Pencarian

Piano Di Kotak Kaca 4

Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica Bagian 4


Kemarin Sheila ulang tahun, dan Haryanto meneleponnya untuk memberikan ucapan selamat,
tapi kata pria tua pembantu di sana, Sheila sedang main ke Jakarta. Lalu Haryanto mengira
Sheila akan datang ke rumahnya, tapi setelah ditunggu-tunggu sampai sore tidak datang juga.
"Koraan"!"
Haryanto bangkit dan mengambil koran kompas, pos kota, majalah gadis milik Renny, dan
tabloid Bintang dan Film langganan Ratna.
"Terima kasih ya....!" katanya pada tukang koran.
"Eh tunggu pak. Ini ada yang ketinggalan. Ini ada lembar tambahan dari tabloid Bintang dan
Film." kata tukang koran itu.
Harryanto menerima lembaran sisipan yang ketinggalan itu lalu mengucapkan terima kasih lagi.
Ia pun masuk rumah sambil melihat-lihat headline koran kompas. Ia duduk lagi di bangku teras.
Sisipan yang tadi jatuh ke lantai. Karena tertarik membaca judulnya, Haryanto mengambilnya
dan membacanya. Aktor Abraham Mukti Muncul Lagi Setelah MENGHILANG Selama Tujuh Belas Tahun
* Pacar barunya seorang gadis berumur 17
tahun yang dua puluh tahun lebih muda
darinya. * Nama barunya adalah Bram Budiman,
penulis novel detektif Dunia film akan geger karena bangkitnya aktor film terkenal tahun delapan puluhan Abraham
Mukti (37), dari liang kubur. Setelah mengalami kecelakaan 17 tahun lalu dan tak ada kabar
berita yang dapat dikorek dari keluarganya, pecinta film menyangka ia mengalami kelumpuhan
total atau sudah meninggal. Ternyata tabloid tercinta kita ini melihat ia dalam keadaan segar
bugar di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, sedang merayakan ulang tahun kekasihnya,
seorang gadis bernama Sheila (foto 1)
Hal yang mengenaskan adalah salah satu kaki Abraham lumpuh dan ia berjalan dengan bantuan
tongkat, juga ada sedikit cacat di pipi kirinya (foto 2), tapi Abraham Mukti masih gagah dan
tampan. Buktinya ia masih bisa menggaet seorang gadis cantik yang masih sangat belia. Hal ini
dapat diketahui dari kemesraan mereka berdua di depan kamar sang gadis ( foto 3).
Dari penyelidikan BINTANG dan FILM diketahui bahwa selama 17 tahun aktor tersebut
mengucilkan diri di daerah Ciloto, dan berprofesi sebagai penulis novel detektif yang juga sangat
terkenal dikalangan pecinta buku, dengan nama samaran Bram Budiman. Patut diketahui bahwa
editor yang selama ini mengambil naskah Bram Budiman di rumah itu, Frans Samudra, berkata
bahwa Bram sangat tertutup dan identitasnya tak ingin diketahui orang. Ia tak pernah melihat
wajah Bram Budiman yang sebenarnya, dan semua naskah dipindah tangankan melalui
pembantu Bram. Untunglah dari mulut Sheila, kekasih Bram yang masih belia itu, akhirnya terbongkar rahasia
yang selama ini ditutup rapat-rapat. Abraham Mukti masih hidup dan ia masih terkenal di
masyarakat dengan nama Bram Budiman.
Penemuan ini pasti akan membuat pecinta Film dan buku bersuka cita, baik karena Abraham
Mukti masih hidup, maupun Bram Budiman, pengarang kesayangan mereka ternyata pribadi
yang tegar dan tangguh mengalami cobaan yang menimpanya.
Mata Haryanto terbelalak menatap foto pertama, yaitu foto Sheila dalam balutan busana dan
make up yang membuatnya tampak dewasa. Dan foto kedua, foto orang yang sangat dikenalnya,
Bram, pemilik rumah yang ditinggali Sheila. Dan foto ketiga walau ditutupi dengan blok hitam,
Haryanto sadar di foto itu Bram sedang mencium Sheila. Tangan Haryanto bergetar dan kertas
itu jatuh dari tangannya.
Frans Samudra menatap berita di tangannya dengan mata terbelalak. Ponselnya berdering dan
segera diangkatnya. "Halo.." "Frans, kenapa kau ada di berita tentang Bram Budiman di tabloid Bintang dan Film" Bagaimana
sih" Bos marah-marah lho"!! Dia bilang, kalau Bram tidak mengirim naskahnya lagi kemari,
lehermu akan digorok"!!!" kata Tuti sang sekretaris Bos.
"Eh..... Tut, bilangin sama bos, aku nggak tahu apa-apa soal berita itu. Ini semua gara-gara Iwan
Adiputra, wartawan yang meliput berita ini!!"
"Tapi kok namamu ada di situ?" tanya Tuti ketus.
"Kemarin aku ketemu Sheila, gadis yabg tinggal di rumah Bram itu. Rupanya Iwan penasaran,
jadi ia membuntuti mereka dan mengambil foto tanpa seizin mereka. Tak kusangka pembicaraan
yang kukira hanya diantara kami berdua saja, malah dicetak di tabloid, brengsek....!!!"
"Ya sudah, nanti diselidiki lagi. Tenang saja, kalau kau tak merasa salah tak usah takut."
"Eh Tut, tolong aku ya.." ujar Frans ketakutan.
"Lihat saja nanti."
Sheila bangun dari tempat tidurnya dengan perasaan segar. Ia merentangkan tangan dan
tersenyum. Ah, pagi yang indah! Buru-buru ia turun dari tempat tidur dan ingin bertemu Bram.
Tapi ketika ia membuka pintu, ia berteriak kaget melihat sorot lampu kamera yang membuat
matanya silau. Buru-buru ia menutup pintu kembali.
Astaga, apa itu" Pikirnya. Firasatnya tidak enak, ia mesti menghubungi Bram.
Diputarnya nomor kamar Bram, tapi tidak ada yang mengangkat. Ia menghubungi front desk di
bawah. Mereka bilang tidak melihat Bram meninggalkan hotel, pasti masih ada di kamarnya.
Tapi semua tagihan sudah dilunasi dengan kartu kredit pada saat membooking.
Sheila tidak mandi lagi. Ia mengambil baju putih yang dipakainya pada saat datang ke Jakarta.
Ketika ia membuka pintu, jepretan blitz hampir membuatnya buta.
Tubuhnya terdorong masuk lagi ke kamarnya, karena belasan bahkan puluhan wartawan ada di
depan kamarnya. Ternyata mereka sudah menunggu sejak tadi, beberapa kamera disodorkan ke
wajahnya. "Saudara Sheila, sudah berapa lama anda mengenal Abraham Mukti?"
"Kanapa anda mau menjadi kekasihnya" Apa karena ketenarannya atau kekayaannya?"
"Benarkah usia anda baru tujuh belas tahun?"
"Kapan kalian memutuskan untuk menikah" Atau ini cuma hubungan main-main saja?"
Sheila pucat pasi. Ia mendorong wartawan yang paling dekat dengannya. "Bram mana" Aku mau
cari Bram!" teriaknya, tapi suaranya kalah debgan suara nyamuk pers yang berebutan bicara.
"Jadi anda memanggil Abraham Mukti dengan panggilan Bram. Nama sebenarnya siapa?"
"Apa kalian tinggal satu kamar atau dua kamar?"
Tak tahan lagi akhirnya Sheila menjerit, "DIAMMMM......!!!!" tapi percuma saja, ia tak digubris
sama sekali. Akhirnya ia memutuskan kaluar, "Tolong beri jalan, saya, mau keluar."
Tiba-tiba ia merasa tubuhnya ditarik dari arah wartawan itu. Ia ingin melawan, tapi tarikannya
terlalu kuat. Sheila pun pasrah, membiarkan tubuhnya ditarik, lalu ia lari mengikuti orang yang
menariknya itu. Rupanya orang itu sopir limusin sewaan kemarin. Apakah orang itu tahu dimana
Bram berada" Pikiran itu membuat semangat Sheila timbul. Ia berlari makin cepat agar bisa
meninggalkan wartawan yang mengejarnya.
Mereka masuk lift, dan seorang wartawan berhasil masuk. Namun karena sendirian, Sheila purapura tak mendengar ketika orang itu mengajukan pertanyaan.
Tiba di lantai bawah, keluar dari lift sudah ada wartawan yang menunggunya lagi. Sheila
mengikuti sopir itu lari ke lobi dan halaman perkir depan, lalu langsung masuk ke sebuah sedan
yang sudah siap di depan pintu masuk. Mobil langsung dijalankan, diiringi kejaran para
wartawan yang masih bandel dan berusaha mengambil gambar. Di dalam mobil Sheila melihat
Bram. "Ah syukurlah kau ada di sini..!!" ujar Sheila sambil memeluk Bram dan menyerukkan wajahnya
ke dada pria itu. Gadis itu menangis terisak-isak, "Aku takut sekali, mereka mengejarku. Aku tak
tahu apa mau mereka!" lalu merasa aneh karena Bram diam saja, Sheila mengangkat wajah dan
menatap Bram. Pria itu tersenyum lembut, "Yang merekabinginkan adalah berita tentang aku, Sheila." Bram
menyodorkan tabloid Bintang dan Film.
Sheila buru-buru membaca berita itu. Matanya terbelalak melihat berita yabg ditulis begitu
kejam. Apakah semua yang tertulis itu benar" Apakah benar Bram aktor terkenal" Pantas Sheila
begitu familiar dengan wajahnya, rupanya ia pernah melihat film-film lama Bram yang diputar
ulang. Dan mereka menulis bahwa ia kekasih Bram! Penggambaran mereka begitu memuakan, seolah
Bram pemikat daun muda yang haus seks, mencium gadis belia di depan kamar hotel. Identitas
Sheila juga masih samar dan berkonotasi negatif. Air mata Sheila mengambang di pelupuknya.
Sheila juga membaca berita tentang Frans Samudra.
"Omm Frans apa dia yang menulis semua ini" Aku bertemu dia di hotel, dan tanpa sadar........ Oh
bodohnya aku"!!!!! Dan semalam aku bilang akan makan malam denganmu. Ya ampun.......
Tak kusangka dia tega membocorkan...."
Sheila menatap Bram, wajah pria itu terlihat teduh dan tenang.
"Bram kenapa kau tak menelepon kantor tabloid ini" Bilang supaya mereka tak menyebarkan
fitnah!" "Tidak Sheila, apa yang ditulis di situ benar adanya. Walau terlihat lebih buruk daripada
kenyataannya, tapi mereka sudah menulis kebenaran." ia memandang Sheila. "Sekarang kau tahu
kanapa aku mengucilkan diri di rumah itu."
Sheila menangis, "Lalu bagaimana" Sekarang alamatmu sudah ketahuan orang dan mereka akan
mengejarmu ke situ. Kau tak bisa beesembunyi di sana lagi!"
Bram mengangguk perlahan, "Aku tak akan tinggal disana lagi."
Sheila bingung, "Lalu?"
Mobil itu berhenti, Sheila memandang keluar. Ia mengenali tempat itu. Ini adalah..
Ia menatap Bram, "Mengapa kita kemari" Mengapa kita ke umah Oom Haryanto?"
Bram tersenyum dan memandang Sheila, tangan kanannya mengelus kepala gadis itu.
Sheila berkata, "Ya aku tahu, kau benar! Kita bisa tinggal sementara di rumah Oom Haryanto.
Tidak akan ada yang tahu kita tinggal di sini. Ini keputusan yang tepat."
Bram mengangguk, "Benar Sheila, rumah oom mu adalah tempat teraman dibandingkan tempat
lainnya." Sheila menarik tangan Bram, mengajaknya turun. "Kalau begitu, ayo cepat turun sebelum para
tetangga melihat mobil mewah ini dan berpikiran yang tidak-tidak, Ayo..!" Sheila memandang
keheranan karena Bram bergeming. "Ayo...!!"
Bram menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ikut, Sheila"
Sheila menatap Bram lama sekali, lalu ia terisak dan histeris "Kau mau meninggalkan aku
sendirian di sini, kau mau pergi!!!!" ia memukul-mukul dada Bram dengan kepalannya.
"Sheila, kalau ada kesempatan kita pasti akan bertemu lagi." ia memegang pipi Sheila dan
mengarahkannya ke hadapannya. Gadis itu masih menangis tersedu-sedu. "Diamlah jangan
menangis, jangan biarkan aku mengenang wajahmu yang penuh air mata. Kau sudah dewasa,
kan?" Tangis Sheila makin keras.
"Jangan tinggalkan aku disini, aku tak mau pisah darimu. ... kita cari tempat lain saja, lalu tinggal
berdua seperti biasanya."
"Sheila, kau harus melupakanku, jangan mengharapkan aku lagi. Jalanmu masuh panjang.......
Kau harus mandiri...."
Sheila menggelengkan kepalanya," Tidak....!! Tidak...!!"
Pintu di samping tempat duduk Sheila terbuka. Sang sopir memapah gadis itu turun. Pertama
Sheila menurut, tapi kemudian ia histeris dan masuk mobil lagi. Sopir itu langsung mengangkat
tubuh Sheila keluar dan langsung menutup pintu, lalu menguncinya dengan remote. Sheila tang
sudah di luar mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan tangannya.
"Bram.....!!! Bram.......!!! Bram.....!!!"
Bram menatap arah lain, tak mau melihat Sheila, juga tak mau Sheila melihat air matanya.
Sang sopir dengan gesit masuk kembali ke kursi pengemudi, lalu menjalankan mobil. Sheila
berteriak-teriak dan mengejar mobil itu. Tapi tentu saja mobil melesat jauh meninggalkannya.
Sheila terjatuh dan menangis.
Seseorang menghampirinya dan memapahnya berdiri. "Sheila..... Sheila ..." kata Haryanto. " Ayo
kita masuk, Nak.." Sepanjang perjalanan menuju ke Ciloto, Bram menetap ke luar jendela sambil sesekali tangannya
mengusap matanya yang memerah karena air mata. Masih diingatnya kejadian tadi pagi. Ia baru
bangun dan memikirkan bagaimana harus bersikap setelah ciuman tadi malam, saat pintu kamar
hotelnya diketuk. Setelah ia membuka pintu, sebuah pukulan telak menjotos rahangnya hingga ia terdorong ke
belakang. Ia bangkit berdiri dan melihat siapa yang melakukan itu. Betapa kagetnya ia bahwa
pria yang menjotosnya adalah Haryanto.
"Jadi inikah arti bantuan dana seratus juta yang kau berikan?" seru Haryanto sambil merangsek
maju. "Untuk membeli Sheila, begitu?"
Bram ternganga. Haryanto memperlihatkan foto di tabloid yang dibawanya. "Dan kau
memperlakukan keponakanku seenaknya karena meresa telah membelinya"!"
Bram merebut tabloid itu dan melahap habis berita yang tertulis dalam sekejap mata.
BUGH...!! Haryanto memukulnya lagi. Kali ini Bram tak berniat membalas. Ia merasa sangat
malu dan menyesal karena telah mencium Sheila. Semalam ia memang terhanyut perasaan. Tak
tahu bahwa ada yang mengabadikan kejadian itu dan membuat berita tentang dia.
"Dengar...!! Aku akan mengembalikan semua uangmu secepatnya! Tapi bila kau berani
menyentuh Sheila lagi, aku akan membunuhmu dengan kedua tanganku...!!!"
"Pak Haryanto.... Saya...." belum sempat Bram menjelaskan, Haryanto menyela.
"Sheila akan kuambil, lebih baik ia tinggal denganku daripada dengan srigala berbulu domba
sepertimu!" Bram berkata, "Saya akan mengantarkan Sheila ke rumah anda..."
Kejadian itulah yang menyebabkan Bram mengantarkan Sheila ke rumah Haryanto. Tapi
sejujurnya Bram senang dengan penyelesaian seperti ini. Sheila memang butuh tempat tinggal
baru. Mereka tak bisa tinggal di Ciloto lagi, ia pun harus pindah. Melihat sikap paman Sheila,
Bram tahu Haryanto akan menjaga Sheila meski nyawa taruhannya. Bram bisa tenang sekarang.
Tidak ada penyesalan di hati Bram. Semua diterimanya dengan hati lapang. Ia tak pernah
menyesal telah bertemu Sheila, kalaupun harus berpisah itu takdir Tuhan. Jalan hidup gadis itu
masih panjang. Tak mungkin membiarkan gadis itu tetep bersamanya dan menghambat masa
depannya. Benar, Bram tidak menyesal sama sekali. Ini adalah satu tahun terindah di dalam
kehidupannya, lebih dari saat ia berada di puncak ketenarannya dulu.
Berkat Sheila ia menyadari bahwa cacat fisiknya tidak perlu menjadi penghalang prestasi yang
dulu diraihnya dari film, kini telah tergantikan dengan profesi menulis yang digelutinya.
Herannya, sebelum kejadian ini ia tak pernah menghargai hal ini. Terima kasih kepada penulis
berita itu, membuat ia sadar tepat pada waktunya, sebelum ia berjalan terlalu jauh menuju jurang.
Ia akan memulai hidup baru. Dan bila saatnya tiba, ia akan sadar bahwa ini semua hanyalah
kerikil-kerikil tajam yang terserak di jalannya yang penjang. Kerikil itu akan semakin halus bila
sering dipijaknya. Selamat tinggal, Sheila. Semoga semua ini berarti bagimu juga.
Sheila berjalan dengan langkah gontai. Jiwanya seakan lepas dari raganya. Hatinya hampa.
Mengapa ia tak menyadari betapa berartinya Bram sebelum mereka berpisah" Mengapa ia tak
menyampaikan isi hatinya sejak kemarin-kemarin" Tidak usah menunggu di hotel" Di tempat
umum" Kau bodoh Sheila, kau telah menghancurkan hidup Bram! Kau mengahancurkan
hidupmu juga! Sheila masuk ke ruang tamu rumah Haryanto. Di sana ia bertemu Reza yang memandangnya
dengan wajah keruh. Melihat Sheila, pemuda itu membuang muka. Sheila tahu Reza pasti sudah
membaca berita itu. Pasti ia sangat muak membayangkan bahwa Sheila menolaknya kerena telah
jatuh cinta pada Bram. Tak sengaja ia menyenggol Renny yang sedang berdiri menonton televisi. Renny langsung
menoleh, "Nggak punya mata, ya" Heh... Inget ya"!! Kalau mau tinggal di sini lagi, awas kalau
macem-macem.!!" Haryanto menghardik anaknya, "Renny..!"
Renny menatap ayahnya, "Kenapa sih, Pa" Dua mau tinggal di sini kan" Kasih aturan yang jelas
dong. Nanti kalau aku digebug sampai mati memangnya papa nggak sedih?"
PLAK..!! Haryanto menampar Renny, Renny terkejut menatap ayahnya sambil memegang
pipinya yang merah. Matanya berkaca-kaca.
"Papa..!!" teriak Ratna.
"Papa mngebelain dia daripada aku?" isak Renny.
Sheila melihat kejadian itu, tapi hatinya mati rasa. Tidak ada gairah untuk ikut campur.
"Sheila, ayo ikut tante," kata Ratna. "Tante sudah menyiapkan kamarmu."
Sheila merasa tangannya dituntun Ratna. ia menurut saja. Ratna membawanya ke kamar yang
dulu. Tapi kali in kamarnya sudah berisi ranjang dan perabotan lain yang kelihatannya masih
baru. "Bagaimana, bagus kan" Ini ide Oom. Katanya kau akan tinggal di sini lagi." ia mendekatkan
wajahnya pada Sheila dan berbisik, "Sheila, coba kau tolong tante ya?"
Sheila menoleh dan menatap Ratna.
"Tolong bilang ke Bram, tidak usah minta uang yang seratus juta itu kembali." Sheila terpaku
dan tidak menjawab, tapi Ratna tak memperhatikan air muka keponakannya itu. Ia tak berhenti
bicara, "Sekarang zamannya lagi susah. Baru saja Oom mau bangkit dengan uang itu. Kau kan
tahu sifat Oommu, ia pasti pinjam sana sini untuk bayar utang pada Bram. Nanti bisa payah
bayarnya, Sheila..?"" Sheila...?""
Sheila menoleh pada Tantenya lagi.
"Jadi tolong Tante ya, tolong bilang sama Bram, bayar utangnya nanti saja. Ditunda dulu. Kalau
keuangan Oom sudah membaik , baru dikembalikan, dicicil pelan-pelan.
Sheila mengangguk, Ratna keluar. Sheila menghempaskan tubuhnya ke tempat tidaur dan
menangis. Batinnya terasa lelah, sangat lelah.
Semalaman Sheila tak bisa tidur. Ia terus memikirkan cara agar bisa ketemu Bram lagi. Saat ini
Bram pasti masih di Ciloto. Tidak mungkin ia meninggalkan barang-barangnya begitu saja.
Berdasarkan pemikiran seperti itu, saat hari belum terang Sheila telah keluar dari rumah
Haryanto menuju rumah Bram.
Dulu ibunya menikah dengan ayahnya pada saat usianya tujuh belas tahun. Sama dengan
umurnya sekarang. Ya ia bisa menikah dengan Bram. Lalu mereka pergi ke tempat yang sangat
jauh. Mereka bisa mengucilkan diri sama dengan yang dilakukan Bram selama tujuh belas tahun.
Tapi kali ini Bram tak akan sendirian. Aku akan menemaninya, dan kami akan menikah lalu
memiliki anak-anak yang lucu-lucu. Eman akan ikut kami, tekad Sheila.
Sheila tahu, kalau ia bertemu Bram, ia pasti bisa membujuk Bram. Sama seperti ketika ia
membujuk pria itu untuk menciumnya. Bram tidak akan bisa membohongi dirinya lagi. Sheila
tahu pria itu mencintainya. Tapi Bram mesti ada di sana. Harus ada di Ciloto. Mereka harus
ketemu. Lalu bagaimana kalau Bram tak ada di sana" Bagaimana kalau Bram suah tak ada di sana"
Bagaimana kalau Bram tidak pulang ke Ciloto"
Aku akan menunggunya, tekad Sheila. Suatu saat Bram pasti akan ke sana. Aku akan
menunggunya di sana, aku tak akan kembali lagi ke rumah Haryanto. Aku akan tinggal di rumah
itu bersama kakek Eman. Ya, Eman pasti ada di sana, aku akan tinggal bersamanya. Menunggu


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bram. Ketika Bus tiba di depan asrama, Sheila langsung berlari sekuat tenaga ke rumah Bram. Tidak,
Sheila .... Tenang, cuma beda beberapa menit ridak akan merubah keadaan. Bran pasti masih ada
di sana. Tenanglah.... Bisik hatinya.
Rumah Bram masih sama seperti terakhir kali Sheila meninggalkannya. Tapi walaupun baru
meninggalkan rumah itu kemarin lusa, rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Betapa anehnya
perasaan manusia. Apa yang dirasa tidak selalu sama dengan kenyataan.
"Bram.... Bram....." Sheila membuka pagar dan masuk ke rumah. "Kakek..." Kakek Eman!"
Di ruang tamu Sheila melihat Eman sedang mengepak barang dan memasukannya ke dalam
kardus-kardus. "Kek, mana Bram..." Mana Bram, Kek"!!" tanyanya.
Eman melihatnya, "Sheila kau datang."
"Kek, Bram mana?"desak Sheila.
Eman menggeleng. "Tuan tidak ada di sini, Sheila. Kemarin malam ia langsung pergi, tidak
bilang mau kemana. Sheila terdiam, "Bohong.... Kakek Bohong." Sheila menunjuk kardus-kardus, "Itu apa" Barangbarangnya saja masih dipak, tidak mungkin orangnya sudah pergi."
"Kakek tidak bohong, sudah setua ini buat apa bohong. Tuan tidak ada di sini." katanya
tersinggung. Sheila menangis,"Maafkan aku, kek. Tapi Bram kemana" Akankah ia kembali lagi ke sini?"
Eman menggeleng, " Rumah ini akan dihancurkan Sheila, begitu permintaan Bram, di sini akan
dibangun tambahan asrama sesuai dengan permintaan Bu Lia, kepala sekolah Mutiara Ibunda."
Tubuh Sheila lemas dan ia terduduk di lantai. "Lalu Kakek" Nanti kakek akan tinggal dimana?"
"Aku akan pulang ke Garut. Disana aku punya rumah dan tanah. Rumahku kecil, tapi cukuplah
untukku. Mungkin aku akan menghabiskan masa tuaku di sana."
Sheila menangis sejadi-jadinya. Tak diduganya begini akhirnya. Kalau saja ia tahu akan
mendatangkan banyak kepedihan untuk semua orang, akan tiputarnya waktu, ia tak akan lari ke
sini swtelah memukul Indah. Ia akan tetap tinggal di asrama, hidup baik-baik sampai ia lulus
SMA. Ia telah menyusahkan banyak orang.
"Sheila, tuan menitipkan surat untukmu." kata Eman.
Sheila buru-buru menbacanya,
Dear Sheila, Bila kau membaca surat ini berati aku sudah pergi. Aku sangat sedih tak bisa bertemu denganmu,
tapi aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu mengingatmu. Tinggallah baik-baik di rua
Haryanto dan railah cita-citamu. Jangan harapkan bertemu danganku lagi, karena akupun begitu.
Tempuhlah jalan kita masing-masing, dan mudah-mudahan bila kelak kita akan bertemu lagi,
kita berdua akan teringat pahit manisnya kenangan yang telah kita alami. Hiduplah tegar, jangan
rapuh seperti piano di kotak kaca milikmu. Aku yakin kau akan tumbuh menjadi gadis dewasa
yang regar dalam menghadapi kehidupan ini. Lupakanlah masa lalu, songsonglah masa depan.
Love, Bram Sheila bersimpuh di lantai dan menangis. Emab menghampirinya dan mengelus punggungnya.
"sudahlah, nak jangan menangis terus nanti kau Sakit."
Aku akan menjadi gadis yang tegar, Bram. Tapi aku tak yakin seberapa kuat aku" Dan seberapa
lemah aku" Aku tak tahu. Namun jika kau menyuruhku tegar, aku akan coba tegar. Sheila
berhenti menangis, dan bangkit berdiri. Ia memandang sekeliling. Dan pandangannya tertumbuk
pada piano putih milik Bram.
Dihampirinya piano itu, ia duduk dan dimainkannya lagu Fur Elise. Aneh, mengapa sekarang ia
memainkannya dengan nada sedih, seperti yang biasa dimainkan Bram" Air matanya menetes. Ia
menyelesikan lagunya, bangkit berdiri dan menutup piano.
Ia melangkah gontai keluar rumah. Ketika tiba di luar pagar ia menoleh lagi, melihat rumah itu
untuk terakhir kalinya dan pergi dari situ.
Di dalam rumah Eman menghampiri Bram di kamarnya, "Sudah pergi, Man?" tanyanya dengan
suara yang sangat letih. "Sudah tuan. Oh ya, barang-barangnya mau diapakan?"
Bram diam saja. Eman pun keluar meninggalkan pria itu sendirian.
BAB 15 Lima tahun kemudian..... SHEILA menutup piano muridnya dan bangkit berdiri. Ia menepuk kepala Clara, gadis berusia
enam tahun yang diajarnya seminggu sekali.
"Clara pintar, Kakak Sheila lihat kamu sudah banyak kemajuan. Nanti jangan lupa berlatih lagu
yang tadi, ya" Minggu depan Kakak datang lagi." katanya lembut.
Clara mengangguk, "Kok udahan, Kak. Memangnya pacar Kakak sudah jemput, ya?"
Wajah Sheila tersipu. Clara lari ke depan dan mengintip lewat jendela. Ia berteriak, "Kak Sheila, pacarnya sudah
datang!" Sheila mengangkat tasnya dan memberi salam pada mama Clara yabg membawakannya segelas
air putih dan potongan biskuit di piring kecil. "Saya pulang dulu, Tante."
"Aduh, Maaf"! Saya lupa, baru mengeluarkan minumannya sekarang! Ayo, diminum dulu,
Sheila. Dimakan dulu biskuitnya." kata wanita berisia tiga puluhan bertubuh subur itu.
Karena tidak enak Sheila buru-buru meminum air yang masih di nampan di tangan wanita itu,
lalu menelan biskuit cepat-cepat. "Terima kasih, Tante. Minggu depan saya datang lagi."
kemudian ia berlari ke luar.
Di luar dilihatnya Reza dusuk di motor kesayangannya. Motor itu dimodifikasi seperti motor
balap, yang menjadi obsesi pemuda seusianya.
Reza tersenyum dan menyodorkan helm pada Sheila
"Udah lama, Rez?" tanya Sheila.
"Ya, sepuluh menitan lah... Sori pakai motor soalnya Tini dan Wenny sudah menunggu dari tadi.
Jadi harus ngejar waktu." melihat muka Sheila yang keruh, ia bertanya, "Hari ini apa lagi?"
Sheila mendaratkan bokongnya ke jok di belakang Reza. Layaknya motor balap, jok motor ini
agak nungging. Jadi kalau naik di boncengan motor ini, pinggang Sheila bisa pegal-pegal.
"Anaknya nanya-nanya terus di menit terakhir, dan mamanya baru ngeluarin air minum pas aku
mau keluar!" jawab Sheila.
"Beruntung banget kamu dapet murid cerewet, eh ibunya pelit. Sengaja nggak ngeluarin
makanan sampai les berakhir. Ogah rugi waktu...'' komebtar Reza.
Reza pun menjalankan motornya kencang-kencang, Sheila pun terpaksa memeluk pemuda itu
erat-erat. "Iya sih, tapi anaknya rajin latihan, Rez. Aku maklum kalau sifat mereka kayak gitu. Ekonomi
ibunya pas-pasan, tapi kepengin anaknya pinter." memang ibu anak itu banyak akalnya. Ada saja
akalnya, seperti melambatkan jam dinding di dekat piano, atau minta tambahan waktu dengan
alasan karena anaknya belum mengerti.
"Cita-cita mulia sih boleh aja, kepengin anaknya pinter, tapi jangan korupsi waktu orang dong."
Sheila tertawa, "Sudahlah itung-itung amal. Hari ini ada rapat?"
"Ya ada pengantin yang minta diurus pestanya, dan persiapan hanya satu bulan."
"Apa" Cepet banget..! Apa keburu" Bukannya biasanya paling cepat dua bulan?"
"Wenny sudah menyanggupi. Ya sudah, dia kan pinter. Kita serahkan saja pada dia."
Sheila tersenyum, Reza memang sudah lulus dari fakultas Ekonomi, tapi pemuda itu
memutuskan untuk berwiraswasta. Katanya ia malas bekerja dibawah perintah orang lain, karena
sudah cukup punya satu bos di rumah, alias ibunya.
Tiny dan Wenny yang selama ini terus berhubungan dengan Sheila tertarik untuk ikutan. Wenny
yang keadaan ekonomi keluarganya lumayan patungan dengan Reza yang dibiayai oleh Ratna.
Mereka berdua merintis usaha Wedding Organizer.
Mula-mula usaha mereka sepi. Tapi dari job mereka yang pertama dan ditangani dengan
sungguh-sungguh dan dengan harga yang miring pula, akhirnya nama mereka pun tersebar dari
mulut ke mulut. Di tahun kedua usaha ini, fondasi usaha mereka sudah cukup kuat dan relasi
mereka pun sudah cukup banyak. Tini yang sedang menganggur ikut membantu. Sheilapun jadi
salah satu pegawai mereka, yaitu menjadi pianis yang siap bertugas di hari Sabtu dan Minggu,
hari dimana banyak orang menyelenggarakan pesta pernikahan.
Sheila tak menyangka cita-citanya akhirnya tercapai. Ia tak menamatkan SMAnya setelah ulang
tahunnya yang ke tujuh belas, tapi ia giat berlatih piano di bawah bimbingan seorang guru
profesional, atas biaya Haryanto. Saat teman-temannya kuliah, ia pun kuliah di kehidupan nyata.
Ia memberi les piano pada anak-anak, tak kurang dari lima belas rumah dikunjunginya setiap
minggu. Dari memberikan les piano Sheila bisa mandiri dan punya penghasilan sendiri.
Saat ia membantu usaha Wedding Organizer milik Reza dan Wenny, tanpa sadar ia telah menjadi
pianis yang permainanya didengar banyak orang, walau mereka hanya tamu yang diundang
dalam pernikahan. Tapi Sheila bangga bisa menghibur banyak orang. Ia sudah membuat
hidupnya berarti. Motor Reza sudah memasuki sebuah ruko berlantai dua yang disewa pemuda itu sebagai kantor.
Wenny malah sering tidak pulang, dan tidur di lantai atas. Ia tipe orang Workaholic, suka bekerja
sampai lupa waktu. Tini pun kadang setia menemaninya. Sheila bingung bagaimana kehidupan
Wenny tanpa Tini, dan Tini tanpa Wenny. Kedua temannya itu sudah seperti sendok dan garpu,
kemana-mana berdua walaupun selalu ribut.
Sheila memandang papan nama yang bertuliskan 'The Glass Slipper', nama yang dipilih Wenny
yang awalnya ditolak mati-matian oleh Reza. Bagi Wenny ia ingin menciptakan dunia Cinderella
dan sepatu kacanya bagi para pengantin yang akan mengawali hidup baru dengan sebuah pesta
pernikahan yang mengesankan. Menurut Reza, nama itu tidak pantas untuk sebuah Wedsing
Organizer yang lebih pantas dinamai 'Bridal Link', 'One Stop Marrige', atau ' Wedding Compass',
dan bukan nama yang nggak nyambung yang artinya sepatu kaca. Tapi dengan berjalannya
waktu, Reza mengakui keunikan The Glass Slipper yang ternyata banyak menarik pelanggan
wanita yang ingin bahagia seperti Cinderella.
Sheila menggelengkan kepalanya, itu cuma satu dari seribu masalah yang ditimbulkan bila Reza
dan Wenny disatukan dalam rapat. Dan hari ini akan jadi salah satunya.
"Hai bos, Audinya masuk garasi nih?" tegur Wenny yang melihat kedatangan Reza.
"Nih, ngebelain jemput Sheila dan ngejar waktu ke sini." jawab Reza.
"Waktu kok dikejar, emang lari kemana?" sahut Tini cuek.
"Hai, Sheila..."
"Hai, Wen. Hai, Tin."
Tubuh Sheila terasa segar setelah masuk ke ruangan ber Ac sehabis berpanas-panasan di motir
Reza. Ia menghempaskan bokongnya ke sofa empuk yang diperuntukan bagi pasangan pengantin
yang melihat-ligat portofolio The Glass Slipper. Ruangan The Glass Slipper ditata unik, menurut
selera Wenny yang high class. Dinding ruang tamu di lantai satu dilapisi wallpaper bernuansa
cokelat dan merah bit dan dibeberapa bagian dipasang cermin. Karpetnya sangat tebal dan buatan
luar negeri. Belum lagi barang-barang antik yang dipajang. Tapi menurut Sheila, hasil akhirnya
bagus dan ia menyukainya. Lagi pula utu sangat berpengaruh dalam meningkatkan prestige agar
clien memutuskan memakai The Glass Slipper sebagai Wedsing organizer pernikahan mereka.
Wenny membagi-bagikan ketas fotokopi yang berisi catatan yang sudah dibuatnya.
"Waktu kita tinggal 27 hari lagi, dan aku sudah memesan tempat di ballroom Hotel Kintamani
untuk acara pernikahannya. Kateringnya aku pakai yang biasa saja, karena mereka bilang
terserah. Untuk undangan dan kue, mereka belum memilih, tapi aku bilang akhir minggu ini
harus sudah final. Sedangkan gaun pengantin, ia yang cari sendiri." tutur Wenny tanpa jeda
untuk bernapas. "Ini yang katanya akan menikah dalam waktu satu bulan, Wen?" tanya Sheila mempelajari
fotokopian tersebut. Tini yang menjawab, "Iya, katanya tadi mereka ke sini ya?"
Wenny mengangguk. "Yaahhhh....! Aku nggak lihat pengantin perempuannya kayak gimana. Oh ya, kau sudah
perhatikan bentuk perutnya, wen?" tanya Tini jail.
"Sudah, dan nggak hamil! Heran, kenapa sih kamu penasaran banget?" gerutu Wenny. Tini cuma
memonyong-monyongkan mulutnya mengikuti gerakan mulut Wenny, sehingga Sheila tak bisa
menahan tawa. "Siapa sih mereka?" tanya Sheila.
"Aku sebutin juga percuma, kamu nggak bakal kenal. Cowoknya sih kelihatannya kaya,
ceweknya cantik, tapi yakin dadanya silikon." senyum Wenny.
"Nama prianya.... Harry Prakoso, novelis terkenal. Nama calon istrinya Varenia Candra." jawab
Wenny. "Cowoknya cakep?"
"Ganteng, pokonya bikin aku ngiri."
Mendengar kata 'Novelis' , Sheila lantas teringat pada Bram. Bram juga novelis terkenal. Tapi
sejak kejadian lima tahun lalu, tampaknya pria itu sudah berhenti menulis, Sheila sudah berusaha
mencarinya melalui penerbit, dan mereka bilang Bram sudah tak mengirimkan naskah lagi lewat
pos maupun minta diambil. Sheila juga mendengar kabar dari Bu Susan di asrama Mutiara
Ibunda bahwa Bram ikut keluarganya ke Jerman. Setelah mencoba berbulan-bulan tanpa hasil,
Sheilapun pasrah. Mereka kehilangan kontak, atau Bram yang sengaja tidak mau berhubungan
lagi dengannya. Sheila merasakan tangannya digenggam. Ia menoleh dan melihat Reza tersenyum padanya. Reza
pasti tahu Sheila sedang melamunkan Bram. Sheila membalas senyuman Reza, tapi tangannya
melepaskan genggaman pria itu perlahan-lahan. Wenny dan Tini berhanti bicara dan
memperhatikan mereka. "Hei.... Pacaran jangan waktu rapat, dong!" sergah Tini.
Sheila tersipu. Ia memandang ke arah Wenny yang menundukkan kepala dan pura-pura
memeriksa beberapa berkas. Sheila tahu, Wenny pasti cemburu melihat adegan ini. Sudah lama
ia tahu Wenny jatuh hati pada Reza, tapi Reza mencintai dirinya. Sheila mengeluh, kenapa
kadang-kadang joeoh tak pas jatuhnya, atau bersilang-silang, atau bahkan punya beberapa
pasangan, seperti pria yang berpoligami" Banyak kesedihan di dunia ini yang bermula dari cinta,
seperti cintanya pada Bram yang harus putus di tengah jalan. Lalu buat apa cinta ada di dunia
ini" "Oke." sergah Reza, kembali konsentrasi ke rapat. "Menurutku, karena waktunya mepet, beritahu
mereka untuk menyiapkan mental untuk mendapatkan segala sesuatu seadanya. Dan suruh
mereka bayar DP lima puluh persen."
"Mereka sedah bayar lunas." ujar Wenny.
"Apa"!" Reza terkejut.
"Siapa dulu dong yang bicara" Wenny!" sahut Wenny bangga.
Otomatis Reza, Sheila, dan Tini meninggalkan sofa. Candaan mereka yang biasa kalau Wenny
mulai narsis. Sheila membuka pagar rumah Haryanto. Ia pulang lebih dulu karena Reza masih harus mengurus
perkerjaan, sedangkan ia sudah lelah karena sudah keliling sejak pulul sepuluh pagi. Sekarang
sudah pukul lima sore, ia ingin mandi dan istirahat, rileks di penghujung hari untuk
mengistirahatkan jiwanya.
Sheila memang masih tinggal di rumah Haryanto, tidak seperti rencananya semula yang ingin
pindah dari rumah itu. Rencana itu terus mulur karena beberapa kejadian yang terjadi. Akhirnya
ia mendapati dirinya masih tinggal di rumah itu lima tahun kemudian, setelah peristiwa yang
membuat dirinya terpaksa berpisah dengan Bram.
"Aku pulang...!" serunya saat ia melewati ruang tamu. Tapi tak ada yang menyauti panggilannya.
Apa semua orang belum pulang" Pikirnya.
Langahnya terhenti melihat sepasang manusia yang asyik bercengrama di sofa ruang tamu.
Mereka berciuman dengan mesra tanpa tahu kehadiran Sheila. Sheila menggelengkan kepalanya
karena ia mengenali bahwa itu adalah Renny dan pacar playboynya Nathan.
Brak...!!! Sheila sengaja menjatuhkan tasnya ke meja. Dua insan itupun melepaskan diri dengan
wajah tersipu. "Eh, Sheila" sudah pulang?" Tanya Renny sambil membenahi bajunya yang kusut. Sang pria
berlagak mengambil minum di meja dan meminumnya.
"He-eh. Ren. Oom sedah makan?" tanya Sheila.
"Tau tuh. Sudah kali. Si Marni kan sudah tahu tugasnya."
Sheila menghela napas, "Aku kan sudah bilang, aku akan bantu mengecek pekeejaan Marni, kau
kan tahu Marni bagaimana."
Reni cuma diam saja sambil cemberut. Ia tahu kalau kata-kata Sheila benar, tapi ia tak suka bila
ditegur. "Renny?"!! Renny....!" terdengar suara teriakan dari pagar.
Sheila mendongak ke depan dan berkata pada Renny, "Ada yang byariin tuh, Ren!"
Renny menghentakkan kakinya kesal, "Si jelekitu lagi?" ia pun keluar dari rumah dengan
langkah perajurit yang siap membasmi musuh.
Sheila menahan senyum, Renny paling tidak suka bila Rico tetangga mereka yang sudah tiga
tahun menginnya datang. Rico memang bisa diacungi jempol. Demi cintanya pada Renny, ia rela
pasang muka tebal. Kalau setiap hari tidak bertemu Renny, kepalanya jadi pusing tujuh keliling.
Dan walaupun ia tahu Renny sudah punya pacar yaitu Nathan, Rico tidak peduli.
"Hallo, Sheila." bisik seseorang di belakang telinga Sheila. Sheila yang sedang menuang air dari
dispenser kaget. Ketika ia menoleh, dilihatnya Nathan berdiri terlalu dekat di belakangnya.
"Nathan, kau mau apa?" belalaknya. Sudah lama ia tahu kalau Nathan bukan cowok setia. Bila
tak ada Renny, Nathan suka curi-curi pandang ke Sheila.
"Cuma mau nyapa calon ipar, boleh kan?"
"Oh, begitu" Nggak salah nih, kamu berhubungan dengan Renny" Sikapmu saja kayak gini...."
sindir Sheila "Sikap apa" " elak Nathan. "Boleh minta minum?" tanyanya.
"Nih!" Sheila memberika gelas yang tadinya untuk dirinya sendiri. Lalu buru-buru ke ruang tamu
meninggalkan tempat itu. Sheila tak mau nelihat Nathan, dan akhirnya menyalahkan Sheila yang
menggoda pacarnya. Renny ternyata tidak lama. Ia cuma keluar untuk mengusir Rico, laku kembalu ke ruang tamu.
Sheila pura-pura melihat tumpukan surat, padahal Sheila menghindari berdekatan dengan
Nathan. "Ren, jadi makan Kentucy, nggak?" tanya Rico.
"ayo." Renny bangkit, dan mencari-cari sepatunya. "Sheila, aku keluar dulu, kalau Mama pulang, bilang
aku makan di luar saja. " Nggak bilang papamu dulu"!"
"Kau ajah Deh yang bilang!" Renny pun melesat menyusun Nathan yang sudah keluar duluan.
Tak lama kemudian suara mobil kijang menunggalkan rumah Haryanto. Sheila memberesi gelas
bekas Nathan minum lalu masuk ke kamar Haryanto.
Kamar itu berbau pengap. Sheila sudah bilang ke Reza untuk membujuk Tante Ratna agar mau
bertukar kamar dengan Haryanto. Kamar yang dipakai Ratna punya ventilasi yang baik, karena
ada jendela besar di depannya. Kamar Haryanto tidak berjendela. Tenth saja Reza tak berani,
apalagi Sheila. Akhirnya ia menyuruh si Marni, pembantu keluarga itu untuk sering-sering
membuka pintu. Dan kali ini pintu ditutup lagi. Sheila jadi tambah kesal pada Marni.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Haryanto berbaring di ranjang berukuran single.. Di bawahnya Marni tidu pulas eir liurnya
menetes ke lantai.. Sheila terbelwlak kesal dan mengguncang tubuh pembantu berusia tujuh belas
tahun " Marni?" bisiknya
Marni terbangun dan melompat begitu tahu Sheila yang membangunkannya. "Eh....Non Sheila."
"Tuan sudah dikasih makan belum...?" tanya Sheila sambil menahan kesal.
Mendengar itu, Marni langsung melompat dan lari ke arah dapur. Hmmm... Berarti Marni belum
memberi Haryanto makan siang, pikir Sheila. Keterlaluan...!!! Sheila menghampiri tempat tidur
Ommnya, dan duduk di bangku sampingnya.
"Maafkan saya,Oom. Saya baru pulang. Hari ini ada rapat di kantor Reza. Ternyata Marni lupa
lagi ya menyuapi Oom." katanya sambil memegang tangan pria itu.
Mata Haryanto menatap Sheila, tapi bibir pria patuh baya itu tetap tertutup, tidak mengeluarkan
suara apa-apa. Sudah lama Sheila tidak menangis melihat keadaan Oomnya, karena sudah
terbiasa. Tiga tahun yang lalu Haryanto mengalami stroke dan lumpuh. Kata dokter, stroke bisa terjadi
karena pola makan yang tidak sehat dan stres. Haryanto terjatuh di kamar mandi dan tak
sadarkan diri beberapa hari. Pembuluh darah di otaknya pecah. Haryanto pun menderita lumpuh
dari pinggang ke bawah, karena jaringan otaknya rusak. Bicarapun tidak jelas, organ tubuhnya
bisa sehat separti semula untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Tapi untuk apa umur panjang
bila kradaannya seperti ini" Pikir Sheila.
Haryanto makan, minum, dan buang air di tempat tidur. Setiap pagi ia dipindahkan ke kursi roda
dan berjemur di teras. Sheila sangat sedih Oomnya menderita seperti ini. Ia tidak jadi pindah dari rumah Haryanto juga
karena memikirkan hal ini. Haryanto cuma dirawat oleh Marni, pembantu bodoh yang sudah
bekerja di rumah itu selama dua tahun. Bodoh dan malasnya luar biasa. Marni memberi makan
Haryanto, mamandikannya setiap hari, dan membersihkan kotorannya. Sheila kesak dengan sifat
malas Marni yang sering lupa memberi Haryanto makan atau mendiamkan bila Haryanto buang
air di tempat tidur. Tapi cuma gadis itu yang betah bekerja seperti itu. Jadi seberapa kesalnya
Sheila pada pembantu itu, ia tak pernah berpikir untuk memecatnya.
Yang membuat Sheila tambah sedih, Ratna yang tak bisa menerima penyakit suaminya jadi
menjauhkan diri. Wanita itu tidak mau tidur sekamar dengan suaminya, ia juga jarang
menjenguk Haryanto di kamar ini. Mungkin ia terpukul dengan musibah ini. Untungnya Ratna
punya adik yang melanjutkan usaha furniture milik Haryanto. Usaha itu lumayan berhasil
walaupun tak semaju dulu, dan mereka masih bisa makan dengan cukup.
Dua tahun lalu Reza mulai merintis usahanya sendiri yang kini mulai menampakkan hasil. Renny
pun semester depan sudah lulus dan akan diwisuda. Sheila bersyukur keluarga ini tak mengalami
kesulitan keuangan setelah Haryanto lumpuh.
"Ini Non, sudah saya ambilkan buburnya." kata Marni takut-takut sambil menyodorkan piring itu
pada Sheila. "Mau Non yang nyuapi atau saya?"
"Mau saya potong gajimu bulan ini" " delik Sheila. Marni tersipu-sipu. Ia segera menyendok
bubur dan menyuapkan ke bibir Haryanto. Sheila tak tega melihat Oomnya makan seperti ini.
"Oom, Sheila ke kamar dulu. Oom makan yang banyak, ya." Haryanto cuma mengangguk.
Sheila pun meninggalkan kamar itu dan masuk ke kamarnya. Sheila terduduk di ranjang.
Kasihan Oom Haryanto, batinnya Sheila. Susah payah pria itu membanting tulang untuk
keluarganya, ternyata akhir hidupnya cuma begini saja.
Sheila jadi teringat pada ayahnya. Sampai sekarang ia tak pernah lagi menjenguk ayahnya di
penjara. Cuma sekali ia pernah menjenguk ayahnya, itupun sudah lima tahun yang lalu dan atas
suruhan Bram. Sheila kadang menangis bila teringat ayahnya, tapi kebenciannya tak pernah
hilang. Seandainya papa begitu menyayangi keluarganya seperti Oom Haryanto, pastilah ia
sudah menjadi anak yang paling bahagia di dunia ini, pikir Sheila.
Pandangannya tertubruk pada piano di koat kaca yang ada di atas meja. Diambilnya benda itu
dan dielusnya. Mama, ternyata kehidupan tak selamanya lebih enak dari pada kematian. Yang
hidup masih melihat banyak sekalu persoalan, sedangkan yang mati akab meninggalkan semua
itu. Mama, saat ini kau pasti sudah bahagia di surga sana.
, Restoran itu terletak di pinggir jalan raya. Tapi entah karena letaknya atau fengsuinya yang
kurang bagus, tempat itu hanya ramai kalau hari Sabtu dan Minggu. Akhirnya pemiliknya
memutuskan bahwa hari-hari biasa tempat itu disewakan untuk seminar, pertemuan, dan arisan.
Pemasukan yang didapat lebih lumayan daripada menunggu tamu.
Hari ini restoran itu ramai oleh gelak tawa dan obrolan nyonya-nyonya kaya yang punya banyak
waktu untuk berkumpul dan mengadakan arisan. Barang yang dijadikan arisan adalah emas
seratus gram, modelnya bisa dipilih apa saja. Bisa perhiasan, bisa juga batangan. Ratna juga ikut.
Ini sudah pertemuan keempat dan namanya sudah keluar dipertemuan kedua. Tidak apa-apa. Toh
ia datang bukan karena emasnya, melainkan karena pergaulan dan bersenang-senang
menghilangkan suntuk di rumah.
Haryanto sudah tiga tahun lumpuh setengah badan. Suami yang dulu tak pernah dibanggakannya,
namun masih bisa bergerak dan mencari uang kini terbaring tak berdaya. Dan tak tahu kapan
akan sembuhnya. Ratna sungguh sangat kecewa akan kehidupan ini. Dulu ia berusaha matimatian menghemat biaya rumah tangga, supaya kelak bisa hidup enak, tapi sejak usaha Haryanto
bangkrut dan mereka dirampok, ia mulai patah arang. Apalagi ditambah Haryanto Stroke, Ratna
jadi stres berat. Akhirnya Ratna menyimpulkan hidup enak bukan dari penghematan. Ia harus melepaskan semua
beban, dan mulai menikmati hidup. Apalagi sejak usaha furniturenya dikelola oleh adiknya,
pendapatannya masih lumayan untuk biaya hidup sehari-hari. Anak-anak pun sudah lulus kuliah,
dan Reza sudah punya penghasilan sendiri. Kini Ratnapun tak mau membuang-buang waktunya
untuk menjadi ibu rumah tangga, pengorbananya, tak sebanding dengan hasilnya.
Dua tahun lalu Ratna diajak Anastasia temannya untuk menjadi anggota perkumpulan ini, grup
ibu-ibu rumah tangga yang kaya , namun kesepian. Usia mereka berkisar 30 sampai 45 tahun.
Arisan diadakan hanya sebagai sarana. Bukan barang yang mereka kejar, namun pergaulan.
Pelopornya adalah Nyonya Dewinta Tutik. Ia menyelenggarakan arisan gaya baru dengan
tambahan beberapa variasi pertemuan yang diadakan dua atau tiga kali seminggu. Anggota
tetapnya memang ubu-ibu itu, tapi sebagai tambahan , beberapa pria muda ikut arisan tersebut.
Kata Anastasia, pria-pria itu mereka menyebutnya berondong, bisa 'dipakai'. Tentu saja dengan
imbalan uang, tapi ratna tak pernah mencoba. Diperkumpulan ini, ia hanya ingin menghilangkan
stres, daripada terus memperhatikan kondisi Haryanti di rumah. Lagi pula menurut Ratna,
mengobrol dengan para berondong itu bukanlah dosa. Ia tak harus keluar uang pula. Ini sudah
termasuk fasilitas dari uang iuran yang ia bayarkan pada Nyonya Dewinta Tutik.
Hari ini ada pria tampan yang sepertinya baru bergabung. Ia sedang meneguk minuman sambil
menatap keluar restoran. Ratna mengira-ira umur pria itu baru tiga puluh lima, atau mungkin
lebih, dilihat dari wajahnya yang berwibawa. Biasanya Ratna tak pernah begitu tertarik dengan
pria-pria muda di situ. Tapi kali ini entah mengapa ia merasa pria itu berbeda. Ia memutuskan
mendekati pria itu. Cuma mengobrol tidak apa-apa, pikir Ratna.
"Hai..." ia duduk du hadapan pria itu.
Pria itu menoleh dan membalas senyumanya. Alisnya terangkat, seolah-olah ingin tahu apa
keperluan Ratna mendekatinya.
"Namaku Ratna, namamu..?"
Pria itu menjawab ragu, "Harry."
"Orang baru di sini, ya?"
Pria itu memandang Ratna dengan muka bingung. Tiba-tiba seseorang datang dan memegang
bahu pria itu. "Hallo Ratna, kau sudah berkenalan dengan calon adik iparku?"
Ratna menatap Anastasia dengan bingung. Adik ipar" Jadi..... Dia bukan.... Astaga..!!! Untung
tadi aku belum bilang apa-apa, batin Ratna. Bagaimana kalau ia salah sebut, kalau dia
berondongnya Bu Dewinta" Tapi sayang sekali.... Setampan ini....
"Namanya Harry Prakoso. Dia novelis terkenal, itu lho, yang novelnya pernah aku pinjamkan
kepadamu. Kau sudah baca, kan?"
Ratna teringat dengan novel roman misteri yang dipinjamkan Anastasia kepadanya. Walau agak
tebal, tapi ceritanya bagus. "Jadi ini pengarangnya?"
Anastasia tersenyum, "Dia memang kupaksa kemari untuk aku perkenalkan pada orang-orang.
Karena aku calon kakak iparnya, jadi ia tak bisa nolak, iya kan Har?"
Pria itu cuma tersenyum lalu melirik jam tangannya. Ratna ingat temannya yang janda cantik itu
memang punya adik yang beda usianya tujuh tahun dengannya. Namanya Varenia, panggilannya
Vania. Ternyata pria itu calon suami Vania"
Ratna tersenyum menggoda, "Hati-hati, Har. Punya calon kakak ipar seperti ini, bisa-bisa kau
dilahapnya." Anastasia pengibaskan tangannya."Ah, nggak mungkin aku begitu sama adikku sendiri."
"Memangnya kapan nikahnya?"
"Sebulan lagi."
Tak lama kemudian Harry pamit pada Anastasia. Ratna memandangi pria itu berjalan
meninggalkan mereka. "Memangnya berapa umurnya, Nas?"
Anastasia tersenyum, "penasaran, ya" Tapi ganteng banget, kan" Masih kelihatan muda,lagi.
Aku kaget waktu tahu ternyata dia dua tahun lebih tua dari kita. Dia sudah 42 tahun, lho!"
Anastasia mendekat dan berbisik pada Ratna," Dan kau tahu" Jangan bilang-bilang pada siapasiapa ya. Kaki kanannya itu kaki palsu, lho. Karena adikku cinta setengah mati padanya, kaki
palsu pun tak jadi masalah."
BAB 16 BRAM membuka pintu apartemennya. Kakinya sudah pegal ingin segera istirahat. Memakai
kaki palsu memang lebih baik dari pada memakai tongkat, tapi ia tak tahan capeknya kalau
terlalu lama berjalan. Lima tahun yang lalu setelah berpisah dengan Sheila, hidupnya jadi berantakan. Ia tak tahu apa
yang harus ia lakukan. Ingin melupakan Sheila dengan menyibukkan diri, ia memutuskan
mengarang. Tapi kalimat yang biasanya mengalir lewat ketikan tangannya, kini tersendat-sendat.
Ia tak tahu mau menulis apa, tak tahu mau mengarang apa. Hidupnya jauh lebih hancur
ketimbang waktu ia mengalami kecelakaan dulu. Ia hampir tak dapat menahan diri untuk pergi
ke rumah Haryanto dan menemui Sheila. Tapi ia sadar itu tak mungkin ia lakukan. Jalan hidup
Sheila masih panjang, dan ia tak mau menghancurkan jalan hidup gadis itu. Pikirannya jadi
buntu, sampai-sampai ia hampir memutuskan untuk bunuh diri lagi. Untung ia ditemani ibunya,
yang heran melihat begitu besar cinta anaknya pada sorang gadis tujuh belas tahun yang masih
bau kencur. Emma memutuskan untuk membawa Bram ke Jerman. Ia membujuk anaknya itu untuk operasi
plastik di wajahnya, "Kalau penampilan kita baik, maka perasaan kita jauh lehih baik." katanya.
Bram menyetujui saran ibunya, bukan karena ingin berpenampilan lebuh baik, melainkan karena
ia ingin melakukan apa saja asal tidak mengingat Sheila.
Di Jerman ia menjalani operasi plastik untuk menghilangkan bekas luka di pipi kirinya. Saat
melihat kakinya yang timpang, dokter juga menyarankan untuk memeriksa kakinya juga. Ilmu
kedokteran sudah makin canggih, Bram pasti bisa berjalan normal lagi.
Sebenarnya Bram ragu, tapi Emma langsung setuju. Setelah diperiksa, menurut dokter kaki Bram
tak bisa pulih seperti sedia kala, tapi bisa dipasang kaki palsu agar ia bisa berjalan karena
beberapa otot gerak di kaki kanannya masih berfungsi dengan baik. Bram merasa dipermainkan
kehidupan. Dulu, ketika hatinya hancur karena kecacatannya, tidak ada yang bilang bahwa ia
bisa normal kembali. Kini, ketika ia tak membutuhkan semua ini ia kembali normal, yang bisa
berjalan tegak, bisa tampil di depan umum tanpa rendah diri.
Bram memulai kembali hidup barunya dengan rasa percaya diri yang mulai tumbuh. Ia tinggal di
sebuah apartemen di Jakarta. Jakarta begitu luas, ia yakin takkan bertemu Sheila. Bram kembali
memulai kariernya di bidang menulis. Tapi ia tak mau lagi memakai nama Bram Budiman. Kini
ia memakai nama aslinya, nama yang diberikan orangtuanya saat ia lahir, Harry Abraham
Prakoso. Ketika Bram akan kembali ke kamarnya, ia merasakan seseorang menutup matanya dari
belakang. "Vania?"" gumamnya
Vania membuka tangannya dan tertawa pada Bram.
"Kok nggak kaget...?" tanyanya
"Selain kau, siapa lagi yang punya kunci masuk ke apartemen ini?" tanya Bram.
Vania tersenyum manis. Wajahnya jadi tambah cantik. Pertemuan Bram dan Vania cukup unik.
Ia bertemu Vania ketika melakukan Cek up kaki palsunya di Jerman dua tahun lalu. Kebetulah
status yang mereka bawa tertukar. Karena warna map yang sama, ketika mereka betabrakan dan
terjatuh di rumah sakit, map mereka tertukar. Bram mesti menghabiskan waktu satu jam untuk
menemukan dimana gadis itu berada. Ketika mereka bertemu, dengan santainya Vania
mengajaknya makan malam. Saat itulah hubungan mereka dimulai.
Vania bukan jenis gadis yang manja dan ingin diperhatikan. Ia peduli terhadap orang lain,
dewasa, dan mau mendengarkan lawan bicara. Dalam waktu singkat saja Bram menyukai
sebagai lawan bicara, begitupun Emma. Tapi ketika ia sampai di Jakarta dan Vania menemuinya
lagi, tanpa direncanakan hubungan ini terjadi begitu saja. Bram tidak tahu ia mencintai Vania
atau tidak, karena sejujurnya cuma satu orang yang ia cintai seumur hidupnya yaitu Sheila. Tapi
ia menyayangi Vania. Ia tak sanggup menyakiti hati gadis itu.
Vania pun tahu masalah kaku palsu dan kelumpuhan kaki kanan Bram, tapi ia tak pernah
memedulikan hal itu. Tanpa terasa sudah dua tahun hubungan mereka. Dan bulan depan mereka
akan menikah. Dengan kondisi yang kini sudah jauh berubah, sebenarnya Bram ingin menemui Sheila, tapi ia
tak punya keberanian. Lagi pula, ia takut perasaan gadis itu sudah berubah. Bram akan merasa
malu pada dirinya sendiri. Usia mereka pun terpaut terlampau jauh, betapa ironisnya.
Akhirnya Bram memutuskan melupakan Sheila selama-lamanya. Ia akan menutup pintu yang
menjadi penghubung hidupnya sekarang dengan masa lalu. Vania dikirim Tuhan untuknya, ia
yakin itu. Sudah saatnya ia melanjutkan hidupnya dan melupakan masa lalunya.
"Aku sudah melunasi semua biaya pesta kita, Bram." Vania memang tak memanggilnya dengan
panggilan 'Harry' melainkan tetap dengan nama kecil pria itu. "Mereka bilang, mereka akan
membuat pesta pernikahan kita menjadi pesta yang tak terlupakan, asyik kan?" ujar Vania sambil
bergelayut manja di lengan Bram yang sedang duduk di sofa. " Tapi kue pengantinnya dan
undangannya sudah harus dipilih akhir Minggu ini."
"Apa kau yakin tidak akan berubah pikiran lagi?" tanya Bram.
"Kanapa" Apa kau tidak yakin?"
"Bukan begitu. Apa tidak lebih baik kalau persiapannya agak lama, seperti dua atau tiga bulan
lagi. Kan hasilnya pasti lebih bagus. Kita pun jadi lebih mantap, tidak terburu-buru seperti ini."
"Tidak. Sejak mimpiku bulan lalu hatiku jadi tidak tenang. Aku ingin buru-buru menikah saja,
biar tidak kehilanganmu." Sahut Vania. Ia memang pernah bermimpi ia dan Bram memakai baju
berkabung, dan Bram meninggalkannya. Itu mimpi buruknya yang pertama kali sejak dua tahun
hubungan mereka. "Mimpi itu bunga tidur, Vania. Karena kau takut kita berpisah jadi kau mimpi begitu."
"Wajar dong aku takut berpisah denganmu... Aku kan sangat mencintaimu." Ujar Vania manja.
Sewaktu bertemu Bram di Jerman, Vania juga sesang menjalani cek up. Ia ingin memeriksa
apakah payudaranya yang disuntik silikon enam tahun lalu baik-baik saja, soalnya ia mendengar
berita menakutkan tentang seorang wanita yang meninggal karena payudaranya disuntik silikon,
dan itu membuatnya takut. Payudara Vania dulu memang datar. Wanita itu merasa
penampilannya ada yang kurang, maka ia memutuskan melakukan operasi. Tapi ia sudah
berterus terang pada Bram tentang hal ini, dan Bram bilang tidak apa-apa. Ia tak akan
mempermasalahkan masa laku Vania. Itulah salah satu hal yang membuat Vania cinta setengah
mati padanya. Bram adalah pria terbaik yang pernah dimilikinya. Selain baik hati, tampan, dan cerdas, Bram
juga romantis. Dan yang terpenting, Vania cinta padanya. Selama ini Vania tak pernah mencintai
seseorang seperti ia mencintai Bram. Beberapa kali Vania pacaran dan selalu gagal. Kali ini ia
tak mau gagal lagi . Maka ia ingin mereka segera menikah. Mula-mula Bram tidak setuju, tapi
berkat bujukannya akhirnya pria itu luluh juga. Lagi pula Vania mendapat dukungan penuh dari
Emma. Emma bilang usia mereka lebih dari cukup untuk menikah. Vania 29 tahun, dan Bram 42
tahun. Menurutnya ini waktu yang tepat.
"Jadi satu-satunya yang belum beres adalah gaun pengantinku dan jas untukmu. Besok kita
mencoba sama-sama, ya?" ujar Vania.
Bram cuma mengangguk, laku termenung. Ia melihat kalender di dinding. Tanggal itu
menunjukan bahwa sekarang tanggal 7 Desember. Ia ingat, hari ini ulang tahun Sheila.
"Surprise......!!!!!!!!"
Sheila terkejut. Ia sudah menduga bahwa ia dikerjai. Pintu tertutup, tirai tertutup rapat, dan
lampu dimatikan.. Dan benar saja ada pesta kejutan dibaliknya. Ia baru ingat, hari ini ia ulang
tahun. Ya ampun, ini pasti kerjaan Reza, Wenny, dan Tini.
Ketiga orang itu sedang sibuk menyanyika lagu Happy Birthday. Dibelakang mereka Marni
sedang tertawa lebar sambil memegangi pegangan kursi roda di depannya. Haryanto duduk di
kursi roda dan kepalanya bersandar di sandarannya. Ia menatap Sheila seolah ikut merayakan
pesta kejutan ini.. Di ruang tamu Haryanto itu, mereka hanya berlima, Ratna dan Renny belum
pulang. Sheila sangat gembira, ia meniup 22 lilin kecil di atas kue black forest yang dipegang Tini.
Sebelumnya Sheila telah mengucapkan doanya, yaitu semoga dirinya, Reza, Wenny, Tini,
keluarga Haryanto, dan Bram selalu sehat dan bahagia.
"Lho, katanya kantor sedang banyak pekerjaan" Kenapa kalian repot-repot bikin pesta segala?"
kata Sheila. "Alahhhhh sesibuk apapun masa kita lupa ulang tahunmu?" ujar Wenny.
"Yahhhhhh.... Kalau begitu, aku mesti repot mengingat hari ulang tahumu nanti." gurau Sheila.
Rasa haru mengganjal di tenggorokannya dan ia ingin menangis. Teman-temannya begitu
perhatian padanya. "Buka kado....! Buka kado...!"
Sheila membuka kado pertama, Wenny memberinya sehelai syal yang kelihatan mahal. Pasti
benda bermerk. Temannya itu memang borju. Tini memberinya dompet kulit berwarna krem.
Sedangkan Reza tak memberinya apa-apa.
"Nanti malam aku akan mengajakmu makan malam, saat itu akan aku kasih hadiahnya." bisik
Reza pada Sheila. Sheila melirik Wenny. Sahabatnya itu sesang memperhatikan mereka berdua. Wenny langsung
menghindar. Terlihat sinar cemburu di mata gadis itu. Perasaan Sheila jadi tidak enak, ia tak suka
melukai hati siapa pun. "Piano....!! Piano...!! Ayo main piano untuk kita, Sheila!" seru Tini yang sedang memotongmotong Black forest.
Sheila tersenyum dan melangkah menuju piano. Ketika ia sudah duduk di depan piano,
ingatannya kembali ke lima tahun yang lalu, saat ia juga main piano untuk Bram, di depan
pengunjung restoran. Ia mulai memainkan Moonlight sonata, bukan Fur Elise, karena ia sudah lama tak memainkan
lagu itu. Sambil memainkan piano, lamunan Sheila melayang jauh.


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bram, dimana kau sekarang..." Di belahan bumi mana kau bersembunyi dariku" Batinnya sedih.
Baru disadarinya, ia salah memilih lagu. Moonlight sonata terlalu sedih untuk dimainkan saat ini.
Charles memandang dinding penjara yang tak lagi terasa membelenggunya setelah enam
setengah tahun berlalu. Waktu pertama datang kemari, keempat dinding itu terasa
menghimpitnya. Cuma lewat jeruji besi ia bisa memandang dunia luar, itupun hanya terbatas
pada sel lainnya. Sel. Unsur terkecil dari tubuh manusia. Jutaan sel mati setiap harinya, tapi sang empunya akan
tetap hidup. Sepertinya arti kata itu sama bagi sel penjara ini. Tempat tinggalnya hanya sebuah
sel. Dan tak akan ada yang peduli apakah ia akan hidup atau mati.
Charles terbatuk. Batuknya tak bisa berhenti. Ia terus terbatuk sampai rasanya mau muntah.
Perutnya tertarik dan ototnya terasa nyeri. Dokter telah memeriksanya, dan memberitahu bahwa
ia terkena TBC, salah satu penyakit yang kerap diderita penghuni penjara akibat penularannya
yang cepat. Charles ingat teman satu selnya dulu juga batuk seperti ini. Lalu karena lembabnya
dinding penjara atau karena usia tua, ia meninggal. Charles curiga dirinya juga mengidap kuman
tuberkulotis yang ganas itu.
"Mat hari ini tanggal berapa?" tanya Charles setelah batuknya mereda.
"Kenapa abang nanyain tanggal, abang bebas masih lama, kan?"
Charles tidak menjawab. Ia teringat hari ini ulang tahun Sheila.
Ia sangat rindu pada putrinya. Terakhir mereka bertemu, Charles berkata bahwa Sheila tak usah
datang lagi ke tempat itu. Tapi sejak itu, ia terus berharap kedatangan anaknya. Hatinya penuh
tanda tanya. Marahkah Sheila padanya" Marahkah anak itu karena ia telah meninggalkannya"
Bagaimana hidup anak itu sekarang" Baik-baik sajakah"
Sejak tiga tahun yang lalu Haryanto tak pernah lagi datang mengunjunginya. Sejak itulah Charles
kehilangan kontak dengan satu-satunya orang yang peduli padanya. Semua kawannya menghibur
dengan suara yang pahit dan getir, agar Charles tak memikirkan dunia luar. Sudah jadi berita
umum bahwa sanak saudara menghilang dan tak datang-datang. Dan kalau masih punya hati,
mereka datang pada saat mendekati hari pembebasan.
Charles termenung. Dadanya terasa sakit. Ia sangat ingin bertemu putrinya. Sheila, papa belum
sempat bercerita padamu, Nak. Banyak yang ingin papa ceritakan, tapi kau tak pernah
mengunjungi papa. Charles mengusut air matanya. Tidak apa-apa yang penting sekarang kau
bahagia, Nak. Dan selamat ulang tahun.
Sheila turun dari mobil Audi milik Reza. Ia tersenyum dan melihat restoran yang baru pertama
kali dikunjunginya. "Kok sepi, Rez?" tanya Sheila memandang sekeliling saat memasuki restoran.
Reza tersenyum penuh rahasia. "Restoran ini ku booking khusus untukmu, Sheila."
Sheila menatap Reza tak percaya. Tapi melihat sebuah meja du tengah-tengah ruangan yang
diatasnya ada lilin menyala dan hidangan yang tertata rapi, ia jadi tahu pria itu tidak bohong.
"Rez" untuk apa?""
Sheila tak melanjutkannya, karena merasakan tangan Reza yang menyentuh lengan yang
telanjang. Pria itu mempersilakan Sheila duduk. Sheila merasakan wajahnya memanas.
Perlakuan Reza membuatnya malu. Ia biaa merasakan perasaan pria itu begitu dalam untuknya.
Tapi sayangnya ia tak bisa membalas perasaan itu.
"Tak usah protes, Sheila. Pokoknya duduk dan nikmati makan malam ini, Oke?" ujar Reza,
"Soalnya aku tahu, kau akan mengoceh soal buang-buang duit dan sebagainya. Kau kan sudah
hampir terkana ' virus Mama'."
"Hei...." protes Sheila, "Tante Ratna sudah berubah, Kok. Sekarang ia sudah tak pelit lagi."
"Malah sebaliknya, Boros. Buang-buang duit setiap hari, arisan dengan nyonya-nyonya kaya
kesepian." "Reza..!!!!" tegur Sheila, "Tak baik ngomong seperti itu tentang Mamamu sendiri."
Reza berkata pedih, "Sheila.... Kadang aku ingin berada di posisimu. Kau tak punya ibu yang
menghindari ayahmu sendiri karena ia lumpuh...."
"Reza...." Sheila menatap Reza sambil tersenyum lembut, seakan bicara lewat matanya bahwa ia
tak ingin membicarakan tentang Tante Ratna lagi.
Reza tersenyum, "Oke. Mari kita lupakan masalah rumah, mari kita makan sebelum makanannya
dingin." Sheila memakan daging ayamnya perlahan-lahan. Makanannya cukup enak, tapi ia tak begitu
lapar. Sambil makan, mereka ngobrol tentang masalah kantor dan murid-murid Sheila yang luculucu.
"Thanks ya, Rez....... Makanannya lezat sekali. Aku pernah makan yang....."
Kalimat Sheila terhenti. Ia hanya bisa terpaku saat Reza mengeluarkan kotak beludru kecil
berwarna biru dari saku bajunya.
Saat Reza membuka kotak itu, Sheila melihat sebentuk cincin berkilauan.
Reza menatap Sheila sambil tersenyum.
"Apa, itu?" tanya Sheila.
"Untukmu." kata Reza sambil mengeluarkan cincin itu dari kotaknya."Aku ingin hubungan kita
lebih serius, Sheila."
"Mak... Maksudmu..?" tentu saja Sheila tahu arti sebuah cincin yang diberikan pada seorang
wanita oleh pria yang mencintainya. Tapi otaknya berpikir keras agar ia menjawab tanpa
menyinggung perasaan Reza. Ia cuma sekadar mengulur waktu.
"Sheila, kau sudah tahu aku bagaimana" ujar Reza serius. "Kau tahu aku tulus mencintaimu. Aku
tak pernah berpaling ke wanita lain selama lima tahun ini. Kau juga tahu aku telah menolak
Wenny yang menyatakan perasaanya padaku."
Mata Sheila berkaca-kaca. Wanita mana yang tak terharu melihat pria yang begitu tulus
mencintainya" Reza telah membooking restoran, menyiapkan cincin.... Ayolah, Sheila, kau
bukan orang yang tak punya hati.
"Tapi, Rez....."
Reza menggenggam tangan Sheila di atas meja."Sheila, aku tahu kau tak akan membuka hatimu
untuk pria lain setelah kejadian lima tahun lalu. Tapi aku tak percaya itu karena kau terlalh
mencintai Bram! Kurasa itu hanya karena kau tak pernah mencoba membuka hatimu. Bukalah
hatimu, Sheila. Lihatlah dengan mata hatimu. Tidak usah jauh-jauh, pria yang kau tunggu-tunggu
selama ini ada di hadapanmu."
Air mata yang sudah merebak di mata Sheila jatuh di pipinya. Sheila berkata dengan suara yang
bergetar, "Rez, kenapa kau tak pernah melupakanku?"
"Karena aku mencintaimu, bodoh." Reza tersenyum.
"Walaupun selama ini aku menolakmu, kau tetap mencintaiku?"
"Tentu saja." "Nah, aku juga merasakan hal yang sama pada Bram. Meskipun ia telah menolakku selama lima
tahun ini aku tetap mencintainya.
Reza terdiam. Sheila terdiam. Suasana.menjadi canggung.
"Rez, berikan cincin itu pada wanita yang kau cintai"
"Aku sudah melakukannya." Reza meraih tangan Sheila dan memasukkannya ke jari manis
Sheila tanpa sempat dicegah oleh gadis itu." Ini hanya cincin biasa, pakailah. Dengan cincin ini
kau akan selalu ingat bahwa aku mencintaimu."
Sheila terdiam. Ia menatap cincin di jari manis tangan kirinya. Benar, ini cuma cincin biasa.
Bermatakan batu mungil berwarna merah yang berkilauan. Ini cuma cincin tanda ketulusan,
bukan pengikat. Lagipula ia tak tega mengecewakan hati pria yang pasti telah merencanakan hal
ini sejak jauh-jauh hari. Akhirnya Sheila mengangguk.
Sheila tidak tahu mimpi apa ia semalam sehingga harus menemani Nathan hari ini. Tadi pagi
Renny meminta tolong agar Sheila mengantarkan Nathan mencari baju pesta untuk dipakai
malam harinya. "Kok aku" Kenapa tidak kau saja?" tanya Sheila bingung.
"Aku tidak bisa Sheila, ada sidang skripsi di kampus. Aku nggak tahu kelar jam berapa, padahal
Nathan belum punya baju. Kubilang suruh cari sendiri, eh dia bilang katanya minta diantarkan
kamu. Katanya cewek punya selera yang bagus dalam memilih, sedangkan dia selalu salah pilih
kalau belanja sendiri. Biasanya sih mamanya yang menemani, tapi Mamanya sedang pergi ke
Singapur." Sheila membatin, tidak ada yang salah dalam selera Nathan berpakaian. Kenapa harus ditemani"
"Tapi aku juga nggak tahu harus milih baju yang mana, Ren!"
"Tenang aja, Nathan cuma akan memilih beberapa baju, lalu kau beri saran baju mana yang
terbaik. Gampang kan?"
"Aku nggak tahu Nathan segitu manjanya. Beli baju aja minta ditemani." sindir Sheila. Tapi
Renny tak tahu apa maksudnya.
"Yah, itu baru soal baju. kau tak akan membayangkan apa yang harus kualami dengan hal-hal
lainnya." kata Renny riang. "By the way makasih, ya." Renny menepuk bahu Sheila, lalu
berangkat kuliah dengan kijang milik Haryanto.
Jadi di sinalah Sheila sekarang, di sebuah konter pakaian yang ada di mal. Nathan sedang sibuk
memilih baju, dan Sheila duduk di kursi yang disediakan sambil memandang keluar dengan
wajah bosan. Para pembeli berlaku lalang dengan wajah berseri. Daripada berpanas-panas di
luar, memnag lebih baik ngadem di mal.
"Bagus mana warna biru apa warna putih?" Tanya Nathan sambil membawa dua kemeja yang
masih terpasang di gantungannya.
"Hmm... Yang biru kesannya sportif. Yang putih kesannya modis. Yang biru sih lebih bagus, tapi
kesannya kurang cocok kalau dipakai ke pesta." ujar Sheila ragu-ragu.
"Aku ambil yang biru." Sergah Nathan cepat. Ia pun membayar kemeja biru itu di kasir. Sheila
mengangkat bahu. Kalau segitu mudah memilih antara biru dan putih, buat apa Nathan repotrepot mengajaknya kemari" Dasar manja. Bagaimana pula kalau manusia seperti itu tersesat di
pedalaman Afrika" Sheila tak bisa membayangkannya.
Selesai membayar Nathan mengajak Sheila makan siang.
"Aku lapar nih, kita makan siang yuk?"
"Kenapa nggak di rumah aja, sekarang kan baru jam setengah dua belas.. Setengah jam lagi kita
nyampe rumah." elak Sheila.
"Tapi aku laper banget. Lagi pula di rumah nggak ada Mama, pasti nggak ada makanan.
Makan mi instan kan bisa" Oh pasti nggak bisa masaknya, takut kena air panas. Beli makanan
terus dimakan di rumah" Kayaknya nggak level deh. Sheila mencibir, begini nasibnya
mengantarkan Nathan. Padahal jam satu nanti Sheila harus mengajar Piano.
"Ya sudah. Makan apa?"
Nathan tersenyum. "Aku tahu tempat yang enak." Nathan membawanya ke restoran jepang yang
letaknya tak jauh dari mal tersebut. Restoran itu cukup unik. Pengunjung bisa memilih mau pakai
meja biasa atau sebuah ruangan tertutup yang menjaga privasi. Nathan memilih yang kedua.
"Kamu mau pesan apa, Sheila?" tanya Nathan saat pelayan datang untuk mencatat pesanan.
"Terserah. Kan kau yang lapar."Sahut Sheila.
Nathan memutuskan untuk memesan yukiniku dan shabu-shabu. Disitu tak ada bangku untuk
duduk. Mereka dusuk di lantai yang dilapisi tikar bambu. Di hadapan mereka ada beja pendek.
Nathan yang duduk di samping sheila berkata." Rasanya enak pergi sama kamu, Sheila. Kamu
sama sekali nggak bawel seperti Renny."
"Aku juga bawel kok." Sahut Sheila sambil mengamati kalender jepang di hadapannya. Ia
sebenarnya tidak lapar. Ia merasa terpaksa makan dengan Nathan. Dan posisi duduk mereka
terlalu rapat. Sheila mau bergeser, tapi nggak enak, takut Nathan tersinggung. Tapi, kalau
didiamkan saja ia merasa tidak nyaman.
"Kalau Renny ikut pasti minta dibelikan macam-macam."
"Wajar dong, Nath. Dia kan pacar kamu...."
"Kata siapa kita pacaran?"
Sheila menoleh terkejut, "Lho, kalian berdua pacaran kan" Kalian kemana-mana berdua, sering
pergi sama-sama..." "Itu bukan berarti pacaran, Sheila. Aku memang sering mebghabiskan waktu berdua dengannya,
tapi itu karena dia mengejar-ngejarku terus."
Sheila bengong, sepertinya hubungan mereka tidak begitu. Apa maksud Nathan bilang begitu
padanya" "Kalau kau tak suka pada Renny, kenapa kau tanggapi?" kata Sheila dengan mimik tak setuju. Ia
tak suka pria yang menjelek-jelekan pasangannya di hadapan wanita lain, walaupun pria itu tidak
benar-benar mencintai pasangannya.
"Sebenarnya...... Aku menerima dia karena... Karena aku menyukaimu, Sheila."
Sheila langsung bangkit berdiri dan menjauh, "APA...?"!!!"
"Benar Sheila, aku jatuh cinta padamu sejak enam bulan lalu kita bertemu, saat kau pergi ke
kampus Renny." Sheila ingat, enam bulan lalu Sheila memang ikut Renny ke kampusnya, karena di kapusnya
sedang ada bazar dan Renny meminta Sheila membantunya menjaga stannya. Ia ingat bertemu
Nathan saat itu. Tapi kalau memang Nathan menyukainya, mengapa pria itu berhubungan
dengan Renny" Bukankah itu akan menyakiti hati Renny kalau sampai ia tahu"
"Jadi kau cuma mempermainkan Renny?" tanya Sheila marah. Bagaimanapun Renny anak oom
Haryanto, dan adik dari Reza. Sheila telah menganggapnya seperti saudara sendiri, walau
kadang-kadang gadis itu menyebalkan.
"Aku cuma ingin lebih sering bertemu denganmu."
"Kalau kau memang benar menyukaiku, kenapa mesti dengan cara seperti ini!"
"Jangan khawatir Sheila, aku akan mengatakan hal ini secepatnya pada Renny."
"Bukan itu maksudku. Aku sama sekali tidak tertarik padamu, Nathan. Aku cuma kasihan pada
Renny!" seru Sheila.
Nathan terdiam. "Kau benar-benar sombong, Sheila." Desisnya kemudian, "Kau pikir akan ada yang sudi
menikahimu setelah tahu latar belakangmu" Mereka pasti akan takut menikah denganmu, siapa
tahu kau punya kecenderungan membunuh pasanganmu sendiri...."
Mata Sheila terbelalak. Dari mana Nathan tahu latar belakangnya" melihat ekspresi Sheila,
Nathan makin berani, ia menyeringai.
"Tapi aku bersedia memberimu kesempatan, Sheila. Kurang apa aku sebagai laki-laki" Wajahku
sama sekali tidak buruk. aku dari keluarga baik-baik dan sukses. Kau mungkin tak akan
mendapatkan kesempatan seperti ini lagi seumur hidupmu." langkahnya mendekati Sheila dan
gadis itu berjalan mundur.
"Andaikan kau bukan pacar Renny , aku tetap tak mau menjadi kekasihmu. Apalagi sekarang
aku tak mau menyakiti hati Renny."
"Puihh, jangan sok baik, Sheila. Apa kau tahu Renny sangat membencimu" Dan sekarang karena
kau terlalu sombong dan menolakku, bertambah lagi satu orang yang membencimu, kecuali..."
Nathan memeluk tubuh sheila dan menciuminya dengan paksa. Gadis itu meronta dan berusaha
melepaskan diri. Tepat pada saat itu pintu dibuka dan pelayan masuk dengan membawa dua
nampan besar berisi makanan. Sheila berlari keluar dan menabrak pelayan itu hingga makanan
yang dibawanya berceceran dilantai.
"Sheila...!!!!" panggil Nathan. Tapi gadis itu berlari sekencang-kencangnya keluar restoran.
Sheila langsung mencegat taksi yang lewat dan langsung masuk. Taksi itupun meluncur
meninggalkan restoran itu.
Di dalam taksi Sheila menangis. Bukan hanya perbuatan Nathan yang membuatnya sakit hati.
Kata-kata pemuda itupun masih terasa menoeeh jiwanya.
"Kau pikir akan ada yang mau menikahimu jika tahu latar belakangmu?"
Sheila baru sadar kalau kata-kata Nathan ada benarnya. Tidak ada satu orangtuapun yang akan
mengizinkan putranya menikahi anak seorang pembunuh yang membunuh istrinya sendiri. Kalau
begitu, pantaskah Sheila menyia-nyiakan uluran kasih Reza yang menerimanya tanpa melihat
latar belakangnya" Ratna memang terkesan tak setuju berhubungan dengan Sheila, tapi tak
pernah melarang secara langsung. Kelihatannya ia mulai menerima diri Sheila.
Sheila memandang cincin emas di jari kirinya. Lalu apakah ini sebuah pertanda bahwa aku harus
menerima Reza" Tanya hati Sheila.
BAB 17 SHEILA turun dari taksi. Ia sudah menelepon murid lesnya lewat handphone bahwa ia hari ini
tidak datang. Ia masuk ke rumah dan menuju kamar Haryanto. Di sana dilihatnya Haryanto
terbaring sambil menatap langit-langit. Haryanto tidak tidur.
"Aku ingin bicara dengan Oom..." kata Sheila perlahan. Digenggamnya tangan Haryanto. Tubuh
pria itu semakin kurus. Selain karena sakitnya, ia juga menjalani diet khusus dari dokter.
Sheila menatap mata Oomnya. Haryanto balas menatapnya, tapi Sheila tidak tahu bahwa
Oomnya bisa mengerti perkataannya atau tidak. Kata dokter, sebagian jaringan otak Haryanto tak
berfungsi, yang berarti banyak sekali memori otak yang hilang. Apakah ia masih mengingat
Sheila" Sheila menganggap Oomnya masih mengenalnya, karena ia tak sanggup menganggap
Oomnya hanya jasad bernyawa yang tak berjiwa.
"Oom, apa yang harus kulakukan?" tanya Sheila. Air matanya mulai membasahi wajahnya.
"Reza mencintaiku, tapi aku cuma menganggapnya kakak. Apakah aku mesti menerima cinta
Reza?" Bola mata Haryanto bergerak-gerak, Sheila tahu Oomnya mendengarkannya.
"Oom, apakah Oom ingin aku menikah dengan Reza?"
Perlahan-lahan Haryanto mengangguk.
Sheila menghela napas panjang. "Baiklah Oom, aku ingin sekali hidupku berarti untuk orang
lain. Bila itu akan membahagiakan Reza dan Oom, apa salahnya aku menerima cinta seorang
pria yang begitu tulus?"
Sheila melepaskan tangan Oomnya. Ia perlahan-lahan bangkit dan meninggalkan kamar itu. Ia
tidak tahu, sepeninggal dirinya, sebutir air mata jatuh dari mata Haryanto.
Ketika Sheila keluar dari kamar Haryanto, dilihatnya Marni yang sedang mempersilakan dua
orang berseragam polisi untuk masuk ke ruang tamu. Kejengkelan Sheila bangkit lagi. Ia sudah
berkali-kali mengingatkan Marni agar tak sembarang memasukan orang ke dalam rumah.
Padahal Sheila sedang di ramah, tapi Marni seenaknya membuka pintu. Bagaimana kalau tidak
ada orang" "Ehm..... Anda berdua mencari siapa, ya?" tanya Sheila.
Kedua polisi itu mengulurkan tangan. "Kami berdua dari LP tempat Pak Charles di tahan.
Apakah Mbak yang bernama Sheila?"
Sheila mengangguk. Jantungnya berdegub cepat mendengar nama ayahnya disebut. Apa yang
terjadi" Apakah terjadi seauatu dengan ayahnya"
"Ada apa, Pak?"
"Begini, Mbak Sheila. Pak Charles termasuk narapidana yang berkelakuan baik dan aktif dalam
berbagai kegiatan di LP. Kami sangat menghormati beliau. Pak Charles sekarang sedang sakit
parah. Ia ingin bertemu anda. Apakah sudah lama keluarga Pak Charles tak menjenguknya, kami
merelakan diri kemari untuk memberitahukan, supaya jangan ada penyesalan di kemudian hari."
Sheila tersentak, papa sakit parah"
"Ayah saya.... Sakit apa.... Pak?"
"TBC." Sheila tersentak. Walaupun masih ada rasa marah pada ayahnya, tak urung Sheila sedih juga
mendengar berita itu. "Apakah..... Papa saya sudah mendekati ajalnya?"
"Tubuhnya sudah sangat lemah, Mbak. Saya sarankan agar Mbak menjenguknya. Siapa tahu


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kedatangan anda, penyakitnya akan sembuh."
Sheila menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi saya tidak mau bertemu dengannya lagi."
Kedua polisi itu berpandangan, "Mbak, saya tahu kenapa Anda seperti ini. Pak Charles telah
membunuh Ibu Anda. Tapi, apa Mbak tidak mau menanyakan alasan mengapa ia melakukan
itu?" "Ya, kabarnya Mbak belum pernah menjenguknya."
Kedua polisi itu salah. Sheila pernah menjenguk Charles sekali, tapi memeng mereka tidak
pernah terlibat pembicaraan apa-apa.
Sheila bangkit berdiri, "Saya tidak mau bertemu dengannya!" kedua polisi itu pun tak
membujuknya lagi. Setelah pamit, merekapun pergi.
Charles menatap bungkusan yang dibawa Letnan Syarif. Buru-buru ia membukanya, dan
mengeluarkan sebungkus nasi padang lenkap dengan rendang dan sambal cabai hijau
kesukaannya. "Ini benar dari dia?" tanyanya. Ia sedang berbaring di ranjang rawat di unit kesehatan rutan.
Tubuhnya sudah mulai membaik, tapi ia masih harus beristirahat di situ sampai pulih, baru ia
diperbolehkan kembali ke selnya.
Letnan Syarif mengangguk. "Ya. Dia bilang dia tak bisa datang karena ada urusan. Tapi ia
menyempatkan diri membeli ini. Katanya ini kesukaan Pak Charles."
Mata Charles berkaca-kaca. "Ya benar. Ia masih ingat kesukaan saya, ia masih ingat!" katanya
pada polisi muda itu. "Bararti ia masih perhatian pada Anda, itu bagus kan?"
Charles menangis tersedu-sedu, tapi bibirnya membentuk senyum. Ia menangis sambil tertawa,
"Ia masih ingat pada saya!"
Sheila yang berdiri di balik pintu yang tak tertutup rapat tak dapat menahan rasa harunya. Ia
memang akhirnya datang ke LP dengan membawa nasi padang itu, tapi ia tak mau bertemu. Ia
cuma minta izin pada Letnan Syarif. Kini sudah cukup, ia sudah melihat ayahnya baik-baik saja.
Sheilapun pulang dengan air mata berderai.
Tiga hari lagi pasangan Harry Prakoso dan Varenia akan menikah. Hari ini akan diadakan gladi
resik prosesi pernikahan mereka di gereja. Sheila yang di hari pernikahan nanti akan bermain
piano, hari ini juga hadir di acara gladi resik. Sebetulnya Sheila tak wajib datang. Tapi karena
Wenny yang bertanggung jawab penuh berhalangan hadir hari ini, maka Sheila dan Reza yang
menggantikannya. Sheila mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
"Tempat yang bagus untuk menikah. Gereja ini klasik sekali."
"Betul...." jawab Reza.
Sheila menduga sejak tadi ada yang ingin dikatakan Reza, tapi pria itu tampaknya ragu.
Terdengar pemberitahuan dari pembaca acara, bahwa sebentar lagi kedua mempelai akan
memasuki ruangan. "Eh, nanti di hari pernikahan waktu mereka masuk aku main, kan?"
"Iya seperti biasa, eh... Itu pengantinnya datang!" kata Reza memberitahu.
Sheila menoleh ke arah yang ditunjuk Reza. Ia melihat pengantin wanita yang cantik sekali.
"Cantik ya, dia?" ujar Sheila. Matanya tertuju pada mempelai pria yang berdiri disamping
mempelai wanita. Pria itu sedang berbicara dengan mempelai wanita yang berdiri di
belakangnya. Dari belakang tubuh pria utu tampak tegap berisi, seperti bintang iklan susu di
televisi. Sheila tiba-tiba teringat pada Bram. Tubuh Bram juga tegap seperti itu.....
"Sheila...." Sheila menoleh dan menatap Reza.
"kenapa, Rez?" tanya Sheila.
Reza memandang Sheila dengan penuh kasih. "aku sudah menerima suratmu tadi pagi."
Sheila tersipu. Ia memang tak bisa mengungkapkan perasaanya di hadapan Reza, jadi ia menulis
surat. Intinya, ia mau mencoba menjalin hubungan dengan Reza, tapi ia meminta pria itu
bersabar. Ia akan mencintai Reza pelan-pelan.
"lalu menurutmu?" tanya Sheila.
Reza mendekat dan mencium pipi Sheila. Gadis itu kaget dan memegang pipinya. "Reza, ini
tempat umum,tau!" Reza tersenyum, "Ini sebagai jawabannya. Tentu saja aku bersedia."
Sheila kembali menoleh untuk melihat wajah kedua mempelai. Wanita yang bernama Varenia itu
memang benar-benar cantik. Untuk acara gladi reaik ini ia hanya memakai celana panjang dan
bluse bernuansa pastel, rambutnya dibiarkan terurai, tapi kecantikannya tetap menonjol.
Wajahnya tersenyum bahagia sambil menatap calon suaminya.
Sheila melihat sang pria. Tubuh tegap pria itu telah mencuri perhatiannya sejak melihat pertama
kali, tapi ia tak pernah melihat bagaimana wajahnya. Kini pria itu tengah menatap Varenia, lalu
menoleh ke arah Sheila sehingga gadis itu bisa melihatnya. Dan wajah Sheila memucat. Tidak.....
Tidak.... Tidak mungkin.....
Bram ternganga..... Ketika pendangan Bram bertemu dengan pandangan Sheila, gadis itu menggeleng dengan
ekspresi tak percaya. Bram" Sungguhkah Bram yang ada di situ" Kenapa semua ini bisa terjadi
pada dirinya" Setelah kenangan lima tahun berkelebat di benaknya, seperti memutar balik sebuah pita kaset....
Sheila dan Bram makan di restoran...
Sheila mempersembahkan lagu untuk Bram...
Bram mencium bibir Sheila.....
Sheila menjerit tertahan, lalu terkulai pingsan.
Perhatian semua orang yang hadir di gereja itu serentak beralih ke Sheila.
Waktunya hanya beberapa detik sejak Bram melihat Sheila terkulai jatuh sampai pria itu
menghampiri Sheila. Kakinya yang memakai kaki palsu terasa sakit saat ia memaksakan kaki itu
bergerak secepat mungkin. Tubuh Sheila yang ditahan oleh Reza diambil alih oleh Bram.
Dibopongnya gadis itu, dan tertatih-tatih dilangkahkannya kakinya menuju ruangan di samping
gereja itu. Saat melihat wajah sang mempelai pria, Reza wajah itu terkesan familiar. Tapi ia sama sekali tak
menduga itu Bram. Kini, saat sudah mengingatnya dengan jelas, Reza masih mencerna kenapa
luka di pipi kiri Bram sudah tak ada lagi dan dia sudah tidak pincang, tidak memakai tongkat,
melainkan bisa berjalan seperti biasanya. Hatinya mendadak gelisah dan geram, kenapa Bram
muncul lagi di saat seperti ini" Di saat Sheila baru saja menerimanya"
Vania shock. Salah satu pegawai WO yang disewanya tiba-tiba pingsan. Tapi yang lebih
mengherankan lagi, Bram langsung lari dan membopongnya. Ada apa ini" Kenapa bisa jadi
begini" Siapa gadis itu" Apa Bram mengenalnya" Ia sama sekali tak suka ini.
"Ada apa sih Van, kenapa Bram pergi?" tanya Anastasia, kakak Vania , yang datang mendekat.
"Mestinya Bram tak usah membopong wanita itu, kan ada temannya yang bisa membantu."
ujarnya dengan wajah tak senang.
Ibunda Bram juga datang. Anastasia langsung bertanya, "Apa Bram kenal dengan gadis itu?"
Emma menjawab dengan wajah pucat, "Ti....tidak, kok Jeng. Sepertinya sih tidak." tapi ia sendiri
juga ragu. Apa benar gadis itu Sheila" Gadis yang bekerja di rumah anaknya lima tahun lalu"
Kalau ia bisa repot semuanya.
Reza segera mendekati mereka, "Maafkan kami atas interupsi ini, Bu..."
Anastasia merengut dan menyela, "Kamu panggilkan mempelai prianya, kita lanjutkan gladi
resik ini." Reza tergagap, "Ba.... Baik bu."
Sheila merasa kepalanya pusing. Ia membuka mata dan melihat Bram di hadapannya. Ia
mengerjap-nerjapkan mata seolah takut ini hanya mimpi. Tapi Bram masih tetap mentapnya
dengan mimik khawatir. "Bram, apa benar ini kau?" tanyanya. Ia berbaring di sofa di ruang serbaguna, dan Bram duduk
di sofa itu juga.. Bram berkata parau, "Benar, Sheila. Ini aku."
Sheila menyentuh pipi Bram, "Wajahmu?"
"Aku melakukan operasi."
Sheila melihat ke bawah, "Dan kakimu....."
"Palsu, Sheila. Aku memakai kaki palsu."
Tiba-tiba tangis Sheila meledak, "Kau kejam, Bram...!!! Kejam.....!!"
"Sheila..." "Lima tahun ini kau kemana saja, Bram" Kenapa kau pergi begitu saja" Kau sengaja tak mau
bertemu denganku lagi?"
"Sheila, Aku......"
"Aku selalu menunggumu, aku selalu mencarimu. Tapi kau lenyap seolah tertelan bumi.
Tidakkah kau tahu aku begitu menderita?"
Bram terdiam. Ia sadar ia memang salah, karena Bram tahu dimana Sheila tinggal dan diam-diam
ia pernah melihat gadis itu. Tiga tahun lalu Bram sembunyi di mobilnya dan ia melihat Sheila
pulang sendirian. Ia melihat Sheila baik-baik saja. Lalu sebulan kemudian, ketika ia melihat
gadis itu pulang bersama Reza naik motor, wajah mereka begitu bahagia sambil bercengkrama.
Diam-diam Bram meninggalkan tempat itu dan tak pernah datang lagi. Saat itu ia mengubur
Sheila dalam ingatannya, berusaha melupakan gadis itu. Sheila sudah melanjutkan hidupnya,
pikirnya waktu itu. Siapa sangka Sheila masih mengingatnya selama lima tahun ini, dan mereka
bertemu saat gladi resik pernikahan"
Tiba-tiba Bram teringat, ia meninggalkan Vania di dalam.
"Bram...." terdengar suara dari arah pintu.
Mendengar panggilan itu Bram menoleh, dan melihat Vania berdiri dibelakangnya dengan wajah
terluka. Tampaknya Vania sudah lama berdiri di situ dan mendengar percakapan mereka.
Bram kembali berpaling pada Sheila. "Tunggulah di sini. Selasai acara aku mau bicara
dengamu." katanya, Lalu menggandeng tangan Vania keluar dari ruangan itu.
Satu jam kemudian, Sheila sudah berada di dalam mobil Bram. Acara gladi resik itu sedah
selesai. Bram pulang sebelum gladi resik itu berakhir. Tadinya Sheila sempat menolak, apalagi ia
juga tak enak hati pada Reza. Kebetulah Reza juga cuma membawa motor, dan Bram bersikeras
ingin mengantar Sheila karena kondisi gadis itu masih lemah dan terguncang. Sheila tak lagi
sempat melihat Vania. Tapi ia yakin wanita cantik itu pasti marah padanya.
Hati kecilnya menyahut nakal, biarlah, toh wanita itu akan memiliki Bram seumur hidupnya, dan
Sheila mungkin hanya punya satu kesempatan ini. Ya benar, Bram akan menikah sebentar lagi.
Dan Sheila kembali merasa sedih. Rasanya seperti mau mati saja.
Di mobil mereka berbicara tentang keadaan mereka selama lima tahun ini.
"Aku mencarimu, Bram. Aku bertanya pada Bu Susan, katanya kau sekeluarga pindah ke
Jerman." "Ya. Aku melakukan operasi di sana."
"Aku juga Ke Ciloto, rumahmu. Mungkin sekarang rumahmu sudah rata dan diganti dengan
gedung asrama baru."
"Rumah Cilito masih ada."
"APA"!" "Rumah itu tidak dirobohkan. Memang bebar ada gedung baru asrama, tapi itu dibangun di atas
tanah kosong diantara gedung lama dan rumahku. Jadi sekarang rumah itu tertutup gedung
asrama, tidak kelihatan."
Mata Sheila terbelalak. "Jadi, masih ada Kakek Eman di sana?"
Bram mengangguk, "Ya, masih ada. Ia tak jadi pulang ke Garut. Ia minta izin tinggal di sana."
"lalu kau...?" "Aku sudah tak tinggal di sana lagi sejak lima tahun lalu, aku tinggal di Jakarta."
Sheila terdiam, berarti Bram sudah meninggalkan tempat itu juga, tapi tempat itu. ....masih ada.
Bram melirik jari tangan Sheila, " Cincin di jarimu itu.... Cincin tunangan?" tanyanya.
Reflaks Sheila menyembunyikan tangan kirinya. Tapi ia kemudian sadar telah bertindak bodoh.
Lagipula, sebenarnya antara Bram dan dirinya tak terjalin hubungan apapun. Mulai sekarang ia
harus melupakan pria itu. Bram akan menjadi suami orang. Tiga hari lagi.
"Cincin ini dari Reza, tapi bukan cincin tunangan. Mungkin sebagai tanda bahwa ia
mengharapkan kami bersama." katanya jujur.
"Aku tahu ia mencintaimu. Aku bisa melihat dengan jelas tadi." kata Bram, mengenang
pertemuannya dengan Reza saat akan mengantarkan Sheila pulang..
"Dan...... kau akan segera menikah dengan Vania. dia.... Cantik."
"meskipun bukan itu pertimbangan utamaku untuk menikah dengannya. Tapi, kau benar, ia
cantik." "Dimana kau bertemu dengannya?"
"Di Jerman, saat aku menjalani operasi kaki dan wajahku."
"Tapi itu bagus Bram, kau bisa berjalan seperti manusia normal.... Ehm.... Maksudku tak ada
yang tahu itu kaki palsu, kan" Bahkan kau bisa menyetir mobil."
"Ini mobil otomatis. Mudah kok menyetirnya. Dan aku bisa mengendarai kemanapun. Walaupun
mesti pelan-pelan." "Bagus sekali kalau begitu. Aku turut senang. Dan wajahmu.... Sekarang kau tampak....
Ganteng." Bram tertawa, " Terimakasih. Sejujurnya aku juga merasa begitu."
"Huh, Ge-er." Mereka berdua tertawa, seolah tak pernah berpisah selama lima tahun ini. Sheila termenung, tapi
keadaan sudah jauh berbeda sekarang. Kini mereka berdua tak lagi bisa bersatu, sudah ada orang
lain di sisi mereka, yang sudah tak bisa mereka abaikan begitu saja.
"Pamanmu ada di rumah ?" tanya Bram.
"Bram apa kau tahu Oom terserang stroke dan lumpuh?"
"Apa?" Sheila pun menceritaka apa yang terjadi. Semua, termasuk tentang keputusannya untuk tinggal di
rumah itu dan merawat Haryanto. Ia juga menceritakan bahwa ia juga mendapatkan penghasilan
tambahan dari memberikan les piano.
"Jadi cita-citamu untuk menjadi pianis telah tercapai. Kuucapkan selamat, ya." kata Bram.
"Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih banyak, Bram. Tanpa kau aku tak bisa
mencapai semua ini" Bram melirik Sheila lewat sudut matanya. Gadis itu sudah dewasa sekarang. Wajahnya tak jauh
berubah, tapi sikapnya jelas tak lagi kekanak-kanakan sepeti dulu. Sheila menoleh, dan melihat
Bram memandangnya. Ia tersipu.
"Kapan-kapan aku ingin pergi ke Ciloto untuk menemui Kakek Eman. Kau tak usah
menemaniku, Bram. Nanti calon istrimu marah."
Mobil sudah berhenti di depan rumah Haryanto. Sheila turun. "Kau mau menjenguk Oom ,
Bram?" "Lain kali saja Sheila, aku mesti kembali, Vania pasti menungguku."
Sheila mengangguk maklum. Mobil Bram meluncur dalam kegelapam malam, meninggalkan
Sheila sendirian. Gadis itu teringat kejadian lima tahun silam, saat ia mengejar mobil yang
ditumpangi Bram dan terjatuh. Perasaannya saat itu dan sekarang masih sama. Ia mencintai pria
itu. Kali ini, ia tak lagi mengejar Bram. Percuma, semuanya sudah terlambat sekarang.
BAB 18 MATAHARI menyorotkan sinarnya dari jendela, membuat ruang makan jadi hangat. Sheila
menyapa Haryanto yang duduk di kursi roda dan sedang disuapi bubur oleh Marni. Semalam
Sheila baru bisa tidur pukul dua. Semua gara-gara pertemuannya dengan Bram.
"Pagi Oom, nyenyak tidurnya?"
Haryanto mengangguk. Sheila tersenyum. Tak lama kemudian meja makan sudah penuh terisi.
Ratna, Renny, dan Reza bergabung. Sheila jadi ingat masa lalu, bedanya sekarang Haryanto
duduk di kursi roda. "Pagi Tante?" sapa Sheila pada Ratna.
"Emmmm...." gumam Tantenya, masih tampak mengantuk dengan bekas make up semalam yang
masih tersisa. Waktu Sheila pulang pukul sembilan tadi malam, tantenya belum pulang. Entah
pulang jam berapa. Belakangan ini tantenya selalu begitu.
Ratna mengambil selembar roti dan sebotol selai. Ia memang selalu menyempatkan diri untuk
sarapan walau tetap menjaga berat badannya. Ia pernah mengatakan bahwa sarapan jauh lebih
bermanfaat dari pada makan malam.
Ratna menguap dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia sama sekali tak melihat pada Haryanto
yang sedang disuapi. Sheila tak pernah ingin menghakimi tantenya. Ia sadar Ratna pasti merasa
terpukul karena kondisi suaminya. Tapi mestinya Tantenya itu tak harus mengabaikan Haryanto
pada saat suaminya ada di dekatnya. Apa salahnya sebuah sapaan tanda perhatian, walau tak
benar-benar memperhatikan"
"Tante, sekarang Oom makannya sudah tak susah lagi seperti dulu. Sekarang setiap kali makan
selalu habis." kata Sheila.
Ratna memandang Sheila, karena matanya besar dan tajam, maka terkesan melotot, tapi wanita
itu cuma berkata, "Kau tak perlu melaporkan seperti itu, Sheila. Aku bisa bertanya pada Marni."
Reza yang dari tadi diam saja, membela Sheila, "Maksud Sheila, Mama perhatian sedikit lah
pada papa, tanya-tanya kondisi lah, apalah......"
Kini Ratna marah, "Hai, Rez. Jangan mentang-mentang kamu bisa cari duit sendiri jadi bebas
tingkah laku Mama, ya" Mama nggak butuh dinasehati. Lagipula, kalau Mama tanya, apa
Papamu bisa menjawab?"
Rasa nyeri tiba-tiba menyerang dada Ratna. Rasa nyeri yang kerap muncul belakangan ini. Ratna
mendekap dadanya dengan tangan. Biasanya kalau sudah ditekan, rasa nyeri akan hilang. Ini
pasti gara-gara Reza. Bikin emosi orang saja.
Reza tahu gelagat. Ia diam saja. Meja makan itupun sunyi, sekarang semua orang makan
perlahan-lahan. Sheila memegang roti dengan dua tangan, lalu menggigitnya. Reza yang duduk di sampingnya
memperhatikan jari manis gadis itu. Tidak ada cincin di sana.
"Sheila, cincinmu mana?" tanyanya.
Sheila melihat jarinya, dan betapa kagetnya ia menyadari bahwa cincinnya tak ada. "Oh...!!!
Kemana ya, aku juga tidak tahu. Coba kucari sebentar, mungkin ketinggalan di kamar."
Ia pergi ke kamar sambil mengingat-ingat. Semalam saat ia tak bisa tidur karena memikirkan
Bram, Sheila memain-mainkan cincin iu dan melepaskannya. Mungkin saat itu cincinnya
terjatuh du tempat, ia mengangkat bantal dan menemukan cincinnya di sana.
Sementara di ruang makan. Ratna bertanya pada Reza, "Cincin apa, Rez?"
"Ehm.... Cincin yang aku kasih ke dia."
Ratna mendengus, "Kalau cincin itu punya arti yang penting buat dia, tak mungkin dia lepas,
kan?" Reza berkata memelas, "Sudahlah, Ma...." Reza tau mamanya tak suka mereka berhubungan,
walaupun tak mengatakannya terang-terangan.
"Mama cuma pengin kasih nasehat, kamu sudah dewasa, tapi kamu belum tahu banyak tentang
wanita, Rez. Itulah kenapa Mama dari dulu selalu bilang coba cari wanita lain, jangan cuma
melihat Sheila saja."


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ma...." "Mama kasih tahu ya, Rez. Kalau kamu pacaran sama Sheila, Mama kasihan sama kamu. Saat
menikah nanti kamu akan selalu dirugikan karena takut kehilangan dia. Kamu siap sakit hati?"
"Ma....!" "Lupakan dia. Cari wanita lain mumpung kamu masih muda. Kalau menyesal nanti, sudah
terlambat." Saat itu Sheila keluar dari kamarnya, dan duduk lagi di kursinya. Jari manisnya sudah
mengenakan cincin lagi. Reza diam saja, tapi air mukanya tampak keruh.
Renny berkata takut-takut, "Ma.... Uang jajanku buat bulan depan, bisa minta sekarang nggak....
Ma?" "Mau beli apa?" tanya Ratna.
"Buku, ma." "Mama pikir, kalau sudah skripsi sudah tak butuh buku lagi. ya sudah, ambil sendiri di tas
Mama." Renny tak menghabiskan sarapannya. Ia bangkit berdiri dan permisi dari situ, tanpa
mengucapkan sepatah katapun pada Haryanto. Sheila tidak bingung melihatnya. Ratna sebagai
Ibu sudah memberi contoh, salahkah Renny bila mengikuti jejak ibunya"
Ratna bangkit berdiri. Ia berkata pada Marni, "Mar, kalau nanti ada teman saya yang datang,
kasih tahu saya di kamar, ya?"
"Baik, Nyah."Marnipun permisi untuk membawa Haryanto kembali ke kamarnya.
"Sheila, hari ini kau mau kemana?" tanya Reza yang tinggal berdua di meja makan itu dengan
Sheila. "Aku mau ke suatu tempat, kenapa?"
"Biar kuantar."
"Nggak usah. Biar aku pergi sendiri saja." jawab gadis itu.
Reza pun terdiam dengan kening berkerut.
Sheila turun dari bus dan memandang gedung asrama Mutiara Ibunda yang berdiri megah tak
jauh darinya. Sudah lama sekali ia tak kemari, dan segala sesuatunya telah banyak berubah.
Gedung asrama yang dulunya dicat pitih kni dicat dengan warna yang lebih ceria. Tamannya
masih ada, tapi landskapnya sudah jauh berbeda. Lebih sesuai dengan trend masa kini.
Sambil berjalan di jalan setapak menuju rumah Bram, ia terkenang masa lalunya. Walaupun
sedah lama berlalu, semua kejadian itu serasa baru kemarin terjadi. Betapa anehnya perasaan
manusia ketika meraba waktu. Sheila teringat saat pertama kali datang kemari dan diantarkan
oleh Ratna. Ia teringat tatapan tajam Bu Lia saat memandangnya dengan antipati, akibat latar
belakangnya yang sudah dilaporkan Ratna. Ia teringat pertemuannya dengan Wenny dan Tini. Ia
teringat Indah, yang kepalanya dihantam dengan balok kayu hingga pingsan. Ia teringat Pak Alex
yang selalu baik padanya. Ia teringat segalanya yang terjadi sebelum ia tinggal di rumah Bram
dan memulai hari-hari bahagianya.
Kini, semuanya sudah berlalu. Dan benar kata Bram. Saat sudah lewat, segala hal akan menjadi
kenangan pahit dan manis dalam kehidupan kita.
Setelah Bram mengatakan bahwa rumah Ciloto masih ada, Sheila tak dapat menunggu lagi untuk
menemui Eman. Selama ini Sheila mengira Orangtua itu sudah pindah ke Garut.
Sheila sudah tiba di depan pekarangan rumah Bram yang teduh karena tertutup gedung asrama
baru yang tinggi. Ttenggorokannya tercekat. Rumah itu masih sama seperti waktu
ditinggalkannya lima tahun silam. Ia melihat pagar bambu, pohon nangka yang ia pernah jatuh
dari atasnya. Lalu pekarangan belakang.
Apakah Boy masih hidup"
Tiba-tiba ada salakan anjing seolah menjawab apa yang ada di pikiran Sheila.
Sheila menghambur masuk, "Boy..."
Boy menghampiri Sheila dan ekornya bergoyang-goyang. Awalnya anjing itu ragu-ragu sejenak,
tapi begitu tangan Sheila menyentuh kepalanya dan mengelusnya, ekornya bergoyang-goyang
makin cepat. Sheila tertawa gembira dan memeluk anjing itu.
"Boy, kau masih ingat padaku?" benar kata orang bahwa anjing adalah makhluk yang paling
setia, pikir Sheila. "Sheila...." terdengar suara seorang pria.
Sheila menoleh dan melihat Eman. Ia pun berlari ke arah pria tua itu dan tanpa malu-malu
memeluknya. "Kakek...!!"
Eman yang terkejut melihat Sheila langsung menaruh tampah berisi krupuk kering yang
dijemurnya, dan memeluk Sheila sambil menangis. "Ya Tuhan... Aku masih diberi umur panjang
untuk bisa bertemu denganmu lagi, Sheila."
Sheila menangis, "Aku pikir Kakek sudah pulang ke Garut."
"Maafkan Kakek, Sheila. Kakek berbohong."
Sheila melepaskan pelukannya. "Berbohong, tidak Kek. Aku tak bilang Kakek berbohong."
"Waktu itu Kakek memang bohong padamu. Kakek tak pulang ke Garut dan rumah ini tak
dirobohkan." "Sheila mengerti, Kek. Itu bukan salah Kakek..."
"Soalnya waktu kau ke sini, aku bilang Tuan Bram tidak ada, padahal Tuan Bram ada di dalam."
Sheila terpaku. Waktu itu.. Waktu terakhir kali aku kemari, pikirnya.
Eman menangis. "Maafkan aku, Sheila. Mungkin kalau kalian bertemu saat itu, hidupku takkan
sesepi ini dan aku tak dihantui rasa bersalah..."
Jadi Bram ada di dalam saat Sheila membaca surat yang mengatakan seolah-olah Bram telah
pergi dari situ" Sheila merasa sangat kecewa. Bagaimana kejadiannya kalau saat itu mereka
bertemu" Tentu lain ceritanya. Mungkin Sheila akan membujuk Bram untuk menikahinya saja,
walau saat itu ia baru tujuh belas tahun. Mungkin kini mereka telah menikah. Tapi
bagaimanapun, Sheila tak bisa menyalakahkan Eman.
"Sudahlah, Kek. Aku tahu Kakek pasti disuruh Bram."
Eman tersenyum, "kau tak menyalahkan aku?"
"Tidak, Kek. Banyak di dunia ini yang terjadi diluar kendali kita . Ini semua sudah takdir."
Eman mengajak Sheila masuk ke rumah. Keadaan di dalam rumah itu tidak berubah. Setiap
benda tepat berada di tempat yang sama. Mungkin karena Eman yang sudah tak sanggup
memindahkan letak perabotan, mungkin pula karena ia ingin mempertahankan rumah ini seperti
sedia kala. "Kamarmu masih ada, Sheila. apa kau mau beristirahat di sana?" tanya Eman.
Sheila terlihat gembira, "kamarku masih ada?"
"semua perabotan masih lengkap, Sheila. Beberapa barangmu yang dulu tak dikirimkan ke
Jakarta juga masih ada di sana." Sheila ingat sehari setelah ia pulang ke rumah Haryanto,
seseorang mengantarkan paket berisi pakaian dan barang-barang pribadinya. Berarti Eman yang
mengirimkannya. "jadi aku boleh menginap di sini?"
Emanpun mengangguk. Mira menatap ke luar jendela apartemennya yang menghadap Kwong Ming Street di Hongkong.
Seperti Jakarta, Hongkong adalah kota yang tak pernah tidur. Setelah enam setengah tahun di
sini, telinga Mira sudah terbiasa mendengar seruan-seruan melengking dalam dalam bahasa
kanton. Dulu Mira cuma bisa bahasa Mandarin, itupun sepatah patah. Tapi karena teman hidupnya yang
sekarang sangat memperhatikannya, Mira pun ikut les privat mempelajari bahasa Kanton.
Ingatan Mira melayang ke tujuh tahun lalu di Jakarta, saat temannya, Fang Fang menawarinya
ide gila. "Kenapa kau masih betah jadi istri Charles kalau kau sudah tak cinta, Mir?" tanya Fang Fang saat
itu. "Habis mau ginama lagi" Dengannya kan aku sudah punya anak, walaupun dia kasar dan
penghasilannya tidak tetap, dia suamiku." kata Mira.
"Umurmu berapa, sih?"
"Tahun ini tiga puluh dua, kenapa?"
"Kalau dilihat dari usia hidup orang Indonesia yang rata-rata 65 tahun, kau baru mencapai
setengah, Mir. Apa kau sanggup melewati separuhnya lagi?" tanya Fang Fang. Setiap kali habis
bertengkar san dipukuli, Mira selalu curhat padanya. Fang fang cuma kasihan. Mira wanita yang
cantik dan cukup terpelajar, walaupun terpaksa kawin muda dan tak lulus SMA. Tapi perilaku
suaminya yang kasar, penjudi, pemabuk harus ditelannya setiap hari.
Mira termenung. Kalau dipikir, ia memang tak sanggup . Ia menikah dengan Charles karena
hamil diluar nikah. Waktu itu usia Charles 26 tahun dan punya pekerjaan tetap. Jadi walaupun
Mira baru berusia 17 tahun, mereka akhirnya menikah.
Ternyata berumah tangga tak semudah apa yang dipirkannya. Sejak Charles kehilangan
pekerjaannya karena di PHK, rumah tangga mereka berubah jadi neraka.
"Yah.... Mau gimana lagi, Fang." keluhnya. Fang Fang adalah teman SMAnya, waktu itu ia
mengelola panti pijat. Berkali-kali Mira berpikir untuk jadi pemijat di sana, gajinya lumayan
tinggi dan tips yang didapat bisa dua kali lipat dari gaji orang kantoran. Tapi pasti Charles tidak
setuju. Tiba-tiba Fang Fang berkata, "Bagaimana kalau kau cerai saja dari Charles, Mir" Kebetulah ada
orang Hongkong, langganan pijatku yang mencari istri. Ia sering datang ke Jakarta, untuk urusan
bisnis. Dia kaya banget, Lho..."
Saat itu Mira cuma bilang," Gila kamu! Sheila mau dikemanakan?"
Tapi enam bulan kemudian, saat rumah tangga Mira hampir guncang karena perlakuan Charles,
Fang Fang mempertemukan Mira dengan langganannya itu. Graham Lee namanya. Pria
Hongkong itu berusia 33 tahun,tampan, kaya, terpelajar, dan tampaknya sangat baik. Mira
langsung tertarik pada Graham Lee.
Fang Fang bilang, Mira hanya perlu ikut Graham ke Hongkong, bila Mira sudah resmi cerai
dengan Charles, ia akan dinikahi secara sah dan surat-suratnya diurus oleh Graham. Sheila akan
diberikan tunjangan sebesar 10.000 dolar Hongkong per tahun oleh Graham secara teratur
dengan syarat Mira tak menjumpai anaknya lagi.
Saat itu Mira cuma lihat satu hal, Graham adalah jalan keluar dari masalahnnya. Ia tak sanggup
hidup dengan Charles, walau cuma sati hari lagi. Perasaan cintanya sudah menguap entah kapan
dan hatinya sudah membeku. Cuma satu yang jadi beban pikirannya, yaitu Sheila. Tapi Sheila
akan dapat tunjangan itu. Dia berpikir bila Sheila mendapatkan tunjangan itu, tentulah Charles
bisa hidup enak. Sejujurnya Mira tak benar-benar membenci Charles, walau bagaimanapun pria
itu sudah lima belas tahun lebih menjadi suaminya. Tapi saat harus meninggalkan Sheila, ia
sangat sedih. Ia cuma punya satu anak, dan Sheila adalah seluruh hidupnya.
Fang Fang terus membujuk Mira. Fang Fang berjanji akan ikut menjaga Sheila dan akan
memperhatikannya. Mira sangat percaya pada Fang Fang, karena wanita itu adalah sahabatnya
paling dekat, sudah seperti saudara.
Akhirnya, saat suatu hari Charles memukuli Mira hingga babak belur cuma gara-gara Mira
enggan melayani Charles. Mira memutuskan kabur dari rumah. Ia tahu, kalau ia bilang minta
cerai, bisa dibunuh ia oleh Charles. Ia berencana menjenguk Sheila sesegera mungkin setelah
urusannya beres. Kalau perlu dibujuknya suaminya itu untuk mengajak Sheila tinggal
bersamanya. Tekad Mira sudah bulat, ia akan ikut Graham Lee ke Hongkong.
Pertama-tama Graham sangat baik. Ia benar-benar tak peduli dengan masa lalu Mira di Jakarta.
Ia menempatkan Mira di apartemen. Memenuhi semua kebutuhan wanita itu. Mira bersyukur ia
tak perlu hidup seatap dengan keluarga Graham. Tapi setelah beberapa hari tinggal di sana,
barulah Mira tahu bahwa Graham sudah beristri, dari istrinya itu Graham tak memeroleh anak.
Setelah setahun tinggal di apartemen Graham, Mira menagih janji Graham yang akan
memeberikan tunjangan pada Sheila. Rasa rindunya pada Sheila tak tertahankan lagi. Mira
pernah menelpon Fang Fang dan wanita itu berkata, sebaiknya ia melupakan Sheila, karena gadis
itu sudah hidup bahagia dan sudah melupakan Mira yang pernah meninggalkannya. Kepergian
Mira sama sekali tak menghasilkan dampak apa-apa. Mirapun tenang.
Namun menginjak tahun kedua, Graham semakin jarang menemuinya, tadinya Mira mengira
Graham ke rumah istrinya, tapi lama-lama Mira mengetahui bahwa Graham punya wanita lain
lagi. Graham sudah membeli satu apartemen di bawah apartemen Mira untuk tempat tinggal
simpanannya itu. Mira kecewa dan kesepian, ia jadi semakin rindu pada Sheila. Setiap malam ia
hanya bisa menangis sambil memandangi foto Sheila.
Tapi, bagaimanapun Graham masih memperhatika Mira, ia masih mengunjungi Mira sedikitnya
dua kali dalam seminggu. Suatu hari, tepat di tahun keempat kedatanganny ke Hongkong, Mira berkata pada Graham
bahwa ia hendak ke Jakarta untuk menjenguk Sheila. Ia berharap Graham mau membiayai
perjalanannya. Mira mendapati kenyataan pahit, Graham menolak mentah-mentah. Ia berkata
walaupun mereka tidak menikah tapi pria itu sudah menganggap Mira sebagai istinya, dan Mira
harus melupakan masa lalunya di Indonesia. Ketika Mira bertanya apakah ia memberikan
tunjangan pada Sheila, melalui Fang Fang. Graham menjawab bahwa ia memnag memberika
sejumlah uang pada Fang Fang untuk mendapatkan Mira, tapi ia tak pernah berjanji akan
memberikan tunjangan untuk anak Mira.
Mira kaget. Ternyata Fang Fang menipunya. Ketika Mura berusaha menghubunginya dan
menuntut pertanggung jawaban, Fang Fang langsung mematikan teleponnya dan sejak itu Mira
tak bisa menghubunginya. Mira terguncang. Berarti Sheila terlantar sejak ia meninggalkannya
empat tahun lalu. Dan ia putus hubungan dengan anaknya itu. Mira tidak tahu bagaimana nasib
Sheila sekarang. Anehnya, sejak Mira berkata ingin pulang ke Indonesia, Graham semakin sering datang
mengunjunginya. Tampaknya ia takut Mira akan kabur. Segala keperluannya sipenuhi oleh pria
itu. Mirapun tak boleh kemana-mana sendirian, hanya boleh kalau ditemani pembantu dan sopir.
Mira sadar ia terkurung dan terpenjara, walaupun tak ada terali besi di depan pintunya.
Mira semakin nelangsa. Ia terus memikirkan Sheila. Ia mesti menemui anaknya itu dan
menceritakan segalanya. Ia mesti pulang ke Jakarta secepatnya. Ia mulai menyiaihkan uang
bulanan pemberian Graham. Perlahan-lahan ia mulai menabung untuk ongkos pulang ke
Indonesia. Sheila mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak bosan-bosannya ia melihat suasana rumah
ini. Pandangannya tertuju pada piano putih milik Bram. Ia menghampirinya perlahan-lahan.
Segala kenangan masa lalunya berkelebat dan menggumpal di dadanya.
Dentingan piano inilah yang pertama kali menggugah keinginannya untuk tinggal di rumah ini.
Lewat suara ini lah ia merasa begitu akrab dengan penghuni rumah ini, yaitu Bram. Piano ini
begiu mirip dengan miniatur piano miliknya, yang membuatnya bisa mengingat dengan jelas
wajah ibunya. Sheila duduk dihadapan piano itu. Selama lima tahun ini ia tak pernah memainkan lagu Fur Elise
lagi. tapi sekarang keinginan untuk memainkan lagu itu begitu kuat dalam dirinya. Perlahanlahan jarinya mulai menari di atas tuts piano, ingin tahu apakah kali ini nada gembira atau sedih
yang keluar. Lagu itu mulai mengalun lembut lewat jemarinya. Kali ini bukan nada sedih yang keluar,
gembira juga tidak. Sheila sadar mungkin kini ia telah merelakan Bram. Pria itu akan menikah
dan Sheila sadar ia tak bisa bersatu dengannya. Hati Sheila sudah tenang. Amat tenang.
Saat jemarinya berhenti memainkan lagu, ia tak langsung beranjak dari kursi. ia termenung dan
menatap ke depan tanpa fokus.
"Sheila...." Ada yang memanggil namanya. Sheila menoleh dangan amat terkejut.
"Bram....?" Wajah Bram basah. Sheila tidak tahu sejak kapan pria itu berdiri di belakangnya. Tanpa
disadarinya air matanyapun jatuh. Ketika melihat Bram, hati Sheila berantakan lagi. Ketenangan
pikiran yang tadi didapatkannya mendadak buyar entah kemana. Di sini dulu mereka hidup
bersama, dan kenangan yang kental kembali mencul ke permukaan.
"Kenapa.... kau bisa kemari?" tanya Sheila tergagap.
"Kau juga, kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Bram heran.
"Aku..... Aku menjenguk Kakek Eman."
"Aku juga begitu. Sudah lama aku tak menjenguk Eman. Aneh juga melihat niat kita sama.
Mungkin ada telepati diantara kita."
Sheila tertawa canggung. "Mungkin juga karena kemarin kau baru saja memberitahu bahwa
rumah ini masih ada. Kau juga teringat rumah ini, jadi kau datang kemari?"" Ehm... Kenapa
kau tak bersama Varenia, Bram?"
Sheila sengaja menyinggung Varenia, kalau mengikuti kata hatinya, ingin rasanya ia berlari dan
memeluk Bram. Ucapan Sheila terbukti efektif. Kini seakan ada jarak antara dirinya dan Bram.
Bram terdiam. "Varenia sesang mengepas baju pengantin."
"Oh...." Mereka terdiam lagi. "Ehmm.... Aku mau ke kamar dulu. Nanti malam aku akan menginap di sini." kata Bram.
"Aku juga.." ucap Sheila gembira dan berkata, "Bagaimana kalau nanti malam kita makan samasama di kebun?"
Tangan Hitam Elang Perak 1 Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Hantu Muka Dua 3
^