Pencarian

Samurai Terakhir 3

Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man Bagian 3


kesenangan dan cita-cita tinggi. Dalam teater kabuki,
penggunaan anak laki-laki untuk memainkan peran
perempuan dilarang pada 1650-an, setelah itu semua
peran dimainkan oleh laki-laki dewasa. Homoseksualitas
dan prostitusi adalah bagian tak terpisahkan dari sistem,
yang juga memiliki eksploitasi, kemunafikan, dan selera
murahannya sendiri. Jalan untuk menjadi bintang, di
Kyoto seperti juga di Hollywood, sering dimulai dari
kursi pemilihan aktor dan kembali mengarah ke sana,
dengan keputusasaan yang semakin meningkat seiring
berjalannya waktu. Seperti ditulis Saikaku, "karena semua
orang memakai gaya rambut laki-laki dewasa, pada usia
34 atau 35 seorang aktor berwajah muda masih mungkin
masuk ke balik jubah seorang laki-laki dewasa. Betapa
anehnya jalan yang ditempuh cinta!"
Akhirnya, perhatikan bahwa tak satu pun berbagai
pembenaran dan tulisan tadi dari sudut pandang pasangan
yang lebih muda. Pada dasarnya, ini adalah sebuah
hubungan yang didasarkan pada kekuasaan. Tidak ada
yang bertanya kepada para bocah lelaki itu apa pendapat
mereka mengenai menjadi pihak yang menerima. Bahwa
ada sesuatu yang salah ditunjukkan oleh kenyataan
121 John Man bahwa pada era Meiji setelah 1868 mode hubungan seks
sesama lelaki turun secara mendadak.
Apa pun pandangan mereka, hubungan homoseksual
di Jepang pada pertengahan abad ke-19 tidak memiliki
hambatan sosial yang menandai hubungan gay di Barat.
Setiap hubungan pria dapat menemukan ekspresi
seksualnya. Tradisi menekankan pentingnya cinta antara
pendeta Buddha dan samurai, atau antara pendeta dan
pembantu mudanya. Meskipun ada penolakan pendeta
terhadap kesenangan duniawi, cinta (demikian argumen
para pelakunya) dapat membawa pada pencerahan
spiritual. Kesetiaan dengan intensitas keagamaan dipadukan
dengan seks: ini menciptakan ikatan kuat yang sulit
untuk dibayangkan oleh orang luar Jepang.
Jadi, apakah Saigo dan Gessho mempunyai hubungan
seksual" Mungkin saja. Itu tidak penting. Tapi saya rasa
tidak, karena usia, keadaan, dan karakter mereka. Saigo
berusia tiga puluh tahun, Gessho empat puluh lima
tahun, dan keduanya berada di luar dunia di mana
homoseksualitas berkembang. Selain itu, bagi Saigo, seks
tidak pernah menjadi aspek dominan dalam hidup.
Pernikahan mudanya yang singkat telah berakhir, tanpa
disesali. Seks bukanlah ciri yang menentukan komitmennya
terhadap Gessho. Pertanyaan ini tidak punya jawaban,
karena tidak ada yang tahu. Tapi pada akhirnya, siapa
yang peduli" Ada begitu banyak hal yang terjadi saat itu.
Apakah ada hal lain di Kyoto yang kemungkinan besar
akan menggoda Saigo dari jalan kebajikan" Tidak banyak,
saya kira. Saya sedang bersama pemandu saya Noriko, berjalan
mendaki di jalan sempit ke kuil Gessho, ketika sosok
122 Dunia Baru, Kehidupan Baru
berkimono dengan rambut bertumpuknya sekilas melintasi
jalan seperti hantu. Seorang geisha, yang tidak aneh jika
ditemui di Kyoto ketika Saigo berada di kota ini. Ya,
bukan benar-benar seorang geisha. "Dia hanya seorang
maiko, geisha magang," kata Noriko. "Dan ini masih
sore, jadi dia tidak memakai rias wajah." Dia masih
harus melewati jalan yang panjang, sulit, dan mahal.
Untuk membeli kimono dan hiasan dia akan menghabiskan
sekitar 10.000 pounds, dan latihannya akan berjalan
ketat. Dulu, dan sekarang, ini adalah sebuah profesi dan
tidak ada hubungannya dengan prostitusi. Semuanya
berkaitan dengan seni pertunjukkan"cara yang tepat
untuk menyapa dan duduk, belajar dan menyajikan lagu
dan tarian dengan lembaran musik, gerak tubuh yang
tepat saat membuat, menuangkan, dan menyajikan teh,
simbol etiket Jepang terbaik: keanggunan, kesantunan,
penghormatan. "Mengapa ada orang yang mau melakukan ini?"
"Yah, geisha bisa mendapatkan 1000 pounds per
hari. Pengusaha kaya, politisi... Bagi mereka ini adalah
simbol status." "Kami tidak memiliki yang serupa ini di Barat."
Noriko, yang telah menghabiskan waktu bertahuntahun di London, berpikir sejenak. "Mungkin padanannya
adalah menyewa seorang penari balet untuk tampil
dalam sebuah pesta pribadi."
Bahkan itu pun tidak benar-benar sepadan. Geisha
adalah seorang gadis dengan banyak kualitas: stamina,
keterampilan fisik dan sosial, dan (saya terkejut
mengetahuinya) cerdas, karena mereka pandai bercakapcakap. "Mereka mempelajari surat kabar setiap hari,
dan diharapkan dapat berbicara tentang segala hal,
123 John Man politik, sejarah, drama. Bahkan seorang gadis delapan
belas tahun, seperti maiko itu, harus terdengar seperti
seorang wanita berpendidikan tinggi berusia dua puluh
lima atau tiga puluh." Dan, tentu saja, seni percakapan
menuntut kebajikan lain: kehati-hatian. "Para gadis ini
sangat pandai menjaga rahasia. Mereka tidak pernah
bicara tentang apa yang telah dibicarakan."
Tapi tentunya ini bukan kehidupan nyata, bukan"
Apa yang terjadi dengan mereka"
"Pada usia sekitar tiga puluh, tampaknya mereka
semua mulai berpikir: haruskah aku terus di sini atau
segera pergi" Menikah, atau melakukan sesuatu yang
sama sekali berbeda, seperti mengajar" Tapi Anda bisa
tinggal selama yang Anda inginkan, selama Anda masih
bisa mendapat pekerjaan, kecuali jika Anda menikah.
Maka Anda harus keluar."
"Tapi ini bukan benar-benar persiapan untuk menikah,
"kan?" "Tidak. Ini tidak seperti sekolah akhir. Mereka tidak
belajar memasak atau mengurus rumah."
Saigo tidak tertarik pada dunia geisha. Perceraian
telah membuatnya hati-hati terhadap perempuan. "Dalam
urusan perempuan, aku sudah mengucapkan sumpah
pendeta," tulisnya. "Aku tidak berhasrat untuk menikah
lagi." Ini tidak berlaku selamanya, karena di kemudian
hari ia menikah lagi, memiliki dua orang gundik, dan
menjadi ayah sejumlah anak. Namun, seks, cinta, dan
pernikahan berada di tempat kedua dibanding apa pun
yang terjadi dalam kehidupannya, yang pada saat ini
melibatkan semacam permainan politik sangat rahasia
atas nama tuannya. Saya dan Noriko telah mencapai anak tangga batu
124 Dunia Baru, Kehidupan Baru
kapur yang mengarah ke serambi dengan atap terbalik.
Di belakang terdapat kuil Gessho, Kiyomizu, salah satu
tempat paling indah dan terkenal di Kyoto, sebuah
tempat dengan balok-balok kayu besar, atap yang
melengkung, dan panggung kayu yang menonjol dari
lereng curam berhutan yang menanjak seperti gelombang
pecah dan jatuh ke Kyoto di bawah sana. Tempat ini
berasal dari abad ke-8, ketika seorang pendeta pertama
kali menemukan sumber "air jernih" yang menjadi nama
bagi situs ini, dan mempersembahkan kuil tersebut pada
Kannon, dewa atau dewi (bisa salah satunya) pengampunan, melihat dan mendengar semuanya dengan sebelas
kepalanya. Dengan bangunan kayunya, hampir pasti
kuil aslinya telah habis karena kebakaran, dan digantikan
dengan bangunan abad ke-17 yang ada sekarang. Kuil
ini merupakan perwujudan sejarah, dan karena itu
merupakan pengalaman pendidikan yang penting. Kita
nyaris tak bisa berjalan karena banyak sekali anak sekolah,
mengambil gambar dengan ponsel mereka. Ketika Gessho
tinggal di sini, ini adalah tempat suci yang dipenuhi
bacaan mantra dan bunyi lonceng, benar-benar bebas
dari aroma kota. Tapi sama sekali tidak cocok untuk pertemuan rahasia.
Pangeran Konoe, penghubung antara istana dan kuil,
bisa bertemu Gessho dengan cukup aman di Kiyomizu
(atau tepatnya di subkuil yang dipimpin Gessho). Tetapi
untuk menemui Saigo, Gessho harus berjalan beberapa
kilometer ke arah barat daya, ke kompleks kuil dan
subkuil Buddha Zen yang lain, Tofuku. Sekarang, tempat
itu dikelilingi kota, tapi di masa Saigo tempat itu tertutup,
karena di sinilah, sebelah timur sungai Kamo, mayat
para kriminal yang dieksekusi dibuang. Hanya sedikit
orang yang mau datang ke sini, atau menembus hutan
125 John Man sekitarnya. Mengapa mereka akan melakukannya kalau
mereka tidak akan diizinkan memasukui kompleks kuil"
Di balik pintu gerbang yang begitu indah, besar, dan
penuh hiasan yang sekarang merupakan kekayaan nasional
resmi terdapat Aula Kepala biara, dengan taman-taman
resmi berbatu kerikil, balok batu kotak-kotak, dan semak
azalea. Masuk lebih dalam ke kuil, terdapat jembatan
dan gerbang yang membawa ke 25 subkuil, semuanya
adalah tempat tertutup yang tidak dapat dimasuki oleh
masyarakat umum. Salah satunya adalah subkuil Hokoshui,
yang bisa dimasuki lewat sebuah pintu yang tertutup
dengan rantai yang berderak pada roda gigi. Sebuah
jalur labirin dan pagar tanaman yang memanjang naik
ke sisi bukit di bawah pepohonan yang melengkung dan
tempat duduk beton, semua dirancang untuk
mengosongkan pikiran dan mendorong konsentrasi. Di
sini dulu terdapat sebuah kedai teh.
Seorang biksu berkepala gundul, dengan wajah tampan
dan aura ketenangan Zen, menjelaskan melalui pemanduku
Noriko betapa sempurnanya tempat terpencil ini untuk
pertemuan sembunyi-sembunyi dan pembicaraan rahasia.
"Tempat ini didanai oleh keluarga Shimazu, dan memiliki
polisinya sendiri, bahkan jika ingin menangkap seseorang,
polisi shogun tidak bisa mendapatkan akses masuk.
Kedai Teh" Oh, setelah restorasi, ketika keluarga Shimazu
sudah kehilangan pengaruh, uang berhenti mengalir,
dan kedai teh ini pun runtuh. Di sana tempatnya?"dia
menunjuk ke sebuah tempat di lahan penuh pohon"
"tapi sudah runtuh, dan tidak ada jejaknya lagi. Tempat
itu disebut Mengumpulkan Kayu Bakar. Kayu bakar itu
ibarat pengetahuan. Anda bisa mengumpulkan semua
yang Anda suka, tetapi jika tidak tahu bagaimana
menggunakannya, akan menjadi sia-sia."
126 Dunia Baru, Kehidupan Baru
Jadi, selama sebulan bisikan-bisikan berhembus dari
Saigo ke telinga Gessho di kebun remang-remang di
Hokoshui, dari Gessho ke Konoe yang datang sebagai
bangsawan yang mengunjungi makam keluarganya di
Kiyomizu, dan dari sana ke dalam galeri-galeri dan
sejumlah ruang bercat di istana kaisar. Semua tampak
sempurna. Pada Maret 1858 Saigo pergi ke Edo, yakin
bahwa Keiki akan dicalonkan sebagai pewaris shogun.
Tapi tidak begitu. Ada sebuah arus balik, jauh lebih
kuat daripada arus yang dibuat Saigo. Arus itu datang
dari orang yang akan menjadi sosok terkuat di Jepang, Ii
Naosuke. Keluarga Ii sudah sejak lama menjadi penguasa
Omi (kurang lebih, prefektur Shiga pada masa sekarang).
Tujuannya adalah menghabisi setiap gerakan ke arah
kemandirian kaisar dan menopang kekuasaan shogun.
Di bawah pengaruhnya, sebuah dekrit rancangan yang
mungkin dapat memperkuat kelompok pro-Keiki diubah
sehingga ia mendesak shogun untuk secepatnya menunjuk
pewarisnya, siapa pun. Tak lama setelah itu, pada Mei
1858, Ii diangkat menjadi "tetua agung" dalam Dewan
Tetua"semacam wakil sang shogun, Iesada yang sakitsakitan, dan wali yang berkuasa. Dia memerintahkan
persetujuan terhadap Perjanjian Harris yang terhenti,
menolak Keiki, menunjuk seorang pewaris baru, dan
memerintahkan agar para pendukung utama Keiki
ditempatkan dalam tahanan rumah.
Terjadi kepanikan dalam pasukan Satsuma. Saigo
menghilang bergegas ke Kagoshima untuk berunding
dengan Nariakira, yang seminggu kemudian mengirimnya
kembali ke Kyoto untuk menemukan cara mendapatkan
kembali pengaruhnya. Dalam udara musim panas yang
menyengat, ia mulai mengatur beberapa pertemuan
untuk mengetahui keadaan dan menyusun sejumlah
127 John Man rencana aksi. Kemudian: bencana demi bencana.
Di Kagoshima, Nariakira, yang masih berada di
puncak hidupnya di usia 49, jatuh sakit terserang demam
dan diare. Tak lama setelah tengah malam 24 Agustus
dia menyadari bahwa dirinya sedang sekarat dan
memanggil ajudan seniornya. Dengan anak berusia dua
tahun yang masih terlalu muda untuk mewarisi, ia
memberi kuasa pada ayahnya yang telah pensiun untuk
mengangkat ahli waris, entah Hisamitsu, mantan pesaing
dan saudara tirinya, atau putra Hisamitsu, Tadayoshi. Ia
kemudian meninggal pagi itu.
Berita itu sampai pada Saigo di Kyoto sebelas hari
kemudian. Dia baru saja kembali ke kota itu selama dua
minggu. 128 JALAN SANG PRAJURIT: BUSHIDO DENGAN BERAKHIRNYA PERIODE "PERANG SAUDARA" PADA
tahun-tahun setelah 1600,17 para shogun Tokugawa yang
menyatukan Jepang tidak hanya membawa keadaan
damai, tetapi juga stabilitas yang luar biasa melalui
isolasi diri yang sama luar biasanya. Dari keadaan nyaris


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa hukum, negeri itu berubah ke arah berlawanan,
memaksakan pada diri mereka sendiri apa yang disebut
oleh seorang sarjana sebagai "masyarakat yang paling
terencana dan terstruktur secara artifisial dan politis
dalam sejarah Jepang."18
Konsekuensi yang paling terkenal, dan masih
membingungkan, dari keadaan damai itu adalah penolakan
terhadap senjata api. Para penguasa baru betul-betul
tahu tentang kekuatan senjata api, karena dalam
pertempuran penting Nagashino pada 1575 kavaleri
pedang telah dilumpuhkan oleh semburan api dari
17 Sebenarnya, aksi besar terakhir adalah jatuhnya Kastil Osaka pada 1615.
18 Oishi Shinzaburo, dikutip oleh Ikegami, The Taming dari Samurai, hal 165.
129 John Man senapan yang diperkenalkan oleh para pedagang Portugis.
Anda mungkin berpikir bahwa ini akan mengilhami
pengembangan senjata api yang efektif. Justru sebaliknya.
Ieyasu, shogun Tokugawa kedua, memusatkan pembuatan
senjata api dengan pemerintah sebagai pembeli tunggal.
Tetapi tanpa musuh, pembelian oleh pemerintah turun
mendekati titik nol. Mengapa hal ini terjadi masih
banyak diperdebatkan. Salah satu alasan adalah pengakuan
bahwa senjata dibuat untuk ketidakstabilan sosial, alasan
lain berhubungan dengan rasa takut masyarakat Jepang
terhadap invasi dan mesiu"ingat bangsa Mongol!"dan
penolakan terhadap pengaruh asing, sebagai akibatnya.
Senjata api, simbol barbarisme, menjadi hal menjijikkan,
sedangkan pedang samurai adalah penjamin kebebasan
dan kemurnian. Sebagai sebuah kebudayaan pulau,
Jepang sanggup mengubah ketakutan menjadi kebijakan.
Mereka mundur dari mesiu, dan menutup dirinya, selama
250 tahun. Dalam salah satu episode paling luar biasa dalam
sejarah, kontak dengan kekuatan asing mengalami
kemunduran dan nyaris berhenti. Para misionaris Kristen
telah bekerja selama lebih dari 50 tahun, tapi Ieyasu
berbalik melawan mereka. Ribuan pemeluk baru Kristen
menjadi martir dan para misionaris diusir, banyak dari
mereka yang bertahan disiksa dan dibunuh. Pada 1639,
shogun menutup pintu: tidak satu pun orang Jepang
yang dapat pergi, tak satu pun orang asing dapat masuk,
dan semua perdagangan luar negeri dibatasi pada satu
pelabuhan saja, Nagasaki, yang berada di bawah kendali
langsung pemerintah. Hampir semua kekuatan Eropa
menyerah. Hanya Belanda yang tetap bersikukuh, yang
secara efektif dipenjarakan di sebuah pulau kecil di
dekat Nagasaki. Pengaruh dan produk asing menjadi
130 Jalan Sang Prajurit: Bushido
sekadar tetesan, yang merembes dari Nagasaki, dari
Korea dan"yang penting untuk cerita kita"dari China,
berjingkat masuk menyusuri kepulauan Ryukyu yang
baru saja ditaklukkan menuju Kyushu, provinsi asal
Saigo, jauh di sisi selatan. Dua ratus tahun kemudian,
kebijakan "negeri tertutup" telah menjelma layaknya
kitab suci, dan Jepang telah tertinggal jauh dari kekuatankekuatan "barbar" dalam ilmu pengetahuan, industri,
dan teknologi militer. Di sisi lain, ada keuntungan. Jepang mempertahankan
kemerdekaannya dari penjajahan; ia mempertahankan
ikatan sosial yang luar biasa, tidak terganggu oleh perang
kelas, dan meskipun ada konservatisme dan inferioritas
pedagang, perekonomian tumbuh kuat, dengan pertanda
mengenai apa yang akan segera datang: keluarga Mitsui
(ya, nenek moyang perusahaan yang ada sekarang)
memberikan payung sebagai "hadiah gratis" kepada
orang-orang yang terjebak hujan. Pada awal abad ke-19
Jepang adalah fosil hidup sekaligus juga sangat siap
untuk berubah. Kekerasan di tingkat rendah, juga menurun, setidaknya
menurut catatan resmi. Menurut hukum milter Tokugawa,
"Para gubernur provinsi dan para tuan lain dilarang
terlibat dalam perselisihan pribadi." Ieyasu memerintahkan
penghancuran semua kastil yang tidak didiami, perintah
dilaksanakan dengan kecepatan yang luar biasa, sebagian
besar hanya dalam hitungan hari. Komunitas-komunitas
lokal kehilangan kemerdekaan tradisional mereka.
Pedagang tahu tempat mereka: mereka menghasilkan
dan meminjamkan uang, dan mendorong seni, tapi
menjauh dari pemerintah. Agama bukan merupakan
ancaman, karena Buddhisme tidak membuat tuntuntan
serius untuk memerintah. Para penguasa provinsi dan
131 John Man penguasa lokal"daimyo"meskipun diperbolehkan untuk
mempertahankan tingkat pertahanan mereka saat ini,
dilarang membangun kapal, memperbanyak tentara, atau
menyatakan perang. Mereka harus menjalani masa tinggal
yang memakan waktu dan berbiaya mahal di Edo, di
mana mereka mendirikan rumah tangga dan terlibat
dalam berbagai upacara membosankan yang menyiksa
dan rumit. Seolah-olah, semua ini untuk menunjukkan
loyalitas mereka, kenyataannya mereka tidak punya
pilihan karena rumah tangga mereka di ibu kota
keshogunan pada dasarnya merupakan sandera. Kekerasan
dihukum berat. Seorang pendeta Buddha mencatat apa
yang terjadi ketika penduduk beberapa desa bertarung
memperebutkan air untuk irigasi: "83 petani dari Provinsi
Sesshu yang terlibat dalam tarung memperebutkan air
dieksekusi... Bahkan remaja tiga belas tahun dieksekusi
sebagai pengganti ayahnya." Secara keseluruhan, jika
klise yang diulang-ulang dalam pelbagai dokumen resmi
akan dipercaya, orang-orang merasa bersyukur untuk
"ketenangan nan damai di negeri ini". Kedamaian
Tokugawa membekukan Jepang di tempatnya, dalam
sebuah sistem yang menyeimbangkan kendali atas-bawah
dan kemandirian bawah-atas, dengan samurai bertindak
sebagai penengah dan pendukung.
Perdamaian juga membekukan samurai. "Dalam hal
pertengkaran dan perkelahian," bunyi dekrit dalam
sebuah hukum provinsi, "mereka yang bertarung dengan
samurai dari tuan lain, bahkan dengan alasan yang baik,
akan dieksekusi... Kesabaran dan pengendalian diri
adalah kebijakan terbaik dalam segala situasi." Dengan
dilarangnya pertempuran dan perkelahian, samurai dan
cara kekerasan mereka mungkin akan mati, sama
ketinggalan zamannya seperti kavaleri melawan tank.
132 Jalan Sang Prajurit: Bushido
Bagaimanapun juga, mereka adalah sebagian kecil dari
populasi, mungkin sekitar 6-7 persen, berjumlah sekitar
750.000 pada 1600.19 Mereka terikat dengan para tuan
penguasa provinsi mereka, dilepaskan dari tanah mereka,
dipaksa tinggal di kawasan khusus di kota, harus meminta
izin untuk mewarisi atau menikah, dan dibuat tergantung
pada beras "gaji". Sebuah kemerosotan yang luar biasa
bagi prajurit yang berjiwa bebas! Dalam sebuah pengertian,
deskripsi Rousseau tentang seluruh umat manusia sangat
sesuai dengan kelas samurai pasca-1600: terlahir bebas,
tapi terbelenggu di mana-mana. Dalam pengertian lain,
mereka menjadi parasit, dalam kalimat sejarawan John
Roberts: "Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali
berkumpul di kota-kastil tuan mereka, konsumen tanpa
pekerjaan, sebuah masalah sosial dan ekonomi."20 Mereka
hidup dalam paradoks. Karena para penguasa itu sendiri
adalah samurai dan tuan-tuan lokal masih membutuhkan
orang kuat sebagai penjaga perdamaian, samurai secara
keseluruhan diizinkan untuk menyimpan senjata mereka.
Mereka memiliki monopoli atas kekerasan. Dan samurai
yang miskin berkeliaran dan mabuk di lorong-lorong
melakukan kekerasan. Namun demikian, masa itu tenang
dan damai, meski mungkin tidak di lorong-lorong.
"Adalah ironi sejarah," tulis Eiko Ikegami, "bahwa salah
satu era paling damai dalam sejarah Jepang harus
merayakan... peran kekuatan militer."
Kebenaran sederhananya adalah bahwa masa lalu
kejayaan samurai yang penuh kekerasan sudah berakhir.
19 Meningkat bersama populasi Jepang, yang mencapai sekitar 30 juta pada
pertengahan abad ke"18. Tidak seorang pun tahu angka yang pasti, karena samurai
tidak dimasukkan dalam data. Berbagai perkiraan bervariasi dari 5 sampai 10 persen
dari populasi, yang berarti bahwa di masa Saigo samurai berjumlah antara 1,5
sampai 3 juta. (Lihat Ikegami, The Taming of the Samurai, hlm 162, 172.)
20 Roberts, New Penguin History of the World, hlm 841.
133 John Man Ah, masa lalu! Salah satu penulis terbesar abad ke-17,
Ihara Saikaku, mengungkapkannya dengan jelas: "Di
masa lalu, hal yang paling penting bagi samurai adalah
keberanian dan ketidakpedulian pada kehidupan...
mengangkat namanya dengan membunuh atau melukai
orang lain di suatu tempat dan meninggalkannya dengan
penuh kemenangan. Tapi saat ini perilaku seperti itu
sama sekali bukan cara samurai yang sesungguhnya."21
Sang tuan, katanya, memberi gaji yang patut agar samurai
bisa berguna untuk penguasa. Membuang kehidupan
seseorang demi dendam pribadi berarti mengabaikan
utang budi terhadap sang tuan: "Mengabdikan kehidupan
seseorang untuk giri [tugas, kewajiban, atau tanggung
jawab] adalah jalan samurai." Semuanya terdengar agak
membosankan jika dibandingkan dengan "masa lalu".
Seorang samurai berusia delapan puluh tahun menulis
dalam sebuah esai pada 1717: "Pada pesta di masa lalu,
baik samurai kelas atas maupun bawah hanya berbicara
tentang perang... sekarang pada acara-acara sosial, mereka
mendiskusikan makanan enak, permainan, dan untungrugi."
Bagaimana caranya hidup dengan perubahan dari
prajurit menjadi birokrat (atau mantan tentara yang
bergantung pada sedekah) dan tetap menjadi seorang
samurai" Bagaimana caranya memperjuangkan hak
istimewa dan kehormatan tanpa pertempuran bersenjata"
Bagaimana caranya menghindari demoralisasi dan menjaga
martabat" Bagaimana caranya menjadi parasit, tetapi
tetap menjalani kehidupan yang berguna dan memuaskan"
Untuk menemukan jawabannya, samurai harus menciptakan kembali diri mereka.
21 Terj. Ikegami, The Taming of the Samurai, hlm. 239.
134 Jalan Sang Prajurit: Bushido
Inilah yang kerap dilakukan manusia untuk menjaga
identitas diri yang terancam. Dari berbagai tugas
membosankan dan ketakutan menjadi tidak berguna,
mereka menciptakan tujuan yang mulia, dan menghubungkan diri mereka dengan cita-cita yang lebih besar
daripada kehidupan itu sendiri. "Menginginkan
kehormatan dan martabat," kata filsuf Thomas Hobbes,
"adalah penyakit pikiran." Namun, ia melanjutkan,
semua orang secara alamiah berjuang untuk mendapatkannya. Mereka juga berusaha keras untuk menghindari
rasa malu. Sedikit kelompok yang begitu berdedikasi
untuk menjaga kehormatan dan menghindari rasa malu
seperti samurai, dan sedikit yang begitu berhasil.
Untuk melestarikan kekuasaan, kekayaan, dan identitas
mereka, samurai menemukan pesona ksatria yang semu
dalam gaya hidup lama mereka yang penuh kekerasan,
dan memelintir hukum prajurit mereka yang sederhana
menjadi ideologi rumit dan artifisial, yang mengklaim
bahwa hanya merekalah yang diizinkan melakukan
kekerasan, dan hanya merekalah yang mempunyai
"kehormatan". Namun karena ini adalah masa damai,
dan mereka adalah penegak perdamaian, kekerasan
hanya bisa diungkapkan, kalaupun bisa, dengan cara
yang dikontrol ketat"dengan kata, sikap, pakaian,
kekakuan intelektual, dan latihan. Ini adalah paradoks
di jantung bushido abad ke-17, fondasi tempat Saigo
membangun kehidupannya. Paradoks, ketidak-otentikan: dua kata inilah yang
melintas dalam pikiran. Kata lain, agak lebih kuat, masuk
ke pikiran seorang ahli dalam sejarah Jepang yang adalah
seorang teman, sehingga saya tidak akan menyebut
namanya. Saya baru saja mulai meneliti buku ini, dan
membutuhkan bimbingan. Kami sedang makan siang
135 John Man Seorang samurai dari Choshu memperlihatkan pedang yang dipegang
dengan dua tangan, baju perang dengan "gaya halus", dan celana
panjang hakama yang lebar.
136 Jalan Sang Prajurit: Bushido
ringan, salmon asap dan salad, di Carluccio"s, dekat
Russell Square. Saya menyebutkan "paradoks" yang
membentuk kehidupan Saigo itu. Betapa anehnya memuja
sang kaisar namun memimpin pemberontakan melawannya; mengklaim kemuliaan jiwa namun menjadi pengkhianat; menjadi pecundang namun menjadi salah seorang
pahlawan terbesar Jepang.
"Saya kira itu disebabkan oleh bushido," kataku,
pura-pura tahu padahal tidak.
"Bushido..." katanya kemudian, setelah jeda yang
penuh arti: "Bushido adalah omong kosong."
Saya menatapnya terkejut, karena sampai detik itu
saya menerima begitu saja Jalan Sang Prajurit.
"Yah, saya tidak akan mengungkapkannya dengan
istilah itu dalam tulisan. Tapi itu benar. Semua tetekbengek tentang kehormatan dan cita-cita ini muncul
belakangan, diciptakan setelah samurai kehilangan peran
mereka sebagai prajurit pada abad ke-17. Ini semua soal
mempertahankan otoritas mereka, menemukan kesadaran
identitas dengan memilih hal-hal yang baik dari masa
lalu." Bukan berarti semangat itu sirna. Pertengkaran,
meskipun lebih jarang dan lebih dibatasi oleh hukum,
memberi kesempatan untuk memamerkan kebajikan
lama: agresi, semangat, keberanian, kekuatan. Sensitivitas
samurai berguna bagi tuan mereka, yang secara resmi
tidak mendukungnya tapi di tingkat yang lebih dalam
mengharapkan dan menerimanya. Adalah hal yang dapat


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterima secara hukum bagi seorang samurai untuk
membunuh dalam tiga keadaan: jika dihina oleh rakyat
biasa, jika istri dan kekasihnya tertangkap basah sedang
berduaan, dan jika diberi wewenang untuk melakukan
137 John Man pembunuhan balas dendam. Yang terakhir ini memungkinkan samurai untuk bertindak sebagai polisi swasta,
memburu sasaran mereka"biasanya pembunuh"di kota
atau provinsi mana saja, dengan ketentuan bahwa dendam
itu berhenti di sana. Di sini penguasa dapat membolehkan,
bahkan menghargai, hasrat lama samurai terhadap
pemecahan masalah dengan kekerasan, sambil tetap
mengendalikannya. Tapi seorang samurai"seperti anggota
geng jalanan di kota mana pun di Barat"harus terusmenerus bergulat dengan kontradiksi. Jika seorang lakilaki membalas menghina dengan tebasan maut, ia bisa
dieksekusi. Jika patuh pada hukum, dia akan dipermalukan.
Samurai memelihara posisi bergengsinya di masyarakat
dengan berpegang teguh pada ritual dan keyakinan
mereka, seperti orang yang tenggelam bergantung pada
pelampungnya. Jika tidak bisa bertarung, mereka
setidaknya bisa tetap terus membawa pedang mereka,
melayani tuan mereka, meremehkan kalangan yang lebih
rendah, dan bunuh diri ketika ada yang tak beres. Baju
besi dan persenjataan mematikan yang eksotis menjadi
simbol kebajikan batin mereka. Mereka diharapkan
untuk selalu waspada, tidak pernah fukaku, "lalai" atau
"tidak siaga", waspada pada penghinaan sama seperti
kewaspadaan kaum puritan terhadap perbuatan dosa.
Mereka mengklaim landasan moral yang tinggi, walaupun
tidak terlalu kelihatan dalam perbuatan, karena mereka
tidak bisa lagi bertindak sebagai prajurit, namun dalam
kata"secara harfiah. Cita-cita yang hendak diraih
sekarang bukanlah menjadi prajurit liar tak terkontrol
yang meremehkan pendidikan, tetapi menjadi prajuritsarjana Konfusian yang mencari kebenaran, menikmati
kesarjanaan, mengejar kehormatan dan harga diri dalam
pelayanan yang luhur, keras, berdisiplin diri, dan tegas
138 Jalan Sang Prajurit: Bushido
dalam membela status atasannya"semuanya dilambangkan
oleh pedang, sebagai simbol dari semua cita-cita seorang
samurai. Meskipun banyak mengambil dari etos samurai 400
tahun sebelumnya, ia juga sesuatu yang berbeda. Ia
mungkin buatan, tidak otentik, paradoks (bahkan omong
kosong), tetapi tetap menyimpan kekuatan dan pengaruhnya. Untuk Jepang pasca-1600, ia merupakan kenyataan
sehari-hari, dan"karena samurai akan tetap ada selama
300 tahun berikutnya"bagian dari munculnya bangsa
Jepang modern. Buku terkenal karya Yamamoto Tsunetomo pada
1716, Hagakure (Hidden Leaves), mengungkapkan hakikat
hukum baru itu. Buku ini adalah sebelas jilid kumpulan
anekdot dan ceramah, mulai hal yang mendasar sampai
hal sepele, sesekali menyimpang ke hal ganjil. Di bagian
intinya terdapat keasyikan"seorang psikolog mungkin
akan menyebutnya obsesi"dengan kematian. "Jalan
samurai berarti kematian. Setiap kali Anda menghadapi
keadaan dengan dua pilihan, pilih saja yang membawa
Anda lebih langsung menuju kematian." Ketika dihadapkan
dengan pertengkaran, yang terbaik adalah tidak berpikir"
langsung saja masuk ke dalam keributan dan menang
atau tewas terbunuh. Dengan cara itu Anda bisa yakin
Anda dapat menghindari rasa malu. Ketika Yamamoto
menulis buku ini, tidak ada pertempuran besar di Jepang
selama lebih dari satu abad dan ia sendiri tidak pernah
berada dalam kancah pertempuran, namun ia menyarankan
setiap samurai untuk menumbuhkan kumis, sehingga
ketika kepalanya terpancung dalam pertempuran tidak
akan keliru dianggap perempuan dan dibuang. Karena
ini bukanlah ancaman nyata, maka aturan itu harus
dirumuskan dalam hubungannya dengan perkelahian
139 John Man teoritis: jangan pernah menolak pertengkaran, sarannya,
karena dengan begitu Anda terbunuh, baik oleh lawan
jika Anda kalah, atau"jika Anda menang"oleh negara,
yang melarang pertarungan dengan ancaman hukuman
mati. Ini pun tidak realistis. Buku Yamamoto penuh
dengan cerita tentang orang-orang yang "ditebang" dan
kepala yang ditebas, tetapi saat buku itu ditulis sangat
sedikit terjadi perkelahian sehingga kematian harus
dihadirkan dalam imajinasi:
Meditasi tentang kematian yang tak terelakkan harus dilakukan
setiap hari. Setiap hari ketika tubuh dan pikiran dalam keadaan
damai, orang harus merenungkan sedang dicabik oleh anak
panah, senapan, tombak, dan pedang, hanyut terbawa
gelombang, dilempar ke tengah api yang membara, tersambar
petir, diguncang sampai mati dalam suatu gempa besar, jatuh
dari tebing setinggi seribu kaki, sekarat karena penyakit atau
melakukan seppuku atas kematian tuan seseorang.
Dengan cara itu, Anda bisa bebas untuk mengabdikan
diri kepada majikan Anda, dan "tidak akan ada rasa
malu terhadap pelayanan seseorang pada tuannya dan
terhadap jalan ketentaraan." Sulit bagi orang luar untuk
merasa nyaman dengan ideologi seperti ini, tetapi orang
dalam seperti Saigo tak ragu sedikit pun dalam menerimanya.
Ini adalah kebebasan aneh yang terikat pada pelayanan.
Ia menimbulkan loyalitas dengan intensitas religius
terhadap sebuah cita-cita, seperti doa pemeluk Kristen
kepada Tuhan, "pencipta perdamaian dan pecinta
kerukunan... pengabdian terhadapnya adalah kebebasan
yang sempurna." Ini adalah sesuatu yang berbeda dari
feodalisme abad pertengahan, karena ia tidak memiliki
140 Jalan Sang Prajurit: Bushido
gagasan hubungan timbal balik dan ia berakar pada
pilihan yang dibuat dengan bebas, bukan kebetulan
karena kelahiran. Tapi itulah jalan yang semestinya bagi
seorang laki-laki terhormat, karena seberapa terhormat
dirinya bila kesetiaannya bisa dihancurkan oleh perubahnya
pikiran yang tak tentu" Sang majikan tak berhutang apaapa, meskipun dalam praktiknya dia memerlukan samurai
untuk menjalankan pemerintahan atau wilayahnya.
Samurai memberikan kesetiaan sampai mati, pengabdian
yang begitu kuat dan begitu diinternalisasi sehingga
Yamamoto menyebutnya "cinta rahasia". Untuk mencapai
keadaan ini, katanya, seseorang harus "sudah mati bagi
dirinya". Dia pastinya tidak tahu tentang hal ini, tapi
cita-citanya sejajar dengan cita-cita St Ignatius Loyola,
pendiri kelompok Jesuit, yang menekankan pelepasandiri mutlak dan ketaatan kepada atasan, "layaknya
mayat". "Doa untuk Kedermawanan"-nya yang terkenal
itu bisa jadi Yamamoto yang tengah berbicara pada
tuannya di dalam pikirannya, memohon untuk diajari
Memberi dan tidak menghitung biayanya;
Bertempur dan tidak mengindahkan luka-lukanya;
Bekerja keras dan tidak mencari kesempatan istirahat;
Bekerja dan tidak meminta imbalan apa pun,
Kecuali pengetahuan bahwa kami melakukan kehendak-Mu.
Pengabdian ini bukan tanpa tanggung jawab, juga
tidak menyangkal individualitas atau ambisi. Tugas
samurai adalah terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari
tuannya sebagai individu; yaitu untuk tuan yang ideal.
Karena itu, barangkali bagian dari tugasnya adalah untuk
menyelamatkan sang tuan dari kesalahan penilaian.
"Memperbaiki pola pikir sang tuan adalah sebuah
141 John Man tindakan kesetiaan yang besar, dan dengan demikian
memperkuat landasan negara." Untuk melakukannya,
samurai harus berbicara dengan otoritas, yang tidak
dapat dilakukannya jika dia berpangkat rendah. Dia
harus bekerja untuk memajukan dirinya dan menumbuhkan semangat kemandirian jika ia ingin memberikan
karya terbaiknya. Pandangan-dunia Yamamoto"yang juga pandangandunia Saigo"mendambakan kesederhanaan, seolah
samurai tidak lebih dari prajurit tua yang melakukan
tugasnya. Kenyataannya, mereka memiliki tugas yang
mustahil, yakni mencoba secara serentak mewujudkan
cita-cita mereka sendiri yang sering bertentangan dengan
keinginan tuan mereka dan tuntutan negara baru. Jika
samurai terburuk adalah preman belaka, yang terbaik
pastilah laki-laki tulus hati yang sangat ingin hidup
dengan martabat dan kebanggaan. Kebanyakan dari
mereka berhasil. 142 KEMATIAN DI TELUK KINKO DALAM KEJADIAN TUNGGAL PADA SEPTEMBER 1958 ITU,
hidup Saigo berbalik sepenuhnya. Tiga bulan sebelumnya,
ia adalah tokoh utama dalam politik nasional, mengharapkan lebih banyak pengaruh dan kesuksesan di
bawah bayangan sang tuan yang telah mengangkatnya
dari bukan siapa-siapa. Sekarang ia berada di barisan
oposisi, dan dalam bahaya, seseorang yang telah bersekongkol menentang shogun sekaligus daimyo baru
Satsuma, siapa pun dia. Selain itu, Gessho juga samasama terancam. Saigo telah kehilangan, tanpa seorang
pelindung. Sekutunya menjalani tahanan rumah, karir
mereka hancur, khawatir akan dieksekusi atau dipaksa
bunuh diri. Sekarang bagaimana" Tradisi mengharuskan bahwa
pembantu yang benar-benar setia harus melakukan bunuh
diri di makam tuannya. Konon, meski tak ada bukti,
Saigo mempertimbangkan untuk melakukan hal ini,
namun ia dibujuk oleh Gessho, yang berpendapat bahwa
kesetiaan sejati adalah terus hidup, karena dirinya
memahami kebijakan Nariakira dan orang yang paling
143 John Man Poster "buronan" yang ditempelkan oleh shogun memuat gambar
Saigo (kiri). tepat untuk memajukan kebijakan itu. Apa pun
kenyataannya, seperti yang ia tulis untuk Gessho, Saigo
"seperti seorang lelaki yang kehilangan kapalnya dan
terdampar di sebuah pulau." Dengan seorang teman ia
berbicara mengenai perencanaan reaksi militer. Ini
merupakan hal bodoh karena kekuatan baru di negeri
itu, Ii, mengambil tindakan brutal, memulai dengan apa
yang dikenal sebagai Pembersihan Ansei, mengikuti nama
yang diberikan untuk masa enam tahun dari 1854 sampai
1860. Pada masa sejak Oktober 1858, sekitar 100 pejabat
kehilangan pekerjaannya dan beberapa pejabat terkemuka
yang setia pada kaisar"yakni, mereka yang dianggap
menetang kekuatan-di belakang-shogun, Ii"dipenjarakan;
dua orang kemudian dieksekusi. Kontak utama Saigo,
Pangeran Konoe, meskipun dirinya terlindungi oleh
posisinya di istana, tahu bahwa Gessho berada dalam
144 Kematian di Teluk Kinko daftar mereka yang akan ditangkap dan meminta Saigo
membawa temannya untuk menyingkir agar selamat.
Dua minggu kemudian, Saigo dan Gessho, didampingi
seorang pelayan, melarikan diri dari Kyoto ke Kagoshima,
tepat waktunya untuk menghindari para petugas
keshogunan. Dari semenanjung sempit Shimonoseki, Saigo terus
melanjutkan perjalanan melewati Kyushu untuk memastikan Gessho bakal selamat. Yang membuatnya cemas,
ia menemukan, pertama, Satsuma sekarang diperintah
oleh lawan Nariakira, Hisamitsu (meskipun secara teknis
anaknya adalah daimyo) dan kedua, shogun telah
mengeluarkan surat perintah untuk menangkap tidak
hanya Gessho tetapi juga Saigo sebagai komplotannya.
Hisamitsu tidak suka pada Saigo, tapi tahu bahwa
menangkapnya akan memicu kerusuhan. Gessho merupakan masalah lain. Hisamitsu tidak perlu membuat
masalah dengan shogun dengan melindungi seorang
biksu pengungsi yang datang dari tempat lain. Jadi Saigo
diberitahu bahwa dia bisa berjalan bebas, asalkan ia
mengubah namanya dan menyamar.
Tapi Gessho, mengikuti jejak Saigo dengan sang
pembantu Jusuke dan seorang teman, Hirano, yang
bergabung dengannya dalam perjalanan, hampir masuk
perangkap. Upaya untuk menemukan tempat perlindungan
di sebuah kuil berakhir ketika biksu kepala melaporkan
mereka, memaksa mereka keluar secepatnya ke sebuah
rumah yang aman, di mana mereka tinggal selama
seminggu, menutup diri dari semua pengunjung.
Jelas, Hisamitsu tidak bisa membiarkan seorang
buronan tetap bersembunyi padahal setiap mata-mata
shogun pasti akan tahu di mana keberadaannya. Ia
145 John Man mengusulkan sebuah solusi licik. Saigo akan membawa
Gessho menyeberangi teluk Kinko ke provinsi sebelah,
kemudian terus ke daerah tertutup, Hyuga, yang diperintah
oleh kerabat Shimazu dan berada di luar pos pemeriksaan
di perbatasan wilayah. Dengan cara ini Gessho"yang
bagaimanapun juga telah menolong upaya tuan Satsuma
sebelumnya"tidak akan diserahkan kepada kaki tangan
shogun; di sisi lain, ia jelas tidak berada di wilayah
Satsuma, sehingga jika mereka datang untuk
menangkapnya, Hisamitsu dapat dengan jujur mengatakan
bahwa Saigo telah meninggalkan Satsuma dan dapat
menyangkal ia mengetahui tentangnya.
Bagi Saigo, ini tampak seperti akhir dari semua
harapannya. Ia tidak memiliki pengaruh di Edo, Kyoto,
atau Satsuma; ia bukan siapa-siapa, dan sekarang teman
terdekatnya harus terburu-buru menuju persembunyian
yang tidak aman, dan mungkin sesuatu yang lebih buruk,
karena Satsuma memiliki tradisi pembunuhan hukuman
di pos-pos perbatasan, yang disebut sebagai "dikirim ke
timur". Dalam kata-kata Ravina, "Saigo hanya melihat
kegagalan, isolasi, dan kekalahan." Gessho merasakan
hal yang sama. Tidak ada apa pun baginya dalam kehidupan ini; lebih baik, katanya, pergi ke "tempat lain".
Tapi Saigo tidak berniat untuk meninggalkannya.
Malu akan ketidakmampuannya melindungi sang teman,
ia memutuskan untuk berbagi nasib, dan melakukan hal
itu dengan caranya sendiri. Kalau saja dia sendirian, ia


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan melakukan seppuku; tetapi tidak ada dalam tradisi
Jepang yang mengajarkan bagaimana membunuh diri
sendiri dan seorang teman yang, sebagai seorang biksu,
tidak membawa pedangnya sendiri. Untuk sampai ke
Hyuga, ia harus menyeberangi teluk Kinko. Sesampai di
sana, ia dan Gessho bisa mendapati diri mereka berada
146 Kematian di Teluk Kinko di bawah penjaga baru. Karenanya, jika ia hendak
bertindak, itu harus terjadi di teluk.
Malam berikutnya (19 Desember), kedua sahabat ini,
yang masih ditemani oleh pelayan Gessho, Jusuke,
temannya Hirano, dan seorang pengawal resmi, melakukan
perjalanan ke pantai, di mana sang pengawal membawa
mereka ke sebuah perahu kecil berlayar tunggal. Mereka
memiliki perlengkapan dasar: sedikit makanan, sake,
bahan bakar, kayu bakar. Saat itu malam musim salju
yang dingin dan cerah, dengan bulan purnama, dan
mereka harus menempuh jarak 15 kilometer.
Mereka meluncur cepat ke arah utara, mengikuti
garis pantai yang berbelok ke timur, dengan bayangan
besar Sakurajima yang hanya beberapa kilometer ke
kanan, batu telanjang di lerengnya yang tinggi berkilauan
di bawah sinar bulan. Kira-kira sudah menempuh setengah jam perjalanan,
cukup jauh dari daerah penduduk, Saigo memanggil
Gessho ke haluan agar melihat ke depan, ke arah pantai
di mana terdapat kuil terkenal bernama Singakuji.22 Ia
menceritakan kisah tentang seorang pangeran Satsuma
yang keberatan dengan kesepakatan yang dibuat kakaknya
bersama para penyerbu pada abad ke-16. Pangeran itu
melakukan seppuku di kuil tersebut, diikuti kematian
banyak pengikutnya. Para pengikut Shimazu masih pergi
ke sana untuk berdoa bagi ruh sang pangeran. Maukah
Gessho berdoa juga sekarang, sambil menghadap ke
kuil" Gessho berkata ia mau. Keduanya berdiri di haluan,
menghadap ke kuil dan berdoa. Tentu saja mereka juga
saling mengucapkan salam perpisahan, karena apa yang
22 Sudah lama lenyap. 147 John Man terjadi berikutnya hanya dapat terjadi dengan persetujuan
Gessho. Kemudian Saigo merangkul Gessho ke dalam lengannya
yang besar, memeluknya erat, dan menceburkan diri
bersama-sama ke dalam air yang dingin.
Jika tiga orang yang lain di kapal itu tidak melihat
mereka melompat, mereka pasti mendengar bunyi
percikan air, melihat dek kosong di bawah sinar bulan,
dan berbegas untuk membantu. Pengawal resmi mereka,
Sakaguchi, menghunus pedangnya, menebas layar dan
memutar kemudi, sementara dua lainnya meraih dayung
dan mendayung kembali ke arah mereka datang. Kedua
orang itu berada di dalam air, bertahan sedikit di bawah
permukaan air dengan pakaian mereka yang basah.
Mereka di sana mungkin sudah lima atau sepuluh menit.
Mereka tenggelam dan, layaknya orang yang tenggelam
berpegang pada jerami, saling berpegangan tangan dalam
naluri keputusasaan. Mereka dapat diselamatkan: air
yang dingin mungkin telah memicu "refleks menyelam",
yang memfokuskan suplai darah ke otak. Ketiga awak
menyelam, memisahkan lengan keduanya, dan entah
bagai mana mengangkat mereka ke dalam perahu.
Kemudian mereka mendayung ke daratan, yang pasti
memakan waktu lima belas menit. Setelah perahu itu
mendarat di pantai, satu orang menyalakan api dengan
sumbu dan bahan bakar di kapal sementara dua lainnya
berusaha memberi bantuan pernapasan, menekan tubuh
yang tengkurap. Gessho"tua, kurus, lebih rentan terhadap
dingin"tidak menunjukkan tanda kehidupan. Tapi Saigo
terbatuk, dan kemudian, secara menakjubkan, mulai
bernapas, meskipun ia tetap setengah sadar karena
kekurangan oksigen. Tak jauh ada sebuah rumah kecil.
Mereka membawa Saigo ke sana untuk memastikan
148 Kematian di Teluk Kinko bawah ia benar-benar bisa diselamatkan.
Saya dapat melihat begitu banyak dari episode ini
sejelas sebuah film, tapi yang membuat jengkel, beberapa
adegan tetap kabur"tidak mengherankan, mengingat
sebagian besar rincian diambil dari penjelasan salah
seorang yang nantinya menjadi teman Saigo, Shingeno
Yasutsugu. Dan Shingeno memperolehnya dari Saigo"
yang, tentu saja, tidak sadar atau setengah sadar selama
perjalanan kembali.23 Rumah itu, misalnya"mengapa
memilihnya" Mungkin karena itu adalah satu-satunya"
Apakah ada orang yang tinggal di sana, mungkin sepasang
suami istri, yang kaget dengan gangguan di larut malam
seperti itu" Apakah ketiga penyelamat itu mengatakan
yang sebenarnya, atau mengarang cerita untuk menjelaskan
keadaan Saigo" Apakah di sana ada api yang menyala"
Apakah dua petani itu"saya mulai dapat melihat mereka
dalam benak saya, mondar-mandir di gubuk sederhana
mereka yang kecil"bisa dan bersedia membuatnya tetap
hangat dan memberikan makanan untuknya" Kita tidak
akan pernah tahu. Bagaimanapun juga, tiga pengiring
itu kemudian membawa kedua orang itu, yang seorang
masih hidup, yang seorang lagi sudah wafat, ke perahu,
dan mendayung atau berlayar kembali ke Kagoshima.
Satu-satunya hal yang jelas di bagian cerita ini adalah
tempat di mana ia diselamatkan, yang sekarang menjadi
situs yang disakralkan bagi Saigo Agung. Anda mengambil
jalan pantai dari Kagoshima ke arah utara, mengikuti rel
kereta api sejauh empat kilometer seiring ia melewati
perbukitan curam. Anda tiba di persimpangan melintasi
rel, yang mengarah ke sebuah kuil"dengan altar batu
23 Shingeno (1827"1910) kemudian menjadi presiden Masyarakat Sejarah Jepang"
Ravina dalam The Last Samurai menyebutnya "sejarawan modern pertama
Jepang?"yang menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya.
149 John Man persegi, pilar berukir, beberapa cangkir sake kecil untuk
menjaga agar kenangannya tetap hidup"dan di baliknya,
memenuhi lahan antara jalur kereta api dan hutan,
gubuk beratap jerami dari papan kayu berwarna gelap,
yang sudah diperbaiki, dengan sebuah pemberitahuan
dalam bentuk prasasti berbunyi "Rumah Tempat Saigo
Takamori Pulih". "Pulih" adalah pernyataan yang berlebihan. Dia segera
dibawa kembali ke rumahnya, di mana ia tetap mengigau
selama tiga hari akibat campuran antara keadaan hampir
mati lemas dan keputusasaan, keputusasaan yang lebih
dalam daripada yang mendorongnya untuk mencoba
bunuh diri. Usahanya untuk mati sama seperti seorang
"perempuan", tanpa pedang; itu pun telah gagal; ia
tidak mencapai apa-apa kecuali kematian sahabat
terdekatnya. Rasa bersalah itu akan tetap menghantui
Saigo selama sisa hidupnya, diingat di setiap ulang tahun
kegagalannya. Tujuh belas tahun kemudian dia menulis
sebuah puisi untuk Gessho, membayangkan dirinya
"berdiri di depan makammu, dipisahkan oleh dinding
besar kematian, sementara air mataku masih mengalir
sia-sia." Seppuku dengan pedang pendek akan menjadi
pelepasan yang disambut baik. Tetapi keluarganya"
adik-adiknya"dengan bijak menolak mengizinkan Saigo
untuk melakukannya. Mereka mengajukan pertanyaan
kepadanya, selalu mengulang-ulangnya: "Apakah
keselamatan benar-benar hanya sebuah keberuntungan"
Atau barangkali langit punya tujuan sendiri untukmu?"
Saigo, yang sangat menghayati tradisi Buddha, tidak
percaya pada peristiwa acak. Sang Buddha mengatakan:
"Layaknya jaring dibuat dengan serangkaian simpul,
begitu pula segala sesuatu di dunia ini dihubungkan oleh
serangkaian simpul. Jika ada yang berpikir bahwa mata
150 Kematian di Teluk Kinko jala adalah suatu hal yang mandiri dan terpisah, ia
salah." Keselamatan dirinya entah bagaimana pasti
berhubungan dengan kemungkinan di masa depannya.
Hidupnya belum berjalan, tujuannya belum terpenuhi.
Tapi, ia bertanya-tanya, apakah tujuan yang belum terpenuhi itu" Dia tidak tahu. Satu hal yang sudah pasti: ia
tidak dapat menemukannya dengan melakukan bunuh
diri. Jika dia hendak memahami apa yang baru saja
terjadi, ia harus merangkul kehidupan, ke mana pun
hidup itu membawanya. Dengan sangat cepat, hidup membawanya ke arah
yang baru dan mengejutkan. Polisi shogun masih
mencarinya dan Gessho. Mereka memeriksa para pejabat
daimyo yang baru, yang berhasil keluar dari kesulitan
dengan setengah berbohong: mereka mengatakan bahwa
keduanya, Saigo dan Gessho tenggelam, dan memperlihatkan pada mereka mayat Gessho sebagai bukti. Apa yang
terjadi pada tubuh Saigo" Jawabannya adalah dengan
mengangkat bahu secara metaforis: Hilang untuk
selamanya di perairan teluk Kinko.
Tapi hal ini meninggalkan sebuah masalah memalukan
bagi para pejabat Satsuma dan sang daimyo sendiri,
yakni kenyataan bahwa Saigo masih segar bugar. Jadi,
diputuskan untuk mengirimnya jauh, ke pengasingan,
ke tempat yang tak mungkin dicium oleh para pejabat
shogun. Tempat mana pun di pulau utama Satsuma akan
berisiko. Tapi ada beberapa tempat yang mungkin di
rangkaian pulau yang memanjang ke arah selatan menuju
Okinawa, kepulauan yang membentuk kerajaan semiindependen Ryukyu yang telah membayar upeti kepada
Satsuma selama dua abad terakhir dan seterusnya. Pulau
yang terpilih adalah yang terbesar, Amami Oshima,
sebuah tempat semitropis yang terdiri dari bukit-bukit
151 John Man berhutan yang curam, tanjung yang tajam, dan penduduk
setempat yang dianggap benar-benar primitif oleh mereka
yang berasal dari Jepang yang sebenarnya.
Dia sudah diperintahkan untuk mengganti namanya.
Dia memilih nama baru dengan dua bagian: Kikuchi
Gengo, unsur pertama mengingatkan pada para leluhur
samurainya yang konon telah berjuang melawan bangsa
Mongol pada abad ke-13, unsur kedua punya arti "diriku
sendiri". (Ini bukan masalah besar, kecuali untuk para
sejarawan yang berusaha mencari tahu bagaimana
memanggilnya. Adalah hal lazim untuk memiliki beberapa
nama alias, dan selain "Saigo" dia sudah memiliki setengah lusin nama ketika tumbuh dewasa, beberapa di
antaranya digunakan secara bergantian untuk urusan
kerja, di antara teman atau sebagai nama pena. "Takamori"
adalah nama yang dia gunakan setelah mencapai masa
dewasa. Ia akan segera memakai satu nama lagi.)
Ia seolah-olah telah menjadi mayat hidup, atau lebih
buruk lagi. Dalam sejumlah surat kepada temannya
Okubo tepat sebelum keberangkatannya, ia menulis
tentang bagaimana ia telah "menjadi tulang-belulang
mati di bumi, harus menanggung yang tak tertanggungkan." Namun entah bagaimana ia akan mengerahkan
kekuatan yang telah terkumpul dalam dirinya sejak masa
kanak-kanak, entah bagaimana dia akan tetap setia pada
agenda tuannya yang sudah meninggal, Nariakira: "Entah
bagaimana aku akan menanggung yang tak tertanggungkan
demi Kaisar dan Istana."
Pada awal 1859, ia naik kapal layar yang akan membawanya dalam perjalanan 400 kilometer selama sepuluh
hari ke pengasingan yang sepenuhnya ia harapkan untuk
berlangsung sepanjang sisa hidupnya yang menyedihkan.
152 PENGASINGAN DAN KEHIDUPAN BARU HARI INI, KE AMAMI OSHIMA ADALAH SEBUAH PERJALANAN
yang mudah. Pesawat memadatkan perjalanan dua hari
Saigo menjadi cukup dua jam saja, melewati kawah
berasap Sakurajima, menyusuri teluk besar yang tenang
dari Laut China, di atas lautan yang dipecahkan oleh
sebuah gunung api lain yang membara, kepulauan kecil
tak berpenghuni, dan sesekali oleh perahu yang meninggalkan jejak pada air seperti sebuah ekor komet.
Kemudian masuk ke dalam dunia berbeda yang terdiri
dari garis pantai yang berkelok-kelok dan hutan semitropis
yang curam, di mana babi masih berkeliaran dan Anda
dapat mendengar kicauan mirip burung gagak dari
spesies burung jay yang langka,24 dan habu, ular berbisa
setempat, yang diam menunggu mangsa. Selain itu,
seringkali turun hujan. 24 Lidth"s Jay, yang hanya terjadi di sini dan di pulau berikutnya di sebelah selatan,
Tokunoshima yang berhutan pinus.
153 John Man Warga setempat meremehkan habu, tetapi mereka
selalu meremehkan bahaya yang mereka kenal. Tidak
banyak orang digigit, kata mereka. Bagi orang luar yang
melangkah keluar dari jalan untuk mengagumi pantai
yang jauh and gelombang besar yang bergulung-gulung,
sungguh menakutkan untuk berdiri di rerumputan yang
panjang dan rimbun di bawah pohon rindang dan
kemudian tiba-tiba melihat pemberitahuan menempel
pada pokok pohon, yang berbunyi"dalam bahasa
Inggris?"Ada banyak ular berbisa di sekitar sini."
Pendatang ini pasti kehilangan selera untuk menikmati
pemandangan dan mundur, dengan sangat hati-hati,
kembali ke jalan. Di rumah, aku bertanya-tanya apakah
aku terlalu berlebihan. "Relatif kecil, biasanya tidak
lebih panjang dari lima kaki," kata sebuah website.
"Jarang bersikap agresif. Hanya menggigit jika diganggu.
Tidak semematikan ular kobra atau mamba." Ya, itu
cukup menenangkan. Aku tidak terkejut tak banyak
warga setempat yang digigit. Hanya idiot yang mau
ambil risiko untuk bertemu habu.
Tentu saja, mereka semua tahu tentang Saigo di pulau
ini. Michiko dan saya disambut oleh kelompok perempuan


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah baya, berpakaian rapi dengan riasan wajah
tipis yang merupakan anggota terkemuka dari sebuah
kelompok yang dipersembahkan untuk Saigo"meskipun
juru bicara utamanya adalah seorang laki-laki ramping
berambut putih, Mr Yasuda, pemilik van yang membawa
kami semua. Aku heran mengapa Saigo sangat populer
di kalangan perempuan di pulau ini. Namun ketika
kami mulai bergerak beriringan ke tempat Saigo mendarat
hari itu pada Januari 1859, terungkap bahwa ia tidaklah
seperti seorang pahlawan lokal seperti yang saya
perkirakan. 154 Pengasingan dan Kehidupan Baru
Pada hari yang cerah teluk Tatsugo cantik seperti
gambar kartu pos, dengan teluk yang berkelok-kelok
dan hutan yang menjorok ke pantai. Pemandangan ini
ternoda, karena ada jalan pantai dan tumpukan banyak
sekali cangkang beton yang teronggok, seolah dilempar
begitu saja, untuk menahan kekuatan gelombang besar
yang masuk ke darat karena angin topan. Dulu, hanya
ada air biru yang dangkal, pantai dengan kerikil abuabu, dan satu atau dua perahu nelayan. Kapal Saigo,
yang digunakan untuk mengangkut satu-satunya produk
pulau itu, tebu, berlabuh di teluk, dan ia mendayung ke
pantai, melangkah ke jalan setapak di pinggir pantai dan
barisan pertama hutan cemara yang tumbuh tinggi. Satu
yang paling menarik perhatian: disebut dengan "Cemara
Saigo", karena seperti yang tertulis pada papan tanda, di
pohon inilah tali tambatan kapalnya diikatkan. Sebuah
potret menunjukkan dirinya sebagai warga desa, dengan
kail dan anjing. Dia menyukai anjing: begitu suka sehingga
dalam banyak potret seekor anjing menjadi atribut
utamanya, seperti petir Zeus atau busur Cupid.
Dia membuat mereka takut, lelaki raksasa dengan
mata menonjol dan ekspresi muram ini. Meskipun
buangan, ia masih seorang samurai Satsuma, memancarkan
aura wibawa dan kekuasaan. Seorang fotografer lokal
melukis potret dirinya yang tergantung di museum pulau
itu, gambar aneh dan bertenaga dari seorang lelaki
berahang keras dengan mata besar dan alis seperti
pegunungan. Jika seperti ini ia dilihat oleh para penduduk
pulau, tidak heran jika mereka takut padanya: siapa
yang tahu apa yang dapat dilakukan samurai perkasa ini
untuk memperkuat kekuasaan Satsuma di sini"
Karena ini adalah wilayah Satsuma, selama 250 tahun,
dan para pejabat datang ke sini untuk memastikan bahwa
155 John Man pajak dibayar dan gula tebu diantar. Selain itu, tempat
ini hampir tak tersentuh. Kalaupun ada orang China
yang berhasil sampai sejauh ini ke arah utara dari
Okinawa, tidak ada yang mencatat kunjungan mereka.
Seorang komandan Amerika bernama Glynn mengklaim
telah "menemukan" pulau itu pada 1846, tampaknya
tidak sadar bahwa pulau ini sudah lama dihuni oleh
para penduduk pulau dan kunjungan resmi sesekali dari
Okinawa dan Satsuma. Tidak ada yang mencoba
mengalihkan penduduk pulau itu dari cara tradisional
mereka, yang mencakup kebiasaan Neolitik menggali
kembali kuburan setelah tiga tahun dan menguburkan
kembali mayat itu di dalam gua. Buddhisme dan
Shintoisme tidak dikenal di sini. Kehidupan bersifat
mendasar dan primitif melebihi apa yang pernah dilihat
Saigo, paling tidak dalam kepentingan imperialisme
Satsuma. Pada pertengahan abad ke-18, daimyo menyadari
kemungkinan yang ada pada tebu dan mendesak penduduk
pulau untuk menghentikan penanaman beras yang
berkualitas rendah"tetapi vital"dan mulai menanam
tebu sebagai gantinya, memaksakan kehendaknya dengan
cara memberikan wilayah-wilayah pada para tuan. Mereka
segera menjadi pemilik budak, dengan konsekuensi yang
mengerikan, karena penduduk setempat tidak diizinkan
untuk memakan gula yang mereka tanam. Seorang
pejabat Satsuma melaporkan: "Tidak ada rumah di pulau
ini di mana aku bahkan ingin duduk dan mencuci kaki.
Orang-orang khawatir tentang apa yang akan mereka
makan selanjutnya siang dan malam, dan mereka memakan
potongan kecil rumput laut dari pantai" Hari ini aku
tiba-tiba saja mengerti tentang kedalaman penderitaan
manusia." Saigo adalah tamu keluarga terhormat pulau itu, Ryu,
156 Pengasingan dan Kehidupan Baru
yang tinggal di sebuah rumah beratap jerami yang
merupakan bagian dari komunitas keluarga kecil yang
memadati area antara perbukitan dan teluk. Desa itu
disebut Obama (kebetulan yang tak berarti, tidak ada
hubungannya dengan keluarga Luo bernama sama yang
kaum laki-lakinya saat itu sedang menggembala kambing
di tepi Danau Victoria di Kenya). Keluarga Ryu kayaraya, dengan staf rumah tangga lebih dari 70 orang"
produk sistem perbudakan pulau yang mengerikan, yang
menyebabkan penduduk setempat yang tidak bisa
menghasilkan cukup tebu dari perkebunan mereka harus
menawarkan diri sebagai budak rumah tangga.
Saigo, yang bagaimanapun juga telah dibesarkan
dalam kemiskinan dan terbiasa dengan hidup sederhana,
bersikeras untuk mengumpulkan kayu bakar sendiri,
memasak dan mencuci sendiri (demikian yang diceritakan
para perempuan itu padaku). Dia adalah sosok yang
tidak bersahabat, depresi, pendiam, dan marah terhadap
perbedaan antara keadaannya dulu, keadaan yang dia
harapkan, dan keadaannya sekarang. Dia menyebut
dirinya sebagai orang hina, atau babi. Dia tidak bisa
mengharapkan apa pun di tempat yang dianggapnya
pembuangan sampah. Dia terkejut dengan apa yang
dilihatnya. "Sungguh menyakitkan menyaksikan meluasnya
tirani di sini," tulisnya kepada dua orang teman.
"Kehidupan sehari-hari penduduk pulau kelihatan benarbenar tak tertanggungkan... Aku tercengang melihat
kepahitan hidup mereka: Aku tak pernah membayangkan
ada kekerasan hidup seperti itu."25 Pada awalnya, ia
membenci keprimitifan penduduk setempat, menyebut
mereka sebagai ketojin, yang secara harfiah berarti
25 Kutipan ini berasal dari Ravina, The Last Samurai.
157 John Man "orang China penuh bulu" dan menjadi kata yang kasar
untuk orang asing. Untuk seseorang yang selama beberapa
tahun pernah dekat dengan kalangan atas, tulisnya, "sulit
untuk berbaur dengan ketojin ini." Mereka masih belum
memaafkannya untuk itu. Namun justru kualitas kehidupan masyarakat setempat
yang rendah itulah yang mulai membangkitkan semangatnya. Simpati alamiahnya untuk yang miskin dan menderita
membuatnya mendapat banyak teman. Kebetulan putra
kedua Ryu memiliki sebuah rumah di Obama, dan ia
memiliki seorang putri bernama Aikana (atau Aigana).
Sudah pasti keduanya bertemu. Sebuah potret gadis itu
menunjukkan bahwa ia adalah gadis yang cantik dan
bermartabat dengan roman halus dan rambut hitam
yang drsanggul ke atas dengan sebuah konde. Tidak
diragukan lagi, kesan pertama Saigo tentang gadis itu
tidak baik, karena dia, seperti kebanyakan perempuan
lokal, tetap mempertahankan kebiasaan "primitif " kuno,
yaitu mentato punggung tangannya, yang kerumitan
disainnya"ujung anak panah sampai ke jemarinya,
dengan titik dan garis gelombang dan silang di bagian
yang datar"mencerminkan statusnya. Disain itu
dipertontonkan di museum lokal, di mana Mr Yasuda
yang berambut abu-abu menjelaskannya.
"Gadis asli pulau ini mulai memasang tato di tangan
kiri ketika mereka pertama kali menstruasi," katanya.
"Ketika sudah sampai pada usia pantas untuk menikah,
mereka menato tangan kanannya."
Praktik ini punah di akhir abad ke-19, karena para
gadis mengetahui bahwa orang luar menganggapnya
terlihat kesukuan, primitif, bahkan barbar. Meskipun
demikian, kalaupun memang mengganggu, hal itu tidak
158 Pengasingan dan Kehidupan Baru
Atas: Saigo sebagaimana dilihat oleh seorang seniman lokal di Amami
Oshima. Tengah: "Istri pulau" Saigo, Aikana. Bawah: tato yang
menandai tangan perempuan setempat.
159 John Man terlalu lama mengganggu Saigo, karena dalam waktu
setahun setelah kedatangannya mereka bersama-sama"
beberapa sumber mengatakan "menikah", tanpa ada
bukti untuk itu; yang lain mengatakan bahwa perempuat
itu adalah gundik setempat"dan sekitar setahun
berikutnya (pada Februari 1861) Aikana melahirkan
seorang putra, Kikujiro. Untuk seseorang yang terkenal
tidak tertarik pada seks, tidak ada yang bisa lebih baik
mengungkapkan keinginan Saigo untuk berhubungan
kembali dengan masyarakat dan melepaskan perasaan
depresi yang dibawanya saat tiba di pulau itu.
Selain itu, ia tidak sepenuhnya terisolasi dari berbagai
peristiwa di Kagoshima dan Edo. Teman masa kecilnya
Okubo telah mengatur agar pejabat lain yang mereka
kenal ketika kanak-kanak, Koba Dennai, ditempatkan di
pulau itu sebagai inspektur. Informasi tentang shogun
dan lawannya tiba dengan perahu yang mengangkut
tebu. Ii, shogun yang telah menghancurkan para pendukung otoritas kekaisaran yang lebih besar dan menyetujui
Perjanjian Harris yang mengizinkan kebebasan lebih
besar bagi kekuatan asing, terlihat begitu perkasa. Pihak
prokaisar putus asa, dan berbicara tentang upaya membunuhnya. Surat menyurat berlangsung, membawa
informasi dan saran. Pada Okubo, loyalis Satsuma
terkemuka saat Saigo tidak ada, Saigo mengingatkan
untuk waspada: lebih baik merencanakan dengan hatihati daripada terlalu cepat mempertaruhkan semuanya.
Tampaknya hal itu berhasil. Tuan Satsuma, Tadayoshi
dan ayahnya Hisamitsu"yang telah mengasingkan Saigo"
mengangkat beberapa orang yang pernah mendukung
Nariakira yang radikal. Para loyalis ini mulai menyebut
diri sebagai Kelompok Pengikut Setia, bekerja untuk
membentuk aliansi dan mengembalikan Saigo ke Satsuma.
160 Pengasingan dan Kehidupan Baru
Pada Maret 1860, lebih dari setahun setelah Saigo
dikirim ke pengasingan, perjuangan mereka mendapat
kemajuan dramatis. Sebuah kelompok yang terdiri dari
delapan belas orang samurai pembunuh, hampir semuanya
dari wilayah Mito, menyerang iring-iringan Ii tepat di
luar salah satu gerbang utama Kastil Edo, dan memenggal
kepalanya. Salah seorang pembunuh"satu-satunya dari
Satsuma, adik salah seorang teman Saigo"lari sebelum
meninggal karena lukanya. Kejahatan itu merupakan
pukulan telak untuk keshogunan, yang secara menggelikan
mencoba mengklaim bahwa Ii masih hidup, hal yang
semakin meruntuhkan otoritasnya. Ketika mendengar
berita itu, Saigo berlari ke luar bertelanjang kaki dengan
pedangnya dan membacok sebatang pohon tua untuk
mengekspresikan kegembiraannya. Dia berharap
pengampunan, dan dapat bergabung kembali dalam
gerakan mereformasi masyarakat yang kian tak bisa
diatur. Tapi pengampunan tak kunjung datang, dan
harapannya sirna. Bukannya hal ini membuatnya mengalami depresi
lagi. Dia tidak hanya punya teman masa kecilnya Koba,
tapi juga seorang pria lokal bernama Toku, seorang
polisi yang sama seperti Saigo dalam hal tak menaruh
minat sama sekali pada kekayaan. Keduanya senang
memancing bersama. Jika saja dia bisa melayani negaranya
dengan setia dan melanjutkan hidup dengan tenang,
memancing dengan teman, maka"kata Saigo pada
Toku"dia akan bahagia.
Dan dia memiliki Aikana, dan seorang bayi laki-laki,
dan kemudian anak berikutnya, perempuan bernama
Kikuko. Keluarga itu hidup bahagia bersama, bahkan
membangun sebuah rumah baru di dekat desa, hanya
beberapa puluh meter dari teluk. Tempat itu begitu
161 John Man sederhana, hanya dua kamar, di atas panggung setinggi
setengah meter, dengan pintu geser: tempat yang sempurna
bagi anak-anak untuk bermain dan bagi tuan rumah
untuk pergi ke bukit berburu babi hutan atau turun ke
pantai untuk berperahu, memancing. Hal ini, atau sesuatu
seperti ini, masih ada sekarang ini, dijadikan situs
bersejarah dan objek wisata oleh salah seorang keturunan
Aikana, Ryu Masako, yang tinggal di sebuah rumah
modern di daerah itu juga.
Dengan Koba yang membantunya tetap mengikuti
perkembangan pelbagai peristiwa di daratan utama dan
Toku yang membantu agar para pejabat setempat tetap
terkendali, Saigo menjadi anggota masyarakat setempat
yang disegani, mengajar anak-anak dan melakukan yang
terbaik untuk memperbaiki pelbagai kekeliruan, yang
jumlahnya banyak. Para petugas berwenang akan
menangkap dan menyiksa penduduk pulau agar mereka
memberitahukan hasil panen yang disembunyikan. Ada
banyak peristiwa tawanan menjadi begitu putus asa
sehingga mencoba menggigit lidah mereka sendiri. Saigo
mengeluh kepada pemimpin pulau bahwa kebrutalan
ini, dan pajak yang tinggi, telah mempermalukan nama
Satsuma. Dia mengatakan mereka lebih membunuh
penduduk pulau itu, saat itu juga. Ketika diminta untuk
mengurus urusannya sendiri, ia mengatakan bahwa apa
pun yang mengganggu kehormatan Satsuma adalah
urusannya, dan jika praktik ini tidak dihentikan dia
akan membuat laporan rinci tentang pelanggaran tersebut.
Praktik itu tidak berhenti, tetapi berkurang.
Begitu para perempuan itu berbicara, saya menyadari
mengapa anggota masyarakat Saigo ini kebanyakan


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan. Sebenarnya ini adalah masyarakat Aikana.
Dia adalah perempuan lokal, seperti juga mereka,
162 Pengasingan dan Kehidupan Baru
sedangkan Saigo adalah orang luar. Aikana yang buta
huruflah yang telah mengubah dari seorang samuraisarjana-pejabat yang tidak ramah menjadi seorang manusia.
Dia biasa duduk di pangkuan Saigo dalam suasana rumah
tangga yang santai. Tidak semuanya manis dan ringan,
karena mereka kadang-kadang juga bertengkar. Tentu
saja Aikana tahu bahwa Saigo adalah orang penting dan
suatu hari akan kembali ke daratan utama, sehingga
ketika Aikana menyisiri rambut Saigo, dia akan mengumpulkan beberapa helai rambutnya dan menyimpannya. Apakah saya tahu bahwa setelah kematian Saigo,
ketika kepalanya diambil, rambut yang dikumpulkan
oleh Aikana digunakan untuk menentukan golongan
darahnya, dan bahwa kepala itu benar-benar kepalanya"
Saya tidak tahu. Itu kisah yang hebat, tetapi meragukan.
Kalaupun ada kebenaran di sini, ia tersembunyi dengan
baik, karena golongan darah belum ditemukan sampai
1900 dan kepalanya sangat jelas merupakan kepala
Saigo, saat sudah mati seperti juga saat ia masih hidup.
Kelompok ini penuh dengan cerita seperti ini. Dia
sering pergi memancing, kata mereka. Banyak orang
begitu ingin pergi bersamanya, meskipun ia berbadan
sangat besar sehingga ketika dia bergerak di dalam
perahu, air biasanya membanjiri bagian sisi. Tak masalah
karena mereka memiliki gayung untuk mengeluarkan
air. "Suatu kali," kata Mr Yasuda, disambut tawa lebar,
karena kelompok itu tahu apa yang akan terjadi, dan ini
bukan cerita yang akan dituturkan oleh perempuan.
"Suatu kali ia menderita sakit perut yang parah, dan
harus mengeluarkan isi perutnya di dalam gayung, yang
kemudian ia letakkan di air untuk menarik ikan, yang
dia gunakan untuk membuat makanan sashimi. Tentu
tak seorang pun mau memakannya."
163 John Man Mendengar pembicaraan mereka, Anda akan berpikir
bahwa Saigo telah menjadi malaikat berkat Aikana. Dia
orang yang hebat dan baik hati. Dia menerima gaji dari
Satsuma, tapi bersahabat dengan kemiskinan dengan
memberikan sebagian besar gajinya untuk membantu
orang miskin. Dia mengajari anak-anak setempat cara
bergulat. Dia suka berburu babi hutan, meskipun ia
bukan penembak handal, dan ketika dia berhasil menangkap sesuatu, ia akan membaginya dengan masyarakat.
Ketika penduduk setempat dipenjara oleh pejabat yang
tidak bermoral karena tidak memproduksi cukup banyak
gula, dia mengeluarkan mereka.
"Jadi dia siap untuk melawan pemerintah?"
"Tidak juga. Penyalahgunaan kekuasaan setempatlah
yang ia tentang. Ada begitu banyak keuntungan yang
bisa didapat di sini sehingga para pejabat harus membangun
sebuah gudang khusus di Kagoshima."
Tahun-tahun ini menandai titik balik panjang yang
lain dalam sebuah kehidupan dengan banyak titik balik.
Saigo tiba sebagai laki-laki yang patah, bertanggung
jawab untuk pembunuhan tidak berencana terhadap
sahabatnya (demikian seorang hakim barat menyebutnya),
malu atas kegagalannya untuk bunuh diri, dihancurkan
oleh runtuhnya semua harapan dan menghadapi
kemungkinan pengasingan selamanya di tempat yang
dibencinya. Setelah dua tahun, kalaupun tidak puas,
paling sedikit dia berdamai dengan kehidupan barunya,
diterima, dan menjadi pilar masyarakat, sepenuhnya
pulih kembali, secara fisik dan mental.
Dalam hal ini, saya bertanya-tanya, mengapa muncul
arus ketidaksetujuan dari para perempuan itu, tekad
untuk menjadikan Aikana sebagai malaikat sejati" Sebagian
164 Pengasingan dan Kehidupan Baru
karena Saigo merasa malu mengenainya. Dia hampir
tidak pernah menyebut perempuan itu dalam suratsuratnya, dan dalam satu komentar tentang kelahiran
anak laki-lakinya dia menulis: "Aku telah melakukan
sesuatu yang tidak pantas di alam liar." Tetapi ada alasan
lain yang lebih dalam, yang melibatkan apa yang terjadi
ketika ia meninggalkan pulau itu.
Saat itu awal 1862 ketika berita mengejutkan tiba.
Dia telah berada di pulau itu selama tiga tahun, dan
rumah barunya selesai hanya beberapa bulan sebelumnya.
Sekarang, di Kagoshima, Hisamitsu, ayah daimyo yang
masih berkuasa dan kekuatan yang bergerak di balik
pembuangan Saigo, sampai pada keputusan bahwa dia
harus memperluas pengaruh Shimazu. Rencananya adalah
untuk mengirimkan serombongan besar duta ke Kyoto
untuk membujuk kaisar agar memerintahkan reformasi,
khususnya untuk menunjuk seorang wali bagi shogun
muda. Dia membutuhkan dukungan para loyalis kaisar,
tapi tanpa risiko radikalisme kekerasan. Okubo menunjukkan bahwa Saigo, yang dikagumi oleh para loyalis namun
tak ternoda kekerasan, adalah laki-laki yang tepat.
Perintah itu pun datang. Dan Saigo, sang pengikut
setia, ingat bahwa dia pasti ditakdirkan untuk berbagai
hal besar, dan pergi. Aikana dan anak-anak tetap tinggal. Tidak ada
pertanyaan soal membawa seorang "istri pulau?"yaitu,
seorang gundik lokal"ke daratan utama, di mana dia
benar-benar tidak akan bisa apa-apa. Saigo tak pernah
melupakannya, dan akan menemuinya lagi lebih cepat
dari yang dia perkirakan; dan kemudian dia mengirim
anak-anaknya untuk bersekolah di Kagoshima. Memang,
putra mereka Kikujiro dikirim ke Amerika selama
165 John Man beberapa tahun, bertempur dengan ayahnya dan selamat,
kemudian menjadi wali kota Kyoto. Tapi Aikana tinggal
di pulau itu, sendirian. "Dia pasti sangat sedih," kata
salah seorang perempuan pada acara makan siang dengan
miso, mie, teh, dan jus jambu biji. Dia hidup sampai usia
67 tahun, menenun sutra untuk mencari nafkah (seperti
masih dikerjakan banyak orang), dan dimakamkan di
dekat sini. Kami berhenti untuk memberikan penghormatan.
Ada bunga di batu nisannya.
"Kami mengenangnya," para perempuan sepakat.
"Karena dia adalah teladan bagi masyarakat yang mencintai
pulau ini." 166 SEKEJAP MENGECAP KEKUASAAN
BERBICARA TENTANG TITIK BALIK: INI LEBIH MIRIP SEBUAH
kebangkitan, dari keadaan hampir mati ke sebuah
kehidupan baru dan, tampaknya, sebuah kepulangan ke
pusat jaringan politik, orang dalam yang dituduh
mendalangi sebuah revolusi. Hal ini terjadi pada Maret
1862. Dua bulan setelahnya ia tersingkir lagi, terlempar
jauh melampaui Amami Oshima dan terlupakan. Apa
yang salah" Inilah keadaannya saat ia kembali: Nariakira, tuan
yang dipuja Saigo, sudah memulai modernisasi sebelum
kematiannya. Tuan yang baru adalah Tadayoshi, tetapi
kekuasaan berada di tangan ayah dan walinya, Hisamitsu,
yang melanjutkan kebijakan Nariakira: industrialisasi
untuk memproduksi baja dan tekstil; persenjataan baru;
tambahan kekuasaan bagi kaisar, juga pada daimyo, dan
berkurangnya kekuasaan shogun. Bahayanya, strategi
ini, yang sangat menarik bagi para samurai Satsuma,
akan menimbulkan kekerasan di kalangan kelompok
samurai yang lebih muda, berpangkat rendah, dan tidak
stabil. Tadayoshi pernah menulis surat untuk kelompok
167 John Man itu, menyapa mereka dengan sangat santun sebagai
"samurai yang tulus dan setia". Mereka mengambil frase
itu, dan menamakan diri mereka Liga Tulus dan Setia.
Kalau saja Kelompok ini adalah para demonstran yang
sedang berunjuk rasa, mereka akan berteriak: "Apa yang
kita inginkan?"kekuasaan Kaisar!"Kapan kita
menginginkannya?"Sekarang!" dan kemudian bersiap
untuk mendapatkannya, dengan pedang terhunus. Itulah
sebabnya Hisamitsu memerlukan Saigo, untuk memimpin
reformasi, sambil mengendalikan kepala yang panas.
Begitu tiba di Kagoshima Saigo ia dibawa ke sebuah
pertemuan dengan para ajudan utama Hisamitsu, yang
menjelaskan rencananya"sebuah kekuatan besar bergerak
ke Kyoto dalam waktu dua minggu untuk menuntut
dekrit kaisar yang memaksakan reformasi terhadap
shogun. Saigo akan mengepalai kekuatan ini, yang pada
dasarnya merupakan sebuah tentara revolusioner. Dia
kemudian membawa pasukan itu ke Edo, menghadapi
shogun, yang dengan pistol (seolah-olah) ditodongkan
ke kepalanya, akan langsung patuh. Namun, ini tidak
boleh terlihat seperti revolusi, tetapi harus tampil hanya
sebagai reformasi untuk memberikan Satsuma suara yang
lebih besar dalam urusan nasional.
Mereka menginginkan Saigo karena ia berpengalaman.
Dan dengan dasar pengalaman itu, Saigo menolek mereka
mentah-mentah. Ini adalah sebuah rencana gila, katanya.
Apa rencana cadangannya" Ia menyebutkan pelbagai
skenario alternatif yang suram. Apa yang akan terjadi
jika kaisar menolak" Berapa lama pasukan samurai ini
akan berkeliaran di Kyoto" Apa yang akan terjadi jika
shogun bekerja sama dengan asing dan menggalang
pasukan untuk melawan" Apa jaminan yang mereka
miliki bahwa samurai kelas atas dan samurai rendahan
168 Sekejap Mengecap Kekuasaan
tidak akan membelot" Dari sisi mana pun Anda melihatnya,
secara lokal, nasional, dan sosial, rencana itu adalah
sebuah bencana yang sedang disiapkan"sebuah resep
untuk perang saudara. Hisamitsu tidak setuju, beralasan
bahwa keshogunan sedang mengidap kelemahan fatal
dan siap untuk direformasi. Ia bertekad untuk terus
melangkah, apa pun kata Saigo. Paling banter dia akan
menyetujui penundaan satu bulan.
Frustrasi, Saigo pergi untuk memulihkan semangatnya
dengan cara mengubur diri di pasir panas. Hal ini tidak
seeksentrik kedengarannya. Empat puluh kilometer di
selatan Kagoshima, tungku bawah tanah teluk Kinko"
tungku yang sama dengan yang membuat api dalam
Sakurajima yang menyemburkan asap setiap hari"berada
cukup dekat ke permukaan untuk mendorong panas
menembus pasir vulkanik berwarna gelap yang menjadi
batas desa Ibusuki. Sejak abad ke-18, banyak orang telah
mengklaim bahwa berbaring di pasir panas akan
menyembuhkan segala macam penyakit, terutama rematik.
Pada masa Saigo, pasir ini terbuka untuk umum. Kini,
Anda membayar untuk berganti baju dengan kimono
ringan dan berjalan menuruni tangga ke barisan tenda,
di mana para petugas yang mengenakan celana olah
raga dan kaos menunggu dengan sekop untuk menutupi
Anda sampai leher. Orang berbaring dalam barisan yang
rapi, seperti mayat yang dikubur, kepala terbungkus
handuk. Ini adalah pengalaman yang aneh, sebenarnya seluruh
rangkaian pengalaman, tak satu pun dapat saya duga.
Pertama, Anda berbaring di kuburan yang baru digali,
kepala dibalut handuk, sambil mengatur rapi kimono.
Kemudian datanglah beban pasir vulkanik yang hangat
dan kasar ketika pelayan menutupi tubuh Anda dengannya.
169 John Man Panasnya begitu nyaman, seperti sauna; bedanya, nafas
Anda tidak dihalangi oleh udara panas. Pasir menekan
dada Anda, bergerak perlahan sejalan dengan tarikan
napas. Kesenangan itu berlangsung selama setengah
menit. Lalu Anda menyadari bahwa Anda baru saja
mulai memasak. Di tempat dengan tekanan terbesar,
yaitu pada bokong Anda, rasanya benar-benar membakar.
Anda menggosok-gosokkan tangan di bawah bokong
Anda, menghilangkan tekanan dan panas. Anda rileks,
dan semuanya terasa baik. Anda mulai mengantuk. Tidak
lama, karena sekarang Anda mulai berkeringat. Tetesan
keringat terasa jatuh pada dahi Anda. Anda ingin
menggunakan handuk, tetapi tangan Anda terkunci oleh
pasir dan bokong. Setelah lima belas menit, saya menyeruak
ke luar seperti zombie yang terbebas dari makam,
meneteskan keringat dan pasir. Ya, ini membuat saya
merasa benar-benar nyaman, dua kali"dari panas dan
setelah menahan pengalaman menyegarkan dan agak
kurang nyaman: mirip seperti yang mungkin dirasakan
oleh seorang biksu setelah melepas pakaian bulu. Ini
pasti cocok sekali dengan Saigo.
Dua minggu kemudian, teman Saigo Okubo menemukannya di Ibusuki dan meyakinkannya bahwa paling tidak
dia harus melihat apa yang dipikirkan samurai lain
dengan cara menyeberangi Kyushu ke perahu di
Shimonoseki. Tentunya dia memiliki kewajiban untuk
melakukan kontak dengan Liga Tulus dan Setia dan
memastikan mereka tidak melakukan hal bodoh apa
pun" Dengan mengandaikan dia terkesan, dia bisa
bergabung dengan Hisamitsu dan terus ke Kyoto. Dia
pun setuju. 170 Sekejap Mengecap Kekuasaan
Di Shimonoseki dia sangat bahagia dengan penerimaan
terhadapnya antara lain oleh temannya Hirano, salah
seorang dari mereka yang menariknya keluar dari laut
setelah percobaan bunuh dirinya bersama Gessho. Semua
samurai tahu tentang dirinya, semua memujanya"
seseorang yang telah mempertaruhkan semua demi citacitanya, tak tertandingi dalam keberanian, tiada bandingnya
dalam penderitaan: dialah orang yang tepat untuk
berbicara dengan samurai di Kyoto. Dan mereka semua
tahu tentang pawai yang direncanakan di kota kekaisaran,
yang mereka duga akan menjadi awal dari pemberontakan


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersenjata. Sudah banyak yang berkumpul di Kyoto,
menunggu kedatangannya. Dia, Saigo, adalah orang
yang tepat untuk meredakan situasi bergejolak ini"tapi
harus dilakukan dengan cepat, dengan pertama berlayar
ke Osaka, perjalanan sejauh 350 kilometer yang akan
memotong beberapa hari dari perjalanan ke Kyoto.
Tidak ada waktu untuk menunggu Hisamitsu seperti
yang direncanakan, atau untuk meminta izin. Dia, Hirano,
dan dua lainnya langsung pergi.
Di Osaka, ketakutan terburuknya menjadi kenyataan.
Tempat itu meriah dengan para samurai muda yang
bersemangat untuk melakukan kekerasan; seperti yang
dia katakan, semuanya prajurit "di ladang kematian?"
atau "medan mematikan" dalam terjemahan lain"
"dengan mereka aku ingin mati dalam pertempuran,"
semua telah meninggalkan keluarganya, "semua
mengandalkanku." Mark Ravina menunjukkan bahwa
kata "ladang kematian" atau "medan mematikan"
merupakan rujukan pada Seni Perang karya ahli strategi
China abad ke-4 SM, Sun Zi (Sun Tzu), yang memasukkan
tanah "mematikan" atau "putus asa" (terjemahannya
bermacam-macam) di antara sembilan jenis medan
171 John Man pertempuran. Dalam kasus ini, di mana kematian
tampaknya tak terelakkan, tidak ada pilihan selain
menghadapi kematian dengan keteguhan hati: "Lemparkan
pasukan ke sebuah posisi tanpa jalan keluar, dan bahkan
ketika dihadapkan pada kematian mereka tidak akan
lari. Karena jika siap untuk mati, apa yang tak bisa
mereka capai" Kemudian para perwira dan pasukan
bersama-sama mengerahkan seluruh upaya maksimal
mereka. Dalam situasi sangat mendesak, mereka tidak
takut apa pun; ketika tidak ada jalan keluar mereka
berdiri dengan teguh." Saigo tampaknya sudah yakin
bahwa tujuannya cukup layak"dibuat cukup layak oleh
keberanian para prajurit"untuk diperjuangkan, bahkan
dengan kematian. Ini akan menjadi posisi standar baginya
sejak sekarang. Pemberhentian berikutnya adalah Fushimi, sebuah
kuil gunung yang megah dekat dengan kuil tempat Saigo
biasa bertemu secara diam-diam dengan Gessho. Dia
tidak pernah berhasil. Hisamitsu, terlanjur marah karena
Saigo telah pergi terlebih dahulu tanpa izin, mendengar
tentang apa yang dilakukannya, terutama dari Hirano,
yang telah meyakinkan dirinya bahwa Saigo akan
memimpin pemberontakan samurai. Hisamitsu melompat
ke kesimpulan yang sama dan memerintahkan
penangkapan Saigo, menolak untuk mendengarkan bukti
dari pihak Saigo. Setelah enam bulan menjadi pusat perhatian, Saigo
tiba-tiba tak berdaya lagi, terkunci di Yamakawa di
mulut teluk Kinko, menunggu keputusan. Keputusan itu
datang pada Juli: bersalah atas empat hal, yaitu
meninggalkan Shimonoseki tanpa izin, persekongkolan,
penghasutan untuk melakukan kekerasan, dan
pengkhianatan. Saigo, yang telah memeroleh status yang
172 Sekejap Mengecap Kekuasaan
hampir mistis di kalangan samurai pemberontak, terlalu
berbahaya untuk diizinkan kembali pada teman-temannya
di Amami Oshima. Putusannya: pengasingan kembali,
kali ini sebagai kriminal, di Tokunoshima, pulau berikutnya
di selatan Amami Oshima. Pulau ini 50 kilometer lebih
jauh, luasnya tak sampai separuh Amami, tapi dengan
pegunungan berhutan yang sama, dan subspesies habunya sendiri.
Tentu saja Saigo merasa pahit: "Bahkan orang-orang
yang kuanggap sebagai keluarga mengecapku seorang
kriminal tanpa perlu bertanya tentang kebenarannya.
Aku tak ingin melakukan apa-apa lagi dengan kesetiaan
bodoh ini." Pahit, tapi kali ini lebih tabah. Tidak ada
pikiran untuk bunuh diri. Jika ini yang diberikan nasib,
maka terjadilah. Dia dengan senang hati akan
meninggalkan dunia politik yang menjijikan itu, dan
bersiap untuk melakukan apa pun yang dia bisa untuk
kehidupan di pulau itu. Satu hal yang dia bisa lakukan
adalah menjenguk keluarganya sendiri. Segera setelah
kedatangannya Aikana muncul dengan dua anaknya,
tetapi Saigo tidak ingin berbagi kadaan dirinya yang
sulit dengan mereka, hanya memastikan bahwa ada
teman untuk membantu di pulau kampung halamannya
yang akan membeli sutra yang dia rajut dan memastikan
dia tak kelaparan. Saigo tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan
apa pun dalam kehidupan di pulau baru ini, karena
tidak ada waktu. Pada Agustus, sebulan setelah kedatangannya, polisi dari Kagoshima mendarat di pantai
dengan berita bahwa daimyonya telah menyimpulkan
bahwa dia terlalu berbahaya, bahkan di pulau itu. Dia
akan segera dipindahkan, dalam rumah tahanan tertutup,
ke sebuah pulau yang lebih jauh, lebih kecil, dan lebih
173 John Man ganas. Tempat itu adalah koloni narapidana, dan dia
akan ditahan dalam sebuah sel, sendiri, dengan pintu
selalu terkunci, di bawah pengawasan terus-menerus
oleh dua penjaga. Ini adalah sebuah hukuman yang
cukup keras untuk membekukan jiwa.
174 SANG TAWANAN B ETAPA KESAN PERTAMA ITU DAPAT MENYESATKAN .
Okinoerabu"Bunyi vokalnya terpisah dalam pelafalan,
"Okino-erabu?"adalah tempat yang berbeda sama sekali
dengan Amami Oshima: tidak ada perbukitan, tidak ada
teluk yang cantik, tidak ada pantai, tidak ada hutan.
Bentuknya seperti pentungan Zaman Batu dalam versi
kartun, seakan-akan dijatuhkan oleh seorang raksasa
dalam perjalannya untuk menghantam Jepan. Para
pemimpin di Kagoshima mengira mereka mengirim
Saigo ke tempat yang sangat buruk, didera kemiskinan,
dan jauh di pedalaman; tetapi apa yang ia dapatkan di
sini meningkatkan kualitas dirinya jauh di luar perkiraan.
Saat saya mendekat dari udara, saya melihat sebuah
pulau seperti kue dadar yang suram; seluruhnya berupa
area hijau yang membosankan atau merah tanah yang
kering dengan bagian tepi dipenuhi bebatuan kasar"
ternyata, koral"terlalu rendah untuk disebut tebing.
Namun demikian apa yang saya temukan sungguh memikat, bukan karena datarannya, melainkan masyarakatnya. Mengapa tempat seperti ini menghasilkan penduduk
175 John Man yang penuh semangat dan menawan, saya tidak tahu.
Namun memang demikian, dan Saigo tumbuh di sana.
Ia datang dalam keadaan siap menghadapi yang
terburuk, dan hal itu membantunya. Para perwira yang
menemaninya membawa perintah bahwa ia harus
ditempatkan di dalam "kurungan". Pada 16 Agustus,
salah seorang dari mereka mendarat di pantai dari kapal
kecil dan bergegas menuju ibu kota, Wadomari, empat
kilometer jauhnya, dengan perintah di tangan. Namun
tidak ada kurungan yang sesuai. Pengawas pulau,
Tsuzurabara, harus membuat kurungan itu, dengan cepat.
Ia kebingungan. Ada sekitar 100 orang yang dibuang di
pulau ini, tetapi semuanya bebas berkeliaran. Ini perintah
yang tidak pernah terjadi sebelumnya, hanya berlaku
pada Saigo. Apa maksudnya" Ia berasumsi bahwa kata
itu perarti semacam penjara, jadi ia memerintahkan
untuk membangun tempat itu. Sementara itu, Saigo
harus tetap berada di atas kapal selama dua hari lagi.
Apa yang terjadi setelahnya, seperti hampir segala
hal yang berkaitan dengan Saigo di Okinoerabu, adalah
soal catatan sejarah yang rinci dan cerita rakyat. Keduanya
tidak terlalu sering terjadi bersamaan, tetapi penduduk
setempat berpendidikan baik, teliti, dan merupakan
pencerita yang hebat, sebagian besar berkat Saigo.
Kami seperti berpesta saja. Karena Michiko pernah
bekerja di sini dan mendapatkan sambutan meriah, aku
memperoleh manfaat dari dua sarjana ahli zaman kuno
yang mengenakan topi lentur, Saoda Tomio dan Oyama
Yasuhiro, yang tidak saja berpendidikan baik, teliti dan
pencerita hebat, tetapi juga memperlihatkan kombinasi
menakjubkan antara keahlian seorang tua dan semangat
anak muda, dengan bersama-sama menulis sebuah buku
176 Sang Tawanan tentang kehidupan Saigo di sini. Kami didorong oleh
sosok bersemangat yang lain, Take Yoshiharu, yang
sangat periang, bertubuh tinggi besar, dan menggemari
tenis, sake, dan sejarah.
Ketika penjara sudah siap, para petugas datang ke
tempat pendaratan untuk menyambut Saigo yang Agung,
sambil membawa seekor kuda untuknya, karena ukuran
tubuhnya sudah sangat terkenal.
"Dan kalimat pertama kami untuknya," kata Saoda
yang sudah berusia 80 tahun, seolah ia pernah berada di
tempat pertemuan itu, "adalah, "Kami telah menyiapkan
seekor kuda untukmu. Naikilah, dan kami akan
menemanimu.?" Saya dapat membayangkan adegan tersebut, karena
kami berada di tempat dia mendarat: dermaga kecil di
Inobe, kini dipagari oleh tembok besar yang penuh
dengan tumpukan potongan beton bercabang empat
yang berserakan, seolah anak raksasa yang lewat telah
melemparkan ke bawah segenggam simbang. Dinding
dan potongan beton itu berada di sana untuk melindungi
pantai dari angin topan, yang di masa lalu akan menyapu
daratan tiga atau empat kali dalam setahun. Tetapi pantai
berpasir koral putih itu tetap ada di sana, begitu juga
ombak yang bergulung di balik tembok itu.
Mohon maaf saya menyela Mr Saoda: ?"dan kami
akan menemanimu." Saigo, dengan sangat bermartabat,
menjawab"yah, kalimatnya dicatat pada sebuah pilar
yang menandai tempat dan tanggal itu: pilar baru, karena
yang lama sudah dirusak oleh topan pada 1947. Namun
kalimat pada pilar itu terasa agak formal. Aku lebih
menyukai versi Mr Saoda: ?"Aku sangat berterima kasih
padamu," Saigo yang Agung berkata, "tetapi biarkan aku
177 John Man berjalan, karena ini adalah kesempatan terakhirku untuk
melangkah di tanah." Jadi para petugas dan kuda itu
berjalan bersamanya ke Wadomari. Hal itu sangat
menyentuh. Masyarakat yang menyambutnya sangat
terkesan dengan sikapnya ini."
Kami melewati jalur yang sama, di samping ladang
tebu (karena pulau ini juga merupakan ladang tebu yang
digarap oleh pekerja budak yang diperintah dari Satsuma).
Ketika Saigo datang pada pertengahan Agustus, tanaman
tersebut sudah tumbuh setinggi kepala. Kami menyusuri
sungai, yang kini dipagari dinding beton dan dipenuhi
rumput, membelok di sudut dan hampir tiba kembali di
laut. Di sana, di area terbuka 200 meter masuk ke
pulau, penjara itu berada.
Saya melihat sebuah kurungan, sebuah kotak dari
papan kayu, berukuran dua meter persegi, tingginya dua
meter, cukup besar bagi Saigo untuk berbaring dan
berdiri. Kurungan itu memiliki atap jerami kusut, tetapi
tidak ada dinding yang dapat menahan hujan angin.
Pintu berukuran setengah dibuat dari papan yang sama,
dengan rantai dan gembok. Ya, sekali melihat saya tahu
kurungan itu dibangun hanya dalam dua hari. Tempat
yang sungguh menakutkan untuk ditinggali selama sisa
hidup, yang merupakan masa depan yang terhampar
bagi Saigo ketika dia tiba. Di dalamnya ada sosok samar,
patung Saigo sedang duduk bersila, dalam pose bermeditasi. Saya melihat, dan percaya. Ini adalah "penjaranya", dan ia berada di pulau itu selama delapan belas
bulan. Karena itu inilah yang dideritanya sepanjang
waktu itu, terkurung sendiri. Siapa pun tawanan baru
yang datang belakangan, saya kira, akan merasa hal
yang sama, simpati terhadap tawanan itu dan kagum
pada daya tahannya. 178 Sang Tawanan Saya keliru, dalam banyak hal. Kebenarannya, yang
secara perlahan terkuak hari itu, jauh lebih menarik,
dan juga dalam cara tertentu memunculkan pertanyaan
tentang hakikat otentisitas dalam bukti sejarah.
Saya maju untuk memeriksa kurungan itu, menyentuh
kayu yang telah disentuh oleh Saigo, dan menemukan
bahwa kurungan itu sama sekali bukan kayu, tetapi
beton yang dibuat terlihat seperti kayu.
"Itu karena ada beberapa kali topan setiap tahun,"
kata Michiko. Dia adalah teladan dalam kesantunan,
tapi saya dapat membayangkan apa yang akan saya
pikirkan jika berada dalam posisinya: Kayu dan jerami
bertahan selama satu setengah abad, di daerah tropis"
Memangnya apa aku ini, dungu atau apa"
Dan hal lain. Rekonstruksi ini berada di tepi sungai,
kini aman karena ditutupi beton untuk menyalurkan air
pasang sehari-hari dan sesekali serangan badai. Namun
ada lubang drainase di dinding. Seluruh area ini masih
rentan terhadap serangan banjir.
Ah, ini bukan tempat asli penjara itu, kata Mr Saoda.
Kantor wali kota semestinya ada di tengah area ini,
cukup jauh dari tepi sungai, dan penjara itu dibangun di
sisinya. Dan kantor polisi ada di sebelah sana, dan
rumah berlantai dua di sana... Dan"seperti yang kemudian
saya temukan dalam buku yang ditulis oleh Mr Saoda
dan Oyama"tawanan itu tidak sesengsara seperti yang
saya bayangkan. Ia memiliki pelayan yang menemaninya,
Kanaka Kuboichi, samurai berkelas lebih rendah dari
Kagoshima; apa yang dilakukannya sebelum ia bersama
Saigo tidak tercatat. Namun demikian, di sanalah ia,


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengawasi tuannya. Semua itu membuat banyak memiliki
makna yang berbeda. Penjara Saigo berada di tengah179
John Man tengah sebuah komunitas kecil.
Tetapi ia tetaplah sebuah penjara, masih merupakan
versi awal dari yang Anda lihat sekarang ini. Mr Take, si
pemain tenis betubuh besar, muncul dengan sebuah
kunci. Membungkuk melewati pintu separuh itu membuat
saya merasakan apa yang kira-kira harus ditanggung
Saigo dari hari ke hari. Tempat itu sedikit lebih baik
daripada sangkar hewan. Lantai bambu, dengan satu
tikar yang terbuat dari jerami, kotak toilet berisi pasir di
satu sudut, perapian di sudut lain, semuanya kini dibangun
dari beton. Di sana duduk patung Saigo, sedang
bermeditasi, mata tertutup, kaki bersila, telapak kaki
menghadap atas, jemari tangan saling mengait, ibu jari
bertemu. Terlihat sangat tidak nyaman.
"Ia terbiasa dengan posisi ini," kata Michiko dari
luar. "Ingat ketika Anda melihatnya berlatih meditasi
dengan Okubo di Batu Meditasi di Kagoshima?"
Sebenarnya, setelah sekarang saya melihat lebih dekat
lagi, sosok ini sama sekali tidak seperti dirinya. Patung
ini terlihat kurus, bahkan cekung, dan berjanggut. Bila
ia adalah Saigo, hal itu lebih pada semangatnya ketimbang
pada sosoknya, karena untuk beberapa saat ia memang
menderita. Mr Saoda menerobos masuk denganku. Ada
lalat, katanya, dan nyamuk, dan musim panas begitu
menyengat dan lengket di sini, dan ada bau toilet, dan
angin topan, yang menghantamnya dengan semburan
air dan batu kecil, karena seluruh area terbuka ini
ditutupi oleh kerikil. Batu-batu kecil itu menghantam
dengan kekuatan yang cukup untuk mengeluarkan darah.
Namun ia menanggung kondisi itu layaknya seorang
yang tabah dan seorang samurai yang setia pada perintah
tuannya. Itu berarti dia menganggap dirinya sebagai
180 Sang Tawanan penjahat, dan hukumannya sebagai sesuatu yang adil.
Tidak ada apa pun lagi selain bertahan.
"Ketika di dalam penjara, ia duduk seperti itu sepanjang
waktu, memakan apa yang dibawa untuknya: nasi, air
putih, sedikit sayuran hijau. Ia memiliki dua tongkat
yang bisa digunakan untuk memukuli sisi penjara untuk
menarik perhatian, tetapi tidak pernah dilakukannya. Ia
biasanya berkata, "Bahkan bila pun orang tidak menaruh
perhatian padaku, langit tetap menjagaku.?"
Gambarnya sudah berubah, menjadi lebih kaya, seperti
foto hitam-putih yang lama di dalam kotak pengembangan
foto. Saigo tidak lagi semata-mata korban sebuah sistem
yang sadis, tapi seorang pertapa yang berada di tengahtengah sekelompok simpatisan dan pengagum, yang
tidak menyukai apa yang mereka lihat: seorang lelaki
hebat yang melemah. Di Jepang, keadaan berubah dramatis. Satu bulan setelah
Saigo tiba di Okinoerabu, seorang Inggris terbunuh di
Yokohama. Sebagian besar masyarakat Jepang pada masa
itu, tentu saja kebanyakan samurai, angkat bahu saja.
Seorang asing terbunuh: memangnya kenapa" Salahnya
sendiri menjadi orang asing. Peristiwa itu terjadi di
tempat yang jauh, dan Saigo tidak pernah menyebutnya,
tetapi akan terkuak bahwa peristiwa itu menjadi salah
satu hembusan angin kencang pertama yang mendorong
Jepang menuju huru-hara yang tercipta karena bantuan
Saigo, dan yang pada akhirnya menjatuhkan dirinya.
Pada 14 September 1862, tiga laki-laki dan seorang
perempuan Inggris pergi naik kuda dari Yokohama,
bermaksud naik perahu untuk melihat kuil. Salah seorang
dari laki-laki itu adalah Charles Richardson, seorang
181 John Man pedagang dari Shanghai dalam perjalanan kembali ke
London. Yang perempuan adalah Margaret Borradaile,
istri seorang pedagang Hong Kong. Mereka telah melintasi
jalan Tokaido yang sibuk sejauh 12 kilometer, yang
sudah dilalui Saigo dalam perjalanannya menuju Edo,
ketika di desa Namamugi, kini tepi kota Tokyo, mereka
berpapasan dengan kelompok samurai yang berbaris ke
arah mereka dalam arak-arakan. Mereka perlahan-lahan
lewat di antara rumah berkayu dan beratap jerami dan
pasukan berpedang dua, dan tengah mendekati tandu
tuannya ketika pengawalnya melambaikan tangan agar
mereka mundur saja. Mereka baru saja akan melakukan
hal itu ketika beberapa samurai, yang ternyata merasa
terhina oleh sikap kurang respek orang-orang asing itu,
menyerang dengan pedangnya. Satu tebasan ke arah
kepala Mrs Borradaile. Ia menghindar, dan pedang itu
merobek topi dan ikatan rambutnya. Yang lain menyerang
para lelaki, menusuk Richardson, yang jatuh dan terluka
parah, dan melukai dua yang lain"salah seorang dari
mereka mendapat sayatan pedang sepanjang separuh
lengan kirinya"yang berteriak pada Mrs Borradaile
untuk terus berjalan. Perempuan itu meloloskan diri,
begitu panik sehingga ia melarikan kudanya ke laut
sebelum sampai di jalan. Kudanya terjatuh dua kali,
tetapi entah bagaimana, ia tidak dapat mengingat
bagaimana, ia bisa duduk kembali di atas kuda dan tiba
di perumahan asing di Yokohama "dalam keadaan penuh
ketakutan", menurut sebuah surat dalam Japan Herald
yang berbahasa Inggris, "tangan, wajah dan pakaiannya
berlumuran darah." Saat itu juga, walaupun bingung siapa yang menjadi
komandan, setengah lusin perwira Inggris dan Prancis
menghambur ke tempat kejadian, dan menemukan dua
182 Sang Tawanan laki-laki yang terluka di konsulat Amerika di Kanagawa.
Tapi di mana Richardson" Setiap orang yang mereka
tanya mengaku tidak tahu apa-apa, sampai seorang
bocah laki-laki mengarahkan mereka ke sisi sebuah
penginapan jauh dari jalan raya. Di sana mereka melihat
sebuah gundukan yang tertutupi beberapa tikar tua,
yang setelah diangkat memperlihatkan tontonan yang paling
mengerikan dan menakutkan. Seluruh tubuh berlumuran
darah; sebuah luka, yang memburaikan isi perut, memanjang
dari perut ke punggung; luka lain, pada bahu kiri, melukai
seluruh tulang sampai ke dada; ada luka menganga karena
tombak di daerah jantung; pergelangan tangan kanan benarbenar terlepas, dan tangannya bergantung hanya pada sepotong
daging" dan ketika kepalanya digeser, seluruh sisi kiri leher
sudah tertebas. Jelas, sebagian luka dilakukan setelah korban tewas.
Mengapa hal ini bisa terkait dengan Saigo" Karena
tuan di dalam tandu, komandan para samurai itu dan
karenanya orang yang bertanggung jawab atas serangan
itu, adalah Hisamitsu. Ia sedang dalam perjalanan pulang,
setelah menuntut pengaturan pembagian kekuasaan di
mana daimyo terpenting akan berbagi wewenang dalam
membuat keputusan dengan shogun, dan di mana otoritas
kaisar akan dinaikkan dengan memberinya kekuasaan
untuk menyetujui. Kabar terbunuhnya Richardson membuat komunitas
pedagang asing diliputi ketakutan dan kemarahan. Dalam
beberapa kali pertemuan, banyak orang mendesak agar
kekuatan militer menangkap Hisamitsu, sampai kepala
perwakilan Inggris, Letnan Kolonel Edward Neale,
menunjukkan bahwa hal ini sama saja dengan menyatakan
183 John Man perang. Seperti yang belakangan ditulis seorang diplomat
lain, Ernest Satow, hal ini juga bisa memantik angin
topan kekerasan, yang dapat mengarah pada pembunuh
massal warga asing, runtuhnya keshogunan, pengiriman
tentara angkatan darat dan angkatan laut oleh Inggris,
Prancis, dan Belanda, serta terpecah belahnya Jepang.
Yang terbaik biarkan diplomasi menjalankan perannya.
Memang itulah yang terjadi, dengan beberapa penundaan seperti biasanya. Enam bulan kemudian, Kantor
Asing Inggris mengambil tindakan yang akan menghanguskan kampung halaman Saigo.
Orang yang paling simpatik pada Saigo adalah penjaga
utamanya sendiri, seorang laki-laki bernama Tsuchimochi
Masateru. Selama empat bulan, ia membawakan makanan
untuk Saigo. Ia menyaksikan apa yang terjadi ketika
badai topan menyerang, yang terjadi dua atau tiga kali
selama empat bulan itu. Keduanya menjadi sahabat.
Kekaguman Tsuchimochi pada majikannya ini tumbuh
menjadi pemujaan pahlawan. Sejauh itu adalah urusan
catatan sejarah, yang ditambahi warna oleh Mr Saoda.
Di rumahnya, ibu si penjaga ini memasak makanan
tambahan untuk Saigo. Tidak, tidak, katanya, aku adalah
seorang polisi, aku tak dapat melanggar hukum dengan
memberinya makanan tambahan. "Kau harus menjadi
laki-laki sejati!" kata ibunya. "Kau harus menolongnya!"
Jadi ia mencoba; tetapi Saigo menolak. Menerimanya
berarti tidak setia pada perintah tuannya.
"Si penjaga berpikir, "Kita tidak boleh membiarkan
dia mati. Kita harus membuatnya tetap hidup.?" Ini
adalah Mr Oyama yang bicara, yang lebih muda di
antara dua ahli Saigo yang bertopi lentur itu. Barangkali
184 Sang Tawanan tujuan Hisamitsu bahwa Saigo harus mati, tapi tidak ada
soal kematian dalam perintah itu. Ia hampir tidak bisa
ditahan dalam kurungan bila ia mati. "Jadi ia melihat
lagi perintah itu. Inilah kalimatnya?"
"Kakoi," kata Michiko. "Artinya?"ia memeriksa
kamusnya?"ya, pagar, atau kurungan."
"Tetapi tidak dikatakan di mana tempatnya. Tidak
harus di luar. Bisa juga di dalam."
Tsuchimochi menunjukkannya pada pengawas, yang
setuju bahwa hal ini membingungkan. Jadi Tsuchimochi
membangun rumah kayu dengan atap jerami yang
sederhana, dengan ruang penjara di dalamnya. Pekerjaan
tersebut memakan waktu sekitar 20 hari, dan selama
periode itu ia membiarkan Saigo pergi bebas sehingga ia
dapat memulihkan kesehatannya.
Saigo ingin mengungkapkan terima kasihnya pada
Tsuchimochi, tetapi, karena sudah dinyatakan sebagai
kriminal, ia tidak memiliki upah dan tak ada apa pun
yang dapat diberikan, sehingga ia berkata pada si penjaga
bahwa ia akan mengajari anak-anaknya gulat sumo.
Dengan itulah kehidupan barunya dimulai: pertama
gulat, yang menarik sebanyak 20 anak, dan kemudian,
ketika ia berada di dalam "penjara" barunya, yang tidak
tampak seperti sebuah penjara tapi ruang belajar dengan
kunci, ia bebas mengajar, berbicara, dan membaca dan"
Oh, ya. Ia memiliki sejumlah buku.
Tidak ada orang yang pernah menyebut buku. Ia
telah membawa tiga kopor penuh buku, kata kedua ahli
saya itu. Jadi kita harus mengubah gambaran tentang
iring-iringan dari tempat mendarat dengan pertama
memasukkan penjaga Kanaka dan kini satu atau dua
jinjingan berisi sekian banyak buku miliknya.
185 John Man "Tiga kopor besar," kata Mr Saoda, "berisi 1.200
karya klasik China dan Jepang."
Seperti perpustakaan. Dengan cepat Saigo menjadi
pusat sebuah kelompok belajar, dengan mata pelajaran
sejarah dan kesusasteraan bagi anak-anak, didukung oleh
percakapan panjang dengan para sarjana setempat. Di
antara mereka termasuk Misao Tankei, yang ayahnya
telah meninggalkan koleksi buku yang banyak sekali,
dan seorang guru kaligrafi bernama Kawaguchi Seppo,
seorang pelayan Shimazu yang telah diasingkan sepuluh
tahun sebelumnya bersama keluarganya. Ini adalah
universitas mini yang sedang disiapkan. "Aku tak terganggu
oleh urusan sehari-hari," tulis Saigo, "jadi aku dapat
mengabdikan diri tanpa gangguan untuk belajar dan
sepertinya, dengan begini, aku akan menjadi seorang
sarjana." Keterampilan kaligrafinya membaik. Ia kembali
pada semangat lamanya, puisi China klasik, dengan
aturan ketatnya dalam hal jumlah suku kata per baris
dan jumlah baris per syair.
Sekuntum bunga matahari menoleh ke arah mentari
seolah sinarnya tak berubah,
Jadi aku pun akan tetap setia,
bahkan bila keberuntunganku tidak berubah.
Bakat dan minat Saigo memicu sesuatu yang terpendam
dalam diri penduduk pulau"kecintaan untuk belajar;
dan juga sesuatu yang baru"kecintaan akan pemerintahan
yang baik: baru karena otonomi daerah bukan merupakan
bagian dari sejarah mereka di bawah kekuasaan Satsuma
yang menindas. Dekat penjara itu ada tempat terbuka lain yang pada
1911 mereka gunakan sebagai sebuah perpustakaan yang
186 Sang Tawanan dinamai seperti nama tempat itu, perpustakaan pertama
di seluruh kepulauan Ryukyu. Kini perpustakaan itu
sudah tidak ada, digantikan sebuah tempat ibadah"
sebuah kuil, altar, beberapa anak tangga"didanai oleh
seorang bos korporasi yang mengagumi Saigo. Kami
semua membungkukkan badan untuk mengenang Saigo.
Di sepanjang sisinya ada patung, tiruan dari patung
paling terkenal, di Ueno Park, Tokyo, yang memperlihatkan
dirinya sedang melangkah, kimononya melambai tertiup
angin, sambil membimbing anjing kecilnya. Patung
tersebut dibuat pada 1977 untuk mengenang satu abad
kematiannya, dipajang di Kagoshima, dan kemudian
dibawa ke sini. Mr Saoda menjadi agak liris melihat
pemandangan di hadapan kami, usia 80 tahunnya tampak
luruh ketika ia berbicara.
"Ia membaca 1.700 buku (saya catat, angkanya terus


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertambah) ketika berada di penjara, jadi kami anggap
ia adalah laki-laki yang menakjubkan. Kami menghormatinya dengan menebutnya Nanshu Agung ("dari Selatan",
nama yang digunakan ketika ia tiba), atau Guru Saigo.
Setiap orang ingat betapa tekunnya ia belajar. Kami
pikir kami harus belajar setekun yang ia lakukan, sehingga
kami membangun Perpustakaan Nanshu di sini. Aku
ingat ini sejak aku masih kanak-kanak. Kami biasa datang
ke sini setiap Minggu pagi untuk bermain dan
mendengarkan ceramah dari para senior, sebagai bagian
dari pendidikan goju. Mereka tetap berkata, "Mari kita
Geger Para Iblis 1 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Cinta Memendam Dendam 2
^