Pencarian

Mengurung Bidadari 3

Mengurung Bidadari Karya A Rita Bagian 3


Kedua orang itu masih mengejar dan Rory mulai melihat pintu keluar yang menjanjikan ia akan
lepas dari situasi itu. Setelah ini, ia bersumpah benar-benar berhenti dan merencanakan hal lain
yang bisa ia lakukan. Pintu keluar parkiran membiaskan cahaya terang dari panasnya siang yang terik. Meski
ranselnya terasa cukup berat ia memaksakan diri untuk bergerak makin cepat. Dan saking
cepatnya dia tidak bisa lagi mengontrol kedua kakinya untuk berhenti saat sebuah mobil masuk
dan meluncur ke arahnya. Dan terlambat menghindar!
Tubuhnya terhempas keras dua kali setelah mobil 4x4 itu mengerem. Pertama menghantam
kap mobil yang kuat sebelum jatuh tak berdaya ke jalan yang keras. Seluruh tulang-tulangya
seakan rontok dan entah apa yang terjadi bila si supir tidak mengerem mendadak!
Rory berguling kesakitan dalam keadaan sadar saat kedua pria itu menyeretnya pergi.
Sementara si pengendara mobil mengucapkan sumpah serapah sebelum kembali melaju seiring
panjangnya rentetan klakson di belakangnya.
Ranselnya diambil, dia ditarik ke suatu tempat yang tidak ia ketahui sambil berusaha untuk
tetap sadar. Ia merasakan perih di siku dan lututnya yang pasti terluka. Sementara itu ia sama
sekali tidak bisa memberi perlawanan.
--"Kamu dari mana" Apa yang terjadi?", Natha menghampiri begitu ia dan tubuh lemahnya
muncul dari balik pintu. Gadis itu berwajah cemas dan takut sehingga Rory langsung
memeluknya saat ia kembali merasa bersyukur.
Meski sekujur tubuhnya sakit dan lelah, semua seakan luntur ketika Rory menciumnya. Dia
sudah akan berhenti membuat masalah demi gadis ini. Dia akan melakukan apa saja...
"Kamu kenapa?", tanya Natha lagi.
Rory menggeleng-geleng. Dia mengangkat Natha dengan sisa tenaganya untuk membawanya
ke kamar. Mengabaikan semua kesakitannya untuk menyembunyikan harinya yang buruk dari
Natha. Ia tidak ingin seperti pria menyedihkan tadi. Yang nyaris menangis dalam hasil akhir
ujian kesetiaannya, dan kekasihnya benar-benar sudah menghilang.
Rory membuang jauh-jauh bayangan perempuan menyedihkan yang ia temui waktu itu saat ia
berusaha berkonsentrasi memuaskan dirinya dan Natha.
"Jangan!", Natha menolaknya dengan dorongan kasar yang membuatnya terkejut.
Rory bergidik, menarik Natha saat ia hendak bangkit dan menghindar. Tapi, dia memaksa.
--Entah perasaannya saja atau Rory tampak seperti binatang haus darah yang sedang memangsa
buruannya. Natha hanya merasakan sakit karena Rory terlalu keras. Begitu pula dengan
ciumannya yang terkesan memaksa. Meninggalkan bekas yang perih dan Rory tidak pernah
sekasar itu. "Aku bukan pelacur...", cetusnya sambil berbalik dan menutupi tubuhnya yang dingin. Mencoba
untuk tertidur. Menit demi menit berlalu dalam diam. Walaupun lelah, matanya belum mengantuk. Mungkin
karena ia terlalu penasaran, kenapa Rory tidak bicara sepatah kata pun. Tidak ada perlakuan
hangat seperti biasanya di mana Rory selalu memeluknya sampai pagi. Bahkan Natha tidak
berani menoleh ke belakang sekalipun ia tahu, Rory juga belum tidur. Namun ia merasa Rory
sangat gelisah. Apa yang membuatnya gelisah" Dan dari mana dia mendapat luka lecet di siku
dan lututnya itu" ---- Pria itu pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan menyedihkan selama beberapa
tahun. Dan entah ada angin apa, Syoffi, perempuan itu menguji kesetiaannya dengan
menghilang dan meminta bantuan Rory untuk mengikuti pria itu untuk tahu bagaimana
reaksinya. Yang Rory tahu, lelaki itu sangat tertekan. Dia tidak bisa menerimanya tapi Syoffi belum ingin
kembali. Terakhir kalinya Rory masih bisa menghubunginya adalah dua minggu yang lalu dan dia
mengaku sedang di luar kota. Dia juga meminta Rory terus mengikutinya. Meskipun bukan
urusannya, Rory yang merasa iba bahkan memintanya untuk kembali tapi perempuan itu tidak
menanggapinya dan malah menutup telpon. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi bisa dihubungi.
Rory bahkan tidak bisa memberitahunya bahwa Andrew mulai menjalin hubungan dengan
wanita lain. Hari ini Rory nyaris dipukuli orang berbaju hitam itu jika ia tidak menyebut nama Syoffi. Pria itu
terkejut dan memaksa Rory memberi tahu di mana Syoffi. Saat Rory menggelengkan kepala
sebagai ketidaktahuannya, ia panik. Dia mencoba sendiri menghubungi nomor yang biasa
dipakai Syoffi. Tapi, jawabannya selalu sama.
Rory terbangun. Dia membayangkan bagaimana cinta tanpa kepercayaan dan dia ingin
meminta Natha untuk mempercayainya dalam keadaan apapun juga. Dia tidak ingin seperti pria
yang sama menyedihkannya dengan Syoffi. Begitu dia menoleh ke sampingnya,.Natha sudah
tidak ada... --"Erris barusan telpon aku!", Henrietta protes, "Aku nggak mau.berakhir seperti ini bahkan di
saat belum mulai!" "Aku sama Angel selesai!", tegas Natha yang sibuk menarik kopernya, "Kalau kamu masih mau
di sini juga nggak apa-apa. Yang jelas aku mau pulang"
"Apa sih masalahnya?", Henrietta belum mendengarkan penjelasan apapun. Tahu-tahu pagipagi begini Natha kembali dengan muka masam dan merengut. Masuk kamar mandi dan
mengurung diri sangat lama lalu keluar sambil marah-marah.
Natha terdengar bicara di telpon dengan agen tiket dan meminta penerbangan yang berangkat
hari ini juga. Dia tidak sedang main-main.
Aku nggak tahu dia kenapa. Coba deh kamu tanya Rory!...Ini serius, Ris!", desak Henrietta
sambil memandangi bayangannya di kaca kamar mandi dan jelek sekali. Dengan ponsel di
telinga dan ia tergesa-gesa keluar untuk melihat sejauh mana persiapan kakaknya untuk pergi
secara mendadak. Sementara Natha berkemas dengan terburu-buru karena dia hanya punya satu jam sebelum
check in bandara. Henrietta cuma punya lima menit untuk cuci muka, gosok gigi dan ganti baju sebelum
berkemas. Dia juga harus pulang, mengingat pekerjaan dan keadaan Natha yang berantakan
seperti sekarang. Natha menarik nafas panjang saat dia sudah mendudukan pantatnya di dalam taksi yang akan
membawa mereka ke bandara. Sementara Henrietta tengah mengirimkan pesan singkat lewat
ponselnya diam-diam. Agar Erris segera memberitahu Rory bahwa Natha memang serius akan
pergi. "Dia mau bikin aku kembali ke masa-masa itu...", Natha mulai bicara dan supir taksi mengernyit
kepadanya karena tidak mengerti bahasanya.
"Memangnya dia ngapain?",tanya Henrietta penuh perhatian.
"Dia menguntit orang untuk bayaran..."; jelas Natha dengan suara pelan dan dalam.
Meluruskan masalah yang berkelebat di kepalanya sejak semalam karena luka-luka tidak biasa
yang ia temukan di tubuh Rory.
"Paparazzi?", "Sejenis itu", sambung Natha, "Dia nggak pernah ketahuan. Tapi, sepertinya semalam dia
ketahuan" "Terus dipukuli?",
"Mungkin... Aku nggak tanya dari mana luka-luka lecetnya"
"Siapa tahu aja dia jatuh dari motor",
Natha menggeleng-geleng. "Motornya nggak apa-apa", jelasnya, "Tapi kartu memori di
kameranya nggak ada. Pasti diambil"
Henrietta tercekat. Ia tidak mengerti tapi Natha tampak ketakutan seperti baru saja terguncang.
Dia hanya bisa memeluknya dan ikut bersedih. Serta menyesali kekeliruannya di saat ia
memberitahu Erris. Mereka pasti sudah ada di bandara.
"Dia sudah janji berhenti demi aku, tapi dia bohong", Natha mulai meneteskan air matanya,
"Aku nggak mungkin hidup sama orang yang seperti itu..."
--Rory menyeruak dari dalam mobil disusul oleh Erris. Dia tampak pucat dan sakit dengan langkah
yang sedikit terseok, akibat dari hempasan keras yang ia tahan dari tabrakan mobil sebesar itu.
"Aku minta maaf, Natha...", ucapnya dengan sangat menyesal. "Aku nggak bermaksud
membohongi kamu, Sayang..."
Henrietta menengahi, "Udahlah, Rory..." dia mulai tidak suka dan mematahkan semua
penilaiannya bahwa lelaki ini baik. Dan dia memang tidak suka pada siapapun yang menyakiti
saudarinya. Ia menarik Natha pergi, bermaksud menjauhkannya agar Natha tidak berubah
pikiran. "Nggak, Natha!", pinta Rory menarik paksa Natha ke sisinya hingga ia terlepas dari genggaman
Henrietta. "Kamu harus tahu yang sebenarnya..."
"Tahu kalau sebenarnya kamu nggak bisa berhenti menguntit!", cetus Henrietta dan Erris sudah
ada di belakangnya untuk menghentikannya merusak kesempatan terakhir Rory memperbaiki
kesalahannya. Natha menghindari tatapan memohon itu agar tidak luluh. Dia terlalu takut memaksakan
hubungan yang mulai tampak seperti ketidakmungkinan.
Henrietta seolah menyuarakan isi pikirannya. "Hari ni kamu menguntit, besok apa lagi"!
Merampok"!" Erris menahannya untuk tidak mendekat walau selangkahpun.
"Please, Natha, maafin aku...", ucap Rory lagi, "Aku janji akan perbaiki semuanya"
Natha yang makin terluka lewat kata-katanya menendang perasaan ingin kembali yang
memaksa dalam dirinya. Ia memejamkan mata menahan pedih hatinya yang tergores karena
semalam dan beberapa fakta tentang Rory yang membuatnya takut.
Rory is trouble, julukan itu sangat tepat untuknya. Dia seperti api membara yang bisa
menghancurkan apa saja. "Aku tahu aku pembuat masalah! Aku sering nggak terkendali saat marah! Aku nggak bisa
berpikir di saat merasa terganggu. Tapi, aku merasa itu udah lama dan aku bahkan nggak ingat
kapan terakhir kali aku memukul orang tanpa sebab! Aku terkejut saat aku sadar aku jauh
berubah dan aku berhenti main-main dengan hidupku. Berhenti membenci Papa-ku! Berhenti
mengutuk hidupku yang sudah membuat Mama-ku meninggal! Semuanya karena kamu...",
katanya,"Dan ini bukan hanya soal diri aku sendiri, aku seperti melihat masa depan dan
ternyata hidupku bukan cuma untuk hari ini...semuanya karena kamu..."
Natha tetap tidak mau memandangnya.
"Kamu lebih dari sekedar itu buat aku...", Rory kembali memohon, "Aku bukan apa-apa tanpa
kamu!" Natha belum bicara sedikitpun. Dia mulai bingung. Dan terkejut saat Rory menariknya paksa
karena tidak punya pilihan lain. Natha hampir menyerah melihat dan merasakan bagaimana
harga diri Rory melayang semua di hadapan orang lain. Dia berbeda dari saat pertama Natha
mengenalnya. Dia sedikit lebih tenang dan terkendali di hadapannya secara perlahan. Namun
hari kemarin seperti kutukan saat ia dipaksa seperti pelacur dan itu melukai hatinya.
Natha melepaskan diri. Rory menakutkan saat marah. Di saat wajahnya merah padam, dan
urat-urat di dahinya menonjol. Seperti sekarang ini.
"Brengsek!!", makian Henrietta seakan menggelegar bagaikan petir. Ia tidak pernah terlihat
lebih marah dari itu. Dia mendorong Rory dan berusaha berkali-kali menyingkirkannya dengan
pukulan bertubi-tubi. Sekarang mereka.seperti tontonan menggelikan di bandara.
Rory berusaha mengabaikannya dengan tetap memandangi Natha, berharap cinta akan
membuatnya tinggal. Erris menarik Henrietta lagi. Memegangi kedua tangannya dan mereka mulai berdebat.
Perhatian Natha terbagi menjadi dua. Antara Rory yang memohon dan Henrietta
yang murka "Maafin aku, Angel...", ucapnya sangat menyesal. Rory terpaku di depannya tidak bergerak sedikitpun menyaksikan akhirnya Natha berlalu dan
menghilang perlahan. Mengejarnya pun sudah tidak berguna. Rory dan cintanya tidak bisa
membuatnya berubah pikiran.
--Mungkin mereka memang tidak ditakdirkan bersama. Rory mencoba mempercayai itu. Jika
Natha masih menginginkan dirinya, dia tidak akan pergi. Dia tidak diinginkan siapapun. Ayahnya
saja tidak menginginkannya. Bagaimana orang lain akan mencintainya" Apa yang sudah pergi tak ada lagi. Rory mengusir semua kenangan yang tertinggal walau
rasanya hampir tak mungkin. Dia tidak pernah dekat gadis manapun sebelum Natha.
Bayangannya muncul sebagai ketakutan setiap kali ia mencoba tidur di tempat mereka. Begitu
ia terbangun dengan perasaan takut, ia meregang dan tubuhnya basah oleh keringat dingin
dengan nafas tersengal. Rory sudah hidup semampunya. Dia pulang ke rumah. Dia pergi ke kampus mengendarai motor,
mengebut sampai nyaris menabrak orang. Dia menemui beberapa orang gadis yang
menunjukan minat terhadapnya dan sempat terpikir menjadikan mereka pelampiasan. Tapi ia
merasa bayangan Natha masih tertinggal untuk mengawasinya. Tak jarang, ia jadi sering
membayangkan bilamana gadis itu datang membangunkannya dari tidurnya. Tapi, ia malah
tampak seperti orang bodoh.
Dia rela bertemu Papa-nya setiap hari dan tidak pernah terlibat percakapan yang akrab
layaknya ayah dan anak. Rory masuk ke kamar. Mengurung diri berjam-jam. Lalu keluar larut
malam sendirian mengendarai motornya. Pergi ke klub dan berniat mengencani seorang cewek
mabuk. Namun bayangan Natha masih mengawasinya.
Jadi dia pulang dengan sedikit perasaan terluka. Karena Natha seolah masih berboncengan
dengannya di belakang dan memeluknya. Masih menemani malamnya dan fantasi itu kembali
meracuninya. Natha mengikutinya ke mana pun ia pergi, membawa penyesalan untuknya.
Rory memandangnya sambil berbaring di atas tempat tidur. Dia menyatakan ingin berdamai
dengan Natha yang sudah tak lagi menjadi masa depan. Hanya masa lalu. Dan kemudian ia
tersentak Rory kembali lagi ke sana. Setelah memutuskan akan meninggalkan rumah itu untuk selamanya.
Daripada terkungkung oleh bayangan Natha yang belum ingin berhenti menyiksanya. Walau
berat. Tapi, dia tidak menyangka. Seseorang telah merusak semua kenangan mereka. Seseorang telah
mebgobrak-abrik seisi rumah dan menjadikannya sampah. Semua perabotan hancur dan
berserakan di lantai. Meja-meja yang patah. Pecahan kaca di mana-mana. Rumah itu seperti
baru diserang oleh kelompok anti teror. Berantakan...
Saat ia mencoba mempercayai apa yang ia lihat bukan mimpi, pemandangan seketika
menggelap diiringi sakit yang menjalar dari tengkuk ke seluruh tubuh yang melemahkan semua
anggota geraknya. Seseorang memukulnya ooOoo dengan benda keras dari belakang... BAB 19 Masa Lalu Pertama kali datang ke sini, rasanya seperti mimpi. Beberapa bulan yang lalu di saat dia berpikir
cintanya masih bisa diperjuangkan. Dia sengaja datang dari tempat yang jauh yang dia pikir
neraka, untuk mencari seseorang yang sangat dia cintai. Tapi, hidup ini selalu penuh kejutan.
Dia bertemu seseorang yang mirip dengan Kevin, tapi hanya sosok belakangnya saja. Sisanya,
mereka tidak sama untuk ukuran mirip.
Dia seperti disihir dalam beberapa saat menyadari kebodohannya. Lalu ada yang disebut
dengan takdir yang sering diartikan sebagai kebetulan. Cowok itu lebih buruk dari yang ia lihat
sekilas di bandara. Dia seorang gigolo yang menerima bayaran dari wanita kesepian. Tapi,
dugaannya adalah sebuah kesalahan. Rory tidak seburuk yang pernah lihat. Dia indah. Dan
Natha, jatuh cinta padanya. Semua terjadi begitu saja, seperti kita bernafas dan tertidur.
Natha tidak bisa memaafkan dirinya yang pergi meninggalkannya dan telah membuatnya
terluka. Jadi, dia kembali ke rumah itu.
Dia pikir Rory masih menunggunya di sana. Masih mau tersenyum padanya, memanggilnya ikan
mas, putri duyung, Miss Broken Heart, atau apalah, dan Natha memanggilnya Angel. Karena
Natha merindukan suaranya dan hawa yang dia bawa ke mana pun dia pergi. Hawa dari
seorang lelaki yang bebas dan penuh cinta.
Berharap Rory akan memaafkannya.
Natha jadi ingat satu kekacauan yang pernah mereka buat di apartemen Kevin. Natha merusak
semua barang-barang kepunyaan Kevin dan meninggalkannya dalam keadaan kacau. Seperti itu
jugalah, rumah kecil mereka saat ini. Kacau, berantakan, semuanya telah diacak-acak. Tanpa
pernah berpikir bahwa Kevin mungkin akan membalas kekacauan yang mereka buat.
Natha membuka pintu kamar dengan sedikit ragu-ragu. Dia baru pergi sebulan dan inilah yang
terjadi. Rory terbaring di lantai dengan posisi tertelungkup.
"Angel"!", Natha berlari padanya. Mengangkat kepala Rory yang terkulai tidak berdaya.
Darah mengalir dari pelipis, hidung dan mulutnya. Dia sudah dipukuli! Dia tidak berdaya.
Namun, begitu dia masih mampu membuka matanya dan menatap Natha dengan mata yang
sayu dan lemah. Natha menangis. Menyandarkan kepala Rory dalam peluknya.
Rory berusaha bicara. Tapi tenggorokan seolah tersumbat batu. Dia memaksakan dirinya untuk
mengatakan "Selamat tinggal, Natha...."
Natha menggelengkan kepalanya penuh permohonan. "Jangan...", pintanya.
Mata Rory terpejam. Tanpa gerakan dalam pelukannya.
"Nggaaaak!", teriakan itu menggema dalam kesedihan dan penyesalan.


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

--Adakah mimpi yang begitu menyiksa dari ini"
Natha membuka matanya. Rory masih terbaring damai dalam tidurnya dengan bantuan
peralatan medis. Detak jantungnya masih teratur. Dan Natha selalu takut jika sewaktu-waktu dia kejang, seperti
kemarin dan dokter menjadi kewalahan. Seolah itu akan benar-benar merenggut Rory dari
sisinya untuk selama-lamanya.
Dan setiap desahan nafas adalah doa. Natha duduk di dekatnya, memandagi dia yang mungkin
tidak menyadari penyesalan ini. Dan bukan hanya Natha saja yang mengharapkannya membaik.
Teman-teman,dan keluarga, ayahnya.
Kemarin Natha melihatnya duduk sangat lama di sini. Dalam diam. Lalu dia meneteskan air
mata. Natha baru diberi tahu Erris, apa yang membuatnya menangis. Sebuah penyesalan yang sama
dengan yang Natha rasakan sekarang. Penyesalan karena menolak Rory yang tak pernah
merasa bisa dicintai siapapun.
Erris juga pernah duduk di sini beberapa waktu lalu. Sangat lama, ia terdiam di samping Rory
seolah mereka bisa bicara dari hati ke hati. Dan saat itu, ia menatap Natha dengan benci seolah
menyalahkannya. Jika Natha tidak pernah hadir dalam hidupnya, dia tidak akan seperti ini. Dia pasti akan
menemukan gadis yang benar-benar mau menerimanya.
Rasa bersalah ini tidak akan cukup untuk menebusnya. Saat keterangan dokter tidak pernah
terdengar baik sejak pertama Rory dibawa dari rumahnya dalam keadaan mengenaskan oleh
Erris yang menemukannya tergeletak di lantai. Motornya habis terbakardi halaman depan dan
kamera hadiah ulang tahunnya hancur menjadi berkeping-keping di dekatnya.
Siapa yang melakukan itu"
--Mereka tampak seperti sedang reuni. Erris, Damar, Laras dan Uki yang sengaja datang
menjenguk. Natha berada di luar lingkaran mereka. Dia duduk di luar dan menunggu sebelum
Natha pergi meninggalkan lorong itu, sambil menyeka air matanya. Pergi ke suatu tempat.
Dia berusaha untuk tidak menangis beberapa hari belakangan dan ini hari ke 12 Rory
dinyatakan koma. Selama itu dokter mengatakan berbagai macam kemungkinan buruk sebagai
imbas dari luka dalam yang dia alami. Dia mungkin akan buta, tuli, atau ada sedikit gangguan
ingatan. Untung tidak ada bagian yang patah. Tapi, jika dibolehkan, Natha rela
menggantikannya menerima semua itu. Karena semua ini salahnya telah membiarkan orang
lain ikut campur masalah pribadinya.
"Apa kabar, Natha?", wajah Kevin terlihat sumringah sekalipun dia terkungkung di tempat
sempit selama seminggu. Namun begitu, ia tampak puas walau Rory tidak mati. "Apa yang bikin
kamu mau datang ke tempat kayak gini" Kamu mau bilang kalau si brengsek itu mati di rumah
sakit?" Natha menatapnya datar sebelum tangannya dengan cepat menampar wajahnya karena
perkataan tidak akan cukup mengungkapkan kemarahannya.
Kevin nampak terkejut sebelum ia tertawa sinis, melirik Natha dengan sisa percaya diri yang ia
miliki dengan kebanggaan yang konyol.
"Kamu pikir kamu hebat"!", maki Natha, "Mengereyok orang"! Dasar pengecut!"
"Dia sendiri itu apa"! Dia juga sama pengecutnya saat nyewa pelacur untuk mencuri dari aku,
lalu masuk rumah orang tanpa izin!", teriak Kevin.
"Paling nggak dia nggak pernah menyuruh orang lain membalaskan dendam pribadi! Laki-laki
rendah!", maki Natha lagi. Mendekat selangkah ke arah Kevin dan dia dengan cepat
menendang Kevin tepat di perutnya hingga laki-laki itu tersungkur dalam keadaan terkejut!
Seorang sipir datang menghampiri untuk menarik Natha sebelum gadis itu mengamuk lebih
gila. "Itu untuk Angel!", teriak Natha padanya sambil meronta sekuat tenaga. Begitu ia lepas ia tak
lagi menunjukan gelagat ingin menyerang Kevin sekali lagi sebagai penghabisan. Dia merasa
sudah lebih baik melihat Kevin kesakitan, walau tak akan seberapa bila dibandingkan sakit yang
ditanggung Rory. Tapi, Natha ternyata mampu mengungkapkan kekesalan karena pernah
dicampakan dengan cara yang selama ini dia inginkan diam-diam.
Namun, bila ini tidak terjadi, mungkin ia dan Angel tidak akan pernah bertemu.
--Dia melihat sekelompok mahasiswa sedang mengobrol tapi tak jelas apa yang mereka katakan.
Seolah mereka bicara dengan bahasa lain yang tidak bisa dimengerti. Tapi suara itu lebih
terdengar seperti dengungan lalat di telinga. Mengganggu.
Rory terus berjalan mengabaikan mereka. Ia ingat masalah terakhir dengan Pak Subagja soal
puntung rokok yang membakar kepalanya. Rory dihantui ketakutan akan DO dan skripsi. Maka
ia berjalan terburu-buru menuju kelasnya di ujung lorong. Tapi, semua orang tampak memandanginya. Mereka seperti melihat seseorang yang berbeda
dari mereka telah berada di tempat yang salah. Tatapan itu ia terima sepanjang jalan dan
pikiran buruk ia singkirkan dengan tetap berlari. Namun gerakan mereka seperti terhenti.
Tubuh Rory seketika merinding tapi ia berhasil meraih gagang pintu kelasnya dan masuk.
Sejenak ia merasa seperti pulang ke rumah. Ia berdiri di ruang depan. Ada sofa dan meja juga
perabotan lain yang terasa sangat familiar.
Rory menginjakan sepatunya di atas karpet coklat tua mahal bercorak tanaman merambat yang
ia ingat sekali itu sudah ada sejak dia masih kecil, melewati ruang tengah yang sunyi dan begitu
sampai di dapur dia baru mendengar suara-suara orang bergumam.
Rory sudah berdiri di pintu, dan menemukan ayahnya berdiri sambil menelpon. Dia seperti ada
di dunianya sendiri dan Rory segera meninggalkannya. Rory menuju sisi lain rumah yang
berhadapan langsung dengan halaman belakang. Tempat ia dan Chris bermain dengan mobil-
mobilan mereka. Tapi, ia malah melihat Chris kecil menangis dipelukan Mama-nya. Dia selalu
begitu saat ayah marah padanya.
Rory berbalik, dia kembali ke dapur tapi ayahnya sudah pergi. Rory melihatnya menyebrangi
ruang tamu dan pergi terburu-buru. Rory mengejarnya. Tapi, begitu ia sampai, pintu sudah
tertutup. Rory segera membukanya tapi ia melihat sekelompok anak lelaki berusia 8-9 tahun
berlari ke arahnya dan mengeroyoknya!
Mereka ada sekitar 4 orang, dia tidak sanggup melawannya. Dia dipukul, ditendang, dan
mereka tertawa. Tubuh Rory yang kurus dan kecil seakan mati rasa. Saat ia bangkit, ia sudah
berada di sebuah lapangan hijau sepak bola. Anak-anak itu sudah pergi. Rory tidak ingat lagi
wajah mereka, dan itu membuatnya sangat dendam. Anak-anak nakal yang kerap
menjadikannya bulan-bulanan.
Tiba-tiba dia ditarik, tubuhnya berputar dan ia melihat ayahnya sudah berdiri di sana.
Di belakang Papa-nya, ada Chris dan Mama-nya. Mereka menatap dengan iba. Rory menoleh ke
sampingnya, ke bayangan menyedihkan dirinya yang terpantul pada kaca lemari pajangan. Dia
sudah kembali ke rumah dengan wajah terluka. Ayahnya marah, tapi Rory tidak tahu apa yang
sedang ayahnya coba katakan. Rory hanya menatapnya karena sudah menebak, ia pasti dituduh
berkelahi. Rory tidak berkelahi. Dia terlalu takut melakukannya. Selama ini dia sudah berusaha menjadi
anak yang baik agar ayahnya bisa menyayanginya, membanggakan dirinya. Dia tidak pernah
membolos, selalu mengerjakan PR, dia belajar dengan rajin di sekolah dan bahkan dapat
ranking satu. Tapi, dia selalu mendapatkan tatapan yang sama darinya. Saat ia dengan bangga
memperlihatkan isi raport-nya, Rory sudah yakin ayahnya akan tersenyum. Tapi, ayahnya hanya
mengusap kepalanya sambil berlalu pergi dari hadapannya.
Rory terdiam di sana. Wanita yang selama ini, dia panggil Mama, datang menghampiri untuk
memeluknya. Ia iba. Rory tahu apa yang ada di pikirkannya saat itu. Jangankan Chris, Rory yang
dilahirkan oleh wanita yang pernah sangat dia cintai saja tidak dia pedulikan.
Rory melihat ke arah adiknya. Mereka tidak disayangi. Mereka seolah tidak diinginkan lahir ke
dunia. ---- Beberapa orang teman kampus.dan dosen datang. Mereka didampingi Erris dan Damar, juga
Laras. Mereka hanya datang sebentar dan kebetulan adan Mama-nya yang berniat
menggantikan Natha karena gadis itu belum pernah meninggalkan tempat ini sejak datang.
Wanita cantik itu, datang membawa bunga yang di taruh di dalam vas berisi air. Dia tersenyum
setelah selesai menatanya dengan apik. Ia berusaha tampak tegar.
Sementara Natha membayangkan, tepatnya sadar, walupun Nyonya jetset ini tampak angkuh
dari luar, dia adalah seorang ibu yang menyayangi putranya. Dia yang membesarkan Rory. Dia
juga yang memberi nama panggilan itu saat Rory tidak suka dipanggil Angel atau Flori. Waktu
kecil Rory selalu mengeluhkan namanya yang seperti nama perempuan.
"Tante bilang sama Rory, itu nama pemberian Mama-nya yang sudah meninggal", kenang Tante
Eliza, sambil tersenyum getir pada Natha di sampingnya, "Setelah itu Rory nggak pernah protes
lagi..." Natha tersenyum, ia jadi ingin tahu seperti apa Rory kecil. Apa dia susah diatur" Apa dia suka
berkelahi" "Rory itu pintar", sambungnya, "Dia sayang adiknya, dia sayang keluarganya. Dia rajin dan anak
yang penurut. Tapi sejak SMP, dia mulai berubah. Satu kali, dia pernah pulang dengan baju
seragam berlumuran darah, tante kira dia dikeroyokin anak nakal karena dulu dia sering
dikerjain teman-temannya sampai nggak mau ke sekolah. Ternyata Rory berantem. Tante takut
bilang Papa-nya karena Rory pernah ditempeleng. Jadi, tante datang ke sekolah karena
dipanggil. Ternyata Rory berantem sama Damar. Tante berniat mindahin sekolahnya, tapi Rory
nggak mau. Dia nggak mau dibilang pengecut sama Damar. Tahu-tahu mereka malah temenan.
Akrab banget" .ooOoo. BAB 20 The Last Smile Waktu seakan melambat atau memang tak berdetak sama sekali. Natha memandang keluar
jendela. Pemandangan membosankan perkotaan yang hujan. Ini baru pertama kalinya dia
melihat hujan turun di Jakarta. Kabarnya di mana-mana sedang banjir. Orang-orang terkepung
genangan air. Karena itu hawa kesedihan begitu terasa di sini. Natha berpaling dari jendela ke seseorang yang
baru saja datang. Pria itu lagi. Dia sering datang, hampir setiap hari, ia selalu duduk di samping Rory selama
berjam-jam. Natha tersenyum padanya dan tak pernah ada pembicaraan berarti. Pria berusia 50 tahunan
itu, terlihat seperti duplikat dari Rory, atau malah sebaliknya. Tapi, dia selalu berwajah dingin.
Dia melihat ke arah Natha yang baru akan pergi hanya dengan senyum simpul.
"Kamu", dia memanggil dengan suaranya yang berat.
Natha terlonjak dan segera berbalik. "Ya, Om?", sahutnya.
"Kamu selalu di sini?", ia bertanya dengan keramahan pada suaranya yang melunak.
Natha menghembuskan nafas lega, "Ya...", jawabnya murung dengan sedikit anggukan
canggung. Pria itu tersenyum, "Terima kasih", ucapnya.
Natha mengangguk lagi sebelum keluar dari ruang perawatan. Kemudian ia mendesah,
menyandarkan punggungnya yang lelah kepada pintu yang tertutup.
Suasana di dalam, hening, seperti biasanya. Pria itu jadi ingat, Rory bukanlah anak yang
pendiam. Ia bertingkah seperti remaja belasan di rumah saat bermain dengan adiknya. Mereka
baku hantam seperti di film-film dan dia selalu berhasil membuat Chris menyerah. Dia
membuat seisi rumah menjadi gaduh saat turun dengan meluncur di pagar pembatas tangga
sabil berteriak. Dia menyikut Chris atau melemparnya dengan bantal sofa lalu Chris membalas
dan mereka mulai lagi. Dia juga menyayangi ibu tirinya. Dan tak banyak yang tahu bahwa ibu kandung Rory, sudah
tiada 24 tahun yang lalu. Pria itu nyaris tak pernah menyinggungnya lagi, karena terkungkung
kesedihan sepanjang usianya. Tanpa sadar waktu terus berjalan dan Rory sudah tumbuh
menjadi sosok bocah yang tidak bisa dikendalikan.
Ya, ia jadi membayangkan, bagaimana wanita muda yang tengah hamil itu menyayangi
kandungannya. Dia terus membelai perutnya yang membesar dengan lembut sambil
membayangkan seperti apa rupa sang bayi setelah lahir. Laki-laki atau perempuan bukan
masalah, asal ia sehat dan tidak kekurangan sesuatu apapun.
Pria itu juga mencintai darah dagingnya. Ia terbangun setiap malam menjaga istrinya penuh
pengharapan yang sama. Kelak mereka akan menjadi keluarga yang sesungguhnya dengan
lahirnya seorang penerus dari Wiradilaga. Pria itu mengharapkan seorang anak lelaki yang kuat
dan patuh. Tapi, hasil USG menunjukan bahwa bayi yang dikandung istrinya ternyata
perempuan. Ia tidak kecewa sedikitpun. Mereka akan mempunyai seorang atau beberapa anak
lelaki lagi, kelak dan akan meramaikan rumah yang sepi itu.
Angel Florisa Wiradilaga, adalah nama yang disiapkan sang ibu untuk si kecil yang akan segera
lahir. Angel berarti malaikat, Florisa berasal dari kata 'Flores' kota kelahiran ibu-nya. Tapi, dia
terlahir sebagai laki-laki. Pekikannya terdengar begitu keras, menggema sampai ke loronglorong rumah sakit. Dia memeluknya untuk pertama kali, merasakan kebahagiaan yang begitu
besar yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi, kebahagiaan itu segera sirna, ketika ia
tatap istrinya yang tersenyum.
Itu senyum terakhir yang ia lihat dari istrinya. Sebelum matanya terpejam untuk selamanya. Ia
telah berjuang memberi kehidupan pada bayi itu
Hari-hari berikutnya setelah pemakaman, dia mulai mengurung diri. Menyerahkan bayi yang
sudah dinamai sesuai keinginan mendiang ibunya kepada pengasuh dan ia bahkan tidak mau
melihat seraut wajah yang mirip dengannya itu. Keinginan mendiang istrinya terkabul, jika
bayinya terlahir laki-laki, ia haruslah mirip dengan ayahnya.
Setahun kemudian, ia menikahi seorang wanita cantik untuk mengurusi bayi yang rewel itu.
Tapi, tak ada yang seperti sosok yang sangat dicintainya. Hidupnya menjadi tidak bahagia sejak
bayi itu lahir. Dia sudah merenggut semuanya. Dia tidak mencintai bayi itu lebih dari ia
mencintai apa yang telah pergi karenanya. Dia sesali itu. Dia sesali saat sang istri begitu
menyayangi anak itu melebihi nyawanya sendiri.
Tapi, perasaan cinta seorang ibu tidak akan bisa ia mengerti. Karena cintanya telah lama pergi
dan dia tidak bisa mencintai lagi. Ia baru sadar akan hal itu, ketika ketakutan melihat Rory akan
pergi juga. Ia jadi ingat, bagaimana Rory dijaga ibunya, dia tidak ingin terjadi apa-apa padanya.
Tapi, dirinya sebagai seorang ayah malah membuat anak itu menerima penolakan selama 24
tahun. Apakah wanita itu marah padanya" Karena itu dia ingin menjemput, Rory" Karena dia disiasiakan seumur hidupnya"
"Apakah ini cara kamu menghukum Papa, Rory?", ringisnya tertunduk, denga tetesan
penyesalan di matanya yang merah, "Papa nggak sanggup..."
---Rory pergi ke kamar. Ia berbaring di atas tempat tidurnya. Namun, tiba-tiba dunia seakan
berguncang! Rory turun dari tempat tidur, ia melihat bawah meja adalah tempat aman untuk
berlindung seperti yang diajarkan di sekolah.
Rory ketakutan, dia menutup kepalanya dengan kedua tangannya. Hentikan..., pintanya. Lalu
guncangan itu berhenti. Anehnya, tidak ada satu pun barang yang jatuh dari tempatnya. Rory berdiri di tengah-tengah
kamar yang semua dindingnya berwarna hitam, tanpa perabotan. Kamar itu lebih luas dari yang
pernah ia ingat. Di mana pintu begitu jauh darinya. Ia berlari dengan ketakutan, apakah Chris
dan mamanya baik-baik saja"
Tapi, begitu membuka pintu itu, Rory malah menemukan ayahnya sedang berbicara dengan ibu
tirinya. Meskipun dia tidak dengar suara mereka dengan jelas, Rory tahu mereka sedang bertengkar.
Lalu telinganya mendenging.
Rory menutup telinganya karena itu membuatnya kesakitan. Sepertinya mereka tidak tahu soal
gempa barusan. Ataukah merekalah yang sudah membuat guncangan itu"
Chris terlihat di bawah meja makan. Berlindung dengan menutup telinganya. Dia amat
ketakutan, seperti dicari-cari oleh setan yang marah.
Rory menerobos di antara kedua orang tuanya yang seolah tidak melihatnya. Ia mengulurkan
tangannya kepada Chris dengan membawanya keluar. Tapi, saat Chris akan meraih tangannya,
Chris merosot ke belakang seperti ada yang menariknya. Rory memanggilnya, tapi tak ada
suara yang keluar. Ia menyaksikan Chris menghilang begitu saja dan perhatiannya pada kolong
meja yang gelap teralihkan oleh sebuah pajangan kaca yang pecah di lantai, tepat di depan
wajahnya Ayahnya sudah pergi. Meninggalkan wanita itu menangis sendiri, ia menghancurkan apa saja
yang ada di dekatnya. Semua yang bisa ia temukan melayang di udara dan salah satunya
megenai wajahnya! --Ketika membuka mata, langit tampak terhalang kaca sejauh mata memandang. Rory semakin
merasa dirinya terjebak. Sekarang, dia ada di tempat lain lagi. Tempat yang tidak pernah ia
datangi sebelumnya. Ia dikelilingi tumbuhan-tumbuhan yang terawat dengan sangat baik. Ia menyusuri jalan setapak
yang kecil dan bersih dari rerumputan liar di antara barisan tanaman-tanaman yang disusun
sebaik mungkin dan beberapa dari tumbuhan liar itu merambat pada tiang-tiang kayu di
tengah-tengah barisan. Dan ketika ia menyadari bahwa ini bukan hutan, ia langsung teringat
pada suasana rumah rumah kaca yang sering keluar di TV. Rory memandang berkeliling dari
atas. Tempat ini tertutup,diselimuti sebuah kubah yang besar yang terbuat dari kaca.
Rory seketika merasa benci saat menemukan sebuah pintu lagi di ujung jalan setapak. Dia tidak
ingin lagi dikejutkan oleh apa yang mungkin ada dibaliknya. Tapi, dia tidak melihat adanya pintu
lain yang bisa ia buka agar menemukan jalan keluar dari tempat ini. Satu-satunya pintu yang
akan membawanya ke tempat lain.
Namun, kemudian dia menemukan dirinya berada di sebuah kamar tidur serba putih yang
seperti berada di puncak sebuah menara. Dikelilingi oleh dinding kaca, yang memperlihatkan
hamparan langit biru cerah di luar sana. Dan Natha yang memakai gaun tidur berwarna putih
tengah melemparkan sebuah vas bunga ke lantai. Ia sudah menghancurkan apa saja yang ada di
sekitarnya. Kamar putih itu tampak baru saja diguncang oleh gempa hebat. Tak ada satu pun benda yang
berada di tempatnya dengan pantas, pecahan kaca tersebar di mana-mana.
Natha belum berhenti. Dia terlihat berteriak, dia juga menangis. Wajahnya kusut, penuh air
mata. Seperti itulah wajah Natha yang ia perlihatkan saat terakhir mereka bertengkar.
Rory menyeberangi kekacauan itu untuk mendekat padanya. Menghentikan dia yang sedang
menyakiti dirinya sendiri. Itu pasti karena dirinya. Gadis itu sedang berusaha mengatasi
kepedihan sendiri namun ia bingung.
"Natha...", Rory memanggilnya.
Natha baru menemukan Rory saat Rory sudah ada di dekatnya. Dia langsung luluh tidak


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdaya. Tatapan Rory padanya seperti sebuah ungkapan kerinduan yang ia tak sanggup lagi
menanggungnya lebih lama.
Apa yang terjadi padanya", Rory mulai mempertanyakan itu sebelum menyandarkan Natha di
tubuhnya. Wanginya masih sama dengan saat terakhir Rory memeluknya. Membuatnya
terhanyut. Tapi, gadis itu malah menghilang dalam dekapannya. Seperti udara.
Ruangan serba putih berganti menjadi keramaian di mana orang-orang sibuk tampak berjalan
menarik koper dan barang bawaan mereka. Rory berputar, mengawasi sekitarnya dan ini
adalah bandara! Tempat pertama kali dia bertemu dengan Natha lalu jatuh cinta!
Ia mulai merasa bahwa semua ini akan ada artinya. Rory mulai mencari di tempat yang luas itu.
Natha pasti berada di suatu tempat.
--Natha mendengar suara yang memanggil namanya. Ia rupanya tertidur. Mungkin karena terlalu
lelah sampai berjam-jam telah terlewatkan. Pandangan Natha tertuju kepada sebuah jendela
yang terbuka, mengirimkan cahaya matahari yang banyak. Ia yakin suara itu berasal dari luar.
Namun di bawah, ia hanya melihat sekelompok anak perempuan tengah bermain-main dan
menjerit kegirangan di halaman rumput yang hijau.
Perasaan ingin bergabung itu seketika muncul tapi dia terkejut saat mendengar suara kaca
pecah. Dia segera keluar dari kamar dan membuka pintu satu-satunya dan melihat seorang
wanita berbaju tidur berdiri di jendela dengan senjata api di tangannya.
Natha tidak ingin melihatnya karena dia tahu apa yang akan dilakukan wanita itu. Beberapa
saat Natha menutup mata dan telinganya, dia tetap mendengar suara tembakan yang bergema
bersamaan dengan jerit ketakutannya sendiri.
Dia sudah berusaha melupakannya dengan pura-pura tidak pernah melihatnya. Namun ini
selalu kembali dalam tidurnya. Natha ketakutan.
"Angel...", panggilnya meringis dan berusaha bertahan. Dia ingin Rory ada di dekatnya, karena
mimpi itu tak pernah datang lagi sejak Rory ada di sisinya...
Natha berusaha bangkit dan begitu membuka matanya, dia sudah berada di tempat akrab
dengan jiwanya. Natha mulai mencari tempat duduk bagi tubuhnya yang terasa lelah seperti
baru mengalami kecelakaan.
Ia ingat sekali perasaan seperti ini. Perasaan hancur yang ia bawa dari Munich setelah
menerima telpon dari Kevin yang memutuskan hubungan. Natha baru terlihat konyol saat dia
memaki seorang cowok yang tidak bersalah. Perasaannya campur aduk. Ia merasa begitu lelah.
Sambil melihat sekitarnya, ia meluruskan sepasang kakinya yang terasa sangat pegal sambil
melihat-lihat sekitarnya.
Adakah seseorang yang akan membawanya pergi dari sini"
Di kota ini dia tidak mengenal siapapun. Dia duduk di kursi tunggu sambil memikirkan apa yang
selanjutnya dia lakukan. Lalu seseorang menghampirinya, dan Natha tersenyum lega. Ia akan membawanya pergi"
--Ternyata sudah pagi. Natha benar-benar sudah bangun sekarang. Apapun yang dia alami dia
belum bisa mengingatnya dengan jelas. Dia hanya ingat mimpi buruk yang pernah dialaminya di
masa kecil kembali. Ketika dia membuka matanya, ia merasa begitu asing pada langit-langit
kamar berwarna krem dan ini jelas bukan kamar rumah sakit, tempat ia biasa tertidur
menunggu sampai Rory bangun.
Natha langsung ingat, kemarin malam,Chris mengantarnya ke sini. Kedua orang tua Rory
menyuruhnya istirahat setelah ia tidak bisa tidur sambil terus berharap Rory akan bangun dan
melihatnya. Tapi, penantiannya masih belum menunjukan akhir yang melegakan. Namun,
ketika Natha bangkit dari ranjang empuk itu, ia sedikit merasa senang, karena kamar ini
mempunyai banyak hal yang disukai Rory. Foto-foto yang hampir memenuhi setiap jengkal
dinding. Seperti sebuah agenda yang menerangkan masa lalu hingga masa sekarang. Serta halhal menarik yang Rory temukan di jalan dan tempat-tempat yang pernah dia datangi. Temanteman dan semua hal yang dia sukai.
Termasuk Natha sendiri. Rory mempunyai beberapa foto Natha yang sepertinya diambil diam-diam. Kebanyakan
sewaktu ia tengah tertidur. Gambar-gambar manis itu membuatnya menangis.
Lalu ia mendengar seseorang memanggil namanya dari balik pintu yang terkunci.
Mama-nya Rory. "Kamu udah baikan?", ia bertanya dan wajahnya tampak gembira hari ini. Ada apa dengannya"
Natha mengangguk pelan belum lepas dari apa yang membuat si Tante tersenyum demikian
hangat padanya. "Kamu cepat siap-siap. Dandan yang cantik. Kita mau ke rumah sakit", katanya, "Rory udah
sadar! Barusan Papa-nya telpon"
Natha tersenyum. Mimpi semalam kian jelas di ingatannya. Rory menghampiri Natha saat ia duduk seorang diri di
bandara. Itulah yang ia lihat sebelum suara itu memanggil namanya dan menariknya keluar.
Terima kasih, Tuhan... --Rory sadar pagi-pagi sekali saat Chris masih tidur di sisi ranjang dan adiknya itu dikagetkan oleh
gerakan yang tidak biasa dari Rory. Rory menjambak rambutnya sambil berkata
'Bangun...pemalas...' Tak ada yang salah dengan dirinya. Dia jauh lebih baik daripada terbaring lemah.
Semua yang dia sayangi ada di dekatnya. Ketika Natha diberikan waktu untuk bicara dengannya
setelah hampir sebulan menunggunya sadar, ia begitu bahagia. Sudah lama terpikir menebus
kesalahannya dan ia akan mengatakan tidak akan pernah pergi dengan cara seperti itu lagi.
Tapi, Rory tampak tidak mengizinkannya.
"Kamu siapa?", tanya Rory padanya.
Damar, Erris dan Laras ada di sana. Menatap Rory dengan ekspresi terkejut.
"Nggak lucu...", cetus Natha, ia mencoba tertawa karena yakin Rory sedang mempermainkannya. Seperti dia yang biasanya. "Kamu nggak benar-benar hilangan ingatan,
Angel..." Ketiga temannya juga merasa begitu. Dan candaan Rory akan semakin tidak lucu karena
tatapannya terhadap Natha terasa asing. Senyumnya yang sinis, menunjukan ia tampak
terganggu dengan panggilan yang terdengar konyol seolah ia mengingkari bahwa itu memang
namanya. "Kepala gue sakit!", kata Rory jengkel, "Kenapa sih kalian bawa cewek sakit jiwa ini ke sini"!"
Natha syok. Berharap dia tidak keliru.
"Lo tuh yang sakit jiwa!", sembur Laras, "Renatha kan cewek lo, Ror!"
"Sinting! Candaan lo nggak lucu kali!", cetus Damar sambil menghampirinya, "Ini bukan
sinetron! Pakai acara hilang ingatan segala lagi! Basi lo!"
"Sialan!", Rory nampak geram.
Erris terpaku di tempatnya. Melihat raut Rory dengan seksama. Dan itu mengingatkannya pada
sosok Rory yang pernah dia kenal sebelum ini. Sosok Rory yang pemarah, mudah tersinggung,
seperti waktu mereka masih remaja. Dan sudah lama dia tidak melihat tatapan penuh amarah
milik Rory yang seperti itu.
Seseorang masuk ruangan memecah keheningan sementara yang menjengahkan bagi Natha
saat ia mencoba mempercayai bahwa ini bukan permainan Rory semata.
"Uki"!", suara Rory terdengar saat melihat gadis bertubuh pendek itu masuk bersama Chris.
Membawa buah-buahan dalam keranjang.
Uki belum tahu apa yang terjadi. Dia tampak terkejut. Memandang Rory lalu Erris yang sengaja
menoleh kepadanya. Rory tampak begitu senang, berubah seperti anak kecil.
Ini sudah bukan permainan lagi. Semua berusaha memahaminya dan akhirnya percaya, ada
yang salah. Ada yang salah dengan ingatan Rory di mana hanya Natha saja yang terhapus dari
memorinya. ooOoo BAB 21 Lost "Gue merinding nih...", kata Laras memecah kebisuan dan memaparkan setiap kebingungan
yang ada di kepalanya. Ia melirik Erris yang berdiri tidak jauh dari pintu ruang perawatan Rory
lalu beralih ke Damar di sampingnya yang menatapnya dengan pandangan yang sama. Bingung.
"Kata Dokter hanya bersifat temporer", kata Chris, tenang namun belum sepenuhnya lega
sekalipun Rory sudah sadar. Ada sesuatu yang membuatnya sedikit khawatir namun begitu
melihat wajah ketiga teman Rory, ia jadi tidak bisa bicara banyak. Lebih-lebih Natha juga ada
bersama mereka, walau ia tengah berdiri di ujung koridor di depan jendela, dengan jarak yang
cukup jauh. Gadis itu tampak seperti diusir. Tak ada yang bisa membantah Rory saat dia lebih menginginkan
Uki untuk menemaninya. Meski sudah dijelaskan berkali-kali, Rory tidak mendengarkan temantemannya dan malah berpikir mereka sinting.
"Kasihan Natha, tau nggak sih?", komentar Laras lagi.
"Berapa lama, Chris?", Erris bertanya.
"Tergantung. Luka di kepala itu efeknya bisa macam-macam", jelas Chris.
"Dijedotin lagi bisa normal lagi nggak tuh?", celetuk Damar, hanya berusaha untuk tidak ikutikutan rusuh.
"Beruntung dia nggak buta", ujar Chris, "Kita semua harus nunggu..."
Hening kembali mengambil alih suasana yang mendadak suram lagi. Ketika mereka hanya saling
tatap lalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Rory selalu mampu mengubah suasana. Dia
seperti matahari, ketika cahayanya redup mendung akan datang, lalu hujan berupa air mata
kesedihan akan turun. Namun, bila cerah, ia akan bersinar, membuat semua riang dengan tawa
dan candanya. Seakan semua itu akan pergi dan tidak akan kembali lagi...
Tidak lama, Chris pergi. Lalu Laras dan Damar. Meninggalkan Erris yang kemudian menghampiri
Natha yang masih sendiri di sana. Meski tidak terlalu suka bicara dengannya, namun posisi
mereka saat ini sama. Natha kelihatan lebih tertekan dari saat ia menunggu tanpa kepastian.
"Hanya sementara", Erris mengingatkan padanya bahwa dia harus lebih sabar karena Rory
masih butuh waktu. Natha hanya meliriknya sejenak sebelum kembali ke jalanan padat yang sedang ia pandangi.
Dan akhirnya dia menangis. Tanpa bicara.
--"Apa hal terakhir yang bisa lo ingat?", pertanyaan Erris sederhana namun membuat Rory
berpikir dengan keras. Rory agak mengeluh. Tentu dia berpikir dan begitu ia memaksakan dirinya mengumpulkan
serangkaian kejadian yang kacau di otaknya, sakit itu menyerangnya. Ia meringis, memegangi
belakang kepalanya yang baru saja bergejolak.
Seperti menyentuh dinding yang dialiri listrik saat berpikir di balik dinding itu ada masa lalu
yang ingin ia temukan kembali. Rasa sakit menyengatnya setiap ia berusaha keras untuk
melihat apa yang ada di baliknya.
"Gue nggak ngerti maksud pertanyaan lo apa", celetuknya gusar. "Kepala gue sakit!"
"Pacar lo bukan Uki, tapi Natha. Dia tinggal di rumah lo dua bulan belakangan ini", kata Erris,
"Lo ingat, rumah kecil yang lo sewa sejak lo minggat dari rumah karena berantem sama bokap
lo" "Apa?", Rory bahkan tidak tidak mengingat bagian saat ia melawan ayahnya dan pergi dengan
perasaan marah dari rumah, mengabaikan ibunya yang bersedih. Bahkan berani bersumpah
tidak akan pulang, akan melakukan semuanya sendiri.
"Lo ketemu Natha pertama kali di bandara, waktu kita jemput Laras yang baru pulang dari
Australia", lanjut Erris.
"Gue jatuh cinta sama cewek itu?", Rory meyakinkan dirinya sekali lagi.
"Lo mau tahu apa yang bikin lo jadi kayak gini?", tanya Erris lagi.
"Lo sama Natha masuk ke rumah orang tanpa izin dan ngacak-ngacak tempat itu buat balas
dendam.", jelas Erris, "Orang itu mantan pacarnya Natha dan lo bantuin dia melampiaskan sakit
hati. Dan orang itu juga yang bikin lo kayak gini karena dia balas dendam balik."
"Nggak mungkin gue ngelakuin hal yang kayak gitu...", Rory menggeleng, "Lo dari dulu tahu, gue
cuma suka Uki. Sejak SMA, dan itu nggak pernah berubah"
Erris terdiam sesaat. Ini menjadi lebih sulit. Dan dia jadi tidak bisa mengutarakan kebenaran
yang sudah dilupakan Rory. Berterus terang hanya akan membuat kondisi Rory bertambah
buruk. Kepalanya jadi ikut sakit.
Apa yang bisa ia katakan sekarang" Rory hanya bisa mengingat kejadian sebelum mereka
menjemput Laras di bandara, sebelum bertemu Natha.
--"Semua orang harus bilang hal yang masuk akal sekarang...", Rory terdengar mengeluh. "Gue
sama cewek kayak lo itu nggak mungkin..."
Natha hanya menatapnya. Tanpa ekspresi di depannya. Tanpa kata. Semua sudah ia katakan
meski ia tahu Rory tidak akan mempercayainya. Dan waktu akan menunjukan semuanya. Nanti.
Tapi, dia harus bersabar. Dia sudah katakan itu berulang kali pada dirinya, jauh sebelum ini.
Saat memutuskan akan bersama. Ia akan banyak terluka dan menangis, Natha
menyanggupinya. Ia menyesali, mengapa saat pergi waktu itu, ia melupakannya begitu saja.
"Kita sama-sama nyebelin, kalau kamu mau tahu", kata Natha berusaha tenang, "Kita berantem
hampir tiap hari. Kamu sering minta aku ngelakuin hal yang aku nggak bisa lakuin. Aku
keberatan saat kamu ngerokok di tempat tidur, buang sampah sembarangan dan makan mie
instan" Rory tersenyum, menggeleng-geleng, tidak percaya, dan kepalanya sakit lagi. "Kita sedekat
itu?", tanya dia sangsi.
Natha berdiri dari tempatnya untuk melihatnya lebih dekat "Angel...?", panggilnya. Namun,
Rory menepiskan tangannya.
"Apa lo nggak bisa berhenti manggil gue pakai nama itu"!", tandasnya.
Natha tertegun. Memandangi Rory yang tampak bagaikan orang yang berbeda saat ini. Itu
menyiksanya, tapi dia tidak boleh menunjukan bahwa dia lagi-lagi terpukul dengan sikapnya.
Namun ada hal yang terasa lebih menyakitkan.
--Erris dan Uki bertengkar. Tidak pada saat yang tepat. Mereka saling tarik menarik. Erris terlihat
sangat emosi dan Uki berontak seperti seorang bocah kecil yang ketahuan mencuri dan akan
diseret ke kantor polisi.
"Aku udah bilang jangan datang lagi!", kata Erris yang menarik Uki pergi, dengan kasar dan Uki
yang kecil tampak tidak berdaya.
"Erris! Lepasin!", Uki berteriak. Kesal dan marah.
"Apa"!", Erris semakin emosi, dia menghentikan langkahnya dan dengan kasar mendorong Uki
ke dinding, menahannya dengan sekuat tenaga di sana, supaya melihat betapa marahnya ia
pada suasana kemarin dan hari ini, "Kamu punya penjelasan apa sekarang"! Apa kamu belum
puas nyakitin aku dengan sifat dan sikap kamu itu, hah"!"
Uki menghindari tatapannya, karena itu menakutkan hingga membuatnya merinding. "Rory
yang minta aku datang...dia sakit kan...", Uki membela diri.
"Erris!!", suara Rory bergema di sepanjang lorong rumah sakit. Ia sudah cukup lama berdiri
memandang ke arah mereka sambil mencerna pemandangan di depannya.
Natha di sampingnya mulai khawatir. Saat Rory melangkah ke arah mereka, dengan piyama
rumah sakit yang kebesaran di tubuhnya yang kurusan serta amarah yang timbul dalam
sekejap. Melihat sahabatnya tengah melakukan sesuatu yang membuatnya syok. Dan ia tidak
menyangka akan disuguhi hal-hal seperti ini di saat ia begitu labil dan tidak terkendali pasca
siuman dari koma yang begitu panjang.
"Angel!", Natha mengikutinya saat Rory melangkah terburu-buru menghampiri Erris. Siap
dengan tangan yang mengepal kuat, namun tiba-tiba rubuh.
Natha menjerit ketakutan.
Uki bersiap berlari ke arahnya "Rory"!", panggilnya. Tapi, tangannya ditarik dan Erris
menahannya untuk tidak mendekat.
"Yang pacaran sama Uki itu gue, bukan lo! Dan lo juga udah tahu itu", Erris mengingatkan. Dia
yang biasanya tenang, sekarang menjadi emosional.
"Omong kosong!!", teriak Rory yang makin kacau, kepalanya bertambah sakit.
"Gue udah nggak tahan lagi, Ror!", teriak Erris padanya, mengungkapkan betapa ia telah
dikecewakan dan ia sudah tidak bisa berdiam diri seperti yang biasa ia lakukan untuk
mendinginkan suasana. "Lo harus terima kenyataan sekalipun lo nggak bisa ingat apa-apa soal
itu!" Bibir Rory gemeretak saking kesalnya, "Erris...", gumamnya kesal, tidak percaya teman yang dia
percayai seorang pengkhianat, seakan ingin membunuhnya saat in juga. Tapi...
Ataukah...memang antara ia dan Uki sudah tidak lagi menjadi masalah", Rory mulai bingung
begitu mendapati Natha di sampingnya.
Erris berusaha tenang "Nanti lo juga ingat semuanya", dan akhirnya menarik Uki dengan paksa
untuk pergi dari sana. Meninggalkan Rory yang belum bisa bangkit, karena sekujur tubuhnya
yang lemah membuatnya tidak bisa berdiri dengan segera untuk mengejar.
"Uki!!", panggil Rory, suaranya mulai parau saat mereka semakin menjauh.
Namun, Uki tidak mampu melepaskan dirinya. Bahkan tidak menoleh. Membenarkan semua
perkataan Erris yang menyakitkan hatinya. Mereka mulai menghilang dari pandangan Rory yang
merasakan sakit yang amat sangat seperti akan membunuhnya.
Kenapa aku nggak bisa mengingat apapun"
"Angel...", Natha tampak sedih, mencoba membuatnya tenang. Tapi, malah mendapatkan
penolakan. Rory mendorongnya saat ia mencoba membantunya berdiri. "Minggir!!", teriaknya keras-keras.
Natha mendadak kaku. Dia tidak bisa bergerak. Hanya memandangi Rory yang benar-benar
telah kehilangan dirinya. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan perasaannya.
Semoga ini segera berlalu, harapnya.
--"Sakit, Erris! Lepasin! ", jerit Uki saat lengannya dalam genggaman Erris mulai terasa perih.
Ia sudah diseret sejauh mungkin dari Rory dan Natha. Dan siapa yang tahu apa yang dilakukan
Erris saat emosi menguasai dirinya" Erris akan memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya di
balik wajah tenang itu. Karena hanya Uki yang pernah melihat dan merasakan bagaimana
mengerikan dia di saat marah. Amarah Erris adalah awal dari petaka yang terjadi dalam hidup
mereka. Dan itu berhubungan dengan Rory. Saat Erris menjadi pemaksa dan tidak ingin apapun
yang dia sukai diambil orang lain bahkan termasuk sahabatnya sendiri. Apa sekarang semuanya
akan terjadi lagi saat semua benar-benar sudah berakhir"
Erris tidak bicara sedikitpun. Ia tampak tidak menguasai dirinya. "Aku muak, Ki!", teriaknya lagi,
"Apa kamu pikir kamu bisa dengan bebas datang dan pergi ke sini seolah kamu sangat
dibutuhkan"!" Uki masih meronta. "LEPASIN!" Jeritnya sambil menarik-narik lengan kecilnya yang kesakitan.


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu dia punya kesempatan untuk lepas, ia makin tidak tahan untuk membalas dengan satu
tamparan keras. Ya. Erris termangu. Seolah terbangun dari sesuatu yang baru saja membuatnya kehilangan diri
sendiri. Menatap Uki di depannya dan pipinya terasa panas
"Bukan aku, Ris!", teriaknya sekali lagi. "Bukan aku yang mulai semua ini! Kamu!"
Erris terdiam menatap tidak percaya. Uki sekarang mampu melawan setelah biasanya ia diam
dan tampak sangat menyesal.
Uki masih menatapnya marah. "Kenapa kamu hanya ungkit kesalahan aku"!", tuntunan. "Apa
kamu lupa sama apa yang sudah kamu perbuat ke aku"!"
Kedua mata Erris menatapnya bingung.
"Kamu hancurin hidup aku, Ris... ", kata Uki mengingatkan, "Kamu yang bikin aku jadi kayak
gini..." Tak ada kata dari bibir Erris yang seakan tekuni rapat saat menatap lurus ke mata Uki yang
basah dan sedih. "Kenapa sekarang semua jadi salahku?", Uki bertanya dan nyaris menangis. "Kenapa kamu pikir
seolah-olah aku memang cewek murahan" Aku nggak serendah itu, dan kalaupun kamu tetap
berpikiran kayak gitu juga semuanya gara-gara kamu!"
Kembali ke tahun-tahun sebelumnya saat Uki lebih berkuasa. Yang bisa berbuat dan berkata
sesuka hatinya. Erris hanya diam karena menganggap itu adalah harga yang harus ia bayar
untuk sebuah kesalahan fatal. Maka ia kembali terdiam. Menatap Uki melampiaskan kekesalan
dengan perasaan terluka. Kenapa bisa seperti ini" Erris bertanya pada dirinya sendiri. Perlahan tatapan liarnya di pada Uki
mulai melemah. Andai saja semua ini bisa diakhiri...
"Aku juga ngerasa kok kalau aku memang murahan, seperti yang kamu bilang!", Uki masih
terlihat kesal,"Dari kamu, lalu Rory dan sekarang Chris. Kalau aku tahu dari awal Chris itu siapa,
aku juga nggak akan sama dia. Tapi, kamu nggak perlu cemas lagi, soalnya aku memang mau
pergi. Aku pastiin kamu nggak akan pernah lihat muka-ku lagi. Kamu puas sekarang"!"
Erris masih terpaku menatap Uki yang kemudian berlalu seperti orang buangan. Bersama
langkahnya pelan dan gontai, seperti baru terhempas dari tempat yang tinggi lalu membawa
seluruh rasa sakit tanpa tempat yang bisa dituju.
Ini adalah akhir yang sebenar-benarnya dari mereka...
Erris tidak menoleh sedikitpun. Ini lebih baik, pikirnya. Ini lebih baik daripada saling menyakiti
seperti selama ini. Maka dia biarkan begitu saja. Sambil menghitung-hitung berapa lama, dirinya merasa begitu
tersiksa seperti ini, sejak SMA, 8 tahun. Dan selama itu dia tidak pernah bisa mencintai orang
lain. Betapa lama waktu yang terbuang hanya untuk penantian yang sia-sia.
--"Rory...kenapa kamu masih aja bandel...", wanita itu tampak antara jengkel dan sedih. "Kalau
kamu bandel kapan sembuhnya sih?"
Rory duduk di ranjangnya. Memandang sekitarnya di mana gadis itu masih memandang nanar
dan ia mulai jengah. Segala hal terasa sangat menjengkelkan. Uki tampaknya tidak akan kembali
namun banyak hal yang tidak bisa ia terima. Apa yang ia lihat di koridor beberapa jam lalu
terasa merobek hati. Dan andai saja bukan sahabatnya sudah pasti ia akan membunuh
siapapun yang mendekati Uki. Seperti yang biasa ia lakukan, ia menjauhkan Uki dari orangorang yang akan merampasnya.
Tapi, semua itu terasa hampa sekarang.
Ada sesuatu yang hilang... bukan, bukan sesuatu lagi. Tapi, ada banyak hal dan itu membuatnya
gila. Natha keluar menyadari bahwa Rory tidak ingin ia ada di sekitarnya untuk sementara. Lalu ia
duduk di kursi tunggu sambil menahan tangis.
Setiap berpikir ini hanya sementara, rasanya ia mampu bertahan. Tapi,setiap kali melihat
tatapan asing Rory kepadanya, seolah ini akan berlangsung selamanya. Dokter mengatakan Rory harus selalu berada dalam keadaan yang stabil. Tidak boleh ditekan
dan tertekan. Karena itu akan membuat pemulihan menjadi lamban.
"Keluar!!", teriakan Rory bergema dengan mengejutkan. Ia kembali mengamuk sehingga Mama
dan adiknya segera pergi, sebelum ia membanting barang-barang.
"Udah, Ma...Rory kan masih sakit. Dia baru sadar...kita harus sabar", ujar Chris saat Mama-nya
hanya bisa menangis begitu keluar dari sana.
"Berapa lama lagi...?", keluhnya makin sedih.
Natha memandangi mereka yang tengah menghibur diri. Sekarang tak ada lagi canda tawa ceria
yang biasa Rory bawa. Semua orang harus menunggu sampai ia benar-benar kembali. Tapi,
entah sampai kapan.. Lalu pria itu datang lagi. Dia sendirian. Mengenakan setelan jas yang rapi seperti baru pulang
bekerja. Begitu berpapasan dengan istri dan anaknya yang membatu terhadapnya, ia terlihat
canggung. "Renatha ", tegur Chris saat Natha menanam pria itu melangkah ke arah mereka. "Kamu masih
mau di sini atau ikut kita pulang" Kamu harus istirahat juga"
Natha menggeleng, "Aku masih mau di sini...", katanya.
"Oh, kalau ada apa-apa, telpon aku", kata Chris yang buru-buru membawa ibunya pergi dan
semakin kelihatan tengah menghindari ayahnya.
Natha jadi ingat Rory pernah bercerita sedikit soal ayahnya yang berwatak keras dan dingin.
Mereka tidak cocok dan sering cekcok. Karena itu Rory memilih tinggal sendiri di kontrakan
kecil dan membiayai dirinya sendiri dengan menjadi 'stalker'. Kabarnya juga keluarga Rory
sedang kacau karena Papa-nya berselingkuh dan Rory sempat ribut dengannya belum lama ini.
Natha tersenyum padanya walau tetap terlihat seperti menangis.
Pria itu ikut duduk bersamanya. "Rory marah-marah lagi?", tanya dia.
Natha tersenyum simpul. "Dia marah setiap bangun tidur di tempat yang nggak dikenal.
Kepalanya sering sakit...", jelasnya.
Pria itu terdengar menghela nafas. Tidak tahu harus bicara apa. Tapi juga tidak mungkin masuk
di saat Rory baru saja mengusir semua orang dari harapannya.
Natha dan pria itu sama-sama diam. Entah untuk berapa lama. Mereka tampak sama. Samasama menyesali cara yang mereka ambil untuk menolak Rory.
ooOoo BAB 22 Jalan Baru Jika tertidur, dia sangat tenang. Natha bisa duduk di dekatnya dan memandangnya tanpa takut
Rory akan membentak atau mengusirnya.
Rory sudah lebih kurus. Dia tidak mau makan apa-apa. Setiap perawat membawakan makanan
ia lebih dulu menolak dan jika dipaksa dia akan membantingnya ke lantai. Atau saat dia
mencoba sedikit saja, ia akan memuntahkannya. Ia sering memaki Natha dan menyuruhnya
keluar saat tak ingin ditemani.
Itu membuat Natha terluka, namun segera terobati ketika malam tiba. Saat Rory tertidur dan
tidak menyadari kehadirannya. Dia bisa memandangnya dan tersenyum untuk dirinya. Sambil
mengingat sosoknya yang sangat Natha kenal. Dari tato di lengan kirinya dan postur badannya
yang besar . Hal-hal itu membuat Natha terhibur.
Natha membayangkan saat-saat mereka ribut lalu berbaikan. Rory yang pemalas dan lebih suka
tiduran di sofa merahnya dari pagi sampai sore sambil nonton TV dan bahkan sampai ketiduran.
Rory yang malas mandi dan dia selalu ingin ditemani Natha untuk bermanja-manja sebelum
mereka meributkan masalah sepele.
Natha merindukan semua itu. Tawa dan sikapnya yang selalu sembarangan. Rambutnya yang
acak-acakan dan lesung pipi yang dalam saat tertawa. Sekarang semua itu seakan hilang.
Natha menyeka air matanya. Sedikit keberanian ia butuhkan hanya untuk sekedar menyentuh
rambutnya yang memanjang dan tumbuh tidak teratur. Karena biasanya Rory selalu
menepiskan tangannya. Dengan ragu-ragu Natha mencoba membelai rambutnya untuk sekedar merapikannya atau
melepas kerinduan. Tapi, ia tercekat saat Rory menangkap dengannya yang nyaris menyentuh
rambutnya. Rory terbangun! Apakah akan mengusirnya lagi", Natha sedikit ketakutan, saat Rory bangkit tanpa melepaskan
tangannya. "Lo beneran nggak mau nyerah ya?", tanya dia memandang Natha seperti memandang seorang
musuh. Natha memalingkan wajahnya dengan sedih dan takut. Lepaskan..., pintanya ketakutan. Supaya
dia bisa lari dan tidak melihat tatapan asing itu lagi. Karena akan menyakitinya dan
membuatnya menangis seperti anak kecil.
Tapi, genggamannya terlalu kuat. Meski Natha berusaha menariknya kembali Rory tampak tidak
akan melepaskannya. "Kalau lo beberan cewek gue, kita pernah sedekat apa?", tanya Rory terdengar menguji.
Natha terkejut. Ia menemukan tatapan sangsi Rory terhadapnya seperti menantangnya untuk
membuktikan kebenaran yang selalu dia bantah. Natha menatapnya sejenak sebelum ia
mendekat tanpa ragu untuk menciumnya. Melepaskan kerinduan akan rasa yang pernah
diberikan Rory padanya. Rory membeku. Ia menatap Natha terkejut.
"Apa kamu belum ingat juga?", tanya Natha begitu melepasnya.
Genggaman Rory melemah. Terpana padanya.
--"Aku mencintai kamu...", ucap Natha berbisik ke telinganya dengan pelan. Lalu memeluk Rory
yang masih beku. Memejamkan matanya untuk merasakan hawanya dalam-dalam. Tapi, Rory
seketika menariknya agar terlepas dari kebingungan akan rasa yang begitu aneh namun tidak
asing. Natha menjerit kesakitan saat tubuhnya yang lemah menghempas kasur. Rory di atasnya.
Menatap liar dirinya dengan nafas tersengal seperti terbakar. Matanya yang merah. Keringat
yang mengucur deras bahkan sampai menetes di wajah Natha. Menyiratkan kebingungan akan
hasrat yang dia tidak bisa mengerti datangnya dari mana. Melihat wajah cantik Natha yang
membawanya kepada jalan buntu akan siapa dia sebenarnya.
Meski tidak bisa diingkari, dia cantik seperti bidadari. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada
gadis secantik ini" Natha menyentuhnya dengan kedua tangan yang gemetaran. Merasakan bahwa Rory tengah
berusaha mengingat apakah mereka pernah berada di dalam situasi seperti ini sebelumnya.
"Tubuh kamu nggak akan lupa bagaimana kita bersentuhan, Angel... ", kata Natha sambil
merengkuhnya dengan erat dan bahagia mengisi penuh hatinya yang telah tersayat. Seakan
menyembuhkan luka saat Rory tidak menarik dirinya, "Kamu harus ingat, Sayang..."
Ingatlah saat pertama kali kita seperti ini...
--Rory menghilang. Ketika Natha terbangun di sisi tempat tidur, ia merasa kecewa. Semalam ia
membayangkan akan terbangun di pagi hari dengan Rory yang sudah bisa mengingat dirinya.
Tapi, memang tidak semudah itu.
Mama-nya datang pagi-pagi sekali dan sekarang menangis histeris.
Rory kabur dari rumah sakit!
"Rory...kamu benar-benar bikin Mama gila!!", rengeknya terisak.
Tapi, ayahnya juga ada di sana untuk menenangkannya. "Rory pasti ketemu", ujarnya dan
tampaknya mereka sudah lebih baik. Sejak Natha pernah melihat mereka saling diam cukup
lama dan tidak kelihatan seperti sebuah keluarga.
Perang dingin sudah berakhir. Mudah-mudahan keluarga itu bahagia, kata Natha dalam hati
sambil memikirkan sesuatu. Sepertinya ia harus bersabar. Rory adalah miliknya. Segala sesuatu yang menjadi miliknya akan
kembali padanya. Kepadanya seorang. Lalu apa yang ia takutkan"
Tidak ada yang perlu dia takutkan.
--- Pintu akhirnya terbuka setelah Rory mengetuk dengan tidak sabaran berulang kali. Ia masih
mengenakan piyama rumah sakit dan perban putih yang melingkar di kepalanya.
"Rory?", gadis yang membukakan pintu terkejut melihat ada seorang pasien kabur berdiri di
depan pintu rumahnya. Dia bukan Uki.
Rory merasa pernah mengenalnya tapi ia tidak mau berusaha mengingatnya karena ada yang
lebih penting. Menemui Uki dengan harapan semua pertanyaan akan siapa yang sebenarnya dia
cintai akan terjawab. "Mana Uki?", sembur Rory yang mendorong gadis itu begitu saja dan menerobos masuk, "Uki"!
Uki!" "Uki nggak ada! Kamu mau apa"!", teriak gadis itu sambil mengikuti ke mana langkahnya yang
bingung menuju. Tapi, di rumah itu memang tidak apa-apa.
Rory berbalik padanya, "Lo bohong! Uki pasti sembunyi!", teriak Rory lagi.
"Uki udah nggak tinggal di sini lagi. Dia udah pergi", kata gadis itu, setelah menarik nafas
panjang. "Uki nggak akan kembali lagi ke sini"
"Uki pulang ke Semarang?", tanya Rory yang melemah seketika.
"Udahlah, Rory...", kata teman Uki itu padanya. "Kamu sama Uki nggak pernah ada apa-apa.
Kalian tuh cuma teman. Kamu emang bantuin dia dalam banyak hal tapi cuma sebatas teman.
Kamu juga punya pacar sekarang. Aku tahu nggak semudah itu untuk ingat semuanya lagi. Tapi,
Uki bukan milik kamu. Uki udah pergi..."
Rory semakin bingung. Kenapa hanya Natha saja yang hilang dari ingatannya"
Kepalanya kembali berdenyut.
"RORY?", gadis itu mendekatinya. Melihat Rory rubuh sambil menekan kepalanya dan meringis
kesakitan. Rory menjerit keras-keras melepaskan gangguan itu dari kepalanya.
--Gadis itu tak lagi terlihat. Biasanya dia ada di ruangan in
i dengan mengenakan gaun putih yang
membosankan itu. Apa dia sudah menyerah"
Sejak dia kabur dan diseret oleh Damar kembali ke sini, semua orang terkesan menjauhinya.
Hanya Damar yang kadang datang menemani dan Erris, sejak hari mereka berselisih tidak
pernah lagi muncul. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Selalu seperti itu.
Namun hatinya terasa sakit. Lebih sakit dari kepalanya yang sering berdenyut entah karena apa.
Dirinya seperti orang dungu yang tak boleh beranjak dari tempat tidur dan tak bisa menghindari
menu membosankan rumah sakit seperti bubur dan kacang-kacangan. Serta obat-obatan
dengan bau menyengat yang membuatnya mual.
Biasanya gadis itu selalu memaksa agar ia menghabiskan makanannya. Seolah tidak peduli pada
kemarahannya yang tidak ingin diperlakukan istimewa oleh orang yang tidak dia inginkan.
Natha tidak pernah datang lagi. Membuat kekosongan di ruangan serba putih itu semakin
terasa. "Renatha pulang ke Jerman", jelas Laras.
"Bagus...", gumam Rory duduk di tempatnya dengan raut kesal entah pada siapa.
Dia selalu terlihat penuh marah. Selalu merasa kekurangan sesuatu yang dia tidak tahu persis
itu apa. Dan tak kunjung menemukannya.
"Sok banget lo. Ntar kalau lo udah ingat pasti lo bakal kayak orang gila nyari-nyari dia...",
gumam Laras. "Apa lo bilang?", cetus Rory kesal mendengar umpatan Laras.
"Enggak!" tandas Laras, "Elo tuh nyebelin ya. Coba kalau lo nggak sakit..."
"Orang sakit jangan dilawan berantem, Ras...", tegur Mama-nya Rory yang baru masuk dan
terlihat lebih ceria. "Eh, Tante...", Laras segera berdiri, "Rory bandel sih, Tan..."
"Namanya juga Rory...", kata mama-nya yang datang dengan sekantong buah segar.
"Karena Mama lo udah datang, gue pergi dulu ya", kata Laras pamitan.
"Lho kok...", Mama Rory sedikit heran.
"Aku ada urusan, Tante..." jelas Laras, "Lagian juga bentar lagi Damar datang..."
Laras segera pergi. Dia merasa agak lelah karena belum tidur sejak semalam. Ia tengah
membayangkan empuknya ranjang yang sudah menantinya di rumah saat melihat Damar
berjalan sendirian dan menuju tepat ke arahnya.
--"Lo mau pulang?", tanya Damar saat mereka berpapasan.
Laras menguap dan tampak lelah. "Gue ngantuk.", jawabnya, sambil berlalu dan melambaikan
tangannya. "Udah ya..."
Tapi, Laras tersentak saat Damar menangkap lambaian tangannya.
"Tunggu!",Damar menghentikan langkah yang akan Laras ambil untuk pergi seperti biasanya.
Saat mereka bertemu lalu berpisah hanya dengan lambaian tangan.
"Apa, Mar?", tanya Laras penuh perhatian mengira Damar akan menanyakan bagaimana
keadaan Rory atau apakah Erris sudah datang. Tapi sepertinya bukan itu.
"Ada hal yang mau aku omongin", kata Damar
Laras tertawa. menatap Damar yang tadi begitu biasa sekarang bingung. Ditambah lagi Damar
menyebut dirinya 'aku' bukan 'gue'. Laras menunggunya bicara hingga Damar akhirnya
mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kotak kecil berwarna hitam dan Laras
sudah menebak isinya serta apa yang akan dikatakan Damar selanjutnya.
"Ini rumah sakit, Mar...", Laras berkelakar sambil memperhatikan sekitarnya. Keramaian ruang
tunggu di mana bermacam-macam orang lalu lalang dan ini bukan tempat yang romantis untuk
melamar. "Lo nggak bisa susun rencana apa kek gitu?"
Tapi, lebih dari itu, semua ini terlalu mendadak. Laras menunjukan bahwa ia belum siap
memberikan jawaban jika Damar membutuhkannya sekarang juga.
"Jangan nolak", kata Damar.
"Gue harus bilang apa, Mar?", Laras masih terlihat santai. "Tato di punggung gue permanen,
nggak akan hilang selamanya. Lo bisa terima?"
"Aku nggak peduli soal tato atau alasan apa pun yang mau kamu bilang. Aku nggak mau tahu",
jelas Damar, "Jangan pura-pura kuat kamu bisa ngatasinnya sendiri"
Laras terdiam sejenak. Sebelum senyum sangsi terukir di bibir tipisnya. "Lo pasti nyesel hidup
sama gue, Mar", katanya mengingatkan.
"Gue kenal sama lo lebih dari separuh umur gue. Dan gue juga sayang sama lo selama itu. Apa
itu nggak cukup?" Laras menghela nafas panjang dan tampak bingung. "Harusnya lo ingat semua kejadian di
Glebe. Gue sendiri nggak bisa terima perbuatan gue yang kayak gitu apa lagi lo, Mar"


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gue nggak peduli!", cetus Damar, suaranya meninggi, "Dia nggak akan kembali, Ras... Lupain
dia mulai sekarang...karena lo masih hidup..."
Laras sedikit terguncang. Ia menatap Damar lalu sekitarnya untuk menenangkan perasaannya
yang menjadi tidak enak. "Gue udah siapin ini sejak lama, tapi belum sempat gue kasih karena ada banyak masalah. Dan
kalau gue nunggu lebih lama lagi, lo pasti bakal pergi...", jelas Damar sambil membuka tutup
kotaknya dan melihat sebuah cincin emas putih dengan kristal-kristal kecil berpola.
Mereka menjadi pusat perhatian saat Damar tiba-tiba berlutut, menyodorkan cincinnya. Semua
orang melihat. Laras tahu dan ia semakin bingung.
Apakah semua akan selesai dengan jawaban iya". Laras meragukan itu. Tapi, setelah semua
yang terjadi dan menghempaskannya dengan menyakitkan, di mana lagi tempat ia bisa
berlindung" --Malam itu terasa asing. Rory menghela nafas panjang dan berat. Tanpa sadar ia terus
memandang tempat tidurnya sambil mengusap seprai putih tempat tidurnya. Semakin
mengingatkannya pada gadis itu.
Perasaan ingin mengulangi apa yang ia pernah lakukan dengannya hanya untuk mengingat
sejauh mana mereka mencintai. Rory menjatuhkan dirinya kembali di atas tempat tidur dan
mencoba untuk terlelap. Tapi, tidak bisa!
Kilasan itu kembali setiap ia memejamkan mata. Natha yang memandangnya penuh cinta,
membelai lembut tubuhnya yang keras dengan lembut. Memanggilnya, 'Angel' , bisikannya
yang dalam dan sampai saat ini masih terngiang di telinga. Setiap tarikan nafasnya mulai terasa
akrab. Rory merinding! Ia mulai gelisah. Kenapa gadis itu malah pergi setelah mengacaukan dirinya"
Dan apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi perasaan seperti ini..." Perasaan ingin disentuh
dan hal itu membuatnya tenang meski ia tidak mampu mengingat apa yang terjadi, namun
nalurinya berkata, ia pernah melakukannya dan itu membuatnya bertambah gelisah...
Rory mengutuk dirinya sendiri. Lalu berkata, besok ia akan pulang, dan meninggalkan tempat
ini. ---Pulang ke rumah. Tidak melegakan namun seperti kembali ke pangkuan seorang ibu.
Rory masih bisa mengingat kamarnya. Berada di lantai dua, di lorong sebelah kanan. Dinding
dan langit-langitnya berwarna krem. Dipenuhi gambar-gambar yang ia buat dengan kameranya
yang entah ada di mana. Namun Chris memberitahunya kamera itu dirusak.
Kamar ini tidak terasa asing. Masih sama dengan tahun-tahun saat ia menghabiskan waktunya
untuk menyusun foto-foto itu di dinding. Keluarga, teman-teman, Uki dan ...sosok Renatha
Grissham yang tengah tertidur.
Dan mendadak kepalanya berdenyut!
Rory mengeluh, foto-foto itu membuatnya bertambah sakit! Dan ia pun menghancurkan
semuanya, mencabutinya satu persatu agar tak melihatnya lagi...
Gadis itu sudah pergi! Meninggalkan banyak pertanyaan di kepalanya.Siapa dia sebenarnya"
ooOoo BAB 23 Mencari Jejak 2 bulan kemudian... Rory melihat sekali lagi ke layar handphone-nya, membaca alamat yang dikirimkan Damar pagi
ini. Ia memperhatikan sekitarnya untuk memastikan ia tidak tersesat. Namun, begitu melihat
sebuah Honda Jazz putih parkir di depan sebuah rumah di ujung gang, Rory yakin ia tidak
tersesat. Rory sudah berdiri di depan pintu. Mengetuknya beberapa kali. Sampai sosok Laras muncul,
tersenyum menyambutnya dan mempersilahkannya masuk.
Damar sedang mengobrol bersama Erris. Lalu perhatian mereka teralihkan oleh kedatangannya.
"Gue pikir lo nggak akan datang!", kata Damar sambil melempar sekaleng bir dan Rory
menangkapnya dengan cepat sebelum mengenai wajahnya.
Erris hanya memandang ke arahnya sambil tersenyum simpul. Dan Rory kembali memandangi
sekitarnya. Rumah sederhana yang dindingnya belum dicat sempurna. Masih ada beberapa
barang yang belum di susun dengan rapi. Kardus-kardus berisi perabotan kecil tertumpuk di
sudut ruangan. Laras dan Damar baru pindah ke sini beberapa hari lalu.
"Lo nggak nyasar kan?", tanya Damar padanya.
Rory menggeleng. Lalu menjadi begitu pendiam saat Erris dan Damar asyik mengobrol, bahkan
Rory tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Sementara Laras di dapur dan sibuk sendiri.
"Lo baik-baik aja kan?", tegur Damar yang kelihatan sangat bahagia.
"Yah, seperti yang lo lihat, gue masih rada dungu", jawab Rory.
Erris hanya melarik dengan dingin kepadanya. Mereka belum lagi bicara sejak insiden di rumah
sakit bersama Uki waktu itu.
"Lo ngapain aja emang?", tanya Damar.
"Nggak ada. Nyokap ngelarang gue keluar", jelasnya.
"Lo bawa mobil ke sini?"
"Nggak. Diantar supir..."
"Gimana" Lo udah ingat semuanya?", tanya Damar lagi.
Rory terdiam. Lalu menggeleng dengan getir. Bagaimana menjelaskan kebingungan setiap kali
ia bertanya bagian mana yang telah hilang. Sejak Natha pergi semuanya menjadi kabur dan
samar-samar. Ia merasa begitu kehilangan.
"Ngomong-ngomong lo berdua yakin bakal tinggal di tempat kayak gini?", tanya Rory.
Damar tersenyum. "Kenapa emang?", balasnya.
"Orang tua lo bilang apa?", tanya Rory lagi.
Damar menghela nafas. "Udahlah lo nggak usah pikirin itu deh. Pikirin aja caranya supaya
ingatan lo balik", katanya lalu cekikikan, "Sumpah gue nggak tahan lihat lo jadi dungu lamalama gitu...kayak bukan lo aja"
Rory jengkel. "Sialan lo!", cetusnya sambil melemparkan kembali kaleng birnya. "Nih! Gue
nggak minum!" "Bagus, Rory!", celetuk Erris saat kaleng bir itu nyaris mengenainya.
Damar tertawa, "Tuh ajarannya Natha masih kebawa-bawa sekali pun lo hilang ingatan!",
katanya, "Lo pasti nggak ngerokok lagi kan?"
"Nggak jelas tuh...", gumam Rory sambil memandang kedua temannya, "Bawaannya malas
terus gue..." Rory diam sebentar, sebelum memulai, "Kemarin gue habis check up", jelasnya. "Ada
kemungkinan gue amnesia permanen. Banyak kejadian yang nggak bisa gue ingat bahkan waktu
SMA dan jauh sebelum itu."
"Yah...mau gimana lagi, Ror", kata Damar berujar, "Waktu Erris nemuin lo di kontrakan itu
keadaan lo parah banget. Lo dipukulin rame-rame."
Rory tidak sanggup membayangkannya tapi sekarang ia merasa beruntung. Lepas dari masa
kritis yang panjang dan masih dapat mengingat siapa dirinya. Angel Florisa Wiradilaga. Ibunya
sudah meninggal. Ayahnya seorang direktur rumah sakit dan ibu tirinya seorang wanita cantik
Yang perhatian. Adiknya, Christophe Wiradilaga, mahasiswa kedokteran. Teman-temannya,
Errisman Kurniawan, Damar Prasetyo dan Ayu Laras Suwandhi. Serta Rukia, gadis yang pernah
dia cintai. Rory masih mengenal mereka dengan baik.
"Sekarang, ingatan gue kembali atau nggak udah nggak penting lagi", kata Rory. "Yang jelas gue
masih ingat sama kalian dan gue juga nggak bisa maksain untuk bisa ingat semuanya"
Erris mengernyit. Memandangnya dengan asumsi Rory sudah menyerah pada keadaannya .
Seperti orang yang putus asa.
"Dan...", Rory melanjutkan, "Gue sudah tahu bahwa gue memang punya pacar yang cantik dan
gue mencintai dia." Damar tertawa. "Itu aja udah cukup buat gue", sambung Rory, tersenyum bahagia, melihat kedua temannya
tersenyum untuk kebahagiaannya itu.
--Damar menyusun beberapa kardus dengan rapi di tengah-tengah ruangan lalu mengalasinya
dengan kertas koran. Laras datang dengan nampan makanan.
"Lo masak, Ras?", Rory mengernyit, memperhatikan Laras sibuk menyiapkan makan malam
untuk mereka. Laras mengernyit, "Emang kenapa kalau gue masak?", cetusnya sambil kembali ke dapur
dengan gusar. Damar meliriknya, sambil cekikikan sampai Erris juga ikut. "Udah, makan, makan!", serunya.
Rory diam, melirik Damar yang antusias dengan makanan buatan istrinya.Seingatnya Laras tidak
bisa mengerjakan pekerjaan perempuan apalagi memasak. Jadi, dia hanya memandangi Damar.
"Nasi goreng nggak ada?" tanya Rory karena di meja darurat hanya ada nasi,sup daging kentang
dan ayam goreng dengan sedikit sambal pedas.
"Yah, elo, Ror! Apa makanan yang ada di otak lo itu cuma nasi goreng"!", cetus Damar.
"Lo yang ajarin Laras masak?", tanya Erris.
"Nggak juga sih...", jawab Damar dengan satu sendok nasi sup di tangannya.
"Perasaan gue nggak enak...", kata Erris pelan, memperhatikan suapan pertama Damar yang
bagaikan adegan Slow motion di TV.
Benar saja, Damar terkejut. Matanya membesar dan ia segera mengeluarkan isi mulutnya
dengan menjijikan. Rory menggeleng-geleng sementara Erris buang muka.
Damar tidak berkomentar. Entah seperti apa rasanya dia tidak mengatakannya.
"Untung gue nggak makan...", gumam Rory sambil cekikikan dan Erris tertawa pelan saat Damar
pergi ke belakang. "Ras!", panggilnya dengan terburu-buru, "Kamu masukin apa sih ke supnya"!"
"Kenapa sih"!" sahut Laras terdengar gusar.
"Aku nggak tahu itu sup rasanya asin atau pahit!", suara Damar masih dapat terdengar.
Dunia akan menangis jika mereka sampai ribut.
Rory menggaruk-garuk belakang kepalanya, melirik Erris yang sedang mengaduk-ngaduk sup
buatan Laras yang katanya tidak tentu rasa itu dengan penuh perhatian. Seakan ia akan tahu
rasanya dengan melihat teksturnya yang agak...kacau.
"Udah jelas-jelas aku nggak bisa! Kenapa kamu suruh aku yang masak"!", balas Laras, "Kamu
malah enak-enakan di depan, nggak bantuin lagi! Giliran nggak enak aku yang disalahin!"
"Aku kan udah bilang jangan dicampur macam-macam!",
"Aah, udah deh! Kamu marah aku jadi tambah pusing!"
--"Ris", panggil Rory setelah mereka cukup lama tidak saling bicara seolah masih merasa dendam.
Erris menoleh, dahinya sedikit berkerut, penasaran. Apa yang akan dikatakan Rory" Apa ini soal
Uki lagi" "Uki sudah pergi", kata Rory padanya dengan hati-hati sambil mencari tahu perasaan Erris dari
raut wajahnya. Tapi tak ada apa pun. Rautnya sama sekali tidak terbaca.
Erris diam. "Udahlah, juga nggak penting ngomongin itu lagi...", kata Rory menemukan ketidaksukaan Erris
pada topik mereka yang hanya untuk melegakan ketegangan dan mengisi kesunyian di ruang
depan. Sementara kegaduhan masih berlangsung di belakang mereka.
Lalu soal apa" Mata sipitnya bertanya di balik kaca matanya yang berbingkai tebal.
"Gue mau pergi ke Jerman", kata Rory, "Lo bisa temenin gue?"
Pada akhirnya semua selalu membutuhkan Erris.
"Lo mau pergi dalam waktu dekat ini?", tanya Erris datar.
"Lo nggak bisa?", Rory sedikit kecewa.
"Minggu depan gue wisuda", jelasnya, "Gue juga harus ngurus paspor dan lain-lain juga..."
Rory tersenyum. "Yah...gue juga harus minta izin sama bokap gue karena dia pasti nggak akan
biarin gue pergi jauh",
--Kata Erris, rumah itu punya banyak kenangan. Jadi, Rory pergi ke sana. Dengan harapan akan
ada sepercik harapan dia akan mengingat hal-hal manis yang pernah ia lakukan. Jika kehilangan
ini hanya sementara... Tapi, setelah berbulan-bulan tentu ada banyak hal yang berubah.
Seorang gadis muda membukakan pintu. Dia adalah penghuni yang baru dan telah mengubah
banyak hal. "Cari siapa?", tanya gadis cantik itu. Ia tampak bertanya-tanya, siapa lelaki yang berdiri di depan
pintu rumahnya dan tampak begitu bingung dengan sekitarnya.
Rory menatapnya sejenak. Sebelum ia nekat menerobos, masuk tanpa izin.
"Hei!", gadis itu terkejut.
Rory menatap isi dalam rumah. Sangat asing. Benarkah rumah ini punya banyak kenangan
dirinya bersama Natha"
Tetap saja asing. Rory tetap tak mampu mengingat apapun. Banyak hal yang berubah di sini.
Warna cat dinding dan perabotannya tentu tidak sama lagi...
Ia memeriksa kamar dan malah hanya menemukan sesosok anak lelaki yang cacat dan menatap
ke arahnya kaget dan bingung.
"Hei...", tegur gadis penghuni rumah lagi. Terlihat cemas dan ragu.
Tak ada yang bisa ia temukan di sini, pikir Rory sambil melangkah keluar. Ia tidak bicara sepatah
kata pun. Dengan buru-buru ia meninggalkan rumah itu.
Sementara gadis muda itu masih berdiri di pintu bersama adiknya. Mereka tampak bingung dan
bertanya-tanya siapa lelaki asing yang baru saja memeriksa rumah mereka. Lalu menyaksikan
orang aneh itu akhirnya naik sebuah mobil yang kemudian membawanya pergi.
--"Nggak ditungguin, Den?", pak supir bertanya sebelum Rory turun dari mobil.
"Nggak usah, Pak", jawab Rory sebelum membuka pintu.
"Kalau Nyonya nanyain saya jawab apa, Den?", Pak supir tampak khawatir.
Rory tetap turun dari mobil. Ia segera bergabung dengan barisan orang-orang yang memadati
gerbang kampus. Dan mobil yang mengantarnya langsung pergi. Ia mulai mengikuti orangorang yang punya tujuan yang sama dengannya. Upacara kelulusan, di mana Erris dengan
pakaian kebanggaannya terlihat lebih gagah.
"Selamat ya!", ucap Rory sambil menepuk punggung Erris.
Erris tertawa saat Damar muncul entah dari mana dan ia langsung menyapa Rory. Bersama
Laras yang kelihatan lebih feminin dengan gaun terusan berwarna abu-abu.
Semua lulusan duduk di tempat yang disediakan. Mereka dengan perasaan berdebar tengah
menunggu sebuah penghargaan untuk siapa yang telah bekerja keras dan mendapatkan tempat
terbaik setelah tahun-tahun yang berat. Seorang pria paruh baya, yang rambutnya hampir
memutih semua, tampak misterius saat akan memarakan lulusan terbaik tahun ini.
Erris tidak terlihat di antara mereka sampai kemudian ia berdiri setelah rektor menyebutkan
namanya dan itu bergema ke penjuru hall yang padat. Disertai tepuk tangan dan juga seruan
bahagia Laras di samping Damar.
Rory tersenyum, Erris memang hebat, pikirnya kagum. Membayangkan di antara ratusan kepala
yang ada di depan sana, Erris adalah satu-satunya yang terbaik. Dia pantas untuk itu.
Ibu dan kedua saudarinya tampak bahagia. Mereka memeluk Erris bergantian dengan tawa
bahagia sebagai ucapan selamat. Mereka tampak begitu bangga padanya.
Lalu di tengah bahagia mereka, seorang pria datang menghampiri mereka. Seorang pria biasa,
berkulit putih dan bermata sipit, menyapa Erris yang tampak senang dengan kehadirannya.
"Kerja bagus...", pria itu memuji sambil menepuk pundak Erris pelan dan mereka bertatapan
beberapa saat. Mereka tampak bicara serius berdua. Sangat akrab.
"Seumur-umur gue kenal Erris baru kali ini gue lihat bokapnya", kata Rory pada kedua
temannya. Laras menghela nafas lalu menyipitkan matanya saat menatap Rory, "Kita pernah ketemu sekali
sama bokapnya, waktu SMA dulu", ,Laras mengingatkan, "Lo pasti lupa dulu pernah nabrak
orang sampai mati. Kalau bokapnya Erris nggak nolongin kita, kita pasti dipenjara, Ror"
"Gue" Nabrak orang sampai mati?", Rory mengernyit. Lalu melirik Damar untuk memastikan
Laras sama sekali tidak berbohong.
"Yah...itu kejadian nggak lama setelah lo ditolak Uki mentah-mentah", jelas Damar, lalu
menepuk punggungnya pelan, "Udah, itu udah lama banget..."
Rory menghela nafas, begitu banyak peristiwa penting yang telah ia lupakan. Itu hampir
membuatnya menyerah menemukan kembali keping-keping masa lalu yang teramat berarti
baginya. Walau ia berkata tidak apa-apa, tetap saja setiap kali ia terbangun dari tidur, ia merasa
dunia yang ada di depannya tidak nyata. Seperti mimpi yang suatu saat ia berharap akan
terbangun darinya. Begitu menyadari bahwa itu adalah kenyataan yang sesungguhnya, ia kembali hancur. Merasa
begitu asing di antara teman-temannya.
Namun, ada satu pengecualian yang membuatnya tidak perlu berpikir keras untuk meyakini,
bahwa tempat ini adalah tempat yang paling ia sukai.
Ketika melihat Erris dan Damar merokok dengan bebas sambil cekikikan, dan mereka
membuang puntung rokok di bawah kaki mereka. Rory menatap ke bawah, lapangan hijau di
bawah sepatunya. Lalu ia tersenyum. Rasanya ia pernah begitu menikmati hal ini...
Atap gedung kampus, tempat pertama yang bisa ia ingat. Sebuah pertanda baik.
Ketersesatannya, akan berakhir tidak lama lagi, begitu ia menjemput sang bidadari...
--Suara klakson terdengar beberapa kali. Memanggilnya. Rory sedang menelpon Damar yang
tidak bisa mengantar karena bekerja. Handphone-nya masih di telinga saat ia mengintip dari
jendela, di balik gorden coklat kamarnya.
"Erris udah datang", katanya segera mengakhiri pembicaraan.
Rory terdiam sejenak. Memandang keluar jendela. Seseorang berdiri di dekat mobil Honda Jazz
putih, seperti sedang menunggu.
Mengingatkannya akan sesuatu yang samar-samar, namun ia tidak yakin. Seperti pernah
mengalami ini sebelumnya. Erris yang menunggu di dekat mobilnya dengan tidak sabaran,
berisyarat padanya bahwa mereka terlambat untuk sesuatu yang harus segera dilakukan.
Rory berlari ke bawah, membawa ransel dan jaket kulit serta sepatu kets-nya. Menuruni tangga
dan melewati ruangan sepi hingga ia bisa melihat dengan jelas sosok Erris yang tengah
mengeluh. "Lo dandan ya?", celetuk Erris.
Rory gusar, "Lo kali!", cetusnya sambil naik mobil dan Erris mengikuti.
Ia duduk di depan dan merasa aneh.
"Lo mau check in jam berapa sih" Udah hampir telat tau!", celetuk Laras yang duduk di
belakang sendirian. Rory geleng-geleng kepala, ia melirik Laras dengan senyum simpul sebelum menyebut hari ini
adalah de javu. Lalu Erris mulai mengebut menuju bandara di saat Rory sudah yakin dia tidak
akan memberi tahu keluarganya soal kepergiannya ini.
Pada satu kesempatan yang sama, ia melihat dirinya di kaca. Memandangi rambutnya yang
memanjang. Ia lagi-lagi merasakan keanehan itu. Seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Saat ia
merasa model rambutnya terlihat menggelikan seperti banci.
Rory ingin memotongnya, karena mungkin gadis yang disebutnya kekasih tidak akan
menyukainya... --Erris, Damar dan Laras, sepakat menjelaskan, pertemuan pertama mereka adalah di bandara.
Ketika Natha salah mengenali orang dan ia memaki Rory di depan semua orang.


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rory memperhatikan keramaian di sekitarnya. Orang-orang yang berjalan, datang dan pergi,
berhenti lalu berlalu begitu saja. Mereka bagaikan siluet saat tiba-tiba Rory merasa melihat
seseorang di antara mereka.
Ya, otaknya berpikir dengan keras, pernahkah ada saat di mana ia berjalan sendirian di tempat
seperti ini mencari seseorang yang dia rindukan" Pernah. Di satu kilasan mimpi saat ia
kebingungan memanggil-manggil seseorang yang kemudian ia temukan di kursi tunggu. Tampak
lelah, terluka dan kesepian. Rory ingat, ia memeluknya dengan sangat erat sebelum ia melihat
langit-langit putih kamar rumah sakit dan mencium aroma pahitnya yang khas.
Setelah itu semuanya seakan terhapus. Rory menghentikan langkahnya untuk sekedar melihat
ke belakang. Memandangi satu persatu orang yang sibuk dengan agendanya masing-masing.
Tak ada apa-apa, selain hiruk pikuk yang sangat biasa antara para penjelajah dengan koper dan
ransel mereka. "Kenapa, Ror?", tanya Erris saat Rory terdiam beberapa saat dan hampir ketinggalan.
"Nggak, nggak ada apa-apa...", Rory kembali berjalan, mengabaikan perasaan aneh saat ia
mungkin sudah mulai mengingat dengan baik pertemuan itu.
--Laras melambaikan tangan, memperhatikan dengan jelas kedua cowok itu sampai mereka tak
terlihat lagi. Setelah itu ia segera berbalik,dan mulai melewati keramaian antara orang yang
datang dan pergi saat ponselnya berbunyi.
Damar. "Pesawatnya udah langsung berangkat..untung mereka nggak telat....", Laras mulai sibuk bicara,
berjalan sambil memperhatikan sekitarnya, "Iya, aku langsung pulang! Kenapa sih mikirnya
yang nggak-nggak...Apa lagi sih"!...Harusnya kamu kerja...kita butuh uang, Mar!"
Laras menghembuskan nafas kesal saat mematikan telponnya. Ia berhenti sejenak untuk
menenangkan dirinya saat tiba-tiba dia terkejut, menemukan seseorang yang sangat ia kenali
melintas di depannya. Dalam jarak beberapa meter.
"Natha?", Laras mencoba memastikan bahwa ia tidak salah lihat meskipun sosok tinggi dan
langsing itu tidak mengenakan gaun putih membosankan lagi.
Natha terlihat mengenakan setelan jeans dan kaos longgar berwarna putih. Berjalan sendirian
keluar. "Natha!", Laras berlari mengejarnya.
Menerobos para rombongan tur yang berjalan dengan sangat pelan dengan koper mereka dan
menghalangi Laras yang berusaha keras untuk tetap melihatnya.
"Natha!!", Laras memanggil dengan lebih keras.
Tapi, sosoknya menghilang beberapa saat. Sebelum Laras melihatnya naik ke taksi yang
langsung membawanya pergi.
Laras kembali ke tempat di mana terakhir kali ia melihat Rory dan Damar. Seorang petugas
menghalanginya masuk meski ia mengatakan ada hal yang sangat mendesak.
Kepalanya terasa pusing. Mungkin karena tenaganya terkuras habis untuk berlari mengejar
Natha. Rasanya ingin berteriak, "Jangan ke Jerman! Natha di Indonesia!"
Tapi, semua tenaganya habis dan ia rubuh saat bersitegang dengan petugas bandara yang
melarangnya masuk. ooOoo BAB 24 Sawah dan Lumpur Natha menghela nafas, memandang dari jendela di mana ia melihat halaman rumput belakang
rumah yang sudah lama akrab dengannya hingga menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan
dari dirinya. Sebuah rumah tingkat dua yang seratus persennya terbuat dari kayu-kayu yang
kokoh dan hanya di-vernish sehingga tetap memperlihatkan warnanya yang alami, coklat tua
dan motifnya yang unik. Rumah ini juga di kelilingi halaman yang cukup luas, dengan rumput
dan tanaman-tanaman yang terawat dengan baik.
Ketika usianya sekitar 7-8 tahun, ia sering bermain dengan anak-anak sekitar. Anak-anak
kampung dengan logat jawa yang kental dan Natha senang berteman dengan mereka.
Melakukan permainan sederhana dengan nyanyian dan benda-benda di sekitar mereka seperti
batu dan boneka buatan tangan yang dibuat dari kain perca.
Seingatnya ia dan adiknya sering menghabiskan sepanjang siang di sana. Main ayunan dan juga
bertengkar memperebutkan sesuatu. Tapi, ketika masa liburan berakhir, mereka harus
meninggalkan Surabaya dan kembali ke Munich.
Ibu adalah wanita yang patuh kepada ayah yang egosentris. Semua harus menuruti apa yang
ayah katakan. Dan Ibu hampir tidak pernah mengeluh karena dia wanita Jawa. Kehilangan ayah,
berarti kehilangan tumpuan hidup satu-satunya. Dan rumah ini adalah tempat pulang sewaktuwaktu. Terakhir kali ke sini adalah setelah ayah meninggal. Seorang dokter kejiwaan
menyarankan ibu untuk pergi ke tempat yang tenang. Jadi, mereka semua pulang, bermaksud
memulai sebuah kehidupan baru. Tapi, ibu menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Saat ia tak sanggup merasa begitu kehilangan, ia memutuskan menyusul ayah.
Tepat di depan jendela ini, ibu menghabisi nyawanya. Dan Natha berdiri di pintu.
Menyaksikannya rubuh dengan mata membelalak.
"Natha, barang-barangnya mau Bi Ina taruh di sini atau kamar sebelah?", seorang ibu-ibu paruh
baya muncul di pintu itu dengan sebuah koper pink yang tadi ia tinggalkan di ruang depan.
Natha duduk di sisi ranjang dan memandangi wanita itu menyeret kopernya ke dalam.
"Ya, Bi. Di sini aja", jawab Natha tersenyum.
"Apa nggak apa-apa?", tanya Bibi itu lagi.
Natha menggeleng-geleng sambil menghampirinya, "Nggak apa-apa kok", ujarnya, "Saya udah
nggak apa-apa" "Kamu yakin mau tinggal di sini?", tanya Bibi lagi. "Di sini kampung lho, nanti kamu nggak
betah..." "Aku bisa tinggal di mana lagi, Bi", kata Natha, meyakinkannya agar tidak meragukan ketetapan
hatinya untuk tinggal di sini, meski ia tidak tahu sampai kapan.
"Mau dimasakin apa" Nanti Bibi bikinin",
"Nanti aja, Bi. Saya mau istirahat dulu",
Bibi Ina segera keluar. Meninggalkan Natha yang kemudian berpindah ke tempat tidur sambil
menyeret kopernya. Kemudian ia mulai sibuk mengeluarkan isinya, mencari-cari sesuatu yang ia
butuhkan saat ini untuk menenangkan diri.
Hanya selembar foto. Dia dan Rory, yang ia ambil diam-diam di kamar Rory saat menginap di
sana. Sebuah kenangan manis yang ingin ia peluk. Ketika mimpi buruk di rumah ini sudah
memudar, yaitu bayangan di mana Ibu yang tewas dengan kekecewaan mendalam di dekat
jendela sudah pergi. Sekarang ia di sini, di tempat yang sama di mana mimpi buruk dalam hidupnya bermula.
--Pagi-pagi sekali Natha berdiri di depan teras. Mengenakan kaos longgar dengan secangkir teh
hangat sambil memperhatikan siapa yang lewat di depan rumah. Kebanyakan dari mereka
adalah anak-anak berseragam sekolah serta petani dengan caping di kepala dan pacul di
pundak mereka.Udara pagi terasa begitu segar.
Natha masuk ke rumah setelah rasanya cukup bernostalgia dengan lingkungan bersahaja yang
dicintai almarhum ibunya yang berasal dari sini. Pergi ke dapur menemui Bibi yang sedang
membuat makanan dari singkong untuk Pak Maman, suaminya yang bekerja sebagai tukang
kebun. Suami istri itu sudah menjaga rumah ini bertahun-tahun dan ibu menganggapnya seperti
keluarga sendiri. Natha mulai membantunya mengerjakan pekerjaan rumah karena dia tidak
punya kegiatan lain. Ketika sendirian kerinduan kembali terasa. Yang bisa ia lakukan hanya memandangi foto lalu
memeluknya sampai ketiduran. Lalu keesokan pagi ia memberanikan diri mengikuti petani yang
melintas depan rumah pergi ke sawah. Untuk sekedar memperhatikan para petani bekerja di
musim tanam, seperti mengairi sawah, dan seekor kerbau mondar-mandir menarik bajak
dikendalikan seorang bapak-bapak yang memegang pecut.
Beberapa hari kemudian ibu-ibu mulai menanam padi. Natha ikut membantu saat ia merasa
sudah cukup akrab dengan mereka karena sering memperhatikan mereka bekerja. Jadi dia tidak
keberatan berlumuran lumpur yang mengotori tangannya. Orang-orang kampung nyaris tidak
mempercayai bahwa ada seorang gadis cantik dari kayangan mau mengerjakan pekerjaan kotor
itu. Mereka hanya tidak tahu, di Munich pun ia melakukan pekerjaan seperti ini. Mengurus
tanaman rumah kaca, bertahan dalam ruangan yang penuh pupuk kompos dengan bau busuk
seharian. Natha menyeka keringat sambil memandang sekitarnya, yang hanya berupa hamparan sawah
yang baru ditanami benih dan batas cakrawalanya adalah sebuah bukit hijau yang jauh seperti
pulau di tengah laut. Dan butuh waktu beberapa bulan sampai masa panen. Tapi, ketika saat itu
tiba mungkin dia sudah tidak di sini.
Besok Natha, kembali ke Jakarta.
Ketika matahari hampir di atas kepala, Natha naik ke pematang sawah. Dengan baju jelek yang
sudah kotor sama sekali dan boot karet tua yang kebesaran di kaki panjangnya. Ia berniat
pulang setelah pamitan dengan dua orang wanita yang harus mengerjakan beberapa hal
sebelum pulang. Lalu dia melihat seorang laki-laki, dengan setelan celana jeans, kaos dan jaket kulit berdiri di
kejauhan. Tampak mendekat ke arahnya dengan perlahan. Ia tampak berusaha keras melewati
jalanan tanah berlumpur pematang sawah. Dengan terburu-buru sampai ia nyaris jatuh.
Natha terdiam di tempatnya hingga dia sampai di hadapannya lalu tersenyum lega.
--- Semua yang telah hilang belum akan kembali. Namun hanya dengan perasaan bahagia ketika
melihatnya menjadi bukti bahwa Rory tidak cukup membutuhkan ingatannya untuk tahu
seberapa dalam ia mencintai Natha. Ia membayangkan dirinya sebelum ini, yang datang jauhjauh ke Jerman dengan frustasi dan jauh sebelum itu ia menjadi kacau karena tak mampu
mengingat apapun. Diagnosa dokter juga lebih mencengangkan, yaitu amnesia permanen yang
terdengar menakutkan, tapi sekarang sudah tidak lagi.
Namun, berhadapan dengan Natha sekali lagi membuatnya bingung. Karena Natha masih
memandangnya tanpa berkedip dengan perasaan campur aduk. Bahagia karena melihatnya lagi
dan sedih karena lagi-lagi Rory yang mencarinya dan bukan sebaliknya. Juga terharu karena
Rory sudah mengingatnya. Rory mulai kasak kusuk, matanya liar, tidak pernah terlihat kikuk. Lupa bahwa ia biasanya akan
menggerutu, mencak-mencak lalu menyeret Natha pergi bersamanya. Tapi, ia malah hanya
garuk-garuk kepala, bingung, seperti anak SMA yang akan menyatakan cinta pada teman
sekelasnya. Pada akhirnya, ia melakukan lebih dengan menarik Natha ke sisinya.
Ibu-ibu petani menahan nafas sesaat sebelum geleng-geleng kepala. "Anak jaman sekarang...",
mereka saling bergumam. Natha mendengarnya dan menjadi malu. Ia pun hanya memberi Rory beberapa detik
melegakan, sebelum mendorongnya agar menjauh.
Rory mengernyit, syok, "Apa"!", teriaknya tidak habis pikir, "Aku cuma dapat ini setelah kamu
tiba-tiba pergi"! Aku nggak ingat tapi aku tahu ini sering terjadi! Kamu nggak bosan apa?"
Natha mendengus, "Kamu pikir ini di mana"! Hotel"!", balasnya, melirik ibu-ibu yang saling
bergosip sambil senyum-senyum, menggoda mereka. Saking malunya, ia malah pergi,
meninggalkan Rory, "Renatha!", panggil Rory sambil mengikuti Natha yang tampak gelisah, "Tunggu!"
Natha tersenyum, meski ia tidak mau menoleh, karena akan ketahuan bahwa ia ingin melompat
kegirangan tapi tempatnya tidak mendukung kegilaan di pikirannya. Berpura-pura tenang
adalah senjatanya untuk sementara ini. Namun, begitu menoleh ke belakang karena
mendengar suara berisik cipratan air, ia menemukan Rory berkubang dengan lumpur.
Rory tergelincir saat berlari mengejar Natha! Jatuh ke sawah dan sekarang terlihat
menggelikan. "Sial!!", jeritnya sebal dan jijik bersamaan. Ia bangkit memandangi dirinya yang
kotor lalu Natha yang cekikikan
"Aku belum sembuh, Natha!", protesnya, sambil merentangkan kedua tangannya dan
memandangi dirinya sekali lagi. Sadar, ponselnya di dalam saku, ia segera mengeluarkannya. Itu
makin membuatnya kesal! "Udah, beli aja yang baru", ujar Erris yang tiba-tiba sudah ada di samping Natha. Bersama
Henrietta yang tertawa-tawa sambil menggandeng lengannya.
Mereka tidak benar-benar serius kan", Natha memandang mereka sangsi.
"Natha!", teriak Rory saat ibu-ibu menertawai kekonyolan pada dirinya. Tapi, Natha malah
berpelukan dengan adiknya. Membiarkan Rory beberapa saat di sana sebelum Erris
membantunya naik. --"Natha mana?", Bibi Ina menanyai Henrietta yang sedang santai di ruang depan sambil nonton
TV. Ia melirik wanita itu sebelum memandang layar TV dengan bosan.
"Di kamar", jawab Henrietta.
"Trus Den Rory-nya?", tanya Bibi Ina lagi. Seingatnya tadi, laki-laki itu datang dengan pakaian
yang sangat basah dan tetesan lumpur mengotori lantai kayu. Bibi Ina baru selesai
membereskannya dan sekarang ia bermaksud menanyakan pakaian Rory yang kotor karena
Natha minta tolong untuk mencucikannya.
"Di kamar", jawab Henrietta acuh tak acuh.
Bibi Ina langsung pergi, ke kamar Natha.
Tiba-tiba Henrietta melompat dari kursinya, mengejar Bi Ina yang baru naik lantai dua. Ia sadar,
Bibi Ina belum boleh ke sana, kalau tidak ingin, wanita tua itu menjerit histeris dan pingsan di
depan pintu begitu membukanya.
"Bi Ina, nanti aja...", ujar Henrietta penuh maksud.
Bi Ina mengernyit, "Tapi,...bajunya..."
"Sst...!", ujar Henrietta lagi, sambil membawanya pergi. "Duh, Bi Ina, masalah baju ganti nggak
usah dipikirin. Dia udah biasa tuh nggak pake baju..."
Bi Ina kelihatan tidak yakin tapi akhirnya menyerah. "Lho kok..." Masa tho?", ia tidak mengerti
akan sikap Henrietta yang aneh.
"Biar aku yang ambilin..." ujar Henrietta.
"Bener ya?", Bibi Ina meyakinkannya, lalu geleng-geleng kepala. Lalu pergi ke luar menemui
suaminya yang lagi membetulkan pagar belakang rumah.
Henrietta menghela nafas lega saat melihat Erris kembali membawa satu kantong belanjaan.
"Kamu dari mana sih?", tanya Henrietta sambil menghampirinya dengan riang.
"Rory mana?", ia malah bertanya, "Aku beli pakaian ganti"
"Baik banget...", komentar Henrietta menatapnya penuh arti. "Lagi sama Natha di atas"
"Oh", Erris segera berlalu dan juga bermaksud naik ke lantai dua.
Tapi, Henrietta menarik tangannya. "Kayaknya Rory nggak butuh baju ganti deh", godanya yang
menginginkan Erris untuk bersamanya.
Erris menghela nafas lelah. Ia mengerti mungkin sesuatu tengah terjadi di atas sana. Dan
dengan hampa ia menatap Henrietta yang bersungguh-sungguh kepadanya. Seperti godaan.
--"Aku amnesia permanen", kata Rory padanya.
Natha baru menyeret ember berisi pakaian kotor Rory dari kamar mandi. Genggamannya
terlepas dari gagang embernya, berikutnya ia berdiri di depan Rory yang berdiri di pintu balkon
kamar sambil memandang keluar. Natha tidak percaya tapi pasti terkejut.
Rory terdengar menarik nafas panjang, saat menatap Natha. Ada semacam perasaan lega,
seperti baru kembali dari hutan setelah tersesat sangat lama tanpa makan dan minum. Di mana
yang hanya keyakinan yang membuatnya bertahan.
"Aku nggak bisa ingat apa-apa soal kita", jelasnya, dengan raut sedih. Dengan memegangi
kedua pipi Natha dengan tangannya, menatapnya dalam-dalam sebelum dahi mereka samasama bertemu, terasa sangat melegakan, "Tapi, aku percaya, aku mencintai kamu dan masa lalu
aku nggak lebih penting daripada kamu..."
Natha mengangguk, apa yang ia dengar tidaklah semenyedihkan saat pertama kali
mengetahuinya. "Maaf...seharusnya aku nggak pergi, aku terlalu sering pergi dari kamu,...",
setetes air mata membuatnya tertunduk, "Aku pikir, aku hanya perlu kasih kamu waktu untuk
ingat semuanya karena dokter bilang hanya sementara. Aku merasa bersalah, setiap kamu lihat
aku kamu kesakitan untuk mengingat semuanya, lagipula...semuanya gara-gara aku...kamu
dipukuli sampai sekarat..."
"Aku udah nggak apa-apa...", ujarnya, sambil tertawa pelan, memandangi Natha yang tampak
antara sedih dan bahagia. Rory berusaha tersenyum untuk membuatnya lebih baik lalu
memeluknya. "Kalau kamu nggak pergi, aku nggak akan tahu apa yang hilang dan bikin
pikiranku kacau...aku mungkin akan terus menyakiti kamu karena rasanya aku sering ngelakuin
itu, lihat kamu nangis, hatiku sakit...kalau kamu nggak pergi, aku nggak akan sadar, aku lebih
butuh kamu daripada masa lalu-ku yang hanya bisa nyakitin...aku nggak akan tahu, yang aku
butuhkan adalah kamu bukan masa laluku..."
Natha melepaskan kedua tangannya dari Rory, lalu memberinya senyuman yang sama, meski
air matanya masih belum terhapuskan dan masih terus mengalir, sekalipun Rory
menghentikannya, "Jadi kamu masih nggak ingat?", ia bertanya, setelah menghela nafas cukup
panjang, "Kamu nggak ingat, menyekap aku di rumah kontrakan kecil yang jorok banget hanya
gara-gara aku nggak bisa bilang maaf dan terima kasih?"
Rory mengernyit, "Kayaknya nggak butuh alasan kenapa aku nggak ngelakuin hal aneh itu",
komentarnya, "Kamu cantik"
"Terus kamu juga nggak ingat kita berantem hampir tiap hari?",
Rory menggeleng, "Aku nggak ingat, tapi aku yakin itu benar terjadi, karena kamu agak
ngeselin", jawabnya sambil cekikikan dan Natha cemberut. Rory mengecup pipinya lembut, lalu
"Aku cuma ingat satu hal tentang kamu..."
"Apa?", Natha mendengarkan dengan sungguh-sungguh, berharap itu adalah sesuatu yang
manis. Tapi, bisikan Rory malah membuatnya kesal, sekaligus malu. Sontak ia menghindar
dengan pipi yang memerah. "Kamu...bodoh!!", makinya.
Rory cekikikan, "Kamu kenapa sih"!".
Natha makin gusar Rory mengikutinya dan salah tingkah.
"Kamu bilang kita udah biasa ngelakuinnya"! Siapa sih yang nggak bakal teler tiba-tiba ditinggal
habis begituan"!"
"Kamu bisa diam nggak sih"!", cetus Natha gerah, mulai pura-pura mencari sesuatu untuk
dilakukan sebelum Rory makin membuatnya malu sendiri. Ia sama sekali tidak ingin menoleh ke
belakang, di mana ada Rory yang cuma pakai handuk di badannya. Tapi, sebelum sempat
menyeret ember pakaian kotornya, Rory sudah menangkapnya. Memeluknya dengan erat dan
kepalanya di atas bahu Natha.
"Jangan pergi...", pintanya manja, di telinga Natha. Sebelum melepasnya sejenak, dan
membalikan tubuh Natha agar dapat memandangnya lebih dekat. "Aku nggak ingin kehilangan
kamu, kalau perlu aku akan mengurung kamu selamanya..."
"Aku nggak akan ke mana-mana, Angel...Sampai sekarang pun, kamu masih mengurung aku
kan?", balas Natha yang tidak lagi bicara begitu bibirnya terkunci. "I love you, Angel..."
ooOoo Epilog Kembali ke Jakarta, tempat semuanya dimulai...
Damar tampak berseri. Ia menyambut kedatangan teman-temannya dengan ekspresi gembira
setelah hampir sebulan tidak melihat mereka.
"Bentar lagi gue jadi ayah!", katanya dengan kebahagiaan yang meluap-luap.
Rory dan Erris tersenyum bahagia.


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah walaupun gue hampir kehilangan gara-gara Laras pingsan di bandara ngejar lo berdua",
tambahnya dengan sinis. "Sory deh...", ucap Rory cekikikan.
"Lo udah pada makan belum?", tanya Damar pada mereka.
Keduanya sama-sama diam. Terlalu segan untuk bilang tidak. Tapi, mereka hanya terlalu
berprasangka buruk. "Hari ini gue yang masak", ujar Damar yang langsung tahu bahwa baik Erris atau Rory trauma
dengan masakan buatan Laras.
Laras tidak terlihat. Walaupun tidak terlihat tapi sebenarnya ia ada untuk mendengarkan
percakapan teman-temannya. Laras berdiri di depan pintu kamar yang tidak tertutup rapat.
Sedikit mengintip keluar, dan melihat Damar tertawa seakan ia adalah lelaki yang paling
bahagia di dunia. Setetes air mata jatuh di sudut matanya yang bengkak. Ia merasa tidak
berdaya dan takut, kebahagiaan itu, suatu saat akan berubah menjadi derita panjang.
Mereka sudah berubah. Laras telah memutus rantai ikatan dengan mereka sejak ia
meninggalkan Indonesia beberapa tahun lalu. Dengan mengingat semua yang terjadi setelah
itu, apakah Laras masih pantas disebut sahabat" Dan sekarang semuanya semakin rumit,
dengan kehadiran janin dalam rahimnya.
"Trus lo dan Natha gimana?", tanya Damar.
"Natha tetap tinggal di Surabaya. Soalnya dia nggak akan betah tinggal di sini.", jelas Rory,
"Sekarang gue kuliah sambil kerja juga bantu-bantu bokap"
"Bagus, lo gimana, Ris?"
Erris mengernyit. "Gue?", ia tampak bingung.
"Iya, lo sama adiknya Natha", jelas Damar.
"Oh", reaksinya begitu datar, "Biasa aja"
"Biasa apaan"! Sok misterius banget lo!", celetuk Rory. "Percuma lo sembunyiin juga gue tahu
lo nikmatin saat romantis di Jerman sama Henrietta sempai Rory dianggurin"
"Nggak juga...", Erris terlalu datar dan tak terbaca.
"Lo ada masalah?", tanya Damar yang menyadari bahwa keadaan Erris sedang tidak baik.
Banyak diam dan selalu kelihatan sedang berpikir.
Erris berdiri tiba-tiba, "Gue mau pulang", katanya, "Gue capek pulang kerja"
Damar dan Rory melongo. Memperhatikan sikapnya yang aneh.
"Oh ya, Mar...", kata Erris sebelum pergi, "Selamat ya bentar lagi lo jadi ayah."
Damar malah mengernyit. Aneh.
"Jaga baik-baik", ia berpesan sebelum pergi. "Jangan sampai lo nyesal"
Mengurung Bidadari " End
ooOoo Pendekar Sakti Suling Pualam 8 Wiro Sableng 119 Istana Kebahagiaan Pendekar Baju Putih 7
^