Kutukan Bangsa Titan 1
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Bagian 1
Untuk Topher Bradfield Pekemah yang telah menciptakan sebuah dunia
yang berbeda Isi Buku 1. Operasi Penyelamatanku Berjalan Kacau
2. Wakil Kepala Sekolah Mendapat Peluncur Misil
3. Bianca di Angelo Menetapkan Pilihan
4. Thalia Membakar New England
5. Aku Menelepon ke Saluran Bawah Air
6. Arwah Teman Lama Datang Berkunjung
7. Semua Membenciku Kecuali Sang Kuda
8. Aku Membuat Janji Berbahaya
9. Aku Belajar Cara Menumbuhkan Zombie-Zombie
10. Aku Merusakkan Beberapa Pesawat Roket
11. Grover Mendapat Lamborghini
12. Aku Pergi Berseluncur dengan Seekor Babi
13. Kami Mengunjungi Tempat Penampungan Sampah
Para Dewa 14. Aku Memiliki Masalah Bendungan Sialan
15. Aku Bergulat Melawan Kembaran Jahat Sinterklas
16. Kami Bertemu Naga dengan Bau Napas Keabadian
17. Aku Menambah Beberapa Juta Kilo Bobot Ekstra
18. Seorang Teman Mengucapkan Perpisahan
19. Para Dewa Memvoting Cara Membunuh Kami
20. Aku Mendapat Musuh Baru untuk Natal
Hari Jumat sebelum liburan musim dingin, ibuku mengemasiku tas untuk bermalam dan beberapa senjata
berbahaya dan mengantarku menuju sekolah asrama baru.
Kami menjemput teman-temanku, Annabeth dan Thalia, di
tengah perjalanan. Perjalanan memakan waktu delapan jam dari New York
menuju Pelabuhan Bar, Maine. Hujan es dan salju
berjatuhan menimpa jalan raya. Annabeth, Thalia, dan aku
tak bertemu satu sama lain selama beberapa bulan ini, tapi di
tengah badai salju dan berkecamuknya pikiran akan apa
yang akan kami lakukan, kami terlalu tegang untuk
mengobrol banyak. Kecuali bagi ibuku. Dia akan makin
banyak mengoceh saat tegang. Pada saat kami akhirnya tiba
di Asrama Westover, hari sudah gelap, dan ibu sudah
menceritakan pada Annabeth dan Thalia semua kisah-kisah
memalukanku di masa bayi.
Thalia menghapus embun dari jendela mobil dan
mengintip ke luar. "Oh, asyik. Bakalan seru nih."
Asrama Westover tampak seperti kastil milik kesatria
jahat. Gedung itu berbatu hitam semua, dengan menaramenara dan jendela-jendela melengkung dan satu set besar
pintu ganda kayu. Gedung itu bertengger di tebing salju
dengan pemandangan hutan luas berselimut salju di satu sisi
dan gulungan laut abu-abu di sisi lain.
"Apa kalian yakin kalian nggak ingin aku menunggu?"
tanya ibuku. "Nggak usah, makasih, Bu," ujarku. "Aku nggak tahu
berapa lama kami akan berada di sini. Kami akan baik-baik
saja." "Tapi bagaimana cara kalian kembali nanti" Ibu
khawatir, Percy." Kuharap wajahku tak merona. Sudah cukup buruk aku
harus meminta Ibu untuk mengantarku ke medan
pertarunganku. "Tidak apa-apa, Bu Jackson." Annabeth tersenyum
menenangkan. Rambut pirangnya dimasukkan dalam topi
skinya dan mata abu-abunya sewarna dengan laut. "Kami
akan menjauhkannya dari masalah."
Ibuku tampak sedikit lebih tenang. Dia berpendapat
Annabeth adalah anak setengah-dewa yang paling bisa
diandalkan yang pernah menginjak kelas delapan. Dia yakin
Annabeth sering kali menyelamatkanku saat nyawaku
terancam. Ibu benar, tapi itu tidak berarti bahwa aku
menyukai fakta itu. "Baiklah, Anak-anak," ujar ibuku. "Apa kalian punya
semua yang kalian butuhkan?"
"Siap semua, Bu Jackson," kata Thalia. "Terima kasih
atas tumpangannya." "Sweter tambahan" Kalian punya nomer ponsel Ibu?"
"Ibu?" "Ambrosia dan nektarmu, Percy" Dan sekeping
drachma emas kalau-kalau kau harus menghubungi
perkemahan?" "Ibu, serius! Kami akan baik-baik saja. Ayo, temanteman."
Ibu tampak sedikit sakit hati, dan aku menyesalinya,
tapi aku sudah siap keluar dari mobil. Kalau ibuku
menceritakan satu kisah lagi tentang bagaimana lucunya aku
di bak mandi saat umurku tiga tahun, aku akan menggali
lubang di benaman salju dan mengubur diriku sendiri
sampai mati beku. Annabeth dan Thalia keluar mengikutiku. Deru angin
menusuk langsung ke mantelku seperti hujaman belati es.
Begitu mobil ibuku sudah hilang dari penglihatan,
Thalia berkata, "Ibumu asyik banget, Percy."
"Dia memang lumayan asyik," aku mengakui.
"Bagaimana denganmu" Kau pernah berhubungan dengan
ibumu?" Begitu aku mengucapkannya, aku ingin segera
menariknya kembali. Thalia adalah jagonya dalam memberi
tatapan jahat, dengan pakaian gaya punknya yang selalu dia
kenakan"jaket tentara sobek-sobeknya, celana kulit hitam
dan perhiasan rantai, pensil mata hitam dan mata birunya
yang menusuk. Tapi tatapan yang dia berikan padaku saat
ini adalah tatapan jahat yang sempurna. "Itu sama sekali
bukan urusanmu, Percy?"
"Kita sebaiknya masuk ke dalam," Annabeth menyela.
"Grover akan menunggu."
Thalia memandangi kastil dan menggigil. "Kau benar.
Aku penasaran apa yang Grover temukan di sini hingga dia
mengirimkan sinyal darurat."
Aku mendongakkan pandangan pada menara-menara
gelap Asrama Westover. "Pastinya bukan sesuatu yang
baik," tebakku. Pintu-pintu kayu ek itu berderit membuka, dan kami bertiga
melangkah memasuki aula depan dengan jejak embusan
salju berputar-putar menyelubungi kami.
Yang bisa kukatakan hanyalah, "Wow."
Tempat itu sangat besar. Pada dinding-dindingnya
berjajar panji-panji perang dan panjangan senjata: senapan
antik, kapak perang, dan masih banyak lagi senjata jenis
lain. Maksudku, aku sih sudah tahu Westover adalah
sekolah militer, tapi dekorasi di gedung itu tampak seperti
pameran pembantaian. Sungguh.
Tanganku merogoh saku, tempat aku menyimpan pena
mematikanku, Riptide. Aku sudah dapat merasakan ada
yang tidak beres di tempat ini. Sesuatu yang berbahaya.
Thalia menggosok gelang peraknya, alat ajaib kesukaannya.
Aku tahu kami memikirkan hal yang sama. Siap-siap
bertarung. Annabeth baru berkata, "Aku ingin tahu di mana?"
saat tiba-tiba pintu-pintu membanting tertutup di belakang
kami. "Oo-ke," gumamku. "Kayaknya kita harus tinggal di
sini dulu sebentar."
Aku bisa mendengar alunan musik bergema dari sisi
lain aula. Suaranya terdengar seperti musik dansa.
Kami letakkan tas-tas bermalam kami di balik tiang dan
mulai berjalan menyusuri aula. Kami belum berjalan jauh
saat aku mendengar suara jejak kaki di lantai batu, dan
seorang pria dan wanita melangkah keluar dari bayangbayang untuk mencegat kami.
Mereka berdua memiliki rambut abu-abu pendek dan
seragam gaya-militer hitam dengan garis tepi merah. Sang
wanita memiliki kumis tipis, dan sang pria dengan kumis
tercukur licin yang tampak seperti terbalik buatku. Mereka
berdua berjalan dengan kaku, seolah ada gagang sapu terikat
di balik punggung mereka.
"Yah?" tuntut sang wanita. "Apa yang kalian lakukan
di sini?" "Em ..." Kusadari aku belum merencanakan hal ini.
Aku begitu terfokus untuk menemui Grover dan mencari
tahu masalahnya, sampai-sampai tak terpikir olehku
seseorang mungkin akan menanyakan apa yang diperbuat
tiga anak mengendap-endap memasuki sekolah di malam
hari. Kami bahkan tidak membicarakan sama sekali di
dalam mobil tentang bagaimana kami akan masuk. Aku
berkata, "Nyonya, kami hanya?"
"Ha!" bentak sang pria, yang membuatku terloncat.
"Pengunjung tidak diizinkan mengikuti pesta dansa! Kalian
harus segera kee-luarrgh!"
Nada bicara pria itu memiliki aksen"Prancis,
barangkali. Dia mengucapkan huruf r-nya seperti setengah
cadel setengah berkumur. Tubuhnya tinggi, dengan wajah
menyerupai elang. Lubang hidungnya mengembang saat dia
bicara, yang membuatku sulit untuk tak memperhatikan
hidungnya, dan matanya memiliki dua warna berbeda"satu
cokelat, satu biru"seperti kucing jalanan.
Aku merasa dia akan segera melempar kami kembali ke
salju, tapi kemudian Thalia melangkah ke depan dan
melakukan sesuatu yang sangat ganjil.
Dia menjentikkan jarinya. Suaranya begitu tajam dan
berisik. Mungkin itu hanya khayalanku saja, tapi aku merasa
embusan angin terlontar keluar dari genggaman tangannya,
menyebar ke sepenjuru ruangan. Angin itu bertiup mengitari
kami, membuat panji-panji yang terpajang di dinding
berkibar. "Oh, tapi kami bukanlah pengunjung, Pak," kata
Thalia. "Kami bersekolah di sini. Bapak ingat: Aku Thalia.
Dan ini Annabeth dan Percy. Kami murid di kelas delapan."
Guru pria itu memincingkan mata dua-warnanya. Aku
tak tahu apa yang dipikirkan Thalia. Sekarang kami
barangkali akan segera dihukum karena berdusta plus
dilempar kembali ke salju. Tapi pria itu tampak berpikir
ragu. Dia memandangi rekannya. "Nyonya Gottschalk, apa
kau kenal dengan murid-murid ini?"
Meski situasi berbahaya yang tengah kami hadapi, aku
harus menggigit lidahku untuk tak tertawa. Seorang guru
dengan nama Got Chalk"Punya Kapur" Dia pasti bercanda.
Wanita itu mengerjapkan matanya, seperti seseorang
yang baru tersadar dari lamunannya. "Saya ... iya. Saya rasa
iya, Pak." Wanita itu mengernyitkan keningnya memandang
kami. "Annabeth. Thalia. Percy. Apa yang kalian lakukan
keluar dari ruang gimnasium?"
Sebelum kami bisa menjawab, aku mendengar suara
langkah kaki lagi, dan Grover berlari, kehabisan napas.
"Kalian berhasil! Kalian?"
Dia segera menghentikan bicaranya saat melihat ke-dua
guru itu. "Oh, Bu Gottschalk. Dr. Thorn! Saya, eh?"
"Ada apa, Tuan Underwood?" kata sang pria. Nada
bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia membenci Grover.
"Apa maksud ucapanmu, mereka berhasil" Berhasil tiba"
Murid-murid ini tinggal di sini."
Grover menelan ludah. "Benar, Pak. Tentu saja, Dr.
Thorn. Maksud saya hanya, saya begitu gembira mereka
berhasil ... membuat sari buah untuk pesta dansa! Sari
buahnya enak sekali. Dan mereka yang membuatnya, lho!"
Dr. Thorn memelototi kami. Aku putuskan salah satu
matanya palsu. Yang cokelat" Atau yang biru" Dia terlihat
seperti ingin melempar kami dari menara kastil tertinggi,
tapi kemudian Nyonya Gottschalk berkata dengan tatapan
terhipnotis, "Benar, sari buahnya memang luar biasa.
Sekarang pergilah, kalian semua. Jangan tinggalkan ruang
gimnasium lagi!" Kami tak ingin diberi tahu dua kali. Kam beranjak pergi
dengan banyak lontaran "Baik, Bu" dan "Baik, Pak" dan
memberi hormat dua kali, hanya karena itu rasanya memang
yang sepantasnya dilakukan.
Grover segera menggiring kami menyusuri aula ke arah
sumber alunan musik. Aku bisa merasakan tatapan tajam kedua guru itu di
balik punggungku, tapi aku berjalan mendekati Thalia dan
bertanya dengan suara pelan, "Bagaimana cara kaulakukan
jentikan-jari itu?" "Maksudnya Kabut" Memangnya Chiron belum
menunjukkanmu caranya?"
Sebuah ganjalan menyekat tenggorokanku. Chiron
adalah pelatih kepala kami di perkemahahan, tapi dia tak
pernah mengajariku hal-hal seperti itu. Kenapa dia hanya
mengajari Thalia dan tidak diriku"
Grover membawa kami menuju pintu dengan tulisan
GIM di kaca jendelanya. Bahkan dengan penyakit
disleksiaku, aku bisa membaca tulisan sebanyak itu.
"Tadi nyaris sekali!" seru Grover. "Terpujilah para
dewa kalian bisa sampai di sini!"
Annabeth dan Thalia memeluk Grover. Aku
memberinya tos. Sungguh menyenangkan bisa bertemu dengannya
setelah beberapa bulan. Grover tumbuh makin tinggi dan
telah menumbuhkan sedikit jenggot baru, tapi selain dari itu
Grover tampak sama seperti biasanya saat dia menyamar
sebagai anak manusia"topi merah menyembunyikan
tanduk kambingnya, celana jins gombrong dan sepatu kets
dengan kaki palsu untuk me-nyembunyikan kaki berbulu
dan berkuku belahnya. Dia mengenakan kaus hitam yang
membutuhkan beberapa detik
untukku membacanya. Tulisannya ASRAMA WESTO-VER: DENGKUR. Aku tak
tahu apakah itu nama peringkat Grover atau barangkali
hanya slogan sekolah. "Jadi apa kondisi daruratnya?" tanyaku.
Grover menghela napas dalam. "Aku menemukan dua."
"Dua anak-blasteran?" tanya Thalia, takjub. "Di sini?"
Grover mengangguk. Menemukan satu anak-blasteran saja sudah sangat
langka. Tahun ini, Chiron menugaskan para satir untuk
bertugas lembur dalam misi darurat dan mengirim mereka
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke pelosok negeri, menjelajahi sekolah-sekolah dari kelas
empat SD sampai tingkat SMA untuk merekrut calon-calon
pahlawan baru. Ini adalah masa-masa genting. Kami mulai
kehilangan pekemah. Kami membutuhkan semua pejuang
baru yang bisa ditemukan. Masalahnya adalah, sebenarnya
tidak ada banyak anak setengah-dewa di luar sana.
"Laki-laki dan perempuan, bersaudara." katanya.
"Mereka sepuluh dan dua belas tahun. Aku nggak tahu garis
keturunannya, tapi mereka kuat. Kami mulai kehabisan
waktu, sayangnya. Aku butuh bantuan."
"Ada monster-monster?"
"Satu." Grover tampak tegang. "Dia curiga. Aku rasa di
juga belum yakin, tapi ini adalah hari terakhir tahun ajaran.
Aku yakin dia nggak akan membiarkan mereka meniggalkan
kampus tanpa mencari tahu. Ini mungkin kesempatan
terakhir kita! Setiap kalinya aku berusaha mendekati anakanak itu, dia selalu hadir, mencegatku. aku nggak tahu lagi
apa yang mesti kulakukan!"
Grover menatap Thalia putus asa. Aku berusaha untuk
tak terganggu oleh itu. Biasanya, Grover mendatangiku
untuk meminta bantuan, tapi Thalia memiliki senioritas.
Bukan hanya karena ayahnya adalah Zeus. Thalia lebih
berpengalaman dari kami semua dalam mengatasi monstermonster di dunia nyata.
"Oke," ujar Thalia. "Anak-anak blasteran ini ada di
pesta dansa?" Grover mengangguk. "Kalau begitu mari kita dansa," kata Thalia. "Siapa
monsternya?" "Oh," kata Grover, dan memandang berkeliling dengan
gugup. "Kalian baru saja ketemu dengannya. Sang wakil
kepala sekolah, Dr. Thorn."
Hal yang aneh dari sekolah-sekolah militer: anak-anaknya
berkelakuan sangat sinting saat sebuah perhelatan diadakan
dan mereka bisa melepas seragam mereka. Kurasa itu karena
segala sesuatunya begitu diatur ketat sepanjang waktu,
sehingga mereka merasa harus menebus atas apa yang
mereka lewatkan atau semacamnya.
Ada balon-balon hitam dan merah di sepenjuru lantai
gimnasium, dan anak-anak laki-laki menyepak balon-balon
itu ke muka satu sama lain, atau mencoba saling mencekik
dengan menggunakan kertas-krep dekorasi yang ditempel di
sepanjang dinding. Anak-anak perempuan berjalan-jalan
delam satu kerumunan regu sepak bola, seperti yang biasa
mereka lakukan, mengenakan banyak riasan wajah dan
pakaian atasan bertali dan celana panjang berwarna terang
dan sepatu-sepatu yang terlihat seperti alat penyiksa. Sekali
waktu mereka akan mengerubungi seorang pria malang
layaknya sekelompok ikan piranha, teriak-teriak dan
cekikikan, dan saat mereka menyingkir, rambut pria itu akan
penuh dengan pita-pita sementara mukanya penuh dengan
coretan lipstik. Beberapa anak laki-laki yang lebih tua
tampak lebih seperti aku"tak nyaman, seolah tak lama lagi
mereka akan terpaksa berjuang mempertahankan nyawa
mereka. Tentu saja, dalam kasusku, itu memang kenyataannya ....
"Itu mereka." Grover mengendikkan kepalanya ke arah
sepasang anak yang tengah berdebat di tribune. "Bianca dan
Nico di Angelo." Anak perempuannya mengenakan topi hijau berkelepai,
seolah dia ingin menyembunyikan wajahnya. Anak lakilakinya jelas adiknya. Mereka berdua memiliki rambut
hitam lurus dan kulit kecokelatan, dan mereka banyak
menggunakan gerak tangan saat bicara. Anak laki-laki itu
sedang mengocok kartu yang tampak seperti kartu koleksi.
Saudarinya tamapak seperti sedang mengomelinya akan
sesuatu. Dia terus menebarkan pandangan ke sekitar seolah
merasakan ada sesuatu yang salah.
Annabeth berkata, "Apa mereka ... maksudku, apa kau
sudah menjelaskannya pada mereka?"
Grover menggeleng. "Kau tahu kan bagaimana
biasanya. Hal itu akan semakin membahayakan mereka.
Begitu mereka menyadari siapa mereka sebernarnya, bau
mereka akan semakin kuat."
Grover memandangiku, dan aku mengangguk. Aku tak
pernah tahu sepertu apa "bau" anak-anak blasteran bagi
penciuman para monster dan satir, tapi aku tahu bau itu bisa
menyebabkanmu terbunuh. Dan semakin kau menjadi anak
setengah-dewa yang kuat, baumu akan semakin tercium
seperti santapan siang bagi monster.
"Ayo kita bawa mereka dan segera pergi dari sini,"
kataku. Aku mulai melangkah maju, tapi Thalia meletakkan
tangannya di pundakku. Wakil kepala sekolah, Dr. Thorn,
menyelinap keluar dari pintu dekat tribune dan sekarang
berdiri di dekat di Angelo bersaudara. Dia mengangguk
dingin ke arah kami. Mata birunya tampak bersinar.
Menilai dari raut mukanya, kurasa Thorn tidak
terkelabui oleh tipuan Kabut Thalia sedikit pun. Dia sudah
mencurigai kami. Dia hanya menunggu untuk mencari tahu
untuk apa kami ke sini. "Jangan pandangi anak-anak itu," Thalia memerintahkan. "Kita harus menunggu kesempatan untuk membawa
mereka. Kita harus berpura-pura nggak tertarik pada
mereka. Alihkan dia dari bau mereka."
"Gimana caranya?"
"Kita kan tiga anak blasteran yang kuat. Kehadiran kita
bisa membingungkannya. Berbaurlah. Bersikaplah wajar.
Berdansalah sedikit. Tapi tetap awasi kedua anak itu."
"Berdansa?" tanya Annabeth.
Thalia mengangguk. Dia memasang kuping untuk
mendengarkan musik dan membuat wajahnya masam. "Ih.
Siapa sih yang milih lagu-lagu Jesse McCartney?"
Grover tampak tersinggung. "Aku."
"Oh demi dewa dewi, Grover. Itu payah banget. Nggak
bisakah kau mainkan lagu-lagu kayak Green Day atau
semacamnya?" "Green apa?" "Lupakan saja. Ayo kita dansa."
"Tapi aku nggak bisa dansa!"
"Bisa saja kalau aku yang memimpin," kata Thalia.
"Ayolah, bocah kambing."
Grover memekik tertahan saat Thalia menarik
tangannya dan menggiringnya ke lantai dansa.
Annabeth tersenyum. "Kenapa?" tanyaku.
"Nggak ada apa-apa. Senang saja Thalia kembali."
Annabeth telah tumbuh lebih tinggi dariku sejak musim
panas tahun lalu, yang menurutku agak mengganggu.
Biasanya dia tak pernah mengenakkan perhiasan sama sekali
kecuali kalung manik-manik Perkemahan Blasterannya, tapi
kini dia mengenakan anting-anting perak kecil berbentuk
burung hantu"simbol ibunya, Athena. Annabeth mencopot
topi skinya, dan rambut pirang panjangnya tergerai ke
bawah bahunya. Membuatnya tampak lebih dewasa, entah
kenapa. "Jadi ..." aku berusaha memikirkan sesuatu untuk
dikatakan. Bersikaplah wajar, Thalia sudah berpesan pada
kami. Saat kau adalah anak-blasteran dalam misi berbahaya,
memangnya ada yang wajar" "Em, merancang gedung yang
bagus baru-baru ini?"
Mata Annabeth berbinar, seperti biasanya saat dia
berbicara tentang arsitektur. "Oh demi dewa dewi, Percy. Di
sekolah baruku, aku bisa mengambil rancang 3-D sebagai
mata pelajaran pilihan, dan ada program komputer keren
banget yang ..." Annabeth terus mengoceh tentang bagaimana dia telah
merancang monumen besar yang ingin dia bangun di bekas
lokasi gedung World Trade Center di Manhattan. Dia
menceritakan tentang penompang strukturnya dan bagian
facade gedung dan semacamnya, dan aku berusaha untuk
mendengar. Aku tahu Annabeth ingin menjadi arsitek super
saat besar nanti"dia menggemari matematika dan gedunggedung bersejarah dan semua hal itu"tapi aku tak mengerti
satu kata pun yang dia terangkan.
Sejujurnya aku agak kecewa mendengar dia sangat
menyukai sekolah barunya. Itu adalah kali pertama
Annabeth memasuki sekolah New York. Aku berharap akan
bisa bertemu dengannya lebih sering. Sekolah barunya
adalah sekolah asrama di Brooklyn, dan dia dan Thalia
sama-sama terdaftar sebagai murid di sana. Lokasinya
cukup dekat dengan Perkemahan Blasteran hingga Chiron
bisa datang membantu kalau-kalau mereka terlibat masalah.
Namun karena itu adalah sekolah khusus perempuan, dan
aku masuk sekolah MS-54 di Manhattan, sehingga hampir
tak pernah bertemu dengan mereka.
"Iya deh, eh, asyik dong," kataku. "Jadi kau akan
menetap di sana sepanjang akhir tahun ini, yah?"
Wajahnya berubah mendung. "Yah, barangkali, kalau
aku nggak?" "Hei!" Thalia memanggil kami. Dia sedang berdansa
slow dengan Grover, yang terus-terusan menginjak kakinya
sendiri, menedang Thalia tepat di tulang kering, dan tampak
ingin segera mati. Setidaknya kakinya adalah palsu. Tidak
sepertiku, Grover punya alasan atas keceroboh-annya.
"Berdansalah, kalian!" Thalia memerintahkan. "Kalian
tampak kayak orang tolol cuma berdiri di sana."
Aku menatap gelisah pada Annabeth, kemudian pada
sekumpulan gadis yang mengitari ruang gimnasium.
"Gimana?" kata Annabeth.
"Em, siapa yang mesti kuajak?"
Dia menonjok perutku. "Aku, dasar Otak Ganggang."
"Oh. Oh, betul juga."
Maka kami berjalan ke lantai dansa, dan aku memandangi untuk melihat bagaimana cara Thalia dan Grover
berdansa. Kuletakkan satu tanganku di pinggul Annabeth,
dan dia menjepit tanganku yang lain seperti hendak
membantingku dalam pertandingan judo.
"Aku nggak akan menggigit," katanya padaku. "Yang
benar deh, Percy. Apa kalian anak laki-laki nggak pernah
berdansa di sekolah kalian?"
Aku tak menjawab. Sebenarnya kami juga memiliki
pesta dansa di sekolah. Tapi aku tak pernah benar-benar
berdansa di pesta itu. Aku biasanya mengikuti kumpulan
laki-laki yang bermain bola basket di pojokan.
Kami berdansa beberapa menit. Aku berusaha
berkonsentrasi pada hal-hal kecil, seperti hiasan kertaskertas krep dan mangkuk sari buah"apa pun selain fakta
bahwa Annabeth lebih tinggi dariku, dan tanganku basah
oleh keringat dan barangkali terasa menjijikkan, dan aku
terus-terusan menginjak jempol kakinya.
"Apa yang mau kau bicarakan tadi?" tanyaku. "Apa
kau menemui masalah di sekolah atau semacamnya?"
Annabeth mengerutkan bibirnya. "Bukan itu. Ayahku."
"O-ow." Aku tahu Annabeth memiliki hubungan yang
rentan dengan ayahnya. "Kukira hubungan kalian makin
membaik. Apa masalahnya dari ibu tirimu lagi?"
Annabeth mendesah. "Ayah memutuskan untuk pindah.
Tepat saat aku mulai kerasan di New York, dia mengambil
pekerjaan baru yang bodoh, meneliti untuk buku Perang
Dunia 1. Di San Francisco."
Dia mengatakan hal ini seolah sedang membicarakan
tentang Padang Hukuman atau celana senam Hades.
"Jadi dia ingin kau ikut pindah ke sana bersamanya?"
tanyaku. "Ke belahan lain negeri," katanya muram. "Dan anakanak blasteran kan nggak bisa tinggal di San Francisco. Dia
seharusnya tahu itu."
"Apa" Kenapa begitu?"
Annabeth memutar bola matanya. Mungkin dia
mengira aku hanya bercanda. "Kau tahulah. Itu kan ada di
sana." "Oh," ujarku. Aku sama sekali nggak mengerti apa
yang dia bicarakan, tapi aku tak ingin terkesan bodoh. "Jadi
... kau akan kembali tinggal di perkemahan atau
bagaimana?" "Masalahnya lebih serius dari itu, Percy. Aku ... aku
mungkin harus menceritakan sesuatu kepadamu."
Tiba-tiba Annabeth memantung. "Mereka menghilang."
"Apa?" Aku mengikuti arah pandangannya. Bangku penonton.
Kedua anak blasteran itu, Bianca dan Nico, sudah tak lagi
ada di sana. Pintu di dekat Tribune itu terbuka lebar. Sosok
Dr. Thorn tak terlihat di mana pun.
"Kita harus panggil Thalia dan Grover!" Annabeth
memandang ke sekitar dengan kalut. "Oh, ke mana sih
mereka pergi berdansa" Ampun deh!"
Annabeth berlari ke arah kerumunan. Aku baru hendak
menyusul saat gerombolan anak perempuan menghalang
lajuku. Aku bergerak lincah menghindari mereka agar tak
mendapat pernak pita-dan-lipstik itu, dan pada saat aku
terbebas, Annabeth menghilang dari pandangan. Aku
memutar tubuhku, mencari-cari sosok Annabeth atau Thalia
dan Grover. Alih-alih, aku melihat sesuatu yang
membekukan darahku. Sekitar lima belas meter sari tempatku berdiri,
tergeletak di lantai gimnasium, adalah sebuah topi hijau
berkelepai sama persis seperti yang tadi dikenakan Bianca di
Angelo. Di dekatnya kartu-kartu koleksi bertebaran.
Kemudian aku menemukan sekilas sosok Dr. Thorn. Dia
dengan tergesa-gesa memasuki pintu di ujung seberang
ruangan, menggiring anak-anak di Angelo dengan menarik
tengkuk mereka, seperti anak-anak kucing.
Aku masih belum menemukan Annabeth, kemudian
aku berpikir, Tunggu dulu.
Aku ingat apa yang dikatakan Thalia padaku di aula
masuk, menatapku bingung saat aku menanyakan padanya
tentang trik jentikan-jari itu: Memangnya Chiron belum
menunjukkan padamu caranya" Aku memikirkan
bagaimana Grover beralih ke dirinya, mengharapkan untuk
menjadi sosok penyelamat.
Bukannya aku membenci Thalia. Dia orangnya baik.
Bukan salahnya ayahnya adalah Zeus dan dia mendapat
seluruh perhatian .... Namun tetap saja, aku kan tak perlu
selalu berlari ke dirinya untuk menyelesaikan setiap
masalah. Lagi pula, kami tak punya banyak waktu. Di
Angelo bersaudara terancam bahaya. Bisa jadi mereka sudah
akan lama menghilang pada saat kutemukan temantemanku. Aku cukup tahu dengan para monster. Aku bisa
mengatasi ini sendiri.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukeluarkan Riptide dari sakuku dan segera berlari
mengejar Dr. Thorn. *** Pintu itu mengarah ke lorong gelap. Kudengar suara-suara
perkelahian di depan, kemudian suara geram kesakitan.
Kubuka tutup Riptide. Pena itu tumbuh membesar di tanganku sampai
kugenggam pedang perunggu Yunani sepanjang satu meter
dengan gagang bersampul-kulit. Pedang itu memendarkan
sinar lemah, melemparkan cahaya keemasan ke deretan
loker. Aku berlari pelan menyusuri lorong, tapi pada saat aku
sampai di ujung, tak ada siapa pun di sana. Kubuka pintu
dan kutemukan diriku kembali ke aula masuk utama. Aku
benar-benar dipalingkan. Aku tak menemukan sosok Dr.
Thorn di mana pun, tapi di sana, di ujung seberang ruangan,
tampak anak-anak di Angelo. Mereka berdiri memantung
ketakutan, menatap tepat ke arahku.
Aku maju perlahan, menurunkan mata pedangku.
"Tenanglah. Aku tak akan melukai kalian."
Mereka tak menjawab. Mata mereka penuh rasa takut.
Ada apa sebenarnya dengan mereka" Di mana Dr. Thorn
itu" Barangkali dia merasakan kehadiran Riptide dan
mundur. Para monster membenci senjata-senjata berbahan
perunggu langit. "Namaku Percy," kataku, berusaha membuat suaraku
terdengar tenang. "Aku akan membawa kalian keluar dari
sini, membawa kalian ke tempat aman."
Mata Bianca membeliak. Kepalan tangannya mengeras.
Sudah terlambat saat aku menyadari apa arti dari tatapannya.
Dia tidak takut padaku. Dia berusaha memperingatkanku.
Kubalikkan tubuh dan sesuatu melesat SYUUUT! Rasa
nyeri meledak di pundakku. Kekuatan seperti sebuah tangan
besar menyentakkanku ke belakang dan membenturku ke
tembok. Kuayun pedangku tapi tak ada yang bisa dikenai.
Suara tawa dingin bergema ke sepenjuru lorong.
"Benar, Perseus Jackson," kata Dr. Thorn. Aksennya
merusak huruf J di nama belakangku, membuat seperti Z.
"Aku tahu siapa kamu."
Aku berusaha membebaskan bahuku. Mantel dan
kemejaku tertancap ke dinding oleh suatu tusukan"sebuah
proyektil seperti belati hitam sekitar tiga puluh senti.
Tusukan itu menggores kulit pundakku saat ia menembus
pakaianku, dan luka sayatan itu membakar. Aku sudah
pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Racun.
Kupaksakan diri untuk berkonsentrasi. Aku tak boleh
pingsan. Sebuah siluet hitam sekarang bergerak mendekati kami.
Dr. Thorn berjalan ke arah remang-remang cahaya. Dia
masih tampak seperti manusia, tapi wajahnya seperti
siluman. Dia memiliki gigi-gigi putih sempurna dan mata
cokelat/birunya memantulkan cahaya dari pedangku.
"Terima kasih sudah mau keluar dari ruang gimnasium," katanya. "Aku benci acara dansa SMP."
Aku berusaha mengayunkan pedangku lagi, tapi dia
berada di luar jangkauan.
SYUUUT! Proyektil kedua melesat dari suatu tempat di
belakang Dr. Thorn. Dia tidak tampak bergerak. Seolah-olah
ada seseorang tak kasat mata yang berdiri di belakangnya,
melemparkan sejumlah belati.
Di sebelahku, Bianca memekik. Duri kedua menancap
ke tembok batu, hanya berjarak satu senti dari wajahnya.
"Kalian bertiga akan ikut denganku," kata Dr. Thorn.
"Pelan-pelan. Dengan patuh. Kalau kalian membuat sedikit
suara, kalau kalian berteriak meminta bantuan atau cobacoba melawan, akan kutunjukkan seberapa jitunya
lemparanku."[] Aku tak tahu monster jenis apa Dr. Thorn itu, tapi yang
jelas dia sangat cepat. Barangkali aku bisa membela diriku kalau saja aku bisa
mengaktifkan perisaiku. Yang kubutuhkan hanya menyentuh jam tanganku. Namun membela nyawa anak-anak
di Angelo adalah masalah lain, aku butuh pertolongan, dan
hanya ada satu cara yang terpikir olehku untuk
mendapatkan. Kupejamkan mata. "Apa yang kaulakukan, Jackson?" desis Dr. Thorn.
"Terus berjalan!"
Aku membuka mata dan terus bergerak maju.
"Bahuku," aku berbohong, berusaha terdengar kesakitan,
yang memang tak sulit. "Rasanya seperti terbakar."
"Bah! Racunku hanya menyebabkan rasa sakit. Ia tak
akan membunuhmu. Jalan terus!"
Thorn menggiring kami ke luar, dan aku berusaha
memusatkan pikiran. Kubayangkan wajah Grover. Aku
memusatkan pada perasaan takut dan terancamku. Musim
panas lalu, Grover telah menciptakan sambungan empati di
antara kami. Dia mengirimiku bayangan-bayangan dalam
mimpiku untuk memberitahuku bahwa dia sedang terancam
bahaya. Sejauh pengetahuanku, kami berdua masih
tersambung, tapi aku belum pernah berusaha menghubungi
Grover sebelumnya. Aku bahkan tak tahu apakah
sambungan ini akan bekerja saat Grover dalam keadaan
terjaga. Hei, Grover! Pikirku. Thorn menculik kami! Dia
adalah maniak pelempar duri beracun! Tolong!
Thorn membawa kami memasuki hutan. Kami berjalan
di jalur bersalju dengan penerangan temaram dari cahaya
lampu model kuno. Pundakku nyeri. Angin yang berembus
menusuk pakaianku yang koyak, begitu dinginnya sampaisampai aku merasa bagai es krim rasa percy.
"Ada tanah kosong di depan," kata Thorn. "Kami akan
memanggil kendaraan kalian."
"Kendaraan apa?" tuntut Bianca. "Ke mana kau akan
membawa kami?" "Diamlah, gadis menjengkelkan!"
"Jangan bicara begitu pada kakakku!" ujar Nico.
Suaranya bergetar, tapi aku terkesan pada nyalinya yang
berani bicara. Dr. Thorn membuat suara geraman yang jelas bukan
suara manusia. Suara itu membuat bulu kudukku merinding,
tapi aku memaksa diriku untuk terus berjalan dan berpura-
pura menjadi bocah tawanan yang manis. Sementara itu,
kukirimkan pikiran-pikiranku bak orang gila"apa pun
untuk mendapat perhatian Grover: Grover! Apel-apel!
Kaleng timah, kaleng timah! Cepatlah bawa pantat kambing
berbulumu kemari dan bawa serta beberapa teman
bersenjata lengkap! "Berhenti," kata Thorn.
Bentangan jalan hutan membuka. Kami tiba di tebing
yang memandang lautan. Setidaknya, aku merasakan
adanya laut di bawah sana, ratusan meter di bawah. Aku
bisa mendengar ombak-ombak berdesir dan aku bisa
menghirup buih-buih air garam dingin. Namun yang bisa
kulihat hanyalah kabut dan kegelapan.
Dr. Thorn mendorong kami menuju tebing. Aku
terhuyung, dan Bianca menangkapku.
"Makasih," gumamku.
"Makhluk apa dia sebenarnya?" bisiknya. "Bagaimana
kita bisa melawanya?"
"Aku ... aku sedang mengusahakannya."
"Aku takut," gumam Nico. Dia memainkan sesuatu"
seperti mainan prajurit kecil dari logam.
"Berhenti bicara!" kata Dr. Thorn. "Menghadaplah ke
arahku!" Kami membalikkan tubuh. Mata dua-warna Thorn berbinar lapar. Dia menarik
sesuatu dari balik mantelnya. Pada awalnya kukira itu
adalah pisau lipat otomatis, tapi ternyata itu hanya sebuah
telepon. Dia memencet tombol di pinggir dan berkata,
"Paketnya"sudah siap dikirim."
Ada suara jawaban tak jelas di ujung sana, dan kusadari
Thorn sedang bicara dengan gaya walkie-talkie. Ini tampak
terlalu modern dan menakutkan"monster menggunakan
telepon genggam. Aku memandang ke belakangku, penasaran seberapa
dalamnya ujung tebing ini hingga ke dasar.
Dr. Thorn tertawa. "Ya ampun, Putra Poseidon.
Lompatlah! Di sana ada laut. Selamatkan dirimu."
"Dia menyebutmu apa barusan?" gumam Bianca.
"Akan kujelaskan nanti," kataku.
"Kau punya rencana, kan?"
Grover! Pikirku putus asa. Datanglah padaku!
Barangkali aku bisa mengajak kedua anak di Angelo
untuk melompat bersamaku ke laut. Kalau kami terjun
dengan selamat, aku bisa gunakan air untuk melindungi
kami. Aku sudah pernah melakukan hal-hal seperti itu
sebelumnya. Kalau suasana hati ayahku sedang baik, dan
mendengarkan, dia mungkin akan membantu. Mungkin.
"Aku akan membunuhmu sebelum kau bisa sampai ke
air," ujar Dr. Thorn, seolah membaca pikiranku. "Kau tak
tahu siapa aku sebenarnya, yah?"
Sekerjap gerakan di belakangnya, dan sebuah misil lain
berdering begitu dekat denganku hingga ia menggores
kupingku. Sesuatu melesat dari balik tubuh Dr. Thorn"
seperti ketapel, tapi lebih lentur ... lebih mirip seperti ekor.
"Sayangnya," kata Thorn, "kau diinginkan hidup-hidup,
kalau memungkinkan. Kalau tidak kau pasti sudah mati dari
tadi." "Siapa yang menginginkan kami?" desak Bianca.
"Karena kalau kau mengira kau bisa mendapat uang
tebusan, kau salah besar. Kami nggak punya keluarga. Nico
dan aku ..." Suaranya sedikit pecah. "Kami nggak punya
siapa pun kecuali satu sama lain."
"Aduh betapa malangnya," ujar Dr. Thorn. "Jangan
khawatir, anak-anak manja. Kalian akan menemui bosku tak
lama lagi. Kemudian kalian akan mendapatkan sebuah
keluarga baru." "Luke," kataku. "Kau bekerja untuk Luke."
Mulut Dr. Thorn berkedut jijik saat aku menyebut nama
musuh lamaku"mantan teman yang berusaha membunuhku
beberapa kali. "Kau tak tahu sama sekali apa yang sedang
terjadi, Perseus Jackson. Akan kubiarkan sang Jendral
memberi pencerahan padamu. Kau akan memberi bantuan
besar untuknya malam ini. Dia sangat menanti untuk
bertemu denganmu." "Sang Jendral?" tanyaku. Lalu kusadari aku mengucapkan kata itu dengan aksen Prancis. "Maksudku ... siapa
Jenderal itu?" Thorn memandang ke cakrawala. "Ah, inilah ia.
Kendaraan kalian." Aku berbalik dan melihat pijar cahaya di kejauhan,
sebuah lampu sorot di atas laut. Kemudian suara balingbaling helipkopter terdengar semakin deras dan mendekat.
"Ke mana kau akan membawa kami?" kata Nico.
"Kau harusnya merasa tersanjung, Nak. Kau akan
mendapat kesempatan untuk bergabung dengan bala tentara
yang luar biasa! Persis seperti permainan konyol yang kau
mainkan dengan kartu-kartu dan boneka-boneka itu."
"Itu bukan boneka! Itu adalah replika kecil! Dan kau
bisa bawa saja bala tentaramu itu dan?"
"Tenang dulu," Dr. Thorn memperingatkan. "Kau akan
mengubah pikiran untuk bergabung dengan kami, Nak. Dan
kalu tidak, yah ... masih ada kegunaan lain dari anak-anak
blasteran. Kami punya banyak mulut-multu monster untuk
diberi makan. Masa Kebangkitan Besar akan segera tiba."
"Masa apa?" tanyaku. Apa pun untuk membuatnya
tetap bicara sementara aku berusaha mencari cara
membebaskan diri. "Kebangkitan para monster." Dr. Thorn tersenyum
jahat. "Monster-monster paling buruk, paling berkuasa, kini
mulai bangkit. Monster-monster yang tak pernah terlihat
selama ribuan tahun. Mereka akan menyebabkan kematian
dan kehancuran dengan cara yang tak pernah disangkasangka oleh manusia. Dan tak lama lagi kami akan
mendapat monster terpenting dari semuanya"yang akan
menentukan kejatuhan Olympus!"
"Oke," Bianca berbisik padaku. "Dia jelas-jelas
sinting." "Kita harus melompat dari tebing," kataku padanya
pelan. "Terjun ke laut."
"Oh, ide hebat. Kau juga sama sintingnya."
Aku tak sempat berdebat dengannya, karena tepat saat
itu kekuatan tak kasat mata menabrak tubuhku.
Mengingat ulang kejadian itu, tindakan Annabeth sungguh
brilian. Dengan mengenakan topi tak kasat matanya, dia
menerjang ke di Angelo bersaudara dan aku, menjatuhkan
kami ke tanah. Selama setengah detik, Dr. Thorn terkejut,
hingga semburan pertama misilnya melenceng melewati
kepala kami. Hal itu memberi Thalia dan Grover
kesempatan untuk menyerang dari belakang"Thalia
menggunakan perisai ajaibnya, Ageis.
Kalau kau belum pernah melihat Thalia memasuki
medan pertarungan, kau tentu belum pernah merasakan
takut yang sesungguhnya. Dia menggunakan tombak besar
yang memanjang dari kaleng Mace"Gada, yang bisa
menciut dan selalu dia bawa dalam sakunya, tapi bukan itu
bagian seramnya. Perisainya dibuat mengikuti senjata yang
digunakan ayahnya Zeus"juga disebut Aegis"sebuah
hadiah dari Athena. Perisai itu memiliki kepala sang gorgon
Medusa tertempel dalam lapisan perunggunya, dan
meskipun ia tak akan mengubahmu jadi batu, perisai itu
tetap begitu mengerikan, hingga kebanyakan orang akan
panik dan kabur saat melihatnya.
Bahkan Dr. Thorn mengernyit dan menggeram ketika
dia melihatnya. Thalia bergerak maju dengan tombaknya. "Demi
Zeus!" Kukira Dr. Thorn sudah akan langsung mampus. Thalia
menusuk kepalanya, tapi dia mengerang dan menangkis
tombak itu ke samping. Tangannya berubah ke bentuk
tangan hewan jingga, dengan cakar sangat besar yang
melecutkan bunga-bunga api saat menggores perisai Thalia.
Kalau bukan karena Aegis, Thalia pasti sudah akan teriris
bak selembar roti. Namun, dia berhasil berguling ke
belakang dan kembali berdiri.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara helikopter semakin bising di belakangku, tapi aku
tak berani menoleh. Dr. Thorn kembali melontarkan misil ke arah Thalia,
dan kali ini aku melihat bagaimana dia melakukannya. Dia
punya ekor"ekor dengan kulit keras serupa kalajengking
yang mencuat dengan duri-duri di ujungnya. Misil-misil itu
berhasil ditangkal Aegis, tapi kekuatan hantamannya
membuat Thalia terjungkal.
Grover melompat ke depan. Dia menaruh serulingnya
ke bibir dan mulai memainkannya"lagu rancak yang
terdengar seperti alunan musik yang akan membuat para
perompak berjoget. Rerumputan menyeruak dari lapisan
salju. Dalam hitungan detik, rumput liar setebal tali melilit
kaki Dr. Thorn, membelitnya.
Dr. Thorn meraung dan mulai berubah wujud. Dia
tumbuh membesar hingga ke ukuran aslinya"wajahnya
masih manusia, tapi tubuhnya serupa harimau besar. Ekor
keras berdurinya melecutkan duri-duri mematikan ke segala
arah. "Manticore!" seru Annabeth, yang kini menampakkan
diri. Topi ajaib New York Yankeesnya terlepas saat dia
menerjang ke arah kami. "Siapa kalian sebenarnya?" Bianca di Angelo mendesak. "Dan apa itu?"
"Manticore?" dengap Nico. "Dia punya kekuatan
serangan tiga ribu dan plus lima untuk melempar lemparan!"
Aku tak mengerti apa yang Nico bicarakan, tapi aku tak
punya waktu untuk mencemaskannya. Sang Manticore
mencabik rumput-rumput liar ajaib Grover hingga bercarikcarik, kemudian berbalik menghadap kami dengan geram.
"Tiarap!" Annabeth mendorong anak-anak di Angelo
rebah ke tanah bersalju. Pada detik terakhir, aku teringat
akan perisaiku sendriri. Kutekan jam tanganku, dan pelat
logamnya melingkar keluar menjadi sebuah perisai
perunggu tebal. Tepat pada waktunya. Segera duri-duri
menancap dengan kekuatan besar hingga memenyokkan
logamnya. Perisai indah itu, hadiah dari saudaraku, dirusak
parah. Aku bahkan tak yakin perisai ini masih bisa
digunakan untuk menangkis semburan duri-duri berikutnya.
Kudengar suara hantaman dan pekikan, dan Grover
mendarat di sebelahku dengan berdebum.
"Menyerahlah!" raung sang monster.
"Tak akan pernah!" teriak Thalia dari seberang
lapangan. Dia menerjang ke arah monster, dan selama
sedetik, kukira Thalia akan langsung menusuknya. Tapi
lantas ada suara-suara bising dan seberkas sinar dari arah
belakang kami. Helipkopter muncul dari balik kabut,
melayang-layang di dekat tebing. Itu adalah helikopter
hitam mengilat gaya-militer bersenjata, lengkap dengan
tambahan senjata di sisi yang tampak seperti roket-roket
berpenuntun laser. Helikopter itu pasti dikendarai oleh
manusia, tapi untuk apa helikopter itu ada di sini"
Bagaimana mungkin manusia bisa bekerja dengan monster"
Cahaya lampu sorot itu membutakan Thalia, dan sang
manticore mengenyahkannya ke samping dengan kibasan
ekornya. Perisai Thalia mental ke salju. Tombaknya
melayang ke arah lain. "Tidak!" Aku berlari menolongnya. Aku menangkis
sebuah duri tepat sebelum ia akan menusuk dada Thalia.
Kuangkat perisaiku untuk melindungi kami, tapi aku tahu
itu tak akan cukup. Dr. Thorn tertawa. "Sekarang sudah kalian sadari
betapa sia-sianya ini" Menyerahlah, pahlawan-pahlawan
cilik." Kami terperangkap antara satu monster dan sebuah
helikopter bersenjata lengkap. Kami benar-benar tak punya
kesempatan. Kemudian kudengar suara yang begitu jelas dan tajam:
bunyi tiupan trompet berburu dari arah hutan
Sang manticore memantung. Semenit, tak ada yang
bergerak. Hanya ada embusan angin dan salju dan desing
baling-baling helikopter.
"Tidak," kata Dr. Thorn. "Tak mungkin?"
Kalimatnya terputus saat sesuatu melesat melewatiku
seperti sebias cahaya rembulan. Sebuah panah perak berpijar
muncul di bahu Dr. Thorn.
Dia terhuyung ke belakang, merintih kesakitan.
"Terkutuklah kau!" raung Thorn. Dia melepaskan duridurinya, lusinan duri langsung, ke tengah hutan tempat asal
panah tadi, tapi dengan sama cepatnya, panah-panah perak
melesat sebagai balasan. Kelihatannya seolah panah-panah
itu menabrak duri-duri Dr. Thorn di tengah udara dan
membelahnya jadi dua, tapi mataku pasti menipu
pandanganku. Tak ada seorang pun, bahkan anak-anak
Apollo di perkemahan, yang bisa menembak dengan
ketepatan seperti itu. Sang manticore mencabut panahnya dari pundaknya
dengan erang kesakitan. Napasnya berat. Aku mencoba
mengayunkan pedangku ke arahnya, tapi dia tak secedera
kelihatannya. Dia mengelak dari seranganku dan menghantamkan ekornya ke perisaiku, mementalkanku ke
samping. Kemudian para pemanah muncul dari balik hutan.
Mereka adalah anak-anak perempuan, ada sekitar selusin.
Yang paling kecil barangkali berumur sepuluh tahun. Yang
tertua, sekitar empat belas, sepertiku. Mereka mengenakan
jaket ski bertudung bulu binatang warna perak dan celana
jins, dan mereka semua bersenjatakan busur. Mereka maju
ke arah manticore dengan ekspresi tegas.
"Para Pemburu!" seru Annabeth.
Di sebelahku, Thalia bergumam, "Oh, hebat deh."
Aku tak sempat menanyakan apa maksudnya.
Salah satu pemanah yang lebih besar melangkah ke
depan dengan busur siaga. Dia tinggi dan anggun dengan
kulit sewarna tembaga. Tak sama seperti gadis-gadis lain,
dia mengenakan lingkaran kepang perak terjalin di bagian
atas rambut hitam panjangnya, membuatnya tampak seperti
putri dari Persia. "Izin untuk membunuh, Yang Mulia?"
Aku tak tahu siapa yang dia ajak bicara, karena dia
memakukan pandangannya lurus ke arah sang manticore.
Sang monster mengerang. "Ini tidak adil! Keterlibatan
langsung! Ini bertentangan dengan Hukum Purba!"
"Tidak juga," sahut seorang gadis lain. Gadis ini sedikit
lebih muda dariku, barangkali dua belas atau tiga belas tahu.
Dia memiliki rambut cokelat kemerahan terikat kuncir kuda
dan mata yang aneh, kuning keperakan seperti warna bulan.
Wajahnya begitu cantik hingga membuat napasku tertahan,
tapi raut wajahnya tegas dan berbahaya. "Pemburuan semua
makhluk buas yang berkeliaran berada dalam medanku. Dan
kau, makhluk jahat, termasuk makhluk buas." Dia
memandang ke arah gadis yang lebih tua dengan lingkar
kepang. "Zo?, izin diberikan."
Sang manticore menggeram. "Kalau aku tak bisa
mendapatkan anak-anak ini hidup-hidup, aku akan
mendapatkan mereka dalam keadaan mati!"
Dia menerjang ke arah Thalia dan aku, tahu kami
sedang lengah dan kebingungan.
"Tidak!" teriak Annabeth, dan dia menerjang ke arah
monster. "Mundur, anak blasteran!" gadis dengan lingkar kepang
berseru. "Keluar dari garis tembakan!"
Tapi Annabeth melompat ke punggung monster dan
memasukkan belatinya ke tengkuknya. Sang manticore
meraung, berputar-putar dengan ekor mengibas-ngibas
udara saat Annabeth bergantungan mempertahankan diri.
"Tembak!" perintah Zo?.
"Jangan!" teriakku.
Tapi para Pemburu itu membiarkan panah-panah
mereka bertebangan. Panah pertama menancap ke leher sang
manticore. Panah lain menusuk dadanya. Sang manticore
terhuyung ke belakang, mengerang. "Ini bukan akhirnya,
Pemburu! Kalian akan mendapatkan balasannya!"
Dan sebelum siapa pun bisa bereaksi, sang monster,
dengan Annabeth masih bergantungan di punggungnya,
melompat ke tebing dan terjatuh ke dalam kegelapan.
"Annabeth!" aku berteriak.
Aku mulai berlari ke arahnya, tapi musuh kami belum
selesai mengurusi kami. Ada suara dor-dor-dor dari
helikopter"suara tembakan senjata.
Sebagian besar Pemburu berlari memencar saat lubanglubang kecil muncul di salju di bawah kaki mereka, tapi
gadis berambut cokelat kemerahan itu hanya mendongak
dengan tenang ke arah helikopter.
"Manusia," dia mengumumkan, "tidak diizinkan untuk
menyaksikan perburuanku."
Gadis itu mengulurkan tangannya, dan helikopter itu
pun meledak dalam gumpalan debu"buka, bukan debu.
Logam hitam itu membuyar jadi kerumunan burung"
burung-burung gagak, yang terbang menyebar ke langit
malam. Para pemburu mendekati kami.
Gadis bernama Zo? berhenti saat melihat Thalia.
"Kau," ujarnya dengan nada muak.
"Zo? Nightshade." Suara Thalia bergetar dengan
amarah. "Wktu yang tepat, seperti biasanya."
Zo? memandangi yang lainnya. "Empat anak blasteran
dan satu satir, Yang Mulia."
"Benar," ujar gadis yang lebih kecil. "Beberapa
pekemah Chiron, kurasa."
"Annabeth!" teriakku. "Kalian harus membiarkan kami
menyelamatkannya!" Gadis berambut kemerahan beralih memandangiku.
"Maafkan aku, Percy Jackson, tapi temanmu sudah tak
tertolong." Aku berusaha untuk berlari, tapi dua orang gadis
menahanku. "Kau tidak siap untuk menerjunkan diri dari tebing,"
kata gadis berambut kemerahan.
"Lepaskan aku!" aku mendesak. "Memangnya kau
pikir siapa dirimu?"
Zo? melangkah ke depan dengan seolah ingin
menamparku. "Jangan," perintah gadis yang satunya. "Aku tidak
merasakan adanya ketidakhormatan, Zo?. Dia hanya kalut.
Dia tak mengerti." Gadis kecil itu memandangiku, sorot matanya lebih
dingin dan terang dari bulan di musim dingin. "Aku adalah
Artemis," ujarnya. "Dewi Perburuan."[]
Setelah melihat Dr. Thorn berubah menjadi monster dan
terjun dari ujung tebing bersama Annabeth, kupikir tak ada
hal lain yang bisa mengejutkanku. Tapi ketika gadis dua
belas tahun ini memberitahukanku dia adalah Dewi Artemis,
aku menanggapi dengan sesuatu yang terdengar cerdas
seperti, "Em ... oke deh."
Itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Grover.
Dia terengah, kemudian cepat-cepat berlutut di atas salju
dan mulai mengoceh, "Terima kasih, Yang Mulia Artemis!
Kau sangat ... kau sangat ... Wow!"
"Berdirilah, bocah kambing!" bentak Thalia. "Masih
ada masalah lain yang harus kita cemaskan. Annabeth
menghilang!" "Woy," seru Bianca di Angelo. "Tunggu dulu. Stop,
stop." Semua orang memandanginya. Bianca menunjuk
dengan jari telunjuknya ke arah kami semua bergiliran,
seolah dia mencoba menghubungkan titik-titiknya. "Siapa ...
siapa kalian sebenarnya?"
Raut muka Artemis melembut. "Mungkin pertanyaan
yang sebaiknya dilontarkan, Sayang, adalah siapa dirimu
sebenarnya" Siapa orangtuamu?"
Bianca menatap gugup ke arah adiknya, yang masih
memandang dengan terkesima pada Artemis.
"Kedua orang tua kami sudah meninggal," kata Bianca.
"Kami anak yatim piatu. Ada simpanan di bank untuk
membayar iuran sekolah kami, tapi ..."
Bianca tampak bimbang. Kurasa dia bisa menebak dari
wajah kami bahwa kami tidak mempercayai omongannya.
"Apa?" desaknya. "Aku mengatakan yang sesungguhnya."
"Kau adalah anak blasteran," kata Zo? Nightshade.
Aksennya sulit ditebak. Ia terdengar sangat kuno, seolah dia
membaca dari buku teks yang sudah sangat lama. "Salah
satu dari kedua orangtuamu adalah manusia. Satunya lagi
adalah bangsa Olympia."
"Olympia ... maksudnya atlet Olimpiade"
"Bukan," ujar Zo?. "Salah satu dari para dewa."
"Keren!" seru Nico.
"Tidak!" suara Bianca bergetar. "Ini tidak keren!"
Nico berjoget-joget layaknya orang kebelet pipis.
"Apakah Zeus benar-benar memiliki petir yang bisa
menghasilkan enam ratus kerusakan" Apa dia mendapat
poin gerakan ekstra kalau?"
"Nico, diamlah!" Bianca meletakkan kedua tangannya
ke wajahnya. "Ini bukan permainan konyol Mythomagic-mu
itu, oke" Tidak ada yang namanya dewa-dewi!"
Betapapun aku sangat mencemaskan Annabeth"yang
ingin kulakukan hanyalah mencarinya"namun aku tak bisa
tak merasa iba pada di Angelo bersaudara. Aku teringat apa
yang kurasakan saat pertama kalinya diberi tahu bahwa aku
adalah anak setengah dewa.
Thalia pasti merasakan hal yang sama, karena amarah
di matanya meredup sedikit. "Bianca, aku tahu ini sulit
dipercaya. Tapi para dewa sebenarnya masih ada.
Percayalah padaku. Mereka hidup abadi. Dan setiap kali
mereka memiliki keturunan dengan manusia biasa, anakanak seperti kita ini, yah ... Hidup kita akan selalu terancam
bahaya." "Bahaya," sahut Bianca, "seperti gadis yang jatuh tadi."
Thalia memalingkan pandangan. Bahkan Artemis
merasa sedih. "Jangan putus harapan pada Annabeth," kata sang
dewi. "Dia adalah gadis pemberani. Kalau dia bisa
ditemukan, aku akan menemukannya." "Kalau
begitu kenapa kau nggak biarkan kami pergi mencarinya?"
tanyaku. "Dia sudah hilang. Tak bisakah kau merasakannya,
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putra Poseidon" Ada sebuah sihir yang sedang bekerja. Aku
tak tahu persis bagaimana atau mengapa, tapi temanmu
sudah menghilang." Aku masih tetap ingin melompat dari tebing dan
mencarinya, tapi aku mendapat firasat bahwa Artemis benar.
Annabeth sudah hilang. Kalau saja dia masih berada di
bawah laut sana, pikirku, aku tentu sudah bisa merasakan
kehadirannya. "Oo!" Nico mengacungkan tangannya. "Bagaimana
dengan Dr. Thorn" Tadi tuh keren banget caramu
menembakkan panah ke arahnya! Apa dia mati?"
"Dia adalah manticore," kata Artemis. "Harapan kami
dia sudah hancur untuk saat ini, tapi para monster tak pernah
benar-benar mati. Mereka akan mewujud kembali."
"Kalau tidak mereka akan memburu kami," ucap
Thalia. Bianca di Angelo menggigil. "Itu sebabnya ... Nico,
kau ingat musim panas lalu, pria-pria yang mencoba
menyerang kami di gang D.C.?"
"Dan sopir bus itu," kata Nico. "Yang memiliki tanduk
domba. Betul kan apa kubilang, itu nyata."
"Itu sebabnya Grover mengawasimu selama ini,"
kataku. "Untuk menjaga keselamatan kalian, kalau kalian
memang terbukti anak-anak blasteran."
"Grover?" Bianca memandanginya. "Kau juga
setengah-dewa?" "Yah, satir sih, sebenarnya." Dia menyepak sepatunya
lepas dan memamerkan kaki kambingnya. Kukira Bianca
akan langsung jatuh pingsan saat itu.
"Grover, pasang sepatumu kembali," kata Thalia. "Kau
membuatnya ketakutan."
"Hei, kakiku kan bersih!"
"Bianca," kataku, "kami datang ke sini untuk menolongmu. Kau dan Nico perlu dilatih untuk bertahan hidup.
Dr. Thorn bukanlah monster terakhir yang akan kalian
temui. Kalian harus ikut ke perkemahan."
"Perkemahan?" tanya Bianca.
"Perkemahan Blasteran," kataku. "Itu tempat di mana
anak-anak blasteran belajar untuk bertahan hidup dan
semacamnya. Kalian berdua bisa bergabung dengan kami,
menetap di sana sepanjang tahu kalau kalian mau."
"Asyik, ayo kita pergi!" sahut Nico.
"Tunggu." Bianca menggelengkan kepalanya. "Aku
tidak?" "Masih ada pilihan lain," ujar Zo?.
"Tidak, tidak ada!" seru Thalia.
Thalia dan Zo? saling melotot. Aku tak tahu apa yang
mereka bicarakan, tapi aku tahu pasti ada sejarah buruk di
antara mereka. Entah atas alasan apa, mereka saling
membenci. "Kita sudah terlalu membebani anak-anak ini," Artemis
menyampaikan. "Zo?, kita akan beristirahat di sini selama
beberapa jam. Dirikan tenda-tenda. Obati yang cedera.
Ambil barang-barang milik para tamu kita dari gedung
sekolah." "Baik, Yang Mulia."
"Dan, Bianca, ikutlah denganku. Aku ingin bicara
denganmu." "Bagaimana denganku?" tanya Nico.
Artemis mempertimbangkan anak itu. "Barangkali kau
bisa tunjukkan pada Grover bagaimana cara memainkan
kartu yang sangat kau gemari itu. Aku yakin Grover akan
senang hati menghiburmu untuk sementara waktu ... sebagai
bantuan untukku?" Grover hampir saja terpeleset sendiri saat bangkit.
"Sudah pasti! Ayo, Nico!"
Nico dan Grover berjalan ke arah hutan, sambil
berbincang-bincang tentang poin-poin yang dia kumpulkan
dan peringkat kekebalan dan masih banyak topik khas
penggermar game lainnya. Artemis membawa Bianca yang
tampak kebingungan ke sekitar tebing. Para Pemburu mulai
mengeluarkan isi ransel mereka dan mendirikan kemah.
Zo? memberikan tatapan bengis sekali lagi pada Thalia,
kemudian pergi untuk memantau beberapa hal.
Begitu dia pergi, Thalia mengentakkan kakinya frustasi.
"Berani-beraninya para Pemburu itu! Mereka pikir mereka
begitu ... Aaargh!" "Aku setuju denganmu," kataku. "Aku nggak
percaya?" "Oh, kau setuju denganku?" Thalia berpaling padaku
marah. "Apa sih yang kaupikirkan di ruang gimnasium tadi,
Percy" Bahwa kau akan bertarung dengan Dr. Thorn
sendirian" Kau jelas tahu dia itu monster!"
"Aku?" "Kalau kita tetap bersama, kita pasti sudah akan
menghabisinya tanpa campur tangan para Pemburu.
Annabeth mungkin masih akan bersama kita. Apa kau
nggak berpikir ke situ?"
Rahangku mengeras. Aku memikirkan ucapan yang
kasar untuk kukatakan, dan mungkin aku sudah akan
mengatakannya, tapi lalu aku memandang ke bawah dan
melihat sesuatu berwarna biru gelap tergeletak di atas salju
dekat kakiku. Topi bisbol New York Yankees milik
Annabeth. Thalia tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Dia
menyeka air mata yang mengaliri pipinya, membalikkan
badan, dan berjalan pergi, meninggalkanku sendirian dengan
topi yang terinjak di hamparan salju.
*** Para Pemburu mendirikan posisi kemah mereka dalam
hitungan menit. Tujuh tenda besra, semua dari bahan sutera
perak, membentuk bulan sabit mengelilingi satu sisi api
unggun. Salah satu gadis meniupkan peluit anjing perak, dan
selusin serigala putih muncul dari balik hutan. Mereka mulai
mengitari kemah seperti anjing penjaga. Para Pemburu
berjalan di antara mereka dan memberi mereka makanan,
benar-benar tak takut, tapi kuputuskan untuk berada di
dekat-dekat tenda. Burung-burung elang mengawasi kami
dari pepohonan, mata mereka berkilat-kilat tertepa cahaya
api, dan aku merasa elang-elang itu juga sedang bertugas
jaga. Bahkan cuacanya terasa tunduk menngikuti perintah
sang dewi. Udara masih dingin, namun deru angin mereda
dan hujan salju berhenti, sehingga suasana terasa nyaman
untuk duduk di dekat api unggun.
Yeah ... kecuali untuk rasa nyeri di bahuku dan rasa
bersalah yang memberatiku. Aku tak percaya Annabeth
menghilang begitu saja. Dan betapapun marahnya aku pada
Thalia, diam-diam aku merasa bahwa dia ada benarnya. Ini
memang salahku. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan Annabeth padaku
di ruang gimnasium" Sesuatu yang serius, katanya. Kini aku
tak akan pernah tahu. Aku memikirkan bagaimana kami
berdansa selama separuh lagu, dan hatiku terasa makin
berat. Kupandangi Thalia mondar-mandir di tengah salju di
ujung kemah, berjalan di antara kawanan serigala tanpa rasa
takut. Dia berhenti dan memandang kembali ke arah Asrama
Westover, yang kini tampak gelap gulita, ber-tengger di tepi
bukit di luar hutan. Aku penasaran apa yang tengah dia
pikirkan. Tujuh tahun lalu, Thalia diubah menjadi pohon pinus
oleh ayahnya, untuk membuatnya terhindar dari maut. Dulu
dia berdiri menantang pasukan monster di puncak Bbukit
Blasteran guna memberi waktu pada teman-temannya Luke
dan Annabeth untuk membebaskan diri. Thalia baru kembali
menjadi manusia selama beberapa bulan ini, dan sekali
waktu dia akan berdiri bak patung hingga orang-orang akan
mengira dia masih berupa pohon.
Akhirnya, salah satu dari para Pemburu membawakan
kembali tas ranselku. Grover dan Nico kembali dari jalanalan mereka, dan Grover membantuku merewat lenganku
yang cedera. "Warnanya hijau!" seru Nico gembira.
"Bertahanlah," Grover memberitahuku. "Ini, makanlah
sedikit ambrosia sementara aku bersihkan lukamu."
Aku mengernyit saat dia mengobati lukaku, tapi
bongkah ambrosia itu membantu. Rasanya seperti kue
cokelat bikinan rumah, lumer di mulut dan menyebarkan
rasa hangat ke sekujur badanku. Setelah diberi ambrosia dan
salep ajaib yang digunakan Grover, bahuku terasa lebih baik
dalam hitungan menit. Nico menggeledah tasnya sendiri, yang sepertinya telah
dikemas oleh para Pemburu untuknya, meski bagaimana
mereka bisa menyeludup masuk ke Asrama Westover tanpa
ketahuan, tampak sungguh mustahil. Nico menjajarkan
sekumpulan patung kecil di atas salju"replika-replika
perang kecil dari dewa-dewi Yunani dan para pahlawan.
Aku mengenali Zeus dengan petirnya, Ares dengan
tombaknya, Apollo dengan kereta mataharinya.
"Koleksi yang lengkap," kataku.
Nico tersenyum. "Aku hampir punya semuanya,
ditambah kartu-kartu hologramnya! Yah, kecuali sedikit
kartu yang betul-betul langka."
"Kau memainkan ini dari dulu?"
"Baru sejak tahun ini. Sebelum itu ..." Dia menautkan
alisnya. "Ada apa?" tanyaku.
"Aku lupa. Itu aneh."
Nico tampak gelisah, tapi itu tak bertahan lama. "Hei,
bolehkan kulihat pedang yang kaugunakan tadi?"
Kutunjukkan Riptide padanya, dan kujelaskan padanya
bagaimana ia berubah dari bentuk pena menjadi pedang
hanya dengan membuka tutupnya.
"Keren! Apa ia bisa kehabisan tinta?"
"Em, yah, aku sebetulnya nggak menggunakannya buat
menulis." "Apa kau benar-benar putra dari Poseidon?"
"Yah, iya." "Apa kau bisa berselancar dengan baik, kalau begitu?"
Aku menatap Grover, yang berusaha keras menahan
tawa. "Ampun deh, Nico," kataku. "Aku nggak pernah
mencobanya." Dia terus-terusan mengajukan pertanyaan. Apa aku
sering bertengkar dengan Thalia, mengingat dia adalah putri
Zeus" (Aku tak jawab pertanyaan itu.) Kalau ibu Annabeth
adalah Athena, Dewi Kebijaksanaan, lalu kenapa Annabeth
malah memilih untuk menerjunkan diri dari tebing" (Aku
berusaha keras menahan diri dari mencekik Nico karena
menanyakan itu.) Apakah Annabeth adalah pacarku" (Pada
titik ini, aku sudah siap untuk memasukkan anak ini ke
dalam karung bekas daging dan melemparnya ke kumpulan
serigala.) Kupikir tak lama lagi dia akan menanyakanku berapa
banyak poin pukulan yang pernah kuterima, dan aku akan
kehilangan kesabaranku sepenuhnya, tapi kemudian Zo?
Nightshade mendatangi kami.
"Percy Jackson."
Dia memiliki bola mata cokelat gelap dan hidung agak
mencuat ke atas. Dengan lingkaran kepang peraknya dan
ekspresi angkuhnya, dia tampak seperti berasal dari
kalangan ningrat sampai-sampai aku harus menahan
dorongan untuk menegakkan dudukku dan berkata "Baik,
Nyonya." Gadis itu memperhatikanku dengan muak, seolah
aku adalah sekantong cucian kotor yang dia diperintahkan
untuk mengambilnya. "Ikutlah bersamaku," katanya. "Yang Mulia Artemis
ingin bicara dengan dikau."
*** Zo? memanduku memasuki tenda terakhir, yang tampak tak
berbeda dari tenda-tenda lainnya, dan mempersilakanku
masuk. Bianca di Angelo duduk di sebelah gadis berambut
merah, yang masih sulit kuakui sebagai Artemis.
Ruang dalam tenda itu terasa hangat dan nyaman.
Permadani sutra dan bantal-bantal memenuhi lantai. Di
tengah-tengah, ada tungku api berwarna emas yang tampak
terus mengobarkan api tanpa bahan bakar atau asap. Di
belakang sang dewi, pada penopang pajangan berlapis kayu
ek yang terpahat menyerupai tanduk tusa, terpampang busur
perak besarnya. Pada dinding-dindingnya meng-gantung
bulu-bulu binatang buruan: beruang hitam, macan, dan
beberapa hewan lain yang tak kuketahui. Kurasa aktivis
pelindung hewan akan mendapat serangan jantung
memandangi kulit-kulit hewan langka itu, tapi mungkin
karena Artemis adalah dewi perburuan, dia bisa saja
memunculkan kembali apa pun yang dia tembak. Kukira ada
kulit hewan lain yang tergeletak di sebelahnya, tapi
kemudian kusadari itu adalah hewan hidup"seekor rusa
dengan bulu berkilat dan tanduk perak, kepalanya bersandar
dengan nyaman di pangkuan Artemis.
"Bergabunglah dengan kami, Percy Jackson," ujar sang
dewi. Aku duduk di seberangnya di lantai tenda. Sang dewi
mempelajariku dengan seksama, yang membuatku merasa
tak nyaman. Dia memiliki sorot mata yang sangat tua bagi
seorang gadis muda. "Apa kau terkejut dengan umurku?" tanyanya.
"Eh ... sedikit."
"Aku bisa menampilkan diri sebagai wanita dewasa,
atau api yang membara, atau apa pun yang kuinginkan, tapi
inilah yang paling kusenangi. Ini adalah sosok yang
mengikuti usia rata-rata para Pemburuku, dan semua gadis
muda yang berada di bawah pengawasanku, sebelum
mereka binasa." "Binasa?" tanyaku.
"Beranjak dewasa. Jadi tergila-gila pada lelaki. Jadi
bertingkah konyol, sibuk sendri, tak percaya diri.
Melupakan diri mereka sendiri."
"Oh." Zo? duduk di sebelah kanan Artemis. Dia memelototiku seolah semua yang dikatakan Artemis barusan
adalah karena salahku, seolah akulah yang menciptakan ide
adanya laki-laki.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau harus memaafkan para Pemburuku kalau mereka
tak menyambut ramah dirimu," kata Artemis. "Sangat
jarang kami menerima laki-laki di kemah ini. Biasanya lakilaki dilarang untuk berhungungan dengan para Pemburu.
Laki-laki terakhir yang melihat kemah ini ..." Dia
memandang ke arah Zo?. "Yang mana itu yah?"
"Laki-laki yang tinggal di Colorado itu," sahut Zo?.
"Yang Mulia mengubahnya menjadi antelop-jack."
"Ah, ya." Artemis mengangguk, puas. "Aku senang
sekali membuat antelop-jack. Apa pun itu, Percy, aku
memintamu ke sini agar kau memberitahuku lebih banyak
tentang sang manticore. Bianca melaporkan beberapa ...
mmm, hal-hal mengganggu yang dikatakan monster itu.
Tapi dia mungkin tidak memahaminya. Aku ingin
mendengarnya darimu."
Maka kuceritakan semua padanya.
Saat aku selesai mengungkapkannya, Artemis meletakkan tangannya, menyusuri busur peraknya pelan. "Itulah
jawaban yang kutakuti."
Zo? memajukan duduknya. "Baunya, Yang Mulia?"
"Iya." "Bau apa?" tanyaku.
"Beberapa makhluk buas yang sudah tak pernah kuburu
selama ribuan tahun bangkit kembali," gumam Artemis.
"Buruan sangat tuanya hingga nyaris kulupa."
Dewi Artemis menatapku tajam. "Saat kami datang
malam ini kemari, kami merasakan kehadiran manticore,
tapi bukan dia yang sebenarnya kami cari. Katakan lagi,
persisnya apa yang sebelumnya dikatakan oleh Dr. Thorn."
"Em, "Aku benci pesta dansa SMP.?"
"Bukan, bukan. Setelahnya."
"Dia bilang seseorang yang dipanggil dengan sebutan
Jenderal akan menjelaskan beberapa hal padaku."
Wajah Zo? memucat. Dia berpaling pada Artemis dan
mulai mengucapkan sesuatu, tapi Artemis mengangkat
tangannya. "Lanjutkan, Percy," kata sang dewi.
"Yah, kemudian Thorn membicarakan tentang Masa
Kebangkitan Bangsa?"
"Kebangkitan Besar," Bianca mengoreksi.
"Oh, iya. Dan dia bilang, "Tak lama lagi kita akan
memiliki monster yang terpenting dari semuanya"monster
yang akan menentukan kejatuhan Olympus.?"
Sang dewi masih diam saja hingga tampak bagai
patung. "Bisa juga dia berbohong," kataku.
Artemis menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dia tidak
bohong. Aku terlalu lamban mengenali tanda-tandanya. Aku
harus memburu monster ini."
Zo? tampak seperti berusaha sangat keras untuk tak
takut, tapi dia mengangguk. "Kita akan segera pergi, Yang
Mulia." "Tidak, Zo?. Aku akan lakukan ini sendiri."
"Tapi, Artemis?"
"Tugas ini terlalu berbahaya bahkan bagi para
Pemburu. Kau tahu ke mana aku harus mengawali
pencarianku. Kau tak bisa pergi ke sana bersamaku."
"Apa .. apa pun yang kauinginkan, Yang Mulia."
"Aku akan temukan makhluk ini," Artemis bersumpah.
"Dan aku akan membawa pulang kembali ke Olympus pada
titik balik matahari musim dingin. Itu akan jadi bukti yang
kubutuhkan untuk meyakinkan Dewan Para Dewa akan
betapa berbahayanya situasi yang tengah kita hadapi."
"Kau tahu monster apa itu" Tanyaku.
Artemis mencengkeram busurnya. "Kita berdoa saja
agar dugaanku salah."
"Apakah para dewi bisa berdoa?" tanyaku, karena aku
tak pernah memikirkan itu sebelumnya.
Sebuah kilasan senyum sempat bermain di bibir
Artemis. "Sebelum aku pergi, Percy Jackson, aku punya
sebuah tugas kecil untukmu."
"Apa ini melibatkan perubahan jadi jackalope1?"
"Sayangnya, tidak. Aku ingin kau mengantar para
Pemburu kembali ke Perkemahan Blasteran. Mereka bisa
tinggal di sana untuk mengamankan diri sebelum aku
kembali." "Apa?" sembur Zo?. "Tapi, Artemis, kita kan benci
tempat itu. Terakhir kalinya kita menetap di sana?"
"Ya, aku tahu," kata Artemis. "Tapi aku yakin
Dionysus tidak akan menyimpan dendam hanya karena
suatu kesalahpahaman yang, yah, sepele. Adalah hakmu
untuk menggunakan Kabin Delapan kapan pun kau membutuhkannya. Lagi pula, kudengar mereka membangun
kembali pondok-pondok yang dulu kau bakar."
Zo? menggumankan sesuatu tentang para pekemah
yang bodoh. Hewan fiktif berupa kelinci bertanduk rusa."peny.
"Dan sekarang masih ada satu keputusan lagi yang
harus dibuat." Artemis beralih ke Bianca. "Apa kau sudah
tetapkan pilihanmu, Sayang?"
Bianca ragu. "Aku masih memikirkannya."
"Tunggu dulu," kataku. "Memikirkan tentang apa?"
"Mereka .. mereka telah mengajakku untuk bergabung
dengan Perburuan." "Apa" Tapi kau tak bisa! Kau harus ikut Perkemahan
Blasteran agar Chiron bisa melatihmu. Hanya itu satusatunya pilihan agar kau bisa belajar bertahan hidup."
"Itu bukanlah satu-satunya pilihan bagi seorang gadis,"
kata Zo?. Aku tak percaya aku mendengarkan ini. "Bianca,
perkemahan ini asyik banget! Di sana ada istal pegasus dan
arena adu-pedang dan ... Maksudku, apa yang kaudapatkan
dari bergabung dengan para Pemburu?"
"Pertama-tama," ujar Zo?, "adalah keabadian."
Aku menatapnya, kemudian pada Artemis. "Dia
bercanda, kan?" "Zo? jarang sekali bercanda tentang apa pun," ungkap
Artemis. "Para Pemburuku mengikuti petualanganpetualanganku. Mereka adalah gadis-gadis pengabdiku, para
pendampingku, saudari-saudari senasib sepenanggungan.
Begitu mereka bersumpah setia padaku, mereka jelas akan
hidup abadi .. kecuali kalau mereka kalah dalam
peperangan, yang hampir tak mungkin. Atau melanggar
janji mereka sendiri."
"Janji untuk apa?"
"Untuk menjauhi jalinan asmara selama-lamanya," kata
Artemis. "Untuk tak pernah beranjak dewasa, tak pernah
menikah. Untuk menjadi gadis selama-lamanya."
"Sama seperti kau?"
Sang dewi mengangguk. Aku berusaha membayangkan apa yang dia katakan.
Menjadi makhluk yang hidup abadi. Terus-terusan bergaul
dengan hanya gadis-gadis a-be-ge seumur hidup. Aku tak
bisa memahaminya. "Jadi kau berkeliaran begitu saja ke
sepenjuru negeri merekrut anak-anak blasteran?"
"Bukan hanya blasteran," sela Zo?. "Yang Mulia
Artemis tak pernah mendiskriminasi berdasarkan keturunan.
Siapa pun yang menghormati dewi boleh bergabung.
Blsteran, peri, manusia?"
"Kau sendiri apa, kalau begitu?"
Amarah terpancar di mata Zo?. "Itu bukanlah urusan
engkau, Nak. Intinya adalah Bianca boleh bergabung kalau
dia menginginkannya. Ini adalah pilihannya."
"Bianca, ini gila," ujarku. "Bagaimana dengan adikmu"
Nico nggak bisa jadi Pemburu."
"Tentu saja tidak," Artemis menyetujui. "Dia akan
memasuki perkemahan. Sayangnya, hanya itu hal terbaik
yang bisa dilakukan anak-anak laki-laki."
"Hei!" aku mengajukan protes.
"Kau bisa menemuinya dari waktu ke waktu," Artemis
meyakinkan Bianca. "Tapi kau akan terbebas dari tanggung
jawab. Nico akan diurusi oleh pembimbing perkemahan.
Dan kau akan mendapat sebuah keluarga baru. Kami."
"Keluarga baru," Bianca mengulangi dengan penuh
harapan. "Terbebas dari tanggung jawab."
"Bianca, kau tak bisa melakukan ini," ujarku. "Ini gila."
Bianca memandangi Zo?. "Apakah balasannya
setimpal?" Zo? mengangguk. "Jelas."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Katakan ini," Zo? memberitahunya, ?"Aku bersumpah
mengabdikan diriku pada Dewi Artemis.?"
"Aku .. aku bersumpah mengabdikan diriku pada Dewi
Artemis." ?"Aku lepaskan segala ikatan dengan laki-laki,
menerima kegadisan selama-lamanya, dan bergabung
dengan Perburuan.?" Bianca mengulang kalimat itu. "Itu saja?"
Zo? mengangguk. "Jika Yang Mulia Artemis menerima
ikrar engkau, maka itu sudah mengikat."
"Aku terima," sahut Artemis.
Pijar api di tungku menyala lebih terang, melemparkan
cahaya perak ke ruangan. Bianca tampak sama saja, tapi dia
menghela napas dalam dan membukan matanya lebar-lebar.
"Aku merasa ... lebih kuat."
"Selamat datang, Saudari," kata Zo?.
"Ingat akan ikrarmu," kata Artemis. "Inilah sekarang
hidupmu." Aku tak bisa bicara. Aku merasa bagai penyusup. Dan
orang yang benar-benar gagal. Aku tak percaya aku sudah
menempuh sejauh ini dan menderita begitu banyak hanya
untuk melepaskan Bianca pada klub cewek-cewek abadi.
"Jangan sedih, Percy Jackson," kata Artemis. "Kau
masih bisa menunjukkan pada di Angelo perkemahanmu.
Dan kalau Nico ingin, dia bisa menetap di sana."
"Hebat," kataku, berusaha tak terdengar jengkel.
"Bagaimana cara kita bisa tiba di sana?"
Artemis mengerjapkan matanya. "Fajar akan segera
menyingsing. Zo?, robohkan kemah. Kau harus segera pergi
ke Long Island dengan cepat dan aman. Aku akan penggil
kendaraan dari saudaraku."
Zo? tidak tampak senang dengan ide ini, tapi dia
mengangguk dan menyuruh Bianca untuk mengikutinya.
Saat dia hendak pergi, Bianca berhenti di hadapanku.
"Maafkan aku, Percy. Tapi ini yang kuinginkan. Aku benarbenar menginginkannya."
Kemudian dia pergi, dan aku ditinggal sendiri dengan
dewi berumur dua belas tahun.
"Jadi," kataku muram. "Kita akan naik kendaraan
kiriman saudaramu, yah?"
Mata perak Artemis berbinar. "Benar, bocah. Kau tahu,
Bianca di Angelo bukanlah satu-satunya orang yang punya
saudara menjengkelkan. Sudah waktunya untukmu bertemu
dengan kembaran nakalku, Apollo."[]
Artemis meyakinkan kami bahwa fajar segera tiba, tapi
siapa pun bisa saja membohongiku, karena saat itu suasana
terasa lebih dingin dan gelap dan bersalju dari biasanya. Di
puncak bukit, jendela-jendela Asrama Westover tak
berpenerangan sama sekali. Aku penasaran apakah para
guru sudah menyadari akan hilangnya di Angelo bersaudara
dan Dr. Thorn. Aku tak ingin berada di dekat sini saat
mereka menyadari. Dengan keberuntunganku biasanya,
satu-satunya ana yang akan teringat Bu Gottschalk tentu
"Percy Jackson", dan lantas aku akan dijadikan sasaran
buron nasional ... untuk kesekian kalinya.
Para Pemburu merobohkan kemah secepat mereka
mendirikannya. Aku berdiri menggigil di tengah salju (tak
seperti para Pemburu, yang sama sekali tak kelihatan tak
nyaman), dan Artemis memandangi arah timur seolah dia
sedang menantikan sesuatu. Bianca duduk di tepi, sedang
bicara dengan Nico. Aku bisa membaca dari raut muram
Nico bahwa Bianca sedang menjelaskan keputusannya
untuk bergabung dengan Perburuan.aku tak habis pikir
betapa egoisnya Bianca, meninggalkan adiknya begitu saja.
Thalia dan Grover datang dan mendekatiku, tak sabar
mendengar apa yang terjadi pada audiensiku dengan sang
dewi. Saat kuberitahukan pada mereka, Grover memucat.
"Terakhir kalinya para Pemburu mengunjungi perkemahan,
situasinya tak baik."
"Bagaimana mereka sampai ke sini?" aku penasaran.
"Maksudku, mereka tiba-tiba saja muncul."
"Dan Bianca bergabung dengan mereka," kata Thalia,
muak. "Ini semua salah Zo?. Gadis sombong yang nggak?"
"Siapa yang bisa menyalahkannya?" kata Grover.
"Keabadian bersama Artemis?" Dia mengembuskan napas
berat. Thalia memutar matanya. "Dasar satir. Kalian semua
tergila-gila pada Artemis. Apa kalian nggak sadar-sadar juga
kalau dia nggak akan pernah membalas cinta kalian?"
"Tapi dia begitu ... begitu dekat dengan alam," timpal
Grover kasmaran. "Kau kayak satir kacangan, ah," kata Thalia.
"Kacang-kacang dan buah beri," ujar Grover melamun.
"Yeah." Akhirnya langit mulai terang. Artemis menggumam, "Sudah
waktunya. Dia sangat pemalas di musim dingin."
"Kau, em, menunggu matahari terbit?" tanyaku.
"Menunggu saudaraku. Ya."
Aku tak ingin terdengar tak sopan. Maksudku, aku tahu
kisah-kisah legenda tentang Apollo"atau kadang-kadang
Helios"mengendarai kereta matahari besar melintasi langit.
Tapi aku juga tahu bahwa matahari sebenarnya adalah
sebuah bintang yang berada sekitar jutaan kilometer jauhnya
dari sini. Aku sudah terbiasa mendapati mitos-mitos Yunani
sebagai fakta, tapi tetap saja ... aku tetap tak mengerti
bagaimana Apollo bisa mengendarai matahari.
"Ini tidak seperti perkiraanmu," kata Artemis, seolah
dia membaca pikiranku. "Oh, oke." Aku mulai rileks. "Jadi, ini nggak berarti dia
akan menunggangi?" Tiba-tiba datang sebuah ledakan cahaya di cakrawala.
Semburan kehangatan. "Jangan lihat," saran Artemis. "Setidaknya sampai dia
parkir." Parkir"
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kualihkan pandanganku, dan kulihat anak-anak yang
lain juga melakukan hal yang sama. Pijar dan kehangatannya menguat hingga mantel dinginku terasa lumer di
badanku. Kemudian tiba-tiba pijar itu padam.
Aku menoleh. Dan aku tak bisa mempercayainya. Itu
adalah mobil-ku. Ehm, yeah, mobil yang selalu kuinginkan
sih, tepatnya. Convertible merah Maserati Spyder. Mobil itu
begitu kerennya sampai ia bercahaya. Kemudian kusadari ia
bercahaya karena logamnya panas. Saljunya mencair di
sekitar Maserati dalam bentuk lingkaran sempurna, yang
menjelaskan mengapa sekarang aku berdiri di hamparan
rumput hijau dan sepatuku basah kuyup.
Pengemudinya keluar mobil, sambil menyungingkan
senyum. Dia tampak berumur sekitar tujuh belas atau
delapan belas tahun, dan untuk sesaat, aku mendapat
perasaan tak enak dengan mengira dia adalah Luke, musuh
lamaku. Laki-laki ini memiliki rambut pirang yang smaa
dan potongan tampang bak seorang penjelajah. Tapi itu
bukan Luke. Lelaki itu lebih tinggi, tanpa codet di wajahnya
seperti Luke. Senyumnya lebih cerah dan jenaka. (Luke
hanya bisa membentak dan mencibir akhir-akhir ini.)
Pengemudi Maserati itu mengenakan celana jins dan sepatu
kulit dan kaus tanpa lengan.
"Wow," gumam Thalia. "Apollo benar-benar hot."
"Dia kan Dewa Matahari," timpalku.
"Bukan itu maksudku."
"Adik kecil!" panggil Apollo. Kalau saja giginya lebih
putih lagi dia tentu sudah akan membutakan kami semua
tanpa perlu menggunakan mobil mataharinya. "Ada apa"
Kau tak pernah menelepon. Kau tak pernah kirim surat aku
mulai cemas!" Artemis mendesah. "Aku baik-baik saja, Apollo. Dan
aku bukanlah adik kecilmu."
"Hei, aku kan lahir lebih dulu."
"Kita kembar! Berapa ribu tahun lagi kita harus
bertengkar tentang ini?"
"Jadi ada apa sih?" selanya. "Kau sedang ditemani
gadis-gadismu, kulihat. Kalian semua butuh beberapa tip
memanah?" Artemis menggertakkan giginya. "Aku perlu bantuan.
Aku harus berburu, sendirian. Aku perlu kau untuk
mengantarkan teman-temanku ke Perkemahan Blasteran."
"Tenju saja, Dik!" Kemudian dia mengangkat kedua
tangannya dengan isyarat hentikan segalanya. "Aku merasa
sebuah haiku2 akan muncul"
Semua Pemburu mengeluh jengkel. Tampaknya mereka
sudah pernah bertemu dengan Apollo sebelumnya.
Dia berdeham dan mengangkat satu tangannya secara
dramatis. "Rumput di salju. Artemis minta tolong. Aku keren." Dia menyeringai ke arah kami, menanti tepukan tangan.
"Kalimat terakhir cuma ada empat suku kata," ujar
Artemis. Apollo mengernyit dahi. "Masa?"
"Iya. Bagaimana kalau Aku besar kepala?"
"Tidak, tidak, itu kan tujuh suku kata. Hmm." Dia
mulai menggumam sendiri. Zo? Nightshade berpaling ke arah kami. "Dewa Apollo
jadi tergila-gila pada haiku semenjak dia mengunjungi
Jepang. Ini tak seburuk saat dia ketagihan pantun jenaka.
Kalau aku harus mendengar satu pantun lagi yang diawali
dengan, Pada zaman dahulu kala ada seorang dewa dari
Sparta?" "Aku dapat!" seru Apollo. "Aku keren lho. Itu kan lima
suku kata!" Dia membungkuk, tampak begitu puas dengan
dirinya sendiri. "Dan sekarang, Dik. Kendaraan buat para
Pemburu, kau bilang tadi" Waktu yang pas. Aku baru saja
bersiap-siap tancap gas."
Puisi Jepang yang biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri atas 17 suku
kata yang terbagi menjadi 3 larik, larik pertama 5 suku, larik kedua 7 suku, dan larik ketiga 5
suku."peny. "Anak-anak setengah dewa ini juga perlu tumpangan,"
kata Artemis, menunjuk ke arah kami. "Beberapa pekemah
Chiron." "Tidak masalah!" Apollo mengamati kami. "Mari kita
lihat ... Thalia, betul kan" Aku sudah dengar segala hal
tentangmu." Thalia merona. "Hai, Dewa Apollo."
"Putri Zeus, kan" Itu artinya kau saudara tiriku.
Dulunya pohon, kan" Senang kau kembali. Aku tak suka
melihat gadis cantik diubah jadi pohon. Ya ampun, aku
ingat suatu masa?" "Saudaraku," kata Artemis. "Kau harus segera pergi."
"Oh, betul juga." Kemudian dia memandangiku, dan
matanya memicing. "Percy Jackson?"
"Tul. Maksudku ... betul, Pak."
Rasanya aneh memanggil anak remaja dengan sebutan
"pak", tapi aku sudah tahu untuk berhati-hati bila
berhubungan dengan makhluk abadi. Mereka biasanya akan
mudah tersinggung. Lalu mereka akan meledakkan apa yang
ada. Apollo mengamatiku, tapi dia tak mengatakan apa pun,
yang menurutku agak menakutkan.
"Yah!" ujarnya pada akhirnya. "Kita sebaiknya segera
naik, oke" Perjalanan hanya menempuh satu arah"ke barat.
Dan kalau tempat perhentianmu kelewatan, yah kelewatan
deh." Aku memandangi mobil Maserati itu, yang maksimal
hanya akan muat dua penumpang. Kami semua berjumlah
dua puluhan. "Mobil yang keren," kata Nico.
"Makasih, Nak," sahut Apollo.
"Tapi bagaimana kita semua bisa masuk?"
"Oh." Apollo tampak baru menyadari adanya masalah
itu. "Yah, aku nggak suka mengubah bentuk mobil balapku,
tapi kurasa ..." Dia mengeluarkan kunci mobilnya dan memencet
tombol alarm keamanannya. Tit, tut.
Selama semenit, mobil itu menyala terang kembali.
Saat pijarnya padam, mobil balap Maserati itu sudah
berganti dengan salah satu bentuk bus kecil antar-jemput
model Turtle Top seperti yang biasanya kami gunakan untuk
pertandingan basket sekolah.
"Oke," katanya. "Semua masuk."
Zo? memerintahkan para Pemburu untuk mulai masuk.
Dia mengambil ransel kemahnya, dan Apollo berkata, "Mari
kubantu bawa itu, Sayang."
Zo? sontak mundur. Matanya memancarkan nafsu
membunuh. "Saudaraku," bujuk Artemis. "Kau tak boleh membantu para Pemburuku. Kau tak boleh memandang,
mengajak bicara, atau menggoda para Pemburuku. Dan kau
tak boleh memanggil mereka dengan panggilan sayang."
Apollo merentangkan tangannya. "Maaf. Aku lupa.
Hei, Dik, omong-omong, kau sendiri mau pergi ke mana,
sih?" "Berburu," ujar Artemis. "Itu bukan urusanmu."
"Aku akan cari tahu. Aku lihat semua. Tahu semua."
Artemis mendengus. "Pokoknya nanti turunkan mereka
di tempat, Apollo. Dan jangan macam-macam!"
"Tidak, tidak! Aku tak pernah macam-macam."
Artemis memutar bola matanya, kemudian memandangi kami. "Aku akan bertemu kalian pada titik balik
matahari musim dingin. Zo?, kau bertanggung jawab
mengawasi para Pemburu. Lakukan dengan benar.
Lakukanlah seperti apa yang akan kulakukan."
Zo? menegapkan badan. "Baik, Yang Mulia."
Artemis lantas berlutut dan menyentuh tanah seolah
mencari jejak kaki. Saat dia berdiri, dia tampak gelisah.
"Ancaman bahaya yang begitu besar. Makhluk buas itu
harus ditemukan." Dia berlari ke arah hutan dan melebur dalam salju dan
bayang-bayang. Apollo berpaling dan menyeringai, sambil memainkan
kunci mobilnya di antara jemarinya. "Jadi," serunya. "Siapa
nih yang mau nyetir?"
Para Pemburu menumpuk ke dalam bus. Mereka berdempetan di belakang agar berada sejauh mungkin dari Apollo
dan para laki-laki lain pembawa bibit penyakit. Bianca
duduk bersama mereka, meninggalkan adiknya duduk
bersama kami di depan, yang menurutku begitu dingin bagi
kakak-adik, tapi Nico sepertinya tak peduli.
"Ini keren banget!" seru Nico, melompat-lompat di
kursi pengemudi. "Apa ini beneran matahari" Kukira Helios
dan Selene adalah dewa-dewi matahari dan bulan. Kenapa
kadang-kadang mereka dan kadang-kadang itu kau dan
Artemis?" "Perampingan jabatan," sahut Apollo. "Orang-orang
Romawi yang memulainya. Mereka nggak sanggup
mengadakan persembahan ke seluruh kuil yang ada, maka
mereka melepaskan Helios dan Selene dan memasukkan
tugas-tugas mereka ke dalam uraian pekerjaan kami.
Saudariku mendapatkan bulan. Aku dapat matahari.
Awalnya itu cukup menyebalkan, tapi setidaknya aku jadi
dapat mobil keren ini."
"Tapi gimana cara kerjanya?" tanya Nico. "Kukira
matahari adalah bola api besar yang terdiri dari gas!"
Apollo terkekeh dan mengacak-ngacak rambut Nico.
"Rumor itu mungkin diawali karena Artemis dulu suka
menyebutku bola api besar gas kentut. Serius, Nak, itu
tergantung apa kau membicarakan tentang astronomi atau
filosofi. Kau ingin membicarakan astronomi" Bah, apa
menariknya itu" Kau ingin membicarakan tentang apa yang
manusia pikirkan tentang matahari" Ah, nah itu lebih
menarik. Mereka mendapat banyak manfaat dari menunggangi matahari ... eh, itu sebutannya sih. Matahari memberi
mereka kehangatan, menumbuhkan penen mereka,
menggerakkan sumber tenaga, membuat semua tampak, yah,
lebih cerah. Kendaraan ini dibangun dari impian manusia
akan matahari, Nak. Ini sudah sama tuanya dengan
Peradaban Barat. Setiap hari, ia akan melintasi langit dari
timur ke barat, membuat terang seluruh kehidupan manusiamanusia kecil dan remeh itu. Kendaraan ini adalah
manifestasi dari kekuatan matahari, sesuai dengan yang
dilihat manusia. Masuk akal?"
Nico menggeleng. "Nggak."
"Yah, kalau begitu, bayangkan saja matahari sebagai
mobil solar yang sangat kuat, sangat berbahaya."
"Bolehkah aku menyetir?"
"Tidak. Terlalu kecil."
"Oo! Oo!" Grover mengacungkan tangannya.
"Mm, tidak," kata Apollo. "Terlalu berbulu." Dia
memandang melewatiku dan memusatkan pada Thalia.
"Putri Zeus!" serunya. "Dewa Langit. Sempurna."
"Oh, tidak." Thalia menggelengkan kepalanya. "Tidak,
makasih." "Ayolah," kata Apollo. "Berapa umurmu?"
Thalia ragu. "Aku nggak tahu."
Sungguh menyedihkan, tapi itu benar. Thalia diubah
jadi pohon saat berusia dua belas, tapi itu tujuh tahun yang
lalu. Jadi seharusnya dia sekarang berumur sembilan belas,
kalau kau menghitung berdasarkan tahun yang berjalan.
Tapi Thalia merasa masih seperti dua belas tahun, dan kalau
kau melihatnya, dia tampak berumur antara rentang dua usia
itu. Menurut perkiraaan terbaik Chiron, usia Thalia tetap
bertambah saat dia berwujud pohon, tapi jauh lebih lambat.
Apollo mengetuk jemarinya ke bibirnya. "Kau lima
belas, hampir enam belas."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Hei, aku kan dewa ramalan. Aku tahu berbagai hal.
Kau akan berumur enam belas tahun sekitar seminggu lagi."
"Itu memang hari ulang tahunku! 21 Desember."
"Itu artinya kau sudah cukup umur sekarang untuk
menyetir dengan izin!"
Thalia menggerak-gerakkan kakiknya gelisah. "Eh?"
"Aku tahu apa yang ingin kaukatakan," sela Apollo.
"Kau merasa tak pantas mendapat kehormatan menyetir
kendaraan matahari ini."
"Bukan itu yang mau kukatakan."
"Jangan cemas! Maine ke Long Island adalah
perjalanan yang sangat singkat, dan jangan pikirkan akan
apa yang terjadi pada anak terakhir yang kulatih. Kau adalah
putri Dewa Zeus. Dia tak akan meledakkan kamu di udara."
Apollo tertawa renyah. Kami semua tak ikutan.
Thalia mencoba untuk protes, tapi Apollo jelas tak mau
menerima jawaban "tidak". Dia menekan tombol di
dashboard, dan sebuah tanda muncul di sepanjang atas kaca
depan. Aku harus membacanya dari urutan belakang (yang
bagi seorang penderita disleksia, tak begitu berbeda dangan
membaca dari depan). Aku cukup yakin tulisan itu adalah
AWAS: MASIH BELAJAR. "Copot saja tanda itu!" Apollo memberi tahu Thalia.
"Kau akan menyetir dengan jago!"
Kuakui aku merasa iri. Aku tak sabar ingin mulai menyetir.
Beberapa kali di musim gugur ini, ibuku membawaku ke
Montauk saat jalanan pantai lengang, dan dia akan
membiarkanku mencoba Mazdanya. Memang sih, itu adalah
mobil sedan Jepang, dan yang ini adalah kendaraan
matahari, tapi seberapa beda sih rasanya"
"Kecepatan sama dengan panas," Apollo menasihati.
"Jadi mulailah pelan-pelan, dan pastikan kau sudah
mencapai ketinggian yang pas sebelum kau benar-benar
menambah kecepatan."
Thalia mencengkeram setir begitu kuatnya sampaisampai buku jari-jarinya memutih. Dia tampak seperti mau
muntah. "Ada yang salah?" kutanyakan padanya.
"Nggak ada apa-apa," ujarnya bergetar. "Ng-nggak ada
yang salah." Dia menarik setir ke belakang. Kendaraan memiring,
dan bus pun melesat maju begitu cepatnya hingga aku jatuh
ke belakang dan menabrak sesuatu yang lembut.
"Adouw," seru Grover.
"Maaf." "Lebih pelan!" kata Apollo.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf!" kata Thalia. "Sekarang sudah terkendali!"
Aku berhasil duduk tegak kembali. Memandang ke luar
jendela, aku melihat lingkar asap di pepohonan dari tanah
tempat kami tinggal landas tadi.
"Thalia," ujarku, "pelan-pelan dong dengan pedal
gasnya." "Aku sudah bisa, Percy," ujarnya, sambil menggertakkan giginya. Tapi dia tetap saja menekan keras pedal
gasnya. "Santai sedikit," kataku padanya.
"Aku santai!" sahut Thalia. Dia begitu tegang sehingga
tubuhnya tampak bagai terbuat dari kayu tripleks.
"Kita harus membelok ke selatan untuk ke Long
Island," kata Apollo. "Belok kiri."
Thalia menyentakkan roda ke samping dan sekali lagi
melemparku ke Grover, yang memekik.
"Kiri yang lain," saran Apollo.
Aku berbuat kesalahan dengan memandang keluar
jendela lagi. Kami sudah berada di ketinggian pesawat
terbang sekarang"begitu tingginya sampai langit mulai
terlihat gelap. "Ah ..." kata Apollo, dan aku merasa dia memaksakan
dirinya untuk terdengar tenang. "Lebih rendah sedikit,
Sayang. Pantai Cape Code akan membeku."
Thalia memiringkan rodanya. Wajahnya seputih kapur,
keningnya bertabur keringat. Jelas ada yang tak beres. Aku
belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.
Bus menukik turun dan seseorang menjerit. Barangkali
itu aku. Sekarang kami melesat lurus menuju Laut Atlantik
dengan kecepatan ribuan kilometer per jam, pesisir New
England di seberang kanan kami. Dan ruangan dalam bus
makin panas. Apollo sudah terlempar ke suatu tempat di sudut
belakang bus, tapi dia mulai memanjati deretan kursi-kursi.
"Ambil kembali setirnya!" Grover memohon padanya.
"Jangan khawatir," seru Apollo. Dia tampak sangat
khawatir. "Dia hanya perlu belajar untuk"ALAMAK!"
Aku lihat apa yang tengah dia lihat. Di bawah kami
tampak kota kecil New England berselimut salju.
Setidaknya sih, tadinya berselimut salju. Selagi aku
memandangnya, salju itu mencair dari pohon-pohon dan
atap-atap dan lapangan rumput. Menara putih gereja
berubah jadi cokelat dan mulai berasap. Gumpalangumpalan kecil asap, seperti lilin-lilin ulang tahun,
bermunculan di sepenjuru kota. Pepohonan dan atap-atap
rumah tersulut api. "Naikkan ketinggian!" aku teriak.
Ada pijar liar di mata Thalia. Dia menarik mundur
setirnya, dan kali ini aku tak terlempar. Saat kami melaju ke
atas, aku bisa melihat melalui jendela belakang bahwa
kobara api-api di kota diapadamkan oleh semburan es
dadakan. "Di sana!" Apollo menunjuk. "Long Island, tepat di
depan. Mari memelan, Sayang."
Thalia melaju menuju pesisir utara Long Island. Di
sanalah letak Perkemahan Blasteran: bukitnya, hutannya,
pantainya. Aku bisa melihat paviliun makannya dan
pondok-pondok dan gedung amfiteaternya.
"Aku bisa mengendalikannya," gumam Thalia. "Aku
bisa mengendalikannya."
Kami sudah berjarak beberapa ratus meter sekarang.
"Rem," kata Apollo.
"Aku bisa melakukannya."
"REM!" Thalia menginjak pedal rem, dan bus matahari melesat
maju dengan sudut empat puluh derajat, meluncur ke arah
danau kano Perkemahan Blasteran dengan suara
BYUUUUUUR! Membahana. Uap air menyembur naik,
membuat sebagian peri air yang ketakutan kocar-kacir
keluar danau sembari menjinjing keranjang anyaman
setengah-jadi. Bus itu memantul ke permukaan, bersama dengan dua
buah kano yang terbalik dan setengah lumer.
"Yah," ujar Apollo dengan senyum beraninya. "Kau
benar, Sayang. Semua berada dalam kendalimu! Sekarang
mari kita lihat apakah kita merebus seseorang yang penting,
oke?"[] Aku belum pernah melihat Perkemahan Blasteran di
musim dingin sebelumnya, dan salju ini mengejutkanku.
Asal kau tahu, perekamahan ini memiliki kontrol iklim
yang sungguh ajaib. Tak ada yang memasuki perbatasan
kecuali atas seizin sang direktur, Pak D. Kukira cuaca akan
hangat dan cerah, tapi alih-alih salju diizinkan turun
perlahan. Es menutupi lintasan kereta dan ladang stroberi.
Kabin-kabin berhiaskan lampu-lampu pijar kecil, seperti
lampu-lampu Natal, bedanya lampu-lampu itu sepertinya
adalah bola-bola api sungguhan. Lebih banyak cahaya lagi
menyala dari hutan, dan yang teraneh dari semuanya, sebuah
api berpijar drai jendela loteng Rumah Besar, tempat sang
Oracle menetap, terperangkap dalam tubuh mumi lama. Aku
penasaran apakah arwah Delphi itu sedang memanggang
marshmallow di atas sana atau apa.
"Wow," seru Nico saat dia memanjat keluar dari bus.
"Apa itu tembok panjat?"
"Iya," kataku. "Kenapa ada lahar yang mengalir ke bawahnya?"
"Sedikit tantangan ekstra. Ayo. Akan keperkenalkan
kau pada Chiron. Zo?, sudahkan kau bertemu?"
"Aku kenal Chiron," sahut Zo? ketus. "Katakn padanya
kami akan berada di Kabin Delapan. Pemburu, ikuti aku."
"Akan kutunjukkan jalannya," Grover menawarkan.
"Kami tahu jalannya."
"Oh, sungguh, tidak apa-apa kok. Sangat mudah untuk
tersesat di sini, kalau kau tidak?"dia terpeleset oleh sebuah
kano dan bangikt kembali sembari masih meneruskan
omongannya?"seperti yang biasa dikatakan ayah kambing
tuaku! Ayolah!" Zo? memutar matanya, tapi kurasa dia sadar Grover tak
bisa disingkirkan. Para Pemburu menyandang ransel-ransel
dan busur-busur mereka di atas bahu dan melang-kah
menuju deretan kabin. Saat Bianca di Angelo hendak pergi,
dia mencondongkan tubuh dan membisikkan sesuatu ke
telinga adiknya. Bianca tampak memandanginya untuk
memberi sebuah jawaban, tapi Nico hanya mengomel dan
berpaling. "Jaga diri kalian, Sayang!" Apollo menyeru pada para
Pemburu. Dia mengedipkan mata padaku. "Berhati-hatilah
pada ramalan-ramalan itu, Percy. Aku akan segera berjumpa
lagi denganmu." "Apa maksudmu?"
Bukannya menjawab, dia malah melompat kembali ke
dalam bus. "Sampai nanti, Thalia," panggilnya. "Dan, eh,
bersikap manislah!" Apollo memberinya senyum jail, seolah dia tahu
sesuatu yang tak Thalia ketahui. Lali dia menutup pintupintunya dan menyalakan mesin. Kepalingkan pandangan
saat kendaraan matahari itu lepas landas dalam semburan
panas. Maserati merah melesat melintasi hutan, berpijar
makin terang dan terbang kian tinggi sampai ia menghilang
di balik secercah sinar matahari.
Nico masih terlihat kesal. Aku betanya-tanya apa yang
dikatakan oleh kakaknya padanya tadi.
"Siapa Chiron?" tanyanya. "Aku nggak punya replika
kecilnya." "Penanggung jawab kegiatan kami," ujarku. "Doa ...
yah, nanti kau akan lihat sendiri."
"Kalau gadis-gadis Pemburu tadi tidak menyukainya,"
gerutu Nico, "itu sudah cukup baik buatku. Ayo kita pergi."
Hal kedua yang mengejutkanku dari perkemahan adalah
betapa sepi suasananya. Maksudku, aku tahu sebagian besar
Blasteran hanya berlatih di musim panas. Hanya pekemah
tahunan yang akan menetap di sini"anak-anak yang tak
punya tempat untuk kembali, atau akan terlalu sering
diserang para monster kalau mereka pulang. Tapi
tampaknya anak-anak seperti itu tak banyak jumlahnya.
Aku mendapati Charles Beckendorf dari kabin
Hephaestus sedang mengurusi besi tempa di depan gudang
persenjataan. Stoll bersaudara, Travis dan Connor, dari
kabin Hermes, sedang memilih-milih gembok di toko
kemah. Beberapa anak dari kabin Ares sedang beradu
lempar bola salju dengan peri pohon di pinggir hutan. Hanya
itu saja. Bahkan saingan lamaku dari kabin Ares, Clarisse,
tak tampak batang hidungnya.
Rumah Besar penuh dengan dekorasi tali yang
digelantungi bola-bola api warna merah dan kuning. Bola
api itu tampaknya menghangatkan serambi tanpa membakar
apa pun. Di dalam ruangan, api berderak di tungku perapian.
Udara berbau seperti cokelat panas. Pak D, direktur kemah,
dan Chiron sedang bermain kartu dengan hening di ruang
tamu. Janggut cokelat Chiron tampak lebih lebat di musim
dingin. Rambut ikalnya tumbuh sedikit lebih panjang. Dia
tidak memegang jabatan sebagai guru tahun ini, jadi kurasa
dia bisa tampil lebih santai. Dia mengenakan sweter berbulu
dengan cetakan gambar tapak kaki kuda, dan dia
mengenakan selimut di pangkuannya hingga hampir
menyembunyikan seluruh kursi rodanya.
Dia tersenyum saat melihat kami. "Percy! Thalia! Ah,
dan ini pasti?" "Nico di Angelo," ucapku. "Dia dan kakaknya adalah
blasteran." Chiron mengembuskan napas lega. "Kalian berhasil,
kalau begitu." "Yah ..." Senyum di wajah Chiron memudar. "Ada masalah apa"
Dan di mana Annabeth?"
"Oh, tidak," Pak D berujar dengan suara bosan.
"Jangan bilang ada satu orang lagi yang hilang."
Aku berusaha tak mengacuhkan kehadiran Pak D, tapi
dia memang sulit untuk tak diperhatikan, dengan balutan
baju hangat kulit macan tutul oranye terangnya dan sepatu
lari ungunya. (Memangnya Pak D pernah berlari dalam
kehidupan abadinya") Sebuah mahkota daun dafnah emas
bertengger miring pada rambut ikal hitamnya, yang pasti
artinya dialah yang memenangkan ronde terakhir permainan kartu.
"Apa maksudmu?" tanya Thalia. "Memangnya siapa
lagi yang hilang?" Tepat saat itu, Grover berlari kecil masuk ruangan,
menyeringai lebar bak orang sinting. Ada lingkaran hitam di
matanya dan garis merah di wajahnya yang tampak seperti
bekas tamparan. "Para Pemburu sudah masuk semua!"
Chiron mengernyitkan dahinya. "Para Pemburu, yah"
Kurasa ada banyak hal yang mesti kita bicarakan." Dia
memandangi Nico. "Grover, barangkali kau sebaiknya
membawa teman muda kita ke ruang istirahat dan tunjukkan
padanya film orientasi kita."
"Tapi ... Oh, oke. Baik, Pak."
"Film orientasi?" tanya Nico. "Apa filmnya untuk
segala umur atau khusus dewasa" Karena Bianca tuh ketat
banget?" "Untuk 13 tahun ke atas, kok," kata Grover.
"Asyik!" Nico dengan senang hati mengikuti Grover
keluar ruangan. "Sekarang," Chiron berkata pada Thalia dan aku,
"barangkali sebaiknya kalian berdua duduk dan ceritakan
pada kami kisah selengkapanya."
Setelah kami memaparkannya, Chiron berpaling ke Pak D.
"Kita harus segera melancarkan pencarian terhadap
Annnabeth secepatnya."
"Aku ikut," Thalia dan aku berseru serentak.
Pak D mendengus. "Tentu saja tak boleh!"
Thalia dan aku mulai protes, tapi Pak D mengangkat
tangannya. Ada api amarah keunguan di matanya yang
biasanya berarti sesuatu yang buruk dan mahabesar akan
segera terjadi jika kami tidak tutup mulut.
"Dari apa yang kalian ceritakan padaku," ujar Pak D,
"kita masih tak merugi dari petualangan liar iniy. Kita telah,
sayangnya, kehilangan Annie Bell?"
"Annabeth," bentakku. Annabeth sudah mengikuti
kemah sejak usia tujuh tahun, dan tetap saja Pak D berpurapura tak mengenal namanya.
"Ya, ya," katanya. "Dan kalian memunculkan seorang
bocah kecil menyebalkan untuk menggantikannya. Jadi
kulihat tak ada gunanya mengorbankan beberapa anak
blasteran lagi dalam penyelamatan konyol. Kemungkinannya sangat besar bahwa gadis Annie ini telah mati."
Aku ingin sekali mencekik Pak D. Rasanya tak adil
Zeus mengirimnya ke sini sebagai direktur perkemahan
selama ratusan tahun. Mestinya itu menjadi hukuman bagi
perilaku buruk Pak D terhadap Olympus, tapi akhirnya ia
malah menjadi hukuman bagi kami semua.
"Annabeth bisa jadi masih hidup," kata Chiron, tapi aku
merasa dia kesulitan untuk terdengar optimis. Chiron praktis
telah membesarkan Annabeth selama bertahun-tahun, sejak
Annabeth menjadi pekemah tahunan, sebelum memilih
untuk memberi kesempatan kedua pada ayah dan ibu tirinya
dengan kembali tinggal bersama mereka. "Annabeth sangat
cerdas. Kalau ... kalau musuh-musuh kita menahannya, dia
akan berusaha untuk memperpanjang waktu. Dia bahkan
bisa jadi berpura-pura bekerja sama."
"Itu benar," kata Thalia. "Luke pasti menginginkannya
hidup-hidup." "Apa pun yang terjadi," kata Pak D, "sayangnya dia
harus cukup pintar untuk membebaskan dirinya sendiri."
Aku bangkit dari meja. "Percy." Nada suara Chiron penuh peringatan. Dalam
benakku, aku tahu aku tak semestinya mencari gara-gara
dengan Pak D. Bahkan meskipun kepada anak pengidap
GPPH (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas)
seperti aku, dia tak akan memberikan toleransi sedikit pun.
Tapi aku sudah begitu marahnya hingga sama sekali tak
peduli. "Bapak senang kehilangan satu pekemah lagi," kataku.
"Bapak akan senang kalau kami semua menghilang!"
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak D menguap. "Maksudmu sebenarnya apa, sih?"
"Yah," geramku. "Hanya karena Bapak dikirim ke sini
sebagai hukuman bukan berarti Bapak bisa menjadi pemalas
berengsek! Ini adalah peradabanmu, juga. Mungkin Bapak
bisa mencoba lebih membantu sedikit!"
Sesaat, tak ada suara sama sekali kecuali derak api.
Cahaya yang terpantul di mata Pak D memberinya raut
wajah yang sinis. Dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu"mungkin kutukan yang akan meledakkanku
jadi serpihan kecil"saat Nico merengek masuk ruangan,
diikuti Grover. "KEREN BANGET!" pekik Nico, sembari mengangkat
kedua tangannya ke arah Chiron. "Kau ... kau adalah
centaurus!" Chiron berhasil memberikan senyum gelisahnya.
"Benar, Tuan di Angelo, kalau kau berkenan. Meski, aku
lebih sukan tetap dalam wujud manusia di atas kursi roda ini
untuk, yah, pertemuan pertama."
"Dan, wow!" Dia memandang ke Pak D. "Kau adalah
pria anggur itu" Bukan main!"
Pak D mengalihkan tatapannya dari aku dan memberi
Nico pandangan muak. "Pria anggur?"
"Dionysus, kan" Oh, wow! Aku punya patung replikamu."
"Replika aku." "Dalam permainanku, Mythomagic. Dan ada juga kartu
hologramnya! Dan meskipun kau hanya punya sekitar lima
ratus poin serangan dan semua orang berpikir kau adalah
kartu dewa paling payah, tapi menurutku kekuatanmu
sungguh keren!" "Ah." Pak D tampak benar-benar terkejut, yang
mungkin jadi menyelamatkan nyawaku. "Yah, itu ...
sungguh melegakan." "Percy," ujar Chiron cepat-cepat, "kau dan Thalia
pergilah ke kabin-kabin. Beritahukan pada para pekemah
kita akan bermain tangkap bendera besok malam."
"Tangkap bendera?" tanyaku. "Tapi kita nggak punya
cukup?" "Ini sudah tradisi," kata Chiron. "Pertandingan
persahabatan, kapan pun para Pemburu berkunjung."
"Yeah," gumam Thalia. "Aku yakin pertandingan itu
akan sangat bersahabat."
Chiron memberi sentakan kepala sebagai isyarat ke
arah Pak D, yang masih merengut saat Nico menceritakan
tentang berapa banyak poin kekebalan yang dimiliki semua
dewa dalam permainannya. "Cepat pergilah sekarang,"
Chiron memberi tahu kami.
"Oh, benar," ucap Thalia. "Ayo, Percy."
Dia menarikku ke luar Rumah Besar sebelum Dionysus
teringat bahwa barusan dia ingin membunuhku.
"Kau sudah membuat Ares menjadi musuh," Thalia
mengingatkanku saat kami melangkah gontai menuju
deretan kabin. "Kau masih butuh musuh abadi lagi?"
Thalia benar. Musim panas pertamaku sebagai
pekemah, aku terlibat perkelahian dengan Ares, dan
sekarang dia dan semua anak-anaknya ingin membunuhku.
Aku tak perlu menyulut kemarahan Dionysus juga.
"Maaf," ujarku. "Aku hanya nggak tahan. Rasanya
sungguh nggak adil."
Thalia berhenti dekat gudang senjata dan memandang
ke arah bukit, pada puncak Bukit Blasteran. Pohon pinusnya
masih berada di sana, dengan Bulu Domba Emas berkerlapkerlip di dahan terendahnya. Sihir pohon itu masih
melindungi perbatasan kemah, tapi ia tak lagi menggunakan
roh Thalia sebagai sumber kekuatannya.
"Percy, semuanya memang nggak adil," gumam Thalia.
"Kadang-kadang rasanya aku ingin ..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi nada
bicaranya sangat pilu hingga aku merasa iba padanya.
Dengan rambut hitam acak-acakannya dan pakaian hitam
punknya, dan mantel wol usang membalut tubuhnya, dia
kelihatan bagai sejenis burung gagak raksasa, benar-benar
tak sesuai dengan latar putih pemandangannya.
"Kita akan mengembalikkan Annabeth," janjiku. "Aku
hanya belum tahu bagaimana caranya."
"Pertama-tama aku mendapati Luke salah arah," ujar
Thalia. "Kini Annabeth?"
"Jangan berpikir kayak gitu."
"Kau benar." Dia menegakkan badannya. "Kita akan
temukan jalan." Di lapangan bola basket, beberapa Pemburu sedang
menembakkan bola ke ring. Salah satu dari mereka sedang
berkelahi dengan seorang laki-laki dari kabin Ares. Tangan
Rahasia Hiolo Kumala 21 Dark Love Karya Ken Terate Warisan Iblis 1
Untuk Topher Bradfield Pekemah yang telah menciptakan sebuah dunia
yang berbeda Isi Buku 1. Operasi Penyelamatanku Berjalan Kacau
2. Wakil Kepala Sekolah Mendapat Peluncur Misil
3. Bianca di Angelo Menetapkan Pilihan
4. Thalia Membakar New England
5. Aku Menelepon ke Saluran Bawah Air
6. Arwah Teman Lama Datang Berkunjung
7. Semua Membenciku Kecuali Sang Kuda
8. Aku Membuat Janji Berbahaya
9. Aku Belajar Cara Menumbuhkan Zombie-Zombie
10. Aku Merusakkan Beberapa Pesawat Roket
11. Grover Mendapat Lamborghini
12. Aku Pergi Berseluncur dengan Seekor Babi
13. Kami Mengunjungi Tempat Penampungan Sampah
Para Dewa 14. Aku Memiliki Masalah Bendungan Sialan
15. Aku Bergulat Melawan Kembaran Jahat Sinterklas
16. Kami Bertemu Naga dengan Bau Napas Keabadian
17. Aku Menambah Beberapa Juta Kilo Bobot Ekstra
18. Seorang Teman Mengucapkan Perpisahan
19. Para Dewa Memvoting Cara Membunuh Kami
20. Aku Mendapat Musuh Baru untuk Natal
Hari Jumat sebelum liburan musim dingin, ibuku mengemasiku tas untuk bermalam dan beberapa senjata
berbahaya dan mengantarku menuju sekolah asrama baru.
Kami menjemput teman-temanku, Annabeth dan Thalia, di
tengah perjalanan. Perjalanan memakan waktu delapan jam dari New York
menuju Pelabuhan Bar, Maine. Hujan es dan salju
berjatuhan menimpa jalan raya. Annabeth, Thalia, dan aku
tak bertemu satu sama lain selama beberapa bulan ini, tapi di
tengah badai salju dan berkecamuknya pikiran akan apa
yang akan kami lakukan, kami terlalu tegang untuk
mengobrol banyak. Kecuali bagi ibuku. Dia akan makin
banyak mengoceh saat tegang. Pada saat kami akhirnya tiba
di Asrama Westover, hari sudah gelap, dan ibu sudah
menceritakan pada Annabeth dan Thalia semua kisah-kisah
memalukanku di masa bayi.
Thalia menghapus embun dari jendela mobil dan
mengintip ke luar. "Oh, asyik. Bakalan seru nih."
Asrama Westover tampak seperti kastil milik kesatria
jahat. Gedung itu berbatu hitam semua, dengan menaramenara dan jendela-jendela melengkung dan satu set besar
pintu ganda kayu. Gedung itu bertengger di tebing salju
dengan pemandangan hutan luas berselimut salju di satu sisi
dan gulungan laut abu-abu di sisi lain.
"Apa kalian yakin kalian nggak ingin aku menunggu?"
tanya ibuku. "Nggak usah, makasih, Bu," ujarku. "Aku nggak tahu
berapa lama kami akan berada di sini. Kami akan baik-baik
saja." "Tapi bagaimana cara kalian kembali nanti" Ibu
khawatir, Percy." Kuharap wajahku tak merona. Sudah cukup buruk aku
harus meminta Ibu untuk mengantarku ke medan
pertarunganku. "Tidak apa-apa, Bu Jackson." Annabeth tersenyum
menenangkan. Rambut pirangnya dimasukkan dalam topi
skinya dan mata abu-abunya sewarna dengan laut. "Kami
akan menjauhkannya dari masalah."
Ibuku tampak sedikit lebih tenang. Dia berpendapat
Annabeth adalah anak setengah-dewa yang paling bisa
diandalkan yang pernah menginjak kelas delapan. Dia yakin
Annabeth sering kali menyelamatkanku saat nyawaku
terancam. Ibu benar, tapi itu tidak berarti bahwa aku
menyukai fakta itu. "Baiklah, Anak-anak," ujar ibuku. "Apa kalian punya
semua yang kalian butuhkan?"
"Siap semua, Bu Jackson," kata Thalia. "Terima kasih
atas tumpangannya." "Sweter tambahan" Kalian punya nomer ponsel Ibu?"
"Ibu?" "Ambrosia dan nektarmu, Percy" Dan sekeping
drachma emas kalau-kalau kau harus menghubungi
perkemahan?" "Ibu, serius! Kami akan baik-baik saja. Ayo, temanteman."
Ibu tampak sedikit sakit hati, dan aku menyesalinya,
tapi aku sudah siap keluar dari mobil. Kalau ibuku
menceritakan satu kisah lagi tentang bagaimana lucunya aku
di bak mandi saat umurku tiga tahun, aku akan menggali
lubang di benaman salju dan mengubur diriku sendiri
sampai mati beku. Annabeth dan Thalia keluar mengikutiku. Deru angin
menusuk langsung ke mantelku seperti hujaman belati es.
Begitu mobil ibuku sudah hilang dari penglihatan,
Thalia berkata, "Ibumu asyik banget, Percy."
"Dia memang lumayan asyik," aku mengakui.
"Bagaimana denganmu" Kau pernah berhubungan dengan
ibumu?" Begitu aku mengucapkannya, aku ingin segera
menariknya kembali. Thalia adalah jagonya dalam memberi
tatapan jahat, dengan pakaian gaya punknya yang selalu dia
kenakan"jaket tentara sobek-sobeknya, celana kulit hitam
dan perhiasan rantai, pensil mata hitam dan mata birunya
yang menusuk. Tapi tatapan yang dia berikan padaku saat
ini adalah tatapan jahat yang sempurna. "Itu sama sekali
bukan urusanmu, Percy?"
"Kita sebaiknya masuk ke dalam," Annabeth menyela.
"Grover akan menunggu."
Thalia memandangi kastil dan menggigil. "Kau benar.
Aku penasaran apa yang Grover temukan di sini hingga dia
mengirimkan sinyal darurat."
Aku mendongakkan pandangan pada menara-menara
gelap Asrama Westover. "Pastinya bukan sesuatu yang
baik," tebakku. Pintu-pintu kayu ek itu berderit membuka, dan kami bertiga
melangkah memasuki aula depan dengan jejak embusan
salju berputar-putar menyelubungi kami.
Yang bisa kukatakan hanyalah, "Wow."
Tempat itu sangat besar. Pada dinding-dindingnya
berjajar panji-panji perang dan panjangan senjata: senapan
antik, kapak perang, dan masih banyak lagi senjata jenis
lain. Maksudku, aku sih sudah tahu Westover adalah
sekolah militer, tapi dekorasi di gedung itu tampak seperti
pameran pembantaian. Sungguh.
Tanganku merogoh saku, tempat aku menyimpan pena
mematikanku, Riptide. Aku sudah dapat merasakan ada
yang tidak beres di tempat ini. Sesuatu yang berbahaya.
Thalia menggosok gelang peraknya, alat ajaib kesukaannya.
Aku tahu kami memikirkan hal yang sama. Siap-siap
bertarung. Annabeth baru berkata, "Aku ingin tahu di mana?"
saat tiba-tiba pintu-pintu membanting tertutup di belakang
kami. "Oo-ke," gumamku. "Kayaknya kita harus tinggal di
sini dulu sebentar."
Aku bisa mendengar alunan musik bergema dari sisi
lain aula. Suaranya terdengar seperti musik dansa.
Kami letakkan tas-tas bermalam kami di balik tiang dan
mulai berjalan menyusuri aula. Kami belum berjalan jauh
saat aku mendengar suara jejak kaki di lantai batu, dan
seorang pria dan wanita melangkah keluar dari bayangbayang untuk mencegat kami.
Mereka berdua memiliki rambut abu-abu pendek dan
seragam gaya-militer hitam dengan garis tepi merah. Sang
wanita memiliki kumis tipis, dan sang pria dengan kumis
tercukur licin yang tampak seperti terbalik buatku. Mereka
berdua berjalan dengan kaku, seolah ada gagang sapu terikat
di balik punggung mereka.
"Yah?" tuntut sang wanita. "Apa yang kalian lakukan
di sini?" "Em ..." Kusadari aku belum merencanakan hal ini.
Aku begitu terfokus untuk menemui Grover dan mencari
tahu masalahnya, sampai-sampai tak terpikir olehku
seseorang mungkin akan menanyakan apa yang diperbuat
tiga anak mengendap-endap memasuki sekolah di malam
hari. Kami bahkan tidak membicarakan sama sekali di
dalam mobil tentang bagaimana kami akan masuk. Aku
berkata, "Nyonya, kami hanya?"
"Ha!" bentak sang pria, yang membuatku terloncat.
"Pengunjung tidak diizinkan mengikuti pesta dansa! Kalian
harus segera kee-luarrgh!"
Nada bicara pria itu memiliki aksen"Prancis,
barangkali. Dia mengucapkan huruf r-nya seperti setengah
cadel setengah berkumur. Tubuhnya tinggi, dengan wajah
menyerupai elang. Lubang hidungnya mengembang saat dia
bicara, yang membuatku sulit untuk tak memperhatikan
hidungnya, dan matanya memiliki dua warna berbeda"satu
cokelat, satu biru"seperti kucing jalanan.
Aku merasa dia akan segera melempar kami kembali ke
salju, tapi kemudian Thalia melangkah ke depan dan
melakukan sesuatu yang sangat ganjil.
Dia menjentikkan jarinya. Suaranya begitu tajam dan
berisik. Mungkin itu hanya khayalanku saja, tapi aku merasa
embusan angin terlontar keluar dari genggaman tangannya,
menyebar ke sepenjuru ruangan. Angin itu bertiup mengitari
kami, membuat panji-panji yang terpajang di dinding
berkibar. "Oh, tapi kami bukanlah pengunjung, Pak," kata
Thalia. "Kami bersekolah di sini. Bapak ingat: Aku Thalia.
Dan ini Annabeth dan Percy. Kami murid di kelas delapan."
Guru pria itu memincingkan mata dua-warnanya. Aku
tak tahu apa yang dipikirkan Thalia. Sekarang kami
barangkali akan segera dihukum karena berdusta plus
dilempar kembali ke salju. Tapi pria itu tampak berpikir
ragu. Dia memandangi rekannya. "Nyonya Gottschalk, apa
kau kenal dengan murid-murid ini?"
Meski situasi berbahaya yang tengah kami hadapi, aku
harus menggigit lidahku untuk tak tertawa. Seorang guru
dengan nama Got Chalk"Punya Kapur" Dia pasti bercanda.
Wanita itu mengerjapkan matanya, seperti seseorang
yang baru tersadar dari lamunannya. "Saya ... iya. Saya rasa
iya, Pak." Wanita itu mengernyitkan keningnya memandang
kami. "Annabeth. Thalia. Percy. Apa yang kalian lakukan
keluar dari ruang gimnasium?"
Sebelum kami bisa menjawab, aku mendengar suara
langkah kaki lagi, dan Grover berlari, kehabisan napas.
"Kalian berhasil! Kalian?"
Dia segera menghentikan bicaranya saat melihat ke-dua
guru itu. "Oh, Bu Gottschalk. Dr. Thorn! Saya, eh?"
"Ada apa, Tuan Underwood?" kata sang pria. Nada
bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia membenci Grover.
"Apa maksud ucapanmu, mereka berhasil" Berhasil tiba"
Murid-murid ini tinggal di sini."
Grover menelan ludah. "Benar, Pak. Tentu saja, Dr.
Thorn. Maksud saya hanya, saya begitu gembira mereka
berhasil ... membuat sari buah untuk pesta dansa! Sari
buahnya enak sekali. Dan mereka yang membuatnya, lho!"
Dr. Thorn memelototi kami. Aku putuskan salah satu
matanya palsu. Yang cokelat" Atau yang biru" Dia terlihat
seperti ingin melempar kami dari menara kastil tertinggi,
tapi kemudian Nyonya Gottschalk berkata dengan tatapan
terhipnotis, "Benar, sari buahnya memang luar biasa.
Sekarang pergilah, kalian semua. Jangan tinggalkan ruang
gimnasium lagi!" Kami tak ingin diberi tahu dua kali. Kam beranjak pergi
dengan banyak lontaran "Baik, Bu" dan "Baik, Pak" dan
memberi hormat dua kali, hanya karena itu rasanya memang
yang sepantasnya dilakukan.
Grover segera menggiring kami menyusuri aula ke arah
sumber alunan musik. Aku bisa merasakan tatapan tajam kedua guru itu di
balik punggungku, tapi aku berjalan mendekati Thalia dan
bertanya dengan suara pelan, "Bagaimana cara kaulakukan
jentikan-jari itu?" "Maksudnya Kabut" Memangnya Chiron belum
menunjukkanmu caranya?"
Sebuah ganjalan menyekat tenggorokanku. Chiron
adalah pelatih kepala kami di perkemahahan, tapi dia tak
pernah mengajariku hal-hal seperti itu. Kenapa dia hanya
mengajari Thalia dan tidak diriku"
Grover membawa kami menuju pintu dengan tulisan
GIM di kaca jendelanya. Bahkan dengan penyakit
disleksiaku, aku bisa membaca tulisan sebanyak itu.
"Tadi nyaris sekali!" seru Grover. "Terpujilah para
dewa kalian bisa sampai di sini!"
Annabeth dan Thalia memeluk Grover. Aku
memberinya tos. Sungguh menyenangkan bisa bertemu dengannya
setelah beberapa bulan. Grover tumbuh makin tinggi dan
telah menumbuhkan sedikit jenggot baru, tapi selain dari itu
Grover tampak sama seperti biasanya saat dia menyamar
sebagai anak manusia"topi merah menyembunyikan
tanduk kambingnya, celana jins gombrong dan sepatu kets
dengan kaki palsu untuk me-nyembunyikan kaki berbulu
dan berkuku belahnya. Dia mengenakan kaus hitam yang
membutuhkan beberapa detik
untukku membacanya. Tulisannya ASRAMA WESTO-VER: DENGKUR. Aku tak
tahu apakah itu nama peringkat Grover atau barangkali
hanya slogan sekolah. "Jadi apa kondisi daruratnya?" tanyaku.
Grover menghela napas dalam. "Aku menemukan dua."
"Dua anak-blasteran?" tanya Thalia, takjub. "Di sini?"
Grover mengangguk. Menemukan satu anak-blasteran saja sudah sangat
langka. Tahun ini, Chiron menugaskan para satir untuk
bertugas lembur dalam misi darurat dan mengirim mereka
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke pelosok negeri, menjelajahi sekolah-sekolah dari kelas
empat SD sampai tingkat SMA untuk merekrut calon-calon
pahlawan baru. Ini adalah masa-masa genting. Kami mulai
kehilangan pekemah. Kami membutuhkan semua pejuang
baru yang bisa ditemukan. Masalahnya adalah, sebenarnya
tidak ada banyak anak setengah-dewa di luar sana.
"Laki-laki dan perempuan, bersaudara." katanya.
"Mereka sepuluh dan dua belas tahun. Aku nggak tahu garis
keturunannya, tapi mereka kuat. Kami mulai kehabisan
waktu, sayangnya. Aku butuh bantuan."
"Ada monster-monster?"
"Satu." Grover tampak tegang. "Dia curiga. Aku rasa di
juga belum yakin, tapi ini adalah hari terakhir tahun ajaran.
Aku yakin dia nggak akan membiarkan mereka meniggalkan
kampus tanpa mencari tahu. Ini mungkin kesempatan
terakhir kita! Setiap kalinya aku berusaha mendekati anakanak itu, dia selalu hadir, mencegatku. aku nggak tahu lagi
apa yang mesti kulakukan!"
Grover menatap Thalia putus asa. Aku berusaha untuk
tak terganggu oleh itu. Biasanya, Grover mendatangiku
untuk meminta bantuan, tapi Thalia memiliki senioritas.
Bukan hanya karena ayahnya adalah Zeus. Thalia lebih
berpengalaman dari kami semua dalam mengatasi monstermonster di dunia nyata.
"Oke," ujar Thalia. "Anak-anak blasteran ini ada di
pesta dansa?" Grover mengangguk. "Kalau begitu mari kita dansa," kata Thalia. "Siapa
monsternya?" "Oh," kata Grover, dan memandang berkeliling dengan
gugup. "Kalian baru saja ketemu dengannya. Sang wakil
kepala sekolah, Dr. Thorn."
Hal yang aneh dari sekolah-sekolah militer: anak-anaknya
berkelakuan sangat sinting saat sebuah perhelatan diadakan
dan mereka bisa melepas seragam mereka. Kurasa itu karena
segala sesuatunya begitu diatur ketat sepanjang waktu,
sehingga mereka merasa harus menebus atas apa yang
mereka lewatkan atau semacamnya.
Ada balon-balon hitam dan merah di sepenjuru lantai
gimnasium, dan anak-anak laki-laki menyepak balon-balon
itu ke muka satu sama lain, atau mencoba saling mencekik
dengan menggunakan kertas-krep dekorasi yang ditempel di
sepanjang dinding. Anak-anak perempuan berjalan-jalan
delam satu kerumunan regu sepak bola, seperti yang biasa
mereka lakukan, mengenakan banyak riasan wajah dan
pakaian atasan bertali dan celana panjang berwarna terang
dan sepatu-sepatu yang terlihat seperti alat penyiksa. Sekali
waktu mereka akan mengerubungi seorang pria malang
layaknya sekelompok ikan piranha, teriak-teriak dan
cekikikan, dan saat mereka menyingkir, rambut pria itu akan
penuh dengan pita-pita sementara mukanya penuh dengan
coretan lipstik. Beberapa anak laki-laki yang lebih tua
tampak lebih seperti aku"tak nyaman, seolah tak lama lagi
mereka akan terpaksa berjuang mempertahankan nyawa
mereka. Tentu saja, dalam kasusku, itu memang kenyataannya ....
"Itu mereka." Grover mengendikkan kepalanya ke arah
sepasang anak yang tengah berdebat di tribune. "Bianca dan
Nico di Angelo." Anak perempuannya mengenakan topi hijau berkelepai,
seolah dia ingin menyembunyikan wajahnya. Anak lakilakinya jelas adiknya. Mereka berdua memiliki rambut
hitam lurus dan kulit kecokelatan, dan mereka banyak
menggunakan gerak tangan saat bicara. Anak laki-laki itu
sedang mengocok kartu yang tampak seperti kartu koleksi.
Saudarinya tamapak seperti sedang mengomelinya akan
sesuatu. Dia terus menebarkan pandangan ke sekitar seolah
merasakan ada sesuatu yang salah.
Annabeth berkata, "Apa mereka ... maksudku, apa kau
sudah menjelaskannya pada mereka?"
Grover menggeleng. "Kau tahu kan bagaimana
biasanya. Hal itu akan semakin membahayakan mereka.
Begitu mereka menyadari siapa mereka sebernarnya, bau
mereka akan semakin kuat."
Grover memandangiku, dan aku mengangguk. Aku tak
pernah tahu sepertu apa "bau" anak-anak blasteran bagi
penciuman para monster dan satir, tapi aku tahu bau itu bisa
menyebabkanmu terbunuh. Dan semakin kau menjadi anak
setengah-dewa yang kuat, baumu akan semakin tercium
seperti santapan siang bagi monster.
"Ayo kita bawa mereka dan segera pergi dari sini,"
kataku. Aku mulai melangkah maju, tapi Thalia meletakkan
tangannya di pundakku. Wakil kepala sekolah, Dr. Thorn,
menyelinap keluar dari pintu dekat tribune dan sekarang
berdiri di dekat di Angelo bersaudara. Dia mengangguk
dingin ke arah kami. Mata birunya tampak bersinar.
Menilai dari raut mukanya, kurasa Thorn tidak
terkelabui oleh tipuan Kabut Thalia sedikit pun. Dia sudah
mencurigai kami. Dia hanya menunggu untuk mencari tahu
untuk apa kami ke sini. "Jangan pandangi anak-anak itu," Thalia memerintahkan. "Kita harus menunggu kesempatan untuk membawa
mereka. Kita harus berpura-pura nggak tertarik pada
mereka. Alihkan dia dari bau mereka."
"Gimana caranya?"
"Kita kan tiga anak blasteran yang kuat. Kehadiran kita
bisa membingungkannya. Berbaurlah. Bersikaplah wajar.
Berdansalah sedikit. Tapi tetap awasi kedua anak itu."
"Berdansa?" tanya Annabeth.
Thalia mengangguk. Dia memasang kuping untuk
mendengarkan musik dan membuat wajahnya masam. "Ih.
Siapa sih yang milih lagu-lagu Jesse McCartney?"
Grover tampak tersinggung. "Aku."
"Oh demi dewa dewi, Grover. Itu payah banget. Nggak
bisakah kau mainkan lagu-lagu kayak Green Day atau
semacamnya?" "Green apa?" "Lupakan saja. Ayo kita dansa."
"Tapi aku nggak bisa dansa!"
"Bisa saja kalau aku yang memimpin," kata Thalia.
"Ayolah, bocah kambing."
Grover memekik tertahan saat Thalia menarik
tangannya dan menggiringnya ke lantai dansa.
Annabeth tersenyum. "Kenapa?" tanyaku.
"Nggak ada apa-apa. Senang saja Thalia kembali."
Annabeth telah tumbuh lebih tinggi dariku sejak musim
panas tahun lalu, yang menurutku agak mengganggu.
Biasanya dia tak pernah mengenakkan perhiasan sama sekali
kecuali kalung manik-manik Perkemahan Blasterannya, tapi
kini dia mengenakan anting-anting perak kecil berbentuk
burung hantu"simbol ibunya, Athena. Annabeth mencopot
topi skinya, dan rambut pirang panjangnya tergerai ke
bawah bahunya. Membuatnya tampak lebih dewasa, entah
kenapa. "Jadi ..." aku berusaha memikirkan sesuatu untuk
dikatakan. Bersikaplah wajar, Thalia sudah berpesan pada
kami. Saat kau adalah anak-blasteran dalam misi berbahaya,
memangnya ada yang wajar" "Em, merancang gedung yang
bagus baru-baru ini?"
Mata Annabeth berbinar, seperti biasanya saat dia
berbicara tentang arsitektur. "Oh demi dewa dewi, Percy. Di
sekolah baruku, aku bisa mengambil rancang 3-D sebagai
mata pelajaran pilihan, dan ada program komputer keren
banget yang ..." Annabeth terus mengoceh tentang bagaimana dia telah
merancang monumen besar yang ingin dia bangun di bekas
lokasi gedung World Trade Center di Manhattan. Dia
menceritakan tentang penompang strukturnya dan bagian
facade gedung dan semacamnya, dan aku berusaha untuk
mendengar. Aku tahu Annabeth ingin menjadi arsitek super
saat besar nanti"dia menggemari matematika dan gedunggedung bersejarah dan semua hal itu"tapi aku tak mengerti
satu kata pun yang dia terangkan.
Sejujurnya aku agak kecewa mendengar dia sangat
menyukai sekolah barunya. Itu adalah kali pertama
Annabeth memasuki sekolah New York. Aku berharap akan
bisa bertemu dengannya lebih sering. Sekolah barunya
adalah sekolah asrama di Brooklyn, dan dia dan Thalia
sama-sama terdaftar sebagai murid di sana. Lokasinya
cukup dekat dengan Perkemahan Blasteran hingga Chiron
bisa datang membantu kalau-kalau mereka terlibat masalah.
Namun karena itu adalah sekolah khusus perempuan, dan
aku masuk sekolah MS-54 di Manhattan, sehingga hampir
tak pernah bertemu dengan mereka.
"Iya deh, eh, asyik dong," kataku. "Jadi kau akan
menetap di sana sepanjang akhir tahun ini, yah?"
Wajahnya berubah mendung. "Yah, barangkali, kalau
aku nggak?" "Hei!" Thalia memanggil kami. Dia sedang berdansa
slow dengan Grover, yang terus-terusan menginjak kakinya
sendiri, menedang Thalia tepat di tulang kering, dan tampak
ingin segera mati. Setidaknya kakinya adalah palsu. Tidak
sepertiku, Grover punya alasan atas keceroboh-annya.
"Berdansalah, kalian!" Thalia memerintahkan. "Kalian
tampak kayak orang tolol cuma berdiri di sana."
Aku menatap gelisah pada Annabeth, kemudian pada
sekumpulan gadis yang mengitari ruang gimnasium.
"Gimana?" kata Annabeth.
"Em, siapa yang mesti kuajak?"
Dia menonjok perutku. "Aku, dasar Otak Ganggang."
"Oh. Oh, betul juga."
Maka kami berjalan ke lantai dansa, dan aku memandangi untuk melihat bagaimana cara Thalia dan Grover
berdansa. Kuletakkan satu tanganku di pinggul Annabeth,
dan dia menjepit tanganku yang lain seperti hendak
membantingku dalam pertandingan judo.
"Aku nggak akan menggigit," katanya padaku. "Yang
benar deh, Percy. Apa kalian anak laki-laki nggak pernah
berdansa di sekolah kalian?"
Aku tak menjawab. Sebenarnya kami juga memiliki
pesta dansa di sekolah. Tapi aku tak pernah benar-benar
berdansa di pesta itu. Aku biasanya mengikuti kumpulan
laki-laki yang bermain bola basket di pojokan.
Kami berdansa beberapa menit. Aku berusaha
berkonsentrasi pada hal-hal kecil, seperti hiasan kertaskertas krep dan mangkuk sari buah"apa pun selain fakta
bahwa Annabeth lebih tinggi dariku, dan tanganku basah
oleh keringat dan barangkali terasa menjijikkan, dan aku
terus-terusan menginjak jempol kakinya.
"Apa yang mau kau bicarakan tadi?" tanyaku. "Apa
kau menemui masalah di sekolah atau semacamnya?"
Annabeth mengerutkan bibirnya. "Bukan itu. Ayahku."
"O-ow." Aku tahu Annabeth memiliki hubungan yang
rentan dengan ayahnya. "Kukira hubungan kalian makin
membaik. Apa masalahnya dari ibu tirimu lagi?"
Annabeth mendesah. "Ayah memutuskan untuk pindah.
Tepat saat aku mulai kerasan di New York, dia mengambil
pekerjaan baru yang bodoh, meneliti untuk buku Perang
Dunia 1. Di San Francisco."
Dia mengatakan hal ini seolah sedang membicarakan
tentang Padang Hukuman atau celana senam Hades.
"Jadi dia ingin kau ikut pindah ke sana bersamanya?"
tanyaku. "Ke belahan lain negeri," katanya muram. "Dan anakanak blasteran kan nggak bisa tinggal di San Francisco. Dia
seharusnya tahu itu."
"Apa" Kenapa begitu?"
Annabeth memutar bola matanya. Mungkin dia
mengira aku hanya bercanda. "Kau tahulah. Itu kan ada di
sana." "Oh," ujarku. Aku sama sekali nggak mengerti apa
yang dia bicarakan, tapi aku tak ingin terkesan bodoh. "Jadi
... kau akan kembali tinggal di perkemahan atau
bagaimana?" "Masalahnya lebih serius dari itu, Percy. Aku ... aku
mungkin harus menceritakan sesuatu kepadamu."
Tiba-tiba Annabeth memantung. "Mereka menghilang."
"Apa?" Aku mengikuti arah pandangannya. Bangku penonton.
Kedua anak blasteran itu, Bianca dan Nico, sudah tak lagi
ada di sana. Pintu di dekat Tribune itu terbuka lebar. Sosok
Dr. Thorn tak terlihat di mana pun.
"Kita harus panggil Thalia dan Grover!" Annabeth
memandang ke sekitar dengan kalut. "Oh, ke mana sih
mereka pergi berdansa" Ampun deh!"
Annabeth berlari ke arah kerumunan. Aku baru hendak
menyusul saat gerombolan anak perempuan menghalang
lajuku. Aku bergerak lincah menghindari mereka agar tak
mendapat pernak pita-dan-lipstik itu, dan pada saat aku
terbebas, Annabeth menghilang dari pandangan. Aku
memutar tubuhku, mencari-cari sosok Annabeth atau Thalia
dan Grover. Alih-alih, aku melihat sesuatu yang
membekukan darahku. Sekitar lima belas meter sari tempatku berdiri,
tergeletak di lantai gimnasium, adalah sebuah topi hijau
berkelepai sama persis seperti yang tadi dikenakan Bianca di
Angelo. Di dekatnya kartu-kartu koleksi bertebaran.
Kemudian aku menemukan sekilas sosok Dr. Thorn. Dia
dengan tergesa-gesa memasuki pintu di ujung seberang
ruangan, menggiring anak-anak di Angelo dengan menarik
tengkuk mereka, seperti anak-anak kucing.
Aku masih belum menemukan Annabeth, kemudian
aku berpikir, Tunggu dulu.
Aku ingat apa yang dikatakan Thalia padaku di aula
masuk, menatapku bingung saat aku menanyakan padanya
tentang trik jentikan-jari itu: Memangnya Chiron belum
menunjukkan padamu caranya" Aku memikirkan
bagaimana Grover beralih ke dirinya, mengharapkan untuk
menjadi sosok penyelamat.
Bukannya aku membenci Thalia. Dia orangnya baik.
Bukan salahnya ayahnya adalah Zeus dan dia mendapat
seluruh perhatian .... Namun tetap saja, aku kan tak perlu
selalu berlari ke dirinya untuk menyelesaikan setiap
masalah. Lagi pula, kami tak punya banyak waktu. Di
Angelo bersaudara terancam bahaya. Bisa jadi mereka sudah
akan lama menghilang pada saat kutemukan temantemanku. Aku cukup tahu dengan para monster. Aku bisa
mengatasi ini sendiri.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukeluarkan Riptide dari sakuku dan segera berlari
mengejar Dr. Thorn. *** Pintu itu mengarah ke lorong gelap. Kudengar suara-suara
perkelahian di depan, kemudian suara geram kesakitan.
Kubuka tutup Riptide. Pena itu tumbuh membesar di tanganku sampai
kugenggam pedang perunggu Yunani sepanjang satu meter
dengan gagang bersampul-kulit. Pedang itu memendarkan
sinar lemah, melemparkan cahaya keemasan ke deretan
loker. Aku berlari pelan menyusuri lorong, tapi pada saat aku
sampai di ujung, tak ada siapa pun di sana. Kubuka pintu
dan kutemukan diriku kembali ke aula masuk utama. Aku
benar-benar dipalingkan. Aku tak menemukan sosok Dr.
Thorn di mana pun, tapi di sana, di ujung seberang ruangan,
tampak anak-anak di Angelo. Mereka berdiri memantung
ketakutan, menatap tepat ke arahku.
Aku maju perlahan, menurunkan mata pedangku.
"Tenanglah. Aku tak akan melukai kalian."
Mereka tak menjawab. Mata mereka penuh rasa takut.
Ada apa sebenarnya dengan mereka" Di mana Dr. Thorn
itu" Barangkali dia merasakan kehadiran Riptide dan
mundur. Para monster membenci senjata-senjata berbahan
perunggu langit. "Namaku Percy," kataku, berusaha membuat suaraku
terdengar tenang. "Aku akan membawa kalian keluar dari
sini, membawa kalian ke tempat aman."
Mata Bianca membeliak. Kepalan tangannya mengeras.
Sudah terlambat saat aku menyadari apa arti dari tatapannya.
Dia tidak takut padaku. Dia berusaha memperingatkanku.
Kubalikkan tubuh dan sesuatu melesat SYUUUT! Rasa
nyeri meledak di pundakku. Kekuatan seperti sebuah tangan
besar menyentakkanku ke belakang dan membenturku ke
tembok. Kuayun pedangku tapi tak ada yang bisa dikenai.
Suara tawa dingin bergema ke sepenjuru lorong.
"Benar, Perseus Jackson," kata Dr. Thorn. Aksennya
merusak huruf J di nama belakangku, membuat seperti Z.
"Aku tahu siapa kamu."
Aku berusaha membebaskan bahuku. Mantel dan
kemejaku tertancap ke dinding oleh suatu tusukan"sebuah
proyektil seperti belati hitam sekitar tiga puluh senti.
Tusukan itu menggores kulit pundakku saat ia menembus
pakaianku, dan luka sayatan itu membakar. Aku sudah
pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Racun.
Kupaksakan diri untuk berkonsentrasi. Aku tak boleh
pingsan. Sebuah siluet hitam sekarang bergerak mendekati kami.
Dr. Thorn berjalan ke arah remang-remang cahaya. Dia
masih tampak seperti manusia, tapi wajahnya seperti
siluman. Dia memiliki gigi-gigi putih sempurna dan mata
cokelat/birunya memantulkan cahaya dari pedangku.
"Terima kasih sudah mau keluar dari ruang gimnasium," katanya. "Aku benci acara dansa SMP."
Aku berusaha mengayunkan pedangku lagi, tapi dia
berada di luar jangkauan.
SYUUUT! Proyektil kedua melesat dari suatu tempat di
belakang Dr. Thorn. Dia tidak tampak bergerak. Seolah-olah
ada seseorang tak kasat mata yang berdiri di belakangnya,
melemparkan sejumlah belati.
Di sebelahku, Bianca memekik. Duri kedua menancap
ke tembok batu, hanya berjarak satu senti dari wajahnya.
"Kalian bertiga akan ikut denganku," kata Dr. Thorn.
"Pelan-pelan. Dengan patuh. Kalau kalian membuat sedikit
suara, kalau kalian berteriak meminta bantuan atau cobacoba melawan, akan kutunjukkan seberapa jitunya
lemparanku."[] Aku tak tahu monster jenis apa Dr. Thorn itu, tapi yang
jelas dia sangat cepat. Barangkali aku bisa membela diriku kalau saja aku bisa
mengaktifkan perisaiku. Yang kubutuhkan hanya menyentuh jam tanganku. Namun membela nyawa anak-anak
di Angelo adalah masalah lain, aku butuh pertolongan, dan
hanya ada satu cara yang terpikir olehku untuk
mendapatkan. Kupejamkan mata. "Apa yang kaulakukan, Jackson?" desis Dr. Thorn.
"Terus berjalan!"
Aku membuka mata dan terus bergerak maju.
"Bahuku," aku berbohong, berusaha terdengar kesakitan,
yang memang tak sulit. "Rasanya seperti terbakar."
"Bah! Racunku hanya menyebabkan rasa sakit. Ia tak
akan membunuhmu. Jalan terus!"
Thorn menggiring kami ke luar, dan aku berusaha
memusatkan pikiran. Kubayangkan wajah Grover. Aku
memusatkan pada perasaan takut dan terancamku. Musim
panas lalu, Grover telah menciptakan sambungan empati di
antara kami. Dia mengirimiku bayangan-bayangan dalam
mimpiku untuk memberitahuku bahwa dia sedang terancam
bahaya. Sejauh pengetahuanku, kami berdua masih
tersambung, tapi aku belum pernah berusaha menghubungi
Grover sebelumnya. Aku bahkan tak tahu apakah
sambungan ini akan bekerja saat Grover dalam keadaan
terjaga. Hei, Grover! Pikirku. Thorn menculik kami! Dia
adalah maniak pelempar duri beracun! Tolong!
Thorn membawa kami memasuki hutan. Kami berjalan
di jalur bersalju dengan penerangan temaram dari cahaya
lampu model kuno. Pundakku nyeri. Angin yang berembus
menusuk pakaianku yang koyak, begitu dinginnya sampaisampai aku merasa bagai es krim rasa percy.
"Ada tanah kosong di depan," kata Thorn. "Kami akan
memanggil kendaraan kalian."
"Kendaraan apa?" tuntut Bianca. "Ke mana kau akan
membawa kami?" "Diamlah, gadis menjengkelkan!"
"Jangan bicara begitu pada kakakku!" ujar Nico.
Suaranya bergetar, tapi aku terkesan pada nyalinya yang
berani bicara. Dr. Thorn membuat suara geraman yang jelas bukan
suara manusia. Suara itu membuat bulu kudukku merinding,
tapi aku memaksa diriku untuk terus berjalan dan berpura-
pura menjadi bocah tawanan yang manis. Sementara itu,
kukirimkan pikiran-pikiranku bak orang gila"apa pun
untuk mendapat perhatian Grover: Grover! Apel-apel!
Kaleng timah, kaleng timah! Cepatlah bawa pantat kambing
berbulumu kemari dan bawa serta beberapa teman
bersenjata lengkap! "Berhenti," kata Thorn.
Bentangan jalan hutan membuka. Kami tiba di tebing
yang memandang lautan. Setidaknya, aku merasakan
adanya laut di bawah sana, ratusan meter di bawah. Aku
bisa mendengar ombak-ombak berdesir dan aku bisa
menghirup buih-buih air garam dingin. Namun yang bisa
kulihat hanyalah kabut dan kegelapan.
Dr. Thorn mendorong kami menuju tebing. Aku
terhuyung, dan Bianca menangkapku.
"Makasih," gumamku.
"Makhluk apa dia sebenarnya?" bisiknya. "Bagaimana
kita bisa melawanya?"
"Aku ... aku sedang mengusahakannya."
"Aku takut," gumam Nico. Dia memainkan sesuatu"
seperti mainan prajurit kecil dari logam.
"Berhenti bicara!" kata Dr. Thorn. "Menghadaplah ke
arahku!" Kami membalikkan tubuh. Mata dua-warna Thorn berbinar lapar. Dia menarik
sesuatu dari balik mantelnya. Pada awalnya kukira itu
adalah pisau lipat otomatis, tapi ternyata itu hanya sebuah
telepon. Dia memencet tombol di pinggir dan berkata,
"Paketnya"sudah siap dikirim."
Ada suara jawaban tak jelas di ujung sana, dan kusadari
Thorn sedang bicara dengan gaya walkie-talkie. Ini tampak
terlalu modern dan menakutkan"monster menggunakan
telepon genggam. Aku memandang ke belakangku, penasaran seberapa
dalamnya ujung tebing ini hingga ke dasar.
Dr. Thorn tertawa. "Ya ampun, Putra Poseidon.
Lompatlah! Di sana ada laut. Selamatkan dirimu."
"Dia menyebutmu apa barusan?" gumam Bianca.
"Akan kujelaskan nanti," kataku.
"Kau punya rencana, kan?"
Grover! Pikirku putus asa. Datanglah padaku!
Barangkali aku bisa mengajak kedua anak di Angelo
untuk melompat bersamaku ke laut. Kalau kami terjun
dengan selamat, aku bisa gunakan air untuk melindungi
kami. Aku sudah pernah melakukan hal-hal seperti itu
sebelumnya. Kalau suasana hati ayahku sedang baik, dan
mendengarkan, dia mungkin akan membantu. Mungkin.
"Aku akan membunuhmu sebelum kau bisa sampai ke
air," ujar Dr. Thorn, seolah membaca pikiranku. "Kau tak
tahu siapa aku sebenarnya, yah?"
Sekerjap gerakan di belakangnya, dan sebuah misil lain
berdering begitu dekat denganku hingga ia menggores
kupingku. Sesuatu melesat dari balik tubuh Dr. Thorn"
seperti ketapel, tapi lebih lentur ... lebih mirip seperti ekor.
"Sayangnya," kata Thorn, "kau diinginkan hidup-hidup,
kalau memungkinkan. Kalau tidak kau pasti sudah mati dari
tadi." "Siapa yang menginginkan kami?" desak Bianca.
"Karena kalau kau mengira kau bisa mendapat uang
tebusan, kau salah besar. Kami nggak punya keluarga. Nico
dan aku ..." Suaranya sedikit pecah. "Kami nggak punya
siapa pun kecuali satu sama lain."
"Aduh betapa malangnya," ujar Dr. Thorn. "Jangan
khawatir, anak-anak manja. Kalian akan menemui bosku tak
lama lagi. Kemudian kalian akan mendapatkan sebuah
keluarga baru." "Luke," kataku. "Kau bekerja untuk Luke."
Mulut Dr. Thorn berkedut jijik saat aku menyebut nama
musuh lamaku"mantan teman yang berusaha membunuhku
beberapa kali. "Kau tak tahu sama sekali apa yang sedang
terjadi, Perseus Jackson. Akan kubiarkan sang Jendral
memberi pencerahan padamu. Kau akan memberi bantuan
besar untuknya malam ini. Dia sangat menanti untuk
bertemu denganmu." "Sang Jendral?" tanyaku. Lalu kusadari aku mengucapkan kata itu dengan aksen Prancis. "Maksudku ... siapa
Jenderal itu?" Thorn memandang ke cakrawala. "Ah, inilah ia.
Kendaraan kalian." Aku berbalik dan melihat pijar cahaya di kejauhan,
sebuah lampu sorot di atas laut. Kemudian suara balingbaling helipkopter terdengar semakin deras dan mendekat.
"Ke mana kau akan membawa kami?" kata Nico.
"Kau harusnya merasa tersanjung, Nak. Kau akan
mendapat kesempatan untuk bergabung dengan bala tentara
yang luar biasa! Persis seperti permainan konyol yang kau
mainkan dengan kartu-kartu dan boneka-boneka itu."
"Itu bukan boneka! Itu adalah replika kecil! Dan kau
bisa bawa saja bala tentaramu itu dan?"
"Tenang dulu," Dr. Thorn memperingatkan. "Kau akan
mengubah pikiran untuk bergabung dengan kami, Nak. Dan
kalu tidak, yah ... masih ada kegunaan lain dari anak-anak
blasteran. Kami punya banyak mulut-multu monster untuk
diberi makan. Masa Kebangkitan Besar akan segera tiba."
"Masa apa?" tanyaku. Apa pun untuk membuatnya
tetap bicara sementara aku berusaha mencari cara
membebaskan diri. "Kebangkitan para monster." Dr. Thorn tersenyum
jahat. "Monster-monster paling buruk, paling berkuasa, kini
mulai bangkit. Monster-monster yang tak pernah terlihat
selama ribuan tahun. Mereka akan menyebabkan kematian
dan kehancuran dengan cara yang tak pernah disangkasangka oleh manusia. Dan tak lama lagi kami akan
mendapat monster terpenting dari semuanya"yang akan
menentukan kejatuhan Olympus!"
"Oke," Bianca berbisik padaku. "Dia jelas-jelas
sinting." "Kita harus melompat dari tebing," kataku padanya
pelan. "Terjun ke laut."
"Oh, ide hebat. Kau juga sama sintingnya."
Aku tak sempat berdebat dengannya, karena tepat saat
itu kekuatan tak kasat mata menabrak tubuhku.
Mengingat ulang kejadian itu, tindakan Annabeth sungguh
brilian. Dengan mengenakan topi tak kasat matanya, dia
menerjang ke di Angelo bersaudara dan aku, menjatuhkan
kami ke tanah. Selama setengah detik, Dr. Thorn terkejut,
hingga semburan pertama misilnya melenceng melewati
kepala kami. Hal itu memberi Thalia dan Grover
kesempatan untuk menyerang dari belakang"Thalia
menggunakan perisai ajaibnya, Ageis.
Kalau kau belum pernah melihat Thalia memasuki
medan pertarungan, kau tentu belum pernah merasakan
takut yang sesungguhnya. Dia menggunakan tombak besar
yang memanjang dari kaleng Mace"Gada, yang bisa
menciut dan selalu dia bawa dalam sakunya, tapi bukan itu
bagian seramnya. Perisainya dibuat mengikuti senjata yang
digunakan ayahnya Zeus"juga disebut Aegis"sebuah
hadiah dari Athena. Perisai itu memiliki kepala sang gorgon
Medusa tertempel dalam lapisan perunggunya, dan
meskipun ia tak akan mengubahmu jadi batu, perisai itu
tetap begitu mengerikan, hingga kebanyakan orang akan
panik dan kabur saat melihatnya.
Bahkan Dr. Thorn mengernyit dan menggeram ketika
dia melihatnya. Thalia bergerak maju dengan tombaknya. "Demi
Zeus!" Kukira Dr. Thorn sudah akan langsung mampus. Thalia
menusuk kepalanya, tapi dia mengerang dan menangkis
tombak itu ke samping. Tangannya berubah ke bentuk
tangan hewan jingga, dengan cakar sangat besar yang
melecutkan bunga-bunga api saat menggores perisai Thalia.
Kalau bukan karena Aegis, Thalia pasti sudah akan teriris
bak selembar roti. Namun, dia berhasil berguling ke
belakang dan kembali berdiri.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara helikopter semakin bising di belakangku, tapi aku
tak berani menoleh. Dr. Thorn kembali melontarkan misil ke arah Thalia,
dan kali ini aku melihat bagaimana dia melakukannya. Dia
punya ekor"ekor dengan kulit keras serupa kalajengking
yang mencuat dengan duri-duri di ujungnya. Misil-misil itu
berhasil ditangkal Aegis, tapi kekuatan hantamannya
membuat Thalia terjungkal.
Grover melompat ke depan. Dia menaruh serulingnya
ke bibir dan mulai memainkannya"lagu rancak yang
terdengar seperti alunan musik yang akan membuat para
perompak berjoget. Rerumputan menyeruak dari lapisan
salju. Dalam hitungan detik, rumput liar setebal tali melilit
kaki Dr. Thorn, membelitnya.
Dr. Thorn meraung dan mulai berubah wujud. Dia
tumbuh membesar hingga ke ukuran aslinya"wajahnya
masih manusia, tapi tubuhnya serupa harimau besar. Ekor
keras berdurinya melecutkan duri-duri mematikan ke segala
arah. "Manticore!" seru Annabeth, yang kini menampakkan
diri. Topi ajaib New York Yankeesnya terlepas saat dia
menerjang ke arah kami. "Siapa kalian sebenarnya?" Bianca di Angelo mendesak. "Dan apa itu?"
"Manticore?" dengap Nico. "Dia punya kekuatan
serangan tiga ribu dan plus lima untuk melempar lemparan!"
Aku tak mengerti apa yang Nico bicarakan, tapi aku tak
punya waktu untuk mencemaskannya. Sang Manticore
mencabik rumput-rumput liar ajaib Grover hingga bercarikcarik, kemudian berbalik menghadap kami dengan geram.
"Tiarap!" Annabeth mendorong anak-anak di Angelo
rebah ke tanah bersalju. Pada detik terakhir, aku teringat
akan perisaiku sendriri. Kutekan jam tanganku, dan pelat
logamnya melingkar keluar menjadi sebuah perisai
perunggu tebal. Tepat pada waktunya. Segera duri-duri
menancap dengan kekuatan besar hingga memenyokkan
logamnya. Perisai indah itu, hadiah dari saudaraku, dirusak
parah. Aku bahkan tak yakin perisai ini masih bisa
digunakan untuk menangkis semburan duri-duri berikutnya.
Kudengar suara hantaman dan pekikan, dan Grover
mendarat di sebelahku dengan berdebum.
"Menyerahlah!" raung sang monster.
"Tak akan pernah!" teriak Thalia dari seberang
lapangan. Dia menerjang ke arah monster, dan selama
sedetik, kukira Thalia akan langsung menusuknya. Tapi
lantas ada suara-suara bising dan seberkas sinar dari arah
belakang kami. Helipkopter muncul dari balik kabut,
melayang-layang di dekat tebing. Itu adalah helikopter
hitam mengilat gaya-militer bersenjata, lengkap dengan
tambahan senjata di sisi yang tampak seperti roket-roket
berpenuntun laser. Helikopter itu pasti dikendarai oleh
manusia, tapi untuk apa helikopter itu ada di sini"
Bagaimana mungkin manusia bisa bekerja dengan monster"
Cahaya lampu sorot itu membutakan Thalia, dan sang
manticore mengenyahkannya ke samping dengan kibasan
ekornya. Perisai Thalia mental ke salju. Tombaknya
melayang ke arah lain. "Tidak!" Aku berlari menolongnya. Aku menangkis
sebuah duri tepat sebelum ia akan menusuk dada Thalia.
Kuangkat perisaiku untuk melindungi kami, tapi aku tahu
itu tak akan cukup. Dr. Thorn tertawa. "Sekarang sudah kalian sadari
betapa sia-sianya ini" Menyerahlah, pahlawan-pahlawan
cilik." Kami terperangkap antara satu monster dan sebuah
helikopter bersenjata lengkap. Kami benar-benar tak punya
kesempatan. Kemudian kudengar suara yang begitu jelas dan tajam:
bunyi tiupan trompet berburu dari arah hutan
Sang manticore memantung. Semenit, tak ada yang
bergerak. Hanya ada embusan angin dan salju dan desing
baling-baling helikopter.
"Tidak," kata Dr. Thorn. "Tak mungkin?"
Kalimatnya terputus saat sesuatu melesat melewatiku
seperti sebias cahaya rembulan. Sebuah panah perak berpijar
muncul di bahu Dr. Thorn.
Dia terhuyung ke belakang, merintih kesakitan.
"Terkutuklah kau!" raung Thorn. Dia melepaskan duridurinya, lusinan duri langsung, ke tengah hutan tempat asal
panah tadi, tapi dengan sama cepatnya, panah-panah perak
melesat sebagai balasan. Kelihatannya seolah panah-panah
itu menabrak duri-duri Dr. Thorn di tengah udara dan
membelahnya jadi dua, tapi mataku pasti menipu
pandanganku. Tak ada seorang pun, bahkan anak-anak
Apollo di perkemahan, yang bisa menembak dengan
ketepatan seperti itu. Sang manticore mencabut panahnya dari pundaknya
dengan erang kesakitan. Napasnya berat. Aku mencoba
mengayunkan pedangku ke arahnya, tapi dia tak secedera
kelihatannya. Dia mengelak dari seranganku dan menghantamkan ekornya ke perisaiku, mementalkanku ke
samping. Kemudian para pemanah muncul dari balik hutan.
Mereka adalah anak-anak perempuan, ada sekitar selusin.
Yang paling kecil barangkali berumur sepuluh tahun. Yang
tertua, sekitar empat belas, sepertiku. Mereka mengenakan
jaket ski bertudung bulu binatang warna perak dan celana
jins, dan mereka semua bersenjatakan busur. Mereka maju
ke arah manticore dengan ekspresi tegas.
"Para Pemburu!" seru Annabeth.
Di sebelahku, Thalia bergumam, "Oh, hebat deh."
Aku tak sempat menanyakan apa maksudnya.
Salah satu pemanah yang lebih besar melangkah ke
depan dengan busur siaga. Dia tinggi dan anggun dengan
kulit sewarna tembaga. Tak sama seperti gadis-gadis lain,
dia mengenakan lingkaran kepang perak terjalin di bagian
atas rambut hitam panjangnya, membuatnya tampak seperti
putri dari Persia. "Izin untuk membunuh, Yang Mulia?"
Aku tak tahu siapa yang dia ajak bicara, karena dia
memakukan pandangannya lurus ke arah sang manticore.
Sang monster mengerang. "Ini tidak adil! Keterlibatan
langsung! Ini bertentangan dengan Hukum Purba!"
"Tidak juga," sahut seorang gadis lain. Gadis ini sedikit
lebih muda dariku, barangkali dua belas atau tiga belas tahu.
Dia memiliki rambut cokelat kemerahan terikat kuncir kuda
dan mata yang aneh, kuning keperakan seperti warna bulan.
Wajahnya begitu cantik hingga membuat napasku tertahan,
tapi raut wajahnya tegas dan berbahaya. "Pemburuan semua
makhluk buas yang berkeliaran berada dalam medanku. Dan
kau, makhluk jahat, termasuk makhluk buas." Dia
memandang ke arah gadis yang lebih tua dengan lingkar
kepang. "Zo?, izin diberikan."
Sang manticore menggeram. "Kalau aku tak bisa
mendapatkan anak-anak ini hidup-hidup, aku akan
mendapatkan mereka dalam keadaan mati!"
Dia menerjang ke arah Thalia dan aku, tahu kami
sedang lengah dan kebingungan.
"Tidak!" teriak Annabeth, dan dia menerjang ke arah
monster. "Mundur, anak blasteran!" gadis dengan lingkar kepang
berseru. "Keluar dari garis tembakan!"
Tapi Annabeth melompat ke punggung monster dan
memasukkan belatinya ke tengkuknya. Sang manticore
meraung, berputar-putar dengan ekor mengibas-ngibas
udara saat Annabeth bergantungan mempertahankan diri.
"Tembak!" perintah Zo?.
"Jangan!" teriakku.
Tapi para Pemburu itu membiarkan panah-panah
mereka bertebangan. Panah pertama menancap ke leher sang
manticore. Panah lain menusuk dadanya. Sang manticore
terhuyung ke belakang, mengerang. "Ini bukan akhirnya,
Pemburu! Kalian akan mendapatkan balasannya!"
Dan sebelum siapa pun bisa bereaksi, sang monster,
dengan Annabeth masih bergantungan di punggungnya,
melompat ke tebing dan terjatuh ke dalam kegelapan.
"Annabeth!" aku berteriak.
Aku mulai berlari ke arahnya, tapi musuh kami belum
selesai mengurusi kami. Ada suara dor-dor-dor dari
helikopter"suara tembakan senjata.
Sebagian besar Pemburu berlari memencar saat lubanglubang kecil muncul di salju di bawah kaki mereka, tapi
gadis berambut cokelat kemerahan itu hanya mendongak
dengan tenang ke arah helikopter.
"Manusia," dia mengumumkan, "tidak diizinkan untuk
menyaksikan perburuanku."
Gadis itu mengulurkan tangannya, dan helikopter itu
pun meledak dalam gumpalan debu"buka, bukan debu.
Logam hitam itu membuyar jadi kerumunan burung"
burung-burung gagak, yang terbang menyebar ke langit
malam. Para pemburu mendekati kami.
Gadis bernama Zo? berhenti saat melihat Thalia.
"Kau," ujarnya dengan nada muak.
"Zo? Nightshade." Suara Thalia bergetar dengan
amarah. "Wktu yang tepat, seperti biasanya."
Zo? memandangi yang lainnya. "Empat anak blasteran
dan satu satir, Yang Mulia."
"Benar," ujar gadis yang lebih kecil. "Beberapa
pekemah Chiron, kurasa."
"Annabeth!" teriakku. "Kalian harus membiarkan kami
menyelamatkannya!" Gadis berambut kemerahan beralih memandangiku.
"Maafkan aku, Percy Jackson, tapi temanmu sudah tak
tertolong." Aku berusaha untuk berlari, tapi dua orang gadis
menahanku. "Kau tidak siap untuk menerjunkan diri dari tebing,"
kata gadis berambut kemerahan.
"Lepaskan aku!" aku mendesak. "Memangnya kau
pikir siapa dirimu?"
Zo? melangkah ke depan dengan seolah ingin
menamparku. "Jangan," perintah gadis yang satunya. "Aku tidak
merasakan adanya ketidakhormatan, Zo?. Dia hanya kalut.
Dia tak mengerti." Gadis kecil itu memandangiku, sorot matanya lebih
dingin dan terang dari bulan di musim dingin. "Aku adalah
Artemis," ujarnya. "Dewi Perburuan."[]
Setelah melihat Dr. Thorn berubah menjadi monster dan
terjun dari ujung tebing bersama Annabeth, kupikir tak ada
hal lain yang bisa mengejutkanku. Tapi ketika gadis dua
belas tahun ini memberitahukanku dia adalah Dewi Artemis,
aku menanggapi dengan sesuatu yang terdengar cerdas
seperti, "Em ... oke deh."
Itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Grover.
Dia terengah, kemudian cepat-cepat berlutut di atas salju
dan mulai mengoceh, "Terima kasih, Yang Mulia Artemis!
Kau sangat ... kau sangat ... Wow!"
"Berdirilah, bocah kambing!" bentak Thalia. "Masih
ada masalah lain yang harus kita cemaskan. Annabeth
menghilang!" "Woy," seru Bianca di Angelo. "Tunggu dulu. Stop,
stop." Semua orang memandanginya. Bianca menunjuk
dengan jari telunjuknya ke arah kami semua bergiliran,
seolah dia mencoba menghubungkan titik-titiknya. "Siapa ...
siapa kalian sebenarnya?"
Raut muka Artemis melembut. "Mungkin pertanyaan
yang sebaiknya dilontarkan, Sayang, adalah siapa dirimu
sebenarnya" Siapa orangtuamu?"
Bianca menatap gugup ke arah adiknya, yang masih
memandang dengan terkesima pada Artemis.
"Kedua orang tua kami sudah meninggal," kata Bianca.
"Kami anak yatim piatu. Ada simpanan di bank untuk
membayar iuran sekolah kami, tapi ..."
Bianca tampak bimbang. Kurasa dia bisa menebak dari
wajah kami bahwa kami tidak mempercayai omongannya.
"Apa?" desaknya. "Aku mengatakan yang sesungguhnya."
"Kau adalah anak blasteran," kata Zo? Nightshade.
Aksennya sulit ditebak. Ia terdengar sangat kuno, seolah dia
membaca dari buku teks yang sudah sangat lama. "Salah
satu dari kedua orangtuamu adalah manusia. Satunya lagi
adalah bangsa Olympia."
"Olympia ... maksudnya atlet Olimpiade"
"Bukan," ujar Zo?. "Salah satu dari para dewa."
"Keren!" seru Nico.
"Tidak!" suara Bianca bergetar. "Ini tidak keren!"
Nico berjoget-joget layaknya orang kebelet pipis.
"Apakah Zeus benar-benar memiliki petir yang bisa
menghasilkan enam ratus kerusakan" Apa dia mendapat
poin gerakan ekstra kalau?"
"Nico, diamlah!" Bianca meletakkan kedua tangannya
ke wajahnya. "Ini bukan permainan konyol Mythomagic-mu
itu, oke" Tidak ada yang namanya dewa-dewi!"
Betapapun aku sangat mencemaskan Annabeth"yang
ingin kulakukan hanyalah mencarinya"namun aku tak bisa
tak merasa iba pada di Angelo bersaudara. Aku teringat apa
yang kurasakan saat pertama kalinya diberi tahu bahwa aku
adalah anak setengah dewa.
Thalia pasti merasakan hal yang sama, karena amarah
di matanya meredup sedikit. "Bianca, aku tahu ini sulit
dipercaya. Tapi para dewa sebenarnya masih ada.
Percayalah padaku. Mereka hidup abadi. Dan setiap kali
mereka memiliki keturunan dengan manusia biasa, anakanak seperti kita ini, yah ... Hidup kita akan selalu terancam
bahaya." "Bahaya," sahut Bianca, "seperti gadis yang jatuh tadi."
Thalia memalingkan pandangan. Bahkan Artemis
merasa sedih. "Jangan putus harapan pada Annabeth," kata sang
dewi. "Dia adalah gadis pemberani. Kalau dia bisa
ditemukan, aku akan menemukannya." "Kalau
begitu kenapa kau nggak biarkan kami pergi mencarinya?"
tanyaku. "Dia sudah hilang. Tak bisakah kau merasakannya,
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putra Poseidon" Ada sebuah sihir yang sedang bekerja. Aku
tak tahu persis bagaimana atau mengapa, tapi temanmu
sudah menghilang." Aku masih tetap ingin melompat dari tebing dan
mencarinya, tapi aku mendapat firasat bahwa Artemis benar.
Annabeth sudah hilang. Kalau saja dia masih berada di
bawah laut sana, pikirku, aku tentu sudah bisa merasakan
kehadirannya. "Oo!" Nico mengacungkan tangannya. "Bagaimana
dengan Dr. Thorn" Tadi tuh keren banget caramu
menembakkan panah ke arahnya! Apa dia mati?"
"Dia adalah manticore," kata Artemis. "Harapan kami
dia sudah hancur untuk saat ini, tapi para monster tak pernah
benar-benar mati. Mereka akan mewujud kembali."
"Kalau tidak mereka akan memburu kami," ucap
Thalia. Bianca di Angelo menggigil. "Itu sebabnya ... Nico,
kau ingat musim panas lalu, pria-pria yang mencoba
menyerang kami di gang D.C.?"
"Dan sopir bus itu," kata Nico. "Yang memiliki tanduk
domba. Betul kan apa kubilang, itu nyata."
"Itu sebabnya Grover mengawasimu selama ini,"
kataku. "Untuk menjaga keselamatan kalian, kalau kalian
memang terbukti anak-anak blasteran."
"Grover?" Bianca memandanginya. "Kau juga
setengah-dewa?" "Yah, satir sih, sebenarnya." Dia menyepak sepatunya
lepas dan memamerkan kaki kambingnya. Kukira Bianca
akan langsung jatuh pingsan saat itu.
"Grover, pasang sepatumu kembali," kata Thalia. "Kau
membuatnya ketakutan."
"Hei, kakiku kan bersih!"
"Bianca," kataku, "kami datang ke sini untuk menolongmu. Kau dan Nico perlu dilatih untuk bertahan hidup.
Dr. Thorn bukanlah monster terakhir yang akan kalian
temui. Kalian harus ikut ke perkemahan."
"Perkemahan?" tanya Bianca.
"Perkemahan Blasteran," kataku. "Itu tempat di mana
anak-anak blasteran belajar untuk bertahan hidup dan
semacamnya. Kalian berdua bisa bergabung dengan kami,
menetap di sana sepanjang tahu kalau kalian mau."
"Asyik, ayo kita pergi!" sahut Nico.
"Tunggu." Bianca menggelengkan kepalanya. "Aku
tidak?" "Masih ada pilihan lain," ujar Zo?.
"Tidak, tidak ada!" seru Thalia.
Thalia dan Zo? saling melotot. Aku tak tahu apa yang
mereka bicarakan, tapi aku tahu pasti ada sejarah buruk di
antara mereka. Entah atas alasan apa, mereka saling
membenci. "Kita sudah terlalu membebani anak-anak ini," Artemis
menyampaikan. "Zo?, kita akan beristirahat di sini selama
beberapa jam. Dirikan tenda-tenda. Obati yang cedera.
Ambil barang-barang milik para tamu kita dari gedung
sekolah." "Baik, Yang Mulia."
"Dan, Bianca, ikutlah denganku. Aku ingin bicara
denganmu." "Bagaimana denganku?" tanya Nico.
Artemis mempertimbangkan anak itu. "Barangkali kau
bisa tunjukkan pada Grover bagaimana cara memainkan
kartu yang sangat kau gemari itu. Aku yakin Grover akan
senang hati menghiburmu untuk sementara waktu ... sebagai
bantuan untukku?" Grover hampir saja terpeleset sendiri saat bangkit.
"Sudah pasti! Ayo, Nico!"
Nico dan Grover berjalan ke arah hutan, sambil
berbincang-bincang tentang poin-poin yang dia kumpulkan
dan peringkat kekebalan dan masih banyak topik khas
penggermar game lainnya. Artemis membawa Bianca yang
tampak kebingungan ke sekitar tebing. Para Pemburu mulai
mengeluarkan isi ransel mereka dan mendirikan kemah.
Zo? memberikan tatapan bengis sekali lagi pada Thalia,
kemudian pergi untuk memantau beberapa hal.
Begitu dia pergi, Thalia mengentakkan kakinya frustasi.
"Berani-beraninya para Pemburu itu! Mereka pikir mereka
begitu ... Aaargh!" "Aku setuju denganmu," kataku. "Aku nggak
percaya?" "Oh, kau setuju denganku?" Thalia berpaling padaku
marah. "Apa sih yang kaupikirkan di ruang gimnasium tadi,
Percy" Bahwa kau akan bertarung dengan Dr. Thorn
sendirian" Kau jelas tahu dia itu monster!"
"Aku?" "Kalau kita tetap bersama, kita pasti sudah akan
menghabisinya tanpa campur tangan para Pemburu.
Annabeth mungkin masih akan bersama kita. Apa kau
nggak berpikir ke situ?"
Rahangku mengeras. Aku memikirkan ucapan yang
kasar untuk kukatakan, dan mungkin aku sudah akan
mengatakannya, tapi lalu aku memandang ke bawah dan
melihat sesuatu berwarna biru gelap tergeletak di atas salju
dekat kakiku. Topi bisbol New York Yankees milik
Annabeth. Thalia tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Dia
menyeka air mata yang mengaliri pipinya, membalikkan
badan, dan berjalan pergi, meninggalkanku sendirian dengan
topi yang terinjak di hamparan salju.
*** Para Pemburu mendirikan posisi kemah mereka dalam
hitungan menit. Tujuh tenda besra, semua dari bahan sutera
perak, membentuk bulan sabit mengelilingi satu sisi api
unggun. Salah satu gadis meniupkan peluit anjing perak, dan
selusin serigala putih muncul dari balik hutan. Mereka mulai
mengitari kemah seperti anjing penjaga. Para Pemburu
berjalan di antara mereka dan memberi mereka makanan,
benar-benar tak takut, tapi kuputuskan untuk berada di
dekat-dekat tenda. Burung-burung elang mengawasi kami
dari pepohonan, mata mereka berkilat-kilat tertepa cahaya
api, dan aku merasa elang-elang itu juga sedang bertugas
jaga. Bahkan cuacanya terasa tunduk menngikuti perintah
sang dewi. Udara masih dingin, namun deru angin mereda
dan hujan salju berhenti, sehingga suasana terasa nyaman
untuk duduk di dekat api unggun.
Yeah ... kecuali untuk rasa nyeri di bahuku dan rasa
bersalah yang memberatiku. Aku tak percaya Annabeth
menghilang begitu saja. Dan betapapun marahnya aku pada
Thalia, diam-diam aku merasa bahwa dia ada benarnya. Ini
memang salahku. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan Annabeth padaku
di ruang gimnasium" Sesuatu yang serius, katanya. Kini aku
tak akan pernah tahu. Aku memikirkan bagaimana kami
berdansa selama separuh lagu, dan hatiku terasa makin
berat. Kupandangi Thalia mondar-mandir di tengah salju di
ujung kemah, berjalan di antara kawanan serigala tanpa rasa
takut. Dia berhenti dan memandang kembali ke arah Asrama
Westover, yang kini tampak gelap gulita, ber-tengger di tepi
bukit di luar hutan. Aku penasaran apa yang tengah dia
pikirkan. Tujuh tahun lalu, Thalia diubah menjadi pohon pinus
oleh ayahnya, untuk membuatnya terhindar dari maut. Dulu
dia berdiri menantang pasukan monster di puncak Bbukit
Blasteran guna memberi waktu pada teman-temannya Luke
dan Annabeth untuk membebaskan diri. Thalia baru kembali
menjadi manusia selama beberapa bulan ini, dan sekali
waktu dia akan berdiri bak patung hingga orang-orang akan
mengira dia masih berupa pohon.
Akhirnya, salah satu dari para Pemburu membawakan
kembali tas ranselku. Grover dan Nico kembali dari jalanalan mereka, dan Grover membantuku merewat lenganku
yang cedera. "Warnanya hijau!" seru Nico gembira.
"Bertahanlah," Grover memberitahuku. "Ini, makanlah
sedikit ambrosia sementara aku bersihkan lukamu."
Aku mengernyit saat dia mengobati lukaku, tapi
bongkah ambrosia itu membantu. Rasanya seperti kue
cokelat bikinan rumah, lumer di mulut dan menyebarkan
rasa hangat ke sekujur badanku. Setelah diberi ambrosia dan
salep ajaib yang digunakan Grover, bahuku terasa lebih baik
dalam hitungan menit. Nico menggeledah tasnya sendiri, yang sepertinya telah
dikemas oleh para Pemburu untuknya, meski bagaimana
mereka bisa menyeludup masuk ke Asrama Westover tanpa
ketahuan, tampak sungguh mustahil. Nico menjajarkan
sekumpulan patung kecil di atas salju"replika-replika
perang kecil dari dewa-dewi Yunani dan para pahlawan.
Aku mengenali Zeus dengan petirnya, Ares dengan
tombaknya, Apollo dengan kereta mataharinya.
"Koleksi yang lengkap," kataku.
Nico tersenyum. "Aku hampir punya semuanya,
ditambah kartu-kartu hologramnya! Yah, kecuali sedikit
kartu yang betul-betul langka."
"Kau memainkan ini dari dulu?"
"Baru sejak tahun ini. Sebelum itu ..." Dia menautkan
alisnya. "Ada apa?" tanyaku.
"Aku lupa. Itu aneh."
Nico tampak gelisah, tapi itu tak bertahan lama. "Hei,
bolehkan kulihat pedang yang kaugunakan tadi?"
Kutunjukkan Riptide padanya, dan kujelaskan padanya
bagaimana ia berubah dari bentuk pena menjadi pedang
hanya dengan membuka tutupnya.
"Keren! Apa ia bisa kehabisan tinta?"
"Em, yah, aku sebetulnya nggak menggunakannya buat
menulis." "Apa kau benar-benar putra dari Poseidon?"
"Yah, iya." "Apa kau bisa berselancar dengan baik, kalau begitu?"
Aku menatap Grover, yang berusaha keras menahan
tawa. "Ampun deh, Nico," kataku. "Aku nggak pernah
mencobanya." Dia terus-terusan mengajukan pertanyaan. Apa aku
sering bertengkar dengan Thalia, mengingat dia adalah putri
Zeus" (Aku tak jawab pertanyaan itu.) Kalau ibu Annabeth
adalah Athena, Dewi Kebijaksanaan, lalu kenapa Annabeth
malah memilih untuk menerjunkan diri dari tebing" (Aku
berusaha keras menahan diri dari mencekik Nico karena
menanyakan itu.) Apakah Annabeth adalah pacarku" (Pada
titik ini, aku sudah siap untuk memasukkan anak ini ke
dalam karung bekas daging dan melemparnya ke kumpulan
serigala.) Kupikir tak lama lagi dia akan menanyakanku berapa
banyak poin pukulan yang pernah kuterima, dan aku akan
kehilangan kesabaranku sepenuhnya, tapi kemudian Zo?
Nightshade mendatangi kami.
"Percy Jackson."
Dia memiliki bola mata cokelat gelap dan hidung agak
mencuat ke atas. Dengan lingkaran kepang peraknya dan
ekspresi angkuhnya, dia tampak seperti berasal dari
kalangan ningrat sampai-sampai aku harus menahan
dorongan untuk menegakkan dudukku dan berkata "Baik,
Nyonya." Gadis itu memperhatikanku dengan muak, seolah
aku adalah sekantong cucian kotor yang dia diperintahkan
untuk mengambilnya. "Ikutlah bersamaku," katanya. "Yang Mulia Artemis
ingin bicara dengan dikau."
*** Zo? memanduku memasuki tenda terakhir, yang tampak tak
berbeda dari tenda-tenda lainnya, dan mempersilakanku
masuk. Bianca di Angelo duduk di sebelah gadis berambut
merah, yang masih sulit kuakui sebagai Artemis.
Ruang dalam tenda itu terasa hangat dan nyaman.
Permadani sutra dan bantal-bantal memenuhi lantai. Di
tengah-tengah, ada tungku api berwarna emas yang tampak
terus mengobarkan api tanpa bahan bakar atau asap. Di
belakang sang dewi, pada penopang pajangan berlapis kayu
ek yang terpahat menyerupai tanduk tusa, terpampang busur
perak besarnya. Pada dinding-dindingnya meng-gantung
bulu-bulu binatang buruan: beruang hitam, macan, dan
beberapa hewan lain yang tak kuketahui. Kurasa aktivis
pelindung hewan akan mendapat serangan jantung
memandangi kulit-kulit hewan langka itu, tapi mungkin
karena Artemis adalah dewi perburuan, dia bisa saja
memunculkan kembali apa pun yang dia tembak. Kukira ada
kulit hewan lain yang tergeletak di sebelahnya, tapi
kemudian kusadari itu adalah hewan hidup"seekor rusa
dengan bulu berkilat dan tanduk perak, kepalanya bersandar
dengan nyaman di pangkuan Artemis.
"Bergabunglah dengan kami, Percy Jackson," ujar sang
dewi. Aku duduk di seberangnya di lantai tenda. Sang dewi
mempelajariku dengan seksama, yang membuatku merasa
tak nyaman. Dia memiliki sorot mata yang sangat tua bagi
seorang gadis muda. "Apa kau terkejut dengan umurku?" tanyanya.
"Eh ... sedikit."
"Aku bisa menampilkan diri sebagai wanita dewasa,
atau api yang membara, atau apa pun yang kuinginkan, tapi
inilah yang paling kusenangi. Ini adalah sosok yang
mengikuti usia rata-rata para Pemburuku, dan semua gadis
muda yang berada di bawah pengawasanku, sebelum
mereka binasa." "Binasa?" tanyaku.
"Beranjak dewasa. Jadi tergila-gila pada lelaki. Jadi
bertingkah konyol, sibuk sendri, tak percaya diri.
Melupakan diri mereka sendiri."
"Oh." Zo? duduk di sebelah kanan Artemis. Dia memelototiku seolah semua yang dikatakan Artemis barusan
adalah karena salahku, seolah akulah yang menciptakan ide
adanya laki-laki.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau harus memaafkan para Pemburuku kalau mereka
tak menyambut ramah dirimu," kata Artemis. "Sangat
jarang kami menerima laki-laki di kemah ini. Biasanya lakilaki dilarang untuk berhungungan dengan para Pemburu.
Laki-laki terakhir yang melihat kemah ini ..." Dia
memandang ke arah Zo?. "Yang mana itu yah?"
"Laki-laki yang tinggal di Colorado itu," sahut Zo?.
"Yang Mulia mengubahnya menjadi antelop-jack."
"Ah, ya." Artemis mengangguk, puas. "Aku senang
sekali membuat antelop-jack. Apa pun itu, Percy, aku
memintamu ke sini agar kau memberitahuku lebih banyak
tentang sang manticore. Bianca melaporkan beberapa ...
mmm, hal-hal mengganggu yang dikatakan monster itu.
Tapi dia mungkin tidak memahaminya. Aku ingin
mendengarnya darimu."
Maka kuceritakan semua padanya.
Saat aku selesai mengungkapkannya, Artemis meletakkan tangannya, menyusuri busur peraknya pelan. "Itulah
jawaban yang kutakuti."
Zo? memajukan duduknya. "Baunya, Yang Mulia?"
"Iya." "Bau apa?" tanyaku.
"Beberapa makhluk buas yang sudah tak pernah kuburu
selama ribuan tahun bangkit kembali," gumam Artemis.
"Buruan sangat tuanya hingga nyaris kulupa."
Dewi Artemis menatapku tajam. "Saat kami datang
malam ini kemari, kami merasakan kehadiran manticore,
tapi bukan dia yang sebenarnya kami cari. Katakan lagi,
persisnya apa yang sebelumnya dikatakan oleh Dr. Thorn."
"Em, "Aku benci pesta dansa SMP.?"
"Bukan, bukan. Setelahnya."
"Dia bilang seseorang yang dipanggil dengan sebutan
Jenderal akan menjelaskan beberapa hal padaku."
Wajah Zo? memucat. Dia berpaling pada Artemis dan
mulai mengucapkan sesuatu, tapi Artemis mengangkat
tangannya. "Lanjutkan, Percy," kata sang dewi.
"Yah, kemudian Thorn membicarakan tentang Masa
Kebangkitan Bangsa?"
"Kebangkitan Besar," Bianca mengoreksi.
"Oh, iya. Dan dia bilang, "Tak lama lagi kita akan
memiliki monster yang terpenting dari semuanya"monster
yang akan menentukan kejatuhan Olympus.?"
Sang dewi masih diam saja hingga tampak bagai
patung. "Bisa juga dia berbohong," kataku.
Artemis menggelengkan kepalanya. "Tidak. Dia tidak
bohong. Aku terlalu lamban mengenali tanda-tandanya. Aku
harus memburu monster ini."
Zo? tampak seperti berusaha sangat keras untuk tak
takut, tapi dia mengangguk. "Kita akan segera pergi, Yang
Mulia." "Tidak, Zo?. Aku akan lakukan ini sendiri."
"Tapi, Artemis?"
"Tugas ini terlalu berbahaya bahkan bagi para
Pemburu. Kau tahu ke mana aku harus mengawali
pencarianku. Kau tak bisa pergi ke sana bersamaku."
"Apa .. apa pun yang kauinginkan, Yang Mulia."
"Aku akan temukan makhluk ini," Artemis bersumpah.
"Dan aku akan membawa pulang kembali ke Olympus pada
titik balik matahari musim dingin. Itu akan jadi bukti yang
kubutuhkan untuk meyakinkan Dewan Para Dewa akan
betapa berbahayanya situasi yang tengah kita hadapi."
"Kau tahu monster apa itu" Tanyaku.
Artemis mencengkeram busurnya. "Kita berdoa saja
agar dugaanku salah."
"Apakah para dewi bisa berdoa?" tanyaku, karena aku
tak pernah memikirkan itu sebelumnya.
Sebuah kilasan senyum sempat bermain di bibir
Artemis. "Sebelum aku pergi, Percy Jackson, aku punya
sebuah tugas kecil untukmu."
"Apa ini melibatkan perubahan jadi jackalope1?"
"Sayangnya, tidak. Aku ingin kau mengantar para
Pemburu kembali ke Perkemahan Blasteran. Mereka bisa
tinggal di sana untuk mengamankan diri sebelum aku
kembali." "Apa?" sembur Zo?. "Tapi, Artemis, kita kan benci
tempat itu. Terakhir kalinya kita menetap di sana?"
"Ya, aku tahu," kata Artemis. "Tapi aku yakin
Dionysus tidak akan menyimpan dendam hanya karena
suatu kesalahpahaman yang, yah, sepele. Adalah hakmu
untuk menggunakan Kabin Delapan kapan pun kau membutuhkannya. Lagi pula, kudengar mereka membangun
kembali pondok-pondok yang dulu kau bakar."
Zo? menggumankan sesuatu tentang para pekemah
yang bodoh. Hewan fiktif berupa kelinci bertanduk rusa."peny.
"Dan sekarang masih ada satu keputusan lagi yang
harus dibuat." Artemis beralih ke Bianca. "Apa kau sudah
tetapkan pilihanmu, Sayang?"
Bianca ragu. "Aku masih memikirkannya."
"Tunggu dulu," kataku. "Memikirkan tentang apa?"
"Mereka .. mereka telah mengajakku untuk bergabung
dengan Perburuan." "Apa" Tapi kau tak bisa! Kau harus ikut Perkemahan
Blasteran agar Chiron bisa melatihmu. Hanya itu satusatunya pilihan agar kau bisa belajar bertahan hidup."
"Itu bukanlah satu-satunya pilihan bagi seorang gadis,"
kata Zo?. Aku tak percaya aku mendengarkan ini. "Bianca,
perkemahan ini asyik banget! Di sana ada istal pegasus dan
arena adu-pedang dan ... Maksudku, apa yang kaudapatkan
dari bergabung dengan para Pemburu?"
"Pertama-tama," ujar Zo?, "adalah keabadian."
Aku menatapnya, kemudian pada Artemis. "Dia
bercanda, kan?" "Zo? jarang sekali bercanda tentang apa pun," ungkap
Artemis. "Para Pemburuku mengikuti petualanganpetualanganku. Mereka adalah gadis-gadis pengabdiku, para
pendampingku, saudari-saudari senasib sepenanggungan.
Begitu mereka bersumpah setia padaku, mereka jelas akan
hidup abadi .. kecuali kalau mereka kalah dalam
peperangan, yang hampir tak mungkin. Atau melanggar
janji mereka sendiri."
"Janji untuk apa?"
"Untuk menjauhi jalinan asmara selama-lamanya," kata
Artemis. "Untuk tak pernah beranjak dewasa, tak pernah
menikah. Untuk menjadi gadis selama-lamanya."
"Sama seperti kau?"
Sang dewi mengangguk. Aku berusaha membayangkan apa yang dia katakan.
Menjadi makhluk yang hidup abadi. Terus-terusan bergaul
dengan hanya gadis-gadis a-be-ge seumur hidup. Aku tak
bisa memahaminya. "Jadi kau berkeliaran begitu saja ke
sepenjuru negeri merekrut anak-anak blasteran?"
"Bukan hanya blasteran," sela Zo?. "Yang Mulia
Artemis tak pernah mendiskriminasi berdasarkan keturunan.
Siapa pun yang menghormati dewi boleh bergabung.
Blsteran, peri, manusia?"
"Kau sendiri apa, kalau begitu?"
Amarah terpancar di mata Zo?. "Itu bukanlah urusan
engkau, Nak. Intinya adalah Bianca boleh bergabung kalau
dia menginginkannya. Ini adalah pilihannya."
"Bianca, ini gila," ujarku. "Bagaimana dengan adikmu"
Nico nggak bisa jadi Pemburu."
"Tentu saja tidak," Artemis menyetujui. "Dia akan
memasuki perkemahan. Sayangnya, hanya itu hal terbaik
yang bisa dilakukan anak-anak laki-laki."
"Hei!" aku mengajukan protes.
"Kau bisa menemuinya dari waktu ke waktu," Artemis
meyakinkan Bianca. "Tapi kau akan terbebas dari tanggung
jawab. Nico akan diurusi oleh pembimbing perkemahan.
Dan kau akan mendapat sebuah keluarga baru. Kami."
"Keluarga baru," Bianca mengulangi dengan penuh
harapan. "Terbebas dari tanggung jawab."
"Bianca, kau tak bisa melakukan ini," ujarku. "Ini gila."
Bianca memandangi Zo?. "Apakah balasannya
setimpal?" Zo? mengangguk. "Jelas."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Katakan ini," Zo? memberitahunya, ?"Aku bersumpah
mengabdikan diriku pada Dewi Artemis.?"
"Aku .. aku bersumpah mengabdikan diriku pada Dewi
Artemis." ?"Aku lepaskan segala ikatan dengan laki-laki,
menerima kegadisan selama-lamanya, dan bergabung
dengan Perburuan.?" Bianca mengulang kalimat itu. "Itu saja?"
Zo? mengangguk. "Jika Yang Mulia Artemis menerima
ikrar engkau, maka itu sudah mengikat."
"Aku terima," sahut Artemis.
Pijar api di tungku menyala lebih terang, melemparkan
cahaya perak ke ruangan. Bianca tampak sama saja, tapi dia
menghela napas dalam dan membukan matanya lebar-lebar.
"Aku merasa ... lebih kuat."
"Selamat datang, Saudari," kata Zo?.
"Ingat akan ikrarmu," kata Artemis. "Inilah sekarang
hidupmu." Aku tak bisa bicara. Aku merasa bagai penyusup. Dan
orang yang benar-benar gagal. Aku tak percaya aku sudah
menempuh sejauh ini dan menderita begitu banyak hanya
untuk melepaskan Bianca pada klub cewek-cewek abadi.
"Jangan sedih, Percy Jackson," kata Artemis. "Kau
masih bisa menunjukkan pada di Angelo perkemahanmu.
Dan kalau Nico ingin, dia bisa menetap di sana."
"Hebat," kataku, berusaha tak terdengar jengkel.
"Bagaimana cara kita bisa tiba di sana?"
Artemis mengerjapkan matanya. "Fajar akan segera
menyingsing. Zo?, robohkan kemah. Kau harus segera pergi
ke Long Island dengan cepat dan aman. Aku akan penggil
kendaraan dari saudaraku."
Zo? tidak tampak senang dengan ide ini, tapi dia
mengangguk dan menyuruh Bianca untuk mengikutinya.
Saat dia hendak pergi, Bianca berhenti di hadapanku.
"Maafkan aku, Percy. Tapi ini yang kuinginkan. Aku benarbenar menginginkannya."
Kemudian dia pergi, dan aku ditinggal sendiri dengan
dewi berumur dua belas tahun.
"Jadi," kataku muram. "Kita akan naik kendaraan
kiriman saudaramu, yah?"
Mata perak Artemis berbinar. "Benar, bocah. Kau tahu,
Bianca di Angelo bukanlah satu-satunya orang yang punya
saudara menjengkelkan. Sudah waktunya untukmu bertemu
dengan kembaran nakalku, Apollo."[]
Artemis meyakinkan kami bahwa fajar segera tiba, tapi
siapa pun bisa saja membohongiku, karena saat itu suasana
terasa lebih dingin dan gelap dan bersalju dari biasanya. Di
puncak bukit, jendela-jendela Asrama Westover tak
berpenerangan sama sekali. Aku penasaran apakah para
guru sudah menyadari akan hilangnya di Angelo bersaudara
dan Dr. Thorn. Aku tak ingin berada di dekat sini saat
mereka menyadari. Dengan keberuntunganku biasanya,
satu-satunya ana yang akan teringat Bu Gottschalk tentu
"Percy Jackson", dan lantas aku akan dijadikan sasaran
buron nasional ... untuk kesekian kalinya.
Para Pemburu merobohkan kemah secepat mereka
mendirikannya. Aku berdiri menggigil di tengah salju (tak
seperti para Pemburu, yang sama sekali tak kelihatan tak
nyaman), dan Artemis memandangi arah timur seolah dia
sedang menantikan sesuatu. Bianca duduk di tepi, sedang
bicara dengan Nico. Aku bisa membaca dari raut muram
Nico bahwa Bianca sedang menjelaskan keputusannya
untuk bergabung dengan Perburuan.aku tak habis pikir
betapa egoisnya Bianca, meninggalkan adiknya begitu saja.
Thalia dan Grover datang dan mendekatiku, tak sabar
mendengar apa yang terjadi pada audiensiku dengan sang
dewi. Saat kuberitahukan pada mereka, Grover memucat.
"Terakhir kalinya para Pemburu mengunjungi perkemahan,
situasinya tak baik."
"Bagaimana mereka sampai ke sini?" aku penasaran.
"Maksudku, mereka tiba-tiba saja muncul."
"Dan Bianca bergabung dengan mereka," kata Thalia,
muak. "Ini semua salah Zo?. Gadis sombong yang nggak?"
"Siapa yang bisa menyalahkannya?" kata Grover.
"Keabadian bersama Artemis?" Dia mengembuskan napas
berat. Thalia memutar matanya. "Dasar satir. Kalian semua
tergila-gila pada Artemis. Apa kalian nggak sadar-sadar juga
kalau dia nggak akan pernah membalas cinta kalian?"
"Tapi dia begitu ... begitu dekat dengan alam," timpal
Grover kasmaran. "Kau kayak satir kacangan, ah," kata Thalia.
"Kacang-kacang dan buah beri," ujar Grover melamun.
"Yeah." Akhirnya langit mulai terang. Artemis menggumam, "Sudah
waktunya. Dia sangat pemalas di musim dingin."
"Kau, em, menunggu matahari terbit?" tanyaku.
"Menunggu saudaraku. Ya."
Aku tak ingin terdengar tak sopan. Maksudku, aku tahu
kisah-kisah legenda tentang Apollo"atau kadang-kadang
Helios"mengendarai kereta matahari besar melintasi langit.
Tapi aku juga tahu bahwa matahari sebenarnya adalah
sebuah bintang yang berada sekitar jutaan kilometer jauhnya
dari sini. Aku sudah terbiasa mendapati mitos-mitos Yunani
sebagai fakta, tapi tetap saja ... aku tetap tak mengerti
bagaimana Apollo bisa mengendarai matahari.
"Ini tidak seperti perkiraanmu," kata Artemis, seolah
dia membaca pikiranku. "Oh, oke." Aku mulai rileks. "Jadi, ini nggak berarti dia
akan menunggangi?" Tiba-tiba datang sebuah ledakan cahaya di cakrawala.
Semburan kehangatan. "Jangan lihat," saran Artemis. "Setidaknya sampai dia
parkir." Parkir"
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kualihkan pandanganku, dan kulihat anak-anak yang
lain juga melakukan hal yang sama. Pijar dan kehangatannya menguat hingga mantel dinginku terasa lumer di
badanku. Kemudian tiba-tiba pijar itu padam.
Aku menoleh. Dan aku tak bisa mempercayainya. Itu
adalah mobil-ku. Ehm, yeah, mobil yang selalu kuinginkan
sih, tepatnya. Convertible merah Maserati Spyder. Mobil itu
begitu kerennya sampai ia bercahaya. Kemudian kusadari ia
bercahaya karena logamnya panas. Saljunya mencair di
sekitar Maserati dalam bentuk lingkaran sempurna, yang
menjelaskan mengapa sekarang aku berdiri di hamparan
rumput hijau dan sepatuku basah kuyup.
Pengemudinya keluar mobil, sambil menyungingkan
senyum. Dia tampak berumur sekitar tujuh belas atau
delapan belas tahun, dan untuk sesaat, aku mendapat
perasaan tak enak dengan mengira dia adalah Luke, musuh
lamaku. Laki-laki ini memiliki rambut pirang yang smaa
dan potongan tampang bak seorang penjelajah. Tapi itu
bukan Luke. Lelaki itu lebih tinggi, tanpa codet di wajahnya
seperti Luke. Senyumnya lebih cerah dan jenaka. (Luke
hanya bisa membentak dan mencibir akhir-akhir ini.)
Pengemudi Maserati itu mengenakan celana jins dan sepatu
kulit dan kaus tanpa lengan.
"Wow," gumam Thalia. "Apollo benar-benar hot."
"Dia kan Dewa Matahari," timpalku.
"Bukan itu maksudku."
"Adik kecil!" panggil Apollo. Kalau saja giginya lebih
putih lagi dia tentu sudah akan membutakan kami semua
tanpa perlu menggunakan mobil mataharinya. "Ada apa"
Kau tak pernah menelepon. Kau tak pernah kirim surat aku
mulai cemas!" Artemis mendesah. "Aku baik-baik saja, Apollo. Dan
aku bukanlah adik kecilmu."
"Hei, aku kan lahir lebih dulu."
"Kita kembar! Berapa ribu tahun lagi kita harus
bertengkar tentang ini?"
"Jadi ada apa sih?" selanya. "Kau sedang ditemani
gadis-gadismu, kulihat. Kalian semua butuh beberapa tip
memanah?" Artemis menggertakkan giginya. "Aku perlu bantuan.
Aku harus berburu, sendirian. Aku perlu kau untuk
mengantarkan teman-temanku ke Perkemahan Blasteran."
"Tenju saja, Dik!" Kemudian dia mengangkat kedua
tangannya dengan isyarat hentikan segalanya. "Aku merasa
sebuah haiku2 akan muncul"
Semua Pemburu mengeluh jengkel. Tampaknya mereka
sudah pernah bertemu dengan Apollo sebelumnya.
Dia berdeham dan mengangkat satu tangannya secara
dramatis. "Rumput di salju. Artemis minta tolong. Aku keren." Dia menyeringai ke arah kami, menanti tepukan tangan.
"Kalimat terakhir cuma ada empat suku kata," ujar
Artemis. Apollo mengernyit dahi. "Masa?"
"Iya. Bagaimana kalau Aku besar kepala?"
"Tidak, tidak, itu kan tujuh suku kata. Hmm." Dia
mulai menggumam sendiri. Zo? Nightshade berpaling ke arah kami. "Dewa Apollo
jadi tergila-gila pada haiku semenjak dia mengunjungi
Jepang. Ini tak seburuk saat dia ketagihan pantun jenaka.
Kalau aku harus mendengar satu pantun lagi yang diawali
dengan, Pada zaman dahulu kala ada seorang dewa dari
Sparta?" "Aku dapat!" seru Apollo. "Aku keren lho. Itu kan lima
suku kata!" Dia membungkuk, tampak begitu puas dengan
dirinya sendiri. "Dan sekarang, Dik. Kendaraan buat para
Pemburu, kau bilang tadi" Waktu yang pas. Aku baru saja
bersiap-siap tancap gas."
Puisi Jepang yang biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri atas 17 suku
kata yang terbagi menjadi 3 larik, larik pertama 5 suku, larik kedua 7 suku, dan larik ketiga 5
suku."peny. "Anak-anak setengah dewa ini juga perlu tumpangan,"
kata Artemis, menunjuk ke arah kami. "Beberapa pekemah
Chiron." "Tidak masalah!" Apollo mengamati kami. "Mari kita
lihat ... Thalia, betul kan" Aku sudah dengar segala hal
tentangmu." Thalia merona. "Hai, Dewa Apollo."
"Putri Zeus, kan" Itu artinya kau saudara tiriku.
Dulunya pohon, kan" Senang kau kembali. Aku tak suka
melihat gadis cantik diubah jadi pohon. Ya ampun, aku
ingat suatu masa?" "Saudaraku," kata Artemis. "Kau harus segera pergi."
"Oh, betul juga." Kemudian dia memandangiku, dan
matanya memicing. "Percy Jackson?"
"Tul. Maksudku ... betul, Pak."
Rasanya aneh memanggil anak remaja dengan sebutan
"pak", tapi aku sudah tahu untuk berhati-hati bila
berhubungan dengan makhluk abadi. Mereka biasanya akan
mudah tersinggung. Lalu mereka akan meledakkan apa yang
ada. Apollo mengamatiku, tapi dia tak mengatakan apa pun,
yang menurutku agak menakutkan.
"Yah!" ujarnya pada akhirnya. "Kita sebaiknya segera
naik, oke" Perjalanan hanya menempuh satu arah"ke barat.
Dan kalau tempat perhentianmu kelewatan, yah kelewatan
deh." Aku memandangi mobil Maserati itu, yang maksimal
hanya akan muat dua penumpang. Kami semua berjumlah
dua puluhan. "Mobil yang keren," kata Nico.
"Makasih, Nak," sahut Apollo.
"Tapi bagaimana kita semua bisa masuk?"
"Oh." Apollo tampak baru menyadari adanya masalah
itu. "Yah, aku nggak suka mengubah bentuk mobil balapku,
tapi kurasa ..." Dia mengeluarkan kunci mobilnya dan memencet
tombol alarm keamanannya. Tit, tut.
Selama semenit, mobil itu menyala terang kembali.
Saat pijarnya padam, mobil balap Maserati itu sudah
berganti dengan salah satu bentuk bus kecil antar-jemput
model Turtle Top seperti yang biasanya kami gunakan untuk
pertandingan basket sekolah.
"Oke," katanya. "Semua masuk."
Zo? memerintahkan para Pemburu untuk mulai masuk.
Dia mengambil ransel kemahnya, dan Apollo berkata, "Mari
kubantu bawa itu, Sayang."
Zo? sontak mundur. Matanya memancarkan nafsu
membunuh. "Saudaraku," bujuk Artemis. "Kau tak boleh membantu para Pemburuku. Kau tak boleh memandang,
mengajak bicara, atau menggoda para Pemburuku. Dan kau
tak boleh memanggil mereka dengan panggilan sayang."
Apollo merentangkan tangannya. "Maaf. Aku lupa.
Hei, Dik, omong-omong, kau sendiri mau pergi ke mana,
sih?" "Berburu," ujar Artemis. "Itu bukan urusanmu."
"Aku akan cari tahu. Aku lihat semua. Tahu semua."
Artemis mendengus. "Pokoknya nanti turunkan mereka
di tempat, Apollo. Dan jangan macam-macam!"
"Tidak, tidak! Aku tak pernah macam-macam."
Artemis memutar bola matanya, kemudian memandangi kami. "Aku akan bertemu kalian pada titik balik
matahari musim dingin. Zo?, kau bertanggung jawab
mengawasi para Pemburu. Lakukan dengan benar.
Lakukanlah seperti apa yang akan kulakukan."
Zo? menegapkan badan. "Baik, Yang Mulia."
Artemis lantas berlutut dan menyentuh tanah seolah
mencari jejak kaki. Saat dia berdiri, dia tampak gelisah.
"Ancaman bahaya yang begitu besar. Makhluk buas itu
harus ditemukan." Dia berlari ke arah hutan dan melebur dalam salju dan
bayang-bayang. Apollo berpaling dan menyeringai, sambil memainkan
kunci mobilnya di antara jemarinya. "Jadi," serunya. "Siapa
nih yang mau nyetir?"
Para Pemburu menumpuk ke dalam bus. Mereka berdempetan di belakang agar berada sejauh mungkin dari Apollo
dan para laki-laki lain pembawa bibit penyakit. Bianca
duduk bersama mereka, meninggalkan adiknya duduk
bersama kami di depan, yang menurutku begitu dingin bagi
kakak-adik, tapi Nico sepertinya tak peduli.
"Ini keren banget!" seru Nico, melompat-lompat di
kursi pengemudi. "Apa ini beneran matahari" Kukira Helios
dan Selene adalah dewa-dewi matahari dan bulan. Kenapa
kadang-kadang mereka dan kadang-kadang itu kau dan
Artemis?" "Perampingan jabatan," sahut Apollo. "Orang-orang
Romawi yang memulainya. Mereka nggak sanggup
mengadakan persembahan ke seluruh kuil yang ada, maka
mereka melepaskan Helios dan Selene dan memasukkan
tugas-tugas mereka ke dalam uraian pekerjaan kami.
Saudariku mendapatkan bulan. Aku dapat matahari.
Awalnya itu cukup menyebalkan, tapi setidaknya aku jadi
dapat mobil keren ini."
"Tapi gimana cara kerjanya?" tanya Nico. "Kukira
matahari adalah bola api besar yang terdiri dari gas!"
Apollo terkekeh dan mengacak-ngacak rambut Nico.
"Rumor itu mungkin diawali karena Artemis dulu suka
menyebutku bola api besar gas kentut. Serius, Nak, itu
tergantung apa kau membicarakan tentang astronomi atau
filosofi. Kau ingin membicarakan astronomi" Bah, apa
menariknya itu" Kau ingin membicarakan tentang apa yang
manusia pikirkan tentang matahari" Ah, nah itu lebih
menarik. Mereka mendapat banyak manfaat dari menunggangi matahari ... eh, itu sebutannya sih. Matahari memberi
mereka kehangatan, menumbuhkan penen mereka,
menggerakkan sumber tenaga, membuat semua tampak, yah,
lebih cerah. Kendaraan ini dibangun dari impian manusia
akan matahari, Nak. Ini sudah sama tuanya dengan
Peradaban Barat. Setiap hari, ia akan melintasi langit dari
timur ke barat, membuat terang seluruh kehidupan manusiamanusia kecil dan remeh itu. Kendaraan ini adalah
manifestasi dari kekuatan matahari, sesuai dengan yang
dilihat manusia. Masuk akal?"
Nico menggeleng. "Nggak."
"Yah, kalau begitu, bayangkan saja matahari sebagai
mobil solar yang sangat kuat, sangat berbahaya."
"Bolehkah aku menyetir?"
"Tidak. Terlalu kecil."
"Oo! Oo!" Grover mengacungkan tangannya.
"Mm, tidak," kata Apollo. "Terlalu berbulu." Dia
memandang melewatiku dan memusatkan pada Thalia.
"Putri Zeus!" serunya. "Dewa Langit. Sempurna."
"Oh, tidak." Thalia menggelengkan kepalanya. "Tidak,
makasih." "Ayolah," kata Apollo. "Berapa umurmu?"
Thalia ragu. "Aku nggak tahu."
Sungguh menyedihkan, tapi itu benar. Thalia diubah
jadi pohon saat berusia dua belas, tapi itu tujuh tahun yang
lalu. Jadi seharusnya dia sekarang berumur sembilan belas,
kalau kau menghitung berdasarkan tahun yang berjalan.
Tapi Thalia merasa masih seperti dua belas tahun, dan kalau
kau melihatnya, dia tampak berumur antara rentang dua usia
itu. Menurut perkiraaan terbaik Chiron, usia Thalia tetap
bertambah saat dia berwujud pohon, tapi jauh lebih lambat.
Apollo mengetuk jemarinya ke bibirnya. "Kau lima
belas, hampir enam belas."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Hei, aku kan dewa ramalan. Aku tahu berbagai hal.
Kau akan berumur enam belas tahun sekitar seminggu lagi."
"Itu memang hari ulang tahunku! 21 Desember."
"Itu artinya kau sudah cukup umur sekarang untuk
menyetir dengan izin!"
Thalia menggerak-gerakkan kakiknya gelisah. "Eh?"
"Aku tahu apa yang ingin kaukatakan," sela Apollo.
"Kau merasa tak pantas mendapat kehormatan menyetir
kendaraan matahari ini."
"Bukan itu yang mau kukatakan."
"Jangan cemas! Maine ke Long Island adalah
perjalanan yang sangat singkat, dan jangan pikirkan akan
apa yang terjadi pada anak terakhir yang kulatih. Kau adalah
putri Dewa Zeus. Dia tak akan meledakkan kamu di udara."
Apollo tertawa renyah. Kami semua tak ikutan.
Thalia mencoba untuk protes, tapi Apollo jelas tak mau
menerima jawaban "tidak". Dia menekan tombol di
dashboard, dan sebuah tanda muncul di sepanjang atas kaca
depan. Aku harus membacanya dari urutan belakang (yang
bagi seorang penderita disleksia, tak begitu berbeda dangan
membaca dari depan). Aku cukup yakin tulisan itu adalah
AWAS: MASIH BELAJAR. "Copot saja tanda itu!" Apollo memberi tahu Thalia.
"Kau akan menyetir dengan jago!"
Kuakui aku merasa iri. Aku tak sabar ingin mulai menyetir.
Beberapa kali di musim gugur ini, ibuku membawaku ke
Montauk saat jalanan pantai lengang, dan dia akan
membiarkanku mencoba Mazdanya. Memang sih, itu adalah
mobil sedan Jepang, dan yang ini adalah kendaraan
matahari, tapi seberapa beda sih rasanya"
"Kecepatan sama dengan panas," Apollo menasihati.
"Jadi mulailah pelan-pelan, dan pastikan kau sudah
mencapai ketinggian yang pas sebelum kau benar-benar
menambah kecepatan."
Thalia mencengkeram setir begitu kuatnya sampaisampai buku jari-jarinya memutih. Dia tampak seperti mau
muntah. "Ada yang salah?" kutanyakan padanya.
"Nggak ada apa-apa," ujarnya bergetar. "Ng-nggak ada
yang salah." Dia menarik setir ke belakang. Kendaraan memiring,
dan bus pun melesat maju begitu cepatnya hingga aku jatuh
ke belakang dan menabrak sesuatu yang lembut.
"Adouw," seru Grover.
"Maaf." "Lebih pelan!" kata Apollo.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf!" kata Thalia. "Sekarang sudah terkendali!"
Aku berhasil duduk tegak kembali. Memandang ke luar
jendela, aku melihat lingkar asap di pepohonan dari tanah
tempat kami tinggal landas tadi.
"Thalia," ujarku, "pelan-pelan dong dengan pedal
gasnya." "Aku sudah bisa, Percy," ujarnya, sambil menggertakkan giginya. Tapi dia tetap saja menekan keras pedal
gasnya. "Santai sedikit," kataku padanya.
"Aku santai!" sahut Thalia. Dia begitu tegang sehingga
tubuhnya tampak bagai terbuat dari kayu tripleks.
"Kita harus membelok ke selatan untuk ke Long
Island," kata Apollo. "Belok kiri."
Thalia menyentakkan roda ke samping dan sekali lagi
melemparku ke Grover, yang memekik.
"Kiri yang lain," saran Apollo.
Aku berbuat kesalahan dengan memandang keluar
jendela lagi. Kami sudah berada di ketinggian pesawat
terbang sekarang"begitu tingginya sampai langit mulai
terlihat gelap. "Ah ..." kata Apollo, dan aku merasa dia memaksakan
dirinya untuk terdengar tenang. "Lebih rendah sedikit,
Sayang. Pantai Cape Code akan membeku."
Thalia memiringkan rodanya. Wajahnya seputih kapur,
keningnya bertabur keringat. Jelas ada yang tak beres. Aku
belum pernah melihat dia seperti ini sebelumnya.
Bus menukik turun dan seseorang menjerit. Barangkali
itu aku. Sekarang kami melesat lurus menuju Laut Atlantik
dengan kecepatan ribuan kilometer per jam, pesisir New
England di seberang kanan kami. Dan ruangan dalam bus
makin panas. Apollo sudah terlempar ke suatu tempat di sudut
belakang bus, tapi dia mulai memanjati deretan kursi-kursi.
"Ambil kembali setirnya!" Grover memohon padanya.
"Jangan khawatir," seru Apollo. Dia tampak sangat
khawatir. "Dia hanya perlu belajar untuk"ALAMAK!"
Aku lihat apa yang tengah dia lihat. Di bawah kami
tampak kota kecil New England berselimut salju.
Setidaknya sih, tadinya berselimut salju. Selagi aku
memandangnya, salju itu mencair dari pohon-pohon dan
atap-atap dan lapangan rumput. Menara putih gereja
berubah jadi cokelat dan mulai berasap. Gumpalangumpalan kecil asap, seperti lilin-lilin ulang tahun,
bermunculan di sepenjuru kota. Pepohonan dan atap-atap
rumah tersulut api. "Naikkan ketinggian!" aku teriak.
Ada pijar liar di mata Thalia. Dia menarik mundur
setirnya, dan kali ini aku tak terlempar. Saat kami melaju ke
atas, aku bisa melihat melalui jendela belakang bahwa
kobara api-api di kota diapadamkan oleh semburan es
dadakan. "Di sana!" Apollo menunjuk. "Long Island, tepat di
depan. Mari memelan, Sayang."
Thalia melaju menuju pesisir utara Long Island. Di
sanalah letak Perkemahan Blasteran: bukitnya, hutannya,
pantainya. Aku bisa melihat paviliun makannya dan
pondok-pondok dan gedung amfiteaternya.
"Aku bisa mengendalikannya," gumam Thalia. "Aku
bisa mengendalikannya."
Kami sudah berjarak beberapa ratus meter sekarang.
"Rem," kata Apollo.
"Aku bisa melakukannya."
"REM!" Thalia menginjak pedal rem, dan bus matahari melesat
maju dengan sudut empat puluh derajat, meluncur ke arah
danau kano Perkemahan Blasteran dengan suara
BYUUUUUUR! Membahana. Uap air menyembur naik,
membuat sebagian peri air yang ketakutan kocar-kacir
keluar danau sembari menjinjing keranjang anyaman
setengah-jadi. Bus itu memantul ke permukaan, bersama dengan dua
buah kano yang terbalik dan setengah lumer.
"Yah," ujar Apollo dengan senyum beraninya. "Kau
benar, Sayang. Semua berada dalam kendalimu! Sekarang
mari kita lihat apakah kita merebus seseorang yang penting,
oke?"[] Aku belum pernah melihat Perkemahan Blasteran di
musim dingin sebelumnya, dan salju ini mengejutkanku.
Asal kau tahu, perekamahan ini memiliki kontrol iklim
yang sungguh ajaib. Tak ada yang memasuki perbatasan
kecuali atas seizin sang direktur, Pak D. Kukira cuaca akan
hangat dan cerah, tapi alih-alih salju diizinkan turun
perlahan. Es menutupi lintasan kereta dan ladang stroberi.
Kabin-kabin berhiaskan lampu-lampu pijar kecil, seperti
lampu-lampu Natal, bedanya lampu-lampu itu sepertinya
adalah bola-bola api sungguhan. Lebih banyak cahaya lagi
menyala dari hutan, dan yang teraneh dari semuanya, sebuah
api berpijar drai jendela loteng Rumah Besar, tempat sang
Oracle menetap, terperangkap dalam tubuh mumi lama. Aku
penasaran apakah arwah Delphi itu sedang memanggang
marshmallow di atas sana atau apa.
"Wow," seru Nico saat dia memanjat keluar dari bus.
"Apa itu tembok panjat?"
"Iya," kataku. "Kenapa ada lahar yang mengalir ke bawahnya?"
"Sedikit tantangan ekstra. Ayo. Akan keperkenalkan
kau pada Chiron. Zo?, sudahkan kau bertemu?"
"Aku kenal Chiron," sahut Zo? ketus. "Katakn padanya
kami akan berada di Kabin Delapan. Pemburu, ikuti aku."
"Akan kutunjukkan jalannya," Grover menawarkan.
"Kami tahu jalannya."
"Oh, sungguh, tidak apa-apa kok. Sangat mudah untuk
tersesat di sini, kalau kau tidak?"dia terpeleset oleh sebuah
kano dan bangikt kembali sembari masih meneruskan
omongannya?"seperti yang biasa dikatakan ayah kambing
tuaku! Ayolah!" Zo? memutar matanya, tapi kurasa dia sadar Grover tak
bisa disingkirkan. Para Pemburu menyandang ransel-ransel
dan busur-busur mereka di atas bahu dan melang-kah
menuju deretan kabin. Saat Bianca di Angelo hendak pergi,
dia mencondongkan tubuh dan membisikkan sesuatu ke
telinga adiknya. Bianca tampak memandanginya untuk
memberi sebuah jawaban, tapi Nico hanya mengomel dan
berpaling. "Jaga diri kalian, Sayang!" Apollo menyeru pada para
Pemburu. Dia mengedipkan mata padaku. "Berhati-hatilah
pada ramalan-ramalan itu, Percy. Aku akan segera berjumpa
lagi denganmu." "Apa maksudmu?"
Bukannya menjawab, dia malah melompat kembali ke
dalam bus. "Sampai nanti, Thalia," panggilnya. "Dan, eh,
bersikap manislah!" Apollo memberinya senyum jail, seolah dia tahu
sesuatu yang tak Thalia ketahui. Lali dia menutup pintupintunya dan menyalakan mesin. Kepalingkan pandangan
saat kendaraan matahari itu lepas landas dalam semburan
panas. Maserati merah melesat melintasi hutan, berpijar
makin terang dan terbang kian tinggi sampai ia menghilang
di balik secercah sinar matahari.
Nico masih terlihat kesal. Aku betanya-tanya apa yang
dikatakan oleh kakaknya padanya tadi.
"Siapa Chiron?" tanyanya. "Aku nggak punya replika
kecilnya." "Penanggung jawab kegiatan kami," ujarku. "Doa ...
yah, nanti kau akan lihat sendiri."
"Kalau gadis-gadis Pemburu tadi tidak menyukainya,"
gerutu Nico, "itu sudah cukup baik buatku. Ayo kita pergi."
Hal kedua yang mengejutkanku dari perkemahan adalah
betapa sepi suasananya. Maksudku, aku tahu sebagian besar
Blasteran hanya berlatih di musim panas. Hanya pekemah
tahunan yang akan menetap di sini"anak-anak yang tak
punya tempat untuk kembali, atau akan terlalu sering
diserang para monster kalau mereka pulang. Tapi
tampaknya anak-anak seperti itu tak banyak jumlahnya.
Aku mendapati Charles Beckendorf dari kabin
Hephaestus sedang mengurusi besi tempa di depan gudang
persenjataan. Stoll bersaudara, Travis dan Connor, dari
kabin Hermes, sedang memilih-milih gembok di toko
kemah. Beberapa anak dari kabin Ares sedang beradu
lempar bola salju dengan peri pohon di pinggir hutan. Hanya
itu saja. Bahkan saingan lamaku dari kabin Ares, Clarisse,
tak tampak batang hidungnya.
Rumah Besar penuh dengan dekorasi tali yang
digelantungi bola-bola api warna merah dan kuning. Bola
api itu tampaknya menghangatkan serambi tanpa membakar
apa pun. Di dalam ruangan, api berderak di tungku perapian.
Udara berbau seperti cokelat panas. Pak D, direktur kemah,
dan Chiron sedang bermain kartu dengan hening di ruang
tamu. Janggut cokelat Chiron tampak lebih lebat di musim
dingin. Rambut ikalnya tumbuh sedikit lebih panjang. Dia
tidak memegang jabatan sebagai guru tahun ini, jadi kurasa
dia bisa tampil lebih santai. Dia mengenakan sweter berbulu
dengan cetakan gambar tapak kaki kuda, dan dia
mengenakan selimut di pangkuannya hingga hampir
menyembunyikan seluruh kursi rodanya.
Dia tersenyum saat melihat kami. "Percy! Thalia! Ah,
dan ini pasti?" "Nico di Angelo," ucapku. "Dia dan kakaknya adalah
blasteran." Chiron mengembuskan napas lega. "Kalian berhasil,
kalau begitu." "Yah ..." Senyum di wajah Chiron memudar. "Ada masalah apa"
Dan di mana Annabeth?"
"Oh, tidak," Pak D berujar dengan suara bosan.
"Jangan bilang ada satu orang lagi yang hilang."
Aku berusaha tak mengacuhkan kehadiran Pak D, tapi
dia memang sulit untuk tak diperhatikan, dengan balutan
baju hangat kulit macan tutul oranye terangnya dan sepatu
lari ungunya. (Memangnya Pak D pernah berlari dalam
kehidupan abadinya") Sebuah mahkota daun dafnah emas
bertengger miring pada rambut ikal hitamnya, yang pasti
artinya dialah yang memenangkan ronde terakhir permainan kartu.
"Apa maksudmu?" tanya Thalia. "Memangnya siapa
lagi yang hilang?" Tepat saat itu, Grover berlari kecil masuk ruangan,
menyeringai lebar bak orang sinting. Ada lingkaran hitam di
matanya dan garis merah di wajahnya yang tampak seperti
bekas tamparan. "Para Pemburu sudah masuk semua!"
Chiron mengernyitkan dahinya. "Para Pemburu, yah"
Kurasa ada banyak hal yang mesti kita bicarakan." Dia
memandangi Nico. "Grover, barangkali kau sebaiknya
membawa teman muda kita ke ruang istirahat dan tunjukkan
padanya film orientasi kita."
"Tapi ... Oh, oke. Baik, Pak."
"Film orientasi?" tanya Nico. "Apa filmnya untuk
segala umur atau khusus dewasa" Karena Bianca tuh ketat
banget?" "Untuk 13 tahun ke atas, kok," kata Grover.
"Asyik!" Nico dengan senang hati mengikuti Grover
keluar ruangan. "Sekarang," Chiron berkata pada Thalia dan aku,
"barangkali sebaiknya kalian berdua duduk dan ceritakan
pada kami kisah selengkapanya."
Setelah kami memaparkannya, Chiron berpaling ke Pak D.
"Kita harus segera melancarkan pencarian terhadap
Annnabeth secepatnya."
"Aku ikut," Thalia dan aku berseru serentak.
Pak D mendengus. "Tentu saja tak boleh!"
Thalia dan aku mulai protes, tapi Pak D mengangkat
tangannya. Ada api amarah keunguan di matanya yang
biasanya berarti sesuatu yang buruk dan mahabesar akan
segera terjadi jika kami tidak tutup mulut.
"Dari apa yang kalian ceritakan padaku," ujar Pak D,
"kita masih tak merugi dari petualangan liar iniy. Kita telah,
sayangnya, kehilangan Annie Bell?"
"Annabeth," bentakku. Annabeth sudah mengikuti
kemah sejak usia tujuh tahun, dan tetap saja Pak D berpurapura tak mengenal namanya.
"Ya, ya," katanya. "Dan kalian memunculkan seorang
bocah kecil menyebalkan untuk menggantikannya. Jadi
kulihat tak ada gunanya mengorbankan beberapa anak
blasteran lagi dalam penyelamatan konyol. Kemungkinannya sangat besar bahwa gadis Annie ini telah mati."
Aku ingin sekali mencekik Pak D. Rasanya tak adil
Zeus mengirimnya ke sini sebagai direktur perkemahan
selama ratusan tahun. Mestinya itu menjadi hukuman bagi
perilaku buruk Pak D terhadap Olympus, tapi akhirnya ia
malah menjadi hukuman bagi kami semua.
"Annabeth bisa jadi masih hidup," kata Chiron, tapi aku
merasa dia kesulitan untuk terdengar optimis. Chiron praktis
telah membesarkan Annabeth selama bertahun-tahun, sejak
Annabeth menjadi pekemah tahunan, sebelum memilih
untuk memberi kesempatan kedua pada ayah dan ibu tirinya
dengan kembali tinggal bersama mereka. "Annabeth sangat
cerdas. Kalau ... kalau musuh-musuh kita menahannya, dia
akan berusaha untuk memperpanjang waktu. Dia bahkan
bisa jadi berpura-pura bekerja sama."
"Itu benar," kata Thalia. "Luke pasti menginginkannya
hidup-hidup." "Apa pun yang terjadi," kata Pak D, "sayangnya dia
harus cukup pintar untuk membebaskan dirinya sendiri."
Aku bangkit dari meja. "Percy." Nada suara Chiron penuh peringatan. Dalam
benakku, aku tahu aku tak semestinya mencari gara-gara
dengan Pak D. Bahkan meskipun kepada anak pengidap
GPPH (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas)
seperti aku, dia tak akan memberikan toleransi sedikit pun.
Tapi aku sudah begitu marahnya hingga sama sekali tak
peduli. "Bapak senang kehilangan satu pekemah lagi," kataku.
"Bapak akan senang kalau kami semua menghilang!"
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak D menguap. "Maksudmu sebenarnya apa, sih?"
"Yah," geramku. "Hanya karena Bapak dikirim ke sini
sebagai hukuman bukan berarti Bapak bisa menjadi pemalas
berengsek! Ini adalah peradabanmu, juga. Mungkin Bapak
bisa mencoba lebih membantu sedikit!"
Sesaat, tak ada suara sama sekali kecuali derak api.
Cahaya yang terpantul di mata Pak D memberinya raut
wajah yang sinis. Dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu"mungkin kutukan yang akan meledakkanku
jadi serpihan kecil"saat Nico merengek masuk ruangan,
diikuti Grover. "KEREN BANGET!" pekik Nico, sembari mengangkat
kedua tangannya ke arah Chiron. "Kau ... kau adalah
centaurus!" Chiron berhasil memberikan senyum gelisahnya.
"Benar, Tuan di Angelo, kalau kau berkenan. Meski, aku
lebih sukan tetap dalam wujud manusia di atas kursi roda ini
untuk, yah, pertemuan pertama."
"Dan, wow!" Dia memandang ke Pak D. "Kau adalah
pria anggur itu" Bukan main!"
Pak D mengalihkan tatapannya dari aku dan memberi
Nico pandangan muak. "Pria anggur?"
"Dionysus, kan" Oh, wow! Aku punya patung replikamu."
"Replika aku." "Dalam permainanku, Mythomagic. Dan ada juga kartu
hologramnya! Dan meskipun kau hanya punya sekitar lima
ratus poin serangan dan semua orang berpikir kau adalah
kartu dewa paling payah, tapi menurutku kekuatanmu
sungguh keren!" "Ah." Pak D tampak benar-benar terkejut, yang
mungkin jadi menyelamatkan nyawaku. "Yah, itu ...
sungguh melegakan." "Percy," ujar Chiron cepat-cepat, "kau dan Thalia
pergilah ke kabin-kabin. Beritahukan pada para pekemah
kita akan bermain tangkap bendera besok malam."
"Tangkap bendera?" tanyaku. "Tapi kita nggak punya
cukup?" "Ini sudah tradisi," kata Chiron. "Pertandingan
persahabatan, kapan pun para Pemburu berkunjung."
"Yeah," gumam Thalia. "Aku yakin pertandingan itu
akan sangat bersahabat."
Chiron memberi sentakan kepala sebagai isyarat ke
arah Pak D, yang masih merengut saat Nico menceritakan
tentang berapa banyak poin kekebalan yang dimiliki semua
dewa dalam permainannya. "Cepat pergilah sekarang,"
Chiron memberi tahu kami.
"Oh, benar," ucap Thalia. "Ayo, Percy."
Dia menarikku ke luar Rumah Besar sebelum Dionysus
teringat bahwa barusan dia ingin membunuhku.
"Kau sudah membuat Ares menjadi musuh," Thalia
mengingatkanku saat kami melangkah gontai menuju
deretan kabin. "Kau masih butuh musuh abadi lagi?"
Thalia benar. Musim panas pertamaku sebagai
pekemah, aku terlibat perkelahian dengan Ares, dan
sekarang dia dan semua anak-anaknya ingin membunuhku.
Aku tak perlu menyulut kemarahan Dionysus juga.
"Maaf," ujarku. "Aku hanya nggak tahan. Rasanya
sungguh nggak adil."
Thalia berhenti dekat gudang senjata dan memandang
ke arah bukit, pada puncak Bukit Blasteran. Pohon pinusnya
masih berada di sana, dengan Bulu Domba Emas berkerlapkerlip di dahan terendahnya. Sihir pohon itu masih
melindungi perbatasan kemah, tapi ia tak lagi menggunakan
roh Thalia sebagai sumber kekuatannya.
"Percy, semuanya memang nggak adil," gumam Thalia.
"Kadang-kadang rasanya aku ingin ..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi nada
bicaranya sangat pilu hingga aku merasa iba padanya.
Dengan rambut hitam acak-acakannya dan pakaian hitam
punknya, dan mantel wol usang membalut tubuhnya, dia
kelihatan bagai sejenis burung gagak raksasa, benar-benar
tak sesuai dengan latar putih pemandangannya.
"Kita akan mengembalikkan Annabeth," janjiku. "Aku
hanya belum tahu bagaimana caranya."
"Pertama-tama aku mendapati Luke salah arah," ujar
Thalia. "Kini Annabeth?"
"Jangan berpikir kayak gitu."
"Kau benar." Dia menegakkan badannya. "Kita akan
temukan jalan." Di lapangan bola basket, beberapa Pemburu sedang
menembakkan bola ke ring. Salah satu dari mereka sedang
berkelahi dengan seorang laki-laki dari kabin Ares. Tangan
Rahasia Hiolo Kumala 21 Dark Love Karya Ken Terate Warisan Iblis 1