Inferno 1
Inferno Karya Dan Brown Bagian 1
INFERNO Diterjemahkan dari Inferno
Karya Dan Brown Terbitan Doubleday, New York, 2013
Cetakan Pertama, September 2013
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno dan Berliani Mantili Nugrahani
Penyunting: Tim Redaksi Book design by Maria Carella
Jacket design by Michael J. Windsor
Jacket photographs: Dante ? Imagno/Hulton Archive/Getty Images;
Florence ? Bread and Butter/Getty Images
Pemeriksa aksara: Eti Rohaeti dan Oclivia Dwiyanti P.
Penata aksara: Cahyono Digitalisasi: Tim Konversi Mizan Publishing House
Copyright ? 2013 by Dan Brown
Graph "Special Report: How Our Economy Is Killing the Earth" (New Scientist, 10/16/08) copyright
? Reed Business Information"UK.
All rights reserved. Distributed by Tribune Media Services.
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit Bentang
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
(PT Bentang Pustaka) Anggota IKAPI Jln. Kalimantan G-9A, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55204
Telp./Faks. (0274) 886010
e-mail: info@mizan.com http://www.mizan.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Brown, Dan Inferno/Dan Brown; penerjemah, Ingrid Dwijani Nimpoeno, Berliani Mantili Nugrahani;
penyunting, Tim Redaksi"Yogyakarta: Bentang, 2013.
644 hlm.; 23,5 cm. Judul asli: Inferno ISBN 978-602-7888-55-5 (softcover)
1. Fiksi Inggris (Bahasa Indonesia).
III. Berliani Mantili Nugrahani.
I. Judul. IV. Tim Redaksi. II. Ingrid Dwijani Nimpoeno.
823 Didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing (MDP)
Jln. T. B. Simatupang Kv. 20,
Jakarta 12560 - Indonesia
Telp. (021) 78842005 " Faks. (021) 78842009
website: www.mizan.com e-mail: mizandigitalpublishing@mizan.com
gtalk: mizandigitalpublishing
twitter: @mizandotcom t.c UNTUK ORANGTUAKU ... isi INFERNO [SC].indd 5 t.c isi INFERNO [SC].indd 6 U c apan Ter ima Ka sih capan terima kasihku yang paling tulus dan rendah hati
kepada: Seperti biasa, yang pertama dan terutama, editor dan
saha?batku, Jason Kaufman, untuk dedikasi dan talentanya ... tapi
ter?utama untuk rasa humor yang tiada habisnya.
Istriku yang luar biasa, Blythe, untuk cinta dan kesabarannya
terhadap proses penulisan buku ini, juga untuk insting dan ke?tu?
lusannya yang menakjubkan sebagai editor garda-depan.
Agen yang tidak kenal lelah dan teman terpercayaku, Heide
Lange, yang dengan ahlinya mengarahkan banyak percakapan,
di banyak negara, mengenai lebih banyak topik daripada yang
pernah kukenal. Untuk keahlian dan energinya, aku berterima
kasih selamanya. Seluruh tim di Doubleday untuk keantusiasan, kreativitas, dan
upaya mereka demi buku-bukuku, disertai ucapan terima ka?sih
yang sangat khusus kepada Suzanne Herz (yang memikul begitu
banyak tanggung jawab ... dan memikul semuanya dengan sangat
baik), Bill Thomas, Michael Windsor, Judy Jacoby, Joe Gallagher,
Rob Bloom, Nora Reichard, Beth Meister, Maria Carella, Lorraine
Hyland, juga untuk dukungan yang tiada habisnya dari Sonny
Mehta, Tony Chirico, Kathy Trager, Anne Messitte, dan Markus
Dohle. Kepada orang-orang yang luar biasa di departemen pen?
jualan Random House ... kalian tiada tandingannya.
Penasihat bijakku, Michael Rudell, untuk instingnya yang jitu
dalam segala hal, besar dan kecil, dan untuk persa?habat?an?nya.
isi INFERNO [SC].indd 7 D an B rown Asistenku yang tak tergantikan, Susan Morehouse, untuk
ke?ang?gunan dan vitalitasnya; karena tanpanya, segalanya akan
ka?cau. Semua temanku di Transworld, terutama Bill Scott-Kerr untuk
kreativitas, dukungan, dan penghiburannya, juga kepada Gail
Rebuck untuk kepemimpinannya yang luar biasa.
Penerbit bukuku di Italia, Mondadori, terutama Ricky
Cavallero, Piera Cusani, Giovanni Dutto, Antonio Franchini, dan
Claudia Scheu; dan penerbit bukuku di Turki, Altin Kitaplar,
terutama Oya Alpar, Erden Heper, dan Batu Bozkurt, untuk la?
yanan istimewa yang diberi?kan sehubungan dengan lokasi-lokasi
dalam buku ini. Para penerbitku yang luar biasa di seluruh dunia, untuk gai?
rah, kerja keras, dan komitmen mereka.
Untuk manajemen situs penerjemahan yang mengesankan
di London dan Milan, Leon Romero-Montalvo dan Luciano
Guglielmi. Dr. Marta Alvarez Gonz?lez yang cerdas, yang menghabiskan
begitu banyak waktu bersama kami di Florence dan yang meng?
hidupkan karya seni dan arsitektur kota itu.
Maurizio Pimponi yang tiada duanya, untuk semua yang dila?
kukannya demi menyempurnakan kunjungan kami ke Italia.
Semua sejarahwan, pemandu, dan spesialis yang dengan
murah hati menghabiskan waktu bersamaku di Florence dan
Venesia dan membagikan keahlian mereka: Giovanna Rao dan
Eugenia Antonucci di Biblioteca Medicea Laurenziana; Serena
Pini dan staf di Palazzo Vecchio; Giovanna Giusti di Galeri
Uffizi; Barbara Fedeli di Baptistery dan Il Duomo; Ettore Vio dan
Massimo Bisson di Basilika Santo Markus; Giorgio Tagliaferro
di Istana Doge; Isabella di Lenardo, Elizabeth Carroll Consavari,
dan Elena Svalduz di seluruh Venesia; Annalisa Bruni dan staf di
Biblioteca Nazionale Marciana; dan kepada banyak orang lainnya
yang tidak bisa kusebut dalam daftar singkat ini, terimalah ucapan
terima kasihku yang tulus.
isi INFERNO [SC].indd 8 Infern o Rachael Dillon Fried dan Stephanie Delman di Sanford J.
Greenburger Associates untuk segala yang mereka lakukan, baik
di sini maupun di luar negeri.
Dr. George Abraham, Dr. John Treanor, dan Dr. Bob Helm
yang luar biasa cerdas untuk keahlian ilmiah mereka.
Para pembaca awalku yang memberikan perspektif di sepan?
jang perjalanan buku ini: Greg Brown, Dick dan Connie Brown,
Rebecca Kaufman, Jerry dan Olivia Kaufman, dan John Chaffee.
Genius-Internet Alex Cannon yang, bersama-sama dengan
tim di Sanborn Media Factory, mempertahankan agar segalanya
terus berdengung di dunia daring.
Judd dan Kathy Gregg yang memberiku tempat perlindungan
tenang di dalam Green Gables ketika aku menulis bab-bab terakhir
buku ini. Sumber-sumber daring yang luar biasa: Princeton Dante
Project, Digital Dante di Columbia University, dan the World of
Dante.[] isi INFERNO [SC].indd 9 t.c isi INFERNO [SC].indd 10 t.c isi INFERNO [SC].indd 11 t.c isi INFERNO [SC].indd 12 Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka
yang tetap bersikap netral di saat krisis moral.
isi INFERNO [SC].indd 13 t.c isi INFERNO [SC].indd 14 FAKTA: Semua karya seni, kesusastraan, dan referensi sejarah dalam
novel ini nyata. "Konsorsium" adalah organisasi swasta dengan kantor di
tujuh negara. Namanya telah diubah demi keamanan dan
privasi. Inferno adalah dunia-bawah yang dijelaskan dalam puisi epik
Dante Alighieri, The Divine Comedy, yang menggambarkan
neraka sebagai jagat berstruktur rumit dihuni oleh entitasentitas yang dikenal sebagai "arwah?"jiwa tanpa-raga yang
terperangkap di antara kehidupan dan kematian.
isi INFERNO [SC].indd 15 t.c isi INFERNO [SC].indd 16 PROLOG kulah sang Arwah. Melintasi kota muram, aku pergi.
Melintasi kedukaan abadi, aku berlari.
Di sepanjang bantaran Sungai Arno, aku terpontang-panting,
tersengal-sengal ... berbelok ke kiri ke Via dei Castellani, mencari
jalan ke utara, merunduk dalam bayang-bayang Galeri Uffizi.
Namun, mereka masih mengejarku.
Langkah kaki mereka terdengar semakin keras ketika mereka
memburu dengan tekad membara.
Bertahun-tahun mereka telah mengejarku. Kegigihan mereka
membuatku terus berada di bawah-tanah ... memaksaku hidup
dalam penebusan ... bekerja di bawah tanah bagai monster perut
bumi. Akulah sang Arwah. Di sini, di atas permukaan tanah, kulayangkan pandang ke
utara, tapi tidak bisa menemukan jalan langsung menuju kese?
la?mat?an ... karena Pegunungan Apennine menghalangi cahaya
fajar. Aku lewat di belakang palazzo dengan menara yang puncaknya
dilengkapi celah untuk pemanah dan jam berjarum-tunggal
... meliuk-liuk melewati para penjaja di awal pagi di Piazza di
San Firenze. Suara mereka yang serak beraroma lampredotto dan
zaitun panggang. Aku menye?berang di depan Museum Bargello,
memotong ke barat menuju menara Gereja Badia, dan langsung
berhadapan dengan gerbang besi di dasar tangga.
Di sini, segala keraguan harus ditanggalkan.
isi INFERNO [SC].indd 17 18 D an B rown Aku membuka gerbang dan melangkah memasuki jalur yang,
aku tahu, tak punya jalan kembali. Kupaksakan kaki beratku
menaiki tangga sempit ... mendaki dalam gerak spiral di atas anakanak tangga pualam halus yang lapuk dan berlubang-lu?bang.
Suara-suara menggema dari bawah. Memohon.
Mereka berada di belakangku, pantang menyerah, mende?
kat. Mereka tidak memahami apa yang akan terjadi ... juga apa yang
te?lah kulakukan untuk mereka!
Dunia yang tidak tahu berterima kasih!
Ketika aku naik, penglihatan-penglihatan itu mendadak
mun??cul ... tubuh-tubuh penuh berahi yang menggeliat-geliat
da?lam hujan api, jiwa-jiwa rakus yang mengapung dalam tinja,
para pengkhianat membeku dalam cengkeraman setan yang se?
di?ngin es. Kunaiki anak-anak tangga terakhir dan tiba di puncak, sem?
po?yongan nyaris mati di udara pagi yang lembap. Aku ber?gegas
menuju pagar dinding setinggi kepala, mengintip lewat celahcelahnya. Jauh di bawah sana terdapat kota terberkati, yang
telah kujadikan tempat perlindungan dari mereka yang mengu?
cil?kanku. Suara-suara itu berteriak, tiba tepat di belakangku. "Yang kau
???lakukan adalah kegilaan!"
Kegilaan membiakkan kegilaan.
"Demi Tuhan," teriak mereka, "katakan di mana kau menyem?
bunyikannya!" Justru demi Tuhan, aku tidak mau.
Kini aku berdiri, terpojok, memunggungi batu dingin. Mereka
menatap jauh ke dalam mata hijau beningku, dan ekspresi mereka
berubah geram, tidak lagi membujuk, tapi mengancam. "Kau tahu
kami punya metode. Kami bisa memaksamu untuk mengatakan
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di mana kau menyembunyikannya."
Karena itulah, aku memanjat hingga setengah-jalan ke surga.
Secara mendadak, aku berbalik dan menjulurkan tangan ke
atas, mencengkeramkan jemari tanganku pada pinggiran tembok
isi INFERNO [SC].indd 18 19 Infern o tinggi, menarik tubuhku ke atas, merangkak naik, lalu berdiri
... dengan goyah di atas tubir. Tuntun aku, wahai Virgil, melintasi
kehampaan. Mereka bergegas maju dengan tidak percaya, ingin meraih
kakiku, tapi khawatir itu akan membuatku kehilangan keseim?
bangan dan terjatuh. Kini mereka memohon, dalam keputusasaan
bisu, tapi aku sudah berbalik. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Di bawahku, dalam jarak yang memusingkan, atap-atap gen?
ting merah menghampar bagai lautan api di pedesaan ... menerangi
negeri cantik yang pernah dihuni oleh orang-orang hebat ... Giotto,
Donatello, Brunelleschi, Michelangelo, Botticelli.
Kugeser jemari kakiku ke pinggir.
"Turunlah!" teriak mereka. "Belum terlambat!"
O, orang-orang bebal berkepala batu! Tidakkah kalian melihat masa
depan" Tidakkah kalian memahami kecemerlangan ciptaanku" Keha?
rus?an itu" Dengan senang hati, kulakukan pengorbanan terakhir ini ...
sekaligus kupadamkan harapan terakhir kalian untuk menemukan
apa yang kalian cari. Kalian tidak akan pernah menemukan benda itu tepat waktu.
Ratusan meter di bawah sana, piazza berbatu-batu bulat me?
manggil bagai oasis yang tenteram. Betapa aku menginginkan
lebih banyak waktu ... tapi waktu bukanlah komoditas yang,
bah?kan dengan kekayaan luar biasaku, sanggup kubeli.
Dalam detik-detik terakhir ini, aku menunduk memandang
piazza, dan melihat pemandangan yang mengejutkan.
Aku melihat parasmu. Kau mendongak menatapku dari bayang-bayang. Matamu
mu?ram, tapi di dalamnya kurasakan adanya penghormatan atas
pencapaianku. Kau mengerti aku tidak punya pilihan. Demi Umat
Manusia, aku harus melindungi mahakaryaku.
Bahkan, saat ini pun benda itu berkembang ... menanti ... bergolak
di bawah air semerah-darah dalam laguna yang tak memantulkan bin?
tang-bintang. isi INFERNO [SC].indd 19 20 D an B rown Maka, kualihkan pandangan dari matamu dan kutatap cakra?
wala. Tinggi di atas dunia yang terbebani ini, kupanjatkan doa
terakhirku. Tuhan yang terkasih, aku berdoa agar dunia mengingat na?ma?ku
bukan sebagai pendosa keji, melainkan sebagai penyelamat agung seba?
gaimana Kau mengenal diriku yang sesungguhnya. Aku berdoa se?moga
Umat Manusia bisa memahami hadiah yang kutinggalkan.
Hadiahku adalah masa depan.
Hadiahku adalah keselamatan.
Hadiahku adalah Inferno. Seiring perkataan itu, kubisikkan kata amin ... dan kuambil
langkah terakhirku, memasuki jurang tanpa dasar.[]
isi INFERNO [SC].indd 20 Ba b ngatan-ingatan itu mewujud perlahan-lahan ... bagai gelem?
bung-gelembung yang muncul ke permukaan dari kegelapan
sumur tak berdasar. Perempuan bercadar. Robert Langdon menatap perempuan itu dari seberang sungai
yang air bergolaknya mengalir merah oleh darah. Di bantaran
yang jauh, perempuan itu berdiri menatapnya, tanpa bergerak,
muram, wajahnya tersembunyi di balik cadar. Tangannya meng?
genggam secarik kain tainia biru, yang kini diangkatnya untuk
menghormati lautan mayat di kakinya. Aroma kematian meng?
ge?layut di mana-mana. Carilah, bisik perempuan itu. Maka akan kau temukan.
Langdon mendengar kata-kata itu seakan diucapkan oleh
perempuan itu di dalam kepalanya. "Siapa kau?" teriaknya, tapi
suaranya tidak mengeluarkan bunyi apa pun.
Waktu semakin berkurang, bisik perempuan itu. Cari dan temu?
kan. Langdon maju selangkah ke arah sungai, tapi dia bisa melihat
airnya semerah darah dan terlalu dalam untuk diseberangi. Ketika
Langdon kembali mengangkat pandangannya ke arah perempuan
bercadar itu, tubuh-tubuh di sekitar kaki perempuan itu berlipat
ganda. Kini jumlahnya ratusan, mungkin ribuan, beberapa masih
hidup, menggeliat-geliat kesakitan, sekarat dalam kematian yang
tak terbayangkan ... dilalap api, terkubur tinja, saling melahap satu
sama lain. Langdon bisa mendengar teriakan-teriakan memilukan
penderitaan manusia menggema melintasi air.
isi INFERNO [SC].indd 21 22 D an B rown Perempuan itu bergerak ke arah Langdon, menjulurkan kedua
tangan rampingnya, seakan meminta tolong.
"Siapa kau"!" teriak Langdon sekali lagi.
Sebagai jawaban, perempuan itu mengangkat tangan dan
perlahan-lahan mengangkat cadar dari wajahnya. Dia teramat
sangat cantik, tapi lebih tua daripada yang dibayangkan Lang?
don"mungkin berusia enam puluhan, agung dan perkasa,
ba?gai patung abadi. Rahangnya tegas, matanya dalam dan
meng?getarkan, rambut kelabu-perak panjangnya jatuh berombakom?bak ke atas bahunya. Jimat dari batu lapislazuli tergantung di
leher??nya"berbentuk seekor ular yang melilit tongkat.
Langdon merasa seakan mengenal perempuan itu ... memer?
cayainya. Tapi bagaimana" Mengapa"
Kini perempuan itu menunjuk sepasang kaki menggeliatgeliat yang mencuat terbalik dari tanah, tampaknya milik se?
ma?cam jiwa malang yang dikuburkan dengan kepala terlebih
dahulu hingga pinggang. Paha pucat lelaki itu dihiasi satu huruf
tunggal"ditulis dengan lumpur"R.
R" pikir Langdon, tidak yakin. Seperti di ... Robert" "Apakah
itu ... aku?" Wajah perempuan itu tidak mengungkapkan sesuatu pun.
Cari dan temukan, ulangnya.
Secara mendadak, perempuan itu mulai memancarkan cahaya
putih ... semakin terang dan semakin terang. Seluruh tubuhnya
mulai bergetar hebat. Lalu, diiringi suara menggelegar, dia me?
ledak menjadi ribuan keping pecahan cahaya.
Langdon tersentak bangun, berteriak.
Ruangan itu terang. Dia sendirian. Bau tajam alkohol medis
mengapung di udara dan, di suatu tempat, se?buah mesin berbunyi
pelan seirama jantungnya. Langdon ber?upaya menggerakkan
tangan kanan, tapi rasa nyeri tajam meng?hentikannya. Dia me?
nunduk dan melihat slang infus di lengan bawahnya.
Denyut jantungnya semakin cepat, dan mesin-mesin itu
mengikuti, berbunyi semakin cepat.
Di mana aku" Apa yang terjadi"
isi INFERNO [SC].indd 22 23 Infern o Bagian belakang kepala Langdon berdenyut-denyut, ada
rasa nyeri yang menggerogoti. Dengan hati-hati, dia mengangkat
lengannya yang bebas dan menyentuh kulit kepalanya, berupaya
mencari sumber sakit kepala itu. Di balik rambut kusutnya,
Langdon menemukan tonjolan-tonjolan keras dari sekitar dua
belas jahitan yang berkerak darah kering.
Dia memejamkan mata, berupaya mengingat-ingat kecela?
kaan. Nihil. Benar-benar kosong.
Pikirkan. Hanya kegelapan. Seorang lelaki berseragam operasi bergegas masuk, tampak?
nya mendapat peringatan dari monitor jantung Langdon yang
berbunyi cepat. Dia berjenggot acak-acakan, berkumis tebal, dan
bermata lembut yang memancarkan ketenangan mendalam di
bawah alis lebatnya. "Apa ... yang terjadi?" tanya Langdon. "Apakah saya meng?
alami kecelakaan?" Lelaki berjenggot itu meletakkan telunjuk di bibir, lalu ber?
gegas keluar, memanggil seseorang yang berada di lorong.
Langdon menoleh, tapi gerakan itu mengirimkan tusukan
rasa nyeri yang menyebar ke seluruh tengkoraknya. Dia menghela
napas panjang dan menunggu rasa nyeri itu berakhir. Lalu, de?
ngan sangat pelan dan sistematis, dia mengamati keadaan seke?
lilingnya yang steril. Kamar rumah sakit itu punya satu ranjang. Tidak ada bunga.
Tidak ada kartu ucapan. Langdon melihat pakaiannya berada di
atas meja di dekat situ, terlipat dalam tas plastik bening. Pakaian
itu berlumur darah. Astaga. Agaknya kecelakaan parah.
Kini Langdon memutar kepala perlahan-lahan ke arah jendela
di samping ranjang. Di luar gelap. Malam. Yang bisa dilihat oleh
Langdon di kaca hanyalah pantulan dirinya sendiri"seorang
asing yang pucat, letih dan lesu, tersambung dengan berbagai
s?lang dan kabel, dikelilingi peralatan medis.
isi INFERNO [SC].indd 23 24 D an B rown Suara-suara mendekat di lorong, dan Langdon kembali
mengarahkan pandangan ke dalam kamar. Dokter itu kembali,
kini ditemani seorang perempuan.
Perempuan itu tampaknya berusia awal tiga puluhan. Dia
mengenakan seragam operasi biru dan mengikat rambutnya ke
belakang membentuk ekor kuda tebal yang berayun-ayun di bela?
kang ketika dia berjalan.
"Saya dr. Sienna Brooks," kata perempuan itu sambil ter?se?
nyum kepada Langdon ketika masuk. "Saya bertugas bersama
dr. Marconi malam ini."
Langdon mengangguk lemah.
Dr. Brooks, yang jangkung dan lincah, bergerak dengan lang?
kah tegas seorang atlet. Walaupun mengenakan baju operasi yang
tak berbentuk, dia tampak anggun dan ramping. Tanpa sedikit
pun rias wajah yang bisa dilihat oleh Langdon, kulit perempuan
itu luar biasa halus, satu-satunya noda hanyalah sebintik tahi
lalat mungil yang bertengger persis di atas bibir. Matanya, wa?
lau?pun berwarna cokelat lembut, tampak luar biasa menusuk,
seakan pernah menyaksikan pengalaman mendalam yang jarang
dijumpai oleh orang seusianya.
"Dr. Marconi tidak terlalu bisa berbahasa Inggris," jelas
pe?rem?puan itu sambil duduk di samping Langdon, "dan dia
me?minta saya untuk mengisikan formulir pendaftaran Anda."
Kembali dia tersenyum. "Terima kasih," kata Langdon parau.
"Oke," kata dr. Brooks memulai dengan nada resmi. "Siapa
nama Anda?" Perlu sejenak bagi Langdon untuk menjawab. "Robert ...
Langdon." Dr. Brooks menyorotkan senter-pena ke mata Langdon. "Pe?
kerjaan?" Informasi ini bahkan muncul lebih lama lagi. "Profesor. Se?
jarah seni ... dan simbologi. Harvard University."
Dr. Brooks menurunkan senternya, tampak terkejut. Dokter
yang beralis lebat itu juga tampak terkejut.
isi INFERNO [SC].indd 24 25 Infern o "Anda ... orang Amerika?"
Langdon memandang perempuan itu dengan bingung.
"Masalahnya ...," dr. Brooks bimbang. "Anda tidak punya
tan?da pengenal ketika tiba malam tadi. Anda mengenakan jaket
Harris Tweed dan sepatu kulit santai Somerset, jadi kami men?
duga Anda orang Inggris."
"Saya orang Amerika," kata Langdon meyakinkannya, ter?
la?lu lelah untuk menjelaskan kesukaannya terhadap pakaian
ber?jahitan baik. "Ada rasa nyeri?"
"Kepala saya," jawab Langdon. Tengkoraknya berdenyutde?nyut semakin parah gara-gara senter-pena yang terang itu.
Un?tungnya, dr. Brooks kini mengantongi senter-pena itu, meraih
per?ge?langan tangan Langdon dan memeriksa denyut nadinya.
"Anda terjaga sambil berteriak," kata perempuan itu. "Anda
ingat mengapa?" Kembali Langdon mengingat penglihatan ganjil berupa
perempuan bercadar yang dikelilingi tubuh menggeliat-geliat.
Cari?lah, maka akan kau temukan. "Saya mendapat mimpi buruk."
"Mengenai?" Langdon menceritakannya. Ekspresi dr. Brooks tetap netral ketika menulis catatan pada
papan-klipnya. "Tahukah Anda, apa yang kemungkinan memicu
penglihatan mengerikan semacam itu?"
Langdon menjelajahi ingatannya, lalu menggeleng-gelengkan
kepala"yang kemudian berdentam-dentam memprotes.
"Oke, Mr. Langdon," kata perempuan itu, masih sambil me?
nulis, "beberapa pertanyaan rutin untuk Anda. Ini hari apa?"
Langdon berpikir sejenak. "Sabtu. Saya ingat berjalan melintasi
kampus hari ini ... menuju serangkaian kuliah siang, lalu ... hanya
itu hal terakhir yang saya ingat. Apakah saya terjatuh?"
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita akan membahasnya nanti. Anda tahu di mana Anda
berada?" Langdon menyebutkan tebakan terbaiknya. "Rumah Sakit
Umum Massachusetts?"
isi INFERNO [SC].indd 25 26 D an B rown Kembali dr. Brooks mencatat. "Dan adakah seseorang yang
perlu kami hubungi" Istri" Anak?"
"Tidak ada," jawab Langdon secara naluriah. Dia selalu
menikmati kesendirian dan kemandirian yang diberikan oleh
pilihan hidup membujangnya; walaupun, harus diakuinya, dalam
situasinya saat ini, dia lebih suka melihat wajah yang dikenal
ber?ada di sampingnya. "Ada beberapa kolega yang bisa saya
hu??bungi, tapi saya baik-baik saja."
Dr. Brooks sudah selesai menulis, dan dokter yang lebih
tua tadi mendekat. Sambil merapikan alis lebatnya, lelaki itu
mengeluarkan perekam suara kecil dari saku dan menunjukkannya
kepada dr. Brooks. Perempuan itu mengangguk paham, lalu
berpaling kembali kepada pasiennya.
"Mr. Langdon, ketika tiba malam tadi, Anda terus-menerus
meng?gumamkan sesuatu." Dia melirik dr. Marconi, yang meme?
gangi perekam digital itu dan menekan sebuah tombol.
Rekaman mulai diputar, dan Langdon mendengar suara
gugupnya sendiri, berulang-ulang menggumamkan frasa yang
sama: "Ve ... sorry. Ve ... sorry."
"Kedengarannya," kata dr. Brooks, "seakan Anda mengatakan,
"Very sorry. Very sorry.?"
Langdon setuju, tapi dia sama sekali tidak ingat.
Dr. Brooks memandangnya dengan tatapan tajam yang
meresahkan. "Anda tahu mengapa Anda berkata begitu" Apakah
Anda menyesali sesuatu?"
Ketika Langdon menjelajahi ceruk-ceruk gelap ingatannya,
sekali lagi dia melihat perempuan bercadar. Perempuan itu berdiri
di bantaran sungai semerah darah, dikelilingi mayat. Aroma bu?
suk kematian itu datang kembali.
Langdon dikuasai oleh insting mendadak mengenai bahaya ...
tidak hanya bagi dirinya sendiri ... tapi bagi semua orang. Bunyi
monitor jantungnya langsung meningkat pesat. Otot-ototnya
menegang, dan dia berupaya untuk duduk.
Cepat-cepat dr. Brooks meletakkan tangannya dengan tegas
di dada Langdon, memaksanya berbaring kembali. Dia melirik
isi INFERNO [SC].indd 26 27 Infern o dokter berjenggot itu, yang sedang berjalan menuju meja di dekat
situ dan mulai menyiapkan sesuatu.
Dr. Brooks membungkuk di atas Langdon, kini berbisik. "Mr.
Langdon, kecemasan adalah sesuatu yang umum dalam cedera
otak, tapi Anda harus mempertahankan rendahnya denyut nadi
Anda. Jangan bergerak. Jangan gugup. Berbaring diam dan ber?
istirahat sajalah. Anda akan baik-baik saja. Ingatan Anda akan
pulih secara perlahan-lahan."
Kini dokter berjenggot itu kembali dengan membawa alat
suntik, yang diserahkannya kepada dr. Brooks. Perempuan itu
menyuntikkan isinya ke dalam infus Langdon.
"Hanya obat penenang ringan untuk menenangkan Anda,"
jelasnya, "dan untuk membantu mengatasi rasa nyeri." Dia
berdiri, hendak pergi. "Anda akan baik-baik saja, Mr. Langdon.
Tidur sajalah. Jika memerlukan sesuatu, tekan tombol di samping
ranjang Anda." Dr. Brooks mematikan lampu dan pergi bersama dokter ber?
jenggot itu. Dalam kegelapan, Langdon merasakan obat-obatan itu meng?
aliri tubuhnya nyaris seketika, menyeretnya kembali memasuki
sumur dalam, tempatnya keluar tadi. Dia memerangi perasaan itu,
memaksakan matanya agar terbuka dalam kegelapan kamar. Dia
berupaya untuk duduk, tapi tubuhnya terasa seperti semen.
Ketika Langdon beringsut, dia mendapati dirinya kembali
meng?hadap jendela. Lampu-lampu kini padam, dan pantulan
diri?nya menghilang di kaca gelap, digantikan oleh garis-langit
yang terang di kejauhan. Di antara kontur semua menara dan kubah di luar sana, se?
buah fasad bangunan megah mendominasi medan pandangan
Langdon. Bangunan itu berupa benteng batu yang mengesankan,
dengan atap dihiasi pagar-dinding bergerigi dan menara setinggi
sembilan puluh meter yang menggembung di dekat puncaknya,
menonjol membentuk tembok segi empat bergerigi yang kokoh.
isi INFERNO [SC].indd 27 28 D an B rown Langdon langsung duduk tegak di ranjang, rasa nyeri meledak
di dalam kepalanya. Dia melawan denyut-denyut menyakitkan
itu dan memusatkan pandangan ke menara itu.
Langdon mengenal bangunan Abad Pertengahan itu dengan
baik. Hanya ada satu bangunan seperti itu di dunia.
Sayangnya, bangunan itu juga terletak enam ribu lima ratus
ki?lo?meter jauhnya dari Massachusetts.
______ Di luar jendela kamar Langdon, tersembunyi dalam keremangan
Via Torregalli, seorang perempuan bertubuh kekar turun dengan
mudahnya dari sepeda motor BMW dan melangkah maju dengan
keseriusan seekor macan kumbang yang sedang mengincar mang?
sa. Pandangannya tajam. Rambut cepaknya yang ditata dalam
bentuk runcing duri tampak mencolok dilatari kerah tegak baju
setelan kulit hitamnya. Dia memeriksa pistol berperedamnya,
lalu mendongak menatap jendela tempat lampu Robert Langdon
baru saja dipadamkan. Malam tadi, misi awalnya benar-benar berantakan.
Dekut seekor merpati telah mengubah segalanya.
Kini dia datang untuk memperbaikinya.[]
isi INFERNO [SC].indd 28 BAB ku di Florence!" Kepala Robert Langdon berdenyut-denyut. Kini dia
du?duk tegak di ranjang rumah sakit, berkali-kali me?ne?
kankan telunjuk pada tombol-panggil. Walaupun obat pene?nang
mengaliri tubuhnya, denyut jantungnya meningkat pesat.
Dr. Brooks bergegas kembali, rambut ekor kudanya memantulmantul. "Anda baik-baik saja?"
Langdon menggeleng kebingungan. "Saya ... di Italia!?"
"Bagus," jawab perempuan itu. "Anda ingat."
"Tidak!" Langdon menunjuk gedung yang mendominasi di
kejauhan, di luar jendela. "Saya mengenali Palazzo Vecchio."
Dr. Brooks kembali menyalakan lampu, dan garis-langit Flo?
rence menghilang. Dia mendekat ke samping ranjang Langdon,
berbisik tenang. "Mr. Langdon, tidak usah khawatir. Anda men?
derita amnesia ringan, tapi dr. Marconi menegaskan bahwa fungsi
otak Anda baik-baik saja."
Dokter berjenggot itu juga bergegas masuk, tampaknya men?
dengar suara tombol-panggil. Dia memeriksa monitor jantung
Langdon, sementara dr. Brooks berbicara kepadanya dalam ba?
hasa Italia cepat dan lancar"sesuatu mengenai Langdon yang
"agitato" ketika mengetahui dirinya berada di Italia.
Gelisah" pikir Langdon berang. Lebih tepat kebingungan!
Adre?nalin yang membanjiri tubuhnya kini berperang melawan
obat penenang. "Apa yang terjadi padaku?" desaknya. "Ini hari
apa"!" "Semuanya baik-baik saja," jawab perempuan itu. "Ini dini
hari. Senin, delapan belas Maret."
isi INFERNO [SC].indd 29 30 D an B rown Senin. Langdon memaksa benaknya yang nyeri untuk kembali
pada gambaran terakhir yang bisa diingatnya"dingin dan
ge?lap"berjalan sendirian melintasi kampus Harvard menuju
serang?kaian kuliah Sabtu malam. Itu dua hari yang lalu"! Kepanikan
kini menguasai Langdon ketika dia berupaya mengingat apa pun
dari kuliah itu atau setelahnya. Nihil. Bunyi monitor jantungnya
meningkat cepat. Dr. Marconi menggaruk-garuk jenggot dan meneruskan
pe?meriksaan peralatan, sementara dr. Brooks duduk kembali di
sam?ping Langdon. "Anda akan baik-baik saja," katanya lembut, meyakinkan
Langdon. "Menurut diagnosis kami, Anda menderita amnesia
retrograde1, yang sangat umum terjadi pada trauma kepala. Ingat?
an Anda mengenai beberapa hari terakhir ini mungkin kacau
atau tidak lengkap, tapi Anda tidak akan menderita kerusakan
permanen." Dia terdiam. "Anda ingat nama pertama saya" Saya
sebutkan ketika saya masuk tadi."
Langdon berpikir sejenak. "Sienna." Dr. Sienna Brooks.
Perempuan itu tersenyum. "Nah, Anda sudah membentuk
ingat?an-ingatan baru."
Rasa nyeri di kepala Langdon nyaris tak tertahankan, dan
peng??lihatan jarak-dekatnya tetap kabur. "Apa ... yang terjadi"
Ba??gai?mana saya bisa di sini?"
"Saya rasa Anda harus beristirahat, dan mungkin?"
"Bagaimana saya bisa di sini"!" desak Langdon, monitor jan?
tungnya berbunyi semakin cepat lagi.
"Oke, bernapaslah dengan tenang," kata dr. Brooks sambil
bertukar pandangan gelisah dengan koleganya. "Akan saya
ceri?takan." Suaranya berubah jauh lebih serius. "Mr. Langdon,
tiga jam yang lalu Anda berjalan sempoyongan memasuki UGD
kami, berdarah akibat luka di kepala, dan Anda langsung ja?tuh
pingsan. Tak seorang pun tahu siapa Anda atau bagaimana Anda
1. Amnesia retrograde: Kehilangan ingatan atau informasi yang terjadi akibat luka di kepala atau penyakit.
Penderita amnesia retrograde biasanya cenderung kehilangan memori jangka pendek yang terjadi tak
lama sebelum kejadian traumatis."penerj.
isi INFERNO [SC].indd 30 31 Infern o bisa tiba di sini. Anda menggumam dalam bahasa Inggris, jadi
dr. Marconi meminta saya untuk membantu. Saya sedang cuti
pan?jang di sini dari Inggris."
Langdon merasa seakan dirinya terjaga dalam salah satu
lukisan Max Ernst. Apa gerangan yang kulakukan di Italia" Biasanya
Langdon datang kemari setiap Juni dua tahun sekali untuk
menghadiri konferensi seni, tapi ini Maret.
Obat penenang menarik Langdon lebih kuat, dan dia merasa
seakan gravitasi bumi menjadi semakin kuat setiap detiknya,
berupaya menyeretnya ke bawah menembus kasur. Langdon
melawan, mengangkat kepala, berupaya tetap waspada.
Dr. Brooks yang membungkuk di atasnya tampak melayanglayang seperti malaikat. "Saya mohon, Mr. Langdon," bisiknya.
"Trauma kepala sangatlah rentan selama dua puluh empat jam
pertama. Anda harus beristirahat, atau Anda bisa mengalami
kerusakan serius." Mendadak sebuah suara berderak lewat interkom kamar.
"Dr. Marconi?" Dokter berjenggot itu menyentuh tombol di dinding dan
menjawab, "S??"
Suara di interkom berbicara dalam bahasa Italia dengan
cepat. Langdon tidak memahami apa yang dikatakannya, tapi
dia melihat kedua dokter itu saling berpandangan dengan wajah
terkejut. Atau khawatir"
"Momento," jawab dr. Marconi, mengakhiri percakapan.
"Ada apa?" tanya Langdon.
Mata dr. Brooks seakan sedikit menyipit. "Itu resepsionis ICU.
Seseorang hendak menjenguk Anda."
Secercah harapan menembus kepeningan Langdon. "Itu berita
baik! Mungkin orang ini tahu apa yang terjadi padaku."
Perempuan itu tampak tidak yakin. "Aneh, mengapa ada
orang kemari" Kami tidak punya nama Anda, dan Anda bahkan
belum terdaftar dalam sistem rumah sakit."
isi INFERNO [SC].indd 31 32 D an B rown Langdon melawan obat penenang dan dengan kaku mene?
gak?kan tubuh di ranjang. "Jika seseorang tahu saya di sini, orang
itu pasti tahu apa yang terjadi."
Dr. Brooks melirik dr. Marconi, yang langsung menggeleng
dan mengetuk-ngetuk arlojinya. Dia berpaling kembali kepada
Langdon. "Ini ICU," jelasnya. "Tak seorang pun diizinkan masuk hing?
ga setidaknya pukul sembilan pagi. Sebentar lagi dr. Marconi
akan keluar dan melihat siapa pengunjung itu dan apa yang
diinginkannya." "Bagaimana dengan apa yang ku-inginkan?" desak Lang?don.
Dr. Brooks tersenyum sabar dan merendahkan suara, mem?
bungkuk lebih dekat. "Mr. Langdon, ada beberapa hal yang tidak
Anda ketahui mengenai semalam ... mengenai apa yang terjadi
pada Anda. Dan, sebelum Anda bicara dengan siapa pun, saya
rasa cukup adil jika Anda mendengar semua faktanya. Sayangnya,
saya rasa Anda belum cukup kuat untuk?"
"Fakta apa!?" desak Langdon, sambil berjuang untuk semakin
menegakkan tubuh. Infus di lengannya terasa menusuk, dan bobot
tubuhnya seakan beberapa ratus kilogram. "Yang saya ketahui
hanyalah saya berada di rumah sakit di Florence, dan tiba dengan
mengulangi kata-kata "very sorry" ...."
Kini pikiran mengerikan merasuki kepalanya.
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah saya bertanggung jawab dalam sebuah kecela?
ka?an mobil?" tanya Langdon. "Apakah saya mencederai sese?
orang"!" "Tidak, tidak," jawab perempuan itu. "Saya rasa tidak."
"Lalu apa?" desak Langdon, sambil memandang kedua dokter
itu dengan berang. "Saya berhak mengetahui apa yang terjadi!"
Muncul keheningan panjang, dan akhirnya dr. Marconi meng?
angguk dengan enggan kepada kolega mudanya yang cantik itu.
Dr. Brooks mengembuskan napas dan melangkah lebih dekat ke
samping ranjang Langdon. "Oke, biarlah saya ceritakan apa yang
saya ketahui ... dan Anda akan mendengarkan dengan tenang.
Setuju?" isi INFERNO [SC].indd 32 33 Infern o Langdon mengangguk, gerakan kepala itu mengirimkan
denyutan rasa nyeri yang menyebar ke seluruh tengkoraknya.
Dia mengabaikannya, berhasrat mendapat jawaban.
"Yang pertama ... luka kepala Anda bukanlah akibat kece?
lakaan." "Wah, itu melegakan."
"Tidak juga. Luka Anda, sesungguhnya, diakibatkan oleh
sebutir peluru." Monitor jantung Langdon berbunyi lebih cepat. "Apa!?"
Dr. Brooks bicara dengan tenang, tapi cepat. "Sebutir peluru
menyerempet puncak tengkorak Anda dan kemungkinan besar
mengakibatkan gegar otak. Anda beruntung sekali masih hidup.
Seinci lebih rendah, maka ...." Dia menggeleng-gelengkan ke?
pala. Langdon menatapnya dengan tidak percaya. Seseorang menem?
bakku" Suara-suara marah merebak di lorong, sepertinya ada per?
selisihan. Kedengarannya seakan orang yang tiba untuk men?
jenguk Langdon tidak mau menunggu. Nyaris seketika, Langdon
mendengar pintu tebal di ujung jauh lorong mendadak terbuka.
Dia mengamati hingga melihat sebuah sosok berjalan mendekat
di koridor. Perempuan itu mengenakan pakaian yang seluruhnya terbuat
dari kulit hitam. Dia berkulit kecokelatan dan bertubuh tegap,
dengan rambut gelap berbentuk duri. Dia bergerak dengan ringan,
seakan kakinya tidak menyentuh tanah, dan langsung menuju
kamar Langdon. Tanpa ragu, dr. Marconi melangkah ke ambang pintu yang
terbuka untuk menghalangi jalan pengunjung itu. "Ferma!"
perintah lelaki itu, sambil mengangkat sebelah tangannya seperti
polisi. Orang asing itu, tanpa menghentikan langkah, mengeluarkan
sepucuk pistol berperedam. Dia mengarahkannya tepat ke dada
dr. Marconi dan menembak.
Terdengar desis terputus-putus.
isi INFERNO [SC].indd 33 34 D an B rown Langdon menyaksikan dengan ngeri ketika dr. Marconi
mundur dengan sempoyongan ke dalam kamar, jatuh ke lantai,
mencengkeram dada, jas putihnya dibasahi darah.[]
isi INFERNO [SC].indd 34 BAB elapan kilometer di lepas pantai Italia, kapal pesiar
mewah sepanjang 70 meter, The Mendacium, melaju
menembus kabut fajar yang membubung dari gelombang
Laut Adriatik yang bergulung-gulung lembut. Lambung bertipe
kapal penyusup itu dicat kelabu tua, memberinya aura kapal
militer yang tidak ramah.
Dengan label harga di atas 300 juta dolar Amerika, kapal itu
membanggakan semua kenyamanan yang selayaknya"spa, kolam
renang, bioskop, kapal selam pribadi, dan landasan helikopter.
Na?mun, kenyamanan fisik kapal itu hanya sedikit menarik
perhatian pemiliknya, yang menerima kapal pesiar itu lima tahun
lalu dan langsung mengosongkan sebagian besar ruangannya
untuk membangun pusat komando elektronik tingkat-militer
dengan lapisan perlindungan timah.
Dipasok oleh tiga jaringan satelit khusus dan jajaran stasiun
relay yang berlimpah, ruang kendali di The Mendacium disokong
sekitar dua lusin staf"teknisi, analis, koordinator operasi"yang
tinggal di kapal dan selalu terhubung dengan berbagai pusat
operasi darat. Pengamanan di kapal mencakup satu unit kecil tentara yang
dibekali latihan militer, dua sistem pendeteksi rudal, dan berbagai
senjata termutakhir yang tersedia. Staf pendukung lain"tukang
masak, petugas kebersihan dan pelayanan"mendongkrak jumlah
total orang yang berada di kapal menjadi lebih dari empat puluh.
The Mendacium bisa dibilang gedung kantor portabel, menjadi
tempat bagi pemiliknya untuk menjalankan bisnisnya.
isi INFERNO [SC].indd 35 36 D an B rown Lelaki itu, yang hanya dikenal oleh karyawannya sebagai
"Provos", bertubuh pendek kecil dengan kulit gelap dan mata
cekung. Perawakan yang tidak mengesankan dan sikap lugasnya
seakan sangat pas bagi seseorang yang memperoleh kekayaan luar
biasa dengan menyediakan pelayanan pribadi dan rahasia bagi
pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan di wilayah abu-abu
hukum. Dia mendapat banyak julukan"tentara-bayaran keji, fa?
si?l itator dosa, pembantu setan"tapi dia bukan semua itu.
Provos hanya menyediakan kesempatan kepada klien-kliennya
untuk mengejar ambisi dan keinginan mereka tanpa adanya
konsekuensi; bukan urusannya jika umat manusia pada dasarnya
memang berdosa. Tanpa memedulikan para pengumpatnya dan semua ke?
be?ratan etis mereka, kompas moral Provos sangatlah mantap.
Dia membangun reputasinya"dan Konsorsium itu sendiri"
berdasarkan dua peraturan emas.
Jangan pernah membuat janji yang tidak bisa ditepati.
Dan jangan pernah berbohong kepada klien.
Selamanya. Dalam karier profesionalnya, Provos tidak pernah mengingkari
janji atau membatalkan kesepakatan. Perkataannya bisa dian?dal?
kan"jaminan mutlak"dan walaupun jelas ada beberapa kontrak
yang disesalinya, mundur dari kontrak-kontrak itu tidak pernah
menjadi pilihan. Pagi ini, ketika melangkah ke atas balkon privat kabin kapal
pesiarnya, Provos menatap lautan bergelora dan berupaya me?
nying?kirkan keresahan yang muncul dalam dirinya.
Keputusan masa lalu kita adalah arsitek masa kini kita.
Keputusan-keputusan di masa lalu Provos telah membuatnya
berhasil melewati hampir semua ladang ranjau dan selalu muncul
di tempat teratas. Namun, hari ini, ketika me?man?dang lampulampu yang jauh di daratan utama Italia di luar jendela, tidak
seperti biasanya dia merasa gelisah.
isi INFERNO [SC].indd 36 37 Infern o Setahun yang lalu, di atas kapal pesiar yang sama, dia mem?
buat keputusan yang kini mengancam hendak merusak semua
yang telah dibangunnya. Aku setuju untuk memberikan pela?yanan
kepada orang yang keliru. Mustahil bagi Provos untuk me?nge?
tahuinya saat itu, tapi kini kesalahan perhitungan itu telah men?
da?tangkan prahara yang tak terduga, memaksanya mengirim
be?berapa agen terbaiknya ke lapangan disertai perintah agar
me?la?kukan "segala yang diperlukan" untuk mempertahankan
kapal olengnya agar tidak terbalik.
Saat ini Provos sedang menunggu berita dari seorang agen
lapangan. Vayentha, pikirnya, sambil membayangkan agennya yang
ber?otot dan berambut duri itu. Vayentha"yang telah mela?
yaninya dengan sempurna hingga misi ini"semalam melakukan
kesalahan dengan konsekuensi mengerikan. Enam jam terakhir
adalah perjuangan, upaya mati-matian untuk merebut kembali
kendali atas situasi. Vayentha mengatakan kesalahannya diakibatkan oleh kesialan
belaka"dekut mendadak seekor merpati.
Namun, Provos tidak memercayai nasib. Semua yang dilaku?
kannya dirancang untuk meniadakan keacakan dan meng?hi?lang?
kan kebetulan. Pengendalian adalah ke?ahlian Provos"mem?
prediksi segala kemungkinan, meng?anti?sipasi semua respons,
dan membentuk realitas menuju hasil yang diingin?kan. Dia punya
rekam-jejak kesuksesan dan kerahasiaan yang tidak bercela, dan
ini mendatangkan jajaran klien yang mencengangkan"biliuner,
politisi, syaikh-syaikh yang kaya raya, dan bahkan pemerintah
negara-negara tertentu. Di timur, cahaya pertama fajar sudah mulai melenyapkan
bin?tang-bintang terendah di cakrawala. Provos berdiri di atas dek,
dengan sabar menunggu berita dari Vayentha bahwa misinya
telah berjalan persis seperti yang direncanakan.[]
isi INFERNO [SC].indd 37 BAB ekejap Langdon merasa seakan waktu telah berhenti.
Dr. Marconi berbaring tidak bergerak di lantai, darah
me?nyembur dari dadanya. Langdon melawan obat pene?
nang dalam tubuhnya, mengangkat mata memandang pembunuh
berambut duri, yang masih berjalan menyusuri lorong, me?nempuh
beberapa meter terakhir menuju pintu terbuka kamar Langdon.
Ketika mendekati ambang pintu, perempuan itu memandang ke
arah Langdon dan langsung mengayunkan senjata ke arahnya ...
membidik kepalanya. Aku akan mati, pikir Langdon menyadari. Di sini dan seka?
rang. Dentuman itu memekakkan telinga di kamar rumah sakit
yang kecil. Langdon tersentak, merasa yakin dirinya tertembak, tapi itu
bukan suara pistol penyerang tadi. Dentuman itu berasal dari
bantingan pintu logam tebal kamar ketika dr. Brooks menerjang
dan memutar kuncinya. Dengan mata panik ketakutan, dr. Brooks langsung berbalik
dan berjongkok di samping koleganya yang bermandikan darah,
mencari denyut nadi. dr. Marconi terbatuk, mengeluarkan se?
mu?lut-penuh darah yang mengaliri pipi dan membasahi jenggot
tebalnya. Lalu tubuhnya melunglai.
"Enrico, no! Ti prego!"Kumohon!" teriak dr. Brooks.
Di luar, serentetan peluru meledak di bagian luar pintu logam.
Teriakan ketakutan memenuhi lorong.
Entah bagaimana, tubuh Langdon bergerak, kepanikan dan
insting kini mengalahkan obat penenang. Ketika turun dari
isi INFERNO [SC].indd 38 39 Infern o ranjang dengan kaku, rasa nyeri panas-membakar menusuk
lengan kanan bawah Langdon. Sekejap dia mengira sebutir peluru
telah menembus pintu dan mengenainya. Namun, ketika me?ne?
ngok ke bawah, Langdon menyadari infusnya telah terputus. Ka?
teter plastik itu mencuat dari robekan di lengan bawah Langdon,
dan darah hangat sudah mengalir keluar dari slang.
Kini Langdon terjaga sepenuhnya.
Dr. Brooks berjongkok di samping tubuh Marconi, terus men?
cari denyut nadi, sementara air mata menggenangi matanya. Lalu,
seakan sebuah tombol dijentikkan dalam tubuhnya, dia berdiri
dan berpaling kepada Langdon. Ekspresinya berubah di hadapan
mata Langdon, raut wajah mudanya mengeras diiringi semua
ke?tenangan seorang dokter UGD berpengalaman yang sedang
menghadapi krisis. "Ikuti aku," perintahnya.
Dr. Brooks meraih lengan Langdon dan menariknya melintasi
kamar. Suara tembakan dan kekacauan masih berlanjut di lorong
ketika Langdon maju dengan sempoyongan di atas kaki goyah.
Pikirannya terasa waspada, tapi tubuhnya yang terbius-berat
merespons dengan lamban. Bergeraklah! Ubin lantai terasa dingin
di bawah kaki Langdon, dan gaun rumah sakit tipisnya tak cukup
panjang untuk menutupi tubuh jangkung seratus delapan puluh
sentimeternya. Dia bisa merasakan darah menetes dari lengan
bawahnya dan menggenang di telapak tangannya.
Peluru-peluru terus menghantam tombol pintu tebal itu, dan
dr. Brooks mendorong Langdon dengan kasar memasuki kamar
mandi kecil. Dia hendak mengikuti Langdon, tapi kemudian
berhenti, berbalik, berlari kembali menuju meja, lalu meraih jaket
Harris Tweed Langdon yang berdarah.
Lupakan jaket keparatku! Dr. Brooks kembali dengan mencengkeram jaket itu dan
cepat-cepat mengunci pintu kamar mandi. Saat itulah pintu-luar
kamar berdebum terbuka. Dr. Brooks mengambil kendali. Dia berjalan melintasi ka?
mar mandi mungil itu menuju pintu kedua, membukanya, lalu
isi INFERNO [SC].indd 39 40 D an B rown menuntun Langdon memasuki kamar pemulihan yang ber?se?be?
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lahan. Suara tembakan menggema di belakang mereka ketika dr.
Brooks menjulurkan kepala ke lorong dan cepat-cepat meraih
lengan Langdon, menariknya menyeberangi koridor, memasuki
ruang tangga. Gerakan mendadak itu membuat Langdon pening;
dia merasa seakan bisa jatuh pingsan setiap saat.
Lima belas detik berikutnya berupa kekaburan ... tangga
me?nu?run ... tersandung ... terjatuh. Dentam-dentam di kepala
Langdon nyaris tak tertahankan. Kini penglihatannya semakin
kabur, dan otot-ototnya terasa lamban, setiap gerakan terasa
seperti reaksi yang tertunda.
Lalu udara berubah dingin.
Aku berada di luar. Ketika dr. Brooks menggiringnya di sepanjang gang gelap
menjauhi gedung, Langdon menginjak sesuatu yang tajam dan
terjatuh, menumbuk trotoar dengan kerasnya. Perempuan itu
berjuang mengangkat tubuh Langdon, seraya merutuki fakta
bahwa Langdon telah diberi penenang.
Ketika mereka mendekati ujung gang, kembali Langdon
tersandung. Kali ini dr. Brooks membiarkannya di tanah, bergegas
menuju jalanan, dan meneriaki seseorang di kejauhan. Langdon
bisa melihat lampu hijau redup sebuah taksi yang parkir di depan
rumah sakit. Mobil itu tidak bergerak, pasti sopirnya terlelap.
Dr. Brooks berteriak dan melambai-lambaikan kedua lengannya
dengan panik. Akhirnya, lampu depan taksi menyala dan mobil
itu bergerak malas menghampiri mereka.
Di belakang Langdon di gang, sebuah pintu mendadak ter?
buka, diikuti suara langkah kaki yang mendekat dengan cepat.
Langdon menoleh dan melihat sosok gelap itu berjalan ke arahnya.
Dia berupaya untuk kembali berdiri, tapi dr. Brooks sudah me?
raihnya, memaksanya memasuki kursi belakang taksi Fiat yang
berhenti itu. Setengah tubuh Langdon mendarat di kursi dan
setengahnya lagi di lantai, lalu dr. Brooks menerjang ke atas
tubuhnya sambil menarik pintu mobil hingga menutup.
isi INFERNO [SC].indd 40 41 Infern o Sopir bermata mengantuk itu menoleh dan menatap pasangan
ganjil yang baru saja memasuki taksinya"seorang perempuan
muda berambut ekor kuda berseragam operasi dan seorang lelaki
bergaun rumah sakit setengah-koyak dengan lengan berdarah. Dia
jelas hendak menyuruh mereka minggat dari taksinya ketika tibatiba spion-samping hancur. Perempuan berpakaian kulit hitam
itu berlari keluar dari gang dengan pistol teracung. Pistolnya
kembali mendesis, tepat ketika dr. Brooks meraih kepala Langdon,
menariknya ke bawah. Jendela-belakang taksi hancur, menghujani
mereka dengan kaca. Sopir itu tidak memerlukan dorongan lebih lanjut. Dia meng?
hunjamkan kaki ke pedal gas, dan taksi melesat pergi.
Langdon terombang-ambing di ambang kesadaran. Seseorang
berupaya membunuhku"
Begitu mereka berbelok, dr. Brooks duduk tegak dan meraih
lengan berdarah Langdon. Kateter mencuat dari lubang di daging
lengan Langdon. "Lihatlah ke luar jendela," perintah perempuan itu.
Langdon patuh. Di luar, batu-batu nisan pucat melesat pergi
dalam kegelapan. Entah kenapa, melewati pekuburan dalam
pelarian mereka terasa pas. Langdon merasakan jemari tangan
dr. Brooks meraba-raba lembut, lalu secara mendadak mencabut
kateter di lengannya. Sentakan rasa sakit yang membara langsung melesat ke kepala
Langdon. Dia merasakan bola matanya berputar ke belakang, lalu
segalanya berubah hitam.[]
isi INFERNO [SC].indd 41 BAB ering melengking telepon mengalihkan pandangan
Provos dari kabut tenang Laut Adriatik. Cepat-cepat dia
melangkah kembali memasuki kantor kabinnya.
Sudah waktunya, pikirnya, bersemangat mendengar berita.
Layar komputer di mejanya berpendar-pendar menyala,
mem?beri tahu bahwa telepon yang masuk itu berasal dari tele?
pon enkripsi-suara pribadi Sectra Tiger XS Swedia, yang telah
di?arahkan-kembali lewat empat router tak-terlacak sebelum disam?
bungkan dengan kapalnya. Dia memasang headset. "Ini Provos," jawabnya, kata-katanya
pelan dan cermat. "Silakan."
"Ini Vayentha," jawab suara itu.
Provos merasakan kegelisahan yang tidak biasa dalam nada
suara perempuan itu. Agen lapangan jarang bicara dengan Provos
secara langsung, dan bahkan lebih jarang lagi tetap dipekerjakan
setelah kegagalan seperti yang terjadi semalam. Namun, Provos
memerlukan seorang agen di lokasi untuk membantu memulihkan
krisis, dan Vayentha adalah orang terbaik untuk pekerjaan itu.
"Saya punya informasi terbaru," kata Vayentha.
Provos diam, sebagai isyarat agar perempuan itu melan?jut?
kan. Ketika bicara, nada Vayentha tanpa emosi, jelas berupaya
me?nun?jukkan profesionalisme. "Langdon kabur," katanya. "Dia
mem?bawa benda itu."
Provos duduk di mejanya dan tetap diam untuk waktu yang
sangat lama. "Aku mengerti," katanya pada akhirnya. "Ke?mung?
isi INFERNO [SC].indd 42 43 Infern o kinan dia akan menghubungi pihak berwenang secepat mung?
kin." ______ Dua dek di bawah Provos, di dalam pusat kendali keamanan
kapal, fasilitator senior Laurence Knowlton duduk di bilik pri?
badinya dan memperhatikan bahwa telepon-terenkripsi Provos
sudah berakhir. Dia berharap beritanya baik. Ketegangan Provos
jelas terasa selama dua hari terakhir ini, dan semua staf operasi
di atas kapal merasakan adanya semacam operasi berisiko-tinggi
yang sedang berlangsung. Taruhannya luar biasa tinggi, dan sebaiknya Vayentha memper?
baiki?nya kali ini. Knowlton terbiasa mengarahkan rencana permainan yang di?
susun dengan cermat, tapi skenario ini telah berantakan men?jadi
kekacauan, dan Provos telah mengambil alih secara pribadi.
Kami memasuki wilayah tidak dikenal.
Walaupun setengah lusin misi lainnya saat ini sedang berjalan
di seluruh dunia, semua misi itu dilayani oleh berbagai kantor
cabang Konsorsium, membebaskan Provos dan stafnya di atas
The Mendacium untuk memusatkan perhatian secara eksklusif
pada misi ini. Klien mereka melompat menyongsong kematian beberapa
hari yang lalu di Florence, tapi Konsorsium masih punya banyak
pelayanan dalam agenda lelaki itu yang belum dilaksanakan"
tugas-tugas spesifik yang dipercayakan oleh lelaki itu pada
organisasi ini tanpa memedulikan situasinya"dan Konsorsium,
seperti biasa, bermaksud melaksanakan semua tugas itu tanpa
bertanya. Aku menerima perintah, pikir Knowlton, yang bermaksud
sepenuhnya untuk patuh. Dia keluar dari bilik kaca kedap-sua?
ranya, berjalan melewati setengah lusin bilik lain"beberapa
transparan, beberapa buram"tempat para petugas menangani
aspek-aspek lain dari misi yang sama.
isi INFERNO [SC].indd 43 44 D an B rown Knowlton melintasi udara tipis terproses di ruang kendali
utama, mengangguk kepada kru teknik, lalu memasuki bilik
penyimpanan kecil berisikan selusin peti besi. Dia membuka salah
satu peti dan mengeluarkan isinya"memory stick warna merah
menyala. Menurut kartu tugas yang terlampir, memory stick itu
berisikan arsip video besar. Klien telah memerintahkan mereka
untuk mengunggah arsip video itu ke outlet-outlet media utama
pada waktu tertentu besok pagi.
Unggahan anonim besok pagi itu cukup mudah. Namun,
sesuai dengan protokol untuk semua arsip digital, bagan-alir
telah menandai arsip ini agar ditinjau hari ini"dua puluh empat
jam sebelum pelaksanaan"demi memastikan Konsorsium punya
cukup waktu untuk melakukan semua dekripsi, kompilasi, atau
persiapan lain yang harus dilakukan sebelum mengunggah arsip
video itu pada jam yang tepat.
Tidak ada peluang untuk kebetulan.
Knowlton kembali ke bilik transparannya dan menutup pintu
kaca tebal, memblokir dunia luar.
Dia menjentikkan sebuah tombol di dinding, dan biliknya
langsung berubah buram. Demi privasi, semua kantor berdindingkaca di The Mendacium dibangun dengan menggunakan kaca "sus?
pended particle device". Ketransparanan kaca SPD bisa diken?dalikan
dengan mudah lewat pengaliran atau pemutusan arus listrik, yang
menyelaraskan atau mengacakkan jutaan partikel mungil seperti
batang yang tersuspensi di dalam panel kaca.
Pembagian tugas yang ketat adalah dasar kesuksesan Konsor?
sium. Ketahui misimu sendiri saja. Jangan membagikan apa pun.
Kini, terlindung dalam ruang privatnya, Knowlton menyi?sip?
kan memory stick itu ke dalam komputer dan membuka arsipnya
untuk memulai penilaian. Layar komputer langsung berubah hitam ... dan speaker mulai
memperdengarkan suara lembut air yang menerpa. Perlahanlahan muncul gambar di layar ... tak berbentuk dan suram. Sebuah
pemandangan muncul dari kegelapan, mulai berbentuk ... interior
isi INFERNO [SC].indd 44 45 Infern o sebuah gua ... atau semacam bilik raksasa. Lantai gua itu berupa
air, seperti danau bawah-tanah. Anehnya, air itu seakan diterangi
... seakan diterangi dari dalam.
Knowlton belum pernah melihat sesuatu pun yang seperti
itu. Seluruh gua memancarkan warna kemerahan mengerikan,
dinding pucatnya dipenuhi pantulan air beriak-riak yang menye?
rupai sulur. Tempat ... apa ini"
Ketika suara air menerpa itu berlanjut, kamera mulai meng?
arah ke bawah dan turun secara vertikal, langsung menuju air
hingga kamera itu menembus permukaan air. Suara riak air
meng?hilang, digantikan oleh keheningan mengerikan di bawah
air. Kamera itu, yang kini tenggelam, terus turun, bergerak ke
bawah melewati beberapa puluh sentimeter air hingga akhirnya
ber?henti, menyoroti lantai gua yang berlapis lumpur.
Sebuah plakat persegi empat dari titanium berkilau tampak
disekrupkan ke lantai. Plakat itu bertuliskan: DI TEMPAT INI, PADA TANGGAL INI,
DUNIA BERUBAH SELAMANYA. Di bagian bawah plakat, terukir sebuah nama dan tanggal.
Nama itu adalah nama klien Konsorsium.
Tanggalnya ... besok.[] isi INFERNO [SC].indd 45 BAB angdon merasakan tangan-tangan kuat kini mengangkatnya
... menyadarkannya, membantunya keluar dari taksi.
Trotoar te?rasa dingin di bawah kaki telanjangnya.
Setengah disokong oleh tubuh ramping dr. Brooks, Langdon
berjalan sempoyongan menyusuri gang sepi di antara dua gedung
apartemen. Udara fajar berdesir, meniup gaun rumah sakitnya,
dan Langdon merasakan udara dingin di tempat-tempat yang
tidak semestinya. Obat penenang yang diberikan di rumah sakit telah membuat
benak Langdon sama kaburnya dengan penglihatannya. Langdon
merasa seakan berada di bawah air, berupaya mengais-ngais ja?
lan melewati dunia kental yang berpenerangan suram. Sienna
Brooks menyeretnya maju, menyokongnya dengan kekuatan
yang mengejutkan. "Tangga," kata perempuan itu, dan Langdon menyadari
bahwa mereka telah mencapai pintu samping gedung.
Langdon mencengkeram pagar tangga dan berjalan sem?po?
yongan ke atas, selangkah demi selangkah. Tubuhnya terasa lam?
ban. Dr. Brooks mendorongnya. Ketika mereka mencapai puncak
tangga, perempuan itu mengetikkan beberapa angka pada keypad
tua berkarat, lalu pintu mendengung terbuka.
Udara di dalam tidak jauh lebih hangat, tapi lantai ubinnya
terasa seperti karpet lembut di telapak kaki Langdon jika diban?
dingkan dengan trotoar kasar di luar. Dr. Brooks menuntun
Langdon menuju lift mungil dan menarik sebuah pintu lipat
hing?ga terbuka, menggiring Langdon memasuki bilik yang
kira-kira seukuran bilik telepon. Udara di dalam berbau rokok
isi INFERNO [SC].indd 46 47 Infern o MS"aroma manis-pahit yang ada di mana-mana di Italia, sama
seperti aroma kopi espresso segar. Walaupun sedikit, bau itu
mem?bantu menjernihkan benak Langdon. Dr. Brooks menekan
se?buah tombol, dan di suatu tempat yang tinggi di atas mereka,
serang?kaian roda gigi yang lelah bergerak dengan berdentang
dan mendesing. Ke atas .... Lift reyot itu berguncang dan bergetar ketika memulai penda?
kiannya. Karena semua dindingnya hanya terbuat dari jala-jala
logam, Langdon mendapati dirinya mengamati bagian dalam
terowongan lift yang meluncur berirama melewati mereka. Bah?
kan dalam keadaan setengah sadar, ketakutan seumur hidup
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lang?don terhadap ruang sempit tetap hidup sepenuhnya.
Jangan lihat. Langdon bersandar pada dinding, berupaya menghela na?
pas. Lengan bawahnya terasa nyeri dan ketika menengok ke
bawah, dia melihat lengan jaket Harris Tweed-nya telah diikatkan
mengelilingi lengannya seperti perban. Sisa jaketnya terseret di
belakang Langdon di tanah, koyak-koyak dan kotor.
Dia memejamkan mata melawan sakit kepala yang berdentamdentam, tapi kegelapan kembali menguasainya.
Penglihatan yang tidak asing lagi muncul"perempuan ber?
cadar bertubuh tinggi elegan, dengan jimat dan rambut perak
berombak-ombak. Seperti sebelumnya, perempuan itu berdiri di
bantaran sungai semerah darah dan dikelilingi tubuh yang meng?
geliat-geliat. Dia bicara kepada Langdon, suaranya memo?hon.
Carilah, maka akan kau temukan!
Langdon dikuasai oleh perasaan bahwa dia harus menyelamat?
kan perempuan itu ... menyelamatkan mereka semua. Kaki-kaki
terbalik yang setengah-terkubur itu lemas berjatuhan ... satu demi
satu. Siapa kau!" teriaknya dalam keheningan. Apa yang kau ingin?
kan"! Rambut perak lebat perempuan itu mulai berkibaran dalam
angin panas. Waktu kita semakin berkurang, bisiknya sambil me?
isi INFERNO [SC].indd 47 48 D an B rown nyentuh kalung jimatnya. Lalu, secara mendadak, dia meledak
dalam pilar api membutakan yang bergulung-gulung melintasi
sungai, me?landa mereka berdua.
Langdon berteriak, matanya langsung terbuka.
Dr. Brooks memandangnya dengan khawatir. "Ada apa?"
"Saya terus berhalusinasi!" teriak Langdon. "Pemandangan
yang sama." "Perempuan berambut perak" Dan semua mayat itu?"
Langdon mengangguk, keringat membutiri keningnya.
"Anda akan baik-baik saja," kata dr. Brooks, walaupun dia
sendiri kedengaran terguncang. "Penglihatan-berulang umum
terjadi dalam amnesia. Fungsi otak yang menyortir dan menga?
talogkan ingatan-ingatan Anda telah terguncang untuk semen?
tara waktu, sehingga menumpuk segalanya dalam sebuah gam?
baran." "Bukan gambaran yang sangat menyenangkan," kata Lang?
don. "Saya tahu, tapi hingga Anda sembuh, ingatan-ingatan Anda
akan kacau balau dan tidak terkatalogkan"masa lalu, masa kini,
dan imajinasi berbaur menjadi satu. Hal yang sama terjadi dalam
mimpi." Lift berguncang, lalu berhenti. Dr. Brooks menarik pintu-lipat
hingga terbuka. Mereka kembali berjalan, kali ini menyusuri
koridor sempit dan gelap, melewati sebuah jendela. Di luar jendela
tampak siluet suram puncak-puncak atap Florence yang mulai
muncul dalam cahaya menjelang fajar. Sesampai di ujung lorong,
dr. Brooks berjongkok dan mengeluarkan kunci dari bawah ta?
naman hias yang tampak kehausan, lalu membuka pintu.
Apartemen itu mungil, udara di dalamnya menyiratkan per?
tempuran terus-menerus antara lilin beraroma vanila dan karpet
tua. Perabot dan karya seninya bisa dibilang seadanya"seakan
didapat dari obralan barang bekas. Dr. Brooks menyesuaikan
ter?mostat, dan radiator berdentang menyala.
Sejenak perempuan itu berdiri dan memejamkan mata,
meng?hela napas panjang, seakan untuk menenangkan diri. Lalu
isi INFERNO [SC].indd 48 49 Infern o dia berbalik dan membantu Langdon memasuki dapur mungil
se?der?hana yang meja Formica-nya punya dua kursi ringkih.
Langdon bergerak menuju kursi dengan harapan bisa duduk,
tapi dr. Brooks meraih lengannya dengan sebelah tangan dan
membuka lemari dengan tangan yang satu lagi. Lemari itu nyaris
kosong ... biskuit cracker, beberapa kantong pasta, sekaleng Coke,
dan sebotol NoDoz. Dr. Brooks mengambil botol itu dan mengeluarkan enam
kaplet ke telapak tangan Langdon. "Kafein," katanya. "Sering
ku?mi?num kalau dapat giliran kerja malam seperti malam ini."
Langdon meletakkan pil-pil itu di mulut dan memandang ke
sekeliling untuk mencari air.
"Kunyahlah," kata dr. Brooks. "Akan mencapai sirkulasi tubuh
Anda lebih cepat dan membantu melawan obat penenangnya."
Langdon mulai mengunyah dan langsung mengernyit. Pilpil itu pahit, jelas dimaksudkan untuk ditelan secara utuh. Dr.
Brooks membuka kulkas dan menyerahkan sebotol San Pellegrino
setengah-kosong kepada Langdon. Dengan penuh rasa syukur,
Langdon meneguknya banyak-banyak.
Kini dokter berambut ekor kuda itu meraih lengan kanan
Langdon dan melepaskan perban darurat yang dibuatnya dari
jaket Langdon, yang kemudian diletakkannya di meja dapur. Lalu
dengan cermat dia memeriksa luka Langdon. Ketika dr. Brooks
memegangi lengan telanjangnya, Langdon bisa merasakan kedua
tangan ramping itu gemetaran.
"Kau akan hidup," kata perempuan itu.
Langdon berharap dr. Brooks akan baik-baik saja. Dia nyaris
tidak bisa memahami apa yang baru saja mereka alami. "Dr.
Brooks," katanya, "kita perlu menelepon seseorang. Konsulat ...
polisi. Seseorang." Perempuan itu mengangguk setuju. "Juga, kau bisa berhenti
memanggilku dr. Brooks"namaku Sienna."
Langdon mengangguk. "Terima kasih. Aku Robert." Tam?
paknya, ikatan yang baru saja mereka bentuk ketika kabur me?
isi INFERNO [SC].indd 49 50 D an B rown nye?la?matkan diri itu telah mengizinkan mereka saling memanggil
dengan nama pertama. "Kau bilang, kau orang Inggris?"
"Berdasarkan kelahiran, ya."
"Aku tidak mendengar adanya aksen Inggris."
"Bagus," jawab perempuan itu. "Aku bekerja keras meng?
hilangkannya." Langdon hendak bertanya mengapa, tapi Sienna mengisya?
ratkan agar mengikuti. Perempuan itu menuntunnya menyusuri
koridor sempit ke sebuah kamar mandi suram dan kecil. Di cermin
di atas wastafel, Langdon memandang pantulan dirinya untuk
pertama kalinya semenjak pantulan yang kabur di jendela kamar
rumah sakit. Tidak bagus. Rambut lebat Langdon kusut, dan matanya
tampak merah dan lelah. Cambang tipis menutupi rahangnya.
Sienna menyalakan keran dan menuntun lengan bawah
Langdon yang terluka ke bawah air sedingin es. Terasa menye?
ngat, tapi Langdon mempertahankan lengannya di sana sambil
me?ngernyit. Sienna mengambil waslap bersih dan menyemprotnya dengan
sabun antibakteri. "Kau mungkin harus berpaling."
"Tidak apa-apa. Aku tidak terganggu dengan?"
Sienna mulai menggosok keras-keras, dan rasa sakit yang luar
biasa panas menjalari lengan Langdon. Dia mengatupkan rahang
untuk mencegah agar dirinya tidak berteriak memprotes.
"Kau pasti tidak mau kena infeksi," kata Sienna, yang kini
meng?gosok semakin keras. "Lagi pula, jika hendak menelepon
pihak berwenang, sebaiknya kau lebih sadar daripada sekarang.
Tidak ada yang bisa mengaktifkan produksi adrenalin seperti
rasa sakit." Langdon membiarkan penggosokan itu berlangsung sela?ma
waktu yang rasanya seakan sepuluh detik penuh, lalu me?nyen?
takkan lengannya dengan paksa. Cukup! Diakuinya, dia merasa
lebih kuat dan lebih sadar; rasa nyeri di lengannya kini benarbenar mengalahkan sakit kepalanya.
isi INFERNO [SC].indd 50 51 Infern o "Bagus," kata Sienna sambil mematikan keran dan menge?
ringkan lengan Langdon dengan handuk bersih. Lalu perempuan
itu memasang perban kecil di lengan Langdon. Tapi ketika Sienna
berbuat begitu, Langdon mendapati perhatiannya teralihkan oleh
sesuatu yang baru saja disadari olehnya"sesuatu yang sangat
menjengkelkannya. Selama hampir empat dekade, Langdon mengenakan arloji
Mickey Mouse antik edisi kolektor, hadiah dari orangtuanya.
Wajah tersenyum Mickey dan kedua lengannya yang melambailambai bersemangat selalu menjadi pengingat hariannya untuk
lebih sering tersenyum dan menjalani hidup dengan sedikit lebih
santai. "Arloji ... ku," ujar Langdon tergagap. "Hilang!" Tanpa ben?da
itu, mendadak dia merasa tidak lengkap. "Apakah aku menge?
nakannya ketika tiba di rumah sakit?"
Sienna memandangnya dengan tidak percaya, jelas kebi?
ngung?an mengapa Langdon bisa mengkhawatirkan hal seremeh
itu. "Aku tidak ingat adanya arloji. Bersihkan saja dirimu. Aku
akan kembali beberapa menit lagi, lalu kita akan memikirkan cara
mendapatkan pertolongan untukmu." Dia berbalik untuk pergi,
tapi berhenti di ambang pintu, memandang mata Langdon di
cermin. "Dan, sementara aku pergi, kusarankan agar kau berpikir
keras mengapa seseorang ingin membunuhmu. Kubayangkan
itulah pertanyaan pertama yang akan diajukan oleh pihak berwe?
nang." "Tunggu, kau mau ke mana?"
"Kau tidak bisa bicara dengan polisi dalam keadaan setengah
telanjang. Aku akan mencarikanmu pakaian. Tetanggaku kira-kira
berukuran sama denganmu. Dia sedang pergi, dan aku memberi
makan kucingnya. Dia berutang kepadaku."
Seiring perkataan itu, Sienna pergi.
Robert Langdon berpaling kembali ke cermin mungil di atas
wastafel dan nyaris tidak mengenali orang yang membalas tatap?
annya. Seseorang menginginkan kematianku. Dalam benaknya, sekali
lagi dia mendengar rekaman igauannya.
isi INFERNO [SC].indd 51 52 D an B rown Very sorry. Very sorry. Dia menjelajahi ingatannya untuk mengingat-ingat ... apa saja.
Tetapi hanya ada kekosongan. Yang diketahui Langdon hanyalah
dia berada di Florence, menderita luka tembak di kepala.
Sembari menatap mata lelahnya sendiri, Langdon setengah
bertanya-tanya apakah sebentar lagi dirinya akan terbangun di
kursi bacanya di rumah, menggenggam gelas martini kosong
dan buku Dead Souls. Lalu dia harus mengingatkan diri sendiri
bahwa minuman Bombay Sapphire tidak pernah boleh dicampur
dengan Gogol.[] isi INFERNO [SC].indd 52 BAB angdon melepas gaun rumah sakitnya yang bernoda
darah dan membalutkan handuk di pinggang. Setelah
mencipratkan air di wajah, dengan hati-hati dia menyentuh
jahitan-jahitan di belakang kepalanya. Kulitnya terasa nyeri,
tapi ketika dia mengatur rambut lepeknya, luka itu tertutup
seluruhnya. Pil-pil kafein mulai bekerja, dan akhirnya Langdon
merasakan kabut mulai terangkat.
Berpikirlah, Robert. Cobalah mengingat-ingat.
Kamar mandi tak berjendela itu mendadak terasa menye?
sakkan sehingga Langdon melangkah ke lorong, bergerak secara
naluriah menuju sorot cahaya alami yang berasal dari pintu se?
tengah-terbuka di seberang koridor. Ruangan itu berupa se?macam
kamar kerja darurat, dengan meja murah, kursi-putar usang,
ber?bagai buku di lantai, dan, syukurlah ... jendela.
Langdon bergerak menuju cahaya pagi.
Di kejauhan, matahari Tuscany yang sedang terbit baru
saja mencium menara-menara tertinggi kota yang baru terjaga
itu"menara jam, Gereja Badia, Museum Bargello. Langdon mene?
kan?kan kening pada kaca sejuk itu. Udara Maret terasa segar dan
dingin, memperkuat spektrum penuh cahaya matahari yang kini
mengintip di atas lereng-lereng bukit.
Cahaya pelukis, begitulah mereka menyebutnya.
Di tengah garis-langit, sebuah kubah besar dari genting merah
tampak menjulang, puncaknya dihiasi bola tembaga mengilat
yang berkilau seperti lampu-suar. Il Duomo. Brunelleschi telah
membuat sejarah arsitektur dengan membangun kubah besar
basilika itu, dan kini, lebih dari lima ratus tahun kemudian,
isi INFERNO [SC].indd 53 54 D an B rown struktur setinggi 115 meter itu masih mempertahankan posisinya,
raksasa yang tak tergoyahkan di Piazza del Duomo.
Mengapa aku berada di Florence"
Bagi Langdon, pencinta abadi karya seni Italia, Florence telah
menjadi salah satu tujuan favoritnya di seluruh Eropa. Inilah kota
tempat Michelangelo bermain di jalan-jalannya semasa kecil, dan
yang studio-studionya menyulut kebangkitan Renaisans Italia.
Inilah Florence, yang galeri-galerinya memikat jutaan pelancong
untuk mengagumi Birth of Venus karya Botticelli, Annunciation
karya Leonardo, serta kebanggaan utama kota itu"Il Davide.
Langdon terpukau oleh David-nya Michelangelo ketika perta?
ma kali melihatnya semasa remaja ... memasuki Accademia delle
Belle Arti ... berjalan perlahan-lahan melewati deretan muram
Prigioni kasarnya Michelangelo ... lalu merasakan pandangannya
tertarik ke atas, secara tak terhindarkan, menuju mahakarya se?
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggi lima meter itu. Ukuran besar dan bentuk otot-otot David
saja mengejutkan sebagian besar pengunjung pertama, tapi bagi
Langdon, kegeniusan pose David-lah yang menurutnya paling
memukau. Michelangelo menggunakan tradisi klasik contrapposto
untuk menciptakan ilusi bahwa David bertumpu pada kaki ka?
nan?nya, sedangkan kaki kirinya nyaris tidak menyangga be?ban,
padahal sesungguhnya kaki kiri itu menyokong berton-ton
pualam. David telah mencetuskan apresiasi sejati pertama Langdon
terhadap kekuatan patung mahakarya. Kini Langdon bertanyatanya apakah dirinya mengunjungi mahakarya itu dalam be?
berapa hari terakhir ini. Namun, satu-satunya ingatan yang bisa
dihimpunnya hanyalah terjaga di rumah sakit dan menyaksikan
seorang dokter tidak bersalah terbunuh di depan matanya. Very
sorry. Very sorry. Perasaan bersalah yang dirasakannya nyaris memualkan. Apa
yang telah kulakukan"
Ketika berdiri di jendela, sekilas Langdon melirik sebuah
laptop yang tergeletak di meja sebelahnya. Apa pun yang terjadi
isi INFERNO [SC].indd 54 55 Infern o pada dirinya semalam, pikir Langdon, tersadar tiba-tiba, mungkin
ada dalam berita. Jika bisa mengakses Internet, mungkin aku bisa menemukan ja?
wab?an. Langdon berpaling ke ambang pintu dan memanggil,
"Sienna"!"
Hening. Perempuan itu masih berada di apartemen tetangga,
mencari pakaian. Langdon, yang merasa yakin Sienna akan memahami kelan?
cangannya, membuka laptop itu dan menyalakannya.
Monitor laptop Sienna berpendar menyala, dengan latar bela?
kang "awan biru", standar Windows. Langdon langsung masuk ke
halaman-pencari Google Italia dan mengetikkan Robert Langdon.
Seandainya saja mahasiswaku bisa melihatku sekarang, pikir?nya
ketika memulai pencarian. Langdon terus-menerus memper?
ingat?kan para mahasiswanya agar tidak meng-Google diri me?
re?ka sendiri"keisengan ganjil baru cermin obsesi terhadap ke?
masyhuran pribadi yang kini seakan menguasai generasi muda
Amerika. Sebuah halaman hasil pencarian muncul"ratusan hasil me?
nyangkut Langdon, buku-bukunya, ceramah-ceramahnya. Bukan
sesuatu yang sedang kucari.
Langdon membatasi pencarian dengan memilih tombol
berita. Halaman baru muncul: Hasil berita untuk "Robert Langdon".
Penandatanganan buku: Robert Langdon akan muncul ....
Pidato kelulusan oleh Robert Langdon ....
Robert Langdon menerbitkan buku-dasar Simbol untuk ....
Daftarnya sepanjang beberapa halaman, tapi Langdon tidak
melihat sesuatu pun yang baru"jelas tidak ada sesuatu pun yang
bisa menjelaskan kesulitannya saat ini. Apa yang terjadi semalam"
Langdon terus mencari, mengakses situs Web The Florentine,
ko?ran berbahasa Inggris terbitan Florence. Dia meneliti judul
be?rita utama, bagian berita-terbaru, dan blog polisi, melihat
isi INFERNO [SC].indd 55 56 D an B rown artikel mengenai kebakaran apartemen, skandal penggelapan
pemerintah, dan berbagai peristiwa kejahatan ringan.
Tidak ada sesuatu pun"!
Dia berhenti pada kilasan breaking-news mengenai seorang
pejabat kota yang semalam tewas karena serangan jantung di plaza
di luar katedral. Nama pejabat itu masih belum diungkapkan, tapi
tidak ada kecurigaan mengenai pembunuhan.
Akhirnya, karena tidak tahu lagi harus berbuat apa, Langdon
masuk ke akun e-mail Harvard-nya dan memeriksa pesan-pesan,
bertanya-tanya apakah dia bisa menemukan jawaban di sana.
Yang bisa dia temukan hanyalah serangkaian surat biasa dari
para kolega, mahasiswa, dan teman, sebagian besarnya merujuk
pada janji-temu minggu depan.
Tampaknya seakan tak seorang pun mengetahui kepergianku.
Dengan ketidakpastian yang semakin meningkat, Langdon
me?matikan dan menutup laptop. Dia hendak pergi ketika matanya
melihat sesuatu. Di pojok meja Sienna, di atas tum?pukan jurnal
dan makalah kedokteran lama, bertengger sebuah foto Polaroid.
Itu foto Sienna Brooks dan koleganya, dok?ter berjenggot itu, se?
dang tertawa bersama-sama di lorong rumah sakit.
Dr. Marconi, pikir Langdon, yang dikuasai perasaan bersalah
ketika mengambil foto itu dan mengamatinya.
Ketika mengembalikan foto itu ke atas tumpukan buku,
dengan terkejut Langdon mengamati buklet kuning di bagian atas
tumpukan"buklet usang dari London Globe Theatre. Menurut
sampulnya, itu buklet untuk drama A Midsummer Night"s Dream
karya Shakespeare ... dipentaskan hampir dua puluh lima tahun
yang lalu. Di bagian atas buklet terdapat pesan tulisan tangan dengan
spidol Magic Marker: Sayang, jangan pernah lupa bahwa kau adalah
keajaiban. Langdon mengambil buklet drama itu, dan setumpuk kliping
berita berjatuhan ke meja. Dengan cepat, dia berupaya me?ngem?
balikan semuanya, tapi ketika membuka buklet ke halaman
isi INFERNO [SC].indd 56 57 Infern o lapuk tempat kliping-kliping itu berasal, dia langsung berhenti
ber?gerak. Dia sedang menatap foto aktris cilik yang memerankan peri
nakal Shakespeare, Puck. Foto itu menunjukkan seorang gadis
cilik yang usianya tidak mungkin lebih dari lima tahun, dengan
rambut pirang membentuk ekor kuda yang tidak asing lagi.
Teks di bawah foto bertuliskan: Seorang bintang telah lahir.
Biodatanya dipenuhi cerita mengenai seorang pemain teater
cilik yang genius"Sienna Brooks"dengan IQ luar biasa tinggi,
yang dalam waktu semalam telah menghafalkan dialog semua
pe?main dan, selama latihan-latihan awal, sering kali memberi
pe?tunjuk kepada anggota-anggota pemeran lainnya. Kegemaran
gadis berusia lima tahun ini, antara lain biola, catur, biologi, dan
kimia. Sebagai anak pasangan kaya lingkungan Blackheath di
ping?giran Kota London, gadis ini sudah termasyhur di lingkungan
ilmiah. Usia empat tahun, dia telah mengalahkan seorang grand?
master catur dan bisa membaca dalam tiga bahasa.
Astaga, pikir Langdon. Sienna. Itu menjelaskan beberapa hal.
Langdon ingat, salah satu lulusan Harvard yang paling ter?
ke?nal adalah seorang genius cilik bernama Saul Kripke, yang di
usia enam tahun telah mempelajari sendiri bahasa Ibrani dan di
usia dua belas telah membaca semua karya Descartes. Baru-baru
ini, Langdon ingat membaca mengenai seorang gadis muda yang
luar biasa bernama Moshe Kai Cavalin, yang di usia sebelas telah
meraih ijazah perguruan tinggi dengan IPK 4,0 dan merebut gelar
nasional dalam seni bela diri, dan di usia empat belas menerbitkan
buku berjudul We Can Do. Langdon mengambil kliping berita lain, artikel koran dengan
foto Sienna yang berusia tujuh tahun: GENIUS CILIK BER-IQ
208. Langdon tidak menyadari bahwa IQ bahkan bisa setinggi itu.
Menurut artikel itu, Sienna Brooks adalah pemain biola hebat, bisa
menguasai bahasa dalam waktu sebulan, dan sedang mempelajari
sendiri anatomi dan fisiologi.
isi INFERNO [SC].indd 57 58 D an B rown Langdon melihat kliping lain dari sebuah jurnal kedokteran:
MASA DEPAN PIKIRAN: TIDAK SEMUA OTAK DICIPTAKAN
SETARA. Artikel ini menunjukkan foto Sienna, yang saat itu mungkin
berusia sepuluh tahun, masih berambut pirang, berdiri di
samping sebuah perangkat kedokteran besar. Artikelnya memuat
wawancara dengan seorang dokter, yang menjelaskan bahwa
pemindaian PET mengungkapkan bentuk otak kecil Sienna
yang secara fisik berbeda dengan semua otak kecil lainnya.
Otak kecil gadis ini lebih besar dan lebih ramping, mampu
memanipulasi kandungan visual-spasial dengan cara-cara yang
tidak terbayangkan oleh sebagian besar umat manusia. Dokter itu
menyamakan keunggulan fisiologis Sienna dengan pertumbuhan
sel yang luar biasa cepat dalam otaknya; sangat menyerupai
kanker, tapi berupa pertumbuhan cepat jaringan otak yang ber?
man?faat, alih-alih sel-sel kanker berbahaya.
Langdon menemukan kliping dari koran kota-kecil.
KUTUKAN KECERDASAN. Kali ini tidak ada foto, tapi beritanya mengisahkan seorang
genius cilik, Sienna Brooks, yang berupaya menghadiri sekolah
biasa, tapi diejek oleh para pelajar lainnya karena tidak bisa me?
nye?suaikan diri. Berita itu membahas keterasingan yang dira?
sakan oleh orang-orang muda berbakat, yang sering kali diku?
cil?kan karena kemampuan sosial mereka tidak bisa mengikuti
ke?cerdasan mereka. Sienna, menurut artikel ini, melarikan diri dari rumah di
usia delapan tahun, dan cukup pintar untuk hidup sendirian
tan?pa ditemukan selama sepuluh hari. Dia ditemukan di sebuah
hotel kelas atas London. Di sana, dia berpura-pura menjadi
putri seorang tamu, mencuri kunci, dan memesan layanan-ka?
mar dengan meng?gunakan tagihan orang lain. Tampaknya dia
meng?ha?biskan ming?gu itu dengan membaca 1.600 halaman Gray"s
Anatomy. Ketika pihak berwenang bertanya mengapa dia mem?
baca teks ke?dok?teran, dia mengatakan ingin mengetahui apa yang
salah dengan otaknya. isi INFERNO [SC].indd 58 59 Infern o Langdon merasa iba terhadap gadis cilik itu. Dia tidak bisa
membayangkan betapa kesepiannya menjadi anak yang begitu
berbeda. Dia melipat kembali artikel itu, dan berhenti untuk
memandang terakhir kalinya foto Sienna berusia lima tahun
yang memerankan Puck. Langdon harus mengakui, mengingat
betapa sureal perjumpaannya dengan Sienna pagi ini, peranan
perempuan itu sebagai peri nakal pembangkit-mimpi anehnya
seakan pas dengan kondisi sekarang ini. Langdon hanya ber?ha?
rap dirinya, sama seperti tokoh-tokoh dalam drama itu, kini bisa
terbangun dan berpura-pura bahwa semua pengalaman ter?ba?
runya hanyalah mimpi. Dengan cermat, Langdon mengembalikan semua kliping
itu ke halaman yang tepat dan menutup buklet drama itu, lalu
me?ra?sakan kesedihan yang tak terduga ketika sekali lagi melihat
pesan di sampulnya: Sayang, jangan pernah lupa bahwa kau adalah
keajaiban. Mata Langdon bergerak memandang simbol yang sudah
tidak asing lagi yang menghiasi sampul buklet drama itu. Sebuah
piktogram Yunani kuno yang juga menghiasi sebagian besar
buklet drama di seluruh dunia"simbol berusia 2.500 tahun yang
telah disinonimkan dengan pertunjukan drama.
Le maschere. Langdon memandang wajah ikonik Komedi dan Tragedi
yang menatapnya itu, dan mendadak dia mendengar dengung
aneh di telinganya"seakan seutas kabel ditegangkan secara
per?la?han-lahan di dalam benaknya. Tusukan rasa nyeri merebak
di dalam tengkoraknya. Penglihatan mengenai sebuah topeng,
melayang-layang di depan matanya. Langdon terkesiap dan
me?me?gang kepalanya dengan kedua tangan, terduduk di kursi,
isi INFERNO [SC].indd 59 60 D an B rown lalu memejamkan mata rapat-rapat sambil mencengkeram kulit
kepala. Dalam kegelapan, penglihatan-penglihatan ganjil itu datang
kembali dengan garangnya ... jelas dan keji.
Perempuan berambut perak dengan kalung jimat itu kembali
memanggil Langdon dari seberang sungai semerah darah. Te?
riak?an putus asanya menembus udara busuk, jelas terdengar
di antara suara-suara mereka yang tersiksa dan sekarat, yang
meng??geliat-geliat kesakitan sejauh mata memandang. Sekali lagi
Langdon melihat sepasang kaki terbalik yang dihiasi huruf R,
tubuh setengah-terkubur yang menendang-nendangkan kaki di
udara dengan penuh keputusasaan.
Cari dan temukan! teriak perempuan itu kepada Langdon.
Wak?tu hampir habis! Sekali lagi Langdon merasakan keharusan yang teramat sa?
ngat untuk menolong perempuan itu ... untuk menolong semua
orang. Dengan panik, dia membalas berteriak melintasi sungai
semerah darah. Siapa kau"!
Sekali lagi perempuan itu mengangkat tangan dan membuka
cadar untuk mengungkapkan wajah menawan yang sama yang
sudah dilihat oleh Langdon sebelumnya.
Akulah kehidupan, kata perempuan itu.
Mendadak, gambaran kolosal mewujud di langit di atas
perempuan itu"topeng mengerikan berhidung panjang seperti
paruh dan dua mata hijau garang, menatap kosong ke arah
Langdon. Dan ... akulah kematian, sebuah suara menggelegar.[]
isi INFERNO [SC].indd 60 BAB
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ata Langdon langsung terbuka, dan dia menghela napas
dengan terkejut. Dia masih duduk di kursi Sienna,
de??ngan kedua tangan memegangi kepala dan jantung
ber?dentam-dentam panik. Apa gerangan yang terjadi padaku"
Gambaran perempuan berambut perak dan topeng berparuh
itu tertinggal dalam benaknya. Akulah kehidupan. Akulah kematian.
Langdon berupaya mengenyahkan penglihatan itu, tapi gambaran
itu seakan terpatri secara permanen dalam benaknya. Di meja di
depannya, kedua topeng di buklet drama menatapnya.
Ingatan-ingatan Anda akan kacau balau dan tidak terkatalogkan,
kata Sienna tadi. Masa lalu, masa kini, dan imajinasi berbaur menjadi
satu. Langdon merasa pening. Di suatu tempat di dalam apartemen, telepon berdering. De?
ring kuno yang memekakkan telinga, berasal dari dapur.
"Sienna"!" teriak Langdon sambil berdiri.
Tidak ada jawaban. Perempuan itu belum kembali. Setelah
dua dering saja, mesin penjawab telepon mengambil alih.
"Ciao, sono io"Hai, ini aku," suara riang Sienna terdengar di
re?kaman pesan keluarnya. "Lasciatemi un messaggio e vi richiamer?"
Silakan tinggalkan pesan dan aku akan menelepon nanti."
Terdengar bunyi bip, lalu seorang perempuan yang panik
me?ninggalkan pesan dengan aksen Eropa Timur kental. Suaranya
menggema di sepanjang lorong.
"Sienna, ini Danikova! Kau di mana"! Mengerikan! Temanmu,
dr. Marconi, tewas! Rumah sakit kacau balau! Polisi kemari!
isi INFERNO [SC].indd 61 62 D an B rown Kata orang-orang, kau kabur, mencoba menyelamatkan pasien"!
Mengapa!" Kau tidak kenal dia! Kini polisi ingin bicara denganmu! Mereka mengambil arsip karyawan! Aku tahu informasinya
salah"alamat keliru, tanpa nomor, visa kerja palsu"jadi me?reka
tidak menemukanmu hari ini, tapi mereka akan segera me?ne?mu?
kanmu! Aku mencoba memperingatkanmu. Maaf, Sienna."
Telepon berakhir. Langdon merasakan gelombang penyesalan baru kembali
menguasainya. Berdasarkan bunyi pesan itu, dr. Marconi-lah
yang mengizinkan Sienna bekerja di rumah sakit. Kini kehadiran
Langdon telah mengakibatkan tewasnya Marconi, dan naluri
Sienna untuk menyelamatkan orang asing berdampak mengerikan
pada masa depannya. Saat itulah sebuah pintu menutup dengan suara keras di
ujung jauh apartemen. Sienna sudah kembali. Sejenak kemudian, mesin penjawab telepon kembali mem?
bahana. "Sienna, ini Danikova! Kau di mana"!"
Langdon mengernyit, mengetahui apa yang akan didengar
oleh Sienna. Ketika pesan itu berlanjut, cepat-cepat Langdon me?
letakkan buklet drama dan merapikan meja. Lalu dia menye?linap
kembali melintasi lorong, memasuki kamar mandi, merasa tidak
nyaman karena telah menengok sekilas masa lalu Sienna.
Sepuluh detik kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu
ka?mar mandi. "Aku akan menggantungkan pakaianmu di gagang pintu,"
kata Sienna dengan suara parau penuh emosi.
"Terima kasih banyak," jawab Langdon.
"Jika sudah selesai, harap ke dapur," imbuh Sienna. "Ada se?
suatu yang penting yang perlu kutunjukkan kepadamu sebelum
kita menelepon siapa pun."
______ isi INFERNO [SC].indd 62 63 Infern o Sienna berjalan dengan lesu menyusuri lorong menuju kamar
se?derhana apartemen itu. Dia mengambil celana jins dan sweter
dari lemari, lalu membawanya ke kamar mandi.
Dia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, menjulurkan
tangan ke atas, mencengkeram rambut ekor kuda pirang tebalnya,
lalu menariknya ke bawah kuat-kuat, meluncurkan wig pirang
dari kulit kepala botaknya.
Seorang perempuan botak berusia tiga puluh dua tahun me?
natapnya dari cermin. Tidak habis-habisnya tantangan yang harus dihadapi oleh
Sienna dalam hidupnya, dan walaupun dia telah melatih dirinya
sendiri untuk mengandalkan kecerdasan dalam mengatasi ma?
salah, kesulitannya saat ini telah mengguncangnya pada tingkat
yang sangat emosional. Dia meletakkan wig itu, lalu mencuci wajah dan tangan. Se?
te?lah mengeringkan diri, dia berganti pakaian dan memasang
kembali wignya, meluruskannya dengan cermat. Mengasihani
diri sendiri adalah impuls yang jarang ditoleransi oleh Sienna,
tapi kini, ketika air mata menggenang dari tempat yang jauh
di dalam hatinya, dia tahu dirinya tidak punya pilihan, kecuali
membiarkan air mata itu keluar.
Dan itulah yang dilakukannya.
Dia menangisi kehidupan yang tidak bisa dikendalikannya.
Dia menangisi mentor yang tewas di depan matanya.
Dia menangisi perasaan kesepian luar biasa yang memenuhi
hatinya. Tapi, yang terutama, dia menangisi masa depan ... yang men?
dadak terasa begitu tidak pasti.[]
isi INFERNO [SC].indd 63 BAB i bawah dek di kapal mewah The Mendacium, fasilitator
Laurence Knowlton duduk di bilik kaca tertutup dan
menatap monitor komputernya dengan tidak percaya,
setelah meninjau video yang ditinggalkan oleh klien mereka.
Aku harus mengunggah ini ke media besok pagi"
Selama sepuluh tahun bersama Konsorsium, Knowlton telah
melaksanakan segala jenis tugas ganjil yang diketahuinya ber?
ada di suatu tempat antara ketidakjujuran dan ketidaklegalan.
Bekerja dalam area-kelabu moral adalah sesuatu yang biasa di
Kon?sorsium"organisasi yang satu-satunya keunggulan etisnya
adalah melakukan segala yang diperlukan untuk mematuhi janji
terhadap klien. Kami laksanakan. Tanpa mengajukan pertanyaan. Tak peduli apa
pun. Namun, bayangan mengunggah video ini meresahkan Knowl?
ton. Di masa lalu, tak peduli tugas ganjil apa pun yang harus di??lak?
sanakan olehnya, dia selalu memaklumi alasannya ... me?nang?kap
motifnya ... memahami hasil yang diinginkan.
Namun, video ini membingungkan.
Sesuatu mengenai video ini terasa berbeda.
Jauh berbeda. Knowlton duduk kembali di depan komputer, memutarulang video itu, berharap tontonan-ulang bisa memberikan lebih
banyak penjelasan. Dia membesarkan volumenya dan bersiap
untuk pertunjukan sembilan-menit.
Seperti sebelumnya, video itu dimulai dengan terpaan lembut
air dalam gua mengerikan yang dipenuhi air, tempat segalanya
isi INFERNO [SC].indd 64 65 Infern o bermandikan cahaya merah mistis. Sekali lagi kamera menyelam
lewat permukaan air berpenerangan itu untuk menyorot lantai
gua yang berlapis lumpur. Dan sekali lagi Knowlton membaca
teks pada plakat di bawah air itu:
DI TEMPAT INI, PADA TANGGAL INI,
DUNIA BERUBAH SELAMANYA. Meresahkan, karena plakat mengilat itu ditandatangani
oleh klien Konsorsium. Dan Knowlton semakin khawatir karena
tanggalnya adalah besok. Namun, hal berikutnyalah yang benarbenar membuat Knowlton merasa panik.
Kini kamera menyorot ke kiri untuk mengungkapkan benda
mengejutkan yang melayang-layang di bawah air persis di sam?
ping plakat. Di sana, tampak bulatan bergelombang dari plastik tipis yang
ditambatkan ke lantai dengan seutas filamen pendek. Bentuk
trans?paran itu, yang ringkih dan bergoyang-goyang seperti
ge?lembung sabun raksasa, mengapung seperti balon di bawah
air. Isinya bukan helium, melainkan semacam cairan cokelat
ke??ku??ningan yang berbentuk gelatin. Kantong tak berbentuk itu
meng?gembung dan tampaknya berdiameter sekitar tiga puluh
senti?meter. Di dalam dinding transparannya, cairan keruh itu se?
akan berpusar-pusar pelan, seperti mata-badai yang ber?kem?bang
secara diam-diam. Astaga, pikir Knowlton ngeri. Kantong melayang itu bahkan
tampak lebih mengancam ketika dilihat untuk kedua kalinya.
Perlahan-lahan layar berubah hitam.
Gambar baru muncul"dinding lembap gua, menari-nari
ber??sama pantulan beriak-riak laguna bernuansa kemerahan. Mun?
cul bayangan di dinding ... bayangan seorang lelaki ... berdiri di
da?lam gua. Namun, kepala lelaki itu bentuknya aneh ... sangat aneh.
Alih-alih hidung, lelaki itu berparuh panjang ... seakan dia
se?tengah-burung. isi INFERNO [SC].indd 65 66 D an B rown Ketika dia bicara, suaranya teredam ... dan dia bicara dengan
kefasihan mengerikan ... irama yang teratur ... seakan dia adalah
narator dari semacam refrein lagu klasik.
Knowlton duduk tak bergerak, nyaris tak bernapas, ketika
bayangan berparuh itu bicara.
Akulah sang Arwah. Jika kalian menonton ini, artinya jiwaku akhirnya tenang.
Karena terusir ke bawah-tanah, aku harus bicara pada dunia
dari tempat yang jauh di dalam bumi, terasing dalam gua muram
ini, yang air semerah darahnya berkumpul di laguna yang tak
memantulkan bintang-bintang.
Tapi, inilah surgaku ... rahim sempurna untuk anak ringkihku.
Inferno. Sebentar lagi kalian akan tahu apa yang kutinggalkan.
Namun, di sini pun aku merasakan suara langkah jiwajiwa tolol yang mengejarku ... tidak mau menyerah untuk
menggagalkan tindakanku. Ampunilah mereka, mungkin kalian akan berkata begitu,
karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Namun,
tibalah saat dalam sejarah ketika ketidaktahuan bukan lagi
kejahatan yang bisa dimaafkan ... tibalah saat ketika hanya
kebijaksanaan yang punya kekuatan untuk mengampuni.
Dengan kemurnian nurani, aku telah mewariskan kepada
kalian semua hadiah berupa Pengharapan, keselamatan, hari esok.
Namun, masih ada mereka yang memburuku seperti anjing,
dipicu oleh keyakinan picik bahwa aku orang gila. Ada perempuan
cantik berambut-perak yang berani menyebutku monster!
Seperti pastor-pastor buta yang melobi kematian Copernicus, dia
mencemoohku sebagai iblis, ketakutan karena aku telah melihat
Kebenaran. Namun, aku bukan nabi. Akulah keselamatanmu. Akulah sang Arwah.[] isi INFERNO [SC].indd 66 BAB "D uduklah," kata Sienna. "Aku punya beberapa per?
tanyaan untukmu." Ketika memasuki dapur, langkah Langdon
te?rasa jauh lebih mantap. Dia mengenakan setelan Brioni milik
tetangga Sienna, yang luar biasa pas. Bahkan, sepatu kulit san?
tainya terasa nyaman, dan Langdon mengingat-ingat untuk
beralih pada sepatu Italia ketika dia pulang nanti.
Kalau aku pulang, pikirnya.
Sienna berubah, terlihat cantik alami, mengenakan celana jins
ketat dan sweter warna-krem yang menunjang sosok lincahnya.
Rambutnya masih diikat ekor kuda, dan tanpa kesan berwibawa
yang diberikan oleh seragam operasinya, entah kenapa dia tampak
lebih rapuh. Langdon mengamati mata merahnya"perempuan
itu seakan baru saja menangis"dan perasaan bersalah yang begitu
besar kembali menguasainya.
"Sienna, aku sangat menyesal. Aku mendengar pesan lewat
telepon itu. Aku tidak tahu harus berkata apa."
"Terima kasih," jawab perempuan itu. "Tapi kita harus memu?
satkan perhatian kepada-mu pada saat ini. Silakan duduk."
Kini nada suaranya lebih tegas, membangkitkan ingatan Lang?
don terhadap artikel-artikel yang baru saja dibacanya mengenai
kecerdasan dan masa kecil Sienna yang terlalu cepat dewasa.
"Aku ingin kau berpikir," kata Sienna, sambil mengisyaratkan
Langdon untuk duduk. "Bisakah kau mengingat cara kita tiba di
apartemen ini?" Langdon tidak yakin di mana relevansinya. "Dengan taksi,"
jawabnya sambil duduk. "Seseorang menembaki kita."
isi INFERNO [SC].indd 67 68 D an B rown "Menembaki-mu, Profesor. Kita harus jelas soal itu."
"Ya. Maaf." "Dan apakah kau ingat adanya tembakan ketika berada di
dalam taksi?"
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertanyaan ganjil. "Ya. Dua tembakan. Yang satu mengenai
spion-samping, dan yang satu lagi memecahkan jendela bela?
kang." "Bagus, kini pejamkan matamu."
Langdon menyadari bahwa Sienna sedang menguji ingatan?
nya. Dia memejamkan mata.
"Apa yang kukenakan?"
Langdon bisa membayangkan perempuan itu dengan sangat
jelas. "Se?patu datar hitam, celana jins, dan sweter krem berleher-V.
Ram?but?mu pirang, sepanjang bahu, diikat ke belakang. Matamu
cokelat." Langdon membuka mata dan mengamati Sienna, merasa
senang karena ingatan eidetiknya berfungsi normal.
"Bagus. Penanaman kognitif visualmu bagus sekali. Ini me?
ne?gaskan bahwa amnesiamu benar-benar retrograde, dan kau
tidak mengalami kerusakan permanen pada proses pembentukan
ingatan. Sudahkah kau mengingat sesuatu yang baru dari peris?
tiwa beberapa hari terakhir ini?"
"Sayangnya tidak. Tapi aku mendapat gelombang penglihatan
baru ketika kau sedang pergi."
Langdon menceritakan berulangnya halusinasi mengenai
perempuan bercadar, gerombolan orang mati, dan sepasang kaki
setengah-terkubur yang menggeliat-geliat dan ditandai huruf R.
Lalu dia menceritakan topeng ganjil berparuh yang melayanglayang di langit.
?"Akulah kematian?"" tanya Sienna, tampak khawatir.
"Itulah yang dikatakannya. Ya."
"Oke .... Kurasa, perkataan itu mengalahkan "Akulah Vishnu,
penghancur dunia.?" Perempuan muda itu baru saja mengutip kata-kata Robert
Oppenheimer ketika menguji bom atom pertama.
isi INFERNO [SC].indd 68 69 Infern o "Dan, topeng bermata-hijau ... berhidung paruh ini?" tanya
Sienna, tampak kebingungan. "Tahukah kau mengapa benakmu
memunculkan gambaran itu?"
"Sama sekali tidak, tapi gaya topeng itu cukup lumrah pada
Abad Pertengahan." Langdon terdiam. "Itu disebut topeng wa?
bah." Aneh sekali, Sienna tampak sangat gelisah. "Topeng wa?
bah?" Langdon cepat-cepat menjelaskan bahwa dalam dunia simbol,
bentuk unik topeng berparuh-panjang itu nyaris sinonim dengan
Kematian Hitam (Black Death)"wabah mematikan yang menyapu
Eropa pada tahun 1300-an, membunuh sepertiga populasi di
be??berapa daerah. Sebagian besar orang percaya bahwa "hitam"
dalam Kematian Hi?tam merujuk pada gelapnya daging korban
karena gangren dan pendarahan di bawah kulit, tapi sesungguhnya
kata hitam itu merujuk pada kengerian emosional yang luar biasa
karena pan?demi itu menyebar ke seluruh populasi.
"Topeng berparuh-panjang itu," kata Langdon, "dikenakan
oleh para dokter wabah Abad Pertengahan untuk menjauhkan
penyakit menular itu dari lubang hidung mereka ketika sedang
mengobati pasien yang terinfeksi. Dewasa ini, kau hanya melihat
topeng itu dikenakan sebagai kostum saat Venice Carnevale"
pengingat mengerikan terhadap periode muram dalam sejarah
Italia." "Dan kau yakin melihat salah satu topeng ini dalam pengli?
hatanmu?" tanya Sienna, suaranya kini bergetar. "Topeng dokter
wabah Abad Pertengahan?"
Langdon mengangguk. Dia tak mungkin keliru, topeng berparuh
itu sangat jelas. Sienna mengernyitkan dahi dengan cara yang membuat
Langdon merasa perempuan itu sedang berupaya mencari cara
terbaik untuk menyampaikan berita buruk. "Dan perempuan itu
terus memberitahumu untuk "mencari dan menemukan?""
"Ya. Persis seperti sebelumnya. Tapi masalahnya, aku sama
sekali tidak tahu apa yang seharusnya kucari."
isi INFERNO [SC].indd 69 70 D an B rown Sienna mengembuskan napas pelan dan panjang, ekspresinya
muram. "Kurasa, aku mungkin tahu. Lagi pula ... kurasa kau
mung??kin sudah menemukannya."
Langdon ternganga. "Kau bicara apa?"
"Robert, semalam ketika kau tiba di rumah sakit, kau mem?
bawa sesuatu yang tidak biasa di saku jaketmu. Kau ingat apa
itu?" Langdon menggeleng. "Kau membawa sebuah benda ... benda yang cukup menge?
jutkan. Aku menemukannya secara kebetulan ketika kami sedang
membersihkan tubuhmu." Sienna menunjuk jaket Harris Tweed
berlumur-darah Langdon, yang terhampar di meja. "Masih ada
di dalam saku, jika kau ingin melihatnya."
Dengan bimbang, Langdon memandang jaketnya. Setidaknya
itu menjelaskan mengapa Sienna kembali untuk mengambil jaketku.
Dia meraih jaketnya yang bernoda darah dan menggeledah se?
mua sakunya satu per satu. Nihil. Dia melakukannya sekali lagi.
Akhirnya, dia berpaling kepada Sienna sambil mengangkat bahu.
"Tidak ada apa-apa di sini."
"Bagaimana dengan saku rahasia?"
"Apa" Jaketku tidak punya saku rahasia."
"Benarkah?" Sienna tampak kebingungan. "Kalau begitu,
ja?ket ini ... milik orang lain?"
Otak Langdon kembali terasa kacau. "Tidak, ini jaket-ku."
"Kau yakin?" Yakin sekali, pikir Langdon. Ini jaket Camberley favoritku.
Dia melipat keluar lapisan jaketnya dan memperlihatkan
label dengan simbol favoritnya di dunia pakaian"bulatan ikonik
Harris Tweed yang dihiasi tiga belas permata seperti kancing,
de?ngan salib Maltese di bagian atasnya.
Serahkan pada orang Skotlandia untuk bisa membangkitkan sema?
ngat para pejuang Kristen di atas secarik kain twill.
"Lihat ini," kata Langdon sambil menunjuk inisial bordirantangan"R.L."yang telah diimbuhkan pada label itu. Dia se?lalu
membeli model Harris Tweed jahitan-tangan, dan selalu mem?
isi INFERNO [SC].indd 70 71 Infern o ba?yar lebih agar mereka menjahitkan inisial namanya pada label.
Di kampus universitas, tempat ratusan jaket tweed terus-menerus
dile?paskan dan dipakai di ruang makan dan kelas, Langdon tidak
ingin mendapat jaket yang buruk karena tertukar secara tidak
sengaja. "Aku memercayaimu," kata Sienna sambil mengambil jaket
itu dari Langdon. "Kini lihatlah."
Sienna membuka jaket itu lebih jauh untuk menunjukkan
lapisan di dekat tengkuk belakang. Di sana, tersembunyi dalam
lapisan jaket, terdapat saku besar yang dibuat dengan rapi.
Apa pula itu"! Langdon merasa yakin tidak pernah melihatnya sebelum?
nya. Saku itu berupa keliman tersembunyi yang dijahit dengan
sem?purna. "Itu tidak ada di sana sebelumnya!" kata Langdon ngotot.
"Kalau begitu, kubayangkan kau tidak pernah melihat ...
ini?" Sienna merogoh saku itu dan mengeluarkan sebuah benda
logam mengilat, yang diletakkannya dengan hati-hati di tangan
Langdon. Langdon menunduk menatap benda itu dengan sangat kebi?
ngungan. "Kau tahu apa ini?" tanya Sienna.
"Tidak ...," jawab Langdon tergagap. "Aku tidak pernah me?
lihat se?suatu yang seperti ini."
"Sayangnya, aku tahu apa ini. Dan aku yakin sekali, inilah
alasan mengapa seseorang berupaya membunuhmu."
______ Kini, ketika berjalan mondar-mandir di bilik privatnya di The Men?
dacium, fasilitator Knowlton merasakan kegelisahan yang se?makin
meningkat ketika memikirkan video yang harus dise?bar?kannya
pada dunia besok pagi. Akulah sang Arwah" isi INFERNO [SC].indd 71 72 D an B rown Telah beredar desas-desus bahwa klien khusus ini mengalami
serangan psikotik selama beberapa bulan terakhir, dan video ini
seakan menegaskan desas-desus itu dengan pasti.
Knowlton tahu, dia punya dua pilihan. Dia bisa menyiapkan
video itu untuk diunggah besok seperti yang dijanjikan, atau
dia bisa membawanya kepada Provos untuk mendapat opini
ke?dua. Aku sudah tahu opininya, pikir Knowlton, yang tidak pernah
menyaksikan Provos melakukan tindakan selain yang telah di?
janjikannya kepada klien. Dia akan menyuruhku mengunggah video
ini untuk dunia, tanpa mengajukan pertanyaan ... dan dia akan marah
karena aku bertanya. Knowlton mengalihkan kembali perhatiannya pada video
itu, yang diputarnya ulang hingga ke bagian yang meresahkan.
Dia mulai menjalankan video itu kembali, dan gua yang diterangi
secara mengerikan itu muncul kembali, diiringi suara air menerpa.
Bayangan menyerupai manusia itu menjulang di dinding yang
meneteskan air"lelaki jangkung dengan paruh panjang seperti
burung. Dengan suara teredam, bayangan berbentuk ganjil itu bi?
cara: Ini Abad Kegelapan baru. Berabad-abad lalu, Eropa berada dalam jurang
penderitaannya sendiri"populasinya berdesakan, kelaparan,
terperosok dalam dosa dan keputusasaan. Mereka seperti hutan
yang padat, disesaki pohon mati, menunggu sambaran petir
Tuhan"percikan yang akhirnya akan menyulut api yang merebak
ke seluruh negeri dan membersihkan kayu-kayu mati, sekali lagi
mendatangkan cahaya matahari bagi akar-akar yang sehat.
Penyiangan adalah Tatanan Alami Tuhan.
Tanyalah diri kalian sendiri, Apa yang terjadi setelah Kematian
Hitam" Kita semua tahu jawabannya.
Renaisans. isi INFERNO [SC].indd 72 73 Infern o Kelahiran-kembali. Selalu dengan cara begini. Kematian diikuti oleh kelahiran.
Untuk mencapai Paradise (Surga), manusia harus melewati
Inferno (Neraka). Ini diajarkan oleh sang master kepada kita.
Namun, perempuan tolol berambut-perak itu berani
menyebutku monster" Apakah dia masih belum memahami
matematika masa depan" Kengerian yang akan didatangkannya"
Akulah sang Arwah. Akulah keselamatanmu. Maka aku berdiri, jauh di dalam gua ini, memandang melintasi
laguna yang tak memantulkan bintang-bintang. Di sini, di dalam
istana tenggelam ini, Inferno membara di bawah perairan.
Tak lama, Inferno akan meledak menjadi lidah-lidah api.
Dan ketika itu terjadi, tidak ada sesuatu pun di dunia yang bisa
menghentikannya.[] isi INFERNO [SC].indd 73 BAB enda di tangan Langdon terasa mengejutkan beratnya,
mengingat ukurannya. Silinder logam mengilat itu, ram?
ping dan halus, panjangnya sekitar enam inci dan mem?
bu?lat di kedua ujungnya seperti torpedo mini.
"Sebelum benda itu kau tangani terlalu kasar," kata Sienna,
"mungkin kau ingin melihat sisi lainnya." Perempuan itu terse?
nyum tegang. "Kau bilang, kau profesor simbologi?"
Langdon memusatkan perhatian kembali pada tabung itu,
memutarnya di tangan hingga simbol merah terang itu bergulir
ke dalam pandangan, terpampang di sisi tabung.
Tubuhnya langsung menegang.
Langdon tahu, sebagai orang yang mempelajari ikonografi,
hanya sedikit sekali gambar yang punya kekuatan untuk mena?
namkan ketakutan seketika dalam benak manusia. Tetapi, simbol
di hadapannya jelas termasuk dalam daftar itu. Reaksi Langdon
lang?sung dan naluriah; dia meletakkan tabung itu di meja dan
me?mun?durkan kursi. Sienna mengangguk. "Ya, reaksiku juga begitu."
Tanda di tabung berupa ikon tiga-segi sederhana.
Langdon pernah membaca bahwa simbol terkenal ini dikem?
bangkan oleh Dow Chemical pada 1960-an untuk menggantikan
serangkaian gambar peringatan melempem yang sebelumnya
di?gu?nakan. Seperti semua simbol sukses lainnya, simbol ini seder?
isi INFERNO [SC].indd 74 75 Infern o hana, berbeda, dan gampang direproduksi. Simbol "biohazard"
mo?dern ini, yang secara cerdik membangkitkan asosiasi terhadap
segalanya mulai dari capit kepiting hingga pisau-lempar ninja,
telah menjadi merek global yang mengungkapkan bahaya dalam
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
se?mua bahasa. "Wadah kecil ini tabung-bio," jelas Sienna. "Digunakan untuk
mengangkut substansi berbahaya. Kami terkadang melihatnya
da?lam bidang kedokteran. Di dalamnya terdapat selongsong
busa yang bisa disisipi tabung spesimen yang hendak diangkut
dengan aman. Dalam hal ini ...." Dia menunjuk simbol biohazard
itu. "Kurasa, agen kimia berbahaya ... atau mungkin ... virus?"
Dia ter?diam. "Sampel Ebola pertama didatangkan dari Afrika
dalam tabung serupa."
Ini sama sekali bukan sesuatu yang ingin didengar oleh
Langdon. "Mengapa pula benda ini ada dalam jaketku! Aku pro?
fesor sejarah seni, mengapa aku membawa benda ini"!"
Gambaran mengerikan tubuh-tubuh yang menggeliat-geliat
berkelebat dalam benaknya ... dan topeng wabah melayang di
atas semuanya itu. Very sorry ... very sorry.
"Dari mana pun benda ini berasal," kata Sienna, "ini unit yang
sangat canggih. Titanium berlapis-timah. Benar-benar tidak bisa
ditembus, bahkan oleh radiasi. Kurasa milik pemerintah." Dia
menunjuk bantalan hitam seukuran prangko di samping simbol
biohazard itu. "Kunci dengan sidik jari jempol. Pengaman, kalaukalau benda ini hilang atau dicuri. Tabung seperti ini hanya bisa
dibuka oleh individu tertentu."
Walaupun merasakan benaknya kini bekerja dengan kece?
patan normal, Langdon masih merasa seakan berjuang untuk
me?ma?hami. Aku membawa wadah yang tersegel secara biometris.
"Ketika menemukan wadah ini dalam jaketmu, aku ingin me?
nunjukkannya kepada dr. Marconi, tapi tidak punya kesempatan
sebelum kau terbangun. Aku berpikir untuk mencoba jempolmu
di bantalan saat kau masih tidak sadarkan diri, tapi aku sama
sekali tidak tahu apa yang ada di dalam tabung itu, dan?"
isi INFERNO [SC].indd 75 76 D an B rown "Jempol-KU"!" Langdon menggeleng-gelengkan kepala.
"Mustahil benda ini diprogram untuk bisa ku-buka. Aku tidak
tahu apa-apa soal biokimia. Aku tidak pernah punya sesuatu pun
yang seperti ini." "Kau yakin?" Langdon yakin sekali. Dia menjulurkan tangan dan mele?tak?
kan jempolnya di bantalan jari. Tidak terjadi sesuatu pun. "Benar,
kan"! Sudah kubilang?"
Tabung titanium itu berbunyi klik keras, dan Langdon buruburu menyentakkan tangannya seakan terbakar. Astaga. Dia
me?natap seakan wadah itu hendak membuka sendiri dan mulai
me?mancarkan gas mematikan. Setelah tiga detik, wadah itu kem?
bali berbunyi klik, tampaknya mengunci kembali.
Langdon, yang tak mampu berkata-kata, berpaling kepada
Sienna. Dokter muda itu mengembuskan napas, tampak gelisah.
"Wah, tampaknya jelas sekali kaulah yang dimaksudkan untuk
mem?bawanya." Bagi Langdon, seluruh skenario itu terasa tidak logis. "Itu
mus?tahil. Pertama-tama, bagaimana aku bisa meloloskan sepotong
logam ini melewati keamanan bandara?"
"Mungkin kau terbang dengan jet privat" Atau mungkin
benda itu diberikan kepadamu ketika kau tiba di Italia?"
"Sienna, aku harus menelepon konsulat. Segera."
"Menurutmu, kita tidak perlu membukanya terlebih da?
hulu?" Langdon pernah melakukan beberapa tindakan ceroboh
dalam hidupnya, tapi membuka wadah materi berbahaya di dapur
perempuan ini tidak akan menjadi salah satunya. "Aku akan
menyerahkan benda ini kepada pihak berwenang. Sekarang."
Sienna mengerutkan bibir, merenungkan pilihan-pilihan.
"Oke, tapi begitu kau menelepon, kau sendirian. Aku tidak bisa
terlibat. Kau jelas tidak bisa menemui mereka di sini. Situasi
imigrasiku di Italia ... rumit."
isi INFERNO [SC].indd 76 77 Infern o Langdon memandang mata Sienna. "Yang kuketahui, Sienna,
kau menyelamatkan hidupku. Aku akan menangani situasi ini
dengan cara apa pun yang kau kehendaki."
Perempuan itu mengangguk berterima kasih dan berjalan ke
jendela, menunduk memandang jalanan di bawah sana. "Oke,
beginilah cara kita melakukannya."
Dengan cepat Sienna menjelaskan sebuah rencana. Itu rencana
yang sederhana, cerdik, dan aman.
Langdon menunggu ketika Sienna mengaktifkan pemblokir
identitas-penelepon di ponselnya dan menekan nomor telepon.
Jemari tangannya lembut, tapi bergerak dengan mantap.
"Informazioni abbonati??"Informasi?" tanya Sienna, yang bicara
dengan aksen Italia tak bercela. "Per favore, pu? darmi il numero del
Consolato Americano di Firenze?"Tolong, nomor telepon Konsulat
Amerika di Florence?"
Dia menunggu, lalu cepat-cepat menuliskan sebuah nomor
telepon. "Grazie mille"Terima kasih banyak," katanya sebelum meng?
akhiri pembicaraan. Sienna menyorongkan nomor telepon itu kepada Langdon
bersama-sama dengan ponselnya. "Giliranmu. Kau ingat apa
yang harus dikatakan?"
"Ingatanku baik-baik saja," jawab Langdon sambil tersenyum
ketika memutar nomor yang tertera pada secarik kertas itu.
Telepon mulai berdering di ujung yang lain.
Ini dia. Langdon mengaktifkan speaker dan meletakkan ponsel itu
di meja sehingga Sienna bisa mendengarnya. Pesan terekam
terdengar menjawab, menawarkan informasi umum mengenai
layanan konsulat dan jam operasi, yang baru dimulai pukul 8.30
pagi. Langdon menengok jam di ponsel. Baru pukul 6 pagi.
"Jika ini darurat," kata rekaman otomatis itu, "Anda bisa me?
mu?tar tujuh-tujuh untuk bicara dengan petugas-jaga ma?lam."
Langdon langsung menekan nomor ekstensi itu.
isi INFERNO [SC].indd 77 78 D an B rown Telepon kembali berdering di ujung yang satunya.
"Consolato Americano"Konsulat Amerika," jawab sebuah suara
lelah. "Sono il funzionario di turno"Dengan petugas jaga."
"Lei parla inglese?"Apakah Anda bicara bahasa Inggris?" tanya
Langdon. "Tentu saja," kata lelaki itu dalam bahasa Inggris Amerika.
Dia kedengaran sedikit jengkel karena dibangunkan. "Ada yang
bisa dibantu?" "Saya orang Amerika yang sedang mengunjungi Florence
dan saya diserang. Nama saya Robert Langdon."
"Nomor paspor?" Lelaki itu kedengaran menguap.
"Paspor saya hilang. Saya rasa dicuri. Kepala saya tertembak.
Saya sudah ke rumah sakit. Saya perlu pertolongan."
Mendadak petugas itu terjaga. "Pak!" Anda mengatakan ter?
tembak" Sekali lagi, siapa nama lengkap Anda?"
"Robert Langdon."
Terdengar suara gemeresik di telepon, lalu Langdon bisa
men?dengar jemari lelaki itu mengetik di keyboard. Komputer ber?
denting. Hening. Lalu jemari lagi di keyboard. Denting lagi. Lalu
tiga denting nyaring. Keheningan yang lebih panjang.
"Pak?" tanya lelaki itu. "Nama Anda Robert Langdon?"
"Ya, benar. Dan saya dalam masalah."
"Oke, Pak, nama Anda telah ditandai, mengarahkan saya
agar mentransfer telepon Anda secara langsung kepada kepala
administrator konsul jenderal." Lelaki itu terdiam, seakan dia
sen?diri juga tidak percaya. "Tunggu sebentar."
"Tunggu! Bisakah Anda memberi tahu?"
Telepon sudah berdering di ujung yang satunya.
Terdengar empat dering, lalu telepon tersambung.
"Ini Collins," kata sebuah suara parau.
Langdon menghela napas panjang, lalu bicara setenang dan
sejelas mungkin. "Mr. Collins, nama saya Robert Langdon. Saya
Eksperimen The Experiment 3 Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian Walet Emas Perak 4
INFERNO Diterjemahkan dari Inferno
Karya Dan Brown Terbitan Doubleday, New York, 2013
Cetakan Pertama, September 2013
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno dan Berliani Mantili Nugrahani
Penyunting: Tim Redaksi Book design by Maria Carella
Jacket design by Michael J. Windsor
Jacket photographs: Dante ? Imagno/Hulton Archive/Getty Images;
Florence ? Bread and Butter/Getty Images
Pemeriksa aksara: Eti Rohaeti dan Oclivia Dwiyanti P.
Penata aksara: Cahyono Digitalisasi: Tim Konversi Mizan Publishing House
Copyright ? 2013 by Dan Brown
Graph "Special Report: How Our Economy Is Killing the Earth" (New Scientist, 10/16/08) copyright
? Reed Business Information"UK.
All rights reserved. Distributed by Tribune Media Services.
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit Bentang
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang
(PT Bentang Pustaka) Anggota IKAPI Jln. Kalimantan G-9A, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55204
Telp./Faks. (0274) 886010
e-mail: info@mizan.com http://www.mizan.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Brown, Dan Inferno/Dan Brown; penerjemah, Ingrid Dwijani Nimpoeno, Berliani Mantili Nugrahani;
penyunting, Tim Redaksi"Yogyakarta: Bentang, 2013.
644 hlm.; 23,5 cm. Judul asli: Inferno ISBN 978-602-7888-55-5 (softcover)
1. Fiksi Inggris (Bahasa Indonesia).
III. Berliani Mantili Nugrahani.
I. Judul. IV. Tim Redaksi. II. Ingrid Dwijani Nimpoeno.
823 Didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing (MDP)
Jln. T. B. Simatupang Kv. 20,
Jakarta 12560 - Indonesia
Telp. (021) 78842005 " Faks. (021) 78842009
website: www.mizan.com e-mail: mizandigitalpublishing@mizan.com
gtalk: mizandigitalpublishing
twitter: @mizandotcom t.c UNTUK ORANGTUAKU ... isi INFERNO [SC].indd 5 t.c isi INFERNO [SC].indd 6 U c apan Ter ima Ka sih capan terima kasihku yang paling tulus dan rendah hati
kepada: Seperti biasa, yang pertama dan terutama, editor dan
saha?batku, Jason Kaufman, untuk dedikasi dan talentanya ... tapi
ter?utama untuk rasa humor yang tiada habisnya.
Istriku yang luar biasa, Blythe, untuk cinta dan kesabarannya
terhadap proses penulisan buku ini, juga untuk insting dan ke?tu?
lusannya yang menakjubkan sebagai editor garda-depan.
Agen yang tidak kenal lelah dan teman terpercayaku, Heide
Lange, yang dengan ahlinya mengarahkan banyak percakapan,
di banyak negara, mengenai lebih banyak topik daripada yang
pernah kukenal. Untuk keahlian dan energinya, aku berterima
kasih selamanya. Seluruh tim di Doubleday untuk keantusiasan, kreativitas, dan
upaya mereka demi buku-bukuku, disertai ucapan terima ka?sih
yang sangat khusus kepada Suzanne Herz (yang memikul begitu
banyak tanggung jawab ... dan memikul semuanya dengan sangat
baik), Bill Thomas, Michael Windsor, Judy Jacoby, Joe Gallagher,
Rob Bloom, Nora Reichard, Beth Meister, Maria Carella, Lorraine
Hyland, juga untuk dukungan yang tiada habisnya dari Sonny
Mehta, Tony Chirico, Kathy Trager, Anne Messitte, dan Markus
Dohle. Kepada orang-orang yang luar biasa di departemen pen?
jualan Random House ... kalian tiada tandingannya.
Penasihat bijakku, Michael Rudell, untuk instingnya yang jitu
dalam segala hal, besar dan kecil, dan untuk persa?habat?an?nya.
isi INFERNO [SC].indd 7 D an B rown Asistenku yang tak tergantikan, Susan Morehouse, untuk
ke?ang?gunan dan vitalitasnya; karena tanpanya, segalanya akan
ka?cau. Semua temanku di Transworld, terutama Bill Scott-Kerr untuk
kreativitas, dukungan, dan penghiburannya, juga kepada Gail
Rebuck untuk kepemimpinannya yang luar biasa.
Penerbit bukuku di Italia, Mondadori, terutama Ricky
Cavallero, Piera Cusani, Giovanni Dutto, Antonio Franchini, dan
Claudia Scheu; dan penerbit bukuku di Turki, Altin Kitaplar,
terutama Oya Alpar, Erden Heper, dan Batu Bozkurt, untuk la?
yanan istimewa yang diberi?kan sehubungan dengan lokasi-lokasi
dalam buku ini. Para penerbitku yang luar biasa di seluruh dunia, untuk gai?
rah, kerja keras, dan komitmen mereka.
Untuk manajemen situs penerjemahan yang mengesankan
di London dan Milan, Leon Romero-Montalvo dan Luciano
Guglielmi. Dr. Marta Alvarez Gonz?lez yang cerdas, yang menghabiskan
begitu banyak waktu bersama kami di Florence dan yang meng?
hidupkan karya seni dan arsitektur kota itu.
Maurizio Pimponi yang tiada duanya, untuk semua yang dila?
kukannya demi menyempurnakan kunjungan kami ke Italia.
Semua sejarahwan, pemandu, dan spesialis yang dengan
murah hati menghabiskan waktu bersamaku di Florence dan
Venesia dan membagikan keahlian mereka: Giovanna Rao dan
Eugenia Antonucci di Biblioteca Medicea Laurenziana; Serena
Pini dan staf di Palazzo Vecchio; Giovanna Giusti di Galeri
Uffizi; Barbara Fedeli di Baptistery dan Il Duomo; Ettore Vio dan
Massimo Bisson di Basilika Santo Markus; Giorgio Tagliaferro
di Istana Doge; Isabella di Lenardo, Elizabeth Carroll Consavari,
dan Elena Svalduz di seluruh Venesia; Annalisa Bruni dan staf di
Biblioteca Nazionale Marciana; dan kepada banyak orang lainnya
yang tidak bisa kusebut dalam daftar singkat ini, terimalah ucapan
terima kasihku yang tulus.
isi INFERNO [SC].indd 8 Infern o Rachael Dillon Fried dan Stephanie Delman di Sanford J.
Greenburger Associates untuk segala yang mereka lakukan, baik
di sini maupun di luar negeri.
Dr. George Abraham, Dr. John Treanor, dan Dr. Bob Helm
yang luar biasa cerdas untuk keahlian ilmiah mereka.
Para pembaca awalku yang memberikan perspektif di sepan?
jang perjalanan buku ini: Greg Brown, Dick dan Connie Brown,
Rebecca Kaufman, Jerry dan Olivia Kaufman, dan John Chaffee.
Genius-Internet Alex Cannon yang, bersama-sama dengan
tim di Sanborn Media Factory, mempertahankan agar segalanya
terus berdengung di dunia daring.
Judd dan Kathy Gregg yang memberiku tempat perlindungan
tenang di dalam Green Gables ketika aku menulis bab-bab terakhir
buku ini. Sumber-sumber daring yang luar biasa: Princeton Dante
Project, Digital Dante di Columbia University, dan the World of
Dante.[] isi INFERNO [SC].indd 9 t.c isi INFERNO [SC].indd 10 t.c isi INFERNO [SC].indd 11 t.c isi INFERNO [SC].indd 12 Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka
yang tetap bersikap netral di saat krisis moral.
isi INFERNO [SC].indd 13 t.c isi INFERNO [SC].indd 14 FAKTA: Semua karya seni, kesusastraan, dan referensi sejarah dalam
novel ini nyata. "Konsorsium" adalah organisasi swasta dengan kantor di
tujuh negara. Namanya telah diubah demi keamanan dan
privasi. Inferno adalah dunia-bawah yang dijelaskan dalam puisi epik
Dante Alighieri, The Divine Comedy, yang menggambarkan
neraka sebagai jagat berstruktur rumit dihuni oleh entitasentitas yang dikenal sebagai "arwah?"jiwa tanpa-raga yang
terperangkap di antara kehidupan dan kematian.
isi INFERNO [SC].indd 15 t.c isi INFERNO [SC].indd 16 PROLOG kulah sang Arwah. Melintasi kota muram, aku pergi.
Melintasi kedukaan abadi, aku berlari.
Di sepanjang bantaran Sungai Arno, aku terpontang-panting,
tersengal-sengal ... berbelok ke kiri ke Via dei Castellani, mencari
jalan ke utara, merunduk dalam bayang-bayang Galeri Uffizi.
Namun, mereka masih mengejarku.
Langkah kaki mereka terdengar semakin keras ketika mereka
memburu dengan tekad membara.
Bertahun-tahun mereka telah mengejarku. Kegigihan mereka
membuatku terus berada di bawah-tanah ... memaksaku hidup
dalam penebusan ... bekerja di bawah tanah bagai monster perut
bumi. Akulah sang Arwah. Di sini, di atas permukaan tanah, kulayangkan pandang ke
utara, tapi tidak bisa menemukan jalan langsung menuju kese?
la?mat?an ... karena Pegunungan Apennine menghalangi cahaya
fajar. Aku lewat di belakang palazzo dengan menara yang puncaknya
dilengkapi celah untuk pemanah dan jam berjarum-tunggal
... meliuk-liuk melewati para penjaja di awal pagi di Piazza di
San Firenze. Suara mereka yang serak beraroma lampredotto dan
zaitun panggang. Aku menye?berang di depan Museum Bargello,
memotong ke barat menuju menara Gereja Badia, dan langsung
berhadapan dengan gerbang besi di dasar tangga.
Di sini, segala keraguan harus ditanggalkan.
isi INFERNO [SC].indd 17 18 D an B rown Aku membuka gerbang dan melangkah memasuki jalur yang,
aku tahu, tak punya jalan kembali. Kupaksakan kaki beratku
menaiki tangga sempit ... mendaki dalam gerak spiral di atas anakanak tangga pualam halus yang lapuk dan berlubang-lu?bang.
Suara-suara menggema dari bawah. Memohon.
Mereka berada di belakangku, pantang menyerah, mende?
kat. Mereka tidak memahami apa yang akan terjadi ... juga apa yang
te?lah kulakukan untuk mereka!
Dunia yang tidak tahu berterima kasih!
Ketika aku naik, penglihatan-penglihatan itu mendadak
mun??cul ... tubuh-tubuh penuh berahi yang menggeliat-geliat
da?lam hujan api, jiwa-jiwa rakus yang mengapung dalam tinja,
para pengkhianat membeku dalam cengkeraman setan yang se?
di?ngin es. Kunaiki anak-anak tangga terakhir dan tiba di puncak, sem?
po?yongan nyaris mati di udara pagi yang lembap. Aku ber?gegas
menuju pagar dinding setinggi kepala, mengintip lewat celahcelahnya. Jauh di bawah sana terdapat kota terberkati, yang
telah kujadikan tempat perlindungan dari mereka yang mengu?
cil?kanku. Suara-suara itu berteriak, tiba tepat di belakangku. "Yang kau
???lakukan adalah kegilaan!"
Kegilaan membiakkan kegilaan.
"Demi Tuhan," teriak mereka, "katakan di mana kau menyem?
bunyikannya!" Justru demi Tuhan, aku tidak mau.
Kini aku berdiri, terpojok, memunggungi batu dingin. Mereka
menatap jauh ke dalam mata hijau beningku, dan ekspresi mereka
berubah geram, tidak lagi membujuk, tapi mengancam. "Kau tahu
kami punya metode. Kami bisa memaksamu untuk mengatakan
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di mana kau menyembunyikannya."
Karena itulah, aku memanjat hingga setengah-jalan ke surga.
Secara mendadak, aku berbalik dan menjulurkan tangan ke
atas, mencengkeramkan jemari tanganku pada pinggiran tembok
isi INFERNO [SC].indd 18 19 Infern o tinggi, menarik tubuhku ke atas, merangkak naik, lalu berdiri
... dengan goyah di atas tubir. Tuntun aku, wahai Virgil, melintasi
kehampaan. Mereka bergegas maju dengan tidak percaya, ingin meraih
kakiku, tapi khawatir itu akan membuatku kehilangan keseim?
bangan dan terjatuh. Kini mereka memohon, dalam keputusasaan
bisu, tapi aku sudah berbalik. Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Di bawahku, dalam jarak yang memusingkan, atap-atap gen?
ting merah menghampar bagai lautan api di pedesaan ... menerangi
negeri cantik yang pernah dihuni oleh orang-orang hebat ... Giotto,
Donatello, Brunelleschi, Michelangelo, Botticelli.
Kugeser jemari kakiku ke pinggir.
"Turunlah!" teriak mereka. "Belum terlambat!"
O, orang-orang bebal berkepala batu! Tidakkah kalian melihat masa
depan" Tidakkah kalian memahami kecemerlangan ciptaanku" Keha?
rus?an itu" Dengan senang hati, kulakukan pengorbanan terakhir ini ...
sekaligus kupadamkan harapan terakhir kalian untuk menemukan
apa yang kalian cari. Kalian tidak akan pernah menemukan benda itu tepat waktu.
Ratusan meter di bawah sana, piazza berbatu-batu bulat me?
manggil bagai oasis yang tenteram. Betapa aku menginginkan
lebih banyak waktu ... tapi waktu bukanlah komoditas yang,
bah?kan dengan kekayaan luar biasaku, sanggup kubeli.
Dalam detik-detik terakhir ini, aku menunduk memandang
piazza, dan melihat pemandangan yang mengejutkan.
Aku melihat parasmu. Kau mendongak menatapku dari bayang-bayang. Matamu
mu?ram, tapi di dalamnya kurasakan adanya penghormatan atas
pencapaianku. Kau mengerti aku tidak punya pilihan. Demi Umat
Manusia, aku harus melindungi mahakaryaku.
Bahkan, saat ini pun benda itu berkembang ... menanti ... bergolak
di bawah air semerah-darah dalam laguna yang tak memantulkan bin?
tang-bintang. isi INFERNO [SC].indd 19 20 D an B rown Maka, kualihkan pandangan dari matamu dan kutatap cakra?
wala. Tinggi di atas dunia yang terbebani ini, kupanjatkan doa
terakhirku. Tuhan yang terkasih, aku berdoa agar dunia mengingat na?ma?ku
bukan sebagai pendosa keji, melainkan sebagai penyelamat agung seba?
gaimana Kau mengenal diriku yang sesungguhnya. Aku berdoa se?moga
Umat Manusia bisa memahami hadiah yang kutinggalkan.
Hadiahku adalah masa depan.
Hadiahku adalah keselamatan.
Hadiahku adalah Inferno. Seiring perkataan itu, kubisikkan kata amin ... dan kuambil
langkah terakhirku, memasuki jurang tanpa dasar.[]
isi INFERNO [SC].indd 20 Ba b ngatan-ingatan itu mewujud perlahan-lahan ... bagai gelem?
bung-gelembung yang muncul ke permukaan dari kegelapan
sumur tak berdasar. Perempuan bercadar. Robert Langdon menatap perempuan itu dari seberang sungai
yang air bergolaknya mengalir merah oleh darah. Di bantaran
yang jauh, perempuan itu berdiri menatapnya, tanpa bergerak,
muram, wajahnya tersembunyi di balik cadar. Tangannya meng?
genggam secarik kain tainia biru, yang kini diangkatnya untuk
menghormati lautan mayat di kakinya. Aroma kematian meng?
ge?layut di mana-mana. Carilah, bisik perempuan itu. Maka akan kau temukan.
Langdon mendengar kata-kata itu seakan diucapkan oleh
perempuan itu di dalam kepalanya. "Siapa kau?" teriaknya, tapi
suaranya tidak mengeluarkan bunyi apa pun.
Waktu semakin berkurang, bisik perempuan itu. Cari dan temu?
kan. Langdon maju selangkah ke arah sungai, tapi dia bisa melihat
airnya semerah darah dan terlalu dalam untuk diseberangi. Ketika
Langdon kembali mengangkat pandangannya ke arah perempuan
bercadar itu, tubuh-tubuh di sekitar kaki perempuan itu berlipat
ganda. Kini jumlahnya ratusan, mungkin ribuan, beberapa masih
hidup, menggeliat-geliat kesakitan, sekarat dalam kematian yang
tak terbayangkan ... dilalap api, terkubur tinja, saling melahap satu
sama lain. Langdon bisa mendengar teriakan-teriakan memilukan
penderitaan manusia menggema melintasi air.
isi INFERNO [SC].indd 21 22 D an B rown Perempuan itu bergerak ke arah Langdon, menjulurkan kedua
tangan rampingnya, seakan meminta tolong.
"Siapa kau"!" teriak Langdon sekali lagi.
Sebagai jawaban, perempuan itu mengangkat tangan dan
perlahan-lahan mengangkat cadar dari wajahnya. Dia teramat
sangat cantik, tapi lebih tua daripada yang dibayangkan Lang?
don"mungkin berusia enam puluhan, agung dan perkasa,
ba?gai patung abadi. Rahangnya tegas, matanya dalam dan
meng?getarkan, rambut kelabu-perak panjangnya jatuh berombakom?bak ke atas bahunya. Jimat dari batu lapislazuli tergantung di
leher??nya"berbentuk seekor ular yang melilit tongkat.
Langdon merasa seakan mengenal perempuan itu ... memer?
cayainya. Tapi bagaimana" Mengapa"
Kini perempuan itu menunjuk sepasang kaki menggeliatgeliat yang mencuat terbalik dari tanah, tampaknya milik se?
ma?cam jiwa malang yang dikuburkan dengan kepala terlebih
dahulu hingga pinggang. Paha pucat lelaki itu dihiasi satu huruf
tunggal"ditulis dengan lumpur"R.
R" pikir Langdon, tidak yakin. Seperti di ... Robert" "Apakah
itu ... aku?" Wajah perempuan itu tidak mengungkapkan sesuatu pun.
Cari dan temukan, ulangnya.
Secara mendadak, perempuan itu mulai memancarkan cahaya
putih ... semakin terang dan semakin terang. Seluruh tubuhnya
mulai bergetar hebat. Lalu, diiringi suara menggelegar, dia me?
ledak menjadi ribuan keping pecahan cahaya.
Langdon tersentak bangun, berteriak.
Ruangan itu terang. Dia sendirian. Bau tajam alkohol medis
mengapung di udara dan, di suatu tempat, se?buah mesin berbunyi
pelan seirama jantungnya. Langdon ber?upaya menggerakkan
tangan kanan, tapi rasa nyeri tajam meng?hentikannya. Dia me?
nunduk dan melihat slang infus di lengan bawahnya.
Denyut jantungnya semakin cepat, dan mesin-mesin itu
mengikuti, berbunyi semakin cepat.
Di mana aku" Apa yang terjadi"
isi INFERNO [SC].indd 22 23 Infern o Bagian belakang kepala Langdon berdenyut-denyut, ada
rasa nyeri yang menggerogoti. Dengan hati-hati, dia mengangkat
lengannya yang bebas dan menyentuh kulit kepalanya, berupaya
mencari sumber sakit kepala itu. Di balik rambut kusutnya,
Langdon menemukan tonjolan-tonjolan keras dari sekitar dua
belas jahitan yang berkerak darah kering.
Dia memejamkan mata, berupaya mengingat-ingat kecela?
kaan. Nihil. Benar-benar kosong.
Pikirkan. Hanya kegelapan. Seorang lelaki berseragam operasi bergegas masuk, tampak?
nya mendapat peringatan dari monitor jantung Langdon yang
berbunyi cepat. Dia berjenggot acak-acakan, berkumis tebal, dan
bermata lembut yang memancarkan ketenangan mendalam di
bawah alis lebatnya. "Apa ... yang terjadi?" tanya Langdon. "Apakah saya meng?
alami kecelakaan?" Lelaki berjenggot itu meletakkan telunjuk di bibir, lalu ber?
gegas keluar, memanggil seseorang yang berada di lorong.
Langdon menoleh, tapi gerakan itu mengirimkan tusukan
rasa nyeri yang menyebar ke seluruh tengkoraknya. Dia menghela
napas panjang dan menunggu rasa nyeri itu berakhir. Lalu, de?
ngan sangat pelan dan sistematis, dia mengamati keadaan seke?
lilingnya yang steril. Kamar rumah sakit itu punya satu ranjang. Tidak ada bunga.
Tidak ada kartu ucapan. Langdon melihat pakaiannya berada di
atas meja di dekat situ, terlipat dalam tas plastik bening. Pakaian
itu berlumur darah. Astaga. Agaknya kecelakaan parah.
Kini Langdon memutar kepala perlahan-lahan ke arah jendela
di samping ranjang. Di luar gelap. Malam. Yang bisa dilihat oleh
Langdon di kaca hanyalah pantulan dirinya sendiri"seorang
asing yang pucat, letih dan lesu, tersambung dengan berbagai
s?lang dan kabel, dikelilingi peralatan medis.
isi INFERNO [SC].indd 23 24 D an B rown Suara-suara mendekat di lorong, dan Langdon kembali
mengarahkan pandangan ke dalam kamar. Dokter itu kembali,
kini ditemani seorang perempuan.
Perempuan itu tampaknya berusia awal tiga puluhan. Dia
mengenakan seragam operasi biru dan mengikat rambutnya ke
belakang membentuk ekor kuda tebal yang berayun-ayun di bela?
kang ketika dia berjalan.
"Saya dr. Sienna Brooks," kata perempuan itu sambil ter?se?
nyum kepada Langdon ketika masuk. "Saya bertugas bersama
dr. Marconi malam ini."
Langdon mengangguk lemah.
Dr. Brooks, yang jangkung dan lincah, bergerak dengan lang?
kah tegas seorang atlet. Walaupun mengenakan baju operasi yang
tak berbentuk, dia tampak anggun dan ramping. Tanpa sedikit
pun rias wajah yang bisa dilihat oleh Langdon, kulit perempuan
itu luar biasa halus, satu-satunya noda hanyalah sebintik tahi
lalat mungil yang bertengger persis di atas bibir. Matanya, wa?
lau?pun berwarna cokelat lembut, tampak luar biasa menusuk,
seakan pernah menyaksikan pengalaman mendalam yang jarang
dijumpai oleh orang seusianya.
"Dr. Marconi tidak terlalu bisa berbahasa Inggris," jelas
pe?rem?puan itu sambil duduk di samping Langdon, "dan dia
me?minta saya untuk mengisikan formulir pendaftaran Anda."
Kembali dia tersenyum. "Terima kasih," kata Langdon parau.
"Oke," kata dr. Brooks memulai dengan nada resmi. "Siapa
nama Anda?" Perlu sejenak bagi Langdon untuk menjawab. "Robert ...
Langdon." Dr. Brooks menyorotkan senter-pena ke mata Langdon. "Pe?
kerjaan?" Informasi ini bahkan muncul lebih lama lagi. "Profesor. Se?
jarah seni ... dan simbologi. Harvard University."
Dr. Brooks menurunkan senternya, tampak terkejut. Dokter
yang beralis lebat itu juga tampak terkejut.
isi INFERNO [SC].indd 24 25 Infern o "Anda ... orang Amerika?"
Langdon memandang perempuan itu dengan bingung.
"Masalahnya ...," dr. Brooks bimbang. "Anda tidak punya
tan?da pengenal ketika tiba malam tadi. Anda mengenakan jaket
Harris Tweed dan sepatu kulit santai Somerset, jadi kami men?
duga Anda orang Inggris."
"Saya orang Amerika," kata Langdon meyakinkannya, ter?
la?lu lelah untuk menjelaskan kesukaannya terhadap pakaian
ber?jahitan baik. "Ada rasa nyeri?"
"Kepala saya," jawab Langdon. Tengkoraknya berdenyutde?nyut semakin parah gara-gara senter-pena yang terang itu.
Un?tungnya, dr. Brooks kini mengantongi senter-pena itu, meraih
per?ge?langan tangan Langdon dan memeriksa denyut nadinya.
"Anda terjaga sambil berteriak," kata perempuan itu. "Anda
ingat mengapa?" Kembali Langdon mengingat penglihatan ganjil berupa
perempuan bercadar yang dikelilingi tubuh menggeliat-geliat.
Cari?lah, maka akan kau temukan. "Saya mendapat mimpi buruk."
"Mengenai?" Langdon menceritakannya. Ekspresi dr. Brooks tetap netral ketika menulis catatan pada
papan-klipnya. "Tahukah Anda, apa yang kemungkinan memicu
penglihatan mengerikan semacam itu?"
Langdon menjelajahi ingatannya, lalu menggeleng-gelengkan
kepala"yang kemudian berdentam-dentam memprotes.
"Oke, Mr. Langdon," kata perempuan itu, masih sambil me?
nulis, "beberapa pertanyaan rutin untuk Anda. Ini hari apa?"
Langdon berpikir sejenak. "Sabtu. Saya ingat berjalan melintasi
kampus hari ini ... menuju serangkaian kuliah siang, lalu ... hanya
itu hal terakhir yang saya ingat. Apakah saya terjatuh?"
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita akan membahasnya nanti. Anda tahu di mana Anda
berada?" Langdon menyebutkan tebakan terbaiknya. "Rumah Sakit
Umum Massachusetts?"
isi INFERNO [SC].indd 25 26 D an B rown Kembali dr. Brooks mencatat. "Dan adakah seseorang yang
perlu kami hubungi" Istri" Anak?"
"Tidak ada," jawab Langdon secara naluriah. Dia selalu
menikmati kesendirian dan kemandirian yang diberikan oleh
pilihan hidup membujangnya; walaupun, harus diakuinya, dalam
situasinya saat ini, dia lebih suka melihat wajah yang dikenal
ber?ada di sampingnya. "Ada beberapa kolega yang bisa saya
hu??bungi, tapi saya baik-baik saja."
Dr. Brooks sudah selesai menulis, dan dokter yang lebih
tua tadi mendekat. Sambil merapikan alis lebatnya, lelaki itu
mengeluarkan perekam suara kecil dari saku dan menunjukkannya
kepada dr. Brooks. Perempuan itu mengangguk paham, lalu
berpaling kembali kepada pasiennya.
"Mr. Langdon, ketika tiba malam tadi, Anda terus-menerus
meng?gumamkan sesuatu." Dia melirik dr. Marconi, yang meme?
gangi perekam digital itu dan menekan sebuah tombol.
Rekaman mulai diputar, dan Langdon mendengar suara
gugupnya sendiri, berulang-ulang menggumamkan frasa yang
sama: "Ve ... sorry. Ve ... sorry."
"Kedengarannya," kata dr. Brooks, "seakan Anda mengatakan,
"Very sorry. Very sorry.?"
Langdon setuju, tapi dia sama sekali tidak ingat.
Dr. Brooks memandangnya dengan tatapan tajam yang
meresahkan. "Anda tahu mengapa Anda berkata begitu" Apakah
Anda menyesali sesuatu?"
Ketika Langdon menjelajahi ceruk-ceruk gelap ingatannya,
sekali lagi dia melihat perempuan bercadar. Perempuan itu berdiri
di bantaran sungai semerah darah, dikelilingi mayat. Aroma bu?
suk kematian itu datang kembali.
Langdon dikuasai oleh insting mendadak mengenai bahaya ...
tidak hanya bagi dirinya sendiri ... tapi bagi semua orang. Bunyi
monitor jantungnya langsung meningkat pesat. Otot-ototnya
menegang, dan dia berupaya untuk duduk.
Cepat-cepat dr. Brooks meletakkan tangannya dengan tegas
di dada Langdon, memaksanya berbaring kembali. Dia melirik
isi INFERNO [SC].indd 26 27 Infern o dokter berjenggot itu, yang sedang berjalan menuju meja di dekat
situ dan mulai menyiapkan sesuatu.
Dr. Brooks membungkuk di atas Langdon, kini berbisik. "Mr.
Langdon, kecemasan adalah sesuatu yang umum dalam cedera
otak, tapi Anda harus mempertahankan rendahnya denyut nadi
Anda. Jangan bergerak. Jangan gugup. Berbaring diam dan ber?
istirahat sajalah. Anda akan baik-baik saja. Ingatan Anda akan
pulih secara perlahan-lahan."
Kini dokter berjenggot itu kembali dengan membawa alat
suntik, yang diserahkannya kepada dr. Brooks. Perempuan itu
menyuntikkan isinya ke dalam infus Langdon.
"Hanya obat penenang ringan untuk menenangkan Anda,"
jelasnya, "dan untuk membantu mengatasi rasa nyeri." Dia
berdiri, hendak pergi. "Anda akan baik-baik saja, Mr. Langdon.
Tidur sajalah. Jika memerlukan sesuatu, tekan tombol di samping
ranjang Anda." Dr. Brooks mematikan lampu dan pergi bersama dokter ber?
jenggot itu. Dalam kegelapan, Langdon merasakan obat-obatan itu meng?
aliri tubuhnya nyaris seketika, menyeretnya kembali memasuki
sumur dalam, tempatnya keluar tadi. Dia memerangi perasaan itu,
memaksakan matanya agar terbuka dalam kegelapan kamar. Dia
berupaya untuk duduk, tapi tubuhnya terasa seperti semen.
Ketika Langdon beringsut, dia mendapati dirinya kembali
meng?hadap jendela. Lampu-lampu kini padam, dan pantulan
diri?nya menghilang di kaca gelap, digantikan oleh garis-langit
yang terang di kejauhan. Di antara kontur semua menara dan kubah di luar sana, se?
buah fasad bangunan megah mendominasi medan pandangan
Langdon. Bangunan itu berupa benteng batu yang mengesankan,
dengan atap dihiasi pagar-dinding bergerigi dan menara setinggi
sembilan puluh meter yang menggembung di dekat puncaknya,
menonjol membentuk tembok segi empat bergerigi yang kokoh.
isi INFERNO [SC].indd 27 28 D an B rown Langdon langsung duduk tegak di ranjang, rasa nyeri meledak
di dalam kepalanya. Dia melawan denyut-denyut menyakitkan
itu dan memusatkan pandangan ke menara itu.
Langdon mengenal bangunan Abad Pertengahan itu dengan
baik. Hanya ada satu bangunan seperti itu di dunia.
Sayangnya, bangunan itu juga terletak enam ribu lima ratus
ki?lo?meter jauhnya dari Massachusetts.
______ Di luar jendela kamar Langdon, tersembunyi dalam keremangan
Via Torregalli, seorang perempuan bertubuh kekar turun dengan
mudahnya dari sepeda motor BMW dan melangkah maju dengan
keseriusan seekor macan kumbang yang sedang mengincar mang?
sa. Pandangannya tajam. Rambut cepaknya yang ditata dalam
bentuk runcing duri tampak mencolok dilatari kerah tegak baju
setelan kulit hitamnya. Dia memeriksa pistol berperedamnya,
lalu mendongak menatap jendela tempat lampu Robert Langdon
baru saja dipadamkan. Malam tadi, misi awalnya benar-benar berantakan.
Dekut seekor merpati telah mengubah segalanya.
Kini dia datang untuk memperbaikinya.[]
isi INFERNO [SC].indd 28 BAB ku di Florence!" Kepala Robert Langdon berdenyut-denyut. Kini dia
du?duk tegak di ranjang rumah sakit, berkali-kali me?ne?
kankan telunjuk pada tombol-panggil. Walaupun obat pene?nang
mengaliri tubuhnya, denyut jantungnya meningkat pesat.
Dr. Brooks bergegas kembali, rambut ekor kudanya memantulmantul. "Anda baik-baik saja?"
Langdon menggeleng kebingungan. "Saya ... di Italia!?"
"Bagus," jawab perempuan itu. "Anda ingat."
"Tidak!" Langdon menunjuk gedung yang mendominasi di
kejauhan, di luar jendela. "Saya mengenali Palazzo Vecchio."
Dr. Brooks kembali menyalakan lampu, dan garis-langit Flo?
rence menghilang. Dia mendekat ke samping ranjang Langdon,
berbisik tenang. "Mr. Langdon, tidak usah khawatir. Anda men?
derita amnesia ringan, tapi dr. Marconi menegaskan bahwa fungsi
otak Anda baik-baik saja."
Dokter berjenggot itu juga bergegas masuk, tampaknya men?
dengar suara tombol-panggil. Dia memeriksa monitor jantung
Langdon, sementara dr. Brooks berbicara kepadanya dalam ba?
hasa Italia cepat dan lancar"sesuatu mengenai Langdon yang
"agitato" ketika mengetahui dirinya berada di Italia.
Gelisah" pikir Langdon berang. Lebih tepat kebingungan!
Adre?nalin yang membanjiri tubuhnya kini berperang melawan
obat penenang. "Apa yang terjadi padaku?" desaknya. "Ini hari
apa"!" "Semuanya baik-baik saja," jawab perempuan itu. "Ini dini
hari. Senin, delapan belas Maret."
isi INFERNO [SC].indd 29 30 D an B rown Senin. Langdon memaksa benaknya yang nyeri untuk kembali
pada gambaran terakhir yang bisa diingatnya"dingin dan
ge?lap"berjalan sendirian melintasi kampus Harvard menuju
serang?kaian kuliah Sabtu malam. Itu dua hari yang lalu"! Kepanikan
kini menguasai Langdon ketika dia berupaya mengingat apa pun
dari kuliah itu atau setelahnya. Nihil. Bunyi monitor jantungnya
meningkat cepat. Dr. Marconi menggaruk-garuk jenggot dan meneruskan
pe?meriksaan peralatan, sementara dr. Brooks duduk kembali di
sam?ping Langdon. "Anda akan baik-baik saja," katanya lembut, meyakinkan
Langdon. "Menurut diagnosis kami, Anda menderita amnesia
retrograde1, yang sangat umum terjadi pada trauma kepala. Ingat?
an Anda mengenai beberapa hari terakhir ini mungkin kacau
atau tidak lengkap, tapi Anda tidak akan menderita kerusakan
permanen." Dia terdiam. "Anda ingat nama pertama saya" Saya
sebutkan ketika saya masuk tadi."
Langdon berpikir sejenak. "Sienna." Dr. Sienna Brooks.
Perempuan itu tersenyum. "Nah, Anda sudah membentuk
ingat?an-ingatan baru."
Rasa nyeri di kepala Langdon nyaris tak tertahankan, dan
peng??lihatan jarak-dekatnya tetap kabur. "Apa ... yang terjadi"
Ba??gai?mana saya bisa di sini?"
"Saya rasa Anda harus beristirahat, dan mungkin?"
"Bagaimana saya bisa di sini"!" desak Langdon, monitor jan?
tungnya berbunyi semakin cepat lagi.
"Oke, bernapaslah dengan tenang," kata dr. Brooks sambil
bertukar pandangan gelisah dengan koleganya. "Akan saya
ceri?takan." Suaranya berubah jauh lebih serius. "Mr. Langdon,
tiga jam yang lalu Anda berjalan sempoyongan memasuki UGD
kami, berdarah akibat luka di kepala, dan Anda langsung ja?tuh
pingsan. Tak seorang pun tahu siapa Anda atau bagaimana Anda
1. Amnesia retrograde: Kehilangan ingatan atau informasi yang terjadi akibat luka di kepala atau penyakit.
Penderita amnesia retrograde biasanya cenderung kehilangan memori jangka pendek yang terjadi tak
lama sebelum kejadian traumatis."penerj.
isi INFERNO [SC].indd 30 31 Infern o bisa tiba di sini. Anda menggumam dalam bahasa Inggris, jadi
dr. Marconi meminta saya untuk membantu. Saya sedang cuti
pan?jang di sini dari Inggris."
Langdon merasa seakan dirinya terjaga dalam salah satu
lukisan Max Ernst. Apa gerangan yang kulakukan di Italia" Biasanya
Langdon datang kemari setiap Juni dua tahun sekali untuk
menghadiri konferensi seni, tapi ini Maret.
Obat penenang menarik Langdon lebih kuat, dan dia merasa
seakan gravitasi bumi menjadi semakin kuat setiap detiknya,
berupaya menyeretnya ke bawah menembus kasur. Langdon
melawan, mengangkat kepala, berupaya tetap waspada.
Dr. Brooks yang membungkuk di atasnya tampak melayanglayang seperti malaikat. "Saya mohon, Mr. Langdon," bisiknya.
"Trauma kepala sangatlah rentan selama dua puluh empat jam
pertama. Anda harus beristirahat, atau Anda bisa mengalami
kerusakan serius." Mendadak sebuah suara berderak lewat interkom kamar.
"Dr. Marconi?" Dokter berjenggot itu menyentuh tombol di dinding dan
menjawab, "S??"
Suara di interkom berbicara dalam bahasa Italia dengan
cepat. Langdon tidak memahami apa yang dikatakannya, tapi
dia melihat kedua dokter itu saling berpandangan dengan wajah
terkejut. Atau khawatir"
"Momento," jawab dr. Marconi, mengakhiri percakapan.
"Ada apa?" tanya Langdon.
Mata dr. Brooks seakan sedikit menyipit. "Itu resepsionis ICU.
Seseorang hendak menjenguk Anda."
Secercah harapan menembus kepeningan Langdon. "Itu berita
baik! Mungkin orang ini tahu apa yang terjadi padaku."
Perempuan itu tampak tidak yakin. "Aneh, mengapa ada
orang kemari" Kami tidak punya nama Anda, dan Anda bahkan
belum terdaftar dalam sistem rumah sakit."
isi INFERNO [SC].indd 31 32 D an B rown Langdon melawan obat penenang dan dengan kaku mene?
gak?kan tubuh di ranjang. "Jika seseorang tahu saya di sini, orang
itu pasti tahu apa yang terjadi."
Dr. Brooks melirik dr. Marconi, yang langsung menggeleng
dan mengetuk-ngetuk arlojinya. Dia berpaling kembali kepada
Langdon. "Ini ICU," jelasnya. "Tak seorang pun diizinkan masuk hing?
ga setidaknya pukul sembilan pagi. Sebentar lagi dr. Marconi
akan keluar dan melihat siapa pengunjung itu dan apa yang
diinginkannya." "Bagaimana dengan apa yang ku-inginkan?" desak Lang?don.
Dr. Brooks tersenyum sabar dan merendahkan suara, mem?
bungkuk lebih dekat. "Mr. Langdon, ada beberapa hal yang tidak
Anda ketahui mengenai semalam ... mengenai apa yang terjadi
pada Anda. Dan, sebelum Anda bicara dengan siapa pun, saya
rasa cukup adil jika Anda mendengar semua faktanya. Sayangnya,
saya rasa Anda belum cukup kuat untuk?"
"Fakta apa!?" desak Langdon, sambil berjuang untuk semakin
menegakkan tubuh. Infus di lengannya terasa menusuk, dan bobot
tubuhnya seakan beberapa ratus kilogram. "Yang saya ketahui
hanyalah saya berada di rumah sakit di Florence, dan tiba dengan
mengulangi kata-kata "very sorry" ...."
Kini pikiran mengerikan merasuki kepalanya.
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah saya bertanggung jawab dalam sebuah kecela?
ka?an mobil?" tanya Langdon. "Apakah saya mencederai sese?
orang"!" "Tidak, tidak," jawab perempuan itu. "Saya rasa tidak."
"Lalu apa?" desak Langdon, sambil memandang kedua dokter
itu dengan berang. "Saya berhak mengetahui apa yang terjadi!"
Muncul keheningan panjang, dan akhirnya dr. Marconi meng?
angguk dengan enggan kepada kolega mudanya yang cantik itu.
Dr. Brooks mengembuskan napas dan melangkah lebih dekat ke
samping ranjang Langdon. "Oke, biarlah saya ceritakan apa yang
saya ketahui ... dan Anda akan mendengarkan dengan tenang.
Setuju?" isi INFERNO [SC].indd 32 33 Infern o Langdon mengangguk, gerakan kepala itu mengirimkan
denyutan rasa nyeri yang menyebar ke seluruh tengkoraknya.
Dia mengabaikannya, berhasrat mendapat jawaban.
"Yang pertama ... luka kepala Anda bukanlah akibat kece?
lakaan." "Wah, itu melegakan."
"Tidak juga. Luka Anda, sesungguhnya, diakibatkan oleh
sebutir peluru." Monitor jantung Langdon berbunyi lebih cepat. "Apa!?"
Dr. Brooks bicara dengan tenang, tapi cepat. "Sebutir peluru
menyerempet puncak tengkorak Anda dan kemungkinan besar
mengakibatkan gegar otak. Anda beruntung sekali masih hidup.
Seinci lebih rendah, maka ...." Dia menggeleng-gelengkan ke?
pala. Langdon menatapnya dengan tidak percaya. Seseorang menem?
bakku" Suara-suara marah merebak di lorong, sepertinya ada per?
selisihan. Kedengarannya seakan orang yang tiba untuk men?
jenguk Langdon tidak mau menunggu. Nyaris seketika, Langdon
mendengar pintu tebal di ujung jauh lorong mendadak terbuka.
Dia mengamati hingga melihat sebuah sosok berjalan mendekat
di koridor. Perempuan itu mengenakan pakaian yang seluruhnya terbuat
dari kulit hitam. Dia berkulit kecokelatan dan bertubuh tegap,
dengan rambut gelap berbentuk duri. Dia bergerak dengan ringan,
seakan kakinya tidak menyentuh tanah, dan langsung menuju
kamar Langdon. Tanpa ragu, dr. Marconi melangkah ke ambang pintu yang
terbuka untuk menghalangi jalan pengunjung itu. "Ferma!"
perintah lelaki itu, sambil mengangkat sebelah tangannya seperti
polisi. Orang asing itu, tanpa menghentikan langkah, mengeluarkan
sepucuk pistol berperedam. Dia mengarahkannya tepat ke dada
dr. Marconi dan menembak.
Terdengar desis terputus-putus.
isi INFERNO [SC].indd 33 34 D an B rown Langdon menyaksikan dengan ngeri ketika dr. Marconi
mundur dengan sempoyongan ke dalam kamar, jatuh ke lantai,
mencengkeram dada, jas putihnya dibasahi darah.[]
isi INFERNO [SC].indd 34 BAB elapan kilometer di lepas pantai Italia, kapal pesiar
mewah sepanjang 70 meter, The Mendacium, melaju
menembus kabut fajar yang membubung dari gelombang
Laut Adriatik yang bergulung-gulung lembut. Lambung bertipe
kapal penyusup itu dicat kelabu tua, memberinya aura kapal
militer yang tidak ramah.
Dengan label harga di atas 300 juta dolar Amerika, kapal itu
membanggakan semua kenyamanan yang selayaknya"spa, kolam
renang, bioskop, kapal selam pribadi, dan landasan helikopter.
Na?mun, kenyamanan fisik kapal itu hanya sedikit menarik
perhatian pemiliknya, yang menerima kapal pesiar itu lima tahun
lalu dan langsung mengosongkan sebagian besar ruangannya
untuk membangun pusat komando elektronik tingkat-militer
dengan lapisan perlindungan timah.
Dipasok oleh tiga jaringan satelit khusus dan jajaran stasiun
relay yang berlimpah, ruang kendali di The Mendacium disokong
sekitar dua lusin staf"teknisi, analis, koordinator operasi"yang
tinggal di kapal dan selalu terhubung dengan berbagai pusat
operasi darat. Pengamanan di kapal mencakup satu unit kecil tentara yang
dibekali latihan militer, dua sistem pendeteksi rudal, dan berbagai
senjata termutakhir yang tersedia. Staf pendukung lain"tukang
masak, petugas kebersihan dan pelayanan"mendongkrak jumlah
total orang yang berada di kapal menjadi lebih dari empat puluh.
The Mendacium bisa dibilang gedung kantor portabel, menjadi
tempat bagi pemiliknya untuk menjalankan bisnisnya.
isi INFERNO [SC].indd 35 36 D an B rown Lelaki itu, yang hanya dikenal oleh karyawannya sebagai
"Provos", bertubuh pendek kecil dengan kulit gelap dan mata
cekung. Perawakan yang tidak mengesankan dan sikap lugasnya
seakan sangat pas bagi seseorang yang memperoleh kekayaan luar
biasa dengan menyediakan pelayanan pribadi dan rahasia bagi
pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan di wilayah abu-abu
hukum. Dia mendapat banyak julukan"tentara-bayaran keji, fa?
si?l itator dosa, pembantu setan"tapi dia bukan semua itu.
Provos hanya menyediakan kesempatan kepada klien-kliennya
untuk mengejar ambisi dan keinginan mereka tanpa adanya
konsekuensi; bukan urusannya jika umat manusia pada dasarnya
memang berdosa. Tanpa memedulikan para pengumpatnya dan semua ke?
be?ratan etis mereka, kompas moral Provos sangatlah mantap.
Dia membangun reputasinya"dan Konsorsium itu sendiri"
berdasarkan dua peraturan emas.
Jangan pernah membuat janji yang tidak bisa ditepati.
Dan jangan pernah berbohong kepada klien.
Selamanya. Dalam karier profesionalnya, Provos tidak pernah mengingkari
janji atau membatalkan kesepakatan. Perkataannya bisa dian?dal?
kan"jaminan mutlak"dan walaupun jelas ada beberapa kontrak
yang disesalinya, mundur dari kontrak-kontrak itu tidak pernah
menjadi pilihan. Pagi ini, ketika melangkah ke atas balkon privat kabin kapal
pesiarnya, Provos menatap lautan bergelora dan berupaya me?
nying?kirkan keresahan yang muncul dalam dirinya.
Keputusan masa lalu kita adalah arsitek masa kini kita.
Keputusan-keputusan di masa lalu Provos telah membuatnya
berhasil melewati hampir semua ladang ranjau dan selalu muncul
di tempat teratas. Namun, hari ini, ketika me?man?dang lampulampu yang jauh di daratan utama Italia di luar jendela, tidak
seperti biasanya dia merasa gelisah.
isi INFERNO [SC].indd 36 37 Infern o Setahun yang lalu, di atas kapal pesiar yang sama, dia mem?
buat keputusan yang kini mengancam hendak merusak semua
yang telah dibangunnya. Aku setuju untuk memberikan pela?yanan
kepada orang yang keliru. Mustahil bagi Provos untuk me?nge?
tahuinya saat itu, tapi kini kesalahan perhitungan itu telah men?
da?tangkan prahara yang tak terduga, memaksanya mengirim
be?berapa agen terbaiknya ke lapangan disertai perintah agar
me?la?kukan "segala yang diperlukan" untuk mempertahankan
kapal olengnya agar tidak terbalik.
Saat ini Provos sedang menunggu berita dari seorang agen
lapangan. Vayentha, pikirnya, sambil membayangkan agennya yang
ber?otot dan berambut duri itu. Vayentha"yang telah mela?
yaninya dengan sempurna hingga misi ini"semalam melakukan
kesalahan dengan konsekuensi mengerikan. Enam jam terakhir
adalah perjuangan, upaya mati-matian untuk merebut kembali
kendali atas situasi. Vayentha mengatakan kesalahannya diakibatkan oleh kesialan
belaka"dekut mendadak seekor merpati.
Namun, Provos tidak memercayai nasib. Semua yang dilaku?
kannya dirancang untuk meniadakan keacakan dan meng?hi?lang?
kan kebetulan. Pengendalian adalah ke?ahlian Provos"mem?
prediksi segala kemungkinan, meng?anti?sipasi semua respons,
dan membentuk realitas menuju hasil yang diingin?kan. Dia punya
rekam-jejak kesuksesan dan kerahasiaan yang tidak bercela, dan
ini mendatangkan jajaran klien yang mencengangkan"biliuner,
politisi, syaikh-syaikh yang kaya raya, dan bahkan pemerintah
negara-negara tertentu. Di timur, cahaya pertama fajar sudah mulai melenyapkan
bin?tang-bintang terendah di cakrawala. Provos berdiri di atas dek,
dengan sabar menunggu berita dari Vayentha bahwa misinya
telah berjalan persis seperti yang direncanakan.[]
isi INFERNO [SC].indd 37 BAB ekejap Langdon merasa seakan waktu telah berhenti.
Dr. Marconi berbaring tidak bergerak di lantai, darah
me?nyembur dari dadanya. Langdon melawan obat pene?
nang dalam tubuhnya, mengangkat mata memandang pembunuh
berambut duri, yang masih berjalan menyusuri lorong, me?nempuh
beberapa meter terakhir menuju pintu terbuka kamar Langdon.
Ketika mendekati ambang pintu, perempuan itu memandang ke
arah Langdon dan langsung mengayunkan senjata ke arahnya ...
membidik kepalanya. Aku akan mati, pikir Langdon menyadari. Di sini dan seka?
rang. Dentuman itu memekakkan telinga di kamar rumah sakit
yang kecil. Langdon tersentak, merasa yakin dirinya tertembak, tapi itu
bukan suara pistol penyerang tadi. Dentuman itu berasal dari
bantingan pintu logam tebal kamar ketika dr. Brooks menerjang
dan memutar kuncinya. Dengan mata panik ketakutan, dr. Brooks langsung berbalik
dan berjongkok di samping koleganya yang bermandikan darah,
mencari denyut nadi. dr. Marconi terbatuk, mengeluarkan se?
mu?lut-penuh darah yang mengaliri pipi dan membasahi jenggot
tebalnya. Lalu tubuhnya melunglai.
"Enrico, no! Ti prego!"Kumohon!" teriak dr. Brooks.
Di luar, serentetan peluru meledak di bagian luar pintu logam.
Teriakan ketakutan memenuhi lorong.
Entah bagaimana, tubuh Langdon bergerak, kepanikan dan
insting kini mengalahkan obat penenang. Ketika turun dari
isi INFERNO [SC].indd 38 39 Infern o ranjang dengan kaku, rasa nyeri panas-membakar menusuk
lengan kanan bawah Langdon. Sekejap dia mengira sebutir peluru
telah menembus pintu dan mengenainya. Namun, ketika me?ne?
ngok ke bawah, Langdon menyadari infusnya telah terputus. Ka?
teter plastik itu mencuat dari robekan di lengan bawah Langdon,
dan darah hangat sudah mengalir keluar dari slang.
Kini Langdon terjaga sepenuhnya.
Dr. Brooks berjongkok di samping tubuh Marconi, terus men?
cari denyut nadi, sementara air mata menggenangi matanya. Lalu,
seakan sebuah tombol dijentikkan dalam tubuhnya, dia berdiri
dan berpaling kepada Langdon. Ekspresinya berubah di hadapan
mata Langdon, raut wajah mudanya mengeras diiringi semua
ke?tenangan seorang dokter UGD berpengalaman yang sedang
menghadapi krisis. "Ikuti aku," perintahnya.
Dr. Brooks meraih lengan Langdon dan menariknya melintasi
kamar. Suara tembakan dan kekacauan masih berlanjut di lorong
ketika Langdon maju dengan sempoyongan di atas kaki goyah.
Pikirannya terasa waspada, tapi tubuhnya yang terbius-berat
merespons dengan lamban. Bergeraklah! Ubin lantai terasa dingin
di bawah kaki Langdon, dan gaun rumah sakit tipisnya tak cukup
panjang untuk menutupi tubuh jangkung seratus delapan puluh
sentimeternya. Dia bisa merasakan darah menetes dari lengan
bawahnya dan menggenang di telapak tangannya.
Peluru-peluru terus menghantam tombol pintu tebal itu, dan
dr. Brooks mendorong Langdon dengan kasar memasuki kamar
mandi kecil. Dia hendak mengikuti Langdon, tapi kemudian
berhenti, berbalik, berlari kembali menuju meja, lalu meraih jaket
Harris Tweed Langdon yang berdarah.
Lupakan jaket keparatku! Dr. Brooks kembali dengan mencengkeram jaket itu dan
cepat-cepat mengunci pintu kamar mandi. Saat itulah pintu-luar
kamar berdebum terbuka. Dr. Brooks mengambil kendali. Dia berjalan melintasi ka?
mar mandi mungil itu menuju pintu kedua, membukanya, lalu
isi INFERNO [SC].indd 39 40 D an B rown menuntun Langdon memasuki kamar pemulihan yang ber?se?be?
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lahan. Suara tembakan menggema di belakang mereka ketika dr.
Brooks menjulurkan kepala ke lorong dan cepat-cepat meraih
lengan Langdon, menariknya menyeberangi koridor, memasuki
ruang tangga. Gerakan mendadak itu membuat Langdon pening;
dia merasa seakan bisa jatuh pingsan setiap saat.
Lima belas detik berikutnya berupa kekaburan ... tangga
me?nu?run ... tersandung ... terjatuh. Dentam-dentam di kepala
Langdon nyaris tak tertahankan. Kini penglihatannya semakin
kabur, dan otot-ototnya terasa lamban, setiap gerakan terasa
seperti reaksi yang tertunda.
Lalu udara berubah dingin.
Aku berada di luar. Ketika dr. Brooks menggiringnya di sepanjang gang gelap
menjauhi gedung, Langdon menginjak sesuatu yang tajam dan
terjatuh, menumbuk trotoar dengan kerasnya. Perempuan itu
berjuang mengangkat tubuh Langdon, seraya merutuki fakta
bahwa Langdon telah diberi penenang.
Ketika mereka mendekati ujung gang, kembali Langdon
tersandung. Kali ini dr. Brooks membiarkannya di tanah, bergegas
menuju jalanan, dan meneriaki seseorang di kejauhan. Langdon
bisa melihat lampu hijau redup sebuah taksi yang parkir di depan
rumah sakit. Mobil itu tidak bergerak, pasti sopirnya terlelap.
Dr. Brooks berteriak dan melambai-lambaikan kedua lengannya
dengan panik. Akhirnya, lampu depan taksi menyala dan mobil
itu bergerak malas menghampiri mereka.
Di belakang Langdon di gang, sebuah pintu mendadak ter?
buka, diikuti suara langkah kaki yang mendekat dengan cepat.
Langdon menoleh dan melihat sosok gelap itu berjalan ke arahnya.
Dia berupaya untuk kembali berdiri, tapi dr. Brooks sudah me?
raihnya, memaksanya memasuki kursi belakang taksi Fiat yang
berhenti itu. Setengah tubuh Langdon mendarat di kursi dan
setengahnya lagi di lantai, lalu dr. Brooks menerjang ke atas
tubuhnya sambil menarik pintu mobil hingga menutup.
isi INFERNO [SC].indd 40 41 Infern o Sopir bermata mengantuk itu menoleh dan menatap pasangan
ganjil yang baru saja memasuki taksinya"seorang perempuan
muda berambut ekor kuda berseragam operasi dan seorang lelaki
bergaun rumah sakit setengah-koyak dengan lengan berdarah. Dia
jelas hendak menyuruh mereka minggat dari taksinya ketika tibatiba spion-samping hancur. Perempuan berpakaian kulit hitam
itu berlari keluar dari gang dengan pistol teracung. Pistolnya
kembali mendesis, tepat ketika dr. Brooks meraih kepala Langdon,
menariknya ke bawah. Jendela-belakang taksi hancur, menghujani
mereka dengan kaca. Sopir itu tidak memerlukan dorongan lebih lanjut. Dia meng?
hunjamkan kaki ke pedal gas, dan taksi melesat pergi.
Langdon terombang-ambing di ambang kesadaran. Seseorang
berupaya membunuhku"
Begitu mereka berbelok, dr. Brooks duduk tegak dan meraih
lengan berdarah Langdon. Kateter mencuat dari lubang di daging
lengan Langdon. "Lihatlah ke luar jendela," perintah perempuan itu.
Langdon patuh. Di luar, batu-batu nisan pucat melesat pergi
dalam kegelapan. Entah kenapa, melewati pekuburan dalam
pelarian mereka terasa pas. Langdon merasakan jemari tangan
dr. Brooks meraba-raba lembut, lalu secara mendadak mencabut
kateter di lengannya. Sentakan rasa sakit yang membara langsung melesat ke kepala
Langdon. Dia merasakan bola matanya berputar ke belakang, lalu
segalanya berubah hitam.[]
isi INFERNO [SC].indd 41 BAB ering melengking telepon mengalihkan pandangan
Provos dari kabut tenang Laut Adriatik. Cepat-cepat dia
melangkah kembali memasuki kantor kabinnya.
Sudah waktunya, pikirnya, bersemangat mendengar berita.
Layar komputer di mejanya berpendar-pendar menyala,
mem?beri tahu bahwa telepon yang masuk itu berasal dari tele?
pon enkripsi-suara pribadi Sectra Tiger XS Swedia, yang telah
di?arahkan-kembali lewat empat router tak-terlacak sebelum disam?
bungkan dengan kapalnya. Dia memasang headset. "Ini Provos," jawabnya, kata-katanya
pelan dan cermat. "Silakan."
"Ini Vayentha," jawab suara itu.
Provos merasakan kegelisahan yang tidak biasa dalam nada
suara perempuan itu. Agen lapangan jarang bicara dengan Provos
secara langsung, dan bahkan lebih jarang lagi tetap dipekerjakan
setelah kegagalan seperti yang terjadi semalam. Namun, Provos
memerlukan seorang agen di lokasi untuk membantu memulihkan
krisis, dan Vayentha adalah orang terbaik untuk pekerjaan itu.
"Saya punya informasi terbaru," kata Vayentha.
Provos diam, sebagai isyarat agar perempuan itu melan?jut?
kan. Ketika bicara, nada Vayentha tanpa emosi, jelas berupaya
me?nun?jukkan profesionalisme. "Langdon kabur," katanya. "Dia
mem?bawa benda itu."
Provos duduk di mejanya dan tetap diam untuk waktu yang
sangat lama. "Aku mengerti," katanya pada akhirnya. "Ke?mung?
isi INFERNO [SC].indd 42 43 Infern o kinan dia akan menghubungi pihak berwenang secepat mung?
kin." ______ Dua dek di bawah Provos, di dalam pusat kendali keamanan
kapal, fasilitator senior Laurence Knowlton duduk di bilik pri?
badinya dan memperhatikan bahwa telepon-terenkripsi Provos
sudah berakhir. Dia berharap beritanya baik. Ketegangan Provos
jelas terasa selama dua hari terakhir ini, dan semua staf operasi
di atas kapal merasakan adanya semacam operasi berisiko-tinggi
yang sedang berlangsung. Taruhannya luar biasa tinggi, dan sebaiknya Vayentha memper?
baiki?nya kali ini. Knowlton terbiasa mengarahkan rencana permainan yang di?
susun dengan cermat, tapi skenario ini telah berantakan men?jadi
kekacauan, dan Provos telah mengambil alih secara pribadi.
Kami memasuki wilayah tidak dikenal.
Walaupun setengah lusin misi lainnya saat ini sedang berjalan
di seluruh dunia, semua misi itu dilayani oleh berbagai kantor
cabang Konsorsium, membebaskan Provos dan stafnya di atas
The Mendacium untuk memusatkan perhatian secara eksklusif
pada misi ini. Klien mereka melompat menyongsong kematian beberapa
hari yang lalu di Florence, tapi Konsorsium masih punya banyak
pelayanan dalam agenda lelaki itu yang belum dilaksanakan"
tugas-tugas spesifik yang dipercayakan oleh lelaki itu pada
organisasi ini tanpa memedulikan situasinya"dan Konsorsium,
seperti biasa, bermaksud melaksanakan semua tugas itu tanpa
bertanya. Aku menerima perintah, pikir Knowlton, yang bermaksud
sepenuhnya untuk patuh. Dia keluar dari bilik kaca kedap-sua?
ranya, berjalan melewati setengah lusin bilik lain"beberapa
transparan, beberapa buram"tempat para petugas menangani
aspek-aspek lain dari misi yang sama.
isi INFERNO [SC].indd 43 44 D an B rown Knowlton melintasi udara tipis terproses di ruang kendali
utama, mengangguk kepada kru teknik, lalu memasuki bilik
penyimpanan kecil berisikan selusin peti besi. Dia membuka salah
satu peti dan mengeluarkan isinya"memory stick warna merah
menyala. Menurut kartu tugas yang terlampir, memory stick itu
berisikan arsip video besar. Klien telah memerintahkan mereka
untuk mengunggah arsip video itu ke outlet-outlet media utama
pada waktu tertentu besok pagi.
Unggahan anonim besok pagi itu cukup mudah. Namun,
sesuai dengan protokol untuk semua arsip digital, bagan-alir
telah menandai arsip ini agar ditinjau hari ini"dua puluh empat
jam sebelum pelaksanaan"demi memastikan Konsorsium punya
cukup waktu untuk melakukan semua dekripsi, kompilasi, atau
persiapan lain yang harus dilakukan sebelum mengunggah arsip
video itu pada jam yang tepat.
Tidak ada peluang untuk kebetulan.
Knowlton kembali ke bilik transparannya dan menutup pintu
kaca tebal, memblokir dunia luar.
Dia menjentikkan sebuah tombol di dinding, dan biliknya
langsung berubah buram. Demi privasi, semua kantor berdindingkaca di The Mendacium dibangun dengan menggunakan kaca "sus?
pended particle device". Ketransparanan kaca SPD bisa diken?dalikan
dengan mudah lewat pengaliran atau pemutusan arus listrik, yang
menyelaraskan atau mengacakkan jutaan partikel mungil seperti
batang yang tersuspensi di dalam panel kaca.
Pembagian tugas yang ketat adalah dasar kesuksesan Konsor?
sium. Ketahui misimu sendiri saja. Jangan membagikan apa pun.
Kini, terlindung dalam ruang privatnya, Knowlton menyi?sip?
kan memory stick itu ke dalam komputer dan membuka arsipnya
untuk memulai penilaian. Layar komputer langsung berubah hitam ... dan speaker mulai
memperdengarkan suara lembut air yang menerpa. Perlahanlahan muncul gambar di layar ... tak berbentuk dan suram. Sebuah
pemandangan muncul dari kegelapan, mulai berbentuk ... interior
isi INFERNO [SC].indd 44 45 Infern o sebuah gua ... atau semacam bilik raksasa. Lantai gua itu berupa
air, seperti danau bawah-tanah. Anehnya, air itu seakan diterangi
... seakan diterangi dari dalam.
Knowlton belum pernah melihat sesuatu pun yang seperti
itu. Seluruh gua memancarkan warna kemerahan mengerikan,
dinding pucatnya dipenuhi pantulan air beriak-riak yang menye?
rupai sulur. Tempat ... apa ini"
Ketika suara air menerpa itu berlanjut, kamera mulai meng?
arah ke bawah dan turun secara vertikal, langsung menuju air
hingga kamera itu menembus permukaan air. Suara riak air
meng?hilang, digantikan oleh keheningan mengerikan di bawah
air. Kamera itu, yang kini tenggelam, terus turun, bergerak ke
bawah melewati beberapa puluh sentimeter air hingga akhirnya
ber?henti, menyoroti lantai gua yang berlapis lumpur.
Sebuah plakat persegi empat dari titanium berkilau tampak
disekrupkan ke lantai. Plakat itu bertuliskan: DI TEMPAT INI, PADA TANGGAL INI,
DUNIA BERUBAH SELAMANYA. Di bagian bawah plakat, terukir sebuah nama dan tanggal.
Nama itu adalah nama klien Konsorsium.
Tanggalnya ... besok.[] isi INFERNO [SC].indd 45 BAB angdon merasakan tangan-tangan kuat kini mengangkatnya
... menyadarkannya, membantunya keluar dari taksi.
Trotoar te?rasa dingin di bawah kaki telanjangnya.
Setengah disokong oleh tubuh ramping dr. Brooks, Langdon
berjalan sempoyongan menyusuri gang sepi di antara dua gedung
apartemen. Udara fajar berdesir, meniup gaun rumah sakitnya,
dan Langdon merasakan udara dingin di tempat-tempat yang
tidak semestinya. Obat penenang yang diberikan di rumah sakit telah membuat
benak Langdon sama kaburnya dengan penglihatannya. Langdon
merasa seakan berada di bawah air, berupaya mengais-ngais ja?
lan melewati dunia kental yang berpenerangan suram. Sienna
Brooks menyeretnya maju, menyokongnya dengan kekuatan
yang mengejutkan. "Tangga," kata perempuan itu, dan Langdon menyadari
bahwa mereka telah mencapai pintu samping gedung.
Langdon mencengkeram pagar tangga dan berjalan sem?po?
yongan ke atas, selangkah demi selangkah. Tubuhnya terasa lam?
ban. Dr. Brooks mendorongnya. Ketika mereka mencapai puncak
tangga, perempuan itu mengetikkan beberapa angka pada keypad
tua berkarat, lalu pintu mendengung terbuka.
Udara di dalam tidak jauh lebih hangat, tapi lantai ubinnya
terasa seperti karpet lembut di telapak kaki Langdon jika diban?
dingkan dengan trotoar kasar di luar. Dr. Brooks menuntun
Langdon menuju lift mungil dan menarik sebuah pintu lipat
hing?ga terbuka, menggiring Langdon memasuki bilik yang
kira-kira seukuran bilik telepon. Udara di dalam berbau rokok
isi INFERNO [SC].indd 46 47 Infern o MS"aroma manis-pahit yang ada di mana-mana di Italia, sama
seperti aroma kopi espresso segar. Walaupun sedikit, bau itu
mem?bantu menjernihkan benak Langdon. Dr. Brooks menekan
se?buah tombol, dan di suatu tempat yang tinggi di atas mereka,
serang?kaian roda gigi yang lelah bergerak dengan berdentang
dan mendesing. Ke atas .... Lift reyot itu berguncang dan bergetar ketika memulai penda?
kiannya. Karena semua dindingnya hanya terbuat dari jala-jala
logam, Langdon mendapati dirinya mengamati bagian dalam
terowongan lift yang meluncur berirama melewati mereka. Bah?
kan dalam keadaan setengah sadar, ketakutan seumur hidup
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lang?don terhadap ruang sempit tetap hidup sepenuhnya.
Jangan lihat. Langdon bersandar pada dinding, berupaya menghela na?
pas. Lengan bawahnya terasa nyeri dan ketika menengok ke
bawah, dia melihat lengan jaket Harris Tweed-nya telah diikatkan
mengelilingi lengannya seperti perban. Sisa jaketnya terseret di
belakang Langdon di tanah, koyak-koyak dan kotor.
Dia memejamkan mata melawan sakit kepala yang berdentamdentam, tapi kegelapan kembali menguasainya.
Penglihatan yang tidak asing lagi muncul"perempuan ber?
cadar bertubuh tinggi elegan, dengan jimat dan rambut perak
berombak-ombak. Seperti sebelumnya, perempuan itu berdiri di
bantaran sungai semerah darah dan dikelilingi tubuh yang meng?
geliat-geliat. Dia bicara kepada Langdon, suaranya memo?hon.
Carilah, maka akan kau temukan!
Langdon dikuasai oleh perasaan bahwa dia harus menyelamat?
kan perempuan itu ... menyelamatkan mereka semua. Kaki-kaki
terbalik yang setengah-terkubur itu lemas berjatuhan ... satu demi
satu. Siapa kau!" teriaknya dalam keheningan. Apa yang kau ingin?
kan"! Rambut perak lebat perempuan itu mulai berkibaran dalam
angin panas. Waktu kita semakin berkurang, bisiknya sambil me?
isi INFERNO [SC].indd 47 48 D an B rown nyentuh kalung jimatnya. Lalu, secara mendadak, dia meledak
dalam pilar api membutakan yang bergulung-gulung melintasi
sungai, me?landa mereka berdua.
Langdon berteriak, matanya langsung terbuka.
Dr. Brooks memandangnya dengan khawatir. "Ada apa?"
"Saya terus berhalusinasi!" teriak Langdon. "Pemandangan
yang sama." "Perempuan berambut perak" Dan semua mayat itu?"
Langdon mengangguk, keringat membutiri keningnya.
"Anda akan baik-baik saja," kata dr. Brooks, walaupun dia
sendiri kedengaran terguncang. "Penglihatan-berulang umum
terjadi dalam amnesia. Fungsi otak yang menyortir dan menga?
talogkan ingatan-ingatan Anda telah terguncang untuk semen?
tara waktu, sehingga menumpuk segalanya dalam sebuah gam?
baran." "Bukan gambaran yang sangat menyenangkan," kata Lang?
don. "Saya tahu, tapi hingga Anda sembuh, ingatan-ingatan Anda
akan kacau balau dan tidak terkatalogkan"masa lalu, masa kini,
dan imajinasi berbaur menjadi satu. Hal yang sama terjadi dalam
mimpi." Lift berguncang, lalu berhenti. Dr. Brooks menarik pintu-lipat
hingga terbuka. Mereka kembali berjalan, kali ini menyusuri
koridor sempit dan gelap, melewati sebuah jendela. Di luar jendela
tampak siluet suram puncak-puncak atap Florence yang mulai
muncul dalam cahaya menjelang fajar. Sesampai di ujung lorong,
dr. Brooks berjongkok dan mengeluarkan kunci dari bawah ta?
naman hias yang tampak kehausan, lalu membuka pintu.
Apartemen itu mungil, udara di dalamnya menyiratkan per?
tempuran terus-menerus antara lilin beraroma vanila dan karpet
tua. Perabot dan karya seninya bisa dibilang seadanya"seakan
didapat dari obralan barang bekas. Dr. Brooks menyesuaikan
ter?mostat, dan radiator berdentang menyala.
Sejenak perempuan itu berdiri dan memejamkan mata,
meng?hela napas panjang, seakan untuk menenangkan diri. Lalu
isi INFERNO [SC].indd 48 49 Infern o dia berbalik dan membantu Langdon memasuki dapur mungil
se?der?hana yang meja Formica-nya punya dua kursi ringkih.
Langdon bergerak menuju kursi dengan harapan bisa duduk,
tapi dr. Brooks meraih lengannya dengan sebelah tangan dan
membuka lemari dengan tangan yang satu lagi. Lemari itu nyaris
kosong ... biskuit cracker, beberapa kantong pasta, sekaleng Coke,
dan sebotol NoDoz. Dr. Brooks mengambil botol itu dan mengeluarkan enam
kaplet ke telapak tangan Langdon. "Kafein," katanya. "Sering
ku?mi?num kalau dapat giliran kerja malam seperti malam ini."
Langdon meletakkan pil-pil itu di mulut dan memandang ke
sekeliling untuk mencari air.
"Kunyahlah," kata dr. Brooks. "Akan mencapai sirkulasi tubuh
Anda lebih cepat dan membantu melawan obat penenangnya."
Langdon mulai mengunyah dan langsung mengernyit. Pilpil itu pahit, jelas dimaksudkan untuk ditelan secara utuh. Dr.
Brooks membuka kulkas dan menyerahkan sebotol San Pellegrino
setengah-kosong kepada Langdon. Dengan penuh rasa syukur,
Langdon meneguknya banyak-banyak.
Kini dokter berambut ekor kuda itu meraih lengan kanan
Langdon dan melepaskan perban darurat yang dibuatnya dari
jaket Langdon, yang kemudian diletakkannya di meja dapur. Lalu
dengan cermat dia memeriksa luka Langdon. Ketika dr. Brooks
memegangi lengan telanjangnya, Langdon bisa merasakan kedua
tangan ramping itu gemetaran.
"Kau akan hidup," kata perempuan itu.
Langdon berharap dr. Brooks akan baik-baik saja. Dia nyaris
tidak bisa memahami apa yang baru saja mereka alami. "Dr.
Brooks," katanya, "kita perlu menelepon seseorang. Konsulat ...
polisi. Seseorang." Perempuan itu mengangguk setuju. "Juga, kau bisa berhenti
memanggilku dr. Brooks"namaku Sienna."
Langdon mengangguk. "Terima kasih. Aku Robert." Tam?
paknya, ikatan yang baru saja mereka bentuk ketika kabur me?
isi INFERNO [SC].indd 49 50 D an B rown nye?la?matkan diri itu telah mengizinkan mereka saling memanggil
dengan nama pertama. "Kau bilang, kau orang Inggris?"
"Berdasarkan kelahiran, ya."
"Aku tidak mendengar adanya aksen Inggris."
"Bagus," jawab perempuan itu. "Aku bekerja keras meng?
hilangkannya." Langdon hendak bertanya mengapa, tapi Sienna mengisya?
ratkan agar mengikuti. Perempuan itu menuntunnya menyusuri
koridor sempit ke sebuah kamar mandi suram dan kecil. Di cermin
di atas wastafel, Langdon memandang pantulan dirinya untuk
pertama kalinya semenjak pantulan yang kabur di jendela kamar
rumah sakit. Tidak bagus. Rambut lebat Langdon kusut, dan matanya
tampak merah dan lelah. Cambang tipis menutupi rahangnya.
Sienna menyalakan keran dan menuntun lengan bawah
Langdon yang terluka ke bawah air sedingin es. Terasa menye?
ngat, tapi Langdon mempertahankan lengannya di sana sambil
me?ngernyit. Sienna mengambil waslap bersih dan menyemprotnya dengan
sabun antibakteri. "Kau mungkin harus berpaling."
"Tidak apa-apa. Aku tidak terganggu dengan?"
Sienna mulai menggosok keras-keras, dan rasa sakit yang luar
biasa panas menjalari lengan Langdon. Dia mengatupkan rahang
untuk mencegah agar dirinya tidak berteriak memprotes.
"Kau pasti tidak mau kena infeksi," kata Sienna, yang kini
meng?gosok semakin keras. "Lagi pula, jika hendak menelepon
pihak berwenang, sebaiknya kau lebih sadar daripada sekarang.
Tidak ada yang bisa mengaktifkan produksi adrenalin seperti
rasa sakit." Langdon membiarkan penggosokan itu berlangsung sela?ma
waktu yang rasanya seakan sepuluh detik penuh, lalu me?nyen?
takkan lengannya dengan paksa. Cukup! Diakuinya, dia merasa
lebih kuat dan lebih sadar; rasa nyeri di lengannya kini benarbenar mengalahkan sakit kepalanya.
isi INFERNO [SC].indd 50 51 Infern o "Bagus," kata Sienna sambil mematikan keran dan menge?
ringkan lengan Langdon dengan handuk bersih. Lalu perempuan
itu memasang perban kecil di lengan Langdon. Tapi ketika Sienna
berbuat begitu, Langdon mendapati perhatiannya teralihkan oleh
sesuatu yang baru saja disadari olehnya"sesuatu yang sangat
menjengkelkannya. Selama hampir empat dekade, Langdon mengenakan arloji
Mickey Mouse antik edisi kolektor, hadiah dari orangtuanya.
Wajah tersenyum Mickey dan kedua lengannya yang melambailambai bersemangat selalu menjadi pengingat hariannya untuk
lebih sering tersenyum dan menjalani hidup dengan sedikit lebih
santai. "Arloji ... ku," ujar Langdon tergagap. "Hilang!" Tanpa ben?da
itu, mendadak dia merasa tidak lengkap. "Apakah aku menge?
nakannya ketika tiba di rumah sakit?"
Sienna memandangnya dengan tidak percaya, jelas kebi?
ngung?an mengapa Langdon bisa mengkhawatirkan hal seremeh
itu. "Aku tidak ingat adanya arloji. Bersihkan saja dirimu. Aku
akan kembali beberapa menit lagi, lalu kita akan memikirkan cara
mendapatkan pertolongan untukmu." Dia berbalik untuk pergi,
tapi berhenti di ambang pintu, memandang mata Langdon di
cermin. "Dan, sementara aku pergi, kusarankan agar kau berpikir
keras mengapa seseorang ingin membunuhmu. Kubayangkan
itulah pertanyaan pertama yang akan diajukan oleh pihak berwe?
nang." "Tunggu, kau mau ke mana?"
"Kau tidak bisa bicara dengan polisi dalam keadaan setengah
telanjang. Aku akan mencarikanmu pakaian. Tetanggaku kira-kira
berukuran sama denganmu. Dia sedang pergi, dan aku memberi
makan kucingnya. Dia berutang kepadaku."
Seiring perkataan itu, Sienna pergi.
Robert Langdon berpaling kembali ke cermin mungil di atas
wastafel dan nyaris tidak mengenali orang yang membalas tatap?
annya. Seseorang menginginkan kematianku. Dalam benaknya, sekali
lagi dia mendengar rekaman igauannya.
isi INFERNO [SC].indd 51 52 D an B rown Very sorry. Very sorry. Dia menjelajahi ingatannya untuk mengingat-ingat ... apa saja.
Tetapi hanya ada kekosongan. Yang diketahui Langdon hanyalah
dia berada di Florence, menderita luka tembak di kepala.
Sembari menatap mata lelahnya sendiri, Langdon setengah
bertanya-tanya apakah sebentar lagi dirinya akan terbangun di
kursi bacanya di rumah, menggenggam gelas martini kosong
dan buku Dead Souls. Lalu dia harus mengingatkan diri sendiri
bahwa minuman Bombay Sapphire tidak pernah boleh dicampur
dengan Gogol.[] isi INFERNO [SC].indd 52 BAB angdon melepas gaun rumah sakitnya yang bernoda
darah dan membalutkan handuk di pinggang. Setelah
mencipratkan air di wajah, dengan hati-hati dia menyentuh
jahitan-jahitan di belakang kepalanya. Kulitnya terasa nyeri,
tapi ketika dia mengatur rambut lepeknya, luka itu tertutup
seluruhnya. Pil-pil kafein mulai bekerja, dan akhirnya Langdon
merasakan kabut mulai terangkat.
Berpikirlah, Robert. Cobalah mengingat-ingat.
Kamar mandi tak berjendela itu mendadak terasa menye?
sakkan sehingga Langdon melangkah ke lorong, bergerak secara
naluriah menuju sorot cahaya alami yang berasal dari pintu se?
tengah-terbuka di seberang koridor. Ruangan itu berupa se?macam
kamar kerja darurat, dengan meja murah, kursi-putar usang,
ber?bagai buku di lantai, dan, syukurlah ... jendela.
Langdon bergerak menuju cahaya pagi.
Di kejauhan, matahari Tuscany yang sedang terbit baru
saja mencium menara-menara tertinggi kota yang baru terjaga
itu"menara jam, Gereja Badia, Museum Bargello. Langdon mene?
kan?kan kening pada kaca sejuk itu. Udara Maret terasa segar dan
dingin, memperkuat spektrum penuh cahaya matahari yang kini
mengintip di atas lereng-lereng bukit.
Cahaya pelukis, begitulah mereka menyebutnya.
Di tengah garis-langit, sebuah kubah besar dari genting merah
tampak menjulang, puncaknya dihiasi bola tembaga mengilat
yang berkilau seperti lampu-suar. Il Duomo. Brunelleschi telah
membuat sejarah arsitektur dengan membangun kubah besar
basilika itu, dan kini, lebih dari lima ratus tahun kemudian,
isi INFERNO [SC].indd 53 54 D an B rown struktur setinggi 115 meter itu masih mempertahankan posisinya,
raksasa yang tak tergoyahkan di Piazza del Duomo.
Mengapa aku berada di Florence"
Bagi Langdon, pencinta abadi karya seni Italia, Florence telah
menjadi salah satu tujuan favoritnya di seluruh Eropa. Inilah kota
tempat Michelangelo bermain di jalan-jalannya semasa kecil, dan
yang studio-studionya menyulut kebangkitan Renaisans Italia.
Inilah Florence, yang galeri-galerinya memikat jutaan pelancong
untuk mengagumi Birth of Venus karya Botticelli, Annunciation
karya Leonardo, serta kebanggaan utama kota itu"Il Davide.
Langdon terpukau oleh David-nya Michelangelo ketika perta?
ma kali melihatnya semasa remaja ... memasuki Accademia delle
Belle Arti ... berjalan perlahan-lahan melewati deretan muram
Prigioni kasarnya Michelangelo ... lalu merasakan pandangannya
tertarik ke atas, secara tak terhindarkan, menuju mahakarya se?
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggi lima meter itu. Ukuran besar dan bentuk otot-otot David
saja mengejutkan sebagian besar pengunjung pertama, tapi bagi
Langdon, kegeniusan pose David-lah yang menurutnya paling
memukau. Michelangelo menggunakan tradisi klasik contrapposto
untuk menciptakan ilusi bahwa David bertumpu pada kaki ka?
nan?nya, sedangkan kaki kirinya nyaris tidak menyangga be?ban,
padahal sesungguhnya kaki kiri itu menyokong berton-ton
pualam. David telah mencetuskan apresiasi sejati pertama Langdon
terhadap kekuatan patung mahakarya. Kini Langdon bertanyatanya apakah dirinya mengunjungi mahakarya itu dalam be?
berapa hari terakhir ini. Namun, satu-satunya ingatan yang bisa
dihimpunnya hanyalah terjaga di rumah sakit dan menyaksikan
seorang dokter tidak bersalah terbunuh di depan matanya. Very
sorry. Very sorry. Perasaan bersalah yang dirasakannya nyaris memualkan. Apa
yang telah kulakukan"
Ketika berdiri di jendela, sekilas Langdon melirik sebuah
laptop yang tergeletak di meja sebelahnya. Apa pun yang terjadi
isi INFERNO [SC].indd 54 55 Infern o pada dirinya semalam, pikir Langdon, tersadar tiba-tiba, mungkin
ada dalam berita. Jika bisa mengakses Internet, mungkin aku bisa menemukan ja?
wab?an. Langdon berpaling ke ambang pintu dan memanggil,
"Sienna"!"
Hening. Perempuan itu masih berada di apartemen tetangga,
mencari pakaian. Langdon, yang merasa yakin Sienna akan memahami kelan?
cangannya, membuka laptop itu dan menyalakannya.
Monitor laptop Sienna berpendar menyala, dengan latar bela?
kang "awan biru", standar Windows. Langdon langsung masuk ke
halaman-pencari Google Italia dan mengetikkan Robert Langdon.
Seandainya saja mahasiswaku bisa melihatku sekarang, pikir?nya
ketika memulai pencarian. Langdon terus-menerus memper?
ingat?kan para mahasiswanya agar tidak meng-Google diri me?
re?ka sendiri"keisengan ganjil baru cermin obsesi terhadap ke?
masyhuran pribadi yang kini seakan menguasai generasi muda
Amerika. Sebuah halaman hasil pencarian muncul"ratusan hasil me?
nyangkut Langdon, buku-bukunya, ceramah-ceramahnya. Bukan
sesuatu yang sedang kucari.
Langdon membatasi pencarian dengan memilih tombol
berita. Halaman baru muncul: Hasil berita untuk "Robert Langdon".
Penandatanganan buku: Robert Langdon akan muncul ....
Pidato kelulusan oleh Robert Langdon ....
Robert Langdon menerbitkan buku-dasar Simbol untuk ....
Daftarnya sepanjang beberapa halaman, tapi Langdon tidak
melihat sesuatu pun yang baru"jelas tidak ada sesuatu pun yang
bisa menjelaskan kesulitannya saat ini. Apa yang terjadi semalam"
Langdon terus mencari, mengakses situs Web The Florentine,
ko?ran berbahasa Inggris terbitan Florence. Dia meneliti judul
be?rita utama, bagian berita-terbaru, dan blog polisi, melihat
isi INFERNO [SC].indd 55 56 D an B rown artikel mengenai kebakaran apartemen, skandal penggelapan
pemerintah, dan berbagai peristiwa kejahatan ringan.
Tidak ada sesuatu pun"!
Dia berhenti pada kilasan breaking-news mengenai seorang
pejabat kota yang semalam tewas karena serangan jantung di plaza
di luar katedral. Nama pejabat itu masih belum diungkapkan, tapi
tidak ada kecurigaan mengenai pembunuhan.
Akhirnya, karena tidak tahu lagi harus berbuat apa, Langdon
masuk ke akun e-mail Harvard-nya dan memeriksa pesan-pesan,
bertanya-tanya apakah dia bisa menemukan jawaban di sana.
Yang bisa dia temukan hanyalah serangkaian surat biasa dari
para kolega, mahasiswa, dan teman, sebagian besarnya merujuk
pada janji-temu minggu depan.
Tampaknya seakan tak seorang pun mengetahui kepergianku.
Dengan ketidakpastian yang semakin meningkat, Langdon
me?matikan dan menutup laptop. Dia hendak pergi ketika matanya
melihat sesuatu. Di pojok meja Sienna, di atas tum?pukan jurnal
dan makalah kedokteran lama, bertengger sebuah foto Polaroid.
Itu foto Sienna Brooks dan koleganya, dok?ter berjenggot itu, se?
dang tertawa bersama-sama di lorong rumah sakit.
Dr. Marconi, pikir Langdon, yang dikuasai perasaan bersalah
ketika mengambil foto itu dan mengamatinya.
Ketika mengembalikan foto itu ke atas tumpukan buku,
dengan terkejut Langdon mengamati buklet kuning di bagian atas
tumpukan"buklet usang dari London Globe Theatre. Menurut
sampulnya, itu buklet untuk drama A Midsummer Night"s Dream
karya Shakespeare ... dipentaskan hampir dua puluh lima tahun
yang lalu. Di bagian atas buklet terdapat pesan tulisan tangan dengan
spidol Magic Marker: Sayang, jangan pernah lupa bahwa kau adalah
keajaiban. Langdon mengambil buklet drama itu, dan setumpuk kliping
berita berjatuhan ke meja. Dengan cepat, dia berupaya me?ngem?
balikan semuanya, tapi ketika membuka buklet ke halaman
isi INFERNO [SC].indd 56 57 Infern o lapuk tempat kliping-kliping itu berasal, dia langsung berhenti
ber?gerak. Dia sedang menatap foto aktris cilik yang memerankan peri
nakal Shakespeare, Puck. Foto itu menunjukkan seorang gadis
cilik yang usianya tidak mungkin lebih dari lima tahun, dengan
rambut pirang membentuk ekor kuda yang tidak asing lagi.
Teks di bawah foto bertuliskan: Seorang bintang telah lahir.
Biodatanya dipenuhi cerita mengenai seorang pemain teater
cilik yang genius"Sienna Brooks"dengan IQ luar biasa tinggi,
yang dalam waktu semalam telah menghafalkan dialog semua
pe?main dan, selama latihan-latihan awal, sering kali memberi
pe?tunjuk kepada anggota-anggota pemeran lainnya. Kegemaran
gadis berusia lima tahun ini, antara lain biola, catur, biologi, dan
kimia. Sebagai anak pasangan kaya lingkungan Blackheath di
ping?giran Kota London, gadis ini sudah termasyhur di lingkungan
ilmiah. Usia empat tahun, dia telah mengalahkan seorang grand?
master catur dan bisa membaca dalam tiga bahasa.
Astaga, pikir Langdon. Sienna. Itu menjelaskan beberapa hal.
Langdon ingat, salah satu lulusan Harvard yang paling ter?
ke?nal adalah seorang genius cilik bernama Saul Kripke, yang di
usia enam tahun telah mempelajari sendiri bahasa Ibrani dan di
usia dua belas telah membaca semua karya Descartes. Baru-baru
ini, Langdon ingat membaca mengenai seorang gadis muda yang
luar biasa bernama Moshe Kai Cavalin, yang di usia sebelas telah
meraih ijazah perguruan tinggi dengan IPK 4,0 dan merebut gelar
nasional dalam seni bela diri, dan di usia empat belas menerbitkan
buku berjudul We Can Do. Langdon mengambil kliping berita lain, artikel koran dengan
foto Sienna yang berusia tujuh tahun: GENIUS CILIK BER-IQ
208. Langdon tidak menyadari bahwa IQ bahkan bisa setinggi itu.
Menurut artikel itu, Sienna Brooks adalah pemain biola hebat, bisa
menguasai bahasa dalam waktu sebulan, dan sedang mempelajari
sendiri anatomi dan fisiologi.
isi INFERNO [SC].indd 57 58 D an B rown Langdon melihat kliping lain dari sebuah jurnal kedokteran:
MASA DEPAN PIKIRAN: TIDAK SEMUA OTAK DICIPTAKAN
SETARA. Artikel ini menunjukkan foto Sienna, yang saat itu mungkin
berusia sepuluh tahun, masih berambut pirang, berdiri di
samping sebuah perangkat kedokteran besar. Artikelnya memuat
wawancara dengan seorang dokter, yang menjelaskan bahwa
pemindaian PET mengungkapkan bentuk otak kecil Sienna
yang secara fisik berbeda dengan semua otak kecil lainnya.
Otak kecil gadis ini lebih besar dan lebih ramping, mampu
memanipulasi kandungan visual-spasial dengan cara-cara yang
tidak terbayangkan oleh sebagian besar umat manusia. Dokter itu
menyamakan keunggulan fisiologis Sienna dengan pertumbuhan
sel yang luar biasa cepat dalam otaknya; sangat menyerupai
kanker, tapi berupa pertumbuhan cepat jaringan otak yang ber?
man?faat, alih-alih sel-sel kanker berbahaya.
Langdon menemukan kliping dari koran kota-kecil.
KUTUKAN KECERDASAN. Kali ini tidak ada foto, tapi beritanya mengisahkan seorang
genius cilik, Sienna Brooks, yang berupaya menghadiri sekolah
biasa, tapi diejek oleh para pelajar lainnya karena tidak bisa me?
nye?suaikan diri. Berita itu membahas keterasingan yang dira?
sakan oleh orang-orang muda berbakat, yang sering kali diku?
cil?kan karena kemampuan sosial mereka tidak bisa mengikuti
ke?cerdasan mereka. Sienna, menurut artikel ini, melarikan diri dari rumah di
usia delapan tahun, dan cukup pintar untuk hidup sendirian
tan?pa ditemukan selama sepuluh hari. Dia ditemukan di sebuah
hotel kelas atas London. Di sana, dia berpura-pura menjadi
putri seorang tamu, mencuri kunci, dan memesan layanan-ka?
mar dengan meng?gunakan tagihan orang lain. Tampaknya dia
meng?ha?biskan ming?gu itu dengan membaca 1.600 halaman Gray"s
Anatomy. Ketika pihak berwenang bertanya mengapa dia mem?
baca teks ke?dok?teran, dia mengatakan ingin mengetahui apa yang
salah dengan otaknya. isi INFERNO [SC].indd 58 59 Infern o Langdon merasa iba terhadap gadis cilik itu. Dia tidak bisa
membayangkan betapa kesepiannya menjadi anak yang begitu
berbeda. Dia melipat kembali artikel itu, dan berhenti untuk
memandang terakhir kalinya foto Sienna berusia lima tahun
yang memerankan Puck. Langdon harus mengakui, mengingat
betapa sureal perjumpaannya dengan Sienna pagi ini, peranan
perempuan itu sebagai peri nakal pembangkit-mimpi anehnya
seakan pas dengan kondisi sekarang ini. Langdon hanya ber?ha?
rap dirinya, sama seperti tokoh-tokoh dalam drama itu, kini bisa
terbangun dan berpura-pura bahwa semua pengalaman ter?ba?
runya hanyalah mimpi. Dengan cermat, Langdon mengembalikan semua kliping
itu ke halaman yang tepat dan menutup buklet drama itu, lalu
me?ra?sakan kesedihan yang tak terduga ketika sekali lagi melihat
pesan di sampulnya: Sayang, jangan pernah lupa bahwa kau adalah
keajaiban. Mata Langdon bergerak memandang simbol yang sudah
tidak asing lagi yang menghiasi sampul buklet drama itu. Sebuah
piktogram Yunani kuno yang juga menghiasi sebagian besar
buklet drama di seluruh dunia"simbol berusia 2.500 tahun yang
telah disinonimkan dengan pertunjukan drama.
Le maschere. Langdon memandang wajah ikonik Komedi dan Tragedi
yang menatapnya itu, dan mendadak dia mendengar dengung
aneh di telinganya"seakan seutas kabel ditegangkan secara
per?la?han-lahan di dalam benaknya. Tusukan rasa nyeri merebak
di dalam tengkoraknya. Penglihatan mengenai sebuah topeng,
melayang-layang di depan matanya. Langdon terkesiap dan
me?me?gang kepalanya dengan kedua tangan, terduduk di kursi,
isi INFERNO [SC].indd 59 60 D an B rown lalu memejamkan mata rapat-rapat sambil mencengkeram kulit
kepala. Dalam kegelapan, penglihatan-penglihatan ganjil itu datang
kembali dengan garangnya ... jelas dan keji.
Perempuan berambut perak dengan kalung jimat itu kembali
memanggil Langdon dari seberang sungai semerah darah. Te?
riak?an putus asanya menembus udara busuk, jelas terdengar
di antara suara-suara mereka yang tersiksa dan sekarat, yang
meng??geliat-geliat kesakitan sejauh mata memandang. Sekali lagi
Langdon melihat sepasang kaki terbalik yang dihiasi huruf R,
tubuh setengah-terkubur yang menendang-nendangkan kaki di
udara dengan penuh keputusasaan.
Cari dan temukan! teriak perempuan itu kepada Langdon.
Wak?tu hampir habis! Sekali lagi Langdon merasakan keharusan yang teramat sa?
ngat untuk menolong perempuan itu ... untuk menolong semua
orang. Dengan panik, dia membalas berteriak melintasi sungai
semerah darah. Siapa kau"!
Sekali lagi perempuan itu mengangkat tangan dan membuka
cadar untuk mengungkapkan wajah menawan yang sama yang
sudah dilihat oleh Langdon sebelumnya.
Akulah kehidupan, kata perempuan itu.
Mendadak, gambaran kolosal mewujud di langit di atas
perempuan itu"topeng mengerikan berhidung panjang seperti
paruh dan dua mata hijau garang, menatap kosong ke arah
Langdon. Dan ... akulah kematian, sebuah suara menggelegar.[]
isi INFERNO [SC].indd 60 BAB
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ata Langdon langsung terbuka, dan dia menghela napas
dengan terkejut. Dia masih duduk di kursi Sienna,
de??ngan kedua tangan memegangi kepala dan jantung
ber?dentam-dentam panik. Apa gerangan yang terjadi padaku"
Gambaran perempuan berambut perak dan topeng berparuh
itu tertinggal dalam benaknya. Akulah kehidupan. Akulah kematian.
Langdon berupaya mengenyahkan penglihatan itu, tapi gambaran
itu seakan terpatri secara permanen dalam benaknya. Di meja di
depannya, kedua topeng di buklet drama menatapnya.
Ingatan-ingatan Anda akan kacau balau dan tidak terkatalogkan,
kata Sienna tadi. Masa lalu, masa kini, dan imajinasi berbaur menjadi
satu. Langdon merasa pening. Di suatu tempat di dalam apartemen, telepon berdering. De?
ring kuno yang memekakkan telinga, berasal dari dapur.
"Sienna"!" teriak Langdon sambil berdiri.
Tidak ada jawaban. Perempuan itu belum kembali. Setelah
dua dering saja, mesin penjawab telepon mengambil alih.
"Ciao, sono io"Hai, ini aku," suara riang Sienna terdengar di
re?kaman pesan keluarnya. "Lasciatemi un messaggio e vi richiamer?"
Silakan tinggalkan pesan dan aku akan menelepon nanti."
Terdengar bunyi bip, lalu seorang perempuan yang panik
me?ninggalkan pesan dengan aksen Eropa Timur kental. Suaranya
menggema di sepanjang lorong.
"Sienna, ini Danikova! Kau di mana"! Mengerikan! Temanmu,
dr. Marconi, tewas! Rumah sakit kacau balau! Polisi kemari!
isi INFERNO [SC].indd 61 62 D an B rown Kata orang-orang, kau kabur, mencoba menyelamatkan pasien"!
Mengapa!" Kau tidak kenal dia! Kini polisi ingin bicara denganmu! Mereka mengambil arsip karyawan! Aku tahu informasinya
salah"alamat keliru, tanpa nomor, visa kerja palsu"jadi me?reka
tidak menemukanmu hari ini, tapi mereka akan segera me?ne?mu?
kanmu! Aku mencoba memperingatkanmu. Maaf, Sienna."
Telepon berakhir. Langdon merasakan gelombang penyesalan baru kembali
menguasainya. Berdasarkan bunyi pesan itu, dr. Marconi-lah
yang mengizinkan Sienna bekerja di rumah sakit. Kini kehadiran
Langdon telah mengakibatkan tewasnya Marconi, dan naluri
Sienna untuk menyelamatkan orang asing berdampak mengerikan
pada masa depannya. Saat itulah sebuah pintu menutup dengan suara keras di
ujung jauh apartemen. Sienna sudah kembali. Sejenak kemudian, mesin penjawab telepon kembali mem?
bahana. "Sienna, ini Danikova! Kau di mana"!"
Langdon mengernyit, mengetahui apa yang akan didengar
oleh Sienna. Ketika pesan itu berlanjut, cepat-cepat Langdon me?
letakkan buklet drama dan merapikan meja. Lalu dia menye?linap
kembali melintasi lorong, memasuki kamar mandi, merasa tidak
nyaman karena telah menengok sekilas masa lalu Sienna.
Sepuluh detik kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu
ka?mar mandi. "Aku akan menggantungkan pakaianmu di gagang pintu,"
kata Sienna dengan suara parau penuh emosi.
"Terima kasih banyak," jawab Langdon.
"Jika sudah selesai, harap ke dapur," imbuh Sienna. "Ada se?
suatu yang penting yang perlu kutunjukkan kepadamu sebelum
kita menelepon siapa pun."
______ isi INFERNO [SC].indd 62 63 Infern o Sienna berjalan dengan lesu menyusuri lorong menuju kamar
se?derhana apartemen itu. Dia mengambil celana jins dan sweter
dari lemari, lalu membawanya ke kamar mandi.
Dia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, menjulurkan
tangan ke atas, mencengkeram rambut ekor kuda pirang tebalnya,
lalu menariknya ke bawah kuat-kuat, meluncurkan wig pirang
dari kulit kepala botaknya.
Seorang perempuan botak berusia tiga puluh dua tahun me?
natapnya dari cermin. Tidak habis-habisnya tantangan yang harus dihadapi oleh
Sienna dalam hidupnya, dan walaupun dia telah melatih dirinya
sendiri untuk mengandalkan kecerdasan dalam mengatasi ma?
salah, kesulitannya saat ini telah mengguncangnya pada tingkat
yang sangat emosional. Dia meletakkan wig itu, lalu mencuci wajah dan tangan. Se?
te?lah mengeringkan diri, dia berganti pakaian dan memasang
kembali wignya, meluruskannya dengan cermat. Mengasihani
diri sendiri adalah impuls yang jarang ditoleransi oleh Sienna,
tapi kini, ketika air mata menggenang dari tempat yang jauh
di dalam hatinya, dia tahu dirinya tidak punya pilihan, kecuali
membiarkan air mata itu keluar.
Dan itulah yang dilakukannya.
Dia menangisi kehidupan yang tidak bisa dikendalikannya.
Dia menangisi mentor yang tewas di depan matanya.
Dia menangisi perasaan kesepian luar biasa yang memenuhi
hatinya. Tapi, yang terutama, dia menangisi masa depan ... yang men?
dadak terasa begitu tidak pasti.[]
isi INFERNO [SC].indd 63 BAB i bawah dek di kapal mewah The Mendacium, fasilitator
Laurence Knowlton duduk di bilik kaca tertutup dan
menatap monitor komputernya dengan tidak percaya,
setelah meninjau video yang ditinggalkan oleh klien mereka.
Aku harus mengunggah ini ke media besok pagi"
Selama sepuluh tahun bersama Konsorsium, Knowlton telah
melaksanakan segala jenis tugas ganjil yang diketahuinya ber?
ada di suatu tempat antara ketidakjujuran dan ketidaklegalan.
Bekerja dalam area-kelabu moral adalah sesuatu yang biasa di
Kon?sorsium"organisasi yang satu-satunya keunggulan etisnya
adalah melakukan segala yang diperlukan untuk mematuhi janji
terhadap klien. Kami laksanakan. Tanpa mengajukan pertanyaan. Tak peduli apa
pun. Namun, bayangan mengunggah video ini meresahkan Knowl?
ton. Di masa lalu, tak peduli tugas ganjil apa pun yang harus di??lak?
sanakan olehnya, dia selalu memaklumi alasannya ... me?nang?kap
motifnya ... memahami hasil yang diinginkan.
Namun, video ini membingungkan.
Sesuatu mengenai video ini terasa berbeda.
Jauh berbeda. Knowlton duduk kembali di depan komputer, memutarulang video itu, berharap tontonan-ulang bisa memberikan lebih
banyak penjelasan. Dia membesarkan volumenya dan bersiap
untuk pertunjukan sembilan-menit.
Seperti sebelumnya, video itu dimulai dengan terpaan lembut
air dalam gua mengerikan yang dipenuhi air, tempat segalanya
isi INFERNO [SC].indd 64 65 Infern o bermandikan cahaya merah mistis. Sekali lagi kamera menyelam
lewat permukaan air berpenerangan itu untuk menyorot lantai
gua yang berlapis lumpur. Dan sekali lagi Knowlton membaca
teks pada plakat di bawah air itu:
DI TEMPAT INI, PADA TANGGAL INI,
DUNIA BERUBAH SELAMANYA. Meresahkan, karena plakat mengilat itu ditandatangani
oleh klien Konsorsium. Dan Knowlton semakin khawatir karena
tanggalnya adalah besok. Namun, hal berikutnyalah yang benarbenar membuat Knowlton merasa panik.
Kini kamera menyorot ke kiri untuk mengungkapkan benda
mengejutkan yang melayang-layang di bawah air persis di sam?
ping plakat. Di sana, tampak bulatan bergelombang dari plastik tipis yang
ditambatkan ke lantai dengan seutas filamen pendek. Bentuk
trans?paran itu, yang ringkih dan bergoyang-goyang seperti
ge?lembung sabun raksasa, mengapung seperti balon di bawah
air. Isinya bukan helium, melainkan semacam cairan cokelat
ke??ku??ningan yang berbentuk gelatin. Kantong tak berbentuk itu
meng?gembung dan tampaknya berdiameter sekitar tiga puluh
senti?meter. Di dalam dinding transparannya, cairan keruh itu se?
akan berpusar-pusar pelan, seperti mata-badai yang ber?kem?bang
secara diam-diam. Astaga, pikir Knowlton ngeri. Kantong melayang itu bahkan
tampak lebih mengancam ketika dilihat untuk kedua kalinya.
Perlahan-lahan layar berubah hitam.
Gambar baru muncul"dinding lembap gua, menari-nari
ber??sama pantulan beriak-riak laguna bernuansa kemerahan. Mun?
cul bayangan di dinding ... bayangan seorang lelaki ... berdiri di
da?lam gua. Namun, kepala lelaki itu bentuknya aneh ... sangat aneh.
Alih-alih hidung, lelaki itu berparuh panjang ... seakan dia
se?tengah-burung. isi INFERNO [SC].indd 65 66 D an B rown Ketika dia bicara, suaranya teredam ... dan dia bicara dengan
kefasihan mengerikan ... irama yang teratur ... seakan dia adalah
narator dari semacam refrein lagu klasik.
Knowlton duduk tak bergerak, nyaris tak bernapas, ketika
bayangan berparuh itu bicara.
Akulah sang Arwah. Jika kalian menonton ini, artinya jiwaku akhirnya tenang.
Karena terusir ke bawah-tanah, aku harus bicara pada dunia
dari tempat yang jauh di dalam bumi, terasing dalam gua muram
ini, yang air semerah darahnya berkumpul di laguna yang tak
memantulkan bintang-bintang.
Tapi, inilah surgaku ... rahim sempurna untuk anak ringkihku.
Inferno. Sebentar lagi kalian akan tahu apa yang kutinggalkan.
Namun, di sini pun aku merasakan suara langkah jiwajiwa tolol yang mengejarku ... tidak mau menyerah untuk
menggagalkan tindakanku. Ampunilah mereka, mungkin kalian akan berkata begitu,
karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Namun,
tibalah saat dalam sejarah ketika ketidaktahuan bukan lagi
kejahatan yang bisa dimaafkan ... tibalah saat ketika hanya
kebijaksanaan yang punya kekuatan untuk mengampuni.
Dengan kemurnian nurani, aku telah mewariskan kepada
kalian semua hadiah berupa Pengharapan, keselamatan, hari esok.
Namun, masih ada mereka yang memburuku seperti anjing,
dipicu oleh keyakinan picik bahwa aku orang gila. Ada perempuan
cantik berambut-perak yang berani menyebutku monster!
Seperti pastor-pastor buta yang melobi kematian Copernicus, dia
mencemoohku sebagai iblis, ketakutan karena aku telah melihat
Kebenaran. Namun, aku bukan nabi. Akulah keselamatanmu. Akulah sang Arwah.[] isi INFERNO [SC].indd 66 BAB "D uduklah," kata Sienna. "Aku punya beberapa per?
tanyaan untukmu." Ketika memasuki dapur, langkah Langdon
te?rasa jauh lebih mantap. Dia mengenakan setelan Brioni milik
tetangga Sienna, yang luar biasa pas. Bahkan, sepatu kulit san?
tainya terasa nyaman, dan Langdon mengingat-ingat untuk
beralih pada sepatu Italia ketika dia pulang nanti.
Kalau aku pulang, pikirnya.
Sienna berubah, terlihat cantik alami, mengenakan celana jins
ketat dan sweter warna-krem yang menunjang sosok lincahnya.
Rambutnya masih diikat ekor kuda, dan tanpa kesan berwibawa
yang diberikan oleh seragam operasinya, entah kenapa dia tampak
lebih rapuh. Langdon mengamati mata merahnya"perempuan
itu seakan baru saja menangis"dan perasaan bersalah yang begitu
besar kembali menguasainya.
"Sienna, aku sangat menyesal. Aku mendengar pesan lewat
telepon itu. Aku tidak tahu harus berkata apa."
"Terima kasih," jawab perempuan itu. "Tapi kita harus memu?
satkan perhatian kepada-mu pada saat ini. Silakan duduk."
Kini nada suaranya lebih tegas, membangkitkan ingatan Lang?
don terhadap artikel-artikel yang baru saja dibacanya mengenai
kecerdasan dan masa kecil Sienna yang terlalu cepat dewasa.
"Aku ingin kau berpikir," kata Sienna, sambil mengisyaratkan
Langdon untuk duduk. "Bisakah kau mengingat cara kita tiba di
apartemen ini?" Langdon tidak yakin di mana relevansinya. "Dengan taksi,"
jawabnya sambil duduk. "Seseorang menembaki kita."
isi INFERNO [SC].indd 67 68 D an B rown "Menembaki-mu, Profesor. Kita harus jelas soal itu."
"Ya. Maaf." "Dan apakah kau ingat adanya tembakan ketika berada di
dalam taksi?"
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertanyaan ganjil. "Ya. Dua tembakan. Yang satu mengenai
spion-samping, dan yang satu lagi memecahkan jendela bela?
kang." "Bagus, kini pejamkan matamu."
Langdon menyadari bahwa Sienna sedang menguji ingatan?
nya. Dia memejamkan mata.
"Apa yang kukenakan?"
Langdon bisa membayangkan perempuan itu dengan sangat
jelas. "Se?patu datar hitam, celana jins, dan sweter krem berleher-V.
Ram?but?mu pirang, sepanjang bahu, diikat ke belakang. Matamu
cokelat." Langdon membuka mata dan mengamati Sienna, merasa
senang karena ingatan eidetiknya berfungsi normal.
"Bagus. Penanaman kognitif visualmu bagus sekali. Ini me?
ne?gaskan bahwa amnesiamu benar-benar retrograde, dan kau
tidak mengalami kerusakan permanen pada proses pembentukan
ingatan. Sudahkah kau mengingat sesuatu yang baru dari peris?
tiwa beberapa hari terakhir ini?"
"Sayangnya tidak. Tapi aku mendapat gelombang penglihatan
baru ketika kau sedang pergi."
Langdon menceritakan berulangnya halusinasi mengenai
perempuan bercadar, gerombolan orang mati, dan sepasang kaki
setengah-terkubur yang menggeliat-geliat dan ditandai huruf R.
Lalu dia menceritakan topeng ganjil berparuh yang melayanglayang di langit.
?"Akulah kematian?"" tanya Sienna, tampak khawatir.
"Itulah yang dikatakannya. Ya."
"Oke .... Kurasa, perkataan itu mengalahkan "Akulah Vishnu,
penghancur dunia.?" Perempuan muda itu baru saja mengutip kata-kata Robert
Oppenheimer ketika menguji bom atom pertama.
isi INFERNO [SC].indd 68 69 Infern o "Dan, topeng bermata-hijau ... berhidung paruh ini?" tanya
Sienna, tampak kebingungan. "Tahukah kau mengapa benakmu
memunculkan gambaran itu?"
"Sama sekali tidak, tapi gaya topeng itu cukup lumrah pada
Abad Pertengahan." Langdon terdiam. "Itu disebut topeng wa?
bah." Aneh sekali, Sienna tampak sangat gelisah. "Topeng wa?
bah?" Langdon cepat-cepat menjelaskan bahwa dalam dunia simbol,
bentuk unik topeng berparuh-panjang itu nyaris sinonim dengan
Kematian Hitam (Black Death)"wabah mematikan yang menyapu
Eropa pada tahun 1300-an, membunuh sepertiga populasi di
be??berapa daerah. Sebagian besar orang percaya bahwa "hitam"
dalam Kematian Hi?tam merujuk pada gelapnya daging korban
karena gangren dan pendarahan di bawah kulit, tapi sesungguhnya
kata hitam itu merujuk pada kengerian emosional yang luar biasa
karena pan?demi itu menyebar ke seluruh populasi.
"Topeng berparuh-panjang itu," kata Langdon, "dikenakan
oleh para dokter wabah Abad Pertengahan untuk menjauhkan
penyakit menular itu dari lubang hidung mereka ketika sedang
mengobati pasien yang terinfeksi. Dewasa ini, kau hanya melihat
topeng itu dikenakan sebagai kostum saat Venice Carnevale"
pengingat mengerikan terhadap periode muram dalam sejarah
Italia." "Dan kau yakin melihat salah satu topeng ini dalam pengli?
hatanmu?" tanya Sienna, suaranya kini bergetar. "Topeng dokter
wabah Abad Pertengahan?"
Langdon mengangguk. Dia tak mungkin keliru, topeng berparuh
itu sangat jelas. Sienna mengernyitkan dahi dengan cara yang membuat
Langdon merasa perempuan itu sedang berupaya mencari cara
terbaik untuk menyampaikan berita buruk. "Dan perempuan itu
terus memberitahumu untuk "mencari dan menemukan?""
"Ya. Persis seperti sebelumnya. Tapi masalahnya, aku sama
sekali tidak tahu apa yang seharusnya kucari."
isi INFERNO [SC].indd 69 70 D an B rown Sienna mengembuskan napas pelan dan panjang, ekspresinya
muram. "Kurasa, aku mungkin tahu. Lagi pula ... kurasa kau
mung??kin sudah menemukannya."
Langdon ternganga. "Kau bicara apa?"
"Robert, semalam ketika kau tiba di rumah sakit, kau mem?
bawa sesuatu yang tidak biasa di saku jaketmu. Kau ingat apa
itu?" Langdon menggeleng. "Kau membawa sebuah benda ... benda yang cukup menge?
jutkan. Aku menemukannya secara kebetulan ketika kami sedang
membersihkan tubuhmu." Sienna menunjuk jaket Harris Tweed
berlumur-darah Langdon, yang terhampar di meja. "Masih ada
di dalam saku, jika kau ingin melihatnya."
Dengan bimbang, Langdon memandang jaketnya. Setidaknya
itu menjelaskan mengapa Sienna kembali untuk mengambil jaketku.
Dia meraih jaketnya yang bernoda darah dan menggeledah se?
mua sakunya satu per satu. Nihil. Dia melakukannya sekali lagi.
Akhirnya, dia berpaling kepada Sienna sambil mengangkat bahu.
"Tidak ada apa-apa di sini."
"Bagaimana dengan saku rahasia?"
"Apa" Jaketku tidak punya saku rahasia."
"Benarkah?" Sienna tampak kebingungan. "Kalau begitu,
ja?ket ini ... milik orang lain?"
Otak Langdon kembali terasa kacau. "Tidak, ini jaket-ku."
"Kau yakin?" Yakin sekali, pikir Langdon. Ini jaket Camberley favoritku.
Dia melipat keluar lapisan jaketnya dan memperlihatkan
label dengan simbol favoritnya di dunia pakaian"bulatan ikonik
Harris Tweed yang dihiasi tiga belas permata seperti kancing,
de?ngan salib Maltese di bagian atasnya.
Serahkan pada orang Skotlandia untuk bisa membangkitkan sema?
ngat para pejuang Kristen di atas secarik kain twill.
"Lihat ini," kata Langdon sambil menunjuk inisial bordirantangan"R.L."yang telah diimbuhkan pada label itu. Dia se?lalu
membeli model Harris Tweed jahitan-tangan, dan selalu mem?
isi INFERNO [SC].indd 70 71 Infern o ba?yar lebih agar mereka menjahitkan inisial namanya pada label.
Di kampus universitas, tempat ratusan jaket tweed terus-menerus
dile?paskan dan dipakai di ruang makan dan kelas, Langdon tidak
ingin mendapat jaket yang buruk karena tertukar secara tidak
sengaja. "Aku memercayaimu," kata Sienna sambil mengambil jaket
itu dari Langdon. "Kini lihatlah."
Sienna membuka jaket itu lebih jauh untuk menunjukkan
lapisan di dekat tengkuk belakang. Di sana, tersembunyi dalam
lapisan jaket, terdapat saku besar yang dibuat dengan rapi.
Apa pula itu"! Langdon merasa yakin tidak pernah melihatnya sebelum?
nya. Saku itu berupa keliman tersembunyi yang dijahit dengan
sem?purna. "Itu tidak ada di sana sebelumnya!" kata Langdon ngotot.
"Kalau begitu, kubayangkan kau tidak pernah melihat ...
ini?" Sienna merogoh saku itu dan mengeluarkan sebuah benda
logam mengilat, yang diletakkannya dengan hati-hati di tangan
Langdon. Langdon menunduk menatap benda itu dengan sangat kebi?
ngungan. "Kau tahu apa ini?" tanya Sienna.
"Tidak ...," jawab Langdon tergagap. "Aku tidak pernah me?
lihat se?suatu yang seperti ini."
"Sayangnya, aku tahu apa ini. Dan aku yakin sekali, inilah
alasan mengapa seseorang berupaya membunuhmu."
______ Kini, ketika berjalan mondar-mandir di bilik privatnya di The Men?
dacium, fasilitator Knowlton merasakan kegelisahan yang se?makin
meningkat ketika memikirkan video yang harus dise?bar?kannya
pada dunia besok pagi. Akulah sang Arwah" isi INFERNO [SC].indd 71 72 D an B rown Telah beredar desas-desus bahwa klien khusus ini mengalami
serangan psikotik selama beberapa bulan terakhir, dan video ini
seakan menegaskan desas-desus itu dengan pasti.
Knowlton tahu, dia punya dua pilihan. Dia bisa menyiapkan
video itu untuk diunggah besok seperti yang dijanjikan, atau
dia bisa membawanya kepada Provos untuk mendapat opini
ke?dua. Aku sudah tahu opininya, pikir Knowlton, yang tidak pernah
menyaksikan Provos melakukan tindakan selain yang telah di?
janjikannya kepada klien. Dia akan menyuruhku mengunggah video
ini untuk dunia, tanpa mengajukan pertanyaan ... dan dia akan marah
karena aku bertanya. Knowlton mengalihkan kembali perhatiannya pada video
itu, yang diputarnya ulang hingga ke bagian yang meresahkan.
Dia mulai menjalankan video itu kembali, dan gua yang diterangi
secara mengerikan itu muncul kembali, diiringi suara air menerpa.
Bayangan menyerupai manusia itu menjulang di dinding yang
meneteskan air"lelaki jangkung dengan paruh panjang seperti
burung. Dengan suara teredam, bayangan berbentuk ganjil itu bi?
cara: Ini Abad Kegelapan baru. Berabad-abad lalu, Eropa berada dalam jurang
penderitaannya sendiri"populasinya berdesakan, kelaparan,
terperosok dalam dosa dan keputusasaan. Mereka seperti hutan
yang padat, disesaki pohon mati, menunggu sambaran petir
Tuhan"percikan yang akhirnya akan menyulut api yang merebak
ke seluruh negeri dan membersihkan kayu-kayu mati, sekali lagi
mendatangkan cahaya matahari bagi akar-akar yang sehat.
Penyiangan adalah Tatanan Alami Tuhan.
Tanyalah diri kalian sendiri, Apa yang terjadi setelah Kematian
Hitam" Kita semua tahu jawabannya.
Renaisans. isi INFERNO [SC].indd 72 73 Infern o Kelahiran-kembali. Selalu dengan cara begini. Kematian diikuti oleh kelahiran.
Untuk mencapai Paradise (Surga), manusia harus melewati
Inferno (Neraka). Ini diajarkan oleh sang master kepada kita.
Namun, perempuan tolol berambut-perak itu berani
menyebutku monster" Apakah dia masih belum memahami
matematika masa depan" Kengerian yang akan didatangkannya"
Akulah sang Arwah. Akulah keselamatanmu. Maka aku berdiri, jauh di dalam gua ini, memandang melintasi
laguna yang tak memantulkan bintang-bintang. Di sini, di dalam
istana tenggelam ini, Inferno membara di bawah perairan.
Tak lama, Inferno akan meledak menjadi lidah-lidah api.
Dan ketika itu terjadi, tidak ada sesuatu pun di dunia yang bisa
menghentikannya.[] isi INFERNO [SC].indd 73 BAB enda di tangan Langdon terasa mengejutkan beratnya,
mengingat ukurannya. Silinder logam mengilat itu, ram?
ping dan halus, panjangnya sekitar enam inci dan mem?
bu?lat di kedua ujungnya seperti torpedo mini.
"Sebelum benda itu kau tangani terlalu kasar," kata Sienna,
"mungkin kau ingin melihat sisi lainnya." Perempuan itu terse?
nyum tegang. "Kau bilang, kau profesor simbologi?"
Langdon memusatkan perhatian kembali pada tabung itu,
memutarnya di tangan hingga simbol merah terang itu bergulir
ke dalam pandangan, terpampang di sisi tabung.
Tubuhnya langsung menegang.
Langdon tahu, sebagai orang yang mempelajari ikonografi,
hanya sedikit sekali gambar yang punya kekuatan untuk mena?
namkan ketakutan seketika dalam benak manusia. Tetapi, simbol
di hadapannya jelas termasuk dalam daftar itu. Reaksi Langdon
lang?sung dan naluriah; dia meletakkan tabung itu di meja dan
me?mun?durkan kursi. Sienna mengangguk. "Ya, reaksiku juga begitu."
Tanda di tabung berupa ikon tiga-segi sederhana.
Langdon pernah membaca bahwa simbol terkenal ini dikem?
bangkan oleh Dow Chemical pada 1960-an untuk menggantikan
serangkaian gambar peringatan melempem yang sebelumnya
di?gu?nakan. Seperti semua simbol sukses lainnya, simbol ini seder?
isi INFERNO [SC].indd 74 75 Infern o hana, berbeda, dan gampang direproduksi. Simbol "biohazard"
mo?dern ini, yang secara cerdik membangkitkan asosiasi terhadap
segalanya mulai dari capit kepiting hingga pisau-lempar ninja,
telah menjadi merek global yang mengungkapkan bahaya dalam
Inferno Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
se?mua bahasa. "Wadah kecil ini tabung-bio," jelas Sienna. "Digunakan untuk
mengangkut substansi berbahaya. Kami terkadang melihatnya
da?lam bidang kedokteran. Di dalamnya terdapat selongsong
busa yang bisa disisipi tabung spesimen yang hendak diangkut
dengan aman. Dalam hal ini ...." Dia menunjuk simbol biohazard
itu. "Kurasa, agen kimia berbahaya ... atau mungkin ... virus?"
Dia ter?diam. "Sampel Ebola pertama didatangkan dari Afrika
dalam tabung serupa."
Ini sama sekali bukan sesuatu yang ingin didengar oleh
Langdon. "Mengapa pula benda ini ada dalam jaketku! Aku pro?
fesor sejarah seni, mengapa aku membawa benda ini"!"
Gambaran mengerikan tubuh-tubuh yang menggeliat-geliat
berkelebat dalam benaknya ... dan topeng wabah melayang di
atas semuanya itu. Very sorry ... very sorry.
"Dari mana pun benda ini berasal," kata Sienna, "ini unit yang
sangat canggih. Titanium berlapis-timah. Benar-benar tidak bisa
ditembus, bahkan oleh radiasi. Kurasa milik pemerintah." Dia
menunjuk bantalan hitam seukuran prangko di samping simbol
biohazard itu. "Kunci dengan sidik jari jempol. Pengaman, kalaukalau benda ini hilang atau dicuri. Tabung seperti ini hanya bisa
dibuka oleh individu tertentu."
Walaupun merasakan benaknya kini bekerja dengan kece?
patan normal, Langdon masih merasa seakan berjuang untuk
me?ma?hami. Aku membawa wadah yang tersegel secara biometris.
"Ketika menemukan wadah ini dalam jaketmu, aku ingin me?
nunjukkannya kepada dr. Marconi, tapi tidak punya kesempatan
sebelum kau terbangun. Aku berpikir untuk mencoba jempolmu
di bantalan saat kau masih tidak sadarkan diri, tapi aku sama
sekali tidak tahu apa yang ada di dalam tabung itu, dan?"
isi INFERNO [SC].indd 75 76 D an B rown "Jempol-KU"!" Langdon menggeleng-gelengkan kepala.
"Mustahil benda ini diprogram untuk bisa ku-buka. Aku tidak
tahu apa-apa soal biokimia. Aku tidak pernah punya sesuatu pun
yang seperti ini." "Kau yakin?" Langdon yakin sekali. Dia menjulurkan tangan dan mele?tak?
kan jempolnya di bantalan jari. Tidak terjadi sesuatu pun. "Benar,
kan"! Sudah kubilang?"
Tabung titanium itu berbunyi klik keras, dan Langdon buruburu menyentakkan tangannya seakan terbakar. Astaga. Dia
me?natap seakan wadah itu hendak membuka sendiri dan mulai
me?mancarkan gas mematikan. Setelah tiga detik, wadah itu kem?
bali berbunyi klik, tampaknya mengunci kembali.
Langdon, yang tak mampu berkata-kata, berpaling kepada
Sienna. Dokter muda itu mengembuskan napas, tampak gelisah.
"Wah, tampaknya jelas sekali kaulah yang dimaksudkan untuk
mem?bawanya." Bagi Langdon, seluruh skenario itu terasa tidak logis. "Itu
mus?tahil. Pertama-tama, bagaimana aku bisa meloloskan sepotong
logam ini melewati keamanan bandara?"
"Mungkin kau terbang dengan jet privat" Atau mungkin
benda itu diberikan kepadamu ketika kau tiba di Italia?"
"Sienna, aku harus menelepon konsulat. Segera."
"Menurutmu, kita tidak perlu membukanya terlebih da?
hulu?" Langdon pernah melakukan beberapa tindakan ceroboh
dalam hidupnya, tapi membuka wadah materi berbahaya di dapur
perempuan ini tidak akan menjadi salah satunya. "Aku akan
menyerahkan benda ini kepada pihak berwenang. Sekarang."
Sienna mengerutkan bibir, merenungkan pilihan-pilihan.
"Oke, tapi begitu kau menelepon, kau sendirian. Aku tidak bisa
terlibat. Kau jelas tidak bisa menemui mereka di sini. Situasi
imigrasiku di Italia ... rumit."
isi INFERNO [SC].indd 76 77 Infern o Langdon memandang mata Sienna. "Yang kuketahui, Sienna,
kau menyelamatkan hidupku. Aku akan menangani situasi ini
dengan cara apa pun yang kau kehendaki."
Perempuan itu mengangguk berterima kasih dan berjalan ke
jendela, menunduk memandang jalanan di bawah sana. "Oke,
beginilah cara kita melakukannya."
Dengan cepat Sienna menjelaskan sebuah rencana. Itu rencana
yang sederhana, cerdik, dan aman.
Langdon menunggu ketika Sienna mengaktifkan pemblokir
identitas-penelepon di ponselnya dan menekan nomor telepon.
Jemari tangannya lembut, tapi bergerak dengan mantap.
"Informazioni abbonati??"Informasi?" tanya Sienna, yang bicara
dengan aksen Italia tak bercela. "Per favore, pu? darmi il numero del
Consolato Americano di Firenze?"Tolong, nomor telepon Konsulat
Amerika di Florence?"
Dia menunggu, lalu cepat-cepat menuliskan sebuah nomor
telepon. "Grazie mille"Terima kasih banyak," katanya sebelum meng?
akhiri pembicaraan. Sienna menyorongkan nomor telepon itu kepada Langdon
bersama-sama dengan ponselnya. "Giliranmu. Kau ingat apa
yang harus dikatakan?"
"Ingatanku baik-baik saja," jawab Langdon sambil tersenyum
ketika memutar nomor yang tertera pada secarik kertas itu.
Telepon mulai berdering di ujung yang lain.
Ini dia. Langdon mengaktifkan speaker dan meletakkan ponsel itu
di meja sehingga Sienna bisa mendengarnya. Pesan terekam
terdengar menjawab, menawarkan informasi umum mengenai
layanan konsulat dan jam operasi, yang baru dimulai pukul 8.30
pagi. Langdon menengok jam di ponsel. Baru pukul 6 pagi.
"Jika ini darurat," kata rekaman otomatis itu, "Anda bisa me?
mu?tar tujuh-tujuh untuk bicara dengan petugas-jaga ma?lam."
Langdon langsung menekan nomor ekstensi itu.
isi INFERNO [SC].indd 77 78 D an B rown Telepon kembali berdering di ujung yang satunya.
"Consolato Americano"Konsulat Amerika," jawab sebuah suara
lelah. "Sono il funzionario di turno"Dengan petugas jaga."
"Lei parla inglese?"Apakah Anda bicara bahasa Inggris?" tanya
Langdon. "Tentu saja," kata lelaki itu dalam bahasa Inggris Amerika.
Dia kedengaran sedikit jengkel karena dibangunkan. "Ada yang
bisa dibantu?" "Saya orang Amerika yang sedang mengunjungi Florence
dan saya diserang. Nama saya Robert Langdon."
"Nomor paspor?" Lelaki itu kedengaran menguap.
"Paspor saya hilang. Saya rasa dicuri. Kepala saya tertembak.
Saya sudah ke rumah sakit. Saya perlu pertolongan."
Mendadak petugas itu terjaga. "Pak!" Anda mengatakan ter?
tembak" Sekali lagi, siapa nama lengkap Anda?"
"Robert Langdon."
Terdengar suara gemeresik di telepon, lalu Langdon bisa
men?dengar jemari lelaki itu mengetik di keyboard. Komputer ber?
denting. Hening. Lalu jemari lagi di keyboard. Denting lagi. Lalu
tiga denting nyaring. Keheningan yang lebih panjang.
"Pak?" tanya lelaki itu. "Nama Anda Robert Langdon?"
"Ya, benar. Dan saya dalam masalah."
"Oke, Pak, nama Anda telah ditandai, mengarahkan saya
agar mentransfer telepon Anda secara langsung kepada kepala
administrator konsul jenderal." Lelaki itu terdiam, seakan dia
sen?diri juga tidak percaya. "Tunggu sebentar."
"Tunggu! Bisakah Anda memberi tahu?"
Telepon sudah berdering di ujung yang satunya.
Terdengar empat dering, lalu telepon tersambung.
"Ini Collins," kata sebuah suara parau.
Langdon menghela napas panjang, lalu bicara setenang dan
sejelas mungkin. "Mr. Collins, nama saya Robert Langdon. Saya
Eksperimen The Experiment 3 Pendekar Slebor 48 Bayangan Kematian Walet Emas Perak 4