Pencarian

Pertempuran Labirin 1

Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan Bagian 1


Percy Jackson and the Olympians"The Battle of the Labyrinth (Pertempuran Labirin)
"Rick Riordan" BAB SATU Aku Bertarung dengan Regu Pemandu Sorak
Hal terakhir yang ingin kulakukan pada libur musim panasku adalah lagi-lagi meledakkan sekolah. Tapi di
sanalah aku, pada Senin pagi, minggu pertama Juni, duduk dalam mobil ibuku di depan Goode High
School di East 81st. Goode berupa gedung besar dari batu cokelat yang menghadap ke Sungai East. Sekumpulan mobil BMW
dan Lincoln Town diparkir di luar, di depannya. Sambil menengadah ke gerbang batu lengkung keren itu
aku bertanya-tanya berapa lama aku punya waktu sebelum diusir dari tempat ini.
"Santai saja." Ibuku tidak terdengar santai. "Ini Cuma tur orientasi. Dan ingat, Sayang, ini sekolah Paul.
Jadi, kalau bisa jangan ... kau tahulah."
"Menghancurkannya?"
"Iya." Paul Blofis, pacar ibuku, berdiri di depan gedung, menyambut calon-calon murid kelas sembilan saat
mereka menaiki undakan. Dengan rambut kelabu keperakan, pakaian denim, dan jaket kulit, dia
mengingatkanku pada seorang aktor TV, tapi dia cuma guru Bahasa Inggris. Dia berhasil meyakinkan
Goode High School agar menerimaku di kelas sembilan meskipun aku telah dikeluarkan dari semua
sekolah yang pernah kumasuki. Aku sudah mencoba memperingatkan bahwa itu bukan ide bagus, tapi
dia tak mau mendengarkan.
Kupandangi ibuku. "Ibu belum memberi tahu dia yang sebenarnya tentang aku, ya?"
Ibuku mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan gugup ke roda setir. Dia berdadan untuk wawancara
kerja"dengan rok birunya yang terbagus dan sepatu hak tingginya.
"Ibu pikir sebaiknya kita menunggu," akunya.
"Supaya kita nggak menakuti dia."
"Ibu yakin orientasinya bakal baik-baik saja, Percy. Cuma pagi ini saja."
"Baguslah." gumamku. "Aku bahkan bisa dikeluarkan sebelum tahun ajaran dimulai."
"Berpikirlah positif. Besok kau akan berangkat ke perkemahan! Setelah orientrasi, kau punya janji
kencan?" "Itu bukan kencan!" protesku. "Cuma Annabeth, Bu. Ya ampun!"
"Dia datang jauh-jauh dari perkemahan untuk menemuimu."
"Yah, memang sih."
"Kalian bakal pergi nonton."
"Iya." "Cuma kalian berdua."
"Bu!" Ibuku mengangkat kedua tangannya, menyerah, tapi aku tahu dia berusaha keras agar tidak tersenyum.
"Lebih baik kau masuk, Sayang. Sampai ketemu nanti malam."
Aku hampir keluar dari mobil ketika aku memandang ke arah undakan sekolah. Paul Blofis sedang
menyapa seseorang gadis berambut merah keriting. Dia mengenakan T-shirt merah marun dan jin lusuh
berhiaskan gambar-gambar yang dibuat dengan spidol. Saat dia berbalik, kulihat sekilas wajahnya, dan
bulu-bulu di lenganku pun berdiri tegak.
"Percy?" tanya ibuku. "Ada masalah apa?"
"Ng-nggak ada," kataku terbata-bata. "Apa sekolah ini punya pintu masuk samping?"
"Lurus di blok ini terus belok kanan. Kenapa?"
"Sampai ketemu nanti."
Ibuku mulai mengatakan sesuatu, tapi aku langsung keluar dari mobil dan berlari, berharap agar si gadis
berambut merah tidak melihatku.
Apa yang dia lakukan di sini" Peruntunganku tak mungkin sejelek ini, kan.
Yeah, betul sekali. Aku bakal menemukan bahwa peruntunganku memang bisa lebih jelek lagi.
Menyelinap diam-diam untuk mengikuti orientasi ternyata tidak terlalu sukses. Dua pemadu sorak
berseragam ungu-putih sedang berdiri di pintu masuk samping menunggu untuk menyergap para murid
baru. "Hai!" Mereka tersenyum, yang menurut tebakanku adalah pertama dan terakhir kalinya ada pemandu
sorak yang seramah itu padakku. Yang satu pirag dengan mata biru sedingin es. Yang lain adalah gadis
Afro-Amerika dengan rambut gelap keriting seperti rambut Medusa (dan percayalah padaku, aku tahu
apa yang kubicarakan). Nama kedua gadis itu tersulam melingkar-melingkar di masing-masing seragam
mereka, tapi berkat diseleksiaku kata-kata itu terlihat bagaikan spageti tanpa arti.
"Selamat datang di Goode," si gadis pirang berkata. "Kau bakal suka banget sama sekolah ini."
Tapi saat dia memandangiku naik-turun, raut wajahnya mengatakan sesuatu yang lebih mirip seperti,
Ihhh, siapa sih pecundang ini"
Gadis yang satu lagi melangkah mendekatiku, terlalu dekat sehingga rasanya tak nyaman. Aku
mempelajari sulaman di seragamnya dan berhasil membaca Kelli. Dia berbau seperti mawar dan sesuatu
yang lain yang kukenal dari pelajaran berkuda di perkemahan"aroma kuda yang baru saja dimandikan.
Bau yang aneh bagi seorang pemandu sorak. Mungkin dia puya kuda atau apalah. Pokoknya, dia berdiri
begitu dekat sehingga aku punya firasat dia bakal mencoba mendorongku jatuh ke anak tangga. "Siapa
namamu, Ikan?" "Ikan?" "Anak baru." "Eh, Percy." Gadis-gadis itu bertukar pandang.
"Oh, Percy Jackson," kata si pirang. "Kami sudah menunggumu."
Merema mengirimkan O-ow gawat yang membuat bulu kudukku merinding. Mereka menghalangi pintu
masuk, tersenyum dengan cara yang tidak begitu ramah. Tanganku merayap secara instingtif ke saku,
tempatku menyimpan bolpenku yang mematikan, Reptide.
Lalu suara lain datang dari dalam bangunan. "Percy?" Itu Paul Blofis, di suatu tempat di lorong. Aku tidak
pernah selega ini mendengar suaranya.
Para pemandu sorak mundur. Aku tak sabar ingin melewati mereka sehingga lututku tak sengaja
menabrak paha Kelli. Klang. Kakinya menghasilkan bunyi rongga kosong seperti logam, seolah aku baru saja menabrak tiang bendera.
"Aduh," gumamnya. "Lihat-lihat dong, Ikan."
Aku menatap ke bawah, tapi kakinya terlihat kaki yang biasa-biasa saja. Aku terlalu takut untuk
mengajukan pertanyaan. Aku melejit ke lorong, para pemandu sorak itu tertawa-tawa di belakangku.
"Rupanya kau di situ!" kata Paul kepadaku. "Selamat datang di Goode!"
"Hei, Paul"eh, Pak Blofis." Aku melirik ke belakang, tapi para pemandu sorak aneh sudah menghilang.
"Percy, kau kelihatan seperti baru melihat hantu."
"Iya, eh?" Paul menepuk punggungku. "Dengar, aku tahu kau gugup, tapi jangan khawatir. Kami punya banyak
murid di sini yang menderita GPPH (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas) dan diseleksia.
Guru-guru tahu bagaimana caram membantumu."
Aku hampir saja ingin tertawa. Seandainya saja GPPH dan diseleksia adalah kekhawatiranku yang
terbesar. Maksudku, aku tahu Paul mencoba menolong, tapi kalau kuberi tahu dia yang sebenarnya
tetang diriku, entah dia bakal berpikir aku ini gila atau dia bakal lari kabur sambil menjerit-jerit. Para
pemandu sorak itu, misalnya. Aku punya firasat buruk soal mereka ....
Lalu aku melihat ke arah lorong, dan kuingat aku punya masalah lain. Si gadis berambut merah yang
kuingat di undakan depan baru saja masuk lewat pintu utama.
Jangan lihat aku, doaku. Dia melihatku. Matanya membelalak.
"Di mana orientasinya?" Aku menanyai Paul.
"Di gimnasium. Ke arah situ. Tapi?"
"Daah." "Percy?" Dia berseru, tapi aku sudah lari.
Kupikir aku berhasil meloloskan diri darinya.
Sekumpulan anak-anak sedang menuju gimnasium, dan segera saja aku hanyalah salah seorang dari tiga
ribu anak empat belas tahun yang semuanya dijejalka ke bangku penonton. Marching band memainkan
lagu pertempuran sumbang yang terdengar seakan ada orang yang memukul-mukul sekarung kucing
dengan tongkat bisbol logam. Anak-anak yang lebih tua, kemungkinan pengurus OSIS, berdiri di depan
sambil memeragakan seragam sekolah Goode dan memamerkan sikap, Hai, kami keren, lho. Para guru
mondar-mandir, tersenyum dan berjabat tangan dengan para murid. Dinding gim ditempeli spanduk
besar ungu-putih yang berbunyi SELAMAT DATANG CALON MURID BARU, GOODE MEMANG BAGUS,
KITA SEMUA SEKELUARGA, dan aneka slogan bahagia yang kurang lebih membuatku ingin muntah.
Tak satu pun murid baru lain terlihat antusias berada di sini juga. Maksudku, datang ke orientasi di bulan
Juni, padahal seolah belum dimulai sampai bulan September, tidaklah keren. Tapi di Goode, "Kami siap
untuk unggul lebih awal!" Paling tidak begitulah kata brosur.
Marching band berhenti bermain. Seorag laki-laki yang mengenakan setelan garis-garis menghampiri
mikrofon dan mulai bicara, tapi suaranya bergema di sepenjuru gimnasium sehingga aku sama sekali
tidak tahu apa yang dia katakan. Dia bisa saja sedang kumur-kumur.
Seseorang mencengkeram bahuku. "Ngapain kau di sini?"
Ternyata dia: mimpi burukku yang berambut merah.
"Rachel Elizabeth Dare," kataku.
Rahangnya ternganga seolah dia tidak bisa percaya aku berani-beraninya mengingat namanya. "Dan kau
Percy apalah. Aku nggak ingat nama lengkapmu. Desember lalu waktu kau mencoba membunuhku."
"Dengar ya, aku nggak"maksudku"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Sama sepertimu, kurasa. Orientasi."
"Kau tinggal di New York"
"Apa, kau pikir aku tinggal di Bendunga Hoover?"
Hal itu tidak pernah terpikir olehku. Kapan pun aku memikirkan dia (bukan berarti aku bilang aku
memikirkan dia: dia cuma terlintas di benakku sesekali, oke"), aku selalu mengira dia tinggal di wilayah
Bendungan Hoover, karena disanalah aku bertemu dengannya. Saat itu kami mungkin menghabiskan
sepuluh menit bersama, dan selama itu aku taksengaja mengayunkan pedang ke arahnya, dia
menyelamatkan nyawaku, dan aku lari kabur seraya dikejar-kejar sekawanan mesin pembunuh
supranatural. Kau tahulah, semacam perjumpaan kebetulan yang biasa saja.
Seorang cowok di belakang kami berbisik, "Hei, diam. Para pemandu sorak lagi ngomong!"
"Hai, Teman-Teman!" Seorang gadis berceloteh ke mikrofon. Dia adalah si pirang yang kulihat di pintu
masuk. "Namaku Tammi, dan yang ini, tahu, kan, Kelli." Kelli melakukan gerakan meroda.
Di sebelahku, Rachel terpekik, seolah-olah seseorah telah menusuknya dengan peniti. Beberapa anak
melihat ke arahnya dan mencemooh, tapi Rachel semata memandangi para pemandu sorak dengan
ngeri. Tammi tampaknya tidak menyadari seruan itu. Dia mulai bicara tentang segala macam kegiatan
hebat yang bisa kami ikuti selama tahun pertama kami.
"Lari." Rachel memberitahuku. "Sekarang."
"Kenapa?" Rachel tidak menjelaskan. Dia mendorong-dorong untuk mendapatkan jalan ke tepi bangku penonton,
mengabaikan para guru yang mengerutkan kening dan gerutuan anak-anak yang diinjaknya.
Aku ragu-ragu. Tammi sedang menjelaskan bagaimana kami akan dipecah ke dalam kelompok-kelompok
kecil dan melakukan tur keliling sekolah. Kelli menangkap pandangan mataku dan memberiku senyuman
geli, seolah dia menunggu-nunggu untuk melihat apa yang bakal kulakukan. Akan terlihat buruk kalau
aku pergi sekarang. Paul Blofis ada di bawah sana bersama guru-guru yang lain. Dia akan bertanya-tanya
apa yang salah. Lalu aku memikirkan Rachel Elizabeth Dare, dan kemampuan istimewa yang dia tunjukkan musim dingin
lalu di Bendungan Hoover. Dia bisa melihat sekelompok penjaga kemanan yang sama sekali bukan
penjaga keamanan, yang bahkan sama sekali bukan manusia. Jantungku berdebar-debar, aku bangkit
dan mengikutinya ke luar gimnasium.
Aku menemukan Rachel di ruangan band. Dia sedang bersembunyi di balik drum bass di seksi perkusi.
"Ayo ke sini." Katanya. "Tundukkan kepalamu!"
Aku merasa agak tolol, bersembunyi di balik sekumpulan bongo, tapi aku berjongkok di sampingnya.
"Kenapa mereka mengikutimu?" tanya Rachel.
"Maksudmu para pemandu sorak?"
Dia mengangguk gugup. "Kayaknya nggak tuh,"kataku. "Mereka itu apa" Apa yang kau lihat?"
Mata hijaunya diselimuti rasa takut. Dia punya percikan bintik-bintik di wajahnya yang mengingatkanku
pada rasi bintang. T-shirt merah marunnya memuat tulisa FAK. SENI HARVARD. "Kau ... kau nggak bakal
percaya padaku." "Oh, iya, aku bakal percaya," janjiku. "Aku tahu kau bisa melihat menembus Kabut."
"Apa?" "Kabut. Itu ... yah, semacam tabir yang menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Beberapa
manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk melihat menembusnya. Seperti kau."
Dia menelaahku dengan saksama. "Kau melakukan itu di Bendungan Hoover. Kau menyebutku manusia.
Seakan kau bukan." Aku merasa ingin meninju bongo. Apa tadi yang kupikirkan" Aku takkan pernah bisa menjelaskan. Aku
bahkan semestinya tak mencoba.
"Kasih tahu aku, dong." Dia memohon. "Kau tahu artinya, bukan" Semua hal mengerikan yang kulihat
ini?" "Well, oke, ini bakal kedengaran aneh. Apa kau tahu apa pun tentang mitologi Yunani"
"Kayak ... Minotaurus dan Hydra?"
"Iya, hanya saja coba jangan ucapkan nama-nama itu waktu aku ada di dekatmu, oke?"
"Dan Erinyes," katanya, melakukan pemanasan. "Dan Siren, dan?"
"Oke!" Aku melihat ke sekeliling aula band, yakin bahwa Rachel akan membuat sekumpulan makhluk
haus darah mengerikan menyembul keluar dari dinding, tapi kami masih sendirian. Dari lorong,
kudengar gerombolan anak-anak keluar dari gimanasium. Mereka memulai tur kelompok. Kami tidak
punya waktu lama untuk bicara.
"Semua monster itu" kataku, "semua dewa Yunani"mereka nyata."
"Sudah kuduga!"
Aku akan merasa lebih nyaman seandainya dia menyebutku pembohong, tapi Rachel terlihat seolah aku
baru saja mengonfirmasi kecurigaannya yang terburuk.
"Kau nggak tahu berapa berat rasanya," katanya. "Selama bertahun-tahun kupikir aku ini gila. Aku nggak
bisa memberi tahu siapa pun. Aku nggak bisa?" Matanya menyipit. "Tunggu. Siapa kau" Maksudku
yang sebenarnya?" "Aku bukan monster."
"Yeah, aku tahu kok. Aku bisa melihat seandainya kau memang monster. Kau terlihat seperti ... kau. Tapi,
kau bukan manusia, ya?"
Aku menelan ludah. Meskipun kupikir aku sudah melalui tiga tahun untuk membiasakan diri akan siaoa
diriku, aku tidak pernah membicarakanya dengan manusia fana yang awam sebelumnya"maksudku,
selain ibuku, tapi dia sudah tahu sebelumnya. Aku tidak tahu kenapa, tapi akhirnya kuberanikan diriku.
"Aku blasteran," kataku. "Aku separuh manusia."
"Dan, separuh lagi apa?"
Tepat saat itu Tammi dan Kelli melangkah masuk ke ruangan band. Pintu terbanting, tertutup di
belakang mereka. "Rupanya kau di situ, Percy Jackson," kata Tammi. "Waktunya untuk orientasimu."
"Mereka mengerikan!" Rachel terkesiap.
Tammi dan Kelli masih mengenakan kostum pemandu sorak ungu-putih mereka, memegang pom-pom
dari pertemuan tadi. "Mereka sebenarnya terlihat seperti apa?" tanyaku, tapi Rachel tampaknya terlalu ling-lung untuk
menjawab. "Oh, lupakan dia." Tammi memberiku senyuman cemerlang dan mulai berjalan menghampiri kami. Kelli
tetap berada dekat pintu, menghalangi jalan keluar kami.
Mereka telah menjebak kami. Aku tahu kami harus melawan untuk keluar, tapi senyuman Tammi begitu
menyilaukan sehingga mengalihkan perhatianku. Mata birunya indah, dan bagaimana rambutnya
menyapu bahunya .... "Percy," Rachel memperingatkan.
Aku mengatakan sesuatu yang betul-betul cerdas seperti, "Ehhh?"
Tammi makin dekat. Dia mengulurkan pom-pom-nya.
"Percy!" Suara Rachel seolah berasal dari tempat yang sangat jauh. "Sadar, dong!"
Perlu seluruh tekadku, tapi aku berhasil mengeluarkan bolpen dari sakuku dan membuka tutupnya.
Reptide membesar menjadi pedang perunggu sepanjang semeter, bilahnya berkilau dengan cahaya
pucat keemasan. Senyuman Tammi berubah menjadi cemoohan.
"Oh, ayolah," protesnya. "Kau tidak memerlukan itu. Bagaimana kalau diganti ciuman saja?"
Dia berbau bagaikan mawar dan bulu binatang yang bersih"bau yang aneh tapi entah bagaimana
memabukkan. Rachel mencubit lenganku, keras-keras. "Percy, dia mau menggigitmu! Lihat dia!"
"Dia Cuma cemburu." Tammi menoleh kepada Kelli. "Bolehkah, Nona?"
Kelli masih menghalangi pintu, menjilat bibirnya dengan lapar. "Silakan, Tammi. Kerjamu bagus."
Tammi melangkah maju lagi, tapi aku munyorongkan ujung pedangku ke dadanya. "Mundur."
Dia menyeringai. "Anak baru," katanya dengan muak. "Ini sekolah kami, Blasteran. Kami memakan siapa
pun yang kami pilih!"
Lalu dua mulau berubah. Rona menghilang dari wajah dan lengannya. Kulitnya berubah menjadi seputih
kapur, matanya sepenuhnya merah. Giginya tumbuh menjadi taring.
"Vampir!" Aku tergagap. Lalu kulihat kakinya. Di bawah rok pemandu sorak, kaki berwarna cokelat dan
berjumbai dengan kuku kaki keledai. Kaki kanannya berbentuk seperti kaki manusia, tapi terbuat dari
perunggu. "Uhh, vampir ber?"
"Jangan sebut-sebut soal kaki!" bentak Tammi. "Mengolok-olok tuh nggak sopan!"
Dia maju dengan kaki anehnya yang tidak cocok satu sama lain. Dia terlihat betul-betul aneh, terutama
dengan pom-pom, tapi aku tak bisa tertawa"tidak saat menghadapi mata merah serta taring tajam itu.
"Vampir, katamu?" Kelli tertawa. "Legenda konyol itu didasarkan pada kami, dasar bodoh. Kami adalah
empousa, pelayan Hecate."
"Mmmm." Tammi tertatih-tatih semakin dekat denganku. "Sihir hitam membentuk kami dari hewan
logam, dan hantu! Kami ada untuk menyantap darah pria-pria muda. Nah, ayo beri aku ciuman itu!"
Dia memamerkan taring-taringnya. Aku jadi lumpuh karena ketakutan sehingga aku tidak bisa bergerak,
tapi Rachel melemparkan snare drum ke kepala si empousa.
Si monster mendesis dan memukul drum itu menjauh. Drum itu menggelinding di sepanjang lorong
antara penyangga-penyangga partitur, pegasnya berkelontangan menabrak permukaan drum. Rachel
melemparkan xilofon, tapi si monster semata menepuknya menjauh juga.
"Aku biasanya tidak membunuh anak perempuan," geram Tammi. "Tapi untukmu, manusia fana, aku
akan membuat pengecualian. Penglihatanmu sedikit terlalu bagus!"
Dia menyerang Rachel. "Tidak!" Aku menyabet dengan Reptide. Tammi mencoba menghindari bilah mata pedangku, tapi aku
tepat mengiris menembus seragan pemandu soraknya dan dengan lolongan mengerikan dia pun
meledak menjadi debu di sekujur tubuh Rachel.
Rachel terbatuk. Dia terlihat seolah baru saja ada sekarung terigu yang ditumpahkan di atas kepalanya.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menjijikkan!" "Monster memang begitu," kataku. "Sori."
"Kau membunuh aak didikku!" teriak Kelli. "Kau perlu pelajaran soal semangat sekolah, Blasteran!"
Lalu dia pun mulai berubah. Rambut kawatnya berubah menjadi kobaran api yang merintih. Matanya
jadi merah. Dia menumbuhnkan taring. Dia berlari dengan langkah panjang ke arah kami, kaki kuningan
dan kaki keledainya berderap tak seragam di lantai ruangan band.
"Aku empousa senior," geramnya. "Tidak ada pahlawan yang pernah mengalahkanku selama seribu
tahun." "Oh ya?" kataku. "Berarti sudah saatnya."
Kelli jauh lebih sigap daripada Tammi. Dia menghindari serangan pertamaku dan berguling ke seksi brass,
menjatuhkan sederet trombon dengan tabrakan nyaring, Rachel susah payah menghindar. Aku
menempatkan diri di antara dirinya dan si empousa. Kelli mengitari kami, matanya beralih dari aku ke
pedang. "Bilah kecil yang cantik sekali," katanya. "Sayang sekali ia menjadi penghalang di antara kita."
Sosoknya berdenyar"kadang-kadang monster kadang-kadang pemandu sorak cantik. Aku berusaha
tetap memfokuskan pikiranku, tapi hal itu sungguh mengalihkan perhatian.
"Kasihan." Kelli terkekeh. " Kau bahkan tak tahu apa yang terjadi, ya" Segera, perkemahan kecil
indahmu akan terbakar, teman-temanmu akan dijadikan budak Sang Penguasa Waktu, dan tidak ada
yang bisa kau lakukan untuk menghentikannya. Mengakhiri hidupmu sekarang adalah hal yang welas
asih, sebelum kau harus menyaksikan itu."
Dari lorong, kudengar suara-suara. Kelompok tur tengah mendekat. Seorang pria mengucapkan sesuatu
tentang kombinasi loker. Mata si empousa menyala-nyala. "Sempurna! Kita akan kedatangan teman!"
Dia mengambil sebuah tuba dan melemparkannya kepadaku. Rachel dan aku menunduk. Tuba itu
melesat di atas kepala kami dan jatuh menabrak jendela.
Suara-suara di lorong terdiam.
"Percy!" teriak Kelli, pura-pura ketakutan, "kenapa kau melemparkan itu?"
Aku terlalu kaget untuk menjawab Kelli mengambil penyangga partitur dan menjatuhkan sederet
klarinet serta seruling. Kursi-kursi dan alat-alat musik jatuh menghatam latai.
"Hentikan!" kataku.
Orang-orang berpacu di lorong sekarang, menghampiri kami.
"Waktunya menyambut para tami!" Kelli memamerkan taringnya dan berjala ke pintu. Aku
mengenjarnya dengan Reptide. Aku harus menghentikannya agar tidak menyakiti manusia-manusia fana.
"Percy, jangan!" teriak Rachel. Tapi aku tidak menyadari apa rencana Kelli sampai sudah terlambat.
Kelli menjeblak pintu hingga terbuka. Paul Blofis dan sekumpulan murid baru melangkah mundur karena
kaget. Aku mengangkat pedangku.
Pada detik terakhir, si empousa menoleh ke arahku seperti korban yang mengkeret. "Oh jangan,
kumohon!" tangisnya. Aku tidak bisa menghentikan pedangku. Bilahnya sudah bergerak.
Tepat sebelum perunggu langit menghantamnya, Kelli meledak menjadi kobaran api bagaikan bom
Molotov. Gelombang api memerciki segalanya. Aku tak pernah melihat monster melakukan sesuatu
seperti itu sebelumnya, tapi aku tidak punya waktu untuk bertanya-tanya soal itu. Aku mundur ke
ruangan band saat kobaran api menelan ambang pintu.
"Percy?" Paul Blofis terlihat betul-betul tercengang, menatapku dari sebrang api. "Apa yang sudah kau
lakukan?" Anak-anak menjerit dan berlari menyusuri lorong. Alarm kebakaran melolong. Semprotan air di langitlangit mendesis menyala.
Dalam kekacauan, Rachel menarik-narik lengan bajuku. "Kau harus keluar dari sini!"
Dia benar. Sekolah sedang terbakar dan aku akan dituduh bertanggung jawab. Manusia tidak bisa
melihat menembus Kabut dengan benar. Bagi mereka kelihatannya aku baru saja menyerang seseorang
pemandu sorak tanpa daya di hadapan sekumpulan saksi mata. Tidak mungkin aku bisa menjelaskannya.
Aku berpaling dari Paul dan berlari cepat ke arah jendela ruangan band yang pecah.
Aku keluar dari gang ke East 81st dan berlari, tepat berpapasan denga Annabeth.
"Hei, kau datang lebih awal!" Dia tertawa, mencengkeram bahuku untuk mencegahku jatuh ke jalan.
"Hati-hati kalau jalan, Otak Ganggang."
Selama persekian detik suasana hatinya bagus dan segalanya baik-baik saja. Dia mengenakan jin dan Tshirt jingga perkemahan dan kalung manik-manik tanah liatnya. Rambut pirangnya ditarik ke belakang
membentuk ekor kuda. Mata kelabunya berkilau. Dia tampak siap nonton film, menjalani siang yang
asyik sambil nongkrong bareng.
Lalu Rachel Elizabeth Dare, masih diselimuti debu monster, datang tiba-tiba, keluar dari gang sambil
berteriak, "Percy, tunggu!"
Senyum Annabeth meleleh. Dia menatap Rachel, lalu sekolah. Untuk pertama kalinya, dia tampaknya
menyadari asap hitam dan alarm kebakaran yang melengking.
Dia mengerutkan kening sambil memandangku. "Apa yang kau lakukan kali ini" dan siapa ini?"
"Oh, Rachel"Annabeth. Annabeth"Rachel. Mmm, dia teman. "Kayaknya."
Aku tidak yakin harus memanggil Rachel apa. Maksudku, aku nyaris tidak mengenalnya, tapi setelah
berada dalam dua situasi hidup-atau-mati bersama-sama, aku tidak bisa memanggilnya bukan siapasiapa.
"Hai," kata Rachel. Lalu dia menoleh kepadaku. "Kau dalam masalah besar. Dan kau masih berutang
penjelasan padaku!" Sirine polisi melolong di FDR Drive.
"Percy," kata Annabeth dingin. "Kita harus pergi."
"Aku mau tahu lebih banyak soal blasteran," Rachel berkeras. "Dan mosnter. Dan soal dewa." Dia
mencengkeram lenganku, mengeluarkan spidol permanen, dan menulis nomor telepon di tanganku.
"Kau harus meneleponku dan menjelaskan, oke kau berutang itu padaku. Sekarang pergilah."
"Tapi?" "Akan kukarang cerita," kata Rachel. "Akan kuberi tahu mereka bahwa itu bukan salahmu. Pergilah!"
Dia lari kembali ke arah sekolah, meninggalkan Annabeth dan aku di jalan.
Annabeth menatapku selama sedetik. Lalu dia berpaling dan menjauh.
"Hei!" Aku berlari menyusulnya. "Tadi ada dua empousa," aku mencoba menjelaskan. "Jadi begini,
mereka itu pemandu sorak, dan mereka bilang perkemahan akan terbakar, dan?"
"Kau memberi tahu seorang cewek fana tentang blasteran?"
"Dia bisa melihat menembus Kabut. Dia melihat monster sebelum aku melihatnya."
"Jadi, kau memberi tahu dia yang sebenarnya."
"Dia mengenaliku dari Bendungan Hoover, jadi?"
"Kau pernah ketemu dia sebelumnya?"
"Mmm, musim dingin lalu. Tapi serius, aku nyaris nggak kenal dia."
"Dia lumayan imut."
"Aku"aku nggak pernag berpikir soal itu."
Annabeth terus berjalan ke arah York Avenue.
"Aku akan membereskan soal sekolah," janjiku, tak sabar untuk mengubah topik. "Tenang, semuaya
akan baik-baik saja."
Annabeth bahkan tak mau memandangku. "Kurasa acara kita siang ini batal. Kita harus
mengeluarkanmu dari sini karena sekarang polisi akan mencari-carimu."
Di belakang kami, asap membumbung dari Goode High School. Dalam tiang-tiang abu yang gelap, kupikir
aku hampir bisa melihat sebuah wajah"monster wanita bermata merah, sedang menertawaiku.
Perkemahan kecil indahmu terbakar, kata Kelli tadi. Teman-temanmu akan dijadikan budak Sang
Penguasa Waktu. "Kau benar," kataku kepada Annabeth, hatiku melecus. "Kita harus ke Perkemahan Blasteran.
Sekarang."*+ BAB DUA Dunia Bawah Iseng Menelepon Diriku
Tidak ada yang bisa menandingi berakhirnya pagi yang sempurna seperti perjalanan panjang naik taksi
bersama cewek yang marah.
Aku mencoba bicara kepada Annabeth, tapi dia bersikap seolah aku baru saja meninju neneknya. Yang
berhasil kukorek darinya hanyalah bahwa dia mengalami musim semi penuh monster di San Fransisco;
dia sudah kembali ke perkemahan dua kali sejak Natal tapi tidak mau memberitahuku sebabnya (yang
bikin aku kesal, soalnya berada di New York); dan dia tidak tahu apa-apa tentang keberadaan Nico di
Angelo (ceritanya panjang).
"Ada kabar tentang Luke?" tanyaku.
Dia menggeleng. Aku tahu ini adalah subjek yang peka baginya. Annabeth selama ini selalu mengagumi
Luke, mantan kepala konselor untuk pondok Hermes yang telah mengkhianati kami dan bergabung
dengan Raja Titan yang jahat, Kronos. Dia tidak bakal mengakuinya, tapi aku tahu dia masih menyukai
Luke. Ketika kami bertempur melawan Luke di Gunung Tamalpais musim dingin lalu, Luke entah
bagaimana selamat setelah jatuh dari tebing setinggi lima belas meter. Sekarang, sejauh yang kutahu,
dia masih berlayar naik kapal pesiarnya yang penuh monster sementara Raja Kronos-nya yang
terpotong-potong terbentuk kembali, sedikit demi sedikit, dalam sarkofagus emas, mengulur-ulur
waktunya sampai dia punya cukup kekuatan untuk menantang dewa-dewi Olympia. Dalam bahasa
separuh-dewa, kami menyebutnya "masalah".
"Gunung Tam masih dipenuhi monster," kata Annabeth. "Aku tidak berani dekat-dekat tapi kupikir Luke
tidak ada di atas sana. Kupikir aku akan tahu kalau dia di sana."
Itu tidak membuatku merasa lebih baik. "Bagaimana dengan Grover?"
"Dia di perkemahan," kata Annabeth. "Kita akan bertemu dia hari ini."
Annabeth memuntir-muntir kalung manik-maniknya, yang biasa dilakukannya saat dia cemas.
"Kau lihat saja nanti," katanya. Tapi dia tidak menjelaskan.
Saat kami menuju Brooklyn, aku menggunakan telepon Annabeth untuk menelepon ibuku. Blasteran
mencoba tidak menggunakan ponsel bilamana kami bisa menghindarinya, sebab menyiarkan suara kami
bagaikan mengirim suar bagi para monster: Aku di sini! Silakan makan aku sekarang! Tapi kurasa telepon
ini penting. Aku meninggalkan pesan di mesin penerima telepon rumah kami, mencoba menjelaskan apa
yang telah terjadi di Goode. Upayaku mungkin tidak terlalu berhasil. Kuberi tahu ibuku bahwa aku baikbaik saja, dia tidak usah cemas, tapi aku akan tinggal di perkemahan sampai kekacauan mereda. Aku
memintanya memberi tahu Paul Blofis bahwa aku minta maaf.
Kami berkendara dalam keheningan setelah itu. Kota bagaikan meleleh sampai kami keluar dari jalan tol
dan meluncur lewat kawasan pinggiran di utara Long Island, melintasi kebun-kebun buah dan tempat
pengolahan anggur serta kios-kios hasil bumi segar.
Aku menatap nomor telepon yang telah Rachel Elizabeth Dare torehkan di tanganku. Aku tahu ini gila,
tapi aku tergoda untuk meneleponnya. Mungkin dia bisa membantuku memahami apa yang tadi
dibicarakan oleh si empousa"perkemahan yang terbakar, teman-temanku ditawan. Dan kenapa Kelli
meledak menjadi kobaran api"
Aku tahu monster tidak pernah sungguh-sungguh mati. Pada akhirnya"mungkin berminggu-minggu,
berbulan-bulan, atau bertahun-tahun dan sekarang"Kelli akan terbentuk kembali dari keburukan
primordial yang menggelegak di Dunia Bawah. Tapi tetap saja, monster biasanya tidak membiarkan diri
mereka dihancurkan semudah itu. Kalau dia memang benar-benar hancur.
Taksi keluar di Router 25A. Kami menuju ke hutan di sepanjang Pesisir Utara sampai bubungan rendah
perbukitan muncul di kiri kami. Annabeth menyuruh sang sopir menepi di Farm Road 3141, di bawah
Bukit Blasteran. Sang sopir mengernyitkan dahi. "Nggak ada apa-apa di sini, Non. Kau yakin mau keluar?"
"Ya, terima kasih." Annabeth menyerahkan segulung uang fana kepadanya, dan sang sopir memutuskan
untuk tidak protes. Annabeth dan aku mendaki ke puncak bukit. Naga penjaga yang masih muda sedang terkantuk-kantuk,
bergelung mengelilingi pohon pinus, tapi dia mengangkat kepalanya yang berwarna tembaga saat kami
mendekat dan membiatkan Annabeth menggaruk bagian bawah dagunya. Uap berdesis ke luar lubag
hidungnya seperti dari poci teh, dan matanya dijulingkan karena keenakan.
"Hei, Peleus," kata Annabeth. "Menjaga agar semuanya aman, ya?"
Kali terakhir aku melihat si naga panjangnya masih sekitar dua meter. Sekarang panjangnya paling tidak
sudah dua kali lipat, dan ukuran badannya nyaris setebal pohon yang dilingkarinya. Di atas kepadanya, di
dahan terendah pohon pinus, Bulu Domba Emas gemerlapan, sihirnya melindungi batas-batas
perkemahan dari serangan. Si naga tampak rileks, seolah semuanya baik-baik saja. Di bawah kami,
Perkemahan Blasteran terlihat damai"ladang-ladang hijau, hutan, bangunan-banguna putih kemilau ala
Yunani Rumah perternakan empat latai yang kami sebut Rumah Besar berdiri dengan bangga di tengahtengah ladang stroberi. Di utara, selewat pantai, Selat Long Island berkilau di tengah terpaan cahaya
matahari. Walau begitu ... ada sesuatu yang terasa salah. Ada ketegagan di udara, seolah bukit itu sendiri sedang
menahan napas, menanti terjadinya sesuatu yag buruk.
Kami berjalan turun ke lembah dan mendapati sesi musim panas sedang meriah-meriahnya. Sebagian
besar pekemah telah tiba Jumat lalu. Jadi, aku merasa sudah ditinggalkan. Para satir sedang memainkan
seruling mereka di ladang stroberi, membuat anaman tumbuh dengan sihir rimba. Para pekemah sedang
mengikuti pelajaran berkuda, terbang di atas hutan di punggung pegasus mereka. Asap membubung
dari bengkel logam, dan palu berdenting saat anak-anak membuat senjata mereka sendiri untuk
pelajaran Seni dan Kerajinan. Tim Athena dan Demeter sedang mengadakan balapan kereta tempur
keliling lintasan, dan di atas danau kano beberapa anak di atas kapal perang Yunani sedang melawan
ular-ular laut besar berwarna jingga. Hari yang biasa-biasa saja di perkemahan.
"Aku perlu bicara kepada Clarisse," kata Annabeth.
Aku menatapnya seakan dia baru saja berkata Aku perlu makan sepatu bot besar yang bau. "Untuk apa?"
Clarisse dari pondok Ares adalah salah satu orang yang paling tidak kusukai. Dia penindas yang kejam
dan tidak tahu terima kasih. Ayahnya, sang dewa perang, ingin membunuhku. Clarisse mencoba
memukuliku sampai jadi bubur secara rutin. Di luar semua itu, dia memang hebat.
"Kami sedang mengerjakan sesuatu," kata Annabeth. "Sampai ketemu nanti."
"Mengerjakan apa?"
Annabeth melirik ke hutan.
"Akan kuberi tahu Chiron kau ada di sini," katanya. "Dia pasti ingin bicara denganmu sebelum dengar
pendapat." "Dengar pendapat apaan?"
Tapi, dia berlari-lari kecil menyusuri jalan setapak menuju arena panah tanpa melihat ke belakang.
"Iya, deh," gumamku. "Aku juga senang ngobrol denganmu."
Saat aku jalan-jalan keliling perkemahan, aku mengucapkan salam kepada beberapa temanku. Di
pelataran Rumah Besar, Connor dan Travis Stoll dari pondok Hermes sedang mengutak-atik kabel mobil
SUV perkemahan untuk menyalakan mesinnya. Silena Beuregard, kepala konselor untuk pondok
Aphrodite, melambai kepadaku dari pegasusnya saat dia terbag melintas. Aku mencai-cari Grover, tapi
aku tidak melihatnya. Akhirnya aku sampai ke arena pedang, tempat aku biasanya pergi ketika suasana
hatiku sedang jelek. Berlatih selalu membuatku tenang. Mungkin karena bermain pedang adalah satu
hal yang sungguh-sungguh kupahami.
Aku berjalan masuk ke amfiteater dan jantungku hampir berhenti. Di tengah-tengah lantai arena, sambil
memunggungiku, terdapat anjing jenis hellhound terbesar yang pernah kulihat.
Maksudku, aku sudah pernah melihat anjing neraka yang lumayan besar. Seekor yang berukuran sebesar
badak mencoba membunuhku ketika umurku dua belas. Tapi anjing neraka ini lebih besar daripada tank.
Aku tidak punya gambaran bagaimana cara ia melewati batas-batas sihir perkemahan. Ia terlihat santai,
seolah berada di rumah sendiri, berbaring di atas perutnya, menggeram nyaman sambil mengunyah
kepala boneka target. Ia belum menyadari kehadiranku, tapi kalau aku mengeluarkan suara, aku tahu
dia bakal merasakan keberadaanku. Tidak ada waktu untuk pergi minta bantuan. Aku mengeluarkan
Reptide dan membuka tutupnya.
"Hiaaaaat!"Aku menyerbu. Aku menurunkan bilah pedang ke sisi belakang si monster yang berukuran
luar biasa besar saat entah dari mana pedang lain memblok seranganku.
KLANG! Si anjing neraka mengangkat telinganya. "GUK!"
Aku melompat ke belakang dan secara instingtif menyerang si pemegang pedang"seorang pria
berambut kelabu yang mengenakan baju zirah Yunani. Dia menangkis seranganku dengan mudah.
"Tenanglah yang di sana!" katanya. "Damai!"
"GUK!" Gonggongan si anjing neraka mengguncangkan arena.
"Itu anjing neraka!" teriakku.
"Dia tidak berbahaya," kata sang pria. "Itu Nyonya O"Leary."
Aku berkedip. "Nyonya O"Leary?"
Mendengar bunyi namanya, si anjing neraka menggonggong lagi. Aku menyadari dia tidak marah. Dia
sedang senang. Dia menyikut boneka target basah yang kondisinya sudah parah karena dikunyahkunyah ke arah si pria berpedang.
"Gadis pintar," kata pria itu. Dengan tangannya yang bebas dia mencengkeram leher manekin berzirah
itu dan melemparkannya ke bangku penonton. "Ambil si orang Yunani! Ambil si orang Yunani!"
Nyonya O"Leary melompat mengejar buruannya dan menerkam si boneka, menginjak baju zirahnya
sampai gepeng. Dia mulai mengunyah helm si boneka.
Si pria berpedang tersentum kering. Usianya lima puluhan, tebakku, dengan rambut kelabu pendek serta
janggut kelabu yang terpangkas rapi. Dia bugar untuk ukuran pria tua. Dia mengenakan celana mendaki
gunung berwarna hitam dan pelindung dada perunggu tersandang di atas T-shirt jingga perkemahan. Di
dasar lehernya ada tanda aneh, noda keunguan layaknya tanda lahir atau tato, tapi sebelum aku bisa
mengetahui apa itu, dia memindahkan tali baju zirahnya dan tanda itu pun menghilang di balik kerahnya.
"Nyonya O"leary adalah binatang peliharaanku," dia menjelaskan. "Aku tak bisa membiarkanmu
menancapkan pedang ke pantatnya, iya, kan" Itu mungkin bakal menakutinya."
"Siapa kau?" "Janji tak membunuhku kalau aku menyingkirkan pedangku?"
"Kayaknya, sih."
Dia menyarungkan pedangnya dan mengulurkan tangannya. "Quintus."
Aku menjabat tangannya. Tangannya sekasar ampelas.
"Percy Jackson," kataku. "Maaf soal"Bagaimana sampai Anda, eh?"
"Punya binatang peliharaan berupa anjing neraka" Ceritanya panjang, melibatkan banyak situasi nyaris
tewas yang genting dan beberapa mainan kunyah raksasa. Omong-omong, aku instruktur tarung pedang
yang baru. membantu Chiron sementara Pak D sedang pergi."
"Oh." Aku mencoba tidak menatap saat Nyonya O"Leary merobek perisai boneka target dengan lengan
yang masih melekat dan mengguncang-guncangnya bagaikan Frisbee. "Tunggu dulu, memang Pak D
sedang pergi?" "Iya. Well ... masa-masa sibuk. Bahka Dionysus pun harus membantu. Dia akan mengunjungi beberapa
teman lama. Memastikan mereka ada di pihak yang benar. Aku mungkin seharusnya tidak mengatakan
lebih daripada itu."
Kalau Dionysus sedang pergi, itu adalah kabar terbaik yang kuterima sepanjang hari. dia menjadi
direktur perkemahan kami semata karena Zeus mengirimnya ke sini sebagai hukuman karena mengejar
peri pohon yang terlarang. Dia membenci para pekemah dan mencoba membuat hidup kami sengsara.
Karena dia pergi, musim panas ini mungkin saja bakal betul-betul asyik. Di sisi lain, kalau Dionysus
berhenti bersantai-santai dan sungguh-sungguh mulai membantu para dewa untuk merekrut tenaga
melawan ancaman Titan, kelihatannya keadaan sudah lumayan buruk.
Di kiriku, terdengar bunyi BUM nyaring. Enam peti kayu seukuran meja piknik ditumpuk di dekat sana,
dan peti-peti itu berkelontangan. Nyonya O"Leary memiringkan kepalanya dan berderap ke arah petipeti itu.
"Tenang, Non!" ujar Quintus. "Itu bukan buatmu." Dia mengalihkan perhatian si anjing neraka dengan
Frisbee dari perisai perunggu.
Peti-peti itu berderak dan berguncang. Ada huruf-huruf tercetak di sisi-sisinya, namun berkat
diseleksiaku perlu beberapa menit bagiku untuk mengartikan kata-kata berikut:
PETERNAKAN TRIPEL G MUDAH PECAH ATAS SEBELAH SINI Di sepanjang bagian bawah, dengan huruf-huruf yang lebih kecil: BUKA DENGAN HATI-HATI.


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PETERNAKAN TRIPEL G TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS KERUSAKAN PROPERTI, LUKA-LUKA, ATAU
KEMATIAN YANG LUAR BIASA MENYAKITKAN.
"Apa yang ada di dalam kotak?" tanyaku.
"Sedikit kejutan," kata Quintus. "Kegiatan latihan untuk besok malam. Kau bakal menyukainya."
"Eh, oke, deh," kataku, meskipun aku tidak yakin soal bagian "kematian yang luar biasa menyakitkan".
Quintus melemparkan perisai perunggu, dan Nyonya O"Leary tertatih-tatih mengejarnya. "Kalian anak
muda perlu lebih banyak tantangan. Mereka tidak punya perkemahan seperti ini waktu aku masih
kanak-kanak." "Anda"Anda blasteran?" aku tidak bermaksud untuk kedengaran begitu kaget, tapi aku tidak pernah
melihat manusia setengah dewa yang tua sebelumnya.
Quintus terkekeh. "Beberapa dari kita berhasil selamat sampai masa dewasa, kau tahu. Tidak semua dari
kita menjadi subjek ramalan mengerikan."
"Anda tahu tentang ramalanku?"
"Aku sudah dengar beberapa hal."
Aku ingin menanyakan beberapa hal apa, tapi tepat saat itu Chiron berkelotakan masuk ke arena. "Percy,
di situ kau rupanya!"
Dia pasti baru saja datang dari mengajar panahan. Ada sarung anak panah serta busur yang tersandang
di atas T-shirt CENTAURUS #1-nya. Dia telah memangkas rambut dan jenggot cokelat keritingnya untuk
musim panas, dan separuh tubuh sebelah bawahnya, yang berupa kuda putih, diperciki lumpur dan
rumput. "Kulihat kau sudah bertemu instruktur baru kita." Nada suara Chiron ringan, tapi ada pandangan gelisah
di matanya. "Quintus, apa kau keberatan kalau kupinjam Percy?"
"Tidak sama sekali, Tuan Chiron."
"Tidak perlu memanggilku "Tuan"," kata Chiron, meskipun dia kedengarannya senang. "Ayo, Percy. Kita
punya banyak hal untuk didiskusikan."
Aku melirik Nyonya O"Leary sekali lagi, yang sekarang sedang mengunyah kaki si boneka target.
"Yah, sampai ketemu," kataku kepada Quintus.
Saat kami berjalan menjauh, aku berbisik kepada Chiron, "Quintus seperti agak?"
"Misterius?" Chiron menyarankan. "Sulit dipahami?"
"Iya." Chiron mengangguk. "Blasteran yang sangat cakap. Ahli pedang yang luar biasa. Hanya saja kuharap aku
mengerti ...." Apa pun yang akan dia katakan, dia rupanya berubah pikiran. "Hal yang utama lebih dulu, Percy.
Annabeth memberitahuku kau bertemu sejumlah empousa."
"Iya." Aku memberitahunya tentang pertarungan di Goode, dan bagaimana Kelli meledak menjadi
kobaran api. "Mm," kata Chiron. "Monster-monster yang lebih kuat bisa melakukan itu. Dia tidak mati, Percy. Dia
cuma melarikan diri. Bukan berita bagus bahwa para monster waita itu mulai bergerak."
"Apa yang mereka lakukan di sana?" tanyaku. "Menungguku?"
"Mungkin." Chiron mengernyitkan dahi. "Ajaib kau selamat. Kekuatan tipuan mereka ... hampir semua
pahlawan pria mana saja akan jatuh ke dalam mantra mereka dan kemudian dilahap."
"Aku pasti bakal dilahap," akuku. "Kalau bukan karena Rachel."
Chiron mengangguk. "Ironis, diselamatkan oleh manusia fana, tapi kita berutang budi kepadanya. Apa
yang dikatakan si empousa tentang serangan keperkemahan"kita harus membicarakan ini lebih lanjut.
Tapi sekarang, ayo, kita harus ke hutan. Grover pasti akan menginginkanmu di sana."
"Di mana?" "Didengar pendapat formalnya," kata Chiron muram. "Dewan Tetua Berkuku Belah sedang rapat
sekarang untuk menentukan nasibnya."
Chiron bilang kami harus bergegas. Jadi, kubiarkan dia memberiku tumpangan dipunggungnya. Saat
kami berderap melewati pondok-pondok, aku melirik ke aula makan"paviliun Yunani terbuka di atas
bukit yang menghadap ke laut. Inilah pertama kalinya aku melihat tempat itu sejak musim panas lalu,
dan hal itu mengembalikan kenangan buruk.
Chiron masuk ke dalam hutan. Para peri mengintip ke luar pohon untuk menonton kami melintas.
Sosok-sosok besar berdesir dalam bayang-bayang"monster-monster yang disimpan di sini sebagai
tantangan bagi para pekemah.
Kupikir aku mengenal hutan ini cukup baik setelah main tangkap bendera di sini pada dua musim panas,
tapi Chiron membawaku ke jalan yang tidak kukenali, menembus terowonga pohon-pohon dedalu tua,
melewati air terjun kecil, dan memasuki bukaan yang diselimuti bunga-bunga liar.
Sekumpulan satir sedang duduk melingkar di rumput. Grover berdiri di tengah-tengah, berhadapan
dengan tiga satir yang amat tua, amat gendut, yang duduk di singgasana dedaunan yang dibentuk dari
semak mawar. Aku tidak pernah melihat ketiga satir tua itu sebelumnya, tapi kutebak mereka pasti
Dewan Tetua Berkuku Belah.
Grover tampaknya sedang bercerita kepada mereka. Dia memilin-milin bagian bawah T-shirt-nya,
bergerak gelisah di atas kaki kambingnya. Dia tidak banyak berubah sejak musim dingin lalu, mungkin
karena satir menua setengah kali lebih lambat daripada manusia. Jerawatnya sudah membengkak.
Tanduknya telah membesar sedikit sehingga menyembul keluar di atas rambut keritingnya. Aku
menyadari sambil terkesiap bahwa aku lebih tinggi daripada dia sekarang.
Berdiri di satu didi lingkaran ada Annabeth, gadis lain yang tak pernah kulihat sebelumnya, dan Clarisse.
Chiron menurunkanku di sebelah mereka.
Rambut cokelat lepek Clarisse diikat ke belakag dengan badaa kamuflase. Sepertinya dia bahkan terlihat
lebih kekar, seakan dia sudah berolahraga rutin. Dia memelototiku dan bergumam, "Berandal," yang
pasti berarti suasana hatinya sedang bagus. Biasanya dia mengucapkan halo dengan cara mencoba
membunuhku. Annabeth merangkulkan lengannya di sekeliling di gadis yang satu lagi, yang terlihat seakan dia baru saja
menangis. Dia kecil"mungil, kurasa begitulah kau menyebutnya"dengan rambut tipis berwarna
cokelat kekuningan serta wajah cantik bagaikan peri. Dia mengenakan chiton"pakaian terusan ala
Yunani kuno"berwarna hijau serta sandal berenda, dan dia mentol-notol matanya dengan saputangan.
"Dengar pendapatnya berjalan buruk," isaknya.
"Tidak, tidak." Annabeth menepuk-nepuk bahunya. "Dia akan baik-baik saja, Juniper."
Annabeth memandangku dan mengucapkan kata-kata pacar Grover tanpa suara.
Paling tidak kupikir itulah yang dikatakannya, tapi itu tidak masuk akal. Grover punya pacar" Lalu aku
memandang Juniper lebih dekat, dan kusadari telinganya agak lancip. Matanya, alih-alih merah karena
menangis, memiliki nuansa hijau, warna klorofil. Dia seorang peri pohon"dryad.
"Tuan Underwood!" Anggota dewan di kanan berseru memotong apa pun yang Grover coba katakan.
"Apa kau benar-benar berharap agar kami memercayaimu?"
"T-tapi, Silenus," Grover terbata-bata. "Itulah yang sebenarnya!"
Si tetua Dewan, Silenus, berpaling kepada keloganya dan menggumamkan sesuatu. Chiron
mencongklang ke depan dan berdiri di samping mereka. Aku ingat dia adalah anggota kehormatan
dewan, tapi aku tak pernah terlalu memikirkannya. Para tetua tidak terlihat terlalu mengesanka. Mereka
mengingatkanku akan kambing di kebun binatang terbuka. Tempat pengunjung bisa mengelus-elus
hewan"perut besar, ekspresi mengantuk, dan mata kosong yang tidak bisa melihat melampaui
segumpal pakan kambing berikutnya. Aku heran kenapa Grover terlihat gugup sekali.
Selenus menarik kaus polo kuningnya menutupi perutnya dan menyesuaikan diri di atas singgasana
mawarnya. "Tuan Underwood, selama enam bulan"enam bulan"kami telah mendengar klaim-klaim
sesat bahwa kau mendengar dewa alam liat Pan berbicara."
"Tapi aku memang mendengarya!"
"Kurang ajar!" kata tetua di sebelah kiri.
"Nah, Maron," kata Chiron. "Sabarlah."
"Sabar, benar!" kata Maron. "Aku sudah cukup muak sampai ke ujung tanduk dengan omong kosong ini.
memangnya dewa alam liat mau bicara kepada ... kepada dia."
Juniper terlihat seolah dia ingin menerjang di satir tua dan memukulinya, tapi Annabeth dan Clarisse
menahannya. "Pertarungan yang salah, Nona," gumam Clarisse. "Tunggu."
Aku tidak tahu apa yang lebih mengejutkanku Clarisse menghalangi seseorang berkelahi, atau fakta
bahwa dia dan Annabeth, yang saling membenci, hampir tampak seolah mereka bekerja sama.
"Selama enam bulan," Silenus melanjutkan, "kami telah menuruti keinginanmu, Tuan Underwood. Kami
membiarkanmu bepergian. Kami mengizinkanmu menyimpan izin pencarimu. Kami menunggumu
membawakan bukti akan klaimmu yang tidak masuk akal. Dan apa yang sudah kau temukan dalam enam
bulan perjalanan?" "Aku hanya perlu lebih banyak waktu," Grover memohon.
"Tidak ada!" timpal si tetua di tengah-tengah. "Kau tidak menemukan apa-apa."
"Tapi, Leneus?"
Silenus mengangkat tangannya. Chiron menyorongkan tubuhnya dan mengatakan sesuatu kepada para
satir. Para satir tidak terlihat senang. Mereka bergumam dan saling debat, tapi Chiron mengatakan hal
lain, dan Silenus mendesah. Dia mengangguk dengan enggan.
"Tuan Underwood," Silenus mengumumkan, "kami akan memberimu satu kesempatan lagi."
Grover berbinar. "Terima kasih!"
"Seminggu lagi."
"Apa" Tapi, Tuan! Itu mustahil!"
"Seminggu lagi, Tuan Underwood. Dan kemudian, kalau kau tidak bisa membuktikan klaimmu, sudah
waktunya bagimu untuk mengejar karier lain. Sesuatu yang cocok dengan bakat dramatismu. Sandiwara
boneka mungkin. Atau tarian tap."
"Tapi, Tuan, aku"aku tidak bisa kehilangan izin pencariku. Seluruh hidupku?"
"Rapat dewan ini ditangguhkan," kata Silenus. "Dan sekarang mari kita nikmati makan siang kita!"
Si satir tua menepukkan tangannya dan sekumpulan peri hutan meleleh keluar pohon beserta nampannampan berisi sayuran, buah-buahan, kaleng-kaleng, dan hidangan kambing lainnya. Lingkaran satir
bubar dan menyerbu makanan. Grover berjalan patah semangat ke arah kami. T-shirt biru pudarnya
bergambar satir. Tulisannya PUNYA KAKI KAMBING"
"Hai, Percy," katanya, begitu depresi sampai-sampai dia bahkan tidak mengulurkan tangan untuk
mengajakku bersalaman. "Yang tadi itu berjalan baik, ya?"
"Kambing-kambing tua itu." Kata Juniper. "Oh, Grover, mereka tidak tahu betapa kerasnya kau
mencoba!" "Ada pilihan lain," kata Clarisse muram.
"Tidak. Tidak." Juniper menggelengkan kepalanya. "Grover, aku tidak akan membiarkanmu."
Wajah Grover memucat. "Aku"aku harus memikirkannya. Tapi kita bahkan tidak tahu di mana harus
mencari." "Kalian ngomongin apa, sih?" tanyaku.
Di kejauhan, trompet kerang berbunyi.
Annabeth memonyongkan bibirnya. "Akan kuberi tahu kau nanti, Percy. Kita sebaiknya kembali ke
pondok kita. Inspeksi sudah dimulai."
*** Sepertinya tak adil bahwa aku harus berbenah demi inspeksi pondok saat aku baru saja sampai di
perkemahan, tapi begitulah cara kerjanya. Setiap siang, salah satu konselor senior berkeliling dengan
daftar ceklis di gulungan papirus. Pondok terbaik mendapat jam mandi pertama yag berarti air panas
dijamin. Pondok terburuk mendapat patroli dapur setelah makan malam.
Masalahnya bagiku: aku biasanya adalah satu-satunya orang di pondok Poseidon, dan aku bukan
termasuk tipe yang disebut rapi. Para harpy pembersih baru datang pada hari terakhir musim panas, jadi
keadaan pondokku mungkin sama seperti ketika aku meninggalkannya di musim dingin: bungkus
permen dan kantong keripikku masih di tempat tidur susun, baju zirahku untuk tangkap bendera
berserakan di sepenjuru pondok.
Aku berpacu ke arah halaman bersama, tempat dua belas pondok"satu untuk setiap dewa-dewi
Olympia"berdiri membentuk U di sekeliling lapangan rumput di tengah-tengah. Anak-anak Demeter
sedang menyapu pondok mereka dan menumbuhkan bunga-bunga segar di kotak jendela mereka.
Hanya dengan cara menjentikkan jari mereka bisa membuat sulur-sulur kamperfuli merekah di ambang
pintu dan aster menutupi atap, dan itu betul-betul tidak adil. Kupikir mereka tidak pernah dapat tempat
terakhir saat inspeksi. Anak-anak di pondok Hermes sedang tergopoh-gopoh dengan panik,
menyembunyikan cucian kotor di bawah tempat tidur dan menuduh satu sama lain mencuri barangbarang. Mereka pemalas, tapi mereka lebih unggul daripada aku.
Di pondok Aphrodite, Silena Beauregard baru saja keluar, mengecek daftar di gulungan inspeksi. Aku
menggerutu. Silena baik, sih, tapi dia betul-betul maniak kebersihan, inspektur yang terburuk. Dia ingin
segalanya tampak cantik. Aku mana bisa ber-"cantik" ria. Aku hampir bisa merasakan lenganku yang jadi
berat karena semua peralatan makan kotor yang bakal harus kucuci malam ini.
Pondok Poseidon ada di ujung barisan pondok-pondok "dewa pria" di sisi kanan lapangan. Pondok
tersebut terbuat dari batuan laut kelabu yang bertahtakan kerang, panjang dan rendah seperti bunker,
tapi punya jendela-jendela yang menghadap ke laut dan selalu ada angin nyaman yang berembus
melaluinya. Aku melesat ke dalam sembari menimbang-nimbang apakah kira-kira aku bisa berbenah kilat dengan
cara menyelipkan segalanya ke balik kasur seperti anak-anak Hermes, sewaktu kudapati saudara tiriku
Tyson sedang menyapu lantai.
"Percy!" raungnya. Dia menjatuhkan sapunya dan berlari menghampiriku. Kalau kau tak pernah
diterjang oleh Cyclops antusias yang mengenakan celemek bunga-bunga dan sarung angan karet untuk
bersih-bersih, kuberi tahu ya, terjangan itu bakal membangunkanmu cukup cepat.
"Hei, Jagoan!" kataku. "Adaow, hati-hati dengan tulang rusuknya. Tulang rusukku."
Aku berhasil selamat dari pelukan ala beruangnya. Dia menurunkanku, menyeringai bak orang gila, satu
matanya bagai anak sapi penuh semangat. Gigi-geliginya kuning dan miring seperti biasanya, dan
rambutnya mirip sarang tikus. Dia mengenakan jin XXXL usang dan kemeja flanel compang-camping di
balik celemek bunga-bunganya, tapi tetap saja mencolok bagi mata yang lelah sekalipun. Sudah hampir
setahun aku tidak melihatnya, sejak dia pergi ke bawah laut untuk bekerja di penempaan para Cyclops.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya. "Nggak dimakan monster?"
"Tidak sedikit pun." Aku menunjukkan kepadanya bahwa aku masih memiliki dua lengan dan dua kaki,
dan Tyson bertepuk tangan dengan gembira.
"Asyik!" katanya. "Sekarang kita bisa makan roti isi selai kacang da naik kuda poni ikan! Kita bisa
bertarung lawan monster dan ketemu Annabeth dan membuat semua jadi BUM!"
Kuharap maksudnya bukan melakukan semuanya pada waktu bersamaan, tapi kuberi tahu dia bahwa
pasti kami akan bersenang-senang musim panas ini. tidak bisa tidak, aku tersenyum, dia begitu antusias
akan segalanya. "Tapi pertama-tama," kataku, "kita harus cemas soal inspeksi. Kita sebaiknya ...."
Lalu aku melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa Tyson telah menyibukkan diri. Lantai sudah disapu.
Tempat tidur susun sudah dirapikan. Pancuran air asin di pojok baru saja di sikat sampai batuan koralnya
berkilau di ambang jendela, Tyson telah menempatkan vas berisi air dengan anemon laut dan tanaman
aneh kemilau dari dasar samudra, lebih indah daripada buket bunga mana pun yang bisa dimunculkan
anak-anak Demeter. "Tyson, pondok kelihatan ... luar biasa!"
Dia berbinar-binar. "Lihat kuda-kuda poni ikan" Kutaruh mereka di langit-langit."
Sekawanan miniatur hippocampus perunggu tergantung di kawat dari langit-langit sehingga mereka
seolah sedang berenang di udara. Aku tidak bisa percaya bahwa Tyson, dengan tangannya yang besar,
bisa membuat benda yang begitu kecil dan rumit. Lalu aku memandang tempat tidur susunku, dan
kulihat perisai lamaku, tergantung di dinding.
"Kau memperbaikinya!"
Perisai itu rusak parah saat serangan manticore musim dingin lalu, tapi sekarang perisai itu kembali
sempurna"tidak ada goresan sama sekali. Semua gambar perunggu yang melukiskan petualanganku
bersama Tyson dan Annabeth di Lautan Monster dipoles dan berkilat.
Aku memandang Tyson. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadany.
Lalu seseorang dibelakangku berkata, "Oh, ya ampun."
Silena Beauregard berdiri di ambang pintu dengan gulungan inspeksinya. Dia melangkah masuk ke
pondok, berputar-putar cepat, lalu mengangkat alisnya kepadaku. "Yah, aku punya keraguan. Tapi
usahamu beres-beres boleh juga, Percy. Akan kuingat itu."
Dia mengedipkan matanya kepadaku dan meninggalkan ruangan.
Tyson dan aku menghabiskan siang itu sambil mengobrol dan nongkrong bareng, yang terasa
menyenangkan setelah pagi yang diisi oleh serangan dari pemandu sorak monster.
Kami turun ke bengkel logam dan membantu Beckendorf dari pondok Hephaestus menempa logamnya.
Tyson menunjukkan kepada kami bagaimana dia belajar merakit senjata ajaib. Dia membentuk kapak
perang bermata ganda yang menyala-nyala dengan begitu cepat sehingga bahkan Beckendorf pun
terkesan. Sementara dia bekerja, Tyson bercerita kepada kami tentang tahun yang dihabiskannya di bawah laut.
Matanya berkilat-kilat saat dia memaparkan tentang penempaan Cyclops serta istana Poseidon, tapi dia
juga memberi tahu kami setegang apa keadaannya. Dewa-dewa laut lama, yang berkuasa pada masa
Titan, mulai menyatakan perang pada ayah kami. Saat Tyson pergi, pertempuran telah berkobar di
seluruh Samudra Atlantik. Mendengar hal itu membuatku merasa gelisah, rasanya aku sebaiknya
membantu, tapi Tyson meyakinkanku bahwa Ayah ingin agar kami berdua berada di perkemahan.
"Di laut juga banyak orang jahat," kata Tyson. "Kita bisa membuat mereka jadi bum."
Setelah bengkel logam, kami menghabiskan waktu di danau kano bersama Annabeth. Dia betul-betul
senang melihat Tyson, tapi aku bisa tahu bahwa pikirannya sedang terusik. Dia terus-menerus
memandangi hutan, seakan dia sedang memikirkan masalah Grover dengan dewan. Aku tidak bisa
menyalahkannya. Grover tidak kelihatan di mana pun, dan aku ikut merasa tidak enak untuknya.
Menemukan dewa Pan yang hilang adalah cita-citanya seumur hidup. Baik ayah maupun pamannya
hilang karena mengejar impian yang sama. Musim dingin lalu, Grover mendengar suara di kepalanya:
Aku menunggumu"suara yang diyakininya berasal dari Pan"tapi rupanya pencariannya tidak
menghasilkan apa-apa. Kalau dewan mengambil izin pencarinya sekarang, itu akan menghancurkannya.
"Apa, sih "cara lain" itu?" tanyaku kepada Annabeth. "Yang Clarisse sebut-sebut tadi?"
Dia memungut batu dan melemparkannya menyeberangi danau. "Sesuatu yang Clarisse ketahui dari
hasil pengamatannya. Aku membantunya sedikit musim semi ini. Tapi itu bakal berbahaya. Terutama
bagi Grover." "Bocah kambing membuatku takut," Tyson bergumam.
Aku menatapnya. Tyson telah berhadap-hadapan dengan banteng bernapas api dan monster laut dan
raksasa kanibal. "Kenapa kau takut pada Grover?"
"Kaki kambing dan tanduk," celoteh Tyson gugup. "Dan bulu kambing bikin hidungku gatal."
Dan itu kurang lebih mengakhiri percakapan kami tentang Grover.
Sebelum makan malam, Tyson dan aku turun ke arena pedang. Quintus senang ada yang menemaninya.
Dia tetap tidak mau memberitahuku apa yang ada di dalam peti-peti kayu, tapi dia mengajariku
beberapa gerakan berpedang. Laki-laki itu baik. Dia bertarung dengan cara layaknya sejumlah orang
bermain catur"seolah dia merencanakan semua gerakan-gerakan bersamaan dan kau tidak bisa
melihat polanya sampai dia melakukan pukulan terakhir dan menang dengan pedang di lehermu.
"Percobaan yang bagus." Dia memberitahuku. "Tapi kewaspadaanmu terlalu lemah."
Dia menyerbu dan aku menangkis.
"Apa selama ini Anda selalu menjadi ahli pedang?" tanyaku.
Dia menepis sayatan-di-atas-kepala yang kulakukan. "Selama ini aku sudah melakukan banyak hal."
Tali pengikat di bahunya melorot, dan kulihat tanda di lehernya"noda ungu itu. Tapi itu bukan sekedar
noda acak. Bentuknya jelas"burung dengan sayap terlipat, seperti burung puyuh atau semacamnya.
"Apa itu di leher Anda?" tanyaku, yang mungkin adalah pertanyaan yang tidak sopan, tapi kau tak bisa
menyalahkan GPPH-ku. Aku cenderung menyemburkan beberapa hal begitu saja.
Quintus kehilangan iramanya. Aku memukul gagang pedangnya dan menjatuhkan bilah pedang dari
tangannya.

Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menggosok-gosok jemarinya. Lalu dia menggeser baju zirahnya untuk menyembunyikan tanda itu.
Kusadari itu bukan tato. Itu adalah bekas luka bakar yang sudah lama ... seakan dia ditandai.
"Sebuah pengingat." Dia memungut pedangnya dan tersenyum dengan terpaksa. "Sekarang, bagaimana
kalau kita mulai lagi?"
Dia betul-betul mendesakku, tidak memberiku waktu untuk mengajukan pertanyaan lagi.
Sementara dia dan aku bertarung, Tyson bermain bersama Nyonya O"Leary, yang dia panggil "guguk
kecil". Mereka menikmati saat yang menyenangkan, bergulat untuk berebut perisai perunggu dan
bermain Ambil Si Orang Yunani. Saat matahari terbenam, Quintus tidak berkeringat sedikit pun, yang
tampaknya agak aneh; tapi Tyson dan aku kepanasan dan lengket, jadi kami mandi pancuran dan
bersiap-siap untuk makan malam.
Aku merasa baik-baik saja. Rasanya hampir seperti hari yang normal di perkemahan. Lalu waktu makan
malam pun tiba, dan semua pekemah berbaris di dekat pondok dan berderap masuk ke paviliun makan.
Sebagian besar dari mereka mengabaikan lekuk tertutup pada lantai marmer di jalan masuk"luka
bergerigi sepanjang tiga meter yang tidak ada di sana musim panas lalu"tapi aku berhati-hati agar tidak
menginjaknya. "Retakan besar," kata Tyson ketika kami berada di meja kami. "Gempa bumi kali, ya?"
"Bukan," kataku. "Bukan gempa bumi."
Aku tidak yakin apakah aku sebaiknya memberi tahu dia. Ini adalah rahasia yang hanya diketahui oleh
Annabeth dan Grover serta aku. Tapi saat memandang mata besar Tyson, aku tahu aku tidak bisa
menyembunyikan apa pun darinya.
"Nico di Angelo," kataku, memelankan suaraku. "Dia itu anak Blasteran yang kami bawa ke perkemahan
musim dingin lalu. Dia, eh ... dia memintaku menjaga kakak perempuannya dalam sebuah mis, dan aku
gagal. Kakaknya meninggal. Sekarang dia menyalahkanku."
Tyson mengerutkan kening. "Jadi, dia bikin retakan di lantai?"
"Ada kerangka-kerangka yang menyerang kami." kataku. "Nico menyuruh mereka pergi, dan tanah
terbuka begitu saja dan menelan mereka. Nico ...." Aku melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa
tak ada yang mendengarkan. "Nico anak Hades."
Tyson mengangguk-angguk serius. "Dewa orang mati."
"Iya." "Jadi, si bocah Nico ini sekarang pergi?"
"Aku"kukira begitu. Aku mencoba mencarinya musim semi ini. Annabeth juga. Tapi kami tidak
beruntung. Ini rahasia, Tyson. Oke" Kalau sampai ada yang tahu bahwa da anak Hades, dia bakal ada
dalam bahaya. Kau bahkan tak boleh kasih tahu Chiron."
"Ramalan buruk itu," kata Tyson. "Para Titan mungkin memanfaatkannya kalau mereka tahu."
Aku menatapnya. Kadang-kadang mudah untuk melupakan bahwa meskipun dia besar dan kekanakkanakan, Tyson sebenarnya cukup pintar. Dia tahu bahwa anak berikutnya dari dewa Tiga Besar"Zeus,
Poseidon, dan Hades"yang mencapai usia enam belas tahun diramalkan akan menyelamatkan atau
menghancurkan Gunung Olympus. Sebagian besar orang mengasumsikan bahwa itu artinya aku, tapi
kalau aku mati sebelum aku mencapai usian enam belas, ramalan bisa saja dengan mudah berlaku bagi
Nico. "Tepat," kataku. "Jadi?"
"Mulutku tersegel," janji Tyson. "Kayak retakan di tanah itu."
Aku kesulitan tidur malam itu. Aku berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan ombak di pantai,
dan burung hantu, serta monster di hutan. Aku takut kalau aku tertidur aku bakal bermimpi buruk.
Soalnya, bagi blasteran mimpi tidak pernah hanya sekadar mimpi. Kami mendapat pesan. Kami melihat
sekilas hal-hal yang terjadi pada teman-teman atau musuh-musuh kami. Kadang-kadang kami bahkan
menyaksikan masa lalu atau masa depan. Dan di perkemahan, mimpi-mimpiku selalu lebih sering dan
jelas. Jadi, aku masih terjaga saat sekitar tengah malam, menatap kasur tempat tidur susun di atasku, ketika
kusadari ada cahaya aneh dalam ruangan. Pancuran air asin tengah berkilau.
Aku melemparkan selimut dan berjalan dengan hati-hati ke arah pancuran. Uap membumbung dari air
asin yang panas. Warna-warni pelangi berdenyar menumbusnya meskipun tidak ada cahaya dalam
ruangan kecuali dari bulan di luar. Lalu suara menyenangkan sesorang wanita berbicara dari uap
tersebut. Tolong masukkan satu drachma.
Aku memadang ke arah Tyson, tapi dia masih mendengkur. Dia tidur kira-kira sama nyenyaknya seperti
gajah dibius. Aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku tak pernah mendapatkan pesan-Iris tertagih sebelumnya. Satu
drachma emas berkilat di dasar air terjun. Aku mengambilnya dan melemparkannya melewati kabut.
Koin tersebut menghilang.
"Wahai Iris, Dewi Pelangi," bisikku. "Tunjukkanlah kepadaku .... Eh, apa pun yang perlu kautunjukkan."
Kabut berdenyar. Aku melihat tepian gelap sebuah sungai. Gumpalan kabut melayag menyebrangi air
hitam. Pesisir tersebut bertabur batu-batu vulkais bergerigi. Seorang anak laki-laki yang masih kecil
berjongkok di tepi sungai, membuat api unggun. Api itu menyala biru tak alami. Lalu kulihat wajah di
anak laki-laki. Ternyata Nico di Angelo. Dia melemparkan carikan kertas ke dalam api"kartu koleksi
Mythomagic, bagian dari permainan yang merupakan obsesinya musim dingin lalu.
Nico baru sepuluh tahun, atau mungkin sekarang sebelas, tapi dia terlihat lebih tua. Rambutnya tumbuh
lebih panjang, acak-acakan dan hampir menyentuh bahunya. Matanya sangat gelap. Kulitnya yang
sewarna zaitun telah memucat. Dia mengenakan jins hitam robek-robek serta jaket penerbang
compang-camping yang beberapa ukuran lebih besar, resletingnya terbuka dan menunjukkan kemeja
hitam di baliknya. Wajahnya kotor berminyak matanya sedikit liar. Dia terlihat seperti anak yang tinggal
di jalanan. Aku menunggunya memandangku. Tidak diragukan lagi dia bakal marah luar biasa, dan mulai
menuduhku membiarkan kakak perempuannya mati. Tapi dia tampaknya tak melihatku.
Aku tetap berdiam diri, tidak berani bergerak. Kalau dia tidak mengirimkan pesan-Iris ini, siapa yang
melakukannya" Nico melemparkan kartu koleks lain ke dalam nyala api biru. "Tidak berguna," dia berkomat-kamit. "Aku
tak percaya aku pernah suka barang ini."
"Mainan anak-anak, Tuan," suara lain menyetujui. Tampaknya suara tersebut berasal dari dekat api, tapi
aku tak bisa melihat siapa yang berbicara.
Nico menatap ke seberang sungai. Di tepian jauh ada pesisir hitam yang diselubungi kabut. Aku
mengenalinya: Dunia Bawah. Nico sedang berkemah di tepi Sungai Styx.
"Aku gagal," gumamnya. "Tidak ada cara untuk mengembalikan kakakku."
Suara lain itu diam saja.
Nico menoleh ke arah sumber suara dengan ragu-ragu. "Adakah" Bicaralah."
Sesuatu berdenyar. Kupikir itu cuma cahaya api. Lalu kusadari itu adalah sosok seorang pria"gumpalan
asap biru, bayangan. Kalau aku memandanginya baik-baik, dia tak ada di sana. Tapi kalau aku melihatnya
dari sudut mata, aku bisa melihat bentuknya. Sesosok hantu.
"Hal itu tak pernah dilakukan," kata si hantu. "Tapi mungkin ada suatu cara."
"Pertukaran," kata si hantu. "Satu jiwa untuk satu jiwa."
"Aku sudah menawarkannya!"
"Bukan jiwamu," kata si hantu, "Kau tidak bisa menawarkan jiwa yang akan ayahmu ambil juga pada
akhirnya. Dan dia pun tak akan antusias akan kematian putranya. Maksudku adalah jiwa yang
seharusnya sudah mati. Seseorang yang mencurangi kematian."
Wajah Nico menggelap. "Jangan yang itu lagi. Kau bicara soal pembunuhan."
"Aku bicara tentang keadilan," kata si hantu. "Pembalasan dendam."
"Keduanya nggak sama."
Si hantu tertawa kering. "Kau bakal belajar bahwa akan lain ceritanya saat usiamu bertambah."
Nico menatap nyala api: "Kenapa aku tidak bisa setidaknya memanggil kakakku" Aku ingin bicara
padanya. Dia akan ... dia bakal akan membantuku."
"Aku akan membantumu," si hantu berjanji. "Bukankah aku telah menyelamatkanmu berulang kali"
Bukankah aku telah membimbingmu melewati labirin dan mengajari bagaimana menggunakan
kekuatanmu" Apa kau ingin balas dendam demi kakak perempuamu atau tidak?"
Aku tidak suka nada suara si hantu. Dia mengingatkanku akan seorang anak di sekolahku yang lama,
tukang gertak yang meyakinkan anak-anak lain untuk melakukan hal-hal tolol seperti mencuri peralatan
lab dan mencoret-coret mobil guru. Si tukang gertak sendiri tidak pernah kena masalah, tapi dia
membuat banyak anak lain diskors.
Nico berpaling dari api sehingga si hantu tak bisa melihatnya, tapi aku bisa. Air mata merentas jalan
menuruni wajahnya. "Baiklah. Kau punya rencana?"
"Oh, ya," kata di hantu, terdengar cukup puas. "Kau punya banyak jalan gelap untuk dijelajahi. Kita harus
mulai?" Gambaran tersebut berdenyar. Nico menghilang. Suara sang wanita dari kabut berkata, Silakan
masukkan satu drachma untuk lima menit lagi.
Tidak ada koin lagi di pancuran. Aku merogoh sakuku, tapi aku sedang memakai piyama. Aku menyerbu
meja di samping tempat tidur untuk mencari uang receh, tapi pesan-Iris sudah berpendar menghilang,
dan ruangan pun menjadi gelap kembali. Sambungan telah putus.
Aku berdiri di tengah-tengah pondok, mendengarkan gelegak pancuran air asin dan gelombang laut di
luar. Nico masih hidup. Dia mencoba membangkitkan kakaknya dari kematian. Dan aku punya firasat aku
tahu jiwa mana yang ingin dia tukar"seseorang yang telah mencurangi kematian. Balas dendam.
Nico di Angelo bakal datang mencariku.[]
BAB TIGA Kami Main Kejar-kejaran dengan Kalajengking
Keesokan paginya ada banyak kehebohan saat sarapan.
Rupanya sekitar jam tiga pagi seekor drakon Aethiopia telah terlihat di perbatasan perkemahan. Aku
begitu kelelahan sehingga aku tidur meskipun ada keributan. Batas-batas sihir telah menjaga agar
monster itu tetap berada di luar, tapi ia berkeliaran di bukit, mencari titik lemah pada pertahanan kami,
dan ia tampaknya tidak ingin buru-buru pergi sampai Lee Fletcher dari pondok Apollo memimpin
sejumlah saudaranya untuk melakukan pengejaran. Setelah beberapa lusin anak panah bertengger di
sela-sela baju zirah si drakon, ia paham dan mundur.
"Ia masih di luar sana," Lee memperingatkan kami saat pengumuman. "Dua puluh anak panah di
kulitnya, dan kami cuma membuatnya marah. Makhluk itu panjangnya sembilan meter dan bermata
hijau cerah. Matanya?" Dia gemetar.
"Kerjamu bagus, Lee," Chiron menepuk bahunya. "Semua harus siaga, tapi tetap tenang. Ini pernah
terjadi sebelumnya."
"Aye," kata Quintus dari kepala meja. "Dan ini akan terjadi lagi. Lebih dan lebih sering."
Para pekemah bergumam di antara mereka sendiri.
Semua tahu tentang rumor itu: Luke dan pasukan monsternya merencanakan untuk menyerbu
perkemahan. Sebagian besar dari kami menduga hal tersebut akan terjadi musim panas ini, tapi tidak
ada yang tahu bagaimana atau kapan. Kenyataan bahwa tingkat kehadiran kami rendah tidaklah
membantu. Kami hanya punya sekitar delapan puluh pekemah. Tiga tahun lalu, waktu aku baru mulai,
ada lebih dari seratus. Beberapa telah meninggal. Beberapa bergabung dengan Luke. Beberapa semata
lenyap begitu saja. "Ini alasan bagus untuk permainan perang-perangan yang baru," Quintus melanjutkan, kilat di matanya.
"Kita lihat saja bagaimana kalian mengatasinya malam ini."
"Ya..." kata Chiron. "Yah, pengumumannya cukup. Mari kita berkati hidangan ini dan makan." Dia
mengangkat gelas pialanya. "Untuk para dewa!"
Kami semua mengangkat gelas kami dan mengulangi pemberkatan tersebut.
Tyson dan aku membawa piring kami ke tungku perunggu dan mencuil sebagian makanan kami untuk
memasukkan ke dalam nyala api. Kuharap para dewa menyukai roti panggang kismis dan sereal Froot
Loops. "Poseidon," kataku. Lalu aku berbisik, "Bantulah aku soal Nico, dan Luke, dan masalah Grover ...."
Ada banyak sekali yang perlu dikhawatirkan sehingga aku bisa saja berdiri di situ sepanjang pagi, tapi
aku kembali ke mejaku. Setelah semua orang makan, Chiron dan Grover datang menghampiri untuk berkunjung. Mata Grover
bengkak. Bajunya terbalik. Dia menyorongkan piringnya ke meja dan menjatuhkan diri ke sebelahku.
Tyson bergerak-gerak tak nyaman. "Aku mau pergi ... eh ... memoles kuda poni ikanku."
Dia pergi terhyung-huyung, meninggalkan sarapannya yang separuh dimakan.
Chiron mencoba tersenyum. Dia mungkin ingin terlihat meyakinkan, tapi dalam sosok centaurusnya dia
berdiri menjulang di atasku, menimbulkan bayangan di sepanjang meja. "Nah, Percy, bagaimana
tidurmu?" "Eh, baik." Aku bertanya-tanya kenapa dia menanyakan itu. Apakah mungkin dia tahu sesuatu tentang
pesan Iris aneh yang kuterima"
"Aku mengajak Grover ke sini," kata Chiron, "karena kupikir kalian berdua mungkin ingin, ah,
mendisuksikan beberapa perkara. Sekarang permisi, ada pesan-Iris yang harus kukirim. Sampai ketemu
nanti." Dia memberi Grover pandangan penuh arti, lalu berderap ke luar paviliun.
"Dia ngomongin apa sih?" tanyaku kepada Grover.
Grover mengunyah telurnya. Aku bisa tahu pikirannya sedang terusik, soalnya dia menggigiti gigi-gigi
garpunya dan menelannya juga. "Dia ingin agar kau meyakinkanku," gumamnya.
Seseorang meluncur ke sampingku di bangku: Annabeth.
"Akan kuberi tahu soal apa ini," katanya. "Labirin."
Sulit berkonsentrasi tentang apa yang dia katakan, karena semua orang di paviliun makan mencuri
pandang ke arah kami dan berbisik-bisik. Dan Annabeth tepat berada di sampingku. Maksudku, tepat di
sampingku. "Kau harusnya nggak di sini," kataku.
"Kita perlu bicara," dia berekeras.
"Tapi peraturan ...."
Dia tahu seperti juga aku, bahwa pekemah tidak diizinkan pindah meja. Satir berbeda. Mereka bukana
makhluk setengah dewa sungguhan. Tapi blasteran harus duduk bersama pondok mereka. Aku tidak
yakin apa hukuman untuk pindah meja. Aku tidak pernah melihatnya terjadi. Kalau Pak D ada di sini, dia
mungkin bakal mencekik Annabeth dengan sulur anggur ajaib atau apalah, tapi Pak D tidak di sini. Chiron
sudah meninggalkan paviliun. Quintus melihat ke arah kami dan mengangkat alis, tapi dia tidak berkata
apa-apa. "Dengar," kata Annabeth, "Grover dalam masalah. Hanya ada satu cara yang bisa kami pikirkan untuk
membantunya. Solusinya Labirin. Itulah yang selama ini Clarisse dan aku selidiki."
Aku memindahkan bobotku, mencoba berpikir jernih. "Maksudmu labirin tempat mereka mengurung
Minotaur, dulu di masa lalu?"
"Tepat," kata Annabeth.
"Jadi ... labirin itu tidak lagi terletak di bawah istana raja di Kreta," tebakku. "Labirin ada di bawah suatu
gedung di Amerika." Benar kan" Hanya perlu beberapa tahun untuk memahami segalanya. Aku tahu tempat-tempat penting
berpindah-pindah seiring dengan Peradaban Barat, seperti Gunung Olympus ke Empire State Building,
dan pintu masuk Dunia Bawah yang terletak di Los Angeles. Aku merasa lumayan bangga akan diriku.
Annabeth memutar bola matanya. "Di bawah gedung" Yang benar saja deh, Percy. Labirin itu luas sekali.
Labirin nggak bakal muat di bawah satu kota, apalagi satu gedung."
Aku memikirkan mimpiku tentang Nico di Sungai Styx. "Jadi ... apa Labirin ini bagian dari Dunia Bawah?"
"Tidak." Annabeth mengernyitkan dahi. "Yah, mungkin ada jalan dari Labirin untuk masuk ke Dunia
Bawah. Aku nggak yakin. Tapi Dunia Bawah ada jauh, jauh di bawah. Labirin ada tepat di bawah
permukaan dunia fana, seperti semacam kulit kedua. Labirin itu sudah bertumbuh selama bertahun-
tahun, berlika-liku di bawah kota-kota Barat, menghubungkan segalanya menjadi satu di bawah tanah.
Kau bisa mencapai tempat mana saja lewat Labirin."
"Kalau kau nggak tersesat," gumam Grover. "Dan tewas secara mengenaskan."
"Grover, pasti ada jalan," kata Annabeth. Aku punya firasat mereka pernah melakukan percakapan ini
sebelumnya. "Clarisse hidup."
"Nyaris mati!" kata Grover. "Dan cowok yang satu lagi?"
"Dia jadi gila. Dia tidak mati."
"Oh, bahagianya." Bibir bawah Grover gemetar. "Itu membuatku merasa jauh lebih baik."
"Walah," kataku. "Tunggu. Apaan nih soal Clarisse dan si cowok gila?"
Annabeth melirik ke arah meja Ares. Clarisse mengamati kami seakan dia tahu apa yang sedang kami
bicarakan, tapi kemudian dia menancapkan pandangan matanya ke meja sarapannya.
"Tahun lalu," kata Annabeth, memelankan suaranya, "Clarisse pergi dalam misi yang ditugaskan Chiron."
"Aku ingat," kataku. "Itu rahasia."
Annabeth mengangguk. Meskipun sikapnya serius, aku senang dia tidak marah lagi padaku. Dan bisa
dibilang aku senang dia melanggar peraturan dengan cara duduk di sampingku.
"Itu rahasia," Annabeth setuju, "soalnya dia menemukan Chris Rodriguez."
"Cowok dari pondok Hermes?" Aku mengingatnya dari dua tahun lalu. Kami pernah menguping Chris
Rodriguez di atas kapal Luke, Putri Andromeda. Chris adalah seorang blasteran yang meninggalkan
perkemahan dan bergabung dengan pasukan Titan.
"Iya," kata Annabeth. "Musim panas lalu dia muncul begitu saja di Phoenix, Arizona, dekat rumah ibu
Clarisse." "Apa maksudmu dia muncul begitu saja?"
"Dia berkeliaran di gurun, pada suhu 39 derajat berpakaian zirah Yunani lengkap, mengoceh soal
benang." "Benang," kataku.
"Dia sudah gila sepenuhnya. Clarisse membawanya pulang ke rumah ibunya suapa manusia tidak
memasukkannya ke rumah sakit jiwa. Clarisse mencoba merawatnya supaya kembali sehat. Chiron
datang dan mewawancarainya, tapi hasilnya tidak terlalu bagus. Satu-satunya yang berhasil mereka
korek darinya: anak buah Luke telah menjelajahi Labirin."
Aku gemetar, walau aku tidak yakin kenapa. Chris yang malang ... dia bukan cowok yang seburuk itu.
Apa yang bisa membuatnya jadi gila" Aku memadang Grover, yang sedang mengunyah sisa garpunya.
"Oke," tanyaku. "Kenapa mereka menjelajahi Labirin?"
"Kami tidak yakin," kata Annabeth. "Itulah sebabnya Chiron melakukan ekspedisi pengamatan. Chiron
merahasiankannya karena dia tidak mau ada yang panik. Dia melibatkanku karena ... yah, Labirin selama
ini selalu merupakan salah satu topik favoritku. Arsitekturnya?" Ekspresinya berubah menjadi sedikit
penuh khayal. "Yang membangun labirin itu, Daedalus, seorang genius. Tapi yang utama adalah, Labirin
punya jalan masuk di mana-mana. Kalau Luke bisa mencari tahu bagaimana menjelajahinya, dia bisa
menggerakkan pasukannya dengan kecepatan luar biasa."
"Kecuali bahwa itu adalah labirin yang menyesatkan, betul, kan?"
"Penuh jebakan mengerikan," Grover setuju. "Jala buntu. Ilusi. Monster-monster sakit jiwa pembunuh
kambing." "Tapi tidak kalau kau punya benang Ariadne," kata Annabeth. "Di masa lalu benang Ariadne
membimbing Thesus untuk keluar dari labirin. Itu adalah semacam alat navigasi, ditemukan oleh
Daedalus. Dan Chris Rodriguez mengoceh soal benang."
"Jadi, Luke mencoba menemukan benang Aridne," kataku. "Kenapa" Apa yang direncanakannya?"
Annabeth menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu. Kupikir mungkin dia ingin menterbu
perkemahan lewat labirin, tapi itu tidak masuk akal. Pintu masuk terdekat yang Clarisse temukan ada di
Manhattan, yang tak kan membantu Luke melewati perbatasan kita. Clarisse menjelajah sedikit ke
dalam terowongan-terowongan, tapi ... itu sangat berbahaya. Dia mengalami beberapa situasi genting.
Aku meneliti segalanya yang bisa kutemukan tentang Daedalus. Aku takut itu tidak banyak membantu.
Aku tidak paham apa persisnya yang direncaakan Luke, tapi ini yang kutahu: Labirin mungkin adalah
kunci masalah Grover."
Aku berkedip. "Kau pikir Pan ada di bawah tanah?"


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu bakal menjelaskan kenapa selama ini dia mustahil ditemukan."
Grover gemetar. "Satir benci pergi ke bawah tanah. Nggak ada pencari yang bakal mencoba pergi ke
tempat itu. Nggak ada bunga. Nggak ada sinar mentari. Nggak ada warung kopi!"
"Tapi," kata Annabeth, "Labirin bisa mengarahkanmu hampir ke mana saja. Labirin membaca pikiranmu.
Labirin dirancang untuk menipumu, mengerjaimu, dan membunuhmu; tapi kalau kau bisa membuat
Labirin bekerja untukmu?"
"Labirin bisa mengarahkanmu ke dewa alam liar," kataku.
"Aku tak bisa melakukannya." Grover memeluk perutnya. "Memikirkannya saja membuatku ingin
memuntahkan perabot perakku."
"Grover, ini mungkin kesempatan terakhirmu," kata Annabeth. "Dewan serius. Satu minggu atau kau
belajar tarian tap!"
Di kepala meja, Quintus berdeham. Aku punya firasat dia tidak mau membuat kehebohan, tapi
Annabeth benar-benar memaksaya, duduk di mejaku selama itu.
"Kita bicara lagi nanti." Annabeth meremas lenganku sedikit terlalu keras. "Yakinkan dia, ya?"
Dia kembali ke meja Athena mengabaikan semua orang yang memandanginya.
Grover membenamkan kepalanya dalam tangannya. "Aku tak bisa melakukannya, Percy. Izin pencariku.
Pan. Aku akan kehilangan segalanya. Aku bakal harus mulai bikin sandiwara boneka."
"Jangan ngomong begitu! Kita akan memikirkan sesuatu."
Dia menatapku dengan mata bersimbah air mata. "Percy, kau sahabat terbaikku. Kau pernah melihatku
di bawah tanah. Di gua Cyclops. Apa kau betul-betul berpikir aku bisa ...."
Suaranya melemah. Aku ingat Lautan Monster, ketika dia terjebak di gua Cyclops. Dia memang tidak
pernah suka tempat-tempat di bawah tanah, tapi sekarang Grover betul-betul membencinya. Cyclops
juga membuatnya ngeri. Bahkan Tyson ... Grover mencoba menyembunyikannya, tapi Grover dan aku
bisa membaca emosi satu sama lain atau semacamnya, berkat sambungan empati yang Grover buat
antar kami. Aku tahu bagaimana perasaannya. Grover takut pada si jagoan besar itu.
"Aku harus pergi," kata Grover sedih. "Juniper menungguku. Masih bagus dia menganggap seorang
pengecut menarik." Setelah dia pergi, aku memandang ke arah Quintus. Dia mengangguk dengan khidmat, seolah kami
berbagi rahasia gelap. Lalu dia kembali mengiris-iris sosisnya dengan belati.
*** Siang harinya, aku pergi ke istal pegasus untuk mengunjungi temanku Blackjack.
Yo, Bos! Dia melompat kegirangan di biliknya, sayap hitamnya mengepak-ngepak di udara. Kau bawakan
aku gula batu" "Kau tahu itu tidak bagus untukmu, Blackjack."
Iya, jadi kau bawa kan"
Aku tersenyum dan memberinya makan segenggam gula batu. Balckjack dan aku sudah lama saling
kenal. Bisa dibilang aku menyelamatkannya dari kapal persiar monster Luke beberapa tahun lalu, dan
sejak saat itu dia berkeras untuk membalas budiku.
Jadi, kita bakal dapat misi, nggak" Blackjack bertanya. Aku siap terbang nih, Bos!
Aku menepuk-nepuk hidungnya. "Entahlah, Bung. Semua orang terus bicara soal labirin bawah tanah."
Blackjack meringkik gugup. Tidak. Tidak, buat kuda yang satu ini! kau pasti nggak cukup gila sampaisampai mau masuk ke labirin, Bos. Benar ka" Pada akhirnya kau bakal masuk ke pabrik lem!
"Kau mungkin benar, Blackjack. Kita lihat saja nanti."
Blackjack mengunyah gula batunya. Dia menggoyang-goyangkan surainya seolah dia baru saja
mengalami kejang gula. Wah! Baeang bagus! Yah, bos, sadarlah dan kalau kau ingin terbang ke mana
saja, bersiyl saja. Si blackjack dan teman-temannya bakal menginjak-injak siapa saja untukmu!
Aku memberitahunya bahwa aku akan mengingat hal tersebut. Lalu sekelompok pekemah yang lebih
muda masuk ke istal untuk memulai pelajaran berkuda mereka, dan kuputuskan sudah saatnya untuk
pergi. Aku punya firasat buruk bahwa aku bakal lama tak bertemu Blackjack.
Malam itu setelah acara makan, Quintus menyuruh kami mengenakan pakaian tempur seolah-olah kami
sedang bersiap-siap untuk tangkap bendera, tapi suasana hati para pekemah jauh lebih serius. Suatu
waktu pada siang hari itu peti-peti di arena menghilang, dan aku punya firasat bahwa peti-peti telah
dikosongkan dan apa pun yang ada di dalamnya telah dimasukkan ke hutan.
"Baiklah," kata Quintus, berdiri di kepala meja. "Bekumpul."
Dia berpakaian dari bahan kulit hitam dan perunggu. Di tengah cahaya obor, rambut kelabunya
membuatnya terlihat bagaikan hantu. Nyonya O"Leary melompat-lompat kegirangan di sekitarnya,
merambah sisa-sisa makan malam.
"Kalian akan terbagi-bahi menjadi tim yang terdiri dari dua orang," Quintus mengumumkan. Ketika
semua orang mulai bicara dan menciba mencengkeram teman mereka, dia berteriak: "Yang sudah
kupilih!" "YAAAAHHH!" Semua orang mengeluh."
"Tujuan kalian sederhana: temukan mahkota daun dafnah emas tanpa tewas. Mahkota dibungkus dalam
paket sutra, terikat ke punggung salah satu monster. Ada enam monster. Masing-masing punya
bungkusan sutra. Hanya satu yang berisi mahkota tersebut sebelum tim lain. Dan, tentu saja ... kalian
harus membantai monster untuk mendapatkannya, dan tetap hidup."
Kerumunan mulai bergumam penuh semangat. Tugas tersebut kedengarannya cukup lugas. Hei, kami
semua pernah membantai monster sebelumnya. Untuk itulah kami dilatih.
"Aku sekarang akan mengumumkan rekan kalian," kata Quintus. "Tidak akan ada pertukaran. Tidak ada
pergantian. Tidak ada keluhan."
"Guuuuk!" Nyonya O"Leary membenamkan wajahnya dalam sepiring pizza.
Quintus mengeluarkan gulungan besar dan mulai membacakan nama-nama. Beckendorf akan bersama
Silena Beauregard, yang membuat Beckendorf terlihat cukup senang. Stoll bersaudara, Travis dan
Connor, akan bersama-sama. Tidak ada kejutan. Mereka melakukan segalanya bersama. Clarisse
bersama Lee Fletcher dari pondok Apollo"kombinasi pertarungan kelompok dan jarak dekat mereka
akan menjadi kombinasi yang sulit dikalahkan. Quintus terus berceloteh, mengucapkan nama-nama
sampai dia berkata, "Percy Jackson dengan Annabeth Chase."
"Bagus." Aku nyengir pada Annabeth.
"Baju zirahmu miring" adalah satu-satunya komentarnya, dan dia membetulkan tali pengikatku.
"Grover Underwood," kata Quintus, "dengan Tyson."
Grover hampir saja melompat keluar dari bulu kambingnya. "Apa" T-tapi?"
"Nggak, nggak." Tyson merengek. "Pasti salah. Bocah kambing?"
"Tidak ada keluhan!" perintah Quintus. "Baik-baiklah dengan rekan kalian. Kalian punya dua menit untuk
bersiap-siap!" Baik Tyson maupun Grover memandangku dengan tatapan memohon. Aku mencoba memberi mereka
anggukan untuk meyakinka, dan memberi isyarat bahwa mereka sebaiknya bergerak bersama. Tyson
bersin. Grover mulai mengunyah-ngunyah tongkat kayunya dengan gugup.
"Mereka akan baik-baik saja," kata Annabeth. "Ayo. Mari kita khawatirkan bagaimana caranya agar kita
tetap hidup." Hari masih terang ketika kami masuk ke dalam hutan, tapi bayang-bayang dari pepohonan membuatnya
terasa bagaikan tengah malam. Hawanya dingin juga, bahkan di musim panas. Annabeth dan aku
menemukan jejak-jejak hampir seketika"bekas-bekas gesekan kaki yang dibuat oleh sesuatu yang
berkaki banyak. Kami mulai mengikuti jejak tersebut.
Kami melompati kali dan mendengar bunyi beberapa ranting patah di dekat kami. Kami meringkuk di
balik sebuah batu besar, tapi rupanya itu hanya Stoll bersaudara yang tersandung-sandung menembus
hutan sambil menympah-nyumpah. Ayah mereka adalah dewa pencuri, tapi mereka mengendap-endap
seperti kerbau. Setelah Stoll bersaudara lewat, kami merambah lebih dalam ke hutan barat, tempat para monster yang
lebih liat. Kami sedang berdiri di bibir tebing yang menghadap ke danau berawa-rawa ketika Annabeth
menegang. "Di sinilah tempat kita berhenti mencari."
Perlu sedetik bagiku untuk menyadari apa maksudnya. Musim dingin lalu, saat kami mencari Nico di
Angelo, di sinilah kami berhenti berharap menemukannya. Grover, Annabeth, dan aku berdiri di batu ini
sewaktu itu, dan aku meyakinkan mereka agar tidak memberitahukan yang sebenarnya pada Chiron:
bahwa Nico adalah putra Hades. Pada saat itu hal tersebut tampaknya merupakan hal yang benar
dilakukan. Aku ingin melindungi identitasnya. Aku ingin menjadi orang yang menemukannya dan
memperbaiki keadaan atas apa yang telah terjadi pada kakak perempuannya. Sekarang, enam bulan
kemudian, aku hampir menemukannya pun tidak. Hal tersebut meninggalkan rasa pahit di mulutku.
"Aku melihatnya semalam," kataku.
Annabeth mengernyitkan alis. "Apa maksudmu?"
Aku bercerita padanya tentang pesan-Iris. Saat aku selesai, dia menatap bayang-bayang hutan. "Dia
mencoba membangkitkan orang mati" Itu nggak bagus."
"Si hantu memberinya saran yang jelek," kataku. "Menyuruhnya balas dendam."
"Yeah ... para arwah tidak pernah menjadi penasihat yang bagus. Mereka punya agenda mereka sendiri.
Dendam lama. Da mereka benci orang-orag yang masih hidup."
"Dia bakal datang mengejarku," kataku. "Si arwah menyebut-nyebut labirin."
Annabeth mengangguk. "Itu membuatku semakin yakin. Kita harus memecahkan rahasia Labirin."
"Mungkin," kataku tidak nyaman. "Tapi siapa yang mengirimkan pesan-Iris" Kalau Nico tidak tahu aku di
sana?" Sepotong ranting patah di hutan. Dedaunan kering berkerisikan. Sesuatu yang besar sedang bergerak di
tengah-tengah pepohonan, tepat di balik bubungan.
"Itu bukan Stoll bersaudara," bisik Annabeth.
Bersama-sama kami mengeluarkan pedang kami.
Kami sampai ke Kepalan Zeus, tumpukan besar bongkahan batu di tengah-tengah hutan barat. Kepalan
Zeus adalah monumen alami tempat para pekemah sering berkumpul pada ekspedisi berburu, tapi
sekarang tidak ada siapa-siapa di sana.
"Di situ," bisik Annabeth.
"Tidak, tunggu," kataku. "Di belakang kita."
Aneh. Bunyi desir kaku tampaknya terdengar dari beberapa arah yang berlainan. Kami mengitari
bongkah-bongkah batu, pedang kami terhunus, ketika seseorang tepat di belakang kamu berujar, "Hai."
Kami berkelebat berputar, dan si peri pohon Juniper memekik.
"Turunkan itu!" protesnya. "Dryad tidak suka bilah tajam, oke?"
"Juniper." Annabeth menghembuskan napas. "Sedang apa kau di sini?"
"Aku tinggal di sini."
Aku menurunkan pedangku. "Di bongkahan batu?"
Dia menunjuk ke tepian bukaan. "Di Semak Juniper. Ampun, deh."
Memang masuk akal, dan aku merasa tolol. Aku sering berada di dekat dryad selama bertahun-tahun,
tapi aku tidak pernah betul-betul mengobrol banyak dengan mereka. Aku tahu mereka tidak bisa jauhjauh dari pohon mereka, yang merupakan sumber kehidupan mereka. Tapi selain itu aku tidak tahu
banyak. "Apa kalian sibuk?" tanya Juniper.
"Yah," kataku, "kami sedang ada di tengah-tengah permainan ini nih, melawan sekumpulan monster,
dan kami berusaha supaya nggak mati."
"Kami nggak sibuk, kok," kata Annabeth. "Ada masalah apa, Juniper?"
Juniper terisak. Dia mengusapkan lengan bajunya yang sehalus sutra ke bawah matanya. "Soal Grover.
Dia tampaknya gelisah sekali. Sepanjang tahun dia mencari-cari Pan. Dan setiap kali dia kembali,
kondisinya lebih buruk. Kupikir mungkin, pada mulanya, dia pacaran dengan peri pohon lain."
"Bukan," kata Annabeth saat Juniper mulai menangis. "Aku yakin buka begitu."
"Dia pernah naksir semak blurberry dulu," kaya Juniper menderita.
"Juniper," kata Annabeth, "Grover bahkan nggak pernah melirik pohon lain. Dia Cuma stres soal izin
pencarinya." "Dia nggak bisa pergi ke bawah tanah!" protes Juniper. "Kalian nggak boleh membiarkannya."
Annabeth tampak tak nyaman. "Mungkin inilah satu-satunya cara untuk membantunya; kalau saja kita
tahu di mana harus memulai."
"Ah." Juniper menyeka air mata hijau dari pipinya. "Soal itu ...."
Kerisik lain di hutan, dan Juniper berteriak, "Sembunyi!"
Sebelum aku bisa bertanya kenapa, dia lenyap, puf, menjadi kabut hijau.
Annabeth dan aku berbalik. Dari hutan keluarlah serangga cokelat kekuningan mengilap, panjangnya
tiga meter, dan capit bergerigi, ekor tameng, dan sengat sepanjang pedangku. Seekor kalajengking. Di
punggungnya terikat bungkusan sutra merah.
"Salah satu dari kiya ke belakangnya," kata Annabeth saat makhluk itu berkelotakan ke arah kami.
"Potong ekornya sementara yang lain mengalihkan perhatiannya di depan."
"Biar aku yang mengadangnya," kataku. "Kau punya topi halimunan."
Dia mengangguk. Kami bertarung bersama berkali-kali sehingga kami mengetahui gerakan satu sama
lain. Kami bisa melakukan ini, mudah saja. Tapi semuanya buyar seketika ketika dua kalajengking lain
muncul dari hutan. "Tiga?" kata Annabeth. "Ini nggak mungkin! Hutan seluas ini, tapi setengah dari semua monster
mendatangi kita?" Aku menelan ludah. Satu, kami bisa mengatasinya. Dua, dengan sedikit keberuntungan. Tiga"
Meragukan. Kalajengking-kalajengking itu merangsek ke arah kami, melecutkan ekor mereka yang berduri seakan
mereka datang cuma untuk membunuh kami. Annabeth dan aku merapatkan punggung kami ke
bongkah batu terdekat. "Panjat?" kataku.
"Nggak ada waktu," katanya.
Dia benar. Kalajengking-kalajengking itu sudah mengelilingi kami. Mereka begitu dekat sehingga aku bisa
melihat mulut mengerikan mereka yang berbusa, menantikan makanan enak berupa manusia setengah
dewa. "Awas!" Annabeth menangkis sengat dengan bagian datar bilah pedangnya. Aku penusuk dengan
Reptide, tapi si kalajengking mundur ke luar jangkauanku. Kami memanjat bersisian di sepanjang
bongkahan batu, tapi ketiga kalakengking mengikuti kami. Aku mengayunkan pedang ke kalajengking
yang lain, tapi memulai serangan terlalu berbahaya. Kalau aku mengincar badannya, ekornya akan
menusuk ke bawah. Kalau aku mengincar ekor, capit makhluk itu datang dari kedua sisi dan mencoba
mencengkeramku. Yang bisa kami lakukan hanyalah mempertahankandiri, tapi kami takkan bisa terlalu
lama bertahan seperti itu.
Aku menapak selangkah langkah lagi ke samping, dan tiba-tiba tidak ada apa-apa di belakangku selain
sebuah retakandi antara dua batu terbesar, sesuatu yang mungkin sudah jutaan kali kulewati, tapi ....
"Ke sini," kataku.
Annabeth melakukan gerakan meniris ke arah si kalajengking kemudiam menatapku seolah aku sudah
gila. "Ke sana" Terlalu sempit."
"Akan kulindungi kau. Ayo!"
Dia berlindung kebelakangku dan mulai menyelip ke antara dua batu besar itu. Lalu dia memekik dan
mencengkeram tali pengikat baju zirahku, dan tiba-tiba aku terjatuh ke lubang yang tak ada di sana
sesaat sebelumnya. Aku bisa melihat kalajengking-kalajengking di atasku, langit malam yang ungu dan
pepohonan, dan kemudian lubang tersebut tertutup laksana lensa kamera, dan kami berada dalam
kegelapan total. Napas kami bergema ke bebatuan. Di sana basah dan dingin. Aku duduk di atas lantai yang tidak rata
yang tampaknya terbuat dari bata.
Aku mengangkat Reptide. Pendar samar bilah pedang cukup untuk menerangi wajah Annabeth yang
ketakutan dan dinding batu berlumut di samping kami.
"D-di mana kita?" kata Annabeth.
"Pokoknya aman dari kalajengking." Aku mencoba terdengar tenang, tapi aku ketakutan. Retakan di
antara dua bongkah batu tidak mungkin terhubung ke sebuah gua. Aku pasti bakal tahu kalau ada gua di
sini; aku yakin akan itu. Rasanya seakan tanah terbuka dan menelan kami. Yang bisa kupikirkan hanyalah
retakan di paviliun ruang makan, tempat kerangka-kerangka itu ditelan musim panas lalu. Aku bertanyatanya apakah hal yang sama telah terjadi pada kami.
Aku mengangkat pedangku lagi untuk penerangan.
"Ini ruangan yang panjang," gumamku.
Annabeth mencengkeram lenganku. "Ini bukan ruangan. Ini koridor."
Dia benar. Kegelapan terasa ... lebih kosong di hadapa kami. Ada embusan angin hangat, seperti di
terowongan kereta api bawah tanah, hanya saja terasa lebih kuno, entah bagaimana lebih berbahaya.
Aku mulai maju, tapi Annabeth menghentikaku. "Jangan melangkah lagi." Dia memperingatkan. "Kita
harus menemukan jalan keluarnya."
Dia terdengar betul-betul ketakutan sekarang.
"Nggak apa-apa," janjiku. "Tepat di?"
Aku mendingak dan menyadari aku tidak bisa melihat dari mana kami jatuh. Langit-langit berupa batu
padat. Koridor tampaknya terentang tak berujung di kedua arah.
Tangan Annabeth menggelincir ke genggaman tanganku. Pada keadaan yang berbeda aku mungkin akan
merasa malu, tapi di sini dalam kegelapan aku senang mengetahui di mana dia berada. Hanya inilah satu
hal yang bisa kuyakini. "Dua langkah mundur," sarannya.
Kami melangkah ke belakang bersama-sama seolah kami berada di ladang ranjau.
"Oke," katanya "Bantu aku memeriksa dinding."
"Buat apa?" "Tanda Daedalus," katanya, seolah itu harusnya masuk akal.
"Uh, oke. Kayak gimana?"
"Dapat!" katanya lega. Dia meletakkan tangannya di dinding dan menekan retakan kecil, yang mulai
berkilau biru. Simbol Yunani muncul: D, Delta Yunani Kuno.
Atap bergeser terbuka dan kamu melihat langit malam, bintang-bintang gemerlapan. Suasananya jauh
lebih gelap daripada yang seharusnya. Tangga logam muncul di samping dinding, mengarah ke atas, dan
aku bisa mendengar orang-orag menerikkan nama kami.
"Percy! Annabeth!" Suara Tyson berteriak paling keras, tapi yang lain juga berseru-seru.
Aku memandang Annabeth dengan gugup. Lalu kami mulai memanjat.
Kami berjalan mengelilingi batuan dan berpapasan dengan Clarisse dan sekumpulan pekemah lain yang
membawa obor. "Kalian ke mana saja?" tuntut Clarisse. "Kami sudah mencari-cari sampai pegal."
"Tapi kami baru pergi beberapa menit," kataku.
Chiron berderap maju, diikuti oleh Tyson dan Grover.
"Percy!" kata Tyson. "Kau baik-baik saja?"
"Kami baik-baik saja," kataku. "Kami jatuh ke lubang."
Yang lain memandangku dengan skeptis, lalu memandang Annabeth.
"Jujur!" kataku. "Ada tiga kalajengking yang megejar kami, jadi kami lari dan sembunyi di batu-batu. Tapi
kami baru pergi semenit."
"Kalian sudah menghilang selama hampir sejam," kata Chiron. "Permainan sudah berakhir."
"Iya," gumam Grover. "Kami pasti bakal menang, tapi ada Cyclops yang menduduki aku."
"Itu kecelakaan!" protes Tyson, dan kemudian dia bersin.
Clarisse mengenakan daun dafnah emas, tapi bahkan dia tidak menyombon soal mengenainya, yang
bukanlah wataknya. "Lubang?" katanya curiga.
Annabeth menghela napas dalam. Dia memandang ke para pekemah lain. "Pak Chiron ... mungkin kita
sebaiknya membicarakan ini di Rumah Besar."
Clarisse terkesiap. "Kau menemukannya, ya?"
Annabeth menggigit bibirnya. "Aku"Iya. Iya, kami menemukannya."
Sekumpulan pekemah mulai mengajukan pertanyaan, terlihat sama bingungnya seperti aku, tapi Chiron
mengangkat tangannya untuk menyuruh semuanya diam. "Malam ini bukan waktu yang tepat, dan di
sini bukan tempat yang tepat." Dia menatap bongkahan batu seolah dia baru saja menyadari betapa


Percy Jackson And The Olympians 4 The Battle Of The Labyrinth Pertempuran Labirin Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbahayanya batu-batu itu. "Kalian semua, kembali ke pondok kalian. Tidurlah. Permainan berjalan
dengan baik, tapi jam malam sudah lewat!"
Ada banyak gumaman dan gerutuan, tapi para pekemah menjauh, mengobrol satu sama lain da n
memberiku tatapan curiga.
"Ini menjelaskan banyak hal," kata Clarisse. "Ini menjelaskan apa yang dicari Luke."
"Tunggu sebentar," kataku. "Apa maksudmu" Apa yang kami temukan?"
Annabeth berpaling kepadaku, matanya gelap karena khawatir. "Pintu masuk ke Labirin. Rute
penyerbuan tepat ke jantung perkemahan."*+
BAB EMPAT Annabeth Melanggar Peraturan
Chiron berkeras agar kami bicara pada pagi harinya, yang rasanya seperti, Hei, hidupmu dalam bahaya
maut. Tidur yang nyenyak ya! Sulit untuk tertidur, tapi ketika aku akhirnya terlelap, aku memimpikan
penjara. Aku melihat seorang anak laki-laki yang memakai tunik Yunani dan sandal sedang berjongkok sendirian
dalam sebuah ruangan batu yang sangat besar. Langit-langitnya terbuka ke langit malam, tapi dindingdindingnya setinggi tujuh meter dan terbuat dari marmer mengilap, mulus sepenuhnya. Di sepenjuru
ruangan seolah peti-peti kayu. Beberapa retak dan terguling seolah peti-peti tersebut telah dilemparkan
ke sana. Perangkat perunggu tertumpah keluar dari salah satu kotak"sebuah kompas, sebuah gergaji,
dan bermacam-macam benda lain yang tidak kukenali.
Si anak laki-lakai meringkuk di sudut, gemetar karena kedinginan, atau mungkin ketakutan. Dia
bersimbah lumpur. Lengan, kaki, dan wajahnya lecet-lecet seakan dia telah diseret ke sini beserta kotakkotak itu.
Lalu pintu ek ganda berkeriut terbuka. Dua pengawal berbaju zirah perunggu berderap masuk,
memegangi seorang pria tua di antara mereka. Mereka melemparkannya bagaika gundukan babak-belur,
ke lantai. "Ayah!" Si anak laki-laki berlari ke arahnya. Jubah si pria compang-camping. Rambutnya diselingi warna
kelabu, dan jenggotnya panjang serta keriting. Hidungnya patah. Bibirnya berdarah.
Si anak laki-laki merengkuh kepala sang pria tua dalam pelukannya. "Apa yang mereka lakukan pada
Ayah?" Lalu dia meneriaki para pengawal. "Akan kubunuh kalian!"
"Tidak akan ada pembunuhan hari ini," ujar sebuah suara.
Para pengawal bergerak minggir. Di belakang mereka berdirilah seorang pria tinggi berjubah putih. Dia
mengenakan mahkota berupa lingkaran emas tipis di kepalanya. Jenggotnya lancip seperti mata tombak.
Matanya berkilat kejam. "Kau membantu warga Athena membunuh Minotaurusku, Daedalus. Kau
membuat putriku sendiri berpaling melawanku."
"Kau melakukan itu pada dirimu sendiri, Yang Mulia," kata sang pria tua parau.
Seorang pengawal melayangkan tendangan ke wajah sang pria tua. Dia mengerang kesakitan. Si anak
laki-laki menjerit, "Hentikan!"
"Kau sangat mencintai labirinmu," kata sang raja. "Aku telah memutuskan untuk membiarkanmu tinggal
di sini. Ini akan menjadi bengkel kerjamu. Buatkan aku keajaiban-keajaiban lain. Buat aku senang. Semua
labrin memerlukan monster. Kau akan menjadi milikku!"
"Aku tidak takut padamu," erang sang pria tua.
Sang raja tersenyum dingin. Dia melekat pandangan matanya pada si anak laki-laki. "Tapi seorang pria
peduli akan putranya, bukan" Buat aku tidak senang, pria tua, dan kali lain pengawalku menjatuhkan
hukuman, dialah yang akan menerimanya!"
Sang raja berdesir ke luar ruangan bersama para pengawalnya, dan pintu terbanting tertutup,
meninggalkan si anak laki-laki dan ayahnya sendirian dalam kegelapan.
"Apa yang akan kita lakukan?" keluh si anak laki-laki. "Ayah, mereka akan membunuhmu!"
Sang pria tua menelan ludah dengan susah payah. Dia mencoba tersenyum, tapi senyumnya mengerikan
akibat mulutnya yang berdarah.
"Beranilah, Putraku." Dia menengadah ke bintang-bintang. "Aku"aku akan menemukan jalan."
Jeruji diturunkan melintangi pintu dengan bunyi BUM fatal, dan aku terbangun sambil berkeringat dingin.
Aku masih merasa terguncang keesokan paginya saat Chiron mengadakan rapat perang. Kami bertemu
di arena pedang, yang kupikir agak aneh"mencoba mendiskusikan nasib perkemahan sementara
Nyonya O"Leary mengunyah-ngunyah yak karet merah jambu seukuran aslinya yang berdecit-decit.
Chiron dan Quintus berdiri di depan dekat rak senjata. Clarisse dan Annabeth duduk bersebelahan dan
memimpin pengarahan. Tyson dan Grover duduk sejauh mungkin dari satu sama lain. Di sekeliling meja
juga ada: Juniper di peri pohon, Silena Beauregard, Travis dan Connor Stoll, Beckendorf, Lee Fletcher,
dan bahkan Argus, kepala keamanan kami yang bermata seratus. Begitulah aku tahu bahwa ini serius.
Argus nyaris tidak pernah menunjukkan batang hidungnya, kecuali saat sesuatu yang besar sedang
terjadi. Sepanjang waktu saat Annabeth bicara, dia berusaha memusatkan pandangan keseratus mata
birunya kepada Annabeth dengan sangat keras sehingga seluruh tubuhnya memerah.
"Luke pasti tahu soal pintu masuk Labirin," kata Annabeth. "Dia tahu segalanya tentang perkemahan."
Kupikir aku mendengar sedikit kebanggaan dalam suaranya, seakan-akan dia masih menghormati cowok
itu meskipun dia jahat. Juniper berdeham. "Itulah yang kucoba bertahukan padamu kemarin malam. Pintu masuk gua sudah
lama ada di sana. Luke dulu pernah menggunakannya."
Silena Beauregard mengernyitkan dahi. "Kau tahu tentang pintu masuk Labirin, dan kau tidak
mengatakan apa-apa?"
Wajah Juniper menghijau. "Aku tak tahu itu penting. Cuma gua. Aku tak suka gua tua menjijikkan."
"Juniper punya selera bagus," kata Grover.
"Aku pasti tak akan memperhatikannya kalau bukan karena ... yah, itu kan Luke." Juniper merona sedikit
lebih hijau lagi. Grover mendengus. "Lupakan apa yang kukatakan soal selera bagus."
"Menarik." Quintus memoles pedangnya sambil bicara. "Dan kau yakin pemuda ini, Luke, bakal berani
menggunakan Labirin sebagai rute penyerbuan?"
"Jelas," kata Clarisse. "Kalau dia bisa memasukkan sepasukan monster ke Perkemahan Blasteran,
muncul begitu saja di tengah-tengah hutan tanpa harus mencemaskan soal perbatasan sihir, kita nggak
bakalan punya peluang. Dia bisa menyapu bersih kita dengan mudah. Dia pasti sudah merencanakan ini
selama berbulan-bulan."
"Dia sudah mengirimkan pengamat ke dalam labirin," kata Annabeth. "Kami tahu karena ... karena kami
menemukan seorang." "Chris Rodriguez," kata Chiron. Dia memberi Quintus pandangan penuh arti.
"Ah," kata Quintus. "Orang yang di .... Ya. Aku paham."
"Orang yang di apa?" tanyaku.
Clarisse memelototiku. "Intinya, Luke sedang mencari cara untuk menjelajahi labirin. Dia mencari bengel
kerja Daedalus." Aku ingay mimpiku malam sebelumnya"pria tua berdarah-darah yang berjubah compang-camping.
"Orang yang menciptakan labirin."
"Ya," kata Annabeth. "Sang arsitek terhebat, penemu terhebat sepanjang masa. Kalau legenda itu
memang benar, bengkel kerjanya ada di pusat Labirin. Dialah satu-satunya yang tahu bagaimana
menjelajahi labirin dengan sempurna. Kalau Luke berhasil menemukan bengkel kerja dan meyakinkan
Daedalus untuk membantunya, Luke tidak perlu susah payah ke sana-kemari untuk menemukan jalan,
atau mengambil risiko kehilangan pasukannya dalam jebakan-jebakan labirin. Dia bisa pergi ke mana
pun dia mau"dengan cepat dan aman. Pertama-tama ke Perkemaha Blasteran untuk mengenyahkan
kita. Lalu ... ke Olympus."
Area hening, hanya ada bunyi jeroan mainan yak Nyonya O"Leary yang dikeluarka: CIIT! CIIT!
Akhirnya Beckendorf meletakkan tangannya yang besar di meja. "Tunggu dulu. Annabeth, kau bilang
"meyakinkan Daedalus?" Bukankah Daedalus sudah mati?"
Quintus menggerutu. "Kuharap begitu. Dia hidup, kapan, tiga ribu tahun lalu" Dan bahkan kalaupun dia
hidup, bukankah cerita kuno bilang dia kabur dari Labirin?"
Chiron mengentakkan kakinya dengan gelisah. "Itulah masalahnya, Quintus yang baik. Tidak ada yang
tahu. Ada rumor ... yah, ada banyak rumor menggelisahkan tentang Daedalus, tapi salah satunya adalah
dia menghilang, kembali ke dalam Labirin menjelang penghujung hidupnya. Dia mungkin saja mash ada
di bawah sana." Aku berpikir tentang pria tua yang kulihat dalam mimpiku. Dia terlihat begitu rapuh, sulit memercayai
bahwa dia bakal bertahan hidup seminggu lagi saja, apalagi tiga ribu tahun.
"Kita harus masuk." Annabeth mengumumkan. "Kita harus menemukan bengkel kerja itu sebelum Luke
menemukannya. Kalau Daedalus masih hidup, kita yakinkan dia agar membantu kita, bukan Luke. Kalau
benang Ariadne masih ada, kita pastikan agar benang iru takkan pernah jatuh ke tangan Luke."
"Tunggu sebentar," kataku. "Kalau kita mencemaskan serangan, kenapa kita tidak meledakkan jalan
masuk itu saja" Menyegel terowongan itu?"
"Ide hebat!" kata Grover. "Akan kuambilkan dinamitnya!"
"Nggak semudah itu, Bodoh," geram Clarisse. "Kami mencoba itu di pintu masuk yang kami temukan di
Phoenix. Hasilya nggak bagus."
Annabeth mengangguk. "Labirin adalah arstektur magis, Percy. Perlu kekuatan yang sangat besar untuk
menyegel satu pintu masuknya saja. Di Phoenix, Clarisse merobohkan satu bangunan utuh dengan bola
penghancur, dan pintu masuk labirin Cuma bergeser beberapa meter. Hal terbaik yang bisa kita lakukan
adalah mencegah Luke mengetahui cara menjelajahi Labirin."
"Kita bisa melawan," kata Lee Flecher. "Kita sekarang tahu di mana pintu masuknya. Kita bisa
mendirikan garis pertahanan dan menunggu mereka. Kalau pasukan itu mencoba lewat, mereka bakal
menemukan kita sedang menunggu dengan busur kita."
"Kita jelas akan mendirikan pertahanan," Chiron setuju. "Tapi aku khawatir Clarisse benar. Batas-batas
sihir telah membuat perkemahan ini tetap aman selama ratusa tahun. Kalau Luke berhasil memasukkan
sepasukan besar monster ke pusat perkemahan, memotong jalan lewat perbatasan kita ... kita mungkin
tidak punya kekuatan untuk mengalahkan mereka."
Tidak ada yang terlihat senang soal kabar itu. Chiron biasanya mencoba bersikap ceria dan optimistis.
Kalau dia memprakirakan bahwa kami tidak bisa menahan serangan, itu tak baik.
"Kita harus sampai ke bengkel kerja Daedalus lebih dulu." Annabeth berkeras. "Menemukan benang
Ariadne dan mencegah Luke menggunakannya."
"Tapi kalau tidak ada yang bisa tahu arah di dalamnya," kataku, "peluang apa yang bisa kita punya?"
"Aku sudah mempelajari arsitektur selama bertahun-tahun," katanya. "Aku lebih tahu tentang Labirin
Daedalus dari siapa pun."
"Karena membaca soal itu."
"Eh, iya." "Itu nggak cukup."
"Pasti cukup!" "Nggak lah!" "Kau mau membantuku atau tidak?"
Aku menyadari semua orang sedang menonton Annabeth dan aku seperti pertandingan tenis. Yak
Nyonya O"Leary yang berdecit-decit berbunyi KRIIIEEET! Saat dia merobek kepala karet merah jambu si
boneka. Chiron berdeham. "Dahulukan yang utama. Kita perlu misi. Seseorang harus memasuki Labirin,
menemukan bengkel kerja Daedalus, dan mencegah Luke menggunakan Labirin itu untuk menyerbu
perkemahan ini." "Kita semua tahu siapa yang harus memimpin ini," kata Clarisse. "Annabeth."
Ada gumaman persetujuan. Aku tahu Annabeth sudah menunggu-nunggu misinya sendiri sejak dia
masih kecil, tapi dia terlihat tak nyaman.
"Kau sudah melakukan banyak hal, sama sepertiku Clarisse," katanya. "Kau juga harus pergi."
Clarisse menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mau balik ke dalam sana."
Travis stoll tertawa. "Jangan bilang kau takut, Clarisse, pengecut?"
Clarisse bangkit. Kupikir dia bakal meremukkan Travis sampai jadi bubur, tapi dia berkata dengan suara
gemetar: "Kau nggak ngerti apa-apa, Berandal. Aku nggak mau ke sana lagi. Nggak akan pernah."
Dia menyerbu ke luar arena.
Travis melihat ke sekeliling, merasa bersalah. "Aku nggak bermaksud?"
Chiron mengangkat tangannya. "Gadis malang itu mengalami tahun yang sulit. Nah, apa kita setuju
Annabeth sebaiknya memimpin mis ini?"
Kami semua mengangguk, kecuali Quintus. Dia bersendekap dan menatap meja, tapi aku tidak yakin ada
orang lain yang memperhatikan.
"Baiklah." Chiron menoleh kepada Annabeth. "Sayangku, inilah waktumu untuk mengunjungi sang
Oracle. Mengasumsikan bahwa kau akan kembali kepada kami dalam keadaan utuh, kita akan
mendiskusikan apa yang kita lakukan selanjutnya."
Menunggu Annabeth lebih sulit daripada mengunjungi sang Oracle sendiri.
Aku pernah mendengarnya mengucapkan dua kali sebelumnya. Kali pertama adalah dalam loteng
berdebu di Rumah Besar, tempat arwah Delphi tidur di dalam mayat seorang wanita hippie yang
diawetkan. Kali kedua, sang Oracle keluar untuk jalan-jalan di hutan. Aku masih bermimpi buruk soal itu.
Aku tidak pernah merasa terancam oleh kehadiran sang Oracle, tapi aku pernah mendengar ceritacerita: para pekemah yang jadi gila, atau yang melihat visi yang begitu nyata sampai-sampai mereka
mati ketakutan. Aku mondar-mandir di arena, menunggu Nyonya O"Leary mentantap makan siangnya, yang terdiri dari
setengah kilogram daging giling dan beberapa keping biskuit anjing seukuran tutup tong sampah. Aku
bertanya-tanya dari mana Quintus mendapatkan biskuit anjing seukuran itu. Kurasa kau tak mungkin
masuk begitu saja ke Pet Zone"Zona Hewan Peliharaan"dan meletakkan biskuit semacam itu di kereta
dorongmu. Chiron sedang bercakap-cakap serius dengan Quintus dan Argus. Bagiku sepertinya mereka sedang
berselisih pendapat tentang sesuatu. Quintus terus-menerus menggelengkan kepala.
Di sisi lain arena, Tyson dan Stoll bersaudara sedang membalapkan miniatur kereta perang perunggu
yang Tyson buat dari potongan-potongan baju zirah.
Aku berhenti mondar-mandir dan meninggalkan arena. Aku menatap ke seberang ladang, ke jendela
loteng Rumah Besar, gelap dan terang. Kenapa Annabeth lama sekali" Aku cukup yakin aku tidak perlu
waktu selama ini untuk mendapatkan ramalanku.
"Percy," bisik seorang gadis.
Juniper sedang berdiri di semak-semak. Aneh rasanya bagaimana dia hampir tak kasat mata ketika dia
dikelilingi oleh tetumbuhan.
Dia memberiku isyarat buru-buru untuk mendekat. "Kau perlu tahu: Luke bukan satu-satunya yang
kulihat di sekitar gua itu."
"Apa maksudmu?"
Dia melirik ke arena. "Aku mencoba mengatakan sesuatu, tapi dia ada di sana."
"Siapa?" "Si ahli pedang," katanya. "Dia menelaah batu-batu."
Perutku jadi mulas. "Quintus" Kapan?"
"Aku nggak tahu. Aku nggak memperhatikan waktu. Mungkin seminggu lalu, waktu dia pertama kali
datang." "Apa yang dilakukannya" Apa dia masuk"
"Aku"aku nggak yakin. Dia menyeramkan, Percy. Aku bahkan nggak melihatnya masuk ke pinggiran
hutan. Tiba-tiba dia ada di sana begitu saja. Kau harus beri tahu Grover ini terlalu berbahaya?"
"Juniper?" Grover memanggil dari dalam arena. "Kemana saja kau?"
Juniper mendesah. "Lebih baik aku masuk. Ingat saja apa yang kukatakan. Jangan percayai laki-laki itu!"
Dia berlari masuk ke arena.
Aku menatap Rumah Besar, merasa lebih gelisah dari pada sebelumnya. Kalau Quintus merencanakan
sesuatu ... aku perlu saran Annabeth. Dia mungkin tahu bagaimaa memahami berita dari Juniper. Tapi ke
mana saja dia" Apa pun yang terjadi dengan sang Oracle, pastinya tak perlu waktu selama ini.
Akhirnya aku tidak tahan lagi.
Memang melanggar peraturan, tapi lagi pula, tidak ada yang melihar. Aku berlari menuruni bukit dan
menuju ke seberang ladang.
Ruang depan Rumah Besar, anehnya, sepi. Aku terbiasa melihat Dionysys dekat perapian, main kartu
dan makan anggur dan memarahi satir, tapi Pak D masih pergi.
Aku berjalan menyusuri lorong, lantai papan berkeriat-riut di bawah kakuku. Ketika aku sampai di dasar
anak tangga, aku ragu-ragu. Empat lantai di atas akan ada pintu tingkap kecil yang mengarah ke loteng.
Annabeth pasti ada di suatu tempat di atas sana. Aku berdiri diam dan mendengarkan. Tapi apa yang
kudengar bukanlah apa yang kuduga-duga.
Isak tangis. Dan datangnya dari suatu tempat di bawahku.
Aku berjingkat-jingkat memutar ke belakang tangga. Pintu ruang bawah tanah terbuka. Aku bahkan
tidak tahu Rumah Besar punya ruang bawah tanah. Aku memincingkan mata ke dalam dan melihat dua
sosok di pojok jauh duduk di tengah-tengah sekumpulan wadah ambrosia dan awetan stroberi. Salah
satunya Clarisse. Yang lainnya cowok Hispanik yang mengenakan celana loreng compang-camping dan Tshirt hitam kotor. Rambut cowok itu berminyak dan gimbal. Dia memeluk bahunya sendiri dan terisakisak. Dia Chris Rodriguez, blasteran yang pergi untuk bekerja bagi Luke.
"Nggak apa-apa." Clarisse memberitahunya. "Coba nektak sedikit lagi."
"Kau cuma ilusi, Mary!" Chirs mundur kian jauh ke pojok. "M-menjauhlah."
"Namaku bukan Mary." Suara Clarisse lembut, tapi benar-benar sedih. Aku tidak pernah tahu Clarisse
bisa bersuara seperti itu. "Namaku Clarisse. Ingatlah. Kumohon."
"Gelap!" jerit Chris. "Gelap sekali!"
"Ayo keluar," bujuk Clarisse. "Sinar matahari akan membantumu."
"Ribuan ... ribuan tengkorak. Bumi terus menyembuhkannya."
"Chris." Clarisse memohon. Kedengarannya dia hampir menangis. "Kau harus membaik. Kumohon. Pak D
akan segera kembali. Dia ahli dalam kegilaan. Bertahanlah."
Lalu Chris melihat sekilas ke arahku dan membuat suara tercekik, ketakutan. "Putra Poseidon! Dia
menyeramkan!" Aku mundur, berharap Clarisse tidak melihatku. Aku mendengarkan, menduga dia akan menyerbu ke
luar dan membentak-bentakku, tapi alih-alih dia justru terus bicara kepada Chris dengan suara
Lembah Karang Hantu 1 Dewi Ular 97 Ada Apa Dengan Setan Pendekar Bodoh 8
^