Pencarian

Soccer Love 2

Soccer Love Karya Ida Farida Bagian 2


Semua melirik ke arahnya. Saat ini, Nico sedang mondar-mondir di depan meja yang biasa
ditempati Pak Guntur saat mereka rapat. Dia mondar-mandir persis orang yang menunggu
kelahiran anak pertamanya.
"Co, duduk deh! Jangan bikin gue tegang!" lontar Ichal.
Cukup lama juga suasana tegang di ruang sekret bola berlangsung. Mungkin ada sekitar lima
belas menitan. Untung aja setelah itu orang yang ditunggu -tunggu datang. Ilan datang dan dia
nggak sendirian. Dia ditemani seseorang.
Cukup lama juga suasana tegang di ruang sekret bola berlangsung. Mungkin ada sekitar lima
belas menitan. Untung aja setelah itu orang yang ditunggu-tunggu datang. Ilan datang dan dia
nggak sendirian. Dia ditemani seseorang.
"Akhirnya elo datang juga, Lan!" seru semuanya hampir bersamaan.
"Sorry," kata Ilan.
Kini semuanya mengalihkan pandangan ke arah seseorang yang berdiri di belakang Ilan. "Dee!"
Semua terheran-heran. "Hei," sapa Cadie seraya melambaikan tangannya. Agak canggung memang.
"Gue ketemu si Dee di luar. Nggak apa-apa kan ngajak dia ke sini?" terang Ilan.
Sinyo dan yang lain manggut-manggut.
"Duduk, Dee," tukas Ichal seraya memberikan bangkunya untuk Cadie.
Cadie tersenyum. Dia pun duduk setelah mendapat aba-aba dari Ilan. "Thanks! Oh ya,
sebelumnya aku juga mau bilang terima kasih ke kalian. Kakak bilang, kalian udah ngejaga aku
di rumah sakit selama dia nggak ada."
"Santai aja lagi, Dee," sambut Nico tersenyum.
"Iya, lagian Jumat kemaren itu rumah gue juga lagi direparasi. Jadi lumayan dapet tempat tidur
gratis," kata Dino sekenanya.
"Reparasi, lo kira mobil!" Renovasi norak!" imbuh Ryan.
Cadie tertawa kecil mendengarnya.
"Tapi sekarang elo nggak apa-apa, kan?" tanya Sinyo.
Cadie mengangguk mantap. Segurat senyum kembali menghiasi wajahnya yang putih bersih.
"Bagus deh," ucap semuanya. Sepertinya mereka juga sama leganya dengan Andy setelah
mengetahui Cadie baik-baik saja.
"Ya udah, gimana kalo kita mulai sekarang?" Seperti biasa, Ilan mengambil alih pembicaraan.
Semuanya mengangguk mantap. Seolah tidak sabar lagi untuk mendengar kabar dari Ilan, tentu
saja soal hasil pertemuannya dengan kepala sekolah barusan.
"Gimana, Lan?" tanya Sinyo.
"Iya. Apa Pak Ngatino mau ngubah keputusannya?" Kali ini gantian Luca yang bertanya.
"Itu dia yang mau gue omongin, ternyata ini bukan sepenuhnya keputusan dia," jawab Ilan,
membuat Sinyo dan yang lain bingung.
"Maksud lo"!"
"Masalah ini.. kayak yang udah kita duga, diambil alih dewan sekolah. Jadi sekarang ini
sepenuhnya keputusan mereka. Pak Ngatino nggak bisa ngapa-ngapain."
Sinyo dan yang lain kontan lemas mendengar itu.
"Terus kita harus gimana?" Ryan berkata pelan.
"Apa bener udah nggak ada cara lain" Lan, apa kalo kita ketemu langsung sama dewan,
keputusan ini juga tetep nggak bisa diubah?" tanya Nico.
"Iya. Gue nggak masalah kok meski harus mohon-mohon. Toh sebagian dari mereka juga udah
kita kenal," Ichal menambahi, mengungkit kalau beberapa dari anggota dewan di antaranya
adalah Bokapnya Luca dan Sinyo.
"Nggak mesti begitu kali," jawab Ilan.
"Terus" Emangnya elo ada cara lain?"
"Cara lain ya.. Elo semua mau tahu cara lain yang bisa kita lakuin?" Ilan melihat temantemannya. Semua manggut-manggut. "Dee, elo bisa jelasin nggak ke mereka cara lain yang elo
punya itu," lanjutnya.
Semua kontan menoleh ke arah Cadie. SSSEEETTT!
PINTU. Iya, itulah kata pertama yang terlintas di kepala Cadie saat Sinyo dan yang lainnya mulai
memandang penuh tanya padanya. Sebuah bend berbentuk persegi yang bisa membebaskan
orang dari ketakutan. Sebuah benda yang bisa dijadikan tempat pelarian dan jalan keluar
menuju tempat yang lebih baik. Lari, mungkin itulah yang saat ini ingin sekali dilakukan Cadie.
Pandangan Sinyo dan yang teman-temannya benar-benar membuat dia takut.
"Dee!" Nico mengibaskan tangannya di depan wajah Cadie. "Elo kenapa diem?"
"Oh.. Iya, sorry." Cadie cepat-cepat menyadarkan dirinya.
"And?" kata Nico penasaran.
"PETISI!" Cadie bangkit dari duduknya. "Kita buat petiso yang bisa ditandatangani murid-murid di
sini. Tentu saja, isinya menolak keputusan dewan untuk mengeluarkan Alex. Melalui ini, kita
meminta kesempatan kedua buat Alex. Meminta agar pihak sekolah mengizinkannya
melanjutkan pelajaran selepas direhab. Dengan begitu, dia tetap bisa lulus tahun ini dan nggak
perlu mengulang," terang Cadie.
Sinyo dan yang lain diam. Mereka sepertinya menikmati sekali antusiasme Cadie yang terpancar
dalam setiap kata-katanya. Seolah Cadie telah lama mengenal Alex. Dia begitu bersemangat.
"Gi.. gimana?" tanya Cadie, suaranya terkesan hati-hati. Gimana nggak" Mulai dari awal dia
ngomong sampai dia berhenti ngomong, Sinyo dan yang lainnya hanya diam seribu bahasa.
Tentu saja ini membuat Cadie heran. Takut, bahkan.
"Itu artinya mereka setuju," sambar Ilan cepat.
"Cadie!" seru Sinyo dan yang lain bersamaan. Rasa lega tampak jelas di wajah mereka. Mereka
hampir saja memeluk Cadie kalau saja Ilan tidak menghalanginya. Sebenarnya bukan Ilan yang
menghalangi. Cadie-nya sendiri yang tiba-tiba mencelat dan bersembunyi di belakang badan
Ilan, saat disadari Sinyo dan kawan-kawan mulai mendekatinya.
"Jangan khawatir, Dee. Kami ini cowok-cowok sopan kok!" ucap Nico terkekeh.
Sinyo dan yang lain nggak kalah geli melihat ekspresi ketakutan di wajah Cadie barusan.
Cadie tersenyum tipis. Malu tepatnya.
"Oke. Kalo gitu istirahat nanti kita ngumpul lagi di sini," kata Ilan setelah menyadari waktu sudah
menunjukkan pukul 7.30 tepat. Di luar ruangan, semua siswa kecuali mereka, sudah pada
kumpul di lapangan. Untuk apa lagi kalau bukan upacara.
"Whatever you say, Man," kata Luca.
"Tumben lo ngomong bahasa inggris, biasanya kan elo cinta banget sama bahasa Babe lo, apa
tug kalo whatever you say" Ape lo kate aje deh, iye?" ledek Ryan.
"Berisik!" *** Lagu Lithium-nya Evanescance, yang diputer Andro di radio sekolah seolah nggak cuma
menandai jam istirahat, tapi juga menjadi awal perjuangan Ilan cs untuk menyelamatkan Alex
dari masa depan yang suram. Tepat pada jam istirahat, mereka berkumpul kembali di ruang
sekret bola. Di sanalah definisi tugas masing-masing dijabarkan.
"Chal, Co, elo sama Guly, Mike en Dino, minta tolong sama anak-anak IPS. Pastiin dari 200
anak IPS, nggak ada satu pun yang absen, oke?" Ilan memberi tugas. Kelima orang yang
memang berasal dari jurusan itu mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
"Yan, elo sama Rio, Yoko, juga Willy, pastiin kalo semua anak IPA ambil bagian. Gue nggak
peduli gimana caranya, itu urusan lo!"
"Oke deh," jawab mereka kompak.
"Gue hajar kalo ada yang berani nolak tanda tangan," sambung Ryan. Cadie sampai ngeri
mendengarnya. "Nah elo Lang, sama Aska, Idil, dan Tegar, kalian bisa minta bantuan temen kalian di kelas dua,
kan?" "Siap!" Keempat adik kelas Ilan itu menjawab mantap.
"Ger, anak bahasa kan nggak terlalu banyak. Elo ditemenin Iyunk sama Igi aja, bisa kan?"
"Beres, Lan," jawab ketiganya.
Dari keseluruhan yang berjumlah 19 orang anggota tim sepak bola, semuanya sudah mendapat
tugas, kecuali Sinyo dan Luca, juga Ilan tentunya. Wajar aja kalo kini keduanya merasa heran.
Sinyo dan Luca saling berpandangan, lalu berulang kali melihat ke arah Ilan. Kayak orang yang
pengen banget kerja. "Elo berdua, bisa kan ngeberesin anak-anak kelas satu?" kata Ilan akhirnya.
"Maksud lo"!" Sinyo bertanya dengan gaya khasnya. Dia melipat kedua tangannya di atas dada,
lalu memberi tekanan pada nada bicaranya.
"Maksudnya elo sama Luca harus ngejual diri di depan anak kelas satu. Ya.. tebar pesona dikit
biar mereka mau tanda tangan. Ha.. ha.. ha.." Ryan terkekeh. Diikuti yang lainnya.
Nice decision! Mungkin begitulah keputusan Ilan menugaskan Luca dan Sinyo untuk
"membereskan anak kelas satu". Di sekolah, siapa pun tahu, kedua orang ini jadi idola anakanak kelas satu lantaran tampang kerennya. Mereka yang tampangnya rada lain daripada yang
lain ini jadi tipe favorit tersendiri buat anak-anak yang baru ngerasain masa-masa SMA. Yang
satunya agak-agak oriental, sementara yang satu lagi kebule-bulean.
"Gimana elo berdua" Siap nggak?" tanya Ilan lagi tatkala melihat Sinyo maupun Luca kurang
bersemangat. "Iye," jawab keduanya. Terkesan males banget sih jawabannya, tapi mau apa lagi, untuk Alex
gitu loh! Pikir mereka. "Ya udah. Gue sama Pak Gun akan coba ketemu sama dewan sekolah sekali lagi. Gue juga
akan coba minta bantuan OSIS melalui Denny," Ilan menjabarkan tugasnya.
WEDEH! Berat bener tugasnya. Well, inilah Ilan. Dia selalu tahu apa yang harus dilakukannya.
Dan dia tidak pernah ragu untuk melakukannya. Nggak peduli siapa orang yanv akan
dihadapinya. HAJAR BLEH! "Oh ya, Dee..," Ilan menoleh ke arah Cadie. Begitu pun yang lain. "Elo bisa nggak coba
ngomong sama guru-guru dan juga teman-teman sekelas lo?"
"Aku.." "Kenapa" Kalo nggak bisa juga nggak apa-apa sih," potong Ilan cepat menyadari kebingungan
Cadie. "Ng.. nggak, bisa kok. Tapi mungkin nggak semuanya, soalnya aku kan kurang kenal sama
guru-guru kelas tiga."
"Oh iya. Ya udah nggak apa-apa. Nanti biar Sinyo sama gue yang urus sisanya."
Cadie mengangguk. "Ya udah. Besok pagi kita ngumpul lagi di sini. Setelah itu, baru semuanya dimulai," tegas Ilan
meyakinkan. Semua manggut-manggut tanda setuju.
*** Keesokan harinya, tanpa buang waktu lagi, Ilan dan kawan-kawan pun mulai menjalankan
misinya. Misi menyelamatkan 'prajurit' Alex. Nggak mudah memang, cukup banyak juga anak di
sekolah itu yang nggak mau ngedukung mereka, termasuk di dalamnya teman-teman sekelas
Cadie. Cadie sampai bingung dibuatnya. Untung saja di saat-saat seperti itu ada Ryan yang
turun tangan membantunya.
"Sebenernya gue nggak mau maksa, tapi kalo elo pada nggak mau tanda tangan, GUE JAMIN
ELO NGGAK BAKAL TENANG NGELALUIN HARI-HARI LO DI SINI SELAMA GUE MASIH
ADA!" Yang dicetak tebal itu, (karena ngetik dihape nggak bisa di tebelin, jadi kata-kata yang
harusnya dicetak tebal saya ganti dengan huruf kapital semua) Ryan ngomong sambil teriak dan
mukul-mukul papan tulis pake kayu. Siapa yang nggak ngeri coba" Bukan cuma teman-teman
sekelas Cadie, Cadie-nya juga. Dan setelah itu, tanpa basa-basi lagi, teman-teman Cadie pun
langsung ikut ambil bagian.
Lain Cadie, lain lagi Sinyo dan Luca. Mereka bener-bener harus ngejual diri abis-abisan di depan
anak-anak kelas 1. Mulai dari alamat rumah sampai nomor HANDPHONE terpaksa mereka
relain, supaya tuh anak kelas satu yang kurang ajar dan bisanya manfaatin keadaan mau ngasih
tanda tangannya. Nggak cuma itu. Malah ada juga anak kelas satu (cewek-cewek) yang baru
bersedia ngasih tanda tangan setelah dicium dulu sama Sinyo dan Luca. Bikin kesel nggak tuh"
Kalo Nico si playboy yang kena peres kayak gini, mungkin bakal lain urusannya.
*** Haaah! Sebuah napas lega menandai berakhirnya perjuangan Ilan dkk. Lelah, letih, lemas, lesu,
capek, dan kawan-kawan, yang mereka rasakan selama hampir seminggu penuh itu terbayar
lunas sudah. Nggak sia-sia mereka kerja keras untuk ngumpulin tanda tangan hampir 2000
kepala, mulai dari siswa, guru, tukang pel, satpam, sampai ibu-ibu dan bapak-bapak kantin.
Dengan beberapa pertimbangan dan juga melihat reaksi yang ditunjukkan para siswa, tidak
hanya anak-anak tim sepak bola, akhirnya dewan sekolah bersedia memberi kesempatan kedua
bagi Alex. Meski dengan catatan, Alex kehilangan beasiswanya kuliah di Inggris.
"Elo semua pasti capek banget ya?"
"Pokoknya lebih capek daripada maen bola deh, Lex," jelas Dino perihal aktivitas dia dan yang
lain selama seminggu terakhir. Saat itu, dia, Ilan, Sinyo, dan juga hampir selusin anak tim sepak
bola, mendatangi Alex di pusat rehabilitasi-nya di Sukabumi. Oh ya, Cadie juga ikut.
"Thanks banget guys, gue nggak tahu lagi mesti bilang apa ke elo semua..," kata Alex.
"Itu juga cukup. Gue nggak perlu kok, ngedenger elo ngomong 'I love you' atau 'I miss you' buat
ngungkapin betapa elo berterima kasihnya ke gue,"sambut Ryan diiringi derai tawa yang lain.
Termasuk Alex. Dia kelihatan lebih baik dari saat Ilan memukulinya di atas atap beberapa waktu
lalu. "Jangan dengerin dia!" Nico mendorong tubuh Ryan. Sepertinya terlalu keras, karena dia sampai
pindah dari kursi ke lantai.
"Cumi!" "Cendol!" balas Nico.
"Yee.." "Heh! Jangan mulai deh." Ilan menghalau tanda-tanda akan terjadinya perang.
"Dee.. eh, boleh kan gue juga manggil elo begitu?" Alex meminta izin dan diangguki Cadie. "Elo
juga.. makasih ya. Makasih karena selain udah nyadarin gue tentang betapa berharganya hidup
ini, elo juga udah ngebantu mereka nuntasin misi gila itu," lanjutnya.
Cadie tidak menjawab. Sebuah anggukan kepala, juga segurat senyum manis di wajahnya,
sudah cukup untuk dijadikan jawaban.
"Hoooh!" Alex menarik napas panjang di tengah keheningan. "Pokoknya elo semua harus janji
sama gue, jangan kecewain Pak Gun. Cukup gue aja yang begitu, oke?"
"Tenang aja, Bro. Ini tahun terakhir kita di Guardian, dan nggak ada yang lebih baik untuk
ngelaluinnya selain membawa kejayaan The Whites. Right, guys?"
"Pasti," semua menjawab kompak. Sama semangatnya dengan Sinyo barusan.
Alex tersenyum. Disusul Ilan, dan juga tawa-tawa bersemangat yang lainnya.
Selama beberapa detik, Cadie terdiam. Bergantian dia memandangi Ilan dkk. Entah kenapa,
hatinya terasa sangat sejuk saat itu. Terasa nyaman dan tenang.
Ternyata begini ya yang namanya persahabatan. Bukan hanya di saat senang tertawa bersama.
Tapi juga tertawa bersama di saat susah. Nggak peduli temen kita itu salah. Nggak peduli meski
apa yang dilakukan temen membuat kita kecewa. Pada akhirnya, kekecewaan itu akan hilang
dengan sendirinya dan kita akan tetap datang untuk membantunya. Cadie menerawang.
*** Bab 6 Ganggu Cadie, Means Death!
"Cadie Kautsar!"
Ugh. Lagi-lagi suara itu. Suara yang membuat telinga Cadie terasa panas setiap kalo
mendengarnya. Suara siapa lagi kalau bukan suara Lily.
"Aku dengar kamu masih juga bertahan jadi asisten pelatih tim sepak bola" Benar begitu?" tanya
Lily, masih denvan gaya ratu sejagadnya. "Aku heran! Sebenarnya apa sih yang kamu cari"
Memangnya apa yang bisa kamu temukan di sana?"
"Banyak, yang pasti bukan kamu."
"Cadie, Cadie, Cadie.. Kamu sadar nggak sih, reputasimu di sini tuh udah hancur. Apa perlu
membuatnya jadi lebih buruk lagi" Sebenarnya untuk apa bergaul dengan orang-orang seperti
mereka?" Cadie tertawa kecil. "Orang-orang seperti mereka"! Memangnya apa yang kamu tahu tentang
mereka" Nggak usah sembarangan ngomong deh. Jangan bicara seolah kamu kenal mereka.
Kamu nggak tahu dan nggak akan pernah tahu tentang mereka, paham"!"
"Wow! Apa ini sebuah pembelaan" Nggak disangka. Kemana Cadie yang biasanya sangat
selektif dalam memilih teman?"
"Ada di depanmu!" Cadie membanting pintu lokernya. "Memangnya kamu belum sadar juga ya,
kenapa selama ini aku nggak temenan sama kamu" Itu karena aku terlalu pemilih!"
"Kamu..!" Cadie tersenyum senang melihat kedongkolan Lily.
"Heh Cadie! Sebenernya elo kenapa" Apa otak lo jadi rusak karena kebanyakan bergaul sama
anak-anak tim sepak bola?" Nena yang sejak tadi sibuk mengunyah Chitato-nya, buka mulut.
Lagi-lagi sebuah tawa kecil tampak di wajah Cadie. "Otakku rusak bukan karena mereka. Tapi
karena terlalu sering melihat kalian. Emangnya kalian nggak sadar ya, kalau otak bodoh kalian
itu bisa menular ke orang lain" Makanya aku sarankan, sebaiknya menjauhlah dariku!"
"Eh, elo tuh ya.."
"Cadie, (Lily mendorong tubuh Nena agar menyingkir, soalnya dia mau mulai ngatain Cadie lagi)
aku akui kamu hebat. Meski aku juga yakin kamu nggak sehebat itu."
"Sebenarnya apa maksudmu" Langsung ke intinya aja deh."
"Baik. Aku cuma mau kasih tau kamu satu hal, ini.. tentang Denny. Apa kamu sudah tau, kalo
sekarang dia jalan sama Abel" Aneh ya" Abel itu kan temen baikmu. Kok bisa-bisanya dia
melakukan itu. Ugh! Rasanya pasti sakit sekali, benar kan?" Lily setengah meledek.
Sepertinya benar sekali perkiraan Lily, satu-satunya berita yang bisa menohok Cadie hanyalah
yang berkaitan dengan Denny. Cadie hanya diam.
"Eh, mau kemana lo?" Nena mencoba menghentikan langkah Cadie.
"Minggir!" "Elo belum jawab pertanyaan Lily."
"Aku bilang minggir!" Cadie yang mulai kesal menaikkan volume suaranya.
"Heh! Kalo dia bilang minggir, itu berarti minggir. Apa perlu gue yang bikin elo berdua minggir!?"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari ujung koridor.
"Ryan!" "Hei, Dee..," sapa Ryan, diikuti yang lain. Di antaranya Ilan, Sinyo, Nico, Ichal dan si kembar
Luigi-Mario. Mereka persis jagoan di film-film eksyen. Berjalan membentuk barikade, seolah siap
tempur. "Mereka kenapa, Dee?" tanya Nico.
"Oh.. Mereka.."
"Kalian mau apa" Jangan sentuh aku!" Tiba-tiba saja terdengar si culas Lily mulai teriak. Cadie
batal ngomong saking kagetnya. "Dengar, aku.. jangan macem-macem sama aku atau aku akan
melaporkan kalian supaya kalian dikeluarin dari sini," bentak Lily pada Ryan.
"Oh ya" Lapor sama siapa" Pak polisi" Siapa ello mau ngeluarin gue"!" sahut Ryan.
"Kamu kira aku main-main?"


Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa gue bilang begituuuu?"
"Jangan kira mentang-mentang kalian cowok, terus aku.. terus aku takut."
"Kalo gitu sama. Jangan kira mentang-mentang elo cewek, terus gue nggak berani nonjok muka
lo! Eh, gue kasih tau ya, elo itu.."
"Aaaaa!" Lily teriak histeris sebelum Ryan menyelesaikan kalimatnya. Ryan yang tadinya mau
nakutin malah kaget sendiri.
"Heh! Elo mau bikin gue jantungan apa"!" seru Ryan kesal.
Lily hanya diam. Sesaat dia menatap Ryan, sebelum akhirnya menarik Nena yang mulai sibuk
menghirup alat bantu pernapasannya, pergi dari tempat itu.
"Heh! Woi! Gue belum selesai!"
"Gue heran deh sama Lily, kayaknya kok nggak ada waktu banget ya, buat nggak cari perkara
sama orang lain," ucap Ichal disambut tawa kecil yang lain.
"Semuanya tolong denger baik-baik. Mulai hari ini, kalo ada yang berani ganggu Cadie atau
ngomong macam-macam tentang Cadie dia, urusannya sama kami!" tegas Sinyo kepada seisi
orang di koridor, yang tadi dibuat kaget oleh teriakan Ryan.
"Kasih tahu ke semua temen lo juga. Bikin iklan kalo perlu," Nico menambahi. Bener-bener udah
kayak preman lagaknya. "Aku.. aku jadi nggak tau harus bilang apa sama kalian," ucap Cadie pelan.
"Ya nggak usah bilang apa-apa. Santai aja lagi." Sinyo menepuk pundak Cadie. "Oh iya,
handphone lo mana?" "Hah"!" "Tenang aja. Nggak bakal gue ambil kok. Emangnya elo nggak tau siapa gue" Gue ini Adrian
Sinyo Subrata, putra tunggal pengusaha tekstil Adrian Subrata, dan cucu konglomerat Dimas
Subrata, gue nggak.." KLEPOOK! Tiba-tiba saja sebuah tangan menyambar kepala Sinyo.
"Intinya, gue nggak bakal ngambil handphone lo, sini!" lanjutnya sambil sesekali menoleh ke
arah Ilan. "Eh, Dee, lain kali kalo Lily macem-macem, bilang aja ke gue. Biar gue kasih pelajaran sekalian.
Mau tau gue, sekenceng apa sih dia bisa teriak," kata Ryan.
Cadie cuma senyum. "Nih..! Gue udah masukin nomor Ilan dan yang lain di situ. Jadi, kalo elo butuh apa-apa, telepon
aja salah satu dari kita, oke!" lanjut Sinyo seraya mengembalikan ponsel Cadie.
"Tapi jangan SMS ya, Dee. Soalnya gue paling males ngetik," Nico menambahkan.
"Males apa miskin?" Ilan mengucap santai. Cadie sampai heran dibuatnya. Akhirnya, dia
ngomong juga. "Iya, yang kaya!"
"Bagus deh kalo tau."
"Berarti boleh donk, sekali-sekali nginep gratis di hotel elo. Elo kan.."
"Berisik!" "Heh, tadi kan elo sendiri yang bilang kalo elo.."
"Nggak diem gue tendang ke bawah lo!"
Selama beberapa saat Nico dan Ilan berdebat nggak jelas juntrungannya. Cadie dan yang lain
hanya diam. Lucu juga kalo dipikir-pikir. Jarang-jarang banget Ilan bisa sampai segitu hebohnya,
biasanya kan dia paling males ngomong.
*** "Hei! Apa yang kalian lakukan" Apa kalian pikir lagi main-mainan" Lari! Nico, apa kamu mau
didorong?" Teriakan Pak Guntur hampir menggemparkan seisi lapangan. Nggak cuma Nico dan Ryan yang
dianggap kurang mengeluarkan kemampuan terbaiknya saja yang kena semprot, Dino yang
selalu telat nutup pertahanan, juga Ilan yang terlalu mundur ke belakang pun ikut-ikutan kena
omelan. Selama hampir satu jam mereka main lari-larian, berpeluh keringat, selama itu juga Pak
Gun tak henti-hentinya berteriak.
"Apa kalian lupa kalo minggu depan pertandingan pertama kita di babak penyisihan kejuaraan
sepak bola antar sekolah?" tanya Pak Guntur sedikit teriak saat break latihan.
"Nggak Pak," semuanya menjawab.
"Ryan, apa ada masalah dengan posisi barumu?" tanya Pak Guntur lagi yang memang
memindahkan Ryan dari posisi gelandang serang ke bek sayap.
"Dikit. Mungkin karena belum terbiasa, Pak, kadang suka lupa balik ke belakang," kata Ryan.
"Kalau begitu biasakan! Waktu kita tidak banyak lagi."
Ryan menganggukkan kepala.
"Nico, apa Bapak perlu bawain anjing ke sini baru kamu mau lari cepat?"
"Nggak, Pak. Bapak tega amat!"
"Dan kamu Ilan, Bapak mau kamu bener-bener ingat kalo kamu itu striker. Jadi jangan terlalu
asyik di belakang. Kamu juga nggak usah tanggung-tanggung kalo nembak. Untuk saat ini,
lupakan dulu kalo yang ada di bawah mistar itu teman kamu."
"Iya, Pak," jawab Ilan.
Setelah Ilan, bergantian Igi, Luca, Rio, Yoko, dan yang lainnya kena semprot.
Sepertinya, satu-satunya orang yang nggak punya salah saat ini hanya Cadie. Yup, hanya dia
satu-satunya yang nggak kena omel Pak Guntur.
"Ya sudah, sekarang bubar!" ucap Pak Gun setelah menuangkan seluruh isi hatinya.
"Tapi Pak, sekarang kan baru jam lima?" tanya Ilan heran, mengingat biasanya Sabtu latihan
baru selesai jam 6-an. "Sebentar lagi kan pertandingan, nggak perlu terlalu memforsir tenaga. Bapak nggak mau kalian
kenapa-napa menjelang hari H. Pokoknya, mulai sekarang persiapkan diri kalian sebaiknyabaiknya untuk moment yang sesungguhnya. Mengerti?" papar Pak Guntur panjang lebar.
"Ngerti, Pak!" semuanya menjawab penuh semangat.
"Oh ya Dee, jangan lupa memberi tahu mereka."
"Iya, Pak." "Ada apa, Dee?" tanya Ryan, nggak lama setelah memastikan Pak Gun telah berada cukup jauh
dari pandangan. "Apanya?" "Heh! Nggak usah sok serius gitu deh. Tadi Pak Guntur bilang apa sama elo?"
"Mana ada orang nanya nggak sopan kayak gitu," balas
Cadie. Dia pura-pura sibuk dengan buku di tangannya.
"Iya deh, iya. Dee, tadi Pak Guntur bilang apa?" tanya Ryan lagi, kini dengan sangat lembut dan
sopan. Kayak ngomong sama putri keraton.
"Mmmm.. apa ya?" Cadie mengetuk-ngetuk badan bukunya dengan pulpen.
"Eh, Dee, elo mau kita ceburin ke bak mandi apa?" Nico berkata dengan nada mengancam.
"Latihan Selasa besok diliburin!"
"Serius, Dee?" Ilan memastikan.
Cadie menganggukkan kepalanya. Setelah itu, semuanya kontan saja berteriak gembira. 'Yeah!
Hore! Asyik!' dan sebagainya berloncat-loncatan dari mulut Ryan cs.
"Jalan-jalan! Gimana kalo kita jalan-jalan"!" Ichal berinisiatif.
Semua hanya diam. Melihat heran ke arahnya.
*** GEDOMBRANG! Suasana di ruang itu sama tegangnya dengan raut wajah Nico yang barusan ditemui Cadie di
luar. Terlihat Luca, Rio, Yoko, Guly, dan Ichal sibuk memegangi pipi mereka. Kelima orang yang
berniat memisahkan perkelahian Sinyo dan Ryan ini baru saja terkena pukulan nyasar rupanya.
"Ada apa sebenernya?" tanya Cadie pada Dino dan yang lain, sesampainya di ruang ganti. Raut
wajah takut jelas tampak di wajahnya.
"Yang sebenernya ya yang kayak elo liat, Dee," ucap Igi enteng.
"Terus.. terus kenapa kalian diam aja" Kenapa kalian nggak.. Aaaw!" Cadie mengaduh seolah
yang barusan didorong hingga terjungkal adalah dia, bukannya Ryan.
"Aduh, Dee, emangnya mesti gimana lagi. Elo nggak liat apa?" sambung Luca sambil
mengusap-usap keningnya yang memerah.
"Percuma, Dee. Anak-anak di sini tuh kalo udah berantem kayak gladiator. Tunggu singa dateng
dulu, baru bisa dipisahin." Dino memberitahu.
"Tapi kan.. apa maksudnya tunggu singa dateng"!"
"Maksudnya tunggu sampe Ilan dateng," lanjut Ichal santai.
"Hah"! Mana bisa begitu, yang ada mereka akan lebih babak belur lagi."
"Biarin aja!" "Apa"!" Tanpa menghiraukan perkataan Ichal yang dinilainya sinting, Cadie pun berjalan
menjauhi Dino dan yang lain. Itu berarti, semakin dekat ke arena pertempuran.
"Eh, Dee, jangan! Nanti.."
BUUUK! "Nanti elo kepukul! Baru mau ngomong," Luca berkata pelan.
Semuanya, termasuk Sinyo dan Ryan, yang masih saling gontok-gontokan terdiam. Semua
pandangan mengarah pada Cadie, yang jatuh telentang sambil mengaduh kesakitan. "Sakiiiiit!!!"
Ilan dan Nico yang baru saja memasuki ruang ganti kontan saja terkejut. Ilan melihat ke arah
Cadie, sebelum akhirnya melerai Sinyo dan Ryan.
"Nggak apa-apa kan, Dee?" tanya Dino seraya membantu Cadie berdiri.
"Kan udah dibilangin, Dee," imbuh Luca dan Ichal, juga ikutan membantu.
"Apa-apaan lo berdua"! Lo kira setiap masalah bisa selesai dengan berantem!?" teriak Ilan.
Suasana tiba-tiba saja jadi hening. Sepertinya bukan cuma Sinyo dan Ryan saja yang kaget
mendengar Ilan yang biasanya selalu tenang itu teriak sedemikian kencangnya, yang lain juga.
"Dia tuh yang kurang kerjaan. Maen sembarangan mukul orang," ungkap Ryan sambil
mengusap tepi bibirnya ang berdarah.
"Heh! Elo minta dihajar lagi apa?" balas Sinyo emosi.
"Brengsek!" "Elo yang brengsek!"
PRAAAK! Ilan memukul kursi. "Elo berdua bisa diem nggak?" Ilan bergantian melihat ke arah
Sinyo dan Ryan. "Denger, gue nggak peduli siapa yang salah atau siapa yang bener. Gue cuma
mau tau apa masalahnya dan kenapa elo berdua bisa sampe berantem kayak gini" Sekarang
elo berdua duduk!" "Lan..," ucap Ryan dan Sinyo berbarengan.
"Duduk!" Ilan melotot menyadari Ryan dan Sinyo mulai mencoba membela diri.
Ternyata benar banget kata Pak Gun. Sinyo dan kawan-kawan memang paling nurut sama yang
namanya Ilan. Contohnya ya saat ini. Lihat saja bagaimana dua orang yang tadi terlihat sangat
emosi itu dengan manis duduk berhadapan.
"Ya udah, kalo gitu kita keluar dulu," Nico berkata seraya melirik ke arah teman-temannya yang
lain. "Ayo, Dee, luka lo harus dikompres," lanjutnya.
"Sorry, Dee," Sinyo dan Ryan berkata bergantian.
Cadie mengangguk pelan ke arah mereka, lalu berjalan mengikuti Nico dan yang lain.
*** "Ilan, apa nggak salah"!"
"Apanya?" "Ya ngunciin mereka berdua di sana" Apa masalahnya nggak akan bertambah buruk" Ilan,
gimana kalo mereka berantem lagi" Gimana kalo mereka berantem lagi dan nggak ada yang
misahin mereka" Apa nggak terlalu beresiko ninggalin dua orang yang berselisih paham di satu
ruangan tertutup?" tanya Cadie bertubi-tubi.
"Elo nggak pernah ngeliat cowok berantem ya" Makanya heboh gitu," Ilan berujar santai. "Nggak
usah khawatir lagi, Dee, ini bukan yang pertama kalinya kok. Gue kenal mereka, mereka
mungkin saling membenci, tapi mereka nggak akan nyelakain satu sama lain. Percaya deh!"
lanjutnya. Dia terlihat sangat tenang saat itu. Sama seperti biasanya.
Untuk beberapa saat Cadie terdiam. Dia baru saja mau bereaksi ketika tiba-tiba Ilan kembali
angkat bicara. "Cowok itu emang kesannya kasar. Kalo ada masalah langsung maen hajar, maen pukul, atau
semacamnya. Tapi setelah itu masalah selesai, nggak ada lagi yang disimpen di hati, nggak
kayak cewek. Sekarang ngebiarin mereka berdua di sana adalah yang terbaik menurut gue.
Tinggal liat aja apa mereka akan keluar dengan selamat atau nggak," kata Ilan lagi. Cadie dibuat
ngeri karenanya. "Kamu yakin mereka akan nyelesaiin masalah ini secara baik-baik?"
Ilan mengangguk mantap. "Oh ya, gimana luka lo?"
"Oh.. nggak apa-apa."
"Yakin?" Cadie menggeleng dengan mantap. "Ternyata kena pukul itu sakit juga ya?" katanya seraya
mengompres kembali jidatnya.
Ilan tersenyum mendengarnya.
"Ilan, sebenernya apa sih masalah mereka" Apa yang bikin mereka sampe berantem kayak
gitu?" "Oh.. itu, Ryan, dia mutusin ceweknya."
"Apa"!" Cadie melepaskan kompres dari jidatnya saking herannya. "Ryan mutusin ceweknya dan
Sinyo marah?" Ilan mengangguk. "Jadi gitu..," Cadie berkata pelan. Dia terlihat mengangguk-angguk. Pokoknya, lagaknya sok
tahu banget deh. "Kok elo manggut-manggut" Apa elo nggak mau nanya kenapa bisa begitu" Apa elo nggak
ngerasa aneh dengan itu?"
"Kalo perkiraanku nggak salah, ceweknya Ryan ini, dia dan Sinyo pasti punya hubungan dekat.
Maksudku, semacam hubungan saudara atau semacamnya. Bener nggak" Maka dari itu, Sinyo
yang selalu terlihat sabar bisa jadi semarah itu," Cadie memaparkan perkiraannya.
Ilan lagi-lagi melihat heran ke arah Cadie. Tawanya merekah. "Hebat! Gue akui, elo pintar!"
"Jadi, aku bener?"
"Cally, ceweknya Ryan, dia adik sepupu Sinyo," Ilan memberitahu.
"Jadi begitu" Pantes. Ilan, Sinyo pasti sayang banget ya sama Adiknya" Sampe-sampe
berantem sama temen sendiri."
"Semua orang pasti sayang sama sodaranya, kali. Elo juga. Elo pasti sayang sama Kakak lo,
kan?" Cadie mengangguk mantap. "Buat aku, jadi adiknya Kakak adalah keberuntungan. Kayak
lagunya SO7, dia itu.. 'anugerah terindah yang pernah kumiliki'. Pokoknya asalkan ada Kakak,
nggak peduli dunia akan jadi seperti apa, aku pasti akan baik-baik aja."
Ilan tersenyum tipis mengamati wajah Cadie yang tiba-tiba berubah sumringah ketika berbicara
tentang Kakaknya. "Eh, Ilan, kamu punya sodara nggak?" tanya Cadie kemudian.
Ilan terdiam sesaat, lalu menggelengkan kepala."Gue anak tunggal," jawabnya.
"Gitu ya" Kamu pasti kesepian, ya?"
"Kesepian?" "Iya." "Cuma orang-orang yang nggak bisa menghargai apa yang ada di sekitarnya aja kali yang bisa
ngerasa kesepian. Gue mungkin nggak punya sodara, nggak lagi punya orang tua, tapi gue
nggak pernah tuh ngerasain yang namanya kesepian."
"Aku tau kenapa." Cadie melirik Ilan. "Itu karena.. karena kamu punya Sinyo dan yang lainnya,
iya kan?" Ilan mengangguk mantap. "Dan satu hal lagi, gue juga masih punya Kakek. Bisa kualat gue kalo
nggak ngakuin dia sebagai bagian terpenting dari hidup gue."
Ilan ini, kenapa kadang aku ngerasa dia kayak ombak. Kadang bisa sangat menakutkan, tapi di
saat yang lain, bisa juga terlihat sangat tenang. Kira-kira, apa ya yang sedang dia pikirkan saat
ini" Cadie sesekali menoleh ke arah Ilan.
"Hujan lagi." Ilan menatap ke kejauhan.
"Ilan, apa kamu pernah ngerasa kalo kadang hujan juga bisa nyebelin?" Cadie mengucap dalam
keheningan. Matanya lekat tertuju pada rintik hujan yang mulai membasahi kaca jendela ruangg
olabraga. Tiba-tiba saja, ingatannya kembali pada beberapa kejadian menyesakkan dada yang
dialaminya beberapa bulan lalu. Semua kejadian yang ditandai dengan hujan, baik yang datang
dari sang pencipta maupun dari mata Ayahnya, matanya, dan juga mata sang Kakak.
Ilan hanya diam. Tanpa bisa membalas kata-kata Cadie.
*** Cadie berjalan terus memasuki gedung sekolah, sambil sesekali memegang jidatnya dan
sesekali mencoba menerka-nerka keadaan Sinyo dan Ryan, yang memang belum sempat
ditemuinya pasca tragedi di ruang ganti kemarin. Terus dan teris begitu, sampai suara
seseorang membuyarkan pikirannya.
"Cadie!" panggil orang itu tiba-tiba.
Tanpa harus membalikkan badan, Cadie sudah bisa menduga siapa orang yang memanggilnya
barusan. Suara itu, sepertinya sudah lama sekali tidak didengarnya. Denny!
"Hei, halo, apa kabar?" tanya Denny agak gugup.
Aneh memang. Cadie dan Denny sudah dua tahun lebih berpacaran sebelum akhirnya putus.
Tapi hari itu, mereka seolah seperti dua orang yang nggak pernah saling kenal. Canggung dan
penuh kebingungan. "Hei juga," jawab Cadie dingin.
"Bisa ngomong sebentar nggak?"
"Sorry. Sebentar lagi kan masuk." Cadie melihat ke arah jarum jam-nya yang sudah
menunjukkan pukul 10.25. Itu berarti tinggal 5 menit lagi istirahat akan berakhir. Entah lagu siapa
lagi yang akan dijadikan ringtone bel masuk hari ini. Tapi semoga aja bukan lagu yang melow
dan bikin hati jadi miris. Mungkin begitu pikir Cadie dan Denny.
"Sebentar aja, paling 10 menit. Sekarang kan baru jam 10.20." Denny melihat jam tangannya.
"10.25. Jam tanganku udah jam 10 lebih 25," kata Cadie.
Ini memang kebiasaan Cadie. Dia selalu memajukan jam-nya lima menit lebih cepat dari yang
seharusnya. Cadie adalah tipe cewek perfeksionis. Dia lebih suka mengerjakan sesuatu lebih
awal ketimbang terlambat.
"Oke. Kalo gitu lima menit."
Cadie pun berjalan mengikuti Denny menuju ruang OSIS.
"Ca, kening kamu kenapa" Kamu baik-baik aja?" tanya Denny menyadari ada luka di kening
Cadie. "Aku nggak apa-apa." Cadie menjawab enteng. Seolah tidak ingin mengetahui lebih jauh
kekhawatiran Denny. "Sebenernya apa yang mau diomongin?" tanyanya.
"Oh.. ini.. ini tentang Bu Sandra. Apa dia udah ngasih tau kamu soal tawaran itu, tawaran untuk
kerja di lab kimia milik temannya?"
Cadie mengerutkan dahi karena heran. Tahu darimana Denny soal ini, pikirnya.
"Memangnya kenapa?"
"Apa kamu terima" Kamu pasti nerima tawaran itu kan" Aku tau kamu pasti akan seneng nerima
tawaran itu. Kamu kan.."


Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa Bu Sandra nawarin kamu juga?" potong Cadie.
"Sebenernya.." "Aku baru tau sekarang. Kamu menolaknya
, makanya Bu Sandra nawarin ke aku, iya kan?"
"Iya, sebenernya aku ngelakuin itu karena.."
"Karena kamu ngerasa aku lebih membutuhkan pekerjaan itu ketimbang kamu?"
"Aku ngerasa pekerjaan sebagai asisten pelatih tim sepak bola sama sekali nggak cocok buat
kamu," jelas Denny. "Oh ya" Dan sejak kapan kamu tau mana yang cocok dan mana yang nggak buat aku?" Nada
suara Cadie terdengar sinis.
"Kenapa kamu jadi sinis gitu, Ca?"
"Sejak dulu aku emang kayak gini."
"Ca.." "Denger! Terima kasih atas pemberitahuannya. Tapi aku mau kamu tau, mengenai apa aku akan
nolak atau nerima tawaran Bu Sandra itu, aku berani jamin, itu nggak ada hubungannya sama
kamu. Aku yakin, Bu Sandra nawarin aku juga bukan semata karena kamu nolak tawaran dia,
tapi karena aku emang bener-bener pantas untuk itu."
Denny terdiam. Dia sadar, sudah terlalu banyak menyakiti Cadie. Alhasil, dia cuma bisa
mendengar ucapan demi ucapan Cadie yang ketus tanpa bisa mengatakan apa pun.
"Ca.." "Udah lima menit. Aku harus mas.."
HUUF! Cadie baru saja akan meninggalkan ruang OSIS ketika tiba-tiba Denny menarik
tangannya dan memeluknya. Memeluknya dengan sangat erat hingga membuatnya sulit
bernapas. "Aku tau aku salah sama kamu. Aku udah banyak nyakitin kamu. Tapi bisa kan nggak bersikap
kayak gini sama aku" Apa kamu tau" Aku jalan sama Abel supaya bisa ngelupain kamu. Dan
apa kamu tau juga" Aku tetep nggak bisa ngelupain kamu. Aku nggak bisa ngilangin kamu dari
kepalaku. Bener-bener nggak bisa, Ca," jelas Denny lagi.
Cadie hanya diam. Sejak tadi, sejak Denny menarik tangannya dan kemudian memeluknya,
Cadie hanya diam.Dia tidak tahu harus berkata apa. Saat ini, sepertinya dia memang tidak mau
memikirkan apa-apa lagi soal Denny.
"Maaf," tukas Cadie pelan. Kedua tangannya perlahan mendorong tubuh Denny. "Aku mau
masuk," lanjutnya seraya berjalan menuju pintu. Tidak dipedulikannya Denny yang beberapa kali
memanggilnya. "Bagaimanapun, aku udah ada di sini. Aku udah memutuskan untuk melupakan semuanya,
melupakan semua hal yang membuatku berada dalam keterpurukan. Sejak hari itu, aku sudah
memutuskan untuk memulai semuanya dari awal. Aku udah memutuskan untuk meninggalkan
semua hal yang mengingatkanku pada Cadie yang dulu. Cadie yang mungkin bisanya cuma
membuat orang kesal dan juga sakit hati. Den, aku nyesel karena kamu adalah salah satu dari
sekian banyak hal itu," ucap Cadie dalam hati.
*** "Hei, boleh duduk?" tanya Cadie saat mendapati Ilan tengah termangu sendiri di belakang
perpustakaan. Ilan yang baik pun mempersilahkan. "Gimana luka lo?" tanyanya.
"Baik. Sinyo.. sama Ryan, mereka gimana" Aku belum liat mereka dari tadi."
"Lumayan. Paling nggak mereka udah nggak main pukul-pukulan lagi. Ryan udah pulang. Kalo
Sinyo.. dia nggak masuk. Males kali liat muka Ryan," jawab Ilan. Cadie sampai bingung sendiri
melihat ekspresinya. Dia tampak tenang, tapi seolah memikirkan banyak hal.
"Ilan, aku.. boleh nanya sesuatu nggak?"
"Tentang?" "Sebenernya aku mau nanya pendapat kamu. Aku.. Gimana ya bilangnya, aku dapat tawaran
gitu dari Bu Sandra untuk kerja di lab kimia milik temannya. Menurut kamu.. aku harus gimana?"
"Tawaran itu, dan juga posisi lo sekarang di klub sepak bola. Apa itu yang bikin elo bingung?"
"Sebenernya.." "Itu tawaran yang bagus lagi, Dee."
"Gitu" Apa itu berarti aku harus nerima tawaran itu?" Cadie menoleh ke arah Ilan.
"Emabng gue bilang begitu ya?"
"Hah?" "Jangan salah sangka, Dee, gue kan cuma bilang itu tawaran yang bagus. Nggak lebih."
"Terus dimana letak sarannya?"
"Ya nggak dimana-dimana. Intinya gue nggak bisa kasih saran apa-apa ke elo. Know why"
Karena gue nggak pernah tahu mana yang lebih elo inginkan, antara nerima tawaran itu atau
tetap bertahan di tim. Gue cuma mau bilang, apa pun keputusan lo, elo harus percaya kalo itu
yang terbaik buat elo. Dan gue, kalo elo mau, gue akan jadi orang pertama yang ngedukung
keputusan elo," tutur Ilan.
Cadie tersenyum tipis. Benar. Ilan memang belum begitu mengenalku. Dia nggak tahu apa yang aku mau, nggak kayak
Denny. Tapi itu nggak penting. Saat ini, aku ngerasa apa yang dibilang Ilan barusan sangat
membuatku lega. Aku ngerasa, apa pun keputusanku nanti, itu emang bener-bener akan datang
dari hatiku. Percaya pada hatiku, tentu.
"Terus.. kalo aku nerima tawaran itu, Pak Gun.."
"Jangan khawatirin soal Pak Gun," potong Ilan cepat. "Dia itu kelihatannya aja garang. Aslinya,
lo tau sendiri kan?" lanjutnya.
"Aku bukan khawatir sama reaksinya. Aku tau dia baik. Aku cuma bingung aja gimana dia
ngatasin kalian nantinya. Kalian semua kan selalu bikin dia hampir gila, belum lagi ditambah
dengan jantungnya yang bermasalah. Aku bener-bener mencemaskannya. Aku takut.."
"Nona, kalo mau ngatain langsung aja kali, nggak usah pake alesan segala. Apa maksudnya
hampir bikin dia gila"!"
"Bukan begitu maksudnya. Ya.. meski emang bener begitu, kan?" Cadie geli sendiri. " Kalian kan
selalu aja bikin Pak Gun.."
"Ternyata elo emang nyebelin ya, sama kayak pertama kali gue ngeliat elo."
"Iya maaf. Aku kan cuma.. Hah"! Eh, apa maksudnya" Kayak pertama kali kamu ngeliat aku"
Emangnya aku kenapa?"
"Tau!" "Kok gitu. Ilan! Eh, aku kenapa" Emang aku bikin salah apa" Apa aku.. Ilan!"
Dan Ilan pun pergi begitu saja tanpa menghiraukan Cadie dan rasa penasarannya. "Heh, besok
jangan lupa bawa baju ganti!" teriaknya seraya terus melanjutkan perjalanan. Gayanya dia
banget. COOL! "Baju ganti"! Apa maksudnya"! Ilan!!!"
Apa maksudnya aku yang sekarang sama nyebelinnya dengan aku yang pertama kali dia liat"
Sebenarnya apa yang aku lakukan" Apa.. apa itu yang membuat Ilan begitu membenciku saat
pertama kali kita ketemu" Tapi..
*** "Eh, eeeeh.. apa maksudnya?" Cadie memekik heran saat dua orang itu, yang tak lain dan tak
bukan adalah Nico dan Dino, memegang tangannya dan memaksanya bangkit dari duduknya.
"Kalian mau apa sih" Aduuh! Eeh..!" Sekuat tenaga Cadie berusaha melepaskan diri dari
keduanya. Sekuat tenaga juga dia menahan langkahnya, persis korban penculikan. Bedanya
hanya dia tidak melakukan perlawanan berarti. Ya, nggak ada acara pukul-pukulan atau
nendang-nendang segala. Cewek itu hanya membatu.
Beberapa pasang mata di perpustakaan melihat heran ke arah mereka.
"Apa liat-liat" Nggak pernah liat orang tarik-tarikan!" Nico berteriak. "Ayo donk, Dee, anak-anak
udah nunggu tuh," lanjutnya lagi.
"Anak-anak" Udah nunggu" Aduuuuh! Sebenernya ada apaan sih"!!"
"Ya elah, Dee, kalo dikasih tau namanya bukan kejutan," lanjut Dino.
"Kejutan"! Kejutan apa" Emangnya hari ini ada yang ulang tahun" Aku nggak ngerti,
sebenernya kalian mau.."
"Astagfirullaahal'adzhiim, nanya lagi. Ikut dulu aja kenapa?" Nico mulai kesal. "Eh, elo bawa baju
ganti kan?" "Hah"!" "Emang kemaren Ilan nggak bilang" Ya udah deh.. ntar aja beli di sana. Ayo!" ajak Nico lagi.
"Tenang aja, Dee, kita bukannya mau nyulik elo kok," giliran Dino menjelaskan.
Tenang" Maen dateng dan sembarangan ngagetin orang yang lagi baca. Sembarangan nariknarik tangan orang. Sekarang sembarangan juga nyuruh orang tenang. Apa maksudnya" Cadie
pun hanya bisa pasrah mengikuti.
*** Terima kasih. Mungkin nggak ada kata lain selain itu yang bisa Cadie ucapkan pada Ilan dkk
setelah semua yang mereka lakukan untuknya hari ini. Siapa sangka, kalau cowok-cowok 'jelek'
yang beberapa hari lalu mati-matian "nyiksa" dia itu kini malah sekuat tenaga ingin membuatnya
senang. Membuatnya tak henti tertawa dan bergembira. Yup! Ilan dkk yang baik itu
membawanya ke DUFAN. Tempat yang entah sudah berapa lama tidak dikunjunginya itu.
"Thanks ya semuanya. Aku nggak tau lagi harus bilang apa sama kalian, setelah semua yang.."
"Baiklah, karena sepertinya penonton sudah tidak sabar, sambil menunggu para pengisi acara
bersiap-siap, kami ingin mempersilahkan kepada seseorang untuk naik ke atas panggung dan
memainkan sebuah lagu untuk kita." Tiba-tiba saja sebuah suara menghentikan Cadie dari
ucapannya. Tambah kaget aja dia karena kemudian namanya disebut. "Kepada Cadie, kiranya
berkenan memainkan sebuah lagu di sini," lanjut si pembawa acara itu, seraya mempersilahkan
Cadie naik ke atas panggung.
Serta-merta pandangan Cadie tertuju pada seseorang yang tadi bilang mau beli minuman, tapi
kenyataannya kembali dengan tangan hampa. Siapa lagi kalau bukan Ilan.
"Ayo, Dee!" kata Sinyo.
"Ayo apa" Nggak mau ah! Apa-apaan sih?"
"Dee, ayo donk!" tambah yang lain kompak.
"Nggak." Cadie menggelengkan kepala berulang kali. Persis anak kecil yang ogah di suruh
mandi. "Dee, dilihatin orang tuh! Ayo donk!" kata Nico kali ini. Dia berulang kali menoleh ke arah orangorang yang juga berada di tempat itu.
"Biarin! Emangnya siapa yang suruh?"
"Yee.." Selama beberapa saat, Sinyo dkk sibuk membujuk Cadie, kecuali Ilan, yang merasa sudah
melakukan tugasnya. Cukup alot juga negosiasi itu berlangsung, meski akhirnya berhasil juga.
Itu pun setelah Ryan dan Sinyo mau janji bahwa mereka nggak akan lagi ngungkit-ngungkit
masalah perkelahian yang lalu. Mereka berjanji akan berbaikan, meski nggak dalam waktu
dekat. Ya, kira-kira satu atau dua minggu lagi deh. Nawar!
"Dee, kalo bisa jangan lagu itu ya," kata Dino, diangguki Ryan dkk.
"Hah"!" "Hana Eyes-nya Maksim terlalu sedih, yang lain aja." Sinyo seolah menjawab kebingungan
Cadie. Mendengar itu, tiba-tiba saja Cadie ingin sekali memendam dirinya ke dalam tanah. Dia malu
sekali. Itu berarti mereka semua pernah melihat dia saat menangis tersedu-sedu di samping
piano beberapa wakty yang lalu. Benar-benar malu-maluin. "Seharusnya salah satu dari kalian
ada yang bawa ember," katanya seraya berjalan menuju panggung.
"Go, Cadie!" Ryan berteriak nggak lama setelah Cadie menaiki pentas. Cadie sampai malu
dibuatnya. Lebih malu lagi ketika tiba-tiba semua temannya berdiri dan meneriakinya. Mulai dari
yang, "Ayo Cadie!", "Caiyo Cadie", "Cadie, kamu pasti bisa!", sampai yang teriak-teriak "I love
you". Cadie bener-bener berasa jadi superstar sore itu. Dan cowok-cowok nggak tahu malu itu,
mereka adalah fans setianya.
Beberapa saat kemudian, lagu Croation Rhapsody-nya Maksim pun mengalun di sore yang
cerah itu. Menyihir ratusan orang, baik yang sedang bersantai maupun yang sedang asyik naik
Kora-kora dan Powersurf. Te..ne..neng, te.. ne.. neng, te.. ne.. neng.. teng.. te.. neng
"Ya Allah, terima kasih.
Terima kasih atas semuanya.
Atas setiap kesedihan yang berakhir dengan tawa.
Atas setiap penderitaan yang berakhir dengan bahagia.
Terima kasih karena mengembalikan semuanya.
Meski dalam bentuk yang berbeda.
Ya Allah, terima kasih. Terima kasih karena menghadirkan mereka dalam hidup ini.
Terima kasih karena cinta yang melimpah ini.
Terima kasih." Tatapan orang-orang yang duli selalu melihat kagum kepadanya pun, kembali lagi.
*** 5 hari kemudian.. "Gila, perut gue sakit nih! Aduh, mules banget," keluh Igi menjelang dimulainya pertandingan
melawan The Purples, tim sepak bola dari SMA Bumi Perkasa.
"Yo, urusin tuh sodara lo. Suruh diem kek, bikin tegang aja," kata Nico.
Dibanding yang lain, Igi memang paling gugupan orangnya. Kalau sudah begitu, biasanya cuma
Rio yang bisa ngeredain. Sinyo dan yang lainnya sepakat, si kembar ini nggak bisa dipisahin.
Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Kalo dipisah, bisa gawat.
"Eh, udah jam segini kenapa si Dee belom dateng ya?" tanya Nico.
"Macet kali," sahut Ryan.
"Eh, Man, elo nggak tau dia kemana?" tanya Nico lagi, kali ini pada Ilan.
"Dia nggak bakal dateng," jawab Ilan sambil mengikat tali sepatunya, membuat yang lain
bertanya-tanya. "Apa"! Lo bercanda kan" Ha.. ha.. ha.. Nggak lucu!"
Ilan melihat ke arah Nico. Penting gitu ngelucu di saat ini" Mungkin begitu pikirnya.
"Kalian sudah siap?" Tiba-tiba saja Pak Guntur datang dan mengagetkan mereka.
"Pak, emang bener ya kalo.."
"Kalo apa" Cepet siap-siap! Bapak tunggu di luar," perintah Pak Guntur seraya meninggalkan
mereka. Sama sekali tiak memberi kesempatan pada Nico untuk bertanya.
"Gimana sih, ini kan seharusnya jadi pertandingan pertama dia," kata Nico pelan.
"Lan, kemaren emang ngapain dia ngadep Pak Gun" Elo tau nggak?" tanya Sinyo. Dia ingat,
kemaren sore, nggak lama setelah latihan ringan menjelang pertandingan, Cadie sempet bilang
kalo dia mau ngomong serius sama Pak Gun. Sayangnya, Sinyo lupa untuk nanya ke Cadie soal
apa yang mau diomongin. Toh bukan urusannya, begitu pikirnya.
"Gue nggak tau. Tapi mungkin itu bisa jadi jawaban kenapa sekarang dia nggak ada di sini,"
jawab Ilan. Dia pun berangsur meninggalkan ruang ganti. Jalan terus, sampai seseorang dari balik pintu
mengagetkannya. Untung dia cepet ngerem. Coba kalo nggak"
"Halo," kata orang itu seraya melambaikan tangannya.
"Dee..!" seru semuanya kompak.
"Kalian ngapain masih di sini sih" Minta dihajar sama Pak Gun apa" Cepat bangun!" perintah
Cadie. Nggak dipedulikannya keheranan Ryan dkk.
"Dee, Ilan bilang.."
"Ilan kan emang sok tau. Udah, cepat keluar!"
"Akhirnya elo tau juga kalo Ilan sok tau." Sinyo berdiri sambil nyengir kuda ke arah sohibnya
tercinta. "Kenapa" Gaji di lab sedikit" Atau.. di sana nggak ada cowok kerennya?" tanya Ilan.
Cadie tertawa kecil mendengar itu. "Kakak pernah bilang, saat kamu sudah menemukan tempat
dimana kamu merasa nyaman di dalamnya, tetaplah di sana. Jangan pindah, kecuali kamu yakin
tempat yang baru akan lebih baik untukmu, dan juga yakin kalo kamu siap menerima
konsekuensi terburuk dari keputusanmu."
"Apa itu berarti elo bener-bener yakin berada disini?"
Cadie mengangguk mantap. "Sudah sejauh ini, nggak mungkin mundur lagi," katanya.
*** "Kamu jangan cengar-cengir terus donk! Kakak jadi takut nih ngeliatnya."
"Kakak.. namanya juga lagi seneng. Baru menang pertandingan. Nggak apa-apa kan kalo
ketawa?" Cadie beralasan. Btw, di pertandingan pertamanya ini, The Whites berhasil
menggasak lawannta dengan skor telak 3-1, berkat hattrick sang kapten. Siapa lagi kalo bukab
Ilan. "Ya nggak apa-apa. Tapi juga kan nggak perlu terlalu berlebihan. Nanti kalo muka kamu jadi
lebar, gimana" Emangnya kamu nggak takut kalo kamu jadi.."
"Kakak berhenti!" seru Cadie tiba-tiba.
KIIIK! Spontan Andy menghentikan mobilnya.
"Aduh, kamu apa-apaan sih" Ngagetin aja!"
"Lihat Kak!" Cadie menunjuk ke arah beberapa orang di belakang mobil mereka. Dia memang
tidak terlalu melihat jelas ada kejadian apa. Dia hanya menangkap sekilas. Tapi rasanya itu juga
sudah cukup. Saat itu, dia melihat seorang cewek ditampar seorang cowok. Dan yang lebih
membuatnya heran, cewek itu dikenalnya. Cewek itu adalah seseorang yang sehari-harinya
selalu berteriak histeris pada orang lain. Lily.
Dan nggak lama kemudian..
PLETAK! PLETOK! Hanya dalam hitungan menit, hanya dengan beberapa tendangan dan
pukulan, cowok-cowok tak dikenal yang tampaknya lebih suka berantem ketimbang damai itu
berhasil dilibas. Mereka lari tunggang-langgang nggak tentu arah. Waah! Hebat benar kakakku
yang satu ini, pikir Cadie. Nggak sia-sia dia hijrah empat tahun ke Jepang.
*** "Ly, apa perlu kami menghubungi orang tuamu?" tanya Andy, nggak lama setelah Lily keluar dari
ruang pemeriksaan. Wajahnya memar.
"Nggak, nggak usah. Lagian.. mereka juga lagi nggak ada di sini kok."
"Kalo gitu, kami akan mengantarmu pulang."
"Nggak perlu, Mas. Lily udah minta sopir untuk jemput ke sini," jawab Lily.
"Gitu ya?" "Ya udah, kalo gitu aku sama Kakak nunggu sampai sopir kamu dateng, gimana" Gimana,
Kak?" tambah Cadie. Andy mengangguk seraya tersenyum pada Lily. "Kalo gitu, Kakak mau ke toilet dulu."
"Iya." Andy pun pergi meninggalkan Cadie dan Lily. Untuk beberapa saat keduanya diam.
"Sorry, kalo boleh tau, sebenernya siapa orang-orang itu" Gimana kamu bisa kenal sama
mereka?" Sejenak Lily diam. Cadie sampai malea melihat gayanya yang sok cuek dan pura-pura tidak
mendengar pertanyaan barusan.
"Kalo nggak mau jawab, ya udah." Cadie bangkit dari duduknya. Kesal.


Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka.. yang nampar aku itu, dia anaknya teman Bokap. Dia.. orang yang mau dijodohin sama
aku," jawab Lily membuat Cadie yang mendengarnya batal marah, tapi langsung tertawa. Dia
baru diam setelah Lily mendorong badannya.
"Sorry. Aku nggak bermaksud ngetawain kamu," katanya.
"Cadie, dengan nolongin aku hari ini, apa menurut kamu hubungan kita bisa jadi baik?" tanya Lily
tiba-tiba. "Menurut kamu?"
"I don't think so."
"Kalo gitu sama."
"Aku nggak tau apa jadinya kalo aku harus bertemen sama kamu."
"Percaya deh, aku lebih suka mengitari lapangan sepak bola sepuluh kali daripada harus
berakrab-akrab ria sama kamu."
"Ya udah, kalo gitu setuju, saat hari ini berganti, kita tetep dua orang yang sama seperti dulu,"
ucap Lily. "Deal!" Cadie menjawab seraya menjabat tangan Lily.
"Pertolonganmu hari ini, kelak aku pasti membayarnya."
"Harus." *** Bab 7 Satu Lag Ujian Buat Sinyo and The Gank
Kesel! Ughhhhhhhh! Pokoknya kesel banget deh kalo mengingat-ingat kejadian hari ini. Sampai
sekarang Cadie sendiri bahkan nggak jelas, sebenarnya yang barusan dialaminya itu benarbenar terjadi atau hanya mimpi. Mimpi di siang bolong yang biasanya mustahil untuk terjadi. Tapi
apa iya" Mana mungkin yang tadi itu hanya mimpi, kalo kenyataannya sekarang dia benar-benar
sudah dibuat kesal. Rasanya mau melempar orang ke danau.
Masih segar dalam ingatannya ucapan Abel di perpustakaan siang tadi.
~ "Ca, kamu inget nggak" Dulu aku pernah bilang ke kamu kalo aku suka banget sama
seseorang. Orang itu adalah Denny."
~"Ca, please ya, menjauhlah dari Denny. Kamu harus janji ke aku kalo kamu nggak akan
ngedeketin Denny lagi, ya" Sekarang ini.. hubungan kami emang belum sepenuhnya baik,
maksudku, tentu aja karena dia belum bisa ngelupain kamu sepenuhnya. Tapi aku yakin,
asalkan kamunya nggak lagi peduli sama dia, dia pasti akan dengan sendirinya ngelupain kamu.
Ya, kamu mau kan ngebantu aku" Kamu cuma perlu menjauh darinya. Jangan temui dia atau
kalo perlu jangan ngomong sama dia. Gimana?"
Dua perkataan itu kira-kira cukup nggak untuk membuat Cadie kesel" Cukup donk! Ya iyalah.
Udah ngambil pacar orang, masih pake acara minta tolong juga, lagi. Siapa juga yang nggal
kesel" Nggak ditendang ke gawang aja udah bagus.
"Jadi, dia bilang begitu" Ampun deh! Itu sih bukan kelewatan lagi namanya, tapi kurang ajar!
Mana ada orang yang disebutnya temen, minta kita buat ngelakuin sesuatu yang norak kayak
gitu." Sinyo yang saat itu menemani Cadie bengong, benar-benar tidak habis pikir perihal Abel.
"Aku kasian banget ya, Nyo" Diperlakukan seperti itu oleh teman baikku sendiri," Cadir
mengucap pelan. Sinyo melihat dengan seksama ke arah Cadie, yang sepertinya masih benar-benar
terpukul.Mungkin emang bener kata dia barusan, dia bener-bener patut dikasihani. Sedih banget
mukanya. "Dee, semua orang salah ngira atau emang elo yang bener-bener berubah" Elo beda banget
sama Cadie yang gue kenal dulu. Elo bukan lagi cewek angkuh dan sombong yang menganggap
dunia lo hanyalah apa yang ada di sekeliling elo. Elo.. bener-bener beda, Dee," kata Sinyo.
"Apa menurut kamu.. aku yang dulu bener-bener nyebelin" Bener-bener menganggap duniaku
hanyalah apa yang ada di sekelilingku?"
"Ya.. gitu deh. Emag elo nggak sadar ya?"
"Aku.." Sinyo terkekeh. "Bercanda. Gue rasa, gue dan yang lain udah salah nilai elo, Dee. Elo yang
dulu, lepas dari arogansi atau sifat buruk lainnya yang elo punya, aslinya pasti orang baik. Dan
kebaikan itu baru kelihatan sekarang."
"Apa bener begitu?"
"Yup. Itu sebabnya elo ketemu sama gue, sama Ilan, juga yang lain. Emangnya elo nggak tau
apa" Orang yang pada dasarnya baik, pasti akan ketemu orang baik juga."
"Jadi dengan kata lain, kamu juga mau bilang kalo kamu orang baik."
"Males nggak sih dengernya?" Sinyo geli sendiri.
"Sinyo, kamu sama Ilan pernah berantem nggak?" tanya Cadie kemudian.
"Gue sama Ilan" Ya iya lah. Gimana sih elo" Orang yang kawin aja bisa berantem, apalagi yang
cuma bertemen kayak gue sama Ilan."
"Juga soal cowok" Eh, maksudku cewek?"
"Bukan cuma sekali dua kali."
"Oh ya"!" "Bercanda, lagi. Nggak usah serius gitu donk!" Sinyo terkekeh. "Gue sama Ilan paling pantang
berantem soal cewek. Nggak mutu! Lagian, cewek itu kan racun dunia."
"Apa maksudnya!?"
"Jangan tersinggung gitu donk."
"Siapa?" Sinyo ketawa lagi. "Eh, Dee, elo tahu nggak" Begitu-begitu Ilan tuh orangnya sangat pengalah.
Dia itu paling nggak mau rebutan sama orang, apalagi orang itu temennya. Dulu waktu SD, kelas
6-an gitu, gue sama dia pernah suka sama satu cewek. Elo tahu nggak apa yang dia lakuin" Dia
maksa-maksa tuh cewek buat suka sama gue. Padahal aslinya tuh cewek suka sama dia. Gila
nggak?" "Hah"! Sekarang aku yakin kalo otaknya emang agak bergeser. Apa dia kira cewek itu barang
yang bisa dioper kesana-kemari.?" sungut Cadie. Tiba-tiba emosinya meluap. Nggak ngerti juga
kenapa. "Kenapa elo jadi sewot gitu"!"
"Sewot lah. Aku juga kan cewek."
"Tapi kan cewek itu bukan elo."
"Itu nggak penting!" Cadie melotot. Sinyo sampai kaget dibuatnya. "Oh ya, terus" Maksudku,
gimana kelanjutannya, apa cewek itu mau?"
"Menurut lo?" Sinyo balik bertanya. "Gue nggak mungkin lah jadian sama cewek itu. Pada
akhirnya gue sama Ilan tetap jomblo sampai sekarang," lanjutnya menyeringai.
Cadie tertawa kecil. "Kamu sama Ilan udah daftar ke 'IJO LUMUT' (Ikatan jomblo lucu dan imut)
belum?" lanjutnya iseng.
"Sialan lo!" Sinyo dan Cadie tertawa bersamaan.
"Oh iya.. Sinyo, aku boleh nanya sesuatu nggak?"
"Tentang?" "Siapa lagi.." Ya Ilan lah. Emangnya siapa lagi yang bisa bikin orang banyak nanya, kecuali dia,"
jabar Cadie. "Banyak nanya dan banyak kesel," tambah Sinyo diangguki Cadie. "Mo nanya apaan?"
"Oh, itu.. waktu itu, dia sempet bilang ke aku kalo aku yang sekarang sama nyebelinnya sama
aku yang pertama kali dia liat dulu. Kamu ngerti nggak apa makaudnya" Nyo, jangan-jangan itu
ya penyebabnya kenapa dia sinis dan kelihatan benci banget sama aku waktu kamu pertama
ketemu di ruangan Pak Gun dulu" Dia kayak mau nelen aku."
"Benci sama elo" Pengen nelen" Elo kata dia buaya!" sahut Sinyo.
"Nyo, aku serius. Emangnya aku buat salah apa sih ke dia?"
"Waah! Kalo itu sih susah, Dee. Mending elo tanya aja langsung ke orangnya."
"Kamu sendiri kan tau, lebih enak ngomong sama kuda daripada sama dia. Paling nggak, kuda
nunggu ditendang baru pergi, nggak kayak dia," Cadie beralasan. Membuat Sinyo terkekeh
mendengarnya. "Weh!Gitu-gitu juga temen gue!"
"Maaf." "Jadi, elo beneran mau tau" Yakin" Nggak nyesel?"
Cadie mengangguk mantap. Tampaknya rasa penasarannya sudah tak tertahan lagi.
"Jadi gini ceritanya.. jadi gini ceritanya.. jadi gini ceritanya.."
"Sinyo!" Cadie berseru kesal menyadari keisengan temannya.
Sinyo terkekeh, setelah itu dia pun mulai menceritakan kejadian waktu itu, kira-kira dua setengah
tahun yang lalu. Saat itu, Ilan yang baru keluar dari sekolah ditabrak orang hingga dia terjatuh
dari motornya. Bukan hanya itu, orang yang menabraknya itu bukannya minta maaf atau
menanyakan keadaannya, tapi malah memberinya kartu nama dan berpesan agar Ilan
menghubungi pengacaranya jika butuh ganti rugi atau semacamnya. Setelah itu, si penabrak
yang saat itu jelas-jelas mengenakan seragam SMP, pergi begitu saja tanpa mempedulikan Ilan
sedikit pun. Ya, mirip-mirip tabrak lari kasusnya. Ilan bener-bener naik darah turun bero saking
kesalnya. Kalau saja yang nabrak itu bukan cewek dan juga bukan anak SMP, dia pasti sudah
menghajarnya hingga babak belur. Menginjak-injaknya hingga jadi abon.
"Anak SMP itu, yang nabrak itu..?" Cadie tidak melanjutkan ucapannya.
Sinyo mengangguk. Lagaknya udah kayak orang tua. "Sekarang kasih dia alesan buat nggak
benci sama elo" Elo nggak cuma ngirim dia ke rumah sakit, tapi juga bikin dia batal ikut
kejuaraan." Sinyo menjelaskan. Senyumnya sesekali mengembang.
"Ternyata aku emang bener-bener nyebelin ya.."!"
Dreeeet.. dreeeet.. dreeeet..
"Eh, sorry," kata Sinyo menyadari ponselnya berbunyi. Dia pun segera mengangkatnya. "Halo."
Untuk beberapa saat Sinyo diam. Sepertinya dia benar-benar menyimak perkataan orang yang
ada di seberang sana. Raut wajahnya sedikit demi sedikit berubah. Tidak terlihat lagi Sinyo yang
tadi penuh tawa. Yang ada hanya Sinyo dengan raut wajah tegang.
"Ada apa?" tanya Cadie pelan, tak lama setelah Sinyo meletakkan ponselnya.
Sinyo diam. Cadie sampai harus menggoyang-goyangkan badannya agar dia sadar dari
lamunannya. "Sinyo..!"
"Ilan, Dee.. Dia kecelakaan." Sinyo menjawab pelan. Wajahnya mendadak pucat.
"Apa"!!!" *** Waktu sudah menunjukkan pukul 10 lebih 23 menit, malam hari. Ilan belum juga sadarkan diri
pasca operasi sore tadi. Parahnya lagi, dokter bilang jika dalam waktu 48 jam dia tidak juga
sadarkan diri maka kemungkinan besar dia akan koma. Lalu, apa itu berarti.."
Astaghfirullahal'adzim! Jangan sampai deh. Meski nggak pernah tahu apa yang akan terjadi di
kemudian hari, Ryan dkk masih tetap berusaha optimis. Kalaupun ada satu orang yang benarbenar terpukul dengan kejadian yang menimpa Ilan, orang itu adalah Sinyo. Sinyo yang tiba-tiba
hilang entah kemana. "Dicari kemana-mana nggak ada, ternyata kamu di sini ya..!"
"Eh! Elo, Dee.."
"Boleh duduk?" kata Cadie lagi. Saat itu dia mendapati Sinyo tengah duduk seorang diri di kursi
yang terletak di bawah sebuah pohon di salah satu bagian rumah sakit. Sejak sore tadi, tiba-tiba
saja Sinyo seolah hilang dari peredaran. Dia pergi tak lama setelah dokter mengabari keadaan
Ilan. Sinyo mengangguk seraya tersenyum padanya. Wajahnya jelas tampak kusut saat itu.
"Sinyo, kamu.. nggak apa-apa kan?" Cadie melihat setetes darah segar mengalir dari hidung
Sinyo. "Nggak. Nggak apa-apa kok." Sinyo dengan sigap menyeka hidungnya. "Gue biasa gini kalo lagi
tegang," lanjutnya menyeringai.
"Ini.. pake ini buat nahan darahnya." Cadie mengulurkan selembar tisu pada Sinyo.
"Thanks." Sinyo pun menyelipkan tisu itu ke hidungnya. Kepalanya sesekali didongakkan ke
atas. Menahan gar darahnya tidak sampai jatuh. "Dee, gimana yang lainnya?" tanyanya
kemudian. "Mereka semua masih di dalam dan nggak kalah kusut dari kamu," jawab Cadie.
Lagi-lagi Sinyo hanya tersenyum.
"Dee, sekarang jam berapa, ya?"
"Oh.. jam 22.00 lewat. Hampir setengah sebelas."
"Oh ya" Pantesan udah gelap."
"Sinyo.." "Eh, elo kenapa belom pulang" Nanti Kakak lo nyariin lagi. Elo nggak mau tidur di sini juga kan"
Udah penuh soalnya!"
Cadie tersenyum tipis. "Kakakku udah tau. Tadi aku ke sini juga kan dia yang anter. Mungkin
sebentar lagi dateng," jawab Cadie.
"Gitu ya..?" Sinyo ini, dia pasti khawatir banget sama Ilan.Dia bukan cuma nggak sadar kalo sekarang udah
malem, dia juga lupa kalo tadi sore aku udah pamitan ke dia untuk pulang dulu dan ganti baju.
"Sinyo, Ilan pasti akan baik-baik aja. Aku berani taruhan, dalam waktu beberapa jam ke depan,
dia pasti akan bangun dan ngagetin kita semua. Percaya deh!" kata Cadie.
"Menurut lo begitu?"
Cadie mengangguk mantap. "Kalo aku jadi dia, dan inget bahwa aku punya begitu banyak temen
yang care banget sama aku, aku pasti akan bangun. Nggak peduli setelah bangun akan jadi
seperti apa, aku akan tetep berusaha bangun."
Sinyo tersenyum. "Gue tahu. Dia juga nggak mungkin ngingkarin janjinya sama gue."
"Hah"! Janji apa?"
"Janji seorang teman pada temannya," Sinyo menjawab singkat.
Cadie menoleh ke arah Sinyo. Melihatnya dengan seksama. Dia baru sadar, melihat Sinyo yang
seperti ini, nggak jauh beda dengan melihat Ilan. Nih orang dua kayak saudara kembar, pikir
Cadie. Dan lebih dari itu, mereka berdua kayaknya paham banget isi hati satu sama lain. Baru
kali ini dia melihat Sinyo sedemikian sedih dan tertekan. Baru tau dia kalau cowok bisa juga
membuat orang terharu waktu sedih.
"Dee, elo tau nggak" Keadaan sekarang.. nggak jauh beda sama keadaan tujuh tahun yang lalu.
Waktu itu karena sebuah kecelakaan, kedua orangtua Ilan meninggal dunia. Cuma dia satusatunya yang selamat dalam kecelakaan itu. Well, dia emang selamat, tapi ada kali sekitar tiga
hari-an dia nggak sadarkan diri. Dokter bilang, dia begitu karena terlalu syok, terlalu terpukul,
dan juga sedih." Sinyo menerawang. "Kalo sekarang kira-kira dia begitu karena apa ya, Dee"
Jangan-jangan syok karena motornya hancur lagi."
"Bisa jadi." Keduanya tersenyum. Meski sadar sebenarnya senyum itu hanya sebuah niat untuk menghibur
diri. "Sinyo," Cadie bersuara pelan saat melihat Sinyo menitikkan airmata dari sudut matanya.
*** "Ca, boleh Kakak masuk?"
"Iya, masuk aja, Kak. Nggak dikunci kok." Cadie mempersilahkan.
"Kamu lagi ngapain?"
"Oh.. nggak. Cuma lagi iseng baca aja kok, Kak."Cadie menutup buku yang ada di hadapannya.
Buku yang sejak tadi hanya dilihatnya.
"Oh ya" Kakak baru tahu kalo kamu bisa baca terbalik." Andy memutar arah buku itu hingga
menjadi benda yang layak baca.
Cadie tersenyum, meski agak dipaksakan. Untu pertama kalinya Cadie kelihatan bego.
"Ca.., kamu masih mikirin keadaan Ilan ya?"
Cadie mengangguk pelan. "Kira-kira.. kapan ya Kak, dia sadar" 48 jam" Apa itu nggak terlalu
cepat" Gimana bisa dokter bilang kalo dalam 48 jam dia nggak sadar maka.." Cadie tidak
melanjutkan kalimatnya. "Eh..!" Andy memegang pundak adiknya. "Kamu kenapa jadi pesimis gini jadi orang" Bukannya
masih ada waktu 24 jam lagi untuk menjawab pertanyaan kamu barusan" 24 jam emang nggak
lama, tapi kamu jangan lupa, apa pun masih bisa terjadi. Bahkan, dalam hitungan detik
sekalipun. Kalo emang yang bisa kamu lakukan sekarang ini cuma nunggu.. ya.. kamu harus
ikhlas. Dokter boleh aja bilang kalo Ilan akan nggak tertolong seandainya dalam 48 jam nggak
sadar juga. Tapi satu hal yang harus, dokter juga bukan penentu segalanya. Sama kayak kita,
sama kayak rocker.. dokter juga manusia," Andy menjelaskan.
Cadie melihat ke arah kakaknya, lalu tersenyum. "Kakak masih juga bisa bercanda."
"Eh, Ca.. Kakak nggak tahu kalo kamu care banget sama Ilan?"
"Dia itu kan temen Cadie, Kak," kata Cadie seraya mengusap matanya.
"Cuma temen" Kamu yakin?"
"Apa maksudnya"! Ya iya lah temen. Dia kan.."
"Ha.. ha.. ha.." Andy geli sendiri melihat Cadie salah tingkah.
"Aaw! Kenapa Kakak mukul kepala Cadie?" Cadie mengaduh seraya mengusap kepalanya.
"Makanya jangan bengong!"
"Cadie rasa Cadie bisa kehilangan apa aja.. kecuali Kakak," Cadie berkata seraya memeluk erat
Kakak semata wayangnya itu. Dia menangis. Entah karena terlalu sayang sama Kakaknya atau
terlalu khawatir sama Ilan. Yang pasti, airmatanya jatuh perlahan tanpa dia sanggup
menghentikan. *** Ngantuk berat. Mungkin itulah yang dirasakan Cadie pagi ini. Ini untuk yang kedua kalinya,
setelah tragedi ruang ganti itu, Cadie dateng ke sekolah dengan keadaan yang nggak
sepenuhnya baik. Pikirannya seolah terbang terbawa angin. Ilan yang terbaring nggak sadarkan
diri, Luca dkk yang berserakan di depan ruang ICU, dan juga Sinyo yang menangis. Semua itu
terus terbayang-bayang di kepalanya. Hingga membuatnya nyaris ikut-ikutan Ilan, nggak
sadarkan diri. Buktinya dia bengong aja ketika seseorang datang menghampirinya.
"Haeuh! Kenapa dateng nggak ada suaranya?" Cadie mengucap kaget mendapati Lily berdiri di
belakangnya. "Aku yang dateng nggak bersuara atau kamunya yang budeg" Orang dari tadi dipanggilin juga."
Lily nggak mau kalah. "Ada apa" Kalo kamu dateng Cuma mau bikin aku kesal, mendingan ditunda dulu. Aku nggak
kuat!" "Jangan geer. Aku cuma mau titip ini buat Kakakmu. " Lily mengulurkan sesuatu melalui
tangannya. Sebuah benda berwarna putih berbentuk persegi.
"Apa ini"!"
"Undangan! Emangnya nggak pernah lihat undangan apa?"
"Biasa donk!" "Oh ya, aku denger Ilan kecelakaan, gimana keadaannya?" tanya Lily kemudian. Agak
mengejutkan memang. Tapi itulah kenyataannya.
"Not too good. Dia belum juga sadar sejak kemarin."
"Oh ya" Apa separah itu?"
Cadie tidak menjawab. Dia hanya bisa menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan
sebuah senyuman yang jelas amat terpaksa.
"Itu sebabnya kenapa aku nggak suka banget sama orang yang naik motor. Tapi ya udah..,
semoga dia cepet sadar."


Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah" Apa nggak salah" Baru kali ini aku ngeliat kamu peduli sama orang lain. Biasanya kan
kamu nggak pernah peduli sama keadaan sekelilingmu."
"Apa nggak kebalik" Udah ah, aku lagi nggak punya waktu buat berantem sama kamu," Lily
berkata lagi seraya beranjak pergi.
"Sampein selamet-ku untuk Kakakmu, ya!" Cadie setengah berteriak. "Eh, Ly, cowok malam itu..
apa..?" Lily membalikkan badannya. Tangannya digerakkan di depan leher. Menirukan gaya orang yang
habis membunuh. "Aku sudah bilang sama Papa, kalo dia berani-berani lagi ngejodohin aku, dia
bakal ngeliat aku terjun bebas di menara Petronas. Emang cuma Alex aja yang bisa punya niat
begitu"!" Cadie tertawa mendengarnya. Satu hal yang nggak pernah dibayangkan oleh siapapun,
termasuk dirinya sendiri, bahwa seorang Lily yang biasanya cuma bisa bikin orang kesel, bisa
juga ngelucu. "Ryan!" seru Cadie nggak lama setelah melihat Ryan datang tergopoh-gopoh ke arahnya. Tibatiba aja tawanya terhenti. Bisa gawat kalo Ryan sampai punya pikiran dia gila.
"Mau apa lagi dia?" tanya Ryan menyadari orang yang barusan berpapasan dengannya adalah
Lily. "Oh.. nggak. Dia cuma.. nggak ada apa-apa kok. Ada apa" Kenapa kamu lari-larian gitu" Apa..?"
Suara Cadie mendadak cemas.
"Udah jangan banyak nanya, ayo! Kita harus ke rumah sakit!!!"
*** "Untuk saat ini dia masih belum bisa bertemu siapapun. Kami masih harus melihat
perkembangan selanjutnya," jelas Dokter nggak lama setelah keluar dari ruang ICU.
"Tapi dia akan baik-baik aja kan, Dok?" tanya Sinyo. Wajahnya masih tampak kusut. Pucat
bahkan. Dia nggak masuk sekolah hari ini lantaran terlalu ngantuk karena semaleman bersama
Luca dan yang lainnya nungguin Ilan di rumah sakit.
"Ada begitu banyak teman yang mengkhawatirkannya. Mungkin ini juga salah satu hal yang
membuatnya mau bertahan. Dia akan baik-baik saja. Paling tidak, dia telah berhasil melalui
masa kritisnya," terang Dokter itu lagi.
Semua kontan menarik napas panjang. Menandai betapa leganya mereka.
"Maaf, Dok, kalo.. kakinya gimana?" Ryan bertanya tiba-tiba.
Oh iya. Baru ingat Sinyo dan yang lain, kalo sebelumnya dokter telah memberi tahu mereka
bahwa kaki kiri Ilan terluka.
"Soal kakinya kalian tidak perlu cemas. Ya.. mungkin memang akan butuh waktu lumayan lama,
tapi asalkan rajin terapi, pasti akan bisa kembali normal seperti semula."
"Masalahnya kami lagi ikut kompetisi sepak bola, Dok. Dan dia tulang punggungnya," imbuh
Dino. "Begitu ya?" pak Dokter tersenyum. Diangguki Dino dkk.
"Kalian ini kenapa" Masih bisa selamat juga bagus, kenapa harus begitu cemas soal kaki," Pak
Gun menambahkan. Ryan dan yang lain spontan terdiam. Bener juga kata Pak Gun. Masalah kaki bisa sembuh
dengan pengobatan. Tapi kalo masalah nyawa, siapa coba yang bisa nolak kalo udah waktunya
diambil" "Sinyo, sebaiknya kamu hubungi Kakeknya dan kabari kondisi Ilan sekarang." Pak Gun meberi
intruksi. "Iya, Pak." "Dan kalian, kenapa kalian masih di sini"! Bukannya dokter bilang kalian belum boleh ketemu
dia. Sekarang cepat pulang! Ganti baju!"
"Iya, Pak," Ryan dan yang lain, termasuk Cadie, cengar-cengir.
*** Sebuah tabung gas besar masih bertengger di samping tempat tidurnya. Wajahnya pucat pasi.
Dengan jarum infus di lengannya, kaki dan kepala diperban, Ilan terlhat benar-benar lemah.
Melihat dia yang seperti ini, mungkin siapa pun sulit membayangkan betapa kuat dan
menakutkannya dia sebelum-sebelumnya. Paling nggak, itulah yang pernah dirasakan Cadie.
Nggak berdaya. Itulah gambaran nyata seorang Ilan saat ini. Buktinya, dia nggak bisa ngapangapain tatkala Ryan dan yang lain asyik-asyikan bikin prakarya di kakinya yang dibalut.
"Nah.. begini baru bagus. Kalo polos doank jelek, man," lontar Nico. Dia baru saja membuat
gambar muka Ilan di kaki Ilan yang diperban itu. Nggak mirip sama sekali sih. Soalnya kalo
emang Ilan kayak yang digambarnya itu, dijamin deh, jangankan masuk ke top ten cowok paling
diincar, masuk top ten cowok paling aneh, paling jelek, dan paling nyeremin aja belum tentu.
"Gue.. gue..!" Dino berteriak kala Nico bertanya apakah ada yang mau mengikuti jejaknya.
"Heh! Elo semua pada kurang kerjaan apa?" Ilan berkata pelan. Pelan sekali. Nyaris tidak
terdengar. "Tau aja lo kalo kita nggak punya kerjaan," tambah Ryan santai. Setelah Nico dan Dino, giliran
dia yang buat prakarya. Dia menggambar matahari lagi nyengir.
"Tul. Jarang-jarang kan bisa puas ngerjain elo," Luca berkomentar seraya mendekati kaki Ilan.
"Sinting lo pada! Oh ya, Dee.. Co.. thanks banget, ya. Sinyo bilang elo berdua udah ngedonorin
darah lo buat gue," kata Ilan lagi.
"Makasih doank" Mana cukup"!"
"Betul," Cadie menyetujui ucapan Nico barusan. "Udah bikin kita kesakitan kena jarum suntik,
udah bikin kepala puyeng dan badan lemes. Sekarang main enaknya aja bilang makasih. Nggak
seru!" tegasnya. Senyumnya dan senyum Nico mengembang.
Ilan tertawa kecil. Tertawa heran tepatnya. "Terus elo berdua mau apa" Mau diambil lagi"
Perhitungan amat!" "Kalo bisa diambil sih gue ambil. Tapi berhubung gue orang baik, gue kasih keringanan. Elo
cukup traktir kita makan, ya kan Dee?" jawab Nico.
Cadie mengangguk mantap. Tanda sangat-sangat setuju. "Traktir makan sepuasnya. Oh ya,
nggak Cuma itu, pokoknya, makannya harus di restoran yang paling mahal. Mahaaaaal banget.
Makanannya juga harus yang paling enak, enaaaaak banget," jelas Cadie diiringi tawa yang lain.
"Di restoran yang adanya di Prancis kalo perlu," tambah Nico.
Lagi-lagi Cadie mengangguk tanda setuju.
"Sialan lo berdua! Sedot aja lagi kalo mau!"
Semua terkekeh. Puas bener Cadie dkk melihat kedongkolan kapten mereka itu.
"Eh, kalo gitu gue kasih tau ke elo berdua. Jangan pernah donorin darah lo ke gue!" celetuk
Ryan. "Emang beda kali! Golongan darah lo sih samanya kayak kecoa madagaskar."
"Yee.. cumi!" "Cendol!" "Apaan sih elo berdua"!" Sinyo mengeplak kepala keduanya bersamaan. Sempat kaget juga
Nico dan Ryan, tapi nggak bermaksud memperpanjang.
"Guys, ngomong-ngomong, gimana persiapan elo semua buat pertandingan minggu depan?"
tanya Ilan. "Ya elah, elo kaki aja belum lurus, pake nanya-nanya soal itu." Ryan bingung.
"Tau. Yang penting sekarang tuh elo istirahat dulu. Nggak usah lah mikirin pertandingan. Soal itu
sih biar kita yang handle, iya kan, guys?" Luca mena,bahi.
"Pokoknya elo tenang aja deh, Man. Kita nggak bakal nyia-nyiain kesempatan ini. Bukan cuma
elo aja kok yang mau jadi juara, kita juga. Elo juga kan, Dee?" kata Nico kali ini, diangguki Cadie.
"Kalo soal itu gue tau. Yang gue nggak tau, apa bisa elo semua menangin pertandingan tanpa
gue" Gue kan.."
AT DEZINNNGGG! Sinyo dkk langsung cari posisi yang pas buat mukulin Ilan. Ada yang milih
tangan, milih kaki, ada juga yang milih kepala. Sementara Cadie, dia lebih memilih ketawa.
*** Bab 8 Ilan Bilang, "Semua Karena Elo, Dee.."
"Man, tegang nggak sih elo semua" Gimana nih" Badan gue kok.."
"Riooo!" teriak semuanya bersamaan, ketika lagi-lagi melihat penyakit panikan Igi kumat.
"Kalian kenapa sih"!" lontar Cadie seraya menepuk dada. Dia baru aja sampai depan pintu
ruang ganti kala itu. Sinyo dan yang lain nyengir kuda. "Maaf."
"Oh ya, Luca, kaki kamu gimana" Masih sakit?"
"Nggak apa-apa kok, Dee. Cuman ketiban kardus doangan." Cerita Luca perihal kejadian di
lapangan parkir tadi, waktu dia nggak sengaja nibanin kakinya sendiri sama kardus berisi
pakaian anak-anak. Ryan dkk terkekeh. "Cuman" Doangan?" Nggak seimbang amat antara tampang sama omongan,
pikir mereka. "Elo semua pada kenapa"!"
"Oh nggak. Nggak apa-apa kok," semua menjawab kompak.
"Iya. banyak ketawa juga kan bagus. Bisa ngilangin stres," tambah Ichal.
"Udah-udah. Sekarang mendingan kalian siap-siap. Pak Gun udah nungguin," Cadie memberi
intruksi. Semua kontan bangkit dari duduknya. Beranjak meninggalkan ruang ganti, sampai muncul
seseorang dari balik pintu. JENG JRENG!
"Ilan!!!" Cadie memekik kaget. Sebenernya bukan hanya Cadie, Ryan, dan yang lain pun, kecuali
Sinyo yang emang udah tahu rencana Ilan, dibuat kaget dengan kedatangannya.
"Heh! Ngapain elo di sini?" tanya Nico.
"Waaah, gila lo, Man! Emang elo udah boleh jalan-jalan apa?"
"Tau. Emang elo mau kaki lo tambah parah?" Ryan menyambung ucapan Ichal.
"Gue nggak apa-apa kok. Emangnya kenapa sih kalo gue mau nonton. Pelit amat!" Ilan membela
diri. "Pelit mata lo! Heh! Elo harusnya bisa ngebedain mana pelit mana peduli," kata Ryan, yang
langsung membuat Ilan dan yang lain melongo. Bisa juga dia ngomong bagus kayak gitu!
"Ilan, sebenernya kamu ngapain di sini" Kamu kan harusnya masih istirahat," kata Cadie.
"Kan udah gue bilang gue mau nonton! Gimana sih" Man, pokoknya elo semua harus nunggu
gue di final, oke?" "Final, final.. Final pale lo! Heran gue! Perasaan Del Piero aja kalo cedera nurut apa kata
pelatihnya, nggak kayak elo! Masih juga dateng ke sini," gerutu Nico.
"Emangnya Del Piero bilang sama elo, kalo dia lagi cedera dia nonton temen-temennya maen
apa nggak?" Ilan nggak mau kalah.
"Woi! Udah kali." Luca bersuara. "Tenang aja, Man! Final pasti dateng."
"Ya iyalah pasti dateng. Ada atau nggak ada kita, final emang bakal tetep dateng. Kecuali kalo
kita abisin pihak penyelenggaranya satu per satu," imbuh Ryan, yang oleh Sinyo langsung
dihadiahi handuk tepat di mukanya.
Saat itu, seperti biasanya, tiba-tiba saja suasana riuh. Suara-suara, mulai dari yang berseru,
yang mengeluh, yang teriak, sama yang ketawa, bergantian memenuhi ruangan. Udah nggak
jelas lagi deh suara siapa itu saking ramenya.
"Yaaaaa!" Cadie berteriak tiba-tiba. Kedua tangannya ditempelkan di telinga.
"Elo kenapa, Dee"!" Semuanya kaget.
Cadie nggak menjawab. Dia langsung aja ngeloyor pergi. "Kayaknya bener deh apa kata Pak
Gun, aku emang benar-benar harus kuat bertemen sama kalian, supaya nggak cepet gila!"
Suaranya terdengar dari luar. Nyaring.
*** "Mr. Dino, gimana rasanya mencetak gol pertama sepanjang sejarah perjalanan Anda sebagai
pesepak bola?" tanya Nico mengikuti gaya seorang reporter.
"Gimana ya" Saya rasa cuma satu kata yang bisa menggambarkan itu, aku bahagia.." Dino
menirukan gaya Indra Bekti tiap kalo menyanyikan lagu Jamrud Khatulistiwa-nya Guruh
Soekarno Putra. Cadie dan yang lain mau nggak mau dibuat ketawa oleh ulahnya itu.
"Aku bahagia mah dua kata blo"on!" Nico memukulkan lintingan koran yang tadi dipakainya
sebagai mike ke kepala Dino.
Btw, di pertandingan kemaren malem, Sinyo dkk nggak jadi kalah. Mereka emang cuma bisa
bermain imbang dengan lawan, berkat gol sundulan Dino di injury time, tapi itu udah cukup
bagus. Karena dengan begitu, mereka tetap bisa memastikan diri ke perempat final. Nggak
masalah meski Cuma jadi runner up grup.
"Kalian sedang apa?" Tiba-tiba saja sebuah suara terdengar dari luar.
Nico, Dino, Ichal, Rio en Mike, yang lagi nunjukin bakatnya jadi boyband, langsung mencelat dan
turun dari atas kursi dengan sigap.
"Bapak..!" Mereka cengar-cengir.
"Awas aja kalo kursinya jebol! Dee, ada yang nyariin kamu tuh." Pak Gun menoleh ke arah
Cadie. "Cari saya" Siapa, Pak?"
"Katanya sodara kamu."
Mendengar itu, Cadie spontan tersenyum senang. "Pasti Kakak. Makasih ya, Pak." Dia pun
langsung lari meninggalkan ruangan.
"Perasaan dia ketemu Kakaknya tiap hari deh." Ryan terheran-heran.
"Emang Cadie sama Kakaknya terpaut usia berapa tahun?" tanya Pak Gun kemudian.
"Ya.. kira-kira 8 atau 9 tahunan gitu, Pak," jawab Ilan.
"Perasaan yang Bapak temui di luar itu usianya nggak jauh beda sama kalian. Paling sekitar 17
atau 18-an." Ryan dan yang lain b-e-n-g-o-n-g.
*** "Kakak, Cadie kir.."
KIIK! Cadie spontan menghentikan larinya. Langsung dan tanpa aba-aba sedikit pun. Matanya
terbelalak menyadari orang yang datang mencarinya bukanlah Kakaknya. Bukan Andy. Waduh!
Jangan-jangan Pak Gun mulai tuli. Atau Pak Gun salah nyampein pesen" Nggak. Sama sekali
nggak ada kesalahan teknis di sini. Dia emang sodara Cadie. Sodara lain yang dia punya selain
Andy. "Hei, Ca.. Gimana keadaan kamu" Mas Andy gimana" Apa kalian baik-baik aja?" tanya orang
itu, pelan. Untuk beberapa saat Cadie diam. Seolah nggak percaya dengan penglihatannya sekarang.
"Ca, kamu.." "Ngapain kamu di sini?" tanya Cadie akhirnya. Nada suaranya terdengar dingin. Sebisa mungkin
dia menyembunyikan keterkejutannya. Kalo dipikir-pikir, udah lama banget dia nggak ketemu
orang ini. "Aku.. aku mau anterin ini." Orang itu mengulurkan sebuah bungkusan kertas berwarna cokelat
pada Cadie. "Apaan tuh"!"
"Punya kamu. Semua yang seharusnya kamu dapet."
Perlahan Cadia menerima bungkusan itu. Tanpa harus membukanya, dia udah bisa nebak apa
isinya. Serta-merta dia mengembalikan bungkusan itu kepada si pemberi.
"Aku nggak butuh," katanya ketus.
"Ca.." "Apa maksudnya"!"
"Ca, Papa baru tau kalo kamu nutup semua rekening atas nama kamu. Maka dari itu, sekarang
aku mau kamu ambil ini." Orang itu kembali meletakkan bungkusan itu di tangan Cadie. "Ini hak
kamu. Ini punya kamu. Ini adalah semua yang seharusnya kamu terima setiap bulannya,"
lanjutnya. "Hakku" Milikku" Siapa yang bilang" Bukannya semua udah diambil?"
"Ca.." "Denger, Kev! Aku tahu mungkin aku salah bilang ini ke kamu. Tapi tolong.. Kasih tau ke
Ayahmu, which is Om-ku, yang udah dibuang nggak bisa diambil lagi. Kalo kalian kira selama ini
aku kekurangan, kalian salah! Aku masih punya Kakak, dan selamanya nggak akan pernah
kekurangan apapun. Aku nggak butuh semua itu. Jadi, kalo kalian mau ambil.. ambil aja," tukas
Cadie tajam. Dia pun berjalan meninggalkan Kevin.
"Cadie..!" Kevin mengejarnya. "Jangan begitu! Aku tau Papa salah. Aku tau kalo aku nggak
seharusnya ngebiarin Papa ngelakuin semua ini ke kamu, juga Mas Andy. Tapi aku bisa apa"
Apa kamu bener-bener nggak mau maafin dia" Dia.."
"Kevin!!!" Cadie memekik sebelum Kevin menuntaskan ucapannya. "Kenapa harus nanya ke
aku, apa aku mau maafin dia atau nggak" Apa aku salah kalo aku kayak gini" Kamu tau nggak
apa yang aku dan Kakak alami setelah semua kejadian itu. Ayahmu nggak cuma ngatain Kakak
anak pungut, nggak cuma mendepaknya dari perusahaan, dan nggak Cuma mengambil alih
semuanya. Dia.. dia juga menuduh Kakak memanfaatkan aku untuk mendapatkan semuanya.
Dan nggak Cuma itu, dia juga minta ke aku untuk memilih antara tinggal bersamanya dalam
kemewahan atau tinggal bersama Kakak dalam kesusahan. Kamu tau nggak gimana
perasaanku waktu itu?" Cadie menarik napas panjang. Menjaga agar airmatanya nggak sampai
jatuh. "Kalo orang lain yang ngelakuin itu, aku mungkin masih bisa terima. Tapi orang itu adalah
Ayahmu, Omku! Sekarang apa aku salah kalo benci sama dia" Salah kalo aku nggak bisa
maafin dia" Dia udah bikin aku kehilangan semuanya, bikin aku dihina banyak orang. Apa salah
kalo aku begini?" Mata Cadie berkaca-kaca.
Kevin lemas mendengar itu. Kepalanya tertunduk.
BUKK! Terdengar suara cukup keras ketika Cadie berjalan dan menyenggol bahu Kevin.
Rasanya baru beberapa tapak saja Cadie berjalan, tapi dia sudah harus kembali menghentikan
langkahnya. Dia terkesiap saat mendongakkan kepala dan mendapati Ilan dan yang lain berdiri
di depannya. "Sorry, Dee, tadi itu.. kita bukannya mau nguping atau semacamnya, kita Cuma.." kata Ilan
mewakili yang lain. "Nggak apa-apa kok. Meski aku ngerasa yang tadi itu bukan tontonan yang menarik."
Ilan dkk tersenyum. Sama kayak senyum Cadie sebelumnya. Mereka senyum seolah di
belakangnya ada orang yang lagi nodongin pistol. Dipaksakan.
Cadie menarik napas dalam-dalam. "Apa kalian ngerasa, kalo aku kasian banget?"
"Ya.. kita.. sebenarnya.." Maksud hati mau mewakili yang lain, apa daya Ryan malah gagap.
"Ada yang bilang, setelah terluka orang baru bisa jadi lembut dan lebih tegar. Mungkin ada
benernya juga. Kalo aja aku nggak pernah ngalamin semua itu dan nggak pernah "disiksa" sama
kalian, mungkin aku nggak akan pernah bisa jadi Cadie yang sekarang."
"Cadie yang kuat sekaligus manis di saat bersamaan," sambung Sinyo. Diamini yang lain.
"Dee, elo pasti sayang banget ya sama Kakak lo. Sampe rela ngelepas semuanya. Rela nggak
lagi jadi Cadie yang punya segalanya." Luca buka suara.
"Semua orang pasti sayang sama sodaranya, kan?" Cadie melirik ke arah Ilan. Seolah
mengingatkan bahwa dulu Ilan juga pernah mengatakan itu padanya. "Aku.. karena terlalu
sayang sama Kakak, makanya waktu tau dia bukan Kakak kandungku, jadi ngerasa putus asa
banget. Aku mulai takut kalo dia juga akan berbuat sama kayak Om-ku. Ninggalin aku. Itu dia
alesannya kenapa aku sampe kehilangan akal dan akhirnya nekat melukai lengan ini," lanjut
Cadie seraya menunjukkan bekas luka yang masih menempel di lengannya.


Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilan dkk lagi-lagi dibuat tertegun. "Jadi.."
Ternyata karena itu. Dia berniat bunuh diri bukan karena nggak tahan hidup susah atau
semacamnya. Bukan karena nggak sanggup harus kehilangan segalanya. Dia ngelakuin itu
semata-mata karena rasa takutnya. Takut terluka di bagian yang sama. Luka karena disakiti
orang yang dia sayang. Luka karena ditinggalkan, batin Ilan. Tatapannya lurus ke arah Cadie.
"Kalian kenapa pada bengong" Keliatan jelek banget tau nggak?"
"Elo, Dee.." Senyum Cadie lagi-lagi mengembang melihat kebingungan teman-temannya. "Udah ah,
emangnya nggak mau pada pulang?" Dia berdiri.
"Biar Sinyo yang nganterin elo," kata Ilan seraya bangkit dari duduknya, meski dengan susahpayah.
"Makasih. Tapi hari ini kayaknya aku lagi pengen naik bis deh. Biar sekalian bisa nikmatin udara
malem. Aku beneran nggak apa-apa kok. Kalian jangan pasang tampang aneh kayak gitu!
Nyebelin tau nggak"!"
"Tapi ini kan udah malem, Dee," tukas Ryan.
"Nggak apa-apa kok."
*** Tawa Ilan dkk sesekali muncul, menyaksikan keriuhan yang dibuat oleh anak-anak basket di
sudut ruangan, yang seolah belum puas juga merayakan keberhasilan mereka melangkah ke
partai final kejuaraan basket antar SMA se-Jakarta tahun ini.
"Eh, Lan, elo sama temen-temen lo juga harus ngikutin jejak kita!" teriak Ariel, kapten tim basket
SMA Guardian pada Ilan dan yang lain.
Ilan menyambutnya dengan senyum, seraya mengacungkan kalemg minumannya tinggi-tinggi.
Toss gitu deh niatnya. "Santai aja, Riel. Tahun ini dua!" Ryan membalas, juga dengan teriak.
"Ternyata ngerayain keberhasilan itu nyenengin banget ya?" Cadie melihat ke arah anak-anak
basket yang sekarang mulai nyanyi-nyanyi, teriak-teriak, dan juga nari-nari di atas meja. Persis
topeng monyet. "Kenapa" Elo juga mau?" tanya Ilan tiba-tiba.
Cadie tersenyum. "Seru juga kali ya," katanya.
"Hah"! Beneran elo mau kayak gitu?" Sinyo memastikan.
"Oh.. nggak, nggak!" Cadie spontan menjawab. Nyaris keselek dia saking buru-burunya.
"Ngerayain kemenangan sih mau. Tapi nggak pake acara kayak gitu. Nggak mau!"
Ilan dan yang lain terkekeh. Nggak kebayang sama mereka kalo sampai Cadie harus
jejingkrakan di atas meja. Pake acara nari-nari segala lagi. Gimana ya modelnya"
"Heh! Taro nggak! Elo mau pindah ke luar apa"!" Ryan melotot saat mendapati Ichal mengambil
selembar kerupuk dari atas mangkok bubur nasinya.
"Ya elah, kerupuk aja pelit amat!"
"Nah elo, kerupuk aja pake nyolong."
"Yee.. nih orang, berisik! Nggak bisa apa kalo makan sambil diem?" Sinyo mengimbau kedua
temannya. Selama beberapa saat suasana kembali tenang. Ilan, Cadie, juga yang lain kayaknya lagi benerbener mau konsentrasi sama makanannya.
"Sorry, bisa ganggu bentar nggak?" tanya seseorang membuyarkan konsentrasi Ilan cs.
Semua menoleh ke arah suara itu berasal. Semua, termasuk Cadie.
"Duduk, Den." Ilan mempersilahkan.
"Thanks. Gue sebentar kok."
Cadie diam membisu. Dia terus melahap makanannya seolah besok nggak bisa ketemu lagi.
"Ca, kita bisa ngomong sebentar nggak" Penting banget." Denny menundukkan badannya.
Berusaha melihat Cadie lebih jelas.
Tel.. tek.. tek.. Tiba-tiba saja suasana jadi tegag.
"Di luar!" Tanpa basa-basi lagi, Cadie bangkit dari duduknya, berjalan begitu saja ke luar kantin.
Sebagai catatan, dia terdengar sinis. Suaranya dingin banget.
"Serius amat kayaknya. Apa yang diomongin ya?" Nico yang memang selalu ingin tahu bertanyatanya. Matanya tak henti melongok ke luar kantin.
"Ya elah, ntar gue lempar juga lo keluar!" seru Luca, yang lama-lama ngerasa risih juga ngeliat
tingkah Nico, yang sebentar-sebentar lehernya memendek dan memanjang.
*** "Sebenernya gimana dia bisa sampe kecelakaan?" tanya Cadie. Pandangannya lurus ke jalan.
Sejak tadi, dia memang tidak pernah sekali pun melihat ke arah Denny. Sepertinya, dia memang
masih belum bisa memaafkan cowok di sebelahnya itu.
"Aku nggak tau."
"Aneh banget sih. Dia kan nggak biasanya nyetir mobil sendiri."
Denny hanya diam. "Dia pasti akan baik-baik aja," katanya kemudian.
"Semoga aja, biar gimana juga dia pernah jadi temenku."
"Pernah"!"
"Emangnya apa yang kamu harapkan?" Cadie memegang, tepatnya menarik-narik sit belt yang
mengikat badannya. "Aku nggak akan semudah itu ngelupain kejadian itu, Den," lanjutnya
menerawang. KIIIK! Tiba-tiba saja suara ban mobil Denny berdesit kencang. Denny menghentikan mobilnya
secara mendadak. Cadie nyaris terantuk saking kagetnya.
"Kenapa berhenti mendadak?" Cadie berkata dengan kesalnya. Kali ini dia melihat Denny.
"Kamu nggak akan pernah maafin aku atas kejadian itu ya?" tanya Denny tiba-tiba.
"Den, kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat deh. Sebenernya Abel masuk rumah sakit
mana" Kita ada dimana sih?" Cadie melongok-longok ke luar jendela. Sepanjang perjalanan tadi
dia terus melakukan itu, tapi entah kenapa, dia tidak juga tahu ada dimana.
"Nggak di rumah sakit mana-mana," jawab Denny mengejutkan.
"Maksudnya"!"
"Abel nggak pernah pergi ke sini, dia juga nggak kecelakaan. Ini semua.. aku bohong sama
kamu." "Apa"!" "Ca, aku mohon, aku mohon kasih aku kesempatan. Kita pasti bisa sama-sama lagi. Aku janji,
aku akan berubah. Aku nggak akan lagi nyia-nyiain kamu. Aku juga nggak akan lagi ninggalin
kamu. Aku nggak peduli apa kata orangtuaku. Aku Cuma mau kita kayak dulu lagi. Aku cuma.."
"Kamu kenapa sih, Den" Kenapa kamu jadi kayak gini" Ada apa denganmu?"
"Aku sayang kamu, Ca. Aku bisa gila kalo kayak gini terus. Aku.."
PAAAAK! Tiba-tiba saja sebuah tamparan mendarat di wajah Denny, saat cowok itu berusaha
mendekatkan wajahnya ke wajah Cadie. Cadie pun bergegas keluar dari mobil.
"Cadie..!" teriak Denny saat Cadie mulai berlari menjauhinya.
"Jangan deket-deket! Atau aku akan teriak," ancam Cadie.
"Ca, Ca, aku minta maaf. Aku.. aku nggak bermaksud begitu. Tadi aku.. gimana kalo sekarang
aku anter kamu pulang, ya?" kata Denny seraya berjalan mendekati Cadie. Kedua tangannya di
angkat ke atas. Kayak orang yang siap ditangkep atau semacamnya.
"Apa" Nganterin aku pulang" Aku lebih baik lumutan di sini daripada pulang sama kamu!"
"Ca, kamu bahkan nggak tahu dimana ini. Gimana kamu bisa pulang?"
"Apa aku setolol itu" Aku bisa pulang ke rumahku sekalipun aku ada di Kutub Utara," tegas
Cadie. "Cadie..!" panggil Denny saat Cadie mulai berlari menyusuri jalan yang sepi orang, tapi ramai
sekali dengan mobil-mobil.
"Kalo kamu berani ngikutin aku, aku jamin, kamu akan nyesel!" ancam Cadie lagi.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Suasana malam itu sedikit
mendung, mungkin kelamnya nggak jauh beda dari suasana hati Cadie.
*** "Kakek udah pulang, Bi?" tanya Ilan pada sang pengasuh, nggak lama setelah sampai kamar. Bi
Jum tengah merapikan tempat tidurnya kala itu.
"Belum, Den." "Jam segini.." Ilan kaget juga melihat jam di dindingnya. "Makasih, Bi," lanjutnya seraya meraih
obat yang diberikan Bi Jum.
"Tadi sih udah telepon, Den. Katanya, Den Ilan kalo mau makan, makan aja. Nggak usah
nunggu sampe Kakek pulang."
"Oh.. saya udah makan kok."
"Gitu ya, Den. Ya udah, kalo gitu Bibi.."
Dreeet.. Dreeet.. Dreet..
"Maaf, Bi, bisa tolong.."
Bi Jum pun berjalan menuju meja belajar, tanpa Ilan harus menyebut lebih jauh apa
keperluannya. "Makasih ya, Bi." Ilan meraih handphone itu dari tangan Bi Jum. "Halo!" sapanya pada orang di
seberang sana. Nggak ada suara apa pun. "Halo!!!" katanya lagi. "Heh! Kalo nelepon seba.."
"Ilan.." Tiba-tiba saja terdengar suara dari kejauhan. Pelan sekali. Nyaris nggak kedengeran.
"Dee! Elo kenapa" Eh, kenapa elo nangis?" Serta-merta Ilan membatalkan niatnya untuk
rebahan di tempat tidur. "Elo di mana?" tanyanya lagi.
*** Untung sekarang ini Indonesia udah maju. Jalan tol dibuat untuk lebih mempermudah orang
menempuh jarak yang jauh. Coba kalo peristiwa ini terjadi di tahun 1800-an, bisa sebulan kali
Ilan harus menempuh perjalanan dari Pondok Indah ke Lubang Buaya. Kalo begitu, kasian amat
Cadie. Dia bisa bener-bener lumutan nungguin Ilan.
Di depan sebuah supermarket, Ilan menghentikan mobilnya. Matanya menyapu seluruh tempat
itu. Betapa leganya dia tatkala dari kejauhan melihat sesosok orang yang dikenalnya. Seseorang
yang setengah mati dicarinya. Ilan pun segera menghampiri orang itu. Dilupakannya kakinya
yang sakit. Dilupakannya tongkat penyangganya. Sepanjang hidupnya, mungkin inilah satusatunya saat dimana dia bisa merasakan kecemasan sekaligus ketenangan di saat yang
bersamaan. "Ilan!" seru Cadie seraya mengangkat wajahnya. Dari kejauhan, dia melihat Ilan berlari-lari kecil
ke arahnya. Sesekali Ilan meringis. Menahan rasa sakit yang sejak tadi kadung menjalari
kakinya. "Elo nggak apa-apa?" tanya Ilan seraya membuka jaketnya, lalu memakaikannya pada Cadie.
Cadie mengangguk. Setetes cairan bening tiba-tiba keluar dari matanya yang indah. Ilan sampai
bingung sendiri. "Eh..!" "Ilan, aku.." "Udah-udah. Jangan nangis ya! Cup.. cup.." Ilan perlahan mendekap Cadie ke dalam
pelukannya. "Nggak apa-apa. Elo akan baik-baik aja. Gue janji!" katanya lagi. Bisa dirasakan
olehnya, airmata Cadie menembus badannya setelah sebelumnya membasahi kaosnya. Kaos
berwarna abu-abu, persis warna mobilnya.
Dari kejauhan, tanpa sepengetahuan keduanya, seseorang melihat ke arah mereka dengan
perasaan hancur. Yup, hancur sehancur-hancurnya, bagai kerupuk yang dilindas truk gandeng
bermuatan 16.000 ton beras. Udah gitu di atas beras itu juga ada tiga ekor sapi berbobot..
pokoknya gede deh. "Maaf. Tadinya aku mau nelepon Kakak, tapi karena takut dia emosi, makanya aku.."
"Nggak apa-apa kok," Ilan membalas sebelum Cadie menyelesaikan kalimatnya.
"Aku pasti ngerepotin kamu ya?"
"Bagus deh kalo sadar."
Cadie mengernyitkan mata. Mukanya jadi cemberut ketika Ilan mengucapkan kata itu.
"Gue bercanda! Oke, kayaknya gue emang harus ikut les ngelucu deh," kata Ilan lagi seraya
menarik Cadie, mengajaknya menuju mobil.
"Ilan, kaki kamu nggak apa-apa?"
"Nggak." Ilan menjawab singkat tanpa memalingkan wajah. Dia terus berjalan sambil memegang
tangan Cadie. "Apa kamu nggak mau tahu kenapa aku bisa ada di sini?"
"Apa mau cerita?"
"Apa kamu mau denger?"
Ilan menghentikan langkahnya. "Apa elo mau main tebak-tebakan sama gue?"
Cadie tersenyum tipis. "Dee, elo bisa nyeritain apa aja ke gue. tapi juga nggak perlu dipaksain. Sekarang ini elo nggak
usah banyak mikir dulu. Gue rasa elo udah terlalu lelah," lanjut Ilan.
Lelah" Ilan bener. Aku emang bener-bener lelah malem ini. Sekarang, aku cuma mau cepet
sampe rumah. Masuk kamar dan menenggelamkan diriku dalam selimut yang hangat, ucap
Cadie dalam hati. "Ilan, apa kamu pernah ngerasa benci sama seseorang" Benci banget sampe-sampe kamu
sendiri nggak tau apa akan bisa maafin orang itu," Cadie memandang lurus ke kejauhan.
Ilan menoleh ke arah Cadie. Untuk beberapa saat dia diam. Tiba-tiba saja konsentrasi-nya
menyetir sedikit terbagi dengan pertanyaan Cadie barusan.
"Benci sama orang" Kayaknya semua orang juga pernah benci sama orang deh, Dee. Menurut
gue itu manusiawi. Sama halnya dengan menyayangi seseorang. Ada yang bilang kalo kedua
perasaan itu cuma dipisahin oleh garis yang tipis. Gue rasa itu bener. Karena kita pernah sayang
sama orang itu, makanya baru bisa ngerasain adanya kebencian waktu dia nyakitin dia. Kalo
sekarang elo ngerasa benci sama dia dan ngerasa nggak mungkin bisa maafin dia, mungkin itu
emang karena dia terlalu berharga buat dilupain. Justru karena yang nyakitin kita itu orang yang
dekat sama kita, makanya baru bisa ngerasain benci yang mendalam," beber Ilan. Dia terlihat
serius sekali saat mengatakan itu. Saking seriusnya, dia sampai nggak sadar kalo Cadie yang
kayaknya emang bener-bener kelelahan, tertidur lelap.
Ilan tersenyum ke arah cewek nggak tahu diuntung itu.
"Halo, Mas Andy ya" Ini Ilan, Mas. Nggak apa-apa kok. Cuma mau kasih tau kalo Cadie baik-
baik aja. Iya, dia ada sama saya sekarang. Sebentar lagi sampe rumah."
*** "Sinyo, emangnya Ilan kenapa" Kok nggak masuk?" tanya Cadie pada si ganteng yang biasanya
memang tahu akan segalanya itu.
"Kakinya kambuh lagi, Dee," sambar Ryan sebelum Sinyo sempat membuka mulut.
"Hah"! Kenapa" Maksudku kambuh kenapa" Bukannya kemaren baik-baik aja?"
Ryan mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Aneh bener sih nih orang! Tadi waktu Cadie nanya ke
Sinyo, dia yang langsung jawab. Sekarang, pas Cadie nanya ke dia, dianya malah ngangkat
bahunya tinggi-tinggi dan melihat ke arah Sinyo. Si ganteng yang satu ini emang paling tahu
akan segala hal. "Nggak ngerti juga, Dee. Kemaren sih pas abis pulang latihan, dia emang sempat ngeluh kakinya
sakit. Tapi terus dia bilang nggak apa-apa dan dia bakal meriksain itu ke dokter. Nah yang bikin
gue heran, semalem Bi Jum bilang, dia langsung pergi gitu pas abis nerima telepon. Padahal
waktu itu dia baru aja balik dari rumah sakit. Nggak ngerti juga karena apa," terang Sinyo.
Cadie terhenyak mendengar penjelasan Sinyo. Tapi sebisa mungkin menyembunyikannya.
Dasar Cadie bloon! Kenapa pake nanya" Ini pasti gara-gara kamu. Cadie mengucap dalam hati.
"Apa Ilan..?" "Dia nggak apa-apa kok. Elo tenang aja, lagi!"
"Bener, Dee. Kalo Sinyo bilang nggak apa-apa, berarti nggak apa-apa. Tenang!" Ryan
menyenggol Cadie dengan badannya.
Cadie tersenyum, meski agak dipaksakan.
"Woi! Kita balik duluan ya." Tiba-tiba sebuah suara terdengar seiring dengan deru mesin motor.
Bikin telinga pengang. "Apa nggak terlalu bahaya naik motor kayak gitu bertiga?" Cadie mengomentari motor sport
Mike, yang saat itu juga ditumpangi Nico dan Luca.
"Paling pada masuk ICU. Biarin aja! Mereka pengen jajalin kali," jawab Ryan enteng.
Cadie melihat heran ke arahnya.
"Bercanda, bercanda. Masa gue nyumpahin temen sendiri masuk ICU."
"Elo nggak usah khawatir, Dee. Mereka udah biasa begitu kok. Alhamdulillah, selama ini sih
baik-baik aja," Sinyo menambahkan.
"Tapi kan tetep aja aneh. Apa mereka nggak tau kalo itu bahaya" Begitu kan.."
"Kan elo sendiri yang bilang, kalo anak-anak tim sepak bola emang aneh. Asal elo tau aja ya,
mereka bertiga begitu tuh.. udah pake surat perjanjian segala."
"Surat perjanjian?"
"Yup." Ryan menyetujui ucapan Sinyo. "Kebetulan mereka bertiga kan tetanggaan. Jadi,
daripada buang-buang duit buat beli bensin atau buang-buang tenaga buat nyetir mobil, mereka
sepakat gantian bawa mobil. Kalo nggak salah sih perjanjiannya gini, Senin-Selasa giliran Luca,
Rabu-Kamis, Nico, sementara Jumat-Sabtu, miliknya Mike. Nah, karena kebetulan ini hari Sabtu
dan kebetulan juga mobilnya Mike udah dijual dan diganti motor, jadi deh mereka bertiga sempitsempitan," jelas Ryan.
Cadie cuma diam. Bengong tepatnya.
"Udah ah nggak usah bengong gitu! Santai aja. Ayo! Emangnya kita mau sampe kapan diem di
sini" Yan, elo ikut nggak?" kata Sinyo lagi.
"Ya nggak kali. Emangnya mau gue taro dimana motor gue."
"Ya.. kali mau elo seret di belakang mobil gue."
"Maksud LO?" Cadie tersenyum melihat kelakuan dua temennya, yang kadang bisa sangat cocok kayak
penganten baru, tapi kadang bisa juga bikin pusing kayak Tom and Jerry.
"Gue duluan!" teriak Ryan seraya melambaikan tangannya.
Cadie dan Sinyo membalasnya dengan lambaian juga, tapi nggak sesemangat Ryan yang tadi
hampir jatuh saking hebohnya dadah.
"Gimana" Mau ke rumah Ilan?" Sinyo memakai seat belt-nya.
"Ng.. nggak deh. Hari ini kebetulan ada janji makan siang bareng Kakak. Kebetulan tunangannya
datang dari London. Mungkin nanti aku akan telepon aja nanyain keadaannya."
"Oooh, ya udah. Gue juga mungkin baru bisa ke rumahnya ntar malem."
"Kok?" "Siang ini kebetulan gue mau ke rumah sakit."
"Rumah sakit" Emang kamu sakit?"
"Emang nggak kelihatan ya?" Sinyo balik bertanya, membuat Cadie heran. "Gue cuma check up
rutin aja kok. Nggak usah serius gitu donk," lanjutnya seraya tersenyum. Dia pun menggas
mobilnya. Membawanya mengarungi pepohonan cemara yang memenuhi sisi kiri dan kanan
jalan. *** Sebentar duduk di sana, sebentar tiduran di sini, dan sebentar-sebentar ngeliatin ke luar jendela
kamarnya. Ada sekitar 15 kali-an dia narik napas panjang. Persis orang yang mau melahirkan.
Belum lagi ditambah nguntel-nguntel di bawah bantalnya. Telentang, tengkurep, jongkok, semua
udah dia lakuin, tapi nggak juga hilang kegelisahannya.
"Aduuuuh!" serunya seraya menyilangkan kedua tangannya di leher. Berulang kali dia melihat ke
arah handphonenya. Pulsanya masih banyak, baterenya juga masih full. Tapi entah kenapa, dia
ngerasa bingung banget untuk ngegunain handphone itu. Sekali, dua kali, dia masih bingung


Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mutusin apakah akan meneleponnya atau tidak. Tapi akhirnya.. dia pun menekan nomor
itu. Tut.. tut.. tut.. (ceritanya nada tunggu)
"Iya, Ca..," jawab seseorang di seberang sana.
"Kakak, ini Cadie."
"Iya tau. Ada apa" Eh, kamu dimana sekarang" Masih di sekolah" Kakak sama Kak Mia
sebentar lagi sampe di rumah nih," kata Andy lagi.
Cadie hanya diam. "Ca..!" "Iya?" "Kamu kenapa diem?"
"Ooh.. itu.. Cadie.. Kakak, boleh nggak kalo Cadie ngebatalin rencana makan siangnya?" Suara
Cadie terdengar hati-hati.
"Kok" Kenapa?"
"Cadie.." Lagi-lagi Cadie nggak bisa menyelesaikan omongannya.
"Alasannya harus jelas lho!"
"Ilan, dia.." "Oke," potong Andy cepat.
"Hah"!" Kayaknya Andy tahu betul kegelisahan Adiknya. Tanpa pikir panjang, dia langsung mengiyakan
permintaan Cadie. "Tapi kan Cadie belom bilang apa-apa."
"Satu kata Ilan udah cukup kok buat Kakak."
"Apa maksudnya"!" gugat Cadie kesal.
"Have Fun ya!" TEK! Tiba-tiba aja Andy memutus teleponnya. Cadie jadi heran bercampur kesal. Have Fun!"
Apa maksudnya"! Aku bahkan nggak tau pasti apa dia mau ketemu aku. Dan nggak yakin apa
aku mau ketemu dia atau nggak, pikir Cadie.
*** Dreeet.. dreeet.. dreeet..
"Halo..," jawab Ilan. Suaranya terdengar lemas. "Halo! Heh! Siapa nih" Woi! Kalo mau nelepon
ya ngomong," ucapnya lagi. Kali ini nada suaranya agak sedikit meninggi.
"Ilan.." "Cadie!" Ilan mencelat mengetahui ternyata si penelepon adalah Cadie. Kayaknya tadi dia terlalu
ngantuk untuk memperhatikan siapa yang meneleponnya. Main angkaaat aja, tanpa melihat
nomor atau nama penelepon dulu.
"Sorry, Dee. Eh, elo.. elo kenapa" Elo nggak apa-apa kan" Elo dimana?" Ilan bangkit dari
tidurnya. Bergegas ke luar kamar. Sambil sesekali menahan rasa nyeri dia berlari. Lari terus,
sampai.. KIIIK! Langkahnya terhenti begitu melihat ke arah tangga.
"Dee!!!" Ilan menatap lurus ke arah cewek yang kini berada di depannya. Di telinganya masih
menempel telepon genggamnya.
Cadie menutup teleponnya, lalu berjalan mendekati Ilan. "Kenapa begitu?" tanyanya.
"Hah"!" "Kamu kan bisa bilang sama aku kalo kaki kamu lagi sakit. Kamu kan nggak harus maksain
dateng kalo kamu nggak bisa. Kamu juga nggak perlu segitu khawatirnya sama aku. Kalo waktu
itu, aku tau.. kalo waktu itu aku tau kaki kamu sakit, aku nggak akan ngerepotin kamu. Ilan,
aku.." Cadie yang terlalu sedih tidak sanggup meneruskan kata-katanya.
"Gue.." Ilan mencoba menyambung kalimat Cadie. Tapi dia sendiri nggak tahu mau ngomong
apa. "Dee, karena elo gue dateng. Karena elo. Gue nggak peduli kaki ini sakit. Karena elo, gue
khawatir. Karena elo juga, gue nggak ngerasa direpotin. Karena elo Dee, semua ini karena elo."
WUIIIIH! Seandainya aja kata-kata itu bisa didenger Cadie, dan nggak cuma diucapin dalam hati
oleh Ilan. "Ilan.." "Eh, udah donk. Jangan nangis lagi, ya!"
"Sekarang.. sekarang gimana sama kaki kamu?" tanya Cadie masih sesenggukan.
"Emangnya kenapa kaki gue" Baik-baik aja kok. Wajar kalo agak-agak nyeri sedikit. Biasa aja
lagi." "Tapi nanti kalo tambah parah gimana" Kan gawat. Aku harus bilang apa sama Sinyo dan yang
lainnya?" "Ya nggak usah bilang apa-apa. Ini kan bukan salah lo."
"Tapi kan karena semalem kamu maksain buat dateng makanya jadi kambuh lagi."
"Siapa bilang" Kebetulan aja, kali." Ilan melempar pandangannya ke langit-langit.
"Tapi.." "Aduh, udah donk! Berhenti nangisnya. Gue nggak betah nih ngeliat orang nangis."
Cadie melihat ke arah Ilan. Tangannya sibuk mengusap kedua matanya.
"Udah ya.. Eh, elo nggak mau kan kalo gue yang berhentiin elo nangis?" ancam Ilan.
"Apa maksudnya"!"
"Ya, elo tau donk." Ilan mendekatkan wajahnya ke wajah Cadie. Cadie sampai ngeri sendiri.
Masalahnya jaraknya deket banget. "Gue bakal tendang elo ke bawah!" lanjut Ilan santai, lalu
menarik kembali wajahnya menjauhi wajah Cadie.
Diancam seperti itu, bukannya kesel, Cadie malah tertawa.
"Ketawa, lagi.."
"Ilan, muka kamu.."
"Nggak apa-apa." Ilan meraih tangan Cadie sebelum cewek itu sempat memegang wajahnya
yang memang agak memar. "Oh ya, udah makan siang belom?" Cepet-cepet Ilan mengganti
topik. Cadie belum sempat menjawab ketika tiba-tiba saja perutnya berbunyi.
Ilan tertawa kecil. Aduuh! Kenapa bunyi" Biasanya nggak makan seharian juga nggak bunyi. Tapi kenapa kali ini
pake bunyi" Pikir Cadie. Jadi mau nempel sama tembok!
*** Cadie baru saja turun dari taksi kala itu. Saat melihat ke teras rumahnya dan mendapati orang
itu duduk lesu di atas bebatuan yang dipahat menyerupai kursi, langkahnya terhenti. Senyum
yang sejak tadi menyertai perjalanannya, hilang seketika. Nggak ada lagi raut senang dan
bahagia yang tadi ditunjukkannya ke Ilan, yang ada hanya.. hanya tatapan penuh benci, hanya
emosi yang kembali meradang.
"Mau apa kamu di sini"!"
"Ca, aku.." "Pergi! Cepet pergi dari sini!!!" Cadie mengucap tajam. Ekspresi mukanya beda-beda tipis sama
Feni Rose kalo lagi bilang, setajam.. SILET. Bikin ngeri.
"Ca, aku tau aku salah. Aku tau kamu pasti.."
"Aku nggak mau denger. Aku nggak mau denger.." Cadie menutup kedua telinganya dengan
tangan. "Ca.." "Minggir!" Tanpa mempedulikan panggilan orang itu, yang nggak lain adalah Denny, Cadie bergegas
masuk ke rumahnya. Bunyi dentuman yang teramat keras terdengar jelas saat Cadie menutup
pintu yang jaraknya hanya beberapa senti saja dari muka Denny. BRUUUGG!!!
"Ca, maafin aku. Aku tau aku udah bikin salah ke kamu. Tapi aku mohon, Ca, dengerin aku..
untuk kali ini aja." Denny bersuara dari balik pintu.
"Pergi, Den! Aku nggak mau ketemu sama kamu. Aku nggak mau denger apa pun dari kamu.
Kamu itu.. pokoknya aku benci sama kamu!" Cadie berteriak. Masih segar dalam ingatannya,
kejadian kemarin malam. Saat Denny yang selalu dinilainya sopan itu berniat kurang ajar
padanya. "Cadie.." Denny jatuh perlahan di depan pintu. Airmatanya yang jernih jatuh perlahan
membasahi pipinya yang memar. "Apa belum cukup kalo Tuhan aja yang menghukumku" Apa
kamu juga harus melakukan hal yang sama ke aku?" lirihnya.
*** Bab 9 Ada Apa dengan Denny"
Pintu itu tidak pernah terbuka. Cadie tidak pernah keluar untuk menemui Denny. Penantian 24
jam yang dilakukan Denny, mulai dari kedinginan, lapar, sampai dinyamukin, berakhir sia-sia.
Karena nyaris selama itu juga, Cadie mengurung dirinya di kamar. Sama sekali tidak berniat
menemuinya. Hari itu adalah hari terakhir kalinya Cadie melihat Denny. Itu be
rarti, lima hari sudah dia tidak
pernah lagi melihat sosok Denny dalam kesehariannya. Tidak di sekolah atau di tempat lainnya.
Denny menghilang. Denny seolah benar-benar melakukan apa yang diinginkan Cadie, pergi dari
hidupnya. *** "Man, elo semua pada bertanya-tanya nggak sih soal si Denny" Gue heran deh, dia pergi
kemana ya" Kok tiba-tiba kayak ilang ditelen bumi gitu. Kalo diitung-itung, ini udah hari ke -6 dia
nggak masuk sekolah. Nggak biasa banget buat orang kayak Denny," papar Nico di sela-sela
makan siang. "Iya sih. Tapi ya.. bukan urusan kita juga kali. Dia mau masuk kek, nggak kek, itu kan hak dia,"
Ryan berkomentar sambil terus melahap mie gorengnya.
"Yee.. elo jadi orang nggak ada peduliannya amat. Biar gimana juga dia kan temen kita. Kalo
ada apa-apa gimana?"
"Ada apa-apa" Maksud lo?"
"Apaan?" "Tau ah." "Yee.. cumi!" "Eh, tapi kalo dipikir-pikir emang aneh juga ya" Masa nggak ada badai, nggak ada gempa, tibatiba aja dia menghilang. Jangan-jangan dia sakit keras atau semacamnya lagi makanya nggak
bisa kasih kabar ke sekolah." Ichal buka suara. Berlebihan memang.
"Ya kalo pun dianya sakit, tapi kan bonyok-nya nggak. Masa sampe segitu nggak sempetnya
buat kasih kabar soal anaknya," sanggah Rio.
"Iya juga." "Guys, apa menurut lo hilangnya Denny ini ada hubungannya sama Cadie" Soalnya nih ya, kalo
diurutin kejadiannya, si Denny itu ilang setelah nemuin Cadie di tempat latihan. Jangan-jangan
mereka berantem hebat, terus.." Ichal langsung diam karena dikejutkan dengan kedatangan
seseorang, begitu juga yang lain.
"Ada apaan" Kenapa kalian jadi diem gitu?" Cadie bertanya-tanya.
"Nggak. Nggak ada apa-apa kok, Dee. Duduk! Kirain gue elo nggak makan." Sinyo mewakili
yang lain. "Elo darimana, Dee" Siang amat?" tanya Nico kali ini.
"Oh.. itu.. aku dari ruang guru."
"Emang ada masalah apa" Elo ketauan nyontek di kelas ya?" selidik Ryan.
"ada juga elo kali yang tukang nyontek," sambar Luca.
Ryan belum sempat menunjukkan kemarahannya ketika tiba-tiba Cadie buka suara. "Nggak kok.
Sebenernya tadi itu aku dipanggil cuma mau dimintain tolong aja, bukan karena apa-apa."
"Ooohh.. ngerti deh, yang anak pinter," semua berujar kompak.
"Apa maksudnya?"
"Maksudnya ya.. oh ya, tadi Ilan nelepon, dia titip salam buat elo," kata Sinyo tanpa bermaksud
memperpanjang. "Salam sayang kayaknya sih Dee." Ryan menambahi.
"Ilan kapan balik, Nyo?"
"Kayaknya sih besok. Kenapa" Elo mau nitip oleh-oleh" Patung singa kali, atau.. atau kaos
made in Singapura bertuliskan, I Love I.. i.. i.. i, I apa kek terserah lo."
"Norak!!!!" Sinyo cengar-cengir. Begitu juga Ryan dan yang lain.
*** "Ibu minta tolong ya, Ca. Ibu tidak tahu lagi harus bagaimana. Sudah beberapa kali Ibu mencoba
menghubunginya, tapi sia-sia. Handphone-nya tidak aktif. Telepon di rumahnya tidak seorang
pun mengangkat. Ibu takut terjadi sesuatu padanya. Maka dari itu, Ibu minta bantuan kamu.
Kamu kan lumayan dekat dengannya. Kamu pasti tahu harus mencari dia kemana, iya kan"
Kamu mau kan membantu Ibu?"
Cadie mengingat-ingat kembali ucapan Bu Dewi, wali kelas Denny di 3 IPA 1, siang tadi. Entah
kenapa, mendengar penuturan Bu Dewi itu tiba-tiba saja hatinya terusik. Tanpa disadari, hatinya
gelisah. Sebenernya dia kenapa" Apa iya sesuatu yang buruk terjadi sama dia" Batin Cadie sambil terus
menenggelamkan wajahnya dalam tangan.
"Ca.." "Kakak.." Cadie mengucap kaget, menyadari sang Kakak, yang entah kapan datangnya telah
berdiri di sebelah meja belajarnya.
"Ada apa" Apa kamu ada masalah?" tanya Andy.
"Ooh.. nggak kok, Kak. Nggak ada apa-apa."
"Gitu ya?" Cadie mengangguk pelan. Selama beberapa detik dia terus begitu. Manggut-manggut nggak
jelas hanya untuk meyakinkan sang Kakak, bahwa dia lagi nggak ada masalah. Terus dan terus
dia begitu, sampai kemudian ekspresi Kakaknya berubah dari ekspresi Won Bin yang lagi
nyengir jadi ekspresi inspektur Vijay yang lagi nginterogasi penjahat.
"Cadie nggak bisa bohong sama Kakak, ya?" lanjut Cadie.
"Tuei yo!!!" (bener banget)
"Kakak.. sejak kapan belajar bahasa China?" Cadie terkekeh.
"Ada masalah apa" Apa ada hubungannya sama tim sepak bola" Atau.. atau sama Ilan?"
"Hah" Nggak-nggak. Kenapa Kakak nanya seolah mereka biang masalah buat Cadie. Ini sama
sekali nggak ada hubungannya sama mereka."
"Terus.." "Ini.. ini soal.. soal Denny."
"Denny"!!!"
Cadie manggut-manggut. "Kakak masih ingat kan waktu Denny ke sini beberapa hari yang lalu?"
"Iya. Dan jujur aja, saat itu Kakak ngerasa kasian banget sama dia. Meski ya.. sudahlah.
Emangnya kenapa" Ada apa dengannya?"
"Kak, sebenarnya.. itu terakhir kalinya Cadie ngeliat dia. Sejak hari itu, Cadie nggak lagi ngeliat
Denny, baik di sekolah atau di tempat lainnya."
"Maksud kamu?" "Dia nggak pernah lagi masuk sekolah, Kak. Cadie nggak tau dia kemana. Cadie juga nggak tau
kenapa dia begini. Cadie.."
"Kamu mencemaskannya?" potong Andy.
"Cadie nggak tau. Cadie cuma ngerasa, ini nggak seperti Denny. Dulu jangankan bolos, buat izin
sakit aja dia mikir 100 kali, belum lagi kalo ada ulangan, bisa sampe 1000. Tapi sekarang..
sekarang udah hampir seminggu dia nggak masuk dan itu pun tanpa keterangan. Cadie benerbener nggak ngerti, Kak."
"Jadi gitu?" "Siang tadi, wali kelas Denny minta tolong ke Cadie buat cari kabar tentang Denny. Karena
menurutnya satu-satunya orang yang paling deket sama Denny, ya Cadie. Menurut Kakak Cadie
harus gimana?" "Kenapa masih tanya harus gimana" Ya telepon lah. Kalo masih nggak aktif juga, ya datangi
rumahnya. Gitu aja kok bingung. Kan ada Kakak. Kita akan cari sama-sama. Nggak peduli dia
ada di lubang semut sekali pun, kita pasti bisa menemukannya. Percaya deh!"
"Kenapa Kakak jadi semangat gitu" Kayak yang ilang ini Kak Mia aja."
"Yee.. dikasih tau juga."
"Iya maaf." "Ya udah, sekarang kamu tidur dulu. Besok baru dipikirin lagi gimana caranya nemuin Denny,
oke?" Andy mengusap kepala adiknya. Lalu jalan perlahan menuju pintu. Dia baru saja mau
menutup pintu itu, ketika tiba-tiba mendengar Cadie kembali bersuara.
"Kakak, salah nggak sih kalo kita masih nyimpen perasaan benci ke orang, meski mungkin aja
saat ini orang itu udah bener-bener menyesal dengan apa yang pernah mereka perbuat ke kita"
Salah nggak Kak, kalo Cadie masih suka kesel sama Denny" Masih benci, dan nggak tau kapan
bisa maafin dia?" Andy diam. *** "Guys, aku duluan ya!"
"Eh, Dee, tunggu!"
"Ya?" "Elo emang mau pergi kemana sih" Kok buru-buru amat," selidik Nico, sang investigator di tim
itu. "Oooh.. aku.." "Dia mau pergi kemana kek, apa urusannya sama elo?" potong seseorang cepat sebelum Cadie
memberi jawaban. Suaranya tegas dan jelas. Sama seperti biasanya.
"Ilan!!!" "Waah, balik nggak bilang-bilang lo!" Ryan yang nggak kalah terkejut menyusul Cadie.
"Emangnya kalo gue bilang, elo semua pada mau jemput?"
"Ya.. nggak sih," jawab semuanya kompak. Pake acara cengengesan, lagi. Membuat Ilan ingin
sekali menendangi mereka satu per satu. Ah tapi nggak. Ilan gitu loh! Cool man, cool.
"Oh ya, elo ditungguin Mas Andy tuh di parkiran," lanjut Ilan.
"Iya. Ya udah, kalo gitu aku duluan."
Ilan manggut-manggut sambil perlahan menggeser badannya menjauhi pintu. Memberi ruang
pada Cadie yang mau keluar.
"Eh, Dee, ntar malem kalo bisa mampir ke rumah Ilan. Itu juga kalo elo mau kebagian oleholeh,"teriak Ryan sebelum Cadie makin menjauh.
Cadie Cuma senyum dari kejauhan.
"Iya katanya. Ntar malem dia ke rumah lo." Ryan melirik Ilan, yang rasa-rasanya mulai pengen
banget mentungin tongkat penyangganya ke kepala orang.
*** "Gimana" Diangkat?"
"Nggak aktif, Kak."
"Ya udah dicoba lagi aja."
"Iya." Cadie manggut-manggut. Setelah itu, tangannya mulai kembali sibuk menekan satu demi
satu tombol di ponselnya. 08567535573, 08567535573, terus dan terus dia menekan nomor itu,
tapi tak kunjung tersambung.


Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa mungkin Denny punya nomor lain?" tanya Andy lagi, sambil terus berkonsentrasi dengan
jalanan. "Setau Cadie sih nggak. Lagian, Denny juga bukan tipe orang yang kalo ganti nomor nggak
bilang-bilang." "Ya udahlah. Sebentar lagi juga kita sampe rumahnya."
"Iya." Cadie menggenggam ponselnya erat-erat. Matanya sibuk menyapu jalanan. Memandang
ke arah luar jendela. Bisa dilihatnya tetesan air mulai membasahi kaca mobil Kakaknya.
Sepertinya hujan. Saat itu, entah kenapa, tiba-tiba saja Cadie merasakan kecemasan yang
mendalam. Dia sendiri nggak ngerti kenapa. Kenapa justru di saat dia hanya tinggal beberapa
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 4 Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Tanding 13
^