Pencarian

My Silly Engagement 2

My Silly Engagement Karya Dewi Sartika Bagian 2


ingin ngomong, tapi" waktunya nggak pas," ujar Erlangga.
"Kak Er serius, maksud Put, rasanya aneh sekali, Puput kan nggak cantik." "Siapa bilang. Put,
kamu sesuai kok dengan image yang ada di kepalaku saat ini. Kamu sesuai dengan image Dewi
Artemis." Kata Erlangga dengan roman serius. "Artemis?" "Artemis itu Dewi Perburuan di dalam
mitologi Yunani. Seorang Dewiyang cantik dan menawan. Dia benar-benar dewi yang misterius."
Jelas Erlangga "Aku" Apa aku mirip dengan gambaran itu, maksudku dengan Dewi Artemis itu?" Erlangga
menganguk kembali, "Sangat sesuai" Dewi Artemisku." Erlangga menyapukan tangannya pada
rambut Puput yang dikucir dua. Mata Puput mengerjap senang. Binar matanya laksana sinar
rembulan di malam yang cerah.
Puput menatap dirinya di cermin. Apakah dia begitu mirip dengan Artemis atau Erlangga salah
menilainya. Dimana sisi keanggunan miliknya yang mirip dengan sang dewi" Tapi permintaan
Erlangga benar-benar mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Sejak dulu Puput ingin sekali
dilukis. Tapi dilukis seperti image Erlangga, rasanya terlalu jauh.
Puput teringat kata-kata Andra. Mungkin Andra benar! Imagenya lebih mirip seekor katak yang
berharap menjadi manusia daripada Dewi Artemis. Duh" kenapa bisa-bisanya Puput jadi nggak
pede begitu. Padahal, dia sudah berkata dengan lagak gagah kalau dia akan baik-baik
saja"selama ada Erlangga.
Puput segere melepaskan ikat rambut dan menyisir rambutnya yang panjang. Dengan hati-hati,
dibelah dua rambutnya dan dipandangi dirinya di depan cermin. Hmmm, tidak jelek kok!
komentarnya dengan bangga.
Sedang sibuk Puput berpatut di depan cermin, kamarnya diketuk seseorang. Puput buru-buru
merapikan rambutnya kembali dan segera membuka pintu. "Non Puput, ada telepon dari Dody,"
ujar pembantunya. "Dody, sebentar ya?"
Puput segera berlari ke depan dan mengangkat telepon. Ketika Puput sedang berbicara di
telepon, Andra muncul di beranda depan dan menghentikan langkahnya. Andra menatap Puput
heran. Alis matanya mengernyit saat dia memperhatikan Puput yang menggerai rambutnya.
Selama ini, Andra selalu melihat Puput dikucir dua.
Merasa diperhatikan oleh Andra dengan pandangan aneh, Puput segera mengakhiri telepon dan
mengibaskan rambutnya yang tergerai, menutupi sebagian wajahnya. Andra masih tetap
memandangi Puput, lalu pandangannya turun ke bawah dan kembali lagi ke atas. "Ada paa,
kak?" Puput bertanya dengan takut-takut. "Baru kali ini aku melihatmu tanpa kucir. Ternyata
kamu bisa juga menjelma menjadi puteri cantikemana kulit katakmu" tanya Andra sambil
tersenyum simpul pada Puput.
Semburat memerah muncul saat Puput mendengar ejekan itu. Matanya yang bulat besar makin
membesar mendengar ejekan Andra. "Tapi kalau seperti ini saja, kamu belum bisa menjadi calon
isteriku. Kamu masih terlalu jauh?" lanjut Andra sambil mengurai senyum sinisnya.
"Aku juga tidak pernah sudi?" Ups! Puput buru-buru menutup mulutnya sendiri. Gawat, apa
yang baru saja dikatakannya! Andra tersenyum, senyum penuh kemenangan. "Wah kalau begitu
kita bisa segera membatalkan perjanjian konyol itu kan" Kamu mengatakan sendiri lho. Jadi
kamu yang harus membayar ganti ruginya?" Tidak! Wajah Puput memucat. "Kalau gitu, akau
bisa segera menghubungi Pak Iskandar. Tentu dia akan senang hati mengurus hal ini... Itu kan
pekerjaannya," lanjut Andra dan berlagak akan segera menelepon.
Puput buru-buru menarik lengan baju Andra dengan panik. "Aku nggak pernah mengatakan
perjanjian itu batal!" teriak Puput. "Lho" Bukannya tadi kamu bilang?" "Bukan!" buru-buru Puput
meralat perkataannya. "Bukan begitu"Aku akan tetap mematuhi perjanjian itu." "Sayang
sekali?" ujar Andra seraya meraih dagu Puput.
Puput menatap mata Andra yang hitam dan dalam. Puput terpenjara di dalam lengan Andra
yang kokoh. Sekali-kalinya Puput dapat memandangi wajah Andra yang tampan dengan garis
alis yang tebal dan hidung yang mancung, wajah Andra yang kokoh dengan dagu yang belah.
Andra memang benar-benar mempesona sebagai laki-laki.
Tapi pada saat memandang wajah Andra, Puput merindukan seraut wajah seorang laki-laki
dengan rambut ikal dan kacamata peraknya. Puput kangen bau cat minyak yang dapat
diciumnya dari cowok itu. Puput merindukan mata lembut yang dalam dan penuh kehangatan.
Entah mengapa Puput jadi rindu pada Erlangga.
Tepat pada saat itu, muncul Erlangga dari balik lorong ruang belakang. Erlangga menarik napas
ketika melihat Andra yang tengah meraih dagu Puput. "Bang"," Erlangga memanggil Andra.
Menyadari kehadiran Erlangga, Andra dengan cepat kembali pada sikapnya yang biasa. "Angga,
hei"," ucapnya dengan suara gugup. "Maaf, bang! Apa abang sedang sibuk dengan Puput?"
tanya Erlangga hati-hati. "Tidak, kenapa?" "Aku mau meminjam Puput. Sebentar...," pinta
Erlangga dengan hati-hati.
"Silakan," Andra segera mendorong tubuh Puput mendekati Erlangga. Puput hampir terjengkang
ke depan karenanya. Tapi Andra tetap cuek dan segera pergi ke lantai atas, tanpa menengok
lagi. Puput salah tingkah ketika Erlangga berdiri di sampingnya dan menuntun tangannya tanpa
berbicara sepatah kata pun. Ya Tuhan, apa yang baru saja ada dipikirannya" Mengapa tadi saat
berada di dalam rengkuhan Andra, Puput teringat Erlangga.
Erlangga membawa Puput menuju studio. Dengan lembut, dia mendudukkan Puput pada
sebuah bangku yang telah disediakan pondok, menghadapnya. Puput menatap cowok yang kini
menyibakkan rambutnya ke depan dan mengangkat dagunya ke atas. Mata mereka berdua
bertemu. Puput merasa debaran jantungnya mulai aneh.
"Yah, posisi seperti ini cocok," ujar Erlangga puas. "Kamu jangan bergerak terlalu banyak ya,"
pinta cowok pendiam itu dan dia pun segera mengambil kuas dan cat minyak. Bau cat semakin
merebak memenuhi pondok. Puput diam di pojokan sambil terus memandangi Erlangga yang
bekerja melukis dirinya. Perasaan aneh di dalam dadanya semakin menjalar sampai ke ujung
tenggorokannya sebelum kembali lagi ke dalam dadanya dan memanas di sana. Puput tidak
mengerti mengapa dadanya panas dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Puput," panggil Erlangga. "Ya," jawab Puput setengah terkejut. Lamunannya buyar seketika.
"Apa yang dilakukan Bang Andra sama kamu tadi?" tanya Erlangga yang membuat jantung
Puput berdebar semakin cepat, semakin aneh.
"Eh" itu! Dia bilang kalau aku sekarang lebih mirip manusia daripada katak kalau menggerai
rambut. Hehehe..," Puput dapat merasakan ujung-ujung bibirnya tertarik membuat sebuah
senyuman aneh yang dipaksakan.
Erlangga menatap Puput. Tangannya berhenti bergerak dan alis matanya naik ke atas. "Dia
bilang begitu?" tanya Erlangga bingung. "Bukan persis seperti itu Kak Er"," potong Puput cepat.
Padahal, memang benar seperti itu! "Sepertinya Kak Andra pengen bikin Puput marah dan
membatalkan perjanjian itu." Nada suara Puput tercekat di tenggorokan saat menceritakan itu.
Erlangga diam, alisnya bergerak-gerak. "Kamu suka dengan perjanjian itu?" tanya Erlangga
pelan, bahkan nyaris tidak terdengar.
Hah! Yang benar saja" Siapa yang sudi nikah dengan cowok yang sombong, kejam, suka
menghina orang" dan bla"bla"bla"! Puput menggeleng lemah. Sorot matanya meredup dan
senyumnya pahit. "Siapa yang suka" Tapi aku hanya mengatakannya pada Kak Er lho.
Perjanjian itu bila tidak disanggupi Cuma akan merepotkan paman dan bibi. Kak Er kan tahu,
Puput anak yatim piatu, juga bukan orang kaya. Coba, dari mana Puput dapat ganti rugi kalau
membatalkan perjanjian itu" Paman dan bibi sudah merawat Puput dengan baik. Puput nggak
mau lebih menyusahkan mereka."
Erlangga terdiam. Sorot matanya yang lembut berubah menjadi duka. Dia mengangguk, lantas
kembali berkonsentrasi pada lukisannya. Puput tertunduk dan suasana pun berubah menjadi
murung. Ah, lagi-lagi dia tidak berkomentar, tidak berpendapat. "Seandainya Andra lebih baik,
mungkin semuanya akan baik-baik saja kan?" ucap Erlangga.
"Iya. Waktu itu juga Puput pikir begitu" Tapi ternyata?" Puput tertunduk. Memang awalnya
Puput berharap, Andra akan bersikap baik padanya. Pasti" Walau sedikit, Puput akan
menyukainya. Tapi" Sambil tetap melukis, Erlangga menggumam lembut, "Tapi kamu tahu,
Put" Kamu memang secantik Dewi Artemis?" Benarkah"
Namaku Puput Amelia, usiaku 17 tahun dan kini sedang jatuh cinta. Bolehkan jatuh cinta" Lima
bualn tinggal di rumah keluarga Wijaya bukanlah hal yang menyenangkan. Memang sih, Om dan
Tante Wijaya baik padaku, tapi siapa yang tahan kalau di sekolah maupun di rumah dimusuhi
oleh orang yang sama. Andita Wijaya, calon adik iparku, kuharap tidak deh, orang yang
mendaulat aku sebagai musuh besarnya. Jangan kira Andita tidak melakukan banyak hal untuk
membuatku susah. Dia benar-benar membenciku, kurasa.
Andra Wijaya, calon suami yang tidak kuharapkan, sama saja dengan adiknya. Mereka benarbenar adik kakak yang kompak. Andra orang pertama yang paling membenci perjanjian konyol
yang menjerat mereka berdua. Orang keduanya adalah Andita dan yang ketiga adalah aku.
Karena kebenciannya itulah dia menyebutku katak (benar-benar tidak sopan). Katanya, aku
seperti katak yang menghendaki jadi manusia. Kalau boleh jujur, aku lebih suka terus menjadi
katak daripada bersama Andra.
Satu-satunya hal yang membuat aku bertahan selama ini adalah Erlangga, anak tiri Om Wijaya.
Dia seorang pelukis amatir yang pendiam dan tertutup. Lagaknya acuh tak acuh, tapi dia benarbenar membuat aku merasa berarti. Pada Erlangga lah, aku menambatkan cinta pertamaku.
Sudah lebi dari seminggu Erlangga sibuk melukisku. Berkali-kali dia mengubah lukisannya untuk
mendapat gambaran sempurna Dewi Artemis. Erlangga menganggap akulah figure yang cocok
mengambarkan dewi itu-seorang dewi di mitologi Yunani.
Aku merasa sangat bahagia telah dilukis oleh Erlangga. Sedikitnya, boleh kan aku bermimpi
dialah yang ditunjuk sebagai calon suamiku-walau aku sangat-sangat mengharapkannya-toh, dia
juga anak Om Wijaya. "Puput, coba kamu agak menghadap ke samping!" perintah Erlangga
sambil terus menyapukan kuas pada kanvas di depannya.
Puput menuruti perkataan Erlangga. Dicondongkan wajahnya ke samping dengan kesan
anggun. Erlangga mengangguk-angguk puas dan kembali menekuni lukisannya. Aku suka sosok
Kak Er yang sedang melukis. Dia tampak begitu gagah dan tampan, ujat Puput dalam hati. Aku
ingin menjadi Dewi Artemis di dalam hatinya.
Bulan masih bulat di atas langit. Tampak tersipu malu mengintip dari balik awan hitam yang
menutupinya. Bulan, buulan sinarilah aku. Jadikanlah aku dewi di dalam hati Erlangga.
=== Bab 6 Pintu kamar Puput diketuk dari luar. Puput malas untuk membuka pintu itu. "Puput, apa kamu
sudah tidur?" sebuah suara lembut terdengan di balik pintu. Puput terlonjak dari tempatnya
duduk. Itu suara Tante Nia. Dengan sigap, Puput segera membuka pintu. "Maaf tante, tadi Puput
sedang tidur-tiduran," jawab Puput sekenanya.
Tante Nia menerobos masuk ke kamar Puput dan menghempaskan tubuhnya di atas kasur
Puput. Wajah Tante Nia tampak cerah sekali. "Puput, ada kabar bagus. Kamu pasti suka ini!"
Tante Nia segera menyodorkan dua lembat tiket pada Puput. Puput mengamati tiket tersebut
dengan separuh minat. "Tiket apa nih, tante?"
"Tiket nonton konser. Ini tiket VIP lho. Kamu bisa menontonnya dengan Andra. Pasti dia nggak
keberatan. Dia juga suka konser ko," ujar Tante Nia dengan semangat"45. Menonton konser"
Dengan Andra" Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam"! Puput mendesah. "Apa itu perlu, Tante?"
"Ya tentu perlu dong, Put. Kamu kan jarang pergi dengan Andra. Sekali-kali luangkan waktumu
untuk pergi dengannya. Toh kalian juga nantinya akan seringpergi bersama. Kalian kan calon
suami-isteri." Puput mendesah lagi dengan malas. "Pasti Andra nggak bisa, Tante. Dia sibuk sekali," tolak
Puput halus sambil mengulurkan tangannya. "Dia pasti mau. Semua sudah tante atur kok.
Tenang saja." Ternyata dugaan Puput tepat. Rasanya sangat menjengkelkan ketika firasat buruk selalu tepat.
Menjelang makan malam, Tante Nia dengan semangat menceritakan tiket konser yang dibelinya
dan niatnya untuk membuat Puput dan Andra pergi bareng ke konser. Dengan wajah tenang dan
santai, Andra menjawab, "Tidak."
"Kenapa" Kalian belum pernah pergi bersama bukan?" tanya Tante Nia dengan wajah kecewa.
"Ma, kan sudah pernah Andra bilang, masalah perjodohan itu Andra bersedia. Tapi di dalam
kontraknya tidak ada pasal yang menyangkut pergi bersama. Jadi itu tidak perlu," jawab Andra.
Puput menundukkan wajahnya dalam-dalam. Rasanya selutuh malu yang ditanggung hendak
ditumpahkan ke dalam piring makannya. Tuh kan, apa kubilang"! ujar Puput dalam hati.
"Andra!" Om Wijaya tampak mulai marah melihat perlakuan Andra pada Puput. "Lebih sopanlah
sedikit pada mama dan Puput." "Papa, Andra sudah benar-benar muak dengan ini semua! Kalau
memang Puput mau tinggal di rumah ini, silakan. Kalau papa menyukainya, silakan. Tapi tolong,
jangan libatkan Andra lebih jauh." Suara Andra mulai meninggi.
Puput bersyukur karena Erlangga sedang pergi mengantar lukisannya dan tidak ada di meja
makan. Kalau tidak, Puput tidak tahu mesti ditaruh di mana mukanya saat ini. "Andra!! Apa tidak
bisa kamu berlaku lebih baik lagi"!" Om Wijaya masih berusaha menahan emosinya. Andra
langsung membanting serbet makannya, lalu bergegas berdiri dari tempat duduknya. "Sudah
cukup, pa. Semua ini kan kekonyolan yang papa buat" Andra memang setuju dengan perjanjian
itu, tapi tidak pada satu hal ini!"
"Andra! Duduk!" suara Om Wijaya tampak tajam. Andra tidak menggubris perkataan papa.
"Andra! Duduk!" intonasi suara Om Wijaya mulai keras. Puput semakin tertunduk. "Andita juga
nggak suka!" Andita mulai ikut-ikutan memanaskan suasana yang sudah mulai hangat itu.
"Mama juga nggak perlu ikut campur dengan urusan Bang Andra. Siapa suruh papa membuat
perjanjian konyol itu. Lihat kan apa jadinya"! Bang Andra sudah banyak berkorban!" Andita ikutikutan bangkit dari tempat duduknya.
"Andita, kau"! "Tapi itu benar kan, pa! kenyataannya papa memaksa Bang Andra untuk
menikah"dengan"perempuan ini!" Andita menunjuk Puput dengan geram. "Papa pikir Bang
Andra senang dengan semua ini! Nggak, Pa!" "Andita!" Tante Nia langsung berdiri dari
tempatnya duduk. "Jangan memaksa papa seperti itu, nanti jantung papa kumat lagi"
"Sudah Dita, yuk kita pergi saja. Kalau tetap di meja makan ini, pasti kita ikut-ikutan gil!" ajak
Andra sambil merangkul bahu adiknya. Andita dan Andra meninggalkan ruang makan segera.,
tanpa mengubris Om Wijaya yang mulai naik pitam. "Ka"kalian?" Om Wijaya mulai meregang
dan memegang dadanya yang terasa sakit. "Sudahlah, Om?" Puput buru-buru menenangkan
Om Wijaya, khawatir terjadi perang di meja makan itu karena dirinya. Tante Nia buru-buru
mencegah suaminya yang berniat mengejar Andra dengan kursi rodanya.
"Tidak bisa, kedua anak itu mesti diberi pelajaran!" teriak Om Wijaya marah. Napas Om Wijaya
mulai naik turun tidak beraturan. Puput mendadak cemas melihat situasi ini. Buru-buru
dicegahnya Om Wijaya, "Om, Puput nggak apa-apa," ujar Puput cepat, menghibur Om Wijaya
dan dirinya sendiri. "Puput?" Om Wijaya menatap Puput. Matanya penuh kekecewaan. Dia
mendesah sedih. "Ah, maaf ya, Put. Om tidak menyangka kalau begini jadinya."
"Iya, tante minta maaf, Put. Gara-gara ide tante, semua jadi kacau begini," Tante Nia ikut-ikutan
bicara. Suaranya bergetar penuh penyesalan. Puput mendadak iba melihat kedua orang yang
begitu baik padanya. Hatinya terasa miris. "Ah, nggak apa-apa." Puput memperhatikan tiket yang
ada di tangannya. Dengan senyum yang dipaksakan, Puput pun berujar, "Sayang kan kalau
tiketnya nggak dipakai. Boleh untuk Puput" Biar Puput nonton konser ini sama teman saja,"
hibur Puput. Puput tahu Tnate Nia membeli tiket itu untuk menyenangkannya.
"Ya, kalau itu mau Puput,,,." ucap Tante Nia dengan wajah ragu-ragu, memastikan kalau Puput
memang tidak apa-apa. Setelah melihat Puput tersenyum, Tante Nia sedikit merasa lega.
Diberinya dua tiket itu pada Puput.
Bohong kalau saat ini Puput tidak sedih. Puput sangat sedih. Perkataan Andra tadi sudah
membuktikan kebencian yang tidak tertahankan di dalam hati calon suaminya itu. Puput tidak
berharap Andra akan menyukainya- tapi dibenci seperti itu kok rasanya sedih sekali.
Dikuncinya pintu kamar dan dengan air mata yang sudah berleleran di pipi, Puput
membenamkan wajahnya di bantal. Padahal, aku sudah menduganya. Tapi kok, penolakan yang
kudengar langsung terasa begitu menyakitkan dari perkiraan. Sampai kapan aku bisa bertahan
tinggal di tempat ini" Aku ingin pergi dari sini" Aku ingin pergi dari sini, kembali ke tempat
paman dan bibi, lalu" lalu" Ah, nggak bisa! Kalau begini artinya aku menyusahkan paman dan
bibi. Mereka akan dikenakan sanksi dan di suruh membayar denda untuk menebus sikapku ini.
Mana mungkin aku melakukan hal itu"!
Puput menyusut air matanya yang terus tumpah dari kelopak matanya. Cewek itu merasakan
benci yang luar biasa pada Andra. Pantaskah dia menerima perlakuan buruk dari Andra" Toh,
dia juga berada dalam posisi yang sama dengan Andra, hanyalah korban dari perjanjian konyol
yang dibuat orang tua mereka enam belas tahun silam.
Puput meraih tiket yang diberikan Tante Nia padanya. Dua tiket VIP yang harganya lumayan
mahal, sayang kalau tidak digunakan. Hei, tunggu sebentar, bukankah Dody suka ini" Ya,
mungkin Puput bisa mengajak Dody pergi daripada berdiam di rumah ini dengan hati suntuk.
Setelah konser selesai, Puput bisa minta diantar Dody pulang ke tempat paman dan bibi.
Setidaknya, hari itu Puput bisa merasa bebas dari kebencian Andra dan Andita.
Puput harus bersyukur karena Dody langsung menyetujui rencananya. Sabtu ini, lebih tepatnya
malam minggu, Dody datang ke rumah Om Wijaya. Saat itu, sudah jam setengah tujuh malam.
Konser baru dimulai jam delapan dan berakhir jam sepuluh. Rencananya Puput akan mampir
dulu ke toko buku untuk membeli beberapa buku pelajaran. Setelah makan malam di luar, baru
keduanya pergi ke konser.
Konsernya sungguh keren. Penonton berjalan dan terus berteriak histeris. Untung aja Puput
punya tiket VIP yang tempat duduknya nomor dua dari depan. Puput jadi bisa menikmati konser
dengan nyaman. Berkali-kali Dody mengucapkan terima kasih pada Puput karena sudah mau
memberi dirinya tiket konser.
Andai Dody tahu kalau tiket ini bukan untuknya, pasti dia akan kecewa. Puput juga tidak berniat
untuk memberi tahu Dody ada apa sebenarnya di balik keberuntungannya. "Gila, Put! Keren
banget konsernya! Wah, makasih ya! Bilang juga sama Tante Nia" Thank you berat gituuu!"
sorak Dody senang. "Syukur deh kalau kamu suka," ujar Puput dengan senyum merekah. Paling nggak, sahabatnya
berbahagia karena tiket pembawa bencana itu. Di antara kelamnya malam dan binary lampulampu neon di jalan, Puput dan Dody berjalan sambil bercanda, jam saat itu sudah menunjukkan
pukul 22.15 menit. Melewati sebuah diskotik mewah, Puput mengeryitkan keningnya. Dia mencoba menegaskan
pandangan pada seseorang berpakaian seronok yang dirasa dikenalnya. Saat ini, cewek itu
sedang berjalan keluar dari pintu diskotek, diapit tiga cowok. Cewek tersebut sedikit limbung.
Jalannya sempoyongan menuju tempat parkir. Ketiga laki-laki yang mengapitnya terus menahan
tubuh cewek itu hingga tidak terhempas ke tanah. "Lho, cewek itu"," ujar Puput pada Dody.
"Siapa?" tanya Dody sambil menengok ke arah yang ditunjuk Puput. Matanya menyipit
memandang kejauhan. "Itu, cewek itu" rasanya dia" "Ya Tuhan, Andita! "Andita!" Puput nyaris berteriak di tempatnya.
"Andita" Oh, adik calon suamimu itu?" tanya Dody. "Iya, tapi kenapa dia jalan dengan tiga cowok
nyeremin gitu?" tanya Puput sambil terus mengamati Andita. "Adu Dod, aku kok khawatir ya","
ucap Puput cemas. Mendadak firasat buruk menggelayuti pikirannya. "Mungkin temantemannya," ujar Dody santai. "Ke sana yuk," ajak Puput sambil mengapit tangan Dody,
mengendap-endap mengikuti.
"A" aduh, Put! Jangan main tarik aja dong! Sakit nih!!" Dody terseret arus lengan Puput yang
mengapitnya erat. Puput gelisah dan penasaran. Pasalnya lagak-lagak ketiga cowok itu terasa
tidak enak. Dari jarak tiga meter, Puput dapat melihat ketiga cowok itu mulai meraba-raba tubuh
Andita. Beberapa kali Andita berusaha menepis tangan salah satu cowok yang mulai menyentuh bagian
sensitif tubuhnya. Tapi cowok yang lainnya pun sama saja, terus meraba-raba tubuh Andita.


My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puput mengernyit dan sadar kalau ketiga cowok itu berniat buruk pada Andita. Beberapa saat,
Puput terombang-ambing, antara ingin menolong atau tidak.
Tapi ketika Andita mulai berontak dan ketiga laki-laki itu mulai mendorong tubuh Andita ke
bawah, Puput tahu ini saatnya untuk bertindak. Dengan segera Puput berlari dan mendorong
tubuh laki-laki yang mulai berjongkok mendekati Andita. Dody dengan sigap mengikuti dari
belakang. Laki-laki yang ditabrak oleh Puput oleng dan jatuh ke samping. Andita segera
merangkak dan Puput segera menarik tubuh Andita menjauhi ketiga laki-laki itu.
"Wah, wah, ada temannya!" ucap salah seorang laki-laki yang masih dalam posisi berdiri. "Cantik
lagi! Lumayan, tapi ada monyetnya!" kata temannya sambil menunjuk Dody. "Enak aja monyet!
Kalian tuh yang monyet!" seru Dody kesal. "Eh, loe jangan ikut-ikutan ya!!" salah seorang dari
tiga orang itu langsung merangsek mendekat. "Minggir sana bocah!!" Dia langsung
menerjangkan tinjunya ke perut Dody.
Dody dengan sigap mundur, menghindar, lalu menepis tonjokan itu dan balik menghajar wajah si
penyerang. Kedua teman laki-laki yang dihajar Dody mulai bereaksi. Salah satu langsung
membantu temannya menyerang Dody, sedang yang lain mendekat ke arah Puput.
Andita tampak ketakutan, berdiri di belakang tubuh Puput. Wajahnya pucat karena mabuk dan
ketakutan. Dalam waktu singkat, dua orang laki-laki itu mulai mengeroyok Dody. Satu laki-laki
lagi, yang sempat diterjang oleh Puput, berdiri di hadapan Puput sambil meletakkan letak lengan
bajunya. Dia mengambil kuda-kuda siap menghadapi Puput.
Puput berkelit dari cengkraman tangan laki-laki yang menyerangnya. Puput pun mendorong
Andita ke samping agar tidak terlibat dalam pertarungannya. Dengan gerakan silat yang pernah
dipelajarinya waktu SMP, Puput menghadapi laki-laki itu.
Dody juga bisa mengatasi kedua laki-laki yang menjadi lawannya. Namun, salah satu lawan
Dody mengeluarkan pisau dari balik jaketnya. Dody terkejut. Tapi dengan sigap dia menghindari
laki-laki tersebut, mematahkan gerakan laki-laki itu, dan bahkan berhasil menjatuhkan pisaunya.
Puput sendiri berhasil mengatasi lawannya. Dengan satu tendangannya, Puput berhasil
menonjokkan laki-laki itu. Tapi lawannya tidak mau kalah. Dengan cepat diambilnya belati yang
tergeletak di tanah. Diputarnya pisau itu ke arah Puput. Dengan gesit campur takut, Puput
mengelak. Beberapa kali laki-laki itu menyebet pisaunya ke depan, tapi tidak mengena hingga dia mulai
frustasi. Hingga kemudian dia melihat Andita yang meringkuk tidak jauh dari tempatnya.
Dikejarnya Andita sambil mengarahkan pisau ke arah Andita. Andita menjerit, melihat mata pisau
berkilat hendak bersarang di tubuhnya.
Tapi dengan kecepatan yang luar biasa, Puput berlari mengejar, mendorong Andita ke samping
dan menerima tusukan di perutnya. Sedikt meleset dari tengah perutnya, tapi cukup membuat
darah bersimbah deras dari luka tusukan itu.
Andita menjerit sekuatnya melihat darah mengalir deras dari perut Puput. Laki-laki itu sama
terkejutnya. Pisau yang digengamnya terlepas dan dia sendiri segera kabur. Kedua temannya
jugga menghentikan perlawanan dan melarikan diri. Dody segera berlari menghampiri Puput
yang roboh sembil memegangi perut. "Ahhh?"
"Apa! Puput masuk rumah sakit"! Teriak Tante Nia. Erlangga yang saat itu sedang berdikusi
dengan Om Wijaya langsung berdiri dan bergegas ke arah Tante Nia. "Ada apa, ma?" tanyanya
cemas. "Puput" dia masuk rumah sakit" katanya dia ditusuk orang?" tubuh Tante Nia
limbung. Erlangga segera menangkap tubuh mamanya.
"Yang benar saja!" Om Wijaya melajukan kursi rodanya menghampiri sang isteri. Wajahnya
sama terkejutnya dengan Erlangga. "Apa yang terjadi?" Tante Nia menggeleng. "Tidak tahu!
Saat ini Andita ada di sana bersama Dody, teman Puuput," ucapnya dengan suara gemetar.
"Kita segera ke rumah sakit, pa!" Erlangga segera berlari keluar rumah.
Tante Nia buru-buru mendorong kursi roda Om Wijaya keluar menyusul Erlangga. "Telepon
Andra, Nia, suruh dia menyusul!!" perintah Om Wijaya ketika mobil mereka melaju membelah
kegelapan malam. Di rumah sakit, Andita menggigil di depan pintu UGD. Tangannya digengamkan dengan ketat.
Wajahnya pucat dan air matanya masih mengalir. Dody masih berjalan mondar-mandirdi depan
Andita. Wajahnya tak kalah cemas.
Lalu sebuah suara bernada cemas memanggil Andita, "Andita" Ya Tuhan, bagaimana
keadaannya?" Andita menengok dan dilihat mamanya menghampiri, disusul Erlangga dan
papanya. Langsung Andita menangis sesunggukan di dada mamanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Om Wijaya pada Dody. " Itu Om"begini"," Dody dengan singkat
menceritakan kejadian yang menimpa mereka. Ketika mendengar uraian Dody, betapa
marahnya Om Wijaya. Ditamparnya Andita. Plakkk!
Andita terlempar ke samping. Tubuhnya segera ditangkap oleh Erlangga. "Anak bodoh! Lihat
kelakuanmu itu!" teriak Om Wijaya marah. Andita terdiam sambil memegang pipnya yang
memerah. "Kalau sampai"kalau sampai Puput meninggal"!" suara Om Wijaya terputus. Tangannya
bergetar hebat karena marah. "Sudahlah mas." Tante Nia berusaha menenangkan. "Tidak ada
gunanya memarahi Andita. Lebih baik kita menanyakan keadaan Puput pada dokter," ujar Tante
Nia dengan nada gelisah dan takut.
"Benar, pa. memarahi Dita bukan jalan keluarnya," sergah Erlangga. Perlahan Om Wijaya mulai
bisa menguasai dirinya. Dari UGD, keluar dokter dengan wajah masih memakai masker. Om
Wijaya, Dody, Tante Nia dan Erlangga segera menghampiri dokter tersebut.
"Kalian keluarganya?" tanya dokter tersebut. "Ya, kami keluarganya. Bagaimana keadaan anak
kami, Dok?" tanya Om Wijaya cepat. "Dia membutuhkan transfusi darah. Mungkinada di antara
kalian ada yang memiliki golongan darah yang sama dengannya" Persediaan darah
bergolongan O di sini belum dikirim."
Om Wijaya tercekat. Wajahnya mendadak memucat. Dia mengalihkan pandangannya kea rah
Tante Nia. "Biar saya saja, dok," tawa Erlanggan cepat-cepat, "Mungkin darah saya segolongan
dengan Puput." "Bagus kalau begitu. Sus, bawa dia ke ruangan untuk di cek dan diambil
darahnya," perintah dokter pada salah satu perawat yang ada di situ.
Dua jam kemudia, Andra datang ke rumah sakit dengan paman dan bibi Puput. Om Wijaya
menceritakan keadaan yang telah terjadi dan juga kabar baik nyawa Puput tertolong. Andra yang
mendengar cerita sebenarnya langsung mencari adiknya yang berada di ruang tunggu lain.
Letaknya cukup jauh dari ruang UGD. Andra menemukan Andita tampak terpuruk dengan wajah
sembab dan rambuk acak-acakan.
"Dita," panggil Andra. Andita menengok. Di wajahnya yang lelah, tersungging senyum lega
melihat Andra, kakaknya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Andra lembut pada adiknya. "Bagaimana
keadaan Puput, Bang?" Andita balik bertanya. Wajahnya tampak pucat dan kusut.
"Dia akan baik-baik saja. Jangan khawatir.," hibur Andra lalu duduk di sisi adiknya. Andita
tertunduk, tangannya didekapkan ke dada. Melihat hal itu, Andra segera melepaskan jaket
miliknya dan memberikan pada Andita. Dipeluknya Andita. Andita pun menangis. "Semua salah
Dita, bang" semua salah Dita! Kalau saja saat itu Dita nggak ke diskotek, kalau saja Dita nggak
mabuk pasti Puput nggak berada di sini!" Andita terisak di dada Andra. "Padahal" Dita selalu
menghinanya, selalu mengejeknya. Tapi"tapi dia menolong Dita, bang, dari para berandal itu,
dari pisau itu?" suara Andita semakin menyesak, seperti juga perasaan Andra yang menyesak
ke dada. Semua ini juga salahnya. Kalau saja dia mau pergi dengan Puput, tentu kejadian itu tidak terjadi.
Dia pasti bisa mengatasi orang-orang yang mengganggu adiknya. Mungkin saat itu, dia juga bisa
mengajak Andita pergi bersamanya. Kejadian ini pun tidak akan pernah terjadi. Kalau saja waktu
bisa diulang, ingin rasanya Andra meraih tiket yang diberikan mama pada dirinya. Lalu, dia
memesan satu lagi tiket untuk Andita dan mereka nonton bertiga.
Andra memapah adiknya mendekati papa dan mama. Di tempat itu juga ada papa dan mama. Di
tempat itu juga ada paman dan bibi Puput yang menunggu dengan wajah cemas. Tak lama
kemudian, dokter keluar dari UGD disertai dua suster yang mendorong ranjang di mana Puput
berbaring. Erlangga juga keluar dari tempat yang sama. Wajahnya terlihat leith dan tangan
kanannya memegang kapas. "Sebaiknya Andita, papa dan mama pulang saja. Soal Puput, biar Andra yang menjaganya,"
tawar Andra. "Jangan, bang, abang saja yang pulang. Antar juga paman dan bibi Puput serta
Dody. Biar Erlangga saja yang menunggu di sini," bantah Erlangga.
"Tidak bisa, Dik!" Andra segera menepuk pundak Erlangga, "darah kamu baru saja diambil,
mana kuat kamu menjaga Puput di sini semalaman. Pulang, istirahat di rumah, besok datang lagi
kemari," paksa Andra.
"Biat bibi saja yang di sini," tawar Bibi Nurma ikut menyela. "Jangan, bibi kan lagi sakit. Tenang
saja, biar Andra yang jaga di sini!" Setelah saling berbantah-bantahan, akhirnya dicapai
kesepakatan kalau Andra lah yang akan menjaga Puput. Besok giliran paman dan bibinya.
Setelah seluruh keluarganya pulang, Andra masuk masuk ke dalam kamar Puput, duduk di
sisinya dan menatap wajah Puput yang tertidur. Selang darah tampak menyambung di antara
lengan Puput. Andra meringis melihat selang itu. Hatinya diliputi penyesalan mendalam. Dengan
lembut jari-jemarinya membelai lembut rambut Puput yang panjang tergerai. Lalu, Andra
menyentuh pipi Puput. "Selama ini aku selalu bersikap tidak baik padamu. Selalu mengejekmu
seperti katak. Tapi asal kamu tahu, Put, akulah yang katak, akulah yang kerdil. Selama ini hstiku
tertutup ego dan harga diri sampai melupakan perasaan sayangku. Kamu, tanpa memperdulikn
kami berdua, kamu tetap menolongnya?" Kemudian-ini adalah hal yang tidak pernah dilakukan
Andra pada perempuan mana pun, kecuali adik dan mamanya-diciumnya kening Puput, lalu
pipinya, dan serta tangan Puput yang tidak ada selangnya, dengan tulus, penuh penyesalan.
=== Bab 7 Sampai matahari berada tepat di tengah bumu, Puput baru sadar dari tidurnya. Puput merasa
sedikit pusing dan mengantuk. Perlahan diputarnya arah mata dan Puput menangkap wajah
bibinya yang menatap dengan senyum lega.
"Bi"," ucap Puput lemah. "Ada apa, sayang?" tanya bibinya sambil mendekatkan diri ke Puput.
"Mi"num..," desis Puput. Bibi Nurma mendekatkan gelas yang menggunakan sedotan ke bibir
Puput. Puput minum beberapa teguk. Setelah itu, dia menatap bibinya. Matanya masih sayu
karena rasa sakit itu masih terasa.
"Ini dimana?" "Rumah Sakit, sayang. Untung lukanya tidak mengenai daerah vital, tapi kamu
hampir kehabisan darah. Syukurlah ada nak Erlangga yang memberikan darahnya pada kamu,
Put. Kalau tidak, kami sendiri tidak tahu mesti bagaimana lagi?" Bibi Nurma terisak-isak di sisi
Puput. "Kak Er"," desis Puput. dia
"Dan semalam Andra menjagamu. Tadi juga Andita kemari sebentar sebelum berangkat sekolah.
Dia begitu khawatir padamu. Untuk sementara, kamu tidak bisa sekolah dulu, sayang." Puput
mengernyit. Apa dia tidak salah dengar. Andita yang sinis itu?"?" Tapi syukurlah tidak terjadi
hal yang lebih sial dari luka ini. Rasanya Puput mengantuk dan sakit sekali, terutama bagian
perut. Yang bisa Puput ingat saat itu hanya darah merah menyembur dari perutnya. Kemudian
dia melihat Dody berlari ke arahnya dan kesadaran Puput pun hilang.
Tapi"tadi bibi bilang apa" Kak Er menyumbangkan darahnya padaku" Kak Er yang itu kan"
Oh, jadi sekarang darahku dan darah Kak Er telah bercampur. Di dalam diriku, di dalam aliran
darahku, ada bagian Kak Er. Dia tidak pernah sekali pun meninggalkanku, tidka pernah sekali
pun mengabaikanku. Dia ada di dalam diriku!
"Kak Er mana?" tanya Puput masih dengan suara lirih. Susah sekali berbicara dalam keadaan
terluka seperti ini. "Nanti dia pasti ke sini, Put. Tenang saja. Andra juga akan ke sini nanti siang,:
jawab Bibi Nurma lembut. Ah, peduli amat dengan Andra. Yang aku inginkan saat ini melihat Kak
Er di sisiku. Aku ingin mengucapkan terima kasih sekaligus minta maaf karena tidak bisa
membantu melanjutkan lukisannya. Habis, mau gimana lagi" Perut ini sakit sekali" seperti
ditusuk-tusuk sesuatu, perih"
"Semuanya khawatir sama kamu, Put. Dody juga, Andita juga, Bapak dan Ibu Wijaya juga,
paman juga, semuanya?" Puput tidak memperhatikan uraian bibinya. Pikirannya begitu penuh
dengan Erlangga. Kini Puput semakin menyadari-saat dia terbaring di rumah sakit- dia begitu
merindukan Erlangga. Dia akan menukar apa pun yang dimilikinya untuk menggagalkan
perjanjian itu. Sore sudah menggantikan siang dan matahari lebih condong ke barat. Andita ditemani Andra
datang ke rumah sakit. Andita membawa seikat bunga mawar putih yang segar untuk Puput,
berikut sekeranjang buah dengan pita merah muda.
Puput menyambut hangat pemberian Andita, walau dia belum bisa bergerak dan berbucara
banyak. Ada perasaan senanng dalam hatinya melihat sikap Andita yang begitu manis.
Andra seang berbincang-bincang dengan Bibi Nurma. Puput melirik sebentar ke arah Andra. ke
Alis matanya sedikit mengerut memandangi hal itu. Nggak disangka, Andra melirik kea rah
Puput. Mata mereka bertemu. Andra tersenyum, yang dibalas dengan roman aneh wajah Puput.
Apa nggah salah, Andra yang dingin dan sinis itu bisa tersenyum semanis itu padanya" Puput
merasa, kayaknya kepala Andra baru terbentur sesuatu.
Bibi Nurma pun pamit pulang. Untuk sementara Andra yang akan menunggui Puput. Andita
bersikeras tetap tinggal di rumah sakit. Sempat Puput dibuat bingung. Tapi Andra mengingatkan
Andita kalau adiknya itu ada ulangan. Andita menurut dan ikut pulang dengan Bibi Nurma. Kini
ruangan itu hanya Puput dan Andra.
"Masih sakit, Put?" tanya Andra lembut. Mata Puput membulat terkejut, menatap Andra dengan
takjub. Ternyata cowok yang supersinis itu bisa lembut juga ya" "Untung lukanya tidak dalam.
Kamu sempat bikin cemas kami semua lho," ujar Andra sambil meraih apel di atas meja. "Tapi
dokter sudah menjahitmya. Katanya sih pisaunya hampir mengenai ginjal. Kalau kena ginjal,
entah bagaiman jadinya."
Puput masih mendengarkan Andra bercerita. Kena ginjal, ya Tuhan, kalau itu terjadi mungkin
aku sudah" "Ukh","Puput merasa lukanya terasa nyeri. "Kenapa, Put?" Andra buru-buru
menghampiri Puput dengan cemas. "Perih," ucap Puput lirih. "Mau kupanggilkan perawat?" tanya
Andra yang tangannya sudah siap memencet bel.
Puput menggeleng. "Nggak..nggak usah!" Andra menarik bangkunya lebih mendekat ke arah
Puput. Segera dibetulkan letak selimut Puput. Puput semakin merasa Andra jadi terlihat aneh.
"Luka bekas jahit u=itu"," ucap Puput lirih, "apa akan berbekas?" tanyanya khawatir.
"Sepertinya iya," jawab Andra. "Berapa jahita di sini?" tanya Puput lagi sambil menunjuk bekas
lukanya. "Sekitar sepuluh jahitan." "Oh!" Puput menunduk, meringis. Pasti berbekas ya" Ah, iapa
sih laki-laki yang mau menikahi perempuan yang memiliki bekas luka jahit seperti ini?" ucap
Puput putus asa, teringat Erlangga.
"Aku mau kok," jawab Andra yang membuat Puput membelalakkan matanya yang bulat. Tapi
Puput segera memejamkan matanya. Aku tidak mau melihat matanya! Aku tidak mau melihat
matanya! Aku tidak mau melihat matanya! Kenapa Andra mesti bersikap baik padaku" Apa
karena aku telah menolong adiknya"
"Kamu sudah mengantuk, Put?" tanya Andra. Puput masih tetap memejamkan matanya. Aku
tidak ingin menatap wajahnya! Aku tidak ingin menatap wajahnya! Aku tidak ingin menatap
wajahnya! Andra menarik napasnya perlahan. Lalu-mungkin hal ini adalah perbuatan yang paling dianggap
gila oleh Puput-Andra mencium kening Puput. Aku akan menganggap diriku gila atau mungki
Andra yang gila. Kupikir dugaan yang kedualah yang benar. Andra gila!!! Dia"dia mencium
keningku. Alamak, pasti sedang mimpi buruk atau ini mimpi indah" Ah, siapa yang akan
menganggap mimpi indah bila dicium oleh orang yang paling dibenci, walau orang itu
gantengnya minta ampun. Setelah menyadari aku dicium olehnya-walau cuma kening-aku segera membuka mataku. Aku
menatap matanya yang saat itu menyorot lembut padaku, sedang aku sendiri sedang
memandangnya sebagai orang paling aneh di dunia. Aku ingin berteriak-kalau saja aku bisa-Hei,
Andra, kamu telah mencium sang katak itu! Kamu sudah mencium makhluk paling aneh di
hidupmu. Mungkin saja setelah kamu menciumku, bibirmu akan ditumbuhi totol-totol berwarna
biru dan bernanah. Atau mulutmu akan dipenuhi borok yang makin lama makin lebar dan
merusak mulutmu. Aku beranggapan seperti itu karena selama ini dia selalu menunjukkan
padaku kalau hal itu akan menimpanya bila dekat-dekat denganku.
Tapi, oh My God" Tatapan matanya seakan hendak berkata kalau itu memang sudah
seharusnya dia lakukan. Aku tidak mengerti dia!
Pintu kamar dinuka dari luar. Sesosok tubuh mengenakan kemeja putih dengan rambut ikal yang
diiikat rapi masuk ke kamar. Aku mengenalinya! Aku mengenalinya! Erlangga!
"Angga, kamu datang juga," ujar Andra ceria. "Iya, bang," ujar Erlangga. "Hai" lambainya ke arah
Puput. Di tanganya tampak seikat bunga mawar merah dan selusin jerk. Diletakkan mawar itu di
vas bunga yang dibawa Bibi Nurma dari rumah.
Inginnya sih Puput melompat dari tempatnya tidur sekarang, memeluk Erlangga dan berteriak
betapa dia rindu. Tapi untuk menangis pun dia tidak bisa. Di tempat itu, di saat itu, ada Andra,
tunangannya. "Nah, nona manis," ucap Andra dengan aksen bak seorang pangeran, "perkenalkan, orang yang
telah menyumbangkan darahnya untukmu." Aku tahu! Teriak Puput dalam hati. Dia adalah
penyelamatku, pangeran hatiku, orang yang sangat, sangat aku rindukan! Ah, kamu nggak akan
mengerti Andra. kamu nggak akan paham apa itu cinta.
Erlangga tampak tersipu-sipu. "Itu berlebihan!" Erlangga menghampiri Puput, pelan-pelan dia
membelai rambut Puput. "Kamu memang gadis yang kuat, Put," ucapnya dengan nada lembut.
Andra keluar kamar untuk mengambil kursi. Saat itu, walau hanya sekitar dua menit, Puput dan
Erlangga dapat berduaan. Puput merasa di dalam hatinya kini ada taman bunga yang luas
sekali. "Bagaiman lukisan kakak?" tanya Puput dengan suara lemah. "Belum rampung. Habis mau
gimana lagi, modelnya masuk rumah sakit sih," canda Erlangga. "Maaf, kak. Kalau saja nggak
begini, pasti lukisannya cepat selesai ya," ucap Puput dengan penuh penyesalan. "Jangan
dipikirkan. Lukisan itu tidak penting. Yang lebih penting itu ya, kamu Put. Memang sih kalau
kamu tidak ada, aku tidak bisa menyelesaikan lukisan itu karena kamulah Dewi Artemisnya,"
ucap Erlangga pelan, lirih dan lembut.
Hati Puput melambung. Sedikitnya Puput berharap-hanya berharap-Erlangga pun memiliki
perasaan khusus untuknya. Tapi kini Andra sudah ada lagi di dalam ruangan. Diserahkan
bangku yang dibawanya pada Erlangga. "Lukisanmu bagaimana?" tanya Andra. "Belum
rampung seluruhnya, bang!" "Apa kamu jadi ikut lomba lukis itu?" tanya Andra sambil
menuangkan air ke dalam gelas di atas meja.
Lomba lukis" Apa Kak Er berniat mengikuti lomba lukis" Puput menatap Erlangga, lalu
tersungging senyum kecil dari bibirnya. Aku yakin, Kak Er pasti bisa menang. "Ya." Andra
mengangguk-angguk. "Lalu, batas akhirnya kapan?" "Dua bulan lagi," jawab Erlangga. "Bang,
hari ini abang mau jaga lagi?" tanya Erlangga kembali. Puput terkesiap. Apa" Yang benar saja,
masa yang jaga Andra sih" Jangan dong!
"Ya," jawab Andra. "Pekerjaan abang bagaimana" Masa abang mau tinggal lagi?" "Ya, sekalisekali libur kan nggak apa-apa, hitung-hitung cuti," jawab Andra sambil tertawa. Jangan Andra,
aku mohon jangan Andra. Erlangga, tetaplah di sini, jangan tinggalkan aku di sini.
Erlangga mendesah. "Bagaimana kalau aku saja yang jaga" Abang pulang saja, istirahat di
rumah. Besok baru ke sini lagi. Kalau terus-terusan begadang, bisa rusak badan abang." Ah,
syukurlah! Terima kasih, Kak Er. Diam-diam Puput berdoa semoga Andra menyetujui usul
tersebut. Andra diam, diam yang sangat lama dan itu membuat Puput khawatir.
"Baiklah. Kalau begitu, tolong ya, Ga!" Andra segera meraih jasnya, lalu menepuk pundak


My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Erlangga. Cowok itu juga sempat membelai rambut Puput. Setelah itu tinggallah Puput bersama
Erlangga. Puput merasa malam ini adalah malam terindah yang pernah dirasakannya seumur hidup.
Bayangkan, Puput sedang jatuh cinta" Dan orang yang selalu memenuhi rongga dadanya dan
tiap seluk beluk otaknya itu kini sedang duduk di hadapannya, berbicara padanya, memotongkan
buah apel untuknya, bahkan ketika menjelang akan tidur, dia mencium keningnya.
Aku akan mimpi indah malam ini, pasti! Sejak Puput masuk rumah sakit, banyak keanehan pada
keluarga Wijaya, khususnya Andita dan Andra. semuanya begitu perhatian sama Puput. Andra,
entah mengapa, selalu setia menemani Puput tiap malam. Memang sih tidak setiap malam"
Andita, cewek itu tidak absen dan selalu mengunjunginya sepulang sekolah dengan membawa
begitu banyak buah-buahan. Dalam waktu singkat mungkin Puput bisa membuka toko buah. Si
kecil Ale dan Ela terkadang datang ke rumah sakit dengan membawa seikat bunga ditemani om
dan tante. Yang paling membahagiakan Puput adalah fakta kalau Erlangga setiap sore
menjenguk Puput di rumah sakit.
Selain keluarga Wijaya, Dody pun dengan teratur mengunjungi Puput sepulang sekolah. Entah
berawal dari mana, Dody menjadi begitu dekat dengan Andita hingga Puput merasa sepertinya
ada percikan-percikan khusus di anatara mereka.
Namaku Puput Amelia. Di perutku sebelah kiri ada bekas luka memanjang, persis di dekat
ginjalku. Itu tusukan yang aku terima karena berlagak sok jagoan. Tapi asal tahu saja, luka ini
telah mengubah banyak hal dalam hidupku, aku rasa.
Andita yang mengaku akan menjadi musuh abadiku justru menjadi teman dekatku. Andra,
tunanganku-kalau mau dibilang begitu- yang selalu bersikap kasar padaku kini berubah menjadi
begitu perhatian. Yang terakhir, yang paling special adalah Erlangga telah menyumbangkan
darahnya padaku. Bayangkan, menyumbangkan darahnya untukku! Ya, mungkin orang-orang
akan menganggap itu hal biasa. Tapi, tidak bagiku. Aku merasa, darah Erlangga dan diriku
bersatu. Kami bersatu.. Rasanya itu sangat membahagiakan. Membayangkan di dalam diriku
ada Erlangga, membuatku seperti terbang ke langit.
Satu hal lagi yang membuat aku bahagia adalah kini aku sudah boleh keluar dari rumah sakit ini.
Dirawat terlalu lama sungguh membosankan. Yang bisa kukerjakan hanya tidur saja, itu
melelahkan! Apalagi bila harus tinggal di rumah sakit selama dua minggu, itu lebih menyebalkan
lagi. Untunglah dokter sudah merasa cukup dan memperbolehkan aku pulang. Rasanya ingin
bersorak mendengarnya. Oh iya, yang terakhir, soal biaya perawatan" Andra mengajukan diri
untuk mengurus dan menanggungnya. Horeee!!!
Andita menyambut kedatangan Puput dengan gembira. Si kembar pun dengan riang ikut
membantu Andita memapah Puput naik ke atas. Tapi tunggu! Ada satu orang yang tidak ada di
tempat ini. Satu orang yang selalu manjadi buah pikiran Puput selama ini, Erlangga" Dimana
dia gerangan" "Lho, Kak Er mana?" tanya Puput pada Tante Nia. "Anak itu! Padahal, tante sudah bilang kalau
kamu pulang hari ini. Tapi dia malah tetap asyik melukis di studionya. Tante memang sulit
mengerti jalan pikiran Erlangga. Anak itu suka berbuat seenaknya," ucap Tante Nia kesal.
Puput diam tertunduk, kecewa. Padahal, kepulangannya hari itu karena merindukan Erlangga.
Selama tiga hari terakhir, tidak sekali pun Erlangga menjenguknya. Sekarang, setelah dirinya
pulang, wajah cowok yang dirindukannya malah tidak muncul, walau sekedar bayangannya.
Sampai malam pun Puput masih terus memikirkan Erlangga. Puput tidak mengerti kenapa
Erlangga yang selalu memperhatikannya tiba-tiba bersikap dingin begitu. atau selama ini Puput
yang geer dan telah terlanjur menyangka Erlangga memang memperhatikannya. Padahal, siapa
tahu di dalam hati Erlangga ada perempuan lain. Puput menepuk pipinya sendiri menyadari hal
itu. Ah, iya, memang selama ini Puput lah yang menyukai Erlangga dan Puput hanya mendugaduga kalau Erlangga juga menyukainya.
Aduh, kalau kenyataannya semenyakitkan ini, lebih baik di rumah sakit lebih lama saja. Sedang
asyik Puput dengan lamunannya, pintu kamarnya diketuk. "Siapa?" "Ini Andita, boleh masuk?"
"Iya!" Andita masuk ke dalam kamar Puput. Rasanya terakhir kali Andita masuk ke dalam kamar
ini adalah saat pertama kali Puput pindah ke rumah ini.
"Hai," Andita duduk di samping Puput yang sedang berbaring. "Gimana, apa masih harus
dipapah turun untuk makan malam nanti?" Puput tersenyum. " Sudah nggak apa-apa kok. Ayo
masuk, Dit!" Andita segera masuk dan duduk di dekat kasur Puput.
"Oh iya, sekolah gimana?" "Tenang, untuk kamu ada dispensasi khusus kok. Nanti aku pinjami
catatan deh atau kala perlu fotocopy aja. Biar cepat"," jelas Andita panjang-lebar. "Selama dua
minggu belakangan ini bagaimana perkembangan kamu dengan Dody?" tanya Puput tiba-tiba
yang membuat Andita tersentak.
"Kamu bicara apa sih, Put" Aku dan Dody" Kita nggak ada apa-apa kok"," ucap Andita dengan
wajah memerah karena malu. Puput tersenyum melihatnya. Rasanya baru kali ini Puput melihat
Andita tersipu mali. Andita selalu berekspresi angkuh padanya.
"Yee, kura-kura dalam perahu, pura-pura nggak tahu" Ayo, kasih tahu dong?" desak Puput
sambil menyikut Andita. Andita tersenyum, malu. "Eng, dia baik, perhatian" yah, pokoknya gitu
deh." "Gitu gimana?" desak Puput. "Iih, Puput! Kamu kayak nggak tahu saja. Aku dan dia tuh
cuma teman." "Cuma teman?" Puput menyakinkan. Andita tersipu-sipu. "Benar Cuma teman?" tanya Puput
lagi, dengan nada menggoda. "Ya, emang nggak persis seperti itu. Belum ada komitmen apa
pun, tatpi mudah-mudahan sih dalam waktu dekat ini ada," ucap Andita akhirnya, dengan suara
yang hampir ditekan karena malu.
Puput tertawa. "Benarkan!" teriaknya sambil menepuk pundak Andita. "Kamu sendiri, bangaiman
dengan Bang Andra" Eh maksudku, kupikir aku tidak keberatan kalau kamu dengan Bang
Andra. kamu pantas untuknya," kata Andita yang membuat Puput menghentikan tawanya.
Ah, jadi seperti ini akhirnya. Andita yang dulu terang-terangan membenci diriku yang dijodohkan
dengan kakaknya kini telah berubah haluan. Sekarang Andita mendukungku. Puput menarik
napasnya sejenak dan hal itu ditangkap Andita.
"Kenapa" Apa Bang Andra masih jahat sama kamu" Kalau dia berani macam-macam, biat Dita
marahin!" cetus Andita berapi-api. Puput menggeleng. Sekarang memang tidak, tapi dulu kan
iya! "Mungkin ini aneh, ya Put. Aku selalu takut untuk membahasnya denganmu, selama ini aku
dan Bang Andra selalu bersikap jahat sama kamu. Entah bagaimana cara menebus semua ini."
Andita menghentikan ucapannya. Air mata sudah mulai berbayang di antara kedua kelopak
matanya. Puput buru-buru menyentuhkan ujung jarinya pada pipi Andita. "Jangan begitu, jangan
menyalahkan diri sendiri. Dita, sungguh! Aku sudah melupakan semuanya?" Walau tidak
semuanya sih, lanjut Puput dalam hati. "Soal apa yang kamu lakukan dulu, soal perselisihan kita
maupun soal luka ini, semuanya, pokoknya aku sudah melupakannya," kata Puput sambil
menunjukkan lukanya. "Sekarang, kalau kamu tidak keberatan, maukah kamu menjadi temankuteman baikku?" tanya Puput.
Andita menggeleng dengan keras. "Tidak! Seharusnya yang meminta maaf itu aku, bukan kamu.
Seharusnya yang bertanya itu aku, bukan kamu. Maukah kamu jadi temanku, teman baikku?"
Puput tersenyum "Kuanggap itu sebagai jawaban iya!"
Andita menangis dan langsung merangkul Puput. Puput berteriak tertahan karena lukanya
tersentuh. Andita menarik tangannya lagi dan meminta maaf. Keduanya saling berpandangan,
lalu tertawa. Sebulan telah berlalu dan lukaku sudah sembuh. Yang tertinggal hanya bekasnya saja. Aku
sudah bisa sekolah lagi seperti biasa. Sekarang, aku selalu bareng dengan Andita. Kami jadi
berteman baik sekarang. Terkadang, Andra yang mengantar kami berdua ke sekolah. Yang satu ini juga telah berubah
sikap padaku. Calon tunanganku itu sering mengajak aku dan Andita jalan-jalan di hari minggu.
Pernah juga dia mengajak kami menonton konser. Kata Andra, itu untuk mengganti kerugian
karena dia tidak sempat pergi denganku waktu itu.
Tidak lama kemudian, Andita jadian sama Dody. Untuk menyatukan mereka susah juga,
keduanya sama-sama tidak mau mengaku. Ternyata di belakangku mereka sering pergi berdua
saja. Mula-mula sih aku cuek dan senang aja. Tapi aku merasa kesepian juga. Ketika aku
menceritakan kalau aku kesepian, Andita dengan wajah aneh berucap padaku, "Kan, ada Bang
Andra"!" Ah, aku lupa itu! Sebenarnya yang membuat aku kesepian bukanlah karena Andita dan Dody
pacaran. Tapi karena aku iri pada mereka. Andita dan Dody dapat mencintai dengan bebas dan
melupakan perbedaan status social yang ada di antara mereka.
Aku"! Aku hanya bisa menggigit jari ketika menyadari laki-laki yang kucintai ada di dalam rumah
ini, tapi tak pernah bisa aku raih. Di antara aku dan dia ada tembok yang takkan pernah
terpecahkan sampai kapan pun.
===== bab 8 Malam itu Tante Nia mendatangi kamar Puput dengan ceria. Di tangannya tampak sebuah kotak
besar yang tidak terlalu berat. Dibawanya masuk kotak itu ke dalam kamar Puput. Puput, yang
saat itu sedang membaca Harry Potter, terkejut melihatnya. "Lho, ada apa tante?" "Puput, lihat
sini, apa yang tante bawa!" Dibukanya kotak tersebut dan dikeluarkannya sehelai gaun berwarna
ungu pastel yang indah. Puput terkagum-kagum melihatnya. "Wah, bagus banget," puji Puput sambil menyentuh gaun itu.
Rasanya begitu lembut. Seumur hidupnya Puput tidak pernah melihat gaun seindah itu. Pasti
gaun itu amat mahal harganya.
"Ini untuk kamu, Put" pakailah," ucap Tante Nia yang membuat Puput tersentak kaget. "Untuk
Puput, benar nih?" tanya Puput meyakinkan. Tante Nia mengangguk. "Iya, sekarang pakailah.
Bukannya kamu mau ke pesta dengan Andra?"
Ya Tuhan! Puput menepuk dahinya sendiri. Iya, Puput ingat kalau tiga hari yang lalu Andra
mengajaknya ke pesta dan Puput menyanggupinya. Tapi bukan itu sebenarnya sih maksud
Puput. Waktu itu Puput sedang melamun dan tiba-tiba Andra mengajaknya, Puput pun di bawah
kesadarannya menyanggupinya. "Ayo, cepat!" Andra sudah menunggu di bawah," perintah Tante
Nia. Sebenarnya Puput enggan sekali. Tapi hatinya tergoda untuk mencoba gaun itu. Seumur-umur,
dirinya belum pernah mengenakan gaun semewah itu. Puput pun menyerah pasrah didandani
oleh Tante Nia. Kini Puput menatap dirinya di cermin. Inikah dia, begitu cantik bak puteri
dongeng" "Cantiknya," puji Tante Nia sambil mengembangkan tangannya dengan bangga. "Masa/" tanya
Puput menyakinkan. Dirinya sendiri pun tidak percayPuputa kalau dia bisa secantik itu. Dengan
malu-malu, Puput berjalan menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Di sana, Andra sedang
mebunggu dengan gelisah dan Erlangga duduk santai sambil mengobrol dengan Om Wijaya. Ela
dan Ale sibuk bermain dengan Andita. Puput berjalan menuruni tangga sambil dituntun oleh
Tante Nia. "Lihat! Cantik kan?" tanya Tante Nia pada semua orang ketika mereka sudah memasuki ruang
tamu. Andra tertegun, bahkan nyaris tidak berkedip, ketika menatap Puput. Puput tampak cantik.
Gaun panjang berwarna ungu tampak manis membalut tubuhnya yang putih. Rambut Puput
digerai dan diberi aksesoris pemanis di rambutnya. Bibirnya tamapak ranum dan bulu matanya
lentik. Eye shadownya juga berwarna ungu. Pipinya ranum merah. Puput tampak begitu berkilau.
Tidak hanya Andra saja yang terpaku melihat Puput. Erlangga pun sama tertegunnya. Bibirnya
sedikit terbuka dan matanya membelalak. Pembicaraannya dengan Om Wijaya langsung
terputus seketika. "Kak Puput cantik!" puji Ale seketika. Lalu si kembar itu berlari ke arah Puput.
"Kak Puput cantik, cantik!" soraknya.
"Banar, cantik sekali," puji Andra yang langsung menghampiri Puput, menggemgam tangannya
dan tersenyum pada Puput. Tapi perhatian Puput tidak pada Andre atau Ale. Matanya yang bulat
hanya memandang sosok laki-laki yang juga tengah menatapnya. Erlangga" pandangan
merekan berdua bertemu-Erlangga dan Puput-berpadu dan menjadi satu rasa yang tidak bisa
diperkirakan dalamnya. Betapa aku merindukan sosoknya berada di sisiku saat ini!
Seperti apa sih rasanya mencintai dengan diam-diam seperti ini" Ya Tuhan, sungguh
menyakitkan! Bahkan, jauh lebih mencemaskan daripada perjanjian konyol itu.
Pesta yang tampak meriah itu pun kini menjadi kubangan neraka bagi Puput. Betapa Puput
merindukan saat-saat di mana dirinya duduk di hadapan Erlangga, menatap sosoknya di anatara
temaram lampu studio. Melihat mata Erlangga yang menatapnya dan kembali sibuk dengan
lukisannya. Puput sungguh merindukan hari-hari itu. Puput sungguh merindukan kehangatan
dan bau cat minyak di studio lukis Erlangga.
"Puput, kamu kenapa?" tegur Andra di anatara hingar-bingar pesta. Puput menggeleng, "Aku
pusing," ucapnya sambil memegang kening. "Pusing?" Andra terdiam. Tapi kemudian Andra
menggengam tangan Puput, menyentuhkan tangannya pada kening Puput.
"Panas!" ditariknya tubuh Puput. "Ya sudah, kita pulang saja," ucapnya memutuskan.selama
perjalanan, Puput hanya diam, tidak berbicara. Hatinya bagai dipukul godam raksasa, begitu
sesak. Lalu, tanpa peringatan terlebih dulu, air mata Puput mengalir.
Andra terkejut melihat Puput menangis. Mula-mula hanya air mata yang mengucur, tapi
kemudian suara seseng gukannya terdengar. Rasa sakit yang dideritanya tidak terkira, rasa
akibat perasaan cinta yang terpendam. Andra cemas, lalu sebelah tangannya disentuhkan ke
pundak Puput. "Kamu kenapa, Put?"
Puput tidak menjawab. Air mata terus mengucur dari pipinya. Puput tidak bisa menghentikannya,
walaupun ingin. Perasaannya semakin tercabik-cabik. Hatinya semakin pilu. Tolong, adakah
yang bisa menghentikan air mata ini" Aku tidak kuasa menghentikannya! "Apa sakit sekali
kepala kamu?" tanya Andra, "atau luka kamu terasa sakit lagi?"
Tidak! Hatiku yang sakit, perasaanku yang ngilu. Puput memilih diam. Dia tidak kuasa
menjawab, tidak kuasa menahan. Sudah stu bulan ini, Puput menahan kerinduannya pada
Erlangga yang semakin menyesaki dadanya. Andra semakin cemas. "Ya, sudah! Kita langsung
ke klinik saja!" "Jangan," tolak Puput dengan suara lirih. "Jangan gimana" Kamu sakit begini,
sampai menangis segala! Aku cemas jadinya," ujar Andra yang langsung membelokkan
mobilnya ke arah klinik. Puput tidak sanggup mencegah lagi. Dia membiarkan Andra membawanya ke klinik. Air matanya
sudah mulai berhenti mengalir. Setelah mobil berhenti tepat di sebuah klinik, Andra langsung
menghapus air mata Puput. Matanya yang hitam tampak cemas. "Masih terasa sakit?" tanya
Andra. Puput mengganguk. "Di mana sakitnya?" tanya Andra kembali puput menunjuk dadanya. "Lho,
tadi katanya kepala yang sakit?" tanya ANdra heran. "Ya, sudahlah kalau tidak kuat jalan, biar
aku gendong." Puput menggeleng. "Nggak usah." Dengan dipapah Andr, Puput pun memasuki
klinik. Untuk sementara, Puput dianjurkan beristirahat di rumah. Puput terserang demam biasa, tidak
terlalu berbahaya. Tapi dokter menyarankan agar Puput tidak stres. Baru kemarin rasanya Puput
terbaring di rumah sakit-walau sebenarnya sudah lewat dua bulan-dan kini Puput harrus kembali
terbaring di atas tempat tidur.
Andra masih terlihat cemas dengan keadaan Puput dan beberapa kali mendatangi kamarnya
memastikan Puput tidak apa-apa. Tidak hanay Andra, bahkan Tante Nia, si kembar dan Om
Wijaya berkali-kali bertanya ada Puput apakah dia membutuhkan sesuatu. Andita yang cemas
bahkan memberi tahu paman dan bibi Puput tentang keadaannya.
Karena tidak ingin membuat orang rumah cemas lagi, Puput pun memaksakan diri turun ke
bawah untuk ikut makan malam. "Puput, kamu sudah baikan" Jangan memaksa turun, biar nanti
tante suruh pelayan untuk mengantarkan makanan malammu ke kamar," ujar Tante Nia ketika
melihat Puput turun ke bawah.
"Nggak apa-apa kok, tante. Biar Puput ikut makan malam di meja saja. Cuma demam biasa ini,"
jawab Puput sambil tersenyum. Rasanya perlakuan Andra, Andita, Tante Nia sangat berlebihan
sekali. Puput merasa tidak nyaman karenanya.
"Lho, Puput, kamu sudah enakan?" tanya Om Wijaya ketika melihat Puput ikut membantu
menyusun meja bersama dengan Tante Nia. "Sudah lebih baik kok, om," jawab Puput. Ketika
Andra dan Andita turun ke bawah, mereka pun heran melihat Puput sudah siap du kursi makan.
Dan lagi-lagi terlontar pertanyaan yang sama dari mulut mereka. Puput lagi-lagi harus
meyakinkan mereka-terutama Andra-kalau dia baik-baik saja.
Yang terakhir bergabung di meja makan adalah Erlangga. Erlangga baru saja kembali dari
pameran. Wajahnya tampak ceria. Dan lebih ceria lagi Erlangga ketika dengan antusiasnya dia
menceritakan sebuah kabar yang menggembirakan. Erlangga menang dalam perlombaan
melukis tingkat nasional. Dalam sekejap, ruang makan itu riuh dengan suara kegembiraan.
Semua bergembira dan secara bergiliran semuanya memberi selamat, kecuali Puput.
Puput hanya memberi selamat Erlangga dari sudut kursinya saja, tidak bangkit dan menyalami.
Puput merasa tidak sanggup untuk mendekati ataupun menyentuh Erlangga. Puput sadar,
sakitnya kali ini karena Erlangga. Kalau dia mendekati Erlangga, sudah bisa dipastikan perasaan
Puput akan jadi tak karuan lagi.
"Katanya kamu sakit, ya Put" Sudah merasa enak?" tanya Erlangga ketika dia sudah mengambil
tempat di meja makan itu. Puput mengangguk, tidak sanggup untuk berbicara. "Aku senang
lukisanmu menang!" ucap Andra ceria. "Habis kamu tidak pernah mau memperlihatkan hasil
lukisanmu pada kami semua. Kamu bilang lukisan itu rahasi," cetus Andra masih dengan
semangat. "Karena lukisanmu sudah menang, kamu semua bisa melihat dong?"
Erlangga tersenyum. "Pasti?" ujarnya, "Iya, kamu tahu, Put, Bang Erlangga ini mulai sibuk
melukis ketika kamu pulang dari rumah sakit. Katanya lukisannya ingin diikutsertakan dalam
lomba. Huh, sampai kami juga dilarang mengganggunya. Kertelaluan kan dia!" gerutu Andita
pada Puput. Heh" Sepulangku dari rumah sakit" Oh, iya. Waktu itu Kak Er memang sibuk sekali sampai tidak
mau menyambutku pulang. Begitu pentingkah lukisan itu daripada diriku" "Apa judul lukisanmu,
Ga?" tanya Tante Nia sambil menyendokkan nasi ke piringnya. "Judulnya?" Ada jeda sejenak.
Lalu Erlangga melirik ke arah Puput, sekilas, "Judulnya Pesona Dewi Artemis," jawab Erlangga
yang membuat Puput terhenyak.
Apa" Apa aku tidak salah dengar" Dia bilang"dia bilang Dewi Artemis"! "Keran juga judulnya.
Pasti modelnya cantik! Siapa sih yang kamu jadikan model, Ga?" tanya Andra senangat.
"Hehehe, rahasia," ucap Erlangga sambil mengerling ke arah Puput.
Puput terlonjak, bahkan hampir saja dia tersedak, mendengar itu semua. Dia telah
menyelesaikan lukisanku, pasti! Aku ingin melihatnya. Seperti apa ya, diriku yang dilukis" Aku
ingin tahu seperti apa diriku di mata Kak Er.
"Oh iya, pa. mengenai janji papa waktu itu, bagaimana?" tanya Erlangga kemudian pada Om
Wijaya. Om Wijaya berdehem sejenak. "Kamu benar-benar tertarik, Angga?" tanay Om Wijaya
yang membuat Puput heran. Perjanjian apa"
"Oh, soal itu ya, pa. Wah, bakal seru nih," cetus Andra tiba-tiba. "Perjanjian itu" Jangan-jangan
hal itu ya. Apa Bang Angga serius?" Andita ikut nimbrung. Wajahnya tampak serius sekali. Apa"
Ada apa" Adakah hal yang terlewatkan olehku"
Sekali lagi Om Wijaya berdehem. Dengan suaranya yang berwibawa, dia mulai berbicara,
"Karena Erlangga sudah menang dalam lomba lukis tingkat nasional, tentu papa akan memenuhi
janji papa. Bagaimana Andra kamu setuju kan?"
Andra mengangkat bahunya. "Itu kan impian Erlangga dari dulu. Kalau sekarang impiannya
terkabul, aku sebagai kakaklah yang paling senang," ucapnya. Hei, adakah yang bisa memberi
tahu aku apa yang kalian bicarakan" Puput ingin sekali bertanya, tapi Puput memilih untuk tidak


My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikut campur. Itu bisa merepotkan dirinya nanti. Puput yakin, sebentar lagi mereka pasti
membicarakannya. "Oke, Erlangga, kamu bisa memilih harinya. Soal paspor, kamu bisa meminta salah seorang
karyawan papa untuk mengurusnya. Tiket, akomodasi, serta uang kuliahnya semua akan diurus.
Kamu tinggal memastikan kapan kamu siap berangkat."
Apa! Berangkat ke mana" Memangnya Erlangga mau ke mana" Puput mulai cemas. Dan Puput
tidak bisa menahan mulutnya lagi untuk bertanya. "Memang Kak Er mau pergi ke mana?" tanya
Puput. "Oh iya. Aku sampai lupa ngasih tahu Puput. Begini Put, waktu itu papa berjanji pada
Erlangga kalau dia menang dalam lomba yang diikutinya, papa bersedia menyekolahkan dia ke
Prancis," jelas Andra.
Kalian tahu rasanya di sambar petir" Kalau aku tahu, inilah rasanya. Seluruh tubuh seakan mati
rasa dan jantung serasa meledak. "Ke"Prancis?"! Napasku sesak, mataku berkunang-kunang!
Kenapa semua terasa berputar-putar.
Puput masih bertahan duduk di tempatnya, masih bertahan untuk menyendok makanannya.
Samar-samar juga Puput masih dapat menangkap tawa di meja makan itu. Tapi tidak terlalu
lama karena kemudian Puput ambruk dari kursinnya dan menyisakan jerit kekagetan di meja
makan. Ketika Puput membuka matanya, dia dapat memandang Andita dan Erlangga yang cemas di
sisinya. Tampak Tante Nia dan si kembar juga berdiri di antara kursi di dekat jendela. "Dia hanya
butuh istirahat lebih lama. Gejala tifus," ujar sebuah suara yang tidak jauh dari tempat Puput
berbaring. Puput memandang jauh lebih ke depan. Andra tampak menghampirinya dengan cemas. Berlutut
di sisinya dan pelan-pelan menyibakkan poni di dahinya. "Kamu bikin cemas saja, pingsan di
meja makan begitu. Untung saja masih gejala tifus, kalau sudah tifusnya bisa lebih gawat lagi,"
ujar Andra. Mata Puput diputar ke sisi. Memandang Erlangga yang masih berwajah cemas. Rasanya sudah
bertahun-tahun Puput tidak memandang Erlangga dari jarak sedekat ini. "Aku sudah nggak papa
kok," ujar Puput yang mulai diserang rasa tidak enak karena telah membuat khawatir seluruh isi
rumah. "Ya, tapi?" Andita masih duduk cemas di sisi Puput. "Sudahlah, Dita. Biarkan Puput istirahat,
kata dokter juga begitu kan," kata Andra sambil menuntun adiknya keluar diikuti dengan Tante
Nia dan si kembar. Tinggallah Erlangga berdua dengan Puput.
Puput menatap Erlangga, bergumam lirih. "Lukisan yang menang itu, boleh aku melihatnya,
kak?" "Tentu saja," ujar Erlangga lirih. "Maaf, ya Put, gara-gara mau menyelesaikan lukisan itu
aku tidak sempat melihat keadaanmu." ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
"Ah, nggak apa-apa, nggak usah dipikirkan! Apa lukisan yang menang itu, aku?" Puput
tersenyum. Erlangga mengangguk. "Ya," ucapnya lembut. "Benar?" suara lemah Puput
terdengan gembira. Ada bias-bias asa yang terjalin di dalam kehangatan suara Erlangga. Puput
berharap kalau dia memiliki nilai istimewa di ruang hati Erlangga.
Sayangnya, Andra muncul sambil membawa segelas air. "Waktunya minum obat, Put," ucapnya
sambil membantu Puput duduk.
Melihat Andra datang, Erlangga pun beranjak keluar dari kamar. Puput menatap punggung
Erlangga. Hatinya menjerit pilu" belum cukup" belum cukup kebersamaannya dengan
Erlangga! Tunggu! Jangan keluar dulu! Kak Er belum menceritakan alasan Kak Er pergi ke
Prancis! Kenapa Kak Er meniggalkanku di sini, sendirian" Kalau sendirian, aku tidak akan
bertahan. Satu-satunya alasanku tinggal di sini adalah Kak Er! Tapi Puput tidak sempat
mengatakannya karena Andra telah memaksanya minum obat.
Kuberitahu bagaimana rasanya patah hati. Perasaan ini seakan teriris dan berdarah, perih tak
terkira. Bahkan air mata pun tidak bisa mengurangi rasa sakitnya. Sudah dua hari aku terbaing di
tempat tidurku. Anehnya, tanda-tanda diriku akan sembuh belum juga tampak. Bahkan, rasanya
tubuh ini semakin lemas dan tidak ada nafsu makan. Aku tidak merasa akan membaik, justru
keadaan makin memburuk dan aku tidak mengerti harus bagaimana lagi.
Aku jatuh cinta pada Erlangga. Tapi aku tidak bisa mengatakannya. Kau tahu rasanya seperti
menelan berpuluh-puluh duri. Ada Andra dan perjanjian konyol itu yang menghalangiku. Untuk
yang kesekian kalinya, aku mengutuk perjanjian itu yang bukan hanya merenggut
kebahagiaanku dengan kedua orang tua angkatku, tapi juga menghempaskan cinta pertamaku.
Hari ketiga" Hari keempat" Hari kelima" Demamku semakin meningkat dan membuat seluruh
keluarga Wijaya cemas. Aku juga cemas pada keadaanku sendiri. Tapi aku tidak bisa
menghentikannya. Aku benar-benar tidak berdaya dan hanya berbaring di atas tempat tidurku.
Obat yang diberi dokter pun sudah habis. Karen itu, Andra buru-buru meminta dokter untuk
memeriksaku lagi. Dokter menyuruhku istirahat lebih lama karena demamku sudah mulai aneh.
Tepat sepekan aku demam, dokter pun mendiagnosis aku menderita positif tifus. Aku lemas
tidak berdaya dan semakin merana. Dampaknya" Aku terpaksa menginap di rumah sakit lagi,
walau aku menolak. Kalau masuk rumah sakit, aku tidak punya kesempatan untuk melihat
Erlangga sebelum dia ke Prancis- Erlangga rutin menjengukku setiap hari di kamarku- dan itu
lebih menyakitkan dari apa pun.
Andar tetap setia berada di sisiku-itu hal yang selalu membuatku bingung- dan rutin mengecek
keadaanku. Mungkin itu tugasnya sebagai seorang calon suami dan sekarang Andra mulai sadar
akan hal itu. === Bab 9 Andra mengajak Puput pergi ke villa keluarga di puncak. Puput sampai kaget dan langsung
menolak tanpa berpikir. Tapi karena alasan kesehatannya, Puput bersedia, dengan syarat dia
harus pulang sebelum kepergian Erlangga ke Prancis.
Villa tersebut cukup nyaman dan tampaknya memang tempat yang tepat untuk beristirahat.
Puput sedikit merasa lebih baik ketika menghirup udara puncak yang nyaman. Rasanya
setengah beban yang dibwanya menjadi lebih ringan.
Di villa, ada ibu pengurus yang berbadan besar dan ramah. Ibu itulah yang bertugas untuk
memasak, bersih-bersih dan mengurus keperluan rumah tangga. Suaminya-yang juga bekerja di
situ-bertugas untuk menjaga keamanan villa dan mengurus kebun. Keduanya sangat ramah
pada Puput, bahkan sangat perhatian. Ketika tahu Puput sedang sakit, keduanya langsung
memperhatikan Puput secara berlebihan.
Puput jadi risih. Tapi saat Puput mengeluhkan hal itu, Andra dengan santai mengatakan kalau
Puput memang sakit dan Andra meminta Puput untuk berlaku sebagaimana orang sakit. Hari ini
sudah tiga hari Puput tinggal di villa. Tapi rasa hatinya yang gelisah masih terus menghantui. Dia
pun jadi salah tingkah sendiri. Kalau ditanya, menjawab hanya sekedarnya. Berjalan pun seperti
orang linglung, walau kondisi kesehatannya semakin membaik.
Bukannya Andra tidak memperhatikan kalau Puput bertingkah aneh seperti itu. Awalnya, Andra
masih mencoba bersikap biasa. Tapi hari ini, saat Puput sedang membaca buku di kamarnya,
Andra masuk. Padahal, hari sudah larut malam.
Puput terkejut dan mendongakkan kepalanya. "Lho, ada apa, kak" Ini kan udah malam" Apa
ada yang penting sekali?" tanya Puput heran. Andra tersenyum kecil. Dihampirinya Puput.
"Kamu belum tidur juga" Sudah selarut ini. Kalau begini terus, kamu tidak akan sembuhsembuh," ucap Andra sambil meraih buku yang dibaca Puput.
"Aku nggak bisa tidur," jawab Puput sambil berusaha merebut kembali buku yang diambil Andra.
"Kenapa?" tanya Andra sambil mengelak. Puput kesal. "Apa kamu memikirkan hal lain?" "Apaan
sih"! Sinikan bukunya, belum selesai baca!" tangan Puput meraih-raih lengan Andra yang besar.
Tapi karena kondisi Puput sendiri yang tidak begitu baik, tangannya tak mampu meraih lengan
Andra dan mengambil kembali bukunya.
"Lho" katanya sudah malam. Kalau malam, ya tidur!" "Sinikan bukunya!!!" Puput masih ngotot.
"Atau" kamu nggak bisa tidur karena memikirkan seseorang. Erlangga misalnya?" DEG! Puput
mengangkat wajahnya yang pucat seketika. Bagaimana dia bisa tahu"!
Andra menepuk-nepuk buku yang dipegangnya, berharap Puput akan merebutnya kembali. Tapi
Puput sudah terlalu terkejut dengan perkataan Andra sehingga kehilangan minat untuk merebut
bukunya kembali. Andra mengerutkan keningnya dan menurunkan buku yang diapungkannya di
udara itu dengan mimic kecewa.
"Kenapa" Kok jadi diam begini?" tanya Andra pura-pura tidak mengerti. "Sudah nggak minat
sama bukunya?" "Kenapa kakak bertanya begitu?" tanya Puput tegang. Andra mengangkat
bahunya. "Bicara apa?" lagaknya pura-pura tidak tahu.
Puput semakin gugup. Cewek itu merasa seluruh persendiannya mendadak melemah kembali.
Dengan emosi, Puput membentak Andra, "Apa sih maksud kakak!" Siapa yang lagi mikiran Kak
Er"!" Andra tersenyum. "Lho"lho"lho, kok sewot" Apa begitu cara kamu bicara sama yang lebih
tua?" Wajah Andra berubah dan membuat Puput ngeri. "Aku?" Rasanya Puput ingin menangis
karena tengah dipermalukan. Tapi dikuatkan dirinya. "Apa maksud perkataan kakak itu"! Apa
kakak pikir aku suka Kak Erlangga. Yang benar saja!" elak Puput, berharap Andra akan percaya.
Andra tersenyum, seakan mengerti. Lalu, mengangguk-angguk. "Memangnya siapa yang bilang
kamu suka Erlangga?" tanya Andra meyakinkan. Tangannya masih menepuk buku milik Puput.
Brengsek! Pupuk masuk perangkap. Wajah Puput semakin pucat dan kepalanya terasa sakit
lagi. Tubuh Puput terhuyung ke belakang dan hampir jatuh.Untung Andra dengan sigap
menangkap tubuh Puput. "Kamu nggak apa-apa, Put?" Puput menepis tangan Andra, lalu
beringsut pelan dan menyandarkan kepalanya yang terasa hendak pecah.
"Kamu sakit"! Apanya yang sakit" Kepalanya?" "Aku nggak apa-apa" Sudah, Kak Andra keluar
saja" Biarin Puput sendiri!!!" Puput ngambek. Andra mendesah perlahan. "Kalu begitu,
bagaiman kalau aku bilang Erlangga besok akan berangkat ke Prancis." Puput terperanjat.
Kepalanya yang semula sakit mendadak terasa enteng. Lebih tepatnya perasaan kagetnya lebih
besar dari rasa sakit yang dirasakan Puput.
"Apa"!" teriaknya tidak percaya. Andra mengangguk. Puput semakin cemas. "Tapi"tapi
bukankah tiga hari lagi Kak Er baru berangkat?" "Rencana semula memang begitu. Tapi kemarin
Erlangga meneleponku untuk memberitahukan keberangkatannya yang dipercepat," sahut Andra
kalem, seakan tidak bisa melihat perubahan di wajah Puput.
"Kenapa kakak tidak mengatakannya lebih cepat"!" jerit Puput panik. Andra tersenyum"
Hmmm, kena kau! Dengan kalemnya dia berujar, "Bukannya kamu tidak memikirkannya" Itu kan
yang kamu katakana tadi" Kupikir pergi atau tidaknya Erlangga tidak memperngaruhi apa pun,
benar kan?" Puput diam. Dia terjebak, terjebak oleh pernyataannya sendiri. Puput tidak tahu lagi harus
bagaimana. Sakit yang dirasakannya semakin menyesakkan dada, ditambah lagi kepalanya
yang terus berdenyut-denyut. Akhirnya, Puput pun menutup wajah dengan kedua telapak
tangannya. Bahunya terguncang dan Puput menangis".
Selama ini dirinya bisa menutupi semua dengan sempurna. Tapi tidak kali ini. Perasaannya
sudah sampai di ubun-ubun. Puput sadar, kebohongannya sudah berakhir dan itu sangat
menyakitkan. Andra diam memperhatikan Puput. Ada rasa iba menyusup di perasaannya.
Dengan sangat perlahan, didekatinya Puput, lalu dibelainya rambut Puput.
"Katakan padaku, Put, perasaan yang telah kamu pendam selama ini" Jangan terus
membohongi diri sendiri. Itu hanya akan menyakitkanmu," ujar Andra lembut. Dia tahu! Dia tahu!
Bagaimana bisa" "Maafkan aku, kak. Aku takut?" Puput tidak berani mengucapkannya.
Wajahnya tertunduk lebih dalam lagi.
"Katakan saja. Apa kamu takut karena perjanjian itu, karena sanksi perjanjian itu?" Bagaimana
dia juga bisa tahu hal itu" Puput terdiam. Tanpa disangka-sangka, ia menangis lagi. "Ya, ya"
aku memang cinta pada Kak Er. Selama ini, aku hanya bisa melihat dan memikirkannya. Aku
takut" takut sekali!" ucap Puput di antara isak tangisnya.
Andra mendesah panjang. Rasanya ada perasaan yang bocor dan lewat begitu saja. Walaupun
Andra sudah mempersiapkan diri dengan pengakuan Puput, tapi tetap saja menyakitkan. "Sakit
juga ya?"!" ucap Andra lirih yang langsung menghentikan tangisan Puput.
Puput membuka telapak tangannya yang berlumur air mata. Wajahnya dihadapkan pada Andra,
bingung. Andra mendesah lagi, lebih panjang dari semula. "Walau sudah mempersiapkanny
sejak di rumah, ternyata tetap saja terasa menyakitkan kalau mendengarnya langsung dari mulut
kamu, Put." "Menyakitkan?" Puput membelalakkan matanya. Lho, bukannya senang"
"Kamu itu benar-benar"!!!" Andra menggerutu melihat Puput menatapnya dengan wajah "aku
tidak tahu apa-apa"nya. "Masa kamu nggak paham juga"!" bentaknya kesal, "Kamu piker
bagaimana aku bisa tahu perasaan kamu sama Erlangga" Memangnya aku jago meramal apa!
Asal tahu saja ya" Kalau tahu jadinya seperti ini, lebih baik tidak punya perasaan saja. Benarbenar merepotkan!"
"Maksud Kak Andra apa?" Wajah lugu Puput semakin terlihat tolol. Andra merasa kesal, lantas
dengan cepat diraihnya bahu Puput. Dalam hitungan detik, bibir Andra bertautan dengan bibir
Puput. Puput melongo dan langsung mendorong tubuh Andra cepat-cepat. Wajah Puput kembali
pucat. "A"apa" itu tadi?"
Andra mendesah, lalu menatap Puput. "Ciuman! Memangnya terasa seperti apa tadi?"
"Yang"yang benar saja"! Kenapa kakak menciumku?" Puput jadi panik. Itu kan ciuman
pertamanya. "Apa nggak boleh mencium calon isteriku?"
"Jelas nggak boleh!" Puput semakin keras. Malu, marah dan bingung bercampur jadi satu dalam
hatinya. "Kenapa?" Andra bertanya kalem, "toh, nanti juga kita akan menikah. Iya kan?" "Aku ini
orang yang Kak Andra benci" Aku ini kan katak" Itu kan kata Kak Andra dulu!!" teriak Puput
semakin keras. Andra mendesah lagi. "Jadi selama ini, itu yang ada di pikiranmu, Put?" "Apa lagi"! Kak Andra
kan tidak mungkin menyukai..ku," Puput berkata sepatah-sepatah dan kemudain segera sadar
kalau kata-katanya mungkin saja benar.
"Sayangnya?" Andra segera membenahi rambutnya yang jatuh ke dahi, "Aku selalu
memperhatikan kamu sejak kamu masuk rumah sakit. Menurut kamu, untuk apa aku susah-suah
memperhatikan kamu kalau bukan karena aku memiliki rasa khusus padamu! Aku jatuh cinta
padamu, Put. Aku" Andra Wijaya" jatuh cinta pada seorang Puput Amelia!!!"
Ini bukan kejutan yang menyenangkan. Tapi juga nggak menyedihkan. Itu cukup membuat Puput
membuka mulut lebar-lebar. Puput mendekapkan tangannya ke depan. Keterkejutan tergambar
di wajahnya dan matanya membulat.
Andra mencintaiku" Andra jatuh cinta padaku" Sebentar, aku bahkan belum lagi mimpi digigit
ular. "Hah, dasar bodoh"!" Maki Andra sambil memalingkan mukanya. Puput menatap wajah
Andra yang dipalingkan darinya. Ah, ada apakah di balik wajah itu. Apakah ada kesedihan di
permukaannya seperti perasaanku saat ini"
Diam mulai menyelimuti mereka berdua. Untuk Puput, itu suatu kejutan yang menyakitkan dan
untuk Andra itu suatu pengakuan yang luar biasa. Puput menyetuh bibirnya. Ciuman Andra
masih terasa hangat" "Maaf"," pelan dan lirih perkataan Puput, seakan berharap bisa
menebus dosanya karena mencintai Erlangga. "Aku nggak tahu"," desisnya penuh sesal.
Seandainya dia menyadari lebih cepat.
"Apa dengan maaf saja cukup"!" ujar Andra tajam. Wajahnya sudah kembali menghadap wajah
Puput. Sorot mata Andra tajam bagai mata pisau yang siap merobek jantung Puput. Puput
merasa takut. "Aku akan mengganti kerugiannya" Aku janji, walau seumur hidup harus bekerja.
Tapi tolong jangan menyusahkan paman dan bibi?" Puput menatap Andra dengan memelas.
Tiba-tiba Andra menarik tangan Puput. Kini Puput berada begitu dekat dengan Andra. puput
merasa takut, tapi tidak berdaya melepaskan cengkraman Andra. "Apa kamu ingin seperti ini
saja, Put?" tanya Andra. Heh" "Apa kamu ingin berakhir seperti ini saja?" ulang Andra, "tidak
mau menyampaikan perasaan kamu" Apa kamu akan tetap membiarkan perasaan kamu tidak
tersampaikan selamanya?" tanya Andra dengan tajam.
"Apa?" "Yah, begini. Kamu terus-menerus menyimpan perasaan kamu di dalam hati. Kamu
terus-terusan sakit menahan perasaan kamu sendiri. Apa kamu tidak ingin mengatakannya pada
Erlangga kalau kamu mencintainya sebelum dia pergi?"
"Apa mungkin?" tanya Puput bingung. "Mungkin saja. Kalau kamu memang mau. Besok pagipahi kita langsung berangkat ke Jakarta, langsung ke bandara dan kamu bisa menemuinya serta
mengungkapkan perasaanmu," ucap Andra mantap.
"Tapi?" "Kenapa lagi?" "Kak Andra bagaimana?" tanya Puput polos. Perasaan bersalah
semakin melingkupi hatinya. Andra tersenyum. "Aku bukan tipe orang yang gampang putus asa,
Put," ujarnya dengan senyum penuh arti. Apa maksudnya itu"
Mobil yang dibawa Andra melaju membelah jalan antara Puncak menuju Jakarta. Ketika masuk
tol, tanpa ragu Andra langsung menuju bandara Soekarno-Hatta. Puput dapat mendengar deru
jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasa. Walau kesehatannya belum pulih benar, tapi
keinginan untuk bertemu Erlangga lebih besar dari apa pun. Itulah yang mendorong Puput untuk
pergi. Puput merapatkan kedua tangannya dan berdoa di dalam hati semoga dirinya sempat bertemu
Erlangga. Ketika memasuki bandara, Puput yang ditemani Andra segera mencari kerumunan
orang-orang yang berdiri di dekat pintu masuk. Andra melihat keluarganya, Tante Nia, Andita
dan si kembar, baru saja berbalik dan hendak pulang.
Andra langsung menghampiri mereka, "Angga sudah masuk?" tegur Andra cepat. Kontan Andita,
Tante Nia dan si kembar terkaget-kaget disapa mendadak begitu. "Bang Andra! Bng Andra!" si
kembar mulai rebut melihat kakaknya datang. Bahkan, Ale segera menggelayuti lengan Andra.
"Lho, Bang Andra! sudah balik dari Puncak?" tanya Andita bingung. "Sudah, nanti saja
penjelasannya. Angga sudah masuk ke dalam ya?" ulang Andra. "Iya, baru saja. Ini kami mau
pulang. Kenapa, abang mau ketemu Bang Angga?" tanya Andita bingung.
"Iya, kamu pulang saja duluan. Kami menyusul nanti," Andra bergegas berlari sambil menuntun
Puput. Andita memandang kepergian mereka berdua. Bingung" Setelah meminta izin petugas,
Puput segera masuk ke jalur penumpang dan mengejar Erlangga. Pikiran dan perasaannya kali
ini tertuju hanya pada satu titik. Aku harus mengatakan perasanku pada Kak Er!
Di antara kerumunan penumpang yang cukup padat, Puput melihat Erlangga yang sedang
berjalan santai. Dengan sekuat tenaga dipanggilnya Erlangga. "Kak Er!" Erlangga menghentikan
langkahnya. Diputarkan tubuhnya ke asal suara.
Puput berlari dan terus berlari. Air matanya mulai berlinang. Tapi Puput tidak ambil pusing. Puput
terus berlari dengan napas yang memburu.
"Puput" Kok kamu bisa ada di sini, bukannya kamu ada di Puncak?" tanya Erlangga takjub.
Puput menggeleng cepat. Lalu ditariknya napas dalam-dalam. Katakana atau tidak sama sekali!
"Kak Er" Aku" Sejak dulu" sangat" sangat" suka pada kakak!" ucap Puput dengan napas
terputus-putus. "A" aku sejak" sejak dulu" hanya suka" pada kakak?"
Erlangga tertegun mendengar ucapan Puput. Matanya membelalak terkejut. Puput meringis. Aku
tahu aku telah salah mengatakan perasaanku ini. Dia pasti menolakku. Kejadian berikutnyasesuatu yang tidak pernah diduga Puput-Erlangga langsung memeluk Puput sambil berbisik.
"Aku senang, sangat senang"," ucapnya dengan getar suara seakan hendak menangis.
Puput, di dalam pelukan Erlangga, hanya bisa terdiam. Cukup lama sampai Puput tersadar
ketika orang-orang memperhatikannya.
Erlangga pun kemudian melepaskan pelukannya. Sorot matanya membening, memantulkan
segelombang air mata yang membayangi di antara kedua kelopak mata Erlangga. "Seandainya
aku punya keberanian lebih besar lagi, aku akan mengejarmu. Tapi aku tidak bisa di sisimu, Put.
Kamu ingat kan, kalau kita bersama akan banyak orang yang terluka. Paman, bibi, papa dan
terutama Andra, kakak tiriku karena dia mencintaimu," jawab Erlangga mendesah. Tangannya
terulur membelai pipi Puput.
"Kak Er tahu perasaan Kak Andra?" "Iya." "Tapi kan itu bukan alasan"." Mendadak Erlangga
menutup bibir Puput dengan telunjuknya. Matanya begitu lembut dan sendu. Puput ingin
menangis melihatnya. "Kak Er" Kak Andra sudah mengizinkan kita bersama"," ujar Puput


My Silly Engagement Karya Dewi Sartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menenangkan. Tapi Puput sendiri meragukan itu.
Erlangga menggeleng. "Mungkin memang harus begini, Put," ujarnya. "Tapi"tapi"," Puput tidak
mampu berkata-kata. Dadanya mulai sesak karena lelah. "Ssshhhttt!" Erlangga pun memeluk
Puput dan segera melepaskannya. Matanya menatap Puput. Di dalamnya ada samudera luas
yang tak akan terjangkau oleh Puput. "Cukup sampai di sini, Puput," ujarnya lagi.
Erlangga mencium dahi Puput dengan lembut. Ingin rasanya dunia berhenti berputar saat ini,
tapi" tidak mungkin itu terjadi. Puput dapat merasakan kedinginan dan kehangatan berbaur
menjadi satu meliputi hatinya seketika. Ciuman itu terasa perih dan ngilu. Menyadari hal itu,
tumpahlah air mata dari kedua kelopak mata Puput. Bagaimana mungkin berakhir seperti ini"
Erlangga pelan-pelan menghapus air mata dan mendongakkan dagu Puput. "Jangan manangis!
Kamu jadi jelek kalau menangis". Tersenyumlah," ucap Erlangga lirih. Bagaimana mungkin"
Bagaimana mungkinn aku dapat tersenyum saat ini"! "Kak er" aku" aku"."
"Ssst!" Erlangga mengacungkan jarinya ke bibir Puput lagi. Matanya sayu dan sendu, tapi
dipaksakannya juga untuk tersenyum. "Semoga kamu berbahagia, Put"! Ucapnya dengan
masih memandang wajah Puput. Napas Puput semakin memburu, menahan tangis agar tidak
turun dengan deras. Erlangga mendesah risau, tapi tidak bisa berlama-lama di tempat itu. Akhirnya dengan diiringi
tangisan Puput, Erlangga melangkah pergi. Berjalan tanpa menengok lagi" Dunia Puput pun
seakan runtuh". Tidak seperti ini! Aku tidak mau berakhir seperti ini. Kenapa kisahku tidak
berakhir seperti di novel-novel roman yang berakhir bahagia" Kenapa ketika aku menemukan
sesuatu di hatiku, kini sesuatu itu harus pergi"
Erlangga tertelan arus orang-orang yang masuk ke dalam lorong. Tak terlihat dan terus
menghilang" Puput hanya bisa menatapnya dengan wajah tidak percaya. Semua ini begitu
berbeda dengan bayangannya. Sungguh berbeda! Selamat jalan, Kak Er".
Setelah diam cukup lama, Puput melangkahkan kakinya dengan perasaan berat. Kepalanya
kembali terasa sakit. Setiap melangkahkan kaki, Puput merasa beribu-ribu jarum menekan
permukaan kakinya, menimbulkan nyeri yang tak terkira. Puput tertunduk. Dengan sekuat
tenaga, dihapusnya air mata yang terus mengalir tanpa komando itu.
Kenapa sesakit ini" Kenapa masih tetap terasa sepedih ini" Sungguh, Puput nggak butuh cinta
yang menyakitkan seperti ini. Tapi Puput masih tetap melangkah dengan linglung. Menuju pintu
keluar. Di depan sana-di balik pintu kaca dekat satpam-tampak Andra menunggunya. Santai di dalam
penantiannya. Andra menyalakan sebatang rokok, lalu mengembuskan asapnya perlahan sambil
melirik ke dalam. Ketika melihat Puput, dengan segera mematikan rokoknya.
"Bagaimana?" tanya Andra ketika Puput sudah di sampingnya. "Aku...ditolak," ujar Puput putus
asa, "dan aku nggak ngerti kenapa"." Andra tersenyum. "Bukan begitu, Put! Sesungguhnya, dia
tidak menolakmu. Dia malah sangat mencintaimu," ujar Andra. "Tapi"tapi dia"dia tidak
menginginkan aku. Dia pergi begitu saja. Dia malah melarang aku bicara," ucap Puput sedih.
Entah mana yag lebih sedih. Tidak pernah menyatakan perasaannya atau menyatakan perasaan
dan mendapati kenyataan seperti ini.
"Erlangga itu bukan tipe orang seperti yang kamu duga, Put. Dia orang yang sangat memikirkan
orang lain. Kurasa, dia terlalu memikirkanmu sampai-sampai memilih pergi menjauhimu. Untuk
yang satu itu, memang ciri khas Erlangga!" Suara Andra terdengar gamang.
Heh" Puput segera memalingkan wajahnya menghadap Andra. "Sebentar! Jangan-jangan
kamu" jangan-jangan kamu sudah tahu akan begini akhirnya?" Puput langsung mengangkat
ujung telunjuknya dan diarahkan ke dada Andra.
"Iya, tentu saja," jawab Andra kalem, "Kalau tidak begitu, aku nggak mau membawa kamu ke
bandara ini!" "Egois sekali. Terus buat apa kamu ngajak aku ke sini" Apa kamu berniat membuat
aku sakit hati?" Puput mulai bertanya sinis. Mulai ber-kamu-kamu. Mulai menyesak marah.
Tanpa disadarinya, air mata sudah mulai membayang di matanya.
"Jangan marah dulu," Andra menepuk pundak Puput. Perlahan, tangannya dengan lembut
diusapkan ke pipi Puput dan menghapus air mata yang telah terlanjur mengalir. "Aku hanya ingin
membuat kamu mengatakan isi hatimu, membuat kamu lebih jujur pada diri sendiri!" jelas Andra.
"Tapi kalau akhirnya seperti ini sih?" Puput menghapus air matanya sendiri dengan ujung
lengan baju. "Aku mengenal Erlangga sebelas tahun yang lalu. Sedang kamu, mungkin kurang
dari satu tahun. Ya, sejak kamu mulai tinggal di rumah. Aku mengerti watak Erlangga. Maknya
aku bisa memperkirakan akan seperti ini jadinya." Masih dengan kalem Andra menanggapi
Puput. Puput menarik napas jengkel. Ditepisnya tangan Andra dan dipalingkan wajahnya. Terlalu! Kalau
seburuk ini keadaannya, mungkin lebih baik tidak pernah datang ke sini. "Kalau soal patah hati,
akulah yang paling tahu rasanya!" ujar Andra perlahan. Puput terdiam, diam yang menyakitkan.
Andra mendesah. Matanya menerawang menatap kerumunan orang di bandara, lalu seulas
senyum tersinggung di bibirnya. "Put, saat ini aku memang belum bisa mendapatkan hatimu.
Tapi aku berjanji saat kita menikah, kamu akan menikahiku karena mencintaiku. Bukan karena
perjanjian konyol itu. Aku akan merebut hatimu, Put, agar hanya ada aku di setiap degup
jantungmu. Aku akan menggantikan kedudukan Erlangga di hatimu!" Suara Andra terdengar
teguh. Mata Andra begitu lurus, kuat menatap Puput.
Hah" Puput segera menatap Andra. Tatapan matanya begitu gugup dan bingung. Apa katanya"
Andra balik menatap Puput. Sorot matanya penuh rasa saying mendalam. "Bukannya semalam
sudah kukatakan, aku bukan tipe orang yang gampang menyerah. Aku pasti membuat kamu
mencintaiku dan mengambil kembali bagian yang telah dimiliki Erlangga. Aku akan membuatmu
mencintaiku lebih daripada Erlangga. Pasti!!!"
Puput tertegun cukup lama, berusaha mencerna" Dan itu cukup untuk membuat Andra bisa
mencium pipinya sekilas. Puput terbengong-bengong" Mukanya memerah! Huh!!! Andra
tersenyum jail dan menggandeng tangan calon isterinya itu meninggalkan bandara"
meninggalkan sepengal kisah cinta Puput yang belum sempat bersemi"
There"a reason Why people don"t stay where they are
Baby" Sometimes love just ain"t enough"
(Sometimes Love Just Ain"t Enough-Patty Smith)"
END Awal The Beginning 1 Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Sumpah Palapa 13
^