Pencarian

U 3

U Karya Donna Rosamayna Bagian 3


menghadiri acara ulang tahun keponakanku."
NAH! ULANG TAHUN! MY GOD! Gue ingat! Hari ini ulang tahun temannya Lilia! Dan gue ada
janji sama Lilia. "Kenapa, Nik?" tanya Maryna bingung melihat gue menepuk dahi keras-keras.
"Pa, aku kasih Papa satu kesempatan lagi. Tolong jaga Mama," ujar gue dengan panik. "Aku
mau pergi sebentar..."
Bokap terkejut. Maryna melongo. Tanpa menunggu jawaban mereka, gue langsung berlari
melesat ke luar ruangan. "Niko! Niko! Tunggu!" Maryna dengan stres mengejar gue ke tempat parkir. Gue benarbenar takjub melihat dia bisa mengejar gue dengan sepatu setinggi sembilan sentimeter itu.
"Sori, Ryn. Gue buru-buru..."
"Buru-buru ke mana?" Maryna tampak gak puas dengan jawaban gue.
"Gue ada janji. Sori. Gue harus pergi."
Gue membuka pintu mobil. Maryna bergegas jalan di sebelah gue dan menahannya. "Nik,
tunggu! Kamu gak bisa pergi gitu aja. Memangnya kamu ada janji apa" Sama siapa"
Memangnya sepenting apa sih orang yang punya janji dengan kamu itu?" nadanya tinggi
dan penuh emosi. Gue terperangah. Mana Maryna yang penuh perhatian dan lemah lembut di ruang rawat
tadi" "Denger ya, Ryn! Lo gak perlu tahu sama siapa, yang pasti gue ada janji sama dia, dan janji
itu membuat dia penting di mata gue!" ujar gue dingin.
"Oooh, gitu! Jadi buat kamu aku gak penting" Memangnya dia siapa sih" Cewek baru
kamu?" balas Maryna tetap dengan nada tinggi.
Gue mendelik. "Sori! Itu bukan urusan lo!"
Maryna tambah sengit mendengar jawaban gue. "Kok kamu tega sih ngomong gitu, Nik! Aku
kurang apa?" tanyanya penuh emosi. "Ciuman itu gak ada artinya buat kamu?"
God! Gue mengerti sekarang! Jadi ini tujuan dia datang ke sini" Ternyata bunga untuk
Mama cuma tameng. "Gue bahkan udah lupa!" jawab gue sadis.
Maryna terperangah. Matanya melotot menghujam mata gue. Dengan sekali sentak, dia
menampar wajah gue sekeras-kerasnya. Gue menatap mata Maryna dengan berani.
"Ternyata semua orang bener. Kamu gak punya hati! Selama ini aku gak mau percaya, Nik.
Aku yakin orang-orang salah menilai kamu. Tapi hari ini aku bisa lihat, aku mungkin orang
paling bego sedunia karena mau percaya sama cowok gak berperasaan macam kamu," ujar
Maryna dengan wajah penuh amarah.
Gue menghela napas. Gue tahu sudah berlaku kejam pada Maryna. Padahal siapa tahu niat
dia datang ke sini memang baik" Siapa yang gak kesal sudah capek-capek datang dan malah
ditinggal" Wajar dia marah. Tapi, ciuman itu memang gak punya arti buat gue. Buktinya gue
benar-benar lupa. Gue mengulurkan tangan menyentuh tangan Maryna, menunjukkan penyesalan. Tapi
Maryna mengibaskan tangan gue dengan tegas. "Kamu akan dapat balasannya, Nik! Karma
itu hukum alam!" ujarnya dingin. Lalu dia berbalik pergi meninggalkan gue.
*** Kata-kata Maryna benar! Gue dapat balasannya hari ini juga. Sudah capek-capek gue ngebut
ke rumah, mengambil HP, dan ngebut lagi ke rumah Lilia. Ternyata Lilia sudah pergi. Sialnya,
sama cowok ABG itu! Yang lebih sial lagi, gue gak punya hak buat marah, karena memang
gue yang salah. Gue yang dengan bodohnya lupa menjemput Lilia jam delapan tadi.
Gue tercekat. Kalau begitu, apa janji gue dengan Lilia juga gak punya arti" Karena gue juga
lupa tadi... *** Minggu pagi Mama tersadar dari tidurnya. Gue dan Bokap menghela napas lega. Dari air
mukanya, gue dan Bokap yakin Mama sudah sehat. Dokter pun mengatakan nanti malam
Mama sudah bisa pulang. Memang sih, Mama jadi superpendiam dan gak menjawab semua
pertanyaan Bokap, tapi gue pikir itu wajar. Pasti karena Mama masih terpukul gara-gara
perilaku Bokap waktu itu.
Gue mencoba bicara dengan Bokap dan minta pengertiannya. Untungnya Bokap bisa
mengerti. Sepertinya setelah melihat Mama terbujur sakit di rumah sakit, Bokap sadar dia
sudah kehilangan Aurel dan kalau gak hati-hati, dia juga bisa kehilangan istrinya.
Yaaaaah... satu masalah keluarga selesai, tapi masih ada satu masalah lagi yang harus gue
selesaikan. 15 KEHEBOHAN MASSAL AKU sebel setengah mati sama Kak Niko. Janji orang dewasa sama sekali gak bisa dipercaya.
Karena itu, untuk membuktikan bahwa aku gak main-main, aku sengaja gak menjawab
telepon darinya. Delapan missed-call di HP-ku kupandang dengan tatapan puas. Aku juga
mewanti-wanti supaya bilang aku gak ada kalau Kak Niko menelepon ke rumah.
"Aku paling benci sama orang yang gak bisa pegang janjinya sendiri," ucapku berkali-kali di
depan cermin. Dan untuk pertama kalinya, Papa mendukung niatku. Sepertinya Papa juga masih dendam
sama bosnya. Papa jadi ikut-ikutan memaki-maki Kak Niko di rumah. Aku senang sekali
karena Papa ada di pihakku.
Akhirnya Kak Niko menyerah. Gak ada lagi telepon darinya.
Seharusnya aku senang karena semua berjalan dengan baik. Tapi... satu jam... dua jam... tiga
jam berlalu... kenapa justru aku yang jadi kacau begini" Setelah telepon-telepon yang tak
kujawab itu berhenti, aku jadi belingsatan sendiri. Aku berharap Kak Niko menelepon lagi.
Aku menunggu seperti orang gila, dan akibatnya: aku baru bisa tidur saat jam menunjukkan
pukul dua dini hari demi menunggu telepon darinya.
*** Pagi ini, dengan mata yang masih lima watt, aku mengumpulkan segenap tenaga yang ada
untuk menyeret langkahku memasuki gerbang sekolah. Hari ini pasti akan menjadi hari yang
panjang dan melelahkan. Saat istirahat, kami berkumpul di meja Shamira. Pertama kalinya
dalam sejarah, gak ada seorang pun yang berminat makan siang hari ini. Bu Endah sukses
membuat semua anak mual. Beliau menciptakan tragedi pembunuhan besar-besaran hari
ini. Jam pelajaran ketiga, kami disuruh berkumpul di lab Biologi. Bu Endah mendemonstrasikan
dampak polusi industri. Lalu kami dusuruh membuat lima kelompok, masing-masing
kelompok harus membawa sepuluh ekor ikan. Setelah itu kami harus menyiapkan gelas
berisi 500 ml air sebanyak lima buah. Gelas pertama diisi detergen lima gram, gelas kedua
sepuluh gram, begitu seterusnya sampai gelas terakhir berisi dua puluh lima gram. Daann...
saat paling mengerikan dimulai... kami harus mencemplungkan satu ikan ke masing-masing
gelas. Sumpah! Aku merinding menyaksikannya. Ini pembunuhan tersadis yang pernah
kulihat. Bagaimana aku melihat ikan-ikan itu berontak begitu badan mereka masuk ke air
berdetergen itu. Bagaimana insangnya langsung terbuka lebar dan mengeluarkan darah.
Bagaimana dalam hitungan kurang dari sepuluh detik, ikan itu sudah dalam posisi terbalik
dan tak bergerak lagi. Dampaknya: Shamira menjerit histeris, aku menangis, Kyra muntah, Marsya memaki-maki
orang yang menciptakan detergen. ("Sadis! Kejam! Gak berperikeikanan! Bayangkan kalau
ini terjadi di laut! Berapa juta ikan yang jadi korban"!"). Adis dengan ngaconya malah
meramal nasib ikan-ikan itu. Yang pasti, gak seorang pun di antara kami sanggup menyentuh
bekal makan siang saat bel istirahat berbunyi.
"Bayangin! Itu ikan ampe loncat keluar dari gelas. Matanya terbelalak."
"Shamiraaa! Udah dooong, jangan dibahas... ntar gue muntah lagi," jerit Kyra kesal.
"Iya nih, Shamira norak! Semua ikan matanya emang belok, kali," tambah Denise. "Udah!
Ganti topik! Gimana kalau ngomongin ultah Kyra kemarin aja"!"
"Aaah... Denise paling mau cerita kalau dia kenal sama anak kuliahan yang namanya Peter di
ultah Kyra kemarin. Ya, kaaan" Ampe bosen gue duduk seharian sama dia hari ini.
Ngomongin Peter melulu," sambung Marsya.
"Yeeee! Biarin! Kan seru kenalan sama anak kuliahan..."
"Iihh! Siapa bilang" Eeh, denger ya, Nona Manis! Cowok kuliahan itu biasanya udah banyak
makan asam garam, tahuuu! Mereka lebih nekat," Shamira langsung memberikan wejangan.
"Buat mereka, kita ini anak kecil yang bisa dimainin."
"Itu kan kata lo. Lagian, masih mending sama anak kuliahan! Daripada sama oom-oom?"
Denise membela diri. Aku tersedak mendengar kata-kata Denise. Batuk-batuk.
"Eh, Li. Lo gak pa-pa, kan?" Kyra langsung memberiku air. Aku minum dengan cepat.
"Lo lagi ngapain sih, Li" Dari tadi diem aja megangin HP, kok tiba-tiba keselek gitu?" tanya
Shamira heran. Aku langsung salah tingkah ditanya begitu. "Nggak! Lagi mo nulis SMS..."
Melihat wajahku yang memerah, Denise seperti mendapat angin. Dia langsung cengarcengir meledekku. "Cieeee... cieee... gue tahu... Lilia pasti lagi SMS-an sama cowok yang
kemarin yaaah" Emmm... siapa namanya... NIKO?"
"Bukan! Bukan kok!"
"Trus siapa?" Marsya mengintip ke HP-ku. "CIEEEH! Bukan Niko siiihh... TAPIII... KAK
NIKO!!!" Marsya ketawa ngakak. "Itu mah sama aja..."
"Gile! Pake 'Kak' loh! Padahal kan cuma beda setahun. Wuaaah, romantis bangeeet!" Denise
mendesah norak. "Persiapan dooong! Jadi waktu married nanti gak kagok lagiii...," Shamira makin melantur.
"BUKAAAN!" jeritku frustrasi. "Ini orang yang lain lagi, TAUUU..."
DSIIIIING! Suasana sunyi seketika. Semua bengong dan mengerutkan dahi mendengar katakataku barusan. Duh, gawat! Keceplosan!
"He" Ada Niko yang lain lagi?"
"Gileee, Lilia gerak cepat loh. Dalam semalam dapat dua Niko."
"Li, lo jangan maruk. Bagi satu dong!"
Semuanya tertawa mendengar celoteh Denise, Shamira, dan Marsya. Mukaku sudah seperti
kepiting rebus. "Udah! Udah! Kasiaaan dong sama Lilia...," Kyra menengahi. "Eh, tapi... Kak Niko itu siapa,
li" Cerita dooong!"
"Iya nih, Lilia! Punya cerita tentang cowok jangan disimpen sendiri!"
Aku makin salah tingkah. Mereka gak peduli. Marsya malah mengomando anak-anak untuk
mendesakku. Dengan kompak mereka langsung menyebut kata "Cerita! Cerita! Cerita!"
berkali-kali sambil menggebrak-gebrak meja Shamira.
Karena kegigihan plus ancaman mereka, terpaksa aku menceritakan semuanya. Awal
pertemuanku dengan Kak Niko, pertemuan tak sengaja kami di Starbucks, dan Kak Niko yang
setuju mengantarku ke pesta ultah Kyra, lalu lupa dan membiarkan aku menunggu selama
tiga jam... daaan... isi SMS terakhirnya...
Inilah pendapat mereka. "Gila! Itu sih lo udah dikibulin sama dia, Li..."
"Tuh! Bener kan kata gue! Orang kuliahan aja gak bisa dipercaya, apalagi orang kantoran.
Udah gitu, Lilia kan polos orangnya, jadi makin gampang deh dibego-begoin."
"Eh, Shamira! Kok lo jadi nyalahin Lilia" Kalau lo di posisi dia, lo juga pasti ketipu sama
cowok kantoran itu!"
"BETUL! BETUL! Kyra betul banget! Sialan tu orang! Mentang-mentang kita masih SMA dia
seenaknya aja obral janji."
"Dan liat deh SMS dari dia, 'Li, aku mau jelasin semuanya ke kamu' Huuu... BASI!"
Aku melongo. Dari semua komentar tadi, dapat dipastikan mereka dengan suara bulat
menentang Kak Niko. "Jadi gue mesti gimana dong" SMS-nya gue bales apa?" tanyaku akhirnya.
"Cuekin aja!" kata Marsya.
"Jangan! Bales, trus bilang 'elo juga gak angkat telepon gue berkali-kali, so kita impas'
gimana?" usul Shamira.
"Jangan! Gue punya ide lebih brilian lagi." Denise mengerlingkan matanya. "Gue mau tahu
sejauh apa dia serius minta maaf sama lo, Li..."
Semuanya langsung pasang tampang penasaran. Denise meminta HP-ku dan mulai mengetik
SMS balasan. Aku kebat-kebit menunggu hasilnya. Takut. Bingung. Stres.
"Taaraaa!!!" Denise berteriak bangga. Semua langsung merubunginya, pengin ikut baca.
To: Kak Niko Oke! Kita ngomong... TAPIII... kalau Kak Niko bawa satu truk bunga di depan sekolahku!
Aku terbelalak, yang lain juga.
"Hahaha... gila banget lo, Den! Ini mah sama aja gak dikasih kesempatan." Marsya tertawa
terpingkal-pingkal. "Bagus! Biar dia tahu Lilia bukan cewek SMU sembarangan." Kyra tampak setuju.
"Gimana pendapat lo, Li" Oke, kan?"
Aku bingung. "Emm... gimana yaah" Jangan deh, Den! Ntar gue dimarahin sama bokap
karena gak sopan sama orang yang lebih tua," ujarku sambil merebut HP itu dari tangan
Denise, hendak menghapus SMS yang ditulisnya.
"Yaaah... Udah gue kirim, Li. Sori."
Aku langsung merosot di bangkuku.
Duh! Gimana nih"! Terus terang, setelah semalaman tersiksa menunggu telepon Kak Niko,
penantianku terbayar karena beberapa menit yang lalu dia SMS aku. Aku senang karena dia
masih berusaha menghubungiku siang ini. Dan saking senangnya, aku sampai bingung mau
menulis apa. Tapi yang pasti, aku mau menulis SMS kalau sudah gak marah lagi. Dan
sekarang, Denise telah mengacaukan semuanya.
Bel tanda masuk berbunyi. Semua anak mengerang. Dengan langkah malas, aku kembali ke
tempat dudukku. *** Jam demi jam berjalan lambat sekali...
Bu Sofie dengan berapi-api menerangkan kepada kami bagaimana menyusun kalimat yang
benar berdasarkan SPOK (Subjek-Predikat-Objek-Keterangan). Beliau juga menekankan agar
kami selalu menggunakan EYD setiap membuat tulisan. Waaah, Bu Sofie belum pernah baca
teenlit nih! Aku duduk dengan gelisah. Mati-matian aku memfokuskan mata pada whiteboard di depan.
Tapi lagi-lagi mataku melirik ke kolong meja. Entah untuk ke berapa kalinya aku mengambil
HP, menatap layarnya, lalu kembali memasukkannya ke kolong sambil menghela napas
kecewa karena gak menemukan tulisan 1 new message received di situ. Sudah dua jam
berlalu, tapi Kak Niko belum membalas SMS yang ditulis Denise.
Dilihat dari sisi mana pun, gak mungkin Kak Niko mau mengabulkan permintaan di SMS itu.
Pertama: Dia gak tahu sekolahku. Kedua: Dia gak mungkin repot-repot mencari tahu aku
sekolah di mana. Ketiga: Dia gak mungkin bolos kerja. Keempat: Yang paling utama! Mana
mungkin dia rela menyiapkan bunga satu truk. Memangnya aku siapa" Miss Universe"
Tapii... setidaknya dia bisa balas, kan" Bilang "Gila" kek! Atau bilang "Hahaha..." kek...
Atau... terserah deh bilang apa. Asal gak dicuekin kayak gini. Uuughhh sebel! Dasar cowok!
*** Bel pulang berbunyi, anak-anak langsung berhamburan keluar kelas dengan kebahagiaan
mutlak. Untuk membunuh kejenuhan seharian ini, teman-temanku sepakat nonton film
Harry Potter and the Goblet of Fire di Plaza Senayan. Dan karena merasa bersalah, Denise
berjanji mentraktirku nonton.
"Tunggu bentar yaaa... Gue mau ke kamar mandi dulu...," ujarku sambil menitipkan tas pada
Kyra. Saat keluar kamar mandi, aku masih menyempatkan diri mengecek HP. Aku berjanji ini yang
terakhir kalinya. Sambil menutup mata dan berdoa sebentar, aku menatap layar HP-ku
dengan penuh harap. Dan...
Tetap gak ada balasan SMS.
Whatever deh! Habis sudah kesabaranku. Ngapain juga aku mikirin cowok yang sama sekali
gak peduli kalau aku mikirin dia.
Dengan penuh tekad aku berjalan menuju gerbang sekolah. Teman-temanku pasti sudah gak
sabar. Eh! Aku mengerutkan dahi, dari kejauhan aku melihat teman-temanku berdiri
berjejer di depan gerbang. Mereka mengelilingi seorang cowok bersepeda motor. Hmmm...
aku tahu! Pasti cowok itu ganteng dan sekarang sedang menjadi korbannya si Marsya.
Aku berlari menghampiri teman-temanku. "Eh" Eh" Lagi pada ngapain sih?" tanyaku basabasi.
"Lilia..." Satu kata dari suara bariton itu langsung sukses membuatku menjadi pusat perhatian.
Semua anak menengok ke arahku. Aku melongo. Anak-anak langsung kasak-kusuk.
"Jadi ini yang namanya Kak Niko"!" seru Kyra. Dari kata-kata dan ekspresinya, jelas kalau dia
sangat gak senang. "Oom-oomnya ganteng juga! Tapi tampangnya flamboyan banget... pasti playboy!" bisik
Denise. "Iye! Keliatannya sih alim, pake kacamata kayak Clark Kent, tapi gue yakin pasti setipe sama
Tom Cruise yang dengan gampang berpaling dari Nicole Kidman dan Penelope Cruz demi
daun muda," Marsya ikut memanasi.
"Lagi pula, kayaknya gue gak asing deh liat tampangnya. Gue pernah ketemu sama dia
sebelumnya, tapi di mana yaaa"!" Shamira malah sok berd?j?vu.
Aku jadi gak enak hati. Bohong banget kalau Kak Niko gak mendengar komentar temantemanku barusan. Gaya mereka sih emang bisik-bisik, tapi dengan suara nyaring.
"Susah juga ya nyari sekolah kamu, Li... agak masuk-masuk ke perumahan begini. Trus,
macet banget di depan sana." Kak Niko tampaknya gak peduli dengan sindiran-sindiran
kejam teman-temanku, dia malah mencerocos mengomentari sekolahku. "Hmmm... sekolah
khusus cewek ternyata..."
"Kok... kok... bisa tahu sekolahku?" tanyaku gugup.
Kak Niko tersenyum. "Begitu terima SMS kamu, aku langsung nyari papa kamu, nanya ke
dia. Aku juga udah jelasin kenapa aku nggak bisa datang kemarin. Setelah itu aku langsung
ke sini deh." Aku terperangah, benar-benar gak menyangka dia datang ke sini. Aku gak menyangka dia
menanyakan alamat sekolah ini ke Papa. Aku gak menyangka dia rela bolos dari kantornya.
"Waktu hari Sabtu, mamaku sakit, Li. Jadi, aku harus jagain dia di rumah sakit sampai
malam. Trus HP-ku ketinggalan di rumah, jadi gak tahu kalau ada dua belas missed-call dan
lima SMS dari kamu. Maaf! Saking paniknya aku emang sempat lupa ada janji sama kamu,
tapi aku dateng kok ke rumah kamu. Sempat ketemu pembantu kamu dan dimarah-marahin
sama dia..." Aku masih terperangah. Setelah beberapa detik, barulah aku dapat menguasai diriku lagi.
Aku pun tersenyum. Melihat reaksiku, Kyra langsung memelototiku dan Shamira berbisik "dia benar-benar
gombal!" dengan sangat keras. Tapi aku gak peduli kali ini. Aku percaya kok sama apa yang
Kak Niko bilang.

U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu percaya kan, Li?" tanya Kak Niko lagi.
Aku mengangguk tanpa keraguan. Kak Niko mengulurkan tangannya.
PLAAK!!! Denise memukul tangan Kak Niko. Matanya melotot galak.
"Heh, Oom! Lilia emang terlalu baik, tapi kita nggak! Denger yaa! Kita gak suka Oom ngibulin
Lilia." Teman-temanku yang lain mengangguk-angguk setuju. Aku melongo.
"Lagi pula, Oom tuh pikun atau pura-pura bego"! Mana bunga satu truknya?" semprot
Denise. Aku langsung menyikutnya. Denise cuek.
Kak Niko memandang Denise dan tersenyum. "Kan udah dibilang, macet! Saya naik motor
tadi ke sini," ujarnya sambil menunjuk motor Tiger hitamnya.
Daan... TOOOTTT! TOOOOTTT!
Suara klakson yang memekakkan telinga mampir ke kuping kami. Benar-benar kayak suara
kapal di pelabuhan. Kami serentak menengok. Kerumunan orang di depan gerbang langsung
menggumamkan kata "Wuaaaaaaah!" secara serentak.
Truk penuh bunga muncul dari perempatan jalan.
Mata Denise hampir keluar saking terkejutnya. Kyra mangap saking gak percaya, dan
Shamira hampir pingsan saking terharu. Sedangkan aku... sama seperti isi truk itu!
Berbunga-bunga! Kak Niko menatapku lekat-lekat. Dia tersenyum.
"Jadi... Kita baikan yaa?" katanya sambil mengulurkan jari kelingkingnya di hadapanku.
Tanpa pikir dua kali aku pun mengaitkan jari kelingkingku di jarinya. Teman-temanku
bengong. Denise masih mencoba untuk berkata-kata, tapi mulutnya gak mengeluarkan
suara. 16 PETUAH-PETUAH MENYEBALKAN
FIUUUH!!! Lega banget. Akhirnya gue berhasil meluruskan kesalahpahaman ini. Setelah
peristiwa "truk bunga", gue sama Lilia baikan lagi.
Hehehe... Memang sih, habis itu gue diprotes juga sama teman-temannya Lilia karena isi
truk itu lebih banyak batu batanya daripada bunganya. But, yang penting penampakan luar,
kan" Lagi pula, bunganya cukup banyak kok! Bisa buat dibagi-bagikan.
Bayangin! Jam dua siang, di depan SMA yang isinya semua cewek itu, gue dan Lilia
mengadakan aksi bagi-bagi bunga. Semua murid di sekolah Lilia kebagian bunga. Malah
kepala sekolah dengan pedenya minta dibuatkan buket bunga (emangnya gue tukang
bunga"). Hari itu, gue mendapat julukan Mr. Valentine dari orang-orang di situ. (Bleeeh!
Norak banget! Gue rela menukar "gelar kehormatan" itu dengan siapa pun yang bersedia.)
Untungnya setelah pengorbanan gue yang sebegitu rupa, kayaknya teman-teman Lilia mulai
bisa menerima kehadiran gue. Banyak teman Lilia yang mengakui bahwa gue (ehm!)
ganteng berat. Teman Lilia, Denise, mengakui bahwa gue tipe cowok yang kata-katanya bisa
dipegang. Sedangkan teman Lilia, Shamira, gak henti-hentinya menatap gue lekat-lekat dan
untuk kesepuluh kalinya bilang, "Kayaknya kita udah pernah ketemu deh!"
Tapi... ternyata masih ada satu makhluk yang belum bisa percaya 100% sama gue. Yup! Si
Kyra. Mungkin dia dendam sama gue yang nyaris membuat Lilia gak jadi datang ke acaranya.
Buktinya: saat gue berinisiatif mengantar Lilia pulang, Kyra gak mengizinkan. Kyra bilang Lilia
sudah terikat janji-sakral-dan-suci untuk nomat bareng mereka. Kyra juga bilang Lilia anakkesayangan-Papa-yang-sangat-dimanjakan bisa masuk angin kalau gue bonceng motor.
Yaaaah... biar bagaimanapun dia sahabatnya Lilia. Sooo, demi kesopanan, gue mencoba
tersenyum ramah pada Kyra. Padahal sebenarnya gue mangkel berat. Apalagi cewek
berbando pink itu gak henti-hentinya memanggil gue "Oom".
*** Sebulan berlalu cepat... "Woy, Nik! Ngapain lo cengar-cengir!"
Teriakan Joko bikin gue hampir terjungkal dari kursi. Gue cepat-cepat menyembunyikan
buku kecil yang lagi gue pegang.
"Lagi ngapain lo?" Joko mengerutkan dahi melihat aksi aneh gue.
"Gak... Cuma iseng! Eh, kapan lo balik" Kirain udah betah di Batan!" ujar gue mengalihkan
pembicaraan. Sudah sebulan Joko dinas di Batam, mengaudit salah satu perusahaan
properti di sana. "Gila lo! Ya baliklah, gue kan punya bini di sini. Eh, ngomong-ngomong, sejak kapan lo doyan
Spongebob?" Damn! Ternyata gue terlambat menyembunyikannya. Joko keburu melihat gambar depan
buku gue. "Nah! Bener kan dugaan gue! Lo kenapa sih, Nik" Kok jadi error begini?"
"Kenapa gimana?" tanya gue sok cuek.
"Oke, gue jujur aja sama lo! Gue dateng khusus ke ruangan ini, karena gue mendengar
selentingan aneh tentang lo... dan bener! Lihat aja, orang lagi istirahat siang, lo malah
ngedekem disini kayak jamur. Lo lagi nulis apa di buku Spongebob itu?"
"Jadwal." "Jadwal?" "Iya! Jadwal! Kata lainnya agenda! Rencana! Planning!"
"Woy! Zaman udah canggih begini, lo masih nyatet di kertas" Apa gunanya reminder di HP
lo?" Gue melengos. Gak usah dibilangin gue juga tahu.
Oke, Joko pasti bingung karena setahu dia gue gak bakal mau nulis di buku catatan kecil
supernorak ini. Biasanya buku kayak begini akan mendarat di tong sampah gue. Tapiii...
sekarang lain! Buku ini hadiah Lilia.
Lilia bilang sebagai tanda terima kasih karena waktu itu gue rela nemenin dia keliling-keliling
di planetarium, bantuin dia nyari informasi buat tugas makalah Tata Surya-nya.
Alasan Lilia memberi gue buku notes karena katanya gue pikun dan pelupa. Jadi, dia nyuruh
gue mencatat semua kegiatan gue setiap harinya di buku kecil itu. Gue juga sempat protes
sama dia dan bilang di HP gue ada fasilitas reminder-nya. Tapi lagi-lagi Lilia ngotot. Dia
bilang gue terlalu pikun sehingga bisa meninggalkan HP.
"Yeee! Ditanya malah ngelamun! Lu kenapa sih, Nik?"
Gue menghela napas, tersadar dari lamunan gue, "Udah deh, Jok! Gue lagi sumpek nih... lo
ke mana kek!" "Enak aja ngusir! Woi! Gue dateng ke sini mau interogasi lo. Nik, gue denger dari Ardi, lo
waktu itu bolos kantor siang-siang dan minjem motor dia. Dan gue denger dari sekretaris di
bawah, lo juga belingsatan nyari alamat toko bunga di Tebet, bener?"
Gile! Gue heran sama si Joko. Meskipun cowok, tapi radanya cepat banget mendengarkan
gosip kayak cewek. "Gue pikir, Maryna sang bidadari udah berhasil meluluhlantakkan hati lo yang beku, tapi
ternyata waktu gue tanya langsung ke orangnya, 'motor dan bunga dari Niko buat apaan"'
Eeeh... dia malah ngomel-ngomel trus banting teleponnya..."
Gue melongo. "Ngapain lo nelpon-nelpon Maryna segala?" Joko itu kadang ngerti gue
banget, tapi kadang terlalu nyampurin urusan gue dan bikin gue superjengkel.
"Yaaah... gue pikir pasti ada hubungannya sama dia..."
"Heh! Denger ya! Ini gak ada hubungannya sama Maryna, tahu!"
"Haaaah" Sumpah lo"! Trus siapa?"
Gue menghela napas. Bagusnya dia tahu atau nggak ya"
"Aaaahhhh... Rese lo, Nik! Masa gak cerita sama gue, gue kan sahabat lo! Gue tahu semuamuanya tentang elo. Come on, Nik!"
Yaaah! Kalau dia udah begini, gue terpaksa cerita deh! Kalau gak, dia gak bakalan minggat
dari meja gue sampai besok pagi. Dia orang pertama yang tahu soal ini.
"Jadi... lo... lo..." Joko gak mampu meneruskan kata-katanya. Setengah jam mendengar
cerita gue, cukup untuk membuat dia shock.
"Iya!" "Lo... lo.. serius, Nik?"
"Yaah! Yang pasti, gue suka sama dia. Buat lebih lanjut gue belom mikirin..."
Mata Joko melotot. "LU GILA YA, NIK" KASIAN BANGET TU CEWEK KALAU SAMPAI JADI
KORBAN LU YANG SELANJUTNYA"!"
Gue kaget mendengar Joko langsung meledak kayak gitu. "Korban apaan" Enak aja!
Memangnya gue burung pemangsa" Lagi pula, gue sama Lilia kan gak jadian!!"
"Heh! Justru karena itu, Nik. Denger kata-kata gue, tolong hentikan perbuatan gila lo! Udah
cukup lo ngancurin puluhan hati cewek... tapi jangan dia, Nik! Dia masih SMA, masih kecil,
gak tahu apa-apa..."
"Lo kok ngomong gitu sih, Jok! Gue juga tahu dia masih kecil, makanya gue gak bawa
hubungan ini ke mana-mana dulu.."
"Nah! Lo sendiri tahu, kalau hubungan lo sama dia gak tahu mau ke mana. Jadi kenapa lo
jalanin" Heh, Nik" Emangnya Maryna belom cukup buat lo" Dia kurang apa" Cantik, iya!
Pinter, jelas! Seksi, gak usah ditanya! Baek, gue yakin dia baek! Trus apa yang kurang?"
"Gak usah nyebut-nyebut Maryna bisa, kan" Emangnya kenapa kalau gue gak suka sama
dia" Dia tuh emang cantik, bahkan terlalu cantik sehingga jadi kayak boneka pajangan, cuma
bisa dipamerin!" Joko tampak geram. Dia mencengkeram kerah kemeja gue. "Sombong banget sih lo! Cowokcowok ngantre pengin dapetin cewek hebat kayak dia! Lo sendiri kan tahu, dia cari duit pake
otaknya bukan badannya! Lo tahu berapa penghasilan dia sebulan sebagai creative
designer" Dua belas juta!"
"Heh! Kok lo jadi belain dia sih" Lo kan sohib gue. Seharusnya lo lebih ngerti gue daripada
Maryna. Lo dicekokin apa sama dia, hah?" maki gue sambil menepis tangan Joko dari
kemeja gue. Dan... Blaak! Pintu terbuka. Karyawan-karyawan lain yang baru saja selesai makan siang
masuk. Mereka bengong lihat gue dan Joko saling melotot dengan geram.
"Susah ngomong sama lo, Nik! Otak lo udah mampet," dengus Joko lalu melangkah pergi.
Tapi sepersekian detik kemudian, dia berbalik lagi. "Buat lo! Undangan married Rangga!"
ujarnya sambil melempar silinder biru tua sepanjang kira-kira 30 cm ke meja gue.
Joko berjalan keluar dan membanting pintu. Semua mata memandangi kepergiannya lalu
menatap gue, tapi tak lama setelahnya mereka sudah kembali sibuk pada pekerjaan masingmasing.
Gue menghela napas superjengkel dan membanting tubuh di kursi. Baru kali ini gue dan
Joko bertengkar hebat. Gue heran! Kok Joko sampai sedemikian emosinya"! Baaah! Males gue mikirin! Mending
gue buka undangannya si Rangga aja!
God has made everything beautiful in His perfect timing..
RANGGA ROLANDO PAKPAHAN (RANGGA) & ANGELIQUE FANRISHE (ANGEL) Dengan penuh kerendahan hati, kami mengundang Bapak/Ibu/Saudara/i dalam resepsi
pernikahan putra-putri kami:
Tanggal : 17 Desember 2005
Waktu : 19.00 WIB s/d selesai
Tempat : Grand Ballroom Hotel Menara Peninsula
Gue menemukan kertas kecil terselip di undangan itu, dan membacanya.
Hi, Nik! Gue juga undang Maryna, lo dateng sama dia yee!
Sincerely, Rangga ps. Remember! Habis gue, giliran lo!
Gue makin gondok. Kenapa sih semua orang pada nyuruh gue sama Maryna"!
Tiba-tiba HP gue berbunyi. Ada SMS masuk.
Halooow Kak Nikooo! Lg sibuk yaaah" Hehehe... cuma mo ngasih tahu, makalah Tata Surya-ku dpt nilai 85. Thanks berat yaah!
Buku notesnya dah digunain, kan"! Awas klo nggak!!!
Gue tersenyum. Tanpa melihat nama pengirimnya, gue tahu SMS ini dari siapa. Tiba-tiba
sebuah ide melintas di kepala gue. Gue langsung menulis SMS balasan secepat kilat, rekor
tercepat gue dalam menulis SMS balasan buat cewek.
17 DUNIA ORANG DEWASA AKU melongo memandangi HP-ku. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, inilah rekor
tercepat Kak Niko membalas SMS-ku.
Oke, aku punya satu sifat jelek: Aku paling benci kalau SMS-ku gak dibalas. Aku akan
mengutuk-ngutuk orang yang tega gak membalas SMS-ku apa pun alasannya.
Dan setelah lebih dari sebulan mengenal Kak Niko, aku tahu pasti Kak Niko itu paling malas
membalas SMS. Kalaupun dibalas pasti luamaaa dan cuma satu-dua kata, seperti, "Oke!"
(waktu aku nanya "bisa gak nganter aku ke planetarium besok?" Itu juga dibalasnya tiga jam
kemudian) atau "Baik! Kamu?" (waktu aku berbasa-basi menanyakan kabarnya, kantornya,
dan segala hal tentang dia sepanjang dua halaman SMS. Ini lebih kejam, aku kirimnya pagipagi, dia baru balas waktu pulang kantor). Sedangkan sisa SMS-ku yang lain gak ada
balasannya. From: Kak Niko Halo Lilia... Wah, bagus bgt bs dpt 85! Mungkin guru km tahu kalau km udah susah payah
(bahkan ikut membuat aku susah payah, hehe...) Oya, makasih notesnya! Sesuai janji, aku
nulis planning d situ. Btw, km pernah bilang spy aku juga sungkan minta bantuan km, kan"
Nah, skrg aku tagih! Hari sabtu tgl 17 temenin aku ke pesta pernikahan temenku Rangga,
ya" Aku bengong, tumben SMS Kak Niko superpanjang. Waktu aku-penasaran dan kurang
kerjaan-mengeceknya, ternyata menghabiskan tiga halaman SMS. (WOW!) Kata-kata
terakhirnya bikin aku melotot. TEMENIN KE PESTA PERNIKAHAN TEMAN"
"Li..." Apa yang harus kupakai ke acara pernikahan" Ke ulang tahun Kyra saja sudah ribet setengah
mati begitu. "LILIIIAAAA!!!"
HAH! Aku tersentak. Di sebelahku Kyra melotot kesal.
"Eh... iya... kenapa, Ra?"
"Lo gak denger dari tadi gue udah manggil lo?"
Aku menggeleng polos. Aku terlalu sibuk membaca SMS Kak Niko.
Kyra cengar-cengir menatapku. "Gue punya dua berita buat lo, yang satu bagus, yang satu
lagi lebih bagus. Mau yang mana?"
He" Aku melongo. Kyra ada-ada aja. Ngapain milih kalau dua-duanya bagus. "Yang bagus
dulu deh!" Kyra menyodorkan HP-nya ke depan mataku. "Barusan Niko SMS gue, dia bilang..." Kyra
sengaja menarik napas dan mengerlingkan matanya, "salam buat lo!"
Aku memandang HP di tangan Kyra dengan tatapan datar. "Oohh! Trus yang lebih bagus
apa?" Kyra terbelalak sewot melihat reaksiku. "LOH" Lo kok biasa aja sih dengernya" Li, denger
yaa! Gue ulangin... Niko ngirim salam buat lo. BUAT LO! SALAM DARI NIKO! Masa lo gak
kaget siiih" Masa gak salam balik sih?"
Aku juga bingung sendiri. Iya, ya! Kok aku gak kaget mendengarnya" Biasanya kan Kyra yang
selalu menyampaikan salamku kepada Niko dan memaksa cowok itu untuk bilang, "Salam
balik!" "Iya yah! Salam balik deh, Ra!" ujarku akhirnya.
"Nah, gitu dooong! Oke, sekarang berita yang lebih bagus. Lo udah siap?"
Aku mengernyit, bingung campur penasaran. "Siap! Siap kok! Apaan?"
Kyra tampak menimbang-nimbang kata-katanya. "Hmmm... sebenarnya ini rahasia,Li. Tapi
gue bocorin aja deh ke elo. Tadi Niko nanya ke gue. Dia bilang lo ada waktu gak Sabtu
depan, dia mau ngajak lo jalan..."
Aku membelalakkan mata. Serius" Sabtu" Sabtu itu malam minggu, kan" Berarti ini... ini...
ajakan kencan" "Gue rasa dia naksir lo deh! Cieee, Liliaaa... Hmmm, gimana" Lo bisa kan, Li?" tanya Kyra
penuh semangat. Aku terdiam. Iyalah! Aku sangat kaget mendengarnya. Aku gak percaya. Aku heran. Aku
takjub. Tapi... kenapa aku gak bahagia mendengarnya"
Kyra menatapku dengan ekspresi gak sabaran. "Li... bengongnya jangan lama-lama, kaliii...
Ntar rejeki lo keburu dipatok ayam. Gimana" Gue bilang oke aja yaah?"
"Emangnya kapan sih, Ra?" tanyaku tak bersemangat. Ini jelas bukan aku. Aku yang dulu
pasti sampai loncat-loncat kegirangan. Gak peduli ada banjir bandang, gempa bumi delapan
skala Richter, atau angin taufan... asal Niko mengajak aku kencan, pasti aku akan
mengangguk dan mengatakan.
"Minggu inilah... sekarang kan tanggal empat belas... berarti Sabtu itu..." Kyra melihat
kalender di HP-nya. "Tanggal tujus belas. Iya! Tujuh belas Desember..."
Aku terdiam dan langsung cepat-cepat membuka SMS dari Kak Niko, pesta pernikahan
temannya kan tanggal tujuh belas Desember"
"Gimana, Li?" "Emm..." Ya Tuhan! Ada apa sih dengan diriku" Ini kan bukan pilihan sulit! Sudah pasti
kencan sama Niko jauh lebih menyenangkan daripada pergi ke resepsi pernikahan orang
yang gak aku kenal. Tapi... sudah semenit berlalu dan aku tetap gak dapat memberikan
jawaban. "Li... kok bengong sih" Lo kaget banget ya sampai gak bisa ngomong gitu" Ya udah, gak papa... gue aja yang bilang ke Niko kalau lo bisa..." Kyra langsung mengetik SMS balasan.
Tanganku refleks menahannya.
"Jangan, Ra..."
Kyra tersenyum. "Naaah, gitu dooong! Lo pasti mau bilang sendiri ke Niko, kan?" Kyra
pasang tampang meledek. "Oke deh! Gue gak campur tangan..."
Aku menggeleng. Bukan! Bukan! Ya Tuhan! Aku kenapa sih"! "Emm... Ra, Sori... Kayaknya
gue gak bisa..." Kyra melotot mendengar perkataanku barusan. Dia memegang keningku. "Li... Lo gak sakit,
kan?" Aku kembali menggeleng. Jelas aku bohong! Menolak kencan dengan Niko" Sudah pasti aku
sakit! Aku pasti sakit parah!
"Jadi kenapa lo gak bisa" Emangnya lo ada acara apa hari itu sama bokap lo" Gak bisa
dimundurin lagi" Niko loh, Li... Niko! Lo kan udah lama suka sama dia... dan sekarang,
kesempatan itu dateng... bokap lo pasti bisa ngertilah!"
Aku terdiam, gak memahami diriku sendiri. Seharusnya aku tergila-gila sama Niko. Dia
perfect di mataku. Tapi... kenapa hari ini dia tampak gak penting lagi"
"Gak ada acara sama Papa siiih, tapi gue... gue..." Aku diam, tak mampu melanjutkan katakata.
Kyra mengangkat sebelah alisnya. Itu tanda kalau dia menginginkan penjelasan selengkaplengkapnya dariku.


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena gak tahu bagaimana harus menjelaskannya, aku memutuskan menunjukkan SMS Kak
Niko kepada Kyra. Kyra membaca SMS itu dan melotot.
"Hah" Gue gak salah denger, Li. Lo mau pergi sama dia ke pesta pernikahan?"
Aku ragu-ragu sejenak, tapi kemudian kuputuskan mengangguk.
Kyra langsung menjerit histeris. Dia syok banget. "HAH" Lo gila ya, Li" Ngapain lo pergi sama
dia?" Shamira, Denise, Adis, dan Marsya yang lagi ngegosip serempak menengok. Mereka berjalan
mendekati aku dan Kyra. "Emm..." Aku makin gak enak hati. "Sori, Ra... tapi masalahnya, gue udah janji sama dia. Dia
udah bantu gue waktu itu... sekarang gantian dia minta gue..."
"Kalau gitu dia jahat dong" Masa ngasih bantuan pamrih gitu sih! Li, terus terang gue gak
suka lo deket-deket dia. Gue gak percaya sama oom-oom itu. Inget, Li! Dia itu orang
kantoran, jauuuh lebih tua daripada lo. Dunia elo dan dunia dia jelas beda banget!"
"Tapi, Ra... bukan gitu... Dia baik kok. Buktinya dia mau nemenin gue ke planetarium waktu
itu. Dia gak seperti yang lo kira, Ra. Lagi pula, dia itu Kak Niko, bukan oom-oom."
Kyra benar-benar melotot sekarang. Pasti dia heran karena aku belain Kak Niko. "Jadi lo suka
sama dia?" tanya Kyra dengan nada dingin dan tegas.
Aku bingung. Suka" Apa benar aku suka" Yang aku tahu, aku nyaman bila sedang bersama
Kak Niko, aku senang dengan semua perhatian dan caranya memperlakukanku. Saat
bersama Kak Niko, aku suka lupa dia itu cowok kantoran dan aku anak SMA. Aku yakin ini
lebih dari suka. "Li... lo suka sama dia, ya?" Kyra bertanya lagi. "Li... Please! Buka mata lo lebar-lebar. Apa
yang lo lihat dari oom-oom kayak dia" Gue yakin dia pasti playboy. Dia pasti udah banyak
pengalaman dengan cewek. Gue gak mau dia nyakitin lo..."
Aku menatap Kyra. Dari tatapannya aku tahu Kyra bermaksud baik. Aku tahu dia
mengkhawatirkanku. Tapi Kyra salah! Kak Niko gak seperti yang dia bilang. "Ra, lo gak boleh
menilai orang kayak gitu... Lo kan gak tahu apa-apa tentang Kak Niko..."
Kyra tampak berang mendengar perkataanku. "Oke! Gue emang gak tahu apa-apa soal Kak
Niko! Tapi lo sendiri emangnya tahu banyak tentang dia" Coba sebutin, apa yang lo tahu
tentang dia?" Aku tertegun. Apa yang kutahu"! Aku hanya tahu dia anak bos Papa dan dia jauh lebih tua
daripada aku. Selain itu apa" Aku bahkan gak tahu nama panjangnya, aku gak tahu dia kerja
di mana, aku juga gak kenal teman-temannya.
"Nah! Lo juga gak tahu kan, Li?" ujar Kyra sambil menatapku tajam.
"Woi! Woi! Kalian berdua kenapa sih?" Denise memecahkan suasana yang mulai memanas
itu. Aku dan Kyra sama-sama menengok. Aku hendak menjawab pertanyaan Denise, tapi Kyra
langsung memotongnya. "Tuh! Si Lilia! Masa dia lebih memilih pergi sama oom-oom berkacamata itu sih!" kata Kyra
sewot. "Hah" Lo jadian sama dia, Li?" tanya Denise.
Makin kacau! "Nggaaak! Gue cuma mau nemenin dia pergi ke acara pernikahan."
"Kalau lo bukan siapa-siapa dia, ngapain lo kerajinan nemenin dia ke sana" Li, lo hati-hati
deh! Lo kan belum kenal-kenal banget sama dia!" Marsya ikut menimpali.
"Iya, Li! Oke, dia emang keren banget dengan bunga satu truknya itu... tapi itu bukti kalau
dia emang berjiwa playboy! Dia bisa melakukan apa aja untuk menaklukkan hati cewek...
setelah dia bosen, baru ditinggal..." Shamira juga gak memihakku.
Aku menatap Adis. Tinggal dia yang belum berkomentar. Terus terang, aku mengharapkan
kata-kata dukungan darinya.
Adis menatapku, wajahnya tampak bingung. "Aneh! Kok melenceng dari ramalan, ya?"
*** Perdebatan alot dengan teman-temanku benar-benar gak membuahkan hasil. Intinya
mereka melarangk u pergi. Bahkan Denise yang waktu itu mengakui Kak Niko bisa dipercaya,
juga ikut terkontaminasi kata-kata Kyra dan Shamira. Adis malah menakut-nakutiku akan
terjadi hal yang gak mengenakkan kalau aku tetap nekat pergi.
Ini pertama kalinya pikiranku dan Kyra gak sejalan. Biasanya kami selalu kompak dalam
segala hal. Biasanya apa yang baik di mataku, pasti baik juga di mata Kyra. Tapi... Ini juga
pertama kalinya aku tetap ngotot. Aku ingin membuktikan perkataan Kyra salah.
*** "Tadi siang Niko menelepon Papa..." Papa membuka pembicaraan saat kami sedang makan
malam bersama. "Dia minta izin mengajakmu ke acara pernikahan temannya besok."
"Boleh kan, Pa?" tanyaku.
"Emmm..." Papa berpikir sejenak. Aku menunggunya dengan harap-harap cemas.
"Tapi kamu mau janji satu hal sama Papa... Gimana?" tanya Papa.
"Apa?" tanyaku dengan hati berdebar. "Janji apa" Asal Papa gak meminta ulangan bahasa
Inggris dapat 100, aku akan berusaha memenuhinya."
"Hari Minggu, kamu ikut makan siang sama Papa!"
Aku terperangah. Perjanjian menyenangkan macam apa ini" Itu sih gak usah ditanya! Kalau
diajak makan, siapa yang nolak sih"! "Sip! Aku pasti ikut!" jawabku cepat. Takut Papa
berubah pikiran. Papa hanya tersenyum sekilas mendengar jawabanku lalu kembali konsen dengan makanan
di piringnya. Aku benar-benar lega karena Papa gak berniat mempersulitku. Tapi aku juga gak menyadari,
kalau Papa hari ini agak lain. Sepertinya ia sangat sibuk dengan pikirannya sendiri.
*** Hari Sabtu pun tiba... Aku sudah siap dari pukul enam. Aku mengenakan sackdress selutut dari bahan satin silk
biru muda. Kerahnya menutupi leher, terdapat bentuk tadah air liur di bagian dada dengan
aksen renda pada sambungannya. Baju ini sama persis dengan model baju Kyra. Aku
menconteknya. Bedanya, baju Kyra berwarna pink.
Tepat pukul setengah tujuh, mobil VW Beetle Kak Niko parkir di depan rumahku. Kak Niko
keluar dari mobil. Ia mengenakan kemeja putih, dasi, dan setelah jas hitam. Aku dan Sheila
terpana. "Papa kamu mana, Li?"
Eh" Aku tersadar. Memalukan! Aku sempat mematung karena terkagum-kagum melihat
penampilan Kak Niko barusan.
"Papa pergi. Ada acara," kataku. Oh ya, ngomong-ngomong Papa ada acara apa" Kok aku
lupa nanya tadi"! Kak Niko menatapku lalu tersenyum. "Kamu cantik!"
Napasku sesak seketika. Ini pertama kalinya ada cowok yang memujiku cantik selain Papa.
Sheila cengar-cengir di sampingku.
"Makasih!" kata Sheila.
Eh" Aku jadi bingung sendiri. Kata-kata tadi buat siapa sih" Aku" Sheila" Atau kami berdua"
Aku masih sibuk berpikir saat Kak Niko membuka pintu mobilnya untukku. "Silakan, Tuan
Putri..." Mukaku merona lagi. Benar kata Kyra, Kak Niko sangat pintar memikat hati cewek. Jadi ini
ya rasanya diperlakukan dengan manis oleh cowok"
*** Kak Niko mengisi buku tamu dan memasukkan amplop ke kotak yang disediakan. Salah satu
cewek penerima tamu menyerahkan cenderamata berupa boneka beruang "Forever Friend"
munggil ke Kak Niko. Cewek itu tersenyum supermanis. Kak Niko balas tersenyum. Cewekcewek penerima tamu yang lain bisik-bisik.
"Nih, Li! Buat kamu!" Kak Niko menyerahkan boneka itu untukku.
Aku langsung tersenyum sumringah. "Makasih!" Gak bohong! Bonekanya lucu banget.
Boneka itu dalam posisi duduk dan membawa hati berwarna merah di tangan kirinya. Di
tengah-tengah hati itu ada tulisan Rangga & Angel.
Kak Niko menggandeng tangan kananku, rasanya darahku berdesir. Sesaat sebelum kami
memasuki ruangan, aku sempat mendengar celoteh para penerima tamu.
"Gile! Tu orang sister's complex kali yaa... Masa malam minggu begini datang ke acara
kawinan sama adeknya sih..."
"Ck... ck... ck... Beruntung banget tuh cewek, punya kakak ganteng kayak gitu."
"Ya udah! Ntar kita deketin aja adiknya, trus tanya, kakanya udah punya pacar atau
belum..." DEG! Aku refleks memeriksa penampilanku. Apa aku terlihat seperti anak-anak banget"
Dalam ruangan ternyata lebih parah lagi. Begitu aku dan Kak Niko masuk, aku merasakan
semua cewek di ruangan itu memandang kami. Oke, tepatnya sih memandang Kak Niko.
Dan mereka bisik-bisik. Aku gak mendengar mereka bisik-bisik apa, tapi dari cara mereka
memandang Kak Niko (dan aku sesudahnya), sepertinya mereka memiliki harapan yang
sama dengan para penerima tamu di depan.
Kak Niko sepertinya gak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia tetap
menggandeng tanganku. Terus terang, genggaman tangannya itulah yang membuatku dapat
bertahan berdiri. Kak Niko mengajakku menyalami pengantin. Aku mengangguk.
Setelah mengantre dalam rombongan, akhirnya kami tiba juga di depan kedua mempelai.
"Wuaaah! Lo kalau didandanin ternayat cakep juga ya, Ga!" Kak Niko langsung tertawa lebar
saat menyalami pengantin laki-laki. Mereka berpelukan akrab.
Pengantin Pria tersenyum tak kalah lebar. "Thank you, Nik..." Dia menepuk-nepuk pundak
Kak Niko lalu celingukan. "Lho" Kok lo sendiri" Maryna mana?"
Maryna" Siapa itu Maryna"!
Kak Niko langsung menarikku mendekat. "Kenalin, Lilia!"
Aku tersenyum dengan rikuh sambil menyalami teman Kak Niko itu. Rangga juga tersenyum,
tapi wajahnya tampak bingung. Untungnya antrean di belakang kami masih panjang, jadi
Rangga gak bisa menanyakan apa-apa. Aku dan Kak Niko beralih dari Rangga dan menyalami
pengantin wanita. (Waaah, pengantin wanitanya cantik banget! Aku ingin memakai baju
seperti itu bila menikah nanti!)
"Kita makan sebentar ya, Li! Habis itu kita pulang. Kamu gak bosen, kan?" Kak Niko berbisik
di kupingku. Suaranya begitu lembut. Jantungku seperti melompat.
Tapi sebelum aku menjawab, sekelompok orang menghampiri Kak Niko.
"Hai, Nik!" ujar mereka. Mereka bergantian bersalaman dengan Kak Niko. Tanpa basa-basi
mereka bertanya, "Sama siapa nih?"
Seperti tadi, Kak Niko tersenyum. "Kenalin, ini Lilia!"
Mereka semua menyalamiku. Ada yang tertawa tertahan, ada yang cengar-cengir, ada yang
pasang tampang jutek, sisanya memandang dengan penuh tanda tanya. Terlukis jelas di jidat
mereka, mereka sebenarnya penasaran siapa aku.
Kak Niko ternyata pintar membaca situasi. Dia mengatakan pada mereka semua kami ingin
mengantre makanan di tempat kambing guling. Namun, saat kami berhasil meloloskan diri
dari kerumunan, pada arah jam dua belas, aku melihat seorang cewek datang di samping
pelaminan aku sempat terdiam, lupa dengan syair lagu yang dinyanyikannya.
Waktu seperti bergerak lambat. Cewek itu berjalan dengan sangat anggun, menyerap
perhatian seluruh orang yang ada di ruangan ini. Rambut hitam bergelombangnya luar biasa
indah. Wajahnya gak usah ditanya, cantik banget. Kulitnya halus mulus seperti porselen. Dia
mengenakan baju hitam model halter yang melekat sempurna pada tubuhnya. Sepatu
haknya yang bagus dan kelihatan mahal berpadu serasi dengan kaki jenjangnya.
Aku benar-benar terperangah. Kalau aku masih berumur empat tahun, mungkin aku
menyangkan dia boneka Barbie yang hidup.
Cewek itu berdiri di hadapan Kak Niko. Tercium wangi parfumnya yang sangat enak dan
lembut. "Halo, Nik!" katanya ramah sambil mencium pipi Kak Niko. Aku langsung menegang. Enak
aja dia cium-cium! "Ryn, kenalin... Lilia."
Cewek itu menatapku sekarang. Pandangan ramahnya berubah tajam. Ia menatapku dengan
pandangan menyelidik. Aku mengulurkan tangan dan mencoba tersenyum. Di depan boneka
Barbie ini aku merasa seperti itik buruk rupa.
"Maryna!" ujarnya sambil tersenyum dan menyalamiku.
Hatiku mencelos. Ini Maryna yang disebut-sebut Rangga tadi. Siapa dia" Ya Tuhan, kenapa
tiba-tiba tanganku terasa dingin.
Aku terkejut, tangan Kak Niko merangkulku dengan hangat. "Sori... Kami mau makan dulu,
Ryn. Permisi." Setelah itu, setiap stan makanan yang aku dan Kak Niko datangi mendadak ramai. Orang
sepertinya ingin berdiri sedekat mungkin dengan kami berdua. Mereka berusaha
menyelidiki, menguping pembicaraan kami, dan yang paling menyebalkan, ada yang
sempat-sempatnya memotret aku dan Kak Niko dengan kamera HP.
Aku benar-benar rikuh. Aku gak suka suasana ini. Kak Niko sepertinya bisa membaca
perasaanku. "Kita pulang, yuk," katanya. Aku mengangguk. Sejujurnya, aku sudah gak tahan
berdiri di ruangan ini lebih lama lagi. Tiba-tiba...
Seorang cowok datang dari belakang Kak Niko. Menepuk bahunya. "Hai!"
"Eh... elo, Jok." Kak Niko tersenyum dan kembali memperkenalkan aku. Terus terang, aku
sudah muak bersalaman dengan orang-orang hari ini. Aku benci cara mereka menatapku,
seakan seperti ingin bertanya, "Kenapa Pangeran membawa balita ke pesta dansa istana?"
"Jadi ini," ujar Joko. Aku terperangah. Dari sekian banyak tamu, hanya dialah yang
sepertinya tahu siapa aku.
Aku menatap Joko dan berusaha tersenyum ramah. Joko menatapku dengan pandangan
yang sulit kuartikan. Suara MC membahana di ruangan. "Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia diharap
berfoto bersama dengan kedua mempelai..."
"Giliran kita tuh," kata Joko.
Aku terkesiap. Bukannya kami mau pulang tadi"
"Gue gak ikut deh, Jok. Mo balik," ujar Kak Niko.
Fiuuuh! Diam-diam aku menarik napas lega. Aku senang pikiran Kak Niko sama denganku.
Joko tampak tak senang dengan penolakan Kak Niko. "Yang bener aja lo! Ini kawinannya
Rangga, temen akrab lo sendiri! Masa lo gak mau foto bareng dia?"
Kak Niko terdiam, menimbang-nimbang perkataan Joko. Lalu Kak Niko menghela napas
berat. "Li, gak pa-pa kan aku foto sebentar" Habis itu kita langsung pulang kok!"
Mau gak mau, aku tersenyum. Berusaha menyembunyikan kekesalanku pada si Joko. Joko
merangkul Kak Niko. Mereka berjalan menjauhiku. Dan dalam sekejap aku merasa sendirian.
Aku terkucil. Aku kesepian. Saat itu aku sadar, kata-kata Kyra ada benarnya. Duniaku dan
Kak Niko benar-benar jauh berbeda.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku terkejut.
"Hai..." Aku benar-benar sangat terkejut sekarang. Maryna berdiri di depanku. "Niko mana?"
"Emm... lagi... foto di panggung."
"Oooh!" Maryna melihat panggung. Aku berusaha melihat panggung juga, tapi terhalang
kerumunan orang-orang di sekitar kami.
"Niko gak pernah bilang dia punya adik... kamu siapa" Sepupunya?" tembaknya langsung.
Aku menarik napas. Aku harus bilang apa" Karena aku memang bukan siapa-siapa. "Aku...
anak teman papanya Kak Niko."
Maryna terbelalak. Detik berikutnya, ia tertawa sepertinya sangat geli mendengar
jawabanku. "Kamu panggil dia Kak Niko?"
"Tadinya malah mau panggil 'oom', tapi Kak Niko protes..."
Maryna tertawa lagi. "Aku kira kamu pacarnya," ujarnya dengan suara yang lembut. Karena
kalau pacarnya, aku harus mengingatkan kamu...," sambungnya. Aku tertegun. Apa
maksudnya" "Kamu lihat cewek baju merah di sana?" Maryna menunjuk cewek cantik di pojok ruangan.
Aku mengangguk. "Dia mantan pacarnya Niko!"
Aku sesak napas. "Cewek berbaju biru itu juga," katanya lagi, menunjuk cewek cantik lainnya. "Yang pakai tas
bulu itu, yang baju garis-garis itu, yang rambutnya dicat merah itu, yang pakai selendang
berpayet itu, yang barusan lewat itu juga..."
Kakiku terasa berat. Aku terpaku seperti patung.
"Masih ada dua puluh lagi yang belum kusebutkan. Lagi pula, aku gak hafal semuanya." ujar
Maryna lagi. Dia menatap lurus ke mataku. "Niko itu playboy," ucapnya tegas. "Dan kamu
tahu apa yang dia lakukan padaku?"
Aku gak mau tahu! Aku gak mau tahu! "Apa?" tanyaku pelan, seperti mencicit.
"Dia menciumku dengan panas di depan umum, lalu mencampakkan aku," ucap Maryna
lirih. Kepalaku seperti baru saja dihantam palu seberat satu ton.
"Aku sangka kamu korban dia yang selanjutnya. Makanya seluruh ruangan menatap kamu
tadi. Mereka pikir Niko sudah bosan dengan cewek-cewek seumuran dengannya, makanya
pacaran sama ABG..." Maryna menarik napas dan kembali tersenyum. "Syukurlah kalau
ternyata bukan..." Maryna pamit dan berlalu meninggalkanku. Aku sendirian lagi. Tapi kini lebih parah. Aku
seperti terperosok ke lubang yang sangat gelap dan dalam.
18 JADI TONTONAN GUE gelisah di panggung, ingin aksi foto-foto gak penting ini selesai secepatnya. Gue
rasanya ingin mengamuk saat untuk kesekian kalinya fotografer itu berkata, "Yak! Sekali
lagi!" Akhirnya sesi foto super-membosankan ini selesai lima belas menit kemudian. Tanpa
berbasa-basi dulu dengan teman-teman gue yang lain, gue langsung meluncur turun dari
panggung. Tapi ada yang menahan gue, saat menoleh, gue lihat Maryna ada di belakang
gue. "Kenapa?" tanya gue datar.
"Kok buru-buru, Nik" Gak tunggu acara selesai dulu" Kan ada acara lempar bunga nanti..."
Gue tertawa tertahan. "Ryn, itu sih acara buat cewek. Gue gak butuh."
"Waktu acara pernikahan Joko, kamu ada di situ sampai akhir. Rangga juga sahabat kamu,
kan?" "Kali ini gak bisa. Udah malem. Gue harus nganter Lilia pulang," jawab gue sambil celingukan
mencari sosok Lilia. "Nik, dia cewek yang punya janji dengan kamu waktu itu, ya" Sampai kamu ninggalin aku


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba waktu di rumah sakit?"
Gue memandang Maryna tajam. "Ryn, please! Hargai privacy gue! Lo gak perlu tahu
semuanya tentang gue!"
"Apa dia juga cewek yang sama dengan cewek yang dibilang Joko" Cewek yang bikin kamu
kelimpungan cari motor dan tukang jugal bunga?"
Maryna memang keras kepala dan gak bisa dibilangin. Gue membalikkan bada, gak berminat
menjawab. Tapi Maryna kembali menahan tangan gue. Dia mengcengkeramnya kuat-kuat.
"Kamu cuma perlu jawab iya atau gak. Itu aja!"
Gue menghela napas, berusaha menahan emosi. "Iya, itu dia!"
Maryna terkesiap. Dia melepaskan cekalan tangannya. "Oh, oke! Berarti dia sepenting itu
buat kamu. Semoga kamu bahagia," ucapnya dingin. Dia menyunggingkan senyuman tipis
yang sulit gue artikan, lalu berbalik meninggalkan gue.
Walahpun bingung, gue gak mau capek-capek memikirkan ucapan Maryna barusan. Gue
menyusuri ruangan mencari Lilia. Sudah lebih dari dua puluh menit, Lilia pasti sudah bosen
banget. Setelah celingak-celinguk, akhirnya gue berhasil menemukan Lilia. Gue lihat dia
berdiri sambil menunduk di pojok ruangan, persis kayak anak hilang. Gue jadi pengin ketawa
melihatnya. Gue melewati sebuah vas bunga. Wah! Pas banget! Gue tarik setangkai mawar
putih dari situ. "Apakah Tuan Putri sudah siap untuk pulang?" ujar gue sambil menyodorkan bunga mawar
putih ke hadapan Lilia. Mudah-mudahan dia gak ngambek karena udah gue tinggalin begitu
lama. Lilia mendongak. Gue kaget melihat wajahnya yang pucat. "Kamu kenapa?" tanya gue panik.
Gue mengulurkan tangan hendak memegang tangannya. "Kamu sakit?"
Lilia menepis tangan gue. Wajahnya memerah menahan marah. "Gak usah pegang-pegang!
Aku bisa jalan sendiri..."
Gue bengong. Kenapa dia mendadak jadi judes"! Wuaah! Gawat!
Lilia berjalan mendahului gue ke arah pintu keluar. Gue mengikuti langkahnya yang cepat.
Orang-orang di ruangan memerhatikan kami berdua, tapi gue sama sekali gak peduli.
Di depan pintu, gue berhasil menahan tangan Lilia. Dan gue makin kaget. Tangan Lilia panas.
Gue cepat-cepat membungkuk dan memegang wajahnya. Benar! Dia panas. Dia sakit.
Gue langsung melepaskan jas dan membungkus tubuhnya dengan jas itu. "Ayo pulang," ujar
gue sambil merangkul pundaknya.
Tapi lagi-lagi Lilia menolak. Dia mendorong gue. "Aku bisa pulang sendiri!" ujarnya ketus.
"Pulang sendiri, gimana" Kamu kan pergi bareng-bareng aku, jadi aku berkewajiban nganter
kamu pulang, Li." "POKOKNYA AKU PULANG SENDIRI! KAK NIKO GAK USAH NGURUSIN AKU!"
Teriakan Lilia sukses membuat orang-orang yang ada di situ terbelalak kaget. Suasana sunyi
seketika. Pandangan orang-orang tertuju pada kami berdua. Bahkan beberapa orang sampai
keluar, ikut menyaksikan. Sialan! Mereka pikir ini bioskop"!
"Li..." Aku memegang tangannya. "Kamu kenapa" Aku salah apa sama kamu?"
Lilia menatap lurus ke mataku. Dia menatapku dengan mata berair. "Aku salah besar...
ternyata Kyra benar!"
"Kenapa" Salah apanya" Kyra bilang apa ke kamu?" tanya gue dengan nada lebih lembut,
memegang bahunya. Lilia mundur. Dia menatap gue dengan pandangan terluka. "Jangan pegang-pegang! Jangan
samain aku sama cewek-cewek korban Kak Niko."
GOD! Jantung gue berdetak kencang. Apa yang sudah terjadi sebenarnya saat gue berfoto
tadi" Mata gue menyapu tajam orang-orang yang berkerumun menatap kami berdua. Siapa
pun orangnya, gue harus bikin perhitungan dengan dia. Gue kembali menatap Lilia.
"Li.. Oke! Kamu marah! Tapi... please pulang sama aku. Kamu mau pulang naik apa malammalam begini" Bahaya! Bisa-bisa aku dimarahin sama papa kamu kalau dia tahu aku biarin
kamu pulang sendiri."
"Aku gak sendirian... aku..."
Sebelum Lilia selesai menjawab, sebuah honda jazz pink (Suer! Pink!) berhenti di depan
kami berdua. Gue terkejut. Seorang cewek turun dari bangku belakang.
Cewek itu Kyra. Dia menarik tangan Lilia dan menatap gue galak. "HEH, OOM! DENGER YAH! JANGAN COBACOBA SENTUH LILIA!!!"
Tanpa memedulikan gue yang masih melongo bingung, Kyra menyuruh Lilia masuk ke
mobilnya. Lilia menurut. Gue panik dan berusaha menahan Lilia. "Li... aku..."
Kyra mendorong gue. "MINGGIR! KALAU OOM MASIH BERANI GANGGU LILIA, SAYA AKAN
PANGGIL POLISI!!!" Dan... BRAAK!!! Pintu mobil ditutup dengan kasar. Sepersekian detik kemudian, mobil itu
berlalu meninggalkan gue.
Gue berdiri terpaku di jalan. Berusaha menahan emosi yang siap meledak di dada gue.
Kerumunan orang makin banyak. Mereka menatap gue dengan sejuta tanda tanya. Gue
melotot tajam pada mereka semua, lalu berjalan menuju mobil dengan langkah gontai.
Tiba di depan mobil, gue lihat Maryna berdiri di situ. Tersenyum. "Sekarang kamu tahu
gimana rasanya gak dipedulikan, Nik! Gimana?"
Gue membelalak marah. Apa dia penyebab semua ini" "HEH! APA YANG LO BILANG KE
LILIA?" ujar gue gusar.
Maryna bergeming. Dia menatap mata gue dengan berani. "Aku nolongin dia. Dia terlalu
baik untuk cowok brengsek kayak kamu," ujarnya tajam lalu kembali tersenyum dan
berjalan melintasi gue. Gue menahan tangannya.
"Maksud lo apa?"
Maryna menepiskan tangan gue. "Kamu sendiri yang tahu diri kamu seperti apa. Ingat, Nik!
Siapa menabur, dia juga yang menuai... Roda kehidupan berputar."
*** Gue mengendarai mobil dengan emosi memuncak. Sudah puluhan kali gue berusaha
menghubungi HP Lilia... tapi lagi-lagi diputus. Gue emosi. Gue banting HP ke bangku sebelah
dan memaki panjang-pendek. Sampai akhirnya gue diam dan mengakui Joko benar. Gue gak
mungkin sama Lilia. Dia terlalu baik buat gue. Dia gak mungkin bisa tahan menghadapi gue
dan segala masa lalu gue.
Dan... seakan belum cukup masalah untuk malam ini... Sampai di rumah, gue harus
menghadapi masalah yang lain...
19 AKU MASIH PUNYA TEMAN-TEMAN
MOBIL Kyra melaju cepat. Aku duduk menunduk, bibirku bergetar, air mataku jatuh satusatu. Aku baru saja menceritakan semua kejadiannya pada Kyra.
"Li... Udah dooong! Jangan nangis terus..." Kyra mengusap-usap bahuku penuh perhatian.
Tapi kata-katanya yang lembut justru memancing air mataku keluar makin banyak. Kyra jelas
panik. "Yaaah... Li... Duh! Jangan tambah nangis dooong! Udah... udah..." ujarnya sambil
menyerahkan sekotak tisu.
Aku mengambil tisu itu dan mengusap air mataku. Aku menatap Kyra. "Makasiii ya, Ra... lo
udah mau jemput gue. Kalau gak ada lo... kalau gak ada lo... gue... gue... gak tahu harus
gimana..." "Li... lo apaan sih" Kebetulan gue kan emang pengin ke Mal Taman anggrek, jadi gue lewat
situ. Gue kan temen lo, Li... Kalau lo minta bantuan gue, pasti gue bakal bantu lo..."
Air mataku kembali merebak. Hatiku sakit mendengar kata-kata Kyra. Aku sedih karena
ternyata Kyra begitu memerhatikan aku. Padahal aku sudah berbuat jahat dengan tidak
memedulikan pendapatnya waktu itu. "Ra... Maafin gue, Ra... Coba... Coba gue dengerin...
kata-kata lo... Gue pasti... gue pasti gak bakal ngalamin ini..."
"Yaaah, Liliaa... Jangan ngomong gitu dong. Gue gak marah kok sama lo. Jangan nyalahin diri
lo gitu. Li, denger ya! Jangan nangis lagi! Oom-oom jelek kayak gitu ngapain lo tangisin"
Sayang air mata lo nangisin orang kayak dia. Apalagi kalau lo sampai sakit. Enak di dia, rugi
di elo dong! Pokoknya sekarang, lupain dia! Jadi, daripada lo nangis, kita ke TA aja, gimana"
Kita main di Timezone sampai puas... Oke"!"
Kyra benar. Uring-uringan karena cowok sama sekali tidak ada gunanya alias rugi berat. Aku
mengusap air mataku dan mengangguk.
"Nah! Gitu dooong! Lo jelek kalau nangis. Udah, tenang aja. Yang lalu biarkan berlalu... Lagi
pula..." Kyra menatapku dengan mengerling nakal. "Gak ada Kak Niko... Niko pun jadi!
Huahahaha..." Mau tidak mau, aku jadi ikut tersenyum.
*** "AYO!!! PUKUL!!! PUKUULL!!! JANGAN BERI AMPUN!!!" Kyra menjerit-jerit histeris
memberikan komando padaku untuk memukul tikus mondok yang muncul dengan palu
plastik. "SEKUAT MUNGKIN, LI! ANGGEP AJA TU TIKUS SI OOM BRENGSEK ITU!!! AYOO!!! PUKUL
YANG KUAT!!!" Hmmm... anggap Kak Niko"! WAH! Aku seperti mendapat aliran tenaga baru. Kata-kata Kyra
kali ini cukup memotivasiku untuk memukul sekuat-kuatnya. BAK! BUK! BAK! BUK! Aku
memukul tikus-tikus mondok itu tanpa ampun.
"HOREEE!!!" teriak Kyra saat permainan berakhir. "Gileee! Kita dapat banyak kupon nih...
Hebat juga ya lo, Li... Bikin tikus mondoknya teler semua," katanya sambil menarik sepuluh
kupon yang keluar. Aku nyengir. Seandainya pihak Timezone menambahkan tulisan "Permainan untuk cewek
patah hati" di mesin itu, pasti permainannya akan tambah laku.
Kami mencari mainan-mainan yang lain dan main sampai puas. Setelah itu Kyra dengan
pede mencoba dance-dance revolution. Aku tertawa terbahak-bahak melihat Kyra berjogetjoget liar. Ia mati-matian mencoba mengikuti gerak kaki pada layar seperti orang sakit ayan!
Hahahahaha... lagian Kyra nekat sih! Untuk permainan seperti ini, Denise yang jago.
Setelah permainan Kyra selesai (jangan tanya skor Kyra! Kacau!), kami memutuskan
membeli minuman di McDonalds. Tiba-tiba aku menemukan dua sosok makhluk yang sangat
kukenal. "Itu Shamira sama Denise, kan?" tanyaku tidak percaya.
Kyra tersenyum dan menepuk bahuku. "Gue yang panggil tadi. Habis kalau kita berdua
doang di sini kan gak rame," kata Kyra. "DENISE! SHAMIRA!"
Mereka berdua menoleh dan langsung memandang lurus padaku. Mereka tersenyum, tapi
wajah mereka berdua tampak prihatin. Aku menarik napas. Ternyata teman-temanku begitu
mengkhawatirkan aku. Aku menjadi semakin merasa sangat bersalah pada mereka.
"Jadiii... gimana sih ceritanya?" tanya Shamira begitu aku dan Kyra datang dengan empat
gelas minuman. Kyra melirikku. Aku menunduk. "Elo aja deh yang cerita, Ra," ujarku. Otakku melarang diriku
mengingat hal-hal yang sebaiknya tidak usah diingat.
Kyra lalu mulai bercerita. Shamira dan Denise melongo mendengarnya.
"GILA! GUE GAK NYANGKA! TU COWOK BENER-BENER BUAYA!" kata Denise geram dengan
nada tinggi. "Padahal waktu itu gue sempat percaya sama dia."
"Iya. Dia harus cepet-cepet dipulangin ke habitatnya tuh di kubangan, biar main sama
buaya-buaya lain," tambah Shamira dengan nada yang lebih pelan tapi pedas.
Kyra akhirnya sampai ke cerita tentang Maryna yang dicium Kak Niko. Denise makin
mencak-mencak sedangkan Shamira melongo. Dia terbelalak dan tidak dapat berkata-kata.
"Mir... Mir... lo kenapa?" tanya Kyra bingung.
"GUE INGET!!! GUE INGETT!!!" teriak Shamira tiba-tiba. Kami bertiga kaget. Denise cepatcepat membekap mulut Shamira karena seisi ruangan menatap kami sekarang.
"Apaan sih lo" Teriak-teriak begitu" Kayak maen sinetron aja!" ujar Kyra jengkel. Jelas dia
malu banget diliatin banyak orang.
"Iya nih! Shamira emang suka sok ngalamin d?j? vu!" timpal Denise.
"BUKAN D?J? VU TAHU! INI BENERAN! GUE INGET SEKARANG!"
"Inget apa?" tanya Kyra tidak sabar.
Shamira menghela napas dan memasang wajah penuh misteri. Dia memajukan posisi
duduknya dan memberi kode agar kepala kami mendekat. Kami menurut. "Kalian inget gak
kalau nyokap gue ultah sebulan yang lalu?"
Kami semua mengerutkan alis dan mengangguk-angguk bingung. Apa hubungannya coba"
"Waktu itu Bokap pengin bikin kejutan buat Nyokap, dia ngajak kita sekeluarga makan di
kafe..." "Terus?" tanya Kyra. Dahinya berkerut.
"Nah... akhirnya Bokap memutuskan pergi ke TC Kemang, soalnya tempatnya bagus,
makanannya enak, dan ada live music-nya gituh!"
PLETAK! Denise yang tidak sabaran langsung menjitak Shamira. "Woi! Gak nyambung deh!
Lo mau cerita apa sih sebenarnya?"
"Sabar dooong! Gue kan mesti nyeritain settingnya dulu biar lo semua pada ngerti...,"
Shamira mengomel sambil memegang kepalanya.
"Tapi apa hubungannya?"
"Pokoknya ada," jawab Shamira jengkel. "Masih mau denger, gak?"
Mau tidak mau, kami yang sudah terlanjur penasaran terpaksa mengangguk.
"Oke... sekarang kalian diam lagi..." Shamira kembali pasang tampang serius. "Trus... Bokap
mengharapkan suasana yang romantis... Tapi sayang, sampai di sana ternyata kafenya rame
banget. Ada sekelompok orang yang juga mengadakan acara di sana. Acaranya seru, pake
MC..." Denise dan Kyra meremas-remas tangan dengan tidak sabar.
"Trus gue lihat ada cewek yang cantiiik banget kayak Bidadari Kayangan. Dia menyerap
seluruh perhatian cowok di situ..."
Kyra langsung emosi. "Mir, satu kata gak penting lagi keluar dari mulut lo, lo kita ikat di sini,
gak boleh pulang...," ancamnya.
"Iya! Iya! Truuuus... gue lihat cewek itu mendekati seorang cowok..." Shamira menarik
napas. "Dan... Lo tahu apa yang mereka lakukan" Mereka ciuman di tengah ruangan. Di
hadapan semua orang. Gilaaa, mesraaa bangeeet! Gue sampai terbelalak, nyokap gue juga
sampai melongo ngeliatnya..."
Jantungku rasanya melompatm tidak! Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini! Aku tidak
mau dengar! Kyra dan Denise berpandangan. "Trus?"
"Yaaaah! Elo semua lemot banget sih"! Orang itu Kak-Niko-nya Lilia!!!"
JRENG!!! Benar dugaanku. Tubuhku langsung lemas seketika. Kepalaku pusing. Pandanganku
berputar. Mataku terasa panas.
Walaupun sangat marah pada Kak Niko, tapi jauh dalam hatiku aku masih berharap Maryna
penipu, pembohong, pembual, dan lain-lain. Tapiii... harapanku buyar sudah. Tidak ada yang
perlu diragukan lagi, Kak Niko itu playboy! Dan aku salah satu korbannya...
Teman-teman memandangku dengan perasaan tidak enak. Denise mengulurkan tangan dan
menggenggam tanganku, Shamira mengelus rambutku, dan Kyra merengkuh bahuku. Aku
tak sanggup berkata apa-apa lagi. Air mataku kembali bermunculan satu per satu. Aku tidak
tahu bahwa ini belum apa-apa. Masih ada yang harus aku hadapi lagi besok...
20 HARI TERBURUK DALAM SEJARAH
SAAT mobil gue memasuki gerbang, gue lihat Mbok Siti berlari panik ke arah gue. Wajahnya
tampak tegang dan penuh air mata. Wajahnya tampak tegang dan penuh air mata. Dengan
terbata-bata dia bilang Mama... mencoba bunuh diri. Pandangan gue kabur seketika.
Sejak Mama keluar dari rumah sakit sebulan yang lalu, kondisi kejiwaan Mama memang
kurang stabil. Ternyata pertengkaran Bokap dan Mama waktu itu mengorek kembali luka
hati Mama yang terdalam. Tamparan Bokap saat itu begitu mengguncang Mama. Namun
yang paling menghancurkan pertahanan Mama adalah saat Bokap bilang, "KAMU YANG
MEMBUNUH AUREL!!!" Memang, setelah melihat Mama terbaring kaku di ranjang rumah sakit, Bokap langsung
menyesal setengah mati. Saat Mama pulang ke rumah, Bokap berusaha menebus
kesalahannya dengan selalu berada di sisi Mama. Tapi bagaimana Bokap bisa duduk dekat
Mama, kalau dalam jarak lima meter saja Mama sudah menyuruhnya pergi"
Gue dan Bokap berencana membawa Mama ke psikiater, tapi lagi-lagi Mama menolak.
"Saya gak gila! Seharusnya kamu yang dibawa ke rumah sakit jiwa!" kata Mama tajam
kepada Bokap. Gue dan Bokap akhirnya memutuskan diam dan mengerti. Kami berdua yakin, Mama hanya
butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatinya. Mama hanya perlu belajar memaafkan diri
sendiri. Lagi pula, Mama seharusnya bisa melihat perubahan sikap Bokap. Bokap gak pernah lagi
pulang di atas jam sembilan malam. Sikap Bokap yang dingin perlahan menjadi lebih hangat.
Bokap juga lebih banyak meluangkan waktu bersama gue. Kami berbagi cerita. Bokap
banyak bertanya tentang pekerjaan gue, tentang rencana-rencana ke depan, termasuk niat
gue melanjutkan S2 di Amerika. Dan yang terpenting, Bokap juga mau tahu tentang orangorang di sekeliling gue.
Akhirnya, gue menceritakan soal kematian Nina ke Bokap. Bokap sempat syok
mendengarnya. Dia menghibur gue dan menyuruh gue tetap tabah. Walau penghiburannya
sudah sangat terlambat, tapi gue tetap menghargai perhatian Bokap.
Bokap juga jadi tahu gue punya sahabat cewek bernama Lola, yang sekarang bekerja di New
York. Gue bilang ke Bokap, Lola-lah yang membantu gue untuk survive pada masa-masa gue
kehilangan Nina. Gue juga bercerita ke Bokap tentang dua sahabat gue yang lain, Rangga
dan Joko. Terus terang gue bahagia karena Bokap sepertinya tampak antusias mendengar cerita-cerita
gue. Gue seperti menemukan sosok Bokap yang dulu. Berangsur-angsur, gue mulai bisa
menyebutnya "Papa" lagi.
Gue pikir keadaan di rumah sudah mulai tentram. Tapi hari ini semuanya kembali kacau...
Karena Papa lembur dan gue pergi ke acara pernikahan Rangga, Mama sendirian di rumah.
Dan karena bosan, Mama memutuskan nonton teve. Dan sialnya, saluran TV berlangganan
itu sedang memutar film Banyu Biru.
Di film itu ada adegan seorang ibu yang ceroboh sehingga anaknya jatuh ke kolam dan
meninggal, persis seperti peristiwa yang menimpa Aurel. Mama langsung menjerit histeris.
Mbok Siti yang sedang berada di dapur terkejut mendengar teriakan Mama. Dia langsung
berlari ke kamar Mama. Mbok Siti sangat terkejut saat melihat Mama sedang berteriak-teriak histeris sambil
melemparkan pajangan kaca. "Aku gak membunuh Aurel!!! Aku bersumpah, aku gak
membunuh Aurel!!!" "Bu! Ibu! Jangan, Bu!" ujar Mbok Siti mencoba menenangkan, tapi Mama justru tambah
panik. "Jangan samakan saya dengan ibu-ibu itu! Jangan bawa saya ke rumah sakit jiwa! Saya gak
membunuh Aurel!" Mbok Siti mencoba mendekati Mama, namun tangisan Mama semakin menjadi. "Jangan
mendekat! Saya gak bersalah!! Saya menyayangi Aurel lebih daripada diri saya sendiri...
Kalau dia gak ada saya lebih baik mati..."


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan setelah menyelesaikan kalimatnya itu, Mama mengambil salah satu pecahan kaca
pajangan yang dilemparnya.
"Maafkan Mama, Aurel...," isak Mama pedih.
Dan sebelum Mbok Siti sempat melarang, Mama telah menggoreskan pecahan kaca itu ke
pergelangan tangannya. *** Mama hampir mati... Gue menunggui Mama dengan cemas di depan kamar perawatan. Gue menyumpahnyumpahi perusahaan teve yang memutar Film Banyu Biru itu (Oke! Ini tindakan yang salah!
Tapi gue gak tahu mau menyalahkan siapa lagi!).
Papa duduk di sebelah gue. Dia tampak sangat terpukul. Berkali-kali Papa menyebutkan ini
salahnya. Papa sangat menyesal kenapa dia gak pulang lebih cepat sehingga gak bisa
menghalangi niat Mama. Gue merangkul pundak Papa, mencoba menenangkan. Untuk pertama kalinya, gue melihat
Papa menangis. 21 HARI TERBURUK DALAM SEJARAH
(part two) AKU berdiri seorang diri di tengah ruangan. Seseorang menepuk bahuku, aku menoleh dan
melihat Maryna menatap tajam ke arahku. Matanya berkilat mengerikan. Tiba-tiba, rambut
ikal indahnya berubah menjadi rambut Medusa. Dengan rambut ularnya itu, dia
mengubahku menjadi batu. Kak Niko menyaksikan hal itu namun gak dapat berbuat apa-apa. Lalu Maryna mendekati
Kak Niko dan menciumnya dengan mesra di depan mataku. Aku berteriak "JANGAAAN!
JANGAAAN!" dalam kebekuanku. Maryna tertawa terbahak-bahak.
BLAASH! Aku terbangun. Thanks God! Cuma mimpi!
Aku melihat jam dinding. Jam satu pagi. Ternyata benar. Saat sedang dilanda kesedihan,
waktu berjalan sangat lambat. Malam terasa sangat panjang.
Aku menghela napas berat. Padahal aku sudah berusaha mati-matian melupakan semua
yang sudah terjadi, tapi kata-kata Maryna yang paling gak ingin kuingat justru terusmenerus terngiang dalam kepalaku.
Air mataku keluar lagi. Walaupun Kyra berulang kali bilang menangisi cowok brengsek
adalah tindakan paling bodoh sejagat raya, tapi itu kan cuma teori. Praktiknya: yaaah, tetap
aja cewek pasti nangis. Itu sudah hukum alam, gak bisa ditentang lagi.
Aku duduk di tempat tidur, mencoba lagi terapi tidur dengan menghitung. Tapi tiba-tiba
mataku tertumbuk pada sebuah benda di meja belajar. Aku beranjak mengambilnya...
Makalah Tata Suryaku. Aku tersenyum dan membolak-balik halamannya. Aku tersenyum namun mataku terasa
panas. Kali ini aku benar-benar menangis...
*** Tok... Tok... Tok... HAH! Aku terkesiap. Siapa yang mengetuk pintu kamarku" Aku cepat-cepat bangun dan
membukakan pintu kamar. "Papa?" "Selamat pagi, Sayang! Papa mau ngomong sama kamu nih..." Papa tersenyum di depan
pintu, lalu mengerutkan dahi. "Loh, kok mata kamu sembap begitu sih?"
Aku langsung salah tingkah. "Eh... mmm... Gak! Gak pa-pa kok, Pa! Mm... mungkin sakit
mata..." Papa tersenyum. "Ngaku deh! Semalam kamu nangis, kan" Hayooo... nangis kenapa?"
Aduh! Sial! Ketahuan, lagi! "Nggak kok, Pa... nggak ada apa-apa kok," kataku berusaha
mengelak. Papa mengelus rambutku. "Oh ya, Li, kata Sheila, tadi malam begitu sampai rumah kamu
langsung masuk kamar dan gak keluar-keluar lagi. Gimana acara pernikahannya?"
Huh! Kenapa dari tadi yang Papa justru bertanya tentang hal-hal yang gak ingin aku jawab
sih" "Yaaaah... begitu deh, Pa! Biasa kan kondangan... Datang, nyalamin pengatin, makan,
trus pulang deh. Lagian Papa pergi ke mana sih kemarin" Lilia pulang kok Papa gak ada?"
Papa tampak bingung saat kutanya. "Kamu mandi dulu sana sudah siang! Tuh lihat, jam
sembilan... kamu janji kan mau pergi ke restoran sama Papa...," ujar Papa sambil menepuk
bahuku lalu meninggalkanku. Sepertinya ia gak mau memperpanjang pembicaraan.
*** Aku terheran-heran waktu Papa mengajakku memasuki sebuah restoran mewah dan elegan.
Atmosfer ruangannya pun terasa cukup romantis. Terdengar dentingan suara piano yang
mengalun indah. Hmm... dalam rangka apa Papa mengajak aku ke sini" Hari ini kan gak ada
yang ulang tahu. Apa Papa baru naik pangkat"
Aku duduk dengan bingung saat pelayan dengan sopan menarikkan bangku untukku. Aku
salah tingkah waktu disuruh memasang serbet di pangkuanku. Dan akhirnya aku frustrasi
melihat sederet pisau dan sendok di hadapanku.
"Li..." Papa membuyarkan lamunanku. Aku mendongak menatap Papa. Aku baru saja menghitung
jumlah perkakas di hadapanku ini. Ada enam belas. Katanya jenisnya beda semua. Aku
bingung harus memakai sendok yang mana untuk menyantap sup kepitingku.
"Kenapa, Pa?" Papa menghela napas berat. "Dari kemarin, sebenarnya Papa ingin membicarakan sesuatu
ke kamu... tapi... Papa benar-benar mencari saat yang tepat..."
Wajahku berubah menjadi cerah. Benar dugaanku. Papa pasti baru saja naik pangkat.
"Lilia tahu kok, Pa!" ujarku.
Papa jelas melongo. "Kamu tahu" Tahu dari mana?"
"Iihh, Papa... Lilia tuh punya otak!" ujarku sambil menunjuk pelipisku. "Keputusannya gak
salah kok, Lilia setuju banget. Ini berita hebat!"
Mata Papa jelas makin lebar. "Kamu... kamu setuju?"
"Jelas dong, Pa! Siapa sih yang gak setuju" Semua anak di dunia ini kan ingin mendukung
papanya...," ujarku bijak. "Aku juga yakin, Mama di surga sana juga senang mendengar
kabar ini..." Papa terperangah dan tampak sangat lega mendengar ucapanku. "Makasih ya, Li. Papa gak
nyangka kamu udah tahu tentang masalah ini. Papa senang kamu gak berpikir Papa berbuat
jahat dengan melakukan ini. Papa pikir akan sulit sekali meyakinkan kamu..."
Gantian aku yang melongo. Sulit" Kenapa harus sulit"
"Papa sebenarnya gak mau melakukan ini kalau kamu gak setuju. Karena Papa tahu Mama
gak tergantikan oleh kamu..."
Sekarang aku benar-benar bingung. Apa aku yang salah dengar ya" Apa hubungannya"
"Sebenarnya Papa punya kejutan satu lagi untuk kamu...," ujar Papa lembut, lalu memanggil
pelayan dan berbisik padanya. Aku bingung. Kejutan apa lagi" Jidatku makin keriting saat
melihat pelayan justru menambahkan kursi di meja kami. Kok" Aku menatap Papa penuh
tanda tanya. Papa malah tersenyum. Dan...
"Halo, Lilia..."
JREEEENG!!! Aku rasanya baru menelan seekor kepiting. Aku mendongak. Ya Tuhan...
Katakan ini mimpi buruk... Katakan ini lanjutan mimpi burukku...
"Lilia... ayo kasih salam...," kata Papa. "Mangginya... sementara tetap Tante saja..."
Aku terbelalak. Apalagi saat kulihat Tante Lidia dengan gak malu-malu duduk di samping
Papa. "Kejutan apa sih, Pa" Jadi kejutannya dia?" ujarku sengit.
Papa bingung. "Loh" Kamu kok jadi marah-marah, Li" Bukannya tadi kamu bilang setuju?"
"Setuju" Jelas aku setuju kalau Papa dapat promosi jabatan! Tapi apa hubungannya
kenaikan pangkat Papa dengan Tante Lidia?" jawabku makin berapi-api.
"Naik jabatan" Siapa yang naik jabatan" Papa gak naik jabatan," jawab Papa masih diliputi
kebingungan. "Jadi... yang Papa ingin bicarakan itu tadi apa?" jawabku histeris. Ya Tuhan... Aku benci
situasi ini. Papa mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku. Matanya menyorot lurus
kepadaku. Penuh kelembutan dan permohonan.
"Li..." Papa menarik napas. Sepertinya sulit baginya mengatakan hal itu. "Papa berencana
menikah dengan Tante Lidia. Dan Papa ingin tahu pendapat kamu!"
JDEEEERR! Aku seperti disambar geledek sekarang. Aku langsung menarik tanganku yang
berada dalam genggaman Papa. Aku menatapnya dengan mata berair. Ingin kutunjukkan
padanya betapa aku sangat gak setuju, marah, pedih, sekaligus terluka dengan
keputusannya. "Kenapa" Kenapa Papa buat keputusan ini gak tanya aku dulu?" tanyaku dengan air mata
berlinang. "Makanya Papa ingin bicara sama kamu... Karena itu hari ini Papa mau membicarakannya
dengan kamu dulu... dan kalau kamu setuju, baru Papa memanggil Tante Lidia untuk
bergabung..." Aku terperangah. Semudah itu Papa berpikir untuk minta izinku" "Pa, aku gak pernah
menyetujui apa-apa... karena aku bahkan gak tahu apa-apa...," jeritku tertahan. Aku berdiri
menatap Papa dengan emosi meluap. "Apa kata-kataku masih penting sekarang" Apa kau
aku mengatakan gak, Papa mau mendengar?"
"Li... Papa..."
"PAPA GAK MEMIKIRKAN PERASAANKU! AKU BENCI PAPA!" jeritku sambil meninggalkan
tempat itu. Derai air mata membasahi wajahku. Aku gak peduli Papa memanggilku. Aku gak
peduli Tante Lidia terperangah melihat kepergianku. Aku gak peduli dengan tatapan bingung
pengunjung lain di restoran. Terserah mereka berpikir apa.
Hatiku sangat sakit. Kenapa dua orang yang sangat kupercaya menyakitiku dalam waktu
yang hampir bersamaan" Pertama Kak Niko, dan sekarang Papa" Kak Niko memohon agar
aku pulang bersamanya saat aku tahu dia hanya menganggapku satu di antara koleksi
ceweknya. Papa memohon padaku saat kutahu dia telah melupakan Mama. Aku benci
mereka berdua. Aku berlari menyusuri parkiran dengan air mata berlinang. Seorang satpam sampai bengong
melihatku. TIIIIIIN! Aku tersentak kaget. Bunyi apa itu" Aku menatap mobil putih yang melaju cepat ke arahku.
Tapi kenapa rasanya kakiku begitu berat" Aku mematung di jalan, gak tahu apa yang harus
kulakukan. "LILIAAA, AWAAAS!!!" sebuah suara terdengar samar dan sepersekian detik kemudian
sesuatu menabrak tubuhku.
Aku terduduk di trotoar. Mobil putih itu telah berlalu dari hadapanku. Kenapa aku masih
hidup" Orang-orang datang berkerumun. Mereka mendesah dengan berbagai macam suara.
Ada yang lega. Ada yang prihatin. Ada yang menyalahkanku.
"Lilia... gak pa-pa, kan"!"
Aku mendongak, menatap orang yang baru saja menyelamatkanku. Aku gak percaya
melihatnya. "Kok tadi bengong sih" Kenapa?" Sosok di hadapanku tersenyum. Dia membantuku berdiri.
"Mau ke mana sih lari-lari" Perlu dianterin?" tanyanya lagi. Tetap dengan lembut.
Mataku kembali berkaca-kaca.
"Liliaa... kok malah nangis sih" Jangan nangis doong! Kita diliatin tuh... jangan nangis! Nanti
orang malah nyangka yang nggak-nggak..."
Aku tak tahan lagi. Aku langsung menghambur ke arahnya dan menangis sepuasnya.
Sosok di hadapanku memelukku dengan hangat.
Dia Niko. *** "Kita udah nyampe, Li!" kata Niko sambil menepuk pundakku.
Aku mendongak. "Kok kamu bisa ada di tempat tadi juga sih, Nik?"
Niko menghela napas dan tersenyum. "Lo denger dentingan piano di ruangan tadi?"
Aku mengangguk bingung. "Itu tadi gue yang mainin. Yang punya resto itu kan temen baik Bokap... Nah, hari itu dia
minta gue memainkan piano karena ada tamu yang ingin suasananya dibuat seromantis dan
semanis mungkin. Gue gak nyangka di antara tamu-tamu itu justru ada lo!"
Aku mengangguk-angguk pelan. Benar-benar kebetulan yang langka.
"Udah! Mo sampe kapan ngangguk-ngangguk" Yuk, turun!" Niko menepuk pundakku.
"Eh!" Aku menahan lengan Niko. "Kamu gak pa-pa nemenin aku ke sini" Kalau males, pulang
aja, ntar pulangnya aku bisa naik mikrolet kok."
Niko tersenyum. "Tenang aja, Li. Waktu itu gue kan udah minta lo nemenin nyari kado buat
Kyra dan lo gak ngeluh sedikit pun. Trus, gue dengan teganya malah ninggalin lo, lagi. Nah,
sekarang gue bakal nungguin lo dan nganter lo pulang dengan selamat sampai di rumah,
gimana?" Aku ternganga memandang Niko. Aku gak menyangka dia masih ingat dengan peristiwa di
Plaza Senayan waktu itu. "Yuk, turun," kata Niko sambil membuka pintu mobil, sebelum aku memberikan jawaban.
Aku tersenyum dan ikut turun dari mobil.
Kami berdua mampir ke seorang penjual bunga tabur dan air, lalu sama-sama melangkah
menyusuri jalan setapak. Menatap dalam diam pemandangan hijau dan putih di sekeliling
kami. Kami tiba di makam yang terbuat dari batu marmer yang indah. Aku mendekat, memandang
lekat-lekat foto wanita yang tersenyum ramah. Menurutku ia wanita paling cantik di dunia.
"Nyokap lo cantik," ujar Niko.
Aku tersenyum mendengarnya. Sudah pasti. Mamaku memang cantik.
"Pasti lo dan bokap lo sayang banget sama dia," ujar Niko lagi.
"Salah. Kalimat kamu barusan salah. Aku emang sayang banget sama Mama, tapi papaku
nggak!" Niko tampak terkejut mendengar kata-kataku. Aku tak peduli. Aku duduk di depan pusara
Mama, tak terasa sebutir air mataku menetes. Aku sedih. Aku marah. Aku benci.
Aku benci Papa. Kenapa Papa punya pikiran seperti itu" Kenapa Papa melupakan Mama"
Kenapa Papa gak sayang lagi sama Mama" Papa yang sangat kubanggakan telah
mengecewakanku. Papa yang paling perfect di dunia telah berubah 180 derajat. Dari dulu
aku yakin, cinta Papa dan Mama abadi. Gak akan lekang oleh waktu.
Ternyata aku salah. Walaupun ada di sisi Papa, aku sudah gak berarti apa-apa. Sekarang
Papa sudah gak mencintai Mama lagi. Sekarang Papa mencintai wanita lain, Lidia sialan itu.
Kini aku sadar sepenuhnya bahwa cinta yang indah dan tak lekang oleh waktu hanyalah milik
Walt Disney. Air mataku bercucuran makin banyak. Aku menggigit bibir. Dadaku terasa begitu sesak. Tibatiba aku merasakan tangan Niko melingkari tubuhku dari belakang dan dia berbicara lembut
di telingaku. "Gue gak punya saputangan. Gue juga bukan orang yang bisa menghibur. Yang
gue tahu, gue ngerasa tenang kalau Nyokap meluk gue seperti ini dari belakang..."
Air mataku meleleh mendengar ucapan Niko.
"Otak gue buntu liat lo nangis kayak gitu," Niko kembali menghiburku, "please, jangan
nangis lagi." Tangisanku makin pecah. Niko memelukku dalam diam. Angin bertiup lembut mengibarngibarkan rambut kami berdua.
22 MENGENANG AUREL GUE memandangi lengan gue yang ditutup kapas beralkohol dan plester. Beberapa jam yang
lalu gue jadi donor darah untuk Mama.
Sebenarnya gue gak perlu repot-repot kayak begini. Berpuluh-puluh kantong darah tersedia
di PMI. Kapan pun rumah sakit membutuhkan, mereka pasti menyediakan. Tapi gue tetap
ngotot mau mendonorkan darah untuk Mama. Ini untuk meyakinkan gue, menambah bukti
bahwa gue adalah anak Mama. Gue juga anak Mama, bukan cuma Aurel.
Gue memandangi Mama yang terbaring pucat di tempat tidurnya. Hati gue sakit. Kenapa
Mama berpikir untuk menyusul Aurel" Kenapa dia selalu merasa bersalah pada Aurel yang
telah tiada" Apakah Mama gak sadar masih ada gue" Apa Mama gak merasa bersalah kalau
mati dan meninggalkan gue di sini"
Mama tersadar dari tidurnya. Ia membuka matanya, menatap gue dengan mata sayu. Gue
memandangnya lekat-lekat.
"Selamat siang, Ma," ujar gue.
Mama mengangguk pelan. Ia mencoba bicara, namun kata-katanya seperti tersangkut di
tenggorokan. Mama melirik pergelangan tangannya yang dibalut rapat perban. Gue
mengikuti arah pandangannya dengan hati teriris.
"Ma... ma... maaf...," ujar Mama terbata-bata. Gue mendongak memandang Mama. Air
mata Mama berlinang. "Mmm... maaf... Maafin... Maafin Mama."
Gue langsung menggenggam erat tangan Mama dan mencium punggung tangannya dengan
penuh perasaan. Lama. Tanpa kata-kata. Karena memang gak perlu. Mama gak perlu
mendengar jeritan hati kecil gue karena untuk kedua kalinya dia membuat gue cemas dan
khawatir menunggui dia seharian di rumah sakit. Mama gak perlu tahu bagaimana sakitnya
gue melihat dia memilih cara ini untuk meninggalkan gue. Tapi tanpa gue bilang apa pun,
Mama pasti tahu. Ciuman di telapak tangannya jadi bukti bahwa gue sudah memaafkannya,
dan sangat mencintai Mama melebihi diri gue sendiri.
Tangan Mama memegang kepala gue dan mengusapnya perlahan. Belaian sayang yang
sudah lama gak gue rasakan. Gue diam. Gak berniat sedikit pun untuk mendongak. Gue
ingin merasakannya sedikit lebih lama. Gue ingin Mama tahu, gue sangat membutuhkan dia.
*** Papa datang dan kami bergantian menjaga Mama. Papa menyuruh gue pulang untuk
beristirahat sejenak dan membawa baju ganti untuk Mama.
Gue mengemudikan mobil pelan-pelan. Pandangan gue menyapu jalanan di sekeliling gue.
Tiba-tiba gue teringat sesuatu. Ada tempat yang ingin gue datangi sebelum pulang.
Gue memarkir mobil di TPU Karet. Sambil memegang sebuket bunga, gue berjalan ke salah
satu makam yang ada di situ. Tampak sebait tulisan di batu granit hitam mengilat.
TELAH BERPULANG KE RUMAH BAPA DI SURGA
Anak, cucu, adik, saudara, kekasih kami yang tercinta
AURELIA TIFFANY 18 Mei 1987 - 14 Mei 1991
Gue menghela napas dan meletakkan buket bunga di pusaranya.
"Aurel, kita memang bukan kakak-beradik yang akrab. Tapi bagaimanapun juga, aku sayang
sama kamu. Sebagai kakak, aku minta kamu jangan menghantui Mama dengan perasaan
bersalah lagi, ya" Please! Kamu juga gak mau kan kalau Mama sedih?"
Gue menundukkan kepala dan berdoa. Gue memohon agar Tuhan senantiasa melindungi
Mama, menyembuhkan luka hati Mama, dan semoga keluarga gue bisa kembali bersatu


U Karya Donna Rosamayna di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti sediakala. Tiba-tiba... "NIKOO!" Gue yang baru selesai berdoa jelas kaget mendengar ada suara cewek yang memanggil
nama gue. Dan kalau gak salah... bukannya itu suara...
Gue menoleh. Benar! Gue melihat Lilia sedang berlari di ujung jalan, agak jauh dari tempat
gue duduk. Gue tersenyum dan hendak melambai ke arahnya.
Tapi ternyata gue salah, dia gak berlari ke arah gue. Dia berlari ke arah seorang cowok
berbaju abu-abu. Eh" Tunggu! Itu kan si cowok ABG yang ninggalin dia di Starbucks! God!
Yang bener aja, nama dia juga Niko"
Gue memerhatikan mereka berdua dari kejauhan. Gue lihat Lilia menyerahkan sesuatu ke
tangan cowok itu. Hmm... sepertinya kunci mobil. (Dasar cowok geblek! Masa kunci mobil
bisa jatuh sih") Cowok itu tersenyum dan mengambil kunci itu dari tangan Lilia.
Gak tahu apa yang terjadi pada gue. Gue hanya duduk terdiam, mematung melihat
keakraban mereka. Cowok itu melingkarkan tangannya di pundak Lilia. Rasanya gue pengin nyari batu dan
nimpuk dia. Gue lihat Lilia menyandarkan kepalanya di pundak cowok itu. Sialan! Benarbenar pemandangan yang bikin gerah dan pengin marah.
23 DIARY-KU DAN SPONGEBOB GUE
Minggu, 12 Desember 2005 Dear Diary, Niko mengantarku pulang sampai di depan gerbang. Aku mengucapkan terima kasih berkalikali padanya.
Aku membuka gerbang. Terdengar langkah-langkah cepat dari dalam rumah. Aku melongo.
Sebelum sempat mengucapkan satu kata pun, Papa telah memelukku erat.
"Papa cari-cari kamu ke mana-mana, Li. Papa ke rumah Kyra, Shamira, Denise, Ria, Adis,
Marsya, tapi kamu gak ada..."
Aku terdiam. Pelukan Papa benar-benar terasa hangat dan nyaman. Benarkah Papa
mengkhawatirkan aku" Benarkah Papa sayang padaku" Kalau begitu, kenapa Papa mau
menikahi Lidia sialan itu tanpa persetujuanku"
"Li... Papa sudah membicarakan hal ini dengan Tante Lidia. Kalau kamu gak mau, Papa gak
akan maksa. Papa juga gak akan menikah dengan Tante Lidia. Jangan pergi ninggalin Papa
seperti tadi lagi..."
Apa" Aku gak salah dengar, kan"
Papa memegang pundakku dan tersenyum. "Papa sayang sama kamu, Li. Kamu segalagalanya buat Papa. Jangan pernah berpikir Papa gak menyayangi kamu, itu sama sekali gak
benar." Aku langsung memeluk Papa erat-erat. Air mataku jatuh berlinang. Papa... Ya, Papa. Ini baru
Papa. Papa yang sangat kusayangi. Papa yang paling perfect di mataku. Ini papaku.
Terima kasih Tuhan. Ternyata Papa sama sekali gak berubah. Terima kasih telah
mengembalikan Papa kepadaku.
Maafkan aku, Tante Lidia. Mungkin aku egois, tapi aku sangat menyayangi Papa. Dan... satu
lagi, Mama gak akan pernah tergantikan di hatiku. Maaf!
Lilia Senin, 19 eh... 20... Des 05
Planning hari ini: Meeting 11.00 Wib Ngerjain laporan 13.00 Wib
Lilia Lilia Lilia Lilia Gue lagi sumpek! Siapa nama cowok sok keren itu" Niko"!
BRENGSEK!! Barusan Joko dateng ke meja gue. Dia Bingung liat gue. Trus dia bilang gue udah gila.
Mungkin kali ini dia bener!
Hari ini Mama menjalani terapi. Kata Dokter, kondisi Mama sudah cukup stabil. Guncangan
terberat sudah dia lewati. Sekarang Mama memerlukan terapi pemulihan saja.
Senin, 20 Desember 2005 Dear Diary, (Hmm.. kenapa tiba-tiba aku jadi rajin nulis diary sekarang"!)
Tau gak, Di. Kyra tadi girang banget waktu aku cerita Niko yang nolongin waktu aku hampir
ketabrak mobil. Kata Kyra, Niko kayak Superboy. Hmm... kalau begitu aku Lana Lang dong"!
Hehehe... kok aku jadi ngaco!!
Trus... tadi aku cerita tentang rencana Papa untuk menikah dengan Tante Lidia pada Kyra
dan Denise. Aku bilang sempat benci pada Papa karena hal itu.
Kyra sama leganya dengan aku waktu tahu Papa membatalkan niatnya. Tapi Denise marah
sama aku. "Lo egois tahu, Li! Masa lo gak pengen liat bokap lo bahagia sih"!"
Kata-kata Denise terngiang-ngiang di kepalaku seharian ini... Apa betul aku egois" Tapi
keputusan itu dibuat Papa dan Tante Lidia sendiri, kan"! Bukan salahku!
Oh ya, tadi Niko ngajak aku nomat. Kita nonton Narnia. Seruuu banget! Besok rencananya
Niko mau nemenin aku ke toko buku.
Hmm... nulis apalagi yahh...
Kak Niko... Eeeeeeeeh!!! BEGO!!! Kok aku malah nulis-nulis nama dia sih"!
Rabu, gak tahu tanggal berapa
Gue datang ke sekolah Lilia, pengin klarifikasi semuanya ke dia...
Sialnya, gue dihadang temen-temennya. Mereka ngelarang gue ketemu Lilia. Mereka malah
bikin barikade di depan gerbang. Shamira melototin gue, Denise megang sapu dengan
garang, Kyra maju paling depan, dia bilang "JANGAN DEKETIN LILIA LAGI YA, OOM! DIA
UDAH PUNYA PACAR! NGERTIII"!"
Malamnya, Papa ngajak gue ngobrol berdua. Papa bilang, tadi dia bertemu temannya, Dr.
Paul Strikewood. Dr. Paul itu psikiater ternama di New York. Dia datang ke Indonesia untuk menjadi
pembicara seminar di JHCC. Papa menceritakan masalah Mama ke dia. Papa minta bantuan
Dr. Paul untuk membantu pemulihan Mama. Dr. Paul menyarankan agar Mama tinggal di
suatu tempat yang benar-benar berbeda dengan tempat tinggalnya sekarang, untuk
membantu proses berdamai dengan masa lalu.
Akhirnya Papa memutuskan menyuruh gue dan Mama pergi ke Amrik. Lagi pula, program
beasiswa gue kan bakal mulai empat bulan lagi. Jadi gak ada salahnya gue berangkat lebih
awal. Untungnya karena gue dapat beasiswa, visa gue sudah diurus. Sedangkan untuk visa
Mama bisa didapat dengan mudah atas rekomendasi dari Dr. Paul yang mengatakan Mama
ke Amerika untuk berobat.
Gue mikir semalaman... Kamis, 21 Desember 2005 (kemarin ketiduran, jadi lupa nulis...)
" Aku gak nyangka, kemarin Kak Niko dateng ke sekolah! Sebenarnya aku pengin keluar
nemuin dia, tapi dilarang keras sama semua temanku! Akhirnya aku disuruh duduk nunggu
di kelas... " Papa cerita ke aku mama Kak Niko masuk rumah sakit. Tapi Papa gak tahu sakit apa... Papa
ngajak aku jenguk besok...
" Hmmm... Mungkin ini perasaanku aja, tapi kayaknya Papa jadi sering bengong akhir-akhir
ini. Tadi aku mergokin Papa yang bengong padahal lagi baca koran. Kata-kata Denise jadi
terngiang-ngiang lagi di kepalaku. Apa benar aku telah membuat Papa jadi gak bahagia"
Kamis, 21-12-05 Keputusan gue udah bulat! Gue memutuskan pergi dengan Mama ke Amrik. Papa langsung
memesan tiket untuk kami berdua.
Hari ini gue mengurus surat pengunduran diri. Semua orang di kantor syok. Mereka gak
nyangka gue keluar semendadak itu. Bos gue marah-marah, tapi gak bisa berbuat apa2
karena gue udah menyelesaikan semua laporan audit yang jadi bagian gue (ini untungnya
jadi workhaholic!) Sebenarnya gue tahu, Bos pasti kebakaran jenggot karena bakal
kehilangan bibit unggul macam gue. Gue sampai diancam gak bakal dapat bonus akhir tahun
Gerhana Di Malam Jahanam 1 Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Pedang Angin Berbisik 22
^