Pencarian

Ratu Tanpa Tapak 2

Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak Bagian 2


Sumbaruni jangan digugurkan, dan mohon agar Sumbaruni mau melahirkan bayinya.
Sumbaruni juga punya permintaan yaitu kecantikan
masa mudanya dan kesaktian yang bertambah. Jin
Kazmat setuju, Sumbaruni pun setuju, akhirnya ia
melahirkan seorang bayi yang semakin banyak terkena angin semakin cepat besar.
Maka jadilah manusia besar bernama Logo."
"Sejak itu Sumbaruni masih diam di puncak gunung Winukir?"
"Tidak. Sumbaruni berkelana mencari anaknya yang hilang karena badai besar.
Bertahun-tahun dia mencari sang anak, akibatnya Gunung Winukir dikuasai oleh
Nila Cendani."
"Mengapa Sumbaruni tidak merebut gunung itu dari kekuasaan Nila Cendani" Apakah
ia kalah sakti dengan Nila Cendani?"
"Sumbaruni tidak membutuhkan gunung. Sumbaruni membutuhkan anaknya, ia tidak
akan berbuat apa-apa sebelum temukan anaknya."
"Apakah ia kawin lagi?"
"Menurut kabar, ia tidak kawin lagi. Perhatiannya terpusat pada sang anak yang
hilang. Sekalipun anak itu tumbuh menjadi anak jin yang besar, tapi Sumberuni
sayang kepada anak itu. Dari tahun ke tahun Sumbaruni hidup berkelana mencari
anaknya. Beberapa tokoh silat tingkat tinggi mengenalnya, tapi tidak semua.
Hanya orang-orang dari golongan putih saja yang mengenal
Sumbaruni. Tapi Sumbaruni mengenal mereka satu
persatu. Seberapa tinggi kekuatan ilmu mereka, sangat dikenali oleh Sumbaruni."
"Mengapa bisa begitu?" tanya Suto dengan heran.
"Kabarnya Sumbaruni punya ilmu yang bernama
'Getar Sukma'. Ilmu itu yang membuat Sumbaruni
mengetahui ukuran ketinggian ilmu seseorang. Dengan menyebut nama atau mendengar
nama seseorang,
Sumbaruni punya getaran sukma yang bisa mengukur
tinggi-rendahnya ilmu orang tersebut. Makin kencang dan kuat getarannya semakin
tinggi ilmu orang tersebut."
"Hebat sekali"!"
Pelangi Sutera tersenyum manis, berkesan menggoda.
"Sumbaruni memang orang hebat, tapi dia tak mau menampakkan kehebatannya. Bahkan
ia jarang ikut campur di dunia persilatan. Mungkin gurumu sendiri
kenal dengan Sumbaruni. Walau tak secara langsung,
mungkin pernah mendengar nama Sumbaruni."
"Guruku yang mana" Bidadari Jalang atau Gila
Tuak?" "Keduanya," jawab Pelangi Sutera seakan yakin betul dengan jawabannya. "Dulu,
banyak orang yang ingin berguru kepada Sumbaruni, tapi Sumbaruni tidak mau
turunkan ilmunya, kecuali untuk sang anak."
"Apakah akhirnya Sumbaruni bertemu dengan
anaknya?" "Ya. Tapi ia sudah tidak mau kembali ke Gunung Winukir."
"Kenapa?"
"Gunung itu telah kotor. Ketamakan dan kelaliman Nila Cendani telah mengotori
gunung itu dan Sumbaruni tidak mau peduli lagi. Sekarang yang dilakukan oleh
Sumbaruni hanya satu."
"Apa itu?"
"Mencari suami manusia."
Suto manggut-manggut. Sesekali
tangannya mengutik-utik api unggun agar tak padam. Sebatang
kayu kering yang digunakan mengorek api unggun itu
sejak tadi dibuat mainan tangannya sambil mendengar cerita Pelangi Sutera, ia
tak sadar kalau dirinya ditatap terus oleh Pelangi Sutera. Tatapan itu punya
makna tersendiri. Hati Pelangi Sutera tersentuh dan berbunga-bunga jika sedang
berpapasan pandang dengan Suto
Sinting. Senyumnya sesekali mekar, cantik, dan manis, seakan dipamerkan kepada
Suto. Secara jujur Suto Sinting mengakui ada rasa tertarik kepada Pelangi Sutera.
Tetapi ia ingat calon istrinya: Dyah Sariningrum. Rasa tertarik itu pun
dibantainya habis-habisan dengan tarikan napas berulang-ulang yang dilakukan
dengan tidak kentara. Tapi apakah ia mampu bertahan terus membantai rasa suka
yang selalu cepat tumbuh jika berpapasan pandang dengan gadis itu"
Pendekar Mabuk cemas, sebab ia tak yakin akan
kemampuan bertahannya. Untuk membantu kekuatan
imannya, Suto Sinting sering meneguk tuak dan
mengosongkan pikiran selama dua-tiga helaan napas.
Itulah cara terampuh baginya.
"Lalu, apa maksudmu membuat janji bertemu
denganku di kaki Bukit Semberani ini" Apakah benar
kau murid Raja Maut"'
"Kau percaya syukur, tidak ya tidak apa-apa," jawab Pelangi Sutera sengaja
dibuat samar-samar. "Yang jelas ada sesuatu yang perlu kau ketahui dariku."
"Tentang apa itu"'
"Ancaman jiwamu."
Mata si tampan itu cepat-cepat menatap Pelangi
Sutera. Tatapan itu diterima oleh pandangan mata
Pelangi Sutera. Diresapi sebagai sebentuk keindahan.
Hatinya pun berdebar, jiwa pun gemetar, perut pun lapar.
Tapi semua itu sengaja tidak dipedulikan dulu oleh
Pelangi Sutera, karena ia harus lanjutkan penjelasannya agar si tampan tak
kebingungan. "Dalam waktu dekat ini kau akan terseret pada
perkara yang membuatmu akan terperangkap dalam
pelukan Ratu Tanpa Tapak."
"Bagaimana kau bisa tahu hal itu"'
"Logo adalah pengawal sang Ratu. Dulu Logo pernah dikalahkan oleh sang Ratu.
Sang Ratu kecewa atas
kematian dua utusannya. Logo diutus menyeret
pembunuhnya."
"Ya, aku sudah dengar dari mulut Logo sendiri, apa tugas orang besar itu."
"Ki Gendeng Sekarat orang yang diincar oleh sang Ratu untuk dibunuh dalam
keputusan pengadilannya.
Kau tentunya akan ikut campur karena kau ada di pihak Ki Gendeng Sekarat. Dan
jika kau berhadapan dengan
Nila Cendani si Ratu Tanpa Tapak itu, jelas keputusan sang Ratu akan berubah.
Dia akan naksir kamu dan ingin menikah denganmu."
Pendekar Mabuk tersenyum malu. "Ah, itu belum
tentu. Tak ada alasannya sang Ratu berbalik pikiran begitu."
"Alasannya ada. Alasannya ialah... kau tampan dan menawan hati," jawaban ini
agak pelan, seakan tercetus tulus dari dasar lubuk hati Pelangi Sutera. Tapi
murid si Gila Tuak itu hanya cengar-cengir mencoba tak
mengakui kebenaran ucapan itu.
"Aku bersungguh-sungguh. Kau punya daya pikat
yang luar biasa. Mungkin kau punya ilmu pemberian
bibi gurumu; Bidadari Jalang, yang dapat membuatmu
menjadi pemikat kaum wanita. Kalau saja hidup wanita itu mempunyai kebebasan
bertindak dan berkuasa atas seluruh kaum lelaki, maka semua wanita akan berusaha
menjadi istrimu."
"Ah, kau berlebihan, Pelangi Sutera."
"Tidak. Ini bukan berlebihan. Ini kenyataan. Karena apa yang kurasakan dalam
hatiku adalah demikian."
Suto Sinting menatap Pelangi Sutera dengan
pandangan yang aneh, namun tak sampai berkerut dahi.
Pelangi Sutera membalas dengan pandangan yang lebih dalam lagi, sehingga hati
murid sinting si Gila Tuak itu bergetar cukup kuat. Desir-desir keindahan muncul
di dalam dada Suto Sinting, ia menjadi salah tingkah dan berusaha mengosongkan
pikiran beberapa kali.
Tetapi Pelangi Sulera mendekat. Duduknya pindah ke
samping Suto. Tangannya menggenggam lengan Suto.
Wajahnya mendekat penuh harap. Suaranya berucap
pelan bagai orang berbisik.
"Pria sepertimulah yang diharapkan mau menjadi suami Sumbaruni."
"Dari mana kau tahu?"
"Karena akulah Sumbaruni."
"Hahhh..."!"
Mata Suto seperti ditaburi kunang-kunang. Pendekar
Mabuk merasa tidak sedang mabuk, tapi pandangan
matanya menjadi guncang. Hatinya gemetar, jantungnya deg-degan. Kerongkongan
terasa kering. Mulut pun sulit dikatupkan kembali. Kayu yang dipegangnya sampai
terlepas begitu mendengar jawaban gadis itu.
Belum sempat terjadi percakapan lebih lanjut, atau
tindakan mesra berikut, tiba-tiba Logo masuk ke dalam gua. Ia berdiri dan
membungkuk sebentar, kemudian
berkata kepada Pelangi Sutera,
"Hawa panas. Ibu, bolehkah aku mandi di laut?"
"Pergilah mandi, tapi jangan lama-lama. Kalau terlalu lama kau bisa masuk angin.
Kalau kau masuk angin Ibu susah ngeroki badanmu, Nak."
"Terima kasih, Ibu. Saya akan kerokan sendiri kalau masuk angin."
Setelah itu Logo pergi. Langkahnya membuat gua
bergetar. Atap gua menaburkan serpihan tanah dan batu.
Tapi tak sampai di bagian atas kepala Suto. Hanya saja, mata Suto Sinting pun
memandangi anak jin yang pergi mandi itu. Ternyata apa yang diakui oleh Pelangi
Sutera bukan hal yang main-main. Gadis itu, yang ditaksir
usianya sekitar dua puluh lima tahun itu, ternyata benar-benar ibu dari Logo, si
anak jin tersebut. Pengakuan itu sulit dipercaya oleh akal sehat Suto, tapi
kenyataan yang ada tak bisa dibantahnya.
"Suto," suara Pelangi Sutera terdengar lembut, ia mengusap tangan Suto. Pelan
dan penuh perasaan.
"Kuingatkan padamu, jangan melibatkan diri dalam perkara ini. Jangan sampai
bertemu dengan Ratu Tanpa Tapak, nanti dia jatuh cinta padamu dan menggunakan
ilmu pemikatnya untuk menjerat hatimu. Kalau kau
sudah terjerat oleh ilmu pemikatnya, kau sulit keluar dari pelukannya."
Suto Sinting menelan ludahnya sendiri untuk basahi
tenggorokannya. Ada yang ingin diucapkan. Tapi ia tak tahu harus berucap apa
kepada bekas istri jin yang masih imut-imut itu"
"Logo sudah tak berani pulang kepada Ratu Tanpa Tapak. Itu berarti Logo sudah
berpihak kepadamu.
Untuk menghindari bencana itu, turutilah saranku, Suto.
Jangan sampai kau jatuh dalam pelukan Nila Cendani, sebab jika terjadi begitu
maka aku akan mengadu nyawa dengannya. Pasti dia yang akan tumbang."
"Kenapa tidak kau tumbangkan saja ratu itu?"
"Dalam urutan silsilah, aku adalah neneknya Nila Cendani. Dia cucu dari almarhum
adik bungsuku."
Karena bingungnya, Suto Sinting hanya berkata,
"Udara memang panas. Aku perlu cari angin ke luar gua dulu."
"Boleh aku menemanimu?"
Murid sinting si Gila Tuak itu hanya memandang dan
memberikan seulas senyum, ia sudah berdiri, tapi tak memberi jawaban pasti, ia
melangkah keluar gua.
Ternyata di luar keadaan terang benderang. Rembulan memancarkan sinarnya ke bumi
tidak tanggung-tanggung lagi. Udara panas itu mungkin disebabkan uap air laut
yang menyimpan panas matahari pada waktu
siangnya. Di sebelah barat, tampak anak jin mandi dengan
jingkrak-jingkrak, ia berteman ombak dan riak. Suto Sinting memperhatikan
sejenak, tersenyum tipis,
kemudian melangkah pelan-pelan ke arah timur.
Langkah kaki menyusuri pantai begitu pelannya, seakan menikmati alam pikirannya
yang sedang berkecamuk
tentang Pelangi Sutera.
"Pantas jika Juru Bungkam dan Pawang Gempa takut kepada Pelangi Sutera. Kurasa
mereka berdua sudah
tahu siapa Pelangi Sutera sebenarnya. Pantas juga
Pelangi Sutera menakut-nakuti akan dijadikan tumbal Ratu Tanpa Tapak, karena ia
tak ingin aku jumpa dengan ratu itu. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat bertatap muka
dengan Pelangi Sutera, pasti dia akan tahu juga siapa sebenarnya si cantik yang
menggemaskan itu."
Hawa malam cukup segar. Siraman cahaya rembulan
membuat malam hampir mirip dengan pagi. Semilir
angin yang berhembus bagaikan membuka kekusutan
otak Suto. Karenanya Pendekar Mabuk sengaja duduk di atas batu, menikmati
semilirnya angin sambil merenungi
apa yang ada dalam kenyataan itu.
Pelangi Sutera akhirnya tak tahan membiarkan Suto
sendirian di pantai, ia juga tak tahan membiarkan dirinya di dalam gua. Maka
wanita cantik imut-imut itu pun
menyusulnya, ia berdiri tak jauh dari Suto, memandang alunan ombak laut yang tak
begitu ganas. Jaraknya
hanya dua langkah dari Suto. Sambil menatap ke arah lautan, Pelangi Sutera
perdengarkan suaranya di sela keheningan malam dan deburan ombak samar-samar
itu. "Tak bolehkah aku mencintaimu, Suto?"
Bingung lagi Suto menjawabnya. Akhirnya ia hanya
berkata, "Cinta tak bisa datang secepat ini. Punya perjalanan dan pengalaman
sendiri." "Sebenarnya, cinta ini tumbuh sudah lama. Sejak kau terlibat perkara dengan
Siluman Tujuh Nyawa, aku
sudah mengikuti perjalananmu secara diam-diam. Aku
sering memperhatikan dirimu dalam semadiku. Dan
hatiku tertarik padamu. Aku kagum dengan kehebatan
ilmumu. Lebih kagum lagi dengan jiwamu. Aku jadi
ingin mendapatkan dirimu. Tapi aku tahu, penghalangku terbesar adalah penguasa
Pulau Serindu, Gusti Mahkota Sejati yang bernama Dyah Sariningrum."
Suto Sinting terkejut mendengar Pelangi Sutera
menyebutkan nama itu. Ia cepat-cepat menatap wajah
yang menyamping pandangannya. Pelangi Sutera tatap
tenang, bicaranya penuh kesungguhan.
"Aku tahu hatimu terpatri di hati Dyah Sariningrum.
Tapi percayalah...," ia berpaling memandang Suto.
"Aku sanggup mengalahkan dia untuk merebutmu!"
Pendekar Mabuk bagai disambar petir ujung
lidahnya. Kaget sekali. Duduknya sampai berdiri.
Terhenyak dari batu. Tegang memandang gadis ayu itu.
"Aturlah pertarunganku dengannya. Kapan, dimana, dan bagaimana. Aku siap.
Sungguh-sungguh siap
bertarung dengan penguasa Puri Gerbang Surgawi. Aku tak takut pada ibunya, yang
menjadi penguasa Puri
Gerbang Surgawi di alam gaib dan bernama Ratu
Kartika Wangi itu. Aku tidak takut, Suto!"
Gawat kalau sudah begini, ini benar-benar cinta
nekat, ini benar-benar nekatnya cinta. Ratu Kartika Wangi sampai ditantang
secara tak langsung oleh
Pelangi Sutera. Calon istri sampai ditantang duel
pertarungan demi merebutkan cinta. Oh, celaka. Suto benar-benar terpaku di
pertengahan cinta, ia jadi muak.
Muak kepada cinta yang nekat itu.
"Kau tak mungkin bertarung dengan Dyah
Sariningrum, Pelangi Sutera."
"Kenapa tak mungkin" Aku berani. Aku tak takut mati."
"Barangkali kau memang benar-benar berani. Tapi keberanianmu itu memaksaku untuk
bertindak tega kepadamu. Sebab sebelum kau bertarung dengan Dyah


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sariningrum, kau harus bertarung denganku dulu dan
harus bisa membunuhku."
Mata gadis itu menatap tajam. Punya arti tersendiri bagi jiwanya. Suto pun tak
kalah tajam memandang, ia segera mendengar wanita itu berbisik,
"Sebesar itukah cintamu kepadanya?"
"Ya!" jawab Suto tegas sekali.
Pada saat mereka adu pandang tanpa berkedip,
mereka sama-sama mendengar suara langkah cepat dari arah barat. Langkah itu
adalah langkah orang berlari.
Makin lama makin dekat, dan mereka sama-sama
berpaling ke barat. Suto Sinting terkejut melihat siapa yang datang menemuinya
di malam terang bulan itu.
Bruuuk...! "Angon Luwak..."!" seru Suto ketika bocah itu jatuh tersungkur, ia segera
menolong dengan mendekatinya.
Angon Luwak ngos-ngosan, tak bisa bicara karena
napasnya bagaikan menyumpal tenggorokan. Pelangi
Sutera ikut mendekati bocah itu. Suto segera
menjelaskan kepada Pelangi Sutera siapa Angon Luwak itu.
"Aku sudah tahu," kata Pelangi Sutera. "Aku juga tahu dia punya ilmu 'Genggam
Buana'. Gendeng Sekarat yang memberikan ilmu itu lewat mimpinya."
"Tapi... tapi apakah kau tahu sebabnya datang
kemari?" "Tanyakan saja padanya. Aku bukan peramal,"
Pelangi Sutera agak ketus.
"Angon Luwak, mengapa kau kemari" Mengapa
berlari-lari begini?"
"Guru diculik orang."
"Gurunya siapa?"
"Gur... guruku, Kang!"
"Maksudmu, Ki Gendeng Sekarat"'
"Bet... betul. Diculik orang... hhmmm... jumlahnya...
ada tujuh orang."
"Ki Gendeng Sekarat bukan orang lemah, Angon
Luwak. Kau tahu sendiri."
"Ya. Tapi... tapi mereka semula menawanku. Guru terpaksa menyerah dan membiarkan
dirinya dirantai, lalu dibawa pergi ke... ke Gunung Sesat."
"Celaka!"
"Aku sendiri hampir celaka, Kang! Tapi aku segera dilepaskan."
"Mengapa kau tidak melawan dengan ilmu 'Genggam Buana' yang kau miliki itu"!
Apakah kau tak mau
menolong Ki Gendeng Sekarat?"
"Kedua tanganku sudah dicekal mereka lebih dulu.
Aku tak bisa apa-apa."
"Lalu...?" Suto Sinting tampak gelisah, ia memandang Pelangi Sutera, tapi yang
dipandang diam saja. Angon Luwak berusaha meredakan napasnya yang
terengah-engah. Suto Sinting kembali bertanya dengan tegang.
"Lalu... bagaimana dengan Raja Maut?"
"Kakek Raja Maut tumbang, Kang."
"Mereka yang menumbangkan?"
"Benar."
"Jadi... Raja Maut mati?"
"Belum," jawab Angon Luwak. "Waktu kutinggal lari mencarimu, dia belum mati.
Entah kalau sekarang.
Lukanya parah sekali."
Mata Pendekar Mabuk kembali menatap Pelangi
Sutera. "Aku harus ke sana. Setidaknya melihat keadaan
Raja Maut. Bukankah kau pernah mengaku sebagai
muridnya?"
"Aku bohong padamu, supaya kau percaya saranku."
"Lain kali jangan bohongi aku lagi. Aku tak suka.
Dan..., mari kita ke sana, Angon Luwak. Mudah-
mudahan Raja Maut belum terlambat kutangani."
"Bagaimana dengan guruku, Kang" Apakah kau tak ingin menolongnya"'
"Dari sana nanti kita langsung pergi ke Gunung Sesat! Kita...."
"Tidak!" potong Pelangi Sutera. "Aku tidak izinkan kau ke sana!"
"Ki Gendeng Sekarat sudah kuanggap ayahku sendiri, Pelangi Sutera. Aku tak bisa
membiarkan Ki Gendeng
Sekarat menjadi tawanan Nila Cendani. Pasti dia akan mati di tangan Ratu Tanpa
Tapak itu!"
"Kataku, jangan!" tegas Pelangi Sutera. "Kalau kau nekat, aku akan menghalangi
langkahmu!"
"Aku akan melawanmu kalau kau menghalangiku!"
balas Suto membuat Pelangi Sutera menatap kian tajam, dan Suto tegang
menghadapinya. Dari arah timur muncul Logo yang melangkah
mendekati ibunya. Angon Luwak kaget, takut, lalu
berseru sambil bersembunyi di belakang Suto.
"Kaaang... ada setan, Kang. Aku takuuuut...!"
"Ssst...! Dia bukan setan!"
"Setan, Kang. Setan asli!" Angon Luwak gemetar ketakutan sambil sembunyikan
wajahnya, masuk ke
dalam baju Suto bagian belakang. Suto menggelinjang
kegelian karena punggungnya didusal-dusal oleh wajah bocah itu.
Pelangi Sutera tak kuat menahan tawa. Ia tundukkan
kepala sambil tersenyum. Hal itu digunakan Suto untuk membujuk Pelangi Sutera.
"Biarkan aku datang. Jangan halangi aku ke sana."
* * * 5 KALAU bukan karena demi menyelamatkan Angon
Luwak, Ki Gendeng Sekarat tak mungkin menyerah
kepada orang-orang Gunung Sesat, dua dari tujuh orang yang menangkap Ki Gendeng
Sekarat sudah berhasil
dilumpuhkan. Satu orang dilumpuhkan oleh Raja Maut, satu lagi dilumpuhkan oleh
Ki Gendeng Sekarat sendiri.
Tetapi Raja Maut segera tumbang di tangan Lasogani, pentolan dari ketujuh orang
tersebut. Sedangkan Ki
Gendeng Sekarat terpaksa hentikan perlawanannya
karena Angon Luwak digunakan sandera oleh mereka.
Kini tubuh Ki Gendeng Sekarat dililit rantai. Kedua tangannya dikebelakangkan
dalam keadaan terbelenggu rantai. Dari bawah pundak sampai ke perut pun dililit
rantai. Rantai itu bukan sembarang rantai. Lasogani mempunyai rantai penjerat
yang dinamakan 'Rantai
Neraka'. Jika orang yang dijerat rantai itu berontak ingin melepaskan diri, maka
rantai itu akan menjadi lebih kencang sendiri. Semakin orang yang dijerat
berontak terus, semakin kuat rantai itu menjerat. Bisa-bisa
memotong bagian tubuh orang tersebut karena kekuatan jeratnya. Rantai Neraka
merupakan senjata bagi
Lasogani baik untuk pertarungan maupun untuk
menangkap buronan.
Tujuh orang utusan dari Gunung Sesat itu kini yang
masih punya kekuatan hanya lima orang. Yang dua
terpuruk di atas punggung kuda, namun masih
bernyawa. Mereka tak bisa berbuat apa-apa karena seluruh
tulangnya bagai dipatahkan oleh serangan Ki Gendeng Sekarat dan Raja Maut. Dua
orang yang terpuruk itu
dijadikan satu di atas punggung kuda. Sedangkan satu ekor kuda lainnya digunakan
untuk membawa Ki
Gendeng Sekarat. Kuda yang dipakai membawa Ki
Gendeng Sekarat dalam penjagaan dua orang di kanan
kiri, sedangkan tali kekang kuda ada di tangan Lasogani yang menunggang kuda di
depannya. Kedua kaki Ki
Gendong Sekarat juga diikat dengan rantai yang
dililitkan ke badan kuda. Sekalipun kuda berlari cepat, tubuh Ki Gendeng Sekarat
tak akan jatuh terpental dari atas kuda.
Mereka tak langsung membunuh Ki Gendeng
Sekarat. Ratu Tanpa Tapak memerintahkan mereka
untuk menangkap Ki Gendeng Sekarat dalam keadaan
hidup. Pengadilan sang Ratu nantinya yang akan
menjatuhkan hukuman untuk Ki Gendeng Sekarat;
dipancung atau digantung. Keduanya memang sama-
sama mematikan. Tapi agaknya sang Ratu tak ingin Ki Gendeng Sekarat mati di
tangan anak buahnya tanpa
keputusan yang pasti dari dirinya.
Gunung Sesat letaknya agak jauh dari tempat
penangkapan itu. Mereka menempuhnya dalam satu
malam lebih. Mereka tidur di atas punggung kuda secara bergantian. Tetapi Ki
Gendeng Sekarat tidur dengan
nyenyak bagaikan tak mau peduli lagi dengan nasib
dirinya. Sampai matahari menyingsing pun Ki Gendeng Sekarat yang memang doyan
tidur itu masih
memejamkan mata. Tetapi ia mulai sadar bahwa derap
kaki kuda menjadi pelan dan akhirnya mereka berhenti.
Ada apa mereka berhenti" Ki Gendeng Sekarat tetap
mengetahui sebabnya walau ia dalam keadaan tidur.
Dua orang tokoh itu berdiri menghadang langkah
mereka. Yang satu berambut putih panjang berikat
kepala kain merah dan berjubah abu-abu, sedangkan
yang satunya lagi rambut putih pendek botak tengahnya, berjubah merah dengan
tongkatnya yang berujung
runcing panah. "Balung Kere, temui mereka! Tanyakan apa maunya menghadang kital" perintah
Lasogani kepada Balung Kere yang kurus kering dengan pakaian compang-camping
mirip pengemis. Itulah sebabnya ia dijuluki Balung Kere alias Tulang Miskin.
Sekalipun kurus
kering mirip tengkorak, tapi Balung Kera punya
keberanian cukup tinggi. Tak ada rasa gentar sedikit pun ketika ia mendekati dua
penghadangnya itu.
Dengan mata cekung dan dingin ia menyapa, "Mau bertingkah apa lagi kalian
berdua, hah"! Kuingatkan kepada kalian, Pawang Gempa dan Juru Bungkam, kami
tak punya waktu untuk main-main dengan orang tua
ingusan seperti kalian. Jadi sebaiknya pergilah dari hadapan kami. Jangan bikin
kami murka pada kalian!"
Kedua penghadang itu ternyata adalah Ki Lumaksono
atau si Pawang Gempa dan saudara seperguruannya; Ki Parandito atau si Juru
Bungkam. Meraka tampak tenang menghadapi gertakan Balung Kera.
"Aku tahu siapa orang yang kau tawan itu," kata Pawang Gempa yang memegang
tongkat berujung tanpa
bentuk. "Aku kenal dengan Gendeng Sekarat. Dia sahabatku. Jadi kusarankan
lepaskan saja dia. Karena jika tidak kalian lepaskan, kami bisa tampakkan murka
di depan kalian."
Juru Bungkam berseru, "Gendeng Sekarat!
Bangunlah! Kami ada di depanmu!"
KI Gendeng Sekarat dalam keadaan tidur berkata
malas-malasan, "Aku tahu, kau Parandito dan Lumaksono! Kalem
saja, Sobat!"
Balung Kere berjalan mendekati Lasogani tanpa
menggunakan kuda.
"Kau dengar sendiri ancaman mereka, Lasogani.
Manis sekali, bukan?"
"Manis dengkulmu!" geram Lasogani. "Hadapi mereka berdua. Bunuh!"
"Yah, kalau memang kau perintahkan untuk
membunuh, apa boleh buat. Aku pun tak akan sia-siakan perintah itu," kata Balung
Kere yang segera kembali menghadapi kedua tokoh tua tersebut.
"Kau dengar sendiri, Pawang Gempa. Aku disuruh membunuh kalian berdua. Saranku,
jangan banyak tingkah. Pasrah saja. Aku punya cara membunuh tanpa menimbulkan rasa sakit."
"Kurang ajar! Seenaknya dia bicara, Juru Bungkam!"
Juru Bungkam masih diam. Balung Kere mencabut
kapak di pinggangnya. Caranya mencabut tenang sekali.
Bahkan sedikit kesulitan karena ujung gagang kapak
tersangkut ikat pinggangnya. Sementara yang lain masih tetap duduk di punggung
kuda, menunggu perintah dari Lasogani.
Balung Kere sudah berhasil mencabut kapaknya, ia
maju setindak dan berkata bagaikan tanpa perasaan apa-apa.
"Sekarang sudah waktunya un... un... un... un..."
Balung Kere sulit bicara, karena Juru Bungkam
menyambar sesuatu di depan dadanya dan tangan
menggenggam bagaikan menangkap lalat. Itulah jurus
pembungkam yang dimilikinya, membuat Balung Kere
menjadi sulit bicara. Tapi agaknya Balung Kere masih memaksakan diri untuk
bicara, sehingga mulutnya
tercengap-cengap dan badannya bergerak-gerak,
kepalanya oleng sana-sini karena ingin ucapkan sesuatu.
"Kuuk... mmuuk... kekk... seeekk... buuuk...
ngggiiik... ngiiik...."
"Hoi...!" bentak Lasogani. "Ngomong apa kau ngak-ngik, ngak-ngik, begitu"!"
Balung Kere menuding-nuding Juru Bungkam sambil
memandang Lasogani.
"Sul... sulll suull... ngiiik... ngook... nyuk... nyuk...."
"Dia dibungkam orang itu," kata Tamboi yang berada tak jauh dari Lasogani. Hal
itu membuat Lasogani kian jengkel.
Tangan Ki Parandito masih menggenggam di depan
dada. Balung Kere masih ngak-ngik, ngak-ngik tak
karuan. Lasogani segera melemparkan sesuatu dari
tangannya. Slaaap...!
Senjata rahasia berbentuk bintang segi delapan
melesat ke arah Ki Parandito, si Juru Bungkam. Kilatan cahaya putih mengkilap
itu disambut dengan lemparan tangan yang menggenggam. Slaaap...! Sinar merah
melesat dan menghantam senjata rahasia Lasogani.
Blaarr...! Asap mengepul akibat benturan senjata rahasia
dengan sinar merah yang meledak cukup dahsyat.
Balung Kere terpental jatuh terduduk dan meringis
karena tulang ekornya terbentur batu. Ia tak bisa
mengaduh karena masih dalam keadaan dibungkam oleh
Ki Parandito. Karena setelah melemparkan sinar merah tadi tangan Ki Parandito
kembali menggenggam
bagaikan memberangus mulut lawan.
"Tamboi, turun dan serang dia. Jangan banyak
bicara!" perintah Lasogani.
"Heaaat...!" Tamboi yang berbadan gemuk segera melompat dari punggung kuda.
Golok besarnya cepat
dicabut dari pinggang dan ditebaskan ke arah Juru
Bungkam. Wuuung...!
Tapi Juru Bungkam bagaikan lenyap dalam sekejap.
Padahal ia melompat mundur dengan sangat cepatnya.
Golok besar itu menebas tempat kosong, sampai di
depan mata Ki Lumaksono. Dengan cepat dan sigap Ki
Lumaksono sentakkan tongkatnya ke atas untuk
menangkis laju golok besar itu. Traak...! Krang...!
Golok itu gompal. Patah bagian tajamnya. Tamboi
terperangah sekejap memandangi gompalan goloknya.
"Monyet..!" geramnya. Tapi ia tahu ujung golok masih runcing, sehingga dengan
cepat ia hunjamkan
ujung golok itu ke leher Ki Lumaksono. Wuuut...!


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jubah abu-abu itu hanya memiringkan badan untuk
menghindar. Seet...! Tapi alangkah kagetnya, karena ternyata golok itu belum
bergerak maju. Dalam
penglihatannya tadi golok itu sudah dihunjamkan,
ternyata masih ada di tempatnya. Sehingga ketika Ki Lumaksono miring ke kanan,
golok itu pun benar-benar maju ke depan menghunjamnya. Wuuut...!
Trak...! Untung Ki Lumaksono punya gerak yang amat cepat
untuk mengangkat tongkatnya. Ujung golok itu
menancap di kepala tongkat. Tamboi menekan terus, ia kerahkan kekuatan tenaga
dalamnya hingga ujung golok bagaikan membakar kepala tongkat.
Ki Lumaksono pun kerahkan tenaga dalamnya
melalui tongkat tersebut. Sehingga kejap berikutnya golok tersebut menjadi merah
membara, bagaikan
terpanggang api yang amat panas. Lalu Ki Lumaksono
meludahi golok itu. Jrooss...! Golok itu padam dan tahu-tahu sudah menjadi arang
tak berguna. Pruuus...! Golok
itu hancur menjadi serpihan hitam.
Mata Tamboi terbelalak. Ki Lumaksono cepat
sentakkan kakinya ke depan. Wuuut...! Tak sampai
menyentuh perut Tamboi. Tapi kekuatan tenaga dalam
yang terpancar di ujung kaki itu menghantam telak ulu hati Tamboi. Buuhg...!
"Heggh...!" Tamboi kian mendelik. Mulutnya ternganga seketika sambil semburkan
darah segar dari mulutnya, ia tertatih-tatih limbung mundur. Kedua
tangannya masih merenggang badannya sedikit
membungkuk ke depan. Akhirnya Tamboi pun jatuh
tepat di depan kuda Lasogani. Bruugh ...!
"Tewas...," gumam Balung Kere dengan sedih melihat nasib temannya.
"Tewas matamu!" sentak Lasogani kepada Balung Kere dengan marah sekali. "Maju,
balas dia!"
"Hiaaat...!" suara kecilnya melengking seketika walaupun ia belum melompat dan
belum bergerak apa-apa. "Hiaat...!" teriaknya lagi panjang dan lengking sambil
mencari di mana kapaknya tadi tertinggal saat jatuh.
"Hiaaat...!" teriaknya sekali lagi. Tapi tiba-tiba, plook...!
Wajah kurus itu ditampar kuat oleh Lasogani yang
melompat dari punggung kuda. Balung Kere terpental
jatuh telentang dengan gelagapan. Wajahnya merah
karena bekas tamparan keras tadi.
"Napas Setan! Tangani dua orang itu! Cepat!"
Napas Setan yang sejak tadi diam saja di samping
kuda Ki Gendeng Sekarat segera turun. Wajahnya
angker. Tak ada senyum sedikit pun. Napas Setan segera mencabut golok berujung
trisula dari tempatnya di sisi pelana kuda. Pada saat itu Ki Gendeng Sekarat
perdengar suaranya.
"Kau akan mati juga di tanganku, Nak!"
Napas Setan yang kira-kira berusia sekitar empat
puluh tahun itu memandang Ki Gendeng Sekarat yang
tundukkan kepala karena tidur, ia menggeram dan segera ingin menikamkan tombak
trisulanya. Tapi Lasogani
segera berseru,
"Bukan dia! Tapi dua orang itu, Tolol!"
Napas Setan mendengus benci sebelum pergi. Ki
Gendeng Sekarat masih terkulai tidur bagai tak
pedulikan dengusan itu.
"Cepaaat...!" teriak Lasogani dengan berang sekali.
Napas Setan tiba-tiba sentakkan kaki dan tubuhnya
melayang menukik dengan tombak trisula mengarah ke
dada Ki Lumaksono.
"Heaaahhh...!" teriaknya serak dan menyeramkan, sesuai dengan tubuhnya yang
kekar dan tinggi.
Tetapi Ki Lumaksono justru melompat ke samping,
tak mau menangkis atau membalas serangannya. Namun
Ki Parandito yang ada di belakangnya segera sentakkan tongkatnya lurus ke depan.
Claaap...! Dari ujung
tongkatnya keluar panah kecil berwarna merah. Panah itu rupanya adalah panah
besi yang amat beracun dan bertenaga dalam tinggi. Napas Setan segera menangkis
dengan tombak trisula, mengibaskan panah itu ke
samping. Trang...! Duaaar...!
Nyala api memercik akibat tangkisan dua senjata
ampuh itu. Ledakan yang timbul merontokkan dedaunan di sekeliling mereka. Bahkan
ada beberapa dahan yang masih muda patah dan berjatuhan. Tombak trisula itu
diputar cepat. Wut, wut, wut...! Tahu-tahu sudah berada di samping Napas Setan yang berdiri
tegak dengan kaki kekar
merenggang sedikit, ia menampakkan sikap perkasanya dengan lirikan mata yang
tajam mempunyai gairah
membunuh dengan kejamnya. Lirikan mata itu membuat
Ki Lumaksono tersenyum tipis. Ki Parandito segera
melangkah dengan santai sambil mengayunkan
tongkatnya. Kini jarak Ki Parandito dengan Napas Setan hanya
tiga tindak. Tokoh tua berjubah merah itu menampakkan ketenangannya walau ia
berkata dengan suara berat,
"Keluarkan semua ilmumu, aku akan melayanimu,
Bocah Bagus!"
Fuih..! Napas Setan sentakkan napasnya melalui
hidung. Ki Parandito kaget menerima napas yang
bagaikan gelombang panas cukup besar itu. Wuuut...!
Tubuh Ki Parandito terlempar tujuh langkah ke belakang tanpa berguling-guling.
Ki Lumaksono juga kaget. Segera disentakkan
tongkatnya menghantam tanah. Duuug...! Lalu bumi
berguncang bagaikan dilanda gempa. Tubuh Napas
Setan terlempar ke atas. Wuuut...! Keseimbangannya limbung. Ki Parandito yang
sudah tegak kembali itu
segera sentakkan tongkatnya. Wuuut...! Claaap...! Anak panah merah meluncur dari
ujung tombak. Karena Napas Setan dalam keadaan kaget saat terlempar di luar
dugaan, maka ia tak sempat menangkis anak panah itu.
Akibatnya anak panah yang kali ini menancap tepat di jantungnya. Jruub!
Blaaar...! Pecah. Anak panah itu bagai tombol peledak, begitu
menyentuh benda langsung meledak. Karena yang
disentuh adalah jantung Napas Setan, maka jantung itu pun segera pecah bersama
serpihan tubuh Napas Setan.
Lasogani belum sempat menyadari saat terjadinya
peristiwa itu, karena ia sendiri terguncang dan terlempar ketika Ki Lumaksono
timbulkan gempa setempat. Tubuh Lasogani menjatuhi Balung Kere yang terhimpit
badan kuda milik Tamboi.
"Mati aku...!" suaranya berat dan ngotot dengan mata mendelik. Balung Kera
berusaha menahan beban.
Karena bukan hanya kuda dan tubuh Lasogani yang
kebetulan jatuh menindih dirinya, tapi kedua tubuh
temannya yang sudah dilumpuhkan Ki Gendeng Sekarat
dan Raja Maut itu juga terlempar karena gempa dan
jatuh tepat menutup wajahnya.
Ki Gendeng Sekarat hampir saja tumbang dari atas
kuda karena getaran gempa tadi. Ia hanya terkulai di punggung kuda dalam keadaan
tengkurap. Tapi masih
saja tertidur. Bahkan semakin merebah, menempelkan pipinya di leher kuda
bagaikan tidur di atas bantal.
Dengkurannya terdengar samar-samar.
Sementara itu si Patuh Pendek, orang yang berleher
pendek dan menjadi satu-satunya penjaga tawanan, juga terpelanting jatuh dari
punggung kuda akibat getaran gempa tadi. Namun ia tidak mengalami cedera apa-apa
karena ketika jatuh ia cepat-cepat berpegangan pelana kuda.
Lasogani bangkit dengan bertambah berang.
"Jahanam busuk!" makinya dengan memandang tajam kedua lawannya.
"Balung Kere...! Jaga tawanan itu. Balung Kere..."!
Mana dia, Paruh Pendek"! Balung Kere...! Bangsat itu lari"!"
"Aku di siniii...," seru Balung Kere tertutup badan kuda dan kedua tubuh
temannya. Kuda itu sendiri
mengalami patah kaki hingga sulit berdiri.
Lasogani makin jengkel melihat Balung Kere tak
berkutik, ia biarkan orang itu melepaskan diri dari tubuh kuda yang meringkik
ringkik itu. Ia segera dekati Paruh Pendek, orang yang bagai tak memiliki leher
itu. "Maju, lawan mereka. Bunuh semuanya! Aku yang
jaga tawanan ini!"
"Dari tadi mestinya kau tugaskan aku begitu!"
"Kerjakaaan...!" teriak Lasogani yang bertubuh kekar berkumis tebal dan
berkepala sedikit botak bagian
belakangnya. Paruh Pendek maju menghadapi Ki Lumaksono dan
Ki Parandito. Tombak berujung sabit diambil dari
tempatnya di samping pelana kuda. Kilatan matahari
memantul dari ketajaman sabit tersebut.
Lasogani sempat menggerutu melihat Ki Gendeng
Sekarat yang tidur tengkurap di atas punggung kuda.
"Monyet juling! Yang lain bertarung taruhan nyawa, dia malah enak-enak tidur.
Uuuh...! Kalau tak takut perintah sang Ratu, sudah kubunuh orang ini sejak
tadi!" Paruh Pendek memainkan jurus tombaknya di depan
Ki Parandito. Gerakan jurusnya begitu cepat, sehingga tombak itu bagaikan
membentuk perisai yang rapat dan sukar ditembus. Tetapi Ki Parandito bukan orang
bodoh, ia sengaja diam saja dan tetap tenang, seperti yang dilakukan Ki
Lumaksono. Ia memperhatikan gerakan itu baik-baik. Tapi anehnya Paruh Pendek
sejak tadi bergerak terus tiada hentinya, seakan tak pernah merasa lelah dalam gerakan
secepat itu. Wajahnya bagai sulit dipandang lagi karena kecepatan gerak
tombaknya menutupinya. Suara gerakan tombak itu mendengung
bagaikan lebah.
"Mundur. Biar aku yang hadapi," kata Ki Lumaksono kepada Ki Parandito.
Tongkat warna coklat segera diputar di atas kepala.
Bunyinya seperti gaung gangsing. Itu menandakan
putaran tongkat lebih cepat dari putaran gerak tombak Paruh Pendek. Rupanya
kecepatan putaran tongkat itu menimbulkan lingkaran gelombang cahaya biru.
Semakin lama semakin melebar dan mendekati gerakan
tombak Paruh Pendek. Sedangkan gerakan tombak itu
makin lama makin keluarkan asap yang membungkus
diri. "Heaaah...!" sentak Ki Lumaksono sambil hentakkan kaki ke tanah. Duug...!
Lingkaran sinar biru melesat menerjang asap tersebut.
Memerciklah bunga api beberapa saat mirip percikan
kembang api mainan. Tetapi dalam kejap berikut, sebuah ledakan dahsyat terdengar
menggelegar dan membahana.
Duaaar...! Asap semakin tebal, menjulang ke langit bagai
letusan gunung. Warnanya hitam kebiru-biruan. Suara gaung gangsing hilang. Suara
dengung lebah hilang.
Mereka memandang tubuh Paruh Pendek yang
dibungkus asap tebal itu. Tegang dan penasaran, ingin tahu hasilnya.
Asap itu makin lama makin menipis. Dan wujud
Paruh Pendek terlihat samar-samar. Orang itu masih
berdiri tegak dengan tombak tergenggam di tangannya.
Tapi pakaiannya sudah rusak berat. Compang-camping
mirip gelandangan. Pakaian itu rusak karena ledakan dahsyat tadi. Ki Lumaksono
dan Ki Parandito merasa
heran. Dalam bisikan Ki Parandito terdengar
melambangkan rasa kagumnya.
"Biasanya orang yang terkena jurus 'Petir Biru'
milikmu itu akan hancur. Tapi orang itu tetap utuh.
Hanya pakaiannya yang rusak berat. Hebat sekali"!"
Ki Lumaksono agak malu juga mendengar bisikan
itu. Seolah-olah jurus andalannya tidak berguna bagi lawan seperti si Paruh
Pendek. Ki Lumaksono hanya
diam, terpaku di tempat memandangi Paruh Pendek.
Asap makin hilang, wujud Paruh Pendek makin jelas.
Lasogani sedikit lega melihat temannya tak mengalami cedera. Balung Kere yang
sudah berhasil bangkit lagi itu
tertegun bengong melihat keadaan Paruh Pendek yang
hampir tidak berpakaian itu.
"Serang lagi! Serang lagi mereka, Paruh Pendek!"
seru Balung Kere memberi semangat. Tetapi Paruh
Pendek tetap diam di tempat dengan senyum tetap
tersungging tipis sejak tadi.
Lasogani pun segera memberi perintah, "Balas
perbuatan mereka, Paruh Pendek. Balas sekarang juga, Bodoh!"
Tetapi Balung Kere menjadi berkerut dahi melihat
Paruh Pendek tidak bergerak sejak tadi. Pelan-pelan ia mendekat dan
memeriksanya, ia menyentuh tubuh Paruh Pendek dengan maksud untuk menyadarkan
temannya itu. Tapi alangkah kagetnya setelah tangan Balung Kere menyentuh lengan Paruh
Pendek, ternyata daging lengan itu terbawa ke tangan Balung Kere. Pluk...!
Daging yang lengket di jari Balung Kere jatuh ke tanah. Balung Kere penasaran,
ia memegang punggung Paruh Pendek.
Croob...! "Astaga! Dia sudah mati empuk!" seru Balung Kere kepada Lasogani.
Sentuhan itu membuat tubuh Paruh Pendek
terguncang dan akhirnya jatuh. Lasogani mendelik
melihat Paruh Pendek jatuh bagaikan pepaya busuk.
Lembek dan langsung bonyok. Rupanya sejak tadi Paruh Pendek sudah tak bernyawa,
ia mati dalam keadaan
daging dan tulangnya menjadi empuk bagai habis
direbus lahar gunung berapi. Tombaknya sendiri segera menjadi debu sampai bagian
besi sabitnya. Ternyata jurus 'Petir Biru' milik Ki Lumaksono punya akibat yang amat buruk bagi
lawan. Kali ini memang
lawan tak bisa hancur, namun mati empuk seperti pepaya busuk. Ki Parandito
akhirnya tersenyum tipis dan
manggut-manggut, mengakui kehebatan jurus itu. Hanya Ki Lumaksono yang mampu
pelajari jurus itu, karena
dulu Ki Parandito gagal menerima jurus tersebut dari gurunya.
"Kalian benar-benar keterlaluan!" geram Lasogani.
"Sudah saatnya kalian mati di tanganku, Tua Bangka!
Heaaatt...!" Lasogani segera melompat menyerang Ki Lumaksono dengan tangan
kosong. Tapi kedua telapak
tangannya sudah berubah menjadi bara merah yang
mengepulkan asap.
Balung Kere pun tak mau tinggal diam karena tak
mau disalahkan Lagi. Ia melompat dengan kapak siap
dihantamkan ke kepala Ki Parandito. Gerakannya cukup cepat dan liar. Tetapi Ki
Parandito segera melompat juga menyongsong serangan lawannya. Tongkatnya
dikibaskan menghadang ayunan kapak tersebut.
Traaang...! Trrang...! Praak...! Kapak itu bagaikan membentur besi baja.
Parahnya lagi, ujung tongkat Ki Parandito sempat menghantam gagang kapak dan
membuat gagang kapak patah seketika. Kapak itu
menjadi sangat pendek. Balung Kere kaget saat dia
memandangi kapaknya. Kesempatan itu digunakan oleh
Ki Parandito untuk menendang dada Balung Kere


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tendangan putar yang amat cepat. Weees...!
Buuhg...! "Uuhhg...!" Balung Kere terlempar jauh dan memuntahkan darah kental, ia mendelik
dan tercengap-cengap sambil pegangi dadanya.
Pada saat itu, Lasogani sedang beradu kekuatan
tenaga dalam dengan Ki Lumaksono. Ketika kedua
telapak tangan Lasogani menghantam tubuh Ki
Lumaksono, tongkat tokoh tua berjubah abu-abu itu
menyilang di dada. Akibatnya telapak tangan itu
terhalang tongkat Ki Lumaksono memegangi bagian
tengah tongkat sedangkan tangan Lasogani ada di kanan-kiri tongkat. Mereka
saling dorong dan saling adu
kekuatan. Tongkat itu pun mengepulkan asap hitam
karena remasan tangan Lasogani membakar kayu coklat tersebut Ki Lumaksono
salurkan tenaga dalamnya lebih tinggi lagi ke tongkat itu. Sebab jika tongkat
patah, maka tangan lawan akan menyentuh dadanya, dan pasti tubuh Ki Lumaksono
akan bolong terbakar tangan membara
tersebut. Wuuut...! Buuhg...! Tongkat Ki Parandito tiba-tiba berkelebat menghantam
pinggang belakang Lasogani.
Akibatnya Lasogani mendelik dan tak bisa terpekik
karena rasa sakit yang luar biasa bagaikan mematahkan tulang belakangnya. Pada
saat ia mendelik dan
kekuatannya berkurang, Ki Lumaksono menendang
lurus ke ulu hatinya. Tak sampai menyentuh, namun
tenaga dalam yang keluar dari ujung kaki sama besar dengan yang dilepaskan untuk
Tamboi tadi. Buuhg...!
"Uuhg...!" Lasogani terlempar mundur dan jatuh terguling-guling, ia memuntahkan
darah dari mulutnya,
tapi hanya sedikit. Ia masih sanggup berdiri dengan satu lutut. Itu menandakan
ilmunya lebih tinggi dari Tamboi tadi. Jika tidak, maka nasibnya akan semalang
Tamboi. Nyatanya Lasogani masih bisa angkat wajah dan
menggeram penuh dendam.
"Kuat juga dia"!" gumam Ki Lumaksono. "Biar kuhabiskan kalau dia tak mau
lepaskan Gendeng
Sekarat!" kata Ki Parandito sambil melangkah maju sampai berjarak empat tindak
dari depan Lasogani. Ia berkata dengan tenang tanpa engahan napas.
"Bebaskan Gendeng Sekarat dari pengaruh rantai pusakamu itu! Atau kau akan
menemui nasib seperti
ketiga temanmu itu"'
"Kau yang akan menyusul mereka ke alam baka!
Hiaaat...!" Lasogani sentakkan tangannya dalam keadaan masih berdiri satu lutut.
Cahaya kuning melesat
menghantam Ki Parandito. Tapi tangan Ki Parandito pun melepaskan pukulan maut
bersinar merah. Pukulan sinar itu saling membentur. Blaar...! Lasogani
terpelanting jatuh ke belakang. Wajahnya merah matang.
Ki Parandito ingin menghabisi lawannya agar tak
terlalu membuang waktu banyak. Tetapi ketika ia
melompat dengan tongkat siap dihunjamkan, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas
dan menerjangnya dari
samping. Wuuut...! Bruuus...!
Ki Parandito terpental jatuh enam langkah jauhnya.
Tubuh yang menerjangnya berdiri dengan sigap dan
kekar. Ki Parandito terkejut, demikian pula Ki
Lumaksono yang mendelik melihat siapa tokoh yang
datang bermaksud menyelamatkan Lasogani dan Balung
Kere itu. "Guru....!" Ki Lumaksono tersentak dengan suara berat.
Orang yang baru datang itu berambut panjang sampai
sebatang pinggang, warnanya putih rata. Berpakaian
jubah putih kusam hingga menyerupai warna coklat.
Tubuhnya kurus, matanya dingin. Kukunya panjang dan runcing. Kemunculannya
membuat Ki Parandito mundur
hingga berjajar dengan Ki Lumaksono.
"Apakah dia benar-benar guru kita: Eyang
Sokobumi"!"
"Tak salah lagi, Parandito!" jawab Ki Lumaksono dengan gemetar.
"Tapi... bukankah beliau telah wafat sepuluh tahun lamanya?"
"Ya. Tapi Ratu Tanpa Tapak telah mencuri mayatnya dan kini membangkitkan beliau
untuk menjadi pihaknya."
"Celaka! Kita tak mungkin bisa mengalahkan beliau!"
gumam Ki Parandito dengan suara gemetar pula.
Pendapat Ki Lumaksono itu benar, sama dengan
pendapat Raja Maut. Setelah Raja Maut ditemukan Suto Sinting pada malam itu
juga, ia berhasil ditolong dengan bantuan tuaknya. Hanya Suto Sinting yang ada
di situ bersama Angon Luwak. Pelangi Sutera ditinggalkan di gua tepi pantai
bersama si anak jin; Logo itu.
Kedatangan Suto Sinting hampir saja terlambat. Luka dalam Raja Maut lebih parah
dibanding luka yang
diterima dari Nyai Demang Ronggeng. Tapi luka
separah apa pun, jika sudah terkena tuaknya Suto dari bumbung sakti itu, maka
kesembuhan pun akan cepat
datang dan jiwa sang luka pun tertolong.
Di ujung pagi, Raja Maut sudah bisa diajak bicara
dan badannya merasa segar. Mereka membicarakan
penangkapan atas diri Ki Gendeng Sekarat. Raja Maut tampak sedih dan kecewa
karena ia gagal
menyelamatkan sahabatnya itu.
"Aku yakin, Gendeng Sekarat dalam bahaya besar jika jatuh di tangan Nila
Cendani! Perempuan itu
berilmu tinggi, demikian pula para bawahannya."
"Apakah termasuk Ki Parandito dan Ki Lumaksono"'
Raja Maut cepat pandangi Suto dengan rasa kaget dan heran. "Mengapa kau
menyangka Parandito dan
Lumaksono adalah orangnya Nila Cendani"!"
Suto sedikit kesulitan menjelaskannya, karena
sebenarnya ia sudah tahu bahwa keterangan dari Pelangi Sutera saat bertemu di
pantai dulu adalah keterangan palsu. Tapi Suto punya cara lain memperkuat
dugaannya. "Ki Parandito dan Ki Lumaksono pernah temui saya dan meminta bantuan saya untuk
merebut mayat gurunya." "Maksudmu jenazah si Sokobumi?"
"Betul. Menurut mereka, jenazah Eyang Sokobumi dicuri oleh Nila Cendani!"
"Celaka!" gumam Raja Maut dengan menerawang tegang. "Berarti dia akan
menggunakan kekuatan
Sokobumi untuk maksud-maksud tertentu."
"Tapi Eyang Sokobumi sudah tak bernyawa lagi,
bukan"' "Nila Cendani bisa membangkitkannya dan
membuatnya bernyawa dengan memindahkan kekuatan
hidup milik seseorang. Kekuatan hidup itu hanya
menggerakkan tubuh yang mati, tapi naluri dan tenaga intinya masih menggunakan
tenaga inti yang dimiliki si mayat semasa hidupnya. Jadi jika Nila Cendani
berhasil menghidupkan Sokobumi, maka kekuatan inti yang ada
ialah kekuatan inti Sokobumi semasa hidupnya. Padahal semasa hidupnya Sokobumi
adalah orang sakti yang
ketinggian ilmunya hampir sejajar dengan gurumu; si Gila Tuak!"
"Bahaya juga kalau begitu," gumam Pendekar Mabuk.
"Jika kita harus menyelamatkan Gendeng Sekarat, besar kemungkinan kita akan
berhadapan dengan
Sokobumi, itu kalau Nila Cendani sudah
membangkitkan jenazah Sokobumi!"
"Kalau begitu aku harus segera bertindak sebelum Nila Cendani membangkitkan
jenazah Eyang Sokobumi!"
"Firasatku mengatakan, kau terlambat! Getaran
naluriku mengatakan, Sokobumi telah dibangkitkan.
Tapi entah di mana ia sekarang. Satu-satunya jalan kau harus minta bantuan
gurumu; si Gila Tuak. Sebab aku tak yakin kalau kau mampu kalahkan Sokobumi!"
* * * 6 JIKA Pendekar Mabuk menghubungi gurunya, akan
membutuhkan waktu lama. Perjalanan ke persinggahan
gurunya tidak cukup ditempuh waktu satu malam saja.
Dan itu berarti keterlambatan yang berbahaya bagi nasib Ki Gendeng Sekarat.
Karenanya, Suto Sinting akhirnya sepakati usul Raja Maut. Suto Sinting mengejar
orang-orang Gunung Sesat sementara Raja Maut pergi temui si Gila Tuak.
Angon Luwak bersikeras mau ikut Suto Sinting, tapi
berulang kali Suto melarangnya. Suto tak ingin bocah tanpa dosa itu ikut menjadi
korban keganasan Nila
Cendani bersama orang-orangnya. Sebab itu Suto
sarankan Angon Luwak untuk pulang ke desanya atau
ikut Raja Maut. Angon Luwak sedih, ia akhirnya
memutuskan untuk pulang ke desanya. Tapi benarkah ia rela pulang begitu saja,
sedangkan hatinya sudah telanjur menaruh kekaguman kepada Suto dan Ki Gendeng
Sekarat" Tidak. Angon Luwak bocah bandel, ia hanya pura-
pura pulang ke desanya. Tapi diam-diam ia mengikuti ke mana perginya Pendekar
Mabuk. Hatinya punya niat
keras untuk ikut membebaskan Ki Gendeng Sekarat
yang dianggap sebagai gurunya, ia pun tak rela kalau Ki Gendeng Sekarat dijatuhi
hukuman mati oleh orang-orang sesat. Hasrat membela guru sangat besar di hati
bocah itu. Suto Sinting tidak menyangka, sebab perhatiannya
tercurah kepada cara menyelamatkan Ki Gendeng
Sekarat sebelum tukang tidur itu diadili oleh Ratu Tanpa Tapak. Ia harus bisa
mencegat perjalanan para utusan itu. Sebab diam-diam Suto punya kecemasan juga
jika terus berhadapan dengan Ratu Tanpa Tapak. Kecemasan itu adalah rasa takut
terpikat dan dipikat, seperti yang dikhawatirkan oleh Pelangi Sutera.
Perjalanan Pendekar Mabuk mengejar rombongan
pembawa Ki Gendeng Sekarat akhirnya menemui sedikit hambatan. Hambatan itu
datang dari Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Mereka terkulai di rerumputan ketika
Suto melintasi daerah itu. Wajah mereka memar membiru,
jubah mereka robek-robek, bahkan mata kiri Ki
Lumaksono menjadi lebam. Darah mengering di lubang
hidung, mulut, dan telinga mereka. Luka dalam diderita berat oleh kedua tokoh
tua yang menurut Ki Gendeng
Sekarat punya ilmu tinggi.
Suto Sinting menjadi heran menemui kedua tokoh tua
itu dalam keadaan luka parah begitu, ia segera menolong mereka, meminumkan
sedikit tuak kepada mereka,
setelah itu baru ajukan tanya secara sopan.
"Siapa yang lakukan semua ini, Ki?"
Ki Lumaksono berkata, "Guru kami. Beliau
menghajar habis diri kami."
Dahi pendekar tampan itu berkerut tajam.
"Maksudnya... Eyang Sokobumi"'
Ki Parandita menjawab, "Benar. Ratu Tanpa Tapak
berhasil menghidupkan guru kami. Sekarang guru kami ada di pihaknya. Usaha kami
merebut Ki Gendeng
Sekarat dari tangan para utusan gagal karena
kemunculan Eyang Sokobumi."
"Celaka!" gumam Suto dalam kecemasan yang bernada geram. "Sudah lamakah mereka
pergi dari sini?"
"Mungkin sudah sampai di Gunung Sesat," jawab Ki Lumaksono.
"Aku harus segera ke sana!"
"Tunggu!" tangan Ki Parandito menahan lengan Suto Sinting. Sikap itu membuat
Suto heran dan menatap
dengan dahi berkerut.
"Kau tak boleh melawan guruku!" kata Ki Parandito lagi.
"Kenapa tak boleh?"
"Apa pun yang terjadi, kami ada di pihak Guru. Jika kau melawan guru kami,
berarti kau melawan kami, Suto Sinting!"
Napas panjang dihempaskan dari hidung Suto
Sinting. Kejengkelan terpendam kuat-kuat. Ia mencoba untuk tidak marah namun
bersikap sabar terhadap kedua tokoh tua itu.
"Apakah kita harus biarkan seseorang berada di jalan yang sesat, Ki" Apakah kita
harus hormati orang yang sudah bukan lagi berkehendak atas dirinya sendiri"
Kurasa itu tidak benar, Ki. Kita harus melawan tindakan siapa pun yang berjalan
di jalur yang salah. Kurasa pendapat ini sama dengan pendapat Ki Parandito dan
Ki Lumaksono, karena guruku pun berpendapat begitu. Jadi
bukan pribadi Eyang Sokobumi yang kulawan,
melainkan kekuatan iblis yang disalurkan lewat dirinya oleh Ratu Tanpa Tapak
itu." "Kami masih menghormati Eyang Guru!" kata KI Lumaksono.
"Dan ikut memihak Ratu Tanpa Tapak?" tanya Suto Sinting.
Pertanyaan itu membuat kedua tokoh tua itu sama-
sama diam. Mereka tak mengerti persis apa yang harus mereka lakukan. Tapi
akhirnya Ki Lumaksono
mempunyai pendapat yang menurutnya lebih bijaksana.
"Begini saja, Suto. Seranglah Ratu Tanpa Tapak itu, bebaskan sahabatku Gendeng
Sekarat. Tapi jangan lukai jasad guru kami."
"Bagaimana bisa jika Eyang Sokobumi bertindak
sebagai orang andalan Ratu Tanpa Tapak" Aku harus
barhadapan dengan beliau. Dan tak mungkin aku bisa
tidak melukainya jika aku sendiri dilukai."
"Jika kau nekat melukai beliau, aku akan pertaruhkan nyawa untuk membela!" sahut
Ki Parandito dengan nada mulai meninggi.
"Jika memang terpaksa, mungkin kita memang harus bertarung, Ki!" kata Suto
Sinting dengan tegas pula.
Sekalipun luka itu masih ada walau tak seberapa
parah, Ki Parandito segera berdiri dan ambil sikap perlawanan. Melihat saudara
seperguruannya ambil
sikap perlawanan, Ki Lumaksono pun bangkit juga
bersikap serupa. Suto Sinting sedikit bingung. Melawan mereka bukan hal yang
ditakuti. Tapi menghindari
pertarungan yang tidak semestinya terjadi adalah sesuatu yang sulit dicari jalan
keluarnya. Karena kedua tokoh tua itu sama-sama bersikeras membela gurunya,
walaupun mereka tahu yang bertindak itu adalah bukan gurunya melainkan kekuatan jahat
Ratu Tanpa Tapak. Suto
Sinting masih diam, tak mau bertindak gegabah.
Matanya memandangi mereka secara bergantian. Tegang juga suasana di antara
mereka bertiga.
Ki Parandito menarik napas, lalu menahannya di dada dengan satu hentakan tangan
menggenggam di dada.
Seet...! Suto Sinting merasakan ada tenaga yang
menahan lehernya kuat-kuat. Ia tercekik tiba-tiba. Tapi secepatnya ia hembuskan
napas dari hidung tanpa
dendam dan kemarahan. Fuuih...!
Napas yang melesat dari lubang hidung itu menuju ke bawah, seakan menghantam
tangan yang mencekik
lehernya. Seketika itu pula leher Pendekar Mabuk
merasakan terbebas dari himpitan kuat. Tapi di seberang sana tubuh Ki Parandito
terpelanting ke kiri bagaikan ada yang menendangnya dari kanan. Wuuut...!


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bruuhg...! Ki Parandito jatuh, namun tak sampai parah, ia masih bisa berlutut dengan
berpegangan pada tongkatnya.
Napasnya terengah-engah dengan wajah menahan rasa
sakit, ia bahkan sempat terbatuk-batuk beberapa kali.
Pawang Gempa memandangi rekannya dengan
menyimpan rasa kagum kepada Suto.
"Gila anak muda itu! Dengan kekuatan napas inti ia mampu membuat Parandito
terpelanting begitu.
Agaknya harus kucoba dengan jurus 'Lindu Jantan'.
Apakah ia bisa mengatasi jurusku itu?"
Pawang Gempa segera menggenggam kuat
tongkatnya. Tiba-tiba ia bergerak memutar di luar
dugaan Suto. Satu putaran langsung menyodokkan
kepala tongkat ke tanah tempat Suto berdiri. Wuuuk...!
Suuut...! Kraaak...! Tanah itu retak dalam satu sentakan. Dari dalam
keretakan keluar nyala bara merah berasap. Kaki Suto Sinting menjadi merenggang
ke kiri dan kanan. Karena keretakan itu cukup lebar, maka kaki Suto Sinting pun
memanjang ke samping hingga nyaris sejajar dengan
permukaan tanah. Kedua kaki Suto masih berpijak pada tanah sehingga ia tidak
jatuh terperosok dalam keretakan itu.
Dalam keadaan kaki merentang sejajar, Pendekar
Mabuk segera hentakkan kedua pundaknya ke bawah.
Wuuut...! Tubuhnya pun melesat ke atas dan bersalto di tempat yang aman.
Jleeg...! Ia berdiri dengan tegap. Kaki kanannya segera menghentak ke tanah.
Duug...! Dan tubuh Ki Lumaksono tiba-tiba amblas ke tanah sedalam satu lutut. Bluuus...!
"Hahh..."!" Ki Lumaksono kaget sekali tubuhnya bisa terpendam satu lutut,
seperti ada kekuatan yang
menyedot dari dalam bumi. Tongkatnya pun ikut
terbenam ke dalam tanah dengan batas yang sama.
Ki Parandito terkejut, melongo sebentar, lalu berkata,
"Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi'. Hati-hati,
Lumaksono!"
Repotnya lagi, tubuh Ki Lumaksono bagaikan dijepit
oleh tanah yang menelannya, sehingga tak bisa bergerak dan berusaha keluar dari
sana. Ia sempat tegang sesaat.
Tapi Suto Sinting segera menghentakkan tumit kakinya ke tanah dengan pelan.
Duug...! Bruuus...! Tubuh Ki Lumaksono terbang ke atas bagaikan ada
yang mencabut atau mendorongnya dari dalam tanah.
Tubuh yang melayang itu segera bersalto satu kali dan mendarat dengan sigap.
Matanya beradu pandang
dengan mata Suto Sinting.
"Ilmumu sungguh mengagumkan, Nak," kata Ki Lumaksono.
"Terpaksa kulakukan karena kau menyerangku, Ki."
"Heaaat...!"
"Tahan!" sentak Ki Lumaksono kepada Juru
Bungkam itu. Ki Parandito hanya membuka kuda-kuda,
lalu berhenti tak lanjutkan gerak. Matanya melirik Ki Lumaksono yang segera
mendekatinya dari belakang ke samping kanan.
Dengan tetap memandang Suto yang berdiri tenang,
Ki Lumaksono berkata kepada Ki Parandito,
"Agaknya jalan pikirannya cukup baik. Kita yang keliru."
Ki Parandito menarik napas, mengendurkan
ketegangan uratnya.
"Apakah kau akan biarkan guru kita dihajar oleh anak semuda dia?"
"Kalau beliau masih guru kita, beliau tidak akan menghajar kita," jawab Ki
Lumaksono pelan, lebih berkesan sedih. Ki Parandito segera hembuskan napas pelan
juga. Ia termenung beberapa saat memandangi
saudara seperguruannya.
Suto Sinting perdengarkan suaranya dengan lebih
tenang lagi, tak ada kesan bermusuhan.
"Aku hanya ingin memukul kekuatan jahat yang
bersarang di dalam raga Eyang Sokobumi. Kasihan
sekali beliau, sudah tiada tapi raganya masih
dipermainkan oleh kekuatan jahat dari Ratu Tanpa
Tapak. Kumohon langkahku ini bisa dimengerti, Ki."
Ki Lumaksono pun berkata, "Baiklah. Kudampingi kepergianmu ke Gunung Sesat, Suto
Sinting. Kami akan ada di belakangmu, siap membantumu sewaktu-waktu."
"Terima kasih," jawab Suto dengan senyum lega.
"Aku mohon seteguk tuakmu. Luka dalamku agak
parah lagi karena seranganmu tadi, Suto."
Senyum Pendekar Mabuk kian melebar. "Ambillah, Ki. Maafkan kelancanganku tadi.
Aku sangat terpaksa."
Ki Parandito meneguk tuak Suto. Ki Lumaksono juga
ikut-ikutan minta seteguk. Kemudian keduanya bergegas berangkat ke Gunung Sesat.
Tapi sepuluh langkah
kemudian, ketiga orang itu terpaksa harus berhenti
karena dari atas pohon turun sesosok tubuh hitam
berukuran tinggi dan besar. Orang berkulit hitam itu mengenakan cawat dan
kepalanya gundul berkuncir
tengah. Kuncirnya melengkung ke belakang sedikit
kaku. "Logo..."!" sapa Suto Sinting dengan heran. Anak jin itu maju satu tindak.
Hembusan napasnya membuat
rambut Suto meriap ke samping.
"Ibu tidak izinkan kau temui Nila Cendani, Suto,"
kata Logo dengan suara besarnya.
"Tak ada alasan melarangku ke sana. Ibumu tak punya hak apa-apa terhadap diriku,
Logo!" "Aku ditugaskan menghambatmu, Suto Sinting."
Napas Suto ditarik dalam-dalam, memendam
kejengkelan yang tak ingin dilampiaskan kepada Logo.
Sebab ia tahu Logo hanya anak jin yang lugu dan polos, segala tindakannya hanya
semata-mata mengikuti
perintah orang yang dihormati.
Pandangan mata Suto tertuju pada kedua tokoh tua
tersebut. Ternyata mereka tampak cemas melihat
kemunculan Logo. Mereka sembunyikan gelisah dengan
memandang arah lain. Suto Sinting menegur dengan
suara pelan. "Haruskah kusingkirkan dengan kekerasan, Ki?"
"Jangan! Jangan begitu!" KI Lumaksono semakin jelas kecemasannya. Bahkan saat
berkata begitu ia
merasa takut dan sedikit menggeragap.
"Anak jin itu mempunyai seorang ibu yang berilmu tinggi. Sebenarnya kalau kau
mau tahu, gadis yang
bernama Pelangi Sutera itu sebenarnya...."
"Sumbaruni, ibu dari anak jin itu!" sahut Suto Sinting membuat kedua tokoh tua
itu terperangah heran.
"Kau sudah mengenalnya?"
"Ya. Tapi dia tak punya hak untuk melarangku
bertemu dengan Ratu Tanpa Tanpa Tapak. Dia bukan
apa-apaku, bukan pula pihak sang Ratu."
"Tapi...," Ki Parandito agak ragu, "Kalau bisa...
hmmm... terserah kau sajalah!" akhirnya ia pasrah, tak bisa memberi pendapat
apa-apa. Murid sinting si Gila Tuak segera berkata kepada
Logo, "Jangan halangi aku, nanti aku bisa menyerangmu dan kau akan sakit, Logo!"
"Harus! Karena Ibu perintahkan begitu padaku."
"Kalau begitu jangan salahkan aku jika kau menerima sikap kasarku."
"Tidak," jawab Logo sambil menggelengkan kepala.
Ki Parandito dan Ki Lumaksono mundur, seakan
tidak mau ikut campur dalam perkara itu. Tetapi Suto Sinting masih berdiri
dengan tenang. Logo juga masih memandang penuh siaga. Suto segera gunakan jurus
'Jari Guntur' dari jarak lima langkah di depan Logo. Ia
menyentilkan jarinya dua kali.
Tas, tas...! "Uuhg...!" Logo terkejut dan menggeram, berdirinya langsung lemah, ia memegangi
kedua lututnya yang
terasa bagaikan dihantam palu godam. Bahkan kini ia jatuh terduduk karena
lututnya tak kuat menyangga
beban berat tubuhnya yang besar itu.
Dengan cepat Suto Sinting sentakkan kaki dan
tubuhnya melayang di udara. Melesat melewati kepala Logo yang juga dipakai
pijakan kaki kirinya. Dari kepala Logo, Suto menyentakkan kaki kirinya dan
melesat lagi lebih jauh.
"Jangan nekat, Sutooo...!" teriak Logo dengan panik, ia berusaha mengejar Suto
Sinting, tapi tubuhnya jatuh lagi karena lututnya belum kuat menyangga beban
berat tubuh. "Kita lari lewat sana!" bisik Ki Parandito kepada Ki Lumaksono. Keduanya segera
lari menyusul dengan
kecepatan bagaikan angin berhembus tapi melalui arah sisi lain.
"Ibuuu...! Suto pergiii.. ! Suto pergi, Ibuuu...!" teriak Logo menggetarkan
semua pohon yang ada di
sekelilingnya, merontokkan dedaunan yang ada.
* * * 7 ANGON Luwak kehilangan jejak. Tentu saja, sebab
Suto menggunakan jurus peringan tubuh dalam larinya.
Kecepatannya tidak ada sekuku hitam dengan kecepatan lari bocah berusia sepuluh
tahun itu. Tak heran jika Angon Luwak tertinggal sangat jauh.
Tetapi Angon Luwak tidak mau menyerah, ia
menggunakan ilmu kira-kira. Dari tempatnya berhenti ia memandang sekeliling. Tak
ada tanda-tanda yang bisa digunakan untuk menjadi penunjuk jalan. Bocah itu
segera memanjat pohon kelapa untuk memetik buah
kelapa dan mengambil airnya, ia haus sekali. Dan pada saat ia sampai di atas
pohon kelapa, ia melihat sebuah gunung menjulang tak seberapa tinggi. Arahnya
ada di sebelah utaranya.
"Pasti itulah yang bernama Gunung Sesat! Berarti aku harus melangkah ke arah
sana. Pasti lama-lama akan
sampai juga."
Pikiran Angon Luwak sangat sederhana. Maka selesai
bersusah payah membolongi kelapa untuk diminum
airnya, Angon Luwak pun segera menuju ke arah utara.
Bocah itu bukan hanya pantang menyerah, namun juga
tak mudah lelah. Larinya tidak cepat, tapi yakin dan pasti arah yang dituju
adalah benar. "Kalau aku bisa ikut membebaskan Guru, pasti aku akan dikasih ilmu lagi. Kalau
aku tidak bisa ikut
membebaskan Guru, ilmuku hanya sekecil ini. Jadi, aku harus bisa ikut serta
dalam membebaskan Guru. Kang
Suto memang tak mengizinkan, tapi Guru pasti senang jika melihat aku ikut
membebaskan beliau," pikir Angon Luwak secara sederhana sekali. "Kalau aku mati,
Guru akan semakin bangga punya murid berani mati."
Tentunya memang begitu. Seorang guru akan merasa
bangga punya murid berani mati. Tapi bukan berarti
mati konyol pun harus berani. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat tahu bahwa Angon
Luwak nekat menyusul ke
Gunung Sesat, tentu saja Ki Gendeng Sekarat tidak akan setuju, sebab bagi Angon
Luwak itu namanya mati
konyol. Sayangnya Ki Gendeng Sekarat tidak tahu
kehadiran Angon Luwak di tanah wilayah Gunung Sesat.
Ki Gendeng Sekarat sedang sibuk menghadapi penguasa lalim daerah itu.
Sebuah istana kecil dipagar benteng tinggi dari
batuan hitam yang kokoh. Di dalam benteng yang ada di kaki gunung itu tidak
hanya terdapat bangunan istana saja, tapi juga ada bangunan kuil pemujaan, ruang
pertarungan, ruang sidang, barak punggawa tempat
untuk tidur para anak buah Ratu Tanpa Tapak, dan
beberapa bangunan lainnya.
Ki Gendeng Sekarat tiba di tempat itu masih dalam
keadaan tidur, ia diseret memasuki gerbang benteng oleh Sokobumi. Rantai Neraka
masih melilit di tubuh Ki
Gendeng Sekarat. Rantai itu makin kuat menjerat tubuh karena di perjalanan tadi
Ki Gendeng Sekarat sempat berusaha meronta lepas dari rantai itu. Tapi usahanya
gagal karena rantai makin kuat menjerat dengan
sendirinya. Bruuk...! Sokobumi mendorong Ki Gendeng Sekarat dengan
kasar. Orang itu jatuh, kepalanya membentur lantai
marmer istana. Barulah ia sadar dan terbangun dari
tidurnya, ia memandang dengan mata mengerjap-
ngerjap. Ternyata ia sudah berhadapan dengan seorang wanita cantik dan tampak
masih muda seperti berusia dua puluh delapan tahun. Hidungnya mancung, kulitnya
putih, bibirnya menggemaskan dan tampak selalu basah.
Matanya bening indah tapi berkesan jalang. Perempuan cantik itu kenakan jubah
hijau dengan dalaman kuning beludru yang ketat tubuh, dadanya kelihatan
membusung montok menggemaskan tiap lelaki. Rambutnya
disanggul bagian tengah, sisanya meriap ke bawah.
Perhiasannya lengkap dari kalung, cincin, sampai gelang
kaki. "Nila Cendani," gumam Ki Gendeng Sekarat begitu mengenali perempuan yang duduk
di singgasana berukir emas itu.
"Syukurlah kalau kau masih ingat aku!" kata Ratu Tanpa Tapak alias Nila Cendani.
Ia kelihatan angkuh dan berwibawa. Tapi buat Ki Gendeng Sekarat
keangkuhan dan kewibawaan itu tidak ada apa-apanya.
"Kelancanganmu tidak bisa dimaafkan lagi, Gendeng Sekarat! Gara-gara ulahmu aku
gagal mendapatkan
pusaka Keris Setan Kobra. Padahal yang kukirim adalah utusanku yang terpilih.
Aku kecewa padamu, Gendeng
Sekarat." "Aku tidak," kata Ki Gendeng Sekarat seenaknya sambil matanya memandangi isi
istana yang berpliar
beton dilapisi lempengan logam putih mengkilap.
Ratu Tanpa Tapak memandang dengan mata menyipit
sedikit, pertanda ia sedang menahan kebencian. Ki
Gendeng Sekarat sama sekali tak punya rasa takut atau gugup. Walaupun ia tahu
saat itu dikelilingi orang-orang pilihan Nila Cendani, termasuk Sokobumi, tapi
ia bagaikan tidak menghiraukan mereka sedikit pun. Ia
berdiri seenaknya di depan seorang ratu yang dihormati mereka.
"Gendeng Sekarat!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Kau kujatuhi hukuman mati karena
kesalahanmu!"
"Kesalahan yang mana?"
"Membunuh utusanku pada saat mereka hampir
mendapatkan keris pusaka!"
"Itu bukan kesalahanku, itu kesalahanmu. Mengapa kau kirimkan utusanmu untuk
merebut keris pusaka
milik Empuk Sakya. Bukankah keris itu bukan milikmu dan kau tak punya hak apa-
apa" Kau yang salah, Nila Cendani!"
"Setan! Aku tidak pernah salah. Aku berhak punya keinginan apa saja. Siapa pun
yang menentangku layak dihukum mati!"
"Dunia ini bukan milikmu sendiri, Nila Cendani!
Dunia ini milik orang banyak. Mereka bukan sekadar


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

numpang di dunia ini, tapi punya hak memiliki dan
Pendekar Laknat 10 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Patung Emas Kaki Tunggal 4
^