Pencarian

Mamamo 1

Mamamo Karya Sara Tee Bagian 1


PROLOG Waktu yang paling menyenangkan bagi anak-anak untuk bermain diluar rumah
adalah sore. Saat itu panas matahari tak begitu menyengat dan anak-anak sudah
pulang dari sekolah. Seperti biasa anak-anak kampung Anggrek bermain dilapangan. Ada sekitar lima
belas anak asyik bermain disana. Beberapa pohon besar dengan dedaunan yang
rimbun membuat udara terasa segar dan menyediakan tempat berteduh bagi
orangtua yang menemani anaknya bermain.
"Pinjam boneka monyetnya dong, Nerisa," kata Freya yang berumur sembilan tahun.
Freya berperawakan kurus tinggi dengan kulit kecoklatan terbakar sinar matahari.
Dengan lincah ia menghampiri temannya yang bernama Nerisa, bocah berumur
sembilan tahun dengan tubuh mungil dan berkulit putih.
"Tapi nggak boleh lama-lama, ya?" Nerisa melepaskan Momo-monyet montokboneka kesayangannya dari dekapan.
"Iya, tenang saja..." Freya menarik boneka itu cepat lalu melemparkannya ke pohon.
"Freya jahat!" Nerisa berteriak.
Ia melihat bonekanya tersangkut dipohon randu yang tinggi. Matanya mulai
memerah dan berair, sesaat kemudian tangisannya terdengar. Matanya ditutup
dengan punggung tangan. Ia terus menangis.
"Cengeng... gitu aja nangis...," Freya berjingkrak sambil tertawa.
"Freya jahat...!"
"Ayo ambil, jangan nangis!" Freya melepaskan tangan Nerisa yang menutupi
matanya. Muka Nerisa merah, sisa air matanya tampak. Sesekali dia masih terisak.
"Aku nggak bisa manjat pohon..."
"Makanya belajar. Yuk, aku ajari!"
"Nggak, kamu aja, Freya. Kamu kan pintar memanjat."
"Kamu juga bisa kok. Jangan takut! Ayo... Lihat tuh siMomo sudah menunggu!"
Freya menengadah melihat boneka monyet itu.
Cukup kuat juga Freya melempar Momo hingga tersangkut pada dahan yang tinggi.
"Ayo..." Freya mendorong Nerisa kepohon.
Tangan Nerisa merangkul pohon besar itu, ia mulai menggerakkan tangannya.
Freya berjongkok dibawahnya menyuruh Nerisa menaikkan kaki ke punggung Freya
sebagai pijakan. Dan berhasil, Nerisa mulai memanjat. Freya mundur beberapa
langkah sambil terus memberi semangat. Teriakan Frea mengundang perhatian
anak-anak lain yang tadinya asyik bermain bola. Mereka mendekat untuk melihat
Nerisa memanjat. Keringat mulai membasahi punggung Nerisa. Tubuhnya sedikit bergetar dan
wajahnya pucat. Ia melihat keatas. Tempat Momo tersangkut masih sangat jauh, ia
harus naik beberapa cabang sebelum sampai disana. Saat melihat ke bawah, ia
hampir kehilangan keseimbangan.
"Jangan melihat kebawah, Nerisa! Lihat terus ke atas!" Teriak Freya.
Anak-anak semakin ramai memberi semangat pada Nerisa. Nerisa pun makin
bersemangat untuk lebih cepat mengambil Momo. Tak sadar ia menginjak ranting
yang salah, hampir saja ia terjatuh.
"Jangan menginjak ranting yang kecil, Sa. Sebelum melangkah, tangan kamu
pegang ranting yang kokoh dulu...," teriak Freya lagi.
Nerisa sudah makin tinggi namun makin kehilangan keseimbangan. Teriakan orangorang membuat Nerisa kurang berkonsentrasi. Tiba-tiba menjadi cemas, Freya
segera ikut memanjat pohon untuk membantu Nerisa.
"Freya, kamu turun aja, aku bisa kok."
"Nggak, Nerisa, kamu diam disitu saja. Biar aku yang mengambil Momo. Ranting
disana kecil-kecil."
"Nggak usah, Freya, aku bisa kok..."
"Nerisa awas..."
Ranting pohon randu yang licin membuat Nerisa tergelincir. Untung saja dia dapat
berpegangan. Namun Nerisa tak mendengarkan Freya. Ia terus saja memanjat.
Dengan keahliannya memanjat, Freya berhasil menyusul Nerisa, ia berada dekat
dengan Nerisa. Orang-orang dibawah semakin asyik menyaksikan mereka. Seperti
tontonan saja, bahkan ada beberapa orangtua yang melihat.
"Pegang tanganku lalu turunlah, biar aku yang mengambil Momo," perintah Freya.
"Nggak, aku bisa. Ternyata memanjat pohon itu asyik ya, Freya" Pantas saja kamu
suka memanjat." "Tapi setiap pohon berbeda cara memanjatnya Pohon randu termasuk pohon yang
rantingnya tidak kuat dan licin jadi harus hati-hati..."
Belum sempat Freya menyelesaikan ucapannya, Nerisa tergelincir. Freya berusaha
meraih tangan Nerisa namun karena tangan Nerisa berkeringat dan licin, tangan itu
terlepas. Nerisa berteriak keras sebelum akhirnya jatuh.
"Nerisa..." Teriakan Freya tak kalah dengan teriakan orang-orang yang segera
menolong Nerisa. Freya langsung turun untuk melihat keadaan Nerisa. Nerisa pingsan.
Orang-orang membawa Nerisa ke rumah sakit, sebagian memberitahu keluarga
Nerisa. Tapi anak-anak lain meneriaki Freya sebagai penyebab jatuhnya Nerisa.
"Freya jahat, aku nggak mau main sama Freya lagi!" Ucap anak yang berwajah oval
dan berambut keriting. "Iya, pasti tadi Freya yang mendorong Nerisa sampai jatuh," ucap yang lain.
Freya mulai menangis ketakutan.
"Mulai sekarang kami semua nggak mau main lagi sama Freya. Freya nakal!"
Anak-anak itu mulai lari meninggalkan Freya yang meringkuk ketakutan seorang diri.
Anak nakal! Jahat! Jangan lagi bermain dengan Freya!
Ucapan-ucapan itu keluar dari mulut orang-orang yang menyaksikan kejadian
tersebut. Begitu juga Papa Nerisa yang sangat marah dan hendak meminta
pertanggung jawaban keluarga Freya namun dicegah istrinya.
"Om, Tante, bagaimana keadaan Nerisa?"
Mata Papa Nerisa membulat melihat kedatangan Freya, tangannya hendak
memukul Freya namun istrinya cepat mencegah.
"Jangan, mas, dia masih anak-anak"
"Tapi dia yang membuat anak kita jatuh," jawab Papa Nerisa emosional, "Kita tidak
tau apa yang terjadi sebenarnya. "Tapi orang-orang tahu! Freya yang melempar
boneka monyet itu keatas pohon!" Bentak Papa Nerisa. Mama Nerisa berjongkok,
tangannya mengangkat dagu Freya yang tertunduk. Wajah Freya tampak ketakutan.
"Lebih baik kamu pulang, ya?"
Freya mengangguk dan melangkah pergi. Ransel dipunggungnya bergerak seiring
langkahnya. Baru beberapa langkah, Freya berhenti. Ia berbalik. Mama dan Papa
Nerisa sudah masuk rumah. Freya mulai menyusup untuk dapat menemui Nerisa. Ia
tahu letak kamar Nerisa. Ia mulai berjalan mengendap-endap, mencari jendela
kamar Nerisa. Dengan tangkas ia naik dan masuk melalui jendela tersebut.
"Nerisa..." Freya mendapati Nerisa terbaring ditempat tidur dengan mata terpejam.
"Freya..." Nerisa membuka mata.
"Maafkan aku ya" Apa masih ada yang sakit?"
Nerisa mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca.
"Kakiku sakit. Kata Mama aku akan dibawa ke Singapura. Di sana ada Pak Dokter
hebat yang bisa mengobati kakiku."
"Singapura itu di mana" Jauh ya?" Tanya Freya. Nerisa mengangguk.
"Berarti kita akan berpisah dong?"
"Kata Mama, kalau sudah sembuh nanti aku bisa kembali lagi ke sini."
Freya menurunkan ransel, lalu mengeluarkan Momo dari dalamnya, dan
menyerahkannya pada Nerisa. Nerisa langsung memeluknya.
"Titip Momo ya, Freya. Nanti kalau kembali, aku ambil lagi si Momo. Aku kan lagi
sakit jadi nggak bisa merawat Momo." Nerisa menyodorkan Momo pada Freya.
"Tapi Nerisa..."
"Cepat, masukkan Momo ke ranselmu lagi, nanti kalo ketahuan Mama pasti nggak
boleh," desak Nerisa.
"Baiklah, aku janji akan merawat Momo dengan baik. Aku akan mandiin dia kalo
bulunya sudah kotor," janji Freya.
"Terima kasih ya..." Mata Nerisa berkaca-kaca.
Saat itu pintu kamar Nerisa terbuka. Papa Nerisa terkejut melihat Freya di sana. Ia
langsung menyeret Freya keluar.
"Dasar anak nakal! Keluar kamu!"
"Papa, jangan! Freya itu sahabat Nerisa!" Jerit Nerisa.
"Diam kamu!" Bentar Papa Nerisa pada putrinya. Freya dibawanya keluar kamar.
"Dia yang membuat kamu jatuh dari pohon. Dia ini anak nakal. Papa nggak suka
kamu berteman dengan anak nakal seperti dia!"
Teriakan Nerisa tak dapat mencegah papanya untuk menyeret Freya keluar kamar.
Sejak kejadian itu Freya lebih memilih tinggal didalam tumah. Ia selalu berharap
Nerisa akan kembali tapi Nerisa tak kembali juga, bahkan keluarganya juga
sepertinya menetap di Singapura.
Sejak kejadian itu para orangtua melarang anaknya berteman dan bergaul dengan
Freya. Freya dianggap anak yang nakal dan harus dijauhi. Tanpa disadari
masyarakat telah menghukum Freya dengan hukuman yang terlalu kejam di usianya
yang baru menginjak sembilan tahun.
SMA NUSANTARA II merupakan salah satu SMA favorit di Jakarta. Freya tercatat
sebagai siswi kelas XI IPA 1 di sana.
Dengan santai Freya menuju kelasnya. Semua mata memandang ke arahnya.
Beberapa murid berbisik sambil menunjuk ke arah Freya, seakan kedatangannya
sangat istimewa sehingga mengundang perhatian. Namun Freya tampak tak peduli,
ia hanya membetulkan posisi kacamata berbingkai putihnya sebelum menuju satu
bangku pada deretan kedua dari belakang.
"Lo pindah sekarang!" Freya meletakkan tasnya di atas meja yang ia tuju.
"Lo aja yang cari bangku lain." Cewek berponi itu menatap Freya, sama sekali tak
bergeser dari tempat duduknya.
"Gue bilang lo pindah, sekarang!" Nada suara Freya meninggi.
Cewek berponi itu berdiri. Beberapa murid memperhatikan mereka. Kayaknya akan
terjadi perang pagi ini. "Memang ada tulisannya ya bangku ini milik siapa?"
Cewek berponi itu menatap Freya. Freya membalas dengan tatapan dingin,
membuat cewek berponi itu memalingkan wajah. Ngeri juga melihat tatapan Freya.
Freya mencengkram kerah baju cewek berponi itu. Satu tangannya mengepal.
Cewek berponi itu sedikit ketakutan. Untungnya, Rindu, sang ketua kelas yang
sekaligus merangkap ketua OSIS dan ketua Pecinta Alam, datang tepat waktu.
"Freya, jangan!" Rindu menurunkan tangan Freya. "Please, Freya..."
Freya menghela napas panjang. "Suruh Dina pergi dari bangku gue sekarang!"
"Oke. Dina, lo duduk sama gue, ya?" Rindu menarik tangan Dina.
Dina sedikit meronta, tapi tangan Rindu terlalu kuat menariknya hingga ia tak bisa
melepaskan diri. Sedangkan Freya langsung mengempaskan bokongnya ke kursi.
Tatapannya yang dingin ia sebar ke seluruh ruangan. Anak-anak lain yang sedari
tadi memperhatikannya membubarkan diri bersamaan dengan bunyi bel tanda
pelajaran pertama akan segera dimulai.
Rindu sedikit kesulitan untuk menenangkan Dina. Sepertinya Dina masih tidak bisa
menerima perlakukan Freya.
"Dasar preman gila!"
"Dina, please, jangan ribut dong. Nggak ada gunanya ribut dengan dia. Anak-anak
saja sudah nggak ada yang mau berurusan sama dia."
"Tapi, Rindu, dia itu kebangetan. Lo sendiri lihat kan tingkahnya" Emang dia yang
punya sekolahan" Masuk sekolah aja paling cuma tiga kali seminggu."
"Gue sebagai ketua kelas cuma nggak pengin ada keributan di kelas ini. Maafin gue,
lo benar. Freya memang begitu. Jadi kita mesti ngertiin dia," kata Rindu.
"Ngertiin dia, Rin?" Tanya Dina tidak memercayai pendengarannya.
"Sebenarnya kasihan juga dia nggak punya teman," kata Rindu.
"Siapa juga yang mau jadi temannya" Temannya hanya komputer. Dia kan hacker!"
Sembur Dina. "Hus, jangan sembarangan ngomong."
Percakapan mereka terhenti tiba-tiba saat Bu Nadya guru matematika, datang.
"Anak-anak, tolong kumpulkan tugas kemarin," perintah Bu Nadya.
Dina melihat ke arah Freya yang diam saja. Ada senyum di sudut bibirnya.
Kecurigaannya bahwa Freya tak mengerjakan tugas terbukti ketika Bu Nadya sendiri
yang menegur Freya. "Freya, mana tugas kamu?"
"Belum saya kerjakan," ucap Freya santai sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Kalau begitu kamu kerjakan soal nomor satu sampai tiga di papan tulis, sekarang,"
perintah Bu Nadya. "Mampus lo!" Spontan Dina berteriak. Rindu segera menendang kaki Dina agar
diam. Dengan santai Freya maju untuk mengerjakan tugas matematika yang kata anakanak lain adalah pelajaran paling menyebalkan karena bisa bikin kepala botak. Tapi
tidak bagi Freya. Dalam waktu singkat ia mampu menyelesaikan soal dengan
sempurna. Sejenak Bu Nadya terkagum akan kemampuan Freya.
"Bagus, semua benar. Tapi ibu tetap ingin kamu mengerjakan tugas sampai selesai
di buku, maksimal jam istirahat kedua harus sudah selesai."
Freya kembali duduk. Ia tak perduli beberapa temannya berbisik membicarakan
dirinya. Ia tak peduli pada semua orang. Sejak kepergian Nerisa ia tak pernah
memiliki teman lagi. Teman-temannya menjauh. Pada orangtua melarang mereka
berteman dengan Freya. Awalnya memang menyakitkan tak memiliki teman, namun
lama-lama Freya terbiasa. Freya juga merasa nggak butuh mereka.
Sepulang sekolah Freya langsung masuk kamar seperti biasa. Kamar yang cukup
besar itu tak seperti kamar kebanyakan. Di kamar ini ada tiga komputer dan satu
laptop. Tempat tidur kecil di pojok ruangan. Di tengah ruangan ada sofa kecil dan
meja kecil yang di atasnya berserakan buku- buku pelajaran Freya. Dindingnya
hampir semua tertutup rak berisi buku yang kebanyakan buku komputer. Dan ada
satu benda yang kayaknya nggak matching banget berada di ruangan yang terkesan
seram, sebuah boneka monyet yang berwarna cokelat. Momo, boneka dititipkan
Nerisa diletakkan di tempat tidur Freya.
Freya menatap Momo lalu mendekapnya, "Kapan ya mama kamu menjemut kamu,
Mo" Sudah lama banget, Mo. Apa dia lupa ya, Mo, sama kamu...?" Freya berbicara
sendiri sambil mengelus bulu-bulu halus Momo.
"Maaf, Non, ada telepon dari ibu." Suara Bi Narsi, pembantunya, membuat Freya
terkejut. Ia langsung melepaskan Momo.
"Bilang saja Freya lagi sibuk, nanti Freya yang telepon."
"Baik, Non. Lalu makan siangnya sudah Bibi siapin. Mau dibawa ke kamar atau biar
di bawah saja?" "Biar di bawah saja, Bi. Sebentar lagi Freya turun."
"Baik, Non. Bibi permisi."
Freya menatap sejenak punggung Bi Narsi yang menghilang di balik pintu. Dirumah
sebesar ini hanya ada Freya dan Bi Narsi. Papa Freya sudah lama meninggal dan
Mama sudah menikah lagi dengan orang bule dan sekarang menetap di Munich.
Freya sendiri memilih tetap tinggal di sini bersama pembantunya yang telah
mengasuhnya sejak kecil. Setelah melepas seragam sekolah dan mengganti dengan kaus oblong dan celana
pendek, Freya mulai duduk didepan komputer. Tangannya yang lincah
menggerakkan mouse dan mengetikkan beberpa kata pada keyboard. Beberapa kali
ia berhenti sejenak, memandang lama pada layar monitor. Dahinya berkerut, lalu ia
menggerakkan mouse-nya lagi, mengetikkan kata sandi. Setelah itu ia tersenyum,
melihat ke arah komputer, lalu meraih ponsel di dekatnya.
"Sudah selesai saya kerjakan. Tolong uangnya ditransfer sekarang, tidak pakai
lama!" Tanpa menunggu jawaban dari orang yang dihubunginya, Freya mematikan
ponsel. Lalu dengan langkah cepat, Freya turun menuju meja makan. Bi Narsi sudah
menyiapkan makan siang. Ada bermacam-macam lauk dan sayur kesukaan Freya,
namun Freya hanya mengambil sedikit.
"Bi Nasi, duduk dan habiskan semua makanannya."
"Tapi, Non..." "Kalau nggak habis, berikan pada tetangga." Freya berdiri lalu kembali ke kamarnya.
"Maaf, Non, apa Non Freya sudah menghubungi ibu" Takurnya Ibu mengira Bibi
nggak menyampaikan pada Non."
"Kalau nanti Mama telepon bilang Freya baik-baik saja."
"Tapi, Non, kalau ibu tanya nomor handphone Non Freya?"
"Bilang aja nggak tahu."
Freya bergegas masuk kamar lagi dan tidak keluar sampai malam. Ia di depan
komputer sampai jam makan malam. Bi Narsi hafal benar dengan kebiasaan Freya.
Ia tak mau diganggu kalau sudah duduk di depan komputer.
RASANYA ingin segera menghirup udara Jakarta kembali setelah sekian tahun tak
merasakan pengapnya Jakarta yang penuh polusi. Bukan hanya kangen pada
pengapnya udara Jakarta, ada satu lagi yang dirindukan Nerisa, yaitu bertemu
Freya. "Nerisa sayang, apa kamu yakin mau tinggal di Jakarta lagi?" Mama Nerisa kembali
menanyakan hal yang sama sebelum Nerisa berangkat ke Jakarta.
Maklum, permintaan Nerisa untuk kembali sangat tiba-tiba. Keinginan itu begitu kuat
sehingga Nerisa terus menerus merengek pada Mamanya. Hal itu membuat Mama
Nerisa heran karena selama ini Nerisa hampir tak pernah menyinggung Jakarta.
Mama Nerisa memaklumi hal itu karena mungkin Nerisa masih trauma akan
kejadian masa kecil yang meninggalkan bekas sampai sekarang. Kakinya sedikit
pincang karena peristiwa tujuh tahun yang lalu.


Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi keinginan Nerisa yang tiba-tiba ingin pulang ke Jakarta seiring dengan
putusnya hubungan percintaannya dengan Billy, teman sekolahnya di Singapura,
membuat Mama Nerisa tak mengerti. Adakah hubungan antara kepulangan Nerisa
dan putusnya hubungannya dengan Billy"
"Nggak ada, Ma. Bagi Nerisa, Billy adalah masa lalu. Billy pantas kok milih cewek
yang lebih baik untuk mendampinginya. Bukan cewek cacat kayak aku."
Mama Nerisa langsung memeluk tubuh putrinya yang kini telah dewasa. Umurnya
sudah enam belas tahun, rasanya waktu berjalan sangat cepat.
"Tapi di Jakarta, mungkin kamu akan bertemu lagi dengan Freya."
"Justru aku ingin menemuinya, Ma. Aku ingin tahu keadaannya sekarang. Apakah
dia masih suka memanjat pohon kayak dulu atau tidak."
Mama Nerisa mengusap rambut panjang Nerisa. Kalau tak melihat kakinya yang
pincang, orang pasti akan menganggap Nerisa gadis yang sempurna. Kulitnya putih
bersih, hidungnya mancung, dan bibirnya selalu merah walau tanpa pulasan lipstik.
Tubuhnya yang mungil membuat ia tampak imut.
"Ya sudah, kalau itu sudah menjadi keputusan kamu. Mama dan Papa menurut saja.
Mama akan mentransfer uang tiap bulan untuk keperluan sekolah dan tempat tinggal
kamu. Mama mau kamu mencari tempat yang bagus. Mahal tak masalah asal kamu
senang dan nyaman. Om Frans akan mengurus sekolah kamu dan membantu
mencarikan tempat tinggal. Kamu pilih saja. Apa kamu ingin Mama belikan
apartemen?" "Nggak usah, Ma, Nerisa nggak tahu apa akan menetap selamanya di Jakarta atau
balik ke Singapura lagi."
Mama Nerisa kembali mendekap tubuh putrinya. "Mama tau, Sayang, kalau kamu
bohong. Kamu masih mencintai Billy, kan" Dan kepergianmu ke Jakarta karena
kamu ingin melupakan Billy, benar begitu" Mama kan pernah muda, jadi Mama tau.
Tapi nggak apa-apa. Apa pun keputusan kamu, Mama dan papa pasti mendukung."
"Terima kasih, Ma." Nerisa melepaskan pelukan.
Ia beranjak menuju lemari, mengeluarkan beberapa potong pakaian untuk ia bawa
ke Jakarta besok. "Jangan lupa tiket pesawatnya. Kabari Mama jika sudah sampai. Perlu bantuan
Mama?" Nerisa tersenyum, "Nggak usah Ma sebentar juga selesai."
Nerisa menatap kamarnya yang bernuansa coklat muda, sama seperti warna bulubulu Momo. Rasanya ia kangen ingin memeluk Momo.
Nerisa tampak anggun dengan pakaian berwarna coklat dan putih. Tangannya
menarik koper menuju pintu keluar bandara. Laki-laki setengah baya dengan jaket
hitam menghampirinya. "Nerisa?" Sapa laki-laki itu.
"Om Frans, sapanya."
Om Frans langsung membawakan koper Nerisa. "Kamu sudah besar sekarang."
"Iya, Om." Nerisa mengikuti langkah Om Frans menuju tempat parkir.
Udara Jakarta kini benar-benar ia rasakan. Betapa rindunya ia dengan tanah
kelahiran. "Om sudah persiapkan semua sesuai permintaan kamu. Tempat tinggal dan sekolah
kamu. Om sudah mencarikan semua informasi yang kamu butuhkan."
"Terima kasih, Om." Nerisa masuk ke mobil BMW berwarna hitam yang dikendarai
sopir pribadi Om Frans. "Kamu yakin tidak mau tinggal bersama Om" Tante Michelle pasti senang kalau
kamu tinggal bersama kami."
"Tidak usah, Om. Terima kasih. Saya kemari memang mau belajar mandiri."
"Wow, hebat, kamu persis Mama kamu. Lembut di luar tapi keras di dalam."
"Om Frans bisa saja..." Nerisa tertawa.
Tak banyak pembicaraan setelah itu, mereka masing-masing memperhatikan jalan.
Nerisa asyik melihat ramainya kota Jakarta.
"Belok kiri," perintah Om Frans.
Mobil memasuki apartemen mewah.
"Dari sini ke SMA Nusantara II tak terlalu jauh. Om sudah siapkan semuanya.
Sebuah apartemen dan mobil buat kamu pakai ke sekolah."
"Terima kasih, Om." Nerisa turun untuk melihat lebih dekat tempat yang dimaksud
Om Frans. "Bagaimana" Kalau kamu tak suka Om akan carikan yang lain. Tapi mungkin
jaraknya agak jauh dari SMA Nusantara II."
"Di sini saja, Om. Saya suka," kata Nerisa.
"Oke, baguslah. Om juga sudah urus sekolah kamu. Besok kamu bisa langsung
sekolah. Pakaian, buku-buku, semua sudah Om siapkan."
"Wow... Luar biasa," gumam Nerisa.
"Apa yang Om lakukan tak seberapa dibandingkan kebaikan Papa kamu yang telah
menyelamatkan perusahaan Om."
"Terima kasih, Om." Nerisa meninjau setiap ruangan di apartemennya.
Semua sesuai keinginan Nerisa. Kamar bernuansa coklat muda, seperangkat
komputer, tempat tidur besar, lemari pakaian, meja dan kursi belajar, sofa, kamar
mandi, dan teras mungil yang menghadap keluar. Benar-benar sempurna. Nerisa
yakin akan nyaman tinggal ditempat ini.
"Sempurna, Om."
"Oke, kamu istirahat dulu. Ini nomor telepon Om. Kalau ada apa-apa kamu bisa
hubungi Om. Kalau tak bisa datang, Om akan suruh staf Om yang datang."
"Sekali lagi terima kasih," kata Nerisa.
Om Frans berlalu lelaki setengah baya yang beruban itu pergi. Nerisa segera
merebahkan tubuhnya ke kasur. Pandangannya melayang menatap langit-langit
kamar. Kemudian pandangannya berpindah pada seragam SMA yang sudah di
siapkan. Perlahan ia bangun dan mengambil seragam putih abu-abu itu. Jemari
yang lentik mengusap seragam itu.
"Kita akan segera bertemu, Freya." Ujung bibirnya terangkat mencetak senyuman.
SEKALI lagi Nerisa memastikan tak ada yang ketinggalan sebelum berangkat
sekolah. Ini hari pertamanya di SMA Nusantara II. Dari pakaian, tas, sepatu dan
jaket warna cokelat muda kesukaannya.
Dengan mengendarai mobil Nerisa siap menuju sekolah. Untung saja jarak antara
apartemen dan sekolahnya tidak jauh, jadi kemacetan Jakarta tak sampai
membuatnya bete. Tapi tak masalah, toh Nerisa sampai di sekolah lebih awal, masih
20 menit sebelum bel berbunyi. Kehadiran Nerisa mengundang perhatian banyak
siswa. Seakan melihat barang baru, cowok-cowok mulai menebar pesona dengan
tingkah yang aneh-aneh. Adanya yang merapikan seragam, merapikan rambut yang
dibuat menjulang ke atas kayak pohon cemara, ada yang sok jaim pura-pura baca
buku tapi matanya melirik, dan sebagainya. Namun Nerisa santai saja dengan
langkah yang ia buat sewajar mungkin untuk menutupi kakinya yang sedikit pincang,
ia melangkah menuju kelasnya.
Sejenak Nerisa bingung. Menurut petunjuk pak satpam tadi, kelas XI IPA 1 ada
disebelah kiri ruang guru tapi ada dua ruangan disini.
"Anak baru, ya?" Seorang cewek tinggi langsing menghampirinya.
"Iya." Nerisa sedikit malu. Mungkin cewek tinggi itu mengetahui kebingungannya
lewat raut wajahnya. "Kelas XI IPA 1 di mana yah?"
"Oh... Sini, ayo aku tunjukin."
"Thanks ya." Nerisa mengikuti langkah cewek tinggi itu menuju kelas. Didalamnya ada beberapa
siswa dan siswi yang sedang mengobrol. Ada juga yang duduk di meja. Maklum,
pelajaran belum di mulai. Selain itu ada juga yang lagi ngerjain PR, mungkin
semalam kelupaan atau sengaja nggak buat PR. Ternyata penyakit di sekolah favorit
sama saja. Mungkin yang membedakan gengsinya. SPPnya lebih mahal, gurunya
lebih perlente, dan murid-muridnya lebih banyak yang pintar dari pada yang bodoh.
Kira-kira begitulah yang pasti dari segi bangunan, SMA Nusantara II memang keren,
dan dari segi siswa kayaknya kebanyakan dari kalangan orang kaya. Soal prestasi,
dengar-dengar mereka selalu mendapatkan peringat tiga besar dalam deretan
sekolah swasta terfavorit di Jakarta.
"Gue Rindu. Ketua kelas disini." Cewek itu ternyata bernama Rindu. Wajahnya
standar, maksudnya nggak cantik-cantik amat, tapi kayaknya anaknya asyik di ajak
berteman. Ramah, mungkin karena itu dia terpilih jadi ketua kelas.
"Gue Nerisa." Nerisa menyambut tangan Rindu plus bonus senyuman.
"Pindahan dari sekolah mana?"
"Singapura." "Wow, keren." Rindu tersenyum. "Eh, sori, gue tinggal bentar, ya. Tadi gue di panggil
kepsek. Kelupaan..." Rindu nyengir.
"Oke, terima kasih ya."
"Iya, sama-sama. Santai saja, dan selamat datang di kelas kami." Tanpa menunggu
jawaban dari Nerisa, Rindu pergi. Tampaknya ia tergesa-gesa.
Nerisa memandang sekeliling. Beberapa orang melihat kearahnya. Nerisa
tersenyum sedikit canggung kepada mereka, lalu duduk di deretan kedua dari
belakang. Belum sempat bokongnya menyentuh kursi, seseorang berteriak.
"Jangan duduk di situ!" Dina menghampiri Nerisa.
Nerisa kebingungan. Ia mengurungkan niatnya untuk duduk.
"Maaf ya, kamu pasti anak baru. Saran gue, jangan duduk di situ. Itu tempat
duduknya si monster" Dina menyocos begitu saja.
Nerisa tampak bingung melihat beberapa teman lain mengangguk seperti
membenarkan ucapan Dina. "Gue Dina." Dina mengulurkan tangan. "Lo bebas duduk di kursi lain, tapi jangan di
kursi itu." "Sori, gue nggak ngerti."
"Kursi itu punya si monster. Gue cuma kasihan sama lo kalo sampai dapat masalah
dengan pemilik kursi itu."
"Maaf, gue benar-benar bingung. Apa setiap kursi sudah ada yang punya. Maksud
gue..." "Nggak, cuma kursi itu. Tanya aja sama yang lain. Kami semua pernah kena
masalah karena duduk di kursi itu."
Nerisa merinding, apakah kursi itu ada penunggunya seperti di film-film hantu
bangku kosong. Hiii... Seremmmm.
"Duduk sama aku aja yuk..." Seorang cewek berambut keriting menawarkan solusi.
"Tapi..." Nerisa makin penasaran, monster apa yang sekolah di tempat ini" Ini benarbenar gila, masa sekolah sebagus ini ada monsternya"
"Kalian semua ngapain sih" Bubar... Sebentar lagi bel." Rindu datang lagi. Rupanya
sudah selesai dengan tugasnya. "Kalau mau, duduk saja, Nerisa. Di sini bebas, asal
datang lebih pagi bisa duduk di manapun."
"Tapi Rindu... Lo yakin kalo anak baru ini duduk di sini nggak ada masalah?" Tanya
Dina ragu. "Sudahlah, Dina, jangan membuat Nerisa nggak nyaman di kelas kita." Rindu
tersenyum. "Silakan."
Ragu-ragu Nerisa duduk di kursi itu. Satu detik... Dua detik... Nggak ada apa-apa. Ia
nggak mimpi buruk. Kursinya nggak goyang sendiri. Orang-orang itu berlebihan
banget. Ia juga nggak melihat monster seperti yang mereka katakan.
Lama-lama Nerisa nyaman juga di kelas itu. Teman-temannya sepertinya semua
baik dan welcome banget, ngajakin ngobrol duluan dan bertanya banyak hal tentang
dirinya. Sampai tak terasa bel berbunyi. Seorang guru memasuki ruangan.
"Selamat siang, anak-anak. Hari ini kita kedatangan satu murid baru pindahan dari
Singapura. Silahkan, Nerisa, perkenalkan dirimu."
Nerisa masih sempat melihat sekeliling untuk mencari Freya. Sebelum maju ke
depan kelas. Apakah sekarang Freya berubah sehingga Nerisa tak mengenali teman
masa kecilnya itu lagi" Tapi sepertinya Freya memang tak ada di kelas ini.
"Silahkan, Nerisa." Ucapan Bu Guru membuat Nerisa tersadar bahwa ia sedang
melamun. Di depan kelas Nerisa melayangkan pandangan ke sekeliling, mencoba bicara
setenang mungkin. "Nama saya Nerisa Damayanti. Saya pindahan dari sekolah di Singapura. Saya
senang sekali berada di kelas ini..." Nerisa sedikit kesulitan karena tak biasa berdiri
dan berbicara di depan kelas, namun Bu Septi seakan tahu dan mencoba memecah
ketegangan dengan menyuruh beberapa anak bertanya. Rata-rata yang bertanya
adalah para siswa. Yang mereka tanyakan pun aneh-aneh, misalnya, sudah punya
pacar atau belum, berapa nomor ponselnya, dan sebagainya. Hal itu tentu
mengundang tawa seisi kelas.
Setelah acara perkenalan selesai. Pelajaran dimulai. Anak-anak itu tenggelam
dalam keseriusannya belajar. Mungkin inilah yang membedakan sekolah ini dengan
yang lain. Ada saatnya bercanda dan ada saatnya serius. Tapi yang pasti walau
Nerisa nyaman berada di kelas itu, masih ada yang mengganjal hatinya karena ia
belum menemukan Freya. Mungkinkah ia salah masuk kelas, padahal menurut Om
Frans, Freya ada di kelas ini" Apakah ada Freya yang lain" Nerisa merasa harus
segera mengetahuinya. Ia tak ingin menghabiskan lebih banyak waktu karena
memang tujuannya ia kembali ke Jakarta memang untuk mencari Freya.
Walau agak kesulitan, Nerisa mampu mengikuti sistem belajar-mengajar di Jakarta.
Tentu ada banyak perbedaan antara pelajaran di Singapura dengan yang di Jakarta,
namun sepertinya guru-guru bisa memaklumi. Nerisa sendiri menyadari kemampuan
akademiknya tak begitu bagus sehingga ia mesti belajar ekstrakeras nantinya. Kalau
perlu ia akan meminta Om Frans mencarikan guru privat supaya ia bisa mengikuti
pelajaran. Mengingat sebentar lagi akan ada tes final semester, ia mesti benar-benar
mempersiapkan diri. Jam istirahat merupakan waktu yang sangat melegakan bagi para siswa setelah
beberapa jam berada dalam ketegangan. Begitu juga dengan Nerisa yang langsung
memburu Rindu yang hendak ke kantin.
"Gue heran sama diri gue sendiri. Gue suka banget makan dan paling nggak tahan
laper. Tapi tubuh gue kok nggak gemuk ya?" Rindu terus nyerocos sambil menuju
kantin. "Mungkin karena lo banyak aktivitas." Nerisa memesan es cendol.
Rindu memesan semangkuk bakso dan es jeruk. Nerisa geli melihat cara makan
Rindu, kayak orang nggak makan seminggu. Nggak peduli panas dan pedasnya
bakso, Rindu terus melahapnya. Beberapa kali ia mengusap keringat yang
mengucur di keningnya. "Woi, kok ngeliatin gue kaya gitu sih" Aneh, ya?" Rindu meneguk es jeruk dengan
dua sedotan sekaligus. "Cara makan lo asyik banget."
"Lo kalo sudah merasakan bakso di kantin ini pasti ketagihan. Enak banget..."
Nerisa tersenyum, tangannya memainkan sendok es cendol yang tinggal separo
gelas. "Gue boleh tanya sesuatu nggak" Gue penasaran banget sama ucapan...
Siapa tadi... Dina, ya" Yang bilang bangku yang gue duduki kepunyaan monster.
Emang di kelas kita ada setan yang bentuknya kayak monster, ya?"
Rindu spontan tertawa, hampir saja bakso dalam mulutnya menyembur keluar. Ia
terus tertawa, apalagi melihat Nerisa semakin cemberut plus kebingungan.
"Sudah dong ketawanya... Serius nih?" Desak Nerisa.
"Kamu itu lugu banget ya, Nerisa?" Tawa Rindu telah berhenti. Tangannya
mengusap mulut yang sedikit belepotan kuah bakso.
"Gini lho, Nerisa." Rindu melihat sekeliling sejenak, memastikan tak ada orang yang
menguping pembicaraan mereka. "Bangku itu sering diduduki teman kita yang
sifatnya sedikit aneh. Makanya anak-anak sering menjulukinya monster."
"Maksudnya aneh?"
"Ya... Aduh, sebenarnya nggak enak juga ngomongin orang. Tapi ya sudahlah,
orang itu nggak punya teman karena dia tertutup. Nggak mau bergaul dengan kitakita. Masuk sekolah pun jarang, tapi orangnya pinter. Sayang banget, ya?"
"Kasihan juga ya?" Komentar Nerisa.
"Dan dia akan marah kalo bangkunya diduduki orang. Kalo dia pas nggak masuk sih
no problem. Tapi kalo dia masuk, mendingan lo pindah bangku karena dia bisa
marah. Marahnya juga aneh, nggak banyak bicara. Cuma menatap dingin, makanya
dikatain monster karena tatapannya menakutkan," cerita Rindu.
"Wow... Menarik banget," kata Nerisa.
"Udahlah, entar juga lo tahu orangnya. Jujur gue nggak enak ngomongin dia kayak
gini. Gue juga pengin suatu saat nanti dia bisa berubah. Bagaimanapun sebagai
ketua kelas gue pengin kelas kita nyaman," kata Rindu.
"Hebat, idealis banget," kata Nerisa kagum. "Satu pertanyaan lagi..."
Rindu menarik napas panjang, "Oke, apaan?"
"Hm... Apa di kelas kita ada yang bernama Freya?"
"Freya"!" Rindu melotot.
"Wajah kamu lucu kalo melotot gitu. Kayak Momo, boneka monyet gue." Nerisa
tertawa lebar melihat raut wajah Rindu.
"Sialan lo... Lo nyamain gue dengan monyet..."
"Habis wajah lo lucu banget. Emangnya aneh ya kalo gue tanya tentang Freya?"
"Ya, iyalah. Emang dari tadi gue belum menyebut nama Freya, ya?" Tegas Rindu.
Dahi Nerisa berkerut. "Seingat gue belum. Dari tadi kita kan ngomongin monster."
"Nah itu dia masalahnya. Freya itu monsternya."
Jantung Nerisa berdegup kencang. Ia sungguh tak percaya bila Freya sampai
disebut monster. Pasti ada kesalahan. Nggak mungkin teman kecilnya yang dulu
periang bisa sampai nggak punya teman. Pasti bukan Freya yang Nerisa maksud.
Pasti Om Frans salah informasi. Duh... Gimana nih, terlanjur ngedaftar di sekolah ini.
"Nerisa, kok bengong sih?"
Nerisa menarik napas panjang, mencoba kembali ke alam nyata setelah beberapa
saat melanglang buana dengan alam pikirannya.
"Nggak, sebenarnya gue mencari sahabat kecil gue. Namanya Freya dan dia
sekolah di sini. Tapi kayaknya gue salah orang. Freya yang gue kenal itu suka
bercanda, orangnya asyik dan suka jail. Dia juga pantai memanjat pohon kayak


Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

monyet." Rindu nyengir. "Ya, moga-moga aja bukan Freya yang gue kenal. Lo tahu namanya
Freya sapa gitu... Nama panjangnya?"
"Gue nggak tahu, tapi gue tau rumahnya kok. Entar gue kesana."
"Nah, gitu lebih pasti." Rindu melihat jam di tangannya. "Udah mau bel, gue bayar
makanan dulu. Es cendol lo gue bayar sekalian."
"Wow, beneran" Thanks ya?" Seru Nerisa gembira.
"Tapi lain kali gantian. Lo yang bayarin. Oke?"
Nerisa nyengir. "Oke, tapi ada limitnya. Nggak boleh porsi jumbo."
"Sip... Lo tenang aja." Rindu berlalu.
Rindu memang asyik. Cepat sekali Nerisa akrab dengan Rindu. Namun Nerisa
nggak mau percaya begitu saja pada Rindu. Apalagi Rindu mengatakan bahwa
Freya itu dingin, seram, nggak punya teman di sekolah sampai dijuluki monster.
Pasti itu bukan Freya teman kecil Nerisa.
Rasa penasaran Nerisa dituntaskan dengan mencari Freya di rumahnya. Sepanjang
perjalanan menuju rumahnya Nerisa merasa banyak kenangan yang kembali. Ia
juga sempat melihat rumah mereka yang dulu. Sekarang sudah dibeli orang dan
direnovasi. Ia hampir tak bisa mengenali rumah itu. Banyak sekali perubahan di
lingkungan itu, bahkan Nerisa sempat tersesat, namun setelah tanya beberapa
orang ia dapat menemukan rumah Freya.
Rumah besar itu juga mengalami banyak perubahan. Tampak tak terurus. Halaman
depan kini ditumbuhi rumput liar. Ia ingat dulu Mama Freya paling suka
menghabiskan waktunya merawat tanaman anggrek di depan rumahnya, namun
sekarang rumah itu tampak sepi. Nerisa melangkah menghampiri pintu rumah bercat
kuning gading itu. "Freya-nya ada, Bi?"
Pembantu Freya sepertinya tak mengenali Nerisa.
"Freya-nya pergi. Non teman sekolahnya?"
"Bi Narsi lupa ya sama saya?" Tanya Nerisa.
Bi Narsi tampak berpikir keras, "Non Nerisa, ya?"
"Iya, Bi... Akhirnya Bibi ingat."
Bi Narsi girang banget. Nerisa tertawa lebar.
"Sekarang Non Nerisa cantik banget. Bibi sampai lupa..."
"Ya... Maklumlah, Bi, sudah lama banget jadi lupa." Nerisa melongok ke dalam
ruangan. "Freya-nya pergi ya, Bi?"
"Iya, dari pagi," jawab Bi Narsi.
"Hm... Ya udah, entar saya balik lagi."
"Nggak masuk dulu?" Tawar Bi Narsi.
"Nanti saja, Bi, saya pasti kembali. Mau cari buku dulu di toko."
Nerisa pergi meninggalkan rumah itu. Sayang banget ia nggak bisa ketemu dengan
Freya. Mungkin belum saatnya. Tapi masih ada banyak waktu. Setidaknya Freya
nggak ke mana-mana. Rumahnya masih di sini dan nggak pindah, jadi akan mudah
bagi Nerisa menemukan Freya.
FREYA menghentakkan kakinya berkali-kali hingga menimbulkan suara yang cukup
mengganggu. Ia sengaja melakukannya karena sudah jenuh menunggu
dipersilahkan masuk oleh Staf Om Frans yang menyuruhnya menunggu sementara
Om Frans menemui tamu. "Masih lama nggak sih, Mbak?" Tanya Freya kembali.
Staf Om Frans itu menghela nafas panjang. "Sabar ya, beliau sedang ada tamu
penting." "Kalo begitu saya pergi saja. Kapan-kapan saya balik lagi." Freya berdiri hendak
bersiap pergi. Bersamaan dengan itu pintu ruangan Om Frans terbuka. Tamu Om
Frans keluar dari ruangan bersama Om Frans.
"Ow, Freya, maaf ya menunggu lama." Om Frans mengulurkan tangan. "Mari
masuk." Freya mengikuti Om Frans masuk ke ruangan.
"Uangnya sudah saya transfer, Freya. Apa kamu sudah cek?"
"Sudah, Om, terima kasih. Terus ngapain Om menyuruh saya kemari" Hari ini saya
sampai bolos sekolah karena panggilan Om."
Om Frans tersenyum melihat sikap jutek yang Freya tunjukan. Namun Om Frans
bisa bersikap tenang. "Mau minum apa?"
"Nggak usah." "Oke. Kita langsung bicara bisnis saja. Kamu tahu, sejak kamu bergabung dengan
perusahaan ini banyak proyek yang kita dapat. Orang yang baru saja keluar tadi
adalah Pak William. Dia menggunakan jasa kita untuk memperbaiki jaringan
komputernya yang sengaja dirusak oleh seseorang yang dia duga pesaingnya."
"Iya, tapi sekarang kan sudah saya perbaiki, Om. Memang ada masalah lagi?"
Tanya Freya. "Ow, jangan salah paham. Maksud saya, hasil kerja kamu sangat bagus. Kamu itu
berbakat." "Om Frans berlebihan."
"Seperti biasa, kamu tidak suka sanjungan." Om Frans tersenyum sinis. "Begini,
maksud saya mengundang kamu kemari karena ada tugas yang mesti kamu
kerjakan." "Target?" "SMA Nusantara II, kamu bisa gunakan Find Vulnerability untuk melacak kelemahan,
scanning terhadap sistem target."
"Masalah itu urusan saya, Om, hanya saja tugas saya apa?"
"Saya dimintai tolong oleh sahabat saya yang tinggal di Singapura, anaknya sekolah
di sini. Dia ingin anaknya mendapat bocoran soal tes semesteran."
Freya tersenyum sinis. "Masih ada ya orangtua seperti itu" Bukannya menyuruh
anaknya belajar, malah mengharapkan anaknya mendapat nilai baik dari hasil
mencuri." "Freya, itu urusan mereka. Kamu laksanakan saja tugas kamu. Saya akan bayar
banyak karen saya utang budi dengan orang ini. Selama anaknya tinggal di Jakarta,
saya yang mengurus semua keperluannya termasuk studinya. Jadi tolong kamu
usahakan secepatnya mendapatkan soal-soal itu."
"Maaf, Om, tapi kayaknya nggak bisa deh."
"Jangan begitu, Freya, dulu kamu pernah merusak jaringan komputer di sekolah
kamu sendiri sampai kepala sekolah beserta stafnya kalang kabut."
"Tapi saya sudah insaf, Om." Freya mengigit bibir bawahnya. "Om kan tahu saya
menerima proyek yang Om berikan untuk memperbaiki jaringan komputer, bukan
untuk merusak, apalagi mencuri data. Saya bukan cracker, Om"
"Saya tahu, tapi saya telah membersihkan nama kamu sehingga kamu tidak kena
masalah." "Sebagai hacker saya selalu melakukan pekerjaan dengan menutup jejak sehingga
tak mungkin dapat dilacak oleh system administrator. Jadi tak ada bukti sayalah
yang melakukannya. Sekarang saya benar-benar ingin jadi old guard hacker, Om.
Seorang hacker sejati yang murni melakukan aktivitas untuk tujuan ilmiah dan
kebaikan semua pihak."
Om Frans bertepuk tangan. "Hebat..."
Tawa Om Frans benar-benar tak enak didengar telinga Freya.
"Kesombongan kamu sudah berlebihan, Freya."
"Maaf, Om, ada baiknya Om cari orang lain saja."
"O, nggak masalah. Tapi ingat Freya, kamu akan menyesal telah menolak proyek
ini." "Saya tak akan tergiur dengan tawaran uang dari Om."
"Bukan masalah uang. Ini lebih daripada itu. Apa kamu yakin tak mau menerima
proyek ini?" "Yakin, Om. Andai saya bertemu dengan orang itu, saya akan menasihati supaya dia
belajar saja, tak perlu mengandalkan bocoran."
"Kamu ingin bertemu dengannya?"
Freya tersenyum. "Nggak perlu, Om. Saya males berhubungan dengan siswa bego
kayak dia, yang mengandalkan bocoran."
"Bukan dia yang minta, tapi keinginan orangtuanya."
"Kasihan banget dia, Om, punya ortu kayak gitu."
"Setiap orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya."
"Tapi dengan jalan yang benar," sergah Freya.
"Wow... Ada manusia berhati malaikat di sini," sindir Om Frans
"Saya permisi, Om"
"Oke, selamat menjadi old guard hacker, seorang hacker sejati."
Freya tak menanggapi ucapan Om Frans. Ia buru-buru keluar dari ruangan itu.
Sekilas usaha Om Frans tampak seperti toko komputer biasa, namun kalangan
tertentu mengetahui bahwa ia juga berhubungan dengan para hacker. Namun
sepertinya Om Frans bukan orang yang baik. Asal ada uang banyak, ia
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan proyek, antara lain dengan
melakukan cyber crime, menerobos komputer orang untuk mengambil data atau
sekadar mengacak-acak sistem website.
Sebenarnya Freya penasaran juga siapa orangnya. Masakan ada siswa SMA
Nusantara II yang bermental tempe seperti itu" Mengharapkan bocoran tanpa mau
belajar. Pasti orang itu salah satu dari kelompok anak orang kaya yang hobinya
hanya bikin onar. Setelah mendapatkan bocoran soal, ia akan menyebarkan ke
semua teman sampai akhirnya semua dapat nilai bagus dari kecurangan itu.
Dulu memang Freya mau melakukannya, tapi sekarang ia tak ingin lagi. Ia tak mau
berurusan dengan polisi. Ia menyadari kemampuannya belum seberapa. Ia harus
banyak belajar lagi. Maka dari itu ia nggak mau mempertaruhkan masa depannya
dengan melakukan kegiatan yang melanggar hukum. Toh tanpa menjadi cracker ia
bisa dapat uang banyak dan selama ini mamanya nggak pernah lupa mentransfer
uang untuk biaya sekolah dan keperluan hidupnya. Jadi dalam segi materi, Freya
nggak kekurangan sama sekali.
"Brengsek!" Mendadak Freya menginjak rem mobilnya saat ada sedan hitam
nyelonong begitu saja. Freya membuka kaca jendela, "Bego lo!" Semburnya.
Pengendara mobil tersebut seorang wanita. Freya merasa mengenali orang itu.
Usianya sebaya dengannya, orang itu pun cukup lama memandanginya. Namun
buru-buru Freya menutup kembali kaca jendela mobilnya lalu tancap gas dengan
kesal. Sementara sedan itu masih berhenti. Mungkin cewek itu masih syok
mendengar makian Freya tadi.
Freya tak mau memikirkannya. Ia ingin langsung pulang dan "bermain" dengan
komputernya. Rasanya tangannya sudah gatal ingin menari di atas keyboard. Walau
kemana-mana membawa laptop, namun hampir semua datanya ia simpan di
komputer di rumah. Bi Narsi membukakan pintu garasi kemudian membawakan tas Freya untuk
diletakkan dalam kamar Freya. Setelah memasukkan mobil ke garasi Freya
langsung menghempaskan tubuh di sofa.
"Mau bibi buatkan minum apa, Non?"
"Jus aja, Bi. Ada di kulkas, kemarin Freya baru beli."
Udara panas membuat Freya merasa tenggorokannya kering.
Tak lama Bi Narsi muncul dengan segelas jus jeruk.
"Tadi Non Nerisa kemari mencari Non Freya."
"APA"!" Ucapan datar Bi Narsi membuat Freya terkejut. "Nerisa?"
"Iya, Non, katanya nanti dia mau kemari lagi."
Freya langsung terdiam. Ia yakin cewek dalam sedan hitam tadi pasti Nerisa. Ia tidak
sedang berhalusinasi seperti biasa. Ini nyata, berarti tadi benar-benar Nerisa. Ia
masih bisa mengenali temannya itu, tapi tadi ia sempat ragu. Sekarang ia yakin
orang itu Nerisa, sahabat kecilnya.
"Kalau Nerisa kemari, bilang saja saya pergi."
"Tapi, Non..." "Tolong, Bi... Kepala saya pusing, mau istirahat."
Bi Narsi mengangguk, Freya langsung masuk kamar. Bakal nggak keluar-keluar
sampai sore nih, seperti biasa. Paling ia keluar kalau mau mandi, terus makan
malam, lalu masuk lagi ke kamar.
Tangan Freya meraih Momo, mendekapnya sambil mengelus-elus rambut Momo.
"Mama kamu pulang. Mo. Mama Nerisa." Freya geli sendiri mendengar
gumamannya. Freya teringat pada pembicaraan Om Frans dengannya tadi. Mungkinkah orang
yang dimaksud Om Frans adalah Nerisa" Bukankah tadi Om Frans menyebut
Singapura" Tak salah lagi. Segera Freya meletakkan Momo kembali ke tempatnya.
Ia mulai menyalakan komputer untuk melacak file komputer SMA Nusantara II. Ia
harus tahu apakah benar Nerisa sudah kembali dan bersekolah di SMA Nusantara
II. Kalau benar, pasti baru hari ini dia masuk sekolah. Freya mulai mencari informasi
dengan mengambil backup files yang sudah dimilikinya.
Benar juga, dalam sekejap Nerisa mampu mendapatkan informasi tentang Nerisa.
Kapan Nerisa mulai mendaftar di sekolah itu, dan benar, ia sudah kembali dari
Singapura. Tujuh tahun tak ada kabar berita, sekarang tiba-tiba muncul. Kenangan
tujuh tahun seakan kembali. Laksan film yang diputar kembali. Saat Freya gagal
memegangi tangan Nerisa agar tidak jatuh dari pohon. Teriakan anak-anak lain yang
tak mau berteman lagi dengannya, teriakan orangtua yang melarang anaknya
bermain dengan Freya. Tanpa sadar air mata menetes. Buru-buru diusapnya
dengan punggung tangan. Suara mobil memasuki halaman rumah membuat Freya beranjak dari depan
komputer. Ia mengintip dengan menyibakkan gorden. Ia melihat sebuah sedan
hitam. Tak salah lagi orang itu adalah Nerisa. Mereka hampir bertabrakan tadi.
Benar, itu Nerisa. Ia turun dari mobil dan... Jantung Freya seakan berhenti berdetak
saat melihat Nerisa berjalan sedikit pincang. Mungkinkah itu hasil perbuatannya
tujuh tahun yang lalu" Membuat sahabatnya cacat seperti itu" Untuk kesekian
kalinya Freya menelan ludah dengan susah payah.
"Maafin gue, Nerisa. Sumpah, gue nggak sengaja ngebuat lo cacat." Freya
mengusap air mata. Sudah lam ia nggak bisa nangis, tapi sekaranf kedatangan Nerisa membuatnya
menangis. Freya pikir, ia sudah tak bisa menangis lagi, tapi ternyata ia bisa. Jujur, ia
kangen banget sama Nerisa. Ia pengin memeluknya, tapi tujuh tahun tanpa kabar
membuatnya kesal. Ditambah lagi, melihat Nerisa yang berjalan pincang, membuat
ia merasa bersalah. Walau begitu Freya senang melihat Nerisa kembali dalam
keadaan baik-baik saja. Kembali Freya menyingkap gorden saat telinganya mendengar deru mobil
meninggalkan halaman rumah. Nerisa sudah pergi. Bi Narsi menjalankan perintah
dengan baik. Maafin gue, Nerisa, gue pecundang, gue pengecut, gue nggak bisa memaafkan diri
gue karena peristiwa tujuh tahun yang lalu. Gue nggak punya keberanian buat
nemuin lo. Apalagi sekarang gue ngeliat kaki lo pincang, gue yakin itu pasti karena
peristiwa tujuh tahun yang lalu. Gue makin ngerasa bersalah sama lo. Gue ngerasa
kesalahan gue sulit dimaafkan. Tapi gue juga benci sama lo karena lo nggak ngasih
kabar. Tiap hari gue selalu berdoa untuk keselamatan lo. Agar lo baik-baik saja. Dan
ternyata Tuhan mengabulkan permintaan gue. Lo baik-baik saja bahkan sekarang lo
datang buat memenuhi janji lo. Tapi sekarang semuanya berbeda. Gue bukan Freya
yang dulu. Maafin gue karena gue berpikir, lo mesti ngejauhin gue. Gue nggak
pengin lo dekat-dekat dengan gue dan celaka lagi. Maafkan gue harus melakukan ini
semua. Ngebohongin lo, bahkan ngebentak lo saat pertama tadi kita bertemu.
Sebuah ketukan kecil di pintu membuat Freya terkejut, ternyata Bi Narsi datang
membawakan makanan kecil.
"Non Nerisa sudah pergi," ucap Bi Narsi tanpa diminta, "Sepertinya dia kepingin
sekali ketemu dengan Non Freya."
"Bi... Bisakah saya minta tolong peluk saya?"
"Apa, Non?" Tanya Bi Narsi heran.
"Tolong peluk saya, Bi."
Air mata Freya mulai keluar, Bi Narsi langsung memeluk Freya.
TUBUH Nerisa terasa segar sehabis mandi. Udara di luar panas dan sesak karena
polusi. Nerisa mesti menyesuaikan diri dengan udara di sini.
Habis mandi, Nerisa mempersiapkan buku-buku yang akan dibawanya besok ke
sekolah. Semoga saja besok orang yang bernama Freya itu masuk. Selembar foto
jatuh dari antara sisipan buku. Foto cowok ganteng berhidung mancung dan
berambut klimis. Buru-buru dipungut dan dipandanginya sesaat. Tak sadar air mata
jatuh di pipi Nerisa. Buru-buru Nerisa menyimpan kembali foto itu. Perlahan ia
menyingkap celana panjang yang menutupi kakinya. Kaki yang tak sempurna itu
diusapnya perlahan. Nerisa mulai terisak kembali. Air mata seakan tak pernah
berhenti mengalir. Saat itu ketukan terdengar di pintu kamar apartemen. Nerisa buru-buru menghapus
air matanya. Ia berjalan ke arah pintu.
"Om Frans... Tante Michelle." Nerisa mengulas senyum.
"Halo, Nerisa, apa kabar?" Suara tante Michelle terdengar renyah.
"Masuk, Om, Tante."
Sepasang suami-istri yang sudah lama akrab dengan keluarga Nerisa itu masuk.
Bagi Nerisa, Om Frans dan Tante Michelle sudah seperti saudara sendiri. Mereka
sering menginap di rumah Nerisa saat mereka pergi ke Singapura.
"Tante kamu pengin tahu keadaan kamu, Nerisa. Makanya Om ajak dia ke sini." Om
Frans duduk di sofa bersebelahan dengan Tante Michelle, sedangkan Nerisa duduk
di depannya. "HP kamu kenapa Nerisa" Papa kamu bilang HP kamu nggak aktif sejak kemarin?"


Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanya Tante Michelle. "Nomornya saya ganti, Tante."
"Loh kenapa?" "Mama dan Papa selalu bergantian telepon Nerisa. Nerisa jadi nggak bisa bebas.
Nerisa kan bukan anak kecil lagi," kata Nerisa sambil agak cemberut.
"Nerisa, mereka mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Nyatanya
Papa kamu sampai minta Om mencarikan bocoran buat tes final semester besok."
"Apa, Om" Kenapa sih Papa sampe segitunya?" Tanya Nerisa kaget.
"Iya, Om sudah minta tolong Freya tapi kayaknya dia menolak," kata Om Frans
santai, seolah yang dibicarakan ini hal yang biasa saja.
"Apa, Om" Freya" Kapan Om ketemu dia?" Sergah Nerisa makin kaget.
"Tadi siang." "Pantes dia nggak masuk sekolah." Nerisa mulai gusar. "Om, apa dia tahu kalau
bocoran soal itu buat Nerisa?"
"Memangnya kenapa Nerisa" Dia kan teman kamu," kata Om Frans heran melihat
reaksi Nerisa. "Please deh, Om. Freya pasti nganggap Nerisa bego banget!" Kata Nerisa sebal.
"Memangnya nggak ya?" Om Frans malah cengar-cengir.
"Ih, Om Frans... Nerisa memang nggak pinter, tapi juga nggak bego-bego amat.
Daripada mencarikan bocoran soal, mending carikan guru privat buat Nerisa," kata
Nerisa memelas. "Nah... Tante juga pikir begitu." Tante Michelle menggeser posisi duduknya. "Tante
sudah bilang sama Papa dan Om," katanya sambil menunjuk Om Frans, "Tapi
mereka nggak mau mendengarkan Tante. Lebih baik dapat nilai pas-pasan tapi hasil
dari kejujuran daripada dapat nilai bagus tapi curang."
"Setuju, Tante. Kenapa sih Papa sampai berfikir seperti itu."
"Ya mungkin dulu waktu papa kamu sekolah sering mencari bocoran soal." Kembali
Om Frans tertawa. Bener-bener nggak lucu, batin Nerisa. Nerisa kecewa banget pada Papa dan Om
Frans. Lebih kecewa lagi jika Freya tahu bocoran itu untuk Nerisa. Freya pasti mikir
macam-macam tentang dirinya. Tapi masalahnya, Freya yang Om Frans kenal
apakah sama dengan Freya yang dimaksud Nerisa"
"Om Frans sudah lama ya kenal Freya?" Tanya Nerisa.
"Dia itu genius. Om banyak mendengar tentang dia dari sepak terjangnya sebagai
hacker. Tapi dia keras kepala dan sulit diatur. Om ngajak dia bergabung di
perusahaan IT Om, tapi dia menolak."
"Dari dulu Freya memang pinter sih, Om. Waktu SD, dia selalu ranking satu."
"Setelah Nerisa cerita banyak tentang Freya, Om cari informasi lebih detail tentang
dia. Sekarang apa rencana Nerisa yang bisa Om bantu?" Tanya Om Frans.
"Nggak ada, Om, Nerisa belum ketemu Freya sampai sekarang."
"Apa perlu kita ke rumahnya?" Tanya Om Frans menawarkan.
"Nggak usah, Om. Nerisa ingin semua berjalan secara alami. Jika Nerisa butuh
bantuan Om pasti Nerisa hubungi Om."
"Oke. Oya, sekarang Om dan Tante mau cari makan di luar, kamu mau ikut?"
"Nggak usah, Om, terima kasih. Sebentar lagi ada teman Nerisa yang mau ngajak
pergi," tolak Nerisa sopan.
"Cowok?" "Nggak, Om, cewek. Namanya Rindu. Teman sekelas Nerisa."
"Perlu Om cari informasi tentang dia?" Tawar Om Frans.
"Nggak usah, Om, dia nggak ada hubungannya dengan masalah Nerisa."
"Oke, kalau begitu. Kami pergi dulu." Om Frans berdiri diikuti Tante Michelle.
"Nerisa, sepertinya kamu sudah mulai bisa melupakan Billy, ya?"
Ucapan Tante Michelle membuat raut wajah Nerisa berubah.
"Michelle, mana mungkin dia lupa" Iya kan, Nerisa?" Sergah Om Frans.
Nerisa mengangguk pelan. Hanya Om Frans yang tahu semuanya. Apa yang Nerisa
rasakan. Nerisa sendiri heran kenapa bisa sangat terbuka dengan Om Frans,
padahal dengan papa dan mamanya saja tak bisa. Tapi pada Om Frans ia bisa
bercerita banyak tentang Billy. Dan respons Om Frans sangat luar biasa. Itulah yang
membuat Nerisa merasa dekat dengan Om Frans. Ia seperti ayah kedua bagi
Nerisa. Ayah yang lebih pengertian dibanding ayahnya sendiri yang cenderung
posesif. Nonkrong di pinggir jalan begini memang asyik. Suasananya remang-remang dan
dari tempat mereka duduk, mereka bisa melihat beberapa pasang anak muda yang
lagi pacaran. Rasanya Nerisa iri juga. Tapi mau gimana lagi, masa pacaran dengan
Rindu" Jeruk minum jeruk dong...
"Nih, buat ngangetin badan." Rindu menyodorkan semangkuk minuman beraroma
jahe pada Nerisa. "Thanks." Mereka sudah berputar-putar Jakarta. Rencananya mereka mau nonton tapi nggak
ada film yang bagus, maka mereka putuskan buat nongkrong aja di pinggir jalan.
"Wuiz... Lihat tuh cowoknya nyosor ceweknya terus?" Rindu tertawa melihat
sepasang kekasih yang lagi mesra-mesraan.
"Yang mana?" "Itu... Gue nggak bisa nunjuk ke orangnya. Bisa-bisa dia nyamperin kita, terus
ngegampar gue. Arah jam dua."
Nerisa melirik sembunyi-sembunyi. "Iya seru banget."
"Kayak di film aja," komentar Rindu.
Nerisa cengar cengir. "Mata lo itu jelalatan banget."
"Nerisa, lo punya pacar nggak?" Tanya Rindu tiba-tiba. Nerisa terdiam, ia
memainkan sendok dalam mangkuknya.
"Sori, pertanyaan gue nyinggung lo, ya?" Tanya Rindu.
"Nggak. It's okay, kok. Gue pernah punya pacar, tapi sekarang udah putus," kata
Nerisa jujur. "Putusnya udah lama?" Tanya Rindu lagi.
"Satu bulanan lah."
"Wow... Kasihan banget. Terus kenapa sampe putus?"
"Ortunya nggak setuju," kata Nerisa pelan.
"Alasan klasik banget. Terus kalian nggak coba memperjuangkan cinta kalian?"
Kejar Rindu. "Dia itu anak mama banget. Dia lebih nurut sama mamanya."
"Ya udahlah, nggak usah disesali. Ngapain juga pacaran dengan cowok anak
mama" Nggak banget deh."
"Tapi gue cinta banget sama dia," kata Nerisa lirih.
"Kalo gitu perjuangin dong," kata Rindu.
"Nggak bisa, ada satu hal yang nggak bisa diubah."
"Boleh gue tahu?" Tanya Rindu penasaran.
"Nggak!" Sergah Nerisa.
"Wuiz... Sadis banget... Gitu aja ngebentak," kata Rindu agak kaget.
"Kita bicarakan yang lain aja ya?"
"Oke..." Rindu mengembalikan mangkuk yang telah ludes isinya pada penjualnya. Ia
mulai mencari-cari makanan yang lain. "Nerisa, lo mau kerak telor?" Teriak Rindu.
Nerisa melambaikan tangan, tanda tak mau. Nerisa heran, nafsu makan Rindu gede
banget. Untung ia banyak aktivitas, kalo tidak tubuhnya pasti jadi bulet.
"Enak lho, Nerisa, makanan kayak begini di Singapura nggak bakalan ada," Rindu
terus saja ngomong sambil makan.
"Selain ketua kelas, lo punya jabatan apa lagi di sekolah?" Tanya Nerisa.
"Banyak, nggak perlu gue sebutin. Entar gue dikira sombong. Nanti lo akan tahu
sendiri." Rindu melahap kerak telor sambil sesekali minum the hangat. "Oya,
sebentar lagi kan tes final semester terus libur. Anak-anak pengin ada acara buat
ngisi liburan, lo ada usul?"
"Gue" Gue kan anak baru," kata Nerisa.
"Nggak masalah. Siapa tahu malah ada ide fresh dari anak baru. Sekalian lo jadi
panitia buat bantuin gue," kata Rindu.
"Nggak ah, lo cari yang lain aja," tolak Nerisa.
"Nerisa, ini kesempatan buat lo lebih kenal dengan banyak anak lain di sekolah kita.
Lo mau kayak Freya yang nggak punya temen?"
"Freya" Oya, kira-kira besok dia masuk sekolah nggak ya?" Tanya Nerisa.
"Tauk, emang gue emaknya...?" Tanya Rindu.
"Ih... Ditanya gitu aja jawabannya nggak enak di kuping," kata Nerisa sebal.
"Habis pertanyaan lo aneh sih..."
"Memang sekolah ngizinin ya siswa jarang masuk sekolah?" Tanya Nerisa.
"Dia sudah sering diancam akan dikeluarkan dari sekolah. Tapi mungkin nasibnya
lagi baik, jadi sampai sekarang sekolah cuma ngasih peringatan tanpa
menindaklanjuti," kata Rindu menjelaskan.
"Emang dia segitunya, ya?" Tanya Nerisa lagi.
"Maksudnya?" "Ya, dia itu nggak punya teman karena nggak disukai teman-teman dan guru. Bisa
nggak lo cerita ke gue sebanyak-banyaknya tentang Freya?" Desak Nerisa.
"Bukannya lo bilang lo temannya?" Tanya Rindu.
"Dulu, tujuh tahun yang lalu. Sekarang perkembangan dia kayak gimana gue nggak
tahu." "Yang pasti tubuhnya tambah gede..."
"Ih, lo..." Nerisa memukul lengan Rindu karena gemas.
"Sebenarnya gue tahu banyak tentang dia karena pernah menyelidiki dia secara
khusus," kata Rindu.
Nerisa tertawa. "Kayak detektif saja."
"Beneran." Rindu meletakkan gelas berisi the hangat yang tinggal separo. "Lo
bayangkan saja, kalo lo jadi gue."
"Nggak mau gue membayangkan jadi lo."
"Sialan lo..." Kali ini Rindu yang meninju lengan Nerisa. Nerisa tertawa keras-keras.
"Lanjut..." "Bentar, ngunyah dulu..." Rindu menghabiskan makanan dalam mulutnya, baru
ngomong lagi. "Gue dan keluarga gue bukan orang asli Jakarta. Gue dari bandung
dan kebetulan rumah gue deket dengan rumah Freya. Setiap mau berangkat
sekolah gue selalu lewat depan rumahnya. Gue heran rumah besar itu ternyata ada
penghuninya. Semula gue sangka rumah kosong, bayangkan tiap hari sunyi terus.
Lalu gue coba cari informasi tentang penghuni rumah itu dari tetangga sekitar situ.
Ya, demi keamanan gue dan keamanan keluarga gue tentunya. Gue kan nggak mau
punya tetangga yang tingkah lakunya kayak teroris gitu."
"Lanjut..." Rindu tertawa melihat Nerisa yang semangat mendengar ceritanya.
"To be continue!" Rindu beranjak pergi menuju mobil mereka.
"Rindu!" Teriak Nerisa sambil mengikuti Rindu.
"Besok lagi aja, sudah malam."
"Jahat banget sih." Nerisa menyerahkan kunci mobilnya pada Rindu.
"Ngapain sih buru-buru" Lo masih punya waktu satu setengah tahun lagi di SMA
Nusantara II, berarti masih banyak waktu buat tahu tentang Freya secara langsung.
Takutnya entar di kira mulut gue ember."
"Emang..." Nerisa nyengir.
"Sialan... Lo nyetir sendiri deh!"
"Ih, gitu aja ngambek..." Nerisa mencolek hidung Rindu. Rindu mengibaskan tangan
Nerisa. "Bau jengkol!" "Hidung lo yang bau jengkol. Tadi kan gue minum jahe, masa jadi bau jengkol"
Dasar!" Rindu dan Nerisa cepat banget akrab. Mereka kayak udah lama kenal. Pantes Rindu
jadi aktivis sekolah. Ia care banget sama teman. Pandai bergaul dan menyenangkan
sehingga bikin orang-orang betah di dekatnya.
PELAJARAN sudah dimulai lima belas menit yang lalu. Ini bukan pertama kalinya
Freya terlambat masuk. Pintu gerbang depan sekolah sudah ditutup, jadi Freya
melewati pagar belakang sekolah dengan memanjatnya. Namun sial baginya, belum
sampai di depan kelas, ia sudah dihadang satpam yang sepertinya melihat Freya
saat lari dari pintu depan ke pintu belakang sekolah.
"Nah, ketangkap!" Satpam itu menarik tangan Freya untuk dibawa ke kantor guru.
Sial banget, padahal kalo nggak ketahuan satpam, ia bisa pura-pura dari kamar kecil
untuk mengikuti pelajaran kedua dan dengan sukses masuk kelas seperti biasa.
"Kamu lagi! Sudah jarang masuk, malah membuat onar dengan memanjat pintu
gerbang!" Wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, Pak Sunaryo, menatap Freya.
Freya tak menunjukkan rasa takut. Ia balas menatap guru yang masih tergolong
muda itu. "Lari keliling lapangan sepuluh kali!" Tanpa basa-basi Pak Sunaryo menjatuhkan
hukuman. Walau kesal, Freya terpaksa menuruti perintah Pak Sunaryo. Tahu gini, mendingan
gue nggak masuk sekalian, pikirnya.
Satu putaran, dua putaran, tiga putaran. Freya mulai kelelahan. Baru lima putaran ia
sudah menyerah, keringat bercucuran dan ia tampak berantakan sekali.
Seragamnya basah dengan keringat dan nggak rapih lagi.
"Nyerah, Pak, ganti aja hukumannya." Freya menghampiri Pak Sunaryo.
"Baru setengahnya!"
Freya mengumpat dalam hati, kalau memaksakan diri untuk lari lagi, ia bisa pingsan
karena tadi pagi ia belum sempat makan dan langsung berangkat. Ia bahkan hanya
cuci muka, ganti baju, lalu berangkat. Ini semua gara-gara semalam ia mengutakatik komputer sampai malam.
"Ganti yang lain deh, Pak." Freya mengusap keringat yang terus menetes dari
wajahnya. "Baik." Pak Sunaryo tersenyum. "Komputer dirumah saya rusak tolong diperbaiki
nanti siang." "Yaaah... Pak... Saya kan bukan teknisi. Bawa aja ke reparasi komputer," gerutu
Frea. "Bapak tidak mau tahu, pokoknya kamu yang urus. Bapak nggak tahu soal
komputer." Frea terpaksa menyanggupi dari pada Pak Sunaryo berubah pikiran lagi. Freya pikir
ini lebih baik daripada harus lari lima kali lagi mengelilingi lapangan yang luas.
Ia tinggal membawa komputer Pak Sunaryo ke tempat Om Frans dan semuanya
beres. "Eh, mau kemana kamu?" Teriak Pak Sunaryo melihat Freya menjauh.
"Kembali ke kelas," balas Freya.
"Enak saja, siapa suruh kamu kembali ke kelas"!"
"Terus saya disuruh ngapain lagi, Pak?"
"Berhubungan kamu melewatkan upacara bendera, sekarang silahkan kamu hormat
pada bendera selama satu jam!"
"Tapi, Pak...," kata Freya kaget.
"Cepat lakukan!"
Terpaksa Freya melaksanakan hukumannya sebentar lagi akan ada pergantian jam
pelajaran, dan anak-anak akan keluar dari kelas sambil menunggu guru pelajaran
berikutnya masuk kelas. Dan saat itu ia akan menjadi tontonan menarik karena
seorang Freya kali ini dipermalukan habis-habisan dengan di suruh menghormat
bendera selama satu jam. Gila...
Pandangan Freya mulai berkunang-kunang. Efek nggak sarapan membuat tubuhnya
lemas. Tangan didahinya perlahan turun. Saat hendak terlepas dari dahi, tangannya
langsung di topang seseorang. Ia melihat Nerisa di depannya. Namun Freya tak
yakin benar karena pandangannya mulai kabur.
"Nerisa... Bu Nadia sudah masuk kelas," teriak rindu dari depan kelas.
"Freya, gue tunggu lo di kelas," ucap Nerisa sambil berlalu.
Freya sempat melihat punggung Nerisa sebelum akhirnya pingsan.
Perlahan Freya membuka mata dan melihat sekeliling. Ia ingat peristiwa sebelum
pingsan. Ia ingat Nerisa menghampirinya. Langkah Nerisa yang kurang indah akibat
kakinya yang agak pincang itu membuat Freya makin merasa bersalah. Mungkinkah
itu akibat jatuh dari pohon tujuh tahun yang lalu" Semoga saja bukan, pikir Freya.
Sulit bagi Freya untuk memaafkan diri sendiri jika benar itu akibat peristiwa tujuh
tahun yang lalu. Rasa bersalah kian mengusai hati dan pikirannya.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya seorang murid yang bertugas di UKS.
Freya diam saja, baginya pertanyaan itu nggak penting untuk dijawab.
"Kok diam saja sih?"
"Lo bisa diam nggak" Kalo nggak, mendingan lo keluar," sergah Freya.
Petugas UKS itu menjadi geram melihat sikap Freya. "Eh, kok ngomongnya gitu sih"
Nggak sopan banget."
"Lo keluar deh, gue mau tidur!" Freya malah membentak.
"Busyet deh, memang ini hotel apa"!" Petugas UKS itu keluar dengan kesal.
Wajahnya ditekuk-tekuk kayak kertas yang diremas-remas.
Sebentar lagi pasti ada guru yang datang kemari akibat pengaduan petugas UKS itu,
mendingan kabur dulu. Freya bangun lalu keluar dari ruang UKS.
Sudah pasti yang dituju adalah kantin. Freya merasa perutnya harus segera di isi. Ia
nggak mau pingsan lagi. Ia memesan semangkuk bakso dan es teh.
"Nggak masuk kelas, Neng?" Tanya pemilik kantin sambil meletakkan pesanan
Freya di meja. "Urusan gue..."
"E... Lha dalah... Ditanyain kok jawabnya jutek gitu" Tahu gitu aku kasih garam yang
banyak tadi." Logat pemilik kantin yang berasal dari Jawa itu terdengar aneh
ditelinga Freya. Kembali Freya tak peduli, ia hanya peduli pada semangkuk bakso dan es teh.


Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segerombolan anak laki-laki datang. Mereka membuat kehebohan tersendiri. Freya
pikir, mereka pasti anak-anak yang sengaja membohongi guru dengan pura-pura
sakit perut terus ngumpul di kantin untuk menghindari mata pelajaran yang tidak
mereka suka. Di sekolah favorit atau bukan, orang-orang semacam ini pasti ada.
Mereka membuat suasana kantin yang semula tenang jadi berisik. Freya sedikit
terganggu dengan kedatangan mereka namun tak dapat berbuat apa-apa. Ini kantin
milik sekolah, bukan kantin milik emaknya. Jadi terpaksa deh Freya diam saja.
Satu di antara mereka menghampiri Freya. Freya pasang tampang tak peduli,
seperti biasa. Ia terus menikmati sisa kuah baksonya sebelum beralih ke es teh di
depannya. "Hai, boleh duduk di sini?" Cowok itu lumayan ganteng tapi Freya tak tertarik.
Cowok itu garuk-garuk kepala, bingung harus ngomong apa lagi. Sepertinya ia
sedang berpikir keras sambil sesekali menoleh ke arah rombongannya yang
memberikan acungan jempol.
"Hm... Boleh pinjam HP lo nggak" Soalnya gue lupa bawa HP tadi."
Cowok itu makin salting melihat Freya yang sama sekali tak peduli.
"Hm..." "Sebenarnya lo mau apa sih?" Freya memotong ucapan cowok itu. "Mendingan lo
pergi. Gue enek ngelihat muka lo. Selera makan gue ilang gara-gara lo di depan
gue!" Spontan rombongan cowok itu tertawa. Freya berjalan melewati mereka. Ia sempat
mendengar cowok tersebut mengatainya dengan berbagai umpatan dan terakhir
Freya mendengar seseorang mengatakan bahwa semua pesanan yang bayar
adalah Aris. Pasti cowok itu namanya Aris. Tapi bagi Freya siapapun nama cowok
itu, nggak penting banget. Ia hanya tahu ia telah dijadikan taruhan oleh para cowok
brengsek itu. Freya malas kembali ke kelas, rasanya belum siap ketemu Nerisa. Entah kenapa ia
merasa Nerisa mesti menjauhinya. Peristiwa tujuh tahun lalu membuat Freya
trauma. Ia nggak mau Nerisa dekat-dekat dengannya. Ia membuat hidup Nerisa
menderita. Ia bukan sahabat yang baik. Setidaknya itu yang sering dikatakan orang
pada dirinya. Ia anak yang nakal, bahkan tak ada orangtua yang mengizinkan
anaknya berteman dengannya. Freya dianggap membawa sial. Padahal Freya ingat
betul ia sudah berusaha menolong Nerisa walau gagal. Kesalahannya hanyalah
melempar Momo sampai tersangkut pohon. Sama sekali Freya tak bermaksud
mencelakakan Nerisa, tapi apa yang terjadi... Kejailannya membuat sahabatnya
jatuh dan akhirnya mereka harus berpisah.
Freya benci Nerisa karena selama ini tak pernah berusaha menghubunginya. Nerisa
tiba-tiba muncul begitu saja. Walau dulu ia memang pernah berjanji akan datang lagi
mengambil Momo. Tapi siapa percaya pada janjinya, kalau sekian tahun ia tak
pernah memberi kabar berita" Freya benci Nerisa karena ia harus menyimpan
perasaan bersalah yang akhirnya membuatnya meradang. Sebenarnya ia bisa saja
mencari keberadaan Nerisa, sangat mudah bagi seorang hacker. Tapi apa gunanya
bila Nerisa sendiri tak ada niatan untuk menghubunginya lebih dahulu. Walau
sekarang Nerisa muncul ternyata itu tak dapat menghapus kekesalan yang selama
ini Freya rasakan. Kembali Freya bingung harus masuk kelas atau tidak. Kalau tidak masuk kelas,
mungkin sebentar lagi ia akan kepergok guru yang akan menyeretnya masuk kelas.
Mungkin tempat paling aman adalah ruang komputer. Ia bisa pinjam komputer, dan
dengan keahliannya, ia bisa mengacaukan sistem jaringan komputer di sekolah lalu
menawarkan diri untuk memperbaikinya dengan memecahkan masalah alias
trouble-shooting dengan caranya sendiri. Dengan begitu ia akan diizinkan lebih lama
berada di ruang komputer.
Di ruang komputer Freya melancarkan aksinya. Apa yang ia rencanakan berjalan
mulus. Ia melihat petugas yang sedang mengoperasikan komputer kebingungan,
tiba-tiba muncul perintah-perintah nggak jelas dalam komputer. Dengan langkah
santai Freya menghampiri.
"Komputernya kenapa, Mas?" Freya cengar-cengir.
"Nggak tahu nih, Dik, tiba-tiba hang gini."
"Coba saya lihat, Mas."
"Kalau begitu silahkan dicoba, siapa tahu Adik bisa."
Yes! Freya berjingkrak dalam hati. Sebenarnya ia hanya butuh beberapa detik untuk
memperbaikinya tapi sengaja mengulur-ulur waktu sampai si petugas
meninggalkannya sendiri. Sekarang Freya bebas. Saat ini yang ia rasakan campur baur. Jujur, ia memang
rindu pada Nerisa. Tapi rasa rindu dan rasa bersalahnya berimbang. Ia tak tahu
bagaimana harus bersikap menghadapi Nerisa. Kira-kira apa yang dipikirkan Nerisa
tadi, saat melihatnya di bawah tiang bendera dalam keadaan berantakan dan
kacau" Tapi yang pasti Freya masih terbayang cara berjalan Nerisa dengan kakinya
yang sedikit pincang. Apakah ia percaya diri dengan kaki seperti itu" Apakah ia tak
pernah menemui kesulitan dengan kaki seperti itu" Dan jika benar Freya-lah
penyebabnya, apakah Nerisa bisa memaafkannya" Freya jadi geram sendiri.
Bukannya memperbaiki sistem, ia malah makin mengacukan sistem yang ada. Tentu
hal itu membuat petugas yang telah kembali dari acara "jalan-jalan" marah.
"Gimana sih" Bilang saja nggak bisa. Jadi kacau gini, kan?" Petugas itu marahmarah.
Freya diam saja. Ia malas berdebat dengan petugas itu. Dengan cuek Freya
meninggalkan si petugas yang masih marah-marah sambil mengutak-atik komputer
di depannya. Freya bingung mau ngumpet di mana lagi. Paling-paling di perpustakaan. Tapi
kayaknya males kalau di perpus sekolahan, bukunya nggak ada yang baru. Lama
semua. Beli buku baru jarang banget. Pas ada suntikan dana dari yayasan, baru
petugas perpustakaan beli buku baru. Freya lebih suka pinjam di Perpustakaan
Nasional yang lebih lengkap dan selalu ada buku baru. Jika tertarik pada buku
tertentu, ia akan segera mencarinya ke toko buku dan membelinya untuk menambah
koleksi bukunya. Kebanyakan bukunya tentang IT berbahasa inggris sesuai bidang
yang ia suka. Baru saja memutuskan untuk mencari tempat persembunyian lain, ia kepergok Pak
Sunaryo lagi. Lagi-lagi guru itu melihatnya keluyuran diluar kelas. Langsung saja
tanpa basa-basi Pak Sunaryo menggiring Freya masuk kelas. Sekarang Freya mesti
siap menghadapi Nerisa. SEISI kelas langsung terdiam dan melihat ke arah pintu. Mereka berhenti
mengerjakan tugas dari Bu Nadya-karena beliau harus meninggalkan kelas untuk
menemui tamu. Freya dengan santai menuju bangku kedua dari belakang. Sejenak
ia tak sempat menyembunyikan keterkejutannya melihat Nerisa menduduki
bangkunya. Namun Freya segera bisa menguasai diri dan bersikap tenang.
"Pergi lo dari bangku gue!" Jari Freya menunjuk tepat ke muka Nerisa.
Nerisa melongo, tak siap mendapat ucapan sedingin dan sesadis itu dari Freya.
"Nerisa, lo duduk sama gue yuk!" Rindu meraih tangan Nerisa.
"Tunggu." Nerisa melepaskan tangan Rindu.
"Pergi dari bangku gue!" Bentak Freya untuk kesekian kalinya.
"Lo kelihatan berantakan banget." Tangan Nerisa hendak memegang bahu Freya
namun Freya segera menepisnya. "Lo Freya teman gue waktu kecil, kan" Bola mata
Nerisa berputar indah. Freya memalingkan wajah. "Bukan!"
"Bukan"!" Nerisa terus menatap Freya yang kali ini tak membalas tatapannya.
Seisi kelas seakan terhipnotis menyaksikan kejadian langka itu. Mereka melihat
ekspresi salting Freya. Selama ini tak pernah mereka bayangkan Freya bisa salting.
Nerisa memang top, pikir mereka.
"Lo sahabat kecil gue, lo pasti ingat, kan" Lo yang bikin gue jatuh dari pohon."
Nerisa menunjuk kakinya. "Lihat, ini kenangan dari lo. Kaki gue patah dan nggak
bisa disambung dengan sempurna."
Freya menelan ludah. "Gue yang jatuh tapi lo yang amnesia. Aneh banget sih lo?" Nerisa tak memberi
kesempatan Freya untuk bicara. "Tapi lo tenang aja, gue sudah maafin lo kok."
Freya melangkah pergi. Nerisa mengejarnya sampai di depan pintu kelas.
Bersamaan dengan itu Bu Nadya masuk. Ia heran melihat kelasnya berubah aneh.
"Ada apa ini?" Bu Nadya melihat ke arah Freya dan Nerisa. "Kalian mau ke mana?"
"Saya..." Nerisa kebingungan mencari alasan.
"Saya izin pulang! Pusing!" Freya pergi begitu saja.
Bu Nadya geram. "Freya! Berhenti!"
Ucapan Bu Nadya tak digubris Freya. Bu Nadya geram sekali. Ia berteriak
mengancam akan mempermasalahkan hal ini ke Kepala Sekolah. Freya telah
berlaku tidak sopan. Bu Nadya akan menuntut supaya Freya dikeluarkan dari
sekolah. Pas pergantian pelajaran, Nerisa langsung dikerubuti teman sekelas. Terutama Dina
yang seneng melihat Nerisa melawan Freya sampai membuatnya kabur.
"Hebat lo, Nerisa. Salut banget lo bisa tundukkan si monster." Dina menepuk-nepuk
lengan Nerisa. "Gue lihat ekspresi wajahnya. Wih... Baru kali ini gue bisa lihat wajah sangarnya
berubah kalem," sambung anak yang lain.
Nerisa tak menanggapi ucapan-ucapan itu. Ia masih heran melihat sikap Freya. Apa
yang dikatakan orang-orang tentang Freya ternyata benar. Freya telah berubah.
Sikapnya sangat aneh. Dan yang lebih menyakitkan, ia pura-pura tak mengenal
Nerisa. Nerisa heran sebenarnya Freya maunya apa sih"
"Nerisa... Kok malah bengong sendiri sih?" Dina tampak bersemangat.
Rindu yang semula cuma jadi penonton melihat gelagat Nerisa yang risih dikerubutin
teman-temannya yang merespons peristiwa tadi.
"Semua bubar, kembali ke tempat duduk masing-masing," perintah Rindu, sang
ketua kelas. Nerisa masih diam saja, kepa
lanya tertunduk, rambutnya yang panjang menutupi
sebagian wajahnya. "Lo baik-baik saja, kan?" Kali ini suara Rindu berubah kalem.
Nerisa mengangguk, saat mengangkat wajah, matanya berair. Rindu terkejut, ia
segera menyodorkan tisu pada Nerisa.
"Jangan diambil hati, Freya memang begitu. Sekarang kamu tahu sendiri kan kayak
apa orangnya." Nerisa mengusap air mata yang jatuh di pipi. "Gue cuma syok melihat sikapnya ke
gue. Gue nggak nyangka sahabat kecil gue berubah begitu terhadap gue. Gue yakin
banget dia ingat gue dan hanya pura-pura nggak kenal sama gue."
"Ya sudah, abaikan saja. Toh banyak teman lain yang lebih respek ke lo. Ngapain
ngurusin orang kayak dia?" Rindu menepuk-nepuk tangan Nerisa. "Ada baiknya lo
ngejauhin dia." "Lo nggak akan pernah bisa mengerti." Nerisa menggigit bibirnya kuat-kuat untuk
menahan tangis. "Gue harus tahu kenapa dia berubah seperti itu. Gue yakin dia
bukan orang seperti itu. Dia memang bandel, tapi nggak sekasar itu. Dulu dia
banyak bicara dan banyak orang menyukainya. Gue sampai iri karena dia punya
begitu banyak teman sedangkan gue nggak punya teman sebanyak dia. Tapi dia
selalu mau main sama gue, bahkan gue merasa gue berarti banget bagi dia."
"Waktu bisa mengubah segalanya, Nerisa," kata Rindu bijak.
"Gue harus cari tahu sebabnya," kata Nerisa bertekad.
"Sepertinya gue tahu sebabnya."
"Lo?" "Ya, gue pernah kan bilang sama lo kalo gue secara khusus menyelidikinya?"
"O iya, dan lo janji mau cerita ke gue," kata Nerisa penuh semangat.
"Iya, tapi bukan sekarang. Entar sore gue ke apartemen lo. Lo nggak ada acara,
kan?" Tanya Rindu. "Nggak. Lo datang aja."
"Tapi sebelumnya lo belanja makanan dulu," kata Rindu sambil cengengesan.
Nerisa meringis. "Dasar tukang makan... Heran, ke mana tuh larinya makanan."
Rindu lega Nerisa bisa tersenyum lagi. Padahal tadi wajahnya ih... Mengerikan
banget, sulit digambarkan dengan kata-kata. Rindu sendiri nggak tahu apa yang
sebenarnya terjadi di antara Nerisa dan Freya, yang pasti Rindu yakin Nerisa
menyimpan rahasia besar dalam dirinya.
Nerisa mengikat rambutnya yang panjang dengan jepit warna cokelat. Heran, ia
begitu maniak dengan warna cokelat. Apa dia nggak takut jadi buta warna karena
kebanyakan benda yang dimilikinya berwarna cokelat" Lihat saja, hampir seisi
ruangan ini serbacokelat. Pakaiannya pun kebanyakan cokelat. Kalau boleh,
seragam sekolahnya pasti berwarna cokelat, tapi karena sudah peraturan, ya nggak
bisa kecuali seragam pramuka. Wah, itu dia suka banget.
"Nih, gue tadi mampir ke supermarket beli semua makanan ini." Nerisa meletakkan
tas besar berisi makanan di lantai.
Rindu memang suka duduk di lantai yang hanya beralaskan karpet warna cokelat.
"Ini apaan?" Rindu memilah-milah makanan dan menemukan satu yang menarik
perhatiannya. "Keripik mangga, buka aja."
"Asyik..." "Lo mau minum apa?" Nerisa beranjak. "Jus apel ya?"
"Oke, terserah lo punyanya apa keluarin semuanya."
"Parah lo..." Nerisa menyerahkan sekotak jus apel dingin.
Rindu nyengir. "Bakal betah gue di sini."
"Gue suudah siap, cerita dong." Nerisa duduk di samping Rindu, tangannya meraih
bantal dari sofa untuk di letakkan di pangkuannya.
"Gini, dia itu dijauhi teman-temannya karena orang-orang di sekitar rumah melarang
anaknya bergaul dengannya."
"Lho, kok bisa?" Tanya Nerisa kaget.
"Ya ampun... Jangan main potong dong." Protes Rindu.
"Sori... Lanjut!"
"Kata tetangga yang gue tanya, dia itu nakal banget, suka memanjat pohon dan
jailnya minta ampun."
"Tapi itu kan bukan alasan buat ngejauhin dia," kata Nerisa kesal.
"Ya ampun... Dipotong lagi..."
"Sori... Lanjut!"
Rindu mengambil keripik dan mulai mengunyah, dengan mulut masih penuh ia
berbicara, "Sampai dimana tadi?"
"Orang-orang sekitar menyuruh anak-anak mereka untuk menjauhi Freya."
"Iya, intinya karena dia itu nakal jadi nggak punya teman. Makanya Freya jadi begitu.
Nggak mau bergaul, kasar, dan nggak bisa diatur. Karena dia memang meyakini
anggapan orang-orang yang menyebut dia nakal dan tak ada seorang pun yang mau
berteman dengannya," kata Rindu panjang usai menelan keripiknya.
"Iya, tapi kenapa orang-orang sampai berbuat begitu. Apa salah dia?"
"Menurut cerita orang, dia itu pernah membuat temannya jatuh dari pohon dan
meninggal," kata Rindu datar.
"Apa"!" Darah Nerisa seakan naik ke ubun-ubun.
"Iya, gosipnya gitu sih."
"Kapan peristiwa itu terjadi?" Kejar Nerisa.
"Kira-kira tujuh tahun yang lalu lah."
Nerisa memperbaiki posisi duduknya. "Lo yakin temannya itu telah meninggal?"
"Ya ampun mana gue tahu" Pokoknya gara-gara dia, temannya jatuh dan sampai
dibawa ke luar negeri untuk berobat, keluarganya sampai pindah ke sana karena
marah padanya," kata Rindu.
"Pindah ke mana?" Kejar Nerisa.
"Ke luar negeri, nggak tahu luar negerinya mana..."
Nerisa bangkit, lalu keluar kamar. "Ikut gue!"
Rindu masih bengong. Ia baru sadar saat Nerisa menarik tangannya untuk keluar.
Walau heran akan sikap Nerisa, Rindu menurut saja saat Nerisa membawanya ke
rumah Freya. Rumah itu, seperti biasa, tampak lengang seakan tak berpenghuni. Baru beberapa
saat kemudian pintunya terbuka dan Bi Narsi keluar.
"Freya ada, Bi?" Nerisa melongokkan kepala. Mobil Freya ada berarti dia ada di
rumah. Bi Narsi tampak kebingungan. Nerisa bisa membaca raut ketakutan pada wajah Bi
Narsi. "Freya nggak mau ketemu dengan saya kan, Bi?" Tanya Nerisa.
Bin Narsi mengangguk. "Maaf ya, Non."
Nerisa mendesah, "Apa orang-orang di sini sudah menganggap saya meninggal
karena peristiwa saya jatuh dari pohon dulu?"
Rindu melongo. "Jadi..."
"Gue masih hidup. Gue bukan hantu yang berkeliaran dan gue akan datangi orangorang untuk meyakinkan mereka bahwa gue masih hidup dan mereka nggak berhak
menghukum Freya seperti ini. Hukuman ini begitu berat untuknya," kata Nerisa
tegas. "Syukurlah, Non, Bibi yakin orang-orang itu nggak akan mengucilkan Non Freya
lagi." "Baiklah, Bi, saya tahu apa yang harus saya lakukan."
Rindu mengikuti Nerisa setelah mereka berpamitan. Rindu sangat kagum dengan
cara Nerisa membersihkan nama Freya. Ia mendatangi orang-orang yang
berpengaruh. Dengan begitu Rindu juga bisa mempelajari cara Nerisa meyakinkan
orang-orang, yang mungkin bisa ia gunakan untuk meyakinkan orang-orang supaya
memberi sponsor pada acara yang diadakan di sekolah.
Sampai larut malam mereka baru pulang ke apartemen Nerisa. Rindu sekalian
mandi di apartemen Nerisa. Inginnya menginap sekalian tapi nggak diizinkan


Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mamanya, terpaksa ia harus pulang.
"Thanks ya, Rindu. Lo jadi terlibat," kata Nerisa.
"It's okay, gue senang kok bisa bantu lo. Gue cuma nggak nyangka ternyata anak
kecil yang jatuh itu elo."
"Ya, Freya sahabat kecil gue. Gue sayang banget sama dia. Sayang ya dia nggak
menyambut kedatangan gue dengan baik," kata Nerisa sedih.
"Sabar ya, Nerisa... Suatu saat Freya akan sadar bahwa apa yang dia lakukan
salah," kata Rindu. "Dia begitu karena salah gue."
"Nggak lah... Menurut gue kalian berdua nggak ada yang salah. Waktu itu kan lo
masih kecil. Jadi nggak ada unsur kesengajaan. Cuma masyarakat aja yang suka
mendramatisir peristiwa. Maklumlah, kalo ada gosip, makin digosok biar sip," kata
Rindu. Biar masih SMA bijak juga dia.
"Gue cuma berharap bisa mengembalikan Freya kepada pribadi Freya yang
sebenarnya. Gue yakin banget dia bukan orang seperti itu," kata Nerisa pelan.
"Gue dukung lo seratus persen." Rindu menepuk bahu Nerisa. "Gue pulang dulu,
capek mau bobok." Rindu melangkah pergi.
Nerisa lega sekali hari ini. Minimal ia tahu apa sebabnya Freya berubah.
Nerisa meraih ponsel, jemari lentiknya seakan menari indah.
"Om Frans, ada perubahan rencana." Nerisa menutup kembali ponselnya lalu
meletakkan di atas kasur.
Sebentar kemudian ia merebahkan diri di tempat tidur. Matanya menerawang jauh.
Tangannya menggapai bawah bantal, menarik sesuatu dari sana. Selembar foto
cowok ganteng. "Billy..." Nerisa mendesah, lalu matanya mulai memanas. Ia menggerakkan foto itu
lebih dekat pada wajahnya, mengecupnya perlahan. Foto itu sedikit basah oleh air
mata. Kembali jemari Nerisa mengusap foto itu, membersihkannya dari air mata. Ia
mengusap perlahan pada pipi cowok itu, membelainya, lalu meletakkan foto itu
didadanya. FREYA duduk di lantai, mendekap kedua lutut. Telinganya terus dipertajam untuk
memastikan mobil Nerisa telah pergi. Walau yakin Nerisa telah pergi, ia belum juga
beranjak dari tempatnya. Ia terus mendekap lututnya erat-erat sampai Bi Narsi
masuk ke kamarnya. "Non Nerisa sudah pergi, Non." Suara Bi Narsi terdengar dekat dan pelan.
Freya mengangkat wajah. "Terima kasih ya, Bi."
"Non Nerisa itu baik lho, Non. Dia tidak marah dan dendam pada Non. Justru
sebaliknya, dia mau mengatakan pada semua orang bahwa dia masih hidup dan
sehat." Freya mengangguk. "Dia memang baik, Bi. Dari dulu selalu begitu. Dari dulu Freyalah yang jahat. Freya telah menyakitinya. Freya yang membuatnya cacat. Freya
memang jahat!" "Sst.. Sudah, Non..." Bi Narsi mendekap Freya.
Bi Narsi pengasuh Freya sejak kecil. Sejak kecil pula Freya nggak pernah bisa dekat
dengan papa-mamanya. Mereka berdua sibuk dengan urusan masing-masing.
Bahkan saat Freya membutuhkan mereka. Mereka pergi meninggalkannya. Hanya
Bi Narsi yang selalu setia di dekatnya. Selalu ada pada saat ia membutuhkannya.
Saat ia kehilangan sahabat yang dikasihinya, Bi Narsi ada di dekatnya.
"Siapa bilang Non Freya jahat" Nggak, Non. Non Freya nggak nakal juga nggak
jahat." "Tapi mereka selalu bilang begitu," tukas Freya.
"Kenapa Non Freya selalu mendengarkan mereka?" Tanya Bi Narsi sedih.
"Mereka benar, Bi. Nyatanya sekarang Freya menyakiti hati Nerisa lagi. Freya cuma
pecundang. Nerisa nggak boleh dekat-dekat dengan Freya. Freya hanya akan
menyakitinya, membuat dia menangis, dan selalu membawa sial buat Nerisa. Nerisa
harus menjauhi Freya. Dia nggak boleh dekat-dekat dengan Freya lagi." Suara
Freya mulai parau, tubuhnya bergetar dalam pelukan Bi Narsi. "Freya senang
ternyata Nerisa masih hidup. Freya bertahan di tempat ini hanya untuk memastikan
bahwa dia masih hidup. Nggak ada keinginan Freya lebih besar selain melihatnya
baik-baik saja. Selama ini dia nggak pernah memberi kabar pada Freya."
Freya melepas pelukan Bi Narsi. Bi Narsi menghapus air mata majikan mudanya itu.
"Bi Narsi, ayo kita nyusul Mama. Kita tinggalkan Jakarta!" Kata Freya tiba-tiba
semangat. "Tapi, Non..." "Pikirkan dalam beberapa hari ini, Bi. Freya nggak akan memaksa Bi Narsi untuk
ikut, tapi Freya tetap berharap banget Bi Narsi ikut Freya."
Bi Narsi terdiam, sepertinya sedang berpikir keras.
"Saya ikut, Non," ucapnya tiba-tiba. "Selamanya saya ikut Non Freya. Saya terlanjur
sayang sama Non Freya. Freya tersenyum. "Terima kasih, Bi."
Peristiwa kemarin, saat Freya kabur dari kelas ternyata menjadi masalah besar.
Freya disidang di ruang guru. Bu Nadya sangat kecewa dengan sikap Freya yang
dinilai tidak menghargainya sebagai guru sekaligus wali kelas. Pernyataan Bu Nadya
pun didukung guru-guru lain yang semakin memojokkan posisi Freya.
Suasana di ruang guru benar-benar mencekam dan panas. Semua mata tertuju
pada Freya yang duduk di hadapan beberapa guru, Kepala Sekolah, dan Wakil
Kepala Sekolah bidang masing-masing.
"Sekolah bukan hanya mendidik siswa untuk pintar tapi juga mendidik siswa supaya
memiliki moral, etika, dan kesopanan. Karena akan sangat berbahaya jika hanya
mengutamakan kepandaian tanpa memiliki moral dan etika yang baik," kata Bu
Nadya jelas dan lantang. "Kesalahan yang dilakukan Freya telah terulang beberapa kali. Beberapa kali
terlambat sekolah, memanjat pagar sekolah, sering tidak masuk sekolah. Dia juga
diperkirakan merusak jaringan komputer sekolah, diduga telah menerobos sistem
jaringan komputer sekolah untuk mengambil data soal-soal tes. Dia termasuk anak
yang kurang bisa bergaul dan tidak bisa bekerja sama dengan murid-murid lain.
Tidak menghormati guru dan sering tidak mengikuti pelajaran atau keluar kelas pada
saat jam pelajaran."
Kalau dilihat dari gaya bicaranya, Pak Muchtar, Wakil Kepala Sekolah bidang
kesenian (sebenarnya tak ada hubungannya, tapi mungkin baginya mencatat
kesalahan siswa adalah salah satu seni) berbicara bak menteri penerangan. Gaya
bicaranya lebih keren daripada guru bahasa Indonesia, Pak Sunaryo, yang saat ini
diam saja. Pak Sunaryo hanya mengikuti jalannya sidang.
"Kalau dilihat dari kesalahan yang dilakukan Freya, sulit bagi pihak sekolah
mempertahankan siswa tersebut di sekolah ini." Kepsek mendesah keras, semoga
saja nggak ada kotoran dalam hidung yang ikut keluar. "Tapi mungkin ada usulan
dari saudara-saudara yang lain?"
"Ada baiknya kita dengarkan pembelaan dari Freya." Pak Sunaryo, Wakepsek
bidang kesiswaan memberi kesempatan Freya untuk bicara.
Sayangnya Freya tak memanfaatkan kesempatan itu. Ia hanya membisu.
Pandangannya lurus ke depan, wajahnya mengeras, dan bibirnya terkatup rapat.
"Freya, mungkin ada yang ingin kamu sampaikan?" Kepsek melirihkan suaranya.
Freya menggeleng. Ada sedikit keributan antarguru, maksudnya, berbisik-bisik. Tapi karena suaranya
keras jadinya berisik sampai membuat Kepsek meminta para guru untuk tenang.
"Baiklah, kami putuskan bahwa mulai hari ini dengan terpaksa pihak sekolah
mengeluarkan Freya dari sekolah. Dan mulai hari ini pihak sekolah tidak
bertanggung jawab apa pun atas diri Freya karena sudah tidak tercatat lagi sebagai
siswa di SMA Nusantara II. Kami akan segera memberikan surat untuk kamu
sampaikan kepada orangtuamu." Kepala Sekolah telah memutuskan.
"Tunggu, Pak Kepala, saya pikir sekolah tidak berlaku adil dengan mengeluarkan
Freya. Dia memang siswa bermasalah, tapi kewajiban sekolah adalah mendidiknya.
Sekolah adalah tempat untuk mendidik siswa, membentuk kepribadian siswa, dan
tidak menerima dalam siswa bentuk jadi. Dan saya pikir, kesalahan yang dilakukan
Freya masih dalam batas kewajaran. Artinya, jika mau kita masih bisa
mengarahkannya." Heboh! Pernyataan Pak Sunaryo bikin heboh. Para guru sebagian membenarkan
ucapan Pak Sunaryo dan sebagian lagi tidak. Terjadi adu argumen "tidak resmi"
berupa komentar-komentar yang keluar tanpa arah. Kembali kepsek harus
menyuruh para guru tenang.
"Bagaimana" Apa kita bisa mempertimbangkan usulan Pak Sunaryo untuk
memberikan kesempatan kepada Freya memperbaiki diri?"
"Kalau saya pribadi sudah menyerah, Pak. Terserah kalau Bapak." Bu Nadya masih
tampak sakit hati pada Freya.
"Saya sanggup. Saya akan menyerahkan semua keputusan pada Kepala Sekolah
jika saya gagal mendidiknya." Pak Sunaryo melihat ke arah Freya, Freya masih
bergeming. Persis sebongkah es yang membeku.
"Hanya satu kesempatan. Bila terjadi pelanggaran, terpaksa kita harus
mengeluarkan Freya dari sekolah."
Pak Sunaryo tercengang. Ini benar-benar gila, hanya satu kali. Sejenak ia berpikir.
"Bagaimana, Pak Sunaryo" Apakah Anda sanggup?" Desak Kepsek.
Pak Sunaryo merasa AC di dalam ruangan tiba-tiba tak berfungsi karena ucapan
Kepsek. Ia mengusap keringat di dahi. Sejenak ia ragu, tapi akhirnya mengangguk.
"Bagus. Kita telah sepakat. Maka saya minta kerja sama semua guru di sini untuk
mendukung Pak Sunaryo dengan memberi kesempatan Freya sekali lagi." Kepsek
yang berkepala botak dan bertubuh besar, hitam, dan berbulu itu akhirnya
menyudahi sidang. Ia beralih pada Freya.
"Ini peringatan terakhir, Freya. Kalau sekali saja kamu melakukan pelanggaran dan
tidak menghargai peraturan disekolah ini maka terpaksa kami akan mengeluarkan
kamu dari sekolah." Kepala Sekolah akhirnya memberi keputusan setelah hampir
satu jam terjadi perdebatan seru di ruang guru.
Kehebohan terjadi di kelas Nerisa. Entah kenapa, begitu cepat keputusan itu
menyebar. Mungkin karena kuping para siswa sangat tajam menerima hal yang
menarik dan baru, membuat mereka begitu cepat mengetahui apa yang terjadi di
sekolah. Salah satu dari sekian banyak siswa yang suka mencari info untuk bahan gosip
adalah Dina. Ia langsung mengumumkan di depan kelas. Dengan gayanya yang
seperti wartawan kelepasan ngomong, ia meminta teman-teman untuk diam dan
mendengarkan pengumuman darinya.
"Kalian semua dengar, Freya akan dikeluarkan dari sekolah. Kita semua akan bebas
dari dia dan kelas kita akan damai, tenteram, nyaman, dan nggak ada monster aneh
lagi!" Nerisa yang sedari tadi diam, langsung terkejut. Ia tak dapat menyembunyikan
keterkejutannya. Mukanya memerah dan ia langsung menghampiri Dina.
"Lo tahu dari mana?"
"Eh, lo pasti senang kan, Nerisa" Walau anak baru lo juga pernah terlibat konflik
dengannya. Lo pasti setuju jika dia dikeluarkan dari sekolah," kata Dina menggebugebu.
"Lo salah, gue orang pertama yang akan mempertahankan Freya untuk tetap
sekolah di sini." Semua mulut langsung terdiam, juga Dina yang berubah bengong.
"Gue kenal dia dari dulu. Pada dasarnya dia anak yang baik. Dia berubah karena
kalian! Kalian semua punya andil mengubah Freya jadi orang kasar dan masa
bodoh. Karena kalian nggak memedulikannya!" Suara Nerisa mulai bergetar. "Kalian
nggak menganggap dia ada, makanya dia nggak menganggap kalian ada. Kalian
nggak memedulikannya maka dia juga tak memedulikan kalian. Kalian
menganggapnya kasar, egois, acuh, maka dia pun merasa dirinya demikian. Tanpa
sengaja kalian yang membentuk karakternya. Kalian nggak pernah mengasihinya,
nggak pernah menyayanginya, nggak pernah mau melihat sisi baiknya." Nerisa
mulai terisak. Rindu memeluk Nerisa, mengusap rambutnya. "Sudah, Nerisa, lo tenangkan diri
dulu." "Maaf, Rindu, gue emosi," bisik Nerisa.
"Nggak apa-apa, Nerisa. Kami semua cuma kaget lo bisa berkata seperti itu."
Seisi kelas menjadi legang. Rindu berusaha menenangkan Nerisa. Dina diam seribu
bahasa. Ia nggak menyangka Nerisa berbicara seperti itu. Dan kalau dipikir-pikir
ucapan Nerisa benar juga. Setiap akibat pasti ada sebab. Rindu pun tertohok
dengan ucapan Nerisa. Sebagai ketua kelas ia nggak begitu peduli pada Freya. Ia
malah ikut-ikutan menjauhi Freya. Padahal orang seperti Freya butuh orang-orang
yang bisa mendukungnya. Tapi sikap yang mereka tunjukan malah membuat Freya
makin menarik diri. Freya mengejar Pak Sunaryo sebelum masuk ke kelas XII IPS 2 untuk mengajar.
"Terima kasih tadi Bapak sudah membela saya." Freya terdiam sejenak sebelum
melanjutkan berbicara kembali. "Namun maaf, Pak, saya kira semua tak ada
gunanya. Saya memang sudah berniat keluar dari sekolah ini dan pindah ke Munich,
Jerman, ikut mama saya."
Pak Sunaryo menepuk bahu Freya. "Oke, tapi bisakah kita buat perjanjian?"
"Perjanjian?" Tanya Freya heran.
"Ya, kalau memang kamu mau keluar, Bapak ingin kamu keluar dengan
meninggalkan nama baik."
"Saya tidak bisa."
"Kamu bisa! Hanya masalahnya kamu mau atau tidak."
"Tapi, Pak, saya memang orangnya seperti ini," kata Freya keras kepala.
"Semua orang bisa berubah, Freya. Dulu Bapak juga bandelnya minta ampun, tapi
apa" Sekarang malah Bapak jadi guru, kan" Bapak bisa berubah karena Bapak
mau. Ada keinginan dalam diri Bapak untuk berubah menjadi orang yang baik. Taat
peraturan dan menghormati guru. Ada motivasi dalam diri Bapak untuk menjadi lebih
baik." "Semua orang menganggap saya buruk," kata Freya dengan pelan.
"Bukan, yang menganggap buruk adalah diri kamu sendiri. Kamu menanamkan
dalam diri kamu buruk. Bapak yakin, kalau mau, kamu bisa datang ke sekolah lebih
awal sehingga tak perlu memanjat pagar sekolah untuk masuk. Jika mau, kamu
pasti bisa masuk sekolah tanpa absen."
"Ucapan Bapak membuat kepala saya pusing."
Bukannya marah, Pak Sunaryo malah tersenyum."Supaya tidak pusing, bagaimana
kalau kamu lari mengelilingi lapangan lima kali lagi" Kemarin kan baru lima padahal
saya minta sepuluh kali."
"Nggak mau, Pak. Kalau Bapak memaksa, komputer Bapak yang ada di rumah saya
nggak akan saya kembalikan."
"Silakan saja, wong komputer rusak..."
"Eh... Siapa bilang, Pak" Sudah saya program ulang. Sudah saya modifikasi jadi
keren," kata Freya penuh semangat.
"Oya" Kalau begitu kamu nggak usah lari mengelilingi lapangan. Kapan kamu antar
komputer saya ke rumah?" Tanya Pak Sunaryo.
"Secepatnya, Pak," kata Freya tegas.
"Bagus." Pak sunaryo menepuk bahu Freya. "Saya harus mengajar. Kamu kembali
ke kelas dan ingat pesan saya. Tinggalkan sekolah dengan nama baik."
Freya tersenyum, kali ini senyumnya tampak manis sekali. Ia mulai membuka hati
bahwa masih ada orang yang memedulikannya. Guru yang selalu menghukumnya
itu ternyata berhati lembut, tak seperti penampilannya yang sangar dengan kumis
tebal dan perawakan tinggibesar seperti atlet gulat gaya bebas.
FREYA seakan memasuki kelas yang asing. Saat pandangannya ia arahkan ke
sekeliling, banyak senyum bertebaran untuknya. Ia sangat heran dan mengira salah
masuk kelas. Dulu, saat ia masuk kelas, tak ada orang yang peduli padanya. Tak
ada yang menyapanya, apa lagi tersenyum padanya. Ia sampai menoleh ke
belakang, mungkin saja orang-orang itu tidak tersenyum untuknya tapi untuk orang
di belakangnya. Tapi ketika tak ada seorang pun di belakangnya barulah ia
menyadari bahwa senyuman itu memang untuknya.
Freya benar-benar merasakan perubahan besar itu. Bukannya merasa nyaman,
Freya malah merasa perubahan itu begitu tiba-tiba dan dipaksakan. Namun Freya
tak peduli. Ia langsung menuju tempat duduknya, mengeluarkan buku, dan purapura membaca. Namun orang-orang terus saja memperhatikannya. Freya mulai
risih. Sampai ia tiba pada satu kesimpulan: Nerisa. Pada saat yang sama Nerisa
melihat ke arahnya. Pandangan mereka beradu. Freya menghela napas.
"Hai, lo udah ngerjain tugas" Pinjam dong..." Dina menghampiri Freya.
Freya sampai tertegun, bukankah selama ini Dina sangat memusuhinya. Kenapa
tiba-tiba ia berubah" Aneh banget. Mungkin yang lainnya tidak secara terangterangan memusuhi Freya, tapi Dina" Semua orang tahu dia nggak pernah berhenti
berbicara buruk tentang Freya. Tapi sekarang dia secara khusus menghampiri
Freya. Meminjam PR segala. Apakah ini mimpi"
"Kok bengong sih?" Tanya Dina.
"Sori gue belum ngerjain."
"O... Maaf ya." Dina tersenyum lalu mengulurkan tangan. "Kita berdamai, ya" Gue
minta maaf selama ini gue sering menghina lo."
Ragu-ragu Freya menyambut uluran tangannya. "Sama-sama." Suara Freya
terdengar aneh. Setelah sekian lama Freya terbiasa berbicara ketus, kini ia berbicara halus.
Telinganya sendiri seakan tak percaya ia bisa berbicara halus pada temannya.
Jam istirahat pertama, Freya langsung ke ruang komputer. Ia mesti menenangkan
diri setelah segala kejadian hari ini. Keanehan-keanehan terjadi di kelasnya. Ia
sampai kewalahan menjawab pertanyaan teman-temannya yang seakan
menyodorkan diri untuk memberi bantuan dan berteman dengannya. Ini semua
aneh, pasti ada sesuatu di balik itu semua. Ada seseorang yang sengaja membuat
suasana menjadi seperti itu. Dan tak ada yang lain kecuali Nerisa. Sejak kedatangan
Nerisa, banyak sekali perubahan di kelasnya. Nerisa telah mengganggu


Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketenangannya selama ini. Mulai dari kedatangannya dan semua yang ia lakukan di
sekitar rumah Freya maupun di sekolah.
"Tolong jangan mengubah format yang ada, saya pusing harus memperbaikinya."
Petugas yang bertanggung jawab atas komputer-komputer itu waswas jika Freya di
ruangannya. "Tenang saja, nggak akan gue apa-apain kok." Freya nyengir.
Tak mungkin Freya tidak menggunakan komputer semaksimal mungkin. Ia mulai
dengan kebiasaannya menjelajahi dunia maya. Namun tak sampai mengacakngacak. Ia sudah kapok, takut nggak diizinkan untuk pinjam komputer lagi. Kalau itu
sampai terjadi, di mana ia akan sembunyi jika lagi bete dan nggak mau mengikuti
pelajaran yang menurutnya membosankan"
"Hai, Freya, gue cari lo ke mana-mana ternyata ada di sini." Nerisa duduk di
sampingnya. Ia melihat ke monitor. "Weits... Asyik banget... Itu program apa, Freya"
Ajarin dong..." Saat tangan Nerisa hendak menyentuh keyboard, Freya segera
menyingkirkan tangan itu.
Freya seakan tak peduli dengan kehadiran Nerisa. Ia terus asyik bermain dengan
komputernya. "Freya, lo kenapa sih" Lo marah sama gue" Emang salah gue apa sih?" Desak
Nerisa. Freya masih diam saja. "Lo masih menyimpan Momo, kan" Entar sore gue ke rumah lo ya mau ambil
Momo." "Bisa nggak lo pergi"!" Kata Freya dingin.
Nerisa mencoba tetap bersabar, ia tersenyum. "Freya, lo masih menyimpan Momo,
kan?" "Ngapain gue menyimpan boneka jelek itu" Udah gue buang tujuh tahun yang lalu.
Hanya cewek bego dan cengeng yang mau menyimpan boneka jelek kayak gitu!"
Sergah Freya kasar. Mata Nerisa berair. "Lo tega ya ngomong kayak gitu" Lo tahu, kan, Momo sangat
berarti buat gue dan kita jalani hidup masing-masing. Kita lupakan masa lalu, dan
yang pasti jauhi gue!" Bentak Freya.
"Lo benar-benar jahat Freya!" Nerisa pergi dengan menahan tangis.
Freya melihat Nerisa keluar dari ruang komputer dengan cara jalan yang sedikit
aneh. Perasaan bersalah terus menghantui Freya saat melihat kaki temannya itu.
Bagi perempuan secantik Nerisa, penampilannya akan makin sempurna jika ia
memiliki sepasang kaki yang indah. Tapi karena Freya, kesempurnaan itu tak Nerisa
dapatkan. Nerisa yang cantik, baik, lembut, dan disukai banyak orang akan makin
hebat dengan sepasang kaki yang sempurna.
"Maafin gue, Nerisa, gue belum bisa memaafkan diri sendiri. Tapi lo malah membuat
gue ngerasa makin bersalah dengan sikap lo," gumam Freya lirih.
Rindu baru saja keluar dari ruang OSIS saat melihat Nerisa duduk di tangga.
"Nerisa, lo nungguin gue?" Rindu duduk di sebelah Nerisa.
"Udah selesai rapatnya?"
"Udah, rencananya kita mau mengadakan outbound untuk mengisi liburan semester
nanti. Lo bantu gue, ya?"
"Pasti gue akan bantu lo karena lo juga banyak membantu gue soal Freya," jawab
Nerisa. "Iya, sama-sama. Lo juga secara nggak langsung ngajarin gue buat peduli pada
teman. Tapi sepertinya Freya sulit berubah deh. Walau kita udah berusaha baikbaikin dia, dia nggak merespons. Anak-anak sempat protes sama gue karena
percuma kita baik-baikin dia," kata Rindu.
"Gitu aja kok nyerah sih, kan baru sehari?" Protes Nerisa.
"Bukan gitu maksud gue. Cuma kayaknya Freya nggak peduli sama sekali. Ya udah
deh, soal anak-anak biar gue yang ngurus. Lo sendiri gimana?" Tanya Rindu.
"Baru saja dia nyakitin hati gue lagi. Dan ini benar-benar membuat gue kecewa
banget sama dia." Nerisa mengingat peristiwa di ruang komputer tadi. Betapa jahat
ucapan yang keluar dari mulut Freya, beberapa kali Nerisa memejamkan mata
sambil menarik napas panjang. "Dia sudah membuang Momo."
"Momo" Siapa lagi dia?" Tanya Rindu heran.
"Boneka monyet yang dia lempar ke pohon. Gue titip ke dia supaya dia menjaga
Momo baik-baik tapi dia malah membuangnya. Dia bilang hanya cewek bego dan
cengeng yang mau menyimpan boneka itu. Lo tahu, sakit banget hati gue. Dia sama
sekali nggak peduli, padahal boneka itu sangat berarti buat gue. Boneka itu yang
gue jadikan pengikat persahabatan gue dengannya. Kalau dia sudah
membuangnya, berarti dia memang sudah nggak mau bersahabat dengan gue lagi,"
kata Nerisa dengan nada tersendat.
"Sudahlah Nerisa, lo sudah berusaha dan semakin lo mendekatinya semakin dalam
dia nyakitin hati lo. Beri dia waktu untuk berpikir, apa yang lo lakukan udah cukup,"
kata Rindu. Nerisa diam saja, memikirkan ucapan Rindu.
"Tapi gue nggak akan menyerah, gue akan tetap berusaha. Gue pasti bisa
melunakkan hatinya. Ibarat batu karang yang tiap hari ditetesi air, lama-kelamaan
batu itu akan berlubang, demikian juga hati Freya yang keras. Gue yakin suatu saat
akan dapat melunakkan hatinya."
"Semoga aja bukan hati lo yang hancur," kata Rindu datar.
"Kok ngomongnya kayak gitu sih, Rindu?" Protes Nerisa.
"Sori..." Rindu meninju lengan Nerisa pelan. "Gue cuma kasihan sama lo. Tapi gue
salut sama kegigihan lo. Kayaknya gue butuh asisten yang gigih buat bantu gue di
program outbond nanti."
"Ih... Maunya. Tapi pasti gue bantu kok. Lo tinggal bilang aja apa yang mesti gue
lakukan." "Sip, nanti gue atur sama teman-teman. Kami baru mengajukan proposal sama
Kepsek. Moga-moga aja di-acc."
"Rencananya di mana?" Tanya Nerisa.
"Mana lagi kalo nggak di Puncak."
"Asyik...," kata Nerisa sambil tersenyum semangat.
"Nah, gitu dong senyum," kata Rindu ikut tersenyum.
"Kira-kira Freya ikut nggak ya?"
"Ya... Freya lagi, udah dong. Bosen gue ngebicarain dia," kata Rindu sambil
cemberut. Nerisa nyengir. Rindu mengajaknya masuk kelas karena bel tanda istirahat selesai
telah berbunyi. Jujur, jauh di lubuk hati, Freya senang melihat perubahan teman-temannya. Entah
mereka melakukan dengan tulus atau tidak, hal itu cukup berkesan baginya. Namun
tak mudah bagi Freya merespons perubahan yang mendadak tersebut. Hal itu yang
membuat Freya tak nyaman. Dan hal itu pulalah yang makin memantapkan
tekadnya untuk meninggalkan sekolah dan memulai lembaran hidup yang baru di
Jerman bersama mamanya. Freya bergeser dari depan komputer di kamarnya. Ia mencari ponsel yang sudah
lama tak ia gunakan. Hatinya pedih saat ia melihat daftar nomor telepon dalam
ponselnya. Hanya ada nomor Mama, beberapa saudara, dan klien yang biasa
menghubunginya untuk mengatasi permasalahan komputer mereka. Nggak ada
nomor telepon teman spesial. Sedemikian parahkah kehidupan yang ia jalani"
Dalam kesepian yang teramat panjang, ia terus menghukum diri karena terbelenggu
trauma masa lalu. Perlahan ia menghubungi mamanya di Jerman. Seperti biasanya suara Mama
sangat heboh. Mama terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan Freya untuk
ngomong. Mama menanyakan bagaimana keadaan Freya, apakah Freya sehatsehat saja, bagaimana kondisi keuangannya, apa ia butuh suntikan dana dari Mama
atau tidak, bagaimana sekolahnya, dan sebagainya. Mama sama sekali tak
menanyakan bagaimana perasaan Freya, apakah Freya bahagia, apakah Freya
terluka, apakah Freya menangis. Sama sekali Mama tak peduli itu. Mama hanya
peduli pada apa yang tampak dari luar. Jika saja Mama peduli padanya, Freya tak
akan mengalami trauma yang menyakitkan ini. Mama pasti dapat menghibur dan
mengatakan pada semua orang bahwa peristiwa jatuhnya Nerisa tak sepenuhnya
kesalahan Freya. Sehingga orang-orang tak akan mengucilkannya. Tak akan
memberikan hukuman seberat ini. Freya tak akan berteman dengan komputer,
Freya tak akan berteman dengan komputer, Freya tak akan mengurung diri. Freya
tak akan menganggap diri sendiri orang jahat yang membawa kesialan bagi orang
lain. Freya tak akan dijauhi teman-temannya karena bersikap kasar.
"Freya... Apa kamu masih di situ?" Suara Mama di seberang mulai lirih.
"Ya, Ma. Mama sudah selesai ngomong?" Tanya Freya datar.
"Maaf, Sayang... Apa Freya baik-baik saja?" Tanya Mama lembut.
"Ma, Freya memutuskan untuk menyusul Mama ke Jerman," kata Freya.
"Benarkah, Sayang" Mama senang sekali. Akhirnya kamu mau ikut Mama. Oya,
kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran, Sayang" Apa ada sesuatu yang terjadi di
Jakarta?" Tanya Mama.
"Nggak, Ma. Tolong Mama jangan tanya apa-apa lagi. Freya hanya ingin Mama tahu
kalo Freya akan menyusul Mama ke Munich dan Freya akan urus paspor dan
visanya." "Sayang, biar Mama yang urus semuanya. Mama akan menghubungi teman Mama
di Jakarta yang biasa mengurus hal itu. Kamu tenang saja. Kamu tinggal terima
beresnya saja." "Baik, Ma. Maaf, Ma, Freya sibuk. Lain kali Freya telepon lagi."
"Iya, Sayang." Freya mematikan ponsel. Matanya berkaca-kaca, ia melemparkan ponselnya begitu
saja ke kasur. Tangannya berganti meraih Momo.
"Mama kamu sudah pulang, Mo. Mama Nerisa. Kamu mesti kembali padanya.
Selamat tinggal, Mo." Freya mendekap Momo erat-erat sambil merebahkan diri di
atas kasur. Bi Narsi yang hendak menyuruhnya makan malam nggak jadi memanggil majikan
mudanya saat melihat Freya sudah tertidur mendekap boneka monyet itu. Bi Narsi
memperbaiki posisi tidur Freya, menyelimuti tubuhnya.
"Gadis malang...," bisiknya perlahan sambil keluar kamar dan menutup pintu.
MUSIM hujan yang diperkirakan sudah berakhir ternyata masih berlanjut. Cuaca
memang sulit diprediksi. Seperti sulitnya memahami hati dan perasaan manusia.
Hujan yang turun semalam membuat jalanan basah dan di beberapa tempat ada
genangan air. Hari ini Freya datang lebih awal, walau nggak pagi-pagi banget tapi
nggak sampai telat. Tentu orang yang paling senang melihat hal itu adalah Pak
Sunaryo. "Selamat pagi, Tuan Putri..."
Freya senyam-senyum, sepertinya Pak Sunaryo salah pilih sarapan pagi ini,
pikirnya. "Selamat pagi, Pak Guru."
"Selamat Pagi, Freya, kita ke kelas yuk." Dina menghampiri Freya, meraih
tangannya, dan mengajaknya masuk ke kelas.
Sepertinya keramahan yang mereka tunjukkan tak hanya kemarin, hari ini juga.
Teman-temannya seakan menyambut seorang pahlawan yang pulang dari perang.
Wah, kayaknya kalo pahlawan kurang pas deh, mereka lebih mirip menyambut
saudara yang sudah sembuh dari rumah sakit jiwa. Wah, syerem...
"Hai Freya, entar malam gue ke rumah lo ya?" Seperti biasa, Nerisa menyapa
dengan senyum lebar seakan sudah melupakan kejadian di ruang komputer
kemarin. "Gue ada acara nanti malam," kata Freya datar.
"Jam berapa?" Tanya Nerisa tetap dengan nada ramah.
"Bukan urusan lo." Freya meletakkan tasnya.
"Gue duduk sama lo ya, Freya?" Nerisa meletakkan tas cokelatnya di samping
Freya. Freya diam saja. Nerisa lega. Ia duduk di samping Freya.
"Jaim banget sih lo!" Nerisa mencolek pipi Freya.
"Gila lo!" Freya menepiskan tangan Nerisa.
Nerisa tertawa melihat wajah Freya yang tampak sewot.
"Nggak capek ya jadi orang jaim?" Tanya Nerisa lagi.
"Siapa juga yang jaim?" Sergah Freya.
"Lo, lagi. Bukan gue. Nyatanya gue suka colek-colek lo." Kembali Nerisa mencolek
pipi Freya. Kali ini Freya benar-benar marah. Ia mengulurkan tangan, hendak memukul Nerisa.
Nerisa menghindar sambil tertawa. Ia senang melihat reaksi Freya yang gemas.
"Kalo lo nggak bisa diam mending pindah tempat duduk!" Hardik Freya.
"Oke deh, sori." Nerisa masih senyam-senyum. Sesekali ia melirik pada Rindu yang
mengacungkan jempol padanya. "Entar pulang bareng ya?"
"Gue bawa mobil," kata Freya kembali dengan nada datar.
"Wah, kebetulan! Gue hari ini nggak bawa mobil. Jadi gue bisa minta tolong dianterin
pulang ya?" Tanya Nerisa.
"Pulang aja sama Rindu," kata Freya tak peduli.
"Rindu ada rapat OSIS nanti siang," kata Nerisa.
Freya terdiam. Nerisa tersenyum, berarti ia bisa nebeng mobil Freya nanti siang.
Kembali Nerisa melirik pada Rindu yang sedang mengacungkan jempol.
"Ngapain tuh Rindu ngacungin jempol sama lo?" Sergah Freya sebal.
Pertanyaan Freya membuat Nerisa gelagapan, begitu juga dengan Rindu yang
langsung pasang tampang serius dengan memperbaiki posisi duduk.
"Hm... Jadi boleh kan, nanti pulangnya nebeng mobil lo?" Nerisa buru-buru
mengalihkan pembicaraan. "Just this once!" Kata Freya galak.
"Okay, no problem." Nerisa meringis sambil mencubit pipi Freya.
"Sekali lagi lo pegang pipi gue, gue gampar lo!" Kata Freya sambil melotot.
"Ye... Galak banget." Nerisa cemberut. "Perubahan lo banyak banget."
"Emang lo nggak berubah" Lo dulu pendiem tapi sekarang jail!"
"Ow.. Berarti kita tukaran dong. Dulu lo yang jail sekarang lo pendiam," kata Nerisa
ceria. "Berisik lo!" "Yah... Marah lagi."
Nerisa melirik senang pada Freya yang berusaha keras untuk tidak tersenyum.
"Nggak usah ditahan kalo mau senyum, entar keluar lewat belakang lho," kata
Nerisa usil. "Diam lo! Jorok banget!"
Nerisa memang ingin memancing Freya untuk bicara banyak. Semalam ia sudah
latihan dengan Rindu untuk hal ini. Susah memang awalnya, tapi Rindu dengan
telaten memberikan pengarahan. Pokoknya bicara asal saja lalu colek dia entah di
pipi, hidung, atau apa saja. Buat dia risi biar mau ngomong. Itu tips yang diajarkan
Rindu semalam. Dan benar juga, hari ini Nerisa melihat Freya nggak seangker
biasanya, bahkan dia mengizinkan Nerisa duduk di sampingnya. Ide Rindu memang
cemerlang. Kayaknya Rindu perlu diberi penghargaan sebagai pencipta ide pencair
suasana. Tapi sayangnya tadi sempat ketahuan Freya saat Rindu mengacungkan
jempol. Untung saja nggak diperpanjang Freya. Memang sulit banget untuk
berakting. Berlaku jail padahal Nerisa nggak seperti itu. Nggak apa-apalah, demi
Freya. Freya heran banget dengan Nerisa. Seharusnya Nerisa marah dong setelah
kejadian di ruang komputer kemarin, tapi nyatanya kok tidak. Dia malah makin
nempel kayak prangko. Heran banget. Bagaimana cara Freya membuat Nerisa
menjauhinya" Segala cara sudah dilakukan Freya mulai dari pura-pura nggak kenal
dengan Nerisa, membentak Nerisa, bahkan sampai membohongi Nerisa soal Momo
yang ia bilang sudah dibuang padahal tiap hari masih didekapnya.
"Cari makan yuk, Freya. Lo tahu tempat makan enak di Jakarta nggak" Ajakin aku
dong." Nerisa duduk di samping Freya yang enggan menanggapi celotehan Nerisa.
Ia pura-pura serius menyetir.
"Freya... Lo nggak laper, ya?" Desak Nerisa.
"Dilarang ngomong sama sopir."
Nerisa terdiam. Ia mengalihkan perhatiannya ke koleksi MP3 milik Freya di dasbor
mobilnya. "Lagu jadul semua...," gumam Nerisa.
Freya merebut CD MP3 dari tangan Nerisa untuk dikembalikan ke dasbor.
Hujan mulai turun, titik-titik airnya membasahi kaca mobil. Hujan semakin deras.
"Wah, hujan... Akhir-akhir ini hujan mulai turun lagi ya, Freya. Padahal seharusnya
kan musim hujan udah selesai ya."
Tiba-tiba Freya menghentikan mobil.
"Sudah sampai, lo turun sekarang."
"Eh, memang di mana apartemen gue?" Tanya Nerisa tergagap.
"Mana gue tahu" Lo nggak bilang tinggal di mana!" Kata Freya dingin.
Nerisa nyengir. "Terus aja lalu belok kiri."
"Nggak. Lo turun di sini lalu jalan! Cepetan!" Freya mendorong bahu Nerisa supaya
turun. "Tapi, Freya... Hujannya lebat banget, kamu bawa payung nggak?" Tanya Nerisa.
"Nggak! Lo turun sekarang! Apa perlu gue lempar lo?" Bentak Freya.
Mata Nerisa mulai berair. "Jahat banget sih lo jadi orang!"
"Lo benar, gue memang orang jahat. Jadi gue peringatin lo, jangan dekat-dekat
dengan orang jahat. Entar lo celaka!" Freya memejamkan mata.
Nerisa membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah Nerisa turun, Freya melajukan
mobil sekencang mungkin. Nerisa berjalan di tengah hujan dengan kaki sedikit
pincang. Ia membiarkan tubuhnya basah kena air hujan. Lama-kelamaan ia tak kuat
menahan perasaannya. Ia menangis, air matanya bercampur dengan air hujan.
Hujan mulai reda seiring malam menjelang. Freya membuka jendela kamar,
membiarkan angin dingin masuk ke ruangan. Ia sengaja mematikan AC. Freya


Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri mematung menatap kaca jendela yang terbuka. Kelap-kelip lampu kota
tampak sangat indah. Lalu ia beralih menatap awan hitam yang tak begitu pekat.
Udara dingin mulai menyusup ke dalam tulang. Ia merapatkan jaket, di tangannya
ada Momo. "Aku menyakiti dia lagi, Mo. Aku meninggalkannya di jalan saat hujan lebat. Kali ini
aku harap dia benar-benar bisa membenciku. Sehingga aku nggak perlu
menanggung penyesalan seumur hidupku. Aku berharap dia membenciku dan balas
menyakitiku. Sehingga aku tak berutang apa-apa padanya." Freya mendudukkan
Momo di pinggir jendela. "Dia menanyakan kamu, Mo. Dia kangen sama kamu.
Suatu saat kamu pasti akan aku kembalikan padanya. Kamu tenang saja, Mo,
sebentar lagi kamu akan berkumpul lagi dengan mama kamu, Mama Nerisa. Lucu
sekali kedengarannya kamu memanggil dia 'Mama'. Itu karena dia sendiri yang
ngomong. Kamu masih ingat kan, saat dia masih kecil dan menganggap kamu
sebagai anak" Lucu sekali. Saat itu kami sama-sama lugu. Dia sering banget nangis
kalo aku godain. Dia itu cengeng, lemah, dan suka ngambek. Tapi aku sayang
banget sama dia dan nggak bisa lama-lama membiarkan dia bersedih. Tapi justru
karena itulah aku telah mencelakainya. Coba kalau dia nggak kenal aku. Kakinya
nggak akan pernah pincang."
"Non... Non bicara dengan siapa?"
Freya menoleh Bi Narsi yang menatapnya dengan tatapan aneh.
"Freya nggak gila kok, Bi. Freya lagi ngomong sama Momo." Freya menunjukkan
Momo pada Bi Narsi. "Dia selalu mendengarkan Freya bicara. Dia selalu menemani
Freya." "Apa itu bonekanya Non Nerisa?"
"Iya, kalo Nerisa kemari tolong berikan padanya."
"Kenapa nggak Non Freya sendiri?"
Freya terdiam. "Ya sudah, Non. Kalau Non Nerisa kemari biar Bibi berikan. Sekarang saatnya
makan malam, Non. Sudah Bibi siapkan di bawah."
"Ya, terima kasih, Bi, sebentar lagi Freya turun."
Freya menutup jendela kamar. Setelah mematikan komputer, Freya segera turun
untuk makan malam. Sudah hampir jam tujuh, Nerisa belum muncul juga. Biasanya ia datang lebih awal
dari Freya. Ada kecemasan dalam hati Freya melihat Nerisa nggak muncul-muncul.
Namun Freya tak mau menunjukkan kecemasan itu. Ia duduk di kursinya,
sedangkan kursi di sebelahnya masih kosong. Bel berbunyi dan Nerisa belum
datang, berarti hari ini Nerisa nggak masuk sekolah.
"Sori, bisa kita bicara bentar?" Rindu menghampiri Freya.
"Oke, ngomong aja."
Rindu duduk di bangku Nerisa.
"Gue kenal beberapa orang yang sulit, tapi gue nggak pernah nemuin orang sesulit
lo," kata Rindu. "Maksud lo apa?" Tanya Freya kasar.
"Lo apain Nerisa?" Tanya Rindu langsung.
"Maksud lo?" "Lo nurunin Nerisa di jalan, kan" Saat hujan turun. Lo benar-benar nggak punya hati,
ya" Sekarang Nerisa sakit gara-gara lo!" Rindu menatap Freya penuh kemarahan.
Freya diam saja. Ia syok mendengar berita yang dibawa Rindu. Ia benar-benar
menyesal dan nggak menyangka perbuatannya membuat Nerisa sakit dan tidak
masuk sekolah hari ini. "Kalo masih punya hati, lo temui dia. Ini alamat apartemennya. Saat demam tinggi,
dia selalu menyebut nama lo." Rindu memberikan secarik kertas bertuliskan alamat
apartemen Nerisa. "Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit?" Tanya Freya.
"Semalam gue sudah panggil dokter dan pagi ini kondisinya sudah membaik. Tapi
gue minta dia supaya nggak masuk hari ini, biar benar-benar pulih dulu."
Freya lega mendengar ucapan Rindu. Berarti kondisi Nerisa sudah membaik.
Sebentar lagi dia pasti sembuh.
Rindu masih ingin berbicara banyak tapi sayang pelajaran akan segera dimulai. Ia
tak ingin memberi contoh yang buruk bagi teman-temannya dengan mengobrol di
waktu pelajaran berlangsung.
Freya menggenggam kertas bertuliskan alamat apartemen Nerisa. Ia tak bisa
berkonsentrasi belajar hari ini, namun juga tidak membuat keributan. Setiap kali
ingin membuat masalah, ia teringat Pak Sunaryo. Ia ingat ucapan gurunya itu dan
apa yang telah gurunya lakukan untuknya. Apakah itu berarti hatinya sudah mulai
melunak" Freya sudah mulai mau peduli pada perasaan orang lain. Terutama saat
Freya mendengar kabar bahwa Nerisa sakit, ia sangat menyesal. Ia ingin segera
menemui Nerisa dan berharap Nerisa akan marah dan memaki-maki dirinya.
Sepulang sekolah, Freya langsung menuju apartemen Nerisa. Apartemen itu tampak
sepi di siang hari. Saat tangannya hendak mengetuk pintu, Freya membatalkan niatnya. Tangannya
diturunkan kembali. Ia mendengar suara tawa di dalam. Ia yakin itu suara tawa
Rindu dan Nerisa. Freya ragu, apakah Nerisa benar-benar sakit atau pura-pura.
Akhirnya Freya memutuskan untuk pergi, toh sudah ada Rindu yang akan menjaga
Nerisa jika memang ia benar-benar sakit. Minimal Freya lega karena Nerisa sudah
bisa tertawa. Dan saat hendak masuk ke mobil, Freya melihat Om Frans dan Tante Michelle
keluar dari mobil menuju gedung apartemen Nerisa. Sejenak Freya berpikir keras.
Kira-kira ada hubungan apa antara Nerisa dan Om Frans. Saat Om Frans menoleh
ke arahnya, Freya langsung bersembunyi. Ia benar-benar penasaran, tapi mungkin
ini bukan saat yang tepat untuk mencari tahu. Freya memutuskan untuk
meninggalkan apartemen itu sebelum Nerisa tahu ia berada di sana.
WALAU perubahan dalam diri Freya nggak besar, namun guru-guru senang Freya
nggak membuat ulah lagi. Ia mau mengerjakan tugas yang diberikan dan
hubungannya dengan teman-teman sudah membaik. Kalau ada yang ngajak
ngomong, jawabannya nggak pakai tanda seru alias nggak bentak-bentak lagi.
Bahkan beberapa orang mengatakan sebenarnya asyik juga punya teman genius.
Itu bagi mereka yang biasanya suka banget minta tolong diajari mata pelajaran yang
memusingkan seperti fisika, matematika, kimia, dan sebagainya.
"Thanks ya, Freya, bukunya aku kembalikan." Arman, cowok paling ganteng di kelas
pun ikut-ikutan meminjam buku tugas Freya.
Ternyata asyik juga "dimanusiakan" sama orang. Dianggap ada. Mana ada sih yang
mau dijauhi teman" Pada dasarnya orang nggak mau diasingkan dari pergaulan,
karena manusia makhluk sosial yang butuh orang lain.
Semua orang butuh teman yang bisa mendampingi kala suka dan duka, saat
bersenang-senang atau buat curhat-curhatan. Curhat pada teman jelas beda
dengan curhat pada Momo, boneka monyet yang nggak pernah bisa menjawab
apalagi memberi solusi. Curhat sama Bi Narsi... Aduh, kadang pemikirannya masih
kolot banget. Itu kalo curhat... Kayaknya masih jauh deh.
Freya saat ini sepertinya masih dalam pencarian jati diri. Perlahan namun pasti ia
mulai menutup kembali luka masa lalunya. Ia mulai bisa berdamai dengan dirinya.
Semua tentu butuh dukungan dari lingkungannya. Ia nggak bisa menyembuhkan
trauma masa lalunya seorang diri. Ia butuh orang untuk mendukungnya. Tapi yang
jelas, orang itu bukan Nerisa. Karena Nerisa adalah orang dari masa lalu yang selalu
mengingatkan ia akan kesalahan di masa lalu.
"Selamat pagi, Bu Nadya?" Sapa Freya.
"Pagi, Freya..." Bu Nadya sampai tercengang tak memercayai pendengarannya.
"Saya minta maaf bila punya salah pada Ibu."
"O... Tentu." Bu Nadya menepuk bahu Freya. "Anak Ibu sudah kembali."
Emang aku tersesat di mana, pake istilah kembali segala" Batin Freya. Tapi ya
nggak apa-apa. Mungkin Bu Nadya masih syok melihat perubahan sikap Freya.
"Ibu senang beberapa hari ini kamu tidak terlambat masuk sekolah. Kamu juga
mengerjakan semua tugas dengan baik."
"Itu kan karena saya, Bu Nadya..." Pak Sunaryo asal menyahut. "Dia itu takut kalau
saya hukum lari lima kali mengelilingi lapangan lagi."
Freya cengar-cengir. Bu Nadya dan Pak Sunaryo lama-lama asyik mengobrol
sendiri. Freya pilih pergi, takut mengganggu mereka yang sepertinya sedang
pedekate. Walau topik pembicaraan mereka tentang Freya, namun kayaknya itu
cuma alasan Pak Sunaryo untuk mendekati Bu Nadya. Sudah rahasia umum deh
jika mereka mulai pedekate. Pak Sunaryo sudah duda dan Bu Nadya cewek single
yang menurut umur sudah pantas BANGET buat menikah.
Nerisa duduk di samping Rindu yang memimpin rapat panitia outbound. Ada sekitar
tujuh orang di sana, masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Lidia sebagai
bendahara, Bondan sebagai seksi perlengkapan dan dokumentasi, Sisca seksi
konsumsi, Bagus seksi transportasi dan umum, Oni seksi acara, dan Nerisa ditugasi
sebagai sekretaris serta pendataan peserta yang ikut. Tentu saja dibantu enam
orang lainnya. Sedangkan Rindu jadi bos yang mengoordinasi semuanya.
"Jadi dana yang terkumpul semuanya ada berapa, Lidia?" Tanya Rindu pada Lidia.
Lidia, cewek yang selalu tampil dengan rambut berkepang dua itu menyodorkan
map biru berisi catatan dana yang telah terkumpul. "Dana dari Kepsek belum
masuk." "Memang belum, nanti rencananya aku mau menghadap Kepsek. Doain supaya gol,
ya" Kalo nggak, kita hanya mengandalkan iuran peserta dan sponsor orangtua
murid." Rindu mencermati laporan Lidia.
"Rin, gue udah tanya di beberapa tempat, tapi kayaknya yang paling murah bus
Express deh," Bagus menjelaskan.
"Murah tapi selamat, Gus." Ucapan Bondan membuat yang lain tertawa. "Kalau
murah sih banyak. Misalnya bus tanpa ban atau sopirnya baru belajar cari SIM."
"Sialan lo!" Bagus meninju Bondan.
"Sudah, kita lanjutin." Rindu memegang kendali. "Nerisa, lo bisa kan, mendata siapa
aja yang mo ikut?" "Bisa sih, tapi bantuin dong." Nerisa tersipu.
"Tentu saja, lo kan sama gue terus. Entar sekalian gue kenalin ke orang-orang
supaya lo lebih banyak teman," kata Rindu.
"Waduh... Perlakuan istimewa dong..." Sisca tertawa renyah.
Rapat berjalan lancar, nggak ada masalah yang berarti. Rindu memang memilih
orang-orang yang terbilang serius dan biasa melaksanakan tugas keorganisasian.
Acara mereka tergolong mepet, mereka harus bergerak cepat. Minggu depan aja
sudah tes final semester, setelah itu udah libur, nggak ada banyak waktu.
Nerisa beruntung banget punya teman kayak Rindu. Rindu selalu memberikan
support baginya. Nerisa yang tadinya pemalu sekarang sudah lebih percaya diri
karena Rindu. Rindu memperkenalkannya dengan banyak orang di kelas lain.
Ternyata asyik juga berteman dengan orang populer di sekolah, bisa ikut nebeng
jadi populer. Siapa sih yang nggak kenal Rindu" Dia ketua OSIS dan selalu terlibat
di hampir semua bidang kegiatan sekolah.
"Thanks ya, Rindu. Lo banyak membantu gue. Percaya nggak, semula gue nggak
pede masuk sekolah ini. Karena menurut berita yang gue dengar, ini sekolah favorit
dan yang pasti murid-muridnya pinter-pinter semua. Sedangkan gue, otak gue paspasan. Tapi gue nekat milih sekolah ini karena ada Freya di sini," kata Nerisa.
"Oya, Freya gimana, sudah lo tawari mau ikut atau nggak?" Tanya Rindu.
"Gue dari tadi cari-cari dia tapi nggak ketemu," kata Nerisa.
"Emang lo cari di mana?"
"Di mana saja."
"Ruang komputer sudah?" Tanya Rindu.
"Belum...," kata Nerisa tersipu.
"Aduh lo lupa, ya" Dia itu maniak komputer. Wajahnya aja kayak komputer gitu!
Pastilah dia di sana," kata Rindu.
"Ih... Sadis banget. Memang ada ya muka kayak komputer?" Tanya Nerisa.
Rindu cengar-cengir. "Taruhan deh pasti dia nggak mau ikut."
"Kok kamu ngomong gitu?" Sergah Nerisa.
"Gimana. Berani taruhan?"
"Oke, apa taruhannya?"
"Kalo gue yang menang, lo harus traktir gue tiap hari di kantin waktu istirahat
pertama dan kedua selama seminggu."
"Gila... Dasar tukang makan..." Nerisa tertawa lebar. "Terus kalo gue yang menang?"
"Gue carikan sontekan PR selama seminggu," kata Rindu juga sambil tersenyum
sama lebarnya. "Sontekan" Gila lo ya?"
"Habis... Gue juga nggak pinter-pinter amat, kalo lo pake PR gue, entar gue lo tuntut
karena banyak yang salah. Mendingan gue cariin sontekan teman yang lain yang
pastinya lebih pinter dari gue."
"Terserah lo aja deh, dasar tukang ngeles..."
"Ya... Biasalah orang kalo aktif di organisasi biasanya agak kurang di akademik.
Coba aja kalo Freya aktif di organisasi, dia nggak akan sepinter itu," kata Rindu.
"Belum tentulah. Dia memang dari dulu pinter, Rin. Cuma dulu dia kayak kamu, aktif
dan nyenengin." "Gue nyenengin, ya" Aduh, terima kasih..." Rindu hendak mencium Nerisa.
"Gila lo... Lebay banget..." Nerisa menyingkirkan wajah Rindu yang hendak nyosor.
Benar apa yang dikatakan Rindu, Freya ada di ruang komputer. Seharusnya ia
sudah pulang. Tumben ia betah banget di sekolahan, padahal sekolah sudah bubar
satu jam lalu. Hanya tinggal beberapa siswa yang melakukan kegiatan ekskul.
Nerisa menggeser duduknya untuk lebih dekat dengan Freya. "Lagi ngerjain apa,
Freya?" "Bukan urusan lo," kata Freya dingin.
"Iya sih... Mau nganterin gue pulang nggak?" Tapi kali ini sampai rumah, ya?" Kata
Nerisa dengan nada sengaja dibuat memelas. Freya merogoh sakunya dan
mengeluarkan ponsel. "Nih, buat telepon taksi."
Ingin rasanya Nerisa menjitak kepala Freya. Tapi ia tetap bersikap tenang. "Oya,
sekolah mau ngadain outbound, kamu mau ikut, ya?"
"Nggak!" "Kenapa sih?" Balas Nerisa dengan nada yang mulai keras juga.
"Nggak ya nggak!" Freya melotot, nyali Nerisa menciut.
"Ya udah, kalo lo berubah pikiran tolong hubungi gue, ya. Soalnya gue yang diserahi
tugas buat mendata siapa saja yang mau ikut outbound. Dan gue berharap banget lo
mau ikut," kata Nerisa dengan suara lembut.
"Bisa nggak lo pergi sekarang dan berhenti mengganggu gue!" Bentak Freya.
"Gue heran deh sama lo, sama anak-anak lain lo sudah bisa berubah jadi ramah.
Tapi sama gue kok nggak berubah" Tetap jutek," kata Nerisa sebal.
Freya mematikan komputer. Ia beranjak pergi begitu saja. Nerisa hanya bisa
menghela napas panjang. Rindu yang melihat Freya keluar dari ruang komputer langsung nyelonong masuk.
"Wih... Ini minggu paling membahagiakan buat gue. Selama seminggu gue akan
ditraktir Nerisa..." Rindu jingkrak-jingkrak kesenangan.
"Belum berakhir, gue pasti bisa membuat Freya ikut outbound." Nerisa meraih
tasnya lalu mengikuti Rindu untuk pulang bareng.
Tengah malam ponsel Nerisa berbunyi. Ia hampir saja terbang ke alam mimpi, tapi
terbangun lagi karena gangguan telepon itu.
Beberapa saat tangannya terpaksa meraba-raba meja, tak menemukan ponselnya.
Ia bangun, mengucek matanya dan melihat sekeliling. Mencari sumber suara
ponselnya, ternyata ada di dalam tas sekolahnya.
"Halo, Om Frans..." Kata Nerisa dengan suara parau.
"Maaf, Nerisa, menganggu malam-malam. Sudah tidur, ya?" Tanya Om Frans.
"Iya, Om, ada apa ya?"
"Hm... Om kira anak muda tidurnya malam-malam."
"Nggak, Om, kebetulan Nerisa capek banget karena harus ngurusin outbound."
"O... Ya udah, besok aja Om ke apartemen kamu, kita bisa ngobrol," kata Om Frans.
"Memang ada yang penting ya, Om?" Tanya Nerisa masih dengan suara ngantuk.
"Nggak juga sih, hanya info aja buat kamu."
"Soal apa ya, Om?"
"Biasalah, apa lagi kalau bukan soal Freya."
"Freya?" Nerisa membulatkan mata, seketika itu juga rasa kantuknya hilang entah ke
mana. "Mungkin bulan depan Freya meninggalkan Jakarta. Dia akan menyusul mamanya
ke Jerman. Apa kamu sudah tahu hal itu?" Tanya Om Frans.
Jantung Nerisa berdetak kencang. Ia terdiam sejenak.
"Terus maksud Om, apa rencana kamu sudah kamu laksanakan" Entar dia keburu
pergi, lagi," kata Om Frans.
"Maaf, Om, ada banyak sekali perubahan. Tapi informasi Om Frans kali ini benarbenar penting buat saya. Berarti saya harus bertindak cepat," kata Nerisa.
"Jujur, sebenarnya Om nggak tahu apa yang kamu rencanakan, Nerisa," kata Om
Frans. "Iya, Om, nggak ada yang tahu selain Nerisa sendiri," kata Nerisa sambil
mengangguk, biarpun Om Frans tidak bisa melihat anggukannya.
"Om harap kamu tidak melakukan tindakan buruk yang akan membuatmu celaka."
"Om tenang aja," kata Nerisa dengan nada menenangkan.
Hantu Jatilandak 3 Obat Pamungkas The Magic Bullet Karya Harry Stein Teror Macan Putih 3
^