Pencarian

My Silly Engagement 1

My Silly Engagement Karya Dewi Sartika Bagian 1


My Silly Engagement Karya : Dewi Sartika Bab 1 Kata orang, bila bermimpi digigi ular, tandanya seseorang akan mendaptkan jodoh. Apalagi
kalau ular yang menggigitnya berukuran besar, jodoh yang menghampiri pun biasanya besar
alias orang kaya. Tapi mimpi digigit ular juga memiliki arti yang lain. Itu juga tanda akan
datangnya masalah. Jadi kalau menggigit ular besar, masalah yang dating pun besar.
Hehehe"boleh percaya, boleh nggak"
Namanya Puput Amelia.Usianya kini belum genap 17 tahun. Saat ini, dia sekolah di SMU negeri
di pinggir kota. Puput tidak percaya pada arti mimpi. Tapi hari itu setelah mimpi digigit ular rasa
tidak percayanya perlahan-lahan mulai meluntur. Di hatinya, timbullah praduga mimpi itu adalah
awal terjadinya hal-hal yang luar biasa disalam hidupnya yang super biasa-biasa saja.
Hari ini Puput kesiangan. Nggak biasanya cewek itu bangun setelah matahari mulai
menampakkan diri seutuhnya di permukaan bumi. Tergesa-gesa Puput mengambil handuk yang
tersampir di sisi ranjang tidurnya yang kecil.
Sebelah kiri kamar itu, tampak lemari pakaian yang engsel pintunya sudah tidak berfungsi
dengan benar pintunya mengangga. Di dalamnya, terlihat tumpukan pakaian yang berantakan,
nyaris seperti tidak pernah tersentuh tangan. Buku-buku tersusuan tidak beraturan di bawah
meja kecil. Jenisnya kalau tidak komik, pasti novel horor. Hampir seluruh dinding kamar tidur itu
tertutup oleh poster-poster segala bentuk monster lucu.
Sehabis mandi Puput segera mengenakan seragam abu-abunya. Seperti sepatu kets butut yang
bagian pinggirnya sudah koyak dan solnya sudah mulai lepas tidak ketinggalan menghiasi kaki
cewek kelas 2 SMU itu. Disambarnya tas dekat pintu dan segera berlari keluar rumah. Melewa
meja makan merangkap ruang kekuarga, Puput mengerling tempe goring diatas meja yang
mengundang selera. Hhmmm"yummy, pikirnya.tanpa tedeng aling-aling, langsung tempe itu
diserbu tanpa kompromi. Tampak bibinya, seorang wanita setengah baya berambut keriting dengan postur tubuh pendek
dan sedikit gemuk sedang bersiap membuka warung lotek yang ada di depan beranda rumah.
Pantatnya yang tambun seprti beduk bergoyang-goyang kiri-kanan. Puput menghampiri bibinya,
mencium tangannya dan hh, tidak lupa pipi juga, lalu belari ke halaman rumah untuk mengambil
sepeda. "Sial! Bannya kempes!" gerutu Puput sambil menendang ban sepedanya hingga mengaduh
sendiri. Lagian, siapa suruh tuh sepeda ditendang-tendang! Tergesa cewek itu berlari keluar
rumah menuju jalan besar. Napasnya tersengal-sengal. Dengan cepat, Puput menyetop angkot
pertama yang lewat. Citt". Puput langsung meloncat masuk. Jeduggghhh"Alhasil dahinya pun sukses mencium pinggiran
angkot. Lumayan"seluruh penghuni angkot langsung menoleh kearahnya sambil meringis atau
menahan senyum. Hehehe"malunya itu lho!!
Sampai di gerbang sekolah, Puput dicegat Pak Ruli, satpam sekolah. "Halo Neng Puput, telat
lagi?" sapa Pak Ruli yang langsung membuka pagar sekolah. "Cepetan masuk!Sudah lima belas
menit,"kata Pak Ruli lagi sambil mengukurkan pergelengan lengan kirinya, memperlihatkan jam.
"Iya Pak, terima kasih!" Puput segera berlari masuk. Sesampainya di lapangan, guru piket
mencegat Puput dan memaksa Puput mengisi daftar keterlambatan. "Lagi-lagi terlambat, puput.
Sekarang apa alasan kamu?" Tanya guru piket dengan galak. "Gini ceritanya, Pak. Semalem
saya mimpi digigit ular"Besar banget!!! Sebesar pohon kelapa, Pak. Ya" sayanya jadi bangiun
kesiangan gitu, trus karena ban sepeda saya masih kempes, ya terpaksa deh naek angkot". Eh
tuh angkot ngetem pula! Tidqk paham kalau saya lagi buru-buru!"cerocos Puput panjang lebar.
"Kamu ini! Kemarin, alasannya ban sepeda kempes, jadi harus memompa sepeda dulu. Kemarin
yang lalu, alasannya ada tabrakan di depan rumah, jadi kamu nonton dulu! Tidak pernah ada
satu pun alasanmu yang benar. Istirahat nanti, kamu menghadap ke sini!"
"Ya ampun, Pak. Kok pakai prosedur rumit segala sih?" Puput meringis. "Siapa suruh kamu
terlambat?" "Iya"nggak ada. Tapi kan ban sepeda saya kempes dan di jalan terjebak macet.
Pak, udah dong"! Saya bias dihukum Pak Cipto nih"." "Oh jam pertama matematika ya?" Guru
piket itu tersenyum membunuh. "Ya sudah, sana ke kelas." Puput mengganguk, sedikit meringis
membayangkan hukuman paling memalukan dalam sejarahnya di SMU tersebut. Wah, apa kata
teman-temannya nanti di kelas"pikir Puput sambil berlari kek kelas.
Pak Cipto berdehem ketika Puput membuka pintu kelas. Semua mata temannya terpaku
menatap Puput yang baru masuk. Senyum mereka dingin dan beku kayak es batu. Puput
membalas senyum teman-temannya dan tersenyum malu-malu melihat Pak Cipto.
Sekali lagi Pak Cipto berdehem penuh wibawa,"Hmmm, telat lagi Puput" Sudah berapa kali
kamu telat pelajaran Bapak" Lihat sudah dua puluh lima menit. Kamu tahu hukumannya kan"
Hukuman langganan?" "Iya, Pak," ujar Puput perlahan. "Kamu sudah siap?" Tanya Pak Cipto.
Tangannya tampak dipukul-pukulkan ke mistar yang dipegangnya. "Kalau begitu, kita semua
bias menikmati hiburan sejenak. Silakan!" Pak Cipto menyingkir ke samping, memberi ruang
pada Puput untuk berdiri di muka kelas.
Dengan lagak cuek dan bergaya bak seorang penyanyi terkenal, puput memasang gaya,
berdehem sejenak, lalu menyanyi. "Mencintaimu"seumur hidupku"selamanya?" Puput
menyanyi penuh semangat, ditambah sorak-sorai teman-temannya. Satu lagu selesai.
"Lagi"lagi"lagi!!" Semua anak sekelas bersorak dan meminta Puput menyanyi lagi. "Nah
Puput, spertinya para penggemar kamu menyukainya. Tidak masalah kan kalau jadi seleb
sebentar"! Silakan kamau menyanyi lagi. Itu permintaan teman-temanmu," ujar Pak Cipto sambil
tersenyum di mejanya. "Tapi"," protes Puput, tanda tidak setuju. "Tidak ada tapi-tapian.
Hukuman baru berakhir kalau menyanyi dua lagu," perintah Pak Cipto galak. Sekarang
hukumannya jadi dobel. Puput mengangkat bahu. Sialan! Tapi dituruti juga permintaan gurunya.
"Pelangi"pelangi, alangkah indahnya"merah kuning hijau?"
Belum selesai Puput menyanyi, suara gaduh dan riuh-rendah terdengar menggema di kelas.
"Huh, jelek, jelek!!!" teriak para siswa sambil melempar gulungan kertas kecil ke arah Puput.
Reflek, Puput melindungi wajahnya dari lemparan kertas. Dalam waktu singkat, kelas pun penuh
kertas-kertas berserakan. Jadilah semua anak dapat jatah harus menyapu lantai sampai bersih,
termasuk Puput. Hehehe"rasain! Jadi ada teman deh gue!!! Puput tersenyum jail.
Selesai pelajaran matematika Puput meloncat keluar dari temapt duduknya dan menghampiri
Dody, sohib baiknya yang duduk di pojok kiri bangku ketiga. "Suara kamu makin bagus Put," puji
Dody ketika Puput sudah duduk disemapingnya. "Baru tahu ya?" seru Puput dengan pongah.
"Sayang pas lagu terakhir ending-nya nggak seru!" komentar Dody sambil tertawa. "Huh, cuma
dua lagu itu saja yang aku inget?" "Yang bener?" Dodi dengan gemasnya menarik rambut
Puput yang dikucir dua. Puput mengelak dengan licahnya. "Biarin! Wee!" Puput menjulurkan
lidahnya. Dody geleng-geleng, lalu merogoh tas dan mengeluarkan coklat. "Mau?" "Thanks! Tau
aja deh kalau akau belum sarapan. Kesiangan tadi." "Kesiangan" Tumben, biasanya kesorean!!"
cibir Dody. "Ngeledek"!" "Becanda, Non! Idih gitu aja ngambek!" Dody mengancungkan bogem
mentahnya. "Aku mimpi aneh, Dod." "Mimpi apa" Mimpi ketemu pangeran tampan atau mimpi
jadi orang kaya?" goda Dody. "Serius, Dod!" Puput berubah kesal. "Lho, serius nih" Aduh put,
biasanya kamu nggak percaya sama yang begituan?" "Iya sih, mulanya. Tapi Dod, mimpinya
seram banget. Aku mimpi digigit ular. Mana ularnya gede lagi," ujar Puput sambil merentangkan
tangannya. "Nih, segini gedenya."
"Alah, cuma mimpi. Mana ada ular segede itu" Tapi kalau mau jelasnya, Tanya aja Rita. Dia
suka baca yang namanya buku primbon. Kali aja dia tahu!" Dody celingak-celinguk mencari Rita.
ketika yang dicari kelihatan, segera dipanggilnya, "Ta, sini deh!" Dody melambai kearah Rita
yang sedang mengobrol dengan teman sabngkunya. Rita menengok lantas berjalan
menghampiri Dody dengan wajah sedikit bingung. "Ada apa sih, Dod?" tanya Rita. "Eh kamu kan
sering baca buku primbon"! Kamu pasti banyak tahu tentang arti mimpi kan" Nih, Puput mimpi
digigit ular besar. Dia pengen tahu artinya," terang Dody. "Wah mimpi mujur kamu, Put"!" ujar
rita dengan ekspresi ceria. "Mimpi digigit ular bias berarti bakal dapat jodoh, apalagi kalau gigit
ular gede. Wah"jodohnya mungkin tajir"," tambah Rita. "Benar tuh, Ta?" tanay Puput setengah
berteriak. Ada naada senang di suaranya. "Menurut buku yang aku punya sih begitu. Tapi"."
Wajah Rita mendadak berubah serius. "Lho kok ada tapi-tapinya segala?" Puput mengawasi
dengan sedikit was-was. "Sebenarnya mimpi digigit ular itu ada dua arti. Yang pertama yah itu,
dapat jodoh. Tapi yang kedua bisa berarti akan ada masalah besar mendekat." Masalah"
Alamak, itu sih bukan kabar baik! Puput memandang Dody dengan ragu, tapi Dody dengan
bijaksana segera menepuk lengan Puput "Alah Put! Itu cuma mimpi! Jangan dipikirin deh"!
Kamu kan biasanya nggak percaya yang begituan." "Yah, mulanya sih nggak percaya, tapi lamalama kepikiran juga. Mana ularnya gede banget. Mungkin masalah yang akan dating juga gede.
Iya kan, Ta?" tanya Puput. "Bisa jadi!" jawab Rita. "Eh Ta, jangan nakut-nakutin si Puput dong.
Dia kan penakut?" Dody mendelik kepada Rita. "Lho, aku kan hanya ngejawab pertanyaan
kamu doing. Kalau masalah itu sh, ya aku kan nggak tanggung akibatnya!" ucap Rita membela
diri. "Yah, mungkin aja bukan masalah. Saiapa tahu kamu malah dapat jodoh, Put. Eh kalau
jodohnya tajir, bagi-bagi yah," goda Dody yang disambut dengan cubitan Puput. "Sialan lu!"
teriak Puput. Belum lagi Puput menghantamkan tinju ringannya ke pundak Dody, Bu Nani, guru
Bahasa Indonesia, sudah masuk ke dalam kelas. Segera Rita dan Puput kembali ke tempat
duduknya. Hari itu tetap berjalan seperti biasa. Puput tetap ceria dan spertinya mimpi tersebut terlupakan
begitu saja, hanya sebuah bunga di tidur Puput. Sepulang sekolah, Puput ikut membonceng
sepeda Dody. Kalau pulang naik angkot lagi, ongkosnya lumayan, mending kan buat ditabung.
Kebetulan rumah Dody terlalu jauh jaraknya dari rumah Puput.
"Makasih tumpangannya, Dod. Kalau pulang jalan kaki kan capek." ujar Puput sambil
mengetatkan lengannya pada pinggang Dody. "No problem, Miss Puput. Kebetulan juga aku niat
ke rumah kamu. Mau beli lotek. Nyokap pesan tadi pagi." Jawab Dody sambil membelokkan
sepedanya ke arah rumah Pupt.
Ketika sampai di depan rumah yang tidak seberapa besar itu, Puput dan Dody terkejut melihat
sebuah sedan silver metalik terparkir di halamannya. Dody memarkir sepedanya tepat dekat
sedan tersebut. Mereka berdua saling berpandangan bingung.
"Wah ada tamu, Put. Sedan pula," ujar Dody dengan decak kagum. "Ada apa ya?" tanya Puput
kebingungan. Diamatinya sedan itu dengan penasaran. "Kalau gitu aku pulang aja, Put. Nanti
aku balik lagi deh!" Dody segera memutar sepedanya kembali. "Eh jangan lupa ada PR!"
teriaknya dan disambut anggukan Puput.
Puput memandang sepeda Dody yang semakin menjauh. Lalu, dipandanginya lekat-lekat mobil
tersebut sambil mengangkat bahunya. Ada apa ya" Siapa tamu yang datang ke rumah"
Perasaan Paman dan Bibi nggak pernah punya teman orang kaya.
Puput merasa cemas. Entah kenapa dia jadi ingat mimpinya semalam. Tiba-tiba tubuhnya
menggigil". Apa akan ada masalh" Dengan perasaan was-was, Puput masuk kedalam rumah.
Di ruang tamu yang sempit dengan kursi sofa yang sudah menyusut ke bawah, Pupt melihat Bi
Nurma duduk berhadapan dengan dua orang lelaki berperawakan sedang. Pakaian mereka rapikemeja, dasi dan jas hita. Yang seorang memakai kacamata dan terlihat lebih tua, yang satu lagi
masih muda. Diatas meja terhidang dua gelas teh. Koper milik kedua orang tersebut terletak
disusut meja. Kedua orang berpenampilan rapi tersebut tersenyum ketika Puput mengucap
salam dan masuk ke ruang tamu.
"Ini anaknya, Pak," ujar Bibi Nurma sambil menunjuk kearah Puput dengan sikap sopan. "Puput,
duduk dulu, Nak," pinta Bibi Nurma. "Bapak-bapak ini dating ke sini untuk menemuimu, Put."
Dahi Puput mengerut, heran. Laki-laki yang berkacamata segera berdiri dan menjabat tangan
Puput. Puput membalas jabatan tangan tersebut dengan canggung. "Selamat siang, Nona
Puput," ujar laki-laki tersebut. Suaranya tampak ramah.
"Siang," jawab puput curiga. Puput melihat Bibi Nurma memberi isyarat padanya untuk segera
duduk. Dengan patuh Puput pun ikut duduk. "Oh iya, kenalakan ini Pak Iskandar, pengacara,"
jelas Bibi Nurma, tepat sebelum Puput bertanya. Pengacara" Hei ada apa ini" Puput jadi
semakin bingung. "Pengacara?" desisnya. Dia memandang kedua orang yang duduk di
depannya. "Ah, iya! Kenalkan saya Isakandar dan ini asisten saya, namanya Firman. Kami
kemari sehubungan dengan surat wasiat yang ditinggalkan oleh ayah Nona, sekaligus sebuah
surat perjanjian yang melibatkan diri Nona Puput," jelas Pak Iskandar.
"Apa" Surat wasiat" Tapi Papa udah meninggal lama, sepuluh tahun lalu. Jangan-jangan". Apa
maksud Bapak mungkin berkaitan dengan utang yang dimiliki Papa?" puput mulai bergetar.
Jantungnya menjadi tidak terkendali. Kalau tentang utang, Puput merasa tidak mungkin bias
membayarnya. Bayar"! Untuk hidup sehari-hari saja sudah syukur bias makan dan sekolah.
"Yah, bias dibilang begitu"." "Aduhhh! Kalau menyangkut utang, maaf-maaf saja"!" teriak
Puput menggenggam tangan bibinya erat. Apa ini benar-benar buruk" Apa papa meninggalkan
utang yang akan membebani dirinya.
"Tenang dulu, Nona. Ini tidak seperti yang Nona kira. Memang ini bisa juga dibilang merupakan
utang, tapi tidak seperti yang Nona perkirakan." "Pak, tolong jangan membuat keponakan saya
ketakutan. Saya juga ketakutan mendengarnya. Jadi tolong berbicara yang jelas," ujar Bibi
Nurma tidak sabar. "Baiklah. Begini Bu Nurma, keponakan ibu yang bernama Puput, benarkan namanya Puput
Amelia?" Tanya Pak Iskandar yang dijawab anggukan Puput dan Bibi Nurma membenarkan.
Setelah menerima pembenaran tersebut, Pak Iskandar meneruskan penjelasannya. "Nona
Puput, ayah nona, Bapak Mahmud, telah membuat surat perjanjian yang disepakatinya dengan
Bapak Wijaya eam belas tahun yang lalu. Surat itu telah disahkan oleh pengacara, yaitu saya
sendiri, sehingga perjanjian itu memiliki kekuatan hokum untuk dilaksanakan oleh pihak yang
terbebani perjanjian tersebut."
"Perjanjian?" mulut Puput berdesis heran. "Ya, di dalam perjanjian itu Pak Wijaya menyetujui
permintaan Pak Mahmud untuk menjodohkan anak perempuan pertamanya yang bernama
Puput Amelia dengan anak Pak Wijaya yang pertama, yaitu Andra Wijaya. Disini, juga tertulis,
perjanjian ini harus dirahasiakan dari kedua anak tersebut sampai Puput, yati nona sendiri,
berusia 17 tahun. Saat itulah, perjanjian ini dibacakan, baik Puput Amelia sendiri maupun Andra
Wijaya. Dan saat nona Puput berusia 19 tahun atau lulus dari SMU maka Andra Wijaya
diwajibkan menikahi nona Puput. Perjanjian ini dibuat dengan disaksikan oleh dua orang saksi
dan seorang pengacara. Jadi perjanjian ini memiliki kekuatan hokum,"ujar Pak Iskandar.
Puput terkejut. Ekspresi wajahnya berubah dari ketakutan menjadi rasa kaget yang luarr biasa.
Saat itu, aliran darahnya seakan beku sekejap. "A"apa?" kata-kata itu meluncur dari mulut
Puput yang setengah menganga, "Yang benar saja, apa-apaan ini"! Siapa yang mau mematuhi
perjanjian konyol itu! Aku menolak!!!" Puput langsung berdiri dan setengah berteriak marah, "Itu
hanya perjanjian konyol yang dibuat papa waktu dia hidup. Tapi Pak Pengacara, sekarang papa
sudah meninggal. Aku nggak memiliki kewajiban untuk memenuhi perjanjian konyol itu!" Puput
marah. Rambutnya yang dikucir dua bergerak-gerak mengikuti leher dan napasnya yang tidak
teratur. "Puput, tenanglah," Bibi Nurma berusaha menenangkan Puput yang sudah mulai histeris.
Dengan lembut dituntunnya kembali Puput untuk duduk. "Kita belum mendengar penjelasan
seluruhnya," ujar Bibi Nurma dengan bijaksana. Mendengar perintah Bibi Nurma Puput pun
duduk di tempatnya semula. Kakinya sudah bergetar gelisah.
"Nona, memang kalau dipandang sekilas, perjanjian ini tampak konyol. Tapi seperti yang sudah
saya katakana tadi, perjanjian ini memiliki ketentuan hokum. Dalam kekuatan hukum, tentu ada
sanksi yang diberikan pada pihak yang tidak ingin mematuhi perjanjian ini. Supaya nona
mengetahuinya, di dalam perjanjian ini juga dituliskan apabila salah satu pihak membatalkan hal
yang sudah diterangkan di dalam perjanjian - dalam artian perjodohan ini " maka pihak yang
membatalkan akan dikenakan denda yang harus dibayarkan pada pihak yang dirugiakn
sebanyak dua ratus juta rupiah. Itu artinya apabila Nona Puput memutuskan untuk menolak,
Nona harus membayar denda sebanyak dua ratus juta rupiah pada keluarga Wijaya. Lebih
tepatnya pada Andra Wijaya," Pak Isakandar tersenyum. "Nah pertanyaannya adalah apakah
nona memiliki unag sebanyak itu untuk membayar denda tersebut?" tanyanya lagi masih dengan
tersenyum === Bab 2 Ruang makan sekaligus ruang keluarga itu tampak senyap, tanpa ada pembicaraan sama sekali.
Puput tidak selera menyendok makanannya. Padahal, hari ini Bibi Nurmamasak tempe bacem,
makanan favorit Puput. Lampu neon 15 watt yang remang-remang menambah suasana
kesunyian di ruangan itu.
Paman Asep, pamannya Puput tampak gelisah melihat sikap Puput. Memang ketika dia pulang
kerja, isterinya sudah menceritakan kejadian tadi siang dengan lengkap. Tentu saja paman
terkejut setengah mati. Dan dia tahu saat ini keponakannya masih shock dengan hal tersebut.
"Put, kok nggak dimakan tempe bacemnya" Itu kan kesukaan kamu. Lihat bibimu, dia sengaja
lho masak itu. Ayo dimakan dong," ujar paman berusaha mencairkan susana muram tersebut.
"Iya, Put. Biasaya kalau ada tempe bacem kamu pasti makan sampai dua piring kan?" timpal
bibinya. Puput, menggeleng, masih tertunduk sambil memainkan sendoknya. Bunyi denting
terdengar begitu nyaring. Paman dan bibi tampak gelisah memperhatikan tingkah Puput.
Paman menghela napas panjang, "Paman mengerti kenapa kamu jadi begini. Memang paman
nggak tahu detail kejadiannya. Tapi besok kita datangi pengacara itu dan menanyakannya lebih
jelas, bagaimana" Mungkin ada yang bisa kita lakukan," ujar paman membesarkan hati Puput.
Puput mendongak memandang pamannya. "Tapi paman, memangnya mash ada yang bisa
dilakukan?" tanya Puput pesimis.
"Ya, paman nggak bisa menjajikan banyak hal. Tapi mudah-mudahan masalahnya bisa lebih
jelas lagi. Paman juga masih penasaran tentang surat perjanjian itu." Puput tersenyum sedih.
Percuma, semua sudah terjadi. Kalau ada yang bisa dia lakukan, itu adalah mematuhi perjanjian
konyol tersebut untuk menghindari masalah yang akan melibatkan Paman Asep dan Bibi Nurma.
Puput bangun pagi seperti biasa. Dengan sepedanya, dia berangkat ke sekolah, bertemu
dengan teman-temannya, dan belajar seperti biasa. Hari itu benar-benar menjadi hari yang biasa
saja buatnya, seperti hari kemarin-kemarin, walau sebenarnya Puput menyadari hari-harinya
akan berubah. Awan mendung yang tdak terkira berapa lama akan bergelayut di dalam
hidupnya. Kini cewek itu duduk bertopang dagu di kelasnya. Sengaja Puput milih tempat pasa di pojok, biar
bisa sendirian. Tapi justru kelakuan Puput yang aneh bin ajaib itu menarik perhatian Dody, sohib
karibnya. Penasaran, Dody pun menghampiri Puput dan langsung bersuara. "Put, tumben nggak
ke kantin" Kenapa" Nggak ada uang yah. Gimana kalau aku yang traktir. Itu lho, pisang goreng
Mpok Siti, kesukaan kamu kan?" bujuk Dody. "Males ah."jawab Puput sekenanya.
Dody segera menarik bangku dan menyeretnya ke dekat tempat Puput duduk. "Aku perharikan
dari tadi kamu murung terus. Ada apa sih?" tanya Dody penasaran. Puput masih cuek, lalu
berkilah. "Nggak ada apa-apa kok, Dod!" "Bo"ong! Hei put, kita tuh udah temenan sejak SMP.
Aku tau banget kalau kamu begini pasti ada trouble yang cukup serius kan?" tebak Dody.
Ding-dong, tepat! Tapi lagi-lagi Puput menggeleng, menghindar. "Nggak kok, Dod," ujarnya
meyakinkan walau nada suaranya jelas berkata sebaliknya. Dody tertawa, lalu ditatapnya wajah
Puput lebih serius. "Aku nggak suka ngebahas ini. Tapi Put, tahu nggak, kamu tuh nggak pintar
bo"ong! Itu tuh," Dody menunjuk alis sebelah kiri Puput, "kalau kamu bo"ong alis kiri kamu gerakgerak."
Puput kaget. Diraba alisnya. Wajahnya pun semakin bertambah pucat. Puput tertunduk dan
merasa alisnya semakin berkedut-yang sebelah kiri maksudnya-dan Puput sadar, dia memang
bohong.

My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa" Kamu takut cerita?" bujuk Dody yang masih belum menyerah. Akhirnya Puput
mengangguk lemah. Dody tersenyum dan langsung menepuk pundak Puput dengan lembut.
"Kamu nggak percaya dengan Mister Dody ini?" tanya Dody yang disambut gelengan kepala
Puput. "Kalau gitu kamu bisa cerita, daripada ditanggung sendiri. Nanti cepat tua lho," canda
Dody. Puput tersenyum masam. Dengan suara yang hampir berbisik, diceritakannya kejadian kemarin
hingga tuntas. Semua itu kelaur dengan lancar dari mulutnya. Semuanya" bahkan,
perasaannya yang jadi risau karena kejadian tersebut juga tidak lupa diceritakan.
"Selama ini aku nggak percaya yang namanya ramalan, apalagi ramalan mimpi. Tapi kalau ingat
kejadian kemarin dan apa yang dikatakan Rita, kayaknya aku kena kutuk, Dod," "Kutukan"
Kamu percaya gitu, Put" Alah, itu sih namanya kebetulan. Kebetulan waktu kamu mipi eh,
besoknya ada masalah seperti itu. Hanya itu!!!" ujar Dody tegas.
Seandainya bukan kutukan, lalu yang kemarin apa" Puput bertanya di dalam hatinya, tapi urung
mengatakan pada Dody. Pikiran Puput masih tetap ruwet seperti semula, tapi agak lega karena
sudah ngomong sama seseorang.
"Aku setuju kalau itu perjanjian terkonyol yang pernah ada di permukaan bumi ini. Tapi kamu
harusnya bersyukur, Put! Jarang-jarang lho ada orang yang nggak perlu susah-payah lagi dapat
jodoh," celutuk Dody. "Hah! Yang benar saja. Dengar, ya Dod, aku aja bahkan nggak tahu wajah
orang yang dijodohkan denganku, belum lagi sifatnya. Siapa tahu dia memiliki kelainan, seperti
maniak atau yang lainnya. Iihhh, mikirinnya aja udah bikin enek dan takut!" Puput meringis ketika
mengucapkan itu. "Dan lagi aku masih muda. Masa setelah lulus aku harus nikah. Aku ingin
kuliah, lalu kerja. Kalau bisa ketemu cocwok yang bikin aku jatuh cinta, nah kalau gitu baru bisa
nikah. Bukan kayak gini"," urai Puput panjang lebar.
Mendengar penuturan Puput, Dody tercenung, "Kamu tuh bener-bener cewek banget ya!"
"Iyalah. Aku kan cewek!" Puput jadi sewot sendiri. "Tapi"bener juga. Eang nggak seru ya abis
lulus sekolah angsung nikah," komentar Dody. "Ya dan sekarang cita-citaku kandas di tengah
jalan karena perjanjian paling idiot yang pernah aku dengar!" Puput terduduk lemas. Matanya
sudah mulai berair. Aih, inikah jalan hidupnya" "Tapi Put, mungkin papamu punya lasan sendiri
ketika membuat perjanjian itu," tambah Dody sembil menatap Puput. "Iya, tapi apa?" "Nggak
tahu. Bukannya pengacara itu bilang yang tahu lasan itu hanya Pak Wijay, calon mertuamu itu,
tanyakan sama dia! Mungkin kamu bisa tahu jawaban dari semua ini," usul Dody.
Hei, benar! Puput merasa bego sendiri. Kenapa itu nggak pernah kepikiran sama dia ya" "Benar
juga, aduh, makasih atas sarannya, Dod. Paman berniat untuk menghubungi pengacara itu.
Nanti pas pulang sekolah aku mau ikut paman, sekalian tanya alamat Pak Wijaya." "Kalau gitu
nanti kita pulang bareng, ya Put?" ajak Dody. Puput mengganguk. Kringgg" Bel istirahat pun
berbunyi. Teman-teman Puput pun berhamburan masuk ke dalam kelas.
Pak iskandar menyambut kedua tamunya dengan ramah. Setelah bersalaman dan saling
memperkenalkan diri, Paman Asep menjelaskan tujuan kedatangannya. "Pak Isakandr, waktu
isteri saya bercerita tentang kedatangan bapak kerumah saya, saya sangat terkejut. Saya
sebagai wali Puput tentu ingin juga mendapat penjelasan yang sejelas-jelasnya." "Saya
mengerti. Saya akan memperlihatkan surat perjanjian yang telah dibuat ayah Puput dan Pak
wijaya enam belas tahun yang lalu. Bapak bisa mempelajarinya," Pak Iskandar menyerahkan
sebuah map yang tampak rapi pada Paman Asep. Puput ikut-ikutan melihat surat itu dengan hati
yang setengah berdebar. "Kemarin saya telah mendatangi rumah keluarga Wijaya. Dan pihak
mereka juga telah setuju. Anda bisa melihat surat persetujuan yang telah ditandatangani oleh
Andra Wijaya sendiri. Itu ada pada lembar keempat,"
Paman Asep segera membuka lembar keempat. Memang di lembar itu tertera surat persetujuan
yang ditandatangani Andra Wijaya untuk mematuhi semua perjanjian yang telah disepakati.
Dada Puput terasa sakit. Ya Tuhan, kukira kejadian kemarin hanya mimpi. Ternyata mimpi it
uterus berlanjut! "Tapi, Pak, perjanjian ini rasanya-apa ya namanya-konyol saya rasa," kata
Paman Asep sambil menyerahkan berkas tersebut pada Pak Iskandar.
"Yah, konyol memang. Saya sendiri sebenarnya merasa aneh. Tapi Pak Asep, perjanjian ini sah
secara hokum dan saya dipercaya untuk menjaga dan menjamin perjanjian ini berjalan dengan
baik. Ini tugas saya. Walau terlihat konyol, tapi ini nyata." "Lalu bagaimana dengan keponakan
saya"! Apa dia memang harus mematuhi hal ini?" "Itu harus dan dia sudah menyetujuinya,
kecuali bapak ingin membatalkannya dan membayar denda. Apa bapak mau?"
Paman Asep salah tingkah. Itu tentu tidak mungkin! Untuk hidup saja sudah pas-pasan. Paman
Asep mengalihkan pandangan matanya pada Puput. Hatinya iba melihat wajah Puput yang
murung. "Saya rasa bapak memang tidak mau, bukan?" ujar pengacara itu setelah melihat sikap
Paman Asep yang berubah diam. "Keluarga Wijaya pun tidak mau membayar denda tersebut.
Jadi perjanjian ini akan berjalan sebagaimana mestinya. Nah Puput, bagaimana?" pengacara itu
kini mengalihkan pertanyaan pada Puput.
Puput tertunduk, lesu. "Pak, saya nggak bisa apa-apa selain menyetujuinya, bukan?" gumam
Puput lirih. "Tapi, saya punya permintaan! Bolehkan, Pak?" pinta Puput setengah takut-takut.
"Silahkan," jawab Pak Iskandar dengan tersenyum. "Saya ingin bertemu dengan Pak Wijaya, ada
hal yang ingin saya tanyakan padanya," urai Puput.
"Wah, kebetulan sekali. Pak Wijaya juga meminta saya untuk menyampaikan keinginannya agar
kamu pindah dan tinggal di rumahnya. Kamu bisa bertanya apa saja yang kamu inginkan apabila
kamu telah pindah ke sana." "Apa?" Puput mengangkat kepalanya dan matanya yang besar
membulat terkejut. "Kenapa bisa begitu, Pak?" Paman Asep ikut bertanya.
"Yah, itu hanyalah sebuah penawaran yang diberikan oleh Pak Wijaya pada Puput. Pak Wijaya
pun menawari untuk membiayai sekolah Puput. Tapi ya itu syaratnya tadi. Puput diminta pindah
ke rumah Pak Wijaya." "Kenapa harus begitu?" Puput bertanya setengah emosi.
"Puput, Pak Wijaya hanya ingin memberikan kehidupan yang lebih baik. Dia sangat peduli
padamu," jelas pengacara tersebut dengan sikap tenang dan berwibawa. "Memang kehidupan
saya sekarang tidak lebih baik" Saya punya paman dan bibi yang selalu menyayangi saya. Apa
itu tidak hebat?" Puput masih terbawa emosi.
"Pak Asep, Puput, tenanglah. Sebagai informasi untuk anda berdua, keluarga Wijaya adalah
salah satu keluarga kaya yang cukup terpandang. Mereka memiliki bisnis perhotelan yang cukup
besar. Pak Wijaya berharap calon menantu anaknya adalah seorang yang cukup pantas.
Mungkin inilah alasan beliau meminta Puput pindah. Dia ingin memberikan penghidupan yang
pantas untuk Puput sebagai calon istri Andra. Tapi tantu saja itu adalah penawaran yang tidak
terikat perjanjian. Puput boleh menolak kalau tidak suka."
Paman Asep terdiam. Puput pun tidak berkata-kata. Mereka berdua diselimuti kabut pemikiran
masing-masing. Aku tahu aku memang bukan orang kaya. Kalau Pak Wijaya tahu hal ini,
mengapa dia mau membuat perjanjian konyol itu sih" tanya Puput dalam hati. Puput menggigit
bibirnya sendiri. Diliriknya Paman Asep. Paman, aduh apa yang harus aku lakukan. Aku tidak
ingin kehilangan keluarga yang sangat penting bagiku. Tapi kalau aku terus berada di rumah,
aku akan menyulitkan paman dan bibi. Aku tidak ingin kalian trlibat dalam masalah karena aku.
"Pak, masalah ini tidak bisa diputuskan sekarang","ujar paman dengan wajah yang ragu dan
bimbang. Pak Iskandar mengganguk tanda mengerti. "Memang kami bukan orang tua kandung
Puput. Tapi dia seperti anak sendiri bagi kami. Keputusan ini terasa berat buat kami," jelas
Paman Asep. "Paman?" Puput menyentuh ujung jari pamannya. "Tidak apa-apa. Puput ingin
tahu alas an semua ini. Puput pikir kalau tinggal di ruamh keluarga Wijaya untuk beberapa hari,
nggak jadi masalah kan?"
"Jadi kamu bersedia pindah ke rumah Pak Wijaya, Put" Paman Asep terkesiap. "Iya, tapi bukan
berarti Puput tidak akan pulang, paman. Hanya saja?" Puput terdiam. Aku tidak ingin
merepotkan paman dan bibi! Kelanjutan kata-kata itu hanya ditelan Puput sendiri. "Hanya saja?"
tanya pamannya. "Yah, hanya saja mungkin ini akan sedikit memakan waktu," jawab Puput
cepat. "Puput serious?" pamannya meyakinkan lagi. "Iya, Puput serius, paman." "Tapi, Put?"
"Puput tidak akan apa-apa kok. Pasti Puput akan cepat pulang," jawab Puput ceria. Mungkin
kata-kata itu akan disesali Puput. Tapi saat ini Puput tidak ingin membuat paman tersayangnya
terlihat tidak berdaya. "Hm, baiklah kalau begitu. Berhubung Puput sudah setuju, urusan ini pun menjadi mudah. Pak
Asep, anda tidak perlu khawatir. Keluarga Wijaya akan memperlakukan Puput dengan baik. Bila
terjadi apa-apa, Puput bisa membicarakannya dengan saya, jadi tenang saja," Pak Iskandar
mengambil alih pembicaraan. "Saya akan segera memberitahukannya pada Pak Wijaya. Tentu
dia senang sekali dapat berjumpa denganmu, Put." Puput tersenyum. Matanya melirik kea rah
paman. Paman Asep diam sejenak, lantas berdiri da menyalami pengacara tersebut.
"Tampaknya saya memang tidak bisa melakukan sesuatu untuk membatalkan perjanjian itu.
Kalau begitu kami mohon pamit, Pak Isakndar. Terima kasih atas waktu yang telah bapak
berikan kepada kami." "Saya pribadi senang dapat bertemu dengan anda, Pak Asep. Besok saya
akan menjemput Puput dan mengantarkannya ke rumah Pak Wijaya. Oh iya, jangan lupa
siapkan pakaian, ya Put."
Puput masih tidak habis pikir dengan semua ini. Selama perjalanan, dia sendiri pun
menyayangkan keputusannya yang terburu-buru untuk pergi ke rumah Pak Wijaya. Tapi
sungguh, Puput tidak ingin membuat paman dan bibi yang disayanginya itu mengaggung bebabn
atas semua ini. Pergi ke rumah Pak Wijaya adalah cara yang bisa dipikirkannya. Toh, tidak akan
lama! Setelah disana sejenak, dia akan kembali pulang.
Tidak mudah memberi pengertian pada bibinya. Ketika bibinya mengetahui kalau Puput akan
pindah besok-walau hanya sebentar-Bibi Nurma langsung berubah histeris. "Mas, masa kamu
biarkan saja Puput tinggal bersama keluarga yang sama sekali tidak kita kenal" Yang benar
saja!" ujar Bibi Nurma pada suaminya. "Memangnya apa yang bisa aku lakukan" Puput yang
memutuskan dan bersikeras dengan hal itu," jawab paman.
"Kita sudah mengasuhnya selama sepuluh tahun ini. Lantas karena perjanjian konyol adik iparku
itu, kita melepaskan Puput begitu saja. Mas, aku nggak rela!" "Nurma, bukan kamu saja yang
nggak rela. Tapi perjanjian itu memang tidak bisa dibatalkan karena memiliki kekuatan hokum.
Seandainya aku orang kaya, pasti aku akan membayar denda tersebut. Tapi aku bukan orang
kaya. Aku tidak bisa apa-apa, Nurma?" Paman Asep mendekap wajahnya sendiri dengan sedih.
Pilu rasanya menyadari kalau diri tidak berdaya melawan keadaan. Melihat Paman Asep
bertingkah seperti itu, sadarlah Bibi Nurma kalau dia juga sama tidak berdayanya. Dihampiri
suaminya dan dirangkulnya lembut.
"Maafkan aku, Mas. Aku merasa hamper gila karena masalah ini." "Nurma, bukan kamu saja
yang merasa hamper gila karenanya aku juga sama. Aku mengenal keponakanku itu. Dia anak
baik dan dia mengambil keputusan ini karena sadar kita akan jadi susah karenanya. Sekarang
yang bisa kita lakukan dalah mendukung anak ini," ujar Paman Asep sambil membelai rambut
isterinya. Sama seperti Bibi Nurma, Paman Asep pun tidak berdaya.
Dua hari yang lalu, Puput hanyalah anaka biasa yang berbahagia. Hingga suatu ketika,
datanglah dua orang pengacara yang mengaku pengacara papanya yang tgelah meninggal dan
memberitahukan sesuatu yang besar, sesuatu yang saat ini menyusahkannya. Cewek itu
bingung, tidak tahu harus berkata apa. Tidak berdaya, terjerat oleh perjanjian yang dibut enam
belas tahun yang lalu, kala dia masih terlalu kecil untuk berpikir dan mengerti.
Di depannya saat ini ada sebuah koper kecil yang sudah using, kosong dan terbuka, siap
menerima apa pun. Itu kopor milik Puput sepuluh tahun yang lalu, warisan dari papa yang telah
meniggal. Hanya itu peninggalan papanya untuk Puput.
Kalau Puput bisa menangis dan menjerit, saat ini dia psti sudah
Melakukannya. Ah papa, kalau bisa aku ingin bertanya, mengapa papa melakukan ini padaku,
anakmu" Puput ingin menjerit, ingin teriak, kalau dia tidak mau pergi dari rumah ini, tidak mau
pergi meninggalkan paman dan bibi yang selalu saying padanya. Tapi bila tidak pergi, aku hanay
menjadi beban mereka berdua. Perjanjian konyol itu sudah merusak kebahagiaanku, batin Puput
berkata. Tidak ada waktu berpikir lagi. Puput segera mngambil beberapa pakaiannya yang bagus dari
dalam lemari. Segera melipatnya dan dimasukkan ke dalam koper. Aku tidak perlu membawa
semuanya. Toh nanti aku juga akan pulang karwna di sinilah rumahku, tempat aku ingin kembali.
Puput juga memasukkan beberapa barang keperluannya. Saat Puput sedang sibuk merapikan
pakaina, Bibi Nurma masuk ke dalam kamar Puput dan berdiri diam di depan pintu. Air matanya
berlinang satu-satu. Puput terdiam tanpa menengok, tidak bicara karena bingung harus bicara
apa. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam dua hari ini. Sesaat kemudian Puput berbalik
mendekati Bibi Nurma dan memeluk bibi tercintanya itu.
Aku sangat menyayangimu, bi. Jangan menangis! Kalau bibi menangis, aku juga akan
menangis. Bibi percayalah, aku pasti akan baik-baik saja. Tapi Puput tidak sanggup mengatakan
itu. Hanya dipeluknya Bibi Nurma sambil menitikkan air mata tanpa suara.
Malam belum masih belum memeluk bumi secara menyeluruh. Saat ini Puput duduk di sedan
Pak Iskandar, si pengacara. Lampu-lampu sudah mulai menyala di antara jalan raya, berada di
antara bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Puput menikmati malam yang belum
lengkap ini, merayakannya dan bersulang untuk hari ini. Kilatan lampu dari mobil yang
berlawanan arah tampak indah bagai kilau berlian. Puput menikmati mala mini, menikmati
kepergiannya, dan menikmati hidup yang terbentang untuknya, entah hidup seperti apa"
Mobil berhenti di sebuah rumah dengan pagar yang tinggi dan sebuah pos satpam di dekat
pagar. Pak Isakandar membuka kaca mobilnya dan berbicara pada satpam. Beberapa saat
kemudian pintu pagar terbuka dan sedan metalik itu segera masuk.
Rumah itu besar dengan lampu-lampu taman yang indah. Halaman berumput dan sebuah kolam
air mancur kecil di tengahnya. Puput terpesona ketika melihat rumah tersebut. Seumur hidup tak
pernah dibayangkan dirinya akan masuk ke dalam seperti ini.
Pak Iskandar membukakan pintu mobil untuk Puput dan mereka berjalan menuju pintu besar
dengan ukiran indah. Setelah memencet bel, muncullah seraut wajah perempuan berpakaian
kebaya yang ternyata pembantu rumah tersebut. Setelah Pak Iskandar menjelaskan, pembantu
itu mempersilahkan Puput dan pengacara itu masuk.
Puput masuk dan menatap ruangan yang bersinar, diterangi lampu Kristal yang menjuntai indah.
Meja tamunya terbuat dari kayu mahogany dan sofanya terlihat sangat empuk, lebih empuk dari
kasur Puput yang sudah tipis dimakan usia. Porselen-porselen yang indah berderet rapi, dari
yang kecil hingga besar. Jam antic bandul emas, kiri dan kanan. Lukisan-lukisan cantik
tergantung di dinding, menambah kemewahan ruang itu. Puput berdecak kagum. Inikah rumah
orang kaya! Tanyanya dalam hati.
Dari dalam ruangan, seorang perempuan yang masih cantik di usia separuh baya dating sambil
mendorong kursi roda. Pak Iskandar tersenyum dan langsung menyalami orang yang duduk di
kursi roda. Pria itu terlihat tua dengan kerut di sekitar p[ipi dan dahi. Kacamata bergagang perak
tersampir di depan hidungnya. Rambutnya masih terlihat hitam, walau ada beberapa bagian
yang mulai memutih. "Inikah Puput Amelia?" tanya laki-laki yang duduk di kursi roda. "Ah, cantik! Kamu mirip dengan
ibumu, nak." Puput dengan gugup ikut berdiri dan mendekati kedua orang tersebut. Cewek itu
masih gugup ketika harus membalas jabatan tangan laki-laki di kursi roda itu. Ada kelembutan
yang dirasakan Puput di sana. "Kenalkan namaku Wijaya, nak. Pak Wijaya?"
Puput terkesiap. Pak Wijaya, orang yang berada di balik perjanjian tersebut. "Panggil saja aku
om, nak," ujar laki-laki itu lagi. Puput masih terpaku di dekat mereka, salah tingkah. Tapi mata
Om Wijaya terasa hangat memandangnya. Seperti mata Paman Asep" "Kalau begitu, Puput
bisa panggil aku Tante Nia," ucap perempuan yang mendorong kursi roda itu ketika Puput
menyalaminya. "Puput, ibu ini adalah isteri Pak Wijaya," jelas Pak Iskandar. "Oh iya, dimana anak-anak Bapak"
Mungkin bisa sekalian dikenalkan pada Puput?" tanya Pak Iskandar kemudian pada Om Wijaya.
"Kalau yang besar, masih kerja. Sebentar lagi juga pulang. Kalau Andita mungkin masih di
rumah temannya," jawab Tante Nia, isteri Om Wijaya. "Kalau begitu saya mohon pamit. Nah,
Puput baik-baik di sini yah!" ujar Pak Iskandar. "Pak Wijaya, saya mohon titip Puput. Walinya
berpesan begitu." "Hahaha", jangan khawatir! Anak ini akan baik-baik saja di sini," jawab Om
Wijaya dengan senang. Puput memandang sedan metalik yang semakin menjauhi rumah. Koper Puput sudah diangkut
oleh pembantu dan ditempatkan di kamar tamu, di tingkat atas. Kamar itu besar dengan lemari
kayu yang kuat dan sebuah meja rias lengkap dengan kacanya. Kasurnya spring bed dan
seprainya begitu rapi tertata. Bahkan, ada kamar mandinya sendiri.
Puput menatap kamar ini dengan kerjap mtidak percaya. Benarkah dia akan tidur di kamar ini"
Selama ini Puput selalu tidur di kamar sempit yang kasurnya pun hampir rata dengan papan.
Apakah ini keberuntungan yang dating setelah kemalangan dan kesialan yang dialaminya
selama dua hari ini"
Pembantu yang membawa koper Puput segera memindahkan baju Puput ke dalam lemari.
Puput sendiri pun mandi. Om Wijaya meminta Puput merapikan diri dan ikut makan malam
bersama keluarga Wijaya, sekaligus berkenalan dengan Andra, calon suaminya.
Setelah rapi, Puput segera turun. Di bawah, Tante Nia dan dua pembantunya sedang merapikan
makan malam di meja makan. Tiba-tiba seseorang menarik kemeja yang dikenakannya. Puput
menengok dan melihat seorang anak perempuan tersenyum padanya.
"Hallo! Apa kabar, kak?" ucap anak perempuan kecil yang tersenyum pada Puput. "Ini anak
perempuan om, Put. Namanya Ela," ujar Om Wijaya yang muncul sambil memegang gagang
pengendali kursi rodanya. "dan yang itu, yang laki-laki, saudara kembarnya, namanya Ale."
Puput tersenyum pada si kembar. Lucu sekali mereka, ujarnya dalam hati.
"Halo, kenalkan nama kakak, Puput," ujar Puput ramah. Ketika ale-si kembar yang satu lagimelihat Puput tersenyum padanya, berubahlah wajanya menjadi merah padam. Mereka berdua
kembar identic, walau keduanya berbeda jenis kelamin. Ale dan Ela berusia tujuh tahun dan saat
ini duduk di bangku kelas 2 SD. Dalam waktu singkat, Puput langsung akrab dengan Ela.
"Kakak cantik, makanya Ale suka sama kakak," ujar Ela sambil tertawa cekikikan di sisi Puput.
Puput. Puput tersenyum dan langsung membelai rambut Ela. Ditatapnya Ale yang tampak malumalu duduk di sisinya. "Ah, makasih Ela. Benar ni Ale suka sama kakak?" tanya Puput sambil
memandang Ale. Yang dipandang langsung merona wajahnya dan segera berlari kea rah Tante Nia yang ada di
situ. Dia langsung bersembunyi di balik punggung ibunya. "Tuh, kan Ale malu"!" teriak Ela
sambil tertrawa cekikikan. Puput tersenyum senang. Rasanya seperti memiliki adik kembar.
Tinnn"Tinnn" suara klakson mobil tiba-tiba terdengar. "Itu pasti Bang Andra. Bang Andra
pulang!!" Ela berteriak kesenangan. Puput terkesiap. Wajahnya mendadak memucat dan
jantungnya terasa berdetak cepat. Apa katanya" Andra sudah pulang. Apa Andra yang itu, lakilaki yang terikat perjanjian dengannya" Laki-laki yang katanya kelak jadi suaminya pas lulus
SMU" Ela berlari menuju pintu.
Puput masih terpaku bingung di ttempatnya. Tak lama kemudian, Puput mendengar suara lakilaki yang semakin mendekat, menuju tempatnya duduk. Om Wijaya pun menghampiri Andra.
Puput tertunduk resah. Andra belum juga mendekatinya, tapi Puput dapat mendengar suaranya
yang ngebass. "Ayo Bang Andra, Ela kenalkan sama Kak Puput. Orangnya cantik deh?" Ela
menarik Andra. Andra tertawa. Puput dapat merasakan jantungnya berdebar lebih keras, seakan
hendak meloncat dari dadanya.
Andra menghampiri dan Puput berdiri dari tempatnya duduk, tersenyum kikuk ke Andra. Wow,
tampan! Puji Puput dalam hati ketika melihat sosok Andra. Laki-laki itu tinggi atletis dan berkulit
cokelat. Wajahnya persegi, bermata sedikit tipis dengan bola mata berwarna hitam pekat yang
begitu mempesona, dan alis mata yang tebal. Bibirnya tipis dan hidungnya mancung. Andra
tampak dewasa. Andra menghampiri Puput. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Puput tersenyum kikuk, terlebih lagi
ketika Andra menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Puput merasa tidak enak. Mata
itu begitu angker, begitu dingin. Puput langsung salh tingkah dan gugup. Rambutnya yang
dikucir dua bergoyang-goyang.


My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, ini orangnya" Orang yang papa sodorkan padaku itu. Hmm, lumayan! Lumayan!" ujarnya
dengan senyum sinis yang menusuk hati Puput seketika. "Anu"kenalkan?" Puput lekas-lekas
menyodorkan tangan kanannya hendak memperkenalkan diri. "Namaku Puput," ujar Puput
dengan gugup dan masih berusaha menguasai diri.
Andra menatap uluran tangan Puput sekilas, lantas melongos dengan gaya angkuh tanpa
membalasnya. Tangan Puput mengambang di udara selama sekian detik dan Puput tetap
membiarkannya terulur kosong. Tanpa mempedulikan Puput, Andra dengan cepat memutar
tubuhnya kea rah Om Wijaya. Ditatapnya Om Wijaya sesaat kemudian mengangguk-entah ada
persetujuan apa diantara mereka-lalu Andra memalingkan wajahnya ke arah salah seorang
pembantunya yang ada di situ. "Sepertinya aku tidak ikut makan malam," ujarnya sambil
bergegas menuju tangga, "tolong antar makan malam ke kamarku," ujar Andra.
Pelayan yang ada di situ segera mengganguk tanda mengerti. "Andra!!!" bentak Om Wijaya pada
Andra yang sudah bergegas menaiki anak tangga. "Tidak sopan sikap kamu pada calon istrimu!"
Andra mengangkat bahu dan terus naik. Sekilas ditatapnya Puput dengan senyum mengejek.
Puput terdiam. Apa-apaan ini" Aku juga tidak pernah berharap untuk menjadi isterinya! Aku
datang agar tidak lebih membebani paman dan bibi. Kalau aku punya uang banyak, ingin
rasanya aku melempar mukanya yang angkuh itu. Puput menahan darahnya yang mulai naik ke
kepala akibat diperlakukan seperti itu oleh Andra.
Om wijaya menggerakkan kursi roadanya kearah Puput. "Puput, maafkan anak om. Ah, apa
salah om sehingga dia jadi kehilangan tata kramanya" Biasanya Andra itu tidak begitu," ujar Om
Wijaya dengan wajah penuh penyesalan.
Puput tersenyum pahit. "Nggak apa-apa, kok Om?" Huh! Rasanya aku ingin mencekik laki-laki
itu! Bel pintu sekali lagi berbunyi. Kini si kecil Ale yang berlari membukakan pintu. Seraut wajah
cantik dengan make up sempurna menyembul dari balik pintu. Rambutnya yang bergelombang
di cat cokelat tampah jatuh lunglai di bahunya. Gadis tersebut segera masuk sambil menyubit
pipi si kecil Ale. "Hallo tampan," ujarnya sambil mencopot sepatu hak tingginya. "Nah, itu putri
om. Dia adiknya Andra. Namanya Andita."
Andita melangkah dengan cuek kearah papanya dan memandang sekilas kea rah Puput. Kini
cewek itu mengernyitkan dahi bingung. "Andita, ini Puput"Puput Amelia," ucap Om Wijaya
memperkenalkan. "Oh ini orang yang kemarin diceritakan Pak Iskandar itu" Hmmm, ternyata
biasa-biasa aja! Apalagi rambunya nggak modis." "Andita, jaga mulutmu!" bentak Om Wijaya
marah. "Ups, sorry. Hallo, namaku Andita!" Andita melambaikan tangannya dari tempatnya
berdiri dengan sikap acuh tak acuh, bahkan terkesan bermain-main.
Puput mengangguk kikuk. "Puput, namaku Puput Amelia," "Puput, Andita ini seusia denganmu
dan sama-sama masih kelas 2 SMU," terang Om Wijaya sambil tersenyum pada Puput. Puput
mebalas senyuman itu dengan anggukan. "Pa, Dita mau ganti baju dulu." "Ya, tapi kamu harus
ikut makasn malam di bawah," perintah Om Wijaya tegas. Andita menggangguk sambil berlari ke
atas. Om Wijaya menghela napas, "Di atas Andita, ada seorang anak lagi. Dia bawaan isteriku. Tante
Nia memang isteri keduaku. Namanya Erlangga, kira-kira beda empat tahun denganmu. Nanti
ketika makan malam, kamu bisa berkenalan dengannya." "Anu, Om, jadi Nyonya Nia"," belum
sempat Puput bicara, Om Wijaya sudah menggerakan jari telunjuknya ke dekat bibir.
"Bukan nyonya. Panggil dia tante." Puput tersenyum kikuk, "Iya" maksud Puput Tante Nia, dia
isteri kedua Om, lalu isteri pertama om bagaimana?" "Dia sudah meninggal, kira-kira dua belas
tahun yang lalu," Om Wijaya menghentikan sejenak kata-katanya. "Andra dan Andita masih
membutuhkan figur seorang ibu, terutama Andita, dia sangat membutuhkannya," jelas Om
Wijaya dengan mata sendu.
Entah kenapa, ketika memandang mata itu Puput merasa iba. Puput mengangguk tanda
mengerti. Hei, bukankah ini saat yang tepat apabila dia menanyakan tentang hubungan Om
Wijaya dengan papanya dan maksud dari perjanjian konyol itu. Puput bersiap-siap untuk
bertanya, tapi Tante Nia sudah memanggil untuk segera mengambil tempat di meja makan. Apa
boleh buat, diurungkan niatnya untuk sementara waktu. Sekarang buakn saat tepat untuk
bertanya. "Hm" kamu benar-benar mirip almarhumah ibumu, Put," tiba-tiba Om Wijaya berkomentar.
Puput tercekat. "Om mengenal almarhumah mama?" tanya Puput seketika. "Hahaha, bukan
hanya kenal. Kami bertiga, ayahmu, ibumu da nom sendiri adalah temat dekat waktu SMU,"
terang Om Wijaya. Puput terpesona. Dia ingin bertanya lebih banyak lagi. Tapi lagi-lagi Tante Nia sudah memanggil
mereka. Menyadari hal tersebut, Puput mengurungkan niatnya sementara waktu. Dia segera
membantu Om Wijaya mendorong kursi rodanya menuju ruang makan.
Tante Nia membantu suaminya mengambil tempat di meja makan di sudut depan. Si kembar
segera ikut bergabung dan duduk di dekat Tante Nia. Puput sengaja mengambil tempat dekat si
kembar, terutama dekat Ale. Ketika Puput mengambil tempat duduk di sisinya, wajah si kecil Ale
mendadak bersemu merah. Andita turun dari atas dengan pakaian santai. Make upnya sudah tersapu bersih. Calon adik ipar
Puput itu langsung bergabung dan mengambil tempat duduk di samping papanya.
Sempat Puput terpesona". Ternyata Andita tanpa make up sangat cantik, apalagi sikapnya
sangat anggun. Mungkin begitulah orang kaya, piker Puput. "Panggil Andra! Dia harus ikut
makan malam bersama kita. Di sini ada tamu penting yang harus dia kenal!" perintah Om Wijaya
pada salah satu pembantunya. "Oh iya, mana Erlangga?" tanya Om Wijaya pada isterinya.
"Mungkin dia masih di studio. Sebentar lagi juga dia kemari," jawan Tante Nia sambil
menyendokkan nasi ke piring Ela. "Selamat malam, maaf terlambat?" sebuah suara memecah
obrolan mereka. Puput menoleh kea rah suara tersebut. Matanya menangkap sesosok tubuh
jangkung kurus dengan kulit yang putih bersih. Senyum laki-laki itu begitu menawan dengan bibir
yang berwarna kemerahan basah. Bayangan samar jenggot yang belum dicukur tampak manis
dii dagunya. Kacamata bergagang perak dan tipis menghiasi matanya yang hitam bulat dengan
tatapan yang lembut dan alis yang tampak menyatu. Rambutnya yang ikal di ikat ke belakang.
Puput terpaku menatap sosok tersebut. Tidak tampan, tapi tampak misterius. Ketika Erlangga
mendekat, Puput dapat menciumbau cat minyak dari tubuhnya. "Erlangga"duduklah, nak," ujar
Om Wijaya senang ketika Erlangga berdiri satu meter dari meja makan. Cowok itu perlahan
berjalan menuju meja makan. Erlangga mengambil tempat tepat di hadapan Puput. Senyum
mengembang di wajahnya dan dilemparkan kearah Puput dengan sopan.
"Nah Puput, ini Erlangga, anak kedua om. Dia lebih tua dari Andita empat tahun," jelas Om
Wijaya. "Dan lebih muda dari Andra dua tahun." "Hai," sapa Puput. "Hallo!" Erlangga tersenyum,
masih dengan senyum yang sopan dan tidak meremehkan. Hm, dia kelihatannya lebih baik dari
Andra, gumam Puput dalam hati.
Andra muncul dan ikut bergabung dengan keluarganya. Diambilnya tempat duduk di sebelah
Andita. Matanya menatap Puput sekilas, tapi kemudian melengos dengan angkuh. Puput
tertunduk sedih diperlakukan seperti itu, tapi mau apa lagi. "Ngomong-ngomong bagaimana
dengan sekolah kamu, Puput?" tanya Om Wijaya memulai percakapan. "Eh, bagaimana
yah"cukup baik, kok om," Puput menjawab dengan gugup.
"Om senang sekali kamu mau tinggal di sini. Tapi kalau pulang pergi ke sekolahmu dari sini
cukup memakan waktu kan?" Puput diam sejenak, lalu mengangguk, "Tidak apa-apa, Om.
Sudah biasa," jawab Puput sopan. "Nggak bisa begitu. Om piker terlalu memberatkanmu. Om
punya usul yang lebih baik. Bagaiman kalau Puput pindah sekolah saja ke sekolah Andita"
Kalian bisa pergi sama-sama dan bisa diantar jemput sopir." Apa"! Puput hampir saja tersedak
mendengarnya. "Apa"! Nggak bisa gitu dong, pa! Masa dita disamakan dengan anak itu. Dia jelas-jelas beda
derajat dengan Dita!" Andita segera protes sebelum Puput sempat menolak. "Andita!" Om Wijaya
membentak "Jangan karena kamu orang kaya lantas kamu berlagak!papa tidak suka!" "Tapi,
pa?" "Puput akan jadi bagian dari keluarga ini. Dia pantas mendapatkan yang terbaik! Apalagi
dia akan menjadi calon isteri kakakmu. Artinya dia akan menjadi saudaramu. Coba kamu hargai
itu!" suara Om Wijaya terdengar begitu tegas. "Papa jangan memutuskan seenaknya gitu dong!
Sejak semula Bang Andra juga nggak pernah menyetujui perjodohan itu! Itu hanya egosentris
papa!" balas Andita lebih keras.
"Andita!!!Jaga mulutmu!!!" "Tapi benar kan"! Karena perjanjian konyol yang papa buat enam
belas tahun yang lalu, semua jadi berubah. Memangnya papa kira Bang Andra senang" Andita
senang" Nggak, pa!"
Hentikan! Puput menutup matanya dan ingin sekali menjeritkan hal tersebut. Tolong, jangan
ngomong hal itu! Tolong, jangan jadikan aku tidak berarti di sini! Ini juga bukan kemauanku.
Lagipula aku tidak berniat untuk tinggal di sini lama-lama. Tapi bibir Puput kaku. Lidahnya kelu.
Puput tidak bisa mengatakan itu semua. BRAK! Tiba-tiba meja digebrak dengan kuat. Puput
terkejut, begitu juga yang lain. Semua mata tertuju pada orang yang menggebrak meja.
Erlangga?"Andita, bersikaplah dewasa sedikit. Di sini ada tamu yang harus kita hormati. Suka
atau tidak suka kamu padanya!" suara Erlangga terdengar begitu tajam pada adiknya.
Mendengar perkataan Erlangga yang demikian tajam, Andita hanya melengos kesal, lalu
tertunduk sebal. Puput menatap Erlangga. Bingung sekaligus senang. Rasanya Erlangga
membela Puput. Duh, Puput jadi terharu dan rasanya ingin menangis senang.
"Aku mau makan di kamar saja. Bi, tolong bawakan makan malamku ke kamar," pinta Erlangga
sambil berdiri dari bangkunya dan pergi meniggalkan meja makan. Puput menatapnya, begitu
juga dengan semua orang. "Angga","Andra memanggil adiknya. Erlangga menengok.
"Hei, jarang-jarang kita bisa makan malam bersama seperti ini, tapi kamu malah pergi begitu
saja," tegur Andra lembut. "Suasana di meja makan ini terasa kurang nyaman. Nanti mood untuk
lukisanku hilang lagi. Maaf bang, kalau aku tidak sopan. Papa dan mama juga. Maaf "," ujar
Erlangga sebelum berlalu dari meja makan.
Puput menatap punggung kurus milik Erlangga. Bagi Puput, Erlangga hadir sebentar dan pergi
dalam sekejap dari tatapan matanya. Tapi hati Puput berterima kasih karena Erlangga telah
membelanya, walau mungkin bukan itu maksudnya secara langsung. Itu adalah permulaan
makan malam terburuk dalam hidup Puput.
==== Bab 3 Puput menatap cermin di hadapannya. Pakaiannya kini sudah berganti degan seragam abu-abu,
siap berangkat sekolah. Rambutnya yang panjang dikucir dua seperti biasa. Senyumnya
melebar, melihat refleksi dirinya di cermin. Puput! Hadapi hidupmu yang baru ini dengan ceria.
Hayoo, tersenyumlah! Di meja makan telah duduk Om Wijaya, Tante Nia, si kembar yang juga telah lengkap
mengenakan seragam sekolahnya, Andra yang memakai kemeja putih panjang serta Andita
yang juga telah lengkap memakai seragam sekolahnya.
Puput duduk dekat si kembar. Dia memilih untuk tidak duduk di dekat Andita maupun Andra.
Mereka berdua terlihat cuek pada Puput, seakan Puput itu tidak pernah ada. "Puput," tegur Om
Wijaya. "Pagi ini om akan ke rumahmu. Om ingin mengobrol dengan paman dan bibi sebagai
walimu. Ada hal yang harus dijelaskan pada mereka. Om rasa sekarang adalah saat yang tepat."
Eh, yang benar saja! Puput memandang setengah linglung pada Om Wijaya. Andita juga
mengangkat kepalanya dan menatap dengan sikap keberatan. "Andra, sebelum ke kantor,
antarkan papa ke rumah Puput. Ini juga saat yang tepat untuk memperkenalkanmu kepada wali
Puput. Pasti mereka ingin bertemu denganmu."
Andra menatap papanya. Diam sejenak dan mengangguk. Entah mengapa Puput merasa lega
melihat anggukan Andra. Tapi hei, soal pindah sekolah ini Puput kan belum bilang setuju. "Tante
juga ingin ikut. Tante juga ingin berkenalan," ujar Tante Nia sambil melempar senyum lembut
kearah Puput. Puput lunglai. Dia tidak mampu mencegah. Terpaksa Puput setuju.
Paman dan Bibi Puput terkejut mendapati tamu yang berkunjung ke rumahnya pagi ini. Terlebih
lagi ketika paman dan bibi menyadari kalau laki-laki muda yang gagah itu adalah calonnya
Puput. Membayangkan Andra yang dingin dan mengerikan membuat nyali Puput ciut. Tapi Puput
memutuskan tidak ingin berpikir lebih jauh lagi. Mengerikan rasanya memikirkan hal tersebut.
Kini Paman Asep dan Om Wijaya terlihat pembicaraan yang akrab dan pasti berubah menjadi
pembicaraan yang sangat serius. Puput gelisah! Dia sadar kalau pembicaraan yang dilakukan itu
pasti menyangkut dirinya dan mungkin seluruh masa depannya. Dan Puput pun teringat kontrak
yang telah mengikat masa depannya.
Sebelum pergi, Puput sempat memandang Andra yang duduk di sisi Om Wijaya. Mata mereka
bertemu, tapi tatapan mata itu tidak sesinis sewaktu pertama kali Puput berkenalan dengan
Andra. Puput meras sedikit lega. Tapi itu hanya sesaat karena kenudian Andra melengos,
memandang tempat lain di ruangan tersebut.
Puput tersenyum pedih. Ternyata dia tidak bisa berharap lebih baik dari ini. Dengan perasaan
campur aduk, Puput memicu roda sepedanya, menuju satu tempat" sekolah. Puput meletakkan
tas di atas mejanya. Dody melambai dan bergegas mendekati Puput.
"Halo, non! Kemana aja kemarin" Kata bibimu, kamu nginap di rumah camer. Benar ya?" "Apaan
sih, Dod! Nggak lucu lagi!" "Siapa yang ngelucu, non. Aku kan Cuma nanya bener nggak?" "Iya.
Napa emangnya?" "Wah, asyik dong. Tinggal di rumah orang kaya, tidur id kasur empuk. Wah,
sekali-kali ajak aku dong, Put." Puput mengangkat bahunya. "Nggak usah sirik gitu, Dod!"
"Hei,hei, siapa yang sirik" Aku kan Cuma mau bilang sama sohibku ini, kalau senang-senang
jangan lupa sama teman dong!"
Puput segera menarik tangan Dody dan menyuruhnya duduk. Dody terkesiap diperlakukan
seperti itu. "Hei, non! Kalau kangen, jangan kasar gitu dong. Mister Dody siap selalu utuk Miss
puput. Don"t worry!" "Huh, siapa yang kangen playboy! Enak aja kalau ngomong!" puput langsut
sewot mendengar candaan Dody.
"Sorry Put, cuma becanda. Kamu serius amat sih" Nggak biasanya." Puput mendekatkan
wajahnya kea rah Dody sambil berbisik, "Ini memang serius, Dod. Lagi males bercanda!" "Iya
deh. Ada apa lagi sih, Put?" "Masalah serius. Se-ri-us!"
Kening Dody berkerut dan matanya menyipit. "Ada apa, Put" Jangan bikin bingung dong"!"
"Dod, kemungkinan aku bakal pindah rumah dan juga sekolah"." "Apa"!!! Put, jangan bercanda
dong!" "Siapa yang bercanda"! Ini serius, Dod!" Puput menghela napas. "Orang yang bikin
perjanjian aneh itu yang netapin begitu. Dia meminta aku tinggal di rumahnya dan juga sekolah
di SMU yang sama dengan putrinya, Andita."
"Nggak bisa gitu dong, Put. Gimana dengan paman, bibi, aku dan sekolah ini" Waduh, sekolah
jadi nggak seru dong kalau nggak ada kamu!" Puput mengangkat bahunya. "Aku juga nggak
tahu?" "Tapi kamu kan bisa nolak?" potong Dody cepat. Puput menggeleng, "Sepertinya sulit."
"Kamu itu! Kayak bukan Puput aja! Masa sih kmu nggak bisa nolak. Ayolah Put, tolak aja. Pikirin
dong masa-masa SMU kita. Masa ilang gitu aja! Puput, paman dan bibi pasti bakal sedih banget
kalau kamu nggak ada"Aku juga bakal sedih! Nggak ada yang bisa diajak main lagi, nggak ada
yang bisa diajak becanda seperti sekarang. Put, ayolah" kamu pasti bisa menolaknya kan?"
bujuk Dody. Puput menggeleng. Rasanya sih dia juga ingin menolak rencana kepindahannya itu. Tapi sejak
dirinya terbelenggu perjanjian itu, diia tidak punya keberanian lagi untuk melawan. Dody
mendesah putus asa. "Oke"kalau gitu, aku nggak bisa maksa kamu. Tapi aku harap, setelah
kamu pindah rumah, kamu nggak akan melupakan aku dan juga tempat ini."
"Nggak akan! Aku nggak akan ngelupain kamu, teman-teman, dan sekolah ini.
Jujur"sebenarnya aku berharap paman dan bibi menolak rencana itu, Cuma itu harapan satusatunya?" jawab Puput tegas. Dody tersenyum, "Aku juga nggak akan melupakan kamu yang
berkucir dua ini," kata Dody mencolek hidung Puput yang bangir, "Aku juga berharap kamu
nggak jadi pindah dari tempat ini!" Dody menepuk pundak Puput. "Dod"," panggil puput lembut.
"Ya?" Puput terdiam. Matanya menerawang dan Puput jadi ragu-ragu sendiri. Ada keinginan di hatinya
untuk menceritakan sikap tidak suka Andra dan Andita. Tapi kalau dia ceritakan hal ini, keadaan
bisa tambah buruk. Bisa-bisa Dody menceritakan pada Paman Asep dan Bibi Nurma. Mereka
pasti jadi khawatir. Puput menggeleng, "Ah, nggak kok. Hanya mau ngucapin makasih atas
semuanya selama ini," ujar Puput akhirnya. "Apaan sih kamu, kayak orang lain aja...," ujar Dody
dengan senyum mengembang yang ramah, senyum yang selalu dilontarkan Dody pada Puput
sejak mereka jadi sohib dekat.
Sepulang sekolah, didapati paman dan bibinya duduk di ruang tamu. Puput menyapa keduanya.
Paman Asep memandang Puput dan memintanya duduk. Puput menurut. Diawasinya Bibi
Nurma yang masih terpekur dengan mata sedikit sendu.
"Ada apa, paman?" tanya Puput hati-hati. "Put, paman dan bibi sudah bicara banyak dengan Pak
Wijaya," ucap Paman Asep. Puput memperhatikan dengan gelisah. "Dan mereka meminta kami
berdua.. yah untuk menyetujui kamu tinggal dan bersekolah di sekolah yang pantas." "Ya,
memang kemarin Om Wijaya sudah mengatakannya, Tapi Puput belum menyetujuinya dan
Puput rasa paman dan bibi juga nggak menyetujuinya kan?" tanya Puput meyakinkan. "Puput
akan tetap sekolah disini kan?"
"Tidak, paman rasa memang kamu sebaiknya pindah," ujar Paman Asep lagi. "Lho, kenapa?"
"Pak Wijaya banyak cerita pada kami berdua. Dia juga menceritakan tentang dirimu dan masa
depannmu, sayang. Kamu calon isteri Andra dan Pak Wijaya menginginkan calon isteri Andra
mendapatkan yang terbaik," Paman Asep mendesah, "Dan kami mengerti. Jadi kami juga setuju
akan hal itu. Pak Wijaya juga menceritakan hubungannya dengan papamu, Put," lanjut
pamannya kemudian. "Apa?" Paman Asep mengangguk. "Banyak sekali yang dia ceritakan. Setelah mendengar
ceritanya, paman juga jadi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bermaksud buruk padamu.
Justru sebaliknya, dia ingin kamu mendapatkan yang terbaik yang tidak bisa kami berikan. Itu
janjinya pada papamu dulu." Lho"lho?"" Puput melongo. "Jadi kami berdua memutuskan untuk
mengijinkannya saja. Paman bukan bermaksud untuk membuangmu, nak. Paman dan bibi
hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi"tapi"
Bibi Nurma di sudut rumah sudah menitikkan air mata. Memang mudah mengatakan itu, tapi
tidak mudah melepaskan sesuatu yang dicintai. "Paman?" bibir Puput bergetar. Puput merasa
seperti anak kucing yang akan dibuang oleh induknya. Apa ini adil" "Puput kok merasa seperti
dibuang" Apa mmang seperti itu yang paman inginkan dari Puput?"
"Nggak, Put. Ya Tuhan, mana ada sih orang tua yang membuang anaknya sendiri. Bukan begitu
maksud paman. Paman dan bibi hanya berusaha sebisa kami, paling tidak untuk
kebahagiaanmu, nak." Kebahagian" Oh, iya benar. Semula ini bermula dari perjanjian itu. Hidup
Puput seluruhnya jadi kacau tidak terkendali, termasuk hidup paman dan bibi.
"Dengarkan paman, saying. Pak Wijaya adalah sahabat papa dan mamamu. Mereka teman
dekat. Pak Wijaya ingin agar kamu dan anaknya dapat menjaga persahabatan tersebut. Itu
adalah salah satu alas an perjanjian itu dibuat. Pak Wijaya juga merasa bertanggung jawab atas
dirimu, nak. Meninggalnya orang tuamu mendorongnya lebih cepat mengambilmu sebagai
menantunya. Pak Wijaya benar-benar tulus melakukan semua ini," terang Paman Asep
kemudian. Puput diam tidak mau menyahut. Oh, jadi itu alas an Om Wijaya ingin agar dirinya tinggal di
rumah itu. Puput tidak meragukan ketulusan Om Wijaya, tapi bagaiman dengan Andra. Andra
tidak setulus hati menyetujui perjanjian tersebut.
"Put, paman dan bibi, sebagaimana orang tua, selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
Jangan salah sangka," ujar Paman Asep kemudian. "Yang bisa kami lakukan sekarang adalah
memberi izin pada Pak Wijaya untuk membiayai sekolahmu dan membiarkanmu tinggal di
rumahnya. Untuk kehidupan yang lebih baik."
Aku tidak butuh kemewahan itu. Aku hanya ingin berada di sini, bersama paman dan bibi, karena


My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya kalian keluarga yang aku miliki. Hati Puput menjerit! Apa kalian tidak mengerti atau kalian
memang ingin membuangku! "Puput"," Bibi Nurma memanggil lirih, "Maafkan kami, nak. Kami juga tidak bisa berbuat apaapa lagi. Tapi bibi sudah meminta Pak Wijaya untuk selalu mengizinkan kamu datang kemari. Oh
Put, andai kamu tahu betapa ini membuat kami susah"!" suara Bibi Nurma terdengar serak
bercampur isakan. Puput sadar, bibinya menangis. Ya, Tuhan! Bagaimana bisa akau menuduh yang tidak-tidak
pada paman dan bibi. Mereka mencintaiku, tapi mereka juga jadi susah karenaku. Lebih baik aku
melakukan yang disarankan Om Wijaya. Semoga dengan begini mereka tidak susah lagi. Puput
menyesal sendiri. Harusnya lebih mempercayai kedua orang tua walinya itu.
Puput menatap kedua orang tua asuhnya. "Puput sudah terlibat sejauh ini. Ya sudah, dijalani
saja sampai akhir," jawab Puput pasrah. "Kapan paman mengurus kepindahan Puput" Besok?"
tanya Puput kemudian Puput segera berdiri. "Kalau begitu, biar Puput bereskan semua barang Puput. Nanti Puput
tinggal berangkat saja." "Puput?" panggil Bibi Nurma dengan wajah yang begitu pucat. Puput
menoleh. "Apakah kamu membenci kami?" tanya Bibi nurma. Wajahnya sudah sembab oleh air
mata. Puput menggeleng, "Ngaak, aku nggak pernah membenci kalian berdua. Aku mencintai kalian
berdua," jawab Puput. Rasanya mata Puput sudah mulai panas. "Syukurlah! Bibi takut kamu
akan membenci kami karena menganggap kami membuangmu, nak." "Puput yakin semua
keputusan yang diambil paman dan bibi untuk kebaikan Puput," jawab Puput sambil tersenyum.
Kelopak matanya dikerjap-kerjapnya dan berharap air mata yang sudah siap meluncur turun
tidak jadi. Ah".. Sore harinya, sopir menjemput Puput untuk kembali ke rumah keluarga Wijaya. Paman dan bibi
menatap kepergian Puput dengan pedih. Puput menatap keduanya. Segulir air mata membasahi
pipinya yang kemerahan. Tapi Puput memasang senyumnya, senyum terbaiknya.
Ini bukanlah perpisahan selamanya dan ini bukanlah akhir segalanya. Paman dan bibi tetaplah
orant tuang yang membesarkannya. Rumah ini tetap rumahnya. Tidak banyak yang berubah dari
cintanya dan keluarganya.
Mobil pun meninggalkan rumah sederhana itu, meninggalkan segala kehidupan Puput yang
serba biasa. Kni Puput bersiap menjalani hidupnya yang baru dan berbeda.
==== Bab 4 Om Wijaya menyambut kedatangan Puput dengan sukacita, juga si kembar Ale dan Ela.
Untunglah"Puput tidak melihat Andra atau Andita sore itu. Erlangga juga tidak terlihat. "Puput,
kamarmu masih tetap di tempat yang sama. Besok Tante Nia kaan mengurus masalah
kepindahan sekolahmu, nak," ujar Om Wijaya senang. Puput mengangguk sopan. Diantar Tante
Nia, Puput berjalan menuju kamarnya.
Di sisi kamarnya adalah kamar si kembar. Lewat dua lorong di atas, ada kamar milik Andita yang
bersebelahan dengan kamar kosong untuk kamar tamu. Tidak jauh dari tempat itu, ada kamar
milik Andra. Kamar milik Erlanggan berada di bawah, di dekat halaman belakang, bersebelahan
dengan pintu menuju kebun, tempat studio lukis Erlangga.
Di dekat ruang keluarga, ada kamar Om Wijaya dan isterinya. Di lorong menuju dapur, ada dua
kamar lagi, yaitu kamar pembantu. Si kembar dengan semangat segera ikut membantu Puput
membereskan barang bawaannya. Tante Nia tampak kagum memperhatikan si kembar yang
sangat bandel itu langsung berubah ramah pada Puput.
"Waduh, tante nggak nyangka si kembar lansung semangat begini. Biasanya pada pembantu
saja sudah sedemikian nakalnya," komentar Tante Nia sambil mengawasi kedua anak
kembarnya. Puput tersenyum dan bersyukur si kembar tidak membencinya. Itu penting bagi
dirinya yang baru tinggal di tempat tersebut. Tante Nia menatap Puput sambil tersenyum.
"Melihat kamu, tante merasa melihat diri tante di masa lalu. Tante juga dulu orang biasa saja."
Eh" Puput memandang Tante Nia. Bingung! "Ya"," urai Tante Nia samnil memandang langitlangit dan kemudian mengambil tempat duduk di atas kasur, "Tante bertemu dengan Om Wijaya
sekitar sebelas tahun yang lalu. Ketika itu, tante masih jadi karyawannya om. Hubungan kami
hanya sebatas pemimpin dan bawahan. Tapi karena penyakit, isteri om, Tante Widuri,
meninggal. Andita masih sangat kecil dan sangat dekat dengan tante setelah ibunya meninggal.
Setelah itu"yah, Om Wijaya melamar tante. Akhirnya, tante dan anak bawaan dari suami tante
yang terdahulu-Erlangga-pindah kemari."
Tante Nia mendesah perlahan. "Andra itu sebenarnya anak yang baik. Memang dia berkemauan
keras, sedikit egois, tapi dia tetap anak baik. Tante langsung menyukainya waktu datang di
keluarga ini. Andra tidak memojokkan tante yang jadi ibu tirinya dan dia juga sangat baik pada
Erlangga yang tertutup. Syukurlah, Andita juga bersikap begitu." Lagi-lagi Puput menarik
napasnya, berat. Tante Nia menarik tangan Puput dan menggenggamnya erat. Puput yang belum siap dengan
perlakuan itu hanya terkesiap bengong di tempat. "Waktu melihatmu datang, tante yakin kamu
juga anakm yang baik dan langsung menyukaimu. Perjanjian itu memang tante ketahui barubaru ini, tapi tante yakin kamu memang pasangan yang tepat untuk Andra," suara Tante Nia
begitu merdu bagai suara alunan music yang memabukkan.
Puput sempat melambng mendengar pujian itu. "Ah, tante terlalu memuji. Keadaannya kan
nggak sebaik itu. Yah, seperti tante lihat, Andra nggak begitu menyukai perjodohan itu." Rasanya
kerongkongan Puput menjadi serak dan kering setelah mengucapkan kata-kata itu. Tante Nia
duduk dan terdiam. Gengamannya terlepas. Perlahan mulutnya berucap lemah,
"Andra"mungkin baginya perjanjian itu adalah hal aneh dan tidak masuk akal. Tapi tante yakin,
Andra, cepat atau lambat, pasti akan menyukaimu. Tidak ada alas an tidak menyukai perempuan
semanis kamu, Put." Hibur Tante Nia.
Puput semakin menaikkan alisnya ke atas, lantas memaksakan diri untuk tersenyum. Puput
dapat merasa ujung-ujung bibirnya tertarik secara spontan. Semoga saja begitu! doa Puput
dalam hati. Kalau memang kejadiannya begitu, Puput pun merasa akan menyukai Andra. Tibatiba Tante Nia menarik tangan Puput kembali. "Puput?"
Puput menatap wajah serius Tante Nia dengan gugup. "Andita"tante harap kamu tidak terlalu
memasukkan kata-katanya ke dalam hati. Dia memang anak yang keras, tapi dia juga anak yang
baik. Hanya saja, dia terlalu menyayangi abangnya. Memang dia juga egois, mungkin karena
terbiasa dimanja. Tante juga tidak bisa berbuat banyak karena tante bukan ibu kandungnya. Tapi
tante harap kamu dapat bertemu dengan Andita. Mau kan?" tanya Tante Nia.
Pupit bingung, tapi dianggukan juga kepalanya. Dengan pahit, dianggukan kepalanya. Semoga
tante, semoga saja kami bisa jadi teman baik, ungkap hati Puput dengan asa yang sudah hamoir
padam. Seperti perkiraan Puput, sikap Andra maupun Andita tidak seramah seperti yang diharapkan Om
Wijaya dan Tante Nia. Mereka berdua bersikap antipasti pada Puput dan jelas-jelas
menunjukkan rasa tidak sukanya. Mereka selalu berusaha untuk membuat Puput tampak jelek di
mata semua orang yang ada di rumah tersebut, mungkin di mata seluruh dunia.
Puput kini resmi pindah sekolah, ke sekolah elit tempat Andita bersekolah. SMU Fortune
namanya. Kalau dibandingkan dengan SMU Puput dulu, jelas sangat jauh berbeda. Seragam
yang dikenakannya berbeda dengan seragam Smu Puput yang dulu, seragam putih dengan
bawahan cokelat dan jas sekolah. Halaman sekolahnya besar. Ada lapangan parkir, lapangan
basket dan lapangan untuk atletik. Taman sekolahnya sangat nyaman dengan pohon-pohon
rindang. Di dekat taman, ada kantin dengan deretan kursi yang diatur menarik, melingkar, dan
menjadi tempat yang enak untuk bersantai.
Gedungnya terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah gedung untuk kelas satu dan kelas
dua. Gedung inilah yang paling besar daripada gedung lainnya. Gedung yang kedua adalah
gedung perpustakaan. Di sana juga terdapat ruang guru dan kepala sekolah, tata usaha, ruang
computer, labolatorium dan jejeran ruangan untuk kelas tiga. Gedung yang ketiga adalah aula
serbaguna yang sering digunakan untuk acara-acara formal. Di atas aula, ada masjid yang dapat
dicapai dengan menaiki tangga melingkar atau pun tangga yang ada di sisi gedung.
Puput tidak habis berhenti mengagumi ketika melihat betapa megah dan besarnya sekolahnya
yang baru. Pertama kali Puput datang ke sekolah, Puput diantar Tante Nia dengan Volvonya.
Ikut juga Paman Asep untuk mengurus kepindahannya.
Saat tiba di lapangan parkir, Puput melihat berderet-deret mobil dengan berbagai macam merek
ada di situ. Banyak juga motor yang terparkir. Puput merasa miris melihatnya. Ini bukan
dunianya!!! jeritnya dalam hati. Kini Puput resmi menjadi penghuni sekolah elit itu. Tapi Puput
tidak menyangka kepindahannya benar-benar mamancing amarah Andita. Persis ketika Puput
pulang sekolah, Andita mendegatnya di depan ruang tamu, urat-urat kemarahan yang sudah
menonjol di pelipis cewek itu.
"Aku nggak percaya ini!!" teriak Andita mengelegar bak guntur. "Ada apa?" tanya Puput dengan
wajah lugu di depan pintu. "Ada apa"! Jangan pura-pura, anak udik! Ngaca dong! Berani sekali
kamu masuk sekolahku, memakai uang papa, dan aku harus berbagi rumah denganmu!" Andita
mulai berkacak pinggang sambil menuding tepat di hidung Puput.
Puput diam. Hatinya geram. Lh
o, Puput juga nggak ingin kok pindah sekolah. Tempat itu bukan
dunianya. jadi siapa sudi berada di situ! Tepat saat Puput hendak menyemburkan kata-kata
tersebut, Andita sudah memuntahkan kemarahannya kembali.
"Kamu datang kemari mau jadi tuan puteri ya" Dengar ya, anak udik!!! Aku akan jadi musuh
utamamu!!! Lihat saja nanti!" Puput melotot. "Apa melotot-melotot"! Marah" Bagus kalau kamu
marah. Sebaiknya kamu angkat kaki dari rumah ini!" "Andita!!!" gelegar suara menakutkan keluar
dari dalam rumah. Tampak Om Wijaya melotot marah pada anaknya. "Apa yang kamu katakana,
heh"! Kasar sekali ucapanmu. Papa tidak pernah mengajarimu begitu!" "Pa, yang benar saja"!
Masa dia sekolah di tempat Dita. Mana pantas"."! Andita mencoba membantah papanya.
"Apa yang tidak pantas" Memangnya kamu yang menentukan pantas atau tidak?" Suara Om
Wijaya sangat menakutkan. "Tapi?" "Tidak ada tapi-tapian! Mulai sekarang dan seterusnya,
Puput akan tinggal di sini. Bukankah hal tersebut sudah papa katakana dari dulu! Dan dia juga
tetap akan bersekolah di tempat yang sama denganmu. Suka atau tidak suka, ini keputusan
papa. Sekarang minta maaf sama Puput!!!" perintah Om Wijaya.
Andita memajukan bibirnya hingga termonyong-monyong. Wajahnya memerah karena marah
dan kesal yang ditahan. Dengan kesal dan jeritan tertahan, dilengoskan wajahnya dan segera
berlari ke atas. Om wijaya hanya menatap anak perempuannya dengan wajah kecewa. "Maafkan sikap Andita,
ya Put. Susah memang jika punya anak yang menja"," desah Om Wijaya sedih. Puput
menggeleng. "Nggak apa-apa, om. Mungkin memang Puput yang salah." "Om tidak menyangka
akan seperti ini. Padahal, om yakin sekali mereka akan menyukaimu. Tapi ternyata apa yang om
kira masih sangat jauh."
Ya, siapa sih yang suka bila harus menerima seseorang yang berbeda di dalam hidupnya. Puput
pun merasa tidak menyukai Andita dan Andra. Puput bergumam dalam hati. Seperti biasa, Puput
tidak mengatakannya. Dia hanya menatap kea rah tangga berpualam putih. Bibirnya mengerut
murung. Semua ini dia lakukan karena memikirkan paman dan bibi. Kali ini Puput memandang
ke arah Om Wijaya, "Maaf om, Puput mau ke atas dulu, mau ganti baju." "Oh, iya. Sehabis ganti
baju, segeralah ke bawah. Kita makan siang sama-sama," ujar Om Wijaya ramah.
Puput berjalan dengan langkah berat. Hatinya teriris, apalagi ketika Puput memperhatikan
seluruh pembantu tengah berbisik-bisik menyaksikan pertengkarannya dengan Andita. Andita
membanting boneka beruangnya yang besar ke lantai kamar dengan kesal. "Huh!!!" bentaknya.
"Kenapa dia mesti tinggal di sini. Kenapa juga dia sekolah di sekolah yang sama denganku!"
dengan langkah gontai, dihempaskannya tubuhnya ke atas kasur. "Lihat saja nanti" anak udik
itu akan merasakan balasanku. Akan kubuat dia merasa tinggal di neraka!" geramanya sambil
meninju bantal guling dengan kemarahan berlapis-lapis.
Bagaimana wajahku sekarang" Puput mengamati wajahnya di depan cermin. Heh, lihat! Aku
tidak tampak seperti orang kaya. Tapi lihatlah! Aku sekarang tinggal di sebuah rumah besar,
tidur di kasur empuk, selalu mendapat makanan enak dan bersekolah di sekolah yang mahal.
Tapi sungguh, aku rindu diriku yang dulu. Paman" bibi". Bersama kalian hidupku penuh
keserhanaan. Tapi aku lebih menyukainya daripada sekarang.
Puput sekali lagi melihat ke cermin. Dengan sikap gagah, ditunjuknya cermin tersebut,"Heh,
Puput, tegar dong! Semua ini bagian hidup yang harus kamu jalani. Ayo, senyum dan jangan
bersedih lagi"," ujar Puput pada dirinya di dalam cermin.
Tapi kemudia Puput tertunduk kembali, "Ya, aku juga ingin tegar. Tapi sikpa Andita yang kasar
benar-benar mematahkan semangatku! Berapa lama ya, aku bisa bertahan tinggal di sini?"
ujarnya lagi. Kini diangkat kepalanya tegak kembali. "Heh, Puput, kok loyo gitu sih"! Jangan khawatir,
percaya diri dong. Bukankah kamu sudah menetapkan diri, apapun yang terjadi akan selalu
tegar"!!!" Puput tersenyum kembali menyadari perkataannya sendiri.
Aku Puput Amelia dan usiaku tujuh belas tahun. Tahun ini adalah tahun saat seluruh garis
kehidupanku berubah. Malam itu Puput kedatangan tamu di kamarnya. Andra, calon suaminya, berdiri di depannya.
Puput merasa rikuh dan gugup. Sotot mata Andra masih tetap tidak ramah. Dan kini Andra
menatap Puput, dari atas ke bawah. Alisnya mengeryit seakan melihat makhluk aneh langsung
dihadapannya. Puput mencoba melontarkan senyum, walau terbesit rasa takut menyelimuti
dirinya. Andra melipat kedua belah tangannya ke depan. Puput memainkan uj "ung bajunya dengan dua
tangan untuk meringankan rasa gugupnya. Kini mereka berdua berhadap-hadapan. "Aku sudah
dengar tentang kepindahanmu ke sekolah Andita?" suara Andra begitu datar dan wajahnya, ya
Tuhan, tanpa ekspresi! "Oh iyta, kamu pernah dengar dongeng tentang katak yang menjadi
pangeran?" tanya Andra setelah hening sejenak.
Puput mengangkat wajahnya. Dengan ragu, dipandangnya ANdra. Malu-malu digelengkan
kepalanya. Andra menghela napa. "Ada dongeng tentang seekor katak. Karena bertemu dan
membantu sang puteri yang cantik, lalu sang katak dicium oleh sang puteri, sebagai rasa terima
kasih. Tanpa diduga, si katak kemudian berubah menjadi pangeraan?" Apa maksud katakatanya"! "Kamu sadar nggak kalau kamu seperti katak itu yang menunggu sebuah
keberuntungan untuk menjadikanmu seorang puteri"!"
Hah! Puput mengangkat wajahnya yang memerah karena marah dan malu secara bersamaan.
Mengapa dia menghinaku dengan wajah setenang itu. "Kenapa?" tanya Puput dengan suara
tercekat. "Kenapa kamu bicara begitu?" rasanya Puput ingin menangis" Andra mengangkat
bahu. Tapi tiba-tiba, Andra menarik dagu Puput hingga wajah Puput berada dalam tawana
tangan Andra. Wajah mereka begitu dekat sampai Puput dapat merasakan napas panas Andra
di pipinya. Puput menatap mata Andra yang tajam, berpindah ke kerutan di dahinya, lalu terakhir ke bibir
tipis Andra yang menyeringai. Ya Tuhan, apalagi yang dia inginkan" "Kamu lumayan"," cetus
Andra, "saying, bukan tipeku." Andra melepaskna rengkuhannya. Dan dengan angkuhnya,
cowok itu berbalik menjauh dari kamar Puput.
Puput menatap kepergian Andra dengan hati perih. Air mata mulai menggenangi kelopak
matanya. Segera Puput menutup pintu kamarnya. Kalau akau boleh jujur, kamu juga jauh dari
tipe yang aku harapkan! Teriak Puput dalam hati. Tapi Puput hanya bisa menggigit bibirnya
sendiri, lalu merosot di depan pintu dengan wajah merah dan butiran cairan bening yang
menggenagi kelopak matanya.
Ingin rasanya dia menangis di kamar. Tapi kalau ketahuan sama kedua adik kakak itu, dia kalah
total. Maka menyelinaplah Puput ke bawah dan menangis di halaman belakang, di tempat Puput
dapat melihat air mancur yang menyembur dari kolam ikan dan pohon perdu yang tersusun
apik. Bulan menunjukkan dirinya dengan sempurna. Bulatan total tampak menghiasi langit yang hitam
pekat. Di antara embusan angina, dinginnya malam dan lembutnya sinar rembulan, Puput
menangis"menagis sepuas-puasnya, tanpa suara.
"Kamu kenapa?" sapa sebuah suara lembut pada Puput. Puput tercekat, dibalikkan badannya
kea rah sumber suara. "Eh, Erlangga"!" desis Puput setengah menjerit. Langsung disusutnya
air mata yang mulai kering di pipinya.
Erlangga, di antara sinar bulan dan cahaya lampu remang-remang, segera menyodorkan
saputangan putih. "Paki ini, jangan pakai bajumu, nanti kotor"," ujarnya dengan lagak acuh tak
acuh. Puput menerima saputangan itu dan menghapus bekas air matanya. Dengan malu-malu,
saputangan itu dikembalikan lagi pada Erlangga.
"Makasih"," ucap Puput. Duh, bagaimana kalau dia bertanya mengapa aku menangis, runyam
urusan kalau gini. "Kamu mau ke studioku?" tawar Erlanggan tiba-tiba yang mebuat Puput
terlongo. "Eh" Ke studio?" "Ya, daripada di sini kedinginan. Kalau di studioku, kamu bisa
melanjutkan tangismu?" Sialan! Apa dia piker nagis ada lanjutannya kayak sinetron! Maki Puput
dalam hati. "Di sana kamu juga bisa minum teh hangat?" Erlangga memalingkan wajahnya yang
tirus dengan jambang yang menarik. Kacamatanya yang bergagang perak tampak bersinar
redup di antara temaram cahaya bulan.
Puput menatap Erlangga, memastikan kali ini dia tidak akan diejek lagi, tidak dipermainkan lagi.
Entah ada dorongan apa, Puput pun berjalan mengikuti Erlangga menuju sebuah pondok kecil
yang berbuat dari bambu di ujung kiri taman belakang.
Di dalam, Erlangga menuangkan secangkir teh hangat yang wangi dan memberikannya pada
Puput. Puput pun menerima cangkir yang masih beruap itu. Kedua tangannya memegang erat
sisi-sisi cangkir. Mata cewek itu masih terus menelusuri sisi-sisi ruangan. Di mana-mana yang
dilihat Puput hanya lukisan belaka.
"Bagaimana?" tanya Erlangga. "Eh" Apanya?" "Tehnya, enak?" Puput menatap Erlangga,
menyeruput teh dan merasakan tenggorokannya terasa hangat, lalu mengangguk. Erlangga
mengambil kuas yang tergeletak di lantai. Dengan hati-hati, Erlangga membereskan alat
lukisnya. Puput memperhatikan Erlangga yang mengerjakan semua itu dengan heran. Hei, hei, dari tadi
Puput udah mikir bakal ditanya macam-macam. Tapi kok tampaknya Erlangga sibuk sendiri
dengan urusannya! "Eh"," Puput memangil dengan ragu-ragu. Erlangga menengok,
kegiatannya terhenti sebentar. "Anu" Eng?" Aduhhh! Puput jadi malu sendiri, lalu menggeleng
pelan. Dia tertunduk. Sekarang matanya teralihkan pada uap panas yang masih mengepulngepul di cangkir.
Erlangga kembali sibuk dengan urusannya, membereskan beberapa kuas dan cat minyak yang
terserak. Puput masih duduk sambil menggenggam cangkir tehnya yang terasa hangat, seperti
rasa hati Puput yang sekarang. Matanya tidak lepas memperhatikan Erlangga yang sibuk
membereskan alat-alat lukisnya. Rambut Erlangga yang ikal panjang terikat rapi. Kaos putihnya
mulai basah dengan keringat. Bau cat minyak tercium dari ruangan ini.
Hangat"hangat, di sini terasa hangat" Puput merasa rindu pada rumahnya, pada paman dan
bibi, pada bau jalanan di gangnya. Tanpa disadari, air mata Puput mengalir pelan-pelan
membasahi pipinya kembali.
Erlangga menengokkan wajahnya, menatap Puput yang menangis tanpa suara sambil
merapatkan kedua tangannya memegang cangkir. Erlangga terus menatap Puput yang masih
menangis, lalu mulut Erlangga mendesis, "Artemis?"
Pagi itu Puput bangun dengan semangat baru. Di tempat ini, tidak seluruhnya dia menemukan
hal jelek. Puput ingat semalam, waktu Erlangga menemaninya. Memang tidak ada omongomong yang berarti. Puput juga hanya sekedar memperhatikan suasana studio lukis Erlangga
yang tampak apik dan nyaman. Entah kenapa dia merasa tenang berada di sana malam itu.
Pikiran buruk yang ada di otaknua pelan-pelan menguap. Masih terbayang dalam kepala Puput
suasana studio Erlangga, aroma cat minyak, lukisan yang memenuhi dinding, juga teh hangat
yang diminumnya, mengaburkan kesedihan hati yang melanda Puput saat itu.
Selama dua jam, Puput dan Erlangga berbicara sedikit-sedikit tentang lukisan. Erlangga dengan


My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sabar menjelaskan beberapa lukisan yang dibuatnya. Bahkan, dia menjelaskan tentang caracara melukis. Puput dapat mengingat jelas, dia yang sibuk bertanya ini itu dan melupakan
kesedihannya. Pokoknya Puput merasa seperti hidup lagi dan tidak takut menghadapi kedua
kakak adik itu. Di rumah ini masih ada orang yang sungguh-sungguh dapat membuatnya damai
seperti paman dan bibi. Ah, andai saja orang yang dijodohkan untuknya itu sebaik Erlangga, masalahnya kan nggak
perlu serunyam ini. Puput pun akan merasa seperti Cinderella. Tapi"membayangkan Andra di
dalam kepalanya saja, membuat trauma tersendiri bagi Puput. Kemarin malam baru saja dia
dibilang katak. Huh! Padahal, kalau benar Puput itu katak, pasti raja-raja katak banyak yang
naksir. Saat ini Puput berpikir apa yang akan dilakukannya. Inikan hari Minggu" Untungnya Andita sejak
semalam belum pulang. Nginap di rumah temannya. Setidaknya nggak ada orang yang rebut
dan sinis sama Puput. Kalau om dan tante, lagi pergi keluar kota, ada undangan bersama si
kembar. Berangkatnya pagi-pagi sekali. Andra" huh! Peduli ah!
Pikiran Puput pun melayang pada Erlangga, penasaran apa cowok itu ada di studio lukisnya.
Mungkin mereka bisa mengobrol lagi seperti semalam. Rasanya sangat menyenangkan. Yup,
sudah diputuskan" Puput akan menemui Erlangga di studionya.
Ketika Puput berjalan turun, jantung Puput seperti melompat. Erlangga tengah berdiri di depan
pintu, memegang sebuah benda besar yang terbungkus rapi. Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa
dicari, orangnya sudah ada di depan mata. Dengan antusias Puput menghampiri Erlangga, "Apa
itu?" tanya Puput dengan wajah penasaran sambil mengelilingi benda yang dipegang Erlangga.
"Menurutmu apa?" Puput menggeleng. Erlangga tersenyum. "Ini lukisan pesanan," jawabnya.
"Boleh lihat"!" Puput langsung semangat. "Jangan sekarang. Aku harus mengirimnya!" Puput
tertunduk setengah kecewa. Wajahnya yang sendu semakin bertambah sendu. Erlangga
memandang Puput dengan perasaan iba. Dengan desah keterpaksaan, Erlangga berujar, "Kamu
mau ikut?" Puput menengadahkan wajahnya. Sebersit sinar tampak di kedua matanya. Penuh semangat,
Puput mengangguk senang. Erlangga segera mengeluarkan kijang dari dalam garasi dan
menaikkan lukisannya ke dalam mobil. Puput segera duduk di depan, di samping supir.
Tepat saat itu, Andita pulang dengan sedannya dan melihat Puput tengah duduk di sana. Alis
matanya naik. Segera Andita turun dan menghampiri mobil yang hampir jalan itu. "Abang! Apa
yang abang lakukan pada" pada anak udik ini!" suara Andita terdengar cepat dengan deru
napas penuh kemarahan. Tangannya menunjuk kearah Puput.
"Abang mau menyerahkan lukisan pesanan orang, Dita." Erlangga menunjuk bungkusan besar di
bangku belakang. "Tapi, kenapa dia ikut"!" Andita berpaling kearah Puput, "Hei, anak udik!
Kamu benar-benar muka badak ya" Turun kamu dari situ!" teriak Andita. Puput meringis,
bingung. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan"
"Turun!" bentak Andita tidak sabar. Dibukanya pintu mobil dan dia pun menarik lengan Puput
hingga Puput tersentak hampir jatuh. "Andita!" kali ini Erlangga yang membentak Andita. Andita
terhenti" memandang heran pada Erlangga yang membentaknya. "Lepaskan tangan Puput!
Kamu tidak boleh melakukan itu!"
"Jangan becanda, bang. Nanti sore Dita mau pakai mobil ini. Dita nggak mau kutunya menempel
di jok mobil. Bisa gatal-gatal ini!" Puput meringis lebih merana. Cengkraman tangan Andita
belum juga terlepas. "Hentikan, Dita!" Erlangga turun dari mobil. "Lepaskan! Jangan kekanakkanakan!"
Andita melonggarkan cengkramannya. Sinar matanya sarat kekesalan. Tapi cewek itu tidak bisa
melawan Erlangga. Erlangga berbeda dengan Andra yang sangat menyayanginya. Erlangga
jauh lebih dingin. Dengan kesal, dilepaskannya lengan Puput. Puput cepat-cepat menutup pintu.
Mobil kijang itu pun melaju tanpa hambatan. Melewati Andita yang menatap geram. Puput
menekan tangannya yang tadi dicngkram Andita. Rasa sakit masih terasa di situ. "Sakit?" tanya
Erlangga. "Sedikit. Makasih soal tadi." Erlangga menggeleng. "Kali ini Andita keterlaluan!" "Ya,
dari awal juga begitu, Andra juga. Habis mau gimana lagi, mereka kan benci aku," jawab Puput
enteng. Tangannya masih memijit-mijit pergelangan tangannya yang nyeri.
Erlangga memukul setirnya, lalu dipalingkan wajahnya dari Puput. Dengan desah yang panjang,
dia terus menyetir sambil memandang ke depan.
Puput melirik Erlangga, ikutan mendesah. Erlangga tidak bicara apa pun, persis seperti
semalam, tidak menanyakan apa pun.
Bab 5 Diantara rembulan yang mulai kehilangan wajahnya yang sempurna, Erlangga dan Puput
bercakap-cakap di beranda pondok bambu milik Erlangga. Sinar lampu menerangi tempat itu.
Sorotnya mamberi warna tersendiri pada lukisan-lukisan yang tergantung. Bau cat minyak
tercium cukup kencang, tapi muda-mudi tersebut tampak tidak peduli dan asyik dengan
percakapan mereka. "Kamu betah di sini, Put?" tanya Erlangga yang duduk di sisi Puput samil memainkan kuas di
tangannya. "Ya!" Puput memainkan rambutnya yang dikucir dua. Matanya yang bulat menatap
lukisan Erlangga yang belum selesai. "Andra dan Andita masih sinis sama kamu?" tanya
Erlangga hati-hati. Kuas di tangannya sudah berpindah tempat.
"Hehehe, sudah biasa kok, Kak Er. Sudah lima bukan di sini, jadi sudah biasa dengan ejekan
Andita, dengan sikap sinis Andra. Benar-benar sudah nggak apa-apa?" Puput berlagak cuek.
Erlangga menunuduk. "Maaf, ya Put." Ujarnya pelan. "Lho, lho, kenapa Kak Er minta maaf?"
"Bagaimanapun mereka saudaraku. Maaf karena aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk kamu,
Put." Jangan begitu! Kalau tidak ada Kak Er, aku tidak akan tahan tinggal di tempat ini selama lima
bulan. Andra memang tetap menganggapku katak yang ingin berubah jadi manusia, Andita
apalagi. Terkadang aku berpikir, jangan-jangan dia ingin membunuhku pelan-pelan. Tidak di
rumah atau pun sekolah, dia tetap saja mengejek dan memusuhiku. Tapi selama Kak Er tetap di
rumah ini, selalu saja ada keinginanku untuk selalu kembali kemari. Tapi Puput hanya diam. Dia
tidak ingin menyampaikan semua itu pada Erlngga. Cukup dengan bersamanya saja, Puput
merasa hatinya hangat. "Nggak kok. Bagi Puput, Kak Er baik juga sudah cukup" Itu sudah lebih
dari cukup!" Erlangga tersenyum. Lembut ditepuknya pundak Puput. Puput merasa damai, kedamaian yang
selalu dirindukan Puput. "Puput, boleh aku minta sesuatu?" tanya Erlangga akhirnya. "Eh, apa?"
"Mau nggak kamu jadi model lukisanku?" Puput mengangkat wajahnya menatap Erlangga.
"Model" Maksud kakak model lukisan yang itu?" "Iya, model lukisan. Sebenarnya sudah lama
Bocah Sakti 14 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Raja Rencong Dari Utara 1
^