Mamamo 2
Mamamo Karya Sara Tee Bagian 2
"Om cuma bisa membantu kamu sebatas memberi informasi tentang Freya. Tapi jika
kamu perlu bantuan Om lebih dari ini, Om pasti akan bantu."
"Pasti, Om. Saya pasti akan menghubungi Om lagi. Tapi untuk sementara saya
belum bisa berpikir lebih jauh. Saya mesti pikirkan dulu apa yang mesti saya
lakukan," kata Nerisa.
"Oke, kalo begitu selamat melanjutkan mimpi."
Nerisa tersenyum. "Mana mungkin saya bisa tidur malam ini, setelah mendapat
berita dari Om?" "Ya sudah, maafkan Om kalau begitu. Selamat malam."
"Selamat malam, Om."
Untuk beberapa detik Nerisa terpaku. Ia hanya diam sambil memikirkan kabar yang
dibawa Om Frans. Freya akan pergi, berarti sia-sia kedatangan Nerisa ke jakarta jika
Freya sampai meninggalkan Jakarta. Sia-sia apa yang ia lakukan selama ini. Ini
nggak boleh terjadi. Nerisa harus melakukan sesuatu untuk mencegah kepergian
Freya. Nerisa membuka kulkas, mengambil air dingin dalam botol dan menegaknya. Ia tak
bisa memejamkan mata malam ini. Walau tubuhnya lelah, ia harus memikirkan cara
supaya Freya tidak jadi meninggalkan Jakarta. Ini penting untuk rencananya.
SEMALAMAN Nerisa nyaris nggak bisa tidur, akibatnya pagi harinya matanya sulit
dibuka. Akhirnya ia harus berlari menuju pintu gerbang yang hendak ditutup Pak
Satpam. "Tunggu, Pak...," teriak Nerisa.
"Tumben baru datang, Nerisa. Biasanya selalu pagi," kata Pak Satpam sambil
menahan pintu gerbang. "Iya, Pak, maaf, semalam nggak bisa tidur," kata Nerisa sambil berlari menuju
kelasnya. Untung saja pelajaran belum dimulai. Ia sampai dengan terengah-engah.
Penampilannya kacau. Jepit cokelatnya tak membuat rambutnya rapi lagi karena
tadi ia harus berlari. "Wow, wow... Kacau banget lo. Ada apa sih?" Dina tertawa melihat Nerisa yang
tampak berantakan. "Gue kesiangan. Semalem gue nggak bisa tidur," jawab Nerisa dengan napas
tersengal. "Mikirin gue ya, Ner?" Tanya si Johan, cowok yang terkenal dengan kepedeannya.
Rambutnya saja jadi dibuat jambul kayak pohon cemara gitu.
Nerisa mencibir. Ia langsung duduk di samping Freya. "Apa lo benar akan keluar dari
sekolah ini dan pindah ke Jerman?"
Freya melirik Nerisa sekilas lalu kembali menekuni bukunya.
"Jawab, Freya. Apa benar lo akan pergi?" Desak Nerisa.
"Lo tahu dari mana?" Tanya Freya, acuh tak acuh.
"Nggak penting gue tahu dari mana."
"Kalo begitu nggak penting juga lo tahu," kata Freya cuek.
"Pengecut lo!" Teriakan Nerisa menarik perhatian murid lain.
Rindu langsung menghampiri mereka, demikian juga Dina dan teman-teman cewek
yang lain, sedangkan para cowok melihat dari kejauhan. Pikir mereka, itu urusan
cewek, kita nonton aja. Mumpung ada tontonan gratis.
"Ada apa sih, Nerisa?" Rindu melihat mata Nerisa membulat.
"Apa selamanya lo akan jadi pengecut, Freya"!" Nerisa memegang dagu Freya.
"Pandang gue! Tatap mata gue dan katakan lo itu bukan pengecut!"
Freya menepis tangan Nerisa. "Terserah lo mau ngomong apa."
"Pengecut! Lo nggak berani menghadapi kenyataan! Lo hidup dengan masa lalu! Lo
egois, lo nggak mikirin gue! Lo pecundang dan semua sudah lo buktikan dengan
tindakan lo yang akan melarikan diri ke Jerman!" Nerisa menangis.
"Sudah, Nerisa..." Rindu menenangkannya.
"Kenapa gue mesti kenal sama lo" Kenapa gue mesti menganggap lo sahabat"
Kenapa gue mesti percayakan Momo pada lo" Kenapa gue mesti menyayangi lo"
Lo nggak pantes menerima semua ini dari gue," jerit Nerisa tiba-tiba histeris.
"Sudah, Nerisa... Lo berlebihan banget... Lo mesti tenangin diri lo!" Sergah Rindu.
"Dia itu pengecut, Rin. Dia nggak berani menghadapi kenyataan! Dia mau melarikan
diri," kata Nerisa tersedu.
"Itu hak dia, Nerisa. Kenapa lo yang mesti ribut" Toh pasti Freya udah mikirin
masak-masak segala keputusannya. Dia menunjukkan bahwa dia sudah nggak care
lagi sama lo. Buktinya kemarin dia nggak datang menjenguk lo, kan" Padahal gue
sudah beritahu dia kalo lo sakit tapi dia nggak datang. Teman macam apa dia"
Sebenarnya selama ini gue nggak mau turut campur, tapi ini sudah berlebihan. Lo
masih juga mengharap dia membuka hatinya buat lo, menyambung persahabatan
kalian yang pernah terputus. Nggak bisa, Nerisa, waktu terus berjalan dan kita
sudah beranjak dewasa. Kita bukan anak kecil lagi yang bisa memaksakan
kehendak kita. Kita berhak memilih dan dia juga telah memilih untuk tidak
menganggapmu sahabat lagi. Sadar dong, Nerisa. Apa yang lo lakukan hanya
menyakiti diri lo sendiri. Dia sama sekali nggak peduli." Kini gantian Rindu yang
emosi. Jelas saja Rindu emosi. Ia yang selalu mendampingi Nerisa. Ia tahu perjuangan
Nerisa selama ini. Ia tahu Nerisa melakukan semua demi Freya. Ia yang menemani
saat Nerisa menangis, mengeluh dan kecewa pada sikap Freya.
"Ada apa ini?" Bu Nadya masuk kelas dan heran, tak ada yang menyadari
kehadirannya. Perhatian seisi kelas seakan tersedot pada Freya dan Nerisa juga
rindu. "Kalian semua duduk ke tempat masing-masing. Pagi-pagi sudah konferensi." Bu
Nadya melihat murid-muridnya kembali ke tempat duduk masing-masing dengan
ogah-ogahan. "Sekarang keluarkan kertas, kita akan ulangan mendadak."
Nah, baru deh heboh. Anak-anak nggak siap untuk ulangan mendadak. Sedangkan
Freya dan Nerisa sama sekali nggak bisa berkonsentrasi. Apalagi nerisa yang
semalam nggak tidur, dan pagi-pagi sudah emosi.
"Nerisa, kertas kamu mana?"
Nerisa tergagap mendengar teguran Bu Nadya. Teguran pertama sejak ia masuk
sekolah ini. Freya menatap Nerisa, Nerisa balas menatapnya, sebelum akhirnya saling
memalingkan wajah. Sejak kejadian tadi pagi Nerisa enggan berbicara dengan Freya. Tak seperti
biasanya, selalu mengajak Freya mengobrol walau selalu dicuekin Freya. Kali ini
Nerisa lebih banyak diam. Sampai saat rapat panitia outbound Nerisa sering kena
tegur oleh Rindu. "Kamu masih mikirin kejadian tadi pagi ya, Nerisa?"
"Maaf ya, Rindu." Nerisa menyerahkan daftar peserta outbound. "Ini datanya sudah
masuk semua dan gue juga udah bilang kalo iurannya paling lambat lusa. Yang
belum bayar udah gue beri tanda. Dan kayaknya nggak banyak yang ikut karena
masing-masing sudah punya acara."
"Ya nggak apa-apa. Kita memang nggak bisa memaksa," kata Rindu sambil
menghela napas. "Rindu, maaf, gue pulang duluan ya" Kepala gue pusing banget," kata Nerisa.
"Apa perlu gue antar ke dokter?"
"Nggak usah, lo kan mesti ngelanjutin rapat." Nerisa beranjak, ia menatap temantemannya yang lain. "Maaf ya gue duluan."
Nerisa segera berlalu. Di depan pintu ruang OSIS ia berpapasan dengan Freya yang
hendak menuju ruang komputer. Mereka saling diam, tak ada kata-kata yang
terucap dari keduanya. Setelah sama-sama menjauh, Freya menghentikan langkah
dan menoleh ke belakang. Ia melihat Nerisa berjalan menjauhinya. Freya mendesah
sambil memejamkan mata. Nerisa menghubungi Om Frans dengan ponselnya.
"Om Frans, Nerisa butuh bantuan Om."
Nerisa menutup teleponnya kembali. Ia menajamkan mata sambil masuk mobil.
Nerisa tak kembali ke apartemen tapi langsung menuju kantor Om Frans.
Ada SMS masuk di ponsel Freya, isinya "Tolong turun sebentar. Saya ada perlu."
Dari nomor tak dikenal. Freya melirik jam dinding, sudah jam sembilan malam.
Segera ia mematikan komputer di kamarnya lalu ke lantai bawah.
Seorang lelaki berdiri di depan pagar rumahnya.
"Anda siapa?" Tanya Freya galak.
Lelaki itu mengulurkan tangan. "Saya Johan. Saya dengar Anda ahli komputer."
Freya mengerutkan kening.
"Saya minta bantuan Anda, saya akan bayar mahal."
"Anda salah orang. Saya memang bisa komputer tapi saya nggak ahli," kata Freya
jutek. "Tapi Anda bisa kan, bantu saya?" Tanya Johan memelas.
Freya menghela napas. "Bantuan macam apa yang Anda harapkan dari saya?"
"Boleh saya masuk?" Tanya Johan.
"Maaf, ini sudah malam, bisa kita bicarakan besok saja?" Freya sudah siap berbalik
kembali ke rumah. "Ini penting. Saya diberitahu teman saya bahwa Anda hacker yang hebat."
"Teman Anda berlebihan."
"Saya tahu, seorang hacker tak akan mengakui bahwa dirinya seorang hacker. Saya
bisa pahami itu. Anda ternyata seorang yang rendah hati," kata Johan dengan nada
memuji. "Bisakah kita langsung ke pokok permasalahan?" Sergah Freya.
"Oke, maaf. Saya heran saja melihat seorang hacker yang masih muda dan cantik
seperti Anda," kata Johan kembali memuji.
Freya mulai kesal. "Langsung saja, saya masih banyak pekerjaan."
"Oke, maaf. Begini ceritanya. Saya mencurigai istri saya selingkuh dengan laki-laki
lain. Dan untuk membuktikannya saya harus bisa membuka file yang dia simpan di
komputer pribadinya."
"Anda bisa bawa laptop istri Anda kemari biar saya pelajari dulu."
"Bukan laptop tapi PC dan jika saya bawa kemari pasti istri saya akan curiga. Saat
ini istri saya sedang pergi dan mungkin tengah malam dia akan kembali."
"Anda gila, memberi waktu saya hanya beberapa jam," sergah Freya.
"Untuk hacker sekelas Anda, waktu segitu nggak ada artinya. Jika mau, pasti dalam
hitungan menit bisa Anda lakukan."
Freya tersenyum, pintar juga orang ini. Ia memang bisa melakukannya, minimal ia
bisa mempelajari dan mengakses data pribadinya.
"Ini alamat rumah saya. Tolong saya. Hanya Anda yang bisa menyelamatkan rumah
tangga saya. Saya benar-benar buta komputer."
Freya menerima kartu nama laki-laki itu. Jarak rumahnya dengan rumah laki-laki itu
nggak terlalu jauh. Lagi pula baru jam sembilan lebih sedikit.
"Baiklah, saya akan segera ke sana." Akhirnya Freya mengangguk.
"Terima kasih. Selamat malam." Johan berbalik pergi.
Freya berpamitan pada Bi Narsi untuk keluar sebentar tanpa menyadari bahaya
yang sedang menantinya. Freya berjalan kaki mencari alamat yang tertera di kartu nama. Alamat yang aneh.
Daerah ini ia kenal karena tidak jauh dari rumahnya, tapi alamat tepatnya kok nggak
ada yang tahu. Padahal Freya tadi sempat bertanya ke warung dan para tukang
ojek. Lagi pula, kenapa tempat ini sepi sekali" Nggak ada orang yang lewat. Tepat
ketika ia menyadari kesalahan yang dibuatnya, dua laki-laki menghampirinya.
Dari tampang mereka sepertinya mereka memiliki maksud buruk. Freya mundur
beberapa langkah. Ia pasang kuda-kuda. Dua laki-laki itu tersenyum.
"Cari siapa, Neng?" Lengan lelaki itu bertato.
Freya hendak melarikan diri, tapi lelaki itu buru-buru menangkap tangannya. Dengan
cekatan Freya menendang lelaki itu. Lelaki itu kesakitan dan marah. Ia
mengayunkan tinju ke wajah Freya. Namun Freya berhasil menghindar. Freya
hendak melarikan diri tapi kakinya ditarik orang yang telah dipukulnya tadi sehingga
ia terjatuh. Freya hendak berdiri namun laki-laki yang satunya keburu menangkap
tubuhnya. "Mau ke mana kau?"
"Lepaskan!" Teriak Freya.
Freya yang gesit mampu melepaskan diri. Ia mengayunkan tendangan dan tinju
yang telak mengenai kedua orang itu, hingga keduanya kesakitan.
"Hebat juga tuh anak... Kita tak bisa melawannya satu-satu, harus maju bareng,"
kata lelaki yang bertato, disambut anggukan temannya.
Keduanya kini mengeroyok Freya. Tenaga Freya mulai terkuras, tendangan dan
tinjunya tidak terarah. Ia malah berkali-kali kena tertendang dan bogem. Perutnya
sakit. Belum lagi rasa asin yang ia rasakan saat bibirnya berdarah. Pelipisnya juga
nyeri. Akhirnya ia tak sanggup lagi mempertahankan diri, ia terkapar di tanah. Diam
dan tak bergerak lagi. Bi Narsi menyodorkan segelas teh lagi untuk Nerisa yang menunggu di ruang tamu.
"Tadi sih pamitnya hanya sebentar, Non."
Nerisa melihat jam tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam Freya belum
kembali. "Dia bilang mau pergi ke mana gitu, Bi?"
"Nggak, Non. Tadi ada tamu yang datang, setelah itu Non Freya pamit mau pergi
sebentar. Katanya ada pekerjaan gitu."
Nerisa menelan ludah. Saat itu ponselnya berbunyi. Ada SMS dari seseorang.
"Ya sudah, Bi. Sudah malam, saya mesti pulang. Kalau Freya pulang bilang saya
kemari," pesan Nerisa.
"Baik, Non, nanti saya sampaikan."
Nerisa menuju mobilnya untuk pulang. Bi Narsi masuk ke rumah. Lalu ia teringat
sesuatu. Boneka monyet yang sering dipanggil Freya si Momo. Freya pernah bilang
kalau Bi Narsi bertemu dengan Nerisa, boneka monyet itu harus ia kembalikan. Bi
Narsi buru-buru menyusul Nerisa, tapi sayang Nerisa tak mendengar panggilan Bi
Narsi. Mobil Nerisa keburu pergi.
Mobil Nerisa hampir saja menggilas tubuh yang terkapar di jalan. Nerisa turun dari
mobil. "Freya..." Nerisa menjerit minta tolong.
Orang-orang mulai berdatangan dan membantu Nerisa memasukkan Freya ke
mobilnya, lalu membawa Freya ke apartemennya.
NERISA telah mengganti pakaian kotor Freya dengan pakaiannya. Memang tampak
agak kekecilan, tapi Nerisa sudah mencarikan bajunya yang paling besar. Kini
tinggal mengobati luka-luka Freya. Ada beberapa bagian tubuh yang tampak memar.
Di pipi sebelah kiri, dekat bibir, dan tangannya, juga paha sebelah kanan. Dan
sampai saat ini pun Freya belum sadarkan diri.
Sambil menunggu Freya sadar, Nerisa membeli bubur ayam dan membuatkan teh
hangat. Ia yakin pasti sebentar lagi Freya akan sadar. Ia sudah mengolesi hidung
Freya dengan minyak angin.
Benar juga dugaan Nerisa, baru saja ia akan mengoleskan minyak lagi, Freya sudah
sadar. Mata Freya terbuka perlahan. Ia tampak sedikit bingung. Tangannya
memegangi kening. Ia melihat Nerisa duduk di sisi tempat tidur.
"Gue di mana sih?" Freya mencoba mengingat tempat asing yang dilihatnya.
"Lo di apartemen gue," kata Nerisa lembut.
"Oya, semua serbacokelat bikin gue tambah pusing." Freya hendak bangun namun
dicegah Nerisa. "Lo tiduran aja."
"Nggak, gue mau pulang." Freya berusaha duduk, ia melihat kaus warna cokelat
yang ia kenakan. "Mana baju gue?"
"Gue buang," kata Nerisa tenang.
"Apa"!" Tanya Freya kaget.
"Sudah sobek dan kotor banget. Emang lo kenapa sampai babak belur kayak gini?"
Tanya Nerisa. Freya duduk. "Kacamata gue pecah, ya?" Tanya Nerisa.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
Freya mendesah. "Gue nggak tahu... Kayaknya ada orang yang ngejebak gue. Gue
dimintai tolong buat melacak file komputer orang, mungkin ini ulah orang yang
mengetahui file komputernya mau gue lacak."
Nerisa terdiam. "Thanks ya sudah nolongin gue," kata Freya.
Nerisa mengangkat wajah, menatap Freya. Matanya mulai berair.
"Lo kenapa" Kok malah nangis sih?" Tanya Freya heran.
"Lo tadi bilang apa?" Nerisa malah balas bertanya.
"Gue bilang, thanks sudah nolongin gue."
"Gue bener-bener nggak nyangka lo bisa bicara semanis itu," kata Nerisa lirih.
Freya tersenyum. "Maaf ya, mungkin sikap gue selama ini sangat kasar sama lo."
"Mendingan lo istirahat dulu di sini sampe kondisi lo membaik." Nerisa mengambil
semangkuk bubur. "Gue udah telepon Bi Narsi. Ngabarin kalo lo sekarang baik-baik
saja dan ada di apartemen gue."
Freya sedikit kesulitan menerima mangkuk bubur dari Nerisa. Tangannya sulit
digerakkan. "Gue suapin aja," tawar Nerisa.
"Lo?" Tanya Freya tak percaya.
Nerisa meringis. "Buka mulut lo."
Freya memandang Nerisa lama. Nerisa tersenyum.
"Jangan pandang gue seperti itu. Emang gue apaan" Jeruk minum jeruk?"
Freya tersenyumam "Sori, gue heran aja. Lo masih baik banget sama gue setelah
apa yang gue lakukan sama lo."
"Gue hanya pengin lo menganggap gue sahabat. Karena dari kecil kita memang
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersahabat, kan?" Tegas Nerisa.
"Lo membuat gue makin merasa bersalah," kata Freya lirih. Tapi dia membuka
mulutnya dan membiarkan Nerisa menyuapinya bubur.
Nerisa meletakkan mangkuk kosong di meja. "Mau tambah lagi?"
"Oh nggak, thanks."
"Gue siap-siap ke sekolah dulu, ya" Entar lo gue mintain izin nggak masuk hari ini.
"Tanpa menunggu persetujuan Freya, Nerisa bergegas mempersiapkan diri untuk
berangkat sekolah. Dari mulai melewati gerbang sekolah sampai ke kelas Nerisa berjalan sedikit
berjingkrak. Ia tampak senang hari ini. Wajahnya ceria dan bibirnya tak henti
tersenyum. Hal itu mengundang perhatian dan keheranan banyak temannya.
"Ada apa sih, kok kelihatannya senang banget?" Tanya Dina penasaran.
"Rahasia..." Nerisa tersenyum sambil mencolek dagu Dina.
"Ih... segitunya..." Dina sedikit kecewa. "Pasti lagi menang undian, ya?"
"Memang hanya undian yang bisa bikin hati senang" Nggak lah yaw...," kata Nerisa
sambil tersenyum lebar. "Terus apaan?" Desak Dina.
"Rahasia..." "Ya udah... Paling entar gue tahu sendiri," kata Dina sambil balik badan sebal.
"Nggak bakalan." Nerisa kembali mencolek dagu Dina. "Rindu ke mana sih?"
"Belum datang."
"Tumben..." Nerisa meletakkan tas di kursi. Saat ia melongok ke pintu, Rindu baru datang
dengan agak tergesa-gesa.
"Ada apa sih?" Tanya Nerisa heran.
"Nggak, kirain sudah mau bel," kata Rindu sambil terengah-engah.
"Slow down, baby... Masih lama." Nerisa langsung menarik tangan Rindu untuk
diajaknya keluar lagi. "Sst... Sini... Ada yang pengin gue omongin."
"Oke, tapi gue taruh tas dulu di bangku."
"Entar aja." Nerisa terus menggelandang Rindu sampai di tempat yang jauh dari
jangkauan kuping-kuping para penggosip.
"Ada apa sih" Keliatannya lo girang banget," tanya Rindu penasaran.
"Bagaimana gue nggak girang" Gue sudah bisa menjinakkan si monster," kata
Nerisa dengan mata berbinar-binar.
"Yang bener?" Mata Rindu ikut berbinar. "Selamat deh..."
Ner isa manggut-manggut. "Dia sudah mau ngomong panjang sama gue. Bahkan dia
berterima kasih pada gue karena sudah nolongin dia dan minta maaf segala."
"Nolongin dia" Emang dia kenapa?" Tanya Rindu curiga. Nerisa mengangkat bahu.
"Nggak tahu, kayaknya habis digebukin orang."
"Weits, kasihan banget. Pasti ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai
hacker," kata Rindu. "Mungkin sih... Gue nggak tahu, yang pasti dia sekarang ada di
apartemen gue. Dia sudah jinak banget."
"Kalo gitu entar siang boleh gue ke apartemen lo?" Tanya Rindu.
"Jangan dulu deh, gue masih ingin berduaan sama dia."
"Cie... Kayak pacaran aja," goda Rindu.
"Pikiran lo itu!" Nerisa meninju lengan Rindu. "Maksud gue, gue ingin membujuk dia
supaya ikut acara outbound."
"Sampai segitunya..." Rindu cengar-cengir.
"Iya dong... Gue nggak mau kalah taruhan sama lo," kata Nerisa sambil cemberut
dibuat-buat. "Ih... Dasar pelit."
"Biarin... Pelit pangkal kaya!"
"Hemat...," sergah Rindu.
"Itu versi umum, versi gue beda..." Kata Nerisa sambil nyengir.
"Terserah lo aja deh." Rindu menarik tangan Nerisa.
"Balik ke kelas yuk, entar keduluan ada guru yang masuk."
"Oke, siap!" Nerisa dan Rindu masuk ke kelas bareng.
Tiduran sampai berjam-jam membuat punggung Freya jadi sakit. Ia berusaha duduk.
Ia melihat ruangan ini bernuansa cokelat. Benar-benar tidak berubah, dari dulu
Nerisa suka warna cokelat. Kalo disuruh milih barang selalu milih yang warna
cokelat. Heran deh, kok ada orang yang maniak banget dengan warna cokelat.
Freya sedikit bergeser. Ia melihat tumpukan buku milik Nerisa. Nggak ada yang
menarik. Untuk ukuran Freya buku-buku yang dimiliki Nerisa terbilang sedikit banget.
Mungkin karena Nerisa belum lama menempati apartemen ini sehingga rak bukunya
masih kosong melompong. Untuk menghilangkan kejenuhan karena harus berdiam
diri ditempat tidur, Freya meraih buku yang cukup membuatnya tertarik. Buku warna
cokelat dengan cover unik. Ada hiasan mote dan bunga keringnya.
Saat Freya menarik buku itu, selembar foto jatuh dari dalamnya. Dengan sedikit
susah payah Freya memungut foto itu. Foto cowok ganteng. Lalu ia membalik foto
itu, ada tulisan BILLY di belakangnya. Pasti ini orang yang spesial buat Nerisa, pikir
Freya. Freya mengembalikan foto tersebut ke dalam buku kemudian meletakkannya
kembali ke atas meja. Freya mulai berfikir, mungkin ada baiknya ia bersikap ramah pada Nerisa. Ia tak
mungkin melanjutkan aksi acuh tak acuh dan kasarnya pada Nerisa setelah apa
yang Nerisa lakukan. Nerisa telah menolongnya dengan membawanya ke
apartemen, merawat lukanya, mengganti pakaiannnya, dan menyuapinya. Freya
merasa nggak sanggup lagi memusuhi Nerisa.
Walau tak dapat dipungkiri Freya sedikit heran kenapa nerisa yang menemukannya
saat ia terkapar di jalan" Apakah ini sekedar kebetulan, ataukah ada rahasia di balik
semua ini" Otak Freya berpikir keras. Mana mungkin secara kebetulan Nerisa ada di sana" Ia
harus mencari tahu kebenarannya.
Menjelang sore Nerisa baru balik ke apartemen. Ia membawakan Freya makan
siang. "Lo masih suka martabak, kan" Nih, gue bawain."
Freya masih diam saja seakan tak menghiraukan kedatangan Nerisa.
"Ada apa lagi sih?" Nerisa duduk di samping Freya. "Sori, gue pulangnya telat,
soalnya ada rapat panitia outbound, tapi ini rapat terakhir kok. Pelaksanaannya kan
dua minggu lagi, sedangkan besok kita sudah tes. Berarti hari ini kondisi lo harus
benar-benar pulih supaya besok bisa ikut tes." Nerisa terusa saja nyerocos.
"Gue ingin nanya, tapi lo harus jawab dengan jujur." Kata Freya dengan tajam.
Nerisa tak dapat menyembunyikan ketegangannya mendengar ucapan Freya.
"Malam itu lo sendiri yang nemuin gue di jalan?" Tanya Freya kaku.
Nerisa tergagap. "Iya, emangnya kenapa?"
Freya menatap Nerisa dengan tajam. "Aneh!"
"Ya nggak lah. Semalem gue habis ke rumah lo dan pulangnya gue lewat di sana.
Gue nggak nyangka kalo lo sampai kena musibah kayak begini," kata Nerisa.
"Jalan dari rumah gue ke apartemen lo nggak lewat jalan itu. Terus ngapain lo harus
lewat jalan itu"!" Sergah Freya.
Nerisa tergagap, wajahnya memucat. "Gue cari angin... Sudah lama gue ingin putarputar Jakarta."
"Cari angin" Klasik banget alasan lo!" Sentil Freya galak.
Nerisa memejamkan mata, menahan kekesalannya. "Lo mencurigai gue setelah apa
yang gue lakukan sama lo" Lo ini benar-benar belum berubah ya, Freya" Lo masih
juga jahat sama gue." Mata Nerisa mulai berair.
Freya menghela nafas. "Sori..." Freya mengusap rambut Nerisa.
"Kenapa sih buat menjadi sahabat lo aja susahnya minta ampun?" Isak Nerisa.
"Oke, gue janji nggak akan membahas masalah ini lagi." Freya berdiri. "Sekarang
gue mau pamit." "Tunggu..." Nerisa meraih tangan Freya. "Martabaknya?"
"Makan aja, gue sudah nggak suka martabak lagi."
"Terus sekarang lo sukanya apa?"
"Kalau mau menganggap gue sahabat, cari tahu apa makanan kesukaan gue
sekarang." Freya tersenyum.
Mata Nerisa bersinar. "Sahabat" Berarti kita bersahabat lagi, kan?"
"Lagi" Kapan gue nggak menganggap lo sahabat?" Tanya Freya.
"Thank you, Freya." Nerisa langsung memeluk Freya.
Freya hampir terjatuh karena kondisi tubuhnya yang kurang baik karena memarmemar.
"Lo yakin bisa pulang sendiri?"
"Pasti bisa, tinggal panggil taksi."
Nerisa mengantar Freya sampai depan lift apartemen. "Gue antar aja ke rumah."
"Nggak usah, waktu lo masuk sekolah tadi gue udah mengerak- gerakkan tubuh
gue. Sekarang nggak begitu sakit. Obat lo manjur banget."
"Oke, kalo gitu sampai besok di sekolah."
Setelah Freya pergi, Nerisa baru teringat belum menanyakan keikutsertaan Freya
dalam acara outbound. Tapi nggak apa-apalah, pikir Nerisa. Sekarang sikap Freya
padanya sudah berubah. Bahkan terakhir yang membuat hati Nerisa lega saat Freya
mengatakan masih menganggapnya sahabat.
SENGAJA Nerisa bangun lebih awal buat siap-siap. Ia sudah memasang alarmnya
supaya bunyi jam lima pagi. Ia nggak mau kena macet saat menjemput Freya di
rumahnya. Freya sendiri heran, pagi-pagi melihat mobil Nerisa sudah ngeceng
didepan rumahnya. "Mo ngapain lo?" Jangankan siap-siap, Freya bahkan belum mandi.
"Baru bangun, ya" Wajah lo jelek banget." Nerisa tertawa lalu tanpa seizin Freya
nyelonong masuk. "Hei, mo ngapain lo?" Freya mengikuti Nerisa sampai ruang tamu.
"Cepetan siap-siap entar kita telat lho," kata Nerisa.
"Lo berangkat aja sendiri," usir Freya.
"Ya ampun... Gue udah bela-belain kemari buat ngelihat keadaan lo dan berbaik hati
nawarin lo bareng ke sekolah, masih aja digalakin," keluh Nerisa.
Freya nyengir. "Siapa juga yang nyuruh lo melakukannya."
"Hati gue." "Apa"!" Freya bengong.
"Sudah, cepetan mandi... bau, tau..." Nerisa mendorong Freya.
Freya meringis kesakitan saat tangan Nerisa mengenai lukanya. Terpaksa Freya
menurut, ia siap-siap buat berangkat sekolah.
"Wah... ada Non Nerisa... ikut sarapan sekalian ya, Non?" Bi Narsi senang melihat
keberadaan Nerisa. "Boleh juga, masak apa, Bi?" Tanya Nerisa.
"Nasi goreng seafood, Non Freya yang minta."
"O... tapi boleh nggak ya sama Freya kalau Nerisa ikut sarapan di sini?" tanya
Nerisa ragu. "Ya pasti boleh dong, Non. Semalem saja Non Freya cerita banyak tentang Non
Nerisa," kata Bi Narsi penuh semangat.
"Oya?" Nerisa tampak sangat tertarik. Ia mencondongkan tubuhnya untuk lebih
mendengarkan ucapan Bi Narsi. "Dia ngomong apa aja?"
"Di bilang Non Nerisa yang menolongnya." Bi Narsi tersenyum. "Sumpah, Non, baru
kali ini Bibi lihat Non Freya kelihatan senang banget. Dia kelihatan ceria dan cerita
kalau dia dan Non Nerisa sudah baikan."
"Sebenarnya sih sudah lama Nerisa ingin baikan sama dia. Tapi Freya-nya aja yang
nggak mau." Kata Nerisa sambil pura-pura cemberut.
"Ya, sekarang Bibi ikut senang. Karena Non Freya sekarang ceria lagi."
Nerisa tersenyum. Ia berpaling dari Bi Narsi saat melihat Freya lewat. Ia habis
mandi, harum sabunnya tercium hidung Nerisa, handuk putih masih menggantung di
lehernya. "Ngomongin gue, ya?" sergah Freya.
"Ih, ge-er banget. Cepetan ganti baju," suruh Nerisa.
"Entar, makan dulu. Yuk..." Freya meraih tangan Nerisa untuk diajaknya makan
bersama. Nerisa mengedipkan mata pada Bi Narsi. Bi Narsi tersenyum.
Pemandangan langka terjadi saat Nerisa dan Freya turun dari mobil. Anak-anak
yang lain tercengang melihatnya. Mungkin mereka berpikir, kok bisa ya si monster
Freya berangkat sekolah bareng Nerisa" Atau bisa juga mereka terheran-heran
melihat wajah Freya yang babak belur digebukin orang.
"Woi... Muka lo kenapa, Freya?" Dina menghampiri Freya dan Nerisa yang baru
memasuki kelas. "Kemarin jatuh...," dusta Freya.
Nerisa tertawa geli di samping Freya. Freya langsung menginjak kaki Nerisa. Nerisa
melotot. Dina sudah berlalu. Ia digelandang teman lainnya yang mengajaknya ke
kantin. Mumpung bel masuk belum berbunyi.
"Freya, lo mau kan ikut outbound?" Tanya Nerisa sambil meletakkan tasnya di
bangku. "Nggak...," jawab Freya singkat. Ia langsung duduk di bangku kosong di sebelah tas
Nerisa. "Ayolah, Freya... Temani gue dong...," bujuk Nerisa sambil ikutan duduk di sebelah
Freya. "Lo kan ada Rindu."
"Rindu pasti sibuk sendiri. Dia kan ketuanya. Plizzz..." Nerisa memasang tampang
memelas. "Gue pikirin lagi deh," kata Freya melunak.
"Oke, no problem... Cuma gue berharap banget lo mo ikut."
"Iya, nanti gue pikirin lagi."
Nggak tahu dari mana datangnya tiba-tiba Rindu nyelonong duduk di antara mereka
berdua. "Geser dikit dong..." Rindu cengar-cengir. "Gue ikut prihatin dengan musibah yang
menimpa lo." Rindu melirihkan suaranya.
Freya melirik Nerisa. "Sori, Freya, gue cerita sama Rindu. Tapi sumpah, cuma sama Rindu doang."
"Dan gue nggak akan ngomong ke siapa-siapa, Freya," Rindu menyambung ucapan
Nerisa. "Thanks," kata Freya singkat.
"Lo nggak lapor polisi supaya diusut masalahnya?" Rindu mengamati lebam di wajah
Freya. "Nggak perlu, nanti malah berlarut-larut. Kalau mereka dendam akan lebih
berbahaya bagi gue," kata Freya.
Wajah Nerisa memerah. "Gue setuju dengan Freya. Takutnya mereka malah makin
nekat." "Tapi kan, kebenaran harus ditegakkan?" Tanya Rindu penuh semangat.
Freya tersenyum. "Nggak papa kok. Gue ambil positifnya aja, dengan peristiwa ini
gue sama Nerisa bisa baikan lagi."
"Ya udah kalo gitu." Rindu meraih tangan Freya. "Welcome home, teman..."
"Thanks." Nerisa tiba-tiba lebih banyak diam. Freya sedikit heran, apakah temannya itu sudah
kembali ke kebiasaannya semula yang pendiam dan dia sendiri mulai kembali ke
kebiasaannya semula yaitu banyak bicara" Tapi yang jelas, Nerisa tiba-tiba jadi
pendiam, padahal Rindu sedari tadi ngomong terus. Belum lagi ada beberapa teman
yang ikut nimbrung. Freya merasakan mulai bisa berbaur dengan mereka. Ngobrol
banyak dengan mereka, ia merasa sangat bahagia saat ini. Sesekali Freya melihat
kearah Nerisa yang menunduk seakan memikirkan sesuatu. Wajahnya tampak
mellow banget. Jam istirahat adalah waktu yang tepat buat ngajak Nerisa ngobrol. Freya mengajak
Nerisa ke kantin. Nerisa hanya memesan es cendol sedangkan Freya es cendol plus
bakso. Mereka ngobrol sambil makan. Kebiasaan yang nggak bener tapi sering
dilakukan orang. Habis asyik sih ngobrol sambil makan.
"Lo kenapa sih, Nerisa" Kok jadi pendiem gini?" Tembak Freya.
Nerisa tersenyum. "Nggak juga."
"Lo mikirin sesuatu, ya?" Tanya Freya lagi.
"Dikit." Nerisa tersenyum. "Gue senang sih lo sekarang banyak teman. Lo bisa
ngobrol asik dengan mereka. Tapi jangan cuekin gue dong."
Freya tertawa. "O... Jadi lo cemburu?"
"Apaan sih...?" Nerisa mencubit lengan Freya, Freya tertawa lepas.
"Nerisa, terima kasih ya untuk semua yang lo lakukan buat gue. Terima kasih untuk
kesabaran lo. Lo tahu semua yang telah lo lakukan ini membuat gue semakin
bersalah sama lo karena peristiwa tujuh tahun yang lalu," kata Freya lembut.
"Sudahlah, Freya, gue nggak mau mengingatnya lagi." Nerisa mengaduk-aduk es
cendol dengan sedotannya.
"Nerisa, boleh tanya sesuatu nggak?"
"Apaan?" Mata Nerisa membulat, ia makin tampak cantik dengan sepasang mata
indah itu. "Billy itu siapa sih" Pacar lo, ya?" Freya mengedipkan sebelah mata.
Namun reaksi Nerisa sungguh berbeda, wajahnya tiba-tiba murung. Matanya
berkaca-kaca. "Sori, Nerisa, gue nggak bermaksud..."
"Nggak apa-apa."
"Gue semula mo cari buku bacaan tapi foto itu jatuh gitu aja. Gue nggak bermaksud
buka-buka arsip lo."
"Gue bilang nggak apa-apa..." Air mata mulai jatuh di pipi Nerisa. "Gue ke toilet dulu,
ya?" Nerisa buru-buru pergi.
Freya tertegun, ia merasa sangat bersalah. Nerisa kok bereaksi sampai segitunya
ketika mendengar nama Billy disebut" Walau penasaran Freya nggak berani tanya
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi pada Nerisa. *** Rasa bersalah Freya makin bertambah saat Nerisa murung terus sepanjang sisa
pelajaran. Freya sendiri kikuk harus memulai pembicaraan karena Nerisa seakan
sedang tidak menginjak bumi, entah ke planet mana pikirannya melayang. Sampai
dua kali Nerisa ditegur guru gara-gara ketahuan lagi ngelamun.
Baru saja Freya bisa akrab dengan Nerisa, kini mereka jadi jauh lagi gara-gara
Freya salah ngomong, menanyakan tentang Billy yang ternyata menyentuh sisi
sensitif Nerisa. Tapi Freya berusaha mencairkan suasana. Ia mengajak Nerisa
ngobrol saat pulang sekolah. Walau hanya dijawab sepotong-potong oleh Nerisa.
"Besok Senin mulai tes, kita bisa belajar bersama, Nerisa. Gimana, kamu mau?"
Tanya Freya menawarkan. Nerisa mengangguk. Freya menggigit bibir bawahnya. "Gue benar-benar sori, seharusnya gue nggak
tanya tentang Billy."
"Gue kan sudah bilang nggak apa-apa Freya," kata Nerisa dengan nada sabar.
Freya menelan ludah. Ia mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat koleksi lagu di
dasbor mobil Nerisa. "Lo punya lagu-lagu baru apa saja?"
"Banyak tuh, lihat aja."
"Oke." Freya memilih satu CD berisi komplikasi lagu-lagu baru. "Gue pinjem ini, ya?"
Nerisa mengangguk. "Entar sore gue ke rumah lo buat belajar bersama. Lo pasti butuh banyak buku buat
persiapan, soalnya lo masuk sekolahnya nanggung banget," kata Freya.
"Iya, thanks ya." Nerisa memutar setir memasuki halaman rumah Freya. "Sampai
nanti sore ya?" "Oke, lo bawa mobilnya hati-hati," pesan Freya sambil turun dari mobil.
Sampai di apartemennya, Nerisa langsung melempar tas ke sofa, lalu merebahkan
tubuh di sana. Tangannya meraih buku untuk mencari foto Billy.
"Kenapa gue belum juga bisa melupakan lo, Billy" Kenapa gue memiliki cinta yang
begitu dalam sama lo?" Air mata Nerisa kembali menetes.
Sebentar kemudian tubuhnya terguncang oleh isakan tangis yang semakin menjadijadi.
Ponsel Nerisa berbunyi, buru-buru Nerisa bangun, mengusap air matanya lalu
menjawab telepon. "Ya, Om..." Nerisa terdiam lama. "Nerisa minta maaf, Om." Ponsel itu pun ditutup
kembali oleh Nerisa. Nerisa merebahkan kembali tubuhnya. Kini dia tidak menangis lagi, hanya berdiam
diri lama... Setelah mengolesi wajah dengan salep supaya bengkaknya berkurang, Freya
mempersiapkan buku-buku yang akan dibawanya ke apartemen Nerisa. Freya tahu
Nerisa bukan anak yang pintar. Ia tahu beberapa kali nilai ulangan Nerisa jeblok.
Tapi karena anak baru, Nerisa nggak mendapat teguran keras dari guru. Guru
maklum, mungkin Nerisa perlu waktu buat menyesuaikan diri. Tapi kalau begini
terus, bisa-bisa Nerisa nggak naik kelas. Sebagai teman, Freya ingin juga
membantu, mengingat sudah banyak yang dilakukan Nerisa baginya selama ini.
Namun tiba-tiba Freya teringat pada peristiwa tadi di sekolah saat ia menanyakan
tentang Billy. Heran banget. Tiba-tiba kok Nerisa jadi berubah murung banget
sampai nangis gitu. Mungkin ini saatnya Freya bisa membantu Nerisa. Ia tak tahu
apa yang mesti ia lakukan, tapi semoga ia dapat membantu Nerisa. Untuk langkah
awal Freya mesti lebih dekat dengan Nerisa. Dengan begitu Nerisa mau berbicara
banyak tentang Billy, baru setelah itu ia akan tahu apa yang mesti dilakukannya.
Seperti saat ia melakukan tugasnya sebagai hacker. Langkah awal ia mesti
mengumpulkan informasi untuk mencari informasi tentang target yang akan
diserangnya. Ia harus melacak kelemahan yang dimiliki target. Ia harus mencari
informasi dengan melihat pesan error yang terdapat pada target atau mencari
informasi dengan mengambil data dari log, atau backup files. Baru setelah itu
melakukan scanning, attack, backdoor, dan sebagainya. Freya tersenyum sendiri.
Kenapa ia bisa menghubungkan masalah Nerisa dengan komputer, coba" Mungkin
karena dunia komputer sudah menyatu dengan dirinya.
Freya mendesah, ia melihat ke arah Momo yang ia dudukkan di pinggir tempat tidur.
"Mo, mama kamu kenapa ya" Kok kayaknya sedih banget. Kamu tolongin aku ya
buat cari tahu tentang Billy. Apa Billy itu papa kamu ya, Mo?"
Freya geli sendiri, segitu gilanya kah ia mengajak bicara boneka monyet"
KEDATANGAN Om Frans sedikit membuat Freya heran. Tak biasanya Om Frans
menyempatkan mampir, apalagi dia kan orang yang supersibuk. Usahanya
berkembang pesat, bahkan terakhir Freya dengar, ia sudah membuka kantor cabang
lain yang secara khusus menyediakan jasa programmer dan analisis komputer.
Freya sendiri pernah diajak Om Frans untuk bergabung, tapi karena ia masih
sekolah, Freya menolaknya. Tapi ia berjanji kalau ada job yang sekiranya bisa di
kerjakan di sela waktu luangnya, ia mau membantu. Om Frans pun sangat senang
bekerja sama dengan seorang yang masih muda, penuh semangat, dan disiplin
seperti Freya. Freya juga selalu mampu menentukan sikap tegas jika tugas yang
harus dilakukan melanggar privasi yang mengakibatkan orang tersebut celaka atau
berada dalam situasi yang membahayakan, ia akan menolak. Dulu memang ia
pernah menjadi cracker tapi sekarang tidak lagi.
"Om dengar kamu dapat masalah. Makanya Om sempatkan mampir ke sini."
"Hanya masalah kecil. Nggak tahu Om kenapa Freya mudah banget percaya sama
orang. Mulai sekarang Freya akan hati-hati, nggak akan sembarangan terima job,"
kata Freya. "Iya, memang apa yang kita kerjakan tak jarang berhubungan dengan orang-orang
jahat. Jadi kamu mesti hati-hati," nasihat Om Frans.
"Hm... Omong-omong, dari mana Om Frans tahu kalau Freya baru ada masalah?"
Tanya Freya. "Nerisa yang cerita ke Om."
"Nerisa?" Jantung Freya berdegup kencang. "Om kenal Nerisa juga?"
"Iya, dia anaknya teman Om. Om banyak membantu dia selama dia tinggal di
Jakarta. Dia teman masa kecil kamu, ya?" Tanya Om Frans.
"Ya, Om. Berarti yang dulu meminta bocoran tes itu Nerisa ya, Om?" Kejar Freya.
"Bukan dia, tapi papanya. Kamu jangan tanya Nerisa. Nanti dia bisa marah sama
Om," kata Om Frans. "Om Frans tenang saja, Freya akan ajari dia. Sebentar lagi Freya akan ke
rumahnya. Nih, Freya udah siapin setumpuk buku buat kami belajar bersama," kata
Freya menenangkan. "Jadi hubungan kalian sudah baik?" Tanya Om Frans.
"Maksud Om?" Freya memalingkan wajah. "Maaf, Om, Nerisa cerita apa saja ke
Om?" Om Frans tersenyum. "Udah ah, Om pergi saja. Malah Om yang kamu introgasi."
"Eh, Om, kok gitu sih?"
"Kamu juga akan ke apartemen Nerisa, kan?" Kata Om Frans sambil beranjak dari
kursi tamu Freya. "Iya, Om." "Ya sudah, Om pergi dulu. Sampaikan salah Om pada Nerisa."
"Pasti, Om," kata Freya.
Om Frans, lelaki setengah baya itu terkenal sebagai hacker misterius. Ia banyak
tahu tentang beberapa hal. Tapi selama bekerja sama dengan Om Frans, Freya
merasa Om Frans orang yang bertanggung jawab walau tak dapat dipungkiri
beberapa kali Freya bersitegang dengannya karena perbedaan visi. Namun sampai
saat ini hubungan mereka masih baik-baik saja.
Apalagi sekarang Freya tahu bahwa Om Frans juga kenal dengan Nerisa. Freya
makin senang, setidaknya di Jakarta ini ada figur ayah buat mereka berdua. Itu
harapan Freya. Nerisa menggeliat, punggungnya terasa penat setelah hampir dua jam belajar
bersama Freya. Freya sendiri masih juga menerangkan soal-soal yang kemungkinan
besar keluar dalam tes final semester ini.
"Udah ya, Freya... Gue capek." Nerisa berdiri untuk mengambil cemilan.
"Kan baru jam tujuh."
"Heran deh... Lo suka banget belajar, ya" Hati-hati kacamata lo bisa setebel kaca
pembesar lho," kata Nerisa.
Freya meringis. "Gue nggak minus. Mata gue normal kok."
"Terus ngapain pake kacamata?" Tanya Nerisa heran.
"Buat gaya aja," kata Freya sambil cengengesan.
"Gila lo..." Nerisa mengamati Freya yang masih asyik menekuni buku fisikanya. "Iya
sih, kalo pake kacamata kayak gitu lo tambah cakep."
Freya meringis lagi. "Cepetan, udah lo kerjakan belum soalnya?"
"Ye... Gue tadi kan sudah bilang kalo gue capek." Nerisa merebut paksa buku
Freya." Jalan-jalan yuk, cari makanan yang enak."
Freya merebut bukunya kembali. "Nggak!"
"Ih... Freya..." Nerisa cemberut. Freya meletakkan bukunya, lalu meregangkan ototototnya.
"Ngapain lo ngeliatin gue sampai segitunya?" Freya melirik Nerisa yang sedari tadi
menatapnya. Buru-buru Nerisa memalingkan wajah. "Ih, ngapain gue ngeliatin lo?"
"Gila lo!" Nerisa mengambil bantal sofa lalu melemparkannya pada Freya. Freya
tertawa. "Gue normal, lagi. Kalo gue nggak normal nggak mungkin gue pacaran
sama Billy." Mata Freya melebar, nah akhirnya Nerisa buku mulut sendiri. Satu info lagi yang ia
ketahui, ternyata Billy pacarnya Nerisa.
"O... Jadi cowok cakep dalam foto itu pacar lo" Pinter banget lo pilih cowok."
Wajah Nerisa kembali mellow. "Tapi kami udah putus kok."
"Putus" Kenapa?" Kejar Freya.
"Udah deh, nggak usah ngebahas dia," kata Nerisa sambil cemberut.
"Oke." Freya mengacak rambut Nerisa. "Ternyata lo kenal Om Frans juga, ya?"
Nerisa tampak terkejut, hal itu membuat Freya heran.
"Lo kenapa, Nerisa?"
"Nggak, kapan lo ketemu Om Frans?" Tanya Nerisa dengan wajah pucat.
"Tadi sebelum gue kemari. Dia titip salam buat lo."
Nerisa terdiam, Freya melempar Nerisa dengan bantal.
"Malah bengong! Ada apa sih?"
"Nggak. Kita bicara soal lain aja deh," kata Nerisa mengalihkan pembicaraan.
"Ye... Dari tadi nyuruh ngebahas soal lain terus."
"Hm... Belajar lagi aja yuk?" Nerisa mengambil buku-bukunya lalu pura-pura
menekuninya. Freya menangkap kegelisahan dalam sikap Nerisa. Kentara banget saat ditanya
jawaban Nerisa nggak nyambung. Nerisa juga sering bengong dan nggak konsen
dalam belajar. Terlalu banyak yang Nerisa sembunyikan dari Freya. Namun Freya
memaklumi, mungkin perlu banyak waktu untuk lebih mengenal Nerisa yang
sekarang. Dengan belajar sungguh-sungguh, kita akan lebih percaya diri. Itu yang dirasakan
Nerisa saat menghadapi tes final semester. Baginya, Freya pantas menjadi
pengajar. Cara dia menerangkan sangat enak dan mudah dicerna.
Selama seminggu ini hubungan Nerisa dan Freya makin dekat. Mereka akrab
banget. Rindu ikut senang walau merasa sedikit dicuekin Nerisa. Tapi karena
sebagai aktivis sekolah, ia nggak begitu memedulikannya. Ia dapat menyibukkan
diri. Lagi pula bukankah semua mesti berkonsentrasi untuk tes kali ini"
"Gimana tadi, ada kesulitan?" Freya mengajak Nerisa ke perpustakaan untuk
mencari beberapa buku referensi.
"Nggak lah. Menulis jawabannya memang gampang, tapi benar atau tidaknya itu
yang nggak tahu..." Nerisa cengar-cengir.
"Dasar..." Freya menjitak kepala Nerisa.
Nerisa mengambil satu buku. "Gue pinjem buku ini deh..."
"Nggak... Yang lainnya aja," kata Freya sambil merebut buku yang dipegang Nerisa.
"Ih... Sekali-sekali baca novel boleh dong."
"Boleh, tapi lusa. Besok masih tes, tauk!" Freya mengembalikan buku itu ke raknya.
"Gila ya, lo kayak bokap gue, suka memaksakan kehendak..."
"Terserah..." Freya meringis sambil meninggalkan perpustakaan.
Nerisa mengejarnya sampai keluar ruangan.
*** Kedekatan Nerisa dan Freya juga tampak setiap hari dengan berangkat dan pulang
sekolah bareng. Freya pun sudah dapat membuka diri dengan teman-temannya
yang lain. Semua ini karena nerisa. Karena kesabaran dan ketekunan Nerisa, dan
Freya sangat menghargai usaha Nerisa.
"Ada satu hal yang mesti lo tahu, Nerisa." Freya berbicara di dalam mobil di selasela kesibukannya menyetir mobil menuju apartemen Nerisa.
"Serius amat..." Nerisa tersenyum.
"Tentang Momo." Freya menarik napas. "Maaf gue udah ngebohongin lo. Momo
masih ada di gue." Nerisa terkesiap, "Oh my God..."
"Setiap lihat Momo gue pasti ingat lo," kata Freya sambil tersenyum tipis.
"Emang wajah gue sama dengan wajah momo" Sembarangan lo..." Nerisa mencubit
lengan Freya. Freya mengaduh. "Maksud gue bukan begitu..."
"Iya... Gue ngerti..." Nerisa menarik napas panjang. "Gue juga nggak pernah
ngelupain lo. Gue sayang banget sama lo, Freya."
"Gue juga sangat sayang sama lo, Nerisa. Tapi gue sulit memaafkan diri gue karena
peristiwa tujuh tahun yang lalu."
Nerisa berdeham. "Momo itu sepertinya mirip lo deh. Lo kan suka sekali manjat
kayak monyet..." Nerisa mengalihkan pembicaraan.
Freya meringis. "Suatu saat Momo akan gue kembalikan."
"Suatu saat" Gila... Momo itu punya gue, Freya..."
"Tapi dia sudah lama ikut gue..." Freya meringis. "Nanti kita tanya Momo, dia mau
ikut Mama Nerisa atau Mama Freya..."
"Sinting... Dia itu boneka tauk..." Kata Nerisa sambil terbahak.
"Tapi gue udah lama menanamkan sifat manusia dalam dirinya."
"Dasar gila..." Nerisa tertawa.
Tiba-tiba Nerisa teringat sesuatu. Wajahnya berubah serius.
"Freya, jangan lo bilang lo akan pergi setelah mengembalikan Momo sama gue."
Freya terdiam. "Freya jawab gue. Lo tega ninggalin gue setelah kita lama nggak ketemu?"
"Maaf, Nerisa...," kata Freya lirih.
"Maaf" Gitu doang" Jahat banget sih lo" Nggak bosen-bosen ya lo nyakitin hati
gue?" Mendadak kemarahan Nerisa meledak. Freya masih terdiam.
"Freya... Jangan pergi, ya" Jangan tinggalin gue," kata Nerisa memelas.
"Nerisa... Maafkan gue. Semua sudah diurus Nyokap dan sepertinya kepergian gue
nggak bisa dibatalin," kata Freya.
"Berapa lama waktu untuk kita bersama, Freya?" Tanya Nerisa pasrah.
"Dua minggu." Nerisa terdiam, sepertinya sedang berfikir keras.
"Kita masih bisa berkomunikasi, Nerisa, mungkin lewat FB atau telepon," kata Freya
akhirnya. Nerisa menghela napas panjang.
"Freya, gue punya satu permintaan sebelum lo pergi."
"Oya" Apa itu Nerisa?" Tanya Freya lega. Sepertinya Nerisa bisa menerima
kepindahannya ke Jerman. "Tapi, lo mesti janji mau ngabulin permintaan gue."
"Oke, bilang saja."
Nerisa menarik napas panjang. "Lo ikut outbound ya?"
Freya membelalak, lalu tersenyum.
"Serius, Freya... Lo mau ikut, kan?"
Freya mengangguk. "Ada permintaan yang lain?"
"Nggak. Itu doang. Thanks ya!"
Freya sedikit heran melihat reaksi Nerisa yang senang banget ketika ia setuju ikut
outbound. Kalau hanya itu permintaan Nerisa, mudah banget baginya untuk
mengabulkan. Kirain permintaan yang aneh-aneh. Freya sendiri sebenarnya ingin
ikut. Ia ingin membuktikan ke teman-teman bahwa ia sudah bisa membuka diri. Ia
sudah meninggalkan masa lalunya, membuka lembaran baru, menjadi lebih
bijaksana dan bisa bergaul.
Semua itu, sekali lagi, karena Nerisa. Nerisa mampu membangkitkan semangatnya,
mengembalikan siapa sebenarnya dirinya. Orang yang hangat dan menyenangkan.
Ternyata Freya telah menyia-nyiakan banyak waktu untuk hal yang tak berguna.
Karena berbagi dengan teman, bisa saling mengasihi, memberi, dan menerima
ternyata sangat indah. Freya mencubit pipi Nerisa yang kembali bengong.
"Kita sudah sampai di apartemen kamu..." Freya tertawa melihat Nerisa mengelus
pipi kesakitan. "Jangan suka bengong terus... Nanti kemasukan setan..."
Nerisa tersenyum. "Entar sore lo ajarin gue lagi, kan?"
Freya mengangguk. "Pasti." Freya melihat Nerisa turun dari mobil.
Kembali Freya mendesah melihat cara berjalan Nerisa yang sedikit pincang. Rasa
bersalahnya pada Nerisa belum juga hilang saat melihat kaki itu. Sepasang kaki
yang sebenarnya indah tapi karena dirinya jadi nggak indah lagi.
"Maafkan gue, Nerisa..." Desah Freya sambil melajukan mobil meninggalkan
apartemen Nerisa. AKHIRNYA tes final semester kelar juga. Setelah seminggu para murid nggak bisa
ke mana-mana dan hanya belajar terus, kini hari kemerdekaan sudah datang. Walau
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum tahu hasil tesnya kayak apa tapi yang penting para murid bisa pergi otbound
untuk menghilangkan stres.
"Ini daftar nama peserta." Nerisa menyerahkan secarik kertas pada Rindu, Rindu
melihanya sekilas. "Lo tolong absenin semua, pastikan nggak ada yang terlewat karena busnya sudah
nunggu dan kita mesti segera berangkat," pintu Rindu.
"Oke. Siap, Bos!" Nerisa nyengir, ia langsung menarik tangan Freya. "Lo ikut bantuin
gue yuk." "Tapi...," Freya berusaha ngeles.
"Ala... Nggak usah pake tapi. Yuk!"
Nerisa dan Freya bergantian mengabsen peseta yang sudah kumpul di sekitar bus.
Menurut catatan ada sekitar seratus peserta, dan panitia sudah menyiapkan dua bus
besar. Mereka tampak bersemangat. Dengan tas masing-masing juga jaket dan Tshirt, mereka tampak bergaya. Maklum, biasanya hanya pake baju putih abu-abu,
sekarang pakai pakaian bebas. Mereka tampak beda dan lebih dewasa
dibandingkan saat pakai seragam.
"Aduh, udah hampir jam delapan kok belum lengkap pesetanya sih?" Nerisa mulai
sewot karena setelah didata banyak yang belum datang.
Seksi acara pun sudah bersiap, mereka berkoordinasi dengan seksi peralatan.
Entah permainan apa yang mereka rencanakan untuk acara outbound nanti. Yang
pasti mereka berusaha membuat acara seasyuik mungkin karena ini memang acara
untuk menghilangkan stres sambil mengakrabkan diri satu sama lain.
"Gimana, sudah siap semua?" Rindu kembali mengecek.
"Belum semua, Rin." Keluh nerisa.
"Coba hubungi mereka lewat telepon. Minta kepastian mereka, kalo nggak ikut ya
kita tinggal saja. Kita nggak mungkin menunggu lama-lama," kata Rindu tegas.
"Oke. Siap, Bos!"
Rindu mengecek yang lain. Ia memang supersibuk hari ini.
Freya pun antusias membantu Nerisa menghubungi satu per satu peserta yang
belum datang. Kesibukan yang beda dari biasanya membuat Freya senang. Apalagi
kini keberadaannya sudah diperhitungkan teman-teman yang lain. Dia nggak lagi
dianggap angin lalu kayak dahulu.
*** Sesampainya mereka di Puncak, hari menjelang siang. Acara selanjutnya
pembagian kamar. Panitia memang sengaja mengacak kamar antara anak kelas
satu, dua, dan tiga. Dan kalau mereka tahu ada yang bersahabat maka sengaja
dipisahkan. Itu dilakukan agar para peserta saling mengenal teman yang baru dan
makin akrab. "Aduh... Kita pisah kamar deh, Freya. Lo kamar nomor berapa?" Tanya Nerisa.
"Lima" "Gue tujuh. Lo mampir ke kamar gue ya kalo mau makan atau keluar ke mana saja,"
pesan Nerisa. "Oke." Freya dan Nerisa masuk ke kamar masing-masing. Mereka diberi waktu setengah
jam untuk bersiap-siap dan memasukkan barang bawaan ke kamar masing-masing.
Acara outbound ini direncanakan berlangsung selama dua hari saja. Nanti malam
ada api unggun, baru besok pagi acara outbound. Setelah mereka selesai
meletakkan tas masing-masing di kamar yang telah disediakan, acara selanjutnya
makan siang bersama. Panitia sudah menyiapkan makan siang prasmanan yang
dipesan sepaket dengan tempatnya-jadi panitia nggak perlu repot-repot mikirin
makanannya. Semua sudah disediakan pemilik vila tersebut.
Freya menggeser tempat duduknya ketika Dina, Rindu, dan Nerisa datang. Mereka
membawa sepiring nasi beserta lauknya. Ada telur pindang dan tempe mendoan.
"Sumpah, gue nggak nyangka akhirnya lo mau ikut, Freya," Rindu membuka
pembicaraan. "Iya, disuruh nemenin Nerisa."
Rindu main mata pada Nerisa karena mengakui kekalahannya dalam taruhan itu.
Nerisa nggak jadi mentraktir Rindu makan di kantin selama seminggu.
"Lo sekarang beda banget ya, Freya, lebih ceria," kata Dina dengan mulut yang
masih penuh nasi. "Gue kan pernah bilang, sahabat gue ini orangnya menyenangkan. Sekarang
terbukti, kan?" Kata Nerisa gembira.
"Lo berlebihan, Nerisa. Biasa aja, kali..." Freya tersenyum.
"Justru teman-teman yang salut sama lo, Nerisa, bisa mengubah Freya." Dina
cengar-cengir. "Bukan mengubah, tapi mengembalikan ke bentuk semula...," kata Nerisa
mengoreksi. Keempat cewek itu tertawa. Suara tawa Dina yang paling keras. Itu membuat
mereka jadi pusat perhatian. Beberapa orang melihat ke arah mereka sambil
merespons dengan gaya masing-masing. Ada yang berbisik, ada yang tertawa, dan
ada yang datang lalu ikut nimbrung.
Di acara api unggun ada beberapa permainan yang mengasyikan. Para peserta
dibagi menjadi sepuluh kelompok. Masing-masing berlomba membuat jarak
rentangan sepanjang-panjangnya. Boleh menggunakan kaki, merentangkan tangan,
boleh pakai jaket untuk menyambung tangan yang satu dengan yang lain. Bebas!
Pokoknya kelompok terpanjang akan menang. Acara itu cukup seru. Bahkan ada
yang nekat melepas tirai vila untuk dijadikan rentangan. Benar-benar aneh tingkah
mereka. Kemeriahan juga tampak di kelompok Freya. Mereka terdiri atas tujuh cowok dan
hanya tiga yang cewek termasuk Freya. Freya yakin banget akan menang karena
masing-masing membawa jaket yang bisa direntangkan. Bahkan para cowok rela
melepas baju mereka lalu disambung-sambung biar tambah panjang jarak
rentangan mereka. Acara yang diadakan di halaman belakang vila itu sangat menarik. Malam yang
seharusnya sunyi berubah menjadi ramai dengan celotehan peserta juga pembawa
acara yang pandai melucu serta pandai membawa suasana tambah meriah.
Ternyata yang kalah kelompoknya Nerisa. Maklum, kebanyakan pesertanya ogah
buka baju. Alasannya dingin, dan para cowok malu karena banyak cewek. Yang
pasti kelompok Nerisa kalah, dan mereka dihukum dengan menyanyi sambil
berjoget. Gerakan mereka lucu, Freya sampai terpingkal-pingkal melihat gaya
mereka. Habis itu acara bakar jagung dan nyanyi-nyanyi. Nah, acara kayak gini lebih santai.
Nggak menguras otak dan energi. Beberapa orang membakar jagung dan yang lain
menyiapkan minuman hangat berupa jahe, kopi, dan cokelat. Sedangkan sebagian
lagi menyiapkan roti bakar isi selai kacang dan nanas.
"Nih, buat lo." Nerisa menyodorkan jagung bakar pada Freya.
"Lho, kok cuma Freya yang diambilin sih" Buat gue mana?" Rindu langsung protes.
"Ambil sendiri, jadi ketua manja banget sih..." Nerisa cengar-cengir.
"Ya... Terima nasib... Habis manis sepah dibuang..." Rindu beranjak pergi untuk
mengambil jagung bakar yang sudah matang.
"Lo senang kan, Freya?" Nerisa duduk di atas tikar di samping Freya sambil
menikmati jagung bakar hangat.
"Ya. Thanks ya sudah ngajakin gue," kata Freya tulus.
"Santai aja, kali. Lo kan sahabat gue," kata Nerisa.
Rindu datang lagi, membawa tiga jagung bakar. Ia duduk di samping Nerisa sambil
cengar-cengir. "Memang lo bisa ngabisin tiga jagung?" Nerisa melihat Rindu makan jagung cepat
sekali. "Mau?" Rindu menyodorkan satu jagung kepada Nerisa.
"Nggak, habisin aja."
"Nggak usah disuruh, entar gue habisin..." Rindu tersenyum.
Sesuai rencana, acaranya memang dibuat sesantai mungkin. Jadi mereka memiliki
banyak kesempatan buat ngobrol. Para cewek satu per satu masuk kamar karena
kelelahan tapi para cowok masih asyik bernyanyi diiringi gitar. Hanya beberapa
cewek yang masih bertahan hingga lewat tengah malam. Mereka sebagian memang
menjaga kondisi tubuh buat persiapan outbound besok sehingga staminanya fit.
Mereka mendapat bocoran bahwa mereka akan menyeberang sungai segala,
padahal jarak vila ke sungai jauh banget. Jadi mereka harus benar-benar jaga
kondisi dan mengumpulkan tenanga buat besok.
Nerisa sudah masuk kamar setelah menghabiskan jagung bakar. Sementara Freya
dan Rindu masih di sana. Bahkan Rindu sudah mengganyang roti bakar sedangkan
Freya hanya tambah secangkir cokelat hangat.
"Nerisa itu menyenangkan, ya?" Rindu membuka pembicaraan kembali setelah
beberapa saat mereka diam.
"Iya, gue beruntung punya teman seperti dia," kata Freya.
"Sayang kakinya pincang, ya" Coba kalo tidak, dia pasti selalu jadi incaran cowokcowok itu," kata Rindu.
"Memang besar banget ya pengaruh kaki?" Tanya Freya dengan hati berdesir.
"Ya iyalah, Freya." Rindu mendekatkan diri pada Freya. "Gue bilangin ya" Si Antok,
lo kenal kan yang anak kelas XII IPA 2 itu" Sebenarnya dia naksir berat sama
Nerisa, tapi waktu dia tahu jalannya kayak bebek gitu nggak jadi deh."
"Kasihan Nerisa," kata Freya lirih.
"Masalahnya bagi cewek, kaki itu penting banget. Coba aja lo lihat para peragawati
yang berjalan di catwalk. Dia tampak anggun karena cara berjalannya. Tentu karena
mereka memiliki kaki yang indah dan sempurna," kata Rindu lagi.
Freya terdiam cukup lama. Ia sangat menyesal telah membuat kaki Nerisa cacat
seperti itu. Jika benar apa yang dikatakan Rindu, ia merasa sangat bersalah pada
Nerisa. Seharusnya Nerisa berhak membencinya. Tapi tidak, Nerisa malah baik
padanya, memaafkannya. Dan...
"Kok bengong sih?" Rindu sudah menghabiskan rotinya, sekarang sepertinya mau
mengambil secangkir jahe.
"Nggak, kayaknya gue sudah mulai ngantuk, gue mau istirahat dulu, Rindu." Freya
beranjak meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kamarnya.
Di dalam kamar Freya gelisah. Ucapan Rindu sangat mengena dihatinya. Ia merasa
bahwa kesalahan masa lalunya sulit dimaafkan. Freya tanpa sengaja telah
menghancurkan masa depan Nerisa.
Apa yang diucapkan Rindu benar. Bagi perempuan memiliki kaki yang indah itu
penting. Freya sendiri pun sering mendengar orang-orang membicarakan kaki
Nerisa yang sedikit pincang. Rasanya ingin meninju mereka, tapi Freya berusaha
menahan diri. Bukankah itu hak mereka untuk menilai orang" Tapi yang tak Freya
suka, hal itu seolah prinsipil banget sehingga menjadi bahan ejekan buat mereka.
"Lo belum tidur, Freya?" Tegur temannya yang tidur di sebelahnya.
"Belum ngantuk," jawab Freya singkat.
"Kenapa nggak gabung dengan anak-anak yang masih gitaran di luar sana?" Tanya
temannya lagi. "Nggak," kata Freya sambil menarik selimutnya hanya sebatas lutut.
"Heran, sekarang udara di puncak nggak dingin-dingin amat, ya?" Komentar si
teman. "Iya," kembali Freya menjawab singkat.
Lama-kelamaan teman itu tak bertanya lagi. Setelah Freya menoleh ternyata ia
sudah tertidur. Yang membuat Freya geli, temannya itu walau cewek, tidurnya
mendengkur. Padahal penampilan luarnya feminim banget dan lembut.
Freya masih belum bisa memejamkan mata. Ia ingin ke kamar Nerisa untuk melihat
keadaannya dan memperhatikan lebih jeli kakinya, tapi sudah malam. Ia sungkan
dengan penghuni kamar yang lain. Takut mengganggu. Lebih baik besok saja.
BANYAK pengalaman baru yang Freya dapatkan. Inilah awal kehidupan remaja
yang ia inginkan. Remaja yang ceria, bersahabat dengan alam, dan selalu semangat
menghadapi masa depan. Pada saat Freya bangkit kembali dengan keberhasilannya meninggalkan bayangbayang masa lalu, justru Nerisa yang kini bertindak aneh. Freya sering kali
mendapati Nerisa melamun. Sampai saat ini Nerisa nggak mau terus terang tentang
apa yang sebenarnya dipikirkannya. Itulah sifat Nerisa yang sebenarnya. Ia mampu
menyimpan rahasia rapat-rapat. Tipikal orang yang bisa dipercaya karena pandai
menyimpan rahasia. Walau sebenarnya Freya nggak begitu peduli dengan perubahan sikap Nerisa
karena mungkin Nerisa juga butuh privasi, tapi hari ini saat persiapan outbound,
Freya melihat Nerisa duduk sendiri di bawah pohon sambil menangis.
"Lo kenapa, Nerisa?" Tanya Freya, menghampiri sahabatnya.
"Nggak..." Nerisa buru-buru mengusap air matanya begitu melihat kedatangan
Freya. "Kayaknya gue nggak ikut outbound-nya deh. Gue nggak sanggup kalo harus jalan
sejauh itu. Lagi pula nanti pasti ada acara permainan kerja sama tim. Gue hanya
akan menjadi beban dan merugikan tim saja." Nerisa menyeka air matanya.
"Kenapa sih lo berfikir seperti itu" Itu kan cuma permainan. Menang atau kalah itu
hal biasa," sergah Freya.
"Nggak, Freya! Gue nggak mau tim gue kalah karena kaki gue," kata Nerisa tegas.
Freya memejamkan mata lalu duduk di samping Nerisa.
"Gue minta maaf, Nerisa. Tapi plizz, lo harus ikut outbound. Percuma dong kita jauhjauh kemari kalau lo nggak ikut. Lo kan yang paling bersemangat mengajak gue.
Masakan lo biarkan gue sendiri?" Bujuk Freya.
"Tapi, Freya..."
"Lo tenang aja, kan ada gue," kata Freya menyakinkan.
Panitia terdengar berbicara memakai pengeras suara, meminta para peserta kumpul
karena acara akan dimulai.
"Nerisa, yuk kita bersiap." Freya meraih tangan Nerisa.
Dengan terpaksa Nerisa mengikuti Freya untuk kumpul dengan timnya. Tanpa
sepengetahuan Nerisa, Freya meminta pada panitia supaya dalam acara outbound
ini ia dijadikan satu tim dengan Nerisa.
*** Kabut turun, udara lumayan dingin. Nerisa merapatkan jaket cokelat mudanya.
Sedangkan Freya mengusap-usap tangannya sambil sesekali meniup untuk
menghalau dingin. Pandangan Freya mengarah pada pemandangan indah di daerah
Puncak. "Indah banget ya pemandangannya, Nerisa... Lo lihat tuh..." Freya menunjuk satu
bagian ke arah jam dua. "Iya, indah banget..."
Semua anggota tim sudah berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Acara
outbound akan segera dimulai.
"Oke, kita akan berlomba untuk mencapai garis finis. Di sungai itu finisnya!" Kata
salah satu anggota panitia. Orang-orang mulai bersorak, ada yang senang, ada juga
yang mengeluh kenapa jauh sekali.
"Ikuti setiap petunjuk. Kami sudah menyediakan lima pos. Di setiap pos akan ada
petugas yang akan memberi petunjuk tentang permainan apa yang mesti kalian
lakukan. Oke, semua sudah siap" Saya minta ketua masing-masing tim berjalan di
depan untuk membimbing anak buahnya."
Setelah selesai memberi instruksi, panitia acara melakukan tugasnya memberi
petunjuk pada semua pemimpin tim. Sesuai permintaan Freya, Nerisa setim
dengannya. Freya juga diminta jadi ketua timnya. Masing-masing tim terdiri atas lima
orang. "Oke, siap semua" Hitungan ketiga, silakan kalian secepatnya menuju pos pertama.
Satu... Dua... Lima..."
Orang-orang mulai berlarian, tapi segera panitia memanggil mereka kembali.
"Woi... Tiganya belum gue sebut! Ayo kembali ke barisan masing-masing."
Heboh dan sangat ramai, celotehan dan tawa berbaur jadi satu.
Rombongan Freya dan kawan-kawan untuk sementara menempati peringkat kelima
dari dua puluh kelompok. Lumayan juga. Pada pos pertama mereka diminta bekerja
sama memasukkan kelereng. Caranya, masing-masing membawa potongan bambu
berisi kelereng. Harus sambung-menyambung dan kelereng tak boleh jatuh. Setelah
sepuluh kelereng baru boleh melanjutkan perjalanan menuju pos kedua.
Pada pos kedua ada permainan lain lagi. Masing-masing tim diminta bekerja sama
untuk memenuhi botol dengan air tapi tanpa memakai alat, alias pake tangan.
Padahal jarak antara ember berisi air dengan botol lumayan jauh. Banyak di antara
peserta yang begitu sampai di tempat botol diletakkan, air dalam tangan mereka
sudah habis di perjalanan. Permainan ini cukup seru, belum lagi tabrakan yang
terjadi antarpeserta. Pada pos ketiga ada permainan melemparkan bola ke dalam keranjang. Ini juga
sangat seru. Kelihatannya sih mudah, tapi ternyata sulit juga. Mereka sering gagal
karena kurang konsentrasi dan cenderung bernafsu untuk segera menyelesaikan
permainan. Nggak disangka Nerisa jago melempar bola sehingga kontribusi yang
diberikan Nerisa sangat membantu tim. Kepercayaan diri Nerisa mulai tumbuh lagi.
Di pos keempat ada permainan yang paling sulit. Mereka harus melewati jalan yang
hanya menggunakan dua bambu besar yang dipasang sejajar.
"Gue nyerah, Freya, gue nggak bisa." Nerisa mulai patah semangat lagi.
"Lo bisa, Nerisa... Sekarang tim kita nomor dua, kalo bisa melalui ini kita bisa
menyusul timnya Rindu..." Desak teman lainnya.
Mata Nerisa mulai berair. Ia menunduk melihat kakinya. Freya meminta yang lain
segera jalan duluan, Freya dan Nerisa menyusul.
"Naik ke punggung gue," perintah Freya.
"Apa"!" "Cepetan, kita nggak punya banyak waktu. Tim lain akan segera menyusul." Freya
berjongkok. Ragu-ragu Nerisa meletakkan tangan ke pundak Freya, lalu menariknya lagi.
"Lo jalan sendiri saja. Gue tunggu di sini." Nerisa ngeri melihat medan yang akan
mereka tempuh.
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nerisa ragu apakah dua bambu itu dapat menopang tubuh mereka berdua dan tak
patah di tengah jalan. Dan bagaimana jika Freya tergelincir" Mereka akan masuk ke
lumpur dan jadi tontonan banyak orang.
"Cepat, Nerisa... Mereka makin dekat. Tinggal satu pos lagi, lalu kita..."
Nerisa kembali meletakkan tangannya pada pundak Freya.
"Hoi... Cepetan..." Teriak anggota tim mereka secara bersamaan di seberang.
Mereka memberi semangat pada Freya dan Nerisa.
"Plizz, Nerisa... Lo harus percaya gue."
Akhirnya Nerisa naik ke punggung Freya. Kelompok lain menyusul. Namun anehnya
mereka nggak jadi menyeberang. Mereka terpana. Semua menyaksikan kejadian
aneh dan mengharukan itu. Saat dengan susah payah Freya menggendong Nerisa
melalui jalanan sulit itu. Saat Nerisa begitu percaya bahwa Freya akan
membawanya menyeberang. Tepuk tangan dan siulan dari orang-orang memberi
semangat membuat Freya makin yakin ia akan mampu melalui titian itu.
Saat kaki Freya menapak tanah kembali di ujung titian, tepuk tangan makin gegap
gempita. Freya menurunkan Nerisa.
"Kita berhasil, Nerisa... Lihat mereka nggak jadi nyeberang malah bengong. Lo lihat
kelompoknya Rindu, mereka malah bengong nggak melanjutkan perjalanan menuju
pos terakhir," kata Freya gembira.
"Thanks ya, Freya?" Nerisa mengusap keringat dari kening Freya. "Lo pasti capek
banget..." Freya meringis. "Tubuh lo kelihatannya kecil, tapi berat juga sih..."
Nerisa tertawa. "Yuk, kita menuju pos terakhir..." Nerisa meraih tangan Freya.
Bersama tim, mereka menuju pos terakhir.
Pos terakhir mereka di dekat sungai. Tim Freya menempati peringkat kedua dan
mereka bisa bermain air di sungai. Ada yang sekedar duduk di batu sambil
mencelupkan kaki di air, ada yang main ciprat-cipratan air, ada pula yang malah
mandi sekalian. "Wow... Asyik banget di sini..." Nerisa makin ke tengah, mencari aliran air yang lebih
deras. "Nerisa... Hati-hati. Batunya licin!" Freya berteriak karena jarak mereka lumayan
jauh. Beberapa orang main ciprat-cipratan. Kelihatan banget cewek-cewek yang lagi
pedekate. Mereka tertawa dan bercanda. Semakin lama semakin banyak yang ikut
main air karena tanpa sengaja air yang menciprat mengenai yang lain. Suasana
tambah seru. Bahkan para cowok nggak segan-segan lagi berenang. Freya pun
kena cipratan. Spontan ia membalasnya.
Nerisa melihat Freya begitu ceria dan bahagia. Ia melihat Freya bisa berbaur
dengan orang-orang itu sekarang. Freya telah kembali menjadi Freya yang dulu.
Freya yang penuh semangat dan energik. Freya yang murah senyum, Freya yang
bisa bergaul dan energik. Freya yang murah senyum, Freya yang bisa bergaul dan
disukai banyak orang. Akibat main air, mereka semua pulang dalam keadaan basah kuyup tapi mereka
senang bisa melalui acara outbound dengan gembira. Mereka berceloteh tak ingin
pulang karena ingin berlama-lama di tempat itu. Beberapa bertanya-tanya kapan
acara semacam ini diadakan lagi. Hal itu membuat Rindu sebagai ketua panitia
senang plus bangga karena sukses mengadakan acara semacam ini.
Tujuan untuk mengakrabkan sesama siswa SMA Nusantara II tercapai. Sekarang
mereka memiliki banyak teman. Ada yang tukar-tukaran biodata atau sekadar nomor
handphone. Bahkan ada yang sudah berteman di FB dan sebagainya. Yang lagi
naksir seseorang dan kebetulan orang itu ada di acara ini, mereka makin semangat
pedekate. Rindu memperkirakan setelah acara outbound selesai akan banyak
pasangan baru yang lahir.
Ada perjumpaan pasti ada perpisahan. Ada awal pasti ada akhir. Itu tema yang
dibawakan oleh panitia dalam penutupan acara outbound. Acara yang sangat
singkat namun sangat berkesan bagi para peserta.
Beberapa orang ditunjuk secara acak untuk menyampaikan pesan dan kesannya
selama mengikuti acara ini. Hampir semua menyatakan puas. Sayang Nerisa dan
Freya malah tak ada di tempat. Mereka sudah minta izin pada Rindu untuk pulang
duluan. Rindu pun mengizinkan karena ia percaya pada Nerisa.
"Yakin lo mau pulang duluan" Di bus kita kan masih banyak tempat kosong," tanya
Rindu pada Nerisa. "Gue pulangnya sama Freya kok. Lo tenang aja. Kami nggak bakal kesasar..."
"Ya udah. Sebenarnya menurut peraturan sih dilarang pulang sendiri. Datang samasama, pulang pun harus sama-sama, tapi kalo lo memaksa ya sudah nggak apaapa. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Takutnya semua pada ikutan. Mending kalo
langsung pulang, tapi kalo malah ingin berlama-lama di sini kan kacau...?" Rindu
menjelaskan panjang-lebar.
"Iya, gue tahu." Nerisa menepuk bahu Rindu. "Sampai jumpa di sekolah ya!"
"Freya-nya mana?" Tanya Rindu.
"Baru packing."
"Oke. Kalau gitu gue tinggal dulu karena gue mesti tutup acara sekarang..."
"Bye..." Nerisa memeluk Rindu.
Rindu bergegas masuk aula untuk menutup acara outbound.
Freya menggendong tas besar di punggung, tangan kanannya membantu Nerisa
membawa tas. Mereka berjalan menyusuri jalanan yang masih asri dengan
pepohonan dan pemandangan yang indah.
"Bagus sekali pemandangannya ya, Freya?" Kata Nerisa.
"Iya, kayaknya jarang ada orang yang sampai di sini," kata Freya.
"Udaranya sejuk dan pemandangannya menakjubkan."
"Tapi cukup berbahaya medannya. Mesti jalan hati-hati. Kalo sampai terpeleset bisa-
bisa masuk jurang." Freya melihat ke bawah, lumayan remuk juga kalau sampai ada orang tergelincir
dalam medan seperti ini. "Sebenarnya apa sih yang mau lo tunjukin sama gue sampai lo bilang pada Rindu
kalo kita pulang duluan?" Tanya Freya sedikit heran.
Freya masih ingat, tapi sehabis ganti pakaian, Nerisa tiba-tiba mengajak Freya jalanjalan. Lebih mengherankan lagi saat Nerisa minta Freya sekalian berkemas karena
setelah jalan-jalan mereka akan langsung pulang. Aneh banget, pulang naik apa
coba" Emang bisa jalan kaki sampai Jakarta" Tapi Freya nggak mau berdebat
dengan Nerisa. Pastilah Nerisa sudah merancang semuanya, minimal akan ada
mobil yang menjemput mereka dan mengantarkan mereka ke Jakarta.
Nerisa duduk di tepi jurang. Freya ngeri melihat dalamnya jurang.
"Agak mundur Nerisa, di sini berbahaya..."
"Emang... Berbahaya buat lo tapi bukan buat gue..." Nerisa tiba-tiba mencium pipi
Freya. Freya terkejut dan belum sempat ia berpikir, tangan Nerisa sudah mendorong
tubuh Freya sekuat-kuatnya.
Freya terjatuh ke jurang...
"TOLONG..." Teriakan Freya makin keras. Namun sekeras apa pun dia berteriak tak
akan ada orang yang mendengar. Tempat ini terlalu jauh dari pemukiman penduduk
dan jarang sekali orang sampai di sini.
Untung saja Freya berhasil meraih akar pohon sehingga dapat bergelantungan di
sana. Tapi untuk berapa lama?"
"Nerisa, tolongin gue dong... Ambilin tali atau apa kek?" Freya ngeri saat melihat ke
bawah. Tak bisa dibayangkan jika sampai jatuh. Akan fatal banget akibatnya.
"Lo takut ya, Freya?" Ucapan Nerisa sangat dingin.
"Heh! Lo itu kenapa sih" Lo tega banget sama gue! Lo sengaja ya nyelakain gue?"
Freya sedikit berteriak saat melihat Nerisa dengan santai duduk di pinggir jurang
sambil menatapnya. "Memang! Karena lo yang memulainya!" Mata Nerisa mulai berkaca-kaca. "Lihat kaki
gue, Freya"! Gue nggak akan pernah bisa maafin lo karena lo sudah
menghancurkan hidup gue! Gue benci lo!"
"Tapi itu kan kecelakaan, Nerisa! Sumpah! Gue nggak bermaksud nyelakain lo!" Jerit
Freya ketakutan. "Lo tahu penderitaan seumur hidup yang mesti gue tanggung akibat kaki gue ini?"
Nerisa mulai terisak. "Gue benci saat orang-orang memandang kaki gue! Mereka
memandang gue dengan tatapan aneh. Mereka menghina gue, memanggil gue
dengan sebutan si pincang. Gue gagal jadi model karena kaki gue ini! Bahkan yang
lebih menyakitkan, Mama Billy nggak merestui hubungan kami karena nggak mau
punya menantu pincang!"
Sejenak Freya terpana, hal itu membuat pegangannya hampir terlepas. Ia memaki
dalam hati, namun masih dapat meraih akar yang lain. Untung di sini banyak akar
pohon yang terjuntai. Tapi sampai kapan ia bertahan" Ia mulai berkeringat,
tangannya terasa basah dan licin.
"Plizz... Nerisa tolong gue... Kita bisa bicara baik-baik. Nggak kayak gini caranya..."
"Lo akan menderita seperti gue menderita, Freya! Lo akan jatuh dan menjadi cacat
seperti gue! Lo akan dipandang sebelah mata sama orang-orang!" Jerit Nerisa.
"Nerisa... Plizz... Gue udah nggak kuat lagi, Nerisa... Tolong gue, Nerisa...," kata
Freya mengiba. "Nggak...," balas Nerisa keras kepala.
"Nerisa... Kalo gue jatuh gue bisa mampus, dan lo akan jadi pembunuh! Masa depan
lo akan hancur juga!"
Nerisa terdiam sejenak, memikirkan ucapan Freya. Namun ia kembali melihat Freya
yang memandangnya dengan memelas.
"Gue nggak peduli, toh Billy sudah mutusin gue. Hidup gue sudah tak berarti tanpa
Billy. Gue sayang dan cinta banget sama Billy, tapi karena kaki gue, gue nggak bisa
bersatu dengan Billy. Billy nggak mau mengecewakan mamanya. Dia sangat
mengasihi mamanya." "Cih! Cowok kayak gitu nggak perlu lo pertahankan! Dia itu banci!" Teriak Freya
kesal. "Apa lo bilang"!" Sentak Nerisa marah.
"Cowok nggak punya prinsip! Kalo dia benar-benar mencintai lo, dia akan mencari
cara untuk meyakinkan mamanya bahwa dia sangat mencintai lo dan akan
mempertahankan lo apa pun yang terjadi! Dia itu nggak mencintai lo, Nerisa! Sadar
dong! Cinta itu bisa mencari jalan untuk menemukan kebahagiaan... Bukan seperti
itu!" "Tutup mulut lo!"
"Plizz... Tolongin gue, Nerisa...." Mata Freya mulai merah dan berair. Ia mulai putus
asa. Tenaganya mulai habis. Ia tak mungkin bergelantungan lebih lama di sana.
"Naik aja sendiri. Lo kan jago memanjat kayak monyet!" Kata Nerisa tak peduli.
"Gila lo, tapi nggak kayak gini!"
"Sama saja, lo pasti bisa nolongin diri lo sendiri! Lo kan hebat!"
Nerisa berdiri dan hendak pergi.
"Kalo lo mau nyelakain gue kayak gini, kenapa dulu lo nolongin gue saat gue
digebukin orang" Kenapa Nerisa" Jawab gue! Kenapa lo nggak ngebiarin gue
terkungkung dalam dunia gue sendiri, kenapa lo nolongin gue sehingga temanteman mau menerima keberadaan gue lagi" Ngapain lo susah-susah bilang ke
tetangga bahwa lo masih hidup" Jawab gue Nerisa!" Teriak Freya.
Nerisa menangis histeris mendengar teriakan Freya, lalu menutup telinganya.
Tangisnya semakin menjadi.
"Gue bohong! Gue memang sengaja ngebohongin lo! Selama ini gue nggak bisa
maafin lo. Gue sudah berusaha namun gue gagal. Setiap gue lihat kaki gue,
kebencian dan dendam gue muncul."
"Lo pasti bisa maafin gue, Nerisa. Gue akan bantu lo seperti lo sudah bantu gue.
Gue hanya butuh lo beri kesempatan buat membuktikan omongan gue. Gue bisa
menyayangi lo dan menjadi sahabat lo bahkan gue siap untuk menjadi kaki lo!"
"Gue nggak bisa, Freya... Gue memang ingin mengembalikan lo menjadi Freya yang
gue kenal. Lo akan merasakan sakit hati seperti yang gue rasakan, lebih daripada
kalo lo jadi Freya yang nggak punya hati dan dingin seperti yang mereka kenal. Gue
lakukan segala ucaya supaya lo menjadi Freya yang dulu. Bahkan gue sengaja
membayar orang untuk menghajar lo, supaya lo benar-benar yakin sama gue. Gue
buat lo jadi tergantung sama gue seperti dulu gue selalu bergantung sama lo. Lalu
gue akan hancurkan lo seperti lo sudah menghancurkan hidup gue. Jujur, Freya,
gue sempat berfikir akan menghentikan semuanya ini, tapi gue harus fokus pada
tujuan gue. Setiap gue ingat Billy, kebencian gue sama lo semakin besar..."
"Katanya lo sayang sama gue. Katanya lo mau kita bersahabat selamanya" Kenapa
lo jadi begini, Nerisa?" Teriak Freya.
"Sayang gue sama lo sebesar kebencian gue sama lo, Freya!"
Nerisa terduduk di tanah, tangannya meremas-remas tanah.
"Nerisa... Gue sudah nggak kuat lagi, Nerisa... Gue akan jatuh dan mati. Tapi satu
hal yang mesti lo tahu. Selama ini gue nggak pernah berhenti menyayangi lo... Lo
sahabat gue dan lewat Momo gue selalu mengingat lo. Gue selalu pegang janji lo
yang akan kembali untuk memaafkan gue. Bukan kembali untuk membalas dendam
seperti ini." Freya memejamkan mata. Ia merasa tak kuat lagi, satu pegangan
tangannya telah lepas. Hanya dalam hitungan detik tangan sebelahnya lagi akan
terlepas dan ia akan jatuh. "Thanks, Nerisa. Dengan begini lo benar-benar telah
membebaskan gue dari penyesalan panjang gue karena telah mencelakai lo. Kita
impas, Nerisa. Gue nggak berhutang lagi sama lo. Selamat tinggal, Nerisa..."
Nerisa memejamkan mata. Ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Setelah
ditunggunya beberapa saat, Freya tak bersuara lagi. Ia melangkah dengan kepala
tertunduk, meninggalkan tas-tas Freya begitu saja. Baru beberapa langkah,
kepalanya terasa sangat pusing dan akhirnya Nerisa jatuh tak sadarkan diri.
*** Tubuh Nerisa terasa dingin. Ia menggigil, semakin lama tubuhnya terguncang
semakin keras. Sampai akhirnya ia membuka mata.
Bola matanya berputar, ia melihat sekeliling. Bau obat menyengat hidungnya. Saat
seorang suster datang, Nerisa baru sadar bahwa ia berada di rumah sakit.
"Kamu sudah sadar rupaya. Lama sekali kamu pingsan." Suster itu memeriksa
keadaan Nerisa. Nerisa masih bingung, ia tak tahu siapa yang membawanya kemari. Yang ia tahu ia
sudah membunuh Freya. Setelah itu ia berjalan tanpa arah, kepalanya terasa pusing
dan ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
"Siapa yang membawa saya kemari, Sus?" Tanya Nerisa sambil terus melihat
sekeliling. "Saya yang membawamu kemari, Nerisa..."
"Om Frans?" Om Frans tersenyum, ia berjalan mendekati Nerisa, lalu duduk di sisi tempat tidur.
"Tadi kamu pingsan di puncak."
"Kok Om bisa tahu saya ada di sana?" Tanya Nerisa bingung.
Om Frans tersenyum. "Kamu istirahat dulu nanti Om datang lagi kalau kondisi kamu
sudah membaik. Oke?"
Om Frans menepuk bahu Nerisa lalu pergi.
Nerisa sungguh masih sangat bingung dengan kejadian yang dialaminya.
Bagaimana mungkin Om Frans bisa menemukannya di tempat terpencil seperti itu"
Apakah Om Frans sudah tahu bahwa ia sudah membunuh Freya dengan
mendorongnya ke jurang"
Perasaan takut, cemas, dan gelisah berbaur menjadi satu dalam diri Nerisa. Ia
menyesal telah melakukan perbuatan gila itu. Ia takut polisi menemukan mayat
Freya. Ia cemas semua orang mengetahui bahwa ia seorang pembunuh dan akan
menjauhinya. Sebenarnya apa yang dicarinya" Puaskah ia telah menghabisi nyawa Freya"
Apakah ia bahagia" Jawabannya tidak sama sekali. Justru sebaliknya, ia dikejarkejar rasa bersalah dan berdosa akibat perbuatan bodohnya. Ia tak merasakan
ketenangan dan kedamaian. Kematian Freya tak akan bisa mengembalikan Billy
padanya. Ia merasa telah hancur. Ia merasa kehilangan segalanya. Apakah ini
sebenarnya yang ia inginkan"
Kembali ke Jakarta untuk membalas dendam dengan mengorbankan perasaan
karena selalu dicaci-maki oleh Freya, namun ia selalu mengalah supaya Freya
kembali menjadi Freya yang dulu. Setelah semua situasi sesuai seperti yang ia
harapkan, ia langsung melaksanakan rencananya, membalas dendam dan sakit
hatinya atas cacat kaki yang disandang seumur hidupnya.
Kegagalan demi kegagalan ia alami akibat kakinya yang pincang. Nerisa tak
menyadari bahwa kegagalan yang ia rasakan bukan salah kakinya yang pincang,
namun karena ia tak mampu melihat sisi lain penyebab kegagalannya. Ia terus
memburu penyebab kakinya menjadi pincang. Freya... Itulah alasannya kembali ke
Jakarta dan membalas dendam.
Kini apa yang ia dapatkan" Ia benar-benar kehilangan segalanya. Penyesalan selalu
datang belakangan. Balas dendam ternyata tak mampu menyelesaikan persoalan
hidupnya tapi justru menambah masalah. Sebentar lagi ia akan mendapatkan
keadilan, seadil-adilnya.
"Freya... Maafkan gue...," desah Nerisa. "Gue yang seharusnya mendapatkan
julukan monster. Gue lebih jahat daripada siapa pun. Sekarang apa yang mesti gue
lakukan" Kalau akhirnya jadi begini, gue nggak akan datang ke Jakarta. Gue nggak
akan membalas dendam dan akan memaafkan lo, dan berdamai dengan hati gue.
Tapi sekarang semua sudah terlambat... Lo sudah pergi. Freya maafin gue... Gue
bukan sahabat yang baik."
Nerisa mulai terisak, makin lama semakin keras. Hanya para iblis yang mendengar
tangisannya saat ini. Ia larut dalam penyesalan, tak ada orang yang mendengarnya.
Di kamar rumah sakit ini ia sendiri. Mama dan Papa tak ada di sini. Nerisa tak tahu
apakah mereka sudah mendengar hal ini dari Om Frans atau belum. Yang pasti jika
mengetahui perbuatan anaknya, mereka pasti akan marah, kecewa, dan sedih.
"Mama, Papa... Maafkan Nerisa." Nerisa menutup wajahnya dengan bantal.
"Dendam telah menghancurkan hidup dan masa depan Nerisa..."
***
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar mentari pagi menerpa wajah Nerisa membuatnya membuka mata. Perlahan
sinar menyilaukan itu terasa hangat di kulitnya. Ia melihat seseorang berdiri
menghadap tirai. Ia menajamkan mata untuk mengetahui siapa wanita berambut
panjang berombak itu. "Tante Michelle?" Nerisa berucap lirih.
Tante Michelle tersenyum sambil mengusap pipi Nerisa.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Lumayan baik, Tante." Nerisa melihat sekeliling. "Tante Michelle datang kemari
dengan siapa?" "Sendiri. Om Frans yang meminta Tante untuk menjaga kamu." Tante Michelle
mendekati tempat tidur. "Waktu Tante datang ke sini kamu masih tidur. Dan
semalam Tante di sini menunggui kamu. Kamu kalau tidur banyak mengigau, ya?"
"Mengigau?" Jantung Nerisa berdetak kencang. "Saya bicara apa saja saat
mengigau, Tante?" Raut wajah Nerisa memucat. Ia takut mengigau dan berbicara sendiri tentang
masalah yang ia hadapi dengan Freya. Ia takut Tante Michelle mengetahui ia telah
membunuh seseorang. "Memangnya kenapa" Apa kamu punya masalah?"
"Oh nggak, Tante." Nerisa berbohong.
"Apa perlu mama dan papa kamu diberitahui tentang kondisi kamu?"
"Jangan, Tante..." Nerisa gugup.
"Baiklah, kalau begitu. Lagi pula kata dokter kamu boleh pulang hari ini."
"Oh ya... Tentu saya pengin segera pulang, Tante."
Sebentar kemudian Nerisa kembali tenang. Berarti sampai saat ini tak ada orang
yang tahu tentang perbuatannya, termasuk Tante Michelle. Apakah jenazah Freya
belum ditemukan" Pasti belum, karena kalau sudah tentu sudah ada polisi yang
datang menemui Nerisa atau setidaknya sikap Tante Michelle nggak setenang ini.
Untuk sementara Nerisa masih aman.
MENJELANG penerimaan rapor semesteran, anak-anak diwajibkan masuk, karena
sampai hari ini masih ada yang belum membayar SPP. Padahal mereka sudah
diberi peringatan berkali-kali. Semula, kalau tidak melunasi uang SPP. Mereka tidak
akan mendapat kartu peserta tes semesteran, tapi ada yang belum sanggup
membayar. Maka para orangtua murid yang belum melunasi SPP tersebut diminta
untuk menandatangani surat kesanggupan membayar maksimal sehari sebelum
penerimaan rapor semesteran dengan konsekuensi rapor tidak akan diberikan kalau
belum lunas SPP. Kenyataannya hari ini banyak murid yang tidak masuk. Paling kalau masuk hanya
setor wajah doang alias ngabsen. Memang tak ada kegiatan belajar-mengajar. Para
aktivis justru memanfaatkan momen ini untuk menyelesaikan PR yang sempat
tertunda selama tes. Seperti Rindu dan kawan-kawan yang telah melaksanakan acara outbound dengan
sukses. Mereka juga mengadakan pertemuan untuk melaporkan hasil akhir kegiatan
yang telah dilakukan sekaligus pembubaran panitia.
Sebagai panitia, Nerisa ikut dalam rapat itu. Dan seperti biasanya Nerisa banyak
melamun. Ia sama sekali nggak konsen dengan pembicaraan mereka, sampai Rindu
yang biasanya sabar kini jadi nggak sabar lagi melihat Nerisa melamun.
"Woi... Ada apa sih"! Bengong terus!" Rindu berkesempatan berbicara dengan
Nerisa begitu rapat bubar.
"Nggak ada apa-apa..." Seperti biasa Nerisa menutupi masalahnya, tapi ia tak bisa
menutupi kegelisahannya. Ia jadi mudah gugup.
"Lo sakit ya, Nerisa?" Tebak Rindu sambil mengajak Nerisa kembali ke kelas.
Nerisa melihat bangku Freya masih kosong. Dua hari ia ke sekolah namun Freya tak
datang. Tentu saja, pikir Nerisa. Bagaimana mungkiin Freya datang. Kecuali ia
datang dalam wujud lain...
Kulit Nerisa merinding membayangkan apa yang telah ia lakukan. Nerisa terus
memandangi bangku Freya. Ia teringat saat pertama kali duduk di bangku itu. Saat
temannya mengatakan bahwa pemilik bangku itu adalah monster, ia membayangkan
monster sungguhan. Tapi sekarang, ketakutan itu kembali lagi. Mungkinkah saat ini
Freya juga sudah duduk di bangku itu hanya saja Nerisa tak dapat melihatnya
karena sekarang dunia mereka berbeda"
"Woi... Melamun lagi..." Rindu menepuk pundak Nerisa. Nerisa terkejut banget
sampai ia melompat. "Gila lo... Kaget banget tau!" Katanya sebal.
"Habisnya dari tadi lo ngeliatin bangku Freya terus." Rindu cengar-cengir. "Lo
kangen ya sama Freya?"
"Apa"!" "Sudah dua hari ini Freya nggak masuk. Lo tahu dia kenapa?" Tanya Rindu.
Nerisa menggeleng. "Kata pembantunya, sejak dia ikut outbound sampai sekarang belum kembali ke
rumah," kata Rindu. "Kemarin gue telepon, karena sebagai ketua kelas gue wajib
mengecek ke mana murid yang tidak masuk tanpa kabar. Memangnya habis
outbound itu lo nggak memastikan dia sampai rumah atau tidak" Kan kalian pulang
bareng." Wajah Nerisa memucat, jantungnya berdetak kencang. Berarti ia tidak bermimpi. Ia
benar-benar telah membunuh Freya.
"Lo kenapa, Nerisa" Kok wajah lo jadi pucat begitu?" Tanya Rindu heran. Ia
langsung lupa pada pertanyaannya barusan.
"Nggak, nggak apa-apa."
"Bagaimana kalo nanti sepulang sekolah kita mampir ke rumah Freya. Siapa tahu
Freya sudah pulang," ajak Rindu.
"Dia tak akan pernah pulang ke rumah itu lagi," kata Nerisa lirih.
"Apa"!" Mata Rindu membulat.
Nerisa tergagap, merasa telah mengucapkan kata-kata yang seharusnya tak ia
ucapkan. "Maksud aku dia pergi ke Jerman untuk menetap di sana bersama
mamanya." "O..." Rindu mendesah. "Sayang ya... Padahal kita semua mulai suka lho sama dia.
Gue sama teman-teman sempat membicarakan Freya. Ternyata Freya itu baik dan
menyenangkan. Nggak sombong seperti anggapan kami selama ini."
Nerisa terdiam, merasa sangat bersalah. Ia melakukan kesalahan fatal. Ia merasa
kehilangan Freya. Dan ternyata orang-orang pun merasakan kehilangan juga.
"Sori, Rindu... Kayaknya gue mesti pulang sekarang. Badan gue kurang fit."
"Ya udah, gue antar ya?" Tawar Rindu.
"Nggak usah, gue bawa mobil kok."
Nerisa bergegas pergi. Di dalam kamar Nerisa menangis dengan mendekap lututnya. Ia teringat kembali
saat Freya menggendongnya melalui pos keempat saat outbound. Ia begitu
memercayai Freya dan Freya begitu ingin Nerisa bisa sampai ke tujuan.
Nerisa teringat soal Freya mengajarinya dengan sungguh-sungguh saat menjelang
tes semester. Dengan telaten tiap hari Freya datang untuk belajar bersama Nerisa.
Ia selalu memberi semangat Nerisa agar tak mudah menyerah menaklukkan soalsoal pada mata pelajaran eksak.
Air mata Nerisa semakin deras. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia tak
akan pernah melakukan tindakan bodoh itu. Ia tak akan mendorong Freya ke jurang.
Ia akan melupakan Billy dan memercayai ucapan Freya bahwa cowok seperti Billy
memang tak pantas dicintai karena tak mampu memperjuangkan cintanya.
Nerisa semakin kuat memeluk lututnya. Wajah. Freya membayang di otaknya.
Seperti film yang diputar kembali. Seperti ketika pertama kali Nerisa melihat Freya.
Nerisa ingin sekali memeluk Freya tapi sikap Freya yang dingin membuatnya
menarik diri. Freya yang dikenalnya telah berubah. Namun ia berhasil
mengembalikan Freya menjadi Freya yang dikenalnya. Saat semua telah menjadi
sempurna, justru ia yang menghancurkan segalanya dengan membalas dendam
pada Freya. Sekuat tenaga Nerisa menekan rasa sayangnya pada Freya. Ia
berusaha menumbuhkan kebenciannya pada Freya dengan selalu melihat kakinya.
Selalu mengingat penolakan Mama Billy, selalu mengingat kegagalan-kegagalan
yang ia terima. Selalu mengingat ejekan orang tentang kakinya yang pincang. Selalu
mengingat tatapan mata orang-orang yang memandang kasihan dan selalu
mengingat pesona Billy yang mematikan. Sehingga di akhir keputusannya. Ia
memilih untuk tetap membalaskan dendamnya pada Freya.
Kini Nerisa hidup dalam ketakutan dan rasa bersalah. Inikah yang diinginkan
Nerisa" Tentu bukan. Nerisa kini menyadari, perasaan semacam inilah yang
dirasakan Freya dulu saat tanpa segaja membuat Nerisa jatuh dari pohon. Perasaan
bersalah semacam inilah yang menyiksa Freya selama tujuh tahun. Kini Nerisa
merasakannya. Kini Nerisa tahu perasaan macam apa yang Freya rasakan. Hingga
membuat Freya tumbuh menjadi orang yang aneh di mata orang.
Nerisa meraih ponselnya, lalu menghubungi Om Frans.
"Om... Saya ingin membuat pengakuan..." Suara Nerisa bergetar.
Tak berapa lama kemudian Nerisa mematikan ponsel lalu merebahkan diri di lantai.
"Gue mesti menyerahkan diri pada polisi. Gue nggak bisa selamanya begini. Gue
akan minta bantuan Om Frans untuk memberitahu Mama dan Papa." Nerisa terisak
kembali. "Ma... Pa... Maafkan Nerisa..."
Karena kelelahan menangis Nerisa tertidur di lantai.
Om Frans duduk di depan Nerisa untuk mendengarkan pengakuan Nerisa. Nerisa
terus saja berbicara, sesekali berhenti untuk mengatur napas dan mengusap air
mata. Beberapa kali pula Om Frans menghela napas panjang. Namun pria berambut putih
itu tetap tenang mendengarkan pengakuan Nerisa sampai selesai.
"Maafkan saya, Om, seharusnya saya mendengarkan nasihat Om." Dengan kalimat
itu Nerisa menutup ceritanya yang panjang.
"Sekarang apa rencana kamu?" Tanya Om Frans masih dengan ketenangan khas
bapak. "Saya akan menyerahkan diri pada polisi, Om. Saya akan bertanggung jawab
dengan perbuatan saya. Saya tak ingin selalu dikejar-kejar rasa takut dan bersalah,"
kata Nerisa tegar. "Apa kamu yakin dengan begitu kamu akan merasa lega?"
Nerisa menunduk. "Om, saya tak tahu apa yang mesti saya lakukan. Penyesalan itu
pasti menghantui hidup saya, Om."
Om Frans memegang bahu Nerisa. "Nerisa, kamu memang banyak cerita pada Om
tentang hubunganmu sama Billy. Tapi kamu menyembunyikan hal terpenting dari
Om yaitu tujuanmu untuk membalas dendam pada Freya." Om Frans menghela
napas. "Seandainya dari semula Om tahu tujuan Nerisa seperti ini, Om tak akan
membantu Nerisa sama sekali. Walaupun Om ini teman baik papa kamu dan papa
kamu dulu banyak membantu Om, tapi Om tak akan membiarkan kamu melakukan
tindakan kriminal semacam ini."
"Saya minta maaf, Om," isak Nerisa.
"Nerisa, kamu telah membohongi Om. Menghancurkan kepercayaan Om dengan
perbuatanmu. Om marah, kesal, dan kecewa padamu karena tak bisa dinasehati.
Kamu hanya mengutamakan dendam. Dendam yang tak berdasar sama sekali!
Kamu telah membohongi Om dengan mengatakan kamu rindu ingin bertemu dengan
Freya, teman lamamu. Om nggak menyangka di balik semua itu kamu punya niat
sejahat ini!" Nerisa menangis semakin keras. Untung saja ruangan Om Frans kedap suara
sehingga tak ada yang mendengarnya.
"Saya minta maaf, Om..."
"Sekarang kamu ngerti kan, bahwa dendam tak akan menyelesaikan masalah tapi
justru menambah masalah. Selama ini Freya sudah menghukum diri sendiri dengan
menarik diri dari pergaulan. Itu semua dia lakukan demi kamu. Karena rasa bersalah
Freya pada kamu, Nerisa!" Napas Om Fras makin memburu. "Waktu itu kalian masih
terlalu kecil untuk berpikir dengan sengaja mencelakai orang. Apalagi Freya adalah
sahabat kamu. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang benar-benar faktor
kesengajaan. Om sangat kecewa padamu!"
"Om... Tolong saya, Om... Saya takut..." Nerisa menjatuhkan diri di kaki Om Frans.
Om Fras memejamkan mata. "Bangunlah..." Om Frans meraih pundak Nerisa untuk
memintanya berdiri. " ?"Om... Saya menyesal. Sumpah, saya menyesal..."
"Baiklah... Selama beberapa hari ini, Om akan pikirkan cara untuk menolong kamu."
"Tapi Om... Saya harus menyerahkan diri pada polisi..."
"Jangan dulu. Om akan cari jalan lain. Kamu harus percaya pada Om, dan kali ini
Om akan benar-benar marah kalau kamu tidak menuruti apa yang Om perintahkan."
"Terima kasih, Om. Nerisa janji akan mematuhi semua perintah Om Frans," kata
Nerisa, isaknya mereda. "Baiklah... Sekarang kamu kembali ke apartemen. Jangan katakan tentang hal ini
kepada siapa pun." Nerisa menuruti ucapan Om Frans. Ia kembali ke apartemennya. Ia merasa
hidupnya telah hancur. Nerisa merebahkan diri di sofa. Ia tak peduli walau seharian perutnya tak terisi. Ia
merasa tak ingin hidup lagi. Tangannya segera meraih foto Billy, dipandanginya
sejenak lalu dirobek-robek menjadi serpihan kecil, dihamburkan ke atas hingga
serpihan-serpihan itu menyebar mengotori ruangan. Nerisa menyadari apa yang
Freya katakan benar. Billy tak pantas mendapatkan cintanya.
Kembali Nerisa menangis, seakan air matanya tak habis-habis. Sebenarnya ia lelah
menangis, tapi tak bisa membendung air mata. Saat ini ia hanya bisa mengandalkan
Om Frans untuk menolongnya. Ia masih ingat ketika Om Frans sangat marah saat ia
melaksanakan rencananya menyuruh preman ke rumah Freya dan pura-pura
meminta Freya membantunya sebagai hacker dalam memecahkan perselingkuhan
istrinya yang datanya ada di komputer. Saat itu Om Frans sudah melarangnya.
Namun Nerisa tetap melaksanakan niatnya. Nerisa mesti bertindak cepat sebelum
Freya meninggalkan Jakarta untuk terbang ke Jerman. Nerisa sama sekali tak
mengindahkan nasihat Om Frans dan malah semakin buruk. Mata hati Nerisa
seakan tertutup oleh panasnya api dendam.
Kembali Nerisa meraih tasnya untuk mencari ponsel. Bagaimanapun ia harus
menghubungi orangtuanya. Tapi tak yakin apakah ia bisa bercerita sebanyak ia
mampu bercerita pada Om Frans. Mengingat selama ini hubungan Nerisa dengan
orangtuanya tak begitu dekat. Terutama dengan Papa yang cenderung emosional.
Saat tangannya masuk tas, ia menyentuh bulu-bulu halus di dalam tasnya.
Jantungnya berdetak kencang. Dengan cepat ia menarik bulu-bulu halus itu. Dan
betapa terkejut dia saat mengetahui bahwa itu ternyata Momo. Boneka monyet yang
ia titipkan pada Freya...
Mata Freya membesar, ia berlari keluar, ia mencoba melihat dalam gelapnya malam
dengan menyipitkan mata sambil berlarian mencari petunjuk tentang Momo.
Bagaimana mungkin boneka itu tiba-tiba ada di dalam tasnya" Pastilah seseorang
memasukkannya ke tas. Tapi siapa yang melakukannya"
Tak ada satu petunjuk pun. Nerisa terduduk sambil memeluk Momo. Kemudian
menciumi Momo bertubi-tubi. Air matanya menetes semakin deras...
GADIS remaja yang dikabarkan hilang beberapa hari ternyata ada di rumah Om
Frans. Freya masih hidup. Keadaannya pun tampak baik-baik saja. Selama
beberapa hari Freya tinggal di kantor Om Frans yang juga bisa berfungsi sebagai
rumah tinggal. Di sini Freya merasa aman, setidaknya tak ada orang yang tahu
keberadaannya, terutama Nerisa.
"Bagaimana tanganmu, Freya?" Tanya Om Frans setelah menutup pintu ruang
komputernya. "Sudah agak mendingan, Om. Hanya kayaknya jari-jari saya belum bisa saya
gunakan secara maksimal buat mengoperasikan komputer."
"Jangan memaksakan diri. Kata dokter, perlahan akan sembuh sendiri. Tak ada
yang perlu dikhawatirkan." Om Frans mengecek data dalam flash disk.
"Proyek baru ya, Om?" Freya mendekat ke meja Om Frans untuk mengetahui apa
yang Om Frans kerjakan. "Iya, proyek besar. Menyangkut rahasia negara."
"Wow hebat... Suatu saat saya pasti bisa seperti Om Frans. Menjadi hacker sejati.
White hacker!" Om Frans tersenyum. "Pasti kau bisa." Om Frans meminta Freya menyingkir supaya
tidak mengetahui apa yang sedang ia kerjakan. "Memiliki kepandaian yang luar
biasa tanpa diimbangi dengan hati yang baik akan sangat berbahaya. Lihatlah
banyak orang yang menggunakan kemampuan mereka untuk melakukan kejahatan.
Mereka adalah para cracker yang sengaja memasukkan sistem orang lain dengan
tujuan tidak baik. Baru saja ada berita seorang anak SMA yang jadi cracker
membobol beberapa ATM."
Freya terdiam, benar sekali apa yang dikatakan Om Frans. Ia juga dulu masih ingat
pernah dicobai Om Frans, untung ia tak mau melakukannya sehingga Om Frans
makin yakin untuk melibatkan Freya dalam proyeknya. Bagi Om Frans, orang yang
bisa diajak kerja sama harus memiliki moral dan etiket yang baik. Pandai saja tidak
cukup, perlu pemahaman yang mendalam untuk menjadi hacker yang baik.
"Om... Berapa hari lagi Freya bisa keluar?" Freya menarik tikar untuk tiduran.
Ia jenuh harus berada di ruangan ini seperti tahanan. Walau di sini ada banyak
komputer, tapi karena tangannya belum sembuh benar ia tak dapat
mengoperasikannya. Hal itu membuatnya jengkel. Ia ingin mengoperasikan
komputer tapi tangannya nggak mau diajak kerjasama.
"Terserah kamu, Om nggak pernah melarang kamu meninggalkan tempat ini," kata
Om Frans santai. "Maksud Freya, apakah Nerisa sudah tahu bahwa Freya masih hidup?" Tanya
Freya.
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sepertinya begitu, karena boneka monyet itu sudah Om masukkan ke tas Nerisa
kemarin." Freya tertawa keras. "Freya bisa bayangkan reaksi Nerisa. Pasti dia ketakutan
banget, masakan hantu bisa memasukkan Momo dalam tas."
"Tapi sepertinya dia sudah menyesali semua perbuatannya." Om Frans mematikan
komputer. Rasanya tak nyaman diajak ngobrol sambil mengoperasikan komputer.
Om Frans bahkan duduk di atas tikar dekat Freya.
"Oya" Kok Om Frans bisa membuat kesimpulan begitu?" Tanya Freya.
"Bukan kesimpulan, Freya, tapi memang Nerisa sudah mengatakannya. Kamu
sendiri bagaimana?" Tanya Om Frans.
"Dari dulu sampai sekarang Freya tak pernah membenci Nerisa. Mungkin dulu waktu
Nerisa datang, sikap Freya memang nggak bersahabat, tapi bukan berarti Freya
membenci Nerisa. Sama sekali tidak, Om. Bahkan sekarang Freya makin berterima
kasih pada Nerisa karena dengan peristiwa ini Nerisa tanpa sengaja telah
membebaskan Freya dari rasa bersalah Freya selama ini," kata Freya panjang-lebar.
"Om memang tak pernah punya anak, tapi Om sudah menganggap kalian anak-anak
Om. Jadi Om berusaha untuk memahami jalan pikiran kalian. Tak mudah memang,
tapi Om kan pernah muda. Kemarahan, dendam, harga diri sangat lekat dengan jiwa
remaja. Tak heran jika banyak sekali demo, tawuran, dan sebagainya hanya karena
mengikuti keinginan yang salah."
Freya tersenyum. "Terima kasih ya, Om, sudah bantuin Freya. Coba kalau Om
nggak ada di sana, pasti Freya sudah mampus. Terlambat sedikit saja Freya tinggal
nama doang." "Ya, Om mesti memastikan bahwa Nerisa tak bertindak nekat seperti yang dia
lakukan dengan menyuruh orang untuk mencelakaimu. Apa yang dilakukan Nerisa
sudah tak bisa ditolerir lagi. Itu sebabnya Om sengaja mengikuti Nerisa untuk
berjaga-jaga, dan setelah ini Om akan segera menghubungi orangtuanya untuk
menceritakan semuanya. Karena Om bukan orangtuanya, om nggak bisa melakukan
tindakan apa-apa. Orangtuanya yang berhak untuk mengarahkannya. Tapi dalam
menyampaikan hal ini Om akan cari waktu dan cara yang tepat sehingga orangtua
Nerisa maupun Nerisa sendiri bisa menerimanya dengan baik," kata Om Frans
memaparkan rencananya. "Cinta kadang bisa membutakan mata hati seseorang hingga melakukan tindakan
nekat ya, Om" Seperti cintanya Nerisa pada Billy," komentar Freya.
"Sebenarnya itu bukan cinta, Freya. Itu semacam kemarahan di dalam hati.
Kemarahan dan rasa tidak mampu menerima kenyataan bahwa kakinya cacat dan
cenderung menyalahkan seseorang, yaitu kamu, karena keadaan yang dialaminya.
Seperti kamu juga tidak mau memaafkan diri kamu sendiri dan cenderung
menghukum diri dengan mempercayai ucapan orang bahwa kamu anak nakal.
Kamu bertindak sesuai omongan orang yang sesungguhnya tidak benar.
Seandainya orang-orang bisa menerima bahwa peristiwa tujuh tahun yang lalu
sebagai kecelakaan murni, kamu tak akan menyalahkan diri kamu terus-menerus.
Sanksi sosial itu teramat berat." Om Frans menghela napas. "Contohnya begini, saat
seseorang narapidana menyesali kesalahannya dan menjalani hukuman di penjara
dia merasa lebih senang di penjara daripada menerima risiko setelah keluar dari
penjara. Cacian, makian, pandangan merendahkan, dan penolakan membuat dia
lebih menderita dibandingkan saat di dalam penjara. Itulah yang dinamakan sanksi
sosial. Jika masyarakat tidak bisa menerima peristiwa yang kamu alami tujuh tahun
yang lalu sebagai peristiwa kecelakaan murni, ada baiknya kamu mulai kehidupan
yang baru, juga untuk melupakan peristiwa yang membuat trauma," kata Om Frans.
"Freya bertahan di tempat ini karena Freya membawa boneka Momo, boneka Nerisa
yang Nerisa titipkan. Freya nggak ingin saat Nerisa datang untuk mengambilnya
Freya tak ada disana," kata Freya.
Om Frans tersenyum. "Kamu kan bisa memberitahu di mana keberadaanmu?"
"Masalahnya saya nggak tahu keberadaan Nerisa Om. Dan bodohnya saya juga
nggak berusaha untuk mencari informasi tentang dirinya. Saya hanya yakin bahwa
suatu saat Nerisa akan datang untuk memenuhi janjinya," kata Freya.
"Ya sudahlah... Semuanya telah berlalu. Dan sekarang apa rencanamu?"
"Saya tetap akan ke Jerman, Om. Lusa saya berangkat."
"Oke, baiklah. Apa semua sudah siap?"
"Sudah, Om, bahkan tiket dan visanya sudah ada di tangan saya." Freya menghela
napas. "Maaf, Om, saya memberitahu keberadaan saya pada Bi Narsi. Saya takut
dia cemas, jadi saya menghubunginya dan beberapa hari yang lalu saya sudah
membereskan semuanya untuk persiapan keberangkatan saya bersama Bi Narsi.
Saya pulang tengah malam dan nggak ada orang yang tahu."
"Sebelum pergi, apa kamu akan menemui Nerisa?" Tanya Om Frans.
"Entahlah, Om... Kalo membayangkan kejadian beberapa waktu yang lalu, Freya
ngeri juga. Di satu sisi Freya senang karena sekarang nggak punya utang lagi
dengan Nerisa dan bisa melanjutkan hidup dengan damai. Di sisi lain Freya masih
kesal banget sama Nerisa. Jadi Freya nggak tahu apa masih mau menemui Nerisa
atau tidak. Freya kayaknya butuh waktu untuk menenangkan diri dan benar-benar
bisa memaafkan diri Freya sendiri, dan Nerisa tentunya."
Om Frans memegang bahu Freya. "Om mengerti, memang tak mudah menerima
kenyataan bahwa orang yang kita kasihi telah tega mencelakai kita. Tapi Tuhan
membuat hati setiap manusia dapat memaafkan. Selama orang itu mampu melihat
sisi baik dari semua peristiwa yang terjadi."
Setelah mendapat nasihat panjang-lebar dari Om Frans, Freya memutuskan untuk
kembali besok pagi sehingga lusanya ia langsung bisa terbang dan menyusul
mamanya. *** Nerisa masih mendekap Momo sambil terus menginterogasi Rindu. Rindu yang
sengaja diundang Nerisa ke apartemennya sedikit kesal karena dikiranya ada
masalah penting, tapi ternyata Nerisa hanya menanyakan kenapa boneka monyet itu
bisa tiba-tiba ada di dalam tas sekolahnya.
"Memang apa sih anehnya kalo ada orang yang memberi lo boneka monyet" Kali
aja penggemar lo?" Tukas Rindu.
"Nggak, ini Momo, boneka gue."
"Nah, apalagi itu boneka lo sendiri. Bisa kan, lo lupa telah memasukkan boneka itu
ke tas lo." Rindu mencoba berargumen.
"Iya, tapi nggak mungkin tiba-tiba Momo ada di dalam tas." Nerisa diam sejenak. Ia
tak mungkin menceritakan pada Rindu bahwa selama ini Momo ia titipkan pada
Freya. Ia takut Rindu tahu perbuatan tercelanya.
"Aduh... Capek deh... Urusan boneka bikin ruwet. Mendingan kita keluar yuk, cari
makan...," kata Rindu sambil meregangkan tubuh.
"Nggak... Gue harus pergi ke tempat seseorang," tolak Nerisa.
"Gue ikut...," kata Rindu sambil langsung berdiri.
"Nggak...," tolak Nerisa.
"Ye... Kok gitu sih?"
Nerisa meraih ponselnya untuk menghubungi Om Frans. Ia berniat ke kantor Om
Frans, tapi Om Frans malah ingin mereka bertemu di apartemen Nerisa saja.
"Om Frans mau ke sini, jadi gue nggak perlu ke sana," Nerisa menjelaskan pada
Rindu yang sedari tadi bengong mendengarkan pembicaraan Nerisa di telepon.
"Emangnya siapa sih?" Tanya Rindu.
"Om Frans." "Ya udah, gue pulang aja, nggak mau ganggu kencan lo sama om-om..." Rindu
tertawa sambil menyambar kunci mobilnya.
"Sialan lo..." Nerisa menimpuk punggung Rindu yang hendak pergi dengan bantal.
Sudah hampir satu jam Nerisa menunggu kedatangan Om Frans, tapi Om Frans
nggak datang-datang. Nerisa mulai gelisah. Kalau menghubungi Om Frans lagi,
Nerisa takut Om Frans marah.
Akhirnya yang ditunggu datang juga. Om Frans tampak gagah dan kelihatan lebih
muda dari umur sebenarnya karena mengenakan kaus hitam ketat dan celana jins.
Wajahnya tenang seperti biasa.
"Lama ya menunggu" Tadi om ada tamu."
"Nggak apa-apa, Om, Nerisa maklum. Om kan orang sibuk."
"Ya, tapi Om akan selalu meluangkan waktu untukmu karena papa kamu yang
meminta Om menjaga kamu."
"Iya, Om. Terima kasih." Nerisa menarik napas panjang.
Ia mulai bercerita tentang penemuan barunya yaitu mendapati Momo di dalam tas.
Om Frans pura-pura mendengarkan dengan saksama walau dalam hati geli juga
karena dialah yang memasukkan Momo ke tas Nerisa. Lebih geli lagi saat Nerisa
mulai mengaitkan peristiwa itu dengan hantu dan sejenisnya.
"Menurut Om bagaimana?" Tanya Nerisa usai bercerita.
"Om nggak tahu, Nerisa. Tapi kalau menurut Om bukan Freya yang memasukan
boneka itu dalam tas kamu."
"Saya juga berpikir seperti itu. Tapi sampai sekarang Nerisa belum ada petunjuk
siapa orangnya. Nerisa sudah tanyai beberapa orang yang kemungkinan
memasukkan Momo tapi nggak ada yang mengaku."
"Ya sudah, tenangkan diri kamu dulu." Om Frans tersenyum. "Jadi sekarang
bagaimana" Apa kamu sudah siap menyerahkan diri pada polisi untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu?"
Jantung Nerisa berdetak kencang. "Om... Bisa nggak memberi Nerisa waktu untuk
mencari tahu siapa yang memasukkan Momo dalam tas Nerisa" Lagi pula,
sepertinya polisi belum menemukan jenazah Freya. Nerisa yakin Freya masih
hidup." "Kenapa kamu bisa yakin begitu?" Tanya Om Frans sambil mengernyitkan dahi.
"Waktu meninggalkannya sendiri, Nerisa nggak melihat tubuh Freya jatuh ke jurang.
Saat Nerisa meninggalkannya Freya masih berpegangan pada akar pohon. Siapa
tahu setelah Nerisa pergi, ada yang menolong Freya... Lagi pula tiba-tiba kepala
Nerisa pusing seperti ada yang memukul Nerisa dari belakang sebelum pingsan.."
Om Frans tertawa lebar, langsung bertepuk tangan mendengar ucapan Nerisa.
"Maksud Om apa?" Nerisa tersenyum keheranan.
"Bagus sekali analisismu. Memang ada yang menolong Freya setelah kamu jatuh
pingsan karena pukulan. Orang itu adalah saya." Om Frans mengacak rambut
Nerisa. "Dan Om juga yang memasukkan boneka monyet itu ke tas kamu atas
permintaan Freya." "Apa, Om"! Jadi Freya masih hidup" Pantas sepertinya Om tenang-tenang saja,
padahal ini masalah yang besar kan, Om?" Mata Nerisa tiba-tiba berbinar.
Ia melompat kegirangan. Hatinya begitu bahagia. Ia berkali-kali menjerit senang
sambil memeluk Om Frans. "Sekarang Freya ada di mana, Om" Nerisa ingin menemuinya..."
"Tunggu... Sepertinya Om tak akan mengizinkan kamu menemuinya lagi," kata Om
Frans sambil melepaskan pelukan Nerisa.
"Om... Sumpah, Nerisa benar-benar menyesal. Om harus percaya. Nerisa akan
buktikan omongan Nerisa. Nerisa akan berlutut di kaki Freya untuk minta maaf."
Nerisa mulai menangis. "Om Frans pasti tak percaya bahwa kali ini Nerisa jujur. Nerisa nggak sedang
berpura-pura, Om. Sungguh, Nerisa menyesal banget. Jika waktu bisa kembali.
Nerisa pasti akan memperbaiki semua kesalahan Nerisa. Nerisa siap menerima
semua kekesalan, kemarahan, bahkan pukulan dari Freya."
"Baiklah, Om percaya padamu. Lusa Freya akan terbang ke Jerman untuk tinggal
bersama mamanya. Kamu boleh menemuinya. Ini ketiga kalinya Om memberi
kepercayaan untukmu. Jangan kamu sia-siakan karena jika sekali ini kamu berbuat
tidak baik, selamanya Om tak akan memercayai kamu lagi. Om tak akan membantu
kamu lagi. Dan Om tak akan peduli lagi sekalipun papamu telah berjasa menolong
Om." "Om, percayalah, kali ini saya nggak akan membuat Om kecewa," kata Nerisa pasti.
Nerisa senang sekali. Ia memeluk dan mencium Momo berkali-kali. Om Frans
melihat dengan haru. Ia selalu yakin Nerisa sebenarnya anak yang baik. Namun
Nerisa terlalu tertutup sehingga tak mudah bagi orang lain untuk bisa menebak isi
harinya yang sebenarnya. INI hari terakhir Freya di SMA Nusantara II. Bi Narsi mewakili orangtuanya
mengambilkan rapor semester ini. Tentang nilai, Freya nggak pernah khawatir.
Bukannya sombong tapi memang kenyataannya Freya nggak pernah mendapat nilai
jelek. Hampir di semua mata pelajaran. Wow...
"Freya..." Rindu menepuk bahu Freya, "Udah ditunggu teman-teman di kantin tuh..."
"Di kantin?" Freya sedikit heran.
"Ayolah..." Rindu menarik tangan Freya untuk diajak ke kantin.
Benar juga, entah ide dari siapa, Freya nggak tahu. Yang pasti kantin sudah disulap
jadi berbeda. Ada spanduk yang bertuliskan "Selamat jalan Freya... Kami semua
menyayangimu..." Freya membaca tulisan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia
sungguh tak menyangka mereka melakukan semua ini untuknya. Untuk seorang
Freya yang selama ini nggak pernah memedulikan mereka, yang selalu berbuat
kasar, dan tak pernah menganggap mereka ada. Tapi sekarang, mereka tak
memiliki dendam, mereka bahkan melakukan semua ini untuknya.
"Ini dari kelas kita, Freya. Jujur, setelah tahu kamu mau pindah, kami merasa sangat
kehilangan. Dan pastinya sekolah ini juga akan kehilangan satu anak genius." Rindu
mewakili teman-temannya ngomong.
Freya nggak bisa menahan haru. Ia memeluk Rindu. "Thanks ya, Rindu. Berat bagi
gue untuk meninggalkan kalian semua setelah apa yang gue alami akhir-akhir ini.
Gue merasakan kehangatan yang selama ini gue cari." Freya menelan ludah dengan
susah payah. "Kami semua sudah melupakan masa lalu untuk melihat ke depan. Gue dan temanteman sangat menyesali keputusan lo meninggalkan sekolah ini, tapi kami nggak
bisa mencegah lo karena itu semua hak lo. Dan lo tahu apa yang terbaik buat lo
sendiri. Kami cuma berharap, lo akan selalu mengingat kami, mengingat semua halhal indah yang pernah lo alami di sekolah ini." Dina begitu lancar berbicara setelah
memeluk Freya. Teman-teman yang lain pun secara bergantian memeluk Freya sambil
mengucapkan kata perpisahan dan semangat untuk memulai kehidupan yang baru
di negeri orang. "Waduh... Siapa lagi yang akan memperbaiki komputer Bapak jika kau pergi,
Freya...?" Pak Sunaryo beserta rombongan beberapa guru ikut mendekat sambil
memberi selamat karena selain akan meninggalkan sekolah, Freya juga siswa
berprestasi terbaik semester ini.
Di antara guru itu ada juga Bu Nadya yang sepertinya makin lengket dengan Pak
Sunaryo. Kemungkinan besar mereka sudah pacaran. Biarlah, itu urusan mereka,
yang pasti Freya ikut senang jika mereka bisa jadian. Bukankah setiap orang berhak
menemukan kebahagiaannya masing-masing"
Freya memberi kode pada Rindu, Rindu mengerti dan berbisik di telinga Freya.
"Sori, gue yang ngundang guru-guru itu kemari."
Freya mengerti, pengaruh Rindu memang besar banget. Freya menghargai apa
yang telah Rindu lakukan untuknya.
Acaranya cuma makan-makan bareng. Khusus hari ini kantin "disewa" anak kelas XI
IPA 1 yang dimotori Rindu.
"Beberapa hari ini lo ke mana saja, Freya" Gue sempat ragu juga ngadain ini sama
teman-teman, takutnya lo nggak muncul di hari terakhir kita di semester ini."
Freya tersenyum. "Iya, gue mesti mempersiapkan semuanya. Tapi kalo hari ini kan
memang semua siswa mesti masuk untuk dapat pengarahan dan menerima rapor.
Hanya saja jamnya mungkin berbeda."
"Iya. Eh, Nerisa sampai sekarang kok belum muncul ya" Apa dia nggak menerima
rapor ya?" Tanya Rindu. Freya terdiam. Ia memang dari tadi mencari sosok Nerisa di
antara teman-temannya dan memang tak menemukannya. Di mana dia sekarang"
Kenapa nggak muncul di sekolah" Padahal mungkin ini kesempatan terakhir Freya
untuk bisa bertemu dengannya. Mungkin Nerisa sengaja menghindarinya.
"Freya... Lo tahu di mana Nerisa?" Tanya Rindu lagi.
Freya menggeleng. "Mungkin dia baru cari wali buat mengambil rapornya. Dia kan di
sini nggak ada ortu, kayak gue."
"Mungkin juga ya..." Rindu memesan semangkuk bakso lagi.
Rindu sudah habis semangkuk sedangkan Freya belum menyentuh baksonya sama
sekali, ia hanya minum es jeruknya sambil ngobrol.
"Gue titip Nerisa ya, Rindu. Jadilah sahabatnya yang baik." Freya menahan
perasaannya. "Gue sayang banget sama dia."
Rindu menatap Freya lama, mata Freya berair.
"Lo baik-baik saja, Freya?"
Freya mengangguk. "Ya... Dari dulu gue sayang dia bahkan sekarang dan
selamanya. Apa pun yang terjadi nggak akan pernah mampu mengurangi rasa
sayang gue sama dia."
"Lalu kenapa lo mesti pergi, Freya" Kalian kan sudah lama nggak jumpa dan baru
ketemu sebentar terus mau pisah lagi," tanya Rindu penasaran.
Freya nggak mungkin menjelaskan pada Rindu tentang apa yang telah dialaminya
bersama Nerisa. Freya sudah tak ingin mengingatnya lagi. Ia ingin memaafkan
Nerisa dan melupakan kejadian di jurang itu. Freya bisa mengerti sakit hati Nerisa
padanya selama ini. Namun Freya juga menyadari ia tak mungkin bisa bersama
Nerisa. Jika terus bersama, mereka akan saling menyakiti. Kenangan tujuh tahun
yang lalu tak akan terhapus sampai kapan pun, dan kaki Nerisa adalah buktinya.
*** Kembali Nerisa melihat jam tangannya. Sudah hampir dua jam ia menunggu di
depan rumah Freya, namun Freya nggak muncul juga. Apakah Om Frans
membohonginya" Rumah ini tak ada tanda-tanda ada penghuninya. Bahkan para
tetangga sudah ditanyai dan nggak ada yang tahu ke mana penghuni rumah ini.
Nerisa merasa konyol menunggu Freya di depan rumahnya. Ia mulai berfikir apakah
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Freya sudah pergi dan memang sengaja menghindarinya. Pantaslah bila Freya
marah padanya. Apa yang ia lakukan memang sulit dimaafkan. Tapi Nerisa akan
selalu berharap Freya bisa memaafkannya.
Dari jauh tampak taksi memasuki halaman rumah Freya, Nerisa berdiri sambil
berharap ada Freya dalam taksi itu. Tapi ternyata cuma ada Bi Narsi.
"Non Nerisa?" Bi Narsi heran melihat Nerisa ada di teras rumah. "Sudah lama
nunggunya, Non?" "Lumayan, Bi." Nerisa tersenyum, lalu menggeliat untuk meregangkan ototnya
karena sudah lama duduk. "Freya ke mana, Bi?"
"Masih di sekolah, katanya ada acara. Makanya Bibi pulang sendiri setelah
mengambilkan rapor Non Freya." Bi Narsi mengajak Nerisa masuk ke rumah. "Mari,
Non, nunggunya di dalam saja. Bibi buatkan minum dulu."
Nerisa melihat rumah ini sudah rapi, siap ditinggalkan penghuninya. Banyak
perabotan yang sudah disingkirkan sehingga ruangan tampak lebih luas.
"Freya jadi pergi ya, Bi?" Nerisa menyusul Bi Narsi sampai dapur.
Benar juga, dapur pun sudah bersih. Hanya ada sedikit perabotan.
"Iya, Non. Rumah ini akan dijual."
Nerisa memejamkan mata. Kini ia benar-benar akan kehilangan Freya. Dulu, ia yang
meninggalkan Freya, sekarang Freya yang akan meninggalkannya. Kenapa selalu
begini" "Non... Ada apa" Kok nangis?" Bi Narsi menatap Nerisa heran.
Nerisa mengusap air mata dengan buru-buru. Ia memaksakan diri tersenyum.
"Nggak apa-apa, Bi. Nerisa cuma ngerasa kehilangan Freya banget..."
"Ya, Non... Bibi juga nggak ngerti kenapa Non Freya memutuskan pergi menyusul
mamanya, padahal dulu waktu diajak mamanya nggak mau. Katanya mau nunggu
Non Nerisa. Tapi setelah ketemu, dia malah pergi. Apa memang begitu maksudnya,
ya" Setelah ketemu, mengembalikan boneka monyet itu, lalu baru mau pergi ke
Jerman ikut mamanya. Bibi jadi bingung."
Nerisa mengerjap berkali-kali mengusir air mata yang sepertinya sulit dicegah untuk
tidak keluar. "Kalau begitu saya susul di sekolah saja, Bi." Nerisa segera mohon diri.
Nerisa sudah tak bisa menunggu Freya lagi. Ia ingin bertemu dengannya. Ia takut
tak akan ada kesempatan untuk bertemu Freya dan meminta maaf atas
perbuatannya. *** Om Frans dan Tante Michelle ikut mengantar Freya ke Bandara Soekarno-Hatta.
"Jaga diri baik-baik di sana, Freya. Lupakan semua kenangan buruk di Jakarta dan
ingatlah kenangan manis selama di sini. Jangan lupa hubungi Om jika sudah
sampai. Kita tetap bisa saling kontak. Kemajuan teknologi membuat jarak semakin
tak berarti." Tante Michelle memberi nasihat ketika berada di depan gerbang
keberangkatan. "Iya, Tante. Freya juga berterima kasih atas semua yang Om dan Tante Frans
lakukan. Jangan lupa kalau ada proyek yang menarik, libatkan saya ya, Om." Freya
meringis. "Tentu saja, Om akan carikan yang menarik dan penuh tantangan," jawab Om
Frans. "Tapi nggak kriminal kan, Om?" Freya tersenyum.
"Tentu saja. Saat ini Om baru menjalin kerja sama dengan pemerintah. Mudahmudahan apa yang Om inginkan terwujud."
"Iya, Om, pasti Freya mendoakan supaya Om Frans makin sukses," kata Freya
tulus. "Tapi kamu mesti terus belajar, Freya. Jangan cepat berpuas diri dengan
kemampuan yang kamu miliki sekarang. Perkembangan teknologi berjalan begitu
cepat, kita harus dapat mengikutinya," kata Om Frans mewanti-wanti.
"Iya, Om, terima kasih atas nasihatnya."
Om Frans menepuk bahu Freya. "Ya, sekarang masuklah, sebentar lagi kamu
terlambat check-in. Bersiaplah dan sukses untukmu di tempat yang baru."
Freya memeluk Tante Michelle lalu mengajak Bi Narsi masuk ke loket pengecekan
tiket pesawat. "Freya, tunggu..."
Freya menghentikan langkah. Ia melihat Nerisa dan Rindu berlarian ke arahnya.
"Nerisa... Rindu..." Mata Freya berbinar.
"Sori, kami belum telat, kan?" Rindu mengatur napasnya. "Selamat jalan ya, Freya"
Jangan lupa online tiap malam supaya kita bisa FB-an untuk tukar informasi dan
kegiatan kita masing-masing."
"Pasti, Rindu." Freya memeluk Rindu. "Terima kasih ya mau datang sampai di sini."
"Ya, sebenarnya gue hanya mengantar Nerisa." Rindu melihat Nerisa yang membisu
di sampingnya. "Kayaknya dia mau bicara sama lo berdua aja deh."
Om Frans dan Tante Michelle mengerti. Mereka mengajak Bi Narsi menyingkir
mengikuti Rindu. Jarak mereka cukup jauh.
Freya mengajak Nerisa ke tempat yang nggak begitu banyak dilewati orang.
"Apa kabar, Nerisa?" Tanya Freya lembut.
Nerisa mendongak, wajahnya penuh air mata. Sejenak Freya terpaku. Namun tibatiba Nerisa menjatuhkan diri di kaki Freya. Ia bersimpuh di kaki Freya. Freya kaget
banget, cepat-cepat ia mengajak Nerisa untuk bangun dan duduk bersamanya.
Beberapa orang sempat melihat ke arah mereka dengan tatapan penuh tanya.
Namun Freya nggak memedulikan mereka. Saat ini ia hanya memedulikan Nerisa.
"Lo nggak perlu melakukan ini, Nerisa. Gue sudah memaafkan lo. Bahkan sebelum
lo meminta maaf ke gue." Kata Freya.
"Gue menyesal, Freya. Gue benar-benar telah mengoyak persahabatan kita. Gue
telah menghancurkannya," isak Nerisa.
"Siapa bilang, Nerisa" Persahabatan kita nggak akan berakhir sampai kapan pun.
Lo tetap sahabat gue untuk selamanya. Gue sayang sama lo, apa pun yang terjadi."
Freya mengusap air mata Nerisa dengan jari-jarinya. "Kita nggak akan pernah tahu
siapa sahabat sejati kita sebelum kita sangat menyesal karena menyakiti hatinya."
"Sungguh lo nggak marah sama gue" Lo nggak dendam kan, sama gue?" Tanya
Nerisa memastikan. "Nggak." Freya mengusap rambut panjang Nerisa. "Sahabat sejati adalah orang
yang selalu mau membuka hati untuk bisa memaafkan kesalahan sahabatnya.
Seberapa pun besarnya kesalahan itu."
"Gue tega banget, Freya. Andai gue bisa mencegah kepergian lo... Apa yang mesti
gue lakukan untuk mencegah lo pergi?" Tanya Nerisa terisak lagi.
"Nerisa, walau gue pergi, lo selalu ada di hati gue. Kepergian gue ini membawa
kelegaan dan kemenangan atas trauma masa lalu yang membayangi hidup gue
selama ini. Terima kasih, Nerisa. Lo memberi gue shock therapy yang ampuh
banget." Freya tersenyum.
Nerisa pun ikut tersenyum melihat senyum Freya.
"Terus apa rencana lo selanjutnya, Nerisa" Apa lo akan menetap di Jakarta?" Tanya
Freya. "Tentu saja tidak, Freya. Untuk apa gue di sini sedangkan lo nggak ada di sini. Gue
mungkin hanya menghabiskan semester ini, lalu balik lagi ke Singapura. Entahlah...
Rencana ini belum gue bicarakan dengan Papa dan Mama. Tapi apa pun yang
menjadi keputusan gue nantinya, gue pasti hubungin lo."
"Oke, gue tunggu kabar berita dari lo," kata Freya. Nerisa membuka tasnya, ia
mengeluarkan Momo dari dalam tasnya.
"Gue titip Momo lagi, ya?" Tanyanya memelas.
"Titip?" "Iya, tolong jagain Momo. Suatu saat gue akan menemui lo lagi untuk mengambil
Momo..." "Nggak...." Freya mengembalikan Momo kepada Nerisa.
"Lo takut gue akan balas dendam lagi?" Tanya Nerisa.
"Bukan begitu. Momo sudah lama ikut gue, dia pengin ikut Mama Nerisa lagi," kata
Freya sambil nyengir. "Tapi Momo lebih mirip lo karena sudah lama ikut lo!"
"Sialan lo... Lo samakan gue dengan monyet"!"
"Ya... Lo kan pandai banget memanjat kayak monyet..." Nerisa tertawa.
Freya merentangkan tangan, Nerisa menyambutnya. Mereka berpelukan cukup
lama. Rindu, Om Frans, dan istrinya, juga Bi Narsi menyaksikan semuanya itu.
Mereka memang bersahabat, namun tak diizinkan Tuhan untuk selalu bersama.
Bersahabat bukan berarti harus tinggal bersama. Karena persahabatan sejati bukan
hanya melibatkan fisik semata tapi juga hati.
Mereka mendekati Freya untuk mengingatkan segera check-in agar nggak
ketinggalan pesawat. "Ih... Boneka monyetnya bagus banget..." Rindu mengusap boneka monyet dalam
pelukan Nerisa. "Kayaknya lo aja yang mesti merawat Momo..." Nerisa menyerahkan Momo pada
Rindu. "Jadi mamanya Momo sekarang ada tiga. Mama Freya, Mama Nerisa, dan
Mama Rindu." Om Frans dan istrinya berpandangan. Mereka heran melihat tingkah ketiga remaja
yang sedang membicarakan boneka monyet itu. Namun mereka mengerti boneka itu
memang memiliki arti yang sangat penting terutama bagi Freya dan Nerisa.
Nerisa terus melambaikan tangan walau Freya telah menghilang dari pandangan.
Perlahan Rindu meraih tangan Nerisa untuk menurunkannya. Kemudian Rindu
meraih kepala Nerisa untuk memeluknya. Di saat itulah Nerisa bisa menumpahkan
tangisannya. "Andai dia tahu, gue sangat sayang sama dia. Tapi gue nggak yakin rasa sayang
gue bisa menghentikan langkahnya." Suara Nerisa terdengar parau.
"Kita pulang, Nerisa..." Rindu membimbing Nerisa menuju mobil.
EPILOG SEBULAN telah berlalu, Nerisa sangat kehilangan Freya. Ia merasa sangat
kesepian. Untuk menghibur diri, tiap pulang sekolah ia selalu lewat rumah Freya.
Namun hari ini ada yang berbeda. Jika selama ini Nerisa selalu melihat rumah itu
sepi tanpa penghuni, sekarang tampak ada penghuninya. Seorang laki-laki asing
berada di depan rumah itu. O... Ternyata yang membeli rumah Freya orang asing.
Rumah itu tampak hidup jika ada penghuninya seperti ini.
Nerisa menghentikan mobilnya untuk mengamati, namun tiba-tiba jantungnya
berdegup kencang saat melihat Mama Freya keluar dari rumah itu. Ia segera
menuntaskan rasa ingin tahunya dengan turun dari mobil dan menghambur ke
rumah itu. "Tante..." Nerisa berdiri di depan Mama Freya dengan pandangan takjub, "Saya
Nerisa, Tante... Saya sahabat Freya..."
"O... Halo, apa kabar Nerisa...?" Mama Freya mengulurkan tangan. "Mau ketemu
Freya?" "Iya, Tante, saya sudah kangen setengah mati sama dia," kata Nerisa penuh
semangat. "Kalo begitu masuk aja, dia ada di kamarnya."
Tanpa buang waktu lagi Nerisa menghambur masuk ke rumah. Ia mendapati Freya
yang lagi berbenah. "Freya..." Nerisa langsung memeluk Freya. Freya yang nggak siap hampir terjatuh.
"Sialan lo... Lo ngebohongin gue... Kirain lo sudah pergi ke Munich."
Freya cengar-cengir. "Gue balik lagi, kali ini sama Mama dan papa baru. Mereka
memutuskan tinggal di Jakarta."
"Wow... Jadi lo beserta keluarga akan tinggal di sini?"
Freya mengangguk. "Begitu banyak kenangan di sini, rasanya gue nggak ingin
meninggalkan begitu saja. Lagi pula Mama dan papa baruku akan tinggal di sini.
Mama berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu untuk gue. Nggak kayak dulu
lagi." "Sumpah, Freya... Gue senang banget lo kembali ke Jakarta, kalau begitu gue juga
akan menetap di sini saja. Gue akan bilang pada bokap-nyokap supaya balik ke
Jakarta, kalo nggak mau ya sudah, gue tinggal di sini juga nggak apa-apa asal
bersama lo." "Oke, kita akan mulai semuanya dengan sesuatu yang baru."
"Tentu saja, Freya. Setiap orang tentu pernah melakukan kesalahan, tapi Tuhan
selalu memberi kita kemampuan untuk berusaha memperbaikinya. Gue akan
buktikan sama lo bahwa gue bisa jadi sahabat yang bisa lo andalkan."
Freya memeluk Nerisa. "Rindu pasti akan senang kalo kita bertiga jadi sahabat
karib." "Pasti, sekarang tugas kita menemui Rindu untuk menanyakan Momo. Lalu kita
tanya Momo lebih suka ikut siapa?" Kata Nerisa riang.
Freya cengar-cengir. Enaknya jadi momo, bisa diperebutkan.
TAMAT Para Ksatria Penjaga Majapahit 16 Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars Tanah Semenanjung 3
"Om cuma bisa membantu kamu sebatas memberi informasi tentang Freya. Tapi jika
kamu perlu bantuan Om lebih dari ini, Om pasti akan bantu."
"Pasti, Om. Saya pasti akan menghubungi Om lagi. Tapi untuk sementara saya
belum bisa berpikir lebih jauh. Saya mesti pikirkan dulu apa yang mesti saya
lakukan," kata Nerisa.
"Oke, kalo begitu selamat melanjutkan mimpi."
Nerisa tersenyum. "Mana mungkin saya bisa tidur malam ini, setelah mendapat
berita dari Om?" "Ya sudah, maafkan Om kalau begitu. Selamat malam."
"Selamat malam, Om."
Untuk beberapa detik Nerisa terpaku. Ia hanya diam sambil memikirkan kabar yang
dibawa Om Frans. Freya akan pergi, berarti sia-sia kedatangan Nerisa ke jakarta jika
Freya sampai meninggalkan Jakarta. Sia-sia apa yang ia lakukan selama ini. Ini
nggak boleh terjadi. Nerisa harus melakukan sesuatu untuk mencegah kepergian
Freya. Nerisa membuka kulkas, mengambil air dingin dalam botol dan menegaknya. Ia tak
bisa memejamkan mata malam ini. Walau tubuhnya lelah, ia harus memikirkan cara
supaya Freya tidak jadi meninggalkan Jakarta. Ini penting untuk rencananya.
SEMALAMAN Nerisa nyaris nggak bisa tidur, akibatnya pagi harinya matanya sulit
dibuka. Akhirnya ia harus berlari menuju pintu gerbang yang hendak ditutup Pak
Satpam. "Tunggu, Pak...," teriak Nerisa.
"Tumben baru datang, Nerisa. Biasanya selalu pagi," kata Pak Satpam sambil
menahan pintu gerbang. "Iya, Pak, maaf, semalam nggak bisa tidur," kata Nerisa sambil berlari menuju
kelasnya. Untung saja pelajaran belum dimulai. Ia sampai dengan terengah-engah.
Penampilannya kacau. Jepit cokelatnya tak membuat rambutnya rapi lagi karena
tadi ia harus berlari. "Wow, wow... Kacau banget lo. Ada apa sih?" Dina tertawa melihat Nerisa yang
tampak berantakan. "Gue kesiangan. Semalem gue nggak bisa tidur," jawab Nerisa dengan napas
tersengal. "Mikirin gue ya, Ner?" Tanya si Johan, cowok yang terkenal dengan kepedeannya.
Rambutnya saja jadi dibuat jambul kayak pohon cemara gitu.
Nerisa mencibir. Ia langsung duduk di samping Freya. "Apa lo benar akan keluar dari
sekolah ini dan pindah ke Jerman?"
Freya melirik Nerisa sekilas lalu kembali menekuni bukunya.
"Jawab, Freya. Apa benar lo akan pergi?" Desak Nerisa.
"Lo tahu dari mana?" Tanya Freya, acuh tak acuh.
"Nggak penting gue tahu dari mana."
"Kalo begitu nggak penting juga lo tahu," kata Freya cuek.
"Pengecut lo!" Teriakan Nerisa menarik perhatian murid lain.
Rindu langsung menghampiri mereka, demikian juga Dina dan teman-teman cewek
yang lain, sedangkan para cowok melihat dari kejauhan. Pikir mereka, itu urusan
cewek, kita nonton aja. Mumpung ada tontonan gratis.
"Ada apa sih, Nerisa?" Rindu melihat mata Nerisa membulat.
"Apa selamanya lo akan jadi pengecut, Freya"!" Nerisa memegang dagu Freya.
"Pandang gue! Tatap mata gue dan katakan lo itu bukan pengecut!"
Freya menepis tangan Nerisa. "Terserah lo mau ngomong apa."
"Pengecut! Lo nggak berani menghadapi kenyataan! Lo hidup dengan masa lalu! Lo
egois, lo nggak mikirin gue! Lo pecundang dan semua sudah lo buktikan dengan
tindakan lo yang akan melarikan diri ke Jerman!" Nerisa menangis.
"Sudah, Nerisa..." Rindu menenangkannya.
"Kenapa gue mesti kenal sama lo" Kenapa gue mesti menganggap lo sahabat"
Kenapa gue mesti percayakan Momo pada lo" Kenapa gue mesti menyayangi lo"
Lo nggak pantes menerima semua ini dari gue," jerit Nerisa tiba-tiba histeris.
"Sudah, Nerisa... Lo berlebihan banget... Lo mesti tenangin diri lo!" Sergah Rindu.
"Dia itu pengecut, Rin. Dia nggak berani menghadapi kenyataan! Dia mau melarikan
diri," kata Nerisa tersedu.
"Itu hak dia, Nerisa. Kenapa lo yang mesti ribut" Toh pasti Freya udah mikirin
masak-masak segala keputusannya. Dia menunjukkan bahwa dia sudah nggak care
lagi sama lo. Buktinya kemarin dia nggak datang menjenguk lo, kan" Padahal gue
sudah beritahu dia kalo lo sakit tapi dia nggak datang. Teman macam apa dia"
Sebenarnya selama ini gue nggak mau turut campur, tapi ini sudah berlebihan. Lo
masih juga mengharap dia membuka hatinya buat lo, menyambung persahabatan
kalian yang pernah terputus. Nggak bisa, Nerisa, waktu terus berjalan dan kita
sudah beranjak dewasa. Kita bukan anak kecil lagi yang bisa memaksakan
kehendak kita. Kita berhak memilih dan dia juga telah memilih untuk tidak
menganggapmu sahabat lagi. Sadar dong, Nerisa. Apa yang lo lakukan hanya
menyakiti diri lo sendiri. Dia sama sekali nggak peduli." Kini gantian Rindu yang
emosi. Jelas saja Rindu emosi. Ia yang selalu mendampingi Nerisa. Ia tahu perjuangan
Nerisa selama ini. Ia tahu Nerisa melakukan semua demi Freya. Ia yang menemani
saat Nerisa menangis, mengeluh dan kecewa pada sikap Freya.
"Ada apa ini?" Bu Nadya masuk kelas dan heran, tak ada yang menyadari
kehadirannya. Perhatian seisi kelas seakan tersedot pada Freya dan Nerisa juga
rindu. "Kalian semua duduk ke tempat masing-masing. Pagi-pagi sudah konferensi." Bu
Nadya melihat murid-muridnya kembali ke tempat duduk masing-masing dengan
ogah-ogahan. "Sekarang keluarkan kertas, kita akan ulangan mendadak."
Nah, baru deh heboh. Anak-anak nggak siap untuk ulangan mendadak. Sedangkan
Freya dan Nerisa sama sekali nggak bisa berkonsentrasi. Apalagi nerisa yang
semalam nggak tidur, dan pagi-pagi sudah emosi.
"Nerisa, kertas kamu mana?"
Nerisa tergagap mendengar teguran Bu Nadya. Teguran pertama sejak ia masuk
sekolah ini. Freya menatap Nerisa, Nerisa balas menatapnya, sebelum akhirnya saling
memalingkan wajah. Sejak kejadian tadi pagi Nerisa enggan berbicara dengan Freya. Tak seperti
biasanya, selalu mengajak Freya mengobrol walau selalu dicuekin Freya. Kali ini
Nerisa lebih banyak diam. Sampai saat rapat panitia outbound Nerisa sering kena
tegur oleh Rindu. "Kamu masih mikirin kejadian tadi pagi ya, Nerisa?"
"Maaf ya, Rindu." Nerisa menyerahkan daftar peserta outbound. "Ini datanya sudah
masuk semua dan gue juga udah bilang kalo iurannya paling lambat lusa. Yang
belum bayar udah gue beri tanda. Dan kayaknya nggak banyak yang ikut karena
masing-masing sudah punya acara."
"Ya nggak apa-apa. Kita memang nggak bisa memaksa," kata Rindu sambil
menghela napas. "Rindu, maaf, gue pulang duluan ya" Kepala gue pusing banget," kata Nerisa.
"Apa perlu gue antar ke dokter?"
"Nggak usah, lo kan mesti ngelanjutin rapat." Nerisa beranjak, ia menatap temantemannya yang lain. "Maaf ya gue duluan."
Nerisa segera berlalu. Di depan pintu ruang OSIS ia berpapasan dengan Freya yang
hendak menuju ruang komputer. Mereka saling diam, tak ada kata-kata yang
terucap dari keduanya. Setelah sama-sama menjauh, Freya menghentikan langkah
dan menoleh ke belakang. Ia melihat Nerisa berjalan menjauhinya. Freya mendesah
sambil memejamkan mata. Nerisa menghubungi Om Frans dengan ponselnya.
"Om Frans, Nerisa butuh bantuan Om."
Nerisa menutup teleponnya kembali. Ia menajamkan mata sambil masuk mobil.
Nerisa tak kembali ke apartemen tapi langsung menuju kantor Om Frans.
Ada SMS masuk di ponsel Freya, isinya "Tolong turun sebentar. Saya ada perlu."
Dari nomor tak dikenal. Freya melirik jam dinding, sudah jam sembilan malam.
Segera ia mematikan komputer di kamarnya lalu ke lantai bawah.
Seorang lelaki berdiri di depan pagar rumahnya.
"Anda siapa?" Tanya Freya galak.
Lelaki itu mengulurkan tangan. "Saya Johan. Saya dengar Anda ahli komputer."
Freya mengerutkan kening.
"Saya minta bantuan Anda, saya akan bayar mahal."
"Anda salah orang. Saya memang bisa komputer tapi saya nggak ahli," kata Freya
jutek. "Tapi Anda bisa kan, bantu saya?" Tanya Johan memelas.
Freya menghela napas. "Bantuan macam apa yang Anda harapkan dari saya?"
"Boleh saya masuk?" Tanya Johan.
"Maaf, ini sudah malam, bisa kita bicarakan besok saja?" Freya sudah siap berbalik
kembali ke rumah. "Ini penting. Saya diberitahu teman saya bahwa Anda hacker yang hebat."
"Teman Anda berlebihan."
"Saya tahu, seorang hacker tak akan mengakui bahwa dirinya seorang hacker. Saya
bisa pahami itu. Anda ternyata seorang yang rendah hati," kata Johan dengan nada
memuji. "Bisakah kita langsung ke pokok permasalahan?" Sergah Freya.
"Oke, maaf. Saya heran saja melihat seorang hacker yang masih muda dan cantik
seperti Anda," kata Johan kembali memuji.
Freya mulai kesal. "Langsung saja, saya masih banyak pekerjaan."
"Oke, maaf. Begini ceritanya. Saya mencurigai istri saya selingkuh dengan laki-laki
lain. Dan untuk membuktikannya saya harus bisa membuka file yang dia simpan di
komputer pribadinya."
"Anda bisa bawa laptop istri Anda kemari biar saya pelajari dulu."
"Bukan laptop tapi PC dan jika saya bawa kemari pasti istri saya akan curiga. Saat
ini istri saya sedang pergi dan mungkin tengah malam dia akan kembali."
"Anda gila, memberi waktu saya hanya beberapa jam," sergah Freya.
"Untuk hacker sekelas Anda, waktu segitu nggak ada artinya. Jika mau, pasti dalam
hitungan menit bisa Anda lakukan."
Freya tersenyum, pintar juga orang ini. Ia memang bisa melakukannya, minimal ia
bisa mempelajari dan mengakses data pribadinya.
"Ini alamat rumah saya. Tolong saya. Hanya Anda yang bisa menyelamatkan rumah
tangga saya. Saya benar-benar buta komputer."
Freya menerima kartu nama laki-laki itu. Jarak rumahnya dengan rumah laki-laki itu
nggak terlalu jauh. Lagi pula baru jam sembilan lebih sedikit.
"Baiklah, saya akan segera ke sana." Akhirnya Freya mengangguk.
"Terima kasih. Selamat malam." Johan berbalik pergi.
Freya berpamitan pada Bi Narsi untuk keluar sebentar tanpa menyadari bahaya
yang sedang menantinya. Freya berjalan kaki mencari alamat yang tertera di kartu nama. Alamat yang aneh.
Daerah ini ia kenal karena tidak jauh dari rumahnya, tapi alamat tepatnya kok nggak
ada yang tahu. Padahal Freya tadi sempat bertanya ke warung dan para tukang
ojek. Lagi pula, kenapa tempat ini sepi sekali" Nggak ada orang yang lewat. Tepat
ketika ia menyadari kesalahan yang dibuatnya, dua laki-laki menghampirinya.
Dari tampang mereka sepertinya mereka memiliki maksud buruk. Freya mundur
beberapa langkah. Ia pasang kuda-kuda. Dua laki-laki itu tersenyum.
"Cari siapa, Neng?" Lengan lelaki itu bertato.
Freya hendak melarikan diri, tapi lelaki itu buru-buru menangkap tangannya. Dengan
cekatan Freya menendang lelaki itu. Lelaki itu kesakitan dan marah. Ia
mengayunkan tinju ke wajah Freya. Namun Freya berhasil menghindar. Freya
hendak melarikan diri tapi kakinya ditarik orang yang telah dipukulnya tadi sehingga
ia terjatuh. Freya hendak berdiri namun laki-laki yang satunya keburu menangkap
tubuhnya. "Mau ke mana kau?"
"Lepaskan!" Teriak Freya.
Freya yang gesit mampu melepaskan diri. Ia mengayunkan tendangan dan tinju
yang telak mengenai kedua orang itu, hingga keduanya kesakitan.
"Hebat juga tuh anak... Kita tak bisa melawannya satu-satu, harus maju bareng,"
kata lelaki yang bertato, disambut anggukan temannya.
Keduanya kini mengeroyok Freya. Tenaga Freya mulai terkuras, tendangan dan
tinjunya tidak terarah. Ia malah berkali-kali kena tertendang dan bogem. Perutnya
sakit. Belum lagi rasa asin yang ia rasakan saat bibirnya berdarah. Pelipisnya juga
nyeri. Akhirnya ia tak sanggup lagi mempertahankan diri, ia terkapar di tanah. Diam
dan tak bergerak lagi. Bi Narsi menyodorkan segelas teh lagi untuk Nerisa yang menunggu di ruang tamu.
"Tadi sih pamitnya hanya sebentar, Non."
Nerisa melihat jam tangannya, sudah hampir pukul sebelas malam Freya belum
kembali. "Dia bilang mau pergi ke mana gitu, Bi?"
"Nggak, Non. Tadi ada tamu yang datang, setelah itu Non Freya pamit mau pergi
sebentar. Katanya ada pekerjaan gitu."
Nerisa menelan ludah. Saat itu ponselnya berbunyi. Ada SMS dari seseorang.
"Ya sudah, Bi. Sudah malam, saya mesti pulang. Kalau Freya pulang bilang saya
kemari," pesan Nerisa.
"Baik, Non, nanti saya sampaikan."
Nerisa menuju mobilnya untuk pulang. Bi Narsi masuk ke rumah. Lalu ia teringat
sesuatu. Boneka monyet yang sering dipanggil Freya si Momo. Freya pernah bilang
kalau Bi Narsi bertemu dengan Nerisa, boneka monyet itu harus ia kembalikan. Bi
Narsi buru-buru menyusul Nerisa, tapi sayang Nerisa tak mendengar panggilan Bi
Narsi. Mobil Nerisa keburu pergi.
Mobil Nerisa hampir saja menggilas tubuh yang terkapar di jalan. Nerisa turun dari
mobil. "Freya..." Nerisa menjerit minta tolong.
Orang-orang mulai berdatangan dan membantu Nerisa memasukkan Freya ke
mobilnya, lalu membawa Freya ke apartemennya.
NERISA telah mengganti pakaian kotor Freya dengan pakaiannya. Memang tampak
agak kekecilan, tapi Nerisa sudah mencarikan bajunya yang paling besar. Kini
tinggal mengobati luka-luka Freya. Ada beberapa bagian tubuh yang tampak memar.
Di pipi sebelah kiri, dekat bibir, dan tangannya, juga paha sebelah kanan. Dan
sampai saat ini pun Freya belum sadarkan diri.
Sambil menunggu Freya sadar, Nerisa membeli bubur ayam dan membuatkan teh
hangat. Ia yakin pasti sebentar lagi Freya akan sadar. Ia sudah mengolesi hidung
Freya dengan minyak angin.
Benar juga dugaan Nerisa, baru saja ia akan mengoleskan minyak lagi, Freya sudah
sadar. Mata Freya terbuka perlahan. Ia tampak sedikit bingung. Tangannya
memegangi kening. Ia melihat Nerisa duduk di sisi tempat tidur.
"Gue di mana sih?" Freya mencoba mengingat tempat asing yang dilihatnya.
"Lo di apartemen gue," kata Nerisa lembut.
"Oya, semua serbacokelat bikin gue tambah pusing." Freya hendak bangun namun
dicegah Nerisa. "Lo tiduran aja."
"Nggak, gue mau pulang." Freya berusaha duduk, ia melihat kaus warna cokelat
yang ia kenakan. "Mana baju gue?"
"Gue buang," kata Nerisa tenang.
"Apa"!" Tanya Freya kaget.
"Sudah sobek dan kotor banget. Emang lo kenapa sampai babak belur kayak gini?"
Tanya Nerisa. Freya duduk. "Kacamata gue pecah, ya?" Tanya Nerisa.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
Freya mendesah. "Gue nggak tahu... Kayaknya ada orang yang ngejebak gue. Gue
dimintai tolong buat melacak file komputer orang, mungkin ini ulah orang yang
mengetahui file komputernya mau gue lacak."
Nerisa terdiam. "Thanks ya sudah nolongin gue," kata Freya.
Nerisa mengangkat wajah, menatap Freya. Matanya mulai berair.
"Lo kenapa" Kok malah nangis sih?" Tanya Freya heran.
"Lo tadi bilang apa?" Nerisa malah balas bertanya.
"Gue bilang, thanks sudah nolongin gue."
"Gue bener-bener nggak nyangka lo bisa bicara semanis itu," kata Nerisa lirih.
Freya tersenyum. "Maaf ya, mungkin sikap gue selama ini sangat kasar sama lo."
"Mendingan lo istirahat dulu di sini sampe kondisi lo membaik." Nerisa mengambil
semangkuk bubur. "Gue udah telepon Bi Narsi. Ngabarin kalo lo sekarang baik-baik
saja dan ada di apartemen gue."
Freya sedikit kesulitan menerima mangkuk bubur dari Nerisa. Tangannya sulit
digerakkan. "Gue suapin aja," tawar Nerisa.
"Lo?" Tanya Freya tak percaya.
Nerisa meringis. "Buka mulut lo."
Freya memandang Nerisa lama. Nerisa tersenyum.
"Jangan pandang gue seperti itu. Emang gue apaan" Jeruk minum jeruk?"
Freya tersenyumam "Sori, gue heran aja. Lo masih baik banget sama gue setelah
apa yang gue lakukan sama lo."
"Gue hanya pengin lo menganggap gue sahabat. Karena dari kecil kita memang
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersahabat, kan?" Tegas Nerisa.
"Lo membuat gue makin merasa bersalah," kata Freya lirih. Tapi dia membuka
mulutnya dan membiarkan Nerisa menyuapinya bubur.
Nerisa meletakkan mangkuk kosong di meja. "Mau tambah lagi?"
"Oh nggak, thanks."
"Gue siap-siap ke sekolah dulu, ya" Entar lo gue mintain izin nggak masuk hari ini.
"Tanpa menunggu persetujuan Freya, Nerisa bergegas mempersiapkan diri untuk
berangkat sekolah. Dari mulai melewati gerbang sekolah sampai ke kelas Nerisa berjalan sedikit
berjingkrak. Ia tampak senang hari ini. Wajahnya ceria dan bibirnya tak henti
tersenyum. Hal itu mengundang perhatian dan keheranan banyak temannya.
"Ada apa sih, kok kelihatannya senang banget?" Tanya Dina penasaran.
"Rahasia..." Nerisa tersenyum sambil mencolek dagu Dina.
"Ih... segitunya..." Dina sedikit kecewa. "Pasti lagi menang undian, ya?"
"Memang hanya undian yang bisa bikin hati senang" Nggak lah yaw...," kata Nerisa
sambil tersenyum lebar. "Terus apaan?" Desak Dina.
"Rahasia..." "Ya udah... Paling entar gue tahu sendiri," kata Dina sambil balik badan sebal.
"Nggak bakalan." Nerisa kembali mencolek dagu Dina. "Rindu ke mana sih?"
"Belum datang."
"Tumben..." Nerisa meletakkan tas di kursi. Saat ia melongok ke pintu, Rindu baru datang
dengan agak tergesa-gesa.
"Ada apa sih?" Tanya Nerisa heran.
"Nggak, kirain sudah mau bel," kata Rindu sambil terengah-engah.
"Slow down, baby... Masih lama." Nerisa langsung menarik tangan Rindu untuk
diajaknya keluar lagi. "Sst... Sini... Ada yang pengin gue omongin."
"Oke, tapi gue taruh tas dulu di bangku."
"Entar aja." Nerisa terus menggelandang Rindu sampai di tempat yang jauh dari
jangkauan kuping-kuping para penggosip.
"Ada apa sih" Keliatannya lo girang banget," tanya Rindu penasaran.
"Bagaimana gue nggak girang" Gue sudah bisa menjinakkan si monster," kata
Nerisa dengan mata berbinar-binar.
"Yang bener?" Mata Rindu ikut berbinar. "Selamat deh..."
Ner isa manggut-manggut. "Dia sudah mau ngomong panjang sama gue. Bahkan dia
berterima kasih pada gue karena sudah nolongin dia dan minta maaf segala."
"Nolongin dia" Emang dia kenapa?" Tanya Rindu curiga. Nerisa mengangkat bahu.
"Nggak tahu, kayaknya habis digebukin orang."
"Weits, kasihan banget. Pasti ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai
hacker," kata Rindu. "Mungkin sih... Gue nggak tahu, yang pasti dia sekarang ada di
apartemen gue. Dia sudah jinak banget."
"Kalo gitu entar siang boleh gue ke apartemen lo?" Tanya Rindu.
"Jangan dulu deh, gue masih ingin berduaan sama dia."
"Cie... Kayak pacaran aja," goda Rindu.
"Pikiran lo itu!" Nerisa meninju lengan Rindu. "Maksud gue, gue ingin membujuk dia
supaya ikut acara outbound."
"Sampai segitunya..." Rindu cengar-cengir.
"Iya dong... Gue nggak mau kalah taruhan sama lo," kata Nerisa sambil cemberut
dibuat-buat. "Ih... Dasar pelit."
"Biarin... Pelit pangkal kaya!"
"Hemat...," sergah Rindu.
"Itu versi umum, versi gue beda..." Kata Nerisa sambil nyengir.
"Terserah lo aja deh." Rindu menarik tangan Nerisa.
"Balik ke kelas yuk, entar keduluan ada guru yang masuk."
"Oke, siap!" Nerisa dan Rindu masuk ke kelas bareng.
Tiduran sampai berjam-jam membuat punggung Freya jadi sakit. Ia berusaha duduk.
Ia melihat ruangan ini bernuansa cokelat. Benar-benar tidak berubah, dari dulu
Nerisa suka warna cokelat. Kalo disuruh milih barang selalu milih yang warna
cokelat. Heran deh, kok ada orang yang maniak banget dengan warna cokelat.
Freya sedikit bergeser. Ia melihat tumpukan buku milik Nerisa. Nggak ada yang
menarik. Untuk ukuran Freya buku-buku yang dimiliki Nerisa terbilang sedikit banget.
Mungkin karena Nerisa belum lama menempati apartemen ini sehingga rak bukunya
masih kosong melompong. Untuk menghilangkan kejenuhan karena harus berdiam
diri ditempat tidur, Freya meraih buku yang cukup membuatnya tertarik. Buku warna
cokelat dengan cover unik. Ada hiasan mote dan bunga keringnya.
Saat Freya menarik buku itu, selembar foto jatuh dari dalamnya. Dengan sedikit
susah payah Freya memungut foto itu. Foto cowok ganteng. Lalu ia membalik foto
itu, ada tulisan BILLY di belakangnya. Pasti ini orang yang spesial buat Nerisa, pikir
Freya. Freya mengembalikan foto tersebut ke dalam buku kemudian meletakkannya
kembali ke atas meja. Freya mulai berfikir, mungkin ada baiknya ia bersikap ramah pada Nerisa. Ia tak
mungkin melanjutkan aksi acuh tak acuh dan kasarnya pada Nerisa setelah apa
yang Nerisa lakukan. Nerisa telah menolongnya dengan membawanya ke
apartemen, merawat lukanya, mengganti pakaiannnya, dan menyuapinya. Freya
merasa nggak sanggup lagi memusuhi Nerisa.
Walau tak dapat dipungkiri Freya sedikit heran kenapa nerisa yang menemukannya
saat ia terkapar di jalan" Apakah ini sekedar kebetulan, ataukah ada rahasia di balik
semua ini" Otak Freya berpikir keras. Mana mungkin secara kebetulan Nerisa ada di sana" Ia
harus mencari tahu kebenarannya.
Menjelang sore Nerisa baru balik ke apartemen. Ia membawakan Freya makan
siang. "Lo masih suka martabak, kan" Nih, gue bawain."
Freya masih diam saja seakan tak menghiraukan kedatangan Nerisa.
"Ada apa lagi sih?" Nerisa duduk di samping Freya. "Sori, gue pulangnya telat,
soalnya ada rapat panitia outbound, tapi ini rapat terakhir kok. Pelaksanaannya kan
dua minggu lagi, sedangkan besok kita sudah tes. Berarti hari ini kondisi lo harus
benar-benar pulih supaya besok bisa ikut tes." Nerisa terusa saja nyerocos.
"Gue ingin nanya, tapi lo harus jawab dengan jujur." Kata Freya dengan tajam.
Nerisa tak dapat menyembunyikan ketegangannya mendengar ucapan Freya.
"Malam itu lo sendiri yang nemuin gue di jalan?" Tanya Freya kaku.
Nerisa tergagap. "Iya, emangnya kenapa?"
Freya menatap Nerisa dengan tajam. "Aneh!"
"Ya nggak lah. Semalem gue habis ke rumah lo dan pulangnya gue lewat di sana.
Gue nggak nyangka kalo lo sampai kena musibah kayak begini," kata Nerisa.
"Jalan dari rumah gue ke apartemen lo nggak lewat jalan itu. Terus ngapain lo harus
lewat jalan itu"!" Sergah Freya.
Nerisa tergagap, wajahnya memucat. "Gue cari angin... Sudah lama gue ingin putarputar Jakarta."
"Cari angin" Klasik banget alasan lo!" Sentil Freya galak.
Nerisa memejamkan mata, menahan kekesalannya. "Lo mencurigai gue setelah apa
yang gue lakukan sama lo" Lo ini benar-benar belum berubah ya, Freya" Lo masih
juga jahat sama gue." Mata Nerisa mulai berair.
Freya menghela nafas. "Sori..." Freya mengusap rambut Nerisa.
"Kenapa sih buat menjadi sahabat lo aja susahnya minta ampun?" Isak Nerisa.
"Oke, gue janji nggak akan membahas masalah ini lagi." Freya berdiri. "Sekarang
gue mau pamit." "Tunggu..." Nerisa meraih tangan Freya. "Martabaknya?"
"Makan aja, gue sudah nggak suka martabak lagi."
"Terus sekarang lo sukanya apa?"
"Kalau mau menganggap gue sahabat, cari tahu apa makanan kesukaan gue
sekarang." Freya tersenyum.
Mata Nerisa bersinar. "Sahabat" Berarti kita bersahabat lagi, kan?"
"Lagi" Kapan gue nggak menganggap lo sahabat?" Tanya Freya.
"Thank you, Freya." Nerisa langsung memeluk Freya.
Freya hampir terjatuh karena kondisi tubuhnya yang kurang baik karena memarmemar.
"Lo yakin bisa pulang sendiri?"
"Pasti bisa, tinggal panggil taksi."
Nerisa mengantar Freya sampai depan lift apartemen. "Gue antar aja ke rumah."
"Nggak usah, waktu lo masuk sekolah tadi gue udah mengerak- gerakkan tubuh
gue. Sekarang nggak begitu sakit. Obat lo manjur banget."
"Oke, kalo gitu sampai besok di sekolah."
Setelah Freya pergi, Nerisa baru teringat belum menanyakan keikutsertaan Freya
dalam acara outbound. Tapi nggak apa-apalah, pikir Nerisa. Sekarang sikap Freya
padanya sudah berubah. Bahkan terakhir yang membuat hati Nerisa lega saat Freya
mengatakan masih menganggapnya sahabat.
SENGAJA Nerisa bangun lebih awal buat siap-siap. Ia sudah memasang alarmnya
supaya bunyi jam lima pagi. Ia nggak mau kena macet saat menjemput Freya di
rumahnya. Freya sendiri heran, pagi-pagi melihat mobil Nerisa sudah ngeceng
didepan rumahnya. "Mo ngapain lo?" Jangankan siap-siap, Freya bahkan belum mandi.
"Baru bangun, ya" Wajah lo jelek banget." Nerisa tertawa lalu tanpa seizin Freya
nyelonong masuk. "Hei, mo ngapain lo?" Freya mengikuti Nerisa sampai ruang tamu.
"Cepetan siap-siap entar kita telat lho," kata Nerisa.
"Lo berangkat aja sendiri," usir Freya.
"Ya ampun... Gue udah bela-belain kemari buat ngelihat keadaan lo dan berbaik hati
nawarin lo bareng ke sekolah, masih aja digalakin," keluh Nerisa.
Freya nyengir. "Siapa juga yang nyuruh lo melakukannya."
"Hati gue." "Apa"!" Freya bengong.
"Sudah, cepetan mandi... bau, tau..." Nerisa mendorong Freya.
Freya meringis kesakitan saat tangan Nerisa mengenai lukanya. Terpaksa Freya
menurut, ia siap-siap buat berangkat sekolah.
"Wah... ada Non Nerisa... ikut sarapan sekalian ya, Non?" Bi Narsi senang melihat
keberadaan Nerisa. "Boleh juga, masak apa, Bi?" Tanya Nerisa.
"Nasi goreng seafood, Non Freya yang minta."
"O... tapi boleh nggak ya sama Freya kalau Nerisa ikut sarapan di sini?" tanya
Nerisa ragu. "Ya pasti boleh dong, Non. Semalem saja Non Freya cerita banyak tentang Non
Nerisa," kata Bi Narsi penuh semangat.
"Oya?" Nerisa tampak sangat tertarik. Ia mencondongkan tubuhnya untuk lebih
mendengarkan ucapan Bi Narsi. "Dia ngomong apa aja?"
"Di bilang Non Nerisa yang menolongnya." Bi Narsi tersenyum. "Sumpah, Non, baru
kali ini Bibi lihat Non Freya kelihatan senang banget. Dia kelihatan ceria dan cerita
kalau dia dan Non Nerisa sudah baikan."
"Sebenarnya sih sudah lama Nerisa ingin baikan sama dia. Tapi Freya-nya aja yang
nggak mau." Kata Nerisa sambil pura-pura cemberut.
"Ya, sekarang Bibi ikut senang. Karena Non Freya sekarang ceria lagi."
Nerisa tersenyum. Ia berpaling dari Bi Narsi saat melihat Freya lewat. Ia habis
mandi, harum sabunnya tercium hidung Nerisa, handuk putih masih menggantung di
lehernya. "Ngomongin gue, ya?" sergah Freya.
"Ih, ge-er banget. Cepetan ganti baju," suruh Nerisa.
"Entar, makan dulu. Yuk..." Freya meraih tangan Nerisa untuk diajaknya makan
bersama. Nerisa mengedipkan mata pada Bi Narsi. Bi Narsi tersenyum.
Pemandangan langka terjadi saat Nerisa dan Freya turun dari mobil. Anak-anak
yang lain tercengang melihatnya. Mungkin mereka berpikir, kok bisa ya si monster
Freya berangkat sekolah bareng Nerisa" Atau bisa juga mereka terheran-heran
melihat wajah Freya yang babak belur digebukin orang.
"Woi... Muka lo kenapa, Freya?" Dina menghampiri Freya dan Nerisa yang baru
memasuki kelas. "Kemarin jatuh...," dusta Freya.
Nerisa tertawa geli di samping Freya. Freya langsung menginjak kaki Nerisa. Nerisa
melotot. Dina sudah berlalu. Ia digelandang teman lainnya yang mengajaknya ke
kantin. Mumpung bel masuk belum berbunyi.
"Freya, lo mau kan ikut outbound?" Tanya Nerisa sambil meletakkan tasnya di
bangku. "Nggak...," jawab Freya singkat. Ia langsung duduk di bangku kosong di sebelah tas
Nerisa. "Ayolah, Freya... Temani gue dong...," bujuk Nerisa sambil ikutan duduk di sebelah
Freya. "Lo kan ada Rindu."
"Rindu pasti sibuk sendiri. Dia kan ketuanya. Plizzz..." Nerisa memasang tampang
memelas. "Gue pikirin lagi deh," kata Freya melunak.
"Oke, no problem... Cuma gue berharap banget lo mo ikut."
"Iya, nanti gue pikirin lagi."
Nggak tahu dari mana datangnya tiba-tiba Rindu nyelonong duduk di antara mereka
berdua. "Geser dikit dong..." Rindu cengar-cengir. "Gue ikut prihatin dengan musibah yang
menimpa lo." Rindu melirihkan suaranya.
Freya melirik Nerisa. "Sori, Freya, gue cerita sama Rindu. Tapi sumpah, cuma sama Rindu doang."
"Dan gue nggak akan ngomong ke siapa-siapa, Freya," Rindu menyambung ucapan
Nerisa. "Thanks," kata Freya singkat.
"Lo nggak lapor polisi supaya diusut masalahnya?" Rindu mengamati lebam di wajah
Freya. "Nggak perlu, nanti malah berlarut-larut. Kalau mereka dendam akan lebih
berbahaya bagi gue," kata Freya.
Wajah Nerisa memerah. "Gue setuju dengan Freya. Takutnya mereka malah makin
nekat." "Tapi kan, kebenaran harus ditegakkan?" Tanya Rindu penuh semangat.
Freya tersenyum. "Nggak papa kok. Gue ambil positifnya aja, dengan peristiwa ini
gue sama Nerisa bisa baikan lagi."
"Ya udah kalo gitu." Rindu meraih tangan Freya. "Welcome home, teman..."
"Thanks." Nerisa tiba-tiba lebih banyak diam. Freya sedikit heran, apakah temannya itu sudah
kembali ke kebiasaannya semula yang pendiam dan dia sendiri mulai kembali ke
kebiasaannya semula yaitu banyak bicara" Tapi yang jelas, Nerisa tiba-tiba jadi
pendiam, padahal Rindu sedari tadi ngomong terus. Belum lagi ada beberapa teman
yang ikut nimbrung. Freya merasakan mulai bisa berbaur dengan mereka. Ngobrol
banyak dengan mereka, ia merasa sangat bahagia saat ini. Sesekali Freya melihat
kearah Nerisa yang menunduk seakan memikirkan sesuatu. Wajahnya tampak
mellow banget. Jam istirahat adalah waktu yang tepat buat ngajak Nerisa ngobrol. Freya mengajak
Nerisa ke kantin. Nerisa hanya memesan es cendol sedangkan Freya es cendol plus
bakso. Mereka ngobrol sambil makan. Kebiasaan yang nggak bener tapi sering
dilakukan orang. Habis asyik sih ngobrol sambil makan.
"Lo kenapa sih, Nerisa" Kok jadi pendiem gini?" Tembak Freya.
Nerisa tersenyum. "Nggak juga."
"Lo mikirin sesuatu, ya?" Tanya Freya lagi.
"Dikit." Nerisa tersenyum. "Gue senang sih lo sekarang banyak teman. Lo bisa
ngobrol asik dengan mereka. Tapi jangan cuekin gue dong."
Freya tertawa. "O... Jadi lo cemburu?"
"Apaan sih...?" Nerisa mencubit lengan Freya, Freya tertawa lepas.
"Nerisa, terima kasih ya untuk semua yang lo lakukan buat gue. Terima kasih untuk
kesabaran lo. Lo tahu semua yang telah lo lakukan ini membuat gue semakin
bersalah sama lo karena peristiwa tujuh tahun yang lalu," kata Freya lembut.
"Sudahlah, Freya, gue nggak mau mengingatnya lagi." Nerisa mengaduk-aduk es
cendol dengan sedotannya.
"Nerisa, boleh tanya sesuatu nggak?"
"Apaan?" Mata Nerisa membulat, ia makin tampak cantik dengan sepasang mata
indah itu. "Billy itu siapa sih" Pacar lo, ya?" Freya mengedipkan sebelah mata.
Namun reaksi Nerisa sungguh berbeda, wajahnya tiba-tiba murung. Matanya
berkaca-kaca. "Sori, Nerisa, gue nggak bermaksud..."
"Nggak apa-apa."
"Gue semula mo cari buku bacaan tapi foto itu jatuh gitu aja. Gue nggak bermaksud
buka-buka arsip lo."
"Gue bilang nggak apa-apa..." Air mata mulai jatuh di pipi Nerisa. "Gue ke toilet dulu,
ya?" Nerisa buru-buru pergi.
Freya tertegun, ia merasa sangat bersalah. Nerisa kok bereaksi sampai segitunya
ketika mendengar nama Billy disebut" Walau penasaran Freya nggak berani tanya
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi pada Nerisa. *** Rasa bersalah Freya makin bertambah saat Nerisa murung terus sepanjang sisa
pelajaran. Freya sendiri kikuk harus memulai pembicaraan karena Nerisa seakan
sedang tidak menginjak bumi, entah ke planet mana pikirannya melayang. Sampai
dua kali Nerisa ditegur guru gara-gara ketahuan lagi ngelamun.
Baru saja Freya bisa akrab dengan Nerisa, kini mereka jadi jauh lagi gara-gara
Freya salah ngomong, menanyakan tentang Billy yang ternyata menyentuh sisi
sensitif Nerisa. Tapi Freya berusaha mencairkan suasana. Ia mengajak Nerisa
ngobrol saat pulang sekolah. Walau hanya dijawab sepotong-potong oleh Nerisa.
"Besok Senin mulai tes, kita bisa belajar bersama, Nerisa. Gimana, kamu mau?"
Tanya Freya menawarkan. Nerisa mengangguk. Freya menggigit bibir bawahnya. "Gue benar-benar sori, seharusnya gue nggak
tanya tentang Billy."
"Gue kan sudah bilang nggak apa-apa Freya," kata Nerisa dengan nada sabar.
Freya menelan ludah. Ia mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat koleksi lagu di
dasbor mobil Nerisa. "Lo punya lagu-lagu baru apa saja?"
"Banyak tuh, lihat aja."
"Oke." Freya memilih satu CD berisi komplikasi lagu-lagu baru. "Gue pinjem ini, ya?"
Nerisa mengangguk. "Entar sore gue ke rumah lo buat belajar bersama. Lo pasti butuh banyak buku buat
persiapan, soalnya lo masuk sekolahnya nanggung banget," kata Freya.
"Iya, thanks ya." Nerisa memutar setir memasuki halaman rumah Freya. "Sampai
nanti sore ya?" "Oke, lo bawa mobilnya hati-hati," pesan Freya sambil turun dari mobil.
Sampai di apartemennya, Nerisa langsung melempar tas ke sofa, lalu merebahkan
tubuh di sana. Tangannya meraih buku untuk mencari foto Billy.
"Kenapa gue belum juga bisa melupakan lo, Billy" Kenapa gue memiliki cinta yang
begitu dalam sama lo?" Air mata Nerisa kembali menetes.
Sebentar kemudian tubuhnya terguncang oleh isakan tangis yang semakin menjadijadi.
Ponsel Nerisa berbunyi, buru-buru Nerisa bangun, mengusap air matanya lalu
menjawab telepon. "Ya, Om..." Nerisa terdiam lama. "Nerisa minta maaf, Om." Ponsel itu pun ditutup
kembali oleh Nerisa. Nerisa merebahkan kembali tubuhnya. Kini dia tidak menangis lagi, hanya berdiam
diri lama... Setelah mengolesi wajah dengan salep supaya bengkaknya berkurang, Freya
mempersiapkan buku-buku yang akan dibawanya ke apartemen Nerisa. Freya tahu
Nerisa bukan anak yang pintar. Ia tahu beberapa kali nilai ulangan Nerisa jeblok.
Tapi karena anak baru, Nerisa nggak mendapat teguran keras dari guru. Guru
maklum, mungkin Nerisa perlu waktu buat menyesuaikan diri. Tapi kalau begini
terus, bisa-bisa Nerisa nggak naik kelas. Sebagai teman, Freya ingin juga
membantu, mengingat sudah banyak yang dilakukan Nerisa baginya selama ini.
Namun tiba-tiba Freya teringat pada peristiwa tadi di sekolah saat ia menanyakan
tentang Billy. Heran banget. Tiba-tiba kok Nerisa jadi berubah murung banget
sampai nangis gitu. Mungkin ini saatnya Freya bisa membantu Nerisa. Ia tak tahu
apa yang mesti ia lakukan, tapi semoga ia dapat membantu Nerisa. Untuk langkah
awal Freya mesti lebih dekat dengan Nerisa. Dengan begitu Nerisa mau berbicara
banyak tentang Billy, baru setelah itu ia akan tahu apa yang mesti dilakukannya.
Seperti saat ia melakukan tugasnya sebagai hacker. Langkah awal ia mesti
mengumpulkan informasi untuk mencari informasi tentang target yang akan
diserangnya. Ia harus melacak kelemahan yang dimiliki target. Ia harus mencari
informasi dengan melihat pesan error yang terdapat pada target atau mencari
informasi dengan mengambil data dari log, atau backup files. Baru setelah itu
melakukan scanning, attack, backdoor, dan sebagainya. Freya tersenyum sendiri.
Kenapa ia bisa menghubungkan masalah Nerisa dengan komputer, coba" Mungkin
karena dunia komputer sudah menyatu dengan dirinya.
Freya mendesah, ia melihat ke arah Momo yang ia dudukkan di pinggir tempat tidur.
"Mo, mama kamu kenapa ya" Kok kayaknya sedih banget. Kamu tolongin aku ya
buat cari tahu tentang Billy. Apa Billy itu papa kamu ya, Mo?"
Freya geli sendiri, segitu gilanya kah ia mengajak bicara boneka monyet"
KEDATANGAN Om Frans sedikit membuat Freya heran. Tak biasanya Om Frans
menyempatkan mampir, apalagi dia kan orang yang supersibuk. Usahanya
berkembang pesat, bahkan terakhir Freya dengar, ia sudah membuka kantor cabang
lain yang secara khusus menyediakan jasa programmer dan analisis komputer.
Freya sendiri pernah diajak Om Frans untuk bergabung, tapi karena ia masih
sekolah, Freya menolaknya. Tapi ia berjanji kalau ada job yang sekiranya bisa di
kerjakan di sela waktu luangnya, ia mau membantu. Om Frans pun sangat senang
bekerja sama dengan seorang yang masih muda, penuh semangat, dan disiplin
seperti Freya. Freya juga selalu mampu menentukan sikap tegas jika tugas yang
harus dilakukan melanggar privasi yang mengakibatkan orang tersebut celaka atau
berada dalam situasi yang membahayakan, ia akan menolak. Dulu memang ia
pernah menjadi cracker tapi sekarang tidak lagi.
"Om dengar kamu dapat masalah. Makanya Om sempatkan mampir ke sini."
"Hanya masalah kecil. Nggak tahu Om kenapa Freya mudah banget percaya sama
orang. Mulai sekarang Freya akan hati-hati, nggak akan sembarangan terima job,"
kata Freya. "Iya, memang apa yang kita kerjakan tak jarang berhubungan dengan orang-orang
jahat. Jadi kamu mesti hati-hati," nasihat Om Frans.
"Hm... Omong-omong, dari mana Om Frans tahu kalau Freya baru ada masalah?"
Tanya Freya. "Nerisa yang cerita ke Om."
"Nerisa?" Jantung Freya berdegup kencang. "Om kenal Nerisa juga?"
"Iya, dia anaknya teman Om. Om banyak membantu dia selama dia tinggal di
Jakarta. Dia teman masa kecil kamu, ya?" Tanya Om Frans.
"Ya, Om. Berarti yang dulu meminta bocoran tes itu Nerisa ya, Om?" Kejar Freya.
"Bukan dia, tapi papanya. Kamu jangan tanya Nerisa. Nanti dia bisa marah sama
Om," kata Om Frans. "Om Frans tenang saja, Freya akan ajari dia. Sebentar lagi Freya akan ke
rumahnya. Nih, Freya udah siapin setumpuk buku buat kami belajar bersama," kata
Freya menenangkan. "Jadi hubungan kalian sudah baik?" Tanya Om Frans.
"Maksud Om?" Freya memalingkan wajah. "Maaf, Om, Nerisa cerita apa saja ke
Om?" Om Frans tersenyum. "Udah ah, Om pergi saja. Malah Om yang kamu introgasi."
"Eh, Om, kok gitu sih?"
"Kamu juga akan ke apartemen Nerisa, kan?" Kata Om Frans sambil beranjak dari
kursi tamu Freya. "Iya, Om." "Ya sudah, Om pergi dulu. Sampaikan salah Om pada Nerisa."
"Pasti, Om," kata Freya.
Om Frans, lelaki setengah baya itu terkenal sebagai hacker misterius. Ia banyak
tahu tentang beberapa hal. Tapi selama bekerja sama dengan Om Frans, Freya
merasa Om Frans orang yang bertanggung jawab walau tak dapat dipungkiri
beberapa kali Freya bersitegang dengannya karena perbedaan visi. Namun sampai
saat ini hubungan mereka masih baik-baik saja.
Apalagi sekarang Freya tahu bahwa Om Frans juga kenal dengan Nerisa. Freya
makin senang, setidaknya di Jakarta ini ada figur ayah buat mereka berdua. Itu
harapan Freya. Nerisa menggeliat, punggungnya terasa penat setelah hampir dua jam belajar
bersama Freya. Freya sendiri masih juga menerangkan soal-soal yang kemungkinan
besar keluar dalam tes final semester ini.
"Udah ya, Freya... Gue capek." Nerisa berdiri untuk mengambil cemilan.
"Kan baru jam tujuh."
"Heran deh... Lo suka banget belajar, ya" Hati-hati kacamata lo bisa setebel kaca
pembesar lho," kata Nerisa.
Freya meringis. "Gue nggak minus. Mata gue normal kok."
"Terus ngapain pake kacamata?" Tanya Nerisa heran.
"Buat gaya aja," kata Freya sambil cengengesan.
"Gila lo..." Nerisa mengamati Freya yang masih asyik menekuni buku fisikanya. "Iya
sih, kalo pake kacamata kayak gitu lo tambah cakep."
Freya meringis lagi. "Cepetan, udah lo kerjakan belum soalnya?"
"Ye... Gue tadi kan sudah bilang kalo gue capek." Nerisa merebut paksa buku
Freya." Jalan-jalan yuk, cari makanan yang enak."
Freya merebut bukunya kembali. "Nggak!"
"Ih... Freya..." Nerisa cemberut. Freya meletakkan bukunya, lalu meregangkan ototototnya.
"Ngapain lo ngeliatin gue sampai segitunya?" Freya melirik Nerisa yang sedari tadi
menatapnya. Buru-buru Nerisa memalingkan wajah. "Ih, ngapain gue ngeliatin lo?"
"Gila lo!" Nerisa mengambil bantal sofa lalu melemparkannya pada Freya. Freya
tertawa. "Gue normal, lagi. Kalo gue nggak normal nggak mungkin gue pacaran
sama Billy." Mata Freya melebar, nah akhirnya Nerisa buku mulut sendiri. Satu info lagi yang ia
ketahui, ternyata Billy pacarnya Nerisa.
"O... Jadi cowok cakep dalam foto itu pacar lo" Pinter banget lo pilih cowok."
Wajah Nerisa kembali mellow. "Tapi kami udah putus kok."
"Putus" Kenapa?" Kejar Freya.
"Udah deh, nggak usah ngebahas dia," kata Nerisa sambil cemberut.
"Oke." Freya mengacak rambut Nerisa. "Ternyata lo kenal Om Frans juga, ya?"
Nerisa tampak terkejut, hal itu membuat Freya heran.
"Lo kenapa, Nerisa?"
"Nggak, kapan lo ketemu Om Frans?" Tanya Nerisa dengan wajah pucat.
"Tadi sebelum gue kemari. Dia titip salam buat lo."
Nerisa terdiam, Freya melempar Nerisa dengan bantal.
"Malah bengong! Ada apa sih?"
"Nggak. Kita bicara soal lain aja deh," kata Nerisa mengalihkan pembicaraan.
"Ye... Dari tadi nyuruh ngebahas soal lain terus."
"Hm... Belajar lagi aja yuk?" Nerisa mengambil buku-bukunya lalu pura-pura
menekuninya. Freya menangkap kegelisahan dalam sikap Nerisa. Kentara banget saat ditanya
jawaban Nerisa nggak nyambung. Nerisa juga sering bengong dan nggak konsen
dalam belajar. Terlalu banyak yang Nerisa sembunyikan dari Freya. Namun Freya
memaklumi, mungkin perlu banyak waktu untuk lebih mengenal Nerisa yang
sekarang. Dengan belajar sungguh-sungguh, kita akan lebih percaya diri. Itu yang dirasakan
Nerisa saat menghadapi tes final semester. Baginya, Freya pantas menjadi
pengajar. Cara dia menerangkan sangat enak dan mudah dicerna.
Selama seminggu ini hubungan Nerisa dan Freya makin dekat. Mereka akrab
banget. Rindu ikut senang walau merasa sedikit dicuekin Nerisa. Tapi karena
sebagai aktivis sekolah, ia nggak begitu memedulikannya. Ia dapat menyibukkan
diri. Lagi pula bukankah semua mesti berkonsentrasi untuk tes kali ini"
"Gimana tadi, ada kesulitan?" Freya mengajak Nerisa ke perpustakaan untuk
mencari beberapa buku referensi.
"Nggak lah. Menulis jawabannya memang gampang, tapi benar atau tidaknya itu
yang nggak tahu..." Nerisa cengar-cengir.
"Dasar..." Freya menjitak kepala Nerisa.
Nerisa mengambil satu buku. "Gue pinjem buku ini deh..."
"Nggak... Yang lainnya aja," kata Freya sambil merebut buku yang dipegang Nerisa.
"Ih... Sekali-sekali baca novel boleh dong."
"Boleh, tapi lusa. Besok masih tes, tauk!" Freya mengembalikan buku itu ke raknya.
"Gila ya, lo kayak bokap gue, suka memaksakan kehendak..."
"Terserah..." Freya meringis sambil meninggalkan perpustakaan.
Nerisa mengejarnya sampai keluar ruangan.
*** Kedekatan Nerisa dan Freya juga tampak setiap hari dengan berangkat dan pulang
sekolah bareng. Freya pun sudah dapat membuka diri dengan teman-temannya
yang lain. Semua ini karena nerisa. Karena kesabaran dan ketekunan Nerisa, dan
Freya sangat menghargai usaha Nerisa.
"Ada satu hal yang mesti lo tahu, Nerisa." Freya berbicara di dalam mobil di selasela kesibukannya menyetir mobil menuju apartemen Nerisa.
"Serius amat..." Nerisa tersenyum.
"Tentang Momo." Freya menarik napas. "Maaf gue udah ngebohongin lo. Momo
masih ada di gue." Nerisa terkesiap, "Oh my God..."
"Setiap lihat Momo gue pasti ingat lo," kata Freya sambil tersenyum tipis.
"Emang wajah gue sama dengan wajah momo" Sembarangan lo..." Nerisa mencubit
lengan Freya. Freya mengaduh. "Maksud gue bukan begitu..."
"Iya... Gue ngerti..." Nerisa menarik napas panjang. "Gue juga nggak pernah
ngelupain lo. Gue sayang banget sama lo, Freya."
"Gue juga sangat sayang sama lo, Nerisa. Tapi gue sulit memaafkan diri gue karena
peristiwa tujuh tahun yang lalu."
Nerisa berdeham. "Momo itu sepertinya mirip lo deh. Lo kan suka sekali manjat
kayak monyet..." Nerisa mengalihkan pembicaraan.
Freya meringis. "Suatu saat Momo akan gue kembalikan."
"Suatu saat" Gila... Momo itu punya gue, Freya..."
"Tapi dia sudah lama ikut gue..." Freya meringis. "Nanti kita tanya Momo, dia mau
ikut Mama Nerisa atau Mama Freya..."
"Sinting... Dia itu boneka tauk..." Kata Nerisa sambil terbahak.
"Tapi gue udah lama menanamkan sifat manusia dalam dirinya."
"Dasar gila..." Nerisa tertawa.
Tiba-tiba Nerisa teringat sesuatu. Wajahnya berubah serius.
"Freya, jangan lo bilang lo akan pergi setelah mengembalikan Momo sama gue."
Freya terdiam. "Freya jawab gue. Lo tega ninggalin gue setelah kita lama nggak ketemu?"
"Maaf, Nerisa...," kata Freya lirih.
"Maaf" Gitu doang" Jahat banget sih lo" Nggak bosen-bosen ya lo nyakitin hati
gue?" Mendadak kemarahan Nerisa meledak. Freya masih terdiam.
"Freya... Jangan pergi, ya" Jangan tinggalin gue," kata Nerisa memelas.
"Nerisa... Maafkan gue. Semua sudah diurus Nyokap dan sepertinya kepergian gue
nggak bisa dibatalin," kata Freya.
"Berapa lama waktu untuk kita bersama, Freya?" Tanya Nerisa pasrah.
"Dua minggu." Nerisa terdiam, sepertinya sedang berfikir keras.
"Kita masih bisa berkomunikasi, Nerisa, mungkin lewat FB atau telepon," kata Freya
akhirnya. Nerisa menghela napas panjang.
"Freya, gue punya satu permintaan sebelum lo pergi."
"Oya" Apa itu Nerisa?" Tanya Freya lega. Sepertinya Nerisa bisa menerima
kepindahannya ke Jerman. "Tapi, lo mesti janji mau ngabulin permintaan gue."
"Oke, bilang saja."
Nerisa menarik napas panjang. "Lo ikut outbound ya?"
Freya membelalak, lalu tersenyum.
"Serius, Freya... Lo mau ikut, kan?"
Freya mengangguk. "Ada permintaan yang lain?"
"Nggak. Itu doang. Thanks ya!"
Freya sedikit heran melihat reaksi Nerisa yang senang banget ketika ia setuju ikut
outbound. Kalau hanya itu permintaan Nerisa, mudah banget baginya untuk
mengabulkan. Kirain permintaan yang aneh-aneh. Freya sendiri sebenarnya ingin
ikut. Ia ingin membuktikan ke teman-teman bahwa ia sudah bisa membuka diri. Ia
sudah meninggalkan masa lalunya, membuka lembaran baru, menjadi lebih
bijaksana dan bisa bergaul.
Semua itu, sekali lagi, karena Nerisa. Nerisa mampu membangkitkan semangatnya,
mengembalikan siapa sebenarnya dirinya. Orang yang hangat dan menyenangkan.
Ternyata Freya telah menyia-nyiakan banyak waktu untuk hal yang tak berguna.
Karena berbagi dengan teman, bisa saling mengasihi, memberi, dan menerima
ternyata sangat indah. Freya mencubit pipi Nerisa yang kembali bengong.
"Kita sudah sampai di apartemen kamu..." Freya tertawa melihat Nerisa mengelus
pipi kesakitan. "Jangan suka bengong terus... Nanti kemasukan setan..."
Nerisa tersenyum. "Entar sore lo ajarin gue lagi, kan?"
Freya mengangguk. "Pasti." Freya melihat Nerisa turun dari mobil.
Kembali Freya mendesah melihat cara berjalan Nerisa yang sedikit pincang. Rasa
bersalahnya pada Nerisa belum juga hilang saat melihat kaki itu. Sepasang kaki
yang sebenarnya indah tapi karena dirinya jadi nggak indah lagi.
"Maafkan gue, Nerisa..." Desah Freya sambil melajukan mobil meninggalkan
apartemen Nerisa. AKHIRNYA tes final semester kelar juga. Setelah seminggu para murid nggak bisa
ke mana-mana dan hanya belajar terus, kini hari kemerdekaan sudah datang. Walau
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum tahu hasil tesnya kayak apa tapi yang penting para murid bisa pergi otbound
untuk menghilangkan stres.
"Ini daftar nama peserta." Nerisa menyerahkan secarik kertas pada Rindu, Rindu
melihanya sekilas. "Lo tolong absenin semua, pastikan nggak ada yang terlewat karena busnya sudah
nunggu dan kita mesti segera berangkat," pintu Rindu.
"Oke. Siap, Bos!" Nerisa nyengir, ia langsung menarik tangan Freya. "Lo ikut bantuin
gue yuk." "Tapi...," Freya berusaha ngeles.
"Ala... Nggak usah pake tapi. Yuk!"
Nerisa dan Freya bergantian mengabsen peseta yang sudah kumpul di sekitar bus.
Menurut catatan ada sekitar seratus peserta, dan panitia sudah menyiapkan dua bus
besar. Mereka tampak bersemangat. Dengan tas masing-masing juga jaket dan Tshirt, mereka tampak bergaya. Maklum, biasanya hanya pake baju putih abu-abu,
sekarang pakai pakaian bebas. Mereka tampak beda dan lebih dewasa
dibandingkan saat pakai seragam.
"Aduh, udah hampir jam delapan kok belum lengkap pesetanya sih?" Nerisa mulai
sewot karena setelah didata banyak yang belum datang.
Seksi acara pun sudah bersiap, mereka berkoordinasi dengan seksi peralatan.
Entah permainan apa yang mereka rencanakan untuk acara outbound nanti. Yang
pasti mereka berusaha membuat acara seasyuik mungkin karena ini memang acara
untuk menghilangkan stres sambil mengakrabkan diri satu sama lain.
"Gimana, sudah siap semua?" Rindu kembali mengecek.
"Belum semua, Rin." Keluh nerisa.
"Coba hubungi mereka lewat telepon. Minta kepastian mereka, kalo nggak ikut ya
kita tinggal saja. Kita nggak mungkin menunggu lama-lama," kata Rindu tegas.
"Oke. Siap, Bos!"
Rindu mengecek yang lain. Ia memang supersibuk hari ini.
Freya pun antusias membantu Nerisa menghubungi satu per satu peserta yang
belum datang. Kesibukan yang beda dari biasanya membuat Freya senang. Apalagi
kini keberadaannya sudah diperhitungkan teman-teman yang lain. Dia nggak lagi
dianggap angin lalu kayak dahulu.
*** Sesampainya mereka di Puncak, hari menjelang siang. Acara selanjutnya
pembagian kamar. Panitia memang sengaja mengacak kamar antara anak kelas
satu, dua, dan tiga. Dan kalau mereka tahu ada yang bersahabat maka sengaja
dipisahkan. Itu dilakukan agar para peserta saling mengenal teman yang baru dan
makin akrab. "Aduh... Kita pisah kamar deh, Freya. Lo kamar nomor berapa?" Tanya Nerisa.
"Lima" "Gue tujuh. Lo mampir ke kamar gue ya kalo mau makan atau keluar ke mana saja,"
pesan Nerisa. "Oke." Freya dan Nerisa masuk ke kamar masing-masing. Mereka diberi waktu setengah
jam untuk bersiap-siap dan memasukkan barang bawaan ke kamar masing-masing.
Acara outbound ini direncanakan berlangsung selama dua hari saja. Nanti malam
ada api unggun, baru besok pagi acara outbound. Setelah mereka selesai
meletakkan tas masing-masing di kamar yang telah disediakan, acara selanjutnya
makan siang bersama. Panitia sudah menyiapkan makan siang prasmanan yang
dipesan sepaket dengan tempatnya-jadi panitia nggak perlu repot-repot mikirin
makanannya. Semua sudah disediakan pemilik vila tersebut.
Freya menggeser tempat duduknya ketika Dina, Rindu, dan Nerisa datang. Mereka
membawa sepiring nasi beserta lauknya. Ada telur pindang dan tempe mendoan.
"Sumpah, gue nggak nyangka akhirnya lo mau ikut, Freya," Rindu membuka
pembicaraan. "Iya, disuruh nemenin Nerisa."
Rindu main mata pada Nerisa karena mengakui kekalahannya dalam taruhan itu.
Nerisa nggak jadi mentraktir Rindu makan di kantin selama seminggu.
"Lo sekarang beda banget ya, Freya, lebih ceria," kata Dina dengan mulut yang
masih penuh nasi. "Gue kan pernah bilang, sahabat gue ini orangnya menyenangkan. Sekarang
terbukti, kan?" Kata Nerisa gembira.
"Lo berlebihan, Nerisa. Biasa aja, kali..." Freya tersenyum.
"Justru teman-teman yang salut sama lo, Nerisa, bisa mengubah Freya." Dina
cengar-cengir. "Bukan mengubah, tapi mengembalikan ke bentuk semula...," kata Nerisa
mengoreksi. Keempat cewek itu tertawa. Suara tawa Dina yang paling keras. Itu membuat
mereka jadi pusat perhatian. Beberapa orang melihat ke arah mereka sambil
merespons dengan gaya masing-masing. Ada yang berbisik, ada yang tertawa, dan
ada yang datang lalu ikut nimbrung.
Di acara api unggun ada beberapa permainan yang mengasyikan. Para peserta
dibagi menjadi sepuluh kelompok. Masing-masing berlomba membuat jarak
rentangan sepanjang-panjangnya. Boleh menggunakan kaki, merentangkan tangan,
boleh pakai jaket untuk menyambung tangan yang satu dengan yang lain. Bebas!
Pokoknya kelompok terpanjang akan menang. Acara itu cukup seru. Bahkan ada
yang nekat melepas tirai vila untuk dijadikan rentangan. Benar-benar aneh tingkah
mereka. Kemeriahan juga tampak di kelompok Freya. Mereka terdiri atas tujuh cowok dan
hanya tiga yang cewek termasuk Freya. Freya yakin banget akan menang karena
masing-masing membawa jaket yang bisa direntangkan. Bahkan para cowok rela
melepas baju mereka lalu disambung-sambung biar tambah panjang jarak
rentangan mereka. Acara yang diadakan di halaman belakang vila itu sangat menarik. Malam yang
seharusnya sunyi berubah menjadi ramai dengan celotehan peserta juga pembawa
acara yang pandai melucu serta pandai membawa suasana tambah meriah.
Ternyata yang kalah kelompoknya Nerisa. Maklum, kebanyakan pesertanya ogah
buka baju. Alasannya dingin, dan para cowok malu karena banyak cewek. Yang
pasti kelompok Nerisa kalah, dan mereka dihukum dengan menyanyi sambil
berjoget. Gerakan mereka lucu, Freya sampai terpingkal-pingkal melihat gaya
mereka. Habis itu acara bakar jagung dan nyanyi-nyanyi. Nah, acara kayak gini lebih santai.
Nggak menguras otak dan energi. Beberapa orang membakar jagung dan yang lain
menyiapkan minuman hangat berupa jahe, kopi, dan cokelat. Sedangkan sebagian
lagi menyiapkan roti bakar isi selai kacang dan nanas.
"Nih, buat lo." Nerisa menyodorkan jagung bakar pada Freya.
"Lho, kok cuma Freya yang diambilin sih" Buat gue mana?" Rindu langsung protes.
"Ambil sendiri, jadi ketua manja banget sih..." Nerisa cengar-cengir.
"Ya... Terima nasib... Habis manis sepah dibuang..." Rindu beranjak pergi untuk
mengambil jagung bakar yang sudah matang.
"Lo senang kan, Freya?" Nerisa duduk di atas tikar di samping Freya sambil
menikmati jagung bakar hangat.
"Ya. Thanks ya sudah ngajakin gue," kata Freya tulus.
"Santai aja, kali. Lo kan sahabat gue," kata Nerisa.
Rindu datang lagi, membawa tiga jagung bakar. Ia duduk di samping Nerisa sambil
cengar-cengir. "Memang lo bisa ngabisin tiga jagung?" Nerisa melihat Rindu makan jagung cepat
sekali. "Mau?" Rindu menyodorkan satu jagung kepada Nerisa.
"Nggak, habisin aja."
"Nggak usah disuruh, entar gue habisin..." Rindu tersenyum.
Sesuai rencana, acaranya memang dibuat sesantai mungkin. Jadi mereka memiliki
banyak kesempatan buat ngobrol. Para cewek satu per satu masuk kamar karena
kelelahan tapi para cowok masih asyik bernyanyi diiringi gitar. Hanya beberapa
cewek yang masih bertahan hingga lewat tengah malam. Mereka sebagian memang
menjaga kondisi tubuh buat persiapan outbound besok sehingga staminanya fit.
Mereka mendapat bocoran bahwa mereka akan menyeberang sungai segala,
padahal jarak vila ke sungai jauh banget. Jadi mereka harus benar-benar jaga
kondisi dan mengumpulkan tenanga buat besok.
Nerisa sudah masuk kamar setelah menghabiskan jagung bakar. Sementara Freya
dan Rindu masih di sana. Bahkan Rindu sudah mengganyang roti bakar sedangkan
Freya hanya tambah secangkir cokelat hangat.
"Nerisa itu menyenangkan, ya?" Rindu membuka pembicaraan kembali setelah
beberapa saat mereka diam.
"Iya, gue beruntung punya teman seperti dia," kata Freya.
"Sayang kakinya pincang, ya" Coba kalo tidak, dia pasti selalu jadi incaran cowokcowok itu," kata Rindu.
"Memang besar banget ya pengaruh kaki?" Tanya Freya dengan hati berdesir.
"Ya iyalah, Freya." Rindu mendekatkan diri pada Freya. "Gue bilangin ya" Si Antok,
lo kenal kan yang anak kelas XII IPA 2 itu" Sebenarnya dia naksir berat sama
Nerisa, tapi waktu dia tahu jalannya kayak bebek gitu nggak jadi deh."
"Kasihan Nerisa," kata Freya lirih.
"Masalahnya bagi cewek, kaki itu penting banget. Coba aja lo lihat para peragawati
yang berjalan di catwalk. Dia tampak anggun karena cara berjalannya. Tentu karena
mereka memiliki kaki yang indah dan sempurna," kata Rindu lagi.
Freya terdiam cukup lama. Ia sangat menyesal telah membuat kaki Nerisa cacat
seperti itu. Jika benar apa yang dikatakan Rindu, ia merasa sangat bersalah pada
Nerisa. Seharusnya Nerisa berhak membencinya. Tapi tidak, Nerisa malah baik
padanya, memaafkannya. Dan...
"Kok bengong sih?" Rindu sudah menghabiskan rotinya, sekarang sepertinya mau
mengambil secangkir jahe.
"Nggak, kayaknya gue sudah mulai ngantuk, gue mau istirahat dulu, Rindu." Freya
beranjak meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kamarnya.
Di dalam kamar Freya gelisah. Ucapan Rindu sangat mengena dihatinya. Ia merasa
bahwa kesalahan masa lalunya sulit dimaafkan. Freya tanpa sengaja telah
menghancurkan masa depan Nerisa.
Apa yang diucapkan Rindu benar. Bagi perempuan memiliki kaki yang indah itu
penting. Freya sendiri pun sering mendengar orang-orang membicarakan kaki
Nerisa yang sedikit pincang. Rasanya ingin meninju mereka, tapi Freya berusaha
menahan diri. Bukankah itu hak mereka untuk menilai orang" Tapi yang tak Freya
suka, hal itu seolah prinsipil banget sehingga menjadi bahan ejekan buat mereka.
"Lo belum tidur, Freya?" Tegur temannya yang tidur di sebelahnya.
"Belum ngantuk," jawab Freya singkat.
"Kenapa nggak gabung dengan anak-anak yang masih gitaran di luar sana?" Tanya
temannya lagi. "Nggak," kata Freya sambil menarik selimutnya hanya sebatas lutut.
"Heran, sekarang udara di puncak nggak dingin-dingin amat, ya?" Komentar si
teman. "Iya," kembali Freya menjawab singkat.
Lama-kelamaan teman itu tak bertanya lagi. Setelah Freya menoleh ternyata ia
sudah tertidur. Yang membuat Freya geli, temannya itu walau cewek, tidurnya
mendengkur. Padahal penampilan luarnya feminim banget dan lembut.
Freya masih belum bisa memejamkan mata. Ia ingin ke kamar Nerisa untuk melihat
keadaannya dan memperhatikan lebih jeli kakinya, tapi sudah malam. Ia sungkan
dengan penghuni kamar yang lain. Takut mengganggu. Lebih baik besok saja.
BANYAK pengalaman baru yang Freya dapatkan. Inilah awal kehidupan remaja
yang ia inginkan. Remaja yang ceria, bersahabat dengan alam, dan selalu semangat
menghadapi masa depan. Pada saat Freya bangkit kembali dengan keberhasilannya meninggalkan bayangbayang masa lalu, justru Nerisa yang kini bertindak aneh. Freya sering kali
mendapati Nerisa melamun. Sampai saat ini Nerisa nggak mau terus terang tentang
apa yang sebenarnya dipikirkannya. Itulah sifat Nerisa yang sebenarnya. Ia mampu
menyimpan rahasia rapat-rapat. Tipikal orang yang bisa dipercaya karena pandai
menyimpan rahasia. Walau sebenarnya Freya nggak begitu peduli dengan perubahan sikap Nerisa
karena mungkin Nerisa juga butuh privasi, tapi hari ini saat persiapan outbound,
Freya melihat Nerisa duduk sendiri di bawah pohon sambil menangis.
"Lo kenapa, Nerisa?" Tanya Freya, menghampiri sahabatnya.
"Nggak..." Nerisa buru-buru mengusap air matanya begitu melihat kedatangan
Freya. "Kayaknya gue nggak ikut outbound-nya deh. Gue nggak sanggup kalo harus jalan
sejauh itu. Lagi pula nanti pasti ada acara permainan kerja sama tim. Gue hanya
akan menjadi beban dan merugikan tim saja." Nerisa menyeka air matanya.
"Kenapa sih lo berfikir seperti itu" Itu kan cuma permainan. Menang atau kalah itu
hal biasa," sergah Freya.
"Nggak, Freya! Gue nggak mau tim gue kalah karena kaki gue," kata Nerisa tegas.
Freya memejamkan mata lalu duduk di samping Nerisa.
"Gue minta maaf, Nerisa. Tapi plizz, lo harus ikut outbound. Percuma dong kita jauhjauh kemari kalau lo nggak ikut. Lo kan yang paling bersemangat mengajak gue.
Masakan lo biarkan gue sendiri?" Bujuk Freya.
"Tapi, Freya..."
"Lo tenang aja, kan ada gue," kata Freya menyakinkan.
Panitia terdengar berbicara memakai pengeras suara, meminta para peserta kumpul
karena acara akan dimulai.
"Nerisa, yuk kita bersiap." Freya meraih tangan Nerisa.
Dengan terpaksa Nerisa mengikuti Freya untuk kumpul dengan timnya. Tanpa
sepengetahuan Nerisa, Freya meminta pada panitia supaya dalam acara outbound
ini ia dijadikan satu tim dengan Nerisa.
*** Kabut turun, udara lumayan dingin. Nerisa merapatkan jaket cokelat mudanya.
Sedangkan Freya mengusap-usap tangannya sambil sesekali meniup untuk
menghalau dingin. Pandangan Freya mengarah pada pemandangan indah di daerah
Puncak. "Indah banget ya pemandangannya, Nerisa... Lo lihat tuh..." Freya menunjuk satu
bagian ke arah jam dua. "Iya, indah banget..."
Semua anggota tim sudah berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Acara
outbound akan segera dimulai.
"Oke, kita akan berlomba untuk mencapai garis finis. Di sungai itu finisnya!" Kata
salah satu anggota panitia. Orang-orang mulai bersorak, ada yang senang, ada juga
yang mengeluh kenapa jauh sekali.
"Ikuti setiap petunjuk. Kami sudah menyediakan lima pos. Di setiap pos akan ada
petugas yang akan memberi petunjuk tentang permainan apa yang mesti kalian
lakukan. Oke, semua sudah siap" Saya minta ketua masing-masing tim berjalan di
depan untuk membimbing anak buahnya."
Setelah selesai memberi instruksi, panitia acara melakukan tugasnya memberi
petunjuk pada semua pemimpin tim. Sesuai permintaan Freya, Nerisa setim
dengannya. Freya juga diminta jadi ketua timnya. Masing-masing tim terdiri atas lima
orang. "Oke, siap semua" Hitungan ketiga, silakan kalian secepatnya menuju pos pertama.
Satu... Dua... Lima..."
Orang-orang mulai berlarian, tapi segera panitia memanggil mereka kembali.
"Woi... Tiganya belum gue sebut! Ayo kembali ke barisan masing-masing."
Heboh dan sangat ramai, celotehan dan tawa berbaur jadi satu.
Rombongan Freya dan kawan-kawan untuk sementara menempati peringkat kelima
dari dua puluh kelompok. Lumayan juga. Pada pos pertama mereka diminta bekerja
sama memasukkan kelereng. Caranya, masing-masing membawa potongan bambu
berisi kelereng. Harus sambung-menyambung dan kelereng tak boleh jatuh. Setelah
sepuluh kelereng baru boleh melanjutkan perjalanan menuju pos kedua.
Pada pos kedua ada permainan lain lagi. Masing-masing tim diminta bekerja sama
untuk memenuhi botol dengan air tapi tanpa memakai alat, alias pake tangan.
Padahal jarak antara ember berisi air dengan botol lumayan jauh. Banyak di antara
peserta yang begitu sampai di tempat botol diletakkan, air dalam tangan mereka
sudah habis di perjalanan. Permainan ini cukup seru, belum lagi tabrakan yang
terjadi antarpeserta. Pada pos ketiga ada permainan melemparkan bola ke dalam keranjang. Ini juga
sangat seru. Kelihatannya sih mudah, tapi ternyata sulit juga. Mereka sering gagal
karena kurang konsentrasi dan cenderung bernafsu untuk segera menyelesaikan
permainan. Nggak disangka Nerisa jago melempar bola sehingga kontribusi yang
diberikan Nerisa sangat membantu tim. Kepercayaan diri Nerisa mulai tumbuh lagi.
Di pos keempat ada permainan yang paling sulit. Mereka harus melewati jalan yang
hanya menggunakan dua bambu besar yang dipasang sejajar.
"Gue nyerah, Freya, gue nggak bisa." Nerisa mulai patah semangat lagi.
"Lo bisa, Nerisa... Sekarang tim kita nomor dua, kalo bisa melalui ini kita bisa
menyusul timnya Rindu..." Desak teman lainnya.
Mata Nerisa mulai berair. Ia menunduk melihat kakinya. Freya meminta yang lain
segera jalan duluan, Freya dan Nerisa menyusul.
"Naik ke punggung gue," perintah Freya.
"Apa"!" "Cepetan, kita nggak punya banyak waktu. Tim lain akan segera menyusul." Freya
berjongkok. Ragu-ragu Nerisa meletakkan tangan ke pundak Freya, lalu menariknya lagi.
"Lo jalan sendiri saja. Gue tunggu di sini." Nerisa ngeri melihat medan yang akan
mereka tempuh.
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nerisa ragu apakah dua bambu itu dapat menopang tubuh mereka berdua dan tak
patah di tengah jalan. Dan bagaimana jika Freya tergelincir" Mereka akan masuk ke
lumpur dan jadi tontonan banyak orang.
"Cepat, Nerisa... Mereka makin dekat. Tinggal satu pos lagi, lalu kita..."
Nerisa kembali meletakkan tangannya pada pundak Freya.
"Hoi... Cepetan..." Teriak anggota tim mereka secara bersamaan di seberang.
Mereka memberi semangat pada Freya dan Nerisa.
"Plizz, Nerisa... Lo harus percaya gue."
Akhirnya Nerisa naik ke punggung Freya. Kelompok lain menyusul. Namun anehnya
mereka nggak jadi menyeberang. Mereka terpana. Semua menyaksikan kejadian
aneh dan mengharukan itu. Saat dengan susah payah Freya menggendong Nerisa
melalui jalanan sulit itu. Saat Nerisa begitu percaya bahwa Freya akan
membawanya menyeberang. Tepuk tangan dan siulan dari orang-orang memberi
semangat membuat Freya makin yakin ia akan mampu melalui titian itu.
Saat kaki Freya menapak tanah kembali di ujung titian, tepuk tangan makin gegap
gempita. Freya menurunkan Nerisa.
"Kita berhasil, Nerisa... Lihat mereka nggak jadi nyeberang malah bengong. Lo lihat
kelompoknya Rindu, mereka malah bengong nggak melanjutkan perjalanan menuju
pos terakhir," kata Freya gembira.
"Thanks ya, Freya?" Nerisa mengusap keringat dari kening Freya. "Lo pasti capek
banget..." Freya meringis. "Tubuh lo kelihatannya kecil, tapi berat juga sih..."
Nerisa tertawa. "Yuk, kita menuju pos terakhir..." Nerisa meraih tangan Freya.
Bersama tim, mereka menuju pos terakhir.
Pos terakhir mereka di dekat sungai. Tim Freya menempati peringkat kedua dan
mereka bisa bermain air di sungai. Ada yang sekedar duduk di batu sambil
mencelupkan kaki di air, ada yang main ciprat-cipratan air, ada pula yang malah
mandi sekalian. "Wow... Asyik banget di sini..." Nerisa makin ke tengah, mencari aliran air yang lebih
deras. "Nerisa... Hati-hati. Batunya licin!" Freya berteriak karena jarak mereka lumayan
jauh. Beberapa orang main ciprat-cipratan. Kelihatan banget cewek-cewek yang lagi
pedekate. Mereka tertawa dan bercanda. Semakin lama semakin banyak yang ikut
main air karena tanpa sengaja air yang menciprat mengenai yang lain. Suasana
tambah seru. Bahkan para cowok nggak segan-segan lagi berenang. Freya pun
kena cipratan. Spontan ia membalasnya.
Nerisa melihat Freya begitu ceria dan bahagia. Ia melihat Freya bisa berbaur
dengan orang-orang itu sekarang. Freya telah kembali menjadi Freya yang dulu.
Freya yang penuh semangat dan energik. Freya yang murah senyum, Freya yang
bisa bergaul dan energik. Freya yang murah senyum, Freya yang bisa bergaul dan
disukai banyak orang. Akibat main air, mereka semua pulang dalam keadaan basah kuyup tapi mereka
senang bisa melalui acara outbound dengan gembira. Mereka berceloteh tak ingin
pulang karena ingin berlama-lama di tempat itu. Beberapa bertanya-tanya kapan
acara semacam ini diadakan lagi. Hal itu membuat Rindu sebagai ketua panitia
senang plus bangga karena sukses mengadakan acara semacam ini.
Tujuan untuk mengakrabkan sesama siswa SMA Nusantara II tercapai. Sekarang
mereka memiliki banyak teman. Ada yang tukar-tukaran biodata atau sekadar nomor
handphone. Bahkan ada yang sudah berteman di FB dan sebagainya. Yang lagi
naksir seseorang dan kebetulan orang itu ada di acara ini, mereka makin semangat
pedekate. Rindu memperkirakan setelah acara outbound selesai akan banyak
pasangan baru yang lahir.
Ada perjumpaan pasti ada perpisahan. Ada awal pasti ada akhir. Itu tema yang
dibawakan oleh panitia dalam penutupan acara outbound. Acara yang sangat
singkat namun sangat berkesan bagi para peserta.
Beberapa orang ditunjuk secara acak untuk menyampaikan pesan dan kesannya
selama mengikuti acara ini. Hampir semua menyatakan puas. Sayang Nerisa dan
Freya malah tak ada di tempat. Mereka sudah minta izin pada Rindu untuk pulang
duluan. Rindu pun mengizinkan karena ia percaya pada Nerisa.
"Yakin lo mau pulang duluan" Di bus kita kan masih banyak tempat kosong," tanya
Rindu pada Nerisa. "Gue pulangnya sama Freya kok. Lo tenang aja. Kami nggak bakal kesasar..."
"Ya udah. Sebenarnya menurut peraturan sih dilarang pulang sendiri. Datang samasama, pulang pun harus sama-sama, tapi kalo lo memaksa ya sudah nggak apaapa. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Takutnya semua pada ikutan. Mending kalo
langsung pulang, tapi kalo malah ingin berlama-lama di sini kan kacau...?" Rindu
menjelaskan panjang-lebar.
"Iya, gue tahu." Nerisa menepuk bahu Rindu. "Sampai jumpa di sekolah ya!"
"Freya-nya mana?" Tanya Rindu.
"Baru packing."
"Oke. Kalau gitu gue tinggal dulu karena gue mesti tutup acara sekarang..."
"Bye..." Nerisa memeluk Rindu.
Rindu bergegas masuk aula untuk menutup acara outbound.
Freya menggendong tas besar di punggung, tangan kanannya membantu Nerisa
membawa tas. Mereka berjalan menyusuri jalanan yang masih asri dengan
pepohonan dan pemandangan yang indah.
"Bagus sekali pemandangannya ya, Freya?" Kata Nerisa.
"Iya, kayaknya jarang ada orang yang sampai di sini," kata Freya.
"Udaranya sejuk dan pemandangannya menakjubkan."
"Tapi cukup berbahaya medannya. Mesti jalan hati-hati. Kalo sampai terpeleset bisa-
bisa masuk jurang." Freya melihat ke bawah, lumayan remuk juga kalau sampai ada orang tergelincir
dalam medan seperti ini. "Sebenarnya apa sih yang mau lo tunjukin sama gue sampai lo bilang pada Rindu
kalo kita pulang duluan?" Tanya Freya sedikit heran.
Freya masih ingat, tapi sehabis ganti pakaian, Nerisa tiba-tiba mengajak Freya jalanjalan. Lebih mengherankan lagi saat Nerisa minta Freya sekalian berkemas karena
setelah jalan-jalan mereka akan langsung pulang. Aneh banget, pulang naik apa
coba" Emang bisa jalan kaki sampai Jakarta" Tapi Freya nggak mau berdebat
dengan Nerisa. Pastilah Nerisa sudah merancang semuanya, minimal akan ada
mobil yang menjemput mereka dan mengantarkan mereka ke Jakarta.
Nerisa duduk di tepi jurang. Freya ngeri melihat dalamnya jurang.
"Agak mundur Nerisa, di sini berbahaya..."
"Emang... Berbahaya buat lo tapi bukan buat gue..." Nerisa tiba-tiba mencium pipi
Freya. Freya terkejut dan belum sempat ia berpikir, tangan Nerisa sudah mendorong
tubuh Freya sekuat-kuatnya.
Freya terjatuh ke jurang...
"TOLONG..." Teriakan Freya makin keras. Namun sekeras apa pun dia berteriak tak
akan ada orang yang mendengar. Tempat ini terlalu jauh dari pemukiman penduduk
dan jarang sekali orang sampai di sini.
Untung saja Freya berhasil meraih akar pohon sehingga dapat bergelantungan di
sana. Tapi untuk berapa lama?"
"Nerisa, tolongin gue dong... Ambilin tali atau apa kek?" Freya ngeri saat melihat ke
bawah. Tak bisa dibayangkan jika sampai jatuh. Akan fatal banget akibatnya.
"Lo takut ya, Freya?" Ucapan Nerisa sangat dingin.
"Heh! Lo itu kenapa sih" Lo tega banget sama gue! Lo sengaja ya nyelakain gue?"
Freya sedikit berteriak saat melihat Nerisa dengan santai duduk di pinggir jurang
sambil menatapnya. "Memang! Karena lo yang memulainya!" Mata Nerisa mulai berkaca-kaca. "Lihat kaki
gue, Freya"! Gue nggak akan pernah bisa maafin lo karena lo sudah
menghancurkan hidup gue! Gue benci lo!"
"Tapi itu kan kecelakaan, Nerisa! Sumpah! Gue nggak bermaksud nyelakain lo!" Jerit
Freya ketakutan. "Lo tahu penderitaan seumur hidup yang mesti gue tanggung akibat kaki gue ini?"
Nerisa mulai terisak. "Gue benci saat orang-orang memandang kaki gue! Mereka
memandang gue dengan tatapan aneh. Mereka menghina gue, memanggil gue
dengan sebutan si pincang. Gue gagal jadi model karena kaki gue ini! Bahkan yang
lebih menyakitkan, Mama Billy nggak merestui hubungan kami karena nggak mau
punya menantu pincang!"
Sejenak Freya terpana, hal itu membuat pegangannya hampir terlepas. Ia memaki
dalam hati, namun masih dapat meraih akar yang lain. Untung di sini banyak akar
pohon yang terjuntai. Tapi sampai kapan ia bertahan" Ia mulai berkeringat,
tangannya terasa basah dan licin.
"Plizz... Nerisa tolong gue... Kita bisa bicara baik-baik. Nggak kayak gini caranya..."
"Lo akan menderita seperti gue menderita, Freya! Lo akan jatuh dan menjadi cacat
seperti gue! Lo akan dipandang sebelah mata sama orang-orang!" Jerit Nerisa.
"Nerisa... Plizz... Gue udah nggak kuat lagi, Nerisa... Tolong gue, Nerisa...," kata
Freya mengiba. "Nggak...," balas Nerisa keras kepala.
"Nerisa... Kalo gue jatuh gue bisa mampus, dan lo akan jadi pembunuh! Masa depan
lo akan hancur juga!"
Nerisa terdiam sejenak, memikirkan ucapan Freya. Namun ia kembali melihat Freya
yang memandangnya dengan memelas.
"Gue nggak peduli, toh Billy sudah mutusin gue. Hidup gue sudah tak berarti tanpa
Billy. Gue sayang dan cinta banget sama Billy, tapi karena kaki gue, gue nggak bisa
bersatu dengan Billy. Billy nggak mau mengecewakan mamanya. Dia sangat
mengasihi mamanya." "Cih! Cowok kayak gitu nggak perlu lo pertahankan! Dia itu banci!" Teriak Freya
kesal. "Apa lo bilang"!" Sentak Nerisa marah.
"Cowok nggak punya prinsip! Kalo dia benar-benar mencintai lo, dia akan mencari
cara untuk meyakinkan mamanya bahwa dia sangat mencintai lo dan akan
mempertahankan lo apa pun yang terjadi! Dia itu nggak mencintai lo, Nerisa! Sadar
dong! Cinta itu bisa mencari jalan untuk menemukan kebahagiaan... Bukan seperti
itu!" "Tutup mulut lo!"
"Plizz... Tolongin gue, Nerisa...." Mata Freya mulai merah dan berair. Ia mulai putus
asa. Tenaganya mulai habis. Ia tak mungkin bergelantungan lebih lama di sana.
"Naik aja sendiri. Lo kan jago memanjat kayak monyet!" Kata Nerisa tak peduli.
"Gila lo, tapi nggak kayak gini!"
"Sama saja, lo pasti bisa nolongin diri lo sendiri! Lo kan hebat!"
Nerisa berdiri dan hendak pergi.
"Kalo lo mau nyelakain gue kayak gini, kenapa dulu lo nolongin gue saat gue
digebukin orang" Kenapa Nerisa" Jawab gue! Kenapa lo nggak ngebiarin gue
terkungkung dalam dunia gue sendiri, kenapa lo nolongin gue sehingga temanteman mau menerima keberadaan gue lagi" Ngapain lo susah-susah bilang ke
tetangga bahwa lo masih hidup" Jawab gue Nerisa!" Teriak Freya.
Nerisa menangis histeris mendengar teriakan Freya, lalu menutup telinganya.
Tangisnya semakin menjadi.
"Gue bohong! Gue memang sengaja ngebohongin lo! Selama ini gue nggak bisa
maafin lo. Gue sudah berusaha namun gue gagal. Setiap gue lihat kaki gue,
kebencian dan dendam gue muncul."
"Lo pasti bisa maafin gue, Nerisa. Gue akan bantu lo seperti lo sudah bantu gue.
Gue hanya butuh lo beri kesempatan buat membuktikan omongan gue. Gue bisa
menyayangi lo dan menjadi sahabat lo bahkan gue siap untuk menjadi kaki lo!"
"Gue nggak bisa, Freya... Gue memang ingin mengembalikan lo menjadi Freya yang
gue kenal. Lo akan merasakan sakit hati seperti yang gue rasakan, lebih daripada
kalo lo jadi Freya yang nggak punya hati dan dingin seperti yang mereka kenal. Gue
lakukan segala ucaya supaya lo menjadi Freya yang dulu. Bahkan gue sengaja
membayar orang untuk menghajar lo, supaya lo benar-benar yakin sama gue. Gue
buat lo jadi tergantung sama gue seperti dulu gue selalu bergantung sama lo. Lalu
gue akan hancurkan lo seperti lo sudah menghancurkan hidup gue. Jujur, Freya,
gue sempat berfikir akan menghentikan semuanya ini, tapi gue harus fokus pada
tujuan gue. Setiap gue ingat Billy, kebencian gue sama lo semakin besar..."
"Katanya lo sayang sama gue. Katanya lo mau kita bersahabat selamanya" Kenapa
lo jadi begini, Nerisa?" Teriak Freya.
"Sayang gue sama lo sebesar kebencian gue sama lo, Freya!"
Nerisa terduduk di tanah, tangannya meremas-remas tanah.
"Nerisa... Gue sudah nggak kuat lagi, Nerisa... Gue akan jatuh dan mati. Tapi satu
hal yang mesti lo tahu. Selama ini gue nggak pernah berhenti menyayangi lo... Lo
sahabat gue dan lewat Momo gue selalu mengingat lo. Gue selalu pegang janji lo
yang akan kembali untuk memaafkan gue. Bukan kembali untuk membalas dendam
seperti ini." Freya memejamkan mata. Ia merasa tak kuat lagi, satu pegangan
tangannya telah lepas. Hanya dalam hitungan detik tangan sebelahnya lagi akan
terlepas dan ia akan jatuh. "Thanks, Nerisa. Dengan begini lo benar-benar telah
membebaskan gue dari penyesalan panjang gue karena telah mencelakai lo. Kita
impas, Nerisa. Gue nggak berhutang lagi sama lo. Selamat tinggal, Nerisa..."
Nerisa memejamkan mata. Ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Setelah
ditunggunya beberapa saat, Freya tak bersuara lagi. Ia melangkah dengan kepala
tertunduk, meninggalkan tas-tas Freya begitu saja. Baru beberapa langkah,
kepalanya terasa sangat pusing dan akhirnya Nerisa jatuh tak sadarkan diri.
*** Tubuh Nerisa terasa dingin. Ia menggigil, semakin lama tubuhnya terguncang
semakin keras. Sampai akhirnya ia membuka mata.
Bola matanya berputar, ia melihat sekeliling. Bau obat menyengat hidungnya. Saat
seorang suster datang, Nerisa baru sadar bahwa ia berada di rumah sakit.
"Kamu sudah sadar rupaya. Lama sekali kamu pingsan." Suster itu memeriksa
keadaan Nerisa. Nerisa masih bingung, ia tak tahu siapa yang membawanya kemari. Yang ia tahu ia
sudah membunuh Freya. Setelah itu ia berjalan tanpa arah, kepalanya terasa pusing
dan ia tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
"Siapa yang membawa saya kemari, Sus?" Tanya Nerisa sambil terus melihat
sekeliling. "Saya yang membawamu kemari, Nerisa..."
"Om Frans?" Om Frans tersenyum, ia berjalan mendekati Nerisa, lalu duduk di sisi tempat tidur.
"Tadi kamu pingsan di puncak."
"Kok Om bisa tahu saya ada di sana?" Tanya Nerisa bingung.
Om Frans tersenyum. "Kamu istirahat dulu nanti Om datang lagi kalau kondisi kamu
sudah membaik. Oke?"
Om Frans menepuk bahu Nerisa lalu pergi.
Nerisa sungguh masih sangat bingung dengan kejadian yang dialaminya.
Bagaimana mungkin Om Frans bisa menemukannya di tempat terpencil seperti itu"
Apakah Om Frans sudah tahu bahwa ia sudah membunuh Freya dengan
mendorongnya ke jurang"
Perasaan takut, cemas, dan gelisah berbaur menjadi satu dalam diri Nerisa. Ia
menyesal telah melakukan perbuatan gila itu. Ia takut polisi menemukan mayat
Freya. Ia cemas semua orang mengetahui bahwa ia seorang pembunuh dan akan
menjauhinya. Sebenarnya apa yang dicarinya" Puaskah ia telah menghabisi nyawa Freya"
Apakah ia bahagia" Jawabannya tidak sama sekali. Justru sebaliknya, ia dikejarkejar rasa bersalah dan berdosa akibat perbuatan bodohnya. Ia tak merasakan
ketenangan dan kedamaian. Kematian Freya tak akan bisa mengembalikan Billy
padanya. Ia merasa telah hancur. Ia merasa kehilangan segalanya. Apakah ini
sebenarnya yang ia inginkan"
Kembali ke Jakarta untuk membalas dendam dengan mengorbankan perasaan
karena selalu dicaci-maki oleh Freya, namun ia selalu mengalah supaya Freya
kembali menjadi Freya yang dulu. Setelah semua situasi sesuai seperti yang ia
harapkan, ia langsung melaksanakan rencananya, membalas dendam dan sakit
hatinya atas cacat kaki yang disandang seumur hidupnya.
Kegagalan demi kegagalan ia alami akibat kakinya yang pincang. Nerisa tak
menyadari bahwa kegagalan yang ia rasakan bukan salah kakinya yang pincang,
namun karena ia tak mampu melihat sisi lain penyebab kegagalannya. Ia terus
memburu penyebab kakinya menjadi pincang. Freya... Itulah alasannya kembali ke
Jakarta dan membalas dendam.
Kini apa yang ia dapatkan" Ia benar-benar kehilangan segalanya. Penyesalan selalu
datang belakangan. Balas dendam ternyata tak mampu menyelesaikan persoalan
hidupnya tapi justru menambah masalah. Sebentar lagi ia akan mendapatkan
keadilan, seadil-adilnya.
"Freya... Maafkan gue...," desah Nerisa. "Gue yang seharusnya mendapatkan
julukan monster. Gue lebih jahat daripada siapa pun. Sekarang apa yang mesti gue
lakukan" Kalau akhirnya jadi begini, gue nggak akan datang ke Jakarta. Gue nggak
akan membalas dendam dan akan memaafkan lo, dan berdamai dengan hati gue.
Tapi sekarang semua sudah terlambat... Lo sudah pergi. Freya maafin gue... Gue
bukan sahabat yang baik."
Nerisa mulai terisak, makin lama semakin keras. Hanya para iblis yang mendengar
tangisannya saat ini. Ia larut dalam penyesalan, tak ada orang yang mendengarnya.
Di kamar rumah sakit ini ia sendiri. Mama dan Papa tak ada di sini. Nerisa tak tahu
apakah mereka sudah mendengar hal ini dari Om Frans atau belum. Yang pasti jika
mengetahui perbuatan anaknya, mereka pasti akan marah, kecewa, dan sedih.
"Mama, Papa... Maafkan Nerisa." Nerisa menutup wajahnya dengan bantal.
"Dendam telah menghancurkan hidup dan masa depan Nerisa..."
***
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar mentari pagi menerpa wajah Nerisa membuatnya membuka mata. Perlahan
sinar menyilaukan itu terasa hangat di kulitnya. Ia melihat seseorang berdiri
menghadap tirai. Ia menajamkan mata untuk mengetahui siapa wanita berambut
panjang berombak itu. "Tante Michelle?" Nerisa berucap lirih.
Tante Michelle tersenyum sambil mengusap pipi Nerisa.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Lumayan baik, Tante." Nerisa melihat sekeliling. "Tante Michelle datang kemari
dengan siapa?" "Sendiri. Om Frans yang meminta Tante untuk menjaga kamu." Tante Michelle
mendekati tempat tidur. "Waktu Tante datang ke sini kamu masih tidur. Dan
semalam Tante di sini menunggui kamu. Kamu kalau tidur banyak mengigau, ya?"
"Mengigau?" Jantung Nerisa berdetak kencang. "Saya bicara apa saja saat
mengigau, Tante?" Raut wajah Nerisa memucat. Ia takut mengigau dan berbicara sendiri tentang
masalah yang ia hadapi dengan Freya. Ia takut Tante Michelle mengetahui ia telah
membunuh seseorang. "Memangnya kenapa" Apa kamu punya masalah?"
"Oh nggak, Tante." Nerisa berbohong.
"Apa perlu mama dan papa kamu diberitahui tentang kondisi kamu?"
"Jangan, Tante..." Nerisa gugup.
"Baiklah, kalau begitu. Lagi pula kata dokter kamu boleh pulang hari ini."
"Oh ya... Tentu saya pengin segera pulang, Tante."
Sebentar kemudian Nerisa kembali tenang. Berarti sampai saat ini tak ada orang
yang tahu tentang perbuatannya, termasuk Tante Michelle. Apakah jenazah Freya
belum ditemukan" Pasti belum, karena kalau sudah tentu sudah ada polisi yang
datang menemui Nerisa atau setidaknya sikap Tante Michelle nggak setenang ini.
Untuk sementara Nerisa masih aman.
MENJELANG penerimaan rapor semesteran, anak-anak diwajibkan masuk, karena
sampai hari ini masih ada yang belum membayar SPP. Padahal mereka sudah
diberi peringatan berkali-kali. Semula, kalau tidak melunasi uang SPP. Mereka tidak
akan mendapat kartu peserta tes semesteran, tapi ada yang belum sanggup
membayar. Maka para orangtua murid yang belum melunasi SPP tersebut diminta
untuk menandatangani surat kesanggupan membayar maksimal sehari sebelum
penerimaan rapor semesteran dengan konsekuensi rapor tidak akan diberikan kalau
belum lunas SPP. Kenyataannya hari ini banyak murid yang tidak masuk. Paling kalau masuk hanya
setor wajah doang alias ngabsen. Memang tak ada kegiatan belajar-mengajar. Para
aktivis justru memanfaatkan momen ini untuk menyelesaikan PR yang sempat
tertunda selama tes. Seperti Rindu dan kawan-kawan yang telah melaksanakan acara outbound dengan
sukses. Mereka juga mengadakan pertemuan untuk melaporkan hasil akhir kegiatan
yang telah dilakukan sekaligus pembubaran panitia.
Sebagai panitia, Nerisa ikut dalam rapat itu. Dan seperti biasanya Nerisa banyak
melamun. Ia sama sekali nggak konsen dengan pembicaraan mereka, sampai Rindu
yang biasanya sabar kini jadi nggak sabar lagi melihat Nerisa melamun.
"Woi... Ada apa sih"! Bengong terus!" Rindu berkesempatan berbicara dengan
Nerisa begitu rapat bubar.
"Nggak ada apa-apa..." Seperti biasa Nerisa menutupi masalahnya, tapi ia tak bisa
menutupi kegelisahannya. Ia jadi mudah gugup.
"Lo sakit ya, Nerisa?" Tebak Rindu sambil mengajak Nerisa kembali ke kelas.
Nerisa melihat bangku Freya masih kosong. Dua hari ia ke sekolah namun Freya tak
datang. Tentu saja, pikir Nerisa. Bagaimana mungkiin Freya datang. Kecuali ia
datang dalam wujud lain...
Kulit Nerisa merinding membayangkan apa yang telah ia lakukan. Nerisa terus
memandangi bangku Freya. Ia teringat saat pertama kali duduk di bangku itu. Saat
temannya mengatakan bahwa pemilik bangku itu adalah monster, ia membayangkan
monster sungguhan. Tapi sekarang, ketakutan itu kembali lagi. Mungkinkah saat ini
Freya juga sudah duduk di bangku itu hanya saja Nerisa tak dapat melihatnya
karena sekarang dunia mereka berbeda"
"Woi... Melamun lagi..." Rindu menepuk pundak Nerisa. Nerisa terkejut banget
sampai ia melompat. "Gila lo... Kaget banget tau!" Katanya sebal.
"Habisnya dari tadi lo ngeliatin bangku Freya terus." Rindu cengar-cengir. "Lo
kangen ya sama Freya?"
"Apa"!" "Sudah dua hari ini Freya nggak masuk. Lo tahu dia kenapa?" Tanya Rindu.
Nerisa menggeleng. "Kata pembantunya, sejak dia ikut outbound sampai sekarang belum kembali ke
rumah," kata Rindu. "Kemarin gue telepon, karena sebagai ketua kelas gue wajib
mengecek ke mana murid yang tidak masuk tanpa kabar. Memangnya habis
outbound itu lo nggak memastikan dia sampai rumah atau tidak" Kan kalian pulang
bareng." Wajah Nerisa memucat, jantungnya berdetak kencang. Berarti ia tidak bermimpi. Ia
benar-benar telah membunuh Freya.
"Lo kenapa, Nerisa" Kok wajah lo jadi pucat begitu?" Tanya Rindu heran. Ia
langsung lupa pada pertanyaannya barusan.
"Nggak, nggak apa-apa."
"Bagaimana kalo nanti sepulang sekolah kita mampir ke rumah Freya. Siapa tahu
Freya sudah pulang," ajak Rindu.
"Dia tak akan pernah pulang ke rumah itu lagi," kata Nerisa lirih.
"Apa"!" Mata Rindu membulat.
Nerisa tergagap, merasa telah mengucapkan kata-kata yang seharusnya tak ia
ucapkan. "Maksud aku dia pergi ke Jerman untuk menetap di sana bersama
mamanya." "O..." Rindu mendesah. "Sayang ya... Padahal kita semua mulai suka lho sama dia.
Gue sama teman-teman sempat membicarakan Freya. Ternyata Freya itu baik dan
menyenangkan. Nggak sombong seperti anggapan kami selama ini."
Nerisa terdiam, merasa sangat bersalah. Ia melakukan kesalahan fatal. Ia merasa
kehilangan Freya. Dan ternyata orang-orang pun merasakan kehilangan juga.
"Sori, Rindu... Kayaknya gue mesti pulang sekarang. Badan gue kurang fit."
"Ya udah, gue antar ya?" Tawar Rindu.
"Nggak usah, gue bawa mobil kok."
Nerisa bergegas pergi. Di dalam kamar Nerisa menangis dengan mendekap lututnya. Ia teringat kembali
saat Freya menggendongnya melalui pos keempat saat outbound. Ia begitu
memercayai Freya dan Freya begitu ingin Nerisa bisa sampai ke tujuan.
Nerisa teringat soal Freya mengajarinya dengan sungguh-sungguh saat menjelang
tes semester. Dengan telaten tiap hari Freya datang untuk belajar bersama Nerisa.
Ia selalu memberi semangat Nerisa agar tak mudah menyerah menaklukkan soalsoal pada mata pelajaran eksak.
Air mata Nerisa semakin deras. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia tak
akan pernah melakukan tindakan bodoh itu. Ia tak akan mendorong Freya ke jurang.
Ia akan melupakan Billy dan memercayai ucapan Freya bahwa cowok seperti Billy
memang tak pantas dicintai karena tak mampu memperjuangkan cintanya.
Nerisa semakin kuat memeluk lututnya. Wajah. Freya membayang di otaknya.
Seperti film yang diputar kembali. Seperti ketika pertama kali Nerisa melihat Freya.
Nerisa ingin sekali memeluk Freya tapi sikap Freya yang dingin membuatnya
menarik diri. Freya yang dikenalnya telah berubah. Namun ia berhasil
mengembalikan Freya menjadi Freya yang dikenalnya. Saat semua telah menjadi
sempurna, justru ia yang menghancurkan segalanya dengan membalas dendam
pada Freya. Sekuat tenaga Nerisa menekan rasa sayangnya pada Freya. Ia
berusaha menumbuhkan kebenciannya pada Freya dengan selalu melihat kakinya.
Selalu mengingat penolakan Mama Billy, selalu mengingat kegagalan-kegagalan
yang ia terima. Selalu mengingat ejekan orang tentang kakinya yang pincang. Selalu
mengingat tatapan mata orang-orang yang memandang kasihan dan selalu
mengingat pesona Billy yang mematikan. Sehingga di akhir keputusannya. Ia
memilih untuk tetap membalaskan dendamnya pada Freya.
Kini Nerisa hidup dalam ketakutan dan rasa bersalah. Inikah yang diinginkan
Nerisa" Tentu bukan. Nerisa kini menyadari, perasaan semacam inilah yang
dirasakan Freya dulu saat tanpa segaja membuat Nerisa jatuh dari pohon. Perasaan
bersalah semacam inilah yang menyiksa Freya selama tujuh tahun. Kini Nerisa
merasakannya. Kini Nerisa tahu perasaan macam apa yang Freya rasakan. Hingga
membuat Freya tumbuh menjadi orang yang aneh di mata orang.
Nerisa meraih ponselnya, lalu menghubungi Om Frans.
"Om... Saya ingin membuat pengakuan..." Suara Nerisa bergetar.
Tak berapa lama kemudian Nerisa mematikan ponsel lalu merebahkan diri di lantai.
"Gue mesti menyerahkan diri pada polisi. Gue nggak bisa selamanya begini. Gue
akan minta bantuan Om Frans untuk memberitahu Mama dan Papa." Nerisa terisak
kembali. "Ma... Pa... Maafkan Nerisa..."
Karena kelelahan menangis Nerisa tertidur di lantai.
Om Frans duduk di depan Nerisa untuk mendengarkan pengakuan Nerisa. Nerisa
terus saja berbicara, sesekali berhenti untuk mengatur napas dan mengusap air
mata. Beberapa kali pula Om Frans menghela napas panjang. Namun pria berambut putih
itu tetap tenang mendengarkan pengakuan Nerisa sampai selesai.
"Maafkan saya, Om, seharusnya saya mendengarkan nasihat Om." Dengan kalimat
itu Nerisa menutup ceritanya yang panjang.
"Sekarang apa rencana kamu?" Tanya Om Frans masih dengan ketenangan khas
bapak. "Saya akan menyerahkan diri pada polisi, Om. Saya akan bertanggung jawab
dengan perbuatan saya. Saya tak ingin selalu dikejar-kejar rasa takut dan bersalah,"
kata Nerisa tegar. "Apa kamu yakin dengan begitu kamu akan merasa lega?"
Nerisa menunduk. "Om, saya tak tahu apa yang mesti saya lakukan. Penyesalan itu
pasti menghantui hidup saya, Om."
Om Frans memegang bahu Nerisa. "Nerisa, kamu memang banyak cerita pada Om
tentang hubunganmu sama Billy. Tapi kamu menyembunyikan hal terpenting dari
Om yaitu tujuanmu untuk membalas dendam pada Freya." Om Frans menghela
napas. "Seandainya dari semula Om tahu tujuan Nerisa seperti ini, Om tak akan
membantu Nerisa sama sekali. Walaupun Om ini teman baik papa kamu dan papa
kamu dulu banyak membantu Om, tapi Om tak akan membiarkan kamu melakukan
tindakan kriminal semacam ini."
"Saya minta maaf, Om," isak Nerisa.
"Nerisa, kamu telah membohongi Om. Menghancurkan kepercayaan Om dengan
perbuatanmu. Om marah, kesal, dan kecewa padamu karena tak bisa dinasehati.
Kamu hanya mengutamakan dendam. Dendam yang tak berdasar sama sekali!
Kamu telah membohongi Om dengan mengatakan kamu rindu ingin bertemu dengan
Freya, teman lamamu. Om nggak menyangka di balik semua itu kamu punya niat
sejahat ini!" Nerisa menangis semakin keras. Untung saja ruangan Om Frans kedap suara
sehingga tak ada yang mendengarnya.
"Saya minta maaf, Om..."
"Sekarang kamu ngerti kan, bahwa dendam tak akan menyelesaikan masalah tapi
justru menambah masalah. Selama ini Freya sudah menghukum diri sendiri dengan
menarik diri dari pergaulan. Itu semua dia lakukan demi kamu. Karena rasa bersalah
Freya pada kamu, Nerisa!" Napas Om Fras makin memburu. "Waktu itu kalian masih
terlalu kecil untuk berpikir dengan sengaja mencelakai orang. Apalagi Freya adalah
sahabat kamu. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang benar-benar faktor
kesengajaan. Om sangat kecewa padamu!"
"Om... Tolong saya, Om... Saya takut..." Nerisa menjatuhkan diri di kaki Om Frans.
Om Fras memejamkan mata. "Bangunlah..." Om Frans meraih pundak Nerisa untuk
memintanya berdiri. " ?"Om... Saya menyesal. Sumpah, saya menyesal..."
"Baiklah... Selama beberapa hari ini, Om akan pikirkan cara untuk menolong kamu."
"Tapi Om... Saya harus menyerahkan diri pada polisi..."
"Jangan dulu. Om akan cari jalan lain. Kamu harus percaya pada Om, dan kali ini
Om akan benar-benar marah kalau kamu tidak menuruti apa yang Om perintahkan."
"Terima kasih, Om. Nerisa janji akan mematuhi semua perintah Om Frans," kata
Nerisa, isaknya mereda. "Baiklah... Sekarang kamu kembali ke apartemen. Jangan katakan tentang hal ini
kepada siapa pun." Nerisa menuruti ucapan Om Frans. Ia kembali ke apartemennya. Ia merasa
hidupnya telah hancur. Nerisa merebahkan diri di sofa. Ia tak peduli walau seharian perutnya tak terisi. Ia
merasa tak ingin hidup lagi. Tangannya segera meraih foto Billy, dipandanginya
sejenak lalu dirobek-robek menjadi serpihan kecil, dihamburkan ke atas hingga
serpihan-serpihan itu menyebar mengotori ruangan. Nerisa menyadari apa yang
Freya katakan benar. Billy tak pantas mendapatkan cintanya.
Kembali Nerisa menangis, seakan air matanya tak habis-habis. Sebenarnya ia lelah
menangis, tapi tak bisa membendung air mata. Saat ini ia hanya bisa mengandalkan
Om Frans untuk menolongnya. Ia masih ingat ketika Om Frans sangat marah saat ia
melaksanakan rencananya menyuruh preman ke rumah Freya dan pura-pura
meminta Freya membantunya sebagai hacker dalam memecahkan perselingkuhan
istrinya yang datanya ada di komputer. Saat itu Om Frans sudah melarangnya.
Namun Nerisa tetap melaksanakan niatnya. Nerisa mesti bertindak cepat sebelum
Freya meninggalkan Jakarta untuk terbang ke Jerman. Nerisa sama sekali tak
mengindahkan nasihat Om Frans dan malah semakin buruk. Mata hati Nerisa
seakan tertutup oleh panasnya api dendam.
Kembali Nerisa meraih tasnya untuk mencari ponsel. Bagaimanapun ia harus
menghubungi orangtuanya. Tapi tak yakin apakah ia bisa bercerita sebanyak ia
mampu bercerita pada Om Frans. Mengingat selama ini hubungan Nerisa dengan
orangtuanya tak begitu dekat. Terutama dengan Papa yang cenderung emosional.
Saat tangannya masuk tas, ia menyentuh bulu-bulu halus di dalam tasnya.
Jantungnya berdetak kencang. Dengan cepat ia menarik bulu-bulu halus itu. Dan
betapa terkejut dia saat mengetahui bahwa itu ternyata Momo. Boneka monyet yang
ia titipkan pada Freya...
Mata Freya membesar, ia berlari keluar, ia mencoba melihat dalam gelapnya malam
dengan menyipitkan mata sambil berlarian mencari petunjuk tentang Momo.
Bagaimana mungkin boneka itu tiba-tiba ada di dalam tasnya" Pastilah seseorang
memasukkannya ke tas. Tapi siapa yang melakukannya"
Tak ada satu petunjuk pun. Nerisa terduduk sambil memeluk Momo. Kemudian
menciumi Momo bertubi-tubi. Air matanya menetes semakin deras...
GADIS remaja yang dikabarkan hilang beberapa hari ternyata ada di rumah Om
Frans. Freya masih hidup. Keadaannya pun tampak baik-baik saja. Selama
beberapa hari Freya tinggal di kantor Om Frans yang juga bisa berfungsi sebagai
rumah tinggal. Di sini Freya merasa aman, setidaknya tak ada orang yang tahu
keberadaannya, terutama Nerisa.
"Bagaimana tanganmu, Freya?" Tanya Om Frans setelah menutup pintu ruang
komputernya. "Sudah agak mendingan, Om. Hanya kayaknya jari-jari saya belum bisa saya
gunakan secara maksimal buat mengoperasikan komputer."
"Jangan memaksakan diri. Kata dokter, perlahan akan sembuh sendiri. Tak ada
yang perlu dikhawatirkan." Om Frans mengecek data dalam flash disk.
"Proyek baru ya, Om?" Freya mendekat ke meja Om Frans untuk mengetahui apa
yang Om Frans kerjakan. "Iya, proyek besar. Menyangkut rahasia negara."
"Wow hebat... Suatu saat saya pasti bisa seperti Om Frans. Menjadi hacker sejati.
White hacker!" Om Frans tersenyum. "Pasti kau bisa." Om Frans meminta Freya menyingkir supaya
tidak mengetahui apa yang sedang ia kerjakan. "Memiliki kepandaian yang luar
biasa tanpa diimbangi dengan hati yang baik akan sangat berbahaya. Lihatlah
banyak orang yang menggunakan kemampuan mereka untuk melakukan kejahatan.
Mereka adalah para cracker yang sengaja memasukkan sistem orang lain dengan
tujuan tidak baik. Baru saja ada berita seorang anak SMA yang jadi cracker
membobol beberapa ATM."
Freya terdiam, benar sekali apa yang dikatakan Om Frans. Ia juga dulu masih ingat
pernah dicobai Om Frans, untung ia tak mau melakukannya sehingga Om Frans
makin yakin untuk melibatkan Freya dalam proyeknya. Bagi Om Frans, orang yang
bisa diajak kerja sama harus memiliki moral dan etiket yang baik. Pandai saja tidak
cukup, perlu pemahaman yang mendalam untuk menjadi hacker yang baik.
"Om... Berapa hari lagi Freya bisa keluar?" Freya menarik tikar untuk tiduran.
Ia jenuh harus berada di ruangan ini seperti tahanan. Walau di sini ada banyak
komputer, tapi karena tangannya belum sembuh benar ia tak dapat
mengoperasikannya. Hal itu membuatnya jengkel. Ia ingin mengoperasikan
komputer tapi tangannya nggak mau diajak kerjasama.
"Terserah kamu, Om nggak pernah melarang kamu meninggalkan tempat ini," kata
Om Frans santai. "Maksud Freya, apakah Nerisa sudah tahu bahwa Freya masih hidup?" Tanya
Freya.
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sepertinya begitu, karena boneka monyet itu sudah Om masukkan ke tas Nerisa
kemarin." Freya tertawa keras. "Freya bisa bayangkan reaksi Nerisa. Pasti dia ketakutan
banget, masakan hantu bisa memasukkan Momo dalam tas."
"Tapi sepertinya dia sudah menyesali semua perbuatannya." Om Frans mematikan
komputer. Rasanya tak nyaman diajak ngobrol sambil mengoperasikan komputer.
Om Frans bahkan duduk di atas tikar dekat Freya.
"Oya" Kok Om Frans bisa membuat kesimpulan begitu?" Tanya Freya.
"Bukan kesimpulan, Freya, tapi memang Nerisa sudah mengatakannya. Kamu
sendiri bagaimana?" Tanya Om Frans.
"Dari dulu sampai sekarang Freya tak pernah membenci Nerisa. Mungkin dulu waktu
Nerisa datang, sikap Freya memang nggak bersahabat, tapi bukan berarti Freya
membenci Nerisa. Sama sekali tidak, Om. Bahkan sekarang Freya makin berterima
kasih pada Nerisa karena dengan peristiwa ini Nerisa tanpa sengaja telah
membebaskan Freya dari rasa bersalah Freya selama ini," kata Freya panjang-lebar.
"Om memang tak pernah punya anak, tapi Om sudah menganggap kalian anak-anak
Om. Jadi Om berusaha untuk memahami jalan pikiran kalian. Tak mudah memang,
tapi Om kan pernah muda. Kemarahan, dendam, harga diri sangat lekat dengan jiwa
remaja. Tak heran jika banyak sekali demo, tawuran, dan sebagainya hanya karena
mengikuti keinginan yang salah."
Freya tersenyum. "Terima kasih ya, Om, sudah bantuin Freya. Coba kalau Om
nggak ada di sana, pasti Freya sudah mampus. Terlambat sedikit saja Freya tinggal
nama doang." "Ya, Om mesti memastikan bahwa Nerisa tak bertindak nekat seperti yang dia
lakukan dengan menyuruh orang untuk mencelakaimu. Apa yang dilakukan Nerisa
sudah tak bisa ditolerir lagi. Itu sebabnya Om sengaja mengikuti Nerisa untuk
berjaga-jaga, dan setelah ini Om akan segera menghubungi orangtuanya untuk
menceritakan semuanya. Karena Om bukan orangtuanya, om nggak bisa melakukan
tindakan apa-apa. Orangtuanya yang berhak untuk mengarahkannya. Tapi dalam
menyampaikan hal ini Om akan cari waktu dan cara yang tepat sehingga orangtua
Nerisa maupun Nerisa sendiri bisa menerimanya dengan baik," kata Om Frans
memaparkan rencananya. "Cinta kadang bisa membutakan mata hati seseorang hingga melakukan tindakan
nekat ya, Om" Seperti cintanya Nerisa pada Billy," komentar Freya.
"Sebenarnya itu bukan cinta, Freya. Itu semacam kemarahan di dalam hati.
Kemarahan dan rasa tidak mampu menerima kenyataan bahwa kakinya cacat dan
cenderung menyalahkan seseorang, yaitu kamu, karena keadaan yang dialaminya.
Seperti kamu juga tidak mau memaafkan diri kamu sendiri dan cenderung
menghukum diri dengan mempercayai ucapan orang bahwa kamu anak nakal.
Kamu bertindak sesuai omongan orang yang sesungguhnya tidak benar.
Seandainya orang-orang bisa menerima bahwa peristiwa tujuh tahun yang lalu
sebagai kecelakaan murni, kamu tak akan menyalahkan diri kamu terus-menerus.
Sanksi sosial itu teramat berat." Om Frans menghela napas. "Contohnya begini, saat
seseorang narapidana menyesali kesalahannya dan menjalani hukuman di penjara
dia merasa lebih senang di penjara daripada menerima risiko setelah keluar dari
penjara. Cacian, makian, pandangan merendahkan, dan penolakan membuat dia
lebih menderita dibandingkan saat di dalam penjara. Itulah yang dinamakan sanksi
sosial. Jika masyarakat tidak bisa menerima peristiwa yang kamu alami tujuh tahun
yang lalu sebagai peristiwa kecelakaan murni, ada baiknya kamu mulai kehidupan
yang baru, juga untuk melupakan peristiwa yang membuat trauma," kata Om Frans.
"Freya bertahan di tempat ini karena Freya membawa boneka Momo, boneka Nerisa
yang Nerisa titipkan. Freya nggak ingin saat Nerisa datang untuk mengambilnya
Freya tak ada disana," kata Freya.
Om Frans tersenyum. "Kamu kan bisa memberitahu di mana keberadaanmu?"
"Masalahnya saya nggak tahu keberadaan Nerisa Om. Dan bodohnya saya juga
nggak berusaha untuk mencari informasi tentang dirinya. Saya hanya yakin bahwa
suatu saat Nerisa akan datang untuk memenuhi janjinya," kata Freya.
"Ya sudahlah... Semuanya telah berlalu. Dan sekarang apa rencanamu?"
"Saya tetap akan ke Jerman, Om. Lusa saya berangkat."
"Oke, baiklah. Apa semua sudah siap?"
"Sudah, Om, bahkan tiket dan visanya sudah ada di tangan saya." Freya menghela
napas. "Maaf, Om, saya memberitahu keberadaan saya pada Bi Narsi. Saya takut
dia cemas, jadi saya menghubunginya dan beberapa hari yang lalu saya sudah
membereskan semuanya untuk persiapan keberangkatan saya bersama Bi Narsi.
Saya pulang tengah malam dan nggak ada orang yang tahu."
"Sebelum pergi, apa kamu akan menemui Nerisa?" Tanya Om Frans.
"Entahlah, Om... Kalo membayangkan kejadian beberapa waktu yang lalu, Freya
ngeri juga. Di satu sisi Freya senang karena sekarang nggak punya utang lagi
dengan Nerisa dan bisa melanjutkan hidup dengan damai. Di sisi lain Freya masih
kesal banget sama Nerisa. Jadi Freya nggak tahu apa masih mau menemui Nerisa
atau tidak. Freya kayaknya butuh waktu untuk menenangkan diri dan benar-benar
bisa memaafkan diri Freya sendiri, dan Nerisa tentunya."
Om Frans memegang bahu Freya. "Om mengerti, memang tak mudah menerima
kenyataan bahwa orang yang kita kasihi telah tega mencelakai kita. Tapi Tuhan
membuat hati setiap manusia dapat memaafkan. Selama orang itu mampu melihat
sisi baik dari semua peristiwa yang terjadi."
Setelah mendapat nasihat panjang-lebar dari Om Frans, Freya memutuskan untuk
kembali besok pagi sehingga lusanya ia langsung bisa terbang dan menyusul
mamanya. *** Nerisa masih mendekap Momo sambil terus menginterogasi Rindu. Rindu yang
sengaja diundang Nerisa ke apartemennya sedikit kesal karena dikiranya ada
masalah penting, tapi ternyata Nerisa hanya menanyakan kenapa boneka monyet itu
bisa tiba-tiba ada di dalam tas sekolahnya.
"Memang apa sih anehnya kalo ada orang yang memberi lo boneka monyet" Kali
aja penggemar lo?" Tukas Rindu.
"Nggak, ini Momo, boneka gue."
"Nah, apalagi itu boneka lo sendiri. Bisa kan, lo lupa telah memasukkan boneka itu
ke tas lo." Rindu mencoba berargumen.
"Iya, tapi nggak mungkin tiba-tiba Momo ada di dalam tas." Nerisa diam sejenak. Ia
tak mungkin menceritakan pada Rindu bahwa selama ini Momo ia titipkan pada
Freya. Ia takut Rindu tahu perbuatan tercelanya.
"Aduh... Capek deh... Urusan boneka bikin ruwet. Mendingan kita keluar yuk, cari
makan...," kata Rindu sambil meregangkan tubuh.
"Nggak... Gue harus pergi ke tempat seseorang," tolak Nerisa.
"Gue ikut...," kata Rindu sambil langsung berdiri.
"Nggak...," tolak Nerisa.
"Ye... Kok gitu sih?"
Nerisa meraih ponselnya untuk menghubungi Om Frans. Ia berniat ke kantor Om
Frans, tapi Om Frans malah ingin mereka bertemu di apartemen Nerisa saja.
"Om Frans mau ke sini, jadi gue nggak perlu ke sana," Nerisa menjelaskan pada
Rindu yang sedari tadi bengong mendengarkan pembicaraan Nerisa di telepon.
"Emangnya siapa sih?" Tanya Rindu.
"Om Frans." "Ya udah, gue pulang aja, nggak mau ganggu kencan lo sama om-om..." Rindu
tertawa sambil menyambar kunci mobilnya.
"Sialan lo..." Nerisa menimpuk punggung Rindu yang hendak pergi dengan bantal.
Sudah hampir satu jam Nerisa menunggu kedatangan Om Frans, tapi Om Frans
nggak datang-datang. Nerisa mulai gelisah. Kalau menghubungi Om Frans lagi,
Nerisa takut Om Frans marah.
Akhirnya yang ditunggu datang juga. Om Frans tampak gagah dan kelihatan lebih
muda dari umur sebenarnya karena mengenakan kaus hitam ketat dan celana jins.
Wajahnya tenang seperti biasa.
"Lama ya menunggu" Tadi om ada tamu."
"Nggak apa-apa, Om, Nerisa maklum. Om kan orang sibuk."
"Ya, tapi Om akan selalu meluangkan waktu untukmu karena papa kamu yang
meminta Om menjaga kamu."
"Iya, Om. Terima kasih." Nerisa menarik napas panjang.
Ia mulai bercerita tentang penemuan barunya yaitu mendapati Momo di dalam tas.
Om Frans pura-pura mendengarkan dengan saksama walau dalam hati geli juga
karena dialah yang memasukkan Momo ke tas Nerisa. Lebih geli lagi saat Nerisa
mulai mengaitkan peristiwa itu dengan hantu dan sejenisnya.
"Menurut Om bagaimana?" Tanya Nerisa usai bercerita.
"Om nggak tahu, Nerisa. Tapi kalau menurut Om bukan Freya yang memasukan
boneka itu dalam tas kamu."
"Saya juga berpikir seperti itu. Tapi sampai sekarang Nerisa belum ada petunjuk
siapa orangnya. Nerisa sudah tanyai beberapa orang yang kemungkinan
memasukkan Momo tapi nggak ada yang mengaku."
"Ya sudah, tenangkan diri kamu dulu." Om Frans tersenyum. "Jadi sekarang
bagaimana" Apa kamu sudah siap menyerahkan diri pada polisi untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanmu?"
Jantung Nerisa berdetak kencang. "Om... Bisa nggak memberi Nerisa waktu untuk
mencari tahu siapa yang memasukkan Momo dalam tas Nerisa" Lagi pula,
sepertinya polisi belum menemukan jenazah Freya. Nerisa yakin Freya masih
hidup." "Kenapa kamu bisa yakin begitu?" Tanya Om Frans sambil mengernyitkan dahi.
"Waktu meninggalkannya sendiri, Nerisa nggak melihat tubuh Freya jatuh ke jurang.
Saat Nerisa meninggalkannya Freya masih berpegangan pada akar pohon. Siapa
tahu setelah Nerisa pergi, ada yang menolong Freya... Lagi pula tiba-tiba kepala
Nerisa pusing seperti ada yang memukul Nerisa dari belakang sebelum pingsan.."
Om Frans tertawa lebar, langsung bertepuk tangan mendengar ucapan Nerisa.
"Maksud Om apa?" Nerisa tersenyum keheranan.
"Bagus sekali analisismu. Memang ada yang menolong Freya setelah kamu jatuh
pingsan karena pukulan. Orang itu adalah saya." Om Frans mengacak rambut
Nerisa. "Dan Om juga yang memasukkan boneka monyet itu ke tas kamu atas
permintaan Freya." "Apa, Om"! Jadi Freya masih hidup" Pantas sepertinya Om tenang-tenang saja,
padahal ini masalah yang besar kan, Om?" Mata Nerisa tiba-tiba berbinar.
Ia melompat kegirangan. Hatinya begitu bahagia. Ia berkali-kali menjerit senang
sambil memeluk Om Frans. "Sekarang Freya ada di mana, Om" Nerisa ingin menemuinya..."
"Tunggu... Sepertinya Om tak akan mengizinkan kamu menemuinya lagi," kata Om
Frans sambil melepaskan pelukan Nerisa.
"Om... Sumpah, Nerisa benar-benar menyesal. Om harus percaya. Nerisa akan
buktikan omongan Nerisa. Nerisa akan berlutut di kaki Freya untuk minta maaf."
Nerisa mulai menangis. "Om Frans pasti tak percaya bahwa kali ini Nerisa jujur. Nerisa nggak sedang
berpura-pura, Om. Sungguh, Nerisa menyesal banget. Jika waktu bisa kembali.
Nerisa pasti akan memperbaiki semua kesalahan Nerisa. Nerisa siap menerima
semua kekesalan, kemarahan, bahkan pukulan dari Freya."
"Baiklah, Om percaya padamu. Lusa Freya akan terbang ke Jerman untuk tinggal
bersama mamanya. Kamu boleh menemuinya. Ini ketiga kalinya Om memberi
kepercayaan untukmu. Jangan kamu sia-siakan karena jika sekali ini kamu berbuat
tidak baik, selamanya Om tak akan memercayai kamu lagi. Om tak akan membantu
kamu lagi. Dan Om tak akan peduli lagi sekalipun papamu telah berjasa menolong
Om." "Om, percayalah, kali ini saya nggak akan membuat Om kecewa," kata Nerisa pasti.
Nerisa senang sekali. Ia memeluk dan mencium Momo berkali-kali. Om Frans
melihat dengan haru. Ia selalu yakin Nerisa sebenarnya anak yang baik. Namun
Nerisa terlalu tertutup sehingga tak mudah bagi orang lain untuk bisa menebak isi
harinya yang sebenarnya. INI hari terakhir Freya di SMA Nusantara II. Bi Narsi mewakili orangtuanya
mengambilkan rapor semester ini. Tentang nilai, Freya nggak pernah khawatir.
Bukannya sombong tapi memang kenyataannya Freya nggak pernah mendapat nilai
jelek. Hampir di semua mata pelajaran. Wow...
"Freya..." Rindu menepuk bahu Freya, "Udah ditunggu teman-teman di kantin tuh..."
"Di kantin?" Freya sedikit heran.
"Ayolah..." Rindu menarik tangan Freya untuk diajak ke kantin.
Benar juga, entah ide dari siapa, Freya nggak tahu. Yang pasti kantin sudah disulap
jadi berbeda. Ada spanduk yang bertuliskan "Selamat jalan Freya... Kami semua
menyayangimu..." Freya membaca tulisan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia
sungguh tak menyangka mereka melakukan semua ini untuknya. Untuk seorang
Freya yang selama ini nggak pernah memedulikan mereka, yang selalu berbuat
kasar, dan tak pernah menganggap mereka ada. Tapi sekarang, mereka tak
memiliki dendam, mereka bahkan melakukan semua ini untuknya.
"Ini dari kelas kita, Freya. Jujur, setelah tahu kamu mau pindah, kami merasa sangat
kehilangan. Dan pastinya sekolah ini juga akan kehilangan satu anak genius." Rindu
mewakili teman-temannya ngomong.
Freya nggak bisa menahan haru. Ia memeluk Rindu. "Thanks ya, Rindu. Berat bagi
gue untuk meninggalkan kalian semua setelah apa yang gue alami akhir-akhir ini.
Gue merasakan kehangatan yang selama ini gue cari." Freya menelan ludah dengan
susah payah. "Kami semua sudah melupakan masa lalu untuk melihat ke depan. Gue dan temanteman sangat menyesali keputusan lo meninggalkan sekolah ini, tapi kami nggak
bisa mencegah lo karena itu semua hak lo. Dan lo tahu apa yang terbaik buat lo
sendiri. Kami cuma berharap, lo akan selalu mengingat kami, mengingat semua halhal indah yang pernah lo alami di sekolah ini." Dina begitu lancar berbicara setelah
memeluk Freya. Teman-teman yang lain pun secara bergantian memeluk Freya sambil
mengucapkan kata perpisahan dan semangat untuk memulai kehidupan yang baru
di negeri orang. "Waduh... Siapa lagi yang akan memperbaiki komputer Bapak jika kau pergi,
Freya...?" Pak Sunaryo beserta rombongan beberapa guru ikut mendekat sambil
memberi selamat karena selain akan meninggalkan sekolah, Freya juga siswa
berprestasi terbaik semester ini.
Di antara guru itu ada juga Bu Nadya yang sepertinya makin lengket dengan Pak
Sunaryo. Kemungkinan besar mereka sudah pacaran. Biarlah, itu urusan mereka,
yang pasti Freya ikut senang jika mereka bisa jadian. Bukankah setiap orang berhak
menemukan kebahagiaannya masing-masing"
Freya memberi kode pada Rindu, Rindu mengerti dan berbisik di telinga Freya.
"Sori, gue yang ngundang guru-guru itu kemari."
Freya mengerti, pengaruh Rindu memang besar banget. Freya menghargai apa
yang telah Rindu lakukan untuknya.
Acaranya cuma makan-makan bareng. Khusus hari ini kantin "disewa" anak kelas XI
IPA 1 yang dimotori Rindu.
"Beberapa hari ini lo ke mana saja, Freya" Gue sempat ragu juga ngadain ini sama
teman-teman, takutnya lo nggak muncul di hari terakhir kita di semester ini."
Freya tersenyum. "Iya, gue mesti mempersiapkan semuanya. Tapi kalo hari ini kan
memang semua siswa mesti masuk untuk dapat pengarahan dan menerima rapor.
Hanya saja jamnya mungkin berbeda."
"Iya. Eh, Nerisa sampai sekarang kok belum muncul ya" Apa dia nggak menerima
rapor ya?" Tanya Rindu. Freya terdiam. Ia memang dari tadi mencari sosok Nerisa di
antara teman-temannya dan memang tak menemukannya. Di mana dia sekarang"
Kenapa nggak muncul di sekolah" Padahal mungkin ini kesempatan terakhir Freya
untuk bisa bertemu dengannya. Mungkin Nerisa sengaja menghindarinya.
"Freya... Lo tahu di mana Nerisa?" Tanya Rindu lagi.
Freya menggeleng. "Mungkin dia baru cari wali buat mengambil rapornya. Dia kan di
sini nggak ada ortu, kayak gue."
"Mungkin juga ya..." Rindu memesan semangkuk bakso lagi.
Rindu sudah habis semangkuk sedangkan Freya belum menyentuh baksonya sama
sekali, ia hanya minum es jeruknya sambil ngobrol.
"Gue titip Nerisa ya, Rindu. Jadilah sahabatnya yang baik." Freya menahan
perasaannya. "Gue sayang banget sama dia."
Rindu menatap Freya lama, mata Freya berair.
"Lo baik-baik saja, Freya?"
Freya mengangguk. "Ya... Dari dulu gue sayang dia bahkan sekarang dan
selamanya. Apa pun yang terjadi nggak akan pernah mampu mengurangi rasa
sayang gue sama dia."
"Lalu kenapa lo mesti pergi, Freya" Kalian kan sudah lama nggak jumpa dan baru
ketemu sebentar terus mau pisah lagi," tanya Rindu penasaran.
Freya nggak mungkin menjelaskan pada Rindu tentang apa yang telah dialaminya
bersama Nerisa. Freya sudah tak ingin mengingatnya lagi. Ia ingin memaafkan
Nerisa dan melupakan kejadian di jurang itu. Freya bisa mengerti sakit hati Nerisa
padanya selama ini. Namun Freya juga menyadari ia tak mungkin bisa bersama
Nerisa. Jika terus bersama, mereka akan saling menyakiti. Kenangan tujuh tahun
yang lalu tak akan terhapus sampai kapan pun, dan kaki Nerisa adalah buktinya.
*** Kembali Nerisa melihat jam tangannya. Sudah hampir dua jam ia menunggu di
depan rumah Freya, namun Freya nggak muncul juga. Apakah Om Frans
membohonginya" Rumah ini tak ada tanda-tanda ada penghuninya. Bahkan para
tetangga sudah ditanyai dan nggak ada yang tahu ke mana penghuni rumah ini.
Nerisa merasa konyol menunggu Freya di depan rumahnya. Ia mulai berfikir apakah
Mamamo Karya Sara Tee di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Freya sudah pergi dan memang sengaja menghindarinya. Pantaslah bila Freya
marah padanya. Apa yang ia lakukan memang sulit dimaafkan. Tapi Nerisa akan
selalu berharap Freya bisa memaafkannya.
Dari jauh tampak taksi memasuki halaman rumah Freya, Nerisa berdiri sambil
berharap ada Freya dalam taksi itu. Tapi ternyata cuma ada Bi Narsi.
"Non Nerisa?" Bi Narsi heran melihat Nerisa ada di teras rumah. "Sudah lama
nunggunya, Non?" "Lumayan, Bi." Nerisa tersenyum, lalu menggeliat untuk meregangkan ototnya
karena sudah lama duduk. "Freya ke mana, Bi?"
"Masih di sekolah, katanya ada acara. Makanya Bibi pulang sendiri setelah
mengambilkan rapor Non Freya." Bi Narsi mengajak Nerisa masuk ke rumah. "Mari,
Non, nunggunya di dalam saja. Bibi buatkan minum dulu."
Nerisa melihat rumah ini sudah rapi, siap ditinggalkan penghuninya. Banyak
perabotan yang sudah disingkirkan sehingga ruangan tampak lebih luas.
"Freya jadi pergi ya, Bi?" Nerisa menyusul Bi Narsi sampai dapur.
Benar juga, dapur pun sudah bersih. Hanya ada sedikit perabotan.
"Iya, Non. Rumah ini akan dijual."
Nerisa memejamkan mata. Kini ia benar-benar akan kehilangan Freya. Dulu, ia yang
meninggalkan Freya, sekarang Freya yang akan meninggalkannya. Kenapa selalu
begini" "Non... Ada apa" Kok nangis?" Bi Narsi menatap Nerisa heran.
Nerisa mengusap air mata dengan buru-buru. Ia memaksakan diri tersenyum.
"Nggak apa-apa, Bi. Nerisa cuma ngerasa kehilangan Freya banget..."
"Ya, Non... Bibi juga nggak ngerti kenapa Non Freya memutuskan pergi menyusul
mamanya, padahal dulu waktu diajak mamanya nggak mau. Katanya mau nunggu
Non Nerisa. Tapi setelah ketemu, dia malah pergi. Apa memang begitu maksudnya,
ya" Setelah ketemu, mengembalikan boneka monyet itu, lalu baru mau pergi ke
Jerman ikut mamanya. Bibi jadi bingung."
Nerisa mengerjap berkali-kali mengusir air mata yang sepertinya sulit dicegah untuk
tidak keluar. "Kalau begitu saya susul di sekolah saja, Bi." Nerisa segera mohon diri.
Nerisa sudah tak bisa menunggu Freya lagi. Ia ingin bertemu dengannya. Ia takut
tak akan ada kesempatan untuk bertemu Freya dan meminta maaf atas
perbuatannya. *** Om Frans dan Tante Michelle ikut mengantar Freya ke Bandara Soekarno-Hatta.
"Jaga diri baik-baik di sana, Freya. Lupakan semua kenangan buruk di Jakarta dan
ingatlah kenangan manis selama di sini. Jangan lupa hubungi Om jika sudah
sampai. Kita tetap bisa saling kontak. Kemajuan teknologi membuat jarak semakin
tak berarti." Tante Michelle memberi nasihat ketika berada di depan gerbang
keberangkatan. "Iya, Tante. Freya juga berterima kasih atas semua yang Om dan Tante Frans
lakukan. Jangan lupa kalau ada proyek yang menarik, libatkan saya ya, Om." Freya
meringis. "Tentu saja, Om akan carikan yang menarik dan penuh tantangan," jawab Om
Frans. "Tapi nggak kriminal kan, Om?" Freya tersenyum.
"Tentu saja. Saat ini Om baru menjalin kerja sama dengan pemerintah. Mudahmudahan apa yang Om inginkan terwujud."
"Iya, Om, pasti Freya mendoakan supaya Om Frans makin sukses," kata Freya
tulus. "Tapi kamu mesti terus belajar, Freya. Jangan cepat berpuas diri dengan
kemampuan yang kamu miliki sekarang. Perkembangan teknologi berjalan begitu
cepat, kita harus dapat mengikutinya," kata Om Frans mewanti-wanti.
"Iya, Om, terima kasih atas nasihatnya."
Om Frans menepuk bahu Freya. "Ya, sekarang masuklah, sebentar lagi kamu
terlambat check-in. Bersiaplah dan sukses untukmu di tempat yang baru."
Freya memeluk Tante Michelle lalu mengajak Bi Narsi masuk ke loket pengecekan
tiket pesawat. "Freya, tunggu..."
Freya menghentikan langkah. Ia melihat Nerisa dan Rindu berlarian ke arahnya.
"Nerisa... Rindu..." Mata Freya berbinar.
"Sori, kami belum telat, kan?" Rindu mengatur napasnya. "Selamat jalan ya, Freya"
Jangan lupa online tiap malam supaya kita bisa FB-an untuk tukar informasi dan
kegiatan kita masing-masing."
"Pasti, Rindu." Freya memeluk Rindu. "Terima kasih ya mau datang sampai di sini."
"Ya, sebenarnya gue hanya mengantar Nerisa." Rindu melihat Nerisa yang membisu
di sampingnya. "Kayaknya dia mau bicara sama lo berdua aja deh."
Om Frans dan Tante Michelle mengerti. Mereka mengajak Bi Narsi menyingkir
mengikuti Rindu. Jarak mereka cukup jauh.
Freya mengajak Nerisa ke tempat yang nggak begitu banyak dilewati orang.
"Apa kabar, Nerisa?" Tanya Freya lembut.
Nerisa mendongak, wajahnya penuh air mata. Sejenak Freya terpaku. Namun tibatiba Nerisa menjatuhkan diri di kaki Freya. Ia bersimpuh di kaki Freya. Freya kaget
banget, cepat-cepat ia mengajak Nerisa untuk bangun dan duduk bersamanya.
Beberapa orang sempat melihat ke arah mereka dengan tatapan penuh tanya.
Namun Freya nggak memedulikan mereka. Saat ini ia hanya memedulikan Nerisa.
"Lo nggak perlu melakukan ini, Nerisa. Gue sudah memaafkan lo. Bahkan sebelum
lo meminta maaf ke gue." Kata Freya.
"Gue menyesal, Freya. Gue benar-benar telah mengoyak persahabatan kita. Gue
telah menghancurkannya," isak Nerisa.
"Siapa bilang, Nerisa" Persahabatan kita nggak akan berakhir sampai kapan pun.
Lo tetap sahabat gue untuk selamanya. Gue sayang sama lo, apa pun yang terjadi."
Freya mengusap air mata Nerisa dengan jari-jarinya. "Kita nggak akan pernah tahu
siapa sahabat sejati kita sebelum kita sangat menyesal karena menyakiti hatinya."
"Sungguh lo nggak marah sama gue" Lo nggak dendam kan, sama gue?" Tanya
Nerisa memastikan. "Nggak." Freya mengusap rambut panjang Nerisa. "Sahabat sejati adalah orang
yang selalu mau membuka hati untuk bisa memaafkan kesalahan sahabatnya.
Seberapa pun besarnya kesalahan itu."
"Gue tega banget, Freya. Andai gue bisa mencegah kepergian lo... Apa yang mesti
gue lakukan untuk mencegah lo pergi?" Tanya Nerisa terisak lagi.
"Nerisa, walau gue pergi, lo selalu ada di hati gue. Kepergian gue ini membawa
kelegaan dan kemenangan atas trauma masa lalu yang membayangi hidup gue
selama ini. Terima kasih, Nerisa. Lo memberi gue shock therapy yang ampuh
banget." Freya tersenyum.
Nerisa pun ikut tersenyum melihat senyum Freya.
"Terus apa rencana lo selanjutnya, Nerisa" Apa lo akan menetap di Jakarta?" Tanya
Freya. "Tentu saja tidak, Freya. Untuk apa gue di sini sedangkan lo nggak ada di sini. Gue
mungkin hanya menghabiskan semester ini, lalu balik lagi ke Singapura. Entahlah...
Rencana ini belum gue bicarakan dengan Papa dan Mama. Tapi apa pun yang
menjadi keputusan gue nantinya, gue pasti hubungin lo."
"Oke, gue tunggu kabar berita dari lo," kata Freya. Nerisa membuka tasnya, ia
mengeluarkan Momo dari dalam tasnya.
"Gue titip Momo lagi, ya?" Tanyanya memelas.
"Titip?" "Iya, tolong jagain Momo. Suatu saat gue akan menemui lo lagi untuk mengambil
Momo..." "Nggak...." Freya mengembalikan Momo kepada Nerisa.
"Lo takut gue akan balas dendam lagi?" Tanya Nerisa.
"Bukan begitu. Momo sudah lama ikut gue, dia pengin ikut Mama Nerisa lagi," kata
Freya sambil nyengir. "Tapi Momo lebih mirip lo karena sudah lama ikut lo!"
"Sialan lo... Lo samakan gue dengan monyet"!"
"Ya... Lo kan pandai banget memanjat kayak monyet..." Nerisa tertawa.
Freya merentangkan tangan, Nerisa menyambutnya. Mereka berpelukan cukup
lama. Rindu, Om Frans, dan istrinya, juga Bi Narsi menyaksikan semuanya itu.
Mereka memang bersahabat, namun tak diizinkan Tuhan untuk selalu bersama.
Bersahabat bukan berarti harus tinggal bersama. Karena persahabatan sejati bukan
hanya melibatkan fisik semata tapi juga hati.
Mereka mendekati Freya untuk mengingatkan segera check-in agar nggak
ketinggalan pesawat. "Ih... Boneka monyetnya bagus banget..." Rindu mengusap boneka monyet dalam
pelukan Nerisa. "Kayaknya lo aja yang mesti merawat Momo..." Nerisa menyerahkan Momo pada
Rindu. "Jadi mamanya Momo sekarang ada tiga. Mama Freya, Mama Nerisa, dan
Mama Rindu." Om Frans dan istrinya berpandangan. Mereka heran melihat tingkah ketiga remaja
yang sedang membicarakan boneka monyet itu. Namun mereka mengerti boneka itu
memang memiliki arti yang sangat penting terutama bagi Freya dan Nerisa.
Nerisa terus melambaikan tangan walau Freya telah menghilang dari pandangan.
Perlahan Rindu meraih tangan Nerisa untuk menurunkannya. Kemudian Rindu
meraih kepala Nerisa untuk memeluknya. Di saat itulah Nerisa bisa menumpahkan
tangisannya. "Andai dia tahu, gue sangat sayang sama dia. Tapi gue nggak yakin rasa sayang
gue bisa menghentikan langkahnya." Suara Nerisa terdengar parau.
"Kita pulang, Nerisa..." Rindu membimbing Nerisa menuju mobil.
EPILOG SEBULAN telah berlalu, Nerisa sangat kehilangan Freya. Ia merasa sangat
kesepian. Untuk menghibur diri, tiap pulang sekolah ia selalu lewat rumah Freya.
Namun hari ini ada yang berbeda. Jika selama ini Nerisa selalu melihat rumah itu
sepi tanpa penghuni, sekarang tampak ada penghuninya. Seorang laki-laki asing
berada di depan rumah itu. O... Ternyata yang membeli rumah Freya orang asing.
Rumah itu tampak hidup jika ada penghuninya seperti ini.
Nerisa menghentikan mobilnya untuk mengamati, namun tiba-tiba jantungnya
berdegup kencang saat melihat Mama Freya keluar dari rumah itu. Ia segera
menuntaskan rasa ingin tahunya dengan turun dari mobil dan menghambur ke
rumah itu. "Tante..." Nerisa berdiri di depan Mama Freya dengan pandangan takjub, "Saya
Nerisa, Tante... Saya sahabat Freya..."
"O... Halo, apa kabar Nerisa...?" Mama Freya mengulurkan tangan. "Mau ketemu
Freya?" "Iya, Tante, saya sudah kangen setengah mati sama dia," kata Nerisa penuh
semangat. "Kalo begitu masuk aja, dia ada di kamarnya."
Tanpa buang waktu lagi Nerisa menghambur masuk ke rumah. Ia mendapati Freya
yang lagi berbenah. "Freya..." Nerisa langsung memeluk Freya. Freya yang nggak siap hampir terjatuh.
"Sialan lo... Lo ngebohongin gue... Kirain lo sudah pergi ke Munich."
Freya cengar-cengir. "Gue balik lagi, kali ini sama Mama dan papa baru. Mereka
memutuskan tinggal di Jakarta."
"Wow... Jadi lo beserta keluarga akan tinggal di sini?"
Freya mengangguk. "Begitu banyak kenangan di sini, rasanya gue nggak ingin
meninggalkan begitu saja. Lagi pula Mama dan papa baruku akan tinggal di sini.
Mama berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu untuk gue. Nggak kayak dulu
lagi." "Sumpah, Freya... Gue senang banget lo kembali ke Jakarta, kalau begitu gue juga
akan menetap di sini saja. Gue akan bilang pada bokap-nyokap supaya balik ke
Jakarta, kalo nggak mau ya sudah, gue tinggal di sini juga nggak apa-apa asal
bersama lo." "Oke, kita akan mulai semuanya dengan sesuatu yang baru."
"Tentu saja, Freya. Setiap orang tentu pernah melakukan kesalahan, tapi Tuhan
selalu memberi kita kemampuan untuk berusaha memperbaikinya. Gue akan
buktikan sama lo bahwa gue bisa jadi sahabat yang bisa lo andalkan."
Freya memeluk Nerisa. "Rindu pasti akan senang kalo kita bertiga jadi sahabat
karib." "Pasti, sekarang tugas kita menemui Rindu untuk menanyakan Momo. Lalu kita
tanya Momo lebih suka ikut siapa?" Kata Nerisa riang.
Freya cengar-cengir. Enaknya jadi momo, bisa diperebutkan.
TAMAT Para Ksatria Penjaga Majapahit 16 Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars Tanah Semenanjung 3