Piano Di Kotak Kaca 3
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica Bagian 3
dewasa. Ia tak pernah punya kesempatan untuk memakai baju baru dan sepatunya. Saat ini
walaupun tujuannya datang ke rumah Haryanto adalah untuk melihat Oomnya yang tertimpa
musibah, ia tak mau datang dengan penampilan buruk di depan tante dan dua sepupunya. Mereka
harus tahu bahwa setelah ia pindah dari rumah itu, hidupnya bahagia.
Eman mengantarkannya ke jalan raya dan menunggunya sampai ia naik bus menuju Jakarta. Dari
jendela dilambaikannya tangannya pada Kakek tua itu. Wajah Eman semakin jauh dan mendadak
Sheila merasa gamang, separti akan pergi jauh dari rumah dan tak akan kembali lagi.
Rencananya ia akan menginap satu hari di rumah Haryanto, karena setelah itu ia berniat
menjenguk ayahnya di penjara. Berat rasa hatinya meninggalkan rumah Bram. Ia baru tinggal
sepuluh bulan di tempat itu, tapi baginya rumah itu lebih berarti dari pada sekedar tempat
tinggal. Kau cuma pergi satu hari Sheila, batinnya. Bagaimana bila dua bulan lagi usiamu genap
tujuh belas tahun dan kau harus meninggalkan tempat itu" Tapi sebenarnya Sheila berpikir, saat
itu hati Bram yang baik pasti akan melunak dan mengizinkannya tinggal lebih lama lagi. Ya, saat
itu aku akan membujuknya dengan segala cara, pikirnya.
Bus itu kemudian membawanya sampai kampung rambutan. Dari situ ia naik Bus jurusan
Grogol. Dari terminal Grogol ia naik ojek hingga sampai rumah Haryanto. Rumah itu masih
sama seperti yang diingatnya dalam memori otaknya. Tapi ada sesuatu yang berubah. Bila dulu
Sheila melihat rumah itu besar, kini rumah itu tampak kecil. Apakah ia yang berubah menjadi
besar dan melihat rumah menjadi kecil, atau sebenarnya sama saja, hanya orientasi pikirannya
saja yang berubah" Ya benar aku sudah dewasa, dan segala hal yang kutemui kini terlihat biasabiasa saja dan tak menakutkan seperti dulu, pikirnya.
Sheila menatap rumah itu ragu-ragu. Setelah empat jam perjalanan tubuhnya terasa lelah, tapi ia
tak ingin melepaskan lelahnya di rumah ini. Rasanya ia ingin segera kembali ke Ciloto dan tidur
di kamarnya sendiri yang cuma beralaskan matras gulung. Lalu diingatnya ia datang ke sini
untuk satu tujuan, bertemu Haryanto yang sedang tertimpa musibah dan memberikan bantuan
dari Bram. Ditekannya bel tapi tak ada yang keluar. Rupanya bel ini mati. Dilihatnya selot pagar, tidak
digembok. Rupanya keluarga ini benar-benar habis-habisan sehingga tak takut rampok masuk
untuk kedua kalinya. Sheila membuka pintu pagar itu dan masuk ke pekarangan.
Baru saja kakinya akan melangkah masuk ke rumah, seseorang keluar dari rumah itu, "Cari
siapa, ya?" Gadis yang baru keluar rumah itu berseru kaget, "Sheila....!!" Sheila melihat seorang gadis yang
cantik dengan rambut panjang yang dikeriting. Tubuhnya tinggi langsing dan kakinya yang
hanya berbalut celana pendek tampak indah. Ia mengenali gadis itu sebagai Renny. Renny telah
berubah. Rupanya gadis itu juga berubah, sama seperti dirinya.
Bukannya menyuruhnya masuk atau menanyakan kabar, Renny langsung masuk lagi ke rumah
sambil berteriak, "Mamaaaa!!"
Sheila membatin rupanya yang dewasa hanya penampilannya saja, sikapnya tidak.
Tak lama kemudia seorang wanita muncul. Walau cuma mengenakan daster batik, Ratna masih
tetap cantik. Wajahnya masih sama seperti yang diingat Sheila. Tidak ada kerut-merut sedikitpun
di wajahnya, diusianya yang menjelang empat puluh tahun. Bahkan seperti wanita yang tak
pernah punya anak gadis. "Mau apa kau kemari" Kami sudah tak ada uang, tak bisa membantumu lagi. Sekarang kau urus
saja dirimu sendiri!" cetusnya tajam.
Lidah tajam wanita itu pun tak berubah, batin Sheila.
Sheila menguatkan diri, tujuannya belum selesai, ia kesini berniat menemui Haryanto, bukan
yang lainnya. "Saya datang jauh-jauh dari Ciloto, tante. Lebih baik saya masuk dulu."
Ratna menganga melihat gadis itu melewatinya dan Renny, masuk ke rumahnya. Buru-buru
Ratna ikut masuk. "Ku dengar kau sudah dikeluarkan dari asrama kerena memukul orang. Apa benar?" desak
Ratna. "Saya masih sekolah di situ, Tante. Sekarang saya sudah kelas dua." jawab Sheila sabar.
Ratna mendengus, "Sifatmu belum berubah. Berani pada orang lain, sudah memukul orang dua
kali, sampai-sampai Reza yang badannya lebih besar darimu pun kau pukul."
"Itu memang kekhilafan saya, Tante. Tapi sekarang saya sudah dewasa, itu tak akan terjadi lagi."
Ratna segera mengeluarkan pertanyaan utamanya. "Kau mau apa ke sini lagi" Bukannya sudah
kubilang tak usah ke sini lagi?"
"Saya mendengar bahwa rumah ibi kemasukan maling....."
Ratna membelakakan mata, "Jadi kau kenal maling-maling itu.Astaga! Sudah kuduga ada orang
dalam yang memberikan informasi...."
Emosi Sheila mendadak naik ke kepala. ia sedah berusaha tapi Ratna memang keterlaluan.
"Tante jangan asal tuduh saja!" lalu setelah menahan amarahnya, Sheila memelankan suaranya.
"Sebenarnya saya kemari ingin bertemu Oom, dan menginap di sini satu hari."
"Oommu belum pulang, sebaiknya jangan kau ganggu dia lagi. Dia sedang banyak masalah. Lagi
pula untuk apa kau menginap di sini" Sekarang masih siang. kalau kau langsung pulang ke
Ciloto kau tidak akan kemalaman."
"Saya..... Ingin menjenguk papa di penjara, Tante. Jadi saya mohon, kalau Tante mau berbaik
hati, saya menginap satu malam di sini."
Ratna mendengus lagi. Dasar anak tak tahu malu, sudah disindir masih tidak mau mengerti juga,
pikirnya. "Ya sudah. Masuk saja ke kamarmu sana. Tapi barang-barangnya sudah dikeluarkan,
apa kau mau tidur di lantai?"
Sheila mengangguk. "Dilantai juga tidak apa-apa." ia lalu berlalu menuju kamarnya.
Sepeninggal Sheila. Renny berkata pada ibunya. "Ma, kenapa dikasih" Bagaimana kalau dia
memukul Reza lagi seperti dulu" Atau kali ini malah giliran aku?"
"Ia takkan berani!" cibir Ratna.
"Lalu bagaimana kalau ia tidak hanya tidur satu malam, tapi malah minta tinggal di sini?"
Ratna melotot. "Sudah jangan bicara yang tidak-tidak! Mama heran, kamu ini sudah dewasa
bukannya berpikir sendiri malah terus merengek-rengek dan mengeluh pada Mama! Dewasa
sedikit dong!" Ratna lalu meninggalkan anaknya. Renny merengut kesal memandangi kepergian
Mamanya. Di dapur Sheila bertemu Reza. Pemuda itu sedang membuka tudung saji dan mengunyah
sesua tu. Ketika ia melihat Sheila, ia ternganga dan tempe goreng yang sedang digigitnya jatuh ke
lantai. "Sheila...!!" serunya.
Sheila tersenyum menatap Reza, "Apa kabar, Rez?"
Pemuda itu tertawa, "Kau masih hidup!"
Sheila ingat, saat pertama datang ke rumah ini, ia sangat takut pada Reza. Pemuda itu dua tahun
lebih tua darinya dan tubuhnya tinggi besar, terlihat sangat dewasa. Kini dilihatnya Reza tak
lebih dari remaja yang biasa-biasa saja.
"Tentu saja aku masih hidup!" jawab Sheila enteng menanggapi gurauan Reza. "Justru aku yang
terus bertanya-tanya, bagaimana kabarmu setaelah terkana botol yang kuarahkan pada Renny." Ia
menambahkan, "Aku minta maaf, Rez. Tulus. Aku nggak menyangka kau bakal pingsan."
"Ya ampun, itu sih pukulan kecil buatku! Tapi memang ada bekasnya sih, lihat!" Reza
menyibakkan rambutnya, dan Sheila melihat bekas luka di kening Reza. " Tapi cowok udah
sepantasnya punya bekas luka, jauh lebih keren dari pada yang mulus. Iya nggak?"
Sheila tertawa, ternyata sekarang Reza ramah terhadapnya. Mungkin cowok ini mewarisi sifat
ayahnya. "Kau sudah lulus SMA dong?"
"Ya ampun itu sih sudah lewat. Sekarang aku mahasiswa ekonomi! Hebat, kan" Kau sedang
berhadapan dengan mahasiswa sekarang!" tutur Reza bangga. Tapi wajahnya berubah murung,
"Tapi sekarang..... Nggak tahu deh. Keluarga kami baru kerampokan, dan papa masih bingung
mencari biaya kuliahku. Satu-satunya jalan..... mungkin menjual rumah ini. Tapi terus kami
tinggal di mana?" Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Kau datang kemari mau apa" Apa mau tinggal di sini lagi?"
Sheila menggeleng, "Aku mau ketemu ayahmu."
Reza mengamati Sheila dari ujung kepala sampai ujung kaki, "Kau cantik sekarang," katanya.
Wajah Sheila memanas, ia diam saja. "A........aku ke kamar dulu. Mau numpang nginap semalam
di sini." "Hei di dalam tidak ada apa-apanya. Pembantu bulan lalu diberhentikan lagi oleh Mama. Tahu,
tuh Mama selalu nggak cocok sama pembantu!"
" Nggak apa-apa. Aku tidur di lantai saja."
"Masa di lantai. Di kamarku ada matras gulung, pakai itu saja, ya."
Sebelum Sheila sempat bilang tidak usah, puda itu sudah berlari ke kamar mengambil matras.
Sheila terseyum. Ternyata Reza sudah banyak berubah. Banyak sekali. Dan itu membuat hatinya
tersa sejuk." Sheila ingat, hari itu adalah hari ulang tahun Haryanto. Maka ia sudah membelikan hadiah.
Sebuah dasi yang bercorak eksklusif. Ia ingat Haryanto suka sekali memakai dasi, berganti-ganyi
setiap hari. Dan ketika sore itu ia keluar kamar, ia melihat Ratna sedang sibuk memasak. Ia pun
turun tangan membantu. Ratna diam saja melihat itu, dan mereka bekerja dalam diam.Sheila
sudah tahu masakan apa yang suka dimasak Ratna. Ia pun sudah bisa memasak karena diajari
Eman, maka bantuan Sheila sangat berarti bagi Ratna. Sheila tahu itu meski Ratna tak bilang
apa-apa. Pukul enam kurang seperempat, Haryanto pulang. Sheila yang sedang mengatur meja makan
menyambutnya. "Oom....!" Haryanto yang pulang dengan wajah kuyu dan lesu tertawa melihat kehadiran Sheila, "Sheila
kok kamu datang kemari?"
Sheila pura-pura marah, "Memangnya aku nggak boleh datang kemari, Oom?"
"Nggak dong, Oom nalah seneng. Kau kesini dalam rangka ulang tahun Oom, kan?" Sheila
mengangguk, "Tapi...." lanjut Haryanto ragu. Ia memandang ke meja makan, "Hidangannya
mungkin tak seperti biasanya." ia tersenyum, "Sekarang Oom jarang makan daging, mau hidup
sehat!" Sheila tahu itu tidak benar. Ia paham kondisi keuangan keluarga ini. Tapi Ratna memasak sayur
asem dengan kuah kuning kesukaan Haryanto. Biasanya pakai air rebusan daging, sekarang tak
ada dagingnya. Lauknya hanya tempe dan tahu yang direndam bumbu ketumbar lalu digoreng,
serta bakwan jagung dan lalapan. Lalu sambal dan krupuk. Serta pisang ambon. Benar-benar
sederhana. Padahal dulu keluarga ini selalu makan ayam, daging, atau ikan setiap hari.
Renny juga menggelayut manja pada ayahnya, "Pa, hari ini aku nggak kasih kado ke papa, lain
kali aja, ya?" Haryanto mencubit ujung hidung anaknya, "Nggak apa-apa yang penting kamu rajin belajar,
jangan sampai rapormu kebakaran lagi, oke?"
Sheila menyerahkan bungkusan yang dibawanya pada Haryanto, "Oom, ini dari saya. Selamat
ulang tahun Oom. Dan ini........ titipan dari Pak Bram." ia memberikan sehelai amplop.
Haryanto membuka hadiah dari Sheila, dan tersenyum gembira, "Wah.... Ini bagus sekali, Sheila.
Akan Omm pakai semoga membawa keberuntungan buat Oom. " Lalu ia membuka amplop dan
mengeluarkan cek pemberian Bram. Matanya membelalak membaca tulisan yang tertera. Dengan
wajah serius ia menatap Sheila.
"Sheila, ini apa?"
"Bram.... Hmmm Pak Bram bilang, ia mau membantu Oom, karena dulu Oom sangat banyak
membantu saya," Jawab Sheila.
Renny yang ikut melihat ikut berseru, "Woow! Seratus juta!" Ratna jadi penasaran dan ia ikut
melihat. Diambilnya cek itu dari tangan suaminya. Lalu ia menatap Sheila. "Kau tidak
membohongi kami kan, Sheila?"
Sheila menggeleng, "Tidak tante, Cek itu benar-benar bisa diuangkan di Bank. Saya membaca
berita Oom di koran dan Bram bilang ia tulus membantu."
Haryanto mengambil cek itu dari tangan Ratna, dan memasukkannya kembali ke amplop. Ia
menyodorkannya kembali pada Sheila. "Kembalikan padanya."
Ratna langsung menyikut suaminya,"Pah, kenapa dikembalikan" Kau kan memang pernah
membantu Sheila dan ayahnya dulu" Kini kita sedang membutuhkan uang, kenapa
dikembalikan." bisiknya.
"Kalau uang Sheila aku mau, tapi aku tak mengenal orang itu sama sekali. Aku tak mau
berhutang budi pada orang yang tidak aku kenal." jawab Haryanto.
Ratna merebut amplop itu dari tangan Haryanto, karena Sheila belum mengambilnya.
"Ma...!" tegur pria itu.
Ratna melotot dan memegangi erat-erat amplop itu. Kemudian ia tersenyum manis pada Sheila,
"Kau benar-benar anak baik, Sheila. Tante tidak menyesal telah membantumu selama ini. Kau
ingat kan, Tante selalu membantumu" Sampai-sampai Tante sendiri yang mengantarkanmu ke
asrama. Ingat, kan?"
Sheila diam saja. Ia teringat sampai ke detail-detailnya, betapa Ratna telah memberitahukan
masa lalu Sheila pada semua guru dengan tambahan yang memojokkannya. Ia tak akan pernah
lupa, tapi ia berkata, "Ingat, Tante."
"Nah, sampaikan itu pada pak Bram, ya" Bilang tante mengucapkan terimakasih banyak.
Semoga semakin murah rezeki dan dibalas Tuhan, ya?"
"Ma..." sela Haryanto, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Ratna sudah masuk ke kamar tanpa menghiraukan tatapan memelas suaminya. Sheila kasihan.
Pria itu benar-benar takluk pada istrinya. Tapi bagaimanapun, ia juga tak mau kembali ke rumah
Bram dengan membawa cek itu. Keluarga Haryanto memang butuh uang.
"Oom ingat tidak waktu ulang tahun Oom tahun lalu, Oom meminta saya main piano tapi saya
tidak bisa?" tanya Sheila.
Haryanto yang sedang memandang kepergian istrinya tersentak. "Ya" Apa" Piano?"
"Oom, sekarang aku sudah bisa main piano. Oom mau dengar aku main?"
Renny mendengus, "Aku mau dengar."
"Tentu saja. Ayo kamu mainkan sebuah lagu untuk Oom. Nggak usah yang susah-susah, yang
gampang saja." "Asyik, Sheila mau main piano"!" Seru Reza.
Sheila tersenyum dan menghampiri piano di ruang tamu. Ia membukanya dan duduk di
hadapannya. ia menoleh dan melihat ketiga orang itu duduk di sofa, menantikannya main
kebetulan Ratna sudah keluar dari kamarnya. Reza menaruh telunjuknya di bibir dan Ratna ikut
duduk di situ. Sheila melihat, ini persis seperti tahun lalu. ia merasa mengalami deja vu.
Sheila perlahan-lahan menyentuh tuts piano dan mulai memainkan Fur Elise. Tubuhnya terasa
melambung ke awang-awang. Mereka pasti terpana melihat kemampuannya, tidak menyangka si
Sheila anak pembunuh yang dipenjara itu bisa main piano!
Lagu Fur Elise mengalun, persis sama dengan permainan Renny, penuh keindahan dan nuansa
kebahagiaan, tidak sedih seperti lantunan permainan Bram. Ketika selasai Sheila menutup
kembali piano itu dan menghampiri Haryanto. Keempat orang itu memandanginya sambil
ternganga. "Itu lagu kesukaan Oom,kan?"
"Ya ampun Sheila, itu bagus sekali kenapa sekarang kau mendadak bisa main piano?" tanya
Haryanto. "Gileee, lebih bagus dari permainan Renny!" cetus Reza. Renny langsung menyikut kakanya
sambil cemberut. Ratna berdiri dan menghampiri Sheila. Ia menepuk bahu gadis itu, " Selamat ya, cita-citamu
untuk bisa bermain piano tercapai. Tante ikut senang, mudah-mudahan kamu sukses selalu. Masa
lalu jangan jadi hambatan untuk masa depan."
Sheila menatapnya, wanita itu terlihat tulus, walau sheila ragu apakah Ratna akan bersikap
begini kalau ia tak membawa cek itu. Sheila berdiri terpaku. Sudah selesai. Mereka akhirnya bisa
mengakui bahwa ia bisa meraih sesuatu, meski cuma bisa bermain piano. Haryanto sudah
melihatnya. Renny sudah nelihatnya. Reza sudah melihatnya. Bahkan Ratna memujinya. Lalu
apakah hatinya puas"
Sheila menyadari hal ini tidak membuatnya puas. Bahkan hatinya kini terasa kosong.
Bram merasakan kehampaan. ia heran akan perasaan ini. Lagi pula, andaikan Sheila ada di
rumahnya, ia juga tak pernah menghabiskan waktu bersama gadis itu. Ia berada dalam kamar dan
keluar sewaktu-waktu seperti biasa. Mereka hampir tak pernah bertemu. Sheila mengerjakan
urusannya sendiri. Ia mengerjakan urusannya sendiri. Tapi mengapa, ketika malam ini Sheila tak
ada di rumah, hatinya terasa sepi"
Lalu ia sadar, jika Sheila ada di rumah, pasti terdengar olehnya suara gadis itu. Suara tawanya
ketika bercanda dengan Eman, suara langkah kakinya yang selalu diseret-seret karena sendalnya
sudah tipis, suara permainan pianonya yang kadang membuat Bram kesal karena beberapa kali
salah dan diulang-ulang, atau keheningan yang membuat Bram tenang karena tahu gadis itu
sedang belajar di kamarnya.
Bram takut ia mereindukan kehadiran Sheila. Sepuluh bulan yang lalu, ketika ia mengizinkan
gadis itu tinggal di sini, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga jarak. Ia cuma
membantu gadis malang itu sampai usianya sudah dianggap dewasa untuk menentukan hidupnya
sendiri. Ia sudah betekad untuk sedapat mungkin tak menghabiskan waktu bersama Sheila,
karena nanti gadis itu akan pergi meninggalnya.
Tapi apa yang terjadi" Baru sehari Sheila meninggalkannya ia sudah panas dingin seperti ayam
sakit. Sudah pukul sepuluh malam, dan ia tak bisa tidur. Mau mengetik juga tidak bisa. Idenya
mandek dan cerita yang dihasilkan jari-jarinya tersendat-sendat seperti tersumbat sampah.
Karena itu ia keluar dari kamarnya dan mondar-mandir di ruang tamu, nerharap udara segar bisa
membangkitkan semangatnya.
Tanpa sadar kakinya melangkah ke kamar Sheila dan membuka pintunya. Ia masuk ke kamar itu.
Kamar Sheila wangi kain bersih. Gadis itu tak pernah memakai pewangi, karena Bram tahu
Sheila jarang belanja alat kecantikan seperti ABG lainnya. Cuma sekali Sheila belanja, yaitu
belanja baju dan sepatu yang akhirnya dipakainya ke Jakarta pagi tadi.
Sheila tampak manis dengan baju itu. Rambutnya yang hitam dan panjang tampak kontras
dengan bajunya yang putih, membuat gadis itu tampak........ Ah, apa yang kupikirkan! Batin
Bram menghalau pikiran yang mampir ke benak Bram.
Pandangannya jatuh ke sebuah benda, benda yang selalu menggugah rasa ingin tahunya, kenapa
Sheila masih menyimpannya padahal sudah rusak. Diangkatnya benda itu. Sebuah piano di kotak
kaca yang sudah disolatip di sana-sini. Ia pernah bertanya pada Sheila, satu hari setelah kejadian
gadis itu mengeluarkan Boy dan ia memutuskan untuk mengusirnya. Waktu itu Bram
membenahi barang-barang Sheila.
"Apa sih itu?" "Itu piano di kotak kaca. Satu-satunya benda peninggalan terakhir mamaku. Tapi sudah pecah
karena dibanting Renny, anak Oom Haryanto."
"Oh, yang menyebabkan kau memukul kepalanya hingga berdarah dan dipindahkan kemari?"
ingat Bram. "Bukan, yang berdarah itu kepalanya Reza, kakanya. Aku salah pukul. Tapi benar, gara-gara itu
aku dipindahkan ke asrama."
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cuma gara-gara ini kau terkena masalah besar. Apa segitu pentingnya benda ini."
Sheila mengangguk dan menceritakan bahwa itu adalah benda peninggalan terakhir Mamanya,
sehari sebelum ibunya meninggal karena dibunuh ayahnya. " Aku tak bisa mengingat wajah
terakhir Mama karena jenasahnya tidak ada. Tapi setiap kali kuliahat kotak ini, tersenyum saat ia
mengamati wajahku baik-baik. Seolah ia akan pergi jauh dan tak akan kembali lagi. Dan ternyata
memang benar." Sheila mengusap kedua matanya dengan tangan.
Bram mengangkat benda itu. "Kelihatannya akan susah diperbaiki kalau cuma pakai solatip.
coba nanti aku carikan lem yang bagus untuk membetulkannya."
"Nggak usah, Bram. Biar begitu saja. untuk mengingatkan aku untuk lain kali jangan sembrono
lagi. Main pukul kepala orang sembarangan saja."
Bram tersenyum, "tapi tetap saja kan, kau memukul temanmu di asrama setelah kejadian ini?"
Sheila jadi tertawa, "Astaga! Aku lupa. Ia juga ya?" ia merebut benda itu dari tangan Bram
dengan wajah memerah. Ia memperhatikan benda itu, "Kalau dipikir-pikir aku sama seperti
benda ini." "Kenapa?" "Walau dari luar kelihatan baik-baik saja, sebenarnya aku sangat rapuh. Dibanting sekali saja
langsung hancur, tak bisa diperbaiki lagi.
Bram memandang piano itu sekarang. Kotak akriliknya bergoyang-goyang ketika dipegang
karena hanya direkatkan dengan selotip. ia membawa benda itu keluar dari kamar Sheila, lalu
menutup pintu. Sheila memandang langit yang penuh bintang, Haryanto ada di sampingnya. Mereka berdua
sedang duduk di teras. Mereka sudah lama tidak bertemu, jadi Haryanto ingin berbincangbincang dengan keponakannya, ingin tahu selama ini kehidupannya bagaimana.
"Langit cerah ya, kebetulan hari ini tidak hujan." ucap Sheila.
Haryanto ikut melihat ke atas. Ia mengambil toples berisi biskuit dan menyodorkannya pada
Sheila. "Biskuit kelapa?"
Sheila menggeleng. "Seandainya aku bisa menjadi bintang itu, memancarkan cahayanya dari
jauh dan membuat orang-orqng yang melihatnya ikut bahagia...."
"Kenapa tidak bisa" Kau sudah membuat orang sekelilingmu bahagia. Contohnya Oom, Oom
bahagia punya keponakan sepertimu. Oom bangga."
"Makasih, Oom."
"Besok apa perlu Oom antarkan kamu ketemu papamu?"
"Nggak usah." kata Sheila cepat. "Biar aku sendiri saja."
"Oom pergi ke sana sebulan sekali. Terakhir Oom ka sana, papamu tampak lebih baik. Katanya
tanggal17 Agustus kemarin temannya banyak yang mendapatkan remisi karena berkelakuan
baik. Ia juga aktif dalam kegiatan, katanya ia juga ingin mendapatkan pengurangan hukuman dan
ingin cepat-cepat bertemu denganmu."
Sheila pura-pura menoleh ke samping, padahal ia menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca
karena haru. "Dan anehnya Sheila.... ia bilang ia tidak bersalah. katanya ia minta maaf padamu...."
Sheila menoleh cepat. Wajahnya beku, "Papa nggak punya perasaan, Oom. Apa dia bilang begitu
agar mendapatkan belas kasihan orang lain" Lalu kalau Papa tidak bersalah, Mama mati dibunuh
siapa?" Haryanto menghela napas, "Papamu memang salah, Sheila. Oom juga menyasali mengapa ia
melakukan hal itu. Tapi sejak remaja, Papamu memang selalu bermasalah. Kakek dan nenekmu
sudah angkat tangan. Mereka sudah tidak tahu harus bersikap bagaimana. Oom cuma menyesali,
dan Oom bertanya-tanya apa sikap membangkangnya itu karena ia iri pada Oom" Ia meresa
kasih sayang yang mestinya hanya diberikan padanya harus terbagi untuk Oom juga. Oom juga
meresa bersalah karenanya."
Sheila berkata dingin, "Sebenarnya aku mau menjenguk Papa besok karena permintaan Pak
Bram. Ia yang memintaku untuk datang ke sana."
Haryanto memegang tangan Sheila, "Sheila ucapkan terimakasih Oom untuk Pak Bram. ia orang
yang sangat baik." Sheila mengangguk, "Ia memang orang yang sangat baik,Oom."
Di ruang tunggu lembaga permasyarakatan, Sheila menunggu kemunculan ayahnya dengan hati
berdebar. Apa yang harus dikatakannya" Bagaimana ia harus bersikap" Apa keputusannya kali
ini sudah benar" Apakah tidak sebaiknya ia pulang saja dan tidak usah mebemui ayahnya"
Tapi.... Akhirnya ia menmutuskan, ia melakukan semua ini demi Haryanto. Ia sudah berjanji pada Bram
bahwa ia akan menemui ayahnya. Dan sekarang ia sudah di sini. Apa salahnya menunggu
sebentar, tak perlu berkata apa-apa cuma menjenguk saja. Apa susahnya sih"
Dua orang polisi masuk ruangan, mengantarkan pria berusia empat puluhan dalam baju penjara
berwarna biru tua. Sheila terkejut melihat pria itu.
Ayahnya, kenapa ayahnya tampak begitu tua" Sudah berapa tahunkan mereka tidak bertemu"
Apakah waktu bisa membuat rambut ayahnya memutih secepat itu"
Pria itu duduk di hadapannya. Sheila menatap pria di hadapannya dengan terbelalak. Kulit yang
hitam dan kisut. Seingatnya, ayahnya masih gagah, sama dengan Haryanto. kenapa sekarang
ayahnya tampak seperti berusia lima puluh tahun"
"Sheila...." Panggil pria itu.
Sheila diam saja. ia menghapus air matanya cepat-cepat dengan tangannya.
"Akhirnya kau datang juga,Sheila. Papa rindu padamu. " Mengapa air mata ini seolah-olah
berlomba-lomba membanjiri wajahnya" Ia tak bisa memnenagkan diri. sebentar saja ia sudah
terisak-isak. "Sheila maafkan Papa. Bagaimana kehidupanmu sekarang, Nak. kata Haryanto ia sudah
menyekolahkanmu. Sekarang kau sudah kelas 2 SMA. Papa berutang budi padanya.
Sheila tak bisa menjawab, air mata terus membasahi wajahnya.
"Kau mesti sekolah baik-baik, kau mesti kuliah, tidak boleh seperti Papa. Sheila apa tante Ratna
baik padamu?" Sheila masih sulit bernapas, ia masih sesenggukan.
"Papa sudah bilang pada Haryanto, bahwa saat mendaftarkanmu ke sekolah, dia jangan memberi
tahu bahwa kau anak Papa. Kalau teman-temanmu tahu Papa dipenjara mereka bisa
mengejekmu. Tapi untunglah tidak ada yang tahu, kan?"
Tadinya sheila ingin bilang bahwa ia datang ke sini karena permintaan seseorang, bahwa ia tidak
benar-benar peduli pada ayahnya. Tapi kata-kata yang sudah disiapkannya tersangkut entah
dimana. Ia cuma bisa menangis dan tak bisa bicara apa-apa.
"Sedahlah jangan menangis lagi. Pulanglah, tak usah jenguk Papa lagi. Jangan sampai ada yang
tahu kau anak nara pidana. Mengerti" Tinggalah baik-baik di rumah Oom Haryanto. Bila papa
keluar nanti, Papa akan membayar utang Papa padanya."
Sheila terus menangis. Akhirnya ia keluar dari ruangan itu, meninggalkan ayahnya begitu saja.
Seorang polisi menanyainya, apa ia masih ingin berbicara pada ayahnya. Sheila menggeleng
kuat-kuat, lalu meninggalkan tepat itu.
BAB 11 SHEILA langsung naik bus pulang ke Ciloto. Pada Haryanto ia sudah bilang akan langsung
pulang. Haryanto menasehati Sheila agar ia manjaga diri baik-baik, dan rumahnya akan selalu
terbuka untuk gadis itu. Sheila tidak menceritakan bahwa Bram hanya menampungnya sampai ia
berumur tujuh belas tahun, yang tinggal dua bulan lagi. Sheila percaya ia tak perlu kembali ke
rumah Haryanto dan meninggalkan semua kepahitannya di sana.
Tiga jam kemudian, ketika ia tiba di rumah Bram, dilihatnya pria itu duduk di depan piano,
sambil memainkan lagu Fur Elise. Sheila langsung memeluk Bram dan menangis di bahu pria
itu. Bram berbalik menghadap Sheila. Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya memeluk Sheila dan
mengelus punggungnya. Mententramkannya. Menenangkannya. Sedikit banyak ia tahu
kegelisahan yang ada di dalam diri gadis itu.
"Sudahlah, Sheila. Sudahlah. Semua akan berlalu. Saat semua belalu, semua ini hanya tinggal
kenangan, baik pahit maupun manis dalam kehidupanmu."
Sudah lama Sheila ingin tahu mengapa ibu Bram sudah lama tak menjenguk anaknya. Seberapa
sulitpun hubungan orangtua dan anak, pastilah orangtua akan selalu mengingat anaknya.
Tapi di akhir bulan Oktober, keingintahuan Sheila terjawab. Hubungan mereka rupanya masih
baik. Buktinya ibu Bram datang bersama seorang wanita bernama Marisa. Usianya sekitar tiga
puluh tahun, rambutnya sebahu, dan di-rebonding. Wajahnya cantik seperti bintang iklan sebun
mandi. Bram menyambut ibunya seadanya. Karena datang dari Jakarta ibu Bram dan Marisa akan
menginap satu malam. Bram menyediakan kamar tamu yang selama ini kosong dan tak pernah
dibuka. Sheila baru tahu ada kamar tamu di rumah itu. Ada ranjang besar untuk ukuran tidur dua
orang. Buru-buru ia membereskannya dan mengganti sepreinya dengan yang baru. Sang sopir
akan tidur di mobil saja karena tidak ada tempat lagi.
Ibu Bram sudah berusia 58 tahun. Namanya Emma. Ia masih energik dan tampak lebih muda
dari usianya. Kelihatannya ia tak pernah mengenal kata susah. bila kita bertemu dengannya
pertama kali, kita pasti sadar sedang berhadapan dengan orang yang tak pernah menderita. Dan
tentu saja, Emma bingung melihat Sheila di rumah itu.
"Siapa dia?" tanyanya langsung pada Bram. Mereka sedang mengobrol di ruang tamu, ditemani
Marisa. Saat itu Sheila sedang menghidangkan tiga gelas es jeruk yang dibuatnya.
"Oh.... Dia." tampaknya Bram sulit menceritakan perihal Sheila, ?"" murid di asrama kita.
Karena.....ehm... Aku buyuh orang untuk membantu Eman dan kebetulan dia bersedia, jadi..."
"Oh.... Jadi dia pembantu baru di sini?" sambar Emma. kelihatannya wanita itu orang yang ceria
dan bersifat terbuka. "Lalu bagaimana sekolahnya?"
"Ehm... Dia madih sekolah tapi belajar sendiri?"
"Lho... Kok gitu?"
"Sudahlah memang agak rumit. Nanti akan ku jelaskan lagi pada Mama. Ehm... Mama kemari
ada apa?" "Jadi kamu nggak suka ya, kalau Mama kemari" kamu itu gimana sih" Sudah nggak pernah
jenguk Mama di Jakarta, dijenguk saja masih protes. Untung Mama punya anak dua. Kalau tidak
ada cucu dari Brenda, Mama mungkin sudah mati kesepian." gerutu Emma. "Mama kesini
sekalian lihat asrama. Tadi Mama sudah ketemu Bu Lia, katanya asrama butuh tambahan ruang
baru, supaya bisa menerima siswa yang akan mendaftar tapi tertunda karena ruangannya tak
ada." Bram memandang wanita di samping Mamanya. Ia hendak bertanya tapi sungkan. Tapi Emma
melihat lirikan Bram dan tersenyum senang.
"Oh iya, Bram. Ini Marisa." Marisa tersenyum dan menyalami pria itu.
"Bram." "Marisa ini sudah S2 lho! Hebat ya" Dia baru diwisuda jadi notaris, sekarang mau buka praktik
di Jakarta. Mama kenal orangtuanya, orang-orang yang hebat juga." tutur Emma ceria. "Waktu
mama cerita tentang novel kamu. Ternyata ia penggemar kamu, Bram! Coba , bisa kebetulan
seperti ini. Mungkin ini yang namanya jodoh, ya?"
Wajah Bram berubah keruh.
Marisa menatap Bram. "Aku mengoleksi novelmu ,Bram. Aku suka sekali jalan ceritanya.
Benar-benar mengungkapkan intelektualitas pengarangnya. teman-temanku yang masih sekolah
hukum menganggap novelmu selingan yang pas unuk mereka, karena isinya aktual, dan selalu
relevan." "Terima kasih." jawab Bram.
"Nah, Bram. Marisa ini sudah tiga puluh tahun ,lho. Tapi belum punya pacar, benar-benar luar
biasa, ya" Sulit lho menemukan wanita secantik dan secerdas ini yang belum ada
gandengannya." Bram kini tahu arah pembicaraan ibunya, ia mulai gelisah.
"Mama terus terang saja, Bram. Marisa ini bersedia melakukan penjajakan dengan kamu. Kamu
kan sudah dewasa, dan dia bukan gadis remaja lagi. Kalau kalian tidak cocok, ya tidak jadi.
Begitu saja, supaya hemat waktu.. Dia bisa cari yang lain, dan kamu juga bisa cari yang lain.
Jadi...." "Ma..!" seru Bram menyela. "Aku tidak sedang dalam proses mencari istri. Aku tidak mau
menikah." ia bangkit berdiri dan jalan tertatih-tatih ke kamarnya.
"Bram"!" kejar Emma. Ia berbisik, " Bram coba dulu. Jangan buat Mama malu. Lagi pula kamu
sehat lahir batin, kan" Maksud Mama, dulu Mama pernah tanya dokter. Katanya kamu bisa
menikah secara normal dan bisa punya keturunan. Jadi..."
"Ma..! Kalau Mama masih mau diterima olehku, tolong.... Mengertilah aku sedikit, Ma."
Emma menggerutu. "Ya sudah! Mama nggak maksa kok. Lagian Marisa juga cuma pengen
berteman sama kamu. Karena tempat praktiknya sedang direnovasi, jadi dia punya banyak waktu
luang. Ia mau tinggal di sini satu minggu, boleh kan?"
"Terserah Mama saja deh!" seru Bram ketus. Ia pun masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Emma tersenyum ceria seolah tidak terjari apa-apa. Ia berkata riang pada Marisa. "Ayo Marisa,
kita lihat kamar yang sudah disiapkan. Oke?""
Ibu Bram pulang hari ini, tapi Marisa akan tinggal di rumah itu lima malam lagi. Marisa sangat
suka rumah mungil milik Bram yang berlatarkan pedesaan, namun tetap ditata mewah seperti
vila. Sayangnya di situ tidak ada televisi ataupun alat elektronik hiburan lainnya. Tapi
suasananya sangat damai, dan..... Ada pria tampan di sana.
Benar kata Tante Emma, anaknya sebenarnya cukup tampan, tapi sikapnya sangat murung dan
ucapannya sangat ketus, pikir Marisa. Begitu juga soal cacat di pipi kirinya. Kata Tante Emma,
sudah lama ia memaksa Bram untuk menjalani operasi plasik, tapi Bram tidak mau. Benar-benar
seperti intan yang tak terasah.
Marisa juga menyukai gadis kurus yang membantu Bram. Namanya Sheila. Gadis itu pintar
bikin kue dan main piano. Sheila enak diajak bicara, senang pula mendengarkan orang bicara.
Pokoknya kalau Marisa harus tinggal di situ sebagai istri Bram, melepaskan kariernya di Jakarta
pun, ia bersedia. Lagi pula Bram pasti tak pernah kekurangan apa pun. Royali yang
didapatkannya dari novel detektifnya yang terkenal pasti bukan cuma puluhan juta dalam
setahun. Marisa mendambakan dua anak, laki-laki dan perempun. Kalau bisa kembar. Ia tak pernah
pacaran. Kata orang jodohnya berat. Makanya, walaupun berwajah cantik dan berotak cerdas,
jodoh akan menjauh darinya. Tapi kali ini ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Bram.
Mudah-mudahan kali ini ia berhasil meraih kursi pelaminan.
"Mulungnya jangan seperti itu, Mbak Marisa. Nih, seperti ini, jangan dikepal-kepal nanti kuenya
keras." ujar Sheila, ia sedang mengajari Marisa memulung kue.
"Oh..... Jadi begitu, kalau dikepal-kepal terus kuenya bisa keras?"
"Iya kata Kakek Eman begitu. Tapi aku sih tidak pernah mendapat kue yang keras. Ya sudah kita
kepal-kepal saja,yuk" Mau tahu kue keras seperti apa?" ucap Sheila jail.
Marisa tertawa lagi, " Kamu lucu."
Sheila hening, sejenak Sheila bertanya, "Mbak, memang benar kata Kakek Eman" katanya Mbak
datang ke sini untuk menjadi istri Bram....... Ehm.... .. Maksud saya.. Om Bram?" Sheila tidak
berani menyebut Bram dengan namanya saja di depan Marisa. Ia takut Marisa mengadu pada
Emma. Sejak pagi saja, ia sudah dimarahi Emma terus soal dapur yang katanya kurang teratur
penempatan barang-barangnya.
Wajah Marisa tersipu-sipu, "Cuma penjajakan. Tapi sepertinya sih Bram belum tentu mau. Dia
bilang ia tidak akan menikah."
Sheila manggut-manggut. "Manurut kamu kenapa ia tidak mau menikah, Sheila" Apa selama kamu di sini Bram tidak
pernah berhubungan dengan siapa-siapa?"
"Tidak pernah. Tapi saya di sini baru beberapa bulan. Coba saja tanya Kakek Eman, dia pasti
lebih tahu dari pada saya."
Marisa berkata, "Pasti tidak. Yang diceritakan Tante Emma sih begitu. Sejak kecelakaan yang
menimpanya Bram tidak pernah lagi berhubungan dengan wanita."
"Kecelakaan?" "Memangnya kamu tidak tahu" Kaki dan wajah Bram cacat kan karena kecelakaan. Saat itu
mobil yang ditumpanginya bersama kekasihnya terbalik di jalan tol."
"Oh, ya?" Sheila baru tahu hal itu. "Lalu kekasihnya sekarang di mana?"
"Sudah meninggal. Sejak itu ia tak pernah berhubungan dengan wanita lagi."
Sheila terdiam, jadi itu sebabnya. Pantas saja Bram mengucilkan diri. Lalu apakah lagu Fur Elise
yang dimainkannya dengan sedih adalah untuk mengenang kekasihnya"
"Kok kamu diam saja, Sheila?"
Sheila tersentak, "Nggak apa-apa, Mbak."
Marisa berkata lagi, "Sebenarnya Bram tidak perlu seperti itu. Cacat satu kaki lebih baik dari
pada lumpuh semuanya. Dia masih bisa berjalan, menikah, dan punya keturunan. Masih baik,
kan?" Sheila diam saja. "Lalu soal wajahnya, cuma cacat di pipi. Kata Tante Emma masih bisa di operasi dan pipinya
bisa mulus seperti semula. Tapi ia tak pernah mau di operasi sejak kecelakaan itu. Kalo dipikirpikir tidak masuk akal, ya?"
"Mungkin yang terluka bukan cuma fisik, Mbak. Tapi juga hatinya. Ia merasa dirinya sudah tak
utuh lagi seperti dulu, jadi memilih mengasingkan diri dari dunia ramai. Dia memutuskan
menjadi penulis novel, tidak perlu ketemu dengan orang lain."
Marisa terpana, "Woow, kamu kecil-kecil pintar juga, ya" Bisa menganalisis sampai sejauh itu."
Sheila jadi tersenyum, "Sudahlah, Mbak , jangan menggosip terus. Ayo cepat bantu mulung
kuenya, nanti tidak selesai-selasai."
Bram mau melayani obrolan Marisa hanya bila ada Emma. Tapi begitu ibunya pulang. Bram
langsung mewanti-wanti Eman dan Sheila agar tidak mengganggunya kalau tidak ada hal yang
sangat penting. Ia mau menyelesaikan cerita yang sudah deadline, katanya. Ia pun mendekam di
kamar dan tak keluar-keluar lagi. Entah kapan ia menyempatkan diri untuk keluar makan.
Itu tentu saja membuat Marisa penasaran. Sampai kapan pria itu mau menghindarinya"
Seminggu bukan waktu sebentar. Ada tujuh hari di antaranya. Masa sih ia tak mendapatkan
kesempatan sekali pun untuk menunjukan bahwa dia ada"
Suatu kali saat Bram pergi ke supermarket, Marisa masuk ke kamar pria itu. Sheila yang melihat
langsung melaranya, "Jangan, Mbak. Nanti Oom Bram marah."
Marisa mengedipkan satu matanya, "Tenang saja, aku tak akan mencuri satu helai rambut pun
dari sana. Aku cuma mau menata barang-barangnya."
Sheila memandang dengan ngeri saat Marisa masuk juga ke kamar itu. Buru-buru ia pergi, purapura tak melihat apa yang terjadi.
Marisa melihat kamar Bram yang berantakan. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Berapa menit
waktu yang kupunya" Lima belas menit" Setengah jam" Satu jam" Pikirnya. Ah, peduli setan,
yang penting kukerjakan secepatnya dan Bram akan angat topi untuk apa yang kulakukan.
Marisa merapikan tempat tidur, menganti seprei dengan seprei bersih yang ditemukannya di
lemari. Disusunya bantal dan guling secara teratur dan simetris. Ditumuknya buku-buku yang
berserakan di lantai dan di meja. Diletakkanya tumpukan buku di sudut meja sehingga ada
banyak ruang untuk menulis. Ditumpuknya semua kertas dan dirapikannya lalu disatukan dalam
sebuah map kosong. Setelah itu ia mengalap sampai bersih monitor komputer yang berdebu, juga
CPU dan printernya. Terakhir ia menyapu dan mengepel lantai kamar Bram. Sebelum Bram
pulang ia buru-buru keluar dari kamar itu.
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setengah jam kemudian, terdengan teriakan Bram yang membahana di rumah itu.
"EMAAAAAAAAAN"!!!!"
Eman terpogoh-pogoh mendatangi Bram, "Ada apa, Tuan?"
"Kamu yang membereskan kamar saya?"
"Tidak, Tuan." Sheila yang sedang membaca koran dipanggilnya, "Kamu membereskan kamarku, Sheila?"
Sheila tampak gugup, ia tahu bahwa Marisalah yang membereskan kamar Bram. "Tidak, Bram.
Aku..... Aku kan sudah tahu kalau kau tidak suka kamarmu dimasuki."
"Lantas siapa?"
Sheila dan Eman menunduk, tak berani menjawab. Marisa yang mendengar ribut-ribut muncul di
ruang tamu. Ia masih mengenakan celemek dan memegang sodet
"Ada apa, Bram?"
Bram memandang wanita itu, "Marisa, apa kau yang membereskan kamarku?"
"Ya. Tadi waktu kau pergi aku mencarimu di kamar, tapi kau tidak ada. Kulihat kamar itu
berantakan, jadi aku......"
Bram mendekatinya, "Dengar Marisa. Aku tidak akan tertarik dengan penawaran apa pun yang
kau berikan, aku tidak butuh istri, aku tidak butuh kamarku dibereskan, aku tidak butuh
seseorang mengatur ulang kehidupanku"!!!" Marisa mundur beberapa langkah. " Mengarti?"
Marisa tergagap, "Y..... Ya. Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau....."
Bram meninggalkan Marisa, melewati Eman dan Sheila yang menunduk. "Dan kalian berdua,
sudah tahu aturan jangan berlagak tidak tahu, ya. Sekali lagi terjadi, kalian juga menanggung
akibatnya!" Bram pun masuk kamar dengan membanting pintu.
Marisa menatap Sheila. Matanya berkaca-kaca. Sheila mengampiri dan menepuk-nepuk
punggung wanita itu, "Sudahlah, Mbak. Dia kalu marah memang begitu, tapi sebentar lagi juga
baik lagi." "Tapi aku cuma mencoba menarik perhatiannya! Dia seperti manusia es saja, tidak peduli
sekelilingnya. Aku....."
"Sudahlah, Mbak. Saya tahu. Saya tahu itu."
Sheila kasihan pada Marisa. Ia sadar sangat sulit meluluhkan hati Bram. Ia saja hampir diusir dua
kali. Pertama gara-gara Boy, kedua gara-gara pesta ulang tahun. Tapi itu sudah lama berlalu. Dan
setelah lama tinggal bersama, Sheila mulai mengarti watak pria itu. Setelah tembok diantara
mereka runtuh, Bram akan rela mengonrbankan apa saja untuk orang lain. Buktinya adalah cek
senilai seratus juta untuk Haryanto. Itu dilakukannya demi Sheila. Dan itu bukan jumlah yang
sedikit, bukan pengorbanan yang kecil. Itulah Bram.
Di hari keenam Marisa tinggal di rumah itu, sikap Bram sama saja. Sheila mulai menghibur
Marisa bahwa akan ada pria lain yang jauh lebih lembut, jauh lebih perhatian, dan jauh lebih baik
dari Bram untuk wanita itu.
"Tapi aku sudah jatuh cinta padanya, Sheila." demikian kata Marisa saat mereka berdua saling
curhat. "Sia-sia deh, Mbak, mencintai pria seperti dia. Mbak bisa sakit hati. Dari pada mrmbuang-buang
waktu, lebih baik Mbak menyerah saja."
"Sheila, sampai kapan kau tinggal di sini" Maksudku.... Kalau saja aku bisa tinggal lebih lama
lagi sepertimu, aku yakin pasti bisa meluluhkan hatinya."
Sheila tersenyum, "Saya tinggal di sini sampai bulan Desember, Mbak. Saat itu usia saya sudah
tujuh belas tahun dan saya bisa tinggal sendiri, Mbak."
Marisa terkejut, "Lho, kok gitu. Tapi kan di sini enak, Sheila. Kenap mesti pergi" Kenpa tidak
nanti saja saat kau tamat SMA?"
Sheila mengangkat bahu. Ia juga maunya begitu, tapi ini keputusan Bram. Sedahlah, ia juga tidak
mau menceritakan seluruh masalahnya pada wanita yang hanya tinggal seminggu bersamanya.
Marisa bertanya lagi, "Sheila, apa kau tahu rasanya jatuh cinta?"
Sheila menggeleng. Ia tak tahu rasanya jatuh cinta. Mendengar dati orang lain pun tidak. Ia
tinggal di asrama putri. Makhluk berjenis kelamin pria hanya Pak Teguh dan Pak Alex, itu pun
guru yang tak bisa dijadikan sasaran. Tini dan Wenny sering menceritakan pengalaman mereka
jatuh cinta saat SMP, tapi itu juga cinta monyet.
"Memanya seperti apa sih, Mbak?"
Mata Marisa menerawang. "Rasanya seperti terbang ke langit. Di depan mata kita cuma ada satu
orang itu. Di telinga cuma mendengar suaranya. Kita ingin selalu bersamanya. Ingin selalu di
dekatnya. Wajahnya selalu terbayang, harum tubuhnya, kebiasaanya, semuanya akan selalu
teringat oleh kita, sepanjang hari. Tidak enak makan, tidak enak tidur...."
"Itu yang Mbak rasakan terhadap dia?" tanya Sheila sambil mengarutkan kening. "Bagaimana
kalu badannya bau, Mbak. Apa terbayang baunya terus?"
Marisa tertawa dan mendorong lengan Sheila, "Kamu itu bercanda terus."
"Saya serius, Mbak. Saya nggak bisa membayangkan, kita nggak bisa makan nggak bisa tidur
cuma karena mikirin cowok. Gimana kalau lapar" Gimana kalau ngantuk?"
Marisa menggeleng," Rasa lapar tieak ada, rasa kantuk pun hilang begitu saja. Ini sangat
menyakitkan, Sheila. Jadi...... Kurasa kau tak akan mengerti sebelum kau merasakannya."
"Lalu kapan saya mengalaminya, Mbak?"
Marisa tertawa, "Ya, kalau kau sudah jatuh cinta."
Sheila tidak habis pikir seperti apa perasaan yang dialami Marisa. Itukah sebabnya Marisa tak
sakit hati selalu "Dicueki" Bram" Marisa juga tetap ingin tinggal di situ, bahkan kalau bisa
menginap lebih lama. Terus terang Sheila ingin Marisa cepat pulang, karena situasi seperti ini
sangat tidak enak. Yang satunya jatuh cinta sampai lupa daratan, yang satunya membentengi diri.
Saat Bram keluar makan siang, Bran berkata pada Eman, "Man, kulihat Cempedak di kebun
sudah berbuah. Kau ambil satu, lalu digoreng pake tepung ya" Jangan lupa buat saus gula
merahnya." Mendengar itu Marisa berkata, "Cempedak goreng, aku juga suka."
Bram diam saja. Sheila menyela, " Kayaknya buahnya tinggi banget tuh, biar aku saja yang panjat."
"Memangnya kau bisa?" tanya Eman. "Nanti kalau jatuh bagaimana" Sudah biar Kakek saja
yang ambil." "Duh... . ...... Tulang sudah pada bungkuk gitu mau manjat pohon" Jatuh langsung hancur
berkeping-keping, Kek. Sudah biar aku saja yang manjat."
Akhirnya diputuskan, tugas kehormatan itu dijatuhkan pada Sheila. Ketiga orang lainnya
memperhatikan gadis itu memanjat pohon. Perlahan-lahan dengan mata tertuju pada buah
cempedak, Sheila merambat naik. Konsentrasinya tinggi. Sebelunnya ia sudah menganti
pakaiannya dengan celana panjang supaya bebas bergerak.
"Hati-hati, Sheila!" teriak Marisa.
"Lewat situ, Sheila!. Jangan lewat dahan yang kecil!" Teriak Eman.
"Awas jatuh!!" seru Bram.
Sheila dengan semangat '45 pun memanjat pohon Cempedak yang lumayan tinggi. Usia pohon
itu pasti sudah puluhan tahun, pikir Sheila. Ia sudah tiba di atas. Ia berusaha meraih buah
Cempedak yang diinginkannya, tapi tidak sampai. Akhirnya ia maju sedikit, dia ia mendapati
tubuhnya sudah memeluk dahan yang cukup ramping. Tapi tiba-tiba dahan itu berbunyi.
Kreeeek...!!!! Gawat..!! Ini bisa patah"!! Pikir gadis itu. Tapi ia pikir mundur pun percuma.
Dahannya tetap bisa patah juga.
"Awas, Sheila. Dahannya mau patah"!!" Teriak Bram.
Sheila tetap nekat, dirahnya buah Cempedak dengan tangan yang diulurkan jauh-jauh. Tanganya
berhasil menjangkau buah itu, tapi dahannya patah.
"AAAaaaaa"!!!!" Sheila jatuh. Ia teriak sekuat tenaga, mudah-mudahan rumput di bawah cukup
tebal untuk menahan tubuhnya.
Sheila tajuh dengan wajah menghadap ke tanah.
Bugh...!!! Rumpunya benar-benar empuk, pikirnya. Lalu ia menyadari bukan rumput yang ia
jatuhi, melainkan tubuh manusia. Ia melihat lebih jelas lagi dan.....
"Bram...?" Ternyata Bram yang menangkap tubuh Sheila. Karena tubuh Sheila berat, Bram tejatuh dan
tubuh Sheila menindih tubuhnya.
Sheila terbelalak menatap Bram. Wajah mereka berdua begitu dekat. Tiba-tiba jantungnya
berdebar cepat dan aliran darahnya meningkat. Jiwanya terasa melayang ke langit. Apa yang
terjadi dengan diriku" Pikir gadis itu.
Bram juga menatap Sheila. Lama mereka bertatapan tanpa ada seorang pun yang berinisiatif
untuk bankit berdiri. "Sheila...!! Tuan....!! kalian tidak apa-apa"! " teriak Eman
. Mendengar teriakan Eman Sheila langsung sadar ia bangkit berdiri dan membantu Bram
berdiri. Ketika ia memandang sekeliling, ia tak meliahat Marisa di tempat itu.
Sheila mencari Marisa, wanita itu ternyata ada di kamarnya.
"Mbak...!! Mbak...!! Katanya mau buat Cempedak goreng sama sa ...." kata-kata Sheila terhenti
ketika ia melihat Marisa membereskan pakainnya. " Mbak Marisa mau kemana?"
"Aku mau pulang." kata Maria dingin.
Sheila mengerutkan kening, "Bukannya Mbak pulang besok?"
"Apa bedanya pulang sekarang atau besok."
"Bukannya besok Mbak akan dijemput supir Tante Emma?"
"Tidak usah, saya bisa pulang sendiri. Banyak bis yang ke Jakarta."
Sheila sungguh bingung, ada apa dengan Marisa" Mengapa suaranya begitu dingin dan terkesan
marah" Kenapa ia marah" Sheila mendekati Marisa perlahan, " Mbak.... Mbak marah pada saya"
Saya menyinggung Mbak ya?" ia menyentuh lengan Marisa, "Kalau saya memang membuat
Mbak marah atau tersinggung bilang saya Mbak, jangan seperti ini. Nanti bagaimana saya
mempertanggungjawabkaannya pada Oom Bram" Dia tentu bingung kalau Mbak pulang begitu
saja sebelum waktunya."
Marisa menepis tangan Sheila, " Jangan sentuh aku! Aku baru tahu ada gadis munafik seperti
kamu." "Munafik?" "Ya. Aku tidak menyangka harus saingan dengan gadis ingusan macam kamu!"
"Mbak, Mbak bicara apa sih?"
"Kamu jangan berlagak polos, Sheila! Kamu sengaja kan" Peristiwa tadi sengaja, kan" Pantas
saja kau selalu jadi penghalang saat aku mendekatinya. Rupanya kamu lebih pintar dari aku.
Kamu tahu cara mendekati laki-laki!"
" Mbak saya jadi bingung, maksud Mbak apa?"
Marisa mendekatkan wajahnya pada wajah Sheila dan menatap gadis itu lurus-lurus, "Jujur saya
kamu mencintai Bram , kan?"
Sheila terenyak, apa maksud Marisa mengatakan seperti itu" Aku....... Aku mencintai Bram"
Batin Sheila bertanya-tanya.
"Mbak! Kenapa Mbak mengatakan seperti itu, Oom Bram kan 20 tahun lebih tua dari saya, dan
saya sama sekali tak pernah berpikir ke sana, Mbak!" Lalu Sheila teringat kejadian barusan, pasti
Marisa salah menduga. Ketika Sheila jatuh dan menimpa tubuh Bram, mereka berdua saling
berpandangan saking kagetnya.
"Mbak pasti salah sangka, hubungan kami tidak seperti apa yang Mbak kira."
Marisa mendengus, "Aku jelas-jelas melihat tatapannya pada dirimu, Sheila. Juga tatapanmu
padanya." ia mengangkat tasnya yang sudah selesai dipak dan malangkah keluar pintu, ia
menoleh pada Sheila, "Kamu sudah menyakiti saya, Sheila. Kamu telah menodai kepercayaanku.
Kau telah berbohong tentang jatuh cinta itu, kan" Kamu jelas tahu bagaimana perasaan itu?"
Marisa keluar, Sheila mengejarnya. Di ruang tamu Marisa berpapasan dengan Bram. Mereka
bertatapan sejenak. Bram tak berkata apa-apa. Marisa membuang muka dan pergi dari rumah itu.
BAB 12 SHEILA sangat terpukul atas pernyataan Marisa. Marisa sudah salah duga. Tidak ada hubungan
seperti itu di antara Bram dan Sheila. Lagi pula tidak mungkin"!! Usianya belum lagi genap
tujuh belas tahun dan Bram dua puluh tahun lebih tua darinya. Bram hampir setua ayahnya dan
Oom Haryanto. Mana mungkin ia bisa jatuh cinta pada pria setua itu?""
Tapi Sheila jadi takut pada perasaannya sendiri. Lalu bagaimana dengan getar-getar yang
dirasakannya saat ia jatuh menimpa tubuh Bram" Saat wajah mereka begitu berdekatan sehingga
ia bisa mencium aroma tubuh pria itu" Bagaimana dengan jantungnya yang berdetak lebih cepat
dan jiwanya yang terasa melayang ke awan"
Apa benar ia jatuh cinta pada Bram...?""
Dibentur-benturkannya kepalanya ke tempat tidur. Tapi karena matrasnya tipis, kepalanya jadi
sakit. Lebih baik sakit kepala dari pada sakit jiwa. Ia pasti sakit jiwa kalau ucapan Marisa benar.
Tidak mungkin ia jatuh cinta dengan orang yang jadi pelindungnya selama ini. Itu tidak pantas.
Bram pantas jadi ayahnya.
Tidak...!!! Bran jauh lebih muda dari ayahnya. Dan lebih tampan. Pria itu juga belum menikah.
Lagi pula perbedaan umur Papa dan Mama juga jauh, pikir Sheila.
Kau gila, Sheila"!!! Kenapa kau berpikiran begitu....?" Singkirkan pikiran itu dari kepalamu,
cepat.....!!!! Betinnya. Dipukul-pukulnya kepalanya dengan tangan hingga terasa sakit. Aku
harus menghilangkan pikuran seperti itu. Aku tak mau menodai hubunganku dengan Bram. Lagi
pula, apa pria itu menaruh perasaan yang sama dengannya...?""
Sheila menggigit bibirnya kuat-kuat. Tidak mungkin, Bram sangat anti dengan pernikahan. Ia
bahkan mengucilkan diri di sini, seperti kata ibunya, ia tidak dalam proses mencari istri. Dan bila
ia mau mencari istripun, apakah mungkin ia jatuh cinta pada Sheila?"" Anak remaja yabg
belum genap tujuh belas tahun...?" Anak seorang pembunuh...?" anak yang tak bisa
membantunya, bahkan harus terus dibantu. Mana mungkin Bram mempertaruhkan hidupnya
hanya demi Sheila?""
Sheila memukul kepalanya lagi. Ya ampun, bahkan ia sudah perpikir tentang pernikahan"!!! Ini
harus dihentikan..!!! Tok....!! Tok...!! Tok....!!
Sheila memandang pintu, ada yang mengetuk pintunya. Siapa ya...?""
"Sheila, kau belum tidur?"" Ehm...... Masih pukul enam sore, kau pasti belum tidur. Aku ingin
bicara sebentar. Boleh. .?"?"
Itu suara Bram. Bahkan suaranya saja sudah membuat tubuhnya bergetar dan panas dingin.
Sheila buru-buru membuka pintu dengan sikap sewajar mungkin. Dipasangnya senyum lebar.
"Ada apa, Bram" Kau hutuh sesuatu?""
Bran tanpak bingung, "Kita bicara di depan."
Sambil mengkuti Bram ke depan rumah, Sheila memukul kepalanya berulang kali karena sikap
bodohnya di depan Bram tadi.
"Ada apa dengan Marisa tadi?" tanya Bram saat mereka sudah di udara terbuka.
"Hmmm...... Aku...?"?" Sheila garuk-garuk kepala yang tidak gatal, "Aku tidak tahu, tapi
sepertinya dia marah."
"Marah pada siapa?"?"
"Mungkin...... Padamu.....?" katanya sambil menatap Bram, tapi begitu mata mereka bertatapan,
dada Sheila mendadak berdesir hangat dan bergemuruh. Sheila merasa bingung dengan
persaaannya sendiri, ada apa denganku?"" Kenapa aku tak bisa bersikap wajar di depan Bram
seperti biasanya...!!! Ia manunduk dan menatap sendalnya.
"Padaku.... Tidak mungkin."
"Kanapa tidak mungkin.." Kau sudah bersikap kurang baik padanya. Kau marah saat ia
membereskan kamarmu dab kau tak pernah memedulikannya sama sekali." jawab Sheila.
"Ya, aku tahu. Tapu itu terjadi dihari kedu dan ketiga ia ada di sini. Masa ia menahab marahnya
sampai sekarang..." Itu tidak logis. Pasti ada sesuatu yang baru terjadi yang membuat ia
memutuskan untuk pergi dari sini."
Kaki Sheila gerak-gerak gelisah.
"Sheila...?" Bram bertanya lembut, tapi ketika gadis itu diam saja, ia berseru, "Sheila....!!!"
"Dia cemburu pada kita." jawab Sheila yang kaget karena panggilan itu.
Bram terdiam, "Apa...?"?"
Sheila lalu menceritakan kecemburuan Marisa gara-gara ia jatuh dan menimpa tubuh Bram, juga
pernyataan wanita itu bahwa ia mencintai Bram. Tapi Sheila tak menceritakan bahwa Marisa
menduga Sheila mencintai Bram.
"Itu yang kutakutkan." kata Bram setelah diam beberapa saat.
"Apa..?"" tanya Sheila yang tidak mengeti. Sambil berbicara, diamatinya wajah Bram. Benar,
baru disadarinya Bram tampan sekali. Bibirnya merah, kulitnya putih, alis yang tebal menaungi
matanya yabg lebar. Rahangnya kokoh, hidunya mancung, dan wajahnya bersih dari kumis.
Rambutnya...... "Sheila...!!!!"
Sheila tersentak lagi. "Sejak tadi kau bengong dan tak mendengarkan aku. Kenapa?"!" bentak Bram.
"Maaf, apa katamu tadi?""
" Marisa akan mengadu pada Mamaku bahwa ada hubungan tidak wajar antara kau dan aku.
Padahal tidak ada." "Ya betul padahal tidak ada." ulang Sheila.
"Ya, kau sudah lihat bagaimana Mamaku, kan" Dia akan mencari cara untuk mengusirmu dari
sini." Sheila kaget. "Apa?" Jangan..!!"
"Nah, karena itu kau harus bekerja sama denganku. Tak mungkin ada hal seperti itu diantara
kita..." "Tidak mungkin."Sheila membeo.
"Jadi, mulai sekarang, kau harus benyak-banyak bergaul di luar, jangan cuma aku yang kau lihat
di rumah ini, mengerti..?""
"Tapi.... Di rumah ini kan tidak hanya ada kau. Kakek Eman juga ada."
Bram memutar bola matanya, betapa polosnya Sheila, pikirnya. "Maksudku, kau sudah akil
balig. Bergaulah dengan banyak pria, jangan hanya aku saja. Mengerti?"
Sheila mengangguk ragu. "Kalau ada perasaan ganjil yang kau rasakan, lawan saja dan jangan berpikir macam-macam.
Kau dan aku tinggal serumah. jadi," Bram memutar otaknya, bingung bagaimana
menjelaskannya pada Sheila, bahwa munkin saja jatuh cinta, karena itu mereka harus hati-hati
agar itu tidak terjadi. ?" jadi....."
Sheila menatap Bram, " Bram, aku mengerti."
"Sungguh...?""
"Ya, aku mengerti. Tapi aku cuma bingung satu hal."
"Apa?" "Di sini dimana lagi aku harus mencari pria lain selain kau dan Kakek Eman?"
Sejak perbincanagn ganjil antara ia dan Bram, gadis itu merasa Bran semakin menjaga jarak.
Wlaupun pura-pura tak mengerti, sebenarnya Sheila amat paham dengan maksud Bram. Pria itu
cuma ingin berkata apapun yang ia rasakan pada diri Bram, itu karena selama ini Sheila belum
pernah bertemu dengan laki-laki lain selain Bram. Mereka tinggal satu rumah. Bagaimanapun
individualnya sikap Bram, pasti mereka bertemu minimal satu kali sehari . Dari kerapnya
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertemuan mereka, mungkin Bram mengira Sheila bisa jatuh cinta padanya, dan Bran tidak
menginginkan hal itu terjadi.
Sheila mendengus, dasar kegeeran, gerutu Sheila. Apa Bram pikir Sheila menginginkan hal itu.
Sheila harus mengalihkan pikirannya dari Bram ke pria lain. Tapi kemana ia garus mencari"
Tetangganya sudah dikenalnya semua, dan satu pun tak ada yang seusia dengannya. Yang paling
dekat Risky, tapi pemuda itu baru lima belas tahun. Masabia mesti mencari "Daun muda" seperti
istilah Tini" Entah Tuhan mengabulkan doanya, entah memang sudah takdir, hari sabtu itu Reza datang.
"Sheila, ada yang mencarimu di depan." kata Eman, ketika Sheila sedang mencuci piring di
dapur. "Siapa?" tanya Sheila sambil mengerutkan kening, Tini dan Wenby baru datang kemarin, masa
datang lagi" "Laki-laki." Eman memberitahu.
Apakah Pak Alex, pikir Sheila. Ia memcuci tangan dan mengelapnya hingga kering, lalu pergi ke
depan dan mendapati Reza berdiri di sana, tersenyum lebar melihat Sheila.
"Astaga"!!! Ternyata alamat ini tidak salah." ucap pemuda itu, "Tahu nggak, aku sampai nyasar
ke asrama depan situ. Mereka bilang Sheila si pemunuh sudah tidak tinggal di sini lagi."
Sheila kebingungan sehingga tidak sempat tertawa dengan julukan yang diberikan penghuni
asrama untuknya. Sheila si pembunuh..." Ya ampun, boleh juga. " Mau apa kau kemari...?"?"
"Huh, nggak adil. Kau boleh datang ke rumahku tapi aku tak boleh datang ke tempatmu. Hei,
supaya adil, kau menginap di rumahku satu malam, aku juga menginap di sini satu malam..!!"
Sheila bengong hingga lupa mempersilakan pemuda itu masuk. Mereka masih berbincang di
pagar. "Hei, aku dicuikin nih..?""
Sheila tersadar, "Oh,ya.... Ehm... Masuklah."
"Wah, aku kan datang dari jauh. Pantasnya disambut jus jeruk atau es teler nih."
Lima menit kemudian, Reza asyik menyeruput jus jeruknya sambil duduk di sofa. "Hm....
Seger." ujarnya sambil menyapukan pandangannya ke sekeliling. "Tempat tinggalmu enak juga,
ya. Tapi kok aku nggak lihat teve?"
"Di sini nggak ada teve, nggak ada DVD, nggak ada Playstation. Dan di sini tak bisa disamakan
dengan vila. Nggak ada kolam mancing, nggak ada kolam renang, nggak ada......."
"Stop.... Stop.... Stop.... Aku ke sini cuma nyari kamu kok!"
"Nyari aku..?""
"Ya, aku ke sini naik bus, tahu nggak" Seumur-umur aku belum pernah naik bus, baru kali ini
aku naik bus berdiri dari kampung rambutan sampai Ciloto!"
Mau tak mau Sheila tertawa membayangkan Reza menahan pegal di dalam bus antarkota.
"Serius, Rez. Kamu ke sini mau apa" Disuruh Papamu?"
Wajah Reza kini berubah serius, "Tidak, aku ke sini mau bertemu denganmu, Suer!"
Tatapan Reza membuat Sheila tersipu. Gadis itu menunduk. "Ini bukan rumahku, jadi aku tak
tahu kau boleh menginap atau tidak. Coba kutanyakan pada Bram dulu."
Tapi belum sempat Sheila berdiri mencari Bram, pria itu sudah muncul di ruang tamu. Rupanya
ia mendengar suara Reza yang berisik dan ingin tahu suara siapakah itu. Ternyata Bram sudah
lama berdiri di situ. "Kau bisa menyiapkan kamar tamu untuk temanmu, Sheila." ujar Bram.
"Oh," iya." Sheila buru-buru pergi ke kamar tamu, sayup-sayup didengarnya suara Bram yang
bertanya pada Reza tentang latar belakangnya.
Sambil memasang seprei, dalam hati Sheila bertanya-tanya mengapa sikap Bram sangat ramah
pada Reza. Kalau Reza berkata ia anak Haryanto, Bram pasti tahu Reza pernah bersikap buruk
pada Sheila. Untuk apa Bram berbaik-baik padanya" Tapi, " Reza sekarang sudah banyak
berubah, pikir Sheila lagi. Pemuda itu bukan lagi anak manja, yang mengancam akan
memperkosa Sheila waktu Sheila memergoki Reza sedang menontoh film porno. Reza sudah
dewasa, tubuhnya menunjukkan ia kini pria dewasa, perilakunya juga. Sheila duduk di tempat
tidur di kamar tamu tersebut. Lalu untuk apa Reza datang kemari"
Mungkin Reza menyesali perbuatannya dulu terhadap Sheila dan kini ingin memperbaiki
kesalahan, pikir Sheila. Baik ia akan memberikan kesempatan. Lagi pula ia kan sedang mencari
teman laki-laki" Ya ampun...!!! Sheila memukul kepalanya. Tapi , masa Reza" Mereka pernah
tinggal satu atap dan ia sudah tahu semua kelakuan pemuda itu sampil sekecil-kecilnya.
Dari luar didengarnya sayup-sayup suara tawa Reza dan Bram.
Sudahlah, Sheila. Masa Reza ingin kuincar sebagai calon buruan" Bisik hati Sheila. Meskipun
tidak ada hubungan darah dengan pemuda itu, kau kan tak seputus asa itu" Tapi lihat Bram, sikap
baik nya mencurigakan"!! Tidak pernah ia usil seperti ini, ikut ngbrol dengan tamu Sheila.
Tampaknya....... "Sheila...!" Buru-buru Sheila keluar mendengar panggilan Bram.
"Sheila, reza sudah datang jauh -jauh ke sini. Lebih baik kau antarkan ia ke taman safari. Dari
sini tinggal naik angkot satu kali sampai gerbangnya, lalu dari gerbang ke dalamnya satu kali
lagi." ucap Bram. Ia merogoh kantong sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang
diterima Sheila ragu-ragu. "Dia pasti ingin tahu tempat wisata di sini."
Sheila terpaku. Dulu ia memang pernah ke taman Safari bersama teman-teman SMP-nya. Tapi ia
tak tahu jalan menuju ke sana dari rumah Bram.
"A...aku tidak tahu cara pergi ke sana."
"Aku tahu...!" jawab Reza riang.
AKHIRNYA Sheila pergi ke taman Safari bersama Reza. Eman ikut-ikutan menyiapkan bekal
minum dan roti yang diterima Reza dengan gembira. Dalam hati Sheila menggerutu, dasar
semuanya sama saja! Bram dan Kakek Eman tampaknya senang Sheila punya teman laki-laki,
seakan gadis itu sudah cukup umur buat kawin saja!
Sepanjang perjalanan Reza menceritakan betapa senangnya ia lulus SMA dan sudah kuliah,
karena kuliah jauh lebih santai, tidak ada ulangan, tidak ada PR, tidak harus belajar tiap hari.
Pokoknya kuliah lebih sesuai buat dia, katanya.
Sheila cuma manggut-manggut seperti kambing berjanggut makan rumput.
Reza juga menanyakan bagaimana Sheila sampai tinggal di rumah Bram. Gadis itu pun
menceritakannya "perjalanannya" dari ia tinggal di asrama sampai ia tinggal di rumah Bram.
Reza juga menanyakan apakah ia betah tinggal di rumah Bram. Sheila mengangguk. Ketika Reza
bertanya lebih betah mana tinggal di rumah Bram atau di rumahnya, Sheila diam saja.
"Aku tahu, kau pasti tidak suka tinggal di rumahku karena sikap Mama dan Renny, " katanya.
Sheila masih diam, ia sungguh tak ingin membicarakan hal ini dengan Reza.
Reza menoleh pada Sheila dan tersenyum, "Kalau begitu aku wakilli mereka untuk minta maaf."
"Sudahlah, Rez. Aku nggak mau ngomongin hal itu." kata Sheila.
"Ya sudah, kita ngomongin hal lain saja. Oh ya, Om Bram yang tinggal sama kamu umurnya
berapa sih?" "Tiga puluh tujuh tahun, memangnya kenapa?"
"Wah..... Sudah tua banget, ya" Tapi tampangnya seperti masih tiga puluhan. Dia.... Dia baik
sama kamu?" "Baik, memangnya kenapa?"
"Tentu saja dia baik, kamu kan membantu pekerjaan di rumahnya. Dapat dari mana lagi
pembantu yang begitu rajin?"
Sheila memukul lengan Reza, pura-pura marah, Reza tertawa.
"Tapi.... Hati-hati, lho," lanjut pemuda itu.
"Kenapa?" "Hati-hati jangan sampai ia jatuh cinta sama kamu! Atau kepikiran ngapa-ngapain kamu di
rumah itu!" Sheila melotot. "Lama nggak ketemu, ternyata otakmu masih ngeres seperti gerobak sampah!"
"Sori, tapi aku serius." ekspresi wajah Reza berubah. " kalian tinggal berdua di satu atap. Yang
satu pria dewasa, kau pun sudah dewasa sekarang, maksudku hampir dewasa," kata Reza karena
Sheila mencubit perutnya.
"Pria dan wanita yang tak punya hubungan darah, kalau sudah lama tinggal bersama, nanti akan
muncul perasaan..." "Aku nggak mau ngomongin itu lagi,"
"Eit... Jangan marah dong, cantik?"
Mendengar panggilan Reza, mau tak mau Sheila tersenyum. "Kau sudah pintar merayu
sekarang?" "Dari dulu juga kok. Cuma kamu saja yang baru menyadari sekarang, tapi ucapanku benar, kan?"
"Aku tinggal di sini sampai bulan depan aja, kok." jawab Sheila kelepasan. Ketika ia sadar sudah
tak ada gunanya ia meralat.
"Oh ya, Kenapa?"
"Karena itu memang perjanjiannya. Ia menampungku hanya sampai usiaku tujuh belas tahun,
karena di saat itu aku sudah tak perlu diawasi seorang wali lagi."
Reza terdiam, ia mencerna kata-kata Sheila.
"Jadi, kau tinggal bersamanya karena kau tidak ingin tinggal di rumah kami?"
Sheila menatap Reza, "Maaf, tapi sejujurnya iya. Aku tak tahan tinggal bersama Mamamu.
Maafkan aku bicara begitu tentang Mamamu."
"Tidak apa-apa." jawab Reza cepat. "Lalu kau mau tinggal dimana bulan depan?"
"Tadinya aku ingin membujuk Bram agar diizinkan bisa tinggal lebih lama, tapi lama-lama....
Seperti kau bilang, aku sadar memang tak baik aku tinggal di situ. Ya sudah aku akan pindah,
aku punya sedikit uang mungkin cukup. Kalau tidak, aku bisa mencari pekerjaan."
"Tinggal saja di rumahku lagi."
Sheila memandang Reza, "Tadi kau bilang, aku tidak boleh tinggal seatap dengan laki-laki, kalau
tak punya hubungan darah denganku, lalu kau apa" Bukan laki-laki?"
"Lho, memangnya di rumahku cuma ada aku?" kata Reza sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ada
Mama, Renny, ada Papa. Aku bisa ngapain?"
Sheila tertawa. Tentu saja bukan Reza yang ditakutinya, tapi yang lainnya.
Hari itu Sheila gembira sekali.. Tidak seperti diduganya semula, ternyata sekali-kali pergi
berwisata perlu juga. Di taman Safari mereka naik bus khusus untuk melihat binatang yang ada.
Mereka juga sempat menikmati arena permainan, meraka main sampai puas. Sheila tidak
menyesal datang kemari. Selesai main, mereka makan Mi ayam di restoran samping Taman
Safari. Tanpa terasa hari sudah sore, sudah waktunya mereka pulang kalau tak mau kemalaman.
Tapi ketika mereka tiba di rumah Bram, hari sudah gelap. Lampu pekarangan belum dinyalakan.
Pasti Eman lupa menyalakannya, karena biasanya itu tugas Sheila. Bram pasti ada di dalam jadi
tak tahu pekarangan begitu galap.
"Sheila." Reza menahan tubuh gadis itu yang baru saja mau membuka pagar.
"Ada apa?" "Tunggu dulu. Aku mau mengatakan sesuatu padamu." bisik Reza. Sheila menurut. Ia
menunggu. Tapi lama Reza diam saja. Sheila jadi tak sabar.
"Apa?" "stt...... Tunggu dong. Aku kan perlu konsentrasi mengatakannya." bisik Reza.
"Ehm..... Begini.... Sheila.....aku.... Aku mau bilang sesuatu padamu."
"Iya, dari tadi kan aku sudah menunggu."
"Sabar dong, aku kan lagi serius."ucap Reza kesal.
"Ya sudah. Cepetan, sudah malam nih, masih banyak tugas yang mesti aku kerjakan."
"Aku... Aku menyukaimu."
"Apa?" "Stttt!" ujar Reza lagi.
Sheila terpaku. Reza mengatakan ia menyukai Sheila, apa maksudnya" Apakah Reza..... Jatuh
cinta padanya" Tapi.... Ya ampun!! Masa Reza si "anak aneh" julukan itu diberikan Sheila
karena dulu Reza cukup aneh dan menakutkan baginya, dan sekarang jatuh cinta padanya" Tapi
memang masuk akal, buktinya ia datang jauh-jauh dari Jakarta cuma untuk menginap satu malam
di rumah yang hampir tak ada peralatan elektronik!
Tiba-tiba Sheila tertawa.
"Sheila...!!" bisik Reza kesal.
Sheila memegangi perutnya yang sakit akibat tawanya yang terbahak-bahak .
Tiba-tiba Sheila merasa tubuhnya dipeluk kuat-kuat dan wajahnya di pegang erat-erat. Reza
memegang pipi Sheila dan mendekatkan wajah gadis itu ke wajahnya. Ia mendekatkan bibir
mereka dan menciumnya. Sheila terpaku sampai tak sempat berontak. Dirasakannya Reza
mengulum bibirnya lembut. Bibir itu terasa basah dan hangat.
Sheila melepaskan dirinya sekuat tenaga, kemudian......
PLAAAAKKK...!!!! Ditamparnya pipi Reza sekuat tenaga.
Reza memegangi pipinya, dan memandang Sheila dengan tatapan terkejut, "Kenapa kau tampar
aku?" tanyanya. "Kenapa kau cium aku?" balasnya.
"Karena aku menyukaimu. aku serius. Aku ingin menunjukan bahwa aku sungguh-sungguh
menyukaimu. Ini bukan bercanda. Aku ingin kau jadi pacarku, Sheila"!!!" ujar Reza bertubitubi.
"Aku nggak berpikir sejauh itu. Aku nggak mau jadi pacar kamu, Rez! Aku cuma
menganggapmu sebagai Kakak."
Reza memegang bahu Sheila dan mengarahkannya padanya. "Aku nggak perlu adik. Adik aku
sudah punya. Aku ingin kamu jadi pacarku."
"Tapi, aku.... Sudahlah, Rez."Kata Sheila lemah.
"Ya sudah. Kamu jangan jawab sekarang. Kamu sekarang belum punya pacar, kan" Kamu perlu
berpikir-pikir dulu. Kamu perlu waktu berapa" Satu bulan " Dua bulan?"
Sheila memandang Reza, "Jawabanku tidak akan berubah walaupun dikasih waktu satu tahun."
"Kenapa" Kamu udah naksir cowok lain" Ada cowok lain yang kamu suka?"
Sheila tak menjawab, ia membuka pagar dan masuk ke rumah melewati pekarangan yang gelap.
Di depan pintu ditekannya saklar untuk menerangi pekarangan yang gelap. Tapi ia kaget, di situ
dilihatnya Bram sedang duduk di kursi teras. Rupanya pria itu sudah lama di situ tanpa
sepengetahuan Sheila dan Reza. Sheila cuma memandang Bram sekejap lalu buru-buru masuk ke
kamarnya. "Maafkan aku atas kejadian semalam, Sheila." kata Reza keesokan paginya, saat Sheila sedang
memberi makan Si Boy daging mentah di pekarangan, "Aku terlalu terburu-buru. Aku pasti
membuatmu kaget." "Tapi lain kali jangan begitu lagi." kata Sheila setelah diam beberapa saat.
"Tidak. Lain kali aku pasti begitu lagi"!!"
Sheila kaget, "Apa" Kau mau menciumku tanpa izin lagi"!!"
Reza tersipu. "Bukan. Aku pasti akan selalu menyukaimu. Hatiku tak akan berubah. Aku akan
menanyakan hal yang sama, satu bulan lagi, dua bulan lagi, atau satu tahun lagi. Aku akan
menunggu sampai kau menyukaiku juga."
Sheila terdiam. "Baik. Kau boleh tetap menyukaiku. Walau saat ini aku belum menyukaimu dan sepertinya,
kemungkinan untuk itu hampir tak ada, tapi sifat manusia bisa berubah. Tidak apa kan kujadikan
kau cadangan?" "Tidak apa-apa." Jawab Reza cepat. "asal jangan menolakku sekarang "
"Oke. Siapa tahu sebulan lagi, atau satu tahun lagi aku berubah pikiran. Tapi sampai saat otu
tiba, aku melarang keras kau mencimku. Mengerti?"
Senyum Reza mengembang, "Oke, Bos...!!"
Minggu siang itu Reza pulang meninggalkan satu kenangan manis di hati Sheila. Ternyata ada
juga cowok yang menaruh hati padanya. Itu prestasi yang bagus, kan" Setidaknya ia punya
cadangan. Saat teringat kejadian ia menampar Reza, Sheila kembali ingin tertawa sampai sakit
perut. BAB 13 APALAH artinya waktu sebulan, bila puluhan tahun saja berlalu seperti sekejap mata" Tanpa
terasa besok tanggal 7 Desember, hari ulang tahun Sheila. Gadis itu merasa sangat sedih. Apakah
ini akhir masa tinggalnya di rumah Bram"
Mendekati hari ulang tahunnya, hati Sheila diliputi rasa keraguan. Mampukah ia tinggal sendiri"
Mampukah ia bertahan dan tak kembali ke rumah Haryanto" Jawabannya selalu sama: Tak
mampu. Ia tak mampu hidup sendirian, ia tak bisa hidup tanpa orang-orang di sekelilingnya.
Masih diingatnya perasaan waktu ayahnya baru ditangkap polisi dan selama beberapa hari ia
harus tinggal sendirian. Tiap malam ia bergelung di dalam selimut sambil ketakutan. Tiap siang
ia mendekam di rumah seperti orang penyakitan tak boleh kena sinar matahari. Rasanya tak
tertahankan sampai Haryanto datang menjemputnya. Saat itulah ia merasa Haryanto sebagai
penolong dan penyelamat. Tidak, ia tak akan mau tinggal sendirian lagi.
Tapi, kembali ke rumah Haryanto" Di sana ada dua orang yang menyayanginya dan dua orang
yang membencinya. Ia teringat perlakuan Ratna terhadapnya, juga dusta wanita itu terhadap
Haryanto. Tidak, ia tidak mau mengalami hal itu lagi.
Satu-satunya tempat yang tersisa baginya adalah di sini. Ia dapat menamatkan SMAnya , ia dapat
melalui hari-harinya tanpa adanya tekanan. Ia dapat terus belajar berbagai masakan dari Eman.
Tapi bagaimana dengan Bram" Ia tahu...!! Ia dapat memohon, kalau perlu berlutut agar Bram
sudi membiarkannya tinggal di sini. Ya, itu satu-satunya hal yang dapat ia lakukan! Pikir Sheila.
"Eman, hari ini siapkan makan malam di kebun. Aku ingin makan malam berdua Sheila." kata
Bram malam itu. Jantung Sheila langsung berdugub kencang. Pria itu tahu...!! Pria itu tahu bahwa hari ini adalah
hari terakhirnya ia tinggal! Makanya ia ingin disiapkan makan malam. Apakah sebagai makan
malam terakhir mareka bersama" Tubuh Sheila lemas. Bagaimana ini"
Makan malam sudah siap, Bram sudah mengganti bajunya dengan baju berwarna biru dongker.
Sheila tahu, itu baju kesayangan Bram. Pria itu selalu memakainya dalam kesempatan khusus,
seperti hari ulang tahunnya dan saat-saat seperti ini. Sheila duduk ragu-ragu di hadapan Bram.
"Kakek Eman tidak diajak" Keeek..!!! Kakeeekkk...!!" panggil Sheila.
Bram memegang tangan Sheila, "Tidak usah. Aku ingin bicara berdua saja denganmu."
Sheila terdiam, wajahnya menunduk. Ia memainkan sendok dan garpu di hadapannya.
Bram menyendokan nasi ke piring Sheila, lalu menuangkan sayur asem ke mangkuk kecil.
"Nggak usah, aku bisa sendiri, kok."
"Tidak apa-apa. Kau selalu melayaniku makan. Jarang dapat kesempatan aku yang melayanimu,
kan?" Hati Sheila serasa disiram air es. Ia akan diusir. Ini malam terakhir, bagaimana ini"
Ia menyendok nasinya dan makan perlahan-lahan.
"Besok kau ulang tahun." kata Bram
UHUK..! Sheila tersedak nasi. Buru-buru ia mengambil air putih san meminumnya.
"Ya." katanya dengan tenggorokan sakit.
Bram tersenyum, "Kau ingin minta apa sebagai hadiah ulang tahunmu?"
Sheila menatap Bram terkejut, "Kau ingin memberiku hadiah?"
"Ya. Waktu ulang tahuku tempo hari, kau sudah memberiku pesta kejutan untukku.. Sudah
sepatutnya , aku juga memberimu hadiah istimewa. Tapi aku tidak tahu kau mau apa. Kalau
kuberikan begitu saja, takut nanti kau tidak suka. Kau mau minta apa?"
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sheila berpikir sejenak. Sekarang saatnya! Bilang saja kau ingin tetap tinggal di sini! Namun
Sheila takut Bram menolaknya mentah-mentah, dan ia akan merusak suasana bahagia yang kini
sedang berlangsung. "Ehm.... apa ya" Ehm...." lalu ia menatap Bram. "Aku tahu, makan malam
mewah di restoran di Jakarta"!"
"Cuma itu?" tanya Bram. Ia mengharapkan jawaban "Komputer", atau "Sebuah laptop", atau
"Handphone" atau barang-barang mahal bergengsi lainnya untuk remaja seusia Sheila. Tapi ia
memang tak tahu benda apa yang disukai gadis remaja masa kini. Rupanya Sheila ingin ulang
tahunnya dirayakan di restoran mewah. Bram tersenyum, "Kau ingin mengundang teman juga?"
"Tidak. Cuma kau dan aku. Boleh, kan?" pinta Sheila. ia pikir ia bisa memohon pada bram untuk
mengizinkannya tetap tinggal saat itu. Saat itu untung-unrungan saja, kalau Bram menolak ia
masih punya harga diri. Itu kan ulang tahunnya, jadi ia bebas berkata apa saja, kan?"
Bram agak ragu, berarti ia harus muncul di tempat umum. Tapi hanya satu malam, lagipula
sudah tujuh belas tahun ia tak muncul di muka umum, wajahnya sudah berubah, bisa dipastikan
tak ada yang mengenalinya. Kalau ada, ia bisa bilang seperti yang dikatakannya pada
tetangganya waktu itu, "Anda pasti salah orang." dan orang itu pasti akan berpikir ia cuma mirip
dengan bintang film yang dikatakannya. Lagian ini cuma satu kali, demi Sheila. Akhirnya Bram
menyanggupinya. "Boleh. terus hadiahnya apa?"
"Masih ada hadiah juga?" tanya Sheila polos. Makan malam mewah pasti tidak murah biayanya.
Sebenarnya ini sudah cukup baginya.
"Ya. Makan malam sudah oke, terus kau mau hadiahnya apa?" ulang Bram.
"Begini saja, nanti pada saat makan malam itu aku akan katakan padamu, oke?"
Bram tersenyum sambil mengerutkan kening, "Kenapa tak kau ucapkan sekarang saja" Aku
bukan pesulap yang bisa memberikan barang yang kau inginkan begitu saja. Aku kan butuh
waktu untuk mempersiapkannya?"
"Tidak usah. Benda itu ada pada dirimu." jawab Sheila.
"Baiklah. malam ini juga aku akan membooking tempat untuk besok malam." jawab Bram
Bram tahu, Sheila sudah lama menderita. Gadis itu tidak pernah merasakan kebahagiaan. Lagi
pula sweet seventeen bagi seorang gadis remaja sangat besar artinya. Ulang tahun gadis-gadis
lain mungkin dirayakan secara meriah di hotel berbintang dan mengundang teman-teman. Tapi
Sheila cuma ingin makan malam. Berdua saja dengannya, tidak minta apa-apa lagi. Ini
menunjukan bahwa gadis itu tahu diri, dan tidak memanfaatkan kesemparan yang diberikan
padanya untuk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bram menyukai sifat Sheila itu. Dan mungkin itu lah yang mendorongnya memberikan kejutan
pada Sheila. Bukan hanya makan malam, pagi harinya gadis itu akan dijemput limusin mewah
yang disewanya, lengkap dengan sopirnya menuju salon ternama. Sheila juga dibolehkan
memilih baju pesta dan didandani sesuai keinginannya. Lalu ia akan dibawa ke sebuah kamar
yang sudah dipesan Bram di hotel bintang lima untuk menginap malam itu dan beristirahat
hingga saatnya makan malam bersama Bram. Malamnya Bram akan menjemputnya untuk makan
malam di hotel iu juga, dengan membawa hadiah seuntai kalung berinisail huruf "S" yang sudah
disiapkannya sebagi hadiah ulang tahun.
Setelah makan malam, mereka akan menginap di hotel itu, dan pagi harinya Sheila akan teringat
ia sudah mengalami peristiwa yang sangat menyenangkan di hari ulang tahunnya yang ke rujuh
belas. Pengalaman manis yang tak akan dilupakannya seumur hidupnya. Itu dilakukan Bram
untuk membalas budi gadis itu, yang sudah menbuat hidupnya setahun belakangan ini menjadi
lebih berarti. Walau hanya terjadi dibagian kecil hidupnya, semua ini juga akan dikenangnya
sebagai pengalaman manis dalam kehidupannya.
Pagi hari itu Sheila terbangun dengan tubuh segar. Walau tadi malam ia sedikit tidak bisa tidur
karena akan mengalami hal yang menyenangkan keesokan harinya, pagi harinya ia langsung
melompat dari tempat tidur dan langsung ke dapur.
"Kek..!! Kakek...!!! Akilu sudah tujuh belas tahun, Kek! Aku sudah dewasa!"
Eman yang sedang memasak air menoleh, begitu ia melihat Sheila, ia tersenyum.
"Oh iya, Kakek juga sudah menyiapkan hadiah buat kamu." buru-buru ia masuk kamar dan
keluar membawa kotak yang sudah dibungkus kertas kado.
Sheila terharu, "Ya ampun, Kakek. Nggak usah nyiapin kado buat aku!" ia buru-buru
membukanya. "Ini pasti gara-gara aku terlalu bawel sampai Kakek tahu hari ulang tahunku..."
Matanya terbeliak meliat apa yang ada di dalamnya. Sebuah patung piano kecil berwarna
cokelat. Ukurannya lebih besar dari pada miniatur yang ia miliki di kotak kaca. Tapi hadiah itu
membuat Sheila terharu. Ia jadi teringat pada miniatur itu, juga teringat pada mamanya.
"Ini...." Sheila menatap Eman dengan berkaca-kaca.
"Waktu itu kan punyamu rusak, tapi kau selalu menyimpannya. Kupikir kau sangat suka piano
dan kebetulan aku melihat ini di supermarket. Jadi kubeli saja. Baru kali ini aku punya
kesempatan memberikannya padamu."
Sheila tak dapat menahan tangisnya. Dipeluknya Eman erat-erat.
"Makasih, Kek. Makasih...!! Kakek begiu parhatian padaku."
Eman pun berkata parau, "Aku juga bertarima kasih padamu, Sheila. Karena kau bersedia
memanggilku "Kakek", menjadi cucu yang tak pernah kumiliki.
Sheila menghapus air matanya. Ia tersenyum, masih dengan mata berair. "Ya ampun, aku
sebenarnya tak ingin menangis di hari bahagiaku."
Tapi ketika sebuah limusin tiba di depan rumah untuk menjemputnya, ia menangis lagi.
Sheila sangat bahagia. Di balik jendela mobil ia memperhatikan kesibukan kota Jakarta yang
begitu cepat berubah semenjak ditinggalkannya. Ia meminum coke dingin yang ditemukannya di
dalam kulkas di bagian belakang mobil. Kata sopir ia bebas boleh meminum apa saja, kecuali
minuman keras. Bukan karena usianya masih kecil, ia sudah tujuh belas tahun sekarang,
melainkan ia harus menikmati kebahagiaan hari itu.
Ia duduk sendirian dan boleh melakukan apa saja di dalam mobil mewah yang nyaman dan sejuk
itu. Tadi waktu mau berangkat, ia sempat memeluk Bram dan mengucapkan terima kasih. Bram
bilang nanti malam ia akan menjemput Sheila di kamar hotelnya.
Sheila rasanya ingin teriak saking girangnya, tapi ia takut. Walau antara dirinya dan sopir ada
kaca pembatas, sopir itu dapat mendengarnya dan ia jadi malu. Beberapa jam kemudian ia tiba di
sebuah butik. Sopir itu membukakan pintu untuknya.
"Katanya mau ke salon?" tanya Sheila bingung.
"Ya, tapi kata tuan Bram, Mbak Sheila harus kemari dulu dan memilih baju yang akan dipakai
nanti malam." Sheila menganga, "Wow" asyik!" desahnya kemudian.
Sheila mepihat koleksi baju yang ada di butik itu. Ketika ia menanyakan harga baju yang
bermodel sederhana, jawaban pramuniaga yang melayaninya hampir membuatnya pingsan.
"Baju ini memang mahal, Mbak. Soalnya bukan buatan dalam negeri. Semua diimpor dan buatan
perancang ternama dari paris." jelas wanita yang melayaninya itu. "Tapi Mbak nggak usah
khawatir, tuan Bram sudah telepon, agar Mbak mengambil beberapa potong, jangan cuma satu,
sehingga kalau kurang cocok masih ada lainnya." ia tersenyum manis. " kata Tuan Bram, Mbak
ulang tahun ke tujuh belas ya" Kebanyakan kalau sweet seventeen ngambil baju yang kayak gini
Mbak." Ia mengajak Sheila ke sebuah ruangan yang berisi deretan baju pesta berwarna hitam, pink, dan
warna-warna menawan lainnya. Modelnya kebanyakan longdress dan anggun.
Sheila menggeleng. Wanita itu kecewa. "Nggak suka, ya. Mbak sukanya model apa?"
Sheila memandang berkeliling. "Ada tidak, baju yang membuat tampilan saya tampak lebih tua?"
"Oh, maksudnya, seperti wanita umur dua puluh tahunan yang dewasa?" tanya wanita itu.
Sheila menggeleng, "Bukan. Seperti umu
r tiga puluhan." Wanita itu cuma bisa melongo.
Akhirnya Sheila mengambil dua potong baju. Yang satu gaun bermodel ketat, mini, terbuat dari
sifon transparan, bercorak mawar warna merah tua berlatar hijau gelap. Bahunya terbuka dan
ujung bagian bawahnya berbentuk garis miring dengan beberapa kerutan yang menjuntai hingga
lutut. Gaun itu limited edition, dan sebenarnya sudah dipesan artis wanita berusia tiga puluh
tahun. Tapi setelah memesannya dua minggu lalu, artis itu tidak datang. Sheila langsung suka
gaun itu karena membuatnya tampak dewasa dan anggun.
Gaun yang satunya lagi model long dress berwarna pink, dengan rok menggembung hingga
menutup kaki. Pramuniaga itu yang mendesak Sheila untuk mengambilnya juga, walau Sheila
kurang tertarik dengan gaun itu.
Sheila juga mengambil sepatu hak terbuka berwarna hitam. Tinggi haknya sembilan sentimeter
sehingga ia harus belajar jalan dulu agar bisa mengenakannya tanpa terhuyung. Pramuniaga itu
mengajarinya agar berjalan pada satu garis lurus dan menumpukan berat badannya pada ujung
jari kaki, bukan pada haknya agar Sheila tidak jatuh. Dari butik itu kemudian Sheila berlanjut ke
sebuah salon. Di dalam limusin yang disewa Bram, sudah tersedia makanan untuk Sheila agar gadis itu tidak
lapar lagi hingga makan malam tiba. Rupanya semua sudah dipikirkan Bram hingga hal sekecilkecilnya.
Sheila memasuki salon oleh seorang pria yang bertubuh sangat langsing dan berambut terlalu
panjang untuk ukuran seorang pria.
"Hallooo.... Kenalkan nama saya Andre..." katanya dengan suara lembut dan mengulurkan
tangan dengan gerakan gemulai. Sheila hampir tak dapat menahan tawa mendengar nada bicara
pria itu. "Hai juga. Saya Sheila.."
"Duh, Sheila nama yang bagus sekali.cantik, seperti orangnya. Ayo silakan duduk.."
Sheila duduk di bangku yang disediakan Andre. Pria itu melihat bungkusan yang dibawa Sheila.
"Itu bajunya, ya" Coba saya lihat seperti apa."
Andre menarik gaun peata berwarna pink dengan bahu terbuka dan rok lebar yang menyentuh
lantai. "Wow.... Bagus sekali. Ini pasti baju mahal. Bagaimana kalau rambut kamu digerai saja.
Lalu bagain atasnya dipasang bunga kecil-kecil berwarna pink sehingga cantik seperti bidadari.
Sweet seventeen kan, Sheila" Kamu pasti kelihatan Sweet deh"!!"
Sheila menggeleng, "Bukan itu yang akan saya pakai nanti." ia mengeluarkan baju satunya,
"Yang ini." Andre membentangkan baju itu dan menggelengkan kepalanya. Ia mengerutkan kening. " Ini
baju yang bagus sekali. Tapi" apa tidak terlalu tua buat kamu?""
Sheila tersenyum, "Nggak apa-apa. Saya justru mau bilang sama omm Andre, tolong rambut
saya ditata tidak seperti remaja tujuh belas tahun, tapi seperti sudah dewasa."
Andre cemberut, "Jangan panggil ekke begitu ah..... Panggil aja Andre. Tapi jij mau model
gimana" kayak Krisdayanti" Di vedio klipnya yang terbaru dia pake baju bunga-bunga dan
rambutnya dihiasi bunga-bunga itu, begitu?"
"Jangan! Jangan pake bunga-bunga, kayak anak-anak. Saya nggak mau. Dandani saya seperti
orang berusia tiga puluhan. Bisa...?"
Andre melongo dan menutupi mulutnya dengan tangan.
"Oh my God....!!!"
Sheila menikmati perawatan mewah salon itu. Tubuhnya dilulur, dipijat hingga ia tertidur. Kuku
tangan dan kakinya dimanikur hingga bersih dan mengkilat dengan cat kuku transparan. Rambut
panjangnya digulung dan dipanaskan dengan alat yang dalamnya keluar asap panas yang hampir
membuatnya tak tahan. Wajahnya di make up seperti permintaanya, membuat ia terlihat lebih
dewasa. Andre lepas tangan, Andre menyerahkan Sheila ke tangan Anne, rekannya yang dianggap lebih
bisa memoles wajah Sheila.
"Doi mau dibuat tua, Ne. Tuh kerjaan buat elo deh." katanya ketus dengan gaya bicara yang
membuat Sheila menahan senyum lagi.
Sheila bersyukur Anne yang mendandani wajahnya, bukan Andre, sebab hasilnya sangat bagus.
Ketika Anne selesai mendandaninya, Sheila hampir tak percaya bahwa yang dilihatnya di cermin
adalah dirinya. Alisnya tipis dan berbentuk bulan sabit. Tulang pipinya terlihat cekung san lebih
tinggi, begitu pula dengan bibirnya yang dicat merah. Apalagi setelah rambut panjangnya diikal
besar-besar hingga ke pinggang, ia memang tak seperti wanita tiga puluh tahun, tapi setidaknya
ia tak seperti baru tujuh belas tahun"!!
"Gimana?"" tanya Anne.
"Bagus sekali"!" desah Sheila.
Anne menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membereskan alat make upnya. " Sayang sekali
gadis remaja seperti kamu mau kelihatan lebih tua dari umur sebenarnya. Saya benar- bener tak
mengerti tujuan kamu. Tapi untungnya kamu cantik. Mau didandani bagaimanapun tetap cantik."
Sheila mengucapkan terima kasih pada Anne dan berjalan keluar salon untuk diantarkan menuju
hotel. Masih ada waktu dua jam untuk istirahat, dan setelah itu tiba waktunya Bram
menjemputnya di sana. Sheila terpana mendapati hotel yang akan ditempatinya. Seorang petugas mengantarkannya ke
kamar yang sudah dipesankan untuknya..
"Mas, mas.... Menginap di sini satu malam berapa, ya?" tanya Sheila iseng sambil mengikuti
berjalan di belakang petugas.
"Nggak tahu, Mbak. Tapi dengar-dengar sekitar satu atau dua."
"Satu atau dua apa?"
"Juta." Sheila terpaku. Alangkah mahal biaya yang harus dikeluarkan Bram hari ini. Ini pemborosan"!
Lebih baik uangnya saja berikan pada Sheila. Tapi...... Sheila tak akan mau menukar kebahagian
yang dirasakannya dengan uang.
Mereka masuk ke lift untuk menuju kamarnya dilantai lima. Beraamaan dengan mereka,
masuklah dua pria yang asyik mengobrol. Sheila kaget, ia mengenali salah satunya sebagai Frans
Samudra. "Omm Frans...!!" panggilnya.
Frans menoleh, ia tak mengenali wanita yang memanggilnya itu.
"Saya Sheila, Omm. Masih inget" Ciloto!"
Frans ternganga,"Ya ampun, Sheila. Penampilan kamu sangat berbeda. Kamu cantik banget."
Sheila tersipu, "Kok bisa kebetulan begini ya, Omm mau kemana?"
"Oh, di hotel ini sedang diselenggarakan pertemuan penerbit seluruh Indonesia, Sheila.
Sebenarnya tempatnya di ballroom di lantai dasar, tapi saya mau menemani teman saya ke kamar
tempat ia menginap. Ayo kenalkan dulu, ini Iwan Adiputra."
Sheila menyalami pria yang ada di samping Frans.
"Iwan ini wartawan terkenal dari majalah Bintang dan Film. kamu pernah baca?"
Sheila mengangguk," pernah, Omm, hebat dong."
"Ya begitulah. Saudara Iwan ini memang hebat."
Iwan tertawa mendengar gurauan Frans, kemudian ia berkata pada Sheila, "Anda kenal Frans
di......" "Oh, dia tinggal di rumah Bram Budiman. Penulis novel itu lho..."
"Apa" Bram Budiman" Hebat dong. Aku baca terus tuh cerita dia. Yang terakhir baru beli belum
sempat kubaca." kata Iwan antusias. "Sebenarnya orangnya kaya apa sih" Kok nggak pernah ada
fotonya?" "Aku nggak tahu." kata Frans. "Tuh tanya saja sama Sheila, dia kan tinggal dengan beliau. Oh
ya, Sheila. Kau di sini sedang apa?"
"saya mau merayakan pesta ulang tahu saya, Omm. Yang ke tujuh belas."
"Wah. Selamat ulang tahun ya" Ngundang-ngundang, dong?"
"Nggak, Omm. Saya cuma berdua dengan Pak Bram."
"Oh, berarti nanti malam Pak Bram dateng ke sini ya?"
Sheila menyesal mengatakan itu, Bram pasti tidak suka orang lain mengetahui ia akn datang ke
sini. Tapi melihat Wajah Sheila Frans segera berkata, "Tenang saja, Sheila. Saya sudah tahu Pak
Bram tidak mau identitasnya diketahui. Bisa saja sih, saya nanti malam datang sendiri karena
penasaran dengan dia. Tapi saya bukan orang yang begitu. Ia kan, Wan?"
Iwan cuma nyengir. Sheila tersenyum lagi. Ia sudah tiba di lantai yang ditujunya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu Omm. Sampai ketemu lagi."
Frans melambaikan tangannya pada Sheila, kala pintu lift akan tertutup, sheila membalasnya
dengan riang. Di dalam lift Iwan bertanya, " frans, kau yakin tidak ingin melihat seperti apa wajah Bram?"
Frans melotot, "Kamu nggak serius kan, Wan?"
"Siapa bilang. Aku serius kok."
Frans lalu marah dan berkata bahwa ia sudah berjanji pada Sheila agar ia tak mengganggu
privasi Bram. Lagi pula ini ada kaitannya dengan penerbit tempat ia bekerja yang masih
membutuhkan naskah Bram. Iwan lalu berkata bahwa ia bercanda , dan Frans pun jadi tenang.
Tapi dalam hati ia bertegad, ia ingin melihat seprti apa Bram Budiman itu. Toh ia juga menginap
si hotel ini. Bram terpana. Ia terpesona. Lama ia berdiri memandang wanita di depannya tanpa berkedip dan
tanpa berkata-kata, Sheila sangat cantik dan terkesan...... Dewasa. Tak ada kata-kata yang dapat
melukiskan keindahan yang ada di depannya. Rambut gadis itu yang biasanya lurus, kini ikal
sepinggang. Wajah dimake up tipis namun menampilkan sosok yang berbeda, lebih dewasa. Baju
yang mini dan ketat memperlihatkan lekuk liku tubuhnya yang telah terbentuk separti seorang
wanita sepenuhnya. Dan gadis ini bertambah tinggi. Astaga, ia memakai sepatu hak runcing yang
memerlihatkan keindahan kakinya.
"Apa kau bisa berjalan pakai sepatu itu?" itulah kata pertama yang terucap oleh Bram. Dan ia
memaki dirinya sendiri. Mengapa ia tak mengungkapkan kalimat pujian yang sudah terlintas di
benaknya" Sheila tersenyum lebar. Ia kelihatan sangat gembira. Kalau saja Bram tidak menjaga jarak, pasti
ia sudah melompat memeluk pria itu. Sheila maju sedikit ke bagian yang lebih terang dan cahaya
lampu menerpa wajahnya. Bram bisa melihat pipi mulus tanpa jerawat milik gadis itu.
Sekarang baru terlihat bahwa ini Sheila yang biasa, Sheila yang masih belia. Di tempat gelap
make up hasil tangan yang sangat ahli bisa menipu. Tapi kulit muda gadis ini tetap menampilkan
Sheila sebagaimana mestinya. Sheila yabg hari ini baru menginjak tujuh belas tahun.
"Kau suka...?" tanya Sheila penuh harap.
Bram tersenyum lembut. "Kau tampak cantik. Selamat ulang tahun, ya?"
Sheila mengapit lengan Bram yang hari ini tampak tampan dengan jas hitamnya. "Kukira kau
tidak datang. Aku sudah kelaparan sejak tadi." selorohnya.
Bram sudah memesan hidangan sebelum ia datang. Ketika mereka tiba di meja untuk dua orang
di pojok restoran, pelayan langsung menghidangkan sup dan salad sebagai hidangan pembuka.
Walau katanya tadi lapar, Sheila makan dengan hati-hati. Bram melihat Sheila berusaha keras
tampil dewasa. Sebenarnya Bram ingin gadis itu bersikap seperti biasanya. Menghadapi Sheila
dewasa malah membuatnya canggung.
"Steaknya enak, empuk." kata Sheila sambil berusaha memotong daging itu dengan pisau di
tangan kananny dan garpu di tangan kirinya, lalu memakan daging itu dengan tangan kiri. Itu
yang susah, sebab biasanya kita makan dengan sendok di tangan kanan, kali ini di tangan kanan
malah ada pisau yang cuma berfungsi untuk memotong. Tapi ia berhasil, dan meniru makan
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan sopan. "Itu daging kijang muda. Rasanya enak, kan?"
"mirip daging sapi, cuma lebih empuk."
Bram tertawa, "Makan yang banyak, "
"Bram aku ingin tanya sesuatu, tapi kau jangan marah, ya?"
"Apa?" "Benarkah kekasihmu sudah meninggal?"
Garpu Bram berhenti di udara, lalu diletakkannya kembali ke piring. "Kau dengar dari siapa?"
"Mbak Marisa. Dia bilang kekasihmu meninggal saat kecelakaan yang..... Yang...." Sheila tak
bisa berkata bahwa itu kecelakaan yang membuat fisik Bram cacat.
"Namanya Ella," jawab Bram. "Dan kami baru berhubungan enam bulan saat kecelakaan itu
terjadi." "Apakah kau sangat mencintainya" Kau masih mengingatnya?"
"Dulu kukira aku mencintainya. Tapi waktu itu aku sangat muda. Sepertinya yang paling
kucintai saat itu adalah diriku sendiri. Sejujurnya, aku lebih sedih karena kecelakaan yang
menimpaku, bukan karena kehilangan dia. Aku malah berharap posisi kita ditukar saja. Dia yang
hidup, aku yang mati. Memangnya yang hidup lebih enak daripada yang mati?"
Sheila terdiam. Rupanya Bram tidak mengingat kekasihnya itu separti yang disangkanya.
"Bram, aku mau tanya lagi. Kenapa kau bersikap dingin terhadap Marisa" Padahal ia cantik dan
baik hati. Padahal ia sudah mengatakan siap penjajakan denganmu, tapi kenapa kau selalu
bersikap ketus padanya?"
Bram mengunyah habis daging di mulutnya, lalu ia mengelap bibirnya dengan serbet. "Aku tak
mau hidupku jadi susah hanya karena ingin membahagiakan satu wanita!"
"Kenapa susah?"
"Kaupikir untuk apa wanita menikah" Mereka ingin bahagia, kan" Nah, aku tak bisa menjamin
kebahagiaan wanita yang jadi istriku. Karena itu, sejak awal aku sudah bersikap begitu, supaya ia
mundur saja, daripada menyesal belakangan."
"Kalau wanita itu tak butuh dibahagiakan" Kalau ia sudah bahagia hanya bisa tinggal
bersamamu?" tanya Sheila lagi.
"Tetap saja aku tak ingin menikah, kalau dengan begini saja aku sudah cukup, untuk apa aku
cari-cari masalah dengan menikah."
"Lalu, apakah kau sekarang bahagia?"
Bram terdiam, "Sheila, ini ulang tahumu. Kenapa kau menanyakan masalah Marisa?"
Sheila tersenyum, "Oh,,,, Maaf kalau begitu.... Aku mau tanya soal perjanjian kita, boleh kan?"
"Ehm.... Kamu harus pindah rumah saat usiamu ujuh belas tahun, begitu?"
"Rupanya kau masih ingat," keluh Sheila. "Berarti kau sudah berniat mengusirku. Bram. Apakah
aku boleh tetap tinggal di rumahmu sampai aku lulus SMA?"
"Apakah ini permintaanmu yang kau bilang akan minta pada saat makan malam?" Bram bertanya
balik. "Tidak. Itu lain lagi. Akan ku katakan nanti kalau sudah selesai makan."
Bram mengerutkan keningnya. Tadinya ia pikir Sheila akan minta tetap tinggal. Sungguh ia tak
bisa menduga maksud hati gadis ini. "Soal itu, Sheila..... Aku terpaksa mengatakan tidak. Kali ini
maaf. Aku tak bisa mengubah keputusanku. Kau tetap arus pergi, tentu saja tidak harus sekarang.
Kau bisa cari-cari rumah beberapa hari ini, baru pindah."
Wajah Sheila berubah murung, "Aku sudah menduga kau akan memutuskan begitu."
"Kau tak usah sedih, Sheila. Aku sudah menyuruh Eman mencarikan rumah kontrakan yang
dekat dengan asrama. Bu Susan masih bisa datang ke sana untuk membawakanmu soal ulangan.
Aku juga akan menanggung semua biaya hidupmu sampai kau lulus nanti. Kau bisa datang
sering-sering untuk mejenguk Eman dan aku, itu bagus kan?"
Sheila ternganga. Bram sudah mencarikan rumah baginya" Tapi mengapa tak tinggal saja di
rumah Bram" Bukankah itu bisa menghemat biaya yang harus dikeluarkan pria itu" Tapi
kemudian Sheila mendapatkan jawabannya. Bram pasti tidak mau lagi diganggu olehnya.
Akhirnya ia tahu, ia tak bisa memaksa terus. "Baiklah, Bram. Terima kasih. Semua yang kau
lakukan untukku hanya Tuhan yang bisa membalasnya. Aku tahu, aku tak dapat memaksamu. Ku
doakan semoga kau selalu bahagia."
Bram mentap wajah Sheila yang terlihat sedih. ia juga sangat sedih, tapi mau diapakan lagi" Ia
dan Sheila tak bisa terus tinggal seatap. Baru-baru ini Bram dengar dari Eman bahwa diantara
para tetangga berhembus gosip ada hubungan yang tak wajar antara dirinya dengan Sheila.
Mereka menanyakan pada Eman, dan Eman membantah keras gosip itu. Tapi tentu saja Eman
memberitahukan hal itu pada Bram.
"Sheila, setelah lulus nanti kau mau melanjutkan kemana?"
Sheila menggeleng, "Aku tak tahu Bram, mungkin aku akan mencari pekerjaan."
"Tidak usah khawatir soal kuliah Sheila, aku pasti akan mengngkosi uang kuliahmu..."
"Tidak usah Bram. Mungkin aku akan menjadi pianis. Kedengarannya hebat dan aku tak usah
kuliah lama-lama. Enak kan?"
"Kau pasti jadi pianis yang hebat, Sheila. Tapi ingat Sheila, kalau kau perlu uang untuk kuliah
atau keperluan lainnya, kau harus bilang padaku."
Mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba pemain piano yang tadinya memainkan lagu-lagu mellow
romantis berganti memainkan lagu Happy Birthday. Sheila kontan menoleh. Ia melihat pelayan
membawa ke tart dengan hiasan lilin yang menyala. Seluruh tamu restoran itu memberikan
tepukannya untuk Sheila dan memandangnya. Sheilapun tersipu malu.
"Astaga, tatapan mereka semua tertuju padaku." bisiknya pada Bram
Ketika kue tart tiba di hadapannya, lagupun berhenti. Bram berkata, "Ucapkan keinginanmu
Sheila, lalu tiup lilinnya!"
Sheila memejamkan mata, ia minta ia dan Bram diberi umur panjang dan kebahagiaan
disepanjang hidup mereka. Dalam sekali tiup lilinpun padam. Para tamu bertepuk tangan lagi dan
pelayan meninggalkan kue tart di meja.
Sheila memotong kue tart itu dan memberikan potongan pertamanya untuk Bram, dan satu lagi
untuknya. Tapi Bram tidak memakan kue itu, ia merogoh sakunya.
"Aku punya hadiah untukmu, Sheila." katanya.
Sheila terbelalak, "Tapi.... Ini semua kan sudah hadiah untukku" Memangnya masih ada lagi"
Sheila menambahkan. "Ingat, Bram aku belum minta sesuatu darimu, ingat?"
"Ya. Aku masih ingat itu tenang saja." Bram membuka kotak berlapis beludru itu lalu
mengeluarkan kalung berliontin "S". Sheila terbeliak melihatnya. Kalung ini pasti bukan cuma
empat atau lima gram seperti punya ibunya yang sampai saat ini masih tersimpan di tasnya. Ini
pasti berapa kali lipatnya.
Setelah beranjak dari tempat duduk dan berdiri di belakang kursi Sheila, Bram meminta gadis itu
menunduk dan melingkarkan kalung itu di leher Sheila.
"Masih ada lagi." kata Bram, kembali ia duduk dan menarik bungkusan di bawah meja.
"Ada lagi?" Bram memberikan miniatur piano di kotak kaca. Milik Sheila yang sudah dibetulkan. Sheila
langsung mengambil dan mengamatinya, lalu air matanya berderai, "Bram....... Kau sudah
memperbaikinya. Ini bagus sekali... Oh... Aku....."
"Sekarang sudah tak rapuh lagi, Sheila. Kata tukangnya ia sudah mengganti kotaknya dengan
arkalik yang lebih tebal. Bila jatuhpun tidak akan pecah, begitupun dengan miniatur di dalamnya.
Tapi kalau bisa sih jangan sengaja dijatuhkan, ya?"
Sheila ingat, bahwa ia pernah mengatakan miniatur piano itu melambangkan dirinya, terlihat
baik-baik saja padahal begitu rapuh. Dan Bram telah memperbaikinya agar tak rapuh lagi. Ini
mengandung arti yang sangat dalam untuknya.
"Bram aku tak tahu harus mengatakan apa."
Bram tersenyum, "untung maskaramu tidak mudah luntur." Sheila tertawa dalam tangisnya dan
menghapus air matanya dengan tisu. Kemudian ia bangkit berdiri, "Aku juga ingin memberikan
hadiah untukmu." "Sheila, kau mau kemana?"
Gadis itu cuma melambaikan tangan dan berlalu menuju piano yabg sedang dimainkan pianis di
atas panggung. Ia berkata sebentar kepada pianisnya, lalu pemain itu membungkukkan badannya
dan mempersilakan Sheila duduk di bangkunya.
Di depan corong mikrofon di atas piano itu Sheila berkata, "Kepada para pengunjung yang
terhormat, terima kasih karena anda bersedian berbagi kebahagiaan di hari ulang tahun saya.
Karena itu aku akan memainkan piano yang saya persembahkan untuk Bram, yang juga hadir di
ruangan ini. Untuk Bram, aku juga ingin menyampaikan bahwa permainan pianoku ini tidak
akan bisa membalas semua kebaikanmu, tapi lagu ini tulus dari dasar hatiku, para pengunjung
mohon tepuk tangannya!"
Para pengunjung restoranpun bertepuk tangan untuk Sheila. Gadis itu memandang Bram yang
terlihat malu dan menunduk saja. Tangan Sheila sedikit gemetar. Baru kali ini ia main piano di
hadapan umum. Ini pun hanya spontanitas dan kini ia mulai menyesal naik ke atas panggung.
Tapi dikuatkannya hatinya. Apapun yang terjadi, anggap saja ia sedang main di hadapan
keluarga Haryanto seperti tempo hari.
Ia pun mulai memainkan Fur Elise dengan penih perasaan . Restoran yang tadinya dipenuhi
percakapan kini sunyi senyap. Mereka terpaku memperhatikan Sheila yang memainkan lagunya
dengan penuh perasaan. Selesai bermain, Sheila mengangkat tangannya lalu berdiri. Tepukan
meriahpun terdengar lagi. Bahkan ada yang berteriak, "More...!! More....!!!"
Sheila sangat gembira mendengarnya. Ia membungkukan badan tanda terima kasih atas
sambutan mereka. Ia pun kembali ke mejanya, di sambut senyuman Bram.
"Itu bagus sekali. Kau membuatku bangga." kata Bram.
"Kupikir kau akan marah, karena perhatian jadi tertuju pada kita. Kau kan tidak suka....."
Bram menggeleng, "Sudah lama sekali, sekarang tidak ada lagi orang yabg mengenalku di
Jakarta. Aku bersyukur padamu, Sheila. Kalau tidak ada kau mungkin sekarang aku masih
bersembunyi di rumah itu dan tak pernah lagi ke tempat umum."
"Jadi sekarang kau akan sering muncul di tempat umum?"
Bram menggeleng, "Kalau tidak ada kau, untuk apa aku kemari?"
Sheila mengedipkan mata nakal. "kalau begitu kita kemari lagi tahun depan, atau enam bulan
lagi, pas ulang tahunmu!"
Bram tertawa, "Bisa bangkrut aku!" Mereka tertawa, "Oh ya, kau bilang akan minta sesuatu saat
makan malam. Aku orang yang memegang janji. Apa yang kau minta?"
Sheila berhenti tertawa, ia memandang Bram, "Bram..... Aku.... Aku sudah dewasa, kan?"
"Ya." jawab Bram bingung.
"Aku ingin dicium olehmu."
Bram terpaku dengan ekspresi terkejut, tapi kemudian ia tertawa sumbang, "Baik nanti di depan
kamarmu aku akan mencium pipimu anak manis."
Sheila memegang tangan Bram, "Bukan di pipi. Tapi di bibir."
Bram terdiam. Di depan kamar Sheila, mereka berdua berhenti. Bram memandang gadis itu lalu berkata, "Aku
tak bisa melakukan ini."
"Kau bilang akan mengabulkan semua permintaanku."
"Tapi aku bukan kekasihmu, Sheila. Lagipula aku tak mungkin jadi kekasihmu. Kau masih tujuh
belas, dan aku pantas menjadi ayahmu. Kau masih muda."
Sheila menatap Bram jauh ke dalam mata pria itu. "Tapi Bram, untuk malam ini bisakah kau
lupakan aku sebagai Sheila, gadis yang menjadi pembantu di rumahmu, dan menganggap aku
wanita dewasa" Kau telah membuat hari ini begitu indah, Bram. Sebagai pengalaman yang
manis dalam hidupku. Apa salahnya menjadikan semuanya sempurna" Seperti yang
kuinginkan?" "Tapi?"" Parlahan-lahan Sheila melingkarkan tangannya ke leher Bram. "Bram, mamaku menikah dengan
papaku saat usianya tujuh belas tahun, dan menurutmu aku terlalu muda untuk meminta sebuah
ciuman di bibir?" Bram ingin mengelak lagi, tapi Sheila memejamkan matanya. Gadis itu berdiri pasrah di
hadapannya, sambil memeluk lehernya. Sebenarnya dalam hati Bram menolak mengabulkan
permintaan Sheila, tapi bibirnya tak mau berkompromi. Sekali saja, Bram....... Apa salahnya
sekali saja untuk yang terakhir kali" Begitu bisikan yang terdengar di telinganya.
Kau mencintainya, Bram. Kau telah membohongi dirimu dengan menyuruh dia pergi dan
berlagak baik dengan memberikan pesta ulang tahun yang begitu mengesankan. Kau tahu
penyebabnya kau melakukan ini semua, kau sudah jatuh cinta padanya. Dan ia sama sekali tidak
terlihat seperti remaja ingusan yang baru berusia belasan tahun.......
Bram mendekatkan bibirnya pada bibir Sheila dan memagut perlahan. Sheila membalas ciuman
Bram, lalu mereka berciuman dengan mesra. Tangan Bram melingkari pinggang gadis itu dan
menariknya lebih dekat. Tangan Sheila merengkuh leher Bram makin erat.
Oh,, betapa Bram mencintainya, betapa ia telah membohongi dirinya sendiri selama ini. Sejak
Sheila hadir di hidupnya, semuanya berubah. Yang dulunya begitu suram, sekarang bagai diterpa
sinar matahari hingga terang bendarang. Ia tak bisa melihat Sheila sabagai gadis belasan tahun,
kalau gadis itu telah mebembus hatinya yang telah mati rasa. Perasaanya pada Sheila melebihi
cintanya pada Ella, kekasihnya yang telah meninggal.
Jujur Bram mengakui, ia telah jatuh cinta pada Sheila, mencintai dengan segenap jiwa dan
raganya. Ia tak tahu kapan hal itu terjadi, mungkin ketika Sheila perlahan-lahan menghancurkan
kebekuan yang mengendap lama di hatinya. Mungkin ketika Sheila membuktikan bahwa ia
melihat Bram apa adanya, bukan dari fisiknya, profesinya, atau kekayaannya.
Bram rela menyerahkan hidup dan miliknya demi Sheila. Gadis yang telah membuka matanya,
membuka hatinya bahwa masih ada hal yang lebih penting dari sekedar cacat fisik. Gadis yang
melihat jauh ke dalam hatinya, dan tidak peduli bagaimana dirinya.
Sheila juga mencintai Bram, pria yang pertama kali mengisi hatinya begitu penuh sehingga tak
tersisa lagi tempat untuk pria lain. Orang yang muncul pada saat yang tepat dan memberikan
perlindungan padanya. Bukan hanya bantuan dari Bram, melainkan kebaikan hati dan ketulusan
pria itu. Ia bisa saja membohongi sdirinya sendiri dengan mencari pria lain, seperti yang
diperintahkan Bram. Tapi kali ini, ia ingin mendengar kata hatinya sendiri. Apa salahnya
perbedaan umur 20 tahun bila mereka tetap bisa bahagia" Ia harus membuat Bram mengerti
bahwa tidak ada, tidak ada satupun yang bisa menggantikan kedudukan Bram di hatinya. Tidak
Reza, tidak juga pria lain yang datang kemudian. Hanya Bram.
Kejadian dengan Marisa telah membuat Sheila mengerti bahwa selama ini dirinya mencintai pria
itu, sejak pertama kali pria itu main piano dengan lagu yang menyayat hati.
Mereka berpelukan dan berciuman begitu mesra. Lupa diri bahwa mereka ada di tempat umum,
lupa bahwa perbedaan usia mereka sangat jauh, lupa bahwa ciuman mereka harus
dipertanggungjawabkan keesokan harinya, ketika mereka terbangun dari mimpi yang telah
dirajut dengan indah. Mereka tidak tahu bahwa ciuman mereka telah diabadikan dalam sebuah kamera digital milik
Iwan Adiputra yang bersembunyi di balik dinding yang menjorok ke lorong.
BAB 14 KESIBUKAN di kantor redaksi tabloid BINTANG dan FILM memang membuat stes.
Masalahnya, tabloid ini beroplah tertinggi. Makanya kadang berita ditambahkan menjelang Dead
line. Tentu saja berita yabg masuk adalah gosip terbaru tentang artis terkanal. Tapi beritanya
yang agak miring sedikit, misalnya perselingkuhan, perceraian, kawin lagi, atau hamil di luar
nikah. "Wan, tumben datang malam-malam. Ada berita baru?" tanya Fauzi bagian pracetak.
"Iya nih. Dua lembar masih bisa, kan?"
"Gimana sih" Udah mau naik cetak nih. Kenapa nggak tadi sore." gerutu Ahmad. "Sudah acc
bos" Ya sudah sini mana!"
"Belum di Acc. Beritanya juga belum ditulis." kata Iwan.
"Sebentar lagi Bos datang. Aku mau ngetik beritanya dulu. Pokoknya kau siapkan saja berita
tambahan satu lembar bolak-balik."
"Waduh.... Bos sampai rela datang pasti beritanya sip punya nih! Berarti ada tambahan oplah,
tambah kerjaan." gerutu Ahmad lagi.
Iwan cuma tersenyum dan bergegas masuk kantor. Ia langsung menyalakan komputer dan mulai
mengetik dengan serius. Berkat keahlian mengetiknya dua puluh menit kemudian berita itu
selesai. Iwan tak menyangka, jalan menuju pemimpin redaksi begitu mulus. Tadi siang begitu ia
mendengar Bram Budiaman akan muncul malam ini, Iwan langsung berharap pembaca puas
dengan melihat tampang pengarang idola yang sampai sekarang menutup dirinya itu terjepretan
kamera miliknya. Ia sudah menunggu gadis yang bernama Sheila turun debgan seseorang yang
sudah pasti Bram Budiman, sang penulis detektif yang melahirkan karakter detektif Ricard
Buwono, detektif mengesankan yang misterius. Dan yang didapatkan Iwan lebih dari apa yang
diharapkannya. Siapa yang tak mengenal Abraham Mukti" Bahkan ketika ia kecelakaan, ada remaja putri yang
gantung diri karena mengira aktor itu meninggal. Ternyata selama belasan tahun sang pengarang
mengucilkan diri dan menjadi penulis novel. Kalau berita ini tak jadi berita utama, Iwan berani
iris kuping. Belum lagi foto Abraham Mukti yang sedang ciuman dengan gadis berusia tujuh belas tahun
pasti akan membuat fenomena baru dalam jumlah oprah tabloid gosip.
Dari komputer Iwan langsung mencetak berita itu dalam beberapa lembar film tembus pandang,
yang langsung dibuat pelatnya untuk langsung dicetak, dan beredar besok pagi.
Hari ini Haryanto bangun kepagian. Entah mengapa semalam ia memimpikan Sheila. Gadis itu
dikroyok orang dan kepalanya bersimbah darah. Itu pasti karena ia terlalu memikirkan gadis itu.
Pedang Pusaka Naga Putih 2 Dewa Arak 83 Irama Maut Pertempuran Di Kutub Utara 1
dewasa. Ia tak pernah punya kesempatan untuk memakai baju baru dan sepatunya. Saat ini
walaupun tujuannya datang ke rumah Haryanto adalah untuk melihat Oomnya yang tertimpa
musibah, ia tak mau datang dengan penampilan buruk di depan tante dan dua sepupunya. Mereka
harus tahu bahwa setelah ia pindah dari rumah itu, hidupnya bahagia.
Eman mengantarkannya ke jalan raya dan menunggunya sampai ia naik bus menuju Jakarta. Dari
jendela dilambaikannya tangannya pada Kakek tua itu. Wajah Eman semakin jauh dan mendadak
Sheila merasa gamang, separti akan pergi jauh dari rumah dan tak akan kembali lagi.
Rencananya ia akan menginap satu hari di rumah Haryanto, karena setelah itu ia berniat
menjenguk ayahnya di penjara. Berat rasa hatinya meninggalkan rumah Bram. Ia baru tinggal
sepuluh bulan di tempat itu, tapi baginya rumah itu lebih berarti dari pada sekedar tempat
tinggal. Kau cuma pergi satu hari Sheila, batinnya. Bagaimana bila dua bulan lagi usiamu genap
tujuh belas tahun dan kau harus meninggalkan tempat itu" Tapi sebenarnya Sheila berpikir, saat
itu hati Bram yang baik pasti akan melunak dan mengizinkannya tinggal lebih lama lagi. Ya, saat
itu aku akan membujuknya dengan segala cara, pikirnya.
Bus itu kemudian membawanya sampai kampung rambutan. Dari situ ia naik Bus jurusan
Grogol. Dari terminal Grogol ia naik ojek hingga sampai rumah Haryanto. Rumah itu masih
sama seperti yang diingatnya dalam memori otaknya. Tapi ada sesuatu yang berubah. Bila dulu
Sheila melihat rumah itu besar, kini rumah itu tampak kecil. Apakah ia yang berubah menjadi
besar dan melihat rumah menjadi kecil, atau sebenarnya sama saja, hanya orientasi pikirannya
saja yang berubah" Ya benar aku sudah dewasa, dan segala hal yang kutemui kini terlihat biasabiasa saja dan tak menakutkan seperti dulu, pikirnya.
Sheila menatap rumah itu ragu-ragu. Setelah empat jam perjalanan tubuhnya terasa lelah, tapi ia
tak ingin melepaskan lelahnya di rumah ini. Rasanya ia ingin segera kembali ke Ciloto dan tidur
di kamarnya sendiri yang cuma beralaskan matras gulung. Lalu diingatnya ia datang ke sini
untuk satu tujuan, bertemu Haryanto yang sedang tertimpa musibah dan memberikan bantuan
dari Bram. Ditekannya bel tapi tak ada yang keluar. Rupanya bel ini mati. Dilihatnya selot pagar, tidak
digembok. Rupanya keluarga ini benar-benar habis-habisan sehingga tak takut rampok masuk
untuk kedua kalinya. Sheila membuka pintu pagar itu dan masuk ke pekarangan.
Baru saja kakinya akan melangkah masuk ke rumah, seseorang keluar dari rumah itu, "Cari
siapa, ya?" Gadis yang baru keluar rumah itu berseru kaget, "Sheila....!!" Sheila melihat seorang gadis yang
cantik dengan rambut panjang yang dikeriting. Tubuhnya tinggi langsing dan kakinya yang
hanya berbalut celana pendek tampak indah. Ia mengenali gadis itu sebagai Renny. Renny telah
berubah. Rupanya gadis itu juga berubah, sama seperti dirinya.
Bukannya menyuruhnya masuk atau menanyakan kabar, Renny langsung masuk lagi ke rumah
sambil berteriak, "Mamaaaa!!"
Sheila membatin rupanya yang dewasa hanya penampilannya saja, sikapnya tidak.
Tak lama kemudia seorang wanita muncul. Walau cuma mengenakan daster batik, Ratna masih
tetap cantik. Wajahnya masih sama seperti yang diingat Sheila. Tidak ada kerut-merut sedikitpun
di wajahnya, diusianya yang menjelang empat puluh tahun. Bahkan seperti wanita yang tak
pernah punya anak gadis. "Mau apa kau kemari" Kami sudah tak ada uang, tak bisa membantumu lagi. Sekarang kau urus
saja dirimu sendiri!" cetusnya tajam.
Lidah tajam wanita itu pun tak berubah, batin Sheila.
Sheila menguatkan diri, tujuannya belum selesai, ia kesini berniat menemui Haryanto, bukan
yang lainnya. "Saya datang jauh-jauh dari Ciloto, tante. Lebih baik saya masuk dulu."
Ratna menganga melihat gadis itu melewatinya dan Renny, masuk ke rumahnya. Buru-buru
Ratna ikut masuk. "Ku dengar kau sudah dikeluarkan dari asrama kerena memukul orang. Apa benar?" desak
Ratna. "Saya masih sekolah di situ, Tante. Sekarang saya sudah kelas dua." jawab Sheila sabar.
Ratna mendengus, "Sifatmu belum berubah. Berani pada orang lain, sudah memukul orang dua
kali, sampai-sampai Reza yang badannya lebih besar darimu pun kau pukul."
"Itu memang kekhilafan saya, Tante. Tapi sekarang saya sudah dewasa, itu tak akan terjadi lagi."
Ratna segera mengeluarkan pertanyaan utamanya. "Kau mau apa ke sini lagi" Bukannya sudah
kubilang tak usah ke sini lagi?"
"Saya mendengar bahwa rumah ibi kemasukan maling....."
Ratna membelakakan mata, "Jadi kau kenal maling-maling itu.Astaga! Sudah kuduga ada orang
dalam yang memberikan informasi...."
Emosi Sheila mendadak naik ke kepala. ia sedah berusaha tapi Ratna memang keterlaluan.
"Tante jangan asal tuduh saja!" lalu setelah menahan amarahnya, Sheila memelankan suaranya.
"Sebenarnya saya kemari ingin bertemu Oom, dan menginap di sini satu hari."
"Oommu belum pulang, sebaiknya jangan kau ganggu dia lagi. Dia sedang banyak masalah. Lagi
pula untuk apa kau menginap di sini" Sekarang masih siang. kalau kau langsung pulang ke
Ciloto kau tidak akan kemalaman."
"Saya..... Ingin menjenguk papa di penjara, Tante. Jadi saya mohon, kalau Tante mau berbaik
hati, saya menginap satu malam di sini."
Ratna mendengus lagi. Dasar anak tak tahu malu, sudah disindir masih tidak mau mengerti juga,
pikirnya. "Ya sudah. Masuk saja ke kamarmu sana. Tapi barang-barangnya sudah dikeluarkan,
apa kau mau tidur di lantai?"
Sheila mengangguk. "Dilantai juga tidak apa-apa." ia lalu berlalu menuju kamarnya.
Sepeninggal Sheila. Renny berkata pada ibunya. "Ma, kenapa dikasih" Bagaimana kalau dia
memukul Reza lagi seperti dulu" Atau kali ini malah giliran aku?"
"Ia takkan berani!" cibir Ratna.
"Lalu bagaimana kalau ia tidak hanya tidur satu malam, tapi malah minta tinggal di sini?"
Ratna melotot. "Sudah jangan bicara yang tidak-tidak! Mama heran, kamu ini sudah dewasa
bukannya berpikir sendiri malah terus merengek-rengek dan mengeluh pada Mama! Dewasa
sedikit dong!" Ratna lalu meninggalkan anaknya. Renny merengut kesal memandangi kepergian
Mamanya. Di dapur Sheila bertemu Reza. Pemuda itu sedang membuka tudung saji dan mengunyah
sesua tu. Ketika ia melihat Sheila, ia ternganga dan tempe goreng yang sedang digigitnya jatuh ke
lantai. "Sheila...!!" serunya.
Sheila tersenyum menatap Reza, "Apa kabar, Rez?"
Pemuda itu tertawa, "Kau masih hidup!"
Sheila ingat, saat pertama datang ke rumah ini, ia sangat takut pada Reza. Pemuda itu dua tahun
lebih tua darinya dan tubuhnya tinggi besar, terlihat sangat dewasa. Kini dilihatnya Reza tak
lebih dari remaja yang biasa-biasa saja.
"Tentu saja aku masih hidup!" jawab Sheila enteng menanggapi gurauan Reza. "Justru aku yang
terus bertanya-tanya, bagaimana kabarmu setaelah terkana botol yang kuarahkan pada Renny." Ia
menambahkan, "Aku minta maaf, Rez. Tulus. Aku nggak menyangka kau bakal pingsan."
"Ya ampun, itu sih pukulan kecil buatku! Tapi memang ada bekasnya sih, lihat!" Reza
menyibakkan rambutnya, dan Sheila melihat bekas luka di kening Reza. " Tapi cowok udah
sepantasnya punya bekas luka, jauh lebih keren dari pada yang mulus. Iya nggak?"
Sheila tertawa, ternyata sekarang Reza ramah terhadapnya. Mungkin cowok ini mewarisi sifat
ayahnya. "Kau sudah lulus SMA dong?"
"Ya ampun itu sih sudah lewat. Sekarang aku mahasiswa ekonomi! Hebat, kan" Kau sedang
berhadapan dengan mahasiswa sekarang!" tutur Reza bangga. Tapi wajahnya berubah murung,
"Tapi sekarang..... Nggak tahu deh. Keluarga kami baru kerampokan, dan papa masih bingung
mencari biaya kuliahku. Satu-satunya jalan..... mungkin menjual rumah ini. Tapi terus kami
tinggal di mana?" Tiba-tiba ia teringat sesuatu, "Kau datang kemari mau apa" Apa mau tinggal di sini lagi?"
Sheila menggeleng, "Aku mau ketemu ayahmu."
Reza mengamati Sheila dari ujung kepala sampai ujung kaki, "Kau cantik sekarang," katanya.
Wajah Sheila memanas, ia diam saja. "A........aku ke kamar dulu. Mau numpang nginap semalam
di sini." "Hei di dalam tidak ada apa-apanya. Pembantu bulan lalu diberhentikan lagi oleh Mama. Tahu,
tuh Mama selalu nggak cocok sama pembantu!"
" Nggak apa-apa. Aku tidur di lantai saja."
"Masa di lantai. Di kamarku ada matras gulung, pakai itu saja, ya."
Sebelum Sheila sempat bilang tidak usah, puda itu sudah berlari ke kamar mengambil matras.
Sheila terseyum. Ternyata Reza sudah banyak berubah. Banyak sekali. Dan itu membuat hatinya
tersa sejuk." Sheila ingat, hari itu adalah hari ulang tahun Haryanto. Maka ia sudah membelikan hadiah.
Sebuah dasi yang bercorak eksklusif. Ia ingat Haryanto suka sekali memakai dasi, berganti-ganyi
setiap hari. Dan ketika sore itu ia keluar kamar, ia melihat Ratna sedang sibuk memasak. Ia pun
turun tangan membantu. Ratna diam saja melihat itu, dan mereka bekerja dalam diam.Sheila
sudah tahu masakan apa yang suka dimasak Ratna. Ia pun sudah bisa memasak karena diajari
Eman, maka bantuan Sheila sangat berarti bagi Ratna. Sheila tahu itu meski Ratna tak bilang
apa-apa. Pukul enam kurang seperempat, Haryanto pulang. Sheila yang sedang mengatur meja makan
menyambutnya. "Oom....!" Haryanto yang pulang dengan wajah kuyu dan lesu tertawa melihat kehadiran Sheila, "Sheila
kok kamu datang kemari?"
Sheila pura-pura marah, "Memangnya aku nggak boleh datang kemari, Oom?"
"Nggak dong, Oom nalah seneng. Kau kesini dalam rangka ulang tahun Oom, kan?" Sheila
mengangguk, "Tapi...." lanjut Haryanto ragu. Ia memandang ke meja makan, "Hidangannya
mungkin tak seperti biasanya." ia tersenyum, "Sekarang Oom jarang makan daging, mau hidup
sehat!" Sheila tahu itu tidak benar. Ia paham kondisi keuangan keluarga ini. Tapi Ratna memasak sayur
asem dengan kuah kuning kesukaan Haryanto. Biasanya pakai air rebusan daging, sekarang tak
ada dagingnya. Lauknya hanya tempe dan tahu yang direndam bumbu ketumbar lalu digoreng,
serta bakwan jagung dan lalapan. Lalu sambal dan krupuk. Serta pisang ambon. Benar-benar
sederhana. Padahal dulu keluarga ini selalu makan ayam, daging, atau ikan setiap hari.
Renny juga menggelayut manja pada ayahnya, "Pa, hari ini aku nggak kasih kado ke papa, lain
kali aja, ya?" Haryanto mencubit ujung hidung anaknya, "Nggak apa-apa yang penting kamu rajin belajar,
jangan sampai rapormu kebakaran lagi, oke?"
Sheila menyerahkan bungkusan yang dibawanya pada Haryanto, "Oom, ini dari saya. Selamat
ulang tahun Oom. Dan ini........ titipan dari Pak Bram." ia memberikan sehelai amplop.
Haryanto membuka hadiah dari Sheila, dan tersenyum gembira, "Wah.... Ini bagus sekali, Sheila.
Akan Omm pakai semoga membawa keberuntungan buat Oom. " Lalu ia membuka amplop dan
mengeluarkan cek pemberian Bram. Matanya membelalak membaca tulisan yang tertera. Dengan
wajah serius ia menatap Sheila.
"Sheila, ini apa?"
"Bram.... Hmmm Pak Bram bilang, ia mau membantu Oom, karena dulu Oom sangat banyak
membantu saya," Jawab Sheila.
Renny yang ikut melihat ikut berseru, "Woow! Seratus juta!" Ratna jadi penasaran dan ia ikut
melihat. Diambilnya cek itu dari tangan suaminya. Lalu ia menatap Sheila. "Kau tidak
membohongi kami kan, Sheila?"
Sheila menggeleng, "Tidak tante, Cek itu benar-benar bisa diuangkan di Bank. Saya membaca
berita Oom di koran dan Bram bilang ia tulus membantu."
Haryanto mengambil cek itu dari tangan Ratna, dan memasukkannya kembali ke amplop. Ia
menyodorkannya kembali pada Sheila. "Kembalikan padanya."
Ratna langsung menyikut suaminya,"Pah, kenapa dikembalikan" Kau kan memang pernah
membantu Sheila dan ayahnya dulu" Kini kita sedang membutuhkan uang, kenapa
dikembalikan." bisiknya.
"Kalau uang Sheila aku mau, tapi aku tak mengenal orang itu sama sekali. Aku tak mau
berhutang budi pada orang yang tidak aku kenal." jawab Haryanto.
Ratna merebut amplop itu dari tangan Haryanto, karena Sheila belum mengambilnya.
"Ma...!" tegur pria itu.
Ratna melotot dan memegangi erat-erat amplop itu. Kemudian ia tersenyum manis pada Sheila,
"Kau benar-benar anak baik, Sheila. Tante tidak menyesal telah membantumu selama ini. Kau
ingat kan, Tante selalu membantumu" Sampai-sampai Tante sendiri yang mengantarkanmu ke
asrama. Ingat, kan?"
Sheila diam saja. Ia teringat sampai ke detail-detailnya, betapa Ratna telah memberitahukan
masa lalu Sheila pada semua guru dengan tambahan yang memojokkannya. Ia tak akan pernah
lupa, tapi ia berkata, "Ingat, Tante."
"Nah, sampaikan itu pada pak Bram, ya" Bilang tante mengucapkan terimakasih banyak.
Semoga semakin murah rezeki dan dibalas Tuhan, ya?"
"Ma..." sela Haryanto, tapi ia tak bisa berbuat banyak.
Ratna sudah masuk ke kamar tanpa menghiraukan tatapan memelas suaminya. Sheila kasihan.
Pria itu benar-benar takluk pada istrinya. Tapi bagaimanapun, ia juga tak mau kembali ke rumah
Bram dengan membawa cek itu. Keluarga Haryanto memang butuh uang.
"Oom ingat tidak waktu ulang tahun Oom tahun lalu, Oom meminta saya main piano tapi saya
tidak bisa?" tanya Sheila.
Haryanto yang sedang memandang kepergian istrinya tersentak. "Ya" Apa" Piano?"
"Oom, sekarang aku sudah bisa main piano. Oom mau dengar aku main?"
Renny mendengus, "Aku mau dengar."
"Tentu saja. Ayo kamu mainkan sebuah lagu untuk Oom. Nggak usah yang susah-susah, yang
gampang saja." "Asyik, Sheila mau main piano"!" Seru Reza.
Sheila tersenyum dan menghampiri piano di ruang tamu. Ia membukanya dan duduk di
hadapannya. ia menoleh dan melihat ketiga orang itu duduk di sofa, menantikannya main
kebetulan Ratna sudah keluar dari kamarnya. Reza menaruh telunjuknya di bibir dan Ratna ikut
duduk di situ. Sheila melihat, ini persis seperti tahun lalu. ia merasa mengalami deja vu.
Sheila perlahan-lahan menyentuh tuts piano dan mulai memainkan Fur Elise. Tubuhnya terasa
melambung ke awang-awang. Mereka pasti terpana melihat kemampuannya, tidak menyangka si
Sheila anak pembunuh yang dipenjara itu bisa main piano!
Lagu Fur Elise mengalun, persis sama dengan permainan Renny, penuh keindahan dan nuansa
kebahagiaan, tidak sedih seperti lantunan permainan Bram. Ketika selasai Sheila menutup
kembali piano itu dan menghampiri Haryanto. Keempat orang itu memandanginya sambil
ternganga. "Itu lagu kesukaan Oom,kan?"
"Ya ampun Sheila, itu bagus sekali kenapa sekarang kau mendadak bisa main piano?" tanya
Haryanto. "Gileee, lebih bagus dari permainan Renny!" cetus Reza. Renny langsung menyikut kakanya
sambil cemberut. Ratna berdiri dan menghampiri Sheila. Ia menepuk bahu gadis itu, " Selamat ya, cita-citamu
untuk bisa bermain piano tercapai. Tante ikut senang, mudah-mudahan kamu sukses selalu. Masa
lalu jangan jadi hambatan untuk masa depan."
Sheila menatapnya, wanita itu terlihat tulus, walau sheila ragu apakah Ratna akan bersikap
begini kalau ia tak membawa cek itu. Sheila berdiri terpaku. Sudah selesai. Mereka akhirnya bisa
mengakui bahwa ia bisa meraih sesuatu, meski cuma bisa bermain piano. Haryanto sudah
melihatnya. Renny sudah nelihatnya. Reza sudah melihatnya. Bahkan Ratna memujinya. Lalu
apakah hatinya puas"
Sheila menyadari hal ini tidak membuatnya puas. Bahkan hatinya kini terasa kosong.
Bram merasakan kehampaan. ia heran akan perasaan ini. Lagi pula, andaikan Sheila ada di
rumahnya, ia juga tak pernah menghabiskan waktu bersama gadis itu. Ia berada dalam kamar dan
keluar sewaktu-waktu seperti biasa. Mereka hampir tak pernah bertemu. Sheila mengerjakan
urusannya sendiri. Ia mengerjakan urusannya sendiri. Tapi mengapa, ketika malam ini Sheila tak
ada di rumah, hatinya terasa sepi"
Lalu ia sadar, jika Sheila ada di rumah, pasti terdengar olehnya suara gadis itu. Suara tawanya
ketika bercanda dengan Eman, suara langkah kakinya yang selalu diseret-seret karena sendalnya
sudah tipis, suara permainan pianonya yang kadang membuat Bram kesal karena beberapa kali
salah dan diulang-ulang, atau keheningan yang membuat Bram tenang karena tahu gadis itu
sedang belajar di kamarnya.
Bram takut ia mereindukan kehadiran Sheila. Sepuluh bulan yang lalu, ketika ia mengizinkan
gadis itu tinggal di sini, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga jarak. Ia cuma
membantu gadis malang itu sampai usianya sudah dianggap dewasa untuk menentukan hidupnya
sendiri. Ia sudah betekad untuk sedapat mungkin tak menghabiskan waktu bersama Sheila,
karena nanti gadis itu akan pergi meninggalnya.
Tapi apa yang terjadi" Baru sehari Sheila meninggalkannya ia sudah panas dingin seperti ayam
sakit. Sudah pukul sepuluh malam, dan ia tak bisa tidur. Mau mengetik juga tidak bisa. Idenya
mandek dan cerita yang dihasilkan jari-jarinya tersendat-sendat seperti tersumbat sampah.
Karena itu ia keluar dari kamarnya dan mondar-mandir di ruang tamu, nerharap udara segar bisa
membangkitkan semangatnya.
Tanpa sadar kakinya melangkah ke kamar Sheila dan membuka pintunya. Ia masuk ke kamar itu.
Kamar Sheila wangi kain bersih. Gadis itu tak pernah memakai pewangi, karena Bram tahu
Sheila jarang belanja alat kecantikan seperti ABG lainnya. Cuma sekali Sheila belanja, yaitu
belanja baju dan sepatu yang akhirnya dipakainya ke Jakarta pagi tadi.
Sheila tampak manis dengan baju itu. Rambutnya yang hitam dan panjang tampak kontras
dengan bajunya yang putih, membuat gadis itu tampak........ Ah, apa yang kupikirkan! Batin
Bram menghalau pikiran yang mampir ke benak Bram.
Pandangannya jatuh ke sebuah benda, benda yang selalu menggugah rasa ingin tahunya, kenapa
Sheila masih menyimpannya padahal sudah rusak. Diangkatnya benda itu. Sebuah piano di kotak
kaca yang sudah disolatip di sana-sini. Ia pernah bertanya pada Sheila, satu hari setelah kejadian
gadis itu mengeluarkan Boy dan ia memutuskan untuk mengusirnya. Waktu itu Bram
membenahi barang-barang Sheila.
"Apa sih itu?" "Itu piano di kotak kaca. Satu-satunya benda peninggalan terakhir mamaku. Tapi sudah pecah
karena dibanting Renny, anak Oom Haryanto."
"Oh, yang menyebabkan kau memukul kepalanya hingga berdarah dan dipindahkan kemari?"
ingat Bram. "Bukan, yang berdarah itu kepalanya Reza, kakanya. Aku salah pukul. Tapi benar, gara-gara itu
aku dipindahkan ke asrama."
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cuma gara-gara ini kau terkena masalah besar. Apa segitu pentingnya benda ini."
Sheila mengangguk dan menceritakan bahwa itu adalah benda peninggalan terakhir Mamanya,
sehari sebelum ibunya meninggal karena dibunuh ayahnya. " Aku tak bisa mengingat wajah
terakhir Mama karena jenasahnya tidak ada. Tapi setiap kali kuliahat kotak ini, tersenyum saat ia
mengamati wajahku baik-baik. Seolah ia akan pergi jauh dan tak akan kembali lagi. Dan ternyata
memang benar." Sheila mengusap kedua matanya dengan tangan.
Bram mengangkat benda itu. "Kelihatannya akan susah diperbaiki kalau cuma pakai solatip.
coba nanti aku carikan lem yang bagus untuk membetulkannya."
"Nggak usah, Bram. Biar begitu saja. untuk mengingatkan aku untuk lain kali jangan sembrono
lagi. Main pukul kepala orang sembarangan saja."
Bram tersenyum, "tapi tetap saja kan, kau memukul temanmu di asrama setelah kejadian ini?"
Sheila jadi tertawa, "Astaga! Aku lupa. Ia juga ya?" ia merebut benda itu dari tangan Bram
dengan wajah memerah. Ia memperhatikan benda itu, "Kalau dipikir-pikir aku sama seperti
benda ini." "Kenapa?" "Walau dari luar kelihatan baik-baik saja, sebenarnya aku sangat rapuh. Dibanting sekali saja
langsung hancur, tak bisa diperbaiki lagi.
Bram memandang piano itu sekarang. Kotak akriliknya bergoyang-goyang ketika dipegang
karena hanya direkatkan dengan selotip. ia membawa benda itu keluar dari kamar Sheila, lalu
menutup pintu. Sheila memandang langit yang penuh bintang, Haryanto ada di sampingnya. Mereka berdua
sedang duduk di teras. Mereka sudah lama tidak bertemu, jadi Haryanto ingin berbincangbincang dengan keponakannya, ingin tahu selama ini kehidupannya bagaimana.
"Langit cerah ya, kebetulan hari ini tidak hujan." ucap Sheila.
Haryanto ikut melihat ke atas. Ia mengambil toples berisi biskuit dan menyodorkannya pada
Sheila. "Biskuit kelapa?"
Sheila menggeleng. "Seandainya aku bisa menjadi bintang itu, memancarkan cahayanya dari
jauh dan membuat orang-orqng yang melihatnya ikut bahagia...."
"Kenapa tidak bisa" Kau sudah membuat orang sekelilingmu bahagia. Contohnya Oom, Oom
bahagia punya keponakan sepertimu. Oom bangga."
"Makasih, Oom."
"Besok apa perlu Oom antarkan kamu ketemu papamu?"
"Nggak usah." kata Sheila cepat. "Biar aku sendiri saja."
"Oom pergi ke sana sebulan sekali. Terakhir Oom ka sana, papamu tampak lebih baik. Katanya
tanggal17 Agustus kemarin temannya banyak yang mendapatkan remisi karena berkelakuan
baik. Ia juga aktif dalam kegiatan, katanya ia juga ingin mendapatkan pengurangan hukuman dan
ingin cepat-cepat bertemu denganmu."
Sheila pura-pura menoleh ke samping, padahal ia menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca
karena haru. "Dan anehnya Sheila.... ia bilang ia tidak bersalah. katanya ia minta maaf padamu...."
Sheila menoleh cepat. Wajahnya beku, "Papa nggak punya perasaan, Oom. Apa dia bilang begitu
agar mendapatkan belas kasihan orang lain" Lalu kalau Papa tidak bersalah, Mama mati dibunuh
siapa?" Haryanto menghela napas, "Papamu memang salah, Sheila. Oom juga menyasali mengapa ia
melakukan hal itu. Tapi sejak remaja, Papamu memang selalu bermasalah. Kakek dan nenekmu
sudah angkat tangan. Mereka sudah tidak tahu harus bersikap bagaimana. Oom cuma menyesali,
dan Oom bertanya-tanya apa sikap membangkangnya itu karena ia iri pada Oom" Ia meresa
kasih sayang yang mestinya hanya diberikan padanya harus terbagi untuk Oom juga. Oom juga
meresa bersalah karenanya."
Sheila berkata dingin, "Sebenarnya aku mau menjenguk Papa besok karena permintaan Pak
Bram. Ia yang memintaku untuk datang ke sana."
Haryanto memegang tangan Sheila, "Sheila ucapkan terimakasih Oom untuk Pak Bram. ia orang
yang sangat baik." Sheila mengangguk, "Ia memang orang yang sangat baik,Oom."
Di ruang tunggu lembaga permasyarakatan, Sheila menunggu kemunculan ayahnya dengan hati
berdebar. Apa yang harus dikatakannya" Bagaimana ia harus bersikap" Apa keputusannya kali
ini sudah benar" Apakah tidak sebaiknya ia pulang saja dan tidak usah mebemui ayahnya"
Tapi.... Akhirnya ia menmutuskan, ia melakukan semua ini demi Haryanto. Ia sudah berjanji pada Bram
bahwa ia akan menemui ayahnya. Dan sekarang ia sudah di sini. Apa salahnya menunggu
sebentar, tak perlu berkata apa-apa cuma menjenguk saja. Apa susahnya sih"
Dua orang polisi masuk ruangan, mengantarkan pria berusia empat puluhan dalam baju penjara
berwarna biru tua. Sheila terkejut melihat pria itu.
Ayahnya, kenapa ayahnya tampak begitu tua" Sudah berapa tahunkan mereka tidak bertemu"
Apakah waktu bisa membuat rambut ayahnya memutih secepat itu"
Pria itu duduk di hadapannya. Sheila menatap pria di hadapannya dengan terbelalak. Kulit yang
hitam dan kisut. Seingatnya, ayahnya masih gagah, sama dengan Haryanto. kenapa sekarang
ayahnya tampak seperti berusia lima puluh tahun"
"Sheila...." Panggil pria itu.
Sheila diam saja. ia menghapus air matanya cepat-cepat dengan tangannya.
"Akhirnya kau datang juga,Sheila. Papa rindu padamu. " Mengapa air mata ini seolah-olah
berlomba-lomba membanjiri wajahnya" Ia tak bisa memnenagkan diri. sebentar saja ia sudah
terisak-isak. "Sheila maafkan Papa. Bagaimana kehidupanmu sekarang, Nak. kata Haryanto ia sudah
menyekolahkanmu. Sekarang kau sudah kelas 2 SMA. Papa berutang budi padanya.
Sheila tak bisa menjawab, air mata terus membasahi wajahnya.
"Kau mesti sekolah baik-baik, kau mesti kuliah, tidak boleh seperti Papa. Sheila apa tante Ratna
baik padamu?" Sheila masih sulit bernapas, ia masih sesenggukan.
"Papa sudah bilang pada Haryanto, bahwa saat mendaftarkanmu ke sekolah, dia jangan memberi
tahu bahwa kau anak Papa. Kalau teman-temanmu tahu Papa dipenjara mereka bisa
mengejekmu. Tapi untunglah tidak ada yang tahu, kan?"
Tadinya sheila ingin bilang bahwa ia datang ke sini karena permintaan seseorang, bahwa ia tidak
benar-benar peduli pada ayahnya. Tapi kata-kata yang sudah disiapkannya tersangkut entah
dimana. Ia cuma bisa menangis dan tak bisa bicara apa-apa.
"Sedahlah jangan menangis lagi. Pulanglah, tak usah jenguk Papa lagi. Jangan sampai ada yang
tahu kau anak nara pidana. Mengerti" Tinggalah baik-baik di rumah Oom Haryanto. Bila papa
keluar nanti, Papa akan membayar utang Papa padanya."
Sheila terus menangis. Akhirnya ia keluar dari ruangan itu, meninggalkan ayahnya begitu saja.
Seorang polisi menanyainya, apa ia masih ingin berbicara pada ayahnya. Sheila menggeleng
kuat-kuat, lalu meninggalkan tepat itu.
BAB 11 SHEILA langsung naik bus pulang ke Ciloto. Pada Haryanto ia sudah bilang akan langsung
pulang. Haryanto menasehati Sheila agar ia manjaga diri baik-baik, dan rumahnya akan selalu
terbuka untuk gadis itu. Sheila tidak menceritakan bahwa Bram hanya menampungnya sampai ia
berumur tujuh belas tahun, yang tinggal dua bulan lagi. Sheila percaya ia tak perlu kembali ke
rumah Haryanto dan meninggalkan semua kepahitannya di sana.
Tiga jam kemudian, ketika ia tiba di rumah Bram, dilihatnya pria itu duduk di depan piano,
sambil memainkan lagu Fur Elise. Sheila langsung memeluk Bram dan menangis di bahu pria
itu. Bram berbalik menghadap Sheila. Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya memeluk Sheila dan
mengelus punggungnya. Mententramkannya. Menenangkannya. Sedikit banyak ia tahu
kegelisahan yang ada di dalam diri gadis itu.
"Sudahlah, Sheila. Sudahlah. Semua akan berlalu. Saat semua belalu, semua ini hanya tinggal
kenangan, baik pahit maupun manis dalam kehidupanmu."
Sudah lama Sheila ingin tahu mengapa ibu Bram sudah lama tak menjenguk anaknya. Seberapa
sulitpun hubungan orangtua dan anak, pastilah orangtua akan selalu mengingat anaknya.
Tapi di akhir bulan Oktober, keingintahuan Sheila terjawab. Hubungan mereka rupanya masih
baik. Buktinya ibu Bram datang bersama seorang wanita bernama Marisa. Usianya sekitar tiga
puluh tahun, rambutnya sebahu, dan di-rebonding. Wajahnya cantik seperti bintang iklan sebun
mandi. Bram menyambut ibunya seadanya. Karena datang dari Jakarta ibu Bram dan Marisa akan
menginap satu malam. Bram menyediakan kamar tamu yang selama ini kosong dan tak pernah
dibuka. Sheila baru tahu ada kamar tamu di rumah itu. Ada ranjang besar untuk ukuran tidur dua
orang. Buru-buru ia membereskannya dan mengganti sepreinya dengan yang baru. Sang sopir
akan tidur di mobil saja karena tidak ada tempat lagi.
Ibu Bram sudah berusia 58 tahun. Namanya Emma. Ia masih energik dan tampak lebih muda
dari usianya. Kelihatannya ia tak pernah mengenal kata susah. bila kita bertemu dengannya
pertama kali, kita pasti sadar sedang berhadapan dengan orang yang tak pernah menderita. Dan
tentu saja, Emma bingung melihat Sheila di rumah itu.
"Siapa dia?" tanyanya langsung pada Bram. Mereka sedang mengobrol di ruang tamu, ditemani
Marisa. Saat itu Sheila sedang menghidangkan tiga gelas es jeruk yang dibuatnya.
"Oh.... Dia." tampaknya Bram sulit menceritakan perihal Sheila, ?"" murid di asrama kita.
Karena.....ehm... Aku buyuh orang untuk membantu Eman dan kebetulan dia bersedia, jadi..."
"Oh.... Jadi dia pembantu baru di sini?" sambar Emma. kelihatannya wanita itu orang yang ceria
dan bersifat terbuka. "Lalu bagaimana sekolahnya?"
"Ehm... Dia madih sekolah tapi belajar sendiri?"
"Lho... Kok gitu?"
"Sudahlah memang agak rumit. Nanti akan ku jelaskan lagi pada Mama. Ehm... Mama kemari
ada apa?" "Jadi kamu nggak suka ya, kalau Mama kemari" kamu itu gimana sih" Sudah nggak pernah
jenguk Mama di Jakarta, dijenguk saja masih protes. Untung Mama punya anak dua. Kalau tidak
ada cucu dari Brenda, Mama mungkin sudah mati kesepian." gerutu Emma. "Mama kesini
sekalian lihat asrama. Tadi Mama sudah ketemu Bu Lia, katanya asrama butuh tambahan ruang
baru, supaya bisa menerima siswa yang akan mendaftar tapi tertunda karena ruangannya tak
ada." Bram memandang wanita di samping Mamanya. Ia hendak bertanya tapi sungkan. Tapi Emma
melihat lirikan Bram dan tersenyum senang.
"Oh iya, Bram. Ini Marisa." Marisa tersenyum dan menyalami pria itu.
"Bram." "Marisa ini sudah S2 lho! Hebat ya" Dia baru diwisuda jadi notaris, sekarang mau buka praktik
di Jakarta. Mama kenal orangtuanya, orang-orang yang hebat juga." tutur Emma ceria. "Waktu
mama cerita tentang novel kamu. Ternyata ia penggemar kamu, Bram! Coba , bisa kebetulan
seperti ini. Mungkin ini yang namanya jodoh, ya?"
Wajah Bram berubah keruh.
Marisa menatap Bram. "Aku mengoleksi novelmu ,Bram. Aku suka sekali jalan ceritanya.
Benar-benar mengungkapkan intelektualitas pengarangnya. teman-temanku yang masih sekolah
hukum menganggap novelmu selingan yang pas unuk mereka, karena isinya aktual, dan selalu
relevan." "Terima kasih." jawab Bram.
"Nah, Bram. Marisa ini sudah tiga puluh tahun ,lho. Tapi belum punya pacar, benar-benar luar
biasa, ya" Sulit lho menemukan wanita secantik dan secerdas ini yang belum ada
gandengannya." Bram kini tahu arah pembicaraan ibunya, ia mulai gelisah.
"Mama terus terang saja, Bram. Marisa ini bersedia melakukan penjajakan dengan kamu. Kamu
kan sudah dewasa, dan dia bukan gadis remaja lagi. Kalau kalian tidak cocok, ya tidak jadi.
Begitu saja, supaya hemat waktu.. Dia bisa cari yang lain, dan kamu juga bisa cari yang lain.
Jadi...." "Ma..!" seru Bram menyela. "Aku tidak sedang dalam proses mencari istri. Aku tidak mau
menikah." ia bangkit berdiri dan jalan tertatih-tatih ke kamarnya.
"Bram"!" kejar Emma. Ia berbisik, " Bram coba dulu. Jangan buat Mama malu. Lagi pula kamu
sehat lahir batin, kan" Maksud Mama, dulu Mama pernah tanya dokter. Katanya kamu bisa
menikah secara normal dan bisa punya keturunan. Jadi..."
"Ma..! Kalau Mama masih mau diterima olehku, tolong.... Mengertilah aku sedikit, Ma."
Emma menggerutu. "Ya sudah! Mama nggak maksa kok. Lagian Marisa juga cuma pengen
berteman sama kamu. Karena tempat praktiknya sedang direnovasi, jadi dia punya banyak waktu
luang. Ia mau tinggal di sini satu minggu, boleh kan?"
"Terserah Mama saja deh!" seru Bram ketus. Ia pun masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Emma tersenyum ceria seolah tidak terjari apa-apa. Ia berkata riang pada Marisa. "Ayo Marisa,
kita lihat kamar yang sudah disiapkan. Oke?""
Ibu Bram pulang hari ini, tapi Marisa akan tinggal di rumah itu lima malam lagi. Marisa sangat
suka rumah mungil milik Bram yang berlatarkan pedesaan, namun tetap ditata mewah seperti
vila. Sayangnya di situ tidak ada televisi ataupun alat elektronik hiburan lainnya. Tapi
suasananya sangat damai, dan..... Ada pria tampan di sana.
Benar kata Tante Emma, anaknya sebenarnya cukup tampan, tapi sikapnya sangat murung dan
ucapannya sangat ketus, pikir Marisa. Begitu juga soal cacat di pipi kirinya. Kata Tante Emma,
sudah lama ia memaksa Bram untuk menjalani operasi plasik, tapi Bram tidak mau. Benar-benar
seperti intan yang tak terasah.
Marisa juga menyukai gadis kurus yang membantu Bram. Namanya Sheila. Gadis itu pintar
bikin kue dan main piano. Sheila enak diajak bicara, senang pula mendengarkan orang bicara.
Pokoknya kalau Marisa harus tinggal di situ sebagai istri Bram, melepaskan kariernya di Jakarta
pun, ia bersedia. Lagi pula Bram pasti tak pernah kekurangan apa pun. Royali yang
didapatkannya dari novel detektifnya yang terkenal pasti bukan cuma puluhan juta dalam
setahun. Marisa mendambakan dua anak, laki-laki dan perempun. Kalau bisa kembar. Ia tak pernah
pacaran. Kata orang jodohnya berat. Makanya, walaupun berwajah cantik dan berotak cerdas,
jodoh akan menjauh darinya. Tapi kali ini ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Bram.
Mudah-mudahan kali ini ia berhasil meraih kursi pelaminan.
"Mulungnya jangan seperti itu, Mbak Marisa. Nih, seperti ini, jangan dikepal-kepal nanti kuenya
keras." ujar Sheila, ia sedang mengajari Marisa memulung kue.
"Oh..... Jadi begitu, kalau dikepal-kepal terus kuenya bisa keras?"
"Iya kata Kakek Eman begitu. Tapi aku sih tidak pernah mendapat kue yang keras. Ya sudah kita
kepal-kepal saja,yuk" Mau tahu kue keras seperti apa?" ucap Sheila jail.
Marisa tertawa lagi, " Kamu lucu."
Sheila hening, sejenak Sheila bertanya, "Mbak, memang benar kata Kakek Eman" katanya Mbak
datang ke sini untuk menjadi istri Bram....... Ehm.... .. Maksud saya.. Om Bram?" Sheila tidak
berani menyebut Bram dengan namanya saja di depan Marisa. Ia takut Marisa mengadu pada
Emma. Sejak pagi saja, ia sudah dimarahi Emma terus soal dapur yang katanya kurang teratur
penempatan barang-barangnya.
Wajah Marisa tersipu-sipu, "Cuma penjajakan. Tapi sepertinya sih Bram belum tentu mau. Dia
bilang ia tidak akan menikah."
Sheila manggut-manggut. "Manurut kamu kenapa ia tidak mau menikah, Sheila" Apa selama kamu di sini Bram tidak
pernah berhubungan dengan siapa-siapa?"
"Tidak pernah. Tapi saya di sini baru beberapa bulan. Coba saja tanya Kakek Eman, dia pasti
lebih tahu dari pada saya."
Marisa berkata, "Pasti tidak. Yang diceritakan Tante Emma sih begitu. Sejak kecelakaan yang
menimpanya Bram tidak pernah lagi berhubungan dengan wanita."
"Kecelakaan?" "Memangnya kamu tidak tahu" Kaki dan wajah Bram cacat kan karena kecelakaan. Saat itu
mobil yang ditumpanginya bersama kekasihnya terbalik di jalan tol."
"Oh, ya?" Sheila baru tahu hal itu. "Lalu kekasihnya sekarang di mana?"
"Sudah meninggal. Sejak itu ia tak pernah berhubungan dengan wanita lagi."
Sheila terdiam, jadi itu sebabnya. Pantas saja Bram mengucilkan diri. Lalu apakah lagu Fur Elise
yang dimainkannya dengan sedih adalah untuk mengenang kekasihnya"
"Kok kamu diam saja, Sheila?"
Sheila tersentak, "Nggak apa-apa, Mbak."
Marisa berkata lagi, "Sebenarnya Bram tidak perlu seperti itu. Cacat satu kaki lebih baik dari
pada lumpuh semuanya. Dia masih bisa berjalan, menikah, dan punya keturunan. Masih baik,
kan?" Sheila diam saja. "Lalu soal wajahnya, cuma cacat di pipi. Kata Tante Emma masih bisa di operasi dan pipinya
bisa mulus seperti semula. Tapi ia tak pernah mau di operasi sejak kecelakaan itu. Kalo dipikirpikir tidak masuk akal, ya?"
"Mungkin yang terluka bukan cuma fisik, Mbak. Tapi juga hatinya. Ia merasa dirinya sudah tak
utuh lagi seperti dulu, jadi memilih mengasingkan diri dari dunia ramai. Dia memutuskan
menjadi penulis novel, tidak perlu ketemu dengan orang lain."
Marisa terpana, "Woow, kamu kecil-kecil pintar juga, ya" Bisa menganalisis sampai sejauh itu."
Sheila jadi tersenyum, "Sudahlah, Mbak , jangan menggosip terus. Ayo cepat bantu mulung
kuenya, nanti tidak selesai-selasai."
Bram mau melayani obrolan Marisa hanya bila ada Emma. Tapi begitu ibunya pulang. Bram
langsung mewanti-wanti Eman dan Sheila agar tidak mengganggunya kalau tidak ada hal yang
sangat penting. Ia mau menyelesaikan cerita yang sudah deadline, katanya. Ia pun mendekam di
kamar dan tak keluar-keluar lagi. Entah kapan ia menyempatkan diri untuk keluar makan.
Itu tentu saja membuat Marisa penasaran. Sampai kapan pria itu mau menghindarinya"
Seminggu bukan waktu sebentar. Ada tujuh hari di antaranya. Masa sih ia tak mendapatkan
kesempatan sekali pun untuk menunjukan bahwa dia ada"
Suatu kali saat Bram pergi ke supermarket, Marisa masuk ke kamar pria itu. Sheila yang melihat
langsung melaranya, "Jangan, Mbak. Nanti Oom Bram marah."
Marisa mengedipkan satu matanya, "Tenang saja, aku tak akan mencuri satu helai rambut pun
dari sana. Aku cuma mau menata barang-barangnya."
Sheila memandang dengan ngeri saat Marisa masuk juga ke kamar itu. Buru-buru ia pergi, purapura tak melihat apa yang terjadi.
Marisa melihat kamar Bram yang berantakan. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Berapa menit
waktu yang kupunya" Lima belas menit" Setengah jam" Satu jam" Pikirnya. Ah, peduli setan,
yang penting kukerjakan secepatnya dan Bram akan angat topi untuk apa yang kulakukan.
Marisa merapikan tempat tidur, menganti seprei dengan seprei bersih yang ditemukannya di
lemari. Disusunya bantal dan guling secara teratur dan simetris. Ditumuknya buku-buku yang
berserakan di lantai dan di meja. Diletakkanya tumpukan buku di sudut meja sehingga ada
banyak ruang untuk menulis. Ditumpuknya semua kertas dan dirapikannya lalu disatukan dalam
sebuah map kosong. Setelah itu ia mengalap sampai bersih monitor komputer yang berdebu, juga
CPU dan printernya. Terakhir ia menyapu dan mengepel lantai kamar Bram. Sebelum Bram
pulang ia buru-buru keluar dari kamar itu.
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setengah jam kemudian, terdengan teriakan Bram yang membahana di rumah itu.
"EMAAAAAAAAAN"!!!!"
Eman terpogoh-pogoh mendatangi Bram, "Ada apa, Tuan?"
"Kamu yang membereskan kamar saya?"
"Tidak, Tuan." Sheila yang sedang membaca koran dipanggilnya, "Kamu membereskan kamarku, Sheila?"
Sheila tampak gugup, ia tahu bahwa Marisalah yang membereskan kamar Bram. "Tidak, Bram.
Aku..... Aku kan sudah tahu kalau kau tidak suka kamarmu dimasuki."
"Lantas siapa?"
Sheila dan Eman menunduk, tak berani menjawab. Marisa yang mendengar ribut-ribut muncul di
ruang tamu. Ia masih mengenakan celemek dan memegang sodet
"Ada apa, Bram?"
Bram memandang wanita itu, "Marisa, apa kau yang membereskan kamarku?"
"Ya. Tadi waktu kau pergi aku mencarimu di kamar, tapi kau tidak ada. Kulihat kamar itu
berantakan, jadi aku......"
Bram mendekatinya, "Dengar Marisa. Aku tidak akan tertarik dengan penawaran apa pun yang
kau berikan, aku tidak butuh istri, aku tidak butuh kamarku dibereskan, aku tidak butuh
seseorang mengatur ulang kehidupanku"!!!" Marisa mundur beberapa langkah. " Mengarti?"
Marisa tergagap, "Y..... Ya. Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau....."
Bram meninggalkan Marisa, melewati Eman dan Sheila yang menunduk. "Dan kalian berdua,
sudah tahu aturan jangan berlagak tidak tahu, ya. Sekali lagi terjadi, kalian juga menanggung
akibatnya!" Bram pun masuk kamar dengan membanting pintu.
Marisa menatap Sheila. Matanya berkaca-kaca. Sheila mengampiri dan menepuk-nepuk
punggung wanita itu, "Sudahlah, Mbak. Dia kalu marah memang begitu, tapi sebentar lagi juga
baik lagi." "Tapi aku cuma mencoba menarik perhatiannya! Dia seperti manusia es saja, tidak peduli
sekelilingnya. Aku....."
"Sudahlah, Mbak. Saya tahu. Saya tahu itu."
Sheila kasihan pada Marisa. Ia sadar sangat sulit meluluhkan hati Bram. Ia saja hampir diusir dua
kali. Pertama gara-gara Boy, kedua gara-gara pesta ulang tahun. Tapi itu sudah lama berlalu. Dan
setelah lama tinggal bersama, Sheila mulai mengarti watak pria itu. Setelah tembok diantara
mereka runtuh, Bram akan rela mengonrbankan apa saja untuk orang lain. Buktinya adalah cek
senilai seratus juta untuk Haryanto. Itu dilakukannya demi Sheila. Dan itu bukan jumlah yang
sedikit, bukan pengorbanan yang kecil. Itulah Bram.
Di hari keenam Marisa tinggal di rumah itu, sikap Bram sama saja. Sheila mulai menghibur
Marisa bahwa akan ada pria lain yang jauh lebih lembut, jauh lebih perhatian, dan jauh lebih baik
dari Bram untuk wanita itu.
"Tapi aku sudah jatuh cinta padanya, Sheila." demikian kata Marisa saat mereka berdua saling
curhat. "Sia-sia deh, Mbak, mencintai pria seperti dia. Mbak bisa sakit hati. Dari pada mrmbuang-buang
waktu, lebih baik Mbak menyerah saja."
"Sheila, sampai kapan kau tinggal di sini" Maksudku.... Kalau saja aku bisa tinggal lebih lama
lagi sepertimu, aku yakin pasti bisa meluluhkan hatinya."
Sheila tersenyum, "Saya tinggal di sini sampai bulan Desember, Mbak. Saat itu usia saya sudah
tujuh belas tahun dan saya bisa tinggal sendiri, Mbak."
Marisa terkejut, "Lho, kok gitu. Tapi kan di sini enak, Sheila. Kenap mesti pergi" Kenpa tidak
nanti saja saat kau tamat SMA?"
Sheila mengangkat bahu. Ia juga maunya begitu, tapi ini keputusan Bram. Sedahlah, ia juga tidak
mau menceritakan seluruh masalahnya pada wanita yang hanya tinggal seminggu bersamanya.
Marisa bertanya lagi, "Sheila, apa kau tahu rasanya jatuh cinta?"
Sheila menggeleng. Ia tak tahu rasanya jatuh cinta. Mendengar dati orang lain pun tidak. Ia
tinggal di asrama putri. Makhluk berjenis kelamin pria hanya Pak Teguh dan Pak Alex, itu pun
guru yang tak bisa dijadikan sasaran. Tini dan Wenny sering menceritakan pengalaman mereka
jatuh cinta saat SMP, tapi itu juga cinta monyet.
"Memanya seperti apa sih, Mbak?"
Mata Marisa menerawang. "Rasanya seperti terbang ke langit. Di depan mata kita cuma ada satu
orang itu. Di telinga cuma mendengar suaranya. Kita ingin selalu bersamanya. Ingin selalu di
dekatnya. Wajahnya selalu terbayang, harum tubuhnya, kebiasaanya, semuanya akan selalu
teringat oleh kita, sepanjang hari. Tidak enak makan, tidak enak tidur...."
"Itu yang Mbak rasakan terhadap dia?" tanya Sheila sambil mengarutkan kening. "Bagaimana
kalu badannya bau, Mbak. Apa terbayang baunya terus?"
Marisa tertawa dan mendorong lengan Sheila, "Kamu itu bercanda terus."
"Saya serius, Mbak. Saya nggak bisa membayangkan, kita nggak bisa makan nggak bisa tidur
cuma karena mikirin cowok. Gimana kalau lapar" Gimana kalau ngantuk?"
Marisa menggeleng," Rasa lapar tieak ada, rasa kantuk pun hilang begitu saja. Ini sangat
menyakitkan, Sheila. Jadi...... Kurasa kau tak akan mengerti sebelum kau merasakannya."
"Lalu kapan saya mengalaminya, Mbak?"
Marisa tertawa, "Ya, kalau kau sudah jatuh cinta."
Sheila tidak habis pikir seperti apa perasaan yang dialami Marisa. Itukah sebabnya Marisa tak
sakit hati selalu "Dicueki" Bram" Marisa juga tetap ingin tinggal di situ, bahkan kalau bisa
menginap lebih lama. Terus terang Sheila ingin Marisa cepat pulang, karena situasi seperti ini
sangat tidak enak. Yang satunya jatuh cinta sampai lupa daratan, yang satunya membentengi diri.
Saat Bram keluar makan siang, Bran berkata pada Eman, "Man, kulihat Cempedak di kebun
sudah berbuah. Kau ambil satu, lalu digoreng pake tepung ya" Jangan lupa buat saus gula
merahnya." Mendengar itu Marisa berkata, "Cempedak goreng, aku juga suka."
Bram diam saja. Sheila menyela, " Kayaknya buahnya tinggi banget tuh, biar aku saja yang panjat."
"Memangnya kau bisa?" tanya Eman. "Nanti kalau jatuh bagaimana" Sudah biar Kakek saja
yang ambil." "Duh... . ...... Tulang sudah pada bungkuk gitu mau manjat pohon" Jatuh langsung hancur
berkeping-keping, Kek. Sudah biar aku saja yang manjat."
Akhirnya diputuskan, tugas kehormatan itu dijatuhkan pada Sheila. Ketiga orang lainnya
memperhatikan gadis itu memanjat pohon. Perlahan-lahan dengan mata tertuju pada buah
cempedak, Sheila merambat naik. Konsentrasinya tinggi. Sebelunnya ia sudah menganti
pakaiannya dengan celana panjang supaya bebas bergerak.
"Hati-hati, Sheila!" teriak Marisa.
"Lewat situ, Sheila!. Jangan lewat dahan yang kecil!" Teriak Eman.
"Awas jatuh!!" seru Bram.
Sheila dengan semangat '45 pun memanjat pohon Cempedak yang lumayan tinggi. Usia pohon
itu pasti sudah puluhan tahun, pikir Sheila. Ia sudah tiba di atas. Ia berusaha meraih buah
Cempedak yang diinginkannya, tapi tidak sampai. Akhirnya ia maju sedikit, dia ia mendapati
tubuhnya sudah memeluk dahan yang cukup ramping. Tapi tiba-tiba dahan itu berbunyi.
Kreeeek...!!!! Gawat..!! Ini bisa patah"!! Pikir gadis itu. Tapi ia pikir mundur pun percuma.
Dahannya tetap bisa patah juga.
"Awas, Sheila. Dahannya mau patah"!!" Teriak Bram.
Sheila tetap nekat, dirahnya buah Cempedak dengan tangan yang diulurkan jauh-jauh. Tanganya
berhasil menjangkau buah itu, tapi dahannya patah.
"AAAaaaaa"!!!!" Sheila jatuh. Ia teriak sekuat tenaga, mudah-mudahan rumput di bawah cukup
tebal untuk menahan tubuhnya.
Sheila tajuh dengan wajah menghadap ke tanah.
Bugh...!!! Rumpunya benar-benar empuk, pikirnya. Lalu ia menyadari bukan rumput yang ia
jatuhi, melainkan tubuh manusia. Ia melihat lebih jelas lagi dan.....
"Bram...?" Ternyata Bram yang menangkap tubuh Sheila. Karena tubuh Sheila berat, Bram tejatuh dan
tubuh Sheila menindih tubuhnya.
Sheila terbelalak menatap Bram. Wajah mereka berdua begitu dekat. Tiba-tiba jantungnya
berdebar cepat dan aliran darahnya meningkat. Jiwanya terasa melayang ke langit. Apa yang
terjadi dengan diriku" Pikir gadis itu.
Bram juga menatap Sheila. Lama mereka bertatapan tanpa ada seorang pun yang berinisiatif
untuk bankit berdiri. "Sheila...!! Tuan....!! kalian tidak apa-apa"! " teriak Eman
. Mendengar teriakan Eman Sheila langsung sadar ia bangkit berdiri dan membantu Bram
berdiri. Ketika ia memandang sekeliling, ia tak meliahat Marisa di tempat itu.
Sheila mencari Marisa, wanita itu ternyata ada di kamarnya.
"Mbak...!! Mbak...!! Katanya mau buat Cempedak goreng sama sa ...." kata-kata Sheila terhenti
ketika ia melihat Marisa membereskan pakainnya. " Mbak Marisa mau kemana?"
"Aku mau pulang." kata Maria dingin.
Sheila mengerutkan kening, "Bukannya Mbak pulang besok?"
"Apa bedanya pulang sekarang atau besok."
"Bukannya besok Mbak akan dijemput supir Tante Emma?"
"Tidak usah, saya bisa pulang sendiri. Banyak bis yang ke Jakarta."
Sheila sungguh bingung, ada apa dengan Marisa" Mengapa suaranya begitu dingin dan terkesan
marah" Kenapa ia marah" Sheila mendekati Marisa perlahan, " Mbak.... Mbak marah pada saya"
Saya menyinggung Mbak ya?" ia menyentuh lengan Marisa, "Kalau saya memang membuat
Mbak marah atau tersinggung bilang saya Mbak, jangan seperti ini. Nanti bagaimana saya
mempertanggungjawabkaannya pada Oom Bram" Dia tentu bingung kalau Mbak pulang begitu
saja sebelum waktunya."
Marisa menepis tangan Sheila, " Jangan sentuh aku! Aku baru tahu ada gadis munafik seperti
kamu." "Munafik?" "Ya. Aku tidak menyangka harus saingan dengan gadis ingusan macam kamu!"
"Mbak, Mbak bicara apa sih?"
"Kamu jangan berlagak polos, Sheila! Kamu sengaja kan" Peristiwa tadi sengaja, kan" Pantas
saja kau selalu jadi penghalang saat aku mendekatinya. Rupanya kamu lebih pintar dari aku.
Kamu tahu cara mendekati laki-laki!"
" Mbak saya jadi bingung, maksud Mbak apa?"
Marisa mendekatkan wajahnya pada wajah Sheila dan menatap gadis itu lurus-lurus, "Jujur saya
kamu mencintai Bram , kan?"
Sheila terenyak, apa maksud Marisa mengatakan seperti itu" Aku....... Aku mencintai Bram"
Batin Sheila bertanya-tanya.
"Mbak! Kenapa Mbak mengatakan seperti itu, Oom Bram kan 20 tahun lebih tua dari saya, dan
saya sama sekali tak pernah berpikir ke sana, Mbak!" Lalu Sheila teringat kejadian barusan, pasti
Marisa salah menduga. Ketika Sheila jatuh dan menimpa tubuh Bram, mereka berdua saling
berpandangan saking kagetnya.
"Mbak pasti salah sangka, hubungan kami tidak seperti apa yang Mbak kira."
Marisa mendengus, "Aku jelas-jelas melihat tatapannya pada dirimu, Sheila. Juga tatapanmu
padanya." ia mengangkat tasnya yang sudah selesai dipak dan malangkah keluar pintu, ia
menoleh pada Sheila, "Kamu sudah menyakiti saya, Sheila. Kamu telah menodai kepercayaanku.
Kau telah berbohong tentang jatuh cinta itu, kan" Kamu jelas tahu bagaimana perasaan itu?"
Marisa keluar, Sheila mengejarnya. Di ruang tamu Marisa berpapasan dengan Bram. Mereka
bertatapan sejenak. Bram tak berkata apa-apa. Marisa membuang muka dan pergi dari rumah itu.
BAB 12 SHEILA sangat terpukul atas pernyataan Marisa. Marisa sudah salah duga. Tidak ada hubungan
seperti itu di antara Bram dan Sheila. Lagi pula tidak mungkin"!! Usianya belum lagi genap
tujuh belas tahun dan Bram dua puluh tahun lebih tua darinya. Bram hampir setua ayahnya dan
Oom Haryanto. Mana mungkin ia bisa jatuh cinta pada pria setua itu?""
Tapi Sheila jadi takut pada perasaannya sendiri. Lalu bagaimana dengan getar-getar yang
dirasakannya saat ia jatuh menimpa tubuh Bram" Saat wajah mereka begitu berdekatan sehingga
ia bisa mencium aroma tubuh pria itu" Bagaimana dengan jantungnya yang berdetak lebih cepat
dan jiwanya yang terasa melayang ke awan"
Apa benar ia jatuh cinta pada Bram...?""
Dibentur-benturkannya kepalanya ke tempat tidur. Tapi karena matrasnya tipis, kepalanya jadi
sakit. Lebih baik sakit kepala dari pada sakit jiwa. Ia pasti sakit jiwa kalau ucapan Marisa benar.
Tidak mungkin ia jatuh cinta dengan orang yang jadi pelindungnya selama ini. Itu tidak pantas.
Bram pantas jadi ayahnya.
Tidak...!!! Bran jauh lebih muda dari ayahnya. Dan lebih tampan. Pria itu juga belum menikah.
Lagi pula perbedaan umur Papa dan Mama juga jauh, pikir Sheila.
Kau gila, Sheila"!!! Kenapa kau berpikiran begitu....?" Singkirkan pikiran itu dari kepalamu,
cepat.....!!!! Betinnya. Dipukul-pukulnya kepalanya dengan tangan hingga terasa sakit. Aku
harus menghilangkan pikuran seperti itu. Aku tak mau menodai hubunganku dengan Bram. Lagi
pula, apa pria itu menaruh perasaan yang sama dengannya...?""
Sheila menggigit bibirnya kuat-kuat. Tidak mungkin, Bram sangat anti dengan pernikahan. Ia
bahkan mengucilkan diri di sini, seperti kata ibunya, ia tidak dalam proses mencari istri. Dan bila
ia mau mencari istripun, apakah mungkin ia jatuh cinta pada Sheila?"" Anak remaja yabg
belum genap tujuh belas tahun...?" Anak seorang pembunuh...?" anak yang tak bisa
membantunya, bahkan harus terus dibantu. Mana mungkin Bram mempertaruhkan hidupnya
hanya demi Sheila?""
Sheila memukul kepalanya lagi. Ya ampun, bahkan ia sudah perpikir tentang pernikahan"!!! Ini
harus dihentikan..!!! Tok....!! Tok...!! Tok....!!
Sheila memandang pintu, ada yang mengetuk pintunya. Siapa ya...?""
"Sheila, kau belum tidur?"" Ehm...... Masih pukul enam sore, kau pasti belum tidur. Aku ingin
bicara sebentar. Boleh. .?"?"
Itu suara Bram. Bahkan suaranya saja sudah membuat tubuhnya bergetar dan panas dingin.
Sheila buru-buru membuka pintu dengan sikap sewajar mungkin. Dipasangnya senyum lebar.
"Ada apa, Bram" Kau hutuh sesuatu?""
Bran tanpak bingung, "Kita bicara di depan."
Sambil mengkuti Bram ke depan rumah, Sheila memukul kepalanya berulang kali karena sikap
bodohnya di depan Bram tadi.
"Ada apa dengan Marisa tadi?" tanya Bram saat mereka sudah di udara terbuka.
"Hmmm...... Aku...?"?" Sheila garuk-garuk kepala yang tidak gatal, "Aku tidak tahu, tapi
sepertinya dia marah."
"Marah pada siapa?"?"
"Mungkin...... Padamu.....?" katanya sambil menatap Bram, tapi begitu mata mereka bertatapan,
dada Sheila mendadak berdesir hangat dan bergemuruh. Sheila merasa bingung dengan
persaaannya sendiri, ada apa denganku?"" Kenapa aku tak bisa bersikap wajar di depan Bram
seperti biasanya...!!! Ia manunduk dan menatap sendalnya.
"Padaku.... Tidak mungkin."
"Kanapa tidak mungkin.." Kau sudah bersikap kurang baik padanya. Kau marah saat ia
membereskan kamarmu dab kau tak pernah memedulikannya sama sekali." jawab Sheila.
"Ya, aku tahu. Tapu itu terjadi dihari kedu dan ketiga ia ada di sini. Masa ia menahab marahnya
sampai sekarang..." Itu tidak logis. Pasti ada sesuatu yang baru terjadi yang membuat ia
memutuskan untuk pergi dari sini."
Kaki Sheila gerak-gerak gelisah.
"Sheila...?" Bram bertanya lembut, tapi ketika gadis itu diam saja, ia berseru, "Sheila....!!!"
"Dia cemburu pada kita." jawab Sheila yang kaget karena panggilan itu.
Bram terdiam, "Apa...?"?"
Sheila lalu menceritakan kecemburuan Marisa gara-gara ia jatuh dan menimpa tubuh Bram, juga
pernyataan wanita itu bahwa ia mencintai Bram. Tapi Sheila tak menceritakan bahwa Marisa
menduga Sheila mencintai Bram.
"Itu yang kutakutkan." kata Bram setelah diam beberapa saat.
"Apa..?"" tanya Sheila yang tidak mengeti. Sambil berbicara, diamatinya wajah Bram. Benar,
baru disadarinya Bram tampan sekali. Bibirnya merah, kulitnya putih, alis yang tebal menaungi
matanya yabg lebar. Rahangnya kokoh, hidunya mancung, dan wajahnya bersih dari kumis.
Rambutnya...... "Sheila...!!!!"
Sheila tersentak lagi. "Sejak tadi kau bengong dan tak mendengarkan aku. Kenapa?"!" bentak Bram.
"Maaf, apa katamu tadi?""
" Marisa akan mengadu pada Mamaku bahwa ada hubungan tidak wajar antara kau dan aku.
Padahal tidak ada." "Ya betul padahal tidak ada." ulang Sheila.
"Ya, kau sudah lihat bagaimana Mamaku, kan" Dia akan mencari cara untuk mengusirmu dari
sini." Sheila kaget. "Apa?" Jangan..!!"
"Nah, karena itu kau harus bekerja sama denganku. Tak mungkin ada hal seperti itu diantara
kita..." "Tidak mungkin."Sheila membeo.
"Jadi, mulai sekarang, kau harus benyak-banyak bergaul di luar, jangan cuma aku yang kau lihat
di rumah ini, mengerti..?""
"Tapi.... Di rumah ini kan tidak hanya ada kau. Kakek Eman juga ada."
Bram memutar bola matanya, betapa polosnya Sheila, pikirnya. "Maksudku, kau sudah akil
balig. Bergaulah dengan banyak pria, jangan hanya aku saja. Mengerti?"
Sheila mengangguk ragu. "Kalau ada perasaan ganjil yang kau rasakan, lawan saja dan jangan berpikir macam-macam.
Kau dan aku tinggal serumah. jadi," Bram memutar otaknya, bingung bagaimana
menjelaskannya pada Sheila, bahwa munkin saja jatuh cinta, karena itu mereka harus hati-hati
agar itu tidak terjadi. ?" jadi....."
Sheila menatap Bram, " Bram, aku mengerti."
"Sungguh...?""
"Ya, aku mengerti. Tapi aku cuma bingung satu hal."
"Apa?" "Di sini dimana lagi aku harus mencari pria lain selain kau dan Kakek Eman?"
Sejak perbincanagn ganjil antara ia dan Bram, gadis itu merasa Bran semakin menjaga jarak.
Wlaupun pura-pura tak mengerti, sebenarnya Sheila amat paham dengan maksud Bram. Pria itu
cuma ingin berkata apapun yang ia rasakan pada diri Bram, itu karena selama ini Sheila belum
pernah bertemu dengan laki-laki lain selain Bram. Mereka tinggal satu rumah. Bagaimanapun
individualnya sikap Bram, pasti mereka bertemu minimal satu kali sehari . Dari kerapnya
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertemuan mereka, mungkin Bram mengira Sheila bisa jatuh cinta padanya, dan Bran tidak
menginginkan hal itu terjadi.
Sheila mendengus, dasar kegeeran, gerutu Sheila. Apa Bram pikir Sheila menginginkan hal itu.
Sheila harus mengalihkan pikirannya dari Bram ke pria lain. Tapi kemana ia garus mencari"
Tetangganya sudah dikenalnya semua, dan satu pun tak ada yang seusia dengannya. Yang paling
dekat Risky, tapi pemuda itu baru lima belas tahun. Masabia mesti mencari "Daun muda" seperti
istilah Tini" Entah Tuhan mengabulkan doanya, entah memang sudah takdir, hari sabtu itu Reza datang.
"Sheila, ada yang mencarimu di depan." kata Eman, ketika Sheila sedang mencuci piring di
dapur. "Siapa?" tanya Sheila sambil mengerutkan kening, Tini dan Wenby baru datang kemarin, masa
datang lagi" "Laki-laki." Eman memberitahu.
Apakah Pak Alex, pikir Sheila. Ia memcuci tangan dan mengelapnya hingga kering, lalu pergi ke
depan dan mendapati Reza berdiri di sana, tersenyum lebar melihat Sheila.
"Astaga"!!! Ternyata alamat ini tidak salah." ucap pemuda itu, "Tahu nggak, aku sampai nyasar
ke asrama depan situ. Mereka bilang Sheila si pemunuh sudah tidak tinggal di sini lagi."
Sheila kebingungan sehingga tidak sempat tertawa dengan julukan yang diberikan penghuni
asrama untuknya. Sheila si pembunuh..." Ya ampun, boleh juga. " Mau apa kau kemari...?"?"
"Huh, nggak adil. Kau boleh datang ke rumahku tapi aku tak boleh datang ke tempatmu. Hei,
supaya adil, kau menginap di rumahku satu malam, aku juga menginap di sini satu malam..!!"
Sheila bengong hingga lupa mempersilakan pemuda itu masuk. Mereka masih berbincang di
pagar. "Hei, aku dicuikin nih..?""
Sheila tersadar, "Oh,ya.... Ehm... Masuklah."
"Wah, aku kan datang dari jauh. Pantasnya disambut jus jeruk atau es teler nih."
Lima menit kemudian, Reza asyik menyeruput jus jeruknya sambil duduk di sofa. "Hm....
Seger." ujarnya sambil menyapukan pandangannya ke sekeliling. "Tempat tinggalmu enak juga,
ya. Tapi kok aku nggak lihat teve?"
"Di sini nggak ada teve, nggak ada DVD, nggak ada Playstation. Dan di sini tak bisa disamakan
dengan vila. Nggak ada kolam mancing, nggak ada kolam renang, nggak ada......."
"Stop.... Stop.... Stop.... Aku ke sini cuma nyari kamu kok!"
"Nyari aku..?""
"Ya, aku ke sini naik bus, tahu nggak" Seumur-umur aku belum pernah naik bus, baru kali ini
aku naik bus berdiri dari kampung rambutan sampai Ciloto!"
Mau tak mau Sheila tertawa membayangkan Reza menahan pegal di dalam bus antarkota.
"Serius, Rez. Kamu ke sini mau apa" Disuruh Papamu?"
Wajah Reza kini berubah serius, "Tidak, aku ke sini mau bertemu denganmu, Suer!"
Tatapan Reza membuat Sheila tersipu. Gadis itu menunduk. "Ini bukan rumahku, jadi aku tak
tahu kau boleh menginap atau tidak. Coba kutanyakan pada Bram dulu."
Tapi belum sempat Sheila berdiri mencari Bram, pria itu sudah muncul di ruang tamu. Rupanya
ia mendengar suara Reza yang berisik dan ingin tahu suara siapakah itu. Ternyata Bram sudah
lama berdiri di situ. "Kau bisa menyiapkan kamar tamu untuk temanmu, Sheila." ujar Bram.
"Oh," iya." Sheila buru-buru pergi ke kamar tamu, sayup-sayup didengarnya suara Bram yang
bertanya pada Reza tentang latar belakangnya.
Sambil memasang seprei, dalam hati Sheila bertanya-tanya mengapa sikap Bram sangat ramah
pada Reza. Kalau Reza berkata ia anak Haryanto, Bram pasti tahu Reza pernah bersikap buruk
pada Sheila. Untuk apa Bram berbaik-baik padanya" Tapi, " Reza sekarang sudah banyak
berubah, pikir Sheila lagi. Pemuda itu bukan lagi anak manja, yang mengancam akan
memperkosa Sheila waktu Sheila memergoki Reza sedang menontoh film porno. Reza sudah
dewasa, tubuhnya menunjukkan ia kini pria dewasa, perilakunya juga. Sheila duduk di tempat
tidur di kamar tamu tersebut. Lalu untuk apa Reza datang kemari"
Mungkin Reza menyesali perbuatannya dulu terhadap Sheila dan kini ingin memperbaiki
kesalahan, pikir Sheila. Baik ia akan memberikan kesempatan. Lagi pula ia kan sedang mencari
teman laki-laki" Ya ampun...!!! Sheila memukul kepalanya. Tapi , masa Reza" Mereka pernah
tinggal satu atap dan ia sudah tahu semua kelakuan pemuda itu sampil sekecil-kecilnya.
Dari luar didengarnya sayup-sayup suara tawa Reza dan Bram.
Sudahlah, Sheila. Masa Reza ingin kuincar sebagai calon buruan" Bisik hati Sheila. Meskipun
tidak ada hubungan darah dengan pemuda itu, kau kan tak seputus asa itu" Tapi lihat Bram, sikap
baik nya mencurigakan"!! Tidak pernah ia usil seperti ini, ikut ngbrol dengan tamu Sheila.
Tampaknya....... "Sheila...!" Buru-buru Sheila keluar mendengar panggilan Bram.
"Sheila, reza sudah datang jauh -jauh ke sini. Lebih baik kau antarkan ia ke taman safari. Dari
sini tinggal naik angkot satu kali sampai gerbangnya, lalu dari gerbang ke dalamnya satu kali
lagi." ucap Bram. Ia merogoh kantong sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang
diterima Sheila ragu-ragu. "Dia pasti ingin tahu tempat wisata di sini."
Sheila terpaku. Dulu ia memang pernah ke taman Safari bersama teman-teman SMP-nya. Tapi ia
tak tahu jalan menuju ke sana dari rumah Bram.
"A...aku tidak tahu cara pergi ke sana."
"Aku tahu...!" jawab Reza riang.
AKHIRNYA Sheila pergi ke taman Safari bersama Reza. Eman ikut-ikutan menyiapkan bekal
minum dan roti yang diterima Reza dengan gembira. Dalam hati Sheila menggerutu, dasar
semuanya sama saja! Bram dan Kakek Eman tampaknya senang Sheila punya teman laki-laki,
seakan gadis itu sudah cukup umur buat kawin saja!
Sepanjang perjalanan Reza menceritakan betapa senangnya ia lulus SMA dan sudah kuliah,
karena kuliah jauh lebih santai, tidak ada ulangan, tidak ada PR, tidak harus belajar tiap hari.
Pokoknya kuliah lebih sesuai buat dia, katanya.
Sheila cuma manggut-manggut seperti kambing berjanggut makan rumput.
Reza juga menanyakan bagaimana Sheila sampai tinggal di rumah Bram. Gadis itu pun
menceritakannya "perjalanannya" dari ia tinggal di asrama sampai ia tinggal di rumah Bram.
Reza juga menanyakan apakah ia betah tinggal di rumah Bram. Sheila mengangguk. Ketika Reza
bertanya lebih betah mana tinggal di rumah Bram atau di rumahnya, Sheila diam saja.
"Aku tahu, kau pasti tidak suka tinggal di rumahku karena sikap Mama dan Renny, " katanya.
Sheila masih diam, ia sungguh tak ingin membicarakan hal ini dengan Reza.
Reza menoleh pada Sheila dan tersenyum, "Kalau begitu aku wakilli mereka untuk minta maaf."
"Sudahlah, Rez. Aku nggak mau ngomongin hal itu." kata Sheila.
"Ya sudah, kita ngomongin hal lain saja. Oh ya, Om Bram yang tinggal sama kamu umurnya
berapa sih?" "Tiga puluh tujuh tahun, memangnya kenapa?"
"Wah..... Sudah tua banget, ya" Tapi tampangnya seperti masih tiga puluhan. Dia.... Dia baik
sama kamu?" "Baik, memangnya kenapa?"
"Tentu saja dia baik, kamu kan membantu pekerjaan di rumahnya. Dapat dari mana lagi
pembantu yang begitu rajin?"
Sheila memukul lengan Reza, pura-pura marah, Reza tertawa.
"Tapi.... Hati-hati, lho," lanjut pemuda itu.
"Kenapa?" "Hati-hati jangan sampai ia jatuh cinta sama kamu! Atau kepikiran ngapa-ngapain kamu di
rumah itu!" Sheila melotot. "Lama nggak ketemu, ternyata otakmu masih ngeres seperti gerobak sampah!"
"Sori, tapi aku serius." ekspresi wajah Reza berubah. " kalian tinggal berdua di satu atap. Yang
satu pria dewasa, kau pun sudah dewasa sekarang, maksudku hampir dewasa," kata Reza karena
Sheila mencubit perutnya.
"Pria dan wanita yang tak punya hubungan darah, kalau sudah lama tinggal bersama, nanti akan
muncul perasaan..." "Aku nggak mau ngomongin itu lagi,"
"Eit... Jangan marah dong, cantik?"
Mendengar panggilan Reza, mau tak mau Sheila tersenyum. "Kau sudah pintar merayu
sekarang?" "Dari dulu juga kok. Cuma kamu saja yang baru menyadari sekarang, tapi ucapanku benar, kan?"
"Aku tinggal di sini sampai bulan depan aja, kok." jawab Sheila kelepasan. Ketika ia sadar sudah
tak ada gunanya ia meralat.
"Oh ya, Kenapa?"
"Karena itu memang perjanjiannya. Ia menampungku hanya sampai usiaku tujuh belas tahun,
karena di saat itu aku sudah tak perlu diawasi seorang wali lagi."
Reza terdiam, ia mencerna kata-kata Sheila.
"Jadi, kau tinggal bersamanya karena kau tidak ingin tinggal di rumah kami?"
Sheila menatap Reza, "Maaf, tapi sejujurnya iya. Aku tak tahan tinggal bersama Mamamu.
Maafkan aku bicara begitu tentang Mamamu."
"Tidak apa-apa." jawab Reza cepat. "Lalu kau mau tinggal dimana bulan depan?"
"Tadinya aku ingin membujuk Bram agar diizinkan bisa tinggal lebih lama, tapi lama-lama....
Seperti kau bilang, aku sadar memang tak baik aku tinggal di situ. Ya sudah aku akan pindah,
aku punya sedikit uang mungkin cukup. Kalau tidak, aku bisa mencari pekerjaan."
"Tinggal saja di rumahku lagi."
Sheila memandang Reza, "Tadi kau bilang, aku tidak boleh tinggal seatap dengan laki-laki, kalau
tak punya hubungan darah denganku, lalu kau apa" Bukan laki-laki?"
"Lho, memangnya di rumahku cuma ada aku?" kata Reza sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ada
Mama, Renny, ada Papa. Aku bisa ngapain?"
Sheila tertawa. Tentu saja bukan Reza yang ditakutinya, tapi yang lainnya.
Hari itu Sheila gembira sekali.. Tidak seperti diduganya semula, ternyata sekali-kali pergi
berwisata perlu juga. Di taman Safari mereka naik bus khusus untuk melihat binatang yang ada.
Mereka juga sempat menikmati arena permainan, meraka main sampai puas. Sheila tidak
menyesal datang kemari. Selesai main, mereka makan Mi ayam di restoran samping Taman
Safari. Tanpa terasa hari sudah sore, sudah waktunya mereka pulang kalau tak mau kemalaman.
Tapi ketika mereka tiba di rumah Bram, hari sudah gelap. Lampu pekarangan belum dinyalakan.
Pasti Eman lupa menyalakannya, karena biasanya itu tugas Sheila. Bram pasti ada di dalam jadi
tak tahu pekarangan begitu galap.
"Sheila." Reza menahan tubuh gadis itu yang baru saja mau membuka pagar.
"Ada apa?" "Tunggu dulu. Aku mau mengatakan sesuatu padamu." bisik Reza. Sheila menurut. Ia
menunggu. Tapi lama Reza diam saja. Sheila jadi tak sabar.
"Apa?" "stt...... Tunggu dong. Aku kan perlu konsentrasi mengatakannya." bisik Reza.
"Ehm..... Begini.... Sheila.....aku.... Aku mau bilang sesuatu padamu."
"Iya, dari tadi kan aku sudah menunggu."
"Sabar dong, aku kan lagi serius."ucap Reza kesal.
"Ya sudah. Cepetan, sudah malam nih, masih banyak tugas yang mesti aku kerjakan."
"Aku... Aku menyukaimu."
"Apa?" "Stttt!" ujar Reza lagi.
Sheila terpaku. Reza mengatakan ia menyukai Sheila, apa maksudnya" Apakah Reza..... Jatuh
cinta padanya" Tapi.... Ya ampun!! Masa Reza si "anak aneh" julukan itu diberikan Sheila
karena dulu Reza cukup aneh dan menakutkan baginya, dan sekarang jatuh cinta padanya" Tapi
memang masuk akal, buktinya ia datang jauh-jauh dari Jakarta cuma untuk menginap satu malam
di rumah yang hampir tak ada peralatan elektronik!
Tiba-tiba Sheila tertawa.
"Sheila...!!" bisik Reza kesal.
Sheila memegangi perutnya yang sakit akibat tawanya yang terbahak-bahak .
Tiba-tiba Sheila merasa tubuhnya dipeluk kuat-kuat dan wajahnya di pegang erat-erat. Reza
memegang pipi Sheila dan mendekatkan wajah gadis itu ke wajahnya. Ia mendekatkan bibir
mereka dan menciumnya. Sheila terpaku sampai tak sempat berontak. Dirasakannya Reza
mengulum bibirnya lembut. Bibir itu terasa basah dan hangat.
Sheila melepaskan dirinya sekuat tenaga, kemudian......
PLAAAAKKK...!!!! Ditamparnya pipi Reza sekuat tenaga.
Reza memegangi pipinya, dan memandang Sheila dengan tatapan terkejut, "Kenapa kau tampar
aku?" tanyanya. "Kenapa kau cium aku?" balasnya.
"Karena aku menyukaimu. aku serius. Aku ingin menunjukan bahwa aku sungguh-sungguh
menyukaimu. Ini bukan bercanda. Aku ingin kau jadi pacarku, Sheila"!!!" ujar Reza bertubitubi.
"Aku nggak berpikir sejauh itu. Aku nggak mau jadi pacar kamu, Rez! Aku cuma
menganggapmu sebagai Kakak."
Reza memegang bahu Sheila dan mengarahkannya padanya. "Aku nggak perlu adik. Adik aku
sudah punya. Aku ingin kamu jadi pacarku."
"Tapi, aku.... Sudahlah, Rez."Kata Sheila lemah.
"Ya sudah. Kamu jangan jawab sekarang. Kamu sekarang belum punya pacar, kan" Kamu perlu
berpikir-pikir dulu. Kamu perlu waktu berapa" Satu bulan " Dua bulan?"
Sheila memandang Reza, "Jawabanku tidak akan berubah walaupun dikasih waktu satu tahun."
"Kenapa" Kamu udah naksir cowok lain" Ada cowok lain yang kamu suka?"
Sheila tak menjawab, ia membuka pagar dan masuk ke rumah melewati pekarangan yang gelap.
Di depan pintu ditekannya saklar untuk menerangi pekarangan yang gelap. Tapi ia kaget, di situ
dilihatnya Bram sedang duduk di kursi teras. Rupanya pria itu sudah lama di situ tanpa
sepengetahuan Sheila dan Reza. Sheila cuma memandang Bram sekejap lalu buru-buru masuk ke
kamarnya. "Maafkan aku atas kejadian semalam, Sheila." kata Reza keesokan paginya, saat Sheila sedang
memberi makan Si Boy daging mentah di pekarangan, "Aku terlalu terburu-buru. Aku pasti
membuatmu kaget." "Tapi lain kali jangan begitu lagi." kata Sheila setelah diam beberapa saat.
"Tidak. Lain kali aku pasti begitu lagi"!!"
Sheila kaget, "Apa" Kau mau menciumku tanpa izin lagi"!!"
Reza tersipu. "Bukan. Aku pasti akan selalu menyukaimu. Hatiku tak akan berubah. Aku akan
menanyakan hal yang sama, satu bulan lagi, dua bulan lagi, atau satu tahun lagi. Aku akan
menunggu sampai kau menyukaiku juga."
Sheila terdiam. "Baik. Kau boleh tetap menyukaiku. Walau saat ini aku belum menyukaimu dan sepertinya,
kemungkinan untuk itu hampir tak ada, tapi sifat manusia bisa berubah. Tidak apa kan kujadikan
kau cadangan?" "Tidak apa-apa." Jawab Reza cepat. "asal jangan menolakku sekarang "
"Oke. Siapa tahu sebulan lagi, atau satu tahun lagi aku berubah pikiran. Tapi sampai saat otu
tiba, aku melarang keras kau mencimku. Mengerti?"
Senyum Reza mengembang, "Oke, Bos...!!"
Minggu siang itu Reza pulang meninggalkan satu kenangan manis di hati Sheila. Ternyata ada
juga cowok yang menaruh hati padanya. Itu prestasi yang bagus, kan" Setidaknya ia punya
cadangan. Saat teringat kejadian ia menampar Reza, Sheila kembali ingin tertawa sampai sakit
perut. BAB 13 APALAH artinya waktu sebulan, bila puluhan tahun saja berlalu seperti sekejap mata" Tanpa
terasa besok tanggal 7 Desember, hari ulang tahun Sheila. Gadis itu merasa sangat sedih. Apakah
ini akhir masa tinggalnya di rumah Bram"
Mendekati hari ulang tahunnya, hati Sheila diliputi rasa keraguan. Mampukah ia tinggal sendiri"
Mampukah ia bertahan dan tak kembali ke rumah Haryanto" Jawabannya selalu sama: Tak
mampu. Ia tak mampu hidup sendirian, ia tak bisa hidup tanpa orang-orang di sekelilingnya.
Masih diingatnya perasaan waktu ayahnya baru ditangkap polisi dan selama beberapa hari ia
harus tinggal sendirian. Tiap malam ia bergelung di dalam selimut sambil ketakutan. Tiap siang
ia mendekam di rumah seperti orang penyakitan tak boleh kena sinar matahari. Rasanya tak
tertahankan sampai Haryanto datang menjemputnya. Saat itulah ia merasa Haryanto sebagai
penolong dan penyelamat. Tidak, ia tak akan mau tinggal sendirian lagi.
Tapi, kembali ke rumah Haryanto" Di sana ada dua orang yang menyayanginya dan dua orang
yang membencinya. Ia teringat perlakuan Ratna terhadapnya, juga dusta wanita itu terhadap
Haryanto. Tidak, ia tidak mau mengalami hal itu lagi.
Satu-satunya tempat yang tersisa baginya adalah di sini. Ia dapat menamatkan SMAnya , ia dapat
melalui hari-harinya tanpa adanya tekanan. Ia dapat terus belajar berbagai masakan dari Eman.
Tapi bagaimana dengan Bram" Ia tahu...!! Ia dapat memohon, kalau perlu berlutut agar Bram
sudi membiarkannya tinggal di sini. Ya, itu satu-satunya hal yang dapat ia lakukan! Pikir Sheila.
"Eman, hari ini siapkan makan malam di kebun. Aku ingin makan malam berdua Sheila." kata
Bram malam itu. Jantung Sheila langsung berdugub kencang. Pria itu tahu...!! Pria itu tahu bahwa hari ini adalah
hari terakhirnya ia tinggal! Makanya ia ingin disiapkan makan malam. Apakah sebagai makan
malam terakhir mareka bersama" Tubuh Sheila lemas. Bagaimana ini"
Makan malam sudah siap, Bram sudah mengganti bajunya dengan baju berwarna biru dongker.
Sheila tahu, itu baju kesayangan Bram. Pria itu selalu memakainya dalam kesempatan khusus,
seperti hari ulang tahunnya dan saat-saat seperti ini. Sheila duduk ragu-ragu di hadapan Bram.
"Kakek Eman tidak diajak" Keeek..!!! Kakeeekkk...!!" panggil Sheila.
Bram memegang tangan Sheila, "Tidak usah. Aku ingin bicara berdua saja denganmu."
Sheila terdiam, wajahnya menunduk. Ia memainkan sendok dan garpu di hadapannya.
Bram menyendokan nasi ke piring Sheila, lalu menuangkan sayur asem ke mangkuk kecil.
"Nggak usah, aku bisa sendiri, kok."
"Tidak apa-apa. Kau selalu melayaniku makan. Jarang dapat kesempatan aku yang melayanimu,
kan?" Hati Sheila serasa disiram air es. Ia akan diusir. Ini malam terakhir, bagaimana ini"
Ia menyendok nasinya dan makan perlahan-lahan.
"Besok kau ulang tahun." kata Bram
UHUK..! Sheila tersedak nasi. Buru-buru ia mengambil air putih san meminumnya.
"Ya." katanya dengan tenggorokan sakit.
Bram tersenyum, "Kau ingin minta apa sebagai hadiah ulang tahunmu?"
Sheila menatap Bram terkejut, "Kau ingin memberiku hadiah?"
"Ya. Waktu ulang tahuku tempo hari, kau sudah memberiku pesta kejutan untukku.. Sudah
sepatutnya , aku juga memberimu hadiah istimewa. Tapi aku tidak tahu kau mau apa. Kalau
kuberikan begitu saja, takut nanti kau tidak suka. Kau mau minta apa?"
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sheila berpikir sejenak. Sekarang saatnya! Bilang saja kau ingin tetap tinggal di sini! Namun
Sheila takut Bram menolaknya mentah-mentah, dan ia akan merusak suasana bahagia yang kini
sedang berlangsung. "Ehm.... apa ya" Ehm...." lalu ia menatap Bram. "Aku tahu, makan malam
mewah di restoran di Jakarta"!"
"Cuma itu?" tanya Bram. Ia mengharapkan jawaban "Komputer", atau "Sebuah laptop", atau
"Handphone" atau barang-barang mahal bergengsi lainnya untuk remaja seusia Sheila. Tapi ia
memang tak tahu benda apa yang disukai gadis remaja masa kini. Rupanya Sheila ingin ulang
tahunnya dirayakan di restoran mewah. Bram tersenyum, "Kau ingin mengundang teman juga?"
"Tidak. Cuma kau dan aku. Boleh, kan?" pinta Sheila. ia pikir ia bisa memohon pada bram untuk
mengizinkannya tetap tinggal saat itu. Saat itu untung-unrungan saja, kalau Bram menolak ia
masih punya harga diri. Itu kan ulang tahunnya, jadi ia bebas berkata apa saja, kan?"
Bram agak ragu, berarti ia harus muncul di tempat umum. Tapi hanya satu malam, lagipula
sudah tujuh belas tahun ia tak muncul di muka umum, wajahnya sudah berubah, bisa dipastikan
tak ada yang mengenalinya. Kalau ada, ia bisa bilang seperti yang dikatakannya pada
tetangganya waktu itu, "Anda pasti salah orang." dan orang itu pasti akan berpikir ia cuma mirip
dengan bintang film yang dikatakannya. Lagian ini cuma satu kali, demi Sheila. Akhirnya Bram
menyanggupinya. "Boleh. terus hadiahnya apa?"
"Masih ada hadiah juga?" tanya Sheila polos. Makan malam mewah pasti tidak murah biayanya.
Sebenarnya ini sudah cukup baginya.
"Ya. Makan malam sudah oke, terus kau mau hadiahnya apa?" ulang Bram.
"Begini saja, nanti pada saat makan malam itu aku akan katakan padamu, oke?"
Bram tersenyum sambil mengerutkan kening, "Kenapa tak kau ucapkan sekarang saja" Aku
bukan pesulap yang bisa memberikan barang yang kau inginkan begitu saja. Aku kan butuh
waktu untuk mempersiapkannya?"
"Tidak usah. Benda itu ada pada dirimu." jawab Sheila.
"Baiklah. malam ini juga aku akan membooking tempat untuk besok malam." jawab Bram
Bram tahu, Sheila sudah lama menderita. Gadis itu tidak pernah merasakan kebahagiaan. Lagi
pula sweet seventeen bagi seorang gadis remaja sangat besar artinya. Ulang tahun gadis-gadis
lain mungkin dirayakan secara meriah di hotel berbintang dan mengundang teman-teman. Tapi
Sheila cuma ingin makan malam. Berdua saja dengannya, tidak minta apa-apa lagi. Ini
menunjukan bahwa gadis itu tahu diri, dan tidak memanfaatkan kesemparan yang diberikan
padanya untuk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Bram menyukai sifat Sheila itu. Dan mungkin itu lah yang mendorongnya memberikan kejutan
pada Sheila. Bukan hanya makan malam, pagi harinya gadis itu akan dijemput limusin mewah
yang disewanya, lengkap dengan sopirnya menuju salon ternama. Sheila juga dibolehkan
memilih baju pesta dan didandani sesuai keinginannya. Lalu ia akan dibawa ke sebuah kamar
yang sudah dipesan Bram di hotel bintang lima untuk menginap malam itu dan beristirahat
hingga saatnya makan malam bersama Bram. Malamnya Bram akan menjemputnya untuk makan
malam di hotel iu juga, dengan membawa hadiah seuntai kalung berinisail huruf "S" yang sudah
disiapkannya sebagi hadiah ulang tahun.
Setelah makan malam, mereka akan menginap di hotel itu, dan pagi harinya Sheila akan teringat
ia sudah mengalami peristiwa yang sangat menyenangkan di hari ulang tahunnya yang ke rujuh
belas. Pengalaman manis yang tak akan dilupakannya seumur hidupnya. Itu dilakukan Bram
untuk membalas budi gadis itu, yang sudah menbuat hidupnya setahun belakangan ini menjadi
lebih berarti. Walau hanya terjadi dibagian kecil hidupnya, semua ini juga akan dikenangnya
sebagai pengalaman manis dalam kehidupannya.
Pagi hari itu Sheila terbangun dengan tubuh segar. Walau tadi malam ia sedikit tidak bisa tidur
karena akan mengalami hal yang menyenangkan keesokan harinya, pagi harinya ia langsung
melompat dari tempat tidur dan langsung ke dapur.
"Kek..!! Kakek...!!! Akilu sudah tujuh belas tahun, Kek! Aku sudah dewasa!"
Eman yang sedang memasak air menoleh, begitu ia melihat Sheila, ia tersenyum.
"Oh iya, Kakek juga sudah menyiapkan hadiah buat kamu." buru-buru ia masuk kamar dan
keluar membawa kotak yang sudah dibungkus kertas kado.
Sheila terharu, "Ya ampun, Kakek. Nggak usah nyiapin kado buat aku!" ia buru-buru
membukanya. "Ini pasti gara-gara aku terlalu bawel sampai Kakek tahu hari ulang tahunku..."
Matanya terbeliak meliat apa yang ada di dalamnya. Sebuah patung piano kecil berwarna
cokelat. Ukurannya lebih besar dari pada miniatur yang ia miliki di kotak kaca. Tapi hadiah itu
membuat Sheila terharu. Ia jadi teringat pada miniatur itu, juga teringat pada mamanya.
"Ini...." Sheila menatap Eman dengan berkaca-kaca.
"Waktu itu kan punyamu rusak, tapi kau selalu menyimpannya. Kupikir kau sangat suka piano
dan kebetulan aku melihat ini di supermarket. Jadi kubeli saja. Baru kali ini aku punya
kesempatan memberikannya padamu."
Sheila tak dapat menahan tangisnya. Dipeluknya Eman erat-erat.
"Makasih, Kek. Makasih...!! Kakek begiu parhatian padaku."
Eman pun berkata parau, "Aku juga bertarima kasih padamu, Sheila. Karena kau bersedia
memanggilku "Kakek", menjadi cucu yang tak pernah kumiliki.
Sheila menghapus air matanya. Ia tersenyum, masih dengan mata berair. "Ya ampun, aku
sebenarnya tak ingin menangis di hari bahagiaku."
Tapi ketika sebuah limusin tiba di depan rumah untuk menjemputnya, ia menangis lagi.
Sheila sangat bahagia. Di balik jendela mobil ia memperhatikan kesibukan kota Jakarta yang
begitu cepat berubah semenjak ditinggalkannya. Ia meminum coke dingin yang ditemukannya di
dalam kulkas di bagian belakang mobil. Kata sopir ia bebas boleh meminum apa saja, kecuali
minuman keras. Bukan karena usianya masih kecil, ia sudah tujuh belas tahun sekarang,
melainkan ia harus menikmati kebahagiaan hari itu.
Ia duduk sendirian dan boleh melakukan apa saja di dalam mobil mewah yang nyaman dan sejuk
itu. Tadi waktu mau berangkat, ia sempat memeluk Bram dan mengucapkan terima kasih. Bram
bilang nanti malam ia akan menjemput Sheila di kamar hotelnya.
Sheila rasanya ingin teriak saking girangnya, tapi ia takut. Walau antara dirinya dan sopir ada
kaca pembatas, sopir itu dapat mendengarnya dan ia jadi malu. Beberapa jam kemudian ia tiba di
sebuah butik. Sopir itu membukakan pintu untuknya.
"Katanya mau ke salon?" tanya Sheila bingung.
"Ya, tapi kata tuan Bram, Mbak Sheila harus kemari dulu dan memilih baju yang akan dipakai
nanti malam." Sheila menganga, "Wow" asyik!" desahnya kemudian.
Sheila mepihat koleksi baju yang ada di butik itu. Ketika ia menanyakan harga baju yang
bermodel sederhana, jawaban pramuniaga yang melayaninya hampir membuatnya pingsan.
"Baju ini memang mahal, Mbak. Soalnya bukan buatan dalam negeri. Semua diimpor dan buatan
perancang ternama dari paris." jelas wanita yang melayaninya itu. "Tapi Mbak nggak usah
khawatir, tuan Bram sudah telepon, agar Mbak mengambil beberapa potong, jangan cuma satu,
sehingga kalau kurang cocok masih ada lainnya." ia tersenyum manis. " kata Tuan Bram, Mbak
ulang tahun ke tujuh belas ya" Kebanyakan kalau sweet seventeen ngambil baju yang kayak gini
Mbak." Ia mengajak Sheila ke sebuah ruangan yang berisi deretan baju pesta berwarna hitam, pink, dan
warna-warna menawan lainnya. Modelnya kebanyakan longdress dan anggun.
Sheila menggeleng. Wanita itu kecewa. "Nggak suka, ya. Mbak sukanya model apa?"
Sheila memandang berkeliling. "Ada tidak, baju yang membuat tampilan saya tampak lebih tua?"
"Oh, maksudnya, seperti wanita umur dua puluh tahunan yang dewasa?" tanya wanita itu.
Sheila menggeleng, "Bukan. Seperti umu
r tiga puluhan." Wanita itu cuma bisa melongo.
Akhirnya Sheila mengambil dua potong baju. Yang satu gaun bermodel ketat, mini, terbuat dari
sifon transparan, bercorak mawar warna merah tua berlatar hijau gelap. Bahunya terbuka dan
ujung bagian bawahnya berbentuk garis miring dengan beberapa kerutan yang menjuntai hingga
lutut. Gaun itu limited edition, dan sebenarnya sudah dipesan artis wanita berusia tiga puluh
tahun. Tapi setelah memesannya dua minggu lalu, artis itu tidak datang. Sheila langsung suka
gaun itu karena membuatnya tampak dewasa dan anggun.
Gaun yang satunya lagi model long dress berwarna pink, dengan rok menggembung hingga
menutup kaki. Pramuniaga itu yang mendesak Sheila untuk mengambilnya juga, walau Sheila
kurang tertarik dengan gaun itu.
Sheila juga mengambil sepatu hak terbuka berwarna hitam. Tinggi haknya sembilan sentimeter
sehingga ia harus belajar jalan dulu agar bisa mengenakannya tanpa terhuyung. Pramuniaga itu
mengajarinya agar berjalan pada satu garis lurus dan menumpukan berat badannya pada ujung
jari kaki, bukan pada haknya agar Sheila tidak jatuh. Dari butik itu kemudian Sheila berlanjut ke
sebuah salon. Di dalam limusin yang disewa Bram, sudah tersedia makanan untuk Sheila agar gadis itu tidak
lapar lagi hingga makan malam tiba. Rupanya semua sudah dipikirkan Bram hingga hal sekecilkecilnya.
Sheila memasuki salon oleh seorang pria yang bertubuh sangat langsing dan berambut terlalu
panjang untuk ukuran seorang pria.
"Hallooo.... Kenalkan nama saya Andre..." katanya dengan suara lembut dan mengulurkan
tangan dengan gerakan gemulai. Sheila hampir tak dapat menahan tawa mendengar nada bicara
pria itu. "Hai juga. Saya Sheila.."
"Duh, Sheila nama yang bagus sekali.cantik, seperti orangnya. Ayo silakan duduk.."
Sheila duduk di bangku yang disediakan Andre. Pria itu melihat bungkusan yang dibawa Sheila.
"Itu bajunya, ya" Coba saya lihat seperti apa."
Andre menarik gaun peata berwarna pink dengan bahu terbuka dan rok lebar yang menyentuh
lantai. "Wow.... Bagus sekali. Ini pasti baju mahal. Bagaimana kalau rambut kamu digerai saja.
Lalu bagain atasnya dipasang bunga kecil-kecil berwarna pink sehingga cantik seperti bidadari.
Sweet seventeen kan, Sheila" Kamu pasti kelihatan Sweet deh"!!"
Sheila menggeleng, "Bukan itu yang akan saya pakai nanti." ia mengeluarkan baju satunya,
"Yang ini." Andre membentangkan baju itu dan menggelengkan kepalanya. Ia mengerutkan kening. " Ini
baju yang bagus sekali. Tapi" apa tidak terlalu tua buat kamu?""
Sheila tersenyum, "Nggak apa-apa. Saya justru mau bilang sama omm Andre, tolong rambut
saya ditata tidak seperti remaja tujuh belas tahun, tapi seperti sudah dewasa."
Andre cemberut, "Jangan panggil ekke begitu ah..... Panggil aja Andre. Tapi jij mau model
gimana" kayak Krisdayanti" Di vedio klipnya yang terbaru dia pake baju bunga-bunga dan
rambutnya dihiasi bunga-bunga itu, begitu?"
"Jangan! Jangan pake bunga-bunga, kayak anak-anak. Saya nggak mau. Dandani saya seperti
orang berusia tiga puluhan. Bisa...?"
Andre melongo dan menutupi mulutnya dengan tangan.
"Oh my God....!!!"
Sheila menikmati perawatan mewah salon itu. Tubuhnya dilulur, dipijat hingga ia tertidur. Kuku
tangan dan kakinya dimanikur hingga bersih dan mengkilat dengan cat kuku transparan. Rambut
panjangnya digulung dan dipanaskan dengan alat yang dalamnya keluar asap panas yang hampir
membuatnya tak tahan. Wajahnya di make up seperti permintaanya, membuat ia terlihat lebih
dewasa. Andre lepas tangan, Andre menyerahkan Sheila ke tangan Anne, rekannya yang dianggap lebih
bisa memoles wajah Sheila.
"Doi mau dibuat tua, Ne. Tuh kerjaan buat elo deh." katanya ketus dengan gaya bicara yang
membuat Sheila menahan senyum lagi.
Sheila bersyukur Anne yang mendandani wajahnya, bukan Andre, sebab hasilnya sangat bagus.
Ketika Anne selesai mendandaninya, Sheila hampir tak percaya bahwa yang dilihatnya di cermin
adalah dirinya. Alisnya tipis dan berbentuk bulan sabit. Tulang pipinya terlihat cekung san lebih
tinggi, begitu pula dengan bibirnya yang dicat merah. Apalagi setelah rambut panjangnya diikal
besar-besar hingga ke pinggang, ia memang tak seperti wanita tiga puluh tahun, tapi setidaknya
ia tak seperti baru tujuh belas tahun"!!
"Gimana?"" tanya Anne.
"Bagus sekali"!" desah Sheila.
Anne menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membereskan alat make upnya. " Sayang sekali
gadis remaja seperti kamu mau kelihatan lebih tua dari umur sebenarnya. Saya benar- bener tak
mengerti tujuan kamu. Tapi untungnya kamu cantik. Mau didandani bagaimanapun tetap cantik."
Sheila mengucapkan terima kasih pada Anne dan berjalan keluar salon untuk diantarkan menuju
hotel. Masih ada waktu dua jam untuk istirahat, dan setelah itu tiba waktunya Bram
menjemputnya di sana. Sheila terpana mendapati hotel yang akan ditempatinya. Seorang petugas mengantarkannya ke
kamar yang sudah dipesankan untuknya..
"Mas, mas.... Menginap di sini satu malam berapa, ya?" tanya Sheila iseng sambil mengikuti
berjalan di belakang petugas.
"Nggak tahu, Mbak. Tapi dengar-dengar sekitar satu atau dua."
"Satu atau dua apa?"
"Juta." Sheila terpaku. Alangkah mahal biaya yang harus dikeluarkan Bram hari ini. Ini pemborosan"!
Lebih baik uangnya saja berikan pada Sheila. Tapi...... Sheila tak akan mau menukar kebahagian
yang dirasakannya dengan uang.
Mereka masuk ke lift untuk menuju kamarnya dilantai lima. Beraamaan dengan mereka,
masuklah dua pria yang asyik mengobrol. Sheila kaget, ia mengenali salah satunya sebagai Frans
Samudra. "Omm Frans...!!" panggilnya.
Frans menoleh, ia tak mengenali wanita yang memanggilnya itu.
"Saya Sheila, Omm. Masih inget" Ciloto!"
Frans ternganga,"Ya ampun, Sheila. Penampilan kamu sangat berbeda. Kamu cantik banget."
Sheila tersipu, "Kok bisa kebetulan begini ya, Omm mau kemana?"
"Oh, di hotel ini sedang diselenggarakan pertemuan penerbit seluruh Indonesia, Sheila.
Sebenarnya tempatnya di ballroom di lantai dasar, tapi saya mau menemani teman saya ke kamar
tempat ia menginap. Ayo kenalkan dulu, ini Iwan Adiputra."
Sheila menyalami pria yang ada di samping Frans.
"Iwan ini wartawan terkenal dari majalah Bintang dan Film. kamu pernah baca?"
Sheila mengangguk," pernah, Omm, hebat dong."
"Ya begitulah. Saudara Iwan ini memang hebat."
Iwan tertawa mendengar gurauan Frans, kemudian ia berkata pada Sheila, "Anda kenal Frans
di......" "Oh, dia tinggal di rumah Bram Budiman. Penulis novel itu lho..."
"Apa" Bram Budiman" Hebat dong. Aku baca terus tuh cerita dia. Yang terakhir baru beli belum
sempat kubaca." kata Iwan antusias. "Sebenarnya orangnya kaya apa sih" Kok nggak pernah ada
fotonya?" "Aku nggak tahu." kata Frans. "Tuh tanya saja sama Sheila, dia kan tinggal dengan beliau. Oh
ya, Sheila. Kau di sini sedang apa?"
"saya mau merayakan pesta ulang tahu saya, Omm. Yang ke tujuh belas."
"Wah. Selamat ulang tahun ya" Ngundang-ngundang, dong?"
"Nggak, Omm. Saya cuma berdua dengan Pak Bram."
"Oh, berarti nanti malam Pak Bram dateng ke sini ya?"
Sheila menyesal mengatakan itu, Bram pasti tidak suka orang lain mengetahui ia akn datang ke
sini. Tapi melihat Wajah Sheila Frans segera berkata, "Tenang saja, Sheila. Saya sudah tahu Pak
Bram tidak mau identitasnya diketahui. Bisa saja sih, saya nanti malam datang sendiri karena
penasaran dengan dia. Tapi saya bukan orang yang begitu. Ia kan, Wan?"
Iwan cuma nyengir. Sheila tersenyum lagi. Ia sudah tiba di lantai yang ditujunya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu Omm. Sampai ketemu lagi."
Frans melambaikan tangannya pada Sheila, kala pintu lift akan tertutup, sheila membalasnya
dengan riang. Di dalam lift Iwan bertanya, " frans, kau yakin tidak ingin melihat seperti apa wajah Bram?"
Frans melotot, "Kamu nggak serius kan, Wan?"
"Siapa bilang. Aku serius kok."
Frans lalu marah dan berkata bahwa ia sudah berjanji pada Sheila agar ia tak mengganggu
privasi Bram. Lagi pula ini ada kaitannya dengan penerbit tempat ia bekerja yang masih
membutuhkan naskah Bram. Iwan lalu berkata bahwa ia bercanda , dan Frans pun jadi tenang.
Tapi dalam hati ia bertegad, ia ingin melihat seprti apa Bram Budiman itu. Toh ia juga menginap
si hotel ini. Bram terpana. Ia terpesona. Lama ia berdiri memandang wanita di depannya tanpa berkedip dan
tanpa berkata-kata, Sheila sangat cantik dan terkesan...... Dewasa. Tak ada kata-kata yang dapat
melukiskan keindahan yang ada di depannya. Rambut gadis itu yang biasanya lurus, kini ikal
sepinggang. Wajah dimake up tipis namun menampilkan sosok yang berbeda, lebih dewasa. Baju
yang mini dan ketat memperlihatkan lekuk liku tubuhnya yang telah terbentuk separti seorang
wanita sepenuhnya. Dan gadis ini bertambah tinggi. Astaga, ia memakai sepatu hak runcing yang
memerlihatkan keindahan kakinya.
"Apa kau bisa berjalan pakai sepatu itu?" itulah kata pertama yang terucap oleh Bram. Dan ia
memaki dirinya sendiri. Mengapa ia tak mengungkapkan kalimat pujian yang sudah terlintas di
benaknya" Sheila tersenyum lebar. Ia kelihatan sangat gembira. Kalau saja Bram tidak menjaga jarak, pasti
ia sudah melompat memeluk pria itu. Sheila maju sedikit ke bagian yang lebih terang dan cahaya
lampu menerpa wajahnya. Bram bisa melihat pipi mulus tanpa jerawat milik gadis itu.
Sekarang baru terlihat bahwa ini Sheila yang biasa, Sheila yang masih belia. Di tempat gelap
make up hasil tangan yang sangat ahli bisa menipu. Tapi kulit muda gadis ini tetap menampilkan
Sheila sebagaimana mestinya. Sheila yabg hari ini baru menginjak tujuh belas tahun.
"Kau suka...?" tanya Sheila penuh harap.
Bram tersenyum lembut. "Kau tampak cantik. Selamat ulang tahun, ya?"
Sheila mengapit lengan Bram yang hari ini tampak tampan dengan jas hitamnya. "Kukira kau
tidak datang. Aku sudah kelaparan sejak tadi." selorohnya.
Bram sudah memesan hidangan sebelum ia datang. Ketika mereka tiba di meja untuk dua orang
di pojok restoran, pelayan langsung menghidangkan sup dan salad sebagai hidangan pembuka.
Walau katanya tadi lapar, Sheila makan dengan hati-hati. Bram melihat Sheila berusaha keras
tampil dewasa. Sebenarnya Bram ingin gadis itu bersikap seperti biasanya. Menghadapi Sheila
dewasa malah membuatnya canggung.
"Steaknya enak, empuk." kata Sheila sambil berusaha memotong daging itu dengan pisau di
tangan kananny dan garpu di tangan kirinya, lalu memakan daging itu dengan tangan kiri. Itu
yang susah, sebab biasanya kita makan dengan sendok di tangan kanan, kali ini di tangan kanan
malah ada pisau yang cuma berfungsi untuk memotong. Tapi ia berhasil, dan meniru makan
Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan sopan. "Itu daging kijang muda. Rasanya enak, kan?"
"mirip daging sapi, cuma lebih empuk."
Bram tertawa, "Makan yang banyak, "
"Bram aku ingin tanya sesuatu, tapi kau jangan marah, ya?"
"Apa?" "Benarkah kekasihmu sudah meninggal?"
Garpu Bram berhenti di udara, lalu diletakkannya kembali ke piring. "Kau dengar dari siapa?"
"Mbak Marisa. Dia bilang kekasihmu meninggal saat kecelakaan yang..... Yang...." Sheila tak
bisa berkata bahwa itu kecelakaan yang membuat fisik Bram cacat.
"Namanya Ella," jawab Bram. "Dan kami baru berhubungan enam bulan saat kecelakaan itu
terjadi." "Apakah kau sangat mencintainya" Kau masih mengingatnya?"
"Dulu kukira aku mencintainya. Tapi waktu itu aku sangat muda. Sepertinya yang paling
kucintai saat itu adalah diriku sendiri. Sejujurnya, aku lebih sedih karena kecelakaan yang
menimpaku, bukan karena kehilangan dia. Aku malah berharap posisi kita ditukar saja. Dia yang
hidup, aku yang mati. Memangnya yang hidup lebih enak daripada yang mati?"
Sheila terdiam. Rupanya Bram tidak mengingat kekasihnya itu separti yang disangkanya.
"Bram, aku mau tanya lagi. Kenapa kau bersikap dingin terhadap Marisa" Padahal ia cantik dan
baik hati. Padahal ia sudah mengatakan siap penjajakan denganmu, tapi kenapa kau selalu
bersikap ketus padanya?"
Bram mengunyah habis daging di mulutnya, lalu ia mengelap bibirnya dengan serbet. "Aku tak
mau hidupku jadi susah hanya karena ingin membahagiakan satu wanita!"
"Kenapa susah?"
"Kaupikir untuk apa wanita menikah" Mereka ingin bahagia, kan" Nah, aku tak bisa menjamin
kebahagiaan wanita yang jadi istriku. Karena itu, sejak awal aku sudah bersikap begitu, supaya ia
mundur saja, daripada menyesal belakangan."
"Kalau wanita itu tak butuh dibahagiakan" Kalau ia sudah bahagia hanya bisa tinggal
bersamamu?" tanya Sheila lagi.
"Tetap saja aku tak ingin menikah, kalau dengan begini saja aku sudah cukup, untuk apa aku
cari-cari masalah dengan menikah."
"Lalu, apakah kau sekarang bahagia?"
Bram terdiam, "Sheila, ini ulang tahumu. Kenapa kau menanyakan masalah Marisa?"
Sheila tersenyum, "Oh,,,, Maaf kalau begitu.... Aku mau tanya soal perjanjian kita, boleh kan?"
"Ehm.... Kamu harus pindah rumah saat usiamu ujuh belas tahun, begitu?"
"Rupanya kau masih ingat," keluh Sheila. "Berarti kau sudah berniat mengusirku. Bram. Apakah
aku boleh tetap tinggal di rumahmu sampai aku lulus SMA?"
"Apakah ini permintaanmu yang kau bilang akan minta pada saat makan malam?" Bram bertanya
balik. "Tidak. Itu lain lagi. Akan ku katakan nanti kalau sudah selesai makan."
Bram mengerutkan keningnya. Tadinya ia pikir Sheila akan minta tetap tinggal. Sungguh ia tak
bisa menduga maksud hati gadis ini. "Soal itu, Sheila..... Aku terpaksa mengatakan tidak. Kali ini
maaf. Aku tak bisa mengubah keputusanku. Kau tetap arus pergi, tentu saja tidak harus sekarang.
Kau bisa cari-cari rumah beberapa hari ini, baru pindah."
Wajah Sheila berubah murung, "Aku sudah menduga kau akan memutuskan begitu."
"Kau tak usah sedih, Sheila. Aku sudah menyuruh Eman mencarikan rumah kontrakan yang
dekat dengan asrama. Bu Susan masih bisa datang ke sana untuk membawakanmu soal ulangan.
Aku juga akan menanggung semua biaya hidupmu sampai kau lulus nanti. Kau bisa datang
sering-sering untuk mejenguk Eman dan aku, itu bagus kan?"
Sheila ternganga. Bram sudah mencarikan rumah baginya" Tapi mengapa tak tinggal saja di
rumah Bram" Bukankah itu bisa menghemat biaya yang harus dikeluarkan pria itu" Tapi
kemudian Sheila mendapatkan jawabannya. Bram pasti tidak mau lagi diganggu olehnya.
Akhirnya ia tahu, ia tak bisa memaksa terus. "Baiklah, Bram. Terima kasih. Semua yang kau
lakukan untukku hanya Tuhan yang bisa membalasnya. Aku tahu, aku tak dapat memaksamu. Ku
doakan semoga kau selalu bahagia."
Bram mentap wajah Sheila yang terlihat sedih. ia juga sangat sedih, tapi mau diapakan lagi" Ia
dan Sheila tak bisa terus tinggal seatap. Baru-baru ini Bram dengar dari Eman bahwa diantara
para tetangga berhembus gosip ada hubungan yang tak wajar antara dirinya dengan Sheila.
Mereka menanyakan pada Eman, dan Eman membantah keras gosip itu. Tapi tentu saja Eman
memberitahukan hal itu pada Bram.
"Sheila, setelah lulus nanti kau mau melanjutkan kemana?"
Sheila menggeleng, "Aku tak tahu Bram, mungkin aku akan mencari pekerjaan."
"Tidak usah khawatir soal kuliah Sheila, aku pasti akan mengngkosi uang kuliahmu..."
"Tidak usah Bram. Mungkin aku akan menjadi pianis. Kedengarannya hebat dan aku tak usah
kuliah lama-lama. Enak kan?"
"Kau pasti jadi pianis yang hebat, Sheila. Tapi ingat Sheila, kalau kau perlu uang untuk kuliah
atau keperluan lainnya, kau harus bilang padaku."
Mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba pemain piano yang tadinya memainkan lagu-lagu mellow
romantis berganti memainkan lagu Happy Birthday. Sheila kontan menoleh. Ia melihat pelayan
membawa ke tart dengan hiasan lilin yang menyala. Seluruh tamu restoran itu memberikan
tepukannya untuk Sheila dan memandangnya. Sheilapun tersipu malu.
"Astaga, tatapan mereka semua tertuju padaku." bisiknya pada Bram
Ketika kue tart tiba di hadapannya, lagupun berhenti. Bram berkata, "Ucapkan keinginanmu
Sheila, lalu tiup lilinnya!"
Sheila memejamkan mata, ia minta ia dan Bram diberi umur panjang dan kebahagiaan
disepanjang hidup mereka. Dalam sekali tiup lilinpun padam. Para tamu bertepuk tangan lagi dan
pelayan meninggalkan kue tart di meja.
Sheila memotong kue tart itu dan memberikan potongan pertamanya untuk Bram, dan satu lagi
untuknya. Tapi Bram tidak memakan kue itu, ia merogoh sakunya.
"Aku punya hadiah untukmu, Sheila." katanya.
Sheila terbelalak, "Tapi.... Ini semua kan sudah hadiah untukku" Memangnya masih ada lagi"
Sheila menambahkan. "Ingat, Bram aku belum minta sesuatu darimu, ingat?"
"Ya. Aku masih ingat itu tenang saja." Bram membuka kotak berlapis beludru itu lalu
mengeluarkan kalung berliontin "S". Sheila terbeliak melihatnya. Kalung ini pasti bukan cuma
empat atau lima gram seperti punya ibunya yang sampai saat ini masih tersimpan di tasnya. Ini
pasti berapa kali lipatnya.
Setelah beranjak dari tempat duduk dan berdiri di belakang kursi Sheila, Bram meminta gadis itu
menunduk dan melingkarkan kalung itu di leher Sheila.
"Masih ada lagi." kata Bram, kembali ia duduk dan menarik bungkusan di bawah meja.
"Ada lagi?" Bram memberikan miniatur piano di kotak kaca. Milik Sheila yang sudah dibetulkan. Sheila
langsung mengambil dan mengamatinya, lalu air matanya berderai, "Bram....... Kau sudah
memperbaikinya. Ini bagus sekali... Oh... Aku....."
"Sekarang sudah tak rapuh lagi, Sheila. Kata tukangnya ia sudah mengganti kotaknya dengan
arkalik yang lebih tebal. Bila jatuhpun tidak akan pecah, begitupun dengan miniatur di dalamnya.
Tapi kalau bisa sih jangan sengaja dijatuhkan, ya?"
Sheila ingat, bahwa ia pernah mengatakan miniatur piano itu melambangkan dirinya, terlihat
baik-baik saja padahal begitu rapuh. Dan Bram telah memperbaikinya agar tak rapuh lagi. Ini
mengandung arti yang sangat dalam untuknya.
"Bram aku tak tahu harus mengatakan apa."
Bram tersenyum, "untung maskaramu tidak mudah luntur." Sheila tertawa dalam tangisnya dan
menghapus air matanya dengan tisu. Kemudian ia bangkit berdiri, "Aku juga ingin memberikan
hadiah untukmu." "Sheila, kau mau kemana?"
Gadis itu cuma melambaikan tangan dan berlalu menuju piano yabg sedang dimainkan pianis di
atas panggung. Ia berkata sebentar kepada pianisnya, lalu pemain itu membungkukkan badannya
dan mempersilakan Sheila duduk di bangkunya.
Di depan corong mikrofon di atas piano itu Sheila berkata, "Kepada para pengunjung yang
terhormat, terima kasih karena anda bersedian berbagi kebahagiaan di hari ulang tahun saya.
Karena itu aku akan memainkan piano yang saya persembahkan untuk Bram, yang juga hadir di
ruangan ini. Untuk Bram, aku juga ingin menyampaikan bahwa permainan pianoku ini tidak
akan bisa membalas semua kebaikanmu, tapi lagu ini tulus dari dasar hatiku, para pengunjung
mohon tepuk tangannya!"
Para pengunjung restoranpun bertepuk tangan untuk Sheila. Gadis itu memandang Bram yang
terlihat malu dan menunduk saja. Tangan Sheila sedikit gemetar. Baru kali ini ia main piano di
hadapan umum. Ini pun hanya spontanitas dan kini ia mulai menyesal naik ke atas panggung.
Tapi dikuatkannya hatinya. Apapun yang terjadi, anggap saja ia sedang main di hadapan
keluarga Haryanto seperti tempo hari.
Ia pun mulai memainkan Fur Elise dengan penih perasaan . Restoran yang tadinya dipenuhi
percakapan kini sunyi senyap. Mereka terpaku memperhatikan Sheila yang memainkan lagunya
dengan penuh perasaan. Selesai bermain, Sheila mengangkat tangannya lalu berdiri. Tepukan
meriahpun terdengar lagi. Bahkan ada yang berteriak, "More...!! More....!!!"
Sheila sangat gembira mendengarnya. Ia membungkukan badan tanda terima kasih atas
sambutan mereka. Ia pun kembali ke mejanya, di sambut senyuman Bram.
"Itu bagus sekali. Kau membuatku bangga." kata Bram.
"Kupikir kau akan marah, karena perhatian jadi tertuju pada kita. Kau kan tidak suka....."
Bram menggeleng, "Sudah lama sekali, sekarang tidak ada lagi orang yabg mengenalku di
Jakarta. Aku bersyukur padamu, Sheila. Kalau tidak ada kau mungkin sekarang aku masih
bersembunyi di rumah itu dan tak pernah lagi ke tempat umum."
"Jadi sekarang kau akan sering muncul di tempat umum?"
Bram menggeleng, "Kalau tidak ada kau, untuk apa aku kemari?"
Sheila mengedipkan mata nakal. "kalau begitu kita kemari lagi tahun depan, atau enam bulan
lagi, pas ulang tahunmu!"
Bram tertawa, "Bisa bangkrut aku!" Mereka tertawa, "Oh ya, kau bilang akan minta sesuatu saat
makan malam. Aku orang yang memegang janji. Apa yang kau minta?"
Sheila berhenti tertawa, ia memandang Bram, "Bram..... Aku.... Aku sudah dewasa, kan?"
"Ya." jawab Bram bingung.
"Aku ingin dicium olehmu."
Bram terpaku dengan ekspresi terkejut, tapi kemudian ia tertawa sumbang, "Baik nanti di depan
kamarmu aku akan mencium pipimu anak manis."
Sheila memegang tangan Bram, "Bukan di pipi. Tapi di bibir."
Bram terdiam. Di depan kamar Sheila, mereka berdua berhenti. Bram memandang gadis itu lalu berkata, "Aku
tak bisa melakukan ini."
"Kau bilang akan mengabulkan semua permintaanku."
"Tapi aku bukan kekasihmu, Sheila. Lagipula aku tak mungkin jadi kekasihmu. Kau masih tujuh
belas, dan aku pantas menjadi ayahmu. Kau masih muda."
Sheila menatap Bram jauh ke dalam mata pria itu. "Tapi Bram, untuk malam ini bisakah kau
lupakan aku sebagai Sheila, gadis yang menjadi pembantu di rumahmu, dan menganggap aku
wanita dewasa" Kau telah membuat hari ini begitu indah, Bram. Sebagai pengalaman yang
manis dalam hidupku. Apa salahnya menjadikan semuanya sempurna" Seperti yang
kuinginkan?" "Tapi?"" Parlahan-lahan Sheila melingkarkan tangannya ke leher Bram. "Bram, mamaku menikah dengan
papaku saat usianya tujuh belas tahun, dan menurutmu aku terlalu muda untuk meminta sebuah
ciuman di bibir?" Bram ingin mengelak lagi, tapi Sheila memejamkan matanya. Gadis itu berdiri pasrah di
hadapannya, sambil memeluk lehernya. Sebenarnya dalam hati Bram menolak mengabulkan
permintaan Sheila, tapi bibirnya tak mau berkompromi. Sekali saja, Bram....... Apa salahnya
sekali saja untuk yang terakhir kali" Begitu bisikan yang terdengar di telinganya.
Kau mencintainya, Bram. Kau telah membohongi dirimu dengan menyuruh dia pergi dan
berlagak baik dengan memberikan pesta ulang tahun yang begitu mengesankan. Kau tahu
penyebabnya kau melakukan ini semua, kau sudah jatuh cinta padanya. Dan ia sama sekali tidak
terlihat seperti remaja ingusan yang baru berusia belasan tahun.......
Bram mendekatkan bibirnya pada bibir Sheila dan memagut perlahan. Sheila membalas ciuman
Bram, lalu mereka berciuman dengan mesra. Tangan Bram melingkari pinggang gadis itu dan
menariknya lebih dekat. Tangan Sheila merengkuh leher Bram makin erat.
Oh,, betapa Bram mencintainya, betapa ia telah membohongi dirinya sendiri selama ini. Sejak
Sheila hadir di hidupnya, semuanya berubah. Yang dulunya begitu suram, sekarang bagai diterpa
sinar matahari hingga terang bendarang. Ia tak bisa melihat Sheila sabagai gadis belasan tahun,
kalau gadis itu telah mebembus hatinya yang telah mati rasa. Perasaanya pada Sheila melebihi
cintanya pada Ella, kekasihnya yang telah meninggal.
Jujur Bram mengakui, ia telah jatuh cinta pada Sheila, mencintai dengan segenap jiwa dan
raganya. Ia tak tahu kapan hal itu terjadi, mungkin ketika Sheila perlahan-lahan menghancurkan
kebekuan yang mengendap lama di hatinya. Mungkin ketika Sheila membuktikan bahwa ia
melihat Bram apa adanya, bukan dari fisiknya, profesinya, atau kekayaannya.
Bram rela menyerahkan hidup dan miliknya demi Sheila. Gadis yang telah membuka matanya,
membuka hatinya bahwa masih ada hal yang lebih penting dari sekedar cacat fisik. Gadis yang
melihat jauh ke dalam hatinya, dan tidak peduli bagaimana dirinya.
Sheila juga mencintai Bram, pria yang pertama kali mengisi hatinya begitu penuh sehingga tak
tersisa lagi tempat untuk pria lain. Orang yang muncul pada saat yang tepat dan memberikan
perlindungan padanya. Bukan hanya bantuan dari Bram, melainkan kebaikan hati dan ketulusan
pria itu. Ia bisa saja membohongi sdirinya sendiri dengan mencari pria lain, seperti yang
diperintahkan Bram. Tapi kali ini, ia ingin mendengar kata hatinya sendiri. Apa salahnya
perbedaan umur 20 tahun bila mereka tetap bisa bahagia" Ia harus membuat Bram mengerti
bahwa tidak ada, tidak ada satupun yang bisa menggantikan kedudukan Bram di hatinya. Tidak
Reza, tidak juga pria lain yang datang kemudian. Hanya Bram.
Kejadian dengan Marisa telah membuat Sheila mengerti bahwa selama ini dirinya mencintai pria
itu, sejak pertama kali pria itu main piano dengan lagu yang menyayat hati.
Mereka berpelukan dan berciuman begitu mesra. Lupa diri bahwa mereka ada di tempat umum,
lupa bahwa perbedaan usia mereka sangat jauh, lupa bahwa ciuman mereka harus
dipertanggungjawabkan keesokan harinya, ketika mereka terbangun dari mimpi yang telah
dirajut dengan indah. Mereka tidak tahu bahwa ciuman mereka telah diabadikan dalam sebuah kamera digital milik
Iwan Adiputra yang bersembunyi di balik dinding yang menjorok ke lorong.
BAB 14 KESIBUKAN di kantor redaksi tabloid BINTANG dan FILM memang membuat stes.
Masalahnya, tabloid ini beroplah tertinggi. Makanya kadang berita ditambahkan menjelang Dead
line. Tentu saja berita yabg masuk adalah gosip terbaru tentang artis terkanal. Tapi beritanya
yang agak miring sedikit, misalnya perselingkuhan, perceraian, kawin lagi, atau hamil di luar
nikah. "Wan, tumben datang malam-malam. Ada berita baru?" tanya Fauzi bagian pracetak.
"Iya nih. Dua lembar masih bisa, kan?"
"Gimana sih" Udah mau naik cetak nih. Kenapa nggak tadi sore." gerutu Ahmad. "Sudah acc
bos" Ya sudah sini mana!"
"Belum di Acc. Beritanya juga belum ditulis." kata Iwan.
"Sebentar lagi Bos datang. Aku mau ngetik beritanya dulu. Pokoknya kau siapkan saja berita
tambahan satu lembar bolak-balik."
"Waduh.... Bos sampai rela datang pasti beritanya sip punya nih! Berarti ada tambahan oplah,
tambah kerjaan." gerutu Ahmad lagi.
Iwan cuma tersenyum dan bergegas masuk kantor. Ia langsung menyalakan komputer dan mulai
mengetik dengan serius. Berkat keahlian mengetiknya dua puluh menit kemudian berita itu
selesai. Iwan tak menyangka, jalan menuju pemimpin redaksi begitu mulus. Tadi siang begitu ia
mendengar Bram Budiaman akan muncul malam ini, Iwan langsung berharap pembaca puas
dengan melihat tampang pengarang idola yang sampai sekarang menutup dirinya itu terjepretan
kamera miliknya. Ia sudah menunggu gadis yang bernama Sheila turun debgan seseorang yang
sudah pasti Bram Budiman, sang penulis detektif yang melahirkan karakter detektif Ricard
Buwono, detektif mengesankan yang misterius. Dan yang didapatkan Iwan lebih dari apa yang
diharapkannya. Siapa yang tak mengenal Abraham Mukti" Bahkan ketika ia kecelakaan, ada remaja putri yang
gantung diri karena mengira aktor itu meninggal. Ternyata selama belasan tahun sang pengarang
mengucilkan diri dan menjadi penulis novel. Kalau berita ini tak jadi berita utama, Iwan berani
iris kuping. Belum lagi foto Abraham Mukti yang sedang ciuman dengan gadis berusia tujuh belas tahun
pasti akan membuat fenomena baru dalam jumlah oprah tabloid gosip.
Dari komputer Iwan langsung mencetak berita itu dalam beberapa lembar film tembus pandang,
yang langsung dibuat pelatnya untuk langsung dicetak, dan beredar besok pagi.
Hari ini Haryanto bangun kepagian. Entah mengapa semalam ia memimpikan Sheila. Gadis itu
dikroyok orang dan kepalanya bersimbah darah. Itu pasti karena ia terlalu memikirkan gadis itu.
Pedang Pusaka Naga Putih 2 Dewa Arak 83 Irama Maut Pertempuran Di Kutub Utara 1