Pencarian

Reborn Sepasang Kaos 1

Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting Bagian 1


REBORN Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting a.k.a Pujangga Lama
di-Reborn oleh UserID: 1139181 Thread Address
PDF oleh Himbol Sambutan Dari Thread Starter
salam kenal semua, dan salam hormat buat para sesepuh penunggu forum paling galau sejagat
kaskus ijinkan gw mereborn salahsatu kisah fenomenal yg pernah booming di SFTH dua tahun yg lalu.
cerita terbaik edisi 2011. ditulis oleh om ari aka pujangga.lama
thread aslinya udah tenggelam di old kaskus. kalaupun bisa diakses, kita kudu buka page per
page nya, karena indexnya masih menggunakan link kaskus yg lama. repot kan"
nah, karena itulah gw bermaksud mereborn cerita yg nggak pernah bosen buat dibaca
berulang-ulang ini! percaya deh, gw sendiri udah 10 kali baca cerita ini dan rasanya tetep touch
banget! buat yg juga pernah baca, siapin diri kalian buat bernostalgia sama wanita berkaoskaki hitam
dan pion caturnya. buat yg baru banget tau cerita ini, silakan disimak dan diresapi ya. nggak
akan nyesel deh dijamin oiya kalo ada yg tanya gw udah dapet ijin atau belum dari penulis aslinya buat bikin reborn ini,
jawabannya definitely udah. bisa dicek di timeline twitternya om ari >> @pudjanggalama
(kalo perlu nanti gw kasih screenshoot conversation-nya)
yaudah deh nggak perlu panjang lebar basa-basi lagi, kita mulai aja di next post.
happy reading SK2H Lovers
and PART 1 Akhir bulan September 2000...
Gue lulusan SMA tahun 1997 dan memutuskan meneruskan kuliah sampai berhasil mendapatkan ijazah
Diploma 3 yg gue selesaikan hanya dalam waktu dua setengah tahun di sebuah fakultas di kota kelahiran
gue. dan berbekal ijazah itu gue coba mengirim lamaran ke beberapa perusahaan di ibukota karena gue pikir
perusahaan di kota tempat gue tinggal nggak begitu menjanjikan. makanya gue pilih ke luar kota, siapa
tau peruntungan gue memang di sana. namun berbulan-bulan gue tunggu tetapi belum juga ada
jawaban dari lamaran gue.
sudah hampir genap satu tahun gue menganggur di rumah membebani orangtua. dan pada pertengahan
Agustus tahun 2000 gue mendapatkan sebuah surat panggilan dari sebuah perusahaan produsen alatalat elektronik di Karawang. gue sendiri heran karena seingat gue, gue hanya mengirim lamaran ke
perusahaan di Jakarta dan Bandung. tapi namanya pengangguran, gue ambil aja kesempatan ini.
dan berangkatlah gue ke Karawang...
di Karawang gue nggak punya kenalan siapa-siapa. maka gue keliling di sekitar perumahan yg letaknya
dekat ke kawasan industri biar lebih dekat dengan kantor. selama tes berlangsung gue numpang tidur di
sebuah mesjid. untungnya tes nya cuma tiga hari. setelah ada keputusan gue diterima kerja magang, gue
putuskan mencari kosan. dengan bantuan tukang ojek yg gue kenal sewaktu ngobrol-ngobrol di mesjid,
gue akhirnya menemukan sebuah kontrakan di daerah Perumahan Teluk Jambe.
kontrakan itu lumayan laris. dua lantai di bawah sudah terisi penuh dan hanya ada sisa satu kamar di
lantai tiga. "tinggal yang ini Mas," kata Pak Haji pemilik kosan menunjuk pintu sebuah kamar di ujung koridor..
gue memandang berkeliling sementara Pak Haji membukakan pintu untuk gue melihat-lihat kamarnya.
di lantai atas ini cuma ada enam kamar. masing-masing kamar sudah dilengkapi dengan fasilitas kamar
mandi di dalamnya. dengan harga sewa seratus ribu rupiah per bulan, gue terima dan mulai hari itu gue
resmi jadi penghuni kamar nomor 23. kamar-kamar di sini terpisah koridor selebar kurang lebih dua
meter. tiap sisi ada tiga kamar yg saling berseberangan. gue sendiri merasa cukup beruntung karena
mendapat kamar yg posisinya paling ujung. kamar gue dan kamar di depan disambung oleh sebuah
tembok pendek berukuran setengah meter sebagai pembatas.
besok gue sudah mulai kerja, maka hari ini juga gue berbenah kamar. menyapu dan mengepel serta
membersihkan dinding dari sarang laba-laba yang menempel. nampaknya kamar ini sudah lama tidak
ditempati. dan sesi bersih-bersih itu selesai pukul setengah lima sore. gue sedang duduk di kursi kecil
depan kamar saat kamar sebelah gue mulai menyetel lagu dengan volume kencang. beginilah nasib anak
kos baru, cuma bisa jadi pendengar setia.
setelah capek bersih-bersih dan menyempatkan mendengar tiga buah lagu yg disetel kamar sebelah, gue
turun keluar mencari warung makan. limabelas menit kemudian gue sudah berjalan di tangga menuju
kamar gue dengan sekantong nasi bungkus di tangan. anak-anak kamar sebelah gue nampaknya masih
asyik tidur di kamar mereka, karena gue tau rata-rata penghuni kosan ini adalah karyawan yg bekerja di
kawasan industri. hanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue
sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang
dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung dan berperawakan lumayan tinggi. saat itu
dia mengenakan sebuah celana jeans pendek se paha, tapi yg menarik perhatian gue adalah kaos kaki yg
dipakainya itu. kaos kaki panjang sampai menutupi lutut. Karawang adalah kota yg panas, maka gue
sendiri aneh melihatnya memakai kaos kaki yg begitu panjang.
"sore Mbak," sebagai "anak baru" gue memberanikan diri menyapa supaya dinilai sopan.
diam. wanita itu bergeming. jangankan membalas sapaan gue, mengangkat kepalanya pun tidak.
"selamat sore Mbak..." kali ini gue coba keraskan suara.
dia tetap diam. "sialan," omel gue dalam hati. maka gue putuskan langsung masuk ke kamar dan menyantap nasi
bungkus gue. nggak ada yg spesial di hari pertama gue di kosan. kecuali momen mati lampu pada jam delapan malam,
gue memutuskan segera beranjak tidur karena besok pagi gue tidak boleh terlambat datang ke kantor.
gue cukup senang listrik mati, karena itu artinya gue bisa dengan tenang tidur. kamar sebelah gue
mendadak menjadi "bisu".
entah sudah jam berapa saat itu, dalam kondisi kantuk yg mulai menjalari mata, samar-samar gue
seperti mendengar sebuah suara. asalnya dari luar, entah dari sebelah mana. sebuah suara isak tangis
seorang wanita, gue yakin. isakan kesedihan yg dalam.
bulu kuduk gue merinding. pikiran gue mulai membayangkan kelebatan-kelebatan sosok yg bahkan
nggak pernah gue tau keberadaannya. gue menaikkan selimut sampai menutup kepala. suara itu hilang.
gue diam memasang telinga berusaha menangkap suara-suara lagi. tapi tidak ada suara apa pun.
beberapa menit gue masih terjaga memastikan. tetap sunyi. hanya suara degup jantung di dada gue
yang terdengar mengalun berkejaran dengan suara detik jam di dinding....
PART 2 Esok paginya gue terbangun dengan kepala pening. agaknya gue salah posisi tidur semalam. gue lihat
jam setengah enam pagi. buru-buru gue mandi, gue harus sudah di kantor jam tujuh meski jam masuk
adalah jam setengah delapan. hari pertama ini gue harus memberikan kesan yg baik kepada atasan gue.
selesai mandi gue bergegas mencari sarapan. pagi begini ada penjual nasi uduk "dadakan" di depan kos
jadi gue nggak perlu repot-repot nyari sarapan. seperti yg sudah gue bilang, penghuni kontrakan ini
kebanyakan karyawan pabrik. lapak nasi uduk ini sudah dipenuhi antrian mereka yg hendak berangkat
shif pagi. gue berdiri di belakang antrian. dari sini gue bisa melihat pintu kamar gue di atas. dan di tembok
pembatas itu, gue melihat dia. wanita yg kemarin gue temui di depan pintu kamarnya. dia sedang
memandang kosong seperti kemarin. dan saat gue perhatikan ekspresi hampa nya, gue jadi teringat
suara tangisan yg gue dengar semalam.
apa mungkin tangisan itu adalah suara dia" kalau dilihat dari sikapnya, kemungkinan besar memang
benar. wanita berkaos kaki hitam, begitu gue memanggilnya mulai hari ini.
dan pagi itu pun gue memulai hari pertama gue kerja, atau lebih tepatnya disebut magang. setelah
lewat masa magang selama 1 tahun, gue akan dipromosikan sebagai staff di bagian General Affair sesuai
fresh graduate gue. suasana kantor cukup menyenangkan dan bersahabat. meski sangat terkesan kikuk,
gue mencoba secepat mungkin beradaptasi dengan lingkungan kerja yg baru ini.
karena ini hari pertama, gue cuma diberi tugas ringan. mengecek data kelengkapan barang keperluan
karyawan dan beberapa tugas ringan lainnya. gue lebih banyak nganggur. nganggur bikin gue bengong.
dan orang bengong pasti melamun.
maka mulai melintas pertanyaan-pertanyaan aneh di benak gue. tentang wanita berkaos kaki hitam itu.
apa yg selalu dilamunkan oleh dia" apa dia menderita depresi berkepanjangan" karena gue lihat nggak
ada sedikitpun ekspresi ceria di wajahnya. dan lambat laun otak gue mulai dipenuhi bayangan-bayangan
wanita itu. gue mesti cari tahu. dan sorenya sepulang kerja gue beranikan diri berkenalan dengan penghuni kamar
sebelah gue yg selalu "berisik". sore itu dia menyetel lagu band yg sedang naik daun saat itu.
"kerja dimana Mas?" Indra, nama laki-laki itu. kami mengobrol di teras kamarnya.
"di SH**P," jawab gue.
"udah lama?" "baru kemaren kok. semalem baru gue tidur di sini."
Indra mengangguk. dan kami mulai larut dalam obrolan ringan. setelah gue rasa cukup akrab sebagai
orang baru, gue beranikan diri bertanya tentang 'dia'.
"oh iya Ndra, lo tau nggak cewek penghuni kamer depan gue?"
"emang ada ya yg nempatin kamer itu?" dia malah balik tanya.
"lah..kemaren gue liat kok. cewek yg pake kaos kaki item panjang itu?"
"lo liat setan kali?" Indra tertawa lebar. "hahaha.. sorry cuy. gue nggak hafal soalnya balik gawe gue
'ngebo' di kamer. keluar kalo nyari makan doang, abis itu molor lagi. sama kamer sebelah juga gue nggak
kenal. cuma sama lo aja. itu juga lo nya yg ngajak kenalan duluan.."
gue menggaruk kepala yg sebenernya nggak gatal. rupanya gue salah pilih informan. dan rasa penasaran
gue semakin membubung dalam dada. gue sengaja membuka sedikit gorden jendela kamar gue supaya
bisa mengintip keluar kalau-kalau wanita itu menampakkan dirinya. gue ingin sekali melihat dengan jelas
wajahnya tanpa tertutup rambut.
berjam-jam gue duduk di samping jendela yg kacanya rendah ini. tapi pintu kamar di depan gue tidak
bergerak se inchi pun. entah berapa lama gue duduk dalam diam mengawasi dengan saksama.
tapi nampaknya malam ini misi gue nggak membuahkan hasil. gue malah tertidur di samping jendela
dan bangun keesokan paginya dengan kepala lebih sakit......
Part 3 minggu pertama gue lalui tanpa kejadian aneh seperti malam pertama. rentang waktu ini gue gunakan
untuk mengenal orang-orang di sekitar gue. selain Indra yg sekarang sudah jadi teman dekat gue, dua
kamar lain dihuni karyawan sebuah perusahaan pabrikan mobil ternama. mereka terlalu sibuk dengan
jam lemburnya jadi gue nggak begitu sering bertatap muka. sementara satu lagi kamar ditempati
sepasang suami istri yg sama-sama berkarir sebagai karyawan swasta.
gue sekarang sudah akrab dengan Indra. hampir tiap malam gue numpang nonton tivi di kamarnya
karena dengan bekal yg gue bawa dari kampung nggak mencukupi untuk membeli barang-barang
kebutuhan sekunder. yg penting bulan pertama ini gue punya tempat untuk tidur dan mandi dulu.
kebutuhan lainnya akan gue pikirkan nanti.
gue berhasil membuat Indra "tobat" dari kebiasaannya menyetel lagu menggunakan speaker aktif
dengan volume berlebihan. gue menyarankan dia untuk memakai headset dan sekarang dia jadi maniak
headset kalau balik kerja. dan sekarang lantai atas sudah sepi dari kegaduhan.
satu bulan berlalu sejak kejadian malam pertama, dan anehnya satu bulan ini gue nggak pernah
sekalipun bertemu lagi dengan 'wanita berkaos kaki hitam'. berkali-kali saat hari libur gue tongkrongin
depan kamarnya sambil main gitar milik Indra. gue yakin kalau kamar ini memang berpenghuni,
orangnya pasti akan keluar. tapi nyatanya gue nggak mendapatkan hasil apapun. kamar ini seolah
ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. entah sudah berapa lama dia nggak balik ke kamarnya.
kadang gue coba beranikan diri mengintip ke dalam lewat celah di jendela. tapi kaca jendela tertutup
rapat kertas koran yg ditempel dari dalam.
dan karena nggak juga membuahkan hasil, minggu ketiga dan keempat gue nggak lagi begitu tertarik
dengan 'wanita berkaos kaki hitam'. gue nggak lagi mengintip dari balik jendela ataupun nongkrongin
kamarnya. aktifitas gue kembali normal seolah tanpa terjadi sesuatu apapun. dan meski Indra masih
menganggap yg gue lihat waktu pertama di sini adalah penampakan hantu, gue nggak begitu
menakutkannya. satu bulan pertama berhasil gue lalui dengan baik. karena gue mulai masuk job training pada
pertengahan menjelang akhir September, gue baru menerima gaji pertama di akhir bulan berikutnya.
setelah mengambil uang secukupnya dari ATM gue balik ke kosan membawa beberapa makanan dari
mini market. sekali-kali gue traktir si Indra makan-makan karena selama satu bulan ini gue memang
sering ditraktir olehnya dan gue juga sempat pinjam uang ke Indra karena bekal gue habis. maka gajian
ini gue lunasi hutang gue. hehehe..
kamar Indra masih tertutup pagi itu. semalam dia masuk shif malam. gue putuskan menunda dulu acara
makannya sampai dia bangun. lalu gue duduk di kursi depan kamar gue sambil main gitar nggak jelas
sesuka hati. gue sudah nggak begitu penasaran lagi dengan penghuni kamar depan gue karena lelah dengan
pengintaian tanpa hasil. gue mulai berpikir untuk menerima argumen Indra bahwa yg gue lihat waktu itu
adalah penampakan hantu. maka alangkah terkejutnya gue pagi itu ketika dari bawah terdengar suara
kaki menapaki anak tangga menuju lantai atas dan yg muncul kemudian adalah dia !! wanita berkaos
kaki hitam itu !! mata gue langsung terpaku menatap sosok yg berjalan menuju kamarnya. dan sama seperti yg gue lihat
waktu pertama kali, dia kali ini juga memakai kaos kaki hitam panjang. saat itu dia memakai kaos oblong
putih dan rok pendek selutut. rambutnya diikat ke belakang. gue berhasil melihat wajah wanita itu
secara utuh ! bahagianya gue...
dan jantung gue tiba-tiba berdegup sangat kencang ketika wanita itu menoleh dan tersenyum ke arah
gue. gue balas senyumannya dengan cengiran culun.
"anak baru yah?" dia bertanya sambil tangannya membuka kunci pintu kamarnya. nada suaranya
terdengar sangat ramah dan bersahabat.
gue mengangguk. dan dia tersenyum lagi sebelum akhirnya masuk ke kamar lalu menutup lagi pintunya.
secara refleks gue bergegas ke kamar Indra mengetuk pintunya dengan keras.
"Dul, bangun Dul.." teriak gue sambil tangan gue tetap menggedor pintu. beberapa lama nggak ada
jawaban sampai akhirnya kepala Indra yg gundul plontos itu muncul dari balik pintu yg terbuka.
mukanya kusut dan berminyak.
"apaan sih ganggu orang tidur aja"!" Indra menggerutu.
"cewek itu Ndul," kata gue bersemangat.
"cewek mana?"" Indra kesal.
"cewek depan kamar gue ! dia barusan dateng tuh, ada di kamernya !!"
"terus apa hubungannya sama gue?"
"gue mau buktiin kalo dia bukan hantu. gue mau lo ketemu langsung sama orangnya !"
"busyet..gue baru tidur satu jam udah maen bangunin aja buat yg nggak jelas!"
"lo tadi tidur jam tujuh, sekarang jam sembilan. berarti lo tidur dua jam."
"iya..beda dikit!" lalu Indra menutup pintu lagi dan terdengar suara gerendel yg dikunci dari dalam.
beberapa kali gue panggil lagi tapi dia enggan menjawab. gue berdiri terpaku menatap pintu kamar di
depan gue. gue yakin hari ini semua pertanyaan gue akan terjawab...
Part 4 ada semacam rasa senang saat memandang wanita itu tersenyum. love at the first sight atau entah
apapun itu namanya, gue seperti terkena addict. gue ingin melihatnya tersenyum lagi. ekspresi tenang
dan menyenangkan yg gue lihat pagi ini benar-benar berbeda dari yg pertama gue temui dia tengah
murung dan melamun. entahlah, apa sekarang beban pikirannya sudah hilang" apa masalah yg
menghantuinya sudah benar-benar bisa diatasi"
gue nggak peduli itu. yg gue pedulikan adalah gimana caranya gue bisa ngeliat dia senyum lagi ke gue.
dua jam sudah gue duduk mengamati kamarnya tanpa bergeser se inchi pun dari posisi gue. sambil
menikmati makanan yg akhirnya gue habiskan sendiri, gue menunggu dia membuka pintu dan
menampakkan diri. saat itulah nanti gue akan coba berkenalan atau sekedar say hayy.
lampu dalam kamarnya masih menyala. saking konsentrasinya gue sampai nggak menyadari kehadiran
Indra di depan pintu kamar gue.
"ngapain lo Ri bengong gitu?" kata Indra sambil kucek-kucek mata dan menguap lebar.
gue menoleh ke arahnya yg menatap gue heran.
"gue pengen buktiin ke elo," kata gue.
"bukti apaan?" sahutnya malas.
"tuh liat," gue menunjuk kamar wanita itu.
"apaan yg lo maksud?"
"tuh liat lampu kamer nya nyala. berarti ada orang di dalemnya kan?" gue mengamati ekspresi wajah
Indra. "mana" apanya yg nyala?"" katanya datar.
"itu lamp.........." gue terdiam saat menoleh ke depan dan mendapati lampu kamar di dalamnya mati.
keadaan di dalam sana gelap total. gue nggak percaya ini. gue kedipkan kedua mata gue berkali-kali,
berharapa pada kedipan ke sekian gue akan melihat lampunya menyala lagi dan gue akan bilang ke Indra
'tuh kan..' tapi lampu itu tetap mati.
"ckckck..." Indra geleng kepala. "lo beneran liat setan kali Ri!"
gue diam. gue tau posisi gue saat ini nggak menguntungkan untuk melakukan debat dengannya. gue
hanya heran, kenapa wanita ini sepertinya enggan menampakkan diri ke orang lain.
"ngapain lagi lo, Ri?" tanya Indra begitu melihat gue bergerak ke pintu kamar depan gue.
"permisi..." gue mengetuk pintu. gue tunggu beberapa detik, dan gue ulangi lagi ketukan saat nggak ada
sahutan dari dalam. "serah lo deh Ri. mau lo bilang cewek pake kaos kaki item, atau kaos kaki nya dipake cewek...lo kayaknya
butuh dukun," Indra berkomentar.
"dukun" buat apaan?"
"kali aja lo mau melahirkan." jawabnya asal. "gue bawa makanannya ya. thanks," lanjut Indra sambil
meraih kantong berisi makanan dari atas kursi lalu masuk lagi ke kamarnya.
gue diam memandang pintu kayu di hadapan gue saat ini. ingin sekali gue mendobraknya dan
memastikan wanita ada di baliknya. tapi rasa penasaran gue perlahan diselimuti rasa takut yg tiba-tiba.
"jangan-jangan emang hantu?"" batin gue dalam hati.
"Ndra..." gue berjalan ke kamar Indra. "utang gue berapa ke elo?"
Indra sedan nonton berita di tivi.
"pego. eh, emangnya lo udah ada buat bayarnya?"
"ada dong. kemaren gue gajian," gue mengambil dompet lalu memberikan sejumlah uang yg dimaksud
ke Indra. "thanks ya. laen kali gue nganjuk lagi ke elo. hehehe..."
Indra hanya menggerutu pelan.
"eh, ada temen gue mau kenalan sama elo Ri." kata Indra.
"temen" siapa" cewek apa cowok?"
"cewek. cakep lagi," Indra mengacungkan jempol tangannya.
"serius lo?"

Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indra mengangguk mantap. "kok bisa, mau kenalan sama gue?" tanya gue heran.
"temen gue namanya Desi, biasa pada manggil Echi. temen sekolah dulu sih, ketemu lagi di sini. doi lagi
patah hati ditinggal kimpoi mantannya, jadi ya butuh temen ngobrol gitu. tapi inget, jangan macemmacem lo. jangan di apa-apa in deh."
"busett...kayak gue penjahat kelamin aja," sahut gue. "lagian kan udah ada elo" kenapa nggak sama lo
aja ngobrolnya?" "kan gue sama dia udah kenal" ya sama temen sekolah gimana sih rasanya" gue pikir sama lo bakal
nyambung deh." "ya udah bawa sini aja anaknya."
"beneran" entar malem gue suruh ke sini deh."
gue mengangguk setuju lalu beranjak pergi.
"eh eh...mau ke mana lo?"
"tidur," jawab gue singkat.
"inget lho pesen gue tadi!"
"iyaa bawel lo!"
gue masuk ke kamar. sepintas gue pandangi pintu kamar di seberang gue. tertutup rapat dan gelap di
dalamnya. mungkin tadi memang benar-benar hantu" atau gue yg berhalusinasi" entahlah, yg pasti saat
ini gue butuh yg namanya tidur...
Part 5 malam minggu itu Indra benar-benar membuktikan ucapannya. sekitar jam setengah delapan malam dia
muncul di atas tangga bersama seorang wanita yg baru gue lihat. mereka berjalan ke arah gue yg sedang
duduk di atas tembok beranda pembatas kamar.
"Chi, ini dia cowok yg gue ceritain ke lo." Indra menunjuk gue. "Ri, kenalin nih Echi."
kami berjabat tangan. "salam kenal ya," kata Echi seraya tersenyum.
Echi bertubuh pendek, tingginya sekitar di telinga gue kalau kami sama-sama berdiri. kulitnya putih dan
berambut panjang sebahu. sebenarnya gue yakin wajahnya manis, tapi agaknya dia sedikit over dengan
make up yg dipolesnya di wajah.
"ya udah kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, gue mau ngapel." Indra meninju lengan gue pelan. "inget
pesen gue tadi pagi."
gue cuma nyengir. Indra mengedipkan matanya ke Echi lalu beranjak turun ke tangga.
"kalian ada 'pesen' apa sih?" Echi tertarik dengan ucapan Indra tadi.
"eh, enggak kok bukan apa-apa. biasalah Indra emang ngaco. hehehe..."
gue turun dari duduk gue lalu berjalan mengambil kursi di depan kamar.
"duduk," gue mempersilakan Echi.
"lo sendiri?" "biar gue berdiri aja gak papa kok."
"kita ngobrol di kamer lo aja deh biar bisa sama-sama duduk."
"udah gak papa nyantai aja lah. gue lagi pengen menikmati udara malem," gue memandang ke depan.
lampu-lampu pabrik di kejauhan sana seperti kunang-kunang di tengah ladang. gue kerap menikmati
pemandangan ini yg sering membuat gue kangen kampung halaman.
"lo udah kenal lama sama Indra?" Echi membuka pembicaraan.
"belum sih. gue baru ke sini sebulan yg lalu, kurang lebih.." gue biarkan angin malam berembus
menerpa wajah gue dengan sejuknya. "lo sendiri temen sekolahnya kan?"
Echi tertawa. saat itulah kawat giginya tampak berkilat tertimpa cahaya lampu.
"kok malah ketawa?"
"enggak papa lucu aja kalo inget jaman sekolah dulu," kata dia. dan Echi mulai bercerita tentang dia dan
Indra yg dulu di sekolah sering cekcok adu mulut gara-gara hal sepele. Indra terkenal murid yg suka
nyontek, dan setiap ada kesempatan menangkap basah dia yg lagi nyontek, Echi pasti langsung melapor
ke guru yg mengajar. jadilah mereka sering ribut.
sejauh ini penilaian gue terhdap Echi adalah dia anak yg smart. dia juga pintar membawa suasana
dengan candaannya yg fresh. samasekali nggak gue lihat kemurungannya akibat broken heart seperti yg
diceritakan Indra tadi pagi.
kami larut dalam obrolan ringan sebagaimana dua orang yg baru kenal. gue sendiri belum berani
menanyakan hal-hal yg bersifat pribadi darinya dan nampaknya dia pun sama. cukup lama kami ngobrol
tanpa terasa sudah hampir jam sepuluh malam. anak-anak kos di lantai bawah yg tadi terdengar rame
dengan obrolan dan nyanyian kini lebih menyepi. mereka mulai beranjak tidur. di lantai atas sendiri
cuma ada gue dan Echi. dua kamar yg lain penghuninya sedang lembur shif malam dan pasangan suamiistri di depan kamar Indra sudah sejak awal mengunci pintu. dan kamar di seberang kamar gue, entahlah
gue nggak mengerti. "eh iya, keasyikan ngobrol sampe lupa ngasih minum," kata gue. "mau minum apa" adanya aer putih
doang sih. hehehe..."
"udahlah gak perlu repot-repot."
saat itu gue dan Echi berdiri bersebelahan bersandar pada tembok beranda. gue pandangi Echi yg
sedang menikmati lampu-lampu di seberang sana.
dan saat itulah gue melihatnya!!
kedua mata yg mengintip dari celah kertas koran di kaca jendela. dari seberang kamar gue. wanita itu...
dia kah itu" "kenapa?" Echi bertanya melihat perubahan ekspresi di wajah gue.
"ah, ng....anu....enggak papa enggak papa kok," gue tarik nafas panjang. "kita turun aja yuk cari makan"
gue laper nih." "mau makan apa?"
"pecel lele aja deh, yg di deket wartel itu enak lho. mau?"
"boleh deh.." walau keheranan Echi mengikuti gue turun keluar mencari kedai nasi pecel langganan gue. di sana kami
ngobrol-ngobrol lagi. kami sudah lebih saling kenal sekarang. dan malam itu gue akhiri dengan
mengantar Echi sampai pertigaan untuk menggunakan angkot balik menuju kosannya..
Part 6 gue tapaki anak tangga menuju kamar. tiba di anak tangga terakhir mata gue terpaku pada sosok wanita
yg duduk di beranda sambil memandang kosong ke depan seperti biasanya. malam sudah larut saat gw
balik mengantar Echi, dan wanita itu seolah tidak peduli dengan dingin angin ataupun gigitan nyamuk di
lengannya. dia benar-benar seperti patung.
gue masuk ke kamar dan menutup pintu tanpa menyapa wanita berkaos kaki hitam itu. lalu gue mulai
berguling di atas kasur mencoba mencari posisi yg pas untuk segera tidur. lima
menit...sepuluh...duapuluh....sampai setengah jam, mata gue enggan terpejam.
gue duduk. memandang hampa atap kamar lalu memutuskan keluar untuk sekedar menghirup udara
segar. dan wanita itu masih di tempatnya. sama persis posisi duduknya seperti yg terakhir gw lihat.
"nih," gue menyodorkan lotion anti nyamuk kepadanya. ada lebih dari lima ekor nyamuk yg sedang asyik
menyedot darah di lengan kirinya.
"..............."
wanita itu diam. bola matanya bahkan nggak bergeser satu milimeter pun dari tempatnya.
"ya udah gue aja yg pake," kata gue, lebih tepatnya pada diri sendiri. semenit kemudian kulit gue sudah
terlindung dari nyamuk. gue pandangi wajah wanita itu, lalu mencoba mengikuti arah pandangan matanya. hanya menatap
deretan lampu-lampu di kejauhan sana.
"ngeliatin apa sih mbak?" tanya gue.
sunyi....... "lagi sariawan ya?" kata gue lagi.
tetap sunyi.......... "mau kopi?" masih sunyi...............
"udaranya dingin banget yah?"
"sendal jepit gue putus."
"tadi di jalan tukang nasi gorengnya brewokan."
aaaahhh.....mulut gue nyaris berbusa mencoba berbicara pada wanita itu tapi tetap nggak ada jawaban
satu huruf pun dari mulutnya.
gue mulai kesal. gue masuk kamar, mengambil gitar dan kembali ke beranda lalu duduk di tepian
tembok. tanpa memedulikan orang di sebelah gue mulai bernyanyi. ada lagu yg liriknya tepat sekali
untuk menyindir wanita ini. sebuah lagu yg waktu itu lagi in banget. dengan sedikit serak tapi banyak fals
nya gue coba menyanyikan 'Pelangi di Matamu' milik Jamrud.
"tigapuluh menit kita di sini tanpa suara..."
gue yakin lirik awal lagu ini ngena banget. itu kalau dia mendengarkan.
"dan aku resah...harus menunggu lama...kata darimu......"
gue terdiam. suaranya terdengar dalam. ya, wanita di samping gue tanpa gue duga melanjutkan liriknya.
kedua mata gue melongo menatap wajahnya. dia samasekali nggak bergerak dari tempatnya duduk,
hanya bibirnya yg tipis terbuka perlahan melantunkan lirik lagu.
gue speechless. jari-jari gue mendadak kaku untuk memetik senar di tangan gue. tapi wanita itu tetap
bernyanyi meski tanpa iringan gitar dari gue.
setelah bisa menguasai diri lagi gue kembali memetik gitar membiarkan dia yg bernyanyi. memang ada
beberapa kata dalam liriknya yg salah tapi over all ini adalah lagu yg indah dinyanyikan di malam hari
bareng seorang wanita. tepat saat lagu selesai wanita itu turun dari duduknya, tanpa memandang gue, lalu beranjak ke
kamarnya. lampu dimatikan. dan hanya hening yg tersisa sekarang.
sampai detik ini gue masih belum yakin kalau yg tadi itu benar-benar terjadi. mimpi apa gue denger dia
nyanyi sementara untuk bicara pun dia pelit.
"woy..belom tidur lo?" Indra tiba-tiba muncul dan membuyarkan lamunan gue.
"eh, tadi dia di sini lho. di sebelah gue. kita nyanyi bareng malah, lagunya Jamrud itu lho! yg jam dinding
nya bisa ketawa," gue mencecar Indra dengan antusias yg agak berlebih.
Indra geleng kepala sambil elus-elus dadanya.
"gue juga sebenernya pengen ketawa," katanya sambil berjalan mendekati gue. "awalnya gue pikir lo
becanda waktu bilang ketemu cewek itu, tapi kayaknya lo beneran deh."
"kan gu..." "beneran gila lo!" sela Indra. "mana" mana cewek itu sekarang" gue jadi prihatin sama lo. besok kita ke
psikiater deh, kalo nggak dukun aja buat periksain otak lo yg mulai jereng itu."
"gue serius, Dul."
"serius gila nya" hahaha..."
gue tarik napas panjang. lagi-lagi percuma untuk mendebat Indra.
"udah deh jangan bahas itu. gimana tadi sama Echi nya?" tanya Indra mengalihkan topik.
"engga gimana-gimana kok. biasa aja."
"biasa kayak gimana maksud lo?"
"setau gue yg namanya 'biasa aja' ya nggak gimana-gimana deh."
"itu kata elo. kalo kata gue, kayaknya lo suka deh sama dia. iya kan?"
"ah, ngasal aja lo."
"alaah...sama gue aja pake rahasia-rahasiaan." Indra menyalakan rokoknya. "terus gimana
kelanjutannya?" "tau deh, ketemu aja nggak tau kapan."
"makanya beli HP doong biar bisa SMS an. canggihan dikit napa" nih kayak gue," Indra mengeluarkan
Nokia 3315 nya. (jaman segitu ni HP masih tergolong kelas atas cuy! gue aja belom punya HP saat itu)
"tuh liat bisa bikin gambar sendiri. canggih kan?"" lanjut Indra menunjukkan layar monochrome kuning
bergambar sebuah logo nama dirinya. saat itulah ada panggilan masuk. Indra segera ke kamarnya.
tinggal gue sendirian lagi. cukup lama gue termangu menatap pintu kamar itu. dan akhirnya gw habiskan
malam dengan menyanyikan lagi lagu itu berkali-kali.
Part 7 harusnya minggu pagi yg mendung itu gue habiskan dengan meringkuk di bawah selimut sampai siang
karena semalaman tadi gue begadang di kamar Indra main Play Station sampai jam empat pagi. selepas
subuh gue baru bisa terlelap. tapi suara ketukan di pintu sangat mengusik kenyamanan gue pagi itu.
awalnya gue abaikan, tapi makin diabaikan suaranya malah semakin keras.
"iya bentar!" gue menggerutu dengan kesal lalu keluar dari balik selimut ke arah pintu.
"hay Ri..." gue mendapati Echi tersenyum lebar ke gue. "baru bangun ya?"
"eh, kamu Chi." gue buru-buru mengusap wajah gue dengan sarung yg melingkar di pundak gue.
"tadi lagi tidur ya?" tanya Echi lagi.
"ya begitulah. hehe.." gue nyengir pait. gue yakin saat itu gue culun banget. muka kusut, rambut acakacakan ditambah sisa-sisa iler yg mungkin masih menempel di pipi. (gak usah dibayangin ya! )
"masuk gih," gue mempersilakan Echi masuk sementara gue bergegas cuci muka di kamar mandi.
"gue ganggu tidur lo ya Ri?"
"enggak kok nyantai aja lah kayak di pantai," suara gue menggema di dalam kamar mandi kecil itu.
"lo nggak lembur?" tanya Echi lagi begitu gue keluar dari kamar mandi dan menyeka wajah dengan
handuk. "staff mana dapet lembur sih" paling yg lembur orang-orang di jalur produksi aja." gue duduk bersandar
di dinding, seberang tempat Echi duduk. gue nyalakan sebatang Marlboro sambil sedikit merapikan
sisiran rambut. "tumben amat pagi-pagi gini lo ke sini" perasaan baru semalem kita ketemu deh?" asap dari mulut gue
mulai memenuhi seantero kamar.
"gue beliin lo sarapan. nih," Echi menyodorkan bungkusan plastik hitam yg sejak tadi dipegangnya.
"apaan tuh?" "cuma nasi uduk kok. kebetulan lewat depan gang masih ada yg jual. sok dimakan, nanti basi dulu."
"wah lo tau aja gue laper," gue meraih bungkusan itu. "sory yah ngerepotin."
"enggak papa kok, enggak ngerepotin juga."
"yaa gue basa-basi aja biar lo nggak kapok beliin sarapan buat gue. yg sering aja ya?"
"yeeeey.....enak aja. tekor dong gue"! hehehe."
"kok belinya cuma satu" lo udah sarapan?"
"tadi gue belinya memang pas udah mau abis. itu juga cuma ada segitunya kok."
"lo udah sarapan belum?"
Echi menggeleng. "ya udah kita barengan aja," gue mengambil dua buah sendok dari rak kecil di samping dispenser.
"entar lo nya kurang nggak?" Echi menerima sendok dari gue dengan ragu.
"udah nyantai aja, kalo kurang entar gue beli lagi di gang sebelah ada yg jualan." gue terpaksa
mematikan rokok gue dulu di asbak.
"yakin nih?" tanya Echi lagi.
"yaelaah masih nanya aja nih anak. udah ayo makan," gue mulai melahap sendokan pertama. awalnya
ragu tapi kemudian Echi melakukan hal yg sama.
dan akhirnya kami sarapan sepiring berdua. hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan nasi di
piring. "thanks ya Chi," gue bersendawa kecil setelah minum.
gue duduk lagi di tempat gue tadi. menyulut kembali sebatang Marlboro sebagai "hidangan penutup"
sarapan pagi itu. gue lirik jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat seperempat. berarti tadi gue
tidur hanya sekitar tiga jam.
hufft......gue mengembuskan asap putih dari mulut gue, berharap rasa kantuk yg masih menggelayuti
mata gue juga ikut pergi bersamanya.
"Indra lembur ya?" tanya Echi membuyarkan lamunan sekaligus membuat gue terjaga dari lelap yg
sempat menghinggapi gue beberapa detik yg lalu.
"eh, enggak kok. semalaman gue begadang sama dia maen game. jam segini mah di masih asyik sama
bantalnya." "kalian begadang sampe pagi yah?"
gue mengangguk. "wah berarti tadi gue beneran ganggu dong" lo pasti masih ngantuk ya, Ri?"
gue tersenyum. "kurang lebih seperti itu," nggak ada gunanya basa-basi pura-pura nggak ngantuk.
"emh...ya udah deh lo lanjutin aja lagi tidurnya."
"nah terus elo nya?"
"gue jagain lo tidur deh," katanya tanpa nada terpaksa. "lo punya koleksi novel kan" lo tidur aja, gue
mau baca novel deh."
"enggak bosen tuh" kalo nggak kuat dan mau balik, ya balik aja nggak usah ngerasa nggak enak sama
gue." "lo ngusir nih ceritanya?"
"hehehe.. enggak kok bukan gitu. ya udah tuh novelnya ambil aja," gue menunjuk tumpukan buku di
atas lemari kecil di sudut kamar. "bentar gue abisin dulu rokoknya. tanggung nih."
beberapa saat kemudian Echi sudah larut dalam novel yg dibacanya. gue menikmati hisapan terakhir
rokok gue, setelah itu beranjak ke kasur. rasanya nyaman sekali merebahkan tubuh ini.
"jangan lupa doa dulu," Echi mengingatkan.
"wah gue hafalnya doa makan nih."
Echi menepuk kaki gue. gue sudah memejamkan mata saat gue rasakan kehangatan mulai menyelimuti
tubuh gue. gue membuka mata. Echi menutup tubuh gue dengan selimut.
"thanks Chi. lo baik banget yah?"
"udah tidur sana jangan banyak komentar." Echi duduk di samping kasur tepat di sebelah kepala gue. dia
kembali asyik dengan novel yg dipegangnya.
ah, pagi yg dingin ini gue rasakan mendadak hangat. entah karena selimut ini atau karena sosok wanita
di samping gue. yg jelas nggak butuh waktu lama buat gue masuk ke dunia mimpi.....
Part 8 hari-hari gue kini sedikit banyak berbeda dengan sebelumnya. Echi hadir menjelma jadi pengisi
kekosongan yg gue rasakan sebelumnya. kalau nggak Echi yg menginap di kamar gue, maka gue yg
ngandong ke kosannya. kebetulan kami berdua sama-sama non shift jadi nggak ada istilah jam kerja
malam. layaknya pasangan lain yg tengah dimabuk asmara, gue dan Echi juga kerap memilih menghabiskan
waktu berdua meski harus menolak jam lembur yg ditawarkan bos di kantor. gue pikir gaji tanpa lembur
gue sudah lebih dari cukup. selain itu Echi adalah tipe cewek yg pengertian. nggak harus selalu cowok yg
nraktir cewek, beberapa kali gue bahkan makan gratis dari dia.
soal Indra, awalnya dia heran karena gue sering nggak menampakkan diri di kosan. setelah gue beritahu
kalo gue udah jadian sama Echi dia cuma tertawa lebar sambil tetap ngomong "jangan diapa-apain
dulu!" yg gue jawab "udah terlanjur!"
jarang balik ke kosan, itu berarti gue juga jarang ketemu Indra. apalagi dia kan kena shift. makin jarang
lah gue ketemu tuh anak. hari libur gue lebih suka menghabiskan waktu di kosan Echi atau sekedar jalanjalan ke alun-alun kota bareng dia. yah pokoknya asal bareng Echi semua berasa indah deh. hehe...
memasuki bulan keempat gue kerja, gue memutuskan membeli sebuah handphone untuk
mempermudah komunikasi gue dengan teman-teman dan juga Echi tentunya. sebuah handphone
mungil dengan layar monochrome warna biru gue ingat betul handphone pertama yg gue punya waktu
itu. dengan fasilitas seadanya hp itu tergolong elit lho pada masanya.
perlahan tapi pasti gaya hidup gue yg dulu seadanya dan gue usahakan sesederhana mungkin, kini mulai
berubah ke arah glamour dan foya-foya. sebagai jiwa muda yg masih berkobar waktu itu gue merasa
sedang dalam momen terbaik di hidup gue. berpenghasilan lumayan plus punya pacar cantik dan setia
membuat gue mabuk kepayang. beberapa kali bahkan gue mabuk beneran bareng Echi di kosannya.
sudah setengah tahun kini gue bekerja di Karawang. meski jarang ditempati, tapi gue memilih bertahan
di kosan gue. selain gue juga malas mencari lagi kosan yg lain, ada Indra yg membuat gue memutuskan


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertahan di sana. bagaimanapun Indra tetap sahabat terbaik gue di kota ini. dia yg pertama gue kenal
dan dia juga yg kerap membantu saat gue sedang kesulitan alias bisa ngutang dulu gitu! hehehe.. tapi
gue akui Indra memang orang baik kok. walau jarang bertemu kami tetap berteman baik.
dan hari itu genap sudah dua minggu berturut-turut gue nggak balik ke kosan. kangen juga pengen tidur
di ruangan kecil itu. pengen maen gitar punya Indra lagi. maka sepulang kerja gue kirim pesan ke Echi
bahwa gue nggak ke kosannya malam ini.
"wah tumben lo balik," Indra menyambut gue di gerbang bawah. "masih inget kamer lo ya?""
"iya gue kangen nih sama kamer gue. pengen maen gitar juga. lo ngapain di sini?"
"abis balikin setrikaan temen. punya gue mendadak eror soalnya."
kami berjalan menapaki tangga menuju lantai atas sambil berbincang ringan. rasanya seperti kembali ke
rumah sendiri saat gue pandang berkeliling kamar-kamar di sini.
"wah elo kumat lagi nih ya," gue mengomentari volume kencang dari speaker aktif di kamar Indra.
"kan elo jarang balik" nggak ada yg protes lagi. lagian juga di sini sepi kalo lo nggak ada. kan lo tau gue
nggak begitu interaktif sama tetangga kamer."
kami duduk di beranda. dan saat itulah mata gue menatap pintu kamar di seberang kamar gue. kamar yg
sampai sekarang masih menyimpan rasa penasaran gue. wanita itu....dia cukup terpinggirkan beberapa
bulan ini saking sibuknya gue pacaran sama Echi.
"eh, kamer yg itu masih ada penghuninya enggak?" gue menunjuk kamar itu.
"tau deh gue juga nggak ngerti," Indra geleng kepala. "bener kata lo sih, emang ada cewek yg nempatin
kamer itu. tapi jarang keliatan keluar masuk nya. gue beberapa kali pernah liat dia di kamer ini."
"terus?" gue seperti disulut penasaran lagi.
"terus apanya" ya biasa aja."
"bukan. maksud gue, cewek itu masih pake kaos kaki item panjang?"
Indra mengangguk lagi. "menurut lo tuh cewek orang apa setan sih?"" tanya Indra.
"jelas orang lah. mana ada setan pake kaos kaki?"
"ya kali aja dia lagi kedinginan?"
gue tertawa kecil. gue seperti mendapat sesuatu yg sempat hilang. rasa penasaran itu, yg sempat sirna
beberapa waktu terakhir, kini mulai menjalar lagi di otak gue. terakhir gue ketemu cewek itu ya pas lagi
nyanyi tengah malem itu aja. setelah itu dia seolah lenyap. atau gue yg melenyapkan diri ya?"
yg pasti malam itu gue duduk lagi di tembok beranda. sambil menyetem gitar milik Indra, gue berharap
wanita itu akan muncul lagi malam ini. gue pengen ketemu dia.
Indra lagi shift malam jadi gue sendirian di sana. dan sengaja malam ini gue akan menyanyikan lagu yg
sama yg dulu pernah dinyanyikan wanita itu. baru saja gue masuk intro, terdengar sebuah suara dari
belakang gue melantunkan lagunya. suara yg cukup melekat di pikiran gue.
wanita berkaos kaki hitam itu. dia ada di belakang gue...
Part 9 bukan. itu bukan dia... suaranya lain. eh, iya itu dia. tapi bukan! cara menyanyinya lain!
ah, daripada bingung sendiri gue balikkan badan dan...
"hemmpph........" gue cukup dibuat terkejut saat mendapati sosok Echi berdiri di belakang gue. nyaris
saja gue terlompat ke bawah.
"kamu ngagetin aja Chi," gue sedikit terengah karena benar-benar terkejut tadi. "by the way kok lo ke
sini gak bilang dulu sih?"
Echi tersenyum simpul. sangat sederhana dengan sedikit sudut bibirnya terangkat ke samping. beda
dengan cara dia tersenyum biasanya.
"lo kenapa Chi" kok murung gitu?" tanya gue lagi mendapati Echi yg berdiri mematung di samping gue.
Echi menggeleng perlahan.
"mau bikin kopi?" gue menawarkan.
Echi menggeleng lagi. "atau lo laper?"
dijawab dengan gelengan lagi. gue turun dari tempat gue duduk. menyandarkan gitar ke dinding lalu
berdiri di samping Echi. gue raih dan genggam tangannya. dingin...
tadi sore memang sempat hujan cukup lama dan baru selesai menjelang malam. Echi pasti kedinginan.
maka gue pun memeluknya. "kok agak bau lumpur-lumpur gitu yaa?" gue membatin dalam hati. gue cari ke sekeliling dan di bawah
sana ada kubangan lumpur becek tergenang air berwarna cokelat. pasti asal baunya dari sana.
gue membelai pelan rambutnya. entah kenapa malam ini gue merasa sangat damai dengan memeluk
Echi sambil menatap langit yg pekat bersih nyaris tanpa bintang. mungkin mereka masih sembunyi garagara hujan tadi.
"Ri..." akhirnya Echi bicara.
"kenapa, sayang?" sahut gue di telinganya.
"lo liat bintang itu?" Echi menunjuk satu-satunya bintang yg bersinar di selatan langit.
"gue liat." jawab gue.
"seandainya gue jadi bintang itu, lo mau nggak tiap hari bolak-balik bumi-langit buat ketemu gue di
sana?" itu pertanyaan teraneh yg pernah gue denger dalam hidup gue.
"kok nanyanya gitu?" gue tertawa kecil. "apapun akan gue lakukan buat elo, Chi." ciee...gue mulai
gombal. Echi diam merenungi kalimat gue barusan. gue memeluknya makin erat. ah, betapa gue ingin selalu
seperti ini. bersama melewati malam dan tak pernah terganti sampai nanti.
beberapa menit kami sama-sama diam. hanya menatap langit tanpa bicara. tiba-tiba nada dering hp gue
berbunyi dari kamar Indra. gue lagi nge charge soalnya jadi nggak gue bawa.
"bentar ya sayang, gue angkat telepon dulu." gue lalu bergegas ke kamar.
bokap gue dari kampung nelepon. hanya pembicaraan ringan menanyakan kabar gue di sini dan sedikit
perlu dengan uang. nggak lama, hanya sekitar sepuluh menit lalu gue keluar lagi hendak menemui Echi.
"heyy..." gue berseru tertahan mendapati beranda kosong tanpa seorang pun di sana. "Chi, lo di mana
say" mau maen petak umpet yah?""
gue tertawa sendiri. tapi bingung juga karena di sini nggak ada tempat buat bersembunyi. gue tunggu
lima menit dia nggak muncul juga. maka gue cek ke bawah. gue coba tanya ke temen-temen yg gue
kenal dan katanya mereka nggak memperhatikan karena lagi asyik di kamar masing-masing. gue coba
keluar siapa tau Echi lagi di warung depan kos, tapi nggak ada juga.
maka gue memutuskan kembali ke atas, mencoba menghubunginya lewat hp. baru aja gue buka pintu
kamar, hp gue berbunyi tanda sms masuk.
Gue balik dulu ya, Ri... begitu pesan dari Echi. langsung gue balas seperlunya ditambah sedikit basa-basi seperti biasanya. gue
lalu rebahan di kasur. jam kecil di atas televisi menunjukkan pukul setengah sembilan malam. sudah
waktunya tidur. besok pagi-pagi gue harus ke kosan Echi dulu sebelum berangkat kerja karena pakaian
ganti gue memang ada di sana. di kamar gue sendiri hanya ada beberapa untuk perlengkapan tidur.
"permisi.." seseorang mengetuk pintu kamar.
bergegas gue buka pintu dan gue lihat penghuni kamar seberang Indra berdiri menenteng gitar milik
Indra. "udah mau tidur ya Mas" ini gitarnya ketinggalan di luar, barangkali ilang kan sayang." dia menyerahkan
gitar itu. "eh iya Pak, tadi saya lupa. makasih banyak Pak."
beberapa saat setelah itu gue sudah rebahan lagi di kasur. malam ini gue pengen ditemani lagu-lagu
Mariah Carey. gue cari kaset CD nya di tumpukan kaset di atas VCD lalu gue setel dengan volume
seperlunya. damai sekali nampaknya malam ini.
gue pejamkan mata. dan bayangan-bayangan wanita berkaos kaki hitam mulai muncul di benak gue. gue
buka mata dan seketika bayangan itu lenyap. saat gue pejamkan lagi mata gue, yg muncul di hadapan
gue sekarang adalah wajah Echi.
senyuman teduhnya menghantarkan gue ke alam mimpi...
Part 10 "tok tok tok!" ketukan di pintu membangunkan gue dari tidur. ketukannya makin cepat terdengar dan hampir saja
pintu roboh kalau gue nggak cepat-cepat membukanya.
"apaan sih lo Ndra?" gue mendengus begitu tau yg mengetuk pintu adalah Indra. "masih pagi juga udah
gedor-gedor kamer orang."
"ini kan kamer gue?"
"iya iya. gue ulangi deh, ngapain pagi-pagi gedor kamer elo?"
"buruan pake pakean lo!" kata Indra tetap berdiri di tempatnya.
"ada apaan emang?"
"sms gue masuk nggak sih?""
gue cek hp yg masih tersambung dg charger. di layarnya terdapat pemberitahuan memori pesan penuh.
maka gue segera hapus semua pesan di inbox dan satu pesan baru dari nomor Indra langsung masuk.
'Echi kecelakaan. dia dirawat di RS Dewi S*i. nanti gue jelaskan lagi, ketemu di sana aja.'
"maksudnya apaan nih?" tubuh gue bergetar cukup hebat. gue berharap yg gue baca ini hanya sms
lelucon. "tadinya gue mau kita ketemu di sana, tapi gue sms elo kok nggak masuk-masuk ya jadi gue pastikan aja
ke sini." "lo becanda kan?"
"gue tau batasan-batasan becanda Ri. ini serius! semalam gue dapet kabar dari family nya Echi, gue
kenal baik keluarganya dan mereka tau gue juga ada di karawang yaa jadi mereka ngehubungin temen
terdekatnya Echi yaitu gue."
"terus gimana keadaan Echi sekarang?""
Indra menarik nafas berat.
"dia lagi sekarat. kepalanya mengalami pendarahan hebat, itu yg gue denger dari kakaknya yg
ngehubungin gue." "kok bisa" emang gimana kronologinya?"
"yaah...katanya sih Echi lagi nyebrang mau ke mini market gitu, tanpa dia tahu dari arah kanan ada
motor yg melaju kencang dan terjadilah tabrakan maut itu. sayangnya pelaku penabrakan itu kabur."
seketika darah dalam tubuh gue memanas. tulang-tulang gue seolah lemas. gue terduduk dalam diam.
"bukannya lebih baik sekarang kita pastikan keadaannya di rumah sakit?"
gue mengangguk. maka setelah merapikan diri seperlunya gue dan Indra bergegas turun keluar.
"lo napa Ndra?" tanya gue melihat Indra berjalan agak tertatih di belakang gue.
"udah sejak tiga hari yg lalu, gue kecelakaan kerja di pabrik. kebentur mesin gitu."
"ya udah gue aja yg bawa motornya," gue berjalan ke tempat parkir. "motor lo mana Dul?"
"tuh yg Sup*a item. gue lagi pake punya cewek gue. motor gue lagi turun mesin di bengkel kemaren."
dan berangkatlah kami berdua menuju rumah sakit tempat Echi dilarikan. saat itu fajar baru
menyingsing tapi gue abaikan rasa dingin yg menusuk sekujur tulang dalam tubuh. kami memacu
menembus kabut yg memang masih kerap muncul di pagi hari di karawang. gue nggak peduli. seperti yg
gue bilang semalam pada Echi, gue akan lakukan apapun untuknya...
----ahh.....rasanya sangat sakit. teramat sangat sakit melihat tubuhnya terkapar tak berdaya. dengan nafas
masih tercekat di kerongkongan gue cuma bisa terdiam merelakan mobil ambulans yg membawa
tubuhnya berlalu dari tempat ini.
"sabar yah Ri..." Indra menepuk bahu gue pelan. "gue tau yg lo rasain saat ini."
entah sudah berapa lama gue menangis. waktu berjalan sangat lambat.
pagi tadi, gue datang saat tim dokter menyatakan menyerah. pendarahan di kepala Echi begitu hebat
sehingga nyawanya tidak tertolong lagi. keluarga Echi memutuskan untuk memakamkan jasadnya di
kota kelahirannya Surabaya.
nggak perlu bertanya bagaimana rasanya kehilangan orang yg kita sayang dengan begitu tiba-tiba.
samasekali nggak pernah terfikir tentang kepergiannya ini. gue dan Echi sedang dalam hubungan yg
harmonis dan mulai membicarakan hal serius tentang hubungan kami. tapi kini semua itu tinggal lalu.
menyisakan setitik perih yg mengendap di hati.
menurut info yg gue dapat, Echi mengalami kecelakaan naas itu sekitar jam delapan malam.
"nggak mungkin!" gue masih mencari titik lemah kenyataan di hadapan gue. "semalem itu Echi ke sini.
gue dan dia berdiri di sini! kita malah pelukan gitu!" gue menunjuk tembok beranda dimana semalam
gue yakin gue berdiri di samping Echi.
"Ri, Echi itu ketabrak jam delapan. terus dilarikan ke rumah sakit jam setengah sembilan..kan lo liat
sendiri jam masuknya tadi." Indra mencoba menjelaskan.
"terus kalo gitu yg semalem ngobrol sama gue siapa Ndra?"" suara gue meninggi diiringi airmata yg
jatuh. "yg gue peluk itu siapa?"" lo mau bilang kalo itu setan lagi"!!"
Indra diam. dia nggak berani mengkonfrontir gue. dia lagi-lagi menepuk bahu gue mencoba
menenangkan emosi yg tengah mengurung gue.
"gue tau lo sayang banget sama Echi, dia juga sayang sama lo. dia selalu cerita ke gue kalo dia tuh
pengen lo jadi yg terakhir buatnya."
Indra diam. gue masih sesenggukan menangis.
"gue nggak bilang yg semalem itu setan atau apa lah itu..tapi gue yakin, kehadiran Echi waktu itu karena
dia pengen ada di samping lo menjelang saat terakhirnya. mungkin itu semacam ucapan perpisahan
buat lo." sms itu! gue ingat sms terakhir dari Echi. segera gue cek hp. tapi gue terhenyak, karena tadi pagi gue
menghapus semua inbox di hp gue. dan dalam terapi kejut itu, mendadak gue rasa semuanya menjadi
gelap.... Part 11 N 6689 M gue pandangi coretan di kertas kecil di tangan gue. sudah dua hari ini gue sering menatap berlama-lama
deretan angka itu meski tanpa hasil apapun. dua hari yg lalu saat gue ke kantor Polsek gue mendapat
informasi tentang identitas pelaku tabrak lari Echi. salahsatu saksi berhasil menghafal plat nomor
sepeda motor yg melarikan diri itu.
sebuah sepeda motor Me*a P*o berplat nomor N 6689 M. untuk identitas pelakunya, sayang belum ada
kejelasan karena saat kejadian si pelaku menggunakan helm full face dan jaket kulit serta celana jeans
hitam sehingga cukup menutup ciri-ciri fisiknya. yg pasti dia memiliki tinggi badan se Indra lah..lumayan
tinggi. pihak Polisi sedang melacak keberadaan kendaraan asal kota Malang itu (huruf N adalah kode
nopol Malang). hal ini juga menjadi ironi sendiri buat gue. dimanapun gue berada, setiap gue melihat sepeda motor
melintas gue jadi selalu tertarik untuk memperhatikan plat nomornya. siapa tau si pelaku kebetulan
lewat di depan gue, kan bisa langsung gue hajar tuh orang. tapi gue jadi nggak tenang. gue selalu merasa
si pelaku bisa muncul kapan saja, maka sekali gue lengah gue akan kehilangan dia. dan sore ini gue
duduk di tembok balkon kamar gue memandang kendaraan yg lalu lalang di bawah. entah sudah berapa
ratus kali gue membaca plat nomor kendaraan yg gw lihat sejak mendapatkan informasi dari Polisi.
"berdoa aja semoga si pelaku lewat terus nyapa lo," kata Indra yg tiba-tiba muncul di belakang gue
sambil menenteng gitar. gue tersenyum kecut. "ayolah bro...almarhum Echi udah tenang di sana. jangan bikin dia sedih dengan tangisan kita," Indra
coba menghibur. "lo nggak tau sih gimana rasanya.." sahut gue lirih tanpa menoleh ke arahnya.
"oke gue gak tau gimana rasanya kehilangan pacar dg cara seperti ini, tapi gue tau rasanya kehilangan
sahabat," Indra duduk di sisi lain tembok. "waktu sekolah dulu gue emang nggak terlalu deket sama Echi,
malah lebih cocok disebut Tom and Jerry daripada sahabat. tapi gue beruntung sekolah di Surabaya, gue
jadi kenal sama dia."
"emang lo aslinya darimana?"
"gue lahir dan tumbuh di Sidoarjo. tapi pas SMA gue ikut Pakde gue di Surabaya sampe lulus kuliah, baru
kerja di sini." "wah selama ini gue kira lo arek-arek Surabaya asli."
"weleh weleh...koe nang endi wae toh le...le...." dia geleng kepala lalu tertawa.
"kaki lo gimana, udah sembuh?"
"yaah lumayan lah udah bisa lari sedikit sedikit."
gue kembali diam melamun. pikiran gue menerawang membayangkan Echi lagi. ah, betapa sakitnya rasa
ini. gue akan membalasnya Chi, begitu gue ketemu pelaku tabrakan itu, gue akan membalaskannya! gue
bersumpah gue akan buat perhitungan dengan dia!! bukankah hutang nyawa harus dibayar nyawa
juga?"" "kadang nggak semua pembunuh itu dihukum mati," kata Indra seolah bisa membaca yg ada di pikiran
gue saat ini. "hutang nyawa memang layak dibalas nyawa, tapi bukan kita yg pantas membalasnya. ada
yg lebih berwenang menentukan balasan yg tepat. kalau dirasa balasan dari lembaga hukum kurang
memuaskan, kita selalu punya Tuhan sebagai harapan. Dia yg tau segalanya."
gue diam mendengarkan advice nya itu. kalau saja bukan seorang sahabat baik yg bicara, sudah pasti
gue akan tolak mentah-mentah paradigma nya tentang hukuman Tuhan. gue yakin sore ini akan jadi
debat yg menyenangkan. tapi gue menghormati Indra. pikiran gue lagi keruh, gue nggak mau menambah
keruh lagi dengan debat kusir yg sia-sia.
dua minggu sudah berlalu sejak kecelakaan naas itu. dan Indra kerap men support gue supaya cepat
bangkit dari keterpurukan karena kehilangan Echi. gue tau dia pasti iba melihat gue yg akhir-akhir ini jadi
pemurung. he's my best friend. thanks guys gue nggak tau apa jadinya gue tanpa elo, mungkin gue udah
nyusul Echi kali yaa... "pinjem pick punya elo dong Ri," suara Indra membuyarkan lamunan gue.
"lah..bukannya lo punya pick kesayangan yg selalu lo bawa kemana-mana itu?"
Indra memang punya sebuah pick bertandatangan Ahmad Dhani personil grup band Dewa19. pick itu
didapatnya waktu masih aktif di fans club nya Dewa19 semasa kuliah dulu. sekedar info, Indra memang
fans berat sama grup band itu.
"gue lupa naro dimana. lo punya kan" gue nggak biasa gitaran pake jari doang."
gue merogoh saku jeans dan mengeluarkan sebuah pick berwarna orange. pick murahan yg gue beli di
toko pinggir jalan. Indra mengambilnya dan kemudian mulai memetik gitar di tangannya.
gue pikir gue akan menghabiskan sore itu dengan mendengarkan Indra bernyanyi, tapi kami sama-sama
terdiam saat mendengar suara itu.
"suara cewek nangis!" kata Indra.
"dari kamar itu," gue menunjuk kamar seberang. kamar wanita berkaos kaki hitam..
suaranya jelas. bukan hanya desiran angin, tapi benar-benar nyata seperti yg pernah gue dengar. gue
beranikan diri mendekat dan mengetuk pintunya.
"Ri, itu..." Indra menunjuk bawah kaki gue.
dari celah sempit di bawah pintu kamar, ada sesuatu keluar mengalir. cairan berwarna merah. merah
pekat dan kental... DARAH.....!!!!! Part 12 "heyy...apa yg terjadi" lo baik-baik aja kan"!" gue gedor pintunya berkali-kali. "buka pintunya!"
panik. berapa kali pun gue memutar handle pintu itu bergeming. tidak ada respon dari orang di dalam.
hanya suara tangisnya yg kini lenyap.
"minggir.." Indra memasang kuda-kuda. gue menepi dan kemudian dia menghempaskan tubuhnya ke
pintu berusaha mendobraknya.
"aaaaarrggggh..." suara Indra terdengar miris. dia terhuyung mundur sambil pegangi kaki kanannya yg
kesakitan akibat benturan tadi.
"ah lo belagak di film laga aja," komentar gue. aneh memang di saat seperti ini gue pengen ketawa.
cairan merah di bawah pintu masih menjalar sampai nyaris menyentuh ujung kaki gue. gue gedor lagi
pintunya. tetap tidak ada jawaban.


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"bongkar aja jendelanya," Indra mengusulkan. "nih ambil obengnya di bagasi motor gue."
dengan gelagapan gue menangkap kunci yg dilemparnya. bergegas gue turuni tangga menuju tempat
parkir di bawah. bukan tempat parkir khusus memang, hanya halaman kosong yg cukup luas di depan
bangunan kamar-kamar ini.
"lagi ngapain lo Ri sama motor gue?" seorang penghuni kamar di bawah muncul ketika gue bersikeras
memutar kunci bagasi salahsatu motor di sana.
"gue mau ambil obeng punya Indra, tapi kok nggak kebuka-buka ya dari tadi?" gue sedikit menggerutu.
"jelas nggak bisa. itu kan R* King gue" punya Indra mah yg itu tuh, yg plat nya 'W'."
"upz, sorry bos. gue buru-buru soalnya."
dan semenit kemudian gue sudah berlari lagi menaiki tangga menuju lantai atas. sempat terpeleset dua
kali, gue tiba di sana tepat sesaat setelah Indra terhuyung lagi. rupanya dia masih berusaha mendobrak
pintu. "minggir," giliran gue yg beraksi. dengan cekatan gue berhasil melepas engsel jendela kurang dari dua
menit. jantung gue berdebar menebak-nebak apa yg akan gue lihat di balik jendela ini. ada sebuah gorden
warna merah terpasang di lubang jendela. bersama Indra gue turunkan daun jendela dan
menyandarkannya ke tembok.
"lo aja yg masuk, gue nggak bisa lompat," kata Indra.
nggak butuh instruksi yg ke dua kali buat gue menyibak gorden merah itu dan bau amis langsung
menyeruak menusuk hidung. gue sibakkan lebih lebar sementara mata gue terperangah menatap
pemandangan di dalam ruang kecil berukuran nggak lebih dari 4x4 meter itu.
sebuah ruangan dengan pencahayaan redup dari bohlam kuning yg kusam yg tergantung di atap.
keadaannya nyaris gelap dan gue harus memicingkan mata supaya bisa melihat lebih jelas. sampai
akhirnya mata gue bisa beradaptasi dengan kegelapan di dalam sana tangan gue meraba pintu dan
membuka gerendelnya. gue dan Indra segera masuk ke kamar pengap itu. yg pertama menarik perhatian gue adalah bercak
darah di depan pintu, yg tadi mengalir keluar lewat celah sempitnya. nampak seperti bekas diseret dan
tetesan-tetesannya menitik menuju ruangan yg lebih kecil di sana, kamar mandi. gue dan Indra saling
pandang. rasanya kali ini pikiran kami sejalan. maka buru-buru kami buka pintu kamar mandi
dan.....baru kali ini gue melihatnya!!
perempuan itu setengah bersandar pada bak mandi kecil di sana. dia mengenakan pakaian lengkap plus
kaos kaki merah, ups itu bukan kaos kaki merah. itu darah!!
darah yg mengalir deras hampir menutupi kedua betisnya. kedua telapak tangan perempuan ini juga
bersimbah darah. dan di samping tubuhnya ada sebuah belati kecil berlumuran cairan merah.
gue nyaris muntah melihat ini semua. tubuh gue bergetar lebih cepat dari detakan jantung gue.
penampilan perempuan itu sangat mengenaskan. dengan sebagian rambut panjangnya yg menutupi
wajah, gue masih bisa mendengar dia terisak pelan menahan sakit.
"gotong dia keluar," kata Indra.
baru saja gue hendak meraih punggungnya ketika tiba-tiba dia mengambil belati dan mengacungkannya
tepat di wajah gue. "jangan sentuh gue!!" teriaknya parau. melengking dan tercekat. mengerikan untuk didengar.
gue diam. Indra juga diam. menunggu apa yg mungkin terjadi.
"keluar kalian!" teriaknya lagi tetap dengan pisau yg teracung di wajah gue.
"tenang Mbak...kita nggak ada maksud apa-apa kok," gue coba berdiplomasi.
"kalian brengsek!! kalian sama aja dengan mereka!!" dia menangis. lebih kencang. sambil tangan yg
memegang belati dipukul-pukulkan ke dinding bak mandi. ada kengerian sendiri saat mendengar tiap
helaan nafas yg dia lakukan.
"lebih baik kalian pergi..." suaranya lebih rendah sekarang.
gue dan Indra saling pandang. lalu seolah dikomando, gue cekal pergelangan tangannya dan sebisa
mungkin gue lepas belati di genggamannya. bunyinya bergemerincing saat mata pisau beradu dengan
lantai. perempuan itu sempat memberontak tapi tenaganya yg lemah menjadi sia-sia melawan kami.
dengan kaki dan tangan yg masih kejang-kejang memberontak dia berusaha melepaskan diri. untung
tangan gue berhasil menutup mulutnya mencegah dia berteriak menarik perhatian yg lain.
"bawa ke kamar gue dulu," kata Indra. "biar nggak memancing keributan."
dan walau susah payah beberapa saat kemudian kami berhasil memindahkannya ke atas kasur di kamar
Indra... Part 13 "DIAM!!!" sebuah tamparan mendarat di pipi kiri wanita itu. seketika dia berhenti memberontak.
dengan cukup terkejut gue menatap bergantian Indra dan wanita itu. gue nggak nyangka Indra akan
melakukan hal itu, menampar si wanita.
"gue mau nolong lo...please lo jangan berontak terus," suara Indra terdengar bergetar.
wanita itu diam. nafasnya terengah-engah. saat ini seprai kasur Indra yg berwarna putih sudah nyaris
ber metamorfosa jadi warna merah gara-gara darah yg terus mengucur dari kaki si wanita ini.
"Ri, lo lap dulu lukanya. gue bikin perban deh," Indra bergegas membuka lemari baju dan mulai
menggunting di bagian depan dan belakang baju yg dia ambil.
"sorry," gue pegang kaki wanita itu dan mulai menyeka darah dari kakinya dengan secarik kaos yg
diberikan Indra tadi. lukanya cukup dalam. meski sekarang darah yg mengucur nggak sebanyak di awal tadi. wanita itu
meringis kesakitan saat gue menyentuh lukanya.
and did you know" yg bikin gue merinding bukan darahnya, tapi bekas luka yg ada di sekujur kaki wanita
itu, memaksa gue menelan ludah menahan ngeri. banyak sekali luka sayatan di sana, mulai dari paha
sampai telapak kaki!! kebanyakan luka lama yg membekas dan belum sepenuhnya menutup, dan ada
tiga luka baru yg gw lihat masih mengucurkan darah. rupanya luka inilah yg membuat kami mandi darah
hari ini. saat itu si wanita mengenakan celana jeans pendek biru, tapi sekarang sudah nyaris menjadi merah juga.
dan gue bener-bener shock nyaris pingsan melihat semua goresan luka sayat di kaki wanita itu.
apa yg sebenarnya terjadi?" kenapa bisa begitu banyak luka?" siapa yg melakukan ini padanya?""
percobaan pembunuhan kah?" atau bunuh diri?" karena di kamar tadi nggak ada orang lain selain
wanita itu. aah, pertanyaan-pertanyaan gila ini mendadak memenuhi ruang kecil di otak gue yg nyaris saja pecah
menerima kengerian di depan gue. seumur hidup baru kali ini gue mengalami yg seperti ini!!
dengan beberapa potongan panjang kain dari kaos yg diguntingnya, Indra membalut betis wanita itu.
gue sendiri berinisiatif mengelap darah dari tangan si wanita. dia nampaknya sudah lebih menguasai diri
sekarang. dia masih menangis pelan. dari wajahnya gue bisa melihat ada penderitaan yg teramat dalam di sana.
entah apa itu, mungkin sesuatu yg sangat sulit untuk dihadapi.
wanita berkaos kaki hitam....kali ini tanpa kaos kaki hitamnya. tunggu, apa dia memakai stocking
panjang itu untuk menutupi luka-luka di kakinya?" kalau dilihat dari bekasnya, luka-luka itu jelas adalah
luka yg dibuat beberapa waktu yg lalu. cukup lama. berarti, apa mungkin dia sendiri yg membuatnya"
tapi untuk apa dia melukai dirinya sendiri?" bukankah itu menyakitkan?" apa tujuannya melakukan hal
itu?" huuffftt......gue sandarkan punggung ke dinding. hanya bisa menatap wanita yg tergeletak lemah di atas
kasur. mungkin dia tertidur. Indra sudah selesai membalut dan dia baru keluar dari kamar mandi setelah
mencuci bekas darah di tangannya.
"buruan mandi, kita akan bawa dia ke rumah sakit," kata Indra.
"jangan...." wanita itu berkata lirih. "jangan bawa gue ke rumah sakit. jangan bawa gue ke sana.."
"eh, cewek aneh. lo itu mengalami luka serius. lo butuh pertolongan yg layak."
"nama gue Mevally, bukan cewek aneh."
Mevally..........akhirnya gue tau namanya.
"oke lah siapapun nama elo, kita harus ke rumah sakit. H-A-R-U-S!!"
"gue nggak apa-apa!" Mevally mencoba bangkit dan duduk.
"nggak apa-apa lo bilang?"" Indra kernyitkan dahi. "mandi darah gitu lo bilang nggak apa-apa?"" lo
nggak ngerasain sakit apa?"! gue yg liatnya aja ngeri!"
"gue nggak apa-apa! gue udah biasa!" Meva bersikeras menolak.
hey..apa maksudnya udah biasa?" apa wanita ini benar-benar gila untuk melukai dirinya sendiri?"!
"terus, lo pikir lo hebat gitu?" dengan semua luka di kedua kaki lo, lo pikir lo cewek keren?" lo anak
Banten yah?" Indra mencibir.
Meva menangis lagi sambil terduduk. gue yg sejak tadi diam mendengarkan jadi iba dengannya. pasti
beban di pikirannya sudah melebihi batas yg sewajarnya. ada semacam guncangan hebat yg menerpa
dirinya gue yakin. gue geleng kepala melihat penampilan cewek yg satu ini. sangat acak-acakan. dengan rambut basah oleh
keringat dia nampak semakin berantakan.
"ya udah kalo gitu lo tidur aja dulu," gue angkat bicara. "jangan nangis aja."
gue ambilkan segelas air dan menyerahkannya ke Meva. dia memegangnya dengan bergetar.
"minum," kata gue.
dia menurut. "makasih," ujarnya pelan seraya mengembalikan gelas ke gue.
"lo tiduran aja dulu, jangan banyak gerak." gue membimbingnya merebahkan badan di kasur.
gue sandarkan lagi punggung gue ke dinding. memandang kosong sosok wanita yg tertidur di depan gue.
hari ini seperti mimpi. dari dulu gue memang pengen tau tentang wanita ini. tapi bukan dengan cara
semacam ini. entahlah, gue harus bersyukur atau apa.
wanita berkaos kaki hitam. dia memang wanita yg misterius........
Part 14 "Ri...bangun Ri....." sebuah tepukan di bahu membangunkan gue. "ikut gue."
kepala gue mendadak pening. gue baru saja tertidur selama beberapa menit. tidur sebentar selalu nggak
baik buat gue. perlahan gue bangkit dan mengikuti Indra ke tembok balkon. bahkan saat itu gue nggak
menyadari pakaian gue masih belepotan darah wanita itu.
"kita harus bereskan ini sebelum yg lain tau," kata Indra melirik percikan darah yg menghubungkan dua
pintu kamar. "gimana sama si Meva" kita perlu bawa dia ke rumah sakit."
"enggak. lo tau sendiri kan dia ngotot nolak ke rumah sakit" biar gue minta dokter kenalan gue ke sini.
makanya gue butuh bantuan lo. lo beresin kamernya sementara gue jalan yaa?"
gue mengangguk. dan lima menit kemudian mulailah gue membersihkan noda darah di lantai sekitar
pintu. "gue nggak lama kok. magrib juga balik," kata Indra sambil lalu. langkah kakinya menuruni tangga
terdengar semakin menjauh.
hufft....gue berdiri mematung menatap pintu kamar Meva. saat berjalan masuk ke sana bau amis
langsung menyeruak. bau darah. gue memutar kepala menyapu pandangan ke semua sudut kamar.
hati gue mencelos ketika gue sadar banyak darah di kamar ini. terlalu banyak darah! bekas darah yg
mengering di lantai dan tembok.
O my gosh!! pantas saja wanita itu jarang terlihat di sini. dia menjadikan kamar ini hanya semacam
laboratorium praktek atau entah apa namanya. hanya ada sebuah rak buku kecil di dalam sini. padahal
buku-bukunya sendiri berserakan di lantai.
dan beberapa pasang stoking hitam.........
"tempat macam apa ini?"?" gerutu gue dalam hati.
gue mendekat ke dinding kamar dekat pintu. jejak tangan berlumur darah membekas jelas dengan
beberapa tetes yg baru saja menempel di sana. bahkan sidik jari wanita itu nampak jelas di dinding
bercat putih ini. melihat semua ini maka nggak butuh waktu lama buat gue sepakat dengan hati gue bahwa Mevally,
wanita berkaos kaki hitam itu memang gila! ada semacam gangguan jiwa gue yakin itu.
sambil berharap kamar yg sedang gue tempati ini belum jadi lokasi pembunuhan berantai gue bersihkan
bekas darah di lantai. beberapa kali gue mengalami kesulitan dengan bercak kering di tembok sebelum
gue putuskan menyerah. biar nanti tembok ini dicat ulang untuk menghilangkan bekas darahnya.
lantai sudah gue pel dan buku-buku itu bertumpuk di tempat yg semestinya. kaos kaki hitam wanita itu
gue bawa ke kamar Indra. gue yakin dia akan butuh ini nanti. Indra datang saat matahari sudah benarbenar terbenam. dia bersama seorang lelaki paro baya yg kemudian gue kenali adalah Dokter Yusuf.
"dia menderita non-suicidal self injury," kata Pak Dokter saat kami bertiga keluar dari kamar. dia baru
saja melihat keadaan Meva.
"apaan tuh Dok?" gue bingung.
"kalo dilihat dari bekas luka-luka yg ada, itu adalah bekas luka yg sengaja dia buat sendiri," Dr. Yusuf
coba menjelaskan. gue merinding sendiri mendengarnya.
"orang bodoh mana yg mau melukai dirinya sendiri?"" gue masih sulit mempercayai yg gue dengar
barusan. "apa enaknya ngelakuin kayak gitu, nyobek-nyobek kulit tubuh"!"
"itulah yg saya maksud. non-suicidal self injury atau biasa disebut self injury saja, adalah penghancuran
disengaja diskrit jaringan tubuh tanpa maksud bunuh diri," nampaknya Dr. Yusuf mencari bahasa yg
mudah gue mengerti. gue dan Indra memperhatikan dengan ekspresi ngeri. "kita coba untuk
menghancurkan tubuh kita, tapi kita nggak bermaksud untuk bunuh diri. beberapa perilaku menyimpang
ini seperti memotong, membakar dan ukiran kulit untuk mematahkan tulang, atau menempelkan pin
dan jarum pada bagian tertentu tubuh kita. biasanya tangan dan kaki jadi sasaran empuk penderita ini
melampiaskan keinginannya."
nafas gue seperti tertahan di kerongkongan. bulu kuduk gue mendadak berdiri.
"saya baru denger ada yg kayak gitu Dok," komentar Indra.
"kok bisa...punya hobi ngelukain diri sendiri?" gue mendukung pernyataan Indra. "dia gila tingkat tinggi
ya?" Dr. Yusuf menggeleng. "penderita self injury ini normal. samasekali nggak menderita kegilaan."
"tapi kenapa bisa kayak gitu?""
"mereka melakukan self injury saat pikiran mereka kalut, takut, pusing atau semacamnya yg sifatnya
berlebihan. karena menurut mereka, dengan cara ekstrim seperti itu bisa menenangkan mereka dan
membawa rasa lega. mereka menggunakan self injury untuk mencoba merasa lebih baik dalam jangka
pendek." gue dan Indra terdiam. kami hanya saling pandang keheranan takjub, aneh dan tentu saja ngeri
mendengar penjelasan tadi!!
"terus..kami mesti gimana Dok?" tanya gue.
"lebih baik bicarakan dengan psikiater, karena ini bukan soal medis belaka, faktor psikis lebih berperan
dalam hal ini." gue benar-benar shock! kegilaan apa ini?" mana ada orang yg mau melukai dirinya sendiri?" hanya
orang-orang bodoh yg nggak mensyukuri hidup.
huuffftt.....gue terduduk di kursi depan kamar. sambil mencoba membayangkan rasa sakit akibat
melukai diri sendiri, diam-diam gue justru merasa lebih baik kalau wanita itu adalah hantu...
Part 15 "jadi gimana nih selanjutnya?" tanya gue ke Indra sambil menatap tumpukan obat yg tadi diberikan
dokter. Indra diam sebentar. "kita tunggu dia bangun dulu, baru kita bicarakan baik-baik apa yg harus kita lakukan." jawabnya.
potongan kain di kedua kakinya sudah diganti dengan perban oleh dr. Yusuf. wanita berkaos kaki hitam
itu kini jadi wanita "berkaos kaki" putih. dalam hati gue sendiri nggak pernah menyangka kaos kaki
hitam yg dipakainya ternyata untuk menutupi bekas-bekas luka yg dibuatnya sendiri. muncul rasa iba
sekaligus takut melihat sosok wanita yg sekarang sedang tertidur di kasur.
gue melangkah keluar kamar menuju tembok balkon favorit gue. haah...betapa tadi gue masih meratapi
kesedihan karena kehilangan Eci dan beberapa jam terakhir pikiran gue tersedot ke wanita berkelainan
jiwa bernama Mevally. sekarang waktunya gue mengistirahatkan otak gue.
gue duduk di kursi kecil depan kamar yg gue taroh di sudut tembok balkon. sambil menjulurkan kaki gue
coba pejamkan mata. menikmati heningnya malam yg sejuk ini.
"Ri," belum juga lima detik gue pejamkan mata suara Indra terdengar memanggil di sebelah kiri gue
berada. "apa?" gue menoleh.
"gue mau buang pakaian bekas tadi," katanya mengangkat sebuah kantong hitam berisi pakaian
berlumur darah yg tadi kami pakai sebelum mandi. "sekalian beli nasi goreng. lo mau nitip?"
"boleh tuh." sial, begitu tersedotnya pikiran gue sampai-sampai gue lupa sejak siang tadi gue belum mengisi perut.
"pedes nggak" telornya dicampur apa dipisah?" tanya Indra lagi.
"pedes tapi telornya dipisah." itu adalah menu favorit gue kalau makan nasi goreng. ternyata Indra
masih belum hafal juga padahal gue sering nitip beli nasi goreng ke dia.
"ya udah tolong lo jagain cewek ini yah.." lanjut Indra lalu melangkah menuruni tangga. suara sandalnya
beradu dengan lantai keramik terdengar seperti sebuah irama yg memecah keheningan malam ini.
heyy...kok gue baru sadar yaa malam ini sepi banget nih kosan" pada kemana para penghuni kamar yg
biasanya begitu berisik dengan lagu-lagu dari speaker mereka" sekarang malah suara jangkrik yg
bersahutan menyanyikan senandung mereka.
dan tiba-tiba gue melihatnya! Echi! dia berdiri di depan tempat gue duduk!!
aah..itu di dalam pikiran gue aja. ketika gue buka kedua mata gue, nggak ada siapapun di sana. hanya
sebuah kekosongan yg begitu hampa. sama dengan yg gue rasakan sekarang dalam hati gue.
sangat menyakitkan rasanya mendapati kenyataan orang yg kita cintai harus direnggut dengan cara yg
begitu tragis. kadang gue menerka seperti apa wajah "malaikat pencabut nyawa" yg sudah membuat
gue merasakan sakit yg sangat ini. dan jantung gue selalu berdegup kencang tanda emosi gue naik setiap
mencoba menerka hal itu. gue menarik nafas berat. ah, rasanya nafas gue selalu berat setelah kehilangan Echi. entah apa yg harus
gue katakan buat menggambarkan sakit ini.
gue hanya diam membiarkan otak gue bermain dengan bayangan-bayangan yg berkelebat nggak jelas.
entah sudah berapa lama gue terdiam saat sebuah suara membawa gue ke alam sadar.
"woii...malah molor di depan kamer!" suara Indra mengagetkan gue.
"eh, lo udah balik Dul. kok gue nggak denger suara lo ya?"
"orang tidur mana bisa denger suara?" Indra tertawa.
dia menarik kursi dari depan kamar nomor 21 dan menyeretnya ke dekat gue.
"laper banget nih gue," katanya.
"kok elo beli tiga bungkus" lo mau makan dua?" tanya gue melihat jumlah bungkusan nasi di kantong di
tangan Indra. "gue beliin buat cewek itu. kasian dia juga laper gue yakin."
kami mulai menyantap nasi di tangan kami. ah, akhirnya perut gue terisi juga..rasanya seperti dua tahun
kelaparan! (lebay...lebay....)
"udah jam sepuluh nih," gue mengecek jam di hp. "tuh cewek belum bangun juga, dan gue yakin nggak
akan bangun sampe besok pagi. jadi gimana?"
"kita tidur aja deh. besok gue kan shif pagi."
"ya udah gue duluan yaa," gue buka pintu kamar gue.
"eeh...mau kemana lo?" Indra menarik leher kaos gue.
"kan lo bilang kita tidur dul?"" protes gue.
"tidur dimane lo?"
"ya di kamer gue laah. masa di kamer lo"!"
"ide bagus. lo tidur di kamer gue."
"lho, kok gitu" kan ada si Meva di sana" lo mau temen lo ini diperkosa sama tuh cewek?""


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"aje gile! otak lo isinya bokep mulu!" Indra menepuk jidat gue. "tenang aja lo nggak akan diperkosa
sama dia. paling juga kepala lo dikuliti pake silet pencukur jenggot!"
"ogah ah! gue tidur di kamer gue!"
"ya udin gue ikut."
"dari tadi kek bilang lo numpang di kamer gue gitu..kan nggak perlu debat nggak penting."
"yaah...penting nggak penting serah lo aja dah."
dan kami mulai mencari tempat yg nyaman untuk mengirim kami ke alam mimpi.
"eh, pintu kamer gue belum ditutup." kata Indra.
"ya udah tutup sana."
"lo aja deh yg nutup."
dengan terpaksa akhirnya gue beranjak keluar hendak menutup pintu kamar Indra. wanita itu masih
tertidur di sana. gue sempatkan memandang wajahnya sesaat. hmm...manis juga sebenarnya. dan wajah
itu pun menghilang tertutup daun pintu yg gue tutup..
Part 16 "HUUAA.....JAM SETENGAH SEMBILAAN!!" setengah berteriak gue bangun dan menatap jam dinding.
"berisik. gue juga tau," kata Indra dengan santai sambil kucek-kucek mata.
"lo kok nggak bangunin gue dul?"
"nih, lo liat gue juga masih ileran noh.." dia menunjuk mulutnya. "gue juga baru bangun."
gue pandangi lagi jam dinding. berharap dengan begitu jarum-jarumnya akan berputar mundur. tapi gue
tau itu nggak mungkin. hari ini pertama kalinya gue bangun kesiangan di hari kerja.
"santai aja lah nggak usah dibikin panik," kata Indra lagi. dia rebahkan diri di kasur.
"busett..kesiangan gini malah nyantai"!"
"terus mau ngapain" maksain berangkat" kebayang nggak gimana bos lo bakal ngomelin plus maki-maki
lo gara-gara dateng terlambat dua jam?"
gue diam. sepertinya gue mendapat pembenaran dari statement Indra.
"so?" tanya gue pelan.
"tidur lagi." gue diam lagi. masih memikirkan mana yg lebih baik..memaksakan berangkat dan mendapat 'kopi anget'
dari bos yg galak atau melanjutkan tidur seperti kata Indra. menganggap hari ini adalah hari
kemerdekaan sehingga sekolah diliburkan.
"ngapain puyeng-puyeng" tinggal bilang aja kalo kita sakit. beres kan?"
"sakit kan mesti ada surat keterangan dari dokternya?"
"halaaah...gampang itu mah. bayar sepuluh rebu juga dapet kertas gituan mah."
gue masih berpikir. "kelamaan mikir lo," kata Indra. "udah lo tau beres aja. entar sore gue bikinin surat sakit buat elo."
"serius lo dul?"
"dua rius, empat, lima, serebu rius gue jamin deh!" dia tertawa lebar.
"asli nggak nih" gue kan nggak pernah bolos gawe. gue nggak pengalaman kayak gituan."
Indra mengacungkan jempol tangannya.
"tenang aja," katanya.
dan terbujuk kata-kata Indra akhirnya gue rebahan lagi di kasur. terlanjur kesiangan Ri, ngapain
berangkat" kira-kira kalimat itu yg menghibur gue dari kegalauan. maklum aja, selama enam bulan ini
absen gue di kantor sangat baik. baru kali ini gue nggak masuk.
"eh, gimana sama si cewek itu?" mendadak gue ingat Mevally.
"mana gue tau" kan tadi gue udah bilang gue baru bangun. lo coba cek deh ke kamer gue, jangan-jangan
dia kabur." "kenapa sih kalo bagian yg kayak gitu pasti gue yg kena?"
"yaelaah.....timbang ngecek doang jual mahal amat lo" kagak ada pahalanya pisan."
"lo deh yg liat."
"ya udah anggep aja tuh cewek masih ada di kamer gue. beres kan?"
"ah, elo mah suka ngegampangin masalah."
"lha, daripada gue bikin susah" pilih yg mana hayoo?""
gue mendengus kasar. "iya..iya...gue yg ngecek."
gue lalu beranjak keluar menuju kamar sebelah. pintunya masih tertutup. dengan pelan gue buka pintu
dan mendapati wanita itu sedang duduk bersandar ke dinding kamar. sebagian rambutnya menutupi
wajahnya dengan mata terpejam.
"hey, met pagii..." gue coba menyapanya.
hening. nggak ada jawaban. padahal gue yakin dia mendengar suara gue.
"met pagii Va.." gue ulangi salam gue.
matanya terbuka. dan dia menatap gue. cuma ada kengerian sendiri melihat tatapannya. gue tunggu dia
menjawab salam gue. "kok nggak jawab salam gue?" gue masih pura-pura menganggap dia nggak mendengar suara gue tadi.
"met pagi..." senyum di wajah gue hilang mendapati kamar tetap hening. wanita itu belum mau mengucapkan
sepatah kata pun. hanya sebuah tatapan tajam yg nyaris menusuk menembus kepala gue.
"bangun jam berapa tadi?" gue masih sok ramah. malah sekarang gue duduk di tepi kasur.
sh*t ! wanita ini masih membisu !
"sabar Ri...sabar......" gue dalam hati.
gue alihkan pandangan dari matanya. aneh memang ditatap dengan cara seperti itu. sambil berjaga-jaga
siapa tau wanita ini melakukan hal ekstrim, gue mengajaknya bicara lagi.
"lo laper nggak" dari kemaren belum makan kan?" gue ingat nasi goreng semalam yg membusuk di
pojok kamar gue. guys, dia masih clep diem! cewek macem apa sih sebenernya dia?""
"gue beliin sarapan ya" nasi atau bubur?"
aaaaarrrgggghh..!!! sumpah pengen banget gue getok kepala tuh cewek! dia bener-bener nggak
nanggepin gue yg udah cape ngomong"!
"ya udah gue beliin bubur aja ya," entah kenapa mulut dan hati gue nggak kompak banget.
gue bergegas ke kamar gue, cuci muka lalu turun keluar ke warung nasi langganan gue. biasanya di sana
juga sekalian jual bubur. tapi katanya buburnya udah habis jadi ya terpaksa gue jalan ke depan gang ke
tempat mangkal tukang bubur sop.
dari sana gue balik ke kamar membawa dua bungkus nasi uduk buat gue dan Indra, serta sekantong kecil
bubur sop buat cewek aneh plus nyebelin itu.
"nih, silakan dimakan." gue menyodorkan mangkuk berisi bubur dan segelas air dari dispenser. "kalo
udah makan, lo minum obatnya. nih obatnya."
gue sodorkan bungkusan obat ke dekat mangkok.
"nggak perlu gue suapin kan?" canda gue.
sepi. "ah, cape juga ngomong nggak diladenin! serah lo deh!" gue kesal.
gue masuk ke kamar gue dan langsung melahap nasi uduk tanpa sela, menghiraukan ekspresi keheranan
Indra. mending Ndra, lo cuma heran. gue nih cape plus kesel daritadi ngomong nggak diladenin!!
"dasar cewek aneh!" omel gue dalam hati.
Part 17 gue hirup rokok di tangan gue dalam-dalam.
"tumben-tumbenan lo ngudud Ri," Indra berkomentar setengah mengejek. siang itu gue dan Indra
duduk-duduk di tembok balkon menikmati 'bolos bersama' hari itu.
"lo pikir gue banci?" balas gue.
"eits..jangan salah lo, banci juga ngudud."
"ngudud beneran atau apa nih" yg jelas dong kalo ngomong."
Indra tertawa lebar. "itu mah hobi lo Ri."
"najis, ogah gue biar dibayar mahal juga."
"jadi lo mau kalo nggak dibayar?"
giliran gue yg tertawa. "nggak usah bahas masa lalu lo deh," kata gue.
saat itulah pintu kamar Indra terbuka dan Meva keluar berjalan agak tertatih. perban di kedua kakinya
pasti sudah membuatnya tidak nyaman.
"mau ke mana lo?" Indra bertanya padanya.
"percuma nggak akan dijawab," kata gue mengingatkan.
"mau ke kamer gue."
gue menoleh kaget. bercampur kesal gue rasa. nggak salah nih cewek ngomong" apa gue yg tadi salah
denger yaa" ah, kali aja tadi gue berhalusinasi seolah denger dia ngomong.
"lo kebanyakan dosa sih.." Indra berbisik lalu tekekeh geli.
gue hanya mencibir pelan.
"butuh bantuan?" kata Indra lagi pada Meva.
"nggak perlu, gue bisa sendiri," jawab Meva tanpa menoleh ke arah kami.
beneran loh, cewek itu ngomong!
gue dan Indra saling pandang.
"padahal kalo sama gue dia nggak mau ngomong loh," gue menggerutu kesal.
mata gue menatap lekat sosok wanita itu. dia akhirnya sampai di depan kamar dan masuk ke dalamnya.
"mumpung dia udah pergi, gue ganti seprai kasur dulu deh." Indra bergegas menuju kamarnya dan
sepuluh menit kemudian dia sudah kembali lagi dengan gitar cokelat kesayangannya.
"kayaknya bulan ini gue tekor nih," katanya. "mesti beli baju sama seprai baru. gara-gara cewek itu." dia
memonyongkan mulutnya ke arah pintu kamar Meva.
"tuh cewek pembawa sial kali yaa?"
"ssstt...jangan kenceng-kenceng entar dia denger marah lho."
"iya gue pelanin deh suara gue," sengaja gue keraskan volume suara gue.
Indra seperti membisikkan kalimat 'bego lu!' tapi entahlah gue sendiri nggak yakin karena biasanya dia
bilang 'goblok lu!'. "kalo gue sendiri nggak mau men judge terlalu dini soal cewek itu," kata Indra. "yg gue pikirkan sekarang
adalah apa yg harus kita lakukan sama dia. biar kita nggak kena dampak dari kebiasaan anehnya. gue
yakin dia masih punya kemungkinan buat nyerang orang-orang di sekitarnya."
"tapi kan dia cuma melukai diri sendiri" dokter sendiri yg bilang gitu kan?"
"ya sapa tau aja gitu. waspada bos, waspada."
"kalo gue sih nggak takut dia akan nyerang kita. yg gue takutkan gue nggak bisa nahan emosi gara-gara
dicuekin sama dia!" "hahaha....itu mah tergantung elo nya aja, kebanyakan dosa sih."
"gue masih punya stok pahala banyak, jadi tenang aja."
"kalo dosanya lebih banyak ya percuma aja lah," Indra nyengir lebar. "eh, tapi dia nggak sepenuhnya
cuek kok. tadi gue ke kamer kan..bubur sama obatnya udah dia makan tuh."
"baguslah. ternyata dia bisa laper juga toh."
rokok di tangan gue habis. gue lempar asal-asalan ke bawah.
"lo kasian nggak sih sama si Meva?" tanya gue.
"jelas gue prihatin lah. nggak kebayang deh kalo gue yg punya keanehan macem itu. iiiihh....sumpah
ngeri gue." "menurut lo kita mesti ngapain?"
"ngapain apanya" ya udahlah biarin aja toh dia bukan siapa-siapa kita kan" kenal juga enggak. tapi yg
namanya waspada ya tetep kudu dijaga. biar gimanapun kita yg paling deket sama kamer dia. kamer
sebelahnya kan udah pindahan."
"pindah" Mang Eko sama istrinya emang pindah kemana" kok gue nggak pernah liat mereka angkutangkut barang?"
"ya iyalah nggak akan tau, elo sih ngayap mulu. mereka udah lama pindah kok, dapet dua bulan lah.
katanya sih pindah ke Gempol gitu biar lebih deket ke tempat kerja."
gue mengangguk pelan. "by the way enaknya ngapain nih?" tanya Indra.
"lo udah nenteng gitar kan" ya udah tinggal nyanyi aja."
"lagu apa" request deh, terus salamnya buat sapa aja?"
"haha..lo kata request lagu di radio?" gue menyulut sebatang rokok lagi. lumayan lah gratisan, rokok ini
punyanya Indra. tiba-tiba gue teringat sesuatu. "eh, lagunya Jamrud aja yg lagi tenar sekarang. lo apal
kan?" "yg mana?" "yg ceritanya jam dinding bisa ketawa tuh."
"oh itu. gue tau kok, tapi lo yg nyanyi yaa."
gue mengangguk. Indra mulai asyik dengan gitarnya. gue pun bernyanyi. sambil nyanyi sekali-kali gue lirik kamar Meva,
berharap pintunya terbuka dan dia menghampiri tempat ini. kayaknya lagu ini memang lebih cocok
dinyanyikan duet bareng cewek. seperti waktu malam itu..
hey..heyy...kan dia nyebelin" bikin kesel" kok bisa-bisanya gue ngarepin dia nongol terus nyanyi bareng
di sini" ah, bodo amat. gue lanjutkan nyanyi-nyanyi sampai Indra nyerah dan memberikan gitar ke gue.
"ngantuk ah," katanya lalu menuju kamar gue.
gue diam. nggak seru nih nyanyi sendirian. gue beranjak ke kamar Meva. berdiri di depan pintu dan
mengetuknya. nggak ada jawaban.
gue ketuk lagi. dan kali ini jelas terdengar suara di telinga gue. suara tangisan seorang wanita.....
Part 18 pintunya nggak dikunci. dengan mudah gue membukanya dan mendapati cewek itu sedang duduk
memeluk lutut di sudut kamar yg gelap dan pengap. gue meraba-raba dinding mencari saklar lampu.
"jangan nyalain lampu," kata Meva tanpa menoleh ke gue. isaknya terdengar lirih di ruang kosong ini.
"kenapa?" sahut gue. telunjuk gue tertahan di saklar.
Meva menggeleng. wajahnya masih terbenam di lututnya.
"ada yg mau lo ceritain" seenggaknya sedikit bercerita dengan orang lain adalah lebih baik daripada
dipendam sendirian," kata gue sok bijak.
"bukan urusan lo."
"heh, lo pikir kalo ada seseorang yg dengan bodohnya nyoba bunuh diri di depan mata lo, itu bukan
urusan lo?" huh..mungkin lebih baik kemaren gue biarin lo mati tolol di WC." kata gue dengan sengitnya.
gue sengaja ngomong begitu untuk memancing emosinya. kalau manusia normal, gue yakin dia akan
mencak-mencak ke gue. tapi yaah mungkin dia memang nggak normal kali yaa" nggak ada reaksi apapun
dari dia. hanya duduk dan terdiam.
"come on guys..mau sampe kapan sih lo bisu gitu" cerita aja apa masalah lo, siapa tau gue bisa bantu."
dan seperti yg sudah terjadi sebelumnya, cewek aneh ini tetap diam dalam bisu nya. rasanya gue mulai
nyerah ngajak dia bicara. gue putuskan keluar, menutup pintu lalu duduk di bawah jendela kamar. masih
dengan gitar di tangan, gue mulai bernyanyi.
kalo lo pikir ini seperti cerita-cerita di film india, lo salah. karena entah dapet ide darimana, gue
bernyanyi dengan suara tinggi melengking dan dengan nada yg sangat mengkhawatirkan. dan hasilnya"
nggak butuh satu menit buat Indra membuka pintu kamar dan melempar sandal tepat ke jidat gue tanpa
sempat gue menghindar. "kerasukan jin ifrit lo ye?"" serunya.
gue hanya geleng kepala sambil nyengir lebar.
"semprul lo.!" katanya lalu menutup pintu.
dan gue melanjutkan 'ritual' gue. aneh memang saat kita bernyanyi tapi kita sendiri nggak kenal lagu apa
yg sedang dinyanyikan. kunci gitar asal-asalan ditambah suara sumbang, lengkap sudah 'penderitaan'
mereka yg mendengarnya. "mau sampe kapan nyanyi kayak gitu?"" sebuah suara terdengar di atas kepala gue.
gue menoleh ke asal suara. Meva nampak muncul dari jendela yg kacanya belum sempat gue pasang
lagi. "bukan urusan lo," jawab gue sekenanya.
"lo udah ganggu ketenangan orang lain. lo bilang bukan urusan gue?""
gue berdiri. menaruh gitar di lantai lalu bicara.
"dengan nyanyi seenggaknya gue bisa mencurahkan perasaan gue. itu lebih baik daripada mojok di
kamer yg gelap." "nyindir nih?" "sorry deh kalo lo ngerasa kesindir."
"kenapa sih lo demen banget bikin orang kesel?"
"enggak papa, gue seneng aja. dengan begitu kan lo jadi mau ngomong sama gue?" gue mengakhirinya
dengan sebuah senyum lebar.
Meva diam. gue lihat matanya sembap karena menangis cukup lama.
"ayo keluar. kita ngobrol di luar. di dalem sumpek," gue menarik tangannya.
"eh..eh...gue masih di dalem nih!" protesnya. "sembarangan aja narik-narik orang."
"oh, maaf gue lupa," padahal gue tadi sengaja.
Meva keluar dari kamarnya dan duduk di tembok balkon. entah kenapa kali ini gue merasakannya lagi.
perasaan yg enam bulan lalu pernah gue rasakan saat pertama kali gue melihatnya. saat gue mainkan
gitar dan dia bernyanyi di tengah malam.
"Ari," gue sodorkan tangan.
"lo udah tau nama gue," katanya tanpa menghiraukan ajakan gue untuk bersalaman.
"ah iya...gue..baru inget," sumpah gue salah tingkah plus kesel. malu juga sebenernya. tapi gue tetep
coba jaga image. "jadi udah berapa lama?" tanya gue.
"apanya yg berapa lama?"
"yaah..udah berapa lama nama lo Mevally?" kedengarannya konyol banget yak !
"pertanyaan yg nggak perlu dijawab," kata Meva.
"mau minum?" "thanks. nggak usah basa-basi deh."
"so, apa yg bikin lo sering nangis?"
"harus ya..nanya langsung ke intinya" nggak ada basa-basinya banget."
hhhhhh.....beneran kesel gue sama cewek yg satu ini!!
"gue akui, gue bukan orang yg pinter berbasa-basi. tapi gue jago lho ngasih julukan ke orang."
"maksudnya?" Meva kernyitkan dahi.
"sejak pertama ketemu elo, gue udah punya julukan buat lo. lo mau tau" karena belum tau nama lo, gue
kasih lo julukan 'wanita berkaos kaki hitam'." hahaha..(tertawa dengan hambar)
"gue sekarang pake perban putih tuh."
gue perhatikan kedua kakinya yg dibalut perban.
"kalo gitu julukannya wanita ber perban putih.?"
dia tersenyum kecil. wouw ini pertama kalinya gue bikin dia tersenyum. keinginan yg sempat hinggap
beberapa waktu yg lalu akhirnya kesampean.
"sakit nggah sih kaki lo?" kata gue.
"lo mau nyoba menyayat kaki lo pake pisau cutter" nanti lo tau sendiri gimana rasanya."
gue menggeleng merinding.
"ngebayanginnya aja ngeri gue," komentar gue.
"lo nggak akan pernah tau sesakit apa rasanya sakit itu sebelum lo ngerasainnya sendiri."
"oiya" tapi kita nggak akan begitu sakit kan seandainya kita mau berbagi dengan orang di dekat kita?"


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meva terdiam. sejenak dia ayunkan kedua kakinya. turun dari tembok lalu kembali ke kamarnya
meninggalkan gue sendirian.
Part 19 sore harinya gue terbangun dengan wajah tertutup sebuah amplop putih kecil berkop tinta biru.
nampaknya amplop resmi dari lembaga tertentu, dan karena nyawa gue belum sepenuhnya kumpul, gue
taruh amplop putih itu di atas galon. sambil menggeliat melemaskan otot gue mulai berfikir soal menu
makan yg enak sore ini. baru saja gue melangkah keluar kamar saat terdengar suara indra memanggil dari tembok balkon.
"tuh surat sakitnya tadi gue taro di muka lo," katanya.
"oh, sembarangan aja lo naro barang gituan di muka gue. mending tuh amplop nggak basah kena iler,"
gue melangkah dan duduk di kursi. "laper nih. udah beli makan belom?"
"udah barusan."
"yaah nggak bisa nitip dong gue?"
"skali-kali beli sendiri lah."
"busett...jahat amat lo. kan selama ini yg sering nitip tuh elo, gue yg jadi babu."
"pahala...ri...pahala. lo mau masuk surga kan?"
"nggak gitu juga kali."
indra tertawa. "eh, si cewek aneh kemana?" tanyanya. "dari tadi gue nggak liat dia."
"mana gue tau" kan lo liat sendiri gue baru bangun?"
"tau tuh, sejak gue bangun satu jam yg lalu gue nggak liat dia di kamer gue."
"berarti lagi di kamernya."
"ngapain?" "pertanyaan bodoh yg nggak perlu gue jawab."
"kenapa?" "pertanyaan tolol yg nggak perlu gue jawab."
indra diam. "padahal kalo kakinya nggak cabik-cabik kayak gitu, dia seksi lho," katanya lagi.
"lo suka sama tuh cewek?" tanya gue menyelidik.
"kagum man.. tolong lebih dibedakan antara kagum dan suka."
"dia cantik kok. ramah pula, sebenernya..kalo kita udah kenal deket."
"lo demen sama tuh cewek?"
"sekali lagi lo ngajuin pertanyaan bodoh, gue jorokin lo ke bawah."
"yaelah...gitu aja pundung. kalo emang nggak ya udah nyantai aja lagi."
"udah ah gue cari makan dulu," kata gue melangkah turun.
"gue titip sop buah ya?" teriak indra saat kaki gue memijak anak tangga ke tiga. gue jawab dengan
acungan jempol. ah, sore begini asyiknya makan yg pedes-pedes. mie ayam langganan di depan gang selalu jadi pilihan
tepat buat menu kuliner sore. kali ini gue sengaja pesen yg pedes banget. setelah mendapat pesanan
indra gue mampir ke salahsatu warteg. gue beli nasi telor karena gue pikir meva pasti belum makan.
jadilah gue kembali ke kamar dengan tiga bungkusan berbeda.
"ciyee...perhatian amat lo," komentar indra melihat nasi bungkus punya meva.
gue melangkah menuju kamar meva. tiga kali gue ketuk pintunya nggak ada jawaban, jadi gue putuskan
langsung masuk dan mendapati meva sedang terlelap di lantai dengan berbantal lengannya.
"hei..hei...bangun," gue goyang-goyang bahunya. "makan dulu baru lanjutin tidurnya."
kedua matanya terbuka. dia terperanjat kaget melihat gue di sebelahnya.
"ngapain lo?" tanyanya penuh selidik.
"gue belum ngapa-ngapain kok, lo udah keburu bangun dulu. tidur lagi deh biar bisa gue apa-apain,"
canda gue. 'PLAKK!' sebuah tamparan mendarat telak di pipi gue.
"busettt ! galak bener non. gue kan becanda doang."
meva memasang wajah nggak senangnya.
"becanda lo jelek," sungutnya.
"ya udah nih," seraya gue serahkan bungkusan nasi telor di tangan gue. "gue cuma mau ngasih ini aja.
nih air minumnya, dan ini obat yg harus lo minum. jangan lupa diminum obatnya."
"lo mau ke mana?" tanya meva begitu gue beranjak pergi.
"balik ke kamer, daripada kena tampar lagi."
"maaf...." gue hentikan langkah. "lo bilang apa barusan?" kata gue.
"maaf...soal yg tadi. gue memang suka bereaksi berlebihan."
"kalo kata maaf berguna, buat apa ada polisi?"
"emang apa gunanya polisi" maling aja banyak yg berkeliaran."
gue pandangi matanya yg sayu. takjub bercampur heran, ternyata cewek ini 'bisa' ngomong juga.
"kalo butuh apa-apa ke kamer gue aja," lanjut gue lalu mundur dan menutup pintu kamarnya.
baru sedetik tertutup tiba-tiba pintu terbuka lagi.
"ari," panggil meva.
"kenapa?" tanya gue.
"thank's buat nasinya."
gue mengangguk. "thank's juga buat tamparannya," gue dalam hati...
Part 20 hari yg dingin kali ini diakhiri dengan hujan yg turun deras sejak petang. indra sudah meringkuk di balik
selimutnya yg hangat beberapa saat setelah hujan turun. gue sendiri belum ngantuk, jadi gue putuskan
malam itu duduk nonton televisi sambil otak gue menerka-nerka kira-kira apa yg akan ditanyakan bos
gue di kantor besok terkait absennya gue hari ini. dan baru saja gue berhasil memunculkan bayangan
bos gue sedang memandang galak ke arah gue dari balik mejanya ketika pintu kamar indra terbuka.
"hei meva," gue buru-buru menoleh ke arah pintu.
"eh, ng......kirain kalian tidur di sebelah lagi kayak semalem," katanya.
"emang kenapa?"
"yaah gue pikir gue bisa tidur di kasur lagi. hehehe.."
"si indra udah tidur dari tadi. kalo mau lo bisa tidur di kamer gue aja, di sana juga ada kasur."
"lho, bukannya kamer lo yg ini ya?"
gue menggeleng. "ini kamer indra. kamer gue yg sebelah." gue berjalan ke pintu dan melewati meva. tiba di depan pintu
kamar gue berhenti. "tidur di kamer gue aja, biar nanti gue tidur di sini."
"eh, nggak usah lah. udah biar aja, gue tidur di kamer sendiri nggak papa."
"maksud lo, malem ini lo tidur kayak tadi sore tanpa kasur dan bantal?"
meva mengangguk. sedikit ragu.
"udah biasa kok," katanya pelan.
"jangan dibiasain."
"mau gimana lagi" keadaannya emang kayak gitu kok."
"itulah salahnya. jangan biarkan keadaan mengalahkan kita. kita yg harus mengalahkan dia," gue
membuka pintu kamer gue. "gue janji nggak akan masuk kamer ini selama lo ada di dalem. tenang aja."
"udah lah biasa aja sih. nggak perlu repot-repot, biar gue tidur di kamer sendiri. gue nggak enak
ngerepotin lo mulu."
"sedikit ngerepotin tapi kalo ikhlas nggak masalah kok."
"gue tidur di kamer sendiri." agaknya dia memaksa.
"oke," gue masuk kamer lalu melipat kasur menjadi satu tumpukan besar.
"mau diapain tuh kasur?" meva melongok dari pintu.
"gue pindahin ke kamer lo."
"eeh...nggak perlu, nggak perlu. oke gue tidur di sini." meva masuk dan mendorong gue menurunkan
kasur yg sempat gue angkat.
"oke silakan menikmati mimpi yg indah nona.." gue melangkah mundur. "anggep aja kamer sendiri."
"nah, lo sendiri mau ke mana?"
"bawel. ya ke kamer indra lah, masa mau bareng tidur di sini?"
"enggak, maksudnya kok buru-buru amat" masih jam tujuh nih, gue juga belum ngantuk."
"mau kopi?" meva menggeleng. "teh anget?" tanya gue lagi.
"boleh," jawabnya. "ujang gini asyik tuh minum teh anget."
"kalo gitu silakan bikin sendiri. teh sama gulanya ada di kaleng di samping dispenser," gue menunjuk ke
sudut kamar. "jangan lupa nyalain dulu pemanas dispensernya."
"gue bikin sendiri gitu?" protes meva.
"yaelaah...timbang teh gituan aja masa kudu dibikinin sih" lo kan cewek?"
"apa hubungannya cewek sama bikin teh?"
"ya biasanya yg cekatan bikin kayak gituan kan cewek?"
"nggak mau. lo aja deh yg bikin teh nya."
gue kernyitkan dahi. "kok malah gue?" gue juga protes. "kan elo yg mau minum teh?"
"ya udah deh nggak jadi. gue udah nggak tertarik," dia memasang wajah cemberut.
gue mendengus pelan. ni cewek masih aja nyebelin. gue jadi penasaran apa dia emang ngeselin sejak
lahir" gue masuk dan melangkah mendekati dispenser, menyalakan pemanas, lalu mulai menuang gula dan
memasukkan teh celup ke dalam gelas kosong tanpa air.
"lo sendiri nggak bikin?" tanya meva ketika gue menyodorkan segelas teh manis hangat yg baru saja gue
buat. "gue lagi nggak pengen," jawab gue pendek.
meva berhati-hati sekali meminum teh yg masih mengepulkan asap ke wajahnya.
"lo mau langsung tidur?" tanya meva.
gue menggeleng. "kalo gitu kita ngobrol aja sambil duduk di luar," ucap meva. dia keluar dan duduk di tembok balkon.
gelas teh hangat ditarohnya di sebelahnya.
gue sih ngikut aja. meva duduk di tembok balkon, sedikit demi sedikit meminum teh manisnya
sementara gue berdiri bersandar pada tembok. kami menikmati dinginnya angin yg berembus dingin.
"thanks ya tehnya manis, gue suka," katanya.
gue mengangguk pelan. gue amati baik-baik wajahnya. masih ada kemuraman di raut mukanya.
"kalo boleh tau, lo gawe dimana?" gue beranikan diri bertanya.
"gue kuliah kok di UN**KA, semester empat."
"ooh.. lo asli sini?"
"bukan, gue lahir dan besar di Padang."
"wah, kok bisa nyasar ke Karawang?"
"namanya juga orang nyasar, bisa kemana aja kan?" dia tersenyum simpul. "lo sendiri orang mana?"
"gue dari sebuah kota kecil di Kalimantan."
"rasanya gue nggak perlu tanya kenapa lo bisa ada di sini kan?" dan kami tertawa kecil.
malam itu kami berdua mengobrol tentang asal-usul kami, cerita masa kecil dan masa-masa sekolah
dulu, serta beberapa motivasi yg gue kejar di perantauan ini sambil diselingi candaan segar dari meva.
seperti sudah gue duga, meva memang orang yg menyenangkan. dia pintar mencari bahan
pembicaraan. memang baru sebatas perkenalan nggak formal tapi well, malam ini cukup menyenangkan
mengobrol ditemani rintikan hujan. lama kami ngobrol sampai lupa waktu. kami baru tidur saat malam
mulai beranjak pagi... Part 21 entah sudah berapa lama gue duduk di atas kursi ini. sebaik apapun pembawaan gue dan seceria
apapun keadaan di sekitar gue, toh tetep aja masih ada separuh hati gue yg menangis. kehilangan echi
benar-benar satu pukulan telak yg nggak bisa gue elakkan. terlalu sakit buat meyakinkan hati bahwa ini
akan berlalu seperti satu detik yg baru saja terlewati. dan terlalu dalam perasaan yg telah tumbuh di hati
untuk menganggapnya berlalu.
"gue udah ikhlasin dia kok," kata gue menanggapi pernyataan indra yg ingin gue segera mengikhlaskan
echi. "ya udah kalo emang ikhlas, jangan terlalu dibawa sedih terus.." ujar indra. "kasian echi di sana."
indra kepulkan asap putih dari mulutnya dan membubung tinggi lalu lenyap tertelan dinginnya malam.
dua isapan lagi dan rokok di tangannya sudah mendekati ujung.
"lagian kayaknya sekarang lo udah dapet gantinya echi," indra melirik pintu kamar meva.
"ah, terlalu cepet buat gue nyari pengganti dia. susah dul nyari ganti cewek yg udah gue sayang
banget.." "mending gitu daripada nggak dapet samasekali, iya khan?"
gue hanya nyengir sedikit.
"meva cakep kok kata gue," komentar indra. dia membuang puntung rokoknya.
"iya tau. gue masih normal kali."
"wedeew.....gue pikir loe udah kehilangan selera ama cewek. kadang gue suka takut lho, suatu hari nanti
lo nembak gue.?" dan kami berdua tertawa lebar.
"sialan loe. biar gue homo juga gue pilih-pilih kali. hahaha..."
"wah berarti gue parah dong sampe cowok aja ogah sama gue."
"begitulah elo dul. haha.."
"udah ah," indra menengok arlojinya. "udah mau jam delapan. gue berangkat gawe lah."
indra masuk ke kamarnya dan keluar dengan seragam lengkap.
"di bawah tivi ada mie instan tuh, lo masak aja kalo laper," katanya.
gue mengangguk. "eh iya, gue abis beli kaset baru tuh. tonton gieh semaleman sampe puas." dia tertawa kecil.
"iya, udah berangkat sana."
"oke oke. kayaknya loe seneng banget gue pergi?"
gue lempar sandal tapi meleset.
"udah berangkat sana, telat kena marah bos lo."
"iya iya gue cabut dolo." dan kurang dari semenit kemudian gue mendapati diri gue seorang diri di
beranda. ya, gue memang lebih sering sendiri di sini. kalo indra shif malem, gue cuma punya beberapa jam buat
ngobrol-ngobrol sepulang gawe, sampe dia berangkat gawe. sementara meva, seperti biasa, sudah
beberapa hari ini gue nggak melihat dia. nampaknya dia mulai lagi dengan kebiasaannya yg suka
"menghilang". setelah beberapa hari sempat rutin ngobrol di tembok beranda yg menghubungkan
kamar kami, gue kembali merasakan sepi. dan kesepian selalu membuat gue merasa semacam
sentimentil yg membawa gue dalam kesedihan.
sudah berhari-hari gue perhatikan pintu kamar meva tidak pernah terbuka. itu yg membuat gue yakin
dia "menghilang", seperti biasanya. semenjak gue kenal dekat 'cewek aneh' ini, meva selalu
menyempatkan ngobrol bareng gue sepulang gue kerja. itu kalo dia lagi ada di sini, kalo lagi pergi (gue
selalu lupa menanyakan hal ini ke dia) ya begini inilah gue. sendiri dan sepi. tapi gue pikir gue akan
terbiasa dengan kesendirian ini.
maka alangkah terkejutnya gue ketika tiba-tiba saja sosoknya muncul di atas tangga, sambil membawa
beberapa kantong plastik yg nampak seperti belanjaan. gue sempat mematung di kursi menatap ke
arahnya. "lagi ngapain?" tanya meva ramah.
"duduk," jawab gue. dalam hati gue bersyukur karena malam ini gue bakal punya temen ngobrol.
meva, khas dengan stoking hitamnya, berjalan mendekat ke gue, menaruh semua kantongnya, lalu
menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap lekat gue.
"ngapain lo?" gue sedikit protes dengan tatapan matanya.
"berdiri," jawabnya pendek.
gue mendengus pelan. "nggak enak kan dapet jawaban kayak gitu?" meva mencibir.
"iya sorry," kata gue. "bawa apaan tuh?" gue menunjuk kantong di lantai.
"tadi abis belanja di minimarket. oh iya, lo udah makan belom" gue beli mie ayam tuh buat lo."
"yaah...barusan aja makan tadi abis isya."
"waduh, jadi gimana nih mie ayamnya" gue sengaja beli buat lo."
"ya udah lo makan aja."
"gue juga barusan makan, masih kenyang ah."
"lagian lo sih sok baek pake beliin gue mie."
"yaelaah sekali-kali dapet pahala boleh lah."
"emang darimana lo malem-malem gini baru balik" udah kemaren pergi nggak bilang-bilang lagi."
"hadeuh..baru juga jam delapan, ri." meva menunjuk arlojinya. "ehem..lo kangen ya sama gue?"
gue kernyitkan dahi. "iya kangen mau nimpuk lo pake sendal," cibir gue.
"ciie...ciiee....." godanya sambil kerlingkan mata ke gue. dan dia pun tertawa. "eh iya, gue minta tolong
dong.." "tolong apaan?"
"gue udah pindahin barang-barang dari kosan yg dulu ke kamer ini. bantuin gue beresin kamer gue ya?"
"ooh..kapan?" "sekarang atuh," dia menarik tangan gue.
tiba di kamarnya, ternyata benar, ada beberapa tambahan perabot kamar yg sebelumnya nggak pernah
gue lihat. dan setelah beradu argumen antara 'besok' dan 'sekarang' akhirnya malam ini gue habiskan
dengan beres-beres kamer dan diakhiri dengan makan mie bareng meva....
Part 22 "woi Ri...bangun woii................" sebuah suara di pagi hari membangunkan gw dari tidur.
"sapa sih?"" gw menggerutu tanpa pedulikan orang itu. "ganggu orang tidur aja."
"busett dah ni anak susah amat bangunnya," suara cewek. Tepat di samping gw. Gw yakin pasti si Meva.
Dia mengguncang bahu gw beberapa kali. "kan lo janji mau bantu gw beresin kamer" Bangun laaah......"
"............................"
"bener-bener dah ni anak kayak kebo tidurnya!"
"entar deh siangan aja...." kata gw dengan malasnya tanpa bergerak sedikitpun dari posisi tidur gw.
"sekarang aja siih," dia mulai merengek. "nanti siang gw ada kuliah..."
"ya udah kalo gitu kuliahnya sekarang aja, biar siangnya bisa beres-beres kamer," gw masih bertahan di
balik selimut. "enak aja. Emang pangkat gw apa bisa ngatur-ngatur jadwal kuliah?"
"cuti, cuti. Bisa kan?"
"iiih....lama-lama lo nyebelin. Buruan bangun! Kalo nggak gw bakar dah ni kamer lo."
"bakar aja gak papa........."
"Aaaarrrriiiiiii.................................. ..........." dia kembali mengguncang bahu gw, kali ini dengan keras. "BA-N-G-U-N!!"
"iya iya gw bangun!" gw sibakkan selimut dari tubuh gw.
"nah, gitu dong," seru meva senang. "namanya janji itu harus ditepati. Inget janji adalah hutang."
"................................."
"yah, dia malah tidur lagi," meva mengomel lagi. "ayo lah bangun!"


Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gw balikkan badan menghadap ke arahnya. Dengan mata masih setengah terpejam gw paksakan untuk
duduk. Gw ingat dua hari yg lalu memang janji akan membantu Meva berbenah kamarnya. Dia memang
baru pindahan dua malam yg lalu.
"masih ngantuk Va......" kata gw sedikit memelas.
"cuci muka biar nggak ngantuk," nampaknya cewek ini tetep keukeuh gw harus bantu dia pagi ini.
"masih pagi nih. Nggak bisa entar-entaran yah?" pinta gw.
"sekarang udah jam delapan, Mas.....udah siang!"
"jam delapan masih pagi atuh. Setengah jam lagi deh ya abis itu gw beneran bangun deh. Ya ya ya?" dan
tubuh gw kembali ambruk ke kasur.
"lagi-lagi tidur," Meva menggerutu. "baru tau gw ternyata lo susah amat bangunnya."
Gw rasakan pipi gw ditepuk-tepuk.
"bangun lah ri, dua jam lagi gw udah harus udah ada di kampus."
Gw bergeming. Dan tepukan di pipi gw semakin keras. Sekarang malah sudah pantas disebut tamparan.
"sakit Meva!!" gw bener-bener bangun sekarang. Duduk sambil usapi pipi gw yg merah.
"hehehe....." Meva nyengir lebar. Hebat sekali dia! Tanpa sedikitpun bersalah dengan santainya dia
tertawa setelah menampar gw. "makanya bangun coba. Tuh gw udah bikinin teh anget."
"lain kali nggak pake tamparan ah," protes gw.
"hehe..iyah maap, ya abisnya loe susah amat sih bangunnya" Terpaksa gw pake kekerasan deh."
Gw mencibir. "udah cepet cuci muka sana. Muka lo jelek amat kalo baru bangun tidur."
Dengan masih menggerutu gw beranjak ke kamar mandi. Sekedar cuci muka lalu keluar kamar. Meva
sudah ada di kamarnya. Sebenernya males banget sumpah, hari Sabtu bangun pagi kayak gini. Gw biasa
bermalas-malasan dan memilih bangun lebih siang kalau hari libur seperti ini. Tapi yah mau gimana lagi,
gw terlanjur janji ke Meva bakal bantuin dia berbenah kamarnya hari ini.
Dua malam yg lalu, Meva memang baru saja memindahkan sebagian barang miliknya dari kosan yg lama.
Gw baru tau ternyata selama ini dia menyewa dua kosan. Satu di sini dan satu lagi di daerah Gemp*l.
Dan dia sering bolak-balik kedua kosannya ini karena memang bosan. Tapi jujur aja, selama ini gw nggak
pernah menyinggung atau mempertanyakan soal kebiasaan anehnya yg gemar melukai diri sendiri. Gw
takut ini akan merusak mood nya, dan malah nanti akan mendorong dia melakukan lagi hal aneh dan
ekstrem itu. Biarlah gw anggap dia cewek normal aja. Gw pura-pura nggak tau tentang keanehan dalam
dirinya. Dan memang dia normal kok. Sebagai teman ngobrol dia asyik dan nyambung diajak bicara, Cuma
memang ada beberapa momen gw temui dia tengah melamun seperti biasa. Kalo udah kayak gitu,
bahkan kebakaran pun mungkin nggak akan mengalihkan perhatiannya. Entah hobi atau memang
tuntutan profesi. Hehehe....
"Ri, sini deh.." panggil Meva dari dalam kamarnya.
"ada yg bisa gw banting?" gw masuk ke kamarnya. Masih kamar yg sama, kamar yg gelap dengan lampu
penerangan yg remang-remang, sama seperti pertama gw masuk ke kamar ini beberapa waktu yg lalu.
"menurut lo kasur ini enaknya ditempatin di mana ya?" Meva berdiri di sudut kamar, di sebelah kasur yg
terlipat di sudut lain kamar.
"dimana aja boleh," komentar gw. "asal jangan di kamer mandi aja."
Meva melotot ke arah gw dengan tatapan "gw kan nanya serius"!"
"di situ aja deh," gw menunjuk tempat dia berdiri saat ini.
"ya udah, sok atuh gelar kasurnya," dia berjalan ke arah gw.
"kenapa mesti gw" Kan elo sendiri bisa?"
"kenapa mesti gw" Kan elo udah janji mau bantu gw?"
"gw emang janji ngebantu Neng, bukan jadi pembantu."
"udah, sama aja. Buruan kerjain," Meva mendorong gw ke tempat kasur.
"huh, kerja rodi ini mah." Omel gw.
Tapi gw kerjakan juga memindahkan kasur ke tempat yg gw tunjuk tadi. Selain lampunya yg tetap redup,
kamar ini memang sedikit mengalami perubahan dengan penambahan beberapa perabot semacam
galon dan dispenser. Ada juga lemari kecil tempat baju, dan beberapa piring dan gelas untuk makan dan
minum. Sebuah tas punggung tergeletak di dekat pintu, dan beberapa buku tambahan jug tergeletak
begitu saja di sebelahnya. Dibandingkan dulu yg hanya ada rak buku, kamar ini jelas lebih padat
sekarang. Acara hari ini adalah nyapu dan ngepel kamer dan membersihkan kamar mandi. Dan itu semua gw yg
kerjakan sementara si Meva duduk manis memperhatikan pekerjaan gw! Memang hebat cewek yg satu
ini! Hah"! "oke deh, semua udah selesai. Gw kuliah dulu yaa.." kata Meva. "udah jam sembilan lewat nih."
Gw cuma bisa melongo melihat cewek ini mengepak buku-bukunya ke dalam tas.
Hari ini lo nyebelin banget! Gw udah dipaksa bangun pagi, cape-cape ngerjain sendiri dan setelah semua
beres, lo maen tinggal kabur aja! Bener-bener dah ini cewek.............!!
"nah, terimakasih lo udah bantu gw beresin kamer. Sekarang gw berangkat yaa," Meva melambaikan
tangan dan beranjak keluar.
"tunggu dulu," gw menahannya di depan pintu.
"ya?" "lo mau berangkat?" tanya gw.
Meva mengangguk. "udah gitu aja" Lo maen pergi aja setelah gw beresin kamer lo?""
"agenda hari ini emang itu kan" Inget..janji adalah hutang."
Gw menarik nafas panjang. Kesel bener gw, sumpah!
"ya udah berangkat sana," kata gw akhirnya.
Meva tersenyum. Senyuman manis yg dulu pernah gw idam-idamkan. Dia benar-benar tersenyum untuk
gw. Tapi kekesalan gw pagi inis edikit merusak senyumnya di mata gw.
"daah....." ucapnya lalu bergegas pergi.
Gw cuma bisa mengomel dalam hati. Yaaah, sudahlah....mau diapain lagi. Gw tutup pintu kamar Meva
dan beranjak ke kamar gw. Lebih baik gw melanjutkan tidur sampe malem.........
Part 23 Tadinya gw pikir gw baru akan bangun setelah 1000 tahun setelah seorang puteri mencium gw, tapi baru
setengah jam gw terlelap (itupun sudah dengan susah payah) ternyata suara berisik dari luar berhasil
membuat gw terjaga. Pengapnya kamar juga membuat gw sesak bernapas. Maka gw putuskan segera
keluar dan duduk di tembok balkon dengan rambut dan wajah masih acak-acakan.
Indra sedang duduk di depan pintu kamarnya, dan Pak Haji sedang berbincang bersama seorang pria di
depan pintu kamar nomor 20, kamar kosong yg ditinggalkan oleh pasangan suami istri yg dulu
menghuninya. Nampaknya pria itu akan jadi penghuni baru di kosan ini. Pria berambut ikal dengan
kumis dan jenggot lebat serta berkacamata. Hampir sebagian wajahnya tertutup rambut-rambut dari
kedua jambangnya. "Siapa tuh dul?" tanya gw ke Indra yg berjalan mendekat.
"orang baru," katanya seraya duduk di sebelah gw. "gantiin Mas Harjo."
"ah, tapi tetep aja bakal sepi seperti biasanya. Liat aja dua kamar di seberang kita, udah kayak nggak ada
penghuninya aja. Mereka nggak pernah bersosialisasi sama kita-kita ya?"
"mereka pada sibuk. Wajarlah, gawe di pabrik otomotif macem gitu, pasti lemburannya kenceng," dia
mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. "kadang gw suka iri sama mereka berdua, pasti asyik yah
punya gaji gede." "tapi lo mesti ngorbanin banyak waktu lo, kayak mereka ini. Lo mau?"
"yaah...kalo Sabtu-Minggu masih libur sih oke aja gw mah. Yg penting duid banyak."
Gelang Kemala 4 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke I Karya Lovelydear Jenazah Simpanan 1
^