Pencarian

Syair Maut Lelaki Buntung 2

Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung Bagian 2


puan cantik itu dengan cepat memindahkan
mayat Kidang Pangarsura ke dada, untuk tameng.
Beberapa anak panah dan tombak menancap di
tubuh Kidang Pangarsura yang telah jadi mayat
itu. "Hi hi hi...! Manusia-manusia bodoh! Rasakan ini, heaaa...!"
Dewi Sukmalelana menghentakkan kedua
telapak tangannya ke depan. Seketika dari tela-
pak tangannya keluar semburan api melesat ke
arah para prajurit kadipaten yang dipimpin Warik Kala dan para pengawal
kadipaten. Wurrrs...! "Aaa...!"
"Wuaaakh...!"
Para prajurit menjerit ketika tubuh mereka
tersambar semburan api yang keluar dari telapak
tangan Dewi Sukmalelana. Belasan prajurit tewas
seketika, terlalap semburan api ganas itu. Mereka yang masih hidup berlarian
tunggang-langgang
menginjak mayat-mayat prajurit yang telah mati
terbakar. "Kurung perempuan iblis itu...!" seru Warik Kala memerintahkan para prajurit dan
pengawal kadipaten. Serentak para prajurit dan pengawal kadi-
paten mengurung Dewi Sukmalelana dengan ber-
senjata tombak, golok, dan pedang.
"Hi hi hi...! Aku senang dengan permainan
ini. Hi hi hi...!" Dewi Sukmalelana dengan cepat menggerakkan kedua tangannya ke
depan dada. Disusul dengan kaki kirinya terangkat ke atas la-lu ditekuk, kemudian dengan
keras dihentakkan
ke tanah. Akibatnya tanah yang diinjak bergun-
cang, seperti dilanda gempa. Para prajurit dan
pengawal kadipaten tersentak kaget dan hanya
bisa melongo, ketika tiba-tiba bumi berguncang
hebat "Hi hi hi...!" Dewi Sukmalelana tertawa terkekeh-kekeh. Suara tawanya
berubah menjadi
menyeramkan. Seperti tawa makhluk gaib. Keras,
melengking, dan memekakkan telinga.
"Ilmu apa yang dia gunakan..."!" gumam Warik Kala yang mulai kecut dan ciut
nyalinya. Namun dia segera mencabut goloknya.
Belum habis rasa ketakutan dan kehera-
nan para prajurit dan pengawal, Dewi Sukmalela-
na tiba-tiba mengibaskan rambutnya, sambil
memutar kepala. Dan rambut yang tadi panjang-
nya hanya melewati bahu, kini berubah meman-
jang. Memanjang terus bagaikan hidup, memburu
dan menghantami orang-orang yang mengurung-
nya. Wrrrt! Prats! Prats! "Aaakh...!"
Bagai kena tamparan yang keras dan pa-
nas, para prajurit dan pengawal menjerit panjang.
Lalu roboh ke tanah, tak bernyawa lagi. Kepala
ataupun tubuh mereka hancur tersambar rambut
Dewi Sukmalelana yang menjadi panjang bagai
ular raksasa. "Hah!" Warik Kala memekik tertahan. Matanya terbelalak lebar seperti hendak
keluar dari kelopaknya. Sekujur tubuhnya mendadak gemetaran, sedangkan
pandangannya buram tak jelas.
Entah kenapa. "Oh mataku...!" keluh Warik Kala.
Rupanya Dewi Sukmalelana menyembur-
kan serbuk beracun dari mulutnya.
"Aaakh..., mataku...!" teriak Warik Kala sambil mengucek matanya.
"Hi hi hi...! Itu hadiah orang yang lari dariku...! Kini, tak lama lagi kau akan
menyusul te- manmu ke akherat! Heh...!"
Dewi Sukmalelana melompat bagai macan
kumbang, menerkam Warik Kala. Meskipun da-
lam keadaan tak karuan, Warik Kala masih sem-
pat mengelak dengan menjatuhkan diri ke tanah.
Mengetahui hal itu, dengan cepat Dewi Sukmale-
lana menginjakkan kaki kanannya ke tubuh Wa-
rik Kala yang masih berada di tanah.
Krakkk! "Aaakh...!"
Warik Kala menjerit, ketika dirasakan da-
danya remuk. Sesaat kemudian lelaki berwajah
beringas itu tewas dengan mata membelalak.
Para prajurit kadipaten, segera berlarian
tunggang-langgang. Mereka tampaknya tak ada
yang berani menghadapi Dewi Sukmalelana. Wa-
nita dan anak-anak yang tinggal di lingkungan
kadipaten pun ketakutan. Mereka kalang kabut
berusaha bersembunyi.
"Hi hi hi...!"
Dewi Sukmalelana terus tertawa-tawa
nyaring. Suaranya sampai di telinga Pangeran Sa-
sanadipa yang sedang asyik bercumbu dengan
para selirnya di kamar pribadi. Namun hatinya
yang telah tertutup nafsu birahi membuat suara
kacau dan hiruk-pikuk di luar bagai tak terden-
gar. Sang Pangeran tak mempedulikannya.
"Gusti Pangeran...! Gusti Pangeran...!" teriak seorang pengawal dari luar kamar.
Namun karena tak ada sahutan dari dalam, pengawal ka-
dipaten itu terpaksa mendobrak pintu kamar.
Brakkk..! "Aaa...!" para selir yang sedang melayani sang Pangeran menjerit. Sambil menutupi
tubuh mereka yang tanpa pakaian, mereka berlarian ka-
rena terkejut "Ooo..., pengawal! Ada apa" Kenapa kau berani merusak pintu
kamarku"!" kata Pangeran Sasandipa dengan mata masih layu dan
wajahnya berkeringat
"Ampun, Gusti Pangeran...! Ada, ada hantu
perempuan ngamuk...! Semua orang dibunuhnya.
Juga Warik Kala!" lapor pengawal itu.
"Warik Kala mati"!" tanya sang Pangeran lemah.
"Benar, Gusti...!" pengawal itu menjura hormat
"Ayo, antar aku! Bagaimana rupa perem-
puan itu...!" ajak sang Pangeran yang pikirannya sudah setengah tak waras itu.
Setelah turun dari ranjangnya, para selir segera memakaikan pakaian Pangeran
Sasanadipa. Juga pusakanya, se-
buah keris. Pangeran Sasanadipa yang nampak seperti
orang mabuk itu melangkah gontai keluar dari
kamar, diikuti pengawal tadi.
Sementara di luar, orang-orang kadipaten
masih panik dan berlarian menyelamatkan diri.
"Orang-orang bodoh! Mengapa takut pada-
ku..."! Aku tak akan menyakiti kalian! Aku hanya bunuh manusia-manusia yang
kuinginkan. Kalian semua telah kena ilmu sihir Beruk Singgala.
Termasuk pangeran kalian itu...!" seru Dewi Sukmalelana.
Pada saat itu, muncul Pangeran Sasanadi-
pa dengan langkah gontai menuju pekitaran ka-
dipaten. Melihat pangeran muncul dan mendeka-
tinya, Dewi Sukmalelana tersenyum pahit
"Hei, Wanita Cantik. Ada urusan apa kau
membunuh orang-orangku..."!" tegur Pangeran Sasanadipa. Matanya yang merah dan
sayu menatap wajah Dewi Sukmalelana.
"Hi hi hi...! Panjang ceritanya, Pangeran.
Tapi aku tak ingin bermusuhan denganmu. Maaf,
aku telah membuatmu gusar!" tutur Dewi Sukmalelana mantap.
"Wajahmu cantik dan menggiurkan.... Sia-
pa namamu" Aku pikir kau lebih baik jadi selirku, Cah Ayu...," kata Pangeran
Sasanadipa sudah berpikiran kurang waras itu.
"Kasihan pangeran ini! Dia dulu orang yang
bijaksana, gagah berani, dan pengasih. Kini jadi seperti orang lupa ingatan....
Ini semua gara-gara Partai Panca Siwara itu! Beruk Singgala penyihir itu...!"
gumam Dewi Sukmalelana pelan. Seperti bicara pada diri sendiri.
"Kenapa kau diam dan tak menyerangku
atau membunuhku, Cah Ayu?" seru Pangeran Sasanadipa sambil mendekati Dewi
Sukmalelana yang masih menatapnya dengan pandangan sayu
dan iba. Dewi Sukmalelana tiba-tiba tertegun. Piki-
rannya menerawang jauh ke masa silam. Masa
sepuluh tahun lalu, ketika dirinya ikut menjadi
korban keganasan Partai Panca Siwara. Setelah
diperkosa dan diperdaya dirinya yang bernama
asli Saraswati itu dicampakkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Namun Yang
Maha Kuasa ternyata masih memberi kehidupan kepadanya. Seo-
rang perempuan tua, nenek sakti, menolong ji-
wanya dari renggutan maut yang mengerikan.
Nenek sakti mengganti namanya menjadi Dewi
Sukmalelana, setelah digembleng dan dididik ilmu kesaktian. Bahkan menurut nenek
sakti, Saraswati yang telah meninggal diselamatkan dengan
menggunakan 'Bunga Bangkai'. Sehingga Saras-
wati dapat bertahan sampai saat ini Saraswati
dapat hidup kembali. Bahkan memiliki kekuatan
dan kemampuan yang sakti.
"Oooh..."!" pekik Dewi Sukmalelana tersentak dari lamunannya. Matanya menatap
Pangeran Sasanadipa yang sudah satu tombak di depan-
nya. "Maaf Pangeran, aku harus pergi...!"
Selesai berkata demikian, cepat Dewi Suk-
malelana yang sebenarnya bernama Saraswati
melesat dan menghilang dari pandangan sang
Pangeran. "Aneh, perempuan secantik itu jadi pem-
bunuh! Tapi, kenapa dia tak melukaiku sedikit
pun..."!" gumam Pangeran Sasanadipa kehera-
nan. Matanya yang layu memandang ke depan.
Para pengawal dan orang-orang kadipaten yang
masih selamat pun merasa heran, melihat sang
Pangeran ternyata selamat. Tak diusik sedikit pun oleh perempuan yang mereka
anggap perempuan
iblis itu. 4 Angin senja bertiup sejuk. Udara sangat ce-
rah dengan langit tembaga di sebelah barat. Se-
bentar lagi sang Raja Siang akan tenggelam, ke-
mudian hadir kegelapan yang membawa suasana
mencekam. Tampak para petani pulang dari sa-
wah dengan perakitan terpanggul di pundak me-
reka. Burung-burung beterbangan pulang ke sa-
rang dengan suara yang bersahut-sahutan.
Dua sosok tubuh manusia tampak me-
langkah dalam keremangan senja. Kedua sosok
yang ternyata sepasang muda-mudi itu tiba-tiba
berhenti. Si gadis yang berkulit kuning langsat
dan bermata agak sipit itu, mengenakan pakaian
putih panjang. Rambut digelung satu di atas, dan sisanya dibiarkan tergerai
lurus. Sedang di sam-pingnya, pemuda tampan mengenakan rompi dari
kulit ular. Siapa lagi mereka kalau bukan Pende-
kar Gila dan Mei Lie.
"Nampaknya desa ini sedang tertimpa ben-
cana, Kakang," ujar Mei Lie seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat
itu. Seakan-akan tak mendengar ucapan keka-
sihnya, Pendekar Gila hanya cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala seolah-olah merasa gat-
al. Namun kemudian keningnya bekernyit. Seperti
halnya yang dilakukan Mei Lie, Sena menghela
napas beberapa kali. Ternyata keduanya menang-
kap bau anyir, yang tak sedap.
"Bau ini busuk sekali, Kakang. Seperti bau
mayat." gumam Mei Lie sambil menutup hidung dengan jari tangan kiri.
Benar. Di sana sini, di jalan memasuki De-
sa Lindung Rawa bergelimpangan mayat-mayat
penduduk desa. Tua-muda, wanita dan anak-
anak. Dengan leher tersobek dan wajah pucat
membiru. "Ya Hyang Batara...! Siapa yang melakukan
perbuatan keji ini"!" gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mulutnya tampak
cengengesan sambil memandangi mayat-mayat
itu. "Biadab...! Tak salah lagi ini pasti perbuatan perempuan genit itu! Atau
mungkin lelaki buntung yang kita cari, Kakang," tukas Mei Lie yang telah mencabut Pedang
Bidadarinya. "Mungkin...," jawab Sena pelan. Kepalanya manggut-manggut. Lucu!
Baru saja kedua pasang pendekar itu me-
neruskan langkah pendek memasuki Desa Lin-
dung Rawa, tiba-tiba....
"Aaakh...! Tolooong...! Manusia iblis...! Tolooong!"
Seorang wanita muda tampak berlari keta-
kutan sambil menjerit-jerit minta tolong. Pa-
kaiannya sudah tak karuan. Sebagian tubuhnya
sudah tak tertutup kain. Hingga buah dadanya
yang masih ranum dan mulus itu terlihat jelas di balik pakaiannya yang tercabik-
cabik. Di bagian
pipi dan leher ada goresan, seperti cakaran kuku.
Melihat itu Mei Lie segera melompat den-
gan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuh si Bidadari Pencabut Nyawa itu melayang
bagai seekor burung elang. Kemudian kakinya
mendarat mulus. Dengan cepat tangan Mei Lie
menyambar tangan wanita muda yang ketakutan
itu. Lalu membawanya bersembunyi di balik pe-
pohonan. "Ssst..!"
Tuk! Tuk! Ketika wanita muda itu hendak berteriak
karena ketakutan, dengan cepat Mei Lie menotok
tubuhnya. "Ukh...!"


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika wanita muda itu melenguh lalu ja-
tuh terkulai bagai mati. Dan Mei Lie segera mem-
baringkan di tanah yang berumput itu.
Sementara itu, Pendekar Gila hanya cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala, me-
mandangi tingkah laku kekasihnya.
Tak berapa lama kemudian, muncul seso-
sok tubuh melayang dan disertai kepulan asap.
Ternyata sesosok manusia bertubuh tinggi besar
dengan bertelanjang dada. Di kanan dan kiri len-
gannya melingkar gelang dari kulit ular. Alisnya menyatu tanpa batas menghiasi
matanya yang besar, tajam dan galak. Wajahnya yang persegi
tampak bengis. Badannya hampir rata ditumbuhi
bulu-bulu lebat. Mirip manusia purba.
"Makhluk apa ini" Manusia apa jin!" gumam Mei Lie, begitu melihat sosok makhluk
yang menyeramkan itu.
"Grrr..., grrr...!" makhluk mirip manusia purba itu mengerang. Seperti harimau,
giginya nampak besar-besar dan runcing. Mengerikan.
Pendekar Gila yang melihat manusia tinggi
besar bagai raksasa itu mengerutkan kening,
sambil menggaruk-garuk kepalanya kembali.
"Ah ah ah...! Aku harus berbuat sesuatu.
Aku tak ingin Mei Lie mendapat bahaya...," gumam Sena.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba Pendekar Gila melesat sambil
bersalto beberapa kali di udara. Lalu kakinya bergerak cepat melancarkan
tendangan. Wut! Blugk! Blugk! Namun tendangan Pendekar Gila seperti
tak dirasa oleh manusia raksasa itu. Bahkan
hanya dengan ayunan tangan kirinya yang sebe-
sar paha, mampu menghantam Pendekar Gila.
"Ukh..!" Sena terpekik. Tubuhnya terlempar lima tombak dan membentur dinding
rumah penduduk desa. Dinding dari bilik itu pun roboh. Kalau saja bukan Pendekar
Gila, tentunya sudah
pasti tewas. Melihat kekasihnya tak berhasil, tak tang-
gung-tanggung Mei Lie melesat melakukan seran-
gan dengan membabatkan Pedang Bidadari dalam
jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa...!"
Cras! Cras! Cras!
"Grrr...!"
Manusia raksasa itu mengerang. Kulitnya
hanya terkupas. Namun anehnya, tak mengelua-
rkan darah. Dan ketika angin meniupnya, tak ada
tanda-tanda bahwa manusia raksasa berbulu itu
akan roboh lalu jadi tepung. Seperti lawan-lawan Mei Lie yang tersambar jurus
maut itu. "Aneh..."! Manusia atau jin!" gumam Mei Lie keheranan. Keningnya berkerut tajam.
Namun kemudian kembali mempersiapkan serangan su-
sulan. Sementara itu Pendekar Gila tampak telah
berdiri dan mengerahkan tenaga dalamnya. Ke-
dua telapaknya tampak saling bertempelan dan
ditarik ke depan dada.
"Mei, kita tak boleh main-main dengan
makhluk ini! Jangan gegabah...!" saran Sena sambil menoleh ke arah Mei Lie.
Kali ini rupanya Pendekar Gila tak ingin
sembarangan bertindak. Dan tingkahnya yang bi-
asanya konyol dan seperti orang gila agak berku-
rang. Walaupun mulutnya masih tetap cengenge-
san dan tertawa-tawa sendiri dengan tangan
menggaruk kepala.
Pendekar Gila lalu mengeluarkan jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya diper-
satukan di depan dada. Kemudian setelah mena-
rik napas dalam-dalam, perlahan tangannya di-
buka ke samping. Ditarik ke belakang memben-
tuk siku. Lalu dengan telapak tangan terbuka,
melakukan pukulan jarak jauh secara cepat dan
beruntun. "Heaaa...!"
Wut..! Dari pukulannya, keluar kekuatan yang
luar biasa melesat ke tubuh manusia raksasa itu.
Glar! Glar! "Aung...! Grrr...!"
Manusia raksasa itu mengerang dan tu-
buhnya terhuyung. Kepalanya yang besar retak.
Melihat itu, Mei Lie tak tinggal diam. Gadis itu melompat sambil bersalto dan
membabatkan Pedang Bidadari-nya ke tubuh manusia raksasa itu.
Cras! Cras! Cras...!
"Aaaung.... Grrr...!"
Kembali manusia raksasa itu mengerang.
Sesaat kemudian tubuhnya roboh dengan kepala
terpisah. Namun anehnya, tubuh itu tiba-tiba
menyatu kembali. Seperti semula.
"Ilmu Panca Sona...!" pekik Pendekar Gila dan Mei Lie terkejut. Lalu saling
pandang. Ilmu 'Panca Sona' memang ampuh. Bila salah satu ra-
ga, kepala, kaki, atau bagian badan tak segera di-pisahkan jauh dari bagian
tubuhnya yang lain
mereka dapat menyatu kembali.
"Aneh! Pedang Bidadari-ku tak mampu
menghancurkan manusia raksasa itu...!" keluh Mei Lie cemas.
Pendekar Gila segera mengeluarkan jurus
'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang mengguna-
kan sukma atau jiwa. Sangat dahsyat dan mampu
membinasakan makhluk siluman.
"Grrr...!"
Jgarrr! Sinar keperakan menghantam makhluk
aneh itu. Seketika sosok manusia raksasa itu terbakar. Kemudian menjadi asap,
lalu hilang. Ber-
samaan dengan lenyapnya manusia aneh itu, su-
asana di sekitarnya pun berubah sama sekali.
Bukan lagi sebuah desa melainkan suatu tempat
yang asing bagi Sena dan Mei Lie. Angker dan
menyeramkan! Wanita yang tadi ditolong Mei Lie
pun lenyap. "Kita rupanya telah masuk ke alam gaib,
Kakang.... Kita telah terjebak!" ujar Mei Lie. Matanya menyapu ke sekeliling
dengan tajam. "Hi hi hi...! Mungkin kau benar, Mei," sahut Sena dengan cekikikan. Pemuda itu
nampak tenang, tak sedikit pun merasa tegang atau takut.
Matanya menatap tajam sekeliling. Pendengaran-
nya yang sangat peka dipasang untuk menangkap
suara-suara aneh dan gaib.
Mei Lie memutar tubuhnya membelakangi
Pendekar Gila dengan Pedang Bidadari masih ter-
genggam di tangan. Matanya tiba-tiba menangkap
sesosok manusia nampak seperti duduk di tempat
agak jauh memandangi mereka.
"Kakang...," panggil Mei Lie perlahan
Sena membalik, lalu menghadap ke arah
sama dengan Mei Lie. Mata Sena yang mampu
menembus segala cuaca, tampak terbelalak lebar.
Asap putih tampak mengepul di sekitar
tempat itu. Dan suara-suara aneh mulai bermun-
culan, menambah suasana kian mencekam. Ka-
lau saja yang datang di tempat itu bukan Pende-
kar Gila dan Mei Lie, mungkin sudah mati kaku
ketakutan. "Pendekar Gila! Dan kau, Bidadari Penca-
but Nyawa...! Jangan ikut campur urusanku! Aku
tak ingin ada orang ikut campur dengan urusan-
ku. Akan kutantang siapa pun yang mau tahu
urusanku. Kuharap kalian berdua tak lagi menye-
lidiki lelaki buntung itu...!"
Setelah suara itu hilang, tiba-tiba muncul
lelaki buntung. Berdiri dengan kakinya yang bun-
tung, enam tombak di hadapan Sena dan Mei Lie.
"Kau..."!" gumam Mei Lie tersentak kaget.
Setelah jelas bahwa yang di hadapannya tak lain
lelaki buntung yang dicari.
"Hi hi hi...! Kisanak, aku tak bermaksud
mencampuri urusanmu. Tapi kenapa kau mem-
bunuh orang-orang itu" Apa ada hubungannya
dengan peristiwa yang menimpa Ki Damar Kiwan-
gi...?" tanya Sena ingin tahu.
"Grrr...!"
Pertanyaan Pendekar Gila rupanya mem-
buat lelaki buntung itu marah.
"Kau terlalu ingin tahu Pendekar Gila! Aku
tak suka. Dan kuperingatkan sekali lagi, jangan
ikut campur! Dan sekarang sebaiknya kalian ce-
pat meninggalkan tempat ini..., sebelum aku be-
rubah pikiran...," perintah lelaki buntung dengan geram. "Kau, rupanya orang
yang keras kepala.
Aku tahu dendam membara memang tak dapat
dibendung. Tapi dengan terjadinya pertumpahan
darah di mana-mana, rakyat selalu ketakutan
menjadi korban orang-orang yang hanya memi-
kirkan diri sendiri. Seperti Kisanak..," tukas Sena sambil cengengesan menyindir
lelaki buntung itu.
"Bicaramu seperti tahu segalanya tentang
aku, Pendekar Gila! Dan membuatku muak men-
dengar ocehanmu itu. Terpaksa aku harus mela-
wanmu...!"
Selesai berkata begitu, si Penyair Maut itu
melesat menyerang Pendekar Gila dan Mei Lie.
Dengan melompat, seperti macan kumbang kedua
tangan lelaki buntung mencakar dan memburu
wajah Mei Lie dan Pendekar Gila.
Kuku-kuku yang panjang serta runcing,
bagai mengandung hawa panas dan berbahaya.
Pendekar Gila dan Mei Lie mengelak dengan me-
rundukkan kepala, sambil sesekali menangkis.
Jurus-jurus aneh dikeluarkan oleh si Pe-
nyair Maut itu.
"Mei, mundur! Biar aku hadapi dia...!" seru Sena pada Mei Lie yang akan
mengeluarkan jurus
Pedang Bidadari Pencabut Nyawa. Mei Lie menu-
rut. Bagi seorang pendekar bertarung secara
keroyokan dianggap kurang terpuji dan tidak ju-
jur. Itulah sebabnya Mei Lie mundur, namun te-
tap berwaspada, menjaga segala kemungkinan.
"Heaaa...!"
"Grrr...!"
Pertarungan Pendekar Gila dengan lelaki
buntung tak terelakkan. Tangan mereka beradu
saling pukul dan tangkis. Lelaki buntung itu ru-
panya memiliki ilmu yang cukup tinggi. Selama
sepuluh jurus pertama tokoh itu masih memper-
lihatkan kecepatan geraknya. Bahkan kini mam-
pu mendesak pendekar Gila, dengan jurus-jurus
anehnya. Si Penyair Maut itu kemudian menggeser
kecapinya yang tersampir di punggungnya. Ke-
mudian setelah membuat gerakan aneh, sambil
memutar kecapi maut-nya, dengan cepat menye-
rang Pendekar Gila.
Wut! Wut! "Aits! Heaaa...!"
Namun Pendekar Gila dengan cepat dapat
mengelak. Tubuhnya melenting ke atas dan balik
menyerang dengan tendangan kaki kanan ke dada
lawan. Namun lelaki buntung itu begitu cepat
tanggap terhadap serangan Pendekar Gila.
Prak! Lelaki buntung menangkis dengan keca-
pinya. Hingga tendangan Pendekar Gila hanya
menghantam kecapi. Namun kecapi itu ternyata
sangat kuat. Sedikit pun tak tampak kerusakan,
apalagi pecah. Padahal jelas, tak mungkin Pende-
kar Gila meremehkan serangan itu.
Pendekar Gila agak heran, dia menda-
ratkan kakinya di tanah dan cepat membuka ju-
rus 'Si Gila Mencengkeram Mangsa'. Tubuhnya
agak membungkuk ke bawah, meliuk-liuk sambil
tangannya mencengkeram ke tubuh lawan. Ka-
kinya menyapu kaki lelaki buntung itu. Namun si
Penyair Maut itu cepat melompat dan balik me-
nyerang dengan menghantam kecapinya ke kepa-
la Pendekar Gila yang masih merunduk. Untung
Pendekar Gila segera menangkis dengan tangan
kanannya. "Hiaaa!"
Prak! Prak! Tangan Pendekar Gila beradu dengan ke-
capi. Menimbulkan suara keras seperti beradunya
dua kayu! Kemudian lelaki buntung itu nampak
penasaran, digeser kembali kecapi mautnya ke
belakang. Lalu secepat kilat bergerak dengan lincah, melancarkan serangan
susulan pada Pende-
kar Gila dengan jurus 'Angin Manik'. Kedua tan-
gannya bergerak mencengkeram. Kuku-kukunya
yang panjang bagai kuku serigala, mengeluarkan
asap beracun. Melihat hal itu, Pendekar Gila segera men-
cabut Suling Naga Sakti-nya. Dan dengan cepat
pula dia memutar suling itu, hingga mengelua-
rkan sinar hijau yang bergulung laksana banteng
untuk menangkal asap beracun yang keluar dari
kuku-kuku si Penyair Maut itu.


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah"!" lelaki buntung terkejut Matanya terbelalak melihat Suling Naga Sakti
yang telah tergenggam di tangan kanan Pendekar Gila.
Lelaki buntung itu kemudian melompat
mundur empat tombak. Lalu mengumpulkan te-
naga dalamnya, disusul dengan menepukkan te-
lapak tangannya dua kali.
Plak! Plak! "Heaaa...!"
Si Penyair Maut melesat menyerang dengan
menghantarkan pukulan tangan kanan, yang
mengeluarkan api....
Wesss! Glarrr! Pukulan itu tak mengenai sasaran, tapi
menghantam batang pohon. Suara ledakan keras
terdengar mengiringi robohnya pohon besar itu.
Begitu dahsyat pukulan si Penyair Maut. Kalau
yang terhantam tubuh manusia, niscaya hancur
berkeping-keping. Melihat serangannya gagal, le-
laki berpakaian serba merah itu tak tinggal diam, justru semakin ganas melakukan
serangan. Seakan tak ingin memberikan kesempatan pada la-
wan untuk sedikit pun mengeluarkan jurus anda-
lannya. Kini kedua tokoh berilmu tinggi itu sudah berubah jadi bayangan yang
menggulung-gulung,
karena kecepatan gerak yang mereka lakukan.
Keduanya langsung menangkis dan menghantam
dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa.
"Heaaa...!"
"Glarrr...!"
Suara menggelegar terdengar, karena bera-
dunya dua kekuatan tenaga dalam. Baik tubuh
Pendekar Gila maupun si Penyair Maut terlempar
ke belakang. Namun sama-sama mendarat ke ta-
nah dengan mulus dan siap dengan kuda-kuda
masing-masing. Pendekar Gila nyengir, sambil menyelipkan
kembali suling Naga Saktinya, namun tetap was-
pada. Dirinya tak ingin cepat-cepat menaklukkan
lelaki buntung itu dengan senjata andalannya.
Ternyata Sena memang tak ingin melukai lelaki
berambut panjang tanpa kaki itu.
Si Penyair Maut tampaknya merasa pena-
saran. Dengan cepat tubuhnya melompat bagai
macan kumbang menerkam mangsa, menyerang
pemuda tampan di depannya.
Namun Pendekar Gila telah siap. Dengan
jurus 'Inti Bayu', pendekar muda itu menghen-
takkan tangan kanannya yang mengeluarkan de-
ru angin kencang laksana badai. Suatu kekuatan
yang mampu menerbangkan batu sebesar gajah
sekali pun. Maka ketika angin itu melesat dan
menerjang ke arah lawan, lelaki buntung itu ter-
lontar deras ke belakang dua puluh tombak, lalu
jatuh membentur batang-batang pepohonan yang
tampak meranggas tanpa daun.
Brakkk! "Ukh...!" lelaki buntung memekik tertahan,
"Kalau aku teruskan akan membawa bencana ba-gi diriku sendiri. Aku tak ingin
mati, sebelum berhasil membunuh Beruk Singgala...," gumamnya sambil merasakan sakit di
dadanya. Pendekar Gila cepat bergerak mendekati.
Namun begitu sampai, lelaki buntung telah hi-
lang, entah sejak kapan. Pendekar Gila, cen-
gengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei Lie
yang sejak tadi terpesona melihat pertarungan
kekasihnya melawan lelaki buntung itu, segera
menghampiri Sena yang masih tak mengerti. Ke
mana lelaki buntung itu tadi.
"Aneh! Begitu cepat dia pergi,..," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ke mana dia, Kakang?" tanya Mei Lie
sambil matanya menyapu sekeliling tempat ang-
ker itu. Tak terlihat tanda-tanda adanya lelaki
buntung tadi. "Kenapa dia tak mau meneruskan perta-
rungan..." Aneh!" kata Sena lagi tak mengerti. Kepalanya menggeleng-geleng
dengan mulut cengar-
cengir. "Mungkin dia merasa tak mampu mengha-
dapi Kakang. Sebaiknya kita pergi dari tempat
terkutuk dan menyeramkan ini, Kakang!" ajak Mei Lie. Gadis cantik itu
membalikkan tubuh,
tangannya menggapai lengan Sena. Dan kedua-
nya melangkah meninggalkan tempat yang bagai
alam gaib itu. *** Pendekar Gila dan Mei Lie terus melakukan
perjalanan menyelidiki, siapa sesungguhnya lelaki buntung itu. Dan apa
hubungannya dengan Dewi
Sukmalelana yang pernah mereka temui. Dari de-
sa satu ke desa lainnya, pasangan muda-mudi itu
mencari tahu. "Kakang, apakah tak sebaiknya kita menu-
ju bekas Padepokan Gunung Talang saja?" usul Mei Lie tiba-tiba.
"Hm?" gumam Sena sambil menggaruk-
garuk kepala, "Boleh juga gagasanmu. Tapi lebih baik kita melihat dulu keadaan
Kadipaten Galih
Putih. Aku sudah bosan ke tempat-tempat yang
belum jelas dan angker...," jawab Sena seenaknya. Mulutnya cengengesan sambil
menggaruk- garuk kepala. Mei Lie hanya bisa mengangkat kedua ba-
hunya, lalu menghela napas panjang. Keduanya
terus melangkah melewati jalan setapak di tepi
sebuah sungai yang cukup besar dan panjang
serta berliku-liku.
Ternyata di halaman Kadipaten Galih Putih
sedang diadakan pergelaran Tayub, semacam ta-
rian ronggeng. Pangeran Sasanadipa dan para
prajurit menyaksikan, dengan melingkari hala-
man kadipaten. Suasana tampak meriah sekali.
Seorang penari Tayub yang cantik dan bertubuh
menggairahkan sedang menari mengikuti alunan
gamelan yang dimainkan para penabuhnya.
Di antara beberapa wanita penari Tayub,
nampak satu yang tampil berbeda. Wajahnya
yang cantik dengan tubuh sintal dan menggai-
rahkan, membuat para penonton lebih tertarik
pada wanita itu. Tak terkecuali sang Pangeran
yang tampak kagum menyaksikan lenggak-
lenggok penari berkebaya merah jambu itu.
Gamelan terus mengalun, gendang pun
bersahutan dan menghentak-hentak keras men-
gimbangi bunyi gamelan lain. Penari semakin se-
mangat bergoyang pinggul. Membuat Pangeran
Sasanadipa tersenyum-senyum dan bertepuk tan-
gan. Para pengawal dan prajurit tak tahan untuk
turun ikut menari. Gaya mereka beraneka ragam
dan lucu. "Baru kali ini aku melihat penari Tayub se-
cantik itu...!" gumam Pangeran Sasanadipa sambil menggeleng kepala. Para selir
yang mengapit- nya mencibir dan cemberut, mendengar gumam
sang Pangeran. Malam semakin larut, tayuban terus ber-
langsung. Sebagian prajurit dan pengawal sudah
mulai mabuk, karena arak. Demikian pula den-
gan sang Pangeran.
Pada saat itu Pendekar Gila dan Mei Lie te-
lah sampai. Keduanya pun berbaur dengan para
prajurit dan penduduk kadipaten. Sena dan Mei
Lie mengamati orang-orang yang menari dengan
penari Tayub. Pendekar Gila nampak tertawa-
tawa sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu ber-
decak kagum. "Ck, ck, ck...!"
"Huuu...!" Mei Lie yang melihat kekasihnya merasa kagum dan berdecak, jadi
cemberut dan kesal. Namun, kemudian matanya menatap tajam
salah seorang penari Tayub yang sepertinya dia
kenal. "Hah"! Perempuan itu...?" gumam Mei Lie, begitu melihat penari Tayub
paling cantik. "Kakang...! Coba, apa kau masih ingat. Lihat penari yang memakai
baju merah jambu itu!" ujar Mei Lie pada Sena.
Pendekar Gila yang masih menggaruk-
garuk kepala dan cengengesan segera memaling-
kan pandangan ke penari yang berkebaya merah
jambu. Wanita itu sedang berlenggak-lenggok di
depan Pangeran Sasanadipa yang terpesona.
"Hi hi hi...!"
Sena hanya tertawa-tawa. Lalu menoleh ke
wajah Mei Lie sambil mengangguk. Menandakan
bahwa dia masih mengenali wanita itu.
"Perempuan yang kita pergoki beberapa ha-
ri lalu. Siapa dia sebenarnya...?" tanya Mei Lie pelan. Matanya terus mengawasi
penari berkebaya
merah jambu itu. Wajahnya menyiratkan rasa
mendendam terhadap wanita itu. Karena wanita
itu pernah dibiarkan pergi oleh Sena.
Sementara itu para penabuh gamelan se-
makin bersemangat, ketika Pangeran Sasanadipa
turun menari bersama penari berkebaya merah
jambu itu, yang ternyata Dewi Sukmalelana. Pan-
geran Sasanadipa yang sudah setengah mabuk,
menari dengan sedikit sempoyongan dan selalu
ingin memeluk penari Tayub itu. Gaya sang Pan-
geran membuat semua orang tertawa geli, melihat
pangerannya yang terkadang hampir jatuh. Na-
mun, si penari segera menahan sambil memeluk-
nya. Pangeran nampak senang. Para selir yang
melihat itu mencibir cemburu.
Pada saat suasana penuh tawa riang itu
berlangsung, tiba-tiba berubah menjadi ketegan-
gan yang luar biasa, ketika dua orang lelaki muncul di tengah-tengah arena.
Kedatangan mereka
yang bagai makhluk halus muncul secara tiba-
tiba. Hal itu menunjukkan bawah kedua lelaki itu memiliki ilmu yang sangat
tinggi "Ha ha ha...! Pangeran edan! Dia malah se-
nang-senang berpesta pora. Padahal ketiga te-
manku mati...!" seru lelaki bertubuh tinggi agak kurus dan berhidung mancung ke
bawah, seperti paruh betet. Pakaiannya yang berbentuk jubah
panjang berwarna hitam legam. Rambutnya yang
hitam dibiarkan terurai panjang. Dengan tatapan
mata tajam yang merah memandang setiap orang
yang ada di tempat itu. Dialah Beruk Singgala!
Seketika gamelan berhenti. Para penari
pun ketakutan lari bersembunyi di antara penon-
ton. Hanya satu penari berbaju merah jambu
yang nampak tak merasa takut. Bahkan matanya
menatap tajam kedua tokoh sesat itu.
Sedangkan sang Pangeran yang sudah se-
tengah mabuk, hanya bisa diam dan tak berani
berucap sepatah kata pun.
"Pangeran yang gila perempuan ini sebaik-
nya kita bereskan saja, Kakang Beruk. Sudah tak
ada gunanya lagi. Bukankah rencana kita me-
mang untuk menguasai kadipaten dan seluruh
kekuasaannya?" seru Danur Saka dengan suara lantang sambil memegang leher
Pangeran Sasanadipa.
"Edan! Benar-benar edan! Seorang pange-
ran bisa dipermainkan orang-orang macam itu...!"
gumam Mei Lie dengan geram, "Siapa mereka itu, Kakang...?" tanya Mei Lie
kemudian. "Hi hi hi... lucu! Dunia memang sudah ter-
balik. Seorang pangeran bisa dipermainkan!' Sena tak menjawab pertanyaan Mei
Lie. Mulutnya bergumam sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kakang, sebaiknya kita turun tangan! Aku
muak melihat ada orang yang sok jago!" tukas Mei Lie geram.
"Tenang, Mei! Kedua lelaki itu aku rasa
kawanan Partai Panca Siwara. Kita harus hati-
hati! Sebab kita tak punya urusan atau pertikaian dengan mereka...!" cegah Sena.
Sementara itu, Danur Saka mendekati pe-
nari berkebaya merah jambu yang tak lain Dewi
Sukmalelana. Lelaki setengah baya bertelanjang
dada itu dengan seenaknya memeluk dan mera-
ba-raba dada Dewi Sukmalelana sambil tertawa-
tawa. Semua orang tak berani berbuat sesuatu.
Mereka semua diam terpaku bagai patung.
"Ha ha ha...! Kau penari Tayub tercantik
dan menarik yang pernah kutemui, Cah Ayu. Ha
ha ha...! Aku ingin kau layani aku, Manis. Ayo,
main gamelan dan gendang!" perintah Danur Sa-ka.
Sementara Beruk Singgala telah duduk di
kursi sang Pangeran, bersama para selir pange-
ran. Sedangkan pangeran sendiri sudah tak kua-
sa menahan pusing di kepalanya. Karena terlalu
banyak menenggak arak.
Gamelan mulai mengalun lagi. Danur Saka
dengan penuh bersemangat menari bersama Dewi
Sukmalelana. Tarian yang dilakukan Danur Saka
tampak konyol dan kurang ajar. Namun Dewi
Sukmalelana yang sebenarnya telah menahan
dendam tampak masih sempat tersenyum-
senyum manis. Dan bahkan dengan berani, men-
gimbangi Danur Saka yang bertingkah konyol dan
kotor itu. Danur Saka semakin menggila. Hatinya
larut dalam keasyikan.
"Aneh! Kenapa perempuan itu malah mela-


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

deninya...?" gumam Mei Lie lirih.
"Ssst.., tenang! Perhatikan gerakan perem-
puan itu! Bukan lagi gerakan tari Tayub, melain-
kan gerakan silat yang terselubung! Sukar dilihat
dengan mata biasa..." ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala cengengesan.
Mei Lie mengerutkan kening. Lalu men-
gangguk karena telah mengerti.
Benar, gerakan tari Dewi Sukmalelana se-
sekali telah berubah dengan gerakan silat yang
begitu halus. Hingga tak dirasakan oleh Danur
Saka yang sudah tergiur kecantikan dan kemole-
kan tubuh Dewi Sukmalelana.
Plak! Plak! Dua tamparan tangan kanan Dewi Sukma-
lelana mendarat tepat ke wajah Danur Saka. Ti-
dak terlalu keras.
"Eits! He he he... ooo... ha ha ha! Kau nak-al, Cah Ayu...!" gumam Danur Saka
masih belum mengerti gelagat Dewi Sukmalelana. Lelaki berpe-rut buncit
bertelanjang dada itu malah mende-
katkan wajah serta menempelkan badan ke pe-
rempuan itu. Gamelan terus terdengar semakin seman-
gat Danur Saka benar-benar lupa diri, hingga tak menyadari kalau penari
pasangannya tengah me-nunggu waktu tepat untuk membunuhnya. Dan
tiba-tiba.... "Ukh...!" Danur Saka terpekik sambil memegangi dada. Tubuhnya terhuyung ke
belakang lima tombak. Rupanya Dewi Sukmalelana yang sudah
tak tahan menahan dendamnya, telah bertindak
dengan gerakan yang tak tertangkap mata siapa
pun. Beruk Singgala yang sedang asyik meng-
gantikan kedudukan pangeran yang bercumbu
dengan para selir, kaget melihat Danur Saka ter-
huyung. Lelaki berjubah hitam itu serta-merta
bangkit berdiri. Matanya menyipit memandangi
Dewi Sukmalelana.
Perempuan cantik yang pandai menyamar
itu dengan cepat menghajar Danur Saka yang be-
lum pulih dari rasa sakit di dadanya. Dengan ge-
rakan seperti menari, Dewi Sukmalelana meliuk-
liuk lalu melompat dan menendang dengan kaki
kanannya ke kepala Danur Saka.
"Heaaat..!"
"Aaaukh...!"
Danur Saka menjerit keras. Tubuhnya me-
lintir, kena tendangan kaki Dewi Sukmalelana.
Beruk Singgala yang melihat itu segera melenting ke udara untuk menghadang
serangan Dewi Sukmalelana yang akan disarangkan ke tubuh
kawannya. "Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Glar! Pukulan jarak jauh Dewi Sukmalelana be-
radu dengan telapak tangan Beruk Singgala, me-
nimbulkan percikan sinar perak dan kemerahan.
Baik Beruk Singgala maupun Dewi Sukma-
lelana terpental ke belakang. Namun sama-sama
tak tergoyahkan keduanya berdiri tegap. Semen-
tara itu Danur Saka yang sudah mulai pulih den-
gan geram ingin menyerang Dewi Sukmalelana.
Namun Beruk Singgala menahannya.
"Sabar! Kita harus tahu siapa perempuan
itu sebenarnya. Dan kenapa ingin membunuh-
mu," ujar Beruk Singgalang.
"Hi hi hi...! Kalian manusia-manusia terku-
tuk...!" maki Dewi Sukmalelana sinis sambil menuding Beruk Singgala dan Danur
Saka. Sementara itu para prajurit serta penonton
mulai ketakutan dan menyebar. Ada pula yang la-
ri, menjauhi tempat itu. Sedangkan Pangeran Sa-
sanadipa pingsan karena mabuk. Para selir pun
berhamburan pergi masuk ke kadipaten. Hanya
sebagian prajurit dan pengawal kadipaten yang
masih berada di halaman itu.
"Hm...! Perempuan cantik ini ternyata san-
gat cerdik. Menyamar sebagai penari Tayub. Lalu
ingin membunuh. Siapa kau sebenarnya, Perem-
puan Jalang"!" seru Beruk Singgala geram.
"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang pasti
aku ingin melenyapkan kalian berdua sekarang
juga!" Selesai berkata demikian, Dewi Sukmalelana segera mengeluarkan jurus
pembuka. Namun Beruk Singgala dengan cepat pula mengerahkan
ilmu sihirnya. Setelah ditepukkan tiga kali, telapak tangannya dihentakkan
dengan keras ke de-
pan. Seketika muncullah makhluk-makhluk kecil
seperti tuyul dari tubuhnya. Makhluk kecil yang
berjumlah puluhan itu mempunyai taring dan
bertelinga panjang.
Dewi Sukmalelana tampak kaget melihat
hal itu. Namun dengan cepat dia mengeluarkan
ilmu perubah raga. Seketika wajahnya berubah
menyeramkan dan tubuhnya tiba-tiba berubah
membesar. Bagai raksasa perempuan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang menyaksi-
kan hal itu hanya geleng-geleng kepala. Makhluk-
makhluk kecil seperti tuyul dan bertaring itu menyerang Dewi Sukmalelana yang
bertubuh raksa-
sa. Seperti haus darah makhluk-makhluk kecil
berkepala botak itu menggigit tubuh mangsanya.
Namun Dewi Sukmalelana masih dapat mena-
hannya. Dan bahkan satu persatu tuyul-tuyul
berkuping panjang itu dapat dibunuhnya. Walau-
pun tubuhnya sebagian sudah kena gigitan hing-
ga tampak tercabik-cabik.
Namun karena jumlahnya puluhan dan se-
perti tak pernah habis tubuh Dewi Sukmalelana
mulai terseret, seperti tak mampu mempertahan-
kan diri. Apalagi sudah banyak darah yang terhi-
sap serta berceceran dari luka-luka di tubuhnya.
Tanah di pekitaran kadipaten itu seketika
dipenuhi bercak-bercak darah yang terus menetes
dari tubuh Dewi Sukmalelana. Orang-orang yang
menyaksikan kejadian aneh itu tampak merinding
dan ketakutan. Ada yang berlari. Ada pula yang
bertahan sambil menutupi kedua mata.
"Ayo anak-anakku, serap dia, lemahkan il-
munya! Habisi dia...!" seru Beruk Singgala sambil terus membaca mantera
sihirnya. Kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Kik kik kik...!"
Suara makhluk-makhluk aneh itu terden-
gar menyebalkan Dewi Sukmalelana. Semakin
lama suara mengikik itu semakin ramai. Orang-
orang menutup telinga sambil memejamkan mata,
tak tahan menyaksikan kejadian menggiriskan
itu. "Kurang ajar ilmu sihir apa ini! Begitu tangguh. Oooh..., Kakang, tolonglah
aku, Kakang Brajasukmana...!" keluh Dewi Sukmalelana sambil terus bertahan. Membanting dan
menendang tuyul-tuyul penghisap darah yang terus menye-
rangnya. Kini makhluk-makhluk itu seperti tak
kunjung habis. Terus mengurung Dewi Sukmale-
lana. Lalu tiba-tiba secara bersama-sama, pulu-
han makhluk-makhluk botak itu melompat me-
nyerang Dewi Sukmalelana.
"Kik kik kik..."
"Ooo...! Aaauuuwww...!"
Gigitan dan cakaran mereka terus merusak
tubuh Dewi Sukmalelana. Hingga tubuh raksasa
wanita itu mulai goyah karena tenaganya terus
terkuras. Darah mengucur hampir dari seluruh
tubuhnya. Namun anehnya, darah itu berwarna
kuning. Hal itu tentu saja membuat Beruk Sing-
gala mengerutkan kening keheranan.
"Hah"! Edan! Perempuan itu bukan manu-
sia.... Apa mataku tak salah lihat" Darah itu...
kuning...!" gumam Beruk Singgala dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba Dewi Sukmalelana seperti men-
dapat tenaga dari luar. Dia berteriak keras, sambil menghentakkan kedua
tangannya. Dan pulu-
han makhluk yang menyerangnya terlempar dan
kemudian diinjak-injaknya satu persatu.
Melihat itu Beruk Singgala semakin kaget
Dengan cepat dia mengeluarkan ilmu sihirnya
yang lebih dahsyat. Dari kukunya keluar serbuk
beracun. Namun Dewi Sukmalelana sudah siap.
Wanita bertubuh raksasa itu segera melawan
dengan rambutnya yang menjulur panjang tak
terbatas. Rambut itu memapaki serbuk yang
mengandung racun kematian. Ketika rambutnya
yang memanjang dikibaskan serbuk itu terhem-
pas. Namun kemudian bergulung-gulung seakan-
akan tengah bertarung melawan rambut Dewi
Sukmalelana yang menyambar ke sana kemari
Brets! Brets! "Aaakh...!"
Wut! Wut! Wut...!
Rambut Dewi Sukmalelana kini menghan-
tam kedua tokoh sesat itu. Teriakan dan jeritan
terdengar dari Beruk Singgala dan Danur Saka
yang terhantam rambut wanita itu. Namun hal itu
tampaknya tak membahayakan kedua anggota
Partai Panca Siwara. Dalam sekejap, Beruk Sing-
gala balik menyerang dengan mengeluarkan kem-
bali makhluk aneh dengan ilmu sihirnya.
Dimulai dengan datangnya angin kencang,
terdengar suara tawa aneh dan mendesis-desis.
Disusul kepulan asap hitam bercampur ungu,
bergulung-gulung, lalu menjelma menjadi sesosok
makhluk aneh, dari kepala sampai batas ping-
gang berwujud perempuan, dengan mata menyala
merah dan mulut bertaring. Sedangkan dari ping-
gang ke bawah berwujud badan ular naga. Mu-
lutnya terdengar mendesis-desis.
Dewi Sukmalelana nampak mulai menge-
rahkan seluruh kekuatan. Sama-sama menggu-
nakan ilmu gaib.
Namun, rupanya ada orang yang tak ingin
pertarungan ilmu sihir itu berlanjut. Tiba-tiba
dua sosok manusia melenting ke udara dan den-
gan cepat mendarat di antara kedua makhluk itu.
Mereka ternyata Pendekar Gila dan Mei Lie. Sete-
lah mendarat Pendekar Gila segera mengeluarkan
aji 'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang mampu
menghancurkan ilmu sihir dan bangsa siluman.
"Heaaa...!"
Wut! Glarrr! Glarrr...!
Pukulan Pendekar Gila ke arah kedua si-
luman itu menimbulkan ledakan dan bias cahaya
keperakan. Seketika dua makhluk aneh jelmaan
Dewi Sukmalelana dan makhluk ciptaan ilmu si-
hir Beruk Singgala, hancur lalu lenyap bersama
ledakan itu. Sedangkan Mei Lie siap dengan Pedang Bi-
dadari-nya untuk menyambut serangan Beruk
Singgala atau Danur Saka.
Keadaan semakin kacau balau. Para praju-
rit yang melihat kejadian itu ketakutan dan lari untuk menyelamatkan diri
masing-masing. Dugaan Mei Lie benar. Beruk Singgala dan
Danur Saka yang kurang senang dengan ikut
campurnya Pendekar Gila menjadi marah. Semen-
tara itu Dewi Sukmalelana cepat menghilang, ke-
tika tahu kalau Pendekar Gila dan Bidadari Pen-
cabut Nyawa datang membelanya. Sebab Dewi
Sukmalelana tak ingin kedua pendekar mengeta-
hui siapa dia sebenarnya.
"Kau rupanya Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa! Kalian telah menghalangi usa-
haku untuk membunuh perempuan iblis itu!
Heaaa...!"
Beruk Singgala langsung menyerang Mei lie
dengan serbuk beracun yang dikeluarkan dari
kuku-kuku runcingnya. Namun gadis cantik itu
cepat mengelak dengan melenting ke atas dan
bersalto beberapa kali. Setelah melewati kepala
Beruk Singgala, dengan mulus Mei Lie mendarat
di tanah. Kemudian langsung membuka jurus
pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus
sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena
babatan pedangnya akan mengalami keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka. Namun jika
tertiup angin, maka langsung hancur menjadi de-
bu. Beruk Singgala dan Danur Saka tersentak
menyaksikan jurus yang aneh dan terkenal itu.
Keduanya tampak tegang menyaksikan jurus
yang diperagakan Bidadari Pancabut Nyawa. Na-
mun karena yakin ilmu sihirnya. Beruk Singgala
kembali memejamkan mata untuk memusatkan
diri dan membaca mantera, mencipta sihir.
Pendekar Gila yang sejak tadi hanya mem-
perhatikan kekasihnya, bergerak mulai ikut cam-
pur. Dengan cepat dirinya mengeluarkan ilmu
'Tamparan Sukma' Tamparan itu mengerahkan
kekuatan sukma atau jiwa. Gerakannya nampak
lambat, namun hasilnya sangat dahsyat.


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heaaa...!"
Jlgarrr...! "Aaa...!"
Beruk Singgala yang belum sempat berha-
sil mengeluarkan sihirnya, menjerit keras. Tu-
buhnya melintir bagai terbakar. Dan Danur Saka,
yang melihat itu, tersentak kaget. Wajahnya yang beringas berubah pucat.
Kemudian tanpa menghiraukan kawannya, segera lari meninggalkan
pertempuran. "Tak mungkin aku mampu menghadapi
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa...,"
gumam Danur Saka sambil terus melesat karena
ketakutan. Sementara Beruk Singgala masih menjerit-
jerit. Ketika Mei Lie akan membabatkan Pedang
Bidadari-nya, lelaki tua berjubah hitam itu tiba-tiba menghilang.
"Hah..."!" Mei Lie mendengus kesal. Namun tetap waspada dengan pedang saktinya.
"Aneh! Ke mana manusia itu"!"
"Hi hi hi..!" Sena hanya tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa Kakang tertawa...?" kata Mei Lie kesal. "Biarlah dia pergi! Cepat atau
lambat dia akan menemui ajalnya," kata Sena memberi tahu Mei Lie.
Mei Lie hanya cemberut. Hatinya benar-
benar kesal karena tak berhasil membunuh to-
koh-tokoh sesat itu.
"Sudahlah, sebaiknya kita pulihkan pikiran
dan tubuh Kanjeng Pangeran. Setuju?"
Mei Lie hanya mengangguk. Lalu melang-
kah mengikuti Sena menuju bangunan besar dan
megah, tempat kediaman Pangeran Sasanadipa.
Orang-orang ternyata menyambut Sena dan Mei
Lie dengan penuh hormat
5 Di sebuah rumah tua yang terletak di ten-
gah Hutan Palasari, terdengar suara seorang lela-ki yang sedang marah-marah.
"Kau terlalu ceroboh! Kenapa kau bertin-
dak tanpa memberi tahu, atau minta izinku..."!
Kau telah mengacaukan rencanaku. Sekarang
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa pasti
akan terus mencari tahu siapa kita sebenarnya.
Aku tak mau hal itu terjadi. Biar Pendekar Gila
tahu siapa kita, setelah kita dapat me-
musnahkan orang-orang yang pernah menghan-
curkan kita...!"
Suara itu ternyata keluar dari mulut seso-
sok lelaki berambut panjang dan berpakaian ser-
ba merah. Tangannya mendekap sebuah kecapi.
Lelaki bertubuh gagah, tapi tanpa kaki itu tak
lain si Penyair Maut Wajahnya tampak lebih jelas karena rambut yang biasanya
menutupi, kini agak teratur. Raut wajahnya menyiratkan pera-
saan duka yang mendalam. Tak tampak sedikit
pun gambaran bahwa lelaki berpakaian serba me-
rah itu seorang yang berhati keras atau jahat
"Maafkan aku, Kakang! Tapi maksudku
agar Kakang tidak terlalu repot-repot lagi. Aku tak
mau Kakang mendapat celaka...," jawab wanita cantik berkain penutup dada warna
hijau. "Aku mengerti. Tapi kau terlalu ceroboh!
Dan karena kecerobohanmu itu, aku sempat ben-
trok dengan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut
Nyawa. Karena ulahmu, kedua pendekar muda
itu kini menyelidiki kita...! Itu yang membuat aku marah dan kesal," tambah
Brajasukmana, lelaki buntung itu.
Kemudian, lelaki buntung itu duduk di se-
buah kursi tua, terbuat dari kayu jati. Disandarkan kepalanya ke sandaran kursi
dan menghela napas dalam-dalam.
"Kakang, aku kira Pendekar Gila tidak
bermaksud buruk terhadap kita. Tadi aku sempat
ditolongnya. Kenapa Kakang mesti cemas...?" tukas wanita muda yang ternyata Dewi
Sukmalela- na. "Sudah kukatakan. Aku tidak mau orang
lain ikut campur dengan urusan kita. Urusanku!
Bila Pendekar Gila masih saja mau menyelidiki ki-ta, aku terpaksa melawannya.
Tapi sebelumnya,
aku akan membunuh Beruk Singgala dan Danur
Saka itu terlebih dulu. Kepalang basah! Bila perlu Kadipaten Galih Putih
kuhancurkan!"
Brajasukmana nampak sangat kesal dan
murka. Sikapnya yang sebenarnya tenang men-
dadak berubah. Dewi Sukmalelana heran dan ka-
get mendengar ucapan lelaki buntung itu.
"Kakang, apa ucapanmu itu benar-benar
akan kau wujudkan" Atau hanya menutupi ke-
marahanmu padaku...?" tanya Dewi Sukmalelana.
"Akan kubuktikan ucapanku, jika memang
keadaan memungkinkan bagi kita," jawab Brajasukmana dengan mantap.
Dewi Sukmalelana hanya menghela napas
panjang, memandangi suaminya dengan tatapan
mata sendu. Sesaat keduanya diam. Tak sepatah kata
pun terdengar suara mereka. Seakan keduanya
hanya bicara pada diri masing-masing.
"Aku minta biar dalam keadaan bagaima-
napun, jangan kau membuka rahasia kita, Dewi!
Yang penting kita sekarang harus cepat membu-
nuh Beruk Singgala dan Danur Saka, agar den-
dam kita terbalas dengan tuntas. Urusan Pende-
kar Gila dan Kadipaten Galih Putih nomor dua!
Ayo, kita berangkat mencari Beruk Singgala dan
Danur Saka! Aku sudah tak sabar lagi, ingin
menghisap darahnya!" kata si Penyair Maut dengan geram. Lalu bangkit dari
duduknya dan mele-
sat keluar dari rumah tua itu. Diikuti Dewi Suk-
malelana yang nampak kurang bersemangat.
*** Di markas Beruk Singgala, nampak Danur
Saka sedang bicara dengan Beruk Singgala.
Ruangan itu dipenuhi dengan tengkorak-
tengkorak manusia dan macam-macam binatang.
Bau kemenyan dan dupa menyengat hidung.
Beruk Singgala duduk bersila, menghadapi
tempat kemenyan. Mulutnya komat-kamit, seperti
membaca mantera. Asap dari pendupaan itu
mengepulkan asap putih.
"Kita tidak boleh mendiamkan keadaan se-
perti ini lebih lama lagi, Kakang Beruk. Kita harus segera kembali ke kadipaten,
sebelum Pendekar
Gila mempengaruhi pangeran. Bisa kacau renca-
na kita! Apa pun yang terjadi, aku sudah siap sekarang. Demi kawan-kawan kita
yang telah bina-
sa, dibunuh orang yang belum jelas bagi kita," ka-ta Danur Saka dengan nada
geram. "Ya. Kau benar. Kita harus mengadakan
perhitungan dengan Pendekar Gila dan kekasih-
nya. Aku ingin mencicipi tubuh gadis Cina itu.
Pasti lezat! He he he...!" sahut Beruk Singgala.
"Kau bicara soal perempuan saja. Kali ini
kita tak boleh meremehkan siapa pun. Apalagi
Pendekar Gila. Kau nanti bisa celaka sendiri, Kakang Beruk," tukas Danur Saka
mengingatkan Beruk Singgala.
"Ha ha ha...! Kau benar, Kawan. Tapi akan
kubikin gadis itu tunduk padaku. Dengan mante-
ra pengasihan ini, gadis mana pun akan selalu
tertarik kepadaku. Ha ha ha...!"
Beruk Singgala nampak yakin, bahwa di-
rinya akan dapat memanggil Mei Lie, dengan ilmu
sihir dan peletnya. Dia terus memasukkan keme-
nyan ke dalam dupa. Asap pun kembali mengepul
ke udara. Danur Saka nampak kurang suka, sebab
ada firasat yang tak enak dirasakan dalam ha-
tinya. Dirinya tahu bahwa Pendekar Gila maupun
Mei Lie, memiliki ilmu yang mampu menangkal
sihir atau teluh. Maka itu dia tak yakin pada usa-
ha Beruk Singgala.
Benar. Belum sempat Beruk Singgala ber-
hasil mendatangkan Mei Lie dengan mantera-
mantera setannya, tiba-tiba markasnya bergun-
cang. Bagai kena gempa bumi. Lalu disusul suara
ledakan menggetegar.
Brakkk! Glarrr...! Beruk Singgala tersentak kaget. Pikirannya
yang terpusat mengerahkan ilmu sihir, terganggu.
Wajahnya merah dengan mata membelalak kare-
na marah. "Ada apa di luar...?" tanyanya pada Danur Saka yang juga memasang telinga.
"Aku tak tahu! Yang jelas ada orang asing
mendekati markas kita. Sebaiknya hentikan itu.
Ayo kita keluar!" sahut Danur Saka lalu bangkit.
Beruk Singgala berpikir sejenak dengan
wajah kesal dan geram. Lalu bangkit dari duduk-
nya, sambil membanting kemenyan di tangan ka-
nannya. "Huh!"
Sementara di luar mendung tebal menutup
langit. Awan hitam berarak-arak. Angin kencang
bertiup, seakan hendak menghempaskan apa saja
yang ada. Menambah sore hari itu semakin men-
cekam. Sepi dan sunyi.
"Hah"! Pohon di sebelah sana roboh dan
terlempar. Aneh...!" sentak Danur Saka sambil mengerutkan kening. Matanya segera
menyapu sekeliling tempat itu dengan tatapan tajam.
Beruk Singgala memilin kumisnya dengan
tangan kiri. Matanya yang bagai mata elang den-
gan tajam memandang dan melirik ke kiri dan
kanannya. "Hm...! Ada apa kiranya" Perasaanku tiba-
tiba kurang enak." Beruk Singgala melangkah mendekati pohon yang roboh itu.
Tiba-tiba terdengar alunan syair dari mulut
seseorang. Suara itu terdengar dari tempat yang
tak jauh. Namun tak tahu siapa yang mengu-
capkannya. Hal itu membuat Beruk Singgala dan
Danur Saka tersentak kaget bukan main. Kedua-
nya saling pandang, lalu segera berpencar, men-
cari tempat asal suara syair itu.
Kidung Kehidupan
Pertama Kali Dia Hadir
Tetesan Darah Akan Tiba
Hitung Budi Dibayar Budi
Hutang Nyawa Dibayar Nyawa
Hutang Pati Harus Dibayar Pati...
Mendengar syair maut itu Danur Saka merasa kaget. Sedangkan Beruk Singgala
berusaha untuk mengumpulkan ilmu sihirnya. Sesaat ke-
mudian terdengar suara petikan kecapi melengk-
ing nyaring, sampai memekakkan telinga. Na-
danya sangat mengenaskan, membuat Beruk
Singgala dan Danur Saka terperangah. Suara ke-
capi itu semakin lama semakin keras. Mendung
pun semakin gelap menambah suasana ter-
cekam. "Aneh!" gumam Beruk Singgala heran, "Aku
tak dapat menggunakan ilmuku...!"
Beruk Singgala dan Danur Saka memasang
telinga dan matanya tajam. Mencari siapa yang
telah membawakan syair tersebut. Namun belum
sempat Danur Saka dan Beruk Singgala tahu, ti-
ba-tiba sesosok bayangan merah berkelebat begi-
tu cepat laksana terbang. Dan....
Wrt! Cras! Cras! "Aaakh...!"
Begitu cepat bayangan itu melesat melan-
carkan serangan terhadap Danur Saka dan Beruk
Singgala. Sehingga keduanya tak sempat me-
nangkis atau mengelak. Seketika itu pula, kedua-
nya menjerit setinggi langit. Tangan mereka me-
nutupi wajah yang mengucurkan darah. Tubuh
Danur Saka seketika ambruk tanpa nyawa. Se-
dangkan Beruk Singgala masih beruntung, hanya
terluka bagian dadanya. Dengan gerak cepat Be-
ruk Singgala mengumpulkan tenaga dalam-nya.
"Kurang ajar!" maki Beruk Singgala, "Siapa kau, manusia atau hantu..."!"
"Beruk Singgala, kau manusia paling bu-
suk di dunia! Sekarang bersiaplah berangkat ke
akherat..!" ujar lelaki berpakaian merah yang tak lain Brajasukmana. Senyum
sinis mengembang di
bibir lelaki buntung itu. Kemudian kembali ber-
syair. Kali ini bersahut-sahutan dengan Dewi
Sukmalelana yang tiba-tiba muncul di belakang
Beruk Singgala.
"Hah..."!" Beruk Singgala kaget, ketika menoleh ke belakang, melihat Dewi
Sukmalelana menyeringai seram. Giginya bertaring. Wajahnya
tidak secantik ketika menjadi penari Tayub.
Keringat dingin mulai membasahi seluruh
tubuh Beruk Singgala. Napasnya naik turun den-
gan cepat, menandakan rasa takut yang tak terki-
ra. "Kau, Perempuan Iblis..."! Jadi kau me-
mang sudah merencanakan untuk membunuh-
ku...!" seru Beruk Singgala coba berkata keras, untuk menutupi ketakutannya.
"Hi hi hi...! Ya, Manusia Terkutuk! Kini
ajalmu tinggal hampir tiba. Hi hi hi...! Kakang, tua bangka ini sebaiknya
kuserahkan pada Kakang saja. Aku ingin menyaksikan dia mati di
tanganmu, Hi hi hi...!"


Pendekar Gila 29 Syair Maut Lelaki Buntung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai berkata begitu Dewi Sukmalelana
menghilang. Hanya tawanya yang masih terden-
gar, mengerikan. Sekujur tubuh Beruk Singgala
semakin basah oleh keringatnya, karena mena-
han rasa takut yang amat sangat.
"He he he.., Beruk Singgala! Orang macam
kau tak perlu cepat-cepat kumatikan. Aku ingin
mengajak kau main-main dulu. Kalau aku mau
membunuhmu, sudah dari tadi kau mampus...!
He he he...," ujar si Penyair Maut sambil terkekeh sinis. Beruk Singgala
tertegun sesaat. Hatinya
menimbang-nimbang, untuk tidak melawan. Na-
mun kesombongan dan karena merasa malu ka-
lau lari dari lelaki buntung itu, memaksanya
mengambil keputusan untuk bentrok dengan le-
laki buntung. Walaupun dia sadar tak akan mu-
dah mengalahkan lelaki buntung itu.
Tiba-tiba Brajasukmana atau si Penyair
Maut mendengus. Matanya menatap garang pada
Beruk Singgala. Kedua lutut, buntungnya terang-
kat ke atas bagai terbang. Sepasang tangannya
yang tadi di dada perlahan-lahan bergerak turun.
Beruk Singgala bersurut mundur.
"Heaaat..!"
Lelaki buntung membentak buas lalu han-
tamankan tangan kanannya ke tubuh lawan. Se-
rangkum angin deras melesat menerjang Beruk
Singgala. Namun lelaki berjubah hitam itu cepat
menyingkir. "Aku akan ladeni mainanmu, Orang Bun-
tung...!" Wuts! "Heaaat..!"
Kembali serangkum angin menyapu ganas.
Kali ini datang dari samping. Untuk kedua ka-
linya Beruk Singgala melompat dan berhasil se-
lamatkan diri. "He he he..., bagus kau masih bisa menge-
lak seranganku, Manusia Terkutuk! Kau boleh
senang-senang dulu.... Ini baru permainan pem-
buka...," seru lelaki buntung dengan sinis, "Dewi, keluarlah! Mari kita beri
pelajaran manusia terkutuk ini! Biar tambah ramai...!"
Dewi Sukmalelana seketika muncul, dalam
bentuk seperti biasa, cantik dan tersenyum lebar.
"Aku juga ingin perminan lebih seru, Ka-
kang. Hi hi hi...!"
Bersama Dewi Sukmalelana lelaki buntung
atau si Penyair Maut itu menyerbu Beruk Singga-
la. Menghadapi satu saja belum tentu dapat men-
galahkan, apalagi kini menghadapi dua sekaligus.
Terpaksalah Beruk Singgala bertindak cepat dan
berhati-hati. Sekali salah gerakan atau salah
langkah, tak ampun lagi, serangan lawan pasti
akan mencelakakannya. Bahkan nyawanya me-
layang! "Kalian curang...!" seru Beruk Singgala sambil berkelebat mengelak tiada
hentinya. Melenting ke sana kemari. Berguling di tanah dan
melompat ke atas pohon.
"He he he! Hebat juga si monyet ini...! Aku rasanya sudah tak sabar ingin
menghisap darahnya. Mencincangnya, Dewi!"
6 Dua kali pukulan keras lelaki buntung ber-
sarang di tubuh Beruk Singgala. Lalu satu jotosan Dewi Sukmalelana menghantam
rusuknya pula. Beruk Singgala tampak terhuyung-huyung. Mu-
lutnya meringis menahan rasa sakit yang berat.
Salah satu pukulan lelaki buntung tadi telah
membuat tubuhnya terluka dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat,
maut pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya
Beruk Singgala sedapat mungkin harus berusaha
mengintai kelengahan lawan, agar dapat menero-
bos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan
diri. "Heaaat..!"
Tiba-tiba Beruk Singgala melepaskan pu-
kulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua
lawannya. Lalu disusul dengan serangan senjata
rahasianya. Slats! Slats! Brajasukmana dan Dewi Sukmalelana me-
lompat jauh untuk mengelakkan pukulan. Sedang
untuk menangkis senjata rahasia itu, si Penyair
Maut menggunakan kecapinya. Dewi Sukmalela-
na menggunakan rambutnya yang tiba-tiba beru-
Manusia Harimau Jatuh Cinta 7 Golok Bulan Sabit Karya Khu Lung Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 9
^