Pencarian

Segala Yang Tajam 4

Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn Bagian 4


ditaruh Meredith di meja, tarcis buah beri berlapis gula terletak di
tengah-tengah piring. Meredith mengenakan gaun linen tak berlengan sewarna buah
peach yang belum matang, rambutnya ditata menutupi telinga dan
diikat dalam buntut kuda longgar di tengkuk, yang pasti butuh dua
puluh menit untuk membuatnya sesempurna itu. Meredith, tibatiba, terlihat sangat mirip ibuku. Dibandingkan aku, dia bisa lebih
meyakinkan untuk menjadi anak Adora. Aku bisa merasakan kekesalan terbit, berusaha menahannya, ketika Meredith menuangkan
teh manis untuk kami berdua dan tersenyum.
"Aku tidak tahu apa yang adikku katakan kepadamu, tapi aku bisa
menebak ucapannya penuh kebencian atau jorok, jadi aku minta
maaf," katanya. "Walaupun, aku yakin kau tahu Amma-lah pemimpinnya." Dia menatap tarcis itu, tapi sepertinya enggan untuk memakannya. Terlalu cantik.
"Kau mungkin kenal Amma lebih baik daripada aku," kataku.
"Dia dan John sepertinya tidak"."
"Amma anak yang sangat manja," kata Meredith, menyilangkan
kaki, mengembalikan kaki ke posisi semula, merapikan gaun. "Amma
khawatir dia akan menjadi kisut dan terbawa angin kalau perhatian
tidak selalu diberikan kepadanya. Terutama dari anak laki-laki."
"Kenapa Amma tidak menyukai John" Dia menyiratkan John
yang melukai Natalie." Aku mengeluarkan alat perekam dan menekan tombol On, sebagian karena aku tidak mau membuang waktu
dengan permainan ego, dan sebagian karena aku berharap Meredith
akan mengatakan sesuatu soal John yang layak diangkat. Kalau John
206 Sharp Objects.indd 206 tersangka utama, setidaknya dalam pikiran warga Wind Gap, aku
membutuhkan pernyataan. "Amma memang begitu. Dia punya sifat keji. John menyukaiku
dan bukan dia, jadi Amma menyerang John. Ketika Amma tidak sedang berusaha mencuri John dariku. Seakan-akan itu akan terjadi."
"Tapi sepertinya banyak orang berdesas-desus, mengatakan mereka pikir John mungkin terlibat dalam kejadian ini. Menurutmu
kenapa bisa begitu?"
Meredith mengangkat bahu, mencebik, menatap kaset berputar
selama beberapa detik. "Kau tahu sendiri bagaimana keadaannya. Dia dari luar kota. Dia
cerdas dan rendah hati dan delapan kali lebih tampan dibandingkan
dengan siapa pun di sini. Orang-orang ingin pelakunya John karena
itu berarti" kekejian itu tidak datang dari Wind Gap. Itu datang
dari luar. Makan tarcismu."
"Apakah kau percaya dia tidak bersalah?" Aku menggigit kue itu,
lapisan gulanya menetes dari bibirku.
"Tentu saja. Itu semua hanya gosip. Hanya karena seseorang
pergi bermobil"banyak yang melakukan itu di sini. John hanya
memilih waktu yang buruk."
"Dan bagaimana dengan keluarganya" Apa yang bisa kauceritakan padaku soal kedua gadis itu?"
"Mereka anak-anak kesayangan, sangat santun dan anak kecil
yang manis. Seolah-olah Tuhan mengambil anak perempuan terbaik
Wind Gap ke surga untuknya sendiri." Meredith sudah berlatih, katakata itu memiliki ritme terlatih. Bahkan senyumnya tampak terukur:
Terlalu sedikit itu sinis, terlalu lebar itu kegirangan yang tidak senonoh. Senyum yang ini pas sekali. Berani dan penuh harap, begitu
kesannya. "Meredith, aku tahu bukan itu yang kaupikirkan soal anak-anak
perempuan itu." 207 Sharp Objects.indd 207 "Yah, kutipan seperti apa yang kauinginkan?" bentak Meredith.
"Yang jujur." "Aku tidak bisa melakukan itu. John akan membenciku."
"Aku tidak harus menyebutkan namamu dalam artikel itu."
"Kalau begitu apa gunanya aku diwawancara?"
"Kalau kau tahu sesuatu soal anak-anak perempuan itu yang tidak dikatakan orang lain, kau harus memberitahuku. Itu bisa mengalihkan perhatian dari John, tergantung apa informasinya."
Meredith menyesap teh tanpa bicara, menepuk-nepukkan serbet
ke ujung bibir sewarna stroberi.
"Tapi bisakah namaku dicantumkan di suatu bagian di artikel
itu?" "Aku bisa mencantumkan namamu dalam kutipan di bagian lain."
"Aku ingin bagian soal Tuhan mengambil mereka ke surga," Meredith berkata dengan suara manja. Dia memilin kedua tangan dan
dengan wajah ditolehkan sedikit, dia tersenyum kepadaku.
"Tidak. Tidak yang itu. Aku akan mengutip soal John dari luar
kota dan itu alasan orang-orang senang menggosipkannya."
"Kenapa kau tidak bisa mengutip yang kuinginkan?" Aku bisa
melihat Meredith sebagai anak lima tahun, berdandan seperti putri
dan mengomel karena boneka favoritnya tidak menyukai teh khayalannya.
"Karena pernyataan itu berlawanan dengan banyak hal yang sudah kudengar dan karena tidak ada orang yang bicara seperti itu. Itu
kedengaran dibuat-buat."
Ini pergulatan paling menyedihkan yang pernah kujalani dengan
subjek wawancara dan benar-benar cara yang tidak etis untuk bekerja. Tapi aku ingin cerita keparat Meredith. Meredith memutarmutar kalung perak di lehernya, mengamatiku.
"Kau bisa menjadi model, kau tahu?" katanya tiba-tiba.
208 Sharp Objects.indd 208 "Aku ragu soal itu," sentakku. Setiap kali orang mengatakan aku
cantik, aku memikirkan semua hal buruk yang menggerumutiku di
bawah pakaianku. "Kau bisa. Aku selalu ingin jadi dirimu ketika aku dewasa. Aku
memikirkanmu, kau tahu" Maksudku, ibu kita berteman dan semua
itu, jadi aku tahu kau di Chicago dan aku membayangkanmu di
mansion besar dengan rambut keriting dan suami keren seorang
bankir investasi. Kau di dapur minum jus jeruk sementara dia masuk ke Jaguar-nya dan pergi bekerja. Tapi kurasa khayalanku tidak
tepat." "Memang. Kedengarannya bagus sih." Aku menggigit tarcis sekali lagi. "Jadi ceritakan padaku soal anak-anak perempuan itu."
"Hanya kerja, hah" Kau memang tak pernah ramah. Aku tahu
soal adikmu. Bahwa kau punya adik yang meninggal."
"Meredith, kita bisa mengobrol kapan-kapan. Aku mau melakukannya. Sesudah ini. Tapi ceritakan dulu kisah ini kemudian kita
bisa bersantai." Aku tidak berniat tinggal lebih dari semenit sesudah
wawancara ini selesai. "Oke". Jadi, begini. Kurasa aku tahu kenapa" giginya"."
Meredith memeragakan gerakan mencabut.
"Kenapa?" "Aku tidak percaya semua orang menolak menyadari ini," katanya.
Meredith melihat ke sekeliling ruangan.
"Kau tidak mendengar ini dariku, oke?" lanjutnya. "Anak-anak
perempuan itu, Ann dan Natalie, mereka suka menggigit."
"Apa maksudmu suka menggigit?"
"Keduanya. Mereka cepat sekali marah. Marah yang mengerikan.
Seperti anak laki-laki. Tapi mereka tidak memukul. Mereka menggigit. Lihat."
209 Sharp Objects.indd 209 Dia mengulurkan tangan kanan. Tepat di bawah ibu jari ada tiga
bekas luka berwarna putih yang berkilau di bawah sinar matahari
sore. "Ini dari Natalie. Dan ini." Dia menarik rambut ke belakang untuk menunjukkan telinga kiri yang cupingnya hanya setengah. "Tanganku digigit ketika aku sedang memulas kuku jarinya. Di tengahtengah dia memutuskan untuk tidak menyukainya, tapi aku bilang
padanya untuk membiarkanku menyelesaikan memulas kukunya,
dan ketika aku menahan tangannya, dia menggigit tanganku."
"Dan cuping telingamu?"
"Aku menginap di sana pada satu malam ketika mobilku mogok.
Aku sedang tidur di kamar tamu, hal selanjutnya yang kusadari,
darah berceceran di seprai dan telingaku terasa seperti terbakar,
seperti aku ingin lari dari telingaku tapi itu terpasang di kepalaku.
Dan Natalie menjerit seperti dia yang terbakar. Jeritan itu lebih menakutkan daripada gigitannya. Mr. Keene harus menahan Natalie.
Anak itu punya masalah serius. Kami mencari potongan telingaku,
siapa tahu bisa dijahit kembali, tapi tidak ketemu. Kurasa Natalie
menelannya." Meredith tertawa dengan suara seperti memuntahkan
udara. "Aku lebih merasa kasihan padanya."
Bohong. "Ann, apakah dia sama parahnya?" tanyaku.
"Lebih buruk. Ada banyak orang di seantero kota dengan bekas
gigitannya pada tubuh mereka. Ibumu termasuk."
"Apa?" Tanganku mulai berkeringat dan tengkukku terasa dingin.
"Ibumu sedang mengajari Ann dan dia tidak mengerti. Dia
mengamuk, menarik rambut ibumu, dan menggigit pergelangan tangannya. Keras. Kurasa tangannya harus dijahit." Bayangan lengan
kurus ibuku terperangkap di antara gigi-gigi kecil, Ann menggo210
Sharp Objects.indd 210 yang-goyangkan kepala seperti anjing, darah merebak di lengan
baju ibuku, di bibir Ann. Jeritan, pelepasan.
Lingkaran kecil garis bergerigi, dan di dalamnya, bulatan kulit
yang sempurna. 211 Sharp Objects.indd 211 bab sebelas Kembali di kamarku, tidak ada tanda-tanda ibuku, aku sedang
menelepon. Aku bisa mendengar Alan di lantai bawah, membentak
Gayla karena salah memotong daging filet.
"Aku tahu ini sepertinya sepele, Gayla, tapi bayangkan seperti
ini: Detail sepele adalah yang membedakan antara makanan enak
dan pengalaman makan." Gayla mengeluarkan suara menyetujui.
Bahkan mm-hmmm-nya memiliki aksen.
Aku menelepon Richard ke ponselnya, satu dari sedikit orang di
Wind Gap yang punya ponsel, walaupun aku seharusnya tidak mengecam dia, karena aku satu dari sedikit orang yang menolak ponsel
di Chicago. Aku tidak pernah ingin begitu mudah dihubungi.
"Detektif Willis." Di latar belakang aku bisa mendengar pengeras
suara menyebutkan sebuah nama.
"Sibuk, Detektif?" Aku merona. Kesembronoan terasa seperti
menggoda, menggoda terasa seperti kekonyolan.
"Hai," terdengar suara resminya. "Saya sedang menyelesaikan
beberapa hal; bisakah saya meneleponmu balik?"
"Tentu, aku di"."
"Nomor yang muncul di layarku."
"Keren." "Benar sekali."
212 Sharp Objects.indd 212 Dua puluh menit kemudian: "Maaf, aku sedang di rumah sakit di
Woodberry dengan Vickery."
"Petunjuk?" "Semacam." "Pernyataan?" "Aku sangat senang semalam."
Aku sudah menulis Richard polisi Richard polisi dua belas kali
di sepanjang kakiku dan harus menghentikan diriku karena aku
menginginkan silet. "Aku juga. Dengar, aku harus menanyakan sesuatu langsung
padamu dan aku butuh kau menjawab pertanyaanku. Tidak akan
dikutip. Kemudian aku membutuhkan komentar yang bisa aku cetak untuk artikel selanjutnya."
"Oke, aku akan mencoba membantumu, Camille. Apa yang ingin
kautanyakan padaku?"
"Bisakah kita bertemu di bar norak tempat kita pertama kali
minum" Aku harus mengatakan ini langsung dan aku harus keluar
dari rumah dan, ya, aku akan mengatakannya: aku butuh minum."
Tiga pria teman sekelasku dulu ada di Sensors ketika aku sampai
ke bar itu, pria-pria menyenangkan, salah satunya menjadi terkenal
sesudah memenangi juara pertama Pameran Negara Bagian untuk
babi betina yang keterlaluan besarnya, meneteskan banyak susu.
Stereotipe orang pedesaan yang akan Richard sukai. Kami bertukar
sapa"mereka membelikanku dua minuman pertamaku"dan foto
anak-anak mereka, ada delapan semuanya. Salah satu dari mereka,
Jason Turnbough, masih sepirang dengan wajah sebulat ketika dia
masih muda dulu. Lidah mengintip di sudut mulut, pipi merah
muda, mata biru bulat berpindah-pindah antara wajah dan payu213
Sharp Objects.indd 213 daraku sepanjang sebagian besar percakapan. Dia berhenti segera
sesudah aku menarik keluar alat perekamku dan menanyakan soal
pembunuhan yang terjadi. Kemudian roda alat perekam yang berdesing menangkap seluruh perhatiannya. Orang-orang bersemangat
membayangkan nama mereka dicetak di koran. Bukti eksistensi.
Aku bisa membayangkan perselisihan antarhantu yang membukabuka tumpukan koran. Menunjuk ke satu nama di halaman. Lihat,
ini aku. Aku sudah bilang, kan, aku dulu hidup. Aku sudah bilang
begitu kan. "Waktu kita masih sekolah, siapa yang bakal menyangka kita
akan duduk di sini membicarakan tentang pembunuhan di Wind
Gap?" renung Tommy Ringer, sekarang tumbuh menjadi pria berambut gelap dengan janggut jarang-jarang.
"Aku mengerti, maksudku, astaga, aku bekerja di supermarket,"
kata Ron Laird, pria ramah berwajah seperti tikus dengan suara
menggelegar. Ketiga pria itu memendarkan kebanggaan sipil yang
tidak sesuai pada tempatnya. Kengerian datang ke Wind Gap dan
mereka menyambutnya. Mereka bisa terus bekerja di supermarket,
apotek, peternakan ayam. Ketika mereka mati, ini"bersama dengan menikah dan punya anak"akan ada di daftar hal yang sudah
mereka lakukan. Dan ini hanyalah sesuatu yang terjadi pada mereka. Tidak, lebih tepatnya, ini sesuatu yang terjadi di kota mereka.
Aku tidak sepenuhnya yakin dengan penilaian Meredith. Beberapa
orang lebih suka jika si pembunuh ternyata seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Wind Gap. Seseorang yang pergi memancing
dengan mereka sekali waktu, seseorang yang ikut Pramuka bersama. Ceritanya jadi lebih baik.
Richard mendorong pintu terbuka, yang anehnya lebih ringan
ketimbang yang terlihat. Tamu yang bukan langganan akan mendorong pintu terlalu keras, jadi setiap beberapa menit sekali pintu
214 Sharp Objects.indd 214 itu terbanting ke sisi bangunan. Suaranya memberikan penekanan
yang menarik dalam percakapan.
Ketika Richard berjalan masuk, menyampirkan jas di bahu, ketiga pria itu mengerang.
"Orang ini." "Aku sangat terkesan, Bung."
"Sisakan sedikit otakmu untuk kasusnya, Sobat. Kau membutuhkannya."
Aku melompat turun dari bangku tinggi, menjilat bibir, dan tersenyum.
"Yah, Teman-teman, bekerja dulu ya. Waktunya wawancara. Makasih untuk minumannya."
"Kami akan di sini kalau kau bosan," seru Jason. Richard hanya
tersenyum kepada pria itu, menggumamkan idiot dengan gigi terkatup.
Aku menenggak bourbon ketigaku, menyambar si pelayan untuk
mencatat pesanan kami, dan setelah minuman ada di hadapan, aku
menyandarkan dagu ke tangan dan bertanya-tanya apakah aku benar-benar ingin mengobrolkan pekerjaan. Richard memiliki bekas


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luka tepat di atas alis kanan dan lesung kecil di dagunya. Dia mengetukkan kakinya ke kakiku, dua kali, di tempat orang-orang tidak
bisa melihat. "Jadi ada apa, Reporter?"
"Dengar, ada yang harus kuketahui. Aku benar-benar harus tahu,
dan kalau kau tidak bisa memberitahuku, ya sudah, tapi tolong pikirkan baik-baik." Richard mengangguk.
"Ketika kau memikirkan orang yang melakukan pembunuhanpembunuhan ini, apakah ada bayangan orang spesifik di kepalamu?" tanyaku.
"Ada beberapa."
215 Sharp Objects.indd 215 "Pria atau wanita?"
"Kenapa kau menanyakan ini sekarang dan dengan begitu mendesak, Camille?"
"Aku hanya harus tahu."
Richard diam sejenak, menyesap minuman, menggosok janggut
pendek di dagunya. "Aku tidak percaya seorang wanita akan membunuh gadis-gadis
itu dengan cara seperti ini." Dia menepuk kakiku lagi. "Hei, ada
apa" Katakan sejujurnya."
"Aku tidak tahu, aku hanya panik. Aku harus tahu ke mana aku
harus mengarahkan energiku."
"Biarkan aku membantu."
"Apa kau tahu anak-anak perempuan itu dikenal suka menggigit
orang?" "Aku tahu dari sekolah ada insiden yang melibatkan Ann melukai
burung peliharaan tetangga," kata Richard. "Tapi Natalie dikekang
cukup ketat, karena apa yang terjadi di sekolah sebelumnya."
"Natalie menggigit cuping telinga seseorang yang dia kenal sampai lepas."
"Tidak. Aku tidak mendapatkan laporan insiden tentang Natalie
sejak dia pindah ke sini."
"Kalau begitu mereka tidak melaporkannya. Aku melihat telinganya, Richard, tidak ada cuping telinga, dan orang ini tidak punya
alasan untuk berbohong. Dan Ann menyerang seseorang juga.
Menggigit seseorang. Tapi aku semakin bertanya-tanya apakah
anak-anak perempuan ini terlibat dengan orang yang salah. Mereka seperti dimatikan. Seperti binatang yang berkelakuan buruk.
Mungkin itu alasannya gigi mereka dicabut."
"Kita mulai lagi pelan-pelan ya. Pertama, siapa yang digigit anakanak perempuan itu?"
216 Sharp Objects.indd 216 "Aku tidak bisa mengatakannya."
"Sial, Camille. Aku tidak main-main. Katakan kepadaku."
"Tidak." Aku terkejut dengan amarah Richard. Aku menyangka
dia akan tertawa dan mengatakan aku cantik ketika sedang keras
kepala. "Ini kasus pembunuhan, oke" Kalau kau punya informasi, aku
membutuhkannya." "Jadi lakukan tugasmu."
"Aku berusaha melakukannya, Camille, tapi kau yang bermainmain denganku tidak membantu."
"Sekarang kau tahu rasanya," aku menggumam seperti anak kecil.
"Baiklah." Richard menggosok mata. "Hari ini melelahkan,
jadi" selamat malam. Aku harap aku cukup membantu." Dia berdiri, mendorong gelas setengah penuh ke arahku.
"Aku membutuhkan pernyataan yang bisa dikutip."
"Nanti. Aku membutuhkan sedikit perspektif. Kau mungkin
benar soal kita, melampaui batas bukan ide yang bagus." Dia pergi,
teman-temanku memanggilku untuk kembali dan bergabung bersama mereka. Aku menggeleng, menghabiskan minuman, dan berpura-pura mencatat hingga mereka pergi. Yang kulakukan hanyalah
menulis tempat sinting tempat sinting terus-menerus sepanjang dua
belas halaman. Kali ini Alan-lah yang menungguku ketika aku sampai ke rumah.
Dia duduk di kursi gemuk bergaya Victoria, brokat putih dan kayu
kenari hitam, dalam celana panjang longgar putih dan kemeja sutra,
sandal putih sutra manis di kakinya. Jika Alan ada di foto, akan
sangat sulit untuk menebak zaman ketika dia difoto"pria terhormat dari zaman Victoria, pria pesolek masa Edward VII, gaya
217 Sharp Objects.indd 217 tahun "50-an" Suami dari abad ke-21 yang tinggal di rumah, tidak
pernah bekerja, sering minum-minum, dan kadang-kadang bercinta
dengan ibuku. Alan dan aku sangat jarang bicara tanpa kehadiran ibuku. Ketika
masih kecil, sekali waktu aku berpapasan dengan Alan di koridor
dan dia membungkuk kaku, hingga sejajar dengan mataku, dan
berkata, "Halo, kuharap kau baik-baik saja." Kami sudah tinggal di
rumah yang sama selama lima tahun dan hanya itu yang bisa dia
katakan. "Ya, terima kasih," adalah satu-satunya jawaban yang bisa
kuberikan. Tapi, sekarang sepertinya Alan siap untuk menghadapiku. Dia
tidak memanggil namaku, hanya menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. Dia memangku piring kue berisikan beberapa potong sarden
keperakan berukuran besar. Aku bisa mencium baunya dari pintu
masuk. "Camille," kata Alan, mencungkili ekor ikan dengan garpu ikan
kecil, "kau membuat ibumu sakit. Aku harus memintamu pergi
kalau kondisinya tidak membaik."
"Bagaimana caranya aku membuatnya sakit?"
"Dengan menyiksanya. Dengan terus-menerus membahas Marian. Kau tidak bisa bertanya kepada seorang ibu yang kehilangan
anaknya, seperti apa rupa jasad anak itu di dalam tanah sekarang.
Aku tidak tahu apakah itu sesuatu yang bisa kaupisahkan dari dirimu, tapi Adora tidak bisa." Sebongkah ikan menggelincir ke bagian
depan baju Alan, meninggalkan barisan noda berminyak sebesar
kancing. "Kau tidak bisa membahas jasad kedua gadis yang tewas itu
dengan ibumu, atau berapa banyak darah yang keluar dari mulut
mereka ketika gigi mereka dicabut, atau berapa lama waktu yang
dibutuhkan seseorang untuk mencekik mereka."
218 Sharp Objects.indd 218 "Alan, aku tidak pernah mengatakan semua itu kepada ibuku.
Mendekati itu pun tidak. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang
dia bicarakan." Aku bahkan tidak merasa gusar, hanya letih.
"Tolonglah, Camille, aku tahu betapa gentingnya hubunganmu
dengan ibumu. Aku tahu betapa kau selalu cemburu pada kondisi
baik siapa pun. Memang benar, ya, kau memang seperti ibu Adora.
Dia menjaga rumah ini seperti" penyihir, tua dan pemarah. Suara
tawa menyinggung perasaannya. Satu-satunya momen dia tersenyum adalah ketika kau menolak menyusu dari Adora. Menolak
mengisap putingnya."
Kata itu, diucapkan bibir berminyak Alan, membuatku terbakar
di sepuluh tempat berbeda. Isap, jalang, karet, semuanya terbakar.
"Dan kau tahu ini dari Adora," ujarku.
Dia mengangguk, bibirnya terkatup dengan puas.
"Seperti kau tahu aku mengatakan hal-hal mengerikan soal Marian dan gadis-gadis yang tewas itu dari Adora."
"Tepat," katanya, setiap silabel diucapkan dengan jelas.
"Adora pembohong. Kalau kau tidak tahu itu, kau idiot."
"Adora sudah menjalani hidup yang sulit."
Aku terpaksa tertawa. Alan tidak gentar. "Ibu Adora biasa masuk
ke kamarnya pada tengah malam dan mencubitnya ketika Adora
masih anak-anak," kata Alan, memperhatikan potongan terakhir
ikan sarden dengan murung. "Dia bilang dia cemas Adora akan
meninggal ketika sedang tidur. Kupikir itu hanya karena dia senang
melukai Adora." Ingatan yang mengusik: Marian di ujung koridor, di dalam kamar anak invalid yang berdenyut penuh dengan mesin. Rasa sakit
tajam di lenganku. Ibuku berdiri di atasku dalam gaun tidur kelabu,
bertanya apakah aku baik-baik saja. Dia mencium lingkaran merah
muda di lenganku lalu memberitahuku untuk kembali tidur.
219 Sharp Objects.indd 219 t.c "Kupikir kau harus tahu hal-hal ini," kata Alan. "Mungkin akan
membuatmu bersikap lebih baik pada ibumu."
Aku tidak berencana untuk bersikap lebih baik pada ibuku. Aku
hanya ingin percakapan ini selesai. "Aku akan pergi sesegera mungkin."
"Ide bagus, kalau kau tidak bisa menebus kesalahan," kata Alan.
"Tapi kau mungkin akan merasa lebih baik dengan dirimu kalau kau
mencoba. Mungkin membantumu sembuh. Pikiranmu setidaknya."
Alan menyambar ikan sarden terakhir yang terkelepai dan mengisap ikan itu utuh-utuh ke dalam mulutnya. Aku bisa membayangkan tulang-tulang kecil patah ketika dia mengunyah.
Gelas berisi es dan sebotol penuh bourbon dicuri dari dapur belakang, kemudian dibawa ke kamarku untuk diminum. Bourbon itu
menghantamku dengan cepat, mungkin karena begitulah caraku
menenggaknya. Telingaku panas dan kulitku berhenti bergetar.
Aku memikirkan kata di tengkukku. Lenyap. Lenyap akan menghalau kesedihanku, pikirku dengan konyol. Lenyap akan menghalau masalahku. Apakah kami akan seburuk ini jika Marian tidak
meninggal" Keluarga lain mengatasi hal seperti ini. Berduka dan
melanjutkan hidup. Marian masih menghantui kami, anak gadis
pirang mungkin terlalu dianggap menggemaskan, mungkin terlalu
dimanjakan. Ini sebelum dia menjadi sakit, sangat sakit. Marian
punya teman khayalan, boneka beruang raksasa yang dia namakan
Ben. Anak macam apa yang punya teman khayalan boneka binatang" Marian mengumpulkan pita rambut dan menyusunnya sesuai
urutan abjad nama warna. Marian anak yang mengeksploitasi ke?
imutannya dengan kesenangan yang luar biasa hingga kau tidak bisa
membencinya. Mengedipkan mata, menyibakkan ikal rambutnya.
220 Sharp Objects.indd 220 Dia memanggil ibuku Mudder dan Alan" astaga, mungkin Marian
memanggil Alan Alan, aku tidak bisa menempatkan pria itu dalam
kenangan ini. Marian selalu menghabiskan makanannya, dengan
luar biasa menjaga kerapian kamar, dan menolak mengenakan apa
pun selain gaun dan sepatu Mary Jane. Dia memanggilku Mille dan
selalu ingin menyentuhku.
Aku memujanya. Mabuk tapi masih terus minum, aku mengambil gelas berisi
minuman keras dan berjalan perlahan menyusuri koridor ke kamar
Marian. Pintu kamar Amma, hanya satu kamar sesudahnya, tertutup selama berjam-jam. Apa rasanya tumbuh dewasa di sebelah
kamar saudara perempuan yang tidak pernah kautemui" Aku merasakan sebersit duka untuk Amma. Alan dan ibuku ada di kamar
tidur pojok besar mereka, tetapi lampu kamar padam dan kipas
angin berdesir. Tidak ada penyejuk ruangan terpusat di rumah
Victoria tua ini, dan ibuku merasa unit penyejuk ruangan kamar
begitu norak, jadi kami berkeringat menunggu musim panas lewat.
Tiga puluh dua derajat tapi hawa panas membuatku merasa aman,
seperti berjalan di dalam air.
Bantal di tempat tidur Marian masih memiliki sedikit lekuk. Satu
setel pakaian diletakkan di atasnya seolah-olah menutupi anak yang
hidup. Gaun ungu, celana ketat putih, sepatu hitam mengilat. Siapa
yang melakukan ini"ibuku" Amma" Penyangga infus, yang sudah
membuntuti Marian tanpa lelah di tahun terakhir hidupnya, berdiri
tegak, waspada dan berkilau, di sebelah peralatan medis lainnya:
tempat tidur itu lebih tinggi sekitar enam puluh senti dari tempat
tidur standar, untuk memudahkan akses pasien; monitor jantung;
pispot. Aku merasa jijik ibuku belum menyingkirkan semua ini.
Ruangan ini gersang dan benar-benar tidak bernyawa. Boneka
favorit Marian dikubur bersamanya, boneka kain perca berukuran
221 Sharp Objects.indd 221 o. besar dengan rambut ikal pirang mirip rambut adikku. Evelyn. Atau
Eleanor" Sisanya berbaris di dinding pada dudukan, seperti penonton fanatik duduk di kursi stadion. Dua puluh boneka atau lebih,
dengan wajah keramik putih dan mata kaca yang dalam.
Aku bisa membayangkan Marian dengan mudah di sini, duduk
bersilang kaki di tempat tidur itu, kecil dengan titik-titik keringat,
matanya memiliki lingkaran ungu. Mengocok kartu atau menyisiri
rambut boneka atau mewarnai dengan marah. Aku bisa mendengar
suaranya: krayon digoreskan dalam garis-garis kasar di kertas. Goresan kelam dengan krayon yang ditekan begitu kuat hingga kertasnya sobek. Dia menengadah menatapku, bernapas terengah-engah
dan pendek. "Aku bosan sekarat."
Aku terbirit-birit kembali ke kamarku seolah-olah aku dikejar.
Telepon berdering enam kali sebelum Eileen mengangkatnya.
Benda-benda yang tidak dimiliki keluarga Curry di rumahnya:
microwave, VCR, mesin pencuci piring, mesin penjawab telepon.
Sapaan halo Eileen lembut tapi tegang. Kurasa mereka tidak mendapatkan banyak panggilan telepon sesudah jam sebelas. Eileen
berpura-pura mereka belum tidur dan hanya tidak mendengar
dering telepon, tapi butuh dua menit untuk memanggil Curry ke
telepon. Aku membayangkan pria itu, mengelap kacamata di ujung
piama, memakai sandal kulit usang, menatap ke arah jam alarm
yang berpendar. Gambaran yang menenangkan.
Kemudian aku menyadari aku sedang mengingat iklan apotek 24
jam di Chicago. Sudah tiga hari sejak terakhir kali aku bicara pada Curry. Nyaris
dua minggu sejak aku datang ke Wind Gap. Di situasi yang berbeda
222 Sharp Objects.indd 222 Curry sudah akan meneleponku tiga kali sehari meminta kabar
terbaru. Tapi dia tidak ingin meneleponku ke rumah penduduk
setempat, apalagi rumah ibuku, jauh di Missouri sini, yang dalam
pikiran khas Chicago-nya itu sama dengan Selatan Jauh. Di situasi
yang berbeda Curry akan mengomeliku di telepon karena tidak
rajin mengabari, tapi tidak malam ini.
"Cubby, kau baik-baik saja" Ada berita apa?"
"Yah, ini masih belum bisa dikutip, tapi aku akan mendapatkannya. Polisi jelas berpikir pembunuhnya laki-laki, pasti dari Wind
Gap, dan mereka tidak punya DNA, tidak ada lokasi pembunuhan;
petunjuk yang mereka miliki sangat sedikit. Ini berarti pembunuhnya cerdas atau kebetulan saja genius. Kota ini sendiri sepertinya
terfokus pada kakak Natalie Keene, John. Aku mendapatkan wawancara dengan pacarnya, bisa dikutip, membela ketidakterlibatan
pemuda itu." "Bagus, bahan yang bagus, tapi maksudku sebenarnya" aku
bertanya soal dirimu. Kau baik-baik saja di sana" Kau harus memberitahuku, karena aku tidak bisa melihat wajahmu. Jangan sok
tabah." "Aku tidak begitu baik, tapi apa itu penting?" Suaraku terdengar
lebih tinggi dan ketus daripada yang kurencanakan. "Ini kisah yang
bagus dan kurasa aku mendekati sesuatu. Aku merasa tambahan
beberapa hari, seminggu, dan" aku tidak tahu. Anak-anak perempuan ini menggigit orang-orang. Itu yang kudapatkan hari ini, dan
polisi yang bekerja sama denganku, dia bahkan tidak tahu."
"Kau memberitahukan itu kepadanya" Apa komentarnya?"
"Tidak ada." "Kenapa kau tidak mendapatkan komentarnya, Non?"
Begini, Curry, Detektif Willis merasa aku menahan informasi, jadi
223 Sharp Objects.indd 223

Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia merajuk, seperti sikap semua pria ketika tidak mendapatkan yang
mereka inginkan dari wanita yang bermesraan dengan mereka.
"Aku mengacau. Tapi aku akan mendapatkannya. Aku butuh
beberapa hari lagi sebelum mengirimkan tulisan, Curry. Mencari
lebih banyak warna lokal, mengusahakan polisi ini bicara. Aku pikir
mereka nyaris yakin sedikit liputan media akan membantu mempercepat penyelidikan. Bukan berarti ada yang membaca koran kita
di sini." Atau di sana.
"Mereka akan membacanya. Kau akan mendapatkan perhatian
serius dari liputan ini, Cubby. Tulisanmu mendekati bagus. Ber?
usaha lebih keras. Mengobrollah dengan beberapa teman lamamu.
Mereka mungkin akan lebih terbuka. Tambahan lagi, itu akan bagus
untuk artikelnya"seri banjir Texas yang memenangi Pulitzer itu
menceritakan perspektif si penulis soal pulang ke rumah saat terjadi tragedi. Bacaan yang bagus. Dan wajah yang bersahabat, sedikit
bir mungkin akan membantu. Kedengarannya kau sudah minum
sedikit malam ini?" "Sedikit." "Apakah kau merasa" ini situasi yang buruk untukmu" Dengan
proses penyembuhan?" Aku mendengar suara pemantik api dinyalakan, kursi dapur digeret pada lantai linoleum, gerutuan ketika
Curry duduk. "Oh, kau tidak harus khawatir."
"Tentu saja aku harus. Jangan berperan jadi martir, Cubby. Aku
tidak akan memberimu penalti kalau kau harus pergi dari sana. Kau
harus mengurus diri sendiri. Kupikir pulang ke rumah akan membantumu, tapi" aku lupa kadang-kadang orangtua tidak selalu"
baik untuk anak-anak mereka."
"Setiap kali di sini," aku terdiam, berusaha menenangkan diri.
"Aku selalu merasa aku orang yang buruk ketika di sini." Kemudian
224 Sharp Objects.indd 224 aku mulai menangis, isakan tanpa suara ketika Curry tergagapgagap di ujung telepon satunya. Aku bisa membayangkan dia panik,
memanggil Eileen untuk menangani telepon dari gadis cengeng ini.
Tapi tidak. "Ohhh, Camille," bisik Curry. "Kau salah satu orang paling baik
yang kukenal. Dan tidak ada banyak orang baik di dunia ini, tahu,
tidak" Setelah orangtuaku meninggal, pada dasarnya hanya ada kau
dan Eileen." "Aku tidak baik." Ujung penaku membentuk kata-kata dalam
goresan dalam, menggaruk pahaku. Salah, wanita, gigi.
"Camille, kau baik. Aku melihat caramu memperlakukan orang
lain, bahkan terhadap sampah paling tidak berguna yang bisa kupikirkan. Kau memberi mereka" harga diri. Pemahaman. Menurutmu kenapa aku mempertahankanmu" Bukan karena kau reporter
yang bagus." Aku membisu, hanya air mata menetes deras. Salah,
wanita, gigi. "Yang tadi itu lucu, tidak" Aku meniatkan itu terdengar lucu."
"Tidak." "Kakekku dulu tampil di pertunjukan komedi. Tapi kurasa gen
yang itu tidak diturunkan padaku."
"Benarkah?" "Oh, ya, langsung begitu kapal dari Irlandia-nya tiba di New York.
Dia pria yang lucu, memainkan empat alat musik"." Bunyi percik
pemantik api terdengar lagi. Aku menarik selimut tipis menutupiku
dan memejamkan mata, mendengarkan kisah Curry.
225 Sharp Objects.indd 225 bab dua belas Richard tinggal di satu-satunya gedung apartemen di Wind
Gap, gedung kotak bergaya industrial dibangun untuk dihuni empat penyewa. Hanya dua apartemen yang terisi. Tiang-tiang kekar
penyangga garasi yang dinodai cat semprot merah, empat baris tulisan, yang berkata: "Stop Partai Demokrat, Stop Partai Demokrat,
Stop Partai Demokrat," kemudian, anehnya, "Aku suka Louie."
Rabu pagi. Badai masih bersemayam dalam awan di atas kota. Panas dan berangin, cahaya matahari kuning air seni. Aku menggedor
pintu apartemen Richard dengan ujung botol bourbon. Bawa hadiah
kalau kau tidak bisa bawa yang lain. Aku berhenti mengenakan rok.
Membuat kakiku terlalu gampang disentuh untuk seseorang yang
cenderung menyentuh. Kalau Richard masih ingin begitu.
Dia membuka pintu menguarkan aroma tidur lelap. Rambut berantakan, celana boxer, kaus yang dipakai terbalik luar-dalam. Tidak
ada senyuman. Dia membuat apartemennya tetap dingin. Aku bisa
merasakan udara dingin dari tempatku berdiri.
"Kau ingin masuk atau kau ingin aku keluar?" tanyanya, menggaruk dagu. Kemudian dia melihat botol minuman. "Ah, masuklah.
Kurasa kita akan mabuk-mabukan?"
Apartemen Richard berantakan dan itu mengejutkan bagiku.
226 Sharp Objects.indd 226 Celana panjang disampirkan di kursi, keranjang sampah nyaris
tumpah, kotak dokumen tersusun tinggi di tempat yang janggal di
koridor, membuatmu memiringkan tubuh untuk bisa lewat. Dia
mengarahkanku ke sofa kulit dengan permukaan retak-retak dan
kembali membawa baki berisi es dan dua gelas. Menuangkan porsi
dermawan ke gelas. "Yah, aku seharusnya tidak bersikap begitu kasar semalam," katanya.
"Ya. Maksudku, aku merasa aku memberimu banyak informasi
dan kau tidak memberiku apa pun."
"Aku berusaha memecahkan kasus pembunuhan. Kau berusaha
meliputnya. Kurasa aku jadi prioritas. Ada beberapa hal, Camille,
yang tidak mungkin kuberikan padamu."
"Dan sebaliknya"aku punya hak untuk melindungi narasumberku."
"Yang malah bisa membantu melindungi orang yang melakukan
pembunuhan ini." "Kau bisa mengira-ngira, Richard. Aku memberimu nyaris se?
mua? nya. Astaga, kau berusahalah sendiri sedikit." Kami saling
menatap. "Aku suka ketika kau bersikap seperti reporter tangguh denganku." Richard tersenyum. Menggeleng. Menjawilku dengan kaki
telanjang. "Sungguh, aku menyukainya."
Dia menuangkan minuman lagi ke gelas kami. Kami akan mabuk
sebelum tengah hari. Richard menarikku ke arahnya, mencium cuping telingaku, menjulurkan lidah ke telingaku.
"Jadi, cewek Wind Gap, senakal apa sebenarnya dirimu?" bisik
Richard. "Ceritakan padaku kali pertama kau melakukannya." Kali
pertama adalah sekaligus kali kedua, kali ketiga, dan kali keempat,
227 Sharp Objects.indd 227 berkat peristiwa di kelas delapan. Aku memutuskan untuk menyebutnya sebagai yang pertama saja.
"Aku enam belas tahun," aku berbohong. Usia yang lebih tua
sepertinya lebih cocok untuk suasana hati saat ini. "Dengan pemain
football, di kamar mandi di suatu pesta."
Toleransi alkoholku lebih bagus dibandingkan Richard, dia sudah terlihat berkaca-kaca, memutar-mutarkan jari di sekitar puncak
payudaraku, tegang di balik kemejaku.
"Mmmm" apa kau orgasme?"
Aku mengangguk. Aku ingat berpura-pura orgasme. Aku ingat
bergumam seakan mendapatkan orgasme, tapi itu tidak terjadi
hingga mereka mengoperku ke cowok ketiga. Aku ingat berpikir
betapa manisnya dia karena terus terengah-engah di telingaku, berkata, "Ini oke" Ini oke?"
"Kau ingin orgasme sekarang" Denganku?" bisik Richard.
Aku mengangguk dan dia mendekatiku. Kedua tangan itu menjelajah, berusaha ke bagian atas kemejaku, kemudian bergulat membuka kancing celanaku, menarik ke bawah.
"Tunggu, tunggu. Caraku," bisikku. "Aku suka tetap berpakaian."
"Tidak. Aku ingin menyentuhmu."
"Tidak, Sayang, dengan caraku."
Aku menarik celanaku sedikit ke bawah, memastikan perutku
tertutupi kemeja, membuat perhatian Richard teralihkan dengan
ciuman di tempat yang tepat. Kemudian aku mengarahkannya ke
diriku dan kami bercinta, dengan pakaian lengkap, retakan di sofa
kulit menggaruk bokongku. Pompa, sampah, gadis, kecil. Ini kali
pertama aku bersama seorang lelaki dalam sepuluh tahun. Pompa,
sampah, gadis, kecil! Tak lama kemudian erangan Richard menjadi
lebih nyaring dibandingkan suara-suara di kulitku. Baru saat itulah
aku bisa menikmatinya. Desakan-desakan terakhir yang manis itu.
228 Sharp Objects.indd 228 *** Dia berbaring setengah di sebelahku, setengah di atasku, dan tersengal-sengal ketika kami selesai, masih mencengkeram kerah kemejaku. Hari sudah berganti kelabu. Kami gemetar di ujung badai petir.
"Beritahu aku siapa pelakunya menurutmu," kataku. Richard
kelihatan terkejut. Apakah dia mengharapkan "Aku mencintaimu?"
Dia memuntir-muntir rambutku sebentar, menjulurkan lidah ke
telingaku. Ketika tidak bisa mengakses bagian tubuh lain, para
pria menjadi terfiksasi pada telinga. Sesuatu yang kupelajari dalam
sepuluh tahun terakhir. Dia tidak bisa menyentuh payudara atau
bokongku, lengan atau kakiku, tapi Richard sepertinya puas, untuk
sekarang, dengan telingaku.
"Hanya antara kau dan aku, kupikir John Keene. Anak itu sangat
dekat dengan adiknya. Dengan cara yang tidak sehat. Dia tidak
punya alibi. Kupikir dia punya ketertarikan pada gadis-gadis kecil
yang berusaha dia lawan, berakhir dengan membunuh mereka
dan mencabut giginya untuk kesenangan. Tapi dia tidak akan bisa
bertahan lebih lama. Ini akan menjadi lebih besar. Kami sedang
memeriksa apakah ada perilaku aneh waktu mereka di Philly. Bisa
jadi masalah Natalie bukan satu-satunya alasan mereka pindah."
"Aku butuh sesuatu yang bisa dikutip."
"Siapa yang memberitahumu soal insiden gigitan dan siapa yang
digigit anak-anak perempuan itu?" ujar Richard dalam bisikan panas di telingaku. Di luar, hujan mulai mendera trotoar seperti orang
yang sedang kencing. "Meredith Wheeler memberitahuku Natalie menggigit cuping
telinganya sampai putus."
"Apa lagi?" "Ann menggigit ibuku. Di pergelangan tangannya. Itu saja."
229 Sharp Objects.indd 229 "Nah, kan, tidak terlalu sulit. Gadis baik," bisik Richard, mengelus puncak payudaraku lagi.
"Sekarang berikan komentar yang bisa kukutip."
"Tidak." Richard tersenyum. "Pakai caraku."
Richard bercinta denganku sekali lagi sore itu, akhirnya dengan
enggan memberiku pernyataan yang bisa dikutip mengenai perkembangan kasus ini dan kemungkinan akan melakukan penahanan.
Aku membiarkannya tertidur di ranjang dan lari menembus hujan
ke mobilku. Pikiran sembarang berdentang di kepalaku: Amma bisa
mendapatkan lebih banyak informasi dari pria itu.
Aku menyetir ke Garrett Park dan duduk di mobilku menatap
hujan, karena aku tidak ingin pulang. Besok tempat ini akan penuh
dengan anak-anak yang memulai musim panas panjang dan malas
mereka. Sekarang hanya ada aku, merasa lengket dan bodoh. Aku
tidak bisa memutuskan apakah aku sudah diperlakukan tidak senonoh. Oleh Richard, oleh cowok-cowok yang merenggut keperawananku, oleh siapa pun. Aku tidak pernah membela diriku dalam
argumen ini. Aku menyukai kedengkian ala Perjanjian Lama dari
frasa mendapatkan yang layak dia dapatkan. Kadang-kadang kaum
perempuan memang begitu. Keheningan, kemudian tidak lagi. IROC kuning menggemuruh
berhenti di sebelahku, Amma dan Kylie berbagi kursi penumpang
depan. Pemuda berambut berantakan mengenakan kacamata hitam
yang dibeli di SPBU dan kaus dalam bernoda duduk di kursi sopir;
doppelg?nger-nya, tiruannya yang kurus, duduk di kursi belakang.
Asap menggulung-gulung keluar dari mobil, bercampur dengan
aroma minuman keras rasa lemon.
"Ayo masuk, kami akan sedikit berpesta," kata Amma. Dia me230
Sharp Objects.indd 230 nawarkan sebotol vodka murahan rasa jeruk. Amma menjulurkan
lidah dan membiarkan hujan memercik di atasnya. Rambut dan
tank top-nya sudah basah.
"Aku baik-baik saja, makasih."
"Kau tidak kelihatan baik. Ayolah, mereka berpatroli di taman.
Kau akan kena tilang karena menyetir sambil mabuk. Aku bisa
mencium baumu." "Ayolah, chiquita," seru Kylie. "Kau bisa membantu kami mengamankan cowok-cowok ini."
Aku memikirkan berbagai pilihanku: Pulang ke rumah, minum
sendirian. Pergi ke bar, minum dengan pria mana pun yang tersedia.
Pergi dengan anak-anak ini, mungkin mendengar beberapa gosip
menarik, setidaknya. Sejam. Kemudian pulang untuk tidur dan
memulihkan diri. Tambahan, ada Amma dan sikap bersahabat misteriusnya kepadaku. Aku tidak suka mengakuinya, tapi aku menjadi
terobsesi pada gadis ini.
Anak-anak itu bersorai-sorai ketika aku masuk ke kursi belakang.
Amma mengedarkan botol yang berbeda, rum panas yang rasanya
seperti losion tabir surya. Aku khawatir mereka akan memintaku
membelikan mereka minuman keras. Bukan karena aku tidak mau.
Payahnya, aku ingin mereka hanya ingin aku ikut. Seolah-olah aku
populer sekali lagi. Bukan orang aneh. Diterima oleh gadis paling
keren di sekolah. Pikiran itu nyaris cukup untuk membuatku
melompat keluar dari mobil dan berjalan pulang. Tapi kemudian
Amma mengedarkan botol itu lagi. Bibir botol ternoda pemulas
bibir merah muda. Pemuda di sebelahku, diperkenalkan hanya sebagai Nolan, mengangguk dan mengelap keringat dari bibir atasnya. Lengan kurus
berkeropeng dan wajah penuh jerawat. Sabu-sabu. Missouri adalah
negara bagian kedua yang paling banyak pencandunya di Union.
231 Sharp Objects.indd 231 Kami bosan hidup di sini dan kami punya banyak bahan kimia untuk pertanian. Ketika aku tumbuh dewasa, yang mengonsumsinya
kebanyakan pencandu kelas berat. Sekarang sabu-sabu menjadi
narkoba di acara-acara pesta. Nolan menyusurkan jari naik-turun
di pinggiran vinil kursi sopir di depannya, tapi dia menengadah menatapku cukup lama untuk berkata, "Kau seumur ibuku. Aku suka."
"Aku ragu aku sebaya dengan ibumu."
"Dia sekitar 33, 34 tahun?" Cukup dekat.
"Siapa namanya?"
"Casey Rayburn." Aku tahu dia. Beberapa tahun lebih tua dariku.
Golongan pabrik. Terlalu banyak gel rambut dan suka pada orangorang Meksiko pembunuh ayam di perbatasan Arkansas. Saat retret
gereja, dia memberitahu kelompoknya bahwa dia pernah mencoba
bunuh diri. Cewek-cewek di sekolah mulai memanggilnya Casey
Razor alias Casey Silet. "Pasti sebelum masaku," kataku.
"Bung, cewek ini terlalu keren untuk menongkrong dengan ibumu si pelacur pemadat," kata si sopir.
"Keparat kau," bisik Nolan.
"Camille, lihat kami punya apa," Amma mencondongkan tubuh
melewati kursi penumpang, jadi bokongnya menabrak wajah Kylie.
Amma menggoyang-goyangkan sebotol pil kepadaku. "OxyContin.


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Membuatmu merasa sangat enak." Dia menjulurkan lidah dan menaruh tiga pil berbaris seperti kancing putih, kemudian mengunyah
dan menelannya dengan setenggak vodka. "Coba deh."
"Tidak, makasih, Amma." OxyContin memang barang bagus.
Melakukannya dengan adikmu itu tidak bagus.
"Oh, ayolah, Mille, satu saja," rengek Amma. "Kau akan merasa
lebih ringan. Aku merasa sangat senang dan enak sekarang. Kau
juga harus." 232 Sharp Objects.indd 232 "Aku merasa baik-baik saja, Amma." Amma yang memanggilku
Mille membuatku teringat pada Marian. "Sungguh."
Amma berbalik dan menghela napas, terlihat murung dan sulit
dihibur. "Ayolah, Amma, kau tidak mungkin sepeduli itu," kataku, menyentuh bahunya.
"Aku memang peduli." Aku tidak bisa mengatasinya, aku kehilangan pijakan, merasakan keinginan berbahaya untuk menyenangkan orang lain, seperti dulu. Dan memang benar, satu pil tidak akan
membunuhku. "Oke, oke, beri aku satu. Satu."
Amma dengan segera berubah ceria dan melontarkan dirinya
kembali untuk berhadapan denganku.
"Julurkan lidahmu. Seperti komuni. Komuni obat."
Aku menjulurkan lidah lalu Amma menaruh pil di ujungnya dan
memekik. "Gadis baik." Dia tersenyum. Aku mulai muak dengan frasa itu
hari ini. Kami berhenti di luar salah satu mansion mewah tua bergaya Victoria, direnovasi dan dicat biru, merah muda, dan hijau menggelikan
yang dimaksudkan untuk terlihat keren. Tempat itu malahan kelihatan seperti rumah penjual es krim yang sinting. Seorang pemuda
bertelanjang dada muntah ke semak-semak di pinggir rumah, dua
anak sedang bergulat di tempat yang tadinya kebun bunga, dan
pasangan muda berpelukan seperti dua laba-laba di ayunan anakanak. Nolan ditinggalkan di dalam mobil, masih menyusurkan jari
naik-turun di pinggiran kursi. Si sopir, Damon, mengunci Nolan di
233 Sharp Objects.indd 233 dalam mobil "supaya tidak ada yang macam-macam dengannya."
Aku merasa ini sikap yang memesona.
Berkat OxyContin, aku merasa cukup bersemangat, dan ketika
kami berjalan ke rumah besar itu, tanpa sadar aku mencari-cari
wajah dari masa mudaku: cowok-cowok berambut cepak dan berjaket kulit, gadis-gadis dengan keriting spiral dan anting emas besar.
Aroma Drakkar Noir dan Giorgio.
Tapi lalu aku teringat. Sekarang semua itu sudah tak ada. Cowok-cowok seperti bayi memakai celana pendek longgar skater dan
sepatu bersol karet, cewek-cewek dengan kaus tanpa lengan dan rok
mini dan anting pusar, dan mereka jelas-jelas memelototiku seolaholah aku mungkin polisi. Bukan, tapi aku meniduri satu polisi sore
ini. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku sungguh gembira, pikirku
sambil lalu. Di ruang makan yang luas seperti gua, meja makan didorong
ke satu sisi, menyediakan ruangan untuk berdansa dan peti es.
Amma masuk ke lingkaran pedansa, menari memutar pinggul di
dekat seorang pemuda hingga tengkuk pemuda itu berubah merah.
Amma berbisik ke telinganya, dan dengan anggukan dari si pemuda, membuka peti es dan mengambil empat bir, yang Amma dekap
di dada basahnya, berpura-pura kesulitan memegang semuanya
ketika melenggak-lenggok melewati sekelompok anak lelaki yang
mengaguminya. Para gadis tidak terlalu senang. Aku bisa melihat celaan menyambar dengan cepat di kerumunan ini seperti rentetan petasan. Tapi
kelompok pirang kecil ini punya dua keunggulan. Pertama, mereka
datang dengan bandar setempat, yang pastinya punya pengaruh di
sini. Kedua, mereka lebih cantik dibandingkan nyaris semua gadis
yang ada di sini, yang berarti anak-anak lelaki akan menolak menendang mereka keluar. Dan pesta ini diadakan anak lelaki, yang bisa
234 Sharp Objects.indd 234 kutebak dari foto di rak perapian ruang duduk, bocah berambut
gelap, tampan membosankan, berpose dengan topi dan toga untuk
foto tahun seniornya; di dekat foto itu, foto ayah dan ibunya yang
membanggakan. Aku kenal si ibu: Dia kakak perempuan salah satu
teman SMA-ku. Memikirkan aku berada di pesta anaknya memberiku gelombang cemas pertama.
"Yatuhanyatuhanyatuhan." Cewek berambut cokelat dengan
mata seperti kodok dan kaus bertuliskan The Gap dalam hurufhuruf besar seakan berteriak bangga, lari melewati kami dan mencengkeram cewek bertampang kodok lainnya. "Mereka datang.
Mereka benar-benar datang."
"Sial," jawab temannya. "Ini bagus banget. Apa kita sapa mereka?"
"Kupikir kita tunggu saja dan lihat apa yang terjadi. Kalau J.C.
tidak mau mereka di sini, kita tidak ikut campur."
"Banget." Aku tahu sebelum aku melihatnya. Meredith Wheeler masuk ke
ruang duduk, menarik John Keene di belakangnya. Beberapa cowok
mengangguk kepada John, beberapa menepuk pundak. Yang lain
dengan terang-terangan berbalik dan menutup lingkaran mereka.
Baik John maupun Meredith tidak menyadari kehadiranku, dan aku
bersyukur. Meredith melihat lingkaran gadis berkaki kurus melengkung, sesama pemandu sorak, tebakanku, berdiri di pintu dapur.
Meredith memekik dan berlari ke arah mereka, meninggalkan John
di ruang duduk. Gadis-gadis itu bahkan tampak lebih dingin dibandingkan dengan para anak lelaki. "Haiiii," kata satu gadis tanpa
tersenyum. "Kupikir kaubilang kau tidak akan datang."
"Aku memutuskan itu bodoh. Siapa pun yang berotak tahu John
oke. Kami tidak akan diasingkan hanya karena semua" sampah ini."
"Ini tidak oke, Meredith. J.C. tidak oke dengan ini," kata cewek
berambut merah yang entah pacar J.C. atau ingin menjadi pacarnya.
235 Sharp Objects.indd 235 "Aku akan bicara padanya," Meredith merajuk. "Biarkan aku bicara padanya."
"Kurasa kau harus pergi."
"Apakah mereka benar-benar menyita baju John?" tanya gadis
ketiga dengan aura keibuan. Gadis yang memegangi rambut temannya sementara temannya muntah.
"Ya, tapi itu untuk sepenuhnya mengeliminasi dia. Bukan karena
dia bermasalah." "Terserah," kata si rambut merah. Aku membencinya.
Meredith memeriksa ruangan mencari wajah yang lebih bersahabat dan melihatku, kelihatan bingung, melihat Kelsey, kelihatan
murka. Meninggalkan John di dekat pintu, yang berpura-pura mengecek
jam, mengikat tali sepatu, terlihat tidak acuh ketika kerumunan
orang memulai dengung penuh skandal, Meredith berjalan ke arah
kami. "Apa yang kaulakukan di sini?" Mata gadis itu berkaca-kaca, titiktitik keringat di dahinya. Pertanyaan ini sepertinya tidak diarahkan
pada salah satu dari kami. Mungkin dia bertanya pada diri sendiri.
"Damon yang mengajak kami," kicau Amma. Dia melompat berjinjit dua kali. "Aku tidak percaya kau di sini. Dan aku jelas tidak
percaya cowok itu menunjukkan wajahnya."
"Ya Tuhan, kau benar-benar sundal kecil. Kau tidak tahu apaapa, dasar teman tidur pemadat keparat." Suara Meredith gemetar,
seperti gasing yang berputar menuju ujung meja.
"Lebih baik daripada apa yang jadi teman tidurmu," kata Amma.
"Haiiii, pembunuh." Dia melambai kepada John, yang sepertinya
baru menyadari kehadiran Amma dan tiba-tiba terlihat seolah-olah
baru ditampar. John baru akan menghampiri ketika J.C. muncul dari ruangan
236 Sharp Objects.indd 236 lain dan menggiring John ke pinggir ruangan. Dua pemuda jangkung mendiskusikan kematian dan pesta di rumah. Ruangan itu
berubah menjadi bisikan pelan, mengawasi J.C. menepuk punggung
John, dengan cara yang secara langsung mengarahkannya ke pintu.
John mengangguk kepada Meredith dan berjalan keluar. Gadis itu
dengan cepat mengikuti, kepalanya tertunduk, kedua tangan terangkat ke wajah. Tepat sebelum John sampai ke pintu, seorang cowok
menyemburkan suara menggoda bernada tinggi, "Pembunuh anakanak!" Tawa gugup dan putaran bola mata. Meredith memekik liar,
berbalik, menyeringai, lalu berteriak, "Keparat kalian semua" dan
membanting pintu. Cowok yang sama menirukan teriakan Meredith untuk kerumunan pesta, menyerukan Keparat kalian semua dengan suara genit
kecewek-cewekan, menonjolkan pinggul ke satu sisi. J.C. mengeraskan volume musik lagi, suara pop sintesis gadis remaja bercanda
tentang oral seks. Aku ingin menyusul John dan memeluknya. Aku tidak pernah
melihat seseorang begitu kesepian dan Meredith sepertinya tidak
akan jadi penghibur. Apa yang akan John lakukan, sendirian di
rumah belakang kosong itu" Sebelum bisa mengejar pemuda itu,
Amma menyambar lenganku dan menarikku ke lantai atas ke "Ruang VIP", tempat dia dan para gadis pirang serta dua cowok SMA
dengan kepala botak yang serasi mengobrak-abrik lemari ibu J.C.,
melepaskan pakaian terbaik wanita itu dari gantungan baju untuk
membuat sarang. Mereka memanjat naik ke tempat tidur, ke lingkaran satin dan bulu hewan. Amma menarikku ke sebelahnya dan
mengeluarkan sebutir ekstasi dari bra.
"Kau pernah main Rolet Putar?" dia bertanya kepadaku. Aku
menggeleng. "Kau mengedarkan ekstasi dari lidah ke lidah, dan pemenang yang beruntung adalah yang pilnya meleleh di lidahnya. Ini
237 Sharp Objects.indd 237 barang Damon yang paling bagus sih, jadi kita bakal giting sedikit."
"Tidak makasih, aku tidak usah," kataku. Aku nyaris mengiyakan,
tapi kemudian aku melihat ekspresi cemas di salah satu cowok. Aku
pasti mengingatkan mereka pada ibu mereka.
"Oh, ayolah, Camille, aku tidak akan bilang-bilang, demi Tuhan,"
rengek Amma, mengutik-utik kuku tangan. "Lakukan bersamaku.
Sebagai adik-kakak?"
"Ayoooo, Camille!" rengek Kylie dan Kelsey. Jodes memperhatikanku tanpa suara.
OxyContin, minuman keras, seks sebelum ini, badai yang masih
menggantung basah di luar, kulit rusakku (peti es muncul dengan
bersemangat di lenganku), dan pikiran ternoda tentang ibuku. Aku
tidak tahu yang mana yang menghantam paling keras, tapi tiba-tiba
aku mengizinkan Amma mencium pipiku dengan penuh semangat.
Aku mengangguk mengiyakan dan lidah Kylie menyentuh lidah
satu cowok, yang dengan gugup memindahkan pil ke Kelsey, yang
menjilat cowok kedua, lidah pemuda itu sebesar lidah serigala, yang
menumpangkan lidahnya ke mulut Jodes, yang menjulurkan lidah
dengan ragu-ragu kepada Amma"yang mencukil pil itu, lalu lidah
lembut, kecil, dan panas memindahkan pil itu ke dalam mulutku,
dia merangkulku dan mendorong pil itu kuat-kuat ke lidahku hingga aku bisa merasakannya hancur di dalam mulut. Pil itu melarut
seperti permen kapas. "Minum air banyak-banyak," bisik Amma kepadaku, kemudian
terkikik keras-keras di lingkaran itu, melontarkan tubuh ke belakang ke mantel bulu cerpelai.
"Keparat, Amma, permainannya bahkan belum dimulai," bentak
si bocah serigala, pipinya merona merah.
"Camille tamuku," kata Amma dengan nada sombong dibuat-buat. "Plus, dia butuh sedikit keriangan. Hidupnya cukup
238 Sharp Objects.indd 238 menyedihkan. Kami punya saudara perempuan yang mati persis
seperti John Keene. Camille tidak pernah mengatasi itu." Amma
mengumumkan itu seolah-olah dia sedang membantu memecahkan kekakuan di antara tamu pesta koktail: David punya toko kelontong, James baru saja kembali dari penugasan di Prancis, dan, oh ya,
Camille tidak pernah melupakan adiknya yang mati. Ada yang mau
menambah minuman" "Aku harus pergi," kataku, berdiri terlalu tiba-tiba, atasan tanpa
lengan dari satin merah tersangkut di belakang bajuku. Masih ada
waktu sekitar lima belas menit sebelum aku benar-benar mulai teler,
dan ini bukan tempat di mana aku ingin berada ketika itu terjadi.
Tapi sekali lagi, masalahnya: Richard, sekalipun dia peminum, tidak
akan mendukung apa pun yang lebih serius daripada alkohol, dan
aku jelas tidak mau duduk di kamar tidurku yang panas, sendirian
dan mabuk, memasang telinga mengantisipasi kehadiran ibuku.
"Ikut denganku," ajak Amma. Dia menyelipkan tangan ke bra
dengan busa yang terlalu tebal dan mengeluarkan pil dari jahitan
dalam, melontarkan pil itu ke dalam mulut dan tersenyum lebar
serta kejam kepada anak-anak lain, yang terlihat penuh harap tapi
tidak berdaya. Tidak ada pil untuk mereka.
"Kita akan berenang, Mille, rasanya akan luar biasa ketika
kita mulai giting," Amma menyeringai, memamerkan gigi persegi
putih sempurna. Aku tidak bisa lagi menolak"sepertinya lebih
mudah untuk ikut saja. Kami menuruni tangga, berjalan ke dapur
(cowok-cowok berwajah seperti buah peach menilai kami dengan
bingung"satu terlalu muda, satu lagi jelas terlalu tua). Kami mengambil air kemasan dari peti es (kata itu tiba-tiba terengah-engah
lagi di kulitku, seperti anak anjing yang melihat anjing yang lebih
besar), yang dijejalkan bersama jus dan kaserol, buah segar dan roti
putih, dan aku tiba-tiba tersentuh dengan lemari es keluarga sehat
239 Sharp Objects.indd 239 yang tidak berdosa ini, begitu abai akan kebejatan yang terjadi di
tempat lain di rumah ini.
"Ayo, aku sangat ingin berenang," ujar Amma dengan liar, menarik lenganku seperti anak kecil. Yang memang benar. Aku memakai
narkoba dengan adikku yang berusia tiga belas tahun, bisikku pada
diri sendiri. Tapi sepuluh menit penuh sudah berlalu dan pikiran
itu hanya membawa getaran kebahagiaan. Amma gadis yang menyenangkan, adik kecilku, gadis paling populer di Wind Gap, dan
dia mau nongkrong denganku. Dia menyayangiku seperti Marian.
Aku tersenyum. Ekstasi ini sudah melepaskan gelombang kimia
optimisme pertama, aku bisa merasakannya mengambang di dalam
diriku seperti balon udara besar dan pecah di langit-langit mulutku,
memancarkan rasa senang. Aku nyaris bisa mencecapnya, seperti
jeli merah muda bersoda. Kelsey dan Kylie mulai mengikuti kami ke pintu lalu Amma
berbalik sambil tertawa. "Aku tidak mau kalian ikut," Amma terkekeh. "Kalian di sini saja. Bantu Jodes mendapatkan teman tidur, dia
butuh seks yang oke."
Kelsey merengut pada Jodes, yang tetap diam di tangga dengan
gugup. Kylie menatap lengan Amma yang merangkul pinggangku.
Mereka saling lirik. Kelsey merapatkan diri pada Amma, menyandarkan kepalanya ke bahu adikku.
"Kami tidak mau tinggal di sini, kami ingin ikut denganmu," rengek Kelsey. "Kumohon."
Amma mendorong gadis itu menjauh, tersenyum kepada Kelsey
seolah-olah dia kuda poni yang bodoh.
"Bersikap manis dan menyingkirlah, oke?" kata Amma. "Aku
lelah dengan kalian semua. Kalian begitu membosankan."
Kelsey mundur, bingung, kedua lengannya masih setengah terulur. Kylie mengangkat bahu pada Kelsey dan menari kembali ke
240 Sharp Objects.indd 240 kerumunan, menyambar bir dari tangan cowok yang lebih tua dan
menjilat bibir ke arah si cowok itu"menengok ke belakang untuk
melihat apakah Amma sedang memperhatikan atau tidak. Tidak.
Malahan, Amma menggiringku keluar lewat pintu seperti pa?
sangan kencan yang penuh perhatian, menuruni tangga dan ber?


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ja?lan ke trotoar, tempat alang-alang oxalis kuning mencuat dari
retakan-retakan. Aku menunjuk. "Cantik."
Amma menunjuk padaku dan mengangguk. "Aku suka warna
kuning ketika aku giting. Kau merasakan sesuatu?" Aku balas mengangguk, wajah Amma menggelap dan menerang seraya kami berjalan melewati lampu jalan, rencana berenang terlupakan, seperti
menggunakan pilot otomatis kami mengarah ke rumah Adora. Aku
bisa merasakan malam hari menggantung padaku seperti gaun tidur
lembut yang lembap, dan sekilas aku membayangkan saat di rumah
sakit Illinois, aku bangun dengan berkeringat, siulan putus asa di
telingaku. Teman sekamarku, si pemandu sorak, di lantai, berubah
ungu dan kejang-kejang, botol Windex di sebelahnya. Suara mencicit yang lucu. Gas dari tubuh sesudah kematian. Ledakan tawa
terkejut dariku, di sini sekarang, di Wind Gap, menggemakan tawa
yang terlepas dariku di ruangan menyedihkan itu, dalam sinar pagi
kuning pucat. Amma menggenggam tanganku. "Apa pendapatmu tentang"
Adora?" Aku merasa telerku goyah, kemudian kembali berputar.
"Kupikir dia wanita yang sangat tidak bahagia," kataku. "Dan
bermasalah." "Aku mendengar dia menyerukan nama-nama ketika dia tidur
siang: Joya, Marian"kau."
241 Sharp Objects.indd 241 "Aku lega aku tidak perlu mendengar itu," kataku, menepuknepuk tangan Amma. "Tapi aku menyesal kau mendengarnya."
"Dia senang mengurusku."
"Bagus." "Aneh," kata Amma. "Sesudah dia mengurusku, aku suka berhubungan seks."
Dia menyibakkan rok dari belakang, menunjukkan thong merah
muda manyala kepadaku sekilas.
"Kurasa kau sebaiknya jangan membiarkan cowok-cowok melakukan apa pun padamu, Amma. Karena begitulah keadaannya.
Hubungannya tidak timbal-balik di usiamu."
"Kadang-kadang saat kau membiarkan orang-orang melakukan
sesuatu padamu, sebenarnya kau melakukannya pada mereka,"
kata Amma, menarik keluar satu lagi Blow Pop dari sakunya. Ceri.
"Paham maksudku" Kalau seseorang ingin melakukan hal sinting
padamu, dan kau membiarkan mereka, kau membuat mereka lebih
sinting. Kemudian kau memegang kendali. Selama kau tidak jadi
gila." "Amma, aku hanya"." Tapi dia sudah mengoceh terlebih dulu.
"Aku suka rumah kita," Amma menginterupsi. "Aku suka kamar
dia. Lantainya terkenal. Aku pernah melihat lantai itu di majalah.
Mereka menamainya "Sentuhan Gading: Gaya Hidup Selatan dari
Masa Lalu." Karena sekarang tentu saja kau tidak bisa mendapatkan
gading. Sayang sekali. Benar-benar disayangkan."
Amma memasukkan permen lolipop itu ke mulutnya dan menangkap kunang-kunang dari udara, menahannya dengan dua jari
dan mengoyak bagian belakang serangga itu. Mengusapkan cairan
berkilau ke sekeliling jarinya untuk membuat cincin berpendar.
Dia menjatuhkan serangga sekarat itu ke rumput dan mengagumi
tangannya. 242 Sharp Objects.indd 242 "Apakah gadis-gadis sepertimu senang tumbuh dewasa?" tanya
Amma. "Karena mereka jelas tidak bersikap baik padaku."
Aku berusaha mengakurkan gambaran tentang Amma, kurang
ajar, sok, terkadang menakutkan (menendang tumitku di taman"
anak tiga belas tahun macam apa yang menantang orang dewasa
seperti itu") dengan gadis yang diperlakukan kasar oleh semua
orang. Amma melihat ekspresiku dan membaca pikiranku.
"Sebenarnya maksudku bukan tidak baik kepadaku. Mereka
melakukan apa pun yang kuminta. Tapi mereka tidak menyukaiku.
Begitu aku mengacau, begitu aku melakukan sesuatu yang tidak
keren, mereka yang pertama akan bersekutu untuk melawanku.
Kadang-kadang aku duduk di kamar sebelum tidur dan menulis
setiap hal yang kulakukan dan kukatakan hari itu. Kemudian aku
menilainya, A untuk sikap sempurna, F untuk aku harus bunuh diri
karena aku pecundang."
Ketika SMA, aku membuat catatan setiap pakaian yang kupakai
setiap hari. Tidak boleh mengulang hingga sebulan berlalu.
"Seperti malam ini, Dave Rard, anak junior yang seksi banget,
memberitahuku dia tidak tahu apakah dia bisa menunggu setahun
untuk, yah, untuk berkencan denganku, menunggu sampai aku
masuk SMA" Dan aku berkata, "Ya, jangan." Lalu berjalan pergi,
dan semua orang seperti yang, "Awwwww." Jadi itu A. Tapi kemarin,
aku tersandung di Main Street di depan teman-teman cewekku dan
mereka tertawa. Itu F. Mungkin D, karena aku kejam sekali pada
mereka hingga hari berakhir, Kelsey dan Kylie sampai menangis.
Dan Jodes selalu menangis, jadi itu sama sekali bukan tantangan."
"Lebih aman ditakuti daripada dicintai," kataku.
"Machiavelli," teriak Amma dan melompat-lompat mendahului
sambil tertawa"apakah itu gaya mengejek anak-anak seusianya
atau energi masa muda sesungguhnya, aku tidak bisa membedakan.
243 Sharp Objects.indd 243 "Bagaimana kau tahu itu?" Aku terkesan dan lebih menyukai
Amma setiap menitnya. Gadis cerdas, berantakan. Kedengarannya
familier. "Aku tahu banyak hal yang seharusnya tidak kuketahui," kata
Amma dan aku mulai melompat-lompat di sebelahnya. Ekstasi ini
membuatku berenergi, dan sementara aku sadar kalau aku tidak
teler aku tidak akan melakukan ini, aku terlalu senang untuk peduli.
Otot-ototku bernyanyi. "Aku sebenarnya lebih cerdas dibandingkan kebanyakan guruku.
Aku melakukan tes IQ. Aku seharusnya ada di kelas sepuluh, tapi
Adora pikir aku butuh berada di anak-anak seusiaku. Terserah. Aku
akan pergi saat masuk SMA. Ke New England."
Amma mengatakannya dengan sekilas kekaguman dari sese?
orang yang mengenali tempat itu hanya dari foto-foto, dari foto bersponsor seorang gadis yang mencitrakan Ivy League: New England
tempat tujuan orang-orang cerdas. Bukan berarti aku bisa menilai,
aku juga tidak pernah ke sana.
"Aku harus keluar dari sini," kata Amma seperti ibu rumah tangga
manja yang berpura-pura lelah. "Aku selalu bosan. Itu sebabnya aku
berulah. Aku tahu aku bisa bersikap sedikit" aneh."
"Dengan seks, maksudmu?" Aku berhenti, jantungku berdebar
kencang di dada. Udara beraroma bunga iris, dan aku bisa merasakan harumnya mengambang ke dalam hidung, paru-paru, darahku.
Pembuluh darahku akan beraroma ungu.
"Cuma, kau tahulah, mengamuk. Kau tahu. Aku tahu kau tahu."
Amma menggandeng tanganku dan memberiku senyum tulus nan
manis, mengelus-elus telapak tanganku, yang mungkin rasanya
lebih baik daripada sentuhan apa pun yang pernah kurasakan. Di
betis kiriku garib tiba-tiba mendesah.
"Kau mengamuk seperti apa?" Rumah ibu kami sudah dekat se244
Sharp Objects.indd 244 karang dan aku mabuk di puncak tertinggi. Rambutku mengayun di
bahu seperti air hangat dan aku terhuyung ke kiri dan kanan tanpa
mengikuti musik tertentu. Sebuah cangkang siput tergeletak di tepi
trotoar dan mataku berputar-putar mengikuti alur melingkarnya.
"Kau tahu. Kau tahu bagaimana kadang-kadang kau harus melukai."
Amma mengatakannya seolah-olah dia sedang menjual produk
rambut baru. "Ada cara lebih baik untuk mengatasi kebosanan dan klaustro?
fobia daripada melukai," kataku. "Kau gadis yang cerdas, kau tahu
itu." Aku menyadari jemari Amma ada di bawah pergelangan tangan
kemejaku, menyentuh tonjolan bekas lukaku. Aku tidak menghentikannya.
"Apakah kau mengiris kulitmu, Amma?"
"Aku melukai," pekiknya, dan berputar-putar ke jalan, berpusar
dengan gaya flamboyan, kepala ditengadahkan, lengan terentang seperti angsa. "Aku menyukainya!" jerit Amma. Gaung suaranya menjalar ke ujung jalan, tempat rumah ibuku berdiri mengawasi di pojok.
Amma berputar hingga terjerembap ke trotoar, salah satu gelang
peraknya terlepas dan menggelinding di jalanan seperti orang mabuk.
Aku ingin bicara dengan Amma soal ini, menjadi si orang dewasa,
tapi ekstasi ini menyapuku sekali lagi, dan aku malahan menyambar Amma dari jalan (tertawa, kulit sikunya terluka dan berdarah)
dan kami berputar-putar sepanjang perjalanan ke rumah ibu kami.
Wajah Amma seakan terbagi dua karena senyumnya, giginya basah
dan panjang, dan aku menyadari betapa gigi itu akan menarik bagi
si pembunuh. Kotak persegi tulang berkilau, gigi depannya seperti
ubin mozaik yang mungkin akan kautempelkan di permukaan meja.
245 Sharp Objects.indd 245 "Aku sangat senang bersamamu," Amma tertawa, napasnya panas dan berbau alkohol manis di wajahku. "Kau seperti pasangan
jiwaku." "Kau seperti adikku," kataku. Hujatan" Tak peduli.
"Aku sayang kau," Amma menjerit.
Kami berputar-putar begitu cepat pipiku mengepak-ngepak,
menggelitikku. Aku tertawa seperti bocah. Aku tidak pernah sebahagia ini, pikirku. Lampu jalan nyaris tampak cerah, dan rambut
panjang Amma mengelus bahuku, tulang pipinya yang tinggi dan
menonjol seperti potongan mentega di kulit kecokelatannya. Aku
mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, melepaskan pegangan
tanganku, dan lingkaran kami yang terbuka membuat kami berputar liar ke tanah.
Aku merasakan tulang tumitku berderak menabrak trotoar"
pop!"darah meledak, muncrat sampai ke kaki atasku. Titik-titik
merah bermunculan di dada Amma yang menggasak permukaan
trotoar. Dia menunduk, melihat ke arahku, mata biru berbinar
penuh emosi, menyusurkan jemarinya ke sepanjang jaring-jaring
berdarah di dadanya dan menjerit sekali, panjang, kemudian membaringkan kepala di pangkuanku sambil tertawa.
Amma mengusapkan satu jari di dadanya, menyeimbangkan
setitik darah di ujung jari, dan sebelum aku bisa menghentikannya,
menggosokkan darah itu di bibirku. Aku bisa mencecapnya, seperti
timah bermadu. Dia menengadah ke arahku dan mengelus wajahku, dan aku membiarkannya.
"Aku tahu kaupikir Adora lebih menyukaiku, tapi itu tidak benar," kata Amma. Seolah-olah diberi tanda, lampu beranda rumah
kami, jauh di atas bukit, menyala.
"Kau ingin tidur di kamarku?" Amma menawarkan, dengan suara lebih pelan.
246 Sharp Objects.indd 246 Aku membayangkan kami di tempat tidur Amma di bawah selimut polkadot, membisikkan rahasia, jatuh tertidur berpelukan,
kemudian aku menyadari aku membayangkan aku dan Marian.
Dia, lari dari tempat tidur rumah sakitnya, tidur di sebelahku.
Suara mendengkur pelan panas yang dia buat ketika meringkuk di
perutku. Aku harus menyelinap membawa Marian kembali ke ka?
mar?nya sebelum ibuku bangun di pagi hari. Drama menegangkan
di rumah yang senyap, lima detik itu, menarik Marian menyusuri
koridor, dekat kamar ibuku, cemas pintu kamarnya mungkin mengayun terbuka saat itu juga, tapi nyaris berharap itu terjadi. Dia tidak
sakit, Momma. Itu yang kurencanakan akan kuteriakkan kalau kami
tertangkap basah. Tidak apa-apa dia turun dari tempat tidur karena
dia tidak benar-benar sakit. Aku lupa betapa putus asa dan positifnya
keyakinanku itu. Namun, berkat pil ekstasi itu, semua kenangan ini hanyalah
ingatan yang menyenangkan sekarang, melintas di otakku seperti
halaman buku cerita anak-anak. Marian memiliki aura seperti
kelinci dalam ingatan-ingatan ini, makhluk kecil berekor kapas
berpakaian seperti adikku. Aku nyaris merasakan bulunya ketika
aku bangkit dan menemukan rambut Amma menyapu naik-turun
di kakiku. "Jadi, mau?" tanya Amma.
"Tidak malam ini, Amma. Aku capek sekali dan ingin tidur di
kasurku sendiri." Itu benar. Ekstasi ini menghantam cepat dan kuat,
kemudian hilang. Kurasa sepuluh menit lagi aku akan sadar, dan
aku tidak ingin Amma di dekatku ketika aku menghantam dasar.
"Kalau begitu, bolehkah aku tidur denganmu?" Amma berdiri
di cahaya lampu jalan, rok jinsnya menggantung di tulang panggul
mungilnya, atasan tanpa lengannya miring dan sobek. Corengan
darah di dekat bibirnya. Penuh harap.
247 Sharp Objects.indd 247 "Enggak deh. Kita tidur sendiri-sendiri saja. Kita nongkrong be?
sok." Amma tidak mengatakan apa pun, hanya berbalik dan lari secepat mungkin menuju rumah, kakinya terlonjak ke udara seperti
anak kuda di film kartun.
"Amma!" seruku di belakangnya. "Tunggu, kau boleh tidur bersamaku, oke?" Aku mulai berlari mengikutinya. Mengawasi Amma
dalam pengaruh obat dan kegelapan malam rasanya seperti berusaha melacak seseorang sementara melihat ke belakang lewat cermin.
Aku gagal menyadari siluet Amma yang terlonjak-lonjak sudah berbalik dan dia berlari ke arahku. Menuju aku. Dia menabrakku dan
tidak berhenti, dahinya menumbuk rahangku, dan kami jatuh sekali
lagi, kali ini di trotoar. Kepalaku membuat suara berderak tajam
ketika menghantam trotoar, nyeri membara di gigi bawahku. Aku
berbaring selama sedetik di trotoar, rambut Amma tergulung di
kepalan tanganku, kunang-kunang di atas kepala berdenyut seirama
dengan darahku. Kemudian Amma mulai terkekeh, memegangi dahinya dan menyentuh titik yang sudah berubah menjadi biru gelap,
seperti garis buah plum. "Sial. Kurasa kau membuat wajahku penyok."
"Kurasa kau membuat bagian belakang kepalaku penyok," bisikku. Aku duduk dan merasa pusing. Semburan darah yang tertahan
trotoar sekarang mengalir ke bawah leherku. "Astaga, Amma. Kau
terlalu kasar." "Kupikir kau suka kalau kasar." Amma mengulurkan tangan dan
menarikku berdiri, darah di kepalaku membuncang dari belakang
ke depan. Kemudian Amma melepaskan cincin emas kecil dengan
batu peridot hijau pucat dari jari tengah dan memasangkannya di
jari kelingkingku. "Nih. Aku ingin memberimu ini."
248 Sharp Objects.indd 248 Aku menggeleng. "Siapa pun yang memberimu cincin itu ingin
kau menyimpannya." "Adora semacam memberiku ini. Dia tidak peduli, percayalah padaku. Dia akan memberikannya kepada Ann tapi" yah, Ann tidak
ada sekarang, jadi cincin ini didiamkan saja. Ini jelek, ya, kan" Aku
selalu berpura-pura Adora memberikannya kepadaku. Yang tidak
mungkin karena dia membenciku."
"Dia tidak membencimu." Kami mulai berjalan menuju rumah,
lampu beranda berpendar dari puncak bukit.


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tidak menyukaimu," Amma memberanikan diri.
"Tidak, dia tidak menyukaiku."
"Yah, dia tidak menyukaiku juga. Hanya berbeda caranya." Kami
menapaki anak tangga, menginjak mulberry. Udara memiliki aroma
seperti lapisan gula di kue seorang anak kecil.
"Apakah sesudah Marian meninggal dia jadi lebih menyukaimu?"
tanya Amma, merangkulkan lengannya ke lenganku.
"Tidak." "Jadi itu tidak membantu."
"Apa?" "Kematian Marian tidak membuat keadaan lebih baik."
"Tidak. Sekarang diamlah hingga kita sampai ke kamarku, oke?"
Kami menaiki anak tangga, aku menaruh tanganku di tengkuk
untuk menahan darah, Amma mengikuti dengan mencemaskan
di belakang, berhenti sejenak untuk menghirup aroma mawar di
vas koridor, mengulaskan senyuman pada bayangannya di cermin.
Seperti biasa, kamar Adora hening. Kipas angin berdesir di dalam
kegelapan di belakang pintu tertutup.
Aku menutup pintu kamarku di belakang kami, melepaskan sepatu bersol karet yang basah karena hujan (ternoda rumput yang
baru dipotong), mengelap cairan buah mulberry dari kaki, dan
249 Sharp Objects.indd 249 mulai menarik blusku ke atas sebelum aku merasakan pelototan
Amma. Blus kembali turun, aku berpura-pura terhuyung-huyung
ke tempat tidur, terlalu lelah untuk melepaskan pakaian. Aku menarik selimut dan bergelung menjauh dari Amma, menggumamkan
selamat malam. Aku mendengar Amma menjatuhkan pakaiannya
ke lantai, dan sedetik kemudian lampu dimatikan dan dia bergelung
di belakangku di tempat tidur, hanya memakai celana dalam. Aku
ingin menangisi gagasan tentang tidur di sebelah seseorang tanpa
pakaian, tidak mencemaskan kata apa yang mungkin menyelinap
keluar dari bawah lengan baju atau pinggiran celana.
"Camille?" Suara Amma pelan, seperti gadis kecil, dan tidak yakin. "Kau tahu bagaimana orang terkadang berkata mereka harus
melukai, karena kalau tidak mereka kebas, mereka tidak merasakan
apa pun?" "Mmm." "Bagaimana kalau kebalikannya?" bisik Amma. "Bagaimana kalau
kau melukai karena rasanya sangat menyenangkan" Seperti saat kau
kesemutan, seakan-akan seseorang membiarkan sakelar menyala
dalam tubuhmu. Dan tidak ada yang bisa mematikan sakelar itu
kecuali dengan melukai" Apa maksudnya kalau begitu?"
Aku pura-pura tidur. Pura-pura tidak merasakan jemari Amma
menyusuri lenyap, berulang-ulang, di tengkukku.
Mimpi. Marian, dalam gaun tidur putih lengket karena keringat, ikal
pirang menempel di lehernya. Dia meraih tanganku dan berusaha
menarikku dari tempat tidur. "Tidak aman di sini," bisiknya. "Tidak
aman untukmu." Aku menyuruhnya agar membiarkanku sendiri.
250 Sharp Objects.indd 250 bab tiga belas Sudah lewat pukul dua siang ketika aku bangun, perutku serasa
terpilin, rahangku sakit karena aku mengertak-ngertakkan gigi selama lima jam penuh. Ekstasi keparat. Amma punya masalah juga,
kurasa. Dia meninggalkan seonggok kecil bulu mata di bantal sebelah bantalku. Aku menyapukannya ke telapak tangan dan mengutikutiknya. Kaku karena maskara, bulu mata itu meninggalkan noda
biru gelap di lengkung telapak tanganku. Aku menaruh bulu mata
itu ke pisin di nakas. Kemudian aku ke kamar mandi dan muntah. Aku tidak pernah terganggu ketika harus muntah. Saat sakit
ketika masih kecil, aku ingat ibuku menahan rambutku, suaranya
menenangkan: Keluarkan semua yang buruk, Sayang. Jangan berhenti
hingga semuanya keluar. Ternyata aku suka ketika aku muntah, melemah, dan meludah itu. Mudah ditebak, aku tahu, tapi benar.
Aku mengunci pintu, menanggalkan seluruh pakaian, dan kembali ke tempat tidur. Kepalaku sakit dimulai dari telinga kiri, melewati leher, dan ke sepanjang tulang punggung. Perutku bergolak,
aku nyaris tidak bisa menggerakkan mulut karena nyeri, dan pergelangan kakiku serasa terbakar. Dan aku masih berdarah, terlihat dari
banyaknya noda merah di sepraiku. Sisi yang ditiduri Amma juga
251 Sharp Objects.indd 251 ternoda darah: cipratan pudar di tempat dadanya terluka, dan titik
darah yang lebih gelap di bantal.
Jantungku berdebar terlalu kencang dan aku tidak bisa bernapas.
Aku harus mencari tahu apakah ibuku tahu apa yang sudah terjadi.
Apakah dia sudah melihat Amma-nya" Apakah aku dalam masalah"
Aku merasakan mual bercampur panik. Sesuatu yang buruk akan
terjadi. Menembus kecemasanku, aku tahu apa yang sebenarnya
terjadi: Tingkat serotoninku, yang melonjak tinggi karena obat
semalam, turun drastis, dan meninggalkanku di sisi yang gelap. Aku
mengatakan ini pada diri sendiri bahkan ketika aku menghadapkan
wajah ke bantal dan mulai terisak. Aku melupakan kedua gadis
itu, sial, tidak pernah benar-benar memikirkan mereka: almarhum
Ann dan almarhum Natalie. Lebih buruk lagi, aku mengkhianati
Marian, menggantikannya dengan Amma, mengabaikannya dalam mimpiku. Akan ada konsekuensi. Aku menangis dengan cara
membersihkan diri yang sama seperti ketika aku muntah, hingga
bantal menjadi basah dan wajahku bengkak seperti orang mabuk.
Kemudian pegangan pintu berderak-derak. Aku menenangkan diri,
mengelus pipi, berharap keheningan akan membuatnya pergi.
"Camille. Buka pintu." Ibuku, tapi tidak marah. Membujuk.
Ramah, bahkan. Aku tetap diam. Beberapa kali derakan. Ketukan.
Kemudian hening ketika dia beranjak pergi.
Camille. Buka pintu. Bayangan ibuku duduk di ujung tempat tidur, sesendok penuh sirup berbau masam menggantung di atasku.
Obat dari ibuku selalu membuatku merasa lebih sakit dibandingkan
sebelumnya. Perut yang lemah. Tidak seburuk perut Marian, tapi
masih tetap lemah. Kedua tanganku mulai berkeringat. Tolong jangan biarkan dia
kembali. Sekilas aku memikirkan Curry, salah satu dasi jeleknya
berayun liar di atas perutnya, mendobrak masuk ke kamar untuk
252 Sharp Objects.indd 252 menyelamatkanku. Membawaku pergi dalam Ford Taurus-nya yang
mengeluarkan banyak asap, Eileen mengelus rambutku sepanjang
perjalanan kembali ke Chicago.
Ibuku menyelipkan anak kunci ke lubang kunci. Aku tidak pernah tahu dia punya kunci kamar ini. Dia masuk ke kamar dengan
pongah, dagunya ditengadahkan tinggi-tinggi seperti biasa, kunci
menggantung di pita merah muda panjang. Dia mengenakan gaun
biru terang tanpa lengan dan membawa sebotol alkohol murni, sekotak tisu, dan tas kosmetik merah berbahan mirip satin.
"Hai, Sayang," dia menghela napas. "Amma memberitahuku apa
yang terjadi pada kalian. Anak-anak kecilku yang malang. Dia sudah muntah sepagian. Aku bersumpah dan tahu ini akan terdengar
menyombong, tapi kecuali di peternakan kecil kita sendiri, akhirakhir ini sulit mendapatkan daging yang berkualitas. Amma bilang
mungkin karena daging ayamnya?"
"Kurasa begitu," kataku. Aku hanya bisa melanjutkan kebohongan apa pun yang Amma katakan. Jelas dia bisa membuat manuver
lebih baik dibandingkan aku.
"Aku tidak percaya kalian pingsan tepat di tangga kita sendiri,
sementara aku tidur di dalam. Aku tidak suka memikirkannya," kata
Adora. "Memar-memarnya! Kau akan menduga dia berkelahi."
Tidak mungkin ibuku percaya cerita itu. Dia piawai dalam hal
penyakit dan luka, dan dia tidak akan memercayainya kecuali ingin
melakukannya. Sekarang dia akan merawatku dan aku terlalu lemah
dan putus asa untuk menyingkirkannya. Aku mulai menangis lagi,
tidak bisa berhenti. "Aku mual, Momma."
"Aku tahu, Sayang." Dia menarik seprai dariku, melontarkannya
melewati jari kakiku dengan satu gerakan yang efisien, dan ketika
253 Sharp Objects.indd 253 aku tanpa berpikir menutupi tubuhku dengan kedua tangan, dia
meraih kedua tanganku dan menaruhnya dengan tegas di sisiku.
"Aku harus melihat apa masalahnya, Camille." Ibuku mendorong
rahangku dari sisi ke sisi dan menarik bibir bawahku ke bawah, seperti memeriksa seekor kuda. Dia mengangkat satu per satu lenganku lambat-lambat dan mengintip ke ketiakku, menekan lengkung
ketiak dengan jarinya, kemudian mengusap tenggorokanku untuk
mencari kelenjar yang bengkak. Aku ingat rangkaian ini. Ibuku menaruh tangan di antara kedua kaki, dengan cepat dan profesional.
Itu cara terbaik untuk mengetahui suhu tubuh, dia selalu bilang
begitu. Kemudian dengan lembut dan ringan dia menyusurkan jemarinya yang sejuk di sepanjang kakiku, dan menusukkan ibu jarinya langsung ke luka terbuka di pergelangan kakiku. Percikan hijau
terang meledak di depan mataku dan otomatis aku melipat kaki dan
berguling miring. Dia menggunakan momen itu untuk menusuknusuk kepalaku hingga mengenai titik luka di puncak kepalaku.
"Sedikit lagi, Camille, dan kita akan selesai." Adora membasahi
tisu dengan alkohol dan menggosok pergelangan kaki hingga aku
tidak bisa melihat hal lain selain air mata dan ingus. Kemudian dia
membalut luka itu dengan perban yang dia potong menggunakan
gunting kecil dari tas kosmetiknya. Tak lama kemudian luka itu
mulai berdarah menembus perban, membuatnya kelihatan seperti
bendera Jepang: putih bersih dengan lingkaran merah yang tegas.
Kemudian dia menundukkan kepalaku dengan satu tangan dan aku
merasakan tarikan cepat di rambutku. Dia menggunting rambut di
sekitar luka. Aku mulai menjauh.
"Jangan berani-berani, Camille. Aku akan melukaimu. Berbaringlah dan jadi gadis baik." Adora menekankan tangan sejuk ke pipiku,
memegangi kepalaku agar tidak bergerak di bantal, dan cekres cekres
cekres, memotong sepetak rambut hingga aku merasa terbebaskan.
254 Sharp Objects.indd 254 Pajanan udara yang terasa tidak biasa untuk kulit kepalaku. Aku
mengulurkan tangan ke belakang dan menyentuh petak dengan
rambut pendek seukuran koin lima puluh sen di kepalaku. Ibuku
dengan cepat menarik tanganku menjauh, menaruhnya di sisi tubuhku, dan mulai menggosokkan alkohol ke kulit kepalaku. Sekali
lagi napasku tersekat karena rasa sakitnya melumpuhkan.
Adora menggulingkanku hingga telentang dan membasuh tungkaiku dengan lap basah seolah-seolah aku tidak bisa bangun dari
tempat tidur. Matanya merah muda di bagian bulu mata yang dia
cabuti. Pipinya merona seperti gadis muda. Dia mengambil tas
kosmetiknya dan mulai mencari-cari di antara beragam kotak dan
tabung obat, menemukan tisu yang dilipat persegi dari dasar tas,
menggulung dan sedikit ternoda. Dari tengah-tengahnya dia mengeluarkan pil biru terang.
"Sebentar, Sayang."
Aku bisa mendengarnya menuruni tangga cepat-cepat dan tahu
dia berjalan ke dapur. Kemudian langkah cepat itu kembali ke kamarku. Dia membawa segelas susu di tangannya.
"Ini, Camille, minum ini dengan susu."
"Apa ini?" "Obat. Ini akan mencegah infeksi dan membersihkan bakteri
yang kaudapatkan dari makanan itu."
"Apa ini?" tanyaku lagi.
Dada ibuku berubah warna, dipenuhi bercak-bercak merah
muda, dan senyumnya mulai mengerjap seperti api lilin tertiup
angin. Nyala, mati, nyala, mati dalam waktu sedetik saja.
"Camille, aku ibumu, dan kau di rumahku." Mata merah muda
berkaca-kaca. Aku berpaling menjauh dari ibuku dan dihantam
gelombang panik berikutnya. Sesuatu yang buruk. Sesuatu yang
kulakukan. 255 Sharp Objects.indd 255 sp "Camille. Buka." Suara menenangkan, membujuk. Suster mulai
berdenyut di dekat ketiak kiriku.
Aku ingat ketika masih kecil, aku menolak semua tablet dan
obat-obatan itu, dan kehilangan ibuku karenanya. Dia mengingatkanku akan Amma dan ekstasinya, merengek, menginginkan aku
mengambil apa yang dia tawarkan. Menolak memiliki lebih banyak
konsekuensi ketimbang mengalah. Kulitku terbakar di tempat yang
dibersihkan ibuku dan rasanya seperti panas yang memuaskan sesudah mengiris kulitku. Aku memikirkan Amma dan betapa sepertinya dia puas, dipeluk dalam pelukan ibuku, rapuh dan berkeringat.
Aku berbalik kembali, membiarkan ibuku menaruh pil di lidahku, menuangkan susu kental ke kerongkonganku, dan menciumku.
Dalam beberapa menit aku tertidur, bau napasku mengambang
ke dalam mimpiku seperti kabut masam. Ibuku masuk ke kamar
tidur dan memberitahuku aku sakit. Dia berbaring di atasku dan
menaruh mulutnya di mulutku. Aku bisa merasakan napasnya di
tenggorokanku. Kemudian dia mulai mematukiku. Ketika mundur,
dia tersenyum kepadaku dan mengusap rambutku ke belakang. Kemudian dia meludahkan gigi-gigiku ke telapak tangannya.
Pusing dan panas, aku bangun saat petang, air liur mengering menjadi garis kerak di sepanjang leherku. Lemah. Aku memakai jubah
tipis dan mulai menangis lagi ketika mengingat lingkaran di belakang kepalaku. Kau baru saja keluar dari pengaruh ekstasi, bisikku
pada diri sendiri, menepuk-nepuk pipi. Potongan rambut yang jelek
bukanlah akhir dunia. Kau tinggal mengikat rambutmu.
*** 256 Sharp Objects.indd 256 Aku terseok-seok menyusuri koridor, persendianku berbunyi klik
seiring bergerak keluar-masuk dari tempatnya, buku-buku jariku
bengkak entah karena apa. Di lantai bawah ibuku sedang menyanyi.
Aku mengetuk pintu Amma dan mendengar rintihan menyilakan
masuk. Dia duduk telanjang di lantai di depan rumah bonekanya yang
besar, jempol di mulut. Lingkaran di bawah matanya nyaris ungu
dan ibuku menempelkan perban di dahi dan dada Amma. Dia
membungkus boneka favoritnya dengan kertas tisu, menitikinya
dengan Magic Marker merah, dan mendudukkannya di tempat
tidur. "Apa yang dia lakukan kepadamu?" kata Amma dengan suara
mengantuk, setengah tersenyum.
Aku berbalik agar dia bisa melihat pitak di kepalaku.
"Dan dia memberiku sesuatu yang membuatku sangat lesu dan
mual," kataku. "Biru?" Aku mengangguk. "Ya, dia suka yang itu," gumam Amma. "Kau tertidur merasa
gerah dan mengiler, kemudian dia bisa membawa teman-temannya
untuk melihatmu." "Dia sudah pernah melakukan ini?" Aku berkeringat namun
tubuhku mendadak dingin. Aku benar: Sesuatu yang buruk akan
terjadi. Amma mengangkat bahu. "Aku tidak keberatan. Kadang-kadang
aku tidak meminumnya"hanya berpura-pura. Kemudian kami
berdua senang. Aku bermain dengan boneka-bonekaku atau membaca dan ketika mendengar dia datang aku pura-pura tidur."
"Amma?" Aku duduk di lantai di sebelah adikku dan mengelus
rambutnya. Aku harus bersikap lembut. "Apakah dia sering memberimu pil dan yang lain-lain?"
257 Sharp Objects.indd 257

Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya kalau aku akan sakit."
"Apa yang terjadi sesudah itu?"
"Kadang-kadang aku merasa panas dan gila dan dia harus memandikanku dengan air dingin. Kadang-kadang aku harus muntah.
Kadang-kadang aku gemetar sekujur tubuh, lemah, lelah, dan hanya
ingin tidur." Ini terjadi lagi. Persis seperti Marian. Aku bisa merasakan getir
di pangkal kerongkonganku, rasa tersekat itu. Aku mulai menangis
lagi, berdiri, kemudian duduk kembali. Perutku bergolak. Aku menaruh kepala di kedua tangan. Amma dan aku sakit persis seperti
Marian. Aku akhirnya mengerti setelah situasinya dibuat jelas terlebih dahulu"nyaris dua puluh tahun terlambat. Aku ingin menjerit
karena malu. "Main boneka denganku, Camille." Amma entah tidak menyadari air mataku atau mengabaikannya.
"Aku tidak bisa, Amma. Aku harus bekerja. Ingat kau harus tidur
ketika Momma kembali."
Perlahan aku mengenakan pakaian menutupi kulitku yang nyeri
dan memandang diri sendiri di cermin. Kau memikirkan hal-hal
gila. Kau tidak masuk akal. Tapi aku tidak begitu. Ibuku membunuh
Marian. Ibuku membunuh gadis-gadis kecil itu.
Aku terhuyung-huyung berjalan ke toilet dan memuntahkan begitu
banyak air asin panas, cipratan dari toilet menodai pipiku ketika
aku berlutut. Saat perutku tidak lagi tegang, aku menyadari aku
tidak sendirian. Ibuku berdiri di belakangku.
"Manisku yang malang," gumamnya. Aku terkejut, merangkak
258 Sharp Objects.indd 258 terseok-seok menjauhinya. Menyandar pada tembok dan menengadah menatap ibuku.
"Kenapa kau berpakaian lengkap, Sayang?" kata Adora. "Kau
tidak bisa pergi ke mana-mana."
"Aku harus keluar. Aku harus bekerja. Udara segar akan bagus
untukku." "Camille, kembali ke tempat tidur." Suaranya tergesa-gesa dan
bernada tinggi. Dia berderap kembali ke tempat tidurku, menarik
selimut ke bawah, dan menepuk-nepuk permukaan kasur. "Sini,
Sayang, kau harus berhati-hati dengan kesehatanmu."
Aku tersaruk-saruk, menyambar kunci mobil dari meja, dan berjalan cepat melewati ibuku.
"Tak bisa, Momma; aku tidak akan lama."
Aku meninggalkan Amma di lantai atas dengan boneka-boneka
gilanya dan melaju begitu kencang di jalur mobil hingga bemper
depanku penyok ketika kaki bukit tiba-tiba mendatar dengan
permukaan jalan. Seorang wanita gemuk yang sedang mendorong
kereta bayi menggeleng ke arahku.
Aku mulai menyetir tanpa tujuan, berusaha mengatur pikiran-pikiranku, mengingat wajah orang-orang yang kukenal di Wind Gap.
Aku membutuhkan seseorang yang mau berterus terang memberitahuku apakah aku salah memandang Adora, atau malah benar.
Seseorang yang mengenal Adora, yang memiliki pandangan orang
dewasa akan masa kanak-kanakku, yang ada di sini selagi aku pergi.
Aku tiba-tiba memikirkan Jackie O"Neele dan Juicy Fruit dan minuman beralkohol dan gosip. Kehangatan keibuannya yang tidak
biasa kepadaku dan komentar yang sekarang terdengar seperti peringatan: Begitu banyak hal yang menjadi buruk. Aku membutuhkan
259 Sharp Objects.indd 259 Jackie, yang ditolak Adora, benar-benar apa adanya, wanita yang
mengenal ibuku sepanjang hidupnya. Yang sangat jelas ingin mengatakan sesuatu.
Rumah Jackie hanya sejauh beberapa menit bermobil, mansion
modern yang dimaksudkan untuk terlihat seperti rumah perkebunan dari zaman sebelum perang sipil Amerika. Seorang pemuda
kurus berwajah pucat membungkuk di mobil pemotong rumput,
merokok selagi mengemudikan alat itu maju-mundur di garis yang
rapat. Punggungnya berbarik-barik dengan tonjolan jerawat merah
yang begitu besar sehingga terlihat seperti luka. Pencandu sabusabu lainnya. Jackie seharusnya memotong jalur si perantara dan
langsung beri si bandar sabu-sabu dua puluh dolar.
Aku kenal wanita yang membukakan pintu. Geri Shilt, gadis
yang dulu bersekolah di Calhoon High setahun lebih tua daripada
aku. Dia mengenakan rok terusan perawat berkanji, persis seperti
Gayla, dan masih memiliki tahi lalat bulat merah muda di pipinya
yang selalu membuatku kasihan padanya. Melihat Geri, wajah yang
tampak akrab dari masa lalu, nyaris membuatku berbalik, masuk
ke mobil, dan mengabaikan semua kecemasanku. Seseorang yang
begitu biasa di duniaku membuatku mempertanyakan apa yang
sedang kupikirkan. Tapi aku tidak pergi.
"Hai, Camille, ada yang bisa kubantu?" Dia sepertinya sama
sekali tidak tertarik pada alasan kenapa aku di sini, terlihat jelas
dia tidak penasaran, berbeda dengan wanita Wind Gap lain. Dia
mungkin tidak punya teman perempuan untuk bergosip.
"Hei, Geri. Aku tidak tahu kau bekerja untuk keluarga O"Neele."
"Tidak ada alasan kenapa kau harus tahu," jawabnya terus terang.
Tiga anak lelaki Jackie, lahir berturut-turut, pasti sekarang berusia awal dua puluhan: 20, 21, 22, mungkin. Aku ingat mereka
bocah berotot, berleher kekar yang selalu memakai celana pendek
260 Sharp Objects.indd 260 olahraga poliester dan cincin emas Calhoon High besar dengan
batu mulia biru berkilau di tengahnya. Mereka mewarisi mata bulat
tidak normal dan gigi tonggos putih cemerlang dari Jackie. Jimmy,
Jared, dan Johnny. Saat ini aku bisa mendengar setidaknya dua dari
mereka, pulang liburan musim panas, melemparkan bola football
di halaman belakang. Dari tampang Geri yang berkeras kelihatan
bosan, dia pasti memutuskan cara terbaik untuk menangani mereka
adalah menjauhi mereka. "Aku kembali ke sini"." Aku memulai.
"Aku tahu kenapa kau di sini," katanya, tidak menuduh atau berbaik hati. Hanya pernyataan. Aku hanyalah salah satu halangan di
harinya. "Ibuku berteman dengan Jackie dan kupikir"."
"Aku tahu siapa teman Jackie, percayalah," kata Geri.
Dia sepertinya tidak berniat membiarkanku masuk. Alih-alih, dia
menatapku dari atas ke bawah, kemudian melihat ke luar ke mobil
di belakangku. "Jackie berteman dengan banyak teman ibumu," tambah Geri.
"Mmmm. Aku tidak punya banyak teman di sini akhir-akhir ini."
Itu fakta yang kubanggakan, tapi aku mengucapkan kata-kata itu
dengan kekecewaan yang disengaja. Semakin berkurang rasa tidak
suka Geri padaku, semakin cepat aku akan masuk ke rumah ini,
dan aku merasakan dorongan mendesak untuk bicara pada Jackie
sebelum aku membujuk diri sendiri untuk tidak melakukannya.
"Bahkan ketika aku tinggal di sini pun kurasa aku tidak punya banyak teman."
"Katie Lacey. Ibunya bergaul dengan mereka semua."
Katie Lacey yang baik hati, yang menyeretku ke Pesta Belas
Kasihan dan berbalik melawanku. Aku bisa membayangkan dia meraung di seputar kota dalam SUV-nya, gadis-gadis kecil cantiknya
261 Sharp Objects.indd 261 bertengger di kursi belakang, berpakaian sempurna, siap menguasai
anak TK lainnya. Mereka akan belajar dari Mom untuk bersikap
kejam terutama kepada anak perempuan jelek, anak perempuan
miskin, anak perempuan yang hanya ingin dibiarkan sendirian. Itu
meminta terlalu banyak. "Katie Lacey adalah wanita yang membuatku malu aku pernah
akrab dengannya." "Yah, kau dulu oke," kata Geri. Baru saat itu aku ingat Geri
memiliki kuda bernama Butter. Dan tentu saja, leluconnya adalah
bahkan hewan peliharaan Geri juga bertambah gemuk.
"Tidak juga." Aku tidak pernah berpartisipasi langsung dalam
kekejaman, tapi aku juga tidak pernah menghentikan mereka. Aku
selalu berdiri di pinggir seperti bayangan yang resah dan berpurapura tertawa.
Geri terus berdiri di ambang pintu, menatap jam tangan murahan di pergelangan tangannya, seketat karet gelang, jelas tersesat
dalam kenangannya sendiri. Kenangan buruk.
Jadi kenapa dia tetap tinggal di Wind Gap kalau begitu" Aku
melihat banyak wajah yang sama sejak kembali ke sini. Gadis-gadis
yang tumbuh dewasa bersamaku, yang tidak pernah punya energi
untuk pergi. Ini kota yang melahirkan rasa puas lewat TV kabel dan
toko serbaada. Orang-orang yang tetap tinggal di sini masih berkelompok-kelompok seperti dulu. Gadis-gadis picik cantik seperti
Katie Lacey sekarang tinggal, bisa ditebak, di rumah bergaya Victoria yang direnovasi beberapa blok dari rumah kami, main tenis di
klub tenis Woodberry yang sama seperti Adora, melakukan ziarah
kuartal yang sama ke St. Louis untuk berbelanja. Dan gadis-gadis
buruk rupa yang menjadi korban seperti Geri Shilt terjebak melakukan bersih-bersih untuk gadis-gadis cantik, kepala ditundukkan
dengan muram, menunggu lebih banyak cemoohan. Mereka wanita
262 Sharp Objects.indd 262 yang tidak cukup kuat atau cerdas untuk pergi. Wanita tanpa imajinasi. Jadi mereka tinggal di Wind Gap dan memainkan kehidupan
remaja mereka dalam lingkaran tanpa akhir. Dan sekarang aku terjebak dengan mereka, tidak bisa menarik diriku keluar.
"Aku akan memberitahu Jackie kau di sini." Geri mengambil jalan
yang jauh ke tangga belakang"mengelilingi ruang duduk daripada
lewat dapur berpanel kaca yang akan menunjukkan dirinya pada
anak-anak lelaki Jackie. Ruangan tempat aku digiring masuk tampak luar biasa putih dengan cipratan warna-warna berani, seolah-olah seorang anak nakal
melukis di situ dengan tangannya. Bantal kursi merah, tirai kuning
dan biru, vas hijau manyala dengan bunga keramik merah. Foto hitam-putih Jackie yang melirik lucu, rambut kelewat mengembang,
jemari ditekuk malu-malu di bawah dagu, digantung di atas per?
apian. Dia kelihatan seperti anjing kecil yang didandani berlebihan.
Bahkan dalam kondisiku yang lemah aku tertawa.
"Camille sayang!" Jackie melintasi ruangan dengan lengan terulur. Dia mengenakan mantel rumah satin dan anting berlian kotak.
"Kau datang mengunjungiku. Kau kelihatan mengerikan, Manis.
Geri, ambilkan kami Bloody Mary, segera!" Jackie meraung, benarbenar meraung, ke arahku, kemudian kepada Geri. Kurasa itu tawa.
Geri masih berdiri di ambang pintu hingga Jackie menepuk tangan
ke arahnya. "Aku serius, Geri. Jangan lupa untuk memberi garam di pinggiran
gelas kali ini." Jackie berbalik kepadaku. "Susah sekali untuk mendapatkan pelayan yang bagus akhir-akhir ini," gumamnya sungguhsungguh, tidak sadar kalimat seperti itu hanya diucapkan orangorang yang muncul di TV. Aku yakin Jackie menonton TV tanpa
henti, minuman di satu tangan, remote control di tangan lain, tirai
ditarik tertutup ketika acara bincang-bincang pagi berubah menjadi
263 Sharp Objects.indd 263 sinetron, beralih menjadi acara pengadilan, berpindah ke tayangan
ulang, komedi situasi, drama kejahatan, dan film larut malam tentang wanita yang diperkosa, diintai, dikhianati, atau dibunuh.
Geri membawakan Bloody Mary di nampan, bersama wadahwadah berisi seledri, acar, dan buah zaitun, dan sesuai instruksi,
menutup tirai dan pergi. Jackie dan aku duduk di cahaya remangremang, dalam ruangan putih yang dingin karena AC, dan saling
menatap selama beberapa detik. Kemudian Jackie meraih ke bawah
dan menarik keluar laci di meja pendek. Laci itu memiliki tiga botol kuteks, Injil usang, dan lebih dari setengah lusin botol oranye
berisi obat resep dokter. Aku memikirkan Curry dan bunga mawar
dengan duri yang dipotong.
"Obat analgesik" Aku punya beberapa yang bagus."
"Aku sebaiknya mempertahankan kewarasanku," kataku, tidak
terlalu yakin apakah Jackie serius. "Kelihatannya kau nyaris bisa
membuka tokomu sendiri."
"Oh, tentu. Aku benar-benar beruntung." Aku bisa mengendus
kemarahan Jackie bercampur dengan jus tomat. "OxyContin, Percocet, Percodan, pil baru apa pun yang ada di persediaan dokterku.
Tapi harus kuakui, pil-pil ini menyenangkan." Dia menggulirkan
beberapa pil putih bulat ke tangan dan menenggaknya, tersenyum
kepadaku. "Kau sakit apa?" tanyaku, nyaris takut mendengar jawabannya.
"Itu bagian terbaiknya, Manis. Tidak ada satu keparat pun yang
tahu. Kata satu orang lupus, yang lain radang sendi, orang ketiga
bilang semacam sindrom auto-imunitas, orang keempat dan kelima
bilang ini semua hanya ada di kepalaku."
"Menurutmu bagaimana?"
"Menurutku bagaimana?" tanya Jackie dan memutar bola matanya. "Kupikir selama mereka terus memberikan obat, aku mungkin
264 Sharp Objects.indd 264 tidak terlalu peduli." Dia tertawa lagi. "Obat-obat ini sangat menyenangkan."
Entah dia berpura-pura berani atau memang kecanduan, aku
tidak bisa menebak. "Aku agak terkejut Adora belum membuat dirinya sama-sama
sakit," Jackie menyeringai. "Kukira sesudah aku sakit, dia harus lebih sakit dariku, bukan" Tapi dia tidak akan terkena lupus tua basi.
Dia akan menemukan cara untuk terkena" aku tidak tahu, kanker
otak, misalnya. Benar?"
Jackie kembali menyesap Bloody Mary, ada garis merah dan
garam di sepanjang bibir atasnya, yang membuat bibir itu tampak
bengkak. Sesapan kedua menenangkannya dan seperti yang dia lakukan pada pemakaman Natalie, Jackie menatapku seolah-olah dia
berusaha mengingat wajahku.
"Astaga, aneh sekali melihatmu dewasa," katanya, menepuknepuk lututku. "Kenapa kau di sini, Sayang" Apakah semuanya
baik-baik saja di rumah" Mungkin tidak. Apakah" apakah ini soal
ibumu?" "Bukan, bukan seperti itu." Aku tidak suka kelihatan begitu mudah ditebak.
"Oh." Jackie tampak kecewa, satu tangan melayang ke mantelnya
seperti gerakan di film hitam-putih. Aku sudah salah langkah, lupa
jika di sini kau didorong untuk ingin bergosip secara terbuka.
"Maksudku, maaf, aku tidak berterus terang. Aku memang ingin
mengobrol soal ibuku."
Jackie dengan segera berubah ceria. "Tidak bisa memahaminya,
ya" Malaikat atau iblis atau keduanya, benar?" Jackie menaruh bantal satin hijau di bawah bokong kecilnya dan mengarahkan kaki ke
pangkuanku. "Manis, maukah kau memijat sedikit" Kakiku bersih."
Dari bawah sofa Jackie menarik keluar sekantong permen batangan
265 Sharp Objects.indd 265 mini, yang kauberikan ketika Halloween dan menaruh kantong itu
di perutnya. "Ya Tuhan, aku harus menyingkirkan ini nanti, tapi
rasanya enak sekali."
Aku memanfaatkan momen bahagia ini. "Apakah ibuku selalu"
seperti dia sekarang?" Aku mengernyit karena kejanggalan pertanyaan ini tapi Jackie terkekeh sekali, seperti penyihir.
"Seperti apakah itu, Manis"Cantik" Memesona" Dicintai"
Keji?" Jackie menggoyang-goyangkan jari kaki ketika membuka
pembungkus cokelat. "Pijat." Aku mulai memijat kakinya yang dingin, telapak kakinya kasar seperti cangkang kura-kura. "Adora. Yah,
sial. Adora kaya dan cantik dan orangtuanya yang sinting menguasai kota. Mereka membawa pertanian babi sialan itu ke Wind Gap,
memberi kami ratusan pekerjaan"ada perkebunan kenari juga
saat itu. Mereka yang membuat keputusan. Semua orang menjilat
keluarga Preaker." "Seperti apa kehidupannya" di rumah?"
"Adora dulu" terlalu diatur ibunya. Tidak pernah melihat nenekmu Joya tersenyum kepada Adora atau menyentuhnya dengan
penuh sayang, tapi Joya tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Adora. Selalu memperbaiki rambutnya, menarik pakaiannya, dan"oh, dia melakukan hal ini. Ketimbang menjilat ibu jari
dan menggosok kotoran hingga bersih, dia akan menjilat Adora.
Joya meraih kepala Adora dan menjilatnya. Ketika kulit Adora mengelupas karena terbakar matahari"kami semua begitu saat itu,
tidak secerdas generasimu soal SPF"Joya akan duduk di sebelah
ibumu, melepaskan atasannya, dan mengelupas kulit Adora dalam


Segala Yang Tajam Sharp Objects Karya Gillian Flynn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembaran-lembaran panjang. Joya suka melakukan itu."
"Jackie"."
"Aku tidak berbohong. Harus menyaksikan temanmu melepas
pakaian hingga telanjang di depanmu, dan" dirawat. Yang jelas,
266 Sharp Objects.indd 266 ibumu senantiasa sakit. Dia selalu mendapatkan tabung dan jarum
dan yang lainnya terpasang di tubuhnya."
"Dia sakit apa?"
"Sedikit dari semuanya. Kebanyakan akibat stres tinggal dengan
Joya. Kuku tangan panjang tidak dicat, seperti kuku tangan pria.
Dan rambut panjang yang dia biarkan memutih, tergerai di punggungnya."
"Di mana kakekku saat semua ini terjadi?"
"Tidak tahu. Bahkan tidak ingat namanya. Herbert" Herman"
Dia tidak pernah ada, dan ketika ada, dia tidak banyak bicara dan"
berjarak. Kau tahu tipenya. Seperti Alan."
Jackie memasukkan cokelat berikutnya ke mulut dan menggoyang-goyangkan jari kakinya di tanganku. "Kau tahu, reputasi
Adora seharusnya rusak ketika dia mengandungmu." Nada suara
Jackie penuh celaan, seolah-olah aku gagal melakukan tugas yang
sederhana. "Gadis lain, hamil sebelum menikah, di sini di Wind
Gap pada zaman itu, hidupnya akan berakhir," lanjut Jackie. "Tapi
ibumu selalu punya cara untuk membuat orang-orang memanjakannya. Orang-orang"bukan hanya laki-laki, tapi para gadis, ibu
mereka, para guru." "Kenapa begitu."
"Camille sayang, gadis cantik bisa lolos melakukan apa pun kalau
dia bermain cantik. Kau tentunya tahu itu. Pikirkan semua hal yang
dilakukan anak-anak lelaki untukmu selama bertahun-tahun yang
tidak akan pernah mereka lakukan kalau kau tidak punya wajah
seperti itu. Dan kalau anak-anak lelaki bersikap baik, anak-anak perempuan juga baik. Adora memainkan kehamilan itu dengan cantik: bangga tapi sedikit terluka dan sangat tertutup. Ayahmu datang
pada kunjungan nahas itu, kemudian mereka tidak pernah bertemu
lagi. Ibumu tidak pernah membicarakan soal itu. Kau miliknya dari
267 Sharp Objects.indd 267 awal. Itu yang membunuh Joya. Putrinya akhirnya punya sesuatu
dalam dirinya yang tidak bisa diraih Joya."
"Apakah ibuku berhenti sakit setelah Joya meninggal?"
"Dia sehat selama beberapa saat," kata Jackie dari atas gelasnya.
"Tapi tidak lama sesudah itu Marian lahir dan Adora tidak punya
waktu untuk menjadi sakit saat itu."
"Apakah ibuku dulu?" Aku bisa merasakan tangis membubung
di tenggorokanku, jadi aku menelannya dengan vodka encer. "Apakah ibuku dulu" orang yang menyenangkan?"
Jackie tertawa lagi. Melontarkan cokelat ke mulut, nugatnya
lengket di gigi wanita itu. "Itu yang mau kauketahui" Apakah dia
menyenangkan atau tidak?" Jackie berhenti sejenak. "Menurutmu
bagaimana?" tambahnya, mengejekku.
Jackie mengaduk-aduk laci mejanya lagi, membuka tiga tutup
botol obat, mengambil satu tablet dari masing-masing botol, dan
mengatur tablet-tablet itu dari yang paling besar ke paling kecil di
punggung tangan kirinya. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah akrab dengannya."
"Tapi kau pernah dekat dengannya. Jangan main-main denganku,
Camille. Itu membuatku lelah. Kalau kaupikir ibumu orang yang
menyenangkan, kau tidak akan kemari menemui sahabatnya menanyakan apakah dia menyenangkan."
Jackie mengambil setiap tablet, dari paling besar ke paling kecil,
menjejalkannya ke dalam cokelat, dan menelannya. Kertas pembungkus cokelat berserakan di dada, noda merah masih menutupi
bibir, dan cokelat tebal menempel di giginya. Kaki Jackie mulai
berkeringat di tanganku. "Aku minta maaf. Kau benar," kataku. "Hanya saja, apa menurutmu dia" sakit?"
268 Sharp Objects.indd 268 Jackie berhenti mengunyah, menaruh tangan di tanganku, dan
menghela napas. "Izinkan aku mengatakan ini keras-keras, karena aku sudah memikirkannya terlalu lama, dan pikiran bisa menjadi sedikit menyulitkan untukku"mereka melesat pergi darimu, kau paham" Seperti
berusaha menangkap ikan dengan tangan." Dia mencondongkan
tubuh ke depan dan meremas lenganku. "Adora melahapmu, dan
akan lebih buruk bagimu jika kau tidak membiarkannya melakukan
itu. Lihat yang sedang terjadi pada Amma. Lihat yang sudah terjadi
pada Marian." Ya. Tepat di bawah payudara kiriku bundel mulai menggelitik.
"Jadi menurutmu?" desakku. Katakan.
"Kurasa dia sakit, dan kurasa penyakitnya menular," bisik Jackie,
tangannya yang gemetar membuat es di dalam gelasnya berdenting.
"Dan kurasa ini saatnya kau pergi, Manis."
"Maaf, aku tidak bermaksud berlama-lama di sini."
"Maksudku pergi dari Wind Gap. Tidak aman bagimu tetap di
sini." Kurang dari semenit kemudian aku menutup pintu rumah Jackie
ketika dia mengamati foto dirinya melirik dari atas perapian.
269 Sharp Objects.indd 269 bab empat belas Aku nyaris terjatuh menuruni anak tangga rumah Jackie, kakiku
begitu lemah. Di belakangku aku bisa mendengar anak-anak lelaki
Jackie menyerukan sorakan pertandingan football Calhoon. Aku
mengemudikan mobil ke ujung jalan, berhenti di bawah sebaris
pohon mulberry, dan menyandarkan kepala ke setir mobil.
Apakah ibuku selama ini memang sakit" Dan Marian" Amma dan
aku" Kadang-kadang aku berpikir penyakit ada di dalam diri setiap
wanita, menunggu momen yang tepat untuk mekar. Aku mengenal
begitu banyak wanita sakit sepanjang hidupku. Wanita dengan sakit
kronis, dengan penyakit yang terus berkembang. Wanita dengan
kondisi tertentu. Pria, tentu saja, tulang mereka berderak-derak,
punggung mereka sakit, mereka harus dioperasi satu atau dua
kali, membuang amandel, memasukkan pinggang plastik berkilau.
Sementara wanita terkonsumsi. Tidak mengherankan, mengingat
banyaknya kehebohan yang dialami tubuh wanita. Tampon dan
spekulum. Penis, jari, vibrator dan banyak lagi, di antara kedua kaki,
dari belakang, di mulut. Pria senang memasukkan segala hal ke
tubuh wanita, bukan" Timun dan pisang dan botol, kalung mutiara, Magic Marker, kepalan tangan. Sekali waktu seorang pria ingin
menjejalkan Walkie-Talkie ke dalam diriku. Aku menolak.
270 Sharp Objects.indd 270 Sakit dan lebih sakit dan paling sakit. Apa yang nyata dan apa
yang palsu" Apakah Amma memang sakit dan membutuhkan obat
ibuku atau obatnya yang membuat Amma sakit" Apakah pil biru
Adora membuatku muntah ataukah pil itu membuatku lebih mendingan dibandingkan kalau aku tidak meminumnya"
Apakah Marian akan mati juga jika ibunya bukan Adora"
Aku tahu aku harus menelepon Richard, tapi tidak tahu harus
mengatakan apa. Aku takut. Aku merasa benar. Aku ingin mati.
Aku menyetir melewati rumah ibuku, kemudian ke arah timur
menuju peternakan babi, dan berhenti di Heelah"s, bangunan bar
tanpa jendela yang nyaman, tempat siapa pun yang mengenali anak
perempuan si bos akan dengan bijak membiarkan perempuan itu
sendirian untuk berpikir.
Tempat itu berbau darah dan kencing babi; bahkan jagung berondong dalam mangkuk-mangkuk di sepanjang meja bar itu pun
berbau daging. Beberapa pria bertopi bisbol dan berjaket kulit,
kumis baplang dan raut cemberut, menengadah kemudian kembali
ke bir mereka. Si pramutama bar menuangkan bourbon-ku tanpa
bicara. Lagu Carole King menggumam dari pengeras suara. Saat
minum ronde kedua, si penjaga bar menunjuk ke belakangku dan
bertanya, "Kau mencari dia?"
John Keene duduk merosot dengan minuman di depannya, di
satu-satunya bilik di bar itu, mengutik-utik ujung meja yang koyak.
Kulit putihnya bebercak-bercak merah muda karena minuman keras, dan dari bibir basah dan cara dia mendecakkan lidah, dugaanku
dia sudah muntah sekali. Aku menyambar minumanku dan duduk
di depannya, tidak mengatakan apa pun. Dia tersenyum kepadaku,
mengulurkan tangan ke tanganku di meja.
271 Sharp Objects.indd 271 "Hai, Camille. Apa kabar" Kau kelihatan begitu cantik dan bersih." Dia melihat ke sekeliling. "Di sini" di sini begitu kotor."
"Kurasa aku baik-baik saja, John. Kau baik-baik saja?"
"Oh tentu, aku luar biasa. Adikku dibunuh, aku akan ditahan,
dan pacar yang menempel padaku seperti lem sejak aku pindah
ke kota busuk ini mulai menyadari aku tidak lagi berharga. Bukan
berarti aku peduli. Dia baik, tapi tidak"."
"Tidak mengejutkan," aku mengusulkan.
"Yah. Yah. Tadinya aku akan memutuskannya sebelum Natalie
tewas. Sekarang aku tidak bisa."
Tindakan semacam itu akan dibedah seluruh kota"Richard,
juga. Apa maksud tindakan itu" Bagaimana itu bisa membuktikan dia
bersalah" "Aku tidak akan kembali ke rumah orangtuaku," gumam John.
"Aku akan pergi ke hutan keparat itu dan bunuh diri sebelum kembali ke semua benda milik Natalie memelototiku."
"Aku tidak menyalahkanmu."
John mengangkat botol garam, memutar-mutar benda itu di
meja. "Kau satu-satunya orang yang paham, kurasa," katanya. "Seperti
apa rasanya kehilangan adik dan diharapkan untuk mengatasinya.
Melanjutkan hidup. Apakah kau pernah melupakannya?" Kata-kata
pemuda itu begitu getir aku menyangka lidahnya akan menguning.
"Kau tidak pernah melupakannya," kataku. "Itu membuatmu sakit. Itu merusakku." Rasanya enak bisa mengatakan itu keras-keras.
"Kenapa semua orang merasa aneh karena aku berkabung untuk
Natalie?" John menjatuhkan botol garam dan benda itu berkelontang ke lantai. Si penjaga bar tampak kesal. Aku memungutnya,
menaruh botol itu di sisi mejaku, melemparkan sejumput garam
melewati bahuku untuk kami berdua.
272 Sharp Objects.indd 272 "Kurasa karena kau masih muda, orang-orang mengharapkanmu
untuk menerima keadaan lebih mudah," kataku. "Dan kau laki-laki.
Laki-laki tidak punya perasaan lembut."
John mendengus. "Orangtuaku memberiku buku untuk mengatasi kematian: Pria yang Berduka. Buku itu menjelaskan bahwa
terkadang kau harus keluar, menyangkal. Penyangkalan katanya
bisa jadi baik untuk pria. Jadi aku mencoba menghabiskan satu jam
berpura-pura tidak peduli. Dan selama sejenak, aku benar-benar
tidak peduli. Aku duduk di kamarku di rumah Meredith dan memikirkan soal" omong kosong. Aku hanya menatap ke luar jendela
ke langit biru persegi kecil ini dan terus berkata, Tidak apa-apa,
tidak apa-apa, tidak apa-apa. Seakan-akan aku jadi anak kecil lagi.
Dan ketika selesai, aku tahu pasti tidak ada yang akan baik-baik saja.
Bahkan kalau mereka menangkap pelakunya, ini tidak akan menjadi
baik. Aku tidak tahu kenapa semua orang terus berkata kami akan
merasa lebih baik sesudah seseorang ditahan. Sekarang kelihatannya seseorang yang akan ditahan itu aku." Dia tertawa menggeram
dan menggeleng. "Ini sinting luar biasa." Kemudian, tiba-tiba: "Kau
ingin minum lagi" Maukah kau minum lagi denganku?"
John mabuk total, terhuyung-huyung, tapi aku tidak akan pernah
menjauhkan orang yang sama-sama menderita dari kelegaan pingsan
akibat alkohol. Terkadang itu rute yang paling logis. Aku selalu percaya kondisi sadar sepenuhnya diperuntukkan bagi orang berhati tegar. Aku menenggak satu seloki di bar supaya tidak ketinggalan jauh
dari John, kemudian kembali dengan dua bourbon. Punyaku dobel.
"Seakan-akan mereka memilih dua gadis di Wind Gap yang berpikiran mandiri dan membunuh mereka," kata John. Dia menyesap
bourbon. "Menurutmu adikmu dan adikku akan berteman?"
Pendekar Baja 6 Kemarin Hari Ini Dan Esok Karya Risnawati Tambunan Warisan Berdarah 2
^