Pencarian

Oppa And I 1

Oppa And I Karya Orizuka Dan Lia Indra Andriana Bagian 1


Oppa & I Penulis : Orizuka & Lia Indra Andriana
Bab 1 'Oppa yang lebih asing dari alien.. Aku tidak butuh.
Sepasang mata bulat seseorang gadis menatap ke sekeliling bandara Internasional
Incheon-mengagumi keindahannya dalam hati. Berkebalikan dengan isi hatinya, ekspresi
wajah cantik gadis itu masam, seolah bandara itu mengeluarkan bau busuk, bukannya
harum semilir kopi. Gadis itu menghela napas, lalu duduk di atas koper pinks yang
digantungi kartu pengenal bertuliskan `JANE PARK, Indonesia. Ia lantas beralih menatap
koper lain-berukuran dua kali lipat yang sedang ia duduki-yang ada di depannya.
''Jae In-a!'' Jae In, gadis itu refleks menoleh. Seorang wanita cantik semampai berusia pertengahan tiga
puluhan menghampirinya sambil melambai. Jae In kembali menghela napas
''Mian(maaf), toiletnya penuh,'' katanga dengan suara manis dibuat-buat.
''Kenapa tiba-tiba bahasa korea"'' tanya Jae In, dalam bahasa Indonesia. ''Apa karena kita
sedang di Korea"'' ''Keourom(tentu saja).'' Wanita itu tersenyum manis, sengaja menyibak rambut saat
beberapa pria lewat dan mengagumi posturnya, mebuat Jae In sukses menganga.
''Eomma, jebal jom (eomma, please deh)!'' Jae In menyahut, tak sadar dirinya pun sudaah
menggunakan bahasa itu. Bahasa yang tak pernah digunankannya lagi semenjak 5 tahun
lalu. Sandy tersenyum simpul melihata anak gadisnya yangs ekarang menutup mulut dan
terlihat salah tingkah. Jae In memang tak pernah suka menggunakan bahasa Korea. Tidak
semenjak lima tahun lalu, saat kehidupannya berubah drastis. Senyum Sandy berangsur
lenyap. Saat ia mengubah kehidupan anaknya sendiri, secara drastis. Lima tahun lalu,
Sandy begitu egois saat memutuskan untuk bbercerai dengan Jae Bin. Begitu egois untuk
memisahkan Jae In dengan pasangan sehidup sematinya. Begitu egois untuk membuang
apa yang dinamkan keluarga.
Namun, Sandy masih yakin setangah atau lebih dari segala kejadia ini adalah kesalahan
Jae Bin. Mantan suaminya yang kaku dan workholic itu memilih utnuk menerima panggilan
tugas dis Seoul daripada tinggal bersamanya di Jakarta.
Masih jelas di ingatan Sandy saat ia meberi Jae Bin pilihan:mengambil pekerjaan itu atau
bercerai, dan Jae Bin memilih bercerai. Masih jelas pula rasa sakit di hati Sandy sehingga ia
ikut menyanggupi keputusan suaminya itu. Mantan suaminya.
Sandy tadinya hanya ingin menyuci Jae Bin. Tak sekalipun Sandy menduga bahwa Jae Bin
akan lebih memilih pekerjaan daripada dirinya. Sandy pun tidak ingin kalah, ia harus
memperlihatkan pada Jae Bin bahwa tanpanya, ia bisa hidup dengan baik di Jakarta.
Menikah di usia yang sangat mudah-sembilan belas tahun-membuat psikologis Sandy dan
Jae Bin masih begitu labil, hingga mereka melakukan hal yang orangtua manapaun tak akan
melakukan: memisahkan dua anak mereka untuk tinggal di negara berbeda.
Hati Sandy sebenarnya sakit saat memikirkan itu, namun sekarang ia sudah ada di sini. Ia
sdg memperbaiki kesalahannya.
Sebulan lalu, tanpa ia duga, Ja Bin datang ke jakarta dan mengajaknya ke Seou untuk
kembali bersama sebagaikeluarga. Sandy tak pernahmenyangka Jae Bin akan
melakukannya, seorang Jae Bin yang pendiam dan tak pernah mengekspresikan perasaan,
datang untuk menjemputnya dan meminta rujuk.
Walaupun luluh-dan girang setengah mati-Sandy tak ingin memperlihatkannya. Sambul
mengajukan surat bahwa ia boleh bekrja di Seoul, Sandy menerima ajakan Jae Bin. Jae Bin
pun menyanggupinya. Sandy tidak bisa lebih bahagia. Walaupun memakan waktu lima
tahun, Jae Bin akhirnya kembali untuknya.
Mungkin bukan untuknya, tetapi untuk Jae In. Namun ia tak peduli. Yang penting Jae Bin
sudah berusaha, dan sekarang adalah gilirannya.
-----------------Jae In menatap ibunya-yang sekarang sibuk meilirk jam tangan tiap lima detk sekali-lalu
menghela napas. Jae iN tahu apa yang membuatnya begitu. Sebulan lalu, seperti sulap, Jae
In mendapati ayahnya berdiri di depan pintu flat bobroknya. Entah bagaimana ayahanya
bisa menemukan mereka dan terbang langsung ke korea.
Selama lima tahun setelah perceraian kedua orangtuanya, Je In hanya berhubungan
dengan ayahnya melalui telepon. Ia tidak memiliki keinginan itnuk chatting, webcam, atau
apapun. Telepon pun hanya datang saat ia berulang tahun, atau untuk menanyakn kabar.
Melihat ayahnua ada di depan flat, ia merasa bingung. Melihat ayahnya membujuk ibunya
untuk ikut dengannya ke Seoul dan bersatu kembali sebagai keluarga, ia semakin bingung.
Seperti semua yang terjadi tidak nyata. Ia merasa seperti sdg bermimpi.
Namum, ia tidak bermimpi. Sekarang ia ada di sini, d bandara incheon, menunggu ayahnya
untuk menjemputnya. Tidak, Jae In tak senang. Ia tidak senang meninggalkan jakarta. Meninggalkan temantemannya. Meninggalkn kehidupannya. Ia tidak suka ditinggalkan jadi ia tidak ingin
meninggalkan. Itu uang ia pahami setelah 5 tahun ini. Namun, pada akhirnya ia harus
meninggalkan semuanya, demi orang yang pernah meninggalkannya. Ironis
Jae In melirik ibunya yangs ekarang sudah mengeluarkan cermin dan sibuk merapikan
rambut. Seharuusnya, Jae In bisa menyalhkannya. Menyalahkan ibuu egois yang memilih
untuk tetap tinggal Di Jakarta mengejar karirnya dan pada akhirnya gagal, daripada ikut
suami demi keharmonisan rumah tangga. Menyalhakn ibu labil yang mengajukan cerai
secara iseng-iseng klalu disanggupi secara serius oleh suami kakunya. Namun, jika
demikian, jae in beraku tidak adil. Ayahnya juga bersalah. Seperti ibunya, ayahnya samasama egois dan tidak memikirkan nasib anak-anaknya. Ayahnya tega mebawa pergi
belahan jiwanya. Perut Jae In mendadak terasa mulas, teringat akan seseorang. Seseorang yang dibencinya
lebih dari siapapun. Seseorang yang membuat segala musibah ini semakin menyakitkan
dan tak bisa ia lewati sendiri. Seseorang yang harusnya selalu ada untuknya, tetapi malah
pergi meninggalkannya. ''Jae In-a.'' Jae In mengingat suara berat itu. Jae In mendongak, lalu menatap sosok tinggitegap
berwajah tirus yang pernah dilhatnya sebulan lalu di depan pintu flatnya.
Sandy ikut mendongak. ''Oh,wasseo(sudah datang)"''
Jae In melirik ibunya yang tampak sgt berbeda dengan beberpa detik lalu. Nada suaranya
menjadh dingin dan terkendali, begitu pula ekspresinya. Rupanya ia benar-benar menjaga
image. ''Eo (ya),'' jawab Jae Bin, lalu menatap Jae In. ''Bawaan kalian hanya itu"''
Jae In hampir mendengus. Tidak ada 'apa kabar"', apalagi pelukan hangat. Ayahnya masig
sekaku yang diingatnya dulu.
''Yang lain akan dikirim oleh ekspedisi,'' jawab Jae In datar, nyaris seperti robot.
''Jae Kwon mna"'' Perut Jae In kembali melilit saat mendengar ibunya menyebut nama itu. Nama yg selalu ia
hindari untuk ingat. ''menunggu di rumah,'' Jae Bin melirik Jae In. ''Ayo kita pulang.''
Jae In termangu sementara ayahnya menarik koper dan bergerak menuju pintu keluar.
Pulang. Jae In menatap ke luar jendela mobil. Selama dua jam perjalanan, tak seorangpun
berbicara. Perjalanan dari incheon menuju Kangnam benar-benar terasa seperti dari
Sabang ke Merauke. Jae In bahkan bertaruh, ia akan lebih merasa nyaman jika
mengendarai taksi sendirian.
Ayahnya terlalu serius untuk memulai pembicaraan apa pun. Ibunya terlalu gengsi. Ia sendiri
terlalu malas. Jika ada Jae Kwon...
Jae In memukul kepalanya sneidir saat tiba-tiba mengingat nama itu. Ia sendiri tak tahu
kenapa bisa mengingatnya.
Mobil tiba-tiba berhenti, mebuat Jae In kembalii menatap ke luar. Tenryata mereka sudah
berada di dalam garasi sebuah rumah.
Oh bukan, sebuah mansion.
Memang rumah seperti ini tidak berani apa-apa di indonesia, tetapi di Korea, khususnya
Kangnam, rumah bertingkat dua dan berhalaman luas seperti ini sama-sama berarti apaapa.
Jae In belumberhenti menganga saat ayahnya membuka pintu mobil dan bergerak turun.
Jae In segera mengatupkan mulut, lalu ikut melangkah keluar. Walaupun ingin, ia tetap tidak
bisa berhenti mengagumi rumah itu. Di sampingnya, ternyata ibunya sedang melalukan hal
yangsama. ''Inge... Ni jibiya (ini... Rumahmu)"'' katanya, tak percaya bahwa mantan suaminya hidup
mewah seperti ini sementara ia dan Jae In terlunta-lunta di Jakarta.
Jae Bin melirik dari balik bagasi yang terbuka untuk melihat mantan istri dan anak
perempuannya. ''kKau bilang kau juga hidup mewah di Jakarta.''
sandy segera berdehem sambil mengendalikan ekspresinya. Memang benar. Demi gengsi,
Sandy mengatakan itu. Namun, ia sama sekali tak menyangka Kae Bin sesukses ini dengan
jabatan barunya. Jae Bin menarik koper milik Sandy dan Jae In, lalu melangkah ke teras rumah. Lampu teras
segera menyala begitu kaki Jae Bin menginjaknya. Di belakang, pagar rumah tertutups
ecara otomatis. Terdengar suara langkah kaki dalam rumah, membuat jantung Jae In serasa mencelos.
Tepat sebelum pintu dibuka, Jae Bin menoleh ke belakang, menatap mantan istri dan anak
gadisnya. ''Mulai sekarang, rumah ini milik kita.''
jae In masih belum mengedip saat pintu akhirnya terbula. Seorang anak laki-laki tinggi
berwajah cerah mumncul darisanam. Jantung Jae In sekarang terasa berhenti berdetak.
''EOMMA!!'' serinya begitu melihat Sandy.
''Jae Kwon-a!!'' Sandy balas berteriak, lalu melupakan segala image dan gengsinya,
memeluk anak laki-laki itu erat.
''Aku sangat rindu padamu!'' Jae Kwon melepaskan diri dari pelukan ibunya untuk menatap
wajahnya. ''Eomma belum berubah sedikitpun, masih cantik seperti dulu!''
''Mwo ya (apaan sih)!'' Sandy memekik girang sambil menepuk pipi anak laki-lakinya. ''Kau
sudah sebesar ini ! Eomma adeil neomu meotjida (anak laki-lakiku sangat keren)!''
Selama beberapa saat, pasangan ibu dan anal itu heboh saling melepas kangen,
melupakan kehadiran Jae Bind an Jae In yang hanya menatap pemandangan itu tanpa
ekspresi. Begitu menyadarinya, Sandy segera melepas Jae Kwon dan berdehem salah
tingkah. Jae Kwon sekarang mengalihkan perhatian pada Jae In yg berusaha tak menatapnya balik.
''Jae In-a,'' gumam Jae Kwon, suaranya penuh kerinduan. ''annyeong"''
jae In tak ingin membalas sapaan itu. Tetapi kedua orangtuanya menatapnya. Jadi, Jae In
hanya mengangguk singkat, masih menolak untuk menatap mata berbinar Jae Kwon.
Jae In tahu kedua orangtuanya sudah saling tukar padngan, tetapi ia tidak peduli. Ia tak
ingin memaafkan Jae Kwon begitu saja.
''Baiklah, ayo masuk. Udaranya dingin,'' Jae Bin memecah keheningan.
Sandy menggandeng Jae Kwon masuk, sementara Jae In tersaruk di belakang mereka,
mmenatap punggung tegap milik saudaranya.
Saudara kebarnya. Jae In mebuka pintu kamar mandi, lalu melangkah menuju kamarnya sambil mengeringkan
rambut. Otanya masih dipenuhi berbagai hal. Ia masih belum sempat berfikir lurus. Salah
satu hal terbesar yang memenuhi otaknya sekarang ada di hadapannya, bersandar di
dinding tepat di pintu kamarnya. Jae Kwon nyengir lebar sambil melambai. Jae In
menatapnya datar, menghela napas, lalu melengos. Ia hanya ingin tidur, dan bangun di
kasur kapuknya di Jakarta. Tidak ada senyuman konyol itu. Tidak ada keluarga konyol ini.
''Jae In-a,'' Jae Kwon segera mengadang Jae In. ''Aku sangat merindukanmu, tahu.'' ''Cih,''
kata Jae In terang-terangan, lalu menatapnya bengis. ''Pikyeo (minggir).'- Jae Kwon
mengernyit bingung. ''Jae In-a, sejak kapan kau kasar begini"'' Jae In berusaha untuk
mengendalikan amar yang membuncah di dadanya, lalu kembali menatap anak laki-laki
yang menurutnya sok polos itu. ''Kau tahu apa tentangku"'' Jae IN merapatkan geraham.
Jae Kwon kehilangan kata-kata selama beberapa saat, tak mengerti dengan sikap Jae In.
''Jae IN-a.. Apa kau baru saja menyebutku dngan 'kau'!"''
''Keurae (iya)! Kau tahu apa tentangku"'' Jae In menyahut, mendorong tubuh Jae Kwon, lalu
membuaka pintu kamar. Jae Kwon menatapnya sedih. '' Jae In-a. Jangan memanggilku dengan 'kau'.
Bagaimanapun, aku tetap oppa-mu, kan"''
Jae In yang hendap menutup pintu segera terdiam.
''Oppa"'' gumamnya, lalu mendengus dan kembali menatap Jae Kwons sengit. ''Ni ga (kau)"
Utkijima (jangan melucu).''
Jae Kwon menatap Jae In nanar. ''Jae In-a...''
''Aky tidak butuh oppa sepertimu.''
Jae in membanting pintu, lalu menghempaskan punggung pada kasur pegas. Kasur yang
empuk, sangat berbeda dengan kasur kapuknya di Jakarta. Namun, entah mengapa kasur
itu terasa dingin. Jae In memejamkan mata, berusaha menahan airmata yang hendak keluar. Selama
beberapa tahun ini, ia selalu berusaha untuk tak menangis. Ia gadis yang kuat, yang tidak
mebutuhkan siapa pun. Terutama saudara kembar penghianat seperti Jae Kwon.
Oppa, katanya. Lucu sekali. Bab 2 Bajaj dan kopaja pasti membuat wajah Jae In kusam.
''Nangdamhajima (jangan bercanda)!l' Entah sudah berapa kali Jae Kwon meneriakkan hal
inii, namun Jae In tidak menjwab.
''Yaa! Jae Kwon menaikkan intonasi suaranya sementara Jae In keluar dari ruang makan.
''Jae In-a! Kau mau kemana"''
Jae Kwon terpana sejenak, kemudian cepat-cepat mengambil tas dari atas kursi ruang
makan dan mengejar Jae In yang sudah membuka pintu depan. Suasana rumah sepi.
Selain kesibukan mereka berdua, tidak ada tanda kehidupan lainnya.
Sandy-ibu mereka-tidur lagi setelah pagi-pagi bangun untuk mengantar suaminya yang akan
berangkat ke Ilsan-sebuah kota yang berjarak 40 menit dari Seoul. Jae Kwon tidak tega
membangunkannya lagi yang masih kecapaian setelah kemarin terbang selama delapan
jam. Jae Kwon sedikit kesal dengan ayahnya. Jae In dan ibunya baru saja datang, masa ia malah
pergi untuk bekerja"
Apalagi alasannya tidak terlalu penting... Hanya untuk mengecek perkembangan
pembangunan di Hallyuwood, sebuah amusement park yang sedang dikembangkan selalam
beberapaa tahun terakhir ini. Menunda kepergiannya sheari saja tidak akan membuat robot
Taekwon V-sebuah karakter film animasi terkenal yang diajdikan film landmark di
Hallyuwood-roboh. Namun, tentu saja semua protes yang dilontarkan Jae Kwon tidak
didengar oleh ayahnya dengan alasan 'menunda pekerjaan itu tidak baik'
Jae Kwon menyusul Jae In yang sedang menyusuri jalan setapak di depan rumah. ''Jae Ina" Mobilnya di sini!'' Jae Kwno memberitahu sambil menunjuk mobil berwarna hitam yang
kemarin membawa Jae In dan ibunya ke rumah ini.
Dari jauh-jauh hari, Jae Kwon meminta pada ayahnya supaya boleh diantar memakai mobil
pada hari pertama Jae In masuk sekolah. Jae Kwon selalu membayangkan semua teman
cowoknya iri padanya kareba memiliki saudara kembar yang cantik. Kecantikan Jae In pasti
akan melambung Jika Jae In turun dari mobil, bukan berjalan kaki.
''Jae In-a"'' Jae Kwon berlari menysul Jae In.
Jangan-jangan Jae In lupa?" Ia kan sudah menyebutkan berkali-kali di e-mail dan ingat
betul kalau Jae In sangat antusias mendengar idenya.
Dalam waktu singkat, Jae Kwon berhasil berjalan disamping Jae In. ''Jae In-a, mobil..'' Jae
Kwon berhenti bicara saat Jae In mqlah menatapnya dengan mata setengah melotot.
''Kenapa kau marah?"''
Jae in tidak menjawab. Jae Kwon meraih angan Jae In dan menggoyangkannya dengan
tidak sabar. '' Kenapa marah"'' tanyanya lagi.
Jae In masih bergeming. Jae Kwon menggoyang tangan Jae In makin keras. 'l8enar-benar
marah"'' Jae In tiba-tiba mengibaskan tangannya sambil berteriak, ''shikkeureowo (berisik)!''
Teriakan itu membuat Jae Kwon tersadar. ''Jae In-a... Jangan-jangan.. Ucapanmu di rumah
tadi serius"'' ''Ke arah mana halte busnya"'' tanya Jae In dengan nada dingin.
Jae Kwon menunjuk ke kanan dan Jae in langsung berjalan lagi. ''Jae In-a.. Yang di rumah
tadi?""'' Jae kwon berkata lambat:lambat.
Jae In berhenti, lalu menghela napas. ''Kau dengarkan baik-baik. Kau bukan oppa-ku. Dan
kau tadi tidak salah dengar. Apa pun yang terjadi, aku tidak mau ada seorangpun yang tahu
kalau kita kembar. Kau mengerti"''
sepanjang perjalan ke sekolah, otak Jae Kwon terus memutar ultimatum Jae In. Semakin
dipikir, Jae Kwon semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa adiknya bids
menjadi sedingin ini" Apa sebenarnys kesalahannya" Sampai menjelang keberangkatsn ke
Seoul, Jae In masih membalas e-mail'nya, bahkan mengataksn tidak sabar untuk masuk ke
sekolah yang baru. Kenapa mood Jae in bisa tiba-tiba berubah seperti ini"
Jae Kwon tidak bisa bertanya lagi pada Jae In yang langsung mengilang di balik kerumunan
orang yang berdesak-desakan di dalam bus. Kalau Jae In tadi mau masuk mobul, mungkin
suasana hati Jae In bisa lebih tenang. Jae Kwon khawatir kondisi bus yang penuhs esak itu
akan semakin membuat suasana hati gadis itu menjadi buruk. Apalagi mereka terbiasa
diantar mobil ke sekolahs ewaktu di Indonesia.
Ah! Jae In justru naik kendaraan umum terus selama beberapa bulan terakhir ini. Bajaj dan
kopaja pasti membuat wajah Jae In kusam. Jae Kwon teringat hal itu dengan murung,
membayangkan penderitaan adik kembarnya itu.
Siapa sangka, tak berapa lama setelah perceraiian, bank tempat Sandy bekerja malah
gulung tikar. Sandy berusaha mencari pekerjaan lain namun berkali-akli lamarannya ditolak.
Sampai akhirnya, atas saran teman-temannya, Sandy memutuskan untuk membuka usaha
katering. Keputusannya tidak tepat. Sandy tidak terbiasa bekerja keras. Semangatnya untuk
membangun sebuah usaha mandiri tidak bisa menghasilkan kesuksesan. Utang demi utang
semakin bertumpuk, sampai akhirnya Jae Bin mengetahui hal ini dan memutuskan untuk
memboyong seluruh keluarganya ke Seoul.
Seandainya saja Jae Kwon tahu, ia pasti sudah terbang ke Indonesia. Kenapa juga ia
memercayai semua kabar gembira yang Jae In ucapkan" Setiap kali Jae Kwon
menyampaikan niat untuk ke Indonesia, Jae Ins elalu mengatakan kalau ia dan ibunya tidak
ada di rumah. Mulai dari mengikuti camping yang diadakan sekolah, sampai karantina
kontes kecantikan yang diadakan olehs ebuah produk kecantikan. Sekarang, semua kabar
gembira tersebut sudah jelas adalahs ebuah alasan.


Oppa And I Karya Orizuka Dan Lia Indra Andriana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayahnya pun cuek sekali. Bahkan, sepertinya tidak pernah terlintas di kepala ayahnya untuk
mengunjungi Indonesia lagi. Yang ada di kepala ayahnya hanya pekerjaan saja. Kalau saja
ayahnya bukan workholic seperti itu, pasti perceraian itu tidak pernah terjadi. Memikirkan hal
ini saja membuat Jae Kwon sebal.
Saat akhirnya Jae Kwon turun dari bus, ia sudah mengambil keputusan. Jae Kwon tqhu
ucapan Jae In tadi bukan candaan. Ia harus mencari tahu kenapa adiknya tidak mau
menggilnya 'Oppa', bahksn ingin merahasiakan hubungandarah mereka. Dalam koondisi
seperti ini, Jae Kwon yakik Jae In semakin membencinya jika ia terus-terusan bertanya.
Jalan satu-satunya adalah menuruti ultimatum Jae In. Tidak ada yang boleh tshu kalau
mereka memiliki hubungan darah.
Dengan tekad bulat, Jae Kwon membusungkan dada dan berjalan menuju sekolah gedung
bertuliskan Kangnam Sangdan Kodeunghakkyo (SMA Kangnam Sangdan).
''Teman baru kalian bernama Parj Jae In.'' guru berbadan tegap itu mengumumkan di drpan
kelas. Ja Kwon melihat adiknya menatap sekeliling ruangan dengan ekspresi yang tak
terbaca. Tiba-tiba, Jae Kwon merasa khawatir. Pasti susah sekali bagi Jae In untuk
beradaptasi. Jae Kwon tahu benar bagaimana susahnya menjadi anak baru, terlebih dengan
perbedaan budaya. Ayah mereka memang orang Korea, namu bertahun-tahunt inggal di Indonesia tentu saja
membuat mereka lebih familier dengan budaya Indonesia.
''Jae Kwon-a.. Menurutmu dia bakal betah di sini"'' kang Dae Suk-teman baik Jae Kwontiba-tiba mencondongkan badan ke arah Jae Kwon dan berbisik. Guru mereka baru saja
menjelaskan kalau Jae In pindhan dari Indonesia.
''tentu saja.. Kita harus membuat Jae In betah di sini.'' jae In menjawab diplomatis. Dan
memang itulah yang akan ia lakukan. Mungkin Jae In tiba-tiba merindukan Indonesia
sehingga mood-nya berubah. Mungkin Jae Kwon harus menunggu beberapa hari sampai
Jae In kembali ceria. Pemikiran itu membuat Jae Kwon merasa lebih rileks.
''Tentu saja harus melakukan itu.'' Tiba-tiba Du Tae Jun, teman baik Jae Kwon yang lain ikut
menimpali. ''Jae Kwon-a, katakan pada Hwang seonsaengnim )Guru Hwang) supaya Jae In
duduk di sebelahku.'' ''Kenapa tidak kau katakan sendiri"'' Dae Suk mendengus.
LLjae Kwon kan ketua kelas,'' balas Tae Jun. '' Jae Kwon-a.. ayo.. minta seonsaengnim
mendudukkan Jae In di sini. Kau kan juga jadi bisa dekat dengan Jae Bin.''
Jae Kwon mulai terpengaruh dengat hasutan Tae Jun. Kursi kosong di kelas mereka
memang hanya ada dua. Satu di dekat tae Jun yang duduk di paling belakang, satu lagi di
pojok kanan dekat anak klub teater bernama Choi Seung Won. Jae Kwon mencibir kecil saat
membayangkan Jae In harus duduk di dekat Seung Won. Beberapa alasan membuat Jae
Kwon tidak menyukai anak itu.
''Tapi, Tae Jun-a.. Kau yakin bisa membuat Jae In betah duduk di sebelahmu"'' Dae Suk
khawatir. Tae Jun terlihat berfikir sesaat, terlihat ragu-ragu dengan idenya sendiri. ''Aku pasti
berusaha.. Jae In kan saudara Jae Kwon.''
''Ssttt!'' dengan cepat Jae Kwon mendesis. Memang susah punya teman-teman yang tidak
bisa menjaga rahasia. Tae Jun langsung membekap mulut, menyadari kesalhannya. Tadi pagi, Jae Kwon
berpesan suapaya tidak ada yang boleh tahu kalau Jae In adalah adiknya. Agak aneh,
namun saat Tae Jun mendengar alasannya, ia langsung setuju dengan rencana Jae Kwon.
Jae Kwon menatap Jae In dan ingatannya mulai melayang pada kejadian tadi pagi. Tadi,
sesampainya di sekolah, dengan cepat Jae Kwon menemui Kim Min Kyeong-kepala
sekolah-dan meminta untuk merahasiakan hubungannya dengan Jae In.
untung saja Kim kyojangnim (Kepala Sekolah Kim) tidak banyak bertanya tentang aalasan
permintaan Jae Kwon dan langsung meluluskan keinginannya. Kim kyojangnim segera
memberitahu wali kelas Jae Kwon dan Jae In supaya tidak menyebutkan hubungan
keduanya. Jae Kwon melangkah keluar dari ruangan kepala sekolah dengan menarik napas lega.
Untung saja Kim Kyojangnim ini teman dekat ayahnya. Kalau tidak, pasti permintaan
anehnya itu tidak akan begitu mudah disetujui. Ah, tapi mungkin Kim kyojangnim meloloskan
permintaanya karena ia seorang kapten sepak bola yang banyak menorehkan prestasi
gemilang untuk sekolah mereka.
Atau.. Mungkin juga karena kemampuan aktingnya yang semakin oke" Jae Kwon tersenyum
dalam hati sambil mengingat apa yang ia akatakan, ''saya hanya berusaha menjaga Jae In.
Kemarin Jae In menangis merindukan teman-temannya. Kalay semua orang tahu Jae In
adalaha dik saya, saya takut semua teman memandangnya dengan predikat sebagai adik
Jae Kwon dan bukan Jae Ins endiri. Jadi, waktu saya menyampaikan ide ini, dengan senang
hati Jae In menerimanya. Saya harap Kyojangnim mau meluluskan permintaan kami.''
''Kenapa malah duduk dekat Seung Won"'' komentar Dae Suk membuyarkan lamunan Jae
Kwon. Jae Kwon menoleh tepat saat Jae In berjalan ke Arah bangku kosong di belakang meja
Seng Won. Jae Kwon mendecak kecil saat mlihat Seung Won tersenyum pada Jae In. Sia
anak teater itu tebar pesona lagi, JAE kwon berkata dalam hati dengan jengkel.
Guru di depan kelas mulai menyuruh mereka membuka halaman terakhir yang mereka
pelajari. Kelas terdengar agak gaduh saat murid-murid membuka tas dan mengeluarkan
buku mereka. ''Seung Won kan juga pintar. Ia pasti bisa menuntun Jae In mengikuti pelajarab.'' ucapan
Jae Kwon sangat berbeda dengan isi hatinya.
''Tapi kan, Jae In lebih baik dekat dengak kakaknya dibanding... '' Tae Jun lagi-lagi
kelepasa. Dae Suk langsung memukul kepala Tae Jun. ''Bimiriya... Bimil(itu rahasia.. Rahasia)"''
''Mian (maaf).'' Tae Ju mengatakannya degan tullus sambil mengusap kepala yang sakit.
Untung saja tidak ada yang mendengar ucapannya.
Jae Kwon tetawa kecil. ''Gwaenchanha (tidak apa-apa),'' ucapnya sementara matanya tidak
lepas dari Jae In. Jae In-a.. Tunggu saku yaa... Kau pasti akan memanggilku Oppa lagi.
Bab 3 Orang itu mungkin saja memang alien.
''Park Jae In imnida (saya Park Jae In). Pangapseumnida (senang bertemu dg anda).''
Jae In bisa mendengar bisa mendengar suara enggan itu berasal dari mulutnya sendiri. Ia
selalu malas untuk mengenallkan diri, di mana pun ia berada. Ia tak pernah suka lingkungan
baru. Ia ingat, saat pertama kali masuk sekolah dasar di Indonesia, ia dan Jae Kwon segera
menjadi bulan-bulanan karena berasal dari luar negeri dan tidak lancae berbahasa
Indonesia. Mereka pun mendapat cap 'anak TKI', seakan TKI itu hal yang buruk.
Perlahan, Jae In mengangkat kepala dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Temanteman sekelasnya tampak sedang menatapnya ingin tahu. Jae Kwon menatapnya kelewat
ingin tahu. Ia mungkin belum berkedip semenjak Jae In menapakkan kaki ke kelas ini
Jae In menghela napas. Tadi pagi, ia sudah membuat jelas pada anak laki-laki dengan
cengiran konyol itu. Selama di rumah, mereka boleh saja berpura-pura jadi saudara. Tetapi
di sekolah, mereka bukan saudara. Mereka hanya kebetulan bermarga sama dan bernama
mirip. Itu saja. Alasannya" Selain membencinya, Jae In tidak mau mendapat lebih banyak masalah. Sudah
cukup alasan bahwa dirinya adalah anak baru untuk menjadi korban buli, tidak perlu
ditambah kenyataan bahwa ia adalah adik kembar anak menyebalkan yang ternyata ketua
kelas itu. Bagaimana pun caranya, Jae Kwon harus menyembunyikan identitas mereka. Kalau perlu
sampai lulus. ''Jae In-a"'' Jae In sedikit tersentak saat mendengar suara Hwang seonsaengnim-guru
biologi sekaligus wali kelasnya. ''Silahkan pilih bangku, ada dua bangku kosong.''
Jae In mengalihkan pandangan dari wajah ceria gurunys pada sebuah bangku kosong di sisi
kiri kelas yang bersebelahan dengan koridor. Jae In kemudian melirik bangku satunya lagi,
yang ada di dekat Jae xkwon. Anak lakiKlaki itu dan teman-temannya sekarang makin
kentara berkasak-kusuk. ''Aisshi (sialan)...'' umpat Jae In, merasa Jae Kwon pasti sudah memberitahu temantemannya soal identitas mereka.
''Ye (ya)!'' Hwang seonsaengnim mengorek kuping, merasa salah dengar.
''Ne, algesseumnida (ya, aku paham),'' Jae In segera meralat dengan suara lebih keras, lalu
melangkah ke arah bangku kosong di sebelah koridor.
Jae In bukannya tidak merasa Jae Kwon dan dua temannya mengobrol heboh sambil terus
menatapnya, hanya saja Jae In meboba untuk tidak mau tahu. Mulut Jae Kwon ternyata
masih besar seprrti dulu.
Jae In membanting pantat pada bangku keras. Bangku sekolah di manapun memang dama
saja kadar kelentingannya, tetapi yang ini terasa lebih menyebalkan. Cuaca di Indonesia
tidak pernah membuat besinya menjadi dingin seperti ini.
Saat Jae In hendak mengeluarkan buku dari tas, seorang anak laki-laki bertubuh kurus dan
berambut ikal acak-acakan balik menatapnya.
''Annyeong,'' sapanya dengan senyum lebar, membuat Jae In mengernyit.
''Apa kita saling kenal"'' Jae In bertanya, membuat dahi anak laki-laki itu gantian berkerut.
''Ani (tidak),'' Anak laki-laki itu menjawab bingung. ''Kau anak baru, kan" Aku hanya ingin
menyapa. Namaku Seung won, Choi Seung Won.''
Jae In menatap Seung Won tanpa berkedip selama bebrapa saat.
''Banmal hajimaseyo (jangan bicara informal denganku).''
Senyum di wajah Seung Won langsung lenyap, digantikan oleh mulut yang menganga.
Begitu bel istirahat berbunyi, Jae In segera melesat keluar kelas. Ia tidak ingin sapaan
basa:basi dari siapa pun sprti yang tadi. Ia bertekad untuk tidak mengenal siapa pun lagi.
Berkenalan dan membangun hubungan dari awal itu selalu merepotkan. Belum lagi pada
akhirnya mereka selalu berpisah.
Jae In berjalan di sebuah koridor yang ramai. Sepertinya, tadi ia salah berbelok. Sekarang ia
sedang berjalan di kelas 12.
Jae In meneguk ludah saat beberapa anak permepuan-dengan mata dan hidung palsu, Jae
In yakin-menatapnya sengit dari depan kelas XII A.
''Itu anak barunya" Yang kau bilang masuk ke kelas Jae Kwon"''
Jae In bisa mendengar jelas kata-kata yang seolah memang diperunttukkan baginya itu.
Dengan segera, Jae In mengutuk Jae Kwon yang harus sekelas denganya. Jae In berani
bersumpah, kembar fraternalnya itu pasti sengaja membuat mereka sekelas.
Seorang anak perempuan cantik dengan rambut lurus tergerai ke punggung mendadak
keluar dari kerumunan itu dan mendekatinya. Beberapa anak perempuan lain
menempelnya, seolah berdiri dalam radius tiga senti dari anak perempuan itu bisa membuat
mereka sedikit lebih canti.
''Annyeong'' sapanya, sama sekali tidak terdengar tulus. ''Anak baru"''
''Ne,'' jawab Jae In, lebih ingin semua ini cepat berakkhir daripada terdengar sopan.
''Aku Min Hye Rin, anak perempuan paling populer di sekolah ini,'' kata anak perempua itu,
membuat Jae In terperangah. Namun, sepertinya Hye Rin tidak terganggu oleh longoan Jae
In, mungkin sudah terbiasa dengan reaksi semua orang. ''Dan kau tdk akan mengganggu
Jae Kwon-ku.'' ''Ne"'' intonasi Jae In meninggi di akhir kata, syok.
''Jae Kwon neun naeggoya (Jae Kwon itu milikku),'' Hye Rin menekankan lagi. ''Suatu saat
Jae Kwon akan menjadi atlet terkenal, dan aku-yang artis ini-akan menjadi pacarnya.
Beberapa tahun berikutnya, kami akan mengumumkannya pada publik, seperti se7en Oppa
dan Park Han Byeol. Kau paham"''
''Tidak juga,'' komentar Jae In, sesungguhnya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang
dikatakan Hye Rin tadi. ''Tunggu Seonbae bilang, 'atlet'"''
''Eo(ya)!atlet! Kau tidak tahu---''
Detik berikutnya, Jae In semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Salah satu klon
Hye Rin menyikutnya, membuatnya berhenti bicara. Hye Rin lantas melesat pergi begitu
saja. Jae In membalik badan, lalu segera paham.
Dengan tubuh lebih dari seratus delapan puluh sentinya, Jae Kwon yang sedang berjalan
bersama teman-temannya di koridor tampak kentara di antara yg lain. Para anak perempuan
membelah persis Laut Merah yang dibelah Nabi Musa dengan tampang terhipnotis,
memberi jalan baginya. ''Mwo ya (apaan nih)"'' guman Jae In tak hanis fikir. ''Memangnya ini semacam Boys Before
Flower"'' sementara otak Jae In memutar lagu 'Paradise' milik T-max, Jae Kwon berjalan santai
melewati kerumunan itu dan tanpa sengaja menatapnya.
''Jae In-a, ternyata kau di sini! Aku mencarimu!'' serunya, membuat lagu tadi terhenti.
Semua orangs ekarang menatap Jae In yang segera salah tingaj. Hye Rin menatapnya
curiga, semacam sinar laser yang terpancat dari matanya sekarang terasa membakar kulit
Jae In. Jae In balas menatap Jae Kwon sengit, dalam hati merapal matra 'neo jugeosseo (kau akan
mati'. Lali, seolah ikatan batin yang telah lama tidak digunakan itu masih bekerja, Jae Kwon
paham. ''Aku kan ketua kelas, aku punya tanggung jwb untuk menunjukkan padamu tentag sekolah
ini. Kalau kau tiba'tiba menghilang sprti tadi, aku harus bagaimana"'' Jae Kwon
mengatakannya dengan nada simpatik, membuat semua orang menghela napas lefa.
''Ah, ng keurae (baiklah),'' Jae In bersusah payah, kaget atas perubahan sikap Jae Kwon
tiba'tiba. ''Tidak perlu. Aku bisa melihat-lihats endiri.''
''Begitu" Baiklah.'' Jae Kwon tersenyum tipis, lalu kembali melangkah dengan tangan dalam
saku celana. Jae In setengah mati berusaha menyangkal, tetapi Jae Kwon memang terlihat
tenang dan... Penuh kharisma.
Jae In segera merasa ada yang salah, tetapi ia tak tahu apa.
Setelah membeli roti isi coklat di kantin, Jae In melangkah tak tentu arah. Sekarang ia sudah
berada di atap gedung sekolah, bersandar di pagar pelindung sambil mulai mengunyah.
Jae In melihat pemandangan di bawah, lalu menghela napas. Sekolah ini, Sekolah
Menengah Atas Kangnam Sangdan, memang benar-benar seperti namanya secara harfiah.
'Sangdan' berarti top. Paling oke, setidaknya sedaerah Kangnam.
Sekolah ini memiliki semua yang sekolahnya dulu tidak miliki. Ruangan kelas yang luas dan
berpenghangat udara-atau pendingin udara-tergantung musimnya--, guru-guru terbaik seKorea, segala fasilitas olahraga, dan masih banyak lagi. Jae In sekarang sedang berada di
atap yang digunakan sebagai lapangan basket outdoor.
Jae In bisa mendengar beberapa anak bermain basket di lapangan itu. Ia sendiri memilih
pojokan di belakang sbeuah kotak pembangkit listrik sebesar dua kali lemari pakaian di
kamarnya, tak peduli pada kemungkinan bahwa ia bisa saja mati kalau tak sengaja
bersandar. Satu-satunya hal yang membuat Jae In merasa sedikit bersemangay soal sekolah barunya
adalahs eragam. Di sekolahnya di Jakarta, ia tak akan punya kesempatan memakai kemeja
putih panjang pas badan, rompi rajut, jas keren, san rok mini kotak-kotak penuh gaya..
Mendadak angin bertiup, membuat lutut Jae In terasa linu. Jae In segera mengutuk
siapapun pertama kali membuat pakai'rok-mini'apa-pun-yang-terjaadi menjadi tren untuk
para wanita di negeri ini. Maksud Jae In, masuk akal jika memakainya di musim panas/semi,
tetapi musim dingin saat angin sari Siberia sibuk berembus seperti ini"
Sambil menggerutu, Jae In berjongkok sambil memeluk lutut, berusaha untuk
menghangatkan diri. Bertahun-tahun tinggal di Indonesia ternyata membuatnya menjelma
menjadi gadis tropis. Mungkin besok ia akan membawa bantal penghangat atau apa.
Jae In baru akan menggigit lagi roti coklatnya saat mendengar ribut-ribut di bwah.
Penasaran, Jae In bangkit dan melongokkan kepala ke arah lapangan bola yang ramai.
Seprtinya sedang ada pertandingan, dan yang barusan diributkan adalah seorang anak lakilaki berambut coklat yang sedang berlari-lari dengan cengir konyol yang dikenal Jae In
''Mwo ya,'' gumam Jae In saat melihat Jae Kwon menyambut high five dari gadis-gadis yang
segera berteriak girang. Jae Kwon kembali masuk ke dalam lapangan, mengambil posisi. Peluit ditiup,
pertandingannya pun diteruskan. Jae Kwon dengan lihai mengocek bola dan membawanya
menuju gawang lawan sayang, kiper gawang lawan itu sapat menangkap bola hasil
tendangannya. Tanpa Jae In sadari, isa sendiri merasa kecewa.
''Jamkan (tunggu),'' Jae In terkesiap mendadak, menyadari sesuatu. Hampir saja ia terbuai
oleh pertandingan itu. Jae In kembali menatap lapangan dan memusatkan perhatiannya pada Jae Kwon. Ia
berharap tadi salah liat atau berdelusi, tetapi yang ia lihat adalah Jae Kwon. Saidara
kembarnya. Saudara kembar yg entah bagaimana bisa menjadi seperti ini.
''Orang itu... Main bola"'' Jae In kembali bergumam tak percaya. Ia lalu teringat pada katakata Hye Rin tadi.
Sekarang ia tahu apa yang salah, tetapi ia sama sekali tidak tahu kenapa. Lima tahun
memang waktu yang lama. Cukup lama untuk mengubah seseorang
Secara drastis. ''Eomma, aku tadi menang main bola melawan seonbae-ku.''
Jae In mengangkat kepala sedikit dari mangkuk nasi intuk menatap Jae Kwon yang tampak
berseri-seri dengan sumpit di tangan. Sandy-ibu mereka-pun tampak sama berserinya.
''Jinjja (sungguh)" Waaa... Eomma tidak tahu anak laki-laki Eomma sudah begini kerennya,''
Sandy mengelus kepala Jae Kwon penuh rasa sayang. Jae In sebisa mungkin berusaha
menelan potongan ayam yang mendadak menyangkut di tenggorokannya.
Jae Kwon menanangkap ekspresi masam saudarinya. ''Jae IN-a, besok aku benar-benar
akan membawamu berkeliling sekolah,''
''Dwaeggeoteun (tidak usah, ya),'' Jae In bangkit, lalu membawa piring kotor ke tempat cuci
piring. ''Jae In-a jangan bicara seperti itu dong paa oppa-mu''
Sandy menatap Jae Kwon yang segera nyengir lagi. ''Jae Kwon-a, besok kau mau Eomma
bawakan bekal"'' Jae In berusaha untuk tidak mendengus. Ibunya menwarkan Jae Kwon bekal. Jae In harus
membuat bekalnya sendiri selama lima tahun terakhir demi membiarkan ibunya tidur lebih
lama. ''Eomma akan membuatkan sepasang dengan Jae In juga!'' Sandy mendadak bersemangat,
sudah terlalu lama melupakan asyiknya memiliki anak kembar.
Sandy baru menatap Je In saat anak perempuannya itu menoleh dari dapur dengan tatapan
buas. Sandy nyengir kaku, lalu kembali menaruh perhatian pada Jae Kwon yang sudah
beres makan. ''Eomma, aku naik dulu, mau belajar matematika,'' Jae Kwon mengambil jeruk. ''Aku harus
belajar lebih giat lagi, kemarin hasilnya kurang memusakan''
Jae In segera memutar bola mata.
''Keurae. Belajarlah. Oh , kau snagat berbeda dengan Jae In. Eomma tidak akan tahu nilai
matematikanya kalau tidak menemukan hasil ujiannya di bawah tempat tidur.''


Oppa And I Karya Orizuka Dan Lia Indra Andriana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jae Kwon nyengiir gugup pada Jae In yang siap melempar piring basah, lalu segera naik ke
kamarnya. Setelah beres mencuci piring, Jae In naik ke lantai dua, ingin segera tidur. Ia lelah dengan
hari pertamanya di sekolah. Di rumah pun, ia harus mendengars emua Jae Kwon-lebihsegala-macam dari ibunya snediri. Rupanya ibunya lupa dengan siapa ia menghabiskan
lima tahun minim suka dan penuh dukanya.
Namun, Jae In sudah tidak begitu peduli. Ibunya memang begitu, mungkin daris ebelum ia
lahir. Jae In juga tidk peduli pada ayahnya, omong-omong, belum pulang sampai selarut ini.
Dari zaman pteranodon hidup, pekerjaan baginya memang jauh lebih pnting. Mungkin
sekrang ayahnya bermalam di kwasan Hallyuwood mahapentingnya itu.
Jae In menghela napas. Ia bukannya tidak peduli. Peduli itu merepotkan, terutama peduli
yang tidak pernah bersambut. Sedah merepotkan, bikin keki saja.
Langkah Jae In mendadak berhenti di pintu kamar Jae Kwon. Bocah itu juga membuat
hidupnya semakin merepotkan dengans egala prestasinya.
Sebenarnya, bukan itu yang paling mengganggu Jae In. Jae In tidak suka cengirannya. Jae
In tidak suka sikap cerianya. Seperti tdk ada yg terjadi. Seperti diak pernah
meninggalkannya 5 tahun lalu.
''Babo (bodoh), '' Jae in mendorong pintu dengan telunjuk membayangkannya sebagai dahi
Jae Kwon. Tahu-tahu, pintu terbuka. Ternyata, Jae Kwon tidak menetupnya dengan rapat. Pintu itu skrg
terbuka selebar tiga puluh senti dan musik berdentum keluar.
Rasa ingin tahu Jae In yang besar membuatnya mengintip ke dalam kamar. Ia tahu ia benci
Jae Kwon dan sebagainya, tetapi tetap saja, kekinya membawanya masuk.
Dan Jae Ins egera menyesali perbuatannya.
Lupakan buku matematika. Lupakan sepak bola. Apa yang Jae In saksikan sekarang adalah
hal yang paling absurd yang pernah dilihatnya.
''Lalala lalala- Lalala lalala-''
Jae Kwon tampak memunggunginya, menggoyang pinggul dengan lihai sambil menyanyi. Di
depannya, sebuah telvisi layar super lebar sedang memutar MV (music video) ''Mister'' milik
Kara. Jae In masih belum bisa berkedip saat Jae Kwon berputar-mungkin seharusnya menjadi
bagian dari koreografi-dan memergokinya masih mematung di depan pintu. Jae Kwon
segera melopat beberapa langkah ke belakang karena terkejut, lalu buru-buru mematikan
televisi. Sebelum Jae In sempat berfikir untuk pergi, Kae Kwon berlari ke arahnya, menrik lngannya
masuk ke dalam kamar, lalu membanting pintu dan menguncinya. Semuanya ia lakukan
dalam waktu sepersekian detik saja.
''Bangeum (baru saja).. Mwo (apa).."'' Jae In terbata, masik syok.
Jae Kwon berjalan hilir mudik di depannya,tampangnya cemas. ''Gawat..''
''Gawat.."'' Jae In mengulang
Jae Kwon tahuKtahu meletakkan kedua tangan di bahu Jae In. ''Jae In-a. Mari buat
perjanjian.'' Jae In menatap Jae Kwon yg balas menatpnya serius. Jae In merasa, sebentar lagi akan
mendengar jawaban adri segala pertnyaannya seharian ini. Tetapi entah mengapa, Jae In
tidak ingin mendengarnya. Seperti, begitu mendnegarnya, ia harus melakukan sesuatu. Dan
itu bisa jadi snagat merepotkan.
Jae In mendesah. Seolah hidupnya belum cukup merepotkan saja.
Bab 4 Terkadang sebesar apa puns ebuah harapan. Kenyataan berkata lain.
''Jae In-a. Mari buat perjanjian.'l otak Jae Kwon berputar dengan cepat. Jae Kwon melirik
lagi ke arah pintu yang sudah tertutup rapat, memastikan pintu itu tidak tiba-tiba terbuka. Jae
Kwon khawatir ibunya tiba-tiba masuk dan ikut bertanya apa yang terjadi.
Jae Kwon bisa merasakan tatapan Jae In menusuknya. Ia ragu sejenak. ''Jae In-a. Yang kau
lihat tadi tidak seprti yg kau fikirkan.
''Memangnya apa yg aku pikirkan"'' tantang Jae In.
''Itu...'' Jae Kwon berpikir lago. ''Pokoknya tidak seperti yang kau byangkan.'' Jae Kwon tidak
mau Jae In mengira ia anak aneh yg memiliki sifat yang berbeda saat di sekolah meupun di
rumah. Ketua kelas yang ehm.. Memiliki kharisma sepertinya tidak cocok mendnegarkan
lagu girlband, apalagi smpai ikut menari seperti tadi.
Jae In memutar bola mata dan Jae Kwon cepat-cepat berkaya, ''Kita buat perjanjian saja,
Jae In-a. Aku akan merahasiakan hubungan kita di sekolah, tapi kau tidak boleh
memberitahu apa yang kau lihat pada siapa pun.''
''Kenapa aku harus mengikuti perjanjian itu" Tanpa perjanjian itu pun kau sudah setuju
untuk merahasiakan hubungan kita, kan"'' balsa Jae In.
''Naega eonje (kapan aku mengatakan itu)"'' Jae Kwon langsung berseru panik. Ia memang
sudha mnyetujui permintaan Jae In meski ia masih tidak tahu apa alasan Jae In ingin
merahasiakan hubungan mereka. Namun dengan munculnya masalah ini.. Jae Kwon
berharap mereka bisa bernegosiasi.
''Cih,'' Jae In membuang muka. ''Dwaesseo (sudahlah), kau buang-buang waktuku saja.
Mata Jae -won melebar melihat Jae In beranjak pergi. Ia segera meraih tangan Jae In lagi.
''Jae In-a. Kalau kau setuju merahasiakannya, ak benar-benar.. Benar-benar'' Jae Kwon
menekankan perkataanya.. ''...Tidak akan pernah menyebutkan hubungan kita dis ekolah.''
Jae In hanya menatapnya, tampak menimbang-nimbang.
''Tapi Dae Suk dan Tae Jun sudah tahu.'' Jae Kwon memberitahu dan langsung menyesali
ucapannya. Kenapa juga ia malah membongkar rahasia yang seharusnya tidak ingin Jae In
ketahui" ''Ya sudah, kalau begitu tidak ada perjanjian!'' Jae In melangkah keluar.
''Eh tunggu. Maksudku Dae Suk dan Tae Jun sudah tahu kalau kau ingin merahasiakannya
dan mereka justru sangat setuju dneganmu.'' Cepat-cepat Jae Kwon bersilat lidah.
''Jadi intinya kau sudah memberitahu mereka kalau aku saudara kembarmu"'' balas Jae In
tajam. ''Tenang saja.'' Jae Kwon tersneyum meyakinkan. Ia kembali mendapatkan kepercayaan
diri. ''Meski mereka terkadang terlihat bodoh, mereka ini bisa dipercaya. Lagipula sepertinya
mereka menyukaimu.'' Jae Kwon mempelajari Jae In, menunggu dengan cemas. Jae In masih belum menjwab.
Apakah aku harus mengatakannya" Jae Kwon menimbang-nimbang. Kenapa di sekolah aku
menjaga image" Haruskah aku mengatakannya"
Tetapi.. Hubungannya dengan Jae In masih tidak begitu baik. Belum saatnya memberitahu
Jae In. Kalau ia tahu alasannya, bisa-bisa Jae In semakin membencinya atau, malah hal ini
bisa mendekatkan mereka"
''Oke.'' Eh" Jae Kwon mengedipkan mata tak percaya. ''Kau setuju"''
''Kau tuli"'' balas Jae In sebal.
Serta merta, Jae Kwon menarik bibir. Ia tersenyum lebar sekali. ''Baiklah.'' Jae Kwon
mengulurkan tangan hendak mengaitkan kelingkingnya pada Jae In. Jae In melengos dan
melihat ke arah lain ''Jae In-a,'' Jae Kwon merengek. ''Kita harus mengaitkan jari kita supaya perjanjian ini sah.''
Jae In tidak menjawab, matanya tertancap ke suatu arah. Penasaran, Jae Kwon melihat apa
yang dilihat Jae In. Di sebelah televisi, terddapat sebuah rak kaca yang berisi action figure
dari film* animasi. Jae Kwon melihat arah mata Jae In menju rak paling atas. Di rak paling
atas, pating-patung kecil anime One Piece berjajar dengan rappi.
Jae Kwon tersenyum, langsung mendekat ke rak yang berisi action figure itu. ''Maeume
deureo (kau sauka"'' tanyanya sambil membuka rak dan mengambbil action figure Luffy,
karakter utama dalam anime One Piece itu. Ia mengulurkan action figure itu pada Jae In.
''Neo hante (untukmu).'' Jae In menatap action figure itu selama beberapa saat. Kakanya sedang memberikan action
figure itu padanya. Ingin sekali ia mengulurkan tangan, tetapi... Jae In segera menatap tajam
pada Jae Kwon. ''Kau cerewet sekali.''
Jae Kwon tetap tersneyum, ''ambil saja kalau kau mau''
Jae In mendecak kemudian meraih jari kelingking tangan Jae Kwon, membiarkan action
figure itu terjatuh. ''Kau sudah berjanji, oke" Tidak akan membocorkan rahasia kita.''
jae Kwon mengangguk sambil tersenyum senang. ''Gomawo (terima kasih),'' ucapnya
kemudian mengulurkab tangan untuk mengelus kepala Jae In. Jae In melihat arah tangan
Jae Kwon dan segera berderap ke arah pintu.
Jae Kwon menatap punggung Jae In yang keluar kamar. Perasaan hangat menyelimutinya.
Untung saja Jae In mau berkoordinasi dengannya. Ia tidak bisa membayangkan image yg ia
bangun selama beberapa tahun ini rubuh gara-gara keteledorannya.
Sekarang saat hatinya sdh lebih tenang, Jae Kwon menualakan video yg tadi ia putar.
Wajah nicole, salah satu anggota KARA mulai terlihat di layar televisi.
La-la-la-la-la-la Jae Kwon mulai menggoyang pantat. Saat ia berputa, dari pintu yang masih setengah
terbuka, Jae Kwon melihat Jae In. Jae Kwon membeku sesaat, seakan berpikir apa yang
harus ia lakukan. Jae Kwon tersenyum. Ia sudah memutuskan. Jae In sudah bersedia menyimpan rahasia ini,
jadi tidak ada salahnua bersenag-senang dan menjadi diri sendiri sedikit. Jae Kwon meraih
tangan jae In ''Jae In, ayo menari.'' Jae Kwon berteriak dengan gembira sementara Jae In melongo.
''Goyangkan pantatmu!la la la la la la..''
Jae In segera melepaskan tangan Jae Kwon dn berderap ke kamarnya sambil
menggelengkan kepal. Jae Kwon masih saja yersenyum sambil melihat punggung Jae In.
Hari ini ia sedang bahagia.
La-la-la-la-la-la Jae Kwon melirik selebaran di tangannya untuk yg kesekian kali. Matanya menelusuri setiap
kalimat di dalamnya. Berkali2 Jae Kwon menarik napas panjang kemudian menggelengkan
kepala, seakan ia tdk mnyetujui isi selebaran itu.
''Jae Kwon-a'' Dae Suk memangilnya. Jae Kwon menyembunyikn selebaran itu dg cepat ke
dalam tas. ''Eo"'' Tanya Jae Kwon
Saat Jae Kwon mengangkat kepala, ia tahu alasan Dae Suk memanggilnya. Seorang gadis
cantik berdiri di ambang pintu kelas dan menatapnya dengan senyum lebar. Hye Rin. Kakak
kelasnya. Gadis paling cantik di sekolah ini. Setidaknya itu pendapat Jae Kwon. Dan, ehm,
juga semua laki-laki di sekolahnya.
Dae Suk segera membereskan kertas-kertas yang ada di kursi depan Jae Kwon supaya Hye
Rin bisa duduk. Di belakang Hye Rin, tiga cewek lain mengekor.
''Jae Kwon-a. Hari minggu bertanding, kan"'' Hye Rin melemparkan senyum mautnya. Jae
Kwon segera terpana ''Seonbae akan datang"'' akhirnya Jae Kwon bisa memerintahkan mulutnya menjawab.
''Tentu saja.'' Hye Rin tersneyum sambil duduk di depan Jae Kwon. ''Kau sudah Janji akan
memenangkannya unttukku, kan"''
Jae Kwon mengangguk dengan patuh. ''Jangan khawatir..''
jae Kwon berhenti berbicara karena tahu-tahu, Jae In muncul dan menaruk sebuah buku ke
atas mejanya dengan agak keras. Buku itu meluncur dan terjatuh ke pangkuan Hye Rin.
''Mwoya (apa-apaan sih)"'' Hye Rin kaget dan langsung berteriak marah saat tahu siapa
yang melempar buku itu. Jae In memutar kepala dan menatap Hye Rin, tampak sedikit terkjut sekaligus kesal karena
diteriaki. Gawat! Jae Kwon langsung merasakan aura permusuhan di antara keduanya. Jae Kwon
tahu benar Jae In bukan jenis cewek yang takut dengan bentakan seperti itu.
''Tidak sengaja:'' Jae In menjawab datar.
Tuh kan!kekhawatiran Jae Kwon terbukti.
''Kau tahu kau berhadapam dengan siapa"'' salah satu teman Hye Rin hendak mendorong
Jae In. Jae Kwon langsung berdiri dan menyelip di antara Jae In dan gadis itu. Janga sampai dua
gadis yang penting dalam hidupnya terlibat suatu pertengkaran.
Jae Kwon mengambil buku yang tadi diberikan Jae In. ''Je In-a, ini apa"''
strategi Jae Kwon berhasil. Jae In sudah tidak terlihats emarah tadi. ''Dari Hwang
seonsaeng. Buku kas kelas. Ia memintau memberikannya padamu.''
selesai mengatakan itu, Jae In berlalu menuju mejanya di ujung ruangan. Hye rin menatap
kepergian Jae In dengan sebuah dengusan, lalu mencondongkan badan ke arah Jae Kwon.
''Anak baru itu memang tidak sopan. Hati-hati, Jae Kwon''
Jae Kwon kaget. ''Kenapa, Seonbae"''
''Anak baru seperti dia, ''Hye Rin mencibir, ''apalagi yg berasal dari negara berkembang
seprti itu, pasti ingin dekat-dekat dengan semua coeok untuk meningkatkan standar
sosialnya. Ia ingin numpang terkenal. Kau kan tahu Korean wave sedang melanda
negaranya. Artis-artis kita pun banyak yg diundang ke negara mereka. Bagi mereka, semua
orang Korea Itu artis. Terlebih orang populer sperti aku dan kau.''
''Termasuk aku juga"'' Dae Suk tersenyum membayangkan dirinya menjadi artis. Setelah
lulus nanti siapa tahu ia bisa pergi ke indonesia dan menjadi artis di sana. Bayangan itu
membuatnya senang Jae Kwon segera menepuk kepala Dae Suk sambil menggelengkan kepala. ''Kau terlalu
banyak bermimpi!'' ------------------------Jae Kwon ,enaruh tas di kasurdan mengeluarkan selebaran yang tadi ia peroleh. Dibacanya
pelan'pelan. JOIN US ! Open Casting for KBS TV Dubbing Team
8 May 2011 Ia membaca sekali lagi, berharap apa yang ia baca salah. Namun sayang, terkadang
sebesar apa puns ebuah harapan, kenyataan berkata lain. Selebaran itu tetap saja
menuliskan hal yangs ama. B Mei 2011.
Hari yang sama dengan pertandingan sepak bola antar sekolah.
Jae Kwon menjerit putus asa dalam hati. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jae Kwon
berdiri dari kasurnya dan mulai berjalan mondar-mandir.
Akhirnya, kesempatan itu datang. Tahun lau, ia ditolak mengikuti casting ini karena
dianggap belum cukup umur. Setiap tahun, KBS TV-salah sattu stasiun TV nasional di
Korea-membuka lowongan untuk menjadi tim dubber. Yang Jae Kwon incar adalah menjadi
pengisi suara film animasi. Stasiun TV inilah yang menayangkan anime One Piece.
Jae Kwon sangat suka film animasi. Beda dengan film live action yang terbatas, semua ide
cerita tergila pun bisa direalisasikan pada film animasi. Mulai dari hewa yang bisa berbicara
sampai lokasi antah barantah yang hanya terdapat dalam dunia khayalan. Oleh karena itu,
Jae Kwon ingin sekali terlibat sebagai Tim fil animasi, meski hanya bisa sebagai pengisi
suara. Jae Kwon sudah menunggu datangnya hari ini, tetapi kenapa malah waktunya bentrok
dengan pertandingan skeolah"
Jae Kwon memanjangkan tangan menaruhnya di rak action figure, kepalanya tertunduk
tanpa semangat. ''Luffy, eotteokhaji ( apa yang harus aku lakukan)"'' Jae Kwon menatapan patung kecil itu
dan berbicara padanya. ''Aku ingin mengisi suaramu.''
Jae Kwon menurunkan tangan dan berdehem. Ia menipiskan suaranya, mencoba mengisi
suara Luffy. ''Tentu saja kau harus mengikuti audisi itu. Bukannya itu alasanmu selalu
melatih suaramu.'' ''Iya juga sih, tapi..'' Jae Kwon menggunakan suara normal.
Jae Keon menyentil kepalanya snediri. ''Aigo, kenapa kau tidak bisa memutuskan" Pilih saja
mana yang lebih penting, sepak bola atau audisi ini"''
''Justru itu yang aku tidak tahu. Kau harus membantuku Luffy.''
''Tapi..''Jae Kwon memprotes sendiri.
''Makan malam!'' Jae Kwon yang kaget segera menoleh ke arah pintu. Jae In berdiri sambil menatap curiga.
''Kau bicara sendiri"''
Jae Kwon tertawa. ''Ani(tidak),'' ucapnya, kemudian menunjukkan action figure Luffy. ''Luffy
menemaniku berbicara.'' Jae Kwon ingin menunjukkan cengiran di wajahnya, namun Jae In sudah melengos pergi.
-----------------------------------''Jae Kwon-a, kau yakin tidak mau keluar makan dulu dengan kami sebelum pulang"''
Jae Kwon menggelngkan kepala, menolak ajakan itu.ia segera membereskan tas. ''Terima
kasih, Ajeosshi (Paman). Tapi aku harus segera pulang.''
Jae Kwon melirik jam tangan.. Seandainya ia punya waktu, ia pasti akan lebih memilih ikut
dengan para gerombolan dubber profesional itu.
Jae Kwon baru mengenal mereka pada casting ini. Sambil menunggu antrean, Jae Kwon
mengobrol dengan teman sebelahnya, yang berlanjut pada teman sebelahnua lagi sampai
akhirnya banyak sekali yang berkumpul di depan Jae Kwon.
Mendengar cerita mereka mmbuat Jae Kwon semakin tertarik dengan dunia ini. Kebanyakan
memiliki pengalaman menjadi dubber lebih dari lima tahun dan berangkat dari dunia teater
atau penyiar radio. ''Lain kali ya, Jae Kwon.'' Pria itu melambai pada Jae Kwon.
Jae Kwon balas melambai. Iya, ia berjanji dalam hati. Ia harus bertemu dengan mereka lagi.
Masih banyak yang ingin ia tanyakan. Termasuk, siapa pengisi suara Luffy.
Meski kesempatannya masuk ke dalam dubber KBS TV ini kecil, namun ia bisa saja
mengunjungi teman-teman barunya. Ajeosshi tadi memberikan kartu namanya pada Jae
Kwon. Jae Kwon mempercepat langkah.
Ada pertandingan yang masih haris ia kejar-setidaknya sampai ia berani membuang image
yang selama ini ia jaga di sekolah dan menjadi dirinya sendiri.
Sebelum waktu itu tiba, topeng ini harus terus dipasang.
------- Bab 5 'Karena kau tidak akan pernah tahu, kapan orang baik akan menyakitimu.
''Je In-a, kau tak makan"''
ucapan Sandy membuat Jae In tersadar dari lamunannya. Jae In mengangguk untuk
mnjawab pertanyaan ibunya itu, lantas mulai menyendok nasi. Matanya kembali tertancap
pada Jae Kwon yang sedanga sik mengunyah.
Tadi siang, Jae In dan kedua orangtuanay pergi menonton pertandingan Jae Kwon. Tentu
saja, Jae In maupun Jae Bin tidak terlihat berminat, namun Sandy berhasil membuat mereka


Oppa And I Karya Orizuka Dan Lia Indra Andriana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua duduk di mobil. Seolah mereka keluarga bahagiayang biasa menonton pertandingan bola putra sulungnya
setiap minggu, Sandy membawa mereka semua duduk di bangku penonton bersama
puluhan penonton lain. Jae In sampai harus melipir dan merapatkan tpi-supaya tak ada
orang yang mengenali, sekaligus menahan malu-saat Sandy membuka spanduk satu kali
setengah meter bertuliskan 'Jae Kwon fighting!'.
Hingga awal babak kedua, Jae Kwon tidak datang juga. Entah ke mana anak laki-laki itu
pergi. Semua orang sudah bingung dan kecewa, sampai akhirnya lima belas menit sebelum
peluit ditiup, ia masukd an berhasil memberi kemenangan bagi Kangnam Sangdan. Tujuh
puluh lima menit absennya dimaklumi, dan ia dielu-elukan. Tidak bisa dipercaya, tteapi itulah
yang terjadi. Jae Kwon adalah penyelamat klub sepak bola sekolahnya. Jae Kwon adalah
pahlawan walaupun datang kesiangan.
Jae In melirik Jae Kwon lagi sambil mencibir dalam hati. Pahlawan yang berjoget ''Mister''
dengans epenuh hari dan punya satu rak besar koleksi action figure. Siapa yang sangka.
''Jae in-a nasimu bisa kering.'' Jae Kwon terlihat bingung.
Jae In segera menunduk dan mulai berkonsentrasi pada makanannya. Sebenarnya ia tidak
ingin tahu apa pun tentang kembarannya itu, namun kejadian beberapa hari in bemar-benar
mengganggunya. Rasa penasaran skrg menggelitik hati Jae In.
-------------------------Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, Jae In buru-buru bangkit dan keluar kelas., mencari
tempat untuk menyendiri. Ia ingin menyepi di atap sekolah lagi, tetapi suasa sekarang
sangat dingin. Jae In tidak ingin masuk angin.
Kali ini, Jae In membawa buku sketsa dan pensilnya untuk membunuh waktu. Ia melewati
sebuah koridor yang berakhir pada sebuah balkon, lalu mendekatinya dan membuka pintu.
Balkon ini rupanya cukup nyaman, karena terlindung oleh dinding sehingga angin tak
langsung menerpa. Memutuskan untuk menjadikan tempat ini sebagai markas baru, JAE In duduk di pojokan
dan mulai menggambar apa yang ada di kepalnya. Jae In selalu melakukannya untuk
melepaskan stress. Selama lima belas menir, Jae In tenggelam dalam kesibukannya
membuat sketsa. Ia baru tersadar saat sayup* mendengar suara orang tertawa. Goresan
pensil Jae In terhwnti, lalu matanya membesar saat melihat apa yang digambarnya.
Jae In hampir tak mempercayai penglihatannya sendiri. Ia tak percaya dengan apa yang
sekarang ada di buku sketsanya.
Jae Kwon yang bermain bola.
Apakah itu yang memenuhi kepalanya sekarang" Jae Kwon" Saudara kembarnya yang
berkhianat itu" Suara tawa itu sekarang terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Jae In bisa mengetahui kalau
pemilik suara itu laki-laki, tetapi ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Masalahnya, selain
suara laki-laki tu, tidak adak suara lain. Normalnya, orang tidak akan tertawa sendirian kan"
Penasaran, Jae In bangkit dan leongok ke bawah. Ia pikir ia akan melihat orang gila yang
entah bagaimana tersesat dis ekolahnya, namun ia malah melihat Choi Seung Won, teman
sekelasnya. Anak Laki-laki itu sekarang bersalto beberapa kali, menendang, dan meninju
udara kosong. ''Dia sedang apa"'' gumam Jae In bingung.
''Haaaa!'' teriak Seung Won, lantas tawanya membahana.
Jae In menggeleng-gelengkan kepala, kasihan. Anak laki-laki itu sebenarnya cukup menarik.
Tinggal merapikan arambut, mungkin dia dia bisa masuk SM Entertainment atau agensi
apalah.. Namun tempat yang mau menerimanya mungkin rumah sakit jiwa.
Jae In baru akan berbalik pergi sat buku sketsanya malah tersangkut di pagar balkin dan
terlepas dati tangannya. Jae In buru'buru menangkapny, namun terlambat. Buku itu
melayang jatuh dan mendarat tepat di kepala Seung Won hingga menimbulkan bungi 'takk'
keras. Tawa Seung Won segera berganti dengan rintihan. Seung Won lantas mengelus kepala
ynag berdenyut karena tertimpa sudut buku.
''Ige meoji )apaan nih)" Seung Won memungut buku Jae In.
Jae In segera merunduk sambilmengetuk kepala. Bisa-bisanya ia berbuat kesalahan bodoh
sprti ini. Tak ingin kteahuan, Jae Ein merayaps edikit demi sedikit ke pintu. ''Jae In-a,''
panggil Seung Won riba'tiba, membuat jantung Jae In serasa berhenti berdetak. ''Park Jae
In. Nawa (keluarlah).'' Jae In menggigit bibir, mengumpat dalam hati. Buku sketsa itu pasti
sudah ia beri nama. Tak punya pilihan lain,Jae In bangkit dan kembal melongokkan kepala.
Seung Won menatapnya sambil mengacungkan buku sketsanya. ''ini bukumu,kan"''
tanyanya dengan senyum jahil. Jae In balas menatapnya datar. ''Ya. Kembalikan'
Seung Won terekeh. ''Aku tidak merebutnya darimu, jadi harusnya bukan 'kembalikan',
kan"'' Jae In segera memicing. Seung Won snediri menunggu, dan saat Jae In tak juga bereaksi,
ia mulai membuka satu persatu hlaman buku itu.
''Arasseo (aku mengerti)!!'' jaerit Jae In panik. 'aku akan turun! Jangan kau buka!''
jae In segera melesat turun sementara Seung Won kembali terkekeh. Gadis sinis iu ternyata
bisa juga digosa. Kekehannya mendadak berhenti saat ia melihat sketsa Jae Kwon di buku itu. Seung Won
mengernyit. Selama beberapa hari Jae In di sini, Jae Keon memang seprti memberi
perhatian elbih padanya. Apa Jae In sudah terpesina oleh ketua kelasnya itu"
''Ya! Aku sudah bilang jangan dibuka!'' seru Jae In yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.
Jae In merebut buku itu dari tangan Seung won.
Seung Won menatap Jae In. ''Kau suka menggambar"''
''Tidak. Aku suka salto sambil tertawa sendirian,''Jawab Jae In sinis menbuat Seung Eon
melongo tak pahan. Detik berikutnya, seung Won terbahak. ''Kau pastimenganggapku gila.''
''Kau tidak gila"'' Tanya Jae In membuat tawa Seung won semakin kersas. Jae In
menatapnya kasihan. ''Kau memanng gila.''
seung Won tak kunjung berhenti tertawa, jadi jae In berbalik dan melangkah pergi.
Manusia memang tidak pernah bisa ditebak.
-------------------------Jae In membasuh wajah, lalu bercermin. Hari ini, ia hampir membongkar rahasianya sneidir.
Seung won bisa saja melihat sketsanya, namun ia bersyukur Seung Won kurang waras.
Anak Laki-laki itu mungkin saja membuka mulut, tapi siapa sih yang percaya orang yg
mengajak bicara udara"
Jae In melirik bukus ketsa yang ada di sebelah wastafel, lalu kemblai menatap bayangannya
pada cermin. Kenapa menggambar si bodoh itu" Kenapa, jae In" Kenapa menggambar
orang yg telah menghianatimu"
Saat Jae In menghela napas. Tahu-tahu pintu toilet tebruka.s egerombolan anak perempuan
masuk sambul menyeret seorang anak perempuan mungil dan memasukkannya ke dalam
bilik kamar mandi. ''Kumohon, Seonbae! Maafkan aku!'' jerit anak perempuan mungil itu saat gerombolan
senior menutup pintu biliknya.
''Maaf" Ulang seorang anak perempuan menor yang sepertinya pling berkuasa. ''Aku tak
perlu maamu!terima ini!''
Detik berikutnya seorang anak perempuan lain muncul dan menyirqmkan seember air dari
atas pintu ke dalam bilik itu. gerombllan itu tertawa bersamaan, sementara jeritan anak
perempuan di dalam bilik tadi terhenti dan berganti dg isak tangis.
''YA!'' Seru Jae In, tak bisa menahan diri.
gerombolan itu berhenti tertawa, lalu serempak menengok ke arah Jae In. Anak perempuo
menor tadi menatapnya dr ujung kaki hinggaujung kepala.
''Ya"''ulngnya sinis. ''neon nuguya (kau siapa)"'' kelas berapa"
''tidak penting aku kelas berapa.'' jae in melangkah berani ke arah para seniornya. ''Apa
ygkalian lakukan pada junior kalian'"''
Gerombolan itu tiba-tiba saling berbisik seru. Jae in bisamendengar seseorang berbisik, ''Ye
Jin-a, itu anak baru kels sebelas. Yang kta Hye Rin suka menggoda Jae Kwon.''
''Cih,'' desis Ye Jin setelah mendengarnya. ''Kau anak kelas sebelas" Berani berbicara dg
seonbae mu mmakai banmal"''
Jae in tidak menjawab. Iamemang tdkshrusnya bicara menggunakan bahsa informal pada
orang yang lebihtua,tetapi kelakuan mereka sudah keterlaluan sehingga Jae In tidak merasa
perlu untuk menghormatinya.
Ye Jin melangkah mendekati Jae In dengan tatapan menusuk. ''Kau pindahan dari negara
miskin itu, kan" Pantas saja kelakuanmu pun miskin.''
''Apa kelakuanmu tidak"'' Jae In membalas, membuat mata Ye Jin melebar.
''Dia menggoda pacarku! Gara-gara dia, pacarku memutuskanku!'' amuknya sambil
menunjuk bilik tadi. Jae In mendengus, ''Itu berarti kau atau pacarmu yang salah.''
''Apa maksudmu"'' seru Ye Jin tidak terima.
''Kenapa pacarmu bisa tergoda" Kalau ia begitu mnyukaimu ia tak akan melakukannya,''
kata Jae In membuat Ye Jin melotot. ''Oh atau mungkin kaku yang terlalu barbat hingga dia
meninggalkanmu.'' jae In sekarang bisa melihat nyala api di mata Ye Jin. Jae In tahu bicaranua sudah
keterlaluan. ''Neo... Jugeosseo (mati kau),'' gumam Ye Jin lambat-lambat.
Detik berikutnya, seorang anak perempuan muncul dari tengah gerombolan dan menyiran
Jae In dengan seember air. Gelak tawa pun segera pecah. Ye Jin sendiri hanya menatap
Jae In dengan seringai. Jae In diam sebentar, lalu menyeka wajahnya. ''Kalian senang"'' tanyanya membuat tawa
gerombolan itu berhenti. ''Kalian senang membuli junior seperti ini"''
''Hanya yang tidak tahu aturan sepeti kalian,'' Ye Jin menjawab dengan tangan bersedekap
di depan dada. ''Itu yang akan kalian dapat jika tidak menghormati kami.''
Ye Jin tersenyum sinis, lalu segera melangkah keluar diikuti oleh teman-temannya. Jae In
menatap mereka geram, kedua tangannya terkepal keras di samping paha.
Jika umur tidak begitu menjadi masalah di negara ini, Jae In bisa saja membalas mereka.
Sayup-sayup Jae In mendengar isak tangis di bilik tadi. Jae In menatap pintu yang diganjal
sapu, lantas tersaruk dan membukanya. Anak perempuan mungil tadi berjongkok, wajahnya
terbenam di antara lutut. Bahunya bergetar kuat.
''Ha Neur-a!!!'' Seseorang tiba-tiba membuka pintu toilet dan menjerit seperti kesetanan. Seorang anak
perempuan berambut pendek muncul dari sana dan menatap Jae In bingung, lalu beralih
pafa Hae Neul yang masih tersisak.
''Ha Neur-a, gwaenchanha (baik-baik saja)"'' tanyanya membuat Ha Neul mendongak.
''Sa Ra-ya....'' isak Hae Neul, tangisnya smakin keras saat melihat temannya itu.
Se Ra segera mengeluarkan sapu tangan, lalu mengelap rambut basah Ha Neul. ''Sa Ra
lantas kembali menengok pada Jae In yang sama kuyupnya seperti Ha Neul. ''Jae In-a, apa
yang terjadi padamu" Kau dikerjai juga"''
Jae In terkejut saat anak bernama Sa Ra itu menyebut namanya.. Ia tidak mengenal anak
perempuan itu. Apa Jae In seterkenal itu sampai seantro sekolah mengenalnya"
''Jae In-a,'' ulang Sa Ra dengan nada khwatir, lantas bangkit untuk menyeka Jae In juga.
''Kau tidak apa-apa" Kau bisa masuk kelas" Atau mau kumintakan izin"
Ternyata Sa Ra adalah teman sekelasnya. Jae In sama sekali tak punya ide.
''Aku...'' Jae In meneguk ludah, lalu segera mengambil buku sketsanya dan berderap keluar.
Ia lemah terhadap orang-orang sepeti Sa Ra. Ia tidak bisa memulai hubungan dengan
orang-orang seperti itu. Tanpa memedulikan tatapan oang-orang, Jae In berjalan tak tentu arah sampai ke balkon
yang tadi. Ia lantas terduduk di lantai yang dingin, tubuhnya terasa menggigil di balik
seragamnya yang basah kuyup. Napasnya pun sudah mengeluarkan embun.
Jae In tidak ingin menangis, namun ia juga tak tahi dengan perasaannya sendiri. Ia telah
sering mengalami masa-masa sulit, jadi yang seperti ini tidak ada apa-apanya. Hanya saja...
Tiba-tiba Jae In merasakn sesuatu jatuh di atas kepalanya. Jae In mendongak, lalu
mandapati jas seseorang telah menutupi tibuhnya. Jae In bisa membaca nama pada bagian
dalam jas itu. Choi Seung Won. ''Aku panggil-panggul kau tidak menengok,'' Seung won
berjongkok di samping Jae In. ''Kau seperti zombie saja tadi.''
Jae In terdiam, pikirnya mulai tidak menentu. Harusnya tubuhnya sekarang tersa lebih
hangat, namun entah mengapa ia malah merasa semakin menggigil.
''Kau boleh cerita padaku kalau kau mau. ''Seung Won menggaruk tengkuk, lalu menatap
Jae In simpati. ''Aku tidak akan bilang siapa pun.''
''Hajima (jangan),'' Jae In membuka mulut.
Seung Won mengernyit, ''Apanya"''
Mendadak, Jae In bangkit. Seung won ikut bangkit, lalu melongo saat Jae In melemparkam
kembali jasnya. Jae In lantas menatapnya tajan. ''Jangan berbaik hati padaku.''
Seung Won mengerjap. ''Wae (kenapa)"''
''Aku benci orang jahat,'' Benak Jae In melayang pada Ye Jin, lantas beralih pada Jae Kwon.
Tangan Jae In terkepal. ''Tapi aku lebih benci orang baik.''
Seung Won menatapnya bingung. Jae In sendiri memungut sketsanya, lalu berderap pergi.
Saat menemukan tempat sampah, Jae In segera merobek halaman yang bergambar sketsa
Jae Kwoon, lantas membuangnya.
Jae In benci orang baik. Ia tak pernah tahu kapan orang baik akan berkhianat. Dan ketika
sudah demikian, trauma itu akan tertinggal dalam, begitu dalam sehingga ia tak akan
percaya pada siapa pun lagi.
Orang baik itu menakutkan.
Bab 6 mungkin ini yang namanya cemburu, atau iri hati, aku tidak tahu.
''Bisa kalian tenang ssebentar"'' Jae Kwon berdiri di depan kelas, menatap teman-temannya
yang sibuk bicara sendiri.. ''Aku tahu sekarang sudah waktunya pulang, tapi kita harus
membahas rencana pertunjukan kelas untuk ulang tahun sekolah kita bulan depan.
Kalau kalian bisa tenang, diskusi ini pasti lebih cepat selesai.''
tak seorangpun memberi perhatian pada Jae Kwon kecuali Hae Neul yang duduk tepat di
depannya. ''Teman-teman..'' Jae Kwo mendesah putus asa. Bahkan, Dae Sik dan Tae Jun sibuk
tertawa dengan keras. Jae In juga memilih ngobrol dengan Seung Won.
Dahi Jae Kwon mengernyit. Aneh sekali sejak kapan adiknya itu jadi dekat dengan seung
won" Ataukah Seng Won yang memaksa mengobrol dengan Jae In"
Jae In terlihat membuang muka. Jae Kwon lantas berusaha memfokuskan perhatian pada
ucapan yg akan ia katakan. Aku sedang memimpin rapat, ia mengingatkan diri sendiri.
''Yang tidak bisa diam, kalian akan menggantikan petugas piket dan mendapat jatah
membersihkan kelas hari ini.''
ucapan itu sebenarnya tidak terlalu keras, namun efeknya begitu hebat. Dimulai dari
sodokan singkat Hae Neul kepada Sa Ra, kemudian seperti efek domino,, seluruh teman
sekelasnya langsung tenang.
''Terima kasih.'' Jae Kwon tersenyum singkat, puas dengan dirinya sendiri. Ia memang
masih memiliki kharisma sebagai pemimpin. ''Sekarang, ada yg punya ide pertunukan apa
yg akan kita tampilkan bulan depan"''
kelas semakin hening. Jae Kwon mengedarkan pandangan. ''Ada yang punya ide" Tema
ulang tahun sekolah kita kali ini adalah kebersamaan dalam keheninga.''
Dae Suk langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi. Jae Kwon tersenyum dalam hati.
Sebelumnya, ia memang menyuruh bocah itu pura-pura memberikan masukan.
''Dae Suk ssi"'' Jae Kwon memanggilmya secara formal.
Dae suk menurunkan tangan. Dengan wajah ceria, ia berkata, ''Bagaimana kalau kita
dengar pendapat Jae In" Jae In kan anak baru di sini. Siapa tahu idenya bisa lebih fresh.''
''Nae ga wae (kenapa aku)! ?" Jae In segera menyambar.
Tampak tak memedulikan tampang Jae In. Dae suk malah bertanya pada yg lain,
''bagaimana teman-teman"''
protes Jae In tenggelam dalam gemuruh persetujuan temn-teman sekelasnya yg lain.
''Kau sudah dengar alasannya, Jae In-a'' Tae Jun ikut meperkeruhs uasana.
Jae In terlihat hendak meprotes, namun Seung Won mencondongkan tubuh membisikkan
sesuatu ke telinganya. Tanpa sadar, Jae Kwon mendecakkan lidah saat melihat keakraban Jae In dan Seung Won.
Kalau ia tidak teringat posisi dan reputasinya di sekolahh, pasti ia sudah melabrak Seung
won karena berani berada sedekat itu dg kembarannya.
Menelan rasa jengkelnya, Jae Kwon malahberkata, ''Jae In dan Seung won, kalian sudha
selesai berdiskusi" Kalau sudah, boleh berbagi dg teman sekelas"zl'
Jae In terluhat menganggukan kepala beberapa kali saat Seung won berkata, ''Nah, itu
maksudku. Kau mengerti, kan"'l
Jae In-a!"'' Jae Kwon tidak sabar lagi. ''Teman-teman menunggu''
Jae In menatap Jae Kwon tajam sebelum akhirnya berdiri. Ia memandnag teman
sekelasnya. ''Terima akasih atas kesempatan yg kalian berikan.'' wajah gadis itu tetap datar.
''Seung Won berbaik hati membisikkan sebuah ide padaku. Tapi, karena aku bukan dan
tidka mau menjadi suruhannya, biar dia sendiri yg akan menyampaikan idenya.''
Jae In segera duduk ssetelah mengucapkan kalimat itu membuat Seung Won jajdi Kikuk.
Dalam hati, Jae Kwon tersenyum melihat reaksi Jae In. Setidaknua, adiknya itu juga judes
pada Seung Won. ''Ehem.. Teman-teman,'' Seung Won perlahan berdiri. ''Harusnya Jae In yang mengatakan
ini, karena, yaah.. Jika aku mengatakannya sendiri pasti akan terkesan membanggakan diri.
Tapi intinya.. Aku baru mendapat kabar kalau aku diterima di JUMP theater untuk menjadi
traenee.. ''Jinjjaro ( benarkah)"'' Tae Jun langsung terlonjak dari kursinya begitu mendengar Seung
Won diterima di sebuah teater yang terkenal dengan atraksi panggung yang
menggabungkan drama dan taekwondo itu. Tae Jun lantas menjabat tangan Seung Won
kuat-kuat. ''Daebakida (hebat sekali)!''
''Jaelas dong! Seung Won kan ketua klub teater kita!'' Sa Ra ikut bersorak
''Gomawo, Tae Jun-a,'' Seung Won tertawa. ''Tapi aku masih trainee di JUMP.''
kelas sibuk menyoraki Seung Wonn selama beberapa menit dan terhenti saat terdengar
bunyi meja jatuh. Bruk! Semua mata langsung tertuju pada Jae Kwon dan meja guru yang terguling di depannya.
''Maaf!'' Jae Kwon langsung menunduk untuk membetulkan meja guru dan mengambil buku
serta alat tulis yang berserakan di lantai.


Oppa And I Karya Orizuka Dan Lia Indra Andriana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari sudut matanua, Jae Kwon melihat Sa Ra menyenggol Ha Neul. Hae Neul terlihat
memprotes sebelum akhirnya bangkit dari kursinya dan ikut memungut buku yang jatuh.
''Gomawo, Ha Neur-a'' Jae Kwon tersenyum manis pada gadis pemalu itu. Hae Neul
menggumamkan sesuatu tapi Kae Kwon tdk bisa mendengar jelas. Namun, Jae Kwon tahu
rencananya berhasil. Jae Kwon tadi memang sengaja menjatuhkan meja supaya fokus perhatian kembali
padanya. Mungkin ini yang namanya cemburu, atau iri hati, aku tidak tahu, Jae Kwon
mengakui dalam hati namun, Seung Won memang selalu bisa membuat Jae Kwon jengkel.
Pertama, ia terlihat dekat dengan Jae In-meski Jae In terlihat tidak suka dengan Seung won,
tetap saja menjengkelkan-dan sekarang anak laki-laki itu mengatakan ia diterima di teater
JUMP" Jae Kwon memang tidak pernah mendaftar ke teater yang namanya sudah terkenal sampai
ke luar negeri itu, tetapi bukan berarti ia tidak ingin menjadi trainee. Meski ia tidak bisa
mencegah Seung Won masuk teater itu. Paling tidak ia bisa menghentikan elu-eluan yang
ditujukan kepada teman sekelasnya itu.
Jae Kwon melirik Ha Neul yang kelmbali ke kursinya. Semoga gadis itu tidak curiga,
bissiknya dalam hati. Ia tadi terkjeut saat menyadari gadis itulah satu-satunya orang yang
tidak menoleh pafa Seung Won dan melihatnya menjatuhkan meja dengan sengaja.
Semoga saja senyumannya bisa membuat Hae Neul mnutup mulut, meski Jae Kwon tidak
terlali khawatir karena gadis itu memangs eorang gadis pendiam yang tidak suka banyak
bergosip. ''Jadi, Seung Won. Apa idemu"'' tanya Jae Kwon.
Saat mendnegar ide Seung Won dan semua anak menyetujuinya, Jae Kwon bersumpah
ingin menghapus binar bahagia di wajah laki-laki itu.
-------------------------kenapa ini harus terjadi lagi"
Jae Kwon mendesah smabil memandang ponsel. Ia lantas menggelengkan kepala. Ia baru
saja dapat telepon dari KBS TV yang mengabarkan ia telah diterima menjadi tim dubber di
stasiun TV tersebut. Sekali lagi, Jae Kwon menggelengkan kepala. Ia tidak percaua ini. Seprtinya, TV ini
berusaha mengujinya. Mereka meminta eo Kwon pergi ke stasiun TV itu hari ini untuk mengisi beberapa berkas.
Lebih tepatnya, saat ini juga, saat ia harus mengatur tiga puluh orang teman-temannya
berlatih pertunjukan sekolah.
Jae Kwon memperhatikan sekeliling. Lapangan basket indoor ini masih terlihat cukup
lengang. Usdah hampir satu jam ia menunggu dan hanya separuh kelas saja uang hadri
untuk latihan perdana mereka. Sesuai keputusan rapat beberapa hari lalu, kelas
memuutuskan menampilkan pertunjukan tanpa kata dengan cerita legenda ''Chun yang''.
''Jae Kwon-a, kau sedang apa''" Dae Suk tiba-tiba muncul di hadapan Jae Kwon. ''Kenapa
malah Seung Won yang membagi naskahnya"''
naskah apa" Jae Kwon sempat berpikir s
esaat. Sekilas, ia malah membayangkan naskah
dubbing yang ia gunakan sebagai tes casting bebrapa minggu lali. ''Naskah-ah, naskah yang
ditulis Ha Neul"'' awalnya, Jae Kwon bernia mengatur pertunjukan lima belas menit berdsrkan feeling saja.
Saiap sih yang tidak tahu kisah ''Chun Hyang'', giasaeng (wanita penghibur pada zaman
Joseon) yang jatuh cinta pada golongan yangban ( golongan berpendidikan/aristrokrat
zaman Joseon) itu" Lagipula, ini pertunjukan tanpa kara. Ia yakin teman-temannya bisa
berimprovisasi sendiri. Namun, kemarin, gadis pendiam itu menawarkan diri membuat skenario untuk pertunjukan
ini melalui sms dan tiba-tiba hari ini naskahnya sudah jadi. Hebats ekali, membuat naskah
hanya semalam saja. Tanpa banyak bicara, Jae Kwon mendekati Seung won.
''Kenapa Kau sudah membagikan ini"''
''Kita sudah menunggu satu jam, kan" Tidak ada salahnya mereka membaca naskahnya
duli,'' blas Seung won, masih membagikan naskah itu.
''Seung Won-a! Aku belum dapat!'' teriak salah satu anak.
''Tunggu sebentar!'' Seung Won balas berteriak.
Seung Won mmang benar, tetapi Jae Kwoont idak akanmengatakan itu. Ia mengambil
naskah dari tangan Seung Won. ''Aku yang seharusnya membagikannya kalau kau masih
menganggapku ketua kelas. Dan lihat kekacauan yang kau buat''.
Komentar demi komentae tentang naskah itu mulai bermunculam.
''Siapa yang membuat ini"'' tanya salah satu teman seklas mereka. ''Kenapa tookohnya
cuma sepuluh orang"''
''Wah, kalau begitu aku tidak ikut saja"''
''Aku juga!'' yang lain menimpali. ''Hanya butuh sepuuluh orang, kan"''
''Aku bukan ingin lancang, tapi dari tadi kau malah berdiri di pojokan sibuk menelepon. Jadi,
aku mengambil inisiatif.'' Seung Won membela diri. ''Sebagai ketua kelas, harusnya kau
yang mengarahkn kami.'' ''Aky menghubungi teman* kita yang belum satang,'' Jae Kwon berkilah. Setengaj jan
pertama ia memang berusaha menghubungi teman-temannya, namun kemudian pikirannya
terganggu oleh telepon dari KBS TV. Setidaknya, ia tidak sepenuhnya berbohong.
''Itu bukan alasan,kan"'' seung Won memberikan sisa naskah itu pada Jae Kwon smabil
mengangkat bahu tidka peduli.
Benar. Seharusnya yang memberikan pengarahan pada teman-temanya terlebih dahulu. Ini
bukan pertama kalinya ia menjadi ketua kelas dan ia tahu benars emua teman sekelasnya
lebih emmilih menjadi penonton ketimbang berdiri di atas panggung. Yah, hampir semua,
karena ia yakin Seung won dengan senang hati mau menjadi sukarelawan kalau tidak ada
yang mau tampil sayangnya, Jae Kwon sama sekali tidka berpikir kalau pertemuan kali ini akan menimbulkan
kekacauan. Jae Kwon mengakui pikirannya memang sedang terbagi antar memikirkan
Seung Won yg jelas sekali sedang mendekati Jae Ins erta memikirkan panggilan dari KBS
TV. Ia tidak bisa berpikir apalagi berkonsentrasi.
''Teman-teman!'' Jae Kwon berseru. ''Harap tenang sebentar. Kalian bis atolong kembalikan
naskah yang tadi kepadaku" Dae Suk! Tae Jun! Bantu aku mengumpulkannya.''
Dalam waktu singkat, lapangan basket itu sduah tenangg dan naskah itu tetrtumpuk did
epan Jae Kwon. Jae Kwon masih berdiri sementara teman-temannya duduk melingkar.
''Pertama-tama , terima kasih atas kedatangan kalian. Dan naskah yang tadi dibagikan itu
adalah buatan teman kita, Hae Neul.''
''hAe Neul baru membuatnya semalam, mengorbankan waktu tidrunya demi kita semua!''
teriakan Sa Ra tiba-tiba terdengar, membuat Jae Kwon tersenyum. ''Jadi, jangan ada yang
protes macam-macam. ''Hae Neur-a, sugohaesso (terima kasih atas kerja kerasnya).'' Jae Kwon menaatap Hae
Neul membuat gadis itu menunduk sambil menggumamkan sesuatu. Jaje Kwon kembali
menatap teman-temannya. ''Kalu kita lihat, di naskah ini memang ada sepuluh tokoh saja.''
''Tapi bukan berarti hanya sepuluh orang saja yang dibutuhkan. Sebuah pertunjukan itu,s
elain membutuhkan aktor, juga membuutuhkan orang di belakang panggung. Sutradara,
music composer, lightingman, property, dan masih banyak lagi
jangan khawatir tidak kebagian peran. Jangan-jangan kalian malah harus melakkan
pekrjaan double. Nah, sekarang-''
Jae Kwon mendadak kehilangan kata-kata saat melihat Seung Won mencondongkan badan
pada Jae In yangs edang menguap. ''Jae In-a, jollyeo (kau mengantuk)!'' Jae Kwon
membaca gerak bibir Seung Won yang sok imut itu.
Jae Kwon mengedip dan darahnya mulai mendidih. Ia tidak suka perasaan ini. Tidak
berdaya. Sebuah teguran sudah ada di ujung mulutnya namun ia tidak bisa
mengucapknnya. ''Jangan mengganggu adikku!'' itulah yang ingin ia ucapkan.
''Sekarang apa, Jae Kwon-a"'' bisik Tae Jun.
Ucapan itu seakan menyadarkan Jae Kwon. Kepalanya memutar perbincangan dengan KBS
TV. ''Kmu mengharapkan kedatangn Anda haru ini pukul 2 siang.''
''Sekarang..'' Jae Kwon menjilat bibir yang tiba-tiba terasa snagat keirng. ''Skerang, Seung
Won yang akan memimpin rapat ini. Ia akan membagi peran dan tigas karena Seung Won
yang lebih mengerti tentang dunia panggung.''
''Yaa,, bukannya kau ingin jadi sutradaranya"'' Dae Suk teringat ucapan Jae Kwon padanya.
Jae Kwon mendekat pada Seung Won yg masih terpana. Ia menyerahkan tumpukan naskah
itu pada Seung Won, dan dnegan penuh keyakinan menarik Jae In supaya gaids itu berdiri.
''Yae, wae (kau kenapa)-'' Jae In mulai meprotes.
''Aku eprlu menunjukkan sesuatu pada Jae In. Kalian mulailah dulu.'' Jae Kwon memberikan
alasan pada teman-temannya sementara ia terus saja menarik Jae In.
''Lepaskan! Neo jugeullae (kau mau mati)"'' Jae In memberontak, hendak melepaskan
genggaman tangan Jae Kwon.
Teriakan Jae In berhenti ketika Jae Kwon berbisik, '' Kau ingin tahu rahasiaku,kan"''
Pedang Keadilan 14 Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie Samurai Pengembara 7 1
^