Pencarian

Pasukan Kelelawar 2

Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar Bagian 2


"Dengkulmu, Gendut! Kau kira urusan kita su-
dah selesai!?" hardik Pendekar Muka Bengis, galak.
"Bagaimana dengan Pasukan Kelelawar"!"
"Oh, iya! Bagaimana kalau kau turut kami me-
ringkus Pasukan Kelelawar itu, Anak Muda"!" usul Gendut Tangan Tunggal.
"Bagaimana, ya...," timbang Satria. Sebenarnya, persoalan Pasukan Kelelawar,
masih terlalu awam baginya. Dia belum cukup jelas mengetahui duduk per-
karanya. Kebetulan saja dia berurusan tanpa disengaja dengan mereka sebelumnya.
"Dia mau!" serobot Gendut Tangan Tunggal.
Aduh emak, mimpi apa Satria semalam"
* * * Kembali ke Pasukan Kelelawar!
Sementara itu, Pasukan Kelelawar terus berlari
setelah lolos dari kejaran Satria Gendeng. Mereka menuju bagian barat tanah
Jawa. Sampai di suatu tempat yang menjadi wilayah
kekuasaan Kerajaan Pajajaran, mereka berhenti. Hari saat itu sudah luluh. Sinar
dilumat oleh kegelapan me-remang. Di tanah pekuburan di atas bukit karet, me-
reka berdiri diam. Mengitari satu kuburan tua bernisan batu gunung. Bentuk nisan
berbentuk tengkorak
manusia. Tanpa nama, tanpa keterangan apa-apa di
atasnya. Ada seseorang yang mereka nanti.
Pekuburan bisu. Kelenggangannya menghantui.
Gelap sudah tak terbendung kedatangannya berkawal
kabut tebal. Di atas gundukan-gundukan tanah kubu-
ran. Gumpalan putih tambun itu menggerayang perla-
han ke mana-mana.
Detik merangkak dalam diam Pasukan Kelela-
war. Mereka seperti sembilan mayat hidup kecil.
Kabut mendekat, seperti perlahan menyergap.
Kesembilan bocah kecil itu terundung tuntas. Hingga mereka, benar-benar
tertelan. Ketika kabut sirna tepat di atas batu nisan besar, telah duduk bersila
seseorang. Lelaki tua yang penampilannya lebih mirip hantu daripada manusia.
Wajahnya sepucat mayat. Tirus dan kurus. Berkumis putih dan tebal. Berambut
putih panjang. Lelaki tua itu bertelanjang dada. Seperti Pasukan Kelelawar, dia
pun hanya mempergunakan kain cawat
pembungkus berwarna hitam.
Bagian yang paling mengerikan pada wajah si
lelaki tua adalah matanya. Sepasang matanya seperti tak pernah mengatup atau
berkedip seolah tak memiliki kelopak. Biji matanya putih menyeluruh. Kulit di
seputar mata berwarna hitam.
Tak bergerak. Bersidekap. Ketika lolong anjing hutan terdengar untuk per-
tama kali, tangan kurus berbalut kulit keriputnya bergerak perlahan. Terpentang
ke depan. Lalu terpancarlah api merah terang dari ujung tangan lelaki tua itu.
Tak seperti wajarnya, api yang menjilat-jilat ke segala arah, api dari tangannya
justru berbentuk lurus seperti gelaran kain panjang menyala. Lalu api tadi
menye- lubungi para bocah. Aneh. Mereka tak terbakar kare-
nanya! "Apa yang telah terjadi pada kalian, Murid-muridku?"
Mencelat suara serak menjangkit milik orang
tua kurus. Mulutnya tak tampak bergerak. Begitupun
pita suara dalam tenggorokannya. Kemungkinan besar, si lelaki tua berbicara
dengan sembilan bocah yang
disebut sebagai muridnya itu dengan mempergunakan
kekuatan batin. Selubung api merah tipis itu menjadi penghantarnya.
Tanpa terlihat menggerakkan bibir, salah seo-
rang bocah menjawab, "Seseorang telah mengusik tapa kami, Eyang."
"Siapa orang yang lancang itu?"
"Seorang pemuda, Eyang. Usianya tiga kali le-
bih tua dari kami. Dia membawa senjata berbentuk
kail yang begitu ampuh...."
"Perlihatkan padaku!"
"Baik, Eyang."
Lalu, dari bola mata bocah yang berdiri paling
depan, menjulur keluar sebentuk dua gulung api kecil.
Kedua gulungan api menyatu di depan wajahnya. Da-
lam selimut api tipis orang tua kurus, gulungan api itu menyatu kembali.
Berkasnya memupus, lalu diganti-kan oleh wujud semu seseorang yang berdiri di
antara lelaki tua dan Pasukan Kelelawar. Gambar maya yang
telah direkam oleh otak si bocah dan kini diperlihatkan secara gaib kepada eyang
gurunya. Siapa lagi kalau
bukan Satria Gendeng"
"Hmm, Kail Naga Samudera...."
"Eyang kenal dengan senjata miliknya itu?"
"Aku bukan saja kenal, bahkan tahu jelas den-
gan riwayatnya. Sudah demikian lama aku mengidam-
kan senjata pusaka itu untuk menyempurnakan ke-
saktianku."
Sejenak suara gaib lelaki tua menghampa.
"Tapi, siapa bocah bau kencur yang telah me-
milikinya ini" Siapa dia" Bagaimana dia bisa memiliki benda keramat itu dalam
usia yang demikian muda"
Sementara, aku yang sudah berkubang usia belum ju-
ga sempat memegangnya...."
"Katakan pada kami, Eyang. Apakah kami ha-
rus merebut senjata pusaka itu darinya?"
"Tidak. Kalian selesaikan dulu tugas kalian.
Pemuda itu akan kuurus sendiri nanti!"
Gurat wajah lelaki tua itu sedikit berubah. Ma-
tanya memancarkan angkara.
"Aku, Manusia Makam Keramat yang telah la-
ma dilupakan orang, akan segera menjadikan bumi
persilatan sebagai tempatku membangun kekuasaan!
Dan Kail Naga Samudera harus terlebih dahulu kumi-
liki! Aku harus menjadi raja diraja! Penguasa di atas penguasa!"
* * * Manusia Makam Keramat.
Adalah lelaki tokoh tua masa lalu yang telah
mati di tangan seorang Prabu Pajajaran, jauh sebelum masa Prabu Siliwangi. Di
masa itu, dia adalah seorang penjahat penganut ilmu sesat. Momok yang mena-
kutkan segenap wilayah kekuasaan Pajajaran. Orang
yang begitu berhasrat untuk merengkuh takhta raja.
Nama aslinya Arya Sonta, seorang pelarian dari
Mataram yang kemudian menuntut ilmu kedigdayaan
di tanah Parahiayangan. Ditakuti oleh setiap orang di penjuru Pajajaran karena
satu ilmu sesat yang dimili-
kinya. Ilmu sesat itu sudah demikian langka sehingga hampir-hampir tak pernah
ada lagi yang memilikinya.
Entah karena peruntungan, Arya Sonta keparat tanpa
sengaja menemukan kitab ilmu sesat itu.
Saat itu, Arya Sonta telah berhasil berguru pa-
da beberapa orang pertapa dan empu dari berbagai
penjuru tanah Pajajaran. Setiap kali dia berhasil mene-lan ilmu-ilmu yang
didapat, maka gurunya dibunuh
secara licik. Ketidakpuasannya terhadap kesaktian mem-
buat dia semakin haus dan haus. Dari satu tempat ke tempat lain, dia berguru
lalu membunuh sang guru.
Suatu hari dia selesai menyerap ilmu-ilmu yang
diturunkan salah seorang pertapa yang menyadari ke-
salahannya menurunkan kesaktian pada Arya Sonta.
Sayangnya, Arya Sonta telanjur pula mengetahui hal
itu. Segera Arya Sonta berupaya menyingkirkan si pertapa. Jika sebelumnya dia
tak banyak mengalami ke-
sulitan membunuh guru-gurunya karena mereka tak
pernah menyadari kebusukan hati sang murid, maka
kini Arya Sonta harus berjuang keras.
Siasat liciknya tak bisa mengecohkan sang per-
tapa. Akhirnya keduanya terlibat pertarungan. Amat
sengit. Bahkan berlangsung hingga dua hari dua ma-
lam tanpa henti. Malang tak dapat ditolak, nyawa sang pertapa akhirnya harus
terlepas juga. Keris Arya Sonta menikam jantungnya.
Sebelum ajal menjelang, pertapa itu sempat
mengutuk murid murtadnya. Arya Sonta tak akan mati
dengan tenang. Jika ajal menjemputnya nanti, maka
jiwanya akan terkungkung merana di antara gerbang
dua dunia, antara alam nyata dan alam gaib.
Arya Sonta tak pernah menanggapi kutukan
itu. Dia terus mengembarai tanah Pajajaran, menam-
bah dan menambah ilmunya. Seminggu setelah pem-
bunuhan itu, dia tersesat di Rimba Perawan. Menurut cerita-cerita, hutan
tersebut adalah wilayah kekuasaan para mambang dan dedemit.
Nyali Arya Sonta tak pernah ciut. Dengan
keangkuhannya, dia terus membelah Rimba Perawan.
Di tengah perjalanan, dia melintasi batas wilayah kekuasaan para mambang.
Penghuninya menjadi murka.
Satu mambang penguasa menampakkan diri saat itu
juga di hadapan Arya Sonta.
Tahu dirinya akan dihukum oleh sang mam-
bang, Arya Sonta tak terima begitu saja. Dia melakukan perlawanan keras. Segenap
ilmu yang pernah diterimanya dikerahkan untuk mengalahkan mambang
itu. Berhari-hari kedua makhluk dari dua alam
berbeda itu bertarung. Pertarungan teramat panjang
yang terpental bolak-balik dari alam nyata ke alam
gaib atau sebaliknya. Pertarungan paling berat yang pernah dialami oleh Arya
Sonta mengingat lawannya
bukan lagi manusia.
Keberuntungan rupanya masih membiarkan
kemenangan berada di pihak Arya Sonta. Mambang
penunggu rimba dapat ditaklukkan. Arya Sonta yang
tak pernah mengenal kata ampun untuk lawan, hen-
dak membunuhnya.
Mambang penunggu hutan meminta pengam-
punan Arya Sonta. Dia berjanji akan menunjukkan sa-
tu tempat tersembunyi diperut Rimba Perawan, tempat terkuburnya satu kitab
sakti. Tentu saja Arya Sonta tak menolak tawaran itu,
karena perjalanannya memang hendak menambah ke-
saktian lebih banyak. Dari petunjuk sang mambang,
lelaki berhati angkara murka itu mencari tempat ter-
kuburnya kitab sakti.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya ditemu-
kan. Kitab Sakti Penghuni Makam! Dari kitab itulah
dia berhasil menguasai satu ilmu sesat yang kemudian amat ditakuti segenap
penjuru Pajajaran.
Karena kerakusannya juga, dia tak menyadari
bahwa ada halaman terakhir dari kitab tersebut yang hilang. Halaman terakhir itu
menjelaskan bahwa Kesaktian Penghuni Makam bisa berakibat amat buruk
bagi pemiliknya. Jika si pemilik menemui ajal, maka nyawanya tak akan diterima
bumi dengan tenang. Dia
akan terkunci di batas dua alam!
Lalu kutukan pertapa dulu pun terbukti mana-
kala Prabu Pajajaran yang sakti mandraguna berhasil mengalahkan kesaktian Arya
Sonta, sekaligus mengi-rimnya ke penjara jiwa di antara dua alam....
ENAM KETIKA pagi datang, Satria Gendeng bersama
dua rekan barunya terlihat berada di suatu tempat di batas wilayah Pajajaran.
Sebelumnya ketiganya telah bersepakat untuk meneruskan pencarian ke barat,
arah yang terakhir ditempuh oleh Pasukan Kelelawar
ketika dikejar Satria Gendeng. Karena malam mengha-
dang, ketiganya bersepakat untuk beristirahat dahulu di tempat tersebut.
"Bangun, Gendut! Matahari sudah naik tinggi!
Kita harus segera melanjutkan pencarian!" gebah Pendekar Muka Bengis.
Gendut Tangan Tunggal tidur telentang see-
naknya di atas rumput. Dengkurnya tak pernah putus-
putus semenjak dia mulai merebahkan badan. Bahkan
hingga Pendekar Muka Bengis membangunkannya.
"Hmmm nyam.., nyam...," ceracau Gendut Tangan Tunggal seraya membenahi liur yang
berantakan di dagunya. Bukannya segera terjaga, orang tua tukang
makan itu malah menggolekkan badan ke sisi lain. Tak cuma jago makan, rupanya
dia pun jago tidur.
Pendekar Muka Bengis jadi mangkel. Diten-
dangnya pantat orang tua gendut itu gemas-gemas.
Tubuh buntal Gendut Tangan Tunggal bergulingan se-
jauh sepuluh tombak. Brengsek sekali, dia tak juga terjaga. Astaga, dia tidur
atau mampus" Rutuk batin Pendekar Muka Bengis.
Satria yang sudah sejak kokok ayam jantan
pertama terjaga, menjadi geli sendiri menyaksikan
tingkah dua tokoh persilatan itu.
Gendut Tangan Tunggal akhirnya baru bisa ter-
jaga setelah dua kali ditendang oleh Pendekar Muka Bengis. Bukan tendangannya
yang membuat dia ter-bangun. Melainkan karena dia terguling kembali dan
tercebur ke dalam mata air kecil!
Beberapa saat kemudian, ketiganya benar-
benar siap melanjutkan perjalanan.
"Bagaimana kalau sekarang kita mulai berpen-
car?" usul Satria.
"Kenapa, Anak Muda" Bukankah lebih enak
berjalan bersama-sama seperti ini?"
"Tapi pekerjaan kita akan terhambat jika kita
terus bersama. Akan lebih cepat kita menemukan Pa-
sukan Kelelawar seandainya kita berpencar, bukan"
Dua hari nanti, kita akan berkumpul kembali di tem-
pat ini untuk melapor satu dengan yang lain..," dalih Satria Gendeng.
Pendekar Muka Bengis tampaknya mendukung
usul si anak muda.
"Ya, Jika ada yang tak kembali, yang lain akan menyusul ke arah yang ditujunya.
Gagasan mu bagus!
Kenapa aku yang lebih tua dan lebih banyak makan
asam garam tak berpikir sampai sana?" timpalnya.
"Kau yang lebih muda dariku saja tidak, apalagi aku?" sela Gendut Tangan
Tunggal. "Ya, itu karena otakmu sudah terlalu malas di-
ajak berpikir hal lain, kecuali makanan!" gerutu Pendekar Muka Bengis.
"Kau bilang apa?"
"Kubilang, dengan tubuh seperti itu, kau me-
mang terlihat tampan," kelit Pendekar Muka Bengis.
Wajah Gendut Tangan Tunggal sumringah. Bi-
birnya tersenyum lebar-lebar.
"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berpen-
car saja. Siapa tahu aku akan berjumpa perempuan
cantik yang terpikat denganku. Bukankah tadi kau bilang aku tampan?"
Satria Gendeng dan Pendekar Muka Bengis bu-


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ru-buru berbalik dan melangkah pergi ke arah masing-masing. Mereka tak ingin
diketahui sedang menahan
tawa oleh si orang tua gendut.
* * * Dua kali sepenanakan nasi Satria Gendeng me-
nempuh arah yang dituju. Selama itu, tak ada satu
tanda-tanda apa pun yang bisa dijadikan petunjuk untuk melacak Pasukan
Kelelawar. Sampai suatu ketika, terdengar senandung
membahana yang sengaja dilepas seseorang dengan
ilmu mengirim suara.
Merangas. Udara terpangkas.
Sulit bagi Satria Gendeng untuk menentukan
asalnya. Senandung yang menggetarkan itu seperti
mencelat-celat dari satu ke lain tempat.
Ada yang terasa merasuk langsung ke benak si
pendekar muda. Sebentuk gempuran batin yang ter-
kandung dalam suara jarak jauh tadi.
Memaksa tubuhnya bergetaran.
Menggigil. Seperti ditenggelamkan dalam lautan es.
Satria sadar, ada seseorang mandraguna yang
sengaja mengarahkan suara jarak jauh itu kepada di-
rinya. Memang tak cukup membahayakan. Hanya bisa
mencoba membuat kegentaran nyalinya. Semacam ger-
takan istimewa. Namun begitu, bukan berarti bisa di-remehkan. Semakin lama
gelombang suara itu meng-
goncang benak, akan semakin tersiksa dirinya.
Harus ada perlawanan!
Satria pun berteriak.
"Berhentiiiiii!"
Jangan sekali menjajal tenaga dalam si pende-
kar muda bau kencur. Karena tingkat tenaga dalam-
nya pada keadaan-keadaan tertentu bisa melimpah
bagai gelegak lahar!
Itu terbukti. Suara jarak jauh tadi terpancung
seketika. "Bedebah!"
Meluncur makian gusar seseorang dari satu
tempat. Satria Gendeng cepat menoleh. Ditemukannya
seorang perempuan setengah baya. Kecantikannya
masih demikian melekat di wajahnya. Bahkan tak ka-
lah dengan wanita muda. Berambut panjang, hitam
tergerai dengan ronce bunga melati. Pakaiannya resik.
Bergaun putih panjang dengan renda-renda indah. Be-
lahannya memanjang hingga ke pangkal paha, mem-
perlihatkan kulit nyaris seputih susu.
Entah kapan perempuan itu sudah berdiri di
sana. Satria tak pernah mengetahui. Hanya, ketika
matanya menemukan perempuan itu, langsung saja
tercium wangi bunga melati. Keras, semerbak.
"Bocah ingusan dari mana kau sampai bisa
mengungguli ajian 'Senandung Dewi Bunga'"!"
Satria Gendeng terpana. Berkedip sekali ra-
sanya rugi setengah mati. Mulutnya menganga. Sukur-
sukur kalau liurnya tak jatuh. Terpesona dia akan ke-molekan yang ditawarkan
perempuan tadi. Selama hi-
dup, dia hanya mengenal satu dua wanita cantik.
Tresnasari salah satunya (Baca episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!) Perempuan
satu ini, bukan cuma cantik. Wajahnya seperti menebat pesona pemikat.
"Sebut julukanmu, Anak Muda Ingusan! Jan-
gan cuma bengong seperti itu!" hardik si perempuan cantik. Tubuhnya mencelat
dari tempat berdiri. Melayang ringan di udara, dan hinggap tak lebih dari lima
tombak di depan Satria Gendeng.
Satria masih melompong.
"Aku berbicara padamu, Pemuda Ingusan!" bentak perempuan cantik, lebih keras.
Barulah pendekar muda murid Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu tersadar. Dia tergagap.
"Aku" Kau tanya aku"!"
Perempuan cantik berdehem, mengiyakan.
"Tanya apa?" susul Satria, ketololan.
"Julukanmu!"
"Lagi lagi julukan.... Kenapa setiap orang persilatan selalu menanyakan itu" Apa
perlunya?" gumam
Satria. "Bicara yang jelas!"
"Begini, Bibi..."
"Aku bukan bibimu!"
Mata indah perempuan itu melotot.
"Eh, begini Nona...."
"Kurang ajar, aku lebih tua darimu!"
Makin besar matanya mendelik.
Satria garuk-garuk jidat. "Begini ng... siapa pun kau, untuk apa menanyakan
julukanku" Kupikir julukanku tak ada gunanya bagimu!"
"Berguna! Karena aku sedang mencari seseo-
rang! Karena orang itu belum pernah kutemui dan
hanya julukannya saja yang kuketahui, maka aku ha-
rus tahu julukan setiap orang persilatan yang kute-
mui." "Siapa yang kau cari?"
"Apa pedulimu!"
"Barangkali aku bisa bantu."
"Anak muda ingusan macam kau" Ah, seberapa
banyak kau kenal tokoh-tokoh persilatan dengan
umurmu, heh"!"
Secantik-cantiknya perempuan itu, kalau bica-
ranya selalu bikin hati pegal, lama-lama Satria jadi sebal juga.
"Kalau kau tak mau kubantu, ya sudah!"
Satria berbalik. Langkahnya urung karena pe-
rempuan bergaun putih melompat melewatinya lalu
menghadang. "Kau pikir bisa seenaknya pergi setelah kau tak menjawab pertanyaan Dewi
Melati." Belum selesai membentak, tangan perempuan
yang mengaku sebagai Dewi Melati melayang cepat ke
wajah Satria. Deras. Kukunya yang panjang dan diberi
pewarna merah menimbulkan desing tajam.
Satria tak ingin wajahnya yang sudah cukup
tampan jadi berantakan. Dia menoleh. Tangan Dewi
Melati lewat hanya dua jari dari wajahnya. Tidak urung Satria merasakan pedih
mendera. Denyarnya sampai
terasa ke ubun-ubun.
"Kuku beracun...," desis Satria tak kentara. Pelajaran ketabiban yang didapat
dari salah seorang gurunya sudah cukup menjadi modal untuk mengenali
berbagai jenis racun.
Dewi Melati menyusulkan serangan dengan sa-
betan kuku menyamping. Masih dengan tangan yang
sama. Swing! Satria mencelat ke belakang, mengambil jarak
aman. "Tahan! Bukankah kita tak punya urusan apa-apa"!" "Salah! Kau telah
menghinaku!" tepis Dewi Melati. Lantas diterjangnya lagi Satria Gendeng.
"Menghina"!" Sambil berkelit, Satria Gendeng memprotes. Matanya melotot. Dia
merasa tak pernah
menghina siapa-siapa.
"Kau telah mempecundangi ajian 'Senandung
Dewi Bunga' milikku. Itu berarti kau telah menghina-ku!" "Kalau begitu, aku
minta maaf! Sungguh!" teriak Satria, kelimpungan dalam hujanan serangan la-
wan cantiknya yang membabi-buta.
"Tiada maaf bagimu!"
Sekali lagi Satria Gendeng mengambil jarak.
Cilaka, serapah pendekar muda sakti itu dalam
hati. Kalau begitu, urusannya bisa jadi runyam. Lebih runyam dari benang kusut!
Kalau Dewi Brengsek ini
tak memaafkan kesalahan yang tak pernah kuperbuat,
pasti dia akan ngotot untuk menghukumku, pikir Sa-
tria. Kalau dilayani kemarahannya, berarti aku harus bertarung. Cuma orang gila
yang mau bertarung mati-matian tanpa alasan. Tapi kalau menghindar, bukan
tak mungkin dia akan mengejarku, pikir Satria lagi, mumet. Jadi, apa akalku
sekarang" Tak ada cukup waktu untuk memikirkan jalan
keluarnya. Dewi Melati sudah menerjangnya kembali
seperti celeng hutan mabok duren. Namun, sempitnya
waktu seperti itu tak menutup gagasan yang agak gila di benak si pemuda sakti.
Toh, si tua bangka Dedengkot Sinting Kepala
Gundul memang mendidiknya untuk bertingkah sedi-
kit gila. Jadi apa ruginya kalau dicoba"
Maka.,.. Sraat! Satria tak menghindar ketika sambaran kuku
Dewi Melati menyayat bahunya. Pakaian di bagian tangan robek, bersamaan dengan
mengalirnya darah. Ka-
lau sadar kuku lawan beracun, bukankah tindakannya
itu agak gila"
"Kena kau!" pekik Dewi Melati kegirangan.
Satria mengeluh tertahan. Dia cepat terjeng-
kang ke belakang. Di tanah, tubuhnya kelojotan.
"Makan racun ku itu!" maki Dewi Melati, puas.
Lalu dia melangkah santai, meninggalkan Sa-
tria yang masih terus mengejang-ngejang. Lebih parah dari cacing kepanasan.
Lebih sengit dari ayam disem-belih.
*** TUJUH SEPENINGGALAN Dewi Melati, Satria Gendeng
benar-benar tak bergerak lagi. Selang beberapa saat kemudian, sebelah matanya
tiba-tiba memicing. Melirik kanan-kiri. Setelah yakin perempuan cantik agak edan
tadi sudah tak ada lagi di tempatnya, Satria Gendeng bangkit.
"Perempuan brengsek...," gerutunya sambil me-nepuki pakaian yang dipenuhi debu.
Luka di bahunya
segera di balut dengan sobekan kain.
"Apa maunya dia sebenarnya" Siapa orang yang
dicarinya?" tanyanya, pada diri sendiri. Agak penasaran juga dia. Tapi mengingat
masih punya urusan
penting, Satria akhirnya tak terlalu mau mempeduli-
kan. Racun milik Dewi Melati sebenarnya sama se-
kali tak membahayakan dirinya. Terlebih mengancam
nyawanya. Kalau sebelum itu tubuhnya menggelepar-
gelepar, semata karena Satria Gendeng hanya berpura-pura. Pendekar muda itu
memang kebal terhadap be-
berapa jenis racun. Penyebabnya karena di tubuhnya
telah mendekam Ramuan Pulau Dedemit dan zat lang-
ka dasar Laut Selatan terdalam. Percampuran kedua-
nya tidak hanya membentuk tenaga sakti yang bisa
menggelegak sewaktu-waktu, tapi juga kekebalan ter-
hadap racun. (Bacalah episode sebelumnya: "Tabib Sakti Pu-
lau Dedemit")
Akal bulusnya berjalan amat mulus! Sedikit lu-
ka tak mengapa. Yang penting urusannya dengan Dewi
Melati jadi tidak bertele-tele. Seraya menggerutu ber-kepanjangan, Satria
Gendeng meneruskan perjalanan.
Setengah hari terlewat. Sampai saat itu tetap
saja Satria tak menemukan petunjuk tentang Pasukan
Kelelawar. Bahkan hingga malam hampir turun kem-
bali ke peraduannya. Menjelang senja yang demikian
menua. pendekar muda itu tiba di dekat telaga kecil.
Sementara, Satria memutuskan untuk mengisi
perut dahulu. Sejak bangun pagi, perutnya belum se-
dikit pun terisi makanan. Cacing-cacing di dalamnya sudah terus ribut meminta
jatah. "Hmm telaga ini tentu ada ikannya," harap Satria. Tentu sedap melahap ikan bakar
di sore berhawa cukup dingin seperti kebanyakan wilayah Parahiayangan, pikirnya.
Tak perlu terlalu pusing memikirkan bagaima-
na cara mendapatkan ikan dari telaga itu. Satria meloloskan Kail Naga Samudera
dari kain ikat pinggangnya.
Ruas kail membentang. Talinya menggelepar. Mata ter-latihnya yang setajam
pandangan elang sesaat menga-
wasi permukaan telaga. Seekor ikan gabus besar mun-
cul cepat ke permukaan, menciptakan gelombang kecil yang melebar.
Dengan kegesitan mengejar kecepatan gerak
sang ikan, tangan si pendekar muda mengayun kail di tangannya ke belakang.
Kemudian mengayun amat cepat ke depan.
Wukh pyar! Logam pada mata Kail Naga Samudera berben-
tuk ekor naga menukik sengit, menembus permukaan
danau tanpa menghasilkan percikan berarti. Pada sentakan berikut, mata kail
sudah mencelat keluar dari air. Di atasnya ada seekor ikan gabus sebesar
setengah lengan yang tertembus.
Satria tertawa kecil.
"Mengasyikkan juga," ucapnya.
Selama memiliki kail pusaka di tangannya, tak
pernah sekali pun dipergunakan untuk mengail seperti sekarang ini. Ternyata
mempergunakan benda pusaka
itu untuk memancing cukup mengasyikkan.
Ikan gabus yang didapatnya sudah cukup un-
tuk mengganjal perut. Perutnya bukan sejenis perut
Gendut Tangan Tunggal. Kalau orang tua rakus itu bi-sa menyikat habis lima ekor
ikan besar, satu ikan bagi Satria sudah lebih dari cukup. Kendati tak mempunyai
alasan untuk mencari tambahan ikan, timbul keingi-nan Satria untuk mencoba
mendapatkan ikan kedua.
Satria menunggu kembali gelombang kecil yang
dihasilkan oleh ikan. Tak lama dilihatnya. Tangannya cepat bergerak mengayun
kail pusaka. Wukh pyar! Sewaktu tangannya hendak membetot kail ke
permukaan, ada sesuatu yang terasa tersangkut pada
mata kail. Bukan ikan. Satria bisa memastikan, karena tali kailnya terlalu berat
ditarik. Kalau pun ternyata ikan, tentunya seukuran manusia!
Sebesar manusia" Ikan telaga apa yang beru-
kuran sebesar itu.
Satria penasaran.
Kail ditarik dengan perasaan tegang. Mula-mula
terlihat ikan gabus sedang yang telah tertembus ma-
suk ke tali kail. Selanjutnya....
Manusia" Satria Gendeng benar-benar dibuat tercekat ke-
tika ujung kail tiba di permukaan. Ternyata yang berada di ujung kail benar-
benar manusia! Buru-buru Satria melompat ke dalam telaga.
Dia harus segera menolongnya. Siapa tahu orang itu masih bernyawa, timbangnya.
Hanya dengan berenang
sebentar, dia berhasil menjemput tubuh orang malang


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Diangkatnya ke tepi.
Orang yang ditolong lelaki berusia tiga puluhan.
Masih cukup tua dibanding usia Satria sendiri.
Dari keadaan tubuhnya, Satria yakin orang itu mengalami luka dalam. Kemungkinan
besar, luka dalam itu
pula yang menyebabkan dia hampir mati tenggelam.
Di bawah satu pohon cukup rindang, Satria
mencoba memberikan pertolongan pertama.
Waktu berlalu. Api unggun menyala di tepi telaga. Satria telah
menyiapkannya sejak tadi. Tubuh orang yang nyaris
tenggelam dalam telaga dibaringkan di tepi api un-
ggun. Biar suhu badannya normal kembali. Satria te-
lah pula menyalurkan hawa murni dan memberikan pil
untuk meringankan luka-luka dalam yang diderita
orang itu. Selesai itu semua, dia tinggal menanti orang
yang ditolongnya siuman. Sambil menanti, dia mem-
bakar dua ekor ikan yang didapat di atas api.
Menjelang waktu isya, orang itu akhirnya mulai
siuman. Matanya mengerjap-erjap diterjang cahaya api unggun. Menemukan Satria
sedang duduk tenang di
depan api unggun, dia bertanya seraya berusaha
bangkit. "Siapa kau, Adik Muda?"
Satria menoleh dan menahannya agar tidak
bangkit. "Jangan banyak bergerak dulu, Kakak. Beristi-
rahatlah sampai aku bisa membawamu ke tabib di de-
sa terdekat," katanya.
"Apakah kau yang telah menolongku?" tanya lelaki tadi.
Satria mengangguk.
"Aku kebetulan lewat. Kebetulan pula mene-
mukan Kakak hampir tenggelam."
Wajah lelaki tadi tampak lega, kendati pucatnya
masih kentara. "Apa yang telah terjadi pada Kakak sebenar-
nya?" susul Satria. Disodorkannya ikan bakar pada lelaki tadi. Baunya benar-
benar mengundang selera. Ta-pi, tentu saja tak cukup untuk membuat lelaki tiga
puluhan itu melahapnya langsung.
"Panggil aku, Suta. Aku terlibat pertarungan
dengan seorang wanita cabul." Sebentar dia meneliti wajah penolongnya.
Lanjutnya, "Apa kau orang persilatan?" "Boleh dibilang begitu."
"Kalau begitu, kau tentu kenal dengan Dewi
Melati?" Dewi Melati" Satria teringat peristiwa siang tadi
ketika berurusan dengan seorang perempuan yang di-
anggapnya agak edan. Bukankah perempuan cantik
itu mengaku bernama Dewi Melati"
"Jadi semua ini ulah Dewi Melati?"
Lelaki bernama Suta mengangguk.
Satria melepas ikan bakar yang sejak tadi dibo-
lak-balikkan di atas api. Perkataan Suta membuatnya jadi tertarik untuk
mengetahui lebih jauh cerita Suta hingga berurusan dengan Dewi Melati.
"Ada urusan apa Kakak Suta dengan Dewi Me-
lati?" Suta menggeleng.
"Tidak ada urusan apa-apa?" tanya Satria, ingin meyakinkan jawaban Suta.
"Ya. Aku tak punya urusan apa-apa dengan-
nya." "Sialan!" maki Satria. Kedongkolannya pada sepak-terjang Dewi Melati
muncul lagi. Apa maunya pe-
rempuan itu. Bagaimana dia bisa seenak perut memu-
suhi orang tanpa alasan jelas" Apa dikiranya dunia ini punya nenek moyangnya"
"Siapa yang kau maki, Adik Muda?"
"Ah, tidak Kakak Suta. Jadi, bagaimana ceri-
tanya sampai dia berjumpa denganmu?"
"Aku sebenarnya sedang pulang ke pergurua-
nku. Kudengar kabar, salah seorang murid putri per-
guruan kami diculik oleh Pasukan Kelelawar...."
Kalau tadi Satria sempat memaki di mulut, se-
karang dia mengutuk lagi. Cuma dalam hati. Dia tak
ingin cerita orang yang ditolongnya jadi terganggu. Tadi Dewi Melati. Kini,
Pasukan Kelelawar. Kenapa dua na-ma itu jadi sering kudengar" Bisik hatinya. Dan
keduanya sama-sama membuat tenggorokan si pendekar
muda terasa membengkak karena gusar.
"Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan
Dewi Melati," Suta melanjutkan cerita. "Dia menanyakan siapa diriku dan apa
julukanku. Kukatakan pa-
danya, aku cuma seorang murid perguruan silat biasa.
Aku tak punya julukan besar di dunia persilatan. Lalu, mulailah dia mencaci maki
aku. Biarpun aku tak sebanding dengan kepandaiannya, aku tentu tak sudi
diperlakukan begitu. Sebelum aku sempat marah, dia
terlebih dahulu memaksaku mengatakan sesuatu yang
tak kuketahui...."
"Mengatakan apa, Kakak Suta?"
"Aku dipaksa mengatakan, di mana beradanya
seorang pendekar muda yang namanya membuat ke-
gemparan di dunia persilatan belakangan ini. Karena aku tak tahu, aku tak bisa
menjawab. Dia ngamuk besar. Diserangnya aku. Aku tentu saja berusaha bertahan.
Tapi tak berhasil. Hanya dalam satu dua gebra-
kan, aku dibuat terpental pingsan dan langsung ter-
lempar ke dalam telaga!"
Satria penasaran.
"Tadi Kakak Suta menyebut-nyebut tentang
pendekar muda yang dicari Dewi Melati. Siapa pende-
kar muda yang kau maksud?"
"Satria Gendeng," jawab Suta.
Alis Satria bertaut serapat-rapatnya. Di samp-
ing terkejut, sekarang dia jadi tahu siapa orang yang sedang dicari-cari Dewi
Melati. Yang dia tidak tahu, untuk apa perempuan itu mencari-cari dirinya"
Sepanjang ingatannya, tak pernah sekali pun dia berjumpa dengan Dewi Melati.
Apalagi berurusan dengannya,
sampai siang tadi.
"Aneh juga...," gumam Satria.
"Kau mengatakan sesuatu, Adik Muda?"
"Oh, tidak..., " kelit Satria.
"Apa Dewi Melati berkata pada Kakak Suta ten-
tang alasannya mencari aku, eh Satria Gendeng itu?"
kejar Satria lagi, makin penasaran.
Suta menggeleng.
Satria menarik napas. Dia makin 'geregetan' sa-
ja pada Dewi Melati.
"Sebaiknya Kakak Suta beristirahat. Besok pa-
gi-pagi sekali aku akan mengantarmu ke tabib terde-
kat," kata Satria akhirnya.
"Bagaimana dengan ikan bakar ini?" tanya Suta seraya mengangkat panggang ikan
pemberian Satria.
Sejak tadi, dia hanya memegangnya. Tak sempat ma-
kan karena diberondong oleh pertanyaan pemuda di
depannya. Satria nyengir.
"Oh, iya! Aku 'hampir' lupa," katanya, malu ha-ti.
Keesokan harinya, Satria memenuhi janjinya
untuk mengantarkan Suta ke tabib di desa terdekat.
Tabib ditemukan. Dengan begitu, Satria segera pamit.
Sebelum pergi, Suta menahannya.
"Aku lupa menanyakan sesuatu padamu, Adik
Muda...," katanya di pintu rumah tabib.
Satria menunggu.
"Siapa namamu?" sambung Suta.
"Panggil aku Satria, Kakak."
"Satu lagi yang ingin kutanyakan."
"Apa?"
"Aku sempat melihat pancing yang kau guna-
kan. Bentuknya agak aneh. Aku jadi teringat pada kisah tentang senjata pusaka
yang begitu diminati oleh kalangan persilatan...."
Sejenak Suta mengawasi Satria. tatapannya se-
perti menyelidik. Satria jadi tak enak hati.
"Apa kaukah pendekar muda berjuluk Satria
Gendeng itu?" tanya Suta, agak ragu.
Satria merasa tersudut. Dia tak bisa menyem-
bunyikan jati dirinya lagi pada Suta. Pada dasarnya, pemuda lugu itu memang
paling sulit untuk berdusta.
Dengan cengengesan yang khas, Satria akhir-
nya mengaku. Wajah Suta lantas dipenati suka-cita. Adalah
satu kehormatan baginya bisa mengenal seorang pen-
dekar muda murid langsung dua tokoh besar tanah
Jawa. "Kebetulan sekali kalau begitu," sambung Suta.
"Aku harus menyampaikan padamu bahwa Dewi Melati sempat kudengar menyebut-nyebut
pula tentang Pasukan Kelelawar. Sayang aku kurang jelas. Namun,
aku yakin itu ada hubungannya dengan maksudnya
mencari dirimu."
Tanda tanya untuk si pendekar muda tanah
Jawa bertambah lagi...
* * * Gendut Tangan Tunggal mengeluh karena siang
begitu terik menukik di ubun-ubun. Keringatnya su-
dah membanjir. Semua ini gara-gara Pendekar Muka
Bengis, gerutunya. Coba kalau tidak diajak mencari
Pasukan Kelelawar, tentu dia sudah telentang pulas di bawah pohon rindang. Sudah
begitu, susah sekali menemukan bocah-bocah ajaib pembuat onar itu. Padah-
al, besok siang mereka sudah harus kembali berkum-
pul kembali di tempat mereka berpisah.
Menyesal sudah tak berguna. Kendati tak henti
berkeluh kesah, orang tua kelebihan lemak itu terus berjalan. Untuk sedikit
menghibur diri, dia merogoh tas hitam besar di belakang punggungnya. Rogoh sa-
na-rogoh sini, tak ada juga makanan ditemui. Sialan, makinya sebal. Persediaan
makanannya pun habis.
Sialnya jadi lengkap hari ini!
Belum, belum cukup lengkap. Ada lagi kesialan
baru yang sungguh mati membuat Gendut Tangan
Tunggal mulas karena jengkel tak tertolong. Pasalnya, seseorang tiba-tiba datang
menghadang. Seorang perempuan. Dan Gendut Tangan Tunggal cukup kenal
dengan perempuan itu.
"Mau ke mana kau, Gendut"!" tegur si perempuan penghadang. Caranya dan nadanya
menegur sa- ma sekali tak beradat. Terdengar kurang ajar di telinga Gendut Tangan Tunggal.
Biar jelek-jelek, dia kan lebih tua. Mana tatakrama orang yang lebih muda
seperti perempuan yang menghadangnya.
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk
jengkel, kepalanya, seakan hendak merontokkan ram-
but sendiri. "Iiiiih, mau apa kau menghadangku, Dewi Mela-
ti"!" tanyanya geregetan sekali.
"Aku mau tanya sesuatu, Gendut!"
"Jangan panggil aku terus dengan sebutan itu!"
"Sebutan apa" Gendut" Bukankah kau me-
mang gendut" Apa aku harus menyebut mu
'kerempeng'" Kau tidak melihat kenyataan!"
"Tapi aku tersinggung! Setidak-tidaknya, kau
menyebut julukanku dengan lengkap. Aku merasa le-
bih dihargai kalau begitu. Kalau kau terus panggil aku begitu sama saja kau
hendak mencari perkara denganku!" "Kita memang masih punya perkara yang belum
selesai. Kau pernah punya hutang denganku. Sekarang aku akan menagihnya!"
"Sialan kau Dewi Melati. Memangnya aku ber-
hutang apa?"
"Dulu kau pernah mengalahkan aku."
"Itu kan karena kau yang menantang!"
"Tapi, aku tak menerima kekalahan itu!"
"Ah, 'lihat kenyataan' Dewi Melati. Kepan-
daianmu memang tak sebanding denganku. Apa itu
belum cukup?" tangkis Gendut Tangan Tunggal, me-makai perkataan Dewi Melati
sendiri. "Kalau begitu, aku tak akan mempersoalkan la-
gi perkara itu." .
"Bagus-bagus! Memang harus begitu!"
"Tapi dengan satu syarat!"
"Sialan! Kenapa kau tak...."
"Biarkan aku bicara dulu, Gendut!" jegal Dewi Melati, sengit.
Gendut Tangan Tunggal mengusap dada. Jan-
tung orang tua macam dia sudah terbilang soak untuk
menerima hardikan seorang perempuan kaleng rom-
beng macam Dewi Melati. Mudah-mudahan suatu hari
mulutnya berbusa, kutuknya dalam hati.
"Aku mau kau memberi tahu aku, di mana Sa-
tria Gendeng?" lanjut Dewi Melati, tak memberi kesempatan untuk Gendut Tangan
Tunggal. "Satria Gendeng" Kau tanya pendekar muda
itu" Hi hi hi!"
"Jangan tertawa, Gendut. Kau tambah jelek!"
Gendut Tangan Tunggal langsung bungkam.
Paling sebal kalau dirinya disebut jelek. Kemarin kalau tidak salah Pendekar
Muka Bengis justru menyebut-nya tampan. Jadi mana yang benar" Ah, perempuan
kaleng rombeng itu saja yang sirik!
"Apa yang kau tahu tentang Satria Gendeng!"
serbu perempuan yang tak saja cerewet, tapi tersohor sangat genit itu.
"Aku tak akan mengatakan padamu di mana
anak muda itu sebelum kau jelaskan alasanmu men-
carinya!" tandas Gendut Tangan Tunggal, tegas. Dia merasa telah memegang kartu
mati milik Dewi Melati.
Dewi Melati menggeram. Matanya menatap ga-
lak. "Apa" Kau mau mengajak bertarung lagi?" tantang Gendut Tangan Tunggal. Ibarat
permainan catur, dia telah menang satu langkah.
"Gendut! Keparat jelek bau bawang!" serapah Dewi Melati berpentalan. Tangannya
sudah teracung,
hendak melabrak orang tua berbadan boros di depan-
nya. "Ayo, seranglah aku! Aku tak akan memberita-hukan di mana anak muda itu
padamu! Hi hi hi..."
Gendut Tangan Tunggal makin senang menyaksikan
kejengkelan Dewi Melati
Sementara itu, Satria sendiri tanpa sengaja te-
lah tiba pula di tempat tersebut. Mendengar ribut-ribut di kejauhan, dia segera
mendekat. Di kejauhan disak-sikannya Gendut Tangan Tunggal. Begitu tahu siapa
orang yang perang mulut dengannya, Satria mengu-
rungkan niat untuk menghampiri mereka. Dia mengin-
tai dulu di balik sebuah pohon besar.
"Katakan Gendut, di mana Satria Gendeng se-
benarnya! Katakan! Katakan!"


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Melati menjerit-jerit di depan Gendut Tan-
gan Tunggal sambil menjambak-jambak rambut sendi-
ri. Kakinya menjejak-jejak tanah serabutan. Tingkahnya sudah mirip nenek-nenek
pikun kehabisan sirih.
Kemarahan pada Gendut Tangan Tunggal yang tak ke-
sampaian, dilimpahkan pada diri sendiri.
Gendut Tangan Tunggal jadi melongo. Satria
pun melongo. Mereka lebih melongo lagi ketika menyaksikan
Dewi Melati yang penampilannya sudah amburadul
terduduk menangis di tanah. Terisak-isak sambil mengusap air matanya dengan
punggung tangan berkali-
kali. Nah lo"
Hati-hati Gendut Tangan Tunggal mendekat.
Dia tak mau tiba-tiba perempuan itu mencakar wajah-
nya. Siapa tahu dia memang sudah sinting....
"Kau tak mau bilang padaku, kenapa kau men-
cari pendekar muda itu?" ucap Gendut Tangan Tunggal. Jadi kasihan juga dia
menyaksikan perempuan
itu. "Hu hu hiik hik, beberapa hari lalu, aku dike-
jar-kejar oleh Pasukan Kelelawar! Aku hendak diculik seperti perempuan-perempuan
lain. Mereka benar-benar anak dedemit. Aku berusaha melawan, tapi me-
reka hampir membuat aku mampus. Untung aku sem-
pat lari...."
Kepala Gendut Tangan Tunggal menggeleng sa-
na-sini. "Kau jangan ngaco! Aku tak tanya itu. Yang aku tanya, apa alasanmu
mencari Satria Gendeng!" sem-burnya sengit.
Dengan mata sembab, Dewi Melati memelototi
Gendut Tangan Tunggal.
"Ya, itu tadi! Aku ingin meminta dia melindun-
giku dari tangan Pasukan Kelelawar. Satu saat, mereka pasti akan kembali untuk
menculik ku, Aku kan ngeri!
Hiii...." Gendut Tangan Tunggal terkikik. Entah kenapa dia menganggap alasan
perempuan itu menggelikan.
Satria di tempat persembunyiannya terus me-
longo. Jadi, cuma karena itu Dewi Melati mencari-
carinya setengah edan"
DELAPAN KARENA Gendut Tangan Tunggal tak mau ber-
henti menertawainya, lama kelamaan Dewi Melati jadi bernafsu juga. Dibarengi
jeritan gusar, jadi pula akhirnya diserangnya orang tua itu. Urusan unggul atau
tidak, soal belakangan. Juga urusan keperluannya me-
nanyakan keberadaan Satria Gendeng.
Pokoknya sekarang ini hanya ada satu keingi-
nan Dewi Melati: mencakar-cakar kulit berlemak Gen-
dut Tangan Tunggal.
"Hiiiiih!"
Wukh! Kuku panjang Dewi Melati menyambar wajah
Gendut Tangan Tunggal.
Hanya dengan mengandalkan tangan kanannya
yang hidup, Gendut Tangan Tunggal menangkis. Se-
lanjutnya gada di tangan itu terayun. Hanya dengan
mengerahkan kekuatan otot pada pergelangan tangan
saja, senjata besar dan berat itu menderu bagai suara angin ribut.
Kalau Dewi Melati tidak cepat merunduk, kepa-
lanya bukan cuma remuk. Bisa saja berantakan.
"Bangsat, tenaga dalamnya ternyata masih te-
tap ampun!" maki Dewi Melati, manakala merasakan angin pukulan gada lawan
membuat tengkuknya ber-denyar. Namun begitu, dia belum mau mengalah.
Dikejarnya lagi lawan dengan serangan baru.
Rambutnya yang panjang diayunkan. Seketika rambut
itu menjadi mengeras bagai sehimpun lempengan baja
halus, hendak menusuk perut buncit lawan.
Wukh! "Kau memang perempuan bawel tak tahu diri!"
seru Gendut Tangan Tunggal, tanpa berniat menghin-
dar. Dengan sengaja, dia malah menyorongkan perut-
nya ke depan. Ketika ujung rambut lawan hampir tiba, nafasnya ditarik kuat-kuat.
"Hhhhhup!"
Dalam satu sentakan napas cepat, kulit perut
Gendut Tangan Tunggal membesar menjadi hampir
dua kali lipat!
Duph! Terdengar bunyi teredam begitu rambut lawan
mendaratinya. Yang terjadi kemudian lagi-lagi mem-
buat Dewi Melati harus mengakui kelebihan tenaga dalam lawan. Rambutnya yang
telah mengeras bagai baja mendadak terpantul balik tanpa sedikit pun melukai
kulit perut lawan. Lecet saja tidak! Perut si orang tua
gendut seakan telah berubah menjadi bantalan karet
kenyal. Lebih dari itu, tubuh perempuan itu turut ter-sentak ke belakang.
"Sialan," geram Dewi Melati.
Gendut Tangan Tunggal malah asyik mengelus-
elus perutnya. "Masih penasaran" Kau tak akan unggul dari
aku selama kau masih mengandalkan kepandaian-
kepandaian yang itu-itu juga. Kalau pun kau memiliki ilmu simpanan baru, aku mau
sedikit mencicipi. Dan
rasanya, kau tetap tak akan mengalahkanku," ledek-nya santai.
"Kau benar, Gendut! Setelah aku kau kalahkan
waktu itu, aku sudah menambah beberapa kepandaian
yang akan membuat perutmu pecah! Nih, kau terima-
lah!" Dewi Melati menggerakkan kepala cepat. Rambut hitamnya tersibak. Ronce
bunga melati pada ram-
butnya terlepas dan bercelatan memperdengarkan des-
ing tajam. Zing! Bunga-bunga kecil berwarna putih yang dipan-
dang sekilas begitu damai dan tak berbahaya ternyata menjelma menjadi senjata
rahasia maut. Di udara,
bunga-bunga itu berputaran seperti bor kecil terbang.
Jangankan tubuh manusia, pohon paling keras pun
dapat ditembus dengan amat mudah. Selain itu, selu-
ruh ruang gerak lawan telah ditutupnya dari segenap arah. Kalau hanya begitu,
Gendut Tangan Tunggal
masih dapat dengan mudah mementahkannya. Seba-
gai tokoh disegani, dia memiliki tangan kanan andalan yang bisa memutar gadanya
hingga membentuk ta-
meng berputar. Lain perkara kalau di tengah jalan senjata ra-
hasia lawan mendadak meletup. Dari letupan kecil
yang terdengar ramai, tertebarlah asap berwarna hitam kebiruan. Sekejapan saja,
pandangan lawan menjadi
kacau balau. Saat itulah Dewi Melati mempergunakan ke-
sempatan untuk melepaskan senjata rahasia lain.
Tangannya berkelebat.
Zzzz! Meluncurlah puluhan jarum-jarum kecil yang
selama ini tersimpan di bawah kuku panjangnya. Me-
lewati asap pekat, Gendut Tangan Tunggal diserbu.
Dalam kepungan asap yang hampir membutakan pan-
dangan, akan amat sulit bagi orang tua itu untuk
menghindari jarum-jarum beracun lawan.
Jlep jlep jlep!
"Kena kau, Gendut!" sorak Dewi Melati, girang luar biasa mendengar suara halus
tadi. Satria di tempat pengintaiannya menjadi cemas
akan keselamatan orang tua berbadan gemuk yang ba-
ru dikenalnya. Betapa licik serangan perempuan itu, nilainya. Untuk bertindak,
mungkin sudah terlambat.
Sebaiknya menunggu sampai asap tebal sirna untuk
memastikan keadaan Gendut Tangan Tunggal, tim-
bangnya. Angin menepis.
Asap menipis. Perlahan, kepekatan tersingkap. Samar-samar,
mulai terlihat sosok buntal di sana.
"Cetek!"
Terlepas seruan. Tentu saja dari mulut Gendut
Tangan Tunggal. Orang tua itu sedang duduk berun-
cang kaki di tanah. Dia asyik menghitung jarum-jarum yang menancap di bawah
sebelah sandal kayunya!
Karena tetap tak berhasil menghajar Gendut
Tangan Tunggal, akhirnya Dewi Melati sebal sendiri.
Dia mulai merengek. Kejadian yang membuat Gendut
Tangan Tunggal geli terulang lagi. Dewi Melati menja-tuhkan diri, duduk menangis
terisak-isak. Satria keluar dari tempat persembunyian. Sulit
baginya untuk diam di tempat dan tak mempedulikan
apa yang terjadi ketika menyaksikan air mata wanita.
Biarpun sebenarnya masih tersisa kegusaran terhadap Dewi Melati. Terutama
perbuatannya terhadap Suta.
Kalau cuma hendak bertemu dengan seseorang, kena-
pa harus menurunkan tangan kejam pada orang lain
yang tak bersalah dan sama sekali tak tahu menahu"
Sekarang, teka-teki tentang Dewi Melati terja-
wab sudah. Gendut Tangan Tunggal tambah terkikik geli
begitu menyaksikan si pendekar muda tanah Jawa
muncul diam-diam dari arah belakang Dewi Melati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikirnya. Nasib baik
mungkin sedang berpihak pada Dewi Melati. Tanpa
perlu mencari lagi, orang yang diharapkan tiba-tiba muncul. Itu pun dianggapnya
lucu. "Hei, Perempuan Kaleng Rombeng!" tukasnya pada Dewi Melati yang masih sibuk
terisak. "Kau masih mau bertemu dengan Satria Gendeng atau tidak?"
Mendengar tawaran tadi, wajah perempuan
cantik itu terangkat.
"Tentu saja aku mau! Apa kau tak lihat aku
menangis karena begitu ingin bertemu dengannya"
Sumpah mati, aku hanya percaya Satria Gendeng yang
bisa melindungiku dari tangan Pasukan Kelelawar...,"
tegur Dewi Melati.
"Kenapa begitu?"
"Karena... karena... ah, kau banyak tanya! Ke-
napa tak kau katakan saja di mana Satria Gendeng berada sekarang?"
"Dia ada di sini..."
Wajah Dewi Melati berubah. Dari mendung,
menjadi cerah. "Mana mana dia?" tanyanya bersemangat. Matanya melirik ke sana-ke sini. Satria
Gendeng jelas tak ditemukan.
Karena pemuda itu berdiri tepat di belakang-
nya. Lain masalah kalau perempuan itu sedikit meno-
leh ke belakang.
Menyaksikan kejadian itu, Gendut Tangan
Tunggal terkikik geli.
"Mana dia, Gendut!" bentak Dewi Melati, tidak sabar. "Ada di belakangmu," ucap
Satria, menyela.
Dewi Melati jelas segera berbalik bersemangat.
Ingin sekali dilihatnya wajah pendekar muda sakti
yang menjadi harapannya untuk berlindung dari pen-
culikan Pasukan Kelelawar.
Manakala menyaksikan Satria, seketika itu pu-
la wajah Dewi Melati jadi sepucat mayat. Sejenak dia melompong bengong seperti
kehilangan akal sehat. Matanya menatap tak berkedip. Mulutnya menganga. Tak
heran, wajah cantiknya jadi terlihat bodoh juga.
"Kau... kau...," gagapnya. Sungguh dia tak percaya pada penglihatannya sendiri.
Bagaimana tidak"
Dia telah yakin benar bahwa pemuda yang ditemuinya
itu tempo hari telah mampus oleh racun kukunya.
Orang mati mana mungkin bisa hidup lagi" Kalau han-
tunya, bisa jadi.
Dewi Melati nyaris bangkit terbirit.
"Jangan dekati aku! Kau pasti setan gentayan-
gan!" hardiknya sambil melangkah mundur. Tak diin-
gatnya apakah yang berdiri di belakangnya barusan
adalah Satria Gendeng seperti kata Gendut Tangan
Tunggal. "Jangan ngaco!" sambar Gendut tangan Tunggal.
"Gendut, aku telah membunuh pemuda ini
waktu itu! Racun ku sangat ampuh. Belum ada satu
orang pun yang bisa mempertahankan nyawa sampai
tiga tarikan napas jika terkena racun dari kuku ku.
Dia pasti setan gentayangan!" bisik Dewi Melati.
"Kubilang kau jangan ngaco! Dia itu Satria
Gendeng yang kau cari!"
"Satria Gendeng" Dia orangnya" Astaga, Gen-
dut! Kenapa kau tak bilang sejak tadi?"?"
Gendut Tangan Tunggal garuk-garuk kepala.
Perasaan, aku sudah mengatakan hal itu pada Dewi
Melati. Aku yang lupa mengatakannya, atau dia yang
tuli" Setelah itu, tanpa menambahkan 'ba' atau 'bu'
lagi, Dewi Melati langsung menghambur ke arah Sa-
tria. Satria dipeluknya hangat-hangat, membuat si
pemuda gelagapan tak karuan. Masalahnya, dua pa-
sang 'bukit' padat Dewi Melati mengganjal dadanya.
Belum lagi wangi tubuhnya yang bisa membuat pemu-
da polos itu melayang-layang sejenak.
"Tak pernah kusangka kalau pendekar muda
yang membuat geger dunia persilatan ternyata gagah
dan tampan," pujinya, genit. Tangannya bergelayut manja di bahu Satria. Sikapnya
seolah tak pernah berbuat salah seujung kuku pun pada Satria.
"Terus terang, jangan dulu berharap banyak
aku akan menolong kesulitanmu!" kata Satria, berpura-pura bersikap dingin.
Wajahnya sengaja dibuat ka-ku.
"Kenapa?" lengak Dewi Melati. Banyak lelaki yang begitu berharap pada dirinya.
Karena itu, dia yakin bisa mendapatkan apa saja dari seorang pria, karena dia
akan sudi memberi imbalan jasa yang paling diminati lelaki. Dengan modal
kecantikan yang menjadi bunga mekar merona mengundang untuk dipetik di
dunia persilatan. Masa' iya seorang yang sedang me-
nyala-nyala api mudanya seperti Satria Gendeng akan menolaknya. Tapi
kenyataannya sekarang"
"Kau sama sekali tak pantas untuk mendapat
perlindungan ku!" tandas Satria dengan sedikit keangkuhan. Bolehlah angkuh
sedikit, kalau tujuannya un-
tuk memberi pelajaran perempuan satu ini, pikirnya.
"Kenapa?" pertanyaan Dewi Melati kali ini di-bumbui oleh rayuan nan mendayu-
dayu. Tangannya
dengan gemulai mengelus-elus dagu Satria. Matanya


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerling nakal. Tubuhnya sengaja sedikit digesek-
gesekkan ke dada Satria.
Kendati tetap memasang wajah dingin, hati Sa-
tria tak urung berdesir. Rasanya dia mau meringis, ta-pi dia akan berjuang
menahannya. Kalau perlu sampai terkentut-kentut.
"Karena kau perempuan sesat! Kau bisa mem-
bunuh seseorang tanpa alasan yang jelas!"
"Di dunia ini, sudah banyak orang yang tak
perlu punya alasan jelas untuk membunuh, bukan"
Orang membunuh untuk perempuan, orang membu-
nuh untuk kekuasaan, untuk sekeping uang, bahkan
mungkin hanya untuk sepotong terasi. Apa kau pikir itu alasan yang jelas,
Sayang" Lalu, apa bedanya kalau aku bertindak sama?"
"Ngaco!" Yang dongkol malah Gendut Tangan Tunggal.
"Karena itu kau bukan termasuk orang yang
patut kutolong!"
"Jangan begitu, Sayang...," rengek Dewi Melati, makin menggoda.
Gendut Tangan Tunggal mencibir sambil berbi-
sik mengikuti ucapan Dewi Melati.
Satria melepaskan pelukan Dewi Melati.
"Carilah pertolongan pada yang lain!" tegasnya.
Dia berbalik membelakangi.
Wajah Dewi Melati mulai mendung lagi. Bibir-
nya tertekuk ke bawah.
"Tak ada yang bisa menolongku selain kau...,"
katanya merajuk.
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Karena aku tahu siapa dalang Pasukan Kele-
lawar itu. Tak ada orang yang kuyakini dapat menan-
dingi kesaktiannya, kecuali dirimu."
Satria membalikkan badan.
"Kau tahu siapa dalang semua ini?"
Dewi Melati tersenyum penuh kemenangan.
"Kau bertanya padaku?" tanyanya, berpura-
pura. Sekarang giliran dia yang berbalik membelakan-gi.
"Ya, katakan padaku!"
"Kalau kau bersumpah akan menyelamatkan
aku dari Pasukan Kelelawar, akan kukatakan padamu
siapa orang itu."
Sialan, rutuk Satria. Kenapa jadi dia yang ha-
rus menerima persyaratan. Apa itu tidak terbalik"
"Bagaimana?" susul Dewi Melati.
Belum lagi Satria sempat memikirkan persyara-
tan Dewi Melati, dari kejauhan terdengar teriakan tarung orang bersabung nyawa.
Ketiga orang itu menoleh berbarengan.
"Aku seperti mengenal suara itu," desis Satria.
Entah kapan dan di mana.
"Itu si Muka Bengis! Apa yang terjadi pa-
danya"!" seru Gendut Tangan Tunggal, mengingatkan Satria Gendeng.
Satria tak menunggu lebih lama, dia menggen-
jot tubuh. Berlari seperti mengejar angin. Gendut Tangan Tunggal tunggang
langgang membawa bobot tu-
buhnya berlari. Kendati begitu, dia tak kehilangan kegesitan dan kelincahan
sedikit pun. Dewi Melati men-gekori mereka. Dia tak sudi kehilangan Satria Gen-
deng. Ketika Satria Gendeng, Gendut Tangan Tunggal dan Dewi Melati tiba, sudah
berlangsung pertarungan sengit antara Pendekar Muka Bengis dengan Pasukan
Kelelawar. Tujuh orang mengadakan pengeroyokan.
Dua sisanya tampak membopong seorang perempuan
di pinggir kancah pertarungan.
Menyaksikan kedatangan mereka, salah seo-
rang bocah memberi isyarat pada dua bocah pembo-
pong perempuan. Lalu kedua bocah itu pergi mening-
galkan tempat. "Kau kejar dua bocah itu, Anak Muda! Aku
akan membantu si Muka Bengis!" seru Gendut Tangan Tunggal.
"Bagaimana dengan aku?" tanya Dewi Melati, merasa diterbengkalaikan.
"Terserah!" sahut Gendut Tangan Tunggal.
SEMBILAN MATAHARI menyembul kembali di ufuk timur.
Sinar merah tembaganya belum terlalu menjerang.
Lamat, ramah. Angin masih terasa sejuk, sebelum
siang nanti menjadi hembusan kering tak bersahabat.
Lahan sawah di salah satu wilayah Kulon Jawa
dirundung kesunyian. Sisa dingin malam yang begitu
menusuk tulang sumsum, masih bergentayangan. Un-
tuk kebanyakan daerah Kulon, dingin terlalu merasuk kulit. Bahkan terasa
menyiksa. Satria Gendeng tiba di sana. Setelah melakukan
pengejaran panjang melelahkan hampir satu harian,
dia berjuang keras agar tidak kehilangan jejak dua dari Pasukan Kelelawar yang
dikejarnya. Tekadnya, menyelamatkan perempuan yang dilarikan dua bocah itu.
Sudah dikerahkan segenap kemampuan ilmu lari ce-
patnya. Sampai di tempat itu, akhirnya dia kehilangan buruan juga.
Dengan dua kali kecolongan seperti itu, Satria
menjadi sadar betapa lawan yang akan dihadapinya
demikian berat untuk dihadapi. Kalau bocah-bocah itu saja sudah sanggup
mengecohkan dirinya, bagaimana
pula orang yang berdiri sebagai dalang semua itu" Ma-ka, wajar bila Pendekar
Muka Bengis mengajak Gendut Tangan Tunggal dan Satria Gendeng untuk bergabung.
Kini, pendekar muda pewaris kesaktian dua to-
koh utama tanah Jawa itu berjalan menyusuri pema-
tang yang mengkerangkai hamparan sawah luas ter-
bengkalai. Disiapkannya segenap kesiagaan. Matanya
diusahakan untuk tidak berkedip. Bahkan kalau bisa, napas pun ditahannya.
Di dekat sebuah tumpukan sisa tanaman padi
kering yang tertimbun tinggi seperti gunung kecil, Satria Gendeng merasakan ada
hawa aneh merasuk ku-
litnya. "Ada yang aneh di sekitar tempat ini," bisik Satria pada diri sendiri.
Dia merasakan, tapi tak bisa mengerti keanehan apa gerangan. Panca inderanya
sendiri tak menangkap keganjilan apa-apa.
Tidak matanya. Tidak telinga. Hidung, atau juga kulitnya.
Karena bisikan nalurinya demikian kuat, Satria
Gendeng menghentikan langkah. Dia diam. Tak ada
niat baginya untuk menggerakkan bagian tubuh mana
pun, kecuali kedua bola matanya. Diperhatikannya se-keliling dengan rasa waswas
yang menjangkit cepat.
Telinganya dipasang sekuat mungkin. Siapa tahu dia
mendengar suara angin bokongan belakang.
Senyap. Suasana seperti mati. Bahkan angin beku.
Setelah menanti sekian lama dan tak muncul
satu serangan pun, Satria Gendeng mulai meragukan
perasaannya sendiri.
"Apakah karena ketakutan ku bakal mengha-
dapi lawan yang demikian berat membuat aku mulai
merasakan keanehan-keanehan?" bisiknya lagi pada diri sendiri.
"Tapi, entah kenapa hati kecilku demikian kuat mengatakan ada orang yang sedang
mengawasi ku...."
Tanpa mengurangi kesiagaan dan kewaspa-
daannya secuil pun, Satria mencoba menggerakkan
kaki lagi. Tak sampai kakinya menjejak ke depan,
mendadak saja ada sekelebat bayangan menerkam
amat cepat dari atap gubuk.
Mula-mula bayangan itu menerobos dari pun-
cak gundukan sisa padi kering. Membuat potongan-
potongannya berhamburan ke udara bagai dihempas
topan. Satria saat itu terkesiap. Seluruh jaringan tubuhnya menegang.
Mengejang. Mengencang. Tangannya mengepal keras, terangkat ke de-
pan. Dari puncak gundukan, kelebatan bayangan
tadi bergerak cepat dan lurus ke arah si pendekar mu-da sakti. Jarak Satria
dengan gundukan cukup jauh.
Ada sekitar lima belas tombak. Semestinya gerak lompatan bayangan itu agak
terhambat gaya tarik bumi.
Tapi, yang disaksikan Satria Gendeng sekeleba-
tan sungguh membuatnya terkagum sekejap. Bagai-
mana tidak" Kelebatan bayangan tadi bergerak seolah-olah tidak terpengaruh
sedikit pun oleh gaya tarik bu-mi.
Meluncur lurus bagai terbang.
Ringan, seolah menunggang bayu!
Sekejapan berikutnya, Satria Gendeng bertanya
dalam hati, siapa yang sesungguhnya akan dihada-
pi?"" Wrrr!
Berkawal deru santer mirip geletaran kain, ke-
lebatan bayangan tadi sampai di depan Satria Gen-
deng. Kesiagaan yang telah terjaga sebelumnya tak cukup membawa hasil
menguntungkan bagi Satria
Gendeng. Dia sudah berusaha berkelit dari terkaman
ganas itu. Sayangnya, kelitannya ternyata kurang cepat dibanding sambaran
bayangan tadi. Tak ayal lagi....
Srat! Sesuatu terkoyak. Satria Gendeng cepat melirik
bagian bahu kanannya. Dilihatnya pakaian di bagian itu tersobek. Dari
cabikannya, anak muda itu bisa menilai benda apa yang baru saja mengoyak
pakaiannya. Sebuah senjata tajam bermata tiga!
Satria Gendeng cukup lega mengetahui kulit
tubuhnya tak ikut tersayat. Bisa dibayangkan bagai-
mana jika dia benar-benar tersambar telak kelebatan bayangan tadi. Tentu
kulitnya akan terkuak, membe-set daging di dalamnya, dan memperlihatkan tulang
di bagian dalam, Itu sungguh menggidikkan!
Untuk benar-benar lega, Satria Gendeng belum
bisa. Sebab, kejap berikutnya disaksikan kelebatan
bayangan tadi menukik ke atas dataran ladang kering, menjejak tanah, lalu
menerkam kembali. Rentetan gerak yang dilakukan dengan cara demikian memukau!
Satria Gendeng sendiri, dalam hal kecepatan te-
lah menjalani godokan demikian keras. Kalangan per-
silatan bisa mengacungkan ibu jari tinggi-tinggi untuk beberapa kemampuannya
saat mempecundangi dua
tokoh sesat kalangan atas; Perempuan Pengumpul
Bangkai dan Iblis Dari Neraka. (Baca kisahnya dalam episode : "Perempuan
Pengumpul Bangkai" dan "Kiamat di Goa Sewu"!) Membandingkan kehebatan
kepandaiannya dengan kelebatan bayangan tadi, anak muda
pewaris kesaktian Dedengkot Sinting Kepala Gundul
dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu jadi kurang yakin apakah kecepatan geraknya
sanggup mengimbangi kelincahan kelebatan bayangan yang sampai saat itu tak jelas
rupanya.... Sambaran berikutnya tak kalah cepat.
Beringas. Ganas. Tetap dengan gerak lurus seperti menunggang
angin, kelebatan bayangan tadi mengancam leher Sa-
tria Gendeng. Karena sebelumnya sudah masuk dalam kegen-
tingan, kepekaan naluri Satria Gendeng menjadi me-
ningkat. Serangan kali ini dapat dihindarinya. Itu pun setelah dia memompa
segenap kemampuan ilmu pe-
ringan tubuh miliknya.
Agak kehilangan keseimbangan karena mendo-
rong tubuh terlalu kuat, Satria Gendeng membuat satu putaran salto. Dia
menjejakkan kaki sebelas depa dari bayangan tadi. Di lain pihak, bayangan itu
pun sudah pula berdiri.
Kini dilihatnya seorang lelaki tua cebol berwa-
jah mirip perempuan. Tingginya hanya lebih sedikit da-ri lutut Satria. Rambutnya
kriting. Kulitnya hitam.
Pancar matanya seperti hendak menaklukkan setiap
nyali orang yang ditemui. Kedua belah tangannya me-
megang cakar dari logam. Senjata itulah yang telah
menyayat kulit tangan Satria Gendeng,
"Mungkinkah dia yang mendalangi Pasukan Ke-
lelawar?" desis si anak muda terpana. Dugaan tersebut muncul karena Satria
membandingkan perawakan
orang yang dilihatnya dengan perawakan Pasukan Ke-
lelawar. Mereka sama-sama kecil.
"Siapa kau, Orang Tua" Kenapa kau menye-
rangku?" tanya Satria. Dugaan hanya akan menjadi tuduhan jika tak didasari bukti
yang kuat. Karenanya dia merasa harus bertanya.
Terdengar suara aneh dari mulut si orang cebol.
Satria tak terlalu lama menyimpulkan bahwa
penyerangnya bisu. Sayang sekali. Berarti, sulit baginya untuk mencari
keterangan siapa orang itu se-
sungguhnya. Lebih disayangkan lagi, orang cebol bisu berke-
saktian tinggi itu sama sekali tak berniat bersahabat.
Dari gelagatnya, Satria Gendeng tahu akan ada serangan lanjutan darinya....
Tegang, amat hati-hati dan padat kewaspadaan,
Satria meloloskan Kail Naga Samuderanya. Dia tak yakin akan bisa menghadapi
lawannya kali ini hanya
dengan mengandalkan tangan kosong. Sebelumnya sa-
ja sudah terbukti, kecepatan gerak orang cebol bagaikan dedemit. Pendekar muda
itu sadar benar, seran-
gan sebelumnya tak lebih dari salam perkenalan. Si
orang cebol tak sungguh-sungguh untuk membabat-
nya. Kalau tidak, mungkin dia sudah mendapat luka
menganga. Atau lebih parah lagi, dia mungkin sudah
terkapar dengan leher tergorok.
Kalau sekali ini serangan manusia cebol dila-
kukan sungguh-sungguh, Satria harus yakin benar dia bisa menghadapinya tanpa
harus terluka parah atau
kehilangan nyawa. Untuk itu dia membutuhkan Kail
Naga Samudera di tangannya. Dengan senjata itu, dia tidak saja dapat
mengandalkan pertahanannya, tapi
juga dapat meningkatkan ketajaman serangannya.
Bertepatan dengan berkelebatnya kembali tu-
buh orang cebol, Satria cepat membuat hentakan pada batang Kail Naga Samudera
yang masih berbentuk
tongkat hitam pendek.
Srang! Seketika, dari kedua sisi di bagian kepala naga,
keluar dua lempeng logam tipis berbentuk sayap naga.
Sepanjang lengkung pada sisinya amat tajam.
Trang! Sambaran cepat senjata lawan yang sepenuh
kesiagaan telah dinantinya, langsung dipapaki.
Suara dentang meledak lantang.
Bunga api terpercik terang.


Satria Gendeng 07 Pasukan Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelebatan tubuh si cebol memantul balik, ber-
jumpalitan cepat di angkasa, kemudian berdiri kembali di tempat semula, seolah
dia tak pernah beranjak dari tempat tersebut!
Satria heran ketika lawan asingnya tak melan-
jutkan gebrakan nan menakjubkan. Harus diakui oleh
Satria sendiri, seandainya lawan membuat satu serangan berantai tak terputus
dengan kecepatan seperti
tadi, Satria tak yakin dirinya belum tentu sanggup bertahan. Sekarang, lawan
justru hanya diam memperha-
tikannya. Namun, sewaktu Satria menyaksikan mata si
cebol, ternyata dia sedang mengamati tegas-tegas Kail Naga Samudera. Tak
diragukan lagi, tentunya senjata pusaka itu yang telah memenggal niatnya untuk
melanjutkan serangan.
Satria mengangkat Kail Naga Samudera di tan-
gannya. Menurut dugaannya, tentu si cebol mengin-
ginkan benda itu seperti kebanyakan tokoh sesat du-
nia persilatan. Namun, bukan tak menutup kemung-
kinan, Kail Naga Samudera telah mengingatkannya
pada sesuatu hingga dia menghentikan serangan.
Orang itu Dewi Melati. Dia memutuskan untuk
mencoba mengikuti Satria, ketimbang harus menonton
pertarungan di tempat sebelumnya. Toh, kepentingan-
nya memang dengan Satria Gendeng. Sewaktu men-
guntit pengejaran pendekar muda itu, Dewi Melati
sempat kehilangan jejak. Dia baru berhasil melacaknya setelah berusaha beberapa
lama. Dari caranya menempatkan diri di tengah-
tengah dua orang yang saling berhadapan, tampak ada niat tertentu hendak
dilakukan Dewi Melati.... Itu yang belum bisa diduga Satria Gendeng.
* * * Di lain tempat, pertarungan antara Gendut
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis melawan
tujuh Pasukan Kelelawar masih berlangsung sengit.
Kendati pertempuran sudah berjalan satu harian pe-
nuh, kedua belah pihak masih tetap sanggup menge-
rahkan jurus-jurus ampuh. Berkali-kali mereka telah bertukar serangan. Hajaran
berkali-kali pula harus
mereka terima dari lawan masing-masing.
Sebagai dua tokoh papan atas, Gendut Tangan
Tunggal dan Pendekar Muka Bengis tetap merasa ke-
limpungan menghadapi tujuh bocah ajaib. Keduanya
bahkan telah mengalami luka dalam tak ringan. Tena-
ga mereka semakin terus terkuras.
Di lain pihak, lawan mereka pun mengalami lu-
ka-luka dalam. Namun, mereka seperti tak pernah ke-
habisan tenaga untuk ditumpahkan ke dalam seran-
gan. Gempuran mereka terus melanda bagai air bah.
Sampai suatu ketika Gendut Tangan Tunggal
memutuskan untuk mempergunakan ilmu andalan-
nya. Dia sudah merasa kedudukan tarung mereka se-
makin tak menguntungkan. Dari tengah-tengah arena,
tubuh buntalnya melejit jauh ke belakang.
"Pergunakan ilmu andalanmu, Muka Bengis!
Semakin lama kita bertukar jurus dengan mereka,
akan kian terkuras tenaga kita!!" serunya di udara, memperingatkan kawan
seperjuangannya.
Pendekar Muka Bengis sejak tadi pun mulai
berpikir begitu. Merasa satu pendapat, cepat pula dia membebaskan diri dari
keroyokan lawan-lawan ingu-sannya. Melejit ke udara, diikutinya Gendut Tangan
Tunggal. Keduanya hinggap di tanah tak berjauhan.
Keduanya memasang kuda-kuda.
Ada ketegangan terpancar dari wajah mereka.
Kentara sekali, kalau mereka menganggap per-
tarungan itu sebagai taruhan nyawa. Urusan yang me-
nyangkut hidup dan mati! Artinya, akan terjadi ben-
trokan dahsyat dari dua belah pihak. Bentrokan ilmu yang mungkin menjadi penentu
siapa yang harus lebih dahulu lebur!
Ketika para lawan memburu, kedua tokoh itu
berteriak berbarengan....
"Heaaaaahh!!"
* * * Siapa sih si orang cebol bisu itu" Apa maunya,
sih menyerang Satria Gendeng" Mau kenalan pasti ti-
dak! Nah, kalau maunya si perempuan genit Dewi Me-
lati apa" Pertarungan sengit Gendut Tangan Tunggal dan
Pendekar Muka Bengis menghadapi ketujuh bocah
bakal dimenangkan siapa" Atau lebih serem lagi; pihak mana yang bakal menjadi
bangkai lebih dahulu"
Ngomong-ngomong, apa rencana Manusia Ma-
kam Keramat memerintah Pasukan Kelelawar untuk
menculik perempuan-perempuan" Buat dijadikan bini
barangkali, ya" Huss...!!!!
SELESAI Segera ikuti kelanjutan kisahnya!!!
dalam episode: MEMBURU MANUSIA MAKAM KERAMAT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Aneh Naga Langit 27 Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara Dendam Empu Bharada 2
^