Ramalan Fudus Ororpus 1
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny Bagian 1
RAMALAN FUDUS ORORPUS Karya Julia Stevanny. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 1 *Ramalan Sang Dewa* Perempuan tua aneh itu datang tiba-tiba pada suatu siang dan mengacaukan hidupku.
Dia mengetuk pintu, dan adik bungsuku yang tolol, Shannia, mengizinkannya masuk,
bahkan memberinya segelas air. Katanya karena kasihan.
Penampilan perempuan itu memang memelas. Kuduga dia pengemis yang kelaparan.
Tapi pakaiannya aneh. Dia mengenakan rok berenda bertingkat-tingkat yang begitu
penuh tambalan sehingga sulit buatku untuk menentukan warnanya. Atasannya blus
berlengan menggembung yang bukan cuma penuh tambalan, tapi juga kotoran. Seuntai
kalung manik-manik berwarna pink norak menjuntai di lehernya, sampai ke dada, dan
kelihatannya satu set dengan anting-anting bulat besar yang menggantung di
telinganya karena warnanya sama persis.
Setelah meneguk habis air yang diberikan Shannia, dia mengucapkan terima kasih
dengan suaranya yang serak, dan saat itu aku menyadari keanehan lainnya. Tangan kiri
perempuan itu menenteng bola kaca bening. Diameternya kira-kira 10 sentimeter, dan
sekarang bola itu bergetar dan warna bening di dalamnya berubah jadi berkabut.
Seumur hidup aku belum pernah melihat bola yang tiba-tiba bergetar sendiri.
"Kau ingin meramal, Kristal Sakti kecil-ku?" Perempuan itu terkekeh, mengusap bibirnya
yag masih basah oleh air putih. Suaranya yang serak mengerikan terpantul sampai ke
langit-langit. Aku, Ketiga kakakku, dan kedua adikku -kebetulan saat itu semuanya sedang berada di
ruang tamu- terpana. Aku memandang Shannia dengan tatapan menyalahkan, tapi
Shannia menatap perempuan aneh itu penuh minat.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Nenek bisa meramal?" seru Shannia melengking, terperangah campur kagum. "Ayo
ramal kami, Nek!" Sudut bibir perempuan tua itu terangkat. Kelihatannya dia mencoba tersenyum,
meskipun hasilnya lebih mirip seringai. Bola matanya membulat -aku baru menyadari
matanya cokelat sekali- dan dia menatap kami satu per satu dengan sangat tajam. Aku
merasa seperti ditelanjangi. Sepertinya dia bisa melihat menembus otakku.
**** Kemudian dia terkekeh lagi, kali ini lebih lantang. Tangan kirinya terangkat, sehingga
posisi bola kristalnya sekarang hampir sejajar dengan matanya. Aku memerhatikan,
kabut di dalam bola kristal itu sekarang berubah menjadi biru.
"Kamu...!" tiba-tiba perempuan tua itu berteriak. Telunjuk keriputnya teracung tepat ke
arah Anne, kakakku yang paling tua. Aku melihat wajah Anne memucat dan matanya
berkedut tegang. Suara perempuan tua itu kemudian merendah. Dalam gumaman mirip
bisikan yang dipanjang-panjangkan dia berkata, "Bintang bagus. Bintang bagus. Tahun
ini peruntunganmu baik...Puncak hari yang kau nanti-nanti akan tiba di pertengahan Juli.
Izinkan aku mengucapkan selamat. Kau telah memilih calon suami yang sempurna."
Kening Anne mengerut heran. Pertengahan Juli nanti dia memang akan menikah
dengan Orlando, tunangannya, setelah mereka pacaran selama dua belas tahun.
Bagaimana perempuan ini bisa tahu" Hari itu memang hari yang paling ditunggutunggunya.
Tanpa memedulikan wajah kami yang terheran-heran, perempuan itu mengalihkan
telunjuknya pada Juliet, kakakku nomor dua.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Kamu...!" perempuan tua itu berteriak lagi. Juliet terlonjak. "Sudah berbulan-bulan lulus,
dan belum juga dapat pekerjaan" Tenangkan hatimu dan hilangkan kekuatiranmu. Garis
keberuntunganmu sedang membaik. Bulan depan kau akan mendapatkan pekerjaan di
perusahaan besar..."
Juliet melongo sedetik, kemudian berseru senang, "Bener nih, Nek?"
Perempuan tua itu tidak menjawab. Dia sekarang mengalihkan pandangannya pada
Bianca, kakakku nomor tiga, dan menatapnya lurus-lurus. Bianca balas menatapnya
dengan pandangan harap-harap cemas.
Perempuan tua itu mendesah. "Belum pernah kulihat cabang semulus ini," katanya
terkagum-kagum. Suaranya bergetar, matanya bersinar-sinar. "Garis kaya, garis kaya,
dan garis kaya lagi. seumur hidup kau ditakdirkan berlimpah harta. Lahir dalam keluarga
berkecukupan, dibesarkan dalam keluarga berkecukupan, dan kelak kau akan menikah
dengan seseorang yang sangat kaya...."
Bianca menghela napas, kelihatan sangat lega. Aku merasa seluruh kecemasannya
berpindah padaku. **** Perempuan tua itu sekarang memandangku. Matanya yang cokelat melebar lebih
mengerikan. Telunjuknya terarah tepat di hidungku. Ditambah lima pasang mata lain
yang menatap penasaran, aku merasa seperti seorang tertuduh kasus pembunuhan
yang sedang disudutkan di tengah pengadilan.
"Naik. Turun. Lurus. Terputus... Oh, TIDAK!" wanita itu tiba-tiba terpekik. Matanya
membeliak, kelihatan ngeri sekali. "Tidak mungkin! FUDUS OROROR! Kau dilahirkan
tanpa garis jodoh, Nak. Kau ditakdirkan untuk menjadi perawan tua!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Pang! Kepalaku serasa dihantam beban seberat sepuluh ton. Perawan tua" Merasa hal
itu lucu, Juliet dan Bianca langsung terkikik-kikik. Tetapi Anne menatapku prihatin.
Dengan perasaan masih setengah gamang, aku memerhatikan telunjuk perempuan itu
beralih ke Rosaline, adikku. Dia berkata, "Bintang cemerlang. Otak cemerlang. Si jenius
ini akan menjadi orang besar dan terkenal suatu hari nanti!"
Kemudian terakhir, dia menatap Shannia.
"Hati yang baik. Hati yang mulia. Kebaikan menjaga keberuntungan bersinar atasmu.
Segala yang kau lakukan selalu berhasil. Kerja keras bukanlah takdirmu. Hidup bahagia
adalah nasibmu." Bola kristal berhenti bergetar dan berubah menjadi bening lagi. Perempuan tua itu
menurunkan tangannya sambil berseru lantang, "Demikianlah kata FUDUS ORORPUS Ramalan Sang Dewa- ramalan paling benar di dunia dan tak pernah salah!"
Kemudian dia berbalik, terkekeh, dan melangkah pergi
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 2 *Cewek Paling Jelek* Bagiku, diramal akan menjadi perawan tua adalah hal terburuk. Aku nggak ingin hal itu
dibicarakan lagi, tapi rupanya seluruh keluargaku -terutama Juliet dan Biancamenganggap itu gosip hot yang layak didiskusikan terus-menerus. Saat makan malam,
sambil terkikik-kikik mereka meneruskan berita mencengangkan ini pada Papa dan
Mama. "Tadi siang ada peramal datang ke sini," Juliet langsung membuka pembicaraan begitu
kami duduk mengelilingi berpiring-piring masakan Mama yang lezat. Matanya berputar
melirikku. "Peramal?" Kening Mama berkerut. Tangannya yang hendak menyendok sup terhenti di
udara. Bahkan Papa berhenti mengunyah untuk menatap Juliet.
"Iya," timpal Bianca seru. "Perempuan tua, kayaknya miskin banget. Tapi, Pa...," Bianca
mengacungkan jempol, "...dia meramal kami semua dengan ramalan paling toooop di
dunia..." "FUDUS ORORPUS, itu nama ramalannya," tambah Rosaline, menaikkan
kacamatanya yang melorot.
"Mama nggak percaya ramalan," tukas Mama, meneruskan mengambil supnya,
kemudian menyendok dan menghirupnya pelan. "Itu takhayul, dan seharusnya kalian
juga tidak memercayainya!"
Aku mengangguk setuju. "Tapi ramalannya tepat, Ma!" kata Juliet.
"Dia bisa tahu kalau pertengahan Juli nanti Anne mau menikah," kata Bianca.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Fudus Ororpus...," kata Rosaline dengan nada seorang guru yang siap mengajar muridmuridnya -dia bahkan mengacungkan telunjuknya, "...adalah satu-satunya ramalan
paling tepat di dunia. Peramalnya keturunan langsung Dewa Nasib. Mereka reinkarnasi
Sang Dewa, dan disebut OROROR."
"Ororor?" Kening Juliet berkerut. Bagus. Perhatian semua orang di meja sekarang tertuju
pada Rosaline. Sekarang semuanya jadi ingin mendengarkan lebih banyak tentang
ramalan itu. Aku kesal sekali. Bersikap pura-pura nggak peduli, aku meneruskan makan
dengan piring berdenting-denting. "Maksud kamu, perempuan tua tadi itu bener-bener
keturunan Dewa?" "Ya," kata Rosaline bersemangat. Dia mengangguk, mukanya memerah bergairah. Aku
rasa dia senang semua orang mendengarkan perkataannya. Jujur saja, ini jarang terjadi.
Biasanya pidato ilmiah Rosaline cuma didengarkan sambil lalu dengan wajah bosan, tapi
lebih sering sih dipotong cemoohan Bianca. "Dalam satu generasi kehidupan manusia
cuma hidup seorang Ororor saja. Sebagai orang paling istimewa di dunia, Ororor bisa
berasal dari negara mana saja. Seorang bayi bisa saja lahir dan hidup normal sampai
dewasa, tanpa seorang pun tahu dia Ororor, sampai tahu-tahu Ororor pendahulunya
datang dan menobatkan dia. Ororor pertama diduga berasal dari Timur Tengah, hidup
sekitar tahun 700-600 SM. Kalau Ororor yang tadi, dia generasi ke-37, berasal dari
pedalaman Irian Jaya -Ororor pertama yang berasal dari Indonesia."
"Ororor pertama dari Indonseia!" seru Bianca takjub. "Kenapa kita nggak pernah tahu"
Harusnya kan dia terkenal banget!"
"Tentu saja dia terkenal," tukas Rosaline. "Di kalangan orang-orang yang mendalami
dunia mistik, dia terkenal banget. Para peramal biasa bahkan gemetar bila mendengar
namanya..." http://dayviienz.blogspot.com/
Aku menuang jus jeruk dari teko beling, mencoba membuat perhatian semua orang
teralih pada suara gemericik air beradu dengan gelas, tapi nggak berhasil. Papa cuma
menoleh sekilas, mengernyit, kemudian menatap Rosaline lagi.
"Nah, bagian yang paling menarik terletak pada kisah pewarisannya," lanjut Rosaline.
"Sebelum seorang Ororor meninggal, dia harus mengembara keliling dunia untuk
menemukan Ororor penerusnya, untuk menyerahkan warisan turun-temurun berupa
bola kristal -bola kristal yang bergetar tadi. Konon kristal itu merupakan salah satu bola
mata Dewa Nasib. Dengan melihat ke dalam bola, seorang Ororor bisa melihat nasib
semua manusia sampai ke detail terkecil."
"Dari mana kamu tahu semua itu?" tanya Anne, matanya menatap setengah takjub
setengah curiga. Mungkin Anne menduga Rosaline mendalami dunia mistik atau
semacamnya karena anak itu bisa tahu begitu banyak. Kalau aku sih nggak menduga
sejauh itu. Ditinjau dari kegemaran Rosaline membaca, aku tahu dia pasti
mengetahuinya dari.... "Ensiklopedia," Rosaline memotong pikiranku.
"Legenda ramalan ini terkenal banget, begitu terkenalnya sampai tercantum di hampir
semua ensiklopedia. Biasanya di topik 'Top Ten Ramalan Paling Tepat di Dunia',
'Ramalan-Ramalan Terkenal dan Sejarahnya', 'Cerita Dunia tentang Ramalan dan
Kutukan', 'Rahasia Masa Depan Manusia', dan..."
**"Oh... cuma legenda," tukasku lega. "Berarti kebenarannya nggak perlu dipercaya, kan"
Itu cuma kisah pengantar tidur. Cerita bualan yang nggak bener-bener terjadi..."
http://dayviienz.blogspot.com/
"Eh, tolol!" Bianca mencemoohku. "Kebanyakan legenda berawal dari kejadian nyata,
tau!" Aku mendelik jengkel. Papa menatap kami berdua, alisnya terangkat. Aku langsung
memutuskan untuk nggak menanggapi Bianca. Papa bisa meledak kalau melihat ada
pertengkaran di meja makan.
"Nah, lanjutkan, Rosaline," lanjut Bianca, sama sekali nggak memedulikanku. "Gimana
kalo ternyata seorang Ororor meninggal sebelum menemukan penggantinya?"
"Itu nggak mungkin terjadi," sahut Rosaline yakin. "Menurut buku, garis kematian
seorang ororor selalu lebih panjang daripada garis pertemuan mereka. Dalam nasib
mereka telah ditentukan bahwa mereka akan bertemu dengan penerus mereka sebelum
meninggal." "Tapi.... gimana seorang Ororor bisa menemukan ororor penggantinya" Kan ada banyak
sekali manusia di dunia" Bagaimana mereka bisa mengetahuinya?" tanya Juliet
beruntun, matanya mengerling ke arah Bianca.
Sekejap aku mendapat kesan mereka berusaha menahan selama mungkin pembicaraan
tentang ramalan ini. Bukannya karena sungguh-sungguh tertarik -tentu saja- tapi karena
mereka senang bikin aku jengkel.
"Sang Dewa sendiri yang akan memberitahukannya," jawab Rosaline.
**** "Ramalan itu ngaco!" tukasku.
"Nggak kok, ramalan itu bener," balas Juliet, mendelik ke arahku.
"Diliat dari luar aja udah kelihatan," timpal Bianca tajam. "Di antara kita, Deryn kan yang
wajahnya paling jelek..."
http://dayviienz.blogspot.com/
Ini sudah keterlaluan. Aku ingin membalas, tapi nggak ada suara yang bisa keluar dari
mulutku. Bibirku gemetar. Tanpa dapat kutahan, air mataku sudah berlinangan. Aku lari
ke kamar, nggak peduli makanku belum selesai, nggak peduli bahwa meninggalkan
meja makan sebelum acara makan selesai tidak sopan. Untungnya tampaknya Mama
nggak terlalu mempertimbangkan ketidaksopananku malam ini. Sekilas sebelum
menutup pintu kamar, aku melihat Mama berdiri. Matanya berkilat-kilat berbahaya,
menatap Bianca dan Juliet berganti-ganti.
Samar-samar aku mendengar Bianca dimarahi habis-habisan. Selama ini Mama selalu
mendorong kami agar saling menyayangi dan menghargai. Karena itu begitu
mendengar perkataan Bianca tadi, beliau langsung marah besar.
Aku juga marah. Lebih dari itu, aku ketakutan. Wajah peramal tua tadi terbayang lagi di
benakku. Suaranya yang serak terngiang-ngiang.
Bagaimana kalau ramalan itu benar"
Belum pernah aku sekuatir ini. Rasa gundah yang besar menggumpal di rongga dadaku.
Bukannya aku pengen cepat-cepat menikah, tapi menjaadi perawan tua nggak pernah
termasuk dalam daftar impianku selama ini. Suatu saat nanti, jelas aku ingin punya
keluarga sendiri... sebuah keluarga dengan suami setampan pangeran...
Kalau anak-anak sih belum kebayang, tapi kalau punya anak kelak, aku pengin anak
perempuan yang selucu Dulce Maria....
Semakin pikiranku melantur, hatiku semakin sakit. Apalagi mengingat sindiran Bianca
tadi. Emangnya bener ya, aku yang paling jelek dalam keluarga" Diam-diam aku
membayangkan wajah kelima saudaraku.
http://dayviienz.blogspot.com/
Cuma perlu beberapa detik untuk membuat perasaanku semakin down. Semua
saudaraku seperti pinang dibelah lima. Seperti pinang dibelah enam dengan Mama.
Supercantik. Sosok wanita sempurna. Wajah eksotis, kulit putih bersih, mata bulat besar,
rambut hitam tebal, postur semampai... Yah... kecuali mungkin Rosaline si kutu buku
yang selalu menutupi mata indahnya dengan kacamata minus setebal hampir satu
sentimeter. Menurutku sih, kacamata setebal itu bakal bikin wajah secantik apa pun jadi
kelihatan kuper... Aku paling sial. Seratus persen aku seperti pinang nggak dibelah dengan Papa. Sampaisampai kalo kami sekeluarga datang ke undangan perkawinan, teman Papa langsung
memandangku sambil berkata, "Ini anakmu, ya?", kemudian memandang ke saudarasaudaraku yang lain, "Wah, rame-rame sama keponakan, ya..." Dan mereka membelalak
nggak percaya ketika Papa bilang semua anaknya.
Bukannya bermaksud melecehkan orangtua sendiri, aku cukup bangga jadi anak Papa dia ayah yang baik dan penuh tanggung jawab- tapi mau nggak mau aku harus
mengakui, Papa dan Mama memang nggak bisa dibilang sepadan. Yah, meskipun Papa
nggak sejelek The Beast, tetep aja mereka nggak sepadan. Menurut perhitunganku,
Mama seharusnya bisa dapetin suami yang jauh lebih ganteng daripada Papa.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 3 *Ide Gila Deryn* Hari pertama masuk sekolah di tahun yang baru seharusnya diwarnai dengan semangat.
Hal itu berlaku buat semua siswa, kecuali aku. Dengan lesu aku berjalan memasuki
pekarangan sekolah, memerhatikan dengan enggan anak-anak yang bergerombol riang
dengan geng mereka ~mengobrol sambil berhaha-hihi~ mungkin saling menceritakan
pengalaman liburan akhir tahun mereka.
"Hai!" Ada yang menepuk pundakku keras. Aku menoleh kaget.
Di belakangku berdiri seorang cewek manis, tinggi semampai, rambutnya yang sebahu
dihiasi bandana merah. "Eh, elo," sahutku lemah. Cewek itu sahabat karibku. Namanya Micha. "Bikin kaget aja!"
"Kok lesu banget sih?" Micha menjajari langkahku. Kemudian keningnya berkerut ketika
memerhatikan wajahku. "Ada apa" Lagi ada masalah, ya" Berantem lagi sama Bianca?"
Aku sering sekali curhat sama Micha, makanya dia tahu hampir semua masalahku.
Termasuk peperangan yang sering banget meletus antara aku dan Bianca.
Sambil menghela napas, aku mengangguk.
"Tunggu sampai lo dengar masalahnya," kataku. "Yang ini benar-benar parah!"
"Memangnya ada apa?"
Aku terdiam sejenak. Menimbang-nimbang. Kalau mau jujur, males banget
menceritakan ulang peristiwa memalukan ini. Mengingatnya aja males. Tapi sekarang,
cuma Micha yang bisa bantu aku. Jadi kuputuskan untuk menceritakan semuanya
dengan cepat. Dari awal sampai akhir, sambil menahan hasrat untuk tidak
http://dayviienz.blogspot.com/
menghilangkan bagian aku diramal jadi perawan tua. Nggak mungkin memotong
bagian itu, kan" Itu kan inti permasalahannya!
"Jadi kalian berantem gara-gara itu?"
"Juliet dan Bianca nggak henti-hentinya ngeledek gue," rutukku kesal. Kemudian, aku
melanjutkan dengan cemas. "Cha, gimana kalo ternyata ramalan itu bener?"
"Jangan tolol ah." Micha mengibaskan tangannya tak sabar. "Orang zaman sekarang
percaya ramalan" Yang bener aja! Pakai akal sehat lo, Ryn!"
Aku menghela napas. "Nyokap gue juga bilang gitu," kataku. "Dia cerita, tante gue dulu juga pernah diramal
kalo umurnya nggak bakal lebih dari tujuh belas tahun. Tapi nyatanya, sampai sekarang
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia sehat-sehat aja."
"Tuhhh, kannn?"?" timpal Micha. "Kalau lo mau tahu, sebagian besar ramalan yang ada
di dunia ini salah dan cuma bohong belaka..."
"Tapi sebagian kecil bener, kan?" sahutku putus asa. "Gue takut banget, Cha... Peramal
yang kemarin itu... dia meyakinkan banget. Dia punya bola kristal aneh yang bisa
bergetar sendiri. Dan Rosaline bilang -lo tau sendiri kan dia kayak perpustakaan
berjalan- peramal itu keturunan Dewa Nasib dan ramalannya nggak pernah salah..."
Mendadak aku merasa cemas lagi. "Dan semalem gue ngimpi itu bener-bener terjadi..."
"Ah, lo terlalu banyak mikirin sih, makanya kebawa sampai mimpi..."
"Cha, gue mau nanya, lo jawab yang jujur ya." Micha menoleh, menatapku heran. "Apa?"
"Apa gue ini jelek?"
Mata Micha menyipit, menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Nggak tuh," sahutnya enteng. "Menurut gue... lo lumayan kok..."
Aku cemberut. http://dayviienz.blogspot.com/
"Cuma lumayan?"
"Oke deh, lo manis dan cantik." Micha tersenyum manis.
"Ah, bohong lo!"
"Beneran, gue serius..."
"Nggak percaya!"
Micha memutar bola matanya kesal. "Yeeee... susah banget ya nih anak," gumamnya.
"Dibilang lumayan, nggak terima. Dibilang cantik, nggak percaya!"
"Kalo memang cantik, gue nggak bakal susah dapat cowok!" celetukku frustasi.
Kemudian aku terdiam sendiri, kaget.
*** Micha juga kaget. Dia menoleh. "Kenapa lo ngomong kayak gitu?"
"Memang gitu kenyataannya, kan?" sambarku. "Semua cowok yang gue suka nggak pernah bales
suka sama gue... Nggak ada yang ngebales perhatian gue... Nggak ada yang peduli sama gue...
Nggak ada seorang pun yang naksir gue..."
Micha merangkulku dengan sikap menghibur. "Lo nggak boleh putus asa gitu dong, Ryn," katanya
lembut. "Lo tau kan, nyari 'belahan jiwa' itu memang nggak gampang. Mungkin sekarang belum
saatnya lo pacaran. Tapi gue yakin, suatu saat nanti lo bakal nemuin cowok yang baik, cowok yang
care dan sayang banget sama lo..."
"Oh, yeah, di kehidupan yang akan datang," sahutku putus asa.
Micha kayaknya nggak tau harus ngomong apa lagi.
"Bayangin, gue udah enam belas tahun, Cha, tapi belom pernah sekalipun ditaksir cowok," kataku
meledak-ledak. "Parah banget, kan" Pas Bianca umur enam belas, dia udah tiga kali ganti cowok!"
"Gue juga udah enam belas tahun dan belom pernah pacaran," sahut Micha.
"Kalo itu salah lo sendiri," bantahku panas. "Tuh, cowok sesekolah kan udah antre dari tahun lalu.
Kalo lo mau, tinggal pilih aja!"
Muka Micha memerah. "Nggak ada yang gue suka," katanya pelan. "Semuanya bukan tipe gue..."
Nah! enak banget ya jadi Micha. Jelas-jelas nasibnya berkebalikan denganku. Buatnya, hidup
http://dayviienz.blogspot.com/
bukanlah mengejar cowok, melainkan dikejar cowok. Kalo dia banyak menolak cowok, aku banyak
ditolak cowok. Yah, bukan ditolak dalam arti sebenernya sih. Aku kan belom pernah bener-bener
"nembak". Maksudku, cowok yang kutaksir itu ternyata sama sekali nggak pernah balas
memerhatikan aku. Itu sinyal jelas kalo dia nggak suka aku, kan"
"Udah deh, kita jangan ngomongin ini lagi," sahut Micha. "Percaya sama gue, nggak ada yang perlu
lo kuatirin. Beberapa tahun lagi, lo akan tau kalo semua ucapan peramal itu bohong besar!"
"Deryn, 'nembak' cewek itu bukan hal gampang. Butuh keberanian besar..." Micha menggerakkan
tangannya membentuk bulatan besar di udara, mirip gerakan anak TK pas nyanyi lagu Topi Saya
Bundar. "Lagian, denger-denger nih, Arden itu cowok pemalu. Tipe cowok yang nggak pernah
bergaul sama cewek... cowok super cool. Malah di kelasnya dia dijuluki si Gunung Es..."
"Gue juga tau itu," sahutku pelan. "Jadi, apa dong yang harus gue lakukan?"
"Apa ya?" Micha mikir.
"Nggak mungkin kan, gue yang 'nembak' duluan?"
Aku tercekat mendengar perkataanku sendiri. Micha ngomong sesuatu, tapi aku nggak
mendengarkan. Why not" Ini ide yang sangat cemerlang.
Sesusah apa sih 'nembak' cowok" Nggak perlu ngomong langsung, kan" Tenang aja. Cewek nggak
bakal dianggap nggak gentle kok kalo nggak berani ngomong langsung. Jadi, tinggal bikin sepucuk
surat, lalu kirim. Terus tunggu balasan. Cuma itu. Kemudian aku dan Arden akan jadian.
Hatiku melambung membayangkan hal ini. Arden jadi cowokku" Itu mimpiku yang paling liar. Aku
membayangkan Arden menggandengku melintasi halaman sekolah... Hmmm... semua cewek di
sekolah pasti akan langsung menatapku sirik...
Bianca juga bakal terheran-heran dan nggak bisa lagi menemukan bahan buat meledekku. Dia nggak
bisa menyebutku "jelek" lagi. Kenyataannya, aku bisa punya cowok yang supercakep. Berarti aku ini
lumayan cantik.. Yang paling penting dari semuanya, dia dan Juliet akan berhenti meributkan ramalan brengsek itu.
Aku punya cowok... Suatu saat cowok itu akan menikah denganku, jadi aku nggak akan jadi perawan
tua. Ramalan itu akan terbukti salah.
http://dayviienz.blogspot.com/
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri...
"Deryn, lo kenapa lagi?" teriak Micha cemas, menepuk kedua pipiku keras-keras.
"Eh--nggak kenapa-napa," sahutku tersadar, memegang pipiku, lalu menatap Micha gusar. "Lo kok
nampar gue sich?" "Bukan nampar," ralat Micha. "Cuma nepuk. Abis tingkah lo aneh sih. Tadi ngomel-ngomel sendiri,
sekarang senyum-senyum sendiri! Gue kan jadi takut. Siapa tau aja lo..."
"Tenang, gue belom miring." Aku nyengir. "Gue cuma barusan ketiban ide hebat!"
"Ide apa?" Micha menatapku curiga.
Aku tersenyum misterius. "Kalo Arden nggak berani nembak gue, Cha, gue yang akan maju duluan. Gue akan nembak dia!"
"Apa"!" Micha terlonjak dari bangkunya. Matanya membelalak. "Lo bercanda!"
"Nggak, gue serius," kataku tenang.
"Lo gila!" Micha masih membelalak.
"Seperti gue bilang tadi, gue masih seratus persen waras," kataku nggak sabar. "Jangan kolot gitu ah!
Zaman sekarang cewek nembak duluan kan biasa" Liat aja di komik-komik. Sebagian besar malah
ceweknya yang nembak duluan..."
"Itu kan di komik," Micha masih nggak setuju. "Dan komik-komik itu latar belakangnya Jepang!"
"Di Indonesia juga sama aja," kataku keras kepala.
Micha menatapku ngeri, lalu berkata serius. "Gue tetep nggak setuju. Lo mikir-mikir dulu deh, Ryn...
Jangan terlalu cepet ngambil keputusan. Lo harus pikirin risikonya mateng-mateng! Coba bayangin,
gimana kalo lo ditolak" Reputasi lo bisa hancur! Dan... gimana kalo Bianca sampai denger" Dia kan
sekolah disini juga!"
Aku menggeleng nggak sabar.
"Jangan ngelantur. Lo tenang aja. Gue udah mikirin segalanya kok. Bahkan gue udah netepin hari Hnya. Besok."
Pulang sekolah, aku ketemu Arden lagi. Aku dan Micha sedang berjalan ke luar kelas ketika Arden
tiba-tiba lewat di koridor, tepat di depan kami berdua.
Aku menatapnya gugup, langsung nggak berani melangkah, dan kaget setengah mati ketika Arden
tiba-tiba menolah dan... tersenyum!
http://dayviienz.blogspot.com/
Surprise...!!! Selama ini kami memang sering pandang-pandangan, tapi Arden belum pernah
sekalipun tersenyum padaku. Dan sekarang, lututku rasanya lemas melihat bibirnya yang
tersungging lebar dan wajahnya yang merona malu-malu. Asli, dia jadi dua kali lebih cakep!
Saking kagetnya, aku melakukan tindakan bodoh --berdiri kaku, menatapnya dengan mata
membelalak seperti melihat hantu, sama sekali nggak membalas senyumnya. Aku baru sadar ketika
Micha berteriak sambil mengguncang-guncang bahuku.
"Ryn, jangan kayak orang bego gitu dong!"
Ketika rohku kembali ke tubuhku, Arden sudah berlalu, meninggalkan perasaan sesal yang sangat
besar di dadaku. Aku telah melewatkan kesempatan terbesar sepanjang hidup! Dasar bodoh! Dia
tersenyum, dan aku bukannya balas tersenyum, malahan melongo kayak orang bloon! Tolol!
Setelah beberapa menit, perasaan sesalku kemudian berganti cemas. Gawat! Gimana pendapat
Arden tentang aku nanti" Gimana kalau nilaiku di matanya jadi turun" Jangan-jangan dia mengira
aku aneh. Lebih parah lagi... bisa-bisa dia mengira aku nggak punya perasaan apa-apa terhadapnya.
Bisa-bisa dia mengira aku nggak membalas sinyal positifnya. Aku nggak berhenti memikirkan hal itu
sampai tiba di rumah. **** Di kamar, aku berusaha menenangkan hatiku sendiri. Tenang. Calm down, girl! Besok Arden nggak
perlu mengira-ngira lagi. Besok dia nggak perlu lagi menebak-nebak bagaimana perasaanku yang
sesungguhnya. Besok dia akan tahu dengan pasti kalau aku punya perasaan yang sama terhadapnya.
Dengan pikiran masih setengah menerawang, aku meraih bolpoin dan mulai menulis.
Ternyata nggak semudah yang kuduga. berjam-jam aku duduk di depan meja belajar tanpa hasil
apapun kecuali "Dear Arden".
Otakku kupaksa berpikir sampai berderik, tapi tetep aja nggak ada kata-kata bagus muncul dari sana.
Kamus yang terbuka lebar di sebelahku juga nggak membantu. Yang aku butuhin sekarang adalah
http://dayviienz.blogspot.com/
rangkaian kata, bukan kumpulan kata yang terpisah-pisah.
Serius, ini lebih sulit daripada menyusun sepuluh ribu potongan puzzle. Kata-kata yang aku rangkai
rasanya nggak pernah cocok. beberapa kata rasanya terlalu lugas, berkesan kurang sopan. Kata-kata
yang lain terlalu romantis, sehingga menjijikkan.
Menjelang malam baru surat itu jadi. Singkat banget, nggak lebih dari lima puluh kata. Aku heran.
Ajaib sekali. Buat surat yang cuma sependek ini, kenapa perlu setengah hari penuh"
Dengan sangat hati-hati, kayak memegang keramik langka yang gampang pecah, aku melipat surat
itu, memasukkannya ke amplop, menimang-nimangnya sejenak, menyelipkannya ke dalam buku
matematika-ku yang tebal biar nggak lecek, lalu memasukkannya ke tas.
**** Dear Arden, Udah lama gue mau ngomong hal ini, tapi gue nggak pernah punya cukup keberanian. Gue suka
banget sama elo, dan gue pengen elo jadi cowok gue. Apakah elo juga punya perasaan yang sama"
Please... balas secepatnya...
Love, Deryn (anak kelas 2C) Micha terkikik keras sampai air matanya meleleh. Aku cepat-cepat merebut surat itu, takut ketetesan
air matanya. Pagi itu kelas masih sepi. Masih jam enam. Aku sengaja datang pagi-pagi, dan memaksa
Micha untuk datang pagi-pagi juga, supaya aku bisa menunjukkan surat ini padanya tanpa ketahuan
anak-anak lain. "Lo bener-bener gila ya, Ryn?" ujar Micha disela-sela tawanya. Dia menyeka pipinya. "Gue nggak
nyangka lo bener-bener berani melakukannya."
"Siapa takut?" sahutku menantang. Kemudian pandanganku meredup. "Apapun juga bakal gue
lakuin buat Arden tercinta."
"Cieeeeeee," Micha meledek.
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku cuek. "Tapi, ngomong-ngomong, kenapa pakai 'anak kelas 2C' segala" Kayak mau bikin surat izin ke guru
aja! Ini kan surat cinta?"
"Oh, itu," sahutku. "Itu sih buat poteksi..."
"Proteksi?" tanya Micha heran. "Emangnya asuransi?"
"Yang naksir dia kan banyak!" sahutku. "Siapa tau dia salah orang! Kan gue bisa rugi!"
Micha nyengir. "Tapi nama Deryn kan cuma satu di sekolah ini. Nggak mungkin dia salah!"
"Yah, nggak ada salahnya kan jaga-jaga," sahutku, melipat lagi surat yang masih terbuka itu,
memasukkannya ke amplop. "Nah, sekarang kita sampai di tahap yang paling penting. Nyerahin
surat ini ke Arden. Untuk itu gue butuh bantuan lo."
"Hah" Bantuan gue?" Micha tersentak.
"Iya. Tolong lo yang nyerahin surat ini, ya!" Aku menaruh surat itu ke tangannya.
"What" Nggak mau! No way!" Serta-merta Micha melempar surat itu, seakan surat itu kotoran yang
baru saja kutempelkan ke tangannya.
"Eh, jangan lempar-lempar dong!" teriakku marah, buru-buru menangkap surat itu sebelum jatuh ke
lantai. "Gue bikin surat itu berjam-jam, tau!"
"Sori, nggak sengaja," sahut Micha menyesal. "Tapi gue tetep nggak mau."
Aku langsung menghilangkan tampang galakku, menggantinya dengan tampang memelas. Nada
suaraku juga kusetel dengan mode memohon.
"Cha, please dong. Masa gue harus maju sendiri sih" Gue kan nggak berani?"
"Lo pikir gue berani?"
"Lo kan nggak ada perasaan apa-apa sama dia, jadi bisa cuek aja ngasih. Kalo gue nggak bisa. Pas
berada di depannya, bisa-bisa gue gemeteran, terus pingsan. Apa lo tega?"
Micha menatap ragu. Gotcha! Aku tahu hatinya mulai luluh.
"Ya, Cha, ya" Please..."
Akhirnya Micha mengangguk. Aku bersorak dalam hati.
*** http://dayviienz.blogspot.com/
Pagi itu nggak ada satu pun kata-kata guru yang nyangkut ke otakku. Dan pasti nggak ada juga
yang nyangkut ke otak Micha, karena dia sibuk berembuk denganku mengenai rencana
'penembakan' itu. "Pas istirahat pertama biasanya dia makan bakso di belakang kantin," aku membeberkan kebiasaan
Arden berdasarkan pengamatanku selama ini.
"Gimana kalau hari ini dia nggak ke kantin?" tanya Micha, kedengarannya berharap.
"Lo datengin aja ke kelasnya," sahutku agresif.
Wajah Micha memucat. "Gila!" tukasnya. "Gue nggak mau ah!"
"Cha..." Micha menghela napas. "Oke, oke...," ujarnya pasrah.
Aku tersenyum, memikirkan instruksi selanjutnya.
"Ingat. Pas lo ngasih surat, jangan sampai ada orang lain yang liat!"
"Jelas," sahut Micha. "Gue juga nggak mau ada yang liat. Bisa-bisa dikira gue yang nulis. Gawat.
Harga diri gue bisa jatuh."
Aku berusaha nggak tersinggung mendengar kata-kata "Harga diri yang jatuh".
"Jangan lupa bilang ke dia 'Balas secepatnya!'" lanjutku.
**** Saat istirahat pertama tiba.
Micha berjalan keluar kelas. Aku menatapnya dengan tegang. Jantungku berdebar-debar dan
tanganku berkeringat terus. Rasanya lama sekali sebelum akhirnya Micha kembali.
"Gimana" Gimana?" serbuku panik.
"Sukses berat," sahut Micha ceria. Dia mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi.
"Sukses apanya?" sambarku nggak sabar. "Cepat ceritain!"
"Bener kata lo, dia lagi makan bakso di belakang kantin tadi. Gue langsung aja mendekat, trus gue
kasih surat itu ke dia."
"Terus, terus?" serbuku tegang. "Gimana reaksinya?"
http://dayviienz.blogspot.com/
"Kalo dia sampai mati, lo yang tanggung jawab, Ryn," Micha tertawa. "Dia kaget banget sampai
keselek bakso. Wajahnya merah padam. Sampai gue pergi tadi, dia belom selesai batuk-batuk!"
Micha tertawa tak henti-hentinya, tapi aku duduk kembali di kursiku, dengan wajah memerah penuh
harap. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 4 *Arden dan Surat Cinta* Satu hari. Dua hari. Satu minggu tak terasa telah berlalu.
"Lo yakin udah bilang ke dia buat bales surat gue?" tanyaku udah berkali-kali pada
Micha. "Udah, udah..." jawab Micha entah untuk keberapa kalinya.
Aku menunduk lesu. "Kenapa" Dia belom bales, ya?"
Aku mengangguk. "Dia jual mahal, kali," tebak Micha.
"Mana mungkin sih cowok begitu," sahutku suram. "Jual mahal kan tabiatnya cewek."
Micha mengangkat bahu. "Atau mungkin dia masih mikir-mikir..."
Aku menghela napas, memandang ke luar jendela kelas dengan pandangan kosong.
*** Delapan hari. Sembilan hari...
Harapanku mulai mengikis sedikit demi sedikit, sehingga tinggal selapis tipis. Kenapa
Arden belum membalas juga" Apa mungkin dia nggak suka aku" Tapi kalau dia nggak
suka, kenapa dia kaget setengah mati sampai keselek waktu nerima suratku" Juga, apa
artinya tatapan rahasianya itu"
Ditambah lagi, beberapa hari ini Arden nggak keliatan batang hidungnya. Kemana anak
itu" Apa sakit"
http://dayviienz.blogspot.com/
Berbagai pikiran silih berganti memenuhi pikiranku. Kegelisahan merambati hatiku
sampai tak bisa kutahan lagi.
*** Sepuluh hari. Sebelas hari...
"Udah empat belas hari," kataku hampir menangis pada Micha. "Two weeks. Setengah
bulan. Dan dia belum jawab-jawab juga."
"Tanyain aja langsung ke dia," usul Micha.
Aku mengkeret. "Gue nggak berani..."
"Daripada elo gelisah terus kayak gini..." Micha memandangku. "Lama-lama yang rugi lo
sendiri, kan" Lagian udah kepalang tanggung. Lo kan udah berani nulis surat, masa
nggak berani nanyain jawabannya?"
Perkataan Micha ada benarnya juga. Aku terdiam, menimbang-nimbang. Kemudian
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangguk. Ya. Saat menulis surat itu, aku sudah siap menghadapi segala risikonya,
kan" Aku akan menemuinya untuk menanyakan jawaban.
*** Rencana menemui Arden membuat perutku mulas sepanjang hari. Sepanjang hari aku
tegang banget sehingga sama sekali nggak bisa melakukan apapun, bahkan nggak
berselera jajan saat istirahat pertama dan kedua.
Saat akhirnya bel pulang berbunyi, Micha mengedipkan sebelah matanya dan berbisik
good luck, kemudian meninggalkanku. Satu per satu anak-anak meninggalkan kelas.
http://dayviienz.blogspot.com/
Kakiku rasanya berat banget, seperti terbuat dari batu. Susah payah aku berusaha
mengangkatnya, menyeretnya ke luar kelas.
Kelas-kelas sudah kosong. Koridor sepi. Keluar dari pintu kelasku, aku berbelok ke kiri,
menuju kelas yang terletak paling ujung. Harap-harap cemas, berharap Arden belum
pulang, aku berjinjit, mengintip ke balik jendela.
Arden masih didalam. Harap-harap cemasku berubah jadi cemas beneran.
Cowok itu duduk di kursi paling belakang, sibuk menulis sesuatu. Sekejap aku berharap
dia sedang menulis surat balasan untukku, tapi kemudian aku langsung menyadari
bahwa itu nggak mungkin, karena Arden menulis di buku kotak-kotak, bukannya di
kertas surat atau kertas bergaris.
Selain Arden masih ada seorang cowok lagi yang duduk di seberang yang lain. Dia
sedang mebereskan lacinya, kayaknya bersiap-siap hendak pulang. Benar saja, beberapa
detik kemudian cowok itu berkata "Duluan yuk!" pada Arden, lalu melangkah ke luar
kelas. Aku buru-buru melompat ke taman depan koridor yang cuma dibatasi tanggul batu
rendah, ngumpet di balik pohon terdekat. Baru setelah sosok cowok itu nggak kelihatan
lagi, aku melompat kembali ke posisiku semula di dekat jendela.
Arden kayaknya sudah selesai juga. Dia memasukkan buku-bukunya ke ransel dan
menyandangkannya ke punggung.
Aku gemetaran, nyaris membatalkan niatku dan cepat-cepat berlari pulang ketika tahutahu Arden sudah berdiri di depanku.
Dia menatapku sekilas, lalu melewatiku. Aku tercengang.
"Eh... nggg... tunggu," panggilku spontan. "Gue mau ngomong sama elo!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Arden berhenti. Membalikkan tubuh. Rasanya aku nyaris mati kaku ketika matanya
menatapku tajam. Tajam, sama sekali tanpa rona-rona di wajahnya. Dan dia sama sekali
nggak kelihatan malu-malu. Ini aneh. Pandangannya sama sekali nggak seperti biasanya.
Kemudian, dia melontarkan sebuah kalimat yang langsung membuatku terempas.
"Elo siapa?" Hah" Yang bener aja" Dia nggak kenal siapa aku" Aku makin bingung.
"Gue... Deryn," kataku terbata.
"Oh, yang ngirim surat itu, ya?" sahutnya dingin.
Kemudian dia menurunkan ranselnya, mengambil sebuah buku, mengeluarkan sepucuk
surat pink yang kukenali. "Nih, surat lo gue balikin. Sori, gue nggak ada perasaan apaapa sama elo."
Aku menerima surat itu dengan gamang. Seluruh tubuhku dipenuhi perasaan kosong
yang aneh. Arden, nggak ada perasaan apa-apa sama aku" Bahkan dia nggak
mengenalku. Kemana perginya mimpi-mimpiku selama ini" Aku begitu shock-nya
sehingga air mata bahkan nggak bisa keluar dari mataku.
Arden berjalan meninggalkanku. Kemudian aku melakukan hal yang tak pernah
kusangka berani kulakukan. Aku berlari mengejar Arden, lalu menarik tangannya kuatkuat.
"Tungguuu!!!" "Eh, lo mau apa?" Arden menoleh kaget.
Aku melepaskan tangannya. "Lo boleh nolak gue, tapi lo harus kasih gue penjelasan,"
kataku tersengal. Air mataku mulai merebak.
"Penjelasan?" Arden kelihatan heran. "Penjelasan apa" Gue bahkan nggak kenal elo!"
Barangkali aku sudah putus asa, jadi nggak mikirin lagi apa yang kukatakan.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Gimana mungkin lo bilang nggak kenal gue padahal lo selalu nyuri-nyuri pandang
setiap kali kita ketemu" Bukan cuma sekali dua kali, tapi sering banget. Bahkan terakhir
kali kita ketemu, lo malah tersenyum. Apa lo sengaja mau mempermainkan gue?"
"Lo ge-er ya," kata Arden pedas. "Jujur aja, gue nggak pernah ngerasa mandangin elo,
sembunyi-sembunyi atau nggak! Gue juga nggak pernah ngerasa senyum-senyum ke lo!
Kalo lo ngerasa begitu, mungkin itu imajinasi lo sendiri!"
Bum! Sebuah bom rasanya seperti diledakkan di dalam dadaku, membuat hatiku pecah
menjadi serpihan kecil. Arden hendak berbalik, tapi aku menahannya lagi. Dia pasti
mikir, cewek ini nekat banget. Tapi aku nggak peduli.
"Waktu lo nerima surat dari temen gue, lo kaget sampe keselek, kan" Buat apa lo kaget
kalo lo nggak ada perasaan apa-apa sama gue?"
Arden tiba-tiba terdiam. "Emang gue nggak boleh kaget ya?" tukasnya. "Micha nongol tiba-tiba pas gue lagi
asyik makan, gimana gue nggak kaget, coba?"
"Micha?" Aku tersentak, perasaan nggak enak merambati hatiku. Aku menatapnya
dengan pandangan menyelidik. "Dari mana lo tau kalo temen gue namanya Micha?"
Rona merah yang mendadak menyemburat di wajah Arden membuat perasaanku jadi
tak keruan. Kepalaku berputar-putar. Sekarang semuanya jelas. Sebuah kesalahpahaman
yang menyakitkan. Sebuah kebodohan dari cewek yang berharap terlalu banyak.
"Jadi, dia yang lo suka?" kataku lemah. Air mataku menetes sekarang, membanjir seperti
dua anak sungai yang bercabang-cabang di pipiku. "jadi dia yang lo pandangin selama
ini" Jadi lo tersenyum sama dia?"
Arden berdiri diam di depanku, tanpa berusaha mengingkari semua tuduhanku. Padahal
aku pengin banget dia membantah keras-keras.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Waktu Micha ngasih surat itu, lo kaget karena lo ngira surat itu dari dia" Ya, kan" Ya,
kan?" Tanpa sadar suaraku meninggi dan mengeras. Untung saat itu sekolah sudah sepi
dan nggak ada orang lain disitu selain kami. "Jawab, Arden!"
Saat kepala Arden bergerak ke atas ke bawah, saat itu aku tahu mimpiku sudah pecah
berkeping-keping, sama seperti hatiku.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 5 *Sahabat dan Sakit Hati* Semalaman aku menangis. Bukan cuma sedih, tapi aku juga merasa tolol banget.
Bagaimana bisa aku nggak menyadarinya" Tatapan-tatapan itu bukan untukku.
Itu untuk Micha. Micha! Rasa benci meluap dari hatiku. Apa sih istimewanya Micha, sehingga cowok-cowok
selalu berebut mengerumuninya" Oke, dia cantik. Itu satu poin. Celakanya, cuma satu
poin itu yang tampaknya dipertimbangkan cowok-cowok. Termasuk Arden.
Rasa benci itu tambah membuncah ketika aku bangun keesokan harinya. Sampaisampai ketika ketemu Micha di sekolah, aku mual melihat tampangnya.
"Gimana kemarin?" Micha berlari-lari kecil dari pintu, menuju tempat duduk kami yang
biasa. Wajahnya bersinar ceria. "Sukses?"
Aku melengos, bergumam "Hem," lalu pura-pura sibuk mengeluarkan buku-buku dari
tas. Sudah kubilang kan, melihat tampangnya saja aku mual" Apalagi bicara dengannya.
Bisa-bisa aku muntah! Micha kelihatannya masih belum merasa kalo aku kesal padanya. Nggak heran sih, dia
kan nggak punya salah sama aku.
"Eh, mata lo sembap," sahutnya, memerhatikan wajahku. "Lo kenapa" Abis nangis ya?"
"Kenapa sih lo selalu pengin tau urusan orang?" sambarku kasar. "Diem deh! Ini masalah
pribadi. Lo nggak perlu ikut campur!"
Micha tersentak. Dia langsung diam dan nggak bicara lagi sepanjang hari itu.
*** http://dayviienz.blogspot.com/
Tiga hari penuh aku mendiamkan Micha. Micha tampak penasaran. Berkali-kali dia
berusaha mendekati aku, tapi mundur lagi begitu kubentak. Sebenarnya aku nggak tega
bersikap begini padanya. Dia satu-satunya sahabatku. Teman terbaikku sejak aku kelas
tiga SD. Tapi aku nggak bisa mengendalikan perasaanku. Begitu dekat-dekat dia dan ingat
Arden naksir dia, rasanya aku langsung kepingin meledak. Aku tahu aku salah.
Seharusnya aku nggak menyalahkannya. Bukan salahnya kan, kalau dia cantik" Bukan
salahnya juga, kalo cowok goblok itu naksir dia. Sepanjang penglihatanku selama ini,
Micha sama sekali nggak pernah ngejar-ngejar Arden.
Tapi aku tetap saja marah. Apalagi sekarang, satu pikiran buruk lagi menggangguku.
Gimana kalo Micha juga punya perasaan yang sama pada Arden" Gimana kalo mereka
ternyata saling suka" Aku tahu aku nggak bakal tahan! Tahu Arden ternyata naksir
Micha saja sudah sakit banget. Apalagi melihat mereka pacaran. Aku bisa mati karena
sakit hati. Aku berargumentasi dalam hati untuk menghibur diriku sendiri. Ingat, sudah berapa
banyak cowok yang naksir Micha, tapi semuanya ditolak" Banyak di antaranya lebih
cakep daripada Arden. Kalo Micha nggak tertarik pada seorang pun dari mereka, Micha
juga nggak bakal tertarik pada Arden.
Yeah. Argumentasi itu sedikit berhasil menghiburku. Meskipun nggak berhasil
menghapus kemarahanku. *** http://dayviienz.blogspot.com/
Setelah seminggu penuh saling diam, Micha tampaknya nggak tahan lagi. Siang itu,
pulang sekolah, dia menghadangku dengan gaya seorang preman mau nodong.
"Lo nggak boleh pulang sebelum bicara sama gue!" sahutnya nekat, merentangkan
kedua tangannya di tengah pintu kelas.
"Apa-apaan sih?" seruku gusar. "Gue nggak peduli. Minggir! Gue mau pulang!"
"Seminggu ini lo aneh. Tampang lo lecek terus. Lo musuhin gue, nggak mau bicara sama
gue, terus-terusan menghindar dari gue," Micha nyerocos tanpa memedulikan
kegusaranku. Tangannya masih terus terentang. "Sebenernya ada apa, Ryn" Gue sahabat
elo. Kalo ada apa-apa lo harusnya cerita! Gue punya salah apa sama lo sampai lo
bersikap dingin gini sama gue?"
Aku terdiam, dan terkejut setengah mati ketika tiba-tiba tangis Micha pecah.
"Gue... nggak tahan lagi...," dia terisak. "Selama ini lo satu-satunya sahabat gue. Tapi lo
bersikap kayak kita musuh bebuyutan. Apa lo udah nggak mau lagi sahabatan sama
gue" Apa gue udah nggak pantes lagi buat jadi sahabat lo?"
Aku terpaku. Bertahun-tahun sahabatan sama Micha, aku kenal sekali sifatnya yang
tegar. Micha bukan cewek yang gampang obral air mata. Kalau dia sampai nangis, itu
berarti dia bener-bener sedih.
Sementara berdiri kaku, perasaan bersalah mulai merambati hatiku. Oh God, apa yang
telah kulakukan" Aku telah memusuhi sahabatku sendiri, yang selama ini begitu baik
dan setia, untuk alasan egois yang tak berdasar.
"Gue..." "Kalo gue punya salah sama lo, gue minta maaf, Ryn," ujar Micha terbata. "Gue emang
blak-blakan kalo ngomong, tapi gue nggak pernah berniat nyakitin elo. Kalo lo
tersinggung sama salah satu ucapan gue..."
"Nggak," potongku, maju dengan kaku. "Bukan lo yang salah, Cha. Gue yang salah. Gue
egois... gue jahat..."
http://dayviienz.blogspot.com/
Tanpa dapat kutahan lagi, tangisku pecah juga. Bebanku rasanya terlalu berat seminggu
ini. Penolakan Arden. Kebencian terhadap Micha...
Micha maju, memelukku erat. Aku tersedu-sedu. Saat itu juga kebencianku padanya
luruh. Selama ini Micha selalu baik padaku. Nggak adil banget aku memusuhinya cuma
gara-gara seorang cowok naksir dia.
"Ada apa sebenernya, Ryn?" tanya Micha pelan-pelan.
"Arden nolak gue," aku tersedu semakin keras.
"Dia... dia ternyata nggak kenal gue, Cha. Dia bahkan nggak tau nama gue. Dan dia terus
terang ngomong kalo dia nggak punya perasaan apa-apa sama gue..."
Micha menepuk-nepuk bahuku lembut. "Tabah, Ryn. Lo harus kuat. Mungkin Arden
memang bukan jodoh lo. Suatu hari nanti, pasti lo bakal nemuin cowok yang lebih baik
daripada Arden..." "Mungkin gue nggak akan punya cowok selamanya," sahutku putus asa. "Lo inget
ramalan itu kan, Cha" Gue nggak punya garis jodoh... Gue bakalan jadi perawan tua...
Gue nggak bakal punya cowok atau suami selamanya..."
"Hush, jangan ngomong-ngomong yang nggak-nggak," tukas Micha. "Udah, kita lupain
aja hal ini ya. Pelan-pelan. Gue yakin lo pasti bisa. Gue nggak rela kalo sampai semangat
hidup lo ilang gara-gara si idiot otak udang Arden itu!"
Mendengar Micha menyebut Arden "si idiot otak udang" sungguh menghiburku. Aku
tertawa. Ajaib. Bebanku rasanya berkurang separo.
"Thanks, Cha," gumamku. "Lo emang sobat gue yang paling baik."
Micha tersenyum. "Balik yuk!" ajaknya. "Udah siang nih!"
Aku mengangguk, tapi tiba-tiba teringat ada satu hal yang belum kuceritakan pada
Micha. Sejenak aku menimbang-nimbang. Cerita, nggak, cerita, nggak...
http://dayviienz.blogspot.com/
"Kok ngelamun lagi?" sahut Micha, kuatir lagi menatapku.
"Ada sesuatu yang belom gue ceritain ke elo," sahutku, memutuskan untuk bercerita.
Aku berdiri tegak, menabahkan hatiku. Micha berhak tahu. Persahabatan yang murni
nggak pernah menyimpan rahasia, kan"
Kening Micha berkerut. "Apa lagi?"
"Arden naksir elo," kataku mantap, meskipun hatiku langsung berantakan begitu katakata itu terucap.
"Hah" Apa lo bilang?" Micha terperanjat.
"Selama ini gue salah. Gue ke-geer-an. Gue pikir dia mandangin gue, dia senyum sama
gue. Ternyata salah besar. Dia bukan mandangin gue. Dia mandangin lo. Waktu itu dia
juga senyum sama lo. Terus, waktu lo ngasih surat gue, dia sebegitu kagetnya karena dia
ngira surat itu dari elo!"
Entah kenapa aku lega sekali setelah mengeluarkan serentetan kata itu. Sebaliknya,
Micha kelihatan shock. Dia membelalak menatapku, setengah tak percaya setengah
takjub. "terus, pas gue tanya ke dia, dia terang-terangan mengangguk mengakui."
Micha terdiam. Sekejap aku merasa melihat kekalutan di wajahnya. Tapi pasti cuma
perasaanku, karena berikutnya dia sudah ceria lagi, malahan tersenyum dengan mata
berbinar-binar. "So what?" ujarnya lincah. "Biarin aja dia naksir siapa. Itu hak dia, kan?"
Aku menatap Micha serius.
"Tapi, Cha, lo nggak suka dia, kan?" tanyaku pelan.
Micha menoleh menatapku. Pandangannya aneh, nggak seperti biasanya, tapi aku lega
banget ketika dia bilang, "Jelas nggak! Nggak mungkin aku suka sama cowok idiot otak
udang macam dia!" http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 6 *Persahabatan di Ujung Tanduk*
Sebulan sudah berlalu. Suasana kantin siang itu ramai. Aku berjalan berjingkat-jingkat,
mengintip dulu sebelum berjalan masuk. Perutku lapar berat, tapi kalau ada Arden,
mendingan aku nggak jadi makan. Melihat tampang cowok itu membuat selera
makanku langsung hilang. Apalagi saat ini aku sendirian. Micha sedang ulangan susulan di ruang guru karena
beberapa hari lalu dia sakit. Begitu melihat area kantin clear alias nggak ada Arden, aku
langsung masuk, memesan semangkuk bakso, lalu duduk di deretan meja panjang di
ujung yang paling sepi. Saat aku sedang makan, serombongan cewek datang, masing-masing dengan
semangkuk bakso dan segelas es jeruk di tangan. Tanpa babibu, tanpa permisi, bahkan
tanpa menoleh ke arahku, mereka duduk bergerombol di sampingku, lalu mengobrol
ribut banget sambil bercanda dan tertawa-tawa.
"Udah denger perkembangan terakhir?" cewek yang memakai kacamata dan rambutnya
dikucir kuda langsung membuka pembicaraan begitu mangkuk baksonya menyentuh
meja. Dia menatap teman-temannya bersemangat.
Bukannya aku bermaksud nguping, tapi cewek itu ngomong begitu keras sehingga mau
nggak mau aku ikut mendengar.
"Perkembangan terakhir apa?" tanya temannya yang bermata bulat.
"Lo harus siap-siap patah hati, Fel," lanjut si cewek berkacamata, menunjuk ke temannya
yang lain, cewek berwajah pendiam yang lagi asyik makan. Si cewek yang ditunjuk
langsung terperangah, mendadak berhenti mengunyah, dan menatap si kacamata
serius. Teman-teman yang lain terkikik.
"Apa maksud lo?"
http://dayviienz.blogspot.com/
Si cewek berkacamata membelalak dramatis. Ekspresinya mengingatkanku pada
ekspresi Juliet saat ingin menceritakan sesuatu yang spektakuler dan membuat semua
orang terpesona. "Si gunung es itu...," si kacamata merendahkan suaranya.
Mendengar sebutan itu, aku mulai memasang kuping.
"Arden!?" pekik si pendiam begitu keras, serpihan-serpihan bakso berhamburan keluar
dari mulutnya, mengotori meja, dan beberapa jatuh ke dalam mangkuknya lagi. Temantemannya mengernyit jijik, tapi si pendiam nggak peduli.
"Arden-gue kenapa?"
Sekarang aku yang mengernyit jijik. Arden-gue" Nggak salah tuh" Norak banget sih!
"Arden-lo udah puya cewek, sekarang, honey...," kata si kacamata dengan santai, sambil
menyeruput es jeruknya. Si pendiam tersedak. Di sudut meja, aku juga tersedak.
"Nggak mungkin!" sahut si pendiam frustasi.
Nggak mungkin! tukasku dalam hati.
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gue ngeliat sendiri!" tukas si kacamata, suaranya menajam. "Kemarin dia pulang bareng
sama cewek. Berdua doang."
"Itu kan biasa," tukas si pendiam. "Siapa tau rumah mereka searah!"
"Masalahnya, mereka bukannya jalan sendiri-sendiri. Mereka gandengan. Asli, mesra
banget, bo!" Pandangan si pendiam terlihat seperti orang linglung.
"Siapa ceweknya?" tukas temannya yang lain.
'Itu tuh, cewek tinggi yang rambutnya panjang dan suka pake bandana merah. Anak 2C
deh kalo nggak salah. Micha apa siapa gitu namanya?"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku membelalaki mangkuk baksoku nggak percaya. Micha" Yang bener aja" Ini jelas
nggak mungkin. Micha sama sekali nggak tertarik sama cowok idiot itu! Aku
menggeleng. Ini jelas gosip. Gosip murahan yang sama sekali nggak bisa
dipertanggungjawabkan. "Lo liat sendiri nanti siang kalo nggak percaya," aku mendengar si kacamata berceloteh
lagi. "Tapi biasanya mereka pulang telat banget. Jam duaan, pas semua anak udah balik.
Cari suasana sepi kali ye, biar bisa mesra!"
*** Bel istirahat selesai berbunyi. Ketika aku masuk kelas, kursi di sebelahku masih ksosong.
Micha belum selesai ulangan.
Aku duduk dan termenung. Meskipun aku berusaha nggak percaya, kata-kata si
kacamata itu kepikiran juga. Prasangka buruk mulai berputar-putar di otakku.
Beberapa hari ini kami memang jarang pulang bareng. Alasan Micha macam-macam
setiap kali aku ngajakin pulang bareng. Yang mau langsung les piano-lah, les bahasa
Inggris-lah, ada rapat OSIS-lah, mau mampir ke rumah tantenya dulu-lah. Aku percaya
aja. Micha memang biasanya selalu sibuk. Dia banyak kegiatan di luar sekolah. Les ini
dan itu. Apa Micha bohong" Aku gelisah ketika mengingat kata-kata si kacamata. "Lo liat aja sendiri kalo nggak
percaya." Kalo si kacamata bohong, nggak mungkin dia berani nyuruh temennya
ngebuktiin, kan" Beberapa menit setelah istirahat kedua selesai, Micha kembali dari ruang guru.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Gimana ulangannya?" sapaku ramah. Aku memutuskan untuk menganut asas praduga
tak bersalah. Aku nggak akan percaya gosip itu sebelum membuktikan dengan mata
kepalaku sendiri. "Gampang," sahut Micha santai. "Untung banget, soalnya gue nggak belajar!
Aku nyengir. Micha termasuk tiga anak terpintar di kelas. Dia tipe murid yang nggak
perlu belajar terlalu keras buat mendapat nilai bagus. Nggak seperti aku, yang sudah
belajar keras pun, nilainya masih pas-pasan.
"Siang ini pulang bareng?" tanyaku, harap-harap cemas.
"Sori, nggak bisa," sahut Micha menyesal.
Hatiku mencelos. "Gue ada rapat mading siang ini."
Aku mengangguk. Tapi hatiku gundah luar biasa.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 7 *Ramalan yang Gagal* "Aku diterima! Aku diterima! Yes! Yes!" Aku sedang berbaring di sofa ketika teriakan di
depan pintu mengagetkanku. Juliet berlari masuk, berseru-seru kesetanan sambil
melambai-lambaikan sehelai kertas putih.
Mama yang sedang memasak di dapur tergopoh-gopoh keluar untuk melihat apa yang
terjadi. "Ada apa, Juliet" Berisik amat!"
"Aku diterima kerja, Ma! Aku diterima!" Juliet nggak berhenti meloncat-loncat kayak
anak kecil. Dia mengacungkan surat itu ke Mama, yang wajahnya langsung berubah
sumringah. "Liat, Ma, aku diterima di GoldRiver. Itu salah satu perusahaan konsultan
terkenal di Jakarta!"
"Wah, kamu hebat, Sayang." Mama memeluk Juliet.
Hidung Juliet kembang-kempis bangga. "Ramalan perempuan tua itu memang benerbener tokcer!" serunya.
Aku langsung berjengit begitu mendengar kata "ramalan". Juliet melirikku sambil
nyengir, matanya berkilat nakal.
"Aku terusin ceritaku ya, Ma!" lanjutnya keras-keras sambil melirikku lagi. "Waktu itu dia
bilang bulan depan aku bakal dapat pekerjaan. Kenyataannya, bulan ini aku memang
dapat pekerjaan! Moga-moga semua yang ada di sini sadar sekarang--perempuan itu
memang jago meramal nasib!"
Sambil tertawa keras dibuat-buat, Juliet masuk ke kamar Bianca, atau kamarku, keluar
lagi, lalu pindah ke kamar Rosaline. Aku mendengus. Tanpa mata sinar X Superman pun
aku bisa melihat apa yang dilakukannya. Pamer pekerjaan barunya.
http://dayviienz.blogspot.com/
*** Ini memang agak ajaib. Maksudku, ketepatan ramalan perempuan itu untuk Juliet.
Soalnya, Juliet sudah lama menganggur, hampir setahun. Sejak lulus kuliah, dia nggak
henti-hentinya melamar pekerjaan ke sana kemari, tapi nggak satu pun yang diterima.
Hatiku yang masih luka parah gara-gara tahu Micha dan Arden pacaran jadi tambah
robek. Aku gundah. Jantungku kebat-kebit. Ketakutanku terhadap ramalan itu makin menjadijadi. Kenyataannya, satu ramalan sudah terbukti benar!
"Kak... Kaaakkk... KAK DERYN...!"
Aku tersentak. Menoleh. Rosaline duduk di sampingku sambil nyengir.
"Ngapain sih kamu" Teriak-teriak persis di telinga!" bentakku kesal, mengusap-usap
kupingku yang budek sesaat gara-gara kemasukan suara berfrekuensi tinggi.
"Ngelamun ya?" Rosaline nyengir lagi. "Kayaknya banyak pikiran nih!"
"Sok tau!" tukasku. "Minggir sana!"
"Kak Juliet udah dapet pekerjaan tuh," sahut Rosaline tenang, sama sekali nggak
memedulikan bentakanku. "Kak Deryn udah denger?"
"Udah," sahutku jengkel.
"Berarti ramalan itu bener," timpal Rosaline cepat.
Dalam sepuluh menit aku sudah mendengar dua orang mengatakan hal yang sama.
Tiga, kalo suara hatiku ikut dihitung. Nggak heran kalo aku langsung meledak.
"So what?" kataku dengan nada tinggi. "Mau bener, mau tepat, mau nggak, aku nggak
peduli!" "Masa?" tanya Rosaline nggak percaya. "Jujur aja, aku tahu sebenernya Kakak kuatir!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Dengan heran aku menatap Rosaline. Sejak kapan nih anak jadi rese gitu" Suer, biasanya
dia nggak pernah peduli sama urusan orang. Temannya, di rumah maupun di sekolah,
cuma buku. Sekarang pun di pangkuannya ada sebuah buku. Buku tebal yang bakal
bikin aku muntah darah kalo seseorang memaksaku mebacanya.
**** "Ada hal penting yang harus Kakak ketahui." Rosaline mulai membuka buku di
hadapannya. Aku tercengang. Aku lagi bete berat, dan sekarang mau dikuliahin" Sori aja deh...
Tanpa pikir dua kali aku langsung bangkit.
"Aku ngantuk, mau tidur!" Kataku pura-pura menguap, lalu ngibrit ke kamar.
"Yakin nggak mau denger" Ini tentang ramalan fudus lho!"
Aku langsung membanting lagi pintu kamar yang baru saja kubuka. What" Ramalan
fudus" Ramalan itu" Secepat kilat aku berbalik.
"Ada apa lagi dengan ramalan itu?"
"Makanya kesini dong," sahut Rosaline. Wajahnya senang berat ketika aku, kayak kerbau
dicocok hidung, langsung patuh. "Sini, sini, yang kutemukan ini terobosan besar!" Dia
serta-merta menunjuk ke bukunya. "Bukti bahwa ramalan fudus nggak selalu benar!"
Kupingku langsung waspada kayak sandera penculikan mendengar sirene polisi.
"Yang bener?" Rosaline mengangguk. "Baca aja sendiri."
Melupakan alergiku terhadap buku tebal, aku langsung merebut buku itu. "Mana,
mana?" Jari Rosaline bergerak ke sebuah perikop yang judulnya ditulis dengan huruf tebal:
"Fakta bahwa Ramalan Paling Benar Tak Selalu Benar". Mataku menelusurinya penuh
minat. **** http://dayviienz.blogspot.com/
Ramalan FUDUS ORORPUS, ramalan paling tepat di dunia, ternyata pernah salah juga.
Ini terjadi tahun 1876 pada Robert Welsinki, warga negara Jerman. Robert diramal oleh
Annie Tololoro, ororor generasi ke-30 yang berasal dari Filipina, bahwa hidupnya akan
selalu miskin dan penuh penderitaan karena garis keberuntungannya pendek. Tapi
Robert, yang menolak mentah-mentah untuk percaya, dengan usahanya sendiri bekerja
keras untuk memperbaiki hidupnya. Berawal dari pekerjaan rendahan sebagai tukang
semir sepatu di pasar-pasar, Robert meningkatkan kariernya menjadi karyawan di toko
sepatu. Dan akhirnya, berbekal uang tabungannya dan pinjaman dari beberapa teman
baik, dia berhasil memiliki toko sepatu sendiri. Namun kerja kerasnya tidak berhenti
sampai disitu. Pada tahun 1910, Robert mendirikan pabrik sepatu yang sekarang
menjadi produsen sepatu terbesar di Jerman, membuat namanya tercatat dalam sejarah
sebagai tiga besar pengusaha tersukses di Jerman.
Para ahli ramalan memperdebatkan hal ini selama bertahun-tahun, sampai akhirnya
Joan Revina, peneliti dari Malaysia, mengajukan hipotesis bahwa orang yang diramal
merupakan salah satu unsur penting dari ramalan itu sendiri. Tanpa kepercayaan dari
orang yang diramal, ramalan itu akan batal dan tidak akan terjadi. Hal ini terutama
dikaitkan dengan sugesti atau penolakan sugesti terhadap pikiran.
"See?" sahut Rosaline bersemangat. Matanya berkilat-kilat menatapku.
"Bener kan apa yang aku bilang?" timpalku dengan suara menang. Hepu banget.
"Ramalan itu bullshit! Berani taruhan, semua omong kosong yang keluar dari mulut
peramal tua itu paling-paling cuma bener setengah persen..."
Entah kenapa kilat-kilat di mata Rosaline meredup.
"Eh... ngg... Sebenernya nggak gitu, Kak..."
"Nggak gitu gimana?"
http://dayviienz.blogspot.com/
"Sebenernya... setelah Robert Welsinki, nggak ditemukan lagi ramalan fudus yang
salah!" "What?" sergahku. Ke-hepi-anku mengucur keluar, kayak air di bak kamar mandi yang
ditarik sumbatnya. "Coba ulangi, kamu ngomong apa tadi?"
"Setelah Robert Welsinki, nggak ditemukan lagi ramalan fudus yang salah!"
"Kalo sebelumnya?" tanyaku menyelidik.
"Nggak ada yang salah juga," jawab Rosaline, nyaris berbisik.
"Jadi?" Tenggorokanku mendadak terasa kering. "Maksud kamu, ini satu-satunya yang
salah?" "Karena itu tadi aku bilang, ini terobosan besar!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 8 *Perang Dingin* Perang dingin antara aku dan Micha masih berlanjut. Aku bahkan mengambil sikap
ekstrem--pindah tempat duduk. Micha melongo ketika pagi itu dia datang dan
melihatku duduk di tempat yang paling jelek hong-sui-nya di kelas, tepat di depan meja
guru, di sebelah Anita--anak paling rajin sekaligus paling kuper di sekolah.
"Nggak salah lo duduk di sini?" Micha buru-buru menghampiriku. "Hari ini ulangan
matematika, lho!" Aku cuma menatapnya judes, nggak menjawab sama sekali.
Micha menghela napas. Matanya berkaca-kaca. Tanpa suara dia kembali ke tempat
duduknya. **** "Ryn, ke kantin yuk!"
Micha langsung ke kursiku lagi begitu bel istirahat berbunyi. Huh, nekat banget ya nih
anak" pikirku. Bukannya udah aku bilang kalo aku enek ngeliat tampangnya"
"Gue nggak laper," jawabku dingin.
Micha menatap kecewa, melangkah dengan lunglai ke luar kelas.
**** "Ryn, pulang bareng?"
Aku mendelik. "Jangan deketin gue lagi deh!" bentakku. "Asal lo tau ya, seberapa keras pun lo
berusaha, gue nggak bakal balik jadi sobat lo! Gue nggak sudi sobatan sama
pengkhianat!" http://dayviienz.blogspot.com/
Kali ini air mata betul-betul menitik di mata Micha. Tapi tanpa rasa kasihan sedikit pun,
aku menarik tasku dan melangkah pergi--sengaja menyenggol bahunya keras-keras
sampai dia terhuyung. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 9 *Anita* Hidup tanpa sobat ternyata nggak menyenangkan. Bener-bener kerontang. Nggak ada
yang bisa diajak curhat, nggak ada temen buat haha-hihi, paling parah lagi, mggak ada
yang ngasih contekan PR. Teman sebangkuku yang baru, Anita, sama sekali nggak membantu. Suer, dia asli
pendiam. Nggak pernah ngomong kalo nggak perlu. Setelah seminggu nagkring di
sebelahnya, baru dua kaliaku diajak ngomong. Yang pertama, "Ryn, pinjem Tip-ex ya."
Yang kedua, "Thanks, nih Tip-ex-nya gue balikin!"
Aku bener-bener nggak tahan. Sialnya, nggak ada kursi kosong lain di kelas selain kursi
ini dan kursi di sebelah Micha yang kutinggalkan. Balik ke sana" No way! Gengsi, man!
Waktu istirahat yang biasanya Surga juga berubah jadi Neraka. Karena nggak punya
temen jalan, aku jadi males ke kantin. Hmmm... sebenarnya sih bukan itu masalahnya.
Aku takut di kantin tiba-tiba ketemu Micha dan Arden lagi berduaan. Mau ditaruh di
mana mukaku" Dicemplungin ke mangkuk bakso"
Alhasil, perutkulah yang menanggung akibatnya. Keroncongan dan berkriuk-kriuk keras
pas pelajaran berikutnya. Buntut-buntutnya, maag-ku kambuh. Mama heran banget pas
tau maag-ku kambuh gara-gara nggak pernah jajan lagi.
"Lagi penghematan," dalihku biar Mama nggak curiga. "Aku pengen nabung, biar uang
sakuku nggak habis kebuang."
Mama menatapku bangga. Dia malah langsung ngasih solusi. Mulai besok pagi, dia
akan menyiapkan bekal untukku. Biar aku nggak kelaparan pas istirahat.
Awalnya aku nggak setuju (kayak Shannia aja, ke sekolah mesti bawa-bawa bekal. Aku
kan sudah SMA"). Tapi karena kondisi perutku nggak bisa diajak kompromi, disamping
aku masih malas menginjak kantin, akhirnya aku mengiyakan.
http://dayviienz.blogspot.com/
Jadilah sekarang aku duduk di kursiku, menatap sandwich daging asap dengan keju dan
mayones yang disiapkan Mama (hmmm... kayaknya enak nih!!), sambil menimbangnimbang apakah mau menawari Anita atau nggak. Memang kayaknya dia tenggelam
banget dalam buku entah-apa yang dibacanya --dia bahkan nggak tau aku ngeluarin
sandwich-- tapi nggak enak rasanya kalo aku makan sendirian. Jadi aku mencolek
tangannya. "Eh, mau sandwich nggak?" Aku menyodorkan kotak makanku.
Anita menoleh, sejenak menatap ragu ke sepasang sandwich berbentuk segitiga yang
berjejal di kotak makanku.
"Ambil aja," sahutku. "Lo nggak jajan, kan" Pasti laper!"
"Thanks," sahut Anita pelan, lalu meraih salah satu sandwich-ku.
Kami sama-sama makan sandwich. Sekejap suasana berubah canggung. Anita nggak
membaca lagi, tapi duduk dengan tatapan lurus ke depan. Aku ingin membuka
pembicaraan, tapi nggak tau apa yang harus diobrolin. Kemudian Anita yang ngomong
duluan. "Eh, lo kok pindah tempat duduk?"
Nah! Sekalinya ngomong, yang diomongin masalah yang sensi!
"Ng... bosen," sahutku sekenanya. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan. "Lo baca
buku apa?" "Oh, ini!" Wajah Anita seketikaberubah ceria. "Fisika dan Teknologi Masa Depan."
Aku heran banget sampe melongo. Ajaib banget. Anita yang super pendiam ini
langsung ceria begitu ngomongin iptek"
**** Rupanya Anita salah mengartikan keherananku. Dia menganggap aku tertarik. Dengan
penuh semangat digesernya buku itu sampai ke mejaku. Kemudian dia nyerocos lagi,
http://dayviienz.blogspot.com/
sambil menunjuk-nunjuk beberapa baris tulisan di buku. Tingkahnya persis Rosaline
sewaktu menunjukkan artikel tentang ramalan itu. Eh, nggak persis ding. Ini jauh lebih
parah. Paling nggak waktu itu aku tertarik dengan topiknya. Sedangkan sekarang...
Aku menunggu dia berhenti ngomong dengan sia-sia. Sekarang Anita malah
mengeluarkan buku lain dari tasnya. Untunglah saat itu sesuatu jatuh dari bukunya.
Anita jadi berhenti ngomong. Tapi yang kulihat berikutnya ternyata nggak membuatku
tambah lega. Yang jatuh dari buku Anita itu selembar kertas. Aku mengambilnya, karena jatuhnya
dekat tempat dudukku. Kemudian kusadari itu bukan kertas. Itu selembar foto. Foto
seorang cowok yang --nggak bisa dibilang keren sih, tapi lumayan rapi-- putih, bermata
kecil, rambutnya dibelah samping. Aku tercekat.
"Eh, foto siapa nih?"
Wajah Anita merona. "Itu... nggg... Hobbi... mantan cowok gue...," katanya terbata-bata.
"Hah?" seruku kaget. "Lo pernah pacaran?"
Aku tahu pertanyaanku ini kedengarannya nggak sopan. Apalagi nanyainnya sambil
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget. Tapi bukan salahku kalau aku bener-bener terperanjat. Soalnya Anita kuper
banget. Baik dari segi tampang maupun kelakuan. Nggak bermaksud kasar lho. Ini
kenyataan. Anita mengangguk pelan. "Iya. Dia temen masa kecil gue. Kami jadian waktu kelas dua SMP..."
Ini baru berita! Anita ternyata sudah pacaran sejak SMP!
"Trus... kenapa putus?"
Air mata mengambang di mata Anita. Aku jadi nggak enak.
"Eh, kalo lo nggak mau cerita, nggak apa-apa kok," sahutku cepat-cepat.
"Nggak kok, nggak apa-apa. Lagian, ini bukan rahasia..."
Aku cepat-cepat pasang kuping lagi.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Sebenernya, Ryn... kami nggak putus...," suara Anita tersekat di tenggorokan. "Hobbi
meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Dan itu salah gue. Dia waktu itu lagi pergi
mau jemput gue. Tau-tau di jalan motornya kesamber truk... dan dia... dia..."
Anita berhenti ngomong. Dia nggak nangis. Nggak terisak. Tapi kelihatan jelas dia
berusaha keras menahan air matanya.
Untuk pertama kalinya aku merasa simpati padanya. Nggak disangka, ternyata Anita
punya masa lalu yang cukup tragis. Mungkin gara-gara itu dia jadi menarik diri kayak
sekarang. Mungkin peristiwa itu menjadi trauma dalam dirinya.
"Udah, Nit..." Aku menepuk-nepuk bahunya. "Yang udah berlalu biarlah berlalu. Semua
bukan salah lo. Kejadian itu memang udah takdir. Udah direncanain sama Tuhan. Lo
jangan sedih lagi. Hobbi sekarang udah bahagia di Surga..."
Anita mengangguk. "Gue tau, Ryn. Tapi gue sulit berhenti nyalahin gue sendiri. Kalo aja saat itu gue nggak
nyuruh dia jemput, dia nggak akan..."
"Nit, nggak ada habisnya kalo lo nyalahin diri lo terus. Hobbi di surga juga nggak bakal
tenang. Lo harus bisa nerima semua ini dan ngelanjutin kehidupan lo di sini. Masa
depan lo masih panjang..."
Anita menatapku, kelihatan kagum.
Aku terdiam, terheran-heran sendiri sama kata-kata bijak yang baru saja meluncur dari
mulutku. Kok bisa ya aku ngomong kayak gini" Biasanya sih aku dinasihati, nggak
pernah yang namanya menasihati...
Tapi, menghibur orang lain itu rasanya menyenagkan kok, meskipun kita sendiri juga
sedang susah. Bebanku yang seabrek rasanya jadi berkurang sedikit, jadi jauh lebih
ringan. http://dayviienz.blogspot.com/
Meskipun demikian, rasa shock-ku sama sekali nggak berkurang, malah bertambah.
Ternyata aku kalah tiga tahun sama cewek paling kuper di kelas. Iya, kan" Anita sudah
punya cowok sejak 2 SMP. Aku belum punya cowok padahal udah 2 SMA.
Sekarang aku mulai yakin, sebagai remaja cewek enam belas tahun, aku kurang gaul.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 10 *Bergumam* Hobiku berubah sejak aku nggak sahabatan sama Micha lagi. Yang dulunya kelayapan
melulu (entah ke mal, entah cuma nongkrong di rumah Micha), sekarang jadi seneng
ngabisin waktu tidur-tiduran di kamar. Buat orang yang biasa jalan dan capek, jelas hal
ini ngebosenin banget. Nah, buat membunuh rasa bosanku, aku memaksa diri membaca
buku yang diberikan Rosaline.
Sama sekali nggak seperti cara pandangku terhadap buku-buku lainnya, aku
menganggap buku-buku ini penting. Kalau Rosaline benar, buku ini bisa menjadi kunci
yang menentukan suram-tidaknya masa depanku nanti. Dengan menguasai cara-cara
yang diajarkan di dalamnya, kemungkinan aku bisa menolak pengaruh ramalan itu. Yah,
kalau aku beruntung. Masalahnya, perbandingan berhasilnya satu banding sekian juta.
Aku memilih membaca buku yang pertama lebih dulu, yang judulnya Guard Your Mind.
Bukan karena judulnya lebih menarik, tapi karena lebih tipis. Yang ini cuma tujuh senti
dua mili, sedangkan buku yang satunya sebelas senti lima mili. Tadi kuukur dengan
penggaris. Buku itu menganjurkan beberapa cara untuk menolak sugesti negatif, terutama yang
berasal dari luar. Pertama dengan visualisasi positif. Oke, biar jelas, kutulis saja di sini
definisinya. Visualisasi yaitu membayangkan gambaran tertentu secara jelas. Maksudnya
kira-kira kayak gini: bila aku nggak ingin jadi perawan tua, dan suatu saat nanti aku ingin
menikah, maka aku harus membayangkan diriku telah atau sedang menikah dengan
seseorang. http://dayviienz.blogspot.com/
Tentu saja ini sulit. Umurku kan baru enam belas tahun. Masa disuruh bayangin jadi
pengantin" Kalo bayangin punya cowok sih bisa. Malah sering. Tapi sayangnya nggak
pernah kesampaian. Cara kedua adalah menegaskan berkali-kali kata-kata yang berkebalikan dengan
ramalan itu. Nah, yang ini kayaknya lebih gampang. Aku tinggal bilang aja berkali-kali
"aku nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan
jadi perawan tua..." Menurut buku itu, kata-kata yang diucapkan berulang-ulang
tersebut perlahan-lahan akan meresap ke dalam pikiran bawah sadar, membentuk
semacam daya tolak terhadap ramalan yang ditujukan pada kita.
**** Saat daya tolak tersebut sudah cukup kuat, pengaruh ramalan itu secara otomatis akan
terlepas, sehingga menjadi batal, tidak jadi terjadi, atau menurut istilah para ahli: void.
Aku memutuskan untuk langsung mencoba cara ini. Kugumamkan berkali-kali "aku
nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan jadi
perawan tua..." Tapi kemudian mulutku mulai pegal dan aku mengantuk...
Akhirnya, cara ketiga dan seterusnya nggak sempat kubaca karena aku keburu
ketiduran. **** Karena malas membaca bab-bab berikutnya, akhirnya aku cuma mempraktikkan cara
kedua. Kuputuskan untuk bergumam dua kali sehari, setiap pagi setelah bangun tidur,
dan setiap malam pas mau berangkat tidur. Tentu saja aku harus super hati-hati tentang
hal ini. Kalau Bianca sampai dengar, bisa-bisa dia mengira aku punya kelainan jiwa,
setiap malam bergumam-gumam sendiri. Karena itu setiap kali bergumam, aku selalu
menarik selimutku tinggi-tinggi sampai menutupi seluruh kepalaku.
http://dayviienz.blogspot.com/
Tapi acara gumam-bergumam ini ternyata cuma berlangsung empat hari. Masalahnya,
malam pas mau tidur seringnya aku sudah kecapekan, jadi males. Penginnya langsung
bobo. Pagi pas bangun, biasanya kesiangan --sarapan aja nggak sempet, apalagi
bergumam! **** Diluar dugaan, Rosaline ternyata jauh lebih gigih daripada aku. Dia nggak hentihentinya mencarikan bacaan-bacaan baru yang berhubungan dengan ramalan. Dia
bahkan melakukan riset khusus tentang Robert Welsinki lewat internet. Sayang nggak
banyak yang didapatnya. Cuma informasi tambahan bahwa Robert Welsinki seorang
pekerja keras dan dermawan yang dihormati. Dia banyak mendirikan yayasan-yayasan
sosial, sering menyumbang ke sekolah-sekolah, bahkan mendirikan sekolah asrama
khusus untuk anak-anak miskin yang berasal dari kota tempatnya dibesarkan. Sama
sekali nggak membantu. Oh ya, Welsinki itu orang yang gigih. Pekerja keras. Mungkin itu kuncinya. Kalau aku
mau lepas dari ramalan itu, aku harus gigih juga. Semangatku untuk bergumam muncul
lagi. Malah sekarang aku meningkatkannya jadi tiga kali sehari. Pas bangun pagi,
sebelum tidur siang, dan sebelum tidur malam. Yang ini bertahan lebih lama. Lima hari.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 11 *Diary Shannia* Hari ini, pas pulang ke rumah, aku mendapati ruang tamu nggak seperti biasanya. Alihalih bersih dan rapi, amplop-amplop merah bertebaran dimana-mana. Aku mengernyit.
"Amplop-amplop siapa nih?" teriakku.
Anne muncul dari kamarnya. Tangannya membawa label putih dan bolpoin.
"Amplopku," sahutnya. "Itu undangan pernikahan. Bantuin nempelin label yuk!"
Aku terenyak. Undangan pernikahan! Ya ampun! Jalan-jalan kemana saja otakku selama ini, sampai
bisa melupakan peristiwa besar ini" Anne kan mau menikah. Aku mengingat-ingat. Oh
God, sekarang sudah Juni. Berarti bulan depan!
Begitu rasa kagetku hilang, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini, rasa panik
menyerang. Aku tahu pesta itu direncanakan besar-besaran. Dan perutku mulas
membayangkan aku bakal sendirian di pesta nanti. Maksudku, bukan sendirian dalam
arti yang sebenarnya, tentu saja. Pestanya kan meriah. Pasti banyak yang diundang.
Maksudku sendirian, nggak bakal ada yang bisa kuajak kesana kemari berdua,
mengambil makanan atau sekadar mengobrol. Yang diundang pasti teman-teman
Anne-Orlando dan teman-teman Papa-Mama, jadi sudah pasti nggak ada satu pun yang
aku kenal. Meskipun saudaraku banyak, semuanya datang dengan pasangan masing-masing. Juliet
pasti dateng sama cowoknya. Bianca juga sama cowoknya. Rosaline "kemungkinan
besar" juga sama cowoknya. Soalnya kemarin aku nggak sengaja mendengar Rosaline
cerita soal "sahabat laki-lakinya" ke Mama dan Mama kayaknya oke-oke aja. Masa iya
aku harus sama Shannia terus" Bisa-bisa aku dikira babysitter.
http://dayviienz.blogspot.com/
Satu-satunya harapanku tinggal Micha, dan celakanya, aku lagi berantem sama dia. Oh
God, tolong! What should I do"
Rasanya pengen banget nggak datang ke pesta, sayangnya itu jelas nggak mungkin!
Aku kan adik Anne! "Hei, disuruh bantuin kok malah ngelamun," tegur Anne.
Aku ter sentak. "Eh, iya. Aku makan dulu ya. Abis makan aku bantuin deh!"
*** Jadilah siang itu aku bersibuk ria membantu Anne membereskan undangannya. Ketika
sudah menempelkan lebih dari lima ratus label putih dan menuliskan nama di atasnya,
labelnya tahu-tahu habis. Padahal masih ada seratus undangan lagi yang belum
ditempeli label. "Gimana nih, Kak?" tanyaku. "Beli label agi aja!"
"Ah, males mau keluar..." Anne menatap jalanan di luar yang memang panas banget.
"Gini aja. Kita bikin sendiri aja labelnya."
"Hah, gimana caranya?"
"Pake kertas putih yang digunting kotak-kotak, terus dilem... Gampang, kan?" sahut
Anne. "Iya ya...," sahutku tolol.
"Nah, sekarang kamu ambil gunting sama lem dulu gih!"
Aku berdiri, lalu langsung menuju kamar Shannia. Kali ini logikaku jalan. Siapa yang
paling sering pakai gunting dan lem" Jelas anak SD! Kerjaan mereka kan bikin prakarya.
Siapa anak SD di rumah ini" Jelas Shannia!
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku membuka pintu kamar Shannia. Sepi. Bukannya nggak ada orang, tapi Shannia
sedang tidur siang. Sedangkan Rosaline, yang sekamar dengannya, sedang pergi entah
ke mana. Mungkin nge-date sama Farren di perpustakaan.
Takut membangunkan Shannia, aku berjalan berjingkat-jigkat menuju meja belajar.
Tanpa suara aku mengobrak-abrik benda-benda yang ada disitu. Rencana sih mau nyari
gunting, tapi kemudian mataku melihat sesuatu yang lain.
Sebuah buku, tapi bukan buku biasa. Dan bukan buku iptek atau ensiklopedia, karena
sampul depannya bergambar Hello Kitty. Diary Rosaline, pikirku spontan. Berikutnya,
sifat isengku muncul. Lupa sama sekali dengan yang namanya privasi, aku langsung
membukanya. Ternyata nggak dikunci. Aku terkikik senang dalam hati. Langsung kubuka halaman
pertama. Mataku mendapati welcome note standar diary --gambar tengkorak besarbesar dan tulisan "Dilarang membaca buku ini! Barang siapa nekat membacanya akan
dihukum gantung pakai tali jemuran... Bla... bla... bla... Buku ini milik..."
Aku tercengang. "Shannia Santalia?" Aku membelalak nggak percaya.
Yang bener aja" Si kecil yang baru kemarin belajar nulis udah bisa nulis diary"
Aku cepat-cepat membuka halaman berikutnya. Penasaran banget. Apa sih yang ditulis
anak kelas satu SD di buku diarynya"
Jawabannya melampaui dugaanku yang paling liar sekalipun.
Sabtu, 1 Januari Hari ini seorang peramal datang ke rumah kami. Nenek-nenek, udah tua banget. Dia
ngeramal kami semua. Kak Deryn diramal jadi perawan tua. Diary, apa sih perawan tua
itu" Pasti itu buruk, soalnya malemnya Kak Bianca sama Kak Deryn bertengkar sampai
Kak Bianca dimarahin Mama...
http://dayviienz.blogspot.com/
Sabtu, 15 Januari Hari ini aku seneng banget. Pertama, aku menang lomba nari. Kedua, ulangan
matematikaku dapat 10. Mama ngasih hadiah satu kotak besar es krim strawberry.
Semuanya boleh aku habisin sendiri, nggak perlu bagi-bagi sama kakak-kakak kayak
biasanya. Biar nggak ada yang minta, aku makan sambil ngumpet di kamar. Eh, ketauan
Kak Rose. Ya udah akhirnya aku bagi Kak Rose tiga sendok.
Senin, 24 Januari Mungkin gara-gara kebanyakan es krim, aku pilek berat. Aku bersin-bersin terus,
ingusku melar-meler ke sana-sini. Semua anak ngetawain aku. Aku malu banget, hampir
nangis. Tiba-tiba Peter dateng. Dengan berani dia ngusir anak-anak yang ngetawain
aku, terus dia ngomelin mereka. Terus dia ngasih selembar tisu yang ada di meja bu
guru. Selasa, 1 Februari Diary, aku pernah cerita nggak ya" Wajah Peter mirip banget sama Dekisugi. Itu lho,
temennya Shizuka yang pinter di film Doraemon. Cakep banget deh. Baik lagi. Rasanya
lama-lama aku makin suka sama Peter.
Rabu, 9 Februari Horeee! Hari ini Peter ngasih aku boneka. Padahal hari ini bukan ulang tahunku, kan"
Boneka teddy bear. Lucu banget. Aku namain dia Beanie.
Jumat, 25 Februari Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku
suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka
Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter.
http://dayviienz.blogspot.com/
Jantungku berdegup kencang. Tanganku gemetar. Kutatap Shannia yang tertidur
dengan polosnya sambil memeluk boneka beruang berbulu cokelat. Pantas aku rasanya
nggak pernah ingat Mama beliin boneka itu buat dia. Ternyata memang bukan dari
Mama! Ya ampun! Aku bener-bener nggak habis pikir. Anak sekecil itu. Baru masuk SD enam
bulan yang lalu. Umurnya juga belum genap enam tahun. Tau apa sih dia soal sukasukaan" Mandi aja masih dimandiin Mama!
Aku tercenung kuatir. Jangan-jangan Shannia mengalami kedewasaan dini...
Kemudian aku terkesiap. Mungkin nggak perlu menguatirkan Shannia. Mungkin lebih perlu menguatirkan diriku
sendiri. Naksir-naksiran di masa kanak-kanak normal kok. Cewek enam belas tahun yang belum
pernah ditaksir cowok itulah yang nggak normal!
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 12 *Persiapan Pesta...* Waktu bergulir cepat. Aku makin sering panik, sehingga takut bakal kena depresi. Di
rumah telah dilakukan persiapan besar-besaran untuk menyambut pesta Anne.
Sekarang aku nggak mungkin lagi lupa atau pura-pura lupa.
Di antara kami, Mama yang paling sibuk. Kalau kamu punya lima anak perempuan yang
harus didandani secantik mungkin dari ujung kepala sampai ujung kaki, kamu pasti juga
akan repot. Untung sekali Mama nggak perlu mengurusi Anne. Dari baju, aksesori,
sampai make-up Anne, semua udah diurusi bridal.
Nah, karena itulah selama beberapa hari ini, setiap siang sepulang sekolah, Mama
mengajak kami shopping. Dari pakaian dalam sampai sepatu. Yang paling susah
sebenarnya mencari gaun. Maksudnya untukku. Pernah kubilang kan, bahwa tubuhku ini
pendek" Mencari yang pas di badan sangat susah. Ada juga malah kedodoran, kayak
anak kecil pake baju mamanya...
Kalau Juliet dan Bianca sih gampang. Begitu menempel di tubuh mereka, gaun yang
paling jelek sekalipun kelihatan cantik. Tapi entah kenapa mereka berdua bawel banget.
Nggak mau ini, nggak mau itu. Yang ini modelnya terlalu tua. Yang itu warnanya terlalu
muda. Pas menemukan model yang cocok, mereka berdua sama-sama suka. Padahal
gaun model itu tinggal satu. Jadilah mereka berantem.
"Aku duluan yang ngeliat!" tukas Bianca.
"Tapi tadi kamu nggak tertarik," bantah Juliet. "Setelah aku nyoba baru kamu
kepengen!" Mama nyengir kecut kepada pegawai toko, lalu menarik Juliet dan Bianca keluar dari
toko. http://dayviienz.blogspot.com/
"Nggak malu ya, udah gede kok berantem di tempat umum!"
"Abis Juliet sih," Bianca membela diri.
"Kamu yang mulai duluan," Juliet mendelik.
"Diam semuanya!" bentak Mama. "Kalo ada yang berantem lagi, kita langsung pulang
sekarang!" Juliet langsung ciut. Bianca juga. Keduanya diam saat mengikuti Mama memasuki toko
berikutnya. Tapi mata Juliet masih terpaku pada gaun yang sekarang dipajang lagi di
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
etalase oleh pegawai toko.
*** Di depan toko sepatu, aku tertarik pada sepatu putih berhak sepuluh senti yang
dipajang di etalase. Cuma sepatu itu yang bisa membuat my dream comes true. Dengan
sepatu itu, tinggiku bisa jadi 160 senti! Aku menunjuk-nunjuk sambil bilang pada Mama.
"Ma, yang itu bagus ya..."
"Hah, setinggi itu" Nanti kamu malah jatuh, Ryn!"
Berrrrr!!!! Harapanku langsung terbang lagi kayak kupu-kupu.
"Lagian kan kita belum dapat gaunnya! Cari gaun dulu, baru milih sepatu. Biar warnanya
bisa disesuaiin!" *** Tapi ternyata sulit banget dapetin gaun yang cocok buat kami. Mama putus asa, lalu
memutuskan untuk memanggil penjahit saja. Lebih baik bikin aja daripada pusing,
begitu katanya. Soalnya kalau bikin kan ukurannya sudah pasti pas, dan modelnya bisa
milih, lagi. http://dayviienz.blogspot.com/
Juliet langsung minta dibuatkan model persis seperti yang dilihatnya di toko. Bianca
ikut-ikutan dan mereka langsung perang lagi.
"Aku nggak mau kembaran sama kamu!" sentak Juliet.
"Eh, aku juga nggak sudi!" balas Bianca. "Aku mau pake yang itu! Kamu cari model lain
aja!" Mama muncul dari dapur. Dia bilang sama penjahitnya untuk jangan bikin model itu
untuk siapa pun. Juliet dan Bianca langsung diam, sibuk membuka-buka majalah mode
lagi. Karena aku buta sama sekali soal mode, jadi aku pasrah saja sama penjahitnya. Penjahit
wanita itu memandangi wajahku sejenak, mengamati tubuhku dari kepala sampai kaki,
lalu menggambar sket di kertas. Kemudian dia menunjukkannya padaku. Modelnya
atasnya mirip tank top, terbuka di bagian bahu, dengan dua tali tipis di pundak. Bagian
bawahnya panjang dan agak mengembang. Aku mengangguk sambil berdoa dalam
hati. Moga-moga nantinya cocok dengan potongan tubuhku.
"Kamu pengen warna apa?" tanya penjahit itu.
Aku bengong. Belum sempat mikir, penjahit itu udah ngomong lagi.
"Mmmm... kuning muda aja ya?" dia menjawab sendiri pertanyaannya. "Lembut... cocok
sama kamu..." Aku mengangguk-angguk tolol.
*** Sewaktu penjahit itu mau pulang (setelah selesai mengukur dan mendesain gaun untuk
Rosaline dan Shannia), Mama tahu-tahu muncul lagi dari dapur.
"Ya ampun!" dia berteriak panik. "Kok Mama bisa lupa ya" Micha kan belum dibikinin
baju! Deryn, cepat telepon dia! Suruh ke sini sekarang! Biar diukur sekalian!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku terperangah. "Micha" Ngapain Micha pake dibikinin baju juga?"
"Micha kan jadi penerima tamu.."
Blarrr!!! Rasanya bagaikan tersambar petir. Ya ampun, aku benar-benar lupa. Micha jadi
penerima tamu! Dulu aku yang meminta-minta sama Mama agar Micha jadi penerima
tamu, biar aku bisa dekat dia sepanjang pesta. Sekarang, aku nyesel setengah mati
kenapa dulu ngucapin permintaan bodoh itu.
"Cepat, Deryn!"
Aku dilanda dilema. Jelas aku males banget nelepon si licik itu. Amit-amit deh,
ngomongan sama dia lagi. Tapi kalo nggak nelepon, jelas Mama bakal meledak, terus
menanyaiku macem-macem. Kenapa aku nggak mau nelepon" Ada masalah apa sama
Micha" Kenapa musuhan"
Huh! Aku ngeri banget kalo sampai harus cerita tentang Arden ke Mama. Jadi dengan
enggan aku bangkit menuju telepon.
"Halo?" kataku ketus.
Suara Micha di seberang jelas terdengar kaget.
"Deryn?" serunya senang. "Bener ini elo, Ryn?"
"Nyokap gue nyuruh elo dateng ke sini buat ngukur baju! Baju pesta Anne! Elo dateng
aja sekarang!" kataku jutek.
"Oke... gue..."
Klik. Telepon kututup. Peduli amat jawaban dia. Pokoknya aku udah ngelakuin perintah
Mama. Dia mau dateng, terserah. Nggak dateng, jauh lebih bagus. Kalau dia nggak
dateng, aku bisa bikin alasan bohong ke Mama --Micha sibuk kek, Micha apa kek, trus
ngusulin buat cari penggantinya aja.
http://dayviienz.blogspot.com/
Tapi sayang, sekali lagi harapanku nggak jadi kenyataan. Beberapa menit setelah
telepon kututup, wajah Micha sudah nongol di balik pintu. Dia tersenyum manis pada
Mama, terus tersenyum munafik padaku. Jelas aku nggak balas senyumnya.
"Eh, Micha, udah datang...," Mama berkata ramah. "Sori, Tante lupa, ngasih taunya
mendadak. Untung kamu pas nggak ada acara ya." Mama menoleh ke penjahit. "Bu,
yang ini tolong diukur juga ya. Pilihin model yang pantes..."
Aku membuang muka. Pengen banget ngumpet di kamar sekarang, biar nggak usah
ketemu Micha, tapi aku nggak berani karena itu pasti akan menimbulkan kecurigaan
semua orang. Jadi aku bertahan di sofa.
Setelah berjanji akan menyelesaikan pesanan baju itu dalam tempo dua minggu,
penjahit itu pulang. Mama masuk ke kamarnya. Semua saudaraku bubar, masing-masing
kembali ke kamar. Aku juga pengen balik ke kamar, sudah beranjak malah, ketika Micha
tahu-tahu mencengkeram bahuku.
Aku berbalik lagi, lalu berbisik ketus, "Acara ukur-ukurannya udah selesai kok. Kalo elo
mau balik, balik aja! Bye!"
Kusentakkan bahuku, lalu dengan cuek melangkah lagi.
Micha mengejarku, mencengkeram bahuku lagi.
"Ryn, tunggu! Gue mau ngomong!"
Ini salah satu alasan kenapa tadi aku malas menelepon Micha. Dia bakal ge-er,
menyangka aku sebenernya pengen baikan sama dia. Huh. Sori aja ya. Sama sekali
nggak terlintas di pikiran tuh.
"Nggak ada yang perlu kita omongin lagi," kataku dingin, masih sambil berbisik.
"Pleaaseee... lima menit aja..."
Saat itu Bianca keluar dari kamar, menuju kulkas. Aku buru-buru menarik Micha ke
halaman. Bisa gawat kalau Bianca sampai mendengar pembicaraan kami!
http://dayviienz.blogspot.com/
Di kebun, di balik sebatang pohon (biar nggak kelihatan dari dalam rumah), aku berdiri
dengan tangan bersedekap. Sengaja kubikin gayaku seangkuh mungkin, biar Micha
tambah mengkeret. Biar dia tahu aku sama sekali nggak berminat baikan dengannya.
"Oke, five minutes," kataku sambil melirik jam tanganku. "Mulai sekarang! Cepetan!"
Micha menatapku. Bibirnya gemetar. Perlahan, dengan mata berkaca-kaca dia bicara.
"Ryn, gue udah putus sama Arden..."
"So, what?" sambarku.
Air mata Micha berlinang.
"Nggak ada hubungannya kan sama gue" Arden bukan siapa-siapa gue. Lo juga bukan
siapa-siapa gue!" Micha kelihatan terpukul dibilang "bukan siapa-siapa". Air matanya makin deras.
Sebenarnya aku mulai kasihan melihatnya, tapi aku keukeuh pura-pura galak.
"Ryn... gue putus demi elo," Micha terbata-bata. "Jujur, ini berat banget buat gue... Tapi
gue udah mutusin bahwa lo lebih penting daripada Arden. Kita udah sahabatan lama
banget. Gue nggak rela persahabatan kita hancur begitu aja cuma gara-gara cowok.
Gue... gue sayang banget sama elo, Ryn. Gue nggak sanggup kehilangan elo..."
Aku terdiam, nggak tau harus berkata apa.
"Please, Ryn... maafin gue. Gue tau gue salah besar dan nggak pantes dimaafin. Tapi...
please... kasih gue satu kesempatan lagi buat balik jadi sahabat lo..."
"Bener lo udah putus?" tanyaku menyelidik.
Micha mengangguk buru-buru.
"Nanti lo pacaran lagi di belakang gue!" bentakku galak.
"Nggak... nggak bakal... Gue janji... sumpah..."
"Bener?" "Trust me!" sahutnya. "Selama ini kan gue nggak pernah bohong sama elo..."
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku tahu Micha salah ngomong. Kami bertengkar kan gara-gara dia berbohong padaku!
Dia kayaknya sadar, tergagap, lalu buru-buru meralat ucapannya. "Eh... mak... maksud
gue, gue janji nggak bakal bohong lagi sama lo!"
Aku tersenyum. Micha menubrukku, memelukku erat banget. Selama beberapa detik kami berpelukan,
kemudian tertawa lepas. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 13 *Sikap Aneh Micha* Bagus. Cowok sialan itu sekarang sudah enyah dari kehidupan kami. And I have my best
friend back. Aku senang. Akhirnya semuanya kembali normal. Kepanikanku menghadapi
pesta Anne berkurang drastis. Micha bakal ada di sana. Aku punya teman. Aku nggak
akan sendirian. Pagi itu aku membereskan barang-barangku yang masih tertinggal di laci sebelah meja
Anita, sekalian pamitan sama Anita.
"Gue mau balik ke meja lama gue, Nit," kataku.
Anita tersenyum. "Gue tau kok, lo di sini cuma sementara. Udah baikan sama Micha,
ya?" "Hah?" tukasku kaget. "Kok elo tau gue berantem sama dia?"
"Jelas dong! Mana mungkin lo mau pindah kursi ke tempat paling nggak strategis di
kelas kalo nggak ada masalah sama temen sebangku lo?"
Aku nyengir. "Masalah kami udah selesai kok..."
"Gue ikut seneng..." Anita tersenyum. "Nyari sahabat itu susah. Sekali dapet, lo harus
pertahankan baik-baik..."
"Eh, kok jadi elo yang nasihatin gue?"
Kami tertawa. Kemudian aku kembali ke kursiku. Menata barang-barangku di laci, lalu menatap ke
samping dan tercengang. Aku melirik jam tanganku. Jam tujuh tepat. Waduh, kenapa Micha belum datang juga"
Apa dia lupa kalo jam pertama adalah pelajaran Pak Brian yang super-killer itu"
http://dayviienz.blogspot.com/
Terdengar langkah-langkah berat sepatu beradu dengan lantai dari depan kelas. Jelas
bukan langkah murid. Aura ketegangan menyebar. Semua murid yang tadinya berisik
setengah mati langsung diam.
Tok... tok... tok... Pak Brian berjalan memasuki kelas, memelintir kumisnya, lalu duduk di meja guru.
Dengan garang dia menatap murid satu per satu.
Aku cemas. Melirik jam tangan lagi. Tujuh lebih tiga. Kenapa Micha belum datang juga"
Sembunyi-sembunyi aku mengeluarkan HP, mengebelnya dari bawah meja. Mailbox.
Handphone Micha nggak aktif.
Tepat pada saat itu pintu menjeblak terbuka. Micha berjalan masuk, terengah-engah,
wajahnya penuh keringat. Tersengal-sengal dia berkata pada Pak Brian, "Maa... maaf,
Pak... saya terlambat!"
Tampang Pak Brian saat itu betul-betul mematikan. Kalo nggak marah aja tampangnya
udah serem, apalagi kalau marah" Dia nggak berhenti memelintir-melintir kumisnya.
"Kenapa?" "Ha... hari ini lama banget nunggu busnya, Pak..."
Aku tahu itu alasan bohong. Kompleks rumahku dan rumah Micha deket banget sama
sekolah. Cuma lima belas menit jalan kaki. Dan nggak ada jalur bus di sana. Yang ada
paling cuma mikrolet. "Di mana rumah kamu?" sambar Pak Brian.
"Kom... Kompleks Permata, Pak..."
"Memang ada jalur bus dari sana?" bentak Pak Brian garang.
Micha mati kutu. Dia nggak bisa ngomong apa-apa lagi.
"Temui guru piket. Bilang kalau kamu terlambat. Minta surat izin dari dia untuk
mengikuti pelajaran. Tanpa surat izin, kamu nggak boleh mengikuti pelajaran!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku menatap Micha kasihan. Anak-anak yang lain menatap kejadian itu dengan
tampang kasihan-kasihan-senang. Kasihan karena ngeliat salah seorang temen mereka
dimarahi, tapi juga senang. karena jam pelaaran jadi kepotong.
*** Sekitar sepuluh menit kemudian Micha masuk lagi ke kelas membawa surat izin. Waktu
itu Pak Brian sedang menuliskan rumus-rumus luas dan volume berbagai bentuk
geometri. "Nah, ini nih yang paling saya benci dari murid yang terlambat! Pak Brian berhenti
menulis untuk mengomel lagi. "Mengganggu jam pelajaran. Membuat waktu terbuang
sia-sia. Kamu bukan cuma mengganggu saya! Kamu juga mengganggu teman-teman
lain yang ingin belajar serius!" Pak Brian menunjuk ke seluruh kelas.
Aku menggeram dalam hati. Salah Pak Brian juga lah. Tadi Micha disuruh ke guru piket.
Kalo Micha langsung disuruh duduk, kan nggak mengganggu pelajaran!
Micha nggak menjawab, cuma menunduk sedalam-dalamnya.
Pak Brian menukas gusar, "Ya sudah, sana duduk!"
"Ngapain lo" Kok bisa sampe telat?" aku berbisik begitu Micha menyentuhkan
pantatnya di kursi. "Kesiangan," sahutnya, berbisik juga.
"Kok bisa?" aku berbisik lagi.
Saat itu aku melihat wajah Micha dan tercengang. Mata Micha sembap dan ada
lingkaran hitam di bawahnya, kayak orang semalaman nggak tidur.
"Eh, mata lo kenapa" Abis nangis ya?"
Celakanya, saking kagetnya, aku lupa berbisik. Semua anak sekarang menoleh. Pak Brian
langsung menyambarkan suaranya yang lebih keras dari geledek.
"Yang mau ngobrol silahkan bicara di luar!!!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku dan Micha langsung diam seribu bahasa.
*** Saat istirahat, barulah aku punya kesempatan ngobrol dengan Micha.
"Lo kenapa, Cha?" tanyaku prihatin.
"Nggak kenapa-napa..."
"Yang bener?" kataku nggak percaya. "Muka lo pucet banget. Udah gitu, mata lo..."
"Bener. Gue nggak apa-apa kok, Ryn..." Micha tersenyum. "Gue cuma kurang tidur..."
Aku nggak percaya. Micha pasti lagi ada masalah. Apa ortunya berantem lagi" Orangtua
Micha memang kurang harmonis. Mereka sering banget berantem, bahkan pernah
hampir cerai. Tapi kenapa Micha nggak mau cerita" Ah, mungkin dia lagi sedih aja,
pikirku. Kalo pas sedih, kadang-kadang kita males ngomong juga, kan"
*** Besoknya Micha nggak telat lagi. Aku mendapati matanya sembap dan lingkaran hitam
di bawah matanya semakin kentara.
"Kok mata lo sembap lagi?" tanyaku, makin penasaran.
"Kecapekan, kali... Semalem nonton TV sampe larut..."
Itu alasan yang jelas dibuat-buat dan nggak masuk akal. Kayak ngebohongin anak kecil
aja. Memangnya nonton TV semalaman bikin mata bengkak" Iya, kalo yang ditonton
film tragedi, terus nontonnya sambil nangis!
Tapi aku nggak sempat mendebat lagi karena saat itu guru fisika, Pak Bondan, masuk.
Pak Bondan nggak se-killer Pak Brian, meskipun kalo mergokin murid yang ngobrol di
kelas pas tengah-tengah pelajaran, dia bisa berubah sama galaknya.
"Kumpulkan PR kalian!" serunya, begitu duduk di kursi guru.
http://dayviienz.blogspot.com/
Semua anak, termasuk aku, langsung mengeluarkan buku PR masing-masing dan
menaruhnya di meja. Andy si ketua kelas, berjalan keliling kelas untuk
mengumpulkannya. Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan di sebelahku. Aku menoleh dan terkejut. Micha
yang memekik. Wajah Micha pucat pasi.
"Celaka, Ryn," serunya panik. "Gue lupa bikin PR!"
"Hah?" seruku kaget. Micha, si anak pintar yang nggak pernah bolong bikin PR, yang
termasuk salah satu sumber utama buat dicontekin, lupa nggak ngerjain PR"
"Gimana dong?" seru Micha putus asa, hampir menangis.
Saat itu Andy tiba di meja kami.
"Mana PR kalian?"
Aku mengangsurkan buku PR-ku.
"Gue lupa bikin PR," sahut Micha lemas, kepalanya menunduk.
"Hah?" seru Andy kaget. "Nekat lo, Cha!"
Micha diam saja. "Jadi, gue harus bilang apa sama Pak Bondan" Jumlah buku PR-nya kurang satu, gitu?"
tanya Andy. "Nggak perlu. Gue akan ke depan buat bilang sendiri ke dia."
Micha berjalan ke depan kelas. Aku menatapnya dari belakang dengan jantung
berdebar-debar. "Maaf, Pak, saya lupa bikin PR," Micha komat-kamit di depan Pak Bondan.
Pak Bondan menatap Micha dingin, lalu berkata pendek.
"Temui saya sepulang sekolah nanti di ruang guru!"
***
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://dayviienz.blogspot.com/
Siang itu aku menunggui Micha di depan ruang guru. Jam setengah tiga baru dia keluar.
Tampangnya lesu. "Diapain?" tanyaku, saat kami berjalan pulang.
"Diceramahin," sahutnya lemah. "Sial deh, gue sampe ngantuk banget. Tapi tuh guru
nggak brenti-brenti juga ngomongnya. Mana ngomongnya pake hujan, lagi." Micha
menyeka rambutnya jijik. "Nih, rambut gue sampe basah."
Aku nyengir lebar. "Elo juga sih... kenapa bisa sampe lupa bikin PR?"
Micha terdiam lama. Kupikir dia sedang memikirkan jawaban. Ternyata nggak. Ketika
aku menoleh, kulihat pandangannya kosong.
"Cha...?" Nggak ada sahutan. Aku menyenggol lengannya. Micha tergeragap.
"Eh, kenapa?" katanya kaget.
"Lo ngelamun, ya?"
"Eh, nggak... Gue lagi konsentrasi jalan kok..."
"Nggak mungkin banget!" tukasku. "Masa jalan aja sampe konsentrasi kayak gitu. Cha,
akhir-akhir ini nggak tau kenapa gue ngerasa sikap lo aneh. Sebenernya lo kenapa sih"
Kalo lagi ada masalah, cerita dong ke gue, jangan disimpen sendiri. Kan lo sendiri yang
bilang sama sahabat harus saling terbuka..."
Nggak ada jawaban. Aku menoleh. Ternyata Micha sudah melamun lagi.
Bab 14 *Pertengkaran Besar* http://dayviienz.blogspot.com/
"Orangtua lo berantem lagi, Cha?" pancingku pas istirahat kedua siang itu. Aku masih
belum menyerah. Micha jelas sedang sedih dan kacau. Sebagai sahabatnya, aku harus
mengetahui penyebabnya, biar aku bisa menghiburnya.
"Oh, nggak," jawab Micha. "Mereka rukun kok. Rukun banget malah!"
"Jadi, kenapa lo sedih?"
"Nggak apa-apa..."
Kesabaranku habis. "Lo selalu bilang nggak apa-apa nggak apa-apa terus tiap kali gue nanya! Padahal
keadaan lo jelas jauh dari nggak apa-apa! Lo berubah jadi pelupa. Lo jadi tukang
terlambat. Lo sering ngelamun. Nilai-nilai lo juga turun drastis. Sebenernya lo kenapa?"
"Ryn, please... gue lagi nggak pengen ngomongin masalah ini dulu..."
"Masalah apa sih?" tukasku penasaran. "Kalo lo nganggep gue sahabat, lo harus cerita,
Cha!" Aku heran melihat mata Micha malah berkaca-kaca.
"Ryn, gue lagi pengen sendirian, boleh?"
Aku menghela napas. Dengan perasaan kesal yang ditahan-tahan, aku bangkit dari kursiku dan melangkah
keluar. Ketika tiba di pintu, aku menoleh. Micha menangkupkan kedua telapak
tangannya ke wajah, tapi aku bisa melihat butiran-butiran air mata merembes melalui
sela-sela jemarinya, mengalir membasahi punggung tangannya.
*** Hari ini Micha nggak masuk sekolah. Aku menelepon rumahnya. Kata mamanya, dia
sakit. Demam tinggi sejak semalam.
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku cemas. Begitu bel pulang berdering, aku cepat-cepat menghambur pulang. Aku
pengen ke rumah Micha untuk melihat kondisinya. Tapi di halaman tahu-tahu sesosok
tubuh tinggi mencegatku. Aku tercekat.
"Arden?" "Deryn, gue mau ngomong sama lo sebentar..."
Aku terperangah. Ah, kemajuan! Jadi dia udah tau namaku sekarang"
"Ada ap...?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Arden sudah menarik tanganku. Aku kaget.
Jantungku langsung berdebar-debar cepat. Dia menggandengku! Dia menggandengku!
Arden menarikku ke balik pohon besar tempatku dulu mengintai dia dan Micha. Disitu
memang sepi, strategis buat ngomong sesuatu yang rahasia. Pikiranku langsung
melantur. Apa rahasia yang mau diomongin Arden" Ah, mungkin dia mau minta maaf.
Mungkin dia mau bilang, "Ryn, sori banget... selama ini gue salah... Sori banget gue
udah nolak elo. Sekarang setelah lo jauh dari gue, gue baru sadar kalo gue ternyata suka
banget sama lo..." Jantungku berdegup makin kencang.
Di depanku, Arden meremas-remas tangannya gelisah. Dia berkali-kali membuka dan
menutup mulutnya, seperti ragu-ragu mau mengatakan sesuatu. Aku maklum. Nyatain
perasaan bukan hal yang gampang, kan" Apalagi plus minta maaf. Aku pernah baca di
majalah, kalo cowok itu egonya tinggi. Mereka paling ogah minta maaf.
"Sebenernya... hmmm... sebenernya gue nggak boleh ngomong begini," katanya gelisah.
*** "Sebenernya... hmmm... sebenernya gue nggak boleh ngomong begini," katanya gelisah.
Aku mendengarkan dengan sabar. "Kalau Micha tau, dia bisa marah besar. Ta... tapi...
http://dayviienz.blogspot.com/
gue nggak tahan ngeliat dia terus menderita. Karena... ngeliat dia menderita bikin gue
Tiga Dara Pendekar 1 Pendekar Slebor 36 Susuk Ratu Setan Pendekar Negeri Tayli 10
RAMALAN FUDUS ORORPUS Karya Julia Stevanny. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 1 *Ramalan Sang Dewa* Perempuan tua aneh itu datang tiba-tiba pada suatu siang dan mengacaukan hidupku.
Dia mengetuk pintu, dan adik bungsuku yang tolol, Shannia, mengizinkannya masuk,
bahkan memberinya segelas air. Katanya karena kasihan.
Penampilan perempuan itu memang memelas. Kuduga dia pengemis yang kelaparan.
Tapi pakaiannya aneh. Dia mengenakan rok berenda bertingkat-tingkat yang begitu
penuh tambalan sehingga sulit buatku untuk menentukan warnanya. Atasannya blus
berlengan menggembung yang bukan cuma penuh tambalan, tapi juga kotoran. Seuntai
kalung manik-manik berwarna pink norak menjuntai di lehernya, sampai ke dada, dan
kelihatannya satu set dengan anting-anting bulat besar yang menggantung di
telinganya karena warnanya sama persis.
Setelah meneguk habis air yang diberikan Shannia, dia mengucapkan terima kasih
dengan suaranya yang serak, dan saat itu aku menyadari keanehan lainnya. Tangan kiri
perempuan itu menenteng bola kaca bening. Diameternya kira-kira 10 sentimeter, dan
sekarang bola itu bergetar dan warna bening di dalamnya berubah jadi berkabut.
Seumur hidup aku belum pernah melihat bola yang tiba-tiba bergetar sendiri.
"Kau ingin meramal, Kristal Sakti kecil-ku?" Perempuan itu terkekeh, mengusap bibirnya
yag masih basah oleh air putih. Suaranya yang serak mengerikan terpantul sampai ke
langit-langit. Aku, Ketiga kakakku, dan kedua adikku -kebetulan saat itu semuanya sedang berada di
ruang tamu- terpana. Aku memandang Shannia dengan tatapan menyalahkan, tapi
Shannia menatap perempuan aneh itu penuh minat.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Nenek bisa meramal?" seru Shannia melengking, terperangah campur kagum. "Ayo
ramal kami, Nek!" Sudut bibir perempuan tua itu terangkat. Kelihatannya dia mencoba tersenyum,
meskipun hasilnya lebih mirip seringai. Bola matanya membulat -aku baru menyadari
matanya cokelat sekali- dan dia menatap kami satu per satu dengan sangat tajam. Aku
merasa seperti ditelanjangi. Sepertinya dia bisa melihat menembus otakku.
**** Kemudian dia terkekeh lagi, kali ini lebih lantang. Tangan kirinya terangkat, sehingga
posisi bola kristalnya sekarang hampir sejajar dengan matanya. Aku memerhatikan,
kabut di dalam bola kristal itu sekarang berubah menjadi biru.
"Kamu...!" tiba-tiba perempuan tua itu berteriak. Telunjuk keriputnya teracung tepat ke
arah Anne, kakakku yang paling tua. Aku melihat wajah Anne memucat dan matanya
berkedut tegang. Suara perempuan tua itu kemudian merendah. Dalam gumaman mirip
bisikan yang dipanjang-panjangkan dia berkata, "Bintang bagus. Bintang bagus. Tahun
ini peruntunganmu baik...Puncak hari yang kau nanti-nanti akan tiba di pertengahan Juli.
Izinkan aku mengucapkan selamat. Kau telah memilih calon suami yang sempurna."
Kening Anne mengerut heran. Pertengahan Juli nanti dia memang akan menikah
dengan Orlando, tunangannya, setelah mereka pacaran selama dua belas tahun.
Bagaimana perempuan ini bisa tahu" Hari itu memang hari yang paling ditunggutunggunya.
Tanpa memedulikan wajah kami yang terheran-heran, perempuan itu mengalihkan
telunjuknya pada Juliet, kakakku nomor dua.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Kamu...!" perempuan tua itu berteriak lagi. Juliet terlonjak. "Sudah berbulan-bulan lulus,
dan belum juga dapat pekerjaan" Tenangkan hatimu dan hilangkan kekuatiranmu. Garis
keberuntunganmu sedang membaik. Bulan depan kau akan mendapatkan pekerjaan di
perusahaan besar..."
Juliet melongo sedetik, kemudian berseru senang, "Bener nih, Nek?"
Perempuan tua itu tidak menjawab. Dia sekarang mengalihkan pandangannya pada
Bianca, kakakku nomor tiga, dan menatapnya lurus-lurus. Bianca balas menatapnya
dengan pandangan harap-harap cemas.
Perempuan tua itu mendesah. "Belum pernah kulihat cabang semulus ini," katanya
terkagum-kagum. Suaranya bergetar, matanya bersinar-sinar. "Garis kaya, garis kaya,
dan garis kaya lagi. seumur hidup kau ditakdirkan berlimpah harta. Lahir dalam keluarga
berkecukupan, dibesarkan dalam keluarga berkecukupan, dan kelak kau akan menikah
dengan seseorang yang sangat kaya...."
Bianca menghela napas, kelihatan sangat lega. Aku merasa seluruh kecemasannya
berpindah padaku. **** Perempuan tua itu sekarang memandangku. Matanya yang cokelat melebar lebih
mengerikan. Telunjuknya terarah tepat di hidungku. Ditambah lima pasang mata lain
yang menatap penasaran, aku merasa seperti seorang tertuduh kasus pembunuhan
yang sedang disudutkan di tengah pengadilan.
"Naik. Turun. Lurus. Terputus... Oh, TIDAK!" wanita itu tiba-tiba terpekik. Matanya
membeliak, kelihatan ngeri sekali. "Tidak mungkin! FUDUS OROROR! Kau dilahirkan
tanpa garis jodoh, Nak. Kau ditakdirkan untuk menjadi perawan tua!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Pang! Kepalaku serasa dihantam beban seberat sepuluh ton. Perawan tua" Merasa hal
itu lucu, Juliet dan Bianca langsung terkikik-kikik. Tetapi Anne menatapku prihatin.
Dengan perasaan masih setengah gamang, aku memerhatikan telunjuk perempuan itu
beralih ke Rosaline, adikku. Dia berkata, "Bintang cemerlang. Otak cemerlang. Si jenius
ini akan menjadi orang besar dan terkenal suatu hari nanti!"
Kemudian terakhir, dia menatap Shannia.
"Hati yang baik. Hati yang mulia. Kebaikan menjaga keberuntungan bersinar atasmu.
Segala yang kau lakukan selalu berhasil. Kerja keras bukanlah takdirmu. Hidup bahagia
adalah nasibmu." Bola kristal berhenti bergetar dan berubah menjadi bening lagi. Perempuan tua itu
menurunkan tangannya sambil berseru lantang, "Demikianlah kata FUDUS ORORPUS Ramalan Sang Dewa- ramalan paling benar di dunia dan tak pernah salah!"
Kemudian dia berbalik, terkekeh, dan melangkah pergi
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 2 *Cewek Paling Jelek* Bagiku, diramal akan menjadi perawan tua adalah hal terburuk. Aku nggak ingin hal itu
dibicarakan lagi, tapi rupanya seluruh keluargaku -terutama Juliet dan Biancamenganggap itu gosip hot yang layak didiskusikan terus-menerus. Saat makan malam,
sambil terkikik-kikik mereka meneruskan berita mencengangkan ini pada Papa dan
Mama. "Tadi siang ada peramal datang ke sini," Juliet langsung membuka pembicaraan begitu
kami duduk mengelilingi berpiring-piring masakan Mama yang lezat. Matanya berputar
melirikku. "Peramal?" Kening Mama berkerut. Tangannya yang hendak menyendok sup terhenti di
udara. Bahkan Papa berhenti mengunyah untuk menatap Juliet.
"Iya," timpal Bianca seru. "Perempuan tua, kayaknya miskin banget. Tapi, Pa...," Bianca
mengacungkan jempol, "...dia meramal kami semua dengan ramalan paling toooop di
dunia..." "FUDUS ORORPUS, itu nama ramalannya," tambah Rosaline, menaikkan
kacamatanya yang melorot.
"Mama nggak percaya ramalan," tukas Mama, meneruskan mengambil supnya,
kemudian menyendok dan menghirupnya pelan. "Itu takhayul, dan seharusnya kalian
juga tidak memercayainya!"
Aku mengangguk setuju. "Tapi ramalannya tepat, Ma!" kata Juliet.
"Dia bisa tahu kalau pertengahan Juli nanti Anne mau menikah," kata Bianca.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Fudus Ororpus...," kata Rosaline dengan nada seorang guru yang siap mengajar muridmuridnya -dia bahkan mengacungkan telunjuknya, "...adalah satu-satunya ramalan
paling tepat di dunia. Peramalnya keturunan langsung Dewa Nasib. Mereka reinkarnasi
Sang Dewa, dan disebut OROROR."
"Ororor?" Kening Juliet berkerut. Bagus. Perhatian semua orang di meja sekarang tertuju
pada Rosaline. Sekarang semuanya jadi ingin mendengarkan lebih banyak tentang
ramalan itu. Aku kesal sekali. Bersikap pura-pura nggak peduli, aku meneruskan makan
dengan piring berdenting-denting. "Maksud kamu, perempuan tua tadi itu bener-bener
keturunan Dewa?" "Ya," kata Rosaline bersemangat. Dia mengangguk, mukanya memerah bergairah. Aku
rasa dia senang semua orang mendengarkan perkataannya. Jujur saja, ini jarang terjadi.
Biasanya pidato ilmiah Rosaline cuma didengarkan sambil lalu dengan wajah bosan, tapi
lebih sering sih dipotong cemoohan Bianca. "Dalam satu generasi kehidupan manusia
cuma hidup seorang Ororor saja. Sebagai orang paling istimewa di dunia, Ororor bisa
berasal dari negara mana saja. Seorang bayi bisa saja lahir dan hidup normal sampai
dewasa, tanpa seorang pun tahu dia Ororor, sampai tahu-tahu Ororor pendahulunya
datang dan menobatkan dia. Ororor pertama diduga berasal dari Timur Tengah, hidup
sekitar tahun 700-600 SM. Kalau Ororor yang tadi, dia generasi ke-37, berasal dari
pedalaman Irian Jaya -Ororor pertama yang berasal dari Indonesia."
"Ororor pertama dari Indonseia!" seru Bianca takjub. "Kenapa kita nggak pernah tahu"
Harusnya kan dia terkenal banget!"
"Tentu saja dia terkenal," tukas Rosaline. "Di kalangan orang-orang yang mendalami
dunia mistik, dia terkenal banget. Para peramal biasa bahkan gemetar bila mendengar
namanya..." http://dayviienz.blogspot.com/
Aku menuang jus jeruk dari teko beling, mencoba membuat perhatian semua orang
teralih pada suara gemericik air beradu dengan gelas, tapi nggak berhasil. Papa cuma
menoleh sekilas, mengernyit, kemudian menatap Rosaline lagi.
"Nah, bagian yang paling menarik terletak pada kisah pewarisannya," lanjut Rosaline.
"Sebelum seorang Ororor meninggal, dia harus mengembara keliling dunia untuk
menemukan Ororor penerusnya, untuk menyerahkan warisan turun-temurun berupa
bola kristal -bola kristal yang bergetar tadi. Konon kristal itu merupakan salah satu bola
mata Dewa Nasib. Dengan melihat ke dalam bola, seorang Ororor bisa melihat nasib
semua manusia sampai ke detail terkecil."
"Dari mana kamu tahu semua itu?" tanya Anne, matanya menatap setengah takjub
setengah curiga. Mungkin Anne menduga Rosaline mendalami dunia mistik atau
semacamnya karena anak itu bisa tahu begitu banyak. Kalau aku sih nggak menduga
sejauh itu. Ditinjau dari kegemaran Rosaline membaca, aku tahu dia pasti
mengetahuinya dari.... "Ensiklopedia," Rosaline memotong pikiranku.
"Legenda ramalan ini terkenal banget, begitu terkenalnya sampai tercantum di hampir
semua ensiklopedia. Biasanya di topik 'Top Ten Ramalan Paling Tepat di Dunia',
'Ramalan-Ramalan Terkenal dan Sejarahnya', 'Cerita Dunia tentang Ramalan dan
Kutukan', 'Rahasia Masa Depan Manusia', dan..."
**"Oh... cuma legenda," tukasku lega. "Berarti kebenarannya nggak perlu dipercaya, kan"
Itu cuma kisah pengantar tidur. Cerita bualan yang nggak bener-bener terjadi..."
http://dayviienz.blogspot.com/
"Eh, tolol!" Bianca mencemoohku. "Kebanyakan legenda berawal dari kejadian nyata,
tau!" Aku mendelik jengkel. Papa menatap kami berdua, alisnya terangkat. Aku langsung
memutuskan untuk nggak menanggapi Bianca. Papa bisa meledak kalau melihat ada
pertengkaran di meja makan.
"Nah, lanjutkan, Rosaline," lanjut Bianca, sama sekali nggak memedulikanku. "Gimana
kalo ternyata seorang Ororor meninggal sebelum menemukan penggantinya?"
"Itu nggak mungkin terjadi," sahut Rosaline yakin. "Menurut buku, garis kematian
seorang ororor selalu lebih panjang daripada garis pertemuan mereka. Dalam nasib
mereka telah ditentukan bahwa mereka akan bertemu dengan penerus mereka sebelum
meninggal." "Tapi.... gimana seorang Ororor bisa menemukan ororor penggantinya" Kan ada banyak
sekali manusia di dunia" Bagaimana mereka bisa mengetahuinya?" tanya Juliet
beruntun, matanya mengerling ke arah Bianca.
Sekejap aku mendapat kesan mereka berusaha menahan selama mungkin pembicaraan
tentang ramalan ini. Bukannya karena sungguh-sungguh tertarik -tentu saja- tapi karena
mereka senang bikin aku jengkel.
"Sang Dewa sendiri yang akan memberitahukannya," jawab Rosaline.
**** "Ramalan itu ngaco!" tukasku.
"Nggak kok, ramalan itu bener," balas Juliet, mendelik ke arahku.
"Diliat dari luar aja udah kelihatan," timpal Bianca tajam. "Di antara kita, Deryn kan yang
wajahnya paling jelek..."
http://dayviienz.blogspot.com/
Ini sudah keterlaluan. Aku ingin membalas, tapi nggak ada suara yang bisa keluar dari
mulutku. Bibirku gemetar. Tanpa dapat kutahan, air mataku sudah berlinangan. Aku lari
ke kamar, nggak peduli makanku belum selesai, nggak peduli bahwa meninggalkan
meja makan sebelum acara makan selesai tidak sopan. Untungnya tampaknya Mama
nggak terlalu mempertimbangkan ketidaksopananku malam ini. Sekilas sebelum
menutup pintu kamar, aku melihat Mama berdiri. Matanya berkilat-kilat berbahaya,
menatap Bianca dan Juliet berganti-ganti.
Samar-samar aku mendengar Bianca dimarahi habis-habisan. Selama ini Mama selalu
mendorong kami agar saling menyayangi dan menghargai. Karena itu begitu
mendengar perkataan Bianca tadi, beliau langsung marah besar.
Aku juga marah. Lebih dari itu, aku ketakutan. Wajah peramal tua tadi terbayang lagi di
benakku. Suaranya yang serak terngiang-ngiang.
Bagaimana kalau ramalan itu benar"
Belum pernah aku sekuatir ini. Rasa gundah yang besar menggumpal di rongga dadaku.
Bukannya aku pengen cepat-cepat menikah, tapi menjaadi perawan tua nggak pernah
termasuk dalam daftar impianku selama ini. Suatu saat nanti, jelas aku ingin punya
keluarga sendiri... sebuah keluarga dengan suami setampan pangeran...
Kalau anak-anak sih belum kebayang, tapi kalau punya anak kelak, aku pengin anak
perempuan yang selucu Dulce Maria....
Semakin pikiranku melantur, hatiku semakin sakit. Apalagi mengingat sindiran Bianca
tadi. Emangnya bener ya, aku yang paling jelek dalam keluarga" Diam-diam aku
membayangkan wajah kelima saudaraku.
http://dayviienz.blogspot.com/
Cuma perlu beberapa detik untuk membuat perasaanku semakin down. Semua
saudaraku seperti pinang dibelah lima. Seperti pinang dibelah enam dengan Mama.
Supercantik. Sosok wanita sempurna. Wajah eksotis, kulit putih bersih, mata bulat besar,
rambut hitam tebal, postur semampai... Yah... kecuali mungkin Rosaline si kutu buku
yang selalu menutupi mata indahnya dengan kacamata minus setebal hampir satu
sentimeter. Menurutku sih, kacamata setebal itu bakal bikin wajah secantik apa pun jadi
kelihatan kuper... Aku paling sial. Seratus persen aku seperti pinang nggak dibelah dengan Papa. Sampaisampai kalo kami sekeluarga datang ke undangan perkawinan, teman Papa langsung
memandangku sambil berkata, "Ini anakmu, ya?", kemudian memandang ke saudarasaudaraku yang lain, "Wah, rame-rame sama keponakan, ya..." Dan mereka membelalak
nggak percaya ketika Papa bilang semua anaknya.
Bukannya bermaksud melecehkan orangtua sendiri, aku cukup bangga jadi anak Papa dia ayah yang baik dan penuh tanggung jawab- tapi mau nggak mau aku harus
mengakui, Papa dan Mama memang nggak bisa dibilang sepadan. Yah, meskipun Papa
nggak sejelek The Beast, tetep aja mereka nggak sepadan. Menurut perhitunganku,
Mama seharusnya bisa dapetin suami yang jauh lebih ganteng daripada Papa.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 3 *Ide Gila Deryn* Hari pertama masuk sekolah di tahun yang baru seharusnya diwarnai dengan semangat.
Hal itu berlaku buat semua siswa, kecuali aku. Dengan lesu aku berjalan memasuki
pekarangan sekolah, memerhatikan dengan enggan anak-anak yang bergerombol riang
dengan geng mereka ~mengobrol sambil berhaha-hihi~ mungkin saling menceritakan
pengalaman liburan akhir tahun mereka.
"Hai!" Ada yang menepuk pundakku keras. Aku menoleh kaget.
Di belakangku berdiri seorang cewek manis, tinggi semampai, rambutnya yang sebahu
dihiasi bandana merah. "Eh, elo," sahutku lemah. Cewek itu sahabat karibku. Namanya Micha. "Bikin kaget aja!"
"Kok lesu banget sih?" Micha menjajari langkahku. Kemudian keningnya berkerut ketika
memerhatikan wajahku. "Ada apa" Lagi ada masalah, ya" Berantem lagi sama Bianca?"
Aku sering sekali curhat sama Micha, makanya dia tahu hampir semua masalahku.
Termasuk peperangan yang sering banget meletus antara aku dan Bianca.
Sambil menghela napas, aku mengangguk.
"Tunggu sampai lo dengar masalahnya," kataku. "Yang ini benar-benar parah!"
"Memangnya ada apa?"
Aku terdiam sejenak. Menimbang-nimbang. Kalau mau jujur, males banget
menceritakan ulang peristiwa memalukan ini. Mengingatnya aja males. Tapi sekarang,
cuma Micha yang bisa bantu aku. Jadi kuputuskan untuk menceritakan semuanya
dengan cepat. Dari awal sampai akhir, sambil menahan hasrat untuk tidak
http://dayviienz.blogspot.com/
menghilangkan bagian aku diramal jadi perawan tua. Nggak mungkin memotong
bagian itu, kan" Itu kan inti permasalahannya!
"Jadi kalian berantem gara-gara itu?"
"Juliet dan Bianca nggak henti-hentinya ngeledek gue," rutukku kesal. Kemudian, aku
melanjutkan dengan cemas. "Cha, gimana kalo ternyata ramalan itu bener?"
"Jangan tolol ah." Micha mengibaskan tangannya tak sabar. "Orang zaman sekarang
percaya ramalan" Yang bener aja! Pakai akal sehat lo, Ryn!"
Aku menghela napas. "Nyokap gue juga bilang gitu," kataku. "Dia cerita, tante gue dulu juga pernah diramal
kalo umurnya nggak bakal lebih dari tujuh belas tahun. Tapi nyatanya, sampai sekarang
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia sehat-sehat aja."
"Tuhhh, kannn?"?" timpal Micha. "Kalau lo mau tahu, sebagian besar ramalan yang ada
di dunia ini salah dan cuma bohong belaka..."
"Tapi sebagian kecil bener, kan?" sahutku putus asa. "Gue takut banget, Cha... Peramal
yang kemarin itu... dia meyakinkan banget. Dia punya bola kristal aneh yang bisa
bergetar sendiri. Dan Rosaline bilang -lo tau sendiri kan dia kayak perpustakaan
berjalan- peramal itu keturunan Dewa Nasib dan ramalannya nggak pernah salah..."
Mendadak aku merasa cemas lagi. "Dan semalem gue ngimpi itu bener-bener terjadi..."
"Ah, lo terlalu banyak mikirin sih, makanya kebawa sampai mimpi..."
"Cha, gue mau nanya, lo jawab yang jujur ya." Micha menoleh, menatapku heran. "Apa?"
"Apa gue ini jelek?"
Mata Micha menyipit, menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Nggak tuh," sahutnya enteng. "Menurut gue... lo lumayan kok..."
Aku cemberut. http://dayviienz.blogspot.com/
"Cuma lumayan?"
"Oke deh, lo manis dan cantik." Micha tersenyum manis.
"Ah, bohong lo!"
"Beneran, gue serius..."
"Nggak percaya!"
Micha memutar bola matanya kesal. "Yeeee... susah banget ya nih anak," gumamnya.
"Dibilang lumayan, nggak terima. Dibilang cantik, nggak percaya!"
"Kalo memang cantik, gue nggak bakal susah dapat cowok!" celetukku frustasi.
Kemudian aku terdiam sendiri, kaget.
*** Micha juga kaget. Dia menoleh. "Kenapa lo ngomong kayak gitu?"
"Memang gitu kenyataannya, kan?" sambarku. "Semua cowok yang gue suka nggak pernah bales
suka sama gue... Nggak ada yang ngebales perhatian gue... Nggak ada yang peduli sama gue...
Nggak ada seorang pun yang naksir gue..."
Micha merangkulku dengan sikap menghibur. "Lo nggak boleh putus asa gitu dong, Ryn," katanya
lembut. "Lo tau kan, nyari 'belahan jiwa' itu memang nggak gampang. Mungkin sekarang belum
saatnya lo pacaran. Tapi gue yakin, suatu saat nanti lo bakal nemuin cowok yang baik, cowok yang
care dan sayang banget sama lo..."
"Oh, yeah, di kehidupan yang akan datang," sahutku putus asa.
Micha kayaknya nggak tau harus ngomong apa lagi.
"Bayangin, gue udah enam belas tahun, Cha, tapi belom pernah sekalipun ditaksir cowok," kataku
meledak-ledak. "Parah banget, kan" Pas Bianca umur enam belas, dia udah tiga kali ganti cowok!"
"Gue juga udah enam belas tahun dan belom pernah pacaran," sahut Micha.
"Kalo itu salah lo sendiri," bantahku panas. "Tuh, cowok sesekolah kan udah antre dari tahun lalu.
Kalo lo mau, tinggal pilih aja!"
Muka Micha memerah. "Nggak ada yang gue suka," katanya pelan. "Semuanya bukan tipe gue..."
Nah! enak banget ya jadi Micha. Jelas-jelas nasibnya berkebalikan denganku. Buatnya, hidup
http://dayviienz.blogspot.com/
bukanlah mengejar cowok, melainkan dikejar cowok. Kalo dia banyak menolak cowok, aku banyak
ditolak cowok. Yah, bukan ditolak dalam arti sebenernya sih. Aku kan belom pernah bener-bener
"nembak". Maksudku, cowok yang kutaksir itu ternyata sama sekali nggak pernah balas
memerhatikan aku. Itu sinyal jelas kalo dia nggak suka aku, kan"
"Udah deh, kita jangan ngomongin ini lagi," sahut Micha. "Percaya sama gue, nggak ada yang perlu
lo kuatirin. Beberapa tahun lagi, lo akan tau kalo semua ucapan peramal itu bohong besar!"
"Deryn, 'nembak' cewek itu bukan hal gampang. Butuh keberanian besar..." Micha menggerakkan
tangannya membentuk bulatan besar di udara, mirip gerakan anak TK pas nyanyi lagu Topi Saya
Bundar. "Lagian, denger-denger nih, Arden itu cowok pemalu. Tipe cowok yang nggak pernah
bergaul sama cewek... cowok super cool. Malah di kelasnya dia dijuluki si Gunung Es..."
"Gue juga tau itu," sahutku pelan. "Jadi, apa dong yang harus gue lakukan?"
"Apa ya?" Micha mikir.
"Nggak mungkin kan, gue yang 'nembak' duluan?"
Aku tercekat mendengar perkataanku sendiri. Micha ngomong sesuatu, tapi aku nggak
mendengarkan. Why not" Ini ide yang sangat cemerlang.
Sesusah apa sih 'nembak' cowok" Nggak perlu ngomong langsung, kan" Tenang aja. Cewek nggak
bakal dianggap nggak gentle kok kalo nggak berani ngomong langsung. Jadi, tinggal bikin sepucuk
surat, lalu kirim. Terus tunggu balasan. Cuma itu. Kemudian aku dan Arden akan jadian.
Hatiku melambung membayangkan hal ini. Arden jadi cowokku" Itu mimpiku yang paling liar. Aku
membayangkan Arden menggandengku melintasi halaman sekolah... Hmmm... semua cewek di
sekolah pasti akan langsung menatapku sirik...
Bianca juga bakal terheran-heran dan nggak bisa lagi menemukan bahan buat meledekku. Dia nggak
bisa menyebutku "jelek" lagi. Kenyataannya, aku bisa punya cowok yang supercakep. Berarti aku ini
lumayan cantik.. Yang paling penting dari semuanya, dia dan Juliet akan berhenti meributkan ramalan brengsek itu.
Aku punya cowok... Suatu saat cowok itu akan menikah denganku, jadi aku nggak akan jadi perawan
tua. Ramalan itu akan terbukti salah.
http://dayviienz.blogspot.com/
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri...
"Deryn, lo kenapa lagi?" teriak Micha cemas, menepuk kedua pipiku keras-keras.
"Eh--nggak kenapa-napa," sahutku tersadar, memegang pipiku, lalu menatap Micha gusar. "Lo kok
nampar gue sich?" "Bukan nampar," ralat Micha. "Cuma nepuk. Abis tingkah lo aneh sih. Tadi ngomel-ngomel sendiri,
sekarang senyum-senyum sendiri! Gue kan jadi takut. Siapa tau aja lo..."
"Tenang, gue belom miring." Aku nyengir. "Gue cuma barusan ketiban ide hebat!"
"Ide apa?" Micha menatapku curiga.
Aku tersenyum misterius. "Kalo Arden nggak berani nembak gue, Cha, gue yang akan maju duluan. Gue akan nembak dia!"
"Apa"!" Micha terlonjak dari bangkunya. Matanya membelalak. "Lo bercanda!"
"Nggak, gue serius," kataku tenang.
"Lo gila!" Micha masih membelalak.
"Seperti gue bilang tadi, gue masih seratus persen waras," kataku nggak sabar. "Jangan kolot gitu ah!
Zaman sekarang cewek nembak duluan kan biasa" Liat aja di komik-komik. Sebagian besar malah
ceweknya yang nembak duluan..."
"Itu kan di komik," Micha masih nggak setuju. "Dan komik-komik itu latar belakangnya Jepang!"
"Di Indonesia juga sama aja," kataku keras kepala.
Micha menatapku ngeri, lalu berkata serius. "Gue tetep nggak setuju. Lo mikir-mikir dulu deh, Ryn...
Jangan terlalu cepet ngambil keputusan. Lo harus pikirin risikonya mateng-mateng! Coba bayangin,
gimana kalo lo ditolak" Reputasi lo bisa hancur! Dan... gimana kalo Bianca sampai denger" Dia kan
sekolah disini juga!"
Aku menggeleng nggak sabar.
"Jangan ngelantur. Lo tenang aja. Gue udah mikirin segalanya kok. Bahkan gue udah netepin hari Hnya. Besok."
Pulang sekolah, aku ketemu Arden lagi. Aku dan Micha sedang berjalan ke luar kelas ketika Arden
tiba-tiba lewat di koridor, tepat di depan kami berdua.
Aku menatapnya gugup, langsung nggak berani melangkah, dan kaget setengah mati ketika Arden
tiba-tiba menolah dan... tersenyum!
http://dayviienz.blogspot.com/
Surprise...!!! Selama ini kami memang sering pandang-pandangan, tapi Arden belum pernah
sekalipun tersenyum padaku. Dan sekarang, lututku rasanya lemas melihat bibirnya yang
tersungging lebar dan wajahnya yang merona malu-malu. Asli, dia jadi dua kali lebih cakep!
Saking kagetnya, aku melakukan tindakan bodoh --berdiri kaku, menatapnya dengan mata
membelalak seperti melihat hantu, sama sekali nggak membalas senyumnya. Aku baru sadar ketika
Micha berteriak sambil mengguncang-guncang bahuku.
"Ryn, jangan kayak orang bego gitu dong!"
Ketika rohku kembali ke tubuhku, Arden sudah berlalu, meninggalkan perasaan sesal yang sangat
besar di dadaku. Aku telah melewatkan kesempatan terbesar sepanjang hidup! Dasar bodoh! Dia
tersenyum, dan aku bukannya balas tersenyum, malahan melongo kayak orang bloon! Tolol!
Setelah beberapa menit, perasaan sesalku kemudian berganti cemas. Gawat! Gimana pendapat
Arden tentang aku nanti" Gimana kalau nilaiku di matanya jadi turun" Jangan-jangan dia mengira
aku aneh. Lebih parah lagi... bisa-bisa dia mengira aku nggak punya perasaan apa-apa terhadapnya.
Bisa-bisa dia mengira aku nggak membalas sinyal positifnya. Aku nggak berhenti memikirkan hal itu
sampai tiba di rumah. **** Di kamar, aku berusaha menenangkan hatiku sendiri. Tenang. Calm down, girl! Besok Arden nggak
perlu mengira-ngira lagi. Besok dia nggak perlu lagi menebak-nebak bagaimana perasaanku yang
sesungguhnya. Besok dia akan tahu dengan pasti kalau aku punya perasaan yang sama terhadapnya.
Dengan pikiran masih setengah menerawang, aku meraih bolpoin dan mulai menulis.
Ternyata nggak semudah yang kuduga. berjam-jam aku duduk di depan meja belajar tanpa hasil
apapun kecuali "Dear Arden".
Otakku kupaksa berpikir sampai berderik, tapi tetep aja nggak ada kata-kata bagus muncul dari sana.
Kamus yang terbuka lebar di sebelahku juga nggak membantu. Yang aku butuhin sekarang adalah
http://dayviienz.blogspot.com/
rangkaian kata, bukan kumpulan kata yang terpisah-pisah.
Serius, ini lebih sulit daripada menyusun sepuluh ribu potongan puzzle. Kata-kata yang aku rangkai
rasanya nggak pernah cocok. beberapa kata rasanya terlalu lugas, berkesan kurang sopan. Kata-kata
yang lain terlalu romantis, sehingga menjijikkan.
Menjelang malam baru surat itu jadi. Singkat banget, nggak lebih dari lima puluh kata. Aku heran.
Ajaib sekali. Buat surat yang cuma sependek ini, kenapa perlu setengah hari penuh"
Dengan sangat hati-hati, kayak memegang keramik langka yang gampang pecah, aku melipat surat
itu, memasukkannya ke amplop, menimang-nimangnya sejenak, menyelipkannya ke dalam buku
matematika-ku yang tebal biar nggak lecek, lalu memasukkannya ke tas.
**** Dear Arden, Udah lama gue mau ngomong hal ini, tapi gue nggak pernah punya cukup keberanian. Gue suka
banget sama elo, dan gue pengen elo jadi cowok gue. Apakah elo juga punya perasaan yang sama"
Please... balas secepatnya...
Love, Deryn (anak kelas 2C) Micha terkikik keras sampai air matanya meleleh. Aku cepat-cepat merebut surat itu, takut ketetesan
air matanya. Pagi itu kelas masih sepi. Masih jam enam. Aku sengaja datang pagi-pagi, dan memaksa
Micha untuk datang pagi-pagi juga, supaya aku bisa menunjukkan surat ini padanya tanpa ketahuan
anak-anak lain. "Lo bener-bener gila ya, Ryn?" ujar Micha disela-sela tawanya. Dia menyeka pipinya. "Gue nggak
nyangka lo bener-bener berani melakukannya."
"Siapa takut?" sahutku menantang. Kemudian pandanganku meredup. "Apapun juga bakal gue
lakuin buat Arden tercinta."
"Cieeeeeee," Micha meledek.
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku cuek. "Tapi, ngomong-ngomong, kenapa pakai 'anak kelas 2C' segala" Kayak mau bikin surat izin ke guru
aja! Ini kan surat cinta?"
"Oh, itu," sahutku. "Itu sih buat poteksi..."
"Proteksi?" tanya Micha heran. "Emangnya asuransi?"
"Yang naksir dia kan banyak!" sahutku. "Siapa tau dia salah orang! Kan gue bisa rugi!"
Micha nyengir. "Tapi nama Deryn kan cuma satu di sekolah ini. Nggak mungkin dia salah!"
"Yah, nggak ada salahnya kan jaga-jaga," sahutku, melipat lagi surat yang masih terbuka itu,
memasukkannya ke amplop. "Nah, sekarang kita sampai di tahap yang paling penting. Nyerahin
surat ini ke Arden. Untuk itu gue butuh bantuan lo."
"Hah" Bantuan gue?" Micha tersentak.
"Iya. Tolong lo yang nyerahin surat ini, ya!" Aku menaruh surat itu ke tangannya.
"What" Nggak mau! No way!" Serta-merta Micha melempar surat itu, seakan surat itu kotoran yang
baru saja kutempelkan ke tangannya.
"Eh, jangan lempar-lempar dong!" teriakku marah, buru-buru menangkap surat itu sebelum jatuh ke
lantai. "Gue bikin surat itu berjam-jam, tau!"
"Sori, nggak sengaja," sahut Micha menyesal. "Tapi gue tetep nggak mau."
Aku langsung menghilangkan tampang galakku, menggantinya dengan tampang memelas. Nada
suaraku juga kusetel dengan mode memohon.
"Cha, please dong. Masa gue harus maju sendiri sih" Gue kan nggak berani?"
"Lo pikir gue berani?"
"Lo kan nggak ada perasaan apa-apa sama dia, jadi bisa cuek aja ngasih. Kalo gue nggak bisa. Pas
berada di depannya, bisa-bisa gue gemeteran, terus pingsan. Apa lo tega?"
Micha menatap ragu. Gotcha! Aku tahu hatinya mulai luluh.
"Ya, Cha, ya" Please..."
Akhirnya Micha mengangguk. Aku bersorak dalam hati.
*** http://dayviienz.blogspot.com/
Pagi itu nggak ada satu pun kata-kata guru yang nyangkut ke otakku. Dan pasti nggak ada juga
yang nyangkut ke otak Micha, karena dia sibuk berembuk denganku mengenai rencana
'penembakan' itu. "Pas istirahat pertama biasanya dia makan bakso di belakang kantin," aku membeberkan kebiasaan
Arden berdasarkan pengamatanku selama ini.
"Gimana kalau hari ini dia nggak ke kantin?" tanya Micha, kedengarannya berharap.
"Lo datengin aja ke kelasnya," sahutku agresif.
Wajah Micha memucat. "Gila!" tukasnya. "Gue nggak mau ah!"
"Cha..." Micha menghela napas. "Oke, oke...," ujarnya pasrah.
Aku tersenyum, memikirkan instruksi selanjutnya.
"Ingat. Pas lo ngasih surat, jangan sampai ada orang lain yang liat!"
"Jelas," sahut Micha. "Gue juga nggak mau ada yang liat. Bisa-bisa dikira gue yang nulis. Gawat.
Harga diri gue bisa jatuh."
Aku berusaha nggak tersinggung mendengar kata-kata "Harga diri yang jatuh".
"Jangan lupa bilang ke dia 'Balas secepatnya!'" lanjutku.
**** Saat istirahat pertama tiba.
Micha berjalan keluar kelas. Aku menatapnya dengan tegang. Jantungku berdebar-debar dan
tanganku berkeringat terus. Rasanya lama sekali sebelum akhirnya Micha kembali.
"Gimana" Gimana?" serbuku panik.
"Sukses berat," sahut Micha ceria. Dia mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi.
"Sukses apanya?" sambarku nggak sabar. "Cepat ceritain!"
"Bener kata lo, dia lagi makan bakso di belakang kantin tadi. Gue langsung aja mendekat, trus gue
kasih surat itu ke dia."
"Terus, terus?" serbuku tegang. "Gimana reaksinya?"
http://dayviienz.blogspot.com/
"Kalo dia sampai mati, lo yang tanggung jawab, Ryn," Micha tertawa. "Dia kaget banget sampai
keselek bakso. Wajahnya merah padam. Sampai gue pergi tadi, dia belom selesai batuk-batuk!"
Micha tertawa tak henti-hentinya, tapi aku duduk kembali di kursiku, dengan wajah memerah penuh
harap. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 4 *Arden dan Surat Cinta* Satu hari. Dua hari. Satu minggu tak terasa telah berlalu.
"Lo yakin udah bilang ke dia buat bales surat gue?" tanyaku udah berkali-kali pada
Micha. "Udah, udah..." jawab Micha entah untuk keberapa kalinya.
Aku menunduk lesu. "Kenapa" Dia belom bales, ya?"
Aku mengangguk. "Dia jual mahal, kali," tebak Micha.
"Mana mungkin sih cowok begitu," sahutku suram. "Jual mahal kan tabiatnya cewek."
Micha mengangkat bahu. "Atau mungkin dia masih mikir-mikir..."
Aku menghela napas, memandang ke luar jendela kelas dengan pandangan kosong.
*** Delapan hari. Sembilan hari...
Harapanku mulai mengikis sedikit demi sedikit, sehingga tinggal selapis tipis. Kenapa
Arden belum membalas juga" Apa mungkin dia nggak suka aku" Tapi kalau dia nggak
suka, kenapa dia kaget setengah mati sampai keselek waktu nerima suratku" Juga, apa
artinya tatapan rahasianya itu"
Ditambah lagi, beberapa hari ini Arden nggak keliatan batang hidungnya. Kemana anak
itu" Apa sakit"
http://dayviienz.blogspot.com/
Berbagai pikiran silih berganti memenuhi pikiranku. Kegelisahan merambati hatiku
sampai tak bisa kutahan lagi.
*** Sepuluh hari. Sebelas hari...
"Udah empat belas hari," kataku hampir menangis pada Micha. "Two weeks. Setengah
bulan. Dan dia belum jawab-jawab juga."
"Tanyain aja langsung ke dia," usul Micha.
Aku mengkeret. "Gue nggak berani..."
"Daripada elo gelisah terus kayak gini..." Micha memandangku. "Lama-lama yang rugi lo
sendiri, kan" Lagian udah kepalang tanggung. Lo kan udah berani nulis surat, masa
nggak berani nanyain jawabannya?"
Perkataan Micha ada benarnya juga. Aku terdiam, menimbang-nimbang. Kemudian
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangguk. Ya. Saat menulis surat itu, aku sudah siap menghadapi segala risikonya,
kan" Aku akan menemuinya untuk menanyakan jawaban.
*** Rencana menemui Arden membuat perutku mulas sepanjang hari. Sepanjang hari aku
tegang banget sehingga sama sekali nggak bisa melakukan apapun, bahkan nggak
berselera jajan saat istirahat pertama dan kedua.
Saat akhirnya bel pulang berbunyi, Micha mengedipkan sebelah matanya dan berbisik
good luck, kemudian meninggalkanku. Satu per satu anak-anak meninggalkan kelas.
http://dayviienz.blogspot.com/
Kakiku rasanya berat banget, seperti terbuat dari batu. Susah payah aku berusaha
mengangkatnya, menyeretnya ke luar kelas.
Kelas-kelas sudah kosong. Koridor sepi. Keluar dari pintu kelasku, aku berbelok ke kiri,
menuju kelas yang terletak paling ujung. Harap-harap cemas, berharap Arden belum
pulang, aku berjinjit, mengintip ke balik jendela.
Arden masih didalam. Harap-harap cemasku berubah jadi cemas beneran.
Cowok itu duduk di kursi paling belakang, sibuk menulis sesuatu. Sekejap aku berharap
dia sedang menulis surat balasan untukku, tapi kemudian aku langsung menyadari
bahwa itu nggak mungkin, karena Arden menulis di buku kotak-kotak, bukannya di
kertas surat atau kertas bergaris.
Selain Arden masih ada seorang cowok lagi yang duduk di seberang yang lain. Dia
sedang mebereskan lacinya, kayaknya bersiap-siap hendak pulang. Benar saja, beberapa
detik kemudian cowok itu berkata "Duluan yuk!" pada Arden, lalu melangkah ke luar
kelas. Aku buru-buru melompat ke taman depan koridor yang cuma dibatasi tanggul batu
rendah, ngumpet di balik pohon terdekat. Baru setelah sosok cowok itu nggak kelihatan
lagi, aku melompat kembali ke posisiku semula di dekat jendela.
Arden kayaknya sudah selesai juga. Dia memasukkan buku-bukunya ke ransel dan
menyandangkannya ke punggung.
Aku gemetaran, nyaris membatalkan niatku dan cepat-cepat berlari pulang ketika tahutahu Arden sudah berdiri di depanku.
Dia menatapku sekilas, lalu melewatiku. Aku tercengang.
"Eh... nggg... tunggu," panggilku spontan. "Gue mau ngomong sama elo!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Arden berhenti. Membalikkan tubuh. Rasanya aku nyaris mati kaku ketika matanya
menatapku tajam. Tajam, sama sekali tanpa rona-rona di wajahnya. Dan dia sama sekali
nggak kelihatan malu-malu. Ini aneh. Pandangannya sama sekali nggak seperti biasanya.
Kemudian, dia melontarkan sebuah kalimat yang langsung membuatku terempas.
"Elo siapa?" Hah" Yang bener aja" Dia nggak kenal siapa aku" Aku makin bingung.
"Gue... Deryn," kataku terbata.
"Oh, yang ngirim surat itu, ya?" sahutnya dingin.
Kemudian dia menurunkan ranselnya, mengambil sebuah buku, mengeluarkan sepucuk
surat pink yang kukenali. "Nih, surat lo gue balikin. Sori, gue nggak ada perasaan apaapa sama elo."
Aku menerima surat itu dengan gamang. Seluruh tubuhku dipenuhi perasaan kosong
yang aneh. Arden, nggak ada perasaan apa-apa sama aku" Bahkan dia nggak
mengenalku. Kemana perginya mimpi-mimpiku selama ini" Aku begitu shock-nya
sehingga air mata bahkan nggak bisa keluar dari mataku.
Arden berjalan meninggalkanku. Kemudian aku melakukan hal yang tak pernah
kusangka berani kulakukan. Aku berlari mengejar Arden, lalu menarik tangannya kuatkuat.
"Tungguuu!!!" "Eh, lo mau apa?" Arden menoleh kaget.
Aku melepaskan tangannya. "Lo boleh nolak gue, tapi lo harus kasih gue penjelasan,"
kataku tersengal. Air mataku mulai merebak.
"Penjelasan?" Arden kelihatan heran. "Penjelasan apa" Gue bahkan nggak kenal elo!"
Barangkali aku sudah putus asa, jadi nggak mikirin lagi apa yang kukatakan.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Gimana mungkin lo bilang nggak kenal gue padahal lo selalu nyuri-nyuri pandang
setiap kali kita ketemu" Bukan cuma sekali dua kali, tapi sering banget. Bahkan terakhir
kali kita ketemu, lo malah tersenyum. Apa lo sengaja mau mempermainkan gue?"
"Lo ge-er ya," kata Arden pedas. "Jujur aja, gue nggak pernah ngerasa mandangin elo,
sembunyi-sembunyi atau nggak! Gue juga nggak pernah ngerasa senyum-senyum ke lo!
Kalo lo ngerasa begitu, mungkin itu imajinasi lo sendiri!"
Bum! Sebuah bom rasanya seperti diledakkan di dalam dadaku, membuat hatiku pecah
menjadi serpihan kecil. Arden hendak berbalik, tapi aku menahannya lagi. Dia pasti
mikir, cewek ini nekat banget. Tapi aku nggak peduli.
"Waktu lo nerima surat dari temen gue, lo kaget sampe keselek, kan" Buat apa lo kaget
kalo lo nggak ada perasaan apa-apa sama gue?"
Arden tiba-tiba terdiam. "Emang gue nggak boleh kaget ya?" tukasnya. "Micha nongol tiba-tiba pas gue lagi
asyik makan, gimana gue nggak kaget, coba?"
"Micha?" Aku tersentak, perasaan nggak enak merambati hatiku. Aku menatapnya
dengan pandangan menyelidik. "Dari mana lo tau kalo temen gue namanya Micha?"
Rona merah yang mendadak menyemburat di wajah Arden membuat perasaanku jadi
tak keruan. Kepalaku berputar-putar. Sekarang semuanya jelas. Sebuah kesalahpahaman
yang menyakitkan. Sebuah kebodohan dari cewek yang berharap terlalu banyak.
"Jadi, dia yang lo suka?" kataku lemah. Air mataku menetes sekarang, membanjir seperti
dua anak sungai yang bercabang-cabang di pipiku. "jadi dia yang lo pandangin selama
ini" Jadi lo tersenyum sama dia?"
Arden berdiri diam di depanku, tanpa berusaha mengingkari semua tuduhanku. Padahal
aku pengin banget dia membantah keras-keras.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Waktu Micha ngasih surat itu, lo kaget karena lo ngira surat itu dari dia" Ya, kan" Ya,
kan?" Tanpa sadar suaraku meninggi dan mengeras. Untung saat itu sekolah sudah sepi
dan nggak ada orang lain disitu selain kami. "Jawab, Arden!"
Saat kepala Arden bergerak ke atas ke bawah, saat itu aku tahu mimpiku sudah pecah
berkeping-keping, sama seperti hatiku.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 5 *Sahabat dan Sakit Hati* Semalaman aku menangis. Bukan cuma sedih, tapi aku juga merasa tolol banget.
Bagaimana bisa aku nggak menyadarinya" Tatapan-tatapan itu bukan untukku.
Itu untuk Micha. Micha! Rasa benci meluap dari hatiku. Apa sih istimewanya Micha, sehingga cowok-cowok
selalu berebut mengerumuninya" Oke, dia cantik. Itu satu poin. Celakanya, cuma satu
poin itu yang tampaknya dipertimbangkan cowok-cowok. Termasuk Arden.
Rasa benci itu tambah membuncah ketika aku bangun keesokan harinya. Sampaisampai ketika ketemu Micha di sekolah, aku mual melihat tampangnya.
"Gimana kemarin?" Micha berlari-lari kecil dari pintu, menuju tempat duduk kami yang
biasa. Wajahnya bersinar ceria. "Sukses?"
Aku melengos, bergumam "Hem," lalu pura-pura sibuk mengeluarkan buku-buku dari
tas. Sudah kubilang kan, melihat tampangnya saja aku mual" Apalagi bicara dengannya.
Bisa-bisa aku muntah! Micha kelihatannya masih belum merasa kalo aku kesal padanya. Nggak heran sih, dia
kan nggak punya salah sama aku.
"Eh, mata lo sembap," sahutnya, memerhatikan wajahku. "Lo kenapa" Abis nangis ya?"
"Kenapa sih lo selalu pengin tau urusan orang?" sambarku kasar. "Diem deh! Ini masalah
pribadi. Lo nggak perlu ikut campur!"
Micha tersentak. Dia langsung diam dan nggak bicara lagi sepanjang hari itu.
*** http://dayviienz.blogspot.com/
Tiga hari penuh aku mendiamkan Micha. Micha tampak penasaran. Berkali-kali dia
berusaha mendekati aku, tapi mundur lagi begitu kubentak. Sebenarnya aku nggak tega
bersikap begini padanya. Dia satu-satunya sahabatku. Teman terbaikku sejak aku kelas
tiga SD. Tapi aku nggak bisa mengendalikan perasaanku. Begitu dekat-dekat dia dan ingat
Arden naksir dia, rasanya aku langsung kepingin meledak. Aku tahu aku salah.
Seharusnya aku nggak menyalahkannya. Bukan salahnya kan, kalau dia cantik" Bukan
salahnya juga, kalo cowok goblok itu naksir dia. Sepanjang penglihatanku selama ini,
Micha sama sekali nggak pernah ngejar-ngejar Arden.
Tapi aku tetap saja marah. Apalagi sekarang, satu pikiran buruk lagi menggangguku.
Gimana kalo Micha juga punya perasaan yang sama pada Arden" Gimana kalo mereka
ternyata saling suka" Aku tahu aku nggak bakal tahan! Tahu Arden ternyata naksir
Micha saja sudah sakit banget. Apalagi melihat mereka pacaran. Aku bisa mati karena
sakit hati. Aku berargumentasi dalam hati untuk menghibur diriku sendiri. Ingat, sudah berapa
banyak cowok yang naksir Micha, tapi semuanya ditolak" Banyak di antaranya lebih
cakep daripada Arden. Kalo Micha nggak tertarik pada seorang pun dari mereka, Micha
juga nggak bakal tertarik pada Arden.
Yeah. Argumentasi itu sedikit berhasil menghiburku. Meskipun nggak berhasil
menghapus kemarahanku. *** http://dayviienz.blogspot.com/
Setelah seminggu penuh saling diam, Micha tampaknya nggak tahan lagi. Siang itu,
pulang sekolah, dia menghadangku dengan gaya seorang preman mau nodong.
"Lo nggak boleh pulang sebelum bicara sama gue!" sahutnya nekat, merentangkan
kedua tangannya di tengah pintu kelas.
"Apa-apaan sih?" seruku gusar. "Gue nggak peduli. Minggir! Gue mau pulang!"
"Seminggu ini lo aneh. Tampang lo lecek terus. Lo musuhin gue, nggak mau bicara sama
gue, terus-terusan menghindar dari gue," Micha nyerocos tanpa memedulikan
kegusaranku. Tangannya masih terus terentang. "Sebenernya ada apa, Ryn" Gue sahabat
elo. Kalo ada apa-apa lo harusnya cerita! Gue punya salah apa sama lo sampai lo
bersikap dingin gini sama gue?"
Aku terdiam, dan terkejut setengah mati ketika tiba-tiba tangis Micha pecah.
"Gue... nggak tahan lagi...," dia terisak. "Selama ini lo satu-satunya sahabat gue. Tapi lo
bersikap kayak kita musuh bebuyutan. Apa lo udah nggak mau lagi sahabatan sama
gue" Apa gue udah nggak pantes lagi buat jadi sahabat lo?"
Aku terpaku. Bertahun-tahun sahabatan sama Micha, aku kenal sekali sifatnya yang
tegar. Micha bukan cewek yang gampang obral air mata. Kalau dia sampai nangis, itu
berarti dia bener-bener sedih.
Sementara berdiri kaku, perasaan bersalah mulai merambati hatiku. Oh God, apa yang
telah kulakukan" Aku telah memusuhi sahabatku sendiri, yang selama ini begitu baik
dan setia, untuk alasan egois yang tak berdasar.
"Gue..." "Kalo gue punya salah sama lo, gue minta maaf, Ryn," ujar Micha terbata. "Gue emang
blak-blakan kalo ngomong, tapi gue nggak pernah berniat nyakitin elo. Kalo lo
tersinggung sama salah satu ucapan gue..."
"Nggak," potongku, maju dengan kaku. "Bukan lo yang salah, Cha. Gue yang salah. Gue
egois... gue jahat..."
http://dayviienz.blogspot.com/
Tanpa dapat kutahan lagi, tangisku pecah juga. Bebanku rasanya terlalu berat seminggu
ini. Penolakan Arden. Kebencian terhadap Micha...
Micha maju, memelukku erat. Aku tersedu-sedu. Saat itu juga kebencianku padanya
luruh. Selama ini Micha selalu baik padaku. Nggak adil banget aku memusuhinya cuma
gara-gara seorang cowok naksir dia.
"Ada apa sebenernya, Ryn?" tanya Micha pelan-pelan.
"Arden nolak gue," aku tersedu semakin keras.
"Dia... dia ternyata nggak kenal gue, Cha. Dia bahkan nggak tau nama gue. Dan dia terus
terang ngomong kalo dia nggak punya perasaan apa-apa sama gue..."
Micha menepuk-nepuk bahuku lembut. "Tabah, Ryn. Lo harus kuat. Mungkin Arden
memang bukan jodoh lo. Suatu hari nanti, pasti lo bakal nemuin cowok yang lebih baik
daripada Arden..." "Mungkin gue nggak akan punya cowok selamanya," sahutku putus asa. "Lo inget
ramalan itu kan, Cha" Gue nggak punya garis jodoh... Gue bakalan jadi perawan tua...
Gue nggak bakal punya cowok atau suami selamanya..."
"Hush, jangan ngomong-ngomong yang nggak-nggak," tukas Micha. "Udah, kita lupain
aja hal ini ya. Pelan-pelan. Gue yakin lo pasti bisa. Gue nggak rela kalo sampai semangat
hidup lo ilang gara-gara si idiot otak udang Arden itu!"
Mendengar Micha menyebut Arden "si idiot otak udang" sungguh menghiburku. Aku
tertawa. Ajaib. Bebanku rasanya berkurang separo.
"Thanks, Cha," gumamku. "Lo emang sobat gue yang paling baik."
Micha tersenyum. "Balik yuk!" ajaknya. "Udah siang nih!"
Aku mengangguk, tapi tiba-tiba teringat ada satu hal yang belum kuceritakan pada
Micha. Sejenak aku menimbang-nimbang. Cerita, nggak, cerita, nggak...
http://dayviienz.blogspot.com/
"Kok ngelamun lagi?" sahut Micha, kuatir lagi menatapku.
"Ada sesuatu yang belom gue ceritain ke elo," sahutku, memutuskan untuk bercerita.
Aku berdiri tegak, menabahkan hatiku. Micha berhak tahu. Persahabatan yang murni
nggak pernah menyimpan rahasia, kan"
Kening Micha berkerut. "Apa lagi?"
"Arden naksir elo," kataku mantap, meskipun hatiku langsung berantakan begitu katakata itu terucap.
"Hah" Apa lo bilang?" Micha terperanjat.
"Selama ini gue salah. Gue ke-geer-an. Gue pikir dia mandangin gue, dia senyum sama
gue. Ternyata salah besar. Dia bukan mandangin gue. Dia mandangin lo. Waktu itu dia
juga senyum sama lo. Terus, waktu lo ngasih surat gue, dia sebegitu kagetnya karena dia
ngira surat itu dari elo!"
Entah kenapa aku lega sekali setelah mengeluarkan serentetan kata itu. Sebaliknya,
Micha kelihatan shock. Dia membelalak menatapku, setengah tak percaya setengah
takjub. "terus, pas gue tanya ke dia, dia terang-terangan mengangguk mengakui."
Micha terdiam. Sekejap aku merasa melihat kekalutan di wajahnya. Tapi pasti cuma
perasaanku, karena berikutnya dia sudah ceria lagi, malahan tersenyum dengan mata
berbinar-binar. "So what?" ujarnya lincah. "Biarin aja dia naksir siapa. Itu hak dia, kan?"
Aku menatap Micha serius.
"Tapi, Cha, lo nggak suka dia, kan?" tanyaku pelan.
Micha menoleh menatapku. Pandangannya aneh, nggak seperti biasanya, tapi aku lega
banget ketika dia bilang, "Jelas nggak! Nggak mungkin aku suka sama cowok idiot otak
udang macam dia!" http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 6 *Persahabatan di Ujung Tanduk*
Sebulan sudah berlalu. Suasana kantin siang itu ramai. Aku berjalan berjingkat-jingkat,
mengintip dulu sebelum berjalan masuk. Perutku lapar berat, tapi kalau ada Arden,
mendingan aku nggak jadi makan. Melihat tampang cowok itu membuat selera
makanku langsung hilang. Apalagi saat ini aku sendirian. Micha sedang ulangan susulan di ruang guru karena
beberapa hari lalu dia sakit. Begitu melihat area kantin clear alias nggak ada Arden, aku
langsung masuk, memesan semangkuk bakso, lalu duduk di deretan meja panjang di
ujung yang paling sepi. Saat aku sedang makan, serombongan cewek datang, masing-masing dengan
semangkuk bakso dan segelas es jeruk di tangan. Tanpa babibu, tanpa permisi, bahkan
tanpa menoleh ke arahku, mereka duduk bergerombol di sampingku, lalu mengobrol
ribut banget sambil bercanda dan tertawa-tawa.
"Udah denger perkembangan terakhir?" cewek yang memakai kacamata dan rambutnya
dikucir kuda langsung membuka pembicaraan begitu mangkuk baksonya menyentuh
meja. Dia menatap teman-temannya bersemangat.
Bukannya aku bermaksud nguping, tapi cewek itu ngomong begitu keras sehingga mau
nggak mau aku ikut mendengar.
"Perkembangan terakhir apa?" tanya temannya yang bermata bulat.
"Lo harus siap-siap patah hati, Fel," lanjut si cewek berkacamata, menunjuk ke temannya
yang lain, cewek berwajah pendiam yang lagi asyik makan. Si cewek yang ditunjuk
langsung terperangah, mendadak berhenti mengunyah, dan menatap si kacamata
serius. Teman-teman yang lain terkikik.
"Apa maksud lo?"
http://dayviienz.blogspot.com/
Si cewek berkacamata membelalak dramatis. Ekspresinya mengingatkanku pada
ekspresi Juliet saat ingin menceritakan sesuatu yang spektakuler dan membuat semua
orang terpesona. "Si gunung es itu...," si kacamata merendahkan suaranya.
Mendengar sebutan itu, aku mulai memasang kuping.
"Arden!?" pekik si pendiam begitu keras, serpihan-serpihan bakso berhamburan keluar
dari mulutnya, mengotori meja, dan beberapa jatuh ke dalam mangkuknya lagi. Temantemannya mengernyit jijik, tapi si pendiam nggak peduli.
"Arden-gue kenapa?"
Sekarang aku yang mengernyit jijik. Arden-gue" Nggak salah tuh" Norak banget sih!
"Arden-lo udah puya cewek, sekarang, honey...," kata si kacamata dengan santai, sambil
menyeruput es jeruknya. Si pendiam tersedak. Di sudut meja, aku juga tersedak.
"Nggak mungkin!" sahut si pendiam frustasi.
Nggak mungkin! tukasku dalam hati.
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gue ngeliat sendiri!" tukas si kacamata, suaranya menajam. "Kemarin dia pulang bareng
sama cewek. Berdua doang."
"Itu kan biasa," tukas si pendiam. "Siapa tau rumah mereka searah!"
"Masalahnya, mereka bukannya jalan sendiri-sendiri. Mereka gandengan. Asli, mesra
banget, bo!" Pandangan si pendiam terlihat seperti orang linglung.
"Siapa ceweknya?" tukas temannya yang lain.
'Itu tuh, cewek tinggi yang rambutnya panjang dan suka pake bandana merah. Anak 2C
deh kalo nggak salah. Micha apa siapa gitu namanya?"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku membelalaki mangkuk baksoku nggak percaya. Micha" Yang bener aja" Ini jelas
nggak mungkin. Micha sama sekali nggak tertarik sama cowok idiot itu! Aku
menggeleng. Ini jelas gosip. Gosip murahan yang sama sekali nggak bisa
dipertanggungjawabkan. "Lo liat sendiri nanti siang kalo nggak percaya," aku mendengar si kacamata berceloteh
lagi. "Tapi biasanya mereka pulang telat banget. Jam duaan, pas semua anak udah balik.
Cari suasana sepi kali ye, biar bisa mesra!"
*** Bel istirahat selesai berbunyi. Ketika aku masuk kelas, kursi di sebelahku masih ksosong.
Micha belum selesai ulangan.
Aku duduk dan termenung. Meskipun aku berusaha nggak percaya, kata-kata si
kacamata itu kepikiran juga. Prasangka buruk mulai berputar-putar di otakku.
Beberapa hari ini kami memang jarang pulang bareng. Alasan Micha macam-macam
setiap kali aku ngajakin pulang bareng. Yang mau langsung les piano-lah, les bahasa
Inggris-lah, ada rapat OSIS-lah, mau mampir ke rumah tantenya dulu-lah. Aku percaya
aja. Micha memang biasanya selalu sibuk. Dia banyak kegiatan di luar sekolah. Les ini
dan itu. Apa Micha bohong" Aku gelisah ketika mengingat kata-kata si kacamata. "Lo liat aja sendiri kalo nggak
percaya." Kalo si kacamata bohong, nggak mungkin dia berani nyuruh temennya
ngebuktiin, kan" Beberapa menit setelah istirahat kedua selesai, Micha kembali dari ruang guru.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Gimana ulangannya?" sapaku ramah. Aku memutuskan untuk menganut asas praduga
tak bersalah. Aku nggak akan percaya gosip itu sebelum membuktikan dengan mata
kepalaku sendiri. "Gampang," sahut Micha santai. "Untung banget, soalnya gue nggak belajar!
Aku nyengir. Micha termasuk tiga anak terpintar di kelas. Dia tipe murid yang nggak
perlu belajar terlalu keras buat mendapat nilai bagus. Nggak seperti aku, yang sudah
belajar keras pun, nilainya masih pas-pasan.
"Siang ini pulang bareng?" tanyaku, harap-harap cemas.
"Sori, nggak bisa," sahut Micha menyesal.
Hatiku mencelos. "Gue ada rapat mading siang ini."
Aku mengangguk. Tapi hatiku gundah luar biasa.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 7 *Ramalan yang Gagal* "Aku diterima! Aku diterima! Yes! Yes!" Aku sedang berbaring di sofa ketika teriakan di
depan pintu mengagetkanku. Juliet berlari masuk, berseru-seru kesetanan sambil
melambai-lambaikan sehelai kertas putih.
Mama yang sedang memasak di dapur tergopoh-gopoh keluar untuk melihat apa yang
terjadi. "Ada apa, Juliet" Berisik amat!"
"Aku diterima kerja, Ma! Aku diterima!" Juliet nggak berhenti meloncat-loncat kayak
anak kecil. Dia mengacungkan surat itu ke Mama, yang wajahnya langsung berubah
sumringah. "Liat, Ma, aku diterima di GoldRiver. Itu salah satu perusahaan konsultan
terkenal di Jakarta!"
"Wah, kamu hebat, Sayang." Mama memeluk Juliet.
Hidung Juliet kembang-kempis bangga. "Ramalan perempuan tua itu memang benerbener tokcer!" serunya.
Aku langsung berjengit begitu mendengar kata "ramalan". Juliet melirikku sambil
nyengir, matanya berkilat nakal.
"Aku terusin ceritaku ya, Ma!" lanjutnya keras-keras sambil melirikku lagi. "Waktu itu dia
bilang bulan depan aku bakal dapat pekerjaan. Kenyataannya, bulan ini aku memang
dapat pekerjaan! Moga-moga semua yang ada di sini sadar sekarang--perempuan itu
memang jago meramal nasib!"
Sambil tertawa keras dibuat-buat, Juliet masuk ke kamar Bianca, atau kamarku, keluar
lagi, lalu pindah ke kamar Rosaline. Aku mendengus. Tanpa mata sinar X Superman pun
aku bisa melihat apa yang dilakukannya. Pamer pekerjaan barunya.
http://dayviienz.blogspot.com/
*** Ini memang agak ajaib. Maksudku, ketepatan ramalan perempuan itu untuk Juliet.
Soalnya, Juliet sudah lama menganggur, hampir setahun. Sejak lulus kuliah, dia nggak
henti-hentinya melamar pekerjaan ke sana kemari, tapi nggak satu pun yang diterima.
Hatiku yang masih luka parah gara-gara tahu Micha dan Arden pacaran jadi tambah
robek. Aku gundah. Jantungku kebat-kebit. Ketakutanku terhadap ramalan itu makin menjadijadi. Kenyataannya, satu ramalan sudah terbukti benar!
"Kak... Kaaakkk... KAK DERYN...!"
Aku tersentak. Menoleh. Rosaline duduk di sampingku sambil nyengir.
"Ngapain sih kamu" Teriak-teriak persis di telinga!" bentakku kesal, mengusap-usap
kupingku yang budek sesaat gara-gara kemasukan suara berfrekuensi tinggi.
"Ngelamun ya?" Rosaline nyengir lagi. "Kayaknya banyak pikiran nih!"
"Sok tau!" tukasku. "Minggir sana!"
"Kak Juliet udah dapet pekerjaan tuh," sahut Rosaline tenang, sama sekali nggak
memedulikan bentakanku. "Kak Deryn udah denger?"
"Udah," sahutku jengkel.
"Berarti ramalan itu bener," timpal Rosaline cepat.
Dalam sepuluh menit aku sudah mendengar dua orang mengatakan hal yang sama.
Tiga, kalo suara hatiku ikut dihitung. Nggak heran kalo aku langsung meledak.
"So what?" kataku dengan nada tinggi. "Mau bener, mau tepat, mau nggak, aku nggak
peduli!" "Masa?" tanya Rosaline nggak percaya. "Jujur aja, aku tahu sebenernya Kakak kuatir!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Dengan heran aku menatap Rosaline. Sejak kapan nih anak jadi rese gitu" Suer, biasanya
dia nggak pernah peduli sama urusan orang. Temannya, di rumah maupun di sekolah,
cuma buku. Sekarang pun di pangkuannya ada sebuah buku. Buku tebal yang bakal
bikin aku muntah darah kalo seseorang memaksaku mebacanya.
**** "Ada hal penting yang harus Kakak ketahui." Rosaline mulai membuka buku di
hadapannya. Aku tercengang. Aku lagi bete berat, dan sekarang mau dikuliahin" Sori aja deh...
Tanpa pikir dua kali aku langsung bangkit.
"Aku ngantuk, mau tidur!" Kataku pura-pura menguap, lalu ngibrit ke kamar.
"Yakin nggak mau denger" Ini tentang ramalan fudus lho!"
Aku langsung membanting lagi pintu kamar yang baru saja kubuka. What" Ramalan
fudus" Ramalan itu" Secepat kilat aku berbalik.
"Ada apa lagi dengan ramalan itu?"
"Makanya kesini dong," sahut Rosaline. Wajahnya senang berat ketika aku, kayak kerbau
dicocok hidung, langsung patuh. "Sini, sini, yang kutemukan ini terobosan besar!" Dia
serta-merta menunjuk ke bukunya. "Bukti bahwa ramalan fudus nggak selalu benar!"
Kupingku langsung waspada kayak sandera penculikan mendengar sirene polisi.
"Yang bener?" Rosaline mengangguk. "Baca aja sendiri."
Melupakan alergiku terhadap buku tebal, aku langsung merebut buku itu. "Mana,
mana?" Jari Rosaline bergerak ke sebuah perikop yang judulnya ditulis dengan huruf tebal:
"Fakta bahwa Ramalan Paling Benar Tak Selalu Benar". Mataku menelusurinya penuh
minat. **** http://dayviienz.blogspot.com/
Ramalan FUDUS ORORPUS, ramalan paling tepat di dunia, ternyata pernah salah juga.
Ini terjadi tahun 1876 pada Robert Welsinki, warga negara Jerman. Robert diramal oleh
Annie Tololoro, ororor generasi ke-30 yang berasal dari Filipina, bahwa hidupnya akan
selalu miskin dan penuh penderitaan karena garis keberuntungannya pendek. Tapi
Robert, yang menolak mentah-mentah untuk percaya, dengan usahanya sendiri bekerja
keras untuk memperbaiki hidupnya. Berawal dari pekerjaan rendahan sebagai tukang
semir sepatu di pasar-pasar, Robert meningkatkan kariernya menjadi karyawan di toko
sepatu. Dan akhirnya, berbekal uang tabungannya dan pinjaman dari beberapa teman
baik, dia berhasil memiliki toko sepatu sendiri. Namun kerja kerasnya tidak berhenti
sampai disitu. Pada tahun 1910, Robert mendirikan pabrik sepatu yang sekarang
menjadi produsen sepatu terbesar di Jerman, membuat namanya tercatat dalam sejarah
sebagai tiga besar pengusaha tersukses di Jerman.
Para ahli ramalan memperdebatkan hal ini selama bertahun-tahun, sampai akhirnya
Joan Revina, peneliti dari Malaysia, mengajukan hipotesis bahwa orang yang diramal
merupakan salah satu unsur penting dari ramalan itu sendiri. Tanpa kepercayaan dari
orang yang diramal, ramalan itu akan batal dan tidak akan terjadi. Hal ini terutama
dikaitkan dengan sugesti atau penolakan sugesti terhadap pikiran.
"See?" sahut Rosaline bersemangat. Matanya berkilat-kilat menatapku.
"Bener kan apa yang aku bilang?" timpalku dengan suara menang. Hepu banget.
"Ramalan itu bullshit! Berani taruhan, semua omong kosong yang keluar dari mulut
peramal tua itu paling-paling cuma bener setengah persen..."
Entah kenapa kilat-kilat di mata Rosaline meredup.
"Eh... ngg... Sebenernya nggak gitu, Kak..."
"Nggak gitu gimana?"
http://dayviienz.blogspot.com/
"Sebenernya... setelah Robert Welsinki, nggak ditemukan lagi ramalan fudus yang
salah!" "What?" sergahku. Ke-hepi-anku mengucur keluar, kayak air di bak kamar mandi yang
ditarik sumbatnya. "Coba ulangi, kamu ngomong apa tadi?"
"Setelah Robert Welsinki, nggak ditemukan lagi ramalan fudus yang salah!"
"Kalo sebelumnya?" tanyaku menyelidik.
"Nggak ada yang salah juga," jawab Rosaline, nyaris berbisik.
"Jadi?" Tenggorokanku mendadak terasa kering. "Maksud kamu, ini satu-satunya yang
salah?" "Karena itu tadi aku bilang, ini terobosan besar!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 8 *Perang Dingin* Perang dingin antara aku dan Micha masih berlanjut. Aku bahkan mengambil sikap
ekstrem--pindah tempat duduk. Micha melongo ketika pagi itu dia datang dan
melihatku duduk di tempat yang paling jelek hong-sui-nya di kelas, tepat di depan meja
guru, di sebelah Anita--anak paling rajin sekaligus paling kuper di sekolah.
"Nggak salah lo duduk di sini?" Micha buru-buru menghampiriku. "Hari ini ulangan
matematika, lho!" Aku cuma menatapnya judes, nggak menjawab sama sekali.
Micha menghela napas. Matanya berkaca-kaca. Tanpa suara dia kembali ke tempat
duduknya. **** "Ryn, ke kantin yuk!"
Micha langsung ke kursiku lagi begitu bel istirahat berbunyi. Huh, nekat banget ya nih
anak" pikirku. Bukannya udah aku bilang kalo aku enek ngeliat tampangnya"
"Gue nggak laper," jawabku dingin.
Micha menatap kecewa, melangkah dengan lunglai ke luar kelas.
**** "Ryn, pulang bareng?"
Aku mendelik. "Jangan deketin gue lagi deh!" bentakku. "Asal lo tau ya, seberapa keras pun lo
berusaha, gue nggak bakal balik jadi sobat lo! Gue nggak sudi sobatan sama
pengkhianat!" http://dayviienz.blogspot.com/
Kali ini air mata betul-betul menitik di mata Micha. Tapi tanpa rasa kasihan sedikit pun,
aku menarik tasku dan melangkah pergi--sengaja menyenggol bahunya keras-keras
sampai dia terhuyung. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 9 *Anita* Hidup tanpa sobat ternyata nggak menyenangkan. Bener-bener kerontang. Nggak ada
yang bisa diajak curhat, nggak ada temen buat haha-hihi, paling parah lagi, mggak ada
yang ngasih contekan PR. Teman sebangkuku yang baru, Anita, sama sekali nggak membantu. Suer, dia asli
pendiam. Nggak pernah ngomong kalo nggak perlu. Setelah seminggu nagkring di
sebelahnya, baru dua kaliaku diajak ngomong. Yang pertama, "Ryn, pinjem Tip-ex ya."
Yang kedua, "Thanks, nih Tip-ex-nya gue balikin!"
Aku bener-bener nggak tahan. Sialnya, nggak ada kursi kosong lain di kelas selain kursi
ini dan kursi di sebelah Micha yang kutinggalkan. Balik ke sana" No way! Gengsi, man!
Waktu istirahat yang biasanya Surga juga berubah jadi Neraka. Karena nggak punya
temen jalan, aku jadi males ke kantin. Hmmm... sebenarnya sih bukan itu masalahnya.
Aku takut di kantin tiba-tiba ketemu Micha dan Arden lagi berduaan. Mau ditaruh di
mana mukaku" Dicemplungin ke mangkuk bakso"
Alhasil, perutkulah yang menanggung akibatnya. Keroncongan dan berkriuk-kriuk keras
pas pelajaran berikutnya. Buntut-buntutnya, maag-ku kambuh. Mama heran banget pas
tau maag-ku kambuh gara-gara nggak pernah jajan lagi.
"Lagi penghematan," dalihku biar Mama nggak curiga. "Aku pengen nabung, biar uang
sakuku nggak habis kebuang."
Mama menatapku bangga. Dia malah langsung ngasih solusi. Mulai besok pagi, dia
akan menyiapkan bekal untukku. Biar aku nggak kelaparan pas istirahat.
Awalnya aku nggak setuju (kayak Shannia aja, ke sekolah mesti bawa-bawa bekal. Aku
kan sudah SMA"). Tapi karena kondisi perutku nggak bisa diajak kompromi, disamping
aku masih malas menginjak kantin, akhirnya aku mengiyakan.
http://dayviienz.blogspot.com/
Jadilah sekarang aku duduk di kursiku, menatap sandwich daging asap dengan keju dan
mayones yang disiapkan Mama (hmmm... kayaknya enak nih!!), sambil menimbangnimbang apakah mau menawari Anita atau nggak. Memang kayaknya dia tenggelam
banget dalam buku entah-apa yang dibacanya --dia bahkan nggak tau aku ngeluarin
sandwich-- tapi nggak enak rasanya kalo aku makan sendirian. Jadi aku mencolek
tangannya. "Eh, mau sandwich nggak?" Aku menyodorkan kotak makanku.
Anita menoleh, sejenak menatap ragu ke sepasang sandwich berbentuk segitiga yang
berjejal di kotak makanku.
"Ambil aja," sahutku. "Lo nggak jajan, kan" Pasti laper!"
"Thanks," sahut Anita pelan, lalu meraih salah satu sandwich-ku.
Kami sama-sama makan sandwich. Sekejap suasana berubah canggung. Anita nggak
membaca lagi, tapi duduk dengan tatapan lurus ke depan. Aku ingin membuka
pembicaraan, tapi nggak tau apa yang harus diobrolin. Kemudian Anita yang ngomong
duluan. "Eh, lo kok pindah tempat duduk?"
Nah! Sekalinya ngomong, yang diomongin masalah yang sensi!
"Ng... bosen," sahutku sekenanya. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan. "Lo baca
buku apa?" "Oh, ini!" Wajah Anita seketikaberubah ceria. "Fisika dan Teknologi Masa Depan."
Aku heran banget sampe melongo. Ajaib banget. Anita yang super pendiam ini
langsung ceria begitu ngomongin iptek"
**** Rupanya Anita salah mengartikan keherananku. Dia menganggap aku tertarik. Dengan
penuh semangat digesernya buku itu sampai ke mejaku. Kemudian dia nyerocos lagi,
http://dayviienz.blogspot.com/
sambil menunjuk-nunjuk beberapa baris tulisan di buku. Tingkahnya persis Rosaline
sewaktu menunjukkan artikel tentang ramalan itu. Eh, nggak persis ding. Ini jauh lebih
parah. Paling nggak waktu itu aku tertarik dengan topiknya. Sedangkan sekarang...
Aku menunggu dia berhenti ngomong dengan sia-sia. Sekarang Anita malah
mengeluarkan buku lain dari tasnya. Untunglah saat itu sesuatu jatuh dari bukunya.
Anita jadi berhenti ngomong. Tapi yang kulihat berikutnya ternyata nggak membuatku
tambah lega. Yang jatuh dari buku Anita itu selembar kertas. Aku mengambilnya, karena jatuhnya
dekat tempat dudukku. Kemudian kusadari itu bukan kertas. Itu selembar foto. Foto
seorang cowok yang --nggak bisa dibilang keren sih, tapi lumayan rapi-- putih, bermata
kecil, rambutnya dibelah samping. Aku tercekat.
"Eh, foto siapa nih?"
Wajah Anita merona. "Itu... nggg... Hobbi... mantan cowok gue...," katanya terbata-bata.
"Hah?" seruku kaget. "Lo pernah pacaran?"
Aku tahu pertanyaanku ini kedengarannya nggak sopan. Apalagi nanyainnya sambil
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget. Tapi bukan salahku kalau aku bener-bener terperanjat. Soalnya Anita kuper
banget. Baik dari segi tampang maupun kelakuan. Nggak bermaksud kasar lho. Ini
kenyataan. Anita mengangguk pelan. "Iya. Dia temen masa kecil gue. Kami jadian waktu kelas dua SMP..."
Ini baru berita! Anita ternyata sudah pacaran sejak SMP!
"Trus... kenapa putus?"
Air mata mengambang di mata Anita. Aku jadi nggak enak.
"Eh, kalo lo nggak mau cerita, nggak apa-apa kok," sahutku cepat-cepat.
"Nggak kok, nggak apa-apa. Lagian, ini bukan rahasia..."
Aku cepat-cepat pasang kuping lagi.
http://dayviienz.blogspot.com/
"Sebenernya, Ryn... kami nggak putus...," suara Anita tersekat di tenggorokan. "Hobbi
meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Dan itu salah gue. Dia waktu itu lagi pergi
mau jemput gue. Tau-tau di jalan motornya kesamber truk... dan dia... dia..."
Anita berhenti ngomong. Dia nggak nangis. Nggak terisak. Tapi kelihatan jelas dia
berusaha keras menahan air matanya.
Untuk pertama kalinya aku merasa simpati padanya. Nggak disangka, ternyata Anita
punya masa lalu yang cukup tragis. Mungkin gara-gara itu dia jadi menarik diri kayak
sekarang. Mungkin peristiwa itu menjadi trauma dalam dirinya.
"Udah, Nit..." Aku menepuk-nepuk bahunya. "Yang udah berlalu biarlah berlalu. Semua
bukan salah lo. Kejadian itu memang udah takdir. Udah direncanain sama Tuhan. Lo
jangan sedih lagi. Hobbi sekarang udah bahagia di Surga..."
Anita mengangguk. "Gue tau, Ryn. Tapi gue sulit berhenti nyalahin gue sendiri. Kalo aja saat itu gue nggak
nyuruh dia jemput, dia nggak akan..."
"Nit, nggak ada habisnya kalo lo nyalahin diri lo terus. Hobbi di surga juga nggak bakal
tenang. Lo harus bisa nerima semua ini dan ngelanjutin kehidupan lo di sini. Masa
depan lo masih panjang..."
Anita menatapku, kelihatan kagum.
Aku terdiam, terheran-heran sendiri sama kata-kata bijak yang baru saja meluncur dari
mulutku. Kok bisa ya aku ngomong kayak gini" Biasanya sih aku dinasihati, nggak
pernah yang namanya menasihati...
Tapi, menghibur orang lain itu rasanya menyenagkan kok, meskipun kita sendiri juga
sedang susah. Bebanku yang seabrek rasanya jadi berkurang sedikit, jadi jauh lebih
ringan. http://dayviienz.blogspot.com/
Meskipun demikian, rasa shock-ku sama sekali nggak berkurang, malah bertambah.
Ternyata aku kalah tiga tahun sama cewek paling kuper di kelas. Iya, kan" Anita sudah
punya cowok sejak 2 SMP. Aku belum punya cowok padahal udah 2 SMA.
Sekarang aku mulai yakin, sebagai remaja cewek enam belas tahun, aku kurang gaul.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 10 *Bergumam* Hobiku berubah sejak aku nggak sahabatan sama Micha lagi. Yang dulunya kelayapan
melulu (entah ke mal, entah cuma nongkrong di rumah Micha), sekarang jadi seneng
ngabisin waktu tidur-tiduran di kamar. Buat orang yang biasa jalan dan capek, jelas hal
ini ngebosenin banget. Nah, buat membunuh rasa bosanku, aku memaksa diri membaca
buku yang diberikan Rosaline.
Sama sekali nggak seperti cara pandangku terhadap buku-buku lainnya, aku
menganggap buku-buku ini penting. Kalau Rosaline benar, buku ini bisa menjadi kunci
yang menentukan suram-tidaknya masa depanku nanti. Dengan menguasai cara-cara
yang diajarkan di dalamnya, kemungkinan aku bisa menolak pengaruh ramalan itu. Yah,
kalau aku beruntung. Masalahnya, perbandingan berhasilnya satu banding sekian juta.
Aku memilih membaca buku yang pertama lebih dulu, yang judulnya Guard Your Mind.
Bukan karena judulnya lebih menarik, tapi karena lebih tipis. Yang ini cuma tujuh senti
dua mili, sedangkan buku yang satunya sebelas senti lima mili. Tadi kuukur dengan
penggaris. Buku itu menganjurkan beberapa cara untuk menolak sugesti negatif, terutama yang
berasal dari luar. Pertama dengan visualisasi positif. Oke, biar jelas, kutulis saja di sini
definisinya. Visualisasi yaitu membayangkan gambaran tertentu secara jelas. Maksudnya
kira-kira kayak gini: bila aku nggak ingin jadi perawan tua, dan suatu saat nanti aku ingin
menikah, maka aku harus membayangkan diriku telah atau sedang menikah dengan
seseorang. http://dayviienz.blogspot.com/
Tentu saja ini sulit. Umurku kan baru enam belas tahun. Masa disuruh bayangin jadi
pengantin" Kalo bayangin punya cowok sih bisa. Malah sering. Tapi sayangnya nggak
pernah kesampaian. Cara kedua adalah menegaskan berkali-kali kata-kata yang berkebalikan dengan
ramalan itu. Nah, yang ini kayaknya lebih gampang. Aku tinggal bilang aja berkali-kali
"aku nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan
jadi perawan tua..." Menurut buku itu, kata-kata yang diucapkan berulang-ulang
tersebut perlahan-lahan akan meresap ke dalam pikiran bawah sadar, membentuk
semacam daya tolak terhadap ramalan yang ditujukan pada kita.
**** Saat daya tolak tersebut sudah cukup kuat, pengaruh ramalan itu secara otomatis akan
terlepas, sehingga menjadi batal, tidak jadi terjadi, atau menurut istilah para ahli: void.
Aku memutuskan untuk langsung mencoba cara ini. Kugumamkan berkali-kali "aku
nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan jadi perawan tua, aku nggak akan jadi
perawan tua..." Tapi kemudian mulutku mulai pegal dan aku mengantuk...
Akhirnya, cara ketiga dan seterusnya nggak sempat kubaca karena aku keburu
ketiduran. **** Karena malas membaca bab-bab berikutnya, akhirnya aku cuma mempraktikkan cara
kedua. Kuputuskan untuk bergumam dua kali sehari, setiap pagi setelah bangun tidur,
dan setiap malam pas mau berangkat tidur. Tentu saja aku harus super hati-hati tentang
hal ini. Kalau Bianca sampai dengar, bisa-bisa dia mengira aku punya kelainan jiwa,
setiap malam bergumam-gumam sendiri. Karena itu setiap kali bergumam, aku selalu
menarik selimutku tinggi-tinggi sampai menutupi seluruh kepalaku.
http://dayviienz.blogspot.com/
Tapi acara gumam-bergumam ini ternyata cuma berlangsung empat hari. Masalahnya,
malam pas mau tidur seringnya aku sudah kecapekan, jadi males. Penginnya langsung
bobo. Pagi pas bangun, biasanya kesiangan --sarapan aja nggak sempet, apalagi
bergumam! **** Diluar dugaan, Rosaline ternyata jauh lebih gigih daripada aku. Dia nggak hentihentinya mencarikan bacaan-bacaan baru yang berhubungan dengan ramalan. Dia
bahkan melakukan riset khusus tentang Robert Welsinki lewat internet. Sayang nggak
banyak yang didapatnya. Cuma informasi tambahan bahwa Robert Welsinki seorang
pekerja keras dan dermawan yang dihormati. Dia banyak mendirikan yayasan-yayasan
sosial, sering menyumbang ke sekolah-sekolah, bahkan mendirikan sekolah asrama
khusus untuk anak-anak miskin yang berasal dari kota tempatnya dibesarkan. Sama
sekali nggak membantu. Oh ya, Welsinki itu orang yang gigih. Pekerja keras. Mungkin itu kuncinya. Kalau aku
mau lepas dari ramalan itu, aku harus gigih juga. Semangatku untuk bergumam muncul
lagi. Malah sekarang aku meningkatkannya jadi tiga kali sehari. Pas bangun pagi,
sebelum tidur siang, dan sebelum tidur malam. Yang ini bertahan lebih lama. Lima hari.
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 11 *Diary Shannia* Hari ini, pas pulang ke rumah, aku mendapati ruang tamu nggak seperti biasanya. Alihalih bersih dan rapi, amplop-amplop merah bertebaran dimana-mana. Aku mengernyit.
"Amplop-amplop siapa nih?" teriakku.
Anne muncul dari kamarnya. Tangannya membawa label putih dan bolpoin.
"Amplopku," sahutnya. "Itu undangan pernikahan. Bantuin nempelin label yuk!"
Aku terenyak. Undangan pernikahan! Ya ampun! Jalan-jalan kemana saja otakku selama ini, sampai
bisa melupakan peristiwa besar ini" Anne kan mau menikah. Aku mengingat-ingat. Oh
God, sekarang sudah Juni. Berarti bulan depan!
Begitu rasa kagetku hilang, seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini, rasa panik
menyerang. Aku tahu pesta itu direncanakan besar-besaran. Dan perutku mulas
membayangkan aku bakal sendirian di pesta nanti. Maksudku, bukan sendirian dalam
arti yang sebenarnya, tentu saja. Pestanya kan meriah. Pasti banyak yang diundang.
Maksudku sendirian, nggak bakal ada yang bisa kuajak kesana kemari berdua,
mengambil makanan atau sekadar mengobrol. Yang diundang pasti teman-teman
Anne-Orlando dan teman-teman Papa-Mama, jadi sudah pasti nggak ada satu pun yang
aku kenal. Meskipun saudaraku banyak, semuanya datang dengan pasangan masing-masing. Juliet
pasti dateng sama cowoknya. Bianca juga sama cowoknya. Rosaline "kemungkinan
besar" juga sama cowoknya. Soalnya kemarin aku nggak sengaja mendengar Rosaline
cerita soal "sahabat laki-lakinya" ke Mama dan Mama kayaknya oke-oke aja. Masa iya
aku harus sama Shannia terus" Bisa-bisa aku dikira babysitter.
http://dayviienz.blogspot.com/
Satu-satunya harapanku tinggal Micha, dan celakanya, aku lagi berantem sama dia. Oh
God, tolong! What should I do"
Rasanya pengen banget nggak datang ke pesta, sayangnya itu jelas nggak mungkin!
Aku kan adik Anne! "Hei, disuruh bantuin kok malah ngelamun," tegur Anne.
Aku ter sentak. "Eh, iya. Aku makan dulu ya. Abis makan aku bantuin deh!"
*** Jadilah siang itu aku bersibuk ria membantu Anne membereskan undangannya. Ketika
sudah menempelkan lebih dari lima ratus label putih dan menuliskan nama di atasnya,
labelnya tahu-tahu habis. Padahal masih ada seratus undangan lagi yang belum
ditempeli label. "Gimana nih, Kak?" tanyaku. "Beli label agi aja!"
"Ah, males mau keluar..." Anne menatap jalanan di luar yang memang panas banget.
"Gini aja. Kita bikin sendiri aja labelnya."
"Hah, gimana caranya?"
"Pake kertas putih yang digunting kotak-kotak, terus dilem... Gampang, kan?" sahut
Anne. "Iya ya...," sahutku tolol.
"Nah, sekarang kamu ambil gunting sama lem dulu gih!"
Aku berdiri, lalu langsung menuju kamar Shannia. Kali ini logikaku jalan. Siapa yang
paling sering pakai gunting dan lem" Jelas anak SD! Kerjaan mereka kan bikin prakarya.
Siapa anak SD di rumah ini" Jelas Shannia!
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku membuka pintu kamar Shannia. Sepi. Bukannya nggak ada orang, tapi Shannia
sedang tidur siang. Sedangkan Rosaline, yang sekamar dengannya, sedang pergi entah
ke mana. Mungkin nge-date sama Farren di perpustakaan.
Takut membangunkan Shannia, aku berjalan berjingkat-jigkat menuju meja belajar.
Tanpa suara aku mengobrak-abrik benda-benda yang ada disitu. Rencana sih mau nyari
gunting, tapi kemudian mataku melihat sesuatu yang lain.
Sebuah buku, tapi bukan buku biasa. Dan bukan buku iptek atau ensiklopedia, karena
sampul depannya bergambar Hello Kitty. Diary Rosaline, pikirku spontan. Berikutnya,
sifat isengku muncul. Lupa sama sekali dengan yang namanya privasi, aku langsung
membukanya. Ternyata nggak dikunci. Aku terkikik senang dalam hati. Langsung kubuka halaman
pertama. Mataku mendapati welcome note standar diary --gambar tengkorak besarbesar dan tulisan "Dilarang membaca buku ini! Barang siapa nekat membacanya akan
dihukum gantung pakai tali jemuran... Bla... bla... bla... Buku ini milik..."
Aku tercengang. "Shannia Santalia?" Aku membelalak nggak percaya.
Yang bener aja" Si kecil yang baru kemarin belajar nulis udah bisa nulis diary"
Aku cepat-cepat membuka halaman berikutnya. Penasaran banget. Apa sih yang ditulis
anak kelas satu SD di buku diarynya"
Jawabannya melampaui dugaanku yang paling liar sekalipun.
Sabtu, 1 Januari Hari ini seorang peramal datang ke rumah kami. Nenek-nenek, udah tua banget. Dia
ngeramal kami semua. Kak Deryn diramal jadi perawan tua. Diary, apa sih perawan tua
itu" Pasti itu buruk, soalnya malemnya Kak Bianca sama Kak Deryn bertengkar sampai
Kak Bianca dimarahin Mama...
http://dayviienz.blogspot.com/
Sabtu, 15 Januari Hari ini aku seneng banget. Pertama, aku menang lomba nari. Kedua, ulangan
matematikaku dapat 10. Mama ngasih hadiah satu kotak besar es krim strawberry.
Semuanya boleh aku habisin sendiri, nggak perlu bagi-bagi sama kakak-kakak kayak
biasanya. Biar nggak ada yang minta, aku makan sambil ngumpet di kamar. Eh, ketauan
Kak Rose. Ya udah akhirnya aku bagi Kak Rose tiga sendok.
Senin, 24 Januari Mungkin gara-gara kebanyakan es krim, aku pilek berat. Aku bersin-bersin terus,
ingusku melar-meler ke sana-sini. Semua anak ngetawain aku. Aku malu banget, hampir
nangis. Tiba-tiba Peter dateng. Dengan berani dia ngusir anak-anak yang ngetawain
aku, terus dia ngomelin mereka. Terus dia ngasih selembar tisu yang ada di meja bu
guru. Selasa, 1 Februari Diary, aku pernah cerita nggak ya" Wajah Peter mirip banget sama Dekisugi. Itu lho,
temennya Shizuka yang pinter di film Doraemon. Cakep banget deh. Baik lagi. Rasanya
lama-lama aku makin suka sama Peter.
Rabu, 9 Februari Horeee! Hari ini Peter ngasih aku boneka. Padahal hari ini bukan ulang tahunku, kan"
Boneka teddy bear. Lucu banget. Aku namain dia Beanie.
Jumat, 25 Februari Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku
suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka
Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter. Aku suka Peter.
http://dayviienz.blogspot.com/
Jantungku berdegup kencang. Tanganku gemetar. Kutatap Shannia yang tertidur
dengan polosnya sambil memeluk boneka beruang berbulu cokelat. Pantas aku rasanya
nggak pernah ingat Mama beliin boneka itu buat dia. Ternyata memang bukan dari
Mama! Ya ampun! Aku bener-bener nggak habis pikir. Anak sekecil itu. Baru masuk SD enam
bulan yang lalu. Umurnya juga belum genap enam tahun. Tau apa sih dia soal sukasukaan" Mandi aja masih dimandiin Mama!
Aku tercenung kuatir. Jangan-jangan Shannia mengalami kedewasaan dini...
Kemudian aku terkesiap. Mungkin nggak perlu menguatirkan Shannia. Mungkin lebih perlu menguatirkan diriku
sendiri. Naksir-naksiran di masa kanak-kanak normal kok. Cewek enam belas tahun yang belum
pernah ditaksir cowok itulah yang nggak normal!
http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 12 *Persiapan Pesta...* Waktu bergulir cepat. Aku makin sering panik, sehingga takut bakal kena depresi. Di
rumah telah dilakukan persiapan besar-besaran untuk menyambut pesta Anne.
Sekarang aku nggak mungkin lagi lupa atau pura-pura lupa.
Di antara kami, Mama yang paling sibuk. Kalau kamu punya lima anak perempuan yang
harus didandani secantik mungkin dari ujung kepala sampai ujung kaki, kamu pasti juga
akan repot. Untung sekali Mama nggak perlu mengurusi Anne. Dari baju, aksesori,
sampai make-up Anne, semua udah diurusi bridal.
Nah, karena itulah selama beberapa hari ini, setiap siang sepulang sekolah, Mama
mengajak kami shopping. Dari pakaian dalam sampai sepatu. Yang paling susah
sebenarnya mencari gaun. Maksudnya untukku. Pernah kubilang kan, bahwa tubuhku ini
pendek" Mencari yang pas di badan sangat susah. Ada juga malah kedodoran, kayak
anak kecil pake baju mamanya...
Kalau Juliet dan Bianca sih gampang. Begitu menempel di tubuh mereka, gaun yang
paling jelek sekalipun kelihatan cantik. Tapi entah kenapa mereka berdua bawel banget.
Nggak mau ini, nggak mau itu. Yang ini modelnya terlalu tua. Yang itu warnanya terlalu
muda. Pas menemukan model yang cocok, mereka berdua sama-sama suka. Padahal
gaun model itu tinggal satu. Jadilah mereka berantem.
"Aku duluan yang ngeliat!" tukas Bianca.
"Tapi tadi kamu nggak tertarik," bantah Juliet. "Setelah aku nyoba baru kamu
kepengen!" Mama nyengir kecut kepada pegawai toko, lalu menarik Juliet dan Bianca keluar dari
toko. http://dayviienz.blogspot.com/
"Nggak malu ya, udah gede kok berantem di tempat umum!"
"Abis Juliet sih," Bianca membela diri.
"Kamu yang mulai duluan," Juliet mendelik.
"Diam semuanya!" bentak Mama. "Kalo ada yang berantem lagi, kita langsung pulang
sekarang!" Juliet langsung ciut. Bianca juga. Keduanya diam saat mengikuti Mama memasuki toko
berikutnya. Tapi mata Juliet masih terpaku pada gaun yang sekarang dipajang lagi di
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
etalase oleh pegawai toko.
*** Di depan toko sepatu, aku tertarik pada sepatu putih berhak sepuluh senti yang
dipajang di etalase. Cuma sepatu itu yang bisa membuat my dream comes true. Dengan
sepatu itu, tinggiku bisa jadi 160 senti! Aku menunjuk-nunjuk sambil bilang pada Mama.
"Ma, yang itu bagus ya..."
"Hah, setinggi itu" Nanti kamu malah jatuh, Ryn!"
Berrrrr!!!! Harapanku langsung terbang lagi kayak kupu-kupu.
"Lagian kan kita belum dapat gaunnya! Cari gaun dulu, baru milih sepatu. Biar warnanya
bisa disesuaiin!" *** Tapi ternyata sulit banget dapetin gaun yang cocok buat kami. Mama putus asa, lalu
memutuskan untuk memanggil penjahit saja. Lebih baik bikin aja daripada pusing,
begitu katanya. Soalnya kalau bikin kan ukurannya sudah pasti pas, dan modelnya bisa
milih, lagi. http://dayviienz.blogspot.com/
Juliet langsung minta dibuatkan model persis seperti yang dilihatnya di toko. Bianca
ikut-ikutan dan mereka langsung perang lagi.
"Aku nggak mau kembaran sama kamu!" sentak Juliet.
"Eh, aku juga nggak sudi!" balas Bianca. "Aku mau pake yang itu! Kamu cari model lain
aja!" Mama muncul dari dapur. Dia bilang sama penjahitnya untuk jangan bikin model itu
untuk siapa pun. Juliet dan Bianca langsung diam, sibuk membuka-buka majalah mode
lagi. Karena aku buta sama sekali soal mode, jadi aku pasrah saja sama penjahitnya. Penjahit
wanita itu memandangi wajahku sejenak, mengamati tubuhku dari kepala sampai kaki,
lalu menggambar sket di kertas. Kemudian dia menunjukkannya padaku. Modelnya
atasnya mirip tank top, terbuka di bagian bahu, dengan dua tali tipis di pundak. Bagian
bawahnya panjang dan agak mengembang. Aku mengangguk sambil berdoa dalam
hati. Moga-moga nantinya cocok dengan potongan tubuhku.
"Kamu pengen warna apa?" tanya penjahit itu.
Aku bengong. Belum sempat mikir, penjahit itu udah ngomong lagi.
"Mmmm... kuning muda aja ya?" dia menjawab sendiri pertanyaannya. "Lembut... cocok
sama kamu..." Aku mengangguk-angguk tolol.
*** Sewaktu penjahit itu mau pulang (setelah selesai mengukur dan mendesain gaun untuk
Rosaline dan Shannia), Mama tahu-tahu muncul lagi dari dapur.
"Ya ampun!" dia berteriak panik. "Kok Mama bisa lupa ya" Micha kan belum dibikinin
baju! Deryn, cepat telepon dia! Suruh ke sini sekarang! Biar diukur sekalian!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku terperangah. "Micha" Ngapain Micha pake dibikinin baju juga?"
"Micha kan jadi penerima tamu.."
Blarrr!!! Rasanya bagaikan tersambar petir. Ya ampun, aku benar-benar lupa. Micha jadi
penerima tamu! Dulu aku yang meminta-minta sama Mama agar Micha jadi penerima
tamu, biar aku bisa dekat dia sepanjang pesta. Sekarang, aku nyesel setengah mati
kenapa dulu ngucapin permintaan bodoh itu.
"Cepat, Deryn!"
Aku dilanda dilema. Jelas aku males banget nelepon si licik itu. Amit-amit deh,
ngomongan sama dia lagi. Tapi kalo nggak nelepon, jelas Mama bakal meledak, terus
menanyaiku macem-macem. Kenapa aku nggak mau nelepon" Ada masalah apa sama
Micha" Kenapa musuhan"
Huh! Aku ngeri banget kalo sampai harus cerita tentang Arden ke Mama. Jadi dengan
enggan aku bangkit menuju telepon.
"Halo?" kataku ketus.
Suara Micha di seberang jelas terdengar kaget.
"Deryn?" serunya senang. "Bener ini elo, Ryn?"
"Nyokap gue nyuruh elo dateng ke sini buat ngukur baju! Baju pesta Anne! Elo dateng
aja sekarang!" kataku jutek.
"Oke... gue..."
Klik. Telepon kututup. Peduli amat jawaban dia. Pokoknya aku udah ngelakuin perintah
Mama. Dia mau dateng, terserah. Nggak dateng, jauh lebih bagus. Kalau dia nggak
dateng, aku bisa bikin alasan bohong ke Mama --Micha sibuk kek, Micha apa kek, trus
ngusulin buat cari penggantinya aja.
http://dayviienz.blogspot.com/
Tapi sayang, sekali lagi harapanku nggak jadi kenyataan. Beberapa menit setelah
telepon kututup, wajah Micha sudah nongol di balik pintu. Dia tersenyum manis pada
Mama, terus tersenyum munafik padaku. Jelas aku nggak balas senyumnya.
"Eh, Micha, udah datang...," Mama berkata ramah. "Sori, Tante lupa, ngasih taunya
mendadak. Untung kamu pas nggak ada acara ya." Mama menoleh ke penjahit. "Bu,
yang ini tolong diukur juga ya. Pilihin model yang pantes..."
Aku membuang muka. Pengen banget ngumpet di kamar sekarang, biar nggak usah
ketemu Micha, tapi aku nggak berani karena itu pasti akan menimbulkan kecurigaan
semua orang. Jadi aku bertahan di sofa.
Setelah berjanji akan menyelesaikan pesanan baju itu dalam tempo dua minggu,
penjahit itu pulang. Mama masuk ke kamarnya. Semua saudaraku bubar, masing-masing
kembali ke kamar. Aku juga pengen balik ke kamar, sudah beranjak malah, ketika Micha
tahu-tahu mencengkeram bahuku.
Aku berbalik lagi, lalu berbisik ketus, "Acara ukur-ukurannya udah selesai kok. Kalo elo
mau balik, balik aja! Bye!"
Kusentakkan bahuku, lalu dengan cuek melangkah lagi.
Micha mengejarku, mencengkeram bahuku lagi.
"Ryn, tunggu! Gue mau ngomong!"
Ini salah satu alasan kenapa tadi aku malas menelepon Micha. Dia bakal ge-er,
menyangka aku sebenernya pengen baikan sama dia. Huh. Sori aja ya. Sama sekali
nggak terlintas di pikiran tuh.
"Nggak ada yang perlu kita omongin lagi," kataku dingin, masih sambil berbisik.
"Pleaaseee... lima menit aja..."
Saat itu Bianca keluar dari kamar, menuju kulkas. Aku buru-buru menarik Micha ke
halaman. Bisa gawat kalau Bianca sampai mendengar pembicaraan kami!
http://dayviienz.blogspot.com/
Di kebun, di balik sebatang pohon (biar nggak kelihatan dari dalam rumah), aku berdiri
dengan tangan bersedekap. Sengaja kubikin gayaku seangkuh mungkin, biar Micha
tambah mengkeret. Biar dia tahu aku sama sekali nggak berminat baikan dengannya.
"Oke, five minutes," kataku sambil melirik jam tanganku. "Mulai sekarang! Cepetan!"
Micha menatapku. Bibirnya gemetar. Perlahan, dengan mata berkaca-kaca dia bicara.
"Ryn, gue udah putus sama Arden..."
"So, what?" sambarku.
Air mata Micha berlinang.
"Nggak ada hubungannya kan sama gue" Arden bukan siapa-siapa gue. Lo juga bukan
siapa-siapa gue!" Micha kelihatan terpukul dibilang "bukan siapa-siapa". Air matanya makin deras.
Sebenarnya aku mulai kasihan melihatnya, tapi aku keukeuh pura-pura galak.
"Ryn... gue putus demi elo," Micha terbata-bata. "Jujur, ini berat banget buat gue... Tapi
gue udah mutusin bahwa lo lebih penting daripada Arden. Kita udah sahabatan lama
banget. Gue nggak rela persahabatan kita hancur begitu aja cuma gara-gara cowok.
Gue... gue sayang banget sama elo, Ryn. Gue nggak sanggup kehilangan elo..."
Aku terdiam, nggak tau harus berkata apa.
"Please, Ryn... maafin gue. Gue tau gue salah besar dan nggak pantes dimaafin. Tapi...
please... kasih gue satu kesempatan lagi buat balik jadi sahabat lo..."
"Bener lo udah putus?" tanyaku menyelidik.
Micha mengangguk buru-buru.
"Nanti lo pacaran lagi di belakang gue!" bentakku galak.
"Nggak... nggak bakal... Gue janji... sumpah..."
"Bener?" "Trust me!" sahutnya. "Selama ini kan gue nggak pernah bohong sama elo..."
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku tahu Micha salah ngomong. Kami bertengkar kan gara-gara dia berbohong padaku!
Dia kayaknya sadar, tergagap, lalu buru-buru meralat ucapannya. "Eh... mak... maksud
gue, gue janji nggak bakal bohong lagi sama lo!"
Aku tersenyum. Micha menubrukku, memelukku erat banget. Selama beberapa detik kami berpelukan,
kemudian tertawa lepas. http://dayviienz.blogspot.com/
Bab 13 *Sikap Aneh Micha* Bagus. Cowok sialan itu sekarang sudah enyah dari kehidupan kami. And I have my best
friend back. Aku senang. Akhirnya semuanya kembali normal. Kepanikanku menghadapi
pesta Anne berkurang drastis. Micha bakal ada di sana. Aku punya teman. Aku nggak
akan sendirian. Pagi itu aku membereskan barang-barangku yang masih tertinggal di laci sebelah meja
Anita, sekalian pamitan sama Anita.
"Gue mau balik ke meja lama gue, Nit," kataku.
Anita tersenyum. "Gue tau kok, lo di sini cuma sementara. Udah baikan sama Micha,
ya?" "Hah?" tukasku kaget. "Kok elo tau gue berantem sama dia?"
"Jelas dong! Mana mungkin lo mau pindah kursi ke tempat paling nggak strategis di
kelas kalo nggak ada masalah sama temen sebangku lo?"
Aku nyengir. "Masalah kami udah selesai kok..."
"Gue ikut seneng..." Anita tersenyum. "Nyari sahabat itu susah. Sekali dapet, lo harus
pertahankan baik-baik..."
"Eh, kok jadi elo yang nasihatin gue?"
Kami tertawa. Kemudian aku kembali ke kursiku. Menata barang-barangku di laci, lalu menatap ke
samping dan tercengang. Aku melirik jam tanganku. Jam tujuh tepat. Waduh, kenapa Micha belum datang juga"
Apa dia lupa kalo jam pertama adalah pelajaran Pak Brian yang super-killer itu"
http://dayviienz.blogspot.com/
Terdengar langkah-langkah berat sepatu beradu dengan lantai dari depan kelas. Jelas
bukan langkah murid. Aura ketegangan menyebar. Semua murid yang tadinya berisik
setengah mati langsung diam.
Tok... tok... tok... Pak Brian berjalan memasuki kelas, memelintir kumisnya, lalu duduk di meja guru.
Dengan garang dia menatap murid satu per satu.
Aku cemas. Melirik jam tangan lagi. Tujuh lebih tiga. Kenapa Micha belum datang juga"
Sembunyi-sembunyi aku mengeluarkan HP, mengebelnya dari bawah meja. Mailbox.
Handphone Micha nggak aktif.
Tepat pada saat itu pintu menjeblak terbuka. Micha berjalan masuk, terengah-engah,
wajahnya penuh keringat. Tersengal-sengal dia berkata pada Pak Brian, "Maa... maaf,
Pak... saya terlambat!"
Tampang Pak Brian saat itu betul-betul mematikan. Kalo nggak marah aja tampangnya
udah serem, apalagi kalau marah" Dia nggak berhenti memelintir-melintir kumisnya.
"Kenapa?" "Ha... hari ini lama banget nunggu busnya, Pak..."
Aku tahu itu alasan bohong. Kompleks rumahku dan rumah Micha deket banget sama
sekolah. Cuma lima belas menit jalan kaki. Dan nggak ada jalur bus di sana. Yang ada
paling cuma mikrolet. "Di mana rumah kamu?" sambar Pak Brian.
"Kom... Kompleks Permata, Pak..."
"Memang ada jalur bus dari sana?" bentak Pak Brian garang.
Micha mati kutu. Dia nggak bisa ngomong apa-apa lagi.
"Temui guru piket. Bilang kalau kamu terlambat. Minta surat izin dari dia untuk
mengikuti pelajaran. Tanpa surat izin, kamu nggak boleh mengikuti pelajaran!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku menatap Micha kasihan. Anak-anak yang lain menatap kejadian itu dengan
tampang kasihan-kasihan-senang. Kasihan karena ngeliat salah seorang temen mereka
dimarahi, tapi juga senang. karena jam pelaaran jadi kepotong.
*** Sekitar sepuluh menit kemudian Micha masuk lagi ke kelas membawa surat izin. Waktu
itu Pak Brian sedang menuliskan rumus-rumus luas dan volume berbagai bentuk
geometri. "Nah, ini nih yang paling saya benci dari murid yang terlambat! Pak Brian berhenti
menulis untuk mengomel lagi. "Mengganggu jam pelajaran. Membuat waktu terbuang
sia-sia. Kamu bukan cuma mengganggu saya! Kamu juga mengganggu teman-teman
lain yang ingin belajar serius!" Pak Brian menunjuk ke seluruh kelas.
Aku menggeram dalam hati. Salah Pak Brian juga lah. Tadi Micha disuruh ke guru piket.
Kalo Micha langsung disuruh duduk, kan nggak mengganggu pelajaran!
Micha nggak menjawab, cuma menunduk sedalam-dalamnya.
Pak Brian menukas gusar, "Ya sudah, sana duduk!"
"Ngapain lo" Kok bisa sampe telat?" aku berbisik begitu Micha menyentuhkan
pantatnya di kursi. "Kesiangan," sahutnya, berbisik juga.
"Kok bisa?" aku berbisik lagi.
Saat itu aku melihat wajah Micha dan tercengang. Mata Micha sembap dan ada
lingkaran hitam di bawahnya, kayak orang semalaman nggak tidur.
"Eh, mata lo kenapa" Abis nangis ya?"
Celakanya, saking kagetnya, aku lupa berbisik. Semua anak sekarang menoleh. Pak Brian
langsung menyambarkan suaranya yang lebih keras dari geledek.
"Yang mau ngobrol silahkan bicara di luar!!!"
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku dan Micha langsung diam seribu bahasa.
*** Saat istirahat, barulah aku punya kesempatan ngobrol dengan Micha.
"Lo kenapa, Cha?" tanyaku prihatin.
"Nggak kenapa-napa..."
"Yang bener?" kataku nggak percaya. "Muka lo pucet banget. Udah gitu, mata lo..."
"Bener. Gue nggak apa-apa kok, Ryn..." Micha tersenyum. "Gue cuma kurang tidur..."
Aku nggak percaya. Micha pasti lagi ada masalah. Apa ortunya berantem lagi" Orangtua
Micha memang kurang harmonis. Mereka sering banget berantem, bahkan pernah
hampir cerai. Tapi kenapa Micha nggak mau cerita" Ah, mungkin dia lagi sedih aja,
pikirku. Kalo pas sedih, kadang-kadang kita males ngomong juga, kan"
*** Besoknya Micha nggak telat lagi. Aku mendapati matanya sembap dan lingkaran hitam
di bawah matanya semakin kentara.
"Kok mata lo sembap lagi?" tanyaku, makin penasaran.
"Kecapekan, kali... Semalem nonton TV sampe larut..."
Itu alasan yang jelas dibuat-buat dan nggak masuk akal. Kayak ngebohongin anak kecil
aja. Memangnya nonton TV semalaman bikin mata bengkak" Iya, kalo yang ditonton
film tragedi, terus nontonnya sambil nangis!
Tapi aku nggak sempat mendebat lagi karena saat itu guru fisika, Pak Bondan, masuk.
Pak Bondan nggak se-killer Pak Brian, meskipun kalo mergokin murid yang ngobrol di
kelas pas tengah-tengah pelajaran, dia bisa berubah sama galaknya.
"Kumpulkan PR kalian!" serunya, begitu duduk di kursi guru.
http://dayviienz.blogspot.com/
Semua anak, termasuk aku, langsung mengeluarkan buku PR masing-masing dan
menaruhnya di meja. Andy si ketua kelas, berjalan keliling kelas untuk
mengumpulkannya. Tiba-tiba terdengar pekikan tertahan di sebelahku. Aku menoleh dan terkejut. Micha
yang memekik. Wajah Micha pucat pasi.
"Celaka, Ryn," serunya panik. "Gue lupa bikin PR!"
"Hah?" seruku kaget. Micha, si anak pintar yang nggak pernah bolong bikin PR, yang
termasuk salah satu sumber utama buat dicontekin, lupa nggak ngerjain PR"
"Gimana dong?" seru Micha putus asa, hampir menangis.
Saat itu Andy tiba di meja kami.
"Mana PR kalian?"
Aku mengangsurkan buku PR-ku.
"Gue lupa bikin PR," sahut Micha lemas, kepalanya menunduk.
"Hah?" seru Andy kaget. "Nekat lo, Cha!"
Micha diam saja. "Jadi, gue harus bilang apa sama Pak Bondan" Jumlah buku PR-nya kurang satu, gitu?"
tanya Andy. "Nggak perlu. Gue akan ke depan buat bilang sendiri ke dia."
Micha berjalan ke depan kelas. Aku menatapnya dari belakang dengan jantung
berdebar-debar. "Maaf, Pak, saya lupa bikin PR," Micha komat-kamit di depan Pak Bondan.
Pak Bondan menatap Micha dingin, lalu berkata pendek.
"Temui saya sepulang sekolah nanti di ruang guru!"
***
Ramalan Fudus Ororpus Karya Julia Stevanny di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://dayviienz.blogspot.com/
Siang itu aku menunggui Micha di depan ruang guru. Jam setengah tiga baru dia keluar.
Tampangnya lesu. "Diapain?" tanyaku, saat kami berjalan pulang.
"Diceramahin," sahutnya lemah. "Sial deh, gue sampe ngantuk banget. Tapi tuh guru
nggak brenti-brenti juga ngomongnya. Mana ngomongnya pake hujan, lagi." Micha
menyeka rambutnya jijik. "Nih, rambut gue sampe basah."
Aku nyengir lebar. "Elo juga sih... kenapa bisa sampe lupa bikin PR?"
Micha terdiam lama. Kupikir dia sedang memikirkan jawaban. Ternyata nggak. Ketika
aku menoleh, kulihat pandangannya kosong.
"Cha...?" Nggak ada sahutan. Aku menyenggol lengannya. Micha tergeragap.
"Eh, kenapa?" katanya kaget.
"Lo ngelamun, ya?"
"Eh, nggak... Gue lagi konsentrasi jalan kok..."
"Nggak mungkin banget!" tukasku. "Masa jalan aja sampe konsentrasi kayak gitu. Cha,
akhir-akhir ini nggak tau kenapa gue ngerasa sikap lo aneh. Sebenernya lo kenapa sih"
Kalo lagi ada masalah, cerita dong ke gue, jangan disimpen sendiri. Kan lo sendiri yang
bilang sama sahabat harus saling terbuka..."
Nggak ada jawaban. Aku menoleh. Ternyata Micha sudah melamun lagi.
Bab 14 *Pertengkaran Besar* http://dayviienz.blogspot.com/
"Orangtua lo berantem lagi, Cha?" pancingku pas istirahat kedua siang itu. Aku masih
belum menyerah. Micha jelas sedang sedih dan kacau. Sebagai sahabatnya, aku harus
mengetahui penyebabnya, biar aku bisa menghiburnya.
"Oh, nggak," jawab Micha. "Mereka rukun kok. Rukun banget malah!"
"Jadi, kenapa lo sedih?"
"Nggak apa-apa..."
Kesabaranku habis. "Lo selalu bilang nggak apa-apa nggak apa-apa terus tiap kali gue nanya! Padahal
keadaan lo jelas jauh dari nggak apa-apa! Lo berubah jadi pelupa. Lo jadi tukang
terlambat. Lo sering ngelamun. Nilai-nilai lo juga turun drastis. Sebenernya lo kenapa?"
"Ryn, please... gue lagi nggak pengen ngomongin masalah ini dulu..."
"Masalah apa sih?" tukasku penasaran. "Kalo lo nganggep gue sahabat, lo harus cerita,
Cha!" Aku heran melihat mata Micha malah berkaca-kaca.
"Ryn, gue lagi pengen sendirian, boleh?"
Aku menghela napas. Dengan perasaan kesal yang ditahan-tahan, aku bangkit dari kursiku dan melangkah
keluar. Ketika tiba di pintu, aku menoleh. Micha menangkupkan kedua telapak
tangannya ke wajah, tapi aku bisa melihat butiran-butiran air mata merembes melalui
sela-sela jemarinya, mengalir membasahi punggung tangannya.
*** Hari ini Micha nggak masuk sekolah. Aku menelepon rumahnya. Kata mamanya, dia
sakit. Demam tinggi sejak semalam.
http://dayviienz.blogspot.com/
Aku cemas. Begitu bel pulang berdering, aku cepat-cepat menghambur pulang. Aku
pengen ke rumah Micha untuk melihat kondisinya. Tapi di halaman tahu-tahu sesosok
tubuh tinggi mencegatku. Aku tercekat.
"Arden?" "Deryn, gue mau ngomong sama lo sebentar..."
Aku terperangah. Ah, kemajuan! Jadi dia udah tau namaku sekarang"
"Ada ap...?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Arden sudah menarik tanganku. Aku kaget.
Jantungku langsung berdebar-debar cepat. Dia menggandengku! Dia menggandengku!
Arden menarikku ke balik pohon besar tempatku dulu mengintai dia dan Micha. Disitu
memang sepi, strategis buat ngomong sesuatu yang rahasia. Pikiranku langsung
melantur. Apa rahasia yang mau diomongin Arden" Ah, mungkin dia mau minta maaf.
Mungkin dia mau bilang, "Ryn, sori banget... selama ini gue salah... Sori banget gue
udah nolak elo. Sekarang setelah lo jauh dari gue, gue baru sadar kalo gue ternyata suka
banget sama lo..." Jantungku berdegup makin kencang.
Di depanku, Arden meremas-remas tangannya gelisah. Dia berkali-kali membuka dan
menutup mulutnya, seperti ragu-ragu mau mengatakan sesuatu. Aku maklum. Nyatain
perasaan bukan hal yang gampang, kan" Apalagi plus minta maaf. Aku pernah baca di
majalah, kalo cowok itu egonya tinggi. Mereka paling ogah minta maaf.
"Sebenernya... hmmm... sebenernya gue nggak boleh ngomong begini," katanya gelisah.
*** "Sebenernya... hmmm... sebenernya gue nggak boleh ngomong begini," katanya gelisah.
Aku mendengarkan dengan sabar. "Kalau Micha tau, dia bisa marah besar. Ta... tapi...
http://dayviienz.blogspot.com/
gue nggak tahan ngeliat dia terus menderita. Karena... ngeliat dia menderita bikin gue
Tiga Dara Pendekar 1 Pendekar Slebor 36 Susuk Ratu Setan Pendekar Negeri Tayli 10