Pencarian

Wasripin Dan Satinah 2

Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo Bagian 2


dipersiapkan oleh seorang nelayan yang aktif di HNSI (Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia). "Satu. Mendukung Pancasila dan UUD "45."
"Gombal!" ujar Danramil pelan-pelan.
"Dua. Mendukung Presiden Sadarto."
"Tahi kucing!" Danramil.
"Tiga. Menyatakan Pilkades telah terlaksana secara demokratis."
"Bohong!" Danramil.
"Empat. Mendesak Kades baru segera dilantik."
"Intimidasi!" Danramil.
Camat berpidato, "Saudara-saudara. Kita sedang mencari tanggal yang
pas. Pak Bupati sedang ke Jakarta, dipanggil Bapak Presiden untuk mendapat
petunjuk!" kata Camat. Dikira kata "Presiden" akan membuat mereka tenang.
Tetapi tidak, mereka gaduh.
"Ini akal-akalan apa!"
"Gombal!" "Kades yang memilih rakyat, yang melantik juga rakyat!"
"Kita pulang. Pak Modin kita lantik!"
"Mereka pulang, merundingkan soal pelantikan Kades rakyat. Pak Modin
keberatan, sebab nantinya ada pemerintahan desa kembar. Dan itu soal serius.
Setelah orang-orang menjelaskan bahwa urusan Kades rakyat adalah ke
masyarakat, bukan ke atas dan kedinasan, barulah Pak Modin setuju.
"Namanya jangan Kades tapi Karak, Kepala Rakyat."
Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan selawatan mereka
melantik Modin sebagai Kepala Rakyatan alias Karak. Pembawa acara
mengatakan bahwa yang melantik rakyat, jadi rakyatlah yang bertanggung
jawab. Kalau ada apa-apa, rakyatlah yang akan maju.
Adapun Camat menunda-nunda pelantikan Pak Modin jadi Kades, sampai
ada Kades yang definitif. Setelah tanya sana-sini tidak seorang pun di
perkampungan nelayan itu jadi Pjs Kades, termasuk aparat desa yang lama.
Akhirnya dia menunjuk diri sendiri sebagai care taker.
Segera Camat tahu bahwa ada Karak. Urusan itu dibawanya ke rapat
Muspika. Danramil bersungut-sungut, "Rakyat" Rakyat" Lha kok rakyat?" Ia
mondar-mandir, "Mungkin dia PKI malam di sana!"
"Aku tahu sekarang! Dia dulu pasti ikut Pemberontakan Tiga Daerah!"
(Peristiwa Tiga Daerah di Brebes, Tegal dan Pekalongan adalah pembangkangan
pada Pemerintah Pusat, dekat setelah Kemerdekaan).
"Itu tak mungkin. Dia ikut Hizbullah."
"O, bagaimana kalian ini. Dulu dia pasti mempraktekkan KKM, Kerja di
Kubu Musuh." "Itu istilah baru, Pak."
"Baru atau lama sama saja. Kami akan kirim intel!"
Setelah ditunggu lama, Pak Modin tidak juga dilantik. Rakyat mogok.
Siskamling sepi, tak ada pertemuan bulanan dusun. Camat tak diundang dalam
semua perhelatan (sunatan, perkawinan, peluncuran perahu), tidak diminta
menyambut pada kematian, tak diundang pengajian akbar, tak diminta
memberi tendangan pertama pada sepak bola antardusun. Kedudukannya di
masyarakat dihapus, rakyat selalu meminta Modin di tempat yang biasa
diduduki Kades. Hanya PBB tak pernah dilupakan, sebab Modin menghukuminya
sebagai fardhu "ain.
Camat gelisah. Baru sekali ini ia diboikot rakyat. Kasus pemerintahan
kembar itu dibawa ke Muspika.
"Sabar saja, Pak. Membayar PBB itu sudah tanda loyalitas," kata
Kapolsek. "Intel-intel kami sedang mencari biang keroknya. Modin itu hanya
boneka," kata Danramil.
"Ah, jangan cepat menuduh, lho Pak. Di sekolah kepolisian selalu
ditekankan "asas praduga tak bersalah"," kata Kapolsek.
"Apa kalau TNI asasnya "tembak dulu urusan belakang?"
"Ya tidak begitu, to maksudnya."
"Sudah sudah, Bapak. Sekarang bukan waktunya berdebat."
Camat merasakan pembicaraan mulai tegang. Karenanya ia menyetel
TV. Camat minta tamu-tamunya nonton TV dengan acara Thomas Cup yang
Indonesia selalu menang. 3 DANRAMIL lapor Dandim. Dandim lapor Danrem. Danrem lapor
Pangdam. Pangdam menyerahkan perkara pada Laksusda (Pelaksana Khusus
Daerah, mengurusi soal subversi). Maka Pak Modin pun dipanggil ke Semarang.
Seoran Kapten menginterogasinya. Kapten itu masih muda, sepantasnya dia
jadi anaknya. Di pojok ada tukang ketik yang juga berbaju hijau. Dengan
patuh ia mengetik setiap pembicaraan. Mereka ingin tahu kalau-kalau ada
keluarganya yang tersangkut makar. Dengan suara keras dan kasar pemeriksa
menyodorkan formulir. "Modin, isi ini!" Pak Modin sebenarnya sakit hati. Sepantasnya ia harus
dipanggil dengan Pak, Pakde, dan Paklik.
Pak Modin diminta mengisi formulir, semuanya tentang pekerjaan,
organisasi sosial, kegiatan politik, dan kondisi keuangan. Ia harus mengisi
tentang ia sendiri: orangtuanya, mertuanya, paman-pamannya, keponakankeponakannya. Semua tinggal mencoretnya, tidak punya siapa-siapa. Hanya
ketika harus mengisi soal anak, nampak matanya berkaca-kaca, agak ragu-ragu.
"Anakmu masuk CGMI, ya?"
Ketika dikatakan bahwa ia tidak punya anak seorang pun, pemeriksa
mengejar. "Itu yang diketahui, yang tak diketahui?"
Pak Modin meneteskan air mata, entah apa maksudnya. Tiba-tiba ada
telepon untuk pemeriksa. Tidak diketahui apa isi pembicaraan telepon, tapi
Kapten itu bilang, "Telepon tadi memerintahkan, kalau ada indikasi sebaiknya Modin kami
tahan." Kata pemeriksa sambil berdiri dan mengelus-elus sabuk kulit tempat
pistolnya. Selanjutnya formulir itu berisi tentang kawan-kawannya, tiga yang
paling menonjol. Ia mengingat. Ditulisnya: Sulaeman jagoan main bola,
Sabiyantu paling pandai memanjat pohon, Munajat nomor satu lomba makan
kerupuk pandu HW. Pemeriksa membaca, bersungut-sungut,
"Bukan ini. Kawan yang sudah jadi orang, maksudnya. Sekarang lisan
saja. Kawan-kawan Modin?"
Pada waktu itu masuk seorang tentara berbintang satu. Kapten dan
prajurit tukang ketik itu berdiri dan memberi hormat. Pak Modin yang ingin
tahu siapa yang datang ikut berdiri dan membungkuk.
"Kita lanjutkan. Jadi kawan-kawan Modin?"
"Syarif juragan perahu, Achjar pedagang pindang, Wasripin Satpam TPI."
Pati berbintang satu kembali. Katanya sambil menunjuk Pak Modin.
"Lho, ini kan Pak Modin?"
"Ya, kenapa?" "Saya masih terkesan ceramah Bapak di AMN Magelang akhir tahun 1960an itu. Coba, Kapten ke kamar saya."
Ia kembali ke kamar, diikuti Kapten.
"Tahu, siapa dia?"
"Siap, Jenderal. Tidak!"
"Waktu Kles II dia memimpin serangan ke pabrik gula di Cirebon,
mengepungnya semalam, membendung sungai sampai airnya menggenangi
pabrik, dan Belanda angkat kaki. Urus, jangan sampai dia menderita."
"Siap, Jenderal!"
Dia mampir ke Keuangan, dan kembali pada Pak Modin.
Sikapnya yang garang hilang, berubah jadi lembut.
"Begini. Pak Modin dipersilakan pulang." Sambil memberikan sejumlah
uang, "Maaf, ada kesalahan prosedur pada kami. Bapak, ini uang transportnya,
ini uang akomodasinya, ini uang konsultasinya."
Pak Modin menerima uang itu, menghitung, dan uang transport masuk
sakunya. "Yang ini tak usah saja. Kita kan hanya omong-omong barang lima
menitan," katanya sambil memberikan uang di tangannya, "Permisi!"
Ia melangkah keluar. Pati keluar dari kamarnya. Pak Modin bersalaman,
juga dengan Kapten dan tukang ketik itu.
"Terima kasih atas kunjungan Bapak. Ada untungnya juga kesalahan itu.
Kalau tidak begini, kita takkan bertemu. Ini kartu saya. Kalau ada apa-apa
hubungi saya." Setelah sendirian Kapten mengumpat pelan, "Trembelane!" sambil
mengepalkan tangannya. Tiba di perbatasan desa selepas Maghrib Pak Modin terkejut. Banyak
batu, pohonan, dan barang apa saja di jalan: panci bekas, periuk tanah, sarong
sobek, kursi tanpa tempat duduk, pecahan piring. Ia heran. Orang banyak
berkumpul di surau. Begitu mendekati surau, orang banyak mendukungnya.
"Apa yang terjadi?"
"Kalau hari ini Pak Modin tidak datang, kami akan mendatangi kantor
kecamatan." "Apa yang di jalan itu?"
"Supaya Camat tak bisa ke sini. Sekarang akan kami bersihkan."
"Semua harus minta maaf pada Camat. Kita salah duga, semuanya
bukan karena dia." Keesokan harinya jalanan sudah bersih. Para nelayan pergi ke
kecamatan dipimpin Pak Modin. Entah dari mana, tetapi kecamatan siap
menghadapi suasana yang terburuk. Karenanya, pagi itu kantor kecamatan
dijaga polisi dan tentara dari kejauhan.
Camat keluar, disambut dengan jabat tangan Pak Modin.
"Pak, kami datang untuk minta maaf."
"Maaf apa?" "Kami mengira Bapak yang mengatur sampai saya dipanggil ke
Semarang." "Ya, ta?" Semua orang bersalaman dengan Camat.
Mereka berdamai. Camat menjanjikan segera mengusulkan pada Bupati
untuk melantik Pak Modin. Camat sebagai care taker Kades memberikan
sambutan atas nama keluarga pada kematian, Siskamling jalan, Camat
berpidato dalam pengajian akbar.
Tetapi pelantikan tidak pernah terwujud. Malah, Camat dipindahkan.
Dalam acara perpisahan di kantor kalurahan dia bilang bahwa ia datang dan
pergi untuk memenuhi tugas. Kepergiannya adalah sebuah tour of duty biasa.
Namun, beberapa orang perkampungan nelayan yang ikut mengantar ke
tempat tugasnya yang baru mengatakan bahwa tempatnya yang sekarang
terletak di daerah bukit yang tandus, sulit air, dan tak ada tanaman hijau di
waktu kemarau. Camat baru jadi care taker juga di desa nelayan itu. Dia heran, Camat
sebagai sesepuh desa tidak pernah diminta menyambut di kematian,
perkawinan, pengajian akbar. Banyak kegiatan desa yang tidak jalan:
Siskamling, gotong-royong mengeraskan jalan, membersihkan kuburan desa.
Camat terpaksa mengeluarkan uang PBB untuk menyewa orang mengadakan
ronda, mengeraskan jalan, dan membersihkan kuburan.
Aparat desa keberatan dengan pengeluaran uang pajak itu, tapi tidak
digubrisnya. Ketika petugas pajak menyatakan bahwa desa itu menunggak
setoran pajak tidak digubrisnya juga. Ia tenang-tenang saja, karena ia
membawa misi Partai Randu. Baru ketika sebuah koran daerah mengabarkan
bahwa Camat sebagai care taker Kades perkampungan nelayan menilep uang
pajak ia pergi minta uang ke kantor Partai Randu untuk membayar.
4 Di kantor Partai Randu ia berdebat dengan Bendahara.
"Saya disuruh menyukseskan Pemilu yang akan datang dengan segala
cara. Itulah cara saya."
"Tapi jangan sampai masuk koran. Itu memalukan Partai. Semua orang
tahu bahwa engkau fungsionaris Partai."
"Jangan salahkan saya, salahkan koran."
Meskipun uang keluar juga, tapi Rapim Partai Randu menyepakati untuk
melayangkan surat protes. Alasannya, soal uang pajak itu adalah masalah
intern pemerintah, sepatutnya koran tak turut campur. Koran pun mengambil
untung. Surat protes itu dimuat secara penuh dalam rubrik "Surat Pembaca".
Dan, kemudian koran pun menggelar debat publik mengenai "fungsi
pengawasan pers dan otoritas pemerintah". Dalam debat opini memang Partai
Randu tak disebut-sebut, tetapi para fungsionaris Partai tahu bahwa otoritas
pemerintah yang tak pernah disebut itu adalah wewenang Kades alias Camat
care taker. Kepentingan Partai Randu akhirnya dimenangkan di perkampungan
nelayan itu. Pilkades yang memilih Pak Modin dibatalkan oleh Bupati, dan akan
diadakan Pilkades ulangan. Kalau Pak Modin jadi Kades, pasti partai lain yang
akan menang, kalau tidak malah Golput.
Ketika diadakan pendaftaran Cakades tidak seorang pun mendaftar,
maka kader-kader Partai Randu yang telah ikut penataran diharuskan
mendaftar. Pilkades pun berjalan sesuai prosedur. Pak Modin tidak dipaksa
mendaftar sebagai Cakades, karena para nelayan tahu bahwa dia takkan lulus
atau lolos. Minggu kampanye dan minggu tenang semuanya berjalan baik.
Hanya, waktu hari-H tiba, tidak seorang pun keluar rumah. Kecuali para
anggota Partai Randu yang datang ke TPS. Itu pun kabarnya karena ada surat
perintah untuk menyukseskan Pilkades, dengan janji kerugian tidak melaut
akan mendapatkan kompensasi yang lebih besar.
Camat berang. Menyalahkan aparat yang tak aktif ("Penduduk itu
seperti kerbau, kalau tak digiring ya tidak ke kandang!"), fungsionaris Partai
yang tak bertanggung jawab ("Klelar-kleler kerjanya, seperti ulat!"),
bendahara Partai yang pelit ("Kayak uangnya sendiri saja!"), dan penduduk
yang tak berpartisipasi ("Dasar!"). dia sendiri sudah habis-habisan: tenaga,
uang, dan kehormatan. Kegagalan Pilkades itu membuatnya sangat malu. Konon, dia sesumbar
akan membuat desa nelayan itu sembilan puluh persen untuk Partai Randu.
Tahu-tahu, menyelenggarakan Pilkades saja tak becus. Ia terpukul, mengambil
cuti, entah berapa lama. Maka untuk beberapa waktu desa itu tidak punya
Kades, tidak ada care taker, tidak ada instruksi apa-apa dari Muspika atau dari
Bupati. Sekdes praktis jadi Kades. Hanya saja soal bengkok masih dikerjakan
orang yang dulu, dan Sekdes tak bisa mengklaimnya. Itulah sebabnya ia selalu
gedumal-gedumel, "Kerjanya Kades, gajinya Sekdes!" Urusan resmi desa pada
Sekdes, urusan masyarakat pada Modin.
Oleh Bupati Sekcam (Sekretaris Kecamatan) ditunjuk sebagai care taker
camat, tapi tak disebutkan apakah dia juga care taker Kades. Karenanya,
jabatan Kades kosong blong. Hansip tak terurus honorariumnya dan Siskamling
tidak jalan. Hanya pasar TPI yang selalu bersih, sebab pasar itu bukan urusan
desa, tapi punya Dipenda (Dinas Pendapatan Daerah). Berita sekitar tidak
terurusnya desa itu menyebar. Itulah sebabnyaada grayak di TPI. Kawanan
penjahat yang tidak profesional itu menyumpal mulut Satpam yang berdinas.
Mereka menjebol pintu, tetapi tidak menemukan apa-apa di dalam. Atas usul
Wasripin, Kepala TPI menolak titipan uang retribusi pasar. Karena kesal,
mereka menghajar, memukul, menendan Satpam. Tetapi, keesokan harinya
Wasripin memijit-mijit Satpam. Hilanglah lebam ditubuhnya, memar di kepala,
dan benjolan besar di jidat. Satpam dapat tertawa-tawa, seolah-olah tak
terjadi apa-apa. Namun, jabatan Kades tetap kosong.
5 ADAPUN Danramil mendengar bahwa Pak Modin mendapat perlindungan
dari Pati berbintang kesal tapi tak bisa berbuat apa pun. Namun, ia tetap akan
mengawasi surau itu, demi keutuhan bangsa dan negara. Ia yakin pasti ada
orang di belakangnya yang mungkin lebih penting. Ia pun menengarai adanya
satu orang: Wasripin, Satpam TPI, tukang pijit, dan pengusir jin. Baru-baru ini
seorang pencuri yang tertangkap di desa lain mengaku bahwa pemimpinnya
adalah Wasripin. Danramil tak bisa berbuat banyak. Sebab, tiba-tiba ia jatuh sakit: perut
membesar, sakit seperti ditusuk-tusuk di bagian ginjal. Ia ke dokter, kata
dokter tak perlu khawatir. Dokter lain menyuruh periksa darah dan urine,
dokter lainnya lagi menyuruh memeriksakan tinjanya. Ada dokter
menyuruhnya USG, karena jangan-jangan ada penyakit ginjal. Untuk itu dia
harus ke Semarang. Tidak juga ketemu penyakitnya.
Kemudian dia pergi pada terkun (dokter merangkap dukun), barulah
terkun menemukan penyakitnya: dia kena santet. Mungkin jabatan, mungkin
perempuan. Terkun mengobatinya, tak kunjung sembuh. Sadar kena santet
dia pergi ke orang pintar. Orang pintar satu gagal, ia pergi ke orang pintar
lain. Tak kunjung sembuh, kata orang-orang pintar itu, ilmu miliknya kalah
tinggi dengan pembuat santet. Dalam keputusasaan ada orang menyarankan


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

upaya berobat ke Wasripin.
"Sampai mati pun aku takkan ke sana!"
"Istighfar, Pak. Istighfar."
"Tentara tidak boleh mencla-mencle!"
"Tapi Bapak juga seorang suami bagi isterinya, seorang bapak bagi anakanaknya."
Setelah isteri dan anak-anaknya membujuk, ia mau juga pergi. Ia
diantar isteri, seorang pembantu, dipapah seorang sopir. Ia datang menemui
Wasripin, orang yang sebenarnya masuk dalam daftar hitamnya. Ia juga
membawa seliter Aqua, seperti pasien lain. Orang sudah mendengar bahwa
Danramil sakit, sehingga kedatangannya tak mencurigakan, meskipun dia
terkenal galak kepada para nelayan. Ketika Danramil datang ada seorang
pasien sedang menunggu, dan lainnya sedang dipijit. "Sebentar, ya Pak," kata
Wasripin yang tahu persis siapa yang datang. "Bapak duluan saja. Toh saya
tidak begitu sakit."
Wasripin memijit-mijit bagian perut, dan memberikan kembali botol
Aqua yang sudah dibuka dan diberi doa. Kemudian juga mengajarkan doa Nabi
Ibrahim untuk dibaca sesering mungkin, Wa idzaa maridhtu, fahuwa yasyfiin
(Dan ketika aku sakit, Dia menyembuhkanku). Kemudian Wasripin membisikkan
sesuatu ke telinganya, "Tapi, yaitu Pak. Jangan diteruskan hubungan itu."
"Ya, ya." Tidak usah diceritakan bahwa Danramil sembuh, setelah berobat ke
Wasripin sekali saja. Tapi akibatnya Danramil sangat malu dengan diri sendiri.
Ternyata Wasripin sangat jauh dari gambarannya. Semula gambarannya
mengenai Wasripin ialah garang, tinggi hati, dan mata duitan. Ternyata, dia
ramah, rendah hati mendekati rendah diri, ikhlas, dan menyiratkan wajah yang
bersih. Ia malu dengan diri sendiri, mengajukan surat pindah.
ENAM 1 WASRIPIN ingin melaut. Para nelayan berebutan menerima, sebab dia
akan membawa keberuntungan. Wasripin memilih perahu dengan rumahrumahan, sehingga ia dapat berteduh dari panas matahari dan angin laut. Dia
tahu persis kekuatan badannya, sebab dia pernah diajak kawannya melaut di
Jakarta. Pada waktu itu dia muntah-muntah karena ombak, matahari, dan
angin. Sampai rumah emak angkatnya mengerokinya, "Lain kali tidak usah
coba-coba melaut," katanya. "Orangtuamu bukan pelaut."
Dia sudah bilang kawan-kawannya seperahu untuk tidak terkejut bila dia
mabuk laut. Sepengetahuannya, dia tidak ada turunan pelaut. Ibunya memang
dari pantai, tapi petani bukan pelaut. Mereka berangkat pagi-pagi. Wasripin
duduk di atas perahu, menikmati bunyi mesin, ombak yang pelan, dan matahari
yang baru keluar. Dia melihat kawan-kawannya mulai menebarkan jaring.
"Jangan di situ, tiduran saja di dalam."
"Tak apa." Makin lama ombak makin terasa. Dan betul, baru tiga jam dia melaut
perutnya terasa mual, dia masuk ke dalam. Ombak laut menggoyangkan
perahu. Ia pergi ke dalam dan duduk. Berjaga-jaga menampung isi perut
dengan sarong. Dari perut keluar semua sarapan paginya. Seorang kawan
membuka sarong dan membuang muntahannya ke laut.
"Tiduran saja."
"He-eh." Ia telentang, tiduran. Kawan yang membuang muntahan berteriak,
"Ikan!" Ikan-ikan besar memperebutkan muntahan. Makin lama, makin banyak.
Kawan-kawannya sibuk mengarahkan jaringnya pada ikan-ikan itu. Dengan
cepat ikan-ikan terjaring, dan dengan cepat mereka tenggelam di pecahanpecahan es.
Ketika mereka kembali siang itu, mereka membuat kejutan. Mereka
kembali dengan tangkapan ikan-ikan besar, ikan yang biasanya terdapat di
tengah laut dan di dapat setelah dua hari melaut. TPI heboh.
"Tidak mungkin. Mereka berangkat pagi, pulang siang."
"Percaya atau tidak, itulah yang terjadi."
"Ikannya besar-besar!"
"Jenis yang berharga mahal!"
Kesimpulan mereka tidak terduga: Mereka membawa Wasripin. Ia
membawa keberuntungan. Lain hari para nelayan berebut membawanya
melaut. Aku dulu! Aku dulu! Para nelayan mengambil inisiatif, mereka
membuat nomor antrean. Wasripin mengajukan masalahnya pada Pak Modin,
dan dianjurkannya untuk tidak melaut lagi. Mendengar bahwa Wasripin tidak
lagi melaut, mereka kecewa. Mereka lalu menggandakan foto Wasripin yang
ada di TPI. Para nelayan melaut dengan foto Wasripin di perahunya. Dan entah
karena apa, musim ikan atau karena foto itu perolehan nelayan selalu besar.
Keyakinan para nelayan, keberuntungan itu ialah karena mereka membawa foto
Wasripin. Kemudian para juragan tahu, pedagang ikan tahu, orang-orang pasar
tahu. Wasripin keberatan fotonya dipasang, "Tikus saja tidak takut, bagaimana
fotoku membawa keberuntungan?" Tapi atas nasihat Pak Modin, menasihati
nelayan itu harus pelan-pelan, jangan melarang-larang seketika, ketika orang
lagi bersemangat. Bahwa foto Wasripin membawa keberuntungan dengan mudah menyebar
ke seluruh desa. Dari para nelayan ke masyarakat luas, telinga masyarakat ke
telinga pejabat. Pejabat-pejabat agami di kecamatan merasa risih. Mereka
melapor ke pejabat agama kabupaten, tapi isu tidak ditindaklanjuti. Rerasan
yang tersebar dari mulut ke mulut, makin lama makin besar seperti kata
ungkapan sak dawa-dawane lurung, isih dawa gurung (berapa pun panjang
lorong, masih panjang kerongkongan): ada agama sesat di lingkungan nelayan!
Bahkan, menurut berita Wasripin mengadakan pengajian di rumahnya,
membagi-bagikanjimat, mengajarkan ilmu kebal. Menurut peraturan, itu
ajaran sesat. 2 BERITA itu membuat Badan Pengawas agama, lembaga resmi yang
mengawasi penyiaran agama, tingkat kabupaten penasaran. Mereka
mengadakan rapat. Keputusannya ialah mereka minta pihak kepolisisan
menyelidiki perkara ajaran sesat yang meresahkan masyarakat. Kepolisian pun
mengirim orang untuk menyidik perkara keresahan itu. Ketika intel polisi
kembali, mereka melapor, "Lapor! Tidak ada keresahan. Laporan selesai!"
Maka ketika lembaga bertanya, kata Kepala Polisi Kabupaten, "Menurut
intel kepolisian, tidak ada keresahan. Ada memang perahu yang disertai foto:
bintang film, bintang sepak bola, bintang bulu tangkis, penyanyi dangdut. Foto
Wasripin memang ada juga." Kepolisian menolak dengan alasan tidak ada
gangguan publik yang mengancam rasa aman. Lagi pula pekerjaan polisisudah
banyak: pencurian, pembakaran rumah, tawur antarpenyokong calon lurah,
penipuan, dan masalah-masalah lainnya, sehingga perkara ajaran sesat yang
tidak ada itu dianggap mengada-ada. "Ini bukan perkara kriminal, tapi delik
aduan," kata kepala polisi itu. "Jadi Bapak-bapak tetap punya hak menggugat.
Tulis surat gugatan ke polisi."
Mereka yang mengadu tak puas.
"Polisi makan duit rakyat!"
"Akhir bulan banyak cegatan dijalan!"
"Tidak ada keresahan?" Diucapkan dengan mulut dimiringkan.
"Ini delik aduan. Kalau diteruskan Bapak-bapak akan kalah."
Mereka mengadakan rapat, nekad menulis gugatan.
Sementara itu para nelayan juga mengadakan rapat. Mereka setuju
membentuk perkumpulan nelayan yang akan mereka daftarkan sebagai
koperasi. Tujuan akhir koperasi sangat indah, yaitu menambah pendapatan
dengan menjadikan nelayan tidak semata-mata melaut, tapi juga memelihara
tambak. Mereka juga memutuskan untuk memelihara ikan dengan sistem
karamba di sungai yang agak jauh. Ketika tiba menunjuk ketua, semua
mengusulkan nama Wasripin. Wasripin menolak: tidak ada pengalaman, jadi
penyembuh saja sudah cukup sibuk. Akhirnya dia diangkat jadi penasihat.
Polisi sebenarnya sudah enggan memeriksa, tapi terpaksa juga
memanggil Wasripin. Wasripin datang disertai lima belas nelayan. Polisi
berkeberatan dengan teman-teman Wasripin. Tapi daripada ribut-ribut di luar,
lebih baik ribut di dalam. Pemeriksaan dimulai, hasil pemeriksaan itu
dilimpahkan ke pengadilan.
Di pengadilan lebih banyak lagi nelayan yang mengantar. Ruangan
penuh. Wasripin disumpah. Lalu Hakim Ketua bertanya,
"Jadi, benar kamu guru ngaji?"
"Bukan, Pak. Tapi Pak Modin."
"Bohong, Pak," sela penggugat.
"Nanti ada waktu untuk Bapak," kata Hakim Ketua.
"Kita lanjutkan. Apa kamu mengharuskan para nelayan memasang
fotomu?" "Tidak, Pak." "Apa kamu berpendapat bahwa fotomu membawa keberuntungan?"
"Itu bukan pendapat saya."
"Kabarnya kamu orang berpendidikan, mengapa tidak rasional?"
"Ya, saya berpendidikan. Saya punya ijazah SD, tapi entah di mana saya
taruh." "Mengapa tidak rasional?"
"Apa artinya itu, Pak?"
"Artinya, apa kamu membagikan jimat?"
"Tidak, Pak." Para nelayan yang mengantar ribut. "Tidaak!" "Jangan dijawab!"
"Pertanyaan itu sampah!" "Pertanyaannya yang tak masuk akal!" "Hakim
jangan memihak!" seorang berteriak keras. "Hakim menjebak!" kata orang
lain lebih keras. "Hakim bodoh!" kata seorang lebih keras lagi.
Hakim Ketua menggedor meja. "Dog, dog. Tenang! Tenang!"
Gedoran meja itu seperti mengingatkan para nelayan. Mereka mulai
menggedor-gedor bangku tempat duduk. Mereka bersama-sama bilang,
"Bebaskan Wasripin! Bebaskan Wasripin!" Hakim Ketua memerintahkan,
"Keluarkan mereka. Sidang diskors, dog, dog!" Polisi pamong praja yang
menjaga pengadilan hanya empat orang, mereka menelepon minta bantuan
polisi sungguh-sungguh. Beberapa orang malah maju ke meja hakim,
menuding-nuding Hakim Ketua. Melihat mereka semakin merangsek tiga orang
hakim yang di depan cepat-cepat pergi. Wasripin tidak mengira bahwa
keributan akan terjadi. Polisi datang. Kedatangan mereka membuat para
nelayan mulai duduk. Hakim-hakim datang lagi. "Sidang kita lanjutkan, dog,
dog!" "Agamamu apa?" "Islam, Pak." "Sebutkan surah apa ayat berapa yang menyebutkan nelayan harus bawa
jimat?" "Apa ada?" "Ada atau tidak?"
"Sepengetahuan saya jimat itu dilarang."
"Kalau dilarang, kenapa kamu membagikan jimat?"
"Tidak, Pak." "Lalu foto siapa yang ditempel di perahu?"
"Suka-suka, Pak. Bagaimana saya tahu?"
"Ah, yang benar saja!"
"Benar, Pak. Ada saksi."
Seorang nelayan maju sebagai saksi.
"Jadi, kamu memasang foto Wasripin?"
"Ya, Pak. Saya juga memasang Rhoma Irama, Titik Puspa, Elvy Sukaesih,
dan penyanyi Amerika."
"Dari semua itu, mana yang kau anggap sebagai jimat?"
"Tidak ada. Foto-foto itu saya pasang karena suka."
"Mengapa foto Wasripin kamu pasang?"
"Karena suka. Dia penasihat ASNI, Satpam TPI, dan tukang pijat,
pengusir jin. Tolong, Pak. Sebutkan undang-undang apa ayat berapa, pasal
berapa, peraturan apa, pasal berapa yang menyebutkan bahwa memasang foto
tak boleh?" "Ya, tak ada. Sekarang sebutkan Wasripin mengajarkan rapal-rapal apa
saja untuk melaut?" "Tidak dari dia, Pak. Ada memang rapal-rapal yang kami pelajari dari
orang-orang tua." "Bisa sebutkan rapal itu?"
"Nanti saja kalau Bapak mau jadi nelayan."
Setelah beberapa hari Wasripin sebagai tergugat dan para penggugat
diundang untuk mendengarkan amar pututsan hakim. Pengadilan memutuskan,
tak ada ajaran sesat, tak ada jimat. Para nelayan pun mengadakan syukuran.
Ceritanya, ada komandan tentara baru di kecamatan itu. Wasripin,
surau, TPI, dan para nelayan lega. Sebab, kabarnya komandan yang sekarang
sangat lunak pada mereka, bahkan cenderung mengabaikan tugasnya. Tugas
utamanya ialah mengurus dirinya sendiri. Dia tergila-gila pada waranggana
klub wayang kulit di kecamatannya yang dulu, jauh di luar kecamatannya
sekarang. Di depan rapat pimpinan kecamatan tanpa malu-malu di menyebut
waranggana dengan sebutan yang tak pernah diucapkan seorang pada orang
lain, "Bayangkan, kalau kau punya isteri bidadari dengan suara emas." Ia akan
berpikir, "Ya rupanya ya suaranya. Ck-ck." "Ayu sejagat kok dimiliki sendiri,"
"Akan kutunggu kau jadi janda sampai kapan pun."
Yang menguntungkan ialah dia bukan pemberani soal yang satu ini.
Maka, sekalipun omongannya sudah seperti sungguh-sungguh, tidak ada
langkah-langkah yang dikerjakannya. Meski hari hujan ia akan naik sepeda
motor bebek dan duduk di belakang niyaga yang sedang mengikuti dalang.
Kepindahannya ke kecamatan itu sebenarnya adalah atas aduan isterinya.
"Percayalah, aku tak akan meninggalkan kamu dan anak-anak, Mam."
Lain kali dia bilang, "Hanya saja ada orang kok cantik seperti puteri
raja, suaranya merdu seperti rebab."
Minatnya pada waranggana tambah-tambah besar saja, makin jauh
makin besar sampai isteri menyerah. Ia pergi dari orang pintar ke orang pintar
lain, tapi suaminya tak berubah. Ia menyerah, menunggu nasib. Isteri itu
mendapat harapan baru ketika ia menghadiri pertemuan isteri-isteri pejabat
sekecamatan. Ada seseorang yang menyebutkan nama Wasripin. Ia pun pergi
ke Wasripin, membawa gula dan teh.
Ketika siang itu ia ke rumahnya, hampir-hampir ia tak percaya kalau
yang di depannya adalah Wasripin, yang kira-kira sebaya dengan adiknya yang
bungsu. Untung baginya, hanya ada seorang ibu dengan anaknya usia SD kelas
3 sedang dipijat karena sulit menerima pelajaran. Di depan Wasripin dia
memperkenalkan diri sebagai isteri Danramil, dan mengatakan apa adanya
tentang suaminya. "Suami ibu kena gendam yang disebarkan wanita itu."
"Betul, kata orang begitu."
"Saya lihat ibu membawa gula dan teh."
Bu Danramil memberikan bungkusan itu. Lalu bungkusan itu pun dibuka
Wasripin. Setelah gula teh itu diisi (diberi doa), barang itu disodorkan kembali.
"Begini, Ibu. Tolong buatkan minum suami Ibu dengan gula teh ini."
Beberapa hari kemudian ketika pagi-pagi dia pulang nonton wayang,
katanya pada isteri, "Bu, bu. Ternyata dia itu srigunung, dilihat dari jauh tampak cantik,
dilihat dari dekat jeleknya bukan main. Kerempeng, wajah penuh kukul,
rambut kusut. Suaranya juga tak beda dengan penampilannya."
"Jangan begitu, Pak. Gething nyandhing [benci itu malah
mendekatkan]." "Sungguh, kok."
"Iya, iya. Tapi jangan bikin komentar yang jelek tentang orang lain."
"Maaf, Bu. Selama ini saya telah menyakitimu. Saya kapok, takkan
terulang lagi." Nama Wasripin lebih terkenal daripada TPI, surau, dan bahkan desa itu
sendiri. Itulah yang akhir-akhir ini sangat menggelisahkan Ketua Partai Randu
sebagai lulusan Pendekar (Pendidikan Kader) partai. (Peserta, "Namanya kok
Pendekar?" Instruktur menjawab, "Wo, bagaimana kamu ini! Kekuasaan itu
kuasa, termasuk kuasa menciptakan makna-makna."). Sudah pasti Wasripin
akan bergabung dengan kelompok surau yang selalu menjadi Golput. Padahal,
DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Partai Randu sudah menargetkan perolehan
suara yang tak mungkin diraih bila surau masih Golput. Maka sebagai pemuka
masyarakat dan lulusan Pendekar dia mengusulkan dalam rapat LKMD (Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa) untuk memberi saja sebuah KTP (Kartu Tanda
Penduduk) pada Wasripin, tanpa embel-embel ET (Eks Tapol). Syaratnya, dia
berjanji tak akan Golput. Usulan itu diterima, seperti biasanya dengan


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aklamasi. Kadus ditugaskan untuk menjajagi perkara itu.
"Apa itu Golput, saya belum pernah dengar."
"Pokoknya yang tidak berpartai."
"Partai saya apa?"
"Ya, nyoblos apa dalam Pemilu lalu."
"Saya belum nyoblos, belum umur."
"Keluargamu" Ibumu" Bapakmu?"
"Tidak punya. Mereka semua sudah meninggal."
"Pokoknya jangan Golput."
"Tidak janji." Kadus melapor dalam rapat LKMD soal tugasnya.
"Kalau begitu, jangan diberi KTP dulu," ujar Ketua Partai Randu." Atau
beri KTP dengan ET."
"Jangan. Waktu tahun 1965 dia masih balita."
Itulah yang menyebabkan Ketua Partai itu sulit tidur, dan hatinya ketarketir. Kalau sampai gagal, sudah pasti dia tidak menjadi anggota DPRD Tingkat
II. Bagaimanapun, ia akan tetap berusaha.
Hari Pasar di pasar TPI. Hari pasar yang dulu seekor sapi hilang. Tidak
ada protes dari orang banyak, sebab pemiliknya memang dikenal pelit pada
tetangga. Dan hari itu seekor sapi lagi, padahal pemiliknya terkenal sebagai
pemurah. Maka, para belantik menolak untuk membayar pajak. Mereka marah
kepada pasar TPI. Ketika petugas penarik pajak datang, mereka menudingnudingnya.
"Apa" Pajak" Jamin keamanan kami!"
"Panggil Hansip!"
"Hansip tidak punya bedil. Punyanya pistol air!"
"Kalau begitu panggil polisi!"
Petugas pergi ke kantor polisi membawa dua orang polisi yang berbedil.
Polisi yang satu akan menjaga pintu masuk, satu lagi pintu keluar. Pemilik sapi
hari pasar yang lalu memanfaatkan kedatangan polisi, petugas hukum.
"Nah, kebetulan. Bapak"bapak menjadi saksi keteledoran pasar ini.
Saya akan menggugat pengadilan. Tidak ada penjagaan di pintu masuk, tidak
ada penjagaan di pintu keluar!" Penarik pajak bingung. Ia memang sudah
mendengar bahwa hewan-hewan itu hilang begitu saja, padahal tali masih di
tangan belantik. Kesimpulan dia, kehilangan itu peristiwa yang gaib. Maka
pikirannya ialah pada Wasripin. Wasripin sedang berjongkok dalam lingkaran,
mendengarkan Satinah menyanyi. Penarik pajak pasar membisikkan sesuatu.
Mereka berdua lalu pergi menuju pasar hewan. Dua orang yang kehilangan sapi
menemui penarik pajak dan Wasripin. Wasripin bertanya kepada belantik,
"Bagaimana ceritanya?"
"Masak dua ekor sapi hilang begitu saja!"
"Lalu tugasku apa?"
Belantik yang kehilangan hari pasar lalu menjawab, "Tugasmu ialah
supaya sapiku dibayar."
Belantik yang kehilangan hari itu, "Kalau saya, asal jelas untuk apa."
Wasripin diam sebentar. Lalu katanya,
"Ada dua keluarga di dunia lain besanan, mereka pesta besar-besaran.
Mereka memerlukan dua ekor sapi, seekor sekeluarga."
"Katakan sapi saya harus dibayar mahal."
"Kalau ada yang pesta, ya sudah sapi saya sumbangkan."
Tiba-tiba di kantong seorang belantik ada uang.
"Tengoklah kantongmu."
"Ada uang!" Lalu dia menghitung, dan memasukkan kembali uang itu.
Padahal, uang itu jauh lebih banyak dari harga seekor sapi.
"Kau ikhlas?" tanya Wasripin pada belantik satunya.
"Ikhlas." Wasripin lalu kembali ke lingkaran.
Beberapa hari pasar kemudian terbetik berita bahwa belantik yang
pemurah itu mendapat order untuk menyetor setiap minggu sepuluhan sapi dari
sebuah rumah pemotongan hewan di Jakarta.
Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan
penari jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain Ketua Rombongan
bermimpi (setengah terbangun) bahwa untuk keperluan sekali itu harus ada
restu dari danyang kuburan. Setelah omong-omong sebentar di sananya, restu
memang diberikan, dan permainan nanti diharapkan berjalan lancar seperti
biasa. Tapi, rupanya restu bersyarat: danyang minta sajen, salah satu bayi di
lingkungan keluarga pemain akan jatuh sakit, dan mati. Ketua rombongan yang
tahu syarat itu sangat sedih, sebab biasanya tidak ada sajen apa pun, kecuali
kembang-menyan setiap malem Jumat. Dan mampir ke kuburan sebelum
berangkat. Sepertinya danyang itu tahu bahwa pertunjukan kali ini istimewa.
Sepertinya dia juga tahu bahwa kali ini jadwalnya diatur dengan ketat, tidak
bisa ditunda, tidak bisa diurungkan.
Mereka akan bermain dalam sebuah pertemuan resmi yang dihadiri para
pejabat dari provinsi, para bupati, dan tamu-tamu asing. Gubernur sudah
cerita-cerita bahwa kesenian unggulan daerah itu ialah jatilan. Ia pusing, pergi
ke seorang paranormal. "Itu sih gampang saja," kata paranormal. "Bayi
artinya tunas. Nah, carilah tunas pisang, bungkus dengan kain putih, letakkan
di kuburan." Ia mengerjakan saran paranormal itu. Tapi, rupanya sajen itu tidak
berkenan di hati danyang kuburan. Malam hari dia bermimpi (juga setengah
terbangun) didatangi laki-laki tinggi besar, berambut dan berjenggot putih. Di
sananya laki-laki itu membuang sesajiannya. Pagi harinya dia ke paranormal
itu. "O ya, maaf. Ternyata yang dimaksud bayi ialah bantal kecil yang masih
baru, gres." Ketua rombongan mengikuti saran paranormal. Tapi malam harinya dia
mimpi didatangi laki-laki yang dulu. Jalan sudah ditempuh tapi buntu.
Mungkin akhirnya ia harus menyerah. Ya, tapi bagaimana lagi.
Ia teringat nama Wasripin, mungkin dia dapat menolong.
Maka pagi-pagi sekali dia menjemputnya untuk mengamankan pemain
dan keluarganya. "Saya tidak usah ke sana, dari sini sama saja. Kalau ada
saya, nanti pertunjukannya tidak jadi. Tapi sekali ini saja. Kalau minta
macam-macam, jangan diturut."
Wasripin tidak ikut rombongan, hanya memayungi dari kejauhan.
Pertunjukan berjalan lancar. Tamu-tamu asing berdebar-debar melihat orang
kerasukan, mengupas kelapa dengan mulut, makan beling, dicambuk keras,
pemain yang berputar-putar tak kenal lelah kemudian terjatuh tak sadarkan
diri. Ketika Ketua Rombongan mengusap jidatnya ia pun sadar. Tamu-tamu
asing bersorak, bertepuk tangan.
Beberapa hari dinanti, ternyata tidak ada bayi sakit, apalagi mati.
Ketika tidur, Ketua Rombongan didatangi orang tua itu. Di sananya orang tua
itu tertawa-tawa, "Aku hanya guyon. Kok dianggap sungguhan. Ha-ha-ha!"
Ceritanya, partai-partai sibuk mempersiapkan diri untuk Pemilu. Partai
Randu mengumpulkan para Pendekar Tingkat Desa untuk diangkat jadi
Pendekar Tingkat II, syaratnya ialah ia bisa menunjuk orang lain untuk jadi
Pendekar, diutamakan calon Pendekar perempuan. Pendekar perkampungan
nelayan kita tidak mau ketinggalan. Dia berhasil merekrut anak Pak Kaur
Kesra, seorang perawan tua guru SD berumur 35, untuk jadi Pendekar Tingkat
Desa, dia pun naik jadi Pendekar Tingkat II.
Pendekar Tingkat II dan Pendekar Tingkat Desa diwajibkan
merencanakan strategi (Renstra) pemenangan Pemilu untuk unitnya (desa,
pelabuhan, bandara, kantor, stasiun, universitas). Maka tidak usah dikatakan
bahwa Ketua Partai dan Pendekar sangat dekat. Persoalan-persoalan resmi
selesai, mereka lalu membicarakan persoalan pribadi. Mereka sembronoan.
"Cantiknya cantik, umur masih muda, pintar dandan, kok belum kawin
itu kenapa, Jeng?" "Ah, jangan mengada-ada."
"Saya sungguh-sungguh, Jeng."
"Tidak laku ya tidak laku!"
"Jangan begitu, ah. Kalau terus-terusan begitu, hidup ini tidak
lengkap." "Tidak lengkap, ya biar saja."
"Saya mau, kok. Disuruh melengkapi."
"Ah, jangan begitu. Nanti saya kepengin."
"Kepengin ya boleh, kok."
Untuk membahas Renstra Pemenangan Pemilu mereka terpaksa
menginap di hotel. Sembronoan lagi.
"Saya sudah 20 tahun kawin kok belum punya anak, padahal saya thokcer, lho Jeng."
"Aku tak percaya, kalau thok-cer."
"Percaya atau tidak, pokoknya percaya saja."
"Percaya itu perlu bukti."
"Perlu, to?" "Ya perlu, kok aneh."
"Sungguh?" "Sungguh!" Pendekar tak menolak ketika Pendekar Tingkat II melepas kancing
blusnya. Dan terjadilah apa yang terjadi. Setelah semua selesai Pendekar
memuji, "Terima kasih. Umur 40-an ternyata masih thok-cer!" Hotel itu
kemudian jadi tempat pertemuan mereka.
Ketika Pendekar Tingkat Desa ada tanda-tanda hamil, Pendekar Tingkat
II mengusulkan seorang dukun yang bisa menggugurkan. Tapi Pendekar
menolak, "Ini bayi, bayiku sendiri! Jangan gelem nangkane, emoh pulute (mau
enaknya, tak mau susahnya)." Perkampungan nelayan geger ketika tahu bahwa
Pendekar hamil. Di TPI, hajatan sunatan, hajatan perkawinan, bahkan pada
waktu takziyah orang membicarakan aib itu. Orang tahu belaka bahwa
kehamilan Ibu Guru berkat ulah Ketua Partai. Desa itu terbelah. Satu pihak
membela suami, satu pihak isteri. "Soalnya, isterinya galak." "Tidak, isteri
kurang perhatian!" "Isterinya selalu awut-awutan, tak pernah dandan!" "Yang
laki-laki sudah membanting tulang, isteri tak pandai bersyukur!" Rumah tangga
Ketua Partai jadi berantakan. Isterinya mengomel terus, "Rasakan!" "Kualat!"
"Sokur!" Suami-isteri itu bukan saja pisah ranjang, tetapi suami takut pulang,
tidur di rumah teman-temannya. DPD Partai Randu pun khusus bersidang untuk
itu. "Kecelakaan bagi Partai!"
"Partai pasti kalah di perkampungan santri itu!"
"Pecat saja!" Keputusannya" Sementara persoalan ditangguhkan alias tidak ada
keputusan. Sementara itu Ketua Partai Randu (Pendekar Tingkat II) menemui
Wasripin. Wasripin sedang dinas di TPI, dan Ketua Partai bisik-bisik minta
keduanya bisa berbicara berdua saja di tempat sepi. Ketua Partai mengeluh
bahwa dia tak tahan cemooh masyarakat, bahwa dia sangat kasihan dengan
isterinya, bahwa rumah tangganya berantakan.
"Kau kan bisa berhubungan dengan dunia gaib. Nah, saya akan minta
tolong sedikit. Coba, mintalah seorang kenalan dari dunia sana supaya
kandungan yang ada di perut guru itu digugurkan, diambil, atau dicuri.
Pokoknya dihilangkan."
"Wah, nanti dulu saya pikirnya, Pak. Apa itu jalan terbaik untuk
semua." "Pikirlah. Saya tunggu beberapa hari, nanti saya balik lagi."
Wasripin berkonsultasi dengan Pak Modin.
"Bagaimana kalau kawin siri, Pak?"
"Itu hanya memecahkan sebagian masalah."
Diputuskan bahwa jalan terbaik ialah menikahi perempuan itu secara
resmi. Tapi karena Ketua Partai adalah pegawai di kantor Kabupaten, isteri
pertama harus tanda tangan bahwa dia mengikhlaskan suaminya kawin lagi.
Wasripin pergi membujuk isteri pertama. Bolak-balik.
"Dia sangat terpukul, dia putus asa, Bu."
"Biar saja!" "Sebagai pegawai dia nanti pasti dipecat."
"Itu resiko dia!"
"Tolonglah, Bu. Jangan sampai anak tak berdosa nanti jadi anak
haram." "Biar dia rasakan!"
"Semua tergantung Ibu. Tidak ada jalan lain, Bu."
Sesudah beberapa, perut makin membesar. Ketua Partai terlihat
semakin kuyu, pucat, dan sangat gelisah. Akhirnya setelah dipikir panjang,
isteri pertama jatuh kasihan.
Katanya ketika Wasripin datang untuk kesekian kalinya,
"Kalau memang tidak ada jalan lain menutup aib itu, ya apa boleh
buat." Kemudian isteri itu menaruhkan tanda tangan di atas kertas bermeterai.
Calon suami-isteri pergi ke KUA. Isteri pertama dengan hati yang ditegartegarkan ikut mengantar. Dan seperti dongeng rumah tangga dengan dua isteri
itu hidup rukun, makan bersama, bercanda, sembahyang berjamaah.
TUJUH 1 ADA gerakan baru di desa-desa sepanjang pantai. Mereka menyebut diri
GPL, Gerakan Pemuda Liar. Gerakan itu terdiri dari pemuda pengangguran,
pemuda putus sekolah, dan mereka yang sekedar suka iseng. Pekerjaannya
ialah menculik gadis-gadis, ibu-ibu rumah tangga, dan para ibu bakul.
Biasanya, mereka yang sendirian di tempat sepi atau malam hari. GPL juga
menyekap mereka yang meskipun bersuami tapi cantik. Untuk beberapa hari
gadis-gadis atau ibu-ibu akan disekap dan dicabuli. Mereka mengembalikan
korbannya setelah bosan, melemparnya di sembarang tempat seperti sampah.
Gadis dan ibu yang mereka sekap kembali dalam keadaan linglung atau gila.
Hanya tempat-tempat hiburan malam (bagi desa-desa itu hiburan malam selalu
berarti bordil) dan para anggotanya leluasa bergerak, sebab para GPL dapat
gratisan. Di desa-desa itu perempuan tidak berani keluar rumah pada malam hari.
Kelahiran, sunatan, perkawinan, bahkan takzijah di malam hari berjalan tanpa
perempuan. Tak ada perempuan bermukena ikut shalat "Isya" di surau Pak
Modin. Jadi tidak seperti biasanya, malam hari akan sepi. Bahkan GPL itu
memang keterlaluan. Ada seorang janda memboncengkan anaknya dengan
sepeda ontel untuk dibawa ke rumah sakit gawat darurat juga mereka tangkap.
Tangis yang mengiba-iba ibu itu tidak digubris. Anak yang sakit itu dibiarkan
kesakitan, sendirian di tempat sepi, sampai orang-orang yang lewat pagi hari
mengetahui anak itu telah mati. Juga seorang dukun bayi yang masih melek
ditangkap di perjalanan menuju orang yang akan melahirkan, dan sadonya
disuruh balik. Singkatnya, kejahatan mereka sampai ke tingkat iblis, terkutuk
betul. LKMD-LKMD mengadakan rapat intern dan kemudian rapat gabungan.
Mereka bikin resolusi supaya pihak keamanan, yaitu TNI/POLRI
bertanggung jawab. Resolusi itu dibawa para Kades dan Sekdes ke atas dan
diteruskan sampai atas betul. Kodim sebagai tentara hanya bisa menawarkan
satu pemecahan yang cespleng, yaitu menembak mereka ala Petrus (penembak
misterius) yang terbukti sangat efektif di tempat lain. Memenjarakan dan
memproses berdasar hukum akan mahal biayanya. Penjara tidak memuat
mereka yang bejat moralnya dan terlalu bertele-tele. Solusi itu diterima
dengan perasaan senang. Maka di tempat-tempat sepi, pagi-pagi sekali, dan malam hari di desadesa banyak Petrus berkeliaran. Mereka juga memberi tahu kata sandi malam
itu untuk diketahui Hansip dan Siskamling. Suasana malam hari persis seperti
perang, hanya tidak ada jam malam. Mulai sore hari begitu matahari terbenam
di perempatan dekat warung bakmi, sate Madura, lauk-pauk, dan gorengan
mereka akan ikut nongkrong. Hanya laki-laki yang berani jualan, hanya lakilaki yang datang membeli. Petrus juga bersembunyi di tempat-tempat gelap
dan membidik mangsanya. GPL semakin pintar. Mereka seperti dapat
mencium bahwa di suatu tempat ada polisi. Kata sebuah ungkapan, pencuri
lebih pandai daripada polisi berlaku di sini. Belum ada satu pun GPL yang
tertembak. Penduduk mulai gelisah. Mereka meragukan kemampuan aparat. Polisi
juga jadi gregetan. Mereka bukannya pasif menunggu tapi aktif memburu.
Warung-warung yang buka malam, panti pijat tradisional, dan tempat hiburan
malam digrebek. Mereka yang mencurigakan diinterogasi, seperti yang tanpa
KTP dan yang bertato. Ketika cara itu pun tak jalan, mereka semakin
penasaran. Lelaki yang berewok, yang bertampang jagoan, yang berambut
panjang, yang bercelana sempit, yang kira-kira mata keranjang, semua
ditangkap. Maka salah tangkap, salah urus, dan salah duga menjadi gejala
umum. Untung saja mereka tidak menerapkan semboyan, tembak semua yang
mencurigakan. Mereka tidak pernah menembak, tapi membawa ke kantor
tentara atau polisi, ditanyai ini itu.
Sementara ada ramai-ramai soal GPL, Satinah punya keperluan yang tak
terelakkan untuk pergi sore-sore sehabis Magrib ke rumah Wasripin. Pamannya
terjatuh dari tangga waktu membetulkan genteng untuk menghadapi musim


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hujan. Satinah sebenarnya ragu-ragu soal keamanan jalan. Tapi pamannya
yang terus mengerang membuatnya nekat. Setelah selesai memijat dan sudah
semakin malam, Wasripin menawarkan tempat menginap. Wasripin dan paman
yang sudah sehat tidur di surau, Satinah bisa memakai dipannya. Sebenarnya
Satinah sangat senang dengan tawaran itu. Tapi pamannya berkeras pulang.
Pamannya juga menepis alasan bahwa jalan tak aman. Mereka berdua pulang.
Tak ada cara bagi Wasripin untuk mengantar.
Betul, di jalanan yang sepi tiga orang GPL menghadang. Mereka
menutup jalan. Satinah melambatkan motor, mau berbalik.
"Apa yang terjadi?"
"Waduh, Pak Lik. Ada GPL." Satinah membelokkan motor, mau
kembali. "Jangan, terus saja."
"Terus bagaimana, mereka menutup jalan."
"Ya, kalau sudah dekat saja nanti diurus."
"Berhenti!" Salah satu mereka membentak.
Satinah berhenti, mesin tetap hidup.
"Pembonceng turun!"
Mereka maju, mau menangkap Satinah, dan melempar pamannya.
"Berhenti di situ!"
Di luar dugaan tiga orang GPL berhenti, tidak bisa bergerak.
"Kakiku, ken apa!" "Seperti melekat!"
"Terjerat di tanah. Tak bisa digerakkan!"
"Terus saja," kata Paman pada Satinah.
"Kasihan mereka! Suruh saja lari."
"Mereka yang tidak kasihan dengan dirinya sendiri, tak berhak
dikasihani. Nanti tentara atau polisi datang menjemput."
Satinah dan pamannya meneruskan perjalanan. Malam hujan turun.
Para GPL basah kuyup, kedinginan. Patroli gabungan tentara dan polisi datang
mengangkut mereka dengan Colt terbuka.
2 RUPANYA ada orang mengetahui tentang tiga orang GPL yang termangumangu di jalanan. Kabar itu menyebar dari mulut ke mulut dan semakin serem
saja. Dikabarkan, ada serombongan GPL yang dibekuk jagoan seorang diri dan
dibawa ke kantor polisi. Tidak seorang pun tahu siapa jagoan itu. Kabar itu
ditularkan menurut selera penyampai. "Tentara dan polisi tak becus!"
"Masyarakat lebih unggul!" "Hidup rakyat!" Berita-berita miring tentang
aparat itu sampai juga ke telinga pemerintah. Mereka berdalih punya banyak
keterbatasan: dana, personel, peralatan, dan banyaknya masalah yang harus
diselesaikan. Dan, operasi makin lama makin kendor.
Meskipun aparat sudah jauh lebih melunak, tidak ada Petrus, tidak ada
aparat yang menyamar, tidak ada aparat yang bersembunyi di tempat gelap,
toh, kebijakan itu mendapat protes juga. Sebuah asosiasi pramuria alias
pengusaha bordil alias para mucikari yang kabarnya punya backing orang dalam
melayangkan surat protes. Banyak pelanggan yang dibawa ke kantor Kodim
ketika tempat-tempat hiburan itu digrebek. Tempat hiburan jadi sepi
pengunjung. Pendapatan menurun drastis.
Surat protes itu dimulai dengan dukungan kepada Pancasila, UUD "45,
dan kepemimpinan Presiden Sadarto. Kemudian dilanjutkan dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa mereka memberikan layanan pada
masyarakat, hiburan gratis pada pejabat, dan menyumbang pendapatan
daerah. Kemudian mereka memprotes sekeras-kerasnya tindakan aparat yang
sangat merugikan, dan mendesak supaya operasi GPL dihapuskan.
Beberapa hari kemudian memang operasi dihentikan. Aparat mengaku
telah berhasil membekuk tiga orang GPL di jalanan pada waktu hujan. Dari
GPL yang ditangkap operasi gabungan itu, aparat berhasil mengembangkan
perkara sehingga mereka sudah tahu semua perbuatannya, siapa-siapa
anggotanya, dan siapa pemimpinnya.
Orang-orang GPL ditangkap, yang lainnya kabur. Tidak ada yang
mengaku siapa pimpinan, aparat menanyakan tentang siapa orang paling
mereka hormati. Anehnya, Wasripin kebanyakan mereka sebut yang pertama.
Tokoh kedua yang mereka sebut ialah Ketua Partai Randu di perkampungan
nelayan. Mengenai pimpinan GPL ada kontroversi di kalangan pejabat. Ketua
Partai Randu jelas tidak mungkin. Bupati atas pertimbangan Badan Pengawas
Agama percaya bahwa Wasripin adalah pemimpin GPL. Tentara kabupaten
berdasar keterangan mantan Danramil setempat memuji-mujinya sebagai tidak
berpendidikan tetapi cerdas, rendah hati, tidak berpolitik, sederhana, tidak
punya rumah. Kapolres dan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa ia bersih,
tidak tersangkut kriminalitas dan berkelakuan baik. Namun, segalanya
tergantung keputusan instansi yang lebih tinggi.
Keputusan Laksusda menjadi penting, sebab jangan-jangan hal itu
sebuah subversi. Pak Modin mendapat bocoran soal kontroversi itu. Dia
menelepon Pati berbintang satu di Laksusda. Desas-desus mengenai peranan
Wasripin itu pun segera mereda. GPL terus diburu, ada yang dihukum berat
dianggap makar, 20 tahun, 15 tahun, 8 tahun, dan ada pula yang dibebaskan
setelah melalui pembinaan. Mereka yang dibebaskan ialah yang dibawah umur,
hanya ikut-ikutan, dan yang sekedar disangkut-sangkutkan. Hanya nama
Wasripin yang masih merupakan ganjalan bagi pemerintah kabupaten.
3 RAMALAN paman Satinah tentang fitnah untuk Wasripin ternyata benar.
Mula-mula mandor tebu berlari-lari ke desa malam hari. Sambil napasnya
turun-naik ia bilang pada orang-orang di pos jaga, "Ada mayat membusuk!"
Kemudian orang-orang desa mendatangi kebun tebu dengan baterei, teplok,
petromak, dan obor. Sambil menutupi hidung mereka merubung mayat. Mayat
itu sukar dikenali, bajunya penuh darah mengering, luka sekujur tubuh. Mayat
segera dibawa ke rumah sakit oleh polisi. "Dukun santet!" kata seorang. "Ya,
sudah pasti! Aku kenal betul," kata yang lain. Dukun itu bisa membuat orang
busung perutnya, kemasukan paku pahanya, gatal-gatal kulitnya, mati pelanpelan, dan mati seketika. Ketika orang-orang desa sudah yakin, mereka justeru
senang. Ia merupakan aib desa. "Sokur!" kata mereka. "Modar! Itu saja
belum setimpal. Seharusnya mayatnya dicacah-cacah," kata seorang yang
ayahnya mati kena santet. Mayat sudah dibawa pergi. Waktu dia masih hidup,
mereka tidak bisa menghukumnya, tidak ada bukti. Polisi segera bertindak
untuk mencari pembunuhnya. Tapi polisi tidak menemukan jejak apa pun.
Kepada para wartawan yang datang polisi menyatakan, "Tunggu hasil autopsi."
Autopsi hanya menemukan mengapa ia meninggal, dengan apa ia dibunuh,
ancar-ancar waktu pembunuhan, dan kira-kira berapa orang membunuhnya.
Di dua desa lain ada kejadian serupa. Seorang dukun penyembuh
kedapatan mati di luar rumah. Nampaknya ia diseret keluar lalu dibunuh.
Mayatnya dibawa ke rumah sakit. Kematiannya banyak diratapi orang.
"Pembunuh ngawur!" kat orang desa itu. Polisi berusaha mengungkap
peristiwa itu, tapi juga tak menemukan apa pun. Ada lagi kejadian. Seorang
dukun pengasihan ditemukan mati di luar rumah. Padahal, dukun pengasihan
itu orang baik: merukunkan suami-isteri yang hampir bercerai, memberi jodoh
perawan dan jejaka tua, dan memberi kesempatan para isteri punya anak
sebab para suami menjadi rajin. Dia akan menolak kalau ada orang tua minta
pengasihan karena mencintai gadis muda. Seperti kasus pembunuhan lainnya
mayatnya juga dibawa ke rumah sakit. Tapi juga sama saja dengan dua desa
lainnya, hasil penyelidikan polisi nol besar. Penduduk jadi ragu-ragu akan
kemampuan polisi. "Polisi" Ah!" "Polisi" Sontoloyo!"
Pemerintah Kabupaten mengkhawatirkan terjadinya anarki. Janganjangan penduduk yang tak puas mencari sendiri para pembunuh. Lalu beramairamai menghakimi. Mereka minta para ulama untuk menenangkan rakyat
melalui khotbah, pengajian, dan ceramah. Pemerintah yakin benar, cepat atau
lambat pembunuh akan tertangkap. Polisi menyatakan bahwa pelakunya tidak
hanya seorang, tapi orang banyak. "Percayalah pemerintah!" "Percayalah
polisi!" kata selebaran resmi di jalan-jalan, di pasar-pasar, di warung-warung,
di tempat-tempat ramai. Koran daerah membesar-besarkan berita pembunuhan itu. Mereka sudah
menduga pemerintah akan mencari kambing hitam. Sebuah editorial menulis,
"Menerima lamaran, calon kambing hitam." Benar saja. Setelah polisi reserse
mengotak-atik mereka menemukan sebuah nama, Wasripin yang dikenal
sebagai dukun penyembuh di kampungnya. Dugaan itu bukan tak beralasan:
dukun santet dibunuh karena memang musuh bebuyutan, dukun penyembuh
dibunuh karena persaingan bisnis, dukun pengasihan dibunuh atas suruhan
orang. Klop, sudah! Kepala Polisi Kabupaten itu geleng-geleng kepala, "Dia lagi!". Ia segera
memerintahkan polisi untuk memanggil Wasripin. Kepala Polisi sendiri yang
menginterogasinya. Menurut penglihatannya Wasripin tidak punya wajah
kriminal. Tapi orang sering nyolong pethek, penampilan dan kelakuan tidak
sama. "Namamu?" "Wasripin." "Bin, siapa?" "Tidak tahu, Pak."
"Masak ada orang tidak tahu ayahnyaj."
"Sumpah, Pak!" "Ya sudah. Pekerjaan?"
"Satpam TPI." "Pekerjaan sampingan?"
"Tidak ada." "Bohong! Dukun penyembuh?"
"Itu bukan pekerjaan."
"Bukan bagaimana?"
"Ya, begitu saja. Menolong ya menolong. Begitu pesan orang tua itu."
"Punya orangtua to, namanya?"
"Tidak tahu." "Alamatnya?" "Tidak tahu." "Nanti dulu. Kau tidak memungut bayaran?"
"Tidak, Pak. Kata Pak Modin hidup ini hanya untuk mencari ridha
Tuhan." "Tapi ya itu, Pak. Jadi dukun itu banyak senangnya. Kalau sedang
musim rambutan ya rambutan datang sendiri, kalau musim durian ya durian
datang sendiri, kalau musim mangga ya mangga datang sendiri, tidak tahu siapa
yang memberi. Kawan-kawan yang ikut senang, kalau ada orang mengirim apaapa."
"Jadi kau senang, kalau ada pasien sakit kanker payudara, kesempatan
meremas-remas. Lebih lagi kalau kanker rahim, ya?"
"Ya tidak, to Pak. Karena saya mengharuskan pasien wanita ditemani
suami. Dan memijatnya dari jauh, kata orang tangan saya mengeluarkan
tenaga." Kepala Polisi menulis di formulir, "Sudah. Kau boleh pulang. Ini suratsuratnya, barangkali kau perlu."
Wasripin kembali, diiringi wajah-wajah bertanya para serse. Bahwa
Kepala Polisi membebaskan segera menyebar di kalangan pemerintah, dewan,
tentara, dan pengadilan. Mereka menyesalkan polisi yang terlalu lunak.
Kepala Polisi diundang Dewan Perwakilan untuk dengar pendapat.
"Pembunuhnya sudah tertangkap. Mengapa dilepaskan?"
"Polisi memakai asas "Praduga Tak Bersalah"."
"Sudah dipikirkan akibatnya?"
"Kami sudah menduga. Pembunuh semakin berani."
"Anarki?" "Tidak akan terjadi."
"Polisi percaya rakyat."
"Rakyat tidak percaya polisi?"
"Rakyat akan percaya. Lebih baik membebaskan orang yang tak
bersalah daripada salah tangkap."
Dewan mengusulkan Kepala Polisi dimutasikan. Beberapa hari kemudian
memang dia dipindahkantugaskan. Kasus pembunuhan itu dinyatakan sebagai
dark number oleh pengadilan, artinya tidak pernah diurus lagi.
4 ANTARPEMUDA di desa nelayan kita dengan desa sebelahnya saling
menyatroni. Kejadiannya semula sederhana saja. Hari sudah mulai gelap,
tidak ada andong, tidak ada colt, tidak ada ojek. Seorang gadis dari desa lain
minta diantar pulang oleh pemuda dari desa nelayan yang kebetulan lewat
dengan sepeda motor. "Sampai pinggir desa saja, ya?"
"Sampai rumah, dong!"
"Nanti pacarmu marah."
"Pacar apaan. Saya belum punya pacar, kok."
"Ya sudah, kalau begitu."
Tapi para pemuda desa yang setiap sore suka ngrumpi di pertigaan jalan
desa melihatnya, dan jadi penasaran. Pemuda nelayan itu dihentikan, dihujani
pukulan sampai babak belur, dan motornya ringsek. Rengekan gadis untuk
menghentikan pukulan tidak digubris.
Sebelum pulang ke rumah, pemuda nelayan itu mampir ke tampat
Wasripin. Tulang-tulangnya seperti patah-patah, kepalanya benjol-benjol,
seluruh badannya lebam. Ia lari, tapi kakinya yang pincang menghambatnya.
Napasnya keras. Pemuda-pemuda surau tahu ia ke samping surau. Mereka
mengikutinya. Wasripin memijit-mijit dan disuruhnya minum air putih.
Setelah selesai, tanya teman-temannya,
"Kau kok ngos-ngosan. Apa yang terjadi?"
"Jatuh dari sepeda motor."
"Tidak mungkin. Jatuh tidak babak belur seperti itu."
"Sungguh, kok."
"Berkelahi ya?"
"Tidak, mana aku punya potongan."
"Jujur saja." "Suruh jujur apalagi?"
"Mana sepeda motormu?"
"Apa sepeda motor dibawa ke mana-mana?"
Mereka lalu bubar. Semuanya berakhir di situ, kalau tidak pagi-pagi
sekali seorang pekerja bengkel sepeda motor datang menggotong sepeda yang
ringsek. Ia berhenti di surau.
Katanya, "Aku tahu ini pasti milik orang sini. Sepeda motor ini
bengkelnya di tempat saya bekerja." Para pemuda mengamati. "Di mana
ditemukan?" Ia menyebut nama desa. "Kata orang, orang yang membawa
motor ini habis-habisan dihajar pemuda desa."
"Jelas sekarang!"
"Siaaap!" Pemuda-pemuda lalu berkumpul di depan surau. Puluhan pemuda itu
pergi berboncengan sepeda motor. Mereka berpapasan dengan gadis yang
minta dibonceng kemarin. Dia datang ke desa itu untuk minta maaf kejadian
semalam. Gadis itu merasa akan terjadi sesuatu, lalu kembali ke desanya.
Pemuda yang marah itu menangkap seseorang yang akan ke sawah, lalu
memukulnya. "Pergi, bilang pemuda-pemuda sini kalau kami menanti di
perempatan!" Gadis datang dan mengatakan kalau dia yang bersalah, tidak
ada tanggapan. Pemuda-pemuda nelayan itu membunyikan knalpot dan
klakson keras-keras. Tidak seorang pemuda pun keluar. Berulang-ulang
mereka meneriakkan tantangan. Tidak seorang pemuda pun. Aparat desa
melarang mereka keluar, sebab mereka tahu apa yang akan terjadi. Tiba-tiba
satu truk polisi datang. Melalui megaphone mereka menyuruh pemuda-pemuda
nelayan untuk pulang. Pemuda-pemuda di perempatan jalan itu pulang.
Mereka berteriak, "Tidak sekarang, ya besok pagi," "Tidak di sisni, ya di
jalan!" Peristiwa masih berlanjut. Ada pengeroyokan dan perkelahian
antarpemuda di mana saja: di jalan, di pasar, di warung. Aparat kedua desa
bertemu, mereka sepakat untuk rujuk. Diundanglah wakil-wakil pemuda dari
dua desa. Mereka sepakat untuk menghentikan permusuhan. Tapi polisi tidak
puas sampai di situ saja. Mereka menyebar intel untuk mencari biak kerok
perkelahian itu. Akhirnya nama Wasripin keluar. Sebelum pergi mereka
berkumpul di depan surau. Pemuda nelayan yang babak belur akan datang ke
Wasripin minta disembuhkan. Kesimpulannya, Wasripin ada di balik para
pemuda. Kepala Polisi Kabupaten menolak untuk menandatangani pemanggilan.
Alasannya, reserse telah salah panggil. Ia tidak percaya kerja intel, "Intel
Melayu!" katanya. Bahwa Kepala Polisi menolak menandatangani pemanggilan
menjadikan bagian reserse resah. Mereka diam-diam merencanakan
pemogokan. 5 PEMOGOKAN itu benar-benar terjadi waktu ada tawur antara pendukung
Partai Randu dan Partai Langit.


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketua Partai Randu dan para pimpinan pusat akan datang. Polisi
dikerahkan, menjaga titik-titik rawan dua hari sebelum hari-H. Rencana
kunjungan itu tersebar luas. Koran-koran daerah dan pusat diramaikan dengan
perang pernyataan. Partai Langit menuduh Partai Randu mencuri start,
kampanye sebelum waktunya. Partai Randu membantah, katanya itu hanya
pertemuan biasa untuk konsolidasi. Partai Langit mengatakan pertemuan biasa
itu seharusnya tanpa pidato-pidato di alun-alun kota.
Ceritanya, panggung calon tempat pidato Ketua Partai Randu roboh pagipagi, hanya beberapa jam sebelum dipakai. Panitia geger,tidak mungkin lagi
membuat panggung. Pimipinan Partai Randu menuduh Partai Langit yang telah
berbuat itu. Partai Langit membantah, menyatakan perlunya dibentuk tim
pencari fakta independen. Polisi menyatakan ada pihak ketiga sengaja
memperkeruh situasi. Kepala Polisi berjanji akan mencari pihak ketiga itu,
artinya ekstrem kiri (PKI), ekstrem kanan (DI/TII), dan Golput. Rapat di alunalun dibatalkan, jadi hanya ada rapat tertutup.
Sementara itu, penduduk di sekitar kantor-kantor partai membuat ulah.
Jalan-jalan menuju kantor partai lawan penuh rintangan: drum-drum, kayu,
ban bekas, dan dijaga Satgas masing-masing. Mereka yang mau masuk ke suatu
wilayah harus menunjukkan kartu identitas, menemui siapa, dan maksud
kedatangannya. Suasana seperti perang. Pedagang, tukang becak, sopir-sopir,
anak sekolah, guru, pegawai, penunggu toko, semuanya mengeluh. Di depan
kantor Walikota ada unjuk rasa spontan. Mereka minta pemerintah bertindak
tegas terhadap para Satgas yang memblokir jalan. Polisi bertindak, tapi
mereka kalah berdebat dengan Satgas.
"Bubar! Bubar!"
"Jalan ini, jalan rakyat! Polisi jangan memihak!"
"Karena itu jangan halangi rakyat yang mau lewat!"
"Kami juga rakyat, Pak!"
Baru ketika tentara ikut operasi pembersihan barikade, Satgas bubar.
Pimpinan Pusat Partai Randu menyesalkan peristiwa itu. Surat protes
ditujukan pada Walikota, Dewan Perwakilan, dan Kepala Polisi. Janji Kepala
Polisi untuk mencari pihak ketiga ditagih. Kepala Polisi memerintahkan bagian
serse untuk mencarinya. Mereka bekerja dengan ogah-ogahan dengan prinsip
nggih ora kepanggih (disanggupi tapi tidak dilaksanakan sungguhan). Mereka
menangkap pedagang yang akan ke pasar, sopir truk, dan tukang becak lalu
diserahkan Kepala Polisi untuk interogasi.
Kepala Polisi marah-marah. Katanya, bagian serse kerja sembarangan,
salah-salah menangkap. Lalu memanggil kepala bagian serse.
"Disuruh menangkap siapa lagi?"
"Pihak ketiga itu."
"Nanti dibebaskan lagi."
"Asal tidak salah tangkap saja. Kerjakan!"
"Siap, Pak. Kerjakan!"
Mereka sudah tahu orangnya. Mereka berangkat untuk menangkap
Wasripin yang dipersangkakan Golput. Dia sedang istirahat di emper surau,
omong-omong bersama kawan-kawannya, para nelayan yang tak melaut. Polisi
datang dengan sebuah mobil sedan.
"Minggir semua, kecuali Wasripin!"
Orang-orang minggir. "Kau ikut kami ke markas!" kata mereka pada Wasripin.
Seorang nelayan yang baru saja mengikuti kursus kesadaran hukum
(Kadarkum) maju. "Ada perintah?"
"Ada atau tidak, ini perintah!"
"Nanti dulu, Bapak-bapak. Warga negara tak bisa ditangkap begitu saja.
Mana surat perintahnya?"
"Tidak ada. Pokoknya ikut kami!"
"Tidak bisa!" "Ikut!" "Tidak!" Wasripin menengahi. "Begini saja. Biarlah saya ikut, tapi kawan-kawan ini juga."
Para polisi berunding. "Ya, sudah." Wasripin dan kawan-kawannya yang berboncengan sepeda motor tiba di
kantor polisi. Kepala Polisi melihat wajah Wasripin dan para nelayan yang
memenuhi minibis terbuka itu. Mukanya merah. Menutup telinga.
"Sudah, sudah! Bawa mereka kembali! Aku tak mau dengar alasan!"
DELAPAN 1 "PAK Modin dedengkot Golput harus disingkirkan bila partai ingin
menang," kata Renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat
("disingkirkan" artinya "dimusnahkan", "dipenjara", atau "ditahan").
Meskipun Renstra itu sudah dicabut pembuatnya baru-baru ini, tapi Renstra itu
terlanjur menyebar. Alasan pencabutan: Pak Modin ialah orang Jawa, "Huruf
Jawa mati bila dipangku, demikian pula Pak Modin." (pangku adalah tanda
huruf konsonan terakhir). Ketua Partai Randu setempat memberi contoh
bagaimana mengusahakan elektrifikasi surau Pak Modin. "Itulah contoh yang
gagal," putus rapat Pimpinan Daerah Partai Randu. Ketika dimintai klarifikasi
soal kegagalan itu, Ketua Partai Randu perkampungan nelayan menjawab,
"Tunjukkan bahwa perbuatan kita tanpa pamrih. Air tuba dibalas dengan air
susu." "Ah, mbelgedes!" ujar seorang anggota Pimpinan Daerah Partai. Usaha
Partai Randu supaya Pak Modin tidak jadi lurah sudah berhasil. "Tinggal
langkah berikutnya untuk menggencetnya," rapat memutuskan. Dan caranya
bagaimana diserahkan kebijaksanaan Ketua Partai Kabupaten yang biasanya
panjang akalnya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat menyetujuidengan aklamasi
usul untuk menjadikan KH Rifa"i Kalisalak yang dibuang Belanda pada 1859
sebagai Pahlawan Nasional. Ini menyulitkan Partai Randu. Partai Randu
mensinyalir pengikut-pengikut aliran Rifa"iyah kebanyakan Golput. Mengakui
pendirinya sebagai Pahlawan Nasional sama dengan mengakui Golput. Anggotaanggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Randu diundang Pimpinan Partai
untuk diminta pertanggungjawaban. "Biyangane! Bikin ruwet saja," kata Ketua
Pimpinan Partai. Mereka yang diundang sepakat satu suara.
"Mengapa tidak konsultasi dengan Partai?"
"Kami yakin Partai Randu adalah partai berhati nurani."
"Salah. Partai Randu adalah partai berkuasa."
"Jadi Partai Randu mengingkari fakta sejarah?"
"Belum tahu, to. Kekuasaan berwenang membuat fakta?"
"Tidak bisa, fakta tetap fakta."
"Maksudnya, faktanya dulu memang begitu. Tetapi fakta sekarang
pengikutnya jadi Golput. Kami sedang memikirkan untuk mencoret nama
kalian dari daftar jadi."
"Bila Partai mencoret nama kami, kami akan menyeberang."
"Itu baru rencana, lho?"
Untung Partai Randu masih punya kartu truf yang mujarab. Partai
menghubungi angkatan bersenjata untuk mengeliminir keputusan Dewan itu.
Angkatan Bersenjata memveto putusan Dewan. Dan jadilah keputusan itu
hanya sebagai dokumen. 2 KEBERHASILAN menyetop usul menjadikan KH Rifa"i Pahlawan Nasional,
membuka jalan lebar-lebar untuk membidik Pak Modin yang menganut
Rifa"iyah. Partai Randu menghubungi Badan Pengawas Agama, minta supaya
lembaga itu mengusahakan Pak Modin ditahan atau dipenjara dengan alasan
apa saja. "Bisa, bisa. Kami punya file-nya. Kapan?"
"Yang kami perlukan ialah saat-saat Pemilu."
"Beres, beres. Tapi, yaitu, Bapak harus mengerti sendiri. Kami punya
anak-isteri." "Pasti. Masak kami lupa sama Bapak-bapak. Edan, pa."
Bola ada di tangan Badan Pengawas Agama. Lembaga bergerak dengan
cepat. Polisi diminta mengusut perihal politisasi agama yang dilakukan Pak
Modin. Benar. Dua orang intel ditugaskan untuk mengikutinya. Dalam sebuah
khotbah Jum"at Pak Modin mengecam pembagian harta yang tak adil, orang
yang menumpuk harta, dan pejabat yang tak amanah. Dalam ceramah di
sebuah pengajian ia memuji orang-orang yang berjihad di jalan Tuhan. Ia juga
diundang untuk ceramah Isra Mi"raj ke Jawa Timur, dan tidak mengusahakan
ijin dari kantor Badan Pengawas Agama.
Kepala Reserse menemui Ketua Badan Pengawas Agama untuk
menunjukkan hasil kerja anak buahnya. Sambil mengacungkan jempol Ketua
Badan Pengawas Agama mengatakan bahwa kerja Serse bagus. Dengan bahan
itu kepolisian memanggil Modin untuk interogasi. Kepala Reserse sendiri yang
menginterogasi. "Tuliskan orangtua, saudara-saudara, dan keponakanmu. Alamat,
pekerjaan, afiliasi politik."
"Kedua orangtua dan saudara-saudara semua meninggal pada waktu ada
wabah cacar sesudah Kles II."
"Anak?" "Tidak ada." Selanjutnya ditanyakan betul-tidaknya pada tanggal anu di anu dia
mengatakan anu, pada tanggal anu di anu dia mengatakan anu, pada tanggal
anu ceramah di anu tanpa ijin yang berwewenang. "Tuliskan apa saja!"
katanya pada polisi. Pak Modin sebenarnya ingin menerangkan maksud dan
tujuan ceramah-ceramahnya dan alasan ia berceramah di luar, tapi
diurungkannya sebab toh tidak ada gunanya menerangkan di tempat itu. Ia
tahu semua pemeriksaan adalah kesengajaan: ia harus bersalah. Ia diminta
untuk kembali tiga hari lagi guna menandatangani BAP (Berita Acara
Pemeriksaan), sebab ada banyak cara untuk menggagalkan rencana putusan
pengadilan, tahanan, atau bahkan hukuman.
Salah satu cara itu ialah menelepon Perwira Tinggi kenalannya di
Laksusda, Semarang. Ia sudah mendengar, hubungan pribadi macam itu akan
lebih ampuh dari kerja intel, kepolisian, dan pengadilan. Telepon dapat
menyelesaikan banyak hal. Maka dari kepolisian ia langsung pergi ke kantor
telepon. Ia menceritakan aib yang baru saja menimpanya.
"Aduh terlambat tiga hari, Pak. Ada mutasi besar-besaran di instansi
saya, saya ditarik ke Pusat. Mutasi akan terjadi sampai tingkat Koramil."
"Kalau begitu, maaf."
"Begini, Pak. Mungkin saya justeru yang perlu pertolongan. Saya sendiri
sedang menghadapi kesulitan. Dituduh bersimpati dengan ekstrem kanan atau
ekstrem kiri, belum tahu persisnya. Ceritanya panjang. Begini."
"Sudah, Pak. Terima kasih. Saya ada keperluan lain."
Ia cepat-cepat meletakkan gagang telepon, meskipun kenalannya itu
masih ingin bercerita. Ia tahu bahwa telepon orang yang dicurigai disadap
intel. Ke rumahnya" Ia tahu itu tak mungkin terjadi. Orang yang dicurigai
rumahnya selalu diawas-awasi. Akan ada penjual bakmi tiban, gelandangan
berambut pendek, penjual asuransi yang tiba-tiba nyelonong ke rumah waktu
ada tamu. Menulis surat" Tidak mungkin juga. Kabarnya surat-surat dibuka
amplopnya dan disensor. Tertutup sudah. Tidak ada cara lain, bisanya hanya
berdoa. 3 BEBERAPA hari kemudian sebuah jip tentara datang di rumah Pak Modin,
dan membawanya pergi. Teriakan isteri Pak Modin, "Jangan, jangan!" tidak
digubris. Mereka hanya bilang bahwa Kodim ingin meminjamnya barang dua
atau tiga hari. Setelah tentara pergi isteri Pak Modin ke surau. Di depan surau
sambil menahan napasnya yang tersengal-sengal dikatakannya, "Suami saya "
diciduk " Kodim." Sebentar saja kabar bahwa Pak Modin diciduk sudah
menyebar di perkampungan nelayan itu. Seperti biasa, mereka menyusun
kebulatan tekad. Lima puluhan nelayan ke Kodim. Mereka berboncengan sepeda motor
dan sepeda ontel. Membawa bendera merah-putih. Orang di tepi jalan
menonton. Mereka berdebat satu sama lain, "Ini rombongan pemain bola!"
"Bukan, itu kampanye!"
"Bukan, itu demonstrasi!" Sesampai di markas mereka menemui prajurit
piket. "Kami ingin bertemu Pak Komandan."
"Tidak bisa. Komandang sedang rapat."
"Ya, kami tunggu selesainya."
Prajurit jaga masuk ke dalam untuk melapor. Beberapa orang
berseragam melihat lewat kaca jendela, "Mau apa mereka?"
Pak Modin mendapat kehormatan diperiksa langsung Komandan, karena
ia pengurus veteran kabupaten.
Jadi, Komandan sudah kenal baik dengan Pak Modin. Tentara juga
memberinya tempat duduk ber-ac, sofa empuk, secangkir kopi, dan sekotak
gula-gula di meja. "Ini bukan interogasi, Pak. Hanya omong-omong biasa."
"Lakukan apa saja, Pak. Apa ini ada hubungannya dengan pemeriksaan
polisi?" "Tidak ada. Ini perintah dari atasan."
Dengan bisik-bisik komandan itu mengatakan bahwa ada kekuatan yang
dahsyat seperti benteng tak tertembus di atas sana. Dan ditambahkannya, "Ini
konfidensial, lho Pak. Saya punya firasat, sebentar lagi akan dipindah. Sudah
ada mutasi di tingkat propinsi."
Ketika ada yang melapor, komandan mengatakan bahwa Wadandim
dapat menemui mereka. Ketika wakil komandan datang seseorang
membacakan kebulatan tekad seperti biasa, dan minta supaya Pak Modin
dibebaskan. Betul, Pak Modin dibebaskan tanpa syarat. Ketika melepas Pak
Modin komandan itu berbisik lagi, "Ini pekerjaan terakhir saya untuk Pak
Modin." Pak Modin diantar ke depan oleh Komandan.
4 BEBERAPA hari kemudian Pak Modin diciduk lagi. Namun, Pak Modin
yakin tidak akan terjadi apa-apa. Maka, dia sudah berpesan kepada isteri dan
orang surau untuk tidak bersusah payah mengurusnya. Para nelayan percaya
saja dengan pesan itu, sebab ternyata Pak Modin punya banyak teman tentara.
Hanya, ketika ternyata sehari ia tidak juga pulang para nelayan jadi risau.
Mereka mendatangi Kodim, dengan arak-arakan yang sama. Dandim yang baru
saja ditugaskan di situ menemui mereka.
"Modin bukan urusan kami, tapi urusan polisi!"
Mereka mendatangi kantor polisi. Kata Kapolres baru, "Datang saja ke
kantor pengadilan!" Di kantor pengadilan mereka diberi tahu bahwa Pak Modin adalah
tahanan kejaksaan. Mereka pergi ke kejaksaan.
"Berkasnya memang ada di sini. Tetapi, orangnya kami titipkan ke
Lembaga Pemasyarakatan."
Mereka pergi ke penjara. "Datanglah hari Rabu, ada jam bezoek," kata seorang sipir.
Mereka mau marah, tetapi tidak tahu marah kepada siapa. Lalu
kembali. Mereka menanti hari Rabu. Mereka datang tepat pada waktunya.
Ketika mereka menanyakan Pak Modin, dijawab oleh petugas bahwa Pak Modin
sudah dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan di kota lain. Karena, dia
tahanan politik dan lembaga itu hanya mengurusi tahanan kriminal, seperti
pencuri, pembunuh, curanmor, pemerkosa, perkelahian. Tiap hari ada
perkelahian, kata sipir penjara, sehingga penjara penuh. "Itu kami lakukan
demi kepentingan dia sendiri, supaya bisa lebih tenang."
Mereka mendatangi lembaga yang ditunjuk sekalipun sangat jauh.
"Terlambat jamnya. Bezoek ialah tadi pagi."
Mereka pulang, untuk kembali pagi-pagi sekali.
"Modin sudah kami kirim kembali. Akan diadili besok pagi."
Keesokan harinya mereka datang ke Pengadilan. Dengan bendera dan
arak-arakan seperti biasa. Polisi yang sudah menduga kelakuan para nelayan
sudah menjaga pengadilan.
"Kebulatan tekad, demonstrasi, arak-arakan bertentangan dengan
hukum. Coba digulung bendera itu. Masuk satu per satu. Duduk yang baik.
Dilarang gaduh." Mereka masuk. Membubuhkan nama, tanda tangan, dan meninggalkan
KTP. Pak Modin yang duduk di kursi terdakwa sempat menoleh dan melihat
mereka datang. Hakim, jaksa, pembela juga melihat kedatangan mereka.
Kehadiran para nelayan itu memenuhi ruangan. Semula pengadilan tak mengira
bahwa pengadilan Pak Modin merupakan adegan yang menarik. Kursi yang
semula disediakan untuk para wartawan, dosen, dan mahasiswa terpaksa
ditambah. "Anda tahu, apa kira-kira kesalahanmu?" tanya Hakim Ketua.
"Tidak."

Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anda tidak datang ke TPS waktu Pemilu, bukan?"
"Datang, Pak." "Tapi benarkah semua tanda gambar dicoblos?"
"Dari siapa keterangan itu?"
"Panitia Pemilu setempat."
"Bagaimana mereka tahu?"
"Keberatan!" sela jaksa.
"Keberatan diterima. Apa kau menganjurkan teman-temanmu untuk
berbuat sama?" "Keberatan!" kata pembela.
"Sidang diskors seperempat jam!"
"Nanti dulu. Tidak perlu saksi-saksi?" tanya pembela.
"Tim hakim memutuskan, tidak perlu ada saksi-saksi."
Hakim Ketua mengetukkan palu. Para hakim masuk. Nelayan-nelayan
maju menyalami Modin. Di ruangan lain hakim-hakim berdebat.
"Mengetahui Modin mencoblos semua partai itu melanggar kerahasiaan
Pemilu." "Tentu ada perintah."
"Dia sudah diawasi."
"Singkatnya saja, ada surat sakti?"
Hakim Ketua menunjukkan surat, "Surat sakti ini mengatakan supaya dia
ditahan. Karena ternyata dia tak bersalah, solusinya harus kita cari. Tapi
jangan khawatir, sudah ada di kepala saya."
"Sudahlah, kami setuju-setuju saja."
Sidang dimulai lagi untuk mendengarkan putusan hakim.
"Mengingat ". Menimbang ". Memutuskan: Satu, Pak Modin bersalah
karena tingkah lakunya mencurigakan. Dua, Menjatuhkan hukuman: nihil.
Tiga, Pak Modin dinyatakan sebagai tahanan desa selama enam bulan. Empat,
Pak Modin dikenakan wajib lapor ke Makodim setiap dua minggu, hari Senin.
Lima, selesai." Para nelayan bertepuk tangan. Modin akan diarak para nelayan pulang
ke rumah. Sepeda motor di depan berboncengan membawa bendera merahputih. Polisi menghadangnya. Mereka melarang arak-arakan, "Itu
demonstrasi," kata mereka. Modin diminta naik mobil polisi saja, lebih nyaman
untuk tulang tua. Para nelayan menolaknya, mereka khawatir itu hanya akalakalan polisi. "Masak kalian tidak percaya aparat," kata polisi. "Bukannya
kami tidak percaya, tapi lebih suka pulang sama-sama," kata para nelayan.
Akhirnya segalanya diserahkan Modin.
Modin tahu bahwa ia terlalu tua untuk angin sepeda motor, tapi dengan
niat menuruti para nelayan, sambil mengenang petualangan masa muda, ia pun
memutuskan untuk membonceng sepeda motor. Walhasil, surau mendapatkan
kembali imamnya. Mereka sujud syukur.
5 LEGIUN Veteran Daerah resah. Mereka menyesali tentara, polisi, dan
pengadilan. Kalau tidak ada koran mereka tidak pernah tahu bahwa Pak Modin
kena perkara. Buru-buru ketua dan pengurus lainnya menemui Pak Modin di
rumah. Mereka menyatakan maaf dan penyesalan yang dalam telah tidak
mengetahui aib yang menimpa Pak Modin.
"Tentara ingusan, polisi gadungan, dan pengadilan pura-pura telah
meludahi wajah veteran seluruhnya. Kami tidak bisa menerimanya," kata
mereka. "Sudahlah, semuanya selesai dengan baik."
"Tidak, Pak. Ini tak boleh terulang lagi."
Juga ditanyakan apakah benar bahwa Pak Modin tak boleh jadi lurah,
padahal rakyat menghendaki. Dengan berputar-putar, dari tidak mau, sudah
terlalu tua, tak sesuai dengan irama pembangunan, akhirnya Pak Modin
membenarkan dugaan itu. Pada akhir pembicaraan, Ketua Legiun Veteran berjanji.
"Percayalah, kami akan berbuat sesuatu."
Sungguh, Legiun Veteran Daerah menulis surat langsung ke Jalan
Cempaka, kepada Presiden Sadarto. Tembusan disampaikan ke semua pejabat
tinggi dan tertinggi. Ternyata dengan sepucuk surat itu dunia terbalik. Seminggu kemudian
sebuah surat balasan yang ditandatangani tangan Presiden Sadarto datang.
Surat itu berisi bahwa Modin sama sekali bersih, dan pihak-pihak yang telah
mencemarkan namanya diminta untuk minta maaf dan merehabilitasi namanya
secara terbuka. Tembusan surat ditujukan kepada semua instansi tingkat
kabupaten dan tingkat kecamatan. Tentang cara permintaan maaf dan
rehabilitasi tidak ada petunjuk secara spesifik. Instansi-instansi mengadakan
rapat intern secara kilat.
Keesokan harinya, semua instansi tingkat kecamatan memasang iklan
permintaan maaf, menyatakan Pak Modin bersih, dan berhak memangku
jabatan apa saja. Kodim, Kapolres, Ketua Pengadilan tingkat kabupaten datang
ke rumahnya. Demikian pula pimpinan kecamatan. Khusus Camat, ia
membawa surat Bupati yang menetapkan Modin adalah lurah definitif. Camat
juga memerlukan datang ke kantor kalurahan, dan menyatakan bahwa sejak
waktu itu mereka punya lurah baru: Pak Modin.
Pak Modin ingin menolak jabatan itu, tapi para nelayan akan kecewa. Ia
pun resmi jadi lurah, bukan Kepala Desa Rakyat. Rencana Peraturan Desa
pertama yang dibuatnya ialah soal pembatasan umur lurah. Seseorang harus
berhenti jadi lurah pada umur enam puluh lima tahun, tidak ada perkecualian.
Semua anggota Lembaga Musyawarah Desa setuju, dan jadilah peraturan itu
mengikat semua warga. Camat dan Bupati pun menyetujui putusan itu. Pak
Modin sendiri sudah enam puluh enam, karenanya harus lengser.
"Itu artinya ia tidak mau menjabat."
"Mari kita hormati keputusannya."
"Dia ingin jadi pandita saja."
Desa itu menempuh prosedur yang sama seperti dulu. Terpilihlah
Sekretaris Desa jadi lurah. Pak Modin dan para nelayan tidak lagi harus
berurusan dengan tentara, polisi, dan pengadilan. Untuk sementara!
Tentang adanya Surat Sakti yang betul-betul cespleng itu menjadi
sorotan pers pusat dan daerah dan kalangan akademisi lokal dan nasional.
Pada umumnya, mereka mulai dengan sebuah pengantar yang menegaskan
bahwa yang digugat adalah Surat Saktinya, bukan Pak Modin atau Legiun
Veteran. Pertanyaan seperti "Milik Siapa Negar?", "Perorangan atau Hukum?",
dan "Siapa Berkuasa?" menjadi topik bahasan. Pers makin berani, dan telepontelepon tidak lagi digubris. Telepon diam-diam dikhawatirkan akan malah jadi
perbincangan terbuka. Kebebasan mimbar juga demikian. Hari ini dihentikan,
hari lain diadakan. Keadaan dirasakan akan lepas kendali.
6 RUPANYA emprit abuntut bedhug (perkara kecil menjadi besar).
Presiden sendiri membawa soal kritik pers dan kampus pada Surat Sakti itu ke
Sidang Kabinet. Karena menggugat Surat Sakti berarti menggugat Presiden,
sehingga dia merasa digoyang-goyang. Padahal, selama ini tak seorang pun
berani menggugat. Kalau yang menggugat perorangan, semua life line-nya
akan diputus. Kalau lembaga, akan dinyatakan terlarang. Dan orang-orangnya
dinyatakan tersangkut ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Semua anggota
kabinet tahu bahwa dia marah besar, meskipun dari luar nampak senyumnya
selalu hadir. Lembut dalam penampilan tapi keras dalam perbuatan, kira-kira
begitu semboyannya. Pada kesempatan itu dinyatakan bahwa negara dalam
bahaya, dan ia memerintahkan menteri-menterinya untuk tidak ragu-ragu
bertindak tegas. Maka, beberapa hari kemudian Menteri Penerangan melarang
surat-surat kabar mengecam Surat Sakti, tidak melalui telepon tapi melalu
Keputusan Menteri. Ancamannya ialah Pencabutan Ijin terbit. Menteri
Perguruan Tinggi berbuat serupa, mengancam akan membubarkan sebuah
Perguruan Tinggi yang mengecam Surat Sakti.
Pers dan kampus tidak kurang akal. Mengecam terang-terangan
dilarang, mereka lalu memuji terang-terangan. Seminar bertema, "Surat Sakti,
Hak Prerogatif", "Sesuai UUD "45: Surat Sakti, Membubarkan Parlemen,
Memberi Grasi", dan "Surat Sakti versus Mafia Pengadilan". Mereka sudah
betul-betul berhenti menghujat, sebaliknya malah memuji-muji. Tetapi, orang
tahu bahwa mengecam menimbulkan kebencian, memuji menimbulkan sinisme
masyarakat. Mendapat laporan tentang maraknya puji-pujian pers dan kampus
serta sinisme masyarakat, Menteri Penerangan dan Menteri Perguruan Tinggi
hanya bisa pusing kepala. Ternyata jadi pesuruh itu sulit, meskipun pesuruh itu
bernama menteri, "Salah lagi!"
SEMBILAN 1 PERKARA Pak Modin jadi isu nasional. Tanpa sepengetahuan Pak Modin
dan para nelayan, surau, Pak Modin, dan perkampungan nelayan itu dikenal
luas. Semua pemerhati hukum: dosen, hakim, jaksa, polisi, advokat,
mahasiswa hukum, semuanya mengenal. Kedudukan Pak Modin, surau,
nelayan, tak tergoyahkan. Partai Randu tidak lagi bisa berbuat apa-apa.
Bahwa di atas langit masih ada langit, ternyata betul belaka. Bahkan Partai
Randu punya batas yang tak bisa dilalui. Kenyataan itu menggelisahkan
pimpinan daerah partai. Bayang-bayang kekalahan Pemilu di perkampungan
nelayan itu tak terelakkan lagi. Padahal, perkampungan itu adalah barometer
untuk seluruh pantai utara. Kekalahan di tempat itu berarti kekalahan di
seluruh Pantura. Mungkin Golput tidak akan mempengaruhi hasil Pemilu di
Pantura secara keseluruhan, tapi jelas Partai Langit akan lebih unggul dari pada
Partai Randu. Kemenangan suara dalam mengesahkan jadinya KH Ahmad Rifa"i
sebagai pahlawan nasional adalah bukti goyahnya Partai Randu.
Dengan lemas Ketua Partai Randu dan jajaran pengurus mendatangi
kantor Badan Pengawas Agama. Kedua pihak bertemu hanya untuk berbagi
kekecewaan dan gelengan kepala. Mereka " sama seperti orang lain " juga
terheran-heran mengapa tiba-tiba saja sebuah Surat Sakti dari jalan Cempaka
bisa menggagalkan usaha mereka yang tersusun rapi. Partai Randu tak bisa
menyalahkan Badan Pengawas Agama. Seterusnya, lembaga itu tak bisa
menyalahkan polisi, jaksa, dan hakim. Mereka sudah berbuat sebaik-baiknya
sebagaimana dipesan. Setelah gagal mengalahkan Pak Modin, mereka
sependapat untuk mematahkan tangan kanannya saja, Wasripin. Tetapi
bagaimana caranya?" Seorang anggota Badan Pengawas Agama yang ditempatkan oleh
Komando Intelijen Negara seminggu yang lalu dalam rangka konsolidasi
pendukung Pemerintahan Orde Konstruksi yang secepat kilat berpikirnya
mengacungkan jari. "Aku tahu!" "Bagaimana" Kita harus transparan, dong."
"Ini operasi intelijen."
"Sangat rahasia?"
"Ya." "Partai Randu adalah partai terbuka. Jadi, kita harus blak-blakan.
Tidak boleh sembunyi-sembunyi."
Kemudian ia bisik-bisik dengan Ketua Badan Pengawas Agama, lalu bisikbisik itu disampaikan kepada rapat.
"Maaf, mungkin ini akan melukai hati Saudara-saudara, tapi karena
operasi ini sifatnya rahasia tak boleh diketahui banyak orang," kata Ketua
Badan Pengawas Agama. "Kalau kami tak dipercaya, baiklah."
"Jangan emosional begitu, to."
"Habis, bagaimana!"
"Ini nasib seluruh keluarga besar Partai. Ada yang untuk konsumsi
massa, ada yang untuk konsumsi pengurus, ada yang untuk konsumsi ketua
saja. Tidak semuanya dibuka, nanti kacau, disiplin partai runyam."
"Ya, sudahlah."
Mereka bertiga: Ketua Partai Randu, Ketua Badan Pengawas Agama, dan
sang intel yang cerdas masuk ke ruangan khusus. Intel itu sudah tahu banyak
mengenai perkampungan nelayan (umumnya pendukung Partai Langit dan
Golput, Partai Randu minoritas tapi kuat karena didukung oleh aparat, pegawai
negeri, dan sebagian juragan), Pak Modin (dipersangkakan dedengkot Golput),
Wasripin (dipersangkakan mendapat ilmu dari Nabi Hidhir, tangan kanan Pak
Modin), surau (markas Golput), dan para nelayan (Golput). Ia itu jalma limpat
seprapat tamat, diberitahu seperempat bagian saja sudah tahu
keseluruhannya. Maklum dia rajin dan sangat cerdik, lagi pula mempunyai
salemanship yang sempurna. Ia sudah tahu soal kegagalan mengenai jimat
yang dituduhkan pada Wasripin, entah dari siapa. Maka dengan lancar ia
menguraikan rencana yang membuat kagum kedua ketua itu. Mereka dengan
gairah mendengarkan Plan 1 dan " kalau gagal " Plan 2.
"Asal saja semua konsekuensi keuangan disediakan Partai," kata Ketua
Badan Pengawas Agama. Ketua Partai menyetujui. Katanya, "Tetapi tolong rencana
pembiayaannya, meskipun dana itu biasanya selalu tersedia."
"Ini harus agak longgar."
"Tentu saja, kami sudah mengerti."
"Saya otak-atiknya dulu supaya tidak terlalu besar."
Ketua Partai kemudian mendekati Bendahara Partai yang menunggu di
luar. Bendahara yang memang selalu oposan terhadap Ketua Partai
mengomentari, "Perlu dipikirkan untung-ruginya. Jangan cari untung, malah buntung."
"Ini kebijaksanaan Ketua."
"Jangan begitu, itu namanya " eh " diktator, maaf lho, Pak. Tapi ini
harus dibicarakan dalam rapat pengurus. Jadi, tanggung jawab kolektif, bukan
perorangan." Kemudian ada rapat pengurus. Dalam rapat rencana itu ditolak.
Karena, tidak sesuai dengan prinsip Partai Randu, terasa mengada-ada, dan
jumlah uang yang eksak belum diketahui. Kalau pengurus tidak setuju, Ketua
mengatakan setidaknya pengurus memberi ijin padanya untuk mencari dana
dari mana saja. Pengurus setuju.
Ketua Partai kemudian menghitung-hitung perusahaan mana yang dapat
membantu Partai. Ia mendekati beberapa perusahaan kontraktor reklamasi
laut, jalan, jembatan, dan bangunan untuk menyumbang dengan janji
kemudahan dalam tender dan urusan dengan bank.
2 PAGI-pagi sekali Wasripin baru saja turun dari sembahyang sudah
ditunggu orang. Orang itu mengatakan menderita kanker. Ia sudah pergi ke
dokter, sudah pergi ke dukun, tetapi penyakitnya tak juga hilang. Dokter
sudah angkat tangan, rumah sakit sudah menolak. Ia sudah divonis dokter,
menurut perhitungan medis, tinggal empat bulan lagi hidupnya. Ia sudah
menulis surat wasiat untuk isteri dan anak-anaknya. Sudah menulis surat pamit
dan permintaan maaf kepada saudara-saudara, teman-teman, dan semua
kenalannya. Semuanya sudah diberi prangko, dan tinggal memasukkan ke kotak surat
pada hari dia meninggal. Harapannya tinggal pada Wasripin. Wasripin
memegang-megang bagian yang dikatakan sakit,
"Bapak tidak sakit. Sebentar, saya ambilkan air putih. Biar tambah
sehat." Wasripin membuka lemari yang berisi botol air. Selagi ia membuka
lemari, orang itu memasukkan uang ke bawah taplak meja. Wasripin merasa
ada yang tak benar dengan orang itu. Orang itu bohong.
"Tolong, Pak. Air ini diminum, air ini akan jadi obat kalau Bapak sakit,
sebaliknya air ini jadi racun kalau tidak sakit." (Konon, ia tak berani minum).
Pagi itu datang beberapa orang lagi dengan keluhan yang berbeda-beda.
Ia tergesa-gesa pergi ke TPI sebab ia masuk pagi-pagi. Hari itu adalah Hari
Pasar, ia akan bertemu Satinah di penjual soto.
Ketika ia bertemu, Satinah menegur.
"Kok tidak bilang-bilang, kena urusan polisi begitu. Untung ada yang
bercerita." "Itu dulu. Apa harus diceritakan kemana-mana?"
"Ya, sudah. Mungkin saya tak berhak," katanya sambil melengos.
"Bukan begitu. Maksud saya jangan membebani orang lain."
"Saya ini orang lain, to. Ya sudah!"
"Satinah membayar makanan, lalu mengajak pergi pamannya.
Pamannya gerundal-gerundel, "Sudah kubilang, jangan suka emosi "."
Wasripin garuk-garuk kepala.
"Nah, bukan itu maksud saya!"
Tapi suaranya ditelan kemandang suara-suara pasar. Dia lalu mengejar
Satinah, "Maaf, maaf Nah!"
"Untuk apa minta maaf pada orang lain?"
"Sumpah, kok. Bukan itu maksud saya!"
"Maksud saya, maksud saya!"
Mereka mencari tempat yang longgar, lalu omong-omong sampai
waktunya Satinah menyanyi dan Wasripin kembali ke TPI.


Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak disangka-sangka sesampai di rumah polisi telah menunggu.
"Masuk saja, Bapak-bapak. Rumah tidak terkunci."
"Ini surat perintahnya. Kami harus memeriksa rumah ini."
Polisi membuka lemari, membalik kasur, mengeluarkan laci, dan
melingkap taplak meja. "Ini apa?" "Kok ada uang di situ?"
"Saya malah tidak tahu."
"Jadi bukan kau yang menaruh?"
"Bukan." "Kalau begitu, ini kami ambil."
"Silakan, silakan."
Paginya ia menerima panggilan dari polisi. Ketika ia pamit pada Kepala
TPI bosnya bilang untuk tidak memberitahu teman-temannya. Mereka tidak
sempat melaut hanya untuk mengantarnya. Maka dia pergi sendirian.
Disempatkannya mampir ke rumah sewa Satinah. Satinah gemetar sebab kata
polisi saja sudah menakutkannya. Air mata menetes di pipinya.
"Lho, katanya disuruh memberitahu."
"Apa" Saya tak berhak sedih, ya?"
"Sedih ya sedih. Tapi jangan keluar air mata, to."
Baru setelah pamannya meyakinkannya bahwa tidak akan terjadi apaapa, Satinah menghapus air mata di pipinya. Paman yang buta itu kembali
pada pekerjaannya. Membiarkan keduanya bicara.
"Sebentar, sebentar. Boleh saya ikut menghapus?"
Satinah menyodorkan pipinya. Wasripin mencari-cari saputangan di saku
celana,tidak ketemu. "Maaf, saputangan saya ketinggalan."
"Tidak punya tangan, to?"
"Nanti marah." "Siapa bilang?"
"Biasanya, begitu."
"Ini luar biasa, kok."
Wasripin mengulurkan tangan, menyentuh pipi Satinah. Dia gemetar.
Ada perasaan yang aneh. Bahkan hanya dengan menyentuh pipi!
Sampai di kantor polisi ia langsung menemui Kepala Reserse.
"Ada laporan dari masyarakat, engkau mengaku dapat ilmu dari Nabi
Hidhir. Padahal, sebenarnya engkau memelihara tuyul. Beberapa orang
kehilangan uang sesudah berkunjung ke rumahmu. Ternyata tuyulmu menaruh
di bawah taplak meja."
"Siapa pelapornya?"
"Nanti kau akan bertemu di pengadilan."
"Siapa Nabi Hidhir itu, Pak" Setahu saya Muhammad adalah Nabi
terakhir." "Jadi kau tak kenal dengan Nabi Hidhir?"
"Tidak." "Tuyul itu?" "Juga tidak." "Pemeriksaan selesai. Kau boleh pulang. Tapi sebelumnya
kautandatangani ini. Dokumen ini untuk pengadilan."
"Masih ada pengadilan?"
"Tunggu kira-kira seminggu lagi."
"Mbok itu saja dianggap cukup. Tidak enak, Pak. Mbolos kerja."
3 HARI Pasar berikutnya Wasripin harus pergi ke pengadilan. Panggilan itu
dijatuhkan di TPI. Maka, teman-temannya tahu dan mengantarnya. Satinah
tahu dari Mbakyu penjual soto bahwa hari itu Wasripin ke pengadilan diantar
banyak nelayan. Satinah mengeluh pada pamannya bahwa hal sepenting itu
sampai dia tidak tahu. "Mesti ada alasannya, Nduk. Tapi jangan khawatir, tak akan terjadi apaapa," kata pamannya.
"Ah, Pak Lik ini bisa-bisanya tidak prihatin."
"Prihatin, ya prihatin. Tapi jangan merusak diri sendiri. Sudah
kubilang, tidak akan ada apa-apa."
"Ah." "Coba saja, kalau tak percaya."
Para pelapor nama dan alamat disebutkan, tapi tidak datang. Hakim
Ketua menyatakan bahwa persidangan sah, meskipun pelapor tidak hadir.
Disebutkan bahwa pelapor sengaja tidak hadir, karena kehadirannya
mengandung risiko: dia akan kena tenung atau jadi korban tuyul.
"Wasripin, ada laporan dari masyarakat bahwa kau dapat ilmu dari Nabi
Hidhir?" "Tidak tahu." "Kalau tidak tahu, jadi memelihara tuyul, ya?"
"Tidak." "Apa pelapor dapat jadi saksi?"
"Saksi pelapor tidak hadir karena penuh risiko," kata Jaksa Penuntut.
"Baiklah. Apa buktinya?"
"Ketika pelapor datang, dia membawa uang di celana. Tetapi uang itu
hilang. Tiga orang punya pengalaman sama. Ternyata BAP itu menyebutkan
bahwa uang ditaruh tuyul di bawah taplak meja."
"Maaf, Pak Hakim. Apa jaksa bisa menghadirkan saksi?"
Polisi yang datang ke rumah Wasripin menjadi saksi. Kesaksiannya
memberatkan Wasripin. "Bolehkah saya menghadirkan saksi bandingan?"
"Kami saksinya. Ini pengadilan rekayasa!" teriak seorang nelayan.
"Saudara tak punya hak!" kata Hakim Ketua keras.
"Kalau begitu saya tak bisa diadili, Pak. Tidak ada saksi pelapor, tidak
ada saksi pembanding. Siapa tahu barang bukti itu fitnah. Tolong, suruh Jaksa
menghadirkan tuyul."
Orang-orang di ruang pengadilan tertawa. Hakim Ketua menyuruh
pengunjung tenang. "Pengadilan diskors setengah jam untuk memberi waktu bagi Jaksa."
Ketika ada skors para wartawan mendekati Wasripin, memberondong
dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Kau kok pandai. Lulusan Fakultas Hukum, ya?"
"Tidak. Saya lulus SD."
"Berapa orang sudah kau sembuhkan?"
"Wah, saya lupa."
"Kau pantas dapat doktor HC."
"Apa itu?" "Kami akan menulis bahwa kau adalah penyembuh alternatif."
Hakim Ketua membuka sidang. Dia mengatakan bahwa Wasripin
melakukan penipuan yang menurut pasal anu ayat anu juncto pasal anu ayat
anu dapat dihukum sekian anu. Sidang ditutup.
Dua hari berikutnya Wasripin diminta datang untuk mendengarkan vonis
hakim. Wasripin dan para nelayan datang, demikian pula wartawan.
"Menimbang ". Mengingat ". Gugatan tidak terbukti. Maka, terdakwa
dinyatakan bebas!" Pengunjung tepuk tangan. Wakil dari Badan Pengawas Agama juga
kembali ke kantor. Wartawan mendekati Wasripin. Kata mereka, "Kau gugat
balik saja, biar ramai." Wasripin hanya menggeleng, tidak tahu caranya, tidak
tahu siapa yang digugat. Keesokan harinya pengadilan soal tuyul muncul di koran-koran. "Grrr di
Pengadilan", "Jaksa Tak Bisa Hadirkan Tuyul", "Pengadilan Rekayasa?"
Wakil dari Badan Pengawas Agama memberi laporan. Bahwa saksi-saksi
pelapor tak berani datang, takut disantet. Ketua dan intel mengadakan rapat.
"Wah, Plan 1 kita gagal. Koordinasi dengan pengadilan kurang rapi,"
kata Ketua. "Yang kurang itu fulusnya, bukan koordinasinya. Maka, saya usul uang
ditambah," kata intel.
"Plan 2!" "Plan 2!" 4 PLAN 2 dijalankan bersamaan dengan upacara peluncuran perahu
nelayan yang diadakan setiap tahun pada bulan Rajab. Pasar bertambah ramai.
Banyak pedagang tiban. Anak-anak sekolah diliburkan setengah hari. Teluk itu
berbah jadi tempat keramaian. Panjual balon, wayang kertas, terompet,
bolang-baling, martabak telur, martabak terang bulan, roti, jamu, tahu petis.
Ibu-ibu menggendong anaknya dengan balon di tangan. Perahu yang akan
diluncurkan dipercantik dengan ular-ularan, warna-warni asal tidak
mengesankan warna partai-partai dalam Pemilu. Mahasiswa menonton
peristiwa itu untuk membuat makalah. Wartawan berita, wartawan foto, crew
film dokumenter datang untuk meliput. Polisi datang untuk menjaga
ketertiban. Di surau ada kenduri yang dipimpin Pak Modin. Pak Modin nanti
juga akan memimpin doa untuk keselamatan perahu. Teratak dibangun untuk
kursi-kursi para pejabat. Pengeras suara disediakan untuk MC, pidato-pidato,
dan para peserta slawatan. Camat diminta datang untuk memecahkan periuk
sebagai simbol banyak rizki.
Satinah tidak ketinggalan. Ia mengeret-eret pamannya mencari tempat
yang baik dan teduh untuk menonton. TPI dihias juga dengan ular-ularan
warna-warni. Pasar tiban ramai, tenda-tenda pedagang memenuhi lapangan.
Di surau dipasang tambahan pengeras suara dengan kabel di pohon juhar,
sehingga doa-doa kenduri terdengar jelas. Wasripin tidak ikut kenduri, tapi
melayani pasien. Di tengah-tengah kesibukan seorang wanita dengan kain
sutera yang tipis melilit sampai di atas payudara berlari keluar dari rumah
Wasripin sambil berteriak-teriak, menuding-nuding ke belakang, terengahengah, "Tolong, tolong! Memperkosa!" Wasripin mengejarnya sampai pintu.
Tiga wartawan foto mengabadikan peristiwa itu, jepret-jepret. Beberapa
orang menarik wanita itu ke TPI. Polisi-polisi datang. Dengan sigap mereka
memasukkan Wasripin ke sedan patroli. Sementara itu, seorang polisi
menanyai wanita di TPI itu. Tidak ada nelayan tahu, mereka sedang berkenduri
di surau. Orang-orang pasar, orang-orang yang berbelanja, dan mereka yang
mau nonton keramaian hanya ternganga-nganga memberi jalan mobil polisi
yang pakai sirine. Satinah mendengar sirine, hatinya merasa ada yang kurang,
lalu menyeret pamannya ke pasar. Masih didengarnya sirine dan dilihatnya
mobil itu di kejauhan. "Apa to Mbakyu?"
"Wasripin dibawa polisi."
"Seleranya menonton keramaian hilang, dia mengajak pamannya pulang,
"Tidak apa Nduk, jangan khawatir." Mereka pulang, sampai di rumah air mata
Satinah membasahi bantal.
Peserta kenduri yang turun dari surau bertanya pada orang-orang pasar.
Mereka tahu apa yang telah terjadi. Wasripin mereka dibawa polisi.
"Utamakan kepentingan orang banyak," kata Pak Modin pada para nelayan.
Baru keesokan harinya mereka mulai bergerak. Mereka tahu kemana harus
mencari. Mereka pergi ke kantor polisi, tapi mereka diberitahu bahwa urusan
dengan polisi sudah selesai, dan sekarang ada di kejaksaan. Mereka jadi ingat
disuruh berputar-putar waktu ingin menjenguk Pak Modin. Mereka duduk,
"Kami tak mau lagi disuruh kesana-kemari. Tolong, Pak. Pastikan dia ada di
sana." Polisi menjamin.
Maka hari itu Wasripin menerima kunjungan kawan-kawannya.
Mereka mengatakan tetap percaya padanya, dan mengharapkan dia
tabah menghadapi fitnah. Siang itu dia juga menerima kunjungan dari
sejumlah mahasiswa yang belum dikenalnya dan mengaku dari sebuah Fakultas
Hukum. Mereka menyarankan supaya diadakan sumpah pocong di Masjid Jami"i
untuk mempertemukan korban dengan dia. Siapa yang bersalah akan mati,
siapa yang benar akan hidup. Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan
perkosaan yang berhasil digagalkan oleh korban. Wasripin menolak tuduhan
itu, dan meminta supaya diadakan sumpah pocong. Namun, hakim
mempertimbangkan permohonan itu. Sidang ditunda selama dua hari untuk
mempertimbangkan permintaan itu.
Berita tentang sumpah pocong yang langka itu memenuhi koran-koran.
Topik di antaranya ialah: "Kebenaran Melalui Sumah Pocong", "Tontonan
Hukum", dan "Sumpah Pocong: Institusi Hukum?" Dosen-dosen mewajibkan
mahasiswanya membuat makalah dan menonton. Tidak ketinggalan para
advokat. Laporan itu sampai ke intel yang diperbantukan ke Badan Pengawas
Agama. Intel marah-marah. Katanya, "Hukum agama, hukum nasional, hukum
modern tidak mengenal sumpah pocong." Ia sudah membayangkan bahwa
orang suruhannya yang diambil dari sebuah tempat hiburan malam pasti tak
berani menghadapinya. Satu-satunya langkah ialah mendekati hakim-hakim. Ia
akan pergi sendiri menemui mereka. Sebelum ke kantor Pengadilan ia mampir
ke tiga tempat: Kantor Partai Randu, seorang paranormal tersakti di daerah
itu, dan Ibu pengusaha tempat hiburan malam.
Di kantor Partai Randu dia dapat kepastian tentang komitmen finansial.
"Jangan khawatir, kami tetap komit secara moral dan finansial," kata Ketua
Pendekar Guntur 25 Penumpang Ke Frankfurt Passenger To Frankfurt Karya Agatha Christie Sengketa Pewaris Tunggal 2
^