Love In Kingdom Of Oil 1
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi Bagian 1
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Nawal El-Saadawi LOVE IN THE KINGDOM OF OIL Penerjemah: Masri Maris Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Jakarta 2012 EL-SAADAWI, NAWAL Love in the Kingdom of Oil/Nawal el-Saadawi; penerjemah,
Masri Maris, cetakan 1 " Jakarta " Yayasan Pustaka Obor
Indonesia iv + 252 hlm; 11 x 17 cm ISBN: 978-979-461-811-0 Judul asli: Love in the Kingdom of Oil
Copyright ? Nawal el-Saadawi, 2001
Diterjemahkan atas izin Saqi Books
Hak terjemahan Indonesia pada Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
All rights reserved Diterbitkan pertama kali oleh
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Anggota IKAPI DKI Jakarta
Edisi pertama: April 2012
Y.O.I: 703.30.9.2012 Didesain ulang oleh Rahmatika
Alamat penerbit: Jl. Plaju No. 10, Jakarta 10230
Telepon (021) 31926978 & 3920114
Fax: (021) 3192448 e-mail: yayasan_obor@cbn.net.id
www.obo.or.id erita itu muncul dalam surat kabar hari itu,
bulan September. Hanya setengah baris,
cetakannya pun kabur, bunyinya:
Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali.
Orang hilang, itu biasa. Matahari terbit setiap
hari, demikian pula surat kabar. Di salah satu sudut
di halaman dalam surat kabar, ada kolom pribadi.
Kata "pribadi" dapat dihilangkan atau diganti dengan
kata lain, tanpa mengubah apa-apa sama sekali.
Pribadi. Orang. Penduduk. Rakyat. Bangsa. Rakyat
jelata. Kata-kata yang berarti apa saja dan juga tidak
berarti apa-apa. Di halaman 1 ada foto berwarna Baginda Raja,
dengan ukuran sebesar orang, dengan judul yang
besar: NAWAL EL-SAADAWI Pesta ulang tahun Raja. Warga masyarakat menggosok-gosok mata mereka.
Sudut kelopak mata mereka kuyu. Mereka membalik
surat kabar halaman demi halaman. Mereka menguap
lebar-lebar, hingga geraham mereka berderak. Berita
itu ada di salah satu halaman dalam, hampir tak
tampak oleh mata telanjang:
Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali.
Para perempuan tidak pergi cuti. Jika ia cuti,
maka itu berarti untuk mengerjakan sesuatu yang
penting. Sebelum pergi, ia harus mendapat izin, yang
ditulis tangan suaminya sendiri, atau distempel oleh
atasannya tempat ia bekerja.
Belum pernah terjadi seorang perempuan pergi
cuti dan tidak kembali. Seorang laki-laki bebas pergi
dan tidak kembali selama tujuh tahun, tetapi hanya
jika ia tidak kembali lebih dari tujuh tahun, maka
baru istrinya berhak membebaskan diri dari dia.
Polisi mulai aktif mencari perempuan itu.
Selebaran disebarkan dan iklan dipasang polisi di
surat kabar untuk mencari perempuan itu, hidup
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
atau mati, dan diumumkannya sebuah hadiah besar
dari Baginda Raja. "Apa hubungan Baginda Raja dengan hilangnya
seorang perempuan biasa?"
Boleh dikatakan sudah pasti tidak akan ada satu
pun dapat terjadi di dunia ini tanpa titah Baginda
Raja, tertulis atau tidak tertulis. Baginda Raja tidak
pandai menulis atau membaca. Ini semacam hak
istimewa, karena apa gunanya pandai menulis dan
membaca" Para nabi tidak pandai menulis atau
membaca, jadi apakah mungkin Baginda Raja lebih
mulia daripada nabi"
Juga ada mesin tulis. Mesin tulis listrik. Juga
ada mesin tulis baru bertenaga minyak, yang dapat
menulis dalam semua bahasa. Di belakang mesin
tulis itu terdapat sebuah kursi kerja putar terbuat dari
kulit. Di situ duduk seorang inspektur polisi. Di atas
kepalanya tergantung sebuah foto Baginda Raja yang
diperbesar, berbingkai emas, tepinya penuh nukilan
ayat-ayat kitab suci. "Apakah istri Anda pernah meninggalkan rumah
sebelum ini?" Suami perempuan itu membisu, kedua bibirnya
terkatup rapat. Matanya terbelalak seperti orang
tersentak dari tidur. Ia mengenakan pakaian tidur,
NAWAL EL-SAADAWI otot-otot wajahnya terkulai layu. Ia memijit-mijit bola
matanya dengan ujung-ujung jarinya dan menguap.
Ia duduk di sebuah kursi kayu yang tertancap kokoh
ke dalam lantai. "Belum pernah."
"Apakah kalian bertengkar?"
"Tidak." "Apakah istri Anda pernah meninggalkan rumah
sebelumnya tanpa izin Anda "
"Belum pernah."
Pemeriksaan berlangsung dalam sebuah kamar
yang terkunci. Di atas pintu tergantung sebuah
lampu merah tanda larangan tidak seorang pun boleh
masuk. Dengan cara itu, tidak akan ada kebocoran ke
surat kabar. Laporan pemeriksaan disimpan dalam
sebuah map rahasia bersampul hitam. Di atasnya
tertulis kata-kata: "Perempuan pergi cuti."
Inspektur polisi itu duduk di sebuah kursi putar.
Ia berputar sehingga punggungnya membelakangi
dinding dan foto Baginda Raja. Di hadapannya ada
kursi kayu lagi, juga tertancap ke dalam lantai. Di situ
duduk seorang laki-laki lain, bukan suami perempuan
itu, tetapi atasan tempat istrinya bekerja.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Apakah dia salah satu dari kaum perempuan yang
suka berbuat onar dan menentang pemerintah yang
sah?" Atasan perempuan itu duduk bersilang kaki. Di
antara kedua bibirnya terselip sebuah pipa hitam yang
melengkung ujungnya seperti tanduk sapi. Matanya
menatap ke langit-langit.
"Tidak, dia perempuan yang sangat patuh."
"Apakah mungkin dia diculik atau diperkosa?"
"Apa maksud Anda?"
"Tidak. Dia seorang perempuan biasa yang
tidak menimbulkan keinginan siapa pun untuk
memperkosanya." "Maksud saya, ia seorang perempuan dingin yang
tidak membangkitkan birahi siapa pun."
Inspektur polisi mengangguk tanda mengerti. Ia
berputar di kursinya hingga membelakangi atasan
perempuan itu. Ia mulai mengetik. Bau tajam seperti
bau gas terbakar menyelinap ke permukaan. Ia
mengulurkan tangan dan mengubah arah hembusan
kipas angin. Kemudian ia kembali berputar di
kursinya. "Apakah menurut Anda perempuan itu lari dari
rumah?" NAWAL EL-SAADAWI "Apa alasannya ia lari dari rumah?"
"Tak ada orang yang tahu mengapa seorang
perempuan lari dari rumah. Lagi pula, jika ia lari dari
rumah, ia mau lari ke mana" Apakah mungkin ia lari
seorang diri saja?" "Apakah menurut Anda ia lari dengan laki-laki
lain?" "Laki-laki lain?"
"Ya." "Tidak mungkin. Ia seorang perempuan terhormat.
Tidak ada hal lain dalam pikirannya selain pekerjaan
dan penelitiannya." "Penelitian?" "Ia bekerja di Bagian Penelitian Departemen
Arkeologi." "Arkeologi" Apa itu?"
"Artinya mencari sisa-sisa peradaban purba dengan
menggali tanah." "Seperti apa?" "Patung-patung tua dewa-dewa purba, seperti
Amun dan Akhenaton, atau dewi-dewi purba seperti
Nefertiti dan Sekhmet."
"Sekhmet" Siapa itu?"
"Dewi kematian di zaman purba."
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Semoga Tuhan melindungi kita!"
Ada sebuah laporan masuk dari pos polisi di
sebuah tempat terpencil. Ada orang yang melihat
seorang perempuan naik perahu tambang. Di bahunya
tergantung sebuah tas kulit bertali panjang. Ia tampak
seperti mahasiswa atau peneliti dari universitas. Ia
sendiri saja, tidak ditemani laki-laki. Ada sesuatu
yang mencuat dari dalam tasnya. Ssesuatu berkepala
besi, semacam pahat. Inspektur polisi menjadi gelisah. Butir-butir peluh
bermunculan di keningnya. Ia menekan sebuah tombol
hitam dan kipas angin berputar semakin cepat. Kipas
angin itu berleher, yang memungkinkannya perlahan
berputar bertambah kencang. Udara di dalam kamar
itu hampir mencekik. "Apakah perempuan itu waras?"
Di kursi kayu yang terpancang ke dalam lantai,
duduk seorang psikiater. Mulutnya mencong ke kiri,
dan pipanya, yang ujungnya melengkung seperti
tanduk, miring ke kanan. Matanya menatap bagian
atas dinding. Gambar itu dalam bingkai emasnya.
Ia menghembuskan asap tebal ke arah foto Baginda
Raja. Kemudian ia melayangkan pandangan resah
ke arah inspektur polisi dan memutar kepalanya ke
NAWAL EL-SAADAWI arah lain, ke tempat kipas angin tergantung, dan ia
menurunkan kelopak matanya.
"Menurut saya perempuan itu tidak waras."
"Maksud Anda penelitiannya?"
"Ya. Biasanya seorang perempuan yang terlibat
dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah itu tidak
waras." "Apa maksud Anda?"
"Seorang perempuan muda menceburkan diri ke
dalam pekerjaan yang tidak ada ujung pangkalnya
seperti mengumpulkan patung. Bukankah itu gejala
penyakit atau bahkan perbuatan yang tidak wajar?"
"Perbuatan tidak wajar?"
"Pahat itu menyingkapkan segala-galanya."
"Bagaimana pula itu?"
"Sebagai ganti keinginannya yang tidak terpuaskan,
perempuan itu mendapat nikmat dari menusuknusukkan pahat ke dalam tanah seolah-olah pahat itu
"penis" laki-laki."
Inspektur polisi merinding di kursinya. Ia
berputar-putar di kursinya beberapa kali seperti kipas
angin. Jari-jarinya kaku di atas mesin tulis ketika
ia mengetik kata "penis". Ia berhenti mengetik, dan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
kemudian dengan sebuah gerakan cepat berputarputar di kursinya.
"Tampaknya ini penyakit berat."
"Memang. Saya sudah menulis beberapa karangan
mengenai penyakit ini. Sejak kecil, perempuan
mencari penis tetapi sia-sia. Ketika ia sudah putus asa
karena tidak berhasil menemukannya, keinginan ini
berubah menjadi keinginan yang lain."
"Keinginan yang lain" Seperti apa?"
"Memandangi diri sendiri dalam cermin. Semacam
mencintai diri sendiri."
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semoga Tuhan melindungi kita!"
"Perempuan semacam itu cenderung mengucilkan
diri, membisu, dan kadang-kadang mencuri."
"Mencuri?" "Mencuri barang-barang kuno dan patung-patung
purba. Terutama patung-patung purba dewi-dewi,
karena ia tertarik dengan orang dari jenis kelaminnya
sendiri, tidak pada lawan jenisnya."
"Semoga Tuhan melindungi kita!"
"Pada waktu bersamaan, ia tergoda oleh keinginan
yang sangat besar untuk menghilang."
"Menghilang!?" NAWAL EL-SAADAWI "Dengan kata lain, dorongan yang sangat kuat
untuk melakukan bunuh diri dan menyongsong
maut." "Semoga Tuhan melindungi kita!"
"Sesungguhnya, ketika para perempuan mencari
sisa-sisa arkeologi, mereka merasakan nikmat yang
tinggi ketika menggali tanah. Mereka lebih tertarik
kepada kepala pahat daripada kepala Dewi Nefertiti.
Betapapun dicobanya, mereka tidak mampu
mengalihkan matanya dari kepala pahat, seolaholah kepala pahat itu anggota tubuh yang mereka
dambakan itu." "Cukup! Cukup!"
Inspektur polisi menjadi gelisah sekali. Napasnya
terhenti sepenuhnya. Kemudian ia mulai bernapas
terengah-engah. Kursinya terus berputar-putar tiada
henti. Kursi itu kemudian berhenti berputar dan
ia menjangkau botol cairan penghapus. Ia mulai
menghapus kata "penis" dari setiap lembar kertas
ketikannya. Namun, berita itu bocor ke surat kabar
walau ada lampu merah. Wartawan mulai menulis
tentang hal itu tanpa malu sedikitpun. Berita
perempuan yang menghilang itu hampir mengalihkan
perhatian semua orang dari perayaan ulang tahun
Baginda Raja. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Pada hari berikutnya keluar titah raja yang
melarang perempuan meninggalkan rumah dan,
jika ada perempuan meninggalkan rumah, terlarang
memberikan tempat berteduh kepadanya atau
menyembunyikannya. *** Pagi itu bulan September, seorang perempuan muda
belia menuruni tangga dermaga. Rambutnya yang
hitam tebal dijalinnya menjadi dua kepang yang
panjang. Kedua kepang itu dililitkannya tiga kali di
kepalanya, dan ujung kedua kepang itu bertemu di
atas keningnya dan diikatnya menjadi sebuah pita
besar. Tubuhnya tinggi semampai di balik sebuah
gaun longgar yang menutupinya sampai ke bawah
lutut. Di balik gaun itu ia mengenakan sarwal1 yang
panjang dan longgar, kaki sarwal itu diikatkan pada
mata kakinya. Di bahunya tergantung sebuah tas
bertali panjang. Ia memegang erat-erat tali tas itu, dan
melangkah dengan mata menatap ke atas seperti mata
seseorang yang akan berlayar menuju perahu-perahu
Sarwal: celana ringan dan longgar yang dikenakan laki-laki
dan perempuan Arab. NAWAL EL-SAADAWI matahari. Kepala stasiun memperhatikan perempuan
itu dengan rasa ingin tahu yang wajar. Di pintu gerbang,
perempuan itu mengulurkan tangan kepadanya untuk
memperlihatkan karcisnya. Kepala stasiun melirik
sejenak ke karcis itu, kemudian mengembalikannya
kepada perempuan itu. Perempuan itu melangkah
cepat-cepat keluar dari stasiun. Tidak ada hal-hal
yang menimbulkan kecurigaan dalam semua gerakgeriknya, kecuali kegairahan, yang jarang ditemukan
di kalangan perempuan, yang diperlihatkannya ketika
ia menengadah ke matahari, dengan mata telanjang
tidak berselubung apa pun, dan ada sesuatu seperti
kepala pahat mencuat dari dalam tasnya.
Perahu-perahu tertambat di sisi dermaga, seperti
biasa menunggu penumpang, dan perempuan itu
berjalan menuju salah satu perahu itu. Ia naik tanpa
ragu-ragu sedikitpun, dan mengambil tempat duduk
di bagian belakang. Perempuan itu tetap di perahu itu sampai ke
terminal, turun bersama penumpang lain dan
melangkah keluar. Alam memperagakan campuran
warna-warna yang ganjil, berlomba saling mengungguli
dan saling membauri. Hijau rumput, kuning padang
pasir, merah kesumba batu-batuan, biru langit, dan
putih awan berarak. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu terus melangkah, sambil berpegangan pada tali tasnya yang terjulai dari bahunya,
seolah-olah ia sedang digerakkan oleh sesuatu yang
tak kuasa ia lawannya ke sebuah tujuan yang sudah
pasti. Tidak ada lagi desa atau bentangan padang yang
luas. Sebagai gantinya, ada tanah lapang dan pohon
berduri bertebaran. Kemudian tanah berubah menjadi
semacam padang pasir, hitam dan halus, bercampur
merah tua, seolah-olah telah direndam lebih dahulu
di dalam darah dan kemudian dijemur di bawah sinar
matahari. Tanah itu menempel di kakinya setiap kali
ia melangkah. Dari waktu ke waktu kelompok pohon
kurma melemparkan bayang-bayang ke tanah, yang
muncul seolah-olah secara kebetulan, sebuah noktah
hitam pekat di tengah padang pasir itu.
Perempuan itu berhenti dalam bayang-bayang
sebuah tembok, barangkali untuk pertama kali sejak
ia turun dari perahu. Ia menghapus keringat di wajahnya dengan lengan gaunnya. Ia mulai melemparkan pandang ke
sekelilingnya. Ia melepaskan tali kulit tasnya dari
bahunya dan membuka tas itu. Ia memegang pahat
di tangan kanan, dan tas di tangan kiri, dan kembali
bergerak cepat-cepat. Ia menyepak-nyepakkan kakinya
untuk melepaskan tanah yang melekat di kakinya,
NAWAL EL-SAADAWI menghentak-hentakkan tumit sepatunya ke tanah
beberapa kali. Di kejauhan berkilauan sebuah telaga
air hitam yang luas, serupa sebuah danau mati.
Kemudian pandangan matanya diarahkan ke
sekitarnya, melampaui sebuah bukit yang rendah.
Sebuah desa kecil muncul, dengan rumah-rumah
yang terbuat dari lumpur hitam atau semacam bahan
yang tampak seperti lumpur, yang berdiri berdesakdesakkan satu sama lain. Di atas atap ada timbunan
sampah dan tempayan-tempayan yang tertelentang.
Jalan-jalan setapak di situ sempit dan berakhir di jalan
buntu. Kemudian ada tanah gersang yang sangat luas.
Di kaki langit ada puncak sebuah bukit. Desa itu
terbentang di bawahnya. Pipa-pipa raksasa menembus
desa itu, yang memuntahkan sesuatu seperti cairan
hitam. Juga ada sumur-sumur bermulut lebar yang
mengalirkan semacam cairan seperti merkuri; ada
bau gas bercampur bau manusia, dan sesuatu seperti
sardencis asin atau acar ikan, dan bangkai-bangkai
mati di jalan tanah, terlindas oleh kendaraankendaraan yang melaju dengan kencang sepanjang
malam. Jalan tanah itu menuruni bukit, dan perempuan
itu mengikutinya. Ia melangkah cepat-cepat, menuju
tujuannya, tasnya tergantung di bahunya dengan
talinya. Anak-anak desa itu sedang bermain-main
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
di sebuah danau di depan masjid. Orang laki-laki
tua duduk berjongkok di tanah, menatap tidak
bergerak ke empu jari kaki mereka, dan dari waktu
ke waktu melayangkan pandangan ke langit dan
menatap angkasa raya. Barisan panjang perempuan
yang tersembunyi di balik abaya2, berjalan beriringan
perlahan-lahan sambil menjunjung tempayan di atas
kepala masing-masing. Perempuan-perempuan itu berhenti dan mengamati perempuan itu. Mata mereka bersinar-sinar
di balik celah tipis. Tetapi perempuan itu terus
berjalan dengan pahat dalam genggamannya, tidak
memikirkan apa-apa selain dari penelitiannya. Ia
berhenti sejenak, menyeka peluhnya dengan lengan
gaunnya dan memandang ke sekelilingnya. Pipapipa raksasa itu terentang tak ada ujung, dan jalan
setapak itu menurun ke arah danau. Ia mengambil
sebuah peta kecil dari dalam tasnya dan dipelajarinya
agak lama, kemudian ia mendongakkan matanya
yang berkabut ke langit. Saat itu lewat seorang anak
perempuan dari desa itu. Ia mengenakan abaya hitam,
dan tidak ada suatu pun dari tubuhnya yang terlihat,
kecuali dua mata kecil. Perempuan itu menanyakan
jalan kepadanya, tetapi anak perempuan itu gemetar
Abaya: jubah seperti gaun dari wol yang dikenakan oleh
perempuan Arab. NAWAL EL-SAADAWI dan berlalu cepat-cepat. Rasa bingung muncul pada
wajah perempuan itu, dan ia menjadi gelisah.
Pemandangan terbentang luas sampai ke kaki
langit, dan sekawanan burung melayang-layang di
udara. Kelepak sayap burung-burung itu dan warna biru langit di balik kawanan burung itu agak
mengembalikan rasa percaya diri perempuan itu.
Jalan di depannya tampak keras, tetapi tanah menjadi
semakin lembab dan lunak di tapak kakinya. Desa itu
tampak tenggelam ke dasar danau itu.
Dari tempat ia berhenti, perempuan itu memperhatikan keadaan sekitarnya. Desa apa ini" Ia
melangkahkan kakinya untuk melanjutkan perjalanan,
tetapi tiba-tiba datang tiupan angin kencang, hampir
saja mengangkat tubuhnya dari tanah. Angin itu
pasti sudah merenggutkannya dari tanah jika ia tidak
mencengkeramkan kakinya dan berpegangan pada
sebuah dinding tembok, yang mulai bergetar karena
dibebani tubuhnya. Perempuan itu berdiri tegak ketika mendengar
suara orang bergumam. Ia melihat seorang anak
perempuan kecil berdiri di kejauhan, sedang berbicara
dengan seorang anak perempuan kecil yang lain.
Mereka merapatkan kepala mereka dan melihat ke
arah perempuan itu. Perempuan itu ingin memanggil
mereka dan menanyakan nama desa itu kepada
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
mereka. Ia memanggil dengan suara keras. Ia melihat
mereka berbalik, kemudian ia menyadari, melihat
bentuk tubuh perempuan-perempuan itu, mereka itu
dua orang perempuan tua. Perempuan itu melihat arlojinya. Pukul tujuh
lewat sepuluh. Ia mengaduk-aduk tanah dengan
pahatnya, dan sebuah pertanyaan muncul dalam
benaknya, "Apakah benar-benar mungkin dewi-dewi
tinggal di dalam tanah, atau apakah mungkin itu tipu
muslihat belaka untuk menariknya ke tempat ini?"
Perempuan itu memicingkan matanya seolaholah tertidur. Ia melihat kamar segi empat itu dengan
sudut-sudut yang tidak berperabot dan sebuah tempat
tidur dari kayu untuk dua orang, dengan alas warna
kuning pucat di atasnya. Ada bercak darah yang
sudah lama di alas kasur itu. Ada sebuah rak berisi
beberapa buku arkeologi, sebuah patung kecil dari
batu dewa berbuah dada tunggal, dan lukisan Dewa
Akhenaton dengan dua buah dada yang menonjol
dan dua pinggul yang besar.
Dari balik asap pipanya, atasan perempuan itu
mencuri-curi pandang ke arahnya. Sang atasan percaya
bisa saja dewa laki-laki memiliki satu buah dada atau
dua buah dada, tetapi ia tidak percaya ada dewi, dan
seandainya memang ada dewi, maka ia tentulah istri
seorang dewa, bukan seorang dewi murni.
NAWAL EL-SAADAWI Rekan-rekannya, laki-laki dan perempuan, di bagian arkeologi, percaya seperti atasan mereka. Mereka
masuk ke bagian arkeologi karena sudah putus asa.
Mereka mengatupkan bibir ketika mengucapkan
kata arkeologi. Mereka lebih tertarik kepada mummi
daripada makhluk hidup. Mata mereka menyorot
ke bawah seolah-olah ditarik ke perut bumi. Cara
mereka berjalan hampir sama. Leher mereka tampaknya berputar-putar, dan kelopak mata mereka terkembang menyelubungi mata mereka. Hidung
mereka seperti paruh burung, dan pinggul mereka
besar dan bergelantungan karena duduk berjam-jam
di balik meja. Perempuan itu mengangkat matanya menatap
langit. Ia melihat bintang-bintang dan planet-planet
yang telah menetap di tempat masing-masing sejak ia
masih kecil. Bibinya menunjukkan kepadanya sebuah
bintang yang demikian jauhnya, hingga hampirhampir tak dapat ia melihatnya. Bintang itu Mars,
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada juga Mercuri, Jupiter, dan Saturnus. Bintang yang
satu lagi, di sebelah sana adalah ratu semua bintang,
Venus. *** LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Mata perempuan itu menatap tak bergerak-gerak ke
bintang itu. Tiba-tiba mulailah gerakan itu. Venus
bergerak dari tempatnya dan melintasi langit. Ekornya
terjela-jela, panjang, dan tipis. Kemudian bintangbintang itu mulai bergerak saling menjauh, bergerak
ke sana ke mari membentuk rupa-rupa binatang.
Ada bintang seperti banteng, singa, ikan paus, dan
kalajengking. Bumi juga mulai bergerak di bawah tapak kakinya.
Ia memandang ke sekelilingnya. Ada seorang laki-laki
sedang berjalan di kejauhan, terbungkuk-bungkuk,
dan kepalanya bertutup destar putih.
"Apakah ada gempa, Paman?"
"Bukan, itu banteng yang sedang menggoyanggoyangkan tanduknya dan melemparkan tanah dari
tanduk yang satu ke tanduk yang satu lagi."
Suara laki-laki itu jelas sekali, seolah-olah ia langsung berbicara di telinganya. Namun, tampaknya seolah-olah suara itu datang dari dasar sebuah sumur.
Laki-laki itu berjalan lambat-lambat menjauh dan
hanya punggung bungkuk laki-laki itu yang dapat
dilihatnya. Laki-laki itu berangsur-angsur lenyap
dalam kabut. Perempuan itu berteriak sekeras-kerasnya memanggil laki-laki itu, tetapi suaranya sirna begitu saja.
NAWAL EL-SAADAWI Kemudian terdengar suara tawa yang tertahantahan. Tawa itu tawa perempuan tua, seperti anakanak itu yang berdiri memakai abaya. Matanya yang
kecil kerlap-kerlip dari balik celah tipis cadarnya.
"Bukan banteng, Saudariku."
"Apa kalau begitu?"
Perempuan tua kerdil itu menghilang dalam
awan debu asap. Perempuan itu berdiri dengan kaki
mencengkeram tanah. Ia memegang tali tasnya dan
mulai berpegangan erat-erat pada tasnya. Tidak ada
yang dapat dilakukannya selain berdiri sekokohkokohnya di tanah menghadapi goncangan bumi
yang menggila. Perempuan itu mengangkat matanya ke cakrawala.
Lapangan luas hitam terbentang di depannya seperti
padang pasir tiada berbatas. Pasir di situ bergerak,
hitam warnanya, dan angin sangat kering. Permukaan
lidahnya retak-retak dan matanya mencari-cari setitik
air dalam gelap kelam itu. Ia melihat sesuatu bergerakgerak, seekor ular kecil seperti bunglon. Mata ular itu
bersinar-sinar ketika merayap, berselaput kulitnya
yang hitam. Gerakannya lemah-gemulai dan langkahnya ringan dan ceria seolah-olah bersenang hati
karena mampu berubah-ubah warna.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Pegangan perempuan itu pada tali tasnya mengendur. Barangkali bukan berdiri kokoh yang diperlukan, ia membiarkan tubuhnya dipermainkan
angin, yang tak bisa diterima tubuhnya pada awalnya.
Tubuhnya tampaknya berat. Kemudian tubuhnya
terasa lebih ringan. Ia memicingkan mata dengan
gerak seolah-olah menyerahkan diri. Perasaan baru
mulai mengalir ke dalam tubuhnya, rasa malu. Udaranya panas sekali. Pada setiap langkah, debu hitam
menempel di tapak sepatunya. Ia berhenti sejenak. Ia
mengantuk-antukkan tumit sepatunya satu sama lain.
Ia melepaskan kepang dari kepalanya. Mengguncangguncangkan kepang itu. Ia memukul-mukulkan
kedua kepangnya satu sama lain. Butir-butir hitam
beterbangan di sekitarnya, melekat di lubang hidungnya, dan di keningnya, seolah-olah tertarik oleh bau
peluh. Perempuan itu berjongkok sambil menjaga
pinggulnya agar tidak menyentuh tanah. Ia tidak
ingin mantelnya kotor. Ia membuka tasnya dan
mengeluarkan pahat dari dalamnya. Ia mengetok tanah
beberapa kali, tetapi bau di sini tidak tertahankan. Ia
menutup hidungnya dengan saputangan. Lehernya
menekur ke tanah. Tanah terbentang di hadapannya,
dan gelap sudah semakin pekat. Ia sedang berjalan
menuruni tebing. Siapa saja yang melihatnya tidak
NAWAL EL-SAADAWI akan mengira ia sedang berjalan. Tangannya terantuk
pada sebuah dinding lumpur. Dinding itu seperti
dinding rumah di desa itu. Ia mendengar suara
di dalam. Ia berdiri, menempelkan tangannya ke
dinding. Tangannya yang satu lagi memegang pahat,
dan ia terengah-engah. Sebuah pintu terbuka di dinding. Pintu itu
berbunyi seperti ciut kincir air, engsel besi yang
berkarat atau bunyi berderak kayu yang sudah lapuk.
Seorang perempuan muda muncul dengan abaya
hitam, dengan menjunjung sebuah tempayan tanah
yang sangat besar berperut kembung di kepalanya.
Kulit tangannya retak-retak. Kakinya lebar dan
lembab dalam sepatu kulit. Warna tumitnya tampak
hitam. Kepalanya terbalut sebuah selendang hitam
yang terikat dengan buhul di ubun-ubun. Tempayan
tanah yang dijunjungnya di kepalanya, miring,
penuh hingga ke bibir tempayan, hampir tumpah
sebenarnya. Ia berputar dan memutar kepalanya
tanpa memegang tempayan itu dengan tangannya,
tetapi tidak setitik air pun tumpah dari tempayan
itusitu. Perempuan muda itu menatap pahat dalam yang
digenggamnya. Selama hidupnya ia belum pernah
melihat perempuan membawa alat tajam. Perempuan
muda itu mundur selangkah.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Ini cuma pahat."
"Apa itu, Saudariku?"
"Aku menggali tanah dengan alat ini dan mencari
dewi-dewi." "Apa?" "Dewi Sekhmet, misalnya."
"Sekhmet!?" Perempuan muda itu terkejut dan tampak ketakutan. Tubuhnya mulai gemetar. Tetapi tempayan
tetap di tempatnya, tidak goyang sedikitpun di atas
kepalanya. "Mohon beri aku air sedikit ..."
"Apa?" "Air... air ..." kata perempuan itu berulang-ulang,
dan mulai berteriak. Perempuan muda itu berdiri
menatapnya melalui celah tipis cadarnya, matanya
terbuka lebar, seolah-olah ia sedang menyaksikan
seekor domba mengembik. Saat itu angin bertiup lagi
dengan kencangnya, hampir mengangkat perempuan
itu dari tanah. Perempuan muda itu berdiri sambil
menggeleng-gelengkan kepala, dengan tempayan
tetap berdiri tegak dengan kokoh di kepalanya.
"Engkau siapa?"
NAWAL EL-SAADAWI Perempuan itu melihat keraguan dalam mata
perempuan muda itu. Ia mengambil kartu pengenalnya dari dalam tas: Nama, jenis kelamin, warna
mata, pekerjaan: peneliti pada departemen arkeologi;
kelakuan baik, menikah, tidak punya anak. Berkas
pribadinya tidak ternoda. Premi asuransi dan pajakpajak semua telah lunas. Ia tidak punya hutang
dan tidak pernah berurusan dengan polisi. Sampai
sekarang pun tidak ada putusan pengadilan yang
dikeluarkan atas namanya.
Perempuan muda itu mengerling ke kartu pengenal itu, seolah-olah ia tidak pandai membaca. Ia
memperhatikan foto yang dilekatkan dengan peniti.
"Mengapa kau tidak menutup wajahmu dengan
cadar" Apakah kau tidak punya malu?"
Perempuan muda itu mengembalikan kartu
pengenal kepada perempuan itu, dan kemudian
berpaling. Perempuan itu berjalan menjauh, perlahanlahan menuruni jalan setapak. Ia mengisap bibirnya
dan mengantukkan sepatu kulitnya. Tumitnya yang
hitam menendang debu ke udara. Di punggungnya
ada tonjolan menyerupai punuk onta. Di sekitarnya
telah berkumpul perempuan-perempuan lain dengan
tempayan di kepala masing-masing. Mereka saling
mendekatkan kepala masing-masing, satu sama lain.
Suara bisik-bisik terdengar mengelilingi kelompok
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
perempuan itu. Salah satu dari mereka meloncat. Dari
jauh tampaknya ia kerdil. Sesaat kemudian ia kembali
dikelilingi sejumlah laki-laki. Mereka mengenakan
jallabas longgar.3 Kepala mereka terbalut destar
berwarna putih. Suara perempuan-perempuan itu tetap berupa
dengung, tidak lebih daripada bisikan. Suara kelompok
lelaki itu semakin keras. Mereka berbicara semua
pada waktu bersamaan, sambil menggerak-gerakkan
tangan ke atas, dan menghentak-hentakkan kaki ke
tanah. Awan debu yang tebal beterbangan. Kemudian,
mendadak suara-suara itu semuanya berhenti, dan
segalanya sunyi senyap. Hanya salak anjing yang
terdengar di kejauhan. Perempuan itu berbalik untuk
melanjutkan perjalanan. Ia mempercepat langkahnya.
Namun, suara-suara di belakangnya mengikutinya.
Seorang lelaki dengan keffiyeh4 hitam yang melilit
lehernya, memerintahkannya untuk berhenti. Di
wajahnya ada bintik-bintik hitam seperti butir jerawat.
"Hai, kamu, Perempuan!"
Kata "perempuan" menusuk telinganya seperti
sepotong pecahan kaca. Otot-otot wajahnya menegang
kaku. Apa hak laki-laki itu memerintahkannya
Jallaba: pakaian seperti kemeja longgar panjang, biasa
dikenakan di dunia Arab. Keffiyeh: destar Arab segi empat untuk penutup kepala.
NAWAL EL-SAADAWI untuk berhenti di sini, di jalan setapak untuk kuda
beban ini, dan kemudian menumpahkan sumpah
serapah kepadanya" Ia membelakangi lelaki itu dan
meneruskan perjalanan. Lelaki itu mengikutinya,
sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.
Suaranya tidak henti-hentinya mengulang-ulang kata
yang kasar itu. Laki-laki itu menjulurkan lengannya yang
panjang seperti tongkat kayu, dan menangkap lengan
perempuan itu. Ia meletakkan mulutnya ke telinga
perempuan itu dan berteriak, "Perempuan!" Bau yang
tajam keluar dari mulutnya dan semburan air ludah
hitam keluar dari sudut mulutnya. "Engkau siapa?"
"Saya peneliti terhormat dan ...."
"Engkau berasal dari mana?"
Perempuan itu membalikkan badan dan
memberikan isyarat dengan kepala ke arah jalan
yang telah dilaluinya. Jalan itu tampak seperti lorong
di bawah tanah yang gelap dan panjang, penuh air
hitam dari banjir yang terjadi. Ia memicingkan mata
dan kemudian membukanya. "Saya minta cuti dan .... "
"Kami tidak pernah mendengar hal seperti itu."
"Boleh saya kembali?"
"Tidak ada lagi cerita kembali sekarang."
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Dapatkah saya menyewa kamar sampai pagi?"
"Apakah engkau seorang diri?"
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak mungkin."
Ia berlalu meninggalkan perempuan itu, sambil
menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Perempuan
itu membuka tasnya dan mengambil peta dari dalamnya. Apakah ia salah tempat" Ia membungkuk di
tanah. Bagi orang yang memperhatikan dari jauh,
tampak seperti orang yang akan bersiap tidur. Namun, ia sedang berpikir, mencoba menentukan di
mana ia berada. Ia menemukan sebuah titik, yang
ditandainya dengan pinsil. Ia mengambil pahatnya
dan mulai menggali. Kepalanya terkulai sambil menggali, seolah-olah
ia kelelahan. Barangkali tempat itu sudah betul,
barangkali ada dewi yang terkubur di situ. Namun, di
situ gelap pekat, dan bintik-bintik hitam menari-nari
di depan matanya. Disingkirkannya tanah galian dan
terlihat olehnya sesuatu menyerupai tanduk kerbau.
Sebelum ia dapat mengulurkan tangannya, terdengar
suara-suara di belakangnya. Sebarisan lelaki yang
mengenakan jallaba mengamatinya. Kepala mereka
dibalut dengan ikat kepala berwarna putih. Di belakang
mereka ada sebarisan perempuan mengenakan abaya.
NAWAL EL-SAADAWI Salah satu dari mereka mengeluarkan buah dadanya
dari balik abaya, dan mulai memijit-mijit putingnya
yang hitam dengan jarinya sampai tersembur cairan
putih yang halus. Kemudian ia mengeluarkan seorang anak kecil dari bawah abaya-nya. Anak kecil
itu mengulum puting itu dengan gerahamnya yang
mungil dan mengisapnya berbunyi-bunyi.
Suara kelompok lelaki itu semakin menghilang,
seperti suara perempuan-perempuan itu. Para lelaki
itu berjongkok di tanah dan membentuk sebuah
lingkaran. Di tengah-tengah sebuah batu besar duduk
tetua mereka. Di jari kelingkingnya berkilauan
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebentuk cincin, dan di atas kepalanya ada lukisan
Baginda Raja. Lukisan itu dikelilingi lampu-lampu
warna-warni dan sebuah pengeras suara seperti sebuah
corong. "Pada kesempatan perayaan hari ulang tahun
Baginda Raja ini kita diperintahkan untuk tidak
segan-segan mengadakan perayaan besar-besaran."
Suara itu suara Baginda Raja. Bibirnya, dalam
lukisan itu, bergerak-gerak. Mereka menggosok-gosok
mata dengan jari mereka. Sudut kelopak mata mereka
kerut-kerut dan merah darah. Mereka bertukar
pandang, dan mengulangi dalam satu suara, "Mampu
melakukan segala-galanya." Kemudian tiba-tiba sunyi
dan senyap. Mereka semua menggosok-gosok mata,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dan mengamati bintik-bintik hitam yang melekat
pada ujung jari mereka. Mereka menyeka bintikbintik itu dengan jallaba mereka dan kemudian
kembali menggosok-gosok mata mereka.
Suara Baginda Raja bergumam melalui pengeras
suara. Kata-katanya tidak jelas, diucapkan dengan lafal
yang asing, dan tidak seorang pun mengerti apa
yang dikatakannya. Pemimpin kelompok lelaki itu
menggeleng-gelengkan kepala tanda bersenang hati,
dan mereka semua menggeleng-gelengkan kepala.
Kemudian kepala tetua itu berhenti menggelengkan
kepala, dan lelaki-lelaki selebihnya juga berhenti menggelengkan kepala. Ia meloncat dari tempat duduknya,
dan mereka semua juga meloncat. Ia menghilang
dalam gelap malam, dan lelaki-lelaki selebihnya juga
menghilang mengikutinya, dan di belakang mereka
berlarian para perempuan itu.
Satu-satunya yang tinggal adalah lukisan Baginda
Raja, yang tergantung tanpa tiang, dan di atasnya ada
sebuah terompet. Seorang laki-laki sedang menyapu
di tanah. Ia mendekati perempuan itu perlahanlahan. Laki-laki itu adalah laki-laki yang berbintikbintik jerawat dan mengenakan keffiyeh hitam itu.
Laki-laki itu membuang ingus keras-keras, kemudian
mendekati perempuan itu perlahan-lahan.
"Tempat ini harus dikosongkan."
NAWAL EL-SAADAWI "Dan di mana aku bermalam?"
"Ikuti aku." Lelaki itu memandu perempuan itu ke jalan
setapak menuruni bukit. Ia berjalan selangkah dua
langkah lebih dahulu dari perempuan itu. Setiap
kali perempuan itu mempercepat langkahnya untuk
berjalan di sisi lelaki itu, lelaki itu menatapkan matanya
ke perempuan itu, dan perempuan itu memperlambat
langkahnya, hingga ia kembali berjalan di belakang
lelaki itu. Lelaki itu berjalan menuruni bukit dengan
tubuhnya bungkuk ke depan, sambil menggarukgaruk punggungnya dengan tangannya.
Perempuan itu mengikuti lelaki itu, dengan tali
tas tergantung pada bahunya, berpegangan pada tali
tas itu dengan jari-jarinya, seolah-olah tasnya dapat
melindunginya agar tidak terjatuh. Di dalam genggamannya ada pahat itu, yang bergetar mengikuti
irama getaran tubuhnya, tetapi dalam gelap tampak
seperti bergetar dengan sendirinya.
Jalan setapak itu menurun dan tanah semakin
lembab. Bau yang menusuk hidung itu semakin
tajam. Kakinya terbenam sampai ke lutut. Lelaki itu
mengangkat jallaba yang dikenakannya dan melilitkan di pinggangnya. Kemudian ia melompat ke
dalam sebuah perahu. Perempuan itu melompat
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
mengikutinya dari belakang dan perahu itu oleng. Ia
pasti jatuh seandainya tidak berhasil menjaga keseimbangan dengan gerakan tangannya.
Pemandangan di situ tampak wajar saja baginya,
kecuali ada bau yang tajam dan bintik-bintik hitam
yang beterbangan, yang memasuki lubang hidung dan
telinganya, dan menempel di sudut kelopak matanya.
Gelap bertumpuk di depan matanya seperti bukit,
dan sunyi senyap itu membebaninya, yang diselingi
hanya oleh suara dayung yang menyentuh laut hitam
tak berbatas itu. Lelaki itu mulai menggosok-gosok
matanya sambil bersenandung,
O, pemberi hidup, O, pengambil nyawa, Ampuni kami, selamatkan kami dari air bah,
O, penyejuk dari segala rasa was-was.
Sambil berdendang, mata lelaki itu menatap
ke arah cakrawala. Ia memijit-mijit sudut matanya
dengan ujung jarinya, kemudian melihat jarinya
dari dekat dan memperhatikannya lama sekali lalu
menyekakannya pada jallaba yang dikenakannya.
Kemudian ia mulai menggosok-gosok punggungnya,
bawah ketiaknya, dan antara kedua pahanya. Suara
NAWAL EL-SAADAWI senandungnya mengambang sendu dalam gelap
malam itu, selain dari saat-saat ketika suaranya bertambah cepat karena merasakan kenikmatan yang
memuncak tiba-tiba. Laki-laki itu menghentikan perahu di tumpukan
gelap yang menyerupai dinding. Ia membungkuk ke
depan, ke arah gelap itu. Ia mendehem memberitahu
ia telah datang. Tidak terdengar apa-apa kecuali
gonggong anjing. Sambil mengetuk-ngetuk pintu, ia
berseru: "Buka pintu, Saudaraku."
Dari balik pintu seorang lelaki yang lain terdengar sedang membersihkan tenggorokannya. Dari
kedalaman gelap itu, pintu terbuka. Sebuah bau
meloncat keluar yang menusuk lubang hidung perempuan itu. Sebuah nyala api kecil muncul, bergetar
dalam tangan besar dan berbulu, dan sebuah suara
parau keluar dari sebuah tenggorokan, "Mari masuk,
Perempuan." Kata itu tidak lagi menyakitkan baginya. Sakit yang
lebih besar ada dalam telinganya. Butir-butir kecil itu
semakin menumpuk dalam kedua telinganya. Butirbutir itu semakin menjadi keras seperti butir-butir
kerikil yang menggesek lapis tipis dalam telinganya
atau syarafnya. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Suaranya menjadi agak keras, "Mari masuk, Perempuan."
Perempuan itu berdiri di tempatnya, tidak satu
pun dari bagian tubuhnya yang bergerak, kecuali
lehernya, yang menengadah ke arah langit, mencari
udara. Di atas bahunya ia menarik tali tasnya, seolaholah menarik ingatannya dari kepekatan malam itu.
Bagaimana ia sampai ke sini"
Suara lelaki itu semakin keras, "Apa kau tak mendengar apa yang dikatakannya kepadamu?"
Perempuan itu menggerakkan kakinya dan masuk. Ia melewati ambang pintu yang rendah dengan
bentuk yang tidak asing baginya. Namun, rumah
itu bergoyang-goyang di bawah tapak kakinya seolah-olah sebuah perahu. Pintu itu tertutup di
belakangnya dan perempuan itu memperhatikan
sekelilingnya. Lelaki dengan bintik-bintik hitam
di wajahnya tidak ada di situ. Perempuan itu mendengar suara dayung menghilang semakin jauh.
Lelaki itu tiba-tiba batuk terputus-putus, kemudian
ia membuang ingusnya keras-keras. Perempuan itu
mundur selangkah. Dalam kekhawatirannya tampak
seolah-olah ia sedang kembali ke masa kecilnya,
dan ia mengeluarkan sebuah teriakan. Sinar di situ
demikian redup, sehingga ia hampir tidak dapat
melihat suatu apa pun. Ia menggosok-gosok matanya
NAWAL EL-SAADAWI dengan ujung jarinya. Kamar itu kosong tidak ada
perabot, hanya ada sebuah kursi yang terpaku di
lantai. Keragu-raguan menguasainya. Apakah ia tidak
pernah meninggalkan tempatnya"
"Buka pakaianmu."
Suara lelaki itu tidak lagi asing di telinganya.
Angin mengguncang-guncang jendela. Lidah-lidah
cairan hitam menyusup di bawah pintu. Tetesantetesan hitam seperti air hujan berjatuhan dari langitlangit.
Bahkan sebenarnya, tidak ada jendela. Itu hanya lembaran-lembaran papan. Lantai itupun bukan lantai, tetapi lembaran-lembaran papan yang
berderak-derak di bawah kakinya seperti kucing sakit.
Kelembaban seperti peluh menyelinap keluar dari
papan-papan itu, melekat pada tumit sepatunya, atau
tapak kakinya, jika ia menanggalkan sepatunya.
"Baunya tidak tertahankan!"
Perempuan itu menutup hidungnya dengan saputangan dan memicingkan matanya. Suara laki-laki
itu parau dan jauh, seolah-olah datang dari dunia
lain. Hanya kaki dan lutut lelaki itu di dalam baju
tidurnya yang terlihat oleh perempuan itu. Bagian
atas tubuh lelaki itu tertutup surat kabar. Huruf-
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
huruf cetak tebal, baris demi baris, muncul dalam
garis-garis melintang kecil-kecil:
Dicari peneliti untuk Departemen Arkeologi.
*** Perempuan itu mengisi formulir lamaran kerja dengan mesin ketik. Ia mengisi kotak-kotak untuk
nama, umur, dan agama. Dalam kotak jenis kelamin, ditulisnya "perempuan". Kepala departemen
memandangnya dengan mata terbelalak, "Bagian
ini hanya menerima laki-laki. Pekerjaan yang kami
lakukan, maksudku, menggali tanah, tidak cocok
untukmu." "Bibiku biasa menggali tanah, dan ibuku juga
biasa menggali tanah, dan menanam benih dan ..."
"Menggali itu hal lain ... Maksudku mencari dewadewa di perut bumi."
"Dewa-dewa ada di surga, bukan?"
"Tetapi ada juga dewa-dewa yang lain. Apakah kau
belum pernah membaca apa pun tentang arkeologi?"
Perempuan itu melihat sesuatu merayap di bawah
tapak kakinya. Sebuah jari yang panjang dan lunak
seperti ekor ular. Benda itu menggeliat dan berputarputar, dan menggali sebuah terowongan untuk dirinya
NAWAL EL-SAADAWI sendiri setelah datang dari atap. Juga ada setetes cairan
hitam. Di sekitarnya berkumpul gerombolan semut,
cecak, kadal, dan lipas, yang tampak seperti kumbang
dengan sayap berkepak-kepak penuh kegembiraan.
Perempuan itu mendengar suara lelaki itu dari
balik surat kabar. Ia sedang berbicara kepada dirinya
sendiri atau sedang membaca keras kepala berita di
situ. Beberapa gerakan merangkak ke dalam kamar
itu, yang tenggelam dalam gelap yang sangat pekat.
Sayap-sayap kecil itu mengungkapkan rasa gembira
ketika beterbangan di sekeliling pelita. Perempuan itu
meregangkan kakinya di atas tempat duduknya yang
rendah. Kakinya bengkak akibat perjalanan yang
telah dilakukannya, dan kulit kakinya, yang tertutup
lapisan kotoran hitam, terkelupas. Tasnya tergantung
di bahunya, berayun-ayun dari talinya. Pahatnya ada
di dalam tas itu, tentu saja. Matanya mengamati sekelilingnya. Di atas dinding hitam itu, kembali perempuan itu melihat benda itu. Cecak hitam atau seekor
bunglon. Benda itu memperhatikannya dengan matanya yang mungil. Sebuah persahabatan sedang terjalin
antara binatang itu dan perempuan itu.
Lelaki itu berdehem keras-keras. Cecak itu lari
bersembunyi dalam dinding yang retak. Perempuan
itu tidak tahu bagaimana lelaki itu bisa melihat
cecak itu dari balik surat kabar. Badan bagian atas36
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
nya tersembunyi sama sekali. Hanya kaki dan lututnya yang tampak melalui baju tidurnya. Barangkali
binatang itu mata-mata yang khawatir akan persahabatan yang mungkin terjalin antara ia, perempuan
itu, dengan makhluk yang lain.
"Siapkan makan malam segera," kata laki-laki itu
dengan nada seperti seseorang yang telah menyewa
seorang perempuan memasak untuknya. Tidak ada
kotak untuk itu dalam formulir yang sedang diisinya
dengan mesin ketik. Dalam kotak yang diberi
keterangan pekerjaan, ia menuliskan "Peneliti dewidewi".
"Aku lapar!" teriak lelaki itu kembali sekeraskerasnya.
Di dapur, jendelanya diganjal. Juga di sini, papanpapan kayu telah dipaku, dan sobekan-sobekan
surat kabar diselipkan pada celah-celah dinding dan
ditumpuk tinggi ke belakang pintu untuk menghalangi tetesan cairan hitam menyusup dari bawah
pintu. Keran air juga disumbat dengan surat kabar.
Ketika perempuan itu sedang berdiri di depan
tempat cuci piring, ia merasa lelaki itu berada di
belakangnya. Terasa olehnya napas lelaki itu berhembus di tengkuknya. Ia tidak tahu cara menyalakan
tungku, jadi lelaki itu memberikan kepadanya sebuah
NAWAL EL-SAADAWI benda seperti pistol. Ia menekan pistol itu dengan ibu
jarinya; pistol itu meletus, dan percik api keluar dari
larasnya. Ia tertawa seperti anak kecil.
Hal-hal kecil yang dahulu biasa membuat perempuan itu tertawa. Kelam menyingkir, dan sepotong
cahaya bersinar di cakrawala. Ia melihat lelaki itu
mendongakkan kepala dengan bangga. Ia mengikuti
arah kerlingan lelaki itu ke langit-langit dengan
matanya. Tetesan hitam itu masih terus melebar.
"Masa kau tak tahu itu apa?"
"Apa itu?" "Tidak." "Itu minyak." "Apakah minyak merembes melalui langit-langit?"
"Tentu saja, ketika permukaan naik di tanah atau
hujan lebat turun dari langit."
"Apakah langit juga menurunkan minyak?"
"Langit memberikan berlimpah ruah apa saja yang
ingin diberikannya."
Ketika perempuan itu di sekolah semasa kecil,
ia belajar minyak hanya ada di perut bumi. Selama
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjuta-juta tahun, minyak dihasilkan dari badanbadan mati yang hancur lebur karena panas, dan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
hewan-hewan kecil yang dinamakan bakteri, dan
butir-butir tanah serta pasir, dan debu mineral
Semua itu hancur lebur menjadi butir-butir sangat kecil yang menyerap air, dan disimpan dalam
lapisan-lapisan seperti karet busa. Lapisan-lapisan ini
dimasuki pasir dan butir-butir kecil batu gamping.
Minyak terperangkap dalam butir-butir kecil dan
terjebak dalam celah-celah di antara dua lapisan
penyelubung, satu lapisan mencegah minyak itu
merembes ke atas dan satu lapisan lagi berupa lapisan
air di dalam perut bumi dan minyak mengambang di
atas lapisan air ini, dan lapisan itu mencegah minyak
merembes ke bawah. Seperti binatang terperangkap,
dengan semua celah keluar baginya yang sudah
tertutup, mencegahnya muncul ke permukaan bumi.
Kecuali tentu saja jika minyak yang terperangkap itu
terguncang-guncang karena gempa bumi, gunung
berapi, atau bom yang dijatuhkan dalam perang.
Perempuan itu mengerutkan bibirnya sambil
berdiam diri. Leher lelaki itu masih terjulur ke atas
menengadah ke langit seolah-olah langit itu seorang
dewi. Perempuan itu mengangkat kepalanya, dan
lelaki itu menangkap kepala itu dari belakang.
Lelaki itu sedang berdiri di belakang perempuan
itu, mengusap-usapkan tubuhnya pada tubuh perempuan itu tanpa malu-malu. Perempuan itu me39
NAWAL EL-SAADAWI ronta-ronta dalam hati tidak berdaya. Tidak ada
kotak dalam formulir lowongan kerja itu untuk hal
seperti itu. Ronta perempuan itu mengisi jiwa lelaki
itu dengan rasa percaya ciri, dan tubuhnya semakin
dirapatkannya ke tubuh perempuan itu. Napas lelaki
itu mengelus-elus leher perempuan itu dari belakang.
Lengannya terjulur melingkari dada perempuan itu.
Kemudian diletakkannya tangannya ke atas buah
dada kiri perempuan itu. Perempuan itu melihat
kuku jari yang hitam lelaki itu, yang mengeluarkan
bau minyak. "Apakah kau tidak akan mandi terlebih dahulu?"
"Apa?" Lelaki itu marah sekali. Tidak pernah sebelum
ini ada perempuan yang seberani perempuan ini.
Hampir saja diangkat dan ditetakkannya tangannya
ke wajah perempuan itu. Atau barangkali ia memang
benar-benar mengangkat tangannya. Kemudian lelaki
itu mundur selangkah, ia tiba-tiba merasa lelah sekali.
Ia menunjuk kepada sebuah gelas kecil di atas rak
kayu. Ia membuka mulutnya lebar-lebar sedemikian
rupa, sehingga perempuan itu dapat melihat anak
lidahnya yang merah bergetar dalam tenggorokannya.
"Empat tetes." LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu meneteskan empat tetes ke dalam
tenggorokan laki-laki itu. Lelaki itu memejamkan
mata lama-lama, kemudian ia membuka matanya.
Perempuan itu membasahi bibir bawahnya dengan
ujung lidahnya. "Apa ini air?" "Bukan. Semacam minyak tetes, lebih manjur
untuk pelepas dahaga daripada air, dan dapat
membersihkan isi perutmu. Buka mulutmu."
Lelaki itu meneteskan ke dalam mulut perempuan
itu tetes pertama dan kemudian tetes kedua.
Perempuan itu menginginkan tetes yang ketiga dan
keempat. Ia memegangi botol itu erat-erat dengan
kelima jarinya, tetapi lelaki itu merenggutkan botol
itu dari perempuan itu dan menyembunyikannya.
"Kau hanya dapat dua tetes, sesuai peraturan."
Perempuan itu menundukkan kepalanya. Ia
sangat lelah. Ia seolah-olah telah mendengar tentang
peraturan ini sebelumnya. Ia tertidur dan melihat
dirinya sedang mandi dengan air hangat. Langit
berwarna biru bening dan ladang-ladang berwarna
hijau. Dalam lubang hidungnya ada bau ladang. Ia
sedang duduk di jembatan pada senja hari menanti
cahaya ribuan bermunculan.
NAWAL EL-SAADAWI Ia membuka matanya karena serasa ada sesuatu
yang terbakar di bawah kelopak matanya. Kamar itu
gelap gulita. Sepotong sinar redup datang dari sebuah
pelita yang menyala seadanya. Lelaki itu sedang duduk
di tempatnya di balik surat kabar yang terkembang.
Kakinya telanjang di atas lantai.
Perempuan itu mengepit tasnya di ketiaknya. Ia
mulai menyeret kakinya ke dapur. Ia masuk kembali
sambil membawa secangkir teh pahit. Lelaki itu
menjulurkan tangannya dan mengambil cangkir itu
tanpa mengatakan sesuatu pun, dan kembali terbenam
ke dalam sesuatu yang menyerupai tidur. Surat kabar
itu diremuk-remuknya menjadi bola. Perempuan itu
membuka surat kabar itu dan membalik-baliknya
halaman demi halaman. "Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali. Menurut undang-undang
terlarang memberinya tempat berteduh atau menyembunyikannya."
Tanpa bersuara, ia menyangkutkan tasnya ke
bahunya. Ia menutup pintu dengan hati-hati dan
pergi keluar. Angin mengaum seperti serigala yang
kelaparan. Kakinya terbenam setiap kali ia melangkah.
Ia tidak dapat membedakan lumpur dari tanah kering.
Ia menggunakan dinding untuk bertumpu, seperti
biasa dilakukannya ketika masih kecil, sebelum ia
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
mulai belajar berjalan, sambil bibinya memegangi
tangannya. Satu, dua, ikat tali sepatumu.
Tiga, empat, berjalan ke pintu.
Tolong dia, Peri Suci. Ketika ia masih gadis kecil, ia tidak tahu siapa
Peri Suci itu. Barangkali Peri Suci itu Perawan
Maria. Dalam gelap malam, wajahnya kadang-kadang biasa melayang-layang di atas atap rumah di
desa itu. Beberapa orang buta mendapatkan penglihatan mereka kembali dan kaki yang lumpuh
dapat digerakkan kembali. Atau barangkali Peri Suci
itu Putri Zaynab, satu-satunya nabi yang mampu
menyembuhkan penyakit bibinya.
"Apa katamu, engkau ini bicara apa?"
"Aku akan menjadi nabi...agar aku dapat
menyembuhkan orang."
"Apa kau sudah gila" Tidak ada nabi perempuan."
Suara lelaki itu bergaung dengan jelas dalam
telinga perempuan itu. Suara itu membuyarkan mimpinya. Suara seorang laki-laki. Barangkali itu suara
suaminya atau atasannya. Pada waktu ujian masuk
lelaki itu duduk di belakang mejanya, dengan sebuah
NAWAL EL-SAADAWI pipa hitam di antara kedua bibirnya, dan pipa hitam
itu bergetar ketika ia mengajukan pertanyaan demi
pertanyaan. "Apa yang kau ketahui tentang Numu, dewi air
yang pertama?" "Numu?" "Dan Inana, dewi alam dan kesuburan?"
"Dan Sekhmet, dewi kematian?"
"Inana?" Perempuan itu tidak tahu ada dewi-dewi. Semua
nabi laki-laki, dan tidak ada perempuan di antara
mereka. Bagaimana mungkin kalau begitu ada dewadewa perempuan" Yang mana yang lebih tinggi
kedudukannya, nabi atau dewa" Sedangkan tentang
dewa kematian, namanya Ezra, bukan Sekhmet, dan
dia laki-laki bukan perempuan.
Perempuan itu sedang membaca dalam sinar
lampu itu. Lelaki itu sedang duduk di tempatnya
yang biasa. Separuh tubuhnya bagian atas tersembuyi
di balik surat kabar. "Apakah kau sedang membaca?"
Yang tampak dari tubuhya hanya telapak kaki dan
kakinya. Lututnya yang persegi empat mencuat dari
balik baju tidurnya. Apakah matanya ada di lututnya"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Belum lagi perempuan itu membuka bukunya dan
mulai membaca, ia sudah melihat lutut itu bergetar"
apakah itu untuk menunjukkan rasa kesal"
"Jangan sentuh buku itu."
"Ujian itu besok. Aku belum selesai mempelajarinya
dan ...." "Aku lapar." Perempuan itu melihat arlojinya. Sembilan lewat
sepuluh. Ia telah menyiapkan makanan untuk lelaki
itu satu jam yang lalu. Bagaimana mungkin ia sudah
lapar lagi demikian cepatnya" Jika ia lapar, panci ada
di atas tungku, dan dapur hanya tiga langkah dari
situ. Perempuan itu melihat lelaki itu duduk sambil
menggoyang-goyangkan lututnya dan menggerakgerakkan kakinya ke atas, dan menekukkan empu jari
kakinya hingga berbunyi. "Aku haus." Lelaki itu tidak pernah berhenti meminta sesuatu.
Seperti anak-anak, ia tidak dapat memberi makan
dirinya sendiri atau mengambil sendiri sesuatu untuk
diminun. Belum lagi lelaki itu melihat perempuan
itu membuka buku, ia sudah berteriak. Seolah-olah
buku itu seorang laki-laki lain yang merenggutkan
perempuan itu darinya. NAWAL EL-SAADAWI Perempuan itu menyembunyikan buku itu di
bawah bantal. Ia akan menunggu sampai lelaki itu
tidur pulas dan suara dengkurnya sudah mulai naik
turun dengan teratur. Ia membuka buku itu dan
membaca. Di dalamnya ada nasihat-nasihat dari
bunda dewi kepada anak perempuannya:
"Jangan lupa ibumu."
"Rawatlah ia seperti ia mengandungmu."
"Ia mengandungmu di dalam perutnya selama
satu tahun penuh." "Ia memberimu nyawanya dan kemudian mati."
Dalam kesunyian malam itu, suara itu berdengung
dalam telinganya. Ia belum pernah mendengar suara
ibunya kecuali ketika ia masih sebuah janin di dalam
rahim ibunya. Ia melihat lelaki itu membalikkan
badan dalam tidurnya seolah-olah ia mendengar
suara itu. Rambut lelaki itu berdiri tegak karena kesal.
Ia membuka matanya tiba-tiba, dan perempuan itu
menyembunyikan buku itu. Lelaki itu membalikkan
badan ke sisi yang satu lagi dan kembali tertidur.
Perempuan itu tetap di tempatnya, menunggu. Ia
tidak tahu apakah lelaki itu benar-benar tidur atau
pura-pura tidur. Napas lelaki itu belum bertambah
keras dan suara dengkurnya tidak teratur.
"Apakah kau masih bangun?"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu memejamkan mata dan menggigit
bibirnya. Ia membiarkan napasnya naik turun.
Kemudian ia tertidur. Tubuhnya merosot ke bawah,
terus ke bawah, seolah-olah ke dalam sebuah sumur.
*** Segala-galanya lembab sekarang, bahkan juga alas
kasur. Lembab yang hitam legam dan berbau tajam.
Perempuan itu melihat laki-laki itu tengah berlutut. Kemudian laki-laki itu mengulurkan tangan
kepadanya. Laki-laki itu mulai mengamati wajah
perempuan itu sambil tetap berlutut. Bibir laki-laki
itu terbuka tetapi tak wajar, dan bulu dadanya jelas
terpampang. Perempuan itu menyadari, laki-laki itu tetap
bersikeras hendak memainkan permainan ini. Karena
itu otot-ototnya mengeras, dan tubuhnya sengaja
dikuncinya. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat, dan
ia pura-pura tidur. Cairan hitam itu terus menyembur semakin
besar dengan suara seperti air terjun. Cairan itu naik
sampai ke lutut laki-laki itu, yang sedang duduk
di situ. Laki-laki itu membuang ingus di bak cuci.
Ia membawa sebuah gayung dari dapur. Ia mulai
mengambil minyak dari tanah itu dengan gayung.
NAWAL EL-SAADAWI Ia membungkuk sampai tubuhnya teregang rendah
ke bawah. Ia mengisi gayung itu, dan mengangkat
lengannya, dan pada waktu bersamaan mengangkat
tubuhnya. Ia menuangkan isi gayung itu ke dalam
tempayan. Ia mengisi tempayan itu tanpa berhenti.
"Permukaan cairan ini terus naik semakin tinggi
dengan sangat cepat."
"Segala yang baik datang dari Tuhan."
"Aku tercekik."
"Jangan berdiri saja di situ seperti itu. Cepat berlutut."
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lelaki itu memaksa perempuan itu berlutut
seperti seekor unta. Lelaki itu memilin selembar
kain bekas, kemudian dijadikannya bantalan bulat,
dan diletakkannya di atas kepala perempuan itu. Ia
memperkuat dudukan bantalan itu dengan serentetan
pukulan dengan tinjunya seolah-olah ia sedang
memaku ke dinding. Ia membungkuk setengah
badan dan menancapkan kakinya kuat-kuat di tanah.
Kemudian ia mengangkat tempayan itu dengan
kedua tangannya dan meletakkannya di atas kepala
perempuan itu. Leher perempuan itu bengkok karena
menahan beban itu. Tempayan itu hampir saja jatuh.
Angin bertiup dan tempayan itu menjadi miring.
Perempuan itu membiarkan tempayan itu miring,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dan ia menggerakkan kakinya, selangkah demi selangkah. Ia bergerak seperti biasa di jalan setapak itu,
yang ada di depannya, seolah-olah ia sudah pernah
berjalan di situ sebelumnya. Ia sudah biasa berjalan
bersama dengan iring-iringan perempuan seperti ini,
dan ia salah satu dari perempuan-perempuan dalam
iring-iringan itu. Mereka bergerak dengan langkah
lambat tetapi tegap. Badai semakin menjadi-jadi dan
air terjun itu mengalir dengan deras. Tubuh mereka
berayun-ayun seperti jerami tertiup angin yang datang
mendadak. Semua berayun-ayun, kecuali tempayan
di atas kepala mereka, yang tetap menjulang dengan
tenang di tempatnya. Perempuan itu kembali dengan tubuh yang letih
seletih-letihnya. Ia bergelung di tanah, dengan dagu ia
letakkan di atas lututnya, tasnya ia letakkan di bawah
kepala sebagai bantal. Tenggorokannya kering dan
lidahnya retak-retak. Ia membuka mata dalam gelap.
Ia mencari-cari botol kaca itu. Botol itu tidak ada
di situ. Ia kembali tertidur. Kemudian ia terbangun
karena ada suara. Laki-laki itu telah menangkap seekor binatang, entah domba entah kambing. Binatang itu dibunuhnya dengan sebilah pisau. Darah
memancar seperti air mancur. Mata lelaki itu menatap perempuan itu seolah-olah ia belum pernah
NAWAL EL-SAADAWI melihatnya sebelumnya, dan suaranya bergemuruh,
"Hei, kau. Ke sini dan masak."
"Aku tidak makan daging."
"Kau tak harus memakannya. Kau hanya harus
memasaknya!" "Aku tidak mau memasaknya."
Laki-laki itu mengulurkan tangannya yang
panjang, yang memegang sebilah pisau. Perempuan
itu mengamati bilah pisau yang berkilat-kilat itu,
dan kemudian menekurkan lehernya. Ia menciutkan
tubuhnya di dalam, sambil melindungi lehernya
dengan telapak tangannya.
Perempuan itu menyeret tubuhnya ke dapur dengan
susah payah. Ia menyeka sekeliling lehernya bersihbersih hingga tak ada lagi bekas darah, menyalakan
gas dan menjerang panci. Uap mengepul ke langitlangit. Perempuan itu merasa lelaki itu berdiri di
belakangnya. Lelaki itu menghirup bau sedap daging
itu dan mengusap-usapkan tubuhnya pada tubuh
perempuan itu dari belakang. Ketika selera makan
lelaki itu terbit, terbit pula selera-seleranya yang lain.
Perempuan itu menyerahkan tubuhnya kepada lelaki
itu dan tidur. Dalam tidur ia merasa ada yang sakit.
Hati nuraninya menusuk-nusuknya: Bagaimana bisa
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
aku menyerahkan diri kepadanya dan diberi makan
malam sebagai gantinya"
Pada pagi hari angin bertiup tiba-tiba dengan
ganas. Dari dalam pusaran angin itu datang sebuah
suara kepadanya, seperti suara dayung. Ia mendengarkan dengan seksama, hatinya berdebar-debar. Ia
mendengar suara seorang perempuan seperti suara
bibinya. Suara itu lenyap ketika lelaki itu menggerakkan
kelopak matanya. Lelaki itu membuka kelopak
matanya, dan bola matanya yang hitam muncul dan
menatapnya. Ia merenggutkan sepotong kain lusuh,
barangkali sarwal perempuan itu. Ia memilin kain
lusuh itu dengan tangannya seolah-olah ia sedang
membunyikannya. Pilinan kain itu dijadikannya
bantalan, dan bantalan itu kemudian diletakkannya
di atas kepala perempuan itu. Perempuan itu disuruhnya membungkukkan badan sepinggang, kemudian
diangkatnya tempayan itu dengan sebelah tangan.
"Ini berat sekali! Bisa patah leherku."
Suara perempuan itu memantul kembali kepadanya
seolah-olah ia berbicara kepada dirinya sendiri. Ia
menjunjung tempayan itu di sepanjang jalan menuju
perusahaan, seolah-olah dalam mimpi. Barangkali
karena seolah-olah mimpi ini maka tubuhnya kuat.
NAWAL EL-SAADAWI Ia dapat menjunjung tempayan itu dan tidak merasa
lelah. Bahkan tubuhnya terasa ringan, seperti dalam
mimpi. Tetapi hatinya berat. Sapi yang punya harga
diri sekalipun akan menolak mengerjakan pekerjaan
seperti ini. Barangkali makhluk sejenis keledai yang
sudah punah yang mau mengerjakan pekerjaan ini.
Tempayan itu juga dari jenis yang sudah punah.
Tempayan itu memiliki dua telinga dan perut yang
gembung karena bunting seperti dewa berbuah dada
satu. Di kejauhan terdengar suara bergema. Sayup-sayup
terdengar teriakan-teriakan yang keluar serentak,
diikuti suara-suara bergumam, tawa teredam, dan
kemudian sunyi sepi. Bagi perempuan itu, rasanya seolah-olah ia sedang berjalan tetapi tidak maju-maju, selangkah
pun. Perempuan itu berdiri di tempat ia berdiri sebelumnya. Ia tidak lebih dari dua langkah dari ambang
pintu rumah itu. Pintu itu terbuka lebar, dan lelaki
itu sedang duduk di kursinya di balik surat kabar.
"Badai masih mengamuk."
"Kau bisa menunggu."
"Dalam keadaan seperti ini?"
"Bila minyak sudah mulai menyusupi seluruh
tanah, apa pun tak dapat menghalanginya. Kau harus
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
berurusan dengan minyak itu ketika matahari telah
terbit dan minyak itu telah kering."
"Tempayan ini membuat kepalaku panas sekali!"
"Tidak ada yang dapat dilakukan selain menunggu,
sama sekali tidak ada."
Ketika mengucapkan kata "tidak ada", laki-laki itu
menengadah melihat ke atas. Sepotong awan kelabu
berputar-putar ke atas di kaki langit.
"Minyak itu sedang minum uap air dari udara.
Bila awan dihalau oleh matahari, maka timbul
kekeringan." "Musim kering?"
"Ya, cairan lenyap, berubah menjadi benda keras,
dan kau bisa berjalan di atasnya dengan mudah,
kakimu tak akan terbenam di dalamnya. Bahkan truk
minyak pun bisa melintas di atasnya."
Ketika mengucapkan "truk minyak", mata lakilaki itu berkaca-kaca seolah-olah berlinangan air
mata. Barangkali laki-laki itu akan dikirim ke medan
perang. Tempatnya di tempat tidur akan kosong dan
perempuan itu tidak lagi harus memasak. Perempuan
itu menegangkan otot-otot di tenggorokannya di
bawah beban berat tempayan itu. Ia menghentakhentakkan kakinya ke tanah.
NAWAL EL-SAADAWI Laki-laki itu sedang memusatkan perhatiannya
pada jalan setapak itu. Barisan depan arak-arakan
akbar itu telah muncul. Serombongan pembawa
tambur memainkan lagu kebangsaan. Kemudian
rombongan sepeda motor dan kembang api, rombongan hamba sahaya istana di dalam mobil-mobil
hitam, diikuti oleh rombongan wartawan. Lalu
sebuah truk minyak raksasa, di atasnya menjulang
Baginda Raja yang melambai-lambaikan tangan
seolah-olah melambai-lambai kepada rakyat jelata.
Di sisinya berdiri direktur utama perusahaan, yang
melambai-lambaikan topinya mengucapkan salam.
Perempuan itu sedang berjalan di sepanjang jalan
kosong di depannya, ketika sebuah tongkat bambu
menghantam pinggulnya. "Bungkukkan badan, cepat!"
Perempuan itu tidak tahu cara memberi hormat.
Ia membungkukkan badan ke depan dari pinggang,
dan menunggingkan pinggulnya. Dia tampak seperti seekor unta yang akan berlutut. Lelaki itu
mengajarinya menyanyikan lagu kebangsaan. Suaranya menyenandungkan sebuah lagu dengan suara
halus dan agak menyenangkan. Setelah setiap satu
suku kata selesai ia senandungkan, ia menyeka peluh
dengan lengan jallaba-nya.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Apakah itu lagu kebangsaan?"
"Ya, di sini kami menganut aturan "Aku cinta
negeriku." "Apakah ini negerimu?"
"Ibuku dikuburkan di sini, di mana ibumu
dikubur, di situlah negerimu."
Lelaki itu mengucapkan kata "negeri" sambil
menunduk ke tanah. Kelopak matanya diturunkan
menutupi matanya seolah-olah ia hendak menyembunyikan air matanya. Ia tidak pernah menyebutnyebut ibunya kecuali bila ia dalam ancaman maut.
Dalam genggamannya ada secarik kertas dengan
stempel wajah Baginda Raja, dan sebuah surat panggilan penting.
Perempuan itu berbaring dengan mata terbuka,
memasang telinganya tajam-tajam untuk mendengarkan. Ia merasa lelaki itu naik ke atas tempat
tidur di sisinya. Lelaki itu memutar wajahnya
menghadap ke dinding. Perempuan itu menjulurkan
tangannya dan membelai-belai leher lelaki itu dari
belakang. "Jangan pergi, hanya nisan ibumu yang
tersisa di situ untukmu."
"Siapa saja yang tidak pergi dibunuh."
"Dan siapa saja yang pergi dibunuh."
"Tidak ada jalan untuk melarikan diri dari maut."
NAWAL EL-SAADAWI "Jika demikian mari mati ketika dan bila kita
inginkan." Perempuan itu mengucapkan kata-kata itu tanpa
suara, ketika sedang bangkit dari tempat tidur. Ia
menggantungkan tasnya ke bahunya dan mengambil
pahatnya. Ia berjalan cepat-cepat, sambil memicingkan
matanya menghadapi badai. Kakinya terbenam dalam
air hitam sampai ke lutut. Melangkah tampaknya
tidak mungkin. Ia berhenti, menembus gelap dengan
matanya dan memasang telinga untuk mendengarkan.
Mula-mula suara-suara itu terdengar sayup-sayup.
Seperti desir angin atau kibasan jallaba. Suara itu
datang dari lembah tempat rumah-rumah desa itu
berdiri, dan perlahan-lahan naik ke atas lembah itu.
Suara itu seperti bunyi gemerincing tamborin dan
tabuhan gendang. Perempuan itu melihat seorang
perempuan sedang berputar-putar dengan satu kaki.
Di sekelilingnya, sekelompok perempuan membentuk
lingkaran, rambut mereka lepas terjurai. Gigi mereka
berkeletak-keletuk dan mereka mengulur-ulurkan
tangan. Mereka menghentak-hentakkan kaki ke
tanah mengikuti irama, sambil berputar seperti bumi
berputar. Mereka bernyanyi dengan satu suara:
O, Peri Kesucian, Ringankan beban kami. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan yang di tengah tinggi semampai,
kepalanya terbalut ikat kepala hitam. Ia tampak
seperti bibi perempuan itu, ia menghentak-hentakkan
kaki ke tanah. Ia menengadahkan matanya ke langit
seolah-olah sedang memuja dewi-dewi. Tubuhnya
bergetar pada setiap putaran. Gerakannya bertambah
cepat dan semakin ringan. Pada puncak getaran
yang terakhir, tubuhnya demikian ringan sehingga
tampak seperti terurai berserakan. Waktu terhenti
dan suasana sunyi senyap. Kemudian gerakan mulai
kembali. Gerakan itu meluap ke samudera, dan tubuh
perempuan-perempuan itu berguncangan.
O, Peri Kesucian, Selamatkan kami dari air bah ini.
Suara itu seolah-olah suara lagu lama yang biasa
dinyanyikan murid-murid perempuan di sekolah.
Bibir perempuan itu merekah dan ia mulai berbisik
menyenandungkan lagu itu. Tetapi syair lagu itu beku
kaku di bibirnya ketika pelita menembus gelap. Ia
memejamkan mata dan tak mendengar suatu apa pun
selain gongong anjing. Roda-roda besi menghunjam
ke tanah. Perempuan-perempuan itu bersembunyi,
mereka menyembunyikan rambut mereka di balik
ikat kepala hitam. Hanya perempuan tinggi semampai
NAWAL EL-SAADAWI
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang di tengah itu satu-satunya yang tinggal. Para
lelaki itu mengepungnya dan kemudian menyeretnya
ke mobil barang. Satu teriakan, kemudian kesunyian
menyelimuti tempat itu. Perempuan itu tak tahu bagaimana caranya kembali pulang ke rumahnya. Kelopak matanya, atas
bawah, melekat satu sama lain. Ia menekan-nekan
sudut matanya dengan ujung jarinya. Ia melihat
bintik-bintik hitam seperti kabut. Di sekelilingnya
air terjun terus bergejolak. Bau tajam dalam lubang
hidungnya membawanya kembali ke alam nyata.
Segalanya seperti dalam mimpi. Hanya ada satu gerak
yang pasti, gerak minyak. Gerak yang ganjil, yang
berlawanan tampaknya dengan gerak yang lain, yang
mana pun. Lelaki itu telah kembali dari medan perang. Tangannya tinggal satu. Pagi-pagi ia sudah keluar untuk
mengisi tempayan. Ketika ia mengangkat tangannya,
tangannya tampak kerut-kerut kurus kering, seolaholah telah kehilangan separuh beratnya. Tangan itu
melambai-lambai tertiup angin, naik turun tiada
henti. Seperti seseorang yang sedang menimba air
dari laut. "Keangkuhan! Keangkuhan!" Bisik perempuan
itu dalam hati. Lehernya bengkok dihimpit beban
itu. Gerak tangan lelaki itu saat menimba minyak,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
menyerupai gerak leher perempuan itu saat menjunjung tempayan. Perempuan itu berhenti di tempatnya seperti seekor kuda jantan yang lepas kendali.
Kakinya dicengkeramkan ke tanah. Tetapi, berhenti
berjalan tampaknya tak mungkin. Minyak itu tidak
henti-hentinya memancar, dan bentuknya cair. Benda-benda ringan terapung-apung di atasnya. Ia dapat
berenang di situ jika tubuhnya ringan. Namun, ia
tak pernah belajar mengapung di air. Sebelum masuk
ke laut, ia harus menanggalkan pakaian, dan para
perempuan tidak boleh membuka pakaian.
Perempuan itu memejamkan matanya, tak tahu
sudah pukul berapa. Ia melihat arlojinya sambil
menutup rapat-rapat kelopak matanya. Kemudian
ia ingat, ia tak akan tahu pukul berapa jika ia tidak
membuka matanya. Ia menekan kedua kelopak
matanya bersama-sama kemudian membuka matanya
setengah. Pukul lima lewat sepuluh. Di kaki langit
ada berkas-berkas cahaya; ia tak tahu apakah berkasberkas cahaya itu tanda sudah fajar atau sudah
menjelang senja. Perempuan itu mulai bangkit dari tempat tidurnya. Sebelum bergerak, ia ingin memastikan lelaki itu
masih tidur nyenyak. Mula-mula ia meletakkan satu
kaki di depan kakinya yang satu lagi sambil menjaga
jangan sampai timbul suara. Lelaki itu berbalik
NAWAL EL-SAADAWI ke sisi badannya yang satu lagi dan kembali tidur.
Perempuan itu memandangi lelaki itu lama sekali, yang
meringkuk seperti bola seperti anak yatim. Menyerah,
tidur seolah-olah sudah putus asa. Ia membungkuk
rendah-rendah di atas lelaki itu seolah-olah, hendak
mengecup cium perpisahan ke dahinya. Apa yang
akan dikatakan lelaki itu tentang perempuan itu ketika
ia terbangun dan tak menemukan perempuan itu di
situ" Hati nurani perempuan itu masih hidup, atau
demikian menurut perasaannya. Lagi pula, kecupan
selamat tinggal tak akan menimbulkan kesulitan apa
pun bagi perempuan itu. Perempuan itu membuka pintu dan melangkah
keluar. Ia melangkah ke depan beberapa langkah,
tanah terasa lebih lembut. Kakinya terbenam sampai
ke lutut. Ia berhasil mengangkat kaki kanannya,
kemudian kaki kirinya. Kemudian ia melangkah
mundur, terengah-engah. Lelaki itu sedang duduk dengan kepala terkulai
seolah-olah bermuram durja. Mata perempuan itu
penuh dengan rasa rindu kepada lelaki itu seolaholah tergenang air mata. "Aku mencoba melarikan
diri, tetapi aku tak bisa bergerak."
Lelaki itu diam saja dan tak bergerak.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Aku tak bisa tinggal di sini!" Perempuan itu
berdiri kaku dan suaranya tersekat. Sikap membisu
lelaki itu dan kepalanya yang terkulai menimbulkan
kesan yang menakutkan. Apakah nasibnya akan
terikat pada nasib laki-laki itu untuk selama-lamanya"
Matahari sudah tinggi di langit. Sinarnya memancar, merah warnanya. Beberapa sudut danau itu
disambar api. Asap mengepul, menyembunyikan
langit dan bola matahari. Lelaki itu mengangkat
kepalanya, kemudian menggosok-gosok matanya.
"Asap itu karunia Tuhan, karena dapat menurunkan
suhu." Suara laki-laki itu tidak lagi menimbulkan gelombang amarah dalam tubuh perempuan itu. Sekarang,
pada wajah perempuan itu terlukis rasa putus asa.
Ia sedang berdiri bertelanjang kaki, dengan kepala
terkulai ke dadanya. Tulang-tulang tubuhnya meleleh
menyerah kalah dan tali tasnya tersampir di bahunya.
"Ya, memang, tak ada gunanya melawan."
Suara perempuan itu terdengar letih dan nyaris
tidak terdengar. Lelaki itu juga tidak dapat mendengar
suara itu. Kepala tertunduk lelaki itu tampaknya ada,
walau sedikit, rasa kemanusiaan di dalamnya. Ada
perasaan-perasaan yang mengikatnya kepada lelaki
itu. Tetapi yang pasti bukan cinta.
NAWAL EL-SAADAWI Kaki lelaki itu tiba-tiba tergelincir dan ia jatuh
terjerembab. Perempuan itu menolongnya berdiri,
dan menyeka debu dari tubuhnya. Tetapi lelaki itu
mendorong perempuan itu menjauhinya, dan otototot wajahnya tegang.
"Seandainya kau tidak berdiri seperti ini, pasti aku
tak akan terjatuh." "Kakimu tergelincir."
"Bukan kakiku!"
"Jika bukan kakimu, apa kalau begitu?"
"Kau! Kau berdiri menghalangi aku seperti ini."
Padahal perempuan itu berdiri jauh dari lelaki
itu. Apa pun yang terjadi, tidak mungkin ia yang
menyebabkan lelaki itu terjerembab. Namun, lelaki
itu tidak paham sebab yang lain. Lelaki itu percaya
pada dalil yang berikut ini: "Jika ada kemalangan
menimpa, itu pasti karena perempuan. Jika ada
keberuntungan datang menjelang, itu pasti karena
dirinya sendiri." Perempuan itu tidak mengucapkan sepatah kata
pun. Ia memegang kepalanya dengan kedua belah
tangannya. Ia harus berpura-pura, kaki lelaki itu tidak
tergelincir. Ialah penyebab lelaki itu terjerembab. Ia
harus minta maaf karena melangkah keluar, dan harus
memohon kepada lelaki itu untuk memaafkannya.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu bersimpuh di kaki lelaki itu. Matanya menatap lelaki itu, sementara lelaki itu berdiri
di situ. Ia tidak bergerak sama sekali. Ia berpura-pura
mati sejenak. Kemudian ia terbangun. Air terjun itu
terus menyembur, menenggelamkan segala-galanya.
Tetapi penduduk desa itu terus melakukan kegiatan
mereka, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Suara penjaja koran berkumandang. Lelaki itu sedang berdiri,
tidak bersuara sedikitpun. Keadaan yang sunyi
menegaskan bahwa segala-galanya lebih jelas tanpa
kata-kata. Tempayan itu ada di depan perempuan itu,
di belakangnya danau, dan hanya itu yang penting.
Tubuh perempuan itu terkapar kepayahan di tanah. Ia mengikatkan selendang ke sekeliling kepalanya dan ia menangis tersedu-sedu. Air matanya
tumpah, memanggang sudut-sudut matanya yang
bengkak. Air mata itu diserap oleh debu yang melekat
pada bulu matanya. Air mata itu mengalir di pipinya
seperti benang hitam. Perempuan itu menggerakkan kepalanya ke arah
lelaki itu. Lelaki itu sedang berdiri di tempatnya.
Ia menanggalkan bajunya dan dadanya tersingkap.
Dengan jari-jarinya ia mulai bermain-main dengan
pintalan-pintalan bulu dada itu yang lekat satu sama
lain. Ada sesuatu yang tidak manusiawi pada tubuh
telanjang itu. Perempuan itu tidak dapat meletakkan
NAWAL EL-SAADAWI kepalanya di atas dada itu. Sebuah segi empat lebar
yang terkunci seperti sebuah peti. Terpikir oleh
perempuan itu untuk mengungkit peti itu dengan
pahatnya. Tetapi tangannya tidak bergerak dari
sisinya. Pikiran itu sebuah khayal yang datang dan
pergi timbul tenggelam dalam benaknya.
Perempuan itu menjulurkan tangannya hendak
mengambil pahatnya. Saat itu rasa perih yang tajam
melintas di sisi tubuhnya. Seolah-olah sepotong
minyak beku menyelinap ke dalam paru-parunya
bersama udara. Perempuan itu menjerit dan cepat-cepat berpegangan pada kaki lelaki itu. Perempuan itu tetap
berdiri, agak ragu-ragu, tubuhnya lemas terkulai. Ia
tak berharap lelaki itu akan dapat menghilangkan
rasa nyeri itu. Tetapi lelaki itu ada di situ. Ada sesuatu
dalam kehadiran lelaki itu, atau dalam gerakan
perempuan itu, yang membuatnya memagut kaki
lelaki itu. Atau dalam gerak tubuh lelaki itu selain
gerak lambannya, atau dalam pandang terkejut dalam
mata lelaki itu. Ada sesuatu di situ yang menyejukkan
rasa perih perempuan itu.
Perempuan itu dapat menggerakkan kakinya beberapa langkah ke arah lelaki itu. Tangannya diletakkan
di buah dadanya, menahan rasa perih. Ia mendekati
lelaki itu sampai hanya selangkah jarak yang tinggal
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
di antara mereka. Tak pernah ia dalam hidupnya
menyaksikan paras seorang lelaki yang tampak demikian putus asa.
Perempuan itu mengangkat matanya ke arah langit. Matahari sedang terbenam, sinarnya semakin
redup. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya tengah membungkuk seolah-olah ia akan naik ke tempat tidur.
Lehernya menjulur ke depan membentuk sudut yang
tajam. Gerakan itu mengejutkannya dan ia kembali
meluruskan badannya. Ia berpegangan pada tali
tas di bahunya dan menariknya keras-keras. Tas itu
tergelincir dari bahunya dan jatuh ke tanah. Pahatnya
terlontar keluar dari tas itu tiba-tiba.
Angin segar berhembus. Perempuan itu membuka
kancing-kancing mantelnya dan terasa segar di kulitnya yang tak bertutup. Angin itu menyegarkan,
yang menghidupkan kembali ingatannya pada masa
bahagia ketika masih kanak-kanak. Tidak seluruh
masa kecilnya penuh dengan kesedihan. Ada juga
saat-saat bahagia. Saat ia duduk-duduk di jembatan
ketika matahari sedang terbenam. Ia melihat lelaki itu
memperhatikannya. Lelaki itu menatap dada telanjang
perempuan itu. Perempuan itu tak ingin menggoda
lelaki itu. Ia hanya menginginkan hembusan angin
sejuk itu. Angin itu menyegarkan kulitnya yang
memar dan mengeringkan peluhnya.
NAWAL EL-SAADAWI Tubuh telanjang perempuan itu wajar di bawah
tekanan hawa panas itu. Tetapi lelaki itu tetap saja
menatap ke dadanya, seolah-olah perempuan itu
membukanya untuk maksud tertentu. Perempuan
itu sudah akan menjulurkan tangannya hendak
mengacingkan mantelnya kembali, tetapi tak jadi. Ia
memejamkan matanya tak berdaya. Ya, ia sebenarnya
dapat lari. Bukankah ia sudah pernah lari sekali
sebelumnya" Bukankah ia sudah pernah membuat
lubang di dinding dan merangkak keluar agar bisa
cuti" Perempuan itu memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Di dalam tidak ada empat dinding yang
mengurungnya. Hanya bentangan cairan yang luas
semata-mata yang ada. Sebuah telaga atau danau
beralun ombak-ombak hitam. Ia dapat mencari
perahu atau membuat sendiri perahu dari batang
pohon palem. Ketika masih kecil ia sering membuat
perahu mainan dari daun pohon kurma. Ia juga
sering membuat kapal terbang dengan sayap dari
daun-daunan. Perempuan itu mulai mencoba bangkit berdiri.
Digerakkannya kakinya ke arah yang lain, menjauhi
lelaki itu. Perempuan itu bergerak menjauh beberapa
langkah. Ketika ia melihat lelaki itu dari kejauhan,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
lelaki itu tampak lebih manusiawi. Lelaki itu memandangnya dengan pandangan lebih lembut. Mata
perempuan itu terpaku pada lelaki itu. Lelaki itu
dapat memanggilnya jika ia mau. Tetapi laki-laki itu
diam saja, dan dalam sikap diamnya itu ada sesuatu
yang mencurigakan. Perempuan itu beranjak tidak lebih dari beberapa
langkah dan kemudian kembali. Lelaki itu sudah
masuk ke dalam rumah. Perempuan itu melihatnya
berbaring telentang dan membiarkan air menetes
ke dalam mulutnya dari sebuah botol. Dengan
tepi bibir bawahnya lelaki itu menyeka setetes air
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang jatuh ke bibir atasnya. Lelaki itu melihat ke
sekelilingnya seolah-olah tak berharap perempuan itu
menghampirinya. "Kau hanya memikirkan diri sendiri saja, bukan?"
"Ya, tetapi aku lebih baik dibandingkan dengan
banyak laki-laki yang lain."
"Itu sudah pasti."
"Besok akan aku beri kau bagianmu, bila hibah
uang itu telah dibayarkan."
"Besok aku tak akan ada di sini."
"Apa maksudmu?"
"Aku mohon. Bantulah aku kembali ke rumahku.
Suamiku sedang menungguku. Ia mungkin mulai
NAWAL EL-SAADAWI merasa curiga, dan atasan di tempatku bekerja juga
pasti mulai curiga seperti suamiku. Aku minta cuti,
dan itu menimbulkan rasa curiga. Tetapi aku tak
tertarik pada apa pun selain mencari dewi-dewi. Kau
sudah pernah mendengar Dewi Sekhmet, barangkali."
"Sakhmutt?" Lelaki itu merapatkan bibirnya ketika mengucapkan kata itu. Bibir bawahnya terlipat keluar dan
ia mengubah cara mengucapkan "t" kata itu.
"Apakah kau tak tahu apa-apa mengenai arkeologi?"
"Pada hari ulang tahun Baginda Raja, kami
diperintahkan untuk berfoya-foya."
"Berfoya-foya dengan apa?"
"Dengan botol-botol."
"Aku tak ingin sesuatu apa pun lagi."
"Apa masalahmu kalau begitu?"
"Aku tak mengerti mengapa kau tidak membebaskan aku."
"Membebaskanmu?"
"Ya. Aku manusia seperti kau, aku punya hak."
"Apa?" "Hak-hak perempuan! Apakah kau tak tahu hakhak perempuan?"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Kami belum pernah mendengar hal seperti itu.
Kami memiliki hak-hak laki-laki, hanya itu."
Perempuan itu menunduk dan menarik napas
panjang diam-diam. Wajahnya tertunduk dan bahunya
lunglai tiba-tiba. Tidak dicobanya menjawab. Katakatanya tampaknya tak punya arti. Lelaki itu juga
diam seribu bahasa. Ia menundukkan kepala seolaholah sedang mengamati kakinya. Atau barangkali
telah tertidur. Kemudian lelaki itu menegakkan
kepala, matanya menatap perempuan itu. "Mengapa
kau tak ingin tinggal di sini?"
"Pekerjaanku di sini."
"Mengapa kau ingin aku tinggal di sini?"
"Apakah pekerjaan kasar ini yang kau namakan
pekerjaan?" "Ada barisan panjang orang yang tak sabar
menunggu tempatku lowong."
Lelaki itu mengangkat lengannya dan menunjuk
ke sebuah garis hitam di cakrawala. Mata perempuan
itu mengikuti gerakan jari lelaki itu. Garis itu seperti
piringan yang miring, yang sedang menghilang ke
balik awan hitam yang buyar sepenggal ditembus
sinar matahari. Garis itu tampaknya bergerak, seperti bintik-bintik hitam, ribuan bintik, tampak
seperti kepala demi kepala yang melekat satu sama
NAWAL EL-SAADAWI lain, menunduk, bergerak ke depan perlahan-lahan
seolah-olah sedang berbaris. Bintik-bintik itu maju
selangkah demi selangkah, terbungkuk-bungkuk.
Laki-laki dengan kumis berpilin, perempuan tidak
berwajah dengan kepala terbalut ikat kepala. Badai
semakin besar dan awan-awan baru mulai bertebaran.
Bintik-bintik itu lenyap seluruhnya dari penglihatan.
Tidak ada bekasnya selain garis hitam yang muncul
bak sebuah busur di kaki langit.
Perempuan itu menggerakkan matanya ke arah
lelaki itu. Lelaki itu mengambil sebuah kapak dan
mulai mengetuk-ngetuk tanah. Lelaki itu sedang
mengisi tempayan-tempayan satu demi satu. Ia membelakangi perempuan itu. Perempuan itu berjingkat
menjauhkan diri dari situ. Ia dapat menjauhkan diri
sedikit demi sedikit dan lari. Barangkali ia dapat
berhasil lari sebelum lelaki itu berpaling kepadanya.
Perempuan itu melihat sepotong roti di rak kayu,
dan tiba-tiba merasa lapar. Ia melepaskan tasnya dari
bahunya dan mengulurkan tangan. Ia menggigit roti
itu sedikit, kemudian segigit lagi, dan kemudian
segigit lagi. Lelaki itu melihatnya makan. "Bagaimana
bisa kau makan makananku tetapi menolak patuh
padaku?" "Apakah ini makananmu?"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Tentu saja." "Aku tidak makan dari peluh yang keluar dari alis
matamu. Aku juga berpeluh, seperti kau."
"Seperti aku?" "Ya. Misalnya, bukankah aku yang membawa tempayan ke perusahaan setiap hari?"
"Perusahaan!?" Kata itu terdengar aneh di telinga perempuan itu.
Kata yang penuh rahasia. Perusahaan. Apa itu" Siapasiapa pemilik perusahaan ini" Kepada siapa mereka
menjual tempayan-tempayan itu" Berapa mereka
bayar setiap hari untuk tempayan-tempayan itu"
Apakah lelaki itu mendapat upah" Sejak perempuan
itu datang, perempuan itu tidak mendapat apa-apa. Ia
tidak pernah memegang uang.
Dunia menjadi kabur di depan mata perempuan
itu. Ia menggerakkan kepalanya ke arah lelaki itu.
Lelaki itu memukul-mukul tanah dengan kapaknya,
pukulan demi pukulan. Gerakannya berat dan
lambat. Kemudian ia melemparkan kapak itu ke
samping. Ia menguap. Menyeka peluhnya dengan
lengan jallaba-nya. Ia mengisi keranjang itu sepenuhpenuhnya. Mengangkatnya perlahan-lahan dengan
gerakan lamban, kemudian menuangkan isinya ke
NAWAL EL-SAADAWI dalam tempayan. Tempayan itu retak dengan suara
keras. "Tidak baik perempuan bekerja demi uang."
"Kalau begitu, mengapa perempuan harus bekerja?"
"Untuk tujuan yang lebih besar."
Kata-kata itu tampak masuk akal. Ada tujuan lain
dalam kehidupan perempuan itu. Demi tujuan yang
lebih besar itu, ia dapat menyerahkan diri pada tujuan
yang lebih kecil. Pikiran ini melegakan hatinya.
Perempuan itu mengangkat tempayan dengan
satu tangan, dan meletakkannya di atas kepalanya.
Otot-otot lehernya meliuk karena beban itu. Tetapi
tempayan itu kembali berdiri tegak. Minyak beku
itu sangat lengket. Minyak itu bergerak dalam perut
tempayan, dan dari mulut tempayan muncul sesuatu
seperti uap. Perempuan itu bergerak menuju perusahaan. Permukaan danau memantulkan bayang-bayangnya.
Dengan tempayan di atas kepala ia tampak seperti
Dewi Hathur yang sedang membawa bola matahari
di antara kedua tanduknya.
Ia meregangkan otot-otot lehernya seolah-olah
bangga. Hawa panas muncul dari dasar tempayan
seperti panas matahari. Ia bergerak dengan langkah
tegas dan tegap, tidak peduli apa pun juga.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Dari kejauhan barisan itu tampak seperti sebuah
bintik hitam di atas hamparan luas yang bahkan
lebih hitam pekat. Sebidang tanah yang naik ke
langit seperti sebuah cerobong. Bidang tanah itu
mengeluarkan api dan butiran-butiran hitam yang
tampak merah dalam sinar matahari.
Barangkali perempuan itu lahir di sini dan ia
tak memiliki kehidupan yang lain. Ia menggerakkan
lehernya dengan gerakan tiba-tiba, dan tempayan itu
hampir saja jatuh. Ia mengangkat tangannya dan
menangkap tempayan itu dengan sigap.
Perusahaan itu tampak semakin jauh ketika ia
bergerak mendekatinya. Matahari menghilang dan
malam menyelimuti negeri itu. Malam tiba-tiba
merebahkan diri ke tanah seolah-olah hendak tidur.
Sejak masa kanak-kanak perempuan itu tak tahan
menjunjung apa pun di atas kepalanya. Ia mengangkat
tempayan itu dari kepalanya dan menggesernya ke
atas punggungnya. Barangkali ini cara membawa yang
lebih baik. Jika hawa panas mengalir di punggung,
hanya tulang yang ada di situ. Hawa panas di kepala
membuat otak meleleh. "Apakah ini sebabnya keledai membawa beban di
punggungnya, tidak di kepalanya?"
NAWAL EL-SAADAWI Pikiran ini mengherankan perempuan itu.
Pikirannya menjadi lebih hidup. Baginya, keledai
tampaknya lebih cerdik daripada kaum perempuan.
Ia juga mengerti sekarang mengapa laki-laki menolak
membawa beban di kepala mereka. Ia menggeser
tempayan itu ke bagian bawah punggungnya dan
beban itu rasanya lebih ringan. Hembusan angin
yang sejuk perlahan-lahan masuk ke dalam paruparunya. Kepalanya bebas dari beban itu dan sebuah
pikiran baru muncul dalam benaknya. Rasa herannya
bertambah semakin ia merenungkan pikiran itu.
Tubuhnya mulai bergetar. Gelombang perlawanan
menjalar ke seluruh tubuhnya seperti gigilan demam.
Perempuan itu menyeka peluh dari alis matanya
dengan lengan bajunya. Ia merenungi kehidupannya.
Apa yang menyebabkan ia tidak berdaya" Pada masa
kanak-kanak, apa yang ingin dilakukannya" Tubuhnya
lemas karena letih. Ia ingin menjadi nabi perempuan
seperti Peri Kesucian, yang pandai mengembalikan
gerak pada kaki yang lumpuh dan penglihatan pada
mata yang buta. "Nabi perempuan!" Kami belum pernah mendengar itu sebelum ini!"
"Perempuan itu mewarisi sakit gila ini dari bibinya."
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Iblis telah merasukinya dan ia menjadi keras
kepala." Perempuan itu memejamkan matanya dan tertidur.
Rasa putus asa dilawannya dengan tertidur. Pikirannya
mulai segar kembali. Harapan menjalar di seluruh
tubuhnya seperti cacing menyusup dalam tanah.
Ia melihat arloji di pergelangan tangannya. Waktu
berjalan juga, dan ia sedang berbaring. Ia meloncat
dan berdiri tegak. Ia menjulurkan tangannya dan
menjangkau pahatnya. Tanah berubah ketika minyak
berubah. Minyak berubah bersama gerakan matahari
dan angin. Napas perempuan itu naik turun menurut
besar kecil asa dalam dadanya, dan menurut tekanan
urat nadi dari jantung ke tangannya, dari tangan ke
pahatnya, dari pahat ke tanah, dan dari tanah ke
minyak, angin, dan matahari.
Segala-galanya mulai berputar-putar dalam keselarasan yang indah seolah-olah itu hukum alam. Jika
minyak berubah, segala-galanya di sekitar perempuan
itu juga berubah. Barangkali kekuatan minyak sulit
dipercaya atau kekuatannya sejenis kekuatan yang
tidak lazim. Minyak beku tidak seperti minyak cair,
dan ampas minyak di bagian bawah tempayan lain
kadar padatnya, dan sangat lain kadar kentalnya.
Dalam perut bumi, segala-galanya berubah, bahkan
kelembaban. Dalam kepala perempuan itu pikiran
NAWAL EL-SAADAWI demi pikiran berdatangan silih berganti, dan pahat
itu menghantam tanah pukulan demi pukulan, tanpa
tujuan. Tidak ada yang meninggalkan jejak, dan
segala-galanya berakhir dengan kehampaan.
Ketika perempuan itu tiba kembali, ia melihat
lelaki itu sedang berbaring, dengan mata nyalang dan
sebatang rokok menyala. Ia menggerakkan kepalanya
sedikit, ke arah perempuan itu dan bertanya, "Apakah
kau mengatakan sesuatu" Bukankah kau mengatakan
sesuatu?" Lelaki itu memandangi api rokok di
tangannya. Barangkali api berarti keselamatan.
"Apa katamu?" "Tidak ada." Perempuan itu mengucapkan kata "tidak ada"
dengan nada menyerah. Tempat itu disaput gelap.
Jika satu butir disambar api, api akan menyambar
segala-galanya. Bayangan mati karena terbakar tidak
menarik hati perempuan itu. Ia mengangkat kakinya
dan melangkah ke arah pintu. Ia memegang tombol
pintu dengan kedua tangannya. Pintu itu tak mau
terbuka. Pintu itu telah disusupi lembab dan bagian
bawahnya melekat ke tanah.
Lelaki itu mematikan rokoknya dengan tumit
sepatunya. Kemudian ia mengambil surat kabar dan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
bersembunyi di baliknya. Perempuan itu melihat
gambar Baginda Raja dan berita utamanya:
Dalam rangka rangkaian perayaan hari ulang tahu
beliau, Baginda Raja memerintahkan agar Tugu
Kemenangan dicuci.
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan itu memejamkan matanya, kemudian
membukanya kembali. Ia melihat sesuatu yang bergerak
seperti ular. Binatang itu mengangkat ekornya ketika
melihatnya, seolah-olah memberi salam kepadanya.
Ia menganggukkan kepala membalas sapaan itu. Binatang itu menghembuskan udara dengan suara
yang dapat didengar. Perempuan itu menyadari binatang itu sedang mengatakan sesuatu kepadanya
dalam bahasa yang lain. Ia menganggukkan kepala
menandakan ia mengerti. Ular itu mengubah gerakannya dengan mendadak
karena tangan perempuan itu. Direnggutkannya surat
kabar dari tangan lelaki itu.
"Apa yang sedang terjadi tidak tertanggungkan
oleh siapa pun, tetapi kau berselonjor di kursimu dan
merokok dan membaca surat kabar, seolah-olah tak
ada yang salah dengan dunia ini."
"Apa yang salah?"
NAWAL EL-SAADAWI "Ini yang salah. Apa kau tak tahu?"
Mata lelaki itu mengikuti jari perempuan itu yang
menunjuk dengan gerakan melingkar.
Patung Kemenangan itu terbuat dari alabaster
yang dibalut dengan lapisan hitam butir-butir minyak. Sebelum dicuci, wajah patung itu tampak hitam
karena tertutup kotoran minyak.
Perempuan itu pasti hadir dalam perayaan itu.
Perintah telah diketik dan dimasukkan ke dalam
sampul surat berlambang burung elang. Kaum perempuan harus mencuci patung itu, sedangkan kaum
laki-laki harus berdiri berjajar menurut pangkat, dan
memberi hormat. Perempuan itu tak tahu berapa lama ia mencuci
patung itu. Patung itu menyerah saja tampaknya
pada apa yang dilakukan kepadanya. Perempuan itu
bernapas seirama dengan gerakan tangannya, dan
dengan irama detak jantungnya di bawah tulang
rusuknya, dan dengan detak arloji pada pergelangan
tangannya. Kerja mencuci tampak tak ada akhir,
dilakukan sesuka hati saja barangkali, sebuah upaya
untuk melepaskan diri dari beban-beban kerja yang
lain. Setelah dicuci, wajah patung itu menjadi putih
warnanya, seperti wajah Baginda Raja, gemuk berisi,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dada busung dan lebar, dengan dua buah dada besar
menonjol seperti wajah Dewi Ekhnaton.
Perempuan itu terus menatap patung itu, lama
sekali. Angin bertiup dari selatan dan menaburi
matanya dengan butir-butir minyak. Rasa perih
bertambah, sampai terbakar rasanya matanya dan ia
menutup kelopak matanya. Ia mendengar suara itu
datang dari belakang dan tangan lelaki itu hampir
menyentuhnya. Perempuan itu membuka matanya separuh. Lelaki
itu bukan laki-laki itu. Ia melihat seorang perempuan
berdiri, menjunjung di kepalanya bola Bumi atau
bola matahari. Perempuan ini bertanduk, dua tanduk
panjang yang berkeluk ujungnya. Sinar remang-remang, atau barangkali bengkak mata perempuan itu,
membuat lemah penglihatannya. Perempuan itu tak
dapat melihat wajah perempuan bertanduk itu. Ia tak
tahu pasti apa yang dijunjung perempuan bertanduk
itu. Pikiran perempuan itu tak mampu lagi memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Segalanya bercampur baur dalam benaknya bersama panas yang
sangat tinggi. Butir-butir peluh bertetesan dari
hidungnya. Ia tak kuat mengangkat tangannya untuk
menyeka peluhnya. Dibiarkannya peluhnya menetes
sejadi-jadinya bersama air matanya. Barangkali bola
NAWAL EL-SAADAWI matahari itu musuhnya. Pikirannya mulai bekerja
kembali setelah ia berbaring di tanah, tetapi suara
perempuan bertanduk itu menetak pikirannya, "Ayo
bangun, Saudariku, dan mandi. Selamat ulang tahun."
Perempuan itu membalikkan badannya di tempatnya terbaring dan melihat perempuan bertanduk itu
memperhatikannya. Jallaba perempuan bertanduk itu
panjang dan hitam. Ciri-ciri perempuan bertanduk itu
menyerupai ciri-ciri bibinya. Lehernya berpilin karena
beban. Di sisinya ada bak cuci. Perempuan bertanduk
itu memungut sepotong batu dan menggosok kulit
kakinya yang pecah-pecah dan menghilangkan
lapisan-lapisan hitam di situ. Ia menggosok kakinya
keras-keras seolah-olah kaki perempuan itu kaki
Patung Kemenangan. Gosokan itu membawa kantuk
yang nikmat menyegarkan dalam kepala perempuan
itu. Ia tak tahu hubungan antara kaki dengan kepala.
Jika bukan karena terik matahari, dan rasa agak
malu, ia sebenarnya dapat lebih menikmati kerja
mencuci patung itu. Ia tidak punya hubungan keluarga
dengan perempuan bertanduk itu; perempuan
bertanduk itu bukan bibinya. Ia menanggalkan
pakaiannya. Telanjang sangat menakutkan. Ia belum
pernah sebelumnya punya alasan untuk bertelanjang
bulat di depan perempuan atau laki-laki, dan terutama
di depan suaminya. Dalam penglihatan suaminya,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
ia suci seperti Perawan Maria. Sedangkan atasannya
biasa memanggilnya Peri Kesucian. Sampai, suatu
saat, atasannya tiba-tiba menggeledahnya.
"Di mana pamflet itu?"
"Apa?" "Pamflet yang kau sembunyikan."
"Aku tidak menyembunyikan sesuatu apa pun."
"Aku melihatnya dalam genggamanmu, dalam
tulisan tanganmu, menentang Baginda Raja."
"Aku tidak pernah menulis apa pun."
"Angkat lenganmu!"
Perempuan itu mengangkat lengannya tinggitinggi. Ia merasa jari-jari lelaki itu mencari-cari di
antara buah dadanya. Jari-jari itu terus menurun ke
bagian-bagian yang terlarang.
"Ini melanggar kesucian tubuh."
Perempuan itu sedang berteriak-teriak ketika ia
siuman. Di mana hak-hak perempuan" Ia sedang
terbaring di tempat tidur. Di sekelilingnya ada
perempuan-perempuan penjunjung tempayan. Di
depan mata mereka ada awan. Selapis minyak hitam
menutupi bola mata mereka, dan ada perintah dari
Baginda Raja: "Setiap perempuan yang tertangkap
NAWAL EL-SAADAWI dengan kertas dan pena dalam genggamannya akan
dihukum." Setiap kali ia menatap mata perempuan-perempuan itu, bertambah rasa nyerinya. Perempuanperempuan itu menghilang satu demi satu. Salah satu
dari mereka menghilang terlebih dahulu, kemudian
diikuti oleh yang lain. Ia mendengar suara mereka
melalui dinding. Mereka terengah-engah dengan
suara terputus-putus. Ruas-ruas leher mereka sakit
karena beban tempayan. Derap langkah mereka di
tanah teredam. Angin membawa derap langkah itu
ke bawah jembatan tempat rumah-rumah desa itu
berdiri. Salak anjing datang dari kejauhan. Pertanyaan
itu berputar-putar dalam pikirannya, "Apakah
sebaiknya ia melarikan diri saja, atau sebaiknya ia
mengungkapkan rencananya kepada perempuanperempuan itu?"
*** Rencana itu belum diungkapkan. Dan atasannya
tempat ia bekerja telah mempersiapkan sebuah
laporan rahasia. Laporan-laporan tentang perempuan
itu ditulis secara rahasia. Seorang perempuan lain
telah menempati kursi perempuan itu di departemen
itu. Kau akan melihatnya duduk di kantor perempuan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
itu sambil melemparkan pandangannya ke sekeliling
ruang itu, penuh rasa ingin tahu. Ia tidak berhenti
mengamati sekelilingnya, mencari sampai ia tahu
rahasia itu. Perempuan lain itu membuka semua
laci meja perempuan itu dan memeriksa semua surat
perempuan itu. Ia membaca sepucuk surat cinta yang
sudah lusuh. Beberapa syair dibacanya berulangulang. Di antara setiap bait napasnya naik berdesah
panjang. Dalam berkas rahasia itu, perempuan
lain itu menemukan tanggal lahir dan gambar bibi
perempuan itu dengan ikat kepala di kepalanya.
Matanya menatap rumah itu. Sebuah kamar tanpa
jamban di lorong. Rasa ingin tahu mendorongnya
untuk mengintip melalui celah di pintu. Dilihatnya
kamar itu gelap, tidak ada perabot di dalamnya.
Perempuan itu melirik ke suaminya yang sedang
membaca surat kabar. Suaminya menggerakkan
kepala sedikit dan hidungnya dapat dilihat dari
samping. Besar seperti paruh burung, hidung itu
seperti hidung Baginda Raja. Tetapi foto suaminya
tidak dimuat dalam surat kabar dan nama suaminya
tidak dikenal. Ia duduk tak bergerak dan hening
sehening-heningnya. Keheningan itu mempertegas
bahwa perempuan itu tidak hadir di situ. Jiwanya
penuh iri karena perempuan itu berhasil melarikan
diri. Bagaimana caranya ia melarikan diri" Ia meminta
NAWAL EL-SAADAWI cuti dan tidak kembali, bukan" Ia menyimpan
rahasia itu dalam hatinya tetapi kemudian rahasia
itu terbongkar juga. Desas-desus itu tersebar melalui
departemen arkeologi. Rekan-rekan kerjanya laki-laki
dan perempuan, berbisik-bisik satu sama lain dan
pandangan mata mereka menunjukkan rasa iri hati
mereka. Bukan tidak masuk akal rasa iri itu. Rasa iri itu
wajar sekali dalam mata semua pegawai. Karena tidak
ada orang yang lebih iri daripada pegawai, terutama
di departemen arkeologi. Pegawai laki-laki itu melihat
orang-orang di sekitarnya hilir-mudik, sementara ia
terperangkap di balik meja kayunya. Orang berbicara
tentang masa depan, dan ia hidup pada zaman
lalu bersama benda-benda hasil galian arkeologi.
Ia ditinggalkan kehidupan di belakang. Apakah ia
hidup atau mati, tidak ada yang berubah di jagad
raya. Tidak ada apa-apa di hadapannya selain dari
kantuk yang menyelinap dan menguasai lelaki itu,
ketika ia sedang membaca surat kabar atau mencari
dewa-dewi dalam perut bumi. Semacam cinta agung,
yang membuat lelaki itu ingin mati, atau pergi cuti.
*** LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Apakah kalian pernah bertengkar?"
"Tidak pernah," jawab suaminya di ruang
pemeriksaan itu. Inspektur polisi itu berputar di
kursinya. "Menurut Anda, apakah ada kemungkinan istri
Anda bunuh diri?" "Sama sekali tidak."
"Apakah ia pernah ingin mati?"
"Tidak pernah."
"Jika begitu, bagaimana Anda menjelaskan
lenyapnya istri Anda?"
"Tidak ada." "Ya, tidak ada."
"Tidak ada?" Suaminya mengatakan "Tidak ada" melalui bibirnya yang terkatup rapat. Ia menguap sampai
tulang gerahamnya gemeretak. Ia berpaling ke arah
para wartawan. Sebuah kamera bersinar dan menghanguskan permukaan matanya. Fotonya muncul di
halaman dalam. Gerahamnya persegi dan wajahnya
lebih panjang daripada seharusnya. Tidak ada ciriciri khas, kecuali tahi lalat di sebelah atas pipi kiri.
Sebuah senyum luput dari antara bibir yang terkatup
rapat. NAWAL EL-SAADAWI Sejak masa kanak-kanak, lelaki itu telah membayangkan melihat fotonya terpampang di sisi foto
Baginda Raja. Ibunya merapatkan kedua belah
tangannya ke arah langit, memanjatkan doa kepada
Peri Kesucian semoga putranya dapat menjadi seperti
Raja. Mengapa tidak, Peri Kecucian" Bukankah
ia tidak dilahirkan dari perut seperti perut yang
melahirkan Raja" Napas terengah-engah barisan perempuan itu telah
lenyap bersama dengan bayang-bayang hitam mereka.
Anjing mulai menyalak di kejauhan. Anjing tak
menyalak jika tidak ada alasan. Apakah perempuanperempuan itu merencanakan sebuah gerakan" Ada
api pemberontakan dalam mata mereka di bawah
awan butir-butir hitam. Perlawanan yang selalu sudah
pada titik siap untuk dilancarkan.
Perempuan itu membuka matanya dan terasa terik
matahari. Ia berceloteh seperti orang sedang demam
tinggi. Kata "perlawanan" berkumpul di sekitar
awan khayalannya. Ia melihat dirinya tersembunyi
seperti sebuah tempayan di atas kepala perempuanperempuan itu. Mereka sedang menggotongnya di
sepanjang lorong desa. Mata mereka mengamatinya
dari atap-atap rumah. Mereka menendang-nendang
tanah dengan kaki mereka, dan gambar Baginda Raja
berayun-ayun di puncak tonggak, kemudian gambar
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
itu jatuh ke kaki mereka, dan gambar itu mereka
injak-injak. Perempuan itu memijit-mijit matanya dengan
ujung jarinya. Rasa sakit itu membakarnya, dan ia
tertelentang di tanah, lena selena-lenanya. Seekor lalat
menghampiri dan hinggap di batang hidungnya.
Lalat itu mulai menggigit sedikit-sedikit kulitnya yang
terkelupas. Ia mengangkat tangan hendak mengusir
lalat itu, tetapi lalat itu tetap hinggap di batang
hidungnya. Di tangannya yang satu lagi, tergeletak
pahatnya, tidak bergerak-gerak. Anjing menyalak
bersahut-sahutan di kejauhan, anak-anak berlemparan
batu satu sama lain, dan lelaki bergandengan tangan
satu sama lain. Minyak tersembur dari segala penjuru
dan warna langit ditelan gelap.
"Siapkan makan malam!"
Suara lelaki itu menusuk telinga perempuan itu.
Nada memerintah, hal yang wajar ketika seorang
suami mengatakan sesuatu kepada istrinya. Pembantu
rumah tangga yang tidak dibayar. Bukankah lelaki itu
suaminya" Perempuan itu tak tahu kapan lelaki itu
mengawininya. Barangkali lelaki itu mengawininya
ketika ia tak ada, dan surat perkawinan disiapkan
ketika ia tak ada. Lagi pula perempuan itu tidak
menghadiri upacara perkawinannya, dan semua
NAWAL EL-SAADAWI urusan tata usaha untuk itu dapat diselesaikan tanpa
dia. Otot-otot jari perempuan itu mencengkeram
pahat itu. Gelegak amarah muncul tiba-tiba, yang
memompakan darah ke dalam otot-otot itu. Ia
mengangkat tangan dan menghantam perut bumi.
Kepala pahat itu membentur sesuatu yang keras.
Sebuah patung perunggu atau alabaster, tetapi warnanya tak terlalu kusam, seperti kaca gunung api.
Jari-jarinya gemetar ketika ia menarik patung
itu keluar. Ujung-ujung jarinya mengusap-usap permukaan halus patung itu. Dibelainya leher dan dada
patung itu. Tangannya menyentuh buah dada yang
besar menonjol. Patung itu patung Dewi Hathur,
bertelanjang dada, sedang memegang buah dadanya
dengan tapak tangannya, dan dalam keadaan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya, sambil menggenggam
sepasang ular. Perempuan itu pasti dapat menarik patung itu
keluar seandainya laut minyak tidak mendidih dan
membenamkan segala-galanya. Mungkinkah ini air
bah Nabi Nuh" Ia pernah membaca tentang air bah
itu dalam buku arkeologi, tahun-tahun kelaparan dan
kekeringan, dan padang pasir yang bertambah luas
serta gunung-gunung yang tinggi. Bumi sedang di
ambang Zaman Es dan muncul keadaan tak seimbang
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dalam keseimbangan bumi yang maha penting itu.
Kerajaan itu tumbang setelah bunda dewi terbunuh.
"Siapkan makan! Aku lapar!"
Kali ini perempuan itu tidak mendengar. Suara
semburan minyak meredam segala-galanya. Jari-jari
perempuan itu yang memegang pahatnya, mengendur
dan lemas kembali. Arus minyak pasti merenggutkan
pahat itu dari genggaman perempuan itu seandainya
ia tidak menjulurkan tubuh sejauh mungkin dan
mengintip dari tepi. Minyak yang berputar-putar itu
menyerupai pusaran air. Minyak itu berputar secepat
bumi berputar. Asap mengepul dari situ seolah-olah
cairan itu mendidih. Perempuan itu berpakaian
seperti seorang anak yang memanggil-manggil,
Memburu Iblis 1 Candika Dewi Penyebar Maut I X Rajawali Emas 8
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Nawal El-Saadawi LOVE IN THE KINGDOM OF OIL Penerjemah: Masri Maris Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Jakarta 2012 EL-SAADAWI, NAWAL Love in the Kingdom of Oil/Nawal el-Saadawi; penerjemah,
Masri Maris, cetakan 1 " Jakarta " Yayasan Pustaka Obor
Indonesia iv + 252 hlm; 11 x 17 cm ISBN: 978-979-461-811-0 Judul asli: Love in the Kingdom of Oil
Copyright ? Nawal el-Saadawi, 2001
Diterjemahkan atas izin Saqi Books
Hak terjemahan Indonesia pada Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
All rights reserved Diterbitkan pertama kali oleh
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Anggota IKAPI DKI Jakarta
Edisi pertama: April 2012
Y.O.I: 703.30.9.2012 Didesain ulang oleh Rahmatika
Alamat penerbit: Jl. Plaju No. 10, Jakarta 10230
Telepon (021) 31926978 & 3920114
Fax: (021) 3192448 e-mail: yayasan_obor@cbn.net.id
www.obo.or.id erita itu muncul dalam surat kabar hari itu,
bulan September. Hanya setengah baris,
cetakannya pun kabur, bunyinya:
Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali.
Orang hilang, itu biasa. Matahari terbit setiap
hari, demikian pula surat kabar. Di salah satu sudut
di halaman dalam surat kabar, ada kolom pribadi.
Kata "pribadi" dapat dihilangkan atau diganti dengan
kata lain, tanpa mengubah apa-apa sama sekali.
Pribadi. Orang. Penduduk. Rakyat. Bangsa. Rakyat
jelata. Kata-kata yang berarti apa saja dan juga tidak
berarti apa-apa. Di halaman 1 ada foto berwarna Baginda Raja,
dengan ukuran sebesar orang, dengan judul yang
besar: NAWAL EL-SAADAWI Pesta ulang tahun Raja. Warga masyarakat menggosok-gosok mata mereka.
Sudut kelopak mata mereka kuyu. Mereka membalik
surat kabar halaman demi halaman. Mereka menguap
lebar-lebar, hingga geraham mereka berderak. Berita
itu ada di salah satu halaman dalam, hampir tak
tampak oleh mata telanjang:
Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali.
Para perempuan tidak pergi cuti. Jika ia cuti,
maka itu berarti untuk mengerjakan sesuatu yang
penting. Sebelum pergi, ia harus mendapat izin, yang
ditulis tangan suaminya sendiri, atau distempel oleh
atasannya tempat ia bekerja.
Belum pernah terjadi seorang perempuan pergi
cuti dan tidak kembali. Seorang laki-laki bebas pergi
dan tidak kembali selama tujuh tahun, tetapi hanya
jika ia tidak kembali lebih dari tujuh tahun, maka
baru istrinya berhak membebaskan diri dari dia.
Polisi mulai aktif mencari perempuan itu.
Selebaran disebarkan dan iklan dipasang polisi di
surat kabar untuk mencari perempuan itu, hidup
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
atau mati, dan diumumkannya sebuah hadiah besar
dari Baginda Raja. "Apa hubungan Baginda Raja dengan hilangnya
seorang perempuan biasa?"
Boleh dikatakan sudah pasti tidak akan ada satu
pun dapat terjadi di dunia ini tanpa titah Baginda
Raja, tertulis atau tidak tertulis. Baginda Raja tidak
pandai menulis atau membaca. Ini semacam hak
istimewa, karena apa gunanya pandai menulis dan
membaca" Para nabi tidak pandai menulis atau
membaca, jadi apakah mungkin Baginda Raja lebih
mulia daripada nabi"
Juga ada mesin tulis. Mesin tulis listrik. Juga
ada mesin tulis baru bertenaga minyak, yang dapat
menulis dalam semua bahasa. Di belakang mesin
tulis itu terdapat sebuah kursi kerja putar terbuat dari
kulit. Di situ duduk seorang inspektur polisi. Di atas
kepalanya tergantung sebuah foto Baginda Raja yang
diperbesar, berbingkai emas, tepinya penuh nukilan
ayat-ayat kitab suci. "Apakah istri Anda pernah meninggalkan rumah
sebelum ini?" Suami perempuan itu membisu, kedua bibirnya
terkatup rapat. Matanya terbelalak seperti orang
tersentak dari tidur. Ia mengenakan pakaian tidur,
NAWAL EL-SAADAWI otot-otot wajahnya terkulai layu. Ia memijit-mijit bola
matanya dengan ujung-ujung jarinya dan menguap.
Ia duduk di sebuah kursi kayu yang tertancap kokoh
ke dalam lantai. "Belum pernah."
"Apakah kalian bertengkar?"
"Tidak." "Apakah istri Anda pernah meninggalkan rumah
sebelumnya tanpa izin Anda "
"Belum pernah."
Pemeriksaan berlangsung dalam sebuah kamar
yang terkunci. Di atas pintu tergantung sebuah
lampu merah tanda larangan tidak seorang pun boleh
masuk. Dengan cara itu, tidak akan ada kebocoran ke
surat kabar. Laporan pemeriksaan disimpan dalam
sebuah map rahasia bersampul hitam. Di atasnya
tertulis kata-kata: "Perempuan pergi cuti."
Inspektur polisi itu duduk di sebuah kursi putar.
Ia berputar sehingga punggungnya membelakangi
dinding dan foto Baginda Raja. Di hadapannya ada
kursi kayu lagi, juga tertancap ke dalam lantai. Di situ
duduk seorang laki-laki lain, bukan suami perempuan
itu, tetapi atasan tempat istrinya bekerja.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Apakah dia salah satu dari kaum perempuan yang
suka berbuat onar dan menentang pemerintah yang
sah?" Atasan perempuan itu duduk bersilang kaki. Di
antara kedua bibirnya terselip sebuah pipa hitam yang
melengkung ujungnya seperti tanduk sapi. Matanya
menatap ke langit-langit.
"Tidak, dia perempuan yang sangat patuh."
"Apakah mungkin dia diculik atau diperkosa?"
"Apa maksud Anda?"
"Tidak. Dia seorang perempuan biasa yang
tidak menimbulkan keinginan siapa pun untuk
memperkosanya." "Maksud saya, ia seorang perempuan dingin yang
tidak membangkitkan birahi siapa pun."
Inspektur polisi mengangguk tanda mengerti. Ia
berputar di kursinya hingga membelakangi atasan
perempuan itu. Ia mulai mengetik. Bau tajam seperti
bau gas terbakar menyelinap ke permukaan. Ia
mengulurkan tangan dan mengubah arah hembusan
kipas angin. Kemudian ia kembali berputar di
kursinya. "Apakah menurut Anda perempuan itu lari dari
rumah?" NAWAL EL-SAADAWI "Apa alasannya ia lari dari rumah?"
"Tak ada orang yang tahu mengapa seorang
perempuan lari dari rumah. Lagi pula, jika ia lari dari
rumah, ia mau lari ke mana" Apakah mungkin ia lari
seorang diri saja?" "Apakah menurut Anda ia lari dengan laki-laki
lain?" "Laki-laki lain?"
"Ya." "Tidak mungkin. Ia seorang perempuan terhormat.
Tidak ada hal lain dalam pikirannya selain pekerjaan
dan penelitiannya." "Penelitian?" "Ia bekerja di Bagian Penelitian Departemen
Arkeologi." "Arkeologi" Apa itu?"
"Artinya mencari sisa-sisa peradaban purba dengan
menggali tanah." "Seperti apa?" "Patung-patung tua dewa-dewa purba, seperti
Amun dan Akhenaton, atau dewi-dewi purba seperti
Nefertiti dan Sekhmet."
"Sekhmet" Siapa itu?"
"Dewi kematian di zaman purba."
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Semoga Tuhan melindungi kita!"
Ada sebuah laporan masuk dari pos polisi di
sebuah tempat terpencil. Ada orang yang melihat
seorang perempuan naik perahu tambang. Di bahunya
tergantung sebuah tas kulit bertali panjang. Ia tampak
seperti mahasiswa atau peneliti dari universitas. Ia
sendiri saja, tidak ditemani laki-laki. Ada sesuatu
yang mencuat dari dalam tasnya. Ssesuatu berkepala
besi, semacam pahat. Inspektur polisi menjadi gelisah. Butir-butir peluh
bermunculan di keningnya. Ia menekan sebuah tombol
hitam dan kipas angin berputar semakin cepat. Kipas
angin itu berleher, yang memungkinkannya perlahan
berputar bertambah kencang. Udara di dalam kamar
itu hampir mencekik. "Apakah perempuan itu waras?"
Di kursi kayu yang terpancang ke dalam lantai,
duduk seorang psikiater. Mulutnya mencong ke kiri,
dan pipanya, yang ujungnya melengkung seperti
tanduk, miring ke kanan. Matanya menatap bagian
atas dinding. Gambar itu dalam bingkai emasnya.
Ia menghembuskan asap tebal ke arah foto Baginda
Raja. Kemudian ia melayangkan pandangan resah
ke arah inspektur polisi dan memutar kepalanya ke
NAWAL EL-SAADAWI arah lain, ke tempat kipas angin tergantung, dan ia
menurunkan kelopak matanya.
"Menurut saya perempuan itu tidak waras."
"Maksud Anda penelitiannya?"
"Ya. Biasanya seorang perempuan yang terlibat
dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah itu tidak
waras." "Apa maksud Anda?"
"Seorang perempuan muda menceburkan diri ke
dalam pekerjaan yang tidak ada ujung pangkalnya
seperti mengumpulkan patung. Bukankah itu gejala
penyakit atau bahkan perbuatan yang tidak wajar?"
"Perbuatan tidak wajar?"
"Pahat itu menyingkapkan segala-galanya."
"Bagaimana pula itu?"
"Sebagai ganti keinginannya yang tidak terpuaskan,
perempuan itu mendapat nikmat dari menusuknusukkan pahat ke dalam tanah seolah-olah pahat itu
"penis" laki-laki."
Inspektur polisi merinding di kursinya. Ia
berputar-putar di kursinya beberapa kali seperti kipas
angin. Jari-jarinya kaku di atas mesin tulis ketika
ia mengetik kata "penis". Ia berhenti mengetik, dan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
kemudian dengan sebuah gerakan cepat berputarputar di kursinya.
"Tampaknya ini penyakit berat."
"Memang. Saya sudah menulis beberapa karangan
mengenai penyakit ini. Sejak kecil, perempuan
mencari penis tetapi sia-sia. Ketika ia sudah putus asa
karena tidak berhasil menemukannya, keinginan ini
berubah menjadi keinginan yang lain."
"Keinginan yang lain" Seperti apa?"
"Memandangi diri sendiri dalam cermin. Semacam
mencintai diri sendiri."
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semoga Tuhan melindungi kita!"
"Perempuan semacam itu cenderung mengucilkan
diri, membisu, dan kadang-kadang mencuri."
"Mencuri?" "Mencuri barang-barang kuno dan patung-patung
purba. Terutama patung-patung purba dewi-dewi,
karena ia tertarik dengan orang dari jenis kelaminnya
sendiri, tidak pada lawan jenisnya."
"Semoga Tuhan melindungi kita!"
"Pada waktu bersamaan, ia tergoda oleh keinginan
yang sangat besar untuk menghilang."
"Menghilang!?" NAWAL EL-SAADAWI "Dengan kata lain, dorongan yang sangat kuat
untuk melakukan bunuh diri dan menyongsong
maut." "Semoga Tuhan melindungi kita!"
"Sesungguhnya, ketika para perempuan mencari
sisa-sisa arkeologi, mereka merasakan nikmat yang
tinggi ketika menggali tanah. Mereka lebih tertarik
kepada kepala pahat daripada kepala Dewi Nefertiti.
Betapapun dicobanya, mereka tidak mampu
mengalihkan matanya dari kepala pahat, seolaholah kepala pahat itu anggota tubuh yang mereka
dambakan itu." "Cukup! Cukup!"
Inspektur polisi menjadi gelisah sekali. Napasnya
terhenti sepenuhnya. Kemudian ia mulai bernapas
terengah-engah. Kursinya terus berputar-putar tiada
henti. Kursi itu kemudian berhenti berputar dan
ia menjangkau botol cairan penghapus. Ia mulai
menghapus kata "penis" dari setiap lembar kertas
ketikannya. Namun, berita itu bocor ke surat kabar
walau ada lampu merah. Wartawan mulai menulis
tentang hal itu tanpa malu sedikitpun. Berita
perempuan yang menghilang itu hampir mengalihkan
perhatian semua orang dari perayaan ulang tahun
Baginda Raja. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Pada hari berikutnya keluar titah raja yang
melarang perempuan meninggalkan rumah dan,
jika ada perempuan meninggalkan rumah, terlarang
memberikan tempat berteduh kepadanya atau
menyembunyikannya. *** Pagi itu bulan September, seorang perempuan muda
belia menuruni tangga dermaga. Rambutnya yang
hitam tebal dijalinnya menjadi dua kepang yang
panjang. Kedua kepang itu dililitkannya tiga kali di
kepalanya, dan ujung kedua kepang itu bertemu di
atas keningnya dan diikatnya menjadi sebuah pita
besar. Tubuhnya tinggi semampai di balik sebuah
gaun longgar yang menutupinya sampai ke bawah
lutut. Di balik gaun itu ia mengenakan sarwal1 yang
panjang dan longgar, kaki sarwal itu diikatkan pada
mata kakinya. Di bahunya tergantung sebuah tas
bertali panjang. Ia memegang erat-erat tali tas itu, dan
melangkah dengan mata menatap ke atas seperti mata
seseorang yang akan berlayar menuju perahu-perahu
Sarwal: celana ringan dan longgar yang dikenakan laki-laki
dan perempuan Arab. NAWAL EL-SAADAWI matahari. Kepala stasiun memperhatikan perempuan
itu dengan rasa ingin tahu yang wajar. Di pintu gerbang,
perempuan itu mengulurkan tangan kepadanya untuk
memperlihatkan karcisnya. Kepala stasiun melirik
sejenak ke karcis itu, kemudian mengembalikannya
kepada perempuan itu. Perempuan itu melangkah
cepat-cepat keluar dari stasiun. Tidak ada hal-hal
yang menimbulkan kecurigaan dalam semua gerakgeriknya, kecuali kegairahan, yang jarang ditemukan
di kalangan perempuan, yang diperlihatkannya ketika
ia menengadah ke matahari, dengan mata telanjang
tidak berselubung apa pun, dan ada sesuatu seperti
kepala pahat mencuat dari dalam tasnya.
Perahu-perahu tertambat di sisi dermaga, seperti
biasa menunggu penumpang, dan perempuan itu
berjalan menuju salah satu perahu itu. Ia naik tanpa
ragu-ragu sedikitpun, dan mengambil tempat duduk
di bagian belakang. Perempuan itu tetap di perahu itu sampai ke
terminal, turun bersama penumpang lain dan
melangkah keluar. Alam memperagakan campuran
warna-warna yang ganjil, berlomba saling mengungguli
dan saling membauri. Hijau rumput, kuning padang
pasir, merah kesumba batu-batuan, biru langit, dan
putih awan berarak. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu terus melangkah, sambil berpegangan pada tali tasnya yang terjulai dari bahunya,
seolah-olah ia sedang digerakkan oleh sesuatu yang
tak kuasa ia lawannya ke sebuah tujuan yang sudah
pasti. Tidak ada lagi desa atau bentangan padang yang
luas. Sebagai gantinya, ada tanah lapang dan pohon
berduri bertebaran. Kemudian tanah berubah menjadi
semacam padang pasir, hitam dan halus, bercampur
merah tua, seolah-olah telah direndam lebih dahulu
di dalam darah dan kemudian dijemur di bawah sinar
matahari. Tanah itu menempel di kakinya setiap kali
ia melangkah. Dari waktu ke waktu kelompok pohon
kurma melemparkan bayang-bayang ke tanah, yang
muncul seolah-olah secara kebetulan, sebuah noktah
hitam pekat di tengah padang pasir itu.
Perempuan itu berhenti dalam bayang-bayang
sebuah tembok, barangkali untuk pertama kali sejak
ia turun dari perahu. Ia menghapus keringat di wajahnya dengan lengan gaunnya. Ia mulai melemparkan pandang ke
sekelilingnya. Ia melepaskan tali kulit tasnya dari
bahunya dan membuka tas itu. Ia memegang pahat
di tangan kanan, dan tas di tangan kiri, dan kembali
bergerak cepat-cepat. Ia menyepak-nyepakkan kakinya
untuk melepaskan tanah yang melekat di kakinya,
NAWAL EL-SAADAWI menghentak-hentakkan tumit sepatunya ke tanah
beberapa kali. Di kejauhan berkilauan sebuah telaga
air hitam yang luas, serupa sebuah danau mati.
Kemudian pandangan matanya diarahkan ke
sekitarnya, melampaui sebuah bukit yang rendah.
Sebuah desa kecil muncul, dengan rumah-rumah
yang terbuat dari lumpur hitam atau semacam bahan
yang tampak seperti lumpur, yang berdiri berdesakdesakkan satu sama lain. Di atas atap ada timbunan
sampah dan tempayan-tempayan yang tertelentang.
Jalan-jalan setapak di situ sempit dan berakhir di jalan
buntu. Kemudian ada tanah gersang yang sangat luas.
Di kaki langit ada puncak sebuah bukit. Desa itu
terbentang di bawahnya. Pipa-pipa raksasa menembus
desa itu, yang memuntahkan sesuatu seperti cairan
hitam. Juga ada sumur-sumur bermulut lebar yang
mengalirkan semacam cairan seperti merkuri; ada
bau gas bercampur bau manusia, dan sesuatu seperti
sardencis asin atau acar ikan, dan bangkai-bangkai
mati di jalan tanah, terlindas oleh kendaraankendaraan yang melaju dengan kencang sepanjang
malam. Jalan tanah itu menuruni bukit, dan perempuan
itu mengikutinya. Ia melangkah cepat-cepat, menuju
tujuannya, tasnya tergantung di bahunya dengan
talinya. Anak-anak desa itu sedang bermain-main
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
di sebuah danau di depan masjid. Orang laki-laki
tua duduk berjongkok di tanah, menatap tidak
bergerak ke empu jari kaki mereka, dan dari waktu
ke waktu melayangkan pandangan ke langit dan
menatap angkasa raya. Barisan panjang perempuan
yang tersembunyi di balik abaya2, berjalan beriringan
perlahan-lahan sambil menjunjung tempayan di atas
kepala masing-masing. Perempuan-perempuan itu berhenti dan mengamati perempuan itu. Mata mereka bersinar-sinar
di balik celah tipis. Tetapi perempuan itu terus
berjalan dengan pahat dalam genggamannya, tidak
memikirkan apa-apa selain dari penelitiannya. Ia
berhenti sejenak, menyeka peluhnya dengan lengan
gaunnya dan memandang ke sekelilingnya. Pipapipa raksasa itu terentang tak ada ujung, dan jalan
setapak itu menurun ke arah danau. Ia mengambil
sebuah peta kecil dari dalam tasnya dan dipelajarinya
agak lama, kemudian ia mendongakkan matanya
yang berkabut ke langit. Saat itu lewat seorang anak
perempuan dari desa itu. Ia mengenakan abaya hitam,
dan tidak ada suatu pun dari tubuhnya yang terlihat,
kecuali dua mata kecil. Perempuan itu menanyakan
jalan kepadanya, tetapi anak perempuan itu gemetar
Abaya: jubah seperti gaun dari wol yang dikenakan oleh
perempuan Arab. NAWAL EL-SAADAWI dan berlalu cepat-cepat. Rasa bingung muncul pada
wajah perempuan itu, dan ia menjadi gelisah.
Pemandangan terbentang luas sampai ke kaki
langit, dan sekawanan burung melayang-layang di
udara. Kelepak sayap burung-burung itu dan warna biru langit di balik kawanan burung itu agak
mengembalikan rasa percaya diri perempuan itu.
Jalan di depannya tampak keras, tetapi tanah menjadi
semakin lembab dan lunak di tapak kakinya. Desa itu
tampak tenggelam ke dasar danau itu.
Dari tempat ia berhenti, perempuan itu memperhatikan keadaan sekitarnya. Desa apa ini" Ia
melangkahkan kakinya untuk melanjutkan perjalanan,
tetapi tiba-tiba datang tiupan angin kencang, hampir
saja mengangkat tubuhnya dari tanah. Angin itu
pasti sudah merenggutkannya dari tanah jika ia tidak
mencengkeramkan kakinya dan berpegangan pada
sebuah dinding tembok, yang mulai bergetar karena
dibebani tubuhnya. Perempuan itu berdiri tegak ketika mendengar
suara orang bergumam. Ia melihat seorang anak
perempuan kecil berdiri di kejauhan, sedang berbicara
dengan seorang anak perempuan kecil yang lain.
Mereka merapatkan kepala mereka dan melihat ke
arah perempuan itu. Perempuan itu ingin memanggil
mereka dan menanyakan nama desa itu kepada
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
mereka. Ia memanggil dengan suara keras. Ia melihat
mereka berbalik, kemudian ia menyadari, melihat
bentuk tubuh perempuan-perempuan itu, mereka itu
dua orang perempuan tua. Perempuan itu melihat arlojinya. Pukul tujuh
lewat sepuluh. Ia mengaduk-aduk tanah dengan
pahatnya, dan sebuah pertanyaan muncul dalam
benaknya, "Apakah benar-benar mungkin dewi-dewi
tinggal di dalam tanah, atau apakah mungkin itu tipu
muslihat belaka untuk menariknya ke tempat ini?"
Perempuan itu memicingkan matanya seolaholah tertidur. Ia melihat kamar segi empat itu dengan
sudut-sudut yang tidak berperabot dan sebuah tempat
tidur dari kayu untuk dua orang, dengan alas warna
kuning pucat di atasnya. Ada bercak darah yang
sudah lama di alas kasur itu. Ada sebuah rak berisi
beberapa buku arkeologi, sebuah patung kecil dari
batu dewa berbuah dada tunggal, dan lukisan Dewa
Akhenaton dengan dua buah dada yang menonjol
dan dua pinggul yang besar.
Dari balik asap pipanya, atasan perempuan itu
mencuri-curi pandang ke arahnya. Sang atasan percaya
bisa saja dewa laki-laki memiliki satu buah dada atau
dua buah dada, tetapi ia tidak percaya ada dewi, dan
seandainya memang ada dewi, maka ia tentulah istri
seorang dewa, bukan seorang dewi murni.
NAWAL EL-SAADAWI Rekan-rekannya, laki-laki dan perempuan, di bagian arkeologi, percaya seperti atasan mereka. Mereka
masuk ke bagian arkeologi karena sudah putus asa.
Mereka mengatupkan bibir ketika mengucapkan
kata arkeologi. Mereka lebih tertarik kepada mummi
daripada makhluk hidup. Mata mereka menyorot
ke bawah seolah-olah ditarik ke perut bumi. Cara
mereka berjalan hampir sama. Leher mereka tampaknya berputar-putar, dan kelopak mata mereka terkembang menyelubungi mata mereka. Hidung
mereka seperti paruh burung, dan pinggul mereka
besar dan bergelantungan karena duduk berjam-jam
di balik meja. Perempuan itu mengangkat matanya menatap
langit. Ia melihat bintang-bintang dan planet-planet
yang telah menetap di tempat masing-masing sejak ia
masih kecil. Bibinya menunjukkan kepadanya sebuah
bintang yang demikian jauhnya, hingga hampirhampir tak dapat ia melihatnya. Bintang itu Mars,
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada juga Mercuri, Jupiter, dan Saturnus. Bintang yang
satu lagi, di sebelah sana adalah ratu semua bintang,
Venus. *** LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Mata perempuan itu menatap tak bergerak-gerak ke
bintang itu. Tiba-tiba mulailah gerakan itu. Venus
bergerak dari tempatnya dan melintasi langit. Ekornya
terjela-jela, panjang, dan tipis. Kemudian bintangbintang itu mulai bergerak saling menjauh, bergerak
ke sana ke mari membentuk rupa-rupa binatang.
Ada bintang seperti banteng, singa, ikan paus, dan
kalajengking. Bumi juga mulai bergerak di bawah tapak kakinya.
Ia memandang ke sekelilingnya. Ada seorang laki-laki
sedang berjalan di kejauhan, terbungkuk-bungkuk,
dan kepalanya bertutup destar putih.
"Apakah ada gempa, Paman?"
"Bukan, itu banteng yang sedang menggoyanggoyangkan tanduknya dan melemparkan tanah dari
tanduk yang satu ke tanduk yang satu lagi."
Suara laki-laki itu jelas sekali, seolah-olah ia langsung berbicara di telinganya. Namun, tampaknya seolah-olah suara itu datang dari dasar sebuah sumur.
Laki-laki itu berjalan lambat-lambat menjauh dan
hanya punggung bungkuk laki-laki itu yang dapat
dilihatnya. Laki-laki itu berangsur-angsur lenyap
dalam kabut. Perempuan itu berteriak sekeras-kerasnya memanggil laki-laki itu, tetapi suaranya sirna begitu saja.
NAWAL EL-SAADAWI Kemudian terdengar suara tawa yang tertahantahan. Tawa itu tawa perempuan tua, seperti anakanak itu yang berdiri memakai abaya. Matanya yang
kecil kerlap-kerlip dari balik celah tipis cadarnya.
"Bukan banteng, Saudariku."
"Apa kalau begitu?"
Perempuan tua kerdil itu menghilang dalam
awan debu asap. Perempuan itu berdiri dengan kaki
mencengkeram tanah. Ia memegang tali tasnya dan
mulai berpegangan erat-erat pada tasnya. Tidak ada
yang dapat dilakukannya selain berdiri sekokohkokohnya di tanah menghadapi goncangan bumi
yang menggila. Perempuan itu mengangkat matanya ke cakrawala.
Lapangan luas hitam terbentang di depannya seperti
padang pasir tiada berbatas. Pasir di situ bergerak,
hitam warnanya, dan angin sangat kering. Permukaan
lidahnya retak-retak dan matanya mencari-cari setitik
air dalam gelap kelam itu. Ia melihat sesuatu bergerakgerak, seekor ular kecil seperti bunglon. Mata ular itu
bersinar-sinar ketika merayap, berselaput kulitnya
yang hitam. Gerakannya lemah-gemulai dan langkahnya ringan dan ceria seolah-olah bersenang hati
karena mampu berubah-ubah warna.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Pegangan perempuan itu pada tali tasnya mengendur. Barangkali bukan berdiri kokoh yang diperlukan, ia membiarkan tubuhnya dipermainkan
angin, yang tak bisa diterima tubuhnya pada awalnya.
Tubuhnya tampaknya berat. Kemudian tubuhnya
terasa lebih ringan. Ia memicingkan mata dengan
gerak seolah-olah menyerahkan diri. Perasaan baru
mulai mengalir ke dalam tubuhnya, rasa malu. Udaranya panas sekali. Pada setiap langkah, debu hitam
menempel di tapak sepatunya. Ia berhenti sejenak. Ia
mengantuk-antukkan tumit sepatunya satu sama lain.
Ia melepaskan kepang dari kepalanya. Mengguncangguncangkan kepang itu. Ia memukul-mukulkan
kedua kepangnya satu sama lain. Butir-butir hitam
beterbangan di sekitarnya, melekat di lubang hidungnya, dan di keningnya, seolah-olah tertarik oleh bau
peluh. Perempuan itu berjongkok sambil menjaga
pinggulnya agar tidak menyentuh tanah. Ia tidak
ingin mantelnya kotor. Ia membuka tasnya dan
mengeluarkan pahat dari dalamnya. Ia mengetok tanah
beberapa kali, tetapi bau di sini tidak tertahankan. Ia
menutup hidungnya dengan saputangan. Lehernya
menekur ke tanah. Tanah terbentang di hadapannya,
dan gelap sudah semakin pekat. Ia sedang berjalan
menuruni tebing. Siapa saja yang melihatnya tidak
NAWAL EL-SAADAWI akan mengira ia sedang berjalan. Tangannya terantuk
pada sebuah dinding lumpur. Dinding itu seperti
dinding rumah di desa itu. Ia mendengar suara
di dalam. Ia berdiri, menempelkan tangannya ke
dinding. Tangannya yang satu lagi memegang pahat,
dan ia terengah-engah. Sebuah pintu terbuka di dinding. Pintu itu
berbunyi seperti ciut kincir air, engsel besi yang
berkarat atau bunyi berderak kayu yang sudah lapuk.
Seorang perempuan muda muncul dengan abaya
hitam, dengan menjunjung sebuah tempayan tanah
yang sangat besar berperut kembung di kepalanya.
Kulit tangannya retak-retak. Kakinya lebar dan
lembab dalam sepatu kulit. Warna tumitnya tampak
hitam. Kepalanya terbalut sebuah selendang hitam
yang terikat dengan buhul di ubun-ubun. Tempayan
tanah yang dijunjungnya di kepalanya, miring,
penuh hingga ke bibir tempayan, hampir tumpah
sebenarnya. Ia berputar dan memutar kepalanya
tanpa memegang tempayan itu dengan tangannya,
tetapi tidak setitik air pun tumpah dari tempayan
itusitu. Perempuan muda itu menatap pahat dalam yang
digenggamnya. Selama hidupnya ia belum pernah
melihat perempuan membawa alat tajam. Perempuan
muda itu mundur selangkah.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Ini cuma pahat."
"Apa itu, Saudariku?"
"Aku menggali tanah dengan alat ini dan mencari
dewi-dewi." "Apa?" "Dewi Sekhmet, misalnya."
"Sekhmet!?" Perempuan muda itu terkejut dan tampak ketakutan. Tubuhnya mulai gemetar. Tetapi tempayan
tetap di tempatnya, tidak goyang sedikitpun di atas
kepalanya. "Mohon beri aku air sedikit ..."
"Apa?" "Air... air ..." kata perempuan itu berulang-ulang,
dan mulai berteriak. Perempuan muda itu berdiri
menatapnya melalui celah tipis cadarnya, matanya
terbuka lebar, seolah-olah ia sedang menyaksikan
seekor domba mengembik. Saat itu angin bertiup lagi
dengan kencangnya, hampir mengangkat perempuan
itu dari tanah. Perempuan muda itu berdiri sambil
menggeleng-gelengkan kepala, dengan tempayan
tetap berdiri tegak dengan kokoh di kepalanya.
"Engkau siapa?"
NAWAL EL-SAADAWI Perempuan itu melihat keraguan dalam mata
perempuan muda itu. Ia mengambil kartu pengenalnya dari dalam tas: Nama, jenis kelamin, warna
mata, pekerjaan: peneliti pada departemen arkeologi;
kelakuan baik, menikah, tidak punya anak. Berkas
pribadinya tidak ternoda. Premi asuransi dan pajakpajak semua telah lunas. Ia tidak punya hutang
dan tidak pernah berurusan dengan polisi. Sampai
sekarang pun tidak ada putusan pengadilan yang
dikeluarkan atas namanya.
Perempuan muda itu mengerling ke kartu pengenal itu, seolah-olah ia tidak pandai membaca. Ia
memperhatikan foto yang dilekatkan dengan peniti.
"Mengapa kau tidak menutup wajahmu dengan
cadar" Apakah kau tidak punya malu?"
Perempuan muda itu mengembalikan kartu
pengenal kepada perempuan itu, dan kemudian
berpaling. Perempuan itu berjalan menjauh, perlahanlahan menuruni jalan setapak. Ia mengisap bibirnya
dan mengantukkan sepatu kulitnya. Tumitnya yang
hitam menendang debu ke udara. Di punggungnya
ada tonjolan menyerupai punuk onta. Di sekitarnya
telah berkumpul perempuan-perempuan lain dengan
tempayan di kepala masing-masing. Mereka saling
mendekatkan kepala masing-masing, satu sama lain.
Suara bisik-bisik terdengar mengelilingi kelompok
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
perempuan itu. Salah satu dari mereka meloncat. Dari
jauh tampaknya ia kerdil. Sesaat kemudian ia kembali
dikelilingi sejumlah laki-laki. Mereka mengenakan
jallabas longgar.3 Kepala mereka terbalut destar
berwarna putih. Suara perempuan-perempuan itu tetap berupa
dengung, tidak lebih daripada bisikan. Suara kelompok
lelaki itu semakin keras. Mereka berbicara semua
pada waktu bersamaan, sambil menggerak-gerakkan
tangan ke atas, dan menghentak-hentakkan kaki ke
tanah. Awan debu yang tebal beterbangan. Kemudian,
mendadak suara-suara itu semuanya berhenti, dan
segalanya sunyi senyap. Hanya salak anjing yang
terdengar di kejauhan. Perempuan itu berbalik untuk
melanjutkan perjalanan. Ia mempercepat langkahnya.
Namun, suara-suara di belakangnya mengikutinya.
Seorang lelaki dengan keffiyeh4 hitam yang melilit
lehernya, memerintahkannya untuk berhenti. Di
wajahnya ada bintik-bintik hitam seperti butir jerawat.
"Hai, kamu, Perempuan!"
Kata "perempuan" menusuk telinganya seperti
sepotong pecahan kaca. Otot-otot wajahnya menegang
kaku. Apa hak laki-laki itu memerintahkannya
Jallaba: pakaian seperti kemeja longgar panjang, biasa
dikenakan di dunia Arab. Keffiyeh: destar Arab segi empat untuk penutup kepala.
NAWAL EL-SAADAWI untuk berhenti di sini, di jalan setapak untuk kuda
beban ini, dan kemudian menumpahkan sumpah
serapah kepadanya" Ia membelakangi lelaki itu dan
meneruskan perjalanan. Lelaki itu mengikutinya,
sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.
Suaranya tidak henti-hentinya mengulang-ulang kata
yang kasar itu. Laki-laki itu menjulurkan lengannya yang
panjang seperti tongkat kayu, dan menangkap lengan
perempuan itu. Ia meletakkan mulutnya ke telinga
perempuan itu dan berteriak, "Perempuan!" Bau yang
tajam keluar dari mulutnya dan semburan air ludah
hitam keluar dari sudut mulutnya. "Engkau siapa?"
"Saya peneliti terhormat dan ...."
"Engkau berasal dari mana?"
Perempuan itu membalikkan badan dan
memberikan isyarat dengan kepala ke arah jalan
yang telah dilaluinya. Jalan itu tampak seperti lorong
di bawah tanah yang gelap dan panjang, penuh air
hitam dari banjir yang terjadi. Ia memicingkan mata
dan kemudian membukanya. "Saya minta cuti dan .... "
"Kami tidak pernah mendengar hal seperti itu."
"Boleh saya kembali?"
"Tidak ada lagi cerita kembali sekarang."
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Dapatkah saya menyewa kamar sampai pagi?"
"Apakah engkau seorang diri?"
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak mungkin."
Ia berlalu meninggalkan perempuan itu, sambil
menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Perempuan
itu membuka tasnya dan mengambil peta dari dalamnya. Apakah ia salah tempat" Ia membungkuk di
tanah. Bagi orang yang memperhatikan dari jauh,
tampak seperti orang yang akan bersiap tidur. Namun, ia sedang berpikir, mencoba menentukan di
mana ia berada. Ia menemukan sebuah titik, yang
ditandainya dengan pinsil. Ia mengambil pahatnya
dan mulai menggali. Kepalanya terkulai sambil menggali, seolah-olah
ia kelelahan. Barangkali tempat itu sudah betul,
barangkali ada dewi yang terkubur di situ. Namun, di
situ gelap pekat, dan bintik-bintik hitam menari-nari
di depan matanya. Disingkirkannya tanah galian dan
terlihat olehnya sesuatu menyerupai tanduk kerbau.
Sebelum ia dapat mengulurkan tangannya, terdengar
suara-suara di belakangnya. Sebarisan lelaki yang
mengenakan jallaba mengamatinya. Kepala mereka
dibalut dengan ikat kepala berwarna putih. Di belakang
mereka ada sebarisan perempuan mengenakan abaya.
NAWAL EL-SAADAWI Salah satu dari mereka mengeluarkan buah dadanya
dari balik abaya, dan mulai memijit-mijit putingnya
yang hitam dengan jarinya sampai tersembur cairan
putih yang halus. Kemudian ia mengeluarkan seorang anak kecil dari bawah abaya-nya. Anak kecil
itu mengulum puting itu dengan gerahamnya yang
mungil dan mengisapnya berbunyi-bunyi.
Suara kelompok lelaki itu semakin menghilang,
seperti suara perempuan-perempuan itu. Para lelaki
itu berjongkok di tanah dan membentuk sebuah
lingkaran. Di tengah-tengah sebuah batu besar duduk
tetua mereka. Di jari kelingkingnya berkilauan
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebentuk cincin, dan di atas kepalanya ada lukisan
Baginda Raja. Lukisan itu dikelilingi lampu-lampu
warna-warni dan sebuah pengeras suara seperti sebuah
corong. "Pada kesempatan perayaan hari ulang tahun
Baginda Raja ini kita diperintahkan untuk tidak
segan-segan mengadakan perayaan besar-besaran."
Suara itu suara Baginda Raja. Bibirnya, dalam
lukisan itu, bergerak-gerak. Mereka menggosok-gosok
mata dengan jari mereka. Sudut kelopak mata mereka
kerut-kerut dan merah darah. Mereka bertukar
pandang, dan mengulangi dalam satu suara, "Mampu
melakukan segala-galanya." Kemudian tiba-tiba sunyi
dan senyap. Mereka semua menggosok-gosok mata,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dan mengamati bintik-bintik hitam yang melekat
pada ujung jari mereka. Mereka menyeka bintikbintik itu dengan jallaba mereka dan kemudian
kembali menggosok-gosok mata mereka.
Suara Baginda Raja bergumam melalui pengeras
suara. Kata-katanya tidak jelas, diucapkan dengan lafal
yang asing, dan tidak seorang pun mengerti apa
yang dikatakannya. Pemimpin kelompok lelaki itu
menggeleng-gelengkan kepala tanda bersenang hati,
dan mereka semua menggeleng-gelengkan kepala.
Kemudian kepala tetua itu berhenti menggelengkan
kepala, dan lelaki-lelaki selebihnya juga berhenti menggelengkan kepala. Ia meloncat dari tempat duduknya,
dan mereka semua juga meloncat. Ia menghilang
dalam gelap malam, dan lelaki-lelaki selebihnya juga
menghilang mengikutinya, dan di belakang mereka
berlarian para perempuan itu.
Satu-satunya yang tinggal adalah lukisan Baginda
Raja, yang tergantung tanpa tiang, dan di atasnya ada
sebuah terompet. Seorang laki-laki sedang menyapu
di tanah. Ia mendekati perempuan itu perlahanlahan. Laki-laki itu adalah laki-laki yang berbintikbintik jerawat dan mengenakan keffiyeh hitam itu.
Laki-laki itu membuang ingus keras-keras, kemudian
mendekati perempuan itu perlahan-lahan.
"Tempat ini harus dikosongkan."
NAWAL EL-SAADAWI "Dan di mana aku bermalam?"
"Ikuti aku." Lelaki itu memandu perempuan itu ke jalan
setapak menuruni bukit. Ia berjalan selangkah dua
langkah lebih dahulu dari perempuan itu. Setiap
kali perempuan itu mempercepat langkahnya untuk
berjalan di sisi lelaki itu, lelaki itu menatapkan matanya
ke perempuan itu, dan perempuan itu memperlambat
langkahnya, hingga ia kembali berjalan di belakang
lelaki itu. Lelaki itu berjalan menuruni bukit dengan
tubuhnya bungkuk ke depan, sambil menggarukgaruk punggungnya dengan tangannya.
Perempuan itu mengikuti lelaki itu, dengan tali
tas tergantung pada bahunya, berpegangan pada tali
tas itu dengan jari-jarinya, seolah-olah tasnya dapat
melindunginya agar tidak terjatuh. Di dalam genggamannya ada pahat itu, yang bergetar mengikuti
irama getaran tubuhnya, tetapi dalam gelap tampak
seperti bergetar dengan sendirinya.
Jalan setapak itu menurun dan tanah semakin
lembab. Bau yang menusuk hidung itu semakin
tajam. Kakinya terbenam sampai ke lutut. Lelaki itu
mengangkat jallaba yang dikenakannya dan melilitkan di pinggangnya. Kemudian ia melompat ke
dalam sebuah perahu. Perempuan itu melompat
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
mengikutinya dari belakang dan perahu itu oleng. Ia
pasti jatuh seandainya tidak berhasil menjaga keseimbangan dengan gerakan tangannya.
Pemandangan di situ tampak wajar saja baginya,
kecuali ada bau yang tajam dan bintik-bintik hitam
yang beterbangan, yang memasuki lubang hidung dan
telinganya, dan menempel di sudut kelopak matanya.
Gelap bertumpuk di depan matanya seperti bukit,
dan sunyi senyap itu membebaninya, yang diselingi
hanya oleh suara dayung yang menyentuh laut hitam
tak berbatas itu. Lelaki itu mulai menggosok-gosok
matanya sambil bersenandung,
O, pemberi hidup, O, pengambil nyawa, Ampuni kami, selamatkan kami dari air bah,
O, penyejuk dari segala rasa was-was.
Sambil berdendang, mata lelaki itu menatap
ke arah cakrawala. Ia memijit-mijit sudut matanya
dengan ujung jarinya, kemudian melihat jarinya
dari dekat dan memperhatikannya lama sekali lalu
menyekakannya pada jallaba yang dikenakannya.
Kemudian ia mulai menggosok-gosok punggungnya,
bawah ketiaknya, dan antara kedua pahanya. Suara
NAWAL EL-SAADAWI senandungnya mengambang sendu dalam gelap
malam itu, selain dari saat-saat ketika suaranya bertambah cepat karena merasakan kenikmatan yang
memuncak tiba-tiba. Laki-laki itu menghentikan perahu di tumpukan
gelap yang menyerupai dinding. Ia membungkuk ke
depan, ke arah gelap itu. Ia mendehem memberitahu
ia telah datang. Tidak terdengar apa-apa kecuali
gonggong anjing. Sambil mengetuk-ngetuk pintu, ia
berseru: "Buka pintu, Saudaraku."
Dari balik pintu seorang lelaki yang lain terdengar sedang membersihkan tenggorokannya. Dari
kedalaman gelap itu, pintu terbuka. Sebuah bau
meloncat keluar yang menusuk lubang hidung perempuan itu. Sebuah nyala api kecil muncul, bergetar
dalam tangan besar dan berbulu, dan sebuah suara
parau keluar dari sebuah tenggorokan, "Mari masuk,
Perempuan." Kata itu tidak lagi menyakitkan baginya. Sakit yang
lebih besar ada dalam telinganya. Butir-butir kecil itu
semakin menumpuk dalam kedua telinganya. Butirbutir itu semakin menjadi keras seperti butir-butir
kerikil yang menggesek lapis tipis dalam telinganya
atau syarafnya. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Suaranya menjadi agak keras, "Mari masuk, Perempuan."
Perempuan itu berdiri di tempatnya, tidak satu
pun dari bagian tubuhnya yang bergerak, kecuali
lehernya, yang menengadah ke arah langit, mencari
udara. Di atas bahunya ia menarik tali tasnya, seolaholah menarik ingatannya dari kepekatan malam itu.
Bagaimana ia sampai ke sini"
Suara lelaki itu semakin keras, "Apa kau tak mendengar apa yang dikatakannya kepadamu?"
Perempuan itu menggerakkan kakinya dan masuk. Ia melewati ambang pintu yang rendah dengan
bentuk yang tidak asing baginya. Namun, rumah
itu bergoyang-goyang di bawah tapak kakinya seolah-olah sebuah perahu. Pintu itu tertutup di
belakangnya dan perempuan itu memperhatikan
sekelilingnya. Lelaki dengan bintik-bintik hitam
di wajahnya tidak ada di situ. Perempuan itu mendengar suara dayung menghilang semakin jauh.
Lelaki itu tiba-tiba batuk terputus-putus, kemudian
ia membuang ingusnya keras-keras. Perempuan itu
mundur selangkah. Dalam kekhawatirannya tampak
seolah-olah ia sedang kembali ke masa kecilnya,
dan ia mengeluarkan sebuah teriakan. Sinar di situ
demikian redup, sehingga ia hampir tidak dapat
melihat suatu apa pun. Ia menggosok-gosok matanya
NAWAL EL-SAADAWI dengan ujung jarinya. Kamar itu kosong tidak ada
perabot, hanya ada sebuah kursi yang terpaku di
lantai. Keragu-raguan menguasainya. Apakah ia tidak
pernah meninggalkan tempatnya"
"Buka pakaianmu."
Suara lelaki itu tidak lagi asing di telinganya.
Angin mengguncang-guncang jendela. Lidah-lidah
cairan hitam menyusup di bawah pintu. Tetesantetesan hitam seperti air hujan berjatuhan dari langitlangit.
Bahkan sebenarnya, tidak ada jendela. Itu hanya lembaran-lembaran papan. Lantai itupun bukan lantai, tetapi lembaran-lembaran papan yang
berderak-derak di bawah kakinya seperti kucing sakit.
Kelembaban seperti peluh menyelinap keluar dari
papan-papan itu, melekat pada tumit sepatunya, atau
tapak kakinya, jika ia menanggalkan sepatunya.
"Baunya tidak tertahankan!"
Perempuan itu menutup hidungnya dengan saputangan dan memicingkan matanya. Suara laki-laki
itu parau dan jauh, seolah-olah datang dari dunia
lain. Hanya kaki dan lutut lelaki itu di dalam baju
tidurnya yang terlihat oleh perempuan itu. Bagian
atas tubuh lelaki itu tertutup surat kabar. Huruf-
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
huruf cetak tebal, baris demi baris, muncul dalam
garis-garis melintang kecil-kecil:
Dicari peneliti untuk Departemen Arkeologi.
*** Perempuan itu mengisi formulir lamaran kerja dengan mesin ketik. Ia mengisi kotak-kotak untuk
nama, umur, dan agama. Dalam kotak jenis kelamin, ditulisnya "perempuan". Kepala departemen
memandangnya dengan mata terbelalak, "Bagian
ini hanya menerima laki-laki. Pekerjaan yang kami
lakukan, maksudku, menggali tanah, tidak cocok
untukmu." "Bibiku biasa menggali tanah, dan ibuku juga
biasa menggali tanah, dan menanam benih dan ..."
"Menggali itu hal lain ... Maksudku mencari dewadewa di perut bumi."
"Dewa-dewa ada di surga, bukan?"
"Tetapi ada juga dewa-dewa yang lain. Apakah kau
belum pernah membaca apa pun tentang arkeologi?"
Perempuan itu melihat sesuatu merayap di bawah
tapak kakinya. Sebuah jari yang panjang dan lunak
seperti ekor ular. Benda itu menggeliat dan berputarputar, dan menggali sebuah terowongan untuk dirinya
NAWAL EL-SAADAWI sendiri setelah datang dari atap. Juga ada setetes cairan
hitam. Di sekitarnya berkumpul gerombolan semut,
cecak, kadal, dan lipas, yang tampak seperti kumbang
dengan sayap berkepak-kepak penuh kegembiraan.
Perempuan itu mendengar suara lelaki itu dari
balik surat kabar. Ia sedang berbicara kepada dirinya
sendiri atau sedang membaca keras kepala berita di
situ. Beberapa gerakan merangkak ke dalam kamar
itu, yang tenggelam dalam gelap yang sangat pekat.
Sayap-sayap kecil itu mengungkapkan rasa gembira
ketika beterbangan di sekeliling pelita. Perempuan itu
meregangkan kakinya di atas tempat duduknya yang
rendah. Kakinya bengkak akibat perjalanan yang
telah dilakukannya, dan kulit kakinya, yang tertutup
lapisan kotoran hitam, terkelupas. Tasnya tergantung
di bahunya, berayun-ayun dari talinya. Pahatnya ada
di dalam tas itu, tentu saja. Matanya mengamati sekelilingnya. Di atas dinding hitam itu, kembali perempuan itu melihat benda itu. Cecak hitam atau seekor
bunglon. Benda itu memperhatikannya dengan matanya yang mungil. Sebuah persahabatan sedang terjalin
antara binatang itu dan perempuan itu.
Lelaki itu berdehem keras-keras. Cecak itu lari
bersembunyi dalam dinding yang retak. Perempuan
itu tidak tahu bagaimana lelaki itu bisa melihat
cecak itu dari balik surat kabar. Badan bagian atas36
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
nya tersembunyi sama sekali. Hanya kaki dan lututnya yang tampak melalui baju tidurnya. Barangkali
binatang itu mata-mata yang khawatir akan persahabatan yang mungkin terjalin antara ia, perempuan
itu, dengan makhluk yang lain.
"Siapkan makan malam segera," kata laki-laki itu
dengan nada seperti seseorang yang telah menyewa
seorang perempuan memasak untuknya. Tidak ada
kotak untuk itu dalam formulir yang sedang diisinya
dengan mesin ketik. Dalam kotak yang diberi
keterangan pekerjaan, ia menuliskan "Peneliti dewidewi".
"Aku lapar!" teriak lelaki itu kembali sekeraskerasnya.
Di dapur, jendelanya diganjal. Juga di sini, papanpapan kayu telah dipaku, dan sobekan-sobekan
surat kabar diselipkan pada celah-celah dinding dan
ditumpuk tinggi ke belakang pintu untuk menghalangi tetesan cairan hitam menyusup dari bawah
pintu. Keran air juga disumbat dengan surat kabar.
Ketika perempuan itu sedang berdiri di depan
tempat cuci piring, ia merasa lelaki itu berada di
belakangnya. Terasa olehnya napas lelaki itu berhembus di tengkuknya. Ia tidak tahu cara menyalakan
tungku, jadi lelaki itu memberikan kepadanya sebuah
NAWAL EL-SAADAWI benda seperti pistol. Ia menekan pistol itu dengan ibu
jarinya; pistol itu meletus, dan percik api keluar dari
larasnya. Ia tertawa seperti anak kecil.
Hal-hal kecil yang dahulu biasa membuat perempuan itu tertawa. Kelam menyingkir, dan sepotong
cahaya bersinar di cakrawala. Ia melihat lelaki itu
mendongakkan kepala dengan bangga. Ia mengikuti
arah kerlingan lelaki itu ke langit-langit dengan
matanya. Tetesan hitam itu masih terus melebar.
"Masa kau tak tahu itu apa?"
"Apa itu?" "Tidak." "Itu minyak." "Apakah minyak merembes melalui langit-langit?"
"Tentu saja, ketika permukaan naik di tanah atau
hujan lebat turun dari langit."
"Apakah langit juga menurunkan minyak?"
"Langit memberikan berlimpah ruah apa saja yang
ingin diberikannya."
Ketika perempuan itu di sekolah semasa kecil,
ia belajar minyak hanya ada di perut bumi. Selama
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjuta-juta tahun, minyak dihasilkan dari badanbadan mati yang hancur lebur karena panas, dan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
hewan-hewan kecil yang dinamakan bakteri, dan
butir-butir tanah serta pasir, dan debu mineral
Semua itu hancur lebur menjadi butir-butir sangat kecil yang menyerap air, dan disimpan dalam
lapisan-lapisan seperti karet busa. Lapisan-lapisan ini
dimasuki pasir dan butir-butir kecil batu gamping.
Minyak terperangkap dalam butir-butir kecil dan
terjebak dalam celah-celah di antara dua lapisan
penyelubung, satu lapisan mencegah minyak itu
merembes ke atas dan satu lapisan lagi berupa lapisan
air di dalam perut bumi dan minyak mengambang di
atas lapisan air ini, dan lapisan itu mencegah minyak
merembes ke bawah. Seperti binatang terperangkap,
dengan semua celah keluar baginya yang sudah
tertutup, mencegahnya muncul ke permukaan bumi.
Kecuali tentu saja jika minyak yang terperangkap itu
terguncang-guncang karena gempa bumi, gunung
berapi, atau bom yang dijatuhkan dalam perang.
Perempuan itu mengerutkan bibirnya sambil
berdiam diri. Leher lelaki itu masih terjulur ke atas
menengadah ke langit seolah-olah langit itu seorang
dewi. Perempuan itu mengangkat kepalanya, dan
lelaki itu menangkap kepala itu dari belakang.
Lelaki itu sedang berdiri di belakang perempuan
itu, mengusap-usapkan tubuhnya pada tubuh perempuan itu tanpa malu-malu. Perempuan itu me39
NAWAL EL-SAADAWI ronta-ronta dalam hati tidak berdaya. Tidak ada
kotak dalam formulir lowongan kerja itu untuk hal
seperti itu. Ronta perempuan itu mengisi jiwa lelaki
itu dengan rasa percaya ciri, dan tubuhnya semakin
dirapatkannya ke tubuh perempuan itu. Napas lelaki
itu mengelus-elus leher perempuan itu dari belakang.
Lengannya terjulur melingkari dada perempuan itu.
Kemudian diletakkannya tangannya ke atas buah
dada kiri perempuan itu. Perempuan itu melihat
kuku jari yang hitam lelaki itu, yang mengeluarkan
bau minyak. "Apakah kau tidak akan mandi terlebih dahulu?"
"Apa?" Lelaki itu marah sekali. Tidak pernah sebelum
ini ada perempuan yang seberani perempuan ini.
Hampir saja diangkat dan ditetakkannya tangannya
ke wajah perempuan itu. Atau barangkali ia memang
benar-benar mengangkat tangannya. Kemudian lelaki
itu mundur selangkah, ia tiba-tiba merasa lelah sekali.
Ia menunjuk kepada sebuah gelas kecil di atas rak
kayu. Ia membuka mulutnya lebar-lebar sedemikian
rupa, sehingga perempuan itu dapat melihat anak
lidahnya yang merah bergetar dalam tenggorokannya.
"Empat tetes." LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu meneteskan empat tetes ke dalam
tenggorokan laki-laki itu. Lelaki itu memejamkan
mata lama-lama, kemudian ia membuka matanya.
Perempuan itu membasahi bibir bawahnya dengan
ujung lidahnya. "Apa ini air?" "Bukan. Semacam minyak tetes, lebih manjur
untuk pelepas dahaga daripada air, dan dapat
membersihkan isi perutmu. Buka mulutmu."
Lelaki itu meneteskan ke dalam mulut perempuan
itu tetes pertama dan kemudian tetes kedua.
Perempuan itu menginginkan tetes yang ketiga dan
keempat. Ia memegangi botol itu erat-erat dengan
kelima jarinya, tetapi lelaki itu merenggutkan botol
itu dari perempuan itu dan menyembunyikannya.
"Kau hanya dapat dua tetes, sesuai peraturan."
Perempuan itu menundukkan kepalanya. Ia
sangat lelah. Ia seolah-olah telah mendengar tentang
peraturan ini sebelumnya. Ia tertidur dan melihat
dirinya sedang mandi dengan air hangat. Langit
berwarna biru bening dan ladang-ladang berwarna
hijau. Dalam lubang hidungnya ada bau ladang. Ia
sedang duduk di jembatan pada senja hari menanti
cahaya ribuan bermunculan.
NAWAL EL-SAADAWI Ia membuka matanya karena serasa ada sesuatu
yang terbakar di bawah kelopak matanya. Kamar itu
gelap gulita. Sepotong sinar redup datang dari sebuah
pelita yang menyala seadanya. Lelaki itu sedang duduk
di tempatnya di balik surat kabar yang terkembang.
Kakinya telanjang di atas lantai.
Perempuan itu mengepit tasnya di ketiaknya. Ia
mulai menyeret kakinya ke dapur. Ia masuk kembali
sambil membawa secangkir teh pahit. Lelaki itu
menjulurkan tangannya dan mengambil cangkir itu
tanpa mengatakan sesuatu pun, dan kembali terbenam
ke dalam sesuatu yang menyerupai tidur. Surat kabar
itu diremuk-remuknya menjadi bola. Perempuan itu
membuka surat kabar itu dan membalik-baliknya
halaman demi halaman. "Seorang perempuan pergi cuti dan tidak kembali. Menurut undang-undang
terlarang memberinya tempat berteduh atau menyembunyikannya."
Tanpa bersuara, ia menyangkutkan tasnya ke
bahunya. Ia menutup pintu dengan hati-hati dan
pergi keluar. Angin mengaum seperti serigala yang
kelaparan. Kakinya terbenam setiap kali ia melangkah.
Ia tidak dapat membedakan lumpur dari tanah kering.
Ia menggunakan dinding untuk bertumpu, seperti
biasa dilakukannya ketika masih kecil, sebelum ia
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
mulai belajar berjalan, sambil bibinya memegangi
tangannya. Satu, dua, ikat tali sepatumu.
Tiga, empat, berjalan ke pintu.
Tolong dia, Peri Suci. Ketika ia masih gadis kecil, ia tidak tahu siapa
Peri Suci itu. Barangkali Peri Suci itu Perawan
Maria. Dalam gelap malam, wajahnya kadang-kadang biasa melayang-layang di atas atap rumah di
desa itu. Beberapa orang buta mendapatkan penglihatan mereka kembali dan kaki yang lumpuh
dapat digerakkan kembali. Atau barangkali Peri Suci
itu Putri Zaynab, satu-satunya nabi yang mampu
menyembuhkan penyakit bibinya.
"Apa katamu, engkau ini bicara apa?"
"Aku akan menjadi nabi...agar aku dapat
menyembuhkan orang."
"Apa kau sudah gila" Tidak ada nabi perempuan."
Suara lelaki itu bergaung dengan jelas dalam
telinga perempuan itu. Suara itu membuyarkan mimpinya. Suara seorang laki-laki. Barangkali itu suara
suaminya atau atasannya. Pada waktu ujian masuk
lelaki itu duduk di belakang mejanya, dengan sebuah
NAWAL EL-SAADAWI pipa hitam di antara kedua bibirnya, dan pipa hitam
itu bergetar ketika ia mengajukan pertanyaan demi
pertanyaan. "Apa yang kau ketahui tentang Numu, dewi air
yang pertama?" "Numu?" "Dan Inana, dewi alam dan kesuburan?"
"Dan Sekhmet, dewi kematian?"
"Inana?" Perempuan itu tidak tahu ada dewi-dewi. Semua
nabi laki-laki, dan tidak ada perempuan di antara
mereka. Bagaimana mungkin kalau begitu ada dewadewa perempuan" Yang mana yang lebih tinggi
kedudukannya, nabi atau dewa" Sedangkan tentang
dewa kematian, namanya Ezra, bukan Sekhmet, dan
dia laki-laki bukan perempuan.
Perempuan itu sedang membaca dalam sinar
lampu itu. Lelaki itu sedang duduk di tempatnya
yang biasa. Separuh tubuhnya bagian atas tersembuyi
di balik surat kabar. "Apakah kau sedang membaca?"
Yang tampak dari tubuhya hanya telapak kaki dan
kakinya. Lututnya yang persegi empat mencuat dari
balik baju tidurnya. Apakah matanya ada di lututnya"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Belum lagi perempuan itu membuka bukunya dan
mulai membaca, ia sudah melihat lutut itu bergetar"
apakah itu untuk menunjukkan rasa kesal"
"Jangan sentuh buku itu."
"Ujian itu besok. Aku belum selesai mempelajarinya
dan ...." "Aku lapar." Perempuan itu melihat arlojinya. Sembilan lewat
sepuluh. Ia telah menyiapkan makanan untuk lelaki
itu satu jam yang lalu. Bagaimana mungkin ia sudah
lapar lagi demikian cepatnya" Jika ia lapar, panci ada
di atas tungku, dan dapur hanya tiga langkah dari
situ. Perempuan itu melihat lelaki itu duduk sambil
menggoyang-goyangkan lututnya dan menggerakgerakkan kakinya ke atas, dan menekukkan empu jari
kakinya hingga berbunyi. "Aku haus." Lelaki itu tidak pernah berhenti meminta sesuatu.
Seperti anak-anak, ia tidak dapat memberi makan
dirinya sendiri atau mengambil sendiri sesuatu untuk
diminun. Belum lagi lelaki itu melihat perempuan
itu membuka buku, ia sudah berteriak. Seolah-olah
buku itu seorang laki-laki lain yang merenggutkan
perempuan itu darinya. NAWAL EL-SAADAWI Perempuan itu menyembunyikan buku itu di
bawah bantal. Ia akan menunggu sampai lelaki itu
tidur pulas dan suara dengkurnya sudah mulai naik
turun dengan teratur. Ia membuka buku itu dan
membaca. Di dalamnya ada nasihat-nasihat dari
bunda dewi kepada anak perempuannya:
"Jangan lupa ibumu."
"Rawatlah ia seperti ia mengandungmu."
"Ia mengandungmu di dalam perutnya selama
satu tahun penuh." "Ia memberimu nyawanya dan kemudian mati."
Dalam kesunyian malam itu, suara itu berdengung
dalam telinganya. Ia belum pernah mendengar suara
ibunya kecuali ketika ia masih sebuah janin di dalam
rahim ibunya. Ia melihat lelaki itu membalikkan
badan dalam tidurnya seolah-olah ia mendengar
suara itu. Rambut lelaki itu berdiri tegak karena kesal.
Ia membuka matanya tiba-tiba, dan perempuan itu
menyembunyikan buku itu. Lelaki itu membalikkan
badan ke sisi yang satu lagi dan kembali tertidur.
Perempuan itu tetap di tempatnya, menunggu. Ia
tidak tahu apakah lelaki itu benar-benar tidur atau
pura-pura tidur. Napas lelaki itu belum bertambah
keras dan suara dengkurnya tidak teratur.
"Apakah kau masih bangun?"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu memejamkan mata dan menggigit
bibirnya. Ia membiarkan napasnya naik turun.
Kemudian ia tertidur. Tubuhnya merosot ke bawah,
terus ke bawah, seolah-olah ke dalam sebuah sumur.
*** Segala-galanya lembab sekarang, bahkan juga alas
kasur. Lembab yang hitam legam dan berbau tajam.
Perempuan itu melihat laki-laki itu tengah berlutut. Kemudian laki-laki itu mengulurkan tangan
kepadanya. Laki-laki itu mulai mengamati wajah
perempuan itu sambil tetap berlutut. Bibir laki-laki
itu terbuka tetapi tak wajar, dan bulu dadanya jelas
terpampang. Perempuan itu menyadari, laki-laki itu tetap
bersikeras hendak memainkan permainan ini. Karena
itu otot-ototnya mengeras, dan tubuhnya sengaja
dikuncinya. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat, dan
ia pura-pura tidur. Cairan hitam itu terus menyembur semakin
besar dengan suara seperti air terjun. Cairan itu naik
sampai ke lutut laki-laki itu, yang sedang duduk
di situ. Laki-laki itu membuang ingus di bak cuci.
Ia membawa sebuah gayung dari dapur. Ia mulai
mengambil minyak dari tanah itu dengan gayung.
NAWAL EL-SAADAWI Ia membungkuk sampai tubuhnya teregang rendah
ke bawah. Ia mengisi gayung itu, dan mengangkat
lengannya, dan pada waktu bersamaan mengangkat
tubuhnya. Ia menuangkan isi gayung itu ke dalam
tempayan. Ia mengisi tempayan itu tanpa berhenti.
"Permukaan cairan ini terus naik semakin tinggi
dengan sangat cepat."
"Segala yang baik datang dari Tuhan."
"Aku tercekik."
"Jangan berdiri saja di situ seperti itu. Cepat berlutut."
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lelaki itu memaksa perempuan itu berlutut
seperti seekor unta. Lelaki itu memilin selembar
kain bekas, kemudian dijadikannya bantalan bulat,
dan diletakkannya di atas kepala perempuan itu. Ia
memperkuat dudukan bantalan itu dengan serentetan
pukulan dengan tinjunya seolah-olah ia sedang
memaku ke dinding. Ia membungkuk setengah
badan dan menancapkan kakinya kuat-kuat di tanah.
Kemudian ia mengangkat tempayan itu dengan
kedua tangannya dan meletakkannya di atas kepala
perempuan itu. Leher perempuan itu bengkok karena
menahan beban itu. Tempayan itu hampir saja jatuh.
Angin bertiup dan tempayan itu menjadi miring.
Perempuan itu membiarkan tempayan itu miring,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dan ia menggerakkan kakinya, selangkah demi selangkah. Ia bergerak seperti biasa di jalan setapak itu,
yang ada di depannya, seolah-olah ia sudah pernah
berjalan di situ sebelumnya. Ia sudah biasa berjalan
bersama dengan iring-iringan perempuan seperti ini,
dan ia salah satu dari perempuan-perempuan dalam
iring-iringan itu. Mereka bergerak dengan langkah
lambat tetapi tegap. Badai semakin menjadi-jadi dan
air terjun itu mengalir dengan deras. Tubuh mereka
berayun-ayun seperti jerami tertiup angin yang datang
mendadak. Semua berayun-ayun, kecuali tempayan
di atas kepala mereka, yang tetap menjulang dengan
tenang di tempatnya. Perempuan itu kembali dengan tubuh yang letih
seletih-letihnya. Ia bergelung di tanah, dengan dagu ia
letakkan di atas lututnya, tasnya ia letakkan di bawah
kepala sebagai bantal. Tenggorokannya kering dan
lidahnya retak-retak. Ia membuka mata dalam gelap.
Ia mencari-cari botol kaca itu. Botol itu tidak ada
di situ. Ia kembali tertidur. Kemudian ia terbangun
karena ada suara. Laki-laki itu telah menangkap seekor binatang, entah domba entah kambing. Binatang itu dibunuhnya dengan sebilah pisau. Darah
memancar seperti air mancur. Mata lelaki itu menatap perempuan itu seolah-olah ia belum pernah
NAWAL EL-SAADAWI melihatnya sebelumnya, dan suaranya bergemuruh,
"Hei, kau. Ke sini dan masak."
"Aku tidak makan daging."
"Kau tak harus memakannya. Kau hanya harus
memasaknya!" "Aku tidak mau memasaknya."
Laki-laki itu mengulurkan tangannya yang
panjang, yang memegang sebilah pisau. Perempuan
itu mengamati bilah pisau yang berkilat-kilat itu,
dan kemudian menekurkan lehernya. Ia menciutkan
tubuhnya di dalam, sambil melindungi lehernya
dengan telapak tangannya.
Perempuan itu menyeret tubuhnya ke dapur dengan
susah payah. Ia menyeka sekeliling lehernya bersihbersih hingga tak ada lagi bekas darah, menyalakan
gas dan menjerang panci. Uap mengepul ke langitlangit. Perempuan itu merasa lelaki itu berdiri di
belakangnya. Lelaki itu menghirup bau sedap daging
itu dan mengusap-usapkan tubuhnya pada tubuh
perempuan itu dari belakang. Ketika selera makan
lelaki itu terbit, terbit pula selera-seleranya yang lain.
Perempuan itu menyerahkan tubuhnya kepada lelaki
itu dan tidur. Dalam tidur ia merasa ada yang sakit.
Hati nuraninya menusuk-nusuknya: Bagaimana bisa
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
aku menyerahkan diri kepadanya dan diberi makan
malam sebagai gantinya"
Pada pagi hari angin bertiup tiba-tiba dengan
ganas. Dari dalam pusaran angin itu datang sebuah
suara kepadanya, seperti suara dayung. Ia mendengarkan dengan seksama, hatinya berdebar-debar. Ia
mendengar suara seorang perempuan seperti suara
bibinya. Suara itu lenyap ketika lelaki itu menggerakkan
kelopak matanya. Lelaki itu membuka kelopak
matanya, dan bola matanya yang hitam muncul dan
menatapnya. Ia merenggutkan sepotong kain lusuh,
barangkali sarwal perempuan itu. Ia memilin kain
lusuh itu dengan tangannya seolah-olah ia sedang
membunyikannya. Pilinan kain itu dijadikannya
bantalan, dan bantalan itu kemudian diletakkannya
di atas kepala perempuan itu. Perempuan itu disuruhnya membungkukkan badan sepinggang, kemudian
diangkatnya tempayan itu dengan sebelah tangan.
"Ini berat sekali! Bisa patah leherku."
Suara perempuan itu memantul kembali kepadanya
seolah-olah ia berbicara kepada dirinya sendiri. Ia
menjunjung tempayan itu di sepanjang jalan menuju
perusahaan, seolah-olah dalam mimpi. Barangkali
karena seolah-olah mimpi ini maka tubuhnya kuat.
NAWAL EL-SAADAWI Ia dapat menjunjung tempayan itu dan tidak merasa
lelah. Bahkan tubuhnya terasa ringan, seperti dalam
mimpi. Tetapi hatinya berat. Sapi yang punya harga
diri sekalipun akan menolak mengerjakan pekerjaan
seperti ini. Barangkali makhluk sejenis keledai yang
sudah punah yang mau mengerjakan pekerjaan ini.
Tempayan itu juga dari jenis yang sudah punah.
Tempayan itu memiliki dua telinga dan perut yang
gembung karena bunting seperti dewa berbuah dada
satu. Di kejauhan terdengar suara bergema. Sayup-sayup
terdengar teriakan-teriakan yang keluar serentak,
diikuti suara-suara bergumam, tawa teredam, dan
kemudian sunyi sepi. Bagi perempuan itu, rasanya seolah-olah ia sedang berjalan tetapi tidak maju-maju, selangkah
pun. Perempuan itu berdiri di tempat ia berdiri sebelumnya. Ia tidak lebih dari dua langkah dari ambang
pintu rumah itu. Pintu itu terbuka lebar, dan lelaki
itu sedang duduk di kursinya di balik surat kabar.
"Badai masih mengamuk."
"Kau bisa menunggu."
"Dalam keadaan seperti ini?"
"Bila minyak sudah mulai menyusupi seluruh
tanah, apa pun tak dapat menghalanginya. Kau harus
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
berurusan dengan minyak itu ketika matahari telah
terbit dan minyak itu telah kering."
"Tempayan ini membuat kepalaku panas sekali!"
"Tidak ada yang dapat dilakukan selain menunggu,
sama sekali tidak ada."
Ketika mengucapkan kata "tidak ada", laki-laki itu
menengadah melihat ke atas. Sepotong awan kelabu
berputar-putar ke atas di kaki langit.
"Minyak itu sedang minum uap air dari udara.
Bila awan dihalau oleh matahari, maka timbul
kekeringan." "Musim kering?"
"Ya, cairan lenyap, berubah menjadi benda keras,
dan kau bisa berjalan di atasnya dengan mudah,
kakimu tak akan terbenam di dalamnya. Bahkan truk
minyak pun bisa melintas di atasnya."
Ketika mengucapkan "truk minyak", mata lakilaki itu berkaca-kaca seolah-olah berlinangan air
mata. Barangkali laki-laki itu akan dikirim ke medan
perang. Tempatnya di tempat tidur akan kosong dan
perempuan itu tidak lagi harus memasak. Perempuan
itu menegangkan otot-otot di tenggorokannya di
bawah beban berat tempayan itu. Ia menghentakhentakkan kakinya ke tanah.
NAWAL EL-SAADAWI Laki-laki itu sedang memusatkan perhatiannya
pada jalan setapak itu. Barisan depan arak-arakan
akbar itu telah muncul. Serombongan pembawa
tambur memainkan lagu kebangsaan. Kemudian
rombongan sepeda motor dan kembang api, rombongan hamba sahaya istana di dalam mobil-mobil
hitam, diikuti oleh rombongan wartawan. Lalu
sebuah truk minyak raksasa, di atasnya menjulang
Baginda Raja yang melambai-lambaikan tangan
seolah-olah melambai-lambai kepada rakyat jelata.
Di sisinya berdiri direktur utama perusahaan, yang
melambai-lambaikan topinya mengucapkan salam.
Perempuan itu sedang berjalan di sepanjang jalan
kosong di depannya, ketika sebuah tongkat bambu
menghantam pinggulnya. "Bungkukkan badan, cepat!"
Perempuan itu tidak tahu cara memberi hormat.
Ia membungkukkan badan ke depan dari pinggang,
dan menunggingkan pinggulnya. Dia tampak seperti seekor unta yang akan berlutut. Lelaki itu
mengajarinya menyanyikan lagu kebangsaan. Suaranya menyenandungkan sebuah lagu dengan suara
halus dan agak menyenangkan. Setelah setiap satu
suku kata selesai ia senandungkan, ia menyeka peluh
dengan lengan jallaba-nya.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Apakah itu lagu kebangsaan?"
"Ya, di sini kami menganut aturan "Aku cinta
negeriku." "Apakah ini negerimu?"
"Ibuku dikuburkan di sini, di mana ibumu
dikubur, di situlah negerimu."
Lelaki itu mengucapkan kata "negeri" sambil
menunduk ke tanah. Kelopak matanya diturunkan
menutupi matanya seolah-olah ia hendak menyembunyikan air matanya. Ia tidak pernah menyebutnyebut ibunya kecuali bila ia dalam ancaman maut.
Dalam genggamannya ada secarik kertas dengan
stempel wajah Baginda Raja, dan sebuah surat panggilan penting.
Perempuan itu berbaring dengan mata terbuka,
memasang telinganya tajam-tajam untuk mendengarkan. Ia merasa lelaki itu naik ke atas tempat
tidur di sisinya. Lelaki itu memutar wajahnya
menghadap ke dinding. Perempuan itu menjulurkan
tangannya dan membelai-belai leher lelaki itu dari
belakang. "Jangan pergi, hanya nisan ibumu yang
tersisa di situ untukmu."
"Siapa saja yang tidak pergi dibunuh."
"Dan siapa saja yang pergi dibunuh."
"Tidak ada jalan untuk melarikan diri dari maut."
NAWAL EL-SAADAWI "Jika demikian mari mati ketika dan bila kita
inginkan." Perempuan itu mengucapkan kata-kata itu tanpa
suara, ketika sedang bangkit dari tempat tidur. Ia
menggantungkan tasnya ke bahunya dan mengambil
pahatnya. Ia berjalan cepat-cepat, sambil memicingkan
matanya menghadapi badai. Kakinya terbenam dalam
air hitam sampai ke lutut. Melangkah tampaknya
tidak mungkin. Ia berhenti, menembus gelap dengan
matanya dan memasang telinga untuk mendengarkan.
Mula-mula suara-suara itu terdengar sayup-sayup.
Seperti desir angin atau kibasan jallaba. Suara itu
datang dari lembah tempat rumah-rumah desa itu
berdiri, dan perlahan-lahan naik ke atas lembah itu.
Suara itu seperti bunyi gemerincing tamborin dan
tabuhan gendang. Perempuan itu melihat seorang
perempuan sedang berputar-putar dengan satu kaki.
Di sekelilingnya, sekelompok perempuan membentuk
lingkaran, rambut mereka lepas terjurai. Gigi mereka
berkeletak-keletuk dan mereka mengulur-ulurkan
tangan. Mereka menghentak-hentakkan kaki ke
tanah mengikuti irama, sambil berputar seperti bumi
berputar. Mereka bernyanyi dengan satu suara:
O, Peri Kesucian, Ringankan beban kami. LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan yang di tengah tinggi semampai,
kepalanya terbalut ikat kepala hitam. Ia tampak
seperti bibi perempuan itu, ia menghentak-hentakkan
kaki ke tanah. Ia menengadahkan matanya ke langit
seolah-olah sedang memuja dewi-dewi. Tubuhnya
bergetar pada setiap putaran. Gerakannya bertambah
cepat dan semakin ringan. Pada puncak getaran
yang terakhir, tubuhnya demikian ringan sehingga
tampak seperti terurai berserakan. Waktu terhenti
dan suasana sunyi senyap. Kemudian gerakan mulai
kembali. Gerakan itu meluap ke samudera, dan tubuh
perempuan-perempuan itu berguncangan.
O, Peri Kesucian, Selamatkan kami dari air bah ini.
Suara itu seolah-olah suara lagu lama yang biasa
dinyanyikan murid-murid perempuan di sekolah.
Bibir perempuan itu merekah dan ia mulai berbisik
menyenandungkan lagu itu. Tetapi syair lagu itu beku
kaku di bibirnya ketika pelita menembus gelap. Ia
memejamkan mata dan tak mendengar suatu apa pun
selain gongong anjing. Roda-roda besi menghunjam
ke tanah. Perempuan-perempuan itu bersembunyi,
mereka menyembunyikan rambut mereka di balik
ikat kepala hitam. Hanya perempuan tinggi semampai
NAWAL EL-SAADAWI
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang di tengah itu satu-satunya yang tinggal. Para
lelaki itu mengepungnya dan kemudian menyeretnya
ke mobil barang. Satu teriakan, kemudian kesunyian
menyelimuti tempat itu. Perempuan itu tak tahu bagaimana caranya kembali pulang ke rumahnya. Kelopak matanya, atas
bawah, melekat satu sama lain. Ia menekan-nekan
sudut matanya dengan ujung jarinya. Ia melihat
bintik-bintik hitam seperti kabut. Di sekelilingnya
air terjun terus bergejolak. Bau tajam dalam lubang
hidungnya membawanya kembali ke alam nyata.
Segalanya seperti dalam mimpi. Hanya ada satu gerak
yang pasti, gerak minyak. Gerak yang ganjil, yang
berlawanan tampaknya dengan gerak yang lain, yang
mana pun. Lelaki itu telah kembali dari medan perang. Tangannya tinggal satu. Pagi-pagi ia sudah keluar untuk
mengisi tempayan. Ketika ia mengangkat tangannya,
tangannya tampak kerut-kerut kurus kering, seolaholah telah kehilangan separuh beratnya. Tangan itu
melambai-lambai tertiup angin, naik turun tiada
henti. Seperti seseorang yang sedang menimba air
dari laut. "Keangkuhan! Keangkuhan!" Bisik perempuan
itu dalam hati. Lehernya bengkok dihimpit beban
itu. Gerak tangan lelaki itu saat menimba minyak,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
menyerupai gerak leher perempuan itu saat menjunjung tempayan. Perempuan itu berhenti di tempatnya seperti seekor kuda jantan yang lepas kendali.
Kakinya dicengkeramkan ke tanah. Tetapi, berhenti
berjalan tampaknya tak mungkin. Minyak itu tidak
henti-hentinya memancar, dan bentuknya cair. Benda-benda ringan terapung-apung di atasnya. Ia dapat
berenang di situ jika tubuhnya ringan. Namun, ia
tak pernah belajar mengapung di air. Sebelum masuk
ke laut, ia harus menanggalkan pakaian, dan para
perempuan tidak boleh membuka pakaian.
Perempuan itu memejamkan matanya, tak tahu
sudah pukul berapa. Ia melihat arlojinya sambil
menutup rapat-rapat kelopak matanya. Kemudian
ia ingat, ia tak akan tahu pukul berapa jika ia tidak
membuka matanya. Ia menekan kedua kelopak
matanya bersama-sama kemudian membuka matanya
setengah. Pukul lima lewat sepuluh. Di kaki langit
ada berkas-berkas cahaya; ia tak tahu apakah berkasberkas cahaya itu tanda sudah fajar atau sudah
menjelang senja. Perempuan itu mulai bangkit dari tempat tidurnya. Sebelum bergerak, ia ingin memastikan lelaki itu
masih tidur nyenyak. Mula-mula ia meletakkan satu
kaki di depan kakinya yang satu lagi sambil menjaga
jangan sampai timbul suara. Lelaki itu berbalik
NAWAL EL-SAADAWI ke sisi badannya yang satu lagi dan kembali tidur.
Perempuan itu memandangi lelaki itu lama sekali, yang
meringkuk seperti bola seperti anak yatim. Menyerah,
tidur seolah-olah sudah putus asa. Ia membungkuk
rendah-rendah di atas lelaki itu seolah-olah, hendak
mengecup cium perpisahan ke dahinya. Apa yang
akan dikatakan lelaki itu tentang perempuan itu ketika
ia terbangun dan tak menemukan perempuan itu di
situ" Hati nurani perempuan itu masih hidup, atau
demikian menurut perasaannya. Lagi pula, kecupan
selamat tinggal tak akan menimbulkan kesulitan apa
pun bagi perempuan itu. Perempuan itu membuka pintu dan melangkah
keluar. Ia melangkah ke depan beberapa langkah,
tanah terasa lebih lembut. Kakinya terbenam sampai
ke lutut. Ia berhasil mengangkat kaki kanannya,
kemudian kaki kirinya. Kemudian ia melangkah
mundur, terengah-engah. Lelaki itu sedang duduk dengan kepala terkulai
seolah-olah bermuram durja. Mata perempuan itu
penuh dengan rasa rindu kepada lelaki itu seolaholah tergenang air mata. "Aku mencoba melarikan
diri, tetapi aku tak bisa bergerak."
Lelaki itu diam saja dan tak bergerak.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Aku tak bisa tinggal di sini!" Perempuan itu
berdiri kaku dan suaranya tersekat. Sikap membisu
lelaki itu dan kepalanya yang terkulai menimbulkan
kesan yang menakutkan. Apakah nasibnya akan
terikat pada nasib laki-laki itu untuk selama-lamanya"
Matahari sudah tinggi di langit. Sinarnya memancar, merah warnanya. Beberapa sudut danau itu
disambar api. Asap mengepul, menyembunyikan
langit dan bola matahari. Lelaki itu mengangkat
kepalanya, kemudian menggosok-gosok matanya.
"Asap itu karunia Tuhan, karena dapat menurunkan
suhu." Suara laki-laki itu tidak lagi menimbulkan gelombang amarah dalam tubuh perempuan itu. Sekarang,
pada wajah perempuan itu terlukis rasa putus asa.
Ia sedang berdiri bertelanjang kaki, dengan kepala
terkulai ke dadanya. Tulang-tulang tubuhnya meleleh
menyerah kalah dan tali tasnya tersampir di bahunya.
"Ya, memang, tak ada gunanya melawan."
Suara perempuan itu terdengar letih dan nyaris
tidak terdengar. Lelaki itu juga tidak dapat mendengar
suara itu. Kepala tertunduk lelaki itu tampaknya ada,
walau sedikit, rasa kemanusiaan di dalamnya. Ada
perasaan-perasaan yang mengikatnya kepada lelaki
itu. Tetapi yang pasti bukan cinta.
NAWAL EL-SAADAWI Kaki lelaki itu tiba-tiba tergelincir dan ia jatuh
terjerembab. Perempuan itu menolongnya berdiri,
dan menyeka debu dari tubuhnya. Tetapi lelaki itu
mendorong perempuan itu menjauhinya, dan otototot wajahnya tegang.
"Seandainya kau tidak berdiri seperti ini, pasti aku
tak akan terjatuh." "Kakimu tergelincir."
"Bukan kakiku!"
"Jika bukan kakimu, apa kalau begitu?"
"Kau! Kau berdiri menghalangi aku seperti ini."
Padahal perempuan itu berdiri jauh dari lelaki
itu. Apa pun yang terjadi, tidak mungkin ia yang
menyebabkan lelaki itu terjerembab. Namun, lelaki
itu tidak paham sebab yang lain. Lelaki itu percaya
pada dalil yang berikut ini: "Jika ada kemalangan
menimpa, itu pasti karena perempuan. Jika ada
keberuntungan datang menjelang, itu pasti karena
dirinya sendiri." Perempuan itu tidak mengucapkan sepatah kata
pun. Ia memegang kepalanya dengan kedua belah
tangannya. Ia harus berpura-pura, kaki lelaki itu tidak
tergelincir. Ialah penyebab lelaki itu terjerembab. Ia
harus minta maaf karena melangkah keluar, dan harus
memohon kepada lelaki itu untuk memaafkannya.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Perempuan itu bersimpuh di kaki lelaki itu. Matanya menatap lelaki itu, sementara lelaki itu berdiri
di situ. Ia tidak bergerak sama sekali. Ia berpura-pura
mati sejenak. Kemudian ia terbangun. Air terjun itu
terus menyembur, menenggelamkan segala-galanya.
Tetapi penduduk desa itu terus melakukan kegiatan
mereka, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Suara penjaja koran berkumandang. Lelaki itu sedang berdiri,
tidak bersuara sedikitpun. Keadaan yang sunyi
menegaskan bahwa segala-galanya lebih jelas tanpa
kata-kata. Tempayan itu ada di depan perempuan itu,
di belakangnya danau, dan hanya itu yang penting.
Tubuh perempuan itu terkapar kepayahan di tanah. Ia mengikatkan selendang ke sekeliling kepalanya dan ia menangis tersedu-sedu. Air matanya
tumpah, memanggang sudut-sudut matanya yang
bengkak. Air mata itu diserap oleh debu yang melekat
pada bulu matanya. Air mata itu mengalir di pipinya
seperti benang hitam. Perempuan itu menggerakkan kepalanya ke arah
lelaki itu. Lelaki itu sedang berdiri di tempatnya.
Ia menanggalkan bajunya dan dadanya tersingkap.
Dengan jari-jarinya ia mulai bermain-main dengan
pintalan-pintalan bulu dada itu yang lekat satu sama
lain. Ada sesuatu yang tidak manusiawi pada tubuh
telanjang itu. Perempuan itu tidak dapat meletakkan
NAWAL EL-SAADAWI kepalanya di atas dada itu. Sebuah segi empat lebar
yang terkunci seperti sebuah peti. Terpikir oleh
perempuan itu untuk mengungkit peti itu dengan
pahatnya. Tetapi tangannya tidak bergerak dari
sisinya. Pikiran itu sebuah khayal yang datang dan
pergi timbul tenggelam dalam benaknya.
Perempuan itu menjulurkan tangannya hendak
mengambil pahatnya. Saat itu rasa perih yang tajam
melintas di sisi tubuhnya. Seolah-olah sepotong
minyak beku menyelinap ke dalam paru-parunya
bersama udara. Perempuan itu menjerit dan cepat-cepat berpegangan pada kaki lelaki itu. Perempuan itu tetap
berdiri, agak ragu-ragu, tubuhnya lemas terkulai. Ia
tak berharap lelaki itu akan dapat menghilangkan
rasa nyeri itu. Tetapi lelaki itu ada di situ. Ada sesuatu
dalam kehadiran lelaki itu, atau dalam gerakan
perempuan itu, yang membuatnya memagut kaki
lelaki itu. Atau dalam gerak tubuh lelaki itu selain
gerak lambannya, atau dalam pandang terkejut dalam
mata lelaki itu. Ada sesuatu di situ yang menyejukkan
rasa perih perempuan itu.
Perempuan itu dapat menggerakkan kakinya beberapa langkah ke arah lelaki itu. Tangannya diletakkan
di buah dadanya, menahan rasa perih. Ia mendekati
lelaki itu sampai hanya selangkah jarak yang tinggal
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
di antara mereka. Tak pernah ia dalam hidupnya
menyaksikan paras seorang lelaki yang tampak demikian putus asa.
Perempuan itu mengangkat matanya ke arah langit. Matahari sedang terbenam, sinarnya semakin
redup. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya tengah membungkuk seolah-olah ia akan naik ke tempat tidur.
Lehernya menjulur ke depan membentuk sudut yang
tajam. Gerakan itu mengejutkannya dan ia kembali
meluruskan badannya. Ia berpegangan pada tali
tas di bahunya dan menariknya keras-keras. Tas itu
tergelincir dari bahunya dan jatuh ke tanah. Pahatnya
terlontar keluar dari tas itu tiba-tiba.
Angin segar berhembus. Perempuan itu membuka
kancing-kancing mantelnya dan terasa segar di kulitnya yang tak bertutup. Angin itu menyegarkan,
yang menghidupkan kembali ingatannya pada masa
bahagia ketika masih kanak-kanak. Tidak seluruh
masa kecilnya penuh dengan kesedihan. Ada juga
saat-saat bahagia. Saat ia duduk-duduk di jembatan
ketika matahari sedang terbenam. Ia melihat lelaki itu
memperhatikannya. Lelaki itu menatap dada telanjang
perempuan itu. Perempuan itu tak ingin menggoda
lelaki itu. Ia hanya menginginkan hembusan angin
sejuk itu. Angin itu menyegarkan kulitnya yang
memar dan mengeringkan peluhnya.
NAWAL EL-SAADAWI Tubuh telanjang perempuan itu wajar di bawah
tekanan hawa panas itu. Tetapi lelaki itu tetap saja
menatap ke dadanya, seolah-olah perempuan itu
membukanya untuk maksud tertentu. Perempuan
itu sudah akan menjulurkan tangannya hendak
mengacingkan mantelnya kembali, tetapi tak jadi. Ia
memejamkan matanya tak berdaya. Ya, ia sebenarnya
dapat lari. Bukankah ia sudah pernah lari sekali
sebelumnya" Bukankah ia sudah pernah membuat
lubang di dinding dan merangkak keluar agar bisa
cuti" Perempuan itu memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Di dalam tidak ada empat dinding yang
mengurungnya. Hanya bentangan cairan yang luas
semata-mata yang ada. Sebuah telaga atau danau
beralun ombak-ombak hitam. Ia dapat mencari
perahu atau membuat sendiri perahu dari batang
pohon palem. Ketika masih kecil ia sering membuat
perahu mainan dari daun pohon kurma. Ia juga
sering membuat kapal terbang dengan sayap dari
daun-daunan. Perempuan itu mulai mencoba bangkit berdiri.
Digerakkannya kakinya ke arah yang lain, menjauhi
lelaki itu. Perempuan itu bergerak menjauh beberapa
langkah. Ketika ia melihat lelaki itu dari kejauhan,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
lelaki itu tampak lebih manusiawi. Lelaki itu memandangnya dengan pandangan lebih lembut. Mata
perempuan itu terpaku pada lelaki itu. Lelaki itu
dapat memanggilnya jika ia mau. Tetapi laki-laki itu
diam saja, dan dalam sikap diamnya itu ada sesuatu
yang mencurigakan. Perempuan itu beranjak tidak lebih dari beberapa
langkah dan kemudian kembali. Lelaki itu sudah
masuk ke dalam rumah. Perempuan itu melihatnya
berbaring telentang dan membiarkan air menetes
ke dalam mulutnya dari sebuah botol. Dengan
tepi bibir bawahnya lelaki itu menyeka setetes air
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang jatuh ke bibir atasnya. Lelaki itu melihat ke
sekelilingnya seolah-olah tak berharap perempuan itu
menghampirinya. "Kau hanya memikirkan diri sendiri saja, bukan?"
"Ya, tetapi aku lebih baik dibandingkan dengan
banyak laki-laki yang lain."
"Itu sudah pasti."
"Besok akan aku beri kau bagianmu, bila hibah
uang itu telah dibayarkan."
"Besok aku tak akan ada di sini."
"Apa maksudmu?"
"Aku mohon. Bantulah aku kembali ke rumahku.
Suamiku sedang menungguku. Ia mungkin mulai
NAWAL EL-SAADAWI merasa curiga, dan atasan di tempatku bekerja juga
pasti mulai curiga seperti suamiku. Aku minta cuti,
dan itu menimbulkan rasa curiga. Tetapi aku tak
tertarik pada apa pun selain mencari dewi-dewi. Kau
sudah pernah mendengar Dewi Sekhmet, barangkali."
"Sakhmutt?" Lelaki itu merapatkan bibirnya ketika mengucapkan kata itu. Bibir bawahnya terlipat keluar dan
ia mengubah cara mengucapkan "t" kata itu.
"Apakah kau tak tahu apa-apa mengenai arkeologi?"
"Pada hari ulang tahun Baginda Raja, kami
diperintahkan untuk berfoya-foya."
"Berfoya-foya dengan apa?"
"Dengan botol-botol."
"Aku tak ingin sesuatu apa pun lagi."
"Apa masalahmu kalau begitu?"
"Aku tak mengerti mengapa kau tidak membebaskan aku."
"Membebaskanmu?"
"Ya. Aku manusia seperti kau, aku punya hak."
"Apa?" "Hak-hak perempuan! Apakah kau tak tahu hakhak perempuan?"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Kami belum pernah mendengar hal seperti itu.
Kami memiliki hak-hak laki-laki, hanya itu."
Perempuan itu menunduk dan menarik napas
panjang diam-diam. Wajahnya tertunduk dan bahunya
lunglai tiba-tiba. Tidak dicobanya menjawab. Katakatanya tampaknya tak punya arti. Lelaki itu juga
diam seribu bahasa. Ia menundukkan kepala seolaholah sedang mengamati kakinya. Atau barangkali
telah tertidur. Kemudian lelaki itu menegakkan
kepala, matanya menatap perempuan itu. "Mengapa
kau tak ingin tinggal di sini?"
"Pekerjaanku di sini."
"Mengapa kau ingin aku tinggal di sini?"
"Apakah pekerjaan kasar ini yang kau namakan
pekerjaan?" "Ada barisan panjang orang yang tak sabar
menunggu tempatku lowong."
Lelaki itu mengangkat lengannya dan menunjuk
ke sebuah garis hitam di cakrawala. Mata perempuan
itu mengikuti gerakan jari lelaki itu. Garis itu seperti
piringan yang miring, yang sedang menghilang ke
balik awan hitam yang buyar sepenggal ditembus
sinar matahari. Garis itu tampaknya bergerak, seperti bintik-bintik hitam, ribuan bintik, tampak
seperti kepala demi kepala yang melekat satu sama
NAWAL EL-SAADAWI lain, menunduk, bergerak ke depan perlahan-lahan
seolah-olah sedang berbaris. Bintik-bintik itu maju
selangkah demi selangkah, terbungkuk-bungkuk.
Laki-laki dengan kumis berpilin, perempuan tidak
berwajah dengan kepala terbalut ikat kepala. Badai
semakin besar dan awan-awan baru mulai bertebaran.
Bintik-bintik itu lenyap seluruhnya dari penglihatan.
Tidak ada bekasnya selain garis hitam yang muncul
bak sebuah busur di kaki langit.
Perempuan itu menggerakkan matanya ke arah
lelaki itu. Lelaki itu mengambil sebuah kapak dan
mulai mengetuk-ngetuk tanah. Lelaki itu sedang
mengisi tempayan-tempayan satu demi satu. Ia membelakangi perempuan itu. Perempuan itu berjingkat
menjauhkan diri dari situ. Ia dapat menjauhkan diri
sedikit demi sedikit dan lari. Barangkali ia dapat
berhasil lari sebelum lelaki itu berpaling kepadanya.
Perempuan itu melihat sepotong roti di rak kayu,
dan tiba-tiba merasa lapar. Ia melepaskan tasnya dari
bahunya dan mengulurkan tangan. Ia menggigit roti
itu sedikit, kemudian segigit lagi, dan kemudian
segigit lagi. Lelaki itu melihatnya makan. "Bagaimana
bisa kau makan makananku tetapi menolak patuh
padaku?" "Apakah ini makananmu?"
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Tentu saja." "Aku tidak makan dari peluh yang keluar dari alis
matamu. Aku juga berpeluh, seperti kau."
"Seperti aku?" "Ya. Misalnya, bukankah aku yang membawa tempayan ke perusahaan setiap hari?"
"Perusahaan!?" Kata itu terdengar aneh di telinga perempuan itu.
Kata yang penuh rahasia. Perusahaan. Apa itu" Siapasiapa pemilik perusahaan ini" Kepada siapa mereka
menjual tempayan-tempayan itu" Berapa mereka
bayar setiap hari untuk tempayan-tempayan itu"
Apakah lelaki itu mendapat upah" Sejak perempuan
itu datang, perempuan itu tidak mendapat apa-apa. Ia
tidak pernah memegang uang.
Dunia menjadi kabur di depan mata perempuan
itu. Ia menggerakkan kepalanya ke arah lelaki itu.
Lelaki itu memukul-mukul tanah dengan kapaknya,
pukulan demi pukulan. Gerakannya berat dan
lambat. Kemudian ia melemparkan kapak itu ke
samping. Ia menguap. Menyeka peluhnya dengan
lengan jallaba-nya. Ia mengisi keranjang itu sepenuhpenuhnya. Mengangkatnya perlahan-lahan dengan
gerakan lamban, kemudian menuangkan isinya ke
NAWAL EL-SAADAWI dalam tempayan. Tempayan itu retak dengan suara
keras. "Tidak baik perempuan bekerja demi uang."
"Kalau begitu, mengapa perempuan harus bekerja?"
"Untuk tujuan yang lebih besar."
Kata-kata itu tampak masuk akal. Ada tujuan lain
dalam kehidupan perempuan itu. Demi tujuan yang
lebih besar itu, ia dapat menyerahkan diri pada tujuan
yang lebih kecil. Pikiran ini melegakan hatinya.
Perempuan itu mengangkat tempayan dengan
satu tangan, dan meletakkannya di atas kepalanya.
Otot-otot lehernya meliuk karena beban itu. Tetapi
tempayan itu kembali berdiri tegak. Minyak beku
itu sangat lengket. Minyak itu bergerak dalam perut
tempayan, dan dari mulut tempayan muncul sesuatu
seperti uap. Perempuan itu bergerak menuju perusahaan. Permukaan danau memantulkan bayang-bayangnya.
Dengan tempayan di atas kepala ia tampak seperti
Dewi Hathur yang sedang membawa bola matahari
di antara kedua tanduknya.
Ia meregangkan otot-otot lehernya seolah-olah
bangga. Hawa panas muncul dari dasar tempayan
seperti panas matahari. Ia bergerak dengan langkah
tegas dan tegap, tidak peduli apa pun juga.
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
Dari kejauhan barisan itu tampak seperti sebuah
bintik hitam di atas hamparan luas yang bahkan
lebih hitam pekat. Sebidang tanah yang naik ke
langit seperti sebuah cerobong. Bidang tanah itu
mengeluarkan api dan butiran-butiran hitam yang
tampak merah dalam sinar matahari.
Barangkali perempuan itu lahir di sini dan ia
tak memiliki kehidupan yang lain. Ia menggerakkan
lehernya dengan gerakan tiba-tiba, dan tempayan itu
hampir saja jatuh. Ia mengangkat tangannya dan
menangkap tempayan itu dengan sigap.
Perusahaan itu tampak semakin jauh ketika ia
bergerak mendekatinya. Matahari menghilang dan
malam menyelimuti negeri itu. Malam tiba-tiba
merebahkan diri ke tanah seolah-olah hendak tidur.
Sejak masa kanak-kanak perempuan itu tak tahan
menjunjung apa pun di atas kepalanya. Ia mengangkat
tempayan itu dari kepalanya dan menggesernya ke
atas punggungnya. Barangkali ini cara membawa yang
lebih baik. Jika hawa panas mengalir di punggung,
hanya tulang yang ada di situ. Hawa panas di kepala
membuat otak meleleh. "Apakah ini sebabnya keledai membawa beban di
punggungnya, tidak di kepalanya?"
NAWAL EL-SAADAWI Pikiran ini mengherankan perempuan itu.
Pikirannya menjadi lebih hidup. Baginya, keledai
tampaknya lebih cerdik daripada kaum perempuan.
Ia juga mengerti sekarang mengapa laki-laki menolak
membawa beban di kepala mereka. Ia menggeser
tempayan itu ke bagian bawah punggungnya dan
beban itu rasanya lebih ringan. Hembusan angin
yang sejuk perlahan-lahan masuk ke dalam paruparunya. Kepalanya bebas dari beban itu dan sebuah
pikiran baru muncul dalam benaknya. Rasa herannya
bertambah semakin ia merenungkan pikiran itu.
Tubuhnya mulai bergetar. Gelombang perlawanan
menjalar ke seluruh tubuhnya seperti gigilan demam.
Perempuan itu menyeka peluh dari alis matanya
dengan lengan bajunya. Ia merenungi kehidupannya.
Apa yang menyebabkan ia tidak berdaya" Pada masa
kanak-kanak, apa yang ingin dilakukannya" Tubuhnya
lemas karena letih. Ia ingin menjadi nabi perempuan
seperti Peri Kesucian, yang pandai mengembalikan
gerak pada kaki yang lumpuh dan penglihatan pada
mata yang buta. "Nabi perempuan!" Kami belum pernah mendengar itu sebelum ini!"
"Perempuan itu mewarisi sakit gila ini dari bibinya."
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Iblis telah merasukinya dan ia menjadi keras
kepala." Perempuan itu memejamkan matanya dan tertidur.
Rasa putus asa dilawannya dengan tertidur. Pikirannya
mulai segar kembali. Harapan menjalar di seluruh
tubuhnya seperti cacing menyusup dalam tanah.
Ia melihat arloji di pergelangan tangannya. Waktu
berjalan juga, dan ia sedang berbaring. Ia meloncat
dan berdiri tegak. Ia menjulurkan tangannya dan
menjangkau pahatnya. Tanah berubah ketika minyak
berubah. Minyak berubah bersama gerakan matahari
dan angin. Napas perempuan itu naik turun menurut
besar kecil asa dalam dadanya, dan menurut tekanan
urat nadi dari jantung ke tangannya, dari tangan ke
pahatnya, dari pahat ke tanah, dan dari tanah ke
minyak, angin, dan matahari.
Segala-galanya mulai berputar-putar dalam keselarasan yang indah seolah-olah itu hukum alam. Jika
minyak berubah, segala-galanya di sekitar perempuan
itu juga berubah. Barangkali kekuatan minyak sulit
dipercaya atau kekuatannya sejenis kekuatan yang
tidak lazim. Minyak beku tidak seperti minyak cair,
dan ampas minyak di bagian bawah tempayan lain
kadar padatnya, dan sangat lain kadar kentalnya.
Dalam perut bumi, segala-galanya berubah, bahkan
kelembaban. Dalam kepala perempuan itu pikiran
NAWAL EL-SAADAWI demi pikiran berdatangan silih berganti, dan pahat
itu menghantam tanah pukulan demi pukulan, tanpa
tujuan. Tidak ada yang meninggalkan jejak, dan
segala-galanya berakhir dengan kehampaan.
Ketika perempuan itu tiba kembali, ia melihat
lelaki itu sedang berbaring, dengan mata nyalang dan
sebatang rokok menyala. Ia menggerakkan kepalanya
sedikit, ke arah perempuan itu dan bertanya, "Apakah
kau mengatakan sesuatu" Bukankah kau mengatakan
sesuatu?" Lelaki itu memandangi api rokok di
tangannya. Barangkali api berarti keselamatan.
"Apa katamu?" "Tidak ada." Perempuan itu mengucapkan kata "tidak ada"
dengan nada menyerah. Tempat itu disaput gelap.
Jika satu butir disambar api, api akan menyambar
segala-galanya. Bayangan mati karena terbakar tidak
menarik hati perempuan itu. Ia mengangkat kakinya
dan melangkah ke arah pintu. Ia memegang tombol
pintu dengan kedua tangannya. Pintu itu tak mau
terbuka. Pintu itu telah disusupi lembab dan bagian
bawahnya melekat ke tanah.
Lelaki itu mematikan rokoknya dengan tumit
sepatunya. Kemudian ia mengambil surat kabar dan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
bersembunyi di baliknya. Perempuan itu melihat
gambar Baginda Raja dan berita utamanya:
Dalam rangka rangkaian perayaan hari ulang tahu
beliau, Baginda Raja memerintahkan agar Tugu
Kemenangan dicuci.
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perempuan itu memejamkan matanya, kemudian
membukanya kembali. Ia melihat sesuatu yang bergerak
seperti ular. Binatang itu mengangkat ekornya ketika
melihatnya, seolah-olah memberi salam kepadanya.
Ia menganggukkan kepala membalas sapaan itu. Binatang itu menghembuskan udara dengan suara
yang dapat didengar. Perempuan itu menyadari binatang itu sedang mengatakan sesuatu kepadanya
dalam bahasa yang lain. Ia menganggukkan kepala
menandakan ia mengerti. Ular itu mengubah gerakannya dengan mendadak
karena tangan perempuan itu. Direnggutkannya surat
kabar dari tangan lelaki itu.
"Apa yang sedang terjadi tidak tertanggungkan
oleh siapa pun, tetapi kau berselonjor di kursimu dan
merokok dan membaca surat kabar, seolah-olah tak
ada yang salah dengan dunia ini."
"Apa yang salah?"
NAWAL EL-SAADAWI "Ini yang salah. Apa kau tak tahu?"
Mata lelaki itu mengikuti jari perempuan itu yang
menunjuk dengan gerakan melingkar.
Patung Kemenangan itu terbuat dari alabaster
yang dibalut dengan lapisan hitam butir-butir minyak. Sebelum dicuci, wajah patung itu tampak hitam
karena tertutup kotoran minyak.
Perempuan itu pasti hadir dalam perayaan itu.
Perintah telah diketik dan dimasukkan ke dalam
sampul surat berlambang burung elang. Kaum perempuan harus mencuci patung itu, sedangkan kaum
laki-laki harus berdiri berjajar menurut pangkat, dan
memberi hormat. Perempuan itu tak tahu berapa lama ia mencuci
patung itu. Patung itu menyerah saja tampaknya
pada apa yang dilakukan kepadanya. Perempuan itu
bernapas seirama dengan gerakan tangannya, dan
dengan irama detak jantungnya di bawah tulang
rusuknya, dan dengan detak arloji pada pergelangan
tangannya. Kerja mencuci tampak tak ada akhir,
dilakukan sesuka hati saja barangkali, sebuah upaya
untuk melepaskan diri dari beban-beban kerja yang
lain. Setelah dicuci, wajah patung itu menjadi putih
warnanya, seperti wajah Baginda Raja, gemuk berisi,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dada busung dan lebar, dengan dua buah dada besar
menonjol seperti wajah Dewi Ekhnaton.
Perempuan itu terus menatap patung itu, lama
sekali. Angin bertiup dari selatan dan menaburi
matanya dengan butir-butir minyak. Rasa perih
bertambah, sampai terbakar rasanya matanya dan ia
menutup kelopak matanya. Ia mendengar suara itu
datang dari belakang dan tangan lelaki itu hampir
menyentuhnya. Perempuan itu membuka matanya separuh. Lelaki
itu bukan laki-laki itu. Ia melihat seorang perempuan
berdiri, menjunjung di kepalanya bola Bumi atau
bola matahari. Perempuan ini bertanduk, dua tanduk
panjang yang berkeluk ujungnya. Sinar remang-remang, atau barangkali bengkak mata perempuan itu,
membuat lemah penglihatannya. Perempuan itu tak
dapat melihat wajah perempuan bertanduk itu. Ia tak
tahu pasti apa yang dijunjung perempuan bertanduk
itu. Pikiran perempuan itu tak mampu lagi memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Segalanya bercampur baur dalam benaknya bersama panas yang
sangat tinggi. Butir-butir peluh bertetesan dari
hidungnya. Ia tak kuat mengangkat tangannya untuk
menyeka peluhnya. Dibiarkannya peluhnya menetes
sejadi-jadinya bersama air matanya. Barangkali bola
NAWAL EL-SAADAWI matahari itu musuhnya. Pikirannya mulai bekerja
kembali setelah ia berbaring di tanah, tetapi suara
perempuan bertanduk itu menetak pikirannya, "Ayo
bangun, Saudariku, dan mandi. Selamat ulang tahun."
Perempuan itu membalikkan badannya di tempatnya terbaring dan melihat perempuan bertanduk itu
memperhatikannya. Jallaba perempuan bertanduk itu
panjang dan hitam. Ciri-ciri perempuan bertanduk itu
menyerupai ciri-ciri bibinya. Lehernya berpilin karena
beban. Di sisinya ada bak cuci. Perempuan bertanduk
itu memungut sepotong batu dan menggosok kulit
kakinya yang pecah-pecah dan menghilangkan
lapisan-lapisan hitam di situ. Ia menggosok kakinya
keras-keras seolah-olah kaki perempuan itu kaki
Patung Kemenangan. Gosokan itu membawa kantuk
yang nikmat menyegarkan dalam kepala perempuan
itu. Ia tak tahu hubungan antara kaki dengan kepala.
Jika bukan karena terik matahari, dan rasa agak
malu, ia sebenarnya dapat lebih menikmati kerja
mencuci patung itu. Ia tidak punya hubungan keluarga
dengan perempuan bertanduk itu; perempuan
bertanduk itu bukan bibinya. Ia menanggalkan
pakaiannya. Telanjang sangat menakutkan. Ia belum
pernah sebelumnya punya alasan untuk bertelanjang
bulat di depan perempuan atau laki-laki, dan terutama
di depan suaminya. Dalam penglihatan suaminya,
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
ia suci seperti Perawan Maria. Sedangkan atasannya
biasa memanggilnya Peri Kesucian. Sampai, suatu
saat, atasannya tiba-tiba menggeledahnya.
"Di mana pamflet itu?"
"Apa?" "Pamflet yang kau sembunyikan."
"Aku tidak menyembunyikan sesuatu apa pun."
"Aku melihatnya dalam genggamanmu, dalam
tulisan tanganmu, menentang Baginda Raja."
"Aku tidak pernah menulis apa pun."
"Angkat lenganmu!"
Perempuan itu mengangkat lengannya tinggitinggi. Ia merasa jari-jari lelaki itu mencari-cari di
antara buah dadanya. Jari-jari itu terus menurun ke
bagian-bagian yang terlarang.
"Ini melanggar kesucian tubuh."
Perempuan itu sedang berteriak-teriak ketika ia
siuman. Di mana hak-hak perempuan" Ia sedang
terbaring di tempat tidur. Di sekelilingnya ada
perempuan-perempuan penjunjung tempayan. Di
depan mata mereka ada awan. Selapis minyak hitam
menutupi bola mata mereka, dan ada perintah dari
Baginda Raja: "Setiap perempuan yang tertangkap
NAWAL EL-SAADAWI dengan kertas dan pena dalam genggamannya akan
dihukum." Setiap kali ia menatap mata perempuan-perempuan itu, bertambah rasa nyerinya. Perempuanperempuan itu menghilang satu demi satu. Salah satu
dari mereka menghilang terlebih dahulu, kemudian
diikuti oleh yang lain. Ia mendengar suara mereka
melalui dinding. Mereka terengah-engah dengan
suara terputus-putus. Ruas-ruas leher mereka sakit
karena beban tempayan. Derap langkah mereka di
tanah teredam. Angin membawa derap langkah itu
ke bawah jembatan tempat rumah-rumah desa itu
berdiri. Salak anjing datang dari kejauhan. Pertanyaan
itu berputar-putar dalam pikirannya, "Apakah
sebaiknya ia melarikan diri saja, atau sebaiknya ia
mengungkapkan rencananya kepada perempuanperempuan itu?"
*** Rencana itu belum diungkapkan. Dan atasannya
tempat ia bekerja telah mempersiapkan sebuah
laporan rahasia. Laporan-laporan tentang perempuan
itu ditulis secara rahasia. Seorang perempuan lain
telah menempati kursi perempuan itu di departemen
itu. Kau akan melihatnya duduk di kantor perempuan
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
itu sambil melemparkan pandangannya ke sekeliling
ruang itu, penuh rasa ingin tahu. Ia tidak berhenti
mengamati sekelilingnya, mencari sampai ia tahu
rahasia itu. Perempuan lain itu membuka semua
laci meja perempuan itu dan memeriksa semua surat
perempuan itu. Ia membaca sepucuk surat cinta yang
sudah lusuh. Beberapa syair dibacanya berulangulang. Di antara setiap bait napasnya naik berdesah
panjang. Dalam berkas rahasia itu, perempuan
lain itu menemukan tanggal lahir dan gambar bibi
perempuan itu dengan ikat kepala di kepalanya.
Matanya menatap rumah itu. Sebuah kamar tanpa
jamban di lorong. Rasa ingin tahu mendorongnya
untuk mengintip melalui celah di pintu. Dilihatnya
kamar itu gelap, tidak ada perabot di dalamnya.
Perempuan itu melirik ke suaminya yang sedang
membaca surat kabar. Suaminya menggerakkan
kepala sedikit dan hidungnya dapat dilihat dari
samping. Besar seperti paruh burung, hidung itu
seperti hidung Baginda Raja. Tetapi foto suaminya
tidak dimuat dalam surat kabar dan nama suaminya
tidak dikenal. Ia duduk tak bergerak dan hening
sehening-heningnya. Keheningan itu mempertegas
bahwa perempuan itu tidak hadir di situ. Jiwanya
penuh iri karena perempuan itu berhasil melarikan
diri. Bagaimana caranya ia melarikan diri" Ia meminta
NAWAL EL-SAADAWI cuti dan tidak kembali, bukan" Ia menyimpan
rahasia itu dalam hatinya tetapi kemudian rahasia
itu terbongkar juga. Desas-desus itu tersebar melalui
departemen arkeologi. Rekan-rekan kerjanya laki-laki
dan perempuan, berbisik-bisik satu sama lain dan
pandangan mata mereka menunjukkan rasa iri hati
mereka. Bukan tidak masuk akal rasa iri itu. Rasa iri itu
wajar sekali dalam mata semua pegawai. Karena tidak
ada orang yang lebih iri daripada pegawai, terutama
di departemen arkeologi. Pegawai laki-laki itu melihat
orang-orang di sekitarnya hilir-mudik, sementara ia
terperangkap di balik meja kayunya. Orang berbicara
tentang masa depan, dan ia hidup pada zaman
lalu bersama benda-benda hasil galian arkeologi.
Ia ditinggalkan kehidupan di belakang. Apakah ia
hidup atau mati, tidak ada yang berubah di jagad
raya. Tidak ada apa-apa di hadapannya selain dari
kantuk yang menyelinap dan menguasai lelaki itu,
ketika ia sedang membaca surat kabar atau mencari
dewa-dewi dalam perut bumi. Semacam cinta agung,
yang membuat lelaki itu ingin mati, atau pergi cuti.
*** LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
"Apakah kalian pernah bertengkar?"
"Tidak pernah," jawab suaminya di ruang
pemeriksaan itu. Inspektur polisi itu berputar di
kursinya. "Menurut Anda, apakah ada kemungkinan istri
Anda bunuh diri?" "Sama sekali tidak."
"Apakah ia pernah ingin mati?"
"Tidak pernah."
"Jika begitu, bagaimana Anda menjelaskan
lenyapnya istri Anda?"
"Tidak ada." "Ya, tidak ada."
"Tidak ada?" Suaminya mengatakan "Tidak ada" melalui bibirnya yang terkatup rapat. Ia menguap sampai
tulang gerahamnya gemeretak. Ia berpaling ke arah
para wartawan. Sebuah kamera bersinar dan menghanguskan permukaan matanya. Fotonya muncul di
halaman dalam. Gerahamnya persegi dan wajahnya
lebih panjang daripada seharusnya. Tidak ada ciriciri khas, kecuali tahi lalat di sebelah atas pipi kiri.
Sebuah senyum luput dari antara bibir yang terkatup
rapat. NAWAL EL-SAADAWI Sejak masa kanak-kanak, lelaki itu telah membayangkan melihat fotonya terpampang di sisi foto
Baginda Raja. Ibunya merapatkan kedua belah
tangannya ke arah langit, memanjatkan doa kepada
Peri Kesucian semoga putranya dapat menjadi seperti
Raja. Mengapa tidak, Peri Kecucian" Bukankah
ia tidak dilahirkan dari perut seperti perut yang
melahirkan Raja" Napas terengah-engah barisan perempuan itu telah
lenyap bersama dengan bayang-bayang hitam mereka.
Anjing mulai menyalak di kejauhan. Anjing tak
menyalak jika tidak ada alasan. Apakah perempuanperempuan itu merencanakan sebuah gerakan" Ada
api pemberontakan dalam mata mereka di bawah
awan butir-butir hitam. Perlawanan yang selalu sudah
pada titik siap untuk dilancarkan.
Perempuan itu membuka matanya dan terasa terik
matahari. Ia berceloteh seperti orang sedang demam
tinggi. Kata "perlawanan" berkumpul di sekitar
awan khayalannya. Ia melihat dirinya tersembunyi
seperti sebuah tempayan di atas kepala perempuanperempuan itu. Mereka sedang menggotongnya di
sepanjang lorong desa. Mata mereka mengamatinya
dari atap-atap rumah. Mereka menendang-nendang
tanah dengan kaki mereka, dan gambar Baginda Raja
berayun-ayun di puncak tonggak, kemudian gambar
Love In The Kingdom Of Oil Karya Nawal El-saadawi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
itu jatuh ke kaki mereka, dan gambar itu mereka
injak-injak. Perempuan itu memijit-mijit matanya dengan
ujung jarinya. Rasa sakit itu membakarnya, dan ia
tertelentang di tanah, lena selena-lenanya. Seekor lalat
menghampiri dan hinggap di batang hidungnya.
Lalat itu mulai menggigit sedikit-sedikit kulitnya yang
terkelupas. Ia mengangkat tangan hendak mengusir
lalat itu, tetapi lalat itu tetap hinggap di batang
hidungnya. Di tangannya yang satu lagi, tergeletak
pahatnya, tidak bergerak-gerak. Anjing menyalak
bersahut-sahutan di kejauhan, anak-anak berlemparan
batu satu sama lain, dan lelaki bergandengan tangan
satu sama lain. Minyak tersembur dari segala penjuru
dan warna langit ditelan gelap.
"Siapkan makan malam!"
Suara lelaki itu menusuk telinga perempuan itu.
Nada memerintah, hal yang wajar ketika seorang
suami mengatakan sesuatu kepada istrinya. Pembantu
rumah tangga yang tidak dibayar. Bukankah lelaki itu
suaminya" Perempuan itu tak tahu kapan lelaki itu
mengawininya. Barangkali lelaki itu mengawininya
ketika ia tak ada, dan surat perkawinan disiapkan
ketika ia tak ada. Lagi pula perempuan itu tidak
menghadiri upacara perkawinannya, dan semua
NAWAL EL-SAADAWI urusan tata usaha untuk itu dapat diselesaikan tanpa
dia. Otot-otot jari perempuan itu mencengkeram
pahat itu. Gelegak amarah muncul tiba-tiba, yang
memompakan darah ke dalam otot-otot itu. Ia
mengangkat tangan dan menghantam perut bumi.
Kepala pahat itu membentur sesuatu yang keras.
Sebuah patung perunggu atau alabaster, tetapi warnanya tak terlalu kusam, seperti kaca gunung api.
Jari-jarinya gemetar ketika ia menarik patung
itu keluar. Ujung-ujung jarinya mengusap-usap permukaan halus patung itu. Dibelainya leher dan dada
patung itu. Tangannya menyentuh buah dada yang
besar menonjol. Patung itu patung Dewi Hathur,
bertelanjang dada, sedang memegang buah dadanya
dengan tapak tangannya, dan dalam keadaan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya, sambil menggenggam
sepasang ular. Perempuan itu pasti dapat menarik patung itu
keluar seandainya laut minyak tidak mendidih dan
membenamkan segala-galanya. Mungkinkah ini air
bah Nabi Nuh" Ia pernah membaca tentang air bah
itu dalam buku arkeologi, tahun-tahun kelaparan dan
kekeringan, dan padang pasir yang bertambah luas
serta gunung-gunung yang tinggi. Bumi sedang di
ambang Zaman Es dan muncul keadaan tak seimbang
LOVE IN THE KINGDOM OF OIL
dalam keseimbangan bumi yang maha penting itu.
Kerajaan itu tumbang setelah bunda dewi terbunuh.
"Siapkan makan! Aku lapar!"
Kali ini perempuan itu tidak mendengar. Suara
semburan minyak meredam segala-galanya. Jari-jari
perempuan itu yang memegang pahatnya, mengendur
dan lemas kembali. Arus minyak pasti merenggutkan
pahat itu dari genggaman perempuan itu seandainya
ia tidak menjulurkan tubuh sejauh mungkin dan
mengintip dari tepi. Minyak yang berputar-putar itu
menyerupai pusaran air. Minyak itu berputar secepat
bumi berputar. Asap mengepul dari situ seolah-olah
cairan itu mendidih. Perempuan itu berpakaian
seperti seorang anak yang memanggil-manggil,
Memburu Iblis 1 Candika Dewi Penyebar Maut I X Rajawali Emas 8