Soccer Love 3
Soccer Love Karya Ida Farida Bagian 3
meter lagi dari rumah Denny, perasaan itu semakin menguat.
"Hei.." Andy menyenggol badan Cadie yang tampaknya mulai bengong. "Kalo kamu bengong
begitu, nanti yang ada pembantunya Denny kabur pas ngeliat kamu."
Mereka pun sampai di depan rumah Denny.
"Kenapa lama banget" Jangan-jangan nggak ada orang lagi." TING TONG! Andy untuk kedua
kalinya menekan bel rumah Denny.
"Apa mungkin mereka ke luar kota Kak" Mungkin aja mereka.."
Cadie tidak melanjutkan kalimatnya, ketika tiba-tiba pintu gerbang rumah Denny terbuka, diikuti
suara seseorang. "Maaf, Non, Den. Bibi tadi di kamar mandi," kata orang itu, yang nggak lain pembantunya Denny.
"Malam, Bi." Cadie dan Andy mengucap bersamaan.
"Non Cadie! Ya ampun, Non. Udah lama banget Bibi nggak ngeliat Non. Masuk, Non! Silahkan
duduk! Den, mari.." Bi Tari nyerocos kayak petasan.
"Terima kasih, Bi."
"Sebentar ya, Non, Aden, Bibi buatin minum dulu."
Cadie melirik kakaknya, pun demikian kakaknya, melirik balik, heran dengan sikap Bi Tari yang
kayaknya kangen setengah mati sama Cadie.
"Non Cadie kemana aja" Kok nggak pernah main ke sini lagi?" Bi Tari kembali bertanya meski
tangannya sibuk membawa nampan. Eh nggak deng! Sekarang sibuk mindahin gelas dari
nampan ke meja. "Silahkan Non, Den!"
"Nggak kemana-mana kok, Bi. Ada di rumah aja."
"Oh iya, Bibi sampe lupa. Non Cadie pasti dateng ke sini buat nyari Den Denny ya?"
"Iya, Bi. Cadie udah beberapa kali nyoba nelepon Denny, tapi nggak nyambung-nyambung.
Makanya sekarang Cadie dateng. Apa Denny-nya ada Bi?"
"Den Denny.. Den Denny-nya sekarang ada di rumah sakit Den."
"Rumah sakit" Denny sakit, Bi" Sakit apaan?" tanya Cadie lagi.
"Bukan.. bukan. Bukan Den Denny, Non, tapi.."
"Nggak." Cadie menggeleng berulang kali. "Bi, jangan bilang kalo.."
Bi Tari mengangguk pelan. Raut mukanya sedih banget. "Sudah seminggu ini kesehatan Non
Kyra memburuk. Bibi sendiri nggak tau karena apa. Den Denny sudah seminggu ini juga nggak
pernah pulang ke rumah. Dia terus-terusan nungguin Non Kyra di rumah sakit. Lupa sekolah,
mandi, bahkan makan," jelasnya.
Cadie lemas seketika mendengar itu. Badannya hampir roboh kalau saja sang Kakak tidak
cepat-cepat menopangnya. "Kakak.." Cadie mengucap pelan. Tangisnya tak terbendung.
*** "Seharusnya Cadie tau dari awal, Kak. Kalo aja Cadie bisa lebih sabar dan nggak sembarangan
ngusir Denny, pasti Cadie.. waktu itu, dia dateng pasti buat kasih tau soal ini, makanya dia.."
"Hei.. hei, udah donk! Kamu kenapa jadi nyalahin diri sendiri gini" Ini bukan salah kamu. Bukan
salah siapa pun. Jadi, berhenti menyesali semuanya, oke?"
"Tapi.." "Nggak pake tapi. Pokoknya Kakak nggak mau lagi denger kamu ngomong begitu, ngerti" "
Cadie mengangguk. "Ya udah, ayo!"
Dan Cadie beserta sang Kakak pun kembali melanjutkan perjalanannya. Menyusuri loronglorong rummah sakit yang masih juga terang-benderang sementara hari sudah mulai malam.
Hampir 10 menitan mereka seliweran di rumah sakit itu, sampai akhirnya tiba juga di tempat
tujuan. Ruang ICU. "Cadie!!!" Suara itu terdengar parau memanggil nama Cadie. Matanya yang biasa jernih seolah
ditutupi kegelapan. Tampak layu dan sendu. Wajahnya pucat. Rambutnya acak-acakan, begitu
juga pakaiannya. Persis orang yang nggak ganti baju berhari-hari. Kumel deh pokoknya si Denny
ini. "Ca, kamu.." "Den..!" Cadie menangkap badan Denny, yang nyaris jatuh saat mencoba bangkit dari duduknya.
"Aku baik-baik aja kok, Ca. Aku pasti akan baik-baik aja."
Cadie manggut-manggut. Dan nggak lama kemudian, dia sudah berada di pelukan Denny.
Denny memeluknya dan dia pun tanpa sungkan meraih pelukan itu. Dia sendiri nggak tau
kenapa. Tiba-tiba saja ada perasaan yang mengharuskannya meringankan kesedihan Denny
kala itu. Mungkin karena Cadie terlalu kenal Denny. Dia terlalu paham bahwa bagi Denny, Kyra
adalah segalanya. Dalam pelukan Cadie, Denny menumpahkan tangisnya.
*** "Mas Andy dimana?"
"Tuh di sana!" Cadie menunjuk dengan matanya, ke arah dua orang paruh baya dan juga
seorang pria muda yang sangat tampan, yang nggak lain Kakaknya, yang sepertinya tengah
serius bercakap-cakap. Dua orang paruh baya yang tengah diajak ngobrol oleh Andy itu tak lain
orangtuanya Denny. Denny ikut-ikutan Cadie melihat ke arah tiga orang itu.
"Ca, thanks ya karena kamu udah mau nemenin aku di sini. Padahal kan aku.."
"Udah lah, Den. Kamu nggak usah lagi ngebahas soal itu, ya?"
"Tapi, Ca.." "Nggak ada tapi-tapian. Kalo kamu mulai ngomongin soal penyesalan kamu lagi, aku pulang nih.
Kak!" "Iya.. iya. Nggak lagi." Denny menghentikan Cadie, yang mulai mau teriak manggil Kakaknya.
"Gitu donk." Cadie tersenyum tipis. "Oh ya, kamu udah makan belum?"
"Nggak laper." "Nggak laper juga tetep harus makan. Emangnya siapa yang bilang kalo orang baru boleh
makan setelah laper" Mau ya" Biar aku beliin."
"Eh, Ca.." Denny memegang tangan Cadie, sebelum gadis itu bangkit dari duduknya. "Nggak
usah. Aku beneran nggak laper kok. Kamu di sini aja, ya" Temenin aku ngomong. Kamu juga
boleh kok cerita soal keadaan sekolah sekarang, ya" Please..!"
"Tapi janji ya kalo laper kasih tau aku."
"Iya." "Ya udah, kamu mau denger cerita soal apa?" Cadie kembali duduk di sebelah Denny.
"Yang menarik tentang apa?"
"Tentang.. mana aku tau, emangnya aku tukang gosip?"
Denny tertawa kecil mendengar itu. "Kenapa jadi sewot?"
"Ya abis.." "Iya maaf. Ya udah gini aja, gimana kalo cerita soal tim sepak bola aja?"
"Hah?" "Ya.. sebentar lagi kan kalian mau tanding. Pasti banyak yang harus dipersiapkan, kan" Ceritain
aja soal itu." "Oooh.." Dan Cadie pun mulai cerita panjang-lebar soal keadaan tim sepak bola menjelang partai final
beberapa minggu lagi. Cerita soal tingkah anak-anaknya yang kadang nggak jelas dan juga
cerita soal gimana dia ngerasa sangat aman berada di dekat segerombolan cowok tampan, tapi
berkelakuan minus itu. Selama beberapa saat keduanya larut dalam tawa. Sebentar haha.. sebentar hihi.. ada juga
haha.. hihi.. Sejenak Denny berhasil melupakan sedikit kekhawatiran, kesedihan, dan juga ketakutannya
berkaitan dengan kesehatan sang adik, yang entah baru kapan bisa sadar. Hanya sejenak.
Wajah muramnya kembali tampak nggak lama setelah Cadie selesai dengan ceritanya dan
akhirnya harus pulang. *** "Terima kasih, Bu," ucap Cadie, nggak lama setelah menyerahkan surat yang kemarin dititipkan
Denny kepadanya pada Bu Dewi, wali kelas tercintanya Denny. Bu Dewi sebenarnya sempat
nanya ke Cadie soal alasan kenapa Denny sampai minta izin untuk nggak masuk selama
beberapa hari. Tapi berhubung Cadie nggak ngerasa punya hak lebih buat ngejelasin, dia pun
memilih angkat tangan. Cadie cuma bilang seadanya bahwa Denny ada urusan keluarga.
Untung banget jadi Denny, mulai dari SD sampai sekarang selalu jadi siswa teladan. Mau nggak
masuk gampang banget dapat izinnya.
Cadie pun keluar ruangan setelah selama beberapa menit bercakap-cakap dengan Bu Sandra,
guru kimianya. "Hayo!!!" "Aaaa!" Cadie nyaris sprint saking kagetnya ngedenger suara jelek barusan. Kakinya batal lari
kala dirasakannya tangan seseorang memegang lengannya.
"Cuma kita kok," kata orang itu. Masih memegang lengannya. Ternyata Ilan.
Ryan yang barusan ngagetin cengengesan. Sinyo nggak kalah seneng.
"Udah kali. Dia nggak bakal lari." Ryan seolah mengisyaratkan Ilan agar melepas tangan Cadie.
Cadie jadi salting sendiri. Kayaknya dia emang kurang pinter ngumpetin perasaannya. Beda
banget sama Ilan, yang emang udah ahlinya buat sok cool. Dia kelihatan tenang kayak biasanya.
Sebenernya dia sendiri agak bingung juga sih, kenapa tadi tiba-tiba narik tangan Cadie. Dan
sekarang, sebenarnya Ilan malu banget.
"Elo abis ngapain?" tanya Ilan akhirnya.
"Abis.. abis nganterin surat."
"Sejak kapan elo jadi tukang pos?" celetuk Ryan.
Cadie diam. Pun demikian dengan Ilan dan Sinyo.
"Nggak lucu ya?"
"Bagus kalo sadar," sahut Sinyo seraya melanjutkan perjalanannya, mengikuti Ilan dan Cadie.
"Oh ya, tadi elo bilang elo ke ruang guru buat nganterin surat. Surat apaan?" tanya Ilan lagi.
Perasaan baru kali ini deh, Ilan jadi sok banyak nanya gitu. Biasanya kan..
"Surat.. oh itu.. itu sih.. bukan surat apa-apa kok," jawab Cadie akhirnya.
Yeee..! Untung Ilan bukannya Ryan, yang gampang naik darah. Bikin kesel aja si Cadie ini, udah
ngomongnya pake gagap, lama, akhirannya malah nggak jelas.
"Oohh.." "Oh ya, kaki kamu gimana?" Cadie berusaha mengganti topik.
"Baik." "Kaki lo sendiri gimana, Dee" Baik?" tanya Sinyo kali ini.
"Hah" Emangnya kaki aku kenapa?"
"Ya nggak tau juga. Gue pengen nanya aja. Soalnya kaki gue juga baik-baik aja."
"Maksudnya?" "Nggak ada! Emangnya kalo ngomong harus selalu ada maksudnya apa" Heran!" Sinyo berjalan
lurus meninggalkan Cadie dan Ilan. Nggak ngerti juga dia, kenapa tiba-tiba emosi. Abis Cadienya sih, nggak nyambung kalo diajak bercanda. Bikin kesel.
Cadie melirik ke arah Ilan. Tampangnya bingung.
"Nggak usah didengerin! Kayaknya penghapus yang tadi nyangkut di tenggorokannya udah
sampe perut deh, makanya dia jadi begitu," Ilan beralasan.
Cadie masih juga diam. "Dee!" "Hah?" "Elo kenapa sih?"
"Ng.. nggak. Nggak kenapa-napa kok."
"Terus kalo nggak kenapa-napa, ngapain elo ngikutin gue?" tanya Ilan lagi.
"Hah" Ngikutin kamu" Aku kan mau ke kelas."
"Dan apa elo nggak inget kelas lo ada dimana?"
"Ya ingat lah, emangnya aku bego" Kelasku kan ada di.." Cadie melihat ke arah tulisan di
tembok, lalu langsung lari ke pinggir tangga, melongok ke bawah. "Kenapa nggak bilang-bilang
kalo lantai tiga udah kelewat?" tanyanya gemas.
"Salah sendiri kenapa jalan nggak liat-liat. Makanya jadi orang jangan kebanyakan bengong.
Bagus baru sampe lantai 4, coba kalo keterusn sampai atas, dan menembus langit ke tujuh."
"Mana ada?" Cadie protes tanpa kuasa menahan tawa.
"Ketawa, lagi. Sana cepet turun!"
"Iya." Cadie manggut-manggut. Perlahan dia berjalan mundur menuruni tangga. Dia baru saja
menuruni, 1.. 2.. 3.., 3 anak tangga saat memutuskan memanggil nama Ilan.
"Kenapa?" tanya Ilan.
"Sekarang posisi kita sama."
"Hah?" "Gimana kalo kita taruhan" Siapa yang sampai kelasnya lebih dulu, boleh ngajuin satu
permintaan." "Apaan sih?" "Kalo takut ya udah."
"Tunggu!" Cadie senyum menyadari Ilan menyetujui ajakan mainnya.
"Gimana caranya tau siapa yang sampai lebih dulu?" tanya Ilan.
"Pake ini!" Cadie megeluarkan ponselnya. "Yang miskol duluan, berarti sampai lebih dulu,
gimana?" "Dan gimana elo yakin kalo gue nggak bakal miskol elo sebelum sampai kelas?"
"Nggak tau. Yakin aja," jawab Cadie pasti.
"Kalo gitu berarti gue juga harus yakin sama elo?"
Cadie manggut-manggut. "Ya udah, siapa takut"!"
Cadie tersenyum tipis. "Di hitungan ketiga kita mulai! Siap" Satu, dua.." Dan tepat dihitungan
ketiga, Cadie dan Ilan pun memulai pertaruhannya. Berlawanan arah, yang satunya turun dan
yang satunya naik, mereka menyusuri satu demi satu anak tangga. Terus dan terus mereka
berlari, tanpa sama sekali mempedulikan orang-orang yang berseliweran di sekitarnya, yang
mungkin saja menganggap mereka kurang kerjaan.
Hoooh.. hoooh.. hoooh.. Suara napas Ilan terdengar kemana-mana.
"Elo kenapa?" Sinyo terheran-heran.
"Nggak kenapa-napa," jawab Ilan dengan napas masih sengal. Tangannya sibuk merogoh
kantong celananya, lalu gantian merogoh tasnya. Nggak ketemu juga. dia pun mulai mengoprek
tas itu. beberapa bukunya sempat terjatuh.
"Elo nyari apaan sih?"
"Handphone gue. Handphone gue mana ya, Nyo?" Ilan masih tetap sibuk memeriksa tasnya.
"Terus aja cari sampai elo jadi foto model. Dasar pikun! Handphone lo kan mati dan elo ninggalin
di rumah biar bisa di-charge. Lupa lo?" Sinyo berujar kesal. Btw, maksudnya sampai Ilan jadi foto
model apa ya" Ah, lupain aja.
"Ya udah, kalo gitu pinjem HANDPHONE lo." Ilan langsung merebut paksa HANDPHONE Sinyo,
tanpa si empunya sempat menolak atau semacamnya.
08567134533. Ilan menekan tombol di ponsel itu. Tut.. tut.. tut.. SIBUK! Selama beberapa kali
dia kembali menekan nomor yang sama. Tapi tetap sama, sibuk.
"Nelepon siapa sih?"
Bukannya menjawab, Ilan malah meninggalkannya. Bergegas menuruni tangga.
"Alah! Bukan temen, gue jatohin ke bawah lo!"
*** Ilan senyam-senyum nggak jelas, begitu juga Cadie. Tepat di tempat dimana mereka memulai
semuanya tadi, di situlah mereka kembali bertemu. Lantai 4. Di telinga keduanya masih
menempel asik ponsel yang sepertinya nggak pernah ngeluarin nada lain selain tulalit dan tut..
tut.. tut.. "Tulalit terus," kata Cadie polos.
"Sori, gue baru ingat kalo handphone gue mati dan sekarang lagi di-charge di rumah," beritahu
Ilan. "Ooh.. pantes."
"Iya." Ilan salah tingkah.
"Kalo gitu berarti siapa yang menang?" tanya Cadie.
"Anggap aja elo. Handphone gue nggak ada kan salah gue. Jadi, anggap aja elo yang menang."
Cadie tersenyum simpul. "Apa menurut kamu, kamu nggak terlalu baik" Kamu tau nggak apa
akibatnya" Aku bisa aja manfaatin kemenanganku buat ngajuin satu permintaan berat ke kamu.
Emangnya kamu nggak takut?"
"Coba aja kalo berani. Elo nggak lupa kan, kalo gue punya satu batalion pasukan yang siap
ngancurin siapa aja yang berani macem-macem sama gue?"
Cadie terkekeh. "Apa maksudnya" Beraninya keroyokan."
"Ya udah, sekarang bilang apa permintaan lo. Sebisa mungkin gue kerjain."
"Aku.. nanti aja deh."
"Kok?" "Aku simpan permintaan itu buat kapan-kapan. Kali aja butuh. Lagian, aku juga kan masih harus
pikir-pikir dulu. Nggak mau aja kalo satu permintaan itu terbuang sia-sia. Boleh kan?" Cadie
beralasan. Good choice! Begitulah kira-kira keputusan Cadie ini. Dia benar. Satu permintaan nggak boleh
sembarangan diucapkan. Apalagi yang bakal dimintakan sesuatu ini adalah seorang Ilan
Tanudirdja, cowok keren idola jutaan kaum hawa. Cucu satu-satunya dari Ahmad Tanudirdja,
pemilik jaringan Hotel Sky. Hotel milik pengusaha Indonesia yang nggak cuma bercabang di Asia
Tenggara, tapi juga Eropa.
"Terserah lo aja."
"Terima kasih." Cadie tersenyum manis.
Tulalit pap paw! Come to class now. It"s been so long now. Gonna get there some how. Buruan!
Dan percakapan Cadie dan Ilan pun terhenti kala mendengar suara jelek Andro mengalun di
udara. Dia nyanyi-nyanyi nggak jelas. Nada-nadanya sih agak mirip sama salah satu lagunya
Boyzone. Judul lagunya.. ah lupa. Pokoknya gitu deh. Tapi kalo mau diganti sama lagunya Ungu
atau Ratu juga nggak apa-apa. Paling-paling nggak nyambung.
"Ya udah, sampai ntar siang."
"Iya." Cadie manggut-manggut.
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Cadie tak henti tersenyum. Dia sendiri nggak ngerti,
kenapa tiba-tiba aja permainan yang melelahkan itu bisa membuatnya begitu senang" Bisa
membuatnya melupakan sedikitkekhawatirannya. Entah dari mana datangnya ide untuk
melakukan pertaruhan itu. Semua muncul begitu saja. Sebenarnya dia sendiri kurang paham aja
tujuannya. Sama sekali nggak ngerti kenapa mau melakukan itu, dan kenapa juga dia meminta
Ilan yang menemaninya. *** "Kalian udah dateng?" sambut Cadie nggak lama setelah Ryan dkk datang. Senyumnya
merekah. Manisnyaaaa minta ampun. Langsung aja dia mematikan ponselnya. Menghentikan
kegiatannya main bowlig.
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tumben sampai duluan. Elo nggak kabur dari kelas saking lapernya kan?" Ryan menarik
bangku dari meja sebelah. Si empunya meja sampai kaget karena Ryan nggak pake acara
permisi dulu. Tapi emang dasar Ryan. Dia cuek bebek.
"Jam pelajaran ketiga nggak ada gurunya," jawab Cadie.
Semua kompak, "Oh.."
"Udah pesen?" tanya Ilan.
Cadie menggeleng mantap. "Makan apaan ya?" Nico mengelus-elus perutnya. Seolah meminta cacing-cacing di perutnya
buat diam dulu karena dia lagi sibuk milih makanan. Dia pun langsung jalan ke arah salah satu
kios setelah akhirnya tau mau makan apa.
"Nggak lagi laen, somay," celetuk Luca. Nico yang emang udah laper santai aja nimpalin
omongan temennya yang lagi-lagi, sok Betawi itu. Hebat emang Luca, bisa segitu cintanya sama
Betawi. Padahal kan, dia nggak tau-tau amat soal sukunya Bang Ben itu.
"Eh, Co, gue Aqua satu," Sinyo teriak.
"Aaaw!" "Eh, sorry, Man!" Ichal berseru cepat, sadar udah nyenggol kaki Ilan dengan keras. Sebenernya
sih niat dia nendang Ryan, yang tega-teganya ngabisin teh manisnya, padahal waktu itu dia lagi
kepedesan banget. "Sakit ya?" "Ah.. nggak kok."
"Nggak salah lagi maksudnya, Dee." Ryan nyamber kayak bensin.
"Berisik!" Ryan cs ngakak lihat Ilan dongkol.
Kayaknya emang nggak bakal ada tenangnya kalo anak-anak The Whites pada ngumpul.
Perasaan baru juga beberapa menit menikmati makanan, tiba-tiba sudah harus ngeliat
kerusuhan lagi. "Maaf." Cadie pamit minggir kala mendapati ponselnya bunyi. Dia berjalan keluar kantin agar
bisa dengar lebih jelas. Dan nggak cuma itu, alasannya menjauh dari Ilan dkk juga karena tau si
penelepon adalah Denny. Sebenernya nggak ada maksud apa-apa. Dia cuma nggak enak aja.
Selama hampir lima menit Cadie ninggalin meja. Sesekali dia melihat ke arah teman-temannya
di sudut ruangan. Melihat ke arah Ilan, yang perlahan beringsut meninggalkan meja. Sama
seperti Cadie, rupanya dia juga dapet telepon dari seseorang. Dan memilih menjauh daripada
nggak kedengeran. Sebuah senyum lega muncul di wajah Cadie, nggak lama setelah dari seberang sana diberi tahu
Denny bahwa Kyra sudah sadar.
"Kalo gitu nanti pulang sekolah aku ke sana," kata Cadie semangat. Dia memutus hubungan itu,
lalu kembali ke mejanya. "Telepon dari siapa, Dee" seneng amat." Nico mau tahu.
"Oh.. itu.." "Jangan-jangan tadi elo telepon-teleponan sama Ilan ya" Sengaja biar nggak ketauan kita,"
sambung Dino sekenanya, yang langsung membuat Sinyo dkk riuh.
"Cie.. cie.." "Bukan, bukan. Tadi itu.. tadi itu telepon dari Kakak kok." Cadie menjawab pada akhirnya.
"Oooh.." Semua pun ber-oh ria. Semua, kecuali Ilan. Matanya melihat penuh tanya pada Cadie,
yang kini mulai sibuk menyantap makan siangnya. Benar-benar laper atau hanya pura-pura
laper, nggak jelas juga. Ilan cuma bisa menghela napas melihat kebisuan Cadie. Benar-benar
nggak habis pikir. Apa iya Mas Andy bisa nelepon ke gue dan ke elo dalam waktu yang bersamaan" Ilan membatin
penuh tanya. Sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutannya atas pengakuan Cadie
barusan. *** Cadie memandang lembut ke arah tempat tidur itu. Ke arah seorang cewek manis yang kini
terkulai lemas dalam tidurnya. Air matanya sempat menetes sesekali. Tapi langsung disekanya
sebelum orang lain melihat. Sebelum Denny tahu.
"Den, kamu udah dateng" Om sama Tante mana?" tanya Cadie. Sebisa mungkin
menghilangkan jejak air matanya.
"Mereka masih konsultasi sama dokter."
"Gitu ya?" Denny manggut-manggut. "Den, apa Kyra.."
"Nanti aja ngebahasnya, ya" Kamu pasti laper. Kamu kan belum makan apa-apa sejak dateng
tadi." Denny memegang tangan Cadie, lalu menariknya meninggalkan kamar Kyra."Aku nggak
mau kalo kamu jadi ikut-ikutan sakit. Aku juga nggak siap kalo Mas Andy ngedamprat aku
lantaran bikin Adiknya sakit," lanjut Denny dalam langkahnya.
"Emangnya kamu lupa kalo kamu udah keseringan bikin aku sakit?"
JENGJRENG..! Denny terhentak mendengar itu. Serta-merta genggaman tangannya
mengendur. Iya. Dia jadi sadar kalo dia sebenernya emang udah terlalu sering bikin Cadie sakit.
Dia jadi nggak tau mau ngomong apa. "Ca, aku.."
"Aku bercanda kali. Kenapa jadi serius gitu"!"
"Hah?" "Ha ha ha.." Cadie ngakak. "Ternyata muka kamu kalo lagi serius jelek ya?"
AEUHHH! "Kamu.. kamu jangan bikin aku jantungan gitu kek. Rese!"
"Kamunya sih, kebanyakan ngebiarin stres ngelilingin kamu, makanya jadi nganggep semuanya
serius." "Iya deh.. nggak stres lagi."
"Gitu donk." Keduanya berjalan menuju kantin yang letaknya di basement. Dan nggak berapa lama
kemudian, mereka sudah asyik makan masakan Padang. Berat!
"Den, soal cangkok sum-sum itu.. selain keluarga yang punya hubungan darah, apa yang lain
nggak bisa?" Cadie memulai percakapan langsung ke intinya. Kebetulan tadi dia dan Denny
memang sempat denger dari dokter bahwa Kyra masih punya harapan buat hidup asal
menemukan donor sum-sum yang pas.
"Bisa aja. Tapi kemungkinannya nggak banyak. Lagian, kalo pun ada, belum tentu orang itu mau
ngedonor. Terlalu beresiko."
"Gitu ya?" Denny manggut-manggut. "Kamu tau nggak Ca, seandainya bisa, jangankan cuma sum-sum,
kalo harus cangkok nyawa juga aku siap."
"Kamu jangan bilang begitu."
"Kenapa" Emangnya kamu sedih kalo aku kenapa-napa?"
"Jangan norak deh. Bete!"
"Iya.. iya.. Aku kan cuma bercanda. Tadi kamu sendiri kan yang bilang kalo kita harus sering
bercanda biar nggak stres. Gimana sih?"
"Ya, tapi nggak usah gitu-gitu amat."
"Iya, maaf." Denny sadar bercandanya udah kelewatan. Tapi jujur, dia seneng juga. Dia seneng
karena sekarang Cadie udah mau ketawa lagi di depannya. Nggak kayak beberapa bulan
terakhir ini, yang dilaluinya dengan derita.
"Besok kamu masuk?" tanya Cadie tiba-tiba.
Denny mengangguk mantap. "Kenapa" Kamu kangen ya ngeliat si ganteng ini berseragam putih
abu-abu?" "Kamu tuh lama-lama jadi norak ya. Apa juga maksudnya nyebut diri sendiri si ganteng?"
"Emang aku ganteng kan" Atau.. atau di mata kamu ada orang lain yang lebih ganteng?"
Cadie kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Sebenernya sih seharusnya bisa santai aja. Apa
susahnya tinggal bilang. Sebut saja Orlando Bloom, Bertrand, atau siapa kek manusia yang
kelihatan cakep di dunia ini. Bukannya malah melempem dan terbang ke mana-mana. Well, kalo
Denny nanyanya wajar sih emang gampang ngejawabnya. Masalahnya nih cowok nanyanya
agak menjurus-jurus gitu. Kemana lagi kalo bukan menjurus ke ILAN.
*** "Tolong donk." Ilan menepuk pundak Ichal, sebagai isyarat minta tolong diambilin sesuatu.
"Bukannya elo nggak suka pedes?"
"Yang nyuruh elo ngambil sambel siapa" Kecap," sanggah Ilan.
"Ooh.." "Man, si Dee kemana" Kok nggak keliatan" Emangnya dia nggak makan?"
Ilan tidak menjawab. Dia hanya mengulurkan ponselnya pada Nico.
"Apaan nih?" "Elo telepon aja sendiri, tanya. Emang gue Bapaknya?" kata Ilan sambil terus melahap
makanannya. "Yee.." "Eh, guys, gue denger hari ini si Denny udah masuk lagi, bener ya?" Luca buka mulut di tengah
keheningan. "Kayaknya sih gitu," Sinyo menjawab seraya meneguk air mineralnya.
"Gue denger juga dia jadi agak berubah gitu. Lebih kurus dan keliatan layu."
"Lo kata bunga," sambar Nico.
"Sejak kapan sih elo gaul sama si Helen and the gank, gosip amat!" Ryan yang tadi adem-ayem
mulai mengeluarkan tajinya.
"Gosip mata lo! Gue denger ini dari Kesa." Luca nggak mau kalah.
"Kalo gitu sejak kapan pacar lo temenan sama Helen and the gank?"
"Yee.." "Heh!" Ilan lagi-lagi menghalau tanda-tanda akan adanya perang saudara. "Elo pada nggak bisa
apa kalo ngebahas sesuatu nggak pake emosi?" lanjutnya.
Ryan dan Luca langsung diam.
*** "Hayyo, lagi bengong ya"!" Suara riang Cadie terdengar nyaring. Rasanya siapa pun yang
mendengar bakal langsung kaget, apalagi kalo aksi itu diikuti juga dengan gerakan badan yang
serta-merta. Alias.. DUKK! Duduk tiba-tiba tanpa acara permisi dulu sama yang punya kursi.
"Kamu.." "Kaget ya?" "Nggak kok." "Alah jangan bohong. Kaget ya bilang kaget. Begitu aja ja-im."
Denny senyum, meski agak dipaksakan. "Kamu kok nggak makan?" tanyanya kemudian. Pelan.
"Nggak laper." "Nggak laper juga tetep harus makan. Emangnya ada yang bilang kalo orang baru boleh makan
setelah laper" " Denny mengulang kalimat yang pernah diucapkan Cadie padanya di rumah sakit
beberapa hari yang lalu itu.
"Bisanya nyontek."
Selama beberapa saat hanya sepi yang ada. Denny mulai sibuk memandangi air danau yang
sesekali menggeliat tertimpa sesuatu, dedaunan yang sesekali terhempas dari tangkainya, dan
rerumputan yang bergoyang-goyang mengikuti irama angin. Sementara Cadie.. dia hanya bisa
mengikuti Denny menyelami semuanya. Masuk ke dalam suasana hatinya, yang entah baru
kapan bisa kembali ceria seperti sedia kala. Gurauan sedahsyat apa pun, rasanya memang
nggak akan mampu membuat Denny merasa lebih baik. Dan kalaupun bisa, itu pasti juga cuma
sesaat. "Ca.." "Ya?" "Kyra nitip salam buat kamu. Katanya makasih udah mau nemenin dia tidur," ucap Denny.
"Oooh.. iya. dia gimana sekarang, Den?"
"Ya.. gitu deh." Denny membungkukkan sedikit badannya. Kedua tangannya ditopang lutut.
"Mungkin masih ada bagusnya karena paling nggak sekarang dia udah sadar. Meski aku nggak
tau apa yang akan terjadi setelah ini."
"Den.." "Iya, aku tau. Maaf."
"Kamu nggak boleh pesimis gitu donk. Kamu harus yakin kalo semua pasti akan baik-baik aja.
Kan kamu sendiri yang bilang, kalo Kyra itu kuat. Dia pasti akan bisa ngelaluin semua ini.
Apalagi sekarang ini dunia kedokteran udah maju, dia pasti bisa disembuhin. Kamu cuma harus
yakin akan itu, ya?"
"Menurut kamu begitu?"
Cadie mengangguk mantap. "Eh, kamu ingat nggak waktu Kyra jatuh dari pohon" Waktu itu dia
benar-benar kesakitan sampai akhirnya nangis nggak henti-henti. Kita udah pake semua cara
buat bikin dia berhenti nangis, tapi sia-sia. Siapa yang sangka kalo dia baru bisa berhenti nangis
pas kamu ancam nggak boleh jadi Adik kamu lagi. Aku ingat, dulu kamu bilang begini, "Eh, kalo
nangis terus bukan Adiknya Kakak. Diam nggak! Atau Kakak akan lempar kamu ke atas pohon",
kamu ingat nggak?" Denny tertawa kecil. "Emang dulu aku bilang begitu" Kejam amat!"
"Emang iya. Baru tau?"
Lagi-lagi Denny tertawa. "Oh ya, tapi emangnya kamu lupa. Dia juga kan jatuh dari pohon garagara kamu," katanya.
"Aku,," Enak aja!"
"Emang iya. Siapa coba yang tiba-tiba teriak pas lihat kucing, yang terus bikin dia jatuh saking
kagetnya." Denny beralasan.
"Masa sih?" Denny manggut-manggut. Nggak lama kemudian, keduanya pun mulai kembali tertawa. Rasanya sudah lama sekali
mereka tidak terlibat pembicaraan yang begitu akrab seperti saat ini. Cadie senang, karena
akhirnya Denny bisa juga tertawa.
"Thanks ya, Ca." Denny menoleh ke arah Cadie. "Aku nggak tau gimana kalo nggak ada kamu di
samping aku saat ini, juga kemaren waktu di rumah sakit."
Cadie diam. Sebuah senyum mengembang di wajahnya nggak lama setelah itu. "Kamu harus
kuat. Kamu pasti bisa."
"Iya. Selama kamu ada di samping aku, aku pasti bisa."
"Den.." Cadie belum sempat menyelesaikan ucapannya, ketika tiba-tiba saja suara getar handphone
terdengar di kursi itu. "Halo..," Denny cepat-cepat mengangkat handphone-nya.
Selama beberapa saat dia terlihat serius. Sesekali dia menganggukkan kepala dan sesekali juga
dia terdiam. Cadie sampai takut dibuatnya. Apalagi ketika wajahnya mendadak pucat.
"Ada apa, Den?" tanya Cadie nggak lama setelah Denny mematikan handphone-nya.
"Ca.. Kyra, Ca.. dia.. Aku harus ke rumah sakit sekarang!"
"Den!" Cadie setengah teriak menyusul Denny yang mulai berlari. "Aku ikut ya"!" lanjutnya pasti.
"Tapi.." "Pokoknya aku ikut. Ayo!"
Entah apa yang ada di pikiran Cadie saat memutuskan untuk ikut bersama Denny. Dia
meninggalkan pelajaran terakhir, pelajaran kimia yang amat disukainya. Dia hanya tahu, saat ini
Denny membutuhkannya. Begitu juga Kyra.
"Dee.." Dari kejauhan, seseorang yang tanpa sengaja melihat adegan lari-larian Cadie dan
Denny berkata pelan. Kalau saja yang dilihatnya itu bukan Cadie, males bener dia
memberanikan diri melongok melalui balkon. Wong jelas-jelas dia fobia terhadap ketinggian.
*** "Gimana Kyra, Ma" Dia baik-baik aja, kan?" tanya Denny nggak lama setelah mendapati sang
Mama menangis sendirian di sebuah kursi. "Ma, Mama jangan diam aja donk. Jawab Denny, Ma.
Kyra baik-baik aja, kan?"
"Den, Den, kamu jangan begitu.." Cadie memegangi Denny yang mulai kalap didera kecemasan.
"Papa." Denny menoleh ke kiri dan ke kanan. "Ma, Papa mana" Kenapa Papa belum dateng"
Dokter! Dokternya mana" Kenapa dokternya belum ada" Apa dokternya di dalam" Kenapa
nggak keluar-keluar?" tanyanya bertubi-tubi. Nggak jelas.
"Den.." "Ca, Ca, kamu tolong jaga Mama di sini ya. Biar aku.. biar aku yang.."
Hhuufff. Tiba-tiba saja kalimat Denny terhenti. Mulutnya berhenti ngoceh dan kakinya berhenti
bergerak, ketika tiba-tiba saja seseorang memeluknya.
"Ma.." Denny menangis dalam pelukan sang Mama, yang tampaknya mulai bisa lebih tegar
menerima semuanya. "Kamu tenang ya, Sayang. Kamu harus sabar. Kita semua harus sabar." Mamanya Denny
mengucap pada akhirnya. Erat dan semakin erat dia memeluk putra semata wayangnya itu.
"Kyra nggak apa-apa kan, Ma?" Pelan suara Denny kembali terdengar.
"Tentu, Sayang. Itu pasti."
"Denny nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama Kyra, Ma. Denny nggak mau."
"Iya, Sayang. Mama tau. Cuup.. cuup.." Mamanya mengucap berulang kali.
Dari kejauhan, Cadie menyaksikan adegan ini dengan perasaan yang tak kalah sedih.
Kekhawatirannya terhadap Kyra dan juga keputusasaan Denny benar-benar membuatnya sedih.
*** "Terima kasih ya, Ca, karena kamu sudah bersedia menemani Denny di saat-saat seperti ini.
Tante jadi malu. Setelah apa yang sudah Tante perbuat ke kamu, sekarang Tante malah.."
"Tante.." Cadie memegang tangan Mamanya Denny. "Tante jangan bilang begitu. Tante nggak
usah lagi memikirkan soal itu. Cadie.. Cadie udah ngelupain semuanya kok. Bener!"
Mamanya Denny melihat lembut ke arah Cadie. Meski pelan, dan bahkan nyaris tidak terdengar
sama sekali, tapi Cadie masih bisa menangkap jelas ucapan terima kasih yang keluar dari mulut
wanita yang masih juga terlihat cantik di usianya yang menginjak kepala 4 itu.
"Sekarang Tante makan, ya. Nanti kalo nggak, Tante jadi ikutan sakit."
"Kamu juga. Kamu pasti belum makan kan sejak dari sekolah tadi."
"Iya." Cadie tersenyum manis.
"Sekarang Tante tau kenapa Denny begitu membenci Tante saat Tante memintanya
memutuskan hubungan denganmu," Mamanya Denny berkata di sela-sela makannya. "Dia
punya banyak alasan untuk mempertahankan kamu di sisinya. Meski akhirnya demi patuh pada
Tante memilih untuk melepasmu. Tante bener-bener egois, ya?"
Cadie diam. Iya. Egois banget. Masa dia harus jawab begitu" Jadi, daripada salah, mending
diam. "Kamu nanti pulang diantar Pak Diman ya! Naik taksi malam-malam begini nggak baik."
"Nggak usah repot-repot, Tante."
"Nggak kok. Kalo anak itu nggak terlalu lelah dan akhirnya ketiduran, dia juga pasti akan
maksain diri buat nganter kamu. Kamu jangan sungkan."
"Ngeliat Denny yang lagi tidur kayak gitu, Cadie baru sadar kalo ternyata dia mirip banget sama
Kyra." "Menurutmu begitu?"
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cadie manggut-manggut. "Sayang sekali karena hanya wajah mereka yang mirip. Sum-sum-nya tidak." Mamanya Denny
mengucap pelan. Cadie melongo mendengar itu.
"Denny belum memberitahumu" Dia juga sudah menjalani pemeriksaan. Sudah cek sum-sum,
tapi hasilnya tidak sesuai harapannya."
"Ooohh.." "Sekarang kami cuma bisa memasrahkan semuanya pada Allah. Menunggu keajaiban datang.
Menunggu ada orang baik yang bersedia mendonorkan sum-sumnya pada Kyra."
*** "Eh, Dee, kemaren elo kemana" Kok pulang nggak bilang-bilang" Sampai nggak dateng latihan
segala lagi," tanya Ryan.
"Iya, kasihan tuh si Ilan, nggak ada penumpangnya," imbuh Nico.
"Elo kata gue sopir taksi"!"
"Dee, elo kalo mau kemana-mana bilang donk. Biar kita nggak khawatir. Tau nggak, kita sampai
mikir jangan-jangan elo sakit atau semacamnya, makanya sampai maksain pulang cepat," kata
Sinyo kali ini. "Maaf. Aku nggak bermaksud begitu. Kemarin aku.. kemarin itu aku.. pulang cepat karena mau
ikut Kakak. Iya, karena mau ikut Kakak anter Kak Mia ke bandara, makanya jadi nggak bisa ke
tempat latihan," jawab Cadie akhirnya. Bingung juga sih kenapa harus bohong. Mana pake
bawa-bawa Kakaknya segala. Dia jadi nggak enak.
"Ooohh.." Cadie tersenyum tipis tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di sebelahnya,meski tahu ada
yang nggak beres, Ilan memilih diam.
"Ilan! Ilan!" Tiba-tiba saja suara teriakan terdengar dari kejauhan. Suaranya nyaring minta
ampun. "Astaghfirullahalazim deh gue mah. Lagi ada lomba teriak, apa"!" ucap Nico kaget.
"Siapa sih?" Ryan bingung bercampur kesal. Masalahnya suara si pemanggil tadi lenjeh banget.
Ya kalo berjenis kelamin perempuan sih, lenjeh masih fine-fine aja. Nah ini, jelas-jelas suaranya
bariton. Bikin ngeri aja.
"Gilang!" Cadie berseru.
"Yee.. ternyata elo. Kayak perempuan aja sih teriak-teriak."
Gilang cuma nyengir. Tapi Cadie, yang berdiri dtepat di samping Ryan melotot. "Nggak semua
perempuan maksud gue."
"Ada apaan" Pake teriak-teriak segala," tanya Ilan pada Gilang, yang masih sibuk mengatur
nafasnya. "Itu.. Pak Gun.."
"Pak Gun kenapa?" tanya Sinyo kali ini.
"Nggak.. nggak kenapa-napa. Cuma.."
"Cuma apa?" susul Nico.
"Dia bilang.." "Bilang apa?" Kali ini giliran Ryan yang nanya.
"Yee.. biarin gue ngambil napas dulu dong, jangan dicecer-cecer!" Gilang, yang tadi persis orang
yang diinterogasi teriak kekesalan. Ilan dan yang lain sampai kaget dibuatnya. "Pak Gun nggak
kenapa-napa. Dia cuma bilang kalo dia mau ngomong sama elo, Lan, dan juga mau kasih
sesuatu sama elo, Dee. Jadi, sekarang elo berdua diminta ke ruangannya," terang Gilang.
"Oooh.. kirain ada masalah gawat apa." Sinyo, Nico, dan Ryan spontan lega. Cadie sama Ilan
juga sebenarnya lega, tapi mereka masih bisa bersikap biasa. Nggak heboh kayak tiga
temannya itu. "Ya udah ntar gue ke sana. Thanks ya," kata Ilan.
"Bukan cuma elo, Cadie juga."
"Iya." "Makasih ya, Lang," ucap Cadie kali ini.
"Ada masalah apaan ya" Kok Pak Gun sampai manggil elo sama Cadie." Ryan bingung.
"Paling juga soal pertandingan nanti. Ya udah, gue ke sana dulu. Ayo Dee!" Ilan pun berbalik
arah, menyambangi ruang sekret bola.
"Kalian sudah datang. Duduk!" Pak Gun melipat koran yang barusan dibacanya. " Makasih, Pak."
Cadie dan Ilan mengucap bersamaan sebelum akhirnya duduk di bangku panjang berkapasitas
tiga orang itu. Selama beberapa saat ketiganya terlibat obrolan serius. Jadi begini loh, jadi begitu loh, dan
sebagainya. So pasti, masih seputar partai final melawan tim Vegaz tiga minggu lagi. Sesekali
mimik serius muncul di wajah ketiganya, sesekali juga ketiganya tersenyum, bahkan tertawa.
Terus dan terus mereka seperti itu, sampai suara bel mengingatkan mereka. Pak, udah
waktunya masuk. Tolong anak-anak jangan diajak bicara lagi! Mungkin gitu kali, suara bel itu
kalo bisa ngomong. Sudah dua hari ini Andro nggak masuk, makanya nggak ada lagi iringan
melodi yang menyertai tanda masuk atau keluar buat anak-anak Guardian.
"Oh ya, Dee, gimana keadaan Kakak kamu?" tanya Pak Gun sesaat sebelum Cadie
meninggalkan ruangan. "Hah?" "Lho.." kemarin kan kamu yang bilang, kalo nggak bisa dateng ke tempat latihan karena Kakak
kamu sakit. Makanya sekarang Bapak tanya, gimana keadaan Kakak kamu" Apa sudah lebih
baik?" "Dia.. Iya, Pak. Baik. Baik kok, Pak." Saat itu, Cadie bisa melihat raut wajah Ilan berubah drastis.
Sebongkah kekecewaan tampak jelas menghiasi wajah tampannya. Cadie benar-benar nggak
tahu harus melakukan apa. Dia persis copet yang ketangkep polisi. Nggak ada kata lain selain
"SALAH". "Ilan..!" Cadie berjalan cepat menyusul Ilan, yang sejak keluar ruangan Pak Gun tadi jalannya
jadi cepet banget. "Ilan! Ilan, kamu dengerin aku dulu!"
Ilan menghentikan langkahnya. Tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menatap
lekat ke arah Cadie, sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya.
"Ilan..!" Cadie mengejarnya lagi. Kali ini pake acara lari segala. "Ilan, tung.."
BRUUUK! Cadie yang telat ngerem menabrak tubuh Ilan yang berhenti tiba-tiba.
"Maaf." Cadie mundur perlahan. Nunduk-nunduk ketakutan.
Sesaat yang ada hanya sepi.
"Aku.." "Dee, gue nggak tau ada apa sama elo. Gue nggak tau apa masalah lo. Tapi gue ngerti kok kalo
elo nggak mau cerita. Anak-anak juga pasti begitu. Tapi tentang kenapa elo harus bohong dan
terus-terus bohong, itu yang gue nggak ngerti."
"Ilan, bukan begitu. Sebenernya.."
"Dee, gue nggak masalah kok kalo elo bohong. Itu keputusan lo. Dan gue sadar gue nggak
punya hak buat ikut campur. Gue cuma nggak mau aja kalo Pak Gun ikut-ikutan elo bohongin.
Dia terlalu baik, Dee. Dan lebih dari itu, dia terlalu percaya dan yakin sama elo. Jadi pleasee,
jangan buat dia kecewa. Jangan buat dia kecewa, kayak elo udah ngecewain gue," katanya
seraya berjalan meninggalkan Cadie.
Cadie diam. Ucapan Ilan itu seolah membuat seluruh badannya kaku. Bibirnya kelu. Tidak satu
pun kata bisa keluar dari mulutnya. Meski mungkin hanya sebuah kata maaf. Dia sendiri tidak
tahu kenapa. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Dia benar-benar menyesal, benar-benar sedih,
dan lebih dari itu, hatinya terasa sakit. Ini untuk pertama kalinya Ilan memarahi dia. Memarahi
dia dengan raut wajah yang begitu tenang, namun sarat akan kekecewaan.
Tanpa sepengetahuan Cadie dan Ilan, beberapa pasang mata melihat penuh tanya ke arah
mereka. Heran. Meski lebih banyak cemasnya.
*** Bab 10 Ilan vs Cadie = Dua Garis Lurus
Sejak kejadian hari itu, Cadie bisa merasakan kalau sikap Ilan berubah terhadapnya. Well, Ilan
memang tidak menjauhinya atau spontan lari kalau bertemu dengannya. Tapi Cadie bisa
merasakan jarak mulai memisahkan dia dan Ilan. Ilan yang ada sekarang, bukan lagi Ilan yang
dulu begitu tegas, namun lembut di saat bersamaan. Bukan lagi Ilan yang suka diam-diam
tertawa di belakang teman-temannya kalo ada yang lucu atau Ilan yang tetap tenang meski kesel
setengah mati. Yang ada sekarang, cuma Ilan yang senantiasa menyikapi semuanya dengan
dingin. Begitu misterius. Sangat misterius hingga membuat orang sibuk menerka-nerka apa yang
tengah ia pikirkan. Persis Ilan yang pertama kali Cadie lihat dulu. Sinyo dkk sendiri bukannya
nggak sadar dengan perubahan ini. Mereka sadar sesadar-sadarnya, mereka cuma nggak tahu
aja harus gimana. Nanya ke Cadie, nggak enak. Takut dia tersinggung dan tambah bingung.
Nanya ke Ilan" Masih mendingan ngiterin lapangan dua puluh kali kalo kata Nico sih daripada
buang-buang tenaga maksa Ilan buat ngomong jujur soal hatinya. Bisa mati kesel. Alhasil,
selama beberapa hari terakhir, mereka cuma bisa melihat kebisuan Ilan dan Cadie tanpa bisa
berbuat banyak. Kasihan juga si Cadie, karena seolah dianggap transparan oleh Ilan.
*** "Dee..! Cadie..!"
"Ooh.. iya. Iya,kenapa, Co?" Cadie berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan yang
berkepanjangan. "Elo kenapa sih, Dee" Perasaan akhir-akhir ini kebanyakan bengongnya deh."
"Nggak kok. Siapa yang bengong?"
"Nggak bengong gimana" Nah itu.. (menunjuk piring Cadie), istirahatnya kan sebentar lagi abis,
elo bahkan belum nyolek makanan lo." Ryan mendukung keheranan Nico.
Cadie melihat piring makanan di depannya. Seporsi fried chicken beserta coca-cola itu masih
utuh. Sama sekali nggak ada tanda-tanda pernah dicolek.
"Aku.. aku nggak ngerti. Tiba-tiba aja nggak laper. Ya udah kalo gitu, aku.." Cadie cepat-cepat
bangkit dari duduknya. "Eh, Dee, biar gue aja yang bayar," cegah Sinyo.
"Makasih, tapi nggak lah. Aku bisa jadi konglomerat kalo tiap makan selalu dibayarin, Nyo."
Cadie beralasan, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan meja. Meninggalkan Ilan yang
tadi duduk di sampingnya, tapi terasa ada di luar dunia. Begitu jauh. Seolah keduanya berada di
dua garis lurus. Sampai kapan pun terasa mustahil bisa bersama.
Ryan dkk hanya diam. Sesekali pandangan mereka tertuju pada Ilan, yang seolah bersikap
nggak pernah terjadi apa-apa. Makaaaan aja kerjanya.
"Nyo, tolong donk!"kata Ilan seraya menepuk pundak Sinyo. Meminta temannya itu untuk
mengambilkannya kecap. Lagi-lagi bersikap seolah tidak terjadi apa pun.
"Alah, males banget gue jadinya!" Ryan yang tampaknya mulai gerah dengan gaya Ilan,
membanting sendoknya hingga terlempar ke lantai. Sinyo sama yang lain, termasuk Ilan, sampai
kaget dibuatnya. "Ya elah, ngagetin aja." Nico mengelus dada.
"Elo kenapa sih, Yan?" Pelan Sinyo memungut sendok yang mencelat sampai ke kakinya itu.
"Gue kenapa"! Temen lo tuh yang kenapa" Mendingan elo periksain dia ke dokter, janganjangan di badannya nggak ada yang namanya hati lagi!"
"Yan!" "Apaan sih?" Ryan menepis tangan Luca, yang sepertinya mulai sadar emosi temannya makin
menjadi. "Elo jangan emosi gitu kenapa?"
"Nggak emosi gimana" Emangnya elo nggak liat apa kalo dia.."
BRUUUK! Ilan memukul meja seraya mengangkat badannya untuk berdiri. Matanya tajam
menatap Ryan. "Udah bel," katanya singkat, kemudian pergi begitu saja.
Haaah! Luca dan yang lain spontan menarik napas lega. Untung, untung!
"Iya. Pergi aja sana lo! Elo emang selalu begitu, kan" Lama-lama males tau nggak gue ngeliat
gaya lo!" Waduh! Dasar Ryan! Masih juga mau cari perkara. Luca dan yang lain kembali mengucap dalam
hati. Bingung, takut, ngeri, kalau-kalau Ilan sampai kepancing dan akhirnya terbawa emosi.
Ilan menghentikan langkahnya, membelakangi Ryan dan yang lain. Balik badan nggak, balik
badan nggak. Dan pemenangnya adalah.. de de de deng de deng, jalan terus dan menganggap
omongan Ryan barusan hanya angin lalu.
*** "Makasih ya, Den.. udah mau nganterin aku," kata Cadie nggak lama setelah sampai di depan
rumahnya. "Ca.." Denny menarik sebelah tangan Cadie saat dia hendak keluar dari mobilnya. "Kamu nggak
apa-apa kan?" tanyanya.
Cadie mengangguk seraya melepas tangan Denny. "Aku baik-baik aja kok. Emangnya ada
alasan kenapa aku harus jadi nggak baik?" katanya seraya menampakkan sebuah senyuman.
Senyuman yang dianggap Denny topeng belaka. Sejak kejadian yang dialaminya dengan Ilan
beberapa hari yang lalu, sejak saat itu juga Cadie yang di mata Denny dulu selalu ceria, tiba-tiba
menjadi pendiam. Lebih banyak bengongnya malah.
"Haaah! Rasanya pengen banget mukulin orang."
"Hah"!" "Oh nggak. Nggak ngomong apa-apa!" Denny menampakkan senyum manisnya. "Ya udah, kalo
gitu aku pulang dulu," lanjutnya lagi sebelum Cadie sempat berkata-kata.
"Den.." Cadie melongok melalui kaca mobil Denny yang mulai menutup.
"Ya?" "Tolong kasih tau Kyra ya, hari ini mungkin aku agak telat ke rumah sakitnya," kata Cadie.
Apa" Sempat kaget juga Denny mendengar Cadie berkata seperti itu. Dia nggak nyangka Cadie
masih juga menaruh perhatian pada Adiknya, sementara situasi di hatinya sendiri sedang nggak
baik. "Den..!?" "Oh.. Iya. Iya, nanti aku bilangin ke dia."
"Ya udah, kalo gitu kamu hati-hati. Daah!" Cadie pun melambaikan tangannya.
*** Jam di rumah Ilan memasuki hitungan ke-11 malam itu. Saat tiba-tiba Sinyo masuk tanpa
permisi ke dalam kamarnya. Bawa tentengan segala lagi. Nggak jelas apa maunya.
"Elo..!!" Ilan berdecak kaget. Perlahan dia melepas kacamata, yang memang biasa
dikenakannya setiap kali main komputer.
"Ngapain lo?" tanya Sinyo.
"Mandi. Nggak liat apa"!"
"Baru tau gue kalo elo mandi dengan posisi dan gaya kayak gitu," Sinyo menjawab santai. Dasar
sinting! "Kayak di rumah gue nggak ada makanan aja." Ilan berseru heran, kala melihat Sinyo mulai
sibuk mengeluarkan benda-benda bawaannya.
"Gue mo nginep. Mungkin agak lama. Jadi, daripada di sini kelapera, mendingan gue bawa
bekel," sahutnya. Ilan diam saja. Tanpa ba bi bu lagi, langsung saja diteguknya soft drink bawaan Sinyo.
Sepertinya memang khusus dibawa buat Ilan. Soalnya kan Sinyo emang nggak pernah suka
minuman itu. Minuman favorit Sinyo kan air putih.
"Mo****!" Sinyo menepak kepala Ilan, ketika temannya itu dengan santai nyomot biskuit dari
tangannya dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Laper!" Ilan nyengir kuda.
Selama beberapa saat keduanya konsen dengan kesibukan masing-masing. Ilan masih asyik
nerusin kegiatannya tadi, main Champion Manager. Sementara Sinyo, dia asyik selonjoran di
sofa sambil sesekali sibuk gonta-ganti channel.
"Alah.. pengen banget bikin TV baru nih gue! Masa segini banyaknya channel nggak ada yang
rame," gerutu Sinyo sambil menekan keras-keras remote TV.
Ilan mematikan komputernya. Perlahan berjalan menuju lemari, yang terletak di sebelah kiri
tempat tidurnya. Dia membuka kaos yang dipakainya, lalu menggantinya dengan yang baru. Tshirt berwarna merah marun, bertuliskan Electric Guitar di bagian depannya.
"Ntar malem emang apaan?" tanyanya sambil memasukkan kepalanya ke dalam kaos.
"Siena-Juve." "Pantes. Kalo gitu gue pegang Siena 3-0."
"Iye. Gue pegang pala lo! Sembrangan aja lo kalo ngomong!" Sinyo yang memang seorang
Juventini, tersinggung berat tim-nya diremehin. Apa maksudnya lawan Siena aja Juve harus
kalah 3-0" Eit eit.. buat fans-nya Siena, no fence! Peace ah, sebagai sesama pecinta bola.
"Eh, elo nggak ngasih tau anak-anak mau kemari?" tanya Ilan seraya duduk di sebelah sohibnya.
Perlahan kembali meneguk soft drink-nya.
"Nggak." Sinyo mencaplok biskuitnya. "Kayaknya sih mereka pada sibuk. Ini kan malem Minggu,"
tambahnya. "Oh iya." "Lan, gue mo nanya ama elo, udah berapa lama sih kita ngejomblo" Kalo dipikir-pikir, garing
juga." "Lo kata biskuit"!"
"Gue serius. Asyik juga kali ya kalo punya pacar. Lagi sedih, bisa ada yang diajak curhat. Lagi
bete, bisa ada yang diajak jalan. Nongkrong-nongkrong di mana kek kalo malem Minggu,
bukannya malah terdampar di sini, ngabisin malem Minggu bareng elo."
"Siapa juga yang nyuruh elo ke sini?"
"Gue kasian sama elo, makanya dateng. Nggak nyadar amat sih kalo dirinya perlu dikasianin."
"Makasih udah kenyang."
"Eh, gue punya ide, gimana kalo kita ke rumahnya si Dee aja. Dia juga pasti kesepian kan
malem ini" Apalagi Kakaknya lagi di luar kota," usul Sinyo tiba-tiba.
Ilan belum sempat berkata-kata, ketika sohibnya mulai menekan satu demi satu tombol di
ponselnya. Nyambung! Selama beberapa saat dia bercakap-cakap dengan orang di seberang.
Sesekali dia heran, Oooh! Sesekali dia tersenyum, dan sesekali juga dia menganggukanggukkan kepalanya. Nggak jelas apa yang diomongin. Ilan sendiri tampaknya nggak minatminat amat dengan percakapan itu. Dia tetap konsen dengan tontonannya. Meski mungkin kalau
ditanya dia sendiri bakal bingung acara apa yang dilihatnya itu.
"Iya. Kalo gitu makasih ya, Bi. Sampaikan salam saya ke Cadie. Assalamu"alaikum." Sinyo pun
menutup pembicaraan. Yee! Ternyata dari tadi dia ngomong sama pembokatnya Cadie.
"Dia nggak ada di rumah," kata Sinyo seraya meletakkan ponselnya di atas meja.
Ilan cuma diam. Siapa yang nanya. Mungkin begitu pikirnya. Selama beberapa saat, hanya sepi
yang ada. "Lan.." "Gue tau kok dia dimana," potong Ilan cepat.
"Jadi.." "Nyo.. apa elo.. soal ade-nya Denny. Apa elo tau kalo dia.."
Sinyo manggut-manggut sebelum Ilan selesai dengan ucapannya. "Gue tau. Gue kira malah elo
yang belum tau." "Elo tau darimana?"
"Gue.. beberapa hari yang lalu nggak sengaja ngeliat Denny di rumah sakit. Gue iseng-iseng aja
cari tau. Kayaknya gue kurang gaul deh. Soalnya gue baru tau setelah dikasih tau Om Danu,
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalo ade-nya juga pasien di situ."
"Gitu. Nyo.." "Nyo apa" Nyopet" Gue tau kok elo mau ngomong apa. Males ah! Kan elo sendiri yang bilang,
selama ada elo, gue akan baik-baik aja. Jadi ya.. gue baik-baik aja. Kecuali kalo elo tiba-tiba
mati nih sekarang, mungkin ceritanya bakal beda."
"Sialan lo!" Sinyo nyengir seraya meneguk air mineralnya. "Eh Lan, luka itu beneran nggak bisa ilang ya?"
katanya kemudian, saat tanpa sengaja kembali melihat goresan luka di lengan kiri Ilan. Dia ingat,
dulu Ilan mendapat luka itu setelah berkelahi dengan kakak kelas mereka waktu SD.
"Tau nih. Tapi kalo dipikir-pikir, sebanding juga sama apa yang elo lakuin."
"Iya juga." Sinyo geli sendiri mendengar itu. Jadi ingat kalo dulu dia hampir bikin anak orang koit
gara-gara terlalu emosi. Yup, Sinyo kecil yang waktu itu ngeliat temennya dipukul, marah abis.
Sebagai gantinya, dia nyekek adik dari si pemukul itu sampai nyaris pingsan.
"Kalo dipikir-pikir gue kejam amat ya!" lanjut Sinyo heran. "Kayaknya gue harus minta maaf.
Siapa namanya tuh anak" Nuno" Nino" Iya, Nino."
"Noni," ralat Ilan.
"Hah" Noni sih nama cewek kali."
"Ya emang." "Sumpe lo"! Gue.. Perasaan rambut tuh anak di-punk gitu deh. Gue inget banget waktu nyekek
dia dari belakang." "Rambut di-punk, tapi pake rok. Tetep aja cewek! Bego amat sih lo nggak bisa ngebedain mana
cewek mana cowok?" "Masa cewek rambutnya di-punk" Anak SD pula."
"Emang waktu kita SD dulu udah ada rambut model punk ya?"
"Emang kita SD taun berapa sih" 50-an?"
"60." "Kalo gitu ada. Punky Suwito!" Sinyo menjawab riang.
"Ha ha ha.." Keduanya ngakak.
Selama beberapa saat keduanya terus-terusan seperti itu. Ketawa-ketiwi nggak jelas. Sebentar
Ilan yang nimpuk, sebentar berikutnya giliran Sinyo. Terus saja mereka begitu, sampai capek
sendiri. "Lucu juga kalo ingat waktu kita kecil dulu."
Ilan manggut-manggut pelan. Selama beberapa saat, suasana sepi.
"Lan, elo.. apa karena masalah Denny sama ade-nya, makanya jadi berubah ke Cadie?" lontar
Sinyo tiba-tiba. Seolah dengan sengaja mau ganti topik.
Ilan yang kayaknya nggak siap dengan pergantian itu terhenyak. Dia keselek biskuit sampai
mukanya merah. "Ya elo.. makanya kalo makan sedikit-sedikit."
"Berubah gimana maksud lo?" Ilan yang sudah berhasil mengatasi biskuitnya bertanya dengan
gayanya. Cool! "Alah, udah deh nggak usah pake nanya. Elo kira gue sama anak-anak nggak sadar kalo ada
yang janggal dari sikap lo ke si Dee beberapa hari terakhir ini" Tadi siang Ryan emosi kayak
gitu, meski nggak pada tempatnya, gue rasa dia nggak salah juga. Elo emang nyebelin sih
kadang-kadang. Elo tau nggak" Terlalu tenang juga nggak bagus."
"Terlalu nggak tenang apalagi," balas Ilan.
"Iya, tapi.." "Nyo, nggak ngebahas soal ini bisa kan?" Ilan menoleh sesaat, sebelum akhirnya berjalan
menuju tempat tidurnya. "By the way, bukannya tadi niat lo ke sini mau nonton Juve?"
"Anjrit!!!" Sinyo teriak kaget mendapati jam dinding di rumah Ilan sudah menunjukkan pukul 3
pagi lebih sedikit. Cepat-cepat dia menekan remote TV. Memindahkan channel ke Indosiar.
Tambah histeris aja dia, ketika mendapati tulisan itu di layar kaca, Full Time, 0-3.
"At least, nggak kalah kayak yang gue harepin," Ilan mengucap santai.
*** "Kenapa jadi begini" Perasaan tadi bagian sini warna putih deh." Cadie menunjuk sisi kiri papan
othello itu. "Tadi warna putih gimana" Itu cuma perasaan kamu aja kali."
"Perasaan aku aja gimana" Emang jelas tadi bagian ini warna putih. Iya kan, Ra?" Cadie melirik
Kyra yang tengah asyik duduk di sisi tempat tidurnya sambil menggelantungkan kaki.
"Kayaknya sih gitu," jawab Kyra.
"Tuh kan?" "Tuh kan apa" Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu"!" Denny memundurkan sedikit badannya,
sadar Cadie mulai curiga.
"Pasti kamu kan yang ngeganti" Iya kan" Ngaku deh!"
"Enak aja!" "Pasti nih.. Masa aku ke toilet sebentar aja tiba-tiba semua yang putih berubah hitam. Kalo
bukan kamu yang ngeganti, terus siapa?"
"Mana aku tau! Emang dari tadi begitu. Udah deh, kamu kalo kalah nggak usah ngeles."
"Yang bener aja"! Sejak kapan aku pernah kalah lawan kamu?"
"Eh.. eh.. apa maksudnya?" Denny berusaha mencegah Cadie, yang mulai membalik-balikkan
dengan sesuka hatinya biji-biji othello yang berwarna hitam itu hingga menjadi putih.
"Iiih.." Cadie menepak tangan Denny, yang mencoba membalikkan kembali biji othello berwarna
putih itu ke hitam. "Ca, kamu jangan curang deh!"
"Siapa yang curang" Kamu tuh."
"Heh! Eh, apa maksudnya" Mana ada main othello ngebolak-balik semaunya gitu. Taro nggak!
Cadie! Yee..! Ra, liat deh!"
Kyra ketawa saja melihat Kakak serta Mantannya itu, yang mulai masuk dalam kategori
kekanak-kanakan. "Iiih.. apaan sih?"
"Aduuh!" "Aaaw!" "Ca, jangan norak deh!"
"Biar tau rasa!"
"Kalian berdua kayak anak kecil, tau nggak?" Kyra berkomentar sambil ngakak. Nggak kuasa
menahan geli melihat Denny mulai diunyeng-unyeng Cadie. Kesel bener kayaknya dia karena
udah dicurangin Denny. "Iya deh iya. Iya ampun.." Denny mengucap pasrah kala Cadie mulai mengejar-ngejarnya
mengelilingi kamar. Cadie sudah siap menghujamkan sebuah bantal kursi ke muka Denny saat itu, ketika tiba-tiba
saja wajah seseorang muncul dari balik kegelapan dan mengagetkan keduanya.
"Sinyo!!!" *** "Thanks ya elo semua udah mau nengokin ade gue," kata Denny pada Ilan dan Sinyo, yang
menemaninya ngobrol di luar, sementara Ryan cs memberi hiburan gratis pada Kyra.
"Terus.. gimana kondisi ade lo sekarang, Den?"
"Ya.. alhamdulillah deh, Lan. Keadaannya sekarang udah lebih baik dari minggu lalu. Insya
Allah, kalo nggak ada halangan dan kalo kondisinya tetap stabil kayak gini, dia bisa segera
dioperasi," terang Denny.
"Operasi?" "Iya. Rencananya sih Bokap-Nyokap gue mau bawa dia ke Jepang. Mungkin dalam mingguminggu ini. Semuanya lagi disiapin."
"Apa itu berarti, dia udah dapet sum-sum yang cocok?" tanya Sinyo.
"Udah, Nyo. Alhamdulillah. Ada orang baik yang sum-sumnya cocok dan bersedia ngedonor buat
dia. Sebenernya ini juga emang agak tiba-tiba. Tapi gue bersyukur banget. Semoga aja ini
pertanda baik." "Bagus deh." "Elo semua doain ya! Doain operasinya lancar."
Ilan dan Sinyo mengangguk bersamaan.
"Elo sabar aja. Elo juga harus yakin kalo semua akan baik-baik aja," tambah Sinyo bijak.
"Thanks." Selama beberapa saat, hanya sepi yang ada.
"By the way, gue boleh nanya sesuatu nggak sama elo berdua" Terutama elo, Lan."
"Hah" Gue" Tentang apaan?"
"Tentang Cadie," Denny menjawab keheranan Ilan.
"Cadie?" Sekarang giliran Sinyo yang kaget.
"Iya. Gue.. gue mungkin akan ngajak dia ke Jepang. Elo keberatan nggak?"
Ilan diam. Kaget tepatnya. Di sebelah Denny, Sinyo juga nggak kalah kaget.
"Gue tau. Gue nanya begini ke elo, elo pasti mikir ada apa-apanya. Mungkin emang iya. Tapi
lepas dari semua itu, gue cuma tau kalo ade gue butuh banget kehadiran dia. Butuh dukungan,
juga semangat dari dia. Elo ngerti maksud gue, kan?"
Ilan senyum. "Dia mau pergi atau nggak, itu sama sekali nggak ada urusannya sama gue. Dan
kalo ada orang yang seharusnya elo tanyain soal itu, orang itu adalah Mas Andy. Bukannya gue
atau Sinyo," katanya.
"Gue tau. Sebenernya sih mas Andy udah ngizinin, meski dengan berat hati. Tapi gue ngerasa,
izin elo berdua dan juga yang lainnya, juga nggak kalah penting. Apalagi, kemungkinan besar
kita berangkat di hari yang sama dengan hari kalian bertanding. Jadi, gue pikir.."
"Kalo dia emang mau ikut ya udah. Toh di pertandingan nanti dia juga cuma duduk. Jadi ada
atau nggak ada, nggak terlalu penting."
Nggak terlalu penting" Apa benar aku nggak sepenting itu" Ilan, apa iya aku di mata kamu cuma
sebatas itu" Cadie berusaha menahan airmatanya mendengar itu. Dia batal keluar kamar dan
lebih memilih masuk toilet. Nangis.
*** "Kakak." "Kamu lagi ngapain?"
"Oh.. nggak. Nggak lagi ngapa-ngapain kok, Kak. Kenapa" Kakak ada urusan apa sama Cadie?"
tanya Cadie seraya membuang jauh-jauh muka muramnya.
"Urusan apa" Sejak kapan Kakak baru boleh ngomong sama kamu kalo ada urusan?"
"Bukan gitu maksudnya, Cadie.."
"Ca, kamu kenapa?" tanya Andy cemas menyadari mulai ada genangan air di mata Adiknya.
"Nggak. Nggak papa kok, Kak." Cepat-cepat Cadie menyeka matanya. "Cadie cuma.."
Cadie nggak ngelanjutin kalimatnya. Dia mulai sibuk nyeka air mata yang sepertinya bukan
menghilang, tapi malah membanjir. Sementara Andy, dia sibuk nyimak sejauh mana sang Adik
mau terus berbohong dan pura-pura nggak ada masalah. Terus saja seperti itu.
"Kakak, Cadie boleh pinjam dadanya nggak" Sebentaaar aja." Cadie mengangkat kepalanya,
memandang penuh permohonan pada sang Kakak. Dan nggak berapa lama kemudian.. hiks..
hiks.. hiks.. Dia pun menangis di pelukan sang Kakak.
"Jangan buat Pak Gun kecewa, kayak elo udah ngecewain gue." Cadie mengingat kembali
perkataan Ilan di tangga beberapa waktu lalu. Semakin sedih saja dia, membayangkan betapa
Ilan tidak mempedulikannya, dengan menganggapnya "Nggak terlalu penting". Itulah satu
kalimat yang bisa diingatnya dari sedikit omongan Ilan di rumah sakit sore tadi.
*** "Ya elah, Andro, lagu apaan sih"!" Sinyo berkomentar nggak lama setelah lagu Just Say
Goodbye-nya JTL mengudara di radio sekolah. Itu loh.. artis Korea pelantun My Lecon. Seharian
ini, kayaknya Sinyo lagi seneng-senengnya ngomentarin sesuatu. Sebelumnya dia baru saja
menyelesaikan komentarnya seputar hujan, yang menurutnya turun terlalu tiba-tiba dan nggak
pake tanda-tanda dulu. Matanya sibuk memandangi tetes demi tetes hujan yang membasahi
pepohonan. Seriuuuuus banget. Sampai mau keluar.
Dari kursinya, Ilan yang sudah hampir bosan meladeni Sinyo yang nggak henti-hentinya ngoceh,
mau nggak mau ikut-ikutan juga menyimak jatuhnya hujan. Heran banget dia sama Sinyo,
kenapa bisa segitu penasarannya sama hujan hari ini. Padahal biasanya nggak begitu-begitu
amat. Hujan ya hujan. Cerah ya cerah.
"Nyo, kalo elo pengen banget ngerasain ujan, mending elo keluar aja deh. Pegel tau ngeliatin
elo!" seru Ilan kala disadarinya Sinyo mulai menempelkan wajahnya di jendela. Seolah ingin
mempertegas lagi penglihatannya terhadap rintik-rintik hujan itu.
"Ngapain dia ujan-ujanan di sana"!" Sinyo seolah tidak mendengar imbauan Ilan barusan dan
malah membuka topik baru.
"Apaan sih?" Ilan menepuk tangan Sinyo yang mulai menggoyang badannya.
"Man, man itu liat!" Sinyo memaksa Ilan melihat ke luar jendela. Ke arah sekumpulan siswasiswa berseragam olahraga yang berlari-lari kecil ke sana-kemari menghindari hujan. "Udah tau
ujan, kenapa masih juga ada pelajaran olahraga"!" lanjutnya nggak habis pikir.
Ilan melihat ke luar jendela. Selama beberapa saat dia terus seperti itu. Tiba-tiba saja pikirannya
terbang ke masa-masa saat dia bersama Cadie. Saat Cadie membalas tatapan dinginnya, saat
Cadie diam-diam mengomelinya, saat Cadie menangis di depannya, saat Cadie memukulnya,
saat Cadie tersenyum padanya, dan semuanya. Bayangan itu masih sangat jelas tersimpan di
ingatannya. "Lan, apa elo..?" Sinyo tertegun kala membalikkan badan dan melihat wajah Ilan yang sarat akan
kecemasan. "Apa kamu pernah ngerasa kalo kadang hujan juga bisa nyebelin?" Tiba-tiba saja Ilan teringat
kalimat itu. Tanpa berpikir panjang lagi, dia pun segera berlari keluar kelas. BEEESSS!
*** Selama beberapa saat, keadaan di bawah pepohonan tempat Cadie berteduh itu hening. Mereka
hanya saling memandang. Seolah sudah seratus tahun lebih mereka tidak bertemu. Orang-
orang di sekitar mereka pun sama diamnya dengan mereka.
"Ilan.." Ilan mengulurkan payungnya kepada Cadie. Dia masih diam, tetap tidak mengatakan sepatah
kata pun. "Ilan, kamu.." "Pegang!" Perlahan Ilan meraih sebelah tangan Cadie dan memaksanya memegang payung itu.
"Elo nggak suka hujan kan" Kalo gitu, jangan main hujan-hujanan," lanjutnya pelan. Setelah itu,
dia pun segera pergi meninggalkan Cadie. Berlari-lari kecil menyusuri halaman sekolah. Sebelah
tangannya menutupi kepala. Seolah telapak tangannya itu begitu besar dan mamupu
melindunginya dari hujan yang mulai mengganas.
"Ilan.." Cadie memandangi kepergian Ilan tanpa sanggup berkata-kata. Perlahan dia bisa
merasakan air menggenangi matanya.
"Aku emang nggak suka hujan, tapi kalo emang hujan bisa membuatmu kembali seperti dulu
lagi, ditimpa hujan sederas apa pun aku rela. Bener-bener rela," lanjutnya lirih. Air matanya jatuh
bersamaan dengan tetes hujan yang membasahi kaos olahraganya. Hujan yang mengguyur dan
membasahi halaman sekolah dan juga mungkin seisi dunia.
*** "Speed! Speed! Speed!" teriak Pak Gun dari pinggir lapangan. Suaranya melengking. Benerbener bikin kepala yang denger pusing tujuh keliling. "Hei! Apa kalian pikir kalian bisa menang
dengan bermain seperti itu" Lari!" lanjutnya lagi. Sama seperti sebelumnya, teriak.
Selama hampir dua jam lebih suasana di lapangan terus-terusan seperti itu. Ilan dan kawankawan harus puas mendengar teriakan dan omelan Pak Gun. Mulai dari Ilan di depan, sampai
Ichal di belakang, semua kena semprot. Macam-macam kasusnya, mulai dari yang larinya
kurang cepat, permainannya kurang fokus, tendangannya kurang tenaga, dll. Pokoknya, nggak
ada yang selamat dari omelan. Semua.. dapet bagian. Ilan dkk sebenernya bukan males atau
apa, mereka yakin seyakin-yakinnya kalo mereka sudah mengeluarkan seluruh kemampuan
mereka. Seluruh energi yang mereka simpan selama dua minggu terakhir ini. Tapi entah kenapa,
Pak Gun masih juga merasa ada yang kurang.
"Sebenarnya kalian mau memenangkan kejuaraan ini atau tidak?" tanya Pak Gun di sela-sela
break latihan. "Mau, Pak." Semua menjawab kompak, meski dengan susah-payah. Tampaknya mereka semua
masih bener-bener kelelahan akibat latihan tadi.
"Kalau begitu tunjukkan! Tunjukkan kalau kalian bisa berbuat lebih baik dari ini! Kalian paham?"
"Iya Pak." "Sekarang pergilah. Mandi dan bersihkan badan kalian! Latihannya cukup sampai di sini. Simpan
tenaga kalian buat Sabtu nanti," lanjut Pak Gun. Setelah itu, dia pun berjalan meninggalkan
lapangan. Ilan dkk kontan menjatuhkan badan mereka di rerumputan.
"Gila! Mati deh gue." Sinyo menjatuhkan badannya.
"Tenaga mana lagi yang mau disimpen coba, tenaga gue udah bener-bener abis," kata Ryan
sambil tiduran. Suaranya terdengar parau.
"Aduu duu duu, kalo gini gue mesti minta dijemput Pak Udin kayaknya, gue bener-bener nggak
sanggup lagi nyetir," kata Luca kali ini.
"Gue juga nih," sambung Nico.
"Ya udah, gimana kalo kita nginep aja di sini" Jadi kan besok kita nggak mesti capek-capek
bangun buat sekolah," saran Ichal sekenanya, yang tanpa diduga malah diamini temantemannya.
*** "Lan.." "Iya Pak." "Bapak mau tanya sesuatu ke kamu," tanya Pak Gun.
"Nanya apaan, Pak" Soal pertandingan?" Ilan mengulang kebiasaannya yang dulu-dulu. Balik
nanya waktu ditanya. "Bukan, bukan soal pertandingan."
"Terus?" "Ini.. sebenarnya soal kamu.. sama Cadie."
HEK.. HEK.. Tiba-tiba Ilan bisa merasakan sesuatu tersangkut di tenggorokannya. Entah itu bola
atau malah Pak Gun. Yang pasti, dia bener-bener kaget mendapat pertanyaan itu.
"Soal.. soal saya sama Cadie" Maksud Bapak?"
"Ya.. Bapak perhatikan selama beberapa hari terakhir ini, kalian kok jadi agak diam, ya" Seperti
ada sesuatu yang disimpan. Apa ada masalah antara kamu sama Cadie" Beda pendapat
mungkin" Atau.."
"Dibilang masalah, mungkin juga bukan. Tapi dibilang bukan masalah, kenyataannya ada
masalah." "Maksud kamu" Kamu kalo ngomong jangan suka bikin orang bingung!" Pak Gun yang bingung
dibuat kesal. "Ya.. saya juga nggak ngerti, Pak. Kenyataannya di antara saya sama Cadie emang nggak ada
hubungan yang bisa bik in kita berdua marah atau semacamnya. Saya.. maaf, Pak, tapi boleh
nggak kalo nggak ngebahas soal ini" Bukannya saya mau bersikap nggak sopan atau nggak
menghargai perhatian Bapak, tapi sekarang ini saya cuma mau konsentrasi sama pertandingan
nanti. Saya rasa Cadie juga begitu."
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bapak ngerti."
"Terima kasih, Pak."
"Lalu, kalau soal rencana kepergiannya ke Jepang, apa kamu sudah tau?"
"Tau, Pak." "Terus?" "Bukannya tadi Bapak bilang nggak apa-apa kalo nggak ngebahas soal itu?"
"Iya benar juga." Pak Gun salting juga ketangkep basah mau mulai ngorek keterangan lebih. Jadi
malu. "Ya sudah. Kalau begitu, sekarang kamu boleh pulang. Dan tentang.."
"Hacchiiih.." Ilan menutup mulut. Bersin.
"Iya itu maksud Bapak, sebaiknya dihilangkan sebelum pertandingan nanti."
"Iya, Pak." *** Senyumnya mengembang, mendapati Ryan, Sinyo, juga Nico berdiri di hadapannya.
"Kenapa elo, Dee" Jalan nggak liat-liat ke depan. Kalo nabrak tiang terus geger otak gimana"
Gawat kan?" kata Ryan.
Cadie tersenyum tipis. Meski masih agak kaget.
"Elo nggak apa-apa kan, Dee?" tanya Nico.
Cadie mengangguk, meski agak ragu.
"Haah!" Ryan menarik napas panjang. "Pusing deh! Tadi di atas gue ngeliat Ilan mukanya
ditekuk, ngeliat elo.. dilipat. Kayak lagi ada lomba muka jelek aja."
"Maaf," ucap Cadie pelan. Kayaknya dia nggak paham kalo ucapan Ryan barusan hanya
candaan. "Eh.." "Kenapa minta maaf" Dia bercanda lagi, Dee," terang Sinyo.
"Iya, iya. Gue cuma bercanda kok."
"Aku.." "Aduh udah deh, jangan minta maaf lagi dan jangan ngomong kayak orang gagap lagi. Gue
heran! Kenapa elo jadi kayak orang bloon gini sih" Jangan-jangan elo kebanyakan makan ayam
makanya otak lo jadi.."
KUUT! Nico menyikut Ryan. Seolah memintanya buat berhenti ngoceh.
"Maaf. Gue bukan mau ngatain elo, Dee." Ryan nyengir kuda.
"Nggak apa-apa kok."
"Ya udah, kalo gitu sekarang elo jangan sedih lagi. Jangan suka bengong sendirian. Ntar
kesambet lho." "Iya, Dee. Bener tuh apa yang dibilang Sinyo. Akhir-akhir ini ngeliat muka lo suram terus, benerbener nggak enak. Kayaknya elo menderita banget gitu bertemen sama kita," tambah Nico.
"Nggak kok. Aku malah beruntung bangetbisa jadi temen kalian. Makasih ya. Makasih karena
kalian semua udah baik sama aku. Nggak nyalahin aku, meski kalian juga tahu aku emang
salah," kata Cadie. Suara mendesit keluar dari mulut Nico. "Udah ah, nggak usah ngomong begitu lagi. Bosen tau
nggak ngedengernya."
"Tau. Santai aja lagi, Dee. Kita ini kan orang-orang yang santai, makanya cakep."Ryan
membanggakan diri, membuat Cadie mau nggak mau ngeluarin juga senyum manisnya.
"Eh, Dee, sekarang gimana keadaan ade-nya Denny" Udah dapet kabar dari Jepang?" tanya
Sinyo. Cadie mengangguk. "Tante Tina bilang, kondisinya menjelang operasi sangat baik. Dia juga titip
salam buat kalian, terutama buat kamu, Co."
"Gue?" Cadie manggut-manggut. "Emang kenapa" Maksud gue kenapa salam buat gue ada terutamanya?"
"Nggak ngerti. Kyra suka sama kamu kali."
"Hah?" "Cie.. Nico! Fiut fiuw.. Ditaksir anak SMP nih ye!" ledek Ryan.
"Diem deh lo, cumi!"
"Waah, senangnya! Kayaknya bakalan ada makan-makan nih!"
"Yee.. nih orang! Heh! Kemari gak lo!" Nico berusaha menggapai Ryan, yang asyik ngumpet di
balik badan Sinyo. "Ooh, Dik Kyra, aku.. Aduh!"
"Heh! Ke sini lo! Mo****!" Nico pun mulai mengejar-ngejar Ryan. Pontang-panting Ryan berlarian
ke sana-kemari. Persis adegan Tom and Jerry kalo lagi kejar-kejaran.
"Ha ha ha.." "Nah, gitu donk, ketawa. Perasaan udah lama banget deh gue nggak ngeliat elo ketawa. Muka lo
itu nggak beda jauh sama suasana kuburan. Sepi! Sama tuh, kayak muka temen gue yang
ganteng," papar Sinyo.
Cadie tersenyum tipis. "Sinyo, Ilan.. apa dia akan baik-baik aja" Maksud aku.. soal flu-nya itu.
Aku khawatir kalo pas pertandingan nanti dia.."
"Dia baik-baik aja kok. Kan udah gue bilang, dia itu terlalu kuat buat cuma kena flu. Jadi elo
nggak usah khawatir. Santai, kalo kata Om Haji Rhoma."
Lagi-lagi Cadie dibuat tersenyum.
"Oiya, Dee, soal pertandingan lusa, menurut lo gimana" Elo udah nonton kan rekaman
pertandingan anak-anak Vegaz waktu mereka menang kejuaraan tahun lalu?"
Cadie manggut-manggut. "Aku suka deh sama gaya permainannya Alan. Mirip-mirip Reberto
Carlos. Manuver-manuver yang sering dia lakukan nyaris selalu membahayakan gawang lawan.
Lincah banget. Terus Devon juga lumayan. Nggak cuma lihai ngegocek atau larinya cepat, dia
juga jago banget buat bola-bola atas. Kayaknya.. Luca sama Ichal bakalan kerja keras banget
deh buat ngeberesin dia di pertandingan nanti."
"Nggak cuma mereka kali, tapi kita semua. Elo juga. Karena dalam sebuah tim, yang terpenting
adalah kebersamaan. Lupa lo?"
"Apa.. peran aku juga sepenting itu?"
"Ya iya lah. Apalagi elo yang jelas-jelas asisten pelatih, yang berbentuk manusia. Sepatu yang
cuma buat diinjek aja penting. Eh, Dee, gue tegasin ke elo sekali lagi, kita ini satu tim. Ya Pak
Gun, ya elo, gue, anak-anak. Kita jalanin semuanya sama-sama. Bisa dibilang, satu
keberhasilan adalah keberhasilan kita semua, begitu juga sebaliknya. Jadi, nggak ada tuh yang
namanya si ini penting dan si itu nggak penting. Semua penting, nggak peduli sekecil apapun
perannya. Ngerti?" "Iya." "Ya udah jangan kebanyakan mikir. Ntar cepet tua baru tau rasa lo!"
*** Bab 11 Dan Dia pun Memilih Pergi!
Riuh, ramai! Mungkin itulah dua kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi di sekitar
Lebak Bulus petang itu. Aroma piala dunia seolah pindah untuk sementara ke Indonesia,
tepatnya Jakarta. Suara teriakan bernada optimis dan juga spanduk-spanduk berisi dukungan
terpampang dimana-mana. Hanya dua warna yang terlihat mendominasi saat itu, putih, yang
sudah pasti menjadi simbol kebesaran The Whites, wakit SMA Guardian, dan merah, warna
kebangsaan Red Dragon, wakil SMA Vegaz.
*** "Man, woi! Heh! Elo semua ada yang liat sepatu gue nggak?" tanya Ryan sambil terus-terusan
melongok ke kolong bangku.
"Ya elo.. Sebenernya elo bawa sepatu nggak?" Nico terheran-heran.
"Ya bawalah. Emang elo kata gue mau nyeker."
"Cari lagi yang bener. Elo salah naro kali," saran Sinyo.
"Udah. Perasaan abis gue keluarin dari tas tadi gue taro sini, tapi kok nggak ada ya.." Ryan
masih juga sibuk ngelongok-longok.
"Itu kan cuma perasaan de" Ryan saja. Ini apa"!" Luca teriak seraya mengeluarkan sepatu Ryan
dari dalam tas. "Makanya kalo nyari barang jangan pake perasaan, pake mata!" Luca menunjuk
ke arah dua bola matanya yang berwarna agak hijau.
Ryan garuk-garuk kepala nggak jelas. Jaim abis. Nggak mau banget kalo sampai ketahuan panik
menjelang pertandingan. Dia sendiri nggak tahu kenapa tiba-tiba jadi panik.
"Ternyata penyakit Igi bisa nular ke elo juga ya, Yan?"
"Diem lo!" Ryan yang sewot melempar handuk kie arah Ichal. PLOOOK! Niat hati sih emang
begitu, tapi apa daya kena orang lain.
"Hayo lo!" seru semuanya kaget.
"Eh.. elo, Dee, sorry nggak sengaja!" Ryan mengucap takut-takut.
"Nggak apa-apa kok." Cadie mengangkat handuk yang menutupi mukanya. "Gimana" Kalian
semua udah siap?" tanyanya kemudian.
"Siap nggak siap, Dee," jawab Luca diangguki teman-temannya.
Cadie manggut-manggut nggak kalah semangat. Mata indahnya menyapu hampir ke seluruh
ruangan. Agak kaget juga dia karena waktu itu tidak mendapati Ilan di sana.
"Dia lagi di toilet," kata Sinyo. Seolah tahu betul apa yang dipikirkan Cadie.
Cadie jadi bingung sendiri mau ngomong apa. Mau ngomong "Siapa tanya"!" atau "Emang gue
pikirin"!" kayaknya nggak mungkin banget karena kenyataannya dia emang nanya dan dia
emang mikirin. Alhasil, dia cuma senyum-senyum nggak jelas.
"Ya udah, kalo gitu aku keluar dulu. Kalo butuh aku kalian bilang aja, kay?" Cadie mundur
perlahan mendekati pintu, lalu membalikkan badan dan.. BRUKK! Tubuh kekar seseorang
menabraknya. Begitu keras, sampai dia nyaris terpelanting, tapi HUUP! Untung orang itu cepatcepat menarik tangannya, mencegahnya jatuh ke lantai.
ILAN! Selama beberapa detik mata Cadie dan mata Ilan bertautan dalam jarak dekat. Ilan
memeluknya. "Ehem.. ehem.. hem.. hemmm.. heeem!" Dan suara orang-orang rese pun bersahutan. Cepatcepat Ilan melepaskan badan Cadie. Jadi bingung sendiri mau ngapain.
"Kalian semua kenapa?" Tiba-tiba saja sebuah suara lain terdengar dari luar.
Sinyo dkk yang masih cekakak-cekikik langsung diam seribu bahasa.
"Bapak.." "Bapak senang kalo kalian semua rileks menghadapi pertandingan ini, tapi juga jangan
berlebihan. Sekarang apa kalian sudah siap?" kata Pak Gun lagi.
"Siap, Pak." Semua menjawab kompak. Penuh semangat.
"Ilan!" Ilan mengangguk deras. Sebelah tangannya diulurkan ke depan. "THE WHITES!"
"WIN.. WIN.. WIN..!" Sinyo dan yang lain-pun, termasuk Cadie dan Pak Gun, menyambut uluran
tangan itu dengan teriakan yang nggak kalah semangat.
*** Pertandingan telah memasuki menit ke-5 di babak kedua. Itu berarti masih ada 40 menit lagi
menjelang peluit panjang dibunyikan. Kedudukan sementara hingga saat ini masih 1-1. Gol
untuk The Whites dicetak Nico pada menit ke-40 babak pertama, setelah sebelumnya sempat
tertinggal oleh gol cepat Devon pada menit ke-8. Hingga saat ini pertarungan sengit mulai terjadi
lagi di lapangan hijau. Beberapa peluang layak gol gagal dimanfaatkan oleh si putih, yang saat
itu dikomandoi oleh Sinyo sebagai kapten. Well guys, Ilan memang belum turun. Cedera kakinya
rupanya cukup menjadi pertimbangan buat Pak Gun untuk mendudukkannya di bangku
cadangan. Bisa dibilang, Ilan ini senjata mematikan yang sengaja disimpan untuk dikeluarkan
pada saat genting. Emang begitu kan biasanya kalo jagoan" Turunnya belakangan.
Di kubu Dragon sendiri, keputusasaan nggak kalah membayangi. Selain gagal memanfaatkan
peluang dari tendangan pojok yang 97% seharusnya membuahkan gol, mereka juga sempat
gagal dalam tendangan penalti. Beruntung banget buat The Whites, karena Iyunk, yang
dipercaya menggantikan Ichal yang cedera di babak pertama bisa menjalankan tugasnya
dengan sangat baik. Memasuki menit ke-13. Pertarungan sarat gengsi antara dua sekolah favorit di Jakarta ini semakin memacu adrenalin.
Jangankan Sinyo and the gank atau Devon dkk yang berjuang langsung di lapangan,
pendukung-pendukung mereka pun nggak kalah semangat. Nggak kalah menggebu.
"Perasaan baru kali ini gue nonton pemaen-pemaen nggak penting, tapi sesemangat ini," kata
salah seorang dari bangku penonton, diamini temannya.
"Dee!" "Ya, Pak." Cadie bangkit dengan semangat ketika mendapat aba-aba dari atasannya.
"Sekarang waktunya!"
"Ung." Cadie mengangguk deras. Matanya tertuju pada Ilan, yang masih juga terlihat tenang
meski keadaan di lapangan lagi genting-gentingnya. Gayanya dia banget.
Ilan yang sadar diliatin, menoleh, meski tanpa senyum sedikit pun.
Dan nggak berapa lama kemudian, suara riuh di sekitar bangku penonton pun terdengar
bersahut-sahutan, meneriakkan nama Ilan. "Ilan!" "Ilan!" "Ilan!" teriak para penonton yang
kebanyakan kaum hawa. Ilan santai saja menanggapinya. Sepertinya dia memang sudah
terbiasa diteriakin orang. Malam itu, nggak seperti biasanya, Ilan yang turun menggantikan Guly,
yang berposisi sebagai gelandang, ditempatkan Pak Gun sedikit di belakang Gerry dan lebih ke
kiri. *** Sepuluh menit berjalan pascca pergantian itu, keadaan belum juga berubah. Sinyo dan kawankawan memang mulai sedikit demi sedikit menemukan kembali performa terbaiknya, tapi itu
belum bisa mengubah apapun. Serangan bertubi-tubi dari lawan, terutama Devon, yang terkenal
sangat licin dan cepat, terpaksa membuat Dino dan kawan-kawan di lini belakang bekerja ekstra
keras. Beruntung sekali mereka punya Luca sebagai palang pintu. Dia benar-benar tampil
menawan malam itu. Well, kayaknya dia benar-benar nunjukin kehebatannya sebagai seorang
Italiano. Kehebatannya di lapangan nggak kalah dari Paolo Maldini. Nggak kalah banyak
maksudnya. Hehehe.. Lain Luca di belakang, lain pula Gerry di depan. Pasca keluarnya Nico karena keseleo, dia
nyaris dibuat frustasi lantaran selalu terkena jebakan off side dari bek-bek lawan. Untuk
beberapa menit keadaan seperti ini terus berlanjut, sampai Ilan mulai mengeluarkan tajinya.
Lama nggak main kayaknya bikin dia sedikit lupa sama ilmunya, jadi suka kelihatan bingung
sendiri sama bola. Tapi untung nggak lama. Sadar jadi tumpuan banyak orang, dia pum matimatian bertarung. Nggak ada lagi rasa sakit di kakinya, yang ada hanya keinginan untuk
menyelesaikan pertandingan ini dengan kemenangan.
Ilan pun mulai membuat repot Alan dkk di lini belakang Dragon. Nggak bisa dipungkiri, kalau
masuknya Ilan membuat serangan The Whites jadi lebih bervariasi. Sinyo bisa lebih
berkonsentrasi membantu Igi meredam Tommy, gelandang tim lawan yang super aktif.
Sementara Ryan, dia bisa lebih fokus berjibaku dengan Alan. Beberapa kali tendangan Ilan dari
luar kotak penalti menggemparkan seisi stadion. Ilan tampil memukau malam ini. Dia bermain
seolah-olah hari itu adalah untuk pertama dan juga terakhir kalinya dia main.
Memasuki menit ke-80 atau menit ke-35 di babak kedua..
Setelah berjuang mati-matian mengatasi lini tengah lawan yang kuat plus kecerdikan Devon,
akhirnya pada menit ke-82, bola hasil tendangan Alan berhasil di-block Dino, yang kemudian
mengumpannya ke Ryan. Ryan berlari menyisir bagian kiri lapangan. Satu demi satu pemain
lawan berhasil dilewatinya. Saking semangatnya, dia bahkan tidak peduli saat seorang bek
lawan me-neckle-nya. Jatuh, jatuh deh. Diopernya bola itu ke Rio, yang berdiri bebas. Bola
pemberian Ryan itu sempat lepas dari kaki Rio, sampai kemudian Ilan yang terpaksa harus kerja
keras melepaskan diri dari jeratan bek lawan memungutnya. Pakai kaki tentunya. SYUUUUUTT!
Ilan melepaskan tembakan dari luarkotak penalti. Tembakan yang khas sekali. Tembakan ala
Ilan. Cepat dan mematikan. WUUSS! Bola itu menggelinding deras. Ah..! Sayang kiper tim lawan
berhasil menepisnya. Eh tapi.. tapi ternyata belum habis sampai di situ. Di saat yang bersamaan,
Sinyo muncul dari lini tengah dan menyambut bola muntahan sang sahabat dengan first touch.
BEEESSSSS! Bola itu meluncur deras. Semua mata tertuju pada bola itu.
And one, and two, and three.. GOOLLL!!! Si kulit bundar itu mengoyak jala lawan, membuat
semua pendukung The Whites yang semula menahan napas, bersorak gembira.
Semua berlarian saking senangnya. Skor 2-1 untuk Ilan dan kawan-kawan. Cadie dan yang
lainnya yang berada di bangku cadangan nggak kalah gembira. Semua bersorak, semua teriak.
Seketika suasana di Stadion Lebak Bulus menjadi sangat riuh.
Ilan dan kawan-kawan langsung berhamburan ke arah Cadie cs di pinggir lapangan. Di salah
satu deretan penonton, Cadie bisa melihat seseorang tersenyum manis ke arahnya. Denny!
Coba Kakaknya ada di sini sekarang, kebahagiaan Cadie pasti lengkap bukan main. Kebetulan
Kakaknya lagi dapet tugas ngeliput di Osaka.
*** "Guys, untuk kejayaan The Whites!" Luca mengangkat tinggi-tinggi botol minumannya. Kayak
orang bule kalo mau toss gitu deh.
"Norak lo! Kayak yang udah menangis piala dunia aja," sahut Ryan enteng. Dan seperti biasam
nggak lama setelah itu handuk basah nemplok di mukanya.
"Untuk Cadie, juga Pak Gun," tambah Sinyo. Kali ini diamini teman-temannya.
Cadie hanya tersenyum, seraya mengucap lembut, "Thank you."
"Untuk persahabatan kita. Untuk hadiah kelulusan kita. Dan untuk.."
"Alaah, lama! Kapan minumnya" Aus tau!" potong Nico cepat, sebelum Ichal sempat
menyelesaikan ucapannya. Ichal sewot bukan main nggak dikasih kesempatan buat ngomong.
"Eh, udah-udah!" Cadie mengintruksikan sebelum terjadi perang. "Aku juga mau toss untuk
kalian donk. Untuk semua yang udah jadi bagian terbaik dari hidupku. Thank you, thank you for
being my friends," lanjutnya serius, membuat Sinyo dkk terharu.
"Elo, Dee..! Jadi pengen nangis," kata Ryan, membuat teman-temannya heran.
"Norak lo, Yan!" teriak Yoko.
"Eh guys, ngomong-ngomong Ilan kemana ya" Masa ke toilet aja lama banget," celetuk Dino
tiba-tiba. Nah lho! Bener juga. Baru sadar mereka, kalo sang kapten yang tadi tampil memukau di
lapangan nggak kelihatan batang hidungnya. Katanya sih cuma mau ke toilet, tapi sampai
sekarang.. Itu berarti udah sekitar 10 menitan, nggak juga balik. Jangan-jangan dia ketiduran!
"Udah lah biarin aja! Dia mau mandi kek, mau tidur kek. Ntar juga kalo dia mau balik, dia balik."
Ryan mengimbau teman-temannya untuk nggak peduli. Sebenernya sih bukan bener-bener
nggak peduli. Dia, sama juga dengan Sinyo, cuma mau kasih kesempatan aja buat Ilan untuk
sendiri. Masih bisa diingat jelas olehnya, raut wajah Ilan saat Denny berhamburan memeluk
Cadie usai pertandingan tadi. Ilan memang terlihat tenag saat itu, tapi di lubuk hatinya yang
terdalam, baik Ryan maupun Sinyo tahu, dia hancur.
"Ayo!" Ryan memaksa teman-temannya untuk mengangkat minuman.
Dan nggak lama setelah itu, suara rusuh pun mulai terdengar. Dengan alasan yang nggak jelas
dan tujuan yang nggak pasti, semua mulai main timpuk-timpukan, main kejar-kejaran dan
sebagainya. Nggak jelas lagi siapa yang dikejar dan siapa yang mengejar. Pokoknya biar seru
aja. Dasar kurang kerjaan!
"Eh, Dee, ntar malem berangkat jam berapa?" tanya Sinyo, yang nggak mau ikut-ikutan
temannya main kejar-kejaran nggak jelas. Dari sekian banyak orang, kayaknya emang cuma dia
doank yang waras, yang nggak lupa kalo nanti malam Cadie sudah harus berangkat ke Jepang.
"Mungkin dari rumah sekitar jam 10-an."
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gitu" Ya udah kalo gitu elo hati-hati di sana! Jangan bikin rusuh! Ntar dideportasi lagi."
"Thanks ya, Nyo."
"Gue sama anak-anak, Insya Allah kalo sempet ke Bandara. Jadi elo tunggu aja. Kalo perlu
jangan pergi dulu sebelum kita dateng, oke?"
Cadie mengangguk pelan seraya tersenyum.
"Bagus, bagus. Bisa diajarin." Sinyo menepuk pundak Cadie berulang kali. Lagaknya udah kayak
bapak-bapak. Cadie sampai geli sendiri dibuatnya.
*** Suara riuh Ryan dan kawan-kawan pun masih terdengar nyaring mengiringi langkah Cadie
keluar ruangan. Baru beberapa langkah cewek itu berjalan, tiba-tiba aja dia mendapati cowok itu
berdiri seorang diri di sana. Dua jarinya mengapit sebatang rokok. Ilan! Dia ngerokok. Cadie
tertegun. "Kenapa" Apa di sini ada bacaan dilarang ngerokok?" Ilan yang seolah sadar diperhatikan,
mengucap pelan. Dengan pandangan lurus menatap ke kejauhan.
"Oh.. nggak. Aku.. tadi aku cuma.."
"Pak Gun udah pulang. Apa elo udah tau?"
"Iya." "Ya udah. Kalo gitu gue.." Ilan nggak ngelanjutin omongannya. Dia hanya langsung saja berjalan
lurus. Semakin dekat dengan Cadie, tapi kemudian begitu saja melewatinya.
"Ilan, aku.." "Dee, apa elo bener-bener mau ikut Denny?" tanya Ilan seraya menyetop langkahnya.
Cadie yang nggak siap dengan pertanyaan itu, gagap seketika. "A.. aku.."
"Nggak usah dijawab! Pertanyaan yang nggak penting, kan" Sebenernya nggak penting juga
apa elo mau jawab atau nggak. Ya udah kalo gitu anggap aja gue nggak pernah nanya. Lagian..
siapa juga yang bakal nyia-nyiain kesempatan pergi ke Jepang gratis, iya kan?"
"Apa"! Tunggu! Berhenti aku bilang!"
Langkah Ilan terhenti. Bukan karena sadar kalo yang barusan dikatakan Cadie adalah sebuah
kata perintah, tapi lebih karena tingginya nada suara Cadie.
"Kenapa" Kenapa kamu terus-terusan bersikap kayak gini ke aku?" Cadie yang mulai nggak
tahan melihat tingkah Ilan mendadak emosi. "Emangnya kenapa kalo aku mau ke Jepang atau
nggak" Apa perlu bersikap seperti ini" Kenapa nanya kalo kenyataannya kamu juga nggak mau
tau jawabannya" Sebenernya apa mau kamu" Kamu seneng ya bikin aku bingung" Seneng
bikin aku sedih" Sebenernya apa yang kamu mau" Apa kamu pikir dengan.."
"Pergi! Kalo elo mau pergi, ya pergi! Lebih cepat lebih baik," sambung Ilan seraya melanjutkan
kembali langkahnya. Cadie kaget bukan main mendengar itu. Meski harus diakui, kesedihan jauh lebih dalam
menerpanya. Ilan terus dan terus saja melangkah. Tidak dipedulikannya Sinyo dkk, yang menatap penuh
tanya ke arahnya. Terus dia seperti itu, sampai orang itu muncul, dan menghadangnya. Ternyata
Denny! Sesaat keduanya beradu pandang.
"Gue mau lewat," kata Ilan pelan.
Mendengar itu, bukannya menyingkir, Denny malah menghujamkan pukulannya ke wajah Ilan.
BUUK! Semua, termasuk Cadie, menganga heran dan kaget.
"Elo pikir elo siapa" Hebat lo bisa bikin dia sedih?" lontar Denny tajam.
Sesaat Ilan terdiam. "Gue nggak ada urusan sama elo! Pukulan tadi.. gue anggap bukan apaapa," lanjutnya tenang.
"Apa lo bilang" Heh!" HYAAA! Denny siap meninjukan kembali pukulannya ke wajah Ilan, ketika
tiba-tiba saja Cadie berlari ke arahnya dan menghadang pukulan itu. BEEM! Tangan Denny
terhenti sebelum pukulannya sempat mengenai wajah Cadie, yang berdiri tegas di depan Ilan.
Saat itu, Denny bisa melihat ada tetes air mengalir dari mata Cadie. Wajahnya penuh
permohonan menatapnya. Kalau bisa diartikan, mungkin begini arti pandangan itu, "Jangan pukul
dia, Den. Meski dia udah bikin aku sedih, aku mohon kamu jangan memukulnya."
"Dee..!" seru Sinyo dkk dari kejauhan, pelan.
Ilan hanya diam terpaku, sementara kekecewaan tak terhitung lagi menerpa Denny. Sakit sekali
hatinya. "Ca.." "Aku mau pulang. Kita pulang, ya.." kata Cadie seraya lagi-lagi menatap penuh permohonan
pada Denny. Denny mengangguk, mesku dengan sangat terpaksa.
*** Bandara Soekarno Hatta, pukul 22.40
"Si Dee sama Denny mana?"tanya Luca pada Sinyo, nggak lama setelah kembali dari toilet.
"Di dalam lagi ngurus fiskal," jawab Sinyo.
"Jam berapa sih, Nyo, take off-nya?" tanya Ryan kali ini.
"Jam 1-an mungkin. Kenapa emangnya" Ngantuk ya lo?"
"Bukan gue. Tapi tuh orang dua!" Ryan menunjuk ke arah Ichal dan Dino, yang mulai teranggukangguk menahan kantuk.
"Perasaan tadi mereka masih fine-fine aja deh."
"Tau tuh. Ntar juga gue lempar ke luar."
"Eh, Nyo, tadi Ilan lagi ngapain" Menurut lo dia bakal dateng nggak?" Kali ini Nico yang tanya.
Ya elah! Kenapa semuanya nanya ke Sinyo. Sinyo lagi! Sinyo lagi!
"Kalo elo jadi dia, elo bakal dateng nggak?" Sinyo balik bertanya. Dan pertanyaan itu nggak
cuma ditujukan buat Nico, tapi juga Luca dan Ryan.
"Kalo gue jadi dia" Untung gue bukan dia. Tapi kalo emang bener gue jadi dia, ya pastilah gue
dateng. Nggak ada ceritanya dalam kamus gue ngebiarin orang yang gue sayang pergi begitu
aja. Apalagi sama mantannya. Beneran deh gue sih, nggak rela! Mana gue juga belum sempat
ngutarain isi hati gue lagi. Iya kalo dia balik nanti gue masih idup, nah kalo nggak.. yang ada gue
bakal.. Aduh!" Nico mengaduh kala Luca menginjak kakinya. Sadar karena apa temannya
melakukan itu, Nico pun diam.
"Kalian kenapa?" tanya Cadie nggak lama setelah keluar dari boarding pass.
Nico dan Luca nyengir kuda. "Nggak apa-apa kok," sahut mereka.
"Gimana" Udah beres semuanya?" tanya Sinyo pada Denny dan Cadie.
"Beres," jawab Denny mewakili Cadie.
"Den, selama di sana elo harus jaga si Dee baik-baik. Awas lo kalo macem-macem sama dia!
Elo juga, Dee, jangan ragu nelepon kita kalo dia macem-macem, oke?" kata Ryan. Lagaknya
udah kayak jagoan. Denny dan Cadie tersenyum saja menanggapi itu.
"Elo semua jangan khawatir. Gue bakal jaga dia melebihi nyawa gue sendiri. Percaya sama
gue!" "Waduh! Serius amat, Mas." Nico spontan mengucap.
Dan nggak berapa lama kemudian, terdengarlah suara itu. "Perhatian, perhatian, kepada
penumpang JAL 1o1, diharap segera memasuki pesawat! Perhatian, perhatian, kepada.."
"Guys, kayaknya udah.."
Sinyo dkk, kali ini termasuk Ichal dan Dino yang kayaknya kebangun juga akibat suara tadi,
manggut-manggut bersamaan. Mungkin artinya ya.. "Iya kok Dee kita tau. Elo harus naik
pesawat, kan?" gitu deh.
"Den, salam ya buat Kyra. Buat Nyokap-Bokap lo juga. Kita doain operasinya lancar."
"Thanks, Nyo." "Gue juga. Semoga semua baik-baik aja." Kali ini gantian Ryan yang ngomong. Tak ubahnya
Sinyo barusan, dia pun menjabat tangan Denny, jabatan ala cowok gitu deh. Setelah itu
bergantian Luca, Nico, Ichal dan Dino mengucap salam perpisahan.
"Bye.. bye.." Cadie mengucap lembut pada teman-temannya seraya melambaikan tangan. Dia
terus berjalan. Dekat dan semakin dekat menuju pintu itu, sampai tiba-tiba terdengar sebuah
suara dari kejauhan. Suara seseorang memanggil namanya.
SEEETTT! Mata Cadie spontan tertuju pada suara itu berasal. Pun demikian dengan Sinyo dan
yang lain, yang tahu pasti suara siapa itu.
"Igi!!!" Semua mengucap heran.
Igi menghentikan langkahnya. Napasnya terengah-engah. Sambil terus menarik napas dan
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menunjuk-nunjuk ke arah belakang.
ILAN! Sinyo dkk spontan tersenyum lega.
Ilan berjalan perlahan mendekati teman-temannya, itu berarti tinggal beberapa langkah lagi ke
Cadie dan Denny. "Ilan, kamu.." "Jangan pergi! Jangan pergi, bisa nggak?" kata Ilan. Well, entah itu sebuah perintah atau
permohonan. Udah nggak jelas berhubung Ilan mengucapkannya dalam keadaan yang
sepertinya teramat lelah.
Cadie tidak menjawab. Tapi dari raut wajahnya, tampak jelas dia begitu senang Ilan datang.
"Gue yang salah. Gue tau selama beberapa hari ini gue udah bersikap nggak baik ke elo. Gue
minta maaf, Dee. Gue sendiri nggak tau kenapa tiba-tiba gue jadi kayak gini. Gue cuma tau, kalo
setiap kesedihan dan kesenangan yang gue dapet belakangan ini, itu semua gue dapet karena
elo. Karena elo, gue bisa ketawa seneng. Karena elo gue bisa sedih dan karena elo juga gue
bisa marah. Dee, gue.."
Cadie menjatuhkan tas tangannya, perlahan berjalan ke arah Ilan.
"Apa elo mau maafin gue?"
Cadie manggut-manggut. Segurat senyum yang teramat manis menghiasi wajahnya. "Ilan, kamu
masih ingat nggak sama janji kamu ke aku waktu di tangga itu" Kamu nggak lupa kan kalo kamu
utang satu hal sama aku?"
"Iya." "Aku.. apa boleh kalo aku ngajuin permintaan itu sekarang?"
Ilan manggut-manggut. "Aku.. aku mohon kamu jangan pernah membenciku. Apa pun yang aku lakukan, aku mohon
jangan sampai membuatmu benci sama aku dan akhirnya terluka. Biar aku.. biar aku aja yang
ngerasain itu, bisa?"
"Apa"! Dee, apa maksud lo?"
"Ilan, aku.." Cadie menoleh bergantian ke arah Ilan dan Denny, yang seolah dengan setia selalu
menunggunya. "Dee, elo nggak akan pergi, kan" Elo nggak.."
Ilan belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba saja dirasakan olehnya, Cadie
mulai menjauh. Mundur perlahan ke tempat dia berada semula. Di samping Denny.
"Maaf." "Apa?" "Ilan, aku harus pergi. Benar-benar harus pergi." Sekuat tenaga Cadie berusaha menahan
buliran air keluar dari matanya.
"Dee, kalo elo pergi artinya elo milih Denny. Itu berarti.."
"Maafin aku," Dan air mata Cadie pun menetes juga.
"Dee.." Sinyo dkk mengucap heran mewakili Ilan yang mulai diam seribu bahasa.
"Ca.." Cadie menggeleng berulang kali sebelum Denny sempat mengatakan sesuatu. "Aku nggak apaapa kok. Kita pergi. Ayo!"
Saat itu, dia bisa mendengar Sinyo dan yang lain, termasuk Ilan, berulang kali memanggil
namanya. Tapi dia memilih jalan terus.
Ilan maafin aku. Aku bukan sengaja mau bikin kamu sedih. Bukan sengaja buat kamu terluka.
Mungkin nanti aku akan menyesal karena melakukan ini, tapi aku juga tahu, kalo aku akan lebih
menyesal jika tidak melakukan ini. Ilan, aku sayang kamu. Nggak peduli apapun yang terjadi
setelah ini, aku cuma tau, di mataku, di hatiku, aku cuma ngeliat kamu, batin Cadie, seraya terus
berjalan di samping Denny. Terus dan terus berjalan. Sama sekali tidak menghiraukan kejadian
di luar. Sama sekali nggak ngerasain kepanikan Ryan dkk, ketika mendapati Ilan jatuh terkapar.
BRUKK! *** Dua hari kemudian.. "Nyo, Ilan gimana" Udah mendingan belum?" tanya Luca di sela-sela obrolannya. Istirahat kali
ini tampaknya terlalu membosankan buat Sinyo dan yang lain. Mereka yang nggak lapar memilih
nongkrong-nongkrong di taman.
"Lumayan. Elo kayak nggak tau dia aja. Coba aja elo ke rumahnya sekarang, terus elo tanya apa
dia baik atau nggak. Paling juga elo dilempar," jawab Sinyo, yang tahu betul tabiat temannya.
Ilan ogah banget diperhatikan dan dianggap lemah sama orang lain.
"Ya, right." "Eh man, gue masih bingung deh sama kejadian di bandara kemaren itu. Kenapa ya, si Dee
masih juga milih ikut sama Denny, sementara Ilan sampai mohon-mohon gitu supaya dia tinggal.
Aneh nggak sih?" Ryan menunjukkan raut bingungnya.
"Ya.. ada alesan lain kali," kata Sinyo.
"Nggak, nggak." Tiba-tiba saja Nico seperti tersadar dari lamunannya. "Guys, gue yakin pasti ada
apa-apanya," katanya.
"Ada apa-apanya gimana maksud lo?" Luca heran.
"Ya.. mungkin aja dia dipaksa."
"Dipaksa" Lo kata si Dee anak kecil yang bisa dipaksa-paksa! Jangan asal deh!"
"Ya abis.. Lo liat sendiri kan waktu di bandara kemaren. Kayaknya tuh, dia nggak pengen banget
pergi. Tapi karena ada satu dan lain hal, which is connect to Denny, dia tetep pergi."
"Satu dan lain hal itu apaan?"
"Ya mana gua tau. Nanya lagi.."
"Ck.. ck.. ck..! Aku pikir kalian termasuk orang-orang pintar, tapi ternyata biasa aja. Sama kayak
yang lain," ucap seseorang tiba-tiba. Saat itu Ryan dkk memang hanya mendengar suara, sama
sekali nggak liat muka si pembicara.
"Heh! Siapa tuh" Berani banget lo ngomong. Tongolin muka lo kalo hebat!" seru Ryan kesal.
Matanya menoleh ke kiri dan kanan.
Mendengar itu, tanpa basa-basi lagi, langsung saja si empunya suara misterius barusan
menampakkan wajahnya. TOWET! Dia keluar dari balik pohon. Tinggal Ryan sama yang lain
yang kaget. "Lily!" seru semua bersamaan.
"Heh! Udah bosen idup apa lo berani ngomong kayak gitu" Lupa lo siapa gue?" Lagi-lagi Ryan
geram. "Lupa" Aku mana mungkin lupa sama orang-orang yang nggak tau sopan-santun kayak kalian.
Kamu nggak bisa ya kalo ngomong nggak pake teriak?" Lily nggak mau kalah dari Ryan.
"Yee, dia nyolot!"
"Yan!" Sinyo bersuara. Seolah memberi tahu temannya supaya bisa lebih sabar dalam
menghadapi nenek sihir kayak Lily. "Eh Ly, sebenernya apa mau lo" Elo nggak sengaja mau cari
ribut sama kita, kan" Gue kasih tau ya, kita nggak tertarik!"
"Dan apa kamu kira aku tertarik" Haaah!" Lily menarik napas dalam-dalam. "Aku pikir aku mau
jadi orang baik sekali ini aja, dengan memberi tahu kalian alasan sebenernya kenapa Cadie
pergi ke Jepang. Tapi karena kalian nggak tau diri.. aku batal ngomong!"
"Apa"! Heh! Apa lo bilang barusan?" Ryan penasaran.
"Nggak ada! Minggir!" Lily memerintah dengan gaya ratu sejagad-nya.
"Heh! Ly!" Lily yang benci banget di heh-in, jalan terus tanpa menoleh.
"Nyo, apa menurut lo.."
"Biar gue yang tanya." Sinyo yang sadar Lily membawa berita penting memutuskan bicara empat
mata dengannya. "Ly, tunggu!" Berhasil! Lily mau juga menghentikan langkahnya. Mau juga diajak bicara.
Selama beberapa saat keduanya terlibat pembicaraan. Lumayan serius kayaknya. Dari
kejauhan, Ryan, Luca, juga Nico cuma bisa menebak-nebak apa isi pembicaraan tersebut.
*** "Apa gue boleh tau elo tau soal ini dari mana" Dan kenapa elo ngelakuin ini sementara elo sama
Cadie.." "Aku tau dari mana itu urusanku. Kalau soal kenapa aku yang jelas-jelas bukan temennya
melakukan ini, anggap saja ini adalah caraku membayar utang padanya," jawab Lily.
"Utang" Utang apaan?"
"Aduuuh! Apa kamu nggak ngerasa kalo kamu terlalu banyak nanya" Masalah hutangku ke
Cadie itu sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu. Jadi, nggak usah banyak nanya!"
"Oke. Terus, gue tau darimana kalo sekarang ini elo nggak lagi ngebohongin gue sama yang
lain?" tanya Sinyo lagi.
"Apa perlu aku ngasih tau alamat sama nomor teleponku supaya kamu bisa bikin perhitungan"
Heran!" "Ya, oke, gue percaya sama elo."
"Percaya atau nggak bukan urusanku!" Lily buang muka. Sadar Sinyo mulai memandang tegas
padanya. Man, bahkan seorang Lily yang biasanya jutek dan antipati banget sama yang
namanya cowok pun nyaris meleleh diliatin Sinyo. Sinyo ganteng yang nggak kalah mengilat dari
Won Bin. "Kenapa kamu senyum-senyum?" Lily heran.
"Nggak. Gue cuma.."
CUUP! Lily melotot. Badannya kaku seketika, ketika tiba-tiba saja bibir lembut Sinyo menyentuh
pipinya. "Thanks. Gue nggak bakal ngelupain bantuan lo. Anggap aja ini utang gue ke elo," kata Sinyo
sebelum akhirnya berhamburan menuju Ryan dan yang lain. Ryan dan yang lain kini menganga
saking nggak percayanya dengan apa yang barusan mereka lihat.
"Udah gila apa tuh anak" Atau jangan-jangan dia udah rabun" Nggak bisa ngebedain mana Lily,
mana Dian Sastro?" pikir Ryan dkk.
"Nyo, tadi itu.."
"Udah ntar gue ceritain. Kita ke rumah Ilan sekarang!"
"Hah?" "Ca, Co, Yan, cari tahu penerbangan tercepat ke Jepang jam berapa dan naik pesawat apa.
Pokoknya yang paling cepet. Kita harus ngirim Ilan ke sana secepatnya."
"Hah?" Lagi-lagi cuma kata itu yang muncul dari mulut Ryan dkk.
*** "Eh.. eh, elo semua kenapa sih"!" Ilan terheran-heran mendapati Sinyo dkk menirukan gaya
maling masuk ke kamarnya. Gerasak-gerusuk nggak jelas. Ada yang langsung buka laci, yang
langsung buka lemari, lalu memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam ransel, ada juga yang
langsung masuk kamar mandi. Kebelet rupanya.
"Co, heh, elo mau apain baju gue?"
"Jual! Berisik amat sih! Paspornya udah, Nyo?" Nico sedikit teriak.
"Sip!"
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gimana kata Kakek, Yan?" tanya Nico pada Ryan kali ini, yang bertugas menghubungi Kakek
Ilan untuk mintain izin. Ryan mengacungkan ibu jarinya tanda semua beres. Pun demikian Luca, yang tampaknya
sudah dapat penerbangan tercepat ke Jepang.
"Heh! Elo semua pada kenapa sih" Perasaan yang patah hati di sini gue deh, kenapa jadi elo
yang pada stres?" "Siapa bilang udah patah" Cepat siap-siap! Si Dee butuh elo," kata Ryan seraya melempar
sepatu ke arah Ilan. Apa maksudnya" Orang berangkanya aja baru nanti malam. Dasar Ryan!
*** "Si Dee pergi bukan semata karena Denny, Lan. Bukan karena dia masih sayang sama Denny
makanya dia ke sana. Dia juga bukan pergi karena nggak sayang sama elo. Dia pergi ke sana
buat urusan lain. Sesuatu yang menurutnya bisa membuatnya jadi orang baik. Lan, dia
orangnya. Dialah orang yang mendonorkan sum-sumnya buat Kyra. Si Dee adalah pendonor
itu." Ilan mengingat-ingat perkataan Sinyo dalam lamunannya. Matanya memandang tegas ke arah
awan-awan yang bergelayutan di angkasa. Tanpa disadari olehnya, kerinduan itu memuncak.
Perasaan bersalah itu menerpa. Lupa dia sama penyakit takutnya akan ketinggian.
*** 10 jam kemudian atau tepatnya puku 09.30 waktu Tokyo (Ku ji han, kata orang sana)
"Anoo.. sumimasen, 101 ban no heya no kanja wa doko ni arimasu ka" Shitteimasu ka?" (Maaf,
pasien yang ada di kamar 101 ke mana ya" Apa suster tau") tanya Denny pada salah seorang
suster setelah tidak menemukan Cadie di kamarnya.
"Aa" sono kirei na onna desu ne?" (O.. pasien (wanita) yang cantik itu ya")
"Hai." (Iya) Senyum Denny mengembang mendengar pujian suster untuk Cadie. Bener banger,
Cadie emang cantik. Bahkan, orang Jepang pun mengakuinya.
"Saki, shamposhitai to iun desu. Ja.. koen de kamoshimasen." (Tadi sih bilangnya mau jalanjalan. Mungkin ada di taman.)
"Koen?" (Di taman?"
"Ung." (Iya) "Sokka" Ja, doumo arigatou." (Jadi begitu" Kalau begitu, terima kasih..)
"Iie." (Jangan sungkan)
Dan nggak lama setelah mengetahui keberadaan Cadie dari suster, Denny pun segera meluncur
ke tempat yang dimaksud, taman.
"Dicari kemana-mana ternyata ada di sini. Nggak tau apa kalo aku sampai harus muterin rumah
sakit ini buat nyari kamu?" kata Denny seraya mengambil posisi duduk di sebelah Cadie. Di
sebuah bangku taman yang di depannya berhamparan pepohonan sakura. Indaaaah banget!
"Maaf. Aku bukannya sengaja mau bikin kamu khawatir. Tadi aku mau bilang, tapi karena kamu
lagi di kamar Kyra, makanya aku.."
"Aku bercanda kok. Kenapa jadi serius gitu?" Denny meluruskan kakinya. "Ca, kamu baik-baik
aja, kan?" tanyanya.
Cadie mengangguk pelan. Sebuah senyum tampak mengembang di wajahnya.
"Den.." "Ya?" "Bagus ya, bunga sakura ini. Coba di Indonesia juga ada, pasti indah. Iya kan?" Cadie
mengucap seraya memandangi bunga-bunga yang bermekaran.
"Iya. Eh, kamu tunggu di sini bentar ya, aku ambilin jaket," kata Denny saat sadar Cadie mulai
kedinginan menikmati udara pagi kota Tokyo.
"Nggak usah, Den. Aku nggak apa-apa kok."
"Pokoknya tunggu sebentar, kay?" Dan Denny pun berlari meninggalkan Cadie. Sama sekali
tidak mempedulikan teriakan gadis itu.
Selama beberapa saat Cadie diam. Membiarkan matanya yang indah mengabadikan keindahan
satu demi satu kelopak bunga yang bermekaran. Terus dan terus dia seperti itu, sampai
terdengar langkah seseorang dari arah belakang tempatnya duduk.
"Ceper amat, Den" Aku kira kamu.."
HUFFF. Kalimatnya terhenti kala menoleh ke belakang dan mendapati ternyata bukan Denny
yang berdiri di sana. Dia orang lain. Orang yang selama beberapa minggu terakhir mati-matian
dirindukannya. ILAN! Ilan jalan perlahan mendekati kursi Cadie. Matanya menatap penuh arti pada cewek, yang masih
juga mematung dalam duduknya. Perlahan dia membungkukkan badan. Berusaha melihat Cadie
lebih tegas. "Ilan.." "Sakit?" tanya Ilan seraya memegang lembut wajah Cadie.
Saat itu, entah kenapa, tiba-tiba saja rasa dingin yang tadi dirasakan Cadie, hilang tanpa jejak.
Tangan Ilan begitu hangat. Sama hangatnya dengan tatapan matanya sekarang.
Cadie menggeleng pelan. "Nggak sesakit yang dirasain Kyra dan nggak sesakit saat dimarahin
kamu," jawabnya, juga pelan. Buliran air mulai menggenangi matanya yang indah.
"Maafin gue, Dee. Maafin gue karena selama ini udah bikin elo sedih," kata Ilan seraya memeluk
Cadie. "Ilan.." "Dee, gue janji, gue nggak bakal ngebiarin elo sendirian lagi. Nggak bakal ngebiarin elo nangis
lagi. Gue akan jadi Ilan yang dulu lagi. Ilan yang akan selalu ada di saat elo butuh dia. Ilan yang
nggak akan ninggalin elo, nggak pedui dunia berubah jadi seperti apa."
Cadie manggut-manggut dalam pelukan Ilan.
"Ilan, kamu harus janji nggak akan marah sama aku lagi. Kamu boleh pukul aku, boleh nendang
aku, tapi jangan pernah menjauhiku, jangan ngediamin aku, ya?" kata Cadie kali ini.
Ilan mengangguk. Selama beberapa saat suasana hening. Mereka hanya saling memandang. Terus seperti itu,
sampai Cadie mulai goyah dalam pijakannya. Dia.. BRUUK! Jatuh terkulai.
"Dee! Dee, elo kenapa"! Dee"!"
*** Samar-samar Cadie melihat wajah Ilan. Sadarlah dia kalau tadi itu dia bukannya lagi mimpi jalan
ngambang atau semacamnya. Kakinya terasa ringan karena memang dia tidak menapakkannya
di lantai dan badannya terasa hangat karena yang menggendongnya adalah Ilan.
"Hei.. Elo terlalu lelah, makanya sampai pingsan. Tapi elo jangan khawatir. Elo nggak akan
kenapa-napa." "Ilan, apa kamu nggak capek" Kamu kan baru aja sampai. Kamu pasti.."
"Gue nggak apa-apa kok. Elo istirahat aja. Jangan takut, gue nggak bakal ngejatohin elo kok,"
kata Ilan seraya terus berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit. Matanya lembut memandang
Cadie. "Mulai sekarang, gue akan selalu ngejaga elo. Nggak akan ngebiarin apa pun atau siapa pun
ngelukain elo. Nggak akan pernah!"
Cadie manggut-manggut dalam pelukan Ilan. Perlahan dia menenggelamkan kepalanya di dada
Ilan. Dada Ilan yang begitu lebar dan hangat. Saat itu, dia bisa merasakan betapa Ilan begitu
hati-hati dalam menggendongnya. Seolah dia itu adalah benda berharga yang nggak boleh
sampai terluka sedikit pun.
Dee, gue sayang sama elo. Gue nggak tau sejak kapan dan karena apa. Gue cuma tau, sejak
saat itu elo masuk begitu aja ke dalam hidup gue. Jadi bagian terpenting dari hidup gue. Dan
gue sangat bersyukur karenanya. Ilan membatin dalam langkahnya.
Ya Allah, terima kasih. Terima kasih atas semuanya. Terima kasih karena udah ngasih aku
kesempatan buat bisa merasakan kembali perasaan ini. Dan terima kasih juga karena orang itu
adalah Ilan. Seolah bisa mendengar Ilan, Cadie pun turut membatin dalam hatinya.
*** Itu kejadian di Jepang, seminggu yang lalu. Sekarang, di sinilah Ilan dan Cadie berada. Di
Indonesia. Di sekolah mereka, lebih tepatnya. Dan tak ubahnya akhir dari sebuah drama
romantis yang selalu berujung pada kebahagiaan, itu jugalah yang mereka rasakan kini.
"Ciee ileeee, yang lagi seneng. Ada acara bagi-bagi hadiah dong..," lontar Ryan iseng, nggak
lama setelah sampai kantin dan mendapati Ilan menggenggam sebuah kotak kecil di tangannya.
Pemberian Cadie pastinya.
"Ehm.. ehm.. ehm.. hem.. hem.. heeeeem..!" Berikutnya menyusul suara-suara iseng lainnya.
"Norak lo semua!"
"Apaan sih" Liat donk!" Sinyo mau tau. Tapi nggak digubris sama Ilan, yang kayaknya emang
lagi bener-bener penasaran sama isi kotak itu. Perlahan dia membuka pitanya, lalu mengangkat
penutupnya. Dan.. Eng ing eng! Matanya terbelalak melihat isi kotak itu. Sebuah jam tangan. Ilan
ingat, jam itu didesain khusus oleh Kakeknya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-13. Dia
sama sekali nggak nyangka kalau jam yang dulu hilang itu kini kembali.
"Ini kan.." "Waktu itu aku bukannya sengaja nabrak kamu. Aku juga bukannya sengaja nyuekin kamu dan
ngebiarin kamu telentang di jalanan. Aku emang lagi buru-buru saat itu. Saat tau Kakak
kecelakaan, aku jadi khawatir banget. Jadinya nyetirnya nggak konsen. Akhirnya, nabrak kamu.
Tapi kamu tau nggak" Nggak lama setelah sampai rumah sakit dan tau Kakak baik-baik aja, aku
kembali lagi ke tempat itu. Eh, sesampainya di sana, aku malah cuma menemui itu. Sebenernya
aku mau ngembaliin jam tangan itu nggak lama setelah Sinyo ngasih tau aku kalo orang itu
kamu, tapi aku berubah pikiran. Aku sendiri nggak tau kenapa. Aku udah nyimpen jam itu selama
setahun lebih, sayang juga. Lumayan kalo aku pikir-pikir. Mahal kalo dijual." Cadie tersenyum.
Ilan tersenyum manis mendengar itu. Matanya melihat ke arah Sinyo.
"Kamu jangan marahin Sinyo, ya. Sebenernya aku udah janji nggak akan cerita, tapi daripada
aku bohong lagi, nggak apa-apa deh dimarahin Sinyo. Ya kan, Nyo?"
"Ooh.. jadi elo ya biang kerok yang udah matahin kaki Ilan" Biang kerok yang udah bikin kita
gagal menang di kejuaraan pertama kita" Dasar brengsek!" Ryan mengucap garang.
"Gue tau kita mesti ngapain. Timpuuuuk!" Nico menyusul Ryan memberi instruksi.
Dan setelah itu, semuanya, kecuali Ilan dan Sinyo, mulai asyik nimpukin Cadie pake tisu, serbet,
kerupuk, dan benda lainnya yang ada di meja. BUUK! DUUG! PLETAAK! PLETOOK! JEGAAAR!
JEGEEER! (Alah, berlebihan)
"Aduuh! Kenapa kalian begitu" Katanya kalian temen-temen aku" Eh! Aaw! Ilan!" Cadie berteriak
sambil menutupi mukanya. Sesekali bersembunyi di balik badan Ilan yang besar.
"Eh, udah! Mau gue bantingin satu-satu apa"!" kata Ilan seraya memasukkan kembali jam
pemberian Cadie barusan ke dalam kotak. Gayanya dia banget, cool and calm.
"Piring kali, dibanting."
"Eh, man, enak kayaknya nih lagu. Boleh juga selera si Andro," celetuk Dino tiba-tiba. Semua
kontan menoleh heran ke arahnya. Lagu apaan lagi"! Perasaan yang kedengeran baru suara si
Andro, belum ada suara na na ni atau semacamnya. Dari mana dia tau kalo lagu yang bakal
diputer enak. Sok tau! "Hei, guys, what"s up" Back again, with me of course, the one and only, Andro. Yup, di Senin
yang kayaknya nggak terlalu ngebosenin ini, gue siap muterin lagu-lagu favorit lo semua. So
come or call. By the way, gue juga mau ngucapin selamet nih buat anak-anak The Whites, yang
minggu kemaren berhasil ngasih temen buat pialanya anak basket. Congratulation, guys! Wah,
udah ada penelepon kayaknya. Halo, siapa nih?" tanya Andro kemudian.
"Orang ganteng!" jawab si penelepon.
"Ya elah, belagu amat nih orang!" komentar Nico perihal si empunya suara yang tengah
mengalun di udara itu. "Oke deh yang ganteng. Mau request lagu apa nih?" tanya Andro lagi.
"Gue mau elo muterin lagu Pecinta Wanita-nya Irwansyah."
"Pecinta Wanita. Oke, buat?"
"Buat Cadie. Cadie yang selalu cantik nggak peduli apapun yang dia pakai," jawab orang itu,
yang kontan nggak cuma bikin Andro kaget, tapi juga seisi orang di kantin.
Ilan dkk" Jangan ditanya. Saking kagetnya, Ryan sampai ngeluarin lagi mie goreng yang ada di
mulutnya. Luca sama Nico sampai nyaris ngejatuhin nampannya. Dan Sinyo, dia sampai keselek
bakso. Sekarang Ilan lagi sibuk nepuk-nepuk punggungnya.
"Busyet! Siapa sih nih orang" Cakep bangetapa" Pake acara nggak mau ngasih tau nama
segala," lontar Ryan. Biasa.. agak emosi.
"Man, apa mungkin.."
"Apa" Mau nuduh gue lo?" Sebuah suara terdengar dari kejauhan, sesaat sebelum Nico
menyelesaikan kalimatnya. Nadanya nggak rela banget.
Semua kontan menoleh ke arah suara itu berasal. Ke arah Denny.
"Den.." "Nah lho! Kalo bukan elo, terus.."
"Terus apaan" Udah deh, Co, nggak usah berlebihan. Lagian emangnya kenapa kalo ada yang
suka sama si Dee" Bukannya begitu bagus" Itu artinya, cewek gue ini.."
"Nggak. Nggak bisa, Lan," potong Nico cepat. "Biar gimana juga kita harus cari tau siapa nih
orang. Dia berani ngirimin lagu buat si Dee. Itu sama artinya, nantangin elo. Bener nggak?"
"Bener banget," Ryan menyetujui.
"Iya juga sih," kata Luca.
"Terus.. menurut lo siapa nih orang, Co?" tanya Sinyo kali ini.
"Apa mungkin.. bla bla bla..," sahut Nico.
"Ah, masa iya" Dia kan.. bla bla bla..," sambung Luca.
"Bisa juga kali.. bla bla bla..," kata Ryan.
"Ya, iya.. tapi kan dia.. bla bla bla..," Sinyo berpendapat.
"Man, kalo menurut gue sih.. bla bla bla..," duga Ichal.
"Setuju. Soalnya tuh orang kan.. bla bla bla..," ujar Dino.
Sinyo, Luca, Ryan, Ichal, Nico, Dino, juga yang lainnya, sibuk mengajukan argumen. Sebentar
mereka mengajukan nama si ini sebagai tersangka, sebentar lagi nama si itu.
Alah! BERLEBIHAN.. End Kisah Si Rase Terbang 1 Obat Pamungkas The Magic Bullet Karya Harry Stein Bayang Bayang Maut 2
meter lagi dari rumah Denny, perasaan itu semakin menguat.
"Hei.." Andy menyenggol badan Cadie yang tampaknya mulai bengong. "Kalo kamu bengong
begitu, nanti yang ada pembantunya Denny kabur pas ngeliat kamu."
Mereka pun sampai di depan rumah Denny.
"Kenapa lama banget" Jangan-jangan nggak ada orang lagi." TING TONG! Andy untuk kedua
kalinya menekan bel rumah Denny.
"Apa mungkin mereka ke luar kota Kak" Mungkin aja mereka.."
Cadie tidak melanjutkan kalimatnya, ketika tiba-tiba pintu gerbang rumah Denny terbuka, diikuti
suara seseorang. "Maaf, Non, Den. Bibi tadi di kamar mandi," kata orang itu, yang nggak lain pembantunya Denny.
"Malam, Bi." Cadie dan Andy mengucap bersamaan.
"Non Cadie! Ya ampun, Non. Udah lama banget Bibi nggak ngeliat Non. Masuk, Non! Silahkan
duduk! Den, mari.." Bi Tari nyerocos kayak petasan.
"Terima kasih, Bi."
"Sebentar ya, Non, Aden, Bibi buatin minum dulu."
Cadie melirik kakaknya, pun demikian kakaknya, melirik balik, heran dengan sikap Bi Tari yang
kayaknya kangen setengah mati sama Cadie.
"Non Cadie kemana aja" Kok nggak pernah main ke sini lagi?" Bi Tari kembali bertanya meski
tangannya sibuk membawa nampan. Eh nggak deng! Sekarang sibuk mindahin gelas dari
nampan ke meja. "Silahkan Non, Den!"
"Nggak kemana-mana kok, Bi. Ada di rumah aja."
"Oh iya, Bibi sampe lupa. Non Cadie pasti dateng ke sini buat nyari Den Denny ya?"
"Iya, Bi. Cadie udah beberapa kali nyoba nelepon Denny, tapi nggak nyambung-nyambung.
Makanya sekarang Cadie dateng. Apa Denny-nya ada Bi?"
"Den Denny.. Den Denny-nya sekarang ada di rumah sakit Den."
"Rumah sakit" Denny sakit, Bi" Sakit apaan?" tanya Cadie lagi.
"Bukan.. bukan. Bukan Den Denny, Non, tapi.."
"Nggak." Cadie menggeleng berulang kali. "Bi, jangan bilang kalo.."
Bi Tari mengangguk pelan. Raut mukanya sedih banget. "Sudah seminggu ini kesehatan Non
Kyra memburuk. Bibi sendiri nggak tau karena apa. Den Denny sudah seminggu ini juga nggak
pernah pulang ke rumah. Dia terus-terusan nungguin Non Kyra di rumah sakit. Lupa sekolah,
mandi, bahkan makan," jelasnya.
Cadie lemas seketika mendengar itu. Badannya hampir roboh kalau saja sang Kakak tidak
cepat-cepat menopangnya. "Kakak.." Cadie mengucap pelan. Tangisnya tak terbendung.
*** "Seharusnya Cadie tau dari awal, Kak. Kalo aja Cadie bisa lebih sabar dan nggak sembarangan
ngusir Denny, pasti Cadie.. waktu itu, dia dateng pasti buat kasih tau soal ini, makanya dia.."
"Hei.. hei, udah donk! Kamu kenapa jadi nyalahin diri sendiri gini" Ini bukan salah kamu. Bukan
salah siapa pun. Jadi, berhenti menyesali semuanya, oke?"
"Tapi.." "Nggak pake tapi. Pokoknya Kakak nggak mau lagi denger kamu ngomong begitu, ngerti" "
Cadie mengangguk. "Ya udah, ayo!"
Dan Cadie beserta sang Kakak pun kembali melanjutkan perjalanannya. Menyusuri loronglorong rummah sakit yang masih juga terang-benderang sementara hari sudah mulai malam.
Hampir 10 menitan mereka seliweran di rumah sakit itu, sampai akhirnya tiba juga di tempat
tujuan. Ruang ICU. "Cadie!!!" Suara itu terdengar parau memanggil nama Cadie. Matanya yang biasa jernih seolah
ditutupi kegelapan. Tampak layu dan sendu. Wajahnya pucat. Rambutnya acak-acakan, begitu
juga pakaiannya. Persis orang yang nggak ganti baju berhari-hari. Kumel deh pokoknya si Denny
ini. "Ca, kamu.." "Den..!" Cadie menangkap badan Denny, yang nyaris jatuh saat mencoba bangkit dari duduknya.
"Aku baik-baik aja kok, Ca. Aku pasti akan baik-baik aja."
Cadie manggut-manggut. Dan nggak lama kemudian, dia sudah berada di pelukan Denny.
Denny memeluknya dan dia pun tanpa sungkan meraih pelukan itu. Dia sendiri nggak tau
kenapa. Tiba-tiba saja ada perasaan yang mengharuskannya meringankan kesedihan Denny
kala itu. Mungkin karena Cadie terlalu kenal Denny. Dia terlalu paham bahwa bagi Denny, Kyra
adalah segalanya. Dalam pelukan Cadie, Denny menumpahkan tangisnya.
*** "Mas Andy dimana?"
"Tuh di sana!" Cadie menunjuk dengan matanya, ke arah dua orang paruh baya dan juga
seorang pria muda yang sangat tampan, yang nggak lain Kakaknya, yang sepertinya tengah
serius bercakap-cakap. Dua orang paruh baya yang tengah diajak ngobrol oleh Andy itu tak lain
orangtuanya Denny. Denny ikut-ikutan Cadie melihat ke arah tiga orang itu.
"Ca, thanks ya karena kamu udah mau nemenin aku di sini. Padahal kan aku.."
"Udah lah, Den. Kamu nggak usah lagi ngebahas soal itu, ya?"
"Tapi, Ca.." "Nggak ada tapi-tapian. Kalo kamu mulai ngomongin soal penyesalan kamu lagi, aku pulang nih.
Kak!" "Iya.. iya. Nggak lagi." Denny menghentikan Cadie, yang mulai mau teriak manggil Kakaknya.
"Gitu donk." Cadie tersenyum tipis. "Oh ya, kamu udah makan belum?"
"Nggak laper." "Nggak laper juga tetep harus makan. Emangnya siapa yang bilang kalo orang baru boleh
makan setelah laper" Mau ya" Biar aku beliin."
"Eh, Ca.." Denny memegang tangan Cadie, sebelum gadis itu bangkit dari duduknya. "Nggak
usah. Aku beneran nggak laper kok. Kamu di sini aja, ya" Temenin aku ngomong. Kamu juga
boleh kok cerita soal keadaan sekolah sekarang, ya" Please..!"
"Tapi janji ya kalo laper kasih tau aku."
"Iya." "Ya udah, kamu mau denger cerita soal apa?" Cadie kembali duduk di sebelah Denny.
"Yang menarik tentang apa?"
"Tentang.. mana aku tau, emangnya aku tukang gosip?"
Denny tertawa kecil mendengar itu. "Kenapa jadi sewot?"
"Ya abis.." "Iya maaf. Ya udah gini aja, gimana kalo cerita soal tim sepak bola aja?"
"Hah?" "Ya.. sebentar lagi kan kalian mau tanding. Pasti banyak yang harus dipersiapkan, kan" Ceritain
aja soal itu." "Oooh.." Dan Cadie pun mulai cerita panjang-lebar soal keadaan tim sepak bola menjelang partai final
beberapa minggu lagi. Cerita soal tingkah anak-anaknya yang kadang nggak jelas dan juga
cerita soal gimana dia ngerasa sangat aman berada di dekat segerombolan cowok tampan, tapi
berkelakuan minus itu. Selama beberapa saat keduanya larut dalam tawa. Sebentar haha.. sebentar hihi.. ada juga
haha.. hihi.. Sejenak Denny berhasil melupakan sedikit kekhawatiran, kesedihan, dan juga ketakutannya
berkaitan dengan kesehatan sang adik, yang entah baru kapan bisa sadar. Hanya sejenak.
Wajah muramnya kembali tampak nggak lama setelah Cadie selesai dengan ceritanya dan
akhirnya harus pulang. *** "Terima kasih, Bu," ucap Cadie, nggak lama setelah menyerahkan surat yang kemarin dititipkan
Denny kepadanya pada Bu Dewi, wali kelas tercintanya Denny. Bu Dewi sebenarnya sempat
nanya ke Cadie soal alasan kenapa Denny sampai minta izin untuk nggak masuk selama
beberapa hari. Tapi berhubung Cadie nggak ngerasa punya hak lebih buat ngejelasin, dia pun
memilih angkat tangan. Cadie cuma bilang seadanya bahwa Denny ada urusan keluarga.
Untung banget jadi Denny, mulai dari SD sampai sekarang selalu jadi siswa teladan. Mau nggak
masuk gampang banget dapat izinnya.
Cadie pun keluar ruangan setelah selama beberapa menit bercakap-cakap dengan Bu Sandra,
guru kimianya. "Hayo!!!" "Aaaa!" Cadie nyaris sprint saking kagetnya ngedenger suara jelek barusan. Kakinya batal lari
kala dirasakannya tangan seseorang memegang lengannya.
"Cuma kita kok," kata orang itu. Masih memegang lengannya. Ternyata Ilan.
Ryan yang barusan ngagetin cengengesan. Sinyo nggak kalah seneng.
"Udah kali. Dia nggak bakal lari." Ryan seolah mengisyaratkan Ilan agar melepas tangan Cadie.
Cadie jadi salting sendiri. Kayaknya dia emang kurang pinter ngumpetin perasaannya. Beda
banget sama Ilan, yang emang udah ahlinya buat sok cool. Dia kelihatan tenang kayak biasanya.
Sebenernya dia sendiri agak bingung juga sih, kenapa tadi tiba-tiba narik tangan Cadie. Dan
sekarang, sebenarnya Ilan malu banget.
"Elo abis ngapain?" tanya Ilan akhirnya.
"Abis.. abis nganterin surat."
"Sejak kapan elo jadi tukang pos?" celetuk Ryan.
Cadie diam. Pun demikian dengan Ilan dan Sinyo.
"Nggak lucu ya?"
"Bagus kalo sadar," sahut Sinyo seraya melanjutkan perjalanannya, mengikuti Ilan dan Cadie.
"Oh ya, tadi elo bilang elo ke ruang guru buat nganterin surat. Surat apaan?" tanya Ilan lagi.
Perasaan baru kali ini deh, Ilan jadi sok banyak nanya gitu. Biasanya kan..
"Surat.. oh itu.. itu sih.. bukan surat apa-apa kok," jawab Cadie akhirnya.
Yeee..! Untung Ilan bukannya Ryan, yang gampang naik darah. Bikin kesel aja si Cadie ini, udah
ngomongnya pake gagap, lama, akhirannya malah nggak jelas.
"Oohh.." "Oh ya, kaki kamu gimana?" Cadie berusaha mengganti topik.
"Baik." "Kaki lo sendiri gimana, Dee" Baik?" tanya Sinyo kali ini.
"Hah" Emangnya kaki aku kenapa?"
"Ya nggak tau juga. Gue pengen nanya aja. Soalnya kaki gue juga baik-baik aja."
"Maksudnya?" "Nggak ada! Emangnya kalo ngomong harus selalu ada maksudnya apa" Heran!" Sinyo berjalan
lurus meninggalkan Cadie dan Ilan. Nggak ngerti juga dia, kenapa tiba-tiba emosi. Abis Cadienya sih, nggak nyambung kalo diajak bercanda. Bikin kesel.
Cadie melirik ke arah Ilan. Tampangnya bingung.
"Nggak usah didengerin! Kayaknya penghapus yang tadi nyangkut di tenggorokannya udah
sampe perut deh, makanya dia jadi begitu," Ilan beralasan.
Cadie masih juga diam. "Dee!" "Hah?" "Elo kenapa sih?"
"Ng.. nggak. Nggak kenapa-napa kok."
"Terus kalo nggak kenapa-napa, ngapain elo ngikutin gue?" tanya Ilan lagi.
"Hah" Ngikutin kamu" Aku kan mau ke kelas."
"Dan apa elo nggak inget kelas lo ada dimana?"
"Ya ingat lah, emangnya aku bego" Kelasku kan ada di.." Cadie melihat ke arah tulisan di
tembok, lalu langsung lari ke pinggir tangga, melongok ke bawah. "Kenapa nggak bilang-bilang
kalo lantai tiga udah kelewat?" tanyanya gemas.
"Salah sendiri kenapa jalan nggak liat-liat. Makanya jadi orang jangan kebanyakan bengong.
Bagus baru sampe lantai 4, coba kalo keterusn sampai atas, dan menembus langit ke tujuh."
"Mana ada?" Cadie protes tanpa kuasa menahan tawa.
"Ketawa, lagi. Sana cepet turun!"
"Iya." Cadie manggut-manggut. Perlahan dia berjalan mundur menuruni tangga. Dia baru saja
menuruni, 1.. 2.. 3.., 3 anak tangga saat memutuskan memanggil nama Ilan.
"Kenapa?" tanya Ilan.
"Sekarang posisi kita sama."
"Hah?" "Gimana kalo kita taruhan" Siapa yang sampai kelasnya lebih dulu, boleh ngajuin satu
permintaan." "Apaan sih?" "Kalo takut ya udah."
"Tunggu!" Cadie senyum menyadari Ilan menyetujui ajakan mainnya.
"Gimana caranya tau siapa yang sampai lebih dulu?" tanya Ilan.
"Pake ini!" Cadie megeluarkan ponselnya. "Yang miskol duluan, berarti sampai lebih dulu,
gimana?" "Dan gimana elo yakin kalo gue nggak bakal miskol elo sebelum sampai kelas?"
"Nggak tau. Yakin aja," jawab Cadie pasti.
"Kalo gitu berarti gue juga harus yakin sama elo?"
Cadie manggut-manggut. "Ya udah, siapa takut"!"
Cadie tersenyum tipis. "Di hitungan ketiga kita mulai! Siap" Satu, dua.." Dan tepat dihitungan
ketiga, Cadie dan Ilan pun memulai pertaruhannya. Berlawanan arah, yang satunya turun dan
yang satunya naik, mereka menyusuri satu demi satu anak tangga. Terus dan terus mereka
berlari, tanpa sama sekali mempedulikan orang-orang yang berseliweran di sekitarnya, yang
mungkin saja menganggap mereka kurang kerjaan.
Hoooh.. hoooh.. hoooh.. Suara napas Ilan terdengar kemana-mana.
"Elo kenapa?" Sinyo terheran-heran.
"Nggak kenapa-napa," jawab Ilan dengan napas masih sengal. Tangannya sibuk merogoh
kantong celananya, lalu gantian merogoh tasnya. Nggak ketemu juga. dia pun mulai mengoprek
tas itu. beberapa bukunya sempat terjatuh.
"Elo nyari apaan sih?"
"Handphone gue. Handphone gue mana ya, Nyo?" Ilan masih tetap sibuk memeriksa tasnya.
"Terus aja cari sampai elo jadi foto model. Dasar pikun! Handphone lo kan mati dan elo ninggalin
di rumah biar bisa di-charge. Lupa lo?" Sinyo berujar kesal. Btw, maksudnya sampai Ilan jadi foto
model apa ya" Ah, lupain aja.
"Ya udah, kalo gitu pinjem HANDPHONE lo." Ilan langsung merebut paksa HANDPHONE Sinyo,
tanpa si empunya sempat menolak atau semacamnya.
08567134533. Ilan menekan tombol di ponsel itu. Tut.. tut.. tut.. SIBUK! Selama beberapa kali
dia kembali menekan nomor yang sama. Tapi tetap sama, sibuk.
"Nelepon siapa sih?"
Bukannya menjawab, Ilan malah meninggalkannya. Bergegas menuruni tangga.
"Alah! Bukan temen, gue jatohin ke bawah lo!"
*** Ilan senyam-senyum nggak jelas, begitu juga Cadie. Tepat di tempat dimana mereka memulai
semuanya tadi, di situlah mereka kembali bertemu. Lantai 4. Di telinga keduanya masih
menempel asik ponsel yang sepertinya nggak pernah ngeluarin nada lain selain tulalit dan tut..
tut.. tut.. "Tulalit terus," kata Cadie polos.
"Sori, gue baru ingat kalo handphone gue mati dan sekarang lagi di-charge di rumah," beritahu
Ilan. "Ooh.. pantes."
"Iya." Ilan salah tingkah.
"Kalo gitu berarti siapa yang menang?" tanya Cadie.
"Anggap aja elo. Handphone gue nggak ada kan salah gue. Jadi, anggap aja elo yang menang."
Cadie tersenyum simpul. "Apa menurut kamu, kamu nggak terlalu baik" Kamu tau nggak apa
akibatnya" Aku bisa aja manfaatin kemenanganku buat ngajuin satu permintaan berat ke kamu.
Emangnya kamu nggak takut?"
"Coba aja kalo berani. Elo nggak lupa kan, kalo gue punya satu batalion pasukan yang siap
ngancurin siapa aja yang berani macem-macem sama gue?"
Cadie terkekeh. "Apa maksudnya" Beraninya keroyokan."
"Ya udah, sekarang bilang apa permintaan lo. Sebisa mungkin gue kerjain."
"Aku.. nanti aja deh."
"Kok?" "Aku simpan permintaan itu buat kapan-kapan. Kali aja butuh. Lagian, aku juga kan masih harus
pikir-pikir dulu. Nggak mau aja kalo satu permintaan itu terbuang sia-sia. Boleh kan?" Cadie
beralasan. Good choice! Begitulah kira-kira keputusan Cadie ini. Dia benar. Satu permintaan nggak boleh
sembarangan diucapkan. Apalagi yang bakal dimintakan sesuatu ini adalah seorang Ilan
Tanudirdja, cowok keren idola jutaan kaum hawa. Cucu satu-satunya dari Ahmad Tanudirdja,
pemilik jaringan Hotel Sky. Hotel milik pengusaha Indonesia yang nggak cuma bercabang di Asia
Tenggara, tapi juga Eropa.
"Terserah lo aja."
"Terima kasih." Cadie tersenyum manis.
Tulalit pap paw! Come to class now. It"s been so long now. Gonna get there some how. Buruan!
Dan percakapan Cadie dan Ilan pun terhenti kala mendengar suara jelek Andro mengalun di
udara. Dia nyanyi-nyanyi nggak jelas. Nada-nadanya sih agak mirip sama salah satu lagunya
Boyzone. Judul lagunya.. ah lupa. Pokoknya gitu deh. Tapi kalo mau diganti sama lagunya Ungu
atau Ratu juga nggak apa-apa. Paling-paling nggak nyambung.
"Ya udah, sampai ntar siang."
"Iya." Cadie manggut-manggut.
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Cadie tak henti tersenyum. Dia sendiri nggak ngerti,
kenapa tiba-tiba aja permainan yang melelahkan itu bisa membuatnya begitu senang" Bisa
membuatnya melupakan sedikitkekhawatirannya. Entah dari mana datangnya ide untuk
melakukan pertaruhan itu. Semua muncul begitu saja. Sebenarnya dia sendiri kurang paham aja
tujuannya. Sama sekali nggak ngerti kenapa mau melakukan itu, dan kenapa juga dia meminta
Ilan yang menemaninya. *** "Kalian udah dateng?" sambut Cadie nggak lama setelah Ryan dkk datang. Senyumnya
merekah. Manisnyaaaa minta ampun. Langsung aja dia mematikan ponselnya. Menghentikan
kegiatannya main bowlig.
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tumben sampai duluan. Elo nggak kabur dari kelas saking lapernya kan?" Ryan menarik
bangku dari meja sebelah. Si empunya meja sampai kaget karena Ryan nggak pake acara
permisi dulu. Tapi emang dasar Ryan. Dia cuek bebek.
"Jam pelajaran ketiga nggak ada gurunya," jawab Cadie.
Semua kompak, "Oh.."
"Udah pesen?" tanya Ilan.
Cadie menggeleng mantap. "Makan apaan ya?" Nico mengelus-elus perutnya. Seolah meminta cacing-cacing di perutnya
buat diam dulu karena dia lagi sibuk milih makanan. Dia pun langsung jalan ke arah salah satu
kios setelah akhirnya tau mau makan apa.
"Nggak lagi laen, somay," celetuk Luca. Nico yang emang udah laper santai aja nimpalin
omongan temennya yang lagi-lagi, sok Betawi itu. Hebat emang Luca, bisa segitu cintanya sama
Betawi. Padahal kan, dia nggak tau-tau amat soal sukunya Bang Ben itu.
"Eh, Co, gue Aqua satu," Sinyo teriak.
"Aaaw!" "Eh, sorry, Man!" Ichal berseru cepat, sadar udah nyenggol kaki Ilan dengan keras. Sebenernya
sih niat dia nendang Ryan, yang tega-teganya ngabisin teh manisnya, padahal waktu itu dia lagi
kepedesan banget. "Sakit ya?" "Ah.. nggak kok."
"Nggak salah lagi maksudnya, Dee." Ryan nyamber kayak bensin.
"Berisik!" Ryan cs ngakak lihat Ilan dongkol.
Kayaknya emang nggak bakal ada tenangnya kalo anak-anak The Whites pada ngumpul.
Perasaan baru juga beberapa menit menikmati makanan, tiba-tiba sudah harus ngeliat
kerusuhan lagi. "Maaf." Cadie pamit minggir kala mendapati ponselnya bunyi. Dia berjalan keluar kantin agar
bisa dengar lebih jelas. Dan nggak cuma itu, alasannya menjauh dari Ilan dkk juga karena tau si
penelepon adalah Denny. Sebenernya nggak ada maksud apa-apa. Dia cuma nggak enak aja.
Selama hampir lima menit Cadie ninggalin meja. Sesekali dia melihat ke arah teman-temannya
di sudut ruangan. Melihat ke arah Ilan, yang perlahan beringsut meninggalkan meja. Sama
seperti Cadie, rupanya dia juga dapet telepon dari seseorang. Dan memilih menjauh daripada
nggak kedengeran. Sebuah senyum lega muncul di wajah Cadie, nggak lama setelah dari seberang sana diberi tahu
Denny bahwa Kyra sudah sadar.
"Kalo gitu nanti pulang sekolah aku ke sana," kata Cadie semangat. Dia memutus hubungan itu,
lalu kembali ke mejanya. "Telepon dari siapa, Dee" seneng amat." Nico mau tahu.
"Oh.. itu.." "Jangan-jangan tadi elo telepon-teleponan sama Ilan ya" Sengaja biar nggak ketauan kita,"
sambung Dino sekenanya, yang langsung membuat Sinyo dkk riuh.
"Cie.. cie.." "Bukan, bukan. Tadi itu.. tadi itu telepon dari Kakak kok." Cadie menjawab pada akhirnya.
"Oooh.." Semua pun ber-oh ria. Semua, kecuali Ilan. Matanya melihat penuh tanya pada Cadie,
yang kini mulai sibuk menyantap makan siangnya. Benar-benar laper atau hanya pura-pura
laper, nggak jelas juga. Ilan cuma bisa menghela napas melihat kebisuan Cadie. Benar-benar
nggak habis pikir. Apa iya Mas Andy bisa nelepon ke gue dan ke elo dalam waktu yang bersamaan" Ilan membatin
penuh tanya. Sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutannya atas pengakuan Cadie
barusan. *** Cadie memandang lembut ke arah tempat tidur itu. Ke arah seorang cewek manis yang kini
terkulai lemas dalam tidurnya. Air matanya sempat menetes sesekali. Tapi langsung disekanya
sebelum orang lain melihat. Sebelum Denny tahu.
"Den, kamu udah dateng" Om sama Tante mana?" tanya Cadie. Sebisa mungkin
menghilangkan jejak air matanya.
"Mereka masih konsultasi sama dokter."
"Gitu ya?" Denny manggut-manggut. "Den, apa Kyra.."
"Nanti aja ngebahasnya, ya" Kamu pasti laper. Kamu kan belum makan apa-apa sejak dateng
tadi." Denny memegang tangan Cadie, lalu menariknya meninggalkan kamar Kyra."Aku nggak
mau kalo kamu jadi ikut-ikutan sakit. Aku juga nggak siap kalo Mas Andy ngedamprat aku
lantaran bikin Adiknya sakit," lanjut Denny dalam langkahnya.
"Emangnya kamu lupa kalo kamu udah keseringan bikin aku sakit?"
JENGJRENG..! Denny terhentak mendengar itu. Serta-merta genggaman tangannya
mengendur. Iya. Dia jadi sadar kalo dia sebenernya emang udah terlalu sering bikin Cadie sakit.
Dia jadi nggak tau mau ngomong apa. "Ca, aku.."
"Aku bercanda kali. Kenapa jadi serius gitu"!"
"Hah?" "Ha ha ha.." Cadie ngakak. "Ternyata muka kamu kalo lagi serius jelek ya?"
AEUHHH! "Kamu.. kamu jangan bikin aku jantungan gitu kek. Rese!"
"Kamunya sih, kebanyakan ngebiarin stres ngelilingin kamu, makanya jadi nganggep semuanya
serius." "Iya deh.. nggak stres lagi."
"Gitu donk." Keduanya berjalan menuju kantin yang letaknya di basement. Dan nggak berapa lama
kemudian, mereka sudah asyik makan masakan Padang. Berat!
"Den, soal cangkok sum-sum itu.. selain keluarga yang punya hubungan darah, apa yang lain
nggak bisa?" Cadie memulai percakapan langsung ke intinya. Kebetulan tadi dia dan Denny
memang sempat denger dari dokter bahwa Kyra masih punya harapan buat hidup asal
menemukan donor sum-sum yang pas.
"Bisa aja. Tapi kemungkinannya nggak banyak. Lagian, kalo pun ada, belum tentu orang itu mau
ngedonor. Terlalu beresiko."
"Gitu ya?" Denny manggut-manggut. "Kamu tau nggak Ca, seandainya bisa, jangankan cuma sum-sum,
kalo harus cangkok nyawa juga aku siap."
"Kamu jangan bilang begitu."
"Kenapa" Emangnya kamu sedih kalo aku kenapa-napa?"
"Jangan norak deh. Bete!"
"Iya.. iya.. Aku kan cuma bercanda. Tadi kamu sendiri kan yang bilang kalo kita harus sering
bercanda biar nggak stres. Gimana sih?"
"Ya, tapi nggak usah gitu-gitu amat."
"Iya, maaf." Denny sadar bercandanya udah kelewatan. Tapi jujur, dia seneng juga. Dia seneng
karena sekarang Cadie udah mau ketawa lagi di depannya. Nggak kayak beberapa bulan
terakhir ini, yang dilaluinya dengan derita.
"Besok kamu masuk?" tanya Cadie tiba-tiba.
Denny mengangguk mantap. "Kenapa" Kamu kangen ya ngeliat si ganteng ini berseragam putih
abu-abu?" "Kamu tuh lama-lama jadi norak ya. Apa juga maksudnya nyebut diri sendiri si ganteng?"
"Emang aku ganteng kan" Atau.. atau di mata kamu ada orang lain yang lebih ganteng?"
Cadie kaget mendapat pertanyaan seperti itu. Sebenernya sih seharusnya bisa santai aja. Apa
susahnya tinggal bilang. Sebut saja Orlando Bloom, Bertrand, atau siapa kek manusia yang
kelihatan cakep di dunia ini. Bukannya malah melempem dan terbang ke mana-mana. Well, kalo
Denny nanyanya wajar sih emang gampang ngejawabnya. Masalahnya nih cowok nanyanya
agak menjurus-jurus gitu. Kemana lagi kalo bukan menjurus ke ILAN.
*** "Tolong donk." Ilan menepuk pundak Ichal, sebagai isyarat minta tolong diambilin sesuatu.
"Bukannya elo nggak suka pedes?"
"Yang nyuruh elo ngambil sambel siapa" Kecap," sanggah Ilan.
"Ooh.." "Man, si Dee kemana" Kok nggak keliatan" Emangnya dia nggak makan?"
Ilan tidak menjawab. Dia hanya mengulurkan ponselnya pada Nico.
"Apaan nih?" "Elo telepon aja sendiri, tanya. Emang gue Bapaknya?" kata Ilan sambil terus melahap
makanannya. "Yee.." "Eh, guys, gue denger hari ini si Denny udah masuk lagi, bener ya?" Luca buka mulut di tengah
keheningan. "Kayaknya sih gitu," Sinyo menjawab seraya meneguk air mineralnya.
"Gue denger juga dia jadi agak berubah gitu. Lebih kurus dan keliatan layu."
"Lo kata bunga," sambar Nico.
"Sejak kapan sih elo gaul sama si Helen and the gank, gosip amat!" Ryan yang tadi adem-ayem
mulai mengeluarkan tajinya.
"Gosip mata lo! Gue denger ini dari Kesa." Luca nggak mau kalah.
"Kalo gitu sejak kapan pacar lo temenan sama Helen and the gank?"
"Yee.." "Heh!" Ilan lagi-lagi menghalau tanda-tanda akan adanya perang saudara. "Elo pada nggak bisa
apa kalo ngebahas sesuatu nggak pake emosi?" lanjutnya.
Ryan dan Luca langsung diam.
*** "Hayyo, lagi bengong ya"!" Suara riang Cadie terdengar nyaring. Rasanya siapa pun yang
mendengar bakal langsung kaget, apalagi kalo aksi itu diikuti juga dengan gerakan badan yang
serta-merta. Alias.. DUKK! Duduk tiba-tiba tanpa acara permisi dulu sama yang punya kursi.
"Kamu.." "Kaget ya?" "Nggak kok." "Alah jangan bohong. Kaget ya bilang kaget. Begitu aja ja-im."
Denny senyum, meski agak dipaksakan. "Kamu kok nggak makan?" tanyanya kemudian. Pelan.
"Nggak laper." "Nggak laper juga tetep harus makan. Emangnya ada yang bilang kalo orang baru boleh makan
setelah laper" " Denny mengulang kalimat yang pernah diucapkan Cadie padanya di rumah sakit
beberapa hari yang lalu itu.
"Bisanya nyontek."
Selama beberapa saat hanya sepi yang ada. Denny mulai sibuk memandangi air danau yang
sesekali menggeliat tertimpa sesuatu, dedaunan yang sesekali terhempas dari tangkainya, dan
rerumputan yang bergoyang-goyang mengikuti irama angin. Sementara Cadie.. dia hanya bisa
mengikuti Denny menyelami semuanya. Masuk ke dalam suasana hatinya, yang entah baru
kapan bisa kembali ceria seperti sedia kala. Gurauan sedahsyat apa pun, rasanya memang
nggak akan mampu membuat Denny merasa lebih baik. Dan kalaupun bisa, itu pasti juga cuma
sesaat. "Ca.." "Ya?" "Kyra nitip salam buat kamu. Katanya makasih udah mau nemenin dia tidur," ucap Denny.
"Oooh.. iya. dia gimana sekarang, Den?"
"Ya.. gitu deh." Denny membungkukkan sedikit badannya. Kedua tangannya ditopang lutut.
"Mungkin masih ada bagusnya karena paling nggak sekarang dia udah sadar. Meski aku nggak
tau apa yang akan terjadi setelah ini."
"Den.." "Iya, aku tau. Maaf."
"Kamu nggak boleh pesimis gitu donk. Kamu harus yakin kalo semua pasti akan baik-baik aja.
Kan kamu sendiri yang bilang, kalo Kyra itu kuat. Dia pasti akan bisa ngelaluin semua ini.
Apalagi sekarang ini dunia kedokteran udah maju, dia pasti bisa disembuhin. Kamu cuma harus
yakin akan itu, ya?"
"Menurut kamu begitu?"
Cadie mengangguk mantap. "Eh, kamu ingat nggak waktu Kyra jatuh dari pohon" Waktu itu dia
benar-benar kesakitan sampai akhirnya nangis nggak henti-henti. Kita udah pake semua cara
buat bikin dia berhenti nangis, tapi sia-sia. Siapa yang sangka kalo dia baru bisa berhenti nangis
pas kamu ancam nggak boleh jadi Adik kamu lagi. Aku ingat, dulu kamu bilang begini, "Eh, kalo
nangis terus bukan Adiknya Kakak. Diam nggak! Atau Kakak akan lempar kamu ke atas pohon",
kamu ingat nggak?" Denny tertawa kecil. "Emang dulu aku bilang begitu" Kejam amat!"
"Emang iya. Baru tau?"
Lagi-lagi Denny tertawa. "Oh ya, tapi emangnya kamu lupa. Dia juga kan jatuh dari pohon garagara kamu," katanya.
"Aku,," Enak aja!"
"Emang iya. Siapa coba yang tiba-tiba teriak pas lihat kucing, yang terus bikin dia jatuh saking
kagetnya." Denny beralasan.
"Masa sih?" Denny manggut-manggut. Nggak lama kemudian, keduanya pun mulai kembali tertawa. Rasanya sudah lama sekali
mereka tidak terlibat pembicaraan yang begitu akrab seperti saat ini. Cadie senang, karena
akhirnya Denny bisa juga tertawa.
"Thanks ya, Ca." Denny menoleh ke arah Cadie. "Aku nggak tau gimana kalo nggak ada kamu di
samping aku saat ini, juga kemaren waktu di rumah sakit."
Cadie diam. Sebuah senyum mengembang di wajahnya nggak lama setelah itu. "Kamu harus
kuat. Kamu pasti bisa."
"Iya. Selama kamu ada di samping aku, aku pasti bisa."
"Den.." Cadie belum sempat menyelesaikan ucapannya, ketika tiba-tiba saja suara getar handphone
terdengar di kursi itu. "Halo..," Denny cepat-cepat mengangkat handphone-nya.
Selama beberapa saat dia terlihat serius. Sesekali dia menganggukkan kepala dan sesekali juga
dia terdiam. Cadie sampai takut dibuatnya. Apalagi ketika wajahnya mendadak pucat.
"Ada apa, Den?" tanya Cadie nggak lama setelah Denny mematikan handphone-nya.
"Ca.. Kyra, Ca.. dia.. Aku harus ke rumah sakit sekarang!"
"Den!" Cadie setengah teriak menyusul Denny yang mulai berlari. "Aku ikut ya"!" lanjutnya pasti.
"Tapi.." "Pokoknya aku ikut. Ayo!"
Entah apa yang ada di pikiran Cadie saat memutuskan untuk ikut bersama Denny. Dia
meninggalkan pelajaran terakhir, pelajaran kimia yang amat disukainya. Dia hanya tahu, saat ini
Denny membutuhkannya. Begitu juga Kyra.
"Dee.." Dari kejauhan, seseorang yang tanpa sengaja melihat adegan lari-larian Cadie dan
Denny berkata pelan. Kalau saja yang dilihatnya itu bukan Cadie, males bener dia
memberanikan diri melongok melalui balkon. Wong jelas-jelas dia fobia terhadap ketinggian.
*** "Gimana Kyra, Ma" Dia baik-baik aja, kan?" tanya Denny nggak lama setelah mendapati sang
Mama menangis sendirian di sebuah kursi. "Ma, Mama jangan diam aja donk. Jawab Denny, Ma.
Kyra baik-baik aja, kan?"
"Den, Den, kamu jangan begitu.." Cadie memegangi Denny yang mulai kalap didera kecemasan.
"Papa." Denny menoleh ke kiri dan ke kanan. "Ma, Papa mana" Kenapa Papa belum dateng"
Dokter! Dokternya mana" Kenapa dokternya belum ada" Apa dokternya di dalam" Kenapa
nggak keluar-keluar?" tanyanya bertubi-tubi. Nggak jelas.
"Den.." "Ca, Ca, kamu tolong jaga Mama di sini ya. Biar aku.. biar aku yang.."
Hhuufff. Tiba-tiba saja kalimat Denny terhenti. Mulutnya berhenti ngoceh dan kakinya berhenti
bergerak, ketika tiba-tiba saja seseorang memeluknya.
"Ma.." Denny menangis dalam pelukan sang Mama, yang tampaknya mulai bisa lebih tegar
menerima semuanya. "Kamu tenang ya, Sayang. Kamu harus sabar. Kita semua harus sabar." Mamanya Denny
mengucap pada akhirnya. Erat dan semakin erat dia memeluk putra semata wayangnya itu.
"Kyra nggak apa-apa kan, Ma?" Pelan suara Denny kembali terdengar.
"Tentu, Sayang. Itu pasti."
"Denny nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama Kyra, Ma. Denny nggak mau."
"Iya, Sayang. Mama tau. Cuup.. cuup.." Mamanya mengucap berulang kali.
Dari kejauhan, Cadie menyaksikan adegan ini dengan perasaan yang tak kalah sedih.
Kekhawatirannya terhadap Kyra dan juga keputusasaan Denny benar-benar membuatnya sedih.
*** "Terima kasih ya, Ca, karena kamu sudah bersedia menemani Denny di saat-saat seperti ini.
Tante jadi malu. Setelah apa yang sudah Tante perbuat ke kamu, sekarang Tante malah.."
"Tante.." Cadie memegang tangan Mamanya Denny. "Tante jangan bilang begitu. Tante nggak
usah lagi memikirkan soal itu. Cadie.. Cadie udah ngelupain semuanya kok. Bener!"
Mamanya Denny melihat lembut ke arah Cadie. Meski pelan, dan bahkan nyaris tidak terdengar
sama sekali, tapi Cadie masih bisa menangkap jelas ucapan terima kasih yang keluar dari mulut
wanita yang masih juga terlihat cantik di usianya yang menginjak kepala 4 itu.
"Sekarang Tante makan, ya. Nanti kalo nggak, Tante jadi ikutan sakit."
"Kamu juga. Kamu pasti belum makan kan sejak dari sekolah tadi."
"Iya." Cadie tersenyum manis.
"Sekarang Tante tau kenapa Denny begitu membenci Tante saat Tante memintanya
memutuskan hubungan denganmu," Mamanya Denny berkata di sela-sela makannya. "Dia
punya banyak alasan untuk mempertahankan kamu di sisinya. Meski akhirnya demi patuh pada
Tante memilih untuk melepasmu. Tante bener-bener egois, ya?"
Cadie diam. Iya. Egois banget. Masa dia harus jawab begitu" Jadi, daripada salah, mending
diam. "Kamu nanti pulang diantar Pak Diman ya! Naik taksi malam-malam begini nggak baik."
"Nggak usah repot-repot, Tante."
"Nggak kok. Kalo anak itu nggak terlalu lelah dan akhirnya ketiduran, dia juga pasti akan
maksain diri buat nganter kamu. Kamu jangan sungkan."
"Ngeliat Denny yang lagi tidur kayak gitu, Cadie baru sadar kalo ternyata dia mirip banget sama
Kyra." "Menurutmu begitu?"
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cadie manggut-manggut. "Sayang sekali karena hanya wajah mereka yang mirip. Sum-sum-nya tidak." Mamanya Denny
mengucap pelan. Cadie melongo mendengar itu.
"Denny belum memberitahumu" Dia juga sudah menjalani pemeriksaan. Sudah cek sum-sum,
tapi hasilnya tidak sesuai harapannya."
"Ooohh.." "Sekarang kami cuma bisa memasrahkan semuanya pada Allah. Menunggu keajaiban datang.
Menunggu ada orang baik yang bersedia mendonorkan sum-sumnya pada Kyra."
*** "Eh, Dee, kemaren elo kemana" Kok pulang nggak bilang-bilang" Sampai nggak dateng latihan
segala lagi," tanya Ryan.
"Iya, kasihan tuh si Ilan, nggak ada penumpangnya," imbuh Nico.
"Elo kata gue sopir taksi"!"
"Dee, elo kalo mau kemana-mana bilang donk. Biar kita nggak khawatir. Tau nggak, kita sampai
mikir jangan-jangan elo sakit atau semacamnya, makanya sampai maksain pulang cepat," kata
Sinyo kali ini. "Maaf. Aku nggak bermaksud begitu. Kemarin aku.. kemarin itu aku.. pulang cepat karena mau
ikut Kakak. Iya, karena mau ikut Kakak anter Kak Mia ke bandara, makanya jadi nggak bisa ke
tempat latihan," jawab Cadie akhirnya. Bingung juga sih kenapa harus bohong. Mana pake
bawa-bawa Kakaknya segala. Dia jadi nggak enak.
"Ooohh.." Cadie tersenyum tipis tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di sebelahnya,meski tahu ada
yang nggak beres, Ilan memilih diam.
"Ilan! Ilan!" Tiba-tiba saja suara teriakan terdengar dari kejauhan. Suaranya nyaring minta
ampun. "Astaghfirullahalazim deh gue mah. Lagi ada lomba teriak, apa"!" ucap Nico kaget.
"Siapa sih?" Ryan bingung bercampur kesal. Masalahnya suara si pemanggil tadi lenjeh banget.
Ya kalo berjenis kelamin perempuan sih, lenjeh masih fine-fine aja. Nah ini, jelas-jelas suaranya
bariton. Bikin ngeri aja.
"Gilang!" Cadie berseru.
"Yee.. ternyata elo. Kayak perempuan aja sih teriak-teriak."
Gilang cuma nyengir. Tapi Cadie, yang berdiri dtepat di samping Ryan melotot. "Nggak semua
perempuan maksud gue."
"Ada apaan" Pake teriak-teriak segala," tanya Ilan pada Gilang, yang masih sibuk mengatur
nafasnya. "Itu.. Pak Gun.."
"Pak Gun kenapa?" tanya Sinyo kali ini.
"Nggak.. nggak kenapa-napa. Cuma.."
"Cuma apa?" susul Nico.
"Dia bilang.." "Bilang apa?" Kali ini giliran Ryan yang nanya.
"Yee.. biarin gue ngambil napas dulu dong, jangan dicecer-cecer!" Gilang, yang tadi persis orang
yang diinterogasi teriak kekesalan. Ilan dan yang lain sampai kaget dibuatnya. "Pak Gun nggak
kenapa-napa. Dia cuma bilang kalo dia mau ngomong sama elo, Lan, dan juga mau kasih
sesuatu sama elo, Dee. Jadi, sekarang elo berdua diminta ke ruangannya," terang Gilang.
"Oooh.. kirain ada masalah gawat apa." Sinyo, Nico, dan Ryan spontan lega. Cadie sama Ilan
juga sebenarnya lega, tapi mereka masih bisa bersikap biasa. Nggak heboh kayak tiga
temannya itu. "Ya udah ntar gue ke sana. Thanks ya," kata Ilan.
"Bukan cuma elo, Cadie juga."
"Iya." "Makasih ya, Lang," ucap Cadie kali ini.
"Ada masalah apaan ya" Kok Pak Gun sampai manggil elo sama Cadie." Ryan bingung.
"Paling juga soal pertandingan nanti. Ya udah, gue ke sana dulu. Ayo Dee!" Ilan pun berbalik
arah, menyambangi ruang sekret bola.
"Kalian sudah datang. Duduk!" Pak Gun melipat koran yang barusan dibacanya. " Makasih, Pak."
Cadie dan Ilan mengucap bersamaan sebelum akhirnya duduk di bangku panjang berkapasitas
tiga orang itu. Selama beberapa saat ketiganya terlibat obrolan serius. Jadi begini loh, jadi begitu loh, dan
sebagainya. So pasti, masih seputar partai final melawan tim Vegaz tiga minggu lagi. Sesekali
mimik serius muncul di wajah ketiganya, sesekali juga ketiganya tersenyum, bahkan tertawa.
Terus dan terus mereka seperti itu, sampai suara bel mengingatkan mereka. Pak, udah
waktunya masuk. Tolong anak-anak jangan diajak bicara lagi! Mungkin gitu kali, suara bel itu
kalo bisa ngomong. Sudah dua hari ini Andro nggak masuk, makanya nggak ada lagi iringan
melodi yang menyertai tanda masuk atau keluar buat anak-anak Guardian.
"Oh ya, Dee, gimana keadaan Kakak kamu?" tanya Pak Gun sesaat sebelum Cadie
meninggalkan ruangan. "Hah?" "Lho.." kemarin kan kamu yang bilang, kalo nggak bisa dateng ke tempat latihan karena Kakak
kamu sakit. Makanya sekarang Bapak tanya, gimana keadaan Kakak kamu" Apa sudah lebih
baik?" "Dia.. Iya, Pak. Baik. Baik kok, Pak." Saat itu, Cadie bisa melihat raut wajah Ilan berubah drastis.
Sebongkah kekecewaan tampak jelas menghiasi wajah tampannya. Cadie benar-benar nggak
tahu harus melakukan apa. Dia persis copet yang ketangkep polisi. Nggak ada kata lain selain
"SALAH". "Ilan..!" Cadie berjalan cepat menyusul Ilan, yang sejak keluar ruangan Pak Gun tadi jalannya
jadi cepet banget. "Ilan! Ilan, kamu dengerin aku dulu!"
Ilan menghentikan langkahnya. Tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menatap
lekat ke arah Cadie, sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya.
"Ilan..!" Cadie mengejarnya lagi. Kali ini pake acara lari segala. "Ilan, tung.."
BRUUUK! Cadie yang telat ngerem menabrak tubuh Ilan yang berhenti tiba-tiba.
"Maaf." Cadie mundur perlahan. Nunduk-nunduk ketakutan.
Sesaat yang ada hanya sepi.
"Aku.." "Dee, gue nggak tau ada apa sama elo. Gue nggak tau apa masalah lo. Tapi gue ngerti kok kalo
elo nggak mau cerita. Anak-anak juga pasti begitu. Tapi tentang kenapa elo harus bohong dan
terus-terus bohong, itu yang gue nggak ngerti."
"Ilan, bukan begitu. Sebenernya.."
"Dee, gue nggak masalah kok kalo elo bohong. Itu keputusan lo. Dan gue sadar gue nggak
punya hak buat ikut campur. Gue cuma nggak mau aja kalo Pak Gun ikut-ikutan elo bohongin.
Dia terlalu baik, Dee. Dan lebih dari itu, dia terlalu percaya dan yakin sama elo. Jadi pleasee,
jangan buat dia kecewa. Jangan buat dia kecewa, kayak elo udah ngecewain gue," katanya
seraya berjalan meninggalkan Cadie.
Cadie diam. Ucapan Ilan itu seolah membuat seluruh badannya kaku. Bibirnya kelu. Tidak satu
pun kata bisa keluar dari mulutnya. Meski mungkin hanya sebuah kata maaf. Dia sendiri tidak
tahu kenapa. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Dia benar-benar menyesal, benar-benar sedih,
dan lebih dari itu, hatinya terasa sakit. Ini untuk pertama kalinya Ilan memarahi dia. Memarahi
dia dengan raut wajah yang begitu tenang, namun sarat akan kekecewaan.
Tanpa sepengetahuan Cadie dan Ilan, beberapa pasang mata melihat penuh tanya ke arah
mereka. Heran. Meski lebih banyak cemasnya.
*** Bab 10 Ilan vs Cadie = Dua Garis Lurus
Sejak kejadian hari itu, Cadie bisa merasakan kalau sikap Ilan berubah terhadapnya. Well, Ilan
memang tidak menjauhinya atau spontan lari kalau bertemu dengannya. Tapi Cadie bisa
merasakan jarak mulai memisahkan dia dan Ilan. Ilan yang ada sekarang, bukan lagi Ilan yang
dulu begitu tegas, namun lembut di saat bersamaan. Bukan lagi Ilan yang suka diam-diam
tertawa di belakang teman-temannya kalo ada yang lucu atau Ilan yang tetap tenang meski kesel
setengah mati. Yang ada sekarang, cuma Ilan yang senantiasa menyikapi semuanya dengan
dingin. Begitu misterius. Sangat misterius hingga membuat orang sibuk menerka-nerka apa yang
tengah ia pikirkan. Persis Ilan yang pertama kali Cadie lihat dulu. Sinyo dkk sendiri bukannya
nggak sadar dengan perubahan ini. Mereka sadar sesadar-sadarnya, mereka cuma nggak tahu
aja harus gimana. Nanya ke Cadie, nggak enak. Takut dia tersinggung dan tambah bingung.
Nanya ke Ilan" Masih mendingan ngiterin lapangan dua puluh kali kalo kata Nico sih daripada
buang-buang tenaga maksa Ilan buat ngomong jujur soal hatinya. Bisa mati kesel. Alhasil,
selama beberapa hari terakhir, mereka cuma bisa melihat kebisuan Ilan dan Cadie tanpa bisa
berbuat banyak. Kasihan juga si Cadie, karena seolah dianggap transparan oleh Ilan.
*** "Dee..! Cadie..!"
"Ooh.. iya. Iya,kenapa, Co?" Cadie berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan yang
berkepanjangan. "Elo kenapa sih, Dee" Perasaan akhir-akhir ini kebanyakan bengongnya deh."
"Nggak kok. Siapa yang bengong?"
"Nggak bengong gimana" Nah itu.. (menunjuk piring Cadie), istirahatnya kan sebentar lagi abis,
elo bahkan belum nyolek makanan lo." Ryan mendukung keheranan Nico.
Cadie melihat piring makanan di depannya. Seporsi fried chicken beserta coca-cola itu masih
utuh. Sama sekali nggak ada tanda-tanda pernah dicolek.
"Aku.. aku nggak ngerti. Tiba-tiba aja nggak laper. Ya udah kalo gitu, aku.." Cadie cepat-cepat
bangkit dari duduknya. "Eh, Dee, biar gue aja yang bayar," cegah Sinyo.
"Makasih, tapi nggak lah. Aku bisa jadi konglomerat kalo tiap makan selalu dibayarin, Nyo."
Cadie beralasan, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan meja. Meninggalkan Ilan yang
tadi duduk di sampingnya, tapi terasa ada di luar dunia. Begitu jauh. Seolah keduanya berada di
dua garis lurus. Sampai kapan pun terasa mustahil bisa bersama.
Ryan dkk hanya diam. Sesekali pandangan mereka tertuju pada Ilan, yang seolah bersikap
nggak pernah terjadi apa-apa. Makaaaan aja kerjanya.
"Nyo, tolong donk!"kata Ilan seraya menepuk pundak Sinyo. Meminta temannya itu untuk
mengambilkannya kecap. Lagi-lagi bersikap seolah tidak terjadi apa pun.
"Alah, males banget gue jadinya!" Ryan yang tampaknya mulai gerah dengan gaya Ilan,
membanting sendoknya hingga terlempar ke lantai. Sinyo sama yang lain, termasuk Ilan, sampai
kaget dibuatnya. "Ya elah, ngagetin aja." Nico mengelus dada.
"Elo kenapa sih, Yan?" Pelan Sinyo memungut sendok yang mencelat sampai ke kakinya itu.
"Gue kenapa"! Temen lo tuh yang kenapa" Mendingan elo periksain dia ke dokter, janganjangan di badannya nggak ada yang namanya hati lagi!"
"Yan!" "Apaan sih?" Ryan menepis tangan Luca, yang sepertinya mulai sadar emosi temannya makin
menjadi. "Elo jangan emosi gitu kenapa?"
"Nggak emosi gimana" Emangnya elo nggak liat apa kalo dia.."
BRUUUK! Ilan memukul meja seraya mengangkat badannya untuk berdiri. Matanya tajam
menatap Ryan. "Udah bel," katanya singkat, kemudian pergi begitu saja.
Haaah! Luca dan yang lain spontan menarik napas lega. Untung, untung!
"Iya. Pergi aja sana lo! Elo emang selalu begitu, kan" Lama-lama males tau nggak gue ngeliat
gaya lo!" Waduh! Dasar Ryan! Masih juga mau cari perkara. Luca dan yang lain kembali mengucap dalam
hati. Bingung, takut, ngeri, kalau-kalau Ilan sampai kepancing dan akhirnya terbawa emosi.
Ilan menghentikan langkahnya, membelakangi Ryan dan yang lain. Balik badan nggak, balik
badan nggak. Dan pemenangnya adalah.. de de de deng de deng, jalan terus dan menganggap
omongan Ryan barusan hanya angin lalu.
*** "Makasih ya, Den.. udah mau nganterin aku," kata Cadie nggak lama setelah sampai di depan
rumahnya. "Ca.." Denny menarik sebelah tangan Cadie saat dia hendak keluar dari mobilnya. "Kamu nggak
apa-apa kan?" tanyanya.
Cadie mengangguk seraya melepas tangan Denny. "Aku baik-baik aja kok. Emangnya ada
alasan kenapa aku harus jadi nggak baik?" katanya seraya menampakkan sebuah senyuman.
Senyuman yang dianggap Denny topeng belaka. Sejak kejadian yang dialaminya dengan Ilan
beberapa hari yang lalu, sejak saat itu juga Cadie yang di mata Denny dulu selalu ceria, tiba-tiba
menjadi pendiam. Lebih banyak bengongnya malah.
"Haaah! Rasanya pengen banget mukulin orang."
"Hah"!" "Oh nggak. Nggak ngomong apa-apa!" Denny menampakkan senyum manisnya. "Ya udah, kalo
gitu aku pulang dulu," lanjutnya lagi sebelum Cadie sempat berkata-kata.
"Den.." Cadie melongok melalui kaca mobil Denny yang mulai menutup.
"Ya?" "Tolong kasih tau Kyra ya, hari ini mungkin aku agak telat ke rumah sakitnya," kata Cadie.
Apa" Sempat kaget juga Denny mendengar Cadie berkata seperti itu. Dia nggak nyangka Cadie
masih juga menaruh perhatian pada Adiknya, sementara situasi di hatinya sendiri sedang nggak
baik. "Den..!?" "Oh.. Iya. Iya, nanti aku bilangin ke dia."
"Ya udah, kalo gitu kamu hati-hati. Daah!" Cadie pun melambaikan tangannya.
*** Jam di rumah Ilan memasuki hitungan ke-11 malam itu. Saat tiba-tiba Sinyo masuk tanpa
permisi ke dalam kamarnya. Bawa tentengan segala lagi. Nggak jelas apa maunya.
"Elo..!!" Ilan berdecak kaget. Perlahan dia melepas kacamata, yang memang biasa
dikenakannya setiap kali main komputer.
"Ngapain lo?" tanya Sinyo.
"Mandi. Nggak liat apa"!"
"Baru tau gue kalo elo mandi dengan posisi dan gaya kayak gitu," Sinyo menjawab santai. Dasar
sinting! "Kayak di rumah gue nggak ada makanan aja." Ilan berseru heran, kala melihat Sinyo mulai
sibuk mengeluarkan benda-benda bawaannya.
"Gue mo nginep. Mungkin agak lama. Jadi, daripada di sini kelapera, mendingan gue bawa
bekel," sahutnya. Ilan diam saja. Tanpa ba bi bu lagi, langsung saja diteguknya soft drink bawaan Sinyo.
Sepertinya memang khusus dibawa buat Ilan. Soalnya kan Sinyo emang nggak pernah suka
minuman itu. Minuman favorit Sinyo kan air putih.
"Mo****!" Sinyo menepak kepala Ilan, ketika temannya itu dengan santai nyomot biskuit dari
tangannya dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Laper!" Ilan nyengir kuda.
Selama beberapa saat keduanya konsen dengan kesibukan masing-masing. Ilan masih asyik
nerusin kegiatannya tadi, main Champion Manager. Sementara Sinyo, dia asyik selonjoran di
sofa sambil sesekali sibuk gonta-ganti channel.
"Alah.. pengen banget bikin TV baru nih gue! Masa segini banyaknya channel nggak ada yang
rame," gerutu Sinyo sambil menekan keras-keras remote TV.
Ilan mematikan komputernya. Perlahan berjalan menuju lemari, yang terletak di sebelah kiri
tempat tidurnya. Dia membuka kaos yang dipakainya, lalu menggantinya dengan yang baru. Tshirt berwarna merah marun, bertuliskan Electric Guitar di bagian depannya.
"Ntar malem emang apaan?" tanyanya sambil memasukkan kepalanya ke dalam kaos.
"Siena-Juve." "Pantes. Kalo gitu gue pegang Siena 3-0."
"Iye. Gue pegang pala lo! Sembrangan aja lo kalo ngomong!" Sinyo yang memang seorang
Juventini, tersinggung berat tim-nya diremehin. Apa maksudnya lawan Siena aja Juve harus
kalah 3-0" Eit eit.. buat fans-nya Siena, no fence! Peace ah, sebagai sesama pecinta bola.
"Eh, elo nggak ngasih tau anak-anak mau kemari?" tanya Ilan seraya duduk di sebelah sohibnya.
Perlahan kembali meneguk soft drink-nya.
"Nggak." Sinyo mencaplok biskuitnya. "Kayaknya sih mereka pada sibuk. Ini kan malem Minggu,"
tambahnya. "Oh iya." "Lan, gue mo nanya ama elo, udah berapa lama sih kita ngejomblo" Kalo dipikir-pikir, garing
juga." "Lo kata biskuit"!"
"Gue serius. Asyik juga kali ya kalo punya pacar. Lagi sedih, bisa ada yang diajak curhat. Lagi
bete, bisa ada yang diajak jalan. Nongkrong-nongkrong di mana kek kalo malem Minggu,
bukannya malah terdampar di sini, ngabisin malem Minggu bareng elo."
"Siapa juga yang nyuruh elo ke sini?"
"Gue kasian sama elo, makanya dateng. Nggak nyadar amat sih kalo dirinya perlu dikasianin."
"Makasih udah kenyang."
"Eh, gue punya ide, gimana kalo kita ke rumahnya si Dee aja. Dia juga pasti kesepian kan
malem ini" Apalagi Kakaknya lagi di luar kota," usul Sinyo tiba-tiba.
Ilan belum sempat berkata-kata, ketika sohibnya mulai menekan satu demi satu tombol di
ponselnya. Nyambung! Selama beberapa saat dia bercakap-cakap dengan orang di seberang.
Sesekali dia heran, Oooh! Sesekali dia tersenyum, dan sesekali juga dia menganggukanggukkan kepalanya. Nggak jelas apa yang diomongin. Ilan sendiri tampaknya nggak minatminat amat dengan percakapan itu. Dia tetap konsen dengan tontonannya. Meski mungkin kalau
ditanya dia sendiri bakal bingung acara apa yang dilihatnya itu.
"Iya. Kalo gitu makasih ya, Bi. Sampaikan salam saya ke Cadie. Assalamu"alaikum." Sinyo pun
menutup pembicaraan. Yee! Ternyata dari tadi dia ngomong sama pembokatnya Cadie.
"Dia nggak ada di rumah," kata Sinyo seraya meletakkan ponselnya di atas meja.
Ilan cuma diam. Siapa yang nanya. Mungkin begitu pikirnya. Selama beberapa saat, hanya sepi
yang ada. "Lan.." "Gue tau kok dia dimana," potong Ilan cepat.
"Jadi.." "Nyo.. apa elo.. soal ade-nya Denny. Apa elo tau kalo dia.."
Sinyo manggut-manggut sebelum Ilan selesai dengan ucapannya. "Gue tau. Gue kira malah elo
yang belum tau." "Elo tau darimana?"
"Gue.. beberapa hari yang lalu nggak sengaja ngeliat Denny di rumah sakit. Gue iseng-iseng aja
cari tau. Kayaknya gue kurang gaul deh. Soalnya gue baru tau setelah dikasih tau Om Danu,
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalo ade-nya juga pasien di situ."
"Gitu. Nyo.." "Nyo apa" Nyopet" Gue tau kok elo mau ngomong apa. Males ah! Kan elo sendiri yang bilang,
selama ada elo, gue akan baik-baik aja. Jadi ya.. gue baik-baik aja. Kecuali kalo elo tiba-tiba
mati nih sekarang, mungkin ceritanya bakal beda."
"Sialan lo!" Sinyo nyengir seraya meneguk air mineralnya. "Eh Lan, luka itu beneran nggak bisa ilang ya?"
katanya kemudian, saat tanpa sengaja kembali melihat goresan luka di lengan kiri Ilan. Dia ingat,
dulu Ilan mendapat luka itu setelah berkelahi dengan kakak kelas mereka waktu SD.
"Tau nih. Tapi kalo dipikir-pikir, sebanding juga sama apa yang elo lakuin."
"Iya juga." Sinyo geli sendiri mendengar itu. Jadi ingat kalo dulu dia hampir bikin anak orang koit
gara-gara terlalu emosi. Yup, Sinyo kecil yang waktu itu ngeliat temennya dipukul, marah abis.
Sebagai gantinya, dia nyekek adik dari si pemukul itu sampai nyaris pingsan.
"Kalo dipikir-pikir gue kejam amat ya!" lanjut Sinyo heran. "Kayaknya gue harus minta maaf.
Siapa namanya tuh anak" Nuno" Nino" Iya, Nino."
"Noni," ralat Ilan.
"Hah" Noni sih nama cewek kali."
"Ya emang." "Sumpe lo"! Gue.. Perasaan rambut tuh anak di-punk gitu deh. Gue inget banget waktu nyekek
dia dari belakang." "Rambut di-punk, tapi pake rok. Tetep aja cewek! Bego amat sih lo nggak bisa ngebedain mana
cewek mana cowok?" "Masa cewek rambutnya di-punk" Anak SD pula."
"Emang waktu kita SD dulu udah ada rambut model punk ya?"
"Emang kita SD taun berapa sih" 50-an?"
"60." "Kalo gitu ada. Punky Suwito!" Sinyo menjawab riang.
"Ha ha ha.." Keduanya ngakak.
Selama beberapa saat keduanya terus-terusan seperti itu. Ketawa-ketiwi nggak jelas. Sebentar
Ilan yang nimpuk, sebentar berikutnya giliran Sinyo. Terus saja mereka begitu, sampai capek
sendiri. "Lucu juga kalo ingat waktu kita kecil dulu."
Ilan manggut-manggut pelan. Selama beberapa saat, suasana sepi.
"Lan, elo.. apa karena masalah Denny sama ade-nya, makanya jadi berubah ke Cadie?" lontar
Sinyo tiba-tiba. Seolah dengan sengaja mau ganti topik.
Ilan yang kayaknya nggak siap dengan pergantian itu terhenyak. Dia keselek biskuit sampai
mukanya merah. "Ya elo.. makanya kalo makan sedikit-sedikit."
"Berubah gimana maksud lo?" Ilan yang sudah berhasil mengatasi biskuitnya bertanya dengan
gayanya. Cool! "Alah, udah deh nggak usah pake nanya. Elo kira gue sama anak-anak nggak sadar kalo ada
yang janggal dari sikap lo ke si Dee beberapa hari terakhir ini" Tadi siang Ryan emosi kayak
gitu, meski nggak pada tempatnya, gue rasa dia nggak salah juga. Elo emang nyebelin sih
kadang-kadang. Elo tau nggak" Terlalu tenang juga nggak bagus."
"Terlalu nggak tenang apalagi," balas Ilan.
"Iya, tapi.." "Nyo, nggak ngebahas soal ini bisa kan?" Ilan menoleh sesaat, sebelum akhirnya berjalan
menuju tempat tidurnya. "By the way, bukannya tadi niat lo ke sini mau nonton Juve?"
"Anjrit!!!" Sinyo teriak kaget mendapati jam dinding di rumah Ilan sudah menunjukkan pukul 3
pagi lebih sedikit. Cepat-cepat dia menekan remote TV. Memindahkan channel ke Indosiar.
Tambah histeris aja dia, ketika mendapati tulisan itu di layar kaca, Full Time, 0-3.
"At least, nggak kalah kayak yang gue harepin," Ilan mengucap santai.
*** "Kenapa jadi begini" Perasaan tadi bagian sini warna putih deh." Cadie menunjuk sisi kiri papan
othello itu. "Tadi warna putih gimana" Itu cuma perasaan kamu aja kali."
"Perasaan aku aja gimana" Emang jelas tadi bagian ini warna putih. Iya kan, Ra?" Cadie melirik
Kyra yang tengah asyik duduk di sisi tempat tidurnya sambil menggelantungkan kaki.
"Kayaknya sih gitu," jawab Kyra.
"Tuh kan?" "Tuh kan apa" Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu"!" Denny memundurkan sedikit badannya,
sadar Cadie mulai curiga.
"Pasti kamu kan yang ngeganti" Iya kan" Ngaku deh!"
"Enak aja!" "Pasti nih.. Masa aku ke toilet sebentar aja tiba-tiba semua yang putih berubah hitam. Kalo
bukan kamu yang ngeganti, terus siapa?"
"Mana aku tau! Emang dari tadi begitu. Udah deh, kamu kalo kalah nggak usah ngeles."
"Yang bener aja"! Sejak kapan aku pernah kalah lawan kamu?"
"Eh.. eh.. apa maksudnya?" Denny berusaha mencegah Cadie, yang mulai membalik-balikkan
dengan sesuka hatinya biji-biji othello yang berwarna hitam itu hingga menjadi putih.
"Iiih.." Cadie menepak tangan Denny, yang mencoba membalikkan kembali biji othello berwarna
putih itu ke hitam. "Ca, kamu jangan curang deh!"
"Siapa yang curang" Kamu tuh."
"Heh! Eh, apa maksudnya" Mana ada main othello ngebolak-balik semaunya gitu. Taro nggak!
Cadie! Yee..! Ra, liat deh!"
Kyra ketawa saja melihat Kakak serta Mantannya itu, yang mulai masuk dalam kategori
kekanak-kanakan. "Iiih.. apaan sih?"
"Aduuh!" "Aaaw!" "Ca, jangan norak deh!"
"Biar tau rasa!"
"Kalian berdua kayak anak kecil, tau nggak?" Kyra berkomentar sambil ngakak. Nggak kuasa
menahan geli melihat Denny mulai diunyeng-unyeng Cadie. Kesel bener kayaknya dia karena
udah dicurangin Denny. "Iya deh iya. Iya ampun.." Denny mengucap pasrah kala Cadie mulai mengejar-ngejarnya
mengelilingi kamar. Cadie sudah siap menghujamkan sebuah bantal kursi ke muka Denny saat itu, ketika tiba-tiba
saja wajah seseorang muncul dari balik kegelapan dan mengagetkan keduanya.
"Sinyo!!!" *** "Thanks ya elo semua udah mau nengokin ade gue," kata Denny pada Ilan dan Sinyo, yang
menemaninya ngobrol di luar, sementara Ryan cs memberi hiburan gratis pada Kyra.
"Terus.. gimana kondisi ade lo sekarang, Den?"
"Ya.. alhamdulillah deh, Lan. Keadaannya sekarang udah lebih baik dari minggu lalu. Insya
Allah, kalo nggak ada halangan dan kalo kondisinya tetap stabil kayak gini, dia bisa segera
dioperasi," terang Denny.
"Operasi?" "Iya. Rencananya sih Bokap-Nyokap gue mau bawa dia ke Jepang. Mungkin dalam mingguminggu ini. Semuanya lagi disiapin."
"Apa itu berarti, dia udah dapet sum-sum yang cocok?" tanya Sinyo.
"Udah, Nyo. Alhamdulillah. Ada orang baik yang sum-sumnya cocok dan bersedia ngedonor buat
dia. Sebenernya ini juga emang agak tiba-tiba. Tapi gue bersyukur banget. Semoga aja ini
pertanda baik." "Bagus deh." "Elo semua doain ya! Doain operasinya lancar."
Ilan dan Sinyo mengangguk bersamaan.
"Elo sabar aja. Elo juga harus yakin kalo semua akan baik-baik aja," tambah Sinyo bijak.
"Thanks." Selama beberapa saat, hanya sepi yang ada.
"By the way, gue boleh nanya sesuatu nggak sama elo berdua" Terutama elo, Lan."
"Hah" Gue" Tentang apaan?"
"Tentang Cadie," Denny menjawab keheranan Ilan.
"Cadie?" Sekarang giliran Sinyo yang kaget.
"Iya. Gue.. gue mungkin akan ngajak dia ke Jepang. Elo keberatan nggak?"
Ilan diam. Kaget tepatnya. Di sebelah Denny, Sinyo juga nggak kalah kaget.
"Gue tau. Gue nanya begini ke elo, elo pasti mikir ada apa-apanya. Mungkin emang iya. Tapi
lepas dari semua itu, gue cuma tau kalo ade gue butuh banget kehadiran dia. Butuh dukungan,
juga semangat dari dia. Elo ngerti maksud gue, kan?"
Ilan senyum. "Dia mau pergi atau nggak, itu sama sekali nggak ada urusannya sama gue. Dan
kalo ada orang yang seharusnya elo tanyain soal itu, orang itu adalah Mas Andy. Bukannya gue
atau Sinyo," katanya.
"Gue tau. Sebenernya sih mas Andy udah ngizinin, meski dengan berat hati. Tapi gue ngerasa,
izin elo berdua dan juga yang lainnya, juga nggak kalah penting. Apalagi, kemungkinan besar
kita berangkat di hari yang sama dengan hari kalian bertanding. Jadi, gue pikir.."
"Kalo dia emang mau ikut ya udah. Toh di pertandingan nanti dia juga cuma duduk. Jadi ada
atau nggak ada, nggak terlalu penting."
Nggak terlalu penting" Apa benar aku nggak sepenting itu" Ilan, apa iya aku di mata kamu cuma
sebatas itu" Cadie berusaha menahan airmatanya mendengar itu. Dia batal keluar kamar dan
lebih memilih masuk toilet. Nangis.
*** "Kakak." "Kamu lagi ngapain?"
"Oh.. nggak. Nggak lagi ngapa-ngapain kok, Kak. Kenapa" Kakak ada urusan apa sama Cadie?"
tanya Cadie seraya membuang jauh-jauh muka muramnya.
"Urusan apa" Sejak kapan Kakak baru boleh ngomong sama kamu kalo ada urusan?"
"Bukan gitu maksudnya, Cadie.."
"Ca, kamu kenapa?" tanya Andy cemas menyadari mulai ada genangan air di mata Adiknya.
"Nggak. Nggak papa kok, Kak." Cepat-cepat Cadie menyeka matanya. "Cadie cuma.."
Cadie nggak ngelanjutin kalimatnya. Dia mulai sibuk nyeka air mata yang sepertinya bukan
menghilang, tapi malah membanjir. Sementara Andy, dia sibuk nyimak sejauh mana sang Adik
mau terus berbohong dan pura-pura nggak ada masalah. Terus saja seperti itu.
"Kakak, Cadie boleh pinjam dadanya nggak" Sebentaaar aja." Cadie mengangkat kepalanya,
memandang penuh permohonan pada sang Kakak. Dan nggak berapa lama kemudian.. hiks..
hiks.. hiks.. Dia pun menangis di pelukan sang Kakak.
"Jangan buat Pak Gun kecewa, kayak elo udah ngecewain gue." Cadie mengingat kembali
perkataan Ilan di tangga beberapa waktu lalu. Semakin sedih saja dia, membayangkan betapa
Ilan tidak mempedulikannya, dengan menganggapnya "Nggak terlalu penting". Itulah satu
kalimat yang bisa diingatnya dari sedikit omongan Ilan di rumah sakit sore tadi.
*** "Ya elah, Andro, lagu apaan sih"!" Sinyo berkomentar nggak lama setelah lagu Just Say
Goodbye-nya JTL mengudara di radio sekolah. Itu loh.. artis Korea pelantun My Lecon. Seharian
ini, kayaknya Sinyo lagi seneng-senengnya ngomentarin sesuatu. Sebelumnya dia baru saja
menyelesaikan komentarnya seputar hujan, yang menurutnya turun terlalu tiba-tiba dan nggak
pake tanda-tanda dulu. Matanya sibuk memandangi tetes demi tetes hujan yang membasahi
pepohonan. Seriuuuuus banget. Sampai mau keluar.
Dari kursinya, Ilan yang sudah hampir bosan meladeni Sinyo yang nggak henti-hentinya ngoceh,
mau nggak mau ikut-ikutan juga menyimak jatuhnya hujan. Heran banget dia sama Sinyo,
kenapa bisa segitu penasarannya sama hujan hari ini. Padahal biasanya nggak begitu-begitu
amat. Hujan ya hujan. Cerah ya cerah.
"Nyo, kalo elo pengen banget ngerasain ujan, mending elo keluar aja deh. Pegel tau ngeliatin
elo!" seru Ilan kala disadarinya Sinyo mulai menempelkan wajahnya di jendela. Seolah ingin
mempertegas lagi penglihatannya terhadap rintik-rintik hujan itu.
"Ngapain dia ujan-ujanan di sana"!" Sinyo seolah tidak mendengar imbauan Ilan barusan dan
malah membuka topik baru.
"Apaan sih?" Ilan menepuk tangan Sinyo yang mulai menggoyang badannya.
"Man, man itu liat!" Sinyo memaksa Ilan melihat ke luar jendela. Ke arah sekumpulan siswasiswa berseragam olahraga yang berlari-lari kecil ke sana-kemari menghindari hujan. "Udah tau
ujan, kenapa masih juga ada pelajaran olahraga"!" lanjutnya nggak habis pikir.
Ilan melihat ke luar jendela. Selama beberapa saat dia terus seperti itu. Tiba-tiba saja pikirannya
terbang ke masa-masa saat dia bersama Cadie. Saat Cadie membalas tatapan dinginnya, saat
Cadie diam-diam mengomelinya, saat Cadie menangis di depannya, saat Cadie memukulnya,
saat Cadie tersenyum padanya, dan semuanya. Bayangan itu masih sangat jelas tersimpan di
ingatannya. "Lan, apa elo..?" Sinyo tertegun kala membalikkan badan dan melihat wajah Ilan yang sarat akan
kecemasan. "Apa kamu pernah ngerasa kalo kadang hujan juga bisa nyebelin?" Tiba-tiba saja Ilan teringat
kalimat itu. Tanpa berpikir panjang lagi, dia pun segera berlari keluar kelas. BEEESSS!
*** Selama beberapa saat, keadaan di bawah pepohonan tempat Cadie berteduh itu hening. Mereka
hanya saling memandang. Seolah sudah seratus tahun lebih mereka tidak bertemu. Orang-
orang di sekitar mereka pun sama diamnya dengan mereka.
"Ilan.." Ilan mengulurkan payungnya kepada Cadie. Dia masih diam, tetap tidak mengatakan sepatah
kata pun. "Ilan, kamu.." "Pegang!" Perlahan Ilan meraih sebelah tangan Cadie dan memaksanya memegang payung itu.
"Elo nggak suka hujan kan" Kalo gitu, jangan main hujan-hujanan," lanjutnya pelan. Setelah itu,
dia pun segera pergi meninggalkan Cadie. Berlari-lari kecil menyusuri halaman sekolah. Sebelah
tangannya menutupi kepala. Seolah telapak tangannya itu begitu besar dan mamupu
melindunginya dari hujan yang mulai mengganas.
"Ilan.." Cadie memandangi kepergian Ilan tanpa sanggup berkata-kata. Perlahan dia bisa
merasakan air menggenangi matanya.
"Aku emang nggak suka hujan, tapi kalo emang hujan bisa membuatmu kembali seperti dulu
lagi, ditimpa hujan sederas apa pun aku rela. Bener-bener rela," lanjutnya lirih. Air matanya jatuh
bersamaan dengan tetes hujan yang membasahi kaos olahraganya. Hujan yang mengguyur dan
membasahi halaman sekolah dan juga mungkin seisi dunia.
*** "Speed! Speed! Speed!" teriak Pak Gun dari pinggir lapangan. Suaranya melengking. Benerbener bikin kepala yang denger pusing tujuh keliling. "Hei! Apa kalian pikir kalian bisa menang
dengan bermain seperti itu" Lari!" lanjutnya lagi. Sama seperti sebelumnya, teriak.
Selama hampir dua jam lebih suasana di lapangan terus-terusan seperti itu. Ilan dan kawankawan harus puas mendengar teriakan dan omelan Pak Gun. Mulai dari Ilan di depan, sampai
Ichal di belakang, semua kena semprot. Macam-macam kasusnya, mulai dari yang larinya
kurang cepat, permainannya kurang fokus, tendangannya kurang tenaga, dll. Pokoknya, nggak
ada yang selamat dari omelan. Semua.. dapet bagian. Ilan dkk sebenernya bukan males atau
apa, mereka yakin seyakin-yakinnya kalo mereka sudah mengeluarkan seluruh kemampuan
mereka. Seluruh energi yang mereka simpan selama dua minggu terakhir ini. Tapi entah kenapa,
Pak Gun masih juga merasa ada yang kurang.
"Sebenarnya kalian mau memenangkan kejuaraan ini atau tidak?" tanya Pak Gun di sela-sela
break latihan. "Mau, Pak." Semua menjawab kompak, meski dengan susah-payah. Tampaknya mereka semua
masih bener-bener kelelahan akibat latihan tadi.
"Kalau begitu tunjukkan! Tunjukkan kalau kalian bisa berbuat lebih baik dari ini! Kalian paham?"
"Iya Pak." "Sekarang pergilah. Mandi dan bersihkan badan kalian! Latihannya cukup sampai di sini. Simpan
tenaga kalian buat Sabtu nanti," lanjut Pak Gun. Setelah itu, dia pun berjalan meninggalkan
lapangan. Ilan dkk kontan menjatuhkan badan mereka di rerumputan.
"Gila! Mati deh gue." Sinyo menjatuhkan badannya.
"Tenaga mana lagi yang mau disimpen coba, tenaga gue udah bener-bener abis," kata Ryan
sambil tiduran. Suaranya terdengar parau.
"Aduu duu duu, kalo gini gue mesti minta dijemput Pak Udin kayaknya, gue bener-bener nggak
sanggup lagi nyetir," kata Luca kali ini.
"Gue juga nih," sambung Nico.
"Ya udah, gimana kalo kita nginep aja di sini" Jadi kan besok kita nggak mesti capek-capek
bangun buat sekolah," saran Ichal sekenanya, yang tanpa diduga malah diamini temantemannya.
*** "Lan.." "Iya Pak." "Bapak mau tanya sesuatu ke kamu," tanya Pak Gun.
"Nanya apaan, Pak" Soal pertandingan?" Ilan mengulang kebiasaannya yang dulu-dulu. Balik
nanya waktu ditanya. "Bukan, bukan soal pertandingan."
"Terus?" "Ini.. sebenarnya soal kamu.. sama Cadie."
HEK.. HEK.. Tiba-tiba Ilan bisa merasakan sesuatu tersangkut di tenggorokannya. Entah itu bola
atau malah Pak Gun. Yang pasti, dia bener-bener kaget mendapat pertanyaan itu.
"Soal.. soal saya sama Cadie" Maksud Bapak?"
"Ya.. Bapak perhatikan selama beberapa hari terakhir ini, kalian kok jadi agak diam, ya" Seperti
ada sesuatu yang disimpan. Apa ada masalah antara kamu sama Cadie" Beda pendapat
mungkin" Atau.."
"Dibilang masalah, mungkin juga bukan. Tapi dibilang bukan masalah, kenyataannya ada
masalah." "Maksud kamu" Kamu kalo ngomong jangan suka bikin orang bingung!" Pak Gun yang bingung
dibuat kesal. "Ya.. saya juga nggak ngerti, Pak. Kenyataannya di antara saya sama Cadie emang nggak ada
hubungan yang bisa bik in kita berdua marah atau semacamnya. Saya.. maaf, Pak, tapi boleh
nggak kalo nggak ngebahas soal ini" Bukannya saya mau bersikap nggak sopan atau nggak
menghargai perhatian Bapak, tapi sekarang ini saya cuma mau konsentrasi sama pertandingan
nanti. Saya rasa Cadie juga begitu."
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bapak ngerti."
"Terima kasih, Pak."
"Lalu, kalau soal rencana kepergiannya ke Jepang, apa kamu sudah tau?"
"Tau, Pak." "Terus?" "Bukannya tadi Bapak bilang nggak apa-apa kalo nggak ngebahas soal itu?"
"Iya benar juga." Pak Gun salting juga ketangkep basah mau mulai ngorek keterangan lebih. Jadi
malu. "Ya sudah. Kalau begitu, sekarang kamu boleh pulang. Dan tentang.."
"Hacchiiih.." Ilan menutup mulut. Bersin.
"Iya itu maksud Bapak, sebaiknya dihilangkan sebelum pertandingan nanti."
"Iya, Pak." *** Senyumnya mengembang, mendapati Ryan, Sinyo, juga Nico berdiri di hadapannya.
"Kenapa elo, Dee" Jalan nggak liat-liat ke depan. Kalo nabrak tiang terus geger otak gimana"
Gawat kan?" kata Ryan.
Cadie tersenyum tipis. Meski masih agak kaget.
"Elo nggak apa-apa kan, Dee?" tanya Nico.
Cadie mengangguk, meski agak ragu.
"Haah!" Ryan menarik napas panjang. "Pusing deh! Tadi di atas gue ngeliat Ilan mukanya
ditekuk, ngeliat elo.. dilipat. Kayak lagi ada lomba muka jelek aja."
"Maaf," ucap Cadie pelan. Kayaknya dia nggak paham kalo ucapan Ryan barusan hanya
candaan. "Eh.." "Kenapa minta maaf" Dia bercanda lagi, Dee," terang Sinyo.
"Iya, iya. Gue cuma bercanda kok."
"Aku.." "Aduh udah deh, jangan minta maaf lagi dan jangan ngomong kayak orang gagap lagi. Gue
heran! Kenapa elo jadi kayak orang bloon gini sih" Jangan-jangan elo kebanyakan makan ayam
makanya otak lo jadi.."
KUUT! Nico menyikut Ryan. Seolah memintanya buat berhenti ngoceh.
"Maaf. Gue bukan mau ngatain elo, Dee." Ryan nyengir kuda.
"Nggak apa-apa kok."
"Ya udah, kalo gitu sekarang elo jangan sedih lagi. Jangan suka bengong sendirian. Ntar
kesambet lho." "Iya, Dee. Bener tuh apa yang dibilang Sinyo. Akhir-akhir ini ngeliat muka lo suram terus, benerbener nggak enak. Kayaknya elo menderita banget gitu bertemen sama kita," tambah Nico.
"Nggak kok. Aku malah beruntung bangetbisa jadi temen kalian. Makasih ya. Makasih karena
kalian semua udah baik sama aku. Nggak nyalahin aku, meski kalian juga tahu aku emang
salah," kata Cadie. Suara mendesit keluar dari mulut Nico. "Udah ah, nggak usah ngomong begitu lagi. Bosen tau
nggak ngedengernya."
"Tau. Santai aja lagi, Dee. Kita ini kan orang-orang yang santai, makanya cakep."Ryan
membanggakan diri, membuat Cadie mau nggak mau ngeluarin juga senyum manisnya.
"Eh, Dee, sekarang gimana keadaan ade-nya Denny" Udah dapet kabar dari Jepang?" tanya
Sinyo. Cadie mengangguk. "Tante Tina bilang, kondisinya menjelang operasi sangat baik. Dia juga titip
salam buat kalian, terutama buat kamu, Co."
"Gue?" Cadie manggut-manggut. "Emang kenapa" Maksud gue kenapa salam buat gue ada terutamanya?"
"Nggak ngerti. Kyra suka sama kamu kali."
"Hah?" "Cie.. Nico! Fiut fiuw.. Ditaksir anak SMP nih ye!" ledek Ryan.
"Diem deh lo, cumi!"
"Waah, senangnya! Kayaknya bakalan ada makan-makan nih!"
"Yee.. nih orang! Heh! Kemari gak lo!" Nico berusaha menggapai Ryan, yang asyik ngumpet di
balik badan Sinyo. "Ooh, Dik Kyra, aku.. Aduh!"
"Heh! Ke sini lo! Mo****!" Nico pun mulai mengejar-ngejar Ryan. Pontang-panting Ryan berlarian
ke sana-kemari. Persis adegan Tom and Jerry kalo lagi kejar-kejaran.
"Ha ha ha.." "Nah, gitu donk, ketawa. Perasaan udah lama banget deh gue nggak ngeliat elo ketawa. Muka lo
itu nggak beda jauh sama suasana kuburan. Sepi! Sama tuh, kayak muka temen gue yang
ganteng," papar Sinyo.
Cadie tersenyum tipis. "Sinyo, Ilan.. apa dia akan baik-baik aja" Maksud aku.. soal flu-nya itu.
Aku khawatir kalo pas pertandingan nanti dia.."
"Dia baik-baik aja kok. Kan udah gue bilang, dia itu terlalu kuat buat cuma kena flu. Jadi elo
nggak usah khawatir. Santai, kalo kata Om Haji Rhoma."
Lagi-lagi Cadie dibuat tersenyum.
"Oiya, Dee, soal pertandingan lusa, menurut lo gimana" Elo udah nonton kan rekaman
pertandingan anak-anak Vegaz waktu mereka menang kejuaraan tahun lalu?"
Cadie manggut-manggut. "Aku suka deh sama gaya permainannya Alan. Mirip-mirip Reberto
Carlos. Manuver-manuver yang sering dia lakukan nyaris selalu membahayakan gawang lawan.
Lincah banget. Terus Devon juga lumayan. Nggak cuma lihai ngegocek atau larinya cepat, dia
juga jago banget buat bola-bola atas. Kayaknya.. Luca sama Ichal bakalan kerja keras banget
deh buat ngeberesin dia di pertandingan nanti."
"Nggak cuma mereka kali, tapi kita semua. Elo juga. Karena dalam sebuah tim, yang terpenting
adalah kebersamaan. Lupa lo?"
"Apa.. peran aku juga sepenting itu?"
"Ya iya lah. Apalagi elo yang jelas-jelas asisten pelatih, yang berbentuk manusia. Sepatu yang
cuma buat diinjek aja penting. Eh, Dee, gue tegasin ke elo sekali lagi, kita ini satu tim. Ya Pak
Gun, ya elo, gue, anak-anak. Kita jalanin semuanya sama-sama. Bisa dibilang, satu
keberhasilan adalah keberhasilan kita semua, begitu juga sebaliknya. Jadi, nggak ada tuh yang
namanya si ini penting dan si itu nggak penting. Semua penting, nggak peduli sekecil apapun
perannya. Ngerti?" "Iya." "Ya udah jangan kebanyakan mikir. Ntar cepet tua baru tau rasa lo!"
*** Bab 11 Dan Dia pun Memilih Pergi!
Riuh, ramai! Mungkin itulah dua kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi di sekitar
Lebak Bulus petang itu. Aroma piala dunia seolah pindah untuk sementara ke Indonesia,
tepatnya Jakarta. Suara teriakan bernada optimis dan juga spanduk-spanduk berisi dukungan
terpampang dimana-mana. Hanya dua warna yang terlihat mendominasi saat itu, putih, yang
sudah pasti menjadi simbol kebesaran The Whites, wakit SMA Guardian, dan merah, warna
kebangsaan Red Dragon, wakil SMA Vegaz.
*** "Man, woi! Heh! Elo semua ada yang liat sepatu gue nggak?" tanya Ryan sambil terus-terusan
melongok ke kolong bangku.
"Ya elo.. Sebenernya elo bawa sepatu nggak?" Nico terheran-heran.
"Ya bawalah. Emang elo kata gue mau nyeker."
"Cari lagi yang bener. Elo salah naro kali," saran Sinyo.
"Udah. Perasaan abis gue keluarin dari tas tadi gue taro sini, tapi kok nggak ada ya.." Ryan
masih juga sibuk ngelongok-longok.
"Itu kan cuma perasaan de" Ryan saja. Ini apa"!" Luca teriak seraya mengeluarkan sepatu Ryan
dari dalam tas. "Makanya kalo nyari barang jangan pake perasaan, pake mata!" Luca menunjuk
ke arah dua bola matanya yang berwarna agak hijau.
Ryan garuk-garuk kepala nggak jelas. Jaim abis. Nggak mau banget kalo sampai ketahuan panik
menjelang pertandingan. Dia sendiri nggak tahu kenapa tiba-tiba jadi panik.
"Ternyata penyakit Igi bisa nular ke elo juga ya, Yan?"
"Diem lo!" Ryan yang sewot melempar handuk kie arah Ichal. PLOOOK! Niat hati sih emang
begitu, tapi apa daya kena orang lain.
"Hayo lo!" seru semuanya kaget.
"Eh.. elo, Dee, sorry nggak sengaja!" Ryan mengucap takut-takut.
"Nggak apa-apa kok." Cadie mengangkat handuk yang menutupi mukanya. "Gimana" Kalian
semua udah siap?" tanyanya kemudian.
"Siap nggak siap, Dee," jawab Luca diangguki teman-temannya.
Cadie manggut-manggut nggak kalah semangat. Mata indahnya menyapu hampir ke seluruh
ruangan. Agak kaget juga dia karena waktu itu tidak mendapati Ilan di sana.
"Dia lagi di toilet," kata Sinyo. Seolah tahu betul apa yang dipikirkan Cadie.
Cadie jadi bingung sendiri mau ngomong apa. Mau ngomong "Siapa tanya"!" atau "Emang gue
pikirin"!" kayaknya nggak mungkin banget karena kenyataannya dia emang nanya dan dia
emang mikirin. Alhasil, dia cuma senyum-senyum nggak jelas.
"Ya udah, kalo gitu aku keluar dulu. Kalo butuh aku kalian bilang aja, kay?" Cadie mundur
perlahan mendekati pintu, lalu membalikkan badan dan.. BRUKK! Tubuh kekar seseorang
menabraknya. Begitu keras, sampai dia nyaris terpelanting, tapi HUUP! Untung orang itu cepatcepat menarik tangannya, mencegahnya jatuh ke lantai.
ILAN! Selama beberapa detik mata Cadie dan mata Ilan bertautan dalam jarak dekat. Ilan
memeluknya. "Ehem.. ehem.. hem.. hemmm.. heeem!" Dan suara orang-orang rese pun bersahutan. Cepatcepat Ilan melepaskan badan Cadie. Jadi bingung sendiri mau ngapain.
"Kalian semua kenapa?" Tiba-tiba saja sebuah suara lain terdengar dari luar.
Sinyo dkk yang masih cekakak-cekikik langsung diam seribu bahasa.
"Bapak.." "Bapak senang kalo kalian semua rileks menghadapi pertandingan ini, tapi juga jangan
berlebihan. Sekarang apa kalian sudah siap?" kata Pak Gun lagi.
"Siap, Pak." Semua menjawab kompak. Penuh semangat.
"Ilan!" Ilan mengangguk deras. Sebelah tangannya diulurkan ke depan. "THE WHITES!"
"WIN.. WIN.. WIN..!" Sinyo dan yang lain-pun, termasuk Cadie dan Pak Gun, menyambut uluran
tangan itu dengan teriakan yang nggak kalah semangat.
*** Pertandingan telah memasuki menit ke-5 di babak kedua. Itu berarti masih ada 40 menit lagi
menjelang peluit panjang dibunyikan. Kedudukan sementara hingga saat ini masih 1-1. Gol
untuk The Whites dicetak Nico pada menit ke-40 babak pertama, setelah sebelumnya sempat
tertinggal oleh gol cepat Devon pada menit ke-8. Hingga saat ini pertarungan sengit mulai terjadi
lagi di lapangan hijau. Beberapa peluang layak gol gagal dimanfaatkan oleh si putih, yang saat
itu dikomandoi oleh Sinyo sebagai kapten. Well guys, Ilan memang belum turun. Cedera kakinya
rupanya cukup menjadi pertimbangan buat Pak Gun untuk mendudukkannya di bangku
cadangan. Bisa dibilang, Ilan ini senjata mematikan yang sengaja disimpan untuk dikeluarkan
pada saat genting. Emang begitu kan biasanya kalo jagoan" Turunnya belakangan.
Di kubu Dragon sendiri, keputusasaan nggak kalah membayangi. Selain gagal memanfaatkan
peluang dari tendangan pojok yang 97% seharusnya membuahkan gol, mereka juga sempat
gagal dalam tendangan penalti. Beruntung banget buat The Whites, karena Iyunk, yang
dipercaya menggantikan Ichal yang cedera di babak pertama bisa menjalankan tugasnya
dengan sangat baik. Memasuki menit ke-13. Pertarungan sarat gengsi antara dua sekolah favorit di Jakarta ini semakin memacu adrenalin.
Jangankan Sinyo and the gank atau Devon dkk yang berjuang langsung di lapangan,
pendukung-pendukung mereka pun nggak kalah semangat. Nggak kalah menggebu.
"Perasaan baru kali ini gue nonton pemaen-pemaen nggak penting, tapi sesemangat ini," kata
salah seorang dari bangku penonton, diamini temannya.
"Dee!" "Ya, Pak." Cadie bangkit dengan semangat ketika mendapat aba-aba dari atasannya.
"Sekarang waktunya!"
"Ung." Cadie mengangguk deras. Matanya tertuju pada Ilan, yang masih juga terlihat tenang
meski keadaan di lapangan lagi genting-gentingnya. Gayanya dia banget.
Ilan yang sadar diliatin, menoleh, meski tanpa senyum sedikit pun.
Dan nggak berapa lama kemudian, suara riuh di sekitar bangku penonton pun terdengar
bersahut-sahutan, meneriakkan nama Ilan. "Ilan!" "Ilan!" "Ilan!" teriak para penonton yang
kebanyakan kaum hawa. Ilan santai saja menanggapinya. Sepertinya dia memang sudah
terbiasa diteriakin orang. Malam itu, nggak seperti biasanya, Ilan yang turun menggantikan Guly,
yang berposisi sebagai gelandang, ditempatkan Pak Gun sedikit di belakang Gerry dan lebih ke
kiri. *** Sepuluh menit berjalan pascca pergantian itu, keadaan belum juga berubah. Sinyo dan kawankawan memang mulai sedikit demi sedikit menemukan kembali performa terbaiknya, tapi itu
belum bisa mengubah apapun. Serangan bertubi-tubi dari lawan, terutama Devon, yang terkenal
sangat licin dan cepat, terpaksa membuat Dino dan kawan-kawan di lini belakang bekerja ekstra
keras. Beruntung sekali mereka punya Luca sebagai palang pintu. Dia benar-benar tampil
menawan malam itu. Well, kayaknya dia benar-benar nunjukin kehebatannya sebagai seorang
Italiano. Kehebatannya di lapangan nggak kalah dari Paolo Maldini. Nggak kalah banyak
maksudnya. Hehehe.. Lain Luca di belakang, lain pula Gerry di depan. Pasca keluarnya Nico karena keseleo, dia
nyaris dibuat frustasi lantaran selalu terkena jebakan off side dari bek-bek lawan. Untuk
beberapa menit keadaan seperti ini terus berlanjut, sampai Ilan mulai mengeluarkan tajinya.
Lama nggak main kayaknya bikin dia sedikit lupa sama ilmunya, jadi suka kelihatan bingung
sendiri sama bola. Tapi untung nggak lama. Sadar jadi tumpuan banyak orang, dia pum matimatian bertarung. Nggak ada lagi rasa sakit di kakinya, yang ada hanya keinginan untuk
menyelesaikan pertandingan ini dengan kemenangan.
Ilan pun mulai membuat repot Alan dkk di lini belakang Dragon. Nggak bisa dipungkiri, kalau
masuknya Ilan membuat serangan The Whites jadi lebih bervariasi. Sinyo bisa lebih
berkonsentrasi membantu Igi meredam Tommy, gelandang tim lawan yang super aktif.
Sementara Ryan, dia bisa lebih fokus berjibaku dengan Alan. Beberapa kali tendangan Ilan dari
luar kotak penalti menggemparkan seisi stadion. Ilan tampil memukau malam ini. Dia bermain
seolah-olah hari itu adalah untuk pertama dan juga terakhir kalinya dia main.
Memasuki menit ke-80 atau menit ke-35 di babak kedua..
Setelah berjuang mati-matian mengatasi lini tengah lawan yang kuat plus kecerdikan Devon,
akhirnya pada menit ke-82, bola hasil tendangan Alan berhasil di-block Dino, yang kemudian
mengumpannya ke Ryan. Ryan berlari menyisir bagian kiri lapangan. Satu demi satu pemain
lawan berhasil dilewatinya. Saking semangatnya, dia bahkan tidak peduli saat seorang bek
lawan me-neckle-nya. Jatuh, jatuh deh. Diopernya bola itu ke Rio, yang berdiri bebas. Bola
pemberian Ryan itu sempat lepas dari kaki Rio, sampai kemudian Ilan yang terpaksa harus kerja
keras melepaskan diri dari jeratan bek lawan memungutnya. Pakai kaki tentunya. SYUUUUUTT!
Ilan melepaskan tembakan dari luarkotak penalti. Tembakan yang khas sekali. Tembakan ala
Ilan. Cepat dan mematikan. WUUSS! Bola itu menggelinding deras. Ah..! Sayang kiper tim lawan
berhasil menepisnya. Eh tapi.. tapi ternyata belum habis sampai di situ. Di saat yang bersamaan,
Sinyo muncul dari lini tengah dan menyambut bola muntahan sang sahabat dengan first touch.
BEEESSSSS! Bola itu meluncur deras. Semua mata tertuju pada bola itu.
And one, and two, and three.. GOOLLL!!! Si kulit bundar itu mengoyak jala lawan, membuat
semua pendukung The Whites yang semula menahan napas, bersorak gembira.
Semua berlarian saking senangnya. Skor 2-1 untuk Ilan dan kawan-kawan. Cadie dan yang
lainnya yang berada di bangku cadangan nggak kalah gembira. Semua bersorak, semua teriak.
Seketika suasana di Stadion Lebak Bulus menjadi sangat riuh.
Ilan dan kawan-kawan langsung berhamburan ke arah Cadie cs di pinggir lapangan. Di salah
satu deretan penonton, Cadie bisa melihat seseorang tersenyum manis ke arahnya. Denny!
Coba Kakaknya ada di sini sekarang, kebahagiaan Cadie pasti lengkap bukan main. Kebetulan
Kakaknya lagi dapet tugas ngeliput di Osaka.
*** "Guys, untuk kejayaan The Whites!" Luca mengangkat tinggi-tinggi botol minumannya. Kayak
orang bule kalo mau toss gitu deh.
"Norak lo! Kayak yang udah menangis piala dunia aja," sahut Ryan enteng. Dan seperti biasam
nggak lama setelah itu handuk basah nemplok di mukanya.
"Untuk Cadie, juga Pak Gun," tambah Sinyo. Kali ini diamini teman-temannya.
Cadie hanya tersenyum, seraya mengucap lembut, "Thank you."
"Untuk persahabatan kita. Untuk hadiah kelulusan kita. Dan untuk.."
"Alaah, lama! Kapan minumnya" Aus tau!" potong Nico cepat, sebelum Ichal sempat
menyelesaikan ucapannya. Ichal sewot bukan main nggak dikasih kesempatan buat ngomong.
"Eh, udah-udah!" Cadie mengintruksikan sebelum terjadi perang. "Aku juga mau toss untuk
kalian donk. Untuk semua yang udah jadi bagian terbaik dari hidupku. Thank you, thank you for
being my friends," lanjutnya serius, membuat Sinyo dkk terharu.
"Elo, Dee..! Jadi pengen nangis," kata Ryan, membuat teman-temannya heran.
"Norak lo, Yan!" teriak Yoko.
"Eh guys, ngomong-ngomong Ilan kemana ya" Masa ke toilet aja lama banget," celetuk Dino
tiba-tiba. Nah lho! Bener juga. Baru sadar mereka, kalo sang kapten yang tadi tampil memukau di
lapangan nggak kelihatan batang hidungnya. Katanya sih cuma mau ke toilet, tapi sampai
sekarang.. Itu berarti udah sekitar 10 menitan, nggak juga balik. Jangan-jangan dia ketiduran!
"Udah lah biarin aja! Dia mau mandi kek, mau tidur kek. Ntar juga kalo dia mau balik, dia balik."
Ryan mengimbau teman-temannya untuk nggak peduli. Sebenernya sih bukan bener-bener
nggak peduli. Dia, sama juga dengan Sinyo, cuma mau kasih kesempatan aja buat Ilan untuk
sendiri. Masih bisa diingat jelas olehnya, raut wajah Ilan saat Denny berhamburan memeluk
Cadie usai pertandingan tadi. Ilan memang terlihat tenag saat itu, tapi di lubuk hatinya yang
terdalam, baik Ryan maupun Sinyo tahu, dia hancur.
"Ayo!" Ryan memaksa teman-temannya untuk mengangkat minuman.
Dan nggak lama setelah itu, suara rusuh pun mulai terdengar. Dengan alasan yang nggak jelas
dan tujuan yang nggak pasti, semua mulai main timpuk-timpukan, main kejar-kejaran dan
sebagainya. Nggak jelas lagi siapa yang dikejar dan siapa yang mengejar. Pokoknya biar seru
aja. Dasar kurang kerjaan!
"Eh, Dee, ntar malem berangkat jam berapa?" tanya Sinyo, yang nggak mau ikut-ikutan
temannya main kejar-kejaran nggak jelas. Dari sekian banyak orang, kayaknya emang cuma dia
doank yang waras, yang nggak lupa kalo nanti malam Cadie sudah harus berangkat ke Jepang.
"Mungkin dari rumah sekitar jam 10-an."
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gitu" Ya udah kalo gitu elo hati-hati di sana! Jangan bikin rusuh! Ntar dideportasi lagi."
"Thanks ya, Nyo."
"Gue sama anak-anak, Insya Allah kalo sempet ke Bandara. Jadi elo tunggu aja. Kalo perlu
jangan pergi dulu sebelum kita dateng, oke?"
Cadie mengangguk pelan seraya tersenyum.
"Bagus, bagus. Bisa diajarin." Sinyo menepuk pundak Cadie berulang kali. Lagaknya udah kayak
bapak-bapak. Cadie sampai geli sendiri dibuatnya.
*** Suara riuh Ryan dan kawan-kawan pun masih terdengar nyaring mengiringi langkah Cadie
keluar ruangan. Baru beberapa langkah cewek itu berjalan, tiba-tiba aja dia mendapati cowok itu
berdiri seorang diri di sana. Dua jarinya mengapit sebatang rokok. Ilan! Dia ngerokok. Cadie
tertegun. "Kenapa" Apa di sini ada bacaan dilarang ngerokok?" Ilan yang seolah sadar diperhatikan,
mengucap pelan. Dengan pandangan lurus menatap ke kejauhan.
"Oh.. nggak. Aku.. tadi aku cuma.."
"Pak Gun udah pulang. Apa elo udah tau?"
"Iya." "Ya udah. Kalo gitu gue.." Ilan nggak ngelanjutin omongannya. Dia hanya langsung saja berjalan
lurus. Semakin dekat dengan Cadie, tapi kemudian begitu saja melewatinya.
"Ilan, aku.." "Dee, apa elo bener-bener mau ikut Denny?" tanya Ilan seraya menyetop langkahnya.
Cadie yang nggak siap dengan pertanyaan itu, gagap seketika. "A.. aku.."
"Nggak usah dijawab! Pertanyaan yang nggak penting, kan" Sebenernya nggak penting juga
apa elo mau jawab atau nggak. Ya udah kalo gitu anggap aja gue nggak pernah nanya. Lagian..
siapa juga yang bakal nyia-nyiain kesempatan pergi ke Jepang gratis, iya kan?"
"Apa"! Tunggu! Berhenti aku bilang!"
Langkah Ilan terhenti. Bukan karena sadar kalo yang barusan dikatakan Cadie adalah sebuah
kata perintah, tapi lebih karena tingginya nada suara Cadie.
"Kenapa" Kenapa kamu terus-terusan bersikap kayak gini ke aku?" Cadie yang mulai nggak
tahan melihat tingkah Ilan mendadak emosi. "Emangnya kenapa kalo aku mau ke Jepang atau
nggak" Apa perlu bersikap seperti ini" Kenapa nanya kalo kenyataannya kamu juga nggak mau
tau jawabannya" Sebenernya apa mau kamu" Kamu seneng ya bikin aku bingung" Seneng
bikin aku sedih" Sebenernya apa yang kamu mau" Apa kamu pikir dengan.."
"Pergi! Kalo elo mau pergi, ya pergi! Lebih cepat lebih baik," sambung Ilan seraya melanjutkan
kembali langkahnya. Cadie kaget bukan main mendengar itu. Meski harus diakui, kesedihan jauh lebih dalam
menerpanya. Ilan terus dan terus saja melangkah. Tidak dipedulikannya Sinyo dkk, yang menatap penuh
tanya ke arahnya. Terus dia seperti itu, sampai orang itu muncul, dan menghadangnya. Ternyata
Denny! Sesaat keduanya beradu pandang.
"Gue mau lewat," kata Ilan pelan.
Mendengar itu, bukannya menyingkir, Denny malah menghujamkan pukulannya ke wajah Ilan.
BUUK! Semua, termasuk Cadie, menganga heran dan kaget.
"Elo pikir elo siapa" Hebat lo bisa bikin dia sedih?" lontar Denny tajam.
Sesaat Ilan terdiam. "Gue nggak ada urusan sama elo! Pukulan tadi.. gue anggap bukan apaapa," lanjutnya tenang.
"Apa lo bilang" Heh!" HYAAA! Denny siap meninjukan kembali pukulannya ke wajah Ilan, ketika
tiba-tiba saja Cadie berlari ke arahnya dan menghadang pukulan itu. BEEM! Tangan Denny
terhenti sebelum pukulannya sempat mengenai wajah Cadie, yang berdiri tegas di depan Ilan.
Saat itu, Denny bisa melihat ada tetes air mengalir dari mata Cadie. Wajahnya penuh
permohonan menatapnya. Kalau bisa diartikan, mungkin begini arti pandangan itu, "Jangan pukul
dia, Den. Meski dia udah bikin aku sedih, aku mohon kamu jangan memukulnya."
"Dee..!" seru Sinyo dkk dari kejauhan, pelan.
Ilan hanya diam terpaku, sementara kekecewaan tak terhitung lagi menerpa Denny. Sakit sekali
hatinya. "Ca.." "Aku mau pulang. Kita pulang, ya.." kata Cadie seraya lagi-lagi menatap penuh permohonan
pada Denny. Denny mengangguk, mesku dengan sangat terpaksa.
*** Bandara Soekarno Hatta, pukul 22.40
"Si Dee sama Denny mana?"tanya Luca pada Sinyo, nggak lama setelah kembali dari toilet.
"Di dalam lagi ngurus fiskal," jawab Sinyo.
"Jam berapa sih, Nyo, take off-nya?" tanya Ryan kali ini.
"Jam 1-an mungkin. Kenapa emangnya" Ngantuk ya lo?"
"Bukan gue. Tapi tuh orang dua!" Ryan menunjuk ke arah Ichal dan Dino, yang mulai teranggukangguk menahan kantuk.
"Perasaan tadi mereka masih fine-fine aja deh."
"Tau tuh. Ntar juga gue lempar ke luar."
"Eh, Nyo, tadi Ilan lagi ngapain" Menurut lo dia bakal dateng nggak?" Kali ini Nico yang tanya.
Ya elah! Kenapa semuanya nanya ke Sinyo. Sinyo lagi! Sinyo lagi!
"Kalo elo jadi dia, elo bakal dateng nggak?" Sinyo balik bertanya. Dan pertanyaan itu nggak
cuma ditujukan buat Nico, tapi juga Luca dan Ryan.
"Kalo gue jadi dia" Untung gue bukan dia. Tapi kalo emang bener gue jadi dia, ya pastilah gue
dateng. Nggak ada ceritanya dalam kamus gue ngebiarin orang yang gue sayang pergi begitu
aja. Apalagi sama mantannya. Beneran deh gue sih, nggak rela! Mana gue juga belum sempat
ngutarain isi hati gue lagi. Iya kalo dia balik nanti gue masih idup, nah kalo nggak.. yang ada gue
bakal.. Aduh!" Nico mengaduh kala Luca menginjak kakinya. Sadar karena apa temannya
melakukan itu, Nico pun diam.
"Kalian kenapa?" tanya Cadie nggak lama setelah keluar dari boarding pass.
Nico dan Luca nyengir kuda. "Nggak apa-apa kok," sahut mereka.
"Gimana" Udah beres semuanya?" tanya Sinyo pada Denny dan Cadie.
"Beres," jawab Denny mewakili Cadie.
"Den, selama di sana elo harus jaga si Dee baik-baik. Awas lo kalo macem-macem sama dia!
Elo juga, Dee, jangan ragu nelepon kita kalo dia macem-macem, oke?" kata Ryan. Lagaknya
udah kayak jagoan. Denny dan Cadie tersenyum saja menanggapi itu.
"Elo semua jangan khawatir. Gue bakal jaga dia melebihi nyawa gue sendiri. Percaya sama
gue!" "Waduh! Serius amat, Mas." Nico spontan mengucap.
Dan nggak berapa lama kemudian, terdengarlah suara itu. "Perhatian, perhatian, kepada
penumpang JAL 1o1, diharap segera memasuki pesawat! Perhatian, perhatian, kepada.."
"Guys, kayaknya udah.."
Sinyo dkk, kali ini termasuk Ichal dan Dino yang kayaknya kebangun juga akibat suara tadi,
manggut-manggut bersamaan. Mungkin artinya ya.. "Iya kok Dee kita tau. Elo harus naik
pesawat, kan?" gitu deh.
"Den, salam ya buat Kyra. Buat Nyokap-Bokap lo juga. Kita doain operasinya lancar."
"Thanks, Nyo." "Gue juga. Semoga semua baik-baik aja." Kali ini gantian Ryan yang ngomong. Tak ubahnya
Sinyo barusan, dia pun menjabat tangan Denny, jabatan ala cowok gitu deh. Setelah itu
bergantian Luca, Nico, Ichal dan Dino mengucap salam perpisahan.
"Bye.. bye.." Cadie mengucap lembut pada teman-temannya seraya melambaikan tangan. Dia
terus berjalan. Dekat dan semakin dekat menuju pintu itu, sampai tiba-tiba terdengar sebuah
suara dari kejauhan. Suara seseorang memanggil namanya.
SEEETTT! Mata Cadie spontan tertuju pada suara itu berasal. Pun demikian dengan Sinyo dan
yang lain, yang tahu pasti suara siapa itu.
"Igi!!!" Semua mengucap heran.
Igi menghentikan langkahnya. Napasnya terengah-engah. Sambil terus menarik napas dan
tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menunjuk-nunjuk ke arah belakang.
ILAN! Sinyo dkk spontan tersenyum lega.
Ilan berjalan perlahan mendekati teman-temannya, itu berarti tinggal beberapa langkah lagi ke
Cadie dan Denny. "Ilan, kamu.." "Jangan pergi! Jangan pergi, bisa nggak?" kata Ilan. Well, entah itu sebuah perintah atau
permohonan. Udah nggak jelas berhubung Ilan mengucapkannya dalam keadaan yang
sepertinya teramat lelah.
Cadie tidak menjawab. Tapi dari raut wajahnya, tampak jelas dia begitu senang Ilan datang.
"Gue yang salah. Gue tau selama beberapa hari ini gue udah bersikap nggak baik ke elo. Gue
minta maaf, Dee. Gue sendiri nggak tau kenapa tiba-tiba gue jadi kayak gini. Gue cuma tau, kalo
setiap kesedihan dan kesenangan yang gue dapet belakangan ini, itu semua gue dapet karena
elo. Karena elo, gue bisa ketawa seneng. Karena elo gue bisa sedih dan karena elo juga gue
bisa marah. Dee, gue.."
Cadie menjatuhkan tas tangannya, perlahan berjalan ke arah Ilan.
"Apa elo mau maafin gue?"
Cadie manggut-manggut. Segurat senyum yang teramat manis menghiasi wajahnya. "Ilan, kamu
masih ingat nggak sama janji kamu ke aku waktu di tangga itu" Kamu nggak lupa kan kalo kamu
utang satu hal sama aku?"
"Iya." "Aku.. apa boleh kalo aku ngajuin permintaan itu sekarang?"
Ilan manggut-manggut. "Aku.. aku mohon kamu jangan pernah membenciku. Apa pun yang aku lakukan, aku mohon
jangan sampai membuatmu benci sama aku dan akhirnya terluka. Biar aku.. biar aku aja yang
ngerasain itu, bisa?"
"Apa"! Dee, apa maksud lo?"
"Ilan, aku.." Cadie menoleh bergantian ke arah Ilan dan Denny, yang seolah dengan setia selalu
menunggunya. "Dee, elo nggak akan pergi, kan" Elo nggak.."
Ilan belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba saja dirasakan olehnya, Cadie
mulai menjauh. Mundur perlahan ke tempat dia berada semula. Di samping Denny.
"Maaf." "Apa?" "Ilan, aku harus pergi. Benar-benar harus pergi." Sekuat tenaga Cadie berusaha menahan
buliran air keluar dari matanya.
"Dee, kalo elo pergi artinya elo milih Denny. Itu berarti.."
"Maafin aku," Dan air mata Cadie pun menetes juga.
"Dee.." Sinyo dkk mengucap heran mewakili Ilan yang mulai diam seribu bahasa.
"Ca.." Cadie menggeleng berulang kali sebelum Denny sempat mengatakan sesuatu. "Aku nggak apaapa kok. Kita pergi. Ayo!"
Saat itu, dia bisa mendengar Sinyo dan yang lain, termasuk Ilan, berulang kali memanggil
namanya. Tapi dia memilih jalan terus.
Ilan maafin aku. Aku bukan sengaja mau bikin kamu sedih. Bukan sengaja buat kamu terluka.
Mungkin nanti aku akan menyesal karena melakukan ini, tapi aku juga tahu, kalo aku akan lebih
menyesal jika tidak melakukan ini. Ilan, aku sayang kamu. Nggak peduli apapun yang terjadi
setelah ini, aku cuma tau, di mataku, di hatiku, aku cuma ngeliat kamu, batin Cadie, seraya terus
berjalan di samping Denny. Terus dan terus berjalan. Sama sekali tidak menghiraukan kejadian
di luar. Sama sekali nggak ngerasain kepanikan Ryan dkk, ketika mendapati Ilan jatuh terkapar.
BRUKK! *** Dua hari kemudian.. "Nyo, Ilan gimana" Udah mendingan belum?" tanya Luca di sela-sela obrolannya. Istirahat kali
ini tampaknya terlalu membosankan buat Sinyo dan yang lain. Mereka yang nggak lapar memilih
nongkrong-nongkrong di taman.
"Lumayan. Elo kayak nggak tau dia aja. Coba aja elo ke rumahnya sekarang, terus elo tanya apa
dia baik atau nggak. Paling juga elo dilempar," jawab Sinyo, yang tahu betul tabiat temannya.
Ilan ogah banget diperhatikan dan dianggap lemah sama orang lain.
"Ya, right." "Eh man, gue masih bingung deh sama kejadian di bandara kemaren itu. Kenapa ya, si Dee
masih juga milih ikut sama Denny, sementara Ilan sampai mohon-mohon gitu supaya dia tinggal.
Aneh nggak sih?" Ryan menunjukkan raut bingungnya.
"Ya.. ada alesan lain kali," kata Sinyo.
"Nggak, nggak." Tiba-tiba saja Nico seperti tersadar dari lamunannya. "Guys, gue yakin pasti ada
apa-apanya," katanya.
"Ada apa-apanya gimana maksud lo?" Luca heran.
"Ya.. mungkin aja dia dipaksa."
"Dipaksa" Lo kata si Dee anak kecil yang bisa dipaksa-paksa! Jangan asal deh!"
"Ya abis.. Lo liat sendiri kan waktu di bandara kemaren. Kayaknya tuh, dia nggak pengen banget
pergi. Tapi karena ada satu dan lain hal, which is connect to Denny, dia tetep pergi."
"Satu dan lain hal itu apaan?"
"Ya mana gua tau. Nanya lagi.."
"Ck.. ck.. ck..! Aku pikir kalian termasuk orang-orang pintar, tapi ternyata biasa aja. Sama kayak
yang lain," ucap seseorang tiba-tiba. Saat itu Ryan dkk memang hanya mendengar suara, sama
sekali nggak liat muka si pembicara.
"Heh! Siapa tuh" Berani banget lo ngomong. Tongolin muka lo kalo hebat!" seru Ryan kesal.
Matanya menoleh ke kiri dan kanan.
Mendengar itu, tanpa basa-basi lagi, langsung saja si empunya suara misterius barusan
menampakkan wajahnya. TOWET! Dia keluar dari balik pohon. Tinggal Ryan sama yang lain
yang kaget. "Lily!" seru semua bersamaan.
"Heh! Udah bosen idup apa lo berani ngomong kayak gitu" Lupa lo siapa gue?" Lagi-lagi Ryan
geram. "Lupa" Aku mana mungkin lupa sama orang-orang yang nggak tau sopan-santun kayak kalian.
Kamu nggak bisa ya kalo ngomong nggak pake teriak?" Lily nggak mau kalah dari Ryan.
"Yee, dia nyolot!"
"Yan!" Sinyo bersuara. Seolah memberi tahu temannya supaya bisa lebih sabar dalam
menghadapi nenek sihir kayak Lily. "Eh Ly, sebenernya apa mau lo" Elo nggak sengaja mau cari
ribut sama kita, kan" Gue kasih tau ya, kita nggak tertarik!"
"Dan apa kamu kira aku tertarik" Haaah!" Lily menarik napas dalam-dalam. "Aku pikir aku mau
jadi orang baik sekali ini aja, dengan memberi tahu kalian alasan sebenernya kenapa Cadie
pergi ke Jepang. Tapi karena kalian nggak tau diri.. aku batal ngomong!"
"Apa"! Heh! Apa lo bilang barusan?" Ryan penasaran.
"Nggak ada! Minggir!" Lily memerintah dengan gaya ratu sejagad-nya.
"Heh! Ly!" Lily yang benci banget di heh-in, jalan terus tanpa menoleh.
"Nyo, apa menurut lo.."
"Biar gue yang tanya." Sinyo yang sadar Lily membawa berita penting memutuskan bicara empat
mata dengannya. "Ly, tunggu!" Berhasil! Lily mau juga menghentikan langkahnya. Mau juga diajak bicara.
Selama beberapa saat keduanya terlibat pembicaraan. Lumayan serius kayaknya. Dari
kejauhan, Ryan, Luca, juga Nico cuma bisa menebak-nebak apa isi pembicaraan tersebut.
*** "Apa gue boleh tau elo tau soal ini dari mana" Dan kenapa elo ngelakuin ini sementara elo sama
Cadie.." "Aku tau dari mana itu urusanku. Kalau soal kenapa aku yang jelas-jelas bukan temennya
melakukan ini, anggap saja ini adalah caraku membayar utang padanya," jawab Lily.
"Utang" Utang apaan?"
"Aduuuh! Apa kamu nggak ngerasa kalo kamu terlalu banyak nanya" Masalah hutangku ke
Cadie itu sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu. Jadi, nggak usah banyak nanya!"
"Oke. Terus, gue tau darimana kalo sekarang ini elo nggak lagi ngebohongin gue sama yang
lain?" tanya Sinyo lagi.
"Apa perlu aku ngasih tau alamat sama nomor teleponku supaya kamu bisa bikin perhitungan"
Heran!" "Ya, oke, gue percaya sama elo."
"Percaya atau nggak bukan urusanku!" Lily buang muka. Sadar Sinyo mulai memandang tegas
padanya. Man, bahkan seorang Lily yang biasanya jutek dan antipati banget sama yang
namanya cowok pun nyaris meleleh diliatin Sinyo. Sinyo ganteng yang nggak kalah mengilat dari
Won Bin. "Kenapa kamu senyum-senyum?" Lily heran.
"Nggak. Gue cuma.."
CUUP! Lily melotot. Badannya kaku seketika, ketika tiba-tiba saja bibir lembut Sinyo menyentuh
pipinya. "Thanks. Gue nggak bakal ngelupain bantuan lo. Anggap aja ini utang gue ke elo," kata Sinyo
sebelum akhirnya berhamburan menuju Ryan dan yang lain. Ryan dan yang lain kini menganga
saking nggak percayanya dengan apa yang barusan mereka lihat.
"Udah gila apa tuh anak" Atau jangan-jangan dia udah rabun" Nggak bisa ngebedain mana Lily,
mana Dian Sastro?" pikir Ryan dkk.
"Nyo, tadi itu.."
"Udah ntar gue ceritain. Kita ke rumah Ilan sekarang!"
"Hah?" "Ca, Co, Yan, cari tahu penerbangan tercepat ke Jepang jam berapa dan naik pesawat apa.
Pokoknya yang paling cepet. Kita harus ngirim Ilan ke sana secepatnya."
"Hah?" Lagi-lagi cuma kata itu yang muncul dari mulut Ryan dkk.
*** "Eh.. eh, elo semua kenapa sih"!" Ilan terheran-heran mendapati Sinyo dkk menirukan gaya
maling masuk ke kamarnya. Gerasak-gerusuk nggak jelas. Ada yang langsung buka laci, yang
langsung buka lemari, lalu memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam ransel, ada juga yang
langsung masuk kamar mandi. Kebelet rupanya.
"Co, heh, elo mau apain baju gue?"
"Jual! Berisik amat sih! Paspornya udah, Nyo?" Nico sedikit teriak.
"Sip!"
Soccer Love Karya Ida Farida di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gimana kata Kakek, Yan?" tanya Nico pada Ryan kali ini, yang bertugas menghubungi Kakek
Ilan untuk mintain izin. Ryan mengacungkan ibu jarinya tanda semua beres. Pun demikian Luca, yang tampaknya
sudah dapat penerbangan tercepat ke Jepang.
"Heh! Elo semua pada kenapa sih" Perasaan yang patah hati di sini gue deh, kenapa jadi elo
yang pada stres?" "Siapa bilang udah patah" Cepat siap-siap! Si Dee butuh elo," kata Ryan seraya melempar
sepatu ke arah Ilan. Apa maksudnya" Orang berangkanya aja baru nanti malam. Dasar Ryan!
*** "Si Dee pergi bukan semata karena Denny, Lan. Bukan karena dia masih sayang sama Denny
makanya dia ke sana. Dia juga bukan pergi karena nggak sayang sama elo. Dia pergi ke sana
buat urusan lain. Sesuatu yang menurutnya bisa membuatnya jadi orang baik. Lan, dia
orangnya. Dialah orang yang mendonorkan sum-sumnya buat Kyra. Si Dee adalah pendonor
itu." Ilan mengingat-ingat perkataan Sinyo dalam lamunannya. Matanya memandang tegas ke arah
awan-awan yang bergelayutan di angkasa. Tanpa disadari olehnya, kerinduan itu memuncak.
Perasaan bersalah itu menerpa. Lupa dia sama penyakit takutnya akan ketinggian.
*** 10 jam kemudian atau tepatnya puku 09.30 waktu Tokyo (Ku ji han, kata orang sana)
"Anoo.. sumimasen, 101 ban no heya no kanja wa doko ni arimasu ka" Shitteimasu ka?" (Maaf,
pasien yang ada di kamar 101 ke mana ya" Apa suster tau") tanya Denny pada salah seorang
suster setelah tidak menemukan Cadie di kamarnya.
"Aa" sono kirei na onna desu ne?" (O.. pasien (wanita) yang cantik itu ya")
"Hai." (Iya) Senyum Denny mengembang mendengar pujian suster untuk Cadie. Bener banger,
Cadie emang cantik. Bahkan, orang Jepang pun mengakuinya.
"Saki, shamposhitai to iun desu. Ja.. koen de kamoshimasen." (Tadi sih bilangnya mau jalanjalan. Mungkin ada di taman.)
"Koen?" (Di taman?"
"Ung." (Iya) "Sokka" Ja, doumo arigatou." (Jadi begitu" Kalau begitu, terima kasih..)
"Iie." (Jangan sungkan)
Dan nggak lama setelah mengetahui keberadaan Cadie dari suster, Denny pun segera meluncur
ke tempat yang dimaksud, taman.
"Dicari kemana-mana ternyata ada di sini. Nggak tau apa kalo aku sampai harus muterin rumah
sakit ini buat nyari kamu?" kata Denny seraya mengambil posisi duduk di sebelah Cadie. Di
sebuah bangku taman yang di depannya berhamparan pepohonan sakura. Indaaaah banget!
"Maaf. Aku bukannya sengaja mau bikin kamu khawatir. Tadi aku mau bilang, tapi karena kamu
lagi di kamar Kyra, makanya aku.."
"Aku bercanda kok. Kenapa jadi serius gitu?" Denny meluruskan kakinya. "Ca, kamu baik-baik
aja, kan?" tanyanya.
Cadie mengangguk pelan. Sebuah senyum tampak mengembang di wajahnya.
"Den.." "Ya?" "Bagus ya, bunga sakura ini. Coba di Indonesia juga ada, pasti indah. Iya kan?" Cadie
mengucap seraya memandangi bunga-bunga yang bermekaran.
"Iya. Eh, kamu tunggu di sini bentar ya, aku ambilin jaket," kata Denny saat sadar Cadie mulai
kedinginan menikmati udara pagi kota Tokyo.
"Nggak usah, Den. Aku nggak apa-apa kok."
"Pokoknya tunggu sebentar, kay?" Dan Denny pun berlari meninggalkan Cadie. Sama sekali
tidak mempedulikan teriakan gadis itu.
Selama beberapa saat Cadie diam. Membiarkan matanya yang indah mengabadikan keindahan
satu demi satu kelopak bunga yang bermekaran. Terus dan terus dia seperti itu, sampai
terdengar langkah seseorang dari arah belakang tempatnya duduk.
"Ceper amat, Den" Aku kira kamu.."
HUFFF. Kalimatnya terhenti kala menoleh ke belakang dan mendapati ternyata bukan Denny
yang berdiri di sana. Dia orang lain. Orang yang selama beberapa minggu terakhir mati-matian
dirindukannya. ILAN! Ilan jalan perlahan mendekati kursi Cadie. Matanya menatap penuh arti pada cewek, yang masih
juga mematung dalam duduknya. Perlahan dia membungkukkan badan. Berusaha melihat Cadie
lebih tegas. "Ilan.." "Sakit?" tanya Ilan seraya memegang lembut wajah Cadie.
Saat itu, entah kenapa, tiba-tiba saja rasa dingin yang tadi dirasakan Cadie, hilang tanpa jejak.
Tangan Ilan begitu hangat. Sama hangatnya dengan tatapan matanya sekarang.
Cadie menggeleng pelan. "Nggak sesakit yang dirasain Kyra dan nggak sesakit saat dimarahin
kamu," jawabnya, juga pelan. Buliran air mulai menggenangi matanya yang indah.
"Maafin gue, Dee. Maafin gue karena selama ini udah bikin elo sedih," kata Ilan seraya memeluk
Cadie. "Ilan.." "Dee, gue janji, gue nggak bakal ngebiarin elo sendirian lagi. Nggak bakal ngebiarin elo nangis
lagi. Gue akan jadi Ilan yang dulu lagi. Ilan yang akan selalu ada di saat elo butuh dia. Ilan yang
nggak akan ninggalin elo, nggak pedui dunia berubah jadi seperti apa."
Cadie manggut-manggut dalam pelukan Ilan.
"Ilan, kamu harus janji nggak akan marah sama aku lagi. Kamu boleh pukul aku, boleh nendang
aku, tapi jangan pernah menjauhiku, jangan ngediamin aku, ya?" kata Cadie kali ini.
Ilan mengangguk. Selama beberapa saat suasana hening. Mereka hanya saling memandang. Terus seperti itu,
sampai Cadie mulai goyah dalam pijakannya. Dia.. BRUUK! Jatuh terkulai.
"Dee! Dee, elo kenapa"! Dee"!"
*** Samar-samar Cadie melihat wajah Ilan. Sadarlah dia kalau tadi itu dia bukannya lagi mimpi jalan
ngambang atau semacamnya. Kakinya terasa ringan karena memang dia tidak menapakkannya
di lantai dan badannya terasa hangat karena yang menggendongnya adalah Ilan.
"Hei.. Elo terlalu lelah, makanya sampai pingsan. Tapi elo jangan khawatir. Elo nggak akan
kenapa-napa." "Ilan, apa kamu nggak capek" Kamu kan baru aja sampai. Kamu pasti.."
"Gue nggak apa-apa kok. Elo istirahat aja. Jangan takut, gue nggak bakal ngejatohin elo kok,"
kata Ilan seraya terus berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit. Matanya lembut memandang
Cadie. "Mulai sekarang, gue akan selalu ngejaga elo. Nggak akan ngebiarin apa pun atau siapa pun
ngelukain elo. Nggak akan pernah!"
Cadie manggut-manggut dalam pelukan Ilan. Perlahan dia menenggelamkan kepalanya di dada
Ilan. Dada Ilan yang begitu lebar dan hangat. Saat itu, dia bisa merasakan betapa Ilan begitu
hati-hati dalam menggendongnya. Seolah dia itu adalah benda berharga yang nggak boleh
sampai terluka sedikit pun.
Dee, gue sayang sama elo. Gue nggak tau sejak kapan dan karena apa. Gue cuma tau, sejak
saat itu elo masuk begitu aja ke dalam hidup gue. Jadi bagian terpenting dari hidup gue. Dan
gue sangat bersyukur karenanya. Ilan membatin dalam langkahnya.
Ya Allah, terima kasih. Terima kasih atas semuanya. Terima kasih karena udah ngasih aku
kesempatan buat bisa merasakan kembali perasaan ini. Dan terima kasih juga karena orang itu
adalah Ilan. Seolah bisa mendengar Ilan, Cadie pun turut membatin dalam hatinya.
*** Itu kejadian di Jepang, seminggu yang lalu. Sekarang, di sinilah Ilan dan Cadie berada. Di
Indonesia. Di sekolah mereka, lebih tepatnya. Dan tak ubahnya akhir dari sebuah drama
romantis yang selalu berujung pada kebahagiaan, itu jugalah yang mereka rasakan kini.
"Ciee ileeee, yang lagi seneng. Ada acara bagi-bagi hadiah dong..," lontar Ryan iseng, nggak
lama setelah sampai kantin dan mendapati Ilan menggenggam sebuah kotak kecil di tangannya.
Pemberian Cadie pastinya.
"Ehm.. ehm.. ehm.. hem.. hem.. heeeeem..!" Berikutnya menyusul suara-suara iseng lainnya.
"Norak lo semua!"
"Apaan sih" Liat donk!" Sinyo mau tau. Tapi nggak digubris sama Ilan, yang kayaknya emang
lagi bener-bener penasaran sama isi kotak itu. Perlahan dia membuka pitanya, lalu mengangkat
penutupnya. Dan.. Eng ing eng! Matanya terbelalak melihat isi kotak itu. Sebuah jam tangan. Ilan
ingat, jam itu didesain khusus oleh Kakeknya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-13. Dia
sama sekali nggak nyangka kalau jam yang dulu hilang itu kini kembali.
"Ini kan.." "Waktu itu aku bukannya sengaja nabrak kamu. Aku juga bukannya sengaja nyuekin kamu dan
ngebiarin kamu telentang di jalanan. Aku emang lagi buru-buru saat itu. Saat tau Kakak
kecelakaan, aku jadi khawatir banget. Jadinya nyetirnya nggak konsen. Akhirnya, nabrak kamu.
Tapi kamu tau nggak" Nggak lama setelah sampai rumah sakit dan tau Kakak baik-baik aja, aku
kembali lagi ke tempat itu. Eh, sesampainya di sana, aku malah cuma menemui itu. Sebenernya
aku mau ngembaliin jam tangan itu nggak lama setelah Sinyo ngasih tau aku kalo orang itu
kamu, tapi aku berubah pikiran. Aku sendiri nggak tau kenapa. Aku udah nyimpen jam itu selama
setahun lebih, sayang juga. Lumayan kalo aku pikir-pikir. Mahal kalo dijual." Cadie tersenyum.
Ilan tersenyum manis mendengar itu. Matanya melihat ke arah Sinyo.
"Kamu jangan marahin Sinyo, ya. Sebenernya aku udah janji nggak akan cerita, tapi daripada
aku bohong lagi, nggak apa-apa deh dimarahin Sinyo. Ya kan, Nyo?"
"Ooh.. jadi elo ya biang kerok yang udah matahin kaki Ilan" Biang kerok yang udah bikin kita
gagal menang di kejuaraan pertama kita" Dasar brengsek!" Ryan mengucap garang.
"Gue tau kita mesti ngapain. Timpuuuuk!" Nico menyusul Ryan memberi instruksi.
Dan setelah itu, semuanya, kecuali Ilan dan Sinyo, mulai asyik nimpukin Cadie pake tisu, serbet,
kerupuk, dan benda lainnya yang ada di meja. BUUK! DUUG! PLETAAK! PLETOOK! JEGAAAR!
JEGEEER! (Alah, berlebihan)
"Aduuh! Kenapa kalian begitu" Katanya kalian temen-temen aku" Eh! Aaw! Ilan!" Cadie berteriak
sambil menutupi mukanya. Sesekali bersembunyi di balik badan Ilan yang besar.
"Eh, udah! Mau gue bantingin satu-satu apa"!" kata Ilan seraya memasukkan kembali jam
pemberian Cadie barusan ke dalam kotak. Gayanya dia banget, cool and calm.
"Piring kali, dibanting."
"Eh, man, enak kayaknya nih lagu. Boleh juga selera si Andro," celetuk Dino tiba-tiba. Semua
kontan menoleh heran ke arahnya. Lagu apaan lagi"! Perasaan yang kedengeran baru suara si
Andro, belum ada suara na na ni atau semacamnya. Dari mana dia tau kalo lagu yang bakal
diputer enak. Sok tau! "Hei, guys, what"s up" Back again, with me of course, the one and only, Andro. Yup, di Senin
yang kayaknya nggak terlalu ngebosenin ini, gue siap muterin lagu-lagu favorit lo semua. So
come or call. By the way, gue juga mau ngucapin selamet nih buat anak-anak The Whites, yang
minggu kemaren berhasil ngasih temen buat pialanya anak basket. Congratulation, guys! Wah,
udah ada penelepon kayaknya. Halo, siapa nih?" tanya Andro kemudian.
"Orang ganteng!" jawab si penelepon.
"Ya elah, belagu amat nih orang!" komentar Nico perihal si empunya suara yang tengah
mengalun di udara itu. "Oke deh yang ganteng. Mau request lagu apa nih?" tanya Andro lagi.
"Gue mau elo muterin lagu Pecinta Wanita-nya Irwansyah."
"Pecinta Wanita. Oke, buat?"
"Buat Cadie. Cadie yang selalu cantik nggak peduli apapun yang dia pakai," jawab orang itu,
yang kontan nggak cuma bikin Andro kaget, tapi juga seisi orang di kantin.
Ilan dkk" Jangan ditanya. Saking kagetnya, Ryan sampai ngeluarin lagi mie goreng yang ada di
mulutnya. Luca sama Nico sampai nyaris ngejatuhin nampannya. Dan Sinyo, dia sampai keselek
bakso. Sekarang Ilan lagi sibuk nepuk-nepuk punggungnya.
"Busyet! Siapa sih nih orang" Cakep bangetapa" Pake acara nggak mau ngasih tau nama
segala," lontar Ryan. Biasa.. agak emosi.
"Man, apa mungkin.."
"Apa" Mau nuduh gue lo?" Sebuah suara terdengar dari kejauhan, sesaat sebelum Nico
menyelesaikan kalimatnya. Nadanya nggak rela banget.
Semua kontan menoleh ke arah suara itu berasal. Ke arah Denny.
"Den.." "Nah lho! Kalo bukan elo, terus.."
"Terus apaan" Udah deh, Co, nggak usah berlebihan. Lagian emangnya kenapa kalo ada yang
suka sama si Dee" Bukannya begitu bagus" Itu artinya, cewek gue ini.."
"Nggak. Nggak bisa, Lan," potong Nico cepat. "Biar gimana juga kita harus cari tau siapa nih
orang. Dia berani ngirimin lagu buat si Dee. Itu sama artinya, nantangin elo. Bener nggak?"
"Bener banget," Ryan menyetujui.
"Iya juga sih," kata Luca.
"Terus.. menurut lo siapa nih orang, Co?" tanya Sinyo kali ini.
"Apa mungkin.. bla bla bla..," sahut Nico.
"Ah, masa iya" Dia kan.. bla bla bla..," sambung Luca.
"Bisa juga kali.. bla bla bla..," kata Ryan.
"Ya, iya.. tapi kan dia.. bla bla bla..," Sinyo berpendapat.
"Man, kalo menurut gue sih.. bla bla bla..," duga Ichal.
"Setuju. Soalnya tuh orang kan.. bla bla bla..," ujar Dino.
Sinyo, Luca, Ryan, Ichal, Nico, Dino, juga yang lainnya, sibuk mengajukan argumen. Sebentar
mereka mengajukan nama si ini sebagai tersangka, sebentar lagi nama si itu.
Alah! BERLEBIHAN.. End Kisah Si Rase Terbang 1 Obat Pamungkas The Magic Bullet Karya Harry Stein Bayang Bayang Maut 2