Pencarian

U 2

U Karya Donna Rosamayna Bagian 2


gue lagi tidur apa..."
Aku memegangi kepala sambil nyengir liat muka bantal Ria. "Sori! Refleks!" ujarku.
Ria hanya menggumam sebentar lalu kembali menangkupkan kepalanya di meja. Yaelah...
Tidur lagi dia! Cewek satu ini memang hobi banget tidur di kelas. Moto Ria itu "Tidur untuk
hidup! Hidup untuk tidur!" Asal bengong sedikit, dia tidur. Guru meleng dikit, dia tidur.
Benar-benar cocok jadi pemeran Sleeping Beauty. Tapi Sleeping Beauty-nya Ria gak boleh
ada tokoh pangerannya. Lagi pula, pangeran mana yang berani bangunin" Jangankan
mencium, mencolek saja bisa kena gampar.
"Lo berdua kenapa sih?" Adis ikutan sewot. Sudah dua kali dia terkaget-kaget mendengar
teriakan-teriakan kami. Yang kedua lebih parah, Adis sampai menjatuhkan kartunya.
Ramalan kacau dalam sekejap. Lebih dari selusin tatapan orang di sekitar Adis yang siap
membunuh aku dan Kyra. "Hehehe... nggak! Ini nih si Lilia, dia belom izin ke bokapnya untuk dateng ke ultah gue. Kan
gak seru kalau ada satu anak yang gak dateng." Kyra mencoba memberikan penjelasan yang
disambut seloroh anak-anak yang lain.
"Iya, Li! Jangan sampai gak dateng, ntar lo gak bisa lihat aksi nge-dance gue!" Denise
nyambung dengan pede. "Lo juga gak bisa makan-makanan yang enak-enak!" sambung Chika yang agak overweight.
"Dan yang pasti kehilangan kesempatan ketemu cowok-cowok!!!" ucap Shamira dengan
nada didramatisir. Cewek-cewek lain mengangguk setuju.
"Yaaah... jangan pada ngomong begitu dooong!" ujarku memelas. "Gue pengin dateng kok!
Tapi itu dia, gue mesti minta izin bokap gue dulu..."
"Lagian Bokap lo ribet banget sih, Li. Izin aja susah! Iiih... gak enak banget hidup lo! Dikekang
Bokap sendiri," ujar Denise.
JRENG!!! Sepasang mataku langsung berkilat garang. Apa maksud Denise menghila papaku"
"HEH! LO KALAU NGOMONG DIPIKIR DULU YAH!" Aku dengan emosi langsung menunjuk
Denise. "EMANGNYA LO TAHU APA?"
Serentak semua orang memandangku kaget, tak terkecuali Kyra.
Denise yang gak menyangka bakal kena bentakanku langsung mendekat. "EH" LO MARAH"
GITU DOANG LO MARAH" GAK ASYIK BANGET SIH LO JADI ORANG!" Denise mendorong
bahuku. "YA UDAH! GAK USAH DATENG AJA! SANA MINTA DIKELONIN SAMA PAPA LO YANG
OVERPROTEKTIF ITU!" ujarnya lagi.
Bruukkk! Aku langsung menerjang Denise. Gak ada maaf! Dia sudah menghina papaku.
Aku dan Denise saling dorong, jambak, dan cakar. Anak-anak lain menjerit histeris di sekitar
kami. Mereka langsung berupaya mati-matian memisahkan aku dan Denise.
Dengan sekali sentak Shamira dan Marsya berhasil menarik mundur Denise yang dengan
barbar menjambak rambutku. Sedangkan aku menatapnya dengan napas memburus.
Mataku terasa panas, sebuah sungai kecil mulai terbentuk di sana.
"KALIAN BERDUA UDAH GILA YAA!" Marsya menjerit nyaring, memelototi aku dan Denise.
Aku mengigit bibir menahan amarah, Denise menatapku sangar.
"Kalian tuh ngeributin hal yang gak penting tahu, gak?" bentak Marsya lagi. "Lo tuh ya, Den,
mulut lo ngapain ngomong kalau cuma nyakitin orang" Ngapain lo pake ngata-ngatain
bokapnya Lilia" Lilia kan belum bilang dia dilarang dateng," Marsya ngomel-ngomel sambil
berkcak pinggang menatap Denise.
Iya tuh! Benar! Dia memang pengin cari musuh saja! desisku dalam hati.
"Dan elo, Li." Marsya menunjuk aku. Aku tersentak kaget. "Gak penting banget lo ngajak
Denise berantem, cuma gara-gara lo panas denger kata-katanya. Lo berdua kayak berantem
ngerebutin cowok tahu, gak"! Mending ada cowok ganteng yang direbutin, ini kan nggak,"
seloroh Marsya lagi. Semua anak-anak mengangguk-angguk di sekitar kami.
"Iya nih! Kalau sampai ada guru yang lihat kan gawat. Jangankan Lilia, nanti semuanya bisa
gak boleh dateng ke acara gue, lagi," tambah Kyra.
"Iya betul! Mau ditaro di mana nama baik sekolah kita kalau sampai pengawas Depdiknas
tahu," sambung Ria tiba-tiba. (Loh" Kapan dia bangun")
Denise memutar-mutar bola matanya, menghela napas lalu berjalan menghampiriku. "Sori
deh, Li. Gue asal nyablak aja tadi, gak mikirin perasaan lo!" ujarnya.
"NAH! Gitu dooong! Ayo baikan!" ujar Adis tiba-tiba menyeruak di antara kami. "Ntar lo
berdua gue ramalin gratis deh! Langsung tanpa diundi!" ujarnya lagi sambil meniru iklan
teve. Kata-kata Adis dalam sekejab langsung menuai pro dan kontra di sekitar kami. Rata-rata sih
mendukung niat baik Adis. Tapi ada juga yang protes, soalnya mereka sudah antre minta
diramal dari tadi. Bayar, lagi. Adis kan memang peramal matre, satu ramalan artinya sama
dengan seporsi Fiesta Steak.
Semua mata terpaku menatap aku dan Denise. Denise mengulurkan tangannya di depanku.
Aku refleks menyambutnya. Anak-anak lain langsung bertepuk tangan lalu ikut-ikutan
menyalami aku dan Denise. Malah Kyra dengan noraknya pake peluk-peluk haru segala,
kayak peserta AFI yang lagi dieliminasi.
"Oke. Sesuai yang sudah dijanjikan, kini biarkan Miss Adis meramal dua jagoan kita," ujar
Adis, dia duduk di bangku sambil pasang tampang mistik. Agar lebih meyakinkan, dia pakai
selendang di kepala, biar mirip peramal beneran.
Adis mengeluarkan kartu dari tasnya. Semua menatap penasaran, sebelum akhirnya
melongo. Pertama, Adis memasukkan karto Tarot-nya ke kotak dan menggantinya dengan
kartu remi (ada yang As, King, Queen, Jack itu loh.) Yang bikin makin melongo, semua kartu
itu dalam nuansa perwayangan.
"Lo ganti aliran, Dis" Biasanya kan Tarot! Kok jadi remi" Gambarnya si cepot pula," ujar Kyra
bingung. "Bosen! Cari suasana baru," ujar Adis asal. "Siapa dulu nih yang diramal?"
"Aaah... alsan lo! Bilang aja gara-gara gratis, jadi gak pake Tarot," ujar Denise. "Gue nggak
aah! Kartu begituan mana bisa buat ngeramal."
Adis mendelik. "Ya udah kalau gak mau, lo aja ya, Li?" tanya Adis. Nadanya memaksa. Mau
gak mau aku mengangguk. Aku duduk di depan Adis.
"Yang penting bukan kartunya tahu, tapi jiwa sejati peramalnya. Pake domino juga bisa
kalau gue mau," ujar Adis lagi.
Teman-teman yang sempat gak semangat, langsung merubung lagi begitu mendengar katakata Adis barusan. Denise juga ikutan melihat karena penasaran.
Adis tampak sibuk memilah-milah kartu. Dia mengeluarkan Joker dari tumpukan.
"Naah! Sekarang lo kocok ni kartu, Li. Dengan penuh perasaan sambil menyebut nama
lengkap cowok yang lo suka, tapi dalam hati aja, oke"!" ujar Adis sambil menyerahkan kartu
itu ke aku. Aku mengerutkan dahi. Cowok yang aku suka" Tak lain dan tak bukan, so pasti Niko. Tapi
kalau nama lengkap Niko" Duh, mana aku tahu. Nicholas Saputra kali" Hehehe... maunya!
Aku melirik ke arah Kyra, minta bantuan. Kyra cuma angkat bahu. Yaaah... Dia aja gak tahu,
apalagi aku. Aaah... cuek aja deh! Cuma ramalan doang... kayak kata Denise tadi, gak bisa dipercaya. Aku
mulai mengocok kartu sambil berkali-kali menyebut nama Niko. Niko yang cakep, Niko yang
ganteng, Niko yang keren. Hehehe... jadi panjang kan namanya" Orang kalau lagi jatuh cinta
memang jadi jayus! Aku menyerahkan kartu yang telah kukocok pada Adis. Adis mulai menyusun kartu-kartu itu
menjadi sebuah lingkaran, lingkaran itu terdiri atas dua belas kartu dan ada satu kartu di
tengah. Lalu ada empat kartu tersisa. Adis mulai membuka kartu yang pertama.
"Hmm... Waaah, awalnya pertemuan tak terduga nih. Cinta berawal dari situ," ujar Adis saat
membuka kartu-kartu itu. SREEEPS! Wajahku langsung memerah. Pertemuan pertamaku di lapangan basket dengan
Niko memang bukan pertemuan yang disengaja.
"Hmmm... dia malu-malu, Li. Tapi kayaknya naksir deh. Bakal ada kencan dalam waktu
dekat!" Suasana kelas langsung mendadak riuh. Berbagai kata "Cieh!" langsung dilemparkan dengan
berbagai nada. Ada yang ngomong dengan nada do rata, ada yang ngomong dengan nada
do yang beda satu oktaf, Shamira malah dengan nada seriosa. Norak banget!
Seluruh mukaku dapat dipastikan sudah kayak dipakein blush-on, merah merata. Niko naksir
aku" Duhh! Ini kan cuma ramalan, belum tentu benar... tapi... kalau benar bagaimana"
Jangan-jangan ajakan Niko mencari kado cuma tameng lagi. Siapa tahu dia malah mengacak
kencan"! "Gak gitu mulus sih pada awalnya, malah ribet, perlu kesabaran ekstra," Adis menatap
kartu-kartu di hadapannya dengan muka serius.
Benar kata Adis! Ribet! Sampai detik ini aku gak tahu mau memakai baju apa nanti sore.
"Hmmm... makin berat nih! Banyak yang gak setuju lo sama dia. Lo musti menentang arus,
Li. Daaann... JRENG!!! Ada saingan berat!!!" ujar Adis dengan nada didramatisir. Seisi kelas
langsung berdecak. Nah! Ini juga benar! Niko itu kan cakep, jadi banyak yang naksir. Mungkin saja kalau aku
jadian sama dia, banyak yang gak setuju.
"Tonjok aja yang gak setuju, Li!" ujar Kyra penuh semangat, tapi tanpa berpikir. Yang benar
saja! Masa aku disuruh nonjok satu kompi cewek" Yang ada malah aku digebukin ramerame sama mereka.
"Tapi ada juga pendatang baru, penantang yang cukup potensial..." Adis mengerutkan dahi
menatap kartu King Keriting yang dipegangnya.
"CIEEEH! Diperebutkan nih ceritanya si Lilia!" jerit Ria nyaring. Dia sudah benar-benar melek
sekarang. "Yang terakhir..."
BRAAAK! Terdengar suara meja digebrak. "KALIAN SEMUA SEDANG APA HAH"!"
Kami semua tanpa terkecuali terlonjak kaget. Bu Endah berdiri di depan pintu. Wajahnya
menggelembung saking marahnya. Pertunjukan ramalan bubar seketika.
8 TIGA TANTANGAN! GUE bangun dan mengerjap-ngerjapkan mata. HAH! Gue tersentak. Kok sudah terang
begini" Gue melihat jam dinding kamar dengan saksama. JAM SETENGAH SEMBILAN" Wah,
bencana! Gue ada rapat jam sembilan nanti. Gue langsung belingsatan bangun dari tempat
tidur, menyambar tas kerja dan kunci mobil.
"Mbookkk... Tolong pilihin baju kerja saya doong!" teriak gue ke Mbok Siti begitu membuka
pintu kamar. Sementara itu gue sibuk memasukkan folder-folder ke tas. Sialan! Gara-gara
kemarin gue pulang dari acara si Vidya jam dua pagi, begini deh akibatnya.
Tanpa banyak tanya Mbok Siti langsung datang dan memilihkan baju yang gue pakai hari ini.
Kemeja ungu muda, celana pantalon hitam, dasi hitam dengan bordir ungu tua di
tengahnya. Semuanya disusun rapi pada gantungan baju dan dibungkus plastik transparan.
Untuk orang yang sudah tua, Mbok Siti punya bakat terpendam memadu-padankan baju
dalam waktu singkat. Gak salah gue bawain dia martabak kemarin.
"Saya berangkat ya, Mbok!" ujar gue sambil menenteng semua perlengkapan dan berjalan
buru-buru ke mobil. "Mas Niko... tunggu!" ujar Mbok Siti.
Gue menoleh. "Kenapa, Mbok?" ujar gue gak sabaran.
"Ibu belom bangun dari tadi, Mas."
HAH"! Gue langsung kaget. Benar juga! Biasanya kalau pagi Mama pasti sudah duduk di
ruang makan, nyiapin makanan buat gue. Apa Mama sakit" Gue langsung membalikkan
badan menuju kamar Mama. Tapi Mbok Siti menahan gue.
"Bapak gak pulang, Mas Niko. Tadi jam empat pagi, Ibu nelepon ke HP Bapak, trus marahmarah. Setelah itu Ibu gak keluar-keluar kamar lagi sampai sekarang."
Gue langsung menghela napas berat. Lagi-lagi Bokap! Dan hari ini dia memecahkan rekor.
Gak pulang. Dia menghabiskan 27 jam di kantor. HEBAAAT!!!
Gue melihat ke jam tangan. Tinggal dua puluh menit lagi menjelang rapat. Gue gak punya
pilihan lain. Gue menghela napas. "Mbok, tolong jaga Mama ya. Nanti saya bakal pulang cepet!" ujar
gue penuh harap. Mbok Siti mengangguk, gue menghela napas lega dan langsung berlari
keluar. Hari ini, bakat terpendam gue sebagai racer bakal diuji.
*** SUMPEK! DONGKOL! MO NGAMUK!
Gue duduk dengan tampang sangar di meja. Teman-teman kantor gue saling intip dari bilik
mereka masing-masing tapi gak ada yang berani mendekat. Mereka tahu saat ini gue bak
lahar yang siap tumpah dan gak ada seorang pun di antara mereka yang rela ketumpahan.
Tadi gue sampai di kantor tepat waktu, walaupun di jalan gue harus mendengar sumpah
serapah dari berbagai macam mobil yang gue salip. Gue sempat ganti baju dan gue yakin
beberapa cewek terkesima lihat penampilan gue yang perlente. Yang terakhir, rapat hari ini
sukses dan gue berhasil menyelesaikan laporan keuangan dengan sempurna. Seharusnya
gue jadi orang paling happy hari ini. Tapi semua langsung hilang dalam sekejap begitu gue
buka e-mail. Sebelumnya, gue memang lagi bersiul-siul di depan laptop sambil main Bumper. Tiba-tiba
gue dapat WinPop (pesan singkat lewat komputer) dari teman gue si Joko yang kerja di
ruangan sebelah. From: Joko Busyet Nik!! Baru dipinjemin buku 1 hr, lsg tokcer yee...
Selamet deh, Bang!!! Kpn undangannya dibagiin nih"
Gue jelas melongo baca WinPop si Joko. Apa coba maksudnya"
To: Joko WOI! Maksud lo apa" Gak ngerti!
Gue langsung mengirim WinPop tadi ke Joko dengan seribu tanda tanya besar di kepala.
Tokcer apanya" Boro-boro, baca aja belum. Sejak gue tunjukin buku itu ke Lilia dan dalam
hitungan kurang dari sepuluh detik dia balikin ke gue lagi, buku Joko masih mengendap di
tas gue. Gimana mau baca, liat cover merah ngejrengnya aja gue langsung sakit mata.
Gue melirik ke komputer lagi, balasan Joko sudah ada.
From: Joko Hahahaha... sok pilon!! Semua jg udah tau, kali... Temen gue sampai ada yg frustrasi...
trnyata dia fans berat lo!!!
Rambut gue makin keriting baca WinPop Joko. Aaah... gak sabar gue kalau harus nulis
WinPop lagi. Gue langsung memencet nomor Joko dan dia mengangkatnya pada dering
pertama. "Cieee, yang lagi berbunga-bunga," ujar Joko di seberang telepon. Gak pake kata "Halo",
apalagi basa-basi bilang "Selamat Siang".
"HEH, NYONG! Gue gak ngerti lo ngomong apaan. Maksud lo apa?" sembur gue langsung.
"Deeuuu!!! Ngamuk nih"! Sangar banget. But, siapa yang nyangka di balik kesangaran lo
ternyata hmmm... MANTAP!"
"HEH! GUE GAK MAIN-MAIN, MAKSUD LO APA?" Sekarang gue sudah benar-benar emosi.
Perasaan gue mulai gak enak.
Orang-orang satu ruangan langsung menengok ke gue semua. Yang paling tertarik jelas para
cewek. Ada yang kaget, ada yang takut, tapi ada juga yang malah pasang tampang memuja.
(Karena itulah wanita susah dimengerti, mereka punya tiga reaksi yang sangat berbeda
untuk satu kejadian.) Joko yang tadinya sibuk meledek langsung membisu di seberang telepon.
"Heh, Jok! Kok diem sih?" ujar gue lagi dengan penurunan intonasi suara.
"Lo bener-bener gak tahu?" tanyanya menyelidik.
YAELAH!!! Masih gak percaya juga dia. Joko geblek!!! "Gak tahu! Jadi apa?" tanya gue gak
sabaran. "Lo udah buka e-mail pagi ini?" tanya Joko lagi.
"Belom!" "Belom" Yakin lo belom?"
"BELOOOM!!!" Susah bener sih ngomong sama makhluk satu ini, gak bisa kalau gak pake
urat. "Ooo... Yaahh... kalau gitu selamat membuka e-mail deh!" ujar Joko dan KLIK! Telepon
langsung terputus. Gue gak buang-buang waktu lagi. Langsung gue buka Yahoo Mail dan membuka inbox gue.
Gue mengetuk-ngetuk meja dengan gak sabar.
Seperti biasa, ada bermacam-macam e-mail baru dengan subjek berbeda-beda, dari orang
yang berbeda-beda pula. Satu persamaannya, semua pengirimnya cewek.
Gue sempat bingung mencari e-mail yang dimaksud Joko, sampai gue lihat ada tulisan THE
HOTTEST COUPLE THIS YEAR!!! pada salah satu message dari milis teman-teman gue,
bahkan ada attachment-nya. Feeling gue langsung gak enak. MY GOD! Jangan-jangan...
dengan jantung berdegup kencang gue mengklik tulisan Download Photo dan...
BLAAARRR!!! Tampang gue shock melihat layar monitor di hadapan gue! Kalau ini sinetron,
pasti langsung ada suara petir, gambar berhenti dengan close-up muka gue sebagai tokoh
yang lagi mangap dan ada tulisan "bersambung"...
Di situ terpampang foto gue dan Maryna yang sedang berciuman dengan panas. Dan...
CATAT!!! Dalam ukuran SUPERBESAR!!!
BAJINGAN!!! Gue langsung membanting pensil dengan kesal. Ini jelas-jelas gak benar. Nih
foto pasti udah dikamuflasekan. Gue langsung memeras otak dan mengingat-ingat kejadian
semalam. Gue dan Maryna datang ke acara Vidya. Terus si Maryna menyanyi di panggung. Terus Vidya
mengajak gue dansa, terus... Oh ya, acara tantangan itu!
Vidya menyiapkan minuman beralkohol hari itu. Wine dengan harga yang bikin mata
terbelalak tersedia berbotol-botol. Perlu diingat! Kami yang hadir di situ kan sudah berusia
di atas 21 tahun, jadi gak ada larangan untuk menyentuh minuman bergengsi kelas
internasional itu. Daann... dimulailah toast bareng-bareng!!!
"Untuk Vidya!!! Supaya sehat-sehat selalu di New York!" ujar Robert-yang katanya-pacar
Vidya, mengangkat gelas. Kami minum bersama. Sudah menjadi aturan tak tertulis, kalau
ada satu orang yang mengangkat gelas, demi sopan santun kami harus menghormatinya
dengan cara ikut minum. "Untuk Robert!!!" ujar Vidya lantang sambil cengar-cengir. Gila! Baru gelas pertama dia
sudah menunjukkan tanda-tanda mabuk. "Biar setia nunggu selama gue di sana," ujarnya.
Mau gak mau, gue menelan isi gelas kedua. Wuaaaak!!!! Gue heran kenapa wine harganya
mahal banget, padahal rasanya kayak jamu begini. PAHIT!!! Percaya sama gue, gak rugi kok
gak minum ini. Setelah gelas yang kedua, efeknya langsung kerasa. Kepala gue agak berat. Gue menoleh ke
arah Maryna, dia juga agak oleng.
"Oke!!! Ladies and Gentlemen. Untuk memeriahkan suasana... Sekarang kita masuk ke acara
GAME...," ujar MC dengan suara membahana. Di kuping gue, suara dia kayaknya mulai
terdengar samar-samar.

U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di bawah gelas kalian tadi, sudah saya tempelkan sepotong kertas, silakan ambil. Naaah, di
kertas itu ada JOB yang harus kalian kerjakan," ujar MC itu lagi.
Dengan penasaran gue langsung mengambil kertas yang dilekatkan dengan selotip di bawah
gelas gue. Gara-gara di sini agak remang-remang, gue jadi gak sadar. Gue buka kertas itu
dan... KOSONG! Yang lain pun melakukan gerakan yang sama, memeriksa gelas masingmasing.
"Ada tiga orang yang beruntung mendapatkan TANTANGAN!!! YEAAAH!" jerit si MC dengan
norak. Yang lain tepuk tangan, gue ikut-ikutan.
"Jangan tunjukkan kertas Anda pada siapa pun!" ujar MC lagi. "Naaah, siapa yang
pertama..." Salah seorang cowok tunjuk tangan. Rambutnya mencuat-cuat dipakaikan gel, di kupingnya
ada anting-anting. Namanya Romy. Dia menyerahkan kertas itu pada MC.
"Yak! Silakan tunaikan tugas Anda..."
Romy berjalan ke arah cowok bernama Putra dan...
BUG!!! Dia menonjok Putra dengan keras. Yang lain jelas langsung bengong kemudian
tertawa terpingkal-pingkal. Job di kertas itu adalah, tonjok orang yang sudah merebut pacar
lo! Putra walaupun kesal, cuma bisa pasrah! Toh ini cuma game! Permainan! Dan Sally,
mantannya si Romy diam-diam geer karena merasa diperebutkan.
Romy minta maaf sama Putra lalu mereka berjabat tangan.
"YANG KEDUAAA..."
Lagi-lagi cowok, gak tahu siapa namanya... Dia berjalan ke arah MC, menyerahkan kertas itu,
MC mangut-mangut membaca isinya.
Cowok itu berjalan ke sebelah gue, dan dengan gaya yang sangat berlebihan, dia berjongkok
di depan Maryna. "Will you marry me?" ujarnya lantang. Lagi-lagi semuanya terperangah dan langsung
tertawa ngakak. Ternyata tugas cowok itu adalah lamar cewek yang menarik perhatian lo di ruangan ini. Gila
juga tuh MC. Sayangnya lamarannya ditolak! Maryna tertawa sambil geleng-geleng kepala lalu merangkul
lengan gue. Yee... udah mabok kayaknya ni anak! Memangnya gue cowok dia"
"YAAAK!!! SATU LAGI... MANA TANTANGAN KETIGAAAA?""!!!" teriak MC itu dengan suara
semakin membahana. HAH! Gue melongo. Maryna maju ke depan. Menyerahkan kertas kecil di tangannya kepada
MC. MC membaca kertas itu dan terbelalak.
"WOW! INI DIAAA!!!" ujar MC itu penuh semangat. "SILAKAN, CANTIK!"
Dan... Maryna berjalan dengan anggunnya melewati semua cowok. Suasana hening
seketika. Jelas! Yang mau menunaikan tugas seorang cewek cantik dengan wajah setaraf
Miss Universe, cowok jenis apa pun rela jadi korbannya.
Maryna berdiri di depan gue. Gue tambah melongo. Mampus! Kena deh gue! Yaah, gak papalah digambar dikit. Asal jangan kencang-kencang aja. Kalau sampai kencang, dia gak gue
antar pulang pokoknya... batin gue dan...
Tanpa gue sangka, Maryna menarik kerah kemeja gue dan mencium gue.
Di bibir!!! HAH!!! Gue masih dalam keadaan gak siap saat itu. Mungkin karena pengaruh alkohol juga.
Yang gue tahu, bibir Maryna nempel di bibir gue. Bibir mungilnya lembut dan hangat. (Dan
kayaknya agak-agak rasa Cherry gitu.) Seluruh ruangan bertepuk tangan dengan meriah.
Butuh waktu sekitar tiga detik buat gue untuk tersadar. (Yaah, bagaimanapun juga, gue kan
cowok normal.) Gue mendorong Maryna menjauh.
Semuanya masih bertepuk tangan dengan semangat. Gue menatap Maryna dengan kesal.
Maryna cuma tersenyum malu. "Sori!" ujarnya.
Gue menarik napas lalu tersenyum tipis. Kalau bukan game, pasti sudah gue cap gak benar
nih cewek. "YAAK! KETIGA KONTESTAN SUDAH MENUNAIKAN TUGAS!!! SILAKAN AMBIL HADIAHNYA!"
Mereka kembali bertepuk tangan. Gue gak ikutan. Syok gue belum abis.
Vidya sudah menyiapkan segala-galanya buat acara farewell party ini. Ketiga orang itu
mendapatkan hadiah yang gak tanggung-tanggung. HP! Nokia seri terbaru pula.
Sepanjang perjalanan di mobil, Maryna menatap HP di tangannya sambil senyum-senyum
senang. Iyalah senang, gue yang apes.
*** NAH!!! Gue berhasil menata seluruh ingatan gue kemarin. Gue bukannya mencium dia, tapi
dipaksa mencium. Gue kembali menatap foto di depan gue. Di foto itu, gue tampak memejamkan mata dan
membalas ciuman Maryna. MY GOD!!! Ini jelas bukan gue!!! Walaupun ciuman Maryna not
bad, tapi gue gak sempat menikmati. Gue ingat mata gue terbelalak saking kagetnya. Betul!
Mata gue terbuka lebar saat itu. Soalnya gue sempat lihat ada ibu-ibu yang geleng-geleng
sewot, gue juga lihat seorang cewek yang bengong melihat adegan mesra gue dan Maryna.
SOOO... Bisa dibilang foto ini sudah direkayasa. Mata gue terbelalak begitu, kenapa bisa
merem-melek kayak gini" Kurang ajar! Yang bikin ini harus dikasih pelajaran.
Dan lebih sialnya lagi, setelah itu langsung ada bertubi-tubi SMS masuk ke HP gue! Gue
ngetop dalam sekejap. Ada yang ngucapin selamat, ada yang histeris, ada yang ngeledek.
Sisanya gak gue baca lagi, langsung gue hapus secepat kilat. DAMN!!! Gue baru sadar foto
itu dikirim via milis, jadi dapat dipastikan saat ini sudah ada ratusan orang yang menyaksikan
foto teranyar itu. MATILAH GUE!!! 9 IT'S A DATE"! KAKIKU sakit, pegal, dan ngilu. Gara-gara ramalan kartu Adis, kami sekelas dihukum pompa
(berdiri setengah jongkok) selama sepuluh menit.
Saat ini, hal yang sangat kubutuhkan adalah tidur dengan posisi telentang di kasurku...
TAPIII... mengingat janji dengan Niko, tidur gak masuk dalam planning-ku hari ini. Lihat! Ini
list-nya... Hal-hal yang harus dilakukan saat bel pulang berbunyi:
1. Mengarang alasan untuk Kyra.
Niko sudah mewanti-wanti, dia gak mau Kyra tahu kami mencari kadonya bersama-sama.
Karena itulah aku mengunci bibir rapat-rapat. Padahal, aku pengin banget Kyra tahu.
2. Mengarang alasan untuk teman-teman lain.
Soalnya gak ada jaminan teman-temanku gak akan membocorkan pada Kyra. Yang ini lebih
sulit. Susah banget berusaha tetap gak norak, padahal kamu tahu akan pergi dengan cowok
superkeren. Pengin banget pamer dan lebih pengin lagi menyaksikan tampang-tampang iri
mereka yang mendengarnya.
3. Langsung kabur keluar kelas sesudahnya.
Ini tindakan darurat untuk mengurangi kuantitas kebohongan.
4. Cari taksi. Supaya gak ketahuan Kyra, Niko gak bisa jemput aku. Jadi aku harus sendirian ke Plaza
Senayan. (Ini nih yang bikin lemas, uang sakuku langsung berkurang drastis.)
HASIL: Memuaskan! Keempat poin di atas dapat kukerjakan dengan baik. Kyra percaya saja
aku mau pergi dengan Papa, sementara teman-temanku yang lain gak terlalu ambil pusing.
Aku berlari dengan sangat kencang saat keluar gerbang sampai-sampai satpam sekolahku
kebingungan dan aku berhasil mendapatkan taksi dalam waktu singkat. Tarif lama, lagi...
hehehe... *** Aku turun dari taksi dan masuk ke Plaza Senayan. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh
ruangan. Tiba-tiba... efek pegal-pegal di kakiku menjalar ke seluruh tubuh. Ditambah
debaran jantung kayaknya... Dari eskalator aku melihat Niko berdiri menatapku. Dia semakin
mendekat... mendekat... Dan sekarang berdiri di hadapanku. Ini bukan mimpi, kan" Aku
mencoba menutup mata dan menghitung sampai tiga. Kata orang, kalau cuma fatamorgana,
biasanya hilang di hitungan ketiga... SATU... DUA... TI...
"Lo kenapa sih, Li?"
He" Aku terkejut. Aku membuka mata dan Niko berdiri tegak di hadapanku. Dahinya
berkerut bingung. HOREEE... DIA GAK HILANG!
Akhirnya aku cuma bisa nyengir menatapnya. Bingung mau jawab apa.
"Lo sendirian, Li?" tanya Niko.
Aku mengangguk. "Kyra gak tahu kan lo pergi sama gue?" tanya Niko lagi.
Aku menggeleng. Pesona Niko masih membiusku, jadi aku belum sanggup mengucapkan
kata apa pun. Niko menarik napas lega. "Sori ya, jadi ngerepotin lo, habisnya gue bingung Kyra suka
apaan..." tambahnya sambil tersenyum ramah. Kayaknya aku mau pingsan melihat dia
senyum kayak gitu. "Ngomong-ngomong tadi lo ke sini naek apa?"
Nah, berhubung pertanyaan kali ini gak bisa dijawab dengan cengiran, anggukan, ataupun
gelengan, dan supaya Niko gak berpikir dia berhadapan sama orang gagu, maka aku harus
memikirkan sebuah jawaban...
"Taksi." Yup! Cukup satu kata. Singkat dan padat.
"Duh, sori ya, Li. Bukannya gue gak mau jemput lo... Selain supaya Kyra gak tahu, gue juga
grogi..." He" Aku melongo. "Grogi kenapa?" tanyaku. Kemajuan. Bisa dua kata.
"Habis sekolah lo kan cewek semua..."
Keteganganku seketika mencair. Hehehe... jadi pengin ketawa! Ini bener loh! Gak cuma
cewek yang takut melihat gerombolan cowok. Ternyata cowok juga bisa takut melihat
cewek-cewek pada numplek... Habis, cewek-cewek kalau dikumpulin selama bertahuntahun dengan spesiesnya, malah jadi sangar. Apalagi temanku Marsya. Tiap ada cowok kece
yang melewati gerbang sekolah, dia langsung berteriak, "COWOOKK!!! I LOVE YOU..."
bertubi-tubi. Cowok mana yang gak kabur coba"
*** Gak susah sebenarnya mencari kado buat Kyra. Soalnya Kyra feminin banget. Dia cuma suka
satu warna di dunia ini: Pink! Jadi benda apa saja asal pink dia pasti suka. Susahnya: Niko
gak suka pink. Tiap diajak mendekat ke benda-benda berwarna pink, Niko langsung alergi.
Apalagi waktu lihat toko yang semua dekornya pink, Niko ga mau masuk. Nah lo! Susah, kan!
Ini sih sama saja gak bisa beli kado...
"Lo aja deh yang masuk, Li. Pusing gue lihatnya," kata Niko.
Yee!! Gimana sih Niko"! Bikin puyeng aja. Ya sudah, akhirnya aku masuk sendiri. Dan pada
pandangan pertama aku langsung jatuh cinta sama boneka babi pink, berbadan bulat dan
besar, terus diikat pita pink polkadot. Aku langsung menghampiri boneka itu dan
menggendongnya. Uuuhhh... Lucunyaaa!!!
Melihat gelagatku, Mbak-mbak penjaga langsung menghampiri dan tersenyum manis. "Mau
beli yang itu, Mbak" Diskon sepuluh persen loh," ujarnya.
WOW! Sudah lucu, diskon, lagi! Aku dengan semangat membalik label harganya. JRENG! Rp.
299.000. GUBRAK! Mahal banget! Mana sanggup aku! Lagi pula, kalau selucu ini, bisa-bisa
kado itu gak jadi kubungkus buat Kyra, tapi kupajang di kamarku sendiri.
Dengan berat hati aku mengembalikan boneka itu ke rak. "Emm... nggak deh, Mbak! Lihatlihat dulu," jawabku dengan kata-kata klise setiap pembeli saat menghindar karena
sebenarnya ingin berkata "uang saya gak cukup!"
Tapi Mbak penjaga counter itu gak mau menyerah. "Kalau gak mau yang gede, ada yang
kecilnya kok," ujarnya sambil berlari ke rak yang lain dan mengambil boneka... Apa nih" Bayi
babi"! Soalnya perbandingan ukurannya kayak kucing sama macan. Jauuuh banget! Gak
sampai sepersepuluhnya. Aku memandang babi mini itu. Kulihat label harganya. Jauh lebih murah sih.
"Yang kecil aja dulu... Ntar kalau dikasih makan juga jadi gede!" kata mbak itu lagi. Tetap
dengan ramah. Mau gak mau aku jadi nyengir. Pedagang itu pinter yah! "Ya udah... yang ini aja deh, Mbak,"
kataku. Setelah membayar boneka itu, aku keluar dari toko dengan wajah berseri-seri. Niko
menghampiriku. "Lo beli apa?" tanya Niko.
Aku menyodorkan kantong belanjaanku. Niko mengintip isinya. "Yaelah... Babi itu kotor dan
jorok. Maennya di kubangan lagi. Kok, malah dipitain?" Niko ketawa sambil geleng-geleng.
Andai semua babi di dunia ini berwarna pink dan selucu boneka ini, aku berani jamin, babi
akan dipelihara seperti layaknya orang memelihara kucing.
Akhirnya, karena Niko tetap ngotot dia alergi pink, kami memutuskan membelikan Kyra
gelang perak saja. Gak mungkin ada perak yang warnanya pink, kan"
Setelah nyureng memerhatikan berbagai macam gelang yang dipajang di Perlinis Silver, aku
menunjuk sebuah gelang yang manis sekali. Gelang itu berbentuk rantai mungil, di ujungnya
ada bandul kecil dan huruf K. Niko manggut-manggut untuk membelinya. Uuhhh... gak
bohong! Gelang itu bagus banget! Aku jadi iri sama Kyra.
"Pasti buat ceweknya ya, Mas?" goda penjaga counter pada Niko, dengan sukses
membumbungkan rasa cemburuku sampai ke langit-langit.
Niko membayar gelang itu. Aku pura-pura gak melihat saat Niko mengeluarkan empat
lembar uang seratus ribuan. Yaaah... aku maklum! Niko dan Kyra kan memang anak orang
kaya. Rumah mereka di daerah Menteng. Uang segitu sih gak ada artinya.
Perlahan aku melirik kantong plastikku. Melihat kado Niko buat Kyra, kayaknya babi kecilku
ini jadi gak berharga deh!
*** "Thanks ya, Li. Udah mau nemenin gue nyari kado," ujar Niko saat kami meninggalkan
counter itu. Aku mengangguk lemas. Kayaknya acara jalan-jalan ini gak seindah yang aku harapkan.
"Eh... kita duduk-duduk dulu yuk, sambil ngopi di Starbucks," tawar Niko.
Mataku langsung bersinar-sinar bahagia. Duduk berdua" Di kafe keren" Mahal pula" Ini baru
kencan! Aku dan Niko berdiri di depan meja pemesanan. Aku sedang menimbang-nimbang mau
minum apa saat tiba-tiba Niko bilang, "Frappuccino blendednya dua ya, Mbak!"
Aku mendongak. Agak kecewa. Kalau seperti yang di film-film, seharusnya Niko nawarin
dulu ke aku, "Kamu mau pesan apa?" Gitu, kan"!
Saat di depan kasir, Niko langsung menghalangiku membayar. "Gue aja ya, Li. Gak pa-pa,
kan" Itung-itung gue bales budi, lo kan udah nemenin gue," ujarnya sopan sambil
tersenyum. Aku kembali ceria. Nah, ini baru cowok! Menawari membayar, tapi gak sombong. Niko
memang toooppp! Gak seperti Kak Niko... Eeh, kok tiba-tiba jadi ingat sama dia yaah"!
Niko mengeluarkan kartu bergambar Bugs Bunny dari dompetnya. HAH! Masih SMA dia
sudah punya kartu kredit"! Ck... ck... Orangtua Niko terlalu memanjakan anaknya nih.
Kami memilih sofa empuk di pinggir ruangan. Aku dan Niko duduk berhadapan. Jantungku
rasanya hampir melompat kegirangan. Tapi baru saja kami duduk, Niko pamit ke kamar
mandi. "Sebentar ya, Li," katanya sopan.
Aku mengangguk lemah. Niko payah nih! Gak romantis banget!
Sambil menunggu Niko kembali, aku mengambil minumanku, menyesapinya, lalu senyamsenyum memerhatikan orang-orang yang duduk. Ada cewek yang sibuk berkutat dengan
Nokia 9500-nya, ada dua orang kekasih yang lagi bermesraan, ada hmm... cowok kayaknya,
yang lagi baca koran (habisnya kepalanya gak kelihatan), ada juga ibu-ibu yang duduk
sendirian mengaduk-aduk kopi.
Dua cowok baru saja datang dan duduk di samping mejaku. Kulihat mereka memesan
Frappuccino juga. Hmmm... kayaknya minuman ini jadi kegemaran! Pantas Niko langsung
memesan tanpa bertanya dulu.
Tak lama kemudian, Niko kembali. "Sori, Li... lama, yah?"
"Nggak kok," ujarku.
Setelah itu aku dan Niko langsung larut dalam obrolan yang lumayan seru. Niko
menceritakan pengalamannya pergi ke Italia (Aku hanya dapat ber-"ooh" ria). Aku
menceritakan pengalamanku waktu pergi ke... kantor Papa! (Habis bingung mau cerita
apa...) Aku cerita di sebelah kantor Papa ada restorang seafood yang enak banget.
"Oh ya, warung tenta deket situ juga enak loh. Nasi uduknya yummy! Ayamnya juga!" ujarku
semangat. Loh! Kok jadi ngomongin nasi uduk sih" Jadi ingat lagi sama Kak Niko.
Tapi Niko cukup antusias kok mendengarkan ceritaku. Buktinya dia pengin nyobain.
Tiba-tiba... HP Niko berbunyi. Ada SMS masuk. Niko membacanya, wajahnya langsung
berubah seketika. Dia menutup HP dan menghela napas.
"Li! Maaf banget ya! Gue baru saja dapet SMS, gue mesti latihan band sekarang... emm...
duh, lo gak pa-pa kan pulang sendirian?" ujarnya dengan tampang super-memelas.
Aku melongo. Yang benar aja. Datang tanpa dijemput, pulang tanpa diantar. Kayak
jelangkung aja!! "Maaf ya, Li!" ujar Niko sambil memohon.
"Ya udah! Gak pa-pa kok!" jawabku berusaha setenang mungkin. Padahal aku pengin nangis.
Setelah menghamburkan sejuta permintaan maaf, Niko berlalu dari hadapanku. Aku
menunduk lemas. Yaaah, seperti ramalan Adis, gak mungkin langsung lancar. Pasti ribet!
Buat Niko, bandnya segala-galanya. Aku bukan apa-apa.
Aku menghela napas berat lalu mengambil HP dari tas sekolahku. Aku mulai menulis SMS.
To: Papaku Paa... sibuk, gak" Lilia sendirian di PS nih. Nanti pulang kantor, jemput Lilia ya..!!
Aku sempat ragu-ragu mengirimnya. Papa pasti sangat kaget membaca SMS-ku. Mungkin
juga marah. Tapi aku gak punya pilihan lain. Uangku hari ini sudah habis buat beli kado Kyra
dan ongkos taksi. Lagi pula, sudah menjelang malam, aku gak berani pulang sendiri naik bus.
Akhirnya aku menekan tombol Send, tak lupa berdoa terlebih dahulu. Tak sampai lima detik
setelah SMS itu terkirim, Papa langsung meneleponku.
"Paa..." "Kamu gimana sih, Li" Kok pergi ke PS gak bilang-bilang Papa," Papa dengan cepat
memotong perkataanku. Dari nada bicaranya, kayaknya Papa marah. Tapi aku tahu, dia pasti
sangat khawatir. "Maaf, Pa! Tadi Lilia pergi sama temen, tapi temennya ada perlu, trus pulang duluan deh."
Papa menghela napas di seberang telepon. "Ya udah! Kamu di mana sekarang?"
Aku menyebut nama kafe mahal ini.
"Papa ke sana dalam lima belas menit. Kamu tetep diam di tempat, jangan ke mana-mana.
Oke?" Aku tersenyum. Duh, Papa! Sudah kayak polisi nangkep maling aja ngomongnya. "Iya, Pa!
Lilia bakal duduk diem di sini sampai Papa dateng. Makasih ya, Pa!"
Aku menutup telepon dan menghela napas. Setidaknya aku sudah aman sekarang, Papa
mau menjemput. Aku hanya perlu siap-siap mendengarkan ceramah Papa nanti. Pasti Papa


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menasihatiku panjang-lebar.
Hhhh... sebenarnya aku sedih banget. Padahal aku berharap Niko mengantarku pulang ke
rumah dan aku bisa memperkenalkan pada Papa. Bukannya kencan tiu seharusnya seperti
itu yaah" Coba ada Mama, aku kan bisa nanya. Aku menghela napas berat. Setiap aku
mengingat Mama pasti aku jadi sedih.
Aku mengambil Frappuccino-ku, menyeruputnya dalam-dalam. Manis. Yah, setidaknya Niko
sudah mau membelikan minuman ini untukku, hiburku dalam hati.
"Mesen Frappuccino juga, ya?"
Heh! Aku kaget. Salah satu cowok yang duduk di sebelah mejaku dengan sok akrab negurnegur. Aku mengangguk.
"Kok minum sendirian aja" Temennya tadi mana?" tanyanya lagi.
"Eemm... dia ada perlu. Lagi pula, nggak sendiri kok! Lagi nunggu Papa!" jawabku mulai
ketakutan. Ni orang SKSD banget deh!
Untuk menghindari pembicaraan lebih lanjut, aku langsung menunduk, pura-pura sibuk
dengan minumanku. Dalam hati aku berdoa semoga cowok itu lenyap ditelan bumi sekarang
juga. "Sambil nunggu Papa kamu, aku temenin yah?"
Jreng! Aku melongo. Jelas doaku barusan gak terkabul. Cowok itu malah nekat datang ke
mejaku. Tersenyum genit. Dia benar-benar membuatku ketakutan sekarang. Duuuhh...
kenapa Papa belum datang sih. Tuhan, kalau gak bisa buat dia lenyap, tolong supaya Papa
datang menolongku... atau siapa pun deeh.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menengok... dan tercekat.
10 PERMINTAAN MAAF GARA-GARA insiden foto itu, gue langsung mematikan HP dan keluar kantor secepat
mungkin. Gue pengin menenangkan diri. Gue pengin semadi. Tapi you know-lah... Ini
Jakarta, man! Mau semadi di mana" Ya udah, pilihan gue jatuh ke kedai kopi mahal ini.
Gue sedang mengaduk-aduk Coffe Late, saat gue lihat dua sosok makhluk masuk ke
ruangan. Dan... gue langsung buka mata lebar-lebar. LILIA"! ITU LILIA"! Waah! Gue gak
nyangka bisa lihat dia lagi.
Gue hampir bangkit dari kursi, tapi detik berikutnya langsung gue batalin, saat gue lihat di
belakang Lilia ada cowok. Gak tahu kenapa, tiba-tiba kaki gue jadi lemas.
Gue perhatiin Lilia. Dia masih memakai rok sekolah, tapi seragamnya sudah diganti, dia
memakai kaus putih bergambar kucing.
Gantian gue merhatiin cowok itu. Hmmm... okelah, bisa dibilang ganteng. Gayanya anak
muda zaman sekarang. Pake celana agak lebar trus dimelorot-melorotin, atasannya pake
kaus putih juga (apa mereka janjian") bergambar Naga, dan rambutnya memakai gel. Dasar
ABG! Gue lihat cowok itu dengan gaya membayar minumannya pake kartu kredit. Lilia
terperangah. HUH! Lilia gak tahu aja! Kartu kredit itu kan lagi promosi, beli satu gratis satu!
Cowok itu pergi ke kamar mandi ninggalin Lilia duduk sendirian. Si Lilia celingak-celinguk
memandangi orang-orang di kafe. Ups! Gawat! Lilia lihat ke sini, dengan cepat gue tutupin
muka gue pake koran. Sepanjang satu jam itu, gue perhatiin mereka ngobrol. Mereka ketawa-ketawa dan
kayaknya akrab banget! Yaaah, wajah sih! Mereka kan seumuran pasti obrolannya lebih
nyambung. Tiba-tiba mata gue terbelalak... cowok itu pamit dan ninggalin Lilia sendirian. Gue bengong!
Ada ya cowok yang tega ninggalin cewek sendirian di resto" Seumur-umur, kalau gue pergi
sama cewek, siapa pun dia, bagaimanapun juga tampangnya, pasti gue bakal usahain
mengantar cewek itu pulang sampai depan pintu rumahnya dengan selamat.
Dan saat gue lihat Lilia menunduk, rasanya gue pengin loncat dari bangku dan mencekik
cowok ABG itu! Tapi akhirnya gue gak bisa menahan diri lagi. Wajah gue langsung menegang saat melihat
salah satu cowok di seberang meja Lilia mulai tanya ini-itu ke dia. Dan saat cowok sialan itu
nekat mendatangi meja Lilia, gue langsung bangkit dari kursi. Lupa sama Coffee Late yang
biasanya gue minum sampai habis. Dengan langkah panjang gue mendekati Lilia dan
menepuk pundaknya. Cowok yang menegur Lilia jelas kaget. Lilia juga gak kalah kaget.
"Kak... Ni... ko?"
"Kamu udah nunggu lama ya, Li. Maaf aku baru dateng! Duduk sama aku aja di sana yuk!"
tandas gue. Tanpa memedulikan cowok di hadapan Lilia itu, gue langsung menarik Lilia yang lagi duduk.
Lilia bengong. Cowok di hadapannya jelas bete berat.
"Jadi ini papa kamu?" tanya cowok itu. Nadanya sarkastis.
Gue langsung berhenti. Menatap tajam cowok itu. Nyari mati ni orang! Gak tahu kalau gue
lagi emosi" Kalau bukan di Starbucks pasti dia sudah terpental kena tonjokan gue dari tadi.
"Denger ya! Dia cewek gue! Jadi mending lo pergi!" jawab gue dengan nada sedingin dan
setegas mungkin ke cowok itu.
Lilia langsung terperangah. Ekspresi wajahnya campur aduk. Gue sebenarnya sempat takut
juga, jangan-jangan Lilia bakal marah dan menginjak kaki gue sekali lagi. Tapi ternyata reaksi
itu gak terjadi. Sepertinya Lilia memutuskan menjadi partner akting yang baik. Dia diam saja
mengikuti skenario yang gue bikin.
Cowok itu keki berat. Apalagi sekarang seisi kafe ini sedang menatap kami. Dan melihat cara
orang-orang memandangnya, jelas cowok itu dalam posisi gak menguntungkan.
"Ron! Cabut!" cowok itu membalikkan badan dan mengajak pergi teman duduknya tadi.
Cowok yang gue duga bernama Roni itu langsung ngeh dan bangkit dari kursi, mengikuti
langkah si cowok brengsek. Mereka berdua keluar diikuti pandangan pengunjung kafe yang
lain. Diam-diam, gue menarik napas superlega. Gue berani jamin, cowok brengsek itu bakal
pikir-pikir seribu kali kalau mau datang ke sini lagi.
Begitu cowok-cowok sudah menghilang dari pandangan, tiba-tiba Lilia melepaskan
tangannya dari cengkeraman gue. Dia balik badan dan langsung berjalan meninggalkan gue.
Eh" Kok dia pergi" Duh! Jangan-jangan dia marah" Kan gue nolongin dia tadi. Wah, gawat!
Masa dia pergi sekali lagi" Tanpa pikir panjang, gue langsung berlari menyusul. Dengan tiga
langkah pangjang, gue berhasil mendahuluinya. Gue berdiri di hadapan Lilia dan memegang
pundaknya. "Lilia... Sebentar! Jangan pergi dong! Kamu marah sama aku" Kok marah sih" Li, denger! Aku
mau minta maaf sama kamu tentang nasi uduk itu. Aku juga minta maaf karena tadi udah
ngaku-ngaku pacar kamu, tapi aku begitu karena pengin nolongin kamu," ucap gue dengan
nada terburu-buru. God! Ini jelas bukan gue! Niko yang cool memohon-mohon sama anak
kecil untuk minta maaf"! Ini jelas lebih ajaib daripada Candi Borobudur.
Lilia menatap gue. Gue pasang tampang semenyesal mungkin. Lilia melepaskan tangan gue
dari pundaknya. Wajahnya meringis. "Ee... eeh... aku gak pergi kok. Aku mau ke toilet,"
katanya polos. Oke! Gak usah ditanya, gue tahu muka gue sekarang udah kayak gulai, merah kekuningkuningan. GILE! SUMPAH! GAK BOHONG! GUE MALU BANGET! Lagian Lilia langsung
ngeloyor begitu, gue kira dia marah. Mana gue tahu dia pengin ke toilet.
Gue lihat cowok dan cewek yang duduk gak jauh dari tempat gue berdiri buru-buru
memalingkan muka, biar gue gak lihat tampang ketawa mereka. Waitress di balik meja pun
langsung menangkupkan tangan ke mulut. Dia pasti lagi cengengesan. Oke! Kayaknya gak
cuma cowok sialan itu, sekarang gue juga mesti pikir-pikir sejuta kali buat datang ke sini lagi.
Dengan gaya yang sudah 100% cool maksa, gue coba untuk tersenyum pada Lilia. "Oh, gitu!
Em... ya udah! Aku tunggu di sana ya," ujar gue sambil menunjuk bangku Lilia tadi.
Lilia mengangguk dan buru-buru ngibrit ke kamar mandi. Udah kebelet banget kayaknya.
Dengan menegakkan kepala, gue kembali ke meja Lilia. Gue berusaha sebisa mungkin untuk
gak menatap satu mata pun yang sedang melirik gue secara terang-terangan.
"Tu orang depresi kali ya"! Sampai memohon-mohon sama anak kecil kaya gitu...," bisik
seorang cowok pada ceweknya saat gue melewati pinggir meja. Damn! Cowok itu pasti gak
ngerti bagaimana seharusnya kualitas suara orang yang lagi bisik-bisik.
"Gak pa-pa lagi, Say. Itu kan romantis," kata pasangannya sambil menatap gue dengan
pandangan memuja. "Iya! Betul! Di depan orang banyak begini, jelas romantis banget!" cewek yang duduk di
belakang cewek itu nimbrung.
My God! Mereka membahas itu semua seolah-olah gue gak ada di situ! Akting gue untuk
pura-pura cuek gak ada artinya sekarang. Dalam sekejap, gue langsung kehilangan gelar gue
sebagai cowok super-cool.
11 IZIN DARI PAPA LAGI-LAGI aku salah menilai Kak Niko. Ternyata dia baik kok. Buktinya dia sudah nolongin
aku dari cowok genit tadi. Memang sih caranya agak maksa, lagian dia mengaku jadi pacarku
segala. Dasar payah! Mana mungkin cowok tadi percaya! Gak pantes lah! Aku kan masih
memakai rok seragam sekolah sedangkan Kak Niko memakai kemeja dan berdasi. Kalau
dibilang adik atau keponakan sih masih mungkin. Ternyata selain gaptek, dia juga agak-agak
telmi! Tapi... kok tadi jantungku sempat berdetak kencang juga yah mendengar dia ngomong
begitu" Sekembalinya dari toilet, dengan wajah berseri-seri aku duduk di depan Kak Niko. Dalam
sekejap aku lupa bahwa sampai tadi malam aku masih sebel setengah mati sama cowok di
hadapanku ini. "Makasih ya, Kak! Untung ada Kak Niko, tadi aku takut banget sama cowok itu!" ujarku tulus
padanya. "Tapi kok bisa pas banget yah?" tanyaku lagi.
Kak Niko malah senyam-senyum waktu kutanya begitu. Dia melirik gelas minumanku.
"Minuman kamu sudah habis tuh, Li. Kita pesen minuman lagi yuk!" ajak Kak Niko.
Aku menggeleng malu-malu. "Nggak aah! Uangku udah abis."
Kak Niko tersenyum. "Gak pa-pa! Aku jadi punya alasan buat nraktir kamu. Ayo, kamu pilih
yang mana!" Mataku langsung terbelalak gembira. Dengan bersemangat aku berjalan di belakang Kak
Niko menuju meja waitress.
"Aku boleh milih?" tanyaku excited.
Kak Niko mengangguk. HOREEE! Aku suka kalau begini. Mataku langsung jelalatan memilih menu minuman yang
ada. Hmm... apa yaah" Semuanya kayaknya enak. "Chocolate Cream, Mbak," ujarku dengan
yakin dan mantap. "Eh, Li. Kamu mau cake juga, gak" Udah malem, lumayan buat ganjel perut," kata Kak Niko.
Aku menggeleng. Aku gak mau dibilang aji mumpung mentang-mentang dibayarin.
Akhirnya aku dan Kak Niko kembali ke meja. Lagi-lagi aku kagum pada Kak Niko yang mau
membawakan semua pesananku. Aku berjalan lenggang kangkung sedangkan tangan Kak
Niko sibuk membawa minuman dan cake. Hehehe... Kak Niko memaksa sih, jadi aku mau
juga memesan strawberry cheesecake.
"Kamu ngapain ke sini, Li" Sama siapa?" kata Kak Niko begitu kami duduk.
"Aku beli ini." Dengan bangga aku menunjukkan kantong plastik yang kuambil dari tas.
"Kamu suka boneka babi?" tanyanya.
"Iya! Suka banget! Tapi ini mau aku kadoin buat temen yang ulang tahun."
"Trus, kamu pulangnya gimana, Li" Sendirian" Kalau sendiri, aku anter aja deh. Bahaya
cewek pulang malem-malem sendirian."
"Emm... Nggak! Papa mau jemput kok," ujarku. Tiba-tiba aku menyesal minta Papa
menjemputku. Dan... panjang umur! Aku melihat seorang laki-laki celingak-celinguk di depan pintu masuk
Starbucks. "Tuh Papa!" ujarku. Aku melambai-lambai pada Papa. Papa menghela napas lega
dan berjalan menghampiri kami. Wajahnya tampak bingung.
"Katanya kamu sendiri, Li?" tanya Papa begitu ia tiba di depanku. "Eh, kamu anaknya Pak
Toddy, kan?" Kak Niko berdiri menyalami Papa. "Iya, Oom! Kebetulan saya bertemu Lilia barusan, tadinya
saya ingin mengantar, tapi Lilia bilang Oom akan menjemput ke sini."
"Ooh, begitu! Makasih ya, Niko. Maaf Lilia sudah merepotkan kamu." Papa menepuk-nepuk
pundak Kak Niko. "Kalau begitu saya permisi, Oom," kata Kak Niko.
Aku kaget dan langsung menahan tangannya. "Eeh! Jangan dong, Kak! Nanti aja, kita kan
belom selesai ngobrol!"
Kak Niko tersenyum dan membatalkan niatnya. Aku menghela napas lega. Bukan apa-apa.
Kalau ada Kak Niko setidaknya aku bisa terhindar dari khotbah Papa.
"Kamu udah makan, Li" Udah jam tujuh loh, nanti kamu sakit," Papa bertanya khawatir.
Uuugh! Mukaku memerah. Kak Niko kelihatan menahan tawa di balik punggung Papa. Pasti
Kak Niko berpikir aku anak supermanja, sampai makan aja harus diingetin Papa.
"Lilia udah makan cake, Pa! Papa pesen juga aja, Lilia yang pilihin deh," ujarku sambil
melotot pada Kak Niko. Dia langsung diam dan mengaduk-aduk minumannya.
Aku menemani Papa memesan secangkir Black Coffee dan Tiramisu. Lalu kami bertiga
mengobrol. "Itu apa, Li?" tanya Papa saat melihat kantong plastik putih di meja.
Oooh! Tuh kan, hampir aja aku lupa minta izin Papa! "Ini boneka babi, Pa! Untuk hadiah
ulang tahun Kyra," ujarku sambil memamerkan boneka babi itu.
"Wah, lucu! Memangnya kapan Kyra ulang tahun?" tanya Papa lagi.
"Hari Minggu, Pa!" Nah, sekarang saatnya minta izin Papa. Here we go! "Emm... Pa... Lilia
boleh dateng gak ke acara ulang tahun Kyra?"
"Acaranya kapan?"
"Sabtu." "Loh" Kok aneh" Masa ultahnya Minggu, dirayainnya Sabtu" Kyra belom ulang tahun dong
kalau hari Sabtu." Papa tampak heran.
NAH, INI DIA! Tuhan... kasihanilah aku! "Eemm... itu dia, Pa. Tema acaranya kan Midnight
Birthday. Jadi acara tiup lilin dimulai jam dua belas malam, pas pergantian hari gitu.
Maksudnya supaya semua orang yang diundang jadi orang pertama yang ngucapin selamat
ulang tahun buat Kyra."
"JAM DUA BELAS MALAM?" ulang Papa dengan keras sekali. Dia pasti sangat terkejut.
Kulihat Kak Niko pun mengangkat sebelah alisnya.
Aku meringis. Gawat! Gawat! "I... iya! Tapi kan ini ultah Kyra, Pa. Aku gak boleh gak dateng
sama dia. Dia kan sahabat aku..."
"Trus kamu pulangnya jam berapa?"
"Yaaah... kan abis tiup lilin, potong kue... trus salam-salaman... trus apa yah" Oh iya, makan
kue! Emmm... jadi, mungkin sekitar jam satu dari sana. Sampai rumah yaa... jam dua."
JRENG! Mata Papa langsung melotot. Aku menutup mata karena ngeri.
"Gak boleh!" ujar Papa. Singkat. Jelas. Padat. Dan menghancurkan semuanya dalam sekejap.
"Yaaah, Papa! Jangan gitu dong! Lilia mau dateng."
"Tapi, Li. Jam dua... okelah, jam satu! Tapi kamu dari sana sama siapa?"
"Papa emangnya gak bisa jemput Lilia?" tanyaku sambil pasang tampang semerana
mungkin. "Gak bisa! Papa mau lembur besok!"
Tamatlah riwayatku. Aku membayangkan wajah Kyra bila tahu aku gak bisa datang. Aku juga
akan kehilangan kesempatan menyaksikan aksi band Niko di sana. "Paa... nanti aku
pulangnya diantar Kyra aja," bujukku lagi.
"Gak mungkin dong, Li. Kyra kan yang punya acara. Dia harus ada di sana sampai acara
selesai. Kamu bisa pulang subuh."
"Kalau begitu aku nginep di rumah Kyra ya, Pa?" pintaku. Sebenarnya ini permintaan bodoh.
Pulang malam saja aku gak boleh, apalagi gak pulang. Tapi otakku sudah mumet.
"Papa gak ngijinin!" ujar Papa tanpa pikir-pikir lagi. Tuh kan benar dugaanku.
"Lilia minta dianter sama teman lain deh, Pa. Shamira atau Denise biasanya bawa mobil."
Aku masih belum menyerah. Papa harus tahu pesta ini penting sekali buatku.
"Li, denger! Mana mungkin Papa ngijinin anak Papa naik mobil dengan temannya pagi-pagi
buta begitu"! Teman kamu kan juga perempuan, masa orangtua mereka gak ngelarang sih?"
"Shamira dan Denise kan sudah tujuh belas tahun, udah punya SIM."
"Bukan masalah punya SIM atau nggak. Tapi mengendarai mobil tengah malam itu kan
berbahaya sekali. Kalau dirampok gimana" Kalau diperkosa gimana" Pokonya Papa gak
bakal ngijinin! Titik!"
GOD, HELP ME! Gimana dong" Kalau Papa udah pake kata "Titik", biasanya pembicaraan
selesai. Tandanya udah lampu merah. Berhenti! Air mataku mulai menggenang.
"Paa...," ujarku dengan nada super-memelas.
"Li, bukannya Papa kejam sama kamu, tapi mestinya kamu pikir dong. Kalau ada cowoknya
masih gak pa-pa." "Ya udah. Kalau gitu, nanti biar Shamira minta diantar sama sopirnya..."
"Papa kan gak kenal sopirnya. Kalau dia yang macam-macam sama kalian berdua gimana?"
Duuuh! Papa tuh paranoid banget sih! Sama siapa lagi dong"! Jelas-jelas isi sekolahku cewek
semua. Ini sih sama saja seperti mencari jarus di laut, alias gak bakal ketemu
pemecahannya. Eh, tunggu. Tiba-tiba mataku melebar. Aku tahu!
"Kalau gitu, Lilia dateng sama Kak Niko aja. Gimana, Pa?" tanyaku bersemangat dan penuh
harap. Ini senjata terakhirku. Kalau ini juga gak boleh, aku gak tahu harus bagaimana lagi.
Ups! Kayaknya ucapanku terlalu tiba-tiba. Kak Niko tampaknya tersedak mendengar
ucapanku. Mata Papa melebar, tapi dia gak langsung menjawab. Kayaknya lampu perlahan berubah
menjadi kuning. "Kak Niko kan cowok, trus Papa kenal Kak Niko. Malah Papa kenal papanya Kak Niko.
Gimana" Boleh ya, Pa?" pintaku lagi.
Papa menoleh ke arah Kak Niko. "Kamu gak bisa mutusin sendiri gitu dong, Li. Memangnya
Niko mau nemenin kamu?"
Iya juga ya! Bego deh aku. Aku langsung menatap Kak Niko, memasang wajah minta
dikasihani. Cuma dialah satu-satunya harapanku hari ini. "Kak Niko... besok ada acara, gak"
Temenin Lilia ke acara ulang tahun temen Lilia ya" Pleaseee!"
Dengan cemas aku menunggu jawabannya. Aku bahkan sampai memanjatkan doa-doa
dalam hati. Daaan... aku bagaikan melihat surga, saat kulihat Kak Niko tersenyum dan
mengangguk. 12 21 NEW MESSAGES RASANYA kepala gue kejatuhan barbel satu ton. Bayangin, lagi asyik-asyik mendengarkan
perdebatan Lilia dengan papanya, tiba-tiba gue kayak disambar geledek karena Lilia


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendaulat gue mengantar dia ke pesta ulang tahun temannya yang mengadakan Midnight
Party. Gue ulangi lagi... Pesta ulang tahun anak SMA! ABG! Mampuslah gue! Bisa jadi arca
lumutan gue nunggu di situ.
Tapiii... mukanya Lilia memelas banget... Gue gak tega! Kalau gue bilang "nggak", dapat
dipastikan besok bakal jadi malam minggu terburuk untuk dia. Soalnya ini kan ulang tahun
sahabatnya. Lilia malah sudah beli kado babi berpita itu, masa dia gak datang"
Lagi pula, tadi kan Lilia sudah berbaik hati gak ngusir gue waktu papanya datang.
Sebenarnya gue sempat tengsin lihat papa Lilia, makanya gue buru-buru pamit. Gue gak
menyangka, ternyata Lilia menahan tangan gue dan mengajak gue bergabung duduk di situ.
Terus terang, gue senang melihat kedekatan Lilia dengan papanya. Dari pembicaraan
mereka, jelas banget papa Lilia care sama anaknya, beda sama bokap gue. Makanya, kalau
gue sampai nolak, gue bakal merasa kejam aja sama si Lilia. Jadi gue gak punya pilihan lain.
Gue cuma bisa bilang "IYA"!
Lilia menunggu jawaban gue dengan wajah tegang. Akhirnya gue putuskan untuk tersenyum
lebih dulu sebelum mengangguk. (Biar kelihatan lebih rela). Yaaah... gak pa-palah sekalisekali menghadiri acara anak ABG. Hitung-hitung gue bernostalgia.
Ternyata dampak anggukan gue sangat besar. Lilia memekik saking senangnya. Wajah papa
Lilia langsung melunak. Ia mengangguk-angguk sambil memegang dagu,
mempertimbangkan jawaban. Dan pada detik berikutnya...
"Oke! Kalau sama Kak Niko... Papa setuju!"
"HOREEE!!! HIDUP PAPAAA!!!" Lilia langsung menghambur ke pelukan papanya. Papa Lilia
tampak serbasalah dan memeluk anaknya. Dan... as usual... pandangan orang-orang
berkumpul di meja kami. Setelah memeluk papanya, Lilia langsung memegang tangan gue dan mengayunayunkannya. "KAK NIKOOO!!! MAKASIIH BANGET YAAAH!"
Wajah Lilia benar-benar merona saking senangnya. Matanya berseri-seri. Langsung hilang
deh air mata yang tadinya siap jatuh dari pelupuk matanya. Dan gak tahu kenapa, gue yakin
sudah mengambil keputusan yang benar.
*** Papa Lilia, Lilia, dan gue berjalan sampai pelataran parkir lalu berpencar. Lilia melambailambai dengan semangat. "Dadaaah, Kak Niko! Sampai ketemu besok yaah!" teriaknya.
Gue tersenyum dan balas melambai. Lilia dan papanya berjalan menjauh dan menghilang di
tikungan. Gue melihat ke secarik kertas di tangan gue. Kertas itu baru saja dirobek dari buku Lilia
beberapa detik yang lalu. Gue membaca tulisan super-rapi di kertas itu. Angka-angka yang
berjejer. Nomor HP Lilia. Hehehe... jadi pengin ketawa. Akhirnya, gue dapat juga!
Tadi gue tiba-tiba teringat menanyakannya. Yaaah, walau papa Lilia sudah memberikan
kartu namanya yang berisi nomor telepon rumah dan alamat mereka, tapi gak ada salahnya
kan kalau gue tahu nomor HP Lilia juga" Biar lebih praktis aja. Nah, waktu gue menanyakan
nomor telepon Lilia, gue baru sadar HP gue mat?.
Melihat gue menepuk dahi, Lilia langsung dengan sigap membuka tas, mengambil sebuah
buku, dan merobek kertasnya.
"Udah, Kak! Kalau nunggu dihidupin lagi kan lama. Lilia tulis di kertas aja yaah!" katanya
menawarkan. Sialan si Lilia! Kesannya gue gaptek banget sampai gak bisa mengaktifkan HP sendiri"!
Gue masuk ke mobil. Lalu mengaktifkan HP. Nomor telepon dan alamat Lilia harus cepatcepat disimpan. Berdasarkan pengalaman, semua kertas yang ada di k
antong baju gue biasanya akan ikut tercuci dan hasilnya akan ikut putih bersih sama seperti baju-baju
tersebut. Begitu diaktifkan, langsung masuk berpuluh-puluh SMS ke HP gue. Gue mengernyit. 21 new
messages"! Laris banget ya gue"! Gue membuka SMS pertama.
From: Maryna Afternoon Brad... Eeeh... banyak yang tanya soal foto di e-mail.. aku malu banget!! Tapi mereka bilang kita
serasi, hehehe... My God! Gue benar-benar lupa soal foto itu!
From: Maryna Kok gak aktif HP-nya" Km gak marah, kan" Aku udah bilang ke org2, klo itu cm game. tp gak
ada yg percaya. mrk bilang, "kapan undangannya?" Duhh, maluu deh! XP
Hhhhhh... gue melengos kesal. Kalau gue baca SMS-nya, Gue gak yakin Maryna beneran
malu. Lagi pula, cowok ini suka sok mesra. Seenaknya aja manggil-manggil gue Brad. Jelasjelas nama gue Niko.
Masih ada enam SMS lagi dari Maryna, gue malas membacanya. Gue lihat SMS yang lain,
naah... dari Rangga. From: Rangga Hei... Kyanya bakal ada yang mengakhiri masa bujangnya stlh sekian lama. Huahahaha...
CONGRATZ, NIK! GILEE! MARYNA BOOO!!! Bruntung bgt dikau, Bung!!
Yee! Sama aja!!! Dasar! Hhhhh... gue menghela napas superdongkol. Kenapa emangnya
kalau Maryna" Oke, dia cantik! Dia seksi! Dia elegan! Dia memesona! Dia smart! Kalau
diibaratkan, dia itu bagai bidadari yang turun dari langit, tanpa cacat. Teman-teman gue
jelas sirik banget. Menurut mereka gue superberuntung.
Tapi kriteria mencari cewek bukan cuma itu, kan"!
Sejak gue kehilangan Nina, gue tahu banget bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang
gue cintai. Dan setelah itu gue mencari sosok Nina dalam diri banyak cewek. Sejak saat itu
gue mendapat julukan playboy. Gue adalah cowok yang ganti cewek dua minggu sekali. Gue
adalah cowok yang tega mendepak ceweknya begitu menemukan bahwa cewek itu gak
seperti yang gue harapkan. Dan gue adalah cowok yang bisa dengan mudah menjalin
hubungan dengan cewek lain di depan mantan-mantannya. Yaaah... itulah gue!!! Namun di
balik semua itu, sebenarnya gue hanya seorang cowok dengan gengsi setinggi langit yang
akhirnya menyesal. Gue mati-matian mencari sosok Nina pada diri orang lain sebagai cara
menebus kesalahan gue pada Nina. Gue cari cewek yang punya kulit cokelat eksotis seperti
kulit Nina. Gue cari cewek yang punya hidung semancung hidung Nina. Gue juga cari yang
punya tahi lalat di dekat mata seperti Nina. Tapi apa gunanya semua itu kalau mereka bukan
Nina" Mereka mirip, tapi toh dalamnya beda. Kecantikan itu cuma bungkus. Gue perlu
dalamnya. Dan... Maryna gak jauh beda dengan cewek-cewek itu. Dia cantik. Dia sempurna
seperti Nina, tapi dia tetap bukan Nina.
Gue buka SMS ke-10. From: Joko Nik! Gue minta maaf udah bikin lo bete td! Sumpah gak ada maksud! Gue cuma seneng,
akhirnya lo bisa lupain Nina! Maryna emang bukan Nina... But she's the best!
Wajah gue berangsur-angsur melunak. Gue tersenyum membaca SMS Joko. Gue menyesal
juga sudah membentak dia tadi. Padahal maksud Joko baik. Joko tahu semuanya tentang
gue. Gimana hancurnya gue waktu ditinggal Nina. Gimana gilanya gue mengejar bayangan
Nina. Gimana akhirnya gue berhenti mencari pacar dan memilih fokus mati-matian sama
kerjaan. Semua demi menghilangkan bayangan Nina dari hati dan pikiran gue.
Gue memencet tanda panah ke bawah, membaca SMS yang lain. Gue tercekat melihat nama
pengirimnya. Ya Tuhan! Sudah lama gue gak lihat nama ini. Cewek terakhir sekaligus
sahabat gue, Lola. From: Lola Hi Nik. Long time no see! Hmm, gue dah baca milis hr ini. sdikit shock!;P but its ok! Siapa pun
yg lo pilih, gue dukung! Semoga dia bisa menghapus bayang2 Nina di wajah lo. I'll always
pray for you. Take care! Hati gue mendadak hangat membaca sebaris SMS dari Lola. Yaaah... Lola sahabat gue. Satusatunya cewek yang benar-benar mengerti gue. Gue akhirnya minta dia jadi pacar karena
gue sudah bosan mengejar cewek yang mirip Nina. Gue butuh seseorang yang benar-benar
real, bukan cewek berbungkus kenangan lama gue yang pahit.
Lola menerima gue jadi cowoknya. Dia melakukan itu buat mengangkat gue kembali dari
keterpurukan. Lola yang kemudian mengajari gue melihat dunia dari sudut pandang
berbeda. Lola bilang walau orang yang kita cintai telah tiada, kita gak akan pernah
kehilangan kenangan mereka. Lola membantu gue untuk tetap survive dan melihat ke
depan. Saat keberangkatannya ke Amrik untuk operasi kanker yang kedua kalinya, Lola
memutuskan hubungannya dengan gue. Lola bilang, sebaiknya gue dan dia hanya berteman.
Kami lebih baik seperti itu. Setelah itu Lola gak kembali lagi. Dia sudah sembuh dan
memutuskan untuk bekerja dan tinggal di sana.
Yaah... Lola tahu, gue cuma butuh tempat bersandar sementara. Dia tahu hati gue gak
sepenuhnya buat dia. Gue akuin, Lola benar-benar cewek hebat. Padahal dia punya penyakit
yang begitu mengerikan. Di saat dia seharusnya jatuh, dia justru membantu gue berdiri. Gue
sangat salut sama Lola. Hmm... Siapa pun yang jadi cowok Lola sekarang, pasti sangat
beruntung karena bisa memenangkan hati cewek seperti Lola.
Gue memikirkan kata-kata untuk membalas SMS Lola.
Hi, La! Thx 4 everything! ur kindness & ur support really mean a lot for me. I really2
appreciate it! U are d best friend that I ever have. God bless u!
Hmmm... sweet, kan" Sebenarnya gue mau nulis itu, tapi berhubung gue malas nulis SMS
panjang-panjang, jadi gue nulis...
To: Lola Thx friend! GBU! Setelah melihat kata Delivered: Lola, gue kembali membuka SMS yang lain. JREENG! Gue
kaget! Ada sepuluh SMS dari operator yang mengatakan orang rumah menelepon gue
berkali-kali. Gila, gue benar-benar lupa. Gue janji pulang cepat ke Mbok Siti hari ini. Masalah
foto itu aja gue bisa tiba-tiba lupa, apalagi masalah rumah, gue benar-benar amnesia. Gue
langsung menyalakan mesin mobil dan siap-siap bikin rekor ngebut sekali lagi hari ini.
13 ULTAH KYRA KEPALAKU pusing, mataku berair, kakiku pegal bukan main. Hhhh! Capek banget! Sudah
hampir dua jam aku dan Sheila berputar-putar di kawasan ITC Kuningan dan Mal Ambasador
ini, tapi masih juga belum bisa memutuskan membeli baju apa.
Buat sebagian besar gadis remaja, belanja baju adalah hal paling menyenangkan. Tapi
buatku, ini hal paling membingungkan. Aku paling kesal kalau disuruh memilih baju karena
gak tahu harus memilih baju apa. Terus terang aku buta fashion, aku hanya tahu kaus dan
jins adalah pakaian terbaik yang pernah diciptakan.
Nah, sekarang aku lagi puyeng abis-abisan karena Kyra dengan semena-mena
mencantumkan dress code: glamorous bohemian untuk acara ulang tahunnya. Baju macam
apa itu" Ini juga susahnya kalau gak punya Mama. Aku gak punya orang yang bisa diajak konsultasi
memilih baju. Papa sudah pasti gak bisa diharapkan. Sheila juga cuma sampai batas
menemani saja, celaka dua belas kalau minta Sheila memilihkan baju. Soalnya Sheila suka
warna-warna norak kayak oranye ngejreng, merah tua, dan hijau muda yang bikin sakit
mata. Tapi Tuhan memang Maha Pengasih. Saat aku lagi celingak-celinguk kebingungan. Aku
bertemu dengan sosok yang sangat kukenal. Denise!
"Deniiiseee!" jeritku senang. Aku langsung berlari menghampirinya. Denise si seksi jelas
punya selera yang bagus soal pakaian. Kalau ada dia, urusan bajuku nanti malam pasti aman.
"Lo lagi cari baju juga buat ultah Kyra, ya" Sama dong. Gue bingung nih," ujarku langsung.
Tanpa basa-basi. "Gue udah punya baju dari minggu lalu, tauuu. Gue sekarang lagi nyari anting-anting dan
cincin yang sesuai dengan bajunya."
Uuughh! Perutku mulas seketika. Denise sudah tahu pakai baju apa, sedangkan aku bahkan
belum mengerti maksud dress code-nya. Akhirnya dengan menekan semua rasa malu aku
bertanya pada Denise. "Deen... bohemian itu apaan sih" Yang kristal-kristal itu yah?"
tanyaku. Mata Denise langsung terbelalak heran, mungkin baginya pertanyaanku terkesan tolol,
seperti menanyakan siapa nama presiden kita sekaran. Tapi untungnya Denise berbaik hati
mau memberitahu. Berdasarkan keterangan dari Denise, akhirnya aku tahu bohemian itu
berpakaian ala gipsi. Biasanya pakaian ini didominasi baju dengan kerut-kerut pada bagian
dada, rok lebar dengan motif etnik, celemek panggul, dan kalung-kalung panjang.
Dan gak hanya sampai di situ, Denise juga berbaik hati mau menemaniku belanja. "Gue gak
ada kerjaan di rumah!" katanya. Wuuiiih! Aku senang banget. Gak salah aku berteman
dengannya. Denise kadang memang agak kasar, tapi dia teman yang baik dan bisa
diandalkan. Akhirnya, setelah keluar-masuk dua puluh toko lebih, aku pasrah saja waktu Denise
menyuruhku masuk kamar pas untuk mencoba atasan pink dan rok hitam panjang
bertingkat. Baju itu berleher kotak, ada tali yang dililitkan pada leher, lalu terdapat kerutan
pada bagian garis leher dan lengannya. Sedangkan rok hitam yang disodorkan Denise
memiliki aksen sulaman dan payet pada bagian bawah. Aku mematut diri di cermin. Ya
bolehlah! Aku jadi kelihatan seperti gadis gipsi.
Waktu aku menunjukkannya pada Denise, ia langsung mengacungkan jempol. Aku
tersenyum sumringah. Aku memutuskan membeli baju dan rok itu, apalagi harganya masih
bisa dibilang wajar untuk kantong anak SMA.
Melihat uangku masih sisa, Denise menyarankanku membeli anting-anting gantung cokelat
kehitaman. Aku pun setuju. Dan untuk membalas kebaikan Denise dan upah jalan Sheila,
aku mentraktir mereka di Hoka-Hoka Bento. Denise tertawa senang. Sheila apalagi.
*** Jam dinding baru saja berdentang tujuh kali...
Aku duduk gelisah di ruang tamu. Sudah dua jam aku berusaha menghubungi Kak Niko, tapi
hasilnya nihil. Lima SMS-ku gak ada satu pun yang dibalas, teleponku juga gak diangkat.
"Duuuh, kok gak diangkat sih" Dia gak salah ngasih nomor, kan?" kataku kesal.
"Non Lilia gelisah amat sih. Memangnya dijemput jam berapa?" tanya Sheila gemas karena
aku baru saja mengecek ke depan gerbang untuk yang kesepuluh kalinya.
"Jam delapan!" "Ya ampun, Non. Masih satu jam lagi atuh! Sabaaar! Udah duduk yang rapi, ntar baju
barunya kusut loh." Aku menatap bajuku. Ini pertama kalinya aku dandan seniat ini. Aku juga tadi
menyempatkan diri mampir di salon dekat rumah, supaya rambutku di blow dan wajahku
diberi make-up tipis. Aku ingin tampil cantik hari ini. Hmmm... aku jadi membayangkan
reaksi Kyra. Mungkin dia bengong melihatku. Atau mungkin dia iri melihat baju pink yang
kupakai, Kyra kan maniak pink. Aku juga membayangkan wajah Niko, kira-kira dia akan
berkomentar apa terhadapku. Tapiii... jauh di lubuk hatiku, sebenarnya aku lebih ingin
menunjukkannya penampilanku pada Kak Niko.
Sekali lagi aku melirik ke luar. Tetap gak ada tanda-tanda mobil Kak Niko. Hhhhh... aku
menghela napas. Tenang! Tenang! Kak Niko itu orang dewasa, dia pasti tahu bagaimana
menepati janji. Aku yakin, pasti dia datang jam delapan nanti.
Satu jam berlalu... Jam dinding berdentang delapan kali. Jantungku berdetak cepat. Loh"! Kok aku jadi degdegan yah"! Aku lari ke kamar, mau berkaca sekali lagi. Memastikan bajuku masih rapi dan
makeup-ku masih melekat. Setelah lima menit di depan kaca, aku kembali duduk lagi di kursi. Aku melihat HP-ku
tergeletak di meja, gak ada juga balasan SMS dari Kak Niko.
Aku mencoba menghubunginya lagi. Tetap saja gak diangkat. Sebel!!! Dia ingat gak sih"
Jangan-jangan dia sedang pacaran, lagi" Aku tegang. Iya juga, sekarang kan malam minggu,
masa cowok seumuran dia gak punya pacar"
"Duuuh... kalau Kak Niko bener-bener lupa gimana nih?" Aku meringis.
Dua jam berlalu... Wajahku sudah berkeringat. Aku juga sudah minum air bergelas-gelas, jadi dapat dipastikan
lipstick pinkku sudah gak bersisa. Yang lebih sialnya lagi, bajuku basah kena tumpahan air
minum karena tadi terburu-buru lari keluar begitu mendengar suara klakson. Dan aku
langsung berdecak kesal begitu tahu itu klakson mobil tetanggaku.
Aku memelototi HP. Siapa tahu ada SMS. Sayangnya gak ada. Hhhhh... Gak perlu diragukan
lagi, pasti Kak Niko benar-benar lupa. UUGGHH!! AKU SEBEEEL BANGEEET!!!
HP-ku berbunyi. Kyra menelepon.
"Li... lo di mana sekarang" Katanya lo berangkat jam delapan dari rumah, kok belom
nyampe?" "Gue masih di rumah, Ra..."
"HAH"! DI RUMAH"!" Nada suara Kyra langsung naik satu oktaf. "TAPI LO DATENG KAN, LI?"
"Iya, gue dateng. Tapi gue belom dijemput..."
"Emangnya siapa sih yang jemput?"
"Emm... anak temen bokap gue. Kalau bukan dia, gue gak boleh. Soalnya Bokap percayanya
sama dia." "Trus gimana" Dia udah nyampe mana sekarang?"
"Gue gak tahu, Ra. HP-nya gak aktif."
"Ck! Sialan tu orang. Jangan-jangan lo dibohongin, Li. Udah, lo telepon bokap lo deh, bilang
anak temennya itu penipu kelas kakap, nyebelin abis," Kyra mulai maki-maki Kak Niko.
Padahal kenal aja nggak. Tapi kata-kata Kyra benar juga. "Iya deh, Ra. Gue telepon Bokap dulu ya! Daaah." Aku
mematikan hubungan telepon dan menghubungi nomor Papa.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.
HUAAA... Papa kumat lagi! HP-nya gak diaktifkan.
Tiga jam berlalu... Makeup-ku sudah hancur karena aku baru saja menangis. Aku sebal, marah, kecewa.
Sepatuku sudah tergeletak di lantai. Kakiku sudah kunaikkan ke bangku. Aku gak peduli lagi
dengan baju baruku yang sudah kusut. Aku sudah gak peduli dengan semuanya. Kak Niko
sudah menghancurkan kepercayaanku habis-habisan hari ini.
HP-ku berbunyi lagi. "Raa...," ujarku lemas.
"Gimana, Li" Belom dateng juga?" suara Kyra tampak cemas dan prihatin di seberang sana.
"Beloom... gue gak tahu, Ra. Bokap juga gak bisa dihubungin..."
Kyra menghela napas di seberang telepon. Aku tahu, dia sama bingungnya dengan aku.
"Raa... kalau gue gak jadi dateng gak pa-pa yaa..."
"Yah! Jangan dong, Li. Gini, lo tunggu aja di sana. Gue pikirin jalan keluar buat lo, oke"!"
seru Kyra yakin. "Ya udah deh. Thanks ya, Ra."
Aku menutup telepon dan bersandar pada sofa. Sheila menghampiriku.
"Non Lilia jangan sedih dong," katanya berusaha menghibur.
Aku hanya tersenyum kecil. Mataku kembali berkaca-kaca. Padahal aku percaya sama Kak
Niko. Kok dia tega ya bohongin aku"!
Untuk menenangkan hatiku, Sheila membuatkanku secangkir cappuccino, lalu


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan permen marshmallow rasa cokelat dari kulkas. "Makan ini aja, Non! Biar
semangat lagi!" katanya.
Aku mulai menguyah marsmallow. Hmmm... lembut! Aku sedikit terhibur. Dalam sekejap
aku sudah menghabiskan sepuluh bungkus.
Aku melirik jam di HP, 22.21. Sudah gak ada harapan lagi. Kak Niko pasti gak datang. Kyra
juga gak menelepon. Mungkin dia juga sudah gak tahu harus bagaimana.
"Sheil... Aku ngantuk! Aku tidur duluan ya," seruku lemah. Aku memungut sepatuku di lantai
dan membawanya ke kamar. Yaaah... lebih baik aku tidur dan melupakan semuanya.
TIIINNN!!! Aku terlonjak mendengar suara klakson mobil. Kutajamkan pendengaranku. Tak salah lagi.
Sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumahku. Dari bunyinya, jelas itu bukan klakson
mobil Papa. "Kayaknya dateng tuh, Non," ujar Sheila.
Tanpa buang-buang waktu lagi, aku langsung membuka gerendel kunci pintu depan dan
berlari ke arah luar. Aku melongokkan kepalaku keluar.
BENAR! Aku melihat sedan hitam parkir di depan rumah. Aku buru-buru membuka gerbang.
Akhirnya dia datang juga. Mungkin minus di mata Kak Niko sudah sedemikian parahnya
sehingga gak bisa membedakan jam delapan dan jam setengah sebelas.
Seseorang keluar dari mobil.
"Hai, Li..." Aku melongo. Niko! Yang datang Niko! BUKAN KAK NIKO!!!
Niko memerhatikanku dengan bingung. "Loh" Kok belom siap, Li" Ayo! Sudah jam setengah
sebelas loh. Tiup lilinnya kan jam dua belas."
Aku masih mematung. Masih gak memercayai apa yang kulihat. NIKO! Niko ada di depan
rumahku! Di depanku! Niko mengenakan kemeja putih dengan lis-lis hitam arah horizontal. Hatiku kembali
berdebar-debar. Gak bohong, Niko keren banget. Wangi parfumnya juga segar banget,
membuatku terhipnotis. "LILIAA! YUHUUU!" Niko menggerak-gerakkan tangannya di depan mukaku.
"Kok" Kok... Niko tahu ru... mahku?" kataku akhirnya.
"Kyra yang bilang," jawabnya sambil tersenyum. "Tadi gue lagi di jalan, trus Kyra nelpon gue,
katanya tolong jemput Lilia, dia ngirim alamat lengkap rumah lo lewat SMS. Jadi gue di sini
deh sekarang. Gimana" Jadi berangkat, kan?"
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar jeritan Sheila dari dalam rumah.
"NON! HP NON BUNYI... ADA TELEPON DARI BAPAKK!" teriaknya sambil berlari ke arahku,
menyerahkan HP. "Emm... tunggu sebentar ya, Nik."
Niko mengangguk. Aku mengambil HP yang bergetar-getar di tangan Sheila, berjalan agak
menjauh dari Niko. "Halo, Pa..." "Kamu di mana sekarang, Li?"
"Masih di rumah. Tau gak sih, Pa. Kak Niko gak jadi dateng, nyebelin banget!"
"Loh gimana sih dia?" Nada Papa terdengar gusar. "Tadi Pak Toddy juga datang sebentar,
trus pergi lagi. Gak bilang-bilang, lagi, mau ke mana. Papa terpaksa ngerjain semua laporan
sendirian." "Like father, like son," desisku.
"Ya udah, kalau gitu kamu tunggu Papa deh, Papa pulang sebentar lagi."
"Eeh, Pa. Gak usah! Papa kan masih capek!" tolakku. Yaah... Kapan lagi bisa semobil sama
Niko berdua" "Temenku dateng jemput aku, aku sama dia aja perginya. Papa jemput
pulangnya aja... Yaa, Paaa?"
"Siapa yang jemput kamu?" tanya Papa gak rela.
"Emm... Niko!" "Loh" Kata kamu dia gak dateng?"
"Papaaa... Itu kan Kak Niko. Ini namanya Niko juga, dia temennya Kyra juga kok."
"Tapi Papa kan gak kenal dia."
"Yaaah! Papaaa! Masa gak boleh sih?" rengekku. "Orangnya baik kok, Pa. Buktinya dia
sampai rela jemput aku ke sini."
Papa tampak menimbang-nimbang di seberang telepon. Aku melirik Niko. Dia sedang
bersiul-siul, tampak gak kesal sedikit pun disuruh menunggu.
"Kalau gitu, Papa mau bicara sama dia!"
Hah"! Yang benar saja! Aku pasti diketawain Niko. "Emm... Gak usahlah, Pa. Masa Papa gak
percaya sama Lilia siihh..."
"Papa percaya sama kamu, Li. Tapi Papa harus diyakinkan. Kalau sampai ada apa-apa sama
kamu, Papa tahu harus mencari cowok itu ke mana. Cepet, kasih HP kamu ke dia, Papa mau
ngomong." Duuuhh! Aku benar-benar pusing. Aaah... Bodo amat deh. "Nik... papaku mau ngomong
sama kamu. Mau, gak?"
Niko tersenyum dan mengambil HP dari tanganku. Aku menunggu di sebelahnya sambil
meremas-remas jariku. Bila satu saja kata kurang sopan keluar dari mulut Niko, maka
tamatlah sudah. Papa gak akan memberi izin.
Aku gak tahu apa yang dikatakan Papa pada Niko. Tapi yang pasti Niko menjawab telepon
Papa dengan sangat sopan. Aku sampai sangat takjub menyaksikannya.
"Li... Papa kamu mau bicara lagi nih..."
Dengan deg-degan aku menerima HP-ku. Ini dia penentunya. "Halo, Pa."
"Kalau sama dia boleh, Li. Papa percaya."
Wajahku langsung berbinar-binar dalam sekejap. "MAKASIIIH, PAPAAA!!!" jeritku senang.
"Have fun ya, Sayang. Nanti pulangnya Papa jemput," kata Papa lembut.
"Makasih ya, Pa. Lilia sayang banget sama Papa," ujarku gak kalah lembut. Lega dan bahagia
bercampur menjadi satu. *** Aku tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Niko sepanjang perjalanan di mobil.
Dia seperti tokoh pangeran dalam dongeng, datang pada waktu yang tepat. Aku harus
berterima kasih pada Kyra juga nih.
"Itu dia Liliaaa..." jerit Marsya saat aku dan Niko baru saja menapakkan kaki di New York
Caf?. Teman-teman yang lain pun menengok dan langsung melambai-lambai padaku.
"Cepet, Li. Lima belas menit lagi," ujar Niko. Aku mengangguk. Aku menghampiri Marsya
dan teman-teman yang lain. Niko mengikutiku dari belakang. "Kyra mana?" tanyaku.
"Di belakang lo, Sayang," tiba-tiba Kyra sudah berdiri di belakangku. Aku langsung berbalik
dan memeluknya. "Makasiiih yaa, Ra," kataku senang. Kalau bukan karena Kyra, Niko gak akan pernah datang
ke rumahku. "Ehhh... ini buat lo!" aku menyerahkan kadoku pada Kyra. Sedikit menyesal,
seharusnya aku membelikannya babi berpita yang besar itu.
"Waaaah... Thank you, Liii!" seru Kyra senang banget. "Eh, lo nyasar gak, Nik, ke tempat
Lilia?" tanya Kyra pada Niko.
"Weittts... Sori ya! Nggak dong!" Niko menjawab pertanyaan Kyra dengan pede. "Tanya saja
sama Lilia." Teman-temanku yang lain baru ngeh bahwa ternyata di belakangku ada cowok yang
superganteng. Dalam satu ketukan mereka semua menengok ke arahku dan Niko. Mereka
mulai kasak-kusuk. "Eh... eh... itu kan yang waktu itu di lapangan basket, ya?" celetuk Shamira.
"Bukan, sok tahu lo! Dia tuh yang waktu itu manggung di Pasar Festival. Dia tuh
keyboardistnya!" timpal Denise.
"Loh" Masa sih" Nggak, lagi. Dia kan tetangganya Kyra," sambung Ria.
Aku nyengir mendengar celoteh mereka. Sama-sama ngotot, padahal mereka kan
ngomongin orang yang sama.
*** Satu menit sebelum jam dua belas, kami sudah memegang perlengkapan masing-masing.
Ada yang membawa balon, ada juga yang memegang trompet. Marsya malah bawa
gendang. "TIGA... DUA... SATU..."
TENG!!! Jam di ruangan berbunyi kencang. Tapi dalam sekejap langsung terendam
lengkingan terompet, suara balon pecah, dan gendang Marsya. Kami semua berteriak,
"HAPPY BIRTHDAAAY, KYRAAA..."
Acara ulang tahun Kyra sangat meriah. Aku tertawa senang. Aku melirik Niko yang berdiri
gak jauh dariku. Dia juga tertawa senang.
Tiba-tiba HP-ku bergetar. Aku tersentak kaget. Aku cepat-cepat membukanya.
Kak Niko calling... Aku menghela napas dan memencet tombol NO. Sori, Kak. Aku lagi sibuk!
14 HUKUM KARMA JALANAN tampak lengang dan sepi. Gue membelokkan mobil memasuki kompleks
perumahan. Gue cek lagi SMS di HP gue. Blok AG no.18 a. Hmm... Pagar cokelat... Nah, itu
dia! TIIIN!!! Gue menunggu. Gak ada tanda-tanda orang keluar dari rumah itu.
TIIIN!!! Tetap gak ada. TIIIN!!! TIIIN!!! TIIIN!!!
Gue gak sabaran. Yup! Membuahkan hasil. Seorang cewek keluar dari rumah. Gue langsung
turun dari mobil. "Maaf, Mbak. Apa..."
"HEH! PUNYA SOPAN SANTUN GAK SIH, PAK!" TAN-TIN... TAN-TIN... BERISIK, TAHU! GAK
LIHAT SEKARANG JAM BERAPA"!"
Gile! Galak amat ni orang. Gue berjalan mendekat dan tersenyum. "Maaf ya, Mbak,
ngeganggu malem-malem. Lilia ada?"
"Yeee! Nyari Non Lilia kok jam segini"! Emangnya mo ngeronda... GAK ADA!"
Gue makin melongo. Buset deh! Majikan sama pembantu samaaa. Gak mempan sama
senyuman gue. Puyeng! Mereka makan apa sih di rumah"! Oke! Sabaaar! Coba tanya lagi.
"Emm... begini, Mbak. Saya Niko, saya mau jemput Lilia, Lilia ada?"
Mata cewek di depan gue membulat. "Ooooh... situ yang disebut-sebut Kak Niko itu. HEH!
DENGER YA!!! Non Lilia sampai nangis nunggu situ dateng tahu, gak" Situ punya jam gak sih"
Janji dateng jam delapan, kan" Sekarang jam berapa, hah" Situ harus tahu saya gak suka situ
bohongin Non Lilia. Dan asal tahu aja, gak cuma situ yang jemput Non Lilia. Tadi ada cowok
cakep yang jemput Non Lilia. Keren, ganteng, sopan lagi."
BLAAAASH! Punah sudah harapan gue. Gue melirik jam di HP, 23.40. Jelaslah Lilia sudah gak
ada. Gue aja yang gila, gak bisa pegang janji! Bego, pelupa, sembrono!
"Emm... Mbak... memangnya siapa yang jemput Lilia" Orangnya seperti apa ya?"
"Tinggi... trus putih... trus... apa ya... cakep... trus... pake kemeja putih. Oh ya, rambutnya
berdiri-diri." Pasti itu cowok yang kemarin gue lihat di Plaza Senayan barena Lilia. Sialan!
"Baik, Mbak. Saya permisi dulu kalau begitu. Selamat malam, maaf sudah mengganggu."
Sesaat kemudian gue sudah melaju meninggalkan rumah Lilia. Wajah gue mengeras, gue
genggam setir sekencang mungkin. Bego! Kenapa gue bisa lupa sama janji gue"
Maryna benar, gue harus menuai apa yang sudah gue tabur. Mau gak mau, gue jadi ingat
lagi sama semua yang sudah terjadi dalam 24 jam terakhir...
*** Gue pulang dari Plaza Senayan. Begitu tiba di depan pintu, Mbok Siti langsung nyamperin
gue. Wajahnya panik. "Mas Niko kenapa baru pulang sekarang" Gawat, Mas. Gawaaat!!!"
"Kenapa, Mbok?"
"Bapak bertengkar dengan Ibu. Bapak emosi dan memukul Ibu. Saya takut sekali melihatnya,
Mas." BLAAAR! Gue seperti disambar geledek. Bokap berani memukul Mama" Ini sudah benarbenar keterlaluan!!! Bokap boleh jadi manusia supercuek, tapi dia gak boleh jadi manusia
berdarah dingin yang tega memukul istrinya sendiri.
"Mama sekarang di mana, Mbok?"
"Ibu di kamar. Menangis terus seharian."
Gue menghela napas dan mengetuk pintu kamar Mama. "Ma! Ini Niko, Ma! Bukain dong!"
Gak ada jawaban dari dalam. Gue membuka pintu kamar. Mama duduk terisak-isak di
tempat tidur. Hati gue sakit melihat Mama seperti itu. "Ma... Kok Mama nangis?"
"Papa kamu gak ngerti Mama. Papa kamu jahat. Papa kamu tetap gak bisa menerima
Aurel..." Mama gak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Ia menangis tersedu-sedu.
Rasanya gue langsung lemas seketika. Ya Tuhan! Aurel! Ya, Aurel! Dialah penyebab semua
kekacauan ini. Gak! Bukan dia! Takdirlah yang membuat semuanya kacau seperti ini.
*** Aurel itu adik gue. Dia cantik seperti boneka Barbie. Dia lucu seperti malaikat. Aurel permata
kesayangan Papa dan Mama. Semua permintaan Aurel adalah daulat, kedua orangtua gue
pasti memenuhinya. Saat gue berusia lima tahun, Mama mengandung lagi. Sayangnya saat itu terjadi masalah.
Adik gue yang baru lahir itu langsung dipanggil Tuhan. Bahkan sebelum Papa dan Mama
sempat memberikan nama untuknya. Mereka berdua tentu saja sangat terpukul dengan hal
itu. Setelah itu tahun demi tahun lewat begitu saja. Mama kesulitan mengandung lagi. Gue
menyaksikan betapa orangtua gue merindukan kehadiran anak perempuan. Akhirnya, saat
gue berusia tiga belas tahun, lahirlah Aurel. Bayi perempuan yang cantik dan mungil itu
tentu saja membuat Papa dan Mama bahagia luar biasa.
Gue dan Aurel gak terlalu dekat, mungkin juga karena perbedaan umur kami yang jauh.
Dan... jujur aja, gue agak iri karena perhatian orangtua gue hanya tercurah pada Aurel. Oke,
mereka memang sayang pada gue, tapi hati mereka milik Aurel. Karena itu saat Bokap
menyarankan gue untuk bersekolah dan tinggal di rumah adiknya yang tinggal di Australia,
gue langsung mengangguk setuju. Gue memang sedih harus berpisah dengan orangtua. Tapi
gue gak sedih-sedih amat karena harus berpisah dengan Aurel.
Beberapa hari menjelang ulang tahun Aurel yang keempat, Aurel dan Mama sedang
bermain-main di taman. Tiba-tiba terdengar suara bel, ada tamu yang datang. Karena Mbok
Siti sedang ke pasar, Mama terpaksa lari ke depan dan menemui tamu itu. Mama menyuruh
Aurel menunggu di bangku taman. Tapi saat Mama kembali Aurel sudah gak ada. Mama
kebingungan. Mama berjalan ke sana kemari mencari Aurel. Dan Mama menjerit histeris
saat melihat Aurel sudah mengambang di kolam renang.
Gue yang baru pulang sekolah, terkejut melihat Oom dan Tante yang dengan terburu-buru
mengemas barang-barang gue. "Cepat pulang, Nik. Aurel kecelakaan!"
Aurel meninggal. Ia terpeleset karena hendak mengambil boneka Barbie-nya yang jatuh.
Mama menjerit-jerit tak terkendali. Papa sudah tentu menyalahkan Mama habis-habisan.
Istri gak becus-lah, ibu yang gak bertanggung jawab-lah.
Karena Aurel meninggal, gue kembali tinggal bersama orangtua gue. Gue pikir kehidupan
gue bakal kembali menyenangkan, tapi ternyata gue salah, sejak kematian Aurel, hubungan
Papa dan Mama mendingin. Papa tak henti-hentinya menyalahkan Mama. Mama yang
sudah merasa bersalah semakin merasa down dengan sikap Papa. Mama mulai menarik diri
dari lingkungan. Mama menolak pergi ke berbagai macam undangan yang datang. Kedua
orangtua gue jarang terlihat bersama lagi. Papa menghabiskan waktunya di kantor
sementara Mama banyak menghabiskan waktunya di kamar. Meskipun Mama berusaha
tabah, gue lumayan sering memergoki Mama menangis sambil menatap foto Aurel.
Gue berkali-kali menyarankan agar Mama berkonsultasi ke psikiater, tapi Mama selalu
menolak. "Kalian pikir Mama sudah gila, hah" Mama baik-baik saja! Mama hanya
mengenang kebersamaan Mama bersama Aurel."
Tentu saja, perkataan Mama didukung keluarganya. Keluarga Mama terhormat. Orang kaya
dan terpandang. Mereka tentu gak akan mengizinkan hal yang memalukan terjadi di
keluarga mereka. Dan dengan sombongnya mereka berkata Papa bisa punya perusahaan
sebesar sekarang, itu semua karena dukungan keuangan dari keluarga Mama.
Suasana yang sudah keruh makin hancur berantakan. Papa tentu saja tersinggung dengan
sikap arogan keluarga Mama. Papa berusaha membuktikan bahwa mereka salah. Papa matimatian membangun perusahaannya. Sejak itu Papa semakin jarang di rumah. Dan gue
semakin gak kenal Papa. Sampai suatu hari, gue berhenti memanggil dia Papa... Bokap lebih
pantas. Karena panggilan sehangat Papa hanya pantas untuk orang yang memiliki
kehangatan itu sendiri. Jelas Bokap gak memenuhi kriteria itu sekarang...
"Ma, jangan nangis lagi! Mama tidur ya. Niko mau minta Mbok Siti buatin susu buat Mama."
"Susu cokelat ya, Nik..."
"Mama bukannya suka susu putih?" tanya gue heran.
"Tapi Aurel suka susu cokelat..."
Gue merinding mendengar kata-kata nyokap barusan. Kenapa harus Aurel yang disebutsebut Mama. Peristiwa naas Aurel sudah bertahun-tahun berlalu, tapi kenapa peristiwa itu
tetap menghantui Mama. Oke, gue ngerti, kematian Nina juga membuat gue frustrasi. Gue
juga menyalahkan diri gue waktu itu. Tapi sekarang gue sudah bisa survive. Berjalannya
waktu membuat gue bisa melupakannya sedikit demi sedikit. Gue berusaha bangkit dari
kegelapan yang menyelimuti gue. Jadi, kenapa orangtua gue tetap gak bisa" Lagi pula,
mereka masih punya gue. Gue juga anak mereka. Gue juga berhak diperhatikan seperti
Aurel. Dan untuk mendapatkan perhatian itu, gue sudah berusaha mati-matian jadi anak
yang baik, pintar, dan sempurna di hadapan mereka. Apa yang gue lakukan masih belum
cukup" Dengan hati tersayat, gue melangkah keluar dari kamar Mama. Gue mencari Mbok Siti,
menyampaikan pesanan Mama, lalu masuk ke kamar.
Gue menghela napas seberat-beratnya. Untung gue cowok, jadi gue bisa tabah. Gue bisa
menahan diri supaya gak menangis. Dan yang pasti, gue bisa pasang tampang cool untuk
menutupi suasana hati gue.
*** Gue bangun siang. Jam di dinding berdentang dua belas kali. Saking capeknya, gue bahkan
gak tahu gue tidur jam berapa tadi malam.
Begitu keluar dari kamar, gue lihat Mbok Siti sedang mengetuk-ngetuk kamar Mama.
"Mama belum bangun, Mbok?" tanya gue seraya menghampirinya.
"I... iya, Mas... Saya bingung! Padahal saya mau nanya ke Ibu mau masak apa, tapi Ibu gak
juga membukakan pintu..."
Gue terperangah. Ini parah! Masa Mama belum bangun jam dua belas"
"Maa... Mamaaa..." gue menggantikan Mbok Siti mengetuk pintu.
Sunyi. Gak ada jawaban. Gue mendekatkan kuping gue ke daun pintu, siapa tahu Mama


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang menangis. "Maa... sudah siang! Mau masak apa siang ini?" tanya gue dengan intonasi lebih keras.
Gedoran gue pun makin bertenaga.
Tetap aja gak ada jawaban. Gue panik. "Papa mana sih, Mbok?"
"Bapak tadi nelpon, katanya mau tinggal di apartemen minggu ini."
"GAK USAH PULANG AJA SEKALIAN!" sambar gue kesal. "Maaa... Mamaaa..."
Gue frustrasi. "Mbok panggil Pak Min dan Mang Supri, suruh bawa obeng, gergaji atau apa
aja. Cepet!" Dalam dua menit, tukang kebun dan satpam datang membawa seperangkat perkakas berat.
"Bongkar!" perintah gue langsung.
Setelah mendengar bunyi-bunyian yang bikin ngilu, ensel pintu terbuka. Gue mengambil
ancang-ancang menjauh dan menabrakkan diri ke pintu itu. BRAAAK!!! Pintu berhasil
dibuka. Di dalam kamar, gue melihat Mama terkulai lemas di tempat tidur. Seperti
kesetanan, gue langsung menghampiri Mama.
Gue terkejut saat menyentuh tangan Mama. Badan Mama panas sekali. "Maaa... Mamaaa!"
Gue mengguncang-guncang pundak Mama, tapi Mama bergeming. Ini gawat!
Gue langsung cepat-cepat menggendong Mama. "To, buka gerbang! Pak Min, ambil kunci
mobil saya. Mbok, tolong jaga rumah dan hubungin Papa."
*** Tiga jam sudah gue mondar-mandir di depan ruang UGD. Penampilan gue awut-awutan.
Wajah gue panik. Rasanya gue mau meledak. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Mama, gue
gak bakal maafin Bokap. Sampai kapan dia tega menyiksa Mama dengan perasaan bersalah
kayak begini. Kejadian Aurel itu kecelakaan. Kenapa Bokap masih gak bisa terima sampai
sekarang" Kenapa Bokap segitu ngototnya Mama yang bersalah"
Seorang suster menghampiri gue. "Anda bisa masuk dan melihat kondisi..."
Sebelum suster itu menyelesaikan kalimatnya, gue langsung menghambur ke ruangan. Gue
lihat Mama masih belum sadarkan diri. Infus mengalir di tangannya. Wajah Mama pucat,
ada lingkaran hitam di bawah matanya. Rasanya darah gue mendidih. Mama sudah seperti
ini dan Bokap bisa gak peduli"!
Gue duduk di samping tempat tidur Mama dan menundukkan kepala dengan lunglai. Gue
genggam tangan Mama dengan sangat erat. Gue cium tangan Mama dengan penuh
perasaan. "Nik..." Gue kaget. Suara yang begitu pelan dan lemah memanggil nama gue. Gue mendongak.
Mama menatap gue dengan pandangan yang sangat menyayat hati.
"Maa... cepet sembuh, Ma...," ujar gue.
Mama tersenyum. Gue akui, Mama wanita paling cantik di dunia. Karena Mama adalah
wanita yang tetap tersenyum di tengah penderitaannya.
"Jagain Mama ya, Nik," katanya lagi. Dan, walau samar, gue merasa Mama juga
menggenggam tangan gue. Gue mengangguk sepenuh hati. "Pasti, Ma! Niko gak akan beranjak selangkah pun dari sini."
Setelah mendengar kata-kata gue, Mama tertidur lagi. Gue hanya bisa menghela napas dan
menunduk sedih. Sesudah itu, waktu seperti berlalu dengan cepat. Bokap datang tergopoh-gopoh. Gue
bertengkar hebat dengan Bokap di lorong rumah sakit. Mama dipindahkan ke ruang rawat.
Gue duduk di sebelah tempat tidur Mama dan melarang Bokap menyentuhnya. Bokap
berdiri di belakang gue lama sekali. Di wajahnya terlihat penyesalan mendalam. Akhirnya
dokter masuk ke ruangan, ia bilang kondisi Mama telah membaik. Gue dan Bokap samasama menghela napas lega.
Setelah dokter keluar, gue dan Bokap sama-sama terdiam, ikut terbius bersama-sama
dengan Mama dalam keheningan yang panjang. Sampai...
Pintu kamar Mama terbuka. Gue dan Bokap serentak menengok.
"Niko..." Gue terperanjat. Maryna" Ngapain dia ke sini" Gue melirik jam di kamar Mama. Jam
setengah sepuluh malam. "Malam, Oom. Maaf saya mengganggu. Saya dengar Tante masuk rumah sakit, jadi saya
datang menjenguk." Bokap terperangah melihat sosok bidadari di hadapannya. "Ooh... terima kasih! Gak... gak...
sama sekali gak mengganggu kok," ujarnya sambil menerima rangkaian bunga dari tangan
Maryna. Gue melihat rangkaian bunga yang dibawa Maryna. Sumpah, dia niat banget! Maryna
membawakan Mama anggrek bulan yang indah sekali. Anggrek itu bahkan dibentuk
sedemikian rupa sehingga melengkung berbentuk hati.
"Nik... Mama kamu pasti sembuh," ujar Maryna pelan sambil menepuk bahu gue. Gue
tersenyum padanya. Gak gue sangka, ternyata Maryna baik. Gue pikir dia cewek yang hanya
tahu cara bersenang-senang.
"Kok lo bisa tahu nyokap gue masuk rumah sakit?" tanya gue ramah pada Maryna.
"Dari tadi aku coba telepon kamu berkali-kali, tapi HP kamu gak diangkat," kata Maryna.
Eh" Gue kaget! Gue merogoh saku. Oh iya ya... Gue lupa bawa HP, saking paniknya tadi gue
benar-benar gak ingat. Emmm... tunggu! Kayaknya ada yang kelupaan. Apa ya"
"Aku akhirnya menelepon ke rumah kamu. Pembantu kamu bilang kamu ke rumah sakit
mengantar mama kamu. Ya sudah, aku menyusul ke sini deh. Padahal tadinya aku sedang
Golok Sakti 6 Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bara Diatas Singgasana 8
^