Pencarian

Lovhobia 2

Lovhobia Karya Elsa Puspita Bagian 2


tujuan sebenarnya dia datang kemari. "Ehm" ntar pulang jam berapa?"
"Kenapa?" balas Gefan tanpa menjawab pertanyaan Aura.
"Nanya aja." Aura mengambil satu kaset, lalu membaca sinopsisnya.
Belum sempat Gefan bersuara, pintu toko dibuka berbarengan dengan teriakan nyaring seorang
gadis yang memanggil nama Gefan. Gefan menoleh dan melihat Devita berlari kecil ke arah
mereka dengan senyum centil tersungging di bibirnya.
"Sialan." Umpat Gefan. "Gue pulang jam delapan," ucapnya kepada Aura. Lalu, cepat-cepat dia
mengangkat kardus yang masih terisi setengah dan bersiap kembali ke gudang.
"Gefan!" Devita tiba-tiba sudah berada di hadapannya. "Lo ke mana aja, sih" Gue kangen
banget tahu sama lo!" katanya dengan nada manja sambil memeluk lengan Gefan.
Gefan menarik tangannya, tidak bisa dibilang lembut, tetapi tidak juga terlalu kasar. "Gue sibuk,"
jawabnya singkat, lalu kembali berjalan.
"Ihh " Gefan!" Devita mengentakkan kakinya dengan kesal. "Gue udah dateng jauh-jauh buat
lo, masa dicuekin, sih?" dia kembali menarik lengan Gefan.
"Gue nggak minta lo dateng," kata Gefan datar. "Ga! Ada pelanggan yang minta dilayani, nih!"
teriaknya kepada Arga. Dia melepaskan diri dari Devita, kemudian langsung berlari ke ruang
penyimpanan. Aura bingung harus bersikap seperti apa. Jadi, dia hanya berdiri di sana, mengamati Arga yang
mulai mendekati Devita. "Halo, Devita," sapa Arga dengan senyum isengnya.
Devita mengernyit tidak suka. Dia menangkap sosok Aura yang juga sedang menatapnya. Dia
sempat melihat Gefan mengobrol akrab dengan gadis itu tadi. "Ngapain lo sok akrab sama
Gefan?" bentaknya. Aura mengangkat kaset di tangannya. "Gue pembeli, dia pegawai. Bagian mana yang keliatan
sok akrab?" Bibir Devita mengerucut. "Gefan nggak pernah kelihatan seakrab itu sama pembeli. Lo nggak
coba deketin Gefan, kan" Gefan puny ague! Jangan coba-coba deketin dia. Awas lo!"
Dahi Aura berkerut. "Sori. Gue nggak lihat label nama lo di jidatnya."
Devita melotot. "Jangan macem-macem, ya, lo! Nggak ada cewek yang boleh deket-deket sama
Gefan selain gue!" "Ladies," Arga berdiri di antara kedua gadis itu. "Ngapain, sih, pada rebutan Gefan" Nih, ada
Arga yang lebih ganteng daripada Manusia Es itu."
Aura tersenyum kecut, lalu membawa CD di tangannya ke kasir. Devita mencibir, mengibaskan
rambutnya hingga mengenai wajah Aura, lalu berjalan meninggalkan tempat itu dengan angkuh.
Arga mengusap wajahnya sambil melangkah menuju kasir. Aura berbalik pergi tanpa meliriknya
sedikit pun begitu selesai membayar.
Arga menatap Fara yang bertugas di kasir dengan dahi berkerut. "Coba kasih tahu gue, gimana
bisa Manusia Es kayak Gefan narik perhatian cewek-cewek itu?"
Fara menatap Arga geli. "Kalau di Ekonomi Manajerial, konsumen awam suka lihat kualitas
barang dari harga. Semakin mahal suatu produk, biasanya, nih, bagi konsumen berarti
kualitasnya juga makin bagus. Dan, barang yang diobral kemungkinan kualitasnya rendah atau
nggak terlalu laku. Lo sama Gefan kira-kira kayak gitu. Gefan udah pasang tariff tinggi buat
dirinya sendiri, sedangkan lo doyan ngobral diri. Karena itu mereka milih Gefan. Buat mereka,
dia lebih berkualitas disbanding elo."
Arga menatap Fara dongkol. "Pasti ke dukun tuh orang."
"Atau, sihir hitam lo yang udah kelewat tebel," sambung Fara tidak peduli.
"Sialan. Gue ganteng gini, sihir hitam dari mana?" sungut Arga. Dia menggedor keras pintu
gudang. "Udah aman, woy!"
Pintu dibuka sedikit. "Udah pergi?" Tanya Gefan.
"Dua-duanya udah pergi."
Gefan melangkah keluar sambil membawa kardus besar kaset-kaset yang belum selesai
disusunnya. "Makin horor aja tuh cewek," gumamnya.
Arga menyandarkan sebelah bahunya di rak yang sedang disusun Gefan. "Lo beneran sakit,
ya?" Gefan tidak menanggapi. "Si tomboy emang nggak jelek, sih. Tapi, tetep aja seharusnya lo, sebagai cowok normal, lebih
milih Devita daripada dia."
"Gue nggak milih siapa-siapa," gumam Gefan tanpa mengentikan pekerjaannya.
"Oh, ya?" Arga menaikkan alisnya dengan arogan. "Buat ukuran seorang Manusia Es, lo
bersikap cukup hangat ke si Tomboy."
Gefan diam sejenak. "Dia baik. Gue nggak ada apa-apa sama dia."
Arga mendengus. "Kalau Devita?"
"Mengerikan." Gefan meletakkan tumpukan CD terakhir. "Ambil aja kalau lo mau. Gue nggak."
"Beneran sakit lo." Arga geleng-geleng kepala seraya mengikuti Gefan kembali ke gudang.
*** "Jadi, cewek tadi salah seorang penggemar lo?" Tanya Aura, menggigit salah satu daging
satenya sambil menatap Gefan.
"Cewek mana?" Tanya Gefan, menyeruput kopi hitamnya.
"Devita" Temen lo yang sok playboy tadi manggil dia itu kalau gak salah."
Gefan mengangkat bahu tak acuh. "Nggak tahu kenapa tuh cewek nafsu banget nguber gue,"
dia mengambil salah tusuk sate padang dari piring Aura.
"Lo yakin nggak makan?"
Gefan menggeleng. "Nggak laper," katanya.
"Yakin?" Gefan hanya tersenyum tipis. Mereka sedang berada di sebuah warung sate padang, tidak jauh
dari toko tempat Gefan bekerja. Gefan tidak tahu mengapa dia mau mengikuti Aura, bukannya
langsung pulang seperti biasa.
"Abis ini mau ke mana?" Tanya Aura dengan mulut penuh.
Gefan menahan senyum saat melihat bibir Aura berlepotan bumbu sate. "Bibir lo berlepotan,"
katanya, mendekatkan bungkus tisu ke arah Aura. "Nggak mau ke mana-mana. Lo mau ke
mana?" Aura menarik tisu untuk mengelap bibirnya. "Ada pagelaran sand-art. Mau lihat?"
"Sand-art" Seni yang gambar-gambar di pasir gitu?"
Aura mengangguk. "Kayaknya asyik. Boleh deh."
Aura tersenyum. Dia menghabiskan makananya, lalu buru-buru mengajak Gefan pergi. Aura
berhenti sejenak saat Gefan berjalan ke arah yang berlawanan dengan tempat dia memarkir
mobil. "Motor gue di sana, " kata Gefan, menunjuk tempat parkir pegawai.
"Gue juga bawa mobil," sambung Aura, menunjuk arah berlawanan. "Trus" Bawa kendaraan
sendiri-sendiri?" Gefan berpikir sebentar. "Mana kunci mobil lo?"
Aura menyerahkan kunci mobilnya. Gefan mengambil benda itu, kemudian berjalan ke arah
mobil Aura. Gefan mengendarainya menuju bagian garasi toko. Pak Tirno, pemilik toko, baru
saja mengunci pintu garasi.
"Saya mau titip mobil, Bos." Kata Gefan.
"Lho, mobil siapa?"
"Punya teman." "Boleh, sih. Tapi, kalau ada apa-apa, saya nggak tanggung jawab lho, Mas." Kata Pak Tirno. Dia
kembali membuka pintu garasi, mempersilahkan Gefan memasukkan mobil Aura. Setelah
mengucapkan terima kasih kepada Pak Tirno, Gefan mengendarai motornya sendiri
menghampiri Aura. Dia mengembalikan kunci mobil kepada gadis itu.
"Aman tuh mobil gue?" Aura mengambil kunci dari tangan Gefan.
"Mudah-mudahan," jawab Gefan. "Ayo naik."
Aura naik ke boncengan Gefan, berpegangan pada bagian samping motor, sementara Gefan
menjalankan motornya sesuai arah yang ditunjuk Aura. Sekitar lima belas menit kemudian, Aura
menyuruh Gefan menghentikan motornya di depan sebuah bangunan rumah berbentuk persegi
yang semua dindingnya terbuat dari kaca.
Ketika memasuki bangunan itu, ada sekitar sepuluh seniman pasir yang sedang beraksi. Di
belakang para seniman itu terdapat layar LCD yang menampilkan karya mereka yang diambil
melalui kamera yang diletakkan di bagian bawah meja kaca tempat mereka bekerja. Masingmasing seniman dikelilingi sepuluh sampai lima belas pengunjung. Aura menarik Gefan menuju
seniman yang berada di paling pojok.
"Hai," sapa Aura.
Anya berbalik. "Hai! Kirain lo nggak jadi dateng." Pandangannya menangkap sosok Gefan. Dia
tersenyum usil. "Siapa?"
"Gefan." Jawab Aura. "Fan, nih Anya, temen kampus gue sekaligus anggota perkumpulan
seniman pasir yang ngadain acara ini."
Anya mengulurkan tangannya, yang disambut Gefan. Kemudian, Anya mulai beraksi. Dia
menaburkan pasir di atas sebuah alas yang terbuat dari kaca, lalu membentuknya hingga
menjadi berbagai wujud. Mulai dari pemandangan gunung, kemudian berubah menjadi hutan,
persawahan, kepala wanita, dan berbagai bentuk lain. Gefan memandangnya dengan takjub.
"Keren," puji Gefan begitu Anya selesai.
"Makasih," kata Anya riang. "Tapi, Aura lebih jago, lho."
"Bohong," kata Aura cepat.
"Mau lihat, dong," kata Gefan.
Aura menggeleng. "Gue seniman karikatur, bukan seniman pasir."
"Udahlah, Ra. Nggak usah malu-malu." Anya berdiri, lalu menarik Aura sampai menduduki
bangkunya. "Pamer kelebihan di depan gebetan itu penting." Bisik Anya, membuat wajah Aura
memerah. "Dia bukan gebetan gue," balas Aura, ikut berbisik.
Anya tersenyum centil. "Ayo, Ra. Mulai beraksi. Gue mau ke belakang dulu." Dia menepuk bahu
Gefan. "Enjoy." Ucapnya, lalu mengedipkan mata sebelum melenggang pergi.
Gefan menatap Aura yang hanya terpaku di tempatnya. "Kok, diem?"
Aura mengangkat kepala untuk menatap Gefan. "Gue dikerjain Anya," katanya.
"Masa, sih?" Gefan meraup segenggam pasir, lalu menyebarkannya di alas kaca yang tadi
digunakan Anya. Dia mulai membuat bentuk-bentuk tak beraturan. "Kok, susah, ya?" gumamnya.
Aura menyingkirkan tangan Gefan. Dia membuat jejak empat jari dari sudut kanan atas menuju
sudut kiri bawah di pasir itu. Lalu, dia membuat bentuk wajah yang dilihat dari samping. Dalam
sekejap, muncul gambaran wanita dengan rambut yang seakan berkibar ditiup angin.
Tersenyum kecil, Gefan hanya diam, mengamati Aura beraksi. Sesekali dia ikut nimbrung,
menambahi garis atau bentuk di gambar yang dibuat Aura. Awalnya Aura menghasilkan gambargambar yang cantik. Makin lama, gambar yang dibuatnya makin aneh, ditambah bantuan dari
Gefan, hingga akhirnya menjadi bentuk tidak jelas.
"Apaan, nih?" Tanya Aura, menahan geli.
"Kalau dilihat dari sini, " Gefan berdiri di samping. "Kayak kota yang abis kena badai besar."
"Kalau dari tempat gue, kayak keadaan bawah laut yang abis dibom."
Gefan tertawa, lalu bergerak ke depan Aura. "Kalau dari sini "."
Aura mendongak, menatap Gefan. Gefan langsung diam saat pandangan mereka bertemu. Aura
buru-buru menunduk. Gefan berdehem, lalu menegakkan tubuhnya. Keduanya saling diam
hingga Anya kembali bergabung.
"Gimana" Pinter, kan, si Aura?" Tanya Anya, merangkul bahu Aura.
Aura berdiri. "Gue pulang, ya. Udah malam ?"
"Oke. Thanks, ya, udah datang," balas Anya.
"Sampai ketemu besok. Bye," jawab Aura sambil melambaikan tangan.
Gefan mengikuti Aura meninggalkan tempat itu, setelah melempar senyum sopan kepada Anya.
Obrolan yang terjadi selama perjalanan hanya arahan dari Aura menuju rumahnya. Gefan
mengikuti tanpa banyak bersuara.
"Makasih," ucap Aura begitu motor Gefan berhenti di depan rumahnya. "Besok mobil gue bisa
diambil jam berapa?"
"Gue kerja jam satu siang."
"Gue ke sana sekitar jam segitu aja."
"Trus lo kuliah?"
"Bisa minta jemput teman. Atau, bareng kakak gue."
"Oh, oke. Sampai ketemu besok kalau gitu."
Aura mengangguk. Gefan kembali menjalankan motornya begitu Aura melangkah masuk.
*** Bab 10 Sudah hampir pukul sepuluh malam ketika Gefan memasuki rumahnya. Dia berniat langsung ke
kamar, ketika melihat pintu kamar mendiang mamanya terbuka sedikit. Penasaran, Gefan
mendekat, berusaha tidak menimbulkan suara. Dahinya berkerut saat mendengar suara isak
tangis dari dalam kamar. Dia melihat seseorang duduk di kursi yang biasa diduduki mamanya.
Saat makin dekat, Gefan mengenali itu sosok Aska. Apa yang dilakukan lelaki itu di kamar
mamanya" "Maaf " maaf " maaf "," terdengar isak pelan dari dalam. Jantung Gefan berdetak
cepat. Ayahnya sedang menangis sambil memeluk sesuatu. Sebuah pigura. Foto Lavia" Gefan
menggeleng. Tidak mungkin. Aska tidak mungkin menangisi mamanya. Dia sangat mengenal
sosok ayahnya. Seorang lelaki berhati batu. Bahkan, nyaris tidak berhati. Gefan sudah akan
berjalan ke kamarnya, ketika dia mendengar kalimat terakhir Aska. "Saya sayang kamu, Via.
Saya sayang kamu " maafin saya ?" Gefan kembali terpaku. Saat tersadar, amarahnya terus
tersulut. Berani-beraninya Aska berkata menyayangi Lavia setelah mamanya itu meninggal. Di
mana dia saat Lavia membutuhkannya" Dengan marah, Gefan menggebrak pintu hingga
terbuka lebar. Aska terlonjak. Buru-buru dia menghapus air matanya, lalu meletakkan pigura di
tangannya ke atas meja. Menarik napas panjang, dia berbalik menghadap Gefan. "Apa?"
tanyanya. "Ngapain kamu di kamar Mama?" "Ini kamar istri saya. Apa salahnya ke sini" Mungkin
saya merindukannya?" Aska berusaha mengangkat bahu tidak peduli, tetapi malah membuat
bahunya makin terlihat bergetar. Dia berdiri, berjalan melewati Gefan. Gefan menahan tangan
ayahnya dengan kasar. "Jangan berani-berani bilang kamu sayang sama Mama setelah semua
yang kamu lakukan ke Mama!" Aska menarik tangannya dari Gefan. "Kamu nggak tahu apa-apa,
Gefan," katanya. Menepuk pelan pipi Gefan, dia kembali berjalan keluar. "Gue tahu lo nangis.
Apa yang lo tangisin" Merasa bersalah udah bikin Mama bunuh diri?" Untuk sesaat, wajah Aska
terlihat kaget. Tetapi, dia cepat menguasai diri. "Lavia sakit, bukan bunuh diri. Jangan mengadaada." "Mama bunuh diri. Dokter sendiri yang bilang. Dan, gue nemuin botol obat tidur kosong
waktu beres-beres kamar Mama." Aska menatap Gefan tidak percaya. "Kamu bohong!" Gefan
mendengus. "Mama bunuh diri karena udah nggak tahan sakit hati sama kamu!" Aska
mendorong Gefan keras hingga punggungnya menabrak dinding. Dia mencengkeram kedua
bahu Gefan, menahannya tetap di dinding. "Kamu bohong!" ulangnya, matanya berkilat tajam.
"Lavia nggak mungkin bunuh diri!" bentaknya. Gefan terlalu terkejut sehingga tidak bisa bereaksi.
Begitu tersadar, Aska sudah melepaskan cengkeramannya, lalu melangkah pergi, menuju
kamarnya yang berada tepat di sebelah kamar Lavia. Gefan diam di tempatnya dengan wajah
bingung. Apa yang terjadi dengan ayahnya" Baru kali ini Aska menyerangnya. Biasanya, Aska
selalu bersikap tenang, terkendali, nyaris selalu tak acuh. Bukan urusannya, putus Gefan
akhirnya. Dia tidak peduli pada apa pun yang terjadi kepada ayahnya. Dia sendiri sebenarnya
heran mengapa Aska belum juga pergi, tapi ia tidak mau repot-repot bertanya. Mengangkat
bahu, Gefan menaiki tangga menuju kamarnya. *** Gefan membuka mata perlahan saat
mendengar pintu kamarnya terbuka. Dia bangkit, menopang tubuh dengan siku, mengerjapkan
mata beberapa kali hingga focus saat melihat seseorang mendekati kasurnya. Dahinya langsung
berkerut saat melihat Aska meletakkan sesuatu di mejanya. "Saya dikirim ke New Zealand."
Gefan memijat dahinya. "Trus?" menyingkirkan selimut, dia turun dari kasur, lalu melewati Aska
menuju kamar mandi. Gefan mencuci muka supaya nyawanya terkumpul sepenuhnya. Dia
menatap Aska sambil bersandar di ambang pintu kamar mandi dengan kedua tangan terlipat di
depan dada. "Mau mengajakku?" Gefan mencibir. "Aku. Nggak. Tertarik." "Jaga dirimu," Kata
Aska singkat, kemudian berjalan menuju pintu. Sebelum melangkah turun, dia berhenti untuk
kembali menatap Gefan. "Telepon saya kapan pun kamu butuh sesuatu." "Wah, kamu mulai mau
bersikap layaknya seorang ayah sekarang?" Gefan tergelak menghina. "Nggak perlu repot-repot.
Aku nggak butuh apa pun dari kamu." Aska menatap Gefan dengan ekspresi yang susah
dijelaskan. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah turun. Gefan tetap ditempatnya ketika
Aska kembali menutup pintu kamarnya. Ada yang aneh dengan ayahnya. Tidak biasanya Aska
datang ke kamarnya. Kali terakhir Aska mengunjungi kamarnya bertahun-tahun yang lalu.
Biasanya, Aska memilih menunggunya turun jika ingin mengatakan atau memberikan sesuatu.
Gefan menghampiri benda yang tadi di letakkan Aska di mejanya. Sebuah amplop cokelat
berukuran A4. Gefan membukanya. Bundelan uang. Aska tidak bisa mengirim ke rekeningnya
karena dia tidak mau memberitahu nomor rekeningnya. Aska juga pernah membukakan rekening
baru, supaya lebih gampang mengirimkan uang, tetapi Gefan membuang buku tabungan beserta
ATM yang diberikan Aska. Sejak itu, Aska menyerahkan uangnya langsung. Menarik laci meja,
Gefan meletakkan uang itu di dalamnya. Dia tidak mau menggunakan uang pemberian Aska
untuk biaya sehari-harinya. Karena mamanya sudah tidak ada, Gefan akan mencari cara lain
untuk menggunakan uang itu. Yang jelas, tidak akan digunakan untuk dirinya sendiri. Harga
dirinya terlalu tinggi untuk menerima bantuan financial dari ayahnya. Dia tidak mau membuat
Aska merasa berkuasa atas dirinya. Dia bisa menghidupi dirinya sendiri dan akan selalu
berkuasa penuh atas hidupnya. Dia bahkan berencana akan mulai membayar uang sewa untuk
kamar yang ditempatinya ini, tidak peduli apakah Aska akan menerima uangnya atau
membuangnya. Gefan mengambil handuk, lalu kembali masuk ke kamar mandi. Tidak sampai
sepuluh menit kemudian, Gefan bersiap berangkat ke kampus. Saat mampir ke meja makan
untuk mengambil roti, dia melihat sebuah handphone tergeletak di sebelah keranjang selai.
Sebuah kertas terimpit di bawahnya. Gefan mengambil suratnya. Gunakan ini untuk
menghubungiku. Mengapa ayahnya sangat ingin berhubungan dengannya" Mengapa baru
sekarang" Gefan meremas surat itu dan melemparnya ke keranjang sampah. Dia mengambil
selai kacang untuk rotinya, kemudian membuka kulkas untuk mengambil jus jeruk. Selesai
sarapan, tanpa berniat mengambil handphone pemberian Aska, Gefan melangkah keluar rumah.
Sudah sangat terlambat jika ayahnya baru ingin memasuki hidupnya sekarang. Baginya, Aska
tidak lebih dari sosok asing yang tidak dikenalnya sama sekali. Tidak peduli dia lahir dari benih
Aska, secara emosional, tidak ada ikatan apa pun di antara mereka. Bertahun-tahun Aska tidak
bersikap layaknya seorang ayah dan dia tidak membutuhkannya sekarang. Dia tidak pernah
membutuhkan Aska. Saat masuk ke garasi untuk mengambil motor, alisnya menyatu ketika
melihat mobil Aska terparkir di sana. Aska tidak pernah ke mana-mana tanpa mobilnya. Sebuah
kertas disangkutkan di bagian wiper mobil. Sejak kapan ayahnya suka meletakkan pesan di
mana-mana" Tulisan kertas itu kali ini, "Gunakan kalau kamu butuh. Kuncinya di dalam". Gefan
mengintip ke dalam mobil. Benar saja. Kuncinya tergantung di sana. Ini benar-benar bukan gaya
ayahnya. Aska menyayangi mobil ini lebih dari apa pun. Sudah terbiasa dengan sikap tidak
peduli ayahnya. Gefan benar-benar tidak siap dengan perhatian Aska yang seperti ini. Apa ini
cara ayahnya menebus rasa bersalah atas meninggalnya sang mama" Gefan mendengus.
Tanpa berniat menggunakan mobil itu, dia menyalakan Kawasaki Ninja-nya untuk memanaskan


Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mesin, kemudian membuka pintu garasi. Dia menuntun motornya keluar, lalu kembali mengunci
garasinya. *** Gefan baru saja memarkir motornya ketika melihat Aura sudah berdiri di depan
toko. Begitu melihat Gefan, Aura langsung mendekat. Dia menyodorkan kunci mobilnya kepada
Gefan. "Udah lama?" Tanya Gefan, mengambil kunci di tangan Aura. "Nggak juga. Paling
sepuluh menit." Aura mengikuti Gefan menuju garasi. Gefan mengeluarkan mobil Aura. "Ntar
malam nonton, yuk," ajak Aura. "Eh, tapi malam minggu." "Emang kenapa kalau malam
minggu?" "Yah, kali aja lo udah punya janji lain." "Gue jarang keluar malam, kecuali pas mau
ngerjain tugas bareng Lanna," kata Gefan. "Besok aja, minggu gue libur." "Nonton?" Gefan
mengangkat bahu. "Terserah." Aura mengangguk. Setelah berbasa-basi sejenak, dia
menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu. Gefan pun masuk ke toko. "Fan, rak nomor
1032 ada yang kosong, tuh," kata Fara begitu Gefan mendekat. "Iya," Gefan masuk ke gudang
untuk mengambil barang, kemudian mulai bekerja. Pukul delapan malam, Gefan bersiap pulang.
Dia baru melangkah keluar toko ketika diadang oleh seseorang. Devita berdiri dengan senyum
manis dan wajah berbinar. Seakan tidak melihat, Gefan terus berjalan melewatinya. Devita
menahannya. "Apa?" Tanya Gefan, melepaskan tangannya. "Yuk, jalan. Kita " malam
mingguan," ajak Devita dengan wajah ceria. "Nggak. Gue mau pulang." Gefan kembali berjalan.
"Gefan!" Devita menyusulnya. Dia langsung berdiri di depan Gefan. "Kenapa, sih, kamu selalu
ngindarin aku" Aku salah apa coba sama kamu?" Gefan sudah akan mengeluarkan kata-kata
ketus ketika melihat wajah gadis itu berubah muram. Terlebih saat melihat mata Devita berkacakaca, dia menelan semua kalimat ketus yang siap dilontarkan. "Aku Cuma mau sama-sama
kamu. Ngabisin waktu sama kamu. Tapi, kamu selalu bersikap seakan aku wabah penyakit yang
harus dijauhi. Kamu terus-terusan ngindarin aku. Kenapa, Fan?" Air mata Devita mulai jatuh.
Gefan menggaruk lehernya. Dia tidak terbiasa dengan sikap Devita yang seperti ini. Dia lebih
suka menghadapi sikapnya yang centil sehingga dia tidak merasa bersalah jika bersikap sedikit
kasar. Tetapi, air mata seorang gadis sama sekali tidak bisa dihadapinya. Devita makin terisak.
"Apa salah kalau aku sayang sama kamu" Cinta sama kamu" Salah, ya, Fan?" Gefan
menggaruk kepalanya. "Gini," katanya memulai. "Gue sama sekali nggak ngerti sama konsep
sayang yang lo bilang. Gue nggak tahu apa itu cinta. Dan, gue nggak pengin ngerti. Nggak
pengin tahu." Gefan menghela napas. "Maaf kalau gue udah kasar. Tapi, gue beneran nggak
bisa nerima atau bales apa pun yang lo tawarin ke gue. Kalau terus-terusan nguber gue, lo
Cuma buang-buang waktu." "Tapi ?" "Lo cantik, Dev, bisa dapetin cowok mana pun yang lo
mau. Tapi, bukan gue." Tangis Devita makin kencang. "Aku Cuma mau kamu." "Maaf," ucap
Gefan. "Gue nggak bisa." Tersenyum kaku, Gefan berjalan menuju motornya. "Gefan!" isak
Devita. "Aku sayang sama kamu." Gefan berbalik. "Kenapa" Lo bahkan nggak kenal sama gue.
Apa yang bikin lo sayang?" "Kamu ?" Devita diam sejenak, "Beda" "Semua orang beda. Nggak
ada yang sama. Apa istimewanya?" "Kamu nggak sama! Kamu beda yang bener-bener beda!
Kamu keren, ganteng, misterius, dan gondrong. Gabungan Nicholas Saputra sama Chris
Hemsworth waktu jadi Thor." Devita mengusap air matanya. "Yah, walaupun kadang nyeremin,
tapi kamu ganteng. Karena itu aku sayang sama kamu." Gefan menatap Devita datar. "Udahlah,
Dev. Nggak usah uber gue lagi. Gue nggak pantes lo uber-uber gini. Gue bukan siapa-siapa."
Devita berjongkok, lalu membenamkan kepala di tanganya dan kembali terisak. Gefan menghela
napas lelah. Dia kembali mendekati gadis itu, kemudian ikut berjongkok di depannya. "Lo ke sini
sama siapa?" "Sendiri," jawab Devita dengan suara teredam. "Naik apa" Mobil" Motor?" "Taksi."
"Ayo. Gue anter pulang." Devita mengangkat kepalanya, lalu menggeleng. "Aku nggak mau
pulang." Dia menghapus air matanya. "Mala mini aja." "Apa?" "Pura-pura jadi pacarku." "Ya
ampun "," Gefan berdiri. Devita kembali menangis. Kali ini Gefan menghela napas muak. "Oke!
Malam ini aja. Abis ini, nggak usah ganggu gue lagi!" Senyum Devita terkembang, tangisnya
berhenti seketika. "Beneran?" Gefan menggeram, lalu mengambil motornya. "Buruan naik! Gue
Cuma punya satu helm. Kalau sampai ditilang, lo yang gue kasih ke polisinya." Ancamnya kesal.
Dengan wajah ceria, Devita naik ke boncengan Gefan dan langsung memeluk pinggangnya. "Di
depan sana, ka nada toko helm. Ntar kita bisa mampir buat beli satu." Gefan menggeram.
"Nggak usah peluk-peluk! Pegang bagian samping motor aja." "Nggak mau!" Devita
membenamkan wajahnya di punggung Gefan. "Mala mini, kan, kamu pacarku. Orang pacaran,
ya, emang gini." Mendengus, Gefan mulai menjalankan motornya mengikuti arahan Devita. ***
"Gue bener-bener nggak ngerti, deh, sama orang yang mau repot-repot ngurusin segala tetek
bengek pacaran, kencan, gitu-gitu," kata Gefan ketika memakai pengaman. Dia dan Aura
sedang bersiap di arena flying fox. Akhirnya, mereka memutuskan untuk outbond. "Lo nggak
pengin?" Tanya Aura. "Nggak," jawab Gefan tanpa ragu. "semalam gue ngerasain kencan sama
satu cewek, dan ribet." Dia menatap Aura. "Ternyata, pilihan gue dari awal nggak mau berurusan
sama hal-hal itu udah tepat." Aura sedikit kaget mendengar ucapan Gefan. Gefan kencan"
Dengan siapa" Dia ingin bertanya, tetapi malah mengatakan hal lain. "Gue juga sempet mikir
gue," kata Aura, membantu mengencangkan pengaman Gefan. "Tapi kalau lihat teman gue yang
lain, kadang penasaran. Kakak gue sama pacarnya, yang juga sahabat gue, makin hari makin
lengket kaya pasangan lintah. Lanna sama Arsen juga gitu. Semenjak Lanna bales perasaannya
Arsen, mereka selalu kelihatan kayak orang mabuk cinta. Gue jadi suka ngiri," Gefan mencibir,
bersiap meluncur. Begitu Gefan tiba di seberang, Aura menyusulnya. Gefan menangkap Aura
begitu gadis itu ikut tiba di tempatnya. "Lo kencan sama siapa?" Tanya Aura. Gefan melepaskan
Aura. "Devita." "Oh," Aura mundur, menjauh dari Gefan ketika melepas pengamannya. "Kirain, lo
nggak ada apa-apa sama dia." "Emang nggak ada." Gefan lalu menceritakan bencana yang
menimpanya semalam. Dia tidak tahu mengapa memilih cerita kepada Aura, bukan menyimpan
sendiri seperti biasa. Dia bukan tipe orang yang suka menceritakan segala kejadian yang
menimpanya kepada orang lain. Tetapi sekarang, entah mengapa dia ingin bercerita. "Resek
banget tuh cewek. Dia ngajak dinner, belanja, trus dugem. Jam tiga pagi baru pulang. Yang
paling parah, dia nyaris nyosor gue. Sinting tuh orang." Dia menatap Aura. "Emang harus gitu,
ya, kencan?" "Nggak tahu. Gue nggak pernah kencan." Aura tersenyum geli. Tiba-tiba dia
merasa lebih lega setelah mendengar penjelasan Gefan. "Trus?" "Gue suruh pulang naik taksi.
"Gefan mendengus. "Kalau tahu bakal gitu, gue tinggal pulang aja tuh cewek dari awal." "Ya
udahlah, itung-itung nambah pengalaman. Nggak mungkin, kan, seumur hidup lo nggak bakal
kencan?" ujar Aura ketika mereka beralih ke tempat lain. Gefan mengangkat bahu. "Bukan
masalah buat gue. Kencan bukan kebutuhan primer." Dahi Aura berkerut. "Lo nggak pernah
kepikiran buat kencan" Naksir cewek?" "Harus, ya?" Aura geleng-geleng kepala. "Lanna sering
bilang kalau gue udah parah. Tapi, lo jauh lebih parah daripada gue. Seenggaknya gue punya
keinginan buat nemuin pangeran tampan berkuda putih." Gefan mengulum senyum sambil
mengetuk kepala Aura pelan. "Pangeran berkuda putih Cuma ada di dongeng." "Tetep aja gue
ngarep," kata Aura, mengangkat bahu. "Ngomong-ngomong, besok malam ada acara
pertunangan kakak gue, di rumah pacarnya. Dateng, ya." "Emang boleh?" "Yah, temen-temen
gue yang lain pasti bawa pacar masing-masing. Males aja diem kayak orang bego sendirian di
sana." Gefan mengajak Aura menuju arena arum jeram. "Jam berapa?" "Setengah delapan. Ntar
keluarga gue yang lain biar berangkat duluan aja, biar lo bareng gue. Gimana?" Gefan
mengangkat bahu. "Oke." Arus sungai yang menjadi arena arum jeram sangat deras. Aura
bergidik. Tinggal satu perahu karet yang ada di sana. Seorang petugas menyerahkan jaket
pelampung kepada mereka. "Gue nggak bisa renang," kata Aura. "Kalau jatuh gimana?" "Itulah
gunanya jaket pelampung." Kata Gefan, menenangkan. Aura tampak ragu. Tiba-tiba, Gefan
meraih tangannya dan menggandengnya menuju tepi perahu. Gefan membantu Aura naik tanpa
melepaskan pegangannya. Meskipun masih tidak yakin, Aura naik ke atas perahu. Gefan
menyusul kemudian. Aura langsung mencengkeram lengan Gefan begitu perahu mulai bergerak.
"Gue nggak berani, Fan." "Tenang. Ada petugas yang bakal nyelamatin kalau kita hanyut," kata
Gefan, menepuk pelan tangan Aura yang mencengkeram lengannya. Aura memejamkan mata
sambil komat-kamit membaca doa selama perahu mereka terombang-ambing oleh arus. "Ya
ampun, batunya gede-gede banget, Fan. Buset!" aura mempererat cengkeramannya. "Kepala
gue bisa bocor kalau jatuh ke sana!" Gefan tertawa-tawa, tampak m
enikmati. Setelah beberapa
lama menahan kepanikan, Aura langsung menghela napas lega ketika perahu mereka kembali
menepi. Tidak mau membuang waktu sedikit pun, dia langsung berdiri untuk segera kembali ke
darat. Dia menginjak tepi perahu dengan panic, sehingga membuat perahu itu sedikit oleng.
"Pelan-pelan," kata Gefan, kembali membantu Aura. "Kalau gitu, lo bisa jatuh beneran." "Gue
nggak mau lagi naik itu," tekad Aura setelah kakinya kembali menginjak tanah. "Ini, sih. Nggak
ada apa-apanya." Gefan melepas jaket pelampungnya. "Ikut arus air terjun kayaknya asyik, deh."
"Dasar psikopat. Sakit jiwa lo!" dumel Aura. Gefan menyeringai. "Kayaknya kita Cuma harus bisa
renang dan nggak panic. Panik Cuma bikin otak kacau, nggak bantu apa-apa." "Atau kita harus
jadi keturunan kucing yang punya Sembilan nyawa." Gefan terbahak. Setelah puas bermainmain di arena lain, Gefan mengajak Aura makan siang di sebuah warung tenda. Berseberangan
dengan warung itu, ada kerumunan kecil manusia yang mengelilingi seseorang berpenampilan
aneh, layaknya suku Indian, yang tengah memainkan alat musik dari bambu, entah apa
namanya. Gefan melihat di tangan orang Indian itu terdapat sekitar dua atau tiga alat musik tiup
dan kerincingan aneh di pergelangan tangannya. Meskipun terlihat aneh, music yang
dimainkannya terdengar sangat enak. "Wah, orang Indian asli, ya?" Tanya Aura, mengikuti
pandangan Gefan. "Abis makan lihat, yuk?" ajaknya. "Nggak mungkin asli. Paling Cuma
didandanin aja biar mirip." Aura menghabiskan makanannya dengan cepat. "Pokoknya lihat.
Buruan makannya! Lo makan lama amat, kayak banci kena sariawan. Coba ubah jadi kayak
banci dikejar satPol PP." Gefan hanya menatap Aura datar, lalu mempercepat makannya,
mengikuti keinginan gadis itu. Beberapa menit kemudian, mereka sudah berkumpul bersama
orang-orang yang mengelilingi musisi Indian itu. Di samping stereo dan alat elektronik lain, ada
meja stan kecil yang memajang berbagai barang aneh. "Dream catcher!" sorak Aura. Dia
menarik Gefan mendekati meja itu dan mengambil salah satu benda aneh tersebut dan
memperlihatkannya kepada Gefan. "Dari dulu gue pengin punya ini," Dahi Gefan berkerut.
Benda itu terbuat dari sebuah simpul kayu berbentuk lingkaran sebesar bola kasti yang di
dalamnya terdapat jarring-jaring dengan lingkaran kecil lain di bagian tengah yang berukuran
tidak lebih besar daripada pupil mata. Di bagian bawahnya tergantung bulu-bulu, seperti bulu
ayam, berwarna cerah. Yang dipegang Aura berwarna campuran ungu dan merah muda.
"Dream catcher" Penangkap mimpi?" Aura tersenyum geli seraya mengangguk. "Pernah baca
legenda suku Indian nggak?" "Mereka musuhan sama kaum koboi dan selalu berantem tiap
ketemu." Aura mencibir. "Dulu, penduduk asli Amerika, suku Indian, percaya kalau benda ini bisa
menghalau mimpi buruk. Ada banyak, sih, legendanya. Ada yang bilang, kalau benda ini
digantung di dekat tempat tidur, ntar mimpi baiknya di tangkep oleh jaring-jaring ini, sementara
mimpi buruknya dibiarin lewat dari sini." Dia menunjuk lingkaran kecil di bagian dalam jarringjaring. "Legenda lain bilang kebalikannya. Mimpi buruk ditangkep oleh jarring-jaring biar nggak
masuk, sedangkan mimpi baik dibiarin lewat." Gefan mengambil satu dream catcher yang
berwarna hitam. "Dan, lo percaya sama dongeng anak kecil itu?" Aura mengangkat bahu,
mengangkat benda di tangannya. "Nggak jelek juga, kan, jadi hiasan kamar?" gumamnya. Dia
bertanya kepada penjual berapa harga benda itu. Gefan mengernyit mendengar harganya. "Gini
doang segitu?" "Ini langsung diimpor dari sana, Mas. Tuh, yang lagi main music juga orang sana
asli," ujar si penjaga stan. Gefan mendengus. "Ntar gue bikin sendiri, deh," ujarnya kepada Aura,
mengembalikan dream catcher-nya. "Lo cari aja kayu sama bulu ayam. Ntar gue bikini. Atau,
ntar pake kemoceng di rumah gue. Bulunya masih banyak, jarang gue pake." Aura menyikut
perut Gefan. "Bawel, ah, lo! Kalau nggak mau beli, ya udah." Dia merengut seraya menyerahkan
dream catcher di tangannya kepada penjual dan membayar harga-nya." "Aneh," gumam Gefan
saat Aura menariknya meninggalkan kerumunan, sementara si musisi masih memainkan
musiknya, menuju tempat parkir motor. Gefan mengantar Aura lebih dulu dan menolak saat Aura
menawarinya mampir. "Besok malam jam berapa?" tanyanya. "Jemput sekitar jam tujuh ajalah.
Anak-anak juga jam segitu baru dateng." Gefan mengangguk. "Oke. Gue pulang." Dia baru akan
memasukkan kopling saat Aura menggantungkan kantong plastic di kaca spionnya. "Apa ini?"
"Dream catcher, bukan benda aneh. Biar lo nggak kena mimpi buruk. Digantung, ya. Awas kalau
lo buang!" Gefan mendengus. "Bukannya lo beli buat lo sendiri?" "Gue tadi beli dua," Aura
tersenyum manis. "Sampai ketemu besok malam." Gefan mengangguk, lalu menjalankan
motornya dan memelesat pergi. ***
Bab 11 Aura tersenyum simpul saat melihat penampilan Gefan. Lelaki itu sebenarnya tampan, kalau
saja mau sedikit merapikan penampilannya. Dia mengenakan perpaduan kemeja polos dan jins
hitam, serta sneakers putih. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang, memperlihatkan tato di leher
kirinya dengan jelas. Aura mengulurkan tangannya, menyentuh tato itu. "Nggak sakit bikin ini?"
Gefan mundur sedikit. Menghindari sentuhan Aura di lehernya. Dia tidak pernah mengizinkan
siapa pun menyentuh tatonya. "Lumayan. Tapi, asyik," dia tersenyum tipis. Aura menjatuhkan
tangan di sisi tubuhnya. Penampilannya sendiri tampak berbeda malam ini. Cocktail dress
selutut berwarna hitam dan stiletto putih. Rambut pendeknya disisir rapi ke belakang, ditahan
dengan bandana berhias mutiara putih. "Kita serasi," ujarnya iseng. Gefan tertawa kecil.
"Berangkat sekarang?" Aura mengangguk kecil. Gefan lebih dulu membantu Aura naik, sebelum
dia sendiri naik ke motornya. Aura berpegangan pada besi di belakang motor dengan satu
tangan, sementara tangan lainnya di bagian samping. Tetapi, karena jok bagian belakang motor
sport itu lebih tinggi, Aura tidak bisa mencegah bahunya menempel di punggung Gefan. Aura
sedikit tenang saat melihat Gefan tidak keberatan dengan sentuhan ringan itu. Setelah itu, Gefan
baru menjalankan motornya menuju rumah Delia. Aura merasakan tatapan mata temantemannya terpaku kepada mereka ketika dia dan Gefan memasuki ruang tamu, tempat pesta
pertunangan Delia dan Rangga dilaksanakan. Hanya Delia yang tidak ikut memelototinya
dengan kaget dan penasaran, seakan dia fosil manusia purba dari masa lampau. Jelas saja,
karena sahabatnya yang itu sedang berkumpul dengan Rangga dan orangtua mereka di bagian
lain rumah. Arsen sampai tersedak semangka dari es buah yang sedang dimakannya, lalu
memandangi Aura dan Gefan bergantian dengan mulut sedikit terbuka. "Ada masalah?" Tanya
Aura, berusaha bersikap tidak terpengaruh dengan reaksi teman-temannya yang sedikit
berlebihan. "Well " ternyata Gefan cakep," puji Lola. "Dan, lebih kelihatan kayak manusia, "
komentar Arsen, yang disambut jitakan pelan dari Lanna. Gefan hanya tersenyum kecil,
sementara Aura tampak tersipu. "Udah pacaran, nih, ceritanya?" goda Lanna. Aura menggeleng,
mulai tergagap. "Nggak," jawab Gefan singkat. Aura mengatupkan mulutnya. Dia dan Gefan
memang bukan sepasang kekasih. Namun, mendengar satu kata bernada tegas itu keluar dari
mulut Gefan, entah mengapa, membuatnya terserang sesak napas tiba-tiba. Dia memaksakan
diri tersenyum. "Gue gabung sama Delia dulu, ya." Melirik Gefan sekilas, kemudian dia
mendekati orangtuanya, Rangga, Delia, dan orangtua Delia. "Gawat," gumam Lola. "Aura
kayaknya suka sama lo." Gefan menatap Lola dengan sebelah alis terangkat. "Gue juga suka
dia." "Bukan sebagai teman," sambung Ayu. Gefan menoleh ke arah Aura yang sedang
berbincang dengan Delia. Saat tatapan mereka bertemu, Aura langsung membuang muka
dengan wajah merah, sementara Gefan tetap memandangnya. Dia menghela napas, "Kayaknya
gue pulang aja." Dia bersiap pergi. "Nggak sopan ninggalin teman kencan di tempat pesta," ujar
Lanna. "Ini bukan kencan," kata Gefan dengan nada memperingat. Arsen menatap Gefan
penasaran, tapi tidak berkata apa-apa. Dia menggamit lengan Lanna. "Acaranya udah mau
dimulai." Mereka berjalan lebih dulu. Lola dan Coki, pacarnya, berjalan beriringan, tetapi
berjarak, sementara Ayu yang juga datang bersama pacarnya, Satria, tampak lengket seperti
biasa. Gefan menbuntuti mereka, berjalan paling belakang. Gefan tidak terlalu memperhatikan
acaranya. Hanya sekedar saling menyematkan cincin dan gelang di tangan masing-masing. Dia
sesekali menatap Aura, yang juga sering melirik ke arahnya, lalu kembali menghela napas.
Kalau benar Aura menyukainya, itu benar-benar akan menjadi masalah. Bukan karena Gefan
tidak menyukai gadis itu. Diam-diam, sebenarnya Gefan juga tertarik dengan Aura. Dan, itulah
yang akan menjadi masalah. Dia tidak mau, tidak berani, berharap kalau akhirnya Dewa Cinta
berbaik hati kepadanya dan mengizinkannya menikmati indahnya perasaan itu. Kalau ada orang
lain yang mengalahkan kekejaman ayahnya, itulah si Dewa Cinta, yang seenaknya memanah
hati orang dengan panah emas, dan seenaknya pula membidik panah tembaga untuk
membunuh cinta itu. Itu kalau Dewa Cinta alias Cupid sialan itu benar-benar ada. Selesai acara
inti, para tamu kembali diizinkan menikmati music dan makanan yang ada di sana. Lanna dan
Arsen berduet menyanyikan lagu "When You Tell Me That You Love Me" versi Diana Ross
featuring Westlife, diiringi permainan piano dari Arsen. Selanjutnya, Lola dan Ayu ikut
menyumbang lagu "From This Moment" dari Shania Twain. Gefan melihat Aura tidak mau ikut
bernyanyi setelah Ayu dan Lola selesai. Namun, ketika kakaknya, Rangga, berkata kalau dia
akan mengiringi Aura dengan gitarnya, ditambah sedikit paksaan, gadis itu akhirnya bersedia.
"Gue sebenarnya lebih suka kasih kado pertunangan karikatur kalian," kata Aura kepada Delia
dan Rangga. "Tapi, karena kakak gue yang paling ganteng ini maksa gue memperdengarkan
suara merdu yang gue punya, gue kasih kado tambahan, deh." Dia berdehem, kemudian
membisikkan sesuatu kepada Rangga, yang sudah siap dengan gitarnya. Rangga mengangguk,
lalu mulai memetik senar gitar. Lantunan "Everybody hurt" milik Avril Lavigne dalam versi akustik
mengalun. Aura membawakan lagu tersebut sambil terus melirik Gefan. "Everybody hurts
somedays. It"s okay to be afraid. Everybody hurts. Everybody screams. Everybody feels this
way. And it"s okay. La di da did a. it"s okay. La la la la la ?" Gefan bergerak tidak nyaman di
tempatnya. Dia ingin pergi, tetapi tidak ingin menarik perhatian teman-teman Aura yang lain.
Bukan baru kali ini ada gadis yang menaksirnya, menyanyikan lagu sambil menatapnya, tapi
baru ini dia merasa gelisah. Lanna, Ayu, dan Lola bersorak heboh di dekat Gefan ketika Aura
menyelesaikan lagunya. Gadis itu tersenyum kecil, mengecup pipi Rangga sembari
mengucapkan selamat atas pertunangannya, lalu melangkah turun dari panggung mini tempat
para band pengiring beraksi. Lagu selanjutnya, "If We Ever Meet Again" dari Katy Perry featuring
Timberland, dibawakan oleh Rangga dan Delia. Sejoli itu tampak berbinar bahagia. "Nggak mau
nyanyi?" Tanya Aura kepada Gefan, berusaha bersikap biasa. "Nggak," kata Gefan. "Gue ","
Gefan diam sejenak, lalu menghela napas, "Gue pulang, ya. Ntar lo pulang sama keluarga lo
nggak apa-apa, kan?" "Kenapa?" Tanya Aura bingung. "Ada yang bikin lo nggak nyaman?" Ya.
Perasaan gue terlalu asing sampai bikin gue nggak nyaman, batin Gefan. "Nggak, kok. Gue
Cuma ngantuk, sama capek." "Oh," Aura mengangguk mengerti. "Oke. Gue pulang sama lo aja
kalau gitu. Pamit dulu, ya?" "Kenapa lo ikut pulang?" Dahi Gefan berkerut. "Ini acara keluarga
lo." Aura mengangkat bahu. "Bukan gue yang tunangan." Dia menarik Gefan menghampiri
orangtuanya. "Ma, Aura pulang duluan, ya. Capek," keluh Aura kepada mamanya. Mama Aura
menatap Gefan dengan pandangan bertanya, sementara papa Aura menatap lelaki itu tajam.
"Kenapa Aura?" Tanya Rangga, bergabung dengan mereka. Matanya ikut memandang Gefan,
menyelidik. "Dan, kamu?" Gefan menjulurkan tangannya. "Gefan, teman Aura." Rangga
menjabat tangan itu sebentar. "Rangga, kakak Aura," balasnya. "Makasih, ya, udah dateng."
Gefan tersenyum tipis. "Nggak masalah." "Kamu pulang sama dia?" Tanya Mama kepada Aura.
Rangga langsung merangkul Aura dengan protektif. "Ntar, dong, pulangnya. Bareng aku, Mama,
sama Papa. Ngapain pulang cepet" Teman-teman lo yang lain juga masih di sini." Aura
melepaskan diri dari kakaknya. "Aura capek, kak. Lagian, acara intinya udah selesai, kan" Aura
pulang aja, ya. Sampai ketemu di rumah." Tanpa menunggu izin siapa pun, Aura menarik Gefan
menjauh. "Keluarga lo nggak suka sama gue. Terutama kakak sama bokap lo," kata Gefan
begitu mereka berdiri di samping motornya. "Oh, ya" Tahu dari mana?" Gefan mengangkat bahu
seraya menyerahkan satu helm kepada Aura. "Mereka pasti ngira gue preman pasar, kayak
yang lain." "Kenapa lo jaga jarak sama semua orang?" Tanya Aura tiba-tiba. "Apa gue jaga jarak
sama lo?" Aura mengedikkan bahu. Gefan menghela napas, "Karena gue pengecut." Dia naik ke
motornya, memakai helm, dan menyalakan mesinnya. Aura naik ke boncengan Gefan.
"Maksudnya?" Gefan tidak menjawab. Setelah memastikan Aura berpegangan, dia mulai
menjalankan motornya. "Lo beneran capek?" Tanya Aura keras, berusaha mengalahkan bunyi
mesin motor dan angin di sekitar mereka. "Kenapa?" balas Gefan. "Gue laper. Cari nasi goreng,
yuk!" Gefan menoleh ke belakang sekilas. "Lo di sana nggak makan?" "Nggak sempet. Cari nasi


Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

goreng yang enak, ya!" Gefan seharusnya menolak. Seharusnya, dia langsung mengantar Aura
pulang. Seharusnya, dia tidak mengizinkan Aura pulang bersamanya. Seharusnya, dia mulai
menjaga jarak sebelum benar-benar tergelincir pada perasaan asing yang dirasakannya kepada
gadis ini. Akan tetapi, yang dilakukannya malah menuruti keinginan Aura. Dia menghentikan
motornya di sebuah gerobak nasi goreng di pinggir jalan. Aura langsung melompat turun dan
memesan satu porsi. Lalu dia kembali duduk menyamping di motor Gefan. "Lo mau nggak?"
Gefan menggeleng. Dia terlalu sibuk menjaga bentengnya, yang mulai retak, agar tidak runtuh,
hingga tidak merasa lapar. Padahal, dia juga belum makan apa pun. "Fan," panggil Aura. "Boleh
Tanya sesuatu nggak?" "Lo udah banyak nannya hari ini." Kata Gefan lelah. "Nanya apa lagi?"
"Kenapa lo takut sama cinta?" Gefan tampak sedikit kaget, kemudian berusaha bersikap tenang.
"Lanna yang bilang?" tebak Gefan. Dia membuang muka dari Aura. "Gue Cuma nggak mau
hancur," katanya pelan. Lagi-lagi dia membuka diri pada Aura. "Cinta bikin orang mau ngelakuin
apa pun, segalanya. Nggak peduli seburuk apa sifat orang yang dicintainya, dia pasti terima.
Gue nggak mau jadi orang yang gitu. Mikir dan bersikap pake otak dan logika menurut gue lebih
aman daripada ngelibatin hati. Cinta itu masalah hati. Nggak sejalan sama hidup yang gue pilih."
"Lo pernah jatuh cinta, trus patah hati" Dikhianati?" tebak Aura. "Satu-satunya orang yang gue
cintai di dunia Cuma nyokap." "Selain itu?" Gefan tersenyum datar. "Nggak ada." "Trus kenapa lo
takut jatuh cinta kalau nggak pernah patah hati" Wajah Gefan berubah dingin. "Lihat orang yang
lo cintai tersiksa karena cinta cukup bikin lo nggak mau ikut ngerasain." Mulut Aura sedikit
terbuka, tetapi tidak bertanya lagi saat nasi goreng pesanannya datang. Dia makan dalam diam.
Gefan mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. "Asap rokoknya jangan sampai ke sini,
ya," pesan Aura, melirik rokok Gefan sekilas. Gefan mengisap rokoknya sembari menjauh. Aura
menghabiskan nasi gorengnya bertepatan dengan Gefan mematikan rokoknya. Setelah
membayar nasi goreng, Aura kembali naik ke boncengan Gefan untuk pulang ke rumahnya.
Aura tidak langsung turun saat motor Gefan berhenti di depan rumahnya. "Bintang yang
kelihatan lagi banyak," ujar Aura. "Asyik nongkrong di atap rumah, nih." Gefan menaikkan
sebelah alisnya. "Ayo!" Aura menarik lengan Gefan. Gefan memarkir motornya, lalu ikut turun.
Dia tidak tahu mengapa mau saja mengikuti permainan Aura, bukannya langsung pulang dan
mengistirahatkan diri seperti keinginannya. Aura mengajaknya ke samping rumah, di tempat ada
tangga tali yang tergantung. Aura menaikinya lebih dulu, setelah sebelumnya melepaskan
sepatunya. Dilihat dari kelincahannya saat menaiki tali dan berjalan di atap yang miring itu,
Gefan yakin Aura sudah biasa melakukan ini. Setelah menentukan posisi yang nyaman, Aura
duduk. Gefan ikut duduk di sebelahnya. Mata Aura kembali terpaku pada tato di leher Gefan.
Dan, sekali lagi, dia menyentuh tato itu. Entah mengapa, dia merasa ada cerita di balik itu, bukan
hanya sekedar tato untuk melengkapi penampilan sangar Gefan. "Itu sebenarnya luka bakar,"
gumam Gefan, kali ini membiarkan Aura menyentuh tatonya. "Waktu SMP, Mama pernah coba
bakar gue." Aura terperanjat. "Nyokap lo" Bakar lo" Gefan mengangguk. "Untung bokap gue lagi
ada di rumah." Dia menggeretakkan gigi, seakan kesal dengan kenyataan kalau orang yang
dibencinyalah yang telah menyelamatkan nyawanya. "Bokap langsung bawa gue ke rumah sakit.
Gue jalani pengobatan rutin selama beberapa bulan. Tapi, yang di leher nggak sepenuhnya
hilang. Iseng aja gue bikin tato di situ." "Pantes ada kesan nyeremin di sana," kata Aura pelan.
"Kenapa nyokap lo ngebakar lo?" "Mama "," Gefan diam sejenak, memikirkan kata yang tepat,
"Sakit. Jiwanya." Dia menatap Aura sekilas. "Ngerti, kan?" Bibir Aura membulat, lalu dia
mengangguk mengerti. Tiba-tiba Gefan tertawa. "Gue nggak tahu apa yang lo lakukan ke gue.
Nggak ada seorang pun sebelumnya, termasuk Lanna, berhasil bikin gue cerita sebanyak ini."
Kali ini dia benar-benar manatap Aura. "Apa yang lo lakuin?" tanyanya. "Gue nggak ngelakuin
apa-apa," jawab Aura pelan. "Gue bener-bener ngerasa asing sama semuanya," tutur Gefan.
"Perasaan gue yang nggak nyaman waktu ada di deket lo, tapi saat yang bersamaan bikin gue
nggak pengin menjauh. Gue awalnya mikir ini sama kayak yang gue rasain ke Lanna, sekedar
rasa pas nemuin sosok sahabat. Tapi, makin lama kita deket, gue tahu ini nggak sama.
Sejujurnya, itu bikin gue takut." Gefan menunduk. "Gue ngarepin sesuatu yang nggak pernah
berani gue ambil." "Apa?" Gefan menatap Aura. "Elo." Aura balas menatap Gefan dengan
perasaan bercampur, antara senang dan gugup. Dia berusaha menyembunyikannya sebaik
mungkin. "Maksudnya?" "Gue yakin lo tahu apa yang gue maksud." "Nggak. Gue nggak tahu,"
kata Aura cepat. "Apa?" tuntutnya. Gefan membuang muka. "Gue suka sama lo," ujar Aura
pelan. "Dan, lo juga suka sama gue, kan" Tapi, lo nggak berani ngakuin itu. Iya?" Gefan tidak
menjawab. "Kenapa?" Gefan kembali memandang Aura. "Karena gue pengecut. Apa lagi?" "Lo
bisa nyoba buat nggak jadi pengecut," kata Aura. "Gue juga ngerasain itu. Bedanya, yang bikin
gue takut tuh penolakan, bukan trauma kayak lo." Gefan menggeleng. "Gue nggak bisa." Lalu,
dia berdiri. "Lo nggak mau," sosor Aura cepat, ikut berdiri. "Layaknya pengecut lain." Gefan
mendelik galak kepada Aura. "Ya. Gue udah ngaku kalau gue pengecut. Nggak usah disebut
lagi." "Gue nggak pernah lihat sisi pengecut lo sebelum ini," Aura balas menatap Gefan galak.
"Selama hampir Sembilan belas tahun hidup, gue selalu nunggu giliran buat ngerasain ini. Gue
ngerasa aneh, yakin ada yang nggak beres, waktu nyadar kalau sebelum ini gue nggak pernah
ngerasainnya. Pas akhirnya gue bisa ngerasain, lo salah besar kalau mikir gue bakal
ngelepasinnya gitu aja!" "Trus" Lo maunya apa" Kita bakal jalin hubungan kayak Lanna sma
Arsen" Pacaran kayak temen-tmen lo yang lain" Atau sampai tunangan dan nikah?" Gefan
mendengus. "Gue nggak tertarik." Dia berbalik, lalu berjalan menuju tangga untuk turun. "Sampai
kapan lo mau lari?" bentak Aura. "Gue suk "," kata-katanya terhenti, berganti menjadi teriakan
kaget karena terpeleset. Gefan kembali menatap Aura dan nyaris terlambat menangkap
tangannya sebelum gadis itu terjun bebas dari ketinggian tiga meter. "Nggak usah panic," kata
Gefan terengah. Dia berpegangan pada pipa air yang ada di sana agar tidak jatuh. "Gimana
nggak panik" Gue jatuh!" teriak Aura. Dia menatap ke bawah dan makin histeris. "Mama!"
"Ngapain manggil nyokap lo" Dia belum pulang," gerutu Gefan, berusaha menarik tubuh Aura.
Dia mendengus ketika tubuh Aura sudah aman di atas atap. "Sengaja, ya" Buat lihat gue bakal
nolong lo apa nggak?" tuduh Gefan. Aura memukul wajah Gefan keras. "Gue bukan cewek bego
nggak punya otak! Ngapain sengaja jatuh" Lo pikir enak mendarat di bawah pake bokong
duluan" Sakit, tauk!" Gefan menarik pergelangan kaki Aura yang sedikit memar, membuat gadis
itu agak terjungkal. "Nggak bisa lembut dikit, ya?" semprot Aura kesal. Gefan mengabaikannya.
"Kaki lo memar. Gue yakin lo nggak akan bisa turun, pake tangga sekali pun." Aura mencoba
berdiri, lalu meringis. Sepertinya, kakinya bukan hanya memar, tapi juga keseleo. "Sialan!"
umpatnya. Gefan berdiri. Dia berjalan menuruni tangga, meninggalkan Aura. Aura melongo di
tempatnya, tidak percaya lelaki itu benar-benar meninggalkannya. Yang lebih menyedihkan,
Gefan meninggalkannya dalam keadaan tidak berdaya di atas atap rumahnya. Bagaimana
mungkin dia bisa menyukai lelaki tidak berperikemanusiaan seperti itu" "Woy!" Aura menoleh ke
bawah dan melihat Gefan berdiri di sana. "Apa" Pulang aja sana. Nggak usah pamit-pamit!"
katanya ketus. "Lompat. Ntar gue tangkep," ujar Gefan, mengabaikan nada ketus Aura. "Gimana
bisa lompat" Berdiri aja nggak bisa," keluh Aura. "Pelan-pelan ke ujung atap, trus lompat." Aura
menurut. Dia mengesot ke tepi atap dengan hati-hati. Begitu sudah di ujung, dia benar-benar
lompat. Gefan tidak begitu beruntung. Dia berhasil menangkap Aura dan jatuh hingga
punggungnya membentur rerumputan dengan tubuh Aura di atasnya. "Ups, sori." Aura langsung
berguling turun dan duduk di rumput. Gefan meringis. Matanya setengah terpejam, berusaha
bernapas. Saat membuka mata, dia melihat Aura menatapnya dengan khawatir. "Badan lo
ternyata berat," gerutunya. Ekspresi khawatir itu langsung lenyap. "Makasih!" gerutu Aura ketus.
Dia kembali mencoba berdiri, mengabaikan rasa sakit di kakinya, dan mulai berjalan. Gefan
mengikutinya dari belakang, berjaga kalau gadis itu jatuh lagi. Ternyata tidak. Aura berhasil tiba
tanpa kecelakaan dan membuka pintu rumahnya tanpa kesulitan. Tanpa menunggu Aura
mengundangnya, Gefan ikut masuk. "Ngapain" Bukannya lo mau pulang?" "Abis ngurusin kaki
lo, gue langsung pulang," gumam Gefan. "Ada minyak urut?" "Nggak usah. Biar Mama yang
ngerawat ntar." "Nanti bengkak kalau nggak langsung diurus." Aura menghela napas. "Di ruang
tengah ada kotak obat, deket TV." Gefan membantu Aura berjalan ke ruang tengah, mengambil
minyak urut di tempat yang ditunjuk Aura, lalu duduk di sebelah gadis itu. Gefan mengurut
pergelangan kaki Aura yang terkilir. Aura mendesis, meringis, setiap tangan Gefan menyentuh
tempat yang sakit. "Pelan-pelan!" omel Aura. "Sakit, tauk." "Ini udah pelan," cetus Gefan. "Mau
sepelan apa lagi?" Aura tidak menjawab. Gefan memang melakukannya dengan pelan,
berusaha tidak terlalu menyakitinya. Tapi, tetap saja itu terasa sakit. "Kita nggak usah ketemu
lagi abis ini," ucap Gefan tanpa menatap Aura. Dia hanya terfokus pada kaki yang sedang di
urutnya. "Sebelum semuanya makin parah," sambungnya. "Lo bener-bener mau menghindar?"
Gefan mengangguk. Aura menarik kakinya dan langsung mengumpat karena kembali merasa
sakit. Saat Gefan berniat menyentuh kakinya lagi, Aura menghindar. "Lo pulang aja. Gue nggak
apa-apa." Gefan menutup botol minyak di tangannya dan meletakkannya di atas meja.
Kemudian, dia berdiri. "Bye," ucapnya, sebelum berjalan meninggalkan ruang tengah tanpa
menatap Aura sedikit pun. "Gue beneran suka sama elo, Fan," ucap Aura. Langkah Gefan
terhenti. Dia berbalik menatap Aura. "Kenapa?" tanyanya, setengah menuntut. "Seandainya kita
bener sama-sama dan ada masa di mana gue nggak bisa selalu ada buat lo, apa lo bakal tetep
suka nantinya" Apa ada jaminan perasaan lo nggak berubah?" Aura berusaha berdiri dengan
kakinya yang sedikit pincang, memberanikan diri menatap Gefan. "Gue emang ngak bisa ngasih
jaminan sekarang. Gue nggak bisa janjiin bahagia selamanya, cinta selamanya, blabla
selamanya. Tapi, yang gue tahu dan gue yakini, gue sayang sama lo sekarang." Gefan diam,
menunggu Aura melanjutkan ucapannya. "Gue nggak bisa ngebiarin lo jadi Mr. Introvert yang
hidup di dunia lo sendiri. Ngurung diri kayak siput yang nggak mau keluar dari cangkangnya,"
Aura menghela napas. "Lo cowok paling kuat yang pernah gue kenal, satu-satunya orang yang
bisa ngendaliin semuanya sendiri. Tapi, di saat bersamaan, gue juga kadang bisa lihat sisi rapuh
lo." Gefan menaikkan sebelah alisnya. Aura memberanikan diri terus menatap Gefan, sementara
tatapan mata cowok itu terarah tajam kepadanya. "Gue pengin jadi orang yang bisa ngasih
kekuatan waktu lo lagi rapuh. Gue pengin jadi tempat di mana lo bisa sharing kesedihan,
amarah, sampai rasa seneng lo. Gue nggak pengin lo ngerasa sendirian trus, karena lo nggak
sendirian." Gefan sudah membuka mulut untuk memprotes, tetapi Aura lebih cepat
menambahkan. "Nggak usah Tanya kenapa gue ngerasain ini," ucap Aura. "Gue nggak tahu.
Yang gue tahu, rasa ini ada buat lo. Gue juga nggak tahu sejak kapan. Yang jelas, sekarang lo
udah jadi sosok yang penting buat gue." Gefan terdiam. "Apa menjalin hubungan sama gue
segitu buruknya buat lo?" Tanya Aura. Gefan membuang muka. "Nggak," jawabnya. "Semuanya
bakal sempurna. Itu yang bikin gue makin takut. Gue belum siap buat kesempurnaan itu. Gue
takut merusaknya. Atau lihat itu rusak suatu hari nanti. Kayak yang kita tahu, gue pengecut."
Aura tidak bersuara lagi saat Gefan kembali berjalan meninggalkan rumahnya. Setengah tidak
percaya cowok itu benar-benar tetap memilih pergi setelah semua ucapannya, seakan isi hatinya
itu tidak berarti apa-apa. Lelaki keras kepala itu benar-benar sudah menolaknya. Mentahmentah. ***
Bab 12 Gefan tengah duduk di rerumputan halaman gedung kampusnya, di bawah sebatang pohon
rindang, dengan mata menatap kosong ke depan. Sebatang rokok terjepit di antara jari telunjuk
dan jari tengah tangan kirinya. Dia bukan perokok berat, tetapi tipe yang hanya merokok saat
ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Biasanya, dia hanya mampu menghabiskan satu
batang dalam sehari. Tetapi, beberapa hari ini, sejak insiden antara dirinya dan Aura, dia mampu
menghabiskan setengah bungkus isi enam belas batang dalam satu hari. Dia memutar-mutar
rokok di tangannya, kemudian menghela napas kesal. Di tidak pernah merasa sekacau ini
sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, dia merasa pintar telah berhasil mengusir Aura dari
hidupnya. Tapi sekarang, dia tidak tahu apa yang salah sehingga dirinya terus-terusan gelisah.
Dia masih melakukan kegiatan sehari-harinya seperti biasa, tetapi godaan untuk menemui gadis
itu terus mendesaknya, membuatnya nyaris frustasi. "He "," Gefan mendongak. Saat melihat
Lanna, dia mengisap rokoknya, yang tinggal dua senti dari filter, lalu mematikannya. Sahabatnya
ini bisa mengeluarkan ceramah sepanjang Benua Amerika setiap melihatnya merokok, dan dia
sedang tidak ingin mendengarkannya. "Lo makin kayak zombie beberapa hari ini," gumam
Lanna. "Sama kayak Aura." Gefan tidak bersuara. "Ada apa sama lo berdua" Berantem?" Gefan
menggeleng. "Kenapa lo nggak nanya sama dia aja?" "Capek," gerutu Lanna. "Tuh anak makin
lemot. Kemarin ngumpul, gue sama yang lain udah cerita panjang lebar, ketawa-ketawa, dia
Cuma diem dengan pandangan kosong. Tiap minta pendapat, tanggepannya, "Hah" Apa"
Ngomong apa barusan?" gitu. Pas ditanya ada apa, dia bilang nggak ada apa-apa." "Kenapa lo
bisa ngira itu ada hubungannya sama gue?" Lanna mengangkat bahu. "Gejala penyakitnya
sama. Sering bengong." Gefan mencabuti rerumputan. "Gue lagi mikir, bukan bengong." "Orang
mikir tuh biasanya dahi berkerut." Lanna mengerutkan dahinya. "Alisnya lurus." Kedua jari
telunjuknya di tempelkan ke alis dengan posisi horizontal. "Dan, hidungnya juga mengerut."
Mulutnya maju beberapa senti dalam upayanya mengerutkan hidung. "Lo mau tahu gimana
muka lo tadi?" Gefan melirik Lanna sambil menaikkan sebelah alisnya. "Gini." Lanna
mengendurkan bahunya, sedikit membungkuk, membuka mulutnya membentuk huruf O, dan
matanya menatap ke depan tanpa titik fokus. Gefan hanya menanggapinya dengan senyum
tipis. Lanna mendorong bahu Gefan. "Ada apa, sih" Cerita, dong, kali ini ?" "Ntar aja. Gue
bingung mau cerita apa sekarang," elak Gefan. Lanna sepertinya tahu kalau Gefan sebenarnya
enggan bercerita. Dia benar-benar tidak mengerti bagaimana bisa ada orang yang setertutup
Gefan. Sadar dia tidak akan mendapat penjelasan, Lanna berencana mengubah topic. Tetapi,
belum sempat dia bersuara, Gefan mendahuluinya. "Gimana kakinya?" "Kaki apa?" Lanna
menatap kakinya. "Kaki gue baik-baik aja." "Kaki Aura," ujar Gefan datar. "Oh," Lanna tampak
memikirkan sesuatu. "Oh! Iya, waktu jalan beberapa hari lalu, dia emang agak pincang gitu.
Katanya hampir jatuh dari atap, trus keseleo." Dia memiringkan kepala untuk menatap Gefan.
"Kok ", lo tahu?" Belum sempat Gefan menjawab, seseorang menghampiri mereka. Orang itu
menatap Gefan takut-takut. "Dicari Kajur, Kak," lapornya. "Ngapain?" Tanya Gefan tanpa minat.
Anak itu mengangkat bahu, kemudian berlalu dengan kepala menunduk. Gefan berdiri dengan
malas, diikuti Lanna. Dia berjalan menuju ruang ketua jurusan dengan langkah pelan, sambil
memikirkan apa yang diinginkan Prof. Saili, Sang Kajur, darinya. "Lo bikin masalah, Fan?" Tanya
Lanna, sat mereka berbelok ke koridor. "Seinget gue, sih, nggak," jawab Gefan. Lanna
menunggu di luar ketika Gefan mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan Kajur. Gefan
melangkah perlahan sambil menutup pintu saat melihat Prof. Saili tidak sendirian. "Silahkan
duduk, Saudara Gefan." Prof. Saili mempersilahkan kursi kosong di depan mejanya. Di sebelah,
kursi sudah terisi oleh seorang lelaki paruh baya. "Bapak ini, Bapak Harold, ingin bertemu
denganmu." Gefan melirik orang di sebelahnya. Dia tidak mengenal orang itu. Dia bahkan yakin
belum pernah bertemu dengannya. "Ada masalah apa?" Lelaki itu, Harold, mengulurkan
tangannya. "Saya Harold, pengacara Bapak Aska. Sudah saya coba menghubungi saudara, tapi
tidak pernah ada jawaban. Saat saya datang ke rumah, keadaannya selalu kosong. Makanya,
saya memutuskan untuk kemari." Gefan bersikap berdiri. "Saya tidak mau berurusan dengan apa
pun yang berhubungan dengan dia." "Bapak Aska saat ini tengah terbaring sekarat di rumah
sakit Auckland," Harold berkata cepat. "Dia mengalami kecelakaan saat tengah melakukan
pendakian. Kondisinya yang kritis membuatnya tidak bisa dipulangkan dulu." "Lalu" Apa
urusannya dengan saya?" Tanya Gefan tidak peduli. Harold membuka map plastiknya dan
mengulurkan sebuah amplop putih kepada Gefan. "Ini tiket pesawat untuk keberangkatanmu ke
Auckland mala mini." Gefan hanya melirik amplop itu tanpa mengambilnya. "Kenapa saya harus
ke sana?" Alis Harold menyatu, tampak bingung. "Ayahmu tengah sekarat. Kamu tidak ingin
mengunjunginya" Menemaninya?" "Tidak," jawab Gefan langsung, tanpa basa-basi. Ayahnya
tidak peduli ketika mamanya sakit. Untuk apa sekarang dia memedulikan lelaki itu" Ayahnya
tidak selamat pun dia tidak peduli. "Hanya itu yang ingin anda sampaikan" Kalau begitu saya
permisi. Ada kelas yang harus saya ikuti." "Tunggu!" Harold tampak sangat bingung sekarang.
"Kamu benar-benar tidak ingin menemuinya" Saya rasa, dia sangat membutuhkanmu saat ini."
Gefan tersenyum sinis. "Ayah saya tidak pernah membutuhkan siapa pun selain dirinya sendiri."
Dia berpaling kepada Prof. Saili yang hanya diam memperhatikan mereka. "Permisi, Pak." Lalu
dia berjalan keluar. Dia sama sekali tidak memedulikan perkataan pengacara tadi. Lanna berlari
kecil supaya bisa menjajari langkah Gefan. "Ada apa, Fan?" "Nggak ada. Prof. Saili Cuma
kangen sama gue," jawab Gefan. Dia sama sekali tidak mau membagi hal ini kepada siapa pun,
termasuk Lanna. Memikirkan kemungkinan ayahnya sedang berada di ujung maut tidak
membuat Gefan melembutkan hatinya, tetapi tidak juga membuatnya bahagia dan bersyukur.
Dia hanya mencoba untuk tidak peduli, seperti sikap yang ditunjukkan Aska saat berhadapan
dengan mamanya. "Lama-lama gue sebel sama sikap pendiem lo ini. Sekali aja jawab
pertanyaan nggak dosa, kok," sungut Lanna, membanting dirinya sedikit terlalu keras saat
duduk. Gefan duduk di sebelah Lanna, sama sekali tidak berniat menanggapi ocehan
sahabatnya itu. *** Beberapa hari setelah menemuinya di kampus, Harold terus mencoba
menghubungi Gefan ke ponsel yang diberikan Aska kepadanya, yang sampai saat ini masih
tergeletak di meja makan. Gefan hanya mengangkat satu kali, itu pun tidak sengaja, karena saat
ponsel itu berbunyi dia sedang sarapan. Saat baterai ponsel itu habis pun hidupnya tidak
langsung damai. Harold ganti menerornya ke telepon rumah. Lelaki paruh baya itu masih
mencoba merayunya untuk berangkat ke Auckland. Dan. Dia masih tetap pada
kekeraskepalaannya. Saat melihat Harold berdiri di teras rumahnya saat dia pulang kerja, Gefan
tidak terlalu terkejut. Mengurungkan niat memasukkan motornya ke garasi, Gefan memilih
menemui pengacara itu. "Saya tidak mau berangkat ke mana-mana," ujar Gefan, seolah
mengerti tujuan kedatangan Harold. Harold melepas kacamatanya, menghela napas kecil, lalu
menatap Gefan. "Saya sudah mengatakan hal itu kepada ayahmu. Berkali-kali. Akhirnya, dia
menyerah dan saya tidak akan memaksamu berangkat ke mana-mana lagi." "Baguslah," kata
Gefan. "Lalu" Apa tujuan anda kemari?" "Bisa kita membicarakannya di dalam?" Gefan menatap
Harold curiga, tetapi tetap membuka pintu dan mempersilahkan lelaki itu masuk. Harold memilih
duduk di depan Gefan. "Pak Aska sudah menulis surat wasiat. Hanya untuk berjaga-jaga jika
sesuatu menimpanya. Semua asset miliknya jatuh ke tanganmu. Mulai dari rumah, mobil,
royalty, deposito, saham-saham, semuanya." "Ayah saya penulis. Bukan pemegang saham,"
kata Gefan tanpa ekspresi. "Ayahmu juga pebisnis. Dia bermain di pasar modal," Harold
menjelaskan. "Dia bahkan memegang sebagian besar saham di Diamond Group. Selain itu, ada
portofolio lain yang menyatakan beliau sebagai pemilik saham di perusahaan-perusahaan yang
bergerak di bidang lain. Restoran, hotel, bank, pabrik, dan sebagainya. Bukan hanya di dalam
negeri, tapi juga perusahaan-perusahaan besar di luar negeri." "Saya tidak menginginkan apa
pun darinya," gumam Gefan. "Saya hanya menyampaikan pesan Pak Aska karena dia tidak bisa
menyampaikannya sendiri," kata Harold. "Selain itu, Pak Aska meminta saya menyerahkan ini
kepadamu." Beliau menyerahkan sebuah buku saku yang terlihat sedikit kumal. Gefan hanya
menatapnya, hingga Harold akhirnya meletakkan buku itu di meja. Merasa sudah menyampaikan
semua pesan, Harold berdiri dan pamit pulang. Gefan mengantarnya sampai ke teras, lalu
kembali duduk di ruang tamu. Gefan menatap buku kumal di depannya. Tanpa maksud apa-apa,
dia meraih buku itu dan membolak-baliknya. Ternyata sebuah jurnal. Selembar foto melayang
jatuh dari sana. Gefan memungutnya. Foto itu menampilkan sebuah gambar mamanya dan
seorang pria asing yang diambil diam-diam. Dilihat dari pose di foto itu, sepertinya ini bukan
hanya teman mamanya. Jantung Gefan tiba-tiba berdesir, dihinggapi ketakutan. Tangannya
sedikit bergetar saat membuka halaman pertama jurnal itu. Isinya biasa. Hanya pengalaman
yang terjadi dalam perjalanan-perjalanan Aska. Gefan terus membalik halaman itu, sampai
menemukan halaman yang isinya berbeda. 3 Mei 2005 Begini, ya, rasanya patah hati" Seperti
ada yang menarik keluar jantungmu, membuatmu mati seketika. Ya, Tuhan " rasanya sungguh
menyesakkan. Mungkin memang salahku, terlalu fokus pada pekerjaan dan mengabaikannya.
Bukan salahnya jika mencari pelarian lain. Aku tidak pernah ada saat dia membutuhkan.
Mungkin lelaki itu yang selalu ada. Aku tidak menyalahkannya. Tapi, ini sungguh tidak adil. Aku


Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan semua itu untuknya. Untuk membahagiakannya. Aku bekerja keras agar semua
kebutuhan dan keinginannya terpenuhi. Bagaimana mungkin Lavia tega membalasnya seperti
ini" Aku benar-benar mencintainya. Dengan segenap hatiku. Rasa itu sama sekali tidak berubah
sejak pertemuan pertama kami. Lavia sudah menjadi jantungku selama bertahun-tahun. Aku
berdetak hanya untuknya. Aku tidak pernah mengira hal seperti ini akan terjadi. Perselingkuhan
benar-benar hal hina di mataku. Bertahun-tahun aku mengabaikan banyak perempuan yang
melemparkan diri kepadaku. Mengapa Lavia tidak bisa melakukan hal yang sama" Saat ini aku
tengah dalam perjalanan menuju Alaska. Berusaha melarikan diri dari rasa sakit. Aku tidak
sanggup menatapnya. Dia sudah meminta maaf, berkata kalau dia menyesali perbuatannya.
Dan, aku sudah memaafkannya. Tetapi, aku tidak bisa berada di dekatnya terlalu lama dan
hancur di depannya. Aku memintanya untuk tidak berkata apa-apa kepada Gefan. Gefan tidak
perlu tahu masalah ini. Hubunganku dengannya belum membaik. Dia masih menganggapku
orang asing. Jangan sampai hubungan Lavia dengannya ikut rusak. Tuhan " aku hanya
berharap rasa sakit ini tidak membunuhku " Jantung Gefan nyaris melompat keluar saat dia
selesai membaca halaman itu. Mamanya pernah berselingkuh" Gefan kembali membalik
halaman buku itu, mencari penjelasan lain. Isi selanjutnya makin membuatnya tercengang. Di
situ tertulis kalau ayahnya sudah lama mendengar berita simpang siur tentang perselingkuhan
mamanya, tetapi dia tidak percaya. Aska memercayai Lavia sepenuhnya. Sampai ketika
seseorang tanpa nama mengirimkan amplop berisi foto itu ke kantornya pun Aska tidak langsung
percaya. Aska menganggap lelaki di foto itu hanya teman dekat Lavia saja, sehingga wajar kalau
mereka tampak akrab. Begitu pulang, Aska menceritakan hal tersebut kepada Lavia dalam
sebuah percakapan ringan. Dia sangat terkejut ketika Lavia malah mengakui kalau dirinya
berselingkuh. Di jurnal itu juga tertulis kalau ayah dan mamanya sudah mengurus perceraian.
Aska mengatakan kalau dia tidak dendam kepada Lavia, hanya tidak bisa lagi hidup bersamanya
dan membiarkan Lavia pergi demi kebahagiannya sendiri. Tetapi, sebelum siding pertama
dilaksanakan, penyakit mamanya muncul. Setelah itu, Aska membatalkan perceraian mereka. Di
satu lembar terakhir buku itu hanya ada satu kata bertuliskan "Malaikatku". Di bawah tulisan itu
ada foto Gefan saat dia berusia dua tahun, sedang tertawa sambil memeluk balon. Di bagian
paling bawah, ada tulisan lain berbunyi, Geofan "AskaLavia" Pandagri". Dahi Gefan berkerut.
Ternyata itu arti nama "Asklav" yang disandangnya. Aska dan Lavia. Seandainya suasana
hatinya tidak seburuk ini, Gefan pasti sudah tertawa sampai terguling-guling sekarang. Gefan
membalik halaman terakhir dan kembali menemukan tulisan panjang berisi ungkapan hati
ayahnya. Kali ini langsung ditujukan untuknya. Gefan, Ayah pasti sudah menjadi ayah paling
berengsek untukmu. Ayah tidak akan menyangkalnya. Entah sejak kapan, Ayah sudah
menggantikan sosok jahat serigala dalam pikiranmu. Ayah tidak pernah bermaksud
melakukannya. Ayah memang tidak bisa menjadi ayah yang baik sampai detik ini. Namun, Ayah
berharap bisa mengubahnya. Tolong izinkan Ayah mengubahnya. Meskipun terlambat, Ayah
ingin berubah. Setiap melihatmu tumbuh, Ayah menyesali hari-hari yang terlewati tanpa berada
di dekatmu. Ayah kehilangan banyak momen penting. Ayah kehilangan kesempatan mendengar
tangisan pertamamu saat kamu lahir, Ayah tidak mendengar saat kali pertama kamu
menyuarakan kata, Ayah tidak melihat saat gigi pertamamu tumbuh, Ayah juga melewatkan saat
kamu mencoba melakukan langkah pertama. Ayah kehilangan segalanya. Tapi, Ayah tidak
pernah ingin kehilanganmu. Sebanyak apa pun harta yang Ayah temukan di dunia, kamu yang
paling berharga. Selalu seperti itu. Ayah selalu memimpikan suatu saat kamu kembali menerima
Ayah sebagai ayah dan mau ikut menaklukkan dunia. Di setiap tempat yang Ayah datangi, Ayah
selalu ingin menunjukkannya kepadamu. Ayah ingin melihatmu tersenyum senang, menikmati
segala hal yang diperlihatkan dunia. Terutama, Ayah ingin tertawa bersamamu, sesuatu yang
nyaris tidak pernah kita lakukan sejak kamu beranjak dewasa. Kamu mungkin tidak akan
percaya dengan kata-kata ini dan menganggap Ayah pembual. Ayah tidak akan memaksamu
untuk percaya, mengingat betapa buruk sikap yang Ayah tunjukkan kepadamu dan Lavia.
Seandainya, ada kesempatan untuk menunjukkan tulisan ini kepadamu, Ayah berharap kamu
akan memberi kesempatan untuk membuktikannya. Kamu selalu berharga untuk Ayah. Selalu
". Gefan membeku, menatap tulisan di depannya dengan tidak percaya. Ayahnya, Aska
Pandagri, berkata cinta kepadanya" Ke mana saja lelaki itu selama ini" Kalau sikap buruk yang
ditunjukkan Aska kepadanya merupakan tanda cinta, Gefan memilih tidak pernah dicintai siapa
pun. Kalau Aska mencintainya, lelaki itu tidak akan meninggalkannya hingga berbulan-bulan
ketika dia masih kecil, membuatnya nyaris tidak pernah mengenal sosok ayah. Kalau Aska
benar-benar peduli kepadanya, lelaki itu tidak akan menelantarkan dirinya dan mamanya. Kalau
Aska sungguh menganggapnya berharga, lelaki itu tidak mungkin membuatnya kehilangan satusatunya orang yang dicintainya seumur hidup. Tiba-tiba, Gefan merasa sangat marah. Marah
kepada Aska. Marah kepada Lavia. Marah pada hidupnya yang menyebalkan. Dia melempar
jurnal Aska sampai ke seberang ruangan, mengumpat keras, lalu berderap menuju kamarnya.
Bab 13 Aura menghentikan mobilnya di halaman parkir gedung Diamond Group. Dia ingin menyerahkan
karikatur baru. Dia sebenarnya sedang malas melakukan apa pun semenjak pertemuan
terakhirnya dengan Gefan. Tapi, dia tidak akan membiarkan lelaki sialan itu menghancurkan
hidupnya, setelah berhasil mematahkan hatinya. Saat melewati papan pengumuman di bagian
luar kantor, Aura menghentikan langkah. Sebuah foto berukuran 10R menarik perhatiannya.
Foto ayah Gefan, Aska Pandagri. Tulisan yang menyertai foto itu membuatnya tersentak
"UNDANGAN BAGI SEGENAP STAF DAN KELUARGA BESAR DIAMOND PRESS DAN DiTV
UNTUK MENGHADIRI ACARA DOA BERSAMA UNTUK KESEMBUHAN BAPAK ASKA
PANDAGRI, SELAKU WARTAWAN SENIOR DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS. PT.
DIAMOND GROUP TBK" Aura membaca pengumuman itu sampai lima kali, sebelum membuka
pintu kaca gedung Diamond Group dan menuju meja resepsionis. "Selamat siang," sapa
resepsionis. "Siang," balas Aura, menyerahkan karikaturnya. "Buat Diamond Press, Mbak. Kayak
biasa." Dia tersenyum kecil. "Eh, Mbak, mau Tanya. Tadi saya lihat pengumuman tentang Pak
Aska Pandagri. Kalau boleh tahu, dia sakit apa, ya?" Wajah wanita itu tampak sedih. Dia
mengambil map Aura. "Kecelakaan di gunung, Mbak. Katanya kondisinya makin buruk. Bahkan,
ada kemungkinan bakal lumpuh. Kasihan." "Gunung mana?" Tanya Aura, kaget. "Saya juga
kurang tahu gunung apa. Pokoknya di Selandia Baru. Sekarang dia masih di Auckland." Wanita
itu kemudian terlihat sebal. "Anaknya jahat banget lho, Mbak. Dia nggak mau disuruh nemuin
ayahnya. Padahal, ayahnya lagi sekarat gitu." Dia buru-buru menutup mulut. "Aduh, saya
ngelantur," ucapnya. "Ya udah, Mbak. Ada lagi yang mau di kasih?" Aura menggeleng,
memaksakan diri tersenyum. "Makasih, Mbak," ucapnya. Saat kembali ke mobilnya, Aura masih
memikirkan ucapan resepsionis itu. Apa Gefan benar-benar setega itu" Membiarkan ayahnya
yang tengah sekarat berjuang sendirian" Aura menggeram. Mendadak dia mengabaikan rasa
sakit hatinya karena pilihan yang diambil Gefan malam itu. Dia pun memutuskan untuk
menemuinya. Harus ada yang memukul kepala lelaki itu dengan martil untuk melunakkan
otaknya. Kalau perlu, dia akan mencabut keluar jantung Gefan dan merebusnya hingga lunak
sebelum mengembalikannya, supaya lelaki itu sedikit belajar untuk memaafkan orang lain. Aura
menyalakan mesin dan langsung memelesat menuju rumah Gefan. Suasana rumah mungil itu
tampak lengang. Aura mengetuk pintu. Tidak ada tanggapan. Dia menekan bel yang ada di
bagian samping pintu. Pintu terbuka. Gefan muncul dengan wajah suntuk. Dia terdiam saat
melihat Aura. "Elo. Ngapaian?" Aura menampar wajah Gefan keras. Gefan tersentak, menatap
Aura kaget. Dia mengelus pipinya yang memerah. "Lo gila! Kenapa nampar gue?" "Supaya lo
bangun!" Aura mengepalkan tinju dan siap menyerang hidung cowok itu. Kali ini, Gefan bergerak
gesit dan menahan tangannya. "Lo kenapa, sih" Sakit, ya?" "Lo yang sakit!" bentak Aura,
menarik lepas tangannya dari Gefan. Dia mendorong dada lelaki itu keras. "Lo sakit! Nggak
punya otak! Nggak punya hati! Kelewatan!" "Aura!" bentak Gefan saat Aura terus mendorongnya
sambil mengeluarkan berbagai cacian. Dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. "Lo
kerasukan apa, sih?" "Bokap lo sekarat!" Gefan tersentak. "Dari mana lo tahu?" tanyanya dingin,
dia melepaskan tangan Aura. Aura mengabaikan pertanyaannya. "Lo mau nunggu dia ikut mati"
Inget, Fan. Cuma dia orangtua lo yang masih ada! Siap nanggung resiko kalau sampai dia nggak
selamat?" "Dia nggak pernah peduliin gue." "Asal lo tahu, nggak ada orangtua yang nggak
sayang atau nggak peduli sama anaknya. Cuma cara mereka nunjukin sayang itu yang beda dan
kadang nggak bisa diterima si anak. Padahal, intinya tetap sama. Sayang." "Gue nggak peduli,"
kata Gefan kaku. Mata Aura menyipit. "Oh, ya" Lo beneran bakal seneng kalau bokap lo
meninggal" Bakal bikin pesta syukuran tujuh hari tujuh malam?" Gefan menatap Aura tajam. "Lo
udah masuk terlalu jauh, Ra. Ini bukan urusan lo." "Emang bukan urusan gue. Gue juga nggak
tahu kenapa masih aja mau repot ngurusin cowok keras kepala, keras hati, nggak punya nurani
sedikit pun kayak lo. Seharusnya gue biarin aja lo di sini, nunggu kabar sampai bokap lo beneran
nggak selamat. Gue nggak tahu kenapa malah kepikiran takut lo nyesel, kepikiran buat bujuk
manusia es kayak lo supaya sedikit lunak dan mau pergi nemuin dia. Padahal, itu sia-sia, buangbuang waktu gue!" serang Aura. Wajah Gefan membatu. "Bagus kalau lo nyadar. Silahkan pergi
sekarang." Aura menusuk-nusuk dada Gefan. "Kesempatan nggak dateng dua kali, Tuan Gefan
yang Terhormat. Kalau lo baru mau mikir waktu udah lihat nisan dengan tulisan nama bokap lo,
terserah!" menatap Gefan tajam untuk kali terakhir, Aura berbalik pergi. Sama sekali tidak
menoleh ke belakang, Aura menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu. *** Gefan mengisap
rokoknya yang kedelapan. Dia berjalan mondar-mandir di ruang tengah rumahnya. Sejak Aura
meninggalkan rumahnya tadi, dia sudah gelisah tidak karuan. Gadis itu benar-benar berhasil
mengacaukannya. "Sialan!" umpat Gefan, menendang lemari pajangan yang berisi banyak
pigura. Sebuah pigura mendarat jatuh dan pecah. Gefan berniat mengabaikannya, saat melihat
itu pigura yang berisi foto pernikahan orangtuanya. Gefan berjongkok, menatap pigura itu. Aska
dan Lavia tampak sangat bahagia di foto itu. Binar cinta terlihat jelas dari mata mereka yang
saling memandang satu sama lain. Seharusnya, ekspresi seperti itu menunjukkan kalau mereka
akan bahagia selamanya, seperti dongeng yang sering dibacakan Lavia untuknya saat masih
kecil. Gefan mengisap rokoknya dalam-dalam sambil memungut pigura itu. Dia mengembuskan
asap rokoknya. "Gimana bisa keindahan gini hancur berantakan kayak sekarang?" tanyanya.
Jawabannya sangat sederhana. Karena bahagia selamanya itu tidak pernah ada. Cinta hanyalah
ilusi. Belahan jiwa hanya ada di negeri dongeng. Semua hal-hal yang disebut dalam roman cinta
dan lagu-lagu romantic itu hanyalah omong kosong. Gefan mengeluarkan lembar foto dari pigura
yang pecah itu, lalu mengusap wajah Lavia yang cantik dengan ibu jarinya. Kemudian, matanya
berpindah ke Aska. Ayahnya. Satu-satunya anggota keluarga yang masih dimilikinya sekarang.
Gefan tidak bisa mengingat sejak kapan hubungannya dengan sang ayah memburuk. Sejak dia
masih kecil, Aska memang hanya pulang beberapa kali dalam beberapa bulan. Awalnya dia
berpikir kalau Aska hanya sibuk keliling dunia demi mengumpulkan materi bukunya dan
mengembangkan karier sebagai wartawan sekaligus petualang. Baru setelah membaca jurnal
Aska, Gefan mengetahui kalau itu dilakukan Aska demi Lavia. Gefan masih ingat bagaimana dia
terbangun tengah malam, lalu bertanya kepada mamanya, "Kapan Ayah pulang?" Lavia akan
memeluknya, berkata ayahnya akan pulang segera. Dan, setiap Aska pulang, Gefan akan
langsung berlari ke arah ayahnya, membiarkan Aska mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi,
membuatnya terbang. Sampai dia bangun suatu pagi dan mendapati ayahnya sudah pergi lagi,
membuat perasaan melayangnya jatuh terempas menghantam tanah. Entah karena bosan atau
sudah malas berharap, lama-kelamaan Gefan tidak pernah lagi menunggu Aska pulang. Dia
membiarkan begitu saja Aska datang dan pergi. Setiap Aska mencoba mendekat, dia menjauh,
karena tidak mau dikecewakan lagi. Ditambah, saat diam-diam Gefan sering mendengar
percakapan orangtuanya di telepon. Lavia sering menangis, tetapi ayahnya tampak tidak peduli
pada tangisan sang mama, membuat hati Gefan makin dingin. Sampai pada bencana yang
menimpanya saat baru masuk SMP, ketika mamanya tiba-tiba berubah. Lavia sering histeris,
ketakutan tanpa alasan yang jelas, mulai bersikap seperti mayat hidup. Dia juga tidak tahu apa
yang menyebabkan mamanya seperti itu sebelum membaca jurnal ayahnya tempo hari. Mata
Gefan menelusuri foto-foto yang ada di dinding. Pigura di sana berhenti bertambah beberapa
tahun sebelum penyakit mamanya muncul. Hanya masa-masa indah yang terekam di tiap
gambar di sana. Pandangan Gefan terhenti di pigura berisi fotonya yang baru berusia empat
tahun, duduk di bahu ayahnya saat menonton pertandingan voli pantai. kedua tangannya
memeluk leher Aska. Mereka memakai pakaian serupa, dari atasan, bawahan, sampai topi.
Kalau saja dia sudi mengobrak-abrik masa lalu, sangat banyak kenangan indah yang bisa
ditemukannya bersama sang ayah. Akan tetapi, apa gunanya sekarang" Semua itu hanya masa
lalu, kan" "Kesempatan nggak dateng dua kali. Kalau lo baru mau mikir waktu udah lihat nisan
dengan tulisan nama bokap lo, terserah" Gefan menarik napas panjang mengingat ucapan Aura
itu. "Sialan!" umpatnya lagi. Mematikan rokoknya, Gefan menyambar ponsel pemberian Aska
yang masih tergeletak di meja makan. Dia charge ponsel itu, lalu menekan satu-satunya nomor
yang ada di panggilan masuk ponsel itu, selain nomor ayahnya. "Selamat malam, Gefan. Ada
apa?" Tanya Harold. Gefan membulatkan suaranya. "Saya butuh tiket ke Auckland besok." ***
Bab 14 Gefan terdiam sejenak di depan pintu kamar sebuah rumah sakit. Dia masih menggendong
ranselnya. Setelah menghela napas beberapa saat, dia membuka pintu itu. Seorang perawat
tengah melakukan pemeriksaan harian. Gefan menunggu di depan pintu sampai perawat itu
selesai, kemudian baru mendekati ranjang ayahnya. Kondisi Aska tidak separah perkiraannya.
Selain balutan perban di kepala, lengan, dan kedua kakinya, serta selang-selang di tubuhnya,
Aska terlihat baik-baik saja. Oke. Ralat. Tidak terlalu baik. Berbagai mesin dan alat kesehatan
yang tidak dikenalnya ada di sana. Aska tampak tidak percaya saat melihat Gefan berdiri di sis
ranjangnya. "Gefan?" suara tenang dan tegas Aska yang biasa berubah menjadi bisikan lirih.
"Ya. Ini aku. Bukan hantu atau malaikat pencabut nyawa," kata Gefan, terdengar sedikit
menggerutu. "Apa Harold yang paksa kamu ke sini?" Gefan menggeleng. Dia menduduki kursi di
samping ranjang Aska. "Dia udah terlalu tua buat bisa maksa gue," jawabnya. "Gimana keadaan
"," Gefan diam sejenak, "Ayah?" sambungnya pelan. "Buruk," jawab Aska dengan suara serak.
"Seluruh tubuh Ayah seperti remuk." Dia tertawa hambar. "Kayaknya, Ayah nggak akan bisa ke
mana-mana lagi." Matanya menatap perban yang mambalut kaki. Gefan mengikuti arah mata
Aska. "Kenapa kakinya?" "Nggak apa-apa," Aska memaksakan senyumnya. "Ayah senang kamu
mau datang." "Gue juga nggak percaya mau ke sini," gumam Gefan. "Apa pun alasannya, terima
kasih," ucap Aska. Gefan terdiam. Lalu, dia menatap mata Aska. "Aku udah baca jurnal yang
Ayah kasih ke Harold." Kabut mendung menyelimuti wajah Aska. Untuk kali pertama, Gefan
melihat ekspresi lain pada wajah ayahnya. Bukan ekspresi sombong dan menyebalkan yang
sudah sangat dikenalnya. Melainkan ekspresi sedih. "Apa tujuan Ayah ngasih tahu itu sekarang"
Supaya aku benci Mama?" Tanya Gefan tanpa emosi. "Nggak sama sekali," jawab Aska. "Trus?"
"Karena putus asa." Mata Aska berkaca-kaca saat menatap Gefan. "Bukan putus asa karena
dibayangi kematian," sambungnya. "Ayah sudah kehabisan cara buat meraih kamu lagi." Gefan
menggaruk pelipisnya. "Tolong nggak usah pake kiasan, Yah. Harfiah aja," pintanya. Aska
berusaha bangkit untuk duduk. Secara reflex, Gefan membantunya. Dia juga meletakkan bantal
di punggung Aska supaya ayahnya itu merasa lebih nyaman. "Ayah sudah kehilangan Mama
dan nyaris kehilangan kamu. Kamu nolak apa pun yang ayah lakukan buat deket lagi. Tujuan
Ayah ngasih jurnal itu ke kamu, Cuma buat ngasih tahu kamu kalau Ayah selalu sayang sama
kamu, Fan. Kamu satu-satunya harta paling berharga yang Ayah punya." Kemarahan Gefan
mulai tersulut, tetapi dia meredamnya dan mencoba tetap bersuara dengan tenang. "Kenapa
baru setelah Mama meninggal" Kalau Ayah emang mau keluarga kita normal lagi, kenapa Ayah
nggak coba jelasin dari dulu?" "Kamu nggak akan ngerti, Fan." "Jelasin!" tuntut Gefan. Aska
membuang wajah dari Gefan, lalu mulai mengatakan segalanya. Dia selalu merasa luka lamanya
terbuka lagi setiap kali melihat Lavia. Hal itu membuatnya belajar untuk membentengi hati dan
bersikap tidak peduli dengan mereka. "Ayah nggak pernah membenci Mama. Ayah terlalu
menyayanginya. Selalu. Nggak pernah berubah. Tapi, ego sebagai manusia dan rasa sakit hati
kadang mengalahkan sayang itu." "Sampai bisa bikin Ayah nelantarin Mama segitunya" Apa
ayah bener-bener sayang sama Mama?" serang Gefan. Nadanya sedikit lebih tinggi daripada
sebelumnya. "Bukan Cuma kamu yang tersiksa melihat kondisi Mama, Gefan. Ayah juga.
Berkali-kali Ayah mengutuk diri karena udah bikin Mama jadi seperti itu." Gefan berdiri dengan
cepat, mendorong kursinya hingga terjatuh. Pertahanan dirinya terlepas, membuat emosinya
meledak. "Kenapa Ayah nggak coba memperbaikinya" KENAPA"!" bentaknya. "Kalau Ayah
beneran peduli sama Mama, Ayah nggak akan menjauhi Mama! Ayah bakal melakukan apa pun,
APA PUN, buat bikin Mama normal lagi! Dengan gitu, Mama nggak akan bunuh diri!" Aska
menatap Gefan dengan tenang. "Ayah egois, keras kepala, dan berusaha menjaga sisa harga
diri yang Ayah pikir masih ada setelah Mama menghancurkannya dengan berselingkuh." Dia
menghela napas. "Ayah menyesal, Gefan. Sangat menyesal," ucapnya dengan suara tiba-tiba
bergetar. "Setelah kematiannya, tiap hari Ayah dihantui rasa bersalah. Ayah pengin ngubah
semuanya. Ayah nggak pernah mau Mama meninggal dengan cara itu." "Rasa menyesal itu
nggak ngaruh apa-apa! Mama udah meninggal dan nggak akan hidup lagi!" "Ayah tahu. Itu yang
membuat penyesalan itu bertambah besar setiap harinya. Ayah memang bodoh." Gefan sudah
akan kembali membentak ayahnya, tetapi kemudian tertegun saat melihat butiran bening
menetes dari kelopak mata Aska, sementara ayahnya itu menatap lurus ke depan sambil
mencurahkan semua perasaannya. Kali ini, Aska tidak menghapus air matanya. Dia membiarkan
Gefan melihatnya menangis. "Rasa bersalah itu masih ada sampai sekarang. Dan, Ayah pengin
menebusnya. Dengan cara apa pun." "Termasuk dengan coba peduli sama Gefan?" tanyanya
getir. "Ayah selalu peduli sama kamu," kata Aska, kembali menatap Gefan. "Memperbaiki
hubungan kita yang belum berhasil Ayah lakukan." Gefan bergeming ketika Aska meraih
tangannya. "Apa kamu mau ngasih Ayah kesempatan lagi?" Baru kali ini Gefan melihat
pandangan penuh harap dari kedua mata ayahnya. Saat itulah dia baru benar-benar
memperhatikan wajah Aska. Kerut halus di wajahnya mulai terlihat, menunjukkan betapa lelah
dan terpukulnya lelaki itu. Aska terlihat jauh lebih tua dibandingkan saat pertemuan terakhir
mereka. Kemarahan Gefan menguap sementara wajah ayahnya sudah mulai dibanjiri air mata.
Menghela napas, Gefan balas menggenggam tangan ayahnya dengan pelan. "Tolong jangan
kecewakan aku lagi, Yah." Air mata Aska mengalir makin deras ketika bibirnya tersenyum lega.
"Nggak akan, Gefan. Nggak akan," janjinya seraya terus terisak bahagia. *** Gefan
menghabiskan waktu seminggu penuh di rumah sakit bersama ayahnya. Aska masih belum bisa
keluar dari rumah sakit karena harus menjalani beberapa perawatan dan terapi untuk
kesembuhannya. Terlepas dari itu, kondisinya sudah jauh membaik semenjak kehadiran Gefan.
Selama di Auckland, Gefan menginap di rumah sakit. Padahal, Aska sudah memesankan
sebuah suite room di salah satu hotel berbintang untuknya selama di sana. Namun, Gefan lebih
memilih sofa panjang di kamar rumah sakit sebagai tempat tidurnya. Hal itu benar-benar
membuat Aska senang. "Kapan jadwal pesawatnya?" Tanya Aska kepada Gefan. Putra
tunggalnya itu akan kembali ke Jakarta hari ini. "Sore," jawab Gefan. "Ayah nggak apa-apa
ditinggal sendirian?" Aska tersenyum kecil. "Ada perawat yang menemani," jawabnya. "Lagi pula,
kamu harus kuliah, kan?" Gefan mengangguk. "Ngomong-ngomong, sampaikan salam Ayah
untuk teman perempuanmu itu, ya?" Dahi Gefan berkerut. "Siapa?" "Ada berapa banyak
perempuan yang jadi temanmu?" Tanya Aska dengan nada bercanda. "Itu, lho, yang kemarin
datang ke rumah buat wawancara sama ngasih kamu makan." "Oh," Gefan mulai mengerti.
"Aura." Dia mengangguk pelan. "Iya, ntar disampaikan." Senyum Aska menghilang saat
mendengar nada suara Gefan. "Ada apa" Kamu berantem sama dia?" Gefan diam. Dia
menghela napas kecil, kemudian memilin-milin seprei Aska sambil menunduk. "Nggak tahu itu
bisa disebut berantem atau nggak. Nggak ngerti." "Ada apa?" "Udahlah. Nggak penting, kok.
Ntar juga baik sendiri," gumam Gefan. "Kalaupun nggak, itu yang terbaik buat dia." Gentian dahi
Aska yang berkerut. "Kalian putus?" Gefan tersedak. "Putus apa" Aku nggak punya hubungan
special sama dia. Cuma teman." Alis Aska menyatu. "Oh, ya?" tanyanya sangsi. "Sikapmu
sekarang sama sekali nggak kayak orang yang nggak punya hubungan special sama dia. Dia


Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nolak kamu?" Gefan menatap Aska beberapa saat, tampak menimbang-nimbang, lalu
menggeleng. "Aku yang nolak dia." Aska tampak terkejut. "Kenapa" Dia anak baik. Cukup cantik
buat kamu. Dan, sangat bisa mengimbangi sifat kamu. Kalian bisa bersatu dengan mudah.
Kenapa kamu nolak dia?" Gefan terpana mendengar ucapan ayahnya. "Menurut Ayah, kami
cocok?" Aska mengangguk. "Ayah dengar percakapan kalian waktu dia ke rumah karena kamu
nggak mau keluar kamar dulu itu." Gefan menyeringai kecil, tampak malu. "Dan, setelah itu,
akhirnya kamu mau keluar kamar. Itu menunjukkan kalau dia punya pengaruh cukup besar buat
kamu. Ayah nggak ngerti kenapa kamu nolak dia. Kamu nggak suka sama dia?" Gefan kembali
menggeleng. "Justru karena aku juga sebenarnya suka sama dia, makanya aku harus jauhin
dia." Saat melihat wajah Aska makin berkerut tidak mengerti, Gefan akhirnya menceritakan
semuanya. Tentang perasaannya melihat hubungan Aska dan Lavia. Ketakutannya pada rasa
cinta, hingga membuatnya menolak Aura. Wajah Aska mendadak serius ketika Gefan
menyelesaikan ucapannya. "Jangan merendahkan diri, Gefan. Kamu jauh lebih baik daripada
Ayah atau mamamu. Kamu nggak mengambil satu pun sifat negative kami. Kamu nggak akan
mengikuti jejak kami. Ayah yakin, kamu nggak akan bersikap egois dengan ninggalin orang yang
kamu sayang demi karier, atau pun berselingkuh darinya. Kamu jauh lebih baik daripada kami.
"Gimana sama dia?" Tanya Gefan pelan. Aska meraih tangan Gefan. "Apa kamu merasa kalau
Aura pilihan yang tepat buat kamu?" "Entahlah," jawab Gefan jujur. "Aku nggak ngerti masalah
kayak gini, Yah," keluhnya. Aska menepuk pelan tangan Gefan. "Hati bakal tahu waktu kamu
yakin kalau dia orang yang tepat. Dan, waktu itu terjadi, ketakutan kamu nggak akan berarti apaapa atau pun jadi penghalang. Kamu Cuma harus menerimanya." Gefan kembali terdiam ***
Bab 15 Gefan berbaring di atap rumah sambil memandangi langit yang tampak gelap. Dia sama sekali
tidak menghiraukan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Kedua tangannya terlipat di
belakang kepala, sementara dirinya sibuk berpikir. Dream catcher yang diberikan Aura berada
dalam genggaman tangannya. Kata-kata ayahnya terngiang di kepalanya. Dia memejamkan
mata, mencoba mengingat kata-kata yang pernah diucapkan Aura kepadanya. ?" Nggak usah
Tanya kenapa gue ngerasain ini. Gue nggak tahu. Yang gue tahu, rasa ini ada buat lo. Gue juga
nggak tahu sejak kapan. Yang jelas, sekarang lo udah jadi sosok yang penting buat gue." Meski
tidak mau mengakuinya, Gefan menyadari kalau Aura juga sudah menjadi sosok yang penting
untuknya. Hanya gadis itu yang pernah melihat ke dalam dirinya, mengetahui semua rahasiarahasia yang tidak pernah diutarakannya kepada siapa pun. Namun, seperti yang juga pernah
diutarakannya kepada Aura, dia takut. Dia terlalu pengecut untuk mencoba menerima apa yang
ditawarkan Aura kepadanya. Dia takut merusaknya dan tidak ingin melihat hal itu rusak. Jadi,
daripada seperti itu, dia lebih memilih tidak pernah memulainya sama sekali. Dan, itu berarti dia
dan Aura juga tidak bisa berteman lagi. Akan sangat rumit dan menyakitkan untuk mereka.
Terutama, tidak adil untuk Aura. Dia pernah mendengar pertanyaan, "Lebih baik mengenal cinta
lalu kehilangan, atau tidak pernah mengenalnya sama sekali?" sebagai orang yang tidak tahu
apa-apa tentang cinta, Gefan juga tidak tahu harus menjawab apa. Hati dan perasaan orang
bukan sesuatu yang stabil. Bisa berubah sewaktu-waktu. Seandainya, dia memberanikan diri
meraih apa yang Aura coba beri kepadanya, membuat Aura makin berarti untuknya, dan
kemudian harus melihat gadis itu pergi, rasanya pasti akan sangat menyakitkan. Dan,
bagaimana jika yang terjadi sebaliknya" Justru dia yang meninggalkan Aura" Dia akan
mengutuk diri seumur hidup. Gefan tidak mau mengalami nasib yang sama seperti kedua
orangtuanya. Meskipun Ayahnya sudah meyakinkan kalau dia tidak akan seperti mereka, Gefan
masih belum bisa yakin sepenuhnya. Pertanyaan Aska tentang "Apakah Aura orang yang tepat?"
selalu berputar di kepalanya. Dan, dia masih belum bisa menjawab. Gefan membuka mata,
mengeluarkan ponsel dari kantong celana, mencari nomor ponsel Lanna, lalu menekan tombol
call. Begitu diangkat, suara Lanna terdengar berat, menandakan gadis itu baru terbangun dari
tidur lelap. "Na" nih Gefan." Gefan memegang dream catcher-nya ke atas wajah dan menatap
benda itu sambil menggoyang-goyangkannya. "Oh. Kenapa, Fan?" Tanya Lanna dengan nada
mengantuk. "Menurut lo, mana yang lebih baik. Mengenal cinta lalu kehilangan, apa nggak
pernah mengenalnya sama sekali?" Sunyi beberapa saat. Gefan mengira Lanna memikirkan
pertanyaannya. Tetapi, setelah beberapa saat tidak ada jawaban, Gefan mengira gadis itu
tertidur. "Lanna?" "Nih beneran Gefan?" Tanya Lanna. Kali ini nadanya terdengar bingung dan
suara kantuknya lenyap. "Lo kerasukan apa tiba-tiba bahas cinta?" Gefan mendengus. "Jawab
aja." Lanna kembali diam. Kali ini Gefan yakin kalau Lanna sedang memikirkan jawaban.
Kemudian, gadis itu berdehem, membersihkan tenggorokannya. "Gue milih mengenal cinta dan
mempertahankannya biar nggak pergi." "Pertanyaannya bukan itu, tapi "," "Gue tahu," potong
Lanna. "Gue nggak akan ngasih ceramah panjang lebar tentang cinta. Lo udah sering denger
dan pasti sudah muak. Gue Cuma mau bilang ini, lo pasti juga udah sering denger, cara terbaik
mengatasi ketakutan adalah dengan menghadapinya. Lo Cuma buang-buang waktu kalau terus
lari. Pada akhirnya, lo nggak dapet apa-apa dan Cuma ngerasain capek." "Apa hubungannya
rasa takut sama pertanyaan gue?" "Lo cinta, kan, sama Aura" Tapi, lo takut ngakuinnya. Lo
terlalu pengecut buat menghadapinya, entah karena apa. Karena itu lo nanya pertanyaan
tentang cinta itu. Iya, kan?" Gefan terdiam. Terdengar Lanna menghela napas. "Lo baru tahu
gimana hasilnya kalau udah nyoba. Kalau saat ini lo mutusin buat ngikutin ketakutan lo dan lari,
lo bakal kehilangan Aura sekarang dan nggak akan ada peluang bagi kalian buat sama-sama.
Tapi, kalau lo memberanikan diri buat nerima, kalian punya kesempatan." "Gimana kalau gue
nerima dan akhirnya gagal?" "Apa lo ngarep bakal gagal?" "Ya, nggak. Cuma, kan "," "Besok
biar terjadi besok. Yang penting sekarang apa yang akan lo lakukan. Nggak akan ada yang tahu
apa yang terjadi besok. Kita bahkan nggak tahu apa yang terjadi sejam lagi." Gefan mendesah.
"Lo percaya bahagia selamanya?" "Di dunia" Nggak. Itu Cuma dongeng. Kita aja nggak akan
hidup selamanya, dunia juga nggak akan ada selamanya, gimana bisa jadi bahagia selamanya"
Tapi, gue percaya kalau kita bakal bahagia selamanya di akhirat nanti. Bukan berarti kita nggak
perlu cari kebahagiaan di dunia," tambah Lanna cepat. "Lo bahagia sama Arsen?" "Iya.
Walaupun sering berantem. Semua orang yang jalin hubungan pasti berantem, tapi gue nggak
nyangkal kalau dia udah bikin gue lebih bahagia." "Lo nggak takut suatu saat Arsen pergi?" Kali
ini, Lanna terdiam lebih lama daripada sebelumnya. Dan, saat kembali bersuara, nadanya
terdengar tegar. "Gue takut," akunya. "Apalagi, setelah dia ngomong masalah rencana kuliah di
luar, yang berarti ada kemungkinan gue sama dia bakal menjalani long disaster relationship,"
ujarnya setengah menggurutu. "Tapi, gue nggak mau jadiin itu halangan buat nggak nikmatin
apa yang ada sekarang," Lanna menarik napas panjang. "Gue nggak tahu apa yang bikin lo
takut banget sama cinta. Tapi, gue ngerasa udah saatnya lo ngadepin ketakutan itu. Lo udah
terlalu lama lari. Apa yang terjadi nanti, biar aja terjadi. Ada orang bijak yang pernah bilang,
"lebih baik mencoba lalu menyesal, daripada tidak pernah mencoba sama sekali dan menyesal".
Mungkin itu bisa jadi jawaban dari pertanyaan lo tadi." "Gimana sama Aura?" Tanya Gefan. "Apa
dia serius sama perasaannya?" "Cuma dia yang tahu," jawab Lanna. "Dan, lo bisa Tanya sendiri
kalau mau." Sebelum Gefan kembali bersuara, Lanna mendahuluinya. "Udah, kan" Gue
ngantuk, nih. Pikirin aja baik-baik, ikutin kata hari lo. Gue yakin lo bisa mutusin yang terbaik."
Sekali lagi, Gefan menghela napas berat. "Oke. Makasih, Na. maaf udah ganggu tidur lo." "No
problem," ujar Lanna. "Sejujurnya, gue seneng akhirnya lo mau curhat sama gue, meskipun topic
yang diangkat nggak pernah gue bayangin bakal mau lo bahas." Gefan tertawa kecil. "Nice
dream, Na." "Nite, Fan," balas Lanna, lalu menutup telepon. Gefan memasukkan pnselnya ke
dalam saku, dan kembali menatap benda di tangannya sambil memutar ulang apa yang sudah
dikatakan Lanna. *** Beberapa hari selanjutnya, Gefan masih belum bisa memutuskan untuk
menemui Aura. Dia ingin meyakinkan diri sebelum mereka melakukan konfrontasi yang
sebenarnya. Dia juga bersyukur Lanna tidak pernah mendesak atau membahas obrolan mereka
malam itu. Selain karena tidak mau ikut campur, sahabatnya itu juga sedang tegang karena
Arsen tengah mengikuti Ujian Nasional. Saat Gefan mengingatkan kalau bukan dia yang harus
ikut UN, Lanna memelototinya dengan galak, kemudian mengeluarkan ceramah panjang yang
menyangkut "apa yang dirasakan Arsen pasti dirasakannya, begitu juga sebaliknya". Gefan
mencoba memahami, tetapi gagal. Jadi, dia hanya diam dan memilih mengabaikan Lanna untuk
mulai memikirkan urusannya sendiri. Gefan tidak bisa menghindari Aura lagi pada hari
kesepuluh sejak dia kembali dari Auckland. Dia tengah menyusun CD-CD baru di rak, saat gadis
itu masuk dengan Lola. Gefan melihat wajah Lola yang murung, dan Aura mencoba
menghiburnya. " " kita beli film sebanyak mungkin dan lupain kutu busuk itu," kata Aura. Dia
melihat Gefan, menyunggingkan senyum canggung, lalu kemudian pada Lola. "Jadi, lo mau
nonton film apa" Indonesia" Barat" Korea" India" Mereka punya film Kuch Kuch Hota Hai, lho.
Lo, kan, suka banget sama Si Serokan itu." "Shah Rukh Khan kali," protes Lola. "Iya, si dia. Atau
" mau lihat masa mudanya Leonardo Dicaprio di Titanic" Film Titanic gue ke mana, ya" Mereka
juga masih punya AADC! Hhh "," Aura mendesah. "Nicholas Saputra itu beneran salah seorang
cowok seksi kebanggaan Indonesia. Harus diawetin, tuh. Di sini dia juga masih muda, La.
Rambut gondrong, ikal ", " dia terdiam, seakan memikirkan sesuatu, lalu buru-buru beranjak ke
film lain. "Atau ini, The Lorax. Pengisi suaranya, Zac Efron!" Gefan mendengar Aura terus
mempromosikan berbagai film kepada Lola. Arga menghampiri, membantu mereka memilih film
yang bagus. Aura tampak memperhatikan Arga dengan sungguh-sungguh. Dan, Arga juga
menyisipkan godaan-godaan kecil kepada Aura sambil terus mempromosikan kaset-kaset
mereka. Hal itu membuat Gefan sedikit kesal. Gefan mengangkat kardus yang sudah kosong
dan kembali ke gudang. Dia duduk di sebuah bangku kayu yang biasa digunakannya saat
mengecek barang, kemudian menghela napas. Aura terlihat baik-baik saja. Padahal, dia tidak
menghubungi gadis itu selama hampir satu bulan ini. Aura juga tidak menghubunginya. Hal itu
makin membuat Gefan putus asa. Apa yang harus dilakukannya sekarang". Pintu gudang
dibuka, lalu seseorang masuk. Gefan tidak mengangkat kepalanya karena mengira itu Arga,
sampai dia menghirup aroma manis yang terasa familier. Mendongakkan kepala, dia melihat
Aura berdiri di depan pintu yang sudah ditutup kembali. "Kenapa lo terus ngindarin gue?" Gefan
terpaku saat melihat mata Aura berkaca-kaca. "Lo masih marah karena kemarin gue nampar lo?"
Gefan buru-buru menggeleng. "Gue malah mau "," "Atau, terganggu sama pernyataan cinta
gue?" "Bukan," bantah Gefan. "Gue ?" "Gue Cuma mau jujur sama apa yang gue rasain,"
potong Aura. "Gue nggak bermaksud bikin lo nggak nyaman. Kalau lo Cuma mau temenan, oke.
Kita temenan. Lupain semua ucapan konyol itu, lupain perasaan konyol gue, tapi jangan jauhin
gue!" bentak Aura. Air matanya mulai turun dan dia langsung mengusapnya dengan punggung
tangan. Gefan berdiri di depan Aura. "Gue Cuma mau nenangin diri, nggak bermaksud jauhin
elo. Maaf ?" dia menggaruk tengkuknya. "Dan, masalah ngelupain, gue nggak yakin bisa. Gue
belum pernah ?" "Lupain!" potong Aura lagi, kali ini dia menatap Gefan tajam. "Lupain, dan bikin
hubungan kita balik kayak semula. Cuma itu yang gue minta. Itu juga kalau lo masih mau
temenan sama gue." Terdengar ketukan pintu, lalu suara Lola memanggil Aura. Aura
mengh apus air matanya dengan ujung lengan kausnya, menatap Gefan sebentar, lalu keluar.
Gefan hanya menatap punggung gadis itu tanpa bisa berkata apa-apa. Dia membenamkan
wajah di kedua telapak tangannya. Pintu kembali dibuka. Gefan mengangkat kepala, berharap
Aura yang datang kembali, tetapi menelan kecewa sat melihat sosok Arga. Seperti tahu apa
yang dipikirkannya, Arga menarik bangku di sebelahnya. "Dia udah pulang." Gefan
menyandarkan punggungnya ke dinding. Arga menatap Gefan sejenak. "Aura lucu, ya, Fan.
Anaknya rame." Saat Gefan tidak bersuara, Arga melanjutkan. "Gue tadi ngajak kenalan.
Akhirnya, dia nggak nyuekin gue lagi." Dia menyeringai lebar. "Minta nomor hapenya, dong."
"Buat apa?" Tanya Gefan, berusaha terdengar biasa. "Pedekate, dong! Apa lagi" Lo bilang
nggak tertarik, kan, sama dia" Nggak keberatan, dong, kalau gue yang deketin?" Gefan berdiri
dengan gusar. "Minta sendiri sama dia!" ucapnya ketus, lalu berjalan cepat keluar gudang. Dia
bertekad tidak akan membiarkan Arga mendekati Aura. Tidak ada yang boleh mendekati Aura
selain dirinya. Aura hanya miliknya, titik! Gefan tersentak karena pemikiran itu. Apa yang
diakuinya barusan" Dia menyatakan hak kepemilikan atas Aura" Tubuhnya membeku saat
sebuah pemahaman menghantam pikirannya. Tawa keras Arga tiba-tiba membuat gerakan
Gefan memutar gerenddel pintu berhenti. "Fan, Fan, lo nih bener-bener keras kepala, ya?"
Gefan berbalik , kembali menatap Arga dengan wajah mengeras. Arga berdiri dengan santai
mendekati Gefan, lalu merangkul bahunya. "Gue beneran tertarik, lho, sama dia," Gefan
menyentak tangan Arga sambil menggeram marah. "Waw," Arga berdecak, menatap Gefan
setengah tidak percaya. "Gue nggak nyangka akhirnya dapet kesempatan lihat lo gusar garagara cewek." Dia menepuk bahu Gefan, masih tampak takjub. "Dia punya lo, Man. Tapi, kalau lo
nggak gerak-gerak juga," Arga menyeringai lebar, "Gue yang maju." Godanya. Mendengus
keras, Gefan berbalik untuk membuka pintu gudang dan melangkah keluar. Akhirnya, dia tahu
harus melakukan apa. *** Bab 16 Akhirnya, Gefan memutuskan untuk mendatangi rumah Aura. Rangga yang membukakan pintu
langsung menatapnya dengan curiga selama beberapa saat sebelum memanggil Aura. Aura
tampak kaget melihat kehadiran Gefan, tetapi mempersilahkannya duduk. Rangga bergabung
dengan mereka, sampai Aura memelototinya dan menyuruhnya pergi. Rangga melempar
pandangan penuh ancaman kepada Gefan sebelum memutuskan masuk. "Kakak lo kenapa?"
Tanya Gefan. "Biasalah. Seorang kakak cowok yang lihat adek ceweknya sama cowok lain.
Naluri herder-nya kumat. Sok jadi big-bro yang ngerasa adek ceweknya akan selamanya berusia
tiga tahun." Aura mendengus. "Nggak usah dipikirin. Tumben lo ke sini. Ada apa?" Tanya Aura.
"Gue mau minta maaf." Aura menghela napas. "Lo udah minta maaf kemarin. Ya, udah. Lupain."
"Gue nggak akan bisa ngelupainnya, Ra. Nggak akan bisa." "Trus mau lo gimana?" Tanya Aura
lelah. "Gue nggak akan maksa lo buat nerima, dan lo nggak harus maksain diri buat nerima.
Kalau lo nggak ngelupainnya, kita nggak akan pernah bisa temenan dan itu berarti kita harus
jaga jarak. Mungkin itu bagus buat lo, tapi nggak buat gue." "Kenapa nggak bagus buat lo?" aura
terdiam sejenak. "Gue rasa, gue mulai sayang sama lo." Gefan menunduk, lalu memejamkan
mata. Mencoba menyerap kata-kata itu dan menyimpannya dalam hati. Dia kembali membuka
mata perlahan dan menatap Aura. "Bukannya malah lebih bagus lo ngejauh" Deket sama gue
Cuma bakal nyakitin lo, kan?" Aura tidak menjawab. Gefan ikut diam. Setelah hening beberapa
saat. Gefan kembali bersuara. "Selain ngindarin elo, kemarin gue ngilang karena ke Auckland,
lihat keadaan ayah gue." Wajah Aura tampak terkejut. "Oh, ya" Apa yang akhirnya bikin lo mau
ke sana?" tanyanya takjub. "Tamparan elo, ocehan elo, semua omongan elo kemarin. Akhirnya
" yah, gitu. Makasih juga buat itu. Hubungan gue sama Ayah sekarang udah lebih baik." Aura
tersenyum tulus. "Gue ikut seneng," ucapnya. "Gimana keadaannya sekarang?" "Dia masih
perawatan di sana. Mungkin dua atau tiga bulan lagi baru bisa pulang." "Semoga cepet sembuh."
Ujar Aura. "Gue juga berharap gitu," balas Gefan. Mereka kembali diam. Aura membuka stoples
cokelat di depannya. "Mau cokelat?" tawarnya kepada Gefan, memecah kesunyian. Gefan
mengambilnya. "Makasih," ucapnya. Sunyi lagi. Gefan mulai bergerak gelisah di tempatnya. Aura
menatapnya bingung. "Kenapa, Fan" Ada masalah lain?" Gefan menatap Aura. "Ada," jawabnya.
Gefan menarik napas panjang. "Gue mau Tanya." Wajah Gefan tiba-tiba memerah dan dia
merasa sangat salah tingkah. "Tanya sesuatu." "Dan, sesuatu itu adalah ".?" Gefan meletakkan
sisa cokelatnya, lalu memutar tubuh hingga menghadap Aura. "Gimana cara cowok buat minta
cewek jadi pacarnya?" tanyanya cepat, lalu wajahnya kembali memerah. Dahi Aura berkerut.
"Kalau di film sih, si cowok Cuma bilang. "jadi cewek gue, ya?" gitu. Emang kenapa" Kok, muka
lo pake merah?" Gefan berdehem, mengabaikan rasa panas yang sudah merambat hingga ke
telinganya. "Jadi cewek gue, ya, Ra?" Mata Aura mengerjap. "Hah" Lo ngomong apa?" Gefan
mendengus. "Nggak ada siaran ulang," katanya. "Jawab sekarang." "Apa yang mau dijawab
kalau gue nggak tahu apa yang lo omongin?" Gefan berdiri. "Ya, udahlah. Lupain aja. Gue mau
pulang." Aura menahan tangan Gefan, tetap dengan posisi duduk. "Ucapin sekali lagi," pintanya.
"Supaya gue yakin kalau telinga gue masih berfungsi baik." "Perlu gue ambilin kemoceng dulu
nggak buat bersihinnya" Biar bisa denger lebih jelas?" Aura melepaskan tangan Gefan dengan
dongkol. "Romantis dikit nggak bisa apa" Udah nembak minjem omongan orang di sinetron, mau
bersihin telinga gue pake kemoceng pula. Dasar cowok barbar!" dengusnya. Gefan menatap
Aura geli. "Elo maunya gimana" Gue bawa rangkaian bunga trus berlutut di depan lo, gitu?"
"Nggak usah, deh. Makasih. Gue tahu apa yang bakal lo tulis di rangkaian bunganya," kata Aura
dengan nada dongkol. "Apa?" Tanya Gefan. "Turut berduka cita. Iya, kan?" "Salah. Gue lebih
suka nulis Rest in Peace." Gefan kembali duduk di sebelah Aura. "Jadi mau nggak?" "Nggaklah!
Enak aja!" Gefan terkejut. "Lo ?" Aura memelototi Gefan. "Gue nggak butuh rangkaian bunga,
apalagi yang ada tulisan Rest in Peace-nya!" Gefan melongo, lalu tertawa keras. "Lo, nih "
bener-bener, deh." Dia menatap Aura tidak percaya. "Maksud gue, pertanyaan gue
sebelumnya?" "Yang mana" Tawaran buat bersihin kuping gue?" Gefan menatap Aura pasrah.
"Harus diulang, ya?" Aura mengangguk santai. Gefan kembali mengatur napasnya sebelum
bersuara. "Jadi pacar gue, ya?" "Yang lengkap, dong," kata Aura. "Gini, "Jadi pacar gue ya,
Laura Fernita?" gitu. Coba." "Oh, ya, kenapa panggilan lo bukan Nita aja, kayaknya lebih cocok,
deh. Aura terlalu ". Feminine" Terus ?" "GEFAN!" bentak Aura dongkol, membuat Gefan
menyeringai lebar. *** Gefan mengikuti Aura yang berjalan masuk menuju halaman belakang
rumahnya sambil membawa sebuah peti seukuran kotak sepatu. Kemarin, sebelum dia pulang,
gadis itu berkata hari ini ingin ditemani jalan. Tetapi, kenyataannya Aura malah main ke
rumahnya. Bukannya, mengeluh. Gefan hanya berusaha untuk mulai memahami gadis yang
sudah resmi menjadi ". Pacarnya ini. Dia tersenyum sendiri mengingat kejadian kemarin. Aura
memaksanya mengulang pertanyaan yang sama untuk kali ketiga dan harus serius, untuk
membuktikan dia tidak sedang mempermainkan gadis itu. Gefan melakukannya dan Aura
menjawab "ya". Saat itu Gefan tidak membiarkan rasa takut menghalanginya. Dia merasa
semuanya tepat saat untuk kali pertama Aura menyuruk masuk ke pelukannya. Tidak ada yang
salah. Akhirnya, dia mengerti maksud ucapan Aska tempo hari. Di ambang pintu halaman
belakang, Aura berhenti, lalu berbalik menghadapnya. "Punya cangkul kecil nggak?" "Adanya
sekop, buat bikin istana pasir," jawab Gefan. "Buat apa?" "Buat ngubur ini nanti." Aura
mengangkat peti di tangannya. Gefan mendekat. "Apa itu?" "Ini namanya kapsul waktu," Aura
mulai menjelaskan. "Perasaan orang bisa berubah, entah kapan, entah dengan alasan apa. Kita
nggak tahu apa yang terjadi nanti. Karena itu, gue mau kita tulis semua yang kita rasain
sekarang. Waktu kita mulai hubungan ini, kita masukin di sini, trus di simpen di tanah. Beberapa
tahun dari sekarang, kalau salah seorang dari kita ngerasain perubahan kea rah yang kurang
baik, kita bongkar kapsul ini dan baca tulisan di dalemnya. Buat ngingetin kita tentang perasaan
kita sekarang dan kenapa kita mau mulai menjalin hubungan." Gefan membuka tutup peti itu.
"Kok, kosong?" Aura menatapnya datar. "Suratnya, kan, belum ditulis. Mau dimasukin apa?" "Oh.
Harus nulis surat" Aku nggak bisa bikin surat cinta." "Bukan surat cinta. Cuma perasaan yang
kamu rasain sekarang, alasan kenapa kamu mau njalin hubungan sama gue." "Ooohhh " yang
kayak di film-film itu, ya?" Aura tertawa. "Tapi, sebelumnya gue mau ngomong dulu." Wajah
Gefan berubah serius hingga Aura menghentikan tawanya. "Gue tetep nggak ngerti sama cinta.
Tapi, gue mau coba. Gue nggak bisa ngomong cinta, sayang, dan sejenisnya buat sekarang
karena gue belum ngerti. Jadi, jangan nuntut gue ngelakuin itu. Yang gue ngerti dan pahami
sekarang, gue pengin sama-sama lo. Baru itu yang bisa gue akui sekarang. Bisa terima?" Aura
diam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Bisa," jawabnya lembut. "Sekarang, mana sekopnya" Kertas
sama pena sekalian. Sama plastic kecil juga." Gefan mengacak rambut pendek Aura dengan
kedua tangannya sebelum berbalik pergi untuk mengambil pesanan gadis itu. Mereka menulis di
tempat terpisah. Gefan di meja makan, sementara Aura di ruang tengah. Begitu selesai, Gefan
menyerahkan tulisannya kepada Aura, lalu memelesat ke kamar kecil untuk buang air. Aura
memanfaatkan kesempatan itu untuk membuka tulisan Gefan. Gue nggak ngerti mau nulis apa.
Aura dan idenya emang sering aneh. Tapi, justru itu yang bikin gue betah deket dia. Mungkin
karena pada dasarnya gue juga aneh, jadi suka yang aneh-aneh. Salah. Gue udah suka sejak
awal ketemu dan lihat pandangan mata dia yang tanpa rasa takut. Kayaknya, sejak gue jadi
"preman", dia orang pertama yang nggak langsung pengin kabur waktu lihat gue. Gue masih


Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

inget gimana perasaan gue waktu itu. Campuran bingung, takjub, sama kagum. Dan, sekarang,
dia beneran jadi bagian hidup gue. Yup " akhirnya gue punya pacar. Ya, si Laura Fernita ini.
Dia bilang, perasaan manusia bisa berubah suatu hari nanti, makanya dia berencana, maksa
lebih tepatnya, buat bikin kapsul waktu. Karena, itu, gue Cuma mau nulis gini. Kalaupun nanti
perasaan gue berubah, ada satu hal yang gue yakini nggak akan pernah berubah. Rasa yang
begitu tepat waktu gue meluk dia kali pertama. Gue ngerasa di situ emang tempat dia
seharusnya berada. Di pelukan gue. Tepat di jantung gue. Gue berharap rasa itu bisa ngembaliin
apa pun perubahan yang terjadi nanti. Terlepas dari ketidakpercayaan atau kebelumpercayaan
gue sama cinta, gue yakin kalau rasa yang muncul saat itu, yang berasal dari hati gue, nggak
akan pernah salah. Apa pun sebutannya. -Gefan- Aura tersenyum kecil, lalu kembali melipat
kertas itu dan memasukkannya ke dalam plastic, sebelum disimpan dalam peti. Begitu Gefan
selesai dengan ritual buang airnya, mereka menuju halaman belakang rumah Gefan untuk
mengubur peti itu. Setelahnya, mereka saling pandang dan melempar senyum. Dalam hati,
keduanya berharap peti itu tidak perlu dibuka dan perasaan mereka tidak akan pernah berubah.
Aura menurunkan tangan untuk menautkan jemarinya dengan jemari Gefan. Senyum manisnya
berubah menjadi cengiran nakal. "Aku nggak nyangka kamu bisa ngeluarin kata-kata puitis."
Dahi Gefan berkerut. "Elo " baca kertasnya?" ketika Aura mengangguk, dia melotot. "Curang!"
semburnya. "Gue belum baca kertas lo! Gali lagi!" Gefan berniat mengambil sekop dari tangan
Aura. Secepat kilat, Aura melempar sekop itu hingga melewati pagar setinggi tiga meter yang
membatasi halaman belakang rumah Gefan dengan rumah tetangga. Saat Gefan mengeluarkan
geraman kesal, Aura menarik leher lelaki itu dan memeluknya. "Apa sekarang masih tepat?"
tanyanya. Gefan menggerutu tidak jelas, tetapi balas memeluk gadis itu. Aura tersenyum senang
saat membenamkan wajahnya di dada bidang Gefan. "I love you," bisiknya. Gefan melepaskan
pelukannya hingga tatapan mereka bertemu. "I"m trying to love you back," balasnya, lalu
menyeringai lebar ketika Aura melayangkan satu tinjuan keras ke dadanya. ***
TAMAT Dendam Sejagad 12 101 Kisah Bermakna Dari Negeri China The Powerfull Wisdom From Ancient Stories Karya Lei Wei Ye Tapis Ledok Membara 1
^