Pencarian

Piano Di Kotak Kaca 1

Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica Bagian 1


PIANO DI KOTAK KACA Karya: Agnes Jessica BAB 1 "CERAIKAN saja aku, ceraikan!!!"
Plakkk! Terdengar suara perempuan menangis lalu terdengar suara benda jatuh.
"Kau pikir aku tidak mau" Ya, kita cerai saja!"
Sheila menutup kupingnya dengan tangan erat-erat. Matanya terpejam lalu dari sela-sela bulu
matanya mengalir air mata. Selalu begini tiap hari. Apa mereka tidak memikirkannya"
Pernahkah mereka memikirkannya barang sebentar" Pernahkah mereka berpikir bahwa ini
menyakitkan" Suara-suara ribut seperti ini bagai mengimpit jiwanya sampai ia mau mati rasanya.
Itu suara pertengkaran orangtuanya. Sheila cuma remaja yang berusia lima belas tahun yang
mestinya belum mengerti apa-apa. Satu-satunya yang dapat ia pelajari dari hubungan ayah dan
ibunya hanyalah perselisihan. Bisa saja ibunya berdalih bahwa ia terlalu muda ketika ia menikah
dengan ayahnya dulu, baru genap tujuh belas tahun usianya. Bisa saja ayahnya berdalih bahwa ia
salah memilih istri, yang selalu membuat marah suami. Tapi apakah mereka pernah berpikir
bahwa pernikahan mereka telah melahirkan dirinya" Lalu apa dirinya" Ia pasti bukan buah cinta
seperti yang di sebut-sebut pemain sinetron ketika menyebut anak. Ia adalah buah dari hubungan
yang tak diharapkan, hubungan tanpa cinta.
"Aaaaaaa!!!!" terdengar teriakan lagi.
Sheila mengetatkan lagi telapak tangannya di telinga, tapi suara-suara itu masih saja terdengar.
Itu pasti suara ibunya, berteriak karena dipukul ayahnya. Mereka bahkan tak pernah mencoba
untuk membuat pertengkaran ini tak didengarnya.
Tok tok tok! Sheila bisa mendengar bunyi pintu diketuk, karena kamarnya terletak di dekat pintu masuk.
Kalau ia diamkan saja pasti ayahnya mengomel. Munkin tukang pos, petugas PAM , atau Pak RT
yang ingin menginformasikan sesuatu. Ia keluar dari kamar, menghapus air matanya, dan
membuka pintu. "Pak RT?" katanya mengenali. Dilihatnya Pak RT datang bersama Pak Basir dan Bu Endang
tetangga sebelahnya. "Ehmm, papamu ada?" tanya Pak RT melihat gadis kecil dihadapannya. Sheila bahkan tak
bertumbuh besar seperti remaja belasan tahun pada umumnya. Anaknya yang baru berusia tiga
belas tahun saja sudah mulai menampakkan bentuk tubuh gadis dewasa, sedikit rasa simpati
menyelinap di hatinya. Keluarga Sheila sudah terkenal di lingkungannya sebagai keluarga yang
tak pernah akur. Ayah Sheila sering memukul anak dan istrinya, dan pertengkaran selalu
terdengar dari rumah mereka, setiap hari. Tak heran pertumbuhan anak mereka terhambat. Kali
ini ia datang karena pengaduan dari dua tetangganya yang khawatir mendengar pertengkaran
hebat dari rumah ini. "A....da." jawab Sheila ragu-ragu."Tapi...."
"Coba tolong panggilkan. Bilang Pak RT datang, begitu."
Sheila mengangguk dan masuk rumah. Sebenarnya ia malas mengintrupsi pertengkaran orang
tuanya, karena pernah ia lakukan sekali malah kena sasaran.
Tak lama, Charles keluar bersama Mira. Wajah Mira tampak membiru, tapi ia menutupinya
dengan rambut yang dugeraikan.
Pak RT berkata ramah dan sesantai mungkin, "Bagaimana ini Pak Charles" Bertengkar lagi?"
karena sudah biasa Pak RT tak sungkan lagi bertanya.
Wajah Charles tersipu. "Cuma ribut-ribut kecil antara suami-istri, Pak RT. Biasa kok."
"Ya, memang biasa. Tapi kan mengganggu tetangga. Lahi pula, kekerasan dalam rumah tangga
sydah ada undang-undangnya lho. Bagaimana ini" Apa perlu saya laporkan pada yang
berwajib?" Charles melempar pandangan marah pada Pak Basir dan Bu Endang yang langsung menundukan
kepala. Charles memang terkenal pemarah, dan tak pernah pandang bulu menghadapi orang.
"Tidak usah, Pak RT. Kami sudah baikan kok." jawabnya cepat.
Pak RT bertanya menyelidik "Benar Bu Mira.?""
"I.....ya, Pak." jawab Mira. Sudut bibirnya berdarah tapi ia menyekanya dengan tangan.
Pak RT cuma geleng-geleng kepala, kalau sang Istri tidak mau menutut ia bisa apa"
"Ya sudah, Pak Charles, Bu Mira jangan bertengkar terus dong. Malu sama tetangga. Lagian
kasihan Sheila. Dia sudah besar. Sudah kelas berapa?"
"Tahun ini lulus SMP, Pak."
Mira memeluk Sheila dan menghirup keharuman rambut anaknya. Meskipun rambut Sheila tidak
terlalu harum dan sedikit bercampur dengan bau matahari, Mira selalu senang memeluk anaknya,
seolah-olah Sheila baru lahir kamarin sore. Ya, ini bayinya, kesayangannya.
"Kamu sudah besar,Nak." katanya. "Bagian sini sudah tumbuh..." ia menekan dada gadis itu.
Sheila menggelinjang kegelian. Ia mendongak menatap ibunya, lalu mengusap luka merah di
sudut bibir ibunya." Sakit, Ma?"
Air mata mengalir di pipi Mira. "Cuma sakit hati." jawabnya pendek.
"Kenapa papa memukuli Mama terus?"
"Mama salah pilih suami."
"Terus kenapa mama kawin sama Papa?"
"Sudah takdir mama nggak bisa berbuat apa-apa. Sama seperti kenapa rambut kita hitam, bukan
pirang. Itu sudah dari sananya." jawab Mira.
Sheila menggeleng. " Rambut memang dari sananya, tapi suami nggak."
Mira mencubit pucuk hidung anaknya. "Jangan bawel. Nanti kamu tahu sendiri kalau sudah
besar." Air mata Mira mengalir. Ia memegang pipi anaknya dengan kedua tangannya, lalu menatapnya
lama sekali. "Kenapa, Ma?" "Mama mau mengingat wajah kamu, mau Mama simpan di hati Mama." Kata Mira serak.
"Kenapa?" "Karena.... Wajah kamu kan nanti bisa berubah. Sebentar lagi kamu jadi wanita dewasa."
"Memang kenapa?"
"Sudahlah jangan nanya terus." tegur Mira. "Ehm..... Kamu sudah lulus ya. Tapi mama tidak
punya uang untuk membelikan hadiah. Mama mau kasih kamu barang kesayangan Mama. Kamu
pilih saja, mana yang kamu suka."
"Huhuyy! Asyik!" Sheila melompat dan membuka lemari pakaian Mamanya. Ia mengeluarkan
kardus bekas mi instan dari rak paling bawah. Dus itu berisi benda-benda kesayangan Mamanya.
Ada topi yang bisa dilipat jadi tas, ada kalung bermanik mutiara, ada bros yang bisa di buka dan
di dalamnya ada foto nenek dan kakeknya dari pihak Mama. Ada dompet bersulam manik pasir,
ada patung wanita yang menggendong anak, ada......
"Nah, ini dia!" Sheila mengangkat benda yang di ambilnya dari dalam kardus. Benda itu adalah
kotak kaca yang di buat dari akrilik bening. Bentuknya seperti kubus dengan rusuk lima
sentimeter. Di dalamnya ada miniatur piano putih yang terbuat dari kayu, yang buatannya sangat
halus. Benda itu di berikan oleh teman ibunya yang akan berangkat ke luar negeri, waktu mereka
masih sekolah. Itu benda mahal, makanya bagus."Aku mau ini, Ma!"
Mira pura-pura kecewa. "Yahh..."!!! Tapi nggak pa-pa buat kamu saja. Jangan sampai rusak,
ya" Mama paling suka benda itu."
"Kapan aku bisa les piano, Ma?"
" Ngelanjutin sekolah aja nggak ada biaya, mau les piano!" gerutu Mira sambil mencubit hidung
anaknya lagi. Sheila tertawa. Kata-kata ibunya benar. Walau ia mesti buru-buru mendaftar untuk masuk SMA
bulan depan, sampai sekarang ibunya belum memberikan uang pangkal yang harus dibayarkan.
Tapi ia yakin, bila tiba saatnya, pasti uang itu ducarikan oleh ibunya. Begitu sifat ibunya, biarpun
berutang pinjam sana-sini, yang penting anaknya bisa sekolah. Tapi kali ini, entah ibunya bisa
pinjam dari mana. Sheila bangun karena bunyi ketukan keras di pintu dan teriakan tetangga. Dilihatnya jam
dinding, sudah menunjukan pukul delapan pagi. Semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan
ibunya. Sudah dua hari ini ibunya tidak ada di rumah, ia khawatir. Biasanya kalau ibunya pergi
pasti bilang padanya. Tapi ibunya tak ada di rumah sejak pagi dua hari yang lalu, dan ayahnya
pun tak tahu kemana perginya.
"Buka!! Pak Charles ! Buka!!"
Sheila berlari ke depan pinti tanpa sempat merapikan penampilannya di cermin. Ia takut gedoran
keras tetangganya bisa bikin rumahnya roboh.
Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ada belasan orang di depan ramahnya. "Mamamu, mana
Sheila?" tanya seseorang yang dikenalnya sebagai Pak Dono, suaminya Bu Endang.
Sheila menggeleng. "Sudah dua hari Mama nggak pulang. Saya nggak tahu Mama pergi
kemana." Pak RT yang maju bicara, "Papamu, ada?"
"Ada apa sih ribut-ribut"!" mendengar suara ayahnya, Sheila mundur dan membiarkan ayahnya
maju. "Bu Mira mana, Pak Charles?"
"Mana saya tahu, sudah minggat kali!" bentak Charles, ia kesal melihat tetangga yang selalu
mencampuri urusan rumah tangganya.
"Pak Charles, kali ini ada laporan serius. Dua malam yang lalu ada yang melihat Bapak
menggotong karung yang cukup besar dan melemparkannya ke kali. Lalu menurut laporan Bu
Endang dan suaminya, sudah dua hari Bu Mira tidak ada, jadi...."
"Jadi kalian menuduhku membunuh istriku sendiri?" Seru Charles garang.
"Penduduk sini resah, Pak. Jadi Bapak harus kami serahkan pada yang berwajib supaya perkara
ini bisa jelas." "Apa?" Charles mengamuk, tapi beberapa laki-laki bersatu padu membekukannya. Mereka membawa
pria itu keluar. Sheila berteriak-teriak, "Jangan bawa Papa!!! Papa!!"
Charles hanya bisa menoleh pada anaknya. "Tunggu Papa di sini, nanti papa pulang!"
"Papa!!! Papa....!!"
Sheila menyaksikan tubuh ayahnya dibawa pergi oleh belasan pria itu. Ia bersimpuh lemas di
lantai. Benarkah itu" Benarkah ayahnya telah membunuh ibunya" Tapi memang mencurigakan .
Ibunya mendadak raib begitu saja tanpa jejak. Sheila sudah memeriksa pakaiannya, tidak ada
yang kurang. Bahkan perhiasan emas yang cuma beberapa gram dan di sayang-sayang ibunya
masih utuh, lengkap. Juga batik-batik baru peninggalan neneknya, yang kata ibunya bisa mahal
kalau dijual, semua masih lengkap, ada lima belas setel. Kalau memang ibunya kabur dari
rumah, tentunya semua barang itu dibawa. Apa benar ayahnya telah membunuh ibunya" Kalau
itu benar..... Sheila menangis. Kalau itu benar bagaimana dengan dirinya....?""
Sheila membuka pintu. Di hadapannya ada seorang polisi dan seorang pria yang tak dikenalnya.
Pria itu mengenakan busana yang terlihat mahal. Sheila mengerutkan keningnya.
"Ca....cari siapa, Pak?" tanyanya dengan hati berdebat. Sejak penangkapan ayahnya beberapa
hari yang lalu, Sheila tak pernah keluar rumah. Ia makan dari belas kasihan tetangganya. Mereka
membawakan nasi matang dengan lauk sekadarnya bergantian. Tak terbesit keinginan untuk
menengok ayahnya di penjara. Sejak menyadari ayahnya telah membunuh ibunya, ia tak mau
menemui ayahnya lagi. "Saya Letnan Agung dari Polres Jakarta Barat, dan ini Pak Haryanto." kata polisi ramah. "Kamu
Sheila, kan?" Sheila mengangguk. "Boleh kami masuk?"
Ragu-ragu Sheila membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan kedua orang itu masuk.
Mereka duduk di sofa. Sheila duduk di sofa lainnya.
"Begini Sheila, Pak Haryanto ini sudara angkat ayahmu." jelas Letnan Agung.
Sheila ingat ayahnya memang punya saudara angkat, itu pernah disebut-sebut ibunya. Kabarnya
saudara angkat ayahnya itu kaya dan berhasil hidupnya, padahal ia hanya anak angkat dari
almarhum nenek dan kakek dari pihak ayahnya. Ayahnya tak pernah menemui saudara
angkatnya itu, entah kenapa, hubungan mereka tak dekat.
"Sheila, ya?" ucap Haryanto ramah. Ragu-ragu Sheila balas tersenyum. "Omm prihatin terhadap
nasibmu, ayahmu..." pria itu tak pelanjutkan ucapannya, malah menoleh kepada Letnan Agung
seolah minta bantuan. "Ayahmu sedang diproses secara hukum, dan dia sudah mengakui semua kesalahannya."
Walau Sheila sudah mendega, tak urung ia ia terkejut. Matanya memerah dan napasnya
memburu, tangisnya pun pecah tak terkendali.
"Sudahlah Sheila kesalahan ayahmu tak usah kau ingat lagi. Dia akan mendapatkan ganjaran
sesuai hukum yang berlaku." kata Haryanto lembut.
"Be...berapa lama Papa akan di penjara, Pak?" Tanya Sheila.
"Kira-kira minimal sepuluh tahun, maksimal bisa seumur hidup." jawab Letnan Agung.
Sheila terenyak lemas. "Tenang saja Sheila, Omm sudah menugasi pengacara untuk membela Papamu. Siapa tahu
hukumannya bisa diperingan." tambah Haryanto.
"Dan karena kamu masih di bawah umur, kamu akan tinggal bersama Pak Haryanto ini sampai
kamu dianggap dewasa secara hukum, yaitu bila kamu sudah punya KTP sendiri, yaitu saat
usiamu tujuh belas tahun."
Sheila menatap Haryanto. Pria itu berusia empat puluhan, dan tampaknya baik. Ia mengangguk
pada Sheila seolah memberi dukungan. "Tinggal bersama Omm saja, kalau kamu sudah tujuh
belas tahun kamu bebas menentukan tempat tinggalmu sendiri. Tapi tentu saja kamu boleh
tinggal bersama Omm selama kamu mau. Sampai Papamu bebas juga boleh."
Sheila tertegun, ia sama sekali tidak mengenal pria ini, walau di dasar hatinya ia yakin
keramahan pria ini menunjukan bahwa pria iru cukup bersimpati pada ayahnya. Tapi rumah yang
ditinggalinya juga rumah kontrakan. Dan jika kontrakan ini habis, ia juga tak tahu mesti tinggal
dimana. Bisakah ia menerima kebaikan dari orang yang asing baginya.."
"Omm punya dua anak. Yang kecil sebaya denganmu, namanya Renny. Yang besar Reza, sudah
tujuh belas tahun. Mereka pasti senang punya saudara dan teman sepertimu."
"Bagaimana Sheila?" tanya Pak Letnan Agung. "Pilihau bikan hanya tinggal dengan Pak
Haryanto. Kamu juga bisa diurus negara dan tinggal di panti asuhan."
Sheila diam sejenak. Lalu ia menganggik. "Saya..... Mau tinggal bersama Omm Haryanto saja."
Tak banyak barang yang dibawa Sheila. Cuma beberap helai pakaian yang masih bagus kata
Haryanto, Renny punya banyak baju bekas yang bisa diberikan untuknya kareana tubuh Sheila
jauh lebih kecil lalu surat -surat penting seperti yang dianjurkan Haryanto dan perhiasan ibunya
yang cuma ada delapan gram, terdiri atas cincib kawin tiga gram, kalung empat gram, dan
subang satu gram. Ketika Sheila melihat kamarnya sekali lagi padangannya tertuju pada hiasan mungil piano di
kotak kaca yang diletakkan di meja belajarnya. Dengan haru digapainya benda itu, benda
pemberian terakhir ibunya.
Mama apakah kau sekarang sudah di surga" Dendamkah Mama sama Papa" Rintinya kelu.
Sheila menangis lagi. Ia benci ayahnya. Bagaimana ia dapat menghadapi pria itu lagi setelah
semua kejadian ini" Sekarang ia harus tinggal bersama orang yang tak dimenalnya, Tuhan
lidungilah aku, doanya. Setelah selesai berbenah Sheila kembali ke ruang tamu. Letnan Agung sudah pamit karena harus
menjalankan tugas lainnya. Haryanto sedang melihar-lihat album keluarga di meja ruang tamu.
Sheila memandang sekelilingnya. Walau rumah ini kecil dan isinya tak banyak, apa ia mesti
meni.ggalkan semuanya"
"Jangan khawatir soal barang-barang mu. Nanti Omm akan menyuruh orang untuk mengepak
semuanya dan membawanya ke rumah Omm, biar disimpan di gudang, supaya nanti kalau kamu
mau tinggal sendiri sudah punya barang-barang." kata Haryanto seolah tahu maksud hati gadis
itu. "Terima kasih, Omm." kata sheila.
"Oh ya, sebelum berangkat, apa kamu mau menemui Papamu dulu?"
"Tidak usah, saya tidak mau bertemu dia lagi."
Matahari bersinar cerah di langit biru berawan putih. Pemandang indah itu melatarbelakangi
rumah cantik bercat putih dan coklat muda yang terletak di kompleks mewah. Sheila berhenti
sejenak dan memandang rumah itu ragu-ragu.
"Kenapa?" tanya Haryanto.
Sheila menggeleng. "Rumah Omm besar."
"Besar kecil sama saja, yang penting bisa digunakan untuk tempat bernaung. Ayo masuk."
Sheila mengikuti langkah Haryanto masuk ke rumah, melewati halaman asri yang ditanami
rumput dan bunga-bunga. Terdengar dentingan piano mengalunkan sebuah lagu paling merdu
yang pernah didengar telinga Sheila.
"Itu pasti Renny." gumam Haryanto. "Dia memang paling suka memainkan Fur Elise."
Mereka masuk ke dalam rumah, dan Sheila melihat gadis berkuncir satu duduk
membelakanginya. Gadis itu sedang main piano di ruang tamu. Sheila terpana gadis itu hebat
sekali! Saat lagu berakhir, Haryanto bertepuk tangan. Renny menoleh dan menghampiri ayahnya, lalu
menggelendot manja. "Papa kok nggak bilang-bilang udah pulang, ngagetin aja."
"Papa lagi mendengarkan kamu main, kamu makin jago aja."
Wajah Renny kini tertuju pada gadis di samping ayahnya. Gadis dengan wajah murung dan
membawa tas besar. "Siapa dia, Pa?" bisik Renny.
"Oh ya, Papa sampai lupa mengenalkan kalian, ini Sheila dia akan tinggal bersama kita." kata
Haryanto. Renny terdiam. Sheila mengangkat wajahnya dan memandang Renny, ingin tahu tanggapan
gadis itu kalau dia tinggal di sini. Namun Renny tak menujukan wajah gembira atau tidak suka
mendengar keputusan ayahnya. Ia cuma bilang "Aku panggil Mama, ya?"
Haryanto mengangguk dan menyuruh Sheila duduk di sofa. Renny masuk ke ruang tengah
sambil memanggil-manggil Mamanya. Tak lama kemudian ia kembali dengan wanita yang
sangat cantik, dengan pakaian masa kini dan tatanan rambut terbaru. Juga seorang pemuda yang
usianya kira -kira lebih tua sedikit dari Renny.
"Ada apa, Pa. Renny teriak-teriak memanggilku seperti kebakaran jenggot, ada apa?" seru wanita
cantik itu terpogoh-pogoh menghampiri Haryanto.
"Ma masih ingat kan ceritaku semalam tentang anak adik angkatku?" ujar Haryanto.
Wanita cantik itu mengarahkan tatapannya pada Sheila. Tatapanya tajam, dan membuat Sheila
langsung menunduk. "Ya, dan pembicaraan kita belum selesai kan, tapi anaknya sudah dibawa kemari!"
Dari kata-kata dan nada suaranya Sheila menangkap ketidaksetujuan.
"Sudahlah..... Nanti kuta bicarakan di dalam saja." Sergah Haryanto. "Sheila ini tante Ratna, istri


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Omm dan ini Reza.... Anak sulung Omm, usianya sudah tujuh belas tahun, sudah kelas tiga
SMA. Kalau Renny sama dengan mu baru mau masuk SMA."
Sheila menatap pemyda tampan di samping Renny. Sorot matanya dingin dan tidak ramah sama
seperti Renny dan Ibu mereka. Sheila langsung merasa di sini yang menyukai keberadaannya
cuma Haryanto seorang. "Dia pengganti Si Inem, pa?" celetuk Reza.
"Jaga mulut kamu." tegur Haryanto. " Sheila ini anak adik angkat Papa, jadi itung-itung masih
sepupu kamu. Dia akan tinggal di sini bersama kita karena orang tuanya ehmm.... Sudah tidak
ada lagi." "Yang kata Mama masuk penjara itu kan, Pa. Yang katanya membunuh istrinya sendiri?" sela
Reza. Wajah Sheila langung pucat, tak disangkanya kata-kata itu bila diucapkan oleh orang lain
terdengar sangat menyakitkan.
"Reza..!!" bentak Haryanto.
Renny cekikikan, dan menyenggol Reza dengan sikunya. Reza balas menyikut adiknya.
Tampaknya mereka tidak takut pada ayah mereka.
"Sheila, kamu tidur du kamar Renny saja. Ranjangnya kan ada dua, atas dan bawah. Yang bawah
tudak pernah dipakai, kamu tidur disitu saja, ya?" ujar Haryanto.
Renny protes. "Ya.... Papa!"
Reza cekikikan dan menjulurka lidah meledek adiknya.
Haryanto melotot. "Renny kamu mulai membantah, ya?"
"Yah..... Papa." Renny masih menggerutu dengan suara yang lebih pelan."
Ratna menyela. "Biar Sheila tidur di kamar belakang saja, aku rapikan dulu. Nanti ranjang bawah
Renny dipindahkan kesana.
Haryanto tampak ragu-ragu dan tidak setuju. "Ma...."
Reza nyeletuk. "Tapi itu kan bekas kamar Si Inem."
"Sudahlah... Kamar itu kan kosong karena Inem pulang kampung kemarin. Kalau dapat
pembantu lagi, biar tidur di kamar belakang saja. Kalau aku rapikan, pasti bagus, Pa."
Haryanto tidak berdebat lagi. Haryanto menoleh pada Sheila. "Sheila kamu ikut tante, ya."
"Suit....suit... Asyik pembatu baru." celetuk Reza usil.
Haryanto melotot. "Reza, Sheila bukan pembantu, dia sepupu kamu. Kalian berdua, Reza dan
Renny, karena Inem sudah pulang kemarin dan kuta nggak punya pembantu kalian harus
membantu mama. Kalian kan sudah besar harus bantu orangtua jangan malah merepotkan."
Renny protes dan menunjuk Sheila." Dia , Pa?"
Haryanto menatap Sheila ramah, "Karena sementara ini tidak ada pembantu, kamu harus cuci
baju sendiri. Bisa kan Sheila?"
Sheila mengangguk. "Renny kamu juga harus belajar cuci baju sendiri." kata Haryanto.
"Mama sih, pembantu dimarahin terus, jadi pulang deh." gerutu Renny.
Rsnny tidak menjawab, dan berkata ketus pada Sheila. "Ayo, ikut aku."
Mereka pergi ke sebuah kamar berukuran 2 ? 2,5 meter yang letaknya dekat dapur. Sheila ttahu
ini bekas kamar pembantu, berdasarkan percakapan tadi. Tapi ia sudah bersyukur mendapatkan
tempat tinggal. Lagu pula di rumah kontrakan ukuran kamarnya juga tak jauh veda dengan inu.
Tadinya kamar itu kosong hanya berisi matras gulung dan lemari rotan, tapi berdua dengan
Ratna ia mengangkyt perabotan untuk mengisi kamar.
Setelah dirapikan, sekaranv kamar itu berisi tempat tidur pendek untuk satu orang, rak ritan,
sebuah meja dan kursi. Menurut Sheila sekarang kamar ity cukup lumayan.
"Terima kasih, Tante." ucapnya. Sedari tadi wanita iru diam saja. Dan Sheila ingin sekali wanita
itu bersikap lebih ramah seperti suaminya.
Ratna menolih dan menatap gadis di hadapannya dengan tajam. "Kamu tinggal disini mesti tahi
diri, ngerti" Mesti nurut kata-kata ku."
Sheila mengangguk. "Kalau sampai kamu ngadu yang nggak-nggak sama Omm, awas kamu!" ia lalu meninggalkan
Sheila sendirian. Tertegun karena kata-kata kasar berusan , Sheila sadar ia cuma numpang tinggal di rumah ini,
sampai kapan" Ayahnya bisa di penjara puluhan tahun lamanya, dan ia juga tidak mau tinggal
bersama ayahnya kelak. Sheila teringat kata-kata polisi yang datang ke rumahnya. Ia mesti
tinggal bersama seorang wali sampai punya KTP dan dianggap dewasa.
Baik, aku mesti bersyukur di beri tempat di sini. Aku akan pergi dari sini umur tujuh belas tahun
nanti, tekadnya. Lalu ia mulai mengeluarkan barang-barangnya dari tas dan membereskannya.
Dok dok dok! Pintu digedor keras. Sheila yang lagi tidur langsung melompat bangun.
"Sheila!! Sheila!!"
Sheila mengenalinya sebagai suara Renny. Ia membuka pintu. Dilihatnya Renny berdiri di
hadapannya. Kali ini rambut gadis itu tidak dikuncir tapi digerai. Wajahnya terlihat jauh lebih
cantik. "Bikinin aku nutrisari,,,, dong." kata gadis itu.
Sheila bengong. "Nutrisarinya ada di meja dapur, tambahin es, ya . Aku tunggu di sini. Nanti aku kasih tahu
kamarku dimana. Jadi lain kali kamu bisa antar."
Sheila pergi ke dapur dan membuat nutrisari seperti perintah Renny. Dalam hati ia mulai paham,
mungkin Haryanto menyurunya ke sini untuk dijadikan pembantu. Lagian memang tak ada
hubungan darah antara dia dan keluarga ini. Walaupun sedih, ia sadar ini cukup adil. Ia mendapat
tempat tingval, tapi dia juga harus rela membantu sedikit-sedikit. Membuat minuman serung
dilakukannya untuk ayah dan ibunya dulu, jadi tidak susah. Yang susah adalah menata hatinya,
karena harga dirinya terasa dihempaskan.
Dibawanya minuman itu ke kamarnya.
"Ren, ini nutrisarinya." kata Sheila.
Renny sedang sibuk melihat-lihat rak Sheila. "Yaruh saja di meja." Sheila meletakkan minuman
itu di meja. "Aku lagi ngeliat barang apa saja yang kamu bawa. Biasanya sih mama juga begitu kalau ada
pembantu baru, takut nyolong." lalu Renny tertawa sendiri. "Eh, Sory kamu kan bukan
pembantu, ya?" kalau aku bukan pembantu, kenapa kanu memperlakukan aku seperti pembantu" Batin Sheila
sedih. Rennya mengambil sesuatu di rak. Piano di kotak kaca milik Sheila.
"Bagus banget nih! Beli di mana?"
"Da.... Dari mamaku."
"Buat aku, ya?"
Tanpa pikir panjang Sheila langsu.g merebut benda itu dari tangan Renny. "Jangan ini benda
terakhir yang diberikan mamaku."
Renny memberengut. "Pelit....!!!" ia mengambil gelas minumannya di meja lalu keluar dari
kamar. Sepeni.ggal Renny, Sheila buru-buru memasukkan benda itu ke dalam tas dan menarunya
di sudut kamar, ditutupi tumpukan selimut. Kali ini ia selamat, tapi lain kali mungkin tidak.
Benda itu ca indah bagi Renny. Tapi bagi Sheila, miniatur piano itu punya arti yang sangat
penting. Ia tak mau kehilangan mamanya lagi.
BAB 2 "SEBENTAR lagi sekolah, orangtua kamu mendaftarkan kamu ke mana, Sheila?" tanya
Haryanto ketika mereka sekeluarga sedang makan malam. Di sekeliling meja makan tadinya
cuma ada empat bangku sekarabg di tambah satu bangku untuk Sheila, di samping Renny.
"Belum, Omm," jawab Sheila malu. Sekarang ketahuan keluarganya memang kesulitab ekonomi.
"Kalau begitu bagaiman kalau kau sekolah bareng Renny" Renny masuk di SMA ubggulan tak
jauh dari rumah ini. Katanya mutunya lumayan bagus. Sekolah Reza lebih jauh lagi dari sini.
Makanya Renny tidak Omm daftarkan di sana, buang-buang waktu di jalan."
Renny yang mendengar itu langsung menoleh pada ibunya, seolah tahu ucapan ayahnya akan
mengarah ke sana. "Jangan, Pa!" Serentak semuanya menoleh pada Ratna, kecuali Sheila yang menunduk, seolah makannannya
harus di amati baik-baik.
"Mama aja nyesel masukin Renny ke sana." sambung Ratna. "Mama denger guru-guru di sana
main nilai. Murid harus ngasih upeti dulu kalau mau naik kelas."
"Lho, kalau begitu kenapa Renny Mama masukan ke sana?" tanya Haryanto cemas.
"Mama kan nggak tahu, Pa. Mama baru tahu dari Bu Dinar, tetangga kita yang memasukan
anaknya ke sana juga."
"Si Fahma?" "Iya, dia yang bilang begitu. Kalau tidak percaya tanya aja sendiri. Tapi Mama pikir kita udah
bayar uang pangkal mahal-mahal. Pasti nggak bisa dikembalikan kalau nggak jadi masuk. Ya
sudahlah. Tapi untuk Sheila biar nggak nyesel seperti Renny , biar dia masuk SMA lain saja."
"Ya sudahlah, Ma. Kau yang atur saja ya..." Haryanto menoleh pada Sheila. "Kamu daftar SMA
nya sama tante ya, sekalian beli buku, sama seregamnya jangan lupa.
Sheila hanya mengangguk, dalam hati Sheila yakin sifat Renny dan Reza diwarisi dari Ratna,
bukan dari Haryanto. Sheila juga yakin ucapan Ratna cuma bohonh belaka. SMA tempat Renny
masuk memang SMA unggulan yang bagus, meski bukan terbaik. Tapi yang didaftarkan Sheila
cuma SMA regular, dan bukan cuma itu, sekolah itu terkenal beasalah karena dianggap sekolah
buangan. Makanya uang sekolahnya murah. Supaya menarik minat orang tua untuk
mendaftarkan sekolahnya di situ.
Sheila sadar mungkin uang sekolahnya memberatkan Ratna, yang menganggapnya benalu di
rumahnya. Kehadiran Sheila pasti mempengaruhi uang belanja Ratna. Haryanto harus
menyediakan biaya tambahan. Kalau cuma makan mungkin tak berpengaruh banyak, tapi
masalah sekolah pasti menguras kocek cukup dalam.
Seminggu kemudian, saat makan malam lagi, saat Haryanto bisa bergabung dengan keluarganya
setelah seharian sibuk bekerja, Haryanto bertanya "Bagaimana sekolahmu, sheila, semuanya
sudah beres?" Sheila tifak membeli buku dan seragam seperti yang disuruh Haryanto. Ia dicarikan buku bekas
anak tahun lalu, dan kemeja putih serta rok putinnya adalah bekas seragam SMP Renny yang
badge diganti dengan badge OSIS SMA. Bahkan Ratna menyuruh ia memasang badgenya
sendiri. "Sudah, omm." "Pokoknya nggak bakal kecewa, pa. Sekolahnya tidak jauh, bisa jalan kaki dari sini. Temanteman Sheila kelihatannya baik-baik."Ujar Ratna.
Sheila terus menunduk dan mengamati makanannya, kebiasaanya sekarang. Kemarin saat
mereka datang ke sekolah, ada polisi berseragam di sekolah, katanya mau menangkap anak yabg
dicuragai sebagai pengedar narkoba.
"Guru-gurunya selalu memudahkan siswanya dalam ulangan, tidak pernah minta upeti atau
semacamnya." Kemarin juga seorang guru menampar murid, yang jelihatan nakal. Mungkin Karena melakukan
kesalahan. Karena anak itu melotot, sang guru menendangnya sampai tersungkur.
"Pokoknya Papa nggak usah khawatir lagi. Sayang Renny sudah didaftarkan, kalau belum kan
bisa sekalian." "Ya sudah, kalau begitu sekarang hatiku sudah tenang." kata Haryanto. "Masalahnya Sheila ini
titipan Papanya. Amanat orang harus kita laksanakan dengan sebaik-baiknya."
"Memang Papanya dimana, Pa?" celetuk Reza.
Sheila yakin sekali Reza dan Renny sudah tahu, dilihat dari sikap Renny yang cekikikan sambil
menendang kaki kakaknya. Sheila melihatnya di bawah meja.
"Ehm...... Untuk sementara, ayah Sheila tidak berada di sini, makanya Sheila dititipkan pada
Papa." "Mamanya mana?"
"Sudah, Rez. Jangan tanya-tanya melulu! Makan." Sergah Haryanto tak sabar. Ia kembali
menoleh pada Sheila. "Sekarang sekolah sydah beres. ada satu hal lagi. Anak-anak sekarang tak
cukup hanya sekolah. Kau juga harus les, sheila. Renny mengmbil les piano dan bahasa inggris.
Omm mungkin cima bisa memberi aatu jatah les saja, karena biaya les sekarang jauh lebih mahal
daripada biaya sekolah. Kau boleh pilih, mau les apa?"
Sheila mendongak menatap Haryanto, matanya berbinar-binar.
"Bener, Omm. Saya boleh les?" tanyanya.
"Iya, masa Omm bohong. Sebut saja mau les apa" Soal biaya kan nanti biaa disesuaikan. Kita
bisa cari yang terjangkau."
Sheila terharu memandang Haryanto, matanya berkaca-kaca. Tak dilihatnya sorot tajam mata
ratna dan kedua anaknya yang memandang ibunya, seolah tahu sang ibu pasti tidak setuju.
"Omm, orangtua saya saja tak pernah mengizinkan saya les. Saya tahu mereka tak punya uang.
Tapi Omm begitu baik, bagaimana saya bisa membalasnya?" katanya dengan suara bergetar.
"Ah, cuma begitu jangan dipersoalkan. Omm percaya, Rezeki sudah diatur Tuhan. Mungkin
sekarang rezeki kamu bercampur dengan rezeki Omm, jadi Omm harus memberikan bagian
milikmu. Bagian Omm tetap utuh, karena memang sudah ditakar. " tutur Haryanto."Kalau kamu
mau membalasnya cukup dengan memberikan hasil yang baik pada pelajaran sekolah itu saja."
Sheila menghapus air matanya yang seolah-olah berlomba-lomba keluar dari matanya.
"Sekarang kamy katakan, kamu mau les apa" Komputer" Bahasa inggris" Pelajaran sekolah biar
lebih mantap" Les nyanyi biar bisa ikut kontes yang sekarang banyak digelar. Atau musik, sepeti
piano, gitar, biola....eh, kalau biola sih nggak ada alatnya. Yang ada..."
"Piano saja,Omm." kata Sheila mantap.
"Piano?" "Biar saya bisa main lagu seperti yang dimainkan Renny, waktu saya baru datang dulu."
Renny mencibir, Reza yang melihat tingkah adiknya tak dapat menahan tawa.
"Maksudmu lagu fur elise...?"
Sheila mengangguk, bisa bermain piano sudah jadi cita-citanya sejak kecil, yang tak mungkin
kesampaian karena kondisi ekonomi orangtuanya. Ia pernah melihat guru musik SMP-nya
memainkan lagu pop terkenal di piano, bunyinya indah sekali. Lalu saat melihat Renny bermain
piano, keinginan itu timbul lagi. Menggebu-gebu begitu dalam sehingga ia tak dapat menahan
rasa harunya Haryanto bisa mengabulkan keinginannya.
"Wah, itu lagu kesukaan Omm. Pengarangnya Ludwig Van Beethoven." Ujar Haryanto.
"Sebenarnya belajar piano lebih bagus kalau di mulai pada usia tujuh sampai sepuluh tahun.
Renny sudah belajar dari kelas tiga SD. Tapi kalau ada bakat dan tekad, tidak ada kata terlambat.
Iya, kan" Ya sudah kalo itu sudah jadi keinginanmu, Omm akan berikan biaya lesnya. Yang
penting kau rajin berlatih, cuma itu kuncinya dalam belajar piano...."
"Pa, biar Sheila les sama aku saja!" sela Ratna.
Haryanto menoleh pada istrinya. "Ma, kau memang bisa main piano. Tapi kalau mengajarkan..."
"Justru aku juga sambi belajar, Pa. Biar tidak lupa. Papa dulu ingat tidak, aku juga ikut mengajari
Renny waktu belajar lagu yang sulit! Sayang kan kalau keterampilan itu tidak dipakai, nanti bisa
karatan." Haruanto ragu-ragu, ia menoleh pada Sheila. "Bagaimana Sheila" Kau diajari tante saja?"
"Ya, nanti kan uangnya bisa buat beli keperluan sekolah, Sheila." tambah Ratna.
Wajah Sheila memucat. Kalau belajar dengan wanita menyeramkan itu, lebih baik ia tak usah
belajar piano. Dirinya yang yadi seperti melambung ke langit sekarang seperti terbanting ke
tanah. "Bagaimana Sheila?" tanya Haryanto.
Renny dan Reza juga menatapnya, seolah ikut tegang menunggu jawaban Sheila. Akhirnya
Sheila mengangguk. "Baik Omm." Haryanto tersenyum. " Bagus. Omm senang sekali. Semua masalah terpecahkan. Kau bisa les
piano dan tante juga mendapatkan kesibukan. Keluarga adalah segala-galanya bagi Omm, kalau
kalian rukun, kebahagiaan yang Omm rasakan tidak ada bandingannya."
Waktu cepat sekali berlalu, mungkin lantaran keaibukan yang Sheila alami. Karena Ratna belum
mendapatkan pembantu, Sheila harus bekerja keras di rumah itu. Tak hanya mencuci pakainnya
sendiri, ia juga diminta Ratna untuk mencuci pakaian seluruh keluarga. Tak boleh pakai mesin
cuci, karena mesin cuci akan merusak pakaian, mengamburkan sabun, air , dan listrik.
Selesai mencuci di pagi hari, ia harus berangkat sekolah jalan kaki, walau sekolahnya lebih jauh
daripada sekolahnya Renny yang harus ditempuh dengan naik bajaj setiap hari. Pulang sekolah ia
tak bisa langsung belajar dan mengerjakan PR, selain harus mengepel rumah sesuai peermintaan
Ratna. Sheila juga mencuci semua piring dan peralatan memasak yang dipergunakan Ratna
untuk memasak, selain itu ia harus mengangkat jemuran dan menyetrikanya di kamar, lalu
memasukan pakaian bersih ke lemari masing-masing, setelah rampung semuanya, waktu sudah
menunjukan pukul lima sore, dan sebentar lagi Haryanto pulang, ia buru-buru mandi karena
Ratna tidak suka melihatnya dalam keadaan berantakan saat suaminya pulang. Pernah Sheila
belum sempat mandi saat Haryanto pulang. Ratna menyuruhnya masuk ke dapur dan
mengomelinya, mengancam kalau lain kali mengulanginya lagi, tangannya tak segan-segan
angkat bicara. Sheila sdar, Ratna tak mau Haryanto tahu ia memperlakukan ponakan angkatnya dengan buruk.
Sheila tak tahu keadaan ekonomi keluarga ini bagaimana, tapi yang pasti mereka tidak kelihatan
susah. Namun kalau soal uang Ratna sangat hemat. Ia selalu tawar-menawar kalau membeli
barang hingga harganya tidak dapat ditekan lebih rendah lagi, Sheila menduga Ratna menghemat
biaya pembantu dengan memakai tenaganya.
Untuk soal itu, Sheila tak mau hitung-hitungan. Toh , ia sering membantu orangtuanya
melakukan pekerjaan rumah tangga. Tapi masalah les piano itu membuatnya sangat kecewa.
Ratna tak pernah mengajarinya bermain piano seperti yang dikatakannya di depan Haryanto. Ia
hanya memberi Sheila selembar partitur fur elise dan berkata pada Sheila agar banyak-banyak
latihan. TITIK. Bahkan ia tak pernah menjelaskan arti tanda-tanda pada partitur iti dan di mana Sheila harus
menekan tuts yang bemar pada pianonya. Sheila pasrah ia tak munkin bisa main piano seperti
cita-citanya semula. Semua itu harus di tinggalkannya. Ia tak mau bermimpi lagi. Sudah bagus ia
masih bisa sekolah, makan, dan tinggal di rah Haryanto.
Hari ini Haryanto berulang tahun. Sejak pagi Ratna sudah sibuk memasak nasi uduk lengkap
dengan empal kesukaan suaminya. Renny pun sibuk kasak-kusuk dengan Reza, meremcanakan
hadiah apa yang akan mereka berikan untuk mereka.
Sementara itu Sheila termenung sedih. Haryanto sudah begitu baik padanya, tapi ia tak punya
apapun untuk diberikan sebagai hadiah ulang tahun, melalui Ratna Haryanto memberi Sheila
uang saku sekadarnya, tapi uang itu tak pernah sampai ke tangannya. Sheila tak protes masalah
itu karena takut akan menimbulkan masalah terhadap hubungan Haryanto dan Ratna.
Setiap pagi Sheila sarapan di rumah dan makan siang di rumah juga. Untuk minum dibawanya
sebotol aur minum ke sekolah. Ia masih hidup tanpa uang jajan, walau terkadang ia ingin sekali
punya sedikit uang sebagai pegangan. Kali ini ia tahu, uang itu sangat berguna di saat seperti ini.
Seandainya ia punya uang, ia bisa membelikan Haryanto hadiah ulang tahun.
"Papa, ini buat papa. Selamat ulang tahun ya, Pa." seru Renny ketika ayahnya pulang.
Haryanto tertawa dan duduk di sofa. "Ambilkan air minum dulu dong!" katanya.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sheila ambil air!" teriak Renny.
Sheila buru-buru ke dapur membuatkan sirop.
Sepeninggal Sheila, Haryanto mengerutkan kening tanda tak suka. "Kamu kok nyuruh-nyuruh
dia gitu sih, dia kan bukan pembantu?"
Renny tergagap. "A......aku kan nggak sengaja, Pa. Aku ingin nungguin papa buka hadiah ini."
Haryanto membuka kotak kecil itu. "Wah... Dasi yang bagus. Kebetulan dasi papa sudah
ngebosenin semua!" "Aku yang pilih, Pa."
Sheila yang sudah membuatkan sirop meletakkannya di meja. "Minum, Omm."
Haryanto meminum sirop itu dalam sekali teguk, sirop itu langsung habis. "Wah... Enaknya."
Melihat Sheila masih di hadapannya, Haryanto menegurnya " kenapa"Kamu haus juga" Bikin
sendiri saja ya?" Sheila menggeleng."Omm.... Saya.... Saya tidak bisa memberikan hadiah....saya...."
Haryanti tertawa terbahak-bahak sambil mengusap kepala gadis itu. "Ya ampun saya kira ada
apa, itu sih nggak usah dipikirkan. Omm juga tahu, uang jajan kamu pas-pasan."
"Itu...." "Begini saja, kamu kan selama ini sudah les piano sama tante Ratna. Coba kamu mainkan lagu
apa saja. Omm dengerin deh."
Sheila tersentak. Main piano" Menyentuhnya saja ia belum parnah!
"Sa....saya belum bisa Omm."
"Ah... Sudah dua bulan masa belum belajar apa-apa" Main lagu yang gampang aja deh. Twinkletwinkle little star juga boleh. Atau main sebait saja lagu yang kamu pelajari."
Ratna muncul di ruang tamu. Sheila memandangnya penuh tanya. Bagaimana ia bisa menjawab
permintaan Haryanto"
Tapi, Ratna malah bilang. "Ayo Sheila mainkan apa yang sudah tante ajarkan, jangan raguragu!"
Sheila bengong. Ratna belum pernah mengajarkan apa-apa padanya, kok wanita itu bilang seperti
itu" "Tapi, tante.... Tante belum pernah..."
"Ayo.... Cepat mainkan lagu yang Tante kasih partiturnya ke kamu itu. Mana partiturnya?"
Renny menyahut. "Aku juga pengen denger nih. Perasaan aku jarang denger suara latihan piano
kamu, Sheila. Apa kamu mau bikin kejutan."
Reza yang baru muncul di ruang tamu pun ikutan berkata, " Ayo cepetan. Kalo mainnya bagus,
aku juga mau ikut les sama mama, ah..."
Melihat Sheila yang diam saja, Ratna mendesak tubuh Sheila ke arah piano. Terpaksa ia duduk
di situ. Ia membuka tutup piano dengan tangan bergetar. Apa yang bisa dimainkannya" Ia
menoleh lagi, dan melihat keempat orang itu sudah menunggunya di belakangnya. Haryanto
tersenyum, seolah memberikan dukungan. Mainkanlah, aku akan mendengarkan anak asuhku
main piano. Sheila kembali menatap tuts-tuts piano yang kini tampak membesar dan menakutkan baginya.
Dikuatkannya hatinya, lalu ditekannya tuts itu parlahan-lahan. Ia tidak tahu lagu apa yang ia
mainkan, tapi jari-jari kedua tangannya bergerak lincah di papan tuts itu, seolah ia pemain piano
profesional. Setelah beberapa menit berlalu, ia menghetikan permaiannya, lalu menutup piano. Ia
berbalik mengadap mereka semua. Keempat orang itu bengong. Sheila memainkan piano seperti
anak kecil yang didudukan di depan piano, lalu sebarangan pencet saja. BRANG-BRANGBRANG! Haryanto bingung, apa gadis ini berlagak bisa main piano padahal ia tidak bisa" Renny
juga bingung, apa Sheila mau mempermainkan mereka semua" Reza bingung, cuek sekalu gadis
ini, benar-benar tahan banting sekaligus kulit badak. Ratna menyipitkan matanya tajam, Sheila
benar-benar bermental kuat. Tapi ia tak akan membiarkannya mengitimidasi dirinya.
"Makanya kalo tante bilang latihan, latihan yang yang bener dong." seru Ratna.
Sheila tetap menunduk, wajahnya tak menunjukan ekspresi apa-apa.
"Jadi mama sudah ngelatih dia tapi hasinya kayak gini?" cetus Renny. "Bodoh sekali dia, Ma. "
bisiknya. "Aku bilang sih bagus, kayak pemain profesional........ Yang lagi kesurupan." ujar Reza. Renny
langsung cekikikan. "Menurut papa bagus, ia sudah berani tampil." ucap Haryanto. Sheila menatapnya. Lagi-lagi
laki-laki itu memberikan kepercayaan yang begitu besar padanya. Padahal ia sudah siap
dipermalukan. Kalau saja ayah kandungnya seperti ini.
"Kalau menurutku Sheila harus dihukum karena malas latihan.!" sery Ratna.
"Sudah lah,Ma. Nanti kau latihan yang rajin ya, Sheila." kata Haryanto. Lalu ia meninggalkan
ruang tamu diikuti kedua anaknya, meninggalkan Ratna yang memandang Sheila penuh
kebencian. Setelah kejadian itu, tidak ada satu orang pun yang menyinggung-nyinggung masalah Sheila
yang les piano. Tak hanya dari Ratna kesulitan pun didapat dari Reza dan Renny. Sementara Renny menyuruhnyuruh seenaknya seperti pembantu, Reza bak srigala yang tengah mengincar domba. Berkalikali pemuda itu memandangi sheila penuh nafsu, seolah ingin melahap gadis itu sebagai santapan
makan malam spesial. Walau masih kecil, Sheila tahu tak baik dua orang lawab jenis tinggal
berdekatan dalam satu rumah. Bisa jadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lain halnya dengan
Renny, Renny kan adik kandung Reza. Kalau Sheila tak ada hubungan darah. Penyebabnya
belakangan jelas bagi Sheila.
Suatu hari Sheila masuk ke dalam kamar Reza untuk memasukkan pakaian yang habis disetrika
ke lemari pemuda itu. Karena kamar tak dikunci, ia tak mengetuk lagi, dan langsung masuk.
Dulu pernah ia mengetuk pintu, tahunya pemuda itu sedang tidur, karena merasa terganggu Reza
langsung memarahi Sheila. Jadi sekarang Sheila langsung membuka pintu itu.
Di dalam Reza sedang duduk serius mengamati komputer. Sheila menasaran, apa sih yang
sedang dilihat pemuda itu" Ia tersentak dan pakaian yang dibawanya pun jatuh ke lantai.
Reza menoleh, Sheila ada dibelakangnya. Gadis itu melihatnya sedang melihat potongan adegan
porno di komputer. Ia pun menghardik. "Mau apa sih masuk kamar orang tidak ketuk pintu
dulu?" "A........aku mau memasukan pakaian." sahut Sheila tergagap.
Reza buru-buru mematika komputernya. "Awas ya, kalau kamu ngadu ke mama." katanya.
Sheila menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Kalo kamu ngadu, nanti aku perkosa kamu!"
Sheila bergegas ke kamarnya. Sejak itu ia tak pernah berani lagi ke kamar Reza saat pemuda itu
ada di kamarnya. Ditunggunya saat Reza di luar kamar , baru ia buru-buru masuk dan nenaruh
pakaian. Terkadang saat malam hari Sheila menangis. Ia merasa sangat sendirian di dunia ini. Tak ada
seorang pun yang memperhatikkannya, kecuali Haryanto. Tapi pria itu selalu sibuk, dan tak
mungkin Sheila mencurahkan isi hatinya pada pria itu. Di sekolah ia tak punya teman. Gara-gara
ada teman Renny yang masuk sekolah situ dan Renny bergosip dengannya tentang masa lalu
Sheila, semua teman jadi tahu kalau ia anak seorang pembunuh. Bahkan membunuh istrinya
sediri. Sheila jadi pendiam dan mengucilkan diri.
Sheila berusaha menjadi ranking satu di sekolah demi membuat Haryanto bangga, untuk
membalas budi pria itu. Tapi apa daya ada murid lain yang nilainya lebih bagus. Mungkin juga
karena ia kurang waktu untuk belajar karena terlalu lelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga,
mungkin juga karena ia kurang pintar. Dan terkadang bila masalahnya terlalu menghimpit dada,
ia jadi tidak bisa belajar. Tidak bisa konsentrasi, menghafal satu kalimat saja sulit, mengerjakan
satu soal hitungan saja tidak selesai. Sheila merasa ia depresi, karena depresi, ia jadi tambah tak
bisa belajar, jadi tak bisa belajar, jadi tambah depresi.
Kafang ia berpikir kehidupan seperti Renny yang masih seusianya, jauh lebih baik daripada
kehidupannya. Anak itu tak pernah sedih, sedihnya paling kalau sedang menunggu Sheila yang
membuatkan sirop terlalu lama, atau pakaiannya yang dicuci Sheila jadi luntur. Selain itu Renny
bahagia punya ayah dan ibu yang begitu menyayanginya, punya kakak yang selalu membelanya,
Sheila tahu dari seringnya Reza membela Renny bila Renny sedang memarahinya, dan yang
terpenting ayahnya tidak membunuh ibunya.
Memikirkan hal iti Sheila teringat ayahnya yang sudah divonis pengadilan. Charles divonis
mendekam dipenjara selama lima belas tahun. Berarti saat ayahnya bebas nanti ia sudah berusia
tiga puluh tahun, mungkin sudah punya suami dan anak-anak, atau mungkin tidak. Mungkin
sudah sudah lulus sekolah, mungkin sudah bekerja. Entah bagaiman ayahnya seyelah beliau
bebas, apaplagi Sheila tak mau bertemu lagi dengan pria itu selamanya.
Baru disadarinya hubungannya dengan ayahnya tak begitu dekat, dan sekarang bertambah paraj,
sudah tak bisa diperbaiki lagi. Yang diingat Sheila dari pria itu adalah saat ayahnya dibawa Pak
RT dan para ttangga ke polisi, dan ayahnya berkata. "Tunggu Pap di sini! Nanti Pap pulang!"
Itu pertemuan terakhir mereka, sampai sekarang mereka tak berkomunikasi lagi. Mengenai
jenazah ibunya, Haryanto sudah menceritakan bahwa jenazah Mira tidak dutemukan. Dari
pengakuan Charles jenazah itu dubuang di sungai, tapi polisi cuma menemulan karung kosong.
Tidak jelas bagaiman kejadiannya, yang pasti Sheila sedih sekali karena ia bahkan tak bisa pergi
ke pusara ibunya. Tak terasa sydah empat bulan sejak kejadian itu.
" Sheila! Sheila!"
Sheila yang sedang menghaluskan ubi untuk membuat kolak biji salak menoleh, "Ada apa,
Ren?" tanyanya. "Beliin kertas kado di warung Bu Samsu dong."
"Buat apa?" "Pakai nanya lagi, ya buat bungkus kado!"
" Kan kertas kado yang kamu pakai untuk membungkus kado papamu masih ada sisianya. Ku
simpan di kamar." Ujar Sheila.
Wajah Renny berseri. "Ya sudah, itu saja. Bawa ke kamarku. Sekalian sama bawain air minum,
aur putih aja.!" Sheila mengambil kertas kado di itu dan membawanya ke kamar Renny. Tak lupa ia membawa
sebotol iar minum beserta gelasnya.
Renny sedang menggumamkan kata-kata yang akan ditulisnya untuk si penerima kado. "Semoga
panjang umur, dari yang mencintaimu, Renny...."
Sheila tersenyum, ia mebaruh botol dan gelas di meja balajar. Kado utu pasti untuk cowok,
pikirnya. "Mau dibantu dibungkusin, Ren" Masih sisa banyak nih kertasnya, aku bisa bikin kipas
diatasnya." "Ya sudah." jawab Renny tanpa menoleh. "Tuh kadonya di atas tepat tidur."
Sheila berjalan ke tempat tidur. Tapi ia kaget melihat benda satu-satunya yang ada di situ adalah
piano di kotak kaca seperti miliknya.
"Ren, kamu beli benda ini dimana?" tanyanya.
"Ada..... Aja. Kenapa sih?"
Tanpa bicara lagi Sheila langung keluar dari kamar Renny menuju kamarnya. Di sana ia mencari
miniatur piano miliknya yang disembunyikan di dalam tas. Benar dygaannya benda itu sudah
tidak ada lagi. Buru-buru ia laru lagi ke kamar Renny.
Di dalam kamar dilihatnya gadis utu sedang membungkus benda itu dengan kertas kado.
"Kembalikan milikku!" seru Sheila.
Renny mendongak. "Milikmu yang mana" Kalau ngomong jangan sembarangan, ya?"
Sheila merebut benda itu,"Ini punyaku, kan?"
"Ya.....ya....ya... Itu punyamu. Tapi kamu ngomong kasar gitu ke aku, nggak takut dimarahi
mama?" "Dalam hal ini kamu yang salah, mengambil milik orang lain sembarangan."
Tiba-tiba Renny melompat dan merebut benda itu lalu berlari jauh-jauh dari Sheila. Sheila
mengejarnya. "Mendekat, ku banting!" ancamnya
"Kembalikan!" teriak Sheila histeris.
"Aku mau kasih benda ini ke cowok yang paling penting buatku. Dia itu suka main piano. Benda
ini cocok untuknya. Nanti aku ganti sama barang lain deh." ujar Renny.
"Tidak bisa! Benda itu peninggalan mamaku, aku tak mungkin menukarnya walau dengan
kalung emas yang kau pakai!"
"Sembarangan! Siapa yang mau nuker sama kalung emas! Nggak setara, kalung emas ini sepuluh
gram lho, udah berapa tuh harganya. Piano mainan ini lima puluh ribu juga nggak nyampe
harganya.!" "Pokoknya nggak bisa, kembalikan!"
Seseorang mesuk dalam kamar dan berseru, "Ada apa, sih?"
Keduanya menoleh dan melihat Reza berdiri di sana. Sheila berkata, "Itu punyaku Renny
mengambilnya tapi nggak mau mengembalikan." Reza diam saja tanpa ekspresi
"Kak ingat Nathan kan" Aku suka sekali sama dia. Dia kan paling suka sama piano, jadi ini
cocok buat dia," rengek Renny. "Tapi si jelek ini nggak mau ngasih benda ini. Sok banget sudah
disekolahin mahal-mahal, dimintai benda jelej kayak gini, nggak mau ngasih."
Sheila hampir menangis, "Aku punya emas! Ada kalung , giwang, dan cincin, ku berikan semua
padamu, ya. Tapi jangan piano kecil itu.?"
"Nggak butuh, orang mintanya apa dikasihnya apa!" Gerutu Renny. Benda itu masih di tangan
Renny dan di sorongkan tinggi-tinggi di atas kepalanya. Karena tuhuh Sheila lebih pendek
otomatis ia tak bisa meraih benda di tangan Renny walau sudah berusaha menjangkau setinggitingginya.
"Sudah, Ren. Kesih aja. Barang jelek gitu, buat Nathan beliin apa aja lah, nggak usah kasih
gituan. Cowok nggak suka benda-benda aneh tahu!" bujuk Reza.
"Tapi aku suka....." rengek Renny. "Dia pasti akan memajang di kamarnya, dan dia akan inget
terus sama aku." "Tapi itu punya dia." Reza mulai hilang kesabaran. "Sudah balikin, aja."
"Kalau aku nggak dapat, dia juga nggak." ujar Renny. Ia membuka kepalan tangannya dengan
sengaja, dan piano kecil itu meluncur ke bawah, kelantai kamar Renny yang berlapis keramik.
PRAAANGG....!!! kotak kacanya bukan terbuat dari kaca betulan, tapi dari akrilik . Tapi bagian
sambungannya yang dilem terlepas. Dan kotak itu terlepas sisa-sisanya. Piano yang di dalamnya
ternyata terbuat dari kayu jecil- kecil yang dirakit. Karena terbanting bagian-bagiannya terpisah.
Resak berat. Sheila menangis dan meratap sambil melihat benda yang kini hancur itu. Ia berusaha
mengumpulkanny tapi malah semakin parah. Piano di dalamnya semakin hancur dan rontok.
Reza melotot pada adiknya, tidak suka melihat sikap adiknya yang keterlaluan. Tapi Renny purapura ridak melihat.
"Wah..... Jatuh... Aku nggak sengaja."
Tiba-tiba Sheila menyambar botol beling yang ada di meja bekas minum Renny. Ia menyerang
Renny. Renny langsung menjerit.
Refleks Reza menghalangi Sheila yang akan memukul adiknya. Tapi Sheila kalap memukulkan
botol itu sekuat tenaga. Botol menghantam pelipis Reza dan darah segar mengucur keluar. Reza
sempat menatap darahnya sendiri, lalu hilang kesadaran.
Renny menjerit-jerit melihat kakaknya tak sadarkan diri dengan kepala berlumuran darah. Sheila
berdiri terpaku dengan botol beling di tangannya.
"MAMA! MAMA...!"teriak Renny histeris."TOLONG....!!!"
Terpogoh-pogoh Ratna masuk ke kamar anaknya. Di sana ia melihat pemandangan yang begitu
menyeramkan. Sheila terpaku dengan botol berlumuran darah di tangannya. Renny menangis,
memeluk tubuh Reza tang tak sadarkan diri di lantai dengan kepala berluran darah.
Ratna hampir saja pingsan, kalau saja ia tak ingat anaknya butuh pertolongan secepatnya.
"Renny telepon ambulans! CEPAT....!!!!"
Renny buru-buru keluar untuk menelepon. Sheila masih berdiri terpaku dengan mata terbelalak
melihat Reza terbaring di depannya. Aku....... Aku telah membunuh orang, pikirnya.
Melihat Sheila yang masih mematung di kamar itu, Ratna kehilangan kesabara. "K-kau..... Pergi
sekarang juga! MINGGAT SANA! AKU BENCI MELIHATMU, ANAK PEMBUNUH!"
Sheila berlari keluar kamar. Kakinya terasa lemas. Ia tak tahu harus melariak diri ke mana.
Akhirnya ia membuka pintu gudang yang sempit dan penuh barang-barang tak terpakai. Ia
masuk dan mendekam di dalamnya.
BAB 3 SHEILA tak tahu berapa lama ia di gudang. Kalau bisa, ia tak mau keluar lagi dari tempat itu
untuk selamanya. Gudang itu cuma punya jendela kecil sebagai ventilasi, dari jendela itu sinar
menerobos masuk. Sheila masih di sana sampai gudang gelap gulita, berarti hari sudah malam.
Tiba-tiba pintu diketuk. "Sheila.... Sheila... Kau ada di dalam?"
Itu suara Haryanto. Sheila buru-buru keluar dan memeluk Haryanto. "Omm.... Saya minta maaf, Omm! Saya tidak
sengaja! Saya bersalah, Omm!" Namun ia mundur begitu menyadari yang peluk bukanlah
Haryanto melainkan Ratna. Haryanto berdiri di samping istrinya, dan pria itu menatapnya
dengan sorot mata lelah. "Kepala Reza mendapatkan lima jahitan, dan itu semua gara-gara kamu!" seru Ratna.
"Maafkan saya, Tante. Saya tidak bermaksud memukul kepala Reza dengan botol." ujar Sheila
lirih. "Tapi kamu bermaksud memukul kepala Renny, kan?"
Sheila tidak tahu apa yang menyergapnya tadi siang. Pikiran itu tiba- tiba saja melintas di
kepalanya. Kemarahan karena pianonya dirusak membuatnya hilang kendali. Ia memiliki napsu
membunuh dan itu membuatnya ngeri.
"Kau keturunan Ayahmu, bisa gelap mata kalau sedang emosi. Dan emosimu bisa muncul begitu
saja. Apa kau tahu itu menakutkan?" ujar Ratna dengan suara lebih rendah, namun mengandung
ancaman. Sheila terisak, dan menangis.
"Kau tidak bisa tinggal di sini lagi!" bentak Ratna.
"Ratna, Reza sudah siuman. Dan kata Dokter Reza cuma kaget karena melihat darah. Masalah ini
biarlah berlalu. Beri Sheila satu kesempatan lagi." pinta Haryanto.
"Tidak bisa, itu menyangkut keamanan keluarga kita. Siapa menjamin ia tidak membunuh kita
semua, saat kita sedang tidur?" kata Ratna pedas. "Pokoknya ia tidak boleh tinggal di sini lagi
titik." setelah berkata begitu Ratna meninggalkan Sheila berdua dengan Haryanto.
Sepeninggal Ratna, Heryanto berkata pada Sheila. "Sheila kamu tidak boleh seperi itu, kau harus
bisa menguasai emosimu sendiri. Memang itu tidak mudah, tapi bisa dilatih. Begitu kau sudah
menguasainya. Kau disebut dewasa."
Sheila menghambur ke pelukan Haryanto. Ia menangis tersedu-sedu.
"Saya minta maaf, Omn!"
"Ya, Omn tahu kau tidak sengaja."
"Apakah saya masih bisa tinggal du sini?"
"Tidak, Nak. Omm akan menyekolahkan kamu di sekolah berasrama."
Matahari bersinar cerah, walau mendung bergelayud di hati Sheila. Gadis itu tidak tahu mengapa
sebelum Reza pulang, ia sudah diantar ke sekolahnya yang baru, sebuah asrama putri di daerah
Ciloto, puncak. Ia ingin melihat keadaan Reza. Sebelum melihat pemuda itu baik-baik saja
hatinya belum tenang. Ratna sendiri yang menyetir mobil umtuk mengantarkan Sheila. Renny dan Haryanto menunggui
Reza di rumah sakit. Sheila membungkus barang-barangnya yang tidak seberapa itu, ditambah buku-buku dan
seragam SMA-nya. Ratna sudah mengurus kepindahanbya dengan sangat cepat, hingga Sheila
merasa hidup di alam mimpi, mimpi yang buruk.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Miniatur pianonya yang hancur dibawanya pula, sudah dicobanya berkali-kali untuk
merekatkannya, tapi selalu terlepas, lagi. Mungkin suatu saat nanti, ia bisa membeli lem yang
kuat untuk membetulkannya. Baginya bila piano itu bersamanya, ia bisa mengingat wajah
ibunya. Tidak ada foto terakhir, jadi ia tak punya kenangan. Semua kenangan itu sudah ia simpan
di piano mainan tersebut.
Ratna berdehem. Sheila menatap wajah tantenya yang cantik tapi beku. Wanita itu tak
mengajaknya bicara sejak berangkat dari jakarta. Dan kini mobil sudah melaju di daerah yang
meninggi, tanjakan yang menandakan mereka sudah hampir sampai di lokasi.
"Kau mesti belajar baik-baik di sana, mengarti?"
" iya, Tante." "Jangan iya-iya aja. Kau kecil-kecil sebenarnya pembangkang! Sifatmu bukan sifat yang baik.
Kau seharusnya bersyukur, kami sudah sangat baik tidak menyerahkanmu ke polisi.... Maksud
Tante, atas perbuatanmu pada Reza."
"Iya, tante." "Coba kurang apa lagi tante" Sudah pindah sekolah dua kali dalam kurun waktu enam bulan.
Uang pangkal saja sudah terbuang berapa. Sekolah asrama lebih mahal dari pada sekolah biasa,
tahu!" Ratna menghela napas. "Tapi ini demi kebaikan semuanya."
Sheila merasa kata-kata wanita itu benar. Ia bersyukur karena mereka masih bersedia
menyekolahkannya. Tapi, alangkah baiknya kalau ia tetap tinggal di jakarta.
"Reza.... Sudah baikan, tante?"
"Sudah, tapi kan efek samping dari pukulan itu tidak bisa diketahui sekarang. Dokter bilang bisa
saja beberapa tahun lagi tiba-tiba ia pusing atau black out."
"Maafkan saya, Tante."
"Ya, tapi tante harap kamu tidak bikin masalah lagi. Kalau bisa kau sekolah di asrama ini baikbaik sampai lulus SMA. Setelah lulus kau bisa bekerja dan mandiri. Bisa mandiri baru bisa
disebut dewasa. Saat itu kau tidak butuh kami lagi."
Sheila tahu kenapa Ratna mengantarkannya hari ini. Rupanya wanita itu ingin mengatakan hal
ini. Inilah terakhir kalinya Ratna mengulurkan bantuan pada Sheila, jadi Sheila jangan sampai
merusaknya. Kalau Haryanto takkanbtega mengatakn hal-hal seperti itu.
"Sa....saya berterima kasih atas semua bantuan tante pada saya. Jasa Omm dan Tante tidak akan
saya lupakan." ucap Sheila pedih.
"Nah, begitu baru bagus. Dan supaya kau bisa berhasil, liburan tak usah pulang ke rumah.
Tinggal di asrama, belajar yang baik, mengerti?"
Saat itu teringgatlah oleh Sheila betapa Ratna telah menggagalkannya belajar piani, berbohong
pada Haryanto ingin mengajarinya padahal tidak, malah mempermaluka Sheila di depan
suaminya. Juga Renny yang telah memperlakukannya seperti pembantu dan memecahkan piano
mainannya. Juga Reza yang tak pernah menganggapnya ada dan selalh membela adiknya. Cuma
Haryanto yang baik, tapi pria itu pun tunduk pada istrinya. Baik, mungkin lebih baik ia tak usah
pulang lagi dab tinggal di asrama. Itu keinginnan Ratna, bukan"
"Baik, Tante." jawab Sheila dingin. "Mudah-mudahan saya tidak pernah pulang ke rumah Tante
dan mengganggu Tante lagi."
Ratna mencibir, "Tuh.... Kan sifat jelekmu keluar lagi sindir saja, sindir!"
"Saya serius Tante, doakan saya juga."
"Tetntu saja, kalau kau bisa berhasil, saya jadi tidak repot,kan" Susah kalau punya suami terlalu
baik hati, semua orang mau ditolong tapi mau bagaimana lagi?" gerutu Ratna.
Mereka sudah memasuki lokasi. Ratna membelokkan mobilnya ke area sekolah. Jantung sheila
berdebar. Ia sudah sampai di tempat tinggalnya yang baru. Di sini tak ada yang tahu masa
lalunya. Di bacanya sebuah palng bertuliskan "Sekolah Asrama Putri Mutiara Ibunda-Ciloto". Ratna pun
turun. Seorang wanita berkaca mataenyambut mereka. Usia sekitar lima puluh tahun.
"Selamat datang, Bu Ratna. Kemarin anda bilang, Anda akan datang bersam murid baru yang
ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya itu. Kok sekarang anda datang sendirian?"
Sheila turun dan memandang wanita itu dengan wajah pucat.
Mutiara Ibunda adalah sekolah SMA berasrama khusus untuk pelajar putri dan dikelola oleh
yayasan Mutiara Ibunda. Tujuan didirikannya sekolah ini adalah untuk sosial, atau amal jadi
memang bukan untuk mencari keuntungan. Separuh muridnya adalah anak jalannan yang di asuh
dan bersekolah di sini tanpa membayar bila lulus nanti mereka tetap mendapatkan ujasah dan
bebas meninggalkan asrama dan separuhmya lagi adalah remaja putri biasa, yang dititipkan
orang tua karene mereka sulit diatur, juga agar mereka lebih mandiri.
Biaya sekolahnya tidak mahal karena du sini para siswa di ajar untuk mandiri. Mereka diberi
tugas untuk memasak makanan mereka sendiri, serta membersihkan sekolah dan asrama. Mereka
harus mencuci pakaian mereka sendiri dan melakukan segalanya sendiri. Mereka tidak boleh
keluar daru lingkungan sekolah tanpa izin.
Bangunan SMA Mutiara Ibunda sangat sederhana, cuma terdiri daru satu gedung besar untuk
belajar, dan separuhnya dijadikan asrama tempat tinggal. Kelasnya cuma ada tiga, yaitu kelas
satu, dua, dan tiga yang masing-masing tetdiri dari 25 murid
Ada sekitar 80 kamar di asrama itu. Satu kamar dihuni empat orang, terdiri dari dua tempat tidur
tingkat san sebuah lemari tempat penyimpanan barang-barang. Selain para siswa, penghuni
sarama itu juga para guru yang bekerja dengan penuh pengabdian.
Yang menjadi kepala sekolah adalah Bu Lia, yang menyambut kedatangan Ratna di halaman
rumah tadi. Ia mengajar Matatika, Kimia, dan Fisika. Juga ada Bu Emmy yang mengajar Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris.
Lalu ada Bu susan, mengajar kesenian. Guru ini masih muda sekitar tiga puluh tahun usianya,
wajahnya cantik tapi belum menikah. Pak Teguh yang hampir pensiun mengajar bidang studi
PPKN, Geografi, dan Sejarah. Terakhir adalah Pak Alex guru baru yang mengajar komputer dan
akutansi. Seorang pendeta datang seminggu sekali untuk memberika pelajaran agama di hari jumat, karena
latar belakang pemilik yayasan yang beragama kristen. Tentu saja untuk agama laib disediakan
tempat ibadah sendiri. Karena Ratna sudah memberi tahu bahwa Sheila anak bermasalah yang ayahnya dipenjara
karena membunuh ibunya, lalu memukul Reza hingga cedera parah, dan pemalas, maka pudarlah
harapan Sheilauntuk diperlakukan seperti anak-anak biasa.
"Kenalin aku Tini ketua geng di kamar ini." ujar gadis berkulit hitam dengan rambut kemerahan
karena terbakar matahari. Lalu gadis itu cekikikan. "Bohong, aku cuma bercanda kok
nanggepinnya serius gitu sih?"
Sheila ca bisa tertawa rikuh. "Aku Sheila."
"Bagus banget namanya, cantik lagi. Asalnya dari mana sih?"
"Jakarta." "Wah, geu denger orang Jakarte pada pinter- pinter tuh. Ape bener?" kata Tini dengan logat
Jakarta yang dibuat-buat.
"Ah, nggak . Biasa aja."
"Kok masuk sini nggak dari awal, sekarang kan sudah bulan November, udah mau ulangan
umun,lagi!" "Aku sempet sekolah di Jakarta. Jadi aku pindah sekolah ke sini."
"Kenapa...?""
"Masalah keluarga." jawab Sheila lirih.
"Eh, yang namanya masalah pasti sumbernya dari keluarga. Mana ada masalah yang nggak ada
hubungannya dengan keluarga coba. Kecuali sama pacar! Kalo ngomong yang jelas dong!"
"Dia mukul orang sampai koma!" cetus seorang gadis yang baru masuk kamar.
Tini kaget, tak terkecuali Sheila. Kenapa masalah itu sudah diketahui semua orang" I sedih. Ini
pasti gara-gara Ratna dan guru-guru di sini.
"Tapi sekarang orangnya sudah sembuh kok, iya kan" Kenalin, aku Wenny," kata gadis
berambut sebahu itu matanya sipit, tapi wajahnya manis. Kulitnya putih dan tubuhnya tinggi
langsing. "Kau dengar berita itu dari mana?" tanya Sheila sambil menyambut uluran tangan Wenny.
"Semua juga sudah tahu. Ya sudahlah, kita di sini juga nggak ada yang punya rahasia. Sumua
sudah dibeberkan oleh orang tua kita yang membawa kita kemari. Aku perokok berat. Tapi
sekarang, karena sudah nggak pernah lihat rokok, sudah sembuh, kali."Ujar Wenny. "Ini Si Item,
tukang nguntit di supermarket. Udah sembuh apa belum, hanya dia yang tahu."
Tini yang dibilang si Item pura-pura memberengut marah.
"Dasar sipit lo. Ngatain gue item, enak aje. Iye kan ye, Sheila!"
Sheila tak bisa menahan senyumnya." jadi di sini semuanya anak bermasalah!"
"Ya . Orang tuaku sudah kewalahan dan nggak bisa ngajarin aku. Makanya mereka bawa aku
kemari. Kami ketemu enam bulan sekali pas hari Natal dan kenaikan kelas. Tapi enakan gini, aku
jadi nggak pernah denger mereka ngomel-ngomel lagi." ujar Wenny.
"Kalo aku dipungut dari jalanan oleh tim Mutiara Bunda di bandung. Lalu aku disekolahkan di
SMP Bandung, dan setelah lulus aku dibawa kemari, katanya sih kalau aku udah lulus dari sini
mau dicarikan kerja." ujar Tini.
Hati Sheila merese menghangat, mendengar kawan-kawannya juga bukan remaja biasa. Di
sekolah ini, ia merasa anak normal, terlalu normal malah.
Selain airnya yang terlalu dingin sehingga ia malas mendi, selebihnya sih lumayan. Sebenarnya
jauh lebih enak dari pada di rumah Haryanto. Di sini ia tak diperlakukan seperi pembantu. Kalau
soal mencuci baju, toh itu bajunya sendiri.
"Jadi sekamar kita bertiga?"
"Ada satu lagi, namanya Indah. Sebenarnya kamarnya di ujung bareng gengnya, tapi karena lagi
dihukum ia disuruh berpencar. dan sialnya, Indah dapet kamar ini." kata Wenny
"Dia baik?" tanya Sheila.
"Uh, ngeselin banget. Tapi kita cuekin aja. Kalau dicuekin nggak bakal jadi masalah, kan?"
Tapi Tini salah. Ternyata Indah , namanya tidak seindah hatinya. Sejak awal bertemu dengan
Sheila, ia sudah menjaga jarak dan mengirim sinyal permusuhan. Di dalam kamar sja Indah
selalu membuat masalah. Kelihatannya ia tidak suka Sheila tidur di tempat tidur di bagian atas
tempat tidur tingkatnya. Ada saja ocehan yang membuat Sheila kesal. Tapi sebagai anak baru,
Sheila berusaha menahan diri.
Untunglah Indah kemudian dipindahkan lagi ke kamarnya semula karena masa hukumannya
sudah selesai. Tapi sikap permusuhannya tetap ditunjukan nya di kelas atau di tempat lain kalau
mereka bertemu Dati Wenny lah, Sheila tahu apa penyebabnya. Indah tidak senang dengan kehadiran Sheila
sebagai murid baru. Pasalnya, wajah Sheila yang cantik mengalahnkan Indah sebagai gadis
rercantik di asrama ini. Memang rambut panjang dan lurus Indah sangat bagus dan wajahnya pun
cantik. Tapi kecantikan Sheila melebihinya. Apalagi Sheila menarik perhatian guru idola para
murid di sana, Pak Alex. Alex baru berumur 22 tahun. Kulitnya putih, wajahnya tampan. Alex menjadi pujaan para murid
yang bosan melihat guru-guru permpuan tua yang ada di Mutiara Ibunda. Ada sih Pak Teguh,
tapi umurnya sudah enam puluh tahun, dan kalau sedang menerangkan ia bisa tiba-tiba ketiduran
di mejanya, dan semua murid keluar dari kelas satu per satu tanpa pengetahuannya. Jadi selain
usianya yang masih muda, Alex punya nilai plus lain, yaith ketampanannya.
"Jadi dalam Microsoft Word, kita dapat membuat surat untuk beberapa orang, isinya sama,
tinggal namanya saja yang diganti. Apa nama programnya?"
Seisi kelas pura-pura bengong, atau sibuk memandangi langit-langit seolah berpikir, atau sibuk
mencari sesuatu di dalam tas.
"Sheila?" tanya Alex.
"Mail marge, Pak."
"Benar. Kamu rajin masih mengingat pelajaran yang telah lalu. Bagus." puji Alex. "Coba, sheila,
kamu maju dan tolong saya mengganti catatan di OHP ini, Bisa?"
"Bisa, pak." Indah mencibir, Dona yang duduk di sebelahnnya berbisik. "Enek, ndah?"
"Mau muntah!" ujar Indah ketus.
Dona tertawa. Dona tahu Indah naksir berat sama Pak Alex.
"Terus tindakan lo bagaimana?"
"Lihat saja tu anak. Seinci lagi ia mendekat ke Alex, gue hajar dia." ucap Indah.
Dona tahu, Indah tidak mai -main.
"Jadi rumah itu berhantu?" tunjuk Sheila. Tini dan Wenny duduk di sampingnya. Mereka duduk
di belakang asrama, di tanah berumput yang agak tinggi. Mereka mesti duduk hati-hati kalau
tidak bisa merosot jatuh.
Saat itu masih jam sekolah, pelajaran Pak Teguh. Saat Pak Teguh menyuruh mencatat, pria itu
ketiduran. Sheila, bersama Tini dan Wenny cepat-cepat menyelinap keluar. Tak tahu teman lain
ke mana, yang pasti jika mereka nongkrong di kantin, pasti semua digebah masuk lagi ke kelas.
Di belakang asrama ada sebuah rumah dengan pekarangan luas. Pekarangannya ditanami pohonpohon dan bunga-bunga yang merimbun sehingga jika dilihat dari luar pagar, nyaris menutupi
pemandangan rumah itu. Sebenarnya asrama Mutiara Ibunda dengan rumah seram itu cuma di
batasi pagar bambu. Pagarnya pun sudah doyong, tinggal di dorong saja mereka bisa lewat.
Diloncati juga bisa, karena tingginya cuma satu meter. Tapi menurut cerita Tini, rumah itu
berhantu. Dari jauh terdengar gonggongan anjing dari rumah itu.
"Katanya rumah berhantu, kok ada anjingnya?" tanya Sheila lagi.
"Justru itu, makin menakutkan. Aku takut anjing. Hiiiiii....."
Sheila tertawa. Ia semakin tidak percaya kalau rumah itu berhantu, apalagi kalau ada anjingnya.
Wenny menimpali, "Kami pernah diwanti-wanti sama Bu Lia, jangan iseng ke sana." ia menoleh
pada Tini. "Inget nggak" Waktu ada kelas tiga yang iseng ke sana, lalu dikejar anjing. Tapi Bu
Lia ngomongnya nggak ke semua murid, cuma di kamar aja. Aku denger dia ngomong begitu."
"Ngomongnya gimana?" tanya Sheila penasaran.
Wenny membusungkan dadanya dan menirukan gaya bucara Bu Lia. " Anak-anak, jangan sekalikali kalian masuk ke rumah belakang asrama. Kalau ada yang masuk ke sana, saya pribadi yang
menghukumnya. Ngerti?"
Tini cekikikan mendengar gaya bicara Wenny.
Sheila mengerutkan keningnya. "Aneh, kok nggak dikasih penjelasan kenapa kita nggak boleh ke
situ" Siapa sih yang tinggal di sana?"
"Hantu..." jawab Tini. "Hiiiii....!!!!"
Sheila menggeleng. "Aku sudah lima belas tahun di dunia, eh seminggu lagi enam belas deh,
nggak pernah tuh melihat hantu."
"Seminggu lagi kau ulang tahun?" tanya Wenny.
Sheila tak menjawab pertanyaan Wenny. "Mesti kita selidiki, benar nggak ada hantunya."
gumam Sheila. "Seminggu lagi kau ulang tahun?" ulang Wenny.
"Iya, ah bawel." Sheila bangkit berdiri. "Mau ikut nggak?"
"Kemana?" "Nangkap hantu."
Sheila mengendap-endap, Tini di belakangnya. Wenny paling belakang karena Tini maunya di
tengah. Kalau benar-benar ada hantu yang kena belakang dan depan dulu, kata Tini. Mereka
sudah melompati pagar dan tengah memasuki pekarangan.
"Duh.... Aku pengen pipis nih.." rengek Tini.
"Ssstttt.... Nanti anjingnya kemari! Kalau digigit anjing terus rabies, kamu yang tanggung jawab
ya!" gerutu Wenny. "Biar Sheila yang tanggung jawab. Kan ini ide dia!"
"Diamm!" desis Sheila.
Ia mendekati sebuah jendela dan mengintip. Jendela itu bertirai yang berwarna putih berbahan
tipis. Bahannya tampak mahal. Rumah ini juga rapi. Kalau memang ada orang yang tinggal di
dalamnya, pasti orang kaya. Sheila mencoba memperjelas pandangannya karena tirai itu
menghalangi. Dilihatnya sebuah kamar yang sangat mewah. Dengan perabot warna-warni yang modern.
Sentakan Tini pada bajunya diabaikannya.
"Tunggu sebentar." Bisik Sheila.
Di ruangan itu ada seorang pria, sedang berdiri membelakanginya. Pria itu bertubuh atletis.
Sheila bisa melihatnya kerena pria itu hanya mengenakan celana panjang, tanpa atasan. Pria itu
sedang menghadapi komputer, dilihat dari cahaya monitor yang berpendar, kelihatannya ia
sedang mengetik. Wenny yang penasaran ingin ikut melihat. Digesernya Tini yang bertubuh pendek dan tidak
berminat sama sekali mengintip jendela. Tapi Tini tidak mau bergeser. Rupanya suara berisik
mereka terdengar oleh anjing di rumah itu. Anjing itu menyalak. Salakannya terdengar semakin
dekat. "A.....anjing, Sheila! Anjing...!!!"
Sheila melihat pria itu menoleh. Ia terpana melihat wajah tampan pria itu, sayang, di pipi kiri
pria itu ada bekas luka.... Luka yang cukup panjang dan dalam!
"Lari...!!!!" Wenny dan Tini kocar-kacir ketakutan. Tinggal Sheila sendirian di sana. Ia pun mengadang
anjing yang menggonggonginya seperti seorang matador menghadapi banteng.
"Pus.... Pus!!!" tapi kemudian ia ingat itu bukan kucing melainkan Anjing. "Tsk...tsk... Doggy!
Doggy!" Grrrrr!!!!! Anjing itu menggeram. Sheila ketakutan dan lari tiba-tiba. Sang anjing mengejarnya
sampai Sheila dapat merasakan moncong sang anjing hampir menyentuh bokongnya. Untung
tepat pada waktunya ia dapat melompati pagar dibantu Wenny dan Tini. Ia terjatuh ke rumput
dengan napas ngos-ngosan.
"Sialan...!! Tapi untung.... selamat!"
Ketiga gadis itu berpandangan lalu tertawa terbahak-bahak. Apalagi Wenny ia tertawa sampai
sakit perut. Ditunjuknya Tini.
"Sheila kau nggak lihat...... Si Tini ngompol di celana!"
Tini cuma manyun. Sheila dipanggil oleh kepala sekolah berkaitan dengan nilai-nilainya.
"Ibu lihat laporan nilai kamu dari sekolah lama cukup baik, kenapa di sini kamu selalu mendapat
nilai merah?" tanya Bu Lia.
Sheila menunduk. "Sa.... Saya tidak bisa berkonsentrasi bu." kata-katanya itu benar. Sheila
memang merasakan sulit berkonsentrasi belakangan ini. Mungkin karena mendapatkan temanteman yang begitu asyik yang belum pernah dialaminya, yaitu Tini dan Wenny. Hatinya terus
merasa gembira dan inginnya main terus. Kedua gadis itu pun setali tiga uang dengannya. Samasama malas. Akibatnya ya inilah.
"Itu namanya malas!" sergah Bu Lia. Wajahnya tidak enak dilihat. Ia memang tidak suka murid
yang malas belajar. Kalau bodoh masih bisa diobati, kalau malas susah diperbaiki.
"Ya sudah, Bu. Mulai sekarang saya akan rajin belajar."
"Harus itu. Kalau tidak apa yang bisa saya laporkan ke Tantemu?"
Kata-kata kepala sekolahnya mengingatkannya pada kehidupannya yang lalu, yang terasa
berjarak ratusan tahun dari sekarang. Apakah Tante Ratna peduli padanya" Sheila tidak pedulu
Tantenya akan berpikir apa, tapi Sheila takut hal ini akan sampai ke telinga Ommnya. Tegakah ia
mengecewakan hati Omm Haryanto setelah semua kebaikan yang telah ia terima dari pria itu"
"Jangan, Bu. Lihat dulu nilai saya akhir semester ini," kata Sheila cepat.
"Tidak, tidak bisa sampai menunggu akhir semester. Kalau tetap jelek itu namanya terlambat.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begini saja, kamu harus memilih salah satu guru untuk mementau nilai kamu. Tugas saya banyak
saya tidak akan sempat memperhatikan kamu."
Jadilah Sheila memilih guru yang paling memperhatikan dia, Pak Alex.
BAB 4 "KEMARIN ulangan Biologi dibagikan, Pak Alex. saya dapat sembilan!" ujar Sheila. kebetulan
Alex sedang memeriksa ulangan di ruang komputer. Sheila menemukan pria itu di sana.
"Kamu pakai cara yang sudah saya kasih tahu?"
"Iya. Digaris bawahi yang penting dulu baru dihafalkan. Terus menyuruh si Item ngasih
pertanyaan ke saya."
Alex mengerutkan kening. "Si Item?"
"Tini." "Ya ampun. Enak saja kau mengatai orang."
Sheila meringis. "Udah biasa, Pak. Lagian memang dia item kok."
Alex tertawa. Sheila duduk di sampingnya. Entah kenapa ia bisa dekat dengan gurunya yang satu
ini. Mungkin karena Alex tidak galak sepeti guru-guru yang lain. Apalagi Alex masih muda,
enak diajak bicara, dan selalu memperhatikannya.
"Ya sudah, saya senang kamu dapat nilai bagus. Pokoknya semester ini rapormu tidak boleh ada
nilai merahnya. Kalau ulangan ada yang jelek cepat-cepat minta perbaikan atau tugas,
mengerti?" "Iya, Pak." Saat Sheila tertawa Alex memandanginya. Matanya berkaca-kaca. Melihat perubahan air muka
gurunya Sheila berhenti tertawa.
"Bapak kenapa"''
Alex mengusap matanya sewajar mungkin, malu kalau Sheila tahu. "Saya ingat adik saya."
"Adik Bapak" sekarang di mana, Pak?" tanya Sheila. Setahunya guru-guru di sini tinggal di
asrama. Seminggu sekali mereka pulang setiap hari jumat, dan kembali pada minggu sore.
"Di tempat yang tidak mungkin kita kunjungi sekarang."
"Tempat apa tuh, Pak." tanya Sheila polos. Lalu saat melihat wajah sedih Pak Alex, ia tersadar. "
Adik Bapak.... Sudah meninggal?"
Alex mengangguk. "Dia mirip kamu?"
Sheila membatin, karena inilah Pak Alex memperhatikannya" Karena ia mirip adiknya yang
sudah meninggal!, "Rambutnya, wajahnya, perawakan tubuhnya, sifat pembangkangnya..." Sheila tersenyum karena
Alex bilang ia pem bangkang. "Dia meninggal kerena demam berdarah, dua belas tahun lalu. Saat
meninggal usianya, baru enam belas tahun."
"Seumur saya."Gumam Sheila.
"Ya, seumur kamu Sheila. Kalau saya melihat kamu, Sheila.... Sama saja dengan melihat adik
saya. Bila ia tidak meninggal, tentulah...."
Alex kembali mengusap air matanya.
"Jangan sedih, Pak. Bagaimana kalau kita berjanji, mulai saat ini kita akan terus berhubungan
sampai kita tua kelak. Bapak kan ingin melihat adik anda dwwasa, lihat saya dewasa juga sama.
Biar saya jadi pengganti adik Bapak yang sedah meninggal. Siapa namanya, Pak?"
"Mona." "Bapak juga boleh panggil saya Mona kalau Bapak mau."
Alex tersenyum, "ngaco kamu."
Saat itu tanpa sepengetahuan mereka, sepasang mata melihat mereka dengan penuh kebencian.
"Happy birthday Sheila...!! Happy birthday to you...!!!"
Sheila membuka mata yang tadi ditutupi dengan tangan mungil Tini. Ternyata ia berada di
laboratorium kimia. Di lantai ada enam belas lilin putih yabg diletakkan menyebar, ia tersenyum.
"Gileeeee..... Nggak modal banget cuma lilin doang! Kuenya mana?"
"Tenang si Wenny sudah membeli kue pukis di depan asrama tadi."
Sheila tersenyum lagi. Hari ini tujuh belas desember hari ulang tahunnya. Sejujurnya baru kali
ini ia mengalami pesta kejutan di hari ulang tahunnya. Ia teringat sewaktu Mamanya masih
hidup, beliau sering membuat kue bolu bila ia ulang tahun. Walau oven dan mixernya harus
meminjam tetangga dan hasilnya kadang bantat, rasa manis kue itu masih tertinggal di lidahnya.
Air matanya tiba-tiba tak terbendung lagi. Ia mengusapnya cepat-cepat.
"Yahhhh.... Dia nangis.!" seru Wenny. "Si Item sih bilang-bilang kalau belinya kue pukis. Diemdiem aja kenapa" Ntar juga dia ikut makan."
Mau tak mau Sheila jadi tertawa. Disekanya air mata di wajahnya.
"Nggak kok., aku paling suka kue pukis depan asrama." sanggahnya.
"Tiup lilinya dulu. Tiup...!!!"
Sheila meniup lilin yang terdekat dengannya, lalu berlari menuju lilin berikutnya. Sampai lilin ke
enam belas, lilin itu diletakkan di dekat botol berisi cairan kimia. Didekat lilin itu ia tersandung
dan jatuh. Tanpa sengaja kaki Sheila menendang lilin dan botol. Rupanya cairan itu semacam zat
pembakar seperti minyak tanah. Dengan cepat api menjilat cairan dalam botol dan menyalanyala. Ketiga gadis itu berteriak ketakutan.
"Kebakaran....!!!! Kabakaran....!!!" teriak mereka.
Tini menarik tangan Sheila. "Ayo kabur...!!"
"Padamin api dulu! Ini gimana?"
"Nggak usah. Mereka pasti sudah mendengar teriakan kita. Sekarang kita harus kabur sebelum
dihukum" Terpaksa Sheila melangkahkan kaki mengikuti kedua temannya meninggalkan lab kimia.
Satu jam kemudian mereka ditemukan Pak Teguh di belakang asrama. Api di lab kimia sudah
berhasil dipadamkan. Untung api bisa dimatikan sebelum menyambar zat pembakar lain. Kalau
tidak bisa-bisa sekolah kebakaran. Walau mereka kabur pelakunya dapat diketahui oleh guru.
Pasalnya ada enam belas lilin dan bungkusan kue pukis di lantai serta coca cola dalam botol
besar. Ketika di cek hanya Sheila yang berulang tahun hari ini, dan usianya genap enam belas
tahun. "Kamu mau membunuh kami semua, ya"!" bentak Bu Lia. Kata "membunuh" yang digunakan
Bu Lia menyakiti hati Sheila. Kenapa semua kesalahannya selalu dikaitkan dengan membunuh"
Apakah karena ia anak seorang PEMBUNUH?"
" Di lab kimia itu ada cairan yang akan meledak bila kena api. Di sebelah lab kimia ada 28 siswa
kelas 3 yang sedang belajar. Kau mau membunuh mereka semua?"
Di samping Sheila Tini dan Wenny menunduk. Tapi Bu Lia tidak melampiaskan kemarahannya
pada kedua anak itu, yang sebenarnya pencetus ide menyalakan lilin itu. Bu Lia malah langsung
memarahi Sheila seolah Sheila lah yang bersalah.
"Jawab saya, Sheila! Jangan diam saja!"
"Ma... Maafkan saya, Bu."
Tiba- tiba Tini menyela. "Bukan salah Sheila, Bu. Saya yang menyalakan lilin-lilin itu, berdua
dengan Wenny. Kami berdua yang merencanakan pesta kejutan untuk Sheila. Karena cuma lab
kimia yabg kosong kami meminjam ruangan itu."
"Tanpa seizin guru" Dan hampir menyebabkan kebakaran" Kalian bertiga dapat saya keluarkan
dari sekolah." Sheila maju. "Bu, Tini dan Wenny tidak bersalah. Ini semua ide saya. mereka cuma ikut-ikutan.
Kalau ibu mau menghukum hukum saya saja,Bu. Mereka tidak bersalah."
"Sheila..." gumam Wenny.
"Jangan ragu-ragu, bu. Hukum saya. Cuma saya yang bersalah. "Kata Sheila sambil menatap Bu
Lia tajam. Perempuan itu mundur satu langakah. Anak ini...... Wataknya begitu keras.
DAN Bu Lia teringat kata-kata Ratna, "Emosi Sheila tidak stabil, bila sedang emosi ia bisa gelap
mata. Ia telah melukai anak saya tanpa sebab. Anak ini tidak boleh mengintimidasinya...."
"Tinny, Wenny, kalian keluar dari sini...! Sheila kamu harus bertanggungjawab atas
kesalahanmu.!" Beberapa saat kemudian Bu Lia duduk di meja guru sambil membaca, sementara Sheila
menggosok meja praktik yang dilapisi kramik dengan cairan pemutih. Sheila harus
membersihkan lab kimia yang hangus sebagian akibat kabakaran itu. Ia harus mencuci botolbotol kotor yang ada di dalam lab itu yang kelihatan sudah tak dipakai bertahun-tahun. Lab kimia
Mutiara Bunda ternyata sangat kotor, dan sudah lama sekali tak tersentuh air sabun. Rupanya Bu
Lia tak membiarkan siapa pun membersihkannya, karena takut akan salah menempatkan zat-zat
yang berbahaya. Kali ini Sheila dihukum membersihkan ruangan ini, dibawah pengawasannya.
Satu kali tepuk, dua burung kena.
Sheila membersihkan Lab kimia selama enam jam, dan ia tak boleh berhenti untuk makan.
Setelah selesai tubuhnya sangat sakit dan tulang-tulangnya serasa mau rontok. Tini, Wenny
menyambutnya di kamar. Saat itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, sudah lewat makan
malam. "Gimana, Sheila?"?" tanya Wenny.
"Cuma disuruh ngebersihin Lab kimia." Jawab Sheila. Tak diceritakannya bagaimana tangannya
terkena cairan pembersih keramik, sehingga terasa gatal atau ia yang harus membuang bangkai
cicak yang sudah kering yang ada di bawah sebuah botol bekas, atau ketika sebuah botol pecah,
dan ia mendapat hardikan dari Bu Lia.
Tini mendesah lega. "Aku kira kau dikuliti hidup-hidup."
terdengar suara asalnya dari perut Sheila, "Perutku laper nih...."
Wenny mengeluarkan sebuah bungkusan," ini kue lukis tadi aku beli di depan."
"Wah jadi deh makan kue ulang tahun," seru Sheila yang langsung melahap setu potong dalam
sekali suap. "Sheila aku mau minta maaf. Tadi kamu yang dihukum gara-gara...."
"Udah lah, Wen. Ini ulang tahun yang sangat berkesan buat aku."
"Bener?"?"
"Suer..." Tapi keesokan harinya Sheila demam.
Rupanya Sheila demam karena tubuhnya basah oleh keringat selama berjam jam saat mencuci
dan membersihkan Lab kimia. Akibatnya ia masuk angin. Wenny meminta obat turun panas
pada Bu Susan yang bertugas di sebagai seksi kesehatan. Sheila memutuskan tidak masuk
sekolah hari ini. setelah minum obat menjelang pukul sepuluh demamnya sudah turun. Sheila pun merasa
tubuhnya segar kembali. Ia merasa sangat bosan di asrama, kamarnya yang sempit membuat
perasaannya jadi sumpek. Akhirnya ia memutuskan untuk jalan-jalan di belakang asrama.
Saat Sheila duduk di rumputan belakang asrama, ia mendengar alunan denting piano. Ia
menikmatinya sambil melihat rumah di belakang asrama. Suara itu pasti datang dari sana,
pikirnya. Beberapa lagu tak dikenalnya, tapi Sheila menikmatinya sambil menggigit-gigit batang
rumput yang terasa sepat di lidah.
Lalu terdengarlah alunan lagi Fur Elise. Tubuh Sheila menegak. Air matanya mengalir. Entah
mengapa lagu ini membuat perasaanya tergerak oleh rasa haru, padahal kenangan yang terkait
dengan lagu ini adalah saat Renny memainkannya waktu Sheila datang di rumah Omm Haryanto.
Sheila menghapus air matanya. Ia bangkit berdiri dan mendekati rumah itu. Tak teringat olehnya
bagimana ia lari dari kejaran anjing waktu lalu. Ia cuma ingin mendengar lagu itu lebih jelas.
Ucapan Mamanya terngiang lagi di telinganya.
"Kenapa, Ma...?"
"Mama mau mengingat wajah kamu, mau Mama simpan di hati Mama."
"Kenapa?""
"Karena.... Wajah kamu kan nanti bisa berubah. Sebentar lagi kamu akan menjadi wanita
dewasa." "Memang kenapa..?"
"Sudahlah jangan nanya terus..."
Sheila menghapus lagi air matanya yang kembali mengalir. Entah mengapa di saat seperti ini ia
bisa mengingat Mamanya. Ia sudah tiba di depan jendela rumah seram itu. Kali ini bukan jendela yang kemarin, melainkan
jendela yang ada di depan rumah, karena kemungkinan besar ia dapat melihat orang yg
memainkan piano di sana, di dekat perapian.
Dugaanya benar, orang itu lagi.. Kali ini pria itu mengenakan kaus dan celana pendek. Wajahnya
terlihat dari samping kanan. Ia main piano sambil memejamkan mata. Pianonya bukan berwarna
coklat seperti kepunyaan Renny. Piano ini berwarna putih.
Sheila memperhatikan si pria pemilik rumah . Waktu pertama kali melihatnya, disangkanya pria
itu masih muda, sekitar dua puluh tahunan. Tapi sekarang setelah ia melihat lebih jelas ternyata
pria itu lebih tua dari sangkaanya. Mungkin sekitar tiga puluhan atau lebih.
Pria itu sangat tampan, dan pipi kirinya yang bekas luka tak terlihat. Saat melihat ekspresi pria
yang main piano itu, Sheila merasa sangat terharu. Ekspresi itu begitu sedih, begitu memilukan.
Mengapa saat Renny yg memainkan Fur Elise bisa terdengar begitu romantis, sedangkan saat
pria ini memai.kannya jadi terdengar sedih"
Sheila berusaha melihat lebih jelas, dilihatnya di tanah ada kaleng biskuit, dipijaknya kaleng itu
supaya ia lebih tinggi, tapi kakinya terpeleset dan ia terjatuh, juga kaleng itu. Terderngar bunyi
kelontang. Suara piano pun berhenti.
Sheila bangun lagi, dan mengintip ke jendela. Ruangan itu kini kosong. Ia merasa kecewa dan
bersiap -siap pergi dari tempat itu.
"Hei....! Siapa kamu...?"?"
Sheila menoleh dan melihat seorang kakek menghampirinya. Wajah kakek itu sangat
menyerampkan, penuh bopeng. Mungkin bekas cacar. Di sampingnya ada anjing herder yang
kemarin mengejar-ngejarnya. Anjing itu menggeram-geram begitu melihat Sheila, tapi kakek itu
memegangi kalung di lehernya.
Sheila merasakan nyeri di lututnya, saat ia melihatnya ternyara lututnya berdarah.
"Saya..... Saya cuma mau lihat.... Orang main piano." jawab Sheila.
"Kamu murid asrama itu?""
Sheila mengangguk. "Murid asrama dilarang kamari, kamu tidak dikasih tahu?"
"Ya, Tapi....."
"Ayo, pergi sekarang"! Kalo tidak saya lepas anjing ini!"
"Ba....baik." "Tunggu!" kakek itu kembali je dalam rumah dan tak lama kemudian kembali membawa perban
dan plester. Sambil menyodorkan benda itu pada sheila, ia berkata, "Untuk lukamu sekarang
cepat pergi dari sini."
Sheila buru-buru melompati pagar dan kembali ke asrama.
Beberap jam kemudian Sheila dipanggil Bu Lia.
"ada apa, Bu...?"
"Hari ini kamu kemana?"" tanya wanita itu.
"Saya sakit." Bu Lia meneliti penampilan Sheila, "Tapi kelihatannya kamu sehat-sehat saja."
"Sekarang sudah sembuh, Bu. Tapi tadi pagi panas jadi saya tidak masuk kelas."
Bu Lia mendengus, sikapnya seolah tak percaya ucapan Sheila, "Tadi saya menerima laporan
dari penghuni belakang asrama. Ada murid yang mengintip ketika ia main piano. Saya tanya jam
berapa, ternyata itu jam saat anak-anak sedang belajar. Lalu saat saya periksa siapa yang tidak
masuk, ternyata cuma kamu. Apa tadi kamu yang mengintip di rumah itu?"
"Ya,Bu. Tapi...."
"Apa kamu sudah tahu bahwa murid di sini dilarang ke rumah itu.?"
"Tahu, Bu. Tapi...."
"Kalau sudah tahu, kenapa di lakukan?" tukas Bu Lia dengan mata menyipit. "Ya ampun, kamu
ini sulit sekali diatur, Sheila. Kemarin kamu hampir menyebabkan kebakaran di Lab, hari ini
kamu pura-pura sakit dan mengintip rumah yang sudah dilarang didekati. Kamu maunya apa
sih...?"" "Saya benar-benar sakit."
"Apa kamu sengaja membuat saya marah, sehingga saya mengeluarkan kamu dan bisa kembali
ke rumah tantemu?" Sheila diam, percuma bicara wanita ini berpikir semaunya dan tidak mau mendengarkan
alasannya. "Apakah kamu tidak tahu kalau tantemu itu tidak suka kamu tinggal di rumahnya" Ia juga punya
anak, dua anak yang baik-baik, yang tidak seperti kamu, tidak jelas didikannya bagaimana dulu.
Kamu ingin kembali ke rumah itu, kan" Dan merusak anak-anak yang tidak bersalah. Anak-anak
tantemu itu.?""
Hati sheila terasa disiram air beku ketika mendengar wanita duhadapannya menjelek-jelekan
didikan orang tuanya. Tahu apa wanita ini tentang orang tuanya"
"Ibu tidak tahu orang tua saya bagaimana. Jangan asal menuduh, Bu." ujar Sheila dingin.
Bu Lia kaget mendengar kata-kata menantang gadis itu.
"Oh... Jadi kamu menantang saya. Tidak suka saya nasehati?"
"Saya...." Percuma Sheila berbicara, kata-kata Bu Lia sudah keluar seperti air bah. "Apa kamu tahu betapa
besar deritanya tante kamu ketika tahu kamu menganiyaya anak setelah apa yang sudah dia
lakukan padamu" Apa kamu tahu berapa banyak uang yang sudah tantemu keluarkan untuk
memasukkan kamu kemari" Berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan untuk membayar
pengacara untuk membela ayahmu" Apalagi diantara kalian tidak ada hubungan darah, hatinya
benar-benar mulia..."
"Bu...." "Saya tak pernah menemukan orang seperti tantemu itu. Mendengar ceritanya lantas saya
mengerti anak macam apa kamu. Sheila, dengar baik-baik, kamu harus mengubah sifatmu. Sifat
jahat memang menurun dari orang tua, tapi jangan sampai suatu saat kamu berbuat jahat. Bila
kamu ada dipersimpangan antara berbuat jahat dan baik, jangan sampai kamu terdesak berbuat
jahat, apalagi membunuh. Emosi dapat menyebabkan....."
Sheila tak mau lagi mendengarkan kata-kata Bu Lia yang menyakitkan. Ia pergi dari ruangan itu
dengan membanting pintu. Saat ini ia sudah tak peduli lagi.
Melihat perubahan Sheila Bu Lia ternganga. Ia mengurut dada sambil berkata, "Ya ampun....
Tobat aku!" Suatu hari Sheila sedang duduk sendirian di rumputan belakang sekolah. Wenny dan Tiny
sedang ikut ulangan perbaikan untuk pljaran kesenian. Kebetulan nilai Sheila sudah bagus, jadi
tidak perlu perbaikan. Karena sendirian , ia memutuskan duduk di sana. Siapa tahu ia dapat
mendengar suara piano lagi.
Ketika ia sedang melamun dan memandang rumah itu, dilihatnya kakek yang tempo hari bertemu
dengannya. Kakek itu sedang memberi makan anjing herder yang galak itu. Sang kakek
melemparkan daging berwarna merah yang langsung dilahap habis oleh anjing itu. Sheila
bingung bagaimana mereka mendapatkan daging kalau penghuni rumah begitu tertutup. Dan apa
hubungannya penghuni rumah dengan Bu Lia" Kok mereka sampai mengadu ke Bu Lia bila ada
murid yang datang ke rumah itu" Sheila menduga ada hubungan antara pemilik rumah itu dan
asrama. Buktinya mereka tinggal di area tanah yang sama, sebab rumah dan pekarangan itu
terselip di sudut tanah asrama, sedangkan tanah yg dipakai untuk asrama dan sekolah berbenyuk
L. Lalu siapa pria tampan yang main piano itu" Ada apa di mukanya, di pipi kirinya" Apa karena


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cacat itu ia jadi mengucilkan diri" Sheila terus bertanya-tanya dalam hati. Ingin sekali ia
mengetahui latar belakang penghuni rumah itu. Dan itu terjadi setelah didengarnya sura piano
tempo hari itu. Ia ingin mengenal pria itu, pria yang bisa mainkan piano dengan begitu indahnya
dan memainkan Fur Elise dengan begitu sedih. Tapi tentu saja, bila ia ketahuan melewati pagar
dan masuk ke halaman rumah itu, ia pasti dikeluarkan dari sekolah. Untung saja soal
membanting pintu di depan Bu Lia tidak dipersoalkan. Ia dipanggil lagi, dinasehati, dan disuruh
menulis, "Saya tidak akan melanggar peraturan sekolah lagi dan kurang ajar pada guru." seratus
lembar plus tanda tangan di setiap halaman. Untung Tiny dan Wenny bisa meniru tulisan Sheila
jadi Sheila tidak terlalu capek.
Dilihatnya kakek itu mengangkat kayu bakar satu tumpukan penuh. Untuk apa" Di jaman
modern memang masih ada orang pakai kayu bakar untuk memasak" Ah.... Tolol sekali aku!
Runtuk Sheila. Tentu saja kayu bakar itu untuk perapian di ruang tamu. Yang dilihatnya waktu ia
mengintip pria itu main piano.
Tinggal di rumah itu enak juga ya" Batinnya. Bisa lepas dari kehidupan dunia luar, hidup
terpencil dan terisolasi. Menanam ubi dan singkong di kebun, kalau lapar tinggal mencabut dan
merebusnya. Waktu di rumah Haryanto, Sheila kerap diminta membuat biji salak, kue bola,
talam santan, semuanya dari bahan dasar ubi. Tentunya enak jika.......
Dilihatnya kakek itu terjatuh tumpukan kayu yang dibawanya berantakan di tanah. Tanpa pikir
panjang Sheila berlari ke rumah itu, melompati pagar dan memapah kakek itu berdiri. Ketika
didengarnya geraman anjing baru disadarinya ada anjing galak di sana.
"Boy...!!! Diam..." perintah sang Kakek.
Anjing itu menurut. "Terima kasih." kata kakek itu pada Sheila.
Sheila melepaskan tangan kakek dan memunguti kayu bakar yang berserakan.
"Kamu kenapa kemari lagi...?" tanya kakek itu, tapi kini nada suaranya terdengar ramah.
"Eh, aku tadi duduk-duduk si sana."Sheila menunjuk tempat ia tadi duduk, " lalu aku lihat kakek
jatuh jadi aku lari kemari."
"Tidak takut anjing?"
"Tadi sih tidak terpikir tapi sebenarnya aku takut anjing." kakek itu tersenyum. "Boy cuma
senang menggonggong. Tukang gertak. Tapi kalau tidak ada aku, kau pasti digigit."
"Digigit mungkin tidak separah dikejar, waktu dikejar jantungku hampir copot."
"Siapa namamu...?"
"Sheila..." "kau sekolah di asrama itu kan" Kelas berapa?"
"satu" "Sudah tujuh belas tahun aku tinggal di sini. Selama ini tidak ada anak yang berani ke sini. Apa
kau tidak takut padaku?"
"takut kenapa?"
"kata orang mukaku jelek mirip hantu . Maka beredar kabar burung kalau rumah ini berhantu."
Sheila tertawa."Muka kakek tidak jelek, cume kelihatan tua."
"Itu sih aku tahu." kata kakek sambil tertawa. Gadis ini lucu juga, dan berani. Pikirnya.
Sheila teringat pada Ratna yang berwajah cantik, Renny, juga Reza yg berwajah tampan. "Terus
terang Kek. Aku sering bertemu dengan orang yang berwajah cantik dan tampan, tapi hatinya
busuk. Jadi lebih baik orang berwajah buruk tapi baik hatinya."
"Kata siapa aku baik?"
"Siapa yang bilang kakek berwajah buruk tapi berhati baik?"
Kakek tertawa lagi, "kau pintar omong."
"Tapi aku tahu kakek baik, karena waktu aku jatuh tempo hari kakek memberiku perban dan
plester untuk membalut lukaku."
Kakek tertawa kemudian ia berhenti dan berkata, "Namaku Eman tidak ada yang memanggilku
kakek karena aku tidak punya cucu. Sekarang aku sadar aku sudah tua, sudah pantas punya cucu.
Baiklah aku menganggapmu sebagai cucuku. Sebenarnya aku juga ingin mengajakmu kedalam,
dingin-dingi begini minum teh panas pasti enak. Tapi...."
"Apakah Omm yang di dalam tidak memperbolehkan ada orang yang masuk ke sini.?"
Eman tidak menjawab. Ia cuma berkata. "Sebaiknya kau kembali ke asrama, lain kali kalau ada
kesempatan kita bisa bertemu lagi."
"Aku akan sering kemari Kek."
"Jangan!" cegah kakek Eman. "Jangan ke sini lagi nanti aku dimarahi."
Sheila merengut kecewa. " Ya sudah aku akan duduk di sana bersama teman-temanku kalau
kakek melihatku, kakek lambaikan tangan. Kalau aku yang lebih dulu melihat kakek aku akan
melambaikan tangan."
Eman tersenyum, "Baiklah kalau aku keluar rumah aku akan sering-sering menengok ke sana."
Sheila pun melompati pagar dan pergi dari rumah itu. Eman memperhatikan gadis itu semakin
menjauh. Seumur hidupnya belum ada yang bilang ia baik. Seumur hidup belum ada yang mau
membantunya begitu tulus selain majikannya. Orang-orang takut pada Eman yang buruk,
bopengan.. Mereka memanggilnya Si Bopeng dan tidak memperlakukannya seperti manusia.
Gadis itu baik, pikir Eman.
Sepeninggal Sheila, terdengar suara dari dalam rumah, "Eman...!!!"
"Ya, Tuan!" Eman bergegas masuk.
BAB 5 SETELAH peristiwa terbakarnya Lab dan mengintip rumah di belakang asrama itu, Sheila
dibenci guru-guru. Kalau sebelumnya sikap mereka segan dan berusaha menghindarinya, kali ini
mereka menganggapnya "Si Pembuat Onar." Untuk setiap kesalahan yang dituduh Sheila duluan.
Ini tentu membuat Sheila merasa diperlakukan tidak adil.
Saat pagi-pagi ada tulisan "Pak Teguh Pak Tua tukang tidur." di papan tulis di kelas Sheila, Pak
Teguh langsung menghardik, "Sheila, apa-apaan kamu nulis begini?"
Sheila yang tadinya cuma ikut tertawa jadi kesal. Sebenarnya yang nulis adalah Linda, temannya
yang jail. Setelah ketahuan yg nulis bukan Sheila, sepatah kata maaf pun tak diucapkan Pak
Teguh. Ketika Bu Emmy sedang menuliskan catatan perubahan bentuk lampu Irregular verbs, ada
seorang murid yang iseng menimpuk gumpalan kertas, Bu Emmy langsung menghampiri Sheila,
dan memeriksa laci mejanya apakah ada gumpalan kertas lain. Sheila tentu capek memberi tahu
bahwa itu ulah Indah , yang sedang timpuk-timpukan kertas dengan Tiwik. Akhirnya Sheila
diam saja dan membiarkan Bu Emmy mencari sendiru siapa pelakunya.
Memang ini membuat hati Sheila lelah. Tapi ia membiarkannya saja. Lama-lama ia kebal dan
menerima kenyataan sulit sekali melepaskan predikat "Anak Pembunuh."
Satu hal yang menyita perhatiannya saat ini adalah Indah. Gadis itu membencinya tanpa sebab.
Pelototan dan dengusan hidung tiap kali ia lewat, Sheila masih bisa mengabaikannya. Tapi
semakin lama sikap anak itu semakin sengak. Ia bergosip dengan anak-anak sekelas bahwa
Sheila mantan anak jalanan yang berprofesi sebagai perek alias perempuan eksperimen yang
bersedia dikencani dengan imbalan uang. Gosipnya semakin lama semakin dahsyat. Kata Indah
setiap malam Minggu Sheila selalu keluar menjajakan diri untuk pria hidung belang di vila-vila.
Jelas saja Sheila marah karena itu tidak benar, tapi ia belum mendapat momen yang tepat unuk
melabrak Indah. Sayangnya teman-temannya percaya saja. Akibatnya semua teman menjauhi
Sheila. Teman Sheila tinggal Tini dan Wenny. Sheila tak peduli dengan teman-temannya yang
lain, ia tahu yang tulus padanya cuma dua orang itu. Ia pernah mengalami masa tak punya teman
sama sekali. Kali ini masih ada teman, itu sudah cukup untuknya. Lagi pula ada Pak Alex.
Suatu hari saat Sheila sedang mengobrol dengan Pak Alex, di ruang makan, Pak Alex melihat
ada kertas yang ditempel di punggung Sheila.
"Apa ini Sheila....?" tanya Pak Alex sambil menarik kertas itu dan memberikannya pada Sheila.
Sheila membaca tulisan di kertas itu.
PEREK____GOCENG/JAM. Hati Sheila panas. Sejak tadi di belakangnya lalu lalang beberapa
para siswa. Mereka mengitari tempat ia duduk bersama Pak Alex dan melontarkan tatapan sinis.
Tadi Indah juga lewat, pasti ini ulahnya.
"Siapa yang iseng padamu...?" tanya Alex.
Sheila cepat-cepat meremas kertas menjadi gumpalan-gumpalan kecil "Biasa, pak. Teman."
"Kok bercandanya begitu..?" ucap Alex dengan wajah tak setuju.
"Saya....hmm.... Permisi dulu pak."
Sheila langsung berlari dari ruang makan untuk mencari Indah. Ia tahu tempat nongkrong anak
itu. Biasanya Indah duduk di bangku taman bersama gengnya.: Linda, Tiwik, dan Donna.
Benar saja, keempat gadis itu sedang mengobrol sambil tertawa-tawa. Sheila ragu. Mungkin saja
ini bukan ulah Indah, melainkan ulah temannya yang lain. Ia tak lekas menghampiri Indah.
"....... Pasti Pak Alex baca tuh, Ndah, tulisannya gede-gede gitu'" kata Tiwik sambil cekikikan.
"Iya... Lah. Aku sengaja biar tuh anak tahu rasa, dan Pak Alex nggak lagi deket sama dia."
Linda menyela, "Emangnya kenapa sih, kok kamu begitu bencinya cuma gara-gara Pak Alex"
Dia kan guru, Ndah. Nggak mungkin dia jadi pacar murid."
"Aku benci aja sama sikapnya, sok menjilat Pak Alex. Dia pikir dia kembang di kelas kita?"
"Emang sih lagaknya sengak gitu, sok cakep. Kalau lewat nggak pernah melirik barang sebelah
mata. Yang diperhatikannya cuma taman-temannya doang. Tini dan Wenny."
"Mentang-mentang dari jakarta lagaknya udah kaya artis aja. Kaya kecakepan!"
"Tapi sebentar lagi dia pasti tahu rasa. Teman-teman sekelas udah pada kemakan gosip yang
kamu sebarin, Ndah. Mereka bilang mau melapor ke Bu Lia biar dia dikeluarin dari sekolah."
Tangan Sheila mengepal. Air matanya merembas keluar.
"Nggak kasihan, Ndah.?"
"Biarin aja! Anak kayak gitu sekali-kali mesti dikasih pelajaran!"
Tiba-tiba entah apa yang mampir di kepalanya, tubuh Sheila mendadak maju menyerang Indah.
Teman-teman Indah serentak menjerit. Sheila mendorong tubuh Indah ke tanah, menjambaki
rambutnya lalu menampari wajahnya.
Indah yang pertama-tama kaget tidak dapat melawan. Tubuh Sheila kini sudah lenih tinggi. Tapi
perawakannya masih kurus. Sedangkan tubuh Indah besar dan tinggi. Jelas tenaganya lebih kuat.
Sebentar saja keadaan berbalik. Tubuh Sheila yang dijatuhkan ke tanah, rambutnya dijambak dan
wajahnya ditampari Indah.
Siswa yang berkerumun untuk melihat semakin banyak, dan beberapa anak berinisiatif
memanggil guru. Sheila yang terpojok merasa tubuhnya kesakitan jarena dihimpit tubuh Indah yang besar , dan
rambutnya yang dijambak seakan mau lepas dari kulit kepalanya. Tatapannya berkunangkunang. Tangannya meraih apa saja yang ada di dekatnya kebetulan di taman sedang dibangun
pondokan dari kayu. Sisa kayu yang tak terpakai berserakan begitu saja di rumput taman. Sheila
mengambil salah satunya kebetulan yang terambil oleh tangannya adalah kayu yang berukuran
besar. "Dasar anak pembunuh. Bapakmu membunuh istrinya sendiri, jadi apa anaknya?" teriak Indah
sambil terus menampar. Sheila gelap mata. Dengan sisa kekuatannya didorongnya tubuh indah dan ia bangkit berdiri. Ia
kemudian menghantam kepala Indah dengan sekuat tenaga. Kali ini, Indah pingsan seketika
dengan wajah bermandi darah.
Terdengar jeritan ketakutan dari para siswa yang berkerumun. Sheila menatap tubuh Indah yang
terkapar dengan nanar. Dahi Indah berdarah. Sama seperi Reza dulu.
Sheila menatap kayu yang dipegangnya. Dilihatnya ada bercak darah di kayu itu. Sheila
melemparkan kayu itu seakan benda itu yang membuatnya berbuat demikian.
Apa yang merasukinya" Apa ia benar-benar mewarisi darah pembunuh dari ayahnya"
Tiba-tiba terdengar suara. "Ada apa ini" YA AMPUUUUNNNN....!!!!" Sebelumnya jeritan
teman-temannya membuat telinga Sheila berdengung dan tak dapat mendengar apa-apa. Tapi
teriakan Bu Lia langsung masuk ke telinganya, membuatnya mundur beberapa langkah.
"Pak Teguh! Cepat telepon Ambulans! Bu Susan cepat telepon polisi!" seru Bu Lia.
Mendengar 'Telepon polisi', Sheila ketakutan. Tanpa pikir panjang lagi ia langsung lari
sekencang-kencangnya menyeruak kerumunan murid yang menonton.
"Hei.. Jangan lari! Tangkap dia..!!"
Kaki Sheila berlari secepat mungkin. Ia tak tahu kemana tujuannya, pokoknya ia tak mau
ditangkap polisi. Ia tak mau dipenjara sepeti ayahnya. Ia mesti kabur. Kemana saja.
Dan kakinya membawa ke rumah belakang asrama. Tanpa pikir panjang lagi, ia melompati pagar
dan masuk ke dalamnya. Bram membuka tutup piano dan duduk di hadapannya. Tapi ia tak ingin main. Ditutupnya lagi
piano itu. Ia sudah menyelesaikan 105 halaman novel detektif yang dibuatnya. Tinggal beberapa
puluh halaman lagi tuntas. Tapi ia bosan. Kalau sedang mandek seperti ini, moodnya hilang.
Lebih baik ia melakukan hal lain dari pada memhuat jovel yang hasilnya jelek.
Sudah enam belas tahun ia menjadi novelis. Mula-mula pekerjaan ini ditekuninya karena iseng,
tapi lama-lama jadi suka. Mula-mula terasa berat, apalagi jika idenya sedang mampet, tapi lamalama jadi terbiasa. Mula-mula ia ragu, bisakah ini menjadi profesi, tapi banyak surat penggemar
masuk melalui E-mail. Mereka bilang suka membaca novelnya, rerinspirasi karena membaca
novelnya. Lama-lama Bram jatuh cinta pada profesinya ini.
Kalau ditelaah, novelis sebenarnya bukan profesi yang menjadi cita-citanya. Dulu Bram pemain
piano profesional, juga seorang aktor. Karena ketampananya, wajahnya laku di film-film remaja
tahun 80-an, dan menjadi bintang iklan puluhan produk. Karena sibuk menjadi aktor, profesi
pianis ditinggalkannya, bermain piano hanya menjadi batu loncatan. Lebih banyak dapet uang
dari film atau iklan ketimbang main piano.
Karier selama lima tahun yang dirintisnya tanpa susah payah, yang melambungkannya ke puncak
ketenaran, tiba-tiba hancur begitu saja ketika ia mengalami kecelakaan enam belas tahun lalu.
Mobil yang ditumpanginya terbalik di jalan tol dan kaki kanannya terjepit pintu. Pipi kirinya
tertancap pecahan kaca mobil. Nyawanya selamat, tapi jiwanya tidak.
Saat sadar kakinya lumpuh sebelah, jalannya akan timpang, dan wajahnya cacat, ia tak ingin
hidup lagi. Keluarga dan teman yang menghiburnya tak diindahkannya. Mereka semua cuma
pengin numpang ngetop lewat pemberitaan kecelakaan dan kondisi terakhirnya. Karena depresi,
Bram mencoba bunuh diri dengan menelan semua obat yang diberikan dokter padanya, tapi
nyawanya terselamatkan. Sejak bereda diantara hidup dan mati itu, ia tak berani lagi bunuh diri.
Ia memutuskan tetap hidup, tapi memilih mengasingkan diri dari dunia luar.
Keluarganya mempunyai sebuah yayasan sosial di daerah ciloto, dibangun oleh kakek buyutnya
pada tahun 1938. Setelah kakek buyutnya meninggal dunia, rumahnya kemudian digunakan
sebagai mess guru. Rumah itulah yang didiami Bram sekarang. Sejak itu, guru-guru tinggal di
asrama tempat tinggal anak-anak murid. Mereka melindungi Bram, dengan melarang murid
memasuki pekarangan dan tempat tinggalnya. Salah satu guru yang masih bekerja sampai
sekarang adalah Bu Lia yang menjabat sebagai kepala sekolah saat ini. Bram merasa aman di
situ, tidak ada yang mengganggunya, baik masyarakat luas maupun keluarga. Perlahan-lahan
namanya pun tenggelam dan orang tak lagi mengenalnya. Nama Abraham Mukti, aktor terkenal
tahun delapan puluhan , lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Dan tak ada yang menduga
Bram Budiman yang novelnya sudah berjumlah puluhan jilid, penulis detektif yabg terkenal itu,
adalah Abraham Mukti yang telah bertrasformasi.
Sejak kecelakaan itu, Bram merasa hidupnya sudah berakhir. Kini keinginan satu-satunya adalah
tetap eksis menjadi novelis sampai akhir hayatnya.
Sebenarnya cacat di pipinya bisa dioprasi agar bekasnya tak terlalu mengerikan, tapi Bram tak
mau. Sudah cukup penderitaannya masuk rumah sakit dan diekspos oleh nyamuk pers. Ia tak mau
menjalani pengobatan apapun. Lagi pula, seandainya wajahnya dioprasi dan kembali seperti
semula, kakinya tetap saja lumpuh. Jalannya tetap saja pincang dan ia harus memakai bantuan
tongkat. Ia tak lagi bisa mengahadapi siapapun dalam keadaan seperti itu.
Ayahnya sudah meninggal lima belas tahun yang lalu. Saat itu Bram juga tak datang ke
pemakaman, hanya memberikan doa dari jauh. Ibunya datang tiga bulan sekali, karena Bram
menampakkan sifat tertutup dan menyalahkan. Seolah salah ibunya sampai keadaannya menjadi
seperti ini. Tapi itu memang tipikal orang yang menjadi cacat. Mereka tidak bisa kembali utuh,
dan sebagai kompesasinya mereka menyalahkan orang di sekitarnya.
Adik perempuan Bram pernah datang menemuinya, barsama suami dan dua anaknya, tapi Bram
mengusirnya, tak mau menerimanya. Sejak itu adiknya tak pernah datang lagi.
Cuma Eman satu-satunya orang yang mau ditemuinya. Pembantu tua itu mantan pesuruh sekolah
yang konon sempat melihat kakek buyut Bram di tahun-tahun akhir kehidupnya. Dulu Eman
sibuk mengurus mess guru, dan setelah Bram pindah ke situ, Emab melayani Bram saja. Eman
yang memasak, membersihkan rumah, mencuci, menanam sayur di kebun, belanja ke pasar, dan
mengurus anjing, Boy adalah generasi ke tiga dari anjing yang dipelihara Bram selama enam
belas tahun itu. Anjing diperlukannya untuk membuat orang-orang yang ingin masuk ke
rumahnya menjadi enggan. Kebanyakan orang takut anjing, dan herder adalah salah satu anjing
yang ditakuti. Satu hal yang belakangan ini mengganggu pikirannya adalah , semakin lama usianya semakin
tua. Sekarang ia sudah 36 tahun . Usia Eman 65, tidak ada yang tahu sampai kapan pembantunya
itu bisa melayaninya. Ia menyadari ia membutuhkan Eman lebih dari yang dikiranya. Tanpa
Eman ia tak punya tameng untuk mengisolasi kehidupannya dari luar. Mungkin sudah waktunya
ia memikirkan pengganti Eman. Pria itu sudah sakit-sakitan, belakangan ini batuknya sering
terdengar kala cuaca betambah dingin. Lagian kasihan juga, berulang kali Eman terjatuh karena
membawa barang berat. Tapi kalau diberhentikan sekarang pasti Eman tidak mau. Pria itu pernah
berkata pada Bram bahwa dia akan mengabdi pada Bram seumur hidupnya Bram pun pasrah,
walau ia takut Eman akan mati di rumah ini. Ia akan tinggal sendirian, dan walau terbiasa,
sebenarnya kesendirian ini menakutkannya.
Ibunya pernah bilang sebaiknya ia menikah saja. Wajahnya tdk buruk untuk ukuran pria. Apalagi
ia punya harta dan profesi. Sambil menutup mata pun Akan banyak wanita yang setuju
"Lagian kau bukannya lumpuh, Bram!! Kau mesih bisa berjalan! Dan lihat wajahmu masih
tampan." Kalau ibunya bicara seperti itu, Bram pasti marah. Padahal ucapan itu ada benarnya. Tapi tak ada
hal apa pun Yang bisa mengembalikan seorang Bram menjadi Abraham Mukti yang dulu! Nama
besar Bram Budiman pun tidak. Ia cuma Bram yang cacat, dan tidak bisa kembali seperti dulu.
Lagi pula ia tak berminat mencari istri.
Ibunya berkata begitu pasti untuk menghiburnya, supaya akhirnya ia setuju untuk menikah.
Pulau Seribu Setan 3 Interograsi Maut The Gas Room Karya Stephen Spignesi Pasukan Kelelawar 2
^