Pencarian

Samurai Terakhir 6

Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man Bagian 6


sekolah swasta dari Kagoshima, yang kesetiaannya pada
Saigo sekeras batu karang. Jika Saigo tampil dalam
gempita kemenangan, begitu juga mereka. Bagi mereka
yang ingin terus berjuang, dia memiliki semacam pesan
yang ingin didengar oleh mereka. "Ini bukan tempat
untuk mati," katanya (konon, karena ada banyak cerita
rakyat dalam penjelasan ini). Mungkin memang ada
jalan keluar. Bukan menyusuri sungai ke arah utara,
atau ke arah selatan, atau ke perbukitan di sekeliling,
tetapi mengambil rute yang tampak mustahil, yang tidak
akan dipilih oleh siapa pun yang waras, yang tak akan
terbayangkan oleh Yamagata dan para perwiranya bahkan
dalam mimpi mereka yang paling liar sekalipun"langsung
naik ke lereng di belakang desa, melewati puncak Gunung
Eno. Tak berarti bahwa Gunung Eno itu tidak dapat diakses.
Tingginya hanya 727 meter, dapat didaki selama dua
jam oleh prajurit muda yang bugar"atau seorang pendeta
yang bugar, karena, seperti dikatakan Mr Kodama, itu
315 John Man adalah gunung suci. "Perempuan tidak diperbolehkan
naik ke atas sana. Di sana para pendeta Buddha dari
sekte Shugendo biasa mengikat kaki mereka dan
bergantung terbalik." (Itu yang dia katakan, dan mungkin
saja benar. Shugendo adalah sebentuk Buddhisme esoteris
kuno yang menguji keberanian dan ketaatan pemeluknya
dengan ritual yang ketat.) "Ada jalan setapak naik ke
atas." Artinya, apa yang dilakukan pasukan kekaisaran di
Gunung Eno bukanlah rahasia bagi penduduk setempat.
Mendekat dengan menyusuri jalur dari sisi yang lain,
mereka telah menempatkan diri dalam galian tepat di
bawah puncak punggung bukit. Saigo mengusulkan
sebuah serangan mendadak, yang harus dilakukan pada
tanggal 18, untuk mendahului serangan kerajaan yang
akan terjadi pada tanggal 19. Jika berhasil, mereka akan
melarikan diri lewat pegunungan dengan tujuan kembali
ke Kagoshima, di mana mereka"dengan semangat dan
banyak keberuntungan" akan merebut kembali kendali
atas kota, atau (lebih mungkin) mati dalam upaya itu.
Bagaimana tepatnya mereka melakukan ini semua adalah
sebuah pertanyaan terbuka. Setelah penerobosan itu,
mereka akan berkumpul kembali sejauh 30 kilometer
atau lebih ke arah ke barat, di kota Takachiho, dan di
sana akan memutuskan sebuah rencana aksi.
Mengejutkan pasukan kerajaan berarti menyerang
saat mereka masih tidur. Jadi, larut malam pada 17
Agustus, sekitar pukul 10.00 menurut Mr Kodama,
pasukan Saigo sudah bersiaga. Ini adalah waktu yang
menarik, paling sedikitnya begitu. Dan beberapa dari
mereka yang sudah menghadapi kematian menyempatkan
untuk mencatat pikiran mereka ke dalam buku harian,
yang beberapa di antaranya mereka tinggalkan dengan
316 Mundur barang lain yang kemudian ditemukan dan disimpan di
museum. Dari sebuah kotak Mr Kodama mengambil
empat catatan harian yang ditulis dengan kuas di atas
kertas beras. Sebenarnya ada lima buku, tetapi ia
pinjamkan satu buku kepada seseorang dan tidak pernah
kembali. Tidak, dia menjawab pertanyaanku yang penuh
semangat, tidak ada yang bersifat pribadi di sini. Semuanya
benda biasa: "12.050 peluru yang ditembakkan," tulis
Sersan Kirota Minesuke, sehingga memastikan bahwa
namanya akan menerima setidaknya semacam pengakuan.
"Pagi ini tentara bergerak maju... hujan, lagi-lagi." Saigo
meninggalkan beberapa benda, masing-masing berupa
simbol dari aspek kehidupannya"sebuah terompet
buatan London (apakah ia berpikir untuk mengadopsi
tradisi tentara Inggris"), sebuah bantal kemah yang begitu
kecil sehingga terlihat seperti sosis, sebuah kompas, satu
dari surat-surat utang yang dicetak di Miyazaki, kuas
dan tatakan tinta"memang, ia menulis bahkan di saat
seperti itu, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah puisi
yang ditemukan ketika saya sedang melakukan riset
untuk buku ini. Puisi itu tentu saja dalam bahasa China, empat baris,
tujuh karakter per baris, dan ditemukan dalam dokumen
seorang dokter bernama Taisuke Yamazaki, yang ternyata
menyalinnya ketika menemani Saigo dalam beberapa
jam terakhirnya di Kagoshima. Jika itu adalah tulisan
Saigo (dan ini banyak diperdebatkan), pastinya sudah
disusun di masa tenang di Nagai, saat ia bertanya-tanya
apakah selama ini ia selalu melakukan hal dengan benar,
memutuskan bahwa dia belum melakukannya, dan
menerima kematiannya yang segera datang"dengan
gentar: 317 John Man Semua jalan menuju Higo dan Bungo41 sudah tertutup.
Mari kita pulang ke makam kita. Dengan enggan aku
mendukung [restorasi], tanpa hasil apa-apa.
Kini ketika menengok kembali hidupku, aku melihat
keuntungan dan kerugian. Bagaimana aku dapat menghadapi tuanku [Nariakira] di
Alam Baka" Sekitar pukul sepuluh malam pada 17 Agustus (tidak
berarti ada yang punya jam tangan atau jam dinding),
malam hari, tanpa cahaya sama sekali di bawah pepohonan.
Tak satu pun siswa pemberontak berasal dari daerah
tersebut, sehingga penebang kayu setempat dibujuk
untuk menjadi pemandu. Meninggalkan sekitar 100
orang yang terluka, 500 orang dari mereka, berjalan
diam-diam dengan sandal tali, menelusuri jalan sempit
berbaris satu per satu, dilarang merokok dan berbicara,
mengikuti carik kain kecil yang diikat ke pohon oleh
mereka yang di depan. Beberapa sumber mengklaim
bahwa Saigo harus dibawa dalam tandu karena ia terlalu
lemah untuk bisa berjalan (hal ini akan dibicarakan lebih
jauh nanti), tapi yang lebih mungkin dia juga berjalan di
pendakian yang sempit dan pelan ini. Sebuah barisan
terdiri dari 500 orang, beberapa di antaranya mungkin
memegang bedil berpengunci geretan, tapi setiap orang
memegang satu atau dua pedang, merentang hampir
sejauh satu kilometer. Diperlukan waktu sekitar empat
jam bagi para pemimpin untuk mendekati pasukan
kekaisaran yang sedang tidur di parit yang mereka gali
secara terburu-buru, dan sudah tentu jauh lebih lama
bagi 500 orang itu untuk sampai ke jarak serang.
41 Higo adalah nama lama untuk prefektur Kumamoto, dan Bungo adalah Oita,
prefektur di sebelah utaranya, yang dari sana dia mengharapkan bantuan.
318 Mundur Sesaat sebelum fajar terbit, ketika langit timur mulai
bersinar dan pasukan kekaisaran masih tertidur, para
pemberontak menyerang. Sebuah lukisan di museum
menceritakan adegan itu: para pemberontak dengan
jaket katun, pantalon, dan sandal menghunus pedang
melawan pasukan kekaisaran yang bersenapan dan
mengenakan seragam. Sebuah meriam terletak di sisi,
siap untuk bombardir yang rencananya akan dilakukan
pada hari itu. Ini adalah gebrakan yang sempurna"
pasukan kekaisaran dengan cepat terbunuh dan kocarkacir, para pemberontak mengalir dan memutari puncak
Gunung Eno. 319 JALAN PANJANG MENUJU KEMATIAN SAAT MUSIM PANAS, DAERAH PEDALAMAN KYUSHU BERHAWA
panas, terlihat hijau dan berkerut. Lempengan wilayah
tempat dimulainya pemberontakan Saigo pada dasarnya
adalah lahan seluas 2.600 kilometer persegi hampir
tanpa tanah datar sedikit pun. Ada sekitar 50 gunung
berukuran lebih dari 1.000 meter, tidak tinggi, tapi
masing-masing memiliki kaki bukit, padang, dan lembah,
di mana sungai mengalir deras di antara hutan yang
curam menuju dataran rendah di pesisir. Para pemberontak
tidak tahu tentang hal ini, karena belum ada master
plan-nya, tapi mereka harus melintasi sekitar 75 kilometer
dalam garis lurus"layaknya gagak terbang"sebelum
mereka keluar dari perbukitan tinggi dan memasuki
yang lebih rendah. Tapi mereka tidak terbang. Tikungan
dan belokan akan menggandakan jarak, naik turun akan
membengkakkan jaraknya tiga kali lipat. Kemana tepatnya
mereka pergi" Beberapa tempat masuk dalam catatan,
tetapi sekarang tidak ada yang tahu mengenai jalan
setapak, karena ketika jalan yang ada sekarang ditebang
320 Jalan Panjang Menuju Kematian
dan diaspal tidak ada lagi yang menggunakan jalan
setapak. Para pemetik jamur dan pembakar arang tidak
cukup untuk membuat jalan itu tetap bersih. Saat itu
udara panas, sangat panas. Dan ditambah lagi ada tawon
dan ular berbisa. Semua ketidaknyamanan ini dicatat
oleh penulis Inggris, Alan Booth, yang mendaki Gunung
Eno pada 1986. Dan lalat: "Mereka makan di ketiakku,
berenang di keringatku, terbang ke mulutku, dan mati
di rambutku." Sebuah anekdot tentang Saigo dalam perjalan
mundurnya yang luar biasa ini dituturkan pada salah
satu penulis biografinya"ini pasti sudah ada sekitar
tahun 1950"oleh seorang petani tua bernama Kawakami
Takeshi. Ia masih seorang anak kecil ketika berjalan
dengan seorang pria bernama Maki dan mereka melihat
Saigo datang ke arah mereka, menyandang pedang dan
mengenakan topi: Maki menghentikanku secara tiba-tiba dan berkata, "Tunggu
sebentar, Nak." "Apa yang terjadi?" tanyaku, sambil berbalik. "Kau harus
minggir, karena sang Tuan akan lewat."
Kami berdua minggir ke sisi kiri. Saigo yang Agung sedang
berjalan dengan tenang, memakai topi (dari salah satu sekolah
swasta), dan menyandang pedang di sisinya. Dia tampak
seolah sedang berburu dengan nyaman di lapangan yang
damai, lupa akan kehadiran musuh. Ketika aku berpikir bahwa
inilah alasan bagi sikap agung dan kebesaran hati pahlawan
terbesar yang pernah lahir ke dunia, tak bisa tidak aku
mengaguminya. "Betapa agung sang Tuan itu!"
"Ya, dia adalah dewa."
321 John Man Kemudian Saigo menyejajarkan diri, mereka membungkuk, dan Saigo membalasnya. Itulah inti kenangan
Kawakami. Seorang lelaki yang merupakan seorang
samurai, mantan jenderal dan menteri kelas atas, yang
semestinya terbebani kekalahan dan kematian yang akan
segera datang, membalas penghormatan kedua petani
itu. Untuk si bocah lelaki itu, ini adalah keajaiban yang
tak terbayangkan.42 Kelak, keduanya melihat Saigo lagi,
kali ini dalam suasana yang berbeda:
Aku tidak pernah melupakan gambaran Saigo yang Agung
sejak saat itu. Dia berjongkok dengan siku di lututnya, gagang
pedang mengarah ke depan, bahu kirinya sedikit lebih tinggi
dari kanannya, bibirnya erat mengerucut, matanya menyorot
tajam pada sejumlah laki-laki yang mengikutinya menyusuri
jalan setapak itu. Tatapan yang mengerikan itu pasti sebuah
teguran untuk kelambanan mereka. Seekor hewan buas yang
mendekam untuk menerkam mangsanya telihat kalah garang.
Sedikit selingan mengenai kesehatan Saigo, yang dalam
beberapa laporan dikatakan buruk. Dalam dua kenangan
ini, ia berjalan dan berjongkok, bukan sesuatu yang
mudah dilakukan oleh orang yang sakit. Benar, kesehatannya pernah terganggu, tapi tak ada tanda apa pun yang
menunjukkan kelemahan atau ancaman terhadap jiwanya.
Namun penjelasan lain mengatakan dia digotong dalam
sebuah "tandu", mungkin tak lebih dari usungan kayu
atau pikulan. Anekdot lain dalam biografi yang sama
menggambarkan, karena gugup saat hendak melewati
jembatan tali dan kayu yang bergoyang-goyang menye42 Kutipan ini dari Morris, The Nobility of Failure. Kisah ini diceritakan kembali oleh
Alan Booth dalam Looking for the Lost. Kedua penulis itu mengambilnya dari penulis
biogra" Saigo, dramawan, novelis, dan penyair Mushakoji (atau Mushanokoji)
Saneatsu (1885"1976).
322 Jalan Panjang Menuju Kematian
berangi sungai di dalam tandunya, dia turun dari tandu,
melepas mantelnya dan merangkak. Banyak kondisi
patalogis yang dikaitkan pada Saigo, termasuk filariasis
(penyakit yang ditularkan nyamuk dan membengkakkan
bagian-bagian tubuh; mungkin ia tertular di Amami
Oshima atau Okinoerabu), hernia, atau demam; tapi tak
ada bukti yang membenarkan bahwa ia menderita
penyakit-penyakit tersebut.
Indikasi terbaik mengenai apa yang terjadi dengannya
adalah hasil otopsi resmi setelah kematiannya, yang
melaporkan adanya "pembengkakan pada kantung zakar".
Dengan kata lain, ia menderita kelebihan cairan dalam
hidrosel, kantung yang mengelilingi masing-masing testis.
Inilah yang menyebabkan pembengkakan. Kadang-kadang,
kelebihan cairan itu disebabkan oleh penyakit, dan
tampaknya bukan kasus yang dialami Saigo. Biasanya
tidak nyeri, tapi dapat menyebabkan rasa tidak nyaman,
terutama jika banyak berjalan. Karena itulah, kita harus
asumsikan, Saigo menggunakan tandu. Di desa Akadani,
seorang tua mengatakan kepada Alan Booth:
Saudara laki-laki kakekku (Sakada Bunkichi) berusia enam
belas atau tujuh belas tahun pada saat itu. Beberapa pengikut
Saigo berhenti di rumah (di dusun dekat sini, Miyanohara)
dan bertanya padanya apakah dia akan membantu membawa
tandu. Testis Saigo membengkak agak parah dan dia tidak
bisa berjalan. Dia duduk menunggu di halaman kuil. Saudara


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki kakekku membantu membopongnya sampai kuil
berikutnya di Sakamoto, empat kilometer lagi jauhnya, di
mana ia berencana untuk menghabiskan malam. Saigo ingin
membayarnya karena ia sudah membantu, tetapi dia tidak
punya uang. Jadi sebagai gantinya Saigo memberinya kantung
yang terbuat dari kulit kelinci yang dia gunakan untuk
323 John Man menyimpan tembakau. Kantung itu sangat lusuh setelah
dibawa selama berbulan-bulan pertempuran dan naik turun
pegunungan sehingga saudara laki-laki kakekku membuangnya.
Itu tak lama setelahnya. Kita meninggalkan para
pemberontak bergerak ke arah barat, memasuki pegunungan, menyusuri jalan-jalan setapak. Mereka tidak
hanya berusaha melakukan perjalanan secara rahasia.
Mereka harus bergegas ke tempat pertemuan, Takachiho,
karena kota kecil kuno yang banyak dikagumi ini memiliki
banyak jembatan di atas hulu sungai Gokase yang
mengalir deras. Tentu saja, Yamagata juga tahu tentang
hal itu dan telah mengirim pasukan"cukup makan,
bersenjata lengkap, dan tak perlu selalu bersembunyi"
ke hulu sungai untuk menghadang mereka. Sampai di
sana tepat waktu merupakan hal yang penting, sebelum
Saigo melakukan sesuatu yang dramatis: memang tidak
ada bukti bahwa dia akan berbuat demikian, tapi ia bisa
melakukannya. Takachiho, kemudian dikenal sebagai Mitai, adalah
salah satu dari dua tempat yang diklaim menjadi tempat
mendaratnya cucu dewi matahari, membawa kemegahan
kerajaan dari surga"cermin, pedang, permata"yang
sudah menjadi simbol kekuasaan kaisar sejak zaman
dahulu (secara kebetulan, nantinya Saigo akan melewati
Takachiho dalam perjalanan agungnya ke Kyushu). Dewi
matahari sendiri menghilang ke sebuah gua terdekat,
menenggelamkan dunia ke dalam kegelapan sampai
seorang dewi lain memikatnya ke luar dengan tarian
cabul dan menggelikan. Ini menjadi inspirasi bagi tarian
tradisional yang saat ini menjadi salah satu atraksi wisata
utama kota itu"jika Anda bisa sampai di sana, yang
bahkan saat ini pun cukup menantang. Dulu, tempat itu
324 Jalan Panjang Menuju Kematian
memiliki lebih dari 500 tempat ibadah, dan sekarang
masih memiliki selusin kuil. Apa yang mungkin dilakukan
Saigo untuk memperoleh keuntungan politis dari segala
kesucian dan simbolisme ini masih menjadi teka-teki
bagi setiap orang. Ini tentu akan menjadi tempat yang
dramatis untuk mementaskan tembak-menembak yang
terakhir. Perintah Yamagata adalah melumpuhkan dia,
membunuh dia, menangkap dia"apa pun untuk
menghentikannya di tempat, dan untuk alasan inilah dia
membawa pasukannya menjauh dari Kagoshima dan
sekarang mengejar Saigo dengan jumlah pasukan yang
sangat besar, dengan sejumlah kontingen yang diturunkan
dari kapal di tiga kota pesisir siap untuk berbaris ke
seluruh negeri dan menghentikannya.
Diperlukan tiga hari bagi kedua pasukan itu untuk
mencapai Takachiho. Mereka bertemu pada 21 Agustus,
tepat di luar kota. Para pemberontak tidak bisa mengharapkan kemenangan, mundur kembali sepanjang ngarai
sepanjang tujuh kilometer yang berupa tebing terjal
berwarna kelabu yang diukir oleh sungai Gokase pada
lava.43 Tidak ada yang bisa dilakukan sekarang kecuali
terus berlari, pulang ke Kagoshima, dan di sana
menemukan kematian dalam kemuliaan apa pun yang
masih mungkin. Di desa mereka masih punya waktu
untuk merampas 7.280 yen dalam bentuk tunai dan
2.500 karung beras"yang tampak terlalu banyak untuk
dibawa ke pegunungan oleh 300 lelaki (ataukah 500"
Berbagai sumber memberi informasi beragam, tapi lihat
catatan saya di halaman 257)"sebelum menuju ke barat
daya, mengikuti lembah sungai, kembali ke timur ke
43 Lava itu bukan berasal dari Sakurajima tapi dari gunung rapi lain yang jauh lebih
besar, Gunung Aso, 30 kilometer ke utara. Aso, gunung berapi terbesar di Jepang,
adalah salah satu gunung terbesar di dunia. Letusannya sekitar 300.000 tahun yang
lalu menciptakan kaldera selebar 25 kilometer, bahkan lebih besar dari Sakurajima.
325 John Man jalan menanjak yang berkelok dan berpilin seperti spagheti
dan melewati puncak Iiboshi, dan akhirnya kemudian
ke arah selatan, di mana jalan berkelok kembali ketika ia
menuruni punggung gunung menuju sungai. Sakamoto,
Morotsuka, di sekitar lereng Gunung Shimizu, melewati
sebuah pas lagi, turun ke sungai Matae-no-haru.
"Pasukan Satsuma turun dari pas melalui Matae-noharu, menyusuri jalan yang Anda lewati hari ini," kata
seorang pria berumur 70 tahun, Tsushida, kepada Alan
Booth. "Setiap kali mereka melewati sebuah rumah atau
pondok, warga yang tinggal di sana keluar dan memberi
mereka shochu (minuman beralkohol setempat) dan acar
prem dan apa pun yang dapat mereka bagikan... Tetapi
ketika kemudian pasukan pemerintah lewat jalan itu di
malam hari, mereka berpaling dan mengabaikannya.
Sebagian karena mereka sangat mengagumi Saigo, dan
sebagian lagi karena mereka merasa kasihan kepada
pengikutnya, yang hanyalah para bocah.
"Saat Saigo dan anak buahnya mencapai (desa)
Mikado," Tsushida melanjutkan, "mereka mulai ditembaki
oleh para penembak jitu dari kelompok perintis yang
telah membalap melintasi pas dan menyebar di sepanjang
jalan. Jadi mereka bersembunyi di antara gedung-gedung
yang tersebar di lembah itu. Di sebuah rumah di sisi
kanan, sejak sekitar pukul empat sampai sekitar pukul
delapan pada malam tanggal 24 itu, Saigo sendiri sedang
beristirahat dan menyantap sesuatu. Ini membingungkan
para anggota masyarakat sejarah setempat kita selama
bertahun-tahun, Anda tahu. Satu menit Saigo berada di
bawah tembakan senjata, dan menit berikutnya ia duduk
menikmati camilan... Mungkin saja telah terjadi gencatan
senjata sementara, karena bahkan musuh Saigo pun
sangat mengaguminya. Tiga orang Satsuma tewas dalam
326 Jalan Panjang Menuju Kematian
bentrokan tersebut. Anda dapat melihat kuburan mereka
di desa." Malam itu, terjadi sebuah insiden yang menegaskan
sifat aneh dari perang ini, dan Saigo sendiri. Begitu
pasukan kekaisaran bergerak maju, anak buah Saigo
turun ke hutan di sekitar. Saat senja tiba sebagian besar
rumah di desa itu diminta oleh pejabat kerajaan untuk
tidur larut. Ketika gelap turun para pemberontak muncul
untuk bergabung dengan Saigo, dan pada saat melewati
sebuah kuil mereka menemukan bahwa seorang pejabat
medis kekaisaran menginap di sana tanpa penjaga. Jadi
mereka menangkapnya, menyeretnya menghadap Saigo,
dan bertanya apakah mereka harus memenggal kepalanya.
Mereka, tentu saja, hanyalah bocah remaja belasan tahun
atau awal dua puluhan: kepala mudah panas, tak berpikir
panjang, bersemangat untuk membuktikan semangat
mereka bahkan dalam keadaan yang mengerikan ini.
Saigo memarahi mereka dengan lembut, meminta mereka
pergi, dan mengajak petugas medis itu untuk duduk dan
berbagi shochu. Perang, katanya, berat bagi semua. Dia
mendoakan petugas medis itu, berharap ia segera tiba di
rumah dengan aman bersama keluarganya, dan
mengirimnya kembali ke penginapan di kuil.
Pada pukul satu dini hari, dalam hujan, Saigo dan
kelompoknya berangkat lagi. Turun ke Shiromi, melintasi
wilayah itu, melewati pas demi pas, ke arah barat ke
Mera, Murato, Suki"tempat kecil yang tidak ada di
setiap peta yang saya temukan. Lagi pula, pada titik ini
berbagai sumber tidak menyebut dengan jelas tentang
rute yang dilalui Saigo. Apakah ke selatan melewati pas
Omata yang memutar, atau melewati punggung gunung
lebih jauh ke barat, menyeberangi perbatasan prefektur
masuk ke Kumamoto" Ini tidak terlalu penting. Saat itu
327 John Man adalah 27 Agustus, Saigo telah melarikan diri selama
sembilan hari, dan bagian gunung yang terburuk telah
berlalu. Pada 28 Agustus ia mencapai Kobayashi, sebuah
kota yang sesungguhnya, tepat waktu untuk menakutnakuti pasukan kekaisaran yang kelelahan, yang bergerak
maju dari pantai berjarak sehari perjalanan. Seolah ini
adalah sebuah kemenangan besar, sekitar 300 tentara
bergabung dengannya"sebenarnya bergabung kembali,
karena mereka adalah sebagian dari orang-orang yang
telah mengecilkan pasukan Saigo dengan kembali ke
rumah saat dia melarikan diri ke sini setelah pengepungan
Kumamoto beberapa bulan sebelumnya, demikian kata
satu sumber yang tepercaya.44 Kagoshima terletak 60
kilometer di depan, dan semangat telah berkobar kembali.
Sejak di Tabaruzaka lima bulan sebelumnya, Saigo
selalu lolos dengan selisih setipis rambut atau selangkah
di depan Yamagata. Sekarang, dalam gerakan terakhir
ini, kecepatan sangat penting. Pasukan kekaisaran yang
baru saja mereka takut-takuti sedang kembali menuju
Kagoshima untuk memperkuat pertahanannya yang
lemah, menyusuri belantara vulkanik Kirishima yang
besar"23 gunung, 10 danau kawah, sejumlah mata air
panas, dan Takachiho lain, yang (dengan bukti yang
sedikit lebih baik) juga mengklaim sebagai gunung di
mana cucu dewi matahari turun ke bumi membawa
kemegahan kerajaan. Sekarang turis memenuhi area
seluas 200 kilometer persegi ini, karena ia merupakan
44 Sumber ini adalah fotokopi peta pelarian Saigo dari Gunung Eno ke Kobayashi. Saya
tidak tahu kapan atau oleh siapa salinan itu awalnya diterbitkan, tetapi salinan itu
dibuat untuk saya oleh Tsuyoshi Takayanagi, kepala museum peringatan di
Pemakaman Nanshu dan pakar tentang Saigo. Penjelasannya tentang tanggal dan
tempat akurat, jadi saya cenderung percaya pada dokumen ini. Ia membuat masuk
akal banyaknya perbedaan jumlah orang di awal dan akhir pelarian melewati Kyushu:
500 orang melarikan diri dari Gunung Eno, ditambah 300 yang bergabung kembali,
yang berkurang menjadi 600 orang ketika tiba di Shiroyama.
328 Jalan Panjang Menuju Kematian
taman nasional tertua dan mungkin yang paling indah
di Jepang. Untuk Saigo, ia akan menjadi perangkap mematikan. Jadi, ia dan kelompok kecilnya juga menyusur
ke utara, kemudian berbelok ke selatan, melalui Yoshimitsu
dan Yokogawa, di mana jalan kendaraan bermotor
sekarang melewati bandara. Kemudian dia mungkin
kembali ke jalan pantai, yang telah berkali-kali dia lalui
melewati Kajiki, jalan yang melewati titik di mana dia
"pulih" setelah gagal menenggelamkan diri. Tetapi pantai
itu berbahaya, karena berada dalam jangkauan armada
kapal perang Yamagata, yang telah tiba atau akan tiba
tak lama lagi. Jadi, ia dan bala tentaranya yang campur aduk,
sekarang berjumlah sekitar 600, paling tangguh di antara
yang tangguh, terbiasa hidup jauh dari daratan,
bersemangat untuk mati dengan mulia, tiba tepat di luar
Kagoshima pada hari terakhir Agustus. Hari berikutnya
Saigo berjalan"atau ditandu, siapa yang tahu"sepanjang
jalan di punggung gunung di atas Kajiki, 10 kilometer
ke pedalaman, ke desa Kamo, di mana dia menghabiskan
malam dengan aman dari peluru meriam Yamagata.
329 PERTAHANAN TERAKHIR SAIGO HARI BERIKUTNYA, DEMI MENGHINDARI PASUKAN PERTAHANAN
kekaisaran yang ganas, Saigo bergabung dengan anak
buahnya menuju bukit kecil yang curam dan berhutan
Shiroyama"Bukit Benteng"yang mendominasi Kagoshima. Sebagian menyerang pasukan kekaisaran yang
telah menduduki salah satu sekolah swasta di kaki bukit
dan berusaha memindahkan empat artileri sebelum
musuh meluncurkan serangan balasan dan memaksa
mereka keluar lagi. Anda masih dapat melihat ratusan
lubang peluru yang melukai dinding batu. Tetapi belum
ada perlawanan besar-besaran terhadap pemberontak
yang kembali. Saigo tidak meninggalkan penjagaan ketika
ia melakukan perjalanan keluar enam setengah bulan
sebelumnya, mempertaruhkan semuanya dalam perjalanannya ke Tokyo; dan Yamagata telah membuat
kesalahan yang sama, mempertaruhkan segalanya dalam
upaya penangkapan Saigo di Tabaruzaka, Miyazaki,
Nobeoka, atau Kobayashi. Jadi sekarang para pemberontak
dapat mengambil pedang, empat meriam, dan 50 senjata
330 Pertahanan Terakhir Saigo
api mereka, juga sejumlah kecil simpanan amunisi yang
mengenaskan dan mendaki tanpa hambatan ke sisi
berhutan Shiroyama. Kematian sangat mungkin terjadi,
tapi masih bisa dielakkan. Mereka masih dapat bermimpi.
Jika bisa membuat diri mereka tak terkalahkan, mereka
mungkin masih dapat keluar dan merebut kembali kendali
atas Satsuma, masih bisa menghalangi perubahan dalam
waktu cukup lama untuk bertanya pada pemerintah
tentang keputusannya. Mungkin ada sebagian pihak
yang benar-benar memercayai hal ini. Kalau begitu,
mereka tidak tahu hambatan buruk apa yang akan segera
mereka hadapi. Brigade demi brigade pasukan kekaisaran mengalir
kembali ke Kagoshima: dua pada hari yang sama, dua
lagi pada dua hari berikutnya, dan yang kelima melalui
laut pada 8 September. Akhirnya, sekitar 35.000 pasukan
bersiaga untuk membentuk pengepungan sekuat baja di
sekeliling Shiroyama. Tapi hampir saja ada pengepungan
seperti itu di sekeliling pemberontak sebelum mereka
melarikan diri lewat Gunung Eno, dan Yamagata tidak
mengambil risiko lagi. Sikapnya menggambarkan pepatah
Jepang: Sekali terbakar oleh sup panas, orang akan
meniup sushi. Dia sudah terlalu sering terbakar selama
beberapa bulan terakhir ini.
Di Shiroyama pemberontak menggali parit"dengan
sekop yang disediakan oleh beberapa warga setempat
yang tinggal di bukit"dan membangun pagar dari bambu


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diambil dari hutan sekitar. Menurut sebuah perkiraan,
mereka ada sekitar 281 orang, bersama 80 tukang pikul
yang bukan tentara; mungkin 600, jika peta saya benar;
tidak ada yang tahu pasti. Mereka dibagi ke dalam
sepuluh posisi pertahanan di puncak bukit, dengan 26
orang ditugaskan sebagai pengawal Saigo. Mereka tidak
331 John Man memiliki amunisi untuk senjata lapangan, dan sangat
sedikit untuk senapan, yang membuat mereka berusaha
sebaik-baiknya dengan membuat tungku guna mencetak
peluru sendiri, menggunakan logam dari selongsong
yang ditembakkan lawan dan dari gambar Buddha kecil
yang terbuat dari timah dan tembaga. Mereka tidak
memiliki obat-obatan sama sekali. Pada beberapa
kesempatan ketika anggota tubuh yang terluka harus
diamputasi, pekerjaan itu dilakukan menggunakan gergaji
tukang kayu biasa. Dan mereka hampir kehabisan
makanan. Dua hari setelah menduduki bukit, 70 orang
dari mereka mencoba merampok toko gandum milik
pemerintah dekat sekolah swasta, tapi terlambat: tentara
kekaisaran sudah berada di posisinya dan lebih dari
setengah penyerbu gudang itu tewas, sisanya mundur
kembali dengan tangan kosong.
Sekarang ini, mendaki jalan berliku menuju sebuah
arena parkir mobil adalah perjalanan yang mudah,
bahkan lebih mudah lagi jika Anda menggunakan salah
satu bus kuno yang masih terpelihara baik yang dapat
mengantar Anda sampai puncak. Pada hari yang cerah
terlihat indahnya pemandangan kota, teluk, dan gunung
api. Lapangan tempat berkumpulnya para pemberontak
pada musim salju Februari itu masih merupakan ruang
terbuka di antara pepohonan kamper, rumputnya terkikis
oleh injakan kaki yang tak terhitung jumlahnya.
Dari atas sana pada September itu, mereka bisa
melihat lima kapal perang melempar jangkar di teluk,
lihat asap yang mengepul dari senjata ketika mereka
mulai membombardir bukit dan daerah sekitarnya,
menyaksikan pengulangan apa yang terjadi ketika armada
kapal Inggris melakukan hal yang sama empat belas
tahun sebelumnya. Kebakaran terjadi pada beberapa
332 Pertahanan Terakhir Saigo
rumah kayu di pinggiran kota. Peluru meriam menghancurkan dua sekolah di kaki Shiroyama. Mereka yang
berada di bukit terlindungi dengan baik dari tembakan
senapan oleh pepohonan, meski siapa pun yang terlihat
akan segera mendapat berondongan tembakan. Tapi
tidak ada pertahanan yang dapat melindungi dari tembakan
meriam ini, yang, pada tanggal 12 itu, tidak hanya
datang dari kapal tapi dari pasukan artileri yang ditempatkan di sekeliling gunung.
Dan tali perangkapnya masih dikencangkan. Yamagata
mengeluarkan instruksi: Ya, bukit ini sekarang sudah
dikepung, tapi tak perlu terburu-buru melakukan serangan
terakhir. Lebih baik selamat daripada menyesal. Jika
anak buah Saigo memang menyerang, dan jika mereka
mengancam untuk menerobos, unit yang berdekatan
harus membuka serangan tanpa pandang bulu, bahkan
jika itu berarti menembak prajurit mereka sendiri. Ini
merupakan perintah yang menunjukkan rasa takut
terhadap para samurai Saigo yang jauh melebihi proporsi
ancaman yang sesungguhnya. Memiliki keunggulan
seratus banding satu tidaklah cukup. Tidak boleh ada
sedikit pun kemungkinan untuk lolos. Untuk tujuan ini,
Yamagata memerintahkan pembentukan rintangan runit
yang tak dapat dilewati, mengingat perlawanan yang
minimal. Hal ini digambarkan oleh John Hubbard,
kapten yang telah menyaksikan banyak pertempuran di
sekitar Nobeoka dan Gunung Eno. Dia berlayar kembali
ke Kagoshima pada 21 September, dan melihat rintanganrintangan itu di hari berikutnya. Pertama pagar bambu
ganda setinggi dua meter dalam pola silang, membentuk
deretan berbentuk berlian. Pagar ini didukung oleh
papan yang dipenuhi paku, kemudian parit sedalam satu
meter dan lebar hampir empat meter; kemudian kotak
333 John Man dari bilah-bilah bambu, sepanjang enam meter dan menjulang setinggi setengah meter dari tanah, sehingga jika
ada yang melompatinya, kakinya akan mengenai bilahbilah bambu yang merobek kakinya; kemudian parit
lain sepanjang enam meter, yang satu ini penuh dengan
cabang-cabang kecil; dan akhirnya tembok tanah dan
kantung berisi tanah; lebar dua meter pada dasarnya
dan setengah meter di bagian puncaknya, di belakangnya
para tentara berlindung dan berjaga. Kesimpulannya, ini
adalah bukti rasa takut luar biasa yang disebabkan oleh
Saigo, anak buahnya, dan pelarian mereka yang sebenarnya
merupakan bunuh diri. Hubbard menggambarkan adegan itu kepada istrinya
setelah pergi ke darat dengan dua kapten lain:
Kami berjalan selama tiga jam di atas tanah yang pernah
dikuasai oleh kota Kagoshima yang cantik. Sebelum perang,
ada ribuan rumah; sekarang tak sampai lima puluh yang
masih tersisa... Aku berjalan di antara reruntuhan, gagal
mengenali sebuah lokasi yang sebelumnya sangat aku kenal
dengan baik. Sekitar dua pertiga bagian dari wilayah yang
sebelumnya dikuasai kota sekarang direbut pendukung
kekaisaran, dan sepertiga sisanya dikuasai pemberontak.
Sepertiga bagian ini berada di dasar bukit yang curam, selebar
sekitar satu mil, dengan barisan bukit di tiga sisinya dan kota
Kagoshima di depannya. Area ini sepenuhnya dikelilingi oleh
pasukan kekaisaran yang telah membangun benteng kuat dan
kokoh sehingga tampak tidak mungkin bagi pemberontak
untuk melarikan diri... Mereka mungkin akan bertahan sampai
perbekalan mereka habis, dan kemudian menyerah atau bunuh
diri. Pasukan kekaisaran jelas tidak berniat untuk meninggalkan
kubu pertahanan dan menyerang mereka, karena itu akan
menyebabkan hilangnya banyak nyawa. Mereka terus berjagajaga di balik benteng, dan jika seorang pemberontak
334 Pertahanan Terakhir Saigo
menunjukkan dirinya ia segera akan ditembak. Mereka terus
menembakkan meriam dan melempar bom ke arah bukit
siang malam, tetapi pemberontak belum melepaskan satu pun
tembakan selama minggu lalu. Diperkirakan amunisi mereka
sudah habis terpakai. Di atas bukit, para ajudan Saigo begitu gugup mengenai
keselamatannya. Tak pantas baginya, sebagai komandan
samurai, direnggut oleh peluru atau bom ditembakkan
secara acak. Di sejumlah lereng di bawah puncak
Shiroyama kebetulan ada sejumlah tebing terjal, dengan
lava yang cukup lunak untuk terkikis oleh air hujan
menjadi gua dangkal, juga cukup lunak untuk digali lagi
guna membuat tempat perlindungan. Pada 19 September,
setelah dua minggu lebih pengeboman, beberapa gua
ini, yang menghadap ke wilayah terbuka namun terlindung
baik oleh pepohonan yang tumbuh dari tebing di atas,
menjadi markas Saigo. Beberapa menit berjalan dari puncak membawa Anda
ke lapangan kecil, yang kini menjadi sebuah toko oleholeh dan galeri yang dibuat dengan memotong bebatuan
vulkanik. Sebuah patung Saigo berukuran besar menjaga
pintu masuk galeri, yang dipagari oleh lukisan cat air
yang menggambarkan jalannya pertempuran. Keluar
melalui toko, dengan deretan rak berisi barang-barang
berbau Saigo"patung, biskuit berbentuk Saigo, mug,
potret"dan Anda berada di gua itu sendiri. Seluruhnya
ada sepuluh, dua menjadi basis Saigo yang dipagari
seperti kapel samping di katedral. Satu, hanya setinggi
satu setengah meter, cukup besar untuk dua orang tidur
di dalamnya. Yang lain lebih tinggi, hampir setinggi
Saigo, tapi tak lebih dalam. Gua-gua itu bukanlah tempat
yang ingin Anda tempati, apalagi selama lima hari.
335 John Man Pada tanggal 22, dua ajudan Saigo mendekatinya
untuk menanyakan bisakah mereka mencari tahu apakah
jiwa Saigo dapat diselamatkan. Mungkin tidak, Saigo
berkata pada mereka, kecuali jika perdamaian dapat
dirundingkan, tetapi ia senang mengizinkan mereka
mencoba. Sambil melambaikan bendera putih mereka
menjelajah menuruni bukit, meninggalkan Saigo untuk
memberikan pernyataan, yang tidak menawarkan harapan
untuk bertahan hidup, tapi banyak penyelamatan:
Kono Shorichiro dan Yamanoda Ichinosuke baru saja dikirim
ke kamp musuh untuk memberi tahu mereka tentang tekad
bulat pasukan kita untuk melawan sampai mati dan secara
sempurna memenuhi hubungan sejati antara penguasa dan
rakyat dalam usaha besar kami ini. Kita tidak punya niat
untuk menemui kematian di pengadilan. Kita akan menjadikan
gunung ini bantal kita. Kini kerahkan kekuatanmu habishabisan. Bulatkan tekad untuk bertindak, sehingga tidak akan
ada rasa malu yang tercermin pada anak cucu.
Pada di garis pertahanan kekaisaran, keduanya segera
ditangkap dan ditahan sebagai pembelot. Keesokan
harinya seorang perwira senior membawa mereka untuk
menemui Yamagata, yang memberitahu mereka bahwa
tidak akan ada negosiasi. Atau mungkin bukan Yamagata,
karena, seperti biasa, berbagai sumber memberikan
keterangan bervariasi. Mungkin ia adalah komandan
setempat, Kamura, seperti dikatakan oleh pemandu kami
yang berbicara dengan cepat, Morio. Apa pun itu, dia
mengirim pesan yang tak kenal kompromi: menyerah
pada pukul lima sore ini, atau kami memulai penyerangan
terakhir pagi esok. Hanya satu dari kedua perwira itu
yang kembali membawa jawaban. Yang lain, Kono
336 Pertahanan Terakhir Saigo
Shorichiro, ditahan sebagai sandera, dan berhasil selamat
untuk memainkan peran penting dalam pemulihan
reputasi Saigo. Apakah Yamagata, yang pernah menjadi teman Saigo,
mengeluarkan ultimatum sendiri atau tidak, dia samasama terjebaknya dalam tugas muramnya itu seperti
Saigo yang terjebak dalam idealismenya yang salah
tempat. Dia menderita, begitu yang diungkapkan
belakangan. Buktinya, bersama utusan yang kembali itu
dia mengirimi Saigo sepucuk surat yang panjang dan
mengharukan, memohonnya untuk menyerah dan tetap
hidup. "Yamagata Aritomo, teman lamamu," ia memulai,
"merasa terhormat untuk menulis untukmu, Saigo
Takamori Kun (teman lama)." Kau sekarang pastinya
sudah melihat betapa tidak masuk akalnya pemberontakan
yang kau pimpin ini. Kau pasti telah dibutakan terhadap
jalannya sejarah oleh kesetiaanmu pada anggota klanmu.
Mungkin juga kau berada di dalam genggaman mereka
yang ingin memanfaatkanmu demi tujuan dan kepentingan
mereka sendiri. Cukup bisa dimengerti bila kau hendak
mempertanyakan mereka yang berwenang di Tokyo. Itu
semua bisa dilakukan sesuai aturan. Tapi ini menjadi
sebuah pemberontakan. Ini benar-benar tak bermakna.
Kau berjuang hanya untuk pengikutmu, mereka berjuang
hanya untukmu, dan keduanya tidak memiliki alasan
yang nyata untuk melawan pasukan kekaisaran. Karena
itu mengapa pertumpahan darah ini terus terjadi"
Mengapa tidak segera mengakui bahwa bukan dirimu
yang membuat pemberontakan ini dan segera mengakhiri
permusuhan" "Aku akan sangat senang jika kau mau
masuk sedikit ke dalam perasaanku," ia menutupnya.
"Aku menulis ini, sambil menahan air mataku, meskipun
tulisan tidak dapat mengungkapkan semua yang ada
337 John Man dalam pikiranku." Jika ini benar"dan hampir semua yang dikatakannya
tentang rincian pribadi selama pertahanan terakhir ini
patut diragukan"tak membuat kesan apa-apa bagi Saigo.
Yang konon dikatakannya adalah: "Surat ini tidak perlu
dijawab." Keputusan itu tampaknya membuat dia dan pembantu
terdekatnya merasakan semacam perasaan agung, seolaholah mereka adalah martir dalam perjalanan menuju
kemuliaan. Sementara penembakan acak terus berlanjut
hingga malam hari, dia dan selusin rekan berkumpul
mengadakan pesta?"Pesta?" Saya kira saya salah mendengar bahasa Inggris Morio yang tidak jelas. Dia tidak
punya banyak kesempatan berlatih, dan dia begitu ingin
menjelaskan sehingga kata-katanya sulit mengerti.
"Pesta, ya-a-a, sebuah pesta perpisahan. Seseorang
memiliki biwa (semacam kecapi berleher pendek) dan
dia menyuruh pengikutnya memainkan biwa, melakukan
tarian pedang, dan meminum sake, cangkir pesta! Cangkir
pesta!" (saya kira maksudnya adalah "bersulang".) "Dan
mengucapkan selamat tinggal kepada dunia dalam puisi."
Jika aku setetes embun, aku akan berlindung di ujung daun,
tapi, sebagai manusia, aku tak memiliki tempat di seluruh
dunia ini. Tepat pukul tiga dini hari, rentetan senjata berhenti.
Di bawah bulan dua hari dari purnama, keheningan
mencekam pepohonan, tempat perlindungan yang kotor,
gua-gua, dan mereka yang tahu bahwa ajal mereka
hampir tiba. Keheningan itu berlangsung selama satu
jam, sampai fajar mulai menerangi langit. Kapten Hubbard,
338 Pertahanan Terakhir Saigo
dalam kapalnya yang berlayar di teluk, mendengar
pengeboman itu, keheningan tiba-tiba itu, dan kemudian,
pada pukul 4.00, "kemunculan senapan", ditandai dengan
kilatan-kilatan cahaya pada sisi bukit yang masih gelap.
Pasukan kekaisaran menuju puncak, menggilas para
pemberontak sebelum mereka memiliki kesempatan
untuk menggunakan pedangnya. "Saat matahari terbit
kami melihat bukit dipenuhi oleh tentara kekaisaran
dan kami dapat menyaksikan saat mereka berjalan ke
cekungan dan lembah dan memburu pemberontak.
Tembakan hanya berasal dari satu sisi karena pemberontak
tak lagi memiliki amunisi."
Dua jam kemudian, pertempuran itu hampir berakhir.
Beberapa sumber mengatakan hanya 40 orang yang


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih hidup, tapi ada beberapa bukti mengatakan 100
orang, sebagaimana akan kita lihat. Jika demikian, 400
tewas, setidaknya 65 persen, mungkin 80 persen, dari
anak buah Saigo. Di luar gua, sambil mendengarkan
suara tembakan mereda, kelompok ajudan Saigo memutuskan mereka harus bergerak sebelum diburu dan
ditembak atau ditangkap. Apa yang mereka rencanakan
untuk dilakukan ketika mereka bertemu pasukan
kekaisaran, yang pastinya akan terjadi, kita tidak tahu.
Mungkin niat mereka adalah mati dengan kematian
yang mulia, pedang di tangan, senjata terisi. Tempat itu
berada di lereng yang tak jauh dari gua, beberapa ratus
meter dari jalan berkelok-kelok yang turun ke lembah
yang dialiri sungai musiman, Iwasaki. Beberapa sumber
mengatakan mereka membawa tuan mereka dengan
tandu, beberapa sumber lain mengatakan dia berjalan,
dilindungi oleh empat pengikutnya: Beppu Shinsuke
(orang kedua yang dipilihnya), Kirino Toshiaki, dan dua
yang lain. Satu-satunya hal yang pasti adalah pakaiannya,
339 John Man karena masih melekat di tubuhnya ketika ditemukan:
kimono ringan bermotif garis-garis kuning tanpa pelapis,
dengan ikat pinggang putih pria dan celana ketat biru
tua, sangat cocok untuk kematian tradisional. Dari sedikit
bukti, kemungkinannya dia berjalan, dalam kelompok,
perlahan-lahan karena tubuhnya yang besar, kelelahan,
dan testis yang membengkak.
Saya menduga bahwa yang terjadi beberapa menit
setelah ia mulai turun adalah sejumlah tembakan
mendesing dari atas. Buktinya, Saigo tertembak tepat di
luar kediaman apik milik keluarga Shimazu, yang sudah
memiliki seluruh tempat itu sampai restorasi 1868.
Lukanya"yang diketahui dari laporan yang dibuat
setelah kematiannya?"dari pinggul kanan ke tulang
paha kiri". Ini adalah sudut yang aneh untuk sebuah
luka. Pinggul kanannya pasti telah membelok menghadap
ke atas. Mungkin dia sedang melihat ke belakang melalui
bahu kanannya, setengah berbalik, untuk melihat dari
arah mana tembakan itu datang saat peluru masuk dari
atas, menerobos melalui daging di bagian belakang paha
tanpa mengenai tulang, keluar di sisi lain, dan masuk ke
paha kirinya, menghantam tulang paha kirinya. Luka
yang sungguh mengerikan, yang pastinya telah
merubuhkannya, membuatnya tidak lagi dapat berjalan,
dan yang lebih genting membuatnya tidak mampu
menyelesaikan tindakan seppuku yang akan dipilihnya
untuk mengakhiri hidup, karena ketika mayatnya
kemudian diperiksa, tidak ada sayatan pada perutnya.
Waktu yang ia miliki hanyalah untuk mengatakan
sesuatu seperti, "Shinsuke, di sini kiranya cukup baik.
Tolong lakukanlah kehormatan untuk memenggal
kepalaku," atau "Aku pikir sejauh inilah aku dapat
berjalan," atau "Tempat ini sama baiknya dengan tempat
340 Pertahanan Terakhir Saigo
lain." Ketiganya terdengar cocok. Karena tidak akan
ada seppuku, kata-kata ini menggantikannya untuk
menempatkan Saigo dalam posisi heroik, yang menunjukkan bahwa kata-kata itu bersifat mitis. Siapa yang
mendengar" Siapa yang melaporkan" Ada banyak versi
lain yang kurang agung"bahwa dia ditembak di dalam
tandunya, bahwa Beppu membawanya lebih jauh lagi ke
ke lereng bawah (tapi mengapa" Dan bagaimana"
membawa seorang laki-laki sebesar Saigo"), bahwa dia
sebenarnya melakukan seppuku, bahwa ia dengan mudah
ditembak mati, dan setelahnya Beppu melakukan
penghormatan terhadap jasadnya (lagi-lagi tidak mungkin,
sulit untuk memenggal kepala mayat di tanah). Apakah
dia, seperti diklaim oleh sebagian pihak, menanyakan
arah istana kekaisaran, sehingga dia bisa menghadap ke
arahnya" Saya kira, tak mungkin. Dia sendiri pasti tahu
arahnya, yang sudah diketahuinya sejak masa kanakkanak: timur laut. Ada sinar matahari menerobos di sela
pepohonan yang menunjukkan arah itu. Bagaimanapun,
kita berada di dalam wilayah penciptaan mitos dan
hagiografi, karena tidak ada bukti selain luka di kaki,
yang memberi isyarat pada kemungkinan kebenaran"
bahwa dia tak dapat berjalan lebih jauh lagi, karena dia
akan segera tak sadarkan diri karena sakit dan kehabisan
darah, bahwa dia ingin menyelesaikannya sesegera
mungkin, bahwa semua yang dapat dilakukannya hanyalah
berlutut, bukan secara seremonial karena kakinya terluka,
tetapi pada tangan dan lutut, dan menyerahkan lehernya.
Beppu mengangkat pedangnya, dan dengan sekali
tebas memenggal kepala dari tubuh.
Ajudan lain, Kichizaemon, kemudian membawa kepala
itu ke rumah terdekat dan menyembunyikannya di parit
untuk mencegah musuh menguasainya. Beberapa catatan
341 John Man mengatakan dia mengubur kepala itu, tapi bagaimana
Anda dapat mengubur kepala tanpa sekop, ketika peluru
beterbangan dan kematian begitu dekat" Lagi pula, siapa
yang berhasil selamat untuk menceritakan apa yang
terjadi" Satu-satunya yang pasti adalah bahwa kepala itu
hilang untuk sementara waktu. Cukup mungkin di tengah
kengerian saat itu, dengan rentetan tembakan datang
dari bukit di atas dan tidak ada lagi yang dapat dilakukan
oleh Beppu dan pasukan lain kecuali mati dengan cara
yang baik. Kepala itu menggelinding menuruni bukit
dan masuk ke dalam parit.
Sekarang, jalan mengarah ke bawah, dengan banyak
tikungan, di antara tepi sungai dengan pepohonan tinggi
dan deretan rumah yang rapi, ke persimpangan padat
dengan jalan raya yang muncul dari terowongan tepat di
bawah bukit. Selepas persimpangan ada jembatan kereta
api. Di situlah dulu tentara kekaisaran berada, kata
Morio. Ya, ya, ya. Dua ratus lima puluh meter jauhnya.
Di sebelah kiri adalah situs peringatan, "Situs Bunuh
Diri Saigo Takamori", empat anak tangga naik ke
panggung kecil yang meninggi dengan sebuah tiang
penyangga. Saya berdiri dan bertanya-tanya tentang kata "bunuh
diri". Kata itu memiliki implikasi filosofis yang menarik.
Semua orang menyebut kematiannya sebagai bunuh diri,
yang menurut saya agak meksakan, jika Anda mendekatinya dengan sudut pandang Barat. Kami orang Barat
membedakan antara membunuh diri Anda, mendapat
bantuan untuk membunuh diri Anda, dan menyuruh
orang lain untuk membunuh Anda. Tapi ini Jepang.
Pemenggalan kepala adalah paruh kedua seppuku. Separuh
pertama tentu saja bunuh diri, karena tidak ada yang
bertahan hidup setelah mengeluarkan isi perutnya. Anda
342 Pertahanan Terakhir Saigo
memenggal kepala seseorang sebagai tindakan belas
kasihan, karena hal itu menyelamatkannya dari kematian
yang menyakitkan sekaligus tak terhindarkan; juga, tentu
saja, menganugerahkan martabat tinggi. Jadi, dari sudut
pandang bangsa Jepang, ritual pemenggalan kepala
menyiratkan bunuh diri. Tak perlu benar-benar merupakan
bunuh diri. Memang, secara tradisional sudah cukup
bagi pelaku seppuku untuk meraih pedangnya, atau
bahkan kipas yang melambangkan pedang, untuk membuat
si pemenggal mengayunkan pedangnya. Saigo bermaksud
bunuh diri; jadi bunuh dirilah namanya.
Di lereng bukit itu, sang tuan mati dan titik akhir ada
di hadapan mata, karena di lereng bawah sana tentara
kekaisaran mengarahkan senapan mereka ke atas bukit.
Beppu dan Kirino, berdiri di samping aliran darah,
melihat satu-satunya pilihan mereka adalah mati dengan
cara mereka menjalani hidup, sebagai samurai. Salah
satu dari mereka, atau mungkin keduanya, berteriak"
"Saigo sudah mati! Semua yang mati bersamanya,
berkumpul di sini!?"mengangkat pedangnya dan berlari
menuruni bukit menantang moncong senapan, jatuh
beberapa detik kemudian dalam hujan peluru. (Tentu
saja, hujan peluru senapan tidak cukup dramatis bagi
beberapa sumber, yang mengklaim bahwa mereka jatuh
di bawah badai peluru dari senapan Gatling, pendahulu
senapan mesin yang masih diputar dengan tangan. Benar,
tentara kekaisaran punya beberapa. Tapi tidak ada bukti
mereka menggunakannya di tempat dan waktu ini.)
Beberapa yang selamat di pepohonan dan parit
memiliki waktu untuk melakukan seppuku, dan sisanya
ditangkap. Pada pukul delapan pagi, semuanya berakhir.
Hubbard termasuk yang pertama kali melihat hasilnya.
343 John Man "Setelah sarapan?"istrinya pasti ingin tahu bahwa dia
merawat dirinya"ditemani oleh tiga orang lain, aku
pergi ke pantai. Setelah mendarat kami mendengar kabar
bahwa jasad Saigo dan anak buahnya telah dibawa masuk
dan dibaringkan di sebuah bukit dekat dengan tembok
pertahanan. Ratusan tentara dan kuli naik ke bukit.
Kami bergabung dengan kerumunan dan segera sampai
di atas. Ketika tiba di sana kami mendapati delapan
mayat dibaringkan dalam dua baris. Yang pertama adalah
Saigo. Dia adalah seorang lelaki besar yang terlihat sangat
kuat, kulitnya hampir putih. Pakaiannya telah dilepaskan
dan dia terbaring di sana telanjang.45 Saat itu beberapa
detik sebelum aku menyadari bahwa kepalanya telah
terpenggal. Di sebelah Saigo terbaring Kirino, kemudian
Murata. Jasad Saigo saja yang tanpa kepala, tetapi jasad
lain sangat menakutkan untuk dilihat. Kepala mereka
terpenggal dengan sangat mengerikan.46
Bagaimana dengan kepalanya" Harus ditemukan,
bukan karena ia adalah bukti kematian"tubuh sudah
merupakan bukti yang cukup"tetapi karena kepala
adalah unsur penting dalam ritual kematian tradisional
di medan perang. Butuh pencarian singkat untuk
menemukannya, karena kepala itu tidak berada dekat
tubuhnya. Karena kepala seorang samurai begitu penting
dalam sejarah, kisah tentang kepala Saigo cukup cepat
menarik sejumlah mitos, seolah bagi masyarakat Jepang
ia setara dengan peninggalan suci di katedral Kristen.
45 Tidak ada penyebutan testis yang membesar, yang, kalaupun Hubbard memerhati"
kan hal kecil seperti itu dalam keadaan demikian, tak diragukan lagi bahwa
mengabarkan hal itu dalam surat untuk istrinya adalah hal yang berlebihan.
46 "... dan terlihat jelas bahwa mereka saling bunuh," simpulnya. Tapi ini bukanlah
kesimpulan yang jelas. Tidak ada bukti adanya seppuku atau ritual pemenggalan.
Yang lebih mungkin adalah luka itu berasal dari peluru dan pedang musuh.
344 Pertahanan Terakhir Saigo
Tetapi pasukan wajib militer dan para perwiranya adalah
produk era pascasamurai; mereka tidak membutuhkan
ritual. Hubbard, yang penjelasannya tidak terkenal di
Jepang karena sangat kurang respek, ada di sana. Ketika
dia dan sejumlah temannya mengamati jasad itu, Hubbard
menulis kepada istrinya, "kepala Saigo dibawa masuk
dan ditempatkan di sisi tubuhnya. Kepala itu tampak
begitu luar biasa dan siapa pun akan segera berkata
bahwa dia pastilah seorang pemimpin" Tidak ada ritual,
tidak ada tangisan, tidak ada pidato. Ini hanya soal
mencocokkan kepala dan badan.
Kemudian dalam beberapa hal ada identifikasi formal
dan beberapa komentar yang diumumkan sebagai hasil
otopsi: "Saigo Takamori. Pakaian (yang pastinya telah
dilepas dan diletakkan di dekatnya): kimonon ringan
bermotif garis-garis kuning tanpa pelapis. Celana ketat
biru tua. Luka: kepala terpisah dari tubuh. Luka tertembus
peluru dari pinggul kanan sampai ke tulang paha kiri.
Luka lama akibat pedang di tulang lengan kanan.
Pembengkakan pada kantung zakar."
"Pemandangan yang begitu mengerikan," lanjut
Hubbard, "kami tidak bisa lama-lama memandangnya,
jadi kami berjalan menuruni bukit," melewati barisan
pasukan yang tidak berperang sedang membawa jasad
pemberontak yang tewas di sana. Dalam perjalanan
kembali ke perahu, kami sedikit menyimpang dan pergi ke kurungan besar di
mana ada sekitar seratus tahanan (itu adalah bukti tentang
jumlah yang selamat). Mereka terlihat begitu mengenaskan;
banyak dari mereka masih sangat muda, sementara yang lain
sudah tua dan beruban. Semua tampak sangat sedih dan
kesal. Salah satu petugas di sana mengatakan bahwa mereka
345 John Man semua adalah samurai dan kemungkinan akan kehilangan
kepala juga. Kami berkeliling di antara mereka sampai tengah
hari, dan setelah beristirahat (ternyata mengubah pikiran
mereka untuk segera kembali ke perahu) mulai beranjak ke
bukit di mana para pemimpin Satsuma dan yang lain menemui
titik akhirnya. Kami mendapati jasad mereka yang tewas
sedang dimasukkan ke dalam liang kubur, dan ini, tidak
diragukan lagi, adalah adegan penutup Pemberontakan Satsuma.
346 PENJELMAAN PENJELMAAN SAIGO MENJADI SEPARUH DEWA TELAH DIMULAI
bahkan sebelum kematiannya. Pada musim panas 1877,
sebuah komet muncul, yang kata sebuah surat kabar
daerah membingkai gambar Saigo, jika Anda melihatnya
melalui teleskop. Sebenarnya komet itu, yang dinamai
sesuai nama penemunya seorang Jerman Ludwig d"Arrest
26 tahun sebelumnya, sama sekali tidak luar biasa. Ia
kembali setiap enam setengah tahun dalam bentuk
gumpalan samar-samar. Teleskop membuatnya menjadi
gumpalan samar yang sedikit lebih besar, namun gumpalan
di mana para penggemar Saigo dapat menemukan mimpi
mereka, mirip seperti pasien psikiatri melihat pola dalam
bercak-bercak tinta. Laporan ini memicu kehebohan,
dan masyarakat di seluruh Jepang mulai mencari Saigo


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di langit. Beberapa naik ke atap agar dapat melihat
dengan lebih baik; bahkan ada laporan tentang sejumlah
atap yang runtuh dan menyebabkan cedera. Mars juga
menjadi berita, karena benda langit ini dekat ke Bumi
(sebagai hasilnya, dua bulan kecil Mars, Phobos dan
Deimos, ditemukan di bulan kematian Saigo). Sebuah
347 John Man surat kabar melaporkan bahwa Saigo telah menjadi
Mars, pengikut setianya Kirino menjadi satelitnya. Pada
September, ahli zoologi Amerika dan orientalis Edward
Morse, yang berada di Jepang dalam rangka meneliti
brachiopoda, melaporkan popularitas Saigo-sebagaijelmaan Mars: "Banyak orang percaya bahwa dia adalah
Mars, yang sekarang bersinar dengan kecemerlangan
yang tidak biasa." Bahwa pahlawan mereka terus hidup
sebagai benda langit tidaklah terlalu mengada-ada bagi
mereka yang percaya bahwa hantu itu senyata tubuh
mereka sendiri. Jika seorang pahlawan gugur, dia akan
terus ada dalam bentuk ruh dan pasti akan kembali
untuk menimpakan malapetaka pada musuh-musuhnya.
Tentu saja, secara resmi, segera setelah kematiannya,
Saigo dijelek-jelekkan sebagai pemberontak dan jenderal
yang gagal, tentara kekaisaran dipuji sebagai brilian dan
pemerintah sebagai institusi yang bijaksana. Bagaimanapun
juga dia telah menyebabkan kematian ribuan orang dan
membuat pemerintah sendiri hampir bangkrut. "Satusatunya konsekuensi," kata sebuah editorial di Hochi
Shimbun, "adalah perusakan besar atas kehidupan dan
harta benda dan pengeluaran uang besar-besaran pada
kedua belah pihak. Selain akhir yang menyedihkan ini,
tidak ada yang telah dicapai... Tidakkah seluruh masyarakat
negeri kita ini bersuka cita mendengar kabar baik seperti
ini?" Kehancuran sang pemimpin pemberontak itu adalah
"kemenangan universal."
Tapi hanya dua minggu setelah kematiannya neraca
itu mulai bergeser, dengan analisis media mulai menghadirkannya sebagai sosok yang tidak terlalu jahat, dan
lebih heroik. Surat kabar Nichi Nichi Shimbun dengan
amat baik melayani kedua pendapat itu. "Ketika mempertimbangkan karya besarnya kita harus menghormati348
Penjelmaan nya karena sikap kepahlawanannya; memuliakannya
karena kearifannya; dan mencintainya karena tindakan
patriotiknya; tetapi juga memberikan hukuman sejauh
yang bisa diberikan pena kami terhadap pemberontakan.
Siapa yang akan menyalahkan kami karena memuji apa
yang layak dipuji dan dan menyerang hal yang buruk?"
Sekali neraca itu dimiringkan, tak butuh waktu lama
bagi Saigo si pemberontak dan terbuang untuk kembali
menjadi Saigo yang Agung: setia, berani, tak kenal takut,
tak bisa dirusak. Bahkan ketika kebanyakan orang
membencinya, dia tetap punya pendukung, salah seorang
yang paling berkuasa adalah pakar terkemuka Jepang di
Barat, Fukuzawa Yukichi. Dia pernah berkunjung ke San
Francisco pada 1860, menjadi bagian dari duta pertama
ke Eropa (1862), berbicara dalam bahasa Belanda dan
Inggris, dan menulis buku laris, sepuluh jilid Things
Western dan Encouragement of Learning yang sangat
terkenal, berisi pujian atas pendidikan bergaya barat.
Menulis hanya sebulan setelah akhir pemberontakan
pada 1877, dia mengeluh tentang bagaimana Saigo,
yang dulu menjadi idola nasional, kini dianggap sebagai
"pengkhianat besar". Sungguh bengis, katanya, dan
"kebijakan tidak adil dan gelap" yang diambil pemerintah
harus disalahkan karena telah mendorongnya menuju
kematian. Di Kagoshima, rehabilitasi Saigo berjalan cepat,
terutama berkat sang sandera, Kono, yang telah mencoba
dan gagal memperoleh penangguhan hukuman bagi
tuannya. Setelah pemberontakan dia dipenjara selama
sepuluh tahun, tetapi dibebaskan setelah dua tahun,
karena ada cukup banyak orang dalam pemerintahan
Tokyo yang merasa bahwa kenangan akan Saigo sedang
diperlakukan tidak adil. Saat itulah monumen peringatan
349 John Man tempat kelahiran Saigo didirikan, menyatakan bahwa
dia adalah teladan untuk generasi mendatang. Kono
mulai mengerjakan sesuatu yang agak lebih substansial.
Dia mendapat izin untuk pemakaman, tidak hanya bagi
Saigo tapi bagi semua tentara dari Satsuma yang telah
gugur. Sumbangan dengan cepat terkumpul hingga cukup
uang untuk membeli tanah, dan uang pemerintah untuk
membuat bangunan peringatan, 755 unit. Pada 1880,
hanya tiga tahun setelah Saigo dibuang ke dalam kegelapan,
ia kembali memperoleh dukungan, makamnya menjadi
elemen sentral di Pemakaman Nanshu, mengikuti nama
yang diadopsinya ketika diasingkan.
Sang pemandu berbicara begitu cepat dan keras dan
tak dapat dihentikan sehingga Michiko tidak punya
kesempatan untuk menerjemahkan semuanya, jadi saya
tidak pernah mengerti bagaimana 2.023 pasukan yang
gugur dikenang secara pantas dengan hanya 755 bangunan
peringatan, tapi itu tidak masalah. Anda datang bukan
untuk menghitung, tapi untuk merasakan. Batu-batu itu
hanya punya sedikit nilai artistik, karena tak lebih dari
balok berbentuk kotak. Tapi semuanya berdiri berbaris,
seperti dalam parade, dan menimbulkan kesan mendalam
dengan kehadirannya yang massif, ditegaskan oleh
pemandangan teluk dan gunung api yang luar biasa.
Setiap batu diberi nama"di sini ada Beppu, Kohei
saudara Saigo, dan Kirino"dan yang terbesar, batu
Saigo, dihiasi dengan beberapa vas berisi bunga segar.
Salah satu batu mengenang yang termuda gugur di
Shiroyama, seorang bocah laki-laki berusia empat belas
tahun dan enam bulan, tidak lebih tua dari kebanyakan
anak yang datang setiap hari Minggu ke lapangan
berkerikil vulkanik kelabu di bawah sana untuk berlatih
pertarungan Jigen-ryu. Seolah-olah mereka melakukannya
350 Penjelmaan untuk para leluhur, yang sebagian besarnya gugur dalam
usia yang terlalu muda untuk menjadi ayah bagi anakanak mereka sendiri. Setelah selesai menelusuri jejak
Saigo bolak-balik melintasi Kyushu, saya sering merasa
terpukau dan tergelitik, tapi ini adalah kali pertama dan
hanya sekali ini saya merasa begitu terharu.
Pada 1880, sebagai bagian dari konstitusi Meiji yang
baru, Saigo menerima pengampunan resmi dan pangkat
terdahulunya dipulihkan, dalam kata-kata Ivan Morris,
"seolah para penguasa negeri itu telah menyadari, dengan
agak terlambat, bahwa mereka memiliki kewajiban pada
seorang pahlawan sejati dan harus menunaikannya dengan
memberikan penghormatan yang sesuai padanya." Para
pengikutnya selalu memujanya; sekarang telah diakui
secara universal bahwa ia pantas dihormati. Statusnya
sebagai kekayaan nasional dikonfirmasi oleh beberapa
penyebutan penuh hormat dalam buku pelajaran sekolah.
Dia telah mencapai posisi yang unik dan paradoksal,
dalam kalimat Mark Ravina, sebagai "pemberontak yang
dihormati dan pengkhianat yang setia."
Dihargai, dihormati ya, dan lebih lagi: dipuja. Ada
banyak lagu, syair anonim"
Sekarang pedangku telah rusak, dan kudaku telah jatuh
mati, Angin musim gugur akan mengubur tulang-belulangku
Di sini di perbukitan kota asalku.
"dan kemudian berbagai legenda pun dimulai, terutama mengenai kematiannya. Kebenaran, bahwa dia
telah terluka parah, dan dipenggal, tidak cukup bagus.
Saigo tidak melakukan seppuku, seperti yang kita tahu
dari Hubbard dan otopsi resmi, namun sejumlah ilustrasi
351 John Man tentang kejadian itu segera menunjukkan bahwa dia
melakukannya. Mereka berbelok kembali ke kenyataan
dengan pemenggalan kepala oleh Beppu, dan kemudian
keluar lagi. Secara tradisional, kepala pahlawan yang
gugur harus dihormati oleh komandan lawan, sehingga
tak lama kemudian beberapa versi lain tentang apa yang
terjadi pada Saigo mulai beredar. Satu versi kemudian
diterima layaknya kitab suci. Menurut penjelasan ini,
kepala itu diantarkan kepada Yamagata. Dia menerimanya
dengan hormat. Memberlakukan kembali ritual yang
diduga dilakukan di medan perang abad pertengahan, ia
membersihkannya"bukan: menyucikannya"dalam air
jernih. Membelainya, katanya dengan sedih, di sela air
mata, "Saigo, wajahmu tidak berubah. Mungkin tiga
hari telah berlalu sejak rambutmu dipangkas." Kemudian
di depan anak buahnya yang berkumpul, ia mengucapkan
pidato: "Betapa damai wajahnya! Sungguh, Okina (pak
tua) termasuk orang-orang terhebat. Tidak ada yang
lebih mengenalku ketimbang dia; tak seorang pun lebih
mengenalnya daripada aku. Aku tidak tidur selama
seratus hari semata-mata untuk dia, namun sekarang dia
sudah pergi dari kita. Memang, ini adalah penyesalan
yang masih akan tersisa dalam seribu musim gugur."
Kemudian dengan lembut ia letakkan kepala Saigo pada
jasadnya saat hujan deras mulai turun, menyucikan
Shiroyama dari noda dan darah, tapi tidak kenangannya.
Ini adalah kisah yang harus diceritakan dengan kosakata
yang tepat dan tindakan yang tepat, padanan Jepang
bagi romansa ala Arthur. Kisah ini melayani tujuan
emosionalnya, ia menguatkan pendengar dan pembaca,
tapi dari sudut pandang sejarah ia adalah sampah.
Yamagata bahkan tidak hadir ketika kepala itu ditempatkan
di dekat tubuhnya, tanpa seremoni apa pun.
352 Penjelmaan Saigo bahkan menjadi karakter dalam sajak anakanak, lagu anak-anak perempuan yang dinyanyikan
mengikuti irama bola memantul. Pemandu saya di Kyoto
mempelajarinya dari ibunya, meskipun "anak-anak zaman
sekarang tak tahu lagi lagu anak-anak lama." Dia
menyanyikannya untukku di bawah pohon rindang di
Taman Kekaisaran: cerita aneh tentang seorang gadis
berusia tujuh belas dengan bunga dan dupa di tangannya,
seorang gadis yang (secara tersirat) tengah mengandung.
Seperti sajak anak-anak yang lain, sebagian besarnya
omong kosong, dengan akar dalam peristiwa bersejarah
yang terdistorsi oleh kenangan rakyat dan pengulangan
terus-menerus. Sang narator, duduk di jembatan, bertanya:
"Ke mana kau akan pergi, gadisku yang cantik?" dan dia
menjawab sesuatu seperti berikut ini, hanya saja dalam
bahasa Jepang ia berupa tiga belas baris yang sangat
ritmis: Aku adalah putri Saigo Takamori, dari Kagoshima di Kyushu,
dan aku akan ke makam ayahku, yang melakukan seppuku
pada Maret tahun ke-10 Meiji (1877, tetapi mengapa Maret,
bukan September"). Ketika aku duduk di makam dan berdoa,
air mata membasahi mataku. Jika anak ini adalah laki-laki,
aku akan mengirimnya ke universitas dan menyuruhnya belajar
bahasa Inggris, dan ia akan memiliki burung kutilang di
lengannya, dan kutilang itu akan bernyanyi ho-ho-kekyo, dan
itulah akhir lagu ini. Atau, mungkin ia selamat dan melarikan diri ke pulau
India atau China atau Rusia, dan akan segera kembali
dalam semacam Kedatangan Kedua untuk menyingkirkan
rezim Meiji, memimpin invasi ke Korea dan menyelamatkan bangsa. Memang, pada 1891 ada rumor singkat dan
353 John Man gila bahwa dia akan muncul kembali pada sebuah kapal
perang Rusia yang membawa putra mahkota, Nikolai,
pada kunjungan kenegaraan.
Mesin mitos terus bekerja hingga hari ini, dengan
mainan, pernak-pernik, dan potret wisata yang Anda
temukan di toko oleh-oleh, dan banyak patung. Yang
paling terkenal adalah yang berada di Ueno Park, Tokyo,
di antara sedikit sisa-sisa kuil Kan"ei-ji yang dihancurkan
dengan seizin Saigo. Dia tidak mengenakan seragam,
tetapi berpakaian sebagai seorang samurai sederhana,
kimono musim panas membalut perutnya yang padat.
Sambil mendekap anjingnya, ia mencondongkan tubuhnya
ke depan, dengan tegas, tangan memegang pedang, siap
untuk apa pun yang akan dilemparkan dunia kepadanya.
Di Kagoshima, mereka memilih citra yang berbeda:
patung dirinya di sini, dengan Shiroyama sebagai latar
belakangnya, menunjukkan dirinya sebagai pembangun
Jepang modern, dalam seragam militer untuk menunjukkan
otoritasnya, tetapi tanpa medali untuk menunjukkan
kerendahan hatinya. Patung tidak hanya ada di situs
yang terkait dengannya. Ada patung baru yang besar di
bandara Kagoshima; saya tidak akan terkejut bila nama
bandara ini kelak diubah menjadi namanya.
Mengapa dia dipuja" Tentu bukan karena keberhasilannya, karena arti pentingnya dalam sejarah justru berakar
dari kegagalannya. Sejauh keberhasilan yang diraihnya"
sebagai bagian dari revolusi yang menghasilkan restorasi"
dia adalah salah seorang dari beberapa pemimpin, dengan
lebih sedikit keterampilan politik dibanding sebagian
dan lebih sedikit keterampilan militer dibanding sebagian
yang lain. Hanya ketika menggebrak dengan kehendaknya
sendiri dia melakukan sesuatu yang benar-benar orisinal,
dan itu adalah menumpuk kematian, kerusakan, dan
354 Penjelmaan kesia-siaan bangsanya. Dalam banyak hal, dia justru
meraih kebalikan dari apa yang dia inginkan. Sebelumnya,
ada begitu banyak perlawanan terhadap rezim baru dan
tiga pemberontakan lain yang mendapat simpati darinya.
Sekarang, sebagai akibat pemberontakannya sendiri, tak
seorang pun akan pernah mengangkat senjata lagi
melawan pemerintah pusat. Kekerasan akan berada di
tangan pembunuh individu, dan oposisi di tangan politisi.
Wilayah dan prefektur, yang kemerdekaannya dia junjung,
bersatu bukan sebagai sebuah federasi longgar sejumlah
negara tetapi sebagai sebuah bangsa. Dia berasumsi


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa samurai akan terus memonopoli baik angkatan
bersenjata maupun administrasinya, tetapi samurai telah
sirna dan angkatan bersenjata"institusi ketentaraan yang
dia bantu wujudkan"adalah tentara dibangun dari wajib
militer. Kemenangan angkatan bersenjata di bawah
kepemimpinan Yamagata menyegel akhir dari samurai
sebagai sebuah kekuatan dalam sejarah Jepang. Wilayah
kekuasaan Saigo, Satsuma, telah menjadi yang paling
angkuh dan paling kokoh dalam membela kemerdekaan"
yang lebih luar biasa adalah bahwa dorongan untuk
mendukung sekaligus menentang reformasi datang dari
Satsuma, dan bahwa kekuatan pendorong untuk keduanya
adalah dua orang kawan di masa kanak-kanak, Okubo
dan Saigo, yang tinggal berdekatan satu sama lain.
Ironi dan paradoks tidak menjamin reputasi seorang
pahlawan. Itu berasal dari karakter Saigo yang khas, dan
daya tarik esensialnya. Di dalam diri laki-laki besar ini,
dengan bahu dan perut yang bidang, leher banteng, dan
mata menonjol, ada sifat yang penuh gairah, visioner,
murah hati, sangat bermoral, sama sekali tak berminat
pada kekayaan, tanpa pamrih, dan benar-benar berdedikasi
terhadap perjuangan dan persahabatan apa pun yang
355 John Man mengikatnya. Dia nyaman bersama yang setara dengannya,
dan lembut terhadap bawahannya. Dalam kata-kata Ivan
Morris, dia memiliki "kesenangan sederhana dan hampir
kekanakan dan humor spontan yang bersahaja." Tentu
saja, dari mereka yang memujanya, hanya sebagian kecil
tahu sisi gelapnya, kesetiaan obsesif sampai mati,
kesiagaannya yang gila-gilaan dan disengaja untuk mengambil risiko penghancuran diri, seperti seorang pejudi
bertaruh dengan rolet Rusia. Namun, mereka yang tahu
aspek karakternya ini juga mencintainya. Dia mungkin
tidak terlalu tertarik dalam urusan rumah tangga, tetapi
tidak ada petunjuk bahwa dia berperilaku buruk terhadap
beberapa perempuan dalam hidupnya, atau bahwa mereka
membencinya. Adakah alasan untuk tidak mencintainya"
Ya, dari sudut pandang sejumlah rekannya, cukup
banyak, karena dia itu penuh dengan cita-cita tanpa kepraktisan. Seringkali, cita-citanya membentur batas-batas
kemungkinan, dan di titik itu dia akan mengundang
penolakan atau langsung menarik diri, meninggalkan
urusan administrasi yang berantakan kepada orang lain.
Daya tariknya bagi sebagian pihak adalah sebagai
penyelamat potensial, dan bagi pihak lain sebagai orang
yang mempertahankan kepekaan moralitas. Dia membiarkan dirinya terbujuk untuk bergabung dengan
pemerintahan, kemudian mengutuknya sebagai "tempat
pertemuan para perampok".
Bagi seorang laki-laki yang terlempar ke dalam arus
utama politik, dia adalah sosok yang unik dalam satu
hal, karakteristik yang memerlukan beberapa istilah
untuk menekankannya: kesungguhannya, kebersahajaannya, kecermatannya, ketidaksukaannya pada kemewahan.
Seorang samurai diharapkan untuk menampilkan disiplin
diri sebagai tanda bahwa hidupnya dipersembahkan
356 Penjelmaan untuk hal yang lebih tinggi, tetapi Saigo begitu bersahaja
melebihi panggilan tugas samurai. Bahkan sebagai seorang
pejabat tinggi, dia hidup seperti seorang biarawan, tanpa
kemewahan, menolak untuk mengambil gajinya selama
berbulan-bulan. Seringkali, dia menyerahkan apa pun
yang bisa diberikan. Sebagai menteri, dia tinggal di
kamar yang berbiaya 3 yen per bulan"setara dengan 3
dolar, yang sekarang sekitar 500 dolar atau 300 pounds"
cukup kontras dengan cara hidup pegawai pemerintah
saat itu, apalagi sekarang. Dia selalu mengenakan kimono
daerah yang sederhana, tidak pernah mengenakan mantel
dan topi yang menjadi mode setelah 1868. Dibutuhkan
karakter luar biasa tidak hanya untuk mengenakan
pakaian biarawan di istana kekaisaran, tetapi kemudian
untuk melepas bakiak dan bertelanjang kaki, seolah
mengundang agar ditahan sebagai penyusup.
Tidak ada yang menyangkal bahwa keseriusan adalah
bagian dari dirinya. Tetapi itu juga merupakan provokasi
yang disengaja. Berkali-kali, dia terdengar seperti
pengkhotbah Puritan versi konfusian yang tengah
menghukum jemaatnya. Pada 1870, seorang samurai
patriotik melakukan seppuku di depan gedung dewan
nasional sebagai protes terhadap korupsi yang dilakukan
rezim baru, perbuatan yang disetujui Saigo, memulai
berita kematiannya: "Banyak pejabat pemerintah,
ketagihan untuk memperturutkan keinginan diri dan
pesta pora, hidup dalam pemborosan sehingga mereka
jatuh terpuruk." Berbagi penderitaan dengan orang
miskin, dia berbicara atas nama mereka. Dalam kematian,
dia tetap menjadi simbol kemurnian tak ternoda.
Ada banyak aspek lain dalam daya tarik Saigo yang
rumit, karena dia adalah karakter yang begitu bervariasi
dan bertentangan sehingga dia berperan sebagai seseorang
357 John Man untuk semua orang dan semua zaman. Sebagian orang
mencintainya karena ia menjadi bagian dari tradisi
samurai; sebagian lain karena penentangannya terhadap
Korea; sebagian lain karena perannya dalam menciptakan
rezim baru; sebagian lain lagi karena penentangannya
terhadap rezim itu; sebagian lain karena dukungannya
terhadap teknologi barat; sebagian lain karena penolakannya terhadap segara urusan dengan Barat (karena dia
adalah salah seorang dari beberapa pemain utama yang
tidak pernah berkunjung ke Barat dan juga tidak
memperlihatkan minat untuk melakukaknnya); beberapa
karena dia adalah seorang konservatif, atau seorang
sosialis, atau seorang demokrat, atau seorang nasionalis,
atau apa pun yang diinginkan oleh siapa pun.
Atau bahkan sebagai seorang Kristen diam-diam,
seperti dikemukakan oleh orang Kristen Jepang paling
terkenal, Uchimura Kanzo (1861-1930). Eksentrik sejak
masa kanak-kanak, Uchimura belajar bahasa Inggris,
beralih keyakinan, menikah, bercerai, dan melarikan
diri ke Amerika Serikat selama setahun untuk menghindari
rasa malu karena pernikahan yang gagal. Terkejut akan
kelonggaran dan ketidakperdulian bangsa Amerika, dia
kembali dan menjadi penulis"dalam bahasa Inggris,
dalam rangka menjelaskan diri sendiri yang bermasalah
dan tentang Jepang kepada orang asing. Diterjemahkan
ke dalam bahasa Jepang, bukunya telah membuatnya
terkenal. How I Became a Christian menggambarkan
kesulitan hidup seorang yang beralih keyakinan. Japan
and the Japanese terdiri dari lima biografi lelaki yang dia
anggap teladan kebaikan moral yang tinggi, setara dengan
pemimpin barat yang mana pun. Salah satunya adalah
Saigo, yang telah membantu Jepang memodernisasi diri.
Uchimura menggambarkanny sebagai sosok yang rendah
358 Penjelmaan hati, langsung, tanpa pamrih menjadikan Jepang sebagai
entitas moral seperti halnya Luther bagi Jerman, Cromwell
bagi Inggris, dan Washington bagi Amerika. Satu-satunya
kelemahan dirinya adalah membiarkan bawahan membujuknya melakukan pemberontakan. Apa yang dicari
Uchimura penghargaan oleh barat, dan Saigo adalah
perangkat untuk mencapainya, seperti halnya buku
tersebut, yang ditulis dalam gaya Victoria tingkat tinggi.
Biografi Saigo dimulai dengan meniru Rule Britannia:
"Ketika Nippon, sesuai perintah Surga, pertama kali
muncul dari alam biru, inilah tanggung jawab negeri itu:
"Niphonia, tetaplah dalam gerbangMu. Janganlah berbaur
dengan dunia sampai Aku memanggil engkau." Jadi dia
tetap bertahan selama lebih dari dua ribu tahun, lautnya
tak dibajak oleh armada bangsa-bangsa, dan pantainya
bebas dari pencemaran mereka." Tuhan menakdirkannya,
dan itu adalah hal baik. Tapi zaman berubah, dan itu
juga ditakdirkan. Perry, instrumen perubahan, adalah
"salah seorang teman terbesar kemanusiaan yang pernah
disaksikan dunia." Saigo yang Agung, juga adalah alat
Tuhan. Kebergantungannya pada filsuf China Wang
Yangming membuktikan hal itu. Filsafat Wang adalah
Kekristenan terselubung, yang berarti Saigo juga demikian.
"Apakah kita akan menolak untuk pahlawan kita suara
langsung dari kemuliaan Surga saat ia mengembara di
pegunungan kesukaannya"... Tidakkah "suara kecil"
sering mengatakan padanya dalam keheningan hutan
cedar, bahwa dia dikirim ke bumi ini dengan sebuah
misi?" Misinya adalah untuk mempersatukan bangsa
dan memimpinnya menuju penaklukan kekaisaran,
"bahwa Jepang mungkin sepadan dengan Kekuatankekuatan Besar Eropa... sebuah karir yang ditugaskan
sejak awal terciptanya dunia." Saigo digagalkan oleh
359 John Man pemerintah yang mendua. Perdamaian adalah semata
kebancian, keraguan, ketidak-adilan. Bahwa dia kemudian
menjadi seorang pemberontak memang menyedihkan,
tapi itu bukan kesalahannya. Kepekaannya terlalu kuat;
dia "yang terkuat dari seluruh laki-laki hampir tak
berdaya di hadapan mereka yang miskin dan pemintaminta." Namun pada akhirnya ia mencontoh kebajikan
seorang pendeta Kristen: rendah hati, tidak perduli pada
harta-benda, tanpa pamrih, murah hati, dan jujur. "Apa
konsepsinya tentang Surga... kami tidak memiliki sarana
untuk mengetahuinya. Tetapi bahwa Saigo tahu surga
pastilah maha perkasa, tak dapat diubah, dan sangat
penuh kasih, dan Hukumnya maha mengikat, tak tergoyahkan, dan sangat dermawan, didukung oleh banyak
sekali kata-kata dan tindakannya." Uchimura tidak
mengatakan begitu, tetapi kesimpulan yang tersirat cukup
jelas: bahwa Saigo adalah Yesus Jepang, dengan ruh
yang sempurna, disalibkan berkat kebajikannya sendiri
dan kebutaan para musuhnya.
Sejauh ini, semua berjalan baik. Tapi di akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 dia juga menjadi simbol
pandangan yang lebih mengkhawatirkan. Bagaimanapun
juga, dia adalah perwujudan cita-cita Jepang: kesetiaan
kepada kaisar dan pengabdian kepada tugas, keduanya
dibuktikan oleh kematiannya yang mulia dan penuh
pengorbanan diri. Sekarang, sebagai salah seorang yang
mendukung invasi Korea, dia menjadi inspirasi bagi
mereka yang disebut dengan "patriot pelopor" yang
berpendapat bahwa Jepang memiliki misi kekaisaran
untuk dipenuhi. Negeri ini akan menjadi benteng melawan
China yang tidak bersahabat dan Rusia yang bernafsu
menguasai wilayah Jepang dan (setelah 1917) menyebarkan
wabah Bolshevisme. Manchuria kian lama kian menjadi
360 Penjelmaan batu pijakan Jepang, basis bagi para kolonis dan pedagang.
Dari sana, China akan diserap, dan Eropa didesak dari
kantong-kantong pemukiman mereka. Pada 1930-an,
Jepang mengambil alih Manchuria dan mendirikan apa
yang direncanakan menjadi Kawasan Kemakmuranbersama Asia Timur Raya. Rencana itu tidak berhasil,
karena tank dan pesawat Jepang dihentikan oleh bangsa
Rusia dan Mongol pada 1938, di suatu tempat bernama
Khalkhin Gol di Mongolia timur. Ini, pertempuran tank
terbesar kedua sepanjang masa, sangat sedikit diketahui
di Barat, tapi sangat signifikan, karena ternyata membuat
kekaisaran Jepang mengalihkan pandangan dari Asia
dalam menuju Asia Tenggara dan Pasifik, perubahan
taktik yang pada Desember 1941 mengentarkan pada
peristiwa Pearl Harbor. Setelah itu, Saigo tidak lebih
dari hantu dalam mesin perang Jepang, tapi cita-citanya
masih dipegang oleh para perwira Jepang: menghormati
kaisar, kebencian terhadap orang asing, pengorbanan
diri dalam pertempuran. Dan itu terus berlanjut, dengan konsekuensi yang
sama sekali tidak jahat, bahkan tidak khas Jepang, hanya
manusiawi. Berbagai legenda"terutama kisah Yamagata
menangisi kepala Saigo itu"begitu meyakinkan karena
begitu benar, sehingga cocok dengan epik tentang Saigo:
seorang pemuda yang berjasa dengan semangat yang
tepat berpindah dari keadaan tidak berarti dan miskin
ke kemasyhuran dan pengaruh, mengalami penolakan
seperti Kristus dan semacam penyaliban, dan, karena
dia setia dengan cita-citanya, akhirnya dikembalikan ke
kemuliaan. Dalam tahun-tahun pascaperang, dan lagi
dalam masa penghematan 1990-an, kisah Saigo berisikan
pesan pembuka bahwa ada martabat dan kemulian di
dalam kekalahan. 361 John Man Dia tetap seorang pahlawan, jika dibandingkan dengan
Okubo, teman masa kecil dan kemudian menjadi musuhnya, yang akhir hidupnya juga dramatis, walaupun jauh
lebih cepat. Okubo berkuasa hanya sebentar setelah
kematian Saigo, sampai suatu pagi di musim semi enam
bulan setelah berakhirnya pemberontakan, ketika tujuh
samurai menyergapnya saat dia sedang berjalan dekat
istana kekaisaran dan membunuhnya. Mereka keberatan
dengan revolusi yang digerakkan olehnya, tapi mereka
terlambat. Industrialisasi dan militerisasi terus berlangsung
dengan kecepatan yang mencemaskan selama 20 tahun
berikutnya, yang berpuncak pada kemenangan Jepang
atas armada Rusia pada 1905. Dalam arti tertentu,
bangsa yang bersatu dan kemenangan itu adalah kenangan
Okubo yang sebenarnya. Seorang laki-laki hebat, pastinya,
visioner, seorang jenius politik; tetapi tidak pernah
menjadi kesayangan, sebagaimana halnya Saigo. Dengan
bulu tubuh yang dipelihara dengan hati-hati dan dan
pakaian bergaya barat, dia menampilkan keformalan
dibanding ketidakpraktisan Saigo, kompromi sebagai
lawan idealisme Saigo yang kaku, dan dingin dibanding
kehangatan Saigo. Bagaimana dengan Saigo" Kisahnya mengungkapkan
banyak alasan bagi daya tariknya. Lupakan Saigo si
legendaris: diri Saigo yang nyata sudah cukup untuk
menjadikannya pahlawan tragis buku dongeng. Pertama,
dia berambisi tinggi. Aristoteles mengatakan pahlawan


Samurai Terakhir Sang Pahlawan Pemberontak Samurai The Last Warrior Karya John Man di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haruslah seorang bangsawan untuk menimbulkan rasa
hormat, tapi sekarang ini kita mendapati bahwa lebih
mengesankan melihat seseorang mulai dari bawah dan
mencapai kebesaran. Kedua, ia adalah seorang dengan
begitu banyak kebajikan yang mengagumkan"di
antaranya: murah hati, berani, tabah, cerdas, dan ambisi.
362 Penjelmaan Ketiga, meskipun saleh, ia memiliki cacat, karena dia
kaku dalam kebajikannya, tidak hanya bersedia untuk
mati tetapi juga untuk memaksakan kematian pada orang
lain. Keempat, karena kaku, dia ditakdirkan untuk
menghadapi mereka yang lebih fleksibel, lebih praktis,
lebih kompromistis. Jadi (kelima), tidak ada jalan keluar
lain baginya selain kematian, yang dipilihnya dengan
bebas. Tidak ada Takdir dari luar untuknya; nasibnya
adalah karakternya yang kuat dan bercacat. Dan dia
mati seolah-olah di atas panggung atau film, dalam
drama kelas tinggi. Dia tidak bisa menjadi pahlawan
tragis jika, misalnya, dia hanya terjun ke sungai atau
mengalami serangan jantung.
Terakhir"dan ini yang menjelaskan posisinya yang
unik di Jepang"dia bukan pahlawan super gaya Amerika,
mengalahkan penjahat dan menyelamatkan dunia. Bahkan
tidaklah mungkin membayangkan dengan cara apa
kemenangan Satsuma pada 1877 dapat menyelamatkan
siapa pun dari apa pun. Memutar kembali jarum jam,
tetap membuat samurai berkuasa, mengusir orang asing"
Kedengarannya seperti kegagalan sekaligus juga
keberhasilan. Namun, itu mustahil. Ia ditakdirkan untuk
gagal, dan itu intinya. Ada semacam kemuliaan dalam
kematian menghadapi rintangan menakutkan, tetapi di
Barat, kami lebih suka pahlawan yang menghadapi
rintangan menakutkan dan menang. Jika kalah, mereka
menjadi tragis, tapi mereka kalah karena salah perhitungan
atau nasib buruk. Di Jepang, mereka menyukai pahlawan
yang tahu bahwa mereka akan mati, dan karena itu
memastikan mereka melakukannya. Saigo adalah bentuk
ekstrem dari hal ini, dalam hal dia menghendaki kehancurannya sendiri beberapa kali, berhasil hanya setelah
beberapa kegagalan. Dia mungkin akan berkata, seperti
363 John Man seorang penyair Romantis, "Aku telah setengah jatuh
cinta pada Maut yang tenang." Namun kematian impian
Keats ini adalah semacam kabut akibat minuman dan
pujian; tidak ada kepahlawanan di sana. Saigo tidak
memimpikan kematian yang mudah, tapi yang sulit:
kematian karena aksi, darah dan kemuliaan yang datang
bukan dari penyebab melainkan dari pengorbanan diri.
Dia memang samurai yang terakhir, dalam hal kematiannya
di Shiroyama mengakhiri mimpi kebangkitan samurai.
Tapi dalam pengertian lain semangat seperti yang
dimilikinya tidak dapat dibunuh. Ketidakbergunaannya
yang khas memastikan kelangsungan hidupnya, dan kelangsungan hidup etos samurai, di jantung kebudayaan
Jepang. Inilah yang menjadikannya leluhur spiritual dari para
pilot kamikaze Perang Dunia Kedua, yang, seperti Saigo,
bertindak demi kesetiaan kepada kaisar mereka, tidak
hanya tahu bahwa mereka akan mati, tetapi juga bahwa
gerakan mereka sepenuhnya tidak praktis. Tidak akan
menyelamatkan bangsa dalam kenyataan; tetapi akan
melakukannya dalam semangat, dengan mengekspresikan
keberanian merusak diri, kemuliaan kegagalan, yang
merupakan bagian cukup besar dari karakter bangsa
Jepang. 364 DAFTAR PUSTAKA Biografi terbaik Saigo yang sangat detail dalam bahasa
Inggris adalah karya Ravina dan Yates. Keduanya memiliki
daftar pustaka yang luas. Karya-karya lain dalam daftar
berikut adalah sumber-sumber utama saya yang lain.
Adamson, Christopher, "Tribute, Turf, Honor and the
American Street Gang: Patterns of Continuity and
Change since 1820", Theoretical Criminology, Februari
1998. Booth, Alan, Looking for the Lost: Journeys through a
Vanishing Japan. New York: Kodansha, 1996.
Bottomley, Ian dan Hopson, Anthony, Arms and Armor
of the Samurai. New York: Crescent Books, 1988.
Buck, James H., "The Satsuma Rebellion of 1877: From
Kagoshima through the Siege of Kumamoto Castle",
Monumenta Nipponica, Vol. 28, No. 4 (Musim dingin
1973). Conlan, Thomas C. (terj. dan esai penjelasan), In Little
Need of Divine Intervention: Scrolls of the Mongol
Invasions of Japan. Ithaca, NY: Cornell University
Press, 2001. 365 John Man Conroy, Hilary, The Japanese Seizure of Korea, 1868"
1910: A Study of Realism and Idealism in International
Relations. Philadelphia: University of Pennsylvania
Press, 1960. Dore, R.P., Education in Tokugawa Japan. Berkeley:
University of California Press, 1965.
Fairbank, John K. (ed.), Cambridge History of China,
Vol. 10: Late Ch"ing, 1800"1911. Cambridge:
Cambridge University Press, 1978.
Freeman-Mitford, Algernon (Lord Redesdale), Tales of
Old Japan. Los Angeles: Aegypan Press, 2009.
Harris, Victor dan Nobuo Ogasawara, Swords of the
Samurai. London: British Museum, 1990.
Hawks, Francis, Narrative of the Expedition of an
American Squadron to the China Seas and Japan
under the command of Commodore M. C. Perry.
New York: D. Appleton & Co.; London, Trubner &
Co., 1856. Horowitz, Ruth dan Schwartz, Gary, "Honor, Normative
Ambiguity and Gang Violence", American Sociological
Review, Vol. 39, No. 2 (April 1974).
Ihara Saikaku, The Great Mirror of Male Love (terj. Paul
Schalow). Stanford, Calif.: Stanford University Press,
1990. Ihara Saikaku, Tales of Samurai Honor. Tokyo:
Monumenta Nipponica, 1991.
Ikegami Eiko, The Taming of the Samurai: Honorific
Individualism and the Making of Modern Japan.
Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1995.
Inazo Nitobe, Bushido: The Soul of Japan. Tokyo:
Kodansha, 2002. (Terbit pertama 1900.)
Katsu Kokichi, Musui"s Story: The Autobiography of a
366 Daftar Pustaka Tokugawa Samurai (terj. dan ed. Teruko Craig).
Tucson: University of Arizona Press, 1988.
McCullough, Helen Craig (terj. dan ed.), The Taiheiki:
A Chronicle of Medieval Japan. New York: Charles
Tuttle/Columbia University Press, 1959.
McLaren, W. (ed.), "Japanese Government Documents",
Transactions of the Asiatic Society of Japan, Vol. 42
(1914). Makato Sugawara, Lives of Master Swordsmen. Tokyo:
East Publications, 1996. Marius B. Jansen (ed.), Cambridge History of Japan,
Vol. 5: The Nineteenth Century. Cambridge: Cambridge
University Press, 1989. Mason, R.H.P. dan Caiger, J.G., A History of Japan
(edisi revisi). North Clarendon, VT: Charles E. Tuttle,
1997. Mathers, E. Powys (terj.), Eastern Love, Vol. 7: Comrade
Loves of the Samurai by Saikaku Ebara and Songs of
the Geishas, edisi terbatas. London: John Rodker,
1928. Morris, Ivan, The Nobility of Failure: Tragic Heroes in
the History of Japan. London: Secker & Warburg,
1975. (Memuat satu bab yang sangat bagus mengenai
Saigo.) Mounsey, Augustus, The Satsuma Rebellion: An Episode
of Modern Japanese History. London: John Murray,
1879. Mushakoji Saneatsu, Great Saigo: The Life of Saigo
Takamori, terj. (dan adaptasi) oleh Moriaki Sakamoto.
Tokyo: Kaitakusha, 1942. (Sangat jarang. Satu-satunya
salinan yang saya temukan terdaftar di Australian
National Library.) 367 John Man Myamoto Musashi, The Book of Five Rings (terj. William
Scott Wilson). Tokyo, New York and London:
Kodansha, 2001. Nock, Elizabeth Tripler, "The Satsuma Rebellion of
1877: Letters of John Capen Hubbard", Far Eastern
Quarterly, Vol. 7, No. 4 (Agustus 1948), hlm. 36875.
Ravina, Mark, The Last Samurai: The Life and Battles of
Saigo Takamori. Hoboken, NJ: Wiley, 2004.
Roberts, John, The New Penguin History of the World,
edisi revisi. London: Penguin, 2004.
Safilios-Rothschild, Constantina, ?"Honour Crimes in
Contemporary Greece", British Journal of Sociology,
Vol. 20, No. 2 (Juni 1969).
Satow, Sir Ernest, A Diplomat in Japan. San Diego,
Calif.: Stone Bridge Press, 2006. (Terbitan pertama.
London: Seeley, Service & Co., 1921).
Shigeno Yasutsugu, Saigo Nanshu Itsuwa. Tokyo: Shoyu
Kurabu, 1998. Shinichi Miyazawa, Englishmen and Satsuma, edisi
terbatas. Kagoshima: Takishobou-Shuppan, 1988.
Sinclaire, Clive, Samurai: The Weapons and Spirit of the
Japanese Warrior. Guildford, Conn.: Lyons Press,
2004. Takehiko Ideishi, The True Story of the Siege of Kumamoto
Castle (terj. James Buck). New York: Vantage Press,
1976. Turnbull, Stephen, The Lone Samurai and the Martial
Arts. London: Arms and Armour Press, 1990.
Turnbull, Stephen, The Samurai Sourcebook. London:
Arms and Armour Press, 1998.
Yamakawa Kikue, Women of the Mito Domain:
368 Daftar Pustaka Recollections of Samurai Family Life (terj. Kate
Wildman Nakai). Tokyo: University of Tokyo Press,
c. 1992. Yamamoto Tsunetomo, Hagakure: The Book of the
Samurai (terj. William Scott Wilson). Tokyo, New
York and London: Kodansha, 2009.
Yates, Charles L., Saigo Takamori: The Man behind the
Myth. London: Kegan Paul, 1995.
369 Golok Kumala Hijau 2 Pedang Siluman Darah 3 Titisan Budak Iblis Patung Emas Kaki Tunggal 14
^