut Dhihan, "waktu
ayahku dituduh korupsi dan teman-teman
menjauhiku, kamu satu-satunya orang yang
masih mau temanan sama aku. Dan, aku ingat
banget kata-katamu waktu itu: "Orang nggak
bisa milih siapa bapaknya, ibunya, sukunya,
warna kulitnya, jenis kelaminnya, bahkan
kadang-kadang agamanya. Jadi, konyol kalau
aku ngejauhi orang gara-gara hal yang nggak
bisa mereka pilih sendiri. Kayak orang bego
aja"." Raka mengangkat alis. "Aku pernah ngomong
gitu, ya?" Dhihan mengangguk mantap. "Lagian, kalau
kamu bisa dekat sama Nathan, dia pasti anak
baik." Raka mengernyit. "Gimana kamu bisa tahu?"
"Soalnya, aku juga dekat sama kamu,"
jawabnya. Kalau aku bilang, yang dekat sama kamu anak
nggak bener, berarti aku juga, dong."
Raka mendengus, Dhihan tertawa.
"Terus apa yang harus aku lakukan buat minta
maaf?" Raka menghela napas, bingung.
"Aku bakal minta temen-temen ngasih kamu
satu kesempatan lagi," ujar Dhihan. "Dan, kali
ini, kamu harus datang."
"Oke," sahut Raka lega.
Pulang dari sekolah, Raka membelokkan
motornya ke Music Store tak jauh dari kompleks
rumahnya. Matchbox 20... Garbage... The Used... Sugar
Doni... dia membaca daftar penyanyi di bagian
new release. Terlalu banyak CD yang ingin dibeli
membuat Raka bingung. Sambil menentukan
pilihan, dia menelusuri bagian lain dari toko
tanpa arah pasti. Raka membaca nama-nama yang tercantum di
CD-CD yang terpampang di area itu. Mozart...
Beethoven... Wagner... Chopin... Dahi Raka
berkernyit. Saat dia mendongak untuk melihat
papan yang terpampang di rak terbaca tulisan:
MUSIK KLASIK. "Ini boleh dicoba?" tanyanya pada penjaga toko
sambil mengacungkan CD Mozart.
"Silakan," jawab penjaga itu.
Musik mulai mengalun melalui headphone di
telinga Raka. Piano "Sonata in C Major", dia membaca daftar
di sampulnya. Lagu berikutnya "Symphony No.
40 in G Minor". Setelah seluruh lagu dalam satu album itu
selesai dimainkan, Raka memutar ulang lagi dan
lagi hingga dia hafal lagu mana dengan judul
apa. Saat akhirnya berhasil mengingat lagu-lagu
itu, Raka tak habis pikir kenapa dia melakukan
semua itu. "Hei!" Tiba-tiba, seseorang menepuk
pundaknya.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka menoleh dan langsung terpekik kecil.
"Nad!" "Ya," Nadya menyipitkan mata.
"Ngapain di sini?"
"Cari pertanyaan yang lebih cerdas, dong,"
jawab Nadya enteng sambil memilih-milih CD.
"Sial... nggak ada..." keluhnya beberapa saat
kemudian. "Apa yang nggak ada?" tanya Raka.
Nadya menoleh. "Hoh, kamu masih ada di sini?"
"Your wish is my command," ucap Raka sambil
membalikkan badan. "Duluan, ya."
Belum sempat Raka melangkah, Nadya menarik
ransel cowok itu. "Tunggu! Tunggu!"
"Aku nggak maksud ngusir kamu," katanya."
"Yeah... right."
"Itu cuma pertanyaan spontan," tambah Nadya.
"Oke, terima kasih penjelasannya," kata Raka.
"Sekarang, bisa nggak kamu lepasin ransel aku"
Aku mau pulang, nih."
"Oops!" Nadya melepaskan tangannya.
"Thanks!" "Tunggu!" sergahnya lagi.
"Apa lagi"!!" tanya Raka agak jengkel.
Nadya tampak sedang menimbang-nimbang
sesuatu sebelum akhirnya berkata, "Ngg... mau
nemanin minum?" Toko musik ini juga punya kafe di lantai bawah.
Walaupun rasa makanannya tidak sesuai
dengan harga yang harus dibayar, tetapi
minumannya patut diacungi lima jempol.
Bahkan, di tempat lain, belum ada cappucino
seenak yang disediakan kafe di tempat ini.
Raka berpikir sebentar. "Boleh," jawabnya.
Nadya tersenyum. "Tapi, bayar sendiri-sendiri,
ya," ujarnya setelah mereka menuruni tangga
menuju kafe. "HEIIII!!!!!!" protes Raka.
*** Lagu "Do You Realize"-nya Flaming Lips
mengalun ketika mereka memilih tempat
duduk. Satu kelebihan lagi dari kafe ini adalah
suara musik selalu mengalun.
"Tadi, apanya yang nggak ada?" Raka memulai
obrolan setelah pela yan mengantarkan minuman pesanan mereka. "CD-nya George Gershwin," jawab Nadya sambil
mengaduk-aduk strawberry frappucino-nya.
"Ooh..." Raka memutuskan tidak bertanya lebih
lanjut karena tidak mau terlihat bodoh. Dia
tidak tahu sedikit pun siapa itu George
Gershwin. "Dia itu komposer dari Amerika yang lahir di
akhir abad ke-19," lanjut Nadya.
Raka melongo. Cewek ini benar-benar bisa
membaca pikirannya, ya"
"Aku dengar, katanya kamu mau ngapa-ngapain
Sarah, ya?" "UHUK!!!" Raka hampir mati tersedak
mendengar itu. "Kamu percaya?" tanyanya.
Nadya mengangkat bahu. "Kalau lihat
tampangmu... iya," sahutnya santai. "Tapi... itu
kalau aku belum kenal kamu," tambahnya.
"Jadi, sekarang kamu udah kenal aku?" tanya
Raka seraya mencondongkan tubuhnya ke
depan. Nadya tersenyum. "Pernah di-skors dua kali
gara-gara berantem, nggak peka, bodoh dalam
segala hal yang berhubungan sama sains, selalu
bertindak sebelum berpikir, suka ikut campur
urusan orang lain..."
Nadya menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Jago dalam sejarah, bercita-cita jadi sutradara
film, peduli sama orang lain, baik sama siapa
pun, dan berantem cuma gara-gara dia nggak
tahu cara menyampaikan pikirannya lewat katakata."
Raka mengernyit. "Kamu lagi ngomongin
siapa?" "Aku tahu kamu cuma nyoba menyadarkan
Sarah," ujar Nadya, tak menggubris kata-kata
Raka. "Kamu mau nolong dia, kan?"
"Itu yang harus dilakukan." Raka mengangkat
bahu. "Hah... kamu emang terlalu baik, Ka," desah
Nadya. "Pantas aja hampir semua cewek di
kelas suka kamu." "Hah?" "Kamu nggak tahu, ya?"
"Nggak ada yang pernah ngomong ke aku."
Nadya memutar bola mata. "Tentu aja mereka
malu, tolol. Mereka nunggu kamu ngomong
duluan." "Tapi, aku kan, nggak cakep, nggak pinter, nggak
keren," ujar Raka masih tak percaya dan sedikit
minder. "Apanya yang bisa disukai?"
"Karena kamu nggak sadar kalau kamu keren
itulah kamu jadi sangat keren," jawab Nadya.
"Orang yang menyukai dirinya sendiri apa
adanya dan nggak pernah berusaha jadi orang
lain adalah orang yang sangat keren," jelas
Nadya panjang lebar. "Sama kayak orang yang
nggak malu ngaku bahwa dia suka musik klasik
walaupun dia tahu beberapa orang akan ngejek
dia," tambahnya. "Tunggu, itu..." Raka menyipitkan mata.
"Tentang apa yang bikin aku tampak keren. Itu
pendapat mereka atau cuma pendapatmu
sendiri?" Tiba-tiba wajah Nadya memerah.
"Ka-kayaknya, mereka juga berpendapat gitu,"
katanya tergagap, lalu cepat-cepat meminum
minumannya sampai habis. "Hohoho, jadi kamu pikir aku keren?" tanya
Raka sambil tersenyum jail.
"Yah..." Nadya sudah dapat menguasai diri lagi.
"Standarku tentang itu emang rendah."
Raka menggeleng-geleng, kecewa.
Nadya tertawa. "Tapi kamu emang baik, kok,"
katanya. "Aku lihat waktu kamu sama Nova."
Raka mengangkat alis. "Nova?"
"Anak X-12 yang kamu bantu nyari kunci
motor," jelas Nadya.
"Oh, itu" Lho, kamu lihat?"
"He-eh, aku habis ngumpulin tugas di ruang
guru." "Aku heran," kata Raka. "Dia bilang dia udah
sejam nyari kuncinya di situ, tapi kenapa nggak
ada yang nolongin, sih" Bukannya banyak yang
lewat situ?" "Pernah denger kisah tentang ulat dan kupukupu?" tanya Nadya, alih-alih menjawab
pertanyaan cowok itu. Raka menggeleng. "Kalau ada kupu-kupu yang terperangkap di
sarang laba-laba, orang cenderung akan
menolong kupu-kupu itu walaupun mungkin si
laba-laba belum makan selama berhari-hari,"
jelas Nadya. "Tapi gimana kalau yang
terperangkap adalah ulat yang belum jadi kupukupu" Orang tetap nolong nggak" Padahal,
keduanya sama. Di dunia ini, memang harus
cantik supaya ditolong."
"Jadi, maksudmu, nggak ada yang nolong Nova
gara-gara dia nggak cantik?"
"Kasar, tapi emang begitulah kenyataannya,"
ujar Nadya. "Orang-orang yang lewat berpurapura nggak lihat."
"Ada-ada aja, sih!" gerutu Raka tak habis pikir.
"Emangnya ada yang kayak gitu" Kenapa harus
cantik biar ditolong" Nggak masuk akal! Dangkal
banget!" Nadya tersenyum. "Ini yang kumaksud."
"Hah?" "Itu yang bikin kamu disukai cewek-cewek,"
lanjutnya. "Kamu nggak pernah milih antara ulat
dan kupu-kupu." Keduanya terdiam cukup lama.
*** "Kamu sering ke sini?" tanya Raka, mengalihkan
omongan. "Setiap Rabu," jawab Nadya. "Soalnya, cuma
setiap Rabu, di sini diputar musik klasik."
Musik yang mengalun berganti menjadi musik
klasik dengan dentingan piano yang ringan dan
ceria. "Iya, kan?" Nadya memejamkan mata,
menikmati musik itu sambil tersenyum.
"Mozart..." Raka memandangnya dan tak sengaja
mengucap. "Piano Sonata in A Major."
"Hah?" Nadya membuka mata dengan terpana.
"Kamu tahu?" "He-eh, kalau cuma Mozart, aku cukup tahu."
Raka menyeringai. Nadya menggeleng. "Kamu ini emang selalu
penuh kejutan, ya," katanya riang.
Raka meringis. Musik berganti lagi, kali ini bunyi horn seperti di
perayaan-perayaan kerajaan.
"Horn Concerto No. 4 in E-Flat Major," kata
Raka kemudian. Nadya tampak terkesan dengan tebakan cowok
itu. "Hebaaaaaat!!!!" pujinya. Dia tersenyum
lebar. "Kamu benar-benar penuh kejutan."
Raka ikut tersenyum. Entah mengapa, melihat
Nadya senang seperti itu, dia ikut merasa
senang. Setelah itu, mereka berlomba adu cepat
menebak judul lagu klasik yang dimainkan dan
tentu saja Raka kalah telak. Setelah itu, mereka
ngobrol lagi tentang film. Kali ini, film yang
memainkan musik-musik klasik seperti The
Witchess of Eastwick, Joy Luck Club, Apocalypse
Now, Moonstruck, sampai The Godfather.
Dada Raka bergemuruh. Akhirnya, dia sadar
kenapa tadi mati-matian menghafalkan semua
lagu Mozart. Dia ingin bisa menikmati apa yang
dinikmati Nadya, menyukai apa yang
disukainya, tertawa bersamanya, tersenyum
bersamanya. Dia sadar dia telah jatuh cinta.
"Kali lain, kita ulangi lagi, ya?" kata Nadya.
"Hah?" Raka tergagap.
Nadya menelengkan kepala. "Minum, ngobrol...
Baru kali ini aku merasa nyaman ngobrol sama
seseorang. Dan, aku nggak mau ini jadi yang
terakhir." Jantung Raka terasa sudah hampir terlontar dari
tempatnya. "TENTU AJA!!!" *** - 13 - Pagi itu, Raka bertemu Dhihan di tempat parkir.
"Aku udah ngomong sama anak-anak," kata
Dhihan menghampiri Raka. "Latihan lagi hari ini
sepulang sekolah. Pastikan kali ini kamu
datang!" Raka mengangguk. "Alfi masih marah?"
"Kita lihat waktu kamu datang latihan nanti,"
jawab teman sebangku Raka itu.
"Caraka!" Ketika dia dan Dhihan melewati ruang
guru, tiba-tiba Raka mendengar seseorang
memanggilnya. Cowok itu berhenti dan melongok ke dalam
ruangan. "Raka!" Bu Ratna melambai-lambaikan
tangannya. "Oke, kalo gitu aku duluan," kata Dhihan.
"Sip!" *** "Ada apa, Bu?" tanya Raka sambil duduk di
depan meja Bu Ratna. "Ibu dengar, beberapa waktu lalu, kamu berniat
berbuat jahat pada Sarah, ya?"
Raka hampir jatuh terduduk mendengar hal itu.
"Bu! Saya..." Bu Ratna tertawa. "Ibu tahu, itu cuma salah
paham." Raka menghela napas lega. "Terima kasih, Bu."
"Ibu tahu, walaupun kamu bisa saja merampok,
mencopet, mencuri, dan memeras, tapi kamu
sama sekali bukan orang yang bisa memerkosa,"
tambah Bu Ratna. "Bu Ratna," Raka menyipitkan mata. "Apa Ibu
sadar Ibu sedang mengatakan hal itu pada
MURID Ibu?" "Saya sadar saya mengatakan itu PADAMU,"
kata Bu Ratna diiringi tawa. "Oh, sudahlah,"
katanya kemudian setelah melihat wajah Raka
yang menunjukkan rasa tidak senang. "Yang
pasti, apa pun yang sudah kamu lakukan pada
Sarah waktu itu, kamu membuatnya mengubah
pikirannya lagi untuk ikut dalam perlombaan
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
esai lingkungan hidup."
"Yang benar?" seru Raka tak percaya.
Bu Ratna mengangguk. "Dia menemui saya dua
hari yang lalu, sekaligus menyerahkan tulisan
dan semua persyaratan lombanya."
Raka tersenyum. "Batas lomba tinggal dua hari lagi," lanjut Bu
Ratna. "Lalu, apa hubungannya semua ini dengan saya,
Bu?" Raka mengerutkan dahi.
"Ibu minta tolong padamu untuk memastikan
supaya Sarah tidak mengubah pikirannya lagi
dalam dua hari ini," pinta Bu Ratna.
"Kenapa saya?" "Karena, sepertinya dia hanya mendengar
ucapanmu," jawab Bu Ratna.
Raka terdiam sejenak, lalu menggeleng.
"Saya tidak mau," jawabnya tegas hingga Bu
Ratna tampak terkejut. Sepertinya, guru ini
tidak menyangka permintaannya akan ditolak.
"Saya tidak mau menolongnya, dia yang harus
menolong dirinya sendiri," jelas Raka. "Kalau dia
mau mengubah pendiriannya lagi, itu
urusannya. Dia yang harus membuat keputusan
untuk dirinya, bukan Ibu, apalagi saya. Ini
hidupnya. Jadi, tidak adil rasanya kalau orang
lain yang memutuskan apa yang terbaik
untuknya. Yang bisa dan telah saya lakukan
hanya membantunya menjadi dirinya sendiri."
Bu Ratna menatap Raka tak percaya.
Raka bangkit dari tempat duduknya. "Kalau Ibu
nggak keberatan, saya permisi dulu. Jam
pertama sudah mau dimulai."
"Raka!" sergah Bu Ratna begitu cowok itu
hendak keluar dari ruangan.
Raka menoleh. "Kamu sudah dewasa," katanya sambil
tersenyum. "Belum," Raka menggeleng. "Masih belum.
Masih banyak yang nggak saya tahu dan nggak
saya mengerti." Bu Ratna tersenyum lagi. "Itulah yang
dinamakan dewasa." *** Keluar dari ruang guru, Raka bergegas ke toilet.
Di sana, dia mendengar suara orang muntahmuntah dari dalam kamar mandi.
"Hoi!!" panggilnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Tidak ada jawaban. Tidak lama kemudian, bel
tanda masuk berbunyi. Sial! gerutu Raka, tetapi dia tidak bisa
membiarkan orang yang muntah-muntah itu
begitu saja. "Hoiiiii!!!!" Raka menggedor-gedor pintu. Dia
mencoba memutar pegangan pintu untuk
masuk dan ternyata tidak terkunci. Pintu
terbuka dan dia melihat Nathan sedang berlutut
di depan kloset. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Raka panik.
Wajah Nathan pucat dan dia masih muntahmuntah.
"Kamu kenapa lagi, Than" Obatmu" Kamu udah
minum obatmu?" Raka merogoh sakunya. "Aku
cuma punya Counterpain!"
Raka mulai meracau saking paniknya. Dia
memegangi bahu Nathan dengan kencang,
sedetik kemudian teman sekelasnya itu ambruk.
Sekolah sudah hampir selesai dan Nathan masih
belum sadar juga. Raka menemaninya
sepanjang hari karena dokter yang seharusnya
berjaga di UKS menghilang entah ke mana.
"Kamu menungguiku dari tadi?"
Raka menoleh. "Kamu udah bangun?"
Nathan menatap ke arah jam dinding di ruangan
itu. "Kamu menungguiku dari tadi?" ulangnya.
"Mau gimana lagi?" Raka mengangkat bahu.
"Dokternya nggak tahu ke mana. Aku nggak bisa
membiarkanmu sendirian di sini."
"Kenapa?" "Pertanyaanmu menjengkelkan, tahu nggak?"
ujar Raka. "Emangnya, semua perbuatan baik
harus ada alasannya?"
"Biasanya, sih, begitu," akunya jujur sambil
berusaha untuk duduk. Raka membantunya dan
menyerahkan kacamatanya. "Menyedihkan sekali dunia tempat kamu tinggal
selama ini," kata Raka.
"Untung aja sebentar lagi aku bakal
meninggalkannya," kata Nathan datar.
Raka terdiam. "Kenapa kamu bisa sesantai itu?"
tanyanya. Nathan menatapnya. "Emangnya kamu maunya
aku gimana?" "Nggak tahu." Raka mengangkat bahu.
"Murung, nangis. Mungkin, kamu teriak-teriak
histeris, "Kenapa harus aku" Kenapa harus
aku?". Atau, yang kayak gitu cuma di sinetron
aja?" Nathan tersenyum sinis. "Masa itu udah lewat."
"Kapan kamu tahu tentang ini?"
"SMP kelas IX."
Sejenak, hening di antara mereka.
"Kenapa kamu nggak istirahat di rumah aja?"
tanya Raka, memecah keheningan.
"Emangnya ada bedanya?" Nathan balik
bertanya. "Ini cuma masalah waktu. Aku nggak
mau membuang-buang waktuku sia-sia, kayak
yang pernah aku bilang."
"Kamu ini hebat juga," kata Raka.
Kekagumannya pada Nathan bertambah. Cowok
ini tahu, tidak semua orang bisa menghadapi
penyakit mematikan itu seperti sikap Nathan ini.
"Yah... tapi..." tiba-tiba pandangan mata Nathan
menerawang, "nggak juga..."
"Sudah stadium berapa?" tanya Raka ingin tahu.
"Apa pedulimu?"
Raka hanya mengangkat bahu.
Nathan menghela napas. "Akhir."
Raka tertegun. Mulutnya ternganga.
"Kamu kasihan sama aku?" tanya Nathan sinis.
setelah berhasil menguasai diri, Raka
menggeleng. "Aku kasihan sama orang-orang yang bakal
kamu tinggalkan," katanya, lalu membantu
Nathan berdiri. "Bilang padaku, kamu bersikap
dingin pada orang-orang karena memang itu
sifatmu atau karena kamu ingin mencegah lebih
banyak orang yang bersedih atas kematianmu?"
Nathan tidak berkata apa-apa.
Tiba-tiba, terdengar derap langkah seseorang
berlari mendekat. Dan, tidak lama kemudian,
Nadya muncul di ambang pintu dengan
terengah-engah. "Kalian masih di sini!" kata Nadya setengah
berteriak, lalu menatap Nathan khawatir.
"Kamu udah nggak apa-apa?"
"Ya," sahut Nathan sambil memakai sepatunya.
"Ada apa?" tanya Raka.
"Begini," kata Nadya setelah berhasil mengatur
napas. "Ada PR matematika yang harus
dikumpulkan besok pagi." Dia menyodorkan
soal-soal untuk PR itu kepada Raka.
"Sebanyak ini?" Raka melotot.
"Sebenarnya, itu tugas yang harus diselesaikan
hari ini," jelas Nadya. "Tapi, gara-gara nggak ada
yang selesai, dijadikan PR."
"Jadi, maksudmu, selain kami, semua anak di
kelas udah bikin, seenggaknya, setengah dari
soal-soal ini?" tanya Raka berusaha mencerna
penjelasan Nadya karena perutnya mendadak
merasa mual melihat soal matematika sebanyak
itu. Nadya mengangkat bahu dan memandangnya
iba. "Sayangnya, iya."
Raka langsung terduduk di kursi. "Padahal, hari
ini ada janji latihan sama anak-anak. Why God"
Why?" "Uugh... buat soal matematika sebanyak ini, aku
butuh waktu seharian!" gerutu Raka gusar
sambil mengacak-acak rambut. Lalu, dia
menoleh ke arah Nathan. "Kamu gimana?"
"Lebih baik, kamu khawatirkan dirimu sendiri
dulu sebelum khawatir buat orang lain," jawab
cowok itu. "Aku bisa menyelesaikan semua soal
itu dalam waktu satu jam."
"Di saat seperti inilah, aku merasa hidup itu
nggak adil," komentar Raka menanggapi katakatanya.
"Ah, sudahlah!" Raka bangkit dan mengambil
tasnya. "Que serra serra whatever will be, will
be!" katanya sambil berlalu. Cowok ini
menghentikan langkahnya sejenak ketika akan
melewati Nadya. "Thanks."
Nadya mengangguk. "Kamu mau lihat
jawabanku" Aku udah hampir selesai."
"Makasih, tapi aku benci diremehkan. Aku
kerjakan sendiri dulu," tolak Raka.
Nadya menghela napas. "Batas antara keras
kepala dan bodoh itu emang sangat tipis."
"Busyet!" seru Raka sambil memandangi Nadya
dan Nathan secara bergantian sebelum dia
keluar. "Kalian benar-benar mirip! Kalian sadar
nggak?" *** Di koridor menuju tempat parkir, langkah Raka
terhenti karena tak jauh di depannya, Sarah
tampak dikerubungi para senior. Sepertinya, dia
sedang dimintai pertanggungjawaban atas
keputusannya untuk mengikuti lomba esai lagi.
Sarah melihat Raka dan menatapnya dengan
tatapan yang mengharapkan bantuan. Namun,
kali ini, Raka hanya diam. Bahkan, malah
melipat kedua tangannya dan menyandarkan
diri ke dinding. Hanya memperhatikannya dari
jauh. Walaupun nggak bisa mendengar pembicaraan
mereka, Raka tahu, para senior itu sedang
mendesak Sarah untuk membatalkan
keikutsertaannya lagi. Melihat wajah Sarah,
Raka hampir mengira dia akan menyerah dan
menuruti kemauan senior-seniornya, tetapi
ternyata, yang kemudian terjadi sungguh di luar
dugaan. Sarah memejamkan mata dan menutup
kedua telinganya. "NGGAK!" teriaknya.
Semua orang di sekitarnya tampak terkejut,
bahkan senior-senior itu sampai mundur
beberapa langkah. "Maaf! Aku nggak mau!" katanya masih dengan
nada tinggi, tetapi kali ini dia sudah membuka
mata. "Aku emang bisa ikut lomba ini lagi tahun
depan atau tahun depannya lagi, tapi aku mau
ikut tahun ini. Kalau nggak, semuanya nggak
akan sama lagi! Hari ini nggak akan sama
dengan besok, tahun ini nggak akan sama
dengan tahun depan!"
Dia berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Maaf, mungkin, ini cuma keegoisanku,"
lanjutnya. "Tapi, kalau aku mundur sekarang,
aku merasa, sampai kapan pun aku nggak akan
bisa maju. Aku nggak mau kalah sebelum
bertarung. Sungguh! Aku berharap Kakak-Kakak
memaklumi keegoisanku ini."
Sarah menunduk-nunduk. "Karena kalau menyangkut masalah
mementingkan diri sendiri, kayaknya kalian
lebih tahu daripada aku!" katanya sebelum
kemudian bergegas pergi dan berlari
menghampiri Raka. Senior-senior itu hanya bisa
melongo melihatnya. Raka tersenyum lebar menyambut Sarah.
"Sekarang, kamu mau nggak nolong aku" Ajak
aku pergi secepatnya dari sini?" pinta Sarah
dengan napas terengah-engah dan bibir
gemetar. "Sampai gerbang depan?"
"Terserah," jawabnya.
"Oke!" Raka mengangkat bahu, lalu menarik
tangan Sarah. Ketika melewati para senior yang
masih nggak sanggup berkata apa-apa, Raka
menatap tajam ke arah mereka dengan
pandangan jangan-ganggu-dia-lagi. Orang-orang
itu cepat-cepat menunduk dan menyingkir dari
situ. "Bagaimana rasanya?" tanya Raka sambil
memakai helm. Sarah menghela napas. "Lega..."
Raka menyalakan mesin motor. "Emang begitu
seharusnya." "Raka..." kata Sarah ketika mereka sampai di
depan gerbang. "Uhm?" "Makasih, ya..."
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka mengangkat bahu. "You are welcome."
"Apa yang sudah kamu lakukan sangat berarti
buatku," kata Sarah.
Sarah menatap Raka dengan tatapan yang lain
dari biasanya. Raka tidak mau menduga-duga,
tetapi dia punya firasat buruk tentang hal itu.
*** "Kita ulangi sekali lagi!" teriak Alfi.
"SERIUS?"?" jerit Raka. Sudah lima jam lebih
mereka berlatih hingga suaranya hampir hilang.
Alfi menatapnya tajam. "Protes?"
Raka menghela napas. "Oke! Oke! Mau
diulangi" Kita ulangi aja!"
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul
delapan malam dan dia sama sekali belum
mengerjakan satu soal pun dari PR matematika
yang harus dikumpulkan besok pagi.
"Sudahlah, Al, kasihan Raka." Dhihan mencoba
membantu. "Dia juga belum ngerjain PR
matematika-nya." "Itu masalah dia!" kilah Alfi. "Siapa suruh dia
pake acara nemenin Nathan" Dan, siapa suruh
dia nggak datang di dua kali latihan kita" Sampai
aku bilang latihan ini selesai, kita akan terus
latihan!" Raka menepuk-nepuk bahu Dhihan dan
mengangguk-angguk, menunjukkan dia tidak
apa-apa. Dia sadar Alfi dan yang lainnya
memang berhak marah kepadanya. Ini adalah
konsekuensi yang harus dia tanggung.
"Oke! Sekarang lagu apa?" tanya Raka.
"The Verve - Bittersweet Symphony," jawab
Virgo. "Oke! One... two..." Doni memberi aba-aba
dengan stick-nya. "One two three!"
Latihan baru selesai pukul sepuluh malam.
Raka sudah merasa hampir mati kelelahan,
padahal yang dilakukannya hanya menyanyi. Dia
menjatuhkan diri ke ranjang, tapi sejurus
kemudian bangkit lagi, teringat soal-soal
matematika yang belum diselesaikan. Dia
menjatuhkan dirinya lagi dan mencoba bersikap
seperti teman-teman yang lain yang
menganggap tidak mengerjakan PR adalah hal
biasa, tetapi matanya tidak bisa terpejam.
Come on Raka! Kamu toh bukan murid teladan,
nggak akan ada yang peduli kamu mengerjakan
PR atau nggak! umpatnya dalam hati.
Tidak berhasil. Dia bangkit dan turun ke dapur
untuk membuat kopi. Akhirnya, dengan
bantuan sepuluh gelas kopi, tepat pukul dua
pagi, dia berhasil menyelesaikan semua soal itu,
tak peduli apakah jawabannya benar atau salah.
Dan, sedetik kemudian, dia langsung tertidur.
*** - 14 - "WHOAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!" Tiba-tiba,
hampir seisi kelas berteriak saat Raka datang
keesokan paginya. Saat cowok itu berjalan menuju mejanya,
beberapa anak bersiul dan semua cewek di
kelas tersenyum, lalu berbisik-bisik setiap kali
dia melewati meja mereka.
"Ada apa, sih?" tanya Raka kebingungan pada
Dhihan sambil menjatuhkan diri ke kursi.
Dhihan mengangkat bahu. "Gosip tentang kamu
sama Sarah udah nyebar."
"Gosip aku yang nyoba memerkosanya?" Raka
mendelik. "Kamu nyoba memerkosa Sarah?" tanya Dhihan
balik dengan nada tak percaya.
"Oh, jadi bukan itu, ya?" Raka berdehem
beberapa kali. "Gosip apa lagi, sih?"
"Banyak yang lihat kamu narik tangan Sarah dan
ngajak dia pergi, mereka pikir kalian udah
jadian," jawab Dhihan. "Tapi seriously, kamu
benar-benar nyoba memerkosa dia?"
"Stop, deh! Itu cuma salah paham!" gerutu
Raka. "Tapi, ada gosip aku jadian sama dia?"
Dhihan mengangguk mantap. "Benar, ya?"
"Nggaklah!!" Raka hampir menjerit. "Emang
Sarah nggak nyangkal atau apa gitu?"
Dhihan menunjuk ke arah kerumunan cewekcewek di meja, tak jauh dari meja mereka.
"Lihat saja sendiri."
Di meja yang ditunjuk Dhihan, Sarah sesekali
mencuri pandang ke arah Raka. Namun,
kemudian, cepat-cepat mengalihkan pandangan
dan tersenyum malu-malu saat cowok itu
melihatnya. Teman-temannya yang
mengerubungi ikut memperhatikan Raka sambil
cekikikan. Raka menghela napas. Ya, Tuhaaaan.
Tiba-tiba, Sarah bangkit dan berjalan
menghampiri Raka, diikuti sorakan dari temanteman satu kelas. Raka sambil menelan ludah
ketika akhirnya-dengan wajah yang seperti
udang rebus-Sarah berdiri di depannya.
"Na-nanti, kita rapat Veritas lagi," katanya
dengan canggung. "O-oke," jawab Raka tak kalah canggung.
Wajahnya ikut-ikutan memerah.
Sarah mengangguk-angguk cukup lama, lalu
berjalan cepat-cepat menuju mejanya lagi.
Suara riuh-rendah kembali menghiasi kelas.
"I told you, dia benar-benar suka kamu," kata
Dhihan setengah berbisik. "You break my heart,
kamu seneng, kan?" Raka menggeleng tak percaya. "Percaya, deh,
aku justru pengin banget bilang kamu lagi
bercanda." Raka nggak bisa berbohong bahwa dia senang.
Ini kali pertama dia tahu ada seseorang yang
menyukainya. Namun, dia akan jauh lebih
senang kalau saja hal ini terjadi sebelum dia
menyadari perasaannya pada orang lain.
Nadya! pekiknya dalam hati. Raka langsung
mencari-cari sosok cewek itu. Nadya sedang
membaca sesuatu di meja pojok depan.
Sepertinya, Nadya sadar sedang diperhatikan
karena kemudian dia menoleh. Walaupun
sempat terkejut, dia tersenyum seakan-akan
tidak terpengaruh dengan kehebohan yang baru
saja terjadi. Kemudian, dia meneruskan
membaca lagi. Anehnya, melihat Nadya sama
sekali tidak terganggu dengan gosip ini justru
membuatnya sangat terganggu.
Kepala Raka yang terasa pusing karena
kekurangan tidur sekarang terasa bertambah
berat. Dan, saat pelajaran matematika baru
berjalan 15 menit, dia sudah tidak sanggup lagi
menahannya, lalu semuanya gelap.
*** "Caraka..." Samar-samar, Raka mendengar namanya
dipanggil. "Caraka..." "Uhm..." Raka hanya menggumam, berpikir
paling-paling itu hanya suara dalam mimpinya
saja. "CARAKA !!!" Raka hampir terjatuh dari kursi saking kagetnya.
Sambil berusaha mengumpulkan nyawa dengan
mata masih mengerjap-ngerjap, dia melihat Pak
Anung sedang berdiri di samping mejanya
dengan mata melotot. "Apa yang kamu lakukan?" tanya guru itu
dengan intonasi tinggi. "Sa-saya ketiduran, Pak," jawab Raka sambil
mengucek-ngucek mata. "Jangan memberi jawaban yang sudah jelas
seperti itu," kata Pak Anung tajam.
"Saya tadi malam-"
"Sudah!" potong Pak Anung. "Bapak tidak butuh
alasan! Yang saya tanyakan, bisa-bisanya kamu
tidur di saat jam pelajaran saya?"
Raka menelan ludah dan hanya diam. Dia tahu,
mencoba menjawab dan memberi alasan lagi
akan lebih memperburuk keadaan.
"Kamu pikir kamu itu siapa?" tanya Pak Anung
retoris. "Einstein" Newton" Hingga kamu
merasa kamu sudah tidak butuh mendengarkan
pelajaran saya lagi" Kalau nilaimu bagus, sih,
kamu berhak meremehkan pelajaran saya, tapi
lihat nilaimu!" Seisi kelas hening, tidak ada yang berani
membuka suara. Bahkan, bernapas pun, mereka
coba sepelan mungkin melakukannya.
"Kamu pikir, saya tidak tahu reputasimu?" lanjut
Pak Anung. "Nilaimu di semua pelajaran sains
parah semua, kamu sadar itu?"
Raka mengangguk lemah. Ternyata, emosi Pak
Anung masih belum reda. "Dan, kamu masih mencoba menganggap
enteng pelajaran saya?" ujarnya berapi-api.
"Cuma bagus di sejarah, apa gunanya" Anak
bodoh sepertimu tidak akan punya masa depan"
"PAK!" Tiba-tiba, seseorang memecah keheningan yang
sepertinya justru akan membawa keheningan
berikutnya yang lebih mencekam karena dia
berani memotong kata-kata Pak Anung. Hampir
seisi kelas menoleh ke arah sumber suara yang
entah berani atau bodoh itu.
"Ada apa, Nathan?" tanya Pak Anung sambil
menatap tajam Nathan yang sekarang sedang
berdiri. "Saya keberatan dengan ucapan Bapak,"
jawabnya tenang. Tak terlihat sedikit pun rasa
takut terpancar di wajahnya.
Pak Anung berjalan mendekati meja Nathan.
"Kalau boleh saya tahu, kamu keberatan di
bagian mananya?" "Saya keberatan dengan kata-kata Bapak yang
bilang bahwa Caraka bodoh," tegas Nathan.
"Apa Bapak sadar, Bapak adalah seorang guru
dan Bapak mengatakan hal itu kepada murid
Bapak?" Pak Anung terdiam, begitu juga seisi kelas. Tidak
lama kemudian, dia berbalik menuju meja guru,
lalu merapikan buku-bukunya.
"Saya tidak suka dibantah maupun dikoreksi
tentang cara saya mengajar ataupun
berkomentar," katanya sambil membereskan
meja. "Kalau Bapak seperti itu, bagaimana jadinya
kami sebagai murid Bapak nanti?" tanya Nathan
tajam. Nathan sengaja menginjak granat! Dia sudah
gila! pikir Raka. Mata Pak Anung sampai hampir keluar karena
melotot mendengar kata-kata Nathan. Anakanak satu kelas pun menelan ludah dalam
waktu hampir bersamaan karena suaranya
terdengar jelas. "Nathan," geram Pak Anung. "Hanya karena
kamu menonjol dalam semua mata pelajaran,
terutama matematika, bukan berarti kamu
boleh berkata seperti itu kepada saya. Sepulang
sekolah, kamu dan Caraka temui saya di kantor
guru!" Setelah itu, Pak Anung pergi dengan langkah
cepat, kelihatan sekali dia sedang marah besar.
Helaan napas saling bersahutan seiring dengan
kepergiannya. Seisi kelas pun mulai ramai,
berbisik-bisik sambil memandang Nathan.
Sementara itu, yang menjadi pusat perhatian
hanya diam saja dan membaca buku entah apa.
"Dia gila!" komentar Dhihan merujuk pada
Nathan. "Sangat," sahut Raka sambil menatap Nathan,
tak habis pikir kenapa dia sampai membelanya
seperti itu. *** Pak Anung benar-benar marah besar. Kalau
bukan karena Bu Ratna yang membela habishabisan, mungkin Raka dan Nathan sudah diskors dan itu akan menjadi rekor tersendiri,
khususnya untuk Raka. Dia sudah familier
dengan kata "skors" sejak SMP. Akhirnya,
sebagai gantinya, kedua anak itu disuruh
mengerjakan 100 soal ujian akhir matematika
yang harus dikumpulkan hari itu juga.
"Melihatmu mengerjakannya, kayaknya kita
butuh waktu satu tahun," sindir Nathan,
mengomentari Raka yang dari tadi tidak juga
beranjak dari soal nomor lima.
"Berisik!" gerutu Raka. "Kenapa kamu nggak
pulang aja" Toh, kamu udah selesai!"
"Yang benar aja," sahutnya, "dan melepaskan
kesempatan melihatmu menderita?"
Raka mendongak untuk memastikan apakah
Nathan serius dengan ucapannya. Nathan hanya
menyunggingkan senyum mengejek, lalu
mengalihkan pandangan ke jendela kelas.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka terdiam. "Kenapa?" tanya Raka, membuka obrolan lagi.
"Apanya?" "Kenapa tadi kamu membelaku?"
"Jangan ge-er," kata Nathan dingin. "Aku nggak
lagi membelamu." "Tapi, tadi, kamu bilang kamu keberatan
dengan kata-kata Pak Anung yang nyebut aku
bodoh!" "Kamu kenapa, sih" Kamu pengin banget, ya,
aku membelamu?" tanya Nathan.
DEG! Jantung Raka berhenti berdegup.
Benar juga, ada apa denganku" batin Raka.
Seperitnya, dia memang ingin Nathan benarbenar membelanya.
"Ah... sudahlah..." Nathan menghela napas.
"Karena aku nggak setuju dengan pendapatnya,
karena aku tahu kamu nggak bodoh..."
Raka tertegun, tak menyangka Nathan berpikir
seperti itu. "Kamu ini hanya tolol," lanjutnya. Seketika,
tubuh Raka serasa dihempaskan ke tanah dan
langsung merasa bodoh. Melihat perubahan air muka Raka, Nathan
tertawa. "Aku bercanda, tampangmu lucu
banget! Aku sampai pengin tahu apa yang ada
di kepalamu." "Tali, pistol, kapak, benda apa pun yang
berguna buat membunuhmu," jawab Raka.
"Serius," kata Nathan, "aku memang
berpendapat kalau kamu nggak bodoh."
"Tapi, tolol." Raka mendengus. "Berapa kali lagi
kamu bakal bilang begitu?"
Nathan menggeleng. "Orang yang baca banyak
buku kayak kamu dan menguasai sejarah nggak
mungkin bodoh. Kamu cuma sial hidup karena
hidup di tempat dan waktu yang salah. Tempat
dan waktu ketika kamu dianggap bodoh kalau
kamu nggak pintar dalam hal yang namanya
sains. "Pemikiran sempit kayak gini yang sayangnya
juga muncul di kepala Pak Anung dan bikin
kesal," lanjutnya. "Walaupun kita hebat di
musik, olahraga, seni, ataupun sastra, selama
kita nggak menguasai sains, kita tetap nggak
dianggap pintar. Sebenarnya, apa salahnya
hebat dalam suatu bidang yang nggak
berhubungan sama angka?"
Raka terdiam. Nathan terlihat gusar, sepertinya
dia memang benar-benar sebal dengan
pemikiran Pak Anung. "Itu sama aja menganggap Beethoven itu
bodoh, Van Gogh itu idiot, Pele itu bego, dan
Shakespeare itu tolol," gerutunya sambil
melepas kacamata, lalu membersihkannya
dengan lap yang dia ambil dari saku bajunya.
Setelah itu, tidak ada satu pun dari mereka yang
bicara. "Aneh..." gumam Raka kemudian.
"Apanya?" tanya Nathan.
"Buat orang yang bisa semuanya sepertimu,"
jelas Raka, "sangat aneh punya pemikiran kayak
yang barusan kamu bilang."
Nathan termenung. "Aku..." dia diam sejenak. "Nggak tahu juga."
"Aku cuma nggak suka dengan pemikiran itu,
kurasa begitu," katanya agak tidak yakin dengan
jawabannya sendiri. ?"Kurasa begitu?"" ulang Raka heran.
Nathan memakai kacamatanya lagi. "Udahlah!
Kerjakan dulu soalmu!"
Raka mengerang. "Nggak perlu kamu ingatkan!"
*** Dua jam berlalu dan mungkin akan menjadi tiga
jam kalau saja Nathan tidak membimbing Raka
mengerjakannya. Bahkan, yang sangat
mengherankan, dia bisa menjelaskan pada
orang sebebal Raka setahap demi setahap tanpa
kehilangan kesabaran. "SELESAI!!" seru Raka setengah lega setengah
kelelahan. "Akhirnya... Kupikir, baru bisa selesai besok
pagi," kata Nathan sinis.
"Terserah apa katamu," sahut Raka. "Tapi,
thanks, Than! Kalau nggak kamu ajarin, mungkin
emang baru selesai besok."
Nathan tampak menimbang-nimbang sesuatu,
lalu menatap Raka dengan tatapan mata serius.
"Aku akan membantumu menguasai semua
mata pelajaran," katanya.
"Hah?" "Aku akan membantumu lulus dari sekolah ini."
"Kenapa?" tanya Raka heran.
Nathan mengangkat bahu. "Buat membungkam
Pak Anung supaya dia nggak meremehkanmu."
"Itu dia!" kata Raka sambil memasukkan semua
alat tulisnya ke dalam tas. "Supaya dia nggak
meremehkan aku" Apa pedulimu?"
Nathan menatap Raka beberapa saat. "Aku
nggak tahu," katanya pelan. "Aku cuma merasa
aku nggak bisa membiarkanmu begitu saja,"
katanya. "Anggap saja perbuatan baik sebelum
aku mati." Raka langsung terdiam, entah sejak kapan dia
mulai tidak suka mendengar Nathan menyebutnyebut tentang kematian.
"Berhenti ngomongin itu," kata Raka dingin.
"Kenapa" Aku akan ngomongin apa pun yang
aku suka." "Aku nggak suka mendengarnya," Raka
Syair Maut Lelaki Buntung 2 Rajawali Emas 03 Raja Lihai Langit Bumi Bara Diatas Singgasana 8
"Kamu mau apa?"
"Bantu," jawab Raka enteng.
"Nggak usah," tolak Nadya. "Aku nggak perlu
bantuan! Kamu pulang aja!"
Tiba-tiba, Raka membanting tumpukan kertas
itu ke meja. Dia kesal dengan sikap Nadya.
"Denger, ya!" katanya dengan nada tinggi. "Aku
nggak tahu, kamu menolak pertolonganku
karena kamu pikir bisa mengerjakan ini semua
atau karena kamu pikir aku mungkin cuma bakal
mengacaukannya. Tapi, kalau aku nggak bantu,
kamu bukan cuma bakal pulang malam, tapi
kamu-bahkan-bakal pulang pagi!" Raka
menatap Nadya. "Dan, kamu cewek!"
tambahnya. "Toh, walaupun aku yakin kamu
bisa jaga diri, kamu seharusnya jaga nama
baikmu juga!" Wajah Nadya memucat, sepertinya dia tidak
menyangka akan diberi reaksi seperti itu. Raka
menarik napas dalam-dalam, berusaha
mengendalikan diri. Lalu, dia mengambil lagi
tumpukan kertas yang tadi dia banting dan
mulai mengetik. Setelah itu nggak ada satu pun
dari mereka berdua yang bersuara.
"Aku..." kata Nadya kemudian dengan suara
tercekat. "Aku pengin melakukan semuanya dan
aku pikir, aku emang bisa melakukan
semuanya." Raka menoleh menatapnya. Mata cewek itu
mulai berkaca-kaca. "Awalnya, aku yakin aku bisa," katanya. "Tapi,
sekarang, aku sadar, aku salah."
Dia tersenyum getir seperti sedang
menertawakan dirinya sendiri.
"Ternyata, aku nggak sehebat yang kupikir,"
katanya lirih. "Ternyata, aku lemah.
Mengerjakan hal-hal sepele aja aku nggak bisa...
Bodoh banget kalau aku ingin mengerjakan halhal hebat. Bodoh banget kalau aku ingin diakui
sebagai orang yang hebat."
Raka menghela napas. "Kamu nggak lemah,"
katanya lalu tersenyum. "Kamu cuma lupa
meminta tolong." Begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan
Raka, air mata Nadya langsung menetes. Raka
menyodorkan tisu di atas meja.
Melihat Nadya menangis, Raka teringat puisi
yang dibuat oleh Sarah: "Ketika wanita
menangis, itu bukan karena dia ingin terlihat
lemah, tetapi karena dia sudah nggak sanggup
berpura-pura kuat." *** -9- "Raka," kata sang Mama sebelum berangkat ke
kantor. "Tahun ini, kamu mau, kan, ngunjungi
papamu?" Raka tertegun. Roti yang sudah digigitnya tidak
jadi tertelan. "Sudah dua tahun, Raka," lanjut sang Mama.
"Dan, kamu belum pernah menemuinya sejak
dia pergi." Raka masih bergeming. "Kali ini, anggap saja kamu melakukannya demi
Mama." Raka bangkit dari tempat duduknya,
menyambar koran yang ada di meja makan.
"Aku akan menemuinya kalau aku sudah siap,"
kata Raka sambil pergi menuju tangga.
*** Saat sampai di tempat parkir sekolahnya, Raka
mendapati Sarah sudah berdiri di sana dan
langsung berlari menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Raka sambil melepas helm.
Sarah menggeleng. "Nggak, aku cuma ingin
kamu melihat ini." Cewek itu menyodorkan beberapa lembar
kertas. "Ini apa?" tanya Raka bingung.
"Esai buat lomba yang udah diperbaiki Nathan,"
jawab Sarah dengan wajah berseri-seri. "Aku
baru aja menyelesaikannya tadi malam dan aku
nggak sabar nunjukin sama kamu."
"Kenapa?" "Eh?" Sarah tampak terkejut. Wajahnya tibatiba memerah.
"A-aku..." dia tergagap, "ka-karena kamu yang
mendorongku, jadi a-aku mau kamu jadi orang
pertama yang baca, sebelum aku kirim."
"Ooh..." Raka manggut-manggut. "Bukannya
lebih baik kamu minta bantuan Bu Ratna dulu
sebagai guru pembimbing?"
"Be-benar juga, ya," kata Sarah sambil
tersenyum kikuk. "Aku baca sambil jalan ke kelas aja, ya."
Sarah mengangguk. Karena terlalu tenggelam dalam tulisan yang
dibaca, hampir saja Raka melewati ruang
kelasnya sendiri. "Raka!" Sarah menarik tangan Raka. "Kelas kita
di sini." Raka menoleh. "Hah?"
"Ke-kelas kita..." Sarah tidak meneruskan
ucapannya, dia sepertinya kaget sendiri melihat
tangannya menggenggam tangan cowok itu.
"Ma-maaf! Maaf!" katanya sambil melepaskan
genggamannya. Wajahnya langsung berubah
merah padam. "Aku nggak maksud..."
Melihat wajah cewek itu, Raka tidak bisa
menahan tawa. "Mukamu lucu banget, sih!"
Sarah tidak mengatakan apa-apa, tapi wajahnya
semakin memerah. Dia malu setengah mati.
"Sori, sori..." kata Raka setelah berhasil
mencoba meredam rasa gelinya. Dia berdehem
beberapa kali. "Ini masterpiece," katanya serius,
sambil mengacungkan kertas-kertas yang berisi
tulisan Sarah. "Aku yakin kamu bisa menang.
Kalau kamu nggak menang, berarti tuh juri pasti
perlu kacamata baru."
Sarah tersenyum. Wajahnya memerah, tapi kali
ini lebih karena senang. "Masih perlu pendapat kedua?" tanya Raka.
"Soalnya, aku yakin kamu nggak akan percaya
seratus persen apa pun yang keluar dari
mulutku." Sarah terkikik, lalu menggeleng.
"Sekarang..." katanya, "aku percaya, kok, apa
pun yang Raka bilang."
Raka bersiul. "Kemajuan besar."
Sarah berbalik dan berjalan menuju mejanya
dengan wajah yang masih tersipu.
*** "Ck-ck-ck... lady killer," komentar Dhihan begitu
Raka mendekati meja. "Maksudmu?" "Sarah suka sama kamu," kata Dhihan sambil
menunjuk hidung temannya itu.
"Stop, ya," kata Raka, "jangan bikin aku jadi
berharap." "Lho, kamu suka juga?" tanya Dhihan antusias.
"Nggak tahu," jawabnya enteng.
Dhihan tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya
menghela napas. Nggak lama kemudian, tibatiba dia menegakkan badannya.
"Oh, ya!" serunya hingga Raka hampir terjatuh
dari kursi. "Apa"!" "Ada sesuatu yang aneh terjadi pagi ini,"
katanya serius. "Kamu mau tahu?"
"Nggak," jawab Raka, tapi Dhihan tidak
menggubrisnya dan tetap melanjutkan
ceritanya. "Pagi ini, tiba-tiba, Nadya nyamperin aku dan
minta aku menjadi koordinator pelaksana buat
acara ulang tahun sekolah kita nanti!"
Itu pasti halusinasi, batin Raka.
"Serius," kata Dhihan seakan-akan bisa
membaca pikiran temannya itu. "It really
happened!" "Dan, kamu terima?" tanya Raka.
Dhihan mengangkat bahu. "Gimana lagi"
Soalnya, dia minta tolongnya pake senyum
segala, sih. Kakiku, kan, langsung lemes."
Raka manggut-manggut. "Ternyata, kalau senyum, Nadya manis banget,
ya," lanjut Dhihan. "Aku tahu," kata Raka tanpa sadar sambil
membayangkan senyum Nadya yang sudah
beberapa kali ditunjukkan cewek itu kepadanya.
"Hah?" Dhihan mengernyitkan dahi. "Kok bisa
tahu" Kamu kan, nggak di sini tadi."
"Ah... oh... aku cuma ngebayangin aja."
Raka tidak habis pikir kenapa dia harus
berbohong. Tapi, hati kecilnya berkata dia tidak
ingin orang lain tahu kalau Nadya sudah
memberikan lebih banyak senyuman kepadanya
daripada ke yang lain. Dia merasa ini sangat
pribadi dan ingin itu hanya jadi miliknya saja.
Dhihan mengalihkan pandangannya lurus ke
depan, matanya menerawang. "Aku kayaknya
jatuh cinta, deh." "Sama Nadya?" Dia mengangguk. Raka mengernyitkan dahi. "Bukannya dulu
kamu takut sama dia?"
"Dulu, ya, dulu," kilahnya. "Apa yang terjadi
barusan bikin aku sadar kalau ternyata dia
manusiawi dan itu bikin dia menarik. Yah... juga
karena pada dasarnya, dia emang cantik,
hehehe..." "Tapi, kayaknya, yang nge-fans sama dia bukan
cuma kamu tuh," kata Raka sambil melirik ke
meja Alfi. "Hah?" Dhihan menelusuri sorot mata Raka dan melihat
Alfi sedang memandangi Nadya dengan mata
yang hampir tak berkedip.
"Waduh!" komentar Dhihan.
Raka tertawa. "Han," panggil Virgo.
"What?" Virgo menghampiri Dhihan. "Kapan nih, kita
bikin tugas fisika?" tanyanya.
"Terserah kamu, deh," jawab Dhihan pasrah.
"Nggak bikin juga nggak apa-apa."
"Penginnya, sih, juga gitu. Tapi, kamu mau
nggak lulus?" sahut Virgo.
Dhihan mendesah. "Nasib... nasib..."
"Kalau habis latihan band gimana?" usul Virgo.
"Terserah kamu, deh..."
"Emangnya, kita udah mulai latihan?" tanya
Raka. "Iya, besok pukul setengah tujuh malam," jawab
Dhihan. "Aku belum ngasih tahu, ya" Latihannya
di studio deket rumahku, tapi kumpulnya di
rumahku." Raka menyipitkan mata. "Belum."
"Studio?" "Iya, ternyata tetanggaku punya studio baru.
Baru perkenalan, dia ngasih pinjem studio itu
gratis," jelasnya. Raka langsung bersiul. "Eh, tugas fisika-mu udah selesai?" tanya Virgo.
Raka mengangkat bahu. "Tau! Aku sih,
berharapnya Nathan udah ngerjain, berhubung
otakku tiba-tiba menyusut kalau berhubungan
sama angka." "Mendingan kamu nanya Nathan, deh, daripada
ternyata nggak ada yang bikin," usul Dhihan.
Dia mendesah, lalu bangkit. "Yes, Sir..."
Begitu sampai, Nathan hanya menoleh dan
memandang Raka, tanpa berkata apa-apa.
"Tentang tugas fisika-"
"Kupikir, kamu nggak bakal nanya," kata Nathan
sebelum Raka sempat meneruskan kalimatnya.
"Besok, sepulang sekolah di rumahmu."
Raka langsung melongo. "Hah?"
"Kita bikin berdua!" tegasnya.
"Kenapa mesti di rumahku?"
"Karena, aku nggak mau bikin di rumahku,"
jawab cowok itu enteng. Raka sudah bersiap protes.
"Atau, kamu ingin kita bikin sendiri-sendiri?"
tanya Nathan yang membuat Raka tidak
berkutik. "Dan, tentu aja dengan nilai sendirisendiri juga."
Raka terdiam seketika. Dia bisa membayangkan
ada burung gagak yang terbang melintas di
kepalanya seperti di komik-komik Jepang sambil
berkaok-kaok, "Aho... Aho... Aho..." yang
artinya, "Bodoh... Bodoh... Bodoh..."
*** - 10 - Raka merasa pusing dan perutnya mual.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ulangan mendadak hari ini telah
memperpendek umurnya. "Waktunya tinggal lima menit lagi," kata Bu
Sukma memecah konsentrasi. Seisi kelas sudah
mulai gelisah, kecuali-tentu saja-Nathan dan
Nadya. Mereka sudah selesai sejak tadi. Ada
juga beberapa murid yang sudah selesai sejak
tadi, tetapi mereka lebih murid yang tidak
peduli dengan jawaban mereka. Bahkan, saat
ini, mereka sudah menunggu di luar.
Tiba-tiba, Bu Sukma menepukkan tangannya
sambil berkata. "Ya! Kumpulkan!"
Tunggu! Tunggu! Aku belum selesai! Masih dua
nomor lagi! jerit Raka dalam hati. Dhihan sudah
bangkit dari tempat duduknya.
"Kalian boleh pulang," kata Bu Sukma lagi.
Raka melihat sekeliling dan menghela napas
lega setelah mendapati bukan hanya dia yang
belum selesai. Ada sekitar sepuluh anaktermasuk dirinya-yang masih berusaha keras
menyelesaikan ulangan itu dengan semua
tenaga yang hampir tak bersisa.
"Baiklah, Ibu tunggu sepuluh menit lagi di
kantor," kata Bu Sukma kemudian. Raka
langsung mendongak, tetapi ternyata kata-kata
itu ditujukan pada Nadya yang sepertinya
sedang berusaha meminta toleransi. Nadya
tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih.
"Kelihatannya kamu masih lama," kata Nathan
menghampiri Raka. "Setelah selesai, kita
ketemu di lapangan parkir. Aku ada sedikit
urusan dulu di lab fisika."
Oh, ya! Sialan, aku lupa! Hari ini, aku ada janji
bikin tugas fisika sama orang itu. Sial (lagi!).
Setelah itu, aku harus latihan band juga! Bahu
Raka langsung merosot. WHAT A DAY!
Setelah selesai, Raka langsung menyambar
tasnya dan buru-buru menuju lapangan parkir.
Namun, ternyata Nathan belum datang. Hanya
ada seorang cewek yang tampak sedang
mencari-cari sesuatu di tanah.
"Hei, cari apa?" tanya Raka menghampiri cewek
itu. Cewek itu terkesiap. "Caraka!"
Sekarang giliran Raka yang kaget. "Hah" Kok
tahu namaku?" tanyanya heran. "Kita saling
kenal?" "Ki-kita sama-sama kelas X," jawab cewek itu
kikuk. "A-aku kelas X-12. Namaku Nova."
"Oooh..." Raka manggut-manggut walaupun
sebenarnya masih bingung. Jarak antara kelas X1, kelasnya, dan kelas X-12 cukup jauh dan dia
nggak mengenal cewek ini.
"Kamu lagi cari apa?"
"Kunci motorku hilang," jawab Nova panik. "Aku
udah nyari dari tadi, tapi..."
"Belum ketemu?"
Nova mengangguk. Raka mengangkat bahu. "Gantungan kuncinya
bentuknya gimana?" Nova menatap cowok di depannya tak percaya.
"Hei, gantungan kuncinya bentuknya gimana?"
"A-apel! Bentuknya buah apel!" jawabnya. "Mamakasih, ya, Caraka."
"Raka," ralat Raka, "aku agak risi dipanggil
dengan nama lengkap dan you are welcome."
Nova tersenyum. "Caraka emang kayak yang
dibilang teman-teman."
Raka menoleh. "Emangnya, apa yang temantemanmu bilang tentang aku?"
"Pokoknya, sesuatu yang baik," jawab Nova
sambil tersenyum. Raka tidak bertanya lebih lanjut. Tahu bahwa
dia dibicarakan atas suatu hal yang baik itu
sudah cukup baginya. Sekitar sepuluh menit kemudian, kunci motor
Nova ditemukan tergeletak di dekat tempat
sampah, sepertinya terjatuh ketika cewek itu
hendak membuang sesuatu. Nova berulangulang mengucapkan terima kasih hingga Raka
merasa agak risi. "Kamu orang pertama yang nawarin bantuan
setelah hampir satu jam aku nyari-nyari di sini,"
jelas Nova sebelum menyalakan motornya dan
melaju meninggalkan sekolah.
Nathan masih belum datang sehingga Raka
memutuskan menyusul cowok itu di lab fisika.
"Maaf." Suara Nathan terdengar samar-samar ketika
Raka sudah mendekati ruang lab fisika.
"Udah, jangan nangis lagi," kata Nathan lagi.
"Cari cowok yang lebih baik daripada aku."
Busyet! Lagi" Raka mengernyit.
"Kenapa?" tanya cewek itu.
Nathan terdiam sejenak. "Karena aku nggak suka kamu," jawab Nathan
kemudian. Sejenak tidak ada yang bersuara.
"Apa karena aku jelek?" tuntut cewek itu. "Itu
alasannya kamu nggak mau sama aku" Aku
emang jelek dan nggak punya kelebihan apa
pun. Tapi, apa cuma karena itu kamu nggak mau
jadi cowokku" Aku yakin kamu nggak sedangkal
itu." "Emangnya kamu merasa jelek?" tanya Nathan.
"Dan, nggak punya kelebihan apa pun?"
Cewek itu mengangguk. "Ya, aku nggak suka kamu karena alasan itu,"
kata Nathan sejurus kemudian, dia
mengeluarkan kata-kata paling kejam untuk
seorang cewek mana pun. "Mungkin aku emang
sedangkal itu." Cewek yang "nembak" Nathan itu langsung
berlari keluar ruang lab sambil menangis. Raka
yang tidak terima melihat bagaimana cara
Nathan memperlakukan cewek langsung
melabraknya. "Kamu sudah sangat keterlaluan!" geramnya
sambil mencengkeram kerah baju Nathan.
"Kamu harus diberi sedikit pelajaran."
Nathan tampak tenang. "Sejak kapan kamu menguping?"
"Cukup lama buat tahu kalau kamu harus diberi
pelajaran bagaimana memperlakukan seorang
cewek!" jawab Raka tanpa memedulikan
sindiran Nathan yang menggunakan kata
"menguping". Nathan menatap kedua mata Raka dalamdalam. "Bilang padaku, emangnya apa salahku?"
Raka melotot membalas tatapannya. "Kamu
bilang kalau dia jelek dan nggak punya
kelebihan! Itu keterlaluan!"
"Aku nggak pernah bilang begitu."
"Nggak usah mengelak!" bentak Raka. "Kamu
mengiyakan kata-kata dia tentang itu!"
"Kata-kata dia," ulang Nathan dengan nada
tenang, tetapi dalam. "Dia sendiri yang bilang.
Dia sendiri yang merasa kayak begitu."
"Eh?" Raka mengendurkan cengkeramannya.
"Orang yang nggak bisa menghargai dirinya
sendiri, nggak akan pernah bisa menghargai
orang lain," kata Nathan.
Mendengar ucapan terakhir Nathan, Raka
melepaskan tangannya. Dia tertegun, kata-kata
Nathan seperti sebuah palu godam yang dipukul
ke kepalanya. Ternyata, itu yang Nathan
pikirkan. Dia hanya ingin menyadarkan cewek
itu agar lebih menghargai dirinya sendiri
terlebih dahulu. Raka langsung mengingat-ingat lagi, janganjangan yang dia lihat sebelum ini juga seperti itu
maksudnya. Nathan menolak cewek itu secara
tegas karena tidak ingin memberi harapan semu
sedikit pun kepada si cewek. Dia tahu, memberi
harapan, lalu menghempaskannya ke tanah
pasti rasanya sangat menyakitkan-sesedikit apa
pun harapan itu. Nathan merapikan kerahnya, lalu mengambil
tasnya dari meja. "Ayo berangkat."
Raka tidak menjawab, hanya berjalan mengikuti
teman sekelasnya itu. Kepalanya terasa kosong.
Nathan telah menunjukkan kalau dia bukan
orang yang dangkal dan itu membuat Raka
merasa justru dirinyalah yang selama ini
berpikiran sempit. Dalam hati Raka, lambat
laun, tumbuh kekaguman pada cowok yang
memunggunginya itu. Ketika mereka mulai memasuki kompleks, tibatiba motor Raka mogok. Untungnya, tukang
reparasi motor langganan Raka berada tidak
jauh dari situ. Namun, karena kerusakannya
berat, motor Raka harus ditinggalkan di
bengkel. Jalan kaki sejauh satu kilometer di siang hari
lumayan jadi sebuah ujian tersendiri. Kalau
tidak terbiasa, mungkin rasanya seperti sedang
di gurun. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Raka khawatir
melihat Nathan yang terlihat lemas-mau tidak
mau, Raka jadi inget rumor penyakit yang
diderita Nathan. "Maksudmu?" "Kuat jalan nggak" Kamu nggak bakal kolaps
atau apa, kan?" Nathan tersenyum mengejek. "Kamu
mengkhawatirkanku?" "Ya, soalnya, kalau kamu kolaps, aku yang
susah," balas Raka tajam.
Senyum di wajah Nathan langsung memudar.
"Jangan khawatir, aku lebih kuat daripada yang
kamu bayangkan," katanya.
"Aku harap juga begitu."
Setelah itu, sepanjang perjalanan, mereka
habiskan dalam diam. Dan, walaupun Nathan
sudah mengatakan dia tidak apa-apa, Raka tidak
bisa menahan diri untuk tidak sekali mencuri
pandang ke arah cowok itu dan memastikan dia
baik-baik saja. Tinggal setengah kilometer lagi saat di depan
mereka tampak segerombol anak-anak SMA lain
sedang berkumpul di gardu jaga.
"Ngapain lihat-lihat?" tanya salah satu dari
gerombolan itu. Dan, tak butuh waktu lama,
yang lain berkumpul di belakangnya.
"Hah" Aku?" tanya Raka bingung.
"Ya! Kamu!" bentaknya. "Kamu mau cari
masalah?" Tiba-tiba dua di antara mereka maju
bebarengan dan menghujamkan pukulan ke
arah Raka. Untung saja gerakan Raka lebih
cepat sehingga berhasil menghindari keduanya,
bahkan dia berhasil menjatuhkan satu orang
sekali pukul. Begitu salah satu dari mereka
tumbang, yang lainnya maju untuk
menggantikannya. Korban keduanya memiliki
nasib tak jauh beda. Sadar mereka tidak akan
bisa mengalahkan cowok yang satu ini hanya
dengan dua lawan satu-apalagi satu lawan satugerombolan itu memutuskan main keroyok.
"Keroyok dia!" Anak yang dari tadi bertindak
sebagai juru bicara memberi aba-aba. Keempat
orang yang tersisa langsung serempak
menghujani Raka dengan pukulan dan
tendangan dari segala arah. Tiba-tiba, seseorang
menahan pukulan itu tepat pada waktunya.
"Nathan?" kata Raka tak percaya saat melihat
tangan yang menahan pukulan itu.
Nathan hanya diam dan tetap berusaha
menangkis pukulan serta tendangan apa pun
yang ditujukan kepadanya. Rumor bahwa cowok
ini cukup jago bela diri, ternyata bukan isapan
jempol belaka. Dia bisa menjatuhkan lawan
dengan mudahnya. Raka bangkit berdiri
mencoba membantunya membereskan ketiga
orang yang tersisa walaupun sepertinya Nathan
tidak begitu membutuhkan bantuan.
Keenam orang itu berhasil mereka kalahkan
dalam waktu singkat. Mereka langsung pergi
meninggalkan tempat itu diiringi umpatanumpatan serta gertak sambal.
Saat Raka menengok ke arah Nathan, dia
melihat mulut Nathan gemetar. Begitu juga
badannya. Dan, sejurus kemudian, dia ambruk.
Untung saja, Raka berhasil menahannya
sebelum dia jatuh ke tanah.
"Hoi, Than!" Raka mulai panik. "HOI!"
*** "Aku di mana?" tanya Nathan lirih sambil
berusaha untuk duduk. Raka meletakkan buku yang dibacanya.
"Kamarku," jawabnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Nathan memegangi kepalanya, lalu
menggeleng. "Nggak apa-apa. Kok aku bisa di
sini?" "Guess!" kata Raka. "Dan, ternyata, walaupun
dari luar badanmu kurus, ternyata kamu berat
juga. Punggungku rasanya mau patah."
Nathan menatap Raka tak percaya. "Kamu
menggendongku?"
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lebih tepatnya, memanggul," ralat Raka, "mau
apa lagi" Mau aku seret juga nggak tega."
Nathan terdiam. "Mana kacamataku?" tanyanya
kemudian. Raka memberikan kacamata yang tadi
tergeletak di meja. Nathan memakainya, lalu mengamati setiap
sudut kamar itu. "Ada yang salah sama kamarku?" tanya Raka
ingin tahu. Nathan masih memperhatikan poster-poster
film yang terpampang di dinding.
"Benar-benar di luar bayanganku," katanya.
"Emangnya, apa yang kamu bayangkan?"
"Yang bukan kayak gini, tentu aja," katanya.
Tiba-tiba, Nathan berdiri, lalu mendekati poster
film Unforgiven yang tertempel di dekat pintu,
lalu membalikkan badannya, mengamati poster
berikutnya: The Godfather-nya Francis Ford
Coppola. "Kamu tertarik sama film, ya?"
Raka mengangkat bahu. "I have a dream..."
Nathan membalikkan badannya, menatap Raka
sambil mengernyitkan dahi. "Kamu mau nyanyi
lagunya Westlife atau mau baca pidatonya
Martin Luther King?"
"Aku cuma mau ngomong pake bahasa Inggris!"
ujar Raka kesal. "Ooh..." Nathan membalikkan badannya.
"Ngomong-ngomong, aku heran kenapa kamu
nggak nanya siapa Martin Luther King."
"Biar aku tebak, berikutnya, kamu pasti pengin
tahu apa aku kenal sama Ratu Elizabeth II." Raka
menghela napas. "Dan, jawabanku, aku nggak
kenal. Aku nggak pernah punya kesempatan
buat nanya nomor HP dia. Puas?"
Nathan menoleh dan tersenyum sinis. "Aku
lupa, pengetahuan sejarahmu emang nggak bisa
diremehkan." Cowok itu berjalan ke arah rak buku Raka, lalu
mengamatinya satu per satu.
"Kayaknya, ucapanmu yang ngaku baca karya
Pram bukan bohong, ya," katanya. "Aku nggak
tahu kamu suka baca."
"Nggak ada yang pernah nanya!" dengus Raka
kesal. "John Grisham... Mitch Albom... Pramoedya
Ananta Toer... Umar Kayam... Jostein
Gaarder..." gumam Nathan, lalu mengambil
salah satu buku. "Edogawa Rampo," katanya sambil membolakbalik buku yang dipegangnya. "Aku nggak
nyangka kamu, bahkan, punya bukunya."
"Nggak semua hal harus dikasih tahu, kan."
Nathan mengembalikan buku itu lagi ke
tempatnya, lalu mulai mengamati. "Goenawan
Mohamad... P. Soewantoro... Lho, kamu koleksi
komik juga?" Nathan memperhatikan deretan
komik yang berada di rak. "H2... Bleach...
Samurai Deeper Kyo..." Sekarang, Nathan
membaca judul-judul komik tersebut. "Hobi?"
"Nggak ada buku yang begitu jelek-"
"Yang sedikit pun nggak bisa diambil
pelajarannya," lanjut Nathan memotong alasan
Raka. "Nullust Est Liber Tammalus..."
"Ut Non Aliqua Parte Prosit," Raka meneruskan
sambil meringis. "Plinius Jr. di Epistolae."
Nathan terdiam sejenak menatap teman
sekelasnya itu, lalu menggumam pelan. "Aku
nggak nyangka." "Eh, kamu beneran nggak apa-apa?" tanya Raka
kemudian. "Jangan khawatir, I"ll survive," jawabnya
mantap tanpa mengalihkan pandangannya
sedetik pun dari buku-buku di depannya.
"Sakit apa, sih?"
"Kanker otak," jawab Nathan santai.
"Hah?" Raka melongo. "Sori, bisa diulang lagi?"
"Kanker otak." "Kamu bilang kanker otak?" ulang Raka.
"Kamu budek, ya?" sahut Nathan. Raka
langsung terdiam. Selama ini, dia pikir, penyakit
itu hanya ada di sinetron-sinetron. Namun,
sekarang, dia sedang melihat dengan mata
kepala sendiri salah seorang pengidapnya.
Jadi, ini penyebab tubuh kurus, wajah pucat,
dispensasi olahraga, dan obat yang
membuatnya tampak kepayahan itu" batin
Raka. "Sejak kapan?" tanyanya.
"Apa pedulimu?"
"Kok, rambutmu nggak rontok?" Raka
mengernyit. "Jangan khawatir, sebentar lagi, kalau itu bikin
kamu senang," jawab Nathan.
Setelah itu, hening di antara mereka sampai
terdengar suara pintu rumah dibuka.
*** "RAKA" KAMU DI KAMAR?" terdengar teriakan.
"YA, MA!" Raka balas berteriak.
"KAMU BELUM MASAK MAKAN MALAM, YA?"
Sial! Aku lupa! umpat Raka dalam hati.
"Itu mamamu?" tanya Nathan.
Raka bangkit berdiri. "Ya."
"Papamu?" Nathan menunjuk foto di meja
belajar. "Begitulah... Ayo turun."
"Kudengar, kamu benci dia," kata Nathan sambil
mengamati foto itu. "Tapi, kalau emang kamu
benci dia, kenapa fotonya ada di sini?"
Raka menatapnya tajam. "Bukan urusanmu."
Lalu, keduanya berjalan menuju pintu dan
keluar dari kamar. "Kamu ngajak teman, ya?" tanya Mama ketika
melihat Nathan. "Yah..." Raka menggaruk-garuk kepala.
"Ya, ampun...!" pekik Mama panik, lalu
menghampiri Nathan. "Kamu pucat sekali...
Kamu nggak apa-apa?" tanya Mama khawatir
sambil memegang dahi Nathan, yang kemudian
ditepis cowok itu dengan halus.
Nathan tersenyum sopan. "Nggak apa-apa,
Tante." "Syukurlah kalau begitu," desah Mama lega, lalu
menoleh ke arah Raka dengan mata melotot.
"RAKA!" Raka menelan ludah. "Kalau emang kamu nggak sempat bikin makan
malam buat Mama, seenggaknya, bikin sesuatu
buat temanmu ini!" sembur Mama marah.
"Lihat! Dia sampai pucat begini. Pasti gara-gara
kamu nggak ngasih apa-apa. Teman macam apa
kamu ini?" "Hah" Lho... tapi..." Raka mencoba membela
diri. "Ini bukan salah Raka, Tante-" Nathan berusaha
membela. "Kamu nggak usah membela dia," potong
Mama. "Tunggu, siapa namamu?"
"Nathan." "Nathan..." Mama mengangguk-angguk. "Kamu
nggak usah membelanya, Nathan." Mama
mengambil dompet, lalu menyerahkan
beberapa lembar uang. "Sekarang, beli makanan buat makan malam
kita bertiga," perintahnya ke Raka. "Dan,
CEPAT!" Raka sama sekali tidak diberi kesempatan untuk
mengatakan apa pun. Dengan langkah gontai,
dia pergi meninggalkan rumah menuju warung
terdekat. "Pukul delapan!" pekik Raka melirik jam
tangannya sambil berjalan buru-buru. Bisa
dipastikan Dhihan dkk. akan membunuhnya.
Sudah cukup buat hari ini, Raka menggelengkan
kepala. Kalau setelah ini akan ada hal buruk lagi
yang menimpa kepalaku, aku bunuh diri.
*** "Raka," panggil seseorang.
Raka menoleh. "Nadya" Ngapain kamu di sini?"
"Emangnya, apa yang kamu lakukan di warung
sate?" tanyanya balik.
Raka mengangkat bahu, lalu duduk di sebelah
cewek itu. "Udah lama?"
"Nggak juga, beberapa menit sebelum kamu,"
jawab Nadya. "Oh..." "Banyak banget pesen satenya," komentar
cewek itu. "Ada tamu?"
"Iya, ada Nathan," kata Raka ogah-ogahan.
"Ada acara apa?" tanya Nadya heran.
"Bukannya kalian nggak terlalu akrab?"
"Takdir yang mengakrabkan kami," jawab Raka
sekenanya. "Inget tugas fisika itu, kan" Nah, dia
sekelompok sama aku. Hari ini, tadinya, aku
sama dia mau ngerjain bareng-bareng."
"Itu... VCD apa?" tunjuk Raka ke tangan Nadya,
mencoba mencairkan suasana lagi.
"Ini?" tanya Nadya sambil mengacungkan VCD
di tangannya. "Radio. Aku baru aja pinjam."
Raka manggut-manggut. "Ed Harris dan Cuba
Gooding Jr." Nadya memandang Raka dengan antusias.
"Kamu udah nonton?"
Raka mengangkat alisnya. "Film bagus, menurut
aku, sih, kayak gabungan antara Remember the
Titans dan Rain Man."
"Remember the Titans?" Nadya mengerutkan
kening. "Bagian mananya" Kalau Rain Man, sih,
masih mirip." "Setting tempat, setting waktu, football team,
pelatih," jelas Raka. "Apanya yang nggak sama?"
Nadya menghela napas, lalu tersenyum. "Kalau
masalah film, kamu emang nggak bisa dilawan."
Raka meringis. "Wah, ternyata, kamu udah
kenal aku." "Benar-benar udah mantap jadi sutradara film,
ya?" "Dibilang mantap, sih, nggak." Pandangan Raka
lagi-lagi menerawang ke depan. "Tapi, dari dulu,
aku yakin memang itulah yang pengin
kulakukan." "Film apa yang pengin kamu bikin?"
"Dokumenter," jawab Raka yakin. "Aku pengin
bikin film dokumenter tentang sejarah
Indonesia." "Kenapa?" "Menarik," jawab Raka yang tanpa sadar
tersenyum sendiri. "Kamu tahu nggak, kalau
Perang Puputan dibikin film, mungkin hasilnya
nggak jauh beda sama The Last Samurai?"
Nadya tertawa. "Masa, sih?"
"Uhm," Raka mengangguk. "Nggak percaya?"
"Aku percaya," kata Nadya sambil tersenyum,
menatap dengan sorot mata kagum.
Melihat senyuman Nadya, tiba-tiba Raka
merasa jantungnya berdebar sangat kencang.
Bahkan, dia kaget setengah mati saat tukang
sate tiba-tiba menghampiri.
Setelah membayarnya, Nadya mengalihkan
pandangannya ke Raka. "Aku duluan, ya," katanya. "Dan, makasih, ini
kali pertama aku ngobrol menyenangkan kayak
tadi." Raka tidak mengatakan apa-apa, hanya
mengangguk. Kalau saja cewek itu tahu, ini juga
kali pertama bagi Raka bisa ngobrol dengan
seseorang. Kali pertama dia merasa sangat
nyaman menjadi dirinya sendiri.
*** "Aku pulang," kata Raka yang langsung
disambut dengan mata melotot oleh sang
Mama. "Lama banget," kata Mama cemberut. "Mama
sampai bikin mi buat Nathan, takut dia pingsan
kelamaan nunggu." "Ya, ampun, Ma, warung paling dekat tuh
jaraknya 500 meter. Aku harus jalan kaki,
soalnya motor lagi masuk bengkel." Raka
membela diri. "Ya, sudah, kamu terpaksa makan sendiri."
"Lho?" "Nathan udah nelepon rumahnya dan sebentar
lagi dijemput," jelas Mama.
"Aku udah beli tiga puluh tusuk!" protes Raka.
Mama menelengkan kepala. "Raka, Mama yang
melahirkanmu dan memberi makan. Jadi, aku
tahu, 100 tusuk pun, kamu pasti sanggup
menghabiskannya." Nathan terkikik. "Jangan ketawa!" gerutu Raka.
"Tante, saya tunggu di luar saja," kata Nathan
sambil bangkit dari kursi. "Terima kasih atas
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
makan malamnya tadi."
"Aduuh... Tante jadi nggak enak cuma bisa
buatin mi," keluh Mama.
"Nggak apa-apa, Tante," hibur Nathan. "Mi
buatan Tante enak." "Kamu benar-benar anak baik dan sopan. Kalau
saja Raka kayak kamu."
"Ma, jangan percaya," Raka mendelik. "Apa
yang baru aja Nathan bilang cuma basa-basi!"
Mama menyipitkan mata. "Jadi, maksudmu,
kamu mau bilang kalau masakan Mama nggak
enak?" Raka menelan ludah. Nathan yang berdiri di
belakang Mama sekuat tenaga menahan tawa.
"Sudah, kamu temani Nathan di depan sampai
dijemput," perintah Mama, lalu dia menoleh ke
arah Nathan. "Kapan-kapan, main ke sini lagi,
ya. Tante senang ngobrol sama kamu."
"Baik, Tante," jawab Nathan dan langsung
tersenyum sopan. RUBAH! DIA ITU RUBAH! teriak Raka dalam hati.
"Sebenarnya, kamu punya berapa kepribadian?"
tanya Raka ketika dia dan Nathan sudah duduk
di teras. "Menurutmu?" Nathan balik bertanya.
Raka menghela napas dan menyandarkan
tubuhnya ke kursi. "Maaf..." "Hah?" kata Raka langsung menegakkan
punggungnya. "Gara-gara aku, kamu jadi nggak ikut latihan
sama yang lain," kata Nathan. "Dan, kita juga
nggak jadi bikin tugas fisika."
"Nggak usah dipikirkan," desah Raka sambil
menyandarkan tubuhnya lagi. "Besok, aku akan
jelasin sama mereka, paling-paling juga aku
disate atau dipaketin ke Timbuktu. Lagian,
mendengar kamu yang sombong minta maaf,
semuanya jadi terasa worth it."
Nathan tidak mengatakan apa-apa.
"Kapan lagi kita bisa ngerjain tugas fisika?"
tanya Raka kemudian. "Dua hari lagi," jawab Nathan.
"Emangnya, kenapa kalau besok?"
"Aku harus ke rumah sakit."
Keduanya terdiam sesaat. "Tentang penyakitmu itu..."
"Aku nggak perlu belas kasihanmu," sahut
Nathan. "Aku udah terbiasa sama keadaan yang
sekarang. Jadi, jangan mengubahnya. Kamu juga
udah kuberi tahu sejak awal, kuharap kamu
menepati janjimu." Raka terdiam. "Percayalah, ini lebih baik buat kita berdua,"
tambah Nathan tepat saat sebuah mobil mewah
buatan Jerman tiba-tiba berhenti di depan
pagar. Nathan bangkit. "Itu jemputanku."
Dia menatap Raka beberapa saat sebelum
membuka pintu. "Kamu ingin jadi sutradara,
kan?" tanyanya setelah meminta sopirnya
menyalakan mesin. Raka mengangguk. "Itu mimpiku."
"Kamu yakin kamu bisa mewujudkannya?"
"Aku nggak tahu."
"Kamu yakin dengan kemampuanmu sekarang
kamu bisa jadi sutradara?"
"Aku nggak tahu."
"Apa kamu sadar kalau mimpimu ini terlalu
tinggi" Kamu nggak takut nggak bisa
mencapainya dan bakal menyesalinya nanti?"
"Aku nggak tahu."
Nathan menggeleng. "Kamu sedang berjudi
dengan hidupmu." "Mungkin," jawab Raka mantap. "Aku nggak
tahu apa-apa. Aku nggak tahu apa yang aku
lakukan ini benar atau salah. Bahkan, aku nggak
tahu bakal jadi apa aku nanti." Dia menatap
cowok berkacamata itu. "Tapi... karena nggak
tahu apa-apa itulah, esok hari jadi sesuatu yang
layak ditunggu-tunggu, kan?" katanya kemudian
sambil nyengir. "Lalu, tinggal kita lihat apa yang
bakal terjadi." Nathan tampak tertegun. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Raka khawatir.
Dia menggeleng sambil membetulkan letak
kacamatanya. "Kamu ini emang orang bodoh
yang menyebalkan," kata Nathan sebelum
menutup pintu mobilnya. "Tapi, wajar kamu
bisa bilang begitu, kamu nggak punya kelebihan
yang kumiliki." "Kelebihan?" tanya Raka bingung.
"Semua orang bisa aja bersikap seolah-olah
mereka berumur panjang kayak kamu ini," kata
Nathan sambil tersenyum sinis. "Tapi aku..." Dia
berhenti sejenak. "Aku bisa memperkirakan sisa waktuku. Jadi,
aku nggak mau buang-buang dengan percuma."
Mobil pun melaju. *** - 11 - "Ke mana aja kemarin?" tanya Dhihan dan yang
lain hampir berbarengan begitu Raka datang.
"First of all," kata Raka setelah berdehem
beberapa kali. "Bisa nggak kalian semua
membiarkan aku duduk dulu?"
"Boleh aja," kata Alfi ketus. "Tapi, apa
alasanmu?" Raka menggelengkan kepala. "Ayolah... kalian
kan, bisa latihan tanpa vokalis."
"Tapi, di panggung nanti, kita pake vokalis,
dodol!" sembur Virgo. "Apa jadinya kalau musik
sama penyanyinya nggak kompak."
"Oke, sori," kata Raka dengan nada menyesal.
"Aku yang salah. Kemarin, aku nggak bisa
datang gara-gara ada hal yang nggak terduga.
Tapi, latihan berikutnya, aku pasti datang, I
promise! I"ll be there!"
"Yeah, you better should!" kata Alfi tajam
sambil menunjuk dada Raka keras-keras.
Setelah yang lain kembali ke tempat duduknya
masing-masing, Dhihan memberinya selembar
kertas. "Apa ini?" tanya Raka.
"Daftar lagu yang bakal kita nyanyiin."
Ada sekitar delapan lagu di daftar itu.
"Emangnya, kita mau bikin konser tunggal?"
dengus Raka. "Nama band udah dibikin juga?"
"Tentu aja!" seru Dhihan sambil meringis. "La
Kepri." Raka mengernyit. "La Kepri" Apa artinya"
Bahasa Italia?" "Coba tambahin kata "band" di belakangnya."
"La Kepri Band?" Raka masih tak habis pikir
apanya yang aneh. "Ulangi," perintah Dhihan.
"La Kepri Band... Lakepri Band..." Tiba-tiba,
tersadar akan maksud kata-kata itu, Raka
tertawa keras-keras. "LHA KEPRIBEN?"
Semuanya tertawa berbarengan.
"Raka." Sarah berjalan dengan canggung ke arah
mereka. "Ya?" "Hari ini," kata Sarah tanpa berani menatap
mata Raka, "ada rapat Veritas sepulang
sekolah." "Bukannya Nathan ada urusan?"
"Dia bilang bakal datang setelah urusannya
selesai." Raka mengangkat alis. "Oke, kalo gitu."
Sarah mengangguk, lalu cepat-cepat pergi
sepertinya menyembunyikan sesuatu.
"Believe me," kata Dhihan setengah berbisik
setelah Sarah pergi, "she has a crush on you,
man!" Hari itu, Sarah bersikap sangat aneh, seolaholah menghindari Raka. Namun, kadang-kadang
Raka memergokinya mencuri pandang ke
arahnya dengan tampang bersalah. Entah apa
yang terjadi dengan cewek itu.
Sepulang sekolah, setelah menyelesaikan
ulangan kimia dadakan yang membuatnya jadi
orang terakhir berada di kelas, Raka buru-buru
menuju Veritas. "Hei," sambut Nadya.
DEG! Jantung Raka serasa berhenti beberapa
saat. Ada apa denganku" Raka memegangi
dadanya dengan heran. "Mana yang lain?"
tanyanya setelah berhasil menguasai diri.
"Sarah ada perlu sebentar sama Bu Ratna.
Nathan datang satu jam lagi," jawab Nadya
sambil asyik mengetik di keyboard komputer.
Raka menjatuhkan diri di karpet dan menghela
napas. "Lagi bikin apa?" tanyanya melihat
Nadya sibuk mengetik sesuatu.
"Laporan pertanggungjawaban dana klub judo
dan klub basket," jawab Nadya.
"Bukannya kamu ketuanya" Kenapa mesti kamu
yang susah-susah bikin" Nggak ada
bendaharanya?" "Ada," jawab Nadya. "Tapi, aku nggak mau
merepotkan mereka, lagian aku mau
melakukannya sendiri. Jadi, aku tahu dananya
buat apa dan bisa jawab kalau ditanya pas rapat
OSIS." "Masih berusaha melakukan semuanya
sendiri?" Nadya menoleh. "Sesekali, minta tolong nggak ada salahnya,
kan?" kata Raka. "Kamu, toh, udah memulainya
waktu minta tolong Dhihan ngurus acara kelas."
Raka terdiam sejenak. "Lagian," lanjutnya, "itu
bikin kamu kelihatan lebih manusiawi."
Nadya terdiam selama beberapa lama.
"A-akan kupikirkan," katanya kemudian sambil
cepat-cepat mengalihkan tatapannya lagi ke
layar komputer. Wajahnya memerah.
Raka memasang iPod-nya dan mulai
mendengarkan "Can"t Take My Eyes of You"-nya
Muse. Beberapa saat kemudian, Sarah muncul
tergopoh-gopoh. "Maaf, lama nunggu, ya."
"Ada tugas dari Bu Ratna lagi?" tanya Raka
sambil melepas iPod-nya. "Ng-nggak," jawab Sarah dan lagi-lagi dia
menghindari kontak mata dengan cowok itu.
Nadya turun dari kursinya dan duduk di dekat
Sarah. "Kali ini, apa temanya?"
"Olahraga." "Semua jenis olahraga?" tanya Raka.
"Seharusnya semua, tapi mungkin lebih baik-"
Kalimat Sarah terpotong oleh kedatangan
Nathan yang entah kenapa memasang muka
lebih dingin daripada biasanya.
"Sori telat," katanya sambil menjatuhkan diri di
sebelah Raka. "Gimana?" tanya Raka teringat Nathan baru saja
dari rumah sakit. Nathan melirik Raka, lalu tersenyum sinis.
"Kamu peduli?" Raka memutar bola mata dan mendesah. "Sorry
for caring." "Eh... aku lanjutkan," ujar Sarah. "Gini, Than, Bu
Ratna minta kita bikin Veritas dengan tema
Olahraga. Seharusnya, sih, semua cabang
olahraga ditampilkan, tapi buat liputan
khususnya, cukup olahraga yang di sekolah kita
ada klubnya kayak sepak bola, basket, vo-"
"Kata Bu Ratna, kamu batal ikut lomba esai itu,
ya?" potong Nathan. Mereka semua langsung terdiam.
"Lomba" Lomba apa?" tanya Nadya bingung.
Raka melongo sejenak, kemudian menatap
Sarah. "Kamu membatalkannya" Kenapa?"
Sarah tampak panik dan menolak membalas
tatapan mata Raka. "Kalau emang kamu nggak mau ikut, kenapa
nggak sejak awal aja kamu batalkan," kata
Nathan tajam. "Jadi, aku nggak perlu susahsusah bantu kamu. Dan, kamu juga nggak perlu
susah-susah bikin." Wajah Sarah memucat, mulutnya bergetar. Dia
memandang Raka seakan-akan memohon
bantuan supaya cowok itu membelanya.
Namun, kali ini, Raka hanya diam dan membalas
pandangan cewek itu dengan tatapan menuntut
penjelasan. "Aku nggak peduli kalau kamu emang tipe orang
yang mau susah-susah melakukan sesuatu,
terus membuangnya seakan-akan itu nggak
guna. Itu bukan urusanku," lanjut Nathan
dengan tatapan sinis. "Tapi, aku bukan kayak
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gitu. Waktu, tenaga dan pikiranku sangat
berharga. Karena itu, apa yang kamu lakukan ini
bikin aku kesal. Aku udah menyediakan semua
itu buat bantu kamu, tapi kamu malah buang
begitu saja ke tempat sampah. Apa
maksudmu?" "A-aku..." Sarah tergagap, lalu karena nggak bisa
menjawabnya, dia buru-buru bangkit sambil
mengambil tasnya. "Kalau kamu emang orang yang selalu ingin
menyenangkan hati orang lain, kenapa kamu
nggak coba menyenangkan hati orang yang
udah bantu kamu," desis Nathan tepat sebelum
Sarah keluar. Sarah terpaku selama beberapa saat, lalu berlari
keluar ruangan. Suasana hening. Nadya tampak bingung, hanya
dia yang tidak mengerti apa yang terjadi. Raka
mencoba menjelaskan sesingkat dan sejelas
mungkin. Nadya mengangguk-angguk. "Oh, begitu, lalu
kenapa dia tiba-tiba membatalkannya?"
Raka menatap Nathan. Mengerti maksud tatapan itu, Nathan langsung
menjawab. "Jangan tanyakan padaku, aku cuma
diberi tahu Bu Ratna kalau dia nggak jadi ikut
lomba." "Lalu, apa maksud kata-kata terakhirmu taditentang coba menyenangkan hati orang?" tanya
Raka. Nathan tersenyum sinis, lalu sambil berdiri dan
mencangklong ranselnya, dia berkata, "Karena,
meski aku nggak diberi tahu, aku udah bisa
nebak alasannya dan kurasa kamu pun pasti
juga tahu." Lalu, dia pergi meninggalkan ruang
Veritas. Nadya mendesah. "Kurasa, rapat akan
dibatalkan hingga batas waktu yang nggak bisa
ditentukan." Dia kembali duduk ke meja
komputer dan mulai mengetik lagi. Nathan
telah meninggalkan ruangan itu.
"Mau aku bantu?" Raka menawarkan diri.
"Nggak, terima kasih," jawabnya. "Aku aja nggak
memercayai anggota klubku sendiri buat
mengerjakannya, apalagi kamu."
"Hahaha, lucu sekali," dengus Raka. Dia sudah
hendak memasang iPod-nya lagi ketika Nadya
kemudian bertanya dengan heran.
"Kamu masih mau nunggu di sini?"
"Aku nggak ada rencana ke mana-mana, lagian
di rumah sepi. Nyokap baru pulang entar
malam." "Oh, iya, kamu cuma tinggal sama mamamu,
ya?" Raka mengangguk. "Apa nggak apa-apa?" tanya Nadya.
"Apanya?" "Kalau nanti kamu kuliah, kamu nggak mungkin
masih tinggal di situ, kan?" jelas Nadya. "Jarak
IKJ sama rumahmu kan, lumayan jauh.
Mamamu pasti kesepian."
"IKJ" Kenapa IKJ?" Raka mengernyit.
Nadya memutar bola matanya. "Karena cuma
IKJ yang punya jurusan film. Jangan bilang kamu
udah nggak tertarik lagi buat kerja di dunia
film." "Oh... aku lupa." Raka manggut-manggut
merasa tolol. "Soalnya, aku niat ambil jurusan
filmnya di luar negeri."
"Hah?" Nadya membelalakkan mata. "Serius"
Nggak apa-apa tuh?" Raka menyipitkan mata. "Bahasa Inggris-ku
lumayan bagus kali!"
"Bukan itu maksudku," sergah Nadya.
"Mamamu nggak apa-apa kamu tinggal ke luar
negeri" Kamu ke IKJ aja kayaknya bakal bikin
mamamu kesepian, apalagi ke luar negeri."
"Iya, juga, ya..." kata Raka pelan lebih kepada
dirinya sendiri. "Tapi, justru Nyokap yang
nyuruh aku kuliah di luar negeri, bahkan
kayaknya dana pun udah disiapkan. Berarti, it"s
okay with her, kan?"
"Oh, begitu..." sahut Nadya. Setelah terdiam
selama beberapa saat, dia menatap Raka, lalu
tersenyum. "Tentu aja, itu kan, mimpimu." Raka
balas tersenyum. "Impian itu seperti sayap,"
lanjut Nadya. "Dia membawamu ke berbagai
tempat. Kurasa, mamamu sadar akan hal itu.
Dia tahu, kalau dia mencegah mimpimu, itu
sama aja dengan memotong sayap burung.
Burung tersebut memang nggak akan lari, tapi
burung tanpa sayap sudah bukan burung lagi.
Dan, manusia tanpa mimpi, sudah bukan
manusia lagi." Mendengar kata-kata Nadya, Raka terpana.
"Hebaaat..." pujinya. "Dari mana kamu dapat
kata-kata itu?" Nadya mengangkat bahu, tersenyum. "Yah...
aku kan, nggak jadi juara lomba pidato garagara cuma keberuntungan."
"Kamu, apa mimpimu" Atau, apa cita-citamu"
Kamu ingin jadi apa?" tanya Raka.
Nadya mengalihkan tatapannya lagi ke
komputer. "Aku nggak tahu."
"Hah?" Raka mengerutkan kening. "Tapi, kamu
kan, bisa segala hal, bukannya tinggal nyebut
aja?" "Sungguh, aku nggak tahu," desahnya. "Kedua
ortuku dokter, jadi kemungkinan besar, aku
mengikuti jejak mereka. Aku tahu sekali bahwa
inilah yang mereka inginkan, tapi aku nggak
tahu apakah ini juga yang kuinginkan. Karena
merasa bisa melakukan semuanya, aku jadi
nggak tahu apa yang sebenarnya paling ingin
kulakukan." "Tapi, aku aja yang cuma bisa sejarah udah tahu
aku mau jadi apa nanti," kata Raka masih tak
percaya. Nadya menatap cowok itu. "Bersyukurlah buat
itu. Percaya, deh, buat hal yang satu itu, aku
sangat iri sama kamu."
"Kadang-kadang, aku sampai frustasi mikir
tentang ini," lanjutnya. "Tinggal dua tahun lagi
buat menentukan aku mau jadi apa. Tapi, aku
masih belum menemukan jawabannya."
"Masih dua tahun," ralat Raka. "Santai aja, nanti
pasti ketemu, kok. Aku aja yang mikirnya udah
kejauhan, hehehe." Nadya mengangguk pada cowok itu.
"Tapi, aku baru sadar, ternyata setiap orang
emang punya masalahnya masing-masing," kata
Raka sambil bersiul. "C"est La Vie," sahut Nadya sambil mulai
mengetik lagi. "Begitulah hidup."
*** Waktu menunjukkan pukul sembilan malam
ketika Nadya menyelesaikan kedua laporannya.
Raka sudah menawarkan diri untuk
mengantarnya pulang, tapi cewek itu
menolaknya dengan tegas. Keluar dari gerbang sekolah, beberapa meter di
depannya, Raka melihat Nadya sedang diganggu
oleh dua orang laki-laki. Dia langsung memacu
motornya dan berhenti di dekat cewek itu.
"CEPAT NAIK!" perintah Raka.
"Tapi..." "NAIK!!!!" Nadya tampak terkejut, tapi kemudian dia
menurut. Selagi Nadya naik ke motor, Raka
melotot ke arah kedua orang yang tadi
mengganggu Nadya. Walaupun dari balik helm
hanya matanya yang terlihat, orang-orang yang
tadi mengganggu Nadya tampak ketakutan dan
langsung cepat-cepat pergi.
"Sebenarnya, kamu nggak perlu repot-repot
menolongku," kata Nadya dalam perjalanan.
"Kalau mereka macam-macam, aku bisa
menjatuhkan keduanya sekali serang."
Raka tidak mengatakan apa-apa.
"Ka?" "Aku lupa," jawabnya kemudian. "Aku lupa
kamu juara judo. Yang ada di pikiranku, cuma
kamu itu cewek, sisanya badanku bergerak
sendiri. Sori kalau kamu tersinggung."
Nadya terdiam, tetapi kemudian Raka
merasakan samar-samar tangan Nadya
menyentuh punggungnya. Dadanya tiba-tiba
serasa bergemuruh, sebuah perasaan yang tidak
dapat dijelaskan perlahan-lahan
menyelimutinya malam itu.
*** "Ma, aku ingin tanya sesuatu." Raka membuka
pembicaraan ketika dia dan mamanya
menonton film Apocalypto-nya Mel Gibson.
"Uhm?" sahut Mama yang sedang asyik
memakan keripik kentang. "Kalau aku jadi kuliah ke luar negeri buat belajar
tentang film, apa Mama nggak kesepian?"
Mama tampak terkejut. Dia menoleh dan
memandang Raka dengan heran.
"Kamu baru mikir itu sekarang?" tanya Mama
tak habis pikir. "Padahal, hal itu udah kita
omongin setahun lalu. Jadi, kamu baru peduli
pada Mama akhir-akhir ini, ya?"
Raka menghela napas. "Bukan itu intinya, Ma."
"Hohoho, terus kenapa kamu tiba-tiba nanya
itu" Siapa yang memengaruhimu" Cewek, ya?"
tanya Mama penuh selidik sambil meringis.
"Ma!!!" Mama tersenyum. "Kesepian... itu pasti," kata
Mama dengan pandangan menerawang ke
depan. "Sekarang, cuma kamu satu-satunya
yang Mama punya. Tapi, kalau Mama
melarangmu pergi, itu sama aja Mama
membunuhmu pelan-pelan. Mama mau
melihatmu berkembang," lanjutnya. "Dan,
alasan paling utama Mama mendukungmu
kuliah di luar negeri adalah..." Mama menoleh
ke Raka, lalu memandang kedua mata anaknya
itu dalam-dalam, "itu mimpimu."
Raka menelan ludah. Saat itu, semua perasaan
bercampur aduk di dadanya. Tubuhnya mulai
bergetar. Dia cepat-cepat memalingkan wajah
dari sang Mama. "Selain itu," lanjut Mama, "karena, kurasa
papamu juga punya pikiran yang sama."
Raka langsung membatu dan tanpa berkata apaapa, bangkit pergi meninggalkan ruangan itu.
"Kapan kamu akan memaafkan papamu, Ka?"
tanya Mama dengan nada yang terdengar pahit.
Langkah Raka terhenti, tapi tak ada jawaban
yang keluar. Setelah termenung beberapa saat,
Raka meneruskan langkahnya menaiki tangga.
*** 12 - Hari ini, akan menjadi hari yang benar-benar
sibuk bagi Raka. Sepulang sekolah, dia ada
"kencan" dengan Nathan untuk menyelesaikan
tugas fisika dan malamnya-tepat pukul tujuhAlfi dkk. sudah menunggunya untuk latihan. Dia
harus datang untuk menebus latihan pertama
yang dilewatkannya. Setelah memarkir motor, Raka bergegas menuju
kelas karena jam pelajaran pertama akan
dimulai lima belas menit lagi. Di depan ruang
fisika di koridor yang tak jauh dari kelas, dia
melihat Sarah tampak kikuk diajak bicara oleh
tiga orang senior kelas XII. Semakin Raka
mendekat, percakapan mereka pun mulai
terdengar samar-samar. "Aku sudah mendengarnya," kata salah satu
senior itu. "Kamu udah membatalkan
keikutsertaanmu di lomba itu. Thanks, ya!"
"Kamu harus ngerti peluang kami cuma saat
ini," tambah yang lain. "Kamu kan, masih ada
waktu dua tahun lagi buat ikut lagi. Kalau kamu
ikut, sudah pasti kami nggak punya harapan
menang." "Tulisanmu emang bagus, Sar," tambah mereka.
"Aku yakin kamu pasti menang tahun depan.
Tahun ini nggak ikut, kan, bukan masalah."
Sarah mengangguk dan berusaha untuk
tersenyum. Namun, matanya tidak bisa
berbohong, dia tampak tertekan. Ketika melihat
Raka, cewek itu langsung mengirimkan sinyal
SOS. Raka menghela napas, lalu berjalan ke arah
cewek-cewek itu. "Sar! Lagi ngapain" Pelajaran pertama udah
mau mulai!" katanya sambil menarik tangan
Sarah. "Eh... oh... iya..." kata Sarah tergagap. "Mamaaf, Kak, aku harus cepat-cepat ke kelas."
*** Setelah agak jauh, barulah Raka melepaskan
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan Sarah. "Ini yang terakhir," katanya. "Lain kali, tolong
diri kamu sendiri." Sarah terdiam. "Ternyata, itu alasan kamu nggak jadi ikut
lomba?" tanya Raka. "Gara-gara kamu nggak
bisa nolak permintaan mereka?"
Sarah masih tidak mengatakan apa-apa dan itu
membuat Raka jengkel. Dia menghentikan
langkahnya, lalu mendorong cewek itu ke
dinding. Sarah terpekik kecil. Anak-anak yang
ada di sekitar tempat itu langsung
memperhatikan kedua orang itu dan mulai
berbisik-bisik. "Kamu mau ngapain?" tanya Sarah ketakutan.
Raka tidak mengatakan apa-apa, tetapi mulai
mencondongkan tubuhnya. Ketika wajahnya
dan wajah Sarah hanya tinggal beberapa senti,
Sarah menjerit dan mendorong Raka kuat-kuat.
"NGGAK!" Raka hampir terjatuh, tetapi cowok ini puas.
"Begitu," katanya sambil tersenyum, "begitu
seharusnya kamu menolak mereka."
Sarah tampak terkejut dan tak menyangka tadi
Raka hanya pura-pura. "Kamu nggak akan bisa menyenangkan hati
semua orang, Sar," lanjut Raka. "Itu sebabnya
kamu harus belajar bilang "NGGAK"." Lalu,
cowok ini berjalan meninggalkan Sarah,
melewati kerumunan orang yang menonton
kejadian tadi. *** "Aku dengar, tadi pagi, kamu mencoba
memerkosa Sarah," kata Nathan tiba-tiba ketika
ia dan Raka mengerjakan tugas fisika di rumah
cowok itu. "Hah?" Raka langsung melongo.
"Tapi, aku nggak percaya," lanjut Nathan.
"Kamu itu walaupun punya tampang penyerang,
kayaknya lebih cenderung jadi yang diserang."
Raka menyipitkan mata. "Pujian?"
Nathan mengangkat bahu. "Untukmu" Iya."
"Dari mana kamu dengar gosip itu?" Raka
penasaran juga. "Meski aku berusaha nggak dengar, seluruh
kelas membicarakannya hingga masuk juga ke
telingaku," jawab Nathan.
"Seluruh kelas?" ulang Raka. "Berarti Nadya
juga tahu?" "Mungkin," kata Nathan. "Tapi, apa pedulimu?"
"Eh?" Raka langsung tertegun. Setelah berpikir
sebentar, dia menggeleng. "Nggak... nggak ada,
cuma tiba-tiba aja pertanyaan itu muncul di
otakku." Nathan menatap Raka dengan pandangan yang
tidak dapat ditebak. "Apa lihat-lihat?"
"Nggak apa-apa," kata Nathan sambil
tersenyum. "Kayaknya, sebentar lagi, apa yang
dulu pernah kubilang bakal jadi kenyataan."
"Kata-katamu dulu" Yang mana?"
"Kalau waktunya tepat, akan kuingatkan," kata
Nathan sok misterius. Raka hanya mengangkat alis.
Tugas fisika kali ini benar-benar membuat Raka
ingin bunuh diri atau setidaknya membunuh
orang yang telah memberikan tugas ini atau
orang yang menciptakan soal ini atau orang
yang menemukan cabang ilmu FISIKA.
Kepalanya sampai berkunang-kunang dan
perutnya seperti dipukul-pukul.
Nathan sudah selesai mengerjakan bagiannya
sejak satu setengah jam yang lalu dan dia
melakukannya hanya dalam waktu lima belas
menit! Benar-benar bukan manusia, sakit saja begini,
apalagi kalau sehat, batin Raka. Dia melirik ke
arah jam dinding. Sekarang, sudah hampir pukul
tujuh dan bagiannya masih belum selesai juga.
"Kenapa kamu nggak pulang saja, sih?"
tanyanya pada Nathan. "Aku khawatir sama tugas yang harus
dikumpulkan besok pagi ini," jawabnya tegas.
"Kalau aku pulang, aku yakin kamu nggak bakal
menyelesaikannya." "Jangan khawatir, aku bukan orang seperti itu,"
kata Raka agak menggerutu.
Nathan menghela napas. "Sudahlah, biar aku aja
yang menyelesaikannya. Kamu ada latihan
band, kan?" "Nggak!" tegas Raka. "Tanggung jawabmu, kan,
udah selesai. Sekarang, aku akan selesaikan
bagianku." "Kalau kamu ngotot mau menyelesaikannya,"
kata Nathan, "aku yakin akan butuh waktu
sekitar dua jam lagi."
Raka bergeming dan mulai meneruskan
perjuangannya. "Benar-benar..." desah Nathan, "batas antara
keras kepala dan bodoh itu sangat tipis."
Selagi Raka "berjuang", Nathan melihat-lihat
koleksi VCD dan mengambil salah satu yang
terletak paling atas. "Casablanca..." gumam Nathan. "Ini film
favoritmu?" Raka mengangkat bahu. "Salah satunya."
"Iya, bagus." "Kamu nonton juga?"
"Dialognya cerdas dan lucu," Nathan tak
menggubris pertanyaan Raka.
"Nggak sembarang film hitam putih menarik
buat ditonton sampai saat ini," tambahnya.
Raka tersenyum, tidak menyangka ternyata
Nathan juga menggemari film. Dia
membayangkan dia, Nathan, dan Nadya ngobrol
bertiga tentang film. "I think this is the beginning of a beautiful
friendship." Raka menjatuhkan pensilnya dan memandang
Nathan tak percaya. "Kamu pikir begitu?" tanyanya setengah
terkejut-dan anehnya setengah senang.
"Aku cuma mengutip line terakhir di film itu,
bodoh!" ujar Nathan.
"Oh," sahut Raka mulai meneruskan
menyelesaikan tugasnya. Entah mengapa
merasa agak kecewa. "Sudah mau jam sembilan, dodol!" Nathan
mengingatkan. "Berisik!" "Mereka bakal membunuhmu besok."
"Udah, kamu pulang saja!"
Namun, Nathan tidak mau pulang, bahkan
sampai mama Raka pulang. Dia memastikan
Raka menyelesaikan tugas itu.
"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Raka saat
mobil yang menjemput Nathan datang.
"Karena aku khawatir," jawab Nathan.
"Khawatir aku mangkir atau karena benar-benar
mengkhawatirkanku?" "Sudah agak lama mengenalku, kamu masih
belum paham?" "Yang pertama?" jawab Raka asal. Nathan nggak
menjawab. *** Esoknya, Dhihan dan yang lain sudah menunggu
Raka di lapangan parkir dengan pandangan
membunuh. Mereka langsung menghampiri
Raka begitu dia turun dari motor.
"Sor-" Belum sempat Raka meneruskan kata-kata, Alfi
sudah melayangkan pukulan ke wajah cowok
itu. "APA-APAAN KAU!" protes Raka marah sambil
mengusap darah yang keluar dari sudut
bibirnya. "KAMU SUDAH JANJI, NYET!" balas Alfi emosi.
Raka berusaha meredam amarah karena dia
tahu dia memang salah. "Aku ngerjain tugas fisika bareng Nathan dan
belum selesai sampe pukul sembilan." Dia
memberi alasan. Alfi mendorong dada Raka keras-keras.
"KAMI NGGAK BUTUH ALASAN, KA!" nada
bicara Alfi semakin meninggi. "AKU NGGAK
PEDULI KAMU NGGAK NGANGGAP PENTING
LATIHAN BAND KITA INI! AKU NGGAK PEDULI
SEKARANG KAMU LEBIH SUKA TEMENAN SAMA
NATHAN KARENA DIA PINTAR, KAYA, ATAU
APALAH ITU! TAPI, KAMU UDAH MENGIYAKAN
BUAT JADI VOKALIS KITA, PEGANG KATAKATAMU!"
Virgo dan Doni menepuk-nepuk pundak Alfi,
mencoba menenangkannya. Raka menelan ludah, merasa sangat bersalah.
"Aku..." Alfi mengibaskan tangannya, lalu pergi
meninggalkan Raka diikuti yang lain, kecuali
Dhihan. "Pertunjukan band ini penting banget buat dia,"
kata Dhihan sambil merangkul bahu Raka.
"Katanya, adik Alfi mau datang nonton. Kamu
tahu sendiri, kan, sejak ortunya cerai, dia udah
lama nggak ngelihat adiknya" Nah Alfi pengin
bikin adiknya bangga ngeliat dia."
Raka termenung sejenak. "Aku..." katanya kemudian. "Apa kamu juga
berpikir, aku berteman sama Nathan gara-gara
dia kaya, populer, dan pintar?"
"Kalau orang lain, mungkin aku percaya," jawab
Dhihan. "Tapi, kalau kamu..." Dia menggeleng.
Raka menatap teman sebangkunya itu.
"Waktu SMP dulu," lanjut Dhihan, "waktu
ayahku dituduh korupsi dan teman-teman
menjauhiku, kamu satu-satunya orang yang
masih mau temanan sama aku. Dan, aku ingat
banget kata-katamu waktu itu: "Orang nggak
bisa milih siapa bapaknya, ibunya, sukunya,
warna kulitnya, jenis kelaminnya, bahkan
kadang-kadang agamanya. Jadi, konyol kalau
aku ngejauhi orang gara-gara hal yang nggak
bisa mereka pilih sendiri. Kayak orang bego
aja"." Raka mengangkat alis. "Aku pernah ngomong
gitu, ya?" Dhihan mengangguk mantap. "Lagian, kalau
kamu bisa dekat sama Nathan, dia pasti anak
baik." Raka mengernyit. "Gimana kamu bisa tahu?"
"Soalnya, aku juga dekat sama kamu,"
jawabnya. Kalau aku bilang, yang dekat sama kamu anak
nggak bener, berarti aku juga, dong."
Raka mendengus, Dhihan tertawa.
"Terus apa yang harus aku lakukan buat minta
maaf?" Raka menghela napas, bingung.
"Aku bakal minta temen-temen ngasih kamu
satu kesempatan lagi," ujar Dhihan. "Dan, kali
ini, kamu harus datang."
"Oke," sahut Raka lega.
Pulang dari sekolah, Raka membelokkan
motornya ke Music Store tak jauh dari kompleks
rumahnya. Matchbox 20... Garbage... The Used... Sugar
Doni... dia membaca daftar penyanyi di bagian
new release. Terlalu banyak CD yang ingin dibeli
membuat Raka bingung. Sambil menentukan
pilihan, dia menelusuri bagian lain dari toko
tanpa arah pasti. Raka membaca nama-nama yang tercantum di
CD-CD yang terpampang di area itu. Mozart...
Beethoven... Wagner... Chopin... Dahi Raka
berkernyit. Saat dia mendongak untuk melihat
papan yang terpampang di rak terbaca tulisan:
MUSIK KLASIK. "Ini boleh dicoba?" tanyanya pada penjaga toko
sambil mengacungkan CD Mozart.
"Silakan," jawab penjaga itu.
Musik mulai mengalun melalui headphone di
telinga Raka. Piano "Sonata in C Major", dia membaca daftar
di sampulnya. Lagu berikutnya "Symphony No.
40 in G Minor". Setelah seluruh lagu dalam satu album itu
selesai dimainkan, Raka memutar ulang lagi dan
lagi hingga dia hafal lagu mana dengan judul
apa. Saat akhirnya berhasil mengingat lagu-lagu
itu, Raka tak habis pikir kenapa dia melakukan
semua itu. "Hei!" Tiba-tiba, seseorang menepuk
pundaknya.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka menoleh dan langsung terpekik kecil.
"Nad!" "Ya," Nadya menyipitkan mata.
"Ngapain di sini?"
"Cari pertanyaan yang lebih cerdas, dong,"
jawab Nadya enteng sambil memilih-milih CD.
"Sial... nggak ada..." keluhnya beberapa saat
kemudian. "Apa yang nggak ada?" tanya Raka.
Nadya menoleh. "Hoh, kamu masih ada di sini?"
"Your wish is my command," ucap Raka sambil
membalikkan badan. "Duluan, ya."
Belum sempat Raka melangkah, Nadya menarik
ransel cowok itu. "Tunggu! Tunggu!"
"Aku nggak maksud ngusir kamu," katanya."
"Yeah... right."
"Itu cuma pertanyaan spontan," tambah Nadya.
"Oke, terima kasih penjelasannya," kata Raka.
"Sekarang, bisa nggak kamu lepasin ransel aku"
Aku mau pulang, nih."
"Oops!" Nadya melepaskan tangannya.
"Thanks!" "Tunggu!" sergahnya lagi.
"Apa lagi"!!" tanya Raka agak jengkel.
Nadya tampak sedang menimbang-nimbang
sesuatu sebelum akhirnya berkata, "Ngg... mau
nemanin minum?" Toko musik ini juga punya kafe di lantai bawah.
Walaupun rasa makanannya tidak sesuai
dengan harga yang harus dibayar, tetapi
minumannya patut diacungi lima jempol.
Bahkan, di tempat lain, belum ada cappucino
seenak yang disediakan kafe di tempat ini.
Raka berpikir sebentar. "Boleh," jawabnya.
Nadya tersenyum. "Tapi, bayar sendiri-sendiri,
ya," ujarnya setelah mereka menuruni tangga
menuju kafe. "HEIIII!!!!!!" protes Raka.
*** Lagu "Do You Realize"-nya Flaming Lips
mengalun ketika mereka memilih tempat
duduk. Satu kelebihan lagi dari kafe ini adalah
suara musik selalu mengalun.
"Tadi, apanya yang nggak ada?" Raka memulai
obrolan setelah pela yan mengantarkan minuman pesanan mereka. "CD-nya George Gershwin," jawab Nadya sambil
mengaduk-aduk strawberry frappucino-nya.
"Ooh..." Raka memutuskan tidak bertanya lebih
lanjut karena tidak mau terlihat bodoh. Dia
tidak tahu sedikit pun siapa itu George
Gershwin. "Dia itu komposer dari Amerika yang lahir di
akhir abad ke-19," lanjut Nadya.
Raka melongo. Cewek ini benar-benar bisa
membaca pikirannya, ya"
"Aku dengar, katanya kamu mau ngapa-ngapain
Sarah, ya?" "UHUK!!!" Raka hampir mati tersedak
mendengar itu. "Kamu percaya?" tanyanya.
Nadya mengangkat bahu. "Kalau lihat
tampangmu... iya," sahutnya santai. "Tapi... itu
kalau aku belum kenal kamu," tambahnya.
"Jadi, sekarang kamu udah kenal aku?" tanya
Raka seraya mencondongkan tubuhnya ke
depan. Nadya tersenyum. "Pernah di-skors dua kali
gara-gara berantem, nggak peka, bodoh dalam
segala hal yang berhubungan sama sains, selalu
bertindak sebelum berpikir, suka ikut campur
urusan orang lain..."
Nadya menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Jago dalam sejarah, bercita-cita jadi sutradara
film, peduli sama orang lain, baik sama siapa
pun, dan berantem cuma gara-gara dia nggak
tahu cara menyampaikan pikirannya lewat katakata."
Raka mengernyit. "Kamu lagi ngomongin
siapa?" "Aku tahu kamu cuma nyoba menyadarkan
Sarah," ujar Nadya, tak menggubris kata-kata
Raka. "Kamu mau nolong dia, kan?"
"Itu yang harus dilakukan." Raka mengangkat
bahu. "Hah... kamu emang terlalu baik, Ka," desah
Nadya. "Pantas aja hampir semua cewek di
kelas suka kamu." "Hah?" "Kamu nggak tahu, ya?"
"Nggak ada yang pernah ngomong ke aku."
Nadya memutar bola mata. "Tentu aja mereka
malu, tolol. Mereka nunggu kamu ngomong
duluan." "Tapi, aku kan, nggak cakep, nggak pinter, nggak
keren," ujar Raka masih tak percaya dan sedikit
minder. "Apanya yang bisa disukai?"
"Karena kamu nggak sadar kalau kamu keren
itulah kamu jadi sangat keren," jawab Nadya.
"Orang yang menyukai dirinya sendiri apa
adanya dan nggak pernah berusaha jadi orang
lain adalah orang yang sangat keren," jelas
Nadya panjang lebar. "Sama kayak orang yang
nggak malu ngaku bahwa dia suka musik klasik
walaupun dia tahu beberapa orang akan ngejek
dia," tambahnya. "Tunggu, itu..." Raka menyipitkan mata.
"Tentang apa yang bikin aku tampak keren. Itu
pendapat mereka atau cuma pendapatmu
sendiri?" Tiba-tiba wajah Nadya memerah.
"Ka-kayaknya, mereka juga berpendapat gitu,"
katanya tergagap, lalu cepat-cepat meminum
minumannya sampai habis. "Hohoho, jadi kamu pikir aku keren?" tanya
Raka sambil tersenyum jail.
"Yah..." Nadya sudah dapat menguasai diri lagi.
"Standarku tentang itu emang rendah."
Raka menggeleng-geleng, kecewa.
Nadya tertawa. "Tapi kamu emang baik, kok,"
katanya. "Aku lihat waktu kamu sama Nova."
Raka mengangkat alis. "Nova?"
"Anak X-12 yang kamu bantu nyari kunci
motor," jelas Nadya.
"Oh, itu" Lho, kamu lihat?"
"He-eh, aku habis ngumpulin tugas di ruang
guru." "Aku heran," kata Raka. "Dia bilang dia udah
sejam nyari kuncinya di situ, tapi kenapa nggak
ada yang nolongin, sih" Bukannya banyak yang
lewat situ?" "Pernah denger kisah tentang ulat dan kupukupu?" tanya Nadya, alih-alih menjawab
pertanyaan cowok itu. Raka menggeleng. "Kalau ada kupu-kupu yang terperangkap di
sarang laba-laba, orang cenderung akan
menolong kupu-kupu itu walaupun mungkin si
laba-laba belum makan selama berhari-hari,"
jelas Nadya. "Tapi gimana kalau yang
terperangkap adalah ulat yang belum jadi kupukupu" Orang tetap nolong nggak" Padahal,
keduanya sama. Di dunia ini, memang harus
cantik supaya ditolong."
"Jadi, maksudmu, nggak ada yang nolong Nova
gara-gara dia nggak cantik?"
"Kasar, tapi emang begitulah kenyataannya,"
ujar Nadya. "Orang-orang yang lewat berpurapura nggak lihat."
"Ada-ada aja, sih!" gerutu Raka tak habis pikir.
"Emangnya ada yang kayak gitu" Kenapa harus
cantik biar ditolong" Nggak masuk akal! Dangkal
banget!" Nadya tersenyum. "Ini yang kumaksud."
"Hah?" "Itu yang bikin kamu disukai cewek-cewek,"
lanjutnya. "Kamu nggak pernah milih antara ulat
dan kupu-kupu." Keduanya terdiam cukup lama.
*** "Kamu sering ke sini?" tanya Raka, mengalihkan
omongan. "Setiap Rabu," jawab Nadya. "Soalnya, cuma
setiap Rabu, di sini diputar musik klasik."
Musik yang mengalun berganti menjadi musik
klasik dengan dentingan piano yang ringan dan
ceria. "Iya, kan?" Nadya memejamkan mata,
menikmati musik itu sambil tersenyum.
"Mozart..." Raka memandangnya dan tak sengaja
mengucap. "Piano Sonata in A Major."
"Hah?" Nadya membuka mata dengan terpana.
"Kamu tahu?" "He-eh, kalau cuma Mozart, aku cukup tahu."
Raka menyeringai. Nadya menggeleng. "Kamu ini emang selalu
penuh kejutan, ya," katanya riang.
Raka meringis. Musik berganti lagi, kali ini bunyi horn seperti di
perayaan-perayaan kerajaan.
"Horn Concerto No. 4 in E-Flat Major," kata
Raka kemudian. Nadya tampak terkesan dengan tebakan cowok
itu. "Hebaaaaaat!!!!" pujinya. Dia tersenyum
lebar. "Kamu benar-benar penuh kejutan."
Raka ikut tersenyum. Entah mengapa, melihat
Nadya senang seperti itu, dia ikut merasa
senang. Setelah itu, mereka berlomba adu cepat
menebak judul lagu klasik yang dimainkan dan
tentu saja Raka kalah telak. Setelah itu, mereka
ngobrol lagi tentang film. Kali ini, film yang
memainkan musik-musik klasik seperti The
Witchess of Eastwick, Joy Luck Club, Apocalypse
Now, Moonstruck, sampai The Godfather.
Dada Raka bergemuruh. Akhirnya, dia sadar
kenapa tadi mati-matian menghafalkan semua
lagu Mozart. Dia ingin bisa menikmati apa yang
dinikmati Nadya, menyukai apa yang
disukainya, tertawa bersamanya, tersenyum
bersamanya. Dia sadar dia telah jatuh cinta.
"Kali lain, kita ulangi lagi, ya?" kata Nadya.
"Hah?" Raka tergagap.
Nadya menelengkan kepala. "Minum, ngobrol...
Baru kali ini aku merasa nyaman ngobrol sama
seseorang. Dan, aku nggak mau ini jadi yang
terakhir." Jantung Raka terasa sudah hampir terlontar dari
tempatnya. "TENTU AJA!!!" *** - 13 - Pagi itu, Raka bertemu Dhihan di tempat parkir.
"Aku udah ngomong sama anak-anak," kata
Dhihan menghampiri Raka. "Latihan lagi hari ini
sepulang sekolah. Pastikan kali ini kamu
datang!" Raka mengangguk. "Alfi masih marah?"
"Kita lihat waktu kamu datang latihan nanti,"
jawab teman sebangku Raka itu.
"Caraka!" Ketika dia dan Dhihan melewati ruang
guru, tiba-tiba Raka mendengar seseorang
memanggilnya. Cowok itu berhenti dan melongok ke dalam
ruangan. "Raka!" Bu Ratna melambai-lambaikan
tangannya. "Oke, kalo gitu aku duluan," kata Dhihan.
"Sip!" *** "Ada apa, Bu?" tanya Raka sambil duduk di
depan meja Bu Ratna. "Ibu dengar, beberapa waktu lalu, kamu berniat
berbuat jahat pada Sarah, ya?"
Raka hampir jatuh terduduk mendengar hal itu.
"Bu! Saya..." Bu Ratna tertawa. "Ibu tahu, itu cuma salah
paham." Raka menghela napas lega. "Terima kasih, Bu."
"Ibu tahu, walaupun kamu bisa saja merampok,
mencopet, mencuri, dan memeras, tapi kamu
sama sekali bukan orang yang bisa memerkosa,"
tambah Bu Ratna. "Bu Ratna," Raka menyipitkan mata. "Apa Ibu
sadar Ibu sedang mengatakan hal itu pada
MURID Ibu?" "Saya sadar saya mengatakan itu PADAMU,"
kata Bu Ratna diiringi tawa. "Oh, sudahlah,"
katanya kemudian setelah melihat wajah Raka
yang menunjukkan rasa tidak senang. "Yang
pasti, apa pun yang sudah kamu lakukan pada
Sarah waktu itu, kamu membuatnya mengubah
pikirannya lagi untuk ikut dalam perlombaan
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
esai lingkungan hidup."
"Yang benar?" seru Raka tak percaya.
Bu Ratna mengangguk. "Dia menemui saya dua
hari yang lalu, sekaligus menyerahkan tulisan
dan semua persyaratan lombanya."
Raka tersenyum. "Batas lomba tinggal dua hari lagi," lanjut Bu
Ratna. "Lalu, apa hubungannya semua ini dengan saya,
Bu?" Raka mengerutkan dahi.
"Ibu minta tolong padamu untuk memastikan
supaya Sarah tidak mengubah pikirannya lagi
dalam dua hari ini," pinta Bu Ratna.
"Kenapa saya?" "Karena, sepertinya dia hanya mendengar
ucapanmu," jawab Bu Ratna.
Raka terdiam sejenak, lalu menggeleng.
"Saya tidak mau," jawabnya tegas hingga Bu
Ratna tampak terkejut. Sepertinya, guru ini
tidak menyangka permintaannya akan ditolak.
"Saya tidak mau menolongnya, dia yang harus
menolong dirinya sendiri," jelas Raka. "Kalau dia
mau mengubah pendiriannya lagi, itu
urusannya. Dia yang harus membuat keputusan
untuk dirinya, bukan Ibu, apalagi saya. Ini
hidupnya. Jadi, tidak adil rasanya kalau orang
lain yang memutuskan apa yang terbaik
untuknya. Yang bisa dan telah saya lakukan
hanya membantunya menjadi dirinya sendiri."
Bu Ratna menatap Raka tak percaya.
Raka bangkit dari tempat duduknya. "Kalau Ibu
nggak keberatan, saya permisi dulu. Jam
pertama sudah mau dimulai."
"Raka!" sergah Bu Ratna begitu cowok itu
hendak keluar dari ruangan.
Raka menoleh. "Kamu sudah dewasa," katanya sambil
tersenyum. "Belum," Raka menggeleng. "Masih belum.
Masih banyak yang nggak saya tahu dan nggak
saya mengerti." Bu Ratna tersenyum lagi. "Itulah yang
dinamakan dewasa." *** Keluar dari ruang guru, Raka bergegas ke toilet.
Di sana, dia mendengar suara orang muntahmuntah dari dalam kamar mandi.
"Hoi!!" panggilnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Tidak ada jawaban. Tidak lama kemudian, bel
tanda masuk berbunyi. Sial! gerutu Raka, tetapi dia tidak bisa
membiarkan orang yang muntah-muntah itu
begitu saja. "Hoiiiii!!!!" Raka menggedor-gedor pintu. Dia
mencoba memutar pegangan pintu untuk
masuk dan ternyata tidak terkunci. Pintu
terbuka dan dia melihat Nathan sedang berlutut
di depan kloset. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Raka panik.
Wajah Nathan pucat dan dia masih muntahmuntah.
"Kamu kenapa lagi, Than" Obatmu" Kamu udah
minum obatmu?" Raka merogoh sakunya. "Aku
cuma punya Counterpain!"
Raka mulai meracau saking paniknya. Dia
memegangi bahu Nathan dengan kencang,
sedetik kemudian teman sekelasnya itu ambruk.
Sekolah sudah hampir selesai dan Nathan masih
belum sadar juga. Raka menemaninya
sepanjang hari karena dokter yang seharusnya
berjaga di UKS menghilang entah ke mana.
"Kamu menungguiku dari tadi?"
Raka menoleh. "Kamu udah bangun?"
Nathan menatap ke arah jam dinding di ruangan
itu. "Kamu menungguiku dari tadi?" ulangnya.
"Mau gimana lagi?" Raka mengangkat bahu.
"Dokternya nggak tahu ke mana. Aku nggak bisa
membiarkanmu sendirian di sini."
"Kenapa?" "Pertanyaanmu menjengkelkan, tahu nggak?"
ujar Raka. "Emangnya, semua perbuatan baik
harus ada alasannya?"
"Biasanya, sih, begitu," akunya jujur sambil
berusaha untuk duduk. Raka membantunya dan
menyerahkan kacamatanya. "Menyedihkan sekali dunia tempat kamu tinggal
selama ini," kata Raka.
"Untung aja sebentar lagi aku bakal
meninggalkannya," kata Nathan datar.
Raka terdiam. "Kenapa kamu bisa sesantai itu?"
tanyanya. Nathan menatapnya. "Emangnya kamu maunya
aku gimana?" "Nggak tahu." Raka mengangkat bahu.
"Murung, nangis. Mungkin, kamu teriak-teriak
histeris, "Kenapa harus aku" Kenapa harus
aku?". Atau, yang kayak gitu cuma di sinetron
aja?" Nathan tersenyum sinis. "Masa itu udah lewat."
"Kapan kamu tahu tentang ini?"
"SMP kelas IX."
Sejenak, hening di antara mereka.
"Kenapa kamu nggak istirahat di rumah aja?"
tanya Raka, memecah keheningan.
"Emangnya ada bedanya?" Nathan balik
bertanya. "Ini cuma masalah waktu. Aku nggak
mau membuang-buang waktuku sia-sia, kayak
yang pernah aku bilang."
"Kamu ini hebat juga," kata Raka.
Kekagumannya pada Nathan bertambah. Cowok
ini tahu, tidak semua orang bisa menghadapi
penyakit mematikan itu seperti sikap Nathan ini.
"Yah... tapi..." tiba-tiba pandangan mata Nathan
menerawang, "nggak juga..."
"Sudah stadium berapa?" tanya Raka ingin tahu.
"Apa pedulimu?"
Raka hanya mengangkat bahu.
Nathan menghela napas. "Akhir."
Raka tertegun. Mulutnya ternganga.
"Kamu kasihan sama aku?" tanya Nathan sinis.
setelah berhasil menguasai diri, Raka
menggeleng. "Aku kasihan sama orang-orang yang bakal
kamu tinggalkan," katanya, lalu membantu
Nathan berdiri. "Bilang padaku, kamu bersikap
dingin pada orang-orang karena memang itu
sifatmu atau karena kamu ingin mencegah lebih
banyak orang yang bersedih atas kematianmu?"
Nathan tidak berkata apa-apa.
Tiba-tiba, terdengar derap langkah seseorang
berlari mendekat. Dan, tidak lama kemudian,
Nadya muncul di ambang pintu dengan
terengah-engah. "Kalian masih di sini!" kata Nadya setengah
berteriak, lalu menatap Nathan khawatir.
"Kamu udah nggak apa-apa?"
"Ya," sahut Nathan sambil memakai sepatunya.
"Ada apa?" tanya Raka.
"Begini," kata Nadya setelah berhasil mengatur
napas. "Ada PR matematika yang harus
dikumpulkan besok pagi." Dia menyodorkan
soal-soal untuk PR itu kepada Raka.
"Sebanyak ini?" Raka melotot.
"Sebenarnya, itu tugas yang harus diselesaikan
hari ini," jelas Nadya. "Tapi, gara-gara nggak ada
yang selesai, dijadikan PR."
"Jadi, maksudmu, selain kami, semua anak di
kelas udah bikin, seenggaknya, setengah dari
soal-soal ini?" tanya Raka berusaha mencerna
penjelasan Nadya karena perutnya mendadak
merasa mual melihat soal matematika sebanyak
itu. Nadya mengangkat bahu dan memandangnya
iba. "Sayangnya, iya."
Raka langsung terduduk di kursi. "Padahal, hari
ini ada janji latihan sama anak-anak. Why God"
Why?" "Uugh... buat soal matematika sebanyak ini, aku
butuh waktu seharian!" gerutu Raka gusar
sambil mengacak-acak rambut. Lalu, dia
menoleh ke arah Nathan. "Kamu gimana?"
"Lebih baik, kamu khawatirkan dirimu sendiri
dulu sebelum khawatir buat orang lain," jawab
cowok itu. "Aku bisa menyelesaikan semua soal
itu dalam waktu satu jam."
"Di saat seperti inilah, aku merasa hidup itu
nggak adil," komentar Raka menanggapi katakatanya.
"Ah, sudahlah!" Raka bangkit dan mengambil
tasnya. "Que serra serra whatever will be, will
be!" katanya sambil berlalu. Cowok ini
menghentikan langkahnya sejenak ketika akan
melewati Nadya. "Thanks."
Nadya mengangguk. "Kamu mau lihat
jawabanku" Aku udah hampir selesai."
"Makasih, tapi aku benci diremehkan. Aku
kerjakan sendiri dulu," tolak Raka.
Nadya menghela napas. "Batas antara keras
kepala dan bodoh itu emang sangat tipis."
"Busyet!" seru Raka sambil memandangi Nadya
dan Nathan secara bergantian sebelum dia
keluar. "Kalian benar-benar mirip! Kalian sadar
nggak?" *** Di koridor menuju tempat parkir, langkah Raka
terhenti karena tak jauh di depannya, Sarah
tampak dikerubungi para senior. Sepertinya, dia
sedang dimintai pertanggungjawaban atas
keputusannya untuk mengikuti lomba esai lagi.
Sarah melihat Raka dan menatapnya dengan
tatapan yang mengharapkan bantuan. Namun,
kali ini, Raka hanya diam. Bahkan, malah
melipat kedua tangannya dan menyandarkan
diri ke dinding. Hanya memperhatikannya dari
jauh. Walaupun nggak bisa mendengar pembicaraan
mereka, Raka tahu, para senior itu sedang
mendesak Sarah untuk membatalkan
keikutsertaannya lagi. Melihat wajah Sarah,
Raka hampir mengira dia akan menyerah dan
menuruti kemauan senior-seniornya, tetapi
ternyata, yang kemudian terjadi sungguh di luar
dugaan. Sarah memejamkan mata dan menutup
kedua telinganya. "NGGAK!" teriaknya.
Semua orang di sekitarnya tampak terkejut,
bahkan senior-senior itu sampai mundur
beberapa langkah. "Maaf! Aku nggak mau!" katanya masih dengan
nada tinggi, tetapi kali ini dia sudah membuka
mata. "Aku emang bisa ikut lomba ini lagi tahun
depan atau tahun depannya lagi, tapi aku mau
ikut tahun ini. Kalau nggak, semuanya nggak
akan sama lagi! Hari ini nggak akan sama
dengan besok, tahun ini nggak akan sama
dengan tahun depan!"
Dia berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Maaf, mungkin, ini cuma keegoisanku,"
lanjutnya. "Tapi, kalau aku mundur sekarang,
aku merasa, sampai kapan pun aku nggak akan
bisa maju. Aku nggak mau kalah sebelum
bertarung. Sungguh! Aku berharap Kakak-Kakak
memaklumi keegoisanku ini."
Sarah menunduk-nunduk. "Karena kalau menyangkut masalah
mementingkan diri sendiri, kayaknya kalian
lebih tahu daripada aku!" katanya sebelum
kemudian bergegas pergi dan berlari
menghampiri Raka. Senior-senior itu hanya bisa
melongo melihatnya. Raka tersenyum lebar menyambut Sarah.
"Sekarang, kamu mau nggak nolong aku" Ajak
aku pergi secepatnya dari sini?" pinta Sarah
dengan napas terengah-engah dan bibir
gemetar. "Sampai gerbang depan?"
"Terserah," jawabnya.
"Oke!" Raka mengangkat bahu, lalu menarik
tangan Sarah. Ketika melewati para senior yang
masih nggak sanggup berkata apa-apa, Raka
menatap tajam ke arah mereka dengan
pandangan jangan-ganggu-dia-lagi. Orang-orang
itu cepat-cepat menunduk dan menyingkir dari
situ. "Bagaimana rasanya?" tanya Raka sambil
memakai helm. Sarah menghela napas. "Lega..."
Raka menyalakan mesin motor. "Emang begitu
seharusnya." "Raka..." kata Sarah ketika mereka sampai di
depan gerbang. "Uhm?" "Makasih, ya..."
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raka mengangkat bahu. "You are welcome."
"Apa yang sudah kamu lakukan sangat berarti
buatku," kata Sarah.
Sarah menatap Raka dengan tatapan yang lain
dari biasanya. Raka tidak mau menduga-duga,
tetapi dia punya firasat buruk tentang hal itu.
*** "Kita ulangi sekali lagi!" teriak Alfi.
"SERIUS?"?" jerit Raka. Sudah lima jam lebih
mereka berlatih hingga suaranya hampir hilang.
Alfi menatapnya tajam. "Protes?"
Raka menghela napas. "Oke! Oke! Mau
diulangi" Kita ulangi aja!"
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul
delapan malam dan dia sama sekali belum
mengerjakan satu soal pun dari PR matematika
yang harus dikumpulkan besok pagi.
"Sudahlah, Al, kasihan Raka." Dhihan mencoba
membantu. "Dia juga belum ngerjain PR
matematika-nya." "Itu masalah dia!" kilah Alfi. "Siapa suruh dia
pake acara nemenin Nathan" Dan, siapa suruh
dia nggak datang di dua kali latihan kita" Sampai
aku bilang latihan ini selesai, kita akan terus
latihan!" Raka menepuk-nepuk bahu Dhihan dan
mengangguk-angguk, menunjukkan dia tidak
apa-apa. Dia sadar Alfi dan yang lainnya
memang berhak marah kepadanya. Ini adalah
konsekuensi yang harus dia tanggung.
"Oke! Sekarang lagu apa?" tanya Raka.
"The Verve - Bittersweet Symphony," jawab
Virgo. "Oke! One... two..." Doni memberi aba-aba
dengan stick-nya. "One two three!"
Latihan baru selesai pukul sepuluh malam.
Raka sudah merasa hampir mati kelelahan,
padahal yang dilakukannya hanya menyanyi. Dia
menjatuhkan diri ke ranjang, tapi sejurus
kemudian bangkit lagi, teringat soal-soal
matematika yang belum diselesaikan. Dia
menjatuhkan dirinya lagi dan mencoba bersikap
seperti teman-teman yang lain yang
menganggap tidak mengerjakan PR adalah hal
biasa, tetapi matanya tidak bisa terpejam.
Come on Raka! Kamu toh bukan murid teladan,
nggak akan ada yang peduli kamu mengerjakan
PR atau nggak! umpatnya dalam hati.
Tidak berhasil. Dia bangkit dan turun ke dapur
untuk membuat kopi. Akhirnya, dengan
bantuan sepuluh gelas kopi, tepat pukul dua
pagi, dia berhasil menyelesaikan semua soal itu,
tak peduli apakah jawabannya benar atau salah.
Dan, sedetik kemudian, dia langsung tertidur.
*** - 14 - "WHOAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!" Tiba-tiba,
hampir seisi kelas berteriak saat Raka datang
keesokan paginya. Saat cowok itu berjalan menuju mejanya,
beberapa anak bersiul dan semua cewek di
kelas tersenyum, lalu berbisik-bisik setiap kali
dia melewati meja mereka.
"Ada apa, sih?" tanya Raka kebingungan pada
Dhihan sambil menjatuhkan diri ke kursi.
Dhihan mengangkat bahu. "Gosip tentang kamu
sama Sarah udah nyebar."
"Gosip aku yang nyoba memerkosanya?" Raka
mendelik. "Kamu nyoba memerkosa Sarah?" tanya Dhihan
balik dengan nada tak percaya.
"Oh, jadi bukan itu, ya?" Raka berdehem
beberapa kali. "Gosip apa lagi, sih?"
"Banyak yang lihat kamu narik tangan Sarah dan
ngajak dia pergi, mereka pikir kalian udah
jadian," jawab Dhihan. "Tapi seriously, kamu
benar-benar nyoba memerkosa dia?"
"Stop, deh! Itu cuma salah paham!" gerutu
Raka. "Tapi, ada gosip aku jadian sama dia?"
Dhihan mengangguk mantap. "Benar, ya?"
"Nggaklah!!" Raka hampir menjerit. "Emang
Sarah nggak nyangkal atau apa gitu?"
Dhihan menunjuk ke arah kerumunan cewekcewek di meja, tak jauh dari meja mereka.
"Lihat saja sendiri."
Di meja yang ditunjuk Dhihan, Sarah sesekali
mencuri pandang ke arah Raka. Namun,
kemudian, cepat-cepat mengalihkan pandangan
dan tersenyum malu-malu saat cowok itu
melihatnya. Teman-temannya yang
mengerubungi ikut memperhatikan Raka sambil
cekikikan. Raka menghela napas. Ya, Tuhaaaan.
Tiba-tiba, Sarah bangkit dan berjalan
menghampiri Raka, diikuti sorakan dari temanteman satu kelas. Raka sambil menelan ludah
ketika akhirnya-dengan wajah yang seperti
udang rebus-Sarah berdiri di depannya.
"Na-nanti, kita rapat Veritas lagi," katanya
dengan canggung. "O-oke," jawab Raka tak kalah canggung.
Wajahnya ikut-ikutan memerah.
Sarah mengangguk-angguk cukup lama, lalu
berjalan cepat-cepat menuju mejanya lagi.
Suara riuh-rendah kembali menghiasi kelas.
"I told you, dia benar-benar suka kamu," kata
Dhihan setengah berbisik. "You break my heart,
kamu seneng, kan?" Raka menggeleng tak percaya. "Percaya, deh,
aku justru pengin banget bilang kamu lagi
bercanda." Raka nggak bisa berbohong bahwa dia senang.
Ini kali pertama dia tahu ada seseorang yang
menyukainya. Namun, dia akan jauh lebih
senang kalau saja hal ini terjadi sebelum dia
menyadari perasaannya pada orang lain.
Nadya! pekiknya dalam hati. Raka langsung
mencari-cari sosok cewek itu. Nadya sedang
membaca sesuatu di meja pojok depan.
Sepertinya, Nadya sadar sedang diperhatikan
karena kemudian dia menoleh. Walaupun
sempat terkejut, dia tersenyum seakan-akan
tidak terpengaruh dengan kehebohan yang baru
saja terjadi. Kemudian, dia meneruskan
membaca lagi. Anehnya, melihat Nadya sama
sekali tidak terganggu dengan gosip ini justru
membuatnya sangat terganggu.
Kepala Raka yang terasa pusing karena
kekurangan tidur sekarang terasa bertambah
berat. Dan, saat pelajaran matematika baru
berjalan 15 menit, dia sudah tidak sanggup lagi
menahannya, lalu semuanya gelap.
*** "Caraka..." Samar-samar, Raka mendengar namanya
dipanggil. "Caraka..." "Uhm..." Raka hanya menggumam, berpikir
paling-paling itu hanya suara dalam mimpinya
saja. "CARAKA !!!" Raka hampir terjatuh dari kursi saking kagetnya.
Sambil berusaha mengumpulkan nyawa dengan
mata masih mengerjap-ngerjap, dia melihat Pak
Anung sedang berdiri di samping mejanya
dengan mata melotot. "Apa yang kamu lakukan?" tanya guru itu
dengan intonasi tinggi. "Sa-saya ketiduran, Pak," jawab Raka sambil
mengucek-ngucek mata. "Jangan memberi jawaban yang sudah jelas
seperti itu," kata Pak Anung tajam.
"Saya tadi malam-"
"Sudah!" potong Pak Anung. "Bapak tidak butuh
alasan! Yang saya tanyakan, bisa-bisanya kamu
tidur di saat jam pelajaran saya?"
Raka menelan ludah dan hanya diam. Dia tahu,
mencoba menjawab dan memberi alasan lagi
akan lebih memperburuk keadaan.
"Kamu pikir kamu itu siapa?" tanya Pak Anung
retoris. "Einstein" Newton" Hingga kamu
merasa kamu sudah tidak butuh mendengarkan
pelajaran saya lagi" Kalau nilaimu bagus, sih,
kamu berhak meremehkan pelajaran saya, tapi
lihat nilaimu!" Seisi kelas hening, tidak ada yang berani
membuka suara. Bahkan, bernapas pun, mereka
coba sepelan mungkin melakukannya.
"Kamu pikir, saya tidak tahu reputasimu?" lanjut
Pak Anung. "Nilaimu di semua pelajaran sains
parah semua, kamu sadar itu?"
Raka mengangguk lemah. Ternyata, emosi Pak
Anung masih belum reda. "Dan, kamu masih mencoba menganggap
enteng pelajaran saya?" ujarnya berapi-api.
"Cuma bagus di sejarah, apa gunanya" Anak
bodoh sepertimu tidak akan punya masa depan"
"PAK!" Tiba-tiba, seseorang memecah keheningan yang
sepertinya justru akan membawa keheningan
berikutnya yang lebih mencekam karena dia
berani memotong kata-kata Pak Anung. Hampir
seisi kelas menoleh ke arah sumber suara yang
entah berani atau bodoh itu.
"Ada apa, Nathan?" tanya Pak Anung sambil
menatap tajam Nathan yang sekarang sedang
berdiri. "Saya keberatan dengan ucapan Bapak,"
jawabnya tenang. Tak terlihat sedikit pun rasa
takut terpancar di wajahnya.
Pak Anung berjalan mendekati meja Nathan.
"Kalau boleh saya tahu, kamu keberatan di
bagian mananya?" "Saya keberatan dengan kata-kata Bapak yang
bilang bahwa Caraka bodoh," tegas Nathan.
"Apa Bapak sadar, Bapak adalah seorang guru
dan Bapak mengatakan hal itu kepada murid
Bapak?" Pak Anung terdiam, begitu juga seisi kelas. Tidak
lama kemudian, dia berbalik menuju meja guru,
lalu merapikan buku-bukunya.
"Saya tidak suka dibantah maupun dikoreksi
tentang cara saya mengajar ataupun
berkomentar," katanya sambil membereskan
meja. "Kalau Bapak seperti itu, bagaimana jadinya
kami sebagai murid Bapak nanti?" tanya Nathan
tajam. Nathan sengaja menginjak granat! Dia sudah
gila! pikir Raka. Mata Pak Anung sampai hampir keluar karena
melotot mendengar kata-kata Nathan. Anakanak satu kelas pun menelan ludah dalam
waktu hampir bersamaan karena suaranya
terdengar jelas. "Nathan," geram Pak Anung. "Hanya karena
kamu menonjol dalam semua mata pelajaran,
terutama matematika, bukan berarti kamu
boleh berkata seperti itu kepada saya. Sepulang
sekolah, kamu dan Caraka temui saya di kantor
guru!" Setelah itu, Pak Anung pergi dengan langkah
cepat, kelihatan sekali dia sedang marah besar.
Helaan napas saling bersahutan seiring dengan
kepergiannya. Seisi kelas pun mulai ramai,
berbisik-bisik sambil memandang Nathan.
Sementara itu, yang menjadi pusat perhatian
hanya diam saja dan membaca buku entah apa.
"Dia gila!" komentar Dhihan merujuk pada
Nathan. "Sangat," sahut Raka sambil menatap Nathan,
tak habis pikir kenapa dia sampai membelanya
seperti itu. *** Pak Anung benar-benar marah besar. Kalau
bukan karena Bu Ratna yang membela habishabisan, mungkin Raka dan Nathan sudah diskors dan itu akan menjadi rekor tersendiri,
khususnya untuk Raka. Dia sudah familier
dengan kata "skors" sejak SMP. Akhirnya,
sebagai gantinya, kedua anak itu disuruh
mengerjakan 100 soal ujian akhir matematika
yang harus dikumpulkan hari itu juga.
"Melihatmu mengerjakannya, kayaknya kita
butuh waktu satu tahun," sindir Nathan,
mengomentari Raka yang dari tadi tidak juga
beranjak dari soal nomor lima.
"Berisik!" gerutu Raka. "Kenapa kamu nggak
pulang aja" Toh, kamu udah selesai!"
"Yang benar aja," sahutnya, "dan melepaskan
kesempatan melihatmu menderita?"
Raka mendongak untuk memastikan apakah
Nathan serius dengan ucapannya. Nathan hanya
menyunggingkan senyum mengejek, lalu
mengalihkan pandangan ke jendela kelas.
Let Go Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka terdiam. "Kenapa?" tanya Raka, membuka obrolan lagi.
"Apanya?" "Kenapa tadi kamu membelaku?"
"Jangan ge-er," kata Nathan dingin. "Aku nggak
lagi membelamu." "Tapi, tadi, kamu bilang kamu keberatan
dengan kata-kata Pak Anung yang nyebut aku
bodoh!" "Kamu kenapa, sih" Kamu pengin banget, ya,
aku membelamu?" tanya Nathan.
DEG! Jantung Raka berhenti berdegup.
Benar juga, ada apa denganku" batin Raka.
Seperitnya, dia memang ingin Nathan benarbenar membelanya.
"Ah... sudahlah..." Nathan menghela napas.
"Karena aku nggak setuju dengan pendapatnya,
karena aku tahu kamu nggak bodoh..."
Raka tertegun, tak menyangka Nathan berpikir
seperti itu. "Kamu ini hanya tolol," lanjutnya. Seketika,
tubuh Raka serasa dihempaskan ke tanah dan
langsung merasa bodoh. Melihat perubahan air muka Raka, Nathan
tertawa. "Aku bercanda, tampangmu lucu
banget! Aku sampai pengin tahu apa yang ada
di kepalamu." "Tali, pistol, kapak, benda apa pun yang
berguna buat membunuhmu," jawab Raka.
"Serius," kata Nathan, "aku memang
berpendapat kalau kamu nggak bodoh."
"Tapi, tolol." Raka mendengus. "Berapa kali lagi
kamu bakal bilang begitu?"
Nathan menggeleng. "Orang yang baca banyak
buku kayak kamu dan menguasai sejarah nggak
mungkin bodoh. Kamu cuma sial hidup karena
hidup di tempat dan waktu yang salah. Tempat
dan waktu ketika kamu dianggap bodoh kalau
kamu nggak pintar dalam hal yang namanya
sains. "Pemikiran sempit kayak gini yang sayangnya
juga muncul di kepala Pak Anung dan bikin
kesal," lanjutnya. "Walaupun kita hebat di
musik, olahraga, seni, ataupun sastra, selama
kita nggak menguasai sains, kita tetap nggak
dianggap pintar. Sebenarnya, apa salahnya
hebat dalam suatu bidang yang nggak
berhubungan sama angka?"
Raka terdiam. Nathan terlihat gusar, sepertinya
dia memang benar-benar sebal dengan
pemikiran Pak Anung. "Itu sama aja menganggap Beethoven itu
bodoh, Van Gogh itu idiot, Pele itu bego, dan
Shakespeare itu tolol," gerutunya sambil
melepas kacamata, lalu membersihkannya
dengan lap yang dia ambil dari saku bajunya.
Setelah itu, tidak ada satu pun dari mereka yang
bicara. "Aneh..." gumam Raka kemudian.
"Apanya?" tanya Nathan.
"Buat orang yang bisa semuanya sepertimu,"
jelas Raka, "sangat aneh punya pemikiran kayak
yang barusan kamu bilang."
Nathan termenung. "Aku..." dia diam sejenak. "Nggak tahu juga."
"Aku cuma nggak suka dengan pemikiran itu,
kurasa begitu," katanya agak tidak yakin dengan
jawabannya sendiri. ?"Kurasa begitu?"" ulang Raka heran.
Nathan memakai kacamatanya lagi. "Udahlah!
Kerjakan dulu soalmu!"
Raka mengerang. "Nggak perlu kamu ingatkan!"
*** Dua jam berlalu dan mungkin akan menjadi tiga
jam kalau saja Nathan tidak membimbing Raka
mengerjakannya. Bahkan, yang sangat
mengherankan, dia bisa menjelaskan pada
orang sebebal Raka setahap demi setahap tanpa
kehilangan kesabaran. "SELESAI!!" seru Raka setengah lega setengah
kelelahan. "Akhirnya... Kupikir, baru bisa selesai besok
pagi," kata Nathan sinis.
"Terserah apa katamu," sahut Raka. "Tapi,
thanks, Than! Kalau nggak kamu ajarin, mungkin
emang baru selesai besok."
Nathan tampak menimbang-nimbang sesuatu,
lalu menatap Raka dengan tatapan mata serius.
"Aku akan membantumu menguasai semua
mata pelajaran," katanya.
"Hah?" "Aku akan membantumu lulus dari sekolah ini."
"Kenapa?" tanya Raka heran.
Nathan mengangkat bahu. "Buat membungkam
Pak Anung supaya dia nggak meremehkanmu."
"Itu dia!" kata Raka sambil memasukkan semua
alat tulisnya ke dalam tas. "Supaya dia nggak
meremehkan aku" Apa pedulimu?"
Nathan menatap Raka beberapa saat. "Aku
nggak tahu," katanya pelan. "Aku cuma merasa
aku nggak bisa membiarkanmu begitu saja,"
katanya. "Anggap saja perbuatan baik sebelum
aku mati." Raka langsung terdiam, entah sejak kapan dia
mulai tidak suka mendengar Nathan menyebutnyebut tentang kematian.
"Berhenti ngomongin itu," kata Raka dingin.
"Kenapa" Aku akan ngomongin apa pun yang
aku suka." "Aku nggak suka mendengarnya," Raka
Syair Maut Lelaki Buntung 2 Rajawali Emas 03 Raja Lihai Langit Bumi Bara Diatas Singgasana 8