Pencarian

Udah Belom 1

Udah Belom Karya Laurentia Dermawan Bagian 1


PROLOG "KRING kring kring ada sepeda. Sepedaku roda dua..." Sambil mengayuh
sepedanya, Nesya yang baru berumur lima tahun menyanyikan lagu favoritnya
itu. Sepeda melaju asyik, lalu membelok ke kiri. Tapi kemudian... dari arah
berlawanan... muncul sepeda yang dikemudikan Vino, tetangga Nesya. Nesya
jadi gugup. Tabrakan tak dapat dihindari. Sepeda Nesya jatuh menimpa sepeda
Vino! Vino meringis kesakitan. Lengannya tergores batu di pinggir jalan. Nesya yang
melihat darah keluar dari luka Vino hanya bisa ikut-ikutan meringis, seakan ikut
merasa sakit. "Aduh...", keluh Vino sambil melihat lengannya sendiri. Dan begitu melihat
darahnya tak kunjung berhenti mengalir, sontak tangis Vino pecah.
Tiga anak lain tiba-tiba mengerumuni mereka dan menyoraki Nesya dengan
polos. "Hayo, Eca!" "Eca jahat! Eca jahat!"
"Pino berdarah! Gara-gara kamu sih!"
"Hayo, Eca! Hayo, Eca!"
Nesya panik. Dia mulai celingak-celinguk, mengharapkan seseorang datang
untuk membelanya. Tapi teman-teman yang ada di sekelilingnya justru makin
keras menyalahkannya atas kecelakaan barusan.
Tangis Vino makin keras. Nesya makin panik. Dan tanpa menunggu lama, tangis
Nesya pun ikut-ikutan pecah. Dia menangis sekeras mungkin, berharap orang
tuanya mendengar dan menyelamatkannya dari ledekan teman-temannya
yang juga masih seumuran dengannya itu.
Nesya menangis bukan sebagai ungkapan rasa bersalah, melainkan ungkapan
rasa takutnya yang besar. Lagi pula, apa sih yang diharapkan dari seorang gadis
kecil berumur lima tahun yang tanpa sengaja menabrak sepeda temannya
sendiri" Mungkin memang hanya tangis yang bisa mengungkapkan kata
"maaf". Melihat Nesya menangis, anak-anak yang lain langsung berhenti menyoraki,
takut disalahkan. Vino yang awalnya menangis karena kesakitan, tiba-tiba
menghentikan tangisnya karena bingung melihat Nesya. Dia yang sakit, kok
Nesya yang ikut-ikutan menangis"
"Kamu kenapa?" tanya Vino polos.
Nesya menatap Vino sesaat. Setelah itu ia malah kembali menangis lebih
keras! Vino makin bingung. Dirinya mulai panik. "Kamu apanya yang sakit?" tanya
Vino sambil menyentuh bahu Nesya.
Nesya menggeleng sambil menunjuk luka di lengan Vino. Vino cepat-cepat
mengelap darah di lengannya dengan bajunya. Entah ke mana hilangnya rasa
sakit karena luka itu. Saat itu yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana
caranya menghentikan tangis Nesya.
"Udah nggak sakit lagi kok. kamu jangan nangis lagi dong...", kata Vino sambil
tersenyum, mencoba menghibur Nesya. Setidaknya itulah yang selalu ia tonton
di TV: anak cowok harus lebih kuat daripada anak cewek. Bukankah begitu"
Anak-anak yang lain sampai terpukau dan serempak mendekati Vino. Mereka
menunjuk luka gores di lengan Vino yang masih mengeluarkan darah segar.
"Itu nggak sakit?" tanya salah satu anak dengan wajah superpolos.
Vino menggeleng yakin. "Nggak!"
"Wah, hebat!" seru anak-anak yang lain sambil bertepuk tangan.
Vino tersenyum bangga. Nesya yang melihat Vino sudah sehat kembali refleks
menghentikan tangis. Perlahan dia ikut tersenyum, sepolos anak-anak yang
lain. *** Sore itu langit masih secerah sore kemarin. Daun-daun yang bergoyang tertiup
angin menambah sejuknya udara yang diisi canda tawa anak-anak kecil yang
sedang bermain dengan riangnya. Di antara mereka, tampak Nesya dan Vino
bermain kejar-kejaran, persis di depan rumah Nesya.
Tanpa sengaja Nesya menabrak Vino dari belakang. Refleks Vino terjatuh ke
atas aspal. Lututnya terluka dan mengeluarkan darah segar. Vino menangis
dengan keras, lukanya terasa perih.
Melihat Vino menangis, anak-anak yang lain kembali menyoraki Nesya. Dan
benar-benar nggak butuh waktu lama untuk membuat Nesya yang memang
masih kecil dan jelas bermental lemah itu menangis.
"Eca jahat! Eca jahat!" seru anak-anak lain dengan nada kompak.
Vino meniup-niup lututnya untuk menghilangkan rasa perih. "Jangan nangis
lagi dong, Ca! Yang sakit kan aku!" kata Vino polos, yang ternyata berhasil
membuat Nesya terdiam. Nesya yang memang merasa bersalah, langsung membantu Vino meniup-niup
lutut. "Sakit, ya?" tanyanya penasaran.
Vino mengangguk yakin. "Iya."
"Rasanya gimana?" tanya Nesya polos.
Vino terdiam sesaat, berusaha merasakan luka yang ada di lututnya itu.
"Rasanya... kayak ada yang nusuk-nusuk."
"Iiih! Jangan-jangan ada jarumnya!" seru Nesya panik.
"Nggak kok! Nggak ada jarumnya! Nanti kalo udah sembuh, nusuk-nusuknya
juga hilang," jawab Vino yang baru berumur enam tahun ini. Ia berusaha
meyakinkan dirinya sendiri juga, sambil terus meniup lututnya yang lecet.
"Ooooh gitu. Ya udah, aku tiupin ya!" seru Nesya riang, seakan lupa akan
tangisnya barusan. Lupa bahwa sebenarnya dialah yang membuat Vino terluka.
*** "Aku nggak mau main sama Eca!" seru seorang anak. Anak-anak yang lain
langsung mengangguk. "Iya nih. Kalo deket-deket kamu, nanti aku bisa kamu tabrak juga!"
Nesya terdiam, sedih. Memangnya segitu berbahayanyakah dia sampai temantemannya nggak mau bermain lagi dengannya"
"Eca jahat sih! Kemaren aja Pino berdarah!"
Nesya menundukkan kepala. Matanya mulai basah. Bibirnya bergetar menahan
tangis. Dia memang bersalah, sudah dua kali membuat Vino terluka. tapi bukan
berarti dia sengaja kan" bukan berarti dia berbahaya, kan" dia hanya ingin
main. Itu saja kok. Nggak ada yang meladeni Nesya. Anak-anak yang lain memulai permainan
tanpa dirinya. perlahan Nesya membalikkan badan dan berjalan pulang. Tapi
baru beberapa langkah, Vino sudah muncul di hadapannya dengan senyum
polos. "Eca, main sama aku yuk!" kata Vino sambil menggenggam tangan Nesya.
Nesya menatap Vino dengan takjub. Dikuceknya matanya dengan punggung
tangan. Saat ia membuka mata dan melihat senyum Vino yang masih
terpampang di hadapannya, ia pun kembali bersemangat.
"Main apa?" tanya Nesya sambil tersenyum riang.
"Hmm.. main apa ya..." Vino menimbang-nimbang. "Gimana kalo petak
umpet?" cetusnya. Nesya langsung tersenyum sumringah. "Ayo! Tapi kamu yang jaga, ya?" ujar
Nesya polos. Vino merengut kecil. "Kok aku yang jaga?"
"Kamu kan cowok!" sahut Nesya asal.
Vino termangu sesaat. Sebenarnya ia masih nggak mengerti mengapa cowok
yang harus jaga. Tapi karena nggak mau buang-buang waktu lagi, akhirnya ia
mengangguk setuju. Perlahan ia berbalik memunggungi Nesya. Sesuai peraturan, Nesya menyentuh
punggung Vino dengan salah satu jarinya. Vino berbalik menghadap Nesya.
"Yang ini," ujarnya sambil menunjuj jari telunjuk Nesya.
Nesya menggeleng. "Yang ini..." Kali ini Vino menunjuk jari tengah Nesya.
Nesya kembali menggeleng.
"Hm..." Vino menebak-nebak. "Yang ini!" serunya sambil menyentuh
kelingking Nesya. Nesya tersenyum senang. Akhirnya permainan bisa dimulai setelah Vino
berhasil memilih jari yang tepat. Vino menyandarkan lengan ke tembok pagar
rumah Nesya, lalu memejamkan mata.
"Pino!" panggil Nesya, membuat Vino kembali menoleh padanya.
"Apa?" tanya Vino bingung.
"Kamu nggak takut main sama aku?"
Vino mengerutkan kening. "Takut apa?"
"Takut aku bikin kamu berdarah lagi...," kata Nesya tanpa berani menatap
Vino. Vino menggelengkan kepala dengan yakin. "Nggak kok!"
Nesya tersenyum lega. "Kamu bakal cari aku sampai ketemu, kan?" tanya
Nesya sambil bersiap-siap lari dan bersembunyi.
"Pasti aku temuin!" seru Vino, nggak sabar untuk memulai permainan. "Aku
hitung ya! satu... dua..."
Nesya langsung berlari sejauh mungkin dan mencari tempat yang aman untuk
bersembunyi. Dari jauh masih terdengar samar-samar suara Vino yang sedang
menghitung. Nesya makin bersemangat. Dia terus berlari ke taman yang
terletak di ujung jalan. Dengan gesit dia bersembunyi di balik semak yang
ditata rapi di taman itu. Hatinya berdebar kencang, antara takut ketahuan dan
senang. "Delapan... sembilan... sepuluh! Udah belom"!" seru Vino di akhir hitungannya.
Tanpa menunggu lebih lama, Vino membuka mata dan celingak-celinguk
mencari sosok Nesya. Kondisi di jalan saat itu masih dipenuhi anak-anak lain
yang juga sedang bermain. Vino makin bersemangat mencari Nesya.
Didatanginya setiap rumah tetangga yang pintu pagarnya terbuka.
Dilemparkannya pandangan ke setiap celah.
Setengah jam telah berlalu. Jalanan pun mulai terlihat sepi. Anak-anak satu per
satu pulang ke rumah masing-masing. Vino mulai gelisah. Pasalnya, sebentar
lagi magrib. Menurut mitos, saat magrib anak-anak pantang berada di luar
rumah. katanya sih bakal diculik sama makhluk gaib. Tapi menurut para ahli,
saat matahari terbenam merupakan pergantian udara dari siang ke malam.
Jadi memang nggak bagus untuk tubuh.
Vino masih celingak-celinguk mencari sosok Nesya. Ia tampak gelisah. "Eca!"
serunya keras, berharap Nesya keluar dan menyudahi permainan.
Saat ini yang ada di pikirannya bukan lagi menang-kalah. Ia hanya ingin segera
menemukan Nesya karena hari mulai gelap. Dengan panik, Vino berlari ke arah
taman. Nalurinya berkata Nesya bersembunyi di situ.
"Eca!" serunya lebih keras.
Dari balik semak, Nesya tertawa kecil. Dia bisa melihat sosok Vino yang sedang
kebingungan mencarinya. Nesya terus mengawasi dengan dada berdebar. Ia
sudah siap-siap bila Vino menemukannya.
Vino berjalan ke arahnya. Tinggal beberapa langkah lagi, tetapi...
"Vino! Ayo pulang!" seru seseorang dari tepi taman.
Vino menoleh cepat. "Tapi Eca..."
"Ayo pulang!" seru Bi Odah, wanita pengasuh Vino itu dengan nada lebih
tinggi. "Nanti dimarahi mama lho! Besok pagi kan kita mau pindah rumah..."
Vino kebingungan. Dia takut dimarahi mamanya karena pulang kesorean. Tapi
dia juga merasa harus mencari Nesya.
"Ayo!" kata Bi Odah sambil menggandeng lengan Vino dan menggiringnya
pulang. Nesya melihat sosok Vino yang kebingungan dan tak berdaya. Vino makin
menjauh dari taman, sampai akhirnya menghilang di belokan jalan. Pikiran
Nesya yang polos membuatnya tetap menunggu. Yap, ia terus menunggu Vino
untuk menemukannya. Setengah jam pun berlalu. Hari semakin gelap. Pasukan nyamuk mulai
menyerang tubuh Nesya. Nesya mulai cemas. Dia masih menunggu Vino,
karena dia yakin Vino akan mencarinya. Lagi pula, selain Vino, siapa lagi
temannya yang harus ia percaya"
Waktu terus berjalan. Nesya makin panik. Orangtuanya pasti sedang
mencarinya sekarang. Tapi dia takut beranjak dari tempat persembunyiannya
ini. Apalagi taman mulai gelap, hanya diterangi cahaya dari beberapa lampu
taman yang berbentuk bulat.
Tanpa sadar Nesya menangis. Tapi tangisnya kali ini nggak sekeras biasanya. Ia
menangis perlahan, nyaris nggak mengeluarkan suara. Satu hal yang ia
rasakan, hatinya terasa perih. Ada rasa takut yang luar biasa melandanya. Ingin
rasanya ia menangis keras-keras, tapi suaranya tersekat.
Ia ingin pulang, tapi kakinya nggak mau bergerak. Ia berharap seseorang akan
menemukannya. Ia ingin Vino kembali dan membawanya pulang ke rumah.
tapi rasanya sia-sia saja. Mungkin memang nggak akan ada orang yang akan
menemukannya. "Kamu nggak apa-apa?"
Tangis Nesya terhenti. Perlahan ia mendongakkan kepala, melihat si pemilik
suara tadi. Mata Nesya membesar, ia nggak mengenal anak ini. Anak lelaki ini
berdiri menatapnya. Kalau dilihat dari umurnya, anak ini paling baru kelas 2 SD.
"Rumah kamu di mana?" tanya anak itu ramah.
Nesya masih menatapnya bingung. Perlahan rasa takutnya berkurang. Ia nggak
menangkap niat jahat dalam diri anak lelaki di hadapanya ini. Yang ia tahu,
seseorang telah menemukannya, dan ia ingin pulang.
"Di sana...," kata Nesya, sambil menujuk ke arah jalan.
Anak cowok itu menoleh sekilas ke arah jalan dan kembali menatap Nesya
yang masih jongkok di antara semak-semak. Pelahan dia tersenyum ramah
sambil mengulurkan tangan.
"Ayo pulang. Aku antar..."
SATU Sepuluh tahun kemudian...
"GUE berangkat sendiri aja deh, Ra," ujar Nesya yang sedang menelepon Kiara,
sahabatnya. Nesya tampak nggak sabar. Ia sibuk mengunyah roti bakarnya.
"Duh, sori banget, Ca. Gue kesiangan. Kita telat bareng aja deh. Gue baru pake
seragam nih," sahut Kiara dari seberang sana.
"Gila lo!" kalo bisa on time, kenapa harus elat bareng" Mendingan gue
berangkat sendiri! Jadi kan lo nggak perlu muter buat jemput gue dulu. Gue
bisa kok naek angkot..."
"Lho, emang bokap lo ke mana?" tanya Kiara.
"Bokap gue udah berangkat lima belas menit yang lalu, Sayang..."
"Ya ampun, sori banget ya! duh, kita telat bareng aja deh. Gue jemput lo. Gue
udah selesai nih," kata Kiara yakin
"Nggak! Gue nggak mau telat di hari pertama kita sekolah. Lagian, gue tau kok
jalan ke sekolah baru kita itu. Lo jangan parno gitu dong," sahut Nesya sambil
meneguk minumannya. "Gue bukannya parno, Ca. Tapi..."
"Oke, oke. Daripada kita beneran telat gara-gara kelamaan nelepon,
mendingan gue berangkat sekarang. Kita ketemu di gerbang ya. dah...!" Nesya
menyudahi pembicaraan dan cepat-cepat menutup telepon.
"Ma, aku berangkat ya!" seru Nesya sambil mengambil tas.
"Hati-hati!" seru Mama, panik meliha anaknya yang terburu-buru itu.
Sebenarnya, masalahnya adalah Nesya nggak tahu letak kelasnya di mana. Ini
hari pertama ia memasuki masa SMA. Dan, yang lebih parah, ia dan Kiara
nggak mengikuti MOS sama sekali. Soalnya, Nesya kena flu parah dan Kiara
malah liburan bareng orangtuanya. Makanya, awalnya mereka berniat pergi
bareng untuk mengecek kelas mereka. Eh, jadinya malah telat kayak begini.
Begitu keluar dari pagar rumah, Nesya langsung mengambil ancang-ancang
untuk berlari. Kenapa harus lari" Karena jarak dari rumahnya ke gerbang
kompleks jauh banget. Belum lagi ia harus naik angkot. Maka satu-satunya
jalan adalah berlari sekencang mungkin dan mendapatkan angkot secepat
mungkin supaya sampai di sekolah se-on time mungkin!
*** "Vino!" Refleks cowok bertubuh tinggi yang dipanggil "Vino" itu menoleh ke arah
datangnya suara, membuat beberapa helai rambutnya bergoyang alami, makin
mendukung ketampanan wajahnya.
"Apa lagi sih, Ma?" tanya Vino sambil merengut kecil.
"Nanti pulang sekolah, langsung pulang ke rumah ya. jangan keluyuran nggak
jelas," kata Mama Vino sambil merapikan kerah seragam putra kesayangannya
itu. "Aku kan nggak pernah keluyuran. Paling-paling aku maen game online di
warnet bareng Egi." "Pokoknya hari ini kamu nggak boleh ke mana-mana. Pulang sekolah langsung
pulang. Bantuin mama beres-beres dong. kita kan baru pindahan..."
Vino mengerutkan kening, merasa keberatan. "Tapi, Ma, aku kan cowok."
"Memangnya kenapa kalo kamu cowok" Nggak boleh bantuin Mama?" kata
mama Vino sambil berkacak pinggang.
Vino langsung menegapkan badan dan memberi hormat. "Siap, Ma! Arvino


Udah Belom Karya Laurentia Dermawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jelandra siap menerima tugas!"
"Gitu dong, anak baik...," ujar Mama sambil mengelus-elus kepala Vino.
"Tapi nanti aku ada latihan basket..."
"Nggak ada alasan!" potong Mama, seakan tahu taktik si anak.
Vino langsung mengeluh pelan. "Aku kan sekarang kapten tim, Ma!"
"Mama nggak mau tahu. Mau kapen tim kek, kepala sekolah kek, pokoknya
kamu harus pulang on time hari ini. Titik."
"Ah, Mama...," Vino tetap keberatan.
"Vino, ayo berangkat!" seru Papa dari dalam mobil.
"Iya, Pa!" Dengan gesit, Vino mengambil tas dan menyampirkannya di bahu.
"Dah, Mama!" ujarnya sambil mencium kedua pipi mamanya.
Setelah itu, dengan cepat ia berlari masuk ke mobil, duduk di sebelah papanya
yang ada di bangku pengemudi.
"Lain kali, kalo begini lagi, Papa tinggal kamu," ancam papanya sambil mulai
melajukan mobil. "Sori deh, Bos. Yang bikin lama kan Mama," Vino membela diri sekenanya.
Dengan gesit ia menyalakan tape mobil, dan mengalunlah lagu-lagu dari Within
Temptation, band favoritnya.
*** Vino memerhatikan pemandangan di luar jendela mobil. Diamatinya satu per
satu rumah yang dilewatinya. Ada rasa hangat di dadanya. Sudah lama sekali ia
nggak merasakan suasana tempat tinggalnya itu.
Sepuluh tahun yang lalu ia pindah ke rumah neneknya. Cukup jauh dari sini,
tapi masih di kawasan Jakarta. Selama sepuluh tahun ia hidup di lingkungan
yang berbeda. Bahkan ia sempat melupakan teman-teman masa kecil yang
suka bermain di sore hari bersamanya dulu. Tapi ada satu orang yang nggak
pernah dilupakannya sampai sekarang.
Dengan saksama Vino memerhatikan lengannya yang jelas berbeda dengan
waktu kecil dulu. Lengan kecil itu sudah berubah menjadi lengan orang
dewasa. Sekarang ia sudah kelas dua SMA dan nggak sepolos anak berumur
enam tahun lagi. Tapi ada satu hal yang tetap sama.
Luka goresan itu masih berbekas di lengannya. Memang sih, luka itu sudah
tampak samar-samar. Tapi entah kenapa, ingatannya akan luka itu nggak
pernah bisa dilupakan. Ia masih ingat teman kecilnya yang bernama Nesya alias
Eca, si penyebab luka di lengannya itu.
Sayangnya, ia bahkan nggak tahu apakah Nesya masih tinggal di rumah yang
sama atau pindah seperti dirinya dulu. Soalnya, baru kemarin sore Vino pindah
ke rumah masa kecilnya karena seminggu yang lalu neneknya meninggal dunia.
Dan ia belum sempat jalan-jalan di sekitar kompleks.
"Kok melamun, Vin?" tanya Papa sambil mengecilkan volume tape mobil
Vino tersadar. "Oh... nggak apa-apa kok."
Papa melirik Vino. "Inget masa kecil, ya" dulu kan kamu suka main sama
teman-teman kamu pas sore-sore..."
"Papa tahu dari mana?" tanya Vino bingung. Bukankah papanya ini selalu
pulang di atas jam tujuh malam karena jalanan macet"
"Apa sih yang Papa nggak tau?" ujar papanya sambil tersenyum bangga.
Vino mendengus pelan. "Paling diceritain sama Mama."
Papa tergelak. "Papa kan punya banyak mata-mata di rumah."
"Alah... paling juga Mama mata-matanya."
"Hahaha. Tau aja kamu!" kata Papa sambil tertawa lepas.
Vino tersenyum puas. Inilah salah satu hal yang ia syukuri, memiliki orangtua
yang bisa dijadikan teman. Dan walaupun Vino anak tunggal, ortunya nggak
pernah memanjakannya. Dan yang makin membuat Vino merasa beruntung ialah ia memiliki kenangan.
Karena baginya, hidup adalah kesatuan dari masa lalu, sekarang, dan masa
depan. Sementara wajahnya masih menyisakan senyum, otak Vino mulai bekerja. Jauh
di depannya, matanya menangkap sosok cewek berseragam putih abu-abu
sedang berlari. Wajah cewek itu penuh keringat. Rambutnya lepek.
Rasa penasaran Vino tergelitik. Begitu mobil melaju melewati sosok tersebut,
Vino memerhatikan sampai menoleh ke belakang, ingin terus melihat cewek
itu. "Ada apa, Vin?" tanya Papa bingung.
Vino menoleh. "Hah" Oh, nggak kok, Pa," kata Vino sekenanya.
Cewek itu, Nesya, tampak semakin bersemangat berlari. Sebentar lagi ia
sampai di gerbang kompleks. Napasnya nggak beraturan. Dadanya sedikit
sesak karena kekurangan oksigen. Pinggangnya mulai sakit. tapi ia nggak boleh
menyerah kalo memang nggak mau telat.
Pandangan Vino mulai mengarah lurus ke depan kembali. Tapi baru beberapa
detik, ia tetap nggak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Perlahan
diliriknya kaca spion samping. Tanpa sadar, bibirnya membentuk senyuman
begitu melihat sosok Nesya yang masih bisa ditangkap oleh kaca spion.
"Lucu amat tuh cewek..."
*** Gedung SMA Pelita masih seperti beberapa tahun yang lalu. Belum ada
renovasi yang signifikan. Meskipun nggak ada renovasi, orang-orang tetap
mengagumi mutu sekolah ini. Siapa yang nggak kenal SMA Pelita" Salah satu
sekolah favorit yang ada di Jakarta itu memang selalu menjadi incaran para
siswa yang baru saja lulus SMP.
Dan betapa beruntungnya Nesya dan Kiara karena bisa masuk SMA sepopuler
itu. Padahal dulu mereka hanya sekolah di SMP yang biasa-biasa saja. Tapi
berkat perjuangan keras, akhirnya mereka berhasil masuk ke SMA yang sama,
populer pula! Sayangnya, mereka berdua sama-sama nggak tahu letak kelas
baru mereka sendiri. "Ya ampun! Akhirnya lo sampe juga!" sapa Kiara begitu melihat Nesya turun
dari angkot dan melangkahkan kaki melewati gerbang sekolah.
Nesya yang masih ngos-ngosan butuh beberapa detik untuk membalas sapaan
Kiara. "Lha iyalah! orang gue maraton!"
"Ya salah lo sendiri. Gue ajak bareng nggak mau," ujar Kiara, berusaha
membela diri. "Terus kita telat bareng, gitu?" sahut Nesya, masih dengan dada berdebar
cepat. Kiara merangkul pundak Nesya dengan bersahabat. " Iya, sori, sori! Sekarang
yang penting, kelas kita di mana?" tanya Kiara santai.
Nesya melongo menatap temannya. "Lah, daritadi lo belom nyari?"
"Belom," jawab Kiara polos.
"Wah, gawat!" seru Nesya panik sambil menarik lengan Kiara dan
menggiringnya masuk ke sekolah untuk mencari kelas mereka.
*** Di pagi hari yang sama, di SMA Pelita...
"Woy! Vino!" sapa Egi sambil berlari kecil menyusul Vino. Egi ini teman sekelas
Vino waktu kelas satu. Selain teman akrab di sekolah, rumah Egi juga satu
kompleks dengan rumah Vino, tapi beda blok.
Refleks Vino menoleh. "Eh, elo. What"s up?"
"Wah... gile lo, ya! pindah rumah nggak bilang-bilang. Udah jadi tetangga lagi
tapi nggak ngasih tau. Nggak nraktir gue, lagi!"
"Emangnya gue ulang tahun, pake nraktir elo?" sahut Vino sambil merangkul
Egi. Egi tergelak. "Lagian, sebenernya gue bukan pindah rumah, tapi kembali ke rumah asal,"
Vino beralasan. "Jadi nggak perlulah nraktir lo buat ngerayain rumah baru.
Mana elo makannya kayak gentong pula," lanjut Vino sambil menaiki anak
tangga. "Sialan lo!" kata Egi cuek, yang justru membuat Vino tergelak. "Eh, kita sekelas
lagi lho! Kita di 2-IPA-3, kelas kita di atas."
Vino menghela napas panjang. " Gue kira bakal sekelas sama cewek-cewek
cakep, eh nggak taunya malah sama gentong!"
"Gigi lo gentong! Bodi keren begini dibilang gentong! Buta kali lo!" Egi nggak
terima. Tubuh Egi memang nggak gendut kayak gentong, malah termasuk bagus. Tapi
karena waktu kecil dia doyan banget makan tapi nggak bisa gendut, maka Vino
seenaknya menjulukinya "gentong".
Vino nggak bisa menahan tawa. Cowok kalo bercanda memang seperti itu, kali
ya. makin banyak hinaan, makin bersahabat. Tapi kalo hinaannya keterlaluan,
tonjokannya juga makin mantap.
"Eh, Vin, di kelas kita banyak cewek cakepnya lho! Dijamin deh, lo anteng terus
di kelas," kata Egi.
"Kalo cakepnya kayak Dian Sastro sih gue nggak bakal bosen," sahut Vino asal.
Egi langsung bergaya muntah-muntah."Mimpi kali ye...!"
"Emangnya, cakep menurut lo yang kayak gimana sih, Vin?" Cecar Egi.
Kini mereka mulai menapaki anak tangga ke lantai dua.
Vibo berhenti melangkah dan memandang Egi dengan tatapan aneh. "Kenapa
lo tanya-tanya kayak gitu" lo mau daftar?"
"Sialan lo!" seru Egi refleks. "Bisa dikutuk seratus turunan gue kalo sampe
naksir lo!" Kali ini Vino ketawa sampai ngakak. "Hmm... gimana ya" kalo menurut gue,
cewek cakep tuh..." BRUK! Tubuh Vino sedikit bergeser ke samping. Tanpa permisi, Nesya menabrak
cowok itu dengan cuek. sedangkan Kiara, dengan cara yang sama, menabrak
tubuh Egi. Giliran Egi yang kaget. Lalu tanpa kata maaf, kedua cewek itu
meneruskan menaiki anak tangga sambil berlari. Tinggallah Vino dan Egi yang
masih terbengong-bengong, takjub akan ketidaksopanan kedua anak baru itu.
"Mau jadi apa negara kita ini" Anak baru aja udah pada belagu sama kakak
kelas," keluh Egi jengkel.
Vino masih terdiam. Dia ingat cewek yang menabraknya barusan. Bukankah itu
cewek yang sama dengan yang lari di kompleks tadi pagi"
"Woy!" panggil Egi, menyadarkan lamunan Vino.
"Apa?" "Ayo buruan! Jangan bilang lo kesengsem sama anak baru tadi!" kata Egi
sambil berjalan mendahului Vino.
Vino terdiam sesaat. Tanpa sadar ia tersenyum geli. Kebetulan yang aneh.
Bertemu dengan orang yang sama dalam waktu nggak lebih dari satu jam!
Yah... anggaplah ini memang kebetulan.
Vino menegakkan kepala, menatap punggung Egi yang mulai menjauh. Dengan
gesit, ia berlari kecil menghampiri Egi dan berjalan memasuki kelas barunya
dengan penuh percaya diri.
*** "Hah?" Kiara langsung menoleh ke samping. Matanya menatap ke segala arah,
seakan mencari pangeran yang dapat menyelamatkannya dari interogasi putri
cantik di hadapan ini. "Ra?" panggil Nesya, membuat Kiara sadar.
"Hm... tadi lo ngomong apa sih, Ca?"
Sahut Kiara pura-pura lupa.
"Gue tanya, kenapa kita sekolah di SMA Pelita" Kenapa nggak di SMA lain?"
kata Nesya, mengulang pertanyaan yang semenit lalu baru saja diajukannya
kepada Kiara. Kiara memeras otak lebih kuat daripada sebelumnya. "Oh itu!" serunya keras.
"Kita masuk SMA Pelita karena jelas-jelas sekolah ini adalah sekolah terfavorit
di Jakarta." Nesya mengerutkan kening. "Yakin lo" Soalnya kan banyak SMA lain yang juga
bagus dan pastinya lebih dekat sama rumah kita..."
"Tapi daridulu lo pengen banget sekolah di sini, Ca!" lontar Kiara, keceplosan.
"Karena...?" pancing Nesya cepat.
"Karena... karena..." Kiara nggak berani menatap sahabatnya itu. " Karena dari
dulu, menurut lo SMA Pelita adalah SMA terbaik. Makanya sebelum lo
kecelakaan, kita berdua udah mendaftar di sini, dan ternyata kita diterima,"
jelas Kiara, berusaha meyakinkan Nesya yang tampaknya masih curiga itu.
"Oh, gitu?" Nesya menggumam pelan.
"Emangnya kenapa, Ca" Kok tiba"tiba lo nanya kayak gitu?" Gantian Kiara
yang penasaran. "Hm... nggak apa-apa sih." Dahi Nesya berkerut, berusaha mengingat sesuatu.
"Gue Cuma merasa... kayaknya gue punya alasan yang kuat untuk masuk SMA
Pelita. Tapi sayangnya gue nggak tau apa alasan itu," kata Nesya, kesal pada
dirinya sendiri yang bahkan untuk hal seperti ini pun ia lupa.
Perlahan Kiara merangkul bahu sahabatnya itu dengan lembut. "Kita milih SMA
Pelita karena sekolah ini sekolah favorit, Ca. Itu aja. Nggak ada alasan lain yang
harus lo pikirin. Lo harus percaya sama gue," ujar Kiara meyakinkan.
Nesya menatap Kiara, seakan mencari kejujuran di mata sohibnya itu. "Gue
percaya kok sama elo," sahut Nesya sambil tersenyum manis.
Kiara balas tersenyum, tanpa berani menatap mata Nesya. Ia takut. Ia benarbenar takut dengan permainan ini. Kiara takut Nesya tahu ia sedang
berbohong. Atau lebih tepatnya, ia takut Nesya ingat semuanya...
DUA Seminggu kemudian... DENGAN santai Vino berjalan di koridor sekolah. Ditatapnya sekilas anak-anak
kelas satu yang sedang jelas-jelas mengaguminya. Dalam hati ia tersenyum
sinis. Sampai saat ini ia masih nggak habis pikir dengan kaum yang bernama
cewek. Kenapa sih mereka suka menatap cowok dengan tampang terlongolongo begitu" Biasa aja deh!
Dulu, waktu kelas satu, Vino memang suka banget kalo para cewek mengagumi
dirinya. ia merasa dicintai banyak orang. Bahkan dulu, untuk pacaran dengan
Marsya saja Vino nggak perlu nembak. Marsya yang datang duluan ke
hadapannya dan menawarkan status pacaran. Bukan berarti ia nggak menyukai
Marsya, tapi masalahnya, apa benar makna pacaran hanya sesimpel itu" Hanya
semudah mengucapkan kata "aku suka kamu" dan "oooh ternyata kamu juga
suka aku"! Namun, persahabatan Vino dengan Mike (waktu itu Vino kelas satu dan Mike
sudah kelas tiga) secara nggak langsung telah menyadarkannya.
Sebagai senior dan cowok yang juga populer seperti Vino, Mike nggak pernah
senang kalo dikagumi para cewek. Selain ganteng dan jadi kapten tim basket
cowok SMA Pelita, Mike sangat low profile. Mungkin itu pula yang membuat
Vino kagum padanya. Vino teringat obrolannya dengan Mike beberapa bulan yang lalu, saat mereka
sedang istirahat di sela-sela latihan basket yang menyita energi.
"Mike, lo nyadar nggak, kalo lo lagi jalan, cewek-cewek pada ngeliatin elo."
"Oh ya?" Mike menoleh sekilas ke arah Vino. "Wah, gue nggak pernah
kepikiran sampe sana tuh."
Senyum Vino langsung puna dalam sekejap. Rasa capeknya setelah latihan
sampai nggak terasa lagi. "Emangnya lo nggak pernah sadar kalo anak-anak
cewek banyak yang naksir lo?"
Mike tersenyum geli. "Apa yang perlu ditaksir dari gue?"
Vino menunduk. Sebodoh inikah seniornya sampai nggak menyadari
ketampanannya sendiri" "Yaaah mana gue tahu" Mungkin karena lo jago
basket, pinter pula di kelas. Dan alasan paling jujur yang dimiliki cewek,
tampang lo lumayan," kata Vino sekenanya, tapi tetap aja nggak mau terangterangan mengatakan bahwa Mike cakep. Habis, nggak lucu kan, kalo cowok
muji cowok" Mike mulai tertarik. "Kayaknya yang barusan gue denger bukan ciri-ciri gue
deh. Bukannya itu elo?" Vino mengalihkan pandangan sambil pura-pura asyik
menenggak air mineral. "Yaaah, gue sih Cuma bisa say thanks doang ke
mereka," lanjut Mike cuek.
"Nggak tertarik buat pacaran?" tanya Vino asal. Mike menaikkan alis."Gue
denger lo selalu nolak cewek yang nembak lo. Kenapa, man" Lo nggak homo,
kan" haha!" goda Vino.
Mike tertawa geli sambil merangkul pundak Vino. "Gue udah punya pacar,
Vin," ujarnya pelan tapi tegas.
Vino melongo. "Hah!" Siapa"! Gile, kok gue nggak pernah denger sih" Bahkan
anak-anak juga taunya lo jomblo sejati!"
"Salah sendiri, mereka nggak pernah nanya langsung ke gue. Sejak setahun
yang lalu, gue udah resmi jadian sama dia."
"Wih, selamet ya! berapa lama pedekatenya?" tanya Vino sambil sesekali
menenggak air mineralnya.
Mike tersenyum tipis. "Kira-kira... sembilan tahunan."
Refleks Vino tersedak. Mike langsung menepuk-nepuk punggungnya. Vino
menatap Mike dengan tatapan nggak percaya.
"Dia satu-satunya cewek dalam hidup gue. Karena dia, gue nggak pernah bisa
jatuh cinta sama cewek lain. She is a simple girl but I love her," kata Mike
yakin. "Dan gue harap, lo juga melakukan hal yang sama ke cewek lo-kalo elo
punya cewek ya-seperti yang gue lakukan ke cewek gue. Would you?"
Vino terdiam. Hening sesaat. Ia membuang pandang ke arah lantai. Jujur, ia
sama sekali nggak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu keluar dari
mulut Mike yang menurutnya cowok serbasuper. Apakah itu artinya pikiran


Udah Belom Karya Laurentia Dermawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gue dangkal ya" batin Vino.
"Dunno," desah Vino pelan, tanpa menyadari bahwa sejak tadi Mike terus
memerhatikannya. Mike berdiri, bersiap kembali ke lapangan. "Nanti gue kenalin cewek gue ke
elo. Dia bakal masuk SMA ini juga kok, jadi adik kelas lo. Berhubung gue udah
hengkang, jadi... bantu gue jagain dia selama di sekolah ya! oke deh. Don"t
waste your time, bro!"
Refleks Vino mendongakkan kepala, melihat Mike sedang menatap ke
lapangan basket. Untuk pertama kalinya, Vino mengakui bahwa seniornya ini
memang pantas jadi kapten tim. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Mike. Ia
tahu, ia nggak akan pernah menyesal mengenal Mike.
Vino melangkahkan kaki di koridor, masih sambil mengingat kejadian beberapa
bulan lalu itu. Dan karena asyiknya melamun, Vino nggal sadar ada seorang
cewek yang berjalan tergesa-gesa di hadapannya.
"Permisi, Kak!" sapa Nesya yang tiba-tiba muncul di hadapan Vino dengan
wajah polos. Vino menatap Nesya dengan takjub. Rasanya sudah tiga kali ia bertemu cewek
di hadapannya ini dengan cara yang cukup unik. Apakah ini sungguhan atau
Cuma kebetulan" "Ya?" sahut Vino sekenanya.
"Saya mau tanya, lapangan basket indoor di mana, ya?" tanya Nesya sambil
menatap Vino yang juga sedang menatapnya dengan bingung.
"Oh, di..." suara Vino tercekat. Tiba-tiba ia ingat, saat kejadian di tangga
seminggu yang lalu, jelas-jelas Nesya menabrak dirinya tanpa minta maaf. Jadi,
buat apa dia membantu cewek ini menemukan lapangan basket indoor, yang
nggak lain dan nggak bukan adalah markas Vino"
"Di mana, Kak?" tanya Nesya, bingung melihat ekspresi Vino barusan.
"Di ujung koridor ini, belok kanan..." Saat melihat Nesya mendengarkan
dengan saksama, Vino makin bersemangat. "Nanti ada ruangan yang pintu
depannya bekas ditempeli poster-poster. Nah, itu ruangannya."
Nesya tersenyum puas. "Makasih ya, Kak!" ucapnya tulus, membuat Vino salah
tingkah. Belum sempat Nesya melenggang pergi, tiba-tiba Vino mencegatnya.
"Emangnya lo mau ngapain ke sana?" tanya Vino penasaran.
"Hmm... nggak ngapa-ngapain sih. Cuma karena kemarin saya nggak ikut MOS,
sekarang saya pengen tau ekskul apa aja yang ada di sekolah ini. Siapa tau saya
tertarik, terus ikut salah satunya," jawab Nesya sekenanya.
"Oh, begitu...," tanya Vino, masih belum puas.
Nesya cengengesan nggak jelas. "Hmm... tapi sebenarnya, saya nggak bisa
main basket sih..." Vino menaikkan alis. "Lho, terus lo mau jadi apanya" Ring basketnya" Atau jadi
bola basketnya sekalian?"
Nesya menggerutu dalam hati. Hari pertama sekolah aja udah ketemu kakak
kelas cakep tapi belagu kayak begini. "Ya siapa tau saya bisa jadi manajernya,"
jawab Nesya asal. "Hah" jadi manajer klub basket cowok apa cewek?" tanya Vino, makin
menikmati pembicaraan ini.
"Klub basket cowok dong. biar bisa ketemu cowok-cowok cakep, terus jadian
sama kapten timnya," jawab Nesya mulai kesal.
Vino melongo. Ia sama sekali nggak nyangka cewek di hadapannya ini berani
berkata seperti itu. Andaikan Nesya tahu, sebenarnya ia sedang berbicara
dengan si kapten! Tapi belum sempat Vino melanjutkan pertanyaan, Nesya udah keburu
menyela. "By the way, makasih ya, Kak!" kata Nesya dengan senyum yang
dipaksakan. Dengan cepat ia berlari meninggalkan Vino.
Dalam hati Nesya menggerutu. "Belagu banget tuh cowok. Untung Kiara lagi ke
toilet. Kalo nggak, beeeh, bisa berantem tuh dia sama si cowok dodol tadi.
Huh!" *** Sore itu Vino pulang dengan selamat. Egi yang memang sudah seminggu ini
menjadi ojek pribadinya itu nggak henti-hentinya memuji rumah baru Vino.
Ups, lebih tepatnya, rumah masa kecil Vino. Si tuan rumah malah hanya bisa
geleng-geleng kepala melihat kenorakan sohibnya itu.
"Lo kenapa sih?" tanya Vino, udah enek melihat tingkah Egi.
"Wah, mantap...," desah Egi sambil terus menyentuh perabotan yang ada di
lemari pajang. "Ini baru rumah..."
Vino melemparkan sekaleng soft drink ke arah Egi. Dengan sigap Egi
menangkapnya. "Jadi maksud lo, rumah lo bukan rumah" terus apaan"
Hutan?" "Hehehe... bukan gitu. rumah elo enak banget sih. Nyaman."
"Mungkin pengaruh desainnya," sahut Vino cuek. ia mengajak Egi duduk di
sofa, menonton TV sambil menikmati soft drink.
Egi duduk di samping Vino sambil membuka tutup kaleng minumannya.
"Ngomong-ngomong, nyokap lo mana?" tanya Egi sambil celingak-celinguk.
"Nih!" kata Vino sambil mengambil selembar kertas yang ada di atas meja, di
hadapannya. Egi menerima kertas itu dengan bingung. Mau nggak mau, ia pun membacanya
sambil mengerutkan dahi. Dear Vino, my sweetest son
Tadi Mama ketemu Tante Mia. Kami ngobrol-ngobrol dikit, dan akhirnya Mama
kepikiran, nggak ada salahnya kalo kita mengadakan syukuran karena kita udah
balik lagi ke rumah ini. Ya anggap aja kita reunian sama tetangga. Jadi sekarang
Mama belanja sama Tante Mia. Kalo kamu mau titip sesuatu, telepon HP
Mama aja ya. makan siang udah Mama siapin di meja.
Mama. NB: Oh ya, rumah udah selesai Mama beresin. Jadi kamu bisa nyantai!
Egi tergelak sambil meletakkan kertas itu kembali ke atas meja. "Gue pengen
punya nyokap kayak nyokap lo! Pasti fun baget ya!"
"Yap! Cukup fun kalo lo nggak ketemu dia setiap hari. Tau begini, mendingan
gue latihan basket di sekolah! Mana anak-anak tadi udah pada bete gara-gara
kapten timnya ngeliburin latihan," dumel Vino.
"Yaelah! Lo kok gila banget sih sama basket" Padahal masih banyak olahraga
yang lebih asyik daripada basket."
Vino menoleh ke arah Egi. "Maksud lo?"
Egi langsung salah tingkah. "Eh, iya ya. lo pernah cerita, renang lo juga bisa, voli
lo juga jago. Hehe... bikin iri gue aja!"
Kali ini Vino yang tergelak. "Udah deh, ngomongin yang lain aja!"
Tawa Egi pecah. "Tapi nyokap lo bener-bener asyik ya. nggak heran anaknya
juga asyik. Kalo nggak mah gue ogah jadi temen lo."
"Wiiih! Gue makin curiga sama elo," sahut Vino sambil menggeser tubuh,
menjauhi Egi. Egi langsung menimpuknya dengan bantal sofa. Vino tergelak.
"Ngomong-ngomong soal nyokap gue yang nyentrik nih, gue rasa karena itu
pula Bokap bisa jatuh cinta sama Nyokap..."
Egi menghela napas. "Gue pengen tuh, punya istri kayak nyokap lo..."
"Tua banget sih otak lo! Masih bau jengkol aja udah mikirin istri segala!" seru
Vino pura-pura jijik, yang langsung disusul oleh tawa Egi.
Egi melirik jam tangannya. "Duh! Gue balik dulu ya, Vin! Udah jam setengah
lima,"ujar Egi sambil memakai jaket, mengambil tas, dan berjalan keluar,
menghampiri motornya yang diparkir di garasi.
"Oke deh, Vin! Gue balik ya!" seru Egi sambil melajukan motor dan menghilang
di belokan jalan. Vino menatap rumah-rumah di sekitarnya. Kenangan masa kecil pun mulai
mampir di kepalanya. Dulu dia begitu akrab dengan situasi di sore hari begini.
Semua anak kecil berkumpul untuk bermain dan berbagi kepolosan.
Tiba-tiba hatinya terasa hangat. Ia ingin kembali ke masa-masa itu. Masa-masa
ketika ia bisa tertawa dan menangis tanpa harus malu. Mau ketawa ya ketawa
aja. Mau nangis ya nangis aja. Nggak akan ada orang yang mencela. Berbeda
dengan sekarang. Kalo hari gini ia ketawa dan menangis dengan cueknya di
depan orang banyak, bisa-bisa ia disangka orang gila!
Perlahan Vino melangkahkan kaki menelusuri kompleks. Mumpung sepi dan
nggak ada orang yang mengenalnya, jadi nggak ada salahnya ia jalan-jalan,
membandingkan dari setiap perubahan dari ingatan masa kecilnya dulu dengan
sekarang. Pastinya, banyak yang berubah. Dan ia ingin tahu seberapa besar
perubahan itu. *** Begitu tiba di taman yang terletak di ujung jalan, senyum Vino langsung
mengembang. Walaupun samar-samar, ia masih mengingat taman ini. Vino
sama sekali nggak ingat dengan jelas wajah teman-teman kecilnya. Bahkan ia
lupa siapa saja teman yang dulu sering bermain dengannya.
Lagi pula, Vino bukan cowok melankolis, jadi otaknya pun nggak pernah
berpikir ke arah situ. Yang ada di hadapannya sekarang ini, itulah yang harus
dijalaninya. Baginya, itulah hidup. Jangan berpikir terlalu jauh, melainkan
nikmatilah semuanya dengan baik. Dengan begitu, secara nggak langsung,
masa depan yang dibentuk pun akan berjalan baik.
Perlahan Vino memasuki taman dan duduk di bangku ayunan. Memang konyol
sih. Anak kelas dua SMA masa masih main ayunan" Haha! vino tertawa dalam
hati, menertawakan dirinya sendiri.
Tapi tiba-tiba... BRUK! Tubuh Vino terempas ke depan dan mendarat di tanah. Untung nggak
sampai tiarap. Vino langsung meihat kedua telapak tangannya yang sedikit
lecet akibat menopang berat tubuhnya. Tapi nggak sampai satu menit
kemudian, Vino sudah berdiri dan membalikkan badan untuk melihat siapa
orang gila yang berani mendorongnya.
Ternyata... Berdiri dengan wajah puas dan tangan terlipat di depan dada, Nesya bersandar
di tiang ayunan. Rambutnya yang sebahu dan dikucir kuda makin mendukung
ekspresi "siap bertarung".
"Eh, elo!" seru Vino, nggak percaya dengan penglihatannya sendiri. "Ngapain
lo di sini"!" tanya Vino, yang dua detik selanjutnya baru ingat bahwa Nesya
juga tinggal di daerah sini. "Oh, maksud gue, ngapain lo dorong gue"!" ralat
Vino, masih dengan wajah kesalnya.
Nesya tersenyum sinis. "Lo masih nggak tau apa dosa lo?"
"Hah?" Vino makin bingung. "Emangnya lo siapa sampe berani menghakimi
dosa-dosa gue" Malaikat kematian?" kata Vino dengan senyum mengejek.
"Gue orang yang lo bohongin tadi siang di sekolah, tolol!!" seru Nesya, kesal
setengah mati. Vino tersadar. Perlahan ia mundur selangkah, malas meladeni cewek gokil ini.
Masalahnya, memang ia yang bersalah. Tadi di sekolah ia memang sengaja
menunjukkan ruangan yang salah pada cewek ini.
Nesya yang tau gelagat mau kaburnya Vino, makin mendekat ke arahnya.
Bukan untuk mengagumi kecakepan wajah si kakak kelas belagu itu, melainkan
untuk makin menyudutkannya sampai mengaku dosa.
"Maksud lo apaan, hah" pake sok-sok baik ngasih tau jalan ke markas ekskul
taekwondo segala" Lo bego apa tolol sih" Gue kan nanyanya lapangan basket
indoor!" seru Nesya, benar-benar kesal dibohongi. Parahnya, pas dia masuk ke
dalam ruangan, anak-anak taekwondo lagi pada ganti baju! Untung baru buka
baju doang Vino berhenti mundur. Emosinya sedikit terpancing sekarang ia lebih memilih
untuk menghadapi Nesya. "Eh! Lo belagu banget sih jadi anak kelas satu! Nggak tau sopan santun ya!?"
balas Vino, nggak terima dibentak-bentak sama Nesya.
"Yang belagu itu lo apa gue!" Mentang-mentang kakak kelas, terus lo bisa
seenaknya mainin adik kelas, gitu"!"
"Terus mau lo apa, hah?" tanya Vino, ingin cepat-cepat menyelesaikan
pertengkaran bodoh ini. "Gu mau lo minta maaf ke gue," ujar Nesya sambil tersenyum puas.
"Cih! Seharusnya lo yang minta maaf duluan! Lo nggak inget seberapa
belagunya lo pas masuk sekolah waktu itu?" tanya Vino, teringat pada kejadian
tabrakan di tangga sekolah.
Nesya mengerutkan dahi. "Kapan?"
"Anak kecil kayak elo mah emang nggak mungkin inget! Sini, biar Kakak ingetin
ya, Dik. Hampir seminggu yang lalu, Adik menabrak Kakak di tangga sekolah.
Adik nggak minta maaf, lagi!" jelas Vino.
Nesya mengingat sejenak. "Oooh! Hm, jadi lo marah sama gue Cuma karena
itu" Ih! Banci banget sih lo jadi cowok!"
Lagi-lagi Vino melongo. Nih cewek berani banget ngomong kasar. "Sebenernya
sih bukan Cuma karena itu. Tapi..." Vino sengaja menggantung kalimat.
"Tapi...?" ulang Nesya nggak sabaran.
Vino tersenyum sinis. "Tapi karena gue emang suka ngerjain lo!"
"Dasar belagu!" seru Nesya dengan muka merah padam.
Tanpa berniat untuk membalas, Vino membalikkan badan dan berjalan
meninggalkan Nesya. Tapi baru beberapa langkah, ia sudah kembali
membalikkan badan. "Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Vino jutek.
Langkah Nesya pun ikut terhenti. "Dih! Ge-er banget sih lo!" sahut Nesya, sama
juteknya sambil melangkah mendahului Vino.
Akhirnya Vino melanjutkan perjalanan, dengan Nesya di depannya. Mau nggak
mau, diperhatikannya juga sosok Nesya dari belakang. Entah kenapa, Vino
merasa mengenal sosok itu. Salah satu teman kecilnyakah" Kalo iya, siapa
namanya" Ah! bodohnya ia sampai nggak tahu nama si cewek padahal udah
bertengkar mulut seseru tadi. Tapi... yasudahlah.
Nesya yang sejak tadi merasa rikuh karena ada Vino di belakangnya, perlahanlahan membalikkan badan. Ia ingin tahu apakah masih diikuti atau nggak. Tapi
begitu ia menoleh, sosok Vino sudah menghilang. Mungkin sudah masuk ke
rumah. tiba-tiba Nesya merasa kehilangan. Lagi-lagi perasaan seperti ini. Jauh
di lubuk hatinya, ia tau bahwa ia dulu pernah merasakan hal yang sama seperti
sekarang. Nesya tertunduk. Air matanya merebak. Untung terdengar suara azan magrib.
Jadi, Nesya langsung berlari pulang ke rumah dan melupakan rasa sepinya.
TIGA BEGITU mendengar suara mobil, Vino langsung keluar kamar, membuka pintu
dan menyambut papanya. Bi Odah, pengasuhnya sejak Vino lahir pun hanya
bisa menggelengkan kepala dan kembali masuk dapur. Kadang ia bangga sama
anak asuhnya ini. Sejak dulu, Vino memang suka sekali membukakan pintu bila
ada yang datang. Maklum, nggak ada kerjaan. Anak tunggal sih!
"Malam, Bos. Udah pulang kerja" Gimana hari ini?" Vino nyerocos kayak kereta
gandeng. Papanya yang baru saja keluar dari dalam mobil hanya tersenyum geli. "Kamu
mau jadi istri kedua Papa?" sahut Papa, yang kontan mengundang tawa Vino.
"Mama mana, Vin?"
"Tau tuh! dari tadi siang pergi ke mall sama Tante Mia. Eh, Pa, Tante Mia tuh
siapa sih?" tanya Vino sambile menutup pintu dan mengikuti papanya ke ruang
tamu. Setelah duduk, Papa membuka sepatu dan menyenderkan kepala ke sofa.
"Tante Mia..." Hm... kalo nggak salah yang rumahnya satu deret juga sama
rumah kita deh." "Dia punya anak?" tanya Vino tanpa basa-basi.
"Kalo nggak salah lagi, anaknya satu. Cewek apa cowok ya" duh, Papa lupa."
"Namanya siapa?" sela Vino penasaran.
"Kamu kenapa sih" Mau reunian sama temen kecil?" tanya Papa bingung.
"Iya. kan asyik, Pa, bisa ngumpul lagi sama temen lama. Oya, emangnya Mama
deket ya, sama Tante Mia?"
"Kayaknya sih begitu." Papa sengaja menggantung kalimat sambil memandang
Vino dengan tatapan misterius.
"Kok kayaknya?" Vino menaikkan alis.
"Mendingan kamu tanya langsung ke Mama ya" papa mau mandi dulu!" seru
Papa sambil beranjak. Tinggallah Vino sendirian, duduk di sofa sambil menatap kedua telapak
tangannya yang sedikit lecet akibat kejadiian tadi sore. Yah... sepertinya hari ini
ingatannya memang dipenuhi cewek di taman tadi. Kadang Vino curiga,
jangan-jangan cewek tadi teman masa kecilnya" Bukankah dulu ia punya
teman cewek yang selalu membuatnya terluka" Eca-kah"
*** "Ayo dong, Ra! temenin gue ke ruang basket indoor!" rengek Nesya, pas jam
istirahat di sekolah. Kiara yang mendengar kata "basket" langsung menolak
mentah-mentah. Tapi makin ditolak, Nesya makin merengek.
"Lo mau ngapain sih" Mau jadi anggota?" tanya Kiara bete.
"Kan lo tau gue nggak bisa main basket! Gue tuh Cuma pengen liat anak cowok
main basket..." "Hah" buat apa" lo mau cari cowok cakep" Gue jamin deh, nggak ada cowok
cakep di sana!" kata Kiara, sukses berbohong karena sebenarnya anak basket


Udah Belom Karya Laurentia Dermawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cakep-cakep. Nesya tertunduk sedih. "Gue Cuma ngerasa ada sesuatu di lapangan basket.
Gue kok ngerasa familier, gitu. ya siapa tau ingatan gue..."
"Ingatan lo nggak ada hubungannya sama anak-anak basket!" potong Kiara
cepat. "Tapi kan mungkin aja ada orang yang..."
"Nggak ada orang yang lebih mengenal elo daripada gue, Ca. Kalo lo mau tau
tentang masa lalu lo, pake memori gue aja," sela Kiara untuk kedua kalinya,
tapi dengan nada yang lebih tinggi hingga membuat Nesya tersentak.
"Gue Cuma..." Nesya tertunduk. "Gue Cuma pengen liat anak-anak main
basket..." Kiara menatap Nesya dengan pandangan nanar. Jujur, ia nggak tega melihat
sahabatnya yang selalu ceria ini menjadi sedih. Ia hanya ingin melindungi
Nesya. Cuma itu! Ia sama sekali nggak bermaksud mengekang hidup
sahabatnya ini. Perlahan pandangan Kiara melembut. Kalo memang berisiko,
biarlah kali ini ia mengambil risiko itu.
"Oke, pulang sekolah nanti, kita ke lapangan basket indoor," kata Kiara
akhirnya. Wajah Nesya langsung berubah cerah. "Yes!"
Kiara menoleh dan tersenyum tipis. Andaikan Nesya tahu betapa besar
ketakutan yang disimpan Kiara selama ini. Ya, andaikan Nesya tahu.
*** Vino duduk di bangku di pinggir lapangan basket. Di saat semua anggota
timnya sudah berganti pakaian, ia masih betah dengan seragam putih abbuabunya itu. Hari ini tugasnya adalah memantau kemampuan anak-anak lain.
Sebenernya kapten tim basket sekolah mereka adalah Mike. Tapi sejak
wafatnya Mike dua bulan lalu, posisi ketua tim basket kosong. Maka atas
kesepakatan bersama, kapten tim basket sekarang dipegang oleh Vino. Jadi
sambil duduk manis, Vino memerhatikan satu persatu permainan anggota
timnya dan membuat catatan kecil.
Dan inilah salah satu keunggulan SMA Pelita. Mereka memiliki lapangan basket
indoor. Jadi walaupun hujan atau panas, mereka tetap bisa latihan seperti
biasa. "Permisi..." Vino yang merasa pundaknya ditepuk langsung menoleh ke belakang. Kali ini,
baik dirinya maupun Nesya, sama-sama kaget.
"Eh, elo...?" kata keduanya kompak.
Kiara yang ada di samping Nesya hanya bisa memasang tampang bingung.
"Ngapain lo di sini?" tanya Nesya jutek.
Vino berkacak pinggang. "Seharusnya gue yang nanya, ngapain lo ke sini?"
Nesya makin keki. "Kan gue udah bilang, gue mau cari cowok cakep, terus gue
pacarin deh kapten timnya!" kata Nesya asal nyeplos. Vino jadi salah tingkah
mendengarnya. "Mana kapten timnya?" tanya Nesya, merasa menang melihat
Vino speechless. "Wait... wait! Lo kenal dia, Ca?" bisik Kiara sambil menunjuk Vino.
"Dia ini cowok rese yang nipu gue habis-habisan pas istirahat kemaren. Waktu
gue tanya di mana lapangan basket indoor, eh dia malah ngasih jalan ke
ruangan taekwondo! Mentang-mentang kakak kelas, belagu!" kata Nesya
membuat Vino gerah. "Vin! Anak-anak kelas satu pengen liat lo main!" seru salah satu cowok yang
tiba-tiba menghampiri Vino.
Kiara dan Nesya serempak bingung.
"Nama lo siapa" Vino, ya?" tanya Kiara refleks. Vino menoleh tanpa
mengucapkan satu kata pun. "Lo kapten tim basket cowok, kan?" lanjut Kiara,
membuat Nesya bingung. "Apa, Ra?" tanya Nesya nggak percaya.
Vino yang memang nggak mau melanjutkan perdebatan boodoh dengan Nesya
lalu dengan cueknya meninggalkan mereka dan masuk ke lapangan.
"Dia itu kapten timnya, kalo nggak salah namanya Vino," jelas Kiara, tanpa
melepaskan pandangan dari sosok Vino yang sedang mendribel bola dan
dengan mudah memasukkannya ke ring.
Nesya mengikuti arah pandangan Kiara dan melongo. Terdengar tepukan
tangan para anggota tim. Vino tersenyum, tapi tetap low profile. Nggak
sengaja tatapannya bersirobok dengan tatapan Nesya. Vino merasa puas
menunjukkan kemampuannya.
Setelah melakukan beberapa aksi, Vino kembali ke tempat duduknya semula.
Tapi dengan cueknya, ia sama sekali nggak menggubris keberadaan Nesya dan
Kiara. "Nggak salah lo jadi kapten gantiin Mike!" seru salah satu cowok yang duduk di
sebelah Vino. Mata Kiara terbelalak. Dengan cepat ia menoleh ke arah Nesya. Begitu melihat
tampang Nesya yang masih melongo, hatinya mulai tenang. Tapi sedetik
kemudian, rasa penasarannya makin menjadi-jadi.
Perlahan Kiara mendekati cowok yang duduk di sebelah Vino itu. "Sori, kalo
gue boleh tau, nama kapten yang dulu siapa ya?" tanya Kiara, dengan volume
suara sekecil dan sewajar mungkin.
Si cowok menoleh. "Namanya Michael Ardiansyah. Panggilannya Mike."
Kiara tersentak. Tepat seperti dugaannya. "Makasih, ya," ujarnya singkat
sambil kembali berdiri di samping Nesya.
"Ra...," desah Nesya pelan.
Kiara menoleh. "Ya?"
"Duh, mati deh gue," lanjut Nesya sambil menundukkan kepala.
Vino yang sejak tadi nggak peduli, tiba-tiba menoleh ke belakang. "Eh,
ngomong-ngomong soal ucapan lo tadi, lo bilang lo mau pacaran sama siapa?"
tanya Vino sambil memasang tampang innocent-nya.
Nesya langsung cengengesan. Perlahan ia berbalik dan mengutuk
kebodohannya sendiri. Tanpa berniat menoleh ke arah Vino lagi, ia langsung
menarik tangan Kiara dan beranjak meninggalkan tempat memalukan itu. Tapi
baru beberapa langkah, Nesya berhenti karena...
"Hei! Gue tunggu lho ajakan nge-date-nya!" seru Vino sambil melambaikan
tangan tinggi-tinggi. Nesya yang sempat berbalik untuk melihat Vino itu pun akhirnya hanya bisa
mendumel pelan, lalu mempercepat langkah dan segera pergi dari situ!
Setelah pintu tertutup, senyum Vino mengembang. Asli, ia puas banget!
*** "Dasar cowok belagu!" Nesya ngedumel di sepanjang koridor sekolah.
Kiara yang cukup bingung dengan sikap sohibnya itu hanya bisa mendengarkan
dengan setia. Terus terang, ini pertama kalinya Nesya bisa kembali marahmarah sejak kecelakaan dua bulan yang lalu. Jadi anggaplah ini sebuah
kemajuan. "Gue tau sih dia emang cakep. Tapi nggak perlu sebelagu itu, kan" mentangmentang gue anak kelas satu..."
"sebenarnya lo lagi marah atau lagi muji dia sih?" tanya Kiara, merasa aneh
dengan perpaduan kata "cakep" dan "belagu".
"Gue Cuma berusaha objektif, Ra. emang sih dia cakep. Tapi di lain sisi, dia
belagu. Cukup objektif, kan?" sahut Nesya.
Kiara hanya mengangguk pelan, pura-pura mengerti. "Tapi keliatannya lo akrab
sama dia..." "Akrab?" Nesya langsung menatap Kiara dengan bingung. "Maksud lo?"
"Ya menurut gue sih, tadi kalian kayak udah berteman lama. Bukannya
pertengkaran antara kakak dan adik kelas..." Kiara sengaja menggoda Nesya.
Nesya langsung tesenyum jijik. "Ih! Gue malah ngerasa gue sama dia udah
dotakdirkan untuk jadi musuh bebuyutan. Mana ternyata dia tetangga gue
pula!" "Hah"!" Kali ini Kiara tersentak. "Maksud lo" Tetangga dari mana?"
"Gue sih nggak tau pasti di mana rumahnya. Tapi yang jelas, masih satu blok
sama rumah gue. Penghuni baru kali ya," ujar Nesya datar. Tapi belum sempat
Kiara membuka mulut, Nesya udah kembali bicara. "Oya! jangan-jangan dia
anak yang nyokap gue bilang semalam!"
"Gue masih nggak ngerti nih, Ca. Lo ngomong apaan sih?" Kiara makin
penasaran. "Jadi semalam nyokap gue pulang agak malam. Dia bilang, dia habis pergi
belanja sama Tante Sita, tetangga baru yang sebenarnya tetangga lama
banget. Katanya mereka mau ngadain reunian sama para tetangga minggu ini."
Kiara makin mengerutkan dahi. "Tunggu!" tetangga baru tapi sebenernya
tetangga lama banget" Maksud lo apaan sih?"
"Hm... kayaksnya sih kluarga Tante Sita itu dulunya pernah jadi tetangga gue,
tapi habis itu dia pindah. Eh sekarang mereka balik lagi deh. Yaaah, secara
rumah itu masih tetap rumahnya walupun kosong selama bertahun-tahun,"
jelas Nesya. Sangat kontras dengan ekspresi Nesya, Kiara malah panik bukan kepalang.
Otaknya terus berpikir yang nggak-nggak. Banyak kecurigaan yang mampir di
benaknya. Mungkinkah..."
"Ra!" panggil Nesya, membuat Kiara tersadar. "Kenapa lo" Kok bengong?"
"Hm... gue Cuma heran. Kok bisa kebetulan banget ya lo ribut sama orang yang
ternyata malah tetangga lo sendiri?" kata Kiara.
Nesya mengangkat bahu. "Gue juga bingung. Tapi kalo memang bener dulunya
dia tetangga gue, berarti mungkin aja dia temen kecil gue ya! wiiih, kayak di
film aja..." Nesya tertawa geli, merasa konyol dengan ucapannya sendiri.
Kiara tau Nesya hanya bercanda. Tapi ia nggak bisa menganggap itu hanya
lelucon. Kalo memang benar Vino adalah teman kecil Nesya, hal itu nggak bisa
dibiarkan. Apalagi kalo ternyata... ya ampun! Kenapa nggak pernah terpikir
sebelumnya"! Vino. Nama itu...
*** Sesampainya di tempat les Inggris, Kiara masih punya waktu beberapa menit
sebelum kelas dimulai. Ia memang datang kecepetan. Ini hari pertamanya les
Inggis, dan ia sama sekali belum memiliki satu teman pun. Awalnya Nesya juga
ingin ikut les, tapi berhubung kondisi fisiknya setelah kecelakaan belum fit
benar-Nesya masih harus kontrol ke dokter-maka Nesya memutuskan ikut
tahun depan saja. Sambil menunggu, Kiara masih terus memikirkan obrolannya dengan Nesya
tadi siang di sekolah. Ini masih menyangkut Vino. Makin lama ia berpikir,
dadaya makin berdebar nggak keruan. Kalo memang benar kecurigaannya ini,
apa tang harus dilakukannya"
"Hm... sori..."
Kiara menoleh ke samping, ke arah datangnya suara.
Cowok dengan wajah nggak enak hati plus cengengesan nggak jelasnya itu
sedang menunjuk sepatu Kiara. Kiara mengikuti arah tunjukkan si cowok.
Kontan Kiara mengangkat kakinya.
"Ups, sori! Gue nggak liat," ujar Kiara cepat, sambil mengambilkan bolpoin
yang ternyata dia injak sejak tadi, lalu menyerahkannya pada si cowok.
"Makasih ya," balas cowok itu ramah, lalu duduk di bangku sebelah Kiara. "Lo
anak baru?" tanya cowok itu, masih dengan wajah ramahnya.
"iya. kalo elo?" balas Kiara, basa-basi.
"Gue juga anak baru. Ruang mana?"
"London," jawab Kiara singkat.
"Wah, sama dong. gue juga di ruang London. Lo sekolah di mana?" tanya
cowok itu makin sok kenal.
Kiara tersenyum tipis. Duh nih cowok salah sikon. Orang lagi bete, malah diajak
kenalan. "Gue di SMA Pelita."
Si cowok terbelalak. "Gila! Sekolah kita sama dong?"
"Hah?" kali ini Kiara benar-benar kaget plus tertarik. "Lo juga di SMA Pelita"
Kelas berapa?" "Gue kelas dua. Lo pasti anak kelas satu ya?"
Kelas... dua" Kiara tersenyum puas. "Yap, gue kelas satu. Eh, gue mau tanya
nih. Gue mau ikut ekskul nih. Yang enak ekskul mana ya?" pancing Kiara.
"Duh, nggak pernah gue makan sih, jadi nggak tau enak apa nggak," sahut si
cowok jayus, dan cukup membuat Kiara tersenyum tipis. "Gue sih ikut ekskul
renang. Enak, main air terus..."
"Kalo basket?" tembak Kiara langsung.
"Kalo ekskul basket, apalagi tim basket cowoknya, oke punya. Tapi kalo yang
cewek, gue jarang lihat kiprah mereka."
"Gue denger kapten baru tim basket cowok anak kelas dua ya" temen lo
dong?" tanya Kiara pura-pura bego.
Cowok itu tersenyum bangga. "Ya, si Vino. Dia jago banget. Kemampuannya
hampir menyamai kapten yang lama..."
"Maksud lo Mike?" sela Kiara, makin curiga.
Si cowok menaikkan alis. "Lo kenal Mike?"
Matilah! Keceplosan pula! "Hm... dulu dia pernah tetanggaan sama gue," ujar
Kiara berbohong. "Lho, berarti lo juga tetanggaan sama Vino dong?" cecar cowok itu.
Kiara mengerutkan dahi, bingung.
Cowok itu kemudian melanjutkan lagi. "Vino kan baru pindah ke rumahnya
yang lama. Katanya sih dulu dia pernah tinggal di sana sampe umur enam
tahunan kalo nggak salah.
Kiara terenyak. "Maksud lo, pas dia umur enam tahun, dia pindah ke tempat
lain?" Si cowok mengangguk yakin. "Lo sendiri, udah lama tinggal di sana?"
"Hm... gue baru setahunan," jawab Kiara semakin berbohong.
Si cowok hanya ber-oooh tanpa suara. Kiara kembali berpikir.
"Masuk kelas yuk!" ajak cowok itu, mengagetkan Kiara.
"Oh iya," sahut Kiara sambil berdiri dan mengikuti si cowok dari belakang. Tapi
langkahnya terhenti karena tiba-tiba cowok itu membalikkan badan.
"Nama lo siapa sih?" tanya cowok itu cepat.
"Oh... hm... Kiara," jawab Kiara sambil tersenyum ramah.
Si cowok pun balas tersenyum ramah. "Gue Egi."
EMPAT SIANG itu, tanpa mengajak Nesya, Kiara datang ke lapangan basket indoor.
Nesya yang tadi mengajak Kiara pulang bareng sama sekali nggak curiga kalo
ternyata si sohib nggak langsung pulang karena sengaja ingin mendatangi Vino.
Vino yang saat itu kebetulan sedang mengobrol dengan Egi, jelas bingung
dengan kehadiran Kiara yang tiba-tiba. Bahkan dia lupa Kiara itu siapa.
"Eh, elo Ra! ngapain ke sini?" tanya Egi, yang sejak tadi menunggu Vino selesai
latihan. Maklum, Egi kan ojek setia.
"Oh, nggak. Gue Cuma mau liat-liat. Boleh, kan?" kata Kiara sambil menatap
Vino tajam. "Oh ya, Vin, ini Kiara, anak kelas satu plus temen les gue," ujar Egi,
memperkenalkan Kiara kepada Vino.
Vino balas menatap, tapi dengan sorot bingung. "Elo kan yang waktu itu
datang ke sini sama temen lo itu. Siapa sih namanya?" tanya Vino.
"Nesya," jawab Kiara, penuh penekanan.
"Oh," sahut Vino cuek. peduli amat soal Nesya. Cuma cewek rese yang
ternyata tetangga. "Lo udah pernah ke sini, Ra?" tanya Egi, nggak menyadari ketegangan yang
ada. Pandangan Kiara beralih ke Egi. "Iya, bareng temen gue. Tapi waktu itu gue
masih belum puas ngeliat lapangan basket ini."
"Apa yang mau lo liat" Cowok-cowok cakep kayak temen lo bilang itu?" ujar
Vino sinis tanpa melihat Kiara. Tatapannya tetap terfokus ke permainan anakanak di lapangan.
Kiara menahan emosi. "Gue bingung. Orang yang gantiin Mike kok kayak begini
ya?" Vino menoleh tersinggung. "Maksud lo?"
"Yah... setau gue, Mike itu jauh lebih baik daripada elo. Makanya, awalnya gue
kira orang yang bakal gantiin Mike adalah orang yang at least sama baiknya
dengan dia. Tapi ternyata..." Kiara sengaja menggantung kalimatnya sambil
mendesah keras. "Lo tau apa tentang Mike?" tanya Vino jengkel. Ternyata bukan hanya Nesya
yang menyebalkan. Temannya ini lebih menjengkelkan lagi!
Kiara menatap Vino dengan tajam. "More than you know."
Vino tersentak. Ia mulai merasa ada yang aneh. Sebenarnya ada masalah apa
sih antara dirinya dan Kiara" Apakah ia pernah berbuat salah sehingga cewek
ini sinis padanya" Egi yang mulai merasakan ketegangan yang ada langsung mengalihkan
pembicaraan. "Woi! Latihannya udah apa belom sih?"
Vino tersadar dan langsung menoleh pada Egi. "Oh iya, sori. Gue bilang sama
anak-anak dulu deh."
"Gue tunggu di parkiran ya!" seru Egi sambil mengambil tas dan beranjak
meninggalkan ruangan. "Hm... kalo gitu gue balik dulu ya! kapan-kapan gue ke sini lagi," kata Kiara
sambil mengikuti Egi. Vino yang masih terpukau dengan kejadian barusan hanya bisa menatap sosok
Kiara yang menjauh. Tapi belum sempat ia menghela napas, Kiara sudah
kembali mengejutkannya.

Udah Belom Karya Laurentia Dermawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pino!" Refleks vino menoleh. Selama sepuluh tahun ini, baru kali ini ia mendengar
kembali seseorang memanggilnya dengan sebutan "Pino".
Kiara yang meliihat wajah terkejut Vino langsung tersenyum puas. "Sori,
maksud gue... Vino," kata Kiara sambil melanjutkan langkah.
"Eca!" panggil Vino refleks.
Langkah Kiara terhenti. Vino makin penasaran. Dadanya berdebar cepat. Apa benar Kiara adalah Eca"
Perlahan Kiara membalikkan badan dan tersenyum makin sinis. "Sori, gue
bukan Eca..." Vino tersentak sambil mentap sosok Kiara yang menghilang di balik pintu.
Bodoh! Mana mungkin Kiara itu Eca" Lagi pula, bukankah tadi Kiara hanya
salah memanggil" Sekilas, "Vino" akan terdengar seperti "Pino", bukan" Atau...
jangan-jangan Kiara memang punya maksud tersembunyi" Yang patut dicurigai
justru adalah Nesya. Nesya-lah yang rumahnya tetanggaan dengan Vino. Jadi
andaikan Nesya adalah Eca, itu lebih masuk akal.
*** Hari reunian para ibu itu pun tiba. Sore itu rumah Vino ramai oleh para
tetangga yang rumahnya masih satu blok dengan rumahnya. Vino yang baru
pulang sekolah langsung permisi masuk kamar dan bergegas mandi. Dijamin
deh, ia pasti jadi terkenal di depan ibu-ibu. Maklum, ibu-ibu kan suka bergosip
ria. "Itu anaknya ya, jeng?" tanya salah satu ibu yang barusan melihat Vino lewat di
hadapannya. Mama Vino tersenyum bangga. "Iya, baru pulang sekolah."
"Itu Vino" Wah... udah gede ya!" kata Tante Mia, yang nggak lain adalah
mamanya Nesya, sambil mengambil camilan dari atas piring.
"Mbak Mia, Nesya nggak diajak?" tanya Mama Vino penasaran.
Tante Mia tersenyum manis. "Tadi sih sudah saya ajak. Tapi dia lagi nelepon
temennya. Paling nanti nyusul."
"Eh, bukannya Nesya satu sekolah sama Vino?" kata mama Vino,yang tanpa
sengaja melihat Vino yang sudah rapi keluar dari kamar. "Vin,, kamu inget
Nesya nggak?" "Apa, Ma?" Vino menoleh ke arah mamanya. "Nesya?" ulang Vino pura-pura
bego. Jelaslah dia kenal Nesya. Cewek belagu yang mendorongnya sampai
jatuh dari ayunan, kan"!
"Permisi..." Refleks semua orang menoleh ke arah datangnya suara.
"Nah, itu Nesya!" seru Tante Mia sambil menyuruh Nesya masuk.
"Eh... Nesya...! wah, kamu udah jadi gadis cantik!" Mama Vino langsung
menyambut dengan senyum ramahnya. Kemudian ia berbalik memanggil Vino.
"Vin, ajak Nesya ngobrol dong! pas kecil kan kalian suka main bareng..."
Vino melongo. Nesya pun terpaku. Mama Vino yang tahu bahwa anaknya sedang bingung segera menjelaskan
lebih detail. "Itu lho, pas kecil kamu sering manggil dia Eca."
Serasa ada petir menghantam kepala Vino. Yang pasti, Vino semakin melongo.
Tak beda dengan Vino, Nesya juga terus terpaku...
*** Dan di sinilah mereka berada. Di ruang makan.
Kenapa ruang makan" Karena memang hanya ruang makan yang suasananya
sepi tanpa ibu-ibu. Vino yang mengajak Nesya ke sini.
Pasalnya, sudah 15 menit berlalu tanpa satu kata pun keluar dari bibir mereka.
Jari telunjuk Vino sibuk mengitari bibir gelas, sedangkan Nesya sibuk menghina
tindakan Vino itu dalam hati. Tapi akhirnya, Vino-lah yang membuka
percakapan. "Jadi... lo Eca, temen kecil gue yang suka bikin gue jatoh?" tanya Vino.
Nesya menatap Vino polos. "Katanya sih begitu."
Vino menaikkan alis. Selupa inikah Nesya akan dirinya" "Hah"! lo nggak inget
sama gue?" Nesya tersenyum datar, lalu menggelengkan kepala. "Gue nggak inget."
Vino merasa dadanya bergejolak karena menahan kesal. "Pantes aja nggak
inget. Orang otak lo pas-pasan begitu."
"Eh, elo kenapa sih, tiba-tiba sewot begitu" Setiap kita ketemu, elo pasti caricari masalah!" Seru Nesya.
"Bukannya elo yang selalu cari masalah" Baru hari pertama sekolah aja lo udah
nabrak gue. Tanpa minta maaf, lagi."
"Lo juga udah ngerjain gue soal ruangan basket indoor!" balas Nesya nggak
mau kalah. "Terus, siapa cewek centil yang berkoar-koar mau pacaran sama kapten tim
basket?" tembak Vino puas.
Nesya terdiam, mati kutu. Semuanya memang bermula dari kebodohannya
waktu itu. Andaikan ia nggak emosi dan mengucapkan kata-kata bodoh itu...
aaarrrgghhh! "Ya, waktu itu kan gue nggak tau kalo elo kapten tim basketnya. Kalo gue tau,
pasti gue nggak bakalan ngomong kayak gitu," ujar Nesya, sok cuek dan biasa
aja. Vino makin keki. Memangnya kenapa kalo dia kapten tim basket" Kurang
cakep dari pacar seorang Nesya yang biasa aja itu" Hah!
"Makanya, kalo mau ngomong dipikir dulu," kata Vino agak ketus.
Kali ini Nesya benar-benar tersinggung. "Emangnya kenapa sih?" Suara Nesya
makin bergetar menahan marah.
Tatapn Vino sedikit melunak. Jujur aja, dia takut kalo Nesya sampai nangis.
Tapi setelah dipikir-pikir, timbul niat isengnya. Biar saja sekali ini Nesya
menangis. Toh dulu cewek ini selalu membuatnya menangis plus terluka!
"Begini, gue Cuma nggak abis pikir. Kok bisa sih, elo nggak inget temen kecil lo
sendiri, yang serring lo lukai dan bikin nangis?" tanya Vino tenang. Soalnya,
Vino sendiri tidak pernah melupakan Eca. Memang, sebelumnya ia tak tahu
bagaimana rupa Eca sekarang, tapi ia tak pernah lupa kenangan masa kecil
mereka. Nesya tersentak. Apa benar dulu dia sering melukai dan membuat Vino
menangis" "Tapi gue kan...," Nesya berusaha menjelaskan.
"Kenapa" Udah nggak bisa melawan?" tanya Vino, makin puas melihat ekspresi
wajah Nesya. Nesya tertunduk sejenak. "Iya ya. kenapa gue nggak inget ya...?" ujar Nesya
dengan suara bergetar seperti hendak menangis.
"Eh..." Sekarang Vino jadi khawatir. Suara Nesya mulai terdengar berbeda.
Ternyata nggak enak juga kalo Eca sampai nangis beneran.
"Gue emang payah, nggak bisa inget apa-apa!" seru Nesya lalu meninggalkan
Vino. Vino yang sadar bahwa Nesya menangis langsung mengejar cewek itu. Untung
Nesya kabur lewat pintu samping, jadi nggak sempat membuat ibu-ibu panik.
Tapi sayang, ternyata mama Vino keburu melihat.
"Kenapa, Vin?" tanya Mama panik.
"Ng... itu... Eca..." Vino jadi salah tingkah sendiri.
"Eh iya. tadi Tante Mia baru cerita ke Mama bahwa Eca ternyata lagi kena
musibah. Dua bulan yang lalu dia kecelakaan, terus sekarang katanya dia
terkena retro... retro apa ya" hm... retrograde!"
"Retrograde?" ulang Vino bingung. Kok kayak level les Inggris, pake grade
segala! "Mama juga awalnya nggak percaya..."
"Bukan gitu, Ma. masalahnya, retrograde itu penyakit apaan?" tanya Vino
bingung. "Retrograde itu salah satu penyakit amnesia," bisik Mama. "Jadi Eca nggak bisa
mengingat sebagian masa lalunya sebelum kecelakaan itu."
"Hah"!" *** "Hei, Nesya!" panggil Vino, berlari menyusul Nesya yang makin menjauh dari
rumahnya. Nesya tetap nggak menoleh. "Eca!" seru Vino keras, yang ternyata
berhasil membuat langkah Nesya terhenti.
"Sori! Tadi gue Cuma bercanda. Gue nggak tau kalo elo..." Vino merasa
bersalah. Ia menghampiri Nesya lebih dekat lagi.
"Bukan salah lo," sahut Nesya sambil mengucek mata.
"Gue bener-bener minta maaf. Lo mau maafin gue, kan?" tanya Vino hati-hati.
Nesya berbalik, menatap Vino. "Lo tulus nggak, minta maafnya?" tanyanya
polos, membuat Vino tergelak.
"Ya tuluslah!" sahut Vino lega. Nesya balas tersenyum. "Tapi... lo beneran
amnesia?" Nesya mengangguk pelan. "Bener-bener nggak inget apa-apa?" tanya Vino masih nggak percaya. Kan
nggak lucu kalo ternyata mamanya hanya bercanda.
Nesya mengangguk lagi. Vino terdiam sejenak, berpikir keras. Memangnya benar-benar ada ya orang
yang amnesia" Padahal selama ini dia kira itu hanya ada di film-film. Lah,
sekarang penderitanya ada di hadapannya!
"Hm... kalo gitu, gimana kalo gue bantu elo mengingat masa kecil kita?" tawar
Vino. Sebenarnya tawaran itu tercetus begitu saja dari dalam hatinya. Orang
sampai detik ini saja dia masih belum bisa percaya 100% kalo Nesya amnesia!
Senyum Nesya langsung mengembang. Akhirnya ada orang lain yang mau
membantunya mengingat semuanya selain Kiara. Tapi belum sempat Nesya
menjawab, tiba-tiba Kiara sudah muncul dari belakang.
"Eca!" Refleks Nesya berbalik dan melihat sahabatnya itu, dengan napas ngos-ngosan,
sedang menatapnya panik. Vino pun ikut menoleh ke arah Kiara.
Dengan cepat, Kiara menarik Nesya ke belakang tubuhnya dan langsung
menatap Vino dengan tajam. "Jangan deket-deket Nesya lagi!"
"lo kenapa sih?" tanya Vino pada Kiara.
"Iya, Ra, lo kenapa?" tanya Nesya sedikit takut.
Kiara menoleh ke arah Nesya. Dilihatnya ekspresi sahabatnya yang agak cemas
itu. Perlahan suaranya melembut. "Gue Cuma takut lo kenapa-kenapa garagara cowok ini," kata Kiara sambil kembali mengawasi Vino.
"Ya ampun, Ra! lo lebai deh. Vino ini kan temen kecil gue. Dan katanya dia mau
ngebantuin gue mengingat masa lalu gue..."
Kiara mengerutkan dahi. "Apa hak lo mau sok-sok ngebantuin Nesya segala?"
tanya Kiara sambil menatap Vino dengan tajam.
Vino tersenyum tipis. "Yah... karena Nesya temen kecil gue," jawabnya tenang.
"Temen" Lo bilang lo temennya" Lo nggak tau apa-apa tentang Nesya!" seru
Kiara emosi. Dia sebel banget sama cowok yang ada di hadapannya ini.
"Ra, lo kenapa sih?" tanya Nesya, panik melihat Kiara yang tiba-tiba aneh itu.
"Ca, gue kan udah bilang sama lo. Kalo lo mau nginget masa lalu lo, pake
memori gue aja," ujar Kiara, berusaha meyakinkan Nesya.
"Hah" gimana mau pake memori lo kalo elo sendiri nggak tau persis masa lalu
gue dan Nesya?" Vino meremehkan. Vino juga curiga, siapa sih Kiara ini
sebenernya" Sok ikut campur urusan orang banget.
Kiara tersenyum sinis. "Yang pasti, gue tau lebih banyak daripada yang lo tau."
"Kalian kenapa sih"!" seru Nesya mulai kesal.
Kiara dan Vino tersentak.
"Kalian kan sama-sama temen gue, jadi jangan berantem gitu dong!" Nesya
menatap Kiara. "Ra, lo emang sahabat gue dan gue percaya banget sama lo.
Tapi kan lebih bagus kalo ada orang lain yang juga bantuin gue buat inget
semuanya." "Tapi, Ca..." Kiara hendak membantah, tapi Nesya memotong kalimatnya.
"Lo mau ingatan gue cepet pulih kan, Ra" lo nggak mau ngeliat gue terusterusan kayak orang tolol dan nggak tau apa-apa, kan?" ujar Nesya sungguhsungguh.
Kiara memalingkan wajah ke samping. Ia paling nggak tega melihat Nesya
seperti ini. Ia bukannya nggak mau ingatan Nesya pulih. Tapi kalo memang hal
itu malah akan menyakiti Nesya, untuk apa"
"Vino," panggil Nesya sambil tersenyum manis pada Vino. "Mohon bantuannya
ya!" kata Nesya manis.
Vino balas tersenyum manis. Ia merasa lega. Ia nggak pernah melihat senyum
Nesya semanis ini. Walaupun sekarang mereka bukan lagi "Pino" dan "Eca,
setidaknya mereka bisa saling tersenyum sebagai "Vino" dan "Nesya" yang
baru. Bukankah ini sebuah anugerah"
"Pulang yuk!" kata Nesya sambil menggandeng tangan Kiara.
Kiara yang sejak tadi masih terdiam dan menyimpan unek-uneknya di dalam
hati itu hanya bisa mengiyakan dan ikut pulang ke rumah Nesya.
"Hm... sori! Gue juga pulang ya!" kata Vino.
"Lo nggak mau main ke rumah gue?" tawar Nesya.
"Hm... lain kali aja deh. Oke" Yuk, duluan ya!"
Nesya dan Kiara memerhatikan tubuh Vino yang makin menjauh dan akhirnya
menghilang masuk ke rumah.
"Yuk, Ra!" seru Nesya, menyadarkan Kiara yang masih asyik dengan pikirannya
sendiri. "Hm," sahut Kiara pelan sambil mengikuti Nesya. Tapi sebelum pergi, Kiara
masih sempat melirik ke arah rumah Vino. Matanya masih memancarkan
kebencian yang amat sangat. Semuanya gara-gara cowok itu. Ya, gara-gara
Vino! *** Malam itu hujan. Udara terasa dingin.
Nesya sendirian di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Lampu
kamar pun sudah dimatikan, hanya tersisa sinar temaram dari lampu kecil di
meja belajar di samping tempat tidurnya. Tapi entah kenapa, malam itu mata
Nesya nggak mau terpejam. Alhasil, ia memilih membaca buku yang terpajang
di lemari bukunya. Sebenarnya, di antara banyaknya buku yang ada di lemarinya. Hanya satu buku
yang belum pernah disentuhnya sejak ia kecelakaan dan terkenna amnesia.
Semua buku sudah dibacanya, tapi ia nggak pernah tertarik dengan sebuah
komik Jepang berjudul Slamdunk jilid satu yang terletak di pojok lemari
bukunya. Bahkan, ia sendiri bingung kenapa bisa memiliki buku itu. Apakah dulu ia
menyukainya" Kalo memang iya, kenapa ia hanya punya satu judul" Itu pulalah
yang membuatnya nggak berniat memabaca komik itu. Tapi entah kenapa, di
malam berhujan seperti ini ia makin penasaran ingin membaca komik tenta
ng basket tersebut. Perlahan Nesya mengambil komik itu, membawanya ke ranjang, dan sambil
menyenderkan punggung ke bantal ia pun mengamati cover-nya.
Nggak menarik. Gambar cowoknya nggak cakep.
Muncul niat untuk mengembalikan komik itu ke dalam lemari. Tapi akhirnya
Nesya memutuskan untuk tetap membacanya. Yah, paling tidak, dibuka
dululah. Kalo nggak menarik, baru ditutup lagi terus dibalikin ke lemari.
Gampang, kan" Nesya melirik ke arah jendela yang tertutup gorden. Masih terdengar suara
hujan yang cukup deras. Dinginnya udara malam itu makin terasa sampai ke
dalam selimut. Hatinya pun terasa sepi. Apakah itu juga pengaruh hujan"
Nesya kembali memusatkan perhatiannya pada komik yang ada di tangannya.
Ia menghela napas panjang. Setelah dirasa siap, perlahan dibukanya halaman
pertama. Nesya terbelalak. Ada selembar kertas yang terselip di halaman pertama.
Cepat-cepat diambilnya kertas itu, sementara komik Slamdunk tidak
dipedulikannya lagi. Nesya memfokuskan tatapannya pada tulisan yang ada di
kertas. Ia membacanya dalam hati. Rasa penasarannya makin bertambah.
Setelah selesai membaca, Nesya menatap langit-langit kamar tanpa ekspresi.
Beberapa detik kemudian, dilihatnya lagi sekilas tulisan di kertas, lalu
dimasukkannya ke laci meja belajar.
Nesya menguap. Matanya mulai mengantuk. Sembari memejamkan mata,
pikirannya melayang sesaat. Apakah ada arti lain dari tulisan di kertas itu" Atau
itu memang hanya tulisan tanpa makna" Atau saat itu ia hanya iseng coratcoret" Sebenarnya, seperti apa sih dirinya sebelum kecelakaan" Apakah ada
seseorang yang ia suka" Atau memang hidupnya normal-normal aja seperti
yang Kiara ceritakan" Ah, sudahlah! Biarkan waktu yang menjawabnya.
Nesya menhentikan kerja otaknya. Ia mulai terlelap, diiringi lagu yang
berkumandang di hatinya, dengan lirik yan tertulis di atas selembar kertas yang
sepertinya penuh kenangan tadi.
We know each other Since I don"t know how long
As long as I remember You were always there singing along
There"ve been some good times
And it"s even been some sad
But we always somehow manage
To get something good out of the bad
(Remember " I"ll always be there)


Udah Belom Karya Laurentia Dermawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

I"ll be your sunshine after the rain
When the sky is turning grey
You know that I"m never far away
Sunshine after the rain Together "til the end
Whenever you"re in need of a friend
Or a shoulder to cry on Someone there to rely on I"ll be your sunhine after the rain
It"s the one thing I won"t change
(sunshine after the rain " alexander)
LIMA PAGI itu Kiara marah-marah dengan sukses. Soalnya, jam 6 tadi pagi, Nesya
mendadak meneleponnya untuk membatalkan berangkat sekolah bareng.
Katanya sih Vino udah ngajak Nesya berangkat bareng. Ya memang lebih
masuk akal sih. Nesya dan Vino kan tetanggaan, satu sekolah pula, jadi kalo
mereka berangkat bareng kan wajar.
Tapi nggak di mata Kiara!
Menurut Kiara, nggak seharusnya Vino dan Nesya akrab kembali. Vino hanya
akan mendatangkan musibah. Vino hanya akan menyusahkan Nesya. Vino
hanya akan menyakiti Nesya untuk ke sekian kalinya.
"gue tuh berangkat sama bokapnya juga, Ra. lo jangan parno gitu dong. lagian
dia kan temen kecil plus tetangga gue. Nggak mungkinlah dia macam-macam,"
jelas Nesya nggak mengerti apa yang sebenarnya dikhawatirkan Kiara.
Saat itu mereka bertemu di gerbang sekolah, dan berjalan sama-sama menuju
kelas. "Dia Cuma bakal nyusahin lo doang, Ca. Percaya deh sama gue," Kiara
berusaha meyakinkan Nesya.
Nesya menatap Kiara dengan curiga. "Sebenernya apa sih yang lo sembunyiin
dari gue?" Kiara langsung membuang muka. "Nggak ada kok."
"Kalo lo terus nutupin semuanya, ya gue nggak bakal taulah," seru Nesya sedih.
Kiara memejamkan mata, menahan emosi. Biarlah Nesya menganggapnya
jahat. Tapi ia memang nggak mau Nesya tau semuanya.
"Ra...," panggil Nesya setengah memelas.
"Eh, ada anak baru!"
Serempak Nesya dan Kiara menoleh ke samping. Marsya, sang primadona
sekolah bersama dua temannya sedang menatap mereka tajam sambil
berkacakpinggang. "Lo yang berangkat bareng Vino tadi pagi, kan?" tanya Marsya nyolot.
Nesya mengerutkan dahi. Dia masih nggak mengerti apa hubungan antara
cewek di hadapannya ini dengan Vino.
Kiara langsung maju selangkah. "Sori, tapi lo siapa ya?"
"Cih! Lo nggak tau siapa gue?" kata Marsya sambil tersenyum belagu. "Gue
Marsya! Dan yang perlu lo inget, Vino itu cowok gue!"
Kiara balas tersenyum sinis. "Maksud lo MANTAN, kalee?"
Nesya makin mengerutkan dahi, bingung akan pengetahuan Kiara yang begitu
luas. Kok Kiara bisa tau segitu detailnya tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Vino" Jangan-jangan Kiara...
Marsya mendekatkan wajahnya ke wajah Kiara. "Lo nggak usah belagu deh!"
"Hm... sori, tapi kami nggak ada hubungan apa-apa sama Vino. Jadi lo nggak
perlu marah-marah ke kami," kata Kiara, ingin cepat-cepat menyelesaikan
masalah konyol ini. "Nggak ada hubungan apa-apa" terus kenapa temen lo ini bisa pergi bareng
Vino, hah"!" sahut Marsya makin nyolot sambil menunjuk Nesya.
Nesya memberanikan diri untuk bicara. "Gue berangkat bareng Vino karena
kami tetanggaan. Kami udah kayak saudara gitu deh," jelas Nesya polos.
"Saudara?" ulang Marsya nggak percaya. "Lo beneran nggak ada hubungan
apa-apa sama Vino?" tanyanya sekali lagi.
Nesya mengangguk yakin. "Kami deket kayak saudara."
"Oh gitu...," desah Marsya, percaya pada tampang polos Nesya. "Gue nggak
peduli hubungan kalian kayak saudara kek, yang pasti, gue ingetin sekarang, lo
jangan deket-deket Vino!" serunya sambil berlalu bersama gengnya,
meninggalkan Nesya dan Kiara yang masih berdiri menatap punggung para
kakak kelas itu. "Lo juga, Ra!" seru Nesya tiba-tiba, saat sosok Marsya cs sudah menghilang
dari penglihatan mereka. "Apaan?" tanya Kiara bingung.
"Lo tennang aja. Gue sama Vino Cuma temen kok, bahkan udah kayak
saudara." "Maksud lo?" Kiara makin bingung.
Nesya menghela napas. "Sori kalo selama ini gue nggak nyadar kalo ternyata lo
suka sama dia. Makanya lo nggak suka kan kalo gue deket-deket dia?"
Kiara Cuma bisa melongo. "Hm... oke deh, Ra. gimana kalo gue bantuin lo?" tawar Nesya, sok berbaik
hati. "Bantu apaan?" tanya Kiara di tengah-tengah keterpakuannya.
"Ya bantuin supaya lo bisa jadian sama dia."
"Hah" lo gila ya"! siapa yang suka sama dia"!" seru Kiara, udah nggak tahan
dengan dugaan Nesya yang menurutnya tolol itu.
"Udah deh, jujur aja sama gue. Kalo lo nggak suka sama dia, terus kenapa lo
khawatir banget pas gue deket sama dia?"
"Ya karena dia bisanya Cuma nyakitin lo doang!" seru Kiara kesall.
"Nyakitin gue?" tanya Nesya bingung.
Kiara langsung memeras otak. Duh, kenapa sih dia selalu keceplosan"
"Buktinya, gara-gara Vino, lo dilabrak sama cewek tadi, kan?"
"Hah?" "Vino itu populer, Ca. Dia suka nge-"gantung" cewek. Jadi kalo sekarang lo
deket sama dia, pasti lo bakal dapet banyak masalah," jelas Kiara.
"Tapi... kok lo bisa tau banyak sih tentang Vino?" tanya Nesya curiga. "Kita kan
baru kenal dia di sekolah ini."
Kiara tersenyum geli. "Ya iyalah gue tau. Gue kan nggak kuper kayak lo!"
Nesya merengut. Kiara tergelak.
"Jadi begini, Ca. Waktu kita SMP, gue punya temen yang sekolah di sini. Dia
pernah cerita sama gue kalo ada cowok, namanya Vino, yang populer banget.
Katanya, Vino tuh pinter, baik, cakep, tapi suka nyuekin cewek-cewek yang
seneng sama dia. Makanya sampe sekarang, cewek-cewek masih pada
ngerebutin dia. Dan cewek yang tadi ngelabrak lo itu namanya Marsya. Dia
mantannya Vino. Gue denger sih katanya Vino yang mutusin dia. Makanya pas
gue tau Vino deket sama lo, gue jadi khawatir," jelas Kiara panjang-lebar.
Nesya melongo. "Lo nggak bohong, kan?" tanyanya memastikan.
"Ngapain gue bohong" Kalo masih nggak percaya juga, lo tanya aja sama anakanak yang lain. Berita tentang Vino mah udah jadi rahasia umum," kata Kiara
sok cuek. Nesya hanya bisa berkata "oooh".
Kiara melirik ke arah Nesya. Wajah Kiara masih dipenuhi senyum, tapi jauh di
lubuk hatinya, rahasia itu masih disimpannya dalam-dalam. Nesya hanya boleh
tau sebatas apa yang juga diketahui orang lain. Sedangkan masalah "cowok
masa lalu Nesya", jangan sampai Nesya tau. Setidaknya untuk saat ini. Atau
mungkin, lebih baik Nesya nggak perlu tau untuk selamanya....
*** "Gue mau ngomong sama elo," kata Kiara dingin, begitu sampai di hadapan
Vino, pas jam istirahat berlangsung.
"Mana Nesya?" tanya Vino, sama dinginnya.
"Dia di kelas."
"Lo mau ngomong apa sama gue?" tanya Vino, sedikit penasaran.
"Kita ngomong di belakang sekolah aja."
Kiara berbalik dan berjalan ke arah belakang sekolah. Vino mengikutinya. Jujur,
perasaan Vino nggak enak. Sejak awal ia selalu merasa ada yang aneh pada diri
Kiara. Ia tahu, Kiara nggak suka padanya. Bahkan kadang Vino merasa Kiara
membencinya! "Well, jauhi Nesya," ujar Kiara sambil menatap Vino tajam, begitu mereka
sudah di belakang sekolah.
"Masalah itu lagi" Sebenernya lo ada masalah apa sih sama gue?" tanya Vino
kesal. "Gue nggak mau lo bantuin Nesya nginget masa lalunya."
"Maksud lo apa sih" Bukannya lo juga lagi berusaha bantuin dia?"
Kiara terdiam, masih dengan tatapan dinginnya.
Vino tersadar. "Oh... begitu ya" jadi, lo nggak pernah bantuin dia untuk inget
masa lalunya" Lo takut ia inget masa lalunya," tuduh Vino, nggak menyangka
dengan semua kenyataan ini.
"Gue memang nggak mau dia inget masa lalunya."
"Lo siapa" Lo bukan sahabatnya, kan?" Vino mulai panik.
"Justru karena gue sahabatnya, gue ngerti dia! Gue yang tau semua masa
lalunya! Dan gue yang paling tau seberapa bakal menderitanya dia kalo dia
inget semuanya!" seru Kiara, puas mengeluarkan semua unek-uneknya selama
ini. Untung mereka ada di belakang sekolah, jadi nggak ada orang lain yang
mendengar. "Apa sih maksud lo?" Vino benar-benar bingung.
"Lo tau siapa orang yang selama ini paling deket sama Nesya sebelum dia
kecelakaan?" tanya Kiara, membuat Vino tersentak.
"Sebelum dia kecelakaan?" ulang Vino bingung.
"Selama ini ada seseorang yang selalu ada untuk Nesya. Mereka tetanggaan.
Dan setahun yang lalu mereka resmi pacaran."
"Gue nggak ngerti..."
"Beda umur mereka sekitar tiga tahunan. Cowok itu alumni SMA kita ini...,"
lanjut Kiara, sengaja memotong kalimat Vino.
Vino tersentak. Sepertinya dia tau siapa yang sedang dibicarakan oleh Kiara.
"Terakhir kali gue ngomong sama cowok itu sekitar dua bulan yang lalu, pas dia
ulang tahun yang ke-18. Dia bilang dia mau mengenalkan Nesya ke temennya.
Tapi ternyata, hari di saat Nesya amnesia, juga merupakan hari terakhir gue
bisa ngobrol sama cowok itu..."
Vino terenyak. Dia nggak berani melihat tatapan nanar Kiara. Banyak
kepedihan terpancar di mata cewek itu. Dan sekarang, rasanya kepedihan itu
mulai menular kepadanya. "Maksud lo... Mike?" tanya Vino, masih shock.
Kiara tersenyum, antara sinis dan sedih. "Lo deket kan sama Mike" Dia pasti
udah cerita tentang pacarnya, kan?"
Ntar cewek gue bakal masuk SMA ini juga, jadi adik kelas lo. Berhubung gue
udah hengkang, jadi... bantu gue jagain dia selama di sekolah ya! kalimat itu
terngiang kembali di telinga Vino.
Vino makin terenyak. Dia sama sekali nggak pernah menganggap ucapan Mike
itu serius. Bahkan dia nggak tau kalo cewek yang selalu dibicarakan Mike itu
adalah Nesya, teman kecilnya.
"Nggak mungkin! Lo pasti bohong, kan?" ujar Vino, menatap Kiara dengan
sinis. "Gue juga awalnya nggak percaya..."
"Kalo begitu, nesya harus tahu!" seru Vino sambil beranjak pergi.
Tapi cepat-cepat Kiara menahan lengan Vino. "Maksud lo, dia harus tahu apa,
hah"! tau kalo Mike udah nggak ada" Tau kalo cowok yang paling penting
dalam hidupnya udah hilang da nggak bakal muncul lagi" Gitu?" ujar Kiara
cemas. Vino terdiam sesaat. "Lo mau amnesia Nesya sembuh, tapi luka di hatinya makin parah" Gue sendiri
aja nggak bisa ngebayangin gimana perasaannya kalo dia tau Mike udah..."
"Gimana dengan Mike?" sela Vino dingin, membuat Kiara tersentak. "Lo peduli
sama perasaan Nesya, tapi apa pernah lo mikirin perasaan Mike?"
"Lho, Mike kan udah..."
"Udah apa" hanya karena Mike udah nggak ada di dunia ini, terus lo boleh
seenaknya menghapus keberadaannya" Ini nggak adil buat Mike!" tegas Vino,
berhasil membuat Kiara berpikir ulang.
"Tapi... kalo Nesya tau terus ternyata dia makin sakit, apa Mike bakal seneng"
Apa Mike bakal tersenyum puas" Apa itu keadilan yang Mike inginkan?" sahut
Kiara. Lagi-lagi Vino dibuat mengerutkan dahi. Dia benar-benar nggak mengerti jalan
pikiran Kiara. Kiara kembali mentapnya tajam. "Gue tetep nggak bakal membiarkan lo
ngingetiin Nesya tentang masa lalunya."
"mau sampe kapan lo sembunyiin hal ini" Selamanya" Apa gunanya hidup kalo
nggak punya kenangan?" seru Vino emosi.
Kiara masih bertahan dengan keputusannya. "Biar aja Nesya nggak punya
kenangan tentang Mike."
"lo gila!" kata Vino.
"Terserah apa anggapan lo. Yang pasti, gue bakal melindungi Nesya."
"itu namanya bukan melindungi, tapi membohongi!" bantah Vino. "Gue tetap
bakal bantuin Nesya untuk nginget semuanya," ujar Vino yakin.
"Eh, Vino...! kayaknya percuma deh gue ngomong sama lo. Jadi... ter-se-rah!"
tegas Kiara. "Terserah dengan niat lo. Dan gue juga akan ngelanjutin tekad
gue," lanjut Kiara sambil berjalan melewati Vino yang masih diam nggak
berkutik. *** Sepulang sekolah, Vino tidur-tiduran di dalam kamar. Bahkan ia sempat
tertidur saat mendengarkan MP3 yang ada di HP-nya. Dan begitu ia membuka
mata, jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.
"Bi, Mama ke mana?" tanya Vino saat keluar kamar dan nggak menemukan
mamanya di ruang keluarga.
"Tadi pergi sama temennya," jawab Bi Odah.
"Temennya" Siapa?" tanya Vino bingung.
"Duh, Bibi nggak tau namanya," sahut Bi Odah sambil melanjutkan menyapu
lantai. Vino meneguk air putihnya. "Saya ke lapangan basket di taman dulu ya," kata
Vino cuek sambil beranjak keluar rumah dengan bola basket di tangan.
Sepanjang perjalanan menuju taman, Vino teringat akan pembicaraannya
dengan Kiara di sekolah tadi. Duh, hari gini dia disuruh mikir yang aneh-aneh"
Bikin sakit kepala aja. Andaikan dia nggak bertemu Nesya lagi, pasti hidupnya
masih normal-normal aja. Tapi kalau ia nggak bertemu Nesya, ia nggak akan
tau apa yang sebenarnya terjadi pada Mike.
Yap, Mike. Bagi Vino, hari ini seperti mimpi. Banyak hal yang tiba-tiba diketahui olehnya
secara bertubi-tubi. Dan menurutnya, Cuma orang gila yang percaya pada
semua ini! Vino sampai di lapangan dan langsung duduk di bangku. Ia masih shock. Bukan
karena Nesya yang hilang ingatan, melainkan karena Mike. Ini tentang Michael
Ardiansyah. Orang pertama yang telah diakuinya "hebat". Orang yang
beberapa bulan yang lalu masih bermain basket bersamanya. Orang yang
selalu mengomelinya kalo dia malas latihan. Orang yang meminta bantuannya
untuk... menjaga Nesya. Tapi sekarang... Mike udah nggak ada.
Vino membanting bola ke tengah lapangan. Dadanya terasa sakit, seperti ada
sesuatu yang menekan kuat-kuat. Dia bukan cowok melankolis! Kepergian
Mike nggak akan berpengaruh besar dalam hidupnya. Tapi kenapa dadanya
terasa sakit" kenapa air matanya ingin keluar"!
"Vino...?" Vino tersentak. Ia menoleh dan melihat siapa cewek yang memanggilnya.
Untung air matanya belum keluar. Kalo nggak, apa yang harus dikatakannya
pada Nesya yang sekarang sedang menatapnya bingung itu"
"Lo lagi ngapain?" tanya Nesya, sambil menghampiri Vino yang salah tingkah.
"Lo baru balik?" tanya Vino, bingung hendak ngomong apa.
Nesya yang masih memakai seragamnya mengambil bola dari tengah lapangan.
"Yap, tadi gue main ke rumah Kiara dulu. Lo mau main basket, ya?" tanya
Nesya seraya melemparkan bola ke arah Vino.
Vino menangkapnya dengan satu tangan. "Niatnya sih gitu. Lo juga mau
main?" "Yeee! Lo nyindir gue" Gue kan nggak bisa main basket..."
"Ya dicoba aja dulu. Lagian kan nggak ada yang liat kebegoan lo itu selain gue."
Vino kembali melempar ke tangan Nesya.
"Oke. Kalo dribel doang sih gue bisa," ujar Nesya, berharap Vino takut dan
nggak jadi menantangnya. Tapi ternyata Nesya salah. Vino malah tersenyum geli sambil menunggu Nesya
beraksi. Mau nggak mau, Nesya mulai membanting bola ke lantai, lalu dengan
cepat menangkapnya kembali. Senyum Vino makin lebar. Nesya menghela


Udah Belom Karya Laurentia Dermawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas panjang, lalu langsung mendribel bola.
Vino tertawa ngakak. Nesya bukan mendribel, tapi megejar bola yang
meneggelinding cepat, seolah-olah kabur dari Nesya. Begitu bola tertangkap,
Nesya merengut menatap Vino. Dan dengan satu gerakan... BUK! Bola
menghantam kepala Vino. "duh apa-apaan sih lo"!" seru Vino kaget, sambil mengelus elus kepalanya
yang baru saja dicium bola.
"Siapayang nyuruh lo ketawa"! Kan lo yang ngajak gue main?" Nesya nggak
mau kalah. Vino memungut bola basket yang teronggok di rumput. "oke, sekarang lo rebut
bola ini dari gue. Ayo mulai!"
Nesya berlari endekati Vino yang dengan lincahnya mendribel bola. Setengah
mati Nesya mengejar dan berusaha merebut bola itu nggak mau lepas dari
tangan Vino. Nesya berhenti mengejar Vino. Napasnya mulai ngos-ngosan. "Lo curang ah!
pasti ada magnet di bola itu dan di telapak tangan lo! Iya kan?"
Vino kembali tergelak. "Lo ilang ingatan apa bego sih" Hahaha!"
Kok lo jadi bawa-bawa "ilang ingatan"gue?"
Vino mengganti tawanya menjadi senyuman. "lo inget nama lo siapa?"
Nesya merengut kecil. "Nesya Venesia."
"Lo lahir di Venesia?" tanya Vino. Pasalnya, baru hari ini dia tahu nama lengkap
Nesya. Nesya mencibir. "Ya nggaklah! Gue lahir di Jakarta."
"Ooooh. Tanggal lahir lo?"
"Kenapa" Mau kasih kado?" tanya Nesya cepat. "Lo ngapain sih nanya-nanya?"
lanjut Nesya, mulai risi diinterogasi seperti ini.
"Gue Cuma mau ngetes..."
Vino terdiam sesaat. Ternyata memang susah mengembalikan ingatan
seseorang. Buktinya sekarang, Nesya malah jadi bete! Oke, yang perlu
dipikirkan adalah gimana cara paling mudah supaya ingatan Nesya cepat
pulih.setahu Vino, amnesia akan pulih seiring dengan waktu atau dengan
benturan keras di kepala. Kalo begitu... BUK!
"Aw!" jerit Nesya sambil mengelus-elus kepala. Vino ikut-ikut meringis. Pasti
rasanya sakit. tadi kan dia juga sudah merasakannnya. Tapi apa boleh buat"
Namanya juga usaha, walaupun belum tentu usahanya ini benar.
"Lo gila ya" Sakit tahu!" omel Nesya.
Vino cengengesan. "Gue ksn Cuma mau bantuin lo supaya ingatan lo pulih."
"Lo mau bentuin gue apa mau ngebunuh gue?" seru Nesya sambil meringis.
"Iya, iya, sori..."Vino menghampiri Nesya. "kita main lagi, ya?" ajak Vino sambil
tersenyum manis. "Hm..." Nesya masih merengut, yang langsung disambut hangat oleh Vino
dengan senyum dan aksi mendribel lalu memasukkan bola ke ring.
Nesya tertegun. Tiba-tiba ia ingat sosok seseorang saaat Vino berlari dan
memasukkan bola ke ring. Rasanya ada orang yang juga pernah melakukan hal
yang sama seperti yang Vino lakukan barusan. Tapi wajah orang itu nggak
terlihat jelas. Lagi pula, bayangan itu hanya samar-samar dan cepat
menghilang. Vino yang awalnya tersenyum bangga langsung bingung melihat ekspresi
kosong Nesya. "Ca...?" "Hah?" Nesya tersadar.
"Lo kenapa?" tanya Vino khawatir.
"Hm... nggak kok. Cuma iri aja ngeliat lo bisa masukin bola," sahut Nesya
sewajar mungkin. "Yuk main lagi!" serunya sambil merebut bola dari tangan
Vino dan mendribelnya. Mata Vino mengikuti gerakan Nesya yang kacau.
Firasatnya berkata bahwa Nesya menutupi perasaannya. Vino yakin, barusan
Nesya mengingat sesuatu. Tapi kalo memang iya, kenapa Nesya nggak cerita
padanya" Bukankah mereka udah sepakat akan bersama-sama memulihkan
ingatan Nesya" Oke, sebenarnya yang terpenting adalah apa yang diingat oleh
Nesya" "Vino!" panggil Nesya, membuyarkan pikiran Vino.
Vino merebut bola dari tangan Nesya, mendribelnya tapi dengan tanda tanya
besar di dalam hatinya. *** Nesya merasa di sekitarnya gelap. Ia celingak-celinguk dengan panik, berharap
seseorang menemukannya. Dadanya terasa penuh, rasa takut semakin
menekannya dengan begitu kuat. Ia ingin menangis. Ia ingin tau dimana dirinya
saat ini. Ia seperti tersesat! Dan satu-satunya yang bisa dilakukannya hanyalah
menangis tanpa suara. "Kamu nggak apa-apa?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Itu suara anak kecil. Anak laki-laki.
Nesya mendongakkan kepala. Matanya menyipit. Sosok anak kecil itu samarsamar berubah menjadi seorang sosok cowok dewasa. Sebisa mungkin Nesya
mengamati sosok itu, tapi wajah orang itu tetap tak terlihat.
"Rumah kamu di mana?" tanya cowok itu dengan suara yang terdengar lebih
berat, bukan suara anak kecil.
Nesya bbisa melihat senyum di wajah cowok itu. Senyum yang mampu
membuat rasa takutnya menghilang begitu saja. Ia merasa menemukan titik
terang dalam ketersesatan ini.
"Di sana...," tanpa sadar Nesya menjawab sambil menunjuk ke belakang cowok
itu. Si cowok tersenyum lembut sambil mengulurkan tangan. Nesya balas
tersenyum. Ia mengenal sosok di hadapannya ini. Ia pun merasa pernah
mengalami kejadian ini. Entah kapan. Tapi yang pasti, bila harus mengulang, ia
akan melakukannya dengan senang hati.
Nesya menyambut uluran tangan si cowok.
Tiba-tiba kepalanya terasa berputar. Ia memejamkan mata untuk menghalau
rasa sakit di kepalanya. Saat ia membuka mata, semuanya berubah menjadi terang. Udara sore hari
pun terasa menyegarkannya dari kegelapan tadi. Cowok tadi sudah tidak lagi
ada di hadapannya, melainkan jauh di depannya. Dengan gesit, cowok itu
mendribel bola dan melemparkannya ke ring. Bola masuk dengan sempurna!
Si cowok tersenyum puas ke arah Nessya. Seakan ikut merasakan kepuasan
yang dirasakan cowok itu, Nesya balas tersenyum. Ini seperti bukan dirinya.
semuanya berjalan di luar kendalinya.
"Aku iri sama kamu!" seru Nesya, masih dengan senyum bahagianya.
Cowok itu memungut bola dan kembali menoleh pada Nesya.
"Kenapa iri?" tanyanya.
"Karena kamu jago basket. Sedangkan aku, dribel bola aja nggk bisa," kata
Nesya sambil pura-pura merengut.
Cowok itu menghampiri Nesya. Sayangnya, Nesya nggak bisa melihat wajah
cowok itu dengan jelas. Tapi Nesya merasa sudah kenaldekat dengan cowok
itu. "Nggak bisa juga nggak apa-apa. yang penting kan kamu punya aku," ujar
cowok itu lembut. "Ya... untungnya aku punya kamu," sahut Nesya sambil tersenyum bangga.
"pulang yuk! Udah sore nih."
Nesya mendongak. Dilihatnya langit mulai gelap. Tapi begitu ia menatap cowok
itu lagi, cowok itu sudah menghilang. Nesya melayangkan pandangannya ke
segala arah, berharap menemukan cowok itu.
Nesya terus mencari. Rasa takut itu pun kembali menghampirinya. Ia mulai
panik. Ia ingin menangis. Ia ingin cowok itu kembali menemukannya dan
pulang bersamanya... Nesya terbangun dengan napas nggak beraturan. Peluh membasahi wajahnya.
Tubuhnya keringat dingin. Ditatapnya langit-langit kamar yang putih bersih.
Tidak ada kegelapan yang ditakutinya seperti dalam mimpinya barusan.
Mimpi... Nesya mengembuskan napas panjang. Mimpi aneh pertama yang dialaminya
semenjak kecelakaan itu. Apa benar semuanya hanya mimpi" Atau janganjangan, itu sebuah petunjuk untuk ingatannya yang hilang"
ENAM "ITU kan Cuma mimpi, Ca," komentar Kiara, berusaha sesantai mungkin, begitu
Nesya emnceritakan mimpinya.
"Tapi rasanya kayak beneran. Lo yakin itu Cuma mimpi, Ra" emangnya beneran
nih, gue nggak pernah deket sama cowok yang jago basket?" Nesya penasaran.
Kiara menatap sahabatnya. "Gue rasa lo mulai kesengsem sama Vino deh."
Nesya langsung menekuk wajah. "Kok jadi Vino sih" Gue yakin cowok yang gue
liat di mimpi itu bukan Vino!"
"Seberapa yakin?" tantang Kiara.
Nesya mendadak gagu."Hm... yah... 50 persenlah..."
"Oh...Cuma 50 persen..." Kiara kembali membaca majalah yang ada di
tangannya. Saat itu Nesya memang sedang main ke rumah Kiara.
"Oke, bukan 50 persen, tapi 90 persen!" seru Neya kesal.
Kiara melirik ke arah Nesya. "Kalo gitu, gue lebih percaya sama yang 10 persen
sisanya." "Kok lo gitu sih"!" seru Nesya jengkel.
Kiara menutup majalah dan kembali memfokuskan diri pada Nesya. "Gini ya,
Ca. Empat tahun gue jadi sahabat lo, gue nggak apernah denger ada cerita
kayak dalam mimpi lo itu di kehidupan nyata lo. Jadi ya..."
"Lo yakin?" potong Nesya, mencari kejujuran di mata Kiara.
Kiara balas menatap Nesya dengan tajam. "Yakin."
Nesya terdiam. Kiara menghela napas, membuka majalah, lalu pura-pura membacanya dengan
serius. Andaikan Nesya tahu, saat ini dada Kiara berdebar sangat kencang
karena telah sukses berbohong. Andaikan Nesya tahu, saat ini Kiara begitu
panik mendengar mimpi Nesya yang sebenarnya pernah menjadi kenyataan
itu! *** Siang itu di sekolah, Nesya dan Kiara kembali menonton anak-anak basket yang
sedang latihan. Awalnya Kiara nggak mau, tapi begitu Nesya bilang ia mau
nonton sendiri, akhirnya Kiara setuju ikut. Bukankah lebih berbahaya kalo
Nesya dibiarkan sendiri" Apalagi lawannya adalah Vino!
"Hei, Ra!" sapa Egi, begitu melihat Kiara dan Nesya di tepi lapangan.
"Hei!" balas Kiara ramah.
Vino yang sejak tadi berdiri di samping Egi pun ikut menyapa Kiara dan Nesya.
Nesya membalasnya dengan senyuman, tapi Kiara ogah tersenyum begitu
melihat Vino. "Lo belum pulang?" tanya Vino ramah pada Nesya.
"Mau liat lo latihan dulu," sahut Nesya sekenanya.
Vino sempat salah tingkah. "Lo khusus ke sini Cuma buat liat gue latihan?"
tanya Vino setengah nggak percaya.
"Hm... soalnya gue ngerasa ada sesuatu di sini. Yah, siapa tau bisa bantu
mulihin ingatan gue," jawaB Nesya polos.
Pupus sudah salah tingkah Vino barusan. Ternyata Nesya darang karena hal
lain. "Mulihin ingatan?" celetuk Egi. "Emangnya lo kenapa?"
"ntar gue ceritain deh di les inggris," kata Kiara singkat, sambil melayangkan
tatapan penuh arti ke Egi.
Egi Cuma bisa ber-oooh ria.
Vino yang sadar akan tujuan awalnya, langsung mengambil tindakan.
"eh iya, Gi. Gue denger nih, ceweknya Mike sekolah di sini ya?" ujar Vino. Kiara
refleks menoleh, menatapnya tajam. Vino balas menatap sekilas, tapi
kemudian langsung kembali memasang wajah biasa-biasa saja.
"Emangnya Mike udah punya cewek?" tanya Egi kaget.
Vino melirik ke arah Nesya yang masih memasang tampang polosnya. "Mike
pernah cerita kalo dia udah punya cewek yang tahun ini bakal masuk sekolah
kita..." "Serius lo"! Namanya siapa" Gue jadi penasaran. Kayak gimana ya cewek yang
bisa jadi pacar seorang Michael Ardiansyah?" kata Egi.
Kiara hanya bisa menghina kebodohan Egi itu dalam hati. Ya bukan salah Egi
sih, dia kan emang nggak tau. Tapi yang patut disalahkan adalah manusia rese
yang bernama Arvino Jelandra yang ada di hadapannya dengan wajah cakep
tapi sinis itu! "Kalian lagi ngomongin siapa sih?" tanya Nesya penasaran.
Kiara langsung menarik tangan Nesya. "Pulang yuk, Ca!"
"Gue lagi ngomongin mantan kapten tim basket sebelum gue. Namanya
Michael Ardiansyah, panggilannya Mike!" kata Vino, sengaja berbicara dengan
suara lebih keras, dengan penekanan khusus pada kata terakhir.
Kiara langsung melirik ke arah Nesya.
Nesya mengerutkan dahi. "Kayaknya gue pernah denger deh. Gue kenal nggak
sih, Ra?" tanya Nesya polos.
Vino tersenyum dalam hati. Ini kesempatan emas untuk membangkitkan
kenangan Nesya akan Mike. "Mike itu terkenal di SMA Pelita. Dan yang gue
tau, katanya dia punya pacar yang seumuran kalian..."
"Eh, lo bisa diem nggak sih?" potong Kiara.
"Kok lo marah sih, Ra?" tanya Nesya, bingung melihat tingkah Kiara.
"Memangnya siapa, Vin?" tanya Egi penasaran, tanpa memedulikan Kiara.
"Pacarnya Mike itu ternyata..." Vino bersiap membuka mulut.
"Gue," jawab Kiara.
Serempak Vino, Nesya, dan Egi menoleh ke arah cewek itu.
Nesya terbelalak. Egi melongo. Vino hanya bisa menatap kaget.
"Gue emang ceweknya Mike. Puas lo?" ujar Kiara dingin, sambil menatap Vino
tajam. "Kok lo nggak pernah cerita sih, Ra?" Nesya nggak bisa menutupi rasa kaget
plus penasarannya. "Gue nggak pernah cerita karena sebenernya dua bulan yang lalu gue udah
putus sama Mike. Gue nggak mau terus mengingat hubungan kami. Tapi
ternyata, si orang sok tau ini dengan sengaja malah ngungkit semuanya!" Kiara
menunjuk ke arah Vino dengan kecewa.
Vino tersentak. Dia sama sekali nggak menyangka Kiara akan senekat itu! Vino
nggak tahu harus ngomong apa lagi. Jelas-jelas Kiara berbohong.
"Sori, Vin, gue sama Kiara pulang dulu ya," ujar Nesya sambil menggandeng
tangan sahabatnya. Vino hanya bisa melongo. Egi yang merasa nggak enak hati
dengan situasi saatnitu ikut-ikutan cari alasan untuk pergi. Tinggallah Vino
sendiri, hanya ditemani beberapa anak basket lain yang sedang bermain di
lapangan. Sesaat Vino tertunduk, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Pertama, ia harus berhadapan dengan orang yang amnesia, yang selama ini
Cuma dilihatnya dalam film atau pernah dibacanya di novel. Terus sekarang,
Kiara mengaku-aku sebagai mantan pacar Mike. Gila! Sebenernaya permainan
apa sih yang sedang dijalaninya ini"
Vino tersentak. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Kiara waktu di belakang sekolah
dulu, "Terserah dengan niat lo, dan gue juga akan ngelanjutin tekad gue..."
Perlahan Vino tersenyum. Kok gue tolol amat ya" rutuknya dalam hati.
Sekarang ia tau apa maksud kata-kata Kiara itu. Betapa bodohnya ia sampai
bisa terbawa arus permainan Kiara tadi. Ternyata lawannya kali ini lumayan
seimbang. Semuanya berjalan begitu cepat sampai Vino yang awalnya berpikir
akan memenangkan permainan, malah dibuat seri oleh Kiara.
*** Pulang sekolah, Nesya malas pulang ke rumah. ia ingin main ke rumah Kiara.
Tadi di sekolah ia sudah menelepon Mama, izin bahwa ia akan pulang sore.
Selama perjalanan, keduanya nggak bicara satu kata pun. Nesya takut Kiara
makin sedih perihal Mike, sedangkan Kiara sendiri takut kebohongannya
terbongkar. Sebenarnya, setiap kali berbohong kepada Nesya, Kiara selalu merasa bersalah.
Bahkan ia selalu mengutuki dirinya sendiri. Kenapa harus berbohong pada
sahabatnya sendiri" Lagi pula, sebenarnya Nesya adalah orang yang paling
berhak tau semua kebenaran yang ada. Tapi tetap saja, setiap kali pikiran
untuk jujur itu muncul, rasa khawatir itu pun ikut-ikutan muncul. Kiara takut
Nesya tambah terluka. Begitu sampai di rumah, Kiara membulatkan hati. Semuanya terlanjur terjadi.
Sekali berbohong, ia memang harus melanjutkan kebohongan-kebohongan
lainnya. "Lo nggak mau cerita apa-apa tentang Mike?" tanya Nesya memulai
pembicaraan saat mereka berdua sudah berada di kamar Kiara.
Kiara menghela napas panjang. "Apa yang pengen lo ketahui?" sahut Kiara,
berharap Nesya berhenti bertanya.
"Dulu gue kenal nggak sama Mike?" tanya Nesya polos.
Kiara terenyak. Hatinya terasa pedih. Bisa-bisanya Nesya bertanya hal seironis
itu dengan wajah sangat polos. Andaikan Mike ada di sini dan mendengar


Udah Belom Karya Laurentia Dermawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan Nesya barusan, tidakkah Mike akan merasa sedih" Dilupakan oleh
orang yang disayangi, apakah Mike masih bisa tersenyum ramah seperti
biasanya" Oh, tidak. Walaupun Mike sudah nggak ada, Nesya harus tetap mengenal Mike.
Kalo nggak bisa secara terang-terangan, Kiara bisa mencari cara lain yang lebih
halus. Dan kesempatan itu sudah ada di depan mata!
"Ra...?" Nesya menyentuh bahu Kiara dengan lembut.
Kiara menatap Nesya dengan yakin. "lo kenal baik sama Mike."
"Oya?" Nesya sedikit kaget.
"Hm. Sebenernya orang yang di mimpi lo itu mungkin Mike. Secara fisik, tinggi
Mike hampirr sama dengan Vino. Dia juga cakep. Jago basket pula. Waktu
pertama kali gue ketemu dia, gue pikir orangnya sombong. Tapi ternyata pas
dia senyum, saat itulah gue tau kalo dia memang orang yang tepat..."
...untuk lo, Ca! Tambah Kiara dalam hati.
"Karena itu lo jatuh cinta sama dia?" tanya Nesya, mulai berbinar-binar.
Kiara makin nggak tega melihat wajah Nesya yang terlihat bahagia itu. Hatinya
makin mencelos. Kiara kembali menerawang. "Bukan Cuma karena itu.
Sebenernya gue udah jatuh cinta sama dia sejak sembilan tahun yang lalu..."
"Wow! Gile! Lo jatuh cinta sama dia pas SD"!" sela Nesya, antara nggak
percaya dan kagum. Kiara tesenyum tipis. Yap, gue juga kaget, Ca, pas denger hal itu pertama kali
dari mulut lo dulu. "Mike is my hero. Dia yang nyelametin gue waktu gue nangis ketakutan. Bagi
gue, mungkin dia bukan yang pertama, tapi pasti yang terakhir," lanjut Kiara,
yang sebenarnya mengulanng kata-kata Nesya dulu.
"Terus, kenapa kalian putus?" Nesya makin penasaran.
"Kenapa putus?" ulang Kiara, bingung harus menjawab apa. "Sebab, terkadang
kita nggak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Gue menginginkan dia,
tapi takdir berkata lain."
Nesya tersenyum prihatin. "Terus, sekarang dia di mana?"
Mike di mana" Andaikan Kiara tahu. Andaikan ada orang yang bisa
menjelaskan di mana Mike sekarang ini. Andaikan Kiara juga bisa mengucapkan
pertanyaan itu sepolos Nesya. Andaikan Nesya tahu bahwa semua yang
diceritakan oleh Kiara barusan adalah tentang Nesya dan Mike!
Kiara nggak bisa lagi menutupi rasa sedihnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Perlahan ia menunduk, nggak berani menatap mata Nesya yang polos.
"Seandainya gue tahu, Ca," ujar Kiara lirih.
*** Malam itu sebelum tidur, seperti biasa, Nesya mengobrol sebentar dengan
Mama. Obrolan singkat yang penuh kehangatan. Soalnya sejak Nesya
kecelakaan, Mama memang lebih perhatian kepadanya. Dan Nesya juga jadi
lebih tergantung pada Mama.
"Eh, Ma, aku baru tahu lho kalo Kiara ternyata punya pacar," Nesya bercerita
dengan semangat. Mama Nesya menaikkan alis. Sejak kapan Kiara punya pacar" Kiara dan Nesya
memang sobat karib. Bahkan saking akrabnya, mama Nesya sampai tahu selukbeluk Kiara. Pokoknya, seperti anaknya sendiri deh. "Masa sih" Selama ini
Mama nggak pernah denger tuh. kiara juga nggak pernah cerita ke Mama..."
"Iya nih. Aku juga baru tau tadi siang. Kiara sendiri yang cerita kalo pacarnya
itu mantan kapten tim basket di SMA Pelita," jelas Nesya yakin.
Mama langsung gusar. "mantan kapten tim basket SMA Pelita?" ulang Mama
hati-hati. Nesya mengangguk yakin. "Namanya Michael Ardiansyah. Mama pernah
denger nggak?" tanya Nesya polos.
"Hm... Michael" Kayaknya Mama pernah denger deh. Dulu kamu dan Kiara
memang suka nyebut-nyebut namanya..."
"Masa sih" Sebel nih, aku nggak inget sama sekali. Kapan ya ingatan aku balik
lagi?" keluh Nesya sambil merengut bete.
Mama mengelus kepala Nesya dengan lembut sambil tersenyum sedih. "Kalau
udah saatnya, ingatan kamu juga pasti pulih."
Nesya memeluk mamanya erat. Dadanya terasa hangat dan damai. Jauh di
lubuk hatinya, ia merasa pernah merasakan pelukan yang seperti ini. Entah
dengan siapa, tapi yang pasti bukan dengan mamanya.
Mama berusaha tetap tersenyum, meskipun di dalam hati ia merasa sedih.
Entah bagaimana cara yang tepat untuk jujur kepada Nesya akan apa yang
sebenarnya terjadi.... *** Kiara mendengus bete. Ia menyesal kenapa harus datang lebih awal.
Mendingan telat sekalian. Lebih baik ditegur Mr. Bryan, guru les Inggris-nya,
daripada disapa Egi yang bawelnya selangit.
Egi makin mendekat ke arahnya dan nggak berhenti menatapnya. "Ayo dong,
Ra! lo kan udah janji mau cerita ke gue," Egi memohon.
"Sebenernya sih nggak ada hubungannya sama elo, Gi..." Kiara berusaha
mengelak. Ia malas cerita pada cowok ini. Lagi pula, mau mulai cerita
darimana" "Eh, paling nggak, gue kan temen lo, sahabatnya Vino, dan sekarang kenal pula
sama Nesya. Jadi gue berhak tau dong" daripada gue bengong sendiri kalo
kalian bertiga lagi ngobrol kayak kemarin?" kata Egi ngotot.
"Ya udah. Kalo gitu, lo pergi aja kalo kami bertiga lagi ngobrol. Gampang, kan?"
sahut Kiara jutek, tanpa peduli apakan Egi bakal tersinggung apa nggak.
Sebenarnya Kiara sengaja, biar Egi tersinggung, terus jangan deket-deket dia
lagi. "Nggak bisa gitu dong! lo udah janji mau kasih tau gue. Jadi, sebelum lo cerita,
gue nggak bakal nyerah!" seru Egi, membuat Kiara melongo. Kok bisa ada
manusia kayak begini"
Kiara tersenyum sinis. "Lo lagi ngapain sih sebenernya" Kayak lagi mau
nembak, terus nngarepin jawaban gue, pake bawa-bawa janji dan nyerah
segala..." "Lo lebih milih cerita atau gue tembak" Terus, kapan hubungan kita berlanjut
ke tingkat lebih serius" Terus, kira-kira maskawinnya apaan ya" terus, entar
kita bulan madunya ke mana, Say" Gimana kalo ke Zimbabwe?" goda Egi iseng.
Kiara langsung menekuk wajah. "Oke! Gue kasih tahu inti ceritanya. Nesya itu
amnesia. Dan sekarang, sebagai temen kecilnya, Vino mau membantu Nesya
untuk memulihkan ingatannya. Puas lo?"
Egi melongo sesaat. "Amnesia" Kok nggak keliatan, ya?"
"Keliatan apanya" Lo mau ada kertas di jidatnya yang bertuliskan "Gue
amnesia", gitu?" sahut Kiara, meladeni kekonyolan Egi.
"Ya bukan gitu. gue Cuma nggak nyangka aja bakal ketemu langsung sama
orang yang amnesia. Gue kira Cuma ada di film. Beuh, bener-bener nggak
keliatan kalo dia amnesia. Hebat!" Egi malah terkagum-kagum.
Kiara hanya bisa menggelengkan kepala. Orang amnesia kok malah dikagumi"!
Terus, lo bantuin dia supaya ingatannya cepet pulih?" tanya Egi.
Kiara menoleh sesaat, lalu membuang muka dengan dingin. "Bukan urusan lo."
Berbeda dengan respons sebelumnya, kali ini Egi hanya mengangguk pelan,
tanpa banyak protes. Kiara sendiri agak kaget. Baru beberapa menit yang lalu
Egi memaksanya untuk bercerita, eh sekarang dengan alimnya Egi terdiam,
seolah mengerti apa yang ingin disampaikan oleh Kiara. Marahkah Egi garagara dijutekin barusan"
Belum sempat Kiara berpikir lebih jauh, Egi sudah menjawab pertanyaannya.
"Udah jam setengah empat. Masuk yuk, Ra..."
Kiara melongo. "Hah?"
Egi tersenyum nakal. "Lo mau gue gendong ke kelas?"
"Ih! Amit-amit!" seru Kiara.
Egi tergelak geli. Kiara hanya merengut kecil sambil berjalan mendahului Egi
yang dengan setia mengikutinya dari belakang.
*** "Vin! Ada yang nyari!" seru salah seorang teman Vino yang kebetulan bertemu
Nesya di depan kelas. Vino melirik ke arah pintu. Begitu melihat siapa yang mencarinya, ia pun
langsung beranjak menghampiri Nesya sambil tersenyum manis. Marsya yang
melihat adegan tersebut memerhatikan dari jauh.
"Kenapa, Ca?" tanya Vino ramah.
Nesya Cuma tersenyum kecil. Vino yang sudah hafal gelagat Nesya itu langsung
menghela napas. "Pasti aneh-aneh lagi..."
"Nggak kok," seru Nesya sambil merengut. "Gue Cuma mau kasih lo ini..."
Nesya mengulurkan sepotong pastel yang masih terbungkus rapi di dalam
plastik. Vino mengerutkan dahi. "Buat gue" Tumben amat," ujar Vino curiga.
Nesya tersenyum manis. "Gue baik, kan?"
"Pasti lo beli kebanyakan, terus nggak habis, makanya sisanya dikasih ke gue.
Iya, kan?" duga Vino.
Nesya menatap Vino kagum. "Lo emang pinter ya!" kata Nesya spontan.
Melihat ekspresi Nesya barusan, Vino hanya bisa menghela napas. "Kenapa
nggak lo kasih temen lo aja" Kiara, misalnya?"
"Kiara nggak doyan pastel..."
"Emangnya lo tau gue doyan pastel?" Vino mulai menikmati pembicaraan
nggak penting ini. "Feeling gue sih bilang lo doyan. Kalo ternyata nggak, ya tinggal balikin aja.
Gampang, kan?" sahut Nesya, bingung ditanya-tanya melulu. Orang mau
ngasih pastel aja kok ribet banget.
Vino tersenyum lembut. "Ya udah, thanks ya."
Nesya kembali bersemangat. "Tapi lain kali gantian lo yang traktir gue ya!"
"Dasar nggak tulus ngasihnya!" kata Vino, pura-pura bete sambil mengacakacak rambut Nesya. Nesya sendiri hanya tertawa kecil.
Melihat itu Marsya langsung berdiri dan hendak menghampiri mereka. Hatinya
dongkol. Rasanya seperti ada yang membakar dadanya. Memang sih Vino
Kelelawar Hantu 1 Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa Pembalasan Mintarsih 2
^