Pasangan Jadi Jadian 2
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan Bagian 2
Ada sedikit kekosongan melandanya, tapi ia meyakinkan dirinya besok juga perasaan itu akan
sirna dengan sendirinya. part*19 Pulang kerja, menjenguk Sepulang dari kantor, Priyayi langsung melajukan mobilnya ke rumah orangtuanya. Tadi Mama
menelepon memberitahu bahwa Kakek batal ke kantor karena sakit. Meeting yang sudah
terjadwal pun ikutan batal.
"Yik, sebaiknya jangan ketemu Kakek dulu deh. Dia masih.... Emm.... Tahu sendiri kan....," cetus
Mama. "Aku cuma ingin menjenguk, ingin tahu keadaannya."
"Mama ngerti, Mama cuma khawatir pikiran Kakek kembali nggak tenang kalau bertemu kamu.
Karena sesungguhnya cuma kamu yang Kakek pikirin. Maksud Mama.... Tentang kejadian itu...."
Wajah Priyayi muram. Disodorkannya tas plastik yang dipegangnya kepada Mama. "Buah untuk
Kakek. Bilang aja Mama yang beli, biar dia mau makan. "Lantas Priyayi beranjak mau pergi.
"Yik...." "Apa, Ma?" "Mama dan papamu pelan-pelan kasih pengertian dan membujuk kakekmu untuk mau
memaafkan dan melupakan kejadian itu. Tapi tahu sendiri..... Kakekmu keras kepalanya minta
ampun, apalagi yang diributin masalah kehormatan, harga diri, apalah itu...."
"Makasih, Ma, untuk bikin aku nggak makin tersudut."
"Apa un kesalahanmu, selama kamu menyesalinya, mama dan papamu akan menganggap itu
berlalu, cuma sedikit masa lalu. Masih banyak yang lebih baik di depan."
Priyayi menatap mamanya. Di balik keketusan dan kecerewetan, Mama tetaplah seorang ibu
yang takkan tega melihat anaknya sedih terus-terusan. Priyayi memeluk mamanya sebelum
kemudian berlalu pulang. Di depan rumah ia berpapasan dengan Restu yang baru datang.
"Nah, ini dia tokoh bulan ini. C'mon, i'll treat you. Mama kunci mobilmu?" todong Restu sembari
menggeret adiknya. Rumah, membawa kesuntukan
Seperti yang sudah Priyayi duga, ngomongan sama kakak satu-satunya malah bikin suntuk
dirinya. Sembari nyetir dengan kecepatan yang nggak diinginkan___yang diinginkan sih bisa
ngebut, tapi apa daya kalau macet gini___Priyayi terngiang komentar nyebelin si kakak tadi.
"... Kayak listrik...., hubungan singkat arus listrik menimbulkan kebakaran. Nah seperti itulah yang
kamu alami. Hubungan pendek memicu kebakaran jenggot semua yang tahu, hehe...."
Huu.....uh.... Priyayi kian bete dengan teori listrik dari Restu yang dilontarkan kepadanya ke kafe
tadi. Belum lagi ditambah celetukan "emang enak jadi cucu kesayangan!".
"Anak itu kapan dewasanya"!" omel Priyayi dan nggak merhatiin kalau dia sudah melewati
rumahnya sendiri. "Eiiit.... Bodoh!" rutuknya. Dia lantas memundurkan mobilnya. Ternyata di depan pagar sudah
menunggu seseorang, nangkring di atas motornya, menyeringai geli.
"Kok bisa lupa rumah sendiri sih?"
Priyayi meringis. "Ngelamun. Eh, udah lama nunggu?"
"Nggak. Nggak merhatiin. Aku terlarut dalam kesendirian...."
Priyayi terkikik. "Lagi berhati Samsons nih..." Maksud Priyayi adalah grup Musik Samsons.
"Yi, aku mikirin kamu dengan Jimmy. Kalau hubunganmu hancur gara-gara aku, aku bakal
merasa amat sangat bersalah."
Priyayi menghela napas, matanya menerawang ke depan. Mereka duduk bersisian di teras. "aku
belum ketemu, belum bilang apa-apa....."
"Kalau dia ingin menghajarku atau membunuhku, kasih tahu aja alamatku, oke?"
Priyayi tersenyum, kemudian raut mukanya kembali serius. "Aku menimbang-nimbang, mungkin
aku nggak perlu bilang, seperti dia nggak bilang apa-apa soal Bianca. Tapi.... Entahlan, aku
belum tahu harus bagaimana."
"Memang dia beneran ada apa-apa dengan Bianca?"
Priyayi mengedikkan bahu. "Insting wanita." Ia lantas menoleh ke arah Jagad. "Kamu sendiri
dengan Mila gimana?"
"Mmm.... Nggak berharap lagi, Yi. Mungkin lebih baik putus. Lebih baik bagi dia."
"Hah?" Priyayi mengernyit.
"Aku sendiri...., dalam kasusku, aku memutuskan nggak akan bilang soal yang kita lakukan.
Hubunganku udah buruk dan aku nggak mau menambah kebenciannya padaku."
Melihat Priyayi terpekur, Jagad menambahkan. "Jangan kamu samakan dengan hubungan
kalian. Prinsip, cara berpikir, dan caraku memandang hubungan cinta antara aku dan Mila tentu
lain denganmu dan Jimmy."
Priyayi menghela napas, matanya menerawang. "Kalau diingat-ingat.... Yang kemarin itu
kesalahan, kehilafan dan membuat semua jadi kacau. Aku dengan Jimmy dan Kakek, kamu
dengan Mila..." Jagad memandang Priyayi dan melontarkan pertanyaan dengan hati-hati. " Yayi, apa kamu
terluka" Sakit hati ke aku, soal yang kita lakukan?"
"Kalau aku sakit hati, udah dari tadi aku menendangmu sampai ke neraka," jawab Priyayi.
Jagad meringis, lantas menyenggol siku Priyayi. "Hei, semua kekacauan ini jangan ditambah
dengan ketegangan di antara kita ya, karena cuma itu hal baik yang kupunya selain keluarga."
Priyayi menatap Jagad. "Kalau terus saja terpaku memikirkan dan menyesali itu, kapan kita maju
untuk melanjutkan hidup" Walaupun untuk kesalahan itu berarti kita harus siap menerima
konsekuensinya. Begitu, kan?"
part*20 Matahari terbit, suplai oksigen
Begitu, kan" Priyayi terngiang omongannya sendiri. Begitukah" Kalau bisa melanjutkan hidup dengan segala
kensekuensinya, lantas kenapa enggan dan belum bertemu Jimmy padahal sudah kangen
setengah mati" Memikirkan itu, Priyayi menambah kecepatan larinya hingga di belokan dia nyaris bertubrukan
dengan tukang bubur ayam. Masih mending kalau tukangnya, ini gerobaknya, bo!
Priyayi menjerit, si penjual meloncat kaget. Untungnya beliau ini sigap banting setir. Lho, kok
setir"! Mana ada gerobak pake setir"!
"Neng" Neng nggak apa-apa?"
Si penjual sebenarnya yakin Priyayi nggak apa-apa, cuma si neng ini berdiri bengong kelamaan
di depannya. "Oh, ya, ya. Mau deh, Bang, buburnya, satu bungkus."
"Hhh..... Pikiran error bikin keselamatan terancam nih," gumam Priyayi. Suplai oksigen ternyata
nggak mampu mengurangi ke-error-annya.
Itu ternyata belum seberapa. Sampai di rumah, ponselnya mencatat ada telepon dari rumah
papanya. Ia lantas menelepon balik.
"Kakek masuk rumah sakit, kritis."
ICU, muram hari kedua di rumah sakit, Kakek masih belum sadar. Beberapa rekan kerja Priyayi yang menjadi
bawahan langsung Kakek datang menjenguk.
Hari ketiga, kala Priyayi hanya berjaga sendirian, ia duduk memandang sedih wajah sang Kakek
yang belum bangun juga. "Kek, jangan mati karena aku...."
Papanya bilang semenjak pulang dari tempat Priyayi waktu itu, kakeknya menjadi murung, sering
nggak mau makan, menolak minum obat, nggak beristirahat teratur, sering uring-uringan, dan
berulang kali mengatakan kekecewaannya kepada Priyayi.
Kepala Priyayi jadi pening. Kakek stres karena dirinya!
Hari keempat Jimmy datang menemui Priyayi di rumah sakit. Ia memang belum tahu sosoksosok di keluarga Priyayi, tapi ia tahu Priyayi dekat dengan kakeknya. Mereka berbicara pelan di
koridor depan kamar. "Jim, maaf aku belum menghubungimu....."
Jimmy menyela, " it's okay. Aku cuma memastikan kamu jangan sampai drop, dan memastikan
kamu bisa mengandalkanku kapan saja."
Priyayi menatap tajam mata Jimmy. Tenggorokannya tercekat, rasanya ingin menangis.
"Makasih banyak."
Priyayi diam untuk melegakan tenggorokannya sebelum berkata lagi. "Jim, sebenarnya ada yang
ingin ku...." Ucapan Priyayi terinterupsi seruan mamanya di ambang pintu.
"Yik, kakek sadar."
Priyayi bergegas masuk kamar, meninggalkan Jimmy di koridor.
"Kakek manggil kamu," bisik mamanya. Priyayi duduk di tepi tempat tidur, menunduk mendekat
ke wajah Kakek. "Menikahlah, Kakek baru tenang..." Kakek nggak mengeluarkan suara, hanya gerak mulut yang
diucapkannya dengan susah payah.
Wajah Priyayi menjadi makin pias. Aku punya andil besar menentukan nasib Kakek!
Sebenarnya sempat berkata-kata, dokter dan perawat masuk dan memeriksa Kakek. Priyayi
keluar. "Jim, kita harus bicara."
Senja, sedih "Kalau nggak ingat ini di rumah sakit dan kamu yang stres mikirin kakekmu, sudah pasti aku
meledakkan kemarahanku sekarang. Aku marah banget, Yi!"
Keterusterangan Jimmy menjawab keheranan di benak Priyayi akan "ketenangan" Jimmy
menerima hal yang baru saja sampaikan, karena sudah menjadi sifat Jimmy yang menyalurkan
kekesalan secara langsung. Dan kadang.... Ehm.... Berlebihan....
"Sudah cukup pahit kamu tidur dengan laki-laki itu. Tapi ternyata masih ada sentuhan akhir....
Kamu disuruh kawin segala! Ini gila!" Bahasa tubuh Jimmy menunjukkan kegalauan.
"Aku harus ngerokok, ayo keluar."
Priyayi setengah berlari menyusul Jimmy yang ngeloyor keluar kawasan rumah sakit.
"SIAL!" Priyayi melonjak kaget, sekian menit dalam diam, tiba-tiba Jimmy mengumpat keras.
"Seharusnya aku nggak permitif! Seharusnya aku nggak ngizinin kamu menampung laki-laki itu!"
Tampang Priyayi sudah lebih dari memelas seharian ini.
"Jim...." Priyayi menelan ludah berkali-kali. Dia lelah meminta maaf dan mungkin Jimmy juga
sudah bosan mendengarnya, tapi hanya itu yang bisa Priyayi lakukan sebagai cara menunjukkan
penyesalannya. Priyayi menghabiskan iced latte yang dipesan di coffe shop seberang rumah sakit, sementara
Jimmy mengisap berbatang-batang rokok.
"Kakek segalanya bagiku. Dia dan Nenek yang mengasuhku saat Papa bertugas ke pelosok
Kalimantan dan Mama menyusul, aku masih SD dan Restu SMA. Restu mungkin sudah kenyang
kasih sayang Mama dan Papa, tapi aku masih sangat kurang. Dia juga sangat berperan
mendamaikan Papa dan Mama yang hampir bercerai. Berkas gugatan sudah di pengadilan dan
akhirnya dicabut. Itu karena Kakek."
Tanpa sadar Priyayi memilin-milin ujung kemejanya sampai kusut. Sekusut wajahnya.
"Dia sangat keras hati. Kekerasan hatinya itu yang menyelamatkan keluargaku...." Priyayi
menatap Jimmy. "Dan aku nyaris bikin dia mati lebih cepat, Jim...."
"Tapi beliau kan sudah sakit...."
"Dan aku membuatnya tambah parah!"
"Maksudku, belum tentu kamu...."
"Pasti aku!" Priyayi menyela. "Ada dua hal yang membuatnya sanggup bertahan hidup dengan
penyakit aterosklerosis1 yang menyerang jantung, yang diidapnya sejak lama, yaitu Nenek dan
aku. Nenek sudah nggak ada...., sekarang tinggal aku."
Priyayi menunduk lesu. "Aku sudah bikin Kakek patah hati."
"Kamu juga bikin hatiku patah," sela Jimmy luar biasa kesal.
"Iya, aku bikin patah hati semua orang. Aku memang kacau...." suara Priyayi nyaris hilang ditelan
perasaan tertekan. Malam, pernyataan sikap Jagad meraih ponselnya yang bergetar. Yayi calling.
"Keluarlah, aku ada di luar."
Yayi di luar rumahku" Jagad tergopoh-gopoh keluar rumah. Pri______________
1. Penyakit berupa plak yang menyebabkan penyempitan atau sumbatan di arteri-arteri tubuh,
umumnya menyerang arteri-arteri utama. Beberapa penyakit yang disebabkan ateroskleresis
adalah penyakit jantung koroner dan stroke.
Sumber: Kompas, 14 November 2006. Judul: Aterosklerosis. Oleh: Ujoto Lubiantoro
yayi berdiri bersandar pada pintu mobil, kedua tangannya merapatkan jaket. Alisnya naik.
"Hmm.... Kamu tinggal dalam rumah berantakan begitu?"
Jagad nyengir. "Di dalam nggak begitu berantakan kok. Ada apa malam-malam kemari" Oya,
gimana kakekmu?" Priyayi membuka pintu mobil. "Kita cari tempat duduk."
"Di dalam mobil.....?" Jagad keheranan.
"Ikut aja dulu."
Mereka sampai di kafe tenda dan duduk berhadapan. Priyayi menceritakan semua yang terjadi
siang tadi, termasuk keputusan besar yang diambilnya. Keputusan Jagad dari
ketercengangannya. "Oh, ya..... Anu.... Aku blocking, Yi...."
"Mungkin bagi Kakek, lebih baik mati daripada hidup dengan kehormatan tercoreng." Priyayi
menghela napas. "Mengapa kehormatan hanya dilihat dari sisi itu dengan harga mati?"
"Yi, kalau itu konsekuensi yang harus kita tanggung, aku nggak bisa berbuat apa-apa lagi."
Priyayi mendesah. "Bukannya mempermainkan arti perkawinan, tapi mempertaruhkan masa
depan kita seperti ini saja sudah sangat berat...., aku nggak sanggup kalau menjalani perkawinan
secara beneran...." "Maksudmu?" tanya Jagad.
Priyayi merapikan posisi sesaat. "Aku sudah mikirin ini baik-baik. Kita nikah di hadapan Kakek,
tapi kita tetap berteman...."
"Maksudmu?" Jagang pasang tampang bingung.
"Iya. Kita serumah tapi menjalani hidup masing-masing, kayak dulu."
Jagad manggut-manggut. "Begitu, ya?"
Priyayi menjawab dengan anggukan.
"Sampai berapa lama, Yi?"
"Priyayi terdiam agak lama sebelum menjawab. "Sampai kondisi memungkinkan...." Nada suara
Priyayi menggantung soalnya ia sendiri nggak yakin.
"Emm.... Soal Jimmy....?" celetuk Jagad.
Priyayi mendesah. "Aku udah menyakiti dia. Itu pasti. Aku nangis berhari-hari, tapi rasanya belum
cukup. Nggak akan pernah cukup...."
Jagad menatap Priyayi, dipegangnya bahu cewek disampingnya itu. "Yi...."
"Ya?" Priyayi menoleh.
"We'll be fine."
Priyayi mengatupkan bibir, nggak yakin.
part*21 Mencoba bersikap jantan Akhirnya Jagad berkunjung ke orangtua Priyayi, menemui mereka termasuk Kakek Priyayi
tentang rencana akan menikahi Priyayi. Jujur dirinya kedes juga. Tapi demi Priyayi. Dan demi
kebaikannya juga. Karena bisa jadi mereka akan membawa masalah ini ke pengadilan dan
menjebloskan ke penjara, hiii.....
Jadi mungkin ini jalan terbaik. Sejelek-jeleknya nasib, paling-paling statusnya jadi nggak single
lagi dan nggak bisa lagi cari cewek lain.
"Saya ingin Kakek, Om, dan Tante tahu bahwa saya beniat tulus dan serius tentang pernikahan
ini. Saya akan bersungguh-sungguh menjalani dan memberikan yang terbaik bagi Kakek, Om,
Tante dan Yayi," tutur Jagad serius.
Keheningan menyergap. Jagad berkeringat dingin dibuatnya, tapi jauh-jauh hari dia sudah
mempersiapkan diri diperlakukan yang terburuk. Intinya sekarang, siapa yang bersalah harus
menanggung akibatnya. "Andai kalian tidak kepergok, apa kamu akan tetap bertanggung jawab?"
Kakek melontarkan pertanyaan mematikan.
Kenapa mematikan" Karena jawabannya adalah tidak.
Priyayi yang juga ada di sana menundukkan kepala, nggak tega melihat Jagad disudutkan. Tapi
dia sendiri nggak mau mengambil risiko bikin Kakek lebih marah. Jadi dia memilih diam dan
menundukkan kepala. "Nggak perlu jujur, Gad....., yang penting selamat....," tukas Priyayi dalam hati.
Tidak karena Priyayi juga nggak keberatan___ Yayi lebih memberati pacar yang
dicintainya___apalagi Priyayi nggak hamil. Walaupun dia dan Priyayi sama-sama nggak
menganut gaya hidup one night stand, tapi kalau tanpa sengaja melakukan hal itu, masingmasing akan menerimanya sebagai kehilafan, nggak perlu diulangi, nggak perlu dilanjutkan,
nggak perlu.... Seperti ini.
Kali ini keheningan yang ada dibarengi dengan tatapan Kakek yang luar biasa tajam. Untung deh
Jagad mengenakan kaus polo tipis, keringatnya jadi nggak meninggalkan bercak.....
"Saya serahkan kepada Yayi. Saya nggak pernah memaksa...."
Tiba-tiba Kakek memotong dengan gusar, membuat Jagad dan yang lain terlonjak tertahan.
"Kamu mau bilang Yayi yang merayumu, yang memaksamu"! Mustahil! Cucuku bukan wanita
gampangan, kamu pasti yang merayunya. Dasar laki-laki hidung belang...."
"Paaa...." Papa Priyayi menenangkan ayahnya yang geram.
Jagad memejamkan mata sesaat. Sumpah dia nggak terima dibilang laki-laki hidung belang.
Oke, tahan emosimu, yang kamu hadapi ini pak tua kesayangan Yayi yang sakit-sakitan...., ucap
Jagad berulang-ulang dalam hati.
"Saya menyayangi Yayi atas nama hubungan apa pun. Masalahnya kalau dia bersikap
sebaliknya, saya nggak bisa memaksakan diri," tukas Jagad dengan nada suara rendah, lebih ke
nada pasrah. "Saya bukan orang seperti yang Kakek sebutkan. Percayalah. Untuk itu saya datang kemari."
Entah percaya atau nggak, bagi Jagad yang penting dia sudah berusaha menunjukkan sikap
jantan. Keluar dari rumah orangtua Priyayi, dia bisa melonggarkan isi dadanya sedikit. Huuff.... Dadanya
belum bisa longgar lebih banyak karena memang masih ada satu hal yang mengganjal.
Syamila. Jagad bingung mesti gimana. Di luar perkiraannya sendiri, yang dituduhkan Syamila menjadi
kenyataan, padahal dulu dirinya mati-matian membantah. Waktu itu memang begitu adanya kok.
Jagad ingin sekali bertemu mantan kekasihnya untuk mengatakan hal itu dan mengatakan bahwa
Mila-lah yang ia cintai. Tapi tentu saja itu perbuatan laki-laki hidung belang___mengutip kata-kata
Kakek Priyayi___ jika seorang laki-laki bilang cinta ke seorang wanita tapi di saat bersamaan
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau menikahi wanita lain. Jagad jelas ogah. Ogah dibilang laki-laki hidung belang.
Apa aku benar-benar berhidung belang, ya....." Pikir Jagad.
"Hei..." Priyayi menyusul Jagad di depan rumah.
Memandang Priyayi, Jagad memutuskan untuk berkonsentrasi pada apa yang ada di depannya
terlebih dahulu. Yang lain nanti aja dipikirin.
"Sori ya kalau kamu tersudut, jangan dimasukin ke hati," tukas Priyayi.
Jagad ngangkat bahu berujar, "Aku lagi ngaca di spion, mau lihat apa hidungku memang belang."
Priyayi tertawa. "Yi, lebih baik kalau persiapan pernikahan kita lakukan bareng-bareng, biar kamu nggak
kerepotan sendiri....."
Priyayi cepat-cepat menggeleng. "Udah kubilang, nggak perlu. Aku sendiri sanggup kok."
"Yakin?" Priyayi mengerjapkan mata." Yakin, Pak."
Jagad menatap Priyayi. " Kenapa sih nggak mau bantuanku?"
Priyayi menggeliat sejenak sebelum menyahuti dengan hati-hati.
"Hmm.... Aku merasa kita kayak.... Pasangan beneran kalau mengurusi itu bersama. Jadi,
bukannya aku nggak menghargai niatmu membantu...., cuma ya itu tadi...., maksudku kita bukan
seperti itu...." Jagad menyahut. "Oke, aku ngerti kok." ia menjulurkan tangan menepuk lengan Priyayi. "Itu
batasan kita agar nggak kelewat batas lagi."
"You've got my point, buddy."
"Seandainya nanti kamu benar-benar kerepotan, kamu harus bilang, oke?"
Priyayi mengangguk. Dalam hatinya ia bertekad nggak akan meminta Jagad untuk membantu.
No way. Membayangkan mereka berdua bersama-sama membahas soal pernikahan sudah
membuat Priyayi geli dan risi, apalagi kalau di jalani sungguhan. Ih.
part* 22 IBARAT moving picture, yang selanjutnya terjadi adalah gerak gambar yang mengalami
percepatan. Gerak mempersiapkan pernikahan Priyayi dengan Jagad.
Diawali dengan pertemuan orangtua Priyayi dengan orangtua Jagad. Tentunya dengan Priyayi
dan Jagad juga, sumber segala sumber peristiwa. Duduk bersama, melapangkan dada,
menjelaskan, merencanakan langkah selanjutnya, dan melaksanakannya.
Hal terakhir inilah yang menjadi kepusingan tersendiri bagi mama Priyayi. Priyayi menyerahkan
segala urusan persiapan kepada sang mama. Masalahnya adalah Priyayi nggak seratus persen
pasrah begitu saja terhadap keputusan mamanya. Ada saja yang membuat mereka lantas
berdebat berkepanjangan. Inti persoalan utamanya hanya satu, Mama Priyayi menginginkan
perhelatan besar, sedangkan Priyayi menginginkan sebaliknya. Nah, inti satu itu kan membawahi
tetek-bengek kecil lainnya!
Huh, kayak kawin beneran aja dibuat gede-gedean, gerutu Priyayi dalam hati. Lha, padahal
orang-orang memang menganggap begitu, kan"!
Teras belakang, curhat "Untung kamu bisa datang, Ran. Urat-uratku hampir putus semua ngotot-ngototan terus sama
anak sendiri," keluh mama Priyayi kepada Rani, sang adik perempuan yang rela linta pulau,
buru-buru datang setelah mendengar kehebohan yang dibuat Priyayi. Selain bertujuan untuk ikut
membantu, juga untuk menyaksikan secara langsung gimana kehebohan tersebut. Rani bekerja
di perusahaan PMA yang bergerak di bidang mineral di Sulawesi.
"Yayik itu kan anak perempuanku satu-satunya, satu-satunya kesempatan untuk bikin pesta
perkawinan, masa cuma dirayain sederhana. Anakku nggak mengerti perasaan mamanya satusatunya. Sedih...."
Rani mengernyit, pasti akhir-akhir ini kakakku kebanyakan menghafal dialog sinetron dengan
kata "satu-satunya" nih, celetuk iseng Rani dalam hati.
"Ta udah, nanti pas pernikahanku aja kelak, dirayain gede-gedean. Usiaku kan cuma selisih
setahun ama Restu. Anggap aja aku anak sulungmu. Jadi dirimu mewakili ibu kita, oke," hibur
Rani makin iseng. "Huh, lagakmu, Ran! Kelak, kelak! Kelakuan aja yang ada! Sekarang malah keduluan keponakan
sendiri!" semprot kakaknya itu.
"Satu-satu dululah.... Nanti aku menyusul, tenang aja!" Rani berkelit sambil cengar-cengir.
Kafe, curhat "Untunglah Tante datang. Aku jadi punya back-up menyakinkan Mama," ujar Priyayi kepada
tantenya. Rani menyeringai karena nada yang sama ia dengar belum lama berselang. Dan
kalimat aja persis, nggak heran deh ibu-anak kadar ngototnya juga persis!
"Siapa bilang aku jadi back-up kamu."
"Hah?" "Aku jadi penengah aja, oke."
Priyayi langsung cemberut mendengar jawaban tante tercintanya.
"Yi, mamamu cuma ingin menunjukkan kebanggaannya terhadapmu. Cuma caranya aja
begitu....." Priyayi langsung menampik. "Gimana bisa membanggakan perkawinan karena "kecelakaan"
seperti ini! Heran deh!" tangan Priyayi membentuk tanda kutip saat mengucapkan kata
"kecelakaan". Rani tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya.
"Jangan cengar-cengir begitu!" Priyayi makin sewot. Rani makin melebarkan senyum.
"Tahu nggak, leherku sampai capek kebanyakan geleng-geleng kepala mendengar kehebohan
yang kamu buat. Aku terheran-heran bin takjub, Yi! Ternyata kamu bisa juga bikin heboh
keluarga, apalagi membakar jenggot kakekmu, hihihi...."
Priyayi geleng-geleng kepala. "Ya ampun, teganya Tante tertawa di atas penderitaan keponakan
sendiri...." "Oh, kamu menderita?" Alis kiri Rani naik. "Bukannya kamu di suruh nikah karena mulanya
melakukan perbuatan yang bikin keenakan... Bagian mana yang menderita?" Rani meledek
Priyayi habis-habisan. Priyayi gemas bukan kepalang. "Hei, tante iseng! Jangan sia-siakan biaya, waktu, dan tenagamu
yang telah tante habisin buat kemari hanya untuk kegiatan iseng macam begini, mending Tante
manfaatin sebaik-baiknya dengan membantuku, setuju"!"
Priyayi menjinjing tasnya dan berdiri.
"Heh, mau kemana" Ngambek, ya?" tanya Rani.
"Ngambekku udah habis dari kemarin-kemarin. Aku harus menghubungi satu orang lagi, daah...."
Priyayi ngeloyor pergi meninggalkan si tante yang garuk-garuk kepala.
Sore, terkaget-kaget Satu orang dimaksud Priyayi, ia temui di sebuah pusat kebugaran. Sore ini mereka mengambil
kelas taebo. Sebenarnya Priyayi lagi nggak mood membasahi tubuhnya dengan keringat, namun
demi bisa melobi orang satu ini yang gila olahraga, ya apa boleh buat.
Sejam kemudian mereka melakukan "pendinginan" di dalam kafe ber-AC terletak bersebelahan
dengan pusat kebugaran. Di tempat inilah Priyayi bertutur semua.
Yasmin tercengang dengan penuturan Priyayi soal pernikahan tiba-tibanya. Priyayi memang
belum memberitahu teman-temannya. Ia sendiri saja masih dalam tahap "mencoba menerima
kenyataan" yang dirasakan berat.
"Dalam aspek jurnalis ada enam poin utama yang harus diajukan untuk meliput sebuah berita.
Pertama adalah.... Why?"" Mata Yasmin membesar.
"Heh, maksudmu 5W dan IH, what, when, where, who, why, how"!" Priyayi segera tanggap apa
yang dimaksud Yasmin. Yasmin mengangguk mantap, sementara Priyayi malah memajukan
bibirna. Yasmin meringis. " itu yang ada di benakku...."
"Oke, kalau itu maumu." Priyayi menegakkan tubuhnya. "What" Adalah pernikahan sederhana,
nggak usah ada apa-apa dan aku butuh kamu untuk menyakinkan Mama dan membantu
persiapan. Who" Aku dan Jagad. Where" Di rumah saja. When" Mungkin satu-dua bulan lagi...."
"Wow, cepet banget!" sela Yasmin melengking, ia lalu merendahkan suaranya. "Why-nya bukan
gara-gara serumah terus hamil, kan?"
"Nggak, aku sudah periksa...." tangkis Priyayi spontan yang nikin Yasmin tercengang. Mulutnya
menganga. Mulut Priyayi juga menganga menyadari ketololannya telah keceplosan begitu saja.
Ups. "Astaga! Astaga! Kamu ama Jagad"! Ya ampun! Padahal tadi aku cuma iseng karena nggak
mungkin...." "Ssst... Pelanin dikit suaranya," sergah Priyayi seraya menutup mulut Yasmin dengan tangannya
untuk meredam reaksi heboh temannya itu.
"Katamu ini bukan keinginan kalian, tapi kok bisa begitu?" celetuk Yasmin yang membuat muka
Priyayi terasa panas. Semula Priyayi memang menyensor adegan kepergok tidur bersama Yasmin. Ia hanya bercerita
kakek dan ortunya akhirnya tahu Jagad numpang di rumahnya dan sudah dianggap berhubungan
serius. Namun berhubung keceplosan, ya apa boleh buat, Yasmin jadi tahu deh.
"Aku dan Jagad sama-sama mabuk sepulang dari tempat Mala. Waktu itu kami sama-sama ada
masalah. Kakek shock, mogok makan. Mogok minum obat hingga terkapar begitu. Makanya
harus segera direalisakan, takut keadaan Kakek makin buruk."
Yasmin bengong. Priyayi jadi tambah malu dengan reaksi sahabatnya yang kayaknya shock
juga. "Itu jawaban how-nya....." celetuk Yasmin mengambil kesimpulan.
"Aku sebenarnya malu banget harus cerita ini ke kamu, Yas....."
"Oke, tenang, i won't tell anyone," sahut Yasmin menenangkan. "Aku bersedia kok jadi organizer
kawinanmu." Mata Priyayi berbinar. "Makasih, Yas! Kamu tahu aja keadaanku. Aku lagi pusing bikin acara
peresmian lapangan basket yang baru, masih harus ditambah skandal ini, hhh...." Priyayi
memeluk Yasmin. "Aku nggak akan ngelupain jasamu yang satu ini, suer!"
"Umm.... Jadi kamu ngelupain jasa-jasamu yang lain, begitu?" seloroh Yasmin manyun. Priyayi
menyeringai. "Entah kenapa kalau soal itu, tiba-tiba aku terserang amnesia," gurau Priyayi. " You're the best."
"Huh, ngerayu," celetuk Yasmin kemudian bertanya penasaran.
"Jadi, kalian putus dengan pacar masing-masing" Gimana reaksi Jimmy?"
Seketika raut muka Priyayi berubah muram.
part* 23 Simpang jalan, ada kesempatan
Makan nggak enak, tidur nggak ngenyak. Hmm.... Itu tanda orang jatuh cinta apa patah hati, ya"
Yang jelas gejala itu sedang menghinggapi Jimmy yang menderita patah hati hafal. Semua
terasa nggak berkenan. Bawaanya uring-uringan atau sebaliknya, sendu berat. Bianca yang
kemunculannya kembali sempat membuat "goyah'', sekarang nggak memberikan rasa apa-apa
lagi, padahal mantannya itu menambah porsi curahan perhatian dan materi. Mungkin karena
Jimmy sekarang ambruk, jadi nggak perlu goyah lagi.
Jimmy melajukan mobilnya keluar dari parkiran kantor. Jam kerja belum berakhir, laporan juga
belum selesai, tapi Jimmy memutuskan cabut dari kantor. Suntuk tak tertahankan. Biasanya jam
segini, kalau dia lagi berada di depan komputer, dia pasti ber-SMS ria dengan Priyayi untuk
menghilangkan kejenuhan. Hhuuaahh... Jimmy menyalakan batang rokoknya yang kesekian. Tak berapa lama pikirannya
kembali melayang menjauhi jalanan aspal tempat dia sekarang berada.
Tiba-tiba satu gerakan cepat tepat di depannya tanpa jarak. Jimmy terkesiat kaget. Untung
refleks kaki di atas pedal rem sangat bagus, hingga moncong mobilnya hanya menyentuh badan
orang itu tanpa membuatnya jatuh. Untungnya juga, di belakang mobilnya nggak ada kendaraan
lain. Jimmy dengan sigap keluar dari mobilnya untuk memaki-maki orang yang berdiri kaku
menenangkan jantungnya, tak kalah kaget.
"Jagad....?" Makian yang siap untuk disemburkan tertelan kembali ke alamnya begitu Jimmy tahu siapa orang
itu. Jagad juga sama kagetya. "Lho, Jimmy....?"
"Ngapain berlari-lari di tengah jalan" Ceroboh banget?" cecar Jimmy, mengangkat kedua tangan
dengan telapak menghadap ke atas. Ujung alis kiri dan kanannya udah jadi satu!
"Sori-sori! Aku harus ke tempat kejadian secepatnya...."
"Tempat kejadian?" sela Jimmy cepat. Yang terlintas di benaknya adalah Priyayi. Karena tiap
melihat Jagad, yang terkoneksi di otaknya adalah sosok Priyayi.
"Anak didikku dikeroyok preman di ujung jalan sana!"
"Oh." Jimmy gagu sesaat, kemudian berinisiatif, "Ayo kuantar."
Mereka bergegas nail mobil.
"Dia lagi jalan ke tempat sembari kepalanya celingukan mengawasi sepanjang jalan. "Nah, itu
dia!" Sampai di tempat kejadian, hanya ada seorang bocah lelaki tersungkur babak belur. Entah
berapa preman yang menghajarnya. Dari kepalanya keluar banyak darah.
"Coba aku datang lebih awal....," gumam Jagad sedih sambil meraih tubuh bocah itu. Jimmy
diam tak berkedip. "Kita harus ke rumah sakit," ujar Jagad seraya melepas jaketnya untuk menekan perdarahan di
kepala. Bocah itu dalam keadaan setengah sadar, matanya sangat redup, mungkin sebentar lagi
pingsan. Berdua mereka membopong bocah itu ke dalam mobil dan membawanya ke rumah
sakit. Kaus yang dikenakan Jagad terkena noda darah. Begitu juga dengan kemeja Jimmy.
"Dia masih anak-anak, masih di bawah umur, kerja di jalanan yang hasilnya nggak seberapa, eh
duitnya dikompas pemalas-pemalas yang nggak punya motivasi hidup secara benar," kata Jagad
dengan geram. "Dia pintar matematika. Dia tadi pasti dalam perjalanan ke tempat belajar kami," gumam Jagad
sewaktu menunggu dokter memeriksa dan mengobati anak tersebut. Dia pangkuan Jagad ada
buku lecek milik si bocah.
Jagad menoleh ke arah Jimmy. "Terima kasih atas bantuannya. Kamu nggak perlu menunggu di
sini, bisa kutangani sendiri."
"Nggak apa-apa. Kalian butuh tumpangan untuk pulang."
"Sekali lagi, terima kasih banyak."
Mereka kemudian diam, meredakan lelah.
"Jimmy...." Jimmy menoleh mendengar namanya dipanggil.
"Maaf....," sambung Jagad.
"Maaf?" "Iya. Untuk semua kekacauan yang terjadi. Kamu dan Yayi."
"Oh." Jimmy termangu sesaat. Kemudian menimpali, "Sori, aku nggak bisa maafin."
"Yaah, aku tahu," sahut Jagad lemah. "Yayi dan aku sepakat untuk tetap hidup masing-masing."
Jimmy menatap Jagad, terkejut. "Apa kamu bilang?"
"Yayi belum bilang?"
Jimmy menggeleng kepala. Jagad menjelaskan lebih lanjut, "Aku tetap menghuni kamar belakang, seperti dulu. Hubungan
kami nggak berubah, tetap berteman."
"Tetap saja, kan" Kamu dulu juga di kamar yang berbeda, tapi kalian tidur bersama," seloroh
Jimmy sinis. "Itu kesalahan. Aku nggak akan membiarkan diriku mabuk di rumah Yayi lagi. Lain kali lebih baik
aku tidur di jalan," tutur Jagad dengan nada sungguh-sungguh. "Dia mencintaimu sampai detik
ini. Dia sedang kalut sekarang. Hanya kamu yang bisa menyentuh hatinya, Jim...."
Malam, keputusan hati Tok, tok. Priyayi yang baru saja menutup pintu, membukanya kembali. Ia terperanjat Jimmy didepannya
dengan kemeja terkena darah.
"Jimmy! Kamu berdarah! Ya ampun!" Priyayi memegang erat tubuh Jimmy panik.
"Oh, bukan, bukan! Ini darah orang....."
Seketika Priyayi menghentikan segala gerakan. "Apa maksudmu"! Kamu.....?" wajah Priyayi
tegang. "Oke, biar kujelaskan, tapi biarkan aku masuk."
Jimmy menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Priyayi menghela napas panjang.
"Jadi Jagad nekat mendatangi preman-preman itu sendirian, tanpa ada bantuan, terus kalau dia
yang kepalanya bocor dikeroyok....?" Nada ucapan Priyayi perhatin. Aku kilatan cemburu pada
sorot mata Jimmy. "Yi, Jagad bilang.... Kalian akan hidup sendiri-sendiri...."
"Oh, eh...., hmm.... Yaaa...." Priyayi tergagap. Dalam hati ia merutuk Jagad yang membuka
rahasia mereka. "Hei, aku masih cukup pintar untuk nggak menceritakan ke orang lain," celetuk Jimmy membaca
kekhawatiran Priyayi. Well, semoga Jagad juga lumayan pintar, celetuk Priyayi dalam hati. Ia menepuk-nepuk pipinya
pelan. "Dia hanya ingin bilang bahwa di antara kalian memang nggak ada perasaan apa-apa," lanjut
Jimmy yang lantas menggeser posisinya hingga bisa meraih tangan Priyayi. "Aku memutuskan
akan tetap mempertahankanmu."
Priyayi terpana dengan yang baru saja didengarnya. "Apa....?" ia menatap mata Jimmy tak
berkedip. "Aku ingin kamu tetap di sisiku...., paling nggak sampai aku siap untuk merelakan kamu pergi.
Beri aku waktu untuk mempersiapkan perasaanku, Yi."
Bibir Priyayi mengatup rapat, kemudian berkata lirih, "You have my time." Dipeluknya Jimmy.
Rasanya lega sekali. Menyusuri jalan, lagi-lagi kejutan
"Waahh... Baju-bajunya sooo cute!" Yasmin berseru dengan mata membesar, dan seperti
gerakan refleks, dia membelokkan langkahnya memasuki butik yang terbentang di depan
matanya. Beberapa langkah di belakangnya, Priyayi direpotkan antara membawa tas-tas belanjaan yang
lumayan berat dan harus menerima panggilan ponsel yang beruntun dia terima siang ini. Priyayi
meninggalkan urusan kantor gara-gara Yasmin memaksanya ikut dalam sebagian urusan
persiapan pernikahannya. Efeknya ia seperti sekarang, telepon dari kantor nggak putus-putus.
"Buat apa kau nyewa kamu kalau aku akhirnya harus ninggalin kerjaan di kantor"!" protes Priyayi
semula. Tapi dia nggak bisa berkutin lantaran Yasmin mengancam akan melepaskan bantuannta
begitu saja. "Kamu yang rugi besar, aku nggak rugi apa-apa, weeek."
See, nggak bisa berkutik, kan"
Priyayi celingukan memutar arah tubuhnya hingga 360 derajat.
"Huu.... Uuh.... Hilang lagi itu anak, menjengkelkan," gerutu Priyayi.
Sejak tadi Yasmin selalu ngeloyor tanpa membritahu dulu kemana arahnya. Pas ia mau
menelepon Yasmin, matanya menangkap sosok temannya itu di dalam butik baju tidur, beberapa
langkah dari tempatnya berdiri. Yasmin berdiri menghadap ke arahnya sambil mengacungngacungkan sehelai pakaian dari balik kaca. Priyayi menghela napad melepas kejengkelan,
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantas menuju ke arah temannya berada.
"Wiii... Lucu-lucu, Yi!" celoteh Yasmin dengan tampang gemas mematut-matut beberapa model
pakaian. Priyayi menanggapi datar. "Iya, lucu, tapi ini nggak masuk agenda hari ini."
"Aaah... Kamu kayak sekretaris aja! Ayo, di sebelah sana ada yang sosok untukmu. "Yasmin
menyeret Priyayi dan menunjukkan dua model baju tidur dengan warna dan motif sama.
Berwarna biru langit dengan motif awan putih. Satu model untuk cowok, satunya lagi untuk
cewek. "Nah, ini cocok untuk kalian berdua. Kelihatan kompak, tidur seranjang dengan motif sama,
hihihi.....," tukas Yasmin penuh semangat. Priyayi melirik nggak tertarik.
"Kamu beli dong, Yi, bagus nih!" desak Yasmin seraya merangkul Priyayi.
"Iiih, Yasmin, kami bukan pasangan. Nggak ada lagi acara tidur seranjang, tahu!" sahut Priyayi
mulai jengkel lagi. Mau tak mau ia jadi membuka rencana rahasianya. Dengan merendahkan
suara ia menambahkan, "Aku dan jagad nggak bisa jadi pasangan sungguhan."
udah ah, capek plus ngantuk. Hoah... Besok aja di lnjt.
part* 24 Mendengar penuturan temannya barusan, Yasmin menunjukkan gejala shock. Gerakan tubuh,
kedipan mata, dan napasnya terhenti seketika.
"Jadi.... Jadi... Ini semua...." suara Yasmin mengambang.
Bruuukk.... "Yasmin!" pekik Priyayi melihat Tasmin terduduk lemas di lantai butik.
"Yas, kamu apa-apaan sih?" omel Priyayi sambil menarik lengan Yasmin untuk berdiri sebelum
orang-orang mengerubuti mereka. Malunya itu lho!
"Aku shock...."
"Iya, tapi berdiri dulu dong."
"Jadi selama ini aku dengan sungguh-sungguh jadi organizer acara yang ternyata nggak
sungguh-sungguh....?"
"Pestanya sungguhan kok. Buktinya kita sebar undangan ke teman-teman. Aku dan Jagad
sungguhan menandatangani surat-suratnya...."
Yasmin mengibaskan tangan. "Ahhh.... Sudahlah...." Ia lantas berdiri dan melenggang keluar
butik. Priyayi ditinggal begitu saja sambil geleng-geleng kepala.
Selama berjalan, Yasmin hanya diam. Priyayi jadi waswas, jangan-jangan Yasmin benar-benar
nggak mau lagi bantu aku. Melewati sebuah kafe, tanpa aba-aba Yasmin nyelonong masuk.
Priyayi tergagap sesaat, nggak habis pikir dengan tingkah Yasmin yang sampai segitunya.
"Oh Tuhan, bantulah aku. Mudahkanlah jalanku, jangan sampai temanku ini ngambek," gumam
Priyayi sebelum menyusul Yasmin masuk ke kafe.
Setelah duduk berhadapan dengan minuman masing-masing, Priyayi membuka suara. "Yas...."
Yasmin memotong, "Aku cuma kaget sebentar, jangan khawatir, aku akan selesaikan semua
urusan ini, tapi kamu ceritakan dulu semuanya. Semuanya. Nggak boleh ada rahasia lagi,
ngerti?" Fiuuh... Thank god, batin Priyayi.
"Iya, iya. Tapi kamu harus simpan rapat-rapat," jawab Priyayi lantas mulai bercerita.
Selesai Priyayi bertutur, Yasmin geleng-geleng kepala. "Ini hal paling gila yang pernah kudengar
dan aku ikut terlibat di dalamnya....., kamu gila, Jagad gila, Jimmy juga gila....."
Priyayi mengedikkan bahu sambil menyeruput kopinya. "Demi hidup kakek, aku nekat apa aja,
Yas." Yasmin memajukan badannya menopang pada meja. " Kalau kamu nggak sungguh-sungguh
dengan perkawinan ini, sebaiknya kamu buat semacam perjanjian terlebih dahulu dengan
Jagad." Priyayi menyerngitkan dahi. "kami udah sama-sama sepakat mengenai segala sesuatunya."
"Maksudku perjanjian resmi, di atas materi, soal harta, hak dan kewajiban, terutama soal harta."
"Ah kamu.... Kebanyakan nonton film!"
"Ih kamu!" Yasmin menunjukkan wajah serius. "Kamu nggak tahu ke depannya kayak apa kan,
apa yang akan menimpa kamu. Perjanjian seperti itu mencegah segala kemungkinan yang bisa
membuatmu mengalami kerugian baik materi atau yang lainnya."
Priyayi menjauhkan wajahnya dengan ekspresi "nggak habis pikir.
"Percaya deh sama aku!" Tutur Yasmin berlanjut. "Tanteku itu pengacara, aku jadi lumayan tahu
soal begituan. Kalau nggak diatur dulu, kadang ada beberapa hal yang secara teknis akan jatuh
ke tangan pasangan.... Hati-hati itu, mengingat kalian bukan pasangan sungguhan, iya kan?"
Kerut-kerut di dahi Priyayi bertambah. Hmm.... Nggak ada ruginya dilakukuan, tapi Jagad nanti
tersinggung nggak, ya"
Makan malam, pasrah "Sure. Kapan aku harus ke kantor pengacaramu?" sahut Jagad datar menanggapi rencana
Priyayi mengenai perjanjian bersama sebelum menikah.
"Ini sudah?" tanya Jagad menunjuk piring Priyayi. Priyayi mengamat-amati ekspresi Jagad,
apakah ada perasaan tersinggung tersirat di wajahnya.
"Heh?" ulang Jagad.
Priyayi tersadar. "Oh, biar kucuci sendiri."
"Biar aku aja, sekalian."
Malam ini Priyayi mengundang Jagad makan malam ke rumahnya khusus untuk membahas
masalah ini. "Kamu nggak membahas isinya terlebih dahulu?" tanya Priyayi.
"Aku percaya kamu sajalah," jawab Jagad enteng sambil mencuci piring. Jagad sudah terbiasa
berlaku seperti rumah sendiri di rumah Priyayi.
"Gad, jujur aku nggak enak kalau kamu sepasrah itu. Ini menyangkut hidup dua orang, aku dan
kamu, bukan aku doang."
"Aku percaya yang kamu lakukan juga untuk kebaikanku, jadi santai aja."
"Gad, kamu merasa bersalah kan hingga kamu mau aja di perlakukan apa pun" C'mon, Gad, aku
nggak ingin kamu begitu. Ini bentuk tanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan, bukan
hukuman. Jadi berhenti bersikap kayak pesakitan gitu, please.....," tutur Priyayi menatap Jagad.
"Yi...." "Kamu bilang aku bisa minta bantuanmu.... Jadi please...."
Jagad menghentikan cuci piringnya, mengelap tangan, menatap Priyayi sesaat, kemudian duduk
di depan gadis itu. "Ayo kita bikin poin-poinnya."
Priyayi tersenyum dan menyodorkan kertasnya.
"Mulai dari nama" Soal double room, berhak menjalin hubungan dengan orang lain, atau
pembagian tugas beresin rumah?" cetus Jagad nyengir.
Priyayi meninju bahu Jagad pelan. "Yang serius dong!"
"Hmm... Apa ya... Oya, poin dariku gini, selama jadi suami aku nggak perlu bayar sewa kamar
dan semua utang dihapus...."
"Hhh.... Sudahlah, kapasitas otakmu memang terlalu kecil untuk membuat poin-poin yang lebih
bermutu....." gumam Priyayi pasrah.
Pertengahan minggu, melepaskan
Sebulan sudah Jimmy nggak bertemu Priyayi. Ini memang kemauan Jimmy sendiir. Bahkan ia
sudah pesan tiket ke Bali. Dia mau ngabisin waktu di Bali sampai acara besar Priyayi yang
menyedihkan hatinya itu berlalu. Tapi hari ini dia nggak tahan juga ingin bertemu Priyayi, karena
di samping kangen berat ke gadis itu, ada kemungkinan ini akan menjadi pertemuan terakhir.
Pertemuan terakhir" Jimmy mengembuskan napas panjang. Pandangannya berulang kali diarahkan ke luar jendela
lounge, tepat di jalan orang masuk dan keluar lounge. Pikirannya kembali melayang. Ke Priyayi,
tentunya. Selama absen menemui Priyayi, terjadi pergolakan di hati Jimmy. Antara rasa cinta dan
keinginan menyerah. Akhir-akhir ini keinginan menyerah itu yang menguasai pikirannya. Dan
malam ini, seminggu sebelum Priyayi mengubah statusnya di mata dunia, sehari sebelum ia
berangkat ke Bali, Jimmy merasa harus bertemu dengan gadis itu. Karena begitu kembali dari
Bali, Priyayi bukan orang yang sama lahi di matanya.
Mungkin aku memang harus mengakhiri semua ini. Jimmy berpikir keras, merasa sangat
bimbang. "Hai." suara Priyayi memecah lamunan Jimmy. Jimmy tergagap sesaat, kemudian tersenyum dan
berdiri menyambut Priyayi.
"Aku kan sudah pesan untuk nggak dandan cantik," celetuk Jimmy.
"Aku udah nggak dandan kok," tampik Priyayi.
"Berarti kamu memang selalu cantik," timpal Jimmy seraya meraih Priyayi ke dalam pelukannya.
Priyayi tersenyum senang da membalas pelukan Jimmy erat. Jimmy mencium wajah Priyayi
sesaat setelah mereka duduk di sofa lounge.
"Sudah lama kita nggak ketemu, aku kangen," ucap Jimmy lirih. Mereka menjauh sejenak saat
waiter datang mencatat pesanan menu. Setelah waiter pergi, mereka kembali datang
membawakan makanan. "Besok aku ke Bali," tukas Jimmy sementara kepala Priyayi terkulai di bahunya.
"Ya, aku tahu. Aku akan kehilangan kamu."
"Aku juga akan kehilangan kamu."
"Kamu mau kan kembali kepadaku?" tanya Priyayi, kepalanya mendongak hingga wajahnya dan
wajah Jimmy sangat dekat berhadapan. Jantung Jimmy berdebar. Pertanyaan Priyayi seakanakan memberi isyarat bahwa Priyayi juga merasakan kebimbangan Jimmy.
"Nggak perlu bertanya seperti itu...." elak Jimmy menghindari jawaban ya atau tidak.
Tiba-tiba Jimmy berdiri seraya menggaet tangan Priyayi.
"Ayo." Priyayi melongo. "Lho...." belum sempat bertanya, Jimmy keburu menyeretnya keluar lounge.
"Kita akan jalan-jalan seharian ini, terserah mau ke mana aja," tukas Jimmy dengan
menggenggam erat tangan Priyayi.
"Bener nih?" tanya Priyayi kurang yakin, karena Jimmy bukan tipe orang yang betah ngabisin
waktu berjam-jam seharian dengan berjalan-jalan tanpa tujuan pasti.
Jimmy mengangguk mantap. "Bener nih, terserah ke mana aja?"
"Iya, Nona! Sekarang Nona manis ingin ke mana?"
Priyayi mengajak cowok itu ke tempat yang dulu sering tidak mau disinggahi Jimmy. Priyayi
menantang Jimmy main boling, sampai pasang taruhan segala. Setelah bosan, Priyayi menyeret
Jimmy ke butik khusus pakaian pria.
"Aku ingin pilihin kamu baju...." Priyayi menuju rak aksesoris...." harus dipaduin ama ini." Priyayi
mengacungkan suspender. Jimmy menepuk dahinya. Oh tidak......
"Ayo di coba!" perintah Priyayi seraya menyeringai. Seumur-umur Jimmy nggak pernah
mengenakan yang namanya suspender meski benda itu jadi tren sepanjang masa sekalipun.
Jimmy bergeming. Priyayi mendorongnya dari belakang.
"Ayo, ini lagi tren lho. Kamu kan udah janji tadi terserah aku hari ini. Ayo, jalan grak!"
Jimmy menggerutu tapi nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Priyayi bertepuk tangan begitu Jimmy
keluar dari kamar pas mengenakan baju dan aksesoris yang tadi dipilih Priyayi.
"Awesome! He's my man!" celetuk Priyayi pamer pada salesgirl yang ikut tersenyum.
Dada Jimmy bergemuruh melihat reaksi Priyayi. Yeah, l'm your man but next week you will marry
another man.... "Heh, bengong lagi! Ayo, kita bayar dan cabut lagi," ajak Priyayi menggandeng lengan Jimmy.
Melewari gamezone, Priyayi masuk. Jimmy lagi-lagi menggumam, "Oh tidak....."
"Aku haus, mau beli minum dulu. Kamu main aja sepuasnya," cetus Jimmy berusaha
menghindari desakan Priyayi untuk ikut main aneka game. Priyayi nggak terlalu menggubris
begitu perhatiannya tersedot pada war game yang ada di depannya.
"Angkay senjata, selamatkan dunia!" seru Priyayi `mengangkat senjata dan mulai menggempur
lawan`. Jimmy tersenyum geli. Matanya tak lepas menatap Priyayi. Inilah alasan kenapa dia berinisiatif
untuk jalan-jalan. Hanya supaya dia bisa uas melihat Priyayi melakukan hal-hal yang disenangi
gadis itu. Belum tentu besok-besok ada hari seperti ini.
Langit sudah gelap kala mereka mengakhiri kebersamaan. Mereka kembali ke tempat mobil
Priyayi diparkir sedari siang tadi.
"Lain kali, kita luangkan waktu sehari sperti ini ya, terserah kamu ingin kemana," tukas Priyayi
sebelum naik ke mobilnya.
Sekali lagi dada Jimmy bergemuruh. Dia cuma tersenyum tipis karena nggak yakin apa akan ada
lain kali. Dan seandainya memang nggak ada lain kali, dia nggak akan mengatakannya
sekarang. Dia nggak ingin merusak akhir kebersamaan hari ini.
"Jim...." panggil Priyayi dari balik kemudi sesaat setelah dia menghidupkan mesin mobil. "we'll be
fine." Jimmy mengecup kening Priyayi melewati jendela mobil yang terbuka lebar. "Hati-hati."
"Kamu juga. Kalau sudah balik ke Jakarta, langsung telepon aku, oke."
Setelah Priyayi berlalu, Jimmy mengepalkan tangannya keras dan menyepakkan kaki kanannya
ke udara. Mengakhiri kebersamaan dengan indah seperti tadi ternyata bikin dia makin sulit
melepaskan Priyayi. "Sial." part *25 Lokasi syuting, kesiangan
"Sori Ma, sori..." Priyayi nyamperin mamanya yang lagi break. Mamanya melengos, masih tidak
menerima dirinya harus naik taksi membawa tas besar sendirian ke lokasi pagi-pagi sekali.
Sebagai catatan penting, di mama memang paranoid bepergian sendirian.
"Kalau keberatan, bilang dong dari awal! Masa Mama naik taksi sendirian, jalanan masih sangat
sepi. Kamu membiarkan mamamu ini ketakutan!
Umm... Mulai deh... Bahasa sinetron, celetuk Priyayi dalam hati mengomentari ekspresi dan tutur
kata Mama. "Restu atau Papa nggak ada yang bisa nganterin?" Priyayi duduk sambil mengipas-ngipasi
dirinya dengan lembaran naskah milik mamanya.
"Kakakmu nggak pulang, papamu nggak enak badan, takut sakitnya tambah parah kalau harus
nyetir dengan jarak sejauh ini. Lagi pula itu tugasmu kan, kenapa harus suruh orang lain"
Heran!" Priyayi meringis kecut. "Kan dalam kondisi darurat, Ma."
"Tadi sempat kepikiran nyamperin kamu di rumah, tapu rutenya jadi putar balik....," lanjut Mama
masih dengan nada pedas. Dalam hati, Priyayi mengucap syukur karena mamanya urung "inspeksi mendadak" ke rumah.
Apa jadinya kalau dia langsung menyeruak masuk dan tahu dirinya tidur di mana, Jagad tidur di
mana.... "Kweni nggak kasih tahu jam berapa Mama berangkat, kupikir yaa... Pagi standar gitu...."
Mama mencibir. "Pagi standar" Standar nasional gitu" Mengada-ada! Sejak kapan kerja beginian
ada waktu standar"!"
Priyayi yang sudah kepanasan kian gerah diomeli. Ia berdiri. "Ih, Mama! Hargai dong niatky
membantu Kweni, membantu Mama. Aku udah berusaha menebus kesalahan dengan langsung
kemari tanpa sempat dandan, ngisi perut, nggak ngantor...." dahi Priyayi berkerut-kerut.
Kemudian ia ngeloyor pergi.
"Mau ke mana?" seru Mama.
"Cari kopi. Pusing!"
Setelah berhasil menyeduh kopi paginya yang diteguk siang ini, kepala Priyayi nggak tegang lagi,
tapi kelopak mata tetap saja minta menutup. Maklum, begadang menyelesaikan kerjaan karena
minggu ini banyak nggak ngantor.
Seseorang berdeham di dekatnya. "Ckckck.... Pengantin baru auranya gelap sekali! Ada apa
gerangan?" sapa Minel, penata rias yang sering bekerja untuk sinetron buatan rumah produksi
milik teman mamanya ini, yang juga menjadi teman baik Kweni. Dan Priyayi nggak perlu waktu
lama untuk berakrab-akrab dengannya.
Priyayi mengarahkan kepalanya ke mamanya sambil menyambar roti isi coklat yang disodori
Minel. "Omong-omong soal aura gelap, mamamu juga begitu sewaktu tiba tadi. Lebih gelap, pake petir
segala." "Hahaha...." Priyayi tergelak.
Minel nerusin cerocosnya, "Padahal mamamu itu seharusnya tahu, wajar aja kan kalau pengantin
baru nggak bisa pergi pagi-pagi buta, nggak relaa... Hehe..." Minel mengerlingkan mata kirinya
sambil menyeringai penuh arti, menyenggol lengan Priyayi. Yang disenggol ikut menyeringai
dengan arti yang berbeda.
"Tahu tuh Mama, bawaannya ngajak berantem melulu, gerah kan," gerutu Priyayi.
Sang Mama masih memendam perasaan jengkel, kecewa, nggak puas, bahkan mungkin sakit
hati, dengan anak perempuannya itu menyangkut perhelatan penikahan kapan lalu itu. Beliau
merasa tidak "diorangtuakan," tidak "dinamakan", sedangkan Priyayi merasa mamanya terlalu
berlebihan hingga mengalihkan urusan kepada Yasmin, Rani dan dirinya sendiri.
"Omong-omong soal gerah, aku juga gerah ke kamu. Teganya kawin nggak undang-undang!"
ujar Minel dengan tampanga cemberut.
"Eit, kan udah ada undang-undang, undang-undang perkawinan, hihihi...,"seloroh Priyayi.
Minel mencibir."Mengundang diriku, bo!"
"Kamu dulu juga nggak mengundangku."
"Yeee... Kita kan belum kenal waktu itu, gimana seehh!" sahut Minel.
Priyayi meringis. "Sori, teman, budget terbatas..."
Minel menepuk keras paha Priyayi kemudian menyahut sengit. "Ih, bohong banget sih kamu!
Orang kaya macam kalian, menyebar ribuan undangan nggak akan memengaruhi finansial!"
"Ya udah kalau nggak percaya," balas Priyayi sambil mengusap-usap pahannya bekas dipukul
Minel. Obrolan mereka terinterupsi telepon masuk di ponsel Priyayi. Urusan kantor.
"Nek, lihat dong foto suamimu," pinta Minel saat Priyayi menutup flip ponselnya.
"Foto?" Priyayi gelapan. "Eeengg.... Nggak ada..."
"Hah" Di dompet, di ponsel, nggak punya foto pasangan sendiri" Aneh..." celetuk Minel nggak
percaya. Priyayi mengacak-acak pelan rambutnya, keki. Yang ada di ponselnya adalah foto Jimmy,
disimpan di salah satu folder ponselnya. Nggak pernah terlintas menyimpan foto Jagad...., nggak
terbayang deh! "Ya ampyun....! Kamu juga nggak pake cincin kawin!" kritik Minel berlanjut. Priyayi
mengacungkan jari-jari tangan kirinya.
"Kok di tangan kiri sih?"
"Di film-film barat pakainya di sebelah kiri..."
Lagi-lagi Minel menepuk paha Priyayi. "Halooo"! Kamu nggak lagi tinggal di Barat sono!"
"Udah deh, Nek! Dari tadi cuma dikritik kanan-kiri, betehhh!" protes Priyayi, hendak beranjak dari
duduknya. Minel keburu menahannya.
"Jangan ngambek begitu. Ayo cerita dong soal kehidupan baru kalian. Pasti banyak kejutan,
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena pacarannya aja orang-orang pada nggak tahu, tahu-tahu kawin...."
"Nggak ada," jawab Priyayi spontan.
"Hah, nggak" Biasanya bulan-bulan pertama banyak hal yang nggak terduga dari pasangan...."
Priyayi mengangkat bahu dan berjar datar. "Nggak ada. Udah biasa..."
"Hah" Udah biasanya gimana"!" Minel makin penasaran. Priyayi baru sadat kalau dirinya terlalu
jujur menjawab. "Eeengg... Iya... Udah biasa... Nggak saling ngejutin gitu...." imbuh Priyayi ngawur.
?"?"" Tangan Priyayi makin kencang berkipas ria. Gerah..... Malam, tetap gerah
Sampai di depan rumah orangtuanya, Priyayi hendak melepas sabuk pengaman, namun
mamanya segera mencegah. "Nggak perlu. Mama bisa bawa tasnya."
"Nggak apa-apa, sekalian aku masuk ke dalam..."
"Jam segini mau berdatangan"!" hardik Mama. Priyayi melirik jam digital di dashboard mobilnya.
Masih kam sembilan kok....
Aku kan mau bertemu keluargaku, menjenguk Papa, kakek..."
"Mereka sudah tidur, percuma." Mama bertutur gemas. "Kamu sudah jadi istri orang, jangan
pulang mam kalau nggak ada kepentingan! Apa kata suamimu nanti"!"
Priyayi melongo, bibirnya membentuk huruf O. Ooo... Itu masalahnya.
"Pake bengong pula, sana pulang!" cecar Mama. Priyayi mengangkat tangan, menyerah dengan
kejutekan mamanya seharian ini.
Sambil menyetir, Priyayi memasang hands-free dan menelpon papanya.
"Pa, istrimu sentimen sekaleee ke aku." Priyayi membuka sesi curhat via telepon. Papa tergelak.
Priyayi menyambung. "Dari zaman kapan itu, jengkelnya ke aku nggak abis-abis. Dia masih sakit
hati, ya?" "Mamamu nggak pernah sakit hati. Dia cuma kesal kamu nggak jemput dia tadi..."
"Tapi masa sampai melarangku masuk rumah! Aku kan ingin menjenguk Papa. Katanya lagi
sakit!" "Papa nggak apa-apa. Yi. Mamamu cuma merasa nggak enak sama Jagad kalau kamu pulang
terlalu malam. Priyayi cemberut. "ih, Papa sama aja deh. Pa, bilangin ke istrimu supaya jangan galak-galak ke
anak cewek satu-satunya, oke."
Papa lagi-lagi tergelak, kemudian menyahut dengan suara lebih pelan. "Mamamu lagi mendelik
ke Papa, Papa nggak berani; Yi...." keduanya terkiki.
"Papa payah, sudah lama hidup bareng belum bisa menjinakkan beliau, hihi...."
"Udah sampai di rumah"!" suara Mama tiba-tiba menyerbu pendengaran Priyayi. Bulu kuduknya
seketika berdiri. Ups... Mendapat telepon, ingat "posisi"
Jagad baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya berbunyi. Lintang calling.
"Kak, weekend ini aku ama Sita ke Jakarta, band-nya pacarku ikut main di ajang Alternative
Alive, nanti nginap di rumahmu ya. Kak Jagad nggak ke mana-mana, kan?"
Jagad agak bimbang. "Emmm... Coa nanti aku ngomong ke Yayi...."
"Kalau Kak Yayi sibuk, nggak apa-apa, yang penting Kak Jagad nggak."
"Eengg.... Bukan itu. Ini kan rumahnya, jadi lebih baik kalau ngomong dulu."
"Kak Jagad kan suaminya, apa perlu bilang dulu?" ada nada heran dalam pertanyaan Lintang.
Jagad terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Nanti aku telepon."
"Emang Kak Yayi udah tidur?"
"Eee... I... Ya."
Tepat saat itu, suara mobil Priyayi terdengar masuk carport.
"Nah itu dia datang!"
"Lho, katanya tadi tidur?"
Jagad menepuk jidatnya. Tolol, keceplosan! Umpatnya dalam hati.
"Iyaa... Tadi udah tidur. Aku telepon lagi nanti." Jagad buru-buru menutup ponsel,
menyelamatkan diri investigasi adiknya.
Jagad ke depan membukakan pintu. Priyayi agak kaget melihat Jagad hanya mengenakan
celana boxer malam-malam begini dan "berkeliaran" di dalam rumah. Apalagi dengan rambut
basah begitu..... "Yi, barusan adikku telepon, weekend ini dia ama sepupuku mau nginap di sini, boleh nggak?"
Jagad membuntuti Priyayi yang berjalan ke pantry untuk mengambil es krim.
" "Ya bolehlah. Kalau perlu dijemput, pake aja mobilku."
"Makasih, Yi," sahut Jagad lega. Eh, bukannya di bangku pantry untuk menyendok es krim
langsung dari wadahnya, bergantian dengan Priyayi. Perut cowok itu jadi membentuk kotak otot.
Hmm... Gerahnya Priyayi jadi nggak berkurang meski sudah mengonsumsi es krim!
Kamu nggak pake baju begitu untuk merayuku agar mengab
ulkan permintaanmu, ha?" Priyayi
menyeletuk iseng. "Berhasil kan dengan pesona dalamku ini..." balas Jagad.
"Awa, aku bisa melihat pipimu memerah...." sambungnya, mendekatkan wajahnya ke arah
Priyayi dan menyeringai nakal.
"Huh, sok keren!" sahut Priyayi sambil melemparkan serbet ke muka Jagad, agak salah tingkah.
"Oya, Yi, pas sodara-sodaraku datang, sebaiknya aku.... Emm... Gabung di kamarmu... Tahu
kan...., supaya mereka nggak...."
"He-eh," sela Priyayi. "Besok pindahin barang harianmu ke kamarku."
Besok setting baru harus disiapkan. Peran yang lain harus dimainkan.
"Oya, tunggu sebentar....,"Tukas Jagad lalu bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamarnya.
Dua menit kemudian dia balik ke hadapan Priyayi.
"Nih, Jagad menyodorkan sejumlah uang kepada Priyayi.
"Uang sewa kamar...."
Priyayi tidak langsung menyambar seperti biasanya.
"Hubungan kita seperti biasa, kan?" tambah Jagad.
"Eee..." Priyayi masih ragu-ragu. Tapi pikir punya pikir... Iya, seperti biasa. Nggak ada yang
berubah untuk yang satu ini. Eropa masih akan menunggunya. Priyayi pun menerima uang
tersebut sembari say thank you.
"Oya satu lagi, Yi, kemarin Mama kasih saran...."
Wajah Priyayi berubah serius, menyimak baik-baik. "Apa sarannya?"
"Lebih baik kalau kita, eh maksudku kamu, pasang saluran telepon rumah."
Priyayi beralih duduk di sofa. " kan udah ada HP...."
"Iya sih, tapi telepon rumah pulsanya jauh lebih murah."
"Nggak masalah sih, cuma ngurus tetek bengeknya itu lho... Malasss...."
"Oh, biar aku aja yang handle, pokonya kamu setuju."
"Duitnya perlu kusiapin sekarang?" tanya Priyayi.
"Oh, nggak, biar aku aja," sergah Jagad dengan tangan kanan melambai mengisyaratkan
menolak. "Nggak dong. Aku kan yang tinggal di sini terus, kalau kamu udah nggak di sini, salurannya
nggak bisa ikut dibawa kan..., biar aku aja yang nanggung, kamu yang urus, oke buddy," sahut
Priyayi kemudian berjalan masuk kamar.
Duk! Hati Jagad serasa disukit mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Priyayi. Kalau kamu
udah nggak di sini.... Ditariknya napas dalam-dalam. "Inget posisi, Gad, inget....." pesannya pada diri sendiri. Peran
tuan rumah, mengejutkan "Sukanya musik apa" Rock, pop, jazz, top 40?" tanya Priyayi kepada para saudara ipat di dalam
mobil saat hendak menentukan tempat hang-out mereka malam ini.
"Alternative dong," jawab Lintang lantang.
"Huuu... Ngikut pacaaar! Kalau pacarnya ganti, selera musiknya ganti!" ledek Sita. Lintang
menyentil kepala sepupunya gemas.
"Yang biasa di datangi KakYayi deh," imbuh Sita antusias. Sekadar menyegarkan ingatan, Sita
adalah sepupu Jagad yang masih ABG, yang menemani dan mendampingi Priyayi sewaktu
acara di kediaman orangtua Jagad.
"Sita ngefans kamu, Yi," ujar Jagad berbisik. Priyayi tersenyum geli.
"Katanya gayamu cool abis. Lihat aja potongan rambutnya, maksudku sih menirumu tapi nggak
sukses karena dia keriting..." sambung Jagad menyeringai lebar. Priyayi menoleh kearah Sita
dan ikutan menyeringai geli.
"Hayooo.... Ngomongin aku ya!" seloroh Sita.
Priyayi tiba-tiba punya ide. "Hei, mau nggak ke butik langgananku" Di sana model bajunya cool
abis. Cocok buat Sita."
Sita ragu-ragu menjawab. "Eengg... Mau banget sih, tapi.... Pasti mahal-mahal ya, Kak....?"
Priyayi tersenyum. "Karena Sita belum bisa cari duit sendiri, aku dispensasi deh."
Mata Sita membesar. "Maksudnya... Gratisan"!"
Priyayi mengangguk. Sita bertepuk tangan.
"Huh, dasar kecil-kecil matre, maunya gratisan," olok Lintang mencibir. Sita balas mencibir.
Tepat saat Priyayi menginstrupsikan Jagad untuk mampir ke plaza tempat butik langganan
Priyayi berada___ yang punya butik adalah sahabat mama Priyayi, jadi namanya dan mamanya
masuk dalam daftar pelanggan yang memperoleh diskon___ponsel Priyayi berbunyi. Ia merogoh
tas jinjingnya. Sally calling.
"Nek, besok malam kita ngadain Malam Drama di apartemen Mala."
Yang dimaksud Malam Drama adalah berkumpulnya para cewek di rumah salah satu dari
mereka untuk menonton DvD film-film drama sampai muntah, baik itu drama komedi romantis,
thriller, maupun tragedi. Meskipun sudah muntah, besok-besoknya tetap aja diulangi nggak
pernah kapok, hehe.... "Apa temannya?"
"Hollywood. Sandra Bullock."
"Wah, bagus tuh!"
Ups. Priyayi baru ingat, ia harus berperan sebagai pasangan baru yang tak terpisahkan.
"Emm... Tapi nggak janji deh, Sal, aku lagi kedatangan saudara Jagad di rumah..." Priyayi
memelankan suara, namun masih tertangkap kuping Jagad.
Saat berjalan dari basement parkir menuju ke dalam gedung plaza, Jagad berujar lirih ke
Priyayi," kalau besok ada acara, aku sendiri bisa antar mereka kok."
"Ah, nggak enak dilihat mereka kalau aku keluyuran sendirian," sahut Priyayi lantas lebih
mendekat ke telinga Jagad. "Bahaya kalau mereka kasih laporan pandangan mata ke ortumu,
kita pergi main sendiri-sendiri."
"Dasar!" timpal Jagad nyengir. "Rapi banget kamu bermain...."
Priyayi ikut nyengir sembari mengedipkan sebelah matanya.
Sampai di dalam, Jagad mutusin untuk melihat-melihat pameran tour and travel yang sedang
digelar di atrium depan plaza, sementara Priyayi menggiring "tamu-tamu ABG" berbelanja sesuai
yang ia janjikan. Semua agen perjalanan yang mengisi pameran itu berlomba-lomba menawarkan paket dengan
harga menarik. Jagad bukannya mau bepergian atau berlibur, tapi tour and travel
mengingatkannya akan seseorang yang sangat berarti.
Ya, Syamila. Gadis itu bekerja paro waktu di agen perjalanan. Kakak perempuannya yang tinggal
berdua bersamanya adalah tour guide di agen tersebut dan berhasil mereferensikan adiknya
mengisi posisi front desk.
Sambil berjalan pelan mengitari stan, Jagad mengenang masa-sama dulu dia mengantar jemput
Syamila dari kampus-kantor-rumah. Urutan perjalanan bisa berubah-ubah tergantung jadwal.
Dan di sela-sela tiga tujuan itu, mereka berdua kerap mampir untuk makan bersama atau
sekadar jalan-jalan. Sederhana memang, tapi waktu itu jagad merasa bahagia.
Lolita Fun Tour dan Travel.
Ini dia. Jagad berhenti di depan stan tersebut. Seorang pegawai sedang melayani pertanyaan
dua orang pengunjung. Dua orang lainnya berdiri melihat-lihat brosur.
Bukan Syamila. Terselip rasa kecewa di benak Jagad karena sebetulnya dia ingin banget melihat
Syamila. Semenjak putus, Syamila menolak dihubungi.
Apa dia sudah berhenti dari tempat ini" Jagad penasaran hendak bertanya kepada pegawai
tersebut. Tapi jagad mengurungkan rasa penasarannya, lalu membalikkan badan untuk
melangkah pergi. Saat itulah Jagad tepat berhadapan dengan Syamila yang belum menyadari
keberadaannya karena berjalan menunduk merapikan gulungan lengan kemejanya.
"Eh..." Syamila hampir menabrak orang yang ada di hadapannya. Ia mendongak dan....
"Hai," sapa Jagad mengangkat telapak tangan kanannya.
Syamila disergap kebengongan yang nggak bisa disembunyikan. Tuhan mewujudkan keinginan
terpendammu, Mim, batin Syamila.
Now what, Mil..." "Lama nggak bertemu," ujar Jagad memecahkan kebekuan.
Syamila tetap terdiam. "Lagi tugas?" Syamila mengangguk. Oke, kuasai dirimu, dorong Syamila pada dirinya sendiri.
"Mau berlibur?" tanya Syamila. Dia merasa gugup dan jantungnya berdegup kencang, sialan.....
"Oh, nggak. Lagi nganter adikki jalan-jalan."
"Mana saudaranya?" Syamila melemparkan pandangan ke sekeliling. Lumayan sebagai dalih
dari keharusan memerhatikan Jagad.
"Oh, eee... Lagi di butik... Emm...." Jagad nggak tahu nama butiknya.".... Di lantai ini juga kok."
"Kok ditinggal, nanti kesasar lagi...." Ucapan halus Syamila untuk mengusir Jagad karena ia
nggak tahan ditatap Jagad senanar ini lebih lama lagi.
"Nggak sendiri, ada Yay... Eee... Yaa... Sama temanku juga," sahut Jagas hampir keceplosan
mengatakan ' Yayi.' "Aku harus kerja, maaf..."
Jagad mengangguk, begitu Syamila membalikkan badan, jagad memanggil. "Mil...."
Syamila menoleh. "Iya?"
"Senang bisa melihatmu lagi. Aku...."
"Maaf, aku benar-benar harus kerja sekarang. Met jalan-jalan," potong Syamila mengakhiri
pembicaraan dan bergegas kembali ke mejanya, menyibukkan diri dengan pengunjung. Tapi
matanya mengikuti Jagad sampai cowok itu tidak tampak lagi. Syamila mengembuskan napas
panjang seraya mengempaskan punggungnya di sandaran kursi. Rasa rindu dan sakitnya makin
bertambah. Duh.... Malam, mengatur posisi
Pulang dari jalan-jalan, Priyayi mengatur posisi.
"Ini kamar kalian. Tempat tidurnya muat sih untuk dua orang tapi agak mepet." ucap Priyayi di
kamar belakang kepada kedua tamunya di akhir malam.
"Kalau mau longgar, salah satu tidur di kamar depan sama Yayi, aku tidur di sofa," timpal Jagad.
Priyayi melirik ke arah Jagad.
"Nggak usah," sergah Lintang cepat. "Kita di sini aja. Kita nggak mau mengganggu....,"
tambahnya sembari nyengir. Sita terkikik. Priyayi dan Jagad saling melirik dengan arti tersendiri.
Jagad dan Lintang ngobrol di ruang tengah untuk beberapa lama. Sita langsung terlelap begitu
mencium bantal. Priyayi rebahan di kamar. Untuk dua malam ini, dia meliburkan kostum tidurnya
yang berkonsep minimalis. Kayaknya baru terlelap sebentar, ada yang mengetuk pintu
kamarnya. Hah, sudah pagi, ya" Cepet amat, gumam Priyayi dalam hati.
Jagad menggaruk-garuk kepala begitu Priyayi membuka pintu.
"Aku nggak bisa masuk, pintunya dikunci...."
Ups. Priyayi nyengir menyadari kealpaannya." sori...."
Jagad menyeletuk iseng sambil melangkah masuk dan menutup pintu kamar. "Apa kata lapotan
pandangan mata, seorang istri mengunci kamar hingga suaminya dibiarin terlunta-lunta tidur di
luar?" Priyayi ngakak seraya melempar bantal ke arah Jagad. Is lantas meloncat kembali ke atas
tempat tidur, narik selimut dan meringkuk coba mengabaikan keberadaan Jagad. Sedangkan
Jagad, merebahkan badannya di tempat tidur itu membuat otaknya, memorinya, perasaannya
otomatis berputar mengenai awal mulai ia berada dalam lingkaran hidup yang sekarang dijalani.
Di tempat tidur inilah TKP-nya. Tempat Kejadian Perkara.
"Yi, kayaknya kita, eh, aku harus kasur lipat," ujar Jagad.
"Hemm.... Setuju banget," timpal Priyayi singkat. Dia berkonsentrasi untuk menghipnotis dirinya
tertidur sesegera mungkin.
Sementara itu Jagad masih setia dengan pikirannya yang berkecamuk. Syamila mau di ajak
bicara tadi...., apa dia sudah bersedia kalau aku menghubunginya, ya" Tapi.... Bisa jadi itu cuma
basa-basi..... Hhh.... Jagad mengubah posisi badannya, menghadap Priyayi yang memungginya. Dia menggeser
badannya menjauh hingga benar-benar berada di pinggir tempat tidur. Matanya menerawang.
Hhh... Nggak gampang harus seranjang dengan cewek seperti begini. Andai dulu bisa
mengendalikan diri, nggak sampai "kehilangan kesadaran", nggak berbuat macam-macam....
"Gad...." Jagad terkesiap kaget dan secepat mungkin membalikkan badan, takut kepergok....
BRUUKK! Hah! Mata Priyayi seketika membuka dan....
"Jagad!" Priyayi menegakkan punggungnya. Kepala Jagad nongol dari pinggir bawah tempat
tidur, meringis. Priyayi nggak bisa menahan tawa.
"Hahaha... Kok bisa jatuh sih, dodol.... Hahaha!"
Jagad kembali naik ke tempat tidur, duduk bersandar sambil meringis.
"Enak nggak?" tanya Priyayi kemudian....
"Sialan, bukannya tanya sakit nggak....," protes Jagad bersungut-sungut.
"Hehehe.... Abis kasur gede begini, bisa-bisanya jatuh..."
Jagad meringis tengsin. "Heh, tadi kukira sudah tidur, ternyata masih manggil, aku jadi kaget,
tahu..... Priyayi ikut menyandarkan punggungnya. "Hhh... Nggak bisa tidur nih. Rasanya aneh aja...., dulu
kita di sini dan berakhir.... You know...., rasanya kita ingin mengendalikan semua tapi nggak
bisa....." Jagad mengangguk-angguk setuju, ternyata Priyayi merasakan hal yang sama. "Aku juga nggak
bisa tidur, di sini... "Kita memang butuh kasur lipat," gumam Priyayi.
"Yi..." "Apa?" Jagad diam sejenak. "Emm... Aku tadi...." ia menggantung kalimatnya, ragu untuk bercerita soal
pertemuannya dengan Syamila. Priyayi memajukan punggungnya, menyimak Jagad lebih
saksama. "Ah, sudahlah, nggak penting," sambung Jagad akhirnya, lantas bangkit dari tempat tidur, "Aku
mau nonton TV, belum ngantuk."
Priyayi mengangkat bahu, nggak ngerti dengan sikap Jagad barusan.
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hati-hati jatuh, hihihi....," seru Priyayi meledek. "Tahanan rumah",tanpa daya
Priyayi menunggu siang untuk mandi, menunggu hawa dingin pergi. Selesai mandi, dia langsung
mendekam lagi di kamar. Tepar, tewas. Ambruk. Itu yang menimpa Priyayi. Penyebabnya" Apa lagi kalau bukan karena
kelelahan. Maraton kerja, memenuhi acara keluarga, jadi tuan rumah, ngumpul bareng temanteman, dan kencan dengan Jimmy.
Priyayi sebal. Selain karena merasakan sakit itu sendiri, kesebalan Priyayi adalah karena sikap
Jagad yang menuruti berlebihan, sampai-sampai ia terispirasi menjuluki Jagad memaksanya ke
dokter yang bikin dia harus menelan obat yang kini teronggok di meja. Tekanan darah Priyayi
mengkhawatirkan rendahnya. Mengkhawatirkan Jagad, bukan Priyayi. Priyayi sih udah pernah
seperti itu sebelumnya, jadi nggak begitu cemas. Dan Jagad selalu (dan nggak pernah bosan)
mengingatkan untuk minum obat. Bahkan karena tahu Priyayi malas-malasan, Jagad bela-belain
menghitung jumlah obat yang tersisa.
"Kamu nggak mau sembuh sampai akhirnya ketahuan mama-papamu?"
Iya sih, Priyayi lebih ogah sakit di bawah pengawasan mamanya. Sangat tidak menentramkan
jiwa. Rasanya lebih baik menjual jiwa daripada berada di bawah cengkeraman sang mama, hihi.
"Iya, tapi kalau gini-gini amat, kamu nggak jauh beda ama Mama. Kamu mau disamain ama ibuibu cerewet?" balas Priyayi cemberut.
Saat Yasmin menelepon, Priyayi malah dibuat lebih cemberut.
"Namanya juga suami, wajar dong kalau cemas, hihihi....."
"Kamu sama aja, bikin sebel! Tapi yang lebih sebel, jadi batal ngerayain ultah rame-rame nih.
Sedih....," keluh Priyayi.
Untuk meredakan kebeteannya, Priyayi bermalas-malasan di tempat tidur. Sebentar
memejamkan mata, eh, ketiduran.
Priyayi dibangunkan oleh suara nyaring ponselnya.
"Hai, sayang, aku bebas siang ini. Mau makan siang bareng?"
Suara Jimmy menyusup telinga Priyayi.
Ah ya, Jimmy belum tahu Priyayi tepar. Habisnya, cowok itu nggak menelepon dua hari ini.
"Aku lagi nggak ngantor, tepar, kecapekan."
"Kamu sakit?" "Iya." "Kenapa nggak bilang-bilang?" Nada suara Jimmy cemas. Priyayi senang mendengarnya.
"Nggak apa-apa disuruh banyak istirahat. Makanya kamu jangan lupa istirahat, jangan
kebanyakan kerja." Jimmy tertawa. "Baik, Bu. Terus, jadi ngerayain ultah ama teman-temanmu?"
Priyayi mendesah." Kayaknya nggak jadi, aku nggak boleh ke mana-mana.."
Jimmy termangu begitu telepon ditutup. Dia nggak ke mana-mana.... Kalau begitu aku akan
memberinya kejutan..... Rencana mendadak, persiapan
"Pesta di rumah?" ulang Jagad menirukan Yasmin yang meneleponnya, ngusulin mereka bikin
acara makan-makan di rumah Priyayi untuk merayakan ulang tahun gadis itu. Yasmin bertutur
kepada Jagad mengenai keluhan Priyayi, mulai dari kejengkelannya terhadap Jagad sampai
batalnya hang-out rame-rame di hari ulang tahunnya. Jagad tertawa saat Yasmin bilang Priyayi
menjulukinya "Lifeguard". Bisa-bisanya....
Jagad memang otomatis bereaksi over setiap orang-orang dekatnya sakit. Sudah kebiasaan di
keluarga. Itu yang dilakukan jika Kakak atau adik perempuannya sakit sewaktu mereka masih
tinggal serumah. Dulu saat status mereka masih teman biasa dan nggak serumah, dia nggak
ambil pusing ke Priyayi jika gadis itu sakit. Berhubung sekarang mereka terkondisikan lebih dekat
dan lebih peduli, sikapnya jadi over juga ke Priyayi.
Hemm... Dibikin acara apa ya, biar berkesan nggak cuma kadar makan-makan" Pikir Jagad.
Yasmin bagi-bagi tugas dengan Jagad. Ia mengurus kue tar, minuman, dan kudapan ringan,
sementara Jagad mengurus makan besarnya.
"Yang praktis aja, bisa kamunya nggak kerepotan. Ajak Tio buat bantu-bantu," saran Yasmin.
Saat mereka membereskan tumpukan kertas ulangan murid-muridnya, mata Jagad tertuju pada
satu lembar ulangan paling atas. Di pojok kanan tercantum nama murid: Mila Ramadhani.
"Mila... Pesta barbekyu....! Pikiran Jagad seketika terkoneksi pada ulang tahun Syamila dua
tahun lalu, mereka mengadakan pesta barbekyu di pantai beramai-ramai.
Tiing! Ide acara telah ditemukan!
Jagad lantad menelepon adiknya, Lintang.
"Aduh, Kak, hari jumat aku ada kuliah. Kenapa nggak sabtu aja sih" Lagian Kak Jagad juga
kerja, kan?" "Ulang tahunnya hari jumat. Aku ngajuin izin. Kamu titip absen aja. Nggak ujian, kan"! Pokoknya
jumat pagi kamu udah di sini, terus kita belanja bareng, oke?"
Jagad menetapkan Lintang sebagai koki di pesta nanti. Dan sepulang kerja dia melajukan
mobil___selama Priyayi sakit, mobilnya dipakai Jagad___ke "rumah" lamanya, menemui mantan
teman serumah sekaligus pemilik rumah itu merangkap sahabat baik, Danu.
"Ini dia, ready to use," ujar Dadnu sembari menyeret alat yang hendak di pinjam Jagad.
"Thankd, buddy!" sahut Jagad menepuk lengan temannya itu.
Lantas bersama Danu, ia mengangkat alat pembakaran untuk barbekyu tersebut ke mobil.
Sebelum datang, Jagad sudah menelepon Danu soal rencananya. Kepada Danu, Jagad memang
terbuka mengenai kehidupan pribadinya. Danu sudah melewati masa Jagad jomblo, bersama
Syamila, sampai kejadian dengan Priyayi yang bikin Danu geleng-geleng kepala.
"Perasaanmu sudah lain nih ke dia?" tanya Danu, menyimpulkan dari kesudian Jagad bikin acara
ulang tahun segala. Jagad menyeringai. "Nggak. Ini ide sahabatnya. Berhubung aku yang serumah, dan tahunya
teman-teman Yayi kan aku suaminya, jadi otomatis terlibat."
"Ajaklah dia kemari. Kamu kan selalu ngenalin pasanganmu ke aku," celetuk Danu.
"Eee.... Ralat, dia bukan pasanganku...."
Danu tertawa, menepuk jidatnya. "Oke, oke. Maksudku, aku ingin kenal dengan Priyayi. Aku
cuma tahu pas acara pernikahan."
Jagad meringis. "Iya, kalau ada waktu kuajak main kerumahmu."
"Gad, pada akhirnya..... Kamu berharap kalian akan jadi pasangan sesungguhnya nggak?"
Jagad mengangkat bahu. "Nggak tahu, Nu. Hati nggak bisa dipaksa arahnya."
"Dia cantik pas di acara itu," celetuk Danu.
"Oh yeah, dia cantik setiap hati," timpal Jagad. "Dan dia sudah mengambil hati keluarga
besarku." Mereka berdua tertawa.
"Tapi soal hati nggak bisa dipaksa...." tiru Danu. Kemudian dia teringat sesuatu. "Omong-omong
soal hati, Mila pernah menanyakan soal kamu ke aku."
Jagad tertegun. "Dia nanya soal aku" Kapan" Kamu bilang apa?"
"Sudah agak lama. Aku nggak bilang apa-apa."
"Bagus. Makasih." Jagad diam sejenak sebelum menyambung, "Aku nggak sengaja bertemu dia
belum lama ini. Sikapnya sakit banget ya, Nu...."
Danu menepuk punggung Jagad, menenangkan sahabatnya.
"Dia akan baik-baik saja, teman." Persiapan, ceria
Priyayi dkejutkan dengan kedatangan Lintang dan banyaknya belanjaan yang dibawa bareng
Jagad plus cake coklat buatan mama Jagad.
"Selamat ulang tahun, Kak. Ini dari Mama," tukas Lintang seraya memberi ciuman pipi.
"Makasih banyak ya. Tapi..." Priyayi mengernyit bingung dan menunjuk ke banyaknya tas
belanjaan. " ini semua apa?"
Lintang mengarahkan jari menunjuk Jagad. Jagad meringis kemudian menuturkan rencananya.
"Astaga! Jadi malam ini kalian ngadain pesta untukku?" seru Priyayi kegirangan. Tahu-tahu
Priyayi meloncat memeluk Jagad.
"Asyiiik! Thanks you soo much, buddy!"
Belum sempat Jagad membalas pelukan, Priyayi sudah meloncat memeluk Lintang. Yaah....
Bukan rezeki, batin Jagad. Hehe....
"Kamu pasti dihasut kakakmu supaya bolos hanya untuk bantu dia," tebak Priyayi menuduh di
depan Jagad. Lintang hanya cengengesan.
Jagad membalas sengis. "Sok tahu! Lintang cuma ingin ngambil jatah absennya yang belum
pernah diambil..." "Eee... Sebenarnya udah dua kali...," sela Lintang meralat ucapan kakaknya.
"Nah, dia ingin ngambil jatah selanjutnya....," timpal Jagad membelokkan kekeliruan. Priyayi
mencibir. "Lintang aku benar-benar nggak tahu lho. Jadi kalau ada apa-apa dengan prestasi akademismu,
kesalahan penuh ada pada kakakmu."
"Tuh, sudah di bikinin pesta, kayak begitu balasannya," seloroh Jagad.
Priyayi ngakak. Dia ceria banget hari ini. Dengan penuh semangat dia ikut membantu-bantu. Dia
juga menelepon Yasmib berkali-kali menanyakan detail makanan dan minuman uang dibeli. Pake
cerewet pula. Yasmin dibuat bete jadinya. Walhasil, dia nggak lagi seratus persen lulus bikin
pesta untuk Priyayi! "Yi, kamu istirahat sana. Jangan lupa minum obatnya. Kalau nggak istirahat, nanti malam ambruk
lho," tutur Jagad. Priyayi yang berdiri di samping Lintang di dapur berbisik, "Aku serasa masih tinggal serumah
dengan mamaku." Lintang terkikik. Priyayi ngelanjutin, "Kamu merasa begitu nggak sih" Mungkin bukan mamamu,
tapi nenekmu barang kali....?"
Lintang makin terkikik. "Iya, bener banget, kak."
"Ayo, bandel, makan dulu," cetus Jagad. "Kita juga makan, Lin.
Kalau nggak begitu, orang satu ini maunya makan nanti pas pesta."
Priyayi mencibir, tapi menurut juga. "Iya, Nek," ledek Priyayi. Lintang tertawa dan ikut menuruti
kata kakaknya. Di sela makan, Lintang memerhatikan Jagad dan Priyayi yang makan sambil sesekali saling
meledek. "Kalian pasangan yang ceria ya, jadi iri deh," celetuk Lintang.
Kontan Jagad dan Priyayi menghentikan suapan masing-masing dan melongo.
"Hah?" "Apa?" Tanpa ada yang memberi aba-aba, keduanya serempak ingsut menjauh. Jagad berdiri ngambil
minum di kulkas, Priyayi pindah ke depan TV. Giliran Lintang yang melongo tak mengerti.
Dibilang pasangan ceria kenapa jadi pada salah tingkah, ya" Pasangan yang aneh.....
part* 26 Perayaan, "uji akting"
Beberapa jam kemudian, bersamaan dengan jam pulang kantor, satu dua orang mulai nongol di
rumah Priyayi dan makin bertambah setelah matahari tenggelam. Ada yang langsung dari
kantor___biasanya pasa numpang ngopi atau tidur-tiduran___ada yang pulang dulu atau pergi
memenuhi urusan lain dan agak malam baru datang. Restu masuk dalam golongan terakhir.
Di halaman, Kumala mengolesi ikan dengan bumbu buatan Lintang, kemudian Jagad
membakarnya secara merata.
"Hummm.... Enaak...." komentar Kumala, mencubit sedikit ikan yang selesai dibakar, kemudian
dimasukkan ke mulutnya. Jagad mendekatkan kepalanya ke Kumala, hidungnya nyungir berlagak mengendus-endus. "Uh,
bau ikan semua. Rugi parfum dong."
"Tak apalah, demi ngerayain ultah sahabat tercinta. Omong-omong, apa kabar kalian" Sebulan
ini aku nggak kontak-kontakan ama Yayi."
"Iya, Yayi pernah ngeluh soal itu."
Kumala meringis, merasa bersalah. "Aku memang nggak punya waktu sebanyak dulu untuk Yayi
dan sahabatku yang lain. Tapi aku berusaha tetap menjadi teman yang baik. So, perkawinan
kalian baik-baik aja, kan" Kalian udah saling menyesuaikan diri?"
Kumala tidak tahu sebanyak Yasmin tahu mengenai hubungan Jagad dan Priyayi setelah
menikah. Jagad tersenyum dan hanya menjawab iya. Kesibukannya membakar ikan bikin orang
lain___ dalam hal ini,Kulama___memaklumi bahwa Jagad tidak bisa ngobrol banyak saat ini.
Jagad malas berbicara hal-hal yang nggak benar-benar ia alami.
"Baguslah," imbuh Kumala. "Gad, mungkin Yayi masih butuh waktu untuk bisa melupakan
Jimmy, jadi bersabar aja, oke."
Jagad terbatuk. Cukup, aku harus menghentikan obrolan ini. Batin Jagad.
"Kamu kemana aja sebulan ini." tanya Jagad membanting arah pembicaraan.
Sambil melayani beberapa teman yang meminta ikan bakar, Kumala menjawab," Ada teman di
Belanda yang marrid. Karena betah di sana, aku puasin tinggalnya. Sekarang gantian aku yang
jadi host beberapa kenalan di Belanda yang ikut ke Indonesia."
Jagad bersiul. "Kamu sebenarnya layak diangkat jadi duta pariwisata."
Kumala tertawa. "Nggak juga. Aku nggak tahu banyak tempat wisata di Indonesia selain Bali dan
Lombok. Ini aku lagi cari-cari tour agent yang bagus untuk mereka."
Jagad menghentikan aktifitasnya. "Eengg.... Aku punya kenalan...., kenal baik, dengan orang
yang kerja di tour agent yang bonafide."
"Oya" Wah kebetulan banget. Aku pusing mesti pilih-pilih."
"Aku bisa nganter kalau kamu mau."
"Perect. Thanks you."
Keduanya tersenyum, tapi masing-masing untuk tujuan yang berbeda.
"Hooiii.... Kuenya datang! Ayo tiup lilin!" Sally berseru masuk ke dalam.
"Sory kawan, jalan macet gila," ujar Vina yang kebagian tugas mengambil pesanan kue tar.
"Hah, ada kue tarnya!" pekik Priyayi nggak nyangka. Nggak ada yang ngasih tahu sih.
Mereka mengelilingi Priyayi dan kue tar besar tersebut. Jagad berdiri disampingnya. Lilin angak
24 ditiup, kue diiris, dan Priyayi bimbang irisan pertama disodorin kepada siapa. Hampir aja
disodorkan ki Restu sebelumnya menyadari semua menatap Jagad. Sang pasangan. Sang
suami. Itu yang tampak di mata orang-orang sedunia.
Sambil menerima irisan kue, Jagad agak kikuk mencium pipi kiri dan kanan Priyayi. Tak ayal
beberapa orang protes. "Huuu.... Basiiii! Kayak orang yang udah kawin emas aja, cuma cium pipi!"
"Iyaaa. Tunjukin dong gairah pengantin baru!"
"Iya, biar kita termotivasi untuk mengawini pacar kita...."
Celotehan ngga akan berhenti sebelum Priyayi dan Jagad menuruti mereka. Muka Priyayi
bersemu merah, dalam hati mengumpat-umpat seluruh temannya itu. Tangan kanan Jagad
meraih dagu Priyayi, mendongakkan wajah Priyayi agak ke atas dan terasa tangannya menekan
dagu Priyayi agar membuka bibirnya.
"Maaf....," bisik Jagad kemudian mencium bibir Priyayi. Sensasi sengatan menyentak Priyayi.
Tepukan riuh dan siulan menyudahi adegan mereka. Yasmin hanya bisa terpana. Nggak bisa
bersuara, berkedip, dan bergerak menyaksikan.
Pipi Priyayi terasa panas, apalagi Jagad memandangnya seakan-akan ingin memastikan reaksi
biologis yang timbul dalam dirinya. Sialan.
Acara makan-makan berlanjut. Nggak demikian dengan Priyayi. Dia menyelinap masuk kamar
dan berdiri di depan cermin. Adegan ciuman tadi berlangsung cepat. Priyayi nggak sempat
menyiapkan mental dan langsung memegang-megang kedua pipinya meredam panas. Di
meraba bibirnya. Aduh, kenapa jadi begini"
Pintu kamar terbuka pelan. Priyayi kaget dan secepat kilat merain ponsel.
"Eee.... Kakek telepon, ngucapin selamat ulang tahun,"Cetus Priyayi mengajukan alasan palsu
kenapa tadi langsung masuk kamar.
Jagad cuma manggut-manggut. Ada jeda hening. Priyayi masih belingsatan berduaan dengan
Jagad sekarang. Jagad berdiri di belakangnya. "Eengg.... Maaf soal ciuman itu, semua demi...."
"Akting," sahut Priyayi cepat. "Itu akting terberat kita ya," imbuhnya tersenyum. Gugup.
Jagad terdiam beberapa lama sampai akhirnya menjawab, "Ya."
Terdengar suara ketukan di pintu kamar.
"Sori..." Yasmin yang ada di depan pintu. "Ada.... Jimmy."
"Apaaa?" seloroh Priyayi terperangah kaget. Ia langsung menghambur menuju pintu depan
rumah. Jagad bergegas menyusul. Yasmin juga.
Di teras, Jimmy berdiri kaku. Tangan kanannya membawa sebuket mawar. Sebagian besar yang
berada di sana terpana dengan kehadiran Jimmy. Hampir semua tahu dulu Jimmy adalah pacar
Priyayi. Dan setahun mereka tentu saja hubungan mereka berakhir karena pernikahan Priyayi.
Makanya, kalau lantas Jimmy ada di sini, itu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan. Ada apa
di balik cerita mereka sesungguhyna" Udah kayak infotaiment aja.....
Hawa panas menerpa sekujur tubuh Jimmy. Saat ini yang ia rasakan adalah malu dan..... Marah.
"Jimmy...," panggil Priyayi saat berdiri di depannya. Jimmy masih mematung. Ia benar-benar
tidak menyangka keriuhan yang ia saksikan.
"Jim...." Priyayi makin mendekat.
Jimmy mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri setenang mungkin. "Wah,
ada pesta ya. Tadi di jalan tiba-tiba teringat kamu ulang tahun hari ini, makanya aku mampir.
Selamat ulang tahun." Jimmy menyodorkan buket mawar kepada Priyayi. Priyayi menatap Jimmy
tanpa berkedip. "Maaf, mengganggu. Kalau begitu aku pulang dulu, masih ada urusan lain." Jimmy
menganggukan kepala kemudiam berjalan pergi. Priyayi terpaku.
"Ee... Biar aku antar sampai mobil. " Yasmin mengambil inisiatif memecah kekakuan suasana.
"Biar aku aja," sergah Priyayi dan bergegas menyusul Jimmy.
"Baiklan. Ok, everybody, siapa mau cocktail?" Tio, tolong bikinin cocktail buat kita duoongg!" seru
Yasimb berusaha mengembalikan perhatian teman-teman pada pesta.
Di sudut teras, Tio berjalan menuju pantry melaksanakan instrukso Yasmin. Ia menepuk bahu
Jagad yang masih berdiri menatap ke arah pagar. "ayo, teman, bantu aku meracik cocktail." ajak
Tio berusaha mengalihkan perhatian Jagad.
Semetara itu, agak jauh dari rumah, Jimmy dan Priyayi berdiri berhadapan.
"Kamu bilang nggak ada acara apa-apa."
Priyayi menyahut dengan wajah tegang. " waktu aku bilang itu, aku nggak tahu apa-apa."
"Kejutan dari Jagad?" Tanya Jimmy sinis.
"Bukan. Itu ide mendadak teman-teman. Jim, kenap kamu nekat kemari" Aku kan udah bilang
kita bertemu di luara aja. Aku khawatir sewaktu-waktu orang-orang bisa datang...."
Jimmy memotong, " aku hanya ingin menghiburmy yang sakit dan nggak bisa merayakan ulang
tahun. Aku ingin kasih kamu kejutan, tapi... Aku malah terkejut." Nada bicara Jimmy getir. "Aku
hanya ingin membuatmu senang, itu aja."
Jimmy lalu merogoh sakunya, mengeluarkan kotak mungil dan menyodorkan kepada Priyayi.
"Butuh berhari-hari memikirkan hadiah yang tepat untukmu. Nggak mungkin cincinm karena akan
terlalu banyak cincin di jarimu. Kalung juga terlalu mencolok perhatian...."
Hati Priyayi tersentuh mendengar penuturab Jimmy. Jimmy meraih tangannya dan menyerahkan
kotak mungil ke telapak tangan Priyayi.
"Ini gelang. Orang-orang nggak akan merhatiin, kalau itu yang kamu khawatirkan. Terimalah.
Setelah itu aku nggak akan buat kamu khawatir lagi."
Jimmy lalu berbalik menuju mobilnya. Tiba-tiba Priyayi memeluknya erat dari belakang. Jimmy
terenyak.
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maa. Maafkan aku," ucap Priyayi.
"Niat baik tulus nggak berharga lagi. Aku nggak tahu lagi..." tukas Jimmy lalu melepaskan kedua
tangan Priyayi yang mendekap perutnya, melangkah terus masuk mobil dan menghilang dari
pandangan Priyayi. Dada Priyayi terasa sesak. Ia tertegun di tengah jalan. Kenapa kamu sekejam iru, Yi.... Rutuknya
menyesal. Ia ingin menangis tapi nggak mungkin sekarang.
"Oke, Yi, kuatkan dirimu malam ini. Jangan bikin suasana tambah runyam. Pasang wajah ceria.
Ceria! Ayo ceria!" Priyayi mendoktrin otak dan sarafnya. Kemudian ia kembali dalam keceriaan
pesta. Pagi, tersadar Priyayi tiba-tiba terbangun, menegakkan punggung dan nahan napas. Empat, lima, enam detik
kemudian ia meloncat dari tempat tidur....
"Aooww!" Suara erangan berasal dari lantai tempat Priyayi mendaratkan kaki.
"Upss...." pekik Priyayi tertahan. Di nggak ingat kalau semalam Jagad tidur di kasur lipat ke
kamarnya karena kamar Jagad di pake Lintang.
"Uuh... Lagi-lagi diinjak," protes Jagad.
Priyayi buru-buru merosot ke lantai. "Maaf, nggak sengaja. Sakit, ya?" ia mengurut-urut betis
Jagad, tanpa memikirkan "efeknya" ke cowok itu,
Jagad terpaksa ikut bangun dan menepis tangan Priyayi. Remasan tangan cewek___tanpa
dihalangi lapisan kain pula___di pagi hari adalah stimulus besar. "Udah, sana....."
Priyayi meringis lalu segera ke kamar mandi. Kembali ke kamar, dia tergesa-gesa mengambil
pakaian dari lemari. Saat hendak mencopot kaus, dia baru ingat. Dia menoleh ke arah Jagad
yang kembali tidur. Dengan mengendap-endap, Priyayi menunduk mendekati Jagad. Telapak
tangannya melambai-lambai di depan muka Jagad, memastikan Jagad benar-benar tidur.
Ah, aman, batin Priyayi kemudian kembali ke depan lemari untuk berganti baju. Ia mengenakan
gelang pemberian Jimyy, meraih kunci mobil, dan berjingkat-jingkat menuju pintu.
"Mau ke mana pagi-pagi begini?"
Priyayi terkesiap kaget. Jagad belum tidur! Gagang pintu yanng sudah digenggamnya langsung
dilepas. Ia meringis sekaligus mengkeret. "Eee.... Ke rumah itu.... Eee Yasmin...."
Jagad menegakkan punggung dan mengusap-usap rambutnya.
"Biar kuantar, aku cuci muka dulu sebentar."
"Oh nggak usah! Aku bisa sendiri!" sergah Priyayi.
"Heh, kamu ini masih sakit."
"Nggak, udah nggak apa-apa kok. Bener! Suer!" Priyayi ngotot lengkap dengan jari telunjuk dan
jari tengah membentuk huruf V.
"Udahlah kuantar aja, biar aku nggak khawatir."
"Eee... Sebenarnya aku mau ke rumah.... Jimmy...." Priyayi terpaksa mengaku. Jagad
menghentikan gerakannya merapikan rambut, terdiam.
"Eeengg.... Ada yang harus kuomongin dengan dia...," tambah Priyayi.
Benar dugaanku, pasti ada sesuatu semalam, batin Jagad.
"Kamu kuantar sampai depan rumahnya." Jagad keluar kamar untuk mencuci muka.
Priyayi menghela napas. Dia merasa nggak enak ke Jagad. Tapi sudahlah.... Yang penting aku
bisa ketemu Jimmy secepatnya.....
Diperjalanan, Priyayi nggak bisa nahan penasarannya.
"Tadi setelah aku injak kakimu.... Kamu nggak tidur?"
"Nggak." Apa?" Priyayi melirik Jagad yang berkonsentrasi nyetir.
"Jadi, kamu tahu.... Aku gant.... Eh, aku ngapain aja?"
"Nggak juga." Priyayi mengembuskan napas lega. Jadi dia nggak melihatku ganti baju. Priyayi melirik Jagad
sekali lagi. Jaagd balas memandang Priyayi. Priyayi segera membuang muka ke luar jendela.
Jagad berdeham. "Kenapa memangnya" Kamu ganti baju?"
Priyayi spontan noleh memandang Jagad dengan wajah setengah panik. "Jadi, kamu melihatku?"
Jagad nyengir. "Aku kan sudah bilang nggak."
Priyayi memejamkan mata, merasa malu. Aduh, kamu ceroboh sekali, Yi!
Santai aja. Kita toh sudah pernah lebih dari itu kan..."
Priyayi makin memejamkan mata rapat-rapat. Aduh... Ini memalukan!
Jagad nggak bida menahan tawa melihat Priyayi.
Sesuai permintaan Priyayi, Jagad memarkir mobil nggak tepat di depan rumah Jimmy.
"Aku tunggu di sini," cetus Jagad.
"Jangan, kamu pulang aja. Biar nanti Jimmy yang mengantarku."
"Kamu yakin?" Priyayi mengangguk. Sebenarnya dia nggak yakin.
"Baiklah." Priyayi turun dari mobil.
"Yi...." Priyayi menunduk melihat Jagad.
"Tetap berjuang," ujar Jagad seraya ngepalin tangan. Priyayi tertawa dan menirukan Jagad.
"Tetap berjuang. Thanks."
Setelah Priyayi masuk rumah Jimmy, Jagad nunggu beberapa lama untuk memastikan Priyayi
diterima di dalam. Ia tersenyum mengingat ia harus mencium Priyayi di hadapan teman-teman.
Tetap berjuang, kamu sendiri, apa yang kamu perjuangkan sekarang ini, Gad..." Gumam Jagad
bertanya pada diri sendiri. Lebih tepatnya, menyindir.
Jagad melajukan mobil ke arah jalan yang dulu sering dilewati. Agak jauh dari rumah bercat
putih, Jagad berhenti beberapa lama. Tanpa disangka, ada yang keluar dari rumah tersebut dan
membuka pagar. Dia yang seharusnya kuperjuangkan, batin Jagad miris.
Yang keluar dari rumah dan membuka pagar adalah Syamila. Berbaik hati, harus bahagia
Priyayi menelantangkan badan di atas tempat tidur di kamarnya sendiri. Diangkatnya
pergelangan tangan kanan. Diamat-amatinya gelang emas pemberian Jimmy.
"Hubungan kita melibatkan orang lain, jadi memanf sama nggak mudah tapi bukan berarti nggak
bisa," ujar Priyayi saat ia mendatangi rumah Jimmy pagi-pagi itu. Priyayi sedang mencoba
menyakinkan Jimmy bahwa kedatangan Jimmy waktu iu sebenarnya sangat berarti baginya dan
memastikan cowok itu tidak kecewa pada dirinya, serta mau memaafkannya.
"Kita lihat nanti." Jimmy menanggapi dengan dingin. Dan itu membuat Priyayi gundah.
Sepertinya Jimmy berubah, nggak yakin lagi dengan keputusannya mempertahankan hubungan
ini, pikir Priyayi. Dia tampak siap melepaskan aku... Tapi aku nggak siap....
Kecamuk pikiran Priyayi buyar ketukan di pintu kamarnya.
"Buka aja," jawab Priyayi seraya bangun dan duduk di tempat tidur.
"Aku pinjam mobilmu ya, mau balikin alat barbekyu."
Priyayi mengangguk. "Thanks." Beberapa detik setelah Jagad menutup pintu kamarnya....
Tebersit di pikiran Priyayi untuk ikut. Dia bergegas membuka kamar.
"Eeehh!" Ternyata Jagad masih di depan kamarnya. Nyaris saja Priyayi menubruknya. Keduanya
berhadapan sangat dekat, tapi mereka hanya diam dan saling menatap. Rasanya Jagad ingin
mendorong Priyayi seketika masuk kembali ke kamar dan mereka....
"Eeeh.... Aku mau ikut," cetus Priyayi memecah keheningan sekaligus memecah fantasi Jagad.
"Kenapa mau ikut....?" Jagad diam di tempat dan terus memandangi Priyayi, sampai-sampai
Priyayi harus mendorong badan Jagad agar dirinya bisa lewat.
"Mau ikut ngucapin terima kasih!" seru Priyayi yang berjalan keluar rumah. "Beli pizza dulu ya!"
sekitar sejam kemudian, mereka sampai di depan rumah Danu. Baru pada kunjungan kedua ini
Priyayi memerhatian tempat tinggal Jagad di masa silam ini cukup teduh, banyak tanaman di
halaman depan. Lain dengan halaman rumahnya yang gersang. Baru akhir-akhir ini saja, setelah
Jagad "bergabung" menjadi penghuni, halamannya jadi lebih asri. Mungkin Jagad ketularan hobi
Danu merawat tanaman atau memang hobinya juga begitu. Atau dia cuma terlalu risi dengan
kegersangan halaman rumahya!
"Dia tahu kita," bisik Jagad membuka pagar.
"Dia tahu kita datang?" Priysayi ikut berbisik.
"Ya, tapi bukan itu yang kumaksud. Dia tahu soal rahasia kita."
"Ooo...." Priyayi mengangguk mengerti.
"Kamu punya Yasmin, aku punya dia."
Priyayi berhenti dan menarik lengan baju Jagad, memintanya berhenti juga.
"Dia juga tahu soal aku dan...."
"Oh itu, nggaklah. Maksudku hanya soal kita tidur bareng dan menikah nggak sungguhan.
"Dia tahu kita pernah.... Itu...?" Priyayi sudah merasa malu padahal belum bertemu Danu.
"Aduh, kamu ini...." Jagad mulai lemas. "Aku kan juga butuh teman curhat. Lagian dia maklum,
kita mabuk waktu itu."
"Whatt"! Dia tahu kita mabuk"!" Priyayi berseru tapi dengan suara berbisik. "Aduh, aku kan jadi
malu...." "Heh, aku nggak protes kamu cerita ke Yasmin! Lagian lebih dimaklumi orang yang nggak saling
cinta tidur bareng dalam keadaan nggak sadar....." suara Jagad nggak berbisik lagi dan itu
membuat Danu bahwa tamu-tamunya sudah datang.
"Wah, wah, kalau cuma untuk ngobrol berdua, ngapain jauh-jauh datang kemari," gurau Danu.
"Tahu nih, Yayi."
"Kok aku sih....?"
Danu tertawa melihat Jagad dan Priyayi saling manyun. "Hei, aku nggak peduli dengan kalian.
Aku cuma menagih pizza yang kamu janjiin, Gad."
Pas mau masuk, ponsel Priyayi berbunyi. Dari Jimmy. Priyayi berdeham. "Kalian masuk aja
dulu." Jagad dan Danu masuk, membuka bungkusan pizza dan mulai menyantao roti Italia yang sudah
terpotong-potong itu. "Kamu kelihatan beda sekarang," ujar Danu.
"Beda gimana?" "Lebih... Emm.... Rumahan, udah jarang ngumpul-ngumpul.
Jagad tertawa. "Sekarang aku harus terlibat dalam keluarga Yayi. Dan teman-temannya."
"Udah punya tanggung jawab gede sekarang, membawa hidup anak orang."
"Nggak juga. Kamu tahu sendiri hubunganku kayak gimana sama Yayi."
"Hubungan kalian memang aneh. Nggak wajar, nggak sehat, tahu nggak"!" komentar Danu.
Jagad menghela napas, menghentikan kegiatan ngunyah-mengunyah. "Jujur, Nu, kadang kalau
melihat Yayi, apalagi kalau ada saudara yang menginap sehingga kami harus sekamar...."
"Satu tempat tidur"!" sela Danu.
"Nggak. Tapi tetap saja kadang ada keinginan.... Yaaahh.... Apalagi kalau ingat dia istri sahku,
berarti aku punya hak, kan...."
"Itulah maksudku nggak sehat tadi," timpal Danu
Jagad memajukan badannya, mendekat ke Danu, dan memelankan suara, "Seperti tadi, dia
Wanita Iblis 12 Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena Tasbih Emas Bidadari 1
Ada sedikit kekosongan melandanya, tapi ia meyakinkan dirinya besok juga perasaan itu akan
sirna dengan sendirinya. part*19 Pulang kerja, menjenguk Sepulang dari kantor, Priyayi langsung melajukan mobilnya ke rumah orangtuanya. Tadi Mama
menelepon memberitahu bahwa Kakek batal ke kantor karena sakit. Meeting yang sudah
terjadwal pun ikutan batal.
"Yik, sebaiknya jangan ketemu Kakek dulu deh. Dia masih.... Emm.... Tahu sendiri kan....," cetus
Mama. "Aku cuma ingin menjenguk, ingin tahu keadaannya."
"Mama ngerti, Mama cuma khawatir pikiran Kakek kembali nggak tenang kalau bertemu kamu.
Karena sesungguhnya cuma kamu yang Kakek pikirin. Maksud Mama.... Tentang kejadian itu...."
Wajah Priyayi muram. Disodorkannya tas plastik yang dipegangnya kepada Mama. "Buah untuk
Kakek. Bilang aja Mama yang beli, biar dia mau makan. "Lantas Priyayi beranjak mau pergi.
"Yik...." "Apa, Ma?" "Mama dan papamu pelan-pelan kasih pengertian dan membujuk kakekmu untuk mau
memaafkan dan melupakan kejadian itu. Tapi tahu sendiri..... Kakekmu keras kepalanya minta
ampun, apalagi yang diributin masalah kehormatan, harga diri, apalah itu...."
"Makasih, Ma, untuk bikin aku nggak makin tersudut."
"Apa un kesalahanmu, selama kamu menyesalinya, mama dan papamu akan menganggap itu
berlalu, cuma sedikit masa lalu. Masih banyak yang lebih baik di depan."
Priyayi menatap mamanya. Di balik keketusan dan kecerewetan, Mama tetaplah seorang ibu
yang takkan tega melihat anaknya sedih terus-terusan. Priyayi memeluk mamanya sebelum
kemudian berlalu pulang. Di depan rumah ia berpapasan dengan Restu yang baru datang.
"Nah, ini dia tokoh bulan ini. C'mon, i'll treat you. Mama kunci mobilmu?" todong Restu sembari
menggeret adiknya. Rumah, membawa kesuntukan
Seperti yang sudah Priyayi duga, ngomongan sama kakak satu-satunya malah bikin suntuk
dirinya. Sembari nyetir dengan kecepatan yang nggak diinginkan___yang diinginkan sih bisa
ngebut, tapi apa daya kalau macet gini___Priyayi terngiang komentar nyebelin si kakak tadi.
"... Kayak listrik...., hubungan singkat arus listrik menimbulkan kebakaran. Nah seperti itulah yang
kamu alami. Hubungan pendek memicu kebakaran jenggot semua yang tahu, hehe...."
Huu.....uh.... Priyayi kian bete dengan teori listrik dari Restu yang dilontarkan kepadanya ke kafe
tadi. Belum lagi ditambah celetukan "emang enak jadi cucu kesayangan!".
"Anak itu kapan dewasanya"!" omel Priyayi dan nggak merhatiin kalau dia sudah melewati
rumahnya sendiri. "Eiiit.... Bodoh!" rutuknya. Dia lantas memundurkan mobilnya. Ternyata di depan pagar sudah
menunggu seseorang, nangkring di atas motornya, menyeringai geli.
"Kok bisa lupa rumah sendiri sih?"
Priyayi meringis. "Ngelamun. Eh, udah lama nunggu?"
"Nggak. Nggak merhatiin. Aku terlarut dalam kesendirian...."
Priyayi terkikik. "Lagi berhati Samsons nih..." Maksud Priyayi adalah grup Musik Samsons.
"Yi, aku mikirin kamu dengan Jimmy. Kalau hubunganmu hancur gara-gara aku, aku bakal
merasa amat sangat bersalah."
Priyayi menghela napas, matanya menerawang ke depan. Mereka duduk bersisian di teras. "aku
belum ketemu, belum bilang apa-apa....."
"Kalau dia ingin menghajarku atau membunuhku, kasih tahu aja alamatku, oke?"
Priyayi tersenyum, kemudian raut mukanya kembali serius. "Aku menimbang-nimbang, mungkin
aku nggak perlu bilang, seperti dia nggak bilang apa-apa soal Bianca. Tapi.... Entahlan, aku
belum tahu harus bagaimana."
"Memang dia beneran ada apa-apa dengan Bianca?"
Priyayi mengedikkan bahu. "Insting wanita." Ia lantas menoleh ke arah Jagad. "Kamu sendiri
dengan Mila gimana?"
"Mmm.... Nggak berharap lagi, Yi. Mungkin lebih baik putus. Lebih baik bagi dia."
"Hah?" Priyayi mengernyit.
"Aku sendiri...., dalam kasusku, aku memutuskan nggak akan bilang soal yang kita lakukan.
Hubunganku udah buruk dan aku nggak mau menambah kebenciannya padaku."
Melihat Priyayi terpekur, Jagad menambahkan. "Jangan kamu samakan dengan hubungan
kalian. Prinsip, cara berpikir, dan caraku memandang hubungan cinta antara aku dan Mila tentu
lain denganmu dan Jimmy."
Priyayi menghela napas, matanya menerawang. "Kalau diingat-ingat.... Yang kemarin itu
kesalahan, kehilafan dan membuat semua jadi kacau. Aku dengan Jimmy dan Kakek, kamu
dengan Mila..." Jagad memandang Priyayi dan melontarkan pertanyaan dengan hati-hati. " Yayi, apa kamu
terluka" Sakit hati ke aku, soal yang kita lakukan?"
"Kalau aku sakit hati, udah dari tadi aku menendangmu sampai ke neraka," jawab Priyayi.
Jagad meringis, lantas menyenggol siku Priyayi. "Hei, semua kekacauan ini jangan ditambah
dengan ketegangan di antara kita ya, karena cuma itu hal baik yang kupunya selain keluarga."
Priyayi menatap Jagad. "Kalau terus saja terpaku memikirkan dan menyesali itu, kapan kita maju
untuk melanjutkan hidup" Walaupun untuk kesalahan itu berarti kita harus siap menerima
konsekuensinya. Begitu, kan?"
part*20 Matahari terbit, suplai oksigen
Begitu, kan" Priyayi terngiang omongannya sendiri. Begitukah" Kalau bisa melanjutkan hidup dengan segala
kensekuensinya, lantas kenapa enggan dan belum bertemu Jimmy padahal sudah kangen
setengah mati" Memikirkan itu, Priyayi menambah kecepatan larinya hingga di belokan dia nyaris bertubrukan
dengan tukang bubur ayam. Masih mending kalau tukangnya, ini gerobaknya, bo!
Priyayi menjerit, si penjual meloncat kaget. Untungnya beliau ini sigap banting setir. Lho, kok
setir"! Mana ada gerobak pake setir"!
"Neng" Neng nggak apa-apa?"
Si penjual sebenarnya yakin Priyayi nggak apa-apa, cuma si neng ini berdiri bengong kelamaan
di depannya. "Oh, ya, ya. Mau deh, Bang, buburnya, satu bungkus."
"Hhh..... Pikiran error bikin keselamatan terancam nih," gumam Priyayi. Suplai oksigen ternyata
nggak mampu mengurangi ke-error-annya.
Itu ternyata belum seberapa. Sampai di rumah, ponselnya mencatat ada telepon dari rumah
papanya. Ia lantas menelepon balik.
"Kakek masuk rumah sakit, kritis."
ICU, muram hari kedua di rumah sakit, Kakek masih belum sadar. Beberapa rekan kerja Priyayi yang menjadi
bawahan langsung Kakek datang menjenguk.
Hari ketiga, kala Priyayi hanya berjaga sendirian, ia duduk memandang sedih wajah sang Kakek
yang belum bangun juga. "Kek, jangan mati karena aku...."
Papanya bilang semenjak pulang dari tempat Priyayi waktu itu, kakeknya menjadi murung, sering
nggak mau makan, menolak minum obat, nggak beristirahat teratur, sering uring-uringan, dan
berulang kali mengatakan kekecewaannya kepada Priyayi.
Kepala Priyayi jadi pening. Kakek stres karena dirinya!
Hari keempat Jimmy datang menemui Priyayi di rumah sakit. Ia memang belum tahu sosoksosok di keluarga Priyayi, tapi ia tahu Priyayi dekat dengan kakeknya. Mereka berbicara pelan di
koridor depan kamar. "Jim, maaf aku belum menghubungimu....."
Jimmy menyela, " it's okay. Aku cuma memastikan kamu jangan sampai drop, dan memastikan
kamu bisa mengandalkanku kapan saja."
Priyayi menatap tajam mata Jimmy. Tenggorokannya tercekat, rasanya ingin menangis.
"Makasih banyak."
Priyayi diam untuk melegakan tenggorokannya sebelum berkata lagi. "Jim, sebenarnya ada yang
ingin ku...." Ucapan Priyayi terinterupsi seruan mamanya di ambang pintu.
"Yik, kakek sadar."
Priyayi bergegas masuk kamar, meninggalkan Jimmy di koridor.
"Kakek manggil kamu," bisik mamanya. Priyayi duduk di tepi tempat tidur, menunduk mendekat
ke wajah Kakek. "Menikahlah, Kakek baru tenang..." Kakek nggak mengeluarkan suara, hanya gerak mulut yang
diucapkannya dengan susah payah.
Wajah Priyayi menjadi makin pias. Aku punya andil besar menentukan nasib Kakek!
Sebenarnya sempat berkata-kata, dokter dan perawat masuk dan memeriksa Kakek. Priyayi
keluar. "Jim, kita harus bicara."
Senja, sedih "Kalau nggak ingat ini di rumah sakit dan kamu yang stres mikirin kakekmu, sudah pasti aku
meledakkan kemarahanku sekarang. Aku marah banget, Yi!"
Keterusterangan Jimmy menjawab keheranan di benak Priyayi akan "ketenangan" Jimmy
menerima hal yang baru saja sampaikan, karena sudah menjadi sifat Jimmy yang menyalurkan
kekesalan secara langsung. Dan kadang.... Ehm.... Berlebihan....
"Sudah cukup pahit kamu tidur dengan laki-laki itu. Tapi ternyata masih ada sentuhan akhir....
Kamu disuruh kawin segala! Ini gila!" Bahasa tubuh Jimmy menunjukkan kegalauan.
"Aku harus ngerokok, ayo keluar."
Priyayi setengah berlari menyusul Jimmy yang ngeloyor keluar kawasan rumah sakit.
"SIAL!" Priyayi melonjak kaget, sekian menit dalam diam, tiba-tiba Jimmy mengumpat keras.
"Seharusnya aku nggak permitif! Seharusnya aku nggak ngizinin kamu menampung laki-laki itu!"
Tampang Priyayi sudah lebih dari memelas seharian ini.
"Jim...." Priyayi menelan ludah berkali-kali. Dia lelah meminta maaf dan mungkin Jimmy juga
sudah bosan mendengarnya, tapi hanya itu yang bisa Priyayi lakukan sebagai cara menunjukkan
penyesalannya. Priyayi menghabiskan iced latte yang dipesan di coffe shop seberang rumah sakit, sementara
Jimmy mengisap berbatang-batang rokok.
"Kakek segalanya bagiku. Dia dan Nenek yang mengasuhku saat Papa bertugas ke pelosok
Kalimantan dan Mama menyusul, aku masih SD dan Restu SMA. Restu mungkin sudah kenyang
kasih sayang Mama dan Papa, tapi aku masih sangat kurang. Dia juga sangat berperan
mendamaikan Papa dan Mama yang hampir bercerai. Berkas gugatan sudah di pengadilan dan
akhirnya dicabut. Itu karena Kakek."
Tanpa sadar Priyayi memilin-milin ujung kemejanya sampai kusut. Sekusut wajahnya.
"Dia sangat keras hati. Kekerasan hatinya itu yang menyelamatkan keluargaku...." Priyayi
menatap Jimmy. "Dan aku nyaris bikin dia mati lebih cepat, Jim...."
"Tapi beliau kan sudah sakit...."
"Dan aku membuatnya tambah parah!"
"Maksudku, belum tentu kamu...."
"Pasti aku!" Priyayi menyela. "Ada dua hal yang membuatnya sanggup bertahan hidup dengan
penyakit aterosklerosis1 yang menyerang jantung, yang diidapnya sejak lama, yaitu Nenek dan
aku. Nenek sudah nggak ada...., sekarang tinggal aku."
Priyayi menunduk lesu. "Aku sudah bikin Kakek patah hati."
"Kamu juga bikin hatiku patah," sela Jimmy luar biasa kesal.
"Iya, aku bikin patah hati semua orang. Aku memang kacau...." suara Priyayi nyaris hilang ditelan
perasaan tertekan. Malam, pernyataan sikap Jagad meraih ponselnya yang bergetar. Yayi calling.
"Keluarlah, aku ada di luar."
Yayi di luar rumahku" Jagad tergopoh-gopoh keluar rumah. Pri______________
1. Penyakit berupa plak yang menyebabkan penyempitan atau sumbatan di arteri-arteri tubuh,
umumnya menyerang arteri-arteri utama. Beberapa penyakit yang disebabkan ateroskleresis
adalah penyakit jantung koroner dan stroke.
Sumber: Kompas, 14 November 2006. Judul: Aterosklerosis. Oleh: Ujoto Lubiantoro
yayi berdiri bersandar pada pintu mobil, kedua tangannya merapatkan jaket. Alisnya naik.
"Hmm.... Kamu tinggal dalam rumah berantakan begitu?"
Jagad nyengir. "Di dalam nggak begitu berantakan kok. Ada apa malam-malam kemari" Oya,
gimana kakekmu?" Priyayi membuka pintu mobil. "Kita cari tempat duduk."
"Di dalam mobil.....?" Jagad keheranan.
"Ikut aja dulu."
Mereka sampai di kafe tenda dan duduk berhadapan. Priyayi menceritakan semua yang terjadi
siang tadi, termasuk keputusan besar yang diambilnya. Keputusan Jagad dari
ketercengangannya. "Oh, ya..... Anu.... Aku blocking, Yi...."
"Mungkin bagi Kakek, lebih baik mati daripada hidup dengan kehormatan tercoreng." Priyayi
menghela napas. "Mengapa kehormatan hanya dilihat dari sisi itu dengan harga mati?"
"Yi, kalau itu konsekuensi yang harus kita tanggung, aku nggak bisa berbuat apa-apa lagi."
Priyayi mendesah. "Bukannya mempermainkan arti perkawinan, tapi mempertaruhkan masa
depan kita seperti ini saja sudah sangat berat...., aku nggak sanggup kalau menjalani perkawinan
secara beneran...." "Maksudmu?" tanya Jagad.
Priyayi merapikan posisi sesaat. "Aku sudah mikirin ini baik-baik. Kita nikah di hadapan Kakek,
tapi kita tetap berteman...."
"Maksudmu?" Jagang pasang tampang bingung.
"Iya. Kita serumah tapi menjalani hidup masing-masing, kayak dulu."
Jagad manggut-manggut. "Begitu, ya?"
Priyayi menjawab dengan anggukan.
"Sampai berapa lama, Yi?"
"Priyayi terdiam agak lama sebelum menjawab. "Sampai kondisi memungkinkan...." Nada suara
Priyayi menggantung soalnya ia sendiri nggak yakin.
"Emm.... Soal Jimmy....?" celetuk Jagad.
Priyayi mendesah. "Aku udah menyakiti dia. Itu pasti. Aku nangis berhari-hari, tapi rasanya belum
cukup. Nggak akan pernah cukup...."
Jagad menatap Priyayi, dipegangnya bahu cewek disampingnya itu. "Yi...."
"Ya?" Priyayi menoleh.
"We'll be fine."
Priyayi mengatupkan bibir, nggak yakin.
part*21 Mencoba bersikap jantan Akhirnya Jagad berkunjung ke orangtua Priyayi, menemui mereka termasuk Kakek Priyayi
tentang rencana akan menikahi Priyayi. Jujur dirinya kedes juga. Tapi demi Priyayi. Dan demi
kebaikannya juga. Karena bisa jadi mereka akan membawa masalah ini ke pengadilan dan
menjebloskan ke penjara, hiii.....
Jadi mungkin ini jalan terbaik. Sejelek-jeleknya nasib, paling-paling statusnya jadi nggak single
lagi dan nggak bisa lagi cari cewek lain.
"Saya ingin Kakek, Om, dan Tante tahu bahwa saya beniat tulus dan serius tentang pernikahan
ini. Saya akan bersungguh-sungguh menjalani dan memberikan yang terbaik bagi Kakek, Om,
Tante dan Yayi," tutur Jagad serius.
Keheningan menyergap. Jagad berkeringat dingin dibuatnya, tapi jauh-jauh hari dia sudah
mempersiapkan diri diperlakukan yang terburuk. Intinya sekarang, siapa yang bersalah harus
menanggung akibatnya. "Andai kalian tidak kepergok, apa kamu akan tetap bertanggung jawab?"
Kakek melontarkan pertanyaan mematikan.
Kenapa mematikan" Karena jawabannya adalah tidak.
Priyayi yang juga ada di sana menundukkan kepala, nggak tega melihat Jagad disudutkan. Tapi
dia sendiri nggak mau mengambil risiko bikin Kakek lebih marah. Jadi dia memilih diam dan
menundukkan kepala. "Nggak perlu jujur, Gad....., yang penting selamat....," tukas Priyayi dalam hati.
Tidak karena Priyayi juga nggak keberatan___ Yayi lebih memberati pacar yang
dicintainya___apalagi Priyayi nggak hamil. Walaupun dia dan Priyayi sama-sama nggak
menganut gaya hidup one night stand, tapi kalau tanpa sengaja melakukan hal itu, masingmasing akan menerimanya sebagai kehilafan, nggak perlu diulangi, nggak perlu dilanjutkan,
nggak perlu.... Seperti ini.
Kali ini keheningan yang ada dibarengi dengan tatapan Kakek yang luar biasa tajam. Untung deh
Jagad mengenakan kaus polo tipis, keringatnya jadi nggak meninggalkan bercak.....
"Saya serahkan kepada Yayi. Saya nggak pernah memaksa...."
Tiba-tiba Kakek memotong dengan gusar, membuat Jagad dan yang lain terlonjak tertahan.
"Kamu mau bilang Yayi yang merayumu, yang memaksamu"! Mustahil! Cucuku bukan wanita
gampangan, kamu pasti yang merayunya. Dasar laki-laki hidung belang...."
"Paaa...." Papa Priyayi menenangkan ayahnya yang geram.
Jagad memejamkan mata sesaat. Sumpah dia nggak terima dibilang laki-laki hidung belang.
Oke, tahan emosimu, yang kamu hadapi ini pak tua kesayangan Yayi yang sakit-sakitan...., ucap
Jagad berulang-ulang dalam hati.
"Saya menyayangi Yayi atas nama hubungan apa pun. Masalahnya kalau dia bersikap
sebaliknya, saya nggak bisa memaksakan diri," tukas Jagad dengan nada suara rendah, lebih ke
nada pasrah. "Saya bukan orang seperti yang Kakek sebutkan. Percayalah. Untuk itu saya datang kemari."
Entah percaya atau nggak, bagi Jagad yang penting dia sudah berusaha menunjukkan sikap
jantan. Keluar dari rumah orangtua Priyayi, dia bisa melonggarkan isi dadanya sedikit. Huuff.... Dadanya
belum bisa longgar lebih banyak karena memang masih ada satu hal yang mengganjal.
Syamila. Jagad bingung mesti gimana. Di luar perkiraannya sendiri, yang dituduhkan Syamila menjadi
kenyataan, padahal dulu dirinya mati-matian membantah. Waktu itu memang begitu adanya kok.
Jagad ingin sekali bertemu mantan kekasihnya untuk mengatakan hal itu dan mengatakan bahwa
Mila-lah yang ia cintai. Tapi tentu saja itu perbuatan laki-laki hidung belang___mengutip kata-kata
Kakek Priyayi___ jika seorang laki-laki bilang cinta ke seorang wanita tapi di saat bersamaan
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau menikahi wanita lain. Jagad jelas ogah. Ogah dibilang laki-laki hidung belang.
Apa aku benar-benar berhidung belang, ya....." Pikir Jagad.
"Hei..." Priyayi menyusul Jagad di depan rumah.
Memandang Priyayi, Jagad memutuskan untuk berkonsentrasi pada apa yang ada di depannya
terlebih dahulu. Yang lain nanti aja dipikirin.
"Sori ya kalau kamu tersudut, jangan dimasukin ke hati," tukas Priyayi.
Jagad ngangkat bahu berujar, "Aku lagi ngaca di spion, mau lihat apa hidungku memang belang."
Priyayi tertawa. "Yi, lebih baik kalau persiapan pernikahan kita lakukan bareng-bareng, biar kamu nggak
kerepotan sendiri....."
Priyayi cepat-cepat menggeleng. "Udah kubilang, nggak perlu. Aku sendiri sanggup kok."
"Yakin?" Priyayi mengerjapkan mata." Yakin, Pak."
Jagad menatap Priyayi. " Kenapa sih nggak mau bantuanku?"
Priyayi menggeliat sejenak sebelum menyahuti dengan hati-hati.
"Hmm.... Aku merasa kita kayak.... Pasangan beneran kalau mengurusi itu bersama. Jadi,
bukannya aku nggak menghargai niatmu membantu...., cuma ya itu tadi...., maksudku kita bukan
seperti itu...." Jagad menyahut. "Oke, aku ngerti kok." ia menjulurkan tangan menepuk lengan Priyayi. "Itu
batasan kita agar nggak kelewat batas lagi."
"You've got my point, buddy."
"Seandainya nanti kamu benar-benar kerepotan, kamu harus bilang, oke?"
Priyayi mengangguk. Dalam hatinya ia bertekad nggak akan meminta Jagad untuk membantu.
No way. Membayangkan mereka berdua bersama-sama membahas soal pernikahan sudah
membuat Priyayi geli dan risi, apalagi kalau di jalani sungguhan. Ih.
part* 22 IBARAT moving picture, yang selanjutnya terjadi adalah gerak gambar yang mengalami
percepatan. Gerak mempersiapkan pernikahan Priyayi dengan Jagad.
Diawali dengan pertemuan orangtua Priyayi dengan orangtua Jagad. Tentunya dengan Priyayi
dan Jagad juga, sumber segala sumber peristiwa. Duduk bersama, melapangkan dada,
menjelaskan, merencanakan langkah selanjutnya, dan melaksanakannya.
Hal terakhir inilah yang menjadi kepusingan tersendiri bagi mama Priyayi. Priyayi menyerahkan
segala urusan persiapan kepada sang mama. Masalahnya adalah Priyayi nggak seratus persen
pasrah begitu saja terhadap keputusan mamanya. Ada saja yang membuat mereka lantas
berdebat berkepanjangan. Inti persoalan utamanya hanya satu, Mama Priyayi menginginkan
perhelatan besar, sedangkan Priyayi menginginkan sebaliknya. Nah, inti satu itu kan membawahi
tetek-bengek kecil lainnya!
Huh, kayak kawin beneran aja dibuat gede-gedean, gerutu Priyayi dalam hati. Lha, padahal
orang-orang memang menganggap begitu, kan"!
Teras belakang, curhat "Untung kamu bisa datang, Ran. Urat-uratku hampir putus semua ngotot-ngototan terus sama
anak sendiri," keluh mama Priyayi kepada Rani, sang adik perempuan yang rela linta pulau,
buru-buru datang setelah mendengar kehebohan yang dibuat Priyayi. Selain bertujuan untuk ikut
membantu, juga untuk menyaksikan secara langsung gimana kehebohan tersebut. Rani bekerja
di perusahaan PMA yang bergerak di bidang mineral di Sulawesi.
"Yayik itu kan anak perempuanku satu-satunya, satu-satunya kesempatan untuk bikin pesta
perkawinan, masa cuma dirayain sederhana. Anakku nggak mengerti perasaan mamanya satusatunya. Sedih...."
Rani mengernyit, pasti akhir-akhir ini kakakku kebanyakan menghafal dialog sinetron dengan
kata "satu-satunya" nih, celetuk iseng Rani dalam hati.
"Ta udah, nanti pas pernikahanku aja kelak, dirayain gede-gedean. Usiaku kan cuma selisih
setahun ama Restu. Anggap aja aku anak sulungmu. Jadi dirimu mewakili ibu kita, oke," hibur
Rani makin iseng. "Huh, lagakmu, Ran! Kelak, kelak! Kelakuan aja yang ada! Sekarang malah keduluan keponakan
sendiri!" semprot kakaknya itu.
"Satu-satu dululah.... Nanti aku menyusul, tenang aja!" Rani berkelit sambil cengar-cengir.
Kafe, curhat "Untunglah Tante datang. Aku jadi punya back-up menyakinkan Mama," ujar Priyayi kepada
tantenya. Rani menyeringai karena nada yang sama ia dengar belum lama berselang. Dan
kalimat aja persis, nggak heran deh ibu-anak kadar ngototnya juga persis!
"Siapa bilang aku jadi back-up kamu."
"Hah?" "Aku jadi penengah aja, oke."
Priyayi langsung cemberut mendengar jawaban tante tercintanya.
"Yi, mamamu cuma ingin menunjukkan kebanggaannya terhadapmu. Cuma caranya aja
begitu....." Priyayi langsung menampik. "Gimana bisa membanggakan perkawinan karena "kecelakaan"
seperti ini! Heran deh!" tangan Priyayi membentuk tanda kutip saat mengucapkan kata
"kecelakaan". Rani tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya.
"Jangan cengar-cengir begitu!" Priyayi makin sewot. Rani makin melebarkan senyum.
"Tahu nggak, leherku sampai capek kebanyakan geleng-geleng kepala mendengar kehebohan
yang kamu buat. Aku terheran-heran bin takjub, Yi! Ternyata kamu bisa juga bikin heboh
keluarga, apalagi membakar jenggot kakekmu, hihihi...."
Priyayi geleng-geleng kepala. "Ya ampun, teganya Tante tertawa di atas penderitaan keponakan
sendiri...." "Oh, kamu menderita?" Alis kiri Rani naik. "Bukannya kamu di suruh nikah karena mulanya
melakukan perbuatan yang bikin keenakan... Bagian mana yang menderita?" Rani meledek
Priyayi habis-habisan. Priyayi gemas bukan kepalang. "Hei, tante iseng! Jangan sia-siakan biaya, waktu, dan tenagamu
yang telah tante habisin buat kemari hanya untuk kegiatan iseng macam begini, mending Tante
manfaatin sebaik-baiknya dengan membantuku, setuju"!"
Priyayi menjinjing tasnya dan berdiri.
"Heh, mau kemana" Ngambek, ya?" tanya Rani.
"Ngambekku udah habis dari kemarin-kemarin. Aku harus menghubungi satu orang lagi, daah...."
Priyayi ngeloyor pergi meninggalkan si tante yang garuk-garuk kepala.
Sore, terkaget-kaget Satu orang dimaksud Priyayi, ia temui di sebuah pusat kebugaran. Sore ini mereka mengambil
kelas taebo. Sebenarnya Priyayi lagi nggak mood membasahi tubuhnya dengan keringat, namun
demi bisa melobi orang satu ini yang gila olahraga, ya apa boleh buat.
Sejam kemudian mereka melakukan "pendinginan" di dalam kafe ber-AC terletak bersebelahan
dengan pusat kebugaran. Di tempat inilah Priyayi bertutur semua.
Yasmin tercengang dengan penuturan Priyayi soal pernikahan tiba-tibanya. Priyayi memang
belum memberitahu teman-temannya. Ia sendiri saja masih dalam tahap "mencoba menerima
kenyataan" yang dirasakan berat.
"Dalam aspek jurnalis ada enam poin utama yang harus diajukan untuk meliput sebuah berita.
Pertama adalah.... Why?"" Mata Yasmin membesar.
"Heh, maksudmu 5W dan IH, what, when, where, who, why, how"!" Priyayi segera tanggap apa
yang dimaksud Yasmin. Yasmin mengangguk mantap, sementara Priyayi malah memajukan
bibirna. Yasmin meringis. " itu yang ada di benakku...."
"Oke, kalau itu maumu." Priyayi menegakkan tubuhnya. "What" Adalah pernikahan sederhana,
nggak usah ada apa-apa dan aku butuh kamu untuk menyakinkan Mama dan membantu
persiapan. Who" Aku dan Jagad. Where" Di rumah saja. When" Mungkin satu-dua bulan lagi...."
"Wow, cepet banget!" sela Yasmin melengking, ia lalu merendahkan suaranya. "Why-nya bukan
gara-gara serumah terus hamil, kan?"
"Nggak, aku sudah periksa...." tangkis Priyayi spontan yang nikin Yasmin tercengang. Mulutnya
menganga. Mulut Priyayi juga menganga menyadari ketololannya telah keceplosan begitu saja.
Ups. "Astaga! Astaga! Kamu ama Jagad"! Ya ampun! Padahal tadi aku cuma iseng karena nggak
mungkin...." "Ssst... Pelanin dikit suaranya," sergah Priyayi seraya menutup mulut Yasmin dengan tangannya
untuk meredam reaksi heboh temannya itu.
"Katamu ini bukan keinginan kalian, tapi kok bisa begitu?" celetuk Yasmin yang membuat muka
Priyayi terasa panas. Semula Priyayi memang menyensor adegan kepergok tidur bersama Yasmin. Ia hanya bercerita
kakek dan ortunya akhirnya tahu Jagad numpang di rumahnya dan sudah dianggap berhubungan
serius. Namun berhubung keceplosan, ya apa boleh buat, Yasmin jadi tahu deh.
"Aku dan Jagad sama-sama mabuk sepulang dari tempat Mala. Waktu itu kami sama-sama ada
masalah. Kakek shock, mogok makan. Mogok minum obat hingga terkapar begitu. Makanya
harus segera direalisakan, takut keadaan Kakek makin buruk."
Yasmin bengong. Priyayi jadi tambah malu dengan reaksi sahabatnya yang kayaknya shock
juga. "Itu jawaban how-nya....." celetuk Yasmin mengambil kesimpulan.
"Aku sebenarnya malu banget harus cerita ini ke kamu, Yas....."
"Oke, tenang, i won't tell anyone," sahut Yasmin menenangkan. "Aku bersedia kok jadi organizer
kawinanmu." Mata Priyayi berbinar. "Makasih, Yas! Kamu tahu aja keadaanku. Aku lagi pusing bikin acara
peresmian lapangan basket yang baru, masih harus ditambah skandal ini, hhh...." Priyayi
memeluk Yasmin. "Aku nggak akan ngelupain jasamu yang satu ini, suer!"
"Umm.... Jadi kamu ngelupain jasa-jasamu yang lain, begitu?" seloroh Yasmin manyun. Priyayi
menyeringai. "Entah kenapa kalau soal itu, tiba-tiba aku terserang amnesia," gurau Priyayi. " You're the best."
"Huh, ngerayu," celetuk Yasmin kemudian bertanya penasaran.
"Jadi, kalian putus dengan pacar masing-masing" Gimana reaksi Jimmy?"
Seketika raut muka Priyayi berubah muram.
part* 23 Simpang jalan, ada kesempatan
Makan nggak enak, tidur nggak ngenyak. Hmm.... Itu tanda orang jatuh cinta apa patah hati, ya"
Yang jelas gejala itu sedang menghinggapi Jimmy yang menderita patah hati hafal. Semua
terasa nggak berkenan. Bawaanya uring-uringan atau sebaliknya, sendu berat. Bianca yang
kemunculannya kembali sempat membuat "goyah'', sekarang nggak memberikan rasa apa-apa
lagi, padahal mantannya itu menambah porsi curahan perhatian dan materi. Mungkin karena
Jimmy sekarang ambruk, jadi nggak perlu goyah lagi.
Jimmy melajukan mobilnya keluar dari parkiran kantor. Jam kerja belum berakhir, laporan juga
belum selesai, tapi Jimmy memutuskan cabut dari kantor. Suntuk tak tertahankan. Biasanya jam
segini, kalau dia lagi berada di depan komputer, dia pasti ber-SMS ria dengan Priyayi untuk
menghilangkan kejenuhan. Hhuuaahh... Jimmy menyalakan batang rokoknya yang kesekian. Tak berapa lama pikirannya
kembali melayang menjauhi jalanan aspal tempat dia sekarang berada.
Tiba-tiba satu gerakan cepat tepat di depannya tanpa jarak. Jimmy terkesiat kaget. Untung
refleks kaki di atas pedal rem sangat bagus, hingga moncong mobilnya hanya menyentuh badan
orang itu tanpa membuatnya jatuh. Untungnya juga, di belakang mobilnya nggak ada kendaraan
lain. Jimmy dengan sigap keluar dari mobilnya untuk memaki-maki orang yang berdiri kaku
menenangkan jantungnya, tak kalah kaget.
"Jagad....?" Makian yang siap untuk disemburkan tertelan kembali ke alamnya begitu Jimmy tahu siapa orang
itu. Jagad juga sama kagetya. "Lho, Jimmy....?"
"Ngapain berlari-lari di tengah jalan" Ceroboh banget?" cecar Jimmy, mengangkat kedua tangan
dengan telapak menghadap ke atas. Ujung alis kiri dan kanannya udah jadi satu!
"Sori-sori! Aku harus ke tempat kejadian secepatnya...."
"Tempat kejadian?" sela Jimmy cepat. Yang terlintas di benaknya adalah Priyayi. Karena tiap
melihat Jagad, yang terkoneksi di otaknya adalah sosok Priyayi.
"Anak didikku dikeroyok preman di ujung jalan sana!"
"Oh." Jimmy gagu sesaat, kemudian berinisiatif, "Ayo kuantar."
Mereka bergegas nail mobil.
"Dia lagi jalan ke tempat sembari kepalanya celingukan mengawasi sepanjang jalan. "Nah, itu
dia!" Sampai di tempat kejadian, hanya ada seorang bocah lelaki tersungkur babak belur. Entah
berapa preman yang menghajarnya. Dari kepalanya keluar banyak darah.
"Coba aku datang lebih awal....," gumam Jagad sedih sambil meraih tubuh bocah itu. Jimmy
diam tak berkedip. "Kita harus ke rumah sakit," ujar Jagad seraya melepas jaketnya untuk menekan perdarahan di
kepala. Bocah itu dalam keadaan setengah sadar, matanya sangat redup, mungkin sebentar lagi
pingsan. Berdua mereka membopong bocah itu ke dalam mobil dan membawanya ke rumah
sakit. Kaus yang dikenakan Jagad terkena noda darah. Begitu juga dengan kemeja Jimmy.
"Dia masih anak-anak, masih di bawah umur, kerja di jalanan yang hasilnya nggak seberapa, eh
duitnya dikompas pemalas-pemalas yang nggak punya motivasi hidup secara benar," kata Jagad
dengan geram. "Dia pintar matematika. Dia tadi pasti dalam perjalanan ke tempat belajar kami," gumam Jagad
sewaktu menunggu dokter memeriksa dan mengobati anak tersebut. Dia pangkuan Jagad ada
buku lecek milik si bocah.
Jagad menoleh ke arah Jimmy. "Terima kasih atas bantuannya. Kamu nggak perlu menunggu di
sini, bisa kutangani sendiri."
"Nggak apa-apa. Kalian butuh tumpangan untuk pulang."
"Sekali lagi, terima kasih banyak."
Mereka kemudian diam, meredakan lelah.
"Jimmy...." Jimmy menoleh mendengar namanya dipanggil.
"Maaf....," sambung Jagad.
"Maaf?" "Iya. Untuk semua kekacauan yang terjadi. Kamu dan Yayi."
"Oh." Jimmy termangu sesaat. Kemudian menimpali, "Sori, aku nggak bisa maafin."
"Yaah, aku tahu," sahut Jagad lemah. "Yayi dan aku sepakat untuk tetap hidup masing-masing."
Jimmy menatap Jagad, terkejut. "Apa kamu bilang?"
"Yayi belum bilang?"
Jimmy menggeleng kepala. Jagad menjelaskan lebih lanjut, "Aku tetap menghuni kamar belakang, seperti dulu. Hubungan
kami nggak berubah, tetap berteman."
"Tetap saja, kan" Kamu dulu juga di kamar yang berbeda, tapi kalian tidur bersama," seloroh
Jimmy sinis. "Itu kesalahan. Aku nggak akan membiarkan diriku mabuk di rumah Yayi lagi. Lain kali lebih baik
aku tidur di jalan," tutur Jagad dengan nada sungguh-sungguh. "Dia mencintaimu sampai detik
ini. Dia sedang kalut sekarang. Hanya kamu yang bisa menyentuh hatinya, Jim...."
Malam, keputusan hati Tok, tok. Priyayi yang baru saja menutup pintu, membukanya kembali. Ia terperanjat Jimmy didepannya
dengan kemeja terkena darah.
"Jimmy! Kamu berdarah! Ya ampun!" Priyayi memegang erat tubuh Jimmy panik.
"Oh, bukan, bukan! Ini darah orang....."
Seketika Priyayi menghentikan segala gerakan. "Apa maksudmu"! Kamu.....?" wajah Priyayi
tegang. "Oke, biar kujelaskan, tapi biarkan aku masuk."
Jimmy menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Priyayi menghela napas panjang.
"Jadi Jagad nekat mendatangi preman-preman itu sendirian, tanpa ada bantuan, terus kalau dia
yang kepalanya bocor dikeroyok....?" Nada ucapan Priyayi perhatin. Aku kilatan cemburu pada
sorot mata Jimmy. "Yi, Jagad bilang.... Kalian akan hidup sendiri-sendiri...."
"Oh, eh...., hmm.... Yaaa...." Priyayi tergagap. Dalam hati ia merutuk Jagad yang membuka
rahasia mereka. "Hei, aku masih cukup pintar untuk nggak menceritakan ke orang lain," celetuk Jimmy membaca
kekhawatiran Priyayi. Well, semoga Jagad juga lumayan pintar, celetuk Priyayi dalam hati. Ia menepuk-nepuk pipinya
pelan. "Dia hanya ingin bilang bahwa di antara kalian memang nggak ada perasaan apa-apa," lanjut
Jimmy yang lantas menggeser posisinya hingga bisa meraih tangan Priyayi. "Aku memutuskan
akan tetap mempertahankanmu."
Priyayi terpana dengan yang baru saja didengarnya. "Apa....?" ia menatap mata Jimmy tak
berkedip. "Aku ingin kamu tetap di sisiku...., paling nggak sampai aku siap untuk merelakan kamu pergi.
Beri aku waktu untuk mempersiapkan perasaanku, Yi."
Bibir Priyayi mengatup rapat, kemudian berkata lirih, "You have my time." Dipeluknya Jimmy.
Rasanya lega sekali. Menyusuri jalan, lagi-lagi kejutan
"Waahh... Baju-bajunya sooo cute!" Yasmin berseru dengan mata membesar, dan seperti
gerakan refleks, dia membelokkan langkahnya memasuki butik yang terbentang di depan
matanya. Beberapa langkah di belakangnya, Priyayi direpotkan antara membawa tas-tas belanjaan yang
lumayan berat dan harus menerima panggilan ponsel yang beruntun dia terima siang ini. Priyayi
meninggalkan urusan kantor gara-gara Yasmin memaksanya ikut dalam sebagian urusan
persiapan pernikahannya. Efeknya ia seperti sekarang, telepon dari kantor nggak putus-putus.
"Buat apa kau nyewa kamu kalau aku akhirnya harus ninggalin kerjaan di kantor"!" protes Priyayi
semula. Tapi dia nggak bisa berkutin lantaran Yasmin mengancam akan melepaskan bantuannta
begitu saja. "Kamu yang rugi besar, aku nggak rugi apa-apa, weeek."
See, nggak bisa berkutik, kan"
Priyayi celingukan memutar arah tubuhnya hingga 360 derajat.
"Huu.... Uuh.... Hilang lagi itu anak, menjengkelkan," gerutu Priyayi.
Sejak tadi Yasmin selalu ngeloyor tanpa membritahu dulu kemana arahnya. Pas ia mau
menelepon Yasmin, matanya menangkap sosok temannya itu di dalam butik baju tidur, beberapa
langkah dari tempatnya berdiri. Yasmin berdiri menghadap ke arahnya sambil mengacungngacungkan sehelai pakaian dari balik kaca. Priyayi menghela napad melepas kejengkelan,
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantas menuju ke arah temannya berada.
"Wiii... Lucu-lucu, Yi!" celoteh Yasmin dengan tampang gemas mematut-matut beberapa model
pakaian. Priyayi menanggapi datar. "Iya, lucu, tapi ini nggak masuk agenda hari ini."
"Aaah... Kamu kayak sekretaris aja! Ayo, di sebelah sana ada yang sosok untukmu. "Yasmin
menyeret Priyayi dan menunjukkan dua model baju tidur dengan warna dan motif sama.
Berwarna biru langit dengan motif awan putih. Satu model untuk cowok, satunya lagi untuk
cewek. "Nah, ini cocok untuk kalian berdua. Kelihatan kompak, tidur seranjang dengan motif sama,
hihihi.....," tukas Yasmin penuh semangat. Priyayi melirik nggak tertarik.
"Kamu beli dong, Yi, bagus nih!" desak Yasmin seraya merangkul Priyayi.
"Iiih, Yasmin, kami bukan pasangan. Nggak ada lagi acara tidur seranjang, tahu!" sahut Priyayi
mulai jengkel lagi. Mau tak mau ia jadi membuka rencana rahasianya. Dengan merendahkan
suara ia menambahkan, "Aku dan jagad nggak bisa jadi pasangan sungguhan."
udah ah, capek plus ngantuk. Hoah... Besok aja di lnjt.
part* 24 Mendengar penuturan temannya barusan, Yasmin menunjukkan gejala shock. Gerakan tubuh,
kedipan mata, dan napasnya terhenti seketika.
"Jadi.... Jadi... Ini semua...." suara Yasmin mengambang.
Bruuukk.... "Yasmin!" pekik Priyayi melihat Tasmin terduduk lemas di lantai butik.
"Yas, kamu apa-apaan sih?" omel Priyayi sambil menarik lengan Yasmin untuk berdiri sebelum
orang-orang mengerubuti mereka. Malunya itu lho!
"Aku shock...."
"Iya, tapi berdiri dulu dong."
"Jadi selama ini aku dengan sungguh-sungguh jadi organizer acara yang ternyata nggak
sungguh-sungguh....?"
"Pestanya sungguhan kok. Buktinya kita sebar undangan ke teman-teman. Aku dan Jagad
sungguhan menandatangani surat-suratnya...."
Yasmin mengibaskan tangan. "Ahhh.... Sudahlah...." Ia lantas berdiri dan melenggang keluar
butik. Priyayi ditinggal begitu saja sambil geleng-geleng kepala.
Selama berjalan, Yasmin hanya diam. Priyayi jadi waswas, jangan-jangan Yasmin benar-benar
nggak mau lagi bantu aku. Melewati sebuah kafe, tanpa aba-aba Yasmin nyelonong masuk.
Priyayi tergagap sesaat, nggak habis pikir dengan tingkah Yasmin yang sampai segitunya.
"Oh Tuhan, bantulah aku. Mudahkanlah jalanku, jangan sampai temanku ini ngambek," gumam
Priyayi sebelum menyusul Yasmin masuk ke kafe.
Setelah duduk berhadapan dengan minuman masing-masing, Priyayi membuka suara. "Yas...."
Yasmin memotong, "Aku cuma kaget sebentar, jangan khawatir, aku akan selesaikan semua
urusan ini, tapi kamu ceritakan dulu semuanya. Semuanya. Nggak boleh ada rahasia lagi,
ngerti?" Fiuuh... Thank god, batin Priyayi.
"Iya, iya. Tapi kamu harus simpan rapat-rapat," jawab Priyayi lantas mulai bercerita.
Selesai Priyayi bertutur, Yasmin geleng-geleng kepala. "Ini hal paling gila yang pernah kudengar
dan aku ikut terlibat di dalamnya....., kamu gila, Jagad gila, Jimmy juga gila....."
Priyayi mengedikkan bahu sambil menyeruput kopinya. "Demi hidup kakek, aku nekat apa aja,
Yas." Yasmin memajukan badannya menopang pada meja. " Kalau kamu nggak sungguh-sungguh
dengan perkawinan ini, sebaiknya kamu buat semacam perjanjian terlebih dahulu dengan
Jagad." Priyayi menyerngitkan dahi. "kami udah sama-sama sepakat mengenai segala sesuatunya."
"Maksudku perjanjian resmi, di atas materi, soal harta, hak dan kewajiban, terutama soal harta."
"Ah kamu.... Kebanyakan nonton film!"
"Ih kamu!" Yasmin menunjukkan wajah serius. "Kamu nggak tahu ke depannya kayak apa kan,
apa yang akan menimpa kamu. Perjanjian seperti itu mencegah segala kemungkinan yang bisa
membuatmu mengalami kerugian baik materi atau yang lainnya."
Priyayi menjauhkan wajahnya dengan ekspresi "nggak habis pikir.
"Percaya deh sama aku!" Tutur Yasmin berlanjut. "Tanteku itu pengacara, aku jadi lumayan tahu
soal begituan. Kalau nggak diatur dulu, kadang ada beberapa hal yang secara teknis akan jatuh
ke tangan pasangan.... Hati-hati itu, mengingat kalian bukan pasangan sungguhan, iya kan?"
Kerut-kerut di dahi Priyayi bertambah. Hmm.... Nggak ada ruginya dilakukuan, tapi Jagad nanti
tersinggung nggak, ya"
Makan malam, pasrah "Sure. Kapan aku harus ke kantor pengacaramu?" sahut Jagad datar menanggapi rencana
Priyayi mengenai perjanjian bersama sebelum menikah.
"Ini sudah?" tanya Jagad menunjuk piring Priyayi. Priyayi mengamat-amati ekspresi Jagad,
apakah ada perasaan tersinggung tersirat di wajahnya.
"Heh?" ulang Jagad.
Priyayi tersadar. "Oh, biar kucuci sendiri."
"Biar aku aja, sekalian."
Malam ini Priyayi mengundang Jagad makan malam ke rumahnya khusus untuk membahas
masalah ini. "Kamu nggak membahas isinya terlebih dahulu?" tanya Priyayi.
"Aku percaya kamu sajalah," jawab Jagad enteng sambil mencuci piring. Jagad sudah terbiasa
berlaku seperti rumah sendiri di rumah Priyayi.
"Gad, jujur aku nggak enak kalau kamu sepasrah itu. Ini menyangkut hidup dua orang, aku dan
kamu, bukan aku doang."
"Aku percaya yang kamu lakukan juga untuk kebaikanku, jadi santai aja."
"Gad, kamu merasa bersalah kan hingga kamu mau aja di perlakukan apa pun" C'mon, Gad, aku
nggak ingin kamu begitu. Ini bentuk tanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan, bukan
hukuman. Jadi berhenti bersikap kayak pesakitan gitu, please.....," tutur Priyayi menatap Jagad.
"Yi...." "Kamu bilang aku bisa minta bantuanmu.... Jadi please...."
Jagad menghentikan cuci piringnya, mengelap tangan, menatap Priyayi sesaat, kemudian duduk
di depan gadis itu. "Ayo kita bikin poin-poinnya."
Priyayi tersenyum dan menyodorkan kertasnya.
"Mulai dari nama" Soal double room, berhak menjalin hubungan dengan orang lain, atau
pembagian tugas beresin rumah?" cetus Jagad nyengir.
Priyayi meninju bahu Jagad pelan. "Yang serius dong!"
"Hmm... Apa ya... Oya, poin dariku gini, selama jadi suami aku nggak perlu bayar sewa kamar
dan semua utang dihapus...."
"Hhh.... Sudahlah, kapasitas otakmu memang terlalu kecil untuk membuat poin-poin yang lebih
bermutu....." gumam Priyayi pasrah.
Pertengahan minggu, melepaskan
Sebulan sudah Jimmy nggak bertemu Priyayi. Ini memang kemauan Jimmy sendiir. Bahkan ia
sudah pesan tiket ke Bali. Dia mau ngabisin waktu di Bali sampai acara besar Priyayi yang
menyedihkan hatinya itu berlalu. Tapi hari ini dia nggak tahan juga ingin bertemu Priyayi, karena
di samping kangen berat ke gadis itu, ada kemungkinan ini akan menjadi pertemuan terakhir.
Pertemuan terakhir" Jimmy mengembuskan napas panjang. Pandangannya berulang kali diarahkan ke luar jendela
lounge, tepat di jalan orang masuk dan keluar lounge. Pikirannya kembali melayang. Ke Priyayi,
tentunya. Selama absen menemui Priyayi, terjadi pergolakan di hati Jimmy. Antara rasa cinta dan
keinginan menyerah. Akhir-akhir ini keinginan menyerah itu yang menguasai pikirannya. Dan
malam ini, seminggu sebelum Priyayi mengubah statusnya di mata dunia, sehari sebelum ia
berangkat ke Bali, Jimmy merasa harus bertemu dengan gadis itu. Karena begitu kembali dari
Bali, Priyayi bukan orang yang sama lahi di matanya.
Mungkin aku memang harus mengakhiri semua ini. Jimmy berpikir keras, merasa sangat
bimbang. "Hai." suara Priyayi memecah lamunan Jimmy. Jimmy tergagap sesaat, kemudian tersenyum dan
berdiri menyambut Priyayi.
"Aku kan sudah pesan untuk nggak dandan cantik," celetuk Jimmy.
"Aku udah nggak dandan kok," tampik Priyayi.
"Berarti kamu memang selalu cantik," timpal Jimmy seraya meraih Priyayi ke dalam pelukannya.
Priyayi tersenyum senang da membalas pelukan Jimmy erat. Jimmy mencium wajah Priyayi
sesaat setelah mereka duduk di sofa lounge.
"Sudah lama kita nggak ketemu, aku kangen," ucap Jimmy lirih. Mereka menjauh sejenak saat
waiter datang mencatat pesanan menu. Setelah waiter pergi, mereka kembali datang
membawakan makanan. "Besok aku ke Bali," tukas Jimmy sementara kepala Priyayi terkulai di bahunya.
"Ya, aku tahu. Aku akan kehilangan kamu."
"Aku juga akan kehilangan kamu."
"Kamu mau kan kembali kepadaku?" tanya Priyayi, kepalanya mendongak hingga wajahnya dan
wajah Jimmy sangat dekat berhadapan. Jantung Jimmy berdebar. Pertanyaan Priyayi seakanakan memberi isyarat bahwa Priyayi juga merasakan kebimbangan Jimmy.
"Nggak perlu bertanya seperti itu...." elak Jimmy menghindari jawaban ya atau tidak.
Tiba-tiba Jimmy berdiri seraya menggaet tangan Priyayi.
"Ayo." Priyayi melongo. "Lho...." belum sempat bertanya, Jimmy keburu menyeretnya keluar lounge.
"Kita akan jalan-jalan seharian ini, terserah mau ke mana aja," tukas Jimmy dengan
menggenggam erat tangan Priyayi.
"Bener nih?" tanya Priyayi kurang yakin, karena Jimmy bukan tipe orang yang betah ngabisin
waktu berjam-jam seharian dengan berjalan-jalan tanpa tujuan pasti.
Jimmy mengangguk mantap. "Bener nih, terserah ke mana aja?"
"Iya, Nona! Sekarang Nona manis ingin ke mana?"
Priyayi mengajak cowok itu ke tempat yang dulu sering tidak mau disinggahi Jimmy. Priyayi
menantang Jimmy main boling, sampai pasang taruhan segala. Setelah bosan, Priyayi menyeret
Jimmy ke butik khusus pakaian pria.
"Aku ingin pilihin kamu baju...." Priyayi menuju rak aksesoris...." harus dipaduin ama ini." Priyayi
mengacungkan suspender. Jimmy menepuk dahinya. Oh tidak......
"Ayo di coba!" perintah Priyayi seraya menyeringai. Seumur-umur Jimmy nggak pernah
mengenakan yang namanya suspender meski benda itu jadi tren sepanjang masa sekalipun.
Jimmy bergeming. Priyayi mendorongnya dari belakang.
"Ayo, ini lagi tren lho. Kamu kan udah janji tadi terserah aku hari ini. Ayo, jalan grak!"
Jimmy menggerutu tapi nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Priyayi bertepuk tangan begitu Jimmy
keluar dari kamar pas mengenakan baju dan aksesoris yang tadi dipilih Priyayi.
"Awesome! He's my man!" celetuk Priyayi pamer pada salesgirl yang ikut tersenyum.
Dada Jimmy bergemuruh melihat reaksi Priyayi. Yeah, l'm your man but next week you will marry
another man.... "Heh, bengong lagi! Ayo, kita bayar dan cabut lagi," ajak Priyayi menggandeng lengan Jimmy.
Melewari gamezone, Priyayi masuk. Jimmy lagi-lagi menggumam, "Oh tidak....."
"Aku haus, mau beli minum dulu. Kamu main aja sepuasnya," cetus Jimmy berusaha
menghindari desakan Priyayi untuk ikut main aneka game. Priyayi nggak terlalu menggubris
begitu perhatiannya tersedot pada war game yang ada di depannya.
"Angkay senjata, selamatkan dunia!" seru Priyayi `mengangkat senjata dan mulai menggempur
lawan`. Jimmy tersenyum geli. Matanya tak lepas menatap Priyayi. Inilah alasan kenapa dia berinisiatif
untuk jalan-jalan. Hanya supaya dia bisa uas melihat Priyayi melakukan hal-hal yang disenangi
gadis itu. Belum tentu besok-besok ada hari seperti ini.
Langit sudah gelap kala mereka mengakhiri kebersamaan. Mereka kembali ke tempat mobil
Priyayi diparkir sedari siang tadi.
"Lain kali, kita luangkan waktu sehari sperti ini ya, terserah kamu ingin kemana," tukas Priyayi
sebelum naik ke mobilnya.
Sekali lagi dada Jimmy bergemuruh. Dia cuma tersenyum tipis karena nggak yakin apa akan ada
lain kali. Dan seandainya memang nggak ada lain kali, dia nggak akan mengatakannya
sekarang. Dia nggak ingin merusak akhir kebersamaan hari ini.
"Jim...." panggil Priyayi dari balik kemudi sesaat setelah dia menghidupkan mesin mobil. "we'll be
fine." Jimmy mengecup kening Priyayi melewati jendela mobil yang terbuka lebar. "Hati-hati."
"Kamu juga. Kalau sudah balik ke Jakarta, langsung telepon aku, oke."
Setelah Priyayi berlalu, Jimmy mengepalkan tangannya keras dan menyepakkan kaki kanannya
ke udara. Mengakhiri kebersamaan dengan indah seperti tadi ternyata bikin dia makin sulit
melepaskan Priyayi. "Sial." part *25 Lokasi syuting, kesiangan
"Sori Ma, sori..." Priyayi nyamperin mamanya yang lagi break. Mamanya melengos, masih tidak
menerima dirinya harus naik taksi membawa tas besar sendirian ke lokasi pagi-pagi sekali.
Sebagai catatan penting, di mama memang paranoid bepergian sendirian.
"Kalau keberatan, bilang dong dari awal! Masa Mama naik taksi sendirian, jalanan masih sangat
sepi. Kamu membiarkan mamamu ini ketakutan!
Umm... Mulai deh... Bahasa sinetron, celetuk Priyayi dalam hati mengomentari ekspresi dan tutur
kata Mama. "Restu atau Papa nggak ada yang bisa nganterin?" Priyayi duduk sambil mengipas-ngipasi
dirinya dengan lembaran naskah milik mamanya.
"Kakakmu nggak pulang, papamu nggak enak badan, takut sakitnya tambah parah kalau harus
nyetir dengan jarak sejauh ini. Lagi pula itu tugasmu kan, kenapa harus suruh orang lain"
Heran!" Priyayi meringis kecut. "Kan dalam kondisi darurat, Ma."
"Tadi sempat kepikiran nyamperin kamu di rumah, tapu rutenya jadi putar balik....," lanjut Mama
masih dengan nada pedas. Dalam hati, Priyayi mengucap syukur karena mamanya urung "inspeksi mendadak" ke rumah.
Apa jadinya kalau dia langsung menyeruak masuk dan tahu dirinya tidur di mana, Jagad tidur di
mana.... "Kweni nggak kasih tahu jam berapa Mama berangkat, kupikir yaa... Pagi standar gitu...."
Mama mencibir. "Pagi standar" Standar nasional gitu" Mengada-ada! Sejak kapan kerja beginian
ada waktu standar"!"
Priyayi yang sudah kepanasan kian gerah diomeli. Ia berdiri. "Ih, Mama! Hargai dong niatky
membantu Kweni, membantu Mama. Aku udah berusaha menebus kesalahan dengan langsung
kemari tanpa sempat dandan, ngisi perut, nggak ngantor...." dahi Priyayi berkerut-kerut.
Kemudian ia ngeloyor pergi.
"Mau ke mana?" seru Mama.
"Cari kopi. Pusing!"
Setelah berhasil menyeduh kopi paginya yang diteguk siang ini, kepala Priyayi nggak tegang lagi,
tapi kelopak mata tetap saja minta menutup. Maklum, begadang menyelesaikan kerjaan karena
minggu ini banyak nggak ngantor.
Seseorang berdeham di dekatnya. "Ckckck.... Pengantin baru auranya gelap sekali! Ada apa
gerangan?" sapa Minel, penata rias yang sering bekerja untuk sinetron buatan rumah produksi
milik teman mamanya ini, yang juga menjadi teman baik Kweni. Dan Priyayi nggak perlu waktu
lama untuk berakrab-akrab dengannya.
Priyayi mengarahkan kepalanya ke mamanya sambil menyambar roti isi coklat yang disodori
Minel. "Omong-omong soal aura gelap, mamamu juga begitu sewaktu tiba tadi. Lebih gelap, pake petir
segala." "Hahaha...." Priyayi tergelak.
Minel nerusin cerocosnya, "Padahal mamamu itu seharusnya tahu, wajar aja kan kalau pengantin
baru nggak bisa pergi pagi-pagi buta, nggak relaa... Hehe..." Minel mengerlingkan mata kirinya
sambil menyeringai penuh arti, menyenggol lengan Priyayi. Yang disenggol ikut menyeringai
dengan arti yang berbeda.
"Tahu tuh Mama, bawaannya ngajak berantem melulu, gerah kan," gerutu Priyayi.
Sang Mama masih memendam perasaan jengkel, kecewa, nggak puas, bahkan mungkin sakit
hati, dengan anak perempuannya itu menyangkut perhelatan penikahan kapan lalu itu. Beliau
merasa tidak "diorangtuakan," tidak "dinamakan", sedangkan Priyayi merasa mamanya terlalu
berlebihan hingga mengalihkan urusan kepada Yasmin, Rani dan dirinya sendiri.
"Omong-omong soal gerah, aku juga gerah ke kamu. Teganya kawin nggak undang-undang!"
ujar Minel dengan tampanga cemberut.
"Eit, kan udah ada undang-undang, undang-undang perkawinan, hihihi...,"seloroh Priyayi.
Minel mencibir."Mengundang diriku, bo!"
"Kamu dulu juga nggak mengundangku."
"Yeee... Kita kan belum kenal waktu itu, gimana seehh!" sahut Minel.
Priyayi meringis. "Sori, teman, budget terbatas..."
Minel menepuk keras paha Priyayi kemudian menyahut sengit. "Ih, bohong banget sih kamu!
Orang kaya macam kalian, menyebar ribuan undangan nggak akan memengaruhi finansial!"
"Ya udah kalau nggak percaya," balas Priyayi sambil mengusap-usap pahannya bekas dipukul
Minel. Obrolan mereka terinterupsi telepon masuk di ponsel Priyayi. Urusan kantor.
"Nek, lihat dong foto suamimu," pinta Minel saat Priyayi menutup flip ponselnya.
"Foto?" Priyayi gelapan. "Eeengg.... Nggak ada..."
"Hah" Di dompet, di ponsel, nggak punya foto pasangan sendiri" Aneh..." celetuk Minel nggak
percaya. Priyayi mengacak-acak pelan rambutnya, keki. Yang ada di ponselnya adalah foto Jimmy,
disimpan di salah satu folder ponselnya. Nggak pernah terlintas menyimpan foto Jagad...., nggak
terbayang deh! "Ya ampyun....! Kamu juga nggak pake cincin kawin!" kritik Minel berlanjut. Priyayi
mengacungkan jari-jari tangan kirinya.
"Kok di tangan kiri sih?"
"Di film-film barat pakainya di sebelah kiri..."
Lagi-lagi Minel menepuk paha Priyayi. "Halooo"! Kamu nggak lagi tinggal di Barat sono!"
"Udah deh, Nek! Dari tadi cuma dikritik kanan-kiri, betehhh!" protes Priyayi, hendak beranjak dari
duduknya. Minel keburu menahannya.
"Jangan ngambek begitu. Ayo cerita dong soal kehidupan baru kalian. Pasti banyak kejutan,
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena pacarannya aja orang-orang pada nggak tahu, tahu-tahu kawin...."
"Nggak ada," jawab Priyayi spontan.
"Hah, nggak" Biasanya bulan-bulan pertama banyak hal yang nggak terduga dari pasangan...."
Priyayi mengangkat bahu dan berjar datar. "Nggak ada. Udah biasa..."
"Hah" Udah biasanya gimana"!" Minel makin penasaran. Priyayi baru sadat kalau dirinya terlalu
jujur menjawab. "Eeengg... Iya... Udah biasa... Nggak saling ngejutin gitu...." imbuh Priyayi ngawur.
?"?"" Tangan Priyayi makin kencang berkipas ria. Gerah..... Malam, tetap gerah
Sampai di depan rumah orangtuanya, Priyayi hendak melepas sabuk pengaman, namun
mamanya segera mencegah. "Nggak perlu. Mama bisa bawa tasnya."
"Nggak apa-apa, sekalian aku masuk ke dalam..."
"Jam segini mau berdatangan"!" hardik Mama. Priyayi melirik jam digital di dashboard mobilnya.
Masih kam sembilan kok....
Aku kan mau bertemu keluargaku, menjenguk Papa, kakek..."
"Mereka sudah tidur, percuma." Mama bertutur gemas. "Kamu sudah jadi istri orang, jangan
pulang mam kalau nggak ada kepentingan! Apa kata suamimu nanti"!"
Priyayi melongo, bibirnya membentuk huruf O. Ooo... Itu masalahnya.
"Pake bengong pula, sana pulang!" cecar Mama. Priyayi mengangkat tangan, menyerah dengan
kejutekan mamanya seharian ini.
Sambil menyetir, Priyayi memasang hands-free dan menelpon papanya.
"Pa, istrimu sentimen sekaleee ke aku." Priyayi membuka sesi curhat via telepon. Papa tergelak.
Priyayi menyambung. "Dari zaman kapan itu, jengkelnya ke aku nggak abis-abis. Dia masih sakit
hati, ya?" "Mamamu nggak pernah sakit hati. Dia cuma kesal kamu nggak jemput dia tadi..."
"Tapi masa sampai melarangku masuk rumah! Aku kan ingin menjenguk Papa. Katanya lagi
sakit!" "Papa nggak apa-apa. Yi. Mamamu cuma merasa nggak enak sama Jagad kalau kamu pulang
terlalu malam. Priyayi cemberut. "ih, Papa sama aja deh. Pa, bilangin ke istrimu supaya jangan galak-galak ke
anak cewek satu-satunya, oke."
Papa lagi-lagi tergelak, kemudian menyahut dengan suara lebih pelan. "Mamamu lagi mendelik
ke Papa, Papa nggak berani; Yi...." keduanya terkiki.
"Papa payah, sudah lama hidup bareng belum bisa menjinakkan beliau, hihi...."
"Udah sampai di rumah"!" suara Mama tiba-tiba menyerbu pendengaran Priyayi. Bulu kuduknya
seketika berdiri. Ups... Mendapat telepon, ingat "posisi"
Jagad baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya berbunyi. Lintang calling.
"Kak, weekend ini aku ama Sita ke Jakarta, band-nya pacarku ikut main di ajang Alternative
Alive, nanti nginap di rumahmu ya. Kak Jagad nggak ke mana-mana, kan?"
Jagad agak bimbang. "Emmm... Coa nanti aku ngomong ke Yayi...."
"Kalau Kak Yayi sibuk, nggak apa-apa, yang penting Kak Jagad nggak."
"Eengg.... Bukan itu. Ini kan rumahnya, jadi lebih baik kalau ngomong dulu."
"Kak Jagad kan suaminya, apa perlu bilang dulu?" ada nada heran dalam pertanyaan Lintang.
Jagad terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Nanti aku telepon."
"Emang Kak Yayi udah tidur?"
"Eee... I... Ya."
Tepat saat itu, suara mobil Priyayi terdengar masuk carport.
"Nah itu dia datang!"
"Lho, katanya tadi tidur?"
Jagad menepuk jidatnya. Tolol, keceplosan! Umpatnya dalam hati.
"Iyaa... Tadi udah tidur. Aku telepon lagi nanti." Jagad buru-buru menutup ponsel,
menyelamatkan diri investigasi adiknya.
Jagad ke depan membukakan pintu. Priyayi agak kaget melihat Jagad hanya mengenakan
celana boxer malam-malam begini dan "berkeliaran" di dalam rumah. Apalagi dengan rambut
basah begitu..... "Yi, barusan adikku telepon, weekend ini dia ama sepupuku mau nginap di sini, boleh nggak?"
Jagad membuntuti Priyayi yang berjalan ke pantry untuk mengambil es krim.
" "Ya bolehlah. Kalau perlu dijemput, pake aja mobilku."
"Makasih, Yi," sahut Jagad lega. Eh, bukannya di bangku pantry untuk menyendok es krim
langsung dari wadahnya, bergantian dengan Priyayi. Perut cowok itu jadi membentuk kotak otot.
Hmm... Gerahnya Priyayi jadi nggak berkurang meski sudah mengonsumsi es krim!
Kamu nggak pake baju begitu untuk merayuku agar mengab
ulkan permintaanmu, ha?" Priyayi
menyeletuk iseng. "Berhasil kan dengan pesona dalamku ini..." balas Jagad.
"Awa, aku bisa melihat pipimu memerah...." sambungnya, mendekatkan wajahnya ke arah
Priyayi dan menyeringai nakal.
"Huh, sok keren!" sahut Priyayi sambil melemparkan serbet ke muka Jagad, agak salah tingkah.
"Oya, Yi, pas sodara-sodaraku datang, sebaiknya aku.... Emm... Gabung di kamarmu... Tahu
kan...., supaya mereka nggak...."
"He-eh," sela Priyayi. "Besok pindahin barang harianmu ke kamarku."
Besok setting baru harus disiapkan. Peran yang lain harus dimainkan.
"Oya, tunggu sebentar....,"Tukas Jagad lalu bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamarnya.
Dua menit kemudian dia balik ke hadapan Priyayi.
"Nih, Jagad menyodorkan sejumlah uang kepada Priyayi.
"Uang sewa kamar...."
Priyayi tidak langsung menyambar seperti biasanya.
"Hubungan kita seperti biasa, kan?" tambah Jagad.
"Eee..." Priyayi masih ragu-ragu. Tapi pikir punya pikir... Iya, seperti biasa. Nggak ada yang
berubah untuk yang satu ini. Eropa masih akan menunggunya. Priyayi pun menerima uang
tersebut sembari say thank you.
"Oya satu lagi, Yi, kemarin Mama kasih saran...."
Wajah Priyayi berubah serius, menyimak baik-baik. "Apa sarannya?"
"Lebih baik kalau kita, eh maksudku kamu, pasang saluran telepon rumah."
Priyayi beralih duduk di sofa. " kan udah ada HP...."
"Iya sih, tapi telepon rumah pulsanya jauh lebih murah."
"Nggak masalah sih, cuma ngurus tetek bengeknya itu lho... Malasss...."
"Oh, biar aku aja yang handle, pokonya kamu setuju."
"Duitnya perlu kusiapin sekarang?" tanya Priyayi.
"Oh, nggak, biar aku aja," sergah Jagad dengan tangan kanan melambai mengisyaratkan
menolak. "Nggak dong. Aku kan yang tinggal di sini terus, kalau kamu udah nggak di sini, salurannya
nggak bisa ikut dibawa kan..., biar aku aja yang nanggung, kamu yang urus, oke buddy," sahut
Priyayi kemudian berjalan masuk kamar.
Duk! Hati Jagad serasa disukit mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Priyayi. Kalau kamu
udah nggak di sini.... Ditariknya napas dalam-dalam. "Inget posisi, Gad, inget....." pesannya pada diri sendiri. Peran
tuan rumah, mengejutkan "Sukanya musik apa" Rock, pop, jazz, top 40?" tanya Priyayi kepada para saudara ipat di dalam
mobil saat hendak menentukan tempat hang-out mereka malam ini.
"Alternative dong," jawab Lintang lantang.
"Huuu... Ngikut pacaaar! Kalau pacarnya ganti, selera musiknya ganti!" ledek Sita. Lintang
menyentil kepala sepupunya gemas.
"Yang biasa di datangi KakYayi deh," imbuh Sita antusias. Sekadar menyegarkan ingatan, Sita
adalah sepupu Jagad yang masih ABG, yang menemani dan mendampingi Priyayi sewaktu
acara di kediaman orangtua Jagad.
"Sita ngefans kamu, Yi," ujar Jagad berbisik. Priyayi tersenyum geli.
"Katanya gayamu cool abis. Lihat aja potongan rambutnya, maksudku sih menirumu tapi nggak
sukses karena dia keriting..." sambung Jagad menyeringai lebar. Priyayi menoleh kearah Sita
dan ikutan menyeringai geli.
"Hayooo.... Ngomongin aku ya!" seloroh Sita.
Priyayi tiba-tiba punya ide. "Hei, mau nggak ke butik langgananku" Di sana model bajunya cool
abis. Cocok buat Sita."
Sita ragu-ragu menjawab. "Eengg... Mau banget sih, tapi.... Pasti mahal-mahal ya, Kak....?"
Priyayi tersenyum. "Karena Sita belum bisa cari duit sendiri, aku dispensasi deh."
Mata Sita membesar. "Maksudnya... Gratisan"!"
Priyayi mengangguk. Sita bertepuk tangan.
"Huh, dasar kecil-kecil matre, maunya gratisan," olok Lintang mencibir. Sita balas mencibir.
Tepat saat Priyayi menginstrupsikan Jagad untuk mampir ke plaza tempat butik langganan
Priyayi berada___ yang punya butik adalah sahabat mama Priyayi, jadi namanya dan mamanya
masuk dalam daftar pelanggan yang memperoleh diskon___ponsel Priyayi berbunyi. Ia merogoh
tas jinjingnya. Sally calling.
"Nek, besok malam kita ngadain Malam Drama di apartemen Mala."
Yang dimaksud Malam Drama adalah berkumpulnya para cewek di rumah salah satu dari
mereka untuk menonton DvD film-film drama sampai muntah, baik itu drama komedi romantis,
thriller, maupun tragedi. Meskipun sudah muntah, besok-besoknya tetap aja diulangi nggak
pernah kapok, hehe.... "Apa temannya?"
"Hollywood. Sandra Bullock."
"Wah, bagus tuh!"
Ups. Priyayi baru ingat, ia harus berperan sebagai pasangan baru yang tak terpisahkan.
"Emm... Tapi nggak janji deh, Sal, aku lagi kedatangan saudara Jagad di rumah..." Priyayi
memelankan suara, namun masih tertangkap kuping Jagad.
Saat berjalan dari basement parkir menuju ke dalam gedung plaza, Jagad berujar lirih ke
Priyayi," kalau besok ada acara, aku sendiri bisa antar mereka kok."
"Ah, nggak enak dilihat mereka kalau aku keluyuran sendirian," sahut Priyayi lantas lebih
mendekat ke telinga Jagad. "Bahaya kalau mereka kasih laporan pandangan mata ke ortumu,
kita pergi main sendiri-sendiri."
"Dasar!" timpal Jagad nyengir. "Rapi banget kamu bermain...."
Priyayi ikut nyengir sembari mengedipkan sebelah matanya.
Sampai di dalam, Jagad mutusin untuk melihat-melihat pameran tour and travel yang sedang
digelar di atrium depan plaza, sementara Priyayi menggiring "tamu-tamu ABG" berbelanja sesuai
yang ia janjikan. Semua agen perjalanan yang mengisi pameran itu berlomba-lomba menawarkan paket dengan
harga menarik. Jagad bukannya mau bepergian atau berlibur, tapi tour and travel
mengingatkannya akan seseorang yang sangat berarti.
Ya, Syamila. Gadis itu bekerja paro waktu di agen perjalanan. Kakak perempuannya yang tinggal
berdua bersamanya adalah tour guide di agen tersebut dan berhasil mereferensikan adiknya
mengisi posisi front desk.
Sambil berjalan pelan mengitari stan, Jagad mengenang masa-sama dulu dia mengantar jemput
Syamila dari kampus-kantor-rumah. Urutan perjalanan bisa berubah-ubah tergantung jadwal.
Dan di sela-sela tiga tujuan itu, mereka berdua kerap mampir untuk makan bersama atau
sekadar jalan-jalan. Sederhana memang, tapi waktu itu jagad merasa bahagia.
Lolita Fun Tour dan Travel.
Ini dia. Jagad berhenti di depan stan tersebut. Seorang pegawai sedang melayani pertanyaan
dua orang pengunjung. Dua orang lainnya berdiri melihat-lihat brosur.
Bukan Syamila. Terselip rasa kecewa di benak Jagad karena sebetulnya dia ingin banget melihat
Syamila. Semenjak putus, Syamila menolak dihubungi.
Apa dia sudah berhenti dari tempat ini" Jagad penasaran hendak bertanya kepada pegawai
tersebut. Tapi jagad mengurungkan rasa penasarannya, lalu membalikkan badan untuk
melangkah pergi. Saat itulah Jagad tepat berhadapan dengan Syamila yang belum menyadari
keberadaannya karena berjalan menunduk merapikan gulungan lengan kemejanya.
"Eh..." Syamila hampir menabrak orang yang ada di hadapannya. Ia mendongak dan....
"Hai," sapa Jagad mengangkat telapak tangan kanannya.
Syamila disergap kebengongan yang nggak bisa disembunyikan. Tuhan mewujudkan keinginan
terpendammu, Mim, batin Syamila.
Now what, Mil..." "Lama nggak bertemu," ujar Jagad memecahkan kebekuan.
Syamila tetap terdiam. "Lagi tugas?" Syamila mengangguk. Oke, kuasai dirimu, dorong Syamila pada dirinya sendiri.
"Mau berlibur?" tanya Syamila. Dia merasa gugup dan jantungnya berdegup kencang, sialan.....
"Oh, nggak. Lagi nganter adikki jalan-jalan."
"Mana saudaranya?" Syamila melemparkan pandangan ke sekeliling. Lumayan sebagai dalih
dari keharusan memerhatikan Jagad.
"Oh, eee... Lagi di butik... Emm...." Jagad nggak tahu nama butiknya.".... Di lantai ini juga kok."
"Kok ditinggal, nanti kesasar lagi...." Ucapan halus Syamila untuk mengusir Jagad karena ia
nggak tahan ditatap Jagad senanar ini lebih lama lagi.
"Nggak sendiri, ada Yay... Eee... Yaa... Sama temanku juga," sahut Jagas hampir keceplosan
mengatakan ' Yayi.' "Aku harus kerja, maaf..."
Jagad mengangguk, begitu Syamila membalikkan badan, jagad memanggil. "Mil...."
Syamila menoleh. "Iya?"
"Senang bisa melihatmu lagi. Aku...."
"Maaf, aku benar-benar harus kerja sekarang. Met jalan-jalan," potong Syamila mengakhiri
pembicaraan dan bergegas kembali ke mejanya, menyibukkan diri dengan pengunjung. Tapi
matanya mengikuti Jagad sampai cowok itu tidak tampak lagi. Syamila mengembuskan napas
panjang seraya mengempaskan punggungnya di sandaran kursi. Rasa rindu dan sakitnya makin
bertambah. Duh.... Malam, mengatur posisi
Pulang dari jalan-jalan, Priyayi mengatur posisi.
"Ini kamar kalian. Tempat tidurnya muat sih untuk dua orang tapi agak mepet." ucap Priyayi di
kamar belakang kepada kedua tamunya di akhir malam.
"Kalau mau longgar, salah satu tidur di kamar depan sama Yayi, aku tidur di sofa," timpal Jagad.
Priyayi melirik ke arah Jagad.
"Nggak usah," sergah Lintang cepat. "Kita di sini aja. Kita nggak mau mengganggu....,"
tambahnya sembari nyengir. Sita terkikik. Priyayi dan Jagad saling melirik dengan arti tersendiri.
Jagad dan Lintang ngobrol di ruang tengah untuk beberapa lama. Sita langsung terlelap begitu
mencium bantal. Priyayi rebahan di kamar. Untuk dua malam ini, dia meliburkan kostum tidurnya
yang berkonsep minimalis. Kayaknya baru terlelap sebentar, ada yang mengetuk pintu
kamarnya. Hah, sudah pagi, ya" Cepet amat, gumam Priyayi dalam hati.
Jagad menggaruk-garuk kepala begitu Priyayi membuka pintu.
"Aku nggak bisa masuk, pintunya dikunci...."
Ups. Priyayi nyengir menyadari kealpaannya." sori...."
Jagad menyeletuk iseng sambil melangkah masuk dan menutup pintu kamar. "Apa kata lapotan
pandangan mata, seorang istri mengunci kamar hingga suaminya dibiarin terlunta-lunta tidur di
luar?" Priyayi ngakak seraya melempar bantal ke arah Jagad. Is lantas meloncat kembali ke atas
tempat tidur, narik selimut dan meringkuk coba mengabaikan keberadaan Jagad. Sedangkan
Jagad, merebahkan badannya di tempat tidur itu membuat otaknya, memorinya, perasaannya
otomatis berputar mengenai awal mulai ia berada dalam lingkaran hidup yang sekarang dijalani.
Di tempat tidur inilah TKP-nya. Tempat Kejadian Perkara.
"Yi, kayaknya kita, eh, aku harus kasur lipat," ujar Jagad.
"Hemm.... Setuju banget," timpal Priyayi singkat. Dia berkonsentrasi untuk menghipnotis dirinya
tertidur sesegera mungkin.
Sementara itu Jagad masih setia dengan pikirannya yang berkecamuk. Syamila mau di ajak
bicara tadi...., apa dia sudah bersedia kalau aku menghubunginya, ya" Tapi.... Bisa jadi itu cuma
basa-basi..... Hhh.... Jagad mengubah posisi badannya, menghadap Priyayi yang memungginya. Dia menggeser
badannya menjauh hingga benar-benar berada di pinggir tempat tidur. Matanya menerawang.
Hhh... Nggak gampang harus seranjang dengan cewek seperti begini. Andai dulu bisa
mengendalikan diri, nggak sampai "kehilangan kesadaran", nggak berbuat macam-macam....
"Gad...." Jagad terkesiap kaget dan secepat mungkin membalikkan badan, takut kepergok....
BRUUKK! Hah! Mata Priyayi seketika membuka dan....
"Jagad!" Priyayi menegakkan punggungnya. Kepala Jagad nongol dari pinggir bawah tempat
tidur, meringis. Priyayi nggak bisa menahan tawa.
"Hahaha... Kok bisa jatuh sih, dodol.... Hahaha!"
Jagad kembali naik ke tempat tidur, duduk bersandar sambil meringis.
"Enak nggak?" tanya Priyayi kemudian....
"Sialan, bukannya tanya sakit nggak....," protes Jagad bersungut-sungut.
"Hehehe.... Abis kasur gede begini, bisa-bisanya jatuh..."
Jagad meringis tengsin. "Heh, tadi kukira sudah tidur, ternyata masih manggil, aku jadi kaget,
tahu..... Priyayi ikut menyandarkan punggungnya. "Hhh... Nggak bisa tidur nih. Rasanya aneh aja...., dulu
kita di sini dan berakhir.... You know...., rasanya kita ingin mengendalikan semua tapi nggak
bisa....." Jagad mengangguk-angguk setuju, ternyata Priyayi merasakan hal yang sama. "Aku juga nggak
bisa tidur, di sini... "Kita memang butuh kasur lipat," gumam Priyayi.
"Yi..." "Apa?" Jagad diam sejenak. "Emm... Aku tadi...." ia menggantung kalimatnya, ragu untuk bercerita soal
pertemuannya dengan Syamila. Priyayi memajukan punggungnya, menyimak Jagad lebih
saksama. "Ah, sudahlah, nggak penting," sambung Jagad akhirnya, lantas bangkit dari tempat tidur, "Aku
mau nonton TV, belum ngantuk."
Priyayi mengangkat bahu, nggak ngerti dengan sikap Jagad barusan.
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hati-hati jatuh, hihihi....," seru Priyayi meledek. "Tahanan rumah",tanpa daya
Priyayi menunggu siang untuk mandi, menunggu hawa dingin pergi. Selesai mandi, dia langsung
mendekam lagi di kamar. Tepar, tewas. Ambruk. Itu yang menimpa Priyayi. Penyebabnya" Apa lagi kalau bukan karena
kelelahan. Maraton kerja, memenuhi acara keluarga, jadi tuan rumah, ngumpul bareng temanteman, dan kencan dengan Jimmy.
Priyayi sebal. Selain karena merasakan sakit itu sendiri, kesebalan Priyayi adalah karena sikap
Jagad yang menuruti berlebihan, sampai-sampai ia terispirasi menjuluki Jagad memaksanya ke
dokter yang bikin dia harus menelan obat yang kini teronggok di meja. Tekanan darah Priyayi
mengkhawatirkan rendahnya. Mengkhawatirkan Jagad, bukan Priyayi. Priyayi sih udah pernah
seperti itu sebelumnya, jadi nggak begitu cemas. Dan Jagad selalu (dan nggak pernah bosan)
mengingatkan untuk minum obat. Bahkan karena tahu Priyayi malas-malasan, Jagad bela-belain
menghitung jumlah obat yang tersisa.
"Kamu nggak mau sembuh sampai akhirnya ketahuan mama-papamu?"
Iya sih, Priyayi lebih ogah sakit di bawah pengawasan mamanya. Sangat tidak menentramkan
jiwa. Rasanya lebih baik menjual jiwa daripada berada di bawah cengkeraman sang mama, hihi.
"Iya, tapi kalau gini-gini amat, kamu nggak jauh beda ama Mama. Kamu mau disamain ama ibuibu cerewet?" balas Priyayi cemberut.
Saat Yasmin menelepon, Priyayi malah dibuat lebih cemberut.
"Namanya juga suami, wajar dong kalau cemas, hihihi....."
"Kamu sama aja, bikin sebel! Tapi yang lebih sebel, jadi batal ngerayain ultah rame-rame nih.
Sedih....," keluh Priyayi.
Untuk meredakan kebeteannya, Priyayi bermalas-malasan di tempat tidur. Sebentar
memejamkan mata, eh, ketiduran.
Priyayi dibangunkan oleh suara nyaring ponselnya.
"Hai, sayang, aku bebas siang ini. Mau makan siang bareng?"
Suara Jimmy menyusup telinga Priyayi.
Ah ya, Jimmy belum tahu Priyayi tepar. Habisnya, cowok itu nggak menelepon dua hari ini.
"Aku lagi nggak ngantor, tepar, kecapekan."
"Kamu sakit?" "Iya." "Kenapa nggak bilang-bilang?" Nada suara Jimmy cemas. Priyayi senang mendengarnya.
"Nggak apa-apa disuruh banyak istirahat. Makanya kamu jangan lupa istirahat, jangan
kebanyakan kerja." Jimmy tertawa. "Baik, Bu. Terus, jadi ngerayain ultah ama teman-temanmu?"
Priyayi mendesah." Kayaknya nggak jadi, aku nggak boleh ke mana-mana.."
Jimmy termangu begitu telepon ditutup. Dia nggak ke mana-mana.... Kalau begitu aku akan
memberinya kejutan..... Rencana mendadak, persiapan
"Pesta di rumah?" ulang Jagad menirukan Yasmin yang meneleponnya, ngusulin mereka bikin
acara makan-makan di rumah Priyayi untuk merayakan ulang tahun gadis itu. Yasmin bertutur
kepada Jagad mengenai keluhan Priyayi, mulai dari kejengkelannya terhadap Jagad sampai
batalnya hang-out rame-rame di hari ulang tahunnya. Jagad tertawa saat Yasmin bilang Priyayi
menjulukinya "Lifeguard". Bisa-bisanya....
Jagad memang otomatis bereaksi over setiap orang-orang dekatnya sakit. Sudah kebiasaan di
keluarga. Itu yang dilakukan jika Kakak atau adik perempuannya sakit sewaktu mereka masih
tinggal serumah. Dulu saat status mereka masih teman biasa dan nggak serumah, dia nggak
ambil pusing ke Priyayi jika gadis itu sakit. Berhubung sekarang mereka terkondisikan lebih dekat
dan lebih peduli, sikapnya jadi over juga ke Priyayi.
Hemm... Dibikin acara apa ya, biar berkesan nggak cuma kadar makan-makan" Pikir Jagad.
Yasmin bagi-bagi tugas dengan Jagad. Ia mengurus kue tar, minuman, dan kudapan ringan,
sementara Jagad mengurus makan besarnya.
"Yang praktis aja, bisa kamunya nggak kerepotan. Ajak Tio buat bantu-bantu," saran Yasmin.
Saat mereka membereskan tumpukan kertas ulangan murid-muridnya, mata Jagad tertuju pada
satu lembar ulangan paling atas. Di pojok kanan tercantum nama murid: Mila Ramadhani.
"Mila... Pesta barbekyu....! Pikiran Jagad seketika terkoneksi pada ulang tahun Syamila dua
tahun lalu, mereka mengadakan pesta barbekyu di pantai beramai-ramai.
Tiing! Ide acara telah ditemukan!
Jagad lantad menelepon adiknya, Lintang.
"Aduh, Kak, hari jumat aku ada kuliah. Kenapa nggak sabtu aja sih" Lagian Kak Jagad juga
kerja, kan?" "Ulang tahunnya hari jumat. Aku ngajuin izin. Kamu titip absen aja. Nggak ujian, kan"! Pokoknya
jumat pagi kamu udah di sini, terus kita belanja bareng, oke?"
Jagad menetapkan Lintang sebagai koki di pesta nanti. Dan sepulang kerja dia melajukan
mobil___selama Priyayi sakit, mobilnya dipakai Jagad___ke "rumah" lamanya, menemui mantan
teman serumah sekaligus pemilik rumah itu merangkap sahabat baik, Danu.
"Ini dia, ready to use," ujar Dadnu sembari menyeret alat yang hendak di pinjam Jagad.
"Thankd, buddy!" sahut Jagad menepuk lengan temannya itu.
Lantas bersama Danu, ia mengangkat alat pembakaran untuk barbekyu tersebut ke mobil.
Sebelum datang, Jagad sudah menelepon Danu soal rencananya. Kepada Danu, Jagad memang
terbuka mengenai kehidupan pribadinya. Danu sudah melewati masa Jagad jomblo, bersama
Syamila, sampai kejadian dengan Priyayi yang bikin Danu geleng-geleng kepala.
"Perasaanmu sudah lain nih ke dia?" tanya Danu, menyimpulkan dari kesudian Jagad bikin acara
ulang tahun segala. Jagad menyeringai. "Nggak. Ini ide sahabatnya. Berhubung aku yang serumah, dan tahunya
teman-teman Yayi kan aku suaminya, jadi otomatis terlibat."
"Ajaklah dia kemari. Kamu kan selalu ngenalin pasanganmu ke aku," celetuk Danu.
"Eee.... Ralat, dia bukan pasanganku...."
Danu tertawa, menepuk jidatnya. "Oke, oke. Maksudku, aku ingin kenal dengan Priyayi. Aku
cuma tahu pas acara pernikahan."
Jagad meringis. "Iya, kalau ada waktu kuajak main kerumahmu."
"Gad, pada akhirnya..... Kamu berharap kalian akan jadi pasangan sesungguhnya nggak?"
Jagad mengangkat bahu. "Nggak tahu, Nu. Hati nggak bisa dipaksa arahnya."
"Dia cantik pas di acara itu," celetuk Danu.
"Oh yeah, dia cantik setiap hati," timpal Jagad. "Dan dia sudah mengambil hati keluarga
besarku." Mereka berdua tertawa.
"Tapi soal hati nggak bisa dipaksa...." tiru Danu. Kemudian dia teringat sesuatu. "Omong-omong
soal hati, Mila pernah menanyakan soal kamu ke aku."
Jagad tertegun. "Dia nanya soal aku" Kapan" Kamu bilang apa?"
"Sudah agak lama. Aku nggak bilang apa-apa."
"Bagus. Makasih." Jagad diam sejenak sebelum menyambung, "Aku nggak sengaja bertemu dia
belum lama ini. Sikapnya sakit banget ya, Nu...."
Danu menepuk punggung Jagad, menenangkan sahabatnya.
"Dia akan baik-baik saja, teman." Persiapan, ceria
Priyayi dkejutkan dengan kedatangan Lintang dan banyaknya belanjaan yang dibawa bareng
Jagad plus cake coklat buatan mama Jagad.
"Selamat ulang tahun, Kak. Ini dari Mama," tukas Lintang seraya memberi ciuman pipi.
"Makasih banyak ya. Tapi..." Priyayi mengernyit bingung dan menunjuk ke banyaknya tas
belanjaan. " ini semua apa?"
Lintang mengarahkan jari menunjuk Jagad. Jagad meringis kemudian menuturkan rencananya.
"Astaga! Jadi malam ini kalian ngadain pesta untukku?" seru Priyayi kegirangan. Tahu-tahu
Priyayi meloncat memeluk Jagad.
"Asyiiik! Thanks you soo much, buddy!"
Belum sempat Jagad membalas pelukan, Priyayi sudah meloncat memeluk Lintang. Yaah....
Bukan rezeki, batin Jagad. Hehe....
"Kamu pasti dihasut kakakmu supaya bolos hanya untuk bantu dia," tebak Priyayi menuduh di
depan Jagad. Lintang hanya cengengesan.
Jagad membalas sengis. "Sok tahu! Lintang cuma ingin ngambil jatah absennya yang belum
pernah diambil..." "Eee... Sebenarnya udah dua kali...," sela Lintang meralat ucapan kakaknya.
"Nah, dia ingin ngambil jatah selanjutnya....," timpal Jagad membelokkan kekeliruan. Priyayi
mencibir. "Lintang aku benar-benar nggak tahu lho. Jadi kalau ada apa-apa dengan prestasi akademismu,
kesalahan penuh ada pada kakakmu."
"Tuh, sudah di bikinin pesta, kayak begitu balasannya," seloroh Jagad.
Priyayi ngakak. Dia ceria banget hari ini. Dengan penuh semangat dia ikut membantu-bantu. Dia
juga menelepon Yasmib berkali-kali menanyakan detail makanan dan minuman uang dibeli. Pake
cerewet pula. Yasmin dibuat bete jadinya. Walhasil, dia nggak lagi seratus persen lulus bikin
pesta untuk Priyayi! "Yi, kamu istirahat sana. Jangan lupa minum obatnya. Kalau nggak istirahat, nanti malam ambruk
lho," tutur Jagad. Priyayi yang berdiri di samping Lintang di dapur berbisik, "Aku serasa masih tinggal serumah
dengan mamaku." Lintang terkikik. Priyayi ngelanjutin, "Kamu merasa begitu nggak sih" Mungkin bukan mamamu,
tapi nenekmu barang kali....?"
Lintang makin terkikik. "Iya, bener banget, kak."
"Ayo, bandel, makan dulu," cetus Jagad. "Kita juga makan, Lin.
Kalau nggak begitu, orang satu ini maunya makan nanti pas pesta."
Priyayi mencibir, tapi menurut juga. "Iya, Nek," ledek Priyayi. Lintang tertawa dan ikut menuruti
kata kakaknya. Di sela makan, Lintang memerhatikan Jagad dan Priyayi yang makan sambil sesekali saling
meledek. "Kalian pasangan yang ceria ya, jadi iri deh," celetuk Lintang.
Kontan Jagad dan Priyayi menghentikan suapan masing-masing dan melongo.
"Hah?" "Apa?" Tanpa ada yang memberi aba-aba, keduanya serempak ingsut menjauh. Jagad berdiri ngambil
minum di kulkas, Priyayi pindah ke depan TV. Giliran Lintang yang melongo tak mengerti.
Dibilang pasangan ceria kenapa jadi pada salah tingkah, ya" Pasangan yang aneh.....
part* 26 Perayaan, "uji akting"
Beberapa jam kemudian, bersamaan dengan jam pulang kantor, satu dua orang mulai nongol di
rumah Priyayi dan makin bertambah setelah matahari tenggelam. Ada yang langsung dari
kantor___biasanya pasa numpang ngopi atau tidur-tiduran___ada yang pulang dulu atau pergi
memenuhi urusan lain dan agak malam baru datang. Restu masuk dalam golongan terakhir.
Di halaman, Kumala mengolesi ikan dengan bumbu buatan Lintang, kemudian Jagad
membakarnya secara merata.
"Hummm.... Enaak...." komentar Kumala, mencubit sedikit ikan yang selesai dibakar, kemudian
dimasukkan ke mulutnya. Jagad mendekatkan kepalanya ke Kumala, hidungnya nyungir berlagak mengendus-endus. "Uh,
bau ikan semua. Rugi parfum dong."
"Tak apalah, demi ngerayain ultah sahabat tercinta. Omong-omong, apa kabar kalian" Sebulan
ini aku nggak kontak-kontakan ama Yayi."
"Iya, Yayi pernah ngeluh soal itu."
Kumala meringis, merasa bersalah. "Aku memang nggak punya waktu sebanyak dulu untuk Yayi
dan sahabatku yang lain. Tapi aku berusaha tetap menjadi teman yang baik. So, perkawinan
kalian baik-baik aja, kan" Kalian udah saling menyesuaikan diri?"
Kumala tidak tahu sebanyak Yasmin tahu mengenai hubungan Jagad dan Priyayi setelah
menikah. Jagad tersenyum dan hanya menjawab iya. Kesibukannya membakar ikan bikin orang
lain___ dalam hal ini,Kulama___memaklumi bahwa Jagad tidak bisa ngobrol banyak saat ini.
Jagad malas berbicara hal-hal yang nggak benar-benar ia alami.
"Baguslah," imbuh Kumala. "Gad, mungkin Yayi masih butuh waktu untuk bisa melupakan
Jimmy, jadi bersabar aja, oke."
Jagad terbatuk. Cukup, aku harus menghentikan obrolan ini. Batin Jagad.
"Kamu kemana aja sebulan ini." tanya Jagad membanting arah pembicaraan.
Sambil melayani beberapa teman yang meminta ikan bakar, Kumala menjawab," Ada teman di
Belanda yang marrid. Karena betah di sana, aku puasin tinggalnya. Sekarang gantian aku yang
jadi host beberapa kenalan di Belanda yang ikut ke Indonesia."
Jagad bersiul. "Kamu sebenarnya layak diangkat jadi duta pariwisata."
Kumala tertawa. "Nggak juga. Aku nggak tahu banyak tempat wisata di Indonesia selain Bali dan
Lombok. Ini aku lagi cari-cari tour agent yang bagus untuk mereka."
Jagad menghentikan aktifitasnya. "Eengg.... Aku punya kenalan...., kenal baik, dengan orang
yang kerja di tour agent yang bonafide."
"Oya" Wah kebetulan banget. Aku pusing mesti pilih-pilih."
"Aku bisa nganter kalau kamu mau."
"Perect. Thanks you."
Keduanya tersenyum, tapi masing-masing untuk tujuan yang berbeda.
"Hooiii.... Kuenya datang! Ayo tiup lilin!" Sally berseru masuk ke dalam.
"Sory kawan, jalan macet gila," ujar Vina yang kebagian tugas mengambil pesanan kue tar.
"Hah, ada kue tarnya!" pekik Priyayi nggak nyangka. Nggak ada yang ngasih tahu sih.
Mereka mengelilingi Priyayi dan kue tar besar tersebut. Jagad berdiri disampingnya. Lilin angak
24 ditiup, kue diiris, dan Priyayi bimbang irisan pertama disodorin kepada siapa. Hampir aja
disodorkan ki Restu sebelumnya menyadari semua menatap Jagad. Sang pasangan. Sang
suami. Itu yang tampak di mata orang-orang sedunia.
Sambil menerima irisan kue, Jagad agak kikuk mencium pipi kiri dan kanan Priyayi. Tak ayal
beberapa orang protes. "Huuu.... Basiiii! Kayak orang yang udah kawin emas aja, cuma cium pipi!"
"Iyaaa. Tunjukin dong gairah pengantin baru!"
"Iya, biar kita termotivasi untuk mengawini pacar kita...."
Celotehan ngga akan berhenti sebelum Priyayi dan Jagad menuruti mereka. Muka Priyayi
bersemu merah, dalam hati mengumpat-umpat seluruh temannya itu. Tangan kanan Jagad
meraih dagu Priyayi, mendongakkan wajah Priyayi agak ke atas dan terasa tangannya menekan
dagu Priyayi agar membuka bibirnya.
"Maaf....," bisik Jagad kemudian mencium bibir Priyayi. Sensasi sengatan menyentak Priyayi.
Tepukan riuh dan siulan menyudahi adegan mereka. Yasmin hanya bisa terpana. Nggak bisa
bersuara, berkedip, dan bergerak menyaksikan.
Pipi Priyayi terasa panas, apalagi Jagad memandangnya seakan-akan ingin memastikan reaksi
biologis yang timbul dalam dirinya. Sialan.
Acara makan-makan berlanjut. Nggak demikian dengan Priyayi. Dia menyelinap masuk kamar
dan berdiri di depan cermin. Adegan ciuman tadi berlangsung cepat. Priyayi nggak sempat
menyiapkan mental dan langsung memegang-megang kedua pipinya meredam panas. Di
meraba bibirnya. Aduh, kenapa jadi begini"
Pintu kamar terbuka pelan. Priyayi kaget dan secepat kilat merain ponsel.
"Eee.... Kakek telepon, ngucapin selamat ulang tahun,"Cetus Priyayi mengajukan alasan palsu
kenapa tadi langsung masuk kamar.
Jagad cuma manggut-manggut. Ada jeda hening. Priyayi masih belingsatan berduaan dengan
Jagad sekarang. Jagad berdiri di belakangnya. "Eengg.... Maaf soal ciuman itu, semua demi...."
"Akting," sahut Priyayi cepat. "Itu akting terberat kita ya," imbuhnya tersenyum. Gugup.
Jagad terdiam beberapa lama sampai akhirnya menjawab, "Ya."
Terdengar suara ketukan di pintu kamar.
"Sori..." Yasmin yang ada di depan pintu. "Ada.... Jimmy."
"Apaaa?" seloroh Priyayi terperangah kaget. Ia langsung menghambur menuju pintu depan
rumah. Jagad bergegas menyusul. Yasmin juga.
Di teras, Jimmy berdiri kaku. Tangan kanannya membawa sebuket mawar. Sebagian besar yang
berada di sana terpana dengan kehadiran Jimmy. Hampir semua tahu dulu Jimmy adalah pacar
Priyayi. Dan setahun mereka tentu saja hubungan mereka berakhir karena pernikahan Priyayi.
Makanya, kalau lantas Jimmy ada di sini, itu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan. Ada apa
di balik cerita mereka sesungguhyna" Udah kayak infotaiment aja.....
Hawa panas menerpa sekujur tubuh Jimmy. Saat ini yang ia rasakan adalah malu dan..... Marah.
"Jimmy...," panggil Priyayi saat berdiri di depannya. Jimmy masih mematung. Ia benar-benar
tidak menyangka keriuhan yang ia saksikan.
"Jim...." Priyayi makin mendekat.
Jimmy mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri setenang mungkin. "Wah,
ada pesta ya. Tadi di jalan tiba-tiba teringat kamu ulang tahun hari ini, makanya aku mampir.
Selamat ulang tahun." Jimmy menyodorkan buket mawar kepada Priyayi. Priyayi menatap Jimmy
tanpa berkedip. "Maaf, mengganggu. Kalau begitu aku pulang dulu, masih ada urusan lain." Jimmy
menganggukan kepala kemudiam berjalan pergi. Priyayi terpaku.
"Ee... Biar aku antar sampai mobil. " Yasmin mengambil inisiatif memecah kekakuan suasana.
"Biar aku aja," sergah Priyayi dan bergegas menyusul Jimmy.
"Baiklan. Ok, everybody, siapa mau cocktail?" Tio, tolong bikinin cocktail buat kita duoongg!" seru
Yasimb berusaha mengembalikan perhatian teman-teman pada pesta.
Di sudut teras, Tio berjalan menuju pantry melaksanakan instrukso Yasmin. Ia menepuk bahu
Jagad yang masih berdiri menatap ke arah pagar. "ayo, teman, bantu aku meracik cocktail." ajak
Tio berusaha mengalihkan perhatian Jagad.
Semetara itu, agak jauh dari rumah, Jimmy dan Priyayi berdiri berhadapan.
"Kamu bilang nggak ada acara apa-apa."
Priyayi menyahut dengan wajah tegang. " waktu aku bilang itu, aku nggak tahu apa-apa."
"Kejutan dari Jagad?" Tanya Jimmy sinis.
"Bukan. Itu ide mendadak teman-teman. Jim, kenap kamu nekat kemari" Aku kan udah bilang
kita bertemu di luara aja. Aku khawatir sewaktu-waktu orang-orang bisa datang...."
Jimmy memotong, " aku hanya ingin menghiburmy yang sakit dan nggak bisa merayakan ulang
tahun. Aku ingin kasih kamu kejutan, tapi... Aku malah terkejut." Nada bicara Jimmy getir. "Aku
hanya ingin membuatmu senang, itu aja."
Jimmy lalu merogoh sakunya, mengeluarkan kotak mungil dan menyodorkan kepada Priyayi.
"Butuh berhari-hari memikirkan hadiah yang tepat untukmu. Nggak mungkin cincinm karena akan
terlalu banyak cincin di jarimu. Kalung juga terlalu mencolok perhatian...."
Hati Priyayi tersentuh mendengar penuturab Jimmy. Jimmy meraih tangannya dan menyerahkan
kotak mungil ke telapak tangan Priyayi.
"Ini gelang. Orang-orang nggak akan merhatiin, kalau itu yang kamu khawatirkan. Terimalah.
Setelah itu aku nggak akan buat kamu khawatir lagi."
Jimmy lalu berbalik menuju mobilnya. Tiba-tiba Priyayi memeluknya erat dari belakang. Jimmy
terenyak.
Pasangan Jadi Jadian Karya Lusiwulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maa. Maafkan aku," ucap Priyayi.
"Niat baik tulus nggak berharga lagi. Aku nggak tahu lagi..." tukas Jimmy lalu melepaskan kedua
tangan Priyayi yang mendekap perutnya, melangkah terus masuk mobil dan menghilang dari
pandangan Priyayi. Dada Priyayi terasa sesak. Ia tertegun di tengah jalan. Kenapa kamu sekejam iru, Yi.... Rutuknya
menyesal. Ia ingin menangis tapi nggak mungkin sekarang.
"Oke, Yi, kuatkan dirimu malam ini. Jangan bikin suasana tambah runyam. Pasang wajah ceria.
Ceria! Ayo ceria!" Priyayi mendoktrin otak dan sarafnya. Kemudian ia kembali dalam keceriaan
pesta. Pagi, tersadar Priyayi tiba-tiba terbangun, menegakkan punggung dan nahan napas. Empat, lima, enam detik
kemudian ia meloncat dari tempat tidur....
"Aooww!" Suara erangan berasal dari lantai tempat Priyayi mendaratkan kaki.
"Upss...." pekik Priyayi tertahan. Di nggak ingat kalau semalam Jagad tidur di kasur lipat ke
kamarnya karena kamar Jagad di pake Lintang.
"Uuh... Lagi-lagi diinjak," protes Jagad.
Priyayi buru-buru merosot ke lantai. "Maaf, nggak sengaja. Sakit, ya?" ia mengurut-urut betis
Jagad, tanpa memikirkan "efeknya" ke cowok itu,
Jagad terpaksa ikut bangun dan menepis tangan Priyayi. Remasan tangan cewek___tanpa
dihalangi lapisan kain pula___di pagi hari adalah stimulus besar. "Udah, sana....."
Priyayi meringis lalu segera ke kamar mandi. Kembali ke kamar, dia tergesa-gesa mengambil
pakaian dari lemari. Saat hendak mencopot kaus, dia baru ingat. Dia menoleh ke arah Jagad
yang kembali tidur. Dengan mengendap-endap, Priyayi menunduk mendekati Jagad. Telapak
tangannya melambai-lambai di depan muka Jagad, memastikan Jagad benar-benar tidur.
Ah, aman, batin Priyayi kemudian kembali ke depan lemari untuk berganti baju. Ia mengenakan
gelang pemberian Jimyy, meraih kunci mobil, dan berjingkat-jingkat menuju pintu.
"Mau ke mana pagi-pagi begini?"
Priyayi terkesiap kaget. Jagad belum tidur! Gagang pintu yanng sudah digenggamnya langsung
dilepas. Ia meringis sekaligus mengkeret. "Eee.... Ke rumah itu.... Eee Yasmin...."
Jagad menegakkan punggung dan mengusap-usap rambutnya.
"Biar kuantar, aku cuci muka dulu sebentar."
"Oh nggak usah! Aku bisa sendiri!" sergah Priyayi.
"Heh, kamu ini masih sakit."
"Nggak, udah nggak apa-apa kok. Bener! Suer!" Priyayi ngotot lengkap dengan jari telunjuk dan
jari tengah membentuk huruf V.
"Udahlah kuantar aja, biar aku nggak khawatir."
"Eee... Sebenarnya aku mau ke rumah.... Jimmy...." Priyayi terpaksa mengaku. Jagad
menghentikan gerakannya merapikan rambut, terdiam.
"Eeengg.... Ada yang harus kuomongin dengan dia...," tambah Priyayi.
Benar dugaanku, pasti ada sesuatu semalam, batin Jagad.
"Kamu kuantar sampai depan rumahnya." Jagad keluar kamar untuk mencuci muka.
Priyayi menghela napas. Dia merasa nggak enak ke Jagad. Tapi sudahlah.... Yang penting aku
bisa ketemu Jimmy secepatnya.....
Diperjalanan, Priyayi nggak bisa nahan penasarannya.
"Tadi setelah aku injak kakimu.... Kamu nggak tidur?"
"Nggak." Apa?" Priyayi melirik Jagad yang berkonsentrasi nyetir.
"Jadi, kamu tahu.... Aku gant.... Eh, aku ngapain aja?"
"Nggak juga." Priyayi mengembuskan napas lega. Jadi dia nggak melihatku ganti baju. Priyayi melirik Jagad
sekali lagi. Jaagd balas memandang Priyayi. Priyayi segera membuang muka ke luar jendela.
Jagad berdeham. "Kenapa memangnya" Kamu ganti baju?"
Priyayi spontan noleh memandang Jagad dengan wajah setengah panik. "Jadi, kamu melihatku?"
Jagad nyengir. "Aku kan sudah bilang nggak."
Priyayi memejamkan mata, merasa malu. Aduh, kamu ceroboh sekali, Yi!
Santai aja. Kita toh sudah pernah lebih dari itu kan..."
Priyayi makin memejamkan mata rapat-rapat. Aduh... Ini memalukan!
Jagad nggak bida menahan tawa melihat Priyayi.
Sesuai permintaan Priyayi, Jagad memarkir mobil nggak tepat di depan rumah Jimmy.
"Aku tunggu di sini," cetus Jagad.
"Jangan, kamu pulang aja. Biar nanti Jimmy yang mengantarku."
"Kamu yakin?" Priyayi mengangguk. Sebenarnya dia nggak yakin.
"Baiklah." Priyayi turun dari mobil.
"Yi...." Priyayi menunduk melihat Jagad.
"Tetap berjuang," ujar Jagad seraya ngepalin tangan. Priyayi tertawa dan menirukan Jagad.
"Tetap berjuang. Thanks."
Setelah Priyayi masuk rumah Jimmy, Jagad nunggu beberapa lama untuk memastikan Priyayi
diterima di dalam. Ia tersenyum mengingat ia harus mencium Priyayi di hadapan teman-teman.
Tetap berjuang, kamu sendiri, apa yang kamu perjuangkan sekarang ini, Gad..." Gumam Jagad
bertanya pada diri sendiri. Lebih tepatnya, menyindir.
Jagad melajukan mobil ke arah jalan yang dulu sering dilewati. Agak jauh dari rumah bercat
putih, Jagad berhenti beberapa lama. Tanpa disangka, ada yang keluar dari rumah tersebut dan
membuka pagar. Dia yang seharusnya kuperjuangkan, batin Jagad miris.
Yang keluar dari rumah dan membuka pagar adalah Syamila. Berbaik hati, harus bahagia
Priyayi menelantangkan badan di atas tempat tidur di kamarnya sendiri. Diangkatnya
pergelangan tangan kanan. Diamat-amatinya gelang emas pemberian Jimmy.
"Hubungan kita melibatkan orang lain, jadi memanf sama nggak mudah tapi bukan berarti nggak
bisa," ujar Priyayi saat ia mendatangi rumah Jimmy pagi-pagi itu. Priyayi sedang mencoba
menyakinkan Jimmy bahwa kedatangan Jimmy waktu iu sebenarnya sangat berarti baginya dan
memastikan cowok itu tidak kecewa pada dirinya, serta mau memaafkannya.
"Kita lihat nanti." Jimmy menanggapi dengan dingin. Dan itu membuat Priyayi gundah.
Sepertinya Jimmy berubah, nggak yakin lagi dengan keputusannya mempertahankan hubungan
ini, pikir Priyayi. Dia tampak siap melepaskan aku... Tapi aku nggak siap....
Kecamuk pikiran Priyayi buyar ketukan di pintu kamarnya.
"Buka aja," jawab Priyayi seraya bangun dan duduk di tempat tidur.
"Aku pinjam mobilmu ya, mau balikin alat barbekyu."
Priyayi mengangguk. "Thanks." Beberapa detik setelah Jagad menutup pintu kamarnya....
Tebersit di pikiran Priyayi untuk ikut. Dia bergegas membuka kamar.
"Eeehh!" Ternyata Jagad masih di depan kamarnya. Nyaris saja Priyayi menubruknya. Keduanya
berhadapan sangat dekat, tapi mereka hanya diam dan saling menatap. Rasanya Jagad ingin
mendorong Priyayi seketika masuk kembali ke kamar dan mereka....
"Eeeh.... Aku mau ikut," cetus Priyayi memecah keheningan sekaligus memecah fantasi Jagad.
"Kenapa mau ikut....?" Jagad diam di tempat dan terus memandangi Priyayi, sampai-sampai
Priyayi harus mendorong badan Jagad agar dirinya bisa lewat.
"Mau ikut ngucapin terima kasih!" seru Priyayi yang berjalan keluar rumah. "Beli pizza dulu ya!"
sekitar sejam kemudian, mereka sampai di depan rumah Danu. Baru pada kunjungan kedua ini
Priyayi memerhatian tempat tinggal Jagad di masa silam ini cukup teduh, banyak tanaman di
halaman depan. Lain dengan halaman rumahnya yang gersang. Baru akhir-akhir ini saja, setelah
Jagad "bergabung" menjadi penghuni, halamannya jadi lebih asri. Mungkin Jagad ketularan hobi
Danu merawat tanaman atau memang hobinya juga begitu. Atau dia cuma terlalu risi dengan
kegersangan halaman rumahya!
"Dia tahu kita," bisik Jagad membuka pagar.
"Dia tahu kita datang?" Priysayi ikut berbisik.
"Ya, tapi bukan itu yang kumaksud. Dia tahu soal rahasia kita."
"Ooo...." Priyayi mengangguk mengerti.
"Kamu punya Yasmin, aku punya dia."
Priyayi berhenti dan menarik lengan baju Jagad, memintanya berhenti juga.
"Dia juga tahu soal aku dan...."
"Oh itu, nggaklah. Maksudku hanya soal kita tidur bareng dan menikah nggak sungguhan.
"Dia tahu kita pernah.... Itu...?" Priyayi sudah merasa malu padahal belum bertemu Danu.
"Aduh, kamu ini...." Jagad mulai lemas. "Aku kan juga butuh teman curhat. Lagian dia maklum,
kita mabuk waktu itu."
"Whatt"! Dia tahu kita mabuk"!" Priyayi berseru tapi dengan suara berbisik. "Aduh, aku kan jadi
malu...." "Heh, aku nggak protes kamu cerita ke Yasmin! Lagian lebih dimaklumi orang yang nggak saling
cinta tidur bareng dalam keadaan nggak sadar....." suara Jagad nggak berbisik lagi dan itu
membuat Danu bahwa tamu-tamunya sudah datang.
"Wah, wah, kalau cuma untuk ngobrol berdua, ngapain jauh-jauh datang kemari," gurau Danu.
"Tahu nih, Yayi."
"Kok aku sih....?"
Danu tertawa melihat Jagad dan Priyayi saling manyun. "Hei, aku nggak peduli dengan kalian.
Aku cuma menagih pizza yang kamu janjiin, Gad."
Pas mau masuk, ponsel Priyayi berbunyi. Dari Jimmy. Priyayi berdeham. "Kalian masuk aja
dulu." Jagad dan Danu masuk, membuka bungkusan pizza dan mulai menyantao roti Italia yang sudah
terpotong-potong itu. "Kamu kelihatan beda sekarang," ujar Danu.
"Beda gimana?" "Lebih... Emm.... Rumahan, udah jarang ngumpul-ngumpul.
Jagad tertawa. "Sekarang aku harus terlibat dalam keluarga Yayi. Dan teman-temannya."
"Udah punya tanggung jawab gede sekarang, membawa hidup anak orang."
"Nggak juga. Kamu tahu sendiri hubunganku kayak gimana sama Yayi."
"Hubungan kalian memang aneh. Nggak wajar, nggak sehat, tahu nggak"!" komentar Danu.
Jagad menghela napas, menghentikan kegiatan ngunyah-mengunyah. "Jujur, Nu, kadang kalau
melihat Yayi, apalagi kalau ada saudara yang menginap sehingga kami harus sekamar...."
"Satu tempat tidur"!" sela Danu.
"Nggak. Tapi tetap saja kadang ada keinginan.... Yaaahh.... Apalagi kalau ingat dia istri sahku,
berarti aku punya hak, kan...."
"Itulah maksudku nggak sehat tadi," timpal Danu
Jagad memajukan badannya, mendekat ke Danu, dan memelankan suara, "Seperti tadi, dia
Wanita Iblis 12 Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena Tasbih Emas Bidadari 1