Pencarian

Reborn Sepasang Kaos 2

Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting Bagian 2


"yaelaah...syukuri aja apa yg ada dul."
"haha.. iya sih, gw segini juga udah bersyukur banget dapet gawean. Temen-temen angkatan gw aja
masih banyak yg nganggur."
"gw juga ngerasa beruntung bisa nyampe sini. Di kota kelahiran gw lapangan pekerjaannya nggak seluas
di Jakarta ataupun di sini. Makanya sejak awal kuliah dulu gw udah tekadkan untuk ngerantau. Jauh dikit
dari orangtua gak papa lah asal lebaran bisa balik."
"eh, pacar lo itu asli mana sih?"
"pacar yg mana?"
"gebetan baru lo itu, si cewek aneh. Anak mana dia?"
"bujug buneng, sejak kapan gw jadian sama tuh cewek?"
"tapi keliatannya lo deket banget sama Meva."
"deket bukan berarti jadian kan?"
"yaah....kali aja entar kalian bisa jadian."
Gw tertawa pelan. "gw terlalu sayang sama Echi, dul. Susah banget ngelupain dia."
"yaaah mulai lagi deh ngomongin ini." Indra menggaruk kepalanya. "kenapa sih lo terlalu sentimentil
gitu?" "namanya orang ditinggal pacar gimana sih" Lo belum pernah ngerasain ini sih......"
"gw emang nggak pernah ngerasain ditinggal pacar, tapi gw tau gimana kehilangan yg lo rasain. Sejak
SMP gw ditinggal bokap gw. Seenggaknya gw tau gimana rasanya ditinggal mati."
"udah ah, jangan bahas ini." Gw menggeliat melemaskan otot. Di depan kami Pak Haji dan pria itu
nampak turun ke tangga. Dari pembicaraan yg sempat gw dengar upanya mereka sudah menemukan
kesepakatan dan si pria akan mulai tinggal di kamar itu nggak lama lagi.
"gw tidur dulu ya" Dari balik gawe semalem gw belum tidur nih. Mumpung libur bisa seharian ngebo.
Hehehe..." dan Indra berjalan ke kamarnya.
Tuh kan, gw sendirian lagi... huh, mungkin gw memang ditakdirkan untuk selalu sendiri. Iseng gw
berjalan ke kamar Meva. Di depan pintu gw hentikan langkah. Pemilik kamar ini pasti masih sibuk di
kampusnya. Secara baru satu jam yg lalu dia pergi. Gw buka pintu kamar dan masuk ke dalamnya.
Berdiri memandang berkeliling memperhatikan hasil kerja gw barusan, lalu gw duduk di tepi kasur.
Kenapa sih tuh cewek seneng banget gelap-gelapan di kamer" Gw pernah sarankan ganti lampunya
dengan lampu freon tapi Meva menolak dan ingin mempertahankan lamu kusam di kamarnya ini. Lalu
pandangan gw beralih ke lemari kecil tempat dia menyimpan pakaiannya. Gw ingat benar waktu Meva
membenahi lemari itu, ada banyak stoking hitam yg biasa dipakainya. Bener-bener, meskipun gw udah
lumayan kenal dekat, tetep aja Meva merupakan sosok misterius di mata gw. Gw yakin, banyak yg nggak
gw tau tentang cewek yg satu ini.
Dan pandangan mata gw tiba-tiba terpaku ke tumpukan buku di samping dispenser. Mendadak gw
pengen tau anak Sipil kalo kuliah belajar apa aja ya.. gw ambil buku paling atas di tumpukan. Sebuah
buku tulis besar tapi tidak terlalu tebal. Sesuatu jatuh dari dalamnya saat gw membuka halaman
pertama. Secarik kertas warna abu-abu. Mirip potongan dari sebuah surat kabar.
Gw ambil kertas kecil itu. Memang potongan dari sebuah halaman surat kabar. Tapi bukan surat kabar
biasa. Ini surat kabar berbahasa Inggris. Di bagian paling atas potongan itu terdapat judul "Children of
God". Dan di bawahnya tampak wajah seorang pria bule, tua dan berjanggut putih.
"hebat juga tuh cewek bacaannya koran Inggris," gw tersenyum kecil.
Gw taruh lagi potongan kertas itu ke dalam buku. Gw nggak mau menimbulkan kecurigaan dengan
mengacak isi kamar ini. Saat gw buka lembar ke tiga buku itu, terdapat potongan surat kabar lagi. Kali ini
kertasnya tertempel di halaman buku. Buku ini pasti adalah kliping, kata gw dalam hati. Tap anehnya
lagi-lagi gw menemukan kata "Children of God" di judul potongan surat kabar itu. Beberapa gambar
tampak kumpulan orang sedang menyembah sesuatu, dan seperti seseorang yg sedang berdiri di tengah
ruangan dengan kaca berukir mozaik layaknya sebuah gereja.
Di halaman lain gw menemukan sebuah artikel berjudul "Anak-Anak Tuhan Mulai Masuk ke Indonesia".
Dan gambar pria tua berjanggut putih kembali menghiasi gambar penjelas dari artikel ini. Di bawah
gambarnya ada kalimat "David Berg, pendiri Children Of God". Gw buka lagi lembar berikutnya dan kali
ini sebuah artikel berjudul "The Family Was Exist".
Karena gw nggak begitu ahli berbahasa Inggris, butuh empat sampai lima kali buat gw mencoba
menterjemahkan kalimat di artikel itu. Tapi tetap saja gw nggak paham dengan isinya. Pandangan mata
gw tertuju pada sebuah majalah berbahasa Inggris yg tergeletak di bawah buku yg gw ambil. Lagi-lagi
wajah pria tua itu gw lihat, di cover depan terpampang sebagai sampul majalah, dan gw sangat tertarik
dengan tajuk majalah itu : "Children of God".
Gw nggak begitu hafal isinya, tapi ada satu kalimat yg menarik perhatian gw. Bunyinya kurang lebih
seperti ini : In the quitness of your chamber when you"re alone, you can tell Me you love Me and you can show Me
you love Me. For this intimate and special way of loving Me...
Kalimat itu banyak muncul di beberapa halaman. Entah apa arti kalimat itu, gw nggak begitu tetarik. yg
pasti gw sendiri memang bukan kutu buku y hobi baca, apalagi bacaan yg aneh-aneh macem ini.
Gw tutup majalah dan gw taruh lagi di tempatnya sebelum gw ambil. Gw samasekali nggak mengerti
dengan artikel-artikel yg dikoleksi Meva. Selera baca yg aneh, menurut gw. Dan setelah ini gw benarbenar yakin bahwa cewek yg satu ini memang benar-benar aneh.......................
Part 24 Gw tetap terjaga sampai malam tiba. Dan seperti malam-malam sebelumnya, malam minggu ini
gw cuma duduk di balkon sambil bermain gitar. Indra tadi sempat mengajak bermain PS tapi gw
akui gw nggak ahli dalam bermain game seperti itu. Indra sudah tenggelam di depan layar
tivinya beberapa saat setelah maghrib. Malem ini suasana kosan terbilang ramai. Dua kamar yg
nyaris selalu kosong karena penghuninya lembur, sekarang terbuka lebar dengan alunan lagulagu remix terdengar nyaring dari salahsatunya.
Sedang asyik bernyanyi terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Dan sesuai dugaan gw,
Meva muncul dari tangga. Dia tersenyum begitu melihat gw. Tapi jujur saja gw masih kesal soal
tadi pagi. "malem minggu nggak ngapel Ri?" tanyanya dengan nada riang.
Gw sengaja acuh dengan pertanyaannya. Gw berpura-pura menyibukkan diri dengan nyanyian.
"hallooo.........." dia todongkan wajah di depan wajah gw dengan jarak yg sangat dekat. "ada
orangnya nggak nih?"
"lagi keluar," jawab gw pendek.
"yaah padahal saya ada perlu penting Pak. Mau nraktir makan orang yg namanya Ari."
"oh..ada, ada. Saya sendiri."
Meva tertawa. "hadeuh......giliran makan aja nyaut," dia menepuk pipi gw pelan lalu beranjak ke kamarnya.
"kemana lo?" Katanya mau nraktir?"?"
"enggak jadi, kan tadi katanya lagi keluar." Jawab Meva tanpa menoleh ke gw.
Di depan kamar dia berhenti, lalu balikkan badan.
"tadi pas gw pergi lo masuk kamer gw yaa?" tanyanya menyelidik.
"eh, enggak. Ngapain juga gw ke kamer lo" Nggak ada kerjaan banget." Gw bohong.
"yah sapa tau lo iseng gitu, terus nyuri daleman gw lagi."
"anjrid,,emang gw cowok apaan nyuril gituan" Masih banyak yg lebih berharga buat dicuri."
"hehe.. iyah gw becanda. Gitu aja sewot ah!" lalu dia berbalik lagi dan masuk ke kamarnya.
Belum ada setengah menit dia keluar lagi ke tempat gw duduk.
"udah makan belum lo?" tanyanya.
"gw lagi keluar, kalo mau nraktir entar aja next time."
"ciie ilee.... lagu lo kayak orang penting aje." Meva memukul bahu gw pelan. "mau makan gratis
nggak nih" Mumpung gw lagi baek hati."
"serius nggak lo?"
"waduh, lo meragukan gw nih. Masa kayak gituan aja gw bohong" Mau nggak?"
"oke deh, bentar gw taro gitar dulu."
"eh, temen lo mana" Sekalian aja ajak dia."
"lagi maen PS di kamernya," jawab gw dari dalam kamar. "lo tanyain sendiri aja."
"ogah ah, lo aja."
"kenapa mesti gw mulu sih?" gw keluar kamar.
"ya udah.. ya udah, kalo nggak mau ya udah kita berdua aja deh. Buruan, gw laper nih."
"gw tanya dulu deh," gw masuk ke kamar indra. Dia sedang asyik bermain balap mobil.
"mau makan nggak?" tanya gw.
"lo mau ke warung?" indra balik tanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar tivi.
"gw makan di sana. Si Meva yg nraktir, kalo mau makan gratisan ikut kita yuuk."
"oh, sama si aneh itu. Ya udah lo berdua aja deh. Gw nitip dibungkus aja ya?"
"bener lo nggak mau ikut?"
"lagi nanggung seru nih."
"ya udah. Kayak biasa kan?"
"iiyaaa.....jangan lupa kasih sambel pedes yah."
"oke." Meva sudah menunggu di ujung tangga.
"gimana" Temen lo nggak ikut?" tanyanya.
Gw menggeleng. Dan akhirnya kami berdua pun berjalan menuruni tangga. Ternyata di luar
lumayan dingin. Gw suka heran, kalo siang kota ini kerasa panas banget, tapi begitu malam
panasnya seolah hilang berganti dingin yg kadang menusuk tulang. Kami berjalan menyusuri
jalanan yg sepi. Maklumlah, ini bukan jalan utama, dari sini ke jalan raya jaraknya lumayan jauh.
"eh, tumben lo ngajakin gw makan?" tanya gw.
"yah anggep aja ini sebagai ucapan terimakasih gw karena tadi pagi lo bantuin gw beresin kamer
gw." "oh, thanks deh kalo gitu." Meski sempat kesal, akhirnya perasaan itu hilang. Yah seenggaknya
Meva bukan orang yg nggak tau terima kasih.
"maaf yah tadi pagi langsung gw tinggal. Gw buru-buru soalnya. Gw tau lo pasti kesel, iya kan?"
"ah, enggak kok. Ngapain kesel cuma gara-gara hal sepele kayak gitu?"
"oh, gw kirain lo marah tadi pagi. Hehehe.."
Gw tersenyum simpul. "mau makan apa nih?" tanya Meva menunjuk deretan kedai-kedai dadakan di pinggir jalan.
"apa aja deh. Lo sendiri mau makan apa?"
"pecel lele kayaknya enak tuh. Lo mau?"
"ya udah kita makan pecel aja."
Kami masuk ke sebuah kedai lumayan besar dan langsung memesan dua porsi pecel lele. Selain
kami, ada dua orang pembeli di kedai ini.
"ehm, Mas, saya pake nasi uduk yah?" kata gw ke si penjual.
"eh, saya juga dong Mas.. nasi uduk dua-duanya yah?" sahut Meva.
Mas mas si penjual mengangguk dan segera mengurus pesanan kami.
"tadi ngapain aja di kampus, kok sampe malem baru balik?" tanya gw.
"yaah biasalah anak kuliahan paling nongkrong di kampus doang. Tapi tadi kebetulan ada tugas
tambahan dari dosen, jadi gw mampir ke kosan temen dulu numpang ngerjain soalnya gw nggak
punya komputer sendiri."
"kenapa nggak beli aja biar nggak ribet?"
"males ah," ujar Meva menggelengkan kepala. "gw lebih suka pinjem daripada punya sendiri.
Ribet gw ngurusin barang kayak gituan."
"gw malah kepengen banget punya komputer."
"ide bagus tuh. Gw setuju deh loe beli komputer."
"iya, biar lo bisa pake sepuasnya komputernya kan?"
"hehehe.. tau aja lo."
"jelas lah gw hafal sama orang-orang nggak modal kayak lo."
"idiiih....kata sapa gw nggak modal" Lah ini buktinya gw nraktir lo makan?"
Gw mencibir. "eh, lo pinter bahasa Inggris yah?" kata gw mengalihkan pembicaraan.
"enggak juga ah, kok lo nanya gitu?"
"ya enggak, soalnya di kamer gw liat lo kayaknya seneng ngoleksi kliping dari koran berbahasa
asing gitu." "tau dari mana lo" Wah, jangan-jangan lo beneran ngoprek barang-barang gw yah?"
"ah, enggak kok orang cuma liat-liat aja dikit."
"liat-liat tanpa ijin sama aja ngoprek, dodol..."
"beda." "sama." "ah, udah ah jangan dibahas. Males gw debat sama cewek."
"ya elo duluan yg ngebahas."
"eh, tapi kok kliping punya lo isinya tentang apa tuh namanya.............. "god god" gitu deh. Tau
ah namanya apaan. Kok gituan semua?"
"tuh kan elo yg bahas lagi?" meva mencibir.
"emang apaan sih yg namanya "Children of God" itu?"
Meva diam sejenak. Ada sedikit perubahan ekspresi di wajahnya.
"bukan apa-apa kok. Itu tugas kliping salahsatu mata kuliah. Gw sendiri nggak begitu paham
dengan pembahasannya."
Gw mengangguk beberapa kali.
"beneran aneh nih cewek," kata gw dalam hati. "ngumpulin kliping tapi nggak ngerti sama yg
dikumpulin." "eh, besok lo lembur nggak?" tanya Meva membuyarkan lamunan gw.
"enggak," gw menggeleng. "kenapa emangnyah?"
"kalo lo nggak sibuk, besok temenin gw yuk."
"ke mana?" "jalan-jalan aja sih. Ke tempat nongkrong favorit gw kalo lagi bete."
"di mana tuh?" "alun-alun Karang Pawitan alias KaPe." Meva nyengir lebar.
"oh, yg deket mall itu?"
Meva anggukkan kepala. "mau yaah" Yaah mau yaaah?" pintanya. "asyik loh di sana tempatnya."
"liat besok aja deh, gw paling males kalo bangun pagi soalnya."
"yaaah kok gitu" Pokoknya harus mau, oke" Deal."
"waduh, maen deal-deal ajah." Gw memprotes keputusannya yg sepihak itu.
"enggak ada kompromi. Oke" Nah, tuh pecelnya udah jadi. Selamat makaan..."
Gw mendengus kasar. Apa boleh buat, kami samasekali nggak bicara selama makan. Setelah
menyantap habis hidangan di depan meja kami berjalan kembali ke kosan. Gw sempat pesen
sebungkus buat Indra sesuai pesanannya tadi. Di perjalanan balik kami nggak banyak ngobrol.
Gw juga malas ngobrol, yg ada nanti malah debat soal rencana besok. Kebisuan itu berlangsung
sampai tiba di kosan. Gw ke kamar Indra sementara Meva langsung tidur di kamarnya.............
Part 25 Minggu pagi yg dingin. Gw terbangun saat langit di luar Nampak sedikit menghitam tertutup awan
hujan. Ah, senangnya gw karena pagi ini gw nggak direcoki cewek aneh si Meva. Gw lihat jam dinding
menunjukkan pukul setengah sebelas. Cukup siang, tapi karena mendung jadi saat ini Nampak seperti
masih jam delapan pagi. Gw menggeliat dengan malasnya. Sambil memikirkan menu apa yg enak buat sarapan sekaligus makan
siang kali ini, gw duduk di tepi kasur. Masih dengan nyawa yg baru setengah kumpul gw duduk
melamun. Sampai sebuah suara dari kamar mandi mengagetkan gw. Gw diam, mencoba memperhatikan
dengan saksama. Ada seseorang yg sedang bersenandung dari dalam kamar mandi kecil itu. Suara
wanita. "Siang-siang kok ada setan?" gw dalam hati. "apa si Indra yah" Ah, sejak kapan suara si gundul mirip
suara cewek?"" Gw lebih lekat lagi mendengarkan.
"Jangan-jangan Meva?" bating w lagi. "Tapi sejak kapan suara Meva kayak suara cewek?" Eh, dia kan
emang cewek" Gpblok bener gw!"
Dan baru saja gw hendak bicara, pintu kamar mandi terbuka dan muncullah sesosok wanita di hadapan
gw. Dengan hanya berbalut handuk putih yg bahkan nggak sampai ke lutut, dia tertawa melihat gw.
Untung saat itu dia tetap mengenakan stoking hitamnya, kalo nggak gw bisa bergidik ngeri melihat
bekas sayatan-sayatan di kedua kakinya yg jenjang itu.
"Kebonya udah bangun," katanya seraya nyengir lebar.
"Busett"sejak kapan kamer mandi gw jadi pemandian umum?" gerutu gw kesal. "Lagian keluar kamer
mandi udah maen ketawa-ketawa aja, bikin parno tau nggak."
"Haha..maap deh, kamer mandi gw lagi kering tuh. Nggak keluar airnya," ujar Meva. "Tadinya juga mau
minta ijin sama elo, tapi berhubung lo lagi ngebo ya udah gw inisiatif sendiri ajah."
"Huh, untung gw nggak kebelet pipis tadi."
"Emang kenapa" Tinggal masuk ajah, bareng juga nggak papa kok." Lalu dia tertawa lebar.
Bisa banget nih cewek! Gw masih normal wooooiiii?"?""
"Laen kali kalo mau numpang mandi lagi, lo mesti ijin gw dulu," kata gw mengultimatum. "Nggak peduli
gw lagi tidur atau lagi ngapain, pokoknya lo harus seijin gw. Okay" Bisa dimengerti?"
"Iya..iya..siap boss! Udah pelit, bawel lagi!" kata Meva lagi kemudian berhambur pergi dari kamar gw
menuju kamarnya. "aarrggh"tuh anak bikin kesel aja," omel gw dalam hati.
Baru saja gw hendak rebahan lagi, Meva menggedor pintu kamar gw. Masih dengan handuknya dia
setengah teriak ke gw. "Lo cepetan mandi! Inget hari ini lo janji nemenin gw ke Karang Pawitan!" dan lalu dia pergi lagi.
Ah, kenapa sekarang setiap hari gw jadi selalu punya janji ke dia?" Lagipula, emang kapan sih gw
janjinya?" Gw coba ingat-ingat lagi, semalam Meva emang ngajakin gw ke KaPe, tapi khan gw belum
mengeluarkan pernyataan setuju ke dia! Hadeuuh?"?"..cewek yg satu ini beneran nyebelin!
Maka gw sengaja tiduran lagi dan nggak buru-buru mandi seperti permintaannya barusan. Sekitar
sepuluh menit dia kembali lagi ke kamar gw. Kali ini sudah berpakaian rapi seperti biasa.
"Waduh, kok loe belom ngapa-ngapain sih?"" cecarnya. "Buruan mandi atuh, emang mau jam berapa ke
sananya?" "Kayaknya lebih cocok deh kalo gw yg nanyain itu ke loe," balas gw. "Mau ke sana jam berapa?"
Sekarang mah nanggung ah, entar aja sorean."
"Eeehh".takut ujan dulu kalo sore mah."
"Ya udah berarti nggak jadi. Selesai. Ribet amat."
"Enak aja ngebatalin janji secara sepihak."
"Loe sendiri bukannya meresmikan janji secara sepihak juga yah?"?"
"Udah lah debat mulu kalo sama loe tuh," akhirnya dia berganti wajah cemberut. "Buruan mandi."
Dan dengan sejuta keterpaksaan beranjaklah gw menuju kamar mandi. Bukan semata takut atau patuh
pada perintah cewek itu, tapi gw memang kebelet buang air kecil.
"Jangan lama-lama!" perintahnya lagi setelah gw masuk ke kamar mandi.
"Emang gw pikirin?"?"" sahut gw.
Nggak ada jawaban. Kayaknya dia udah balik ke kamernya. Dan gw sengaja berlama-lama di kamar
mandi, rasanya asyik juga kalo berhasil menyulut kemarahan Meva. Kurang lebih limabelas menit
kemudian gw selesai dan sudah berganti pakaian. Meva masuk kamer gw lagi.


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo," ucapnya. "berangkat sekarang."
"Hah?" Belom juga gw makan?"" protes gw.
"Makan di sana aja. Banyak yg jualan kok di sana. Udah yukk, buruan ah. Loe cowok tapi dandan aja
lama banget kayak cewek."
"Udah lo tunggu di kamer lo ajah," kata gw. "Entar gw ke sana."
Satu gerutuan nggak jelas meluncur dari mulutnya tanpa bisa gw dengar sebelum akhirnya dia pergi
juga.. Bodo amat, maki gw dalam hati. Selesai sisiran gw berjingkat ke kamar sebelah, ke kamar Indra. Yg
empunya kamar lagi asyik meluk bantal dengan iler yg berceceran di samping pipinya.
"Yahh, masih molor ternyata," kata gw pelan. Tadinya gw mau berkonspirasi dengan Indra, pura-pura
ada janji penting yg nggak bisa ditinggal, maka gw bisa terbebas dari "janji palsu" Meva. Tapi tampaknya
konspirasi itu tidak akan terlaksana mengingat seonggok manusia yg lagi mimpi jorok kayaknya.
Gw keluar kamar. Meva muncul dari dalam kamarnya secara bersamaan.
"Udah beres lo?" tanyanya.
"Yaudah, tapi kita makan dulu di depan," kata gw akhirnya
Meva mengangguk setuju. Maka berangkatlah kami berdua ke alun-alun Karang Pawitan dengan
menggunakan angkot kuning. Sekitar duapuluh menitan kami tiba di sebuah lapang luas yg berbentuk
melingkar serta terdapat area lari atletik mengikuti bentuk lapangan.
"Kita ke sana aja," Meva menunjuk seorang penjual mie ayam yg menggelar lapak dadakannya di
salahsatu sisi lapangan. "Lo belom makan khan?"
"Seharusnya sih udah di warteg depan gang, kalo aja lo nggak buru-buru ngangguk ke sopir angkot yg
ngetem di depan." "Udah ah, yg penting makan, daripada nggak samasekali."
Gw mencibir pelan. Kami duduk di kursi dekat gerobak penjual mie tersebut.
"Kuah apa kering neng?" tanya abang penjual ke Meva, dengan sedikit nada genit.
"Saya kering aja Pak," Meva melirik ke gw. "Lo gimana?"
"Saya kasih kuah deh Bang," gw sengaja memilih yg nggak sama dengan yg dipilih Meva.
Si abang penjual segera menyiapkan pesanan kami dengan cekatan.
"Tuh khan, di sini asyik loh. Bisa liat kembaran lo juga," Meva menunjuk deretan kandang berisi monyet
yg sedang bergelantungan di pohon kecil di dalamnya.
"Gw nggak nyangka ternyata gw seganteng itu," cibir gw.
Meva tertawa. Ditoyornya kepala gw.
"Dibilang mirip ama monyet malah bangga," katanya.
"Haus nih, lo pesen minuman dong.." gw memandang berkeliling mencari gerobak penjual minuman dan
menemukannya di samping gerobak mie ayam yg sedang kami pesan. Kenapa gw baru liat yah?"
Dan Meva pun segera memesan dua teh botol dingin untuk kami berdua. Selesai acara makan (tentu
saja Meva yg bayar) Meva mengajak gw ke bangku taman di pinggir lapangan yg memang ada di bawah
setiap phony g ditanam sengaja untuk meneduhi pengunjung. Suasana di sini memang teduh sih, gw
akui itu. Apalagi pas mendung kayak gini, cocok banget deh tidur di bawah pohon-pohon beringin ini.
Beberapa bangku sudah terisi oleh sekumpulan orang yg berbincang dan tertawa-tawa menikmati
keteduhan di sini. Bangku-bangku ini terbuat dari semen jadi nggak mungkin bisa digotong untuk dibawa
pulang. Hehehe.. BERSAMBUNG (too many character) "Gw kalo lagi b?te pasti ke sini," Meva bercerita.
"Emang kapan lo nggak b?te nya?" timpal gw.
"Emh"kapan yah?" dia tampak berpikir. "Kalo lagi sama loe, kayak sekarang ini. Gw nggak b?te."
"Tadi lo bilang lo ke sini kalo lagi b?te, berarti sekarang juga lo lagi b?te dunk?"
"Yeeeey?""..bukan gitu maksud gw. Pertanyaan tadi nggak ada hubungannya sama itu."
Gw tertawa. Benar juga kata Meva, sekedar duduk-duduk di sini memang menyenangkan. Gw mulai
suka tempat ini. Selain pengunjung atau pejalan kaki yg beristirahat, ada juga pedagang-pedagang
mainan anak kecil serta aksesoris sederhanasemacam itu di sekitar alun-alun ini. Kalau hari biasa, gw
yakin pasti jam segini dipenuhi dengan anak-anak sekolah yg baru balik. Ada beberapa gedung sekolah
di sekitar sini. "Eh, lo mau liat monyet-monyet itu nggak?" tanya Meva, membuyarkan lamunan gw. Dia menunjuk
deretan kandang besi di sisi timur.
"Tiap hari gw kiat wajah gw di kaca, itu udah cukup kok."
"Yeeeeyyy itu mah beda atuh, kingkong itu mah. Hahaha.." Meva tertawa. Entah kenapa gw merasa
tawanya itu menyenangkan. "ada yg lain juga loh, bukan cuma monyet. Ada kelinci juga, lucu deh. Ke
sana yukk?" "Entar aja ah, gw lagi betah duduk di sini."
Meva tampak kecewa. "Ya udah gw sendiri yg kesana, lo tunggau di sini ajah." Dan dia pun beranjak pergi.
"Jangan lama-lama, gw bisa jadi pohon beringin juga di sini."
Meva nggak menjawab. Semenit kemudian dia sudah berada di depan kandang-kandang itu.
Memandang gembira dan kadang menggoda kelinci ataupun monyet yg ada di dalamnya. Gw sendiri
sudah nyaris benar-benar tertidur saking teduhnya di sini. Sebuah tepukan di pipi membangunkan gw.
"Bangun," kata Meva. "Ternyata lo beneran kebo ya" Dimanapun berada, tidur selalu nomor satu."
"Hawanya bikin ngantuk, dodol." Gw bangkit dan duduk, Meva di sebelah gw.
"Biar nggak ngantuk, kita maen ini ajah," dia menunjukkan sebuah kotak kecil panjang bermotif kotakkotak hitam putih, dan masih terbungkus sebuah plastik bening. "Mari bermain catur."
"Dapet catur dari mana lo?" tanya gw heran.
"Tadi pas balik kesini ada yg jualan maenan di pinggir jalan itu, dan gw liat ada catur kecil yg dari magnet
itu loh, gw beli ajah. Lucu sih."
"Berarti lo nggak bisa maen catur donk?"
"Gw bisa kok!" katanya semangat. "Gw sering maen catur sama temen-temen waktu SMA dulu."
"Lama amat tuh. Lo nggak bakalan menang lawan gw."
"weleh weleh".sembarangan lo. Gini-gini, Utut si Master Catur aja berguru ke gw."
"Masa?"" "Iya, bener." "Masa bodo! Hahaha.."
"Udah, udah, kita buktiin ajah sapa yg lebih jago!" meva membuka plastik pembungkus dan mulai
menyusun bidak-bidak ke petaknya. "Yg kalah bayarin makan malem di warung Mang Bedjo. okay?"
"Oke!!" gw merasa tertantang. Mendadak kantuk di mata gw hilang.
Gw dapet pion hitam, dan Meva yg putih. Di luar dugaan gw, cewek ini beneran bisa maen catur!
Permainan pertama gw kalah telak, sisa kuda sama kedua luncur sementara dia cuma kehilangan
benteng dan luncur di petak hitam. Jelas gw habis dibombardir lah!
Dan seperti sudah diduga, saat permainan ke dua berjalan, kuping gw nggak hentinya dipanasi oleh
ejekan-ejekan atas kekalahan gw tadi. Gw coba strategi andalan gw, dan saat permainan mulai berpihak
ke gw, tetesan gerimis yg turun tiba-tiba terpaksa membuat kami mengemasi set catur. Dengan sejuta
perasaan gondok, gw berlari menghindari hujan dan berteduh di mesjid seberang alun-alun. Hujan
semakin deras beberapa saat setelah kami berteduh. Ah, kalo aja nggak ujan, gw yakin gw pasti menang
tuh! Gw liat jam tangan Meva menunjukkan pukul setengah dua.
"Va, kita sholat aja dulu yuk" Sekalian berteduh di dalem," ajak gw.
"Maaf, Ri, gw non-muslim.." kata Meva dengan sangat halus. Dia menunjukkan kalung salib perak polos
yg melingkar di lehernya.
Mampus gw! Gw nggak pernah tau sih sebelumnya, dan menurut gw itu salahsatu pertanyaan sensitif yg
kurang etis untuk ditanyakan. (maaf buat yg baca, gw nggak ada maksud SARA di sini)
"Oh, maaf, gw baru tau," ucap gw dengan malunya.
"Enggak papa kok, nyantai aja lah.." dia tersenyum. "Ya udah lo solat ajah, biar gw tunggu di sini."
"Kalo gitu lo duduk aja deh di teras, di sini masih kena cipratan ujannya."
"Lho, emang boleh ya gw duduk di sana" Gw kan?"
"Udah nggak papa," gw menarik tangannya. Menggandengnya ke teras, lalu meninggalkannya di sana
sementara gw melaksanakan sholat. Sekitar limabelas menit baru gw selesai dan kembali ke tempat
Meva menunggu. Hujan masih turun dengan derasnya. Gw duduk-duduk sambil nunggu hujannya reda. Dan setelah
sekitar satu jam, barulah kami bisa pulang?"?"?"..
Part 26 Sore ini hujan bener-bener turun dengan derasnya. Bahkan sampai di kosan pun hujan masih saja
mengguyur bumi, jadi terpaksa deh gw dan Meva basah-basahan berlari menembus hujan. Gw
menggigil hebat, tapi ketika gw teringat jemuran gw di atas, seketika gigilan itu menghilang dan
berganti dengan pekik tertahan dari mulut gw. Bergegas gw ke atas, tapi di sana tidak ada apaapa selain kawat jemuran yg basah.
"Dul, lo tau jemuran seragam gw di atas nggak?" tanya gw ke Indra sekembalinya gw dari
kamar. Indra sedang main Play Station sambil berselimut sarungnya.
"udah gw angkatin, ada di kamer lo." Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari tivi.
Gw mendesah lega. Buru-buru gw cek ke kamar dan tumpukan seragam menyambut gw di atas
kasur. Ah, beruntung sekali gw punya temen macem Indra. Thanks guys.. Segera saja gw mandi
dan berganti pakaian dengan setelan pakaian hangat. Selesai mandi, gw menyeduh teh hangat
dan bersembunyi di balik selimut di atas kasur.
Pintu kamar terbuka dan Indra masuk, menyeduh teh hangat juga, lalu duduk di samping gw.
"Abis kemana lo tadi?" tanyanya.
"Diajakin jalan sama Meva ke Karang Pawitan," gw masih bersembunyi di dalam selimut.
"Keliatannya makin hari lo makin deket sama dia. Udah jadian?"
Gw sibakkan selimut yg menutupi wajah gw.
"Ah, loe nanyanya gitu mulu," kata gw. "Gw nggak ada apa-apa sama dia. Just friend.."
"Ada apa-apanya juga nggak papa kok. Malah itu bagus, artinya lo udah mulai bisa bedain yg
mana masa lalu dan yg mana yg harus lo jalani hari ini."
"Tapi gw nggak ada hubungan apa-apa sama Meva, cuma temen kok......"
"Haha," Indra tertawa kecil. "Oke deh, gw percaya kok. Lagian kenapa mesti ngotot gitu" Gw
nggak papa kok lo jadian juga sama Meva kalo kalian emang sama-sama suka."
"Yaah..seenggaknya saat ini belum," ujar gw. "Lagiapula kayaknya susah buat gw suka sama
dia, orangnya suka nyebelin gitu dul. Maksaan gitu lah...tadi aja gw dipaksa ikut dia jalan-jalan."
Indra tertawa lagi. "Sarap ya lo, daritadi ketawa-ketawa mulu."
"Sembarangan lo ngomong," sergah Indra.
"Eeh....itu gelas gw, punya lo yg sebelah setrikaan. Maen asal minum aja lo."
"Apa bedanya" Sama-sama teh manis khan?" indra menaruh lagi gelas yg gw tunjuk lalu
mengambil gelasnya. "Beda, lo kalo nyeduh teh biasanya kelewat manis," gw segera menyambar gelas gw dan
meminum isinya dengan hati-hati.
Saat itulah Meva tiba-tiba nongol di depan pintu. Seperti biasa, tersenyum lebar dengan tampang
innocent. "Eh, ada Indra juga," sapanya. Dia sudah berganti pakaian. Kali ini dia memakai celana jeans
panjang. Tapi tetep aja di dalamnya dia pake stoking hitam. "Hey, Ri. Lo lagi sibuk nggak?"
"Iya sibuk banget gw sampe bangun aja nggak bisa," jawab gw ngasal.
"Lanjutin maen catur yukk?" Meva mengangkat papan catur kecil yg sejak tadi disembunyikan
di belakang badannya. "Ogah. Besok lagi aja laah.....lagi cape gw."
"Napa lo, takut gw kalahin lagi ya?" tantangnya.
"Yeee....tadi tuh lo menang karena kebetulan aja lagi. Gw belum panas tuh."
"Ya udah makanya sekarang buktiin ke gw kalo lo emang bisa maen catur?"
Ini nih pernyataan yg menjebak.
"Ogah, lagi nggak konsen nih otak. Cape, dingin, ngantuk." Gw keukeuh menolak ajakannya.
"Kalo gitu sama gw ajah maennya, lo mau?" Indra menawarkan diri.
"Nah tuh si gundul mau tuh," kata gw bersemangat. "Sama dia ajah."
"Emang lo bisa Ndra?" tanya Meva ke Indra.
"Eitts..jangan salah, si Ari bisa maen catur sapa coba yg ngajarinnya?"
"Emang lo yg ngajarin?"
"Bukan! Tanya aja ke orangnya langsung tuh," dan Indra tertawa.
"Oke, ayo lawan gw." meva masuk dan mengambil posisi duduk di sebelah gw. "Geser dikit
dong Ri," dia mendorong gw sampai mepet ke tembok.
"Kenapa nggak sekalian jedotin pala gw aja?"" kata gw kesal.
"Sayang temboknya, entar rusak gw yg suruh ganti rugi."
"Bodo ah," gw menarik selimut menutupi wajah gw.
Hangat sekali di dalam sini. Tadi beneran dingin banget pas hujan-hujanan. Sudah hampir
sepuluh tahun yg lalu sejak terakhir kali gw hujan-hujanan bareng temen SD dulu. Tapi lamalama kok kepala gw berasa pening ya" Ini pasti pengaruh air hujan tadi. Beneran pening dan
senut-senut gitu. Baru sekitar sepuluh menit gw bangkit duduk sambil pegangi sisi kepala gw yg
sakit. "Kenapa lo Ri?" tanya Indra melihat penderitaan di wajah gw.
"Sakit kepala nih. Gara-gara ujan tadi." Gw meringis pelan menahan sakit yg nampaknya makin
menusuk ke dalam kepala gw. Sakit sekali. "Tapi kok sakit banget yah?"
"Gw beli obat puyeng deh ke warung," Indra berdiri dari duduknya lalu beranjak pergi.
Tinggal Meva yg memandang gw dengan penuh minat, seakan gw ini seekor kelinci yg minta
diberi sebatang wortel. "Lo sakit kepala?" tanyanya polos.
"Lo pikir apa yg sakit kalo gw pegang kepala?"
"Ah, elo mah selalu aja jawabnya sinis gitu kalo ke gw tuh. Gw tanya serius juga."
"Maaf deh, gw lagi sakit kepala banget soalnya." Gw malas berdebat jadi gw akhiri saja.
"Sini gw pijitin biar rada mendingan," Meva menarik kepala gw, dengan kasar!
Gw berteriak kesakitan tapi dia nggak peduli. Dia duduk di belakang gw lalu kedua tangannya
menekan-nekan kedua pelipis gw. Dia memijit gw. Gw diam. Ternyata enak juga pijitannya.
Beberapa kali gw pejamkan mata menikmati pijitan ini.
"Gimana, udah mendingan belum?" tanyanya.
"Sip sip.. lo bisa mijit juga ternyata."
"Cuma soba-coba aja kok, ini pertama kalinya gw mijitin orang."
"Kalo gitu lo ada bakat jadi tukang pijit."
"Enak aja, ogah gw jadi tukang pijit. Gw kuliah tinggi-tinggi bukan buat jadi tukang pijit."
"Pan elo kuliah di UTP kan?"
"UTP" Apaan tuh" Baru denger gw."
"Universitas Tukang Pijit. Haha.."
Meva mendorong kepala gw ke depan.
"Sembarangan aja lo kalo ngomong," omelnya.
"Hehehe.. kidding. Gitu aja dianggep serius."
"iya gw tau kok."
Dan saat itulah Indra datang, sedikit basah di kakinya, dia membawa sebungkus obat.
"Nih minum obatnya," dia melemparnya ke hadapan gw.
"Udah minum sana, gw maen catur lagi lah." Meva kembali ke posisi duduknya di sisi papan
catur. Kayaknya dia lagi asyik banget tuh maen caturnya.
Gw ambil segelas air putih, meminum obatnya, lalu kembali ke atas kasur. Kepala gw masih
pening, biar sekarang nggak sesakit tadi sebelum dipijit Meva. Di luar sana hujan masih saja
mengguyur sebagian kota. Suaranya jatuh beradu dengan atap lama-lama jadi musik
berkesinambungan yg enak didengar dan menghantarkan gw segera ke alam mimpi.......
Part 27 Gw terjaga dari tidur gw. Kepala gw terasa sangat sakit di sebelah kiri. Secara refleks gw pegangi pelipis
sambil kernyitkan dahi menahan sakit yg menurut gw nggak wajar ini. Baru kali ini gw merasakan pening
yg sangat menusuk. Wajah dan leher gw berpeluh padahal saat itu baru saja selesai hujan dan masih
terasa dingin. Dengan susah payah gw berhasil mengambil obat yg tadi sempat dibelikan Indra, dan
langsung meminumnya. Gw mencoba bangun, dan pandangan gw langsung dipenuhi kunang-kunang yg berseliweran di sekitar
kepala gw. Dan makin parahnya, setelah gw bangun justru gw merasa mual. Gw pengen muntah. Buruburu gw berlari ke kamar mandi dan memuntahkan sebagian isi perut gw di sana. Setelah
membersihkan lantai gw kembali ke kamar. Sedikit sempoyongan gw berusaha mencapai tempat tidur.
Aneh, badan gw nggak panas kok. Gw coba pegangi kening dan leher, normal.
"Lo kenapa Ri?" Meva tiba-tiba masuk dan menghampiri gw. "Gw denger suara kayak orang muntah. Lo
baikan aja khan?" "Kayaknya gw sakit nih," jawab gw sedikit terbatuk. Sedikit bertanya juga, apa suara gw tadi sekeras itu
sampai terdengar ke kamar Meva"
"Minum obat lagi aja deh," sarannya.
"Udah kok barusan."
"Ya udah lo tiduran lagi aja, jangan banyak gerak dulu." Dia membimbing tubuh gw rebahan di kasur.
Nafas gw sedikit memburu. Sementara nyeri di kepala gw agaknya sekarang merambat ke bagian
tengah. "Maaf ya Ri, gara-gara gw ajakin lo keluar tadi siang jadi gini deh..."
"Nggak papa kok, bukan gara-gara yg tadi."
"Kayaknya lo agak parah deh, muka lo pucet gitu." Meva mengusap rambut gw, menyibakkannya agar
tidak menutupi wajah gw. Tangannya hangat.....
"Gw nggak papa kok, beberapa hari ini gw emang kurang baekan. Masuk angin kayaknya."
"Gw kerokkin deh?"
"Nggak usah, nggak usah.... gw nggak biasa dikerok. Sakit ah."
"Yeeey....biar cepet sembuh Ri."
Gw menggeleng sebagai tanda penolakan. Gw punya pengalaman buruk soal dikerok, pernah gw nyaris
pingsan waktu dikerok sama nyokap gara-gara waktu itu pake balsem yg panasnya minta ampun sebagai
pelicin koinnya. Katanya sih gw emang sempet pingsan, tapi gw ngerasa gw masih sadar kok, yaah
memang sih selama beberapa saat gw nggak bisa berkomunikasi saking kagetnya badan gw.
"Gw nggak suka dikerok, oke?" gw bersikeras menolak usul Meva.
"Harus dikerok, khan loe masuk angin?"
"Kalo gitu gw keluarin sendiri deh anginnya, nggak usah dikerok yah?"
"Ah, lagi sakit juga sempet-sempetnya ngomong gitu. Udah, duduk terus buka kaos loe."
"Serius, gw nggak mau dikerok Vaa...." pinta gw sedikit memelas.
"Bentar gw ambil koin dulu di kamer gw." Meva beran
jak keluar dan kembali lagi dengan sekeping koin
kuningan dan botol kecil yg nampaknya adalah balsem. "Ayo buka kaosnya."
"Aah...kenapa sih lo selalu maksa ke gw?" gerutu gw. Nyeri di kepala gw makin senut-senut.
"Ini khan demi kesembuhan lo?" meva berkacak pinggang dan melotot ke gw. "Tahan bentar doang bisa
khan" Jangan jadi banci kayak gitu lah."
"Please Vaa....gw nggak mau dikerok," pinta gw lagi.
"Tenang aja, gw pake balsem dingin kok. Nggak bakalan panas. Ini juga koin khusus emang buat ngerok.
Liat aja sisi-sisinya halus dan nggak bergerigi. Nggak akan sesakit kalo kita pake uang recehan."
"Vaaa...." gw hampir nangis, sumpah. Gw beneran takut dikerok. Gw nggak mau pingsan lagi.
Meva keburu menarik tubuh gw dan membuat gw terduduk. Saat itu badan gw lemas jadi gw nggak bisa
terlalu memberontak. Meva langsung menarik kaos gw sampai lepas, nggak peduli hidung gw sakit
waktu kaosnya melewati wajah gw. Ya Tuhan kapan sih gw nggak dipaksa sama cewek ini"


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gw mau ngerok lo, bukan merkosa yaa, jadi tolong jangan berpikiran yg enggak-enggak."
"Bisa-bisanya lo ngomong gitu Va," kata gw.
"Udah sekarang diem dan nikmati aja. Oke?"
Apa boleh buat. Tubuh gw terlalu lemas untuk menolak. Akhirnya gw dikerok juga sama si Meva. Emang
dingin sih gw rasakan di sekujur punggung gw. Meva beneran pake balsem dingin khusus buat ngerok.
Entah karena gw memang asli masuk angin atau Meva yg ahli ngerok, gw ngerasa lebih baikan aja
setelah dikerok Meva. "Pake lagi tuh kaos loe," Meva melemparnya ke gw.
Tapi gw nggak langsung memakainya. Punggung gw terasa agak lengket karena balsem tadi. Meva
membereskan peralatannya dan cuci tangan di kamar mandi. Selesai itu dia duduk di dekat kasur gw.
"Udah jam sebelas malem, lo tidur lagi aja. Besok juga udah sembuh kok."
Wah, semalam itukah" Gw cek jam dinding, bener jam sebelas lewat lima menit.
"Thanks Va, gw udah baekan kok sekarang," gw pakai lagi kaos gw. Rasanya seperti beban yg menindih
tubuh gw lenyap begitu saja setelah dikerok. Ternyata nggak begitu sakit kalau pake balsem yg dingin.
Badan gw serasa enteng, nggak seperti sebelum ini. Gw rebahan lagi di kasur dengan posisi telungkup.
"Lo nggak tidur?" tanya gw ke Meva.
"Bentaran ah, tangan gw kesemutan euy abis ngerok lo...."
"Si Indra mana" Tadi siapa yg menang maen caturnya?"
"Gw dong yg menang..........." Meva nyengir lebar. "Indra nggak sebaik lo maennya. Gw belum nemuin
lawan yg tangguh nih."
"Belagu lo, liat aja besok gw kalahin lo."
"Ooh, boleh.dengan senang hati," Meva tersenyum merendahkan gw.
"Oke, besok yaa...."
"Oke, sapa takut..................." Meva menggeliatkan badannya. Dia sedikit menggeser posisi duduknya,
dan rebahkan badan di lantai. "Gw numpang ngelonjor bentar yah" Ngerok lo bikin cape nih."
"Salah lo sendiri maksa ngerok gw."
"Enggak papa deh, biar lo sembuh."
"Thanks Va." "Iya sama-sama, gw juga ngerasa nggak enak bikin lo sakit."
"Laen kali ngeroknya nggak usah pake koin ya?"
"Lah, terus pake apa?"
"Pake tangan lo aja. Hehehe..."
"Maaauuunyaaaaaa!!!" Meva melempar koinnya ke kepala gw tapi meleset. "Lagian ogah gw ngerok lo
lagi. Kasian sebenernya, badan isinya tulang semua gitu kok mau dikerok." Dan dia pun tertawa.
"Lo tau nggak Va?"
"Enggak, gw nggak tau," potong Meva.
"Ya makanya dengerin dulu orang kalo lagi ngomong, jangan maen potong ajah."
"Hehehe... Iya, iya, kenapa emang?"
"Lo tuh kayak nenek sihir," kata gw. Meva sudah ingin melempar botol balsem di tangan kirinya sebelum
buru-buru gw lanjutkan. "Tapi nenek sihir baik hati kok! Iya, baik hati....." gw berharap botolnya jatuh
sebelum dilempar. Dan ternyata Meva mengurungkan niatnya.
"Tetep aja, biar baik juga gw tua dong" Emang muka gw keriput ya" Rambut gw beruban ya" Gigi gw
ompong yaa?"?" cecarnya.
Gw tertawa kecil. "Enggak kok, maksud gw barusan, lo itu rewel kayak nenek-nenek sihir di dongeng anak-anak gitu. Tapi
sebenernya lo baik kok," ujar gw menjelaskan. "Walaupun harus gw akui, lo memang lebih banyak
ngeselinnya dibanding baiknya."
"Udahlah nggak usah dibahas, tetep aja gw berasa tua di depan lo. Padahal kan gw dua tahun lebih
muda dari lo?" "Muda tapi tua. Jadi gimana yak jelasinnya.....?"
"Nggak perlu dijelasin, kakek........"
"Baiklah, Nek...."
Lalu kami tertawa lepas. "Lo pantes tuh dipanggil kakek, gw mah masih AbeGe," Meva berkilah.
"Iya ABG umur enampuluh."
"Daripada lo udah seabad?"
"Ya ya ya sudahlah sesama orangtua nggak usah saling memfitnah. Hehehe..."
Well, pada kenyataannya gw benar-benar merasa lebih baik sekarang. Memang kepala gw masih terasa
nyeri, tapi itu sudah jauh berkurang dibandingkan tadi. Memang menyenangkan punya teman yg bisa
menghibur saat kita lagi bad mood atau sakit. Dan orang itu adalah sosok wanita yg selama ini gw
anggap misterius karena ketertutupannya. Meskipun sekarang boleh dikatakan gw dan dia sudah
berteman baik, tetap saja gw merasa ada banyak hal yg nggak gw pahami dari dia. Terlalu banyak. Dan
tentu akan lebih baik gw biarkan apa adanya saja seperti ini. Karena kadang sesuatu itu nampak indah
selama kita tidak tau apa yg ada di baliknya.
Jam dinding sudah bergerak ke angka duabelas, dan kami masih ngobrol sesuka hati yg bahkan kadang
gw sendiri pun nggak ngerti apa yg lagi kami bicarakan. Lewat dari jam duabelas, kami mulai kehabisan
bahan obrolan. Hanya kadang terdengar salahsatu dari kami bicara, yg cukup lama dijawabnya. Dan
lama kelamaan suara Meva menghilang, berganti suara desah pelan nafasnya yg tenang. Dia tertidur di
samping gw. Wajahnya begitu teduh saat tidur. Seolah semua beban yg ada ketika terjaga ikut lenyap
bersama mimpi yg melayang-layang entah ke mana.
Di luar, rintikan hujan kembali terdengar menerpa atap-atap rumah. Sesekali diselingi gemuruh kecil dan
kilatan petir yg menembus celah jendela kamar. Gw belum bisa tidur. Entah kenapa, apa karena ada
sosok wanita di samping gw yg tidur begitu damainya" Gw pandangi wajah Meva yg pulas.
Gw ingat beberapa bulan yg lalu gw pernah begitu penasaran dengan sosok yg satu ini. Bayanganbayangan saat gw dengan bodohnya begadang dan memantau pintu kamarnya dari balik jendela kamar
ini, kembali berkelebat di ingatan gw. Dulu nggak pernah terpikir bahwa akhirnya wanita berkaos kaki
hitam itu sekarang akan ada sangat dekat dengan gw. Di samping gw. Sedang tertidur dengan wajah
polosnya. Dan gw yakin, di balik semua keanehannya itu, ada sesuatu yg indah. Sesuatu yg akan indah
pada waktunya. Inilah momen pertama kalinya gw merasakan nyaman saat berada di sampingnya. Bukan sebagai
seorang yg spesial memang, cukup sebagai sahabat. Itu sudah cukup dan melebihi apa yg pernah gw
bayangkan dulu sebelum ini. Dan tentu saja gw sangat mensyukuri itu.
Gw tersenyum sendiri. Mata gw tetap terjaga memandang wajah di samping gw. Entah berapa lama gw
terjaga, sebelum akhirnya mata gw lelah dengan sendirinya..................................
Part 28 Sejak Meva membeli catur mini itu, kami jadi punya hobi baru. Setiap jam pulang kerja Meva pasti sudah
menunggu di balkon dengan pion catur yg sudah ditata sesuai petaknya. Kalau sudah begitu kami bisa
lupa waktu. Kadang sampe lupa makan, jam sembilan malam masih mengenakan seragam kerja.
Makanya gw sering beli nasi dulu sebelum balik biar maen caturnya bisa sambil makan.
Dan harus diakui, Meva memang lawan main yg tangguh. Pernah gw kalah telak 6-0 dalam semalam.
Alhasil gw harus menerima muka gw belepotan bedak sementara kuping gw panas terbakar ejekan
Meva. "Magnetnya rusak tuh, jadi geser sendiri pionnya," itu kalimat yg biasa diucapkan Meva tiap dia dapet
skak mat. "Kok bisa yah" Padahal gw nggak niat kesitu lho," dan ucapan sok pilon ini juga sering diucapkannya.
Well, nilai penting yg didapat adalah bahwa gw bisa mengalihkan perhatian gw dari Echi. Rasanya
sebelum ini gw nyaris frustasi karena selalu dihantui perasaan bersalah tentang Echi, meskipun gw tahu
gw nggak bersalah. Meva berhasil mengalihkan dunia gw.
Dengan sifatnya yg kolokan tapi diktator (dia masih sering maksa gw!) dia sukses membuat gw nyaman
tiap berada di dekatnya. Dan mengenai kelainan dalam dirinya soal self injury, gw benar-benar memilih
bungkam dan memposisikan diri gw nggak pernah tahu soal itu karena Meva sendiri nggak pernah
menyinggung hal ini. Gw merasa itu lebih baik, sampai di satu sore, sepulang kerja gw naiki tangga
menuju kamar. Biasanya Meva akan langsung menyerbu lalu menyeret gw duduk di kursi yg sudah disediakannya di
depan meja kecil tempat papan catur tanpa peduli gw cape ataupun laper. Tapi sore itu gw nggak
menemui siapapun di sana. Dua kursi yg dipasang berhadapan di antara meja itu kosong. Nggak ada
papan catur di atas meja.
"Baguslah, gw bisa mandi dulu," pikir gw dalam hati.
Selesai mandi gw makan nasi yg gw beli dari warung. Sampai jam setengah enam nggak nampak tandatanda Meva akan menyeret gw keluar kamar. Padahal kamar-kamar yg lain sudah menunjukkan
eksistensi penghuninya. "Va, lo di dalem?" gw memutuskan mengetuk pintu kamarnya.
Nggak ada jawaban dan gw masuk ke kamarnya yg nggak dikunci. Meva ada di sana. Sedang duduk
memeluk lutut di pojok kamar. Wajahnya terbenam di kedua kakinya.
"Va" Lo tidur?" tanya gw. Pertanyaan yg seharusnya nggak gw tanyakan kalau melihat badannya yg
gemetar. "Lo kenapa Va?" gw guncang bahunya.
Meva menggeleng tanpa mengangkat wajah.
"Gw nggak kenapa-napa," suaranya terdengar parau.
"Nggak mungkin lo nggak kenapa-napa. Lo nangis ya?"
Meva menggeleng lagi. Tapi kali ini terdengar isak tertahannya. Gw yakin ada sesuatu yg terjadi.
Nampaknya gw nggak perlu bersusah payah menanyai Meva, karena gw sudah menemukan sendiri
jawabannya. Meva menangis karena kesakitan.
Gw nyaris terlompat begitu mendapati sepuluh batang jarum jahit menancap kuat di lengan kirinya. Tiap
ujung jarum membuat kulit di sekelilingnya membiru dan pucat. Pasti jarum-jarum itu sudah lama
menancap di sana. "Lo ngapain lagi Va?"?" kata gw ngeri.
"Gw nggak apa-apa Ri, beneran. Lo keluar aja."
"Mana bisa gw biarkan loe dalam keadaan kayak gini!" gw membayangkan sakitnya tertancap sepuluh
jarum di lengan gw. Saat itu gw bingung. Gw mau nolong dia, tapi nggak tau baiknya gimana.
"Gw cabut yah jarumnya?" tanya gw.
Meva nggak menjawab. Gw anggap itu jawaban 'iya' dari dia. Ujung jari telunjuk dan jempol gw bergetar
menyentuh batang jarum yg dingin. Gw ragu bisa mencabutnya dari kulit Meva. Jarum-jarum itu
menancap cukup dalam. "Apa sih yg lo pikirin, sampe ngelakuin hal bodoh kayak gini?" gw menggerutu pelan.
Meva masih diam. Gw tau dia sedang melawan rasa sakit yg menusuknya. Atau, justru dia menikmatinya
?" Gw memaki dalam hati. Tangan kiri gw memegang pergelangan tangannya dan tangan kanan bersiap
pada posisi mencabut jarum. Gw menarik napas perlahan lalu sebisa mungkin mencabut jarumnya tanpa
melihat. Perlahan.....gw angkat kepala jarum dengan dua jari. Gw bisa merasakan jarum itu berdenyir licin di
dalam kulitnya seiring tarikan jari gw. Ngeri dan ngilu menyelimuti gw. Butuh lebih dari sekedar berani
untuk menancapkan jarum di tubuh kita. Dan menurut gw Meva memang berani. Terlalu berani malah.
Jemari tangan Meva mencengkeram keras tangan gw ketika satu jarum berhasil gw cabut. Uugh, pasti
menyakitkan sekali. Tapi Meva samasekali nggak merintih. Hebat!!
Darah langsung mengucur dari lobang bekas tancapan jarum. Sumpah gw mendadak lemes dan hampir
pingsan kalau nggak memikirkan keselamatan Meva. Gw cuma bisa menelan ludah. Yg gw lakukan
selanjutnya adalah mengambil sembarang kaos yg tergeletak di dekat gw dan menutup luka di tangan
Meva. Meva mengangkat wajahnya, dia menatap gw. Tanpa berkata dia tarik tangan kiri gw menjauh dari
tangannya, mengangkat lengan yg masih mengucurkan darah, dan dengan dinginnya mencabuti jarum
itu satu persatu!! What the hell?" Speechless dan ngeri, akhirnya gw memutuskan keluar kamarnya dan muntah di kamar
mandi saking mualnya.. Part 29 "Apa sih yg lo rasain," kata gw. "Waktu lo ngelakuin itu semua" Nusukin jarum kayak gitu, apa
itu nggak sakit?" Meva duduk di sebelah gw di kamar yg berpencahayaan redup. Tangan kanannya memeluk lutut
sementara tangan kirinya terkulai dengan tujuh lembar plester menutupi bekas tusukan jarum.
Dia menatap gw sejenak lalu menjawab.
"Mungkin buat lo aneh, tapi gw butuh ini Ri..." katanya tanpa mengalihkan matanya dari mata
gw. Hati gw mencelos mendengar jawaban yg terlontar dari mulutnya. Seperti ada sebongkah es
meluncur dan meliuk-liuk dalam perut gw.
"Sebutuh itukah lo dengan rasa sakit?" tanya gw lagi. "Gw mau tau apa yg lo dapatkan dari
kesakitan itu." Meva tersenyum, mengalihkan pandangannya pada gorden jendela di depan kami, lalu menatap
gw lagi. "Gw menikmati sakit yg gw rasakan Ri," jawabnya pelan. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ada
bulir-bulir airmata yg menggenangi pelupuk matanya. "Gw butuh itu. Entahlah, rasanya nyaman
banget begitu ujung jarum menembus kulit gw."
Gw mendesah tertahan. Nggak gw sangka ternyata dugaan gw bener. Bulu kuduk gw sampe
merinding mendengar pengakuan Meva.
"Hehe.. Aneh ya gw?" dia usapi airmata yg mengucur di kedua pipinya dengan tangan kanan.
"Disaat remaja seumuran gw pada kecanduan narkoba dan drugs, gw malah kecanduan rasa
sakit. Gw memang aneh."
"Lo nggak aneh Va," kata gw. "Lo normal kok. Sama kayak gw dan yg lain."
"Thanks buat penghiburannya. Tapi gw tau kok gimana pandangan orang tentang gw."
"Oiya" Hebat dong," ucap gw sedikit sinis.
Dia tersenyum lalu memukul lengan gw pelan.
"Apa lo juga nganggep gw berpikiran sama kayak orang-orang iu?" ujar gw lagi.
"Gw tau kok lo mandang gw berbeda dari mereka. Lo care sama gw. Lo cowok pertama yg
peduli sama gw Ri." Ehem, sebagian hati gw bungah mendengar jawaban Meva.
"Thanks ya Ri."
"Terimakasih karena apa?"
"Yaa atas semua perhatian lo ke gw. Gw seneng lho, ada yg peduli sama keadaan gw."
Ah, rasanya seperti melayang gw denger Meva ngomong begitu.
"Justru gw ngerasa lo yg perhatian ke gw," kata gw.
"Oiya?" Gw mengangguk. "Lo perhatian sama gw. Tapi sayangnya lo nggak perhatian sama diri lo sendiri."
Meva tersenyum. Lembut banget...
"Gw tau apa yg terbaik buat diri gw."
"Baguslah kalo gitu. Silakan lakukan apa yg menurut lo baik buat diri lo sendiri. Nggak ada
paksaan buat lo." Meva tersenyum lagi. "Itu yg sebenernya gw butuhkan. Yg selama ini nggak pernah gw dapatkan dari orang-orang di
sekitar gw," dia mengatakan itu dengan jujur, gw tau. "Penerimaan. Nggak banyak yg mau
nerima keadaan gw apa adanya kayak yg lo tunjukin. Itu yg bikin gw seperti mengisolasi diri gw
dari kehidupan orang banyak. Gw lebih suka menyendiri."
Lagi-lagi gw terenyuh mendengar ucapan Meva.
"Lo bisa nerima gw apa adanya," ulang Meva.
"Oke..oke...sebelum gw makin GR gara-gara semua ucapan lo, kita ganti topik pembicaraan ya?"
"Muka lo merah Ri," kata Meva geli.
"Masa" Emang keliatan ya di kamer gelap kayak gini" Kalo menurut gw nih, lo harusnya ganti
lampu ini sama yg lebih terang."
"Lo jarang dipuji ya sama cewek?"
"Kadang gw sendiri suka heran, gimana bisa lo belajar di kamer yg gelap kayak gini" Yg ada
mata gw bakal rusak."
"Yg gw bilang tadi jujur lho, bukan sengaja bikin lo GR."
"Gw bisa jadi mahasiswa abadi kalo tetep belajar di kamer kayak gini. Pantesan bangsa
Indone........" "............................."
Ada yg menempel di pipi kiri gw. Sedikit basah tapi hangat. Dan saat gw palingkan wajah, kedua
bola mata Meva berada sangat dekat dengan mata gw. Speechles. Gw cuma bisa menelan ludah.
"Anggep aja itu sebagai ungkapan terimakasih gw ke elo," kata Meva dengan tenangnya seolah
tadi dia hanya mengecup dinding kamar.
"Ah...eng.....itu.....eh, iyah sama-sama," gw mendorong wajahnya menjauh dari wajah gw.
Dia nggak tau degupan jantung gw sudah mencapai seratusribu detak per detiknya. Kaki kanan
gw mendadak bergetar saking gugupnya. Entah apa yg terjadi, otak dalam kepala gw
berkecamuk bayangan-bayangan nggak jelas.
"Busett..lo tadi ngiler ya?" gw usapi pipi gw yg sedikit basah.
Meva tertawa lebar. Bisa banget dia lakukan itu!
"Sorry sorry gw nggak sengaja tuh."
Shit!! Gw jadi nggak bisa berpikir jernih gara-gara kejadian barusan. Sementara Meva di
samping gw cuma diam menatap gw sambil tersenyum.
"Kenapa lo nyium gw?" kata gw.
"Tadi nggak kedengeran ya" Sebagai ucapan terimakasih gw ke elo."
"Bukan itu. Maksud gw, lo nggak takut yg lo lakuin tadi akan mengubah keadaan kita?"
"Yaelaah baru juga pipi. Lo terlalu mendramatisir," kata Meva lalu tertawa.
"Gw percaya lo kok Ri. Hal kecil kayak gitu nggak akan bikin lo antipati sama gw."
HAL KECIL kata lo?""
Gw diam. Lebih baik diam deh. Lalu gw tatap Meva. Sepertinya benar, ciuman tadi hanya
sebuah ungkapan terimakasih. Entahlah, dalam beberapa keadaan wanita memang sulit
dimengerti. Dalam hati gw berharap lo nggak akan nyakitin diri lo lagi. Karena ngeliat lo sakit, itu akan bikin
gw sakit juga... Part 30 Ciuman itu cukup "mengganggu" gw. Malam setelah kejadiannya, gw nggak bisa tidur sepanjang
malam! Menjelang subuh baru bisa pejamkan mata. Dan bukan cuma itu, gw yg dulunya nyantai
sekarang mendadak jadi sedikit gugup saat ngobrol atau saat maen catur bareng Meva. Gw
merasa, entahlah mungkin ini cuma perasaan gw aja, beberapa kali Meva mencuri pandang ke
gw pas gw lagi nggak fokus ke dia.
Gw canggung. Padahal Meva sendiri nggak menunjukkan perubahan sikap apapun setelah hari
itu seolah kecupan di pipi gw hanya terjadi di dongeng anak-anak. Dia tetep Meva yg biasanya,
bertindak semau sendiri dan diktator ( gw suka banget nyebut kata ini, berasa keren ya?" ).
Makanya sekarang gw lagi berusaha menetralkan sikap gw, coz kayaknya dia tau perubahan
sikap gw ini. Nggak bisa dipungkiri, gw memang suka sama Meva. Sejak pertama dia nyapa gw waktu itu, gw
memang sering bermimpi bisa jadi cowoknya. Tapi ya itulah, itu hanya sebatas mimpi indah buat


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gw, yg saat gw terbangun nanti mimpi itu akan berakhir.
Gw bisa aja ungkapkan perasaan gw ke dia, tapi gw takut itu bener-bener akan mengubah
keadaan kami. Gw nggak mau ini berakhir, berubah sedikitpun gw nggak mau. Maka yg bisa gw
lakukan hanyalah sebisa mungkin tetap terlelap dalam mimpi dan berharap pagi nggak akan
cepat datang..... "Ri, nyanyiin lagu dong buat gw?" kata Meva sore itu.
Gw dan Meva lagi maen catur.
"Apaan" Orang lagi maen catur malah nyuruh nyanyi," gw anggap ini permintaan teraneh dari
dia. "Oh..gw tau, ini cuma trik lo doang kan buat membuyarkan konsentrasi gw" Biar lo bisa
menang." "Yaelah nggak pake trik juga gw udah menang khan?"
Gw nyengir malu. "Ya udah tuh giliran lo jalan," gw menunjuk pion miliknya.
"Enggak mau. Gw mau denger lo nyanyi."
"Ah, gitarnya ada di kamer Indra dan dia masih gawe. Kamernya dikunci. Bisa dimengerti Teh"
Sok atuh ayeuna jalankeun tah eta kuda na."
Meva menggeleng. "Nggak mau," katanya menatap gw penuh harap.
"Lo nyerah nih?" gw bersiap mengambil bedak di bawah meja.
"Nyanyi dong...suara lo kan bagus tuh...gw sering denger lo nyanyi kok."
"Tapi suara lo lebih bagus."
"Tau darimana" Gw nggak bisa nyanyi."
"Lha, waktu itu khan malem-malem lo nyanyi sambil gw maen gitar" Masa lupa sih?"
Meva nampak berpikir. "Anggep aja gw lupa deh," dia terkikih pelan. "Gw lupa sumpah."
Gw gelengkan kepala. Mungkin waktu nyanyi lagu Jamrud itu dia lagi nggak sadar kali ya"
"Ya udah kalo lo nggak mau nyanyi, gw mau tanya.."
"Banyak banget mau lo!"
"Iiih, gw belum selesai ngomong juga," katanya sambil melotot. "Dengerin dulu gw ngomong."
"Dasar tukang maksa," gumam gw pelan.
"Apa lo bilang tadi?"
"Eh, gw nggak ngomong apa-apa kok. Udah sok atuh mau tanya apa?"
"Gini, gw mau tanya.."
"Iya tapi mana pertanyaannya?""
"ARI!!" Meva berteriak kesal. "Jangan potong omongan orang laah!"
"Hehehe..iya iya maap."
Meva mencibirkan mulutnya kesal ke gw.
"Emh...gini, seandainya lo adalah cowok gw, lo akan nyanyiin lagu apa buat gw?" tanyanya.
"Wah, gw kan bukan cowok lo?"
"Ini kan kita lagi berandai-andai!"
"Iya iya, sewot mulu ah."
"Ya elonya sih ngeselin! Udah buruan jawab."
Gw berpikir sejenak. Lalu gw teringat sebuah lagu.
"Mungkin The Pretenders yg judulnya I'll Stand By You," kata gw akhirnya.
"Oiya" Lagunya gimana sih?"
Gw diam. "Tuh kan ujung-ujungnya tetep gw disuruh nyanyi juga!" kata gw sadar.
"Ya udah apa susahnya sih?"
"Gitarnya di dalem kamer. Males gw ngambilnya."
"Ya udah atuh, acapella an aja."
Gw menggeleng. "Please....." pintanya merayu. "Sampe reff nya aja deh?"
Gw mendengus keras. "Cuma sampe reff doang lho," kata gw.
"Iya nggak papa! Ayo buruan."
Akhirnya gw ambil gitar dari kamar, duduk menghadap Meva dan mulai bernyanyi sambil
menghafal lirik yg hampir gw lupa...
Oh, why you look so sad"
Tears are in your eyes Come on and come to me now
Don't be ashamed to cry Let me see you through 'cause I've seen the dark side too
When the night falls on you
You don't know what to do
Nothing you confess Could make me love you less
I'll stand by you I'll stand by you Won't let nobody hurt you
I'll stand by you So if you're mad, get mad
Don't hold it all inside Come on and talk to me now
Hey, what you got to hide"
I get angry too Well I'm a lot like you When you're standing at the crossroads
And don't know which path to choose
Let me come along 'cause even if you're wrong
I'll stand by you I'll stand by you Won't let nobody hurt you
I'll stand by you Take me in, into your darkest
hour And I'll never desert you
I'll stand by you... Spoilerfor video: silahkan di buffer Hening... Meva menatap gw sambil tersenyum. Gw juga diam menatap dia. Sampai gw lihat bahunya
mulai bergetar. Meva berkaca-kaca.
"Sorry. Belum pernah ada yg nyanyiin lagu buat gw sebelum ini...." kata Meva usapi airmatanya.
"Lo yg pertama Ri. Nice song...."
Gw tersenyum. Menyandarkan gitar di dinding lalu mengetuk papan catur pelan.
"Oke," kata gw. "Jadi bisa kita lanjutin maennya?"
Meva tersenyum. "Thanks .." Gw jawab dengan anggukan kepala. Dan sore itu kami lanjutkan main catur sampe maghrib...
Part 31 Rabu malam yg gelap di bulan Mei..
Butiran-butiran air hujan mendadak turun dengan derasnya mengguyur sebagian Karawang. Beberapa
pengendara sepeda motor terpaksa menepikan kendaraannya menghindari hujan, termasuk gw. Karena
tanggung ada di depan mall Ramaya*a maka gw memutuskan berbelok ke tempat parkir mall dan
berteduh di depan kaca-kaca besar mall yg menampilkan banyak model busana wanita di baliknya.
Balik gawe tadi gw mampir ke kosan temen di dekat stasiun Klari dan pulangnya gw pinjam motornya
karena gw memang nggak punya motor sendiri. Rencananya motor akan dikembalikan besok pagi saat
bertemu di kantor. "Hufft....kenapa mesti ujan sih?" gw mendesah.
Hp gw mendadak bergetar. Sms dari Indra.
'Lu dimana" Jam segini belom balik. Tuh pacar lu nanyain mulu. Bosen gw dengernya.'
Gw tersenyum simpul. Lalu jari gw menari di atas keypad mengetikkan pesan balasan yg menjelaskan
posisi gw sekarang. Gw menatap sekeliling. Banyak juga yg berteduh di sini. Ah, daripada bored di sini gw putuskan masuk
ke mall sekedar duduk di salahsatu kafe ditemani secangkir kopi hangat sambil menunggu hujannya
reda. Tapi nampaknya ini bukan mall seperti kebanyakan yg lain seperti di kota gw, ini lebih tepat
disebut swalayan khusus pakaian atau apalah itu namanya. Yg ada di sini kebanyakan butik dan distro.
Gw nggak menemukan kafe di sini. Di lantai dua pun sama. Maka gw turun lagi dan bergegas hendak
berdiri di luar seperti tadi.
Mendadak pandangan gw terpaku pada sebuah patung peraga busana yg dipajang di dalam sebuah
butik khusus pakaian wanita. Ada beberapa patung di dalam, tapi satu patung berhasil membuat gw
berhenti dan berdiri di depan kaca butik itu. Sebuah patung yg dipasangi busana untuk wanita kelas atas
di Jepang. Gw agak lupa nama butik itu, yg jelas itu butik berlatar Jepang (namanya juga menggunakan
kata di bahasa Jepang). Segala busana yg ada di dalamnya juga nampaknya khas dan berasal dari negeri
sakura. "Maaf Pak, ada yg bisa saya bantu?" seorang SPG menyapa gw ramah dan membungkukkan badan
tanda penghormatan. "Ouwh, ngg....boleh saya liat-liat ke dalem?" tanya gw.
"Silakan Pak," dia membungkukkan badan lagi.
Gw berjalan masuk melewati wanita itu dan menuju patung yg menarik perhatian gw. Gw nggak tau
model pakaian yg dipakainya, yg sangat menarik minat gw adalah yg dipakai di kakinya : stoking belang
hitam putih. Gw tersenyum sendiri membayangkan, pasti cocok banget kalau stoking itu dipakai Meva.
SPG yg tadi menemui gw menghampiri.
"Udah ada yg dipilih?" tanyanya masih ramah.
"Emh..apa tiap busana di sini dijual satu set" Maksudnya, nggak boleh dibeli terpisah?"
Wanita tadi melirik patung di depan gw.
"Kalo baju, harus dibeli satu set sama rok. Kecuali topi, tas, atau sepatu, boleh kok dibeli terpisah."
Gw tersenyum senang. "Termasuk stoking ini?" gw menunjuk kedua kaki patung yg jenjang.
"Iya, boleh. Mau yg ini Pak?"
"Yupp," gw mengangguk senang.
"Mau ambil berapa?"
"Satu aja deh."
"Wah, nggak bisa kalo cuma satu. Minimal sepasang, kanan sama kiri."
"Lho, iya maksud saya satu pasang Mbak," ni SPG ngajak ribut kali ya.
"Oke, segera saya siapkan. Silakan menunggu di kasir, saya akan bawa notanya ke sana."
Dan sepuluh menit kemudian gw sudah kembali di luar, menatap rintikan hujan yg mulai mereda. Tas
kecil di tangan kanan gw genggam erat. Rasanya lama sekali hujan reda. Setengah jam kemudian gw
baru bisa balik. ... Gw baru selesai mandi dan sedang menyisir rambut ketika pintu kamar terbuka lebar. Meva muncul
dengan senyum yg khas. "Kok baru balik?" tanyanya.
"Laen kali ketuk dulu sebelum masuk," kata gw ketus. "Kalo gw lagi telanjang gimana?""
Meva terkikih. "Kan lo lagi nggak telanjang?" sahutnya dengan tampang innocent.
Gw menggerutu pelan berusaha nggak terdengar oleh Meva.
"Udah makan belum?" tanyanya lagi.
Gw menggeleng. "Nih," Meva menunjukkan tangannya dari balik badannya. "Gw udah beli mie ayam favorit lo. Masih
anget nih." "Pas banget, gw lagi laper banget."
"Gw taro di sini yah," diletakkannya plastik hitam di atas kasur. "Lanjutin ganti bajunya deh."
"Thanks Va," sahut gw. "Eh tunggu bentar. Gw juga punya sesuatu buat lo."
"Wah apaan tuh?"
"Liat aja nanti," gw bergegas membuka lemari mencari tas kecil tempat stoking yg gw beli tadi. Nggak
ada di sana. Tunggu dulu, gw lupa naroh di mana.
"Kenapa?" tanya Meva.
"Gw lupa tadi gw simpen di mana ya?" gw garuk kepala mencoba mengingat-ingat. Rasanya gw yakin
sudah membawa itu ke dalam kamer gw.
Tapi di mana ya?" Gw bingung. Kalap. Jangan-jangan ketinggalan di mall! Omygosh...kok bisa sih gw
ceroboh banget!!! "Emang nyari apaan sih Ri?" tanya Meva lagi setelah gw membongkar hampir semua barang di kamar.
"Maaf Va, kayaknya gw lupa naro dimana," kata gw lemah.
Meva tersenyum. "Enggak papa kok," katanya. "Ya udah lo makan aja dulu."
"Maaf yah?" Meva mengangguk lalu beranjak pergi. Huh, dasar gw bego! Kan malu gw! Huaah...besok gw beli lagi
deh, gw janji nggak akan lupa lagi kayak sekarang...
Part 32 "ehm, maaf yah tadi gw lupa naro euy..padahal udah seiya-iya beli juga," kata gw sambil meletakkan
bidak catur di petaknya. "emang lo beli apaan sih?" tanya meva penasaran. "kayaknya serius banget?"
"eh, enggak kok....bukan sesuatu yg penting juga sih," sergah gw. "cuma khan sayang ajah udah beli tapi
malah ketinggalan. bego banget yah gw?"
"haha...itu mah emang dari dulu Ri," dan meva pun tertawa kecil. dia mulai melangkahkan dua pion di
depan raja dan kuda. "yeeey nggak gitu juga kali. tapi ya udah deh biar aja, daripada ntar lo nggak suka mending nggak jadi."
gw buka permainan dengan melangkahkan pion di depan kuda.
"yah itu mah elo nya aja emang nggak niat ngasih. jangan-jangan lo malah belum beli apa-apa iya
khan?"" "enak aja. enggak kok gw beneran udah beli tadi."
"emang apaan sih" gw jadi penasaran nih."
"baguslah kalo penasaran."
"yeeeeeee bagus apanya?" dasar dodol lo."
"itu artinya gw manis yah" hehehe"
meva sudah melangkahkan luncur hitamnya di tepi pertahanan gw. tapi gw bisa menebak ke arah mana
dia akan berjalan. gw majukan pion menutupi petak luncur sekaligus mengancamnya.
"nggak ada yg bilang begitu," dengus Meva.
gw tertawa lebar. "ekhem ekhem," indra muncul dari kamarnya dengan seragam lengkap. dia sudah bersiap berangkat
kerja. "deeeuuuuhhh yg lagi mesra-mesraan. hohoho"
"sapa yg mesra-mesraan?" tanya meva nyolot. "gw sama Ari?" beeuuh.....ogah banget gw. hahaha"
"emang lo pikir gw juga mau sama lo?"?" balas gw.
"ouwh, ternyata begitu yah cara kalian menunjukkan kemesraan di depan orang lain..dengan pura-pura
marahan dan jual mahal gitu. hehehe"
gw perhatikan pipi meva memerah. dia malu nampaknya. hehehe...
"udah dul, kasian tuh si meva nya malu," kata gw. "udah berangkat sana."
"emmmmhhh....pengen gw cepet-cepet pergi yah?" indra memandang gw sok ngerti. "iya iya gw cabut
nih. selamat menikmati malam yg dingin yaah?"
dan indra pun turun ke tangga. gw baru sadar gw kena skak.
"lho, kok bisa?"?"" tanya gw heran. gw perhatikan lagi seisi papan. ada yg aneh, tapi gw nggak ngeuh
apa yg anehnya. "ya bisa lah...gw gitu loh." kata meva pongah.
"tunggu tunggu, kok luncur lo di petak item semua?"?"" gw menunjuk luncurnya. "loe curang!! ketauan
nih!" meva melongo. "eh, iya sorry gw salah ngelangkahin," dia menarik salahsatunya ke petak putih lagi.
"wah wah ternyata lo gitu ya maennya," kata gw. "pantesan lo sering menang?"
"eh, enggak gitu ya. gw beneran salah langkah kok ini. sumpah! jangan asal nuduh lo yaa?"
"ah, orang kalo ketauan boongnya pasti gini deh."
"apaan" gw beneran salah tadi mah. sebelum-sebelum ini enggak kok."
dan setelah adu argumen selama limabelas menit permainan dilanjutkan dengan gw harus lebih teliti
melihat tiap langkah pion meva. selama sepuluh menit pertama gw perhatikan saksama tapi ternyata
melelahkan juga. "skak," gw memakan pion milik meva dengan menteri gw.
meva terdiam. gw tunggu, dia masih diam juga.
"wooii..." kata gw. "itu gw skak raja lo. malah melongo loe."
"eh, emh...sorry.........tiba-tiba ada yg kepikiran sama gw soalnya."
"mikir mulu cepet tua loh."
meva mencibir. "lo ama gw tuaan lo kali?"" katanya. "gw lagi mikirin tentang pion yg barusan lo makan nih."
"yaelaah timbang pion kecil juga, dipikirin banget. lo kan masih punya banyak serdadu."
meva menggeleng. "justru itu Ri," katanya.
"..........." "kok gw ngerasa hidup gw kayak pion ini yah?" dia mengangkat pion yg tadi gw makan.
"maksudnya?" gw nggak ngerti.
"ya kayak yg lo bilang tadi, ini cuma pion kecil..." lanjutnya. "nggak ada artinya. diremehin. nggak
diterima keberadaannya sama mereka yg lebih besar dari dia. baru sadar ternyata hidup gw juga gitu Ri.
nggak banyak yg mau nerima gw. gw selalu merasa kecil di depan orang lain, termasuk elo."
gw kernyitkan dahi. "kok lo bisa ngmong gitu?" komentar gw.
"gw cuma ngomongin kenyataan kok." mendadak sorot mata meva berubah sayu. "apa hidup gw terlalu
salah buat gw ya" mulai dari masa lalu gw sampe keanehan yg gw miliki. semua nggak bisa diterima gitu
aja sama orang lain."
"sorry, tapi gw nggak paham yg lo omongin."
"bukan apa-apa kok. lagian juga belum saatnya lo tau tentang ini."


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"oke lo bilang mereka nggak nerima lo, tapi kan lo punya gw" gw nggak pernah mempermasalahkan
masa lalu kan" karna gw juga nggak tau."
"nah, itu dia. karena lo nggak tau makanya lo bisa nerima gw. lain halnya kalo lo tau, mungkin akan beda
keadaannya." gw diam, mencoba mencari pembenaran dari kalimatnya.
"emang sih...kadang sesuatu itu tampak indah kalo kita nggak tau apa di balik itu semua. tapi bukan
berarti lo bisa nge judge bahwa orang akan nggak nerima lo misalnya dia tau rahasia lo. buat gw, apapun
dan gimanapun masa lalu seseorang kemarin, yg gw liat adalah hari ini. karna semua akan selalu sulit
kalo kita cuma nilai dari masa lalu."
giliran meva yg diam. matanya tetap sayu menatap pion yg tadi.
"gini deh Meva sayaang......" gw ambil pion yg sejak tadi dipandanginya. "pion ini, memang nggak ada
artinya saat ini." gw letakkan di salahsatu petak. "tapi kalo pion ini bisa ngelewati semua ujian untuk bisa
sampai di petak terakhir..." gw letakkan dia di petak paling sudut di daerah pertahanan gw. "pion nggak
berharga ini bisa bermetamorfosa jadi benteng, kuda atau bahkan jadi menteri."
dan gw mengganti pion itu dengan menteri. meva masih diam.
"sama kayak hidup kita," lanjut gw lagi. "kalo kita bisa bertahan dan ngelewatin semua ujian dalam
hidup, suatu saat nanti kita bisa jadi yg lebih hebat dari mereka yg selalu merendahkan kita. kita bisa jadi
sesuatu yg berarti buat mereka juga, Va. lo harus tau itu...."
meva masih diam, tapi perlahan sesungging senyum merekah di bibirnya.
"dan asal lo tau Va, gw nerima lo apa adanya kok, gimanapun keadaan loe."
meva malah tertawa. "bisa banget lo ngomongnya," kata dia. "haduh kita lagi maen catur tapi kok malah jadi ngelantur gini
yah" hehehe.." "ya elo dulu sih yg ngajakin ngelantur."
"tapi bener juga kata lo Ri," katanya lagi. "suatu hari nanti gw akan tunjukkin ke lo, gw juga bisa kayak
pion itu. gw akan jadi orang besar di hidup gw!"
"hemmm....baguslah kalo lo ngerti."
"thanks Ri," dia menyodorkan tangannya. "salaman dulu deh."
"buat apa?" "biasanya orang-orang besar kayak bos gitu kan suka salaman sama rekan bisnisnya" yah sebelum nasib
gw sama kayak mereka, minimal salamannya aja dulu deh."
lalu kami berdua sama-sama tertawa. dan alih-alih main catur, akhirnya malam itu kami malah ngobrol
soal masa depan kami, tentang rencana Meva setelah lulus kuliah nanti dan bagaimana nasib gw setelah
habis masa magang. banyak juga yg kami bicarakan. sedikit berkhayal dan hal nggak penting juga
memang, tapi seenggaknya sejak malam itu kami sadar bahwa ada hari esok yg harus kami harapkan.
dan sekecil apapun harapan itu, selalu ada mimpi yg bisa mewujudkannya....
Part 33 Memasuki bulan September kami jadi lebih sebuk dari biasanya. Indra baru saja naik jabatan jadi
foreman di tempat kerjanya, lalu Meva yg sekarang lagi giat-giatnya ngejar ketinggalan tugastugas yg dulu sempat terbengkalai. Sementara gw sendiri, karena ini adalah bulan terakhir dari
masa magang gw, jadi gw sibuk "mencuri" penilaian baik dari para bos gw. Tapi bukn menjilat
lho. Hehehe".. Gw cuma berharap gw akan resmi jadi karyawan tetap di perusahaan gw sekarang karena gw
malas kalo mesti mengulang dari awal mencari kerja. Dan imbasnya adalah gw sekarang jadi
sering pulang malam karena lembur. Otomatis dengan kesibukan dari masing-masing membuat
kami jadi sedikit jarang bertemu. Gw yg dulunya tiap hari menghabiskan malam dengan duduk
menghadapi papan catur, sekarang pulang di jam-jam biasanya gw sudah selesai main catur.
Hampir tiap hari gw lihat kamar Meva sudah gelap, dia pasti sudah tidur. Kalau sudah begitu gw
juga biasanya langsung beranjak tidur di kamar gw.
Suatu malam gw menemui Meva sedang duduk di depan kamarnya. Gw saat itu baru saja selesai
lembur dan baru pulang jam setwngah delapan malam. Meva langsung berdiri menyambut gw
dengan teriakan nyaringnya memanggil gw.
"Arrriiiiiiii?"?"?" gw yakin suaranya sampai terdengar ke bawah.
"A-p-a-a-a-a-a-a-a-a-n?"?"?"" gw balas berteriak.
"Baru pulang loe?"" dia berteriak lagi masih dengan volume suara yg sama.
"Apaan sih loe, kayak manggil orang di hutan ajah,"kata gw memulai dengan suara yg normal.
"Heehehehe"..enggak papa kok cuma manggil ajah," dia cengingisan. "Kok udah balik jam
segini?" "Napa" Gak suka loe kalo gw balik?" jawab gw sambil berlalu ke dalam kamar.
"Idiiiiih?"?""kok ngomongnya gitu?" dia menyusul gw ke dalam kamar. Dia langsung
ambrukkan diri di kasur. "Ya gw heran aja coz akhir-akhir ini kan biasanya lo baliknya malem
banget." "Biasa aja kali," kata gw. "Gw juga heran jam segini lo masih idup."
Meva melempar guling ke gw.
"Gw nggak suka ngebo kayak lo," sergahnya.
"Emang gw ngwbo yah?"
"Begitulah. Lo kalo ngebo kan udah susah banget tuh bangunnya."
"Sekarang udah nggak lagi tau."
"Masih. Orang kalo gw bangun pagi aja kamer lo masih nutup?"
"Itu karena gw udah berangkat, dodol."
"Jangan manggil gw "dodol" ah."
"Emang napa?" "Nggak suka aja."
"Nggak sukanya kenapa?"
"Nama gw kan bukan itu?""
"Emang gw manggil lo itu" khan gw manggil lo "dodol" bukan "itu?""
"Aaaaarrrrrrghhhhhhhhhhhh"..ngomong sama lo kayak ngomong sama tembok, suaranya
mantul." "Ya bagus dong"biar ada echo nya."
Meva mencibir. Gw ambil kaos dan celana dari lemari lalu keluar.
"Mau kemana lo?" tanya Meva.
"Ke kamer lo." "ngapain?" "Salin ganti baju. Masa gw mau ganti baju di depan lo?""
Meva tertawa lebar. "Kan cuma ganti baju, bukan ganti celana?"" suara Meva terdengar jauh karena gw sudah ada di
kamernya. Dia lalu tertawa lagi. Gw kembali ke kamar gw setelah selesai salin.
"Udah makan lo?" tanya gw.
"Belum," dia menggelengkan kepala.
"Sama gw juga belum. Mau makan malem bareng?"
"Woow"lo ngajak gw dinner Ri?"
Gw kernyitkan dahi. "Iyah, gw mau ngajak lo candelight dinner di warung mie ayam. Lo mau?"
"Mau aja." Dia mengangguk mantap.
"Lo mah dasarnya aja segala mau."
Meva terkikih pelan. Dia berdiri.
"Ya udah sekarang berangkat." Katanya.
"Kemana?" "Ya makan lah. Kan lo tadi ngajakin dinner?"
"hahaha" keren banget yah dinner di warung mi ayam."
"Buat gw, bukan di mana atau apa yg dilakukan, yg gw nilai. Tapi dengan siapa kita
melakukannya." Gw tertawa pelan. "Udah ah lo jago banget kalo ngeombal kayak gitu."
"Yeeeee"..sapa yg ngegombal" Orang gw cuma ngomong biasa kok" Lo ngerasa kegombal
yah" Hehehe?" "Enggak juga tuh."
"Eh eh, gini ajah gini ajah, gw punya ide," katanya semangat. Gw tau kalo Meva ngomong kayak
gitu pasti ide yg keluar adalah ide aneh.
"Ide apaan lagi?"
Dia tampak berpikir sebentar lalu tertawa sendiri.
"Gw punya permainan," katanya lagi. "Yg kalah nanti harus nraktir makan malem ini."
"Caranya?" gw kernyitkan dahi.
"Ehem".jadi gini," dia mengetuk jidatnya dengan telunjuk tanda dia sedan mencari kalimat yg
pas untuk diungkapkan. "Judulnya lomba ngerayu."
Tuh kan pasti deh ide aneh!!
"Dari namanya aja gw udah tau pasti permainannya aneh," komentar gw.
"emang iya aneh, kan biar lebih seru" Berani enggak lo?"
Gw mendengus pelan. Terus terang yg gw pikirkan adalah gimana caranya malem ini makan
gratis. "Gimana cara maennya?" tanya gw.
"Sesuai namanya, kita ngerayu, terus yg dirayu harus bales ngerayu lagi. Tapi yg nyambung lah..
kayak bales pantun aja gitu. Yg balesannya nggak nyambung atau GR duluan, kita anggap dia
kalah. Gimana?" "Ide lo beneran aneh. Udah deh tinggal lo siapin duit buat makan porsi dua orang."
"Enggak mau! Kalo lo mau makan gratis, menangin dulu permainannya."
"Hadeuuh"..iya iya deh. Gw harus gimana?" kata gw kesal.
"Lo rayu gw," entah kenapa tapi gw merasa pandangan mata Meva seperti menantang gw.
Dengan sedikit malas gw tarik tangan Meva dan hampir memeluk dia sebelum sebuah tamparan
mendarat di pipi kiri gw.
"Kok gw malah ditampar?"?"" gw sewot.
"Ya elonya ngagetin gw! Kan gw nyuruh lo ngerayu, bukan maen tarik terus peluk gitu aja!"
"Itu kan cuma trik doang" Bukannya cewek itu suka yah kalo dipeluk?"
"Enggak! Gw nggak suka!"
"Ya udah maap kalo gitu," gw usapi pipi gw yg sakit. "lo sensian juga ternyata."
"Iya iya gw minta maap." Dia menatap gw melas. "Tadi cuma reflex kok."
"Yah respek lo bagus kalo gitu." Rasanya rahang gw dislokasi nih.
Gw dan dia diam. "Ya udah sok atuh sekarang lanjutin, lo ngerayu gw."
Dan setelah gw pastikan nggak akan ada lagi tamparan di pipi gw, gw raih dan genggam kedua
tangan Meva. Dia menatap gw penuh pertanyaan apa yg akan gw katakan. Ah, sial"mendadak
otak gw nge blank. Entahlah tapi rasanya daah dalam tubuh gw berdesir begitu cepat saat mata
kami saling beradu pandang.
"I"..love?"?".you?"?"?"" setelah berpikir dan nggak menemukan alternative lain
untuk diucapkan akhirnya kalimat itu yg keluar dari mulut gw.
Wow! Kayaknya gw ngomong itu dari hati banget!! Eh, tapi nggak dink". Eh, tapi iya sih! ah,
tau deh! ?"?"?"?"
Meva tersenyum sebelum menjawab.
"Itulah alasan kenapa gw ada di sini," katanya.
Ah, ini cewek pinter banget bikin gw melting!! Tapi sebisa mungkin gw menahan bibir gw yg
sejak tadi pengen nyengir. Dalam hati sebenernya gw geli sendiri. Apa perlu yah ngelakuin hal
bodoh macam ini?" "Jangan pergi?" lanjut gw. "Tanpa kamu, hidupku seperti malam tanpa bulan"gelap banget?"
"Kok gelap" Kan masih ada bintang?"
Duueeenggg?"!! "Eh, ng?"yaa karena?"karenaaa?"?" gw bingung jawab apa. "Karna bintang nggak
pernah bisa bersinar seperti terangnya bulan. Ya, ya".karna itu."
Semoga jawaban gw nggak malu-maluin!
Dia malah tersenyum lagi?"
"Aku harus pergi Ri," kata Meva. "Tapi aku akan kembali sebelum kamu sempat merindukan
aku?" Hemmmph?"?".lagi-lagi gw speechless.
"Tapi sayangnya gw nggak akan rindu sama loe Va." Dan gw pun tertawa lebar.
Mendadak raut wajah Meva berubah. Dia langsung cemberut lalu mendorong gw ke belakang.
"Apaan tuh?" Mana ada orang ngerayu kayak gitu"!" katanya sewot. "Lo kalah!"
"Enak aja!" balas gw nggak kalah sengit. "Kan loe yg nggak bisa bales rayuan gw. Lo yg kalah!"
"Ya abisnya mana ada coba orang ngerayu malah becanda kayak gitu," Meva tetep ngotot.
"Ya udah ya udah".buruan makan lah, gw udah kelaperan daritadi nih." Kata gw lalu keluar
kamar. Meva menyusul gw dari belakang.
"Jadi siapa yg bayar dunk?"" tanyanya.
"Udah bayar masing-masing ajah."
"Lha terus yg tadi jadi gimana" Percuma doonk?".gw udah capek-capek ngomong juga."
Gw tertawa pelan. "Yaah seenggaknya sekarang gw tau sesuatu tentang loe," jawab gw santai.
"Tau apa?"" cecar Meva. dia berjalan di samping gw.
"Ya pokoknya gw tau deeh.."
"Tau apa emangnya?"" kayaknya dia penasaran banget.dia mulai menggoyang-goyang tangan
gw. "Pokoknya ada aja!" gw tertawa dan segera berlari sebelum cubitannya mendarat di tangan gw...
Part 34 Akhirnya kontrak magang gw berakhir dan kini gw berganti status jadi karyawan tetap. Nggak ada
perbedaan mencolok memang, tapi sekarang gw mulai memikirkan untuk membangun kehidupan gw di
kota ini. Keluarga di rumah menyambut kabar baik ini dengan antusias. Mereka, terutama nyokap,
meminta gw pulang sekedar bertemu dan sedikit syukuran. Gw belum tau pasti bisa atau nggak nya,
karna terkait jarak yg nggak memungkinkan gw mudik memanfaatkan weekend yg cuma 2 hari. Maka gw
sudah memutuskan mengambil cuti pada akhir tahun nanti. Gw juga sudah kangen karena lebaran
kemarin gw nggak mudik. Dan nggak kerasa perkembangan karir masing-masing penghuni kosan atas juga berkembang pesat.
Indra sudah jadi foreman muda yg potensial. Baru tiga bulan menempati posisi itu dia mulai
dipertimbangkan untuk merangsek naik ke supervisor. Keren! Kadang gw pengen seperti dia yg karirnya
begitu cepat naik. Dan Meva, dia tetap jadi mahasiswi yg rajin. Sejak terakhir dia menusukkan jarum ke tangan, dia nggak
pernah lagi melakukan hal-hal ekstrem. Yah minimal gw nggak pernah memergoki dia melakukannya.
Entah kalau di belakang gw seperti apa. Tapi gw nggak melihat ada balutan perban di bagian tubuhnya,
tanda dia nampaknya memang nggak melakukan lagi kebiasaan anehnya.
Dan satu malam menjelang penghujung Desember...
Gw sedang membenahi pakaian yg akan gw bawa untuk pulang kampung besok ketika pintu kamar
terbuka dan masuklah Meva dengan senyum tipis seperti biasanya.
"Lo jadi balik besok?" tanyanya.
Gw menoleh sebentar lalu mengangguk. Gw masih berkutat dengan beberapa lembar pakaian di tangan
gw. "Ini oleh-oleh buat keluarga di rumah ya?" Meva menunjuk dua kardus kecil.
"Iya," jawab gw pendek.
Meva berjalan dan duduk di dekat gw. Dia menatap gw seperti ada yg mau dibicarakan.
"Enak ya kayaknya mudik?" kata dia.
"Emang lo ngga pernah mudik gitu Va?" tanya gw.
"Sampe sekarang sih belum."
"Ya udah atuh balik.. Indra juga mau balik katanya pas tahun baru. Lo bakal sendirian lho."
Meva tersenyum lagi. "Gw udah biasa sendirian," katanya pelan. "Dan mungkin memang takdir gw buat selalu sendiri."
"Emh..maaf. Gw nggak bermaksud bikin lo ngerasa gitu. Gw cuma..."
"Enggak papa nyantai aja lagi. Gw bukan orang yg mudah tersinggung."
"Iya tapi lo satu-satunya orang yg mudah banget ngasih tamparan ke gw."
Dia tertawa. "Enggak ah, baru juga sekali!"
"Oiya" Kok kalo gw liat dari hasil rekap punya pipi gw, hasilnya beda" Seenggaknya udah tiga kali gw
merasakan belaian lembut tangan lo."
Meva nyengir. Dia mengusapi pipi gw tapi buru-buru gw tepis. Gw takut tiba-tiba belaiannya berubah
jadi tamparan keras yg bikin gigi gw rontok.
"Emang gw se mengerikan itu ya?" katanya.
"Enggak kok gw cuma waspada aja," tandas gw yakin.
Gw sudah selesai mengepaki tas dan menaruhnya di samping tumpukan kardus oleh-oleh.
"Sip. Beres," gumam gw setelah mengecek lagi persiapan balik besok.
"Ri, berapa hari lo mudik?" tanya Meva.
"Emmh..sampe tanggal 2 bulan depan. Sekitar seminggu lah."
"Lama donk" Gw ngga ada lawan maen catur deh."
"Seminggu doank kok."
Meva menyandarkan punggung ke dinding kamar. Dia menarik nafas berat dan mengembuskannya
pelan. "Lo kenapa Va?" tanya gw. "Kayaknya malem ini mood lo jelek?"
Meva menggeleng. "Enggak juga," jawabnya. "Gw cuma sedih."
"Sama aja dodol! Emang sedih napa" Kesepian ya ditinggal sama gw?"
Meva tertawa kecil. "Itu cuma salahsatunya aja."
Gantian gw yg tertawa. "Lo pasti udah jatuh cinta sama gw ya?" goda gw.
Meva nyengir lebar. Kedua pipinya bersemu merah.
"Enggak ah. Gw takut patah hati kalo jatuh cinta sama lo."
"Kenapa takut" Gw nggak bakal nolak lo kok," ujar gw. "Kalo lo jadi cewek gw, minimal tiap hari gw akan
dapet makan gratis."
"Kurang ajar! Cowo matre ya lo ternyata.." dia memukul bahu gw.
Gw tertawa. "Emang kenapa sih lo sedih?" tanya gw lagi.
"Besok malem Natal, Ri."
Gw kernyitkan dahi. "Kenapa mesti sedih" Bukannya lo seneng ya?"
Meva menggeleng. "Ini Natal ke tujuh yg harus gw lalui tanpa ada seorangpun di samping gw."


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah" Kok bisa gitu?""
"Terlalu rumit buat gw ceritakan."
"Oke, lo nggak perlu cerita sekarang. Tapi gw akan dengan senang hati denger cerita lo nanti. Kapanpun
lo mau cerita." Meva tersenyum untuk kesekian kalinya.
"Thanks Ri." Gw mengangguk. "No problem." Gw menggeliat malas lalu rebahkan badan di kasur.
"Va," panggil gw. "Boleh gw minta sesuatu?"
"Iya?" Gw menepuk kasur di sebelah gw.
"Malem ini lo tidur di sini ya?" kata gw. "Temenin gw malem ini."
Sejenak Meva diam. "Lo nggak ada niat buruk ke gw kan?" tanyanya ragu.
"Lo boleh nolak kalo memang nggak mau."
Meva tersenyum lebar. "Lo pasti udah tau jawaban gw," katanya.
"Lo mau kan?" Meva tersenyum lagi. "Lo emang ngerti banget gw Ri."
"Jadi?" "Gw E-N-G-G-A-K M-A-U!!"
Dia mencibir lalu bergegas keluar dan membanting pintu meninggalkan gw sendirian di dalam kamar.
Part 35 Gw langkahkan kaki menaiki tangga dengan malas. Hari ini kecewa banget gw gagal mudik
gara-gara jadwal penerbangan di delay sampe besok siang jam 10 karena ada trouble di mesin.
Maskapai yg bersangkutan memang mengembalikan ongkos tiket sebagai bentuk tanggungjawab
dan artinya besok gw bisa pulang gratis, tapi tetep aja gw kecewa karna gw pikir malam ini gw
udah bisa kumpul bareng orangtua di rumah.
Saat itu sudah hampir jam duabelas malam. Beberapa penghuni lantai 1 dan 2 masih asyik
ngobrol di luar kamar dan memutar lagu-lagu ballade. Sementara di lantai 3, karena penghuninya
memang lebih sedikit, sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Pintu kamar Indra
terkunci. Sepertinya dia lagi keluar.
Gw raih gagang pintu kamar gw. Terkunci. Gw rogoh kantong celana, tadi pagi gw yakin gw
taroh di situ. Tapi nggak ada! Gw cek lagi di kantong kemeja dan dompet, tetep nggak ada!
"Jangan-jangan..." otak gw mulai menerka dan mengingat dengan keras. "Di dalam tas.
Kuncinya ada di tas, gw inget sekarang. Tapi tasnya kan udah masuk bagasi?""
O my god! Kok gw bisa se teledor itu ya" Malem ini gw tidur dimana" Hp gw low battery dan
charger gw juga ada di dalam tas...
Lalu gw inget Meva. Masa sih dalam keadaan darurat gini dia ngga mau nolong gw" Maka gw
berjalan menuju kamarnya. Pintunya sedikit terbuka, memberi celah pada cahaya kuning dari
dalam untuk terbersit keluar. Tadinya gw pikir cahaya kuning itu dari bohlam tua di kamar itu,
tapi ternyata itu adalah nyala lilin.
Gw buka sedikit pintunya untuk gw melihat kedaan di dalam. Tiga buah lilin menyala dipasang
berderet di atas lemari kayu kecil yg merapat ke dinding. Di atasnya, terpaku sebuah kalung yg
sudah gw kenal. Kalung salib polos yg biasa dipakai Meva, saat itu digantung di dinding.
Sementara Meva sendiri berdiri berlutut sambil mengatupkan jemari tangannya menghadap
kalung itu. Dan nggak butuh waktu lama buat gw sadar bahwa ini seharusnya adalah malam yg
spesial untuknya. Ini malam Natal... Meva sedang memanjatkan beberapa kalimat pengharapan. Api lilin di atasnya sedikit bergoyang
tertiup angin yg menerobos masuk lewat celah pintu yg terbuka. Ditambah sayup-sayup
instrument Kenny G dari bawah, membuat malam yg hening itu terasa hangat. Gw nggak terlalu
memperhatikan doa apa yg sedang diucapkan Meva. Tapi Meva mengucapkan kalimat demi
kalimat itu dengan sangat tulus. Gw bisa merasakannya.
Dan tentu sangat nggak etis kalau gw mengganggunya. Maka gw putuskan menutup pintu dan
menunggu di luar sampai dia selesai. Baru saja gw hendak menutup pintu ketika sebuah kalimat
yg diucapkan Meva menarik perhatian gw.
"Tuhan..." ucapnya. "Seandainya Engkau mengasihiku, dan aku percaya itu, kirimkan malaikat
dari langitMu untuk menemaniku malam ini..."
Gw terdiam. Ternyata Meva benar-benar merasa kesepian. Selama ini gw nggak pernah tahu apa
yg terjadi antara dia dan keluarganya, karena gw yakin seorang anak akan benar-benar merasa
sepi kalau hubungan dia dengan orangtuanya nggak harmonis. Atau karena orangtuanya sudah
meninggal" Tapi gw lebih prefer dengan kemungkinan pertama, karena Meva pernah cerita
waktu dia dapet kiriman uang dari nyokapnya.
Akhirnya gw biarkan pintu itu tetap menyisakan celah terbuka. Dan gw duduk menunggu di
depan pintu. Gw masih terenyuh dengan kalimat Meva tadi. Gw bisa merasakan kesedihan yg
mendalam di tiap kalimat yg diucapkannya. Ah, ternyata gw belum cukup mengenal Meva untuk
tahu lebih dalam yg terjadi padanya.
Dan setelah lama menunggu, akhirnya terdengar derit pintu yg ditarik terbuka.
"Ari?" panggil Meva.
Bergegas gw berdiri dan balikkan badan menghadapnya.
"Hay Va," gw tersenyum lebar.
"Kok loe masih di sini?" tanyanya.
Lalu gw ceritakan tentang penerbangan yg delay sampe besok.
"Eh iya, gw lupa kunci kamer gw ada di dalem tas yg udah masuk bagasi," lanjut gw. "Jadi
malem ini gw mau numpang di kamer lo, kalo boleh?"
Meva tampak berpikir. "Pagi-pagi gw pergi kok, karena pesawatnya terbang jam sepuluh. Gw udah harus ada di sana
jam sembilan biar aman."
Meva tersenyum. "Kamer gw selalu terbuka buat elo kok," ucapnya.
"Makasih Va, lo malaikat penolong gw malem ini," kata gw girang.
Meva menggelengkan kepala.
"Enggak Ri. Justru loe lah malaikat itu. Malaikat yg dikirim Tuhan buat nemenin gw..."
Kami berdua tertawa. Lalu kami duduk-duduk di kamarnya ngobrol ringan sampai lewat larut
malam dan pada akhirnya, ini untuk kedua kalinya gw dan Meva berada bersebelahan melewati
malam yg dingin. Dan jujur, samasekali nggak terlintas di otak gw untuk memanfaatkan situasi
ini demi gejolak yg kadang muncul dalam diri gw.
Terlalu jahat buat gw, bahkan untuk sekedar menyentuh pipinya yg merona. Gw biarkan ini apa
adanya. Saat mata gw terpejam, sayup-sayup gw mendengar sebuah suara berbisik di telinga gw.
"Thanks ya Ri.. Ini malem Natal terindah buat gw...."
Entah ini fantasi gw atau bukan, tapi seperti ada yg mencium kening gw. Hangat dan basah...
Lalu sunyi... Dan akhirnya ini membuat gw tetap terjaga sampai pagi.........
Part 36 Gw sudah berkali-kali ganti posisi tidur. Telungkup, telentang, dan miring ke kiri. Gw nggak berani miring
ke kanan coz Meva ada di situ, entah kenapa gw yakin dia belum tidur. Gw bisa merasakan tatapannya
meski mata gw terpejam. Ciumannya di kening gw tadi ternyata berefek menghilangkan kantuk yg
sempat menyergap. Dan entah sudah berapa lama saat gw benar-benar terbangun dan duduk di tepi kasur. Sepertinya sudah
jam 3 pagi. Di luar hujan sudah mulai turun membuat malam semakin dingin.
"Lo belum tidur Ri?" suara Meva terdengar lembut.
Gw menoleh ke arahnya. Dia menopang kepala dengan satu tangan. Shit! Posenya...
"Engga tau nih mendadak panas," gw sekenanya.
"Kok bisa" Ini kan lagi ujan" Gw malah kedinginan."
"Emh..iya juga sih. Sekarang dingin," jawab gw dengan bodohnya.
"Lo aneh Ri." Meva bangun dan duduk di sebelah gw. "Mau gw bikinin teh anget?"
Gw menggeleng. "Enggak usah repot-repot deh," kata gw. "Gulanya jangan banyak-banyak ya."
"Yeeey...kirain nggak mau," cibir Meva. "Ya udah gw nyalain dulu dispensernya."
Lalu Meva pun beranjak menyalakan dispenser, menyiapkan gelas kecil, menuangkan beberapa sendok
gula ke dalam gelas dan menaruh selembar teh celup di sampingnya.
"Ini kamer kenapa sih gelap gini" Lampunya mati apa emang sengaja pake lilin?" tanya gw.
"Sejak kemaren lampunya mati. Gw belum sempet beli. Lagian biar lebih ngena aja kesan Natal nya."
Gw tersenyum. "Lo selalu sendiri ya kalo malem Natal?" gw beranikan diri bertanya.
"Yah seenggaknya setelah gw dateng ke Indo."
"Oh...emang lo bukan asli sini ya?"
"Enggak juga. Nyokap gw asli Padang kok. Cuma gw waktu kecil emang sempet tinggal di desa kecil di
pinggiran Hampshire selama sekitar 10 tahun."
"Hampshire" Inggris maksudnya?"
Meva mengangguk. "Iya. Dulu nyokap gw kuliah di London dan akhirnya married sama salahsatu penduduk sana yg akhirnya
jadi bokap gw. Setelah balik ke sini gw tinggal sama nenek di Jakarta."
Gw mengangguk. "Terus" Nyokap lo kemana?"
Meva terdiam dan melamun. Seperti ada sesuatu yg tertahan dalam dirinya. Sesuatu yg enggan dia
utarakan. Gw mengerti itu, dan gw mulai memikirkan pengalih pembicaraan.
"Va, itu airnya udah panas kayaknya," gw menunjuk lampu kecil warna hijau yg menyala pada dispenser.
"Oh..sorry," dia segera mencabut kabel dispenser dan menuangkan air ke dalam gelas lalu
mengaduknya. "Sorry Va..gw ngga ada maksud ngingetin lo ke kenangan yg nggak mau lo inget," kata gw saat
menerima gelas dari Meva.
"Enggak kok. Gw nggak ngerasa gitu.." gw tau dia berusaha menutupi perasaannya, tapi gw masih bisa
ngebaca itu dari raut wajahnya.
"Emh..lo nggak bikin teh juga?"
"Enggak ah, lagi nggak begitu pengen. Minta aja ya dari lo?"
"Boleh. Nih?" "Nanti aja kalo udah ademan."
Gw aduk-aduk lagi teh panas di gelas biar cepet hangat.
"Taun ini kita sama Va, lebaran kemaren aja gw nggak sempet balik kumpul sama keluarga. Malah elo
kan yg nemenin gw" Kita malah maen catur seharian, lo inget?"
Meva tertawa kecil. "Iya gw inget. Berarti sekarang kita gantian ya?"
Gw mengangguk. Mencoba meminum teh tapi ternyata masih panas. Gw berjengit.
"Panas ya" Sini gw tiupin," Meva mengambil gelas lalu mengaduk dan meniupnya pelan.
"Eh, lilinnya pada mati tuh. Tinggal satu yg nyala," kata gw menunjuk lilin di atas lemari. Nampaknya lilin
terakhir juga hampir padam. Cahayanya bergoyang-goyang tertiup angin. "Pantesan daritadi gelap
banget." Meva tersenyum lagi. Aneh banget, nih cewek demen banget senyum ke gw!!
"Dua lilin yg padam itu adalah lilin cinta dan perdamaian," katanya. "Rasanya dua lilin itu udah nggak
sanggup lagi memberi terang di hidup gw."
Gw kernyitkan dahi. "Kan masih ada satu lagi?" kata gw.
"Ya," jawab Meva. "Dengan lilin itu gw masih punya kesempatan menyalakan kembali dua lilin yg sudah
mati. Lilin terakhir itu adalah lilin harapan. Gw ingin sekali punya harapan di hidup gw, sekecil apapun
itu." Gw diam sejenak. "Lo pasti bisa Va. Gw yakin lo mampu berubah dari pion kecil jadi menteri, suatu hari nanti."
"Hmm..." dia tersenyum. "Lo bener-bener seperti lilin terakhir itu Ri. Lo selalu bisa ngasih gw harapan,
yg bahkan gw sendiri nggak yakin gw punya itu."
"Semua orang punya harapan kok, termasuk lo Va. Semangat yah! Cepet lulus kuliah terus penuhi semua
mimpi lo selama ini!"
Dia menatap gw penuh harap.
"Gw pasti bisa. Lo percaya gw kan Ri?" tanyanya.
Gw mengangguk mantap. "Gw selalu percaya lo." Gw meyakinkannya.
"Thanks Ri." Meva menyerahkan gelas teh ke gw. Sekarang teh nya sudah hangat.
"By the way nanti pagi lo berangkat jam berapa?" tanya Meva.
"Jam enam kayaknya. Pesawatnya take off jam sepuluh."
"Ya udah buruan tidur, ntar kesiangan lho. Udah mau jam empat, masih ada waktu buat tidur."
Gw mengangguk. "Gw duluan tidur yah?" Meva beranjak ke kasur dan segera bersembunyi di balik selimut.
Gw cuma bisa menatapnya dari luar. Ah, Meva...
Asal lo tau, gw bukan cuma percaya sama lo. Lebih dari yg gw ungkapkan, gw selalu yakin lo adalah lilin
harapan buat gw. Part 37 Gimanapun cara yg udah gw lakukan, gw tetep nggak bisa tidur. Guling-gulingan, nutupin mata pake
bantal, dan banyak cara lagi yg gw lakukan tapi mata gw enggan terlelap. Dan HP gw sudah nyaris benarbenar mokad ketika gw lihat jam nya menunjukkan pukul setengah lima pagi.
Gw putuskan mandi, menyeduh teh anget manis lalu duduk di tembok balkon sambil menunggu waktu
berangkat. Meva akan gw bangunkan beberapa saat sebelum gw pergi, karena gw nggak mau ganggu
tidurnya. Dia nampak nyenyak dalam kamar yg masih berpencahayaan satu lilin.
Emh, pagi ini gw akan melakukan perjalanan balik ke kampung halaman. Ini pertama kalinya gw mudik,
karna sebelum ini gw memang nggak pernah merantau. Ternyata menyenangkan sekali bisa berada di
momen menunggu kepulangan seperti ini. Gw juga kangen banget dengan keluarga di rumah. Kedua
orangtua gw dan adik gw, rasanya pengen buru-buru ketemu mereka. Mata yg pedih dan kepala yg
nggak karuan rasa gara-gara insomnia semalam seolah bisa tertutupi oleh kebahagiaan ini.
"Lo udah bangun Ri?" suara Meva menyadarkan gw dari lamunan tentang keadaan kampung halaman
gw setelah gw tinggal satu tahun.
Meva sedang mengucek-ngucek mata di depan pintu kamarnya.
"Gw memang nggak sempet tidur Va," kata gw.
"Kenapa?" dia berjalan menghampiri gw.
Ah, bahkan dalam keadaan kusut baru bangun tidur seperti ini pun Meva tampak anggun.
"Gw nggak ngantuk aja Va. Tapi nanti bisa tidur kok di bus ama di pesawat."
Meva diam. Pandangan matanya masih sayu.
"Emh..lo beneran bakal balik hari ini?" tanyanya tanpa menatap gw. Kedua matanya menatap kosong
hamparan sawah di depan. Entah kenapa waktu berjalan lambat pagi ini.
"Kan emang udah jadwalnya gitu" Jam enam nanti, gw udah harus di terminal."
"Jadi loe akan ninggalin gw hari ini?"" Meva menolehkan kepalanya perlahan, dan kini memandang gw
penuh harap. "Kok ngomong gitu" Gw cuma beberapa hari doank kok. Tahun baru juga udah ada di sini lagi."
"Tetep aja artinya lo ninggalin gw.."
"Enggak Va...gw nggak ninggalin lo.."
"Lo ninggalin gw!!!" Meva setengah berteriak mengatakannya. Suaranya melengking dan parau. "Lo
jahat!! Lo ninggalin gw!!!"
Lalu dia mulai memukul-mukul tubuh gw dengan kedua tangannya. Gw sadar saat itu dia lagi nggak
becanda. Gelas teh yg tersenggol gerakan tangannya jatuh dan pecah berkeping-keping tiga lantai di
bawah. Sambil meneriakkan kalimat yg tadi Meva terus memukul gw dengan brutal. Nggak begitu besar
memang power nya, tapi gw yakin kalau gw lengah gw bisa bernasib sama dengan gelas tadi.
Gw langsung melompat dan menjejakkan kaki di atas keramik kuning sambil berusaha menepis kedua
tangan Meva yg bergerak memburu. Gw panik dan bingung dengan perubahan sikapnya yg tiba-tiba ini.
"Lo ninggalin gw!!" begitu teriaknya berulang-ulang diselingi isak tangis yg memilukan.
"Denger gw dulu Vaa..." masih berusaha menghalau tanpa menyerang balik.
"Apa yg harus gw dengerin!!! Lo jahat Ri!! Lo jahat!!!!"
Sebuah pukulan mendarat telak di wajah gw. Gw nggak menghindar. Yg gw lakukan adalah mencari
celah saat kedua tangannya berayun dan saat itulah gw bergerak memeluknya. Ini salah satu cara untuk
menghilangkan kesempatannya memukul gw karena jarak pukul yg lenyap. Kedua tangannya cuma bisa
memukul punggung gw pelan.
"Gw nggak kemana-mana Va..." bisik gw di telinganya. "Gw ada di sini buat elo. Gw tetep di sini. Okay?"
Pukulan di punggung gw makin melemah hingga akhirnya benar-benar berhenti.
"Dengerin gw, gw nggak akan ninggalin lo. Gw tetep di sini," gw memberikan sugesti yg meyakinkannya.
Meva sudah berhenti berteriak. Kini berganti dengan suara isakannya yg dalam. Gw bisa merasakan
airmatanya membasahi bahu kiri gw. Masih sedikit bergerak memberontak, gw memeluknya makin erat.
"Lo tenang aja, gw akan nemenin lo......" gw seperti seorang ayah yg menenangkan anaknya yg menangis
minta jajan. Meva makin jadi menangis. Kedua bahunya bergetar mengguncang tubuh gw. Suara isak nya menelisik
ke dalam telinga gw. "Gw nggak kemana-mana Va..." gw usapi punggungnya sambil gw belai rambutnya yg panjang.
Selama beberapa saat itu terus terjadi. Meva belum mau bicara. Dia masih larut dalam tangisnya. Mau
nggak mau gw juga terenyuh. Gw memang belum terlalu hebat buat benar-benar merasakan
kesedihannya, tapi minimal gw tau apa yg dirasakannya saat ini. Gw mengerti kenapa reaksinya tadi
begitu frontal. "Maafin gw R..i...i......." ucap Meva tertahan. Entah sudah berapa lama dia menangis.
"Enggak papa," jawab gw. "Harusnya gw yg minta maaf. Gw nggak akan kemana-mana. Gw janji hari ini
gw akan nemenin Natal loe. Boleh?"
Meva menganggukkan kepala.
"Boleh banget," katanya masih diiringi tangisan yg dalam.
"Udah..jangan nangis lagi yaa....kan gw ada di sini" Hari ini akan jadi Natal istimewa buat loe....."
"Makasih Ri......."
"...................."
Meva merangkulkan kedua tangannya di punggung gw. Masih sedikit terisak, dia menyandarkan
kepalanya di leher gw. Kami terdiam dalam pelukan.
Hemmmpph..ini momen Natal yg nggak akan gw lupakan....
Part 38 "Gimana Ri, udah beres?" tanya Meva begitu gw selesai menelepon.
"Udah. Mereka akhirnya setuju gw ambil penerbangan besok," kata gw duduk di sebelahnya.
"Nah, barang-barang lo gimana" Kan udah masuk bagasi?"


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak papa. Barang gw ikut sama pesawat yg terbang sekarang. Ntar besok gw ambil langsung begitu
sampe di bandara." Meva menatap gw simpati. "Maaf ya gara-gara gw..."
"Ssst..udah ngga usah dibahas. Emang gw nya yg mau kok. Lagipula skali-kali nemenin lo di hari spesial lo
boleh lah. Tapi sorry yah gw cuma bisa hari ini aja, gw udah janji sama keluarga di rumah soalnya."
Meva nyengir senang. "Enggak papa kok, itu udah lebih dari cukup. Udah enam tahun ini gw selalu merasa tiap Natal cuma jadi
hari biasa yg akan berlalu seperti biasanya. Tapi hari ini jadi hari istimewa lagi..." dia menatap gw malu.
"Emh, bukan Natal nya yg bikin istimewa. Tapi loe yg bikin 'hari biasa' ini jadi istimewa."
Gw tertawa pelan. "Ya udah sekarang lo siap-siap gieh," kata gw.
"Oke," tangan kanan Meva diangkat membentuk gesture hormat pada upacara bendera lalu bergegas
masuk kamar. Kelihatannya dia gembira sekali. Sore ini gw setuju untuk menemani Meva ke salahsatu gereja di
Peseurjaya, kalo ngga salah. Dia akan mengikuti apa ya namanya...misa Natal" CMIIW Dan dia sedang
bersiap-siap untuk itu. Huft..gw gagal mudik lagi hari ini. Entah kadang gw ngga habis pikir, kok gw mau ya menukar waktu gw
ketemu keluarga dengan nemenin cewe berkaos kaki hitam itu" Ah, udahlah. Gw yakin Meva akan
melakukan sesuatu yg bodoh kalo hari ini tetap dilaluinya seperti tahun-tahun yg lalu. Seenggaknya gw
sudah mencegah hal itu terjadi.
Sepuluh menit kemudian Meva sudah selesai dan kami pun berangkat menuju tempat yg disepakati.
Sampai di sana Meva masuk sementara gw cukup duduk menunggu di warung kecil seberang gereja.
Sambil ngemil gw sms an sama Indra. Dari sms nya gw tau ternyata Indra lagi asyik menghabiskan libur
pendek ini bareng ceweknya di Dufan.
Cukup lama gw menunggu. Meva baru muncul ketika matahari sudah benar-benar lenyap dan hari
berganti malam. Waktu itu sekitar jam tujuh.
"Maaf ya..lama nunggunya.." kata Meva.
"No problem. Gw seneng kok bisa nemenin lo."
Meva tersenyum lebar. "Lo baik banget Ri," ucapnya.
"Oiya" Wah kalo gitu gw nemenin lo terus deh biar dibilang baik. Hehehe.."
Suara tawa Meva yg renyah merayap masuk ke telinga gw.
"Balik sekarang?" tanya gw.
Meva berpikir sebentar. "Gimana kalo jalan-jalan aja dulu?" usulnya.
"Kemana?" "Ke tempat yg waktu itu...Karang Pawitan. Gimana?"
"Boleh juga.." Yah gw pikir boleh lah untuk sedikit merefresh pikiran. Sebenernya gw ngantuk banget,
tadi siang juga cuma bisa tidur dua jam. Entah kenapa hari ini insomnia akrab banget sama gw.
Dan dengan mata yg nyaris redup gw dan Meva sampai di alun-alun Karang Pawitan. Duduk di salahsatu
bangku semen di bawah beringin besar, dari sini terlihat keramaian para pengunjung. Kebanyakan
mereka sama seperti gw dan Meva, duduk-duduk ngobrol menikmati malam yg cerah sambil ngemil
atau melihat koleksi binatang di kandang yg jumlahnya nggak mencapai angka sepuluh.
"Nih," Meva menyodorkan kaleng minuman bersoda buat gw.
Lumayan lah minuman ini bikin mata gw sedikit terbuka. Seenggaknya buat sepuluh menit pertama, gw
masih bisa melihat sekitar gw dengan jelas. Selanjutnya gw kembali bertarung melawan kantuk yg
menyergap. "Lo ngantuk Ri" Gw ajak ngobrol diem aja," suara Meva mengejutkan gw.
"Eh, ng... Enggak kok. Di sini adem soalnya, jadi kebawa suasana. Pengennya tidur aja."
"Kalo pengen tidur ya udah kita balik aja yukk?"
"Bentar deh, kita di sini aja dulu. Baru dateng masa langsung pergi?" Bukan apa-apa, gw merasa bahkan
buat jalan pun gw udah sempoyongan.
"Lo laper nggak" Kita makan yukk" Gw yg traktir deh."
"Makasih, tapi gw belum laperr... Mending beli minuman kayak tadi lagi deh," kata gw dengan mata
setengah terpejam. Mana bisa gw makan sambil mimpi?" Ah, kalo bisa...gw pengen tidur sekarang
juga... Meva sudah kembali abis beli dua minuman kaleng. Langsung gw tenggak habis. Sensasi asamnya
berhasil sedikit membuka lagi mata gw.
Gw liat Meva lagi asyik memandang langit.
"Lagi liatin apaan lo Va?" tanya gw. Sial, minuman tadi cuma bereaksi satu menit.
"Bintang," jawabnya singkat.
"Bukannya itu matahari ya?"
"Haha.. Lo lucu deh, ngelawak aja. Jelas-jelas ini malem, nggak mungkin ada matahari."
Gw bukan ngelawak, tadi tuh salah ngomong. Saking ngantuknya..
"Va, gw boleh tiduran nggak?" akhirnya gw nyerah.
"Lo ngantuk" Ya udh tiduran aja, sini.." dia dengan halusnya menyandarkan kepala gw di pahanya.
Ah, akhirnya tiduran jg gw! Kayaknya udah berjam-jam tadi berdiri. Meva mengusap-usap rambut gw
pelan sambil bicara, entah apa yg dibicarakan, gw nggak denger gara-gara ngantuk.
Satu yg pasti, gw sangat menikmati momen ini... Ah, seandainya ini terjadi tiap hari.....hehehe, maunya
Dan entah sudah berapa lama sampai akhirnya gw bener-bener menyerah dan akhirnya tertidur di
pangkuannya... BERSAMBUNG Part 39 Malam itu gw terbangun setelah hampir dua jam terlelap di pangkuan Meva. Kami memutuskan pulang
dan sampai di kosan sekitar jam sebelas malam.
"Nah ini dia anaknya," seorang teman penghuni kamar bawah menyambut kedatangan gw. "Charger gw
mana" Hp gw udah berisik daritadi minta diisi batere nya."
"Oh iya gw lupa kembaliin," gw menepuk jidat. "Lo tunggu aja di sini. Gw ambil dulu di atas."
Temen gw mengangguk lalu kembali ke kamarnya. Gw dan Meva melanjutkan ke kamar atas, lalu gw
turun mengembalikan charger punya temen gw dan kembali lagi ke kamar Meva.
"Sorry ya Va, gw nginep lagi di kamer lo malem ini," kata gw.
"Enggak papa nyantai aja lah," Meva sedang menulis sesuatu di sebuah buku kecil warna kuning.
Padahal kamar ini cukup gelap buat nulis, karna masih mengandalkan lilin sebagai pencahayaan.
"Lagi nulis apa sih?"
Meva menghentikan sejenak aktivitasnya, menatap gw lalu tersenyum.
"Ini diary gw," katanya kemudian melanjutkan menulis.
"Ooh.." gw cuma mengangguk sebagai tanda mengerti.
Gw nggak pernah tertarik membaca diary, apalagi menulis kejadian di hidup gw di dalamnya. Yg cocok
kayak gitu emang cewek. Karena gw malu aja sama diri gw sendiri kalo suatu hari gw baca lagi riwayat
hidup gw, rasanya gimana gitu.
"Apa yg lo tulis?" tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulut gw.
Meva diam sebentar. "Tentang hari ini pastinya," jawab Meva dengan ekspresi bahagia. Belum pernah gw melihat ekspresi
kegembiraan yg seperti ini darinya. "Ini akan jadi Natal terbaik di hidup gw."
"Oiya" Meskipun tanpa kado" Maaf, biasanya kan kalian bertukar kado kalo Natal" Yah, seenggaknya itu
yg gw liat di film-film.."
"Emang mau tukeran kado sama siapa?" Meva balik tanya.
Ah, iya. Pertanyaan jenius tuh! Gw nyengir malu dengan pertanyaan bodoh gw tadi.
"Buat gw, Natal nggak mesti diliat dari sebanyak apa kado yg gw dapet. Lagian itu mah kebiasaan waktu
kecil," Meva tertawa sendiri, mengingat masa kecilnya mungkin. "Yg penting buat gw adalah gimana gw
memaknai hari ini, sebagai hari yg istimewa. Dan setelah bertahun-tahun, akhirnya gw nemuin feel itu.
Hari ini, gw bisa ngerasain hangatnya kebersamaan Natal. Kan emang itu makna sebenernya dari Natal"
Supaya orang-orang bisa saling mengasihi dan mengorbankan sebagian yg dipunyai demi orang lain yg
membutuhkan. Seperti yg udah ditunjukkan Messiah kami.."
Meva seperti tersentak kaget. Lalu buru-buru mengklarifikasi.
"Maaf, maaf...gw ngga ada maksud apa-apa. Semoga lo nggak tersinggung sama yg gw omongin
barusan," wajahnya merona merah, terlihat jelas tertimpa cahaya lilin yg malam ini nggak bergerak
sedikitpun. "Enggak papa kok, apa salahnya ngomong kayak tadi?" gw tersenyum.
Meva menarik napas lega. "Ngomong-ngomong, kok kalender loe banyak coretannya sih?" gw menunjuk kalender meja yg
tergeletak di sisi kasur. Kalender yg banyak bulatan-bulatan hitam di angka tanggalnya, dan beberapa
coretan di bawah tiap kolom bulan.
"Oh itu... Gw emang biasa nentuin cita-cita gw di kalender."
Gw kernyitkan dahi. "Maksudnya gini loh," Meva menjelaskan. "Tiap planning yg gw punya, gw tulis di kalender. Misalnya gw
pengen beli sepatu baru, gw tentuin deh tanggal berapa gw harus udah punya sepatu itu. Jadi, mulai
hari ini gw sisihkan duit gw biar pas tanggalnya nanti bisa kebeli tuh sepatu."
Gw mendengarkan penuh minat.
"Gitu juga sama kuliah gw," lanjutnya. "Gw tentuin tanggal berapa gw udah harus selesaikan tugas-tugas
gw. Bahkan gw udah nentuin cita-cita gw tiga tahun ke depan. Liat nih."
Meva membuka diary nya dan menunjukkan halaman bertuliskan "Agustus 2004 - Wisuda".
"Pokoknya gw nggak mau kalo mesti ngulang taun terakhir gw kuliah," ucapnya semangat. Lalu dia
membalik semua halaman di buku dan menunjukkan halaman terakhir. Di sana ada deretan angka yg
ditulis dg ukuran besar, "2005". Dan di bawahnya ada satu kata, yg ditulis lebih kecil dari angka di
atasnya. "Menteri?" gw membaca kata itu penuh tanya.
"Iya, Menteri!" jawabnya masih semangat. "Masih inget kan soal pion catur yg bertransformasi jadi
Menteri, yg pernah lo bilang ke gw?"
Gw mengiyakan. "Gw udah tentuin, tahun pertama gw lulus kuliah, gw udah harus jadi 'Menteri'. Gw ngga mau
selamanya jadi pion yg selalu diremehkan. Gw yakin gw bisa!" Meva tersenyum senang.
Wouw...gw nggak nyangka Meva akan bener-bener menerapkan yg gw ucapkan waktu itu soal pion
catur. "Menurut gw," kata Meva lagi sementara gw tetap jadi pendengar yg baik. "Cita-cita adalah impian yg
bertanggal. Gw tinggal nyusun urutan langkah buat mencapai tanggal itu. Jadi, semakin gw menunda,
semakin tanggal itu terdorong menjauh. Dan semakin gw malas, semakin cita-cita itu jadi nggak berarti.
Gw nggak mau itu terjadi sama gw. Gw akan buktikan gw bisa ngejer deadline cita-cita yg udah gw
tentuin sendiri." Meva tersenyum puas dengan penjelasannya itu. Gw bisa melihat semangat yg berkobar dalam dirinya.
Malam ini lo udah melangkah satu petak ke depan Va. Masih ada beberapa petak lagi. Dan gw slalu
yakin lo pa sti bisa ke sana! Part 40 Semangat kerja yg meninggi di awal-awal pengangkatan gw jadi karyawan berimbas pada menurunnya
daya tahan tubuh gw. Berbulan-bulan hampir selalu pulang malam karena lembur, akhirnya gw mulai
jatuh sakit di awal Februari 2002. Tiap minggu nyaris selalu ada absensi gw yg kosong gara-gara sakit.
Demam, pusing, lemas dan gejala sakit lainnya. Bukan sakit yg parah memang, tapi gw suka kesel sendiri
tiap mual menyerang. Tiap detik rasanya pengen muntah. Untunglah Indra kenal dekat dengan dr. Yusuf,
dokter yg dulu memeriksa Meva di awal perjumpaan kami. Beberapa kali dokter muda itu menyambangi
kosan gw karena gw nggak sanggup keluar saking lemesnya. Hasilnya lumayan baik. Gw bisa menambal
absensi gw meski kadang-kadang juga gw paksakan berangkat meski dengan wajah pucat dan badan
lemas. Alhasil gw cuma 'numpang' tidur di klinik kantor.
"Gimana keadaan lo" Udah baikan?" Indra yg baru balik kerja masuk ke kamer gw.
"Yah udah rada mendingan lah," gw membuka selimut yg menutupi tubuh gw. Rasanya kamer gw mulai
berubah panas. "Nih gw beliin bubur buat lo. Makan dulu gieh." Indra menaruh bungkusan plastik di samping gw.
"Thanks dul.." "Eitts, pala gw sekarang ada rambutnya. Mau gw panjangin nih. Jadi jangan panggil gw dal-dul lagi,"
protesnya. Gw nyengir. "Lidah gw udah nempel nama itu, nggak bisa diubah," kata gw.
"Ah elu mah gitu. Ya udah gw mandi dulu yah. Cepet sembuh deh lo."
"Okay." Lalu Indra kembali ke kamarnya. Gw bangkit duduk, dan mendadak kepala gw terasa berputar-putar
selama beberapa detik. Susah payah akhirnya gw bisa menyantap bubur ayam dari Indra. Rasanya aneh
memang (lidah gw mati rasa) tapi gw paksakan menghabiskan semangkuk bubur itu, karena memang
cuma itu yg bisa gw makan.
"Hay Ri, gimana kabar lo?" Meva muncul di depan pintu. Masih dengan tas punggungnya tanda dia baru
balik dari kampus. "Kayak yg dua tahun nggak ketemu aja," jawab gw.
"Kan elo lagi sakit" Wajar lah gw tanya gitu," Meva menaruh tas nya di kasur dan duduk di lantai.
"Nah itu udah tau gw sakit" Ngapain nanya?"
"Ah, elo!! Perhatian dikit nggak boleh ya?" Meva ngambek.
"Nggak boleh." kata gw lagi. "Ngapain perhatiannya dikit" Yg banyak kek."
Meva mencibir. "Ini nih, ngapain sih tas lo ditaroh di sini" Gw nggak bisa tidur nih." Gw melempar tasnya ke lantai.
"Yeeee kasar amat lo?" Meva langsung mengambil tasnya.
Gw rebahan di kasur. Ah, rasanya nyaman sekali. Tapi entah kenapa kamar ini seperti menyempit.
"Lo udah minum obat?" tanya Meva.
"Udah." "Makan?" "Udah." "Mandi?" "Mana bisa gw mandi?" gw mendelik. "Lo mau mandiin gw?"
"Yeeey malah ngarep! Ogah gw."
"Hehehe.. Masih panas badan gw, belum kuat mandi."
"Pake air anget lah?"
"Hadeuh...air anget dari mana" Kompor aja ngga ada."
"Ya udah ngga usah mandi."
Giliran gw yg mencibir sementara Meva nyengir bodoh.
Ini adalah hari ke dua gw absen kerja. Kemarin pagi pas bangun tidur gw mendadak demam. Lumayan
panas, tapi hari ini sudah lebih baik dari kemarin.
"Muka lo pucat banget Ri," Meva mengamati wajah gw lekat.
"Namanya juga orang sakit Vaa..." gw menanggapi.
"Masih panas lagi," dia menyentuh leher gw dengan punggung tangannya.
"Namanya juga orang sakit Vaa.."
"Gw kompres yah?"
Meva bergegas ke kamarnya dan kembali dengan sebuah handuk kecil basah di dalam baskom kecil.
Handuk itu dipasangkan di kening gw.
"Liat aja, ntar malem pasti udah adem lagi badan loe."
"Kalo belum adem?"
"Gw taro lo ke dalem kulkas. Pasti dingin."
"Iya laah! Namanya juga kulkas! Lo bukan nyembuhin, tapi matiin gw itu mah!"
"Sssst...orang sakit nggak boleh ngotot gitu," dia menempelkan telunjuknya di mulut gw.
"Tangan lo wangi banget?" tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibir gw. Yg kemudian buru-buru gw
tambahkan. "Abis makan belum cuci tangan ya?"
"Enak aja, gw kalo makan pake sendok."
Gantian gw yg nyengir bego.
"Eh mata lo sembab banget tuh..." Meva mengamati kedua mata gw. Wajahnya sudah sangat dekat
dengan wajah gw. "Ehem.. Jujur aja, gw nggak begitu nyaman. Bisa kan lo liatnya dari jauh aja?"
Bukan apa-apa, tau sendiri lah namanya orang sakit. Nggak mandi dari kemaren, pasti bau banget nih
gw! Malu sama Meva yg wangi. Hehehe..
"Emang napa" Lo grogi yah?" ujar Meva tetap pada posisinya. Dia lalu tertawa kecil.
Dia nggak tau apa pura-pura nggak tau sih?" Gw pegang kedua pipinya, bermaksud mendorongnya
menjauh, ketika Indra tertegun di depan pintu.
"Sorry gw ganggu yah?" dia cengar-cengir penuh maksud.
Meva langsung berdiri, berusaha menguasai diri walau gw tahu dia salting, lalu mendehem pelan.
"Nah udah ada Indra. Gantian deh, gw mau mandi. Daah.." lalu bergegas keluar.
Indra melirik gw dengan tatapan penuh arti.
Kisah Si Rase Terbang 17 Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi Pusaka Jarum Surga 2
^