Kutukan Bangsa Titan 2
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 2
anak Ares itu memegang senjata dan gadis Pemburu itu
tampak seperti akan segera menukarkan bola basketnya
dengan busur dan panah. "Aku akan melerai mereka," kata Thalia. "Kau
berkeliling saja ke sekitar kabin-kabin. Beritahukan semua
orang tentang pertandingan tangkap bendera besok."
"Oke. Kau seharusnya jadi kapten regu."
"Tidak, tidak," ujarnya. "Kau sudah lebih lama di
kemah. Kau saja yang jadi kapten."
"Kita kan bisa, eh ... bikin wakil kapten atau semacamnya."
Thalia tampak ragu dengan ide itu, sama sepertiku, tapi
dia mengangguk. Saat dia berjalan menuju lapangan basket, aku berseru,
"Eh, Thalia." "Yeah?" "Aku minta maaf atas apa yang terjadi di Asrama
Westover. Seharusnya aku menunggu kalian saat itu."
"Tak apa, Percy. Aku mungkin juga akan melakukan
hal yang sama." Dia memindah-mindahkan berat di antara
kedua kakinya, seolah dia lagi berusaha memustuskan untuk
bicara lebih banyak atau tidak. "Kau tahu, kau pernah
menanyakan tentang ibuku dan aku agak membentakmu. Itu
hanya karena ... aku pernah kembali mencarinya setelah
tujuh tahun, dan aku menemukan kalau ibuku sudah
meninggal di Los Angeles. Dia, em ... dia peminum berat,
dan kelihatannya dia sedang berkendara larut malam sekitar
dua tahun lalu, dan ..." Thalia mengerjapkan matanya kuatkuat.
"Maafkan aku." "Yah, sebenarnya ... kami juga nggak pernah deket.
Aku kabur saat berumur sepuluh tahun. Dua tahun terbaik
dalam hidupku adalah saat aku dalam pelarian bersama
Luke dan Annabeth. Tapi tetap saja?"
"Itu sebabnya kau kesulitan mengemudikan van
matahari itu." Dia memberiku tatapan waspada. "Apa maksudmu?"
"Kau tampak begitu tegang. Kau pasti teringat akan
ibumu, jadi kau tak ingin berada di balik setir."
Aku merasa menyesal sudah mengatakan itu. Raut
muka Thalia begitu mirip dengan Zeus, sekalinya aku
melihat dewa Zeus marah besar"seolah tak lama lagi, mata
Thalia akan menembakkan listrik jutaan volt.
"Iya," gumamnya. "Iya, bisa jadi karena itu."
Dia melangkah pelan menuju lapangan, di mana
pekemah Ares dan Pemburu sedang berusaha saling bunuh
dengan pedang dan bola basket.
Kabin-kabin itu adalah kumpulan gedung teraneh yang akan
pernah kaulihat. Gedung-gedung besar bertiang-putih
kepunyaan Zeus dan Hera, Kabin Satu dan Dua, terletak di
tengah, dengan lima kabin milik para dewa di sisi kiri dan
lima kabin milik para dewi di sisi kanan, jadi susunan
gedung-gedung ini membentuk huruf U mengitari halaman
hijau di tengah dan tungku perapian daging bakar.
Aku berkeliling ke tiap kabin, memberi tahu semua
orang tentang pertandingan tangkap bendera. Kubangunkan
seorang anak Ares dari tidur siangnya dan dia berteriak
mengusirku. Saat kutanyakan padanya di mana Clarisse
berada dia bilang, "Pergi menjalani misi dari Chiron. Misi
sangat rahasia!" "Apa dia baik-baik saja?"
"Belum dengar darinya sebulan ini. Dia menghilang.
Sama kayak dirimu kalau kau nggak segera pergi dari sini!"
Kuputuskan untuk membiarkannya kembali tidur.
Akhirnya aku mendatangi Kabin Tiga, kabin Poseidon.
Itu adalah gedung rendah berwarna abu-abu yang terbuat
dari bebatuan laut, dengan kerang-kerang dan fosil-fosil
karang menempel di bebatuannya, kecuali untuk ranjang
tingkatku. Sebuah tanduk Minotaurus tergantung di dinding
sebelah bantalku. Kukeluarkan topi bisbol Annabeth dari dalam ranselku
dan menaruhnya di meja samping ranjang. Akan kuberikan
topi ini padanya saat aku menemukannya. Dan aku memang
akan menemukannya. Aku mencopot jam tanganku dan mengaktifkan
perisainya. Perisai itu berderak bising saat ia melingkat
keluar. Duri-duri Dr. Thorn telah membuat penyok
perunggunya di banyak sisi. Satu bagian penyok begitu
parahnya hingga perisai itu tak bisa membuka sempurna,
dan membuat perisai itu tampak seperti pizza dengan dua
irisan hilang. Gambar-gambar indah logamnya yang diukir
oleh saudaraku tampak rusak parah. Dalam gambar aku dan
Annabeth sedang bertarung melawan Hydra, kelihatannya
ada sebuah meteor yang membuat lubang besar di kepalaku.
Kugantung perisai itu di sangkutannya, di sebelah tanduk
Minotaurus, tapi perisai itu sekarang tampak menyedihkan
untuk dipandang. Barangkali Beckendorf dari kabin
Hephaestus dapat memperbaikinya untukku. Dia adalah
pembuat senjata paling jago di perkemahan. Aku akan
menanyakannya pada waktu makan malam.
Aku sedang memandangi perisai itu saat kudengar
suara yang aneh"gemercik air"dan kusadari ada sesuatu
yang baru di ruangan. Di belakang kabin ada sebuah kolam
besar dari batu laut abu-abu, dengan pipa corot berbentuk
seperti kepala ikan terpahat di batu. Dari mulutnya
menyembur aliran air, sebuah mata air laut mengucur ke
dalam kolam. Airnya sangat panas, karena kolam itu
mengirim kabut ke udara musim dingin layaknya sauna.
Kolam itu membuat ruangan terasa hangat dan cerah, pekat
dengan aroma laut segar. Kudekati kolam. Tak ada pesan yang menempel atau
semacamnya, tapi aku tahu ini pasti hadian dari Poseidon.
Aku memandangi airnya dan berucap, "Makasih,
Ayah." Permukaan air itu meriak. Di dasar kolam, beberapa
keping koin tampak berkilat"sekitar selusin keping
drachma emas. Kusadari apa kegunaan dari air mancur ini.
Ia adalah pengingat untuk menjaga hubungan dengan
keluargaku. Kubuka jendela terdekat, dan cahaya matahari musim
dingin membentuk pelangi di tengah kabut. Kemudian
kuambil satu koin dari dalam air panas.
"Iris, Oh Dewi Pelangi," kataku, "terimalah persembahanku."
Kulontarkan koin ke dalam kabut dan ia raib. Lalu
kusadari aku tak tahu siapa yang ingin kuhubungi pada
mulanya. Ibuku" Itu adalah perbuatan yang akan dilakukan oleh
"anak baik-baik", tapi ibu pasti belum mengkhawatirkanku.
Dia sudah terbiasa menghadapi kehilanganku selama
berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu.
Ayahku" Sudah sangat lama, hampir dua tahun, sejak
terakhir kalinya aku benar-benar bicara padanya. Tapi
nisakah kau mengirimkan pesan-Iris pada seorang dewa"
Aku belum pernah mencobanya. Apakah itu akan membuat
mereka kesal, layaknya menerima panggilan telepon
menarwarkan barang atau semacamnya"
Aku ragu. Kemudian kuputuskan pilihan.
"Tunjukkan Tyson padaku," pintaku. "Di penempaan
para Cyclops." "Kabut berdenyar, dan bayangan saudara tiriku muncul.
Dia dikelilingi kobaran api, yang pastinya bakal menjadi
masalah kalau dia bukanlah Cyclops. Dia sedang
membungkuk di atas paron, menempa sebuah bilah pedang
merah-panas. Bunga-bunga api memercik dan nyala api
berputar melingkari tubuhnya. Ada sebuah jendela
berbingkai batu pualam di belakangnya, dan jendela itu
memandang ke latar air biru gelap"dasar lautan.
"Tyson!" pekiku.
Dia tidak mendengarku pada awalnya karena bunyi
hantaman palu dan gemuruh kobaran api.
"TYSON!" Dia menoleh, dan satu mata besarnya melebar.
Wajahnya berubah merengut curiga dengan seringai di
mulutnya. "Percy!"
Dia menjatuhkan bilah pedangnya dan berlari ke
arahku, berusaha memberiku pelukan. Bayangan itu
mengabur dan aku langsung terlompat mundur. "Tyson, ini
pesan-Iris. Aku nggak benar-benar ada di sini."
"Oh." Sosoknya kembali terlihat di pandangan, tampak
malu. "Oh, aku tahu itu. Iya."
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku. "Bagaimana dengan
pekerjaanmu?" Matanya berbinar. "Senang sekali pekerjaannya!
Lihat!" Dia memungut bilah pedang panasnya dengan
tangan kosong. "Aku buat ini!"
"Itu keren banget."
"Aku tulis namaku di pedang ini. Di sini, nih."
"Hebat. Dengar, apa kau sering bicara dengan Ayah?"
Senyum Tyson memudar. "Jarang. Ayah sibuk. Dia
cemas tentang perang."
"Apa maksudmu?"
Tyson mengembuskan napas berat. Dia mengulurkan
bilan pedang itu keluar jendela, yang menghasilkan
gelembung-gelembung mendidih. Saat Tyson membawanya
kembali, logam itu tampak dingin. "Arwah-arwah laut purba
membuat masalah. Aigaios. Oceanus. Mereka itu."
Aku sedikit tahu apa yang dia bicarakan. Dia menceritakan tentang makhluk-makhluk abadi yang menguasai
lautan jauh di masa bangsa Titan masih berjaya. Sebelum
bangsa Olympia mengambil alih. Fakta bahwa mereka kini
kembali, dengan Penguasa Titan Kronos dan sekutusekutunya kembali menguat, tidaklah baik.
"Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan?" tanyaku.
Tyson menggelengka kepalanya sedih. "Kami mempersenjatai kaum putri duyung. Mereka butuh ribuan senjata
lagi untuk besok." Tyson memandangi bilah pedangnya dan
mendesah. "Arwah-arwah purba melindungi kapal yang
buruk." "Putri Andromeda?" seruku. "Kapalnya Luke?"
"Benar. Mereka membuatnya jadi sulit dicari.
Melindunginya dari badai Ayah. Kalau tidak gitu, kapal itu
pasti sudah dihancurkan Ayah."
"Memang sepantasnya dihancurkan."
Raut Tyson mencerah, seolah dia baru teringat suatu
hal. "Annabeth! Apa dia di sana?"
"Oh, yah ..." Rasanya hatiku melesak seberat bola
bowling. Bagi Tyson Annabeth sama kerennya dengan selai
kacang (dan dia jelas sangat menggemari selai kacang). Aku
tak tega untuk memberitahukannya bahwa Annabeth
menghilang. Tyson akan mulai menangis begitu parahnya
sampai-sampai dia pasti sudah akan memadamkan apinya.
"Yah, nggak ... dia nggak ada di sini sekarang."
"Sampaikan salam untuknya!" Dia berbinar. "Salam
buat Annabeth!" "Oke." Aku menahan ganjalan yang mulai mencekat
tenggorokanku. "Akan kusampaikan."
"Dan, Percy, jangan khawatirkan kapal buruknya kapal
itu menjauh." "Apa maksudmu?"
"Ke Terusan Panama! Sangat jauh dari sini."
Aku mengerutkan alis. Mengapa Luke mau membawa
kapal pesiar penuh setannya melayar jauh ke sana" Terakhir
kalinya kami bertemu dengannya, dia sedang menyusuri
Pesisir Timur, merekrut para blasteran dan melatih pasukan
monsternya. "Baiklah," ucapku, merasa tak tenang. "Itu ... bagus.
Kurasa." Di tempat penempaan, suara berat terdengar
meneriakkan sesuatu yang tak tertangkap olehku. Tyson
berjengit. "Harus kembali kerja! Bos akan marah. Semoga
beruntung, Saudara!"
"Oke, bilang pada Ayah?"
Tapi sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku,
bayangan itu bergetar dan menghilang. Aku kembali
sendirian dalam kabinku, merasa lebih kesepian dari
sebelumnya. *** Aku merasa sangat sedih pada waktu makan malam.
Maksudku, makanannya sangat enak seperti biasanya.
Kau tak mungkin menemui masalah dengan daging
panggang, piza, dan gelas-gelas soda yang tak pernah habis.
Obor dan tungku perapian menjaga paviliun kuar tetap
hangat, tapi kami semua harus duduk bersama teman-teman
satu kabin, yang itu artinya aku sendirian di meja Poseidon.
Thalia duduk sendiri di meja Zeus, tapi kami tak bisa duduk
bersama. Peraturan kemah. Setidaknya kabin Hephaestus,
Ares, dan Hermes ada beberapa orang masing-masing. Nico
duduk bersama Stoll Bersaudara, oleh karena pekemah baru
selalu terdampar di kabin Hermes kalau orangtua Olympia
mereka belum diketahui. Stoll Bersaudara kelihatannya
sedang berusaha meyakinkan Nico bahwa poker adalah
permainan yang jauh lebih asyik daripada Mythomagic.
Kuharap Nico tak punya uang untuk dipertaruhkan.
Satu-satunya meja yang tampak benar-benar meriah
hanya meja Artemis. Para Pemburu minum, makan, dan
tertawa-tawa layaknya satu keluarga besar bahagia. Zo?
duduk di ujung meja seperti sang ibu anak-anak. Dia tidak
tertawa sebanya anak-anak lain, tapi dia sesekali tersenyum.
Hiasan perak lambang wakil Dewi Artemis berkelip
menghiasi kepangan-kepangan hitam rambutnya. Kukir dia
terlihat jauh lebih manis saat tersenyum. Bianca di Angelo
tampak begitu senang. Dia sedang mencoba belajar cara
beradu panco dengan gadis berbadan besar yang tadi
menyulut perkelahian dengan anak Ares di lapangan basket.
Gadis yang lebih besra terus-terusan mengalahkannya, tapi
Bianca sepertinya merasa asyik-asyik saja.
Saat kami selesai makan, Chiron mengajukan sulang
rutin pada para dewa dan secara formal menyambut
kedatangan para Pemburu Artemis. Tepuk tangan terdengar
diberikan setengah hati. Kemudian Chiron mengumumkan
tentang permainan tangkap-bendera "persahabatan" untuk
besok malam, yang disambut dengan tepuk tangan lebih
meriah. Setelahnya, kami semua berjalan pelan menuju kabin
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masing-masing untuk waktu tidur musim dingin yang lebih
awal. Aku sangat letih, yang artinya aku jatuh tertidur
dengan mudahnya. Itu bagian baiknya. Bagian buruknya
adalah, aku mendapat mimpi buruk, dan bahkan untuk
ukuranku, mimpi itu sangat mengejutkan.
Annabeth sedang berdiri di sisi bukit yang gelap,
diselubungi kabut. Tempatnya tampak hampir seperti Dunia
Bawah Tanah, karena aku langsung merasakan desakan
klaustrofobia dan aku tak dapat melihat langit di atas"
hanya kegelapan yang begitu dekat dan berat, seolah aku
sedang berada di dalam gua.
Annabeth berjuang menaiki bukit. Puing-puing tiang
pualam hitam Yunani kuno berserakan, seolah ada yang
meledakkan sebuah bagunan besar hingga hancur.
"Thorn!" teriak Annabeth putus asa. "Di mana kau"
Kenapa kau bawa aku ke sini?" Dia mendaki pelan melewati
runtuhan tembok hingga sampai ke puncak bukit.
Napasnya tertahan. Di sana ada Luke. Dan dia sedang kesakitan.
Dia berbaring di tanah berbatu, berusaha untuk bangkit.
Kegelapan tampak lebih pekat di sekitarnya, kabut berputarputar mengelilinginya dengan liar. Pakaiannya tercabikcabik dan wajahnya penuh luka goresan dan banjir keringat.
"Annabeth!" panggilnya. "Tolong aku! Kumohon!"
Annabeth berlari menujunya.
Aku mencoba berteriak: Dia pengkhianat! Jangan
percaya padanya! Tapi suaraku tak terdengar dalam mimpi.
Ada air mata menggenangi mata Annabeth. Dia
membungkuk seolah ingin menyentuh wajah Luke, tapi
pada detik terakhir dia mengurungkannya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Mereka meninggalkanku di sini," erang Luke.
"Tolong. Ia bisa membunuhku."
Aku tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sepertinya
Luke berjuang keras melawan sebuah kutukan tak kasat
mata, seolah kabut itu mencekiknya hingga sekarat.
"Kenapa aku harus mempercayaimu?" tanya Annabeth.
Suaranya begitu terluka. "Kau memang tak seharusnya mempercayaiku," ujar
Luke. "Aku sudah berbuat buruk padamu. Tapi kalau kau
tidak menolongku, aku akan mati."
Biarkan dia mati, aku ingin sekali berteriak. Luke telah
sering kali mencoba membunuh kami dengan begitu
kejinya. Dia tak pantas mendapat bantuan sedikit pun dari
Annabeth. Kemudian kegelapan yang menaungi Luke mulai
runtuh, seperti atap gua diguncang gempa. Bongkahan besar
batu-batu hitam mulai berjatuhan. Annabeth segera turun
tangan tepat saat sebuah retakan muncul. Dan seluruh langitlangit roboh. Entah bagaimana dia menahannya"berton-ton
batu. Annabeth menahannya dari terjatuh menimpa dirinya
dan Luke, hanya dengan kekuatannya sendiri. Itu mustahil.
Dia mestinya tak bisa melakukannya.
Luke berguling membebaskan diri, sambil terengah.
"Makasih," ucapnya akhirnya.
"Bantu aku menahan ini," Annabeth mengerang.
Luke mengumpulkan napas. Wajahnya penuh debu dan
keringat. Dia bangkit dengan goyah.
"Aku tahu aku bisa mengandalkanmu." Luke mulai
melangkah pergi saat kegelapan yang bergetar itu nyaris
meremukkan Annabeth. "TOLONG AKU!" pintanya.
"Oh, jangan khawatir," ujar Luke. "Bantuanmu akan
segera tiba. Ini semua bagian dari rencana. Sementara itu,
berusahalah untuk tak mati.
Langit-langit kegelapan mulai kembali ambruk,
menindih Annabeth ke tanah.
Aku tersentak bangkit dari tempat tidurku, mencengkeram
seprai kuat-kuat. Tak ada suara di kabinku kecuali gemercik
mata air laut. Jam di meja tidurku menunjukkan waktu baru
lewat tengah malam. Hanya mimpi, tapi aku yakin akan dua hal: Annabeth
terancam bahaya besar. Dan Luke adalah penyebabnya.[]
Esok paginya usia sarapan, kuceritakan pada Grover
tentang mimpiku. Kami sedang duduk di padang rumput
memandangi para satir mengejar-ngejar peri pohon di
tengah salju. Para peri telah berjanji untuk memberi kecupan
pada satir kalau mereka berhasil tertangkap, tapi mereka
jarang sekali tertangkap. Biasanya si peri akan membiarkan
satir bersiap lari kencang, kemudian ia akan mengubah diri
jadi pohon berselimut salju dan satir malang itu akan
menabraknya dengan kepala terlebih dulu dan sebuah
gundukan salju akan jatuh menimpanya.
Saat kuberitahu Grover tentang mimpi burukku, dia
mulai memainkan jemarinya pada bulu kakinya yang kusut.
"Langit-langit gua jatuh menimpanya?" tanyanya.
"Iya. Sebenarnya apa artinya itu?"
Grover menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu.
Tapi setelah apa yang Zo? mimpikan?"
"Hei. Apa maksudmu" Zo? mengalami mimpi kayak
gitu?" "Aku ... aku nggak tahu, persisnya. Sekitar pukul tiga
dini hari ini dia mendatangi Rumah Besar dan menuntut
untuk bicara dengan Chiron. Dia tampak sangat panik."
"Tunggu, bagaimana kau bisa tahu ini?"
Grover merona. "Aku sempat emm yah semacam ...
berkemah di luar kabin Artemis."
"Buat apa?" "Hanya buat, kau tahulah, berada di dekat mereka."
"Kau penguntit berkuku kambing."
"Bukan! Omong-omong, aku mengikutinya masuk
Rumah Besar dan bersembunyi di semak-semak dan melihat
semuanya. Dia begitu marah saat Argus nggak
membiarkannya masuk. Itu pemandangan yang agak
berbahaya." Aku mencoba membayangkannya. Argus adalah kepala
keamanan perkemahan"seorang pria besar rambut pirang
dengan banyak mata memenuhi sekujur tubuhnya. Dia
jarang menampakkan diri kecuali sesuatu yang serius
sedang terjadi. Aku tak ingin bertaruh siapa yang bakal
menang dalam pertarungan antara pria itu melawan Zo?
Nightshade. "Apa yang dia katakan?" tanyaku.
Grover mengernyit. "Yah, Zo? mulai bicara dengan
logat betul-betul kunonya kalau lagi marah, jadi nggak
mudah untuk memahaminya. Tapi intinya sesuatu tentang
Artemis yang sedang terancam bahaya dan membutuhkan
para Pemburu. Dan kemudian dia menyebut Argus sebagai
anak muda dengan otak-mendidih ... kurasa itu sebutan yang
buruk. Dan kemudian Argus menyebut Zo??"
"Woii, tunggu sebentar. Kenapa Artemis bisa berada
dalam bahaya?" "Aku ... yah, akhirnya Chiron keluar dengan
piayamanya dan ekor kudanya yang terikat alat pengeriting
dan?" "Dia mengenakan alat pengeriting di ekornya?"
Grover menutup mulutnya. "Maaf," kataku. "Teruskan."
"Yah, Zo? bilang kalau dia butuh izin untuk meninggalkan kemah secepatnya. Chiron menolak. Dia mengingatkan Zo? kalau para Pemburu seharusnya berada di sini
sampai mereka menerima perintah dari Artemis. Dan Zo?
bilang ..." Grover menelan ludah. "Zo? bilang "Bagaimana
kami bisa menerima perintah dari Artemis kalau Artemis
tersesat?"" "Apa maksudmu tersesat" Kayak dia butuh petunjuk
arah, gitu?" "Bukan. Kurasa maksudnya Artemis menghilang.
Diambil. Diculik." "Diculik?" Aku berusaha memikirkan itu. "Bagaimana
kau bisa menculik seorang dewi yang hidup kekal" Apakah
itu bahkan memungkinkan?"
"Yah, bisa saja. Maksudku, toh itu pernah terjadi pada
Persephone." "Tapi dia kan, Dewi Kembang."
Grover tampak tersinggung. "Musim semi."
"Apa aja deh. Artemis jauh lebih kuat dari itu. Siapa
yang bisa menculiknya" Dan untuk apa?"
Grover menggeleng muram. "Aku nggak tahu.
Kronos?" "Dia nggak mungkin sudah sekuat itu. Atau bisakah?"
Terakhir kalinya kami melihat Kronos, dia masih
berwujud keping-keping kecil. Yah ... sebenarnya kami tak
benar-benar bertemu dengannya. Ribuan tahun lalu, usai
peperangan besar Titan melawan Dewa, para dewa telah
memotong-motongnya jadi serpihan dengan sabit besarnya
sendiri dan menebarkan sisa-sisa tubuhnya ke Tartarus,
jurang yang bagai tempat sampah tak berdasar milik para
dewa khusus untuk membuang musuh-musuh mereka.
Musim panas dua tahun lalu, Kronos telah mengelabui kami
menuju pinggir lubang dan hampir menarik kami masuk ke
dalam. Kemudian musim panas kemarin, di atas kapal pesiar
iblis milik Luke, kami melihat peti mati emas. Luke
mengatakan dengan peti itu dia memanggil Penguasa Titan
keluar dari kedalaman, sedikit demi sedikit, setiap kali
seseorang baru terekrut dalam misinya, Kronos bisa
memengaruhi orang-orang dengan mimpi-mimpi dan
mengelabui mereka, tapi aku tak tahu bagaimana secara fisik
dia bisa mengalahkan Artemis jika dia masih berwujud
seperti gundukan kulit pohon busuk yang jahat.
"Aku nggak tahu," kata Grover. "Kurasa orang akan
tahu jika Kronos sudah mewujud kembali. Para dewa akan
lebih gelisah. Tapi tetap saja, rasanya aneh, kau mengalami
mimpi buruk di malam yang sama dengan Zo?. Ini hampir
seperti?" "Keduanya berkaitan," kataku.
Di seberang padang beku, seorang satir berseluncur
dengan kuku-kuku kambingnya saat dia mengejar seorang
peri pohon rambut merah. Peri itu terkekeh dan
merentangkan kedua tangannya saat si satir itu berlari
menujunya. Pop! Peri itu berubah jadi sebatang pinus dan
sang satir pun mencium batang pohonnya dengan kecepatan
tinggi. "Ah, cinta," ujar Grover melamun.
Aku memikirkan tentang mimpi Zo?, yang dialaminya
hanya selang beberapa jam setelah mimpiku.
"Aku harus bicara dengan Zo?," kataku.
"Em, sebelum kau pergi bicara ..." Grover menarik
sesuatu dari dalam saku mantelnya. Itu adalah pajangan
kertas lipat-tiga seperti brosur perjalanan. "Kau ingat apa
yang kaukatakan"tentang betapa anehnya para Pemburu itu
tiba-tiba saja muncul di Asrama Westover" Kurasa mereka
mungkin mencari kita."
"Mencari kita" Apa maksudmu?"
Dia menyodorkan brosurnya padaku. Brosur itu tentang
para Pemburu Artemis. Bagian depannya bertulisan,
PILIHAN BIJAK UNTUK MASA DEPANMU! Di
dalamnya memuat gambar-gambar gadis muda sedang
melakukan beraneka kegiatan berburu, mengejar monster,
menembakkan panah. Ada tulisan seperti: JAMINAN
KESEHATAN: KEABADIAN DAN MANFAATNYA
BUATMU! dan MASA DEPAN BEBAS LAKI-LAKI!
"Aku menemukannya di dalam ransel Annabeth," kata
Grover. Aku memandanginya. "Aku nggak ngerti."
"Yah, menurutku sih ... sepertinya Annabeth sedang
berpikir untuk ikut bergabung."
*** Aku ingin bilang bahwa aku menerima berita itu dengan
cukup baik. Sebenarnya adalah, aku ingin sekali mencekik gadisgadis abadi Pemburu Artemis satu per satu. Sisa hari itu
kuhabiskan dengan berusaha menyibukkan diri, tapi aku
sangat mencemaskan Annabeth. Aku pergi ke kelas lempar
lembing, tapi pekemah Ares yang bertanggung jawab
mengajar kelas itu mengusirku pergi setelah kosentrasiku
buyar dan menembakkan lembing itu ke sasaran sebelum dia
menyingkir dari pandangan. Aku meminta maaf atas lubang
di celananya, tapi dia tetap mengusirku.
Aku mengunjungi istal pegasus, tapi Silena Beauregard
dari kabin Aphrodite sedang beradu argumen dengan salah
satu Pemburu, dan aku putuskan lebih baik untuk tak ikut
campur. Setelah itu, aku duduk di tribune kosong kereta tempur
dan merenung gelisah. Di lapangan penahan di bawah sana,
Chiron sedang memberi latihan menembak. Aku tahu dia
akan jadi orang terbaik untuk kuajak bicara. Barangkali dia
bisa memberiku sedikit nasihat, tapi sesuatu menahanku.
Aku mendapat firasat Chiron akan mencoba melindungiku,
seperti yang biasa dia lakukan. Dia mungkin tak akan
membeberkan semua yang dia ketahui.
Aku memandang ke arah lain. Di puncak Bukit
Blasteran, Pak D dan Argus sedang memberi makan bayi
naga yang menjaga Bulu Domba Emas.
Kemudian sesuatu segera menyentakkan benakku: tak
ada seorang pun yang berada di Rumah Besar. Namun ada
seseorang lagi yang lain ... sesuatu yang lain yang bisa
kumintai petunjuk. Darahku menderum di telinga saat aku berlari
memasuki rumah dan menaiki anak tangga. Baru sekali aku
melakukan hal ini sebelumnya, dan aku masih berkali-kali
mengalami mimpi buruk tentangnya. Kubuka pintu
tingkapnya dan melangkah masuk loteng.
Ruang loteng tampak begitu gelap dan berdebu dan
penuh dengan barang rongsokan, persis seperti ingatanku.
Ada beberapa perisai dengan moncong gigitan monster
menjorok keluar, dan pedang-pedang yang meliuk
membentuk kepala iblis, dan sekumpulan bangkai yang
diawetkan, seperti kulit harpy yang diisi ulang den seekor
ular piton berwarna jingga terang.
Di dekat jendela, duduk di bangku berkaki tiga, tampak
mumi kering seorang wanita tua dalam balutan gaun hipple
bertinta-celup. Sang Oracle.
Aku memaksa diriku berjalan mendekatinya. Aku
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menanti hingga kabut hijau menguar dari mulut sang mumi,
seperti kejadian sebelumnya, tapi tak ada apa pun yang
terjadi. "Hai," kataku. "Eh, ada kabar apa?"
Aku mengernyit menyadari betapa terdengar bodohnya
itu. Tak mungkin ada "kabar-kabar baru" kalau kau sudah
mampus dan mendekam di loteng. Tapi aku tahu arwah sang
Oracle bergentayangan di sana. Aku bisa merasakan
kehadiran yang dingin di ruangan, seperti ular yang tidur
meringkuk. "Aku punya pertanyaan," ucapku sedikit lebih lantang.
"Aku perlu tahu tentang Annabeth. Bagaimana aku bisa
menyelamatkannya?" Tak ada jawaban. Sinar matahari membias melewati
jendela loteng yang kotor, menerangi partikel-partikel debu
yang menari di udara. Aku menunggu lebih lama. Lantas amarahku bangkit. Aku sedang tak diacuhkan
oleh sesosok mayat. "Oke," ujarku. "Baiklah kalau gitu. Aku akan mencari
tahu sendiri." Aku berbalik dan membentur meja besar penuh suvenir.
Sepertinya meja itu lebih berantakan dari terakhir kalinya
aku di sini. Para pahlawan menyimpan semua jenis barang
di loteng: berbagai tropi misi yang tak lagi ingin mereka
simpan di kabin mereka, atau barang-barang yang
menyimpan kenangan menyedihkan. Aku tahu Luke pernah
menyimpan sebuah cakar beruang di sekitar sini"cakar
yang menorehkan codet di wajahnya. Ada sebuah pedang
dengan gagang patah berlabel: Ini patah dan Leroy
terbunuh. 1999. Kemudian kusadari ada sehelai syal sutra merah jambu
dengan label menempel padanya. Aku memungut label itu
dan mencoba membacanya: SYAL DEWI APHRODITE DITEMUKAN DI WATERLAND, DENVER, CO.,
OLEH ANNABETH CHASE DAN PERCY JACKSON
Kupandangi syal itu. Aku sudah lupa sama sekali akan
adanya syal itu. Dua tahun lalu, Annabeth merenggut syal
ini dari tanganku dan mengatakan sesuatu seperti, Nggak
boleh. Jangan dekat-dekat sihir cinta itu!
Kukira Annabeth membuangnya begitu saja. Tapi
ternyata barang itu ada di sini. Dia menyimpannya selama
ini" Dan mengapa dia menaruhnya di loteng"
Aku berpaling pada mumi. Dia belum bergerak, namun
bayang-bayang di wajahnya membuatnya tampak seolah dia
tersenyum dengan mengerikan.
Kujatuhkan syal itu dan berusaha untuk tak berlari
pontang-panting ke pintu keluar.
Malam itu seusai makan malam, aku sudah sangat siap
untuk mengalahkan para Pemburu pada permainan tangkap
bendera. Itu akan jadi permainan kecil-kecilan: hanya tiga
belas Pemburu, termasuk Bianca di Angelo, dan pekemah
dengan jumlah yang kira-kira sama dengan mereka.
Zo? Nightshade tampak gusar. Dia terus-terusan
memandangi Chiron dengan tatapan benci, seolah tak
percaya dia dipaksa Chiron melakukan hal ini. Para
Pemburu lain juga tak tampak bersemangat. Tak seperti
malam kemarin, mereka tak ketawa atau bercanda sesama
mereka. Mereka hanya duduk mengumpul di paviliun
makan, saling berbisik gelisah selagi mereka mempersiapkan baju tempur mereka. Sebagian dari mereka
bahkan tampak seperti habis menangis. Kurasa Zo? telah
menceritakan pada mereka akan mimpi buruknya.
Dalam tim kami, kami memiliki Beckendorf dan dua
anak Hephaestus lain, beberapa anak dari kabin Ares (meski
masih terasa aneh Clarisse tak berada di sana), Stoll
bersaudara dan Nico dari kabin Hermes, dan beberapa anak
Aphrodite. Rasanya aneh kabin Aphrodite mau ikutan main.
Biasanya mereka hanya duduk-dudk di pinggiran, sambil
ngobrol, dan menekuni bayangan diri mereka di sungai atau
semacamnya, tapi saat mereka mendengar kami akan
bertarung melawan para Pemburu, mereka begitu antusias
untk turut serta. "Akan kutunjukkan oada mereka "bagaimana cinta itu
tak berarti"," Silena Beauregard menggerutu sembari
mengencangkan baju zirahnya. "Akan kuhabisi mereka!"
Sisanya adalah Thalia dan aku sendiri.
"Aku akan ambil posisi menyerang," Thalia
mengajukan diri. "Kau ambil pertahanan."
"Oh." Aku ragu, karena tadinya aku baru ingin
mengucapkan hal yang sama, hanya kebalikannya.
"Tidakkah menurutmu dengan perisaimu dan lainnya, kau
lebih baik di posisi bertahan?"
Thalia sudah memegang Aegis di lengannya, dan
bahkan teman-teman satu tim kami berjengit darinya,
berusaha tak mundur ketakutan menghadapi Medusa
berkepala perunggu itu. "Yah, kupikir perisai ini bakal lebih menguatkan
serangan," kata Thalia. "Lagi pula, kau sudah lebih terlatih
dalam pertahanan." Aku tak yakin apa dia menggodaku. Aku punya
pengalaman yang buruk dengan pertahanan dalam
permainan tangkap bendera ini. Tahun pertamaku, Annabeth
menempatkanku di luar sebagai umpan, dan aku hampir saja
digorok sampai mati dengan berbagai tombak dan dibunuh
oleh seekor anjing neraka.
"Baiklah, nggak masalah," aku berbohong.
"Bagus." Thalia berbalik untuk membantu beberapa
anak Aphrodite, yang sedang kesulitan mengepas baju
zirahnya tanpa mematahkan kuku mereka. Nico di Angelo
berlari ke arahku dengan seringai lebar di wajahnya.
"Percy, ini keren banget!" Helm perunggu dengan
sehelai biru-birunya merosot menutupi matanya, dan
lempengan dadanya sekitar enam ukuran terlalu besar
untuknya. Aku bertanya-tanya apakah aku tampak sekonyol
itu saat pertama kalinya aku datang. Sayangnya,
kemungkinan begitu. Nico mengangkat pedangnya dengan segenap kekuatan.
"Apa kita boleh bunuh tim lain?"
"Yah ... tidak."
"Tapi para Pemburu itu kekal, kan?"
"Itu hanya kalau mereka tidak kalah dalam
pertempuran. Lagi pula?"
"Rasanya asyik banget kalau kita bisa, kayak,
dibangkitkan kembali begitu kita terbunuh, supaya kita bisa
terus bertarung, dan?"
"Nico, ini serius. Ini pedang-pedang betulan. Bisa
melukaimu." Dia memandangiku, sedikit kecewa, dan kusadari baru
saja aku terdengar persis seperti ibuku. Wow. Bukan
pertanda baik. Kutepuk pundak Nico. "Hei, nggak apa-apa kok.
Pokoknya ikuti tim. Menjauhlah dari Zo?. Kita bakal
bersenang-senang." Kaki-kaki kuda Chiron berderap melintasi lantai
paviliun. "Para pahlawan!" panggilnya. "Kalian tahu peraturannya! Sungai adalah garis batasan. Tim biru"
Perkemahan Blasteran"akan mengambil sisi barat hutan.
Pemburu Artemis"tim merah"akan mengambil sisi timur
hutan. Aku akan bertugas sebagai wasit dan petugas medis
lapangan. Dimohon, jangan ada penganiayaan yang
disengaja! Semua barang-barang sihir diperbolehkan.
Siapkan posisi kalian!"
"Asyik," Nico berbisik di sebelahku. "Barang sihir
kayak gimana" Aku dapat juga nggak?"
Aku baru mau mengungkapkan padanya bahwa dia tak
bakal dapat, saat Thalia berseru, "Tim biru! Ikuti aku!"
Mereka bersorak dan mengikuti. Aku harus berlari agar
tertinggal, dan malah tersandung oleh perisai seseorang, jadi
aku tak tampak seperti wakil kapten sama sekali. Lebih
seperti orang idiot. Kami pasang bendera kami di puncak Kepalan Zeus.
Sebenarnya ia adalah kumpulan bongkah batu di tengahtengah area barat hutan yang, kalau kau perhatikan dari arah
yang pas, ia akan tampak seperti kepalan tinju raksasa yang
menyeruak dari dalam tanah. Dan jika kaulihat kumpulan
batu ini dari arah mana pun, ia akan tampak bagai gundukan
besar kotoran rusa, tapi Chiron tak akan mengizinkan kami
menyebut tempat itu Gundukan Pup, terutama karena tempat
itu sudah diberi nama buat Zeus, yang tak terlalu punya
selera humor. Omong-omong, itu adalah tempat yang baik untuk
menancapkan bendera. Puncak batunya setinggi enam meter
dan sulit buat dipanjat, sehingga benderanya jelas kelihatan,
sesuai bunyi peraturan, dan tidak masalah penjaga tidak
diperbolehkan berdiri dalam jarak sepuluh meter darinya.
Aku suruh Nico bertugas jaga menemani Beckendorf
dan Stoll bersaudara, berpikir dengan begitu Nico akan
aman dari pertandingan. "Kami akan kirimkan umpan tipuan ke arah kiri,"
Thalia memberi tahu tim. "Silena, kau pimpin tugas itu."
"Siap!" "Bawa serta Laurel dan Jason. Mereka pelari yang baik.
Berlarilah membentuk setengah lingkaran di sekitar
Pemburu, pikat mereka sebanyak yang kaubisa. Aku akan
umpani pihak inti tim itu ke arah kanan dan menyergap
mereka diam-diam." Semua mengangguk. Kedengarannya sih rencana yang
bagus, dan Thalia mengutarakannya dengan begitu percaya
diri hingga kau teryakini bahwa rencana itu pasti berhasil.
Thalia memandangiku. "Ada yang ingin ditambahkan,
Percy?" "Em, iya. Kuatkan pertahanan. Kita punya empat
penjaga, dua pengintai. Itu nggak cukup buat hutan yang
luas. Aku akan berjaga dengan pindah-pindah. Teriaklah
kalau kalian butuh pertolongan."
"Dan jangan tinggalkan pos masing-masing!" kata
Thalia. "Kecuali kalau kalian melihat adanya peluang emas,"
tambahku. Thalia memberengut. "Pokoknya jangan tinggalkan pos
kalian." "Betul, kecuali?"
"Percy!" Dia menyentuh lenganku dan mengejutkanku.
Maksudku, semua orang bisa saja memberi kejutan statis di
musim dingin, tapi bila Thalia yang melakukannya, itu
menyakitkan. Kurasa itu karena ayahnya adalah dewa petir.
Thalia sudah dikenal suka membakar habis alis mata orangorang.
"Maaf," ucap Thalia, meski dia tak terdengar merasa
bersalah. "Sekarang, apa semuanya sudah jelas semua?"
Semua mengangguk. Kami memecah dalam kelompokkelompok yang lebih kecil. Bunyi trompet terdengar, dan
pertandingan pun dimulai.
Kelompok Silena menghilang di sisi kiri hutan. Thalia
menunggu waktu beberapa detik, sebelum melesat pergi ke
arah kanan. Aku menunggu sesuatu terjadi. Aku memanjat Kepalan
Zeus dan mendapat pemandangan hutan yang cukup luas.
Aku teringat bagaimana para Pemburu menghambur keluar
dari hutan saat mereka bertarung melawan manticore, dan
aku sudah menyiapkan diri untuk sesuatu seperti itu"satu
terjangan besar yang dapat membuat kami kewalahan. Tapi
tak ada apa pun yang terjadi.
Aku melihat sekelebat sosok Silena dan dua
pengintainya. Mereka berlari ke daerah hutan yang kosong,
diikuti oleh lima Pemburu, mengarahkan mereka memasuki
hutan dan menjauh dari Thalia. Rencana sepertinya berjalan
dengan baik. Lalu kudapati beberapa Pemburu lain
mengarah ke kanan, dengan busur siaga. Mereka pasti sudah
melihat Thalia. "Apa yang terjadi?" Nico mendesak, berusaha untuk
memanjat ke sebelahku. Pikiranku berpacu. Thalia tak akan berhasil, tapi para
Pemburu terbagi dua. Dengan begitu banyak Pemburu di
dua sisi, pusat mereka pasti lengang. Kalau aku bergerak
cepat ... Kupandangi Beckendorf. "Kalian bisa menjaga
pertahanan?" Beckendorf mendengus. "Tentu saja."
"Aku akan masuk."
Stoll bersaudara dan Nico bersorak saat aku berlari
menuju garis batas. Aku berpacu dengan kecepatan tinggi dan aku merasa
hebat. Kuseberangi danau memasuki wilayah musuh. Aku
bisa lihat bendera perak mereka di depan, hanya satu
penjaga, yang bahkan tak melihat ke arahku. Kudengar
suara perkelahian di sisi kiri dan kananku, suatu tempat di
hutan. Ini mudah sekali. Penjaga berpaling pada menit terakhir. Itu adalah
Bianca di Angelo. Matanya membeliak saat aku
menghantamnya dan dia terjungkang ke salju.
"Maaf!" teriakku. Aku menarik turun bendera sutra
peraknya dari pohon dan pergi.
Aku sudah beranjak sepuluh meter dari situ sebelum
Bianca berhasil teriak meminta bantuan. Kukira aku akan
bebas pulang dengan mudahnya.
ZIP! Sebuah kawat perak melesat melewati
pergelangan kakiku dan mengencang di pohon sebelahku.
Sebuah kawat jebakan, ditembakkan dari busur! Sebelum
aku bahkan bisa berpikir untuk berhenti, aku terjatuh keras,
terjerembab di salju.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Percy!" teriak Thalia, di sisi kiriku. "Apa yang kau
lakukan?" Sebelum dia beranjak mendekatiku, sebuah panah
meledak di kakinya dan gumpalan asap kuning menguar
menyelubungi timnya. Mereka mulai terbatuk-batuk dan
muntah. Aku bisa menghirup bau gas dari seberang hutan"
bau memuakkan sulfur. "Tidak adil!" Thalia terengah. "Panah-panah kentut
sangat nggak sportif!"
Aku bangkit dan berusaha lari lagi. Tinggal beberapa
meter lagi dari anak sungai dan aku akan memenangkan
pertandingan. Sejumlah panah lagi berdesing di balik
telingaku. Seorang Pemburu tiba-tiba muncul entah dari
mana dan mengayunkan belatinya ke arahku, tapi aku
mengelak dan terus berlari.
Aku mendengar suara teriakan dari sisi anak sungai
kami. Beckendorf dan Nico berlari ke arahku. Kukira
mereka berlari untuk menyambutku, tapi kemudian kulihat
mereka sedang mengejar seseorang"Zo? Nightshade,
berpacu ke arahku bak macan, mengelak dari para pekemah
lain dengan lincahnya. Dan dia memegang bendera kami di
tangannya. "Tidak!" pekikku, dan menambah kecepatan.
Aku sudah setengah meter dari air saat Zo? melaju ke
seberang memasuki wilayahnya, menabrakku untuk
menahan lajuku. Para Pemburu bersorak saat kedia tim
mengumpul di anak sungai. Chiron muncul dari balik hutan,
tampak muram. Di belakangnya muncul Stoll bersaudara,
dan kelihatannya keduanya seperti habis mendapat sambitan
keras di kepala. Connor Stoll memiliki dua panah mencuat
dari helmnya bagai antena.
"Para Pemburu menang!" Chiron mengumumkan tanpa
semangat. Kemudian dia menggumam, "Untuk kelima puluh
enam kali berturut-turut."
"Perseus Jackson!" teriak Thalia, menggempur ke
arahku. Dia berbau telur busuk, dan dia begitu meng-
amuknya sampai-sampai bunga-bunga api biru memercik di
baju zirahnya. Semua orang mengernyit dan mundur karena
Aegis. Dibutuhkan kekuatan besar tekadku untuk tak
beranjak mundur. "Demi dewa-dewi, apa yang sebenarnya tadi kau
PIKIRKAN?" bentaknya.
Kukepalkan tanganku. Sudah cukup banyak hal buruk
yang terjadi padaku untuk hari ini. Aku tak butuh masalah
baru ini. "Aku dapat benderanya, Thalia!" Kuacungkan
bendera itu di depan mukanya. "Kulihat peluang dan
kuambil!" "AKU TADI ADA DI WILAYAH MEREKA!" teriak
Thalia. "Tapi benderanya sudah hilang. Kalau kau nggak
ngerecokin, kita sudah akan menang."
"Terlalu banyak yang mengikutimu!"
"Oh, jadi itu salahku?"
"Aku nggak bilang begitu."
"Aaah!" Thalia mendorongku, dan sebuah kejutan
listrik menyengat tubuhku hingga menerbangkanku ke
belakang sejauh tiga meter memasuki air. Sebagian
pekemah berdengap. Dua Pemburu terkekeh.
"Maaf!" ujar Thalia, berubah pucat. "Aku nggak
sengaja?" Amarah mendengung di telingaku. Gelombang air
mengumpul dari anak sungai, menyembur ke wajah Thalia
dan membasahinya dari kepala hingga jempol.
Aku bangkit. "Yeah," geramku. "Aku juga nggak
sengaja." Thalia menghela napas berat.
"Cukup!" Chiron memerintahkan.
Tapi Thalia mengacungkan tombaknya. "Kau mau lagi,
Otak Ganggang?" Entah mengapa, aku tak masalah kalau Annabeth
memanggilku begitu"setidaknya, aku sudah terbiasa"tapi
mendengarnya dari mulut Thalia sangat menggangguku.
"Majulah, Muka Pinus!"
Kuangkat Riptide, tapi sebelum aku bisa membela
diriku sendiri, Thalia memekik, dan ledakan kilat
menyambar dari langit, melecut tombaknya bagai tangkai
pancing kilat, dan menghantam dadaku.
Aku terduduk keras. Ada bau asap; aku merasa itu
datang dari pakaianku. "Thalia!" seru Chiron. "Sudah cukup!"
Aku bangkit berdiri dan memerintahkan seisi anak
sungai untuk bangkit. Air itu melengkung ke atas, ratusan
galon air dalam pusaran besar es.
"Percy!" Chiron memohon.
Aku baru mau menggelontorkan ke arah Thalia saat aku
melihat sesuatu dari balik hutan. Aku segera kehilangan
amarah dan konsentrasiku bersamaan. Air mencebur
kembali ke dasar sungai. Thalia begitu terkejut hingga dia
berbalik untuk melihat apa yang kupandangi.
Seseorang ... seseorang berjalan mendekat. Dia
diselubungi kabut hijau tebal, tapi saat dia mendekat, para
pekemah dan Pemburu berdengap.
"Ini mustahil," ujar Chiron. Aku belum pernah
mendengarnya begitu tegang. "Dia ... dia belum pernah
meninggalkan loteng. Tidak pernah."
Namun kini, sang mumi kering pemilik Ramalan
menyeret dirinya ke depan hingga dia berdiri di tengah-
tengah kami. Kabut mengitari kaki-kaki kami, mengubah
salju jadi bercorak hijau yang memualkan.
Tak satu pun dari kami berani bergerak. Lalu suaranya
mendesis di dalam kepalaku. Sepertinya semua orang bisa
mendengarnya, karena beberapa orang mengangkat tangan
mereka ke kuping. Aku adalah arwah Delphi, ujar suara itu. Penyampai
ramalan Phoebus Apollo, penebas Piton yang berkuasa.
Sang Oracle memandangiku dengan tatapan dingin dan
matinya. Kemudian dia berpaling tanpa ragu pada Zo?
Nightshade. Mendekatlah, Pencari, dan bertanyalah.
Zo? menelan ludah. "Apa yang harus kulakukan untuk
menolong dewiku?" Mulut sang Oracle membuka, dan kabut hijau menguar
keluar. Aku melihat bayangan samar gunung, dan seorang
gadis tengah berdiri di puncaknya yang gundul. Itu adalah
Artemis, tapi dia terbelenggu rantai, yang diikatkan ke
bebatuan. Dia berlutut, kedua tangannya diangkat seolah
sedang menangkis serangan, dan sepertinya dia kesakitan.
Sang Oracle bicara: Lima akan pergi ke barat menuju dewi terantai,
Seorang akan menghilang di daratan tanpa hujan,
Amukan Olympus menunjukkan jejaknya,
Pekemah dan Pemburu bersatu akan bertahan,
Kutukan Bangsa Titan harus seorang hadapi,
Dan seorang akan binasa di tangan salah satu
orangtuanya. Kemudian, saat kami memandanginya, kabut berputar dan
menyurut seperti ular hijau besar memasuki mulut sang
mumi. Sang Oracle duduk di atas batu dan memantung
seperti saat di loteng, seolah dia bisa saja sudah duduk di
tepi sungai ini selama ratusan tahun.[]
Mestinya sang Oracle bisa jalan pulang sendiri ke loteng.
Alih-alih, Grover dan aku dipilih untuk mengangkutnya. Aku tak merasa kami terpilih karena kami
adalah anak yang paling populer.
"Awasi kepalanya!" Grover meperingatkan saat kami
menaiki tangga. Tapi sudah terlambat.
Jeduk! Aku membenturkan wajah mumi pada tingkap
kolong pintu dan debu-debu pun bertebangan.
"Ah, sial." Aku menurunkannya dan memeriksa
kerusakan. "Apa aku mematahkan sesuatu?"
"Nggak tahu deh," Grover mengakui.
Kami mengangkatnya ke atas dan meletakkanya di atas
bangku kaki tiga. Kami berdua kehabisan napas dan
bersimpah keringat. Siapa yang tahu sebuah mumi bisa
seberat itu" Aku berasumsi mumi itu tak ingin bicara denganku,
dan aku benar. Aku lega saat kami akhirnya keluar dari sana
dan menutup pintu loteng.
"Yah," seru Grover, "tadi tuh menjijikkan banget."
Aku tahu dia berusaha meringankan batinku, tapi aku
tetap merasa sedih. Seluruh pekemah akan marah padaku
yang mengakibatkan kekalahan dalam pertandingan dari
para Pemburu, dan kemudian ada ramalan baru dari sang
Oracle. Seolah arwah Delphi telah berusaha sebisa mungkin
untuk mengesampingkanku. Dia mengabaikan pertanyaanku
namun rela berjalan hampir satu kilometer untuk bicara pada
Zo?. Dan dia tidak bicara sepatah kata pun, bahkan untuk
sekedar memberi sedikit petunjuk, mengenai Annabeth.
"Apa yang akan dilakukan Chiron?" tanyaku pada
Grover. "Andai aku tahu." Dia memandang sendu ke luar
jendela tingkat dua pada bukit bergalur yang terselimuti
salju. "Aku ingin berada di luar sana."
"Mencari Annabeth?"
Grover sedikit kesulitan memusatkan perhatian padaku.
Kemudian wajahnya merona. "Oh, iya. Itu juga. Tentu saja."
"Kenapa?" tanyaku. "Apa yang kaupikirkan?"
Dia mengentakkan kakinya gelisah. "Hanya mengingat
apa yang dikatakan manticore itu, tentang Kebangkitan
Besar. Aku nggak habis pikir ... kalau semua kekuatan purba
itu bangkit, barangkali ... barangkali tidak semua dari
mereka itu jahat." "Maksudmu Pan."
Aku merasa agak egois, karena aku sudah melupakan
sama sekali tentang ambisi hidup Grover. Dewa alam liar
telah menghilang selama dua ribu tahun. Menurut rumor dia
telah meninggal, tapi para satir tak mempercayainya.
Mereka bertekad untuk menemukannya. Mereka sudah pergi
mencarinya dengan susah payah selama berabad-abad, dan
Grover yakin dialah yang akan berhasil menemukannya.
Tahun ini, dengan upaya Chiron menempatkan semua satir
dalam tugas darurat untuk mencari para blasteran, Grover
belum sempat meneruskan pencariannya. Itu pasti
membuatnya senewen. "Aku sudah membuat jejak itu membeku," ucapnya.
"Aku merasa nggak tenang, kayak aku telah mengabaikan
sesuatu yang betul-betul penting. Dia ada di luar sana. Aku
bisa merasakannya." Aku tak tahu harus berkata apa. Aku ingin
menyemangatinya, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.
Optimismeku sudah terinjak-injak dalam benaman salju di
hutan luar, bersama dengan semangat tangkap-bendera
kami. Sebelum aku bisa menanggapi, Thalia menaiki anak
tangga denga langkah berat. Dia secara resmi tak bicara
padaku saat ini, tapi dia memandangi Grover dan berkata,
"Bilang sama Percy untuk turun ke bawah."
"Kenapa?" tanyaku.
"Apa dia bilang sesuatu?" Thalia bertanya pada Grover.
"Em, dia tanya kenapa."
"Dionysus mengadakan pertemuan para kepala kabin
untuk membahas ramalan," ujarnya. "Sayangnya, itu
termasuk Percy." Pertemuan itu diadakan di sekitar meja Ping-Pong di ruang
rekreasi. Dionysus melambaikan tangannya dan menyediakan aneka camilan: Cheez Whiz, biskuit renyah,
dan beberapa botol anggur merah. Lantas Chiron
mengingatkannya bahwa anggur melanggar peraturan dan
sebagian besar dari kami masih di bawah umur. Pak D
mendesak. Dengan sekali jentikan jemarinya, anggur itu
berubah jadi Diet Coke. Tak ada yang meminumnya juga.
Pak D dan Chiron (dalam wujud berkursi roda) duduk
di satu ujung meja. Zo? dan Bianca di Angelo (yang sudah
jadi semacam asisten pribadi Zo?) duduk di ujung
seberangnya. Thalia dan Grover dan aku duduk di sepanjang
sisi kanan meja, sementara anggota penasihat kepala lain"
Beckendorf, Silena Beauregard, dan Stoll bersaudara"
duduk di sisi kiri. Anak-anak Ares mestinya juga
mengirmkan perwakilan, tapi mereka semua mengalami
cedera patah tulang (secara tak sengaja) sewaktu
pertandingan tangkap bendera, berkata para Pemburu.
Mereka semua kini beristirahat di ruang perawatan.
Zo? mengawali pertemuan dengan semangat yang
positif. "Ini benar-benar sia-sia."
"Cheez Whiz!" Grover berdengap. Dia mulai
menyibukkan diri mengambil biskuit dan bola-bola PingPong lalu sibuk menaburi bagian atasnya dengan topping.
"Tak ada waktu untuk bicara," Zo? menyambung.
"Dewi kami membutuhkan kami. Para Pemburu harus
segera pergi." "Pergi ke mana?" tanya Chiron.
"Barat!" ujar Bianca. Aku terkejut melihat betapa
berbeda Bianca tampak sekarang hanya setelah
menghabiskan seberapa hari dengan para Pemburu. Rambut
gelapnya dikepang menyerupai Zo? sekarang, sehingga kau
bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia memiliki bintikbintik yang tersebar di seputar hidungnya, dan mata
gelapnya samar-samar mengingatkanku pada seseorang
yang terkenal, tapi aku tak tahu siapa. Dia kelihatan rajin
berolahraga, kulitnya berkilat samar, seperti para Pemburu
yang lain, seolah dia mandi dengan pancuran air sinar
rembulan. "Kau sudah dengar ramalannya. Lima akan pergi
ke barat menuju dewi terantai. Kami bisa mengumpulkan
lima pemburu dan pergi."
"Benar," Zo? menyetujui. "Artemis sedang disandera!
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kita harus segera temukan dia dan membebaskannya."
"Kau kelewatan sesuatu, seperti biasa," kata Thalia.
"Pekemah dan Pemburu bersatu akan bertahan. Kita
seharusnya mengerjakan ini bersama."
"Tidak!" timpal Zo?. "Pemburu tidak membutuhkan
bantuan engkau." "Bantuan-mu," gerutu Thalia. "Sudah nggak ada lagi
orang yang menyebut engkau dalam percakapan, setidaknya
sejak tiga ratus tahun, Zo?. Ikutilah zaman."
Zo? tampak ragu, seolah dia sedang berusaha
merangkai kalimatnya dengan benar. "Mmeu. Kami tidak
membutuhkan bantuan-mmeu."
Thalia memutar bola matanya. "Lupakan sajalah."
"Yang kutakuti, ramalan itu menyebutkan bahwa kalian
memang membutuhkan bantuan kami," kata Chiron.
"Pekemah dan Pemburu harus bekerja sama."
"Betulkah begitu?" Pak D merenung, memutar Diet
Cokenya di bawah hidungnya seolah kaleng itu adalah buket
cantik. "Seseorang akan hilang. Seseorang akan binasa. Itu
terdengar sangat mengerikan, bukan" Bagaimana jika kau
gagal justru karena kau mencoba bekerja sama?"
"Pak D," desah Chiron, "dengan segala rasa hormat,
Anda berada di pihak mana?"
Dionysus mengangkat kedua alisnya. "Maaf, sobat
cenaturusku. Hanya mencoba membantu."
"Kita mestinya bekerja sama," Thalia bersikukuh. "Aku
juga nggak suka, Zo?, tapi kau tahu kebenaran ramalan. Apa
kau berani melawannya?"
Zo? mengernyit, tapi aku tahu Thalia berhasil
menyampaikan maksudnya. "Kita tak boleh menunda-nunda," Chiron memperingatkan. "Hari ini hari Minggu. Jumat ini 21
Desember, adalah titik balik matahari musim dingin."
"Oh, asyik sekali," gumam Dionysus. "Pertemuan
tahunan yang membosankan lagi."
"Artemis harus hadir pada saat titik balik matahari
musim dingin," ujar Zo?. "Dia adalah salah satu anggota
dewan yang paling vokal dalam menekan agar segera
diambil tindakan untuk mengatasi pengikut-pengikut
Kronos. Jika dia tak hadir, para dewa tak akan memutuskan
apa pun. Kita akan kehilangan satu tahun lagi masa
persiapan perang." "Apa kau menyiratkan bahwa para dewa kesulitan
mengambil tindakan, Nona Muda?" tanya Dionysus.
"Benar, Dewa Dionysus."
Pak D mengangguk. "Hanya mengecek. Kau benar,
tentu saja. Teruskan."
"Aku setuju dengan Zo?," kata Chiron. "Kehadiran
Artemis di pertemuan dewan musim dingin sangat penting.
Kita hanya memiliki waktu seminggu untuk menemu-
kannya. Dan barangkali yang lebih penting lagi: untuk
menemukan lokasi monster yang dia buru. Sekarang, kita
harus putuskan siapa yang akan berangkat dalam misi ini."
"Tiga dan dua," kataku.
Semua orang memandangiku. Thalia bahkan lupa
untuk tak mengacuhkanku. "Kita harus membawa lima orang," ujarku, merasa
rikuh. "Tiga Pemburu, dua dari Perkemahan Blasteran. Itu
sangat adil." Thalia dan Zo? bertukar pandang.
"Yah," kata Thalia. "Itu memang terdengar masuk
akal." Zo? menggerutu. "Aku akan lebih senang membawa
seluruh Pemburu. Kita akan membutuhkan kekuatan dari
jumlah yang ada." "Kalian akan menyusuri kembali jejak sang dewi,"
Chiron mengingatkannya. "Bergerak dengan cepat. Tak
diragukan lagi Artemis mengikuti bau monster langka ini,
apa pun ia, saat dia bergerak ke barat. Kalian harus
melakukan hal yang sama. Ramalan itu jelas: Amukan
Olympus menunjukkan jejaknya. Apa yang akan dikatakan
oleh pemimpinmu" "Terlalu banyak Pemburu akan
mengacaukan baunya." Kelompok kecil lebih baik."
Zo? mengambil pemukul Ping-Pong dan menekuninya
seolah dia sedang memutuskan siapa yang ingin dia pukul
terlebih dulu. "Monster ini"kutukan Olympus. Aku sudah
berburu di sisi Yang Mulia Artemis bertahun-tahun
lamanya, namun aku tetap tak tahu seperti apa kemungkinan
makhluk buas ini." Semua memandang Dionysus, kurasa itu karena dia
adalah satu-satunya dewa yang hadir dan para dewa
mestinya serbatahu. Dia sedang membolak-balik majalah
tentang anggur, namun ketika semua orang terdiam dia
mendongak. "Yah, jangan lihat aku. Aku adalah dewa muda,
ingat" Aku tidak mengikuti berita tentang semua monster
purba itu dan para titan yang membosankan. Mereka adalah
topik perbincangan yang payah di pesta."
"Chiron," kataku, "kau tak tahu sedikit pun tentang
monster ini?" Chiron mengerutkan bibirnya. "Aku punya beberapa
ide, tak satu pun ada yang baik. Dan tak satu pun yang
masuk akal. Typhon, misalnya, bisa saja sesuai dengan
deskrpsi ini. Dia jelas merupakan kutukan Olympus. Atau
monster laut Keto. Namun bila kedua monster ini yang
bangkit, kita pasti akan tahu. Mereka dalah monster-monster
laut seukuran gedung-gedung pencakar langit. Ayahmu,
Poseidon, tentu sudah akan membunyikan peringatan. Aku
takut monster ini bisa jadi lebih sukar ditemukan.
Barangkali bahkan lebih kuat."
"Spertinya bahaya besar yang akan kalian hadapi," ujar
Connor Stoll. (Aku suka bagaimana dia menyebutkan kata
kalian dan bukan kita). "Kedengarannya seperti setidaknya
dua dari lima orang akan menginggal."
"Seseorang akan menghilang di daratan tanpa hujan,"
kata Beckendorf. "Kalau aku jadi kau, aku akan jauh-jauh
dari gurun." Ada gumaman kesepakatan. "Dan kutukan bangsa Titan harus seorang hadapi,"
ucap Silena. "Apa maksudnya itu?"
Aku melihat Chiron dan Zo? bertukar pandang gugup,
namun apa pun yang tengah mereka pikirkan, mereka tidak
membaginya. "Seorang akan binasa di tangan salah satu
orangtuanya," ujar Grover di tengah-tengah gigitan Cheez
Whiz dan bola Ping-Pong. "Bagaimana itu bisa terjadi"
Orangtua siapa yang ingin membunuh anaknya?"
Ada keheningan berat menggantung di seputar meja.
Aku memandangi Thalia dan bertanya-tanya apakah dia
memikirkan hal yang sama dengan diriku. Bertahun-tahun
lalu, Chiron menerima sebuah ramalan tentang keturunan
berikutnya dari Tiga Besar"Zeus, Poseidon, atau Hades"
yang akan menginjak usia enam belas. Menurut ramalan,
anak itu akan membuat sebuah keputusan yang kelak akan
menyelamatkan atau menghancurkan keberadaan dewadewa untuk selamanya. Karenanya, Tiga Besar telah
bersumpah setelah Perang Dunia II usai untuk tak lagi
memiliki keturunan. Namun Thalia dan aku tetap terlahir,
dan kini kami berdua kian mendekati usia enam belas.
Aku teringat akan perbincangan yang kulakukan tahun
lalu bersama Annabeth. Aku bertanya padanya, jika aku
sangat berpotensi bahaya, kenapa dewa tidak membunuhku
saja. Beberapa dewa ingin membunuhmu, katanya. Tapi
mereka takut menyinggung Poseidon.
Bisakah orangtua Olympian berbalik melawan anak
blasterannya" Apakah kadang-kadang menjadi lebih mudah
hanya dengan membiarkan mereka mati" Jika pernah ada
anak-anak blasteran yang perlu khawatir tentang hal itu, itu
Thalia dan aku. Aku bertanya-tanya apakah mungkin aku
harus mengirimkan Poseidon dasi berpola kerang untuk hari
ayah setelahnya. "Akan ada kematian," Chiron memutuskan. "Itu yang
kita ketahui." "Ya, ampun!" kata Dionysus.
Semua orang menatapnya. Dia mendongak dengan
polos dari halaman-halaman majalah Wine Connoisseur.
"Ah, anggur pinot noir akan dimunculkan kembali. Jangan
pedulikan aku." "Percy benar," ucap Silena Beauregard. "Dua pekemah
harus ikut pergi." "Oh, aku tahu," timpal Zo? sinis. "Dan kurasa kau ingin
mengajukan diri?" Silena merona. "Aku tak akan pergi ke mana pun
bersama para Pemburu. Jangan padangi aku!"
"Putri Aphrodite tidak berkeinginan untuk dipandangi,"
ejek Zo?. "Apa yang akan dikatakan oleh ibu engkau?"
Silena mulai beranjak dari bangkunya, namun Stoll
bersaudara menariknya kembali.
"Hentikan," seru Beckendorf. Dia adalah anak
berbadan besar dengan suara lebih besar lagi. Dia tak
banyak bicara, namun ketika dia bicara, orang-orang akan
mendengarkan. "Mari kita mulai dengan Pemburu. Yang
mana dari kalian bertiga yang akan berangkat?"
Zo? berdiri. "Aku akan pergi, tentu saja, dan aku akan
membawa serta Phoebe. Dia adalah pelacak jejak terbaik
kami." "Cewek badan besar yang senang memukuli kepala
orang-orang?" tanya Travis Stoll dengan berhati-hati.
Zo? mengangguk. "Anak yang menaruh panah-panah di helmku?" tambah
Connor. "Betul," bentak Zo?. "Kenapa?"
"Oh, tidak apa-apa," ucap Travis. "Hanya saja kami
punya kaus untuknya dari toko perkemahan." Dia
mengangkat kaus besar warna perak bertulisan ARTEMIS
DEWI BULAN, TUR BERBURU MUSIM GUGUR 2002,
dengan daftar panjang taman-taman nasional dan hal-hal
lain di bawahnya. "Ini barang kolektor. Dia sempat
mengaguminya. Kau mau memberikannya padanya?"
Aku tahu Stoll bersaudara sedang menyembunyikan
sesuatu. Mereka selalu begitu. Tapi kurasa Zo? tidak
mengenal mereka sebaik aku. Zo? hanya mendesah dan
mengambil kausnya. "Seperti yang kukatakan, aku akan
membawa Phoebe. Dan aku ingin Bianca juga ikut."
Bianca tampak terkejut. "Aku" Tapi ... aku masih baru
banget. Aku nggak akan banyak gunanya."
"Kau akan baik-baik saja," Zo? bersikukuh. "Tak ada
cara lain yang lebih baik untuk membuktikan diri engkau
sendiri." Bianca mengatup mulutnya. Aku merasa agak iba
padanya. Aku ingat akan misi pertamaku saat aku berusia
dua belas tahun. Saat itu aku merasa benar-benar tidak siap.
Sedikit tersanjung, mungkin, namun lebih banyak merasa
enggan dan takut. Kurasa hal yang sama sedang berkecamuk
dalam kepala Bianca saat ini.
"Dan bagi pekemahnya?" tanya Chiron. Matanya
bertemu mataku, tapi aku tak tahu apa yang dipikirkannya.
"Aku!" Grover bangkit berdiri dengan begitu cepatnya
hingga membentur meja Ping-Pong. Dia membersihkan
remah-remah biskuit dan sisa-sisa bola Ping-Pong dari
pangkuannya. "Apa pun demi membantu Artemis!"
Zo? mengerutkan hidungnya. "Kurasa tidak, satir. Kau
bahkan bukan blasteran."
"Tapi dia adalah pekemah," kata Thalia. "Dan dia
punya pengindera satir dan sihir rimba. Apa kau sudah bisa
memainkan lagu pemburu, Grover?"
"Tentu!" Zo? ragu. Aku tak tahu apa maksudnya lagu pemburu,
namun sepertinya Zo? berpikir itu adalah hal yang baik.
"Baiklah," ucap Zo?. "Dan pekemah kedua?"
"Aku akan pergi." Thalia berdiri dan mengedarkan
pandangan, menantang siapa pun yang berani
meragukannya. Sekarang, baiklah, mungkin kepandaian metematikaku
bukan yang terbaik, tapi tiba-tiba terpikir dalam benakku
bahwa kami telah mencapai angka lima, dan aku tidak
termasuk di dalamnya. "Hei, tunggu sebentar," ujarku. "Aku
juga ingin pergi." Thalia tak mengatakan apa pun. Chiron masih
mempelajariku, matanya sayu.
"Oh," ucap Grover, tiba-tiba tersadar akan masalahnya.
"Wah, iya, aku lupa! Percy harus pergi. Aku nggak
bermaksud ... aku akan tinggal. Percy harus pergi
menggantikanku." "Dia tak bisa pergi," seru Zo?. "Dia laki-laki. Aku tak
akan biarkan para Pemburu menempuh perjalanan dengan
seorang laki-laki." "Kau sudah pernah menempuh perjalanan ke sini
bersamaku," kuingatkan dirinya.
"Itu adalah kondisi darurat jangka-pendek, dan itu
diperintahkan oleh sang dewi. Aku tak akan pergi
menjelajah negeri dan bertarung melawan banyak bahaya
ditemani seorang lelaki."
"Memang Grover apaan?" desakku.
Zo? menggelengkan kepalanya. "Dia tidak termasuk.
Dia adalah satir. Teknisnya dia bukanlah laki-laki."
"Hei!" protes Grover.
"Aku harus pergi," kataku. "Aku harus ikut dalam misi
ini." "Kenapa?" tanya Zo?. "Karena teman engkau Annabeth
itu?" Aku merasa wajahku terbakar. Aku benci mengetahui
semua mata memandangiku. "Tidak! Maksudku, itu cuma
sebagai alasannya. Aku hanya merasa kalau aku semestinya
pergi!" Tidak ada yang mendukungku. Pak D nampak bosan,
masing membaca majalahnya. Silena, Stoll bersaudara, dan
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beckendorf hanya menatap meja. Bianca menatapku
kasihan. "Tidak," kata Zo? datar. "Aku menuntut ini. Aku akan
membawa satir jika aku harus, tapi tidak dengan pahlawan
laki-laki." Chiron mendesah. "Pencarian ini untuk Artemis. Para
Pemburu diijinkan untuk menentukan teman mereka."
Telingaku berdenging saat aku duduk. Aku tahu Grover
dan yang lainnya sedang memberiku simpati, tapi aku tidak
menatap mereka. Aku hanya duduk di sana saat Chiron
menyimpulkan hal itu. "Baiklah," katanya. "Thalia dan Grover akan menemani
Zo?, Bianca, dan Phoebe. Kalian akan berangkat saat fajar.
Dan semoga para dewa?"dia melirik Dionysus?"ikut
menyertakan, kami berharap"mereka bersamamu.
Aku tidak datang saat makan malam, yang merupakan
kesalahan, karena Chiron dan Grover datang mencariku.
"Percy, aku sangat menyesal!" kata Grover, duduk di
sampingku di tempat tidur. "Aku nggak tahu kalau mereka
akan"bahwa kau akan"Sumpah!"
Grover mulai terisak, dan kupikir kalau aku tidak
segera menghiburnya, dia entah akan mulai menangis atau
menggigiti kasurku. Grover suka melahap barang-barang
furnitur setiap kali dia merasa sedih.
"Nggak apa-apa," aku berbohong. "Sungguh. Nggak
apa-apa." Bibir bawah Grover bergetar. "Aku bahkan nggak
berpikir ... Aku begitu terfokus untuk menolong Artemis.
Tapi aku berjanji, aku akan mencari Annabeth di segala
tempat. Kalau bisa ditemukan, aku sudah pasti akan
menemukannya." Aku mengangguk dan berusaha mengabaikan lubang
besar yang terbuka dalam dadaku.
"Grover," kata Chiron, "barangkali kau akan
membiarkan aku berbicara dengan Percy?"
"Tentu," isaknya.
Chiron menanti. "Oh,?" seru Grover. "Maksud Bapak empat mata.
Tentu, Pak Chiron." Grover menatapku muram. "Lihat, kan"
Tak ada yang membutuhkan kambing."
Dia melangkah gontai ke ambang pintu, sambil
membuang ingus di lengan bajunya.
Chiron mengembuskan napas berat dan berlutut pada
kaki-kaki kudanya. "Percy, aku pribadi tak pernah
sepenuhnya memahami ramalan."
"Yeah," ujarku. "Yah, itu mungkin karena ramalanramalan memang nggak masuk akal."
Chiron memandang mata air laut yang bergemericik di
sudut ruangan. "Thalia tak akan menjadi pilihan pertamaku
untuk menjalani misi ini. Dia terlalu tak sabaran. Dia suka
bertindak tanpa berpikir terlebih dulu. Dia terlalu yakin pada
dirinya." "Apa Bapak tadi akan memilihku?"
"Jujur, tidak," katanya. "Kau dan Thalia terlalu
serupa." "Makasih banyak."
Chiron tersenyum. "Perbedaannya adalah kau lebih
kurang percaya diri dari Thalia. Itu bisa berarti baik atau
buruk. Tapi satu hal yang bisa kusampaikan: kalian berdua
jika disatukan akan berbahaya."
"Kami bisa mengatasinya."
"Seperti caramu mengatasinya di tepi sungai tadi
malam?" Aku tak menjawab. Dia membuatku mati kutu.
"Barangkali ini adalah untuk yang terbaik," renung
Chiron. "Kau bisa pulang ke ibumu untuk liburan. Jika kami
membutuhkanmu, kami akan menghubungimu."
"Yeah," kataku. "Barangkali."
Aku menarik Riptide dari dalam sakuku dan
meletakkannya di meja samping ranjangku. Sepertinya aku
tidak akan menggunakannya untuk apa pun kecuali menulis
kartu-kartu Natal. Sata Chiron melihat pena itu, dia mengernyit. "Pantas
saja Zo? tidak ingin kau ikut. Tidak saat kau membawa
senjata itu." Aku tak tahu apa maksudnya. Kemudian aku teringat
akan apa yang Chiron katakan padaku lama sekali, saat dia
pertama kalinya memberiku pedang ajaib ini: Pedang ini
memiliki sejarah yang tragis dan panjang, yang tak perlu
kita bahas. Aku ingin bertanya padanya mengenai itu, tapi
kemudian dia mengeluarkan sekeping drachma emas dari
dalam tas pelananya dan melontarnya padaku. "Hubungi
ibumu, Percy. Beri tahu dia kau akan pulang di pagi hari.
Dan, yah, asal tahu saja ... aku sendiri hampir mengajukan
diri untuk menjalani misi ini. Aku sudah akan pergi, jika
tidak teringat pada kalimat terakhir."
"Seorang akan binasa di tangan salah satu
orangtuanya. Benar."
Aku tak perlu bertanya. Aku sudah tahu ayah Chiron
adalah Kronos, sang Raja Titan jahat itu sendiri. Kalimat itu
akan terdengar sangat masuk akal jika saja Chiron
mengikuti misi ini. Kronos tidak peduli terhadap siapa pun,
termasuk anak-anaknya sendiri.
"Chiron," kataku. "Kau tentu tahu apa kutukan Titan
ini, kan?" Wajahnya menggelap. Tangannya membentuk cakar di
depan jantungnya dan dibuatnya gerakan mendorong ke arah
depan"isyarat purba untuk menangkal bala. "Kita hanya
bisa berharap ramalan itu tidak seperti apa yang kupikirkan.
Sekarang, selamat malam, Percy. Dan saatmu akan tiba.
Aku yakin akan itu. Tak perlu tergesa-gesa."
Dia menyebut saatmu seperti cara orang-orang biasa
menyebutkan ajalmu. Aku tak mengerti apakah itu yang
Chiron maksudkan, tapi tatapan di matanya membuatku
takut bertanya. Aku berdiri di mata air laut, menggosok koin Chiron di
telapak tanganku dan berusaha memikirkan apa yang akan
kukatakan pada ibuku. Aku sedang tak berselera untuk
mendengarkan satu orang dewasa lagi memberitahuku
bahwa berpangku tangan adalah hal terbaik yang bisa
kulakukan, tapi kurasa ibuku pantas menerima kabar
terbaruku. Akhirnya, aku menghela napas dalam-dalam dan
melempar koinnya ke dalam kolam. "Oh dewi, terimalah
persembahanku." Kabut itu berdenyar. Cahaya dari kamar mandi cukup
untuk menghasilkan pelangi samar.
"Tunjukkan padaku Sally Jackson," pintaku. "Upper
East Side, Manhattan."
Dan di kabut itu tampil sebuah bayangan yang tak
kusangka. Ibuku tengah duduk di meja dapur kami bersama
seorang ... pria. Mereka tertawa tergelak. Ada tumpukan
besar buku di antara mereka. Pria itu, aku tak tahu, mungkin
sekitar tiga puluhan tahun, dengan rambut gondrong gelap
diselingi uban dan jaket cokelat di luar kaus hitamnya. Dia
tampak seperti seorang aktor"seperti pria yang pantas
berperan sebagai polisi yang sedang menyamar di layar
televisi. Aku terlalu kaget untuk mengucapkan sesuatu, dan
untungnya, ibuku dan pria itu sedang terlalu sibuk tertawa
untuk memperhatikan pesan-Irisku.
Sang pria berkata, "Sally, kau lucu sekali. Kau ingin
tambah anggur lagi?"
"Ah, seharusnya tidak. Kau tambah saja kalau mau."
"Sebenarnya, aku sebaiknya menggunakan toiletmu.
Bolehkan?" "Di ujung lorong," ujar ibu, terdengar berusaha
menahan tawa. Pria aktor itu tersenyum dan berdiri, lantas pergi.
"Ibu!" panggilku.
Ibu terlompat begitu kencangnya hingga hampir
menjatuhkan buku-bukunya dari atas meja. Akhirnya dia
memfokuskan pada diriku. "Percy! Oh, sayang! Apa semua
baik-baik saja?" "Apa yang Ibu lakukan?" desakku.
Dia mengerjapkan mata. "Tugas rumah." Kemudian ibu
tampaknya mengerti air mukaku. "Oh, sayang, itu hanya
Paul"em, Pak Blofis. Dia teman sekelas di seminar menulis
Ibu." "Pak Blowfish"ikan buntal?"
"Blofis. Dia akan kembali sebentar lagi, Percy. Katakan
pada ibu ada masalah apa."
Ibu selalu tahu jika ada masalah. Kuceritakan padanya
tentang Annabeth. Hal-hal lain juga, tapi sebagian besar
masalahnya adalah tentang Annabeth.
Mata ibuku berkaca-kaca. Aku tahu ibu berusaha keras
menguatkan dirinya demi aku. "Oh, Percy ..."
"Iya. Jadi mereka memberitahuku bahwa tak ada yang
bisa kulakukan. Kurasa aku bakal pulang ke rumah."
Ibu memutar pensilnya dengan jemarinya. "Percy,
betapapun Ibu ingin sekali kau pulang?"ibu mendesah
seolah dia sedang marah pada dirinya sendiri?"betapapun
Ibu ingin kau selalu aman, Ibu ingin kau memahami sesuatu.
Kau perlu melakukan apa yang harus kaulakukan."
Aku memandanginya. "Apa maksud Ibu?"
"Maksud Ibu, apa kau benar-benar, dari lubuk hati
terdalam, meyakini bahwa kau harus membantu
menyelamatkannya" Apa kau merasa itu adalah hal yang
seharusnya dilakukan" Karena Ibu tahu satu hal tentangmu,
Percy. Hatimu selalu bicara benar. Dengarkan bisikannya."
"Ibu ... Ibu menyuruhku untuk pergi?"
Ibuku meruncingkan bibirnya. "Ibu hanya ingin bilang
bahwa ... kau sudah terlalu besar bagi Ibu untuk masih
didikte akan apa yang sebaiknya kaulakukan. Ibu
memberitahumu bahwa Ibu akan mendukungmu, bahkan
jika apa yang kauputuskan untuk lakukan itu berbahaya. Ibu
tidak percaya bisa bicara seperti ini."
"Ibu?" Bunyi toilet disiram terdengar dari lorong apartemen
kami. "Ibu tak punya banyak waktu," ujarnya. "Percy, apa
pun yang kauputuskan, Ibu menyayangimu. Dan Ibu tahu
kau akan lakukan yang terbaik demi Annabeth."
"Bagaimana Ibu bisa yakin?"
"Karena dia akan melakukan hal yang sama untukmu."
Dan bersamaan dengan ucapannya itu, ibuku
menyapukan tangannya pada kabut, dan koneksinya pun
buyar, meninggalkanku dengan bayangan terakhir teman
barunya, Pak Blowfish, tersenyum pada ibu.
Aku tidak teringat jatuh tertidur, tapi aku ingat akan
mimpiku. Aku kembali berada di gua kosong itu, langit-langit
menggantung rendah dan berat di atasku. Annabeth berlutut
di bawah tekanan gumpalan kegelapan yang tampak seperti
tumpukan batu. Annabeth sudah terlalu letih bahkan untuk
berteriak memanggil bantuan. Kakinya bergetar. Pada detik
kapan pun, aku tahu dia akan kehabisan tenaga dan langitlangit gua akan ambruk menindihnya.
"Bagaimana keadaan tamu manusia kami?" suara lelaki
terdengar menggelegar. Itu bukan suara Kronos. Suara Kronos terdengar parau
dan menyakitkan telinga, seperti bunyi belati digoreskan di
atas batu. Aku sudah pernah mendengarnya mengejekku
beberapa kali dalam mimpiku. Tapi suara ini lebih dalam
dan berat, seperti gitar bas. Kekuatannya membuat tanah
bergetar. Luke muncul dari balik bayangan. Dia berlari menuju
Annabeth, berlutut di sisinya, kemudian melihat kembali
pada sosok pria tak kasat mata. "Dia makin melemah. Kita
harus cepat-cepat." Munafik. Seolah dia benar-benar mencemaskan
kondisinya. Suara dalam itu terkekeh. Suara itu berasal dari sosok
yang berdiri di balik bayang-bayang, di sudut mimpiku.
Kemudian sebuah tangan besar mendorong seseorang maju
ke bawah cahaya"Artemis"tangan dan kakinya di belengu
dengan rantai perunggu langit.
Aku berdengap. Gaun peraknya sobek dan koyak di
sana-sini. Wajah dan lengannya memiliki luka sayat di
berbagai sisi, dan dia mengucurkan darah ichor, darah emas
para dewa. "Kau dengar ucapan bocah tadi," seru sang pria di balik
bayang-bayang. "Putuskan!"
Mata Artemis membakar dengan amarah. Aku tidak
tahu mengapa dia tidak memerintahkan saja rantainya untul
meledak, atau membuat dirinya sendiri menghilang, tapi
sepertinya dia tidak bisa melakukannya. Barangkali rantai
itu yang melemahkannya, atau suatu sihir dari tempat yang
gelap dan mengerikan ini.
Sang dewi memandangi Annabeth dan raut mukanya
berubah jadi cemas dan marah. "Berani-beraninya kau
menyiksa seorang gadis seperti ini!"
"Dia akan mati tak lama lagi," ujar Luke. "Kau bisa
menyelamatkannya." Annabeth mengeluarkan suara protes lemah. Jantungku
serasa diremas-remas. Aku ingin berlari ke arahnya, tapi aku
tak dapat bergerak. "Lepaskan ikatan tanganku," kata Artemis.
Luke menghunus pedangnya, Backbiter. Dengan satu
ayunan jitunya, dia memecah borgol sang dewi.
Artemis berlari ke sisi Annabeth dan mengambil
bebannya dari pundak Annabeth. Annabeth terkulai ke tanah
dan terbaring di sana dengan mengigil. Artemis terhuyung,
berusaha menahan berat bebatuan hitam.
Pria di balik bayangan terkekeh. "Kau sangat mudah
ditebak selain juga mudah dikalahkan, Artemis."
"Kau mengejutkanku," ujar sang dewi, masih berjuang
menopang beban. "Ini tak akan terjadi lagi."
"Tentu saja tidak," ujar sang pria. "Sekarang kau sudah
tak lagi bisa mengganggu untuk selamanya! Aku tahu kau
tak bisa menahan diri untuk tak membantu seorang gadis
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda. Toh, bukanlah itu yang menjadi keahlianmu,
sayang." Artemis mengerang. "Kau sama sekali tak mengenal
belas kasih, dasar bajingan."
"Untuk hal yang satu itu," ucap sang pria, "kita bisa
sepakat. Luke, kau boleh bunuh gadis itu sekarang."
"Tidak!" teriak Artemis.
Luke ragu. "Dia"dia masih bisa berguna, Tuan.
Sebagai umpan lanjutan."
"Bah! Kau benar-benar percaya itu?"
"Benar, Jenderal. Mereka akan datang untuknya. Aku
yakin itu." Sang pria mempertimbangkan. "Jika demikian, sang
Drakaina (Dracaenae) bisa mengawalnya di sini. Jika dia
tidak mati dari luka-lukanya, kalu boleh menyimpannya
hidup-hidup hingga saat titik balik matahari musim dingin
tiba. Setelah itu, jika pengorbanan kita berjalan sesuai
rencana, nyawa akan tak berarti. Seluruh nyawa kaum
manusia tak akan berarti."
Luke mengangkut tubuh lemas Annabeth dan
membawanya pergi dari sang dewi.
"Kau tak akan temukan monster yang kaucari," ujar
Artemis. "Rencanamu akan gagal."
"Betapa sedikit yang kauketahui, dewi mudaku," pria
dalam bayang-bayang berujar. "Bahkan pada saat ini, para
pelayan kesayanganmu telah memulai misi mereka
mencarimu. Mereka akan langsung masuk dalam
perangkapku. Sekarang, kami harus permisi dulu, ada
perjalanan jauh yang mesti kami tempuh. Kami harus
menyambut para Pemburumu dan memastikan misi mereka
begitu ... menantang."
Tawa pria itu menggema dalam kegelapan,
mengguncang tanah hingga seluruh gua tampak akan segera
ambruk. Aku tersentak bangun. Aku merasa yakin aku barusan
mendengar suara gebrakan.
Aku mengedarkan pandangan ke sepenjuru ruang
kabin. Di luar tampak gelap. Mata air laut masih
bergemercik. Tak ada suara lain selain suara teriakan burung
hantu di hutan dan debur ombak di kejauhan pantai. Di
bawah cahaya rembulan, di atas meja sisi tempat tidurku,
tergeletak topi New York Yankees kepunyaan Annabeth.
Aku memandanginya selintas, dan kemudian: BRAK. BRAK.
Seseorang, atau sesuatu, memukul-mukul pintuku.
Kuambil Riptide dan bangkit dari tempat tidur.
"Halo?" panggilku.
BUK. BUK. Aku merayap ke pintu. Kubuka tutup pedang, membuka pintu dengan cepat,
dan menemukan diriku berhadapan muka dengan seekor
pegasus hitam. Wah, bos! Suaranya terdengar di pikiranku saat ia
bergerak mengelak dari acungan pedangku. Aku nggak mau
jadi kuda-ke-bab! Sayap hitamnya merentang waspada, dan deru angin
memukulku mundur selangkah.
"Blackjack," seruku, lega sekaligus jengkel. "Ini sudah
tengah malam!" Blackjack membuang napas berat. Tidak juga, bos.
Sekarang jam lima pagi. Untuk apa kau masih tidur"
"Sudah berapa kali kukatakan padamu" Jangan panggil
aku bos." Apa pun yang kaukatan, bos. Kaulah jagoannya.
Kaulah orang nomor wahid buatku.
Kukucek sisa-sisa kantuk dari mataku dan berusaha
untuk tak membiarkan sang pegasus membaca pikiranku.
Itulah masalah dari menjadi anak Poseidon: karena dia
menciptakan kuda-kuda dari buih laut, aku jadi bisa
memahami pikiran sebagian besar hewan tunggangan, tapi
mereka juga bisa membaca pikiranku. Terkadang, seperti
kasus Blackjack ini, mereka seperti mengadopsiku.
Begini, Blackjack sempat ditawan di atas kapal Luke
musim panas lalu, sampai kami berhasil menciptakan sedikit
hura-hara yang membuatnya bisa meloloskan diri.
Sebenarnya aku tak banyak andil saat kejadian itu, serius,
tapi Blackjack merasa verutang budi padaku karena telah
menyelamatkannya. "Blackjack," kataku, "kau mestinya menetap di istal."
Cuih, istal. Apa kau lihat Chiron tinggal di istal"
"Yah. Nggak sih."
Tepat. Dengar, kami mendapat teman-teman laut kecil
lain yang butuh bantuan. "Lagi?" Iya. Aku bilang pada hippocampus aku akan pergi
memanggilmu. Aku mengerang. Setiap kalinya aku berada di dekat
pantai, para hippocampus akan meminta bantuanku dengan
berbagai masalah mereka. Dan mereka punya segudang
masalah. Mulai dari ikan paus terdampar di pantai, porpois
terjaring jala ikan, para putri duyung dengan bintil kuku"
mereka akan memanggilku untuk turun ke bawah air dan
membantu. "Baiklah," kataku. "Aku datang."
Kau paling hebat, Bos. "Dan jangan panggil aku bos!"
Blackjack meringkik pelan. Bisa jadi itu bunyi tawa.
Aku menoleh kembali pada ranjang nyamanku. Perisai
perungguku masih menggantung di dinding, penyok dan tak
bisa digunakan. Dan di meja samping ranjang ada topi
Yankees ajaib Annabeth. Segera, aku menyelipkan topi itu
ke dalam sakuku. Kurasa aku sudah punya firasat, bahkan di
kala itu, bahwa aku tak akan kembali ke kabinku untuk
waktu yang sangat lama.[]
Blackjack memberiku tumpangan menuju pantai, dan
harus kuakui ini sungguh asyik. Menaiki kuda terbang,
meluncur di atas gulungan ombak pada kecepatan seratus
enam puluh kilometer per jam dengan embusan angin
menerpa rambutku dan buih laut menciprati wajahku"hei,
ini jelas mengalahkan serunya selancar air.
Di sini. Balckjack memelankan lajunya dan bergerak
membentuk lingkaran. Lurus ke bawah.
"Makasih." Aku meluncur turun dari punggungnya dan
terjun ke dalam laut beku.
Aku sudah terbiasa melakukan berbagai aksi semacam
itu selama dua tahun terkahir. Aku bisa bergerak leluasa di
bawah air, hanya dengan memerintahkan arus air untuk
berubah di sekitarku dan mendorongku meluncur ke depan.
Aku bisa bernapas di bawah air, tak masalah, dan pakaianku
tak pernah basah kecuali aku menginginkannya.
Aku melesat ke bawah memasuki kegelapan.
Enam meter, sembilan meter, dua belas meter.
Tekanannya tak terasa berat. Aku tak pernah mencoba
menekannya"untuk melihat apakah ada batasan seberapa
jauh aku bisa menyelam. Aku tahu sebagian besar manusia
biasa tak akan bisa melewati kedalaman enam puluh meter
tanpa menjadi rusak seperti kaleng alumunium. Mestinya
aku juga sudah tak bisa melihat apa pun, berada jauh di
kedalaman air di tengah malam, tapi aku bisa melihat panas
dari makhluk-makhluk hidup, dan rasa dingin dari arus air.
Susah dijelaskan. Tidak sama seperti melihat secara normal,
tapi aku bisa tahu di mana segala sesuatu berada.
Selagi aku mendekat ke dasar laut, aku melihat tiga
hippocampus"kuda-kuda dengan ekor ikan"berenangrenang dalam lingkaran mengitari perahu yang terbalik.
Ketiga hippocampus itu sungguh indah dilihat. Ekor-ekor
ikan mereka gemerlap dengan warna-warni pelangi,
memancarkan pendar cahaya. Surai mereka putih, dan
mereka tengah berderap melintasi air seperti yang biasa
dilakukan kuda-kuda yang sedang gelisah menghadapi badai
petir. Sesuatu jelas mengganggu mereka.
Aku mendekat dan menemukan masalahnya. Sebuah
bayangan gelap"sejenis binatang"terjepit oleh separuh
badan perahu dan tersangkut oleh jala ikan, salah satu dari
jala-jala besar yang biasa digunakan dalam kapal pukat ikan
untuk meraup banyak tangkapan sekaligus. Aku benci jala
seperti itu. Sudah cukup buruk mereka telah
menenggelamkan porpois dan lumba-lumba, namun mereka
terkadang juga menangkap hewan-hewan mitologi. Saat
jaringnya terlilit, beberapa nelayan pemalas hanya akan
memotong jala itu dan membiarkan begitu saja hewan yang
tersangkut mati. Sepertinya makhluk malang ini sedang berjalan-jalan
iseng di sekitar dasar Selat Long Island dan entah
bagaimana akhirnya mendapati dirinya tersangkut jala
perahu nelayan yang tenggelam ini. Makhluk itu telah
berusaha membebaskan diri dan akhirnya berhasil membuat
dirinya tersangkut makin parah, hingga posisi perahu pun
bergerak. Kini bangkai lambung kapal, yang bersandar pada
sebuah batu besar, mulai goyah dan nyaris terjatuh menimpa
hewan yang tersangkut. Para hippocampus berenang-renang kalut, ingin
menolong namun tak tahu bagaimana caranya. Satu
hippocampus berusaha menggigit jalanya, namun gigi-gigi
hippocampus memang tidak diciptakan untuk memotong
tali. Hippocampus sangat kuat, tapi mereka tak memiliki
tangan, dan mereka juga tidak (ssttt ...) begitu pandai.
Bebaskan ia, Tuan! ujar seekor hippocampus saat ia
melihatku. Yang lain mengikuti, meminta hal yang sama.
Aku berenang mendekat untuk melihat lebih jelas pada
makhluk tersangkut itu. Awalnya kukira makhluk itu adalah
hippocampus muda. Aku sudah pernah menyelamatkan
beberapa dari mereka sebelumnya. Tapi kemudian aku
mendengar suara aneh, sesuatu yang tidak semestinya
berada di dalam air: "Moooooo!" Aku berenang ke sisi makhluk itu dan melihat bahwa ia
adalah seekor sapi. Sebenarnya ... aku sudah pernah
mendengar tentang sapi-sapi laut, seperti ikan duyung dan
semacamnya, tapi ini jelas merupakan sapi dengan tubuh
bagian belakang berupa ular. Bagian setengah depannya
adalah anak sapi"masih kecil sekali, dengan bulu hitam
dan mata cokelat besar sedihnya dan moncong putih"dan
setengah bagian belakangnya merupakan ekor ular hitamdan-cokelat dengan sirip-sirip memenuhi bagian atas hingga
bawah, seperti seekor belut raksasa.
"Wow, makhluk kecil," kataku. "Dari mana asalmu?"
Makhluk itu memandangku sedih. "Moooo!"
Tapi aku tak bisa membaca pikirannya. Aku hanya
mengerti bahasa kuda. Kami belum tahu apa makhluk itu, Tuan, salah satu
hippocampus bicara. Banyak makhluk-makhluk aneh mulai
bangkit. "Iya," gumamku. "Itu yang kudengar."
Kubuka tutup Riptide, dan pedang itu tumbuh ke
ukuran sebenarnya di tanganku, bilah perunggunya berkilat
di kegelapan. Ular sapi itu panik dan mulai meronta-ronta berusaha
melepaskan diri dari jala, matanya penuh ketakutan.
"Wow!" seruku. "Aku tak akan melukaimu! Biarkan aku
memotong jalanya." Tapi ular sapi itu menggelepar-gelepar dan jadi
semakin tersangkut. Badan perahu mulai miring,
mengangkat kotoran-kotoran tanah di dasar laut dan hampir
jatuh menimpa badan si ular sapi. Para hippocampus
meringkik panik dan menggerak-gerakkan badan mereka di
dalam air, yang sama sekali tak membantu.
"Oke, oke!" seruku. Kusingkirkan pedang itu dan mulai
mengajak bicara setenang yang kubisa agar para
hippocampus dan ular sapi itu berhenti panik. Aku tak tahu
apakah memungkinkan diseruduk di bawah air, tapi aku
tidak terlalu ingin tahu. "Tenang. Tak ada pedang. Lihat"
Tak ada pedang. Pikiran-pikiran tenang. Rerumputan laut.
Mama-mama sapi. Vegetarianisme."
Aku ragu si ular sapi mengerti apa yang kukatakan,
taou ia menanggapi nada suaraku. Para hippocampus masih
gugup, tapi mereka sudah berhenti berputar-putar
mengitariku dengan cepat.
Bebaskan ia, Tuan! mereka memohon.
"Iya," kataku. "Aku sudah mengerti bagian itu. Aku
sedang berpikir, nih."
Tapi bagaimana aku bisa membebaskan ular sapi betina
ini (aku putuskan makhluk ini kemungkinan berjenis
kelamin "perempuan") begitu panik melihat pedang" Seolah
ia sudah pernah melihat pedang sebelumnya dan tahu betapa
membahayakannya pedang itu.
"Baiklah," kataku pada para hippocampus. "Aku butuh
kalian semua untuk mendorong sesuai aba-abaku."
Awalnya kami mencoba menggerakkan perahu. Tidak
mudah, tapi dengan tenaga dari tiga kekuatan kuda, kami
berhasil menggeser bengkai perahu itu hingga ia tidak lagi
mengancam terjatuh menimpa si ular sapi bayi. Kemudian
aku beralih mengurusi jalanya, menguraikan bagian yang
terlilit sedikit demi sedikit, meluruskan bagian pemberat dan
sangkutan ikannya, menarik simpul yang menjerat sekitar
kaki-kaki si ular sapi. Rasanya dibutuhkan waktu lama
sekali"maksudku, ini lebih parah daripada saat aku harus
menguraikan kabel-kabel pengendali video gameku.
Sepanjang waktu itu, aku terus berbicara dengan ikan sapi
itu, memberitahunya bahwa semua akan baik-baik saja
sementara ia mengeluh dan mengerang.
"Tenanglah, Bessie," kataku. Jangan tanya padaku
kenapa aku mulai memanggilnya begitu. Aku hanya merasa
itu sepertinya nama yang bagus untuk seekor sapi. "Sapi
baik. Sapi manis." Akhirnya, jala itu pun terlepas dan sang ular sapi
melesat melintasi air dan bersalto dengan riangnya.
Para hippocampus meringkik gembira. Terima kasih,
Tuan! "Moooo!" Ular sapi itu menyundulku dan memberiku
tatapan mata cokelat besarnya.
"Iya," kataku. "Tidak apa-apa. Sapi manis. Yah ... lain
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali berhati-hatilah."
Yang jadi mengingatkanku akan sesuatu, sudah berapa
lama aku di bawah air" Satu jam, setidaknya. Aku harus
segera kembali ke kabinku sebelum Argus atau para harpy
mengetahui bahwa aku telah melanggar jam malam.
Aku melesat ke atas dan memecah permukaan. Dengan
segera, Blackjack menukik turun dan mem-biarkanku
berpegangan pada lehernya. Ia mengangkatku ke udara dan
membawaku pulang menuju pantai.
Sukses, Bos" "Iya. Kami berhasil menyelamatkan seekor bayi ...
nggak tahu sih bayi apaan. Lama banget. Hampir saja
diseruduk." Perbuatan baik selalu mengundang bahaya, Bos. Kau
juga telah menyelamatkan aku, bukan"
Aku tak bisa berhenti memikirkan arti mimpiku,
dengan Annabeth terkulai seolah tanpa nyawa di tangan
Luke. Di sini aku menyelamatkan bayi-bayi monster, namun
aku tak bisa menyelamatkan temanku sendiri.
Selagi Blackjack terbang pulang menuju kabinku, aku
sempat menoleh pada paviliun makan. Aku melihat
bayangan"seorang anak laki-laki sedang merunduk di balik
sebuah tiang Yunani, seolah dia sedang bersembunyi dari
seseorang. Itu adalah Nico, tapi sekarang bahkan belum datang
fajar. Masih lama dari waktu sarapan. Apa yang dia lakukan
di atas sana" Aku ragu. Hal terakhir yang kuinginkan adalah
menghabiskan waktu lagi mendengarkan Nico bercerita
tentang permainan Mythomagicnya. Tapi ada sesuatu yang
tak benar. Aku bisa tahu dari melihat caranya berjongkok.
"Blackjack," kataku, "turunkan aku di bawah sana,
yah" Di belakang tiang itu."
Aku hampir saja mengacaukannya.
Aku sedang berjalan menaiki tangga ke belakang Nico.
Dia tidak melihatku sama sekali. Nico berada di belakang
tiang, mengintip ke pojokan, seluruh perhatiannya terfokus
pada area makan. Aku berjarak satu setengah meter darinya,
dan aku baru saja hendak menyapa Apa yang kaulakukan"
Dengan lantangnya, saat kusadari dia tengah meniru Grover:
dia sedang memata-matai para Pemburu.
Ada suara-suara"dua gadis berbicara di meja makan.
Di pagi buta begini" Yah, kecuali jika mereka dewi fajar,
kurasa. Kuambil topi ajaib Annabeth dari dalam sakuku dan
memakainya. Aku tak merasa berbeda, tapi saat aku mengangkat
kedua tanganku aku tak bisa melihatnya. Aku tak kelihatan.
Aku merayap mendekati Nico dan mengendap ke
belakangnya. Aku tak bisa melihat kedua gadis itu dengan
baik di kegelapan, tapi aku mengenali suara mereka: Zo?
dan Bianca. Sepertinya mereka sedang berdebat.
"Itu tak bisa disembuhkan," ujar Zo?. "Setidaknya,
tidak dalam waktu cepat."
"Tapi bagaimana itu bisa sampai terjadi?" tanya
Bianca. "Kelakar bodoh," geram Zo?. "Anak-anak Stoll dari
kabin Hermes itu. Darah centaurus sama seperti asam.
Semua orang tahu itu. Mereka menciprati bagian dalam kaus
Tur Berburu Artemis dengannya."
"Itu buruk sekali!"
"Dia akan hidup," kata Zo?. "Tapi dia harus dirawat
tidur selama beberapa minggu dengan ruam kulit yang
parah. Tak mungkin dia bisa pergi. Kini semua bergantung
pada diriku ... dan engkau."
"Tapi ramalan itu," ujar Bianca. "Kalau Phoebe tak bisa
pergi, hanya akan berempat. Kita harus pilih satu orang
lagi." "Tak ada waktu," ucap Zo?. "Kita harus berangkat di
awal fajar. Itu sebentar lagi. Lagi pula, ramalan itu
menyebutkan kita akan kehilangan satu orang."
"Di dataran tanpa hujan," kata Bianca, "tapi itu tak
mungkin di sini." "Bisa saja," ucap Zo?, meski dia tidak terdengar yakin.
"Perkemahan memiliki perbatasan sihir. Tak ada apa pun,
bahkan cuaca sekalipun, yang dibiarkan masuk tanpa izin.
Tempat ini bisa jadi dataran tanpa hujan."
"Tapi?" "Bianca, dengarkan aku." Suara Zo? menegang. "Aku
... aku tak bisa menjelaskan, namun aku merasa bahwa kita
tak semestinya memilih satu orang lagi. Ini akan terlalu
berbahaya. Mereka akan menemukan akhir yang lebih
mengerikan dari Phoebe. Aku tak mau Chiron memilih
seorang pekemah sebagai teman kelima kita. Dan ... aku tak
ingin berisiko kehilangan seorang Pemburu lagi."
Bianca terdiam. "Kau harus ceritakan pada Thalia
keseluruhan mimpimu."
"Tidak. Itu tak akan membantu."
"Tapi, kalau kecurigaanmu benar, mengenai sang
Jenderal?" "Aku sudah memegang janji engkau untuk tak lagi
membicarakan itu, " ujar Zo?. Dia terdengar sangat
terganggu. "Kita akan segera tahu. Sekarang mari, fajar akan
segera tiba." Nico menyingkir cepat dari jalan mereka. Dia lebih
cepat dariku. Selagi kedua gadis itu berlari menuruni tangga, Zo?
hampir saja menabrakku. Dia mematung, matanya
memicing. Tangannya merayap ke busurnya, tapi kemudian
Bianca berujar, "Lampu-lampu di Rumah Besar sudah
menyala. Ayo cepat!"
Dan Zo? pergi mengikutinya keluar paviliun.
Aku tahu Nico sedang berpikir. Dia mengambil nafas dalam
dan baru hendak berlari mengejar kakaknya saat aku
melepas topi tak kasat mata dan berujar, "Tunggu."
Dia hampir saja terpeleset di anak tangga es saat dia
memutar tubuh mencariku. "Kau muncul dari mana?"
"Aku berada di sini sedari tadi. Tak kasat mata."
Dia menggumamkan kata tak kasat mata tanpa suara.
"Wow. Keren." "Bagaimana kau bisa tahu Zo? dan kakakmu berada di
sini?" Wajah Nico memerah. "Aku dengar mereka berjalan
melewati kabin Hermes. Aku nggak ... aku nggak bisa tidur
dengan nyenyak di perkemahan. Jadi aku dengar suara
langkah kaki, dan mereka berbisik. Dan jadi kau mengikuti,
gitu deh." "Dan sekarang kau berpikir untuk mengikuti mereka
dalam misi ini," aku menebak.
"Bagaimana kau tahu?"
"Karena kalau itu saudariku, aku pasti akan berpikir
begitu. Tapi kau tak bisa."
Nico tampak menantang. "Karena aku masih terlalu
kecil?" "Karena mereka tak akan mengizinkanmu. Mereka
akan menangkapmu dan mengirimmu kembali ke sini. Dan
... iya juga, karena kau terlalu kecil. Kau ingat manticore"
Akan ada lebih banyak makhluk-makhluk semacam itu.
Lebih berbahaya. Sebagian pahlawan akan tewas."
Bahunya melorot. Kaki-kakinya bergerak-gerak
gelisah. "Mungkin kau benar. Tapi, tapi kau bisa pergi
mewakiliku." "Apa kaubilang?"
"Kau bisa berubah tak kasat mata. Kau bisa pergi!"
"Para Pemburu tak menyukai laki-laki," aku mengingatkannya. "Kalau mereka sampai tahu?"
"Jangan biarkan mereka sampai tahu. Ikuti mereka
tanpa terlihat. Awasi kakakku! Kau harus melakukannya.
Kumohon?" "Nico?" "Kau toh berencana untuk pergi, kan?"
Aku ingin mengatakan tidak. Tapi dia menatap mataku
tajam, dan aku tak bisa berbohong padanya.
"Iya," kataku. "Aku harus mencari Annabeth. Aku
harus membantu, bahkan kalau pun mereka tidak mau aku
ikut." "Aku tak akan mengadukanmu," katanya. "Tapi kau
harus berjanji untuk menjaga kakakku."
"Aku ... itu janji yang berat, Nico, dalam perjalanan
seperti ini. Lagi pula, kakakmu kan punya Zo?, Grover, dan
Thalia?" "Janji," desaknya.
"Aku akan berusaha sebisa mungkin. Aku janji itu."
"Ayo pergi, kalau gitu!"ujarnya. "Semoga berhasil!"
Ini sunggu gila. Aku belum berkemas. Aku tak
membawa apa-apa selain topi dan pedang dan pakaian yang
kukenakan. Aku seharusnya bersiap pulang ke Manhattan
pagi ini. "Bilang pada Chiron?"
"Aku akan karang-karang alasan." Nico tersenyum
licik. "Aku jago dalam hal itu. Ayo pergilah!"
Aku berlari, sembari memakai kembali topi Annabeth.
Saat matahari tengah terbit, aku berubah tak kasat mata. Aku
tiba di puncak Bukit Blasteran tepat untuk melihat van
kemah menghilang menyusuri jalan pedesaan, mungkin
Argus mengantar kelompok misi ke kota. Setelah itu mereka
akan bergerak sendiri. Aku merasa timbulnya desakan rasa bersalah, dan
bodoh, juga. Bagaimana aku bisa mengejar mereka" Dengan
berlari" Kemudia kudengar suara kepakan sayap besar.
Blackjack mendarat di sisiku. Ia mulai mengendus-endus
santai seberkas rumput yang mencuat dari es.
Kalau aku bisa menebak. Bos, kurasa kau butuh kuda
untuk berpergian. Kau tertarik"
Gumpalan rasa syukur menyumbat kerongkonganku,
tapi aku berhasil berujar, "Yeah. Ayo kita terbang."[]
Hal penting dari terbang dengan pegasus di siang hari
adalah kalau kau tidak berhati-hati, kau bisa mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas yang serius di Jalan Tol Long Island.
Aku harus menjaga Blackjack agar tetap tertutupi awan,
yang untungnya, awan-awan itu menggantung cukup rendah
di musim dingin. Kami terus meluncur, berusaha menjaga
van Perkemahan Blasteran tetap dalam jarak pandang. Dan
jika di daratan cuaca begitu dingin, maka di atas udara
rasanya jauh lebih dingin lagi, dengan hujan es menusuk
kulitku. Aku berpikir andai saja aku sempat membawa pakaian
dalam penghangat Perkemahan Blasteran yang mereka jual
di toko perkemahan, tapi setelah cerita tentang Phoebe dan
kaus berdarah centaurus, aku tak lagi yakin aku masih bisa
mememrcayai produk-produk mereka.
Kami kehilangan van itu dua kali, tapi aku memiliki
firasat tajam mereka akan pergi melalui Manhattan terlebih
dulu, jadi tak terlalu sulit untuk menelusuri jejak mereka
kembali. Arus kendaraan sangat padat dengan datangnya musim
liburan. Saat itu sudah menjelang siang saat mereka
memasuki kota. Aku mendaratkan Blackjack di dekat
puncak Gedung Chrysler dan memandangi van kemah putih,
mengira ia akan berhenti di pangkalan bus, tapi ia terus saja
melaju. "Ke mana Argus membawa mereka?" gumamku.
Oh, bukan Argus yang nyetir, Bos, Blackjack memberitahukanku. Gadis itu yang nyetir.
"Gadis yang mana?"
Gadis Pemburu. Dengan semacam mahkota perak di
rambutnya. "Zo??" Iya, yang itu. Hei, lihat! Di sana ada toko donat.
Bisakah kita mampir beli donat buat di jalan"
Aku berusaha menjelaskan pada Blackjack bahwa
membawa kuda terbang memasuki toko donat akan
menyebabkan semua polisi yang berada di dalam terkena
serangan jantung, tapi ia sepertinya tidak mengerti.
Sementara, van itu terus menyelap-nyelip menuju
Terowongan Lincoln. Bahkan tak pernah terpikir olehku
bahwa Zo? dapat menyetir. Maksudku, dia tak tampak
berumur enam belas. Tapi kalau dipikir lagi, toh dia hidup
abadi. Aku bertanya-tanya apakah dia memiliki SIM New
York, dan jika punya, apa data tanggal kelahirannya yang
tercantum di sana. "Yah," kataku. "Ayo kita kejar mereka."
Kami baru hendak melompat dari Geding Chrysler saat
Blackjack meringkik terkejut dan gampir menjatuhkanku.
Sesuatu meliliti kakiku seperti ular. Aku meraih pedangku,
tapi saat aku melihat ke bawah, tak ada ulat. Sulur"sulur
anggur"menyeruak dari celah-celah bebatuan gedung.
Sulur itu membelit seputar kaki Blackjack, mengikat
pergelangan kakiku sehingga kami tak bisa bergerak.
"Mau pergi ke mana?" tanya Pak D.
Dia sedang bersandar di dinding gedung dengan kaki
melayang di udara, jaket hangat kulit-macannya dan rambut
hitamnya melambai-lambai terterpa angin.
Ada dewa! teriak Blackjack. Itu si pria anggur!
Pak D mendesah kesal. "Orang berikutnya, atau kuda
berikutnya, yang memanggilku "pria anggur" akan berakhir
dalam botol Merlot!"
"Pak D." Aku berusaha menjaga suaraku tetap tenang
selagi sulur-sulur anggur itu terus membelit tungkai kakiku.
"Apa yang Bapak inginkan?"
"Oh, apa yang aku inginkan" Kau pikir, barangkali,
direktur perkemahan yang kekal dan sangat berkuasa tak
akan mengetahui kau pergi tanpa izin?"
"Yah ... barangkali."
"Seharusnya aku lempar kau dari atas gedung ini, tanpa
kuda terbang, dan kita lihat bagaimana heroiknya
teriakanmu saat terjatuh."
Kukepalkan tanganku. aku tahu aku seharusnya tutup
mulut, tapi Pak D akan membunhuku atau menyeretku
kembali ke perkemahan dengan memalukan, dan aku tak
tahan memikirkan dua kemungkinan itu. "Kenapa Bapak
begitu membenciku" Apa yang pernah kuperbuat padamu?"
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Api ungu berpijar di matanya. "Kau adalah pahlawan,
Nak. Aku tak butuh alasan lain lagi."
"Aku harus pergi dalam misi ini! Aku harus bantu
teman-temanku. Itu sesuatu yang tak akan kau mengerti!"
Ehm, bos, Blackjack berkata gugup. Mengingat kita
terikat sulur-sulur tiga ratus meter di udara, kau mungkin
bisa bicara lebih manis sedikit.
Ikatan sulur-sulur anggur itu mengencang di seputar
tubuhku. Di bawah kami, van putih itu tampak makin
menjauh. Tak lama lagi ia akan menghilang dari pandangan.
"Pernahkah kuceritakan padamu kisah tentang
Ariadne?" tanya Pak D. "Putri muda jelita dari Kreta" Dia
juga senang menolong teman-temannya. Bahkan, dia pernah
menolong seorang pahlawan muda bernama Theseus, juga
putra Poseidon. Sang putri memberinya satu bola benang
rajut ajaib yang memberinya petunjuk arah untuk keluar dari
sebuah Labirin. Dan tahukah kau bagaimana Theseus
menunjukkan rasa terima kasihnya?"
Jawaban yang ingin kuberikan adalah Masa bodoh!
Tapi aku merasa jawaban itu tak akan membuat Pak D
mengakhiri ceritanya lebih cepat.
"Mereka menikah," ujarku. "Hidup bahagia selamalamanya. Tamat."
Pak D mencibir. "Tidak tepat. Theseus bilang dia ingin
menikahinya. Dia membawa putri itu menaiki kapalnya dan
berlayar menuju Athena. Di tengah perjalanan, di sebuah
pulau kecil bernama Naxos, dia ... Apa kata yang biasa
digunakan manusia masa kini" ... dia mencampakkannya.
Aku temukan putri itu di sana, kautahu. Sendiri. Patah hati.
Menangis habis-habisan. Dia telah mengorbankan
segalanya, menginggalkan semua yang dia miliki, demi
membantu seorang pahlawan muda nan perkasa yang
mencampakkannya begitu saja seperti sebuah sandal rusak."
"Itu memang salah," kataku. "Tapi itu seudah terjadi
ribuan tahun lalu. Apa hubungannya itu dengan aku?"
Pak D menatapku dingin. "Aku jatuh cinta pada
Ariadne, Nak. Aku sembuhkan luka hatinya. Dan saat dia
meninggal, aku menjadikannya sebagai istri abadiku di
Olympus. Dia masih menantiku hingga sekarang. Aku akan
kembali padanya begitu aku selesai dengan seabad hukuman
di perkemahan konyol kalian yang serasa berada di neraka."
Aku menatapnya. "Kau ... Bapak sudah menikah" Tapi
kukira kau mendapat masalah karena mengejar seorang peri
pohon?" "Maksud yang ingin kusampaikan adalah bahwa kalian
pahlawan tak pernah berubah. Kalian menuduh kami para
dewa bersikap dangkal. Kalian seharusnya melihat diri
kalian sendiri. Kalian hanya mengambil apa yang kalian
inginkan, memanfaatkan siapa pun yang kalian perlukan,
dan lantas kalian mengkhianati semua orang di sekitar
kalian. Jadi mengertilah mengapa aku tak pernah senang
dengan pahlawan. Mereka adalah kumpulan orang-orang
egois yang tak punya rasa terima kasih sedikit pun.
Tanyakan saja pada Ariadne. Atau medea. Bahkan, coba
saja tanyakan pada Zo? Nightshade."
"Apa maksud Bapak, tanyakan pada Zo??"
Dia melambaikan tangannya seperti mengusir.
"Pergilah. Itu teman-teman konyolmu itu."
Sulur-sulur pun melepas belitan seputar kakiku.
Aku mengerjapkan mata tak percaya. "Kau ... Bapak
membiarkannku pergi" Begitu saja?"
"Ramalan itu menyebutkan setidaknya dua dari kalian
akan mati. Barangkali aku beruntung dan kau termasuk
salah satunya. Tapi ingat kata-kataku, Putra Poseidon, hidup
atau mati, kau tak akan lebih baik dari pahlawan-pahlawan
bajingan lainnya." Bersamaan dengan itu, Dionysus menjentikkan jarinya.
Sosoknya melipat seperti pajangan kertas. Ada bunyi pop
dan dia pun menghilang, meninggalkan bau samar anggur
yang dengan cepat terhapus oleh hembusan angin.
Nyaris saja, ujar Blackjack.
Aku mengangguk, meski jadi berpikir bahwa aku tak
akan secemas ini jika saja Pak D menyeretku kembali ke
perkemahan. Fakta bahwa dia membiarkanku pergi
menunjukkan dia benar-benar meyakini bahwa kemungkinan besar kami akan hancur lebur dalam misi ini.
"Ayo, Blackjack," seruku, berusaha terdengar bersemangat. "Akan kubelikan kau donat di New Jersey."
Ternyata nantinya, aku tidak jadi membelikan Blackjack
donat di New Jersey. Zo? berkendara terus ke selatan seperti
orang sinting, dan kami hendak memasuki Maryland saat
dia akhirnya berhenti di tempat pemberhentian. Blackjack
nyaris terjatuh dari langit, saking letihnya.
Aku baik-baik saja, Bos, ujarnya terengah-engah.
Hanya ... hanya ambil napas.
"Berhentilah di sini," kataku padanya. "Aku akan
melihat-lihat." "Berhenti di sini," bagus itu. Aku bisa melakukannya.
Kukenakan topi tak kasat mataku dan berjalan
memasuki toko. Sulit untuk tak sembunyi-sembunyi. Aku
harus mengingatkan diriku sendiri bahwa tak ada siapa pun
yang bisa melihatku. Namun, itu pun sukar dilakukan karena
aku juga harus ingar untuk menyingkir dari arah jalan
orang-orang agar mereka tak menabrakku.
Aku berpikir aku akan masuk ke dalam dan menghangatkankan diri, barangkali sekalian mengambil segelas
cokelat panas atau semacamnya. Aku punya sedikit uang
receh dalam sakuku. Aku bisa meninggalkannya di konter.
Aku bertanya-tanya apakah gelas itu akan berubah tak kasat
mata saat aku memegangnya, atau apakah aku harus
berurusan dengan masalah cokelat panas terbang, ketika
seluruh rencanaku tiba-tiba dirusak oleh Zo?, Thalia,
Bianca, dan Grover yang melangkah keluar dari toko.
"Grover, apa kau yakin?"
"Yah ... cukup yakin. Sembilan puluh sembilan persen.
Oke, delapan puluh lima persen."
"Dan kau melakukannya dengan biji pohon ek?" tanya
Bianca, seolah dia tak bisa memercayainya.
Grover tampak tersinggung. "Itu adalah mantra
penelusuran jejak yang sudah jadi tradisi. Maksudku, aku
cukup yakin aku melakukannya dengan benar."
"D.C. kan hampir seratus kilometer dari sini," ujar
Bianca. "Nico dan aku ..." Dia mengernyitkan dahi. "Kami
dulu pernah tinggal di sana. Itu ... itu aneh. Aku sudah lupa
sama sekali." "Aku tak suka ini," ucap Zo?. "Kita seharusnya pergi
lurus ke Barat. Ramalan menyebutkan barat."
"Oh, memangnya kemahiran memburu jejakmu lebih
baik?" geram Thalia.
Zo? maju ke depan muka Thalia. "Kau menantang
kemahiranku, dasar babu dapur" Kau tak tahu sedikit pun
bagaimana jadi Pemburu!"
"Oh, babu dapur" Kau menyebut aku babu dapur"
Ejekan macam apa itu?"
"Woi, kalian berdua," Grover berkata gugup. "Ayolah.
Jangan bertengkar lagi!"
"Grover benar," kata Bianca. "D.C. adalah perkiraan
terbaik kita." Zo? tidak tampak yakin, tapi dia mengangguk dengan
Menyingkap Karen 8 Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bego 6
anak Ares itu memegang senjata dan gadis Pemburu itu
tampak seperti akan segera menukarkan bola basketnya
dengan busur dan panah. "Aku akan melerai mereka," kata Thalia. "Kau
berkeliling saja ke sekitar kabin-kabin. Beritahukan semua
orang tentang pertandingan tangkap bendera besok."
"Oke. Kau seharusnya jadi kapten regu."
"Tidak, tidak," ujarnya. "Kau sudah lebih lama di
kemah. Kau saja yang jadi kapten."
"Kita kan bisa, eh ... bikin wakil kapten atau semacamnya."
Thalia tampak ragu dengan ide itu, sama sepertiku, tapi
dia mengangguk. Saat dia berjalan menuju lapangan basket, aku berseru,
"Eh, Thalia." "Yeah?" "Aku minta maaf atas apa yang terjadi di Asrama
Westover. Seharusnya aku menunggu kalian saat itu."
"Tak apa, Percy. Aku mungkin juga akan melakukan
hal yang sama." Dia memindah-mindahkan berat di antara
kedua kakinya, seolah dia lagi berusaha memustuskan untuk
bicara lebih banyak atau tidak. "Kau tahu, kau pernah
menanyakan tentang ibuku dan aku agak membentakmu. Itu
hanya karena ... aku pernah kembali mencarinya setelah
tujuh tahun, dan aku menemukan kalau ibuku sudah
meninggal di Los Angeles. Dia, em ... dia peminum berat,
dan kelihatannya dia sedang berkendara larut malam sekitar
dua tahun lalu, dan ..." Thalia mengerjapkan matanya kuatkuat.
"Maafkan aku." "Yah, sebenarnya ... kami juga nggak pernah deket.
Aku kabur saat berumur sepuluh tahun. Dua tahun terbaik
dalam hidupku adalah saat aku dalam pelarian bersama
Luke dan Annabeth. Tapi tetap saja?"
"Itu sebabnya kau kesulitan mengemudikan van
matahari itu." Dia memberiku tatapan waspada. "Apa maksudmu?"
"Kau tampak begitu tegang. Kau pasti teringat akan
ibumu, jadi kau tak ingin berada di balik setir."
Aku merasa menyesal sudah mengatakan itu. Raut
muka Thalia begitu mirip dengan Zeus, sekalinya aku
melihat dewa Zeus marah besar"seolah tak lama lagi, mata
Thalia akan menembakkan listrik jutaan volt.
"Iya," gumamnya. "Iya, bisa jadi karena itu."
Dia melangkah pelan menuju lapangan, di mana
pekemah Ares dan Pemburu sedang berusaha saling bunuh
dengan pedang dan bola basket.
Kabin-kabin itu adalah kumpulan gedung teraneh yang akan
pernah kaulihat. Gedung-gedung besar bertiang-putih
kepunyaan Zeus dan Hera, Kabin Satu dan Dua, terletak di
tengah, dengan lima kabin milik para dewa di sisi kiri dan
lima kabin milik para dewi di sisi kanan, jadi susunan
gedung-gedung ini membentuk huruf U mengitari halaman
hijau di tengah dan tungku perapian daging bakar.
Aku berkeliling ke tiap kabin, memberi tahu semua
orang tentang pertandingan tangkap bendera. Kubangunkan
seorang anak Ares dari tidur siangnya dan dia berteriak
mengusirku. Saat kutanyakan padanya di mana Clarisse
berada dia bilang, "Pergi menjalani misi dari Chiron. Misi
sangat rahasia!" "Apa dia baik-baik saja?"
"Belum dengar darinya sebulan ini. Dia menghilang.
Sama kayak dirimu kalau kau nggak segera pergi dari sini!"
Kuputuskan untuk membiarkannya kembali tidur.
Akhirnya aku mendatangi Kabin Tiga, kabin Poseidon.
Itu adalah gedung rendah berwarna abu-abu yang terbuat
dari bebatuan laut, dengan kerang-kerang dan fosil-fosil
karang menempel di bebatuannya, kecuali untuk ranjang
tingkatku. Sebuah tanduk Minotaurus tergantung di dinding
sebelah bantalku. Kukeluarkan topi bisbol Annabeth dari dalam ranselku
dan menaruhnya di meja samping ranjang. Akan kuberikan
topi ini padanya saat aku menemukannya. Dan aku memang
akan menemukannya. Aku mencopot jam tanganku dan mengaktifkan
perisainya. Perisai itu berderak bising saat ia melingkat
keluar. Duri-duri Dr. Thorn telah membuat penyok
perunggunya di banyak sisi. Satu bagian penyok begitu
parahnya hingga perisai itu tak bisa membuka sempurna,
dan membuat perisai itu tampak seperti pizza dengan dua
irisan hilang. Gambar-gambar indah logamnya yang diukir
oleh saudaraku tampak rusak parah. Dalam gambar aku dan
Annabeth sedang bertarung melawan Hydra, kelihatannya
ada sebuah meteor yang membuat lubang besar di kepalaku.
Kugantung perisai itu di sangkutannya, di sebelah tanduk
Minotaurus, tapi perisai itu sekarang tampak menyedihkan
untuk dipandang. Barangkali Beckendorf dari kabin
Hephaestus dapat memperbaikinya untukku. Dia adalah
pembuat senjata paling jago di perkemahan. Aku akan
menanyakannya pada waktu makan malam.
Aku sedang memandangi perisai itu saat kudengar
suara yang aneh"gemercik air"dan kusadari ada sesuatu
yang baru di ruangan. Di belakang kabin ada sebuah kolam
besar dari batu laut abu-abu, dengan pipa corot berbentuk
seperti kepala ikan terpahat di batu. Dari mulutnya
menyembur aliran air, sebuah mata air laut mengucur ke
dalam kolam. Airnya sangat panas, karena kolam itu
mengirim kabut ke udara musim dingin layaknya sauna.
Kolam itu membuat ruangan terasa hangat dan cerah, pekat
dengan aroma laut segar. Kudekati kolam. Tak ada pesan yang menempel atau
semacamnya, tapi aku tahu ini pasti hadian dari Poseidon.
Aku memandangi airnya dan berucap, "Makasih,
Ayah." Permukaan air itu meriak. Di dasar kolam, beberapa
keping koin tampak berkilat"sekitar selusin keping
drachma emas. Kusadari apa kegunaan dari air mancur ini.
Ia adalah pengingat untuk menjaga hubungan dengan
keluargaku. Kubuka jendela terdekat, dan cahaya matahari musim
dingin membentuk pelangi di tengah kabut. Kemudian
kuambil satu koin dari dalam air panas.
"Iris, Oh Dewi Pelangi," kataku, "terimalah persembahanku."
Kulontarkan koin ke dalam kabut dan ia raib. Lalu
kusadari aku tak tahu siapa yang ingin kuhubungi pada
mulanya. Ibuku" Itu adalah perbuatan yang akan dilakukan oleh
"anak baik-baik", tapi ibu pasti belum mengkhawatirkanku.
Dia sudah terbiasa menghadapi kehilanganku selama
berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu.
Ayahku" Sudah sangat lama, hampir dua tahun, sejak
terakhir kalinya aku benar-benar bicara padanya. Tapi
nisakah kau mengirimkan pesan-Iris pada seorang dewa"
Aku belum pernah mencobanya. Apakah itu akan membuat
mereka kesal, layaknya menerima panggilan telepon
menarwarkan barang atau semacamnya"
Aku ragu. Kemudian kuputuskan pilihan.
"Tunjukkan Tyson padaku," pintaku. "Di penempaan
para Cyclops." "Kabut berdenyar, dan bayangan saudara tiriku muncul.
Dia dikelilingi kobaran api, yang pastinya bakal menjadi
masalah kalau dia bukanlah Cyclops. Dia sedang
membungkuk di atas paron, menempa sebuah bilah pedang
merah-panas. Bunga-bunga api memercik dan nyala api
berputar melingkari tubuhnya. Ada sebuah jendela
berbingkai batu pualam di belakangnya, dan jendela itu
memandang ke latar air biru gelap"dasar lautan.
"Tyson!" pekiku.
Dia tidak mendengarku pada awalnya karena bunyi
hantaman palu dan gemuruh kobaran api.
"TYSON!" Dia menoleh, dan satu mata besarnya melebar.
Wajahnya berubah merengut curiga dengan seringai di
mulutnya. "Percy!"
Dia menjatuhkan bilah pedangnya dan berlari ke
arahku, berusaha memberiku pelukan. Bayangan itu
mengabur dan aku langsung terlompat mundur. "Tyson, ini
pesan-Iris. Aku nggak benar-benar ada di sini."
"Oh." Sosoknya kembali terlihat di pandangan, tampak
malu. "Oh, aku tahu itu. Iya."
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku. "Bagaimana dengan
pekerjaanmu?" Matanya berbinar. "Senang sekali pekerjaannya!
Lihat!" Dia memungut bilah pedang panasnya dengan
tangan kosong. "Aku buat ini!"
"Itu keren banget."
"Aku tulis namaku di pedang ini. Di sini, nih."
"Hebat. Dengar, apa kau sering bicara dengan Ayah?"
Senyum Tyson memudar. "Jarang. Ayah sibuk. Dia
cemas tentang perang."
"Apa maksudmu?"
Tyson mengembuskan napas berat. Dia mengulurkan
bilan pedang itu keluar jendela, yang menghasilkan
gelembung-gelembung mendidih. Saat Tyson membawanya
kembali, logam itu tampak dingin. "Arwah-arwah laut purba
membuat masalah. Aigaios. Oceanus. Mereka itu."
Aku sedikit tahu apa yang dia bicarakan. Dia menceritakan tentang makhluk-makhluk abadi yang menguasai
lautan jauh di masa bangsa Titan masih berjaya. Sebelum
bangsa Olympia mengambil alih. Fakta bahwa mereka kini
kembali, dengan Penguasa Titan Kronos dan sekutusekutunya kembali menguat, tidaklah baik.
"Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan?" tanyaku.
Tyson menggelengka kepalanya sedih. "Kami mempersenjatai kaum putri duyung. Mereka butuh ribuan senjata
lagi untuk besok." Tyson memandangi bilah pedangnya dan
mendesah. "Arwah-arwah purba melindungi kapal yang
buruk." "Putri Andromeda?" seruku. "Kapalnya Luke?"
"Benar. Mereka membuatnya jadi sulit dicari.
Melindunginya dari badai Ayah. Kalau tidak gitu, kapal itu
pasti sudah dihancurkan Ayah."
"Memang sepantasnya dihancurkan."
Raut Tyson mencerah, seolah dia baru teringat suatu
hal. "Annabeth! Apa dia di sana?"
"Oh, yah ..." Rasanya hatiku melesak seberat bola
bowling. Bagi Tyson Annabeth sama kerennya dengan selai
kacang (dan dia jelas sangat menggemari selai kacang). Aku
tak tega untuk memberitahukannya bahwa Annabeth
menghilang. Tyson akan mulai menangis begitu parahnya
sampai-sampai dia pasti sudah akan memadamkan apinya.
"Yah, nggak ... dia nggak ada di sini sekarang."
"Sampaikan salam untuknya!" Dia berbinar. "Salam
buat Annabeth!" "Oke." Aku menahan ganjalan yang mulai mencekat
tenggorokanku. "Akan kusampaikan."
"Dan, Percy, jangan khawatirkan kapal buruknya kapal
itu menjauh." "Apa maksudmu?"
"Ke Terusan Panama! Sangat jauh dari sini."
Aku mengerutkan alis. Mengapa Luke mau membawa
kapal pesiar penuh setannya melayar jauh ke sana" Terakhir
kalinya kami bertemu dengannya, dia sedang menyusuri
Pesisir Timur, merekrut para blasteran dan melatih pasukan
monsternya. "Baiklah," ucapku, merasa tak tenang. "Itu ... bagus.
Kurasa." Di tempat penempaan, suara berat terdengar
meneriakkan sesuatu yang tak tertangkap olehku. Tyson
berjengit. "Harus kembali kerja! Bos akan marah. Semoga
beruntung, Saudara!"
"Oke, bilang pada Ayah?"
Tapi sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku,
bayangan itu bergetar dan menghilang. Aku kembali
sendirian dalam kabinku, merasa lebih kesepian dari
sebelumnya. *** Aku merasa sangat sedih pada waktu makan malam.
Maksudku, makanannya sangat enak seperti biasanya.
Kau tak mungkin menemui masalah dengan daging
panggang, piza, dan gelas-gelas soda yang tak pernah habis.
Obor dan tungku perapian menjaga paviliun kuar tetap
hangat, tapi kami semua harus duduk bersama teman-teman
satu kabin, yang itu artinya aku sendirian di meja Poseidon.
Thalia duduk sendiri di meja Zeus, tapi kami tak bisa duduk
bersama. Peraturan kemah. Setidaknya kabin Hephaestus,
Ares, dan Hermes ada beberapa orang masing-masing. Nico
duduk bersama Stoll Bersaudara, oleh karena pekemah baru
selalu terdampar di kabin Hermes kalau orangtua Olympia
mereka belum diketahui. Stoll Bersaudara kelihatannya
sedang berusaha meyakinkan Nico bahwa poker adalah
permainan yang jauh lebih asyik daripada Mythomagic.
Kuharap Nico tak punya uang untuk dipertaruhkan.
Satu-satunya meja yang tampak benar-benar meriah
hanya meja Artemis. Para Pemburu minum, makan, dan
tertawa-tawa layaknya satu keluarga besar bahagia. Zo?
duduk di ujung meja seperti sang ibu anak-anak. Dia tidak
tertawa sebanya anak-anak lain, tapi dia sesekali tersenyum.
Hiasan perak lambang wakil Dewi Artemis berkelip
menghiasi kepangan-kepangan hitam rambutnya. Kukir dia
terlihat jauh lebih manis saat tersenyum. Bianca di Angelo
tampak begitu senang. Dia sedang mencoba belajar cara
beradu panco dengan gadis berbadan besar yang tadi
menyulut perkelahian dengan anak Ares di lapangan basket.
Gadis yang lebih besra terus-terusan mengalahkannya, tapi
Bianca sepertinya merasa asyik-asyik saja.
Saat kami selesai makan, Chiron mengajukan sulang
rutin pada para dewa dan secara formal menyambut
kedatangan para Pemburu Artemis. Tepuk tangan terdengar
diberikan setengah hati. Kemudian Chiron mengumumkan
tentang permainan tangkap-bendera "persahabatan" untuk
besok malam, yang disambut dengan tepuk tangan lebih
meriah. Setelahnya, kami semua berjalan pelan menuju kabin
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masing-masing untuk waktu tidur musim dingin yang lebih
awal. Aku sangat letih, yang artinya aku jatuh tertidur
dengan mudahnya. Itu bagian baiknya. Bagian buruknya
adalah, aku mendapat mimpi buruk, dan bahkan untuk
ukuranku, mimpi itu sangat mengejutkan.
Annabeth sedang berdiri di sisi bukit yang gelap,
diselubungi kabut. Tempatnya tampak hampir seperti Dunia
Bawah Tanah, karena aku langsung merasakan desakan
klaustrofobia dan aku tak dapat melihat langit di atas"
hanya kegelapan yang begitu dekat dan berat, seolah aku
sedang berada di dalam gua.
Annabeth berjuang menaiki bukit. Puing-puing tiang
pualam hitam Yunani kuno berserakan, seolah ada yang
meledakkan sebuah bagunan besar hingga hancur.
"Thorn!" teriak Annabeth putus asa. "Di mana kau"
Kenapa kau bawa aku ke sini?" Dia mendaki pelan melewati
runtuhan tembok hingga sampai ke puncak bukit.
Napasnya tertahan. Di sana ada Luke. Dan dia sedang kesakitan.
Dia berbaring di tanah berbatu, berusaha untuk bangkit.
Kegelapan tampak lebih pekat di sekitarnya, kabut berputarputar mengelilinginya dengan liar. Pakaiannya tercabikcabik dan wajahnya penuh luka goresan dan banjir keringat.
"Annabeth!" panggilnya. "Tolong aku! Kumohon!"
Annabeth berlari menujunya.
Aku mencoba berteriak: Dia pengkhianat! Jangan
percaya padanya! Tapi suaraku tak terdengar dalam mimpi.
Ada air mata menggenangi mata Annabeth. Dia
membungkuk seolah ingin menyentuh wajah Luke, tapi
pada detik terakhir dia mengurungkannya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Mereka meninggalkanku di sini," erang Luke.
"Tolong. Ia bisa membunuhku."
Aku tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Sepertinya
Luke berjuang keras melawan sebuah kutukan tak kasat
mata, seolah kabut itu mencekiknya hingga sekarat.
"Kenapa aku harus mempercayaimu?" tanya Annabeth.
Suaranya begitu terluka. "Kau memang tak seharusnya mempercayaiku," ujar
Luke. "Aku sudah berbuat buruk padamu. Tapi kalau kau
tidak menolongku, aku akan mati."
Biarkan dia mati, aku ingin sekali berteriak. Luke telah
sering kali mencoba membunuh kami dengan begitu
kejinya. Dia tak pantas mendapat bantuan sedikit pun dari
Annabeth. Kemudian kegelapan yang menaungi Luke mulai
runtuh, seperti atap gua diguncang gempa. Bongkahan besar
batu-batu hitam mulai berjatuhan. Annabeth segera turun
tangan tepat saat sebuah retakan muncul. Dan seluruh langitlangit roboh. Entah bagaimana dia menahannya"berton-ton
batu. Annabeth menahannya dari terjatuh menimpa dirinya
dan Luke, hanya dengan kekuatannya sendiri. Itu mustahil.
Dia mestinya tak bisa melakukannya.
Luke berguling membebaskan diri, sambil terengah.
"Makasih," ucapnya akhirnya.
"Bantu aku menahan ini," Annabeth mengerang.
Luke mengumpulkan napas. Wajahnya penuh debu dan
keringat. Dia bangkit dengan goyah.
"Aku tahu aku bisa mengandalkanmu." Luke mulai
melangkah pergi saat kegelapan yang bergetar itu nyaris
meremukkan Annabeth. "TOLONG AKU!" pintanya.
"Oh, jangan khawatir," ujar Luke. "Bantuanmu akan
segera tiba. Ini semua bagian dari rencana. Sementara itu,
berusahalah untuk tak mati.
Langit-langit kegelapan mulai kembali ambruk,
menindih Annabeth ke tanah.
Aku tersentak bangkit dari tempat tidurku, mencengkeram
seprai kuat-kuat. Tak ada suara di kabinku kecuali gemercik
mata air laut. Jam di meja tidurku menunjukkan waktu baru
lewat tengah malam. Hanya mimpi, tapi aku yakin akan dua hal: Annabeth
terancam bahaya besar. Dan Luke adalah penyebabnya.[]
Esok paginya usia sarapan, kuceritakan pada Grover
tentang mimpiku. Kami sedang duduk di padang rumput
memandangi para satir mengejar-ngejar peri pohon di
tengah salju. Para peri telah berjanji untuk memberi kecupan
pada satir kalau mereka berhasil tertangkap, tapi mereka
jarang sekali tertangkap. Biasanya si peri akan membiarkan
satir bersiap lari kencang, kemudian ia akan mengubah diri
jadi pohon berselimut salju dan satir malang itu akan
menabraknya dengan kepala terlebih dulu dan sebuah
gundukan salju akan jatuh menimpanya.
Saat kuberitahu Grover tentang mimpi burukku, dia
mulai memainkan jemarinya pada bulu kakinya yang kusut.
"Langit-langit gua jatuh menimpanya?" tanyanya.
"Iya. Sebenarnya apa artinya itu?"
Grover menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu.
Tapi setelah apa yang Zo? mimpikan?"
"Hei. Apa maksudmu" Zo? mengalami mimpi kayak
gitu?" "Aku ... aku nggak tahu, persisnya. Sekitar pukul tiga
dini hari ini dia mendatangi Rumah Besar dan menuntut
untuk bicara dengan Chiron. Dia tampak sangat panik."
"Tunggu, bagaimana kau bisa tahu ini?"
Grover merona. "Aku sempat emm yah semacam ...
berkemah di luar kabin Artemis."
"Buat apa?" "Hanya buat, kau tahulah, berada di dekat mereka."
"Kau penguntit berkuku kambing."
"Bukan! Omong-omong, aku mengikutinya masuk
Rumah Besar dan bersembunyi di semak-semak dan melihat
semuanya. Dia begitu marah saat Argus nggak
membiarkannya masuk. Itu pemandangan yang agak
berbahaya." Aku mencoba membayangkannya. Argus adalah kepala
keamanan perkemahan"seorang pria besar rambut pirang
dengan banyak mata memenuhi sekujur tubuhnya. Dia
jarang menampakkan diri kecuali sesuatu yang serius
sedang terjadi. Aku tak ingin bertaruh siapa yang bakal
menang dalam pertarungan antara pria itu melawan Zo?
Nightshade. "Apa yang dia katakan?" tanyaku.
Grover mengernyit. "Yah, Zo? mulai bicara dengan
logat betul-betul kunonya kalau lagi marah, jadi nggak
mudah untuk memahaminya. Tapi intinya sesuatu tentang
Artemis yang sedang terancam bahaya dan membutuhkan
para Pemburu. Dan kemudian dia menyebut Argus sebagai
anak muda dengan otak-mendidih ... kurasa itu sebutan yang
buruk. Dan kemudian Argus menyebut Zo??"
"Woii, tunggu sebentar. Kenapa Artemis bisa berada
dalam bahaya?" "Aku ... yah, akhirnya Chiron keluar dengan
piayamanya dan ekor kudanya yang terikat alat pengeriting
dan?" "Dia mengenakan alat pengeriting di ekornya?"
Grover menutup mulutnya. "Maaf," kataku. "Teruskan."
"Yah, Zo? bilang kalau dia butuh izin untuk meninggalkan kemah secepatnya. Chiron menolak. Dia mengingatkan Zo? kalau para Pemburu seharusnya berada di sini
sampai mereka menerima perintah dari Artemis. Dan Zo?
bilang ..." Grover menelan ludah. "Zo? bilang "Bagaimana
kami bisa menerima perintah dari Artemis kalau Artemis
tersesat?"" "Apa maksudmu tersesat" Kayak dia butuh petunjuk
arah, gitu?" "Bukan. Kurasa maksudnya Artemis menghilang.
Diambil. Diculik." "Diculik?" Aku berusaha memikirkan itu. "Bagaimana
kau bisa menculik seorang dewi yang hidup kekal" Apakah
itu bahkan memungkinkan?"
"Yah, bisa saja. Maksudku, toh itu pernah terjadi pada
Persephone." "Tapi dia kan, Dewi Kembang."
Grover tampak tersinggung. "Musim semi."
"Apa aja deh. Artemis jauh lebih kuat dari itu. Siapa
yang bisa menculiknya" Dan untuk apa?"
Grover menggeleng muram. "Aku nggak tahu.
Kronos?" "Dia nggak mungkin sudah sekuat itu. Atau bisakah?"
Terakhir kalinya kami melihat Kronos, dia masih
berwujud keping-keping kecil. Yah ... sebenarnya kami tak
benar-benar bertemu dengannya. Ribuan tahun lalu, usai
peperangan besar Titan melawan Dewa, para dewa telah
memotong-motongnya jadi serpihan dengan sabit besarnya
sendiri dan menebarkan sisa-sisa tubuhnya ke Tartarus,
jurang yang bagai tempat sampah tak berdasar milik para
dewa khusus untuk membuang musuh-musuh mereka.
Musim panas dua tahun lalu, Kronos telah mengelabui kami
menuju pinggir lubang dan hampir menarik kami masuk ke
dalam. Kemudian musim panas kemarin, di atas kapal pesiar
iblis milik Luke, kami melihat peti mati emas. Luke
mengatakan dengan peti itu dia memanggil Penguasa Titan
keluar dari kedalaman, sedikit demi sedikit, setiap kali
seseorang baru terekrut dalam misinya, Kronos bisa
memengaruhi orang-orang dengan mimpi-mimpi dan
mengelabui mereka, tapi aku tak tahu bagaimana secara fisik
dia bisa mengalahkan Artemis jika dia masih berwujud
seperti gundukan kulit pohon busuk yang jahat.
"Aku nggak tahu," kata Grover. "Kurasa orang akan
tahu jika Kronos sudah mewujud kembali. Para dewa akan
lebih gelisah. Tapi tetap saja, rasanya aneh, kau mengalami
mimpi buruk di malam yang sama dengan Zo?. Ini hampir
seperti?" "Keduanya berkaitan," kataku.
Di seberang padang beku, seorang satir berseluncur
dengan kuku-kuku kambingnya saat dia mengejar seorang
peri pohon rambut merah. Peri itu terkekeh dan
merentangkan kedua tangannya saat si satir itu berlari
menujunya. Pop! Peri itu berubah jadi sebatang pinus dan
sang satir pun mencium batang pohonnya dengan kecepatan
tinggi. "Ah, cinta," ujar Grover melamun.
Aku memikirkan tentang mimpi Zo?, yang dialaminya
hanya selang beberapa jam setelah mimpiku.
"Aku harus bicara dengan Zo?," kataku.
"Em, sebelum kau pergi bicara ..." Grover menarik
sesuatu dari dalam saku mantelnya. Itu adalah pajangan
kertas lipat-tiga seperti brosur perjalanan. "Kau ingat apa
yang kaukatakan"tentang betapa anehnya para Pemburu itu
tiba-tiba saja muncul di Asrama Westover" Kurasa mereka
mungkin mencari kita."
"Mencari kita" Apa maksudmu?"
Dia menyodorkan brosurnya padaku. Brosur itu tentang
para Pemburu Artemis. Bagian depannya bertulisan,
PILIHAN BIJAK UNTUK MASA DEPANMU! Di
dalamnya memuat gambar-gambar gadis muda sedang
melakukan beraneka kegiatan berburu, mengejar monster,
menembakkan panah. Ada tulisan seperti: JAMINAN
KESEHATAN: KEABADIAN DAN MANFAATNYA
BUATMU! dan MASA DEPAN BEBAS LAKI-LAKI!
"Aku menemukannya di dalam ransel Annabeth," kata
Grover. Aku memandanginya. "Aku nggak ngerti."
"Yah, menurutku sih ... sepertinya Annabeth sedang
berpikir untuk ikut bergabung."
*** Aku ingin bilang bahwa aku menerima berita itu dengan
cukup baik. Sebenarnya adalah, aku ingin sekali mencekik gadisgadis abadi Pemburu Artemis satu per satu. Sisa hari itu
kuhabiskan dengan berusaha menyibukkan diri, tapi aku
sangat mencemaskan Annabeth. Aku pergi ke kelas lempar
lembing, tapi pekemah Ares yang bertanggung jawab
mengajar kelas itu mengusirku pergi setelah kosentrasiku
buyar dan menembakkan lembing itu ke sasaran sebelum dia
menyingkir dari pandangan. Aku meminta maaf atas lubang
di celananya, tapi dia tetap mengusirku.
Aku mengunjungi istal pegasus, tapi Silena Beauregard
dari kabin Aphrodite sedang beradu argumen dengan salah
satu Pemburu, dan aku putuskan lebih baik untuk tak ikut
campur. Setelah itu, aku duduk di tribune kosong kereta tempur
dan merenung gelisah. Di lapangan penahan di bawah sana,
Chiron sedang memberi latihan menembak. Aku tahu dia
akan jadi orang terbaik untuk kuajak bicara. Barangkali dia
bisa memberiku sedikit nasihat, tapi sesuatu menahanku.
Aku mendapat firasat Chiron akan mencoba melindungiku,
seperti yang biasa dia lakukan. Dia mungkin tak akan
membeberkan semua yang dia ketahui.
Aku memandang ke arah lain. Di puncak Bukit
Blasteran, Pak D dan Argus sedang memberi makan bayi
naga yang menjaga Bulu Domba Emas.
Kemudian sesuatu segera menyentakkan benakku: tak
ada seorang pun yang berada di Rumah Besar. Namun ada
seseorang lagi yang lain ... sesuatu yang lain yang bisa
kumintai petunjuk. Darahku menderum di telinga saat aku berlari
memasuki rumah dan menaiki anak tangga. Baru sekali aku
melakukan hal ini sebelumnya, dan aku masih berkali-kali
mengalami mimpi buruk tentangnya. Kubuka pintu
tingkapnya dan melangkah masuk loteng.
Ruang loteng tampak begitu gelap dan berdebu dan
penuh dengan barang rongsokan, persis seperti ingatanku.
Ada beberapa perisai dengan moncong gigitan monster
menjorok keluar, dan pedang-pedang yang meliuk
membentuk kepala iblis, dan sekumpulan bangkai yang
diawetkan, seperti kulit harpy yang diisi ulang den seekor
ular piton berwarna jingga terang.
Di dekat jendela, duduk di bangku berkaki tiga, tampak
mumi kering seorang wanita tua dalam balutan gaun hipple
bertinta-celup. Sang Oracle.
Aku memaksa diriku berjalan mendekatinya. Aku
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menanti hingga kabut hijau menguar dari mulut sang mumi,
seperti kejadian sebelumnya, tapi tak ada apa pun yang
terjadi. "Hai," kataku. "Eh, ada kabar apa?"
Aku mengernyit menyadari betapa terdengar bodohnya
itu. Tak mungkin ada "kabar-kabar baru" kalau kau sudah
mampus dan mendekam di loteng. Tapi aku tahu arwah sang
Oracle bergentayangan di sana. Aku bisa merasakan
kehadiran yang dingin di ruangan, seperti ular yang tidur
meringkuk. "Aku punya pertanyaan," ucapku sedikit lebih lantang.
"Aku perlu tahu tentang Annabeth. Bagaimana aku bisa
menyelamatkannya?" Tak ada jawaban. Sinar matahari membias melewati
jendela loteng yang kotor, menerangi partikel-partikel debu
yang menari di udara. Aku menunggu lebih lama. Lantas amarahku bangkit. Aku sedang tak diacuhkan
oleh sesosok mayat. "Oke," ujarku. "Baiklah kalau gitu. Aku akan mencari
tahu sendiri." Aku berbalik dan membentur meja besar penuh suvenir.
Sepertinya meja itu lebih berantakan dari terakhir kalinya
aku di sini. Para pahlawan menyimpan semua jenis barang
di loteng: berbagai tropi misi yang tak lagi ingin mereka
simpan di kabin mereka, atau barang-barang yang
menyimpan kenangan menyedihkan. Aku tahu Luke pernah
menyimpan sebuah cakar beruang di sekitar sini"cakar
yang menorehkan codet di wajahnya. Ada sebuah pedang
dengan gagang patah berlabel: Ini patah dan Leroy
terbunuh. 1999. Kemudian kusadari ada sehelai syal sutra merah jambu
dengan label menempel padanya. Aku memungut label itu
dan mencoba membacanya: SYAL DEWI APHRODITE DITEMUKAN DI WATERLAND, DENVER, CO.,
OLEH ANNABETH CHASE DAN PERCY JACKSON
Kupandangi syal itu. Aku sudah lupa sama sekali akan
adanya syal itu. Dua tahun lalu, Annabeth merenggut syal
ini dari tanganku dan mengatakan sesuatu seperti, Nggak
boleh. Jangan dekat-dekat sihir cinta itu!
Kukira Annabeth membuangnya begitu saja. Tapi
ternyata barang itu ada di sini. Dia menyimpannya selama
ini" Dan mengapa dia menaruhnya di loteng"
Aku berpaling pada mumi. Dia belum bergerak, namun
bayang-bayang di wajahnya membuatnya tampak seolah dia
tersenyum dengan mengerikan.
Kujatuhkan syal itu dan berusaha untuk tak berlari
pontang-panting ke pintu keluar.
Malam itu seusai makan malam, aku sudah sangat siap
untuk mengalahkan para Pemburu pada permainan tangkap
bendera. Itu akan jadi permainan kecil-kecilan: hanya tiga
belas Pemburu, termasuk Bianca di Angelo, dan pekemah
dengan jumlah yang kira-kira sama dengan mereka.
Zo? Nightshade tampak gusar. Dia terus-terusan
memandangi Chiron dengan tatapan benci, seolah tak
percaya dia dipaksa Chiron melakukan hal ini. Para
Pemburu lain juga tak tampak bersemangat. Tak seperti
malam kemarin, mereka tak ketawa atau bercanda sesama
mereka. Mereka hanya duduk mengumpul di paviliun
makan, saling berbisik gelisah selagi mereka mempersiapkan baju tempur mereka. Sebagian dari mereka
bahkan tampak seperti habis menangis. Kurasa Zo? telah
menceritakan pada mereka akan mimpi buruknya.
Dalam tim kami, kami memiliki Beckendorf dan dua
anak Hephaestus lain, beberapa anak dari kabin Ares (meski
masih terasa aneh Clarisse tak berada di sana), Stoll
bersaudara dan Nico dari kabin Hermes, dan beberapa anak
Aphrodite. Rasanya aneh kabin Aphrodite mau ikutan main.
Biasanya mereka hanya duduk-dudk di pinggiran, sambil
ngobrol, dan menekuni bayangan diri mereka di sungai atau
semacamnya, tapi saat mereka mendengar kami akan
bertarung melawan para Pemburu, mereka begitu antusias
untk turut serta. "Akan kutunjukkan oada mereka "bagaimana cinta itu
tak berarti"," Silena Beauregard menggerutu sembari
mengencangkan baju zirahnya. "Akan kuhabisi mereka!"
Sisanya adalah Thalia dan aku sendiri.
"Aku akan ambil posisi menyerang," Thalia
mengajukan diri. "Kau ambil pertahanan."
"Oh." Aku ragu, karena tadinya aku baru ingin
mengucapkan hal yang sama, hanya kebalikannya.
"Tidakkah menurutmu dengan perisaimu dan lainnya, kau
lebih baik di posisi bertahan?"
Thalia sudah memegang Aegis di lengannya, dan
bahkan teman-teman satu tim kami berjengit darinya,
berusaha tak mundur ketakutan menghadapi Medusa
berkepala perunggu itu. "Yah, kupikir perisai ini bakal lebih menguatkan
serangan," kata Thalia. "Lagi pula, kau sudah lebih terlatih
dalam pertahanan." Aku tak yakin apa dia menggodaku. Aku punya
pengalaman yang buruk dengan pertahanan dalam
permainan tangkap bendera ini. Tahun pertamaku, Annabeth
menempatkanku di luar sebagai umpan, dan aku hampir saja
digorok sampai mati dengan berbagai tombak dan dibunuh
oleh seekor anjing neraka.
"Baiklah, nggak masalah," aku berbohong.
"Bagus." Thalia berbalik untuk membantu beberapa
anak Aphrodite, yang sedang kesulitan mengepas baju
zirahnya tanpa mematahkan kuku mereka. Nico di Angelo
berlari ke arahku dengan seringai lebar di wajahnya.
"Percy, ini keren banget!" Helm perunggu dengan
sehelai biru-birunya merosot menutupi matanya, dan
lempengan dadanya sekitar enam ukuran terlalu besar
untuknya. Aku bertanya-tanya apakah aku tampak sekonyol
itu saat pertama kalinya aku datang. Sayangnya,
kemungkinan begitu. Nico mengangkat pedangnya dengan segenap kekuatan.
"Apa kita boleh bunuh tim lain?"
"Yah ... tidak."
"Tapi para Pemburu itu kekal, kan?"
"Itu hanya kalau mereka tidak kalah dalam
pertempuran. Lagi pula?"
"Rasanya asyik banget kalau kita bisa, kayak,
dibangkitkan kembali begitu kita terbunuh, supaya kita bisa
terus bertarung, dan?"
"Nico, ini serius. Ini pedang-pedang betulan. Bisa
melukaimu." Dia memandangiku, sedikit kecewa, dan kusadari baru
saja aku terdengar persis seperti ibuku. Wow. Bukan
pertanda baik. Kutepuk pundak Nico. "Hei, nggak apa-apa kok.
Pokoknya ikuti tim. Menjauhlah dari Zo?. Kita bakal
bersenang-senang." Kaki-kaki kuda Chiron berderap melintasi lantai
paviliun. "Para pahlawan!" panggilnya. "Kalian tahu peraturannya! Sungai adalah garis batasan. Tim biru"
Perkemahan Blasteran"akan mengambil sisi barat hutan.
Pemburu Artemis"tim merah"akan mengambil sisi timur
hutan. Aku akan bertugas sebagai wasit dan petugas medis
lapangan. Dimohon, jangan ada penganiayaan yang
disengaja! Semua barang-barang sihir diperbolehkan.
Siapkan posisi kalian!"
"Asyik," Nico berbisik di sebelahku. "Barang sihir
kayak gimana" Aku dapat juga nggak?"
Aku baru mau mengungkapkan padanya bahwa dia tak
bakal dapat, saat Thalia berseru, "Tim biru! Ikuti aku!"
Mereka bersorak dan mengikuti. Aku harus berlari agar
tertinggal, dan malah tersandung oleh perisai seseorang, jadi
aku tak tampak seperti wakil kapten sama sekali. Lebih
seperti orang idiot. Kami pasang bendera kami di puncak Kepalan Zeus.
Sebenarnya ia adalah kumpulan bongkah batu di tengahtengah area barat hutan yang, kalau kau perhatikan dari arah
yang pas, ia akan tampak seperti kepalan tinju raksasa yang
menyeruak dari dalam tanah. Dan jika kaulihat kumpulan
batu ini dari arah mana pun, ia akan tampak bagai gundukan
besar kotoran rusa, tapi Chiron tak akan mengizinkan kami
menyebut tempat itu Gundukan Pup, terutama karena tempat
itu sudah diberi nama buat Zeus, yang tak terlalu punya
selera humor. Omong-omong, itu adalah tempat yang baik untuk
menancapkan bendera. Puncak batunya setinggi enam meter
dan sulit buat dipanjat, sehingga benderanya jelas kelihatan,
sesuai bunyi peraturan, dan tidak masalah penjaga tidak
diperbolehkan berdiri dalam jarak sepuluh meter darinya.
Aku suruh Nico bertugas jaga menemani Beckendorf
dan Stoll bersaudara, berpikir dengan begitu Nico akan
aman dari pertandingan. "Kami akan kirimkan umpan tipuan ke arah kiri,"
Thalia memberi tahu tim. "Silena, kau pimpin tugas itu."
"Siap!" "Bawa serta Laurel dan Jason. Mereka pelari yang baik.
Berlarilah membentuk setengah lingkaran di sekitar
Pemburu, pikat mereka sebanyak yang kaubisa. Aku akan
umpani pihak inti tim itu ke arah kanan dan menyergap
mereka diam-diam." Semua mengangguk. Kedengarannya sih rencana yang
bagus, dan Thalia mengutarakannya dengan begitu percaya
diri hingga kau teryakini bahwa rencana itu pasti berhasil.
Thalia memandangiku. "Ada yang ingin ditambahkan,
Percy?" "Em, iya. Kuatkan pertahanan. Kita punya empat
penjaga, dua pengintai. Itu nggak cukup buat hutan yang
luas. Aku akan berjaga dengan pindah-pindah. Teriaklah
kalau kalian butuh pertolongan."
"Dan jangan tinggalkan pos masing-masing!" kata
Thalia. "Kecuali kalau kalian melihat adanya peluang emas,"
tambahku. Thalia memberengut. "Pokoknya jangan tinggalkan pos
kalian." "Betul, kecuali?"
"Percy!" Dia menyentuh lenganku dan mengejutkanku.
Maksudku, semua orang bisa saja memberi kejutan statis di
musim dingin, tapi bila Thalia yang melakukannya, itu
menyakitkan. Kurasa itu karena ayahnya adalah dewa petir.
Thalia sudah dikenal suka membakar habis alis mata orangorang.
"Maaf," ucap Thalia, meski dia tak terdengar merasa
bersalah. "Sekarang, apa semuanya sudah jelas semua?"
Semua mengangguk. Kami memecah dalam kelompokkelompok yang lebih kecil. Bunyi trompet terdengar, dan
pertandingan pun dimulai.
Kelompok Silena menghilang di sisi kiri hutan. Thalia
menunggu waktu beberapa detik, sebelum melesat pergi ke
arah kanan. Aku menunggu sesuatu terjadi. Aku memanjat Kepalan
Zeus dan mendapat pemandangan hutan yang cukup luas.
Aku teringat bagaimana para Pemburu menghambur keluar
dari hutan saat mereka bertarung melawan manticore, dan
aku sudah menyiapkan diri untuk sesuatu seperti itu"satu
terjangan besar yang dapat membuat kami kewalahan. Tapi
tak ada apa pun yang terjadi.
Aku melihat sekelebat sosok Silena dan dua
pengintainya. Mereka berlari ke daerah hutan yang kosong,
diikuti oleh lima Pemburu, mengarahkan mereka memasuki
hutan dan menjauh dari Thalia. Rencana sepertinya berjalan
dengan baik. Lalu kudapati beberapa Pemburu lain
mengarah ke kanan, dengan busur siaga. Mereka pasti sudah
melihat Thalia. "Apa yang terjadi?" Nico mendesak, berusaha untuk
memanjat ke sebelahku. Pikiranku berpacu. Thalia tak akan berhasil, tapi para
Pemburu terbagi dua. Dengan begitu banyak Pemburu di
dua sisi, pusat mereka pasti lengang. Kalau aku bergerak
cepat ... Kupandangi Beckendorf. "Kalian bisa menjaga
pertahanan?" Beckendorf mendengus. "Tentu saja."
"Aku akan masuk."
Stoll bersaudara dan Nico bersorak saat aku berlari
menuju garis batas. Aku berpacu dengan kecepatan tinggi dan aku merasa
hebat. Kuseberangi danau memasuki wilayah musuh. Aku
bisa lihat bendera perak mereka di depan, hanya satu
penjaga, yang bahkan tak melihat ke arahku. Kudengar
suara perkelahian di sisi kiri dan kananku, suatu tempat di
hutan. Ini mudah sekali. Penjaga berpaling pada menit terakhir. Itu adalah
Bianca di Angelo. Matanya membeliak saat aku
menghantamnya dan dia terjungkang ke salju.
"Maaf!" teriakku. Aku menarik turun bendera sutra
peraknya dari pohon dan pergi.
Aku sudah beranjak sepuluh meter dari situ sebelum
Bianca berhasil teriak meminta bantuan. Kukira aku akan
bebas pulang dengan mudahnya.
ZIP! Sebuah kawat perak melesat melewati
pergelangan kakiku dan mengencang di pohon sebelahku.
Sebuah kawat jebakan, ditembakkan dari busur! Sebelum
aku bahkan bisa berpikir untuk berhenti, aku terjatuh keras,
terjerembab di salju.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Percy!" teriak Thalia, di sisi kiriku. "Apa yang kau
lakukan?" Sebelum dia beranjak mendekatiku, sebuah panah
meledak di kakinya dan gumpalan asap kuning menguar
menyelubungi timnya. Mereka mulai terbatuk-batuk dan
muntah. Aku bisa menghirup bau gas dari seberang hutan"
bau memuakkan sulfur. "Tidak adil!" Thalia terengah. "Panah-panah kentut
sangat nggak sportif!"
Aku bangkit dan berusaha lari lagi. Tinggal beberapa
meter lagi dari anak sungai dan aku akan memenangkan
pertandingan. Sejumlah panah lagi berdesing di balik
telingaku. Seorang Pemburu tiba-tiba muncul entah dari
mana dan mengayunkan belatinya ke arahku, tapi aku
mengelak dan terus berlari.
Aku mendengar suara teriakan dari sisi anak sungai
kami. Beckendorf dan Nico berlari ke arahku. Kukira
mereka berlari untuk menyambutku, tapi kemudian kulihat
mereka sedang mengejar seseorang"Zo? Nightshade,
berpacu ke arahku bak macan, mengelak dari para pekemah
lain dengan lincahnya. Dan dia memegang bendera kami di
tangannya. "Tidak!" pekikku, dan menambah kecepatan.
Aku sudah setengah meter dari air saat Zo? melaju ke
seberang memasuki wilayahnya, menabrakku untuk
menahan lajuku. Para Pemburu bersorak saat kedia tim
mengumpul di anak sungai. Chiron muncul dari balik hutan,
tampak muram. Di belakangnya muncul Stoll bersaudara,
dan kelihatannya keduanya seperti habis mendapat sambitan
keras di kepala. Connor Stoll memiliki dua panah mencuat
dari helmnya bagai antena.
"Para Pemburu menang!" Chiron mengumumkan tanpa
semangat. Kemudian dia menggumam, "Untuk kelima puluh
enam kali berturut-turut."
"Perseus Jackson!" teriak Thalia, menggempur ke
arahku. Dia berbau telur busuk, dan dia begitu meng-
amuknya sampai-sampai bunga-bunga api biru memercik di
baju zirahnya. Semua orang mengernyit dan mundur karena
Aegis. Dibutuhkan kekuatan besar tekadku untuk tak
beranjak mundur. "Demi dewa-dewi, apa yang sebenarnya tadi kau
PIKIRKAN?" bentaknya.
Kukepalkan tanganku. Sudah cukup banyak hal buruk
yang terjadi padaku untuk hari ini. Aku tak butuh masalah
baru ini. "Aku dapat benderanya, Thalia!" Kuacungkan
bendera itu di depan mukanya. "Kulihat peluang dan
kuambil!" "AKU TADI ADA DI WILAYAH MEREKA!" teriak
Thalia. "Tapi benderanya sudah hilang. Kalau kau nggak
ngerecokin, kita sudah akan menang."
"Terlalu banyak yang mengikutimu!"
"Oh, jadi itu salahku?"
"Aku nggak bilang begitu."
"Aaah!" Thalia mendorongku, dan sebuah kejutan
listrik menyengat tubuhku hingga menerbangkanku ke
belakang sejauh tiga meter memasuki air. Sebagian
pekemah berdengap. Dua Pemburu terkekeh.
"Maaf!" ujar Thalia, berubah pucat. "Aku nggak
sengaja?" Amarah mendengung di telingaku. Gelombang air
mengumpul dari anak sungai, menyembur ke wajah Thalia
dan membasahinya dari kepala hingga jempol.
Aku bangkit. "Yeah," geramku. "Aku juga nggak
sengaja." Thalia menghela napas berat.
"Cukup!" Chiron memerintahkan.
Tapi Thalia mengacungkan tombaknya. "Kau mau lagi,
Otak Ganggang?" Entah mengapa, aku tak masalah kalau Annabeth
memanggilku begitu"setidaknya, aku sudah terbiasa"tapi
mendengarnya dari mulut Thalia sangat menggangguku.
"Majulah, Muka Pinus!"
Kuangkat Riptide, tapi sebelum aku bisa membela
diriku sendiri, Thalia memekik, dan ledakan kilat
menyambar dari langit, melecut tombaknya bagai tangkai
pancing kilat, dan menghantam dadaku.
Aku terduduk keras. Ada bau asap; aku merasa itu
datang dari pakaianku. "Thalia!" seru Chiron. "Sudah cukup!"
Aku bangkit berdiri dan memerintahkan seisi anak
sungai untuk bangkit. Air itu melengkung ke atas, ratusan
galon air dalam pusaran besar es.
"Percy!" Chiron memohon.
Aku baru mau menggelontorkan ke arah Thalia saat aku
melihat sesuatu dari balik hutan. Aku segera kehilangan
amarah dan konsentrasiku bersamaan. Air mencebur
kembali ke dasar sungai. Thalia begitu terkejut hingga dia
berbalik untuk melihat apa yang kupandangi.
Seseorang ... seseorang berjalan mendekat. Dia
diselubungi kabut hijau tebal, tapi saat dia mendekat, para
pekemah dan Pemburu berdengap.
"Ini mustahil," ujar Chiron. Aku belum pernah
mendengarnya begitu tegang. "Dia ... dia belum pernah
meninggalkan loteng. Tidak pernah."
Namun kini, sang mumi kering pemilik Ramalan
menyeret dirinya ke depan hingga dia berdiri di tengah-
tengah kami. Kabut mengitari kaki-kaki kami, mengubah
salju jadi bercorak hijau yang memualkan.
Tak satu pun dari kami berani bergerak. Lalu suaranya
mendesis di dalam kepalaku. Sepertinya semua orang bisa
mendengarnya, karena beberapa orang mengangkat tangan
mereka ke kuping. Aku adalah arwah Delphi, ujar suara itu. Penyampai
ramalan Phoebus Apollo, penebas Piton yang berkuasa.
Sang Oracle memandangiku dengan tatapan dingin dan
matinya. Kemudian dia berpaling tanpa ragu pada Zo?
Nightshade. Mendekatlah, Pencari, dan bertanyalah.
Zo? menelan ludah. "Apa yang harus kulakukan untuk
menolong dewiku?" Mulut sang Oracle membuka, dan kabut hijau menguar
keluar. Aku melihat bayangan samar gunung, dan seorang
gadis tengah berdiri di puncaknya yang gundul. Itu adalah
Artemis, tapi dia terbelenggu rantai, yang diikatkan ke
bebatuan. Dia berlutut, kedua tangannya diangkat seolah
sedang menangkis serangan, dan sepertinya dia kesakitan.
Sang Oracle bicara: Lima akan pergi ke barat menuju dewi terantai,
Seorang akan menghilang di daratan tanpa hujan,
Amukan Olympus menunjukkan jejaknya,
Pekemah dan Pemburu bersatu akan bertahan,
Kutukan Bangsa Titan harus seorang hadapi,
Dan seorang akan binasa di tangan salah satu
orangtuanya. Kemudian, saat kami memandanginya, kabut berputar dan
menyurut seperti ular hijau besar memasuki mulut sang
mumi. Sang Oracle duduk di atas batu dan memantung
seperti saat di loteng, seolah dia bisa saja sudah duduk di
tepi sungai ini selama ratusan tahun.[]
Mestinya sang Oracle bisa jalan pulang sendiri ke loteng.
Alih-alih, Grover dan aku dipilih untuk mengangkutnya. Aku tak merasa kami terpilih karena kami
adalah anak yang paling populer.
"Awasi kepalanya!" Grover meperingatkan saat kami
menaiki tangga. Tapi sudah terlambat.
Jeduk! Aku membenturkan wajah mumi pada tingkap
kolong pintu dan debu-debu pun bertebangan.
"Ah, sial." Aku menurunkannya dan memeriksa
kerusakan. "Apa aku mematahkan sesuatu?"
"Nggak tahu deh," Grover mengakui.
Kami mengangkatnya ke atas dan meletakkanya di atas
bangku kaki tiga. Kami berdua kehabisan napas dan
bersimpah keringat. Siapa yang tahu sebuah mumi bisa
seberat itu" Aku berasumsi mumi itu tak ingin bicara denganku,
dan aku benar. Aku lega saat kami akhirnya keluar dari sana
dan menutup pintu loteng.
"Yah," seru Grover, "tadi tuh menjijikkan banget."
Aku tahu dia berusaha meringankan batinku, tapi aku
tetap merasa sedih. Seluruh pekemah akan marah padaku
yang mengakibatkan kekalahan dalam pertandingan dari
para Pemburu, dan kemudian ada ramalan baru dari sang
Oracle. Seolah arwah Delphi telah berusaha sebisa mungkin
untuk mengesampingkanku. Dia mengabaikan pertanyaanku
namun rela berjalan hampir satu kilometer untuk bicara pada
Zo?. Dan dia tidak bicara sepatah kata pun, bahkan untuk
sekedar memberi sedikit petunjuk, mengenai Annabeth.
"Apa yang akan dilakukan Chiron?" tanyaku pada
Grover. "Andai aku tahu." Dia memandang sendu ke luar
jendela tingkat dua pada bukit bergalur yang terselimuti
salju. "Aku ingin berada di luar sana."
"Mencari Annabeth?"
Grover sedikit kesulitan memusatkan perhatian padaku.
Kemudian wajahnya merona. "Oh, iya. Itu juga. Tentu saja."
"Kenapa?" tanyaku. "Apa yang kaupikirkan?"
Dia mengentakkan kakinya gelisah. "Hanya mengingat
apa yang dikatakan manticore itu, tentang Kebangkitan
Besar. Aku nggak habis pikir ... kalau semua kekuatan purba
itu bangkit, barangkali ... barangkali tidak semua dari
mereka itu jahat." "Maksudmu Pan."
Aku merasa agak egois, karena aku sudah melupakan
sama sekali tentang ambisi hidup Grover. Dewa alam liar
telah menghilang selama dua ribu tahun. Menurut rumor dia
telah meninggal, tapi para satir tak mempercayainya.
Mereka bertekad untuk menemukannya. Mereka sudah pergi
mencarinya dengan susah payah selama berabad-abad, dan
Grover yakin dialah yang akan berhasil menemukannya.
Tahun ini, dengan upaya Chiron menempatkan semua satir
dalam tugas darurat untuk mencari para blasteran, Grover
belum sempat meneruskan pencariannya. Itu pasti
membuatnya senewen. "Aku sudah membuat jejak itu membeku," ucapnya.
"Aku merasa nggak tenang, kayak aku telah mengabaikan
sesuatu yang betul-betul penting. Dia ada di luar sana. Aku
bisa merasakannya." Aku tak tahu harus berkata apa. Aku ingin
menyemangatinya, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.
Optimismeku sudah terinjak-injak dalam benaman salju di
hutan luar, bersama dengan semangat tangkap-bendera
kami. Sebelum aku bisa menanggapi, Thalia menaiki anak
tangga denga langkah berat. Dia secara resmi tak bicara
padaku saat ini, tapi dia memandangi Grover dan berkata,
"Bilang sama Percy untuk turun ke bawah."
"Kenapa?" tanyaku.
"Apa dia bilang sesuatu?" Thalia bertanya pada Grover.
"Em, dia tanya kenapa."
"Dionysus mengadakan pertemuan para kepala kabin
untuk membahas ramalan," ujarnya. "Sayangnya, itu
termasuk Percy." Pertemuan itu diadakan di sekitar meja Ping-Pong di ruang
rekreasi. Dionysus melambaikan tangannya dan menyediakan aneka camilan: Cheez Whiz, biskuit renyah,
dan beberapa botol anggur merah. Lantas Chiron
mengingatkannya bahwa anggur melanggar peraturan dan
sebagian besar dari kami masih di bawah umur. Pak D
mendesak. Dengan sekali jentikan jemarinya, anggur itu
berubah jadi Diet Coke. Tak ada yang meminumnya juga.
Pak D dan Chiron (dalam wujud berkursi roda) duduk
di satu ujung meja. Zo? dan Bianca di Angelo (yang sudah
jadi semacam asisten pribadi Zo?) duduk di ujung
seberangnya. Thalia dan Grover dan aku duduk di sepanjang
sisi kanan meja, sementara anggota penasihat kepala lain"
Beckendorf, Silena Beauregard, dan Stoll bersaudara"
duduk di sisi kiri. Anak-anak Ares mestinya juga
mengirmkan perwakilan, tapi mereka semua mengalami
cedera patah tulang (secara tak sengaja) sewaktu
pertandingan tangkap bendera, berkata para Pemburu.
Mereka semua kini beristirahat di ruang perawatan.
Zo? mengawali pertemuan dengan semangat yang
positif. "Ini benar-benar sia-sia."
"Cheez Whiz!" Grover berdengap. Dia mulai
menyibukkan diri mengambil biskuit dan bola-bola PingPong lalu sibuk menaburi bagian atasnya dengan topping.
"Tak ada waktu untuk bicara," Zo? menyambung.
"Dewi kami membutuhkan kami. Para Pemburu harus
segera pergi." "Pergi ke mana?" tanya Chiron.
"Barat!" ujar Bianca. Aku terkejut melihat betapa
berbeda Bianca tampak sekarang hanya setelah
menghabiskan seberapa hari dengan para Pemburu. Rambut
gelapnya dikepang menyerupai Zo? sekarang, sehingga kau
bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia memiliki bintikbintik yang tersebar di seputar hidungnya, dan mata
gelapnya samar-samar mengingatkanku pada seseorang
yang terkenal, tapi aku tak tahu siapa. Dia kelihatan rajin
berolahraga, kulitnya berkilat samar, seperti para Pemburu
yang lain, seolah dia mandi dengan pancuran air sinar
rembulan. "Kau sudah dengar ramalannya. Lima akan pergi
ke barat menuju dewi terantai. Kami bisa mengumpulkan
lima pemburu dan pergi."
"Benar," Zo? menyetujui. "Artemis sedang disandera!
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kita harus segera temukan dia dan membebaskannya."
"Kau kelewatan sesuatu, seperti biasa," kata Thalia.
"Pekemah dan Pemburu bersatu akan bertahan. Kita
seharusnya mengerjakan ini bersama."
"Tidak!" timpal Zo?. "Pemburu tidak membutuhkan
bantuan engkau." "Bantuan-mu," gerutu Thalia. "Sudah nggak ada lagi
orang yang menyebut engkau dalam percakapan, setidaknya
sejak tiga ratus tahun, Zo?. Ikutilah zaman."
Zo? tampak ragu, seolah dia sedang berusaha
merangkai kalimatnya dengan benar. "Mmeu. Kami tidak
membutuhkan bantuan-mmeu."
Thalia memutar bola matanya. "Lupakan sajalah."
"Yang kutakuti, ramalan itu menyebutkan bahwa kalian
memang membutuhkan bantuan kami," kata Chiron.
"Pekemah dan Pemburu harus bekerja sama."
"Betulkah begitu?" Pak D merenung, memutar Diet
Cokenya di bawah hidungnya seolah kaleng itu adalah buket
cantik. "Seseorang akan hilang. Seseorang akan binasa. Itu
terdengar sangat mengerikan, bukan" Bagaimana jika kau
gagal justru karena kau mencoba bekerja sama?"
"Pak D," desah Chiron, "dengan segala rasa hormat,
Anda berada di pihak mana?"
Dionysus mengangkat kedua alisnya. "Maaf, sobat
cenaturusku. Hanya mencoba membantu."
"Kita mestinya bekerja sama," Thalia bersikukuh. "Aku
juga nggak suka, Zo?, tapi kau tahu kebenaran ramalan. Apa
kau berani melawannya?"
Zo? mengernyit, tapi aku tahu Thalia berhasil
menyampaikan maksudnya. "Kita tak boleh menunda-nunda," Chiron memperingatkan. "Hari ini hari Minggu. Jumat ini 21
Desember, adalah titik balik matahari musim dingin."
"Oh, asyik sekali," gumam Dionysus. "Pertemuan
tahunan yang membosankan lagi."
"Artemis harus hadir pada saat titik balik matahari
musim dingin," ujar Zo?. "Dia adalah salah satu anggota
dewan yang paling vokal dalam menekan agar segera
diambil tindakan untuk mengatasi pengikut-pengikut
Kronos. Jika dia tak hadir, para dewa tak akan memutuskan
apa pun. Kita akan kehilangan satu tahun lagi masa
persiapan perang." "Apa kau menyiratkan bahwa para dewa kesulitan
mengambil tindakan, Nona Muda?" tanya Dionysus.
"Benar, Dewa Dionysus."
Pak D mengangguk. "Hanya mengecek. Kau benar,
tentu saja. Teruskan."
"Aku setuju dengan Zo?," kata Chiron. "Kehadiran
Artemis di pertemuan dewan musim dingin sangat penting.
Kita hanya memiliki waktu seminggu untuk menemu-
kannya. Dan barangkali yang lebih penting lagi: untuk
menemukan lokasi monster yang dia buru. Sekarang, kita
harus putuskan siapa yang akan berangkat dalam misi ini."
"Tiga dan dua," kataku.
Semua orang memandangiku. Thalia bahkan lupa
untuk tak mengacuhkanku. "Kita harus membawa lima orang," ujarku, merasa
rikuh. "Tiga Pemburu, dua dari Perkemahan Blasteran. Itu
sangat adil." Thalia dan Zo? bertukar pandang.
"Yah," kata Thalia. "Itu memang terdengar masuk
akal." Zo? menggerutu. "Aku akan lebih senang membawa
seluruh Pemburu. Kita akan membutuhkan kekuatan dari
jumlah yang ada." "Kalian akan menyusuri kembali jejak sang dewi,"
Chiron mengingatkannya. "Bergerak dengan cepat. Tak
diragukan lagi Artemis mengikuti bau monster langka ini,
apa pun ia, saat dia bergerak ke barat. Kalian harus
melakukan hal yang sama. Ramalan itu jelas: Amukan
Olympus menunjukkan jejaknya. Apa yang akan dikatakan
oleh pemimpinmu" "Terlalu banyak Pemburu akan
mengacaukan baunya." Kelompok kecil lebih baik."
Zo? mengambil pemukul Ping-Pong dan menekuninya
seolah dia sedang memutuskan siapa yang ingin dia pukul
terlebih dulu. "Monster ini"kutukan Olympus. Aku sudah
berburu di sisi Yang Mulia Artemis bertahun-tahun
lamanya, namun aku tetap tak tahu seperti apa kemungkinan
makhluk buas ini." Semua memandang Dionysus, kurasa itu karena dia
adalah satu-satunya dewa yang hadir dan para dewa
mestinya serbatahu. Dia sedang membolak-balik majalah
tentang anggur, namun ketika semua orang terdiam dia
mendongak. "Yah, jangan lihat aku. Aku adalah dewa muda,
ingat" Aku tidak mengikuti berita tentang semua monster
purba itu dan para titan yang membosankan. Mereka adalah
topik perbincangan yang payah di pesta."
"Chiron," kataku, "kau tak tahu sedikit pun tentang
monster ini?" Chiron mengerutkan bibirnya. "Aku punya beberapa
ide, tak satu pun ada yang baik. Dan tak satu pun yang
masuk akal. Typhon, misalnya, bisa saja sesuai dengan
deskrpsi ini. Dia jelas merupakan kutukan Olympus. Atau
monster laut Keto. Namun bila kedua monster ini yang
bangkit, kita pasti akan tahu. Mereka dalah monster-monster
laut seukuran gedung-gedung pencakar langit. Ayahmu,
Poseidon, tentu sudah akan membunyikan peringatan. Aku
takut monster ini bisa jadi lebih sukar ditemukan.
Barangkali bahkan lebih kuat."
"Spertinya bahaya besar yang akan kalian hadapi," ujar
Connor Stoll. (Aku suka bagaimana dia menyebutkan kata
kalian dan bukan kita). "Kedengarannya seperti setidaknya
dua dari lima orang akan menginggal."
"Seseorang akan menghilang di daratan tanpa hujan,"
kata Beckendorf. "Kalau aku jadi kau, aku akan jauh-jauh
dari gurun." Ada gumaman kesepakatan. "Dan kutukan bangsa Titan harus seorang hadapi,"
ucap Silena. "Apa maksudnya itu?"
Aku melihat Chiron dan Zo? bertukar pandang gugup,
namun apa pun yang tengah mereka pikirkan, mereka tidak
membaginya. "Seorang akan binasa di tangan salah satu
orangtuanya," ujar Grover di tengah-tengah gigitan Cheez
Whiz dan bola Ping-Pong. "Bagaimana itu bisa terjadi"
Orangtua siapa yang ingin membunuh anaknya?"
Ada keheningan berat menggantung di seputar meja.
Aku memandangi Thalia dan bertanya-tanya apakah dia
memikirkan hal yang sama dengan diriku. Bertahun-tahun
lalu, Chiron menerima sebuah ramalan tentang keturunan
berikutnya dari Tiga Besar"Zeus, Poseidon, atau Hades"
yang akan menginjak usia enam belas. Menurut ramalan,
anak itu akan membuat sebuah keputusan yang kelak akan
menyelamatkan atau menghancurkan keberadaan dewadewa untuk selamanya. Karenanya, Tiga Besar telah
bersumpah setelah Perang Dunia II usai untuk tak lagi
memiliki keturunan. Namun Thalia dan aku tetap terlahir,
dan kini kami berdua kian mendekati usia enam belas.
Aku teringat akan perbincangan yang kulakukan tahun
lalu bersama Annabeth. Aku bertanya padanya, jika aku
sangat berpotensi bahaya, kenapa dewa tidak membunuhku
saja. Beberapa dewa ingin membunuhmu, katanya. Tapi
mereka takut menyinggung Poseidon.
Bisakah orangtua Olympian berbalik melawan anak
blasterannya" Apakah kadang-kadang menjadi lebih mudah
hanya dengan membiarkan mereka mati" Jika pernah ada
anak-anak blasteran yang perlu khawatir tentang hal itu, itu
Thalia dan aku. Aku bertanya-tanya apakah mungkin aku
harus mengirimkan Poseidon dasi berpola kerang untuk hari
ayah setelahnya. "Akan ada kematian," Chiron memutuskan. "Itu yang
kita ketahui." "Ya, ampun!" kata Dionysus.
Semua orang menatapnya. Dia mendongak dengan
polos dari halaman-halaman majalah Wine Connoisseur.
"Ah, anggur pinot noir akan dimunculkan kembali. Jangan
pedulikan aku." "Percy benar," ucap Silena Beauregard. "Dua pekemah
harus ikut pergi." "Oh, aku tahu," timpal Zo? sinis. "Dan kurasa kau ingin
mengajukan diri?" Silena merona. "Aku tak akan pergi ke mana pun
bersama para Pemburu. Jangan padangi aku!"
"Putri Aphrodite tidak berkeinginan untuk dipandangi,"
ejek Zo?. "Apa yang akan dikatakan oleh ibu engkau?"
Silena mulai beranjak dari bangkunya, namun Stoll
bersaudara menariknya kembali.
"Hentikan," seru Beckendorf. Dia adalah anak
berbadan besar dengan suara lebih besar lagi. Dia tak
banyak bicara, namun ketika dia bicara, orang-orang akan
mendengarkan. "Mari kita mulai dengan Pemburu. Yang
mana dari kalian bertiga yang akan berangkat?"
Zo? berdiri. "Aku akan pergi, tentu saja, dan aku akan
membawa serta Phoebe. Dia adalah pelacak jejak terbaik
kami." "Cewek badan besar yang senang memukuli kepala
orang-orang?" tanya Travis Stoll dengan berhati-hati.
Zo? mengangguk. "Anak yang menaruh panah-panah di helmku?" tambah
Connor. "Betul," bentak Zo?. "Kenapa?"
"Oh, tidak apa-apa," ucap Travis. "Hanya saja kami
punya kaus untuknya dari toko perkemahan." Dia
mengangkat kaus besar warna perak bertulisan ARTEMIS
DEWI BULAN, TUR BERBURU MUSIM GUGUR 2002,
dengan daftar panjang taman-taman nasional dan hal-hal
lain di bawahnya. "Ini barang kolektor. Dia sempat
mengaguminya. Kau mau memberikannya padanya?"
Aku tahu Stoll bersaudara sedang menyembunyikan
sesuatu. Mereka selalu begitu. Tapi kurasa Zo? tidak
mengenal mereka sebaik aku. Zo? hanya mendesah dan
mengambil kausnya. "Seperti yang kukatakan, aku akan
membawa Phoebe. Dan aku ingin Bianca juga ikut."
Bianca tampak terkejut. "Aku" Tapi ... aku masih baru
banget. Aku nggak akan banyak gunanya."
"Kau akan baik-baik saja," Zo? bersikukuh. "Tak ada
cara lain yang lebih baik untuk membuktikan diri engkau
sendiri." Bianca mengatup mulutnya. Aku merasa agak iba
padanya. Aku ingat akan misi pertamaku saat aku berusia
dua belas tahun. Saat itu aku merasa benar-benar tidak siap.
Sedikit tersanjung, mungkin, namun lebih banyak merasa
enggan dan takut. Kurasa hal yang sama sedang berkecamuk
dalam kepala Bianca saat ini.
"Dan bagi pekemahnya?" tanya Chiron. Matanya
bertemu mataku, tapi aku tak tahu apa yang dipikirkannya.
"Aku!" Grover bangkit berdiri dengan begitu cepatnya
hingga membentur meja Ping-Pong. Dia membersihkan
remah-remah biskuit dan sisa-sisa bola Ping-Pong dari
pangkuannya. "Apa pun demi membantu Artemis!"
Zo? mengerutkan hidungnya. "Kurasa tidak, satir. Kau
bahkan bukan blasteran."
"Tapi dia adalah pekemah," kata Thalia. "Dan dia
punya pengindera satir dan sihir rimba. Apa kau sudah bisa
memainkan lagu pemburu, Grover?"
"Tentu!" Zo? ragu. Aku tak tahu apa maksudnya lagu pemburu,
namun sepertinya Zo? berpikir itu adalah hal yang baik.
"Baiklah," ucap Zo?. "Dan pekemah kedua?"
"Aku akan pergi." Thalia berdiri dan mengedarkan
pandangan, menantang siapa pun yang berani
meragukannya. Sekarang, baiklah, mungkin kepandaian metematikaku
bukan yang terbaik, tapi tiba-tiba terpikir dalam benakku
bahwa kami telah mencapai angka lima, dan aku tidak
termasuk di dalamnya. "Hei, tunggu sebentar," ujarku. "Aku
juga ingin pergi." Thalia tak mengatakan apa pun. Chiron masih
mempelajariku, matanya sayu.
"Oh," ucap Grover, tiba-tiba tersadar akan masalahnya.
"Wah, iya, aku lupa! Percy harus pergi. Aku nggak
bermaksud ... aku akan tinggal. Percy harus pergi
menggantikanku." "Dia tak bisa pergi," seru Zo?. "Dia laki-laki. Aku tak
akan biarkan para Pemburu menempuh perjalanan dengan
seorang laki-laki." "Kau sudah pernah menempuh perjalanan ke sini
bersamaku," kuingatkan dirinya.
"Itu adalah kondisi darurat jangka-pendek, dan itu
diperintahkan oleh sang dewi. Aku tak akan pergi
menjelajah negeri dan bertarung melawan banyak bahaya
ditemani seorang lelaki."
"Memang Grover apaan?" desakku.
Zo? menggelengkan kepalanya. "Dia tidak termasuk.
Dia adalah satir. Teknisnya dia bukanlah laki-laki."
"Hei!" protes Grover.
"Aku harus pergi," kataku. "Aku harus ikut dalam misi
ini." "Kenapa?" tanya Zo?. "Karena teman engkau Annabeth
itu?" Aku merasa wajahku terbakar. Aku benci mengetahui
semua mata memandangiku. "Tidak! Maksudku, itu cuma
sebagai alasannya. Aku hanya merasa kalau aku semestinya
pergi!" Tidak ada yang mendukungku. Pak D nampak bosan,
masing membaca majalahnya. Silena, Stoll bersaudara, dan
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beckendorf hanya menatap meja. Bianca menatapku
kasihan. "Tidak," kata Zo? datar. "Aku menuntut ini. Aku akan
membawa satir jika aku harus, tapi tidak dengan pahlawan
laki-laki." Chiron mendesah. "Pencarian ini untuk Artemis. Para
Pemburu diijinkan untuk menentukan teman mereka."
Telingaku berdenging saat aku duduk. Aku tahu Grover
dan yang lainnya sedang memberiku simpati, tapi aku tidak
menatap mereka. Aku hanya duduk di sana saat Chiron
menyimpulkan hal itu. "Baiklah," katanya. "Thalia dan Grover akan menemani
Zo?, Bianca, dan Phoebe. Kalian akan berangkat saat fajar.
Dan semoga para dewa?"dia melirik Dionysus?"ikut
menyertakan, kami berharap"mereka bersamamu.
Aku tidak datang saat makan malam, yang merupakan
kesalahan, karena Chiron dan Grover datang mencariku.
"Percy, aku sangat menyesal!" kata Grover, duduk di
sampingku di tempat tidur. "Aku nggak tahu kalau mereka
akan"bahwa kau akan"Sumpah!"
Grover mulai terisak, dan kupikir kalau aku tidak
segera menghiburnya, dia entah akan mulai menangis atau
menggigiti kasurku. Grover suka melahap barang-barang
furnitur setiap kali dia merasa sedih.
"Nggak apa-apa," aku berbohong. "Sungguh. Nggak
apa-apa." Bibir bawah Grover bergetar. "Aku bahkan nggak
berpikir ... Aku begitu terfokus untuk menolong Artemis.
Tapi aku berjanji, aku akan mencari Annabeth di segala
tempat. Kalau bisa ditemukan, aku sudah pasti akan
menemukannya." Aku mengangguk dan berusaha mengabaikan lubang
besar yang terbuka dalam dadaku.
"Grover," kata Chiron, "barangkali kau akan
membiarkan aku berbicara dengan Percy?"
"Tentu," isaknya.
Chiron menanti. "Oh,?" seru Grover. "Maksud Bapak empat mata.
Tentu, Pak Chiron." Grover menatapku muram. "Lihat, kan"
Tak ada yang membutuhkan kambing."
Dia melangkah gontai ke ambang pintu, sambil
membuang ingus di lengan bajunya.
Chiron mengembuskan napas berat dan berlutut pada
kaki-kaki kudanya. "Percy, aku pribadi tak pernah
sepenuhnya memahami ramalan."
"Yeah," ujarku. "Yah, itu mungkin karena ramalanramalan memang nggak masuk akal."
Chiron memandang mata air laut yang bergemericik di
sudut ruangan. "Thalia tak akan menjadi pilihan pertamaku
untuk menjalani misi ini. Dia terlalu tak sabaran. Dia suka
bertindak tanpa berpikir terlebih dulu. Dia terlalu yakin pada
dirinya." "Apa Bapak tadi akan memilihku?"
"Jujur, tidak," katanya. "Kau dan Thalia terlalu
serupa." "Makasih banyak."
Chiron tersenyum. "Perbedaannya adalah kau lebih
kurang percaya diri dari Thalia. Itu bisa berarti baik atau
buruk. Tapi satu hal yang bisa kusampaikan: kalian berdua
jika disatukan akan berbahaya."
"Kami bisa mengatasinya."
"Seperti caramu mengatasinya di tepi sungai tadi
malam?" Aku tak menjawab. Dia membuatku mati kutu.
"Barangkali ini adalah untuk yang terbaik," renung
Chiron. "Kau bisa pulang ke ibumu untuk liburan. Jika kami
membutuhkanmu, kami akan menghubungimu."
"Yeah," kataku. "Barangkali."
Aku menarik Riptide dari dalam sakuku dan
meletakkannya di meja samping ranjangku. Sepertinya aku
tidak akan menggunakannya untuk apa pun kecuali menulis
kartu-kartu Natal. Sata Chiron melihat pena itu, dia mengernyit. "Pantas
saja Zo? tidak ingin kau ikut. Tidak saat kau membawa
senjata itu." Aku tak tahu apa maksudnya. Kemudian aku teringat
akan apa yang Chiron katakan padaku lama sekali, saat dia
pertama kalinya memberiku pedang ajaib ini: Pedang ini
memiliki sejarah yang tragis dan panjang, yang tak perlu
kita bahas. Aku ingin bertanya padanya mengenai itu, tapi
kemudian dia mengeluarkan sekeping drachma emas dari
dalam tas pelananya dan melontarnya padaku. "Hubungi
ibumu, Percy. Beri tahu dia kau akan pulang di pagi hari.
Dan, yah, asal tahu saja ... aku sendiri hampir mengajukan
diri untuk menjalani misi ini. Aku sudah akan pergi, jika
tidak teringat pada kalimat terakhir."
"Seorang akan binasa di tangan salah satu
orangtuanya. Benar."
Aku tak perlu bertanya. Aku sudah tahu ayah Chiron
adalah Kronos, sang Raja Titan jahat itu sendiri. Kalimat itu
akan terdengar sangat masuk akal jika saja Chiron
mengikuti misi ini. Kronos tidak peduli terhadap siapa pun,
termasuk anak-anaknya sendiri.
"Chiron," kataku. "Kau tentu tahu apa kutukan Titan
ini, kan?" Wajahnya menggelap. Tangannya membentuk cakar di
depan jantungnya dan dibuatnya gerakan mendorong ke arah
depan"isyarat purba untuk menangkal bala. "Kita hanya
bisa berharap ramalan itu tidak seperti apa yang kupikirkan.
Sekarang, selamat malam, Percy. Dan saatmu akan tiba.
Aku yakin akan itu. Tak perlu tergesa-gesa."
Dia menyebut saatmu seperti cara orang-orang biasa
menyebutkan ajalmu. Aku tak mengerti apakah itu yang
Chiron maksudkan, tapi tatapan di matanya membuatku
takut bertanya. Aku berdiri di mata air laut, menggosok koin Chiron di
telapak tanganku dan berusaha memikirkan apa yang akan
kukatakan pada ibuku. Aku sedang tak berselera untuk
mendengarkan satu orang dewasa lagi memberitahuku
bahwa berpangku tangan adalah hal terbaik yang bisa
kulakukan, tapi kurasa ibuku pantas menerima kabar
terbaruku. Akhirnya, aku menghela napas dalam-dalam dan
melempar koinnya ke dalam kolam. "Oh dewi, terimalah
persembahanku." Kabut itu berdenyar. Cahaya dari kamar mandi cukup
untuk menghasilkan pelangi samar.
"Tunjukkan padaku Sally Jackson," pintaku. "Upper
East Side, Manhattan."
Dan di kabut itu tampil sebuah bayangan yang tak
kusangka. Ibuku tengah duduk di meja dapur kami bersama
seorang ... pria. Mereka tertawa tergelak. Ada tumpukan
besar buku di antara mereka. Pria itu, aku tak tahu, mungkin
sekitar tiga puluhan tahun, dengan rambut gondrong gelap
diselingi uban dan jaket cokelat di luar kaus hitamnya. Dia
tampak seperti seorang aktor"seperti pria yang pantas
berperan sebagai polisi yang sedang menyamar di layar
televisi. Aku terlalu kaget untuk mengucapkan sesuatu, dan
untungnya, ibuku dan pria itu sedang terlalu sibuk tertawa
untuk memperhatikan pesan-Irisku.
Sang pria berkata, "Sally, kau lucu sekali. Kau ingin
tambah anggur lagi?"
"Ah, seharusnya tidak. Kau tambah saja kalau mau."
"Sebenarnya, aku sebaiknya menggunakan toiletmu.
Bolehkan?" "Di ujung lorong," ujar ibu, terdengar berusaha
menahan tawa. Pria aktor itu tersenyum dan berdiri, lantas pergi.
"Ibu!" panggilku.
Ibu terlompat begitu kencangnya hingga hampir
menjatuhkan buku-bukunya dari atas meja. Akhirnya dia
memfokuskan pada diriku. "Percy! Oh, sayang! Apa semua
baik-baik saja?" "Apa yang Ibu lakukan?" desakku.
Dia mengerjapkan mata. "Tugas rumah." Kemudian ibu
tampaknya mengerti air mukaku. "Oh, sayang, itu hanya
Paul"em, Pak Blofis. Dia teman sekelas di seminar menulis
Ibu." "Pak Blowfish"ikan buntal?"
"Blofis. Dia akan kembali sebentar lagi, Percy. Katakan
pada ibu ada masalah apa."
Ibu selalu tahu jika ada masalah. Kuceritakan padanya
tentang Annabeth. Hal-hal lain juga, tapi sebagian besar
masalahnya adalah tentang Annabeth.
Mata ibuku berkaca-kaca. Aku tahu ibu berusaha keras
menguatkan dirinya demi aku. "Oh, Percy ..."
"Iya. Jadi mereka memberitahuku bahwa tak ada yang
bisa kulakukan. Kurasa aku bakal pulang ke rumah."
Ibu memutar pensilnya dengan jemarinya. "Percy,
betapapun Ibu ingin sekali kau pulang?"ibu mendesah
seolah dia sedang marah pada dirinya sendiri?"betapapun
Ibu ingin kau selalu aman, Ibu ingin kau memahami sesuatu.
Kau perlu melakukan apa yang harus kaulakukan."
Aku memandanginya. "Apa maksud Ibu?"
"Maksud Ibu, apa kau benar-benar, dari lubuk hati
terdalam, meyakini bahwa kau harus membantu
menyelamatkannya" Apa kau merasa itu adalah hal yang
seharusnya dilakukan" Karena Ibu tahu satu hal tentangmu,
Percy. Hatimu selalu bicara benar. Dengarkan bisikannya."
"Ibu ... Ibu menyuruhku untuk pergi?"
Ibuku meruncingkan bibirnya. "Ibu hanya ingin bilang
bahwa ... kau sudah terlalu besar bagi Ibu untuk masih
didikte akan apa yang sebaiknya kaulakukan. Ibu
memberitahumu bahwa Ibu akan mendukungmu, bahkan
jika apa yang kauputuskan untuk lakukan itu berbahaya. Ibu
tidak percaya bisa bicara seperti ini."
"Ibu?" Bunyi toilet disiram terdengar dari lorong apartemen
kami. "Ibu tak punya banyak waktu," ujarnya. "Percy, apa
pun yang kauputuskan, Ibu menyayangimu. Dan Ibu tahu
kau akan lakukan yang terbaik demi Annabeth."
"Bagaimana Ibu bisa yakin?"
"Karena dia akan melakukan hal yang sama untukmu."
Dan bersamaan dengan ucapannya itu, ibuku
menyapukan tangannya pada kabut, dan koneksinya pun
buyar, meninggalkanku dengan bayangan terakhir teman
barunya, Pak Blowfish, tersenyum pada ibu.
Aku tidak teringat jatuh tertidur, tapi aku ingat akan
mimpiku. Aku kembali berada di gua kosong itu, langit-langit
menggantung rendah dan berat di atasku. Annabeth berlutut
di bawah tekanan gumpalan kegelapan yang tampak seperti
tumpukan batu. Annabeth sudah terlalu letih bahkan untuk
berteriak memanggil bantuan. Kakinya bergetar. Pada detik
kapan pun, aku tahu dia akan kehabisan tenaga dan langitlangit gua akan ambruk menindihnya.
"Bagaimana keadaan tamu manusia kami?" suara lelaki
terdengar menggelegar. Itu bukan suara Kronos. Suara Kronos terdengar parau
dan menyakitkan telinga, seperti bunyi belati digoreskan di
atas batu. Aku sudah pernah mendengarnya mengejekku
beberapa kali dalam mimpiku. Tapi suara ini lebih dalam
dan berat, seperti gitar bas. Kekuatannya membuat tanah
bergetar. Luke muncul dari balik bayangan. Dia berlari menuju
Annabeth, berlutut di sisinya, kemudian melihat kembali
pada sosok pria tak kasat mata. "Dia makin melemah. Kita
harus cepat-cepat." Munafik. Seolah dia benar-benar mencemaskan
kondisinya. Suara dalam itu terkekeh. Suara itu berasal dari sosok
yang berdiri di balik bayang-bayang, di sudut mimpiku.
Kemudian sebuah tangan besar mendorong seseorang maju
ke bawah cahaya"Artemis"tangan dan kakinya di belengu
dengan rantai perunggu langit.
Aku berdengap. Gaun peraknya sobek dan koyak di
sana-sini. Wajah dan lengannya memiliki luka sayat di
berbagai sisi, dan dia mengucurkan darah ichor, darah emas
para dewa. "Kau dengar ucapan bocah tadi," seru sang pria di balik
bayang-bayang. "Putuskan!"
Mata Artemis membakar dengan amarah. Aku tidak
tahu mengapa dia tidak memerintahkan saja rantainya untul
meledak, atau membuat dirinya sendiri menghilang, tapi
sepertinya dia tidak bisa melakukannya. Barangkali rantai
itu yang melemahkannya, atau suatu sihir dari tempat yang
gelap dan mengerikan ini.
Sang dewi memandangi Annabeth dan raut mukanya
berubah jadi cemas dan marah. "Berani-beraninya kau
menyiksa seorang gadis seperti ini!"
"Dia akan mati tak lama lagi," ujar Luke. "Kau bisa
menyelamatkannya." Annabeth mengeluarkan suara protes lemah. Jantungku
serasa diremas-remas. Aku ingin berlari ke arahnya, tapi aku
tak dapat bergerak. "Lepaskan ikatan tanganku," kata Artemis.
Luke menghunus pedangnya, Backbiter. Dengan satu
ayunan jitunya, dia memecah borgol sang dewi.
Artemis berlari ke sisi Annabeth dan mengambil
bebannya dari pundak Annabeth. Annabeth terkulai ke tanah
dan terbaring di sana dengan mengigil. Artemis terhuyung,
berusaha menahan berat bebatuan hitam.
Pria di balik bayangan terkekeh. "Kau sangat mudah
ditebak selain juga mudah dikalahkan, Artemis."
"Kau mengejutkanku," ujar sang dewi, masih berjuang
menopang beban. "Ini tak akan terjadi lagi."
"Tentu saja tidak," ujar sang pria. "Sekarang kau sudah
tak lagi bisa mengganggu untuk selamanya! Aku tahu kau
tak bisa menahan diri untuk tak membantu seorang gadis
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda. Toh, bukanlah itu yang menjadi keahlianmu,
sayang." Artemis mengerang. "Kau sama sekali tak mengenal
belas kasih, dasar bajingan."
"Untuk hal yang satu itu," ucap sang pria, "kita bisa
sepakat. Luke, kau boleh bunuh gadis itu sekarang."
"Tidak!" teriak Artemis.
Luke ragu. "Dia"dia masih bisa berguna, Tuan.
Sebagai umpan lanjutan."
"Bah! Kau benar-benar percaya itu?"
"Benar, Jenderal. Mereka akan datang untuknya. Aku
yakin itu." Sang pria mempertimbangkan. "Jika demikian, sang
Drakaina (Dracaenae) bisa mengawalnya di sini. Jika dia
tidak mati dari luka-lukanya, kalu boleh menyimpannya
hidup-hidup hingga saat titik balik matahari musim dingin
tiba. Setelah itu, jika pengorbanan kita berjalan sesuai
rencana, nyawa akan tak berarti. Seluruh nyawa kaum
manusia tak akan berarti."
Luke mengangkut tubuh lemas Annabeth dan
membawanya pergi dari sang dewi.
"Kau tak akan temukan monster yang kaucari," ujar
Artemis. "Rencanamu akan gagal."
"Betapa sedikit yang kauketahui, dewi mudaku," pria
dalam bayang-bayang berujar. "Bahkan pada saat ini, para
pelayan kesayanganmu telah memulai misi mereka
mencarimu. Mereka akan langsung masuk dalam
perangkapku. Sekarang, kami harus permisi dulu, ada
perjalanan jauh yang mesti kami tempuh. Kami harus
menyambut para Pemburumu dan memastikan misi mereka
begitu ... menantang."
Tawa pria itu menggema dalam kegelapan,
mengguncang tanah hingga seluruh gua tampak akan segera
ambruk. Aku tersentak bangun. Aku merasa yakin aku barusan
mendengar suara gebrakan.
Aku mengedarkan pandangan ke sepenjuru ruang
kabin. Di luar tampak gelap. Mata air laut masih
bergemercik. Tak ada suara lain selain suara teriakan burung
hantu di hutan dan debur ombak di kejauhan pantai. Di
bawah cahaya rembulan, di atas meja sisi tempat tidurku,
tergeletak topi New York Yankees kepunyaan Annabeth.
Aku memandanginya selintas, dan kemudian: BRAK. BRAK.
Seseorang, atau sesuatu, memukul-mukul pintuku.
Kuambil Riptide dan bangkit dari tempat tidur.
"Halo?" panggilku.
BUK. BUK. Aku merayap ke pintu. Kubuka tutup pedang, membuka pintu dengan cepat,
dan menemukan diriku berhadapan muka dengan seekor
pegasus hitam. Wah, bos! Suaranya terdengar di pikiranku saat ia
bergerak mengelak dari acungan pedangku. Aku nggak mau
jadi kuda-ke-bab! Sayap hitamnya merentang waspada, dan deru angin
memukulku mundur selangkah.
"Blackjack," seruku, lega sekaligus jengkel. "Ini sudah
tengah malam!" Blackjack membuang napas berat. Tidak juga, bos.
Sekarang jam lima pagi. Untuk apa kau masih tidur"
"Sudah berapa kali kukatakan padamu" Jangan panggil
aku bos." Apa pun yang kaukatan, bos. Kaulah jagoannya.
Kaulah orang nomor wahid buatku.
Kukucek sisa-sisa kantuk dari mataku dan berusaha
untuk tak membiarkan sang pegasus membaca pikiranku.
Itulah masalah dari menjadi anak Poseidon: karena dia
menciptakan kuda-kuda dari buih laut, aku jadi bisa
memahami pikiran sebagian besar hewan tunggangan, tapi
mereka juga bisa membaca pikiranku. Terkadang, seperti
kasus Blackjack ini, mereka seperti mengadopsiku.
Begini, Blackjack sempat ditawan di atas kapal Luke
musim panas lalu, sampai kami berhasil menciptakan sedikit
hura-hara yang membuatnya bisa meloloskan diri.
Sebenarnya aku tak banyak andil saat kejadian itu, serius,
tapi Blackjack merasa verutang budi padaku karena telah
menyelamatkannya. "Blackjack," kataku, "kau mestinya menetap di istal."
Cuih, istal. Apa kau lihat Chiron tinggal di istal"
"Yah. Nggak sih."
Tepat. Dengar, kami mendapat teman-teman laut kecil
lain yang butuh bantuan. "Lagi?" Iya. Aku bilang pada hippocampus aku akan pergi
memanggilmu. Aku mengerang. Setiap kalinya aku berada di dekat
pantai, para hippocampus akan meminta bantuanku dengan
berbagai masalah mereka. Dan mereka punya segudang
masalah. Mulai dari ikan paus terdampar di pantai, porpois
terjaring jala ikan, para putri duyung dengan bintil kuku"
mereka akan memanggilku untuk turun ke bawah air dan
membantu. "Baiklah," kataku. "Aku datang."
Kau paling hebat, Bos. "Dan jangan panggil aku bos!"
Blackjack meringkik pelan. Bisa jadi itu bunyi tawa.
Aku menoleh kembali pada ranjang nyamanku. Perisai
perungguku masih menggantung di dinding, penyok dan tak
bisa digunakan. Dan di meja samping ranjang ada topi
Yankees ajaib Annabeth. Segera, aku menyelipkan topi itu
ke dalam sakuku. Kurasa aku sudah punya firasat, bahkan di
kala itu, bahwa aku tak akan kembali ke kabinku untuk
waktu yang sangat lama.[]
Blackjack memberiku tumpangan menuju pantai, dan
harus kuakui ini sungguh asyik. Menaiki kuda terbang,
meluncur di atas gulungan ombak pada kecepatan seratus
enam puluh kilometer per jam dengan embusan angin
menerpa rambutku dan buih laut menciprati wajahku"hei,
ini jelas mengalahkan serunya selancar air.
Di sini. Balckjack memelankan lajunya dan bergerak
membentuk lingkaran. Lurus ke bawah.
"Makasih." Aku meluncur turun dari punggungnya dan
terjun ke dalam laut beku.
Aku sudah terbiasa melakukan berbagai aksi semacam
itu selama dua tahun terkahir. Aku bisa bergerak leluasa di
bawah air, hanya dengan memerintahkan arus air untuk
berubah di sekitarku dan mendorongku meluncur ke depan.
Aku bisa bernapas di bawah air, tak masalah, dan pakaianku
tak pernah basah kecuali aku menginginkannya.
Aku melesat ke bawah memasuki kegelapan.
Enam meter, sembilan meter, dua belas meter.
Tekanannya tak terasa berat. Aku tak pernah mencoba
menekannya"untuk melihat apakah ada batasan seberapa
jauh aku bisa menyelam. Aku tahu sebagian besar manusia
biasa tak akan bisa melewati kedalaman enam puluh meter
tanpa menjadi rusak seperti kaleng alumunium. Mestinya
aku juga sudah tak bisa melihat apa pun, berada jauh di
kedalaman air di tengah malam, tapi aku bisa melihat panas
dari makhluk-makhluk hidup, dan rasa dingin dari arus air.
Susah dijelaskan. Tidak sama seperti melihat secara normal,
tapi aku bisa tahu di mana segala sesuatu berada.
Selagi aku mendekat ke dasar laut, aku melihat tiga
hippocampus"kuda-kuda dengan ekor ikan"berenangrenang dalam lingkaran mengitari perahu yang terbalik.
Ketiga hippocampus itu sungguh indah dilihat. Ekor-ekor
ikan mereka gemerlap dengan warna-warni pelangi,
memancarkan pendar cahaya. Surai mereka putih, dan
mereka tengah berderap melintasi air seperti yang biasa
dilakukan kuda-kuda yang sedang gelisah menghadapi badai
petir. Sesuatu jelas mengganggu mereka.
Aku mendekat dan menemukan masalahnya. Sebuah
bayangan gelap"sejenis binatang"terjepit oleh separuh
badan perahu dan tersangkut oleh jala ikan, salah satu dari
jala-jala besar yang biasa digunakan dalam kapal pukat ikan
untuk meraup banyak tangkapan sekaligus. Aku benci jala
seperti itu. Sudah cukup buruk mereka telah
menenggelamkan porpois dan lumba-lumba, namun mereka
terkadang juga menangkap hewan-hewan mitologi. Saat
jaringnya terlilit, beberapa nelayan pemalas hanya akan
memotong jala itu dan membiarkan begitu saja hewan yang
tersangkut mati. Sepertinya makhluk malang ini sedang berjalan-jalan
iseng di sekitar dasar Selat Long Island dan entah
bagaimana akhirnya mendapati dirinya tersangkut jala
perahu nelayan yang tenggelam ini. Makhluk itu telah
berusaha membebaskan diri dan akhirnya berhasil membuat
dirinya tersangkut makin parah, hingga posisi perahu pun
bergerak. Kini bangkai lambung kapal, yang bersandar pada
sebuah batu besar, mulai goyah dan nyaris terjatuh menimpa
hewan yang tersangkut. Para hippocampus berenang-renang kalut, ingin
menolong namun tak tahu bagaimana caranya. Satu
hippocampus berusaha menggigit jalanya, namun gigi-gigi
hippocampus memang tidak diciptakan untuk memotong
tali. Hippocampus sangat kuat, tapi mereka tak memiliki
tangan, dan mereka juga tidak (ssttt ...) begitu pandai.
Bebaskan ia, Tuan! ujar seekor hippocampus saat ia
melihatku. Yang lain mengikuti, meminta hal yang sama.
Aku berenang mendekat untuk melihat lebih jelas pada
makhluk tersangkut itu. Awalnya kukira makhluk itu adalah
hippocampus muda. Aku sudah pernah menyelamatkan
beberapa dari mereka sebelumnya. Tapi kemudian aku
mendengar suara aneh, sesuatu yang tidak semestinya
berada di dalam air: "Moooooo!" Aku berenang ke sisi makhluk itu dan melihat bahwa ia
adalah seekor sapi. Sebenarnya ... aku sudah pernah
mendengar tentang sapi-sapi laut, seperti ikan duyung dan
semacamnya, tapi ini jelas merupakan sapi dengan tubuh
bagian belakang berupa ular. Bagian setengah depannya
adalah anak sapi"masih kecil sekali, dengan bulu hitam
dan mata cokelat besar sedihnya dan moncong putih"dan
setengah bagian belakangnya merupakan ekor ular hitamdan-cokelat dengan sirip-sirip memenuhi bagian atas hingga
bawah, seperti seekor belut raksasa.
"Wow, makhluk kecil," kataku. "Dari mana asalmu?"
Makhluk itu memandangku sedih. "Moooo!"
Tapi aku tak bisa membaca pikirannya. Aku hanya
mengerti bahasa kuda. Kami belum tahu apa makhluk itu, Tuan, salah satu
hippocampus bicara. Banyak makhluk-makhluk aneh mulai
bangkit. "Iya," gumamku. "Itu yang kudengar."
Kubuka tutup Riptide, dan pedang itu tumbuh ke
ukuran sebenarnya di tanganku, bilah perunggunya berkilat
di kegelapan. Ular sapi itu panik dan mulai meronta-ronta berusaha
melepaskan diri dari jala, matanya penuh ketakutan.
"Wow!" seruku. "Aku tak akan melukaimu! Biarkan aku
memotong jalanya." Tapi ular sapi itu menggelepar-gelepar dan jadi
semakin tersangkut. Badan perahu mulai miring,
mengangkat kotoran-kotoran tanah di dasar laut dan hampir
jatuh menimpa badan si ular sapi. Para hippocampus
meringkik panik dan menggerak-gerakkan badan mereka di
dalam air, yang sama sekali tak membantu.
"Oke, oke!" seruku. Kusingkirkan pedang itu dan mulai
mengajak bicara setenang yang kubisa agar para
hippocampus dan ular sapi itu berhenti panik. Aku tak tahu
apakah memungkinkan diseruduk di bawah air, tapi aku
tidak terlalu ingin tahu. "Tenang. Tak ada pedang. Lihat"
Tak ada pedang. Pikiran-pikiran tenang. Rerumputan laut.
Mama-mama sapi. Vegetarianisme."
Aku ragu si ular sapi mengerti apa yang kukatakan,
taou ia menanggapi nada suaraku. Para hippocampus masih
gugup, tapi mereka sudah berhenti berputar-putar
mengitariku dengan cepat.
Bebaskan ia, Tuan! mereka memohon.
"Iya," kataku. "Aku sudah mengerti bagian itu. Aku
sedang berpikir, nih."
Tapi bagaimana aku bisa membebaskan ular sapi betina
ini (aku putuskan makhluk ini kemungkinan berjenis
kelamin "perempuan") begitu panik melihat pedang" Seolah
ia sudah pernah melihat pedang sebelumnya dan tahu betapa
membahayakannya pedang itu.
"Baiklah," kataku pada para hippocampus. "Aku butuh
kalian semua untuk mendorong sesuai aba-abaku."
Awalnya kami mencoba menggerakkan perahu. Tidak
mudah, tapi dengan tenaga dari tiga kekuatan kuda, kami
berhasil menggeser bengkai perahu itu hingga ia tidak lagi
mengancam terjatuh menimpa si ular sapi bayi. Kemudian
aku beralih mengurusi jalanya, menguraikan bagian yang
terlilit sedikit demi sedikit, meluruskan bagian pemberat dan
sangkutan ikannya, menarik simpul yang menjerat sekitar
kaki-kaki si ular sapi. Rasanya dibutuhkan waktu lama
sekali"maksudku, ini lebih parah daripada saat aku harus
menguraikan kabel-kabel pengendali video gameku.
Sepanjang waktu itu, aku terus berbicara dengan ikan sapi
itu, memberitahunya bahwa semua akan baik-baik saja
sementara ia mengeluh dan mengerang.
"Tenanglah, Bessie," kataku. Jangan tanya padaku
kenapa aku mulai memanggilnya begitu. Aku hanya merasa
itu sepertinya nama yang bagus untuk seekor sapi. "Sapi
baik. Sapi manis." Akhirnya, jala itu pun terlepas dan sang ular sapi
melesat melintasi air dan bersalto dengan riangnya.
Para hippocampus meringkik gembira. Terima kasih,
Tuan! "Moooo!" Ular sapi itu menyundulku dan memberiku
tatapan mata cokelat besarnya.
"Iya," kataku. "Tidak apa-apa. Sapi manis. Yah ... lain
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali berhati-hatilah."
Yang jadi mengingatkanku akan sesuatu, sudah berapa
lama aku di bawah air" Satu jam, setidaknya. Aku harus
segera kembali ke kabinku sebelum Argus atau para harpy
mengetahui bahwa aku telah melanggar jam malam.
Aku melesat ke atas dan memecah permukaan. Dengan
segera, Blackjack menukik turun dan mem-biarkanku
berpegangan pada lehernya. Ia mengangkatku ke udara dan
membawaku pulang menuju pantai.
Sukses, Bos" "Iya. Kami berhasil menyelamatkan seekor bayi ...
nggak tahu sih bayi apaan. Lama banget. Hampir saja
diseruduk." Perbuatan baik selalu mengundang bahaya, Bos. Kau
juga telah menyelamatkan aku, bukan"
Aku tak bisa berhenti memikirkan arti mimpiku,
dengan Annabeth terkulai seolah tanpa nyawa di tangan
Luke. Di sini aku menyelamatkan bayi-bayi monster, namun
aku tak bisa menyelamatkan temanku sendiri.
Selagi Blackjack terbang pulang menuju kabinku, aku
sempat menoleh pada paviliun makan. Aku melihat
bayangan"seorang anak laki-laki sedang merunduk di balik
sebuah tiang Yunani, seolah dia sedang bersembunyi dari
seseorang. Itu adalah Nico, tapi sekarang bahkan belum datang
fajar. Masih lama dari waktu sarapan. Apa yang dia lakukan
di atas sana" Aku ragu. Hal terakhir yang kuinginkan adalah
menghabiskan waktu lagi mendengarkan Nico bercerita
tentang permainan Mythomagicnya. Tapi ada sesuatu yang
tak benar. Aku bisa tahu dari melihat caranya berjongkok.
"Blackjack," kataku, "turunkan aku di bawah sana,
yah" Di belakang tiang itu."
Aku hampir saja mengacaukannya.
Aku sedang berjalan menaiki tangga ke belakang Nico.
Dia tidak melihatku sama sekali. Nico berada di belakang
tiang, mengintip ke pojokan, seluruh perhatiannya terfokus
pada area makan. Aku berjarak satu setengah meter darinya,
dan aku baru saja hendak menyapa Apa yang kaulakukan"
Dengan lantangnya, saat kusadari dia tengah meniru Grover:
dia sedang memata-matai para Pemburu.
Ada suara-suara"dua gadis berbicara di meja makan.
Di pagi buta begini" Yah, kecuali jika mereka dewi fajar,
kurasa. Kuambil topi ajaib Annabeth dari dalam sakuku dan
memakainya. Aku tak merasa berbeda, tapi saat aku mengangkat
kedua tanganku aku tak bisa melihatnya. Aku tak kelihatan.
Aku merayap mendekati Nico dan mengendap ke
belakangnya. Aku tak bisa melihat kedua gadis itu dengan
baik di kegelapan, tapi aku mengenali suara mereka: Zo?
dan Bianca. Sepertinya mereka sedang berdebat.
"Itu tak bisa disembuhkan," ujar Zo?. "Setidaknya,
tidak dalam waktu cepat."
"Tapi bagaimana itu bisa sampai terjadi?" tanya
Bianca. "Kelakar bodoh," geram Zo?. "Anak-anak Stoll dari
kabin Hermes itu. Darah centaurus sama seperti asam.
Semua orang tahu itu. Mereka menciprati bagian dalam kaus
Tur Berburu Artemis dengannya."
"Itu buruk sekali!"
"Dia akan hidup," kata Zo?. "Tapi dia harus dirawat
tidur selama beberapa minggu dengan ruam kulit yang
parah. Tak mungkin dia bisa pergi. Kini semua bergantung
pada diriku ... dan engkau."
"Tapi ramalan itu," ujar Bianca. "Kalau Phoebe tak bisa
pergi, hanya akan berempat. Kita harus pilih satu orang
lagi." "Tak ada waktu," ucap Zo?. "Kita harus berangkat di
awal fajar. Itu sebentar lagi. Lagi pula, ramalan itu
menyebutkan kita akan kehilangan satu orang."
"Di dataran tanpa hujan," kata Bianca, "tapi itu tak
mungkin di sini." "Bisa saja," ucap Zo?, meski dia tidak terdengar yakin.
"Perkemahan memiliki perbatasan sihir. Tak ada apa pun,
bahkan cuaca sekalipun, yang dibiarkan masuk tanpa izin.
Tempat ini bisa jadi dataran tanpa hujan."
"Tapi?" "Bianca, dengarkan aku." Suara Zo? menegang. "Aku
... aku tak bisa menjelaskan, namun aku merasa bahwa kita
tak semestinya memilih satu orang lagi. Ini akan terlalu
berbahaya. Mereka akan menemukan akhir yang lebih
mengerikan dari Phoebe. Aku tak mau Chiron memilih
seorang pekemah sebagai teman kelima kita. Dan ... aku tak
ingin berisiko kehilangan seorang Pemburu lagi."
Bianca terdiam. "Kau harus ceritakan pada Thalia
keseluruhan mimpimu."
"Tidak. Itu tak akan membantu."
"Tapi, kalau kecurigaanmu benar, mengenai sang
Jenderal?" "Aku sudah memegang janji engkau untuk tak lagi
membicarakan itu, " ujar Zo?. Dia terdengar sangat
terganggu. "Kita akan segera tahu. Sekarang mari, fajar akan
segera tiba." Nico menyingkir cepat dari jalan mereka. Dia lebih
cepat dariku. Selagi kedua gadis itu berlari menuruni tangga, Zo?
hampir saja menabrakku. Dia mematung, matanya
memicing. Tangannya merayap ke busurnya, tapi kemudian
Bianca berujar, "Lampu-lampu di Rumah Besar sudah
menyala. Ayo cepat!"
Dan Zo? pergi mengikutinya keluar paviliun.
Aku tahu Nico sedang berpikir. Dia mengambil nafas dalam
dan baru hendak berlari mengejar kakaknya saat aku
melepas topi tak kasat mata dan berujar, "Tunggu."
Dia hampir saja terpeleset di anak tangga es saat dia
memutar tubuh mencariku. "Kau muncul dari mana?"
"Aku berada di sini sedari tadi. Tak kasat mata."
Dia menggumamkan kata tak kasat mata tanpa suara.
"Wow. Keren." "Bagaimana kau bisa tahu Zo? dan kakakmu berada di
sini?" Wajah Nico memerah. "Aku dengar mereka berjalan
melewati kabin Hermes. Aku nggak ... aku nggak bisa tidur
dengan nyenyak di perkemahan. Jadi aku dengar suara
langkah kaki, dan mereka berbisik. Dan jadi kau mengikuti,
gitu deh." "Dan sekarang kau berpikir untuk mengikuti mereka
dalam misi ini," aku menebak.
"Bagaimana kau tahu?"
"Karena kalau itu saudariku, aku pasti akan berpikir
begitu. Tapi kau tak bisa."
Nico tampak menantang. "Karena aku masih terlalu
kecil?" "Karena mereka tak akan mengizinkanmu. Mereka
akan menangkapmu dan mengirimmu kembali ke sini. Dan
... iya juga, karena kau terlalu kecil. Kau ingat manticore"
Akan ada lebih banyak makhluk-makhluk semacam itu.
Lebih berbahaya. Sebagian pahlawan akan tewas."
Bahunya melorot. Kaki-kakinya bergerak-gerak
gelisah. "Mungkin kau benar. Tapi, tapi kau bisa pergi
mewakiliku." "Apa kaubilang?"
"Kau bisa berubah tak kasat mata. Kau bisa pergi!"
"Para Pemburu tak menyukai laki-laki," aku mengingatkannya. "Kalau mereka sampai tahu?"
"Jangan biarkan mereka sampai tahu. Ikuti mereka
tanpa terlihat. Awasi kakakku! Kau harus melakukannya.
Kumohon?" "Nico?" "Kau toh berencana untuk pergi, kan?"
Aku ingin mengatakan tidak. Tapi dia menatap mataku
tajam, dan aku tak bisa berbohong padanya.
"Iya," kataku. "Aku harus mencari Annabeth. Aku
harus membantu, bahkan kalau pun mereka tidak mau aku
ikut." "Aku tak akan mengadukanmu," katanya. "Tapi kau
harus berjanji untuk menjaga kakakku."
"Aku ... itu janji yang berat, Nico, dalam perjalanan
seperti ini. Lagi pula, kakakmu kan punya Zo?, Grover, dan
Thalia?" "Janji," desaknya.
"Aku akan berusaha sebisa mungkin. Aku janji itu."
"Ayo pergi, kalau gitu!"ujarnya. "Semoga berhasil!"
Ini sunggu gila. Aku belum berkemas. Aku tak
membawa apa-apa selain topi dan pedang dan pakaian yang
kukenakan. Aku seharusnya bersiap pulang ke Manhattan
pagi ini. "Bilang pada Chiron?"
"Aku akan karang-karang alasan." Nico tersenyum
licik. "Aku jago dalam hal itu. Ayo pergilah!"
Aku berlari, sembari memakai kembali topi Annabeth.
Saat matahari tengah terbit, aku berubah tak kasat mata. Aku
tiba di puncak Bukit Blasteran tepat untuk melihat van
kemah menghilang menyusuri jalan pedesaan, mungkin
Argus mengantar kelompok misi ke kota. Setelah itu mereka
akan bergerak sendiri. Aku merasa timbulnya desakan rasa bersalah, dan
bodoh, juga. Bagaimana aku bisa mengejar mereka" Dengan
berlari" Kemudia kudengar suara kepakan sayap besar.
Blackjack mendarat di sisiku. Ia mulai mengendus-endus
santai seberkas rumput yang mencuat dari es.
Kalau aku bisa menebak. Bos, kurasa kau butuh kuda
untuk berpergian. Kau tertarik"
Gumpalan rasa syukur menyumbat kerongkonganku,
tapi aku berhasil berujar, "Yeah. Ayo kita terbang."[]
Hal penting dari terbang dengan pegasus di siang hari
adalah kalau kau tidak berhati-hati, kau bisa mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas yang serius di Jalan Tol Long Island.
Aku harus menjaga Blackjack agar tetap tertutupi awan,
yang untungnya, awan-awan itu menggantung cukup rendah
di musim dingin. Kami terus meluncur, berusaha menjaga
van Perkemahan Blasteran tetap dalam jarak pandang. Dan
jika di daratan cuaca begitu dingin, maka di atas udara
rasanya jauh lebih dingin lagi, dengan hujan es menusuk
kulitku. Aku berpikir andai saja aku sempat membawa pakaian
dalam penghangat Perkemahan Blasteran yang mereka jual
di toko perkemahan, tapi setelah cerita tentang Phoebe dan
kaus berdarah centaurus, aku tak lagi yakin aku masih bisa
mememrcayai produk-produk mereka.
Kami kehilangan van itu dua kali, tapi aku memiliki
firasat tajam mereka akan pergi melalui Manhattan terlebih
dulu, jadi tak terlalu sulit untuk menelusuri jejak mereka
kembali. Arus kendaraan sangat padat dengan datangnya musim
liburan. Saat itu sudah menjelang siang saat mereka
memasuki kota. Aku mendaratkan Blackjack di dekat
puncak Gedung Chrysler dan memandangi van kemah putih,
mengira ia akan berhenti di pangkalan bus, tapi ia terus saja
melaju. "Ke mana Argus membawa mereka?" gumamku.
Oh, bukan Argus yang nyetir, Bos, Blackjack memberitahukanku. Gadis itu yang nyetir.
"Gadis yang mana?"
Gadis Pemburu. Dengan semacam mahkota perak di
rambutnya. "Zo??" Iya, yang itu. Hei, lihat! Di sana ada toko donat.
Bisakah kita mampir beli donat buat di jalan"
Aku berusaha menjelaskan pada Blackjack bahwa
membawa kuda terbang memasuki toko donat akan
menyebabkan semua polisi yang berada di dalam terkena
serangan jantung, tapi ia sepertinya tidak mengerti.
Sementara, van itu terus menyelap-nyelip menuju
Terowongan Lincoln. Bahkan tak pernah terpikir olehku
bahwa Zo? dapat menyetir. Maksudku, dia tak tampak
berumur enam belas. Tapi kalau dipikir lagi, toh dia hidup
abadi. Aku bertanya-tanya apakah dia memiliki SIM New
York, dan jika punya, apa data tanggal kelahirannya yang
tercantum di sana. "Yah," kataku. "Ayo kita kejar mereka."
Kami baru hendak melompat dari Geding Chrysler saat
Blackjack meringkik terkejut dan gampir menjatuhkanku.
Sesuatu meliliti kakiku seperti ular. Aku meraih pedangku,
tapi saat aku melihat ke bawah, tak ada ulat. Sulur"sulur
anggur"menyeruak dari celah-celah bebatuan gedung.
Sulur itu membelit seputar kaki Blackjack, mengikat
pergelangan kakiku sehingga kami tak bisa bergerak.
"Mau pergi ke mana?" tanya Pak D.
Dia sedang bersandar di dinding gedung dengan kaki
melayang di udara, jaket hangat kulit-macannya dan rambut
hitamnya melambai-lambai terterpa angin.
Ada dewa! teriak Blackjack. Itu si pria anggur!
Pak D mendesah kesal. "Orang berikutnya, atau kuda
berikutnya, yang memanggilku "pria anggur" akan berakhir
dalam botol Merlot!"
"Pak D." Aku berusaha menjaga suaraku tetap tenang
selagi sulur-sulur anggur itu terus membelit tungkai kakiku.
"Apa yang Bapak inginkan?"
"Oh, apa yang aku inginkan" Kau pikir, barangkali,
direktur perkemahan yang kekal dan sangat berkuasa tak
akan mengetahui kau pergi tanpa izin?"
"Yah ... barangkali."
"Seharusnya aku lempar kau dari atas gedung ini, tanpa
kuda terbang, dan kita lihat bagaimana heroiknya
teriakanmu saat terjatuh."
Kukepalkan tanganku. aku tahu aku seharusnya tutup
mulut, tapi Pak D akan membunhuku atau menyeretku
kembali ke perkemahan dengan memalukan, dan aku tak
tahan memikirkan dua kemungkinan itu. "Kenapa Bapak
begitu membenciku" Apa yang pernah kuperbuat padamu?"
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Api ungu berpijar di matanya. "Kau adalah pahlawan,
Nak. Aku tak butuh alasan lain lagi."
"Aku harus pergi dalam misi ini! Aku harus bantu
teman-temanku. Itu sesuatu yang tak akan kau mengerti!"
Ehm, bos, Blackjack berkata gugup. Mengingat kita
terikat sulur-sulur tiga ratus meter di udara, kau mungkin
bisa bicara lebih manis sedikit.
Ikatan sulur-sulur anggur itu mengencang di seputar
tubuhku. Di bawah kami, van putih itu tampak makin
menjauh. Tak lama lagi ia akan menghilang dari pandangan.
"Pernahkah kuceritakan padamu kisah tentang
Ariadne?" tanya Pak D. "Putri muda jelita dari Kreta" Dia
juga senang menolong teman-temannya. Bahkan, dia pernah
menolong seorang pahlawan muda bernama Theseus, juga
putra Poseidon. Sang putri memberinya satu bola benang
rajut ajaib yang memberinya petunjuk arah untuk keluar dari
sebuah Labirin. Dan tahukah kau bagaimana Theseus
menunjukkan rasa terima kasihnya?"
Jawaban yang ingin kuberikan adalah Masa bodoh!
Tapi aku merasa jawaban itu tak akan membuat Pak D
mengakhiri ceritanya lebih cepat.
"Mereka menikah," ujarku. "Hidup bahagia selamalamanya. Tamat."
Pak D mencibir. "Tidak tepat. Theseus bilang dia ingin
menikahinya. Dia membawa putri itu menaiki kapalnya dan
berlayar menuju Athena. Di tengah perjalanan, di sebuah
pulau kecil bernama Naxos, dia ... Apa kata yang biasa
digunakan manusia masa kini" ... dia mencampakkannya.
Aku temukan putri itu di sana, kautahu. Sendiri. Patah hati.
Menangis habis-habisan. Dia telah mengorbankan
segalanya, menginggalkan semua yang dia miliki, demi
membantu seorang pahlawan muda nan perkasa yang
mencampakkannya begitu saja seperti sebuah sandal rusak."
"Itu memang salah," kataku. "Tapi itu seudah terjadi
ribuan tahun lalu. Apa hubungannya itu dengan aku?"
Pak D menatapku dingin. "Aku jatuh cinta pada
Ariadne, Nak. Aku sembuhkan luka hatinya. Dan saat dia
meninggal, aku menjadikannya sebagai istri abadiku di
Olympus. Dia masih menantiku hingga sekarang. Aku akan
kembali padanya begitu aku selesai dengan seabad hukuman
di perkemahan konyol kalian yang serasa berada di neraka."
Aku menatapnya. "Kau ... Bapak sudah menikah" Tapi
kukira kau mendapat masalah karena mengejar seorang peri
pohon?" "Maksud yang ingin kusampaikan adalah bahwa kalian
pahlawan tak pernah berubah. Kalian menuduh kami para
dewa bersikap dangkal. Kalian seharusnya melihat diri
kalian sendiri. Kalian hanya mengambil apa yang kalian
inginkan, memanfaatkan siapa pun yang kalian perlukan,
dan lantas kalian mengkhianati semua orang di sekitar
kalian. Jadi mengertilah mengapa aku tak pernah senang
dengan pahlawan. Mereka adalah kumpulan orang-orang
egois yang tak punya rasa terima kasih sedikit pun.
Tanyakan saja pada Ariadne. Atau medea. Bahkan, coba
saja tanyakan pada Zo? Nightshade."
"Apa maksud Bapak, tanyakan pada Zo??"
Dia melambaikan tangannya seperti mengusir.
"Pergilah. Itu teman-teman konyolmu itu."
Sulur-sulur pun melepas belitan seputar kakiku.
Aku mengerjapkan mata tak percaya. "Kau ... Bapak
membiarkannku pergi" Begitu saja?"
"Ramalan itu menyebutkan setidaknya dua dari kalian
akan mati. Barangkali aku beruntung dan kau termasuk
salah satunya. Tapi ingat kata-kataku, Putra Poseidon, hidup
atau mati, kau tak akan lebih baik dari pahlawan-pahlawan
bajingan lainnya." Bersamaan dengan itu, Dionysus menjentikkan jarinya.
Sosoknya melipat seperti pajangan kertas. Ada bunyi pop
dan dia pun menghilang, meninggalkan bau samar anggur
yang dengan cepat terhapus oleh hembusan angin.
Nyaris saja, ujar Blackjack.
Aku mengangguk, meski jadi berpikir bahwa aku tak
akan secemas ini jika saja Pak D menyeretku kembali ke
perkemahan. Fakta bahwa dia membiarkanku pergi
menunjukkan dia benar-benar meyakini bahwa kemungkinan besar kami akan hancur lebur dalam misi ini.
"Ayo, Blackjack," seruku, berusaha terdengar bersemangat. "Akan kubelikan kau donat di New Jersey."
Ternyata nantinya, aku tidak jadi membelikan Blackjack
donat di New Jersey. Zo? berkendara terus ke selatan seperti
orang sinting, dan kami hendak memasuki Maryland saat
dia akhirnya berhenti di tempat pemberhentian. Blackjack
nyaris terjatuh dari langit, saking letihnya.
Aku baik-baik saja, Bos, ujarnya terengah-engah.
Hanya ... hanya ambil napas.
"Berhentilah di sini," kataku padanya. "Aku akan
melihat-lihat." "Berhenti di sini," bagus itu. Aku bisa melakukannya.
Kukenakan topi tak kasat mataku dan berjalan
memasuki toko. Sulit untuk tak sembunyi-sembunyi. Aku
harus mengingatkan diriku sendiri bahwa tak ada siapa pun
yang bisa melihatku. Namun, itu pun sukar dilakukan karena
aku juga harus ingar untuk menyingkir dari arah jalan
orang-orang agar mereka tak menabrakku.
Aku berpikir aku akan masuk ke dalam dan menghangatkankan diri, barangkali sekalian mengambil segelas
cokelat panas atau semacamnya. Aku punya sedikit uang
receh dalam sakuku. Aku bisa meninggalkannya di konter.
Aku bertanya-tanya apakah gelas itu akan berubah tak kasat
mata saat aku memegangnya, atau apakah aku harus
berurusan dengan masalah cokelat panas terbang, ketika
seluruh rencanaku tiba-tiba dirusak oleh Zo?, Thalia,
Bianca, dan Grover yang melangkah keluar dari toko.
"Grover, apa kau yakin?"
"Yah ... cukup yakin. Sembilan puluh sembilan persen.
Oke, delapan puluh lima persen."
"Dan kau melakukannya dengan biji pohon ek?" tanya
Bianca, seolah dia tak bisa memercayainya.
Grover tampak tersinggung. "Itu adalah mantra
penelusuran jejak yang sudah jadi tradisi. Maksudku, aku
cukup yakin aku melakukannya dengan benar."
"D.C. kan hampir seratus kilometer dari sini," ujar
Bianca. "Nico dan aku ..." Dia mengernyitkan dahi. "Kami
dulu pernah tinggal di sana. Itu ... itu aneh. Aku sudah lupa
sama sekali." "Aku tak suka ini," ucap Zo?. "Kita seharusnya pergi
lurus ke Barat. Ramalan menyebutkan barat."
"Oh, memangnya kemahiran memburu jejakmu lebih
baik?" geram Thalia.
Zo? maju ke depan muka Thalia. "Kau menantang
kemahiranku, dasar babu dapur" Kau tak tahu sedikit pun
bagaimana jadi Pemburu!"
"Oh, babu dapur" Kau menyebut aku babu dapur"
Ejekan macam apa itu?"
"Woi, kalian berdua," Grover berkata gugup. "Ayolah.
Jangan bertengkar lagi!"
"Grover benar," kata Bianca. "D.C. adalah perkiraan
terbaik kita." Zo? tidak tampak yakin, tapi dia mengangguk dengan
Menyingkap Karen 8 Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bego 6