Wasripin Dan Satinah 1
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo Bagian 1
WASRIPIN DAN SATINAH Kuntowijoyo SATU 1 WASRIPIN naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia
tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. Sudah lama dipelajarinya bahwa
pertama-tama ia harus mengambil jurusan Jakarta-Cirebon. Di beberapa
tempat memang ia sudah melihat pantai. Tetapi ia tahu bukan itulah
tujuannya. Tujuannya adalah pantai utara Jawa Tengah sebelah barat.
Kemudian ia mengambil bus Cirebon-Semarang. ia mendapat tempat duduk.
Untuk dua kali naik bus itu dengan rela ia memberikan kekayaan di saku kanankirinya sebelah atas, yang didapatnya dari pocokan membecak, mendorongdorong mobil mogok, dan membantu-bantu orang memperbaiki rumah. Uang
itu disimpannya sendiri, sebab ia tahu emak angkatnya merasa berhak atas
uang yang didapatnya. "Turun mana?" tanya kondektur bus Cirebon-Semarang
yang melilitkan tas di pinggangnya. "Nanti saya bilang," kata Wasripin. Tanpa
bertanya lagi kondektur memasukkan uang ke tas. Karcis tidak diberikan,
mungkin karena tujuannya tak jelas atau memang sengaja demikian sebagai
bonus untuk awak bus. Tidak apa, Wasripin bahkan tidak tahu bahwa
seharusnya dia menerima karcis.
Di atas bus Cirebon-Semarang ia melongok-longok ke luar. Tapi selalu
saja ia berkata pada diri sendiri, "Bukan ini!" Hampir di sepanjang perjalanan
itu ia sudah mencium udara pantai seperti yang dipelajarinya di Tanjung Priok,
tapi belum memutuskan untuk turun. Dipegangnya kata-kata emak angkatnya
bahwa ibunya berasal dari pantai utara Jawa Tengah sebelah barat. Ia berniat
kembali ke desa ibunya, entah di mana. Akhirnya, dengan kemantapan yang
tak akan dimengertinya, ia berkata kepada kernet untuk menghentikan bus.
"Minggir, minggir. Pelan, ada orang bunting delapan bulan mau turun!" kata
kernet yang berdiri di sebelah kiri pintu bus. Sopir menghentikan bus. Lalu
Wasripin meloncat ke luar, melambaikan tangan untuk mengucapkan terima
kasih. Lambaian itu juga berarti, dia mengucapkan selamat tinggal pada
dunianya yang lama. "Inilah tumpah darah ibuku," katanya dalam hati. Ia
berjalan ke kiri, ke mana pun kaki melangkah, tanpa tahu nama tempat yang
dituju. Pokoknya, pantai, pantai!
2 SEJAK ibunya meninggal, ketika Wasripin masih berumur tiga tahun, ia
dipungut anak oleh emak angkatnya yang berjualan tahu ketoprak, berpindahpindah tergantung adanya proyek. Kalau proyek sepi, ia berjualan di tepi
jalan. Induk semangnya selalu berkata, "Kita sungguh beruntung, jelek-jelek
kita punya rumah. Coba, kalau tidak, kita akan tidur di tepi jalan, di bawah
jembatan, di emperan toko." Dan seperti banyak anak lainnya di
perkampungan kayu, bambu, dan seng di tepi sungai itu, ia juga tidak tahu
siapa ayahnya. Jadi, bukan persoalan baginya bahwa ia tidak punya ayah, tapi
tidak punya ibu sungguh menggelisahkannya. Rasanya hanya dia sendiri yang
tak punya ibu di perkampungan itu.
Seperti anak lainnya, ia juga masuk sekolah, dan setamat SD lalu
berhenti untuk membantu-bantu emak angkatnya. Setamat SD itu ia cukup
kuat untuk mendorong gerobak dagangan dan dapat dipercaya mencuci piring.
Kemudian ia dapat diandalkan untuk meracik makanan. Bahkan, kemudian ia
dapat memasak sendirian. Kata emak angkatnya, ia punya bakat besar untuk
berjualan ketoprak. Ia juga sempat bermain umpetan, main bola, atau main
voli pada waktu masih sekolah. Di tepi sungai itu kehidupan sehari-hari
berjalan seperti biasa, orang juga bekerja untuk dapat makan meskipun
kebanyakan orang tidak sempat hidup dalam keluarga. Ada RT, ada ronda
kampung, ada kartu C-1, ada KTP. Pernah ada pencopet, tapi ketika penduduk
gelap itu ketahuan, ia diusir dari kampung. Pendek kata, benar belaka katakata emak angkatnya bahwa mereka beruntung.
Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua
wanita lain yang masih bersaudara dengan emak angkatnya, dan bekerja
sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki
datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam
dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar
suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu apa artinya. "Maaf, maaf," kata emak
angkatnya selalu setelah sang laki-laki pergi. "Tidak apa, kami tahu kok,
Mbakyu," kata mereka berdua. Basa-basi itu berjalan beberapa lama,
kemudian semuanyajaditerbiasa. Pemandangan dan suara-suara itu berjalan
bertahun-tahun, dan lama-lama sudah jadi kejadian yang biasa di mata dan
telinganya, tidak ada yang aneh.
Pada umur entah berapa, ia mendapat dipan sendiri, tetapi masih di situ
berdampingan dengan emak angkatnya. Umur enam belas atau tujuh belas
emak angkatnya meraba-raba sarongnya dan berbisik, sangat dekat ke
telinganya. "Engkau laki-laki dewasa!" Pada waktu itu ia mencium bau alkohol
keluar dari mulut emak angkatnya. Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang
penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun
kemudian tahulah dia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa.
Suatu sore emak angkatnya berkata, "Yu Mijah butuh tenagamu."
Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak angkatnya dengan enak
gantian tidur di dipan Wasripin. Ia menguras tenaganya. Sore yang lain emak
angkatnya berkata, "Tumiyem butuh tenagamu," dan penyekat pun di pasang.
Tidak disadarinya, entah berapa perempuan sudah minta tenaganya.
Perempuan-perempuan yang ditemaninya tidur selalu mengacungkan jempol
kepada emak angkatnya dan emak angkatnya dengan bangga akan berkata
kepadanya, "Kata semua orang, engkau laki-lakijempol." Ia senang dengan
pujian itu. Ia juga senang karena dapat membalas budi emak angkatnya.
Sebab, ia lihat para erempuan yang butuh tenaganya selalu mengulurkan
sejumlah uang kepada emak angkatnya. Ia terbiasa dengan isyarat emak
angkatnya dan penyekat itu.
Hanya kalau emak angkatnya sendiri yang butuh tenaganya, perintah itu
tak akan didengarnya. Penyekat-penyekat menguntungkannya, sebab sejak itu
ia mendapat makanan terbaik di perkampungan: telur, daging, dan nasi yang
masih panas. Keberuntungan itu berjalan empat tahunan. Pada tahun kelima
ia merasa harus menghentikan semua kegiatannya, membantu para perempuan
dengan tenaganya. "Aku tak mau mati dengan cara begini," katanya.
3 SUATU sore emak angkatnya membangun penyekat. Wasripin tahu apa
artinya, dan perempuan itu berkata, "Ripin, ayo to, jangan pura-pura." Emak
angkatnya mendekat, membuka sarungnya, "Lho! Kok kututmu tidak manggung,
Le." Wasripin, "Boleh aku terus terang, Mak?" Emak angkat, "Apa?" Wasripin,
"Tadi siang kulihat kambing bandot dikawinkan. Saya pikir aku tak jauh dari
itu." Emak angkat, "Makanya, jangan berpikir. Hidup ini jalani saja." Wasripin,
"Saya pikir aku seperti ayam, seperti kambing, seperti sapi pejantan." Emak
angkat, "Ah, macam-macam. Yang kau perlukan ialah madu dan telur." Emak
angkatnya kemudian pergi ke dapur. Wasripin malah menyambar celananya,
keluar rumah. Malam itu ia meninggalkan perkampungan, dan tak bermaksud
kembali. Ia bertekad meninggalkan tempat itu. Emak angkatnya lari kesanakemari di perkampungan, tetapi tidak menemukan Wasripin. Kemudian emak
angkatnya minta tolong ke seorang centeng, tetapi selalu mendapat laporan
tidak menggembirakan. "Puluh-puluh begjaning awak (Alangkah buruk
keberuntungan diriku", beginilah nasib orang melarat!" katanya. Ia mengaduladul barang Wasripin di lemari kayu sengon. Memukuli dadanya sendiri,
menangis keras-keras, merobek-robek bajunya, terduduk selonjor di lantai
tanah kamarnya. Dua wanita saudaranya hanya bisa jatuh kasihan. Ia berhenti
menyesali diri ketika teringat bahwa kejadian itu mungkin isyarat bahwa ia
harus pulang ke desa. 4 WASRIPIN melangkah pasti. Makan dan tidur tidak jadi persoalan. Ia
tahu tempat yang murah untuk makan, ia bisa tidur di mana saja. Ia bisa
mandi dan berak di sungai. Induk semangnya mengajari untuk tidak mencuri,
menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang. Tentang kekayaan,
kata emak angkatnya, "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,"
dan "Tentang rezeki jangan lihat ke atas, lihatlah ke bawah. Katakan pada
dirimu bahwa kau beruntung. Begitulah cara berterima kasih pada Gusti Allah."
"Ya, ini pasti desa ibuku." Sehabis lohor ia sampai di suatu tempat. Ada
kesibukan, ada perahu-perahu, ada laut yang menjorok ke dalam, ada
bangunan kayu menempel ke teluk itu, ada muara sungai, ada bangunan lain di
dekatnya, ada lapangan bola dengan jemuran ikan asin di atas para-para dari
bambu. Ia melihat beberapa orang mendandani jala mereka di pantai teluk. Ia
mencium bau ikan segar, perahu-perahu berlabuh di anjungan, dan orang
dengan keranjang-keranjang kemudian menaruhnya pada bangku dari beton.
Orang-orang perahu dengan keranjang lalu terlibat pembicaraan dengan orang
yang sudah menunggu. Pemandangan itu asing baginya tapi mengasyikkan. Ia
tambah yakin bahwa ia tidak salah pilih. Ia masuk ke bangunan, dan
menemukan seorang dengan baju putih celana hitam pakai kopel, berpet, dan
di pundaknya melilit sempritan, berdiri-berdiri sambil merokok. Ia
mengulurkan tangannya. "Nama saya Wasripin. Dari Jakarta."
"Saya Satpam." "O, ya. Di mana masjid?"
"Itu, tapi hanya surau," ia menunjuk ke bangunan yang terpisah dari laut.
Wasripin tidak pandai sembahyang, tapi tahu di situ ia dapat menumpang
mandi dan berak. Pekerjaan itu sudah dua hari ditinggalkannya, jadi ia ingin
betul ke sana. Ia praktis lari. Ia dapat berak dan mandi. Tapi tidak puas
dengan mandi di kulah, rasanya ada yang kurang.
Setelah selesai, ia kembali ke situ. Ia mencium bau anyir. Dan
kesibukan. "Jadi ini bangunan apa?"
"TPI, Tempat Pelelangan Ikan."
"Sudah kuduga. Itu lapangan bola, ya?"
"Untuk pasar kalau pagi."
"O, begitu. Saya lapar. Di mana warung?"
Satpam menunjuk-nunjuk. Wasripin pergi ke warung. Sudah itu ia buruburu ke surau, sebab kantuknya datang. Ia menuju emperan surau, mencopot
sepatu kain putih yang sudah lusuh. Tidak ada barang bawaan, sehingga tidak
ada yang harus dijaganya. Ia tidur begitu saja.
Ia merasa tidur sangat nyenyak di emperan surau sampai Ashar, sampai
Maghrib, sampai Isya. Jamaah Isya berkerumun di sekitarnya. Penjaga TPI
datang, dan mengatakan bahwa namanya Wasripin dari Jakarta. Pak Modin dulu perangkat desa, tapi diberhentikan- merangkap imam surau berkata pada
jamaah. "Coba dibangunkan, suruh tidur di dalam."
Beberapa orang menggoyang-goyang. Tapi Wasripin diam saja,
mengikuti goyangan. Tidak terbangun. Orang pun gregetan, lalu menggulinggulingkannya, tidak terbangun. Akhirnya, orang pun membiarkannya tidur.
Lima orang yang bertugas ronda datang. Mereka mengamati Wasripin: orang
asing. Satu di antaranya pergi untuk melapor ke Kaur (Kepala) Keamanan, Kaur
Keamanan akan ke Koramil (Komando Rayon Militer, Tentara Kecamatan),
Koramil akan ke Kodim (Komando Distrik Militer, Tentara Kabupaten). Mereka
sudah dipesan untuk melaporkan setiap ada orang asing. Sehabis Subuh orang
mencoba membangunkannya kembali, tetapi tetap saja ia tidur. Sampai pagi,
TPI itu sibuk, sampai para juragan membawa pulang ikan-ikan untuk
dikeringkan atau dipindang, dan sebuah truk menjemput perolehan ikan siang
itu. Para nelayan yang pulang melaut dan selesai dengan TPI ikut berkerumun.
"Ini mati atau tidur. Kalau mati kok masih bernapas, kalau tidur kok tidak
bangun-bangun," kata mereka yang berkerumun. "Ini pasti cucu Kumbakarna."
Kumbakarna adalah adik Rahwana yang sepanjang hidupnya lebih suka tertidur,
barangkali sebagai protes atas kejahatan kakaknya.
"Ini hantu yang kamanungsan," "Ini orang sakti," "Ini petapa," "Ini
gelandangan yang lima hari tidak tidur," "Ini pencuri yang dikejar-kejar
orang." Bahwa ada orang asing bernama Wasripin tertidur di emperan surau
segera menyebar ke seluruh desa. Siang hari berikutnya, laki-laki, perempuan,
dan anak-anak dari seluruh desa datang. Nelayan yang tidak melaut memenuhi
emperan itu. Sopir tangki pemasok solar menonton. Bahkan, mereka yang tak
pernah ke surau datang menonton. Para pedagang meninggalkan dagangannya
dan menyempatkan diri ke surau. Lurah dan seluruh perangkat desa datang
menjenguk. Ketua Partai Randu datang. Dia berusaha membangunkan. Dia
sanggup membangun TPI, memberi listrik surau, dan berjanji akan mengaspal
jalan setelah pemilu. Tapi, dia tidak berhasil mengerjakan pekerjaan
sederhana itu: membangunkan Wasripin, betapa pun usahanya.
Lurah yang pernah jadi perawat di rumah sakit itu keluar nalurinya. Dia
memegang-megang tubuh Wasripin. "Masih bernapas, tapi badannya kok
dingin." Ia melambaikan tangan kepada seorang hansip. "Pergi ke puskesmas,
minta dokter datang," perintahnya. Sementara itu, orang membiarkan tubuh
Wasripin tergeletak di emperan, di bawah tatapan mata mereka yang
menonton. Dokter datang bersama seorang perawat. Ia memegang nadinya,
mengeluarkan alat dari tasnya. Melilitkan kain di lengan Wasripin dan
memasang stetoskop di telinga. "Ia hanya tidur, Pak. Lelap sekali, tidak
pingsan, tidak koma," katanya kepada Lurah.
Pak Modin berkata, "Pak dokter, gunakan segala cara. Saya yang
menanggung biayanya." "Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga bangun." Kemudian
dokter dan perawat pergi.
Hari ketiga Wasripin tertidur adalah Hari Pasar. Tidak tahu siapa yang
mengambil inisiatif, tetapi orang tahu bahwa siapa saja dipersilakan mengenali
asal-muasal Wasripin. Pada hari itu ada pasar hewan, maka para belantik
menalikan hewannya, lalu ke emperan surau. Orang-orang itu hanya
menggeleng, padahal mereka juga banyak yang datang dari jauh. Hari itu juga
dua orang tentara dari Kodim datang. Mereka diantar Lurah dan Kaur
Keamanan. Mengamati pakaian Wasripin, mereka menyimpulkan bahwa
mereka berhadapan dengan gelandangan. Dua orang tentara itu lalu
menggeledah saku-saku Wasripin. Di saku baju ditemukan fotokopi ijazah yang
terlipat-lipat dan lusuh: ijazah SD. Selain itu tidak ada apa pun: tidak KTP,
tidak SIM. "Orang ini mencurigakan, akan kami bawa ke Kodim," kata salah
satunya kepada Lurah. Pak Modin yang selalu menjaganya menyela, "Jangan,
Bapak-bapak. Saya menjamin dia orang baik-baik." "Ini siapa, Pak?" tanyanya
kepada Lurah. Dijawab bahwa dia adalah Pak Modin. Seorang tentara
mencatat-catat, lalu berpesan, "Surau ini sudah lampu kuning. Hati-hati saja
kalau tidak mau hhh." Tentara itu menyilangkan telapak tangannya ke leher.
Kemudian mereka pergi. "Pak Modin dengar sendiri," kata Lurah. "Saya tidak
mengharap kejadian yang buruk-buruk di wilayah saya."
Siang hari Wasripin bangun, terduduk, heran mengapa ia dikelilingi
begitu banyak orang. Ia mengucek-ucek matanya. Mereka yang berkerumun
minggir. Satinah dengan gelung, bunga kantil di rambut, kain batik kebaya
merah, dan selendang ada di tengah kerumunan itu. Ia merangsek ke depan
untuk menyaksikan apa-siapa orang yang tadi tidur itu. Ia berkata, "Tidur saja
kok pakai parfum. Ini mesti minyak wangi yang baik. Baunya lembut." Orangorang lain juga cengar-cengir mencari asal bau itu. Melihat Satinah, orang
mengira bau itu mesti berasal dari perempuan penyanyi itu. Wasripin menoleh
ke kanan dan ke kiri, terheran-heran.
"Saya di mana?" tanyanya.
"Di surau," jawab orang banyak.
"Surau di mana?"
Orang menyebut nama desa itu.
"Desa itu di mana?"
Orang menyebut tempat. Pak Modin yang rumahnya dekat surau datang, membawa semangkuk
bubur dan segelas air teh manis.
"Minum dulu, Nak. Lalu makan yang halus-halus."
"Engkau siapa, Pak?"
"Saya imam surau."
Wasripin mendongak. Belum pernah ia mendengar kata-kata sehalus itu,
bahkan dari para perempuan yang minta tenaganya. Ah, tidak. Ia ingin
melupakan mereka, emak angkatnya, kampungnya, sungainya, Jakarta, dan
seluruh hidupnya. Ia menerima uluran tangan Pak Modin dan mengucapkan
terima kasih. Ia menghabiskan semuanya dengan lahap. Dengan mangkuk dan
gelas di tangan, dia mencari-cari sepatunya yang terinjak orang banyak.
"Ke mana, Nak?"
"Mencuci gelas dan mangkuk." Mencuci piring-piring dan gelas adalah
keharusan. (Kata emak angkatnya, "Hanya kucing yang tidak pernah
mencuci.") "Tidak perlu," Pak Modin mengulurkan tangan.
Mata Wasripin melihat-lihat sekeliling. Ia terheran-heran.
"Lho! Di mana orang tua itu?"
"Engkau pasti bermimpi, Nak. Engkau tidur tiga hari. Tidak ada orang
tua," kata Pak Modin.
"Tidak. Mungkin. Tidak. Mungkin. Berambut putih?"
"Tidak ada. Sudahlah."
"Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih. Orang itu keburu
pergi." "Jangan khawatir apa-apa. Saya punya firasat kau bermaksud baik. Di
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sisi surau ada kamar, kau bisa tinggal di sana. Syaratnya, kau bersihkan surau.
Sumur sudah ada listrik, jadi tinggal menekan tombol. Tidak usah repotrepot."
"Tidak, Pak. Saya tidak berhak tinggal di surau."
"Surau adalah rumah Tuhan, rumah siapa saja."
"Tetapi saya tak bisa sembahyang, Pak."
"Itu mudah, nanti saya ajari."
"Jangan, Pak. Nanti mengotori surau. Saya tidur di TPI saja."
Wasripin heran. Ia tidak mengira akan diterima begitu baik. Ia sudah
siap untuk tidur di mana saja. Ia punya banyak teman main yang biasa tidur di
emperan toko, di bawah jembatan. Tidur di emperan surau tidak pernah
terlintas di benaknya. Setelah teringat tujuannya ia berkata:
"Apa Bapak kenal ibuku?"
"Siapa nama ibumu?"
Wasripin baru sadar bahwa ia tidak mengerti nama ibunya. Ia
menggelengkan kepala. "Ah, nanti juga kau ingat," kata Pak Modin.
"Ya, ya. Terima kasih." Ia bahkan sebenarnya tak ada ingatan sama
sekali tentang ibunya. "Sekarang kutunjukkan tempatmu. Ikutlah."
Pak Modin akan berjalan ke sisi surau.
"Tidak usah, Pak. Ke situ saja," Wasripin menunjuk TPI, menunjuk
pasar. "Lho, ke mana?"
"Cuma ingin jalan-jalan dulu."
Ia mencari sepatu kainnya, ngeloyor ke TPI. TPI masih sepi. Lalu jalan
ke pasar. 5 Mereka yang berkerumun bubar. Mereka kembali ke tenda-tenda.
Satinah kembali ke pamannya. "Kasihan dia, Lik," katanya kepada paman yang
buta bersarung, bersurjan, berikat kepala dengan bundar-bundar di belakang.
Lalu ia menuntun pemain saron dengan siter (kecapi), seruling, dan bungkusan
besr berisi pengeras suara ke penjual soto. Mereka duduk di atas bangku. Di
bawah tatapan mata orang pasar, Wasripin jalan-jalan. Wasripin lapar bukan
main. Ia melihat penjual soto, lalu ikut duduk di atas bangku.
"Namamu pasti Wasripin."
"Kok tahu?" "Diam-diam kau terkenal di sini."
"Terkenal?" "Iya. Kau pasti orang Jakarta. Pakaianmu, bahasamu, dan seluruh
gayamu." "Kok tahu?" "Seseorang dari desaku yang kembali dari Jakarta juga berpakaian,
berbahasa, dan gaya seperti itu."
"Kau kok jeli."
"Jenat ibu saya bilang bahwa perempuan harus jeli supaya tidak ditipu
laki-laki, dan supaya telaten dalam bekerja. O, ya. Kenalkan saya Satinah. Ini
paman saya." Wasripin bersalaman dengan dua orang itu. Paman memegang
tangan Wasripin lama. "Mataku buta, Nak. Tapi, aku bisa melihat tanda-tanda itu."
"Terima kasih," kata Wasripin tanpa tahu apa sebenarnya yang
dimaksudkannya. "Apa kerjamu di sini?" tanya Satinah.
"Mencari desa ibuku."
"Sudah ketemu belum?"
"Sudah." "Apa pekerjaanmu?"
"Penjual ketoprak. Dan engkau?"
"Di sini aku penyanyi. Paman ini main siter."
"Pantas." "Kenapa?" "Ah, tak apa." "Sudah punya istri?"
"Belum." "Pantas." "Kenapa?" "Ah, tak apa." Keduanya tertawa. "Suka pakai parfum, kayak perempuan."
"Sumpah, seseorang telah menuangkan parfum."
"Tidak percaya. Memang kenes, mbok diakui saja."
"Sumpah, kok." "Kenes ya boleh. Asal jangan kayak perempuan."
Wasripin ingat kata-kata emak angkatnya setiap kali ada perempuan
pakai kebaya berkain batik, "Itu lho, Pin. Yang namanya wanita cantik." Di
Jakarta hanya pada Hari Kartini ditemukan gadis-gadis demikian dekat
sekolahan. Dan, sekarang Satinah berdandan seperti itu.
Lapangan itu sudah berubah jadi pasar. Para pedagang memasang
tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar. Orang dari desa-desa
sekitar datang. Mereka menawar dengan suara keras, berlomba dengan orang
lain, dan dengan mobil van yang menawarkan jamu dengan pengeras suara yang
lantang. Petugas dari kecamatan dengan tas di pinggang mendekati para
pedagang dan menarik pajak. Hari ini bukan hari pasar biasa, tapi Hari Pasar.
Itulah sebabnya Satinah dan pamannya datang. Pasar akan segera selesai.
Ada pasar hewan di sebelah selatan. Di situ dipasang pipa-pipa besi
untuk menambatkan sapi dan kerbau. Hewan-hewan itu diangkut dengan truktruk yang berhenti di pangkalan. Belantiknya sudah kembali ke pasar setelah
mencoba mengamati Wasripin yang tidak mereka kenal. Para sopir dan kernet
makan di sebuah warung dengan menaikkan kaki sebelah ke atas bangku. Sapi
melenguh, kambing mengembik. Orang tawar-menawar dagangan. Mereka
yang sudah membeli menaikkan binatangnya ke atas truk. Suara-suara truk,
colt, dan pickup bersahutan.
Pemandangan itu sangat asing bagi Wasripin. Semua baru baginya: TPI,
teluk, muara sungai, perahu-perahu, pasar, dan orang-orang. Dia ingin
menikmati kebebasan dari kota yang telah mengungkungnya selama ini. Pasti
di sinilah ibuku dibesarkan sebelum pergi ke Jakarta, pikirnya. Dia menyesali
ibunya. Kalau saja ibunya tidak pergi dari situ, pasti dia tidak harus kenal
dengan emak angkatnya, dengan Bu Mijah, dengan Yu Tumiyem, dengan
perempuan-perempuan lain. Ia akan dibesarkan oleh ayah dan ibunya. Tapi,
itu hanya andaikata. Ia juga belajar untuk menerima nasib. "Nasibmu ialah
jalan hidupmu. Jangan ditolak, jangan disesali, jangan dimaki. Terima
sajalah. Hidup ini seperti banjir Sungai Ciliwung. Kita hanyut. Usaha kita
ialah agar supaya tidak tenggelam. Itu saja," kata emak angkatnya suatu kali,
ketika ia tampak berkeringat mendorong-dorong dagangan dan berusaha
menghapus keringatnya. Wasripin berjongkok melingkar bersama orang-orang lain di bawah pohon
munggur yang rindang. Ada pedagang, nelayan, dan anak-anak. Di tengah
mereka ada Satinah, pamannya, dan pengeras suara. Paman bermain siter,
kemudian seruling. Satinah yang memegang gagang pengeras suara mengajak
mereka menyanyikan lagu pembukaan yang biasa, sambil bertepuk tangan. Dia
belajar mengajak menyanyi bersama sebagaimana seorang seorang penyanyi
dangdut yang pernah ditontonnya. Berulang-ulang. Pamannya mengikuti.
Kadang-kadang mereka yang berjongkok berdiri, manggut-manggut, menarinari mengikuti irama.
Teman-teman, mari kita nyanyi sama-sama!
Bernyanyi bersama, sepertinya mereka sudah hafal.
Mari kita bergembira Bergembira bersama Jangan ada yang susah Susah itu bikin kepala pecah
"ih-hu!" Rujak tela Rujake wong ati lega (Rujak ketela Rujak orang berhati lapang)
Ngalam donya warna-warna kahanane, ya kangmas
Mula aja tansah digagas wae, ya mbakyu
(Dunia ini macam-macam keadaannya, ya mas
Karena itu, jangan selalu dipikirkan, ya yu)
"Ih-hu!" Rujak cingur Rujake wong ati jujur (Rujak cingur Rujak orang berhati jujur)
Rujak uyah Rujake wong ati susah (Rujak garam Rujak orang berhati susah)
"Ih-hu!" Ngalam donya warna-warna kahanane, ya bapak
Mula aja tansah dipikirke, ya sibu
(Dunia itu macam-macam keadaannya, ya bapak
Karena itu, jangan dipikir panjang, ya ibu)
Sapi perah berbaju lurik Yang baju merah jangan dilirik
"Ih-hu!" "Tenan, pa?" penonton.
(Apa sungguh") "Tenan wae!" Satinah.
"Siapa yang punya?" penonton.
"Paman!" Satinah.
"Jangan gitu lho, nanti tak laku!"
"Laku saja!" ?"?"?"?"
Jenang sela wader kalen sesonderan
Apuranta yen wonten lepat kawula
(Jenang batu ikan sungai pakai sleyer
Minta maaf kalau ada kesalahan saya)
Semua bertepuk tangan di akhir setiap dua lagu sambil berih-hu. Mereka
seperti ingin menghibur diri sendiri. Kebanyakan lelaki dan anak-anak sekolah
yang sengaja dolan ke pasar. Wasripin belum pernah mendengar suara sebagus
itu kecuali di televisi. Suaranya keras tanpa menegangkan urat leher. Setelah
selesai Satinah mengedarkan besek. Orang-orang menjatuhkan uang di besek.
Ketika tiba gilirannya menjatuhkan uang, Wasripin merogoh saku celananya
dalam-dalam. Semua uangnya dijatuhkan. "Terima kasih," kata Satinah pelan,
seperti takut didengar orang lain. Ketika Satinah menyanyi lagi, tahulah dia
bahwa kemudian besek akan diedarkan lagi padahal uangnya sudah habis.
Pelan-pelan dia mundur dari lingkaran.
6 Orang-orang di surau kehilangan Wasripin. Pak Modin yang memimpin
shalat menanti-nantinya. Para nelayan merasa ada sesuatu yang hilang.
Wasripin yang tidur di emperan surau itu ternyata telah menjadi bagian dari
mereka. Di surau mereka masih berkumpul lama setelah shalat selesai. Entah
siapa mulai pembicaraan: "Ia bilang orang tua berambut putih."
"Jangan-jangan jin penunggu surau."
"Jangan-jangan jin laut."
"Jangan-jangan Nabi Hidhir."
"Ya, jangan-jangan Sang Nabi."
"Pasti. Baunya harum!"
"Kalau begitu, akhirnya Dia mengabulkan doa kita."
"Tak sudi lagi ada yang sewenang-wenang!"
"Tak sudi lagi dipaksa-paksa!"
"Kita perlu pemimpin!"
"Yang muda!" "Pemberani!" Kesimpulan bahwa Nabi Hidhir sudah datng itu disetujui oleh orang
banyak. Para nelayan lalu pulang. Sebentar saja kembali. Ada yang membawa
sarung, ada yang membawa baju, ada yang membawa celana kolor, ada yang
membawa peci. Mereka juga membawa nasi, lauk-pauk, dan termos teh.
Barang-barang itu menumpuk di emperan surau."
DUA 1 Sudah beberapa hari Wasripin tak melihat sungai. Mandi di kamar mandi
surau tidak memuaskannya. Ia sediri tak tahu berapa lama ia tidur. Karena
itu, setelah bertanya soal lokasi sungai, ia ingin segera sampai ke sana.
Keinginan itu melupakan janjinya kepada Pak Modin untuk segera kembali
setelah jalan-jalan. Sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara di teluk,
dan mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di
teluk TPI. Sungai itu di sebelah sana masih bening, tidak asin, jauh dari pantai.
"Ibumu bercerita bahwa di sungai desanya engkau dapat mengaca. Airnya
sejernih siang hari," cerita emak angkatnya, "di pinggirnya ada rumputan, ada
gerumbul, ada pasir." Inilah pasti sungai yang dimaksud ibuku, pikirnya.
Memang, ada bedanya dengan sungai yang ia akrabi selama ini. Di Jakarta
sungai berwarna coklat, sampah plastik, daun-daun, dan tepinya penuh rumah.
Seperti rumahnya, seperti kampungnya. Di sini ia akan mandi dan mencuci
pakaiannya. Maka ia melepas pakaian, mencuci, memerasnya kuat-kuat supaya
cepat kering. Pada waktu mencuci itulah disadarinya bahwa seseorang telah
menuangkan parfum ke bajunya dan ke badannya. Sesudah dicuci, dijemurnya
pakaiannya di panas Matahari, di rumputan pinggiran sungai. Dan ia kembali ke
air. Untuk urusan cuci-mencuci itu emak angkatnya punya sumur. Demikian
juga untuk mandi. Ketika masih kecil, emak angkatnya selalu memandikannya
kembali di sumur setelah ia kecibar-kecibur di sungai. Sekarang dia harus
berendam di air sampai cuciannya kering. Bisa juga ia duduk-duduk di tepian
karena siang-siang begitu tidak ada seorang pun di sungai.
Ia sedang duduk-duduk di tepian sungai ketika didengarnya ada sepeda
motor datang. Cepat-cepat ia kembali ke air, menjauh dari arah suara datang.
Satinah memboncengkan pamannya. Paman dan keponakan itu berhenti.
Seperti selalu demikian, paman itu mencopot pakaiannya dan masuk ke air.
Biasanya ia mandi lalu tertidur di bawah pohon. Satinah bergerak menjauh dari
pamannya. Ketika ia sedang mencuci muka dilihatnya pakaian laki-laki di dekat
gerumbul. Dari warna dan potongannya ia yakin pakaian itu milik Wasripin,
seperti dipakainya waktu jajan soto. Ia ingin bermain-main seperti waktu kecil
saat terang bulan di desa: Joko Tarub-Nawang Wulan. Ia mencari sebatang
tumbuhan perdu kering, ditariknya pakaian itu, dan dipindahkannya ke tempat
lain. Kemudian ia terlelap sebentar.
Ketika Satinah terbangun dilihatnya pakaian itu masih terjemur.
Dilihatnya dari balik gerumbul Wasripin melihat ke kanan-ke kiri mencari satusatunya pakaian miliknya. Ia naik-turun tepi sungai, tidak juga ketemu. Ia
menggaruk-garuk kepala, lalu kembali ke air. Ia memutuskan akan menanti
samai gelap kemudian berlari seperti orang gila ke surau atau TPI.
Pada waktu itu Satinah cekikikan sendiri. Ia punya ide bagus, bermain
Joko Tarub-Nawang Wulan dan Wasripin adalah Joko Tarub. Mestinya Satinah
yang ada di dalam air. Kebalik tak apa, pikirnya.
"Eh, Joko Tarub. Apa janjimu kalau ada orang memberikan pakaian?"
kata Satinah dari gerumbul.
Wasripin yang berendam di air sungai diam, tidak tahu harus berkata
apa. Ia mengusap-usap matanya. Satinah muncul dari gerumbul. Ia berkacak
pinggang. "Ya, akulah Nawang Wulan."
"Lho, ini kan Satinah."
"Bukan. Akulah Nawang Wulan."
"Satinah!" Wasripin berpikir, Satinah mungkin telah gila.
"Wo, kau ini bagaimana!"
"Ini apa?" "Ini permainan. Namanya Joko Tarub-Nawang Wulan. Wah, orang kota
yang picik." Ia ingat, emak angkatnya memang pernah bercerita tentang Joko Tarub
dan Nawang Wulan waktu dia kecil. "Ada tujuh bidadari sedang mandi di
sendang, yang tercantik namanya Nawang Wulan. Joko Tarub yang mengintip
ingin memperistri bidadari tercantik itu. Maka ia pun menyembunyikan
pakaiannya. Ketika selesai mandi, bidadari lain mencari pakaian masingmasing dan terbang. Tinggallah Nawang Wulan yang kehilangan pakaian, dan
tak dapat terbang. Maka ia bersumpah bahwa siapa saja yang dapat
menemukan pakaiannya kalau perempuan akan dijadikannya saudara, kalau
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laki-laki akan dijadikannya suami. Pada waktu itu muncullah Joko Tarub."
Waktu itu dia berpikir bahwa laki-laki desa itu amat beruntung. Dan pernah
terbersit dalam pikirannya untuk jadi Joko Tarub.
"Ini hanya permainan, to?"
"Iya. Kaukira sungguhan?"
"Kok tidak bilang-bilang. Ya sudah. Mana pakaianku?"
"Janji dulu. Kalau laki-laki akan saya jadikan saudara dekat, kalau
perempuan akan saya jadikan istri."
"Ya, janji." "Harus diucapkan!"
"Bagaimana tadi?"
"Kalau perempuan akan saya jadikan istri."
"Ya. Kalau perempuan akan saya jadikan istri."
"Nah, begitu." Satinah mengambil baju itu. Dan menaruhnya di tempat semula. "Ini!
Belum begitu kering, tapi boleh dipakai," katanya.
Setelah Wasripin mengenakan pakaian, mereka menuju ke bawah pohon.
Terdengar napas paman yang berat.
"Janji tadi hanya main-main. Sekarang kucabut."
"Tidak bisa. Janji tetap janji."
"Lho! Katanya permainan."
"Ya, permainan, tapi","
"Tapi jangan. Joko Tarub sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak
kawin." "Lho! Kok sama. Nawang Wulan dulu juga pernah berjanji begitu. Kata
orang, kereta api saja tidak malu untuk mundu, apalagi orang."
"Jangan. Jangan, Joko Tarub sungguh-sungguh."
"Kenapa?" "Joko Tarub yang ini orang paling kotor di dunia."
"Ya, kenapa?" Lalu Wasripin bercerita tentang masa kecilnya, emak angkatnya,
penyekat, dan para perempuan yang membutuhkan tenaganya. Ia merasa lega,
beban berat jatuh dari pundaknya. "Orang tua itu meminta supaya saya
memaafkan mereka dan berdoa supaya mereka dan saya sendiri dapat ampunan
Tuhan. Dendam adalah beban," ia menutup kisahnya.
"Paman juga sering berkata semoga Tuhan mengampuninya. Kau tahu
tentang Tuhan?" "Orang tua itu mengajar saya."
"Orang tua yang mana?"
"Entahlah." "Apa Joko Tarub ingin dengar cerita Nawang Wulan?"
"Ya, kalau boleh."
"Pokoknya ya hampir sama. Tapi lain kali saja."
"Ini tidak adil. Saya sudah bercerita, dan kau belum."
"Ya, ya. Aku tahu, tapi saya harus membangunkan paman, dan pulang.
Pokoknya mirip." "Mirip bagaimana?"
"Ya, pokoknya mirip."
"Aku jijik dengan diriku sendiri."
"Ya, jangan begitu."
"Apa pernah punya perasaan seperti itu?"
"Ya, pernah." "Malam itu aku melihat jembatan, ingin mencebur sungai. Melihat
pohon tinggi, ingin memanjat kemudian terjun. Melihat kereta api, ingin
menabrakkan diri." "Kalau jadi, Nawang Wulan tak ketemu Joko Tarub."
"Tapi aku takut, aku pengecut."
Satinah membangunkan pamannya. Paman bangun dan mukanya ke arah
Wasripin. Paman menyapanya.
"Hati-hati, Nak. Kau akan dapat banyak godaan dan fitnah!"
"Sudah, ya Joko."
Untuk yang terakhir kali Satinah menoleh.
"Lain kali jangan semua uang dijatuhkan di besek, kalau uangnya habis
bagaimana?" Apa Satinah tahu, pikir Wasripin. Paman dan keponakan itu
meninggalkan Wasripin sendirian.
"Saya melihat tanda-tanda di tubuhnya, Nah," kata paman. "Cahaya
itu, lho." "Ah, jangan aneh-aneh, Pak Lik."
"Kalau jatuh cinta bilang, lho."
Wasripin memandang lama arah Satinah pergi. Ia lega telah
menceritakan riwayatnya. Dan ternyata perempuan itu telah masuk dalam-dalam ke dalam
hidupnya. Dengan pikiran pada Satinah ia berjalan pulang di bawah terik
Matahari. Ia tidak tahu mengapa keburu menceritakan rahasia dirinya kepada
Satinah, yang baru saja ia kenal. Padahal ia pernah berjanji pada diri sendiri
untuk menyimpan rahasia hidupnya, dan melupakannya. Di jalan ia teringat
emak angkatnya. Bagaimana bisa dia juga punya pengalaman tentang
permainan Joko Tarub-Nawang Wulan yang sama dengan Satinah" Apakah
mereka sedaerah" Ia berharap bisa mempertemukan Satinah dan pamannya
dengan emak angkatnya. Entah kapan. Jatuh cintakah ia"
2 KABAR bahwa Wasripin telah kedatangan Nabi Hidhir itu menular pada
semua orang. Begitu cepat, sehingga bukan saja para nelayan tapi juga aparat
dan partai-partai. Partai Randu dengar, Partai Langit dengar. Mereka masingmasing mengadakan rapat kilat. Wasripin akan sangat menguntungkan bagi
kemenangan partai mereka di perkampungan nelayan itu dalam pemilu yang
sudah di ambang pintu. Dan mereka tidak mau kehilangan momentum,
mumpung masih hangat beritanya. Partai Randu memutuskan untuk memberi
jabatan koordinator pemenangan pemilu bagi Wasripin. Partai Langit
memutuskan untuk mengangkatnya jadi salah satu ketua. Aparat desa juga
cepat-cepat mengadakan pertemuan untuk mengangkat Wasripin sebagai
komandan hansip. Juragan perahu ingin agar dia jadi pengawas armada
perahunya. Ada juragan lain yang ingin memberinya pekerjaan sekadar untuk
jimat. Orang-orang tua yang punya anak gadis berpikir untuk menjodohkan
Wasripin dengan anaknya. Pak Modin alias imam surau berpikir untuk mundur
sebagai imam surau. Kepala TPI ingin dia jadi satpam di TPI. Para nelayan
berharap bisa melaut bersama Wasripin.
Maka, sesampai di surau Wasripin terkejut. Banyak orang berkumpul di
sana. Ia tidak tahu bahwa orang-orang telah menantinya. Tiba di pelataran
surau, beberapa orang menyambutnya. Mereka memapahnya dan
mendudukkannya di emperan. Wasripin terheran-heran, ia kebingungan,
menoleh ke kanan dan ke kiri. Dilihatnya Pak Modin.
"Apa yang terjadi, Pak?"
"Begitulah. Engkau dapat tempat mulia di sini."
"Terima kasih, tapi "."
"Terima saja." "Jangan! Jangan, aku tak mau!"
Wasripin mencoba lari. Tapi beberapa laki-laki menangkapnya. Terjadi
tarik-menarik. Tentu saja Wasripin kalah. Ia duduk pasrah di emperan surau.
Pak Modin mendekatinya. "Mereka semua punya tawaran bagus," katanya.
Seperti sudah selayaknya mewakili aparat desa lurah mendekat.
"Kau akan kami jadikan Komandan hansip."
Lagi Wasripin berbisik-bisik kepada Pak Modin.
"Komandan hansip itu sama dengan Kaur Keamanan."
Kaur Keamanan yang ikut bersama rombongan aparat kaget. Tiba-tiba
saja kedudukannya akan dilindas.
"Ya tidak begitu, to Pak. Tapi di bawahnya sedikit," katanya.
"Bagaimana" Setuju?" tanya lurah.
"Tidak, Pak." Ketua Partai Randu mendekat.
"Wasripin, jangan ditolak kesempatan yang bagus ini. Kau akan kami
jadikan koordinator pemenangan pemilu Partai Randu. Kalau menang, kau
dapat naik ke tingkat kecamatan. Dari kecamatan dapat meningkat ke
kabupaten. Dari kabupaten ke tingkat provinsi. Dari provinsi ke tingkat pusat.
Di pusat dunia terbuka: menteri, ketua DPR/MPR, gubernur, bupati. Tinggal
pilih." Wasripin melongo, tidak paham.
"Apa artinya, Pak?" tanyanya kepada Pak Modin.
"Ya, seperti yang dikatakannya."
"Tapi aku tak ngerti kata-katanya."
"Semua pada mulanya juga tak ngerti," kata Ketua Partai Randu.
"Itulah sebabnya ada sekolah, ada kursus, ada seminar, ada training.
Bagaimana?" Wasripin menggeleng, lebih karena tidak mengerti.
"Ya sudah kalau tak mau maju. Kami takkan memaksakan kehendak.
Itulah inti demokrasi. Tapi jangan golput!"
Ketua Partai Langit maju.
"Bagaimana kalau Wakil Ketua Partai Langit?"
Lagi-lagi Wasripin bisik-bisik kepada Pak Modin menanyakan apa artinya
salah satu Ketua Partai Langit.
"Jangan, Pak. Jabatan itu terlalu tinggi."
Sementara itu terjadi ribut-ribut di depan surau. Satinah dengan
bungkusan berisi sarung dan baju sedang berusaha menerobos orang-orang yang
berkumpul. Beberapa hansip, Satgas Partai Randu, dan Satgas Partai Langit
menghadangnya. "Saya pingin ketemu Wasripin," kata Satinah.
"Tidak bisa. Sedang ada urusan serius," kata seorang yang
menghadangnya. "Hanya sebentar, Pak."
"Berikan saja bungkusan itu kepada kami, kami nanti akan
memberikannya." "Tidak bisa, tidak bisa."
Satinah berusaha menerobos lagi, tapi orang-orang itu sudah membentuk
barikade. Jadi ia tak bisa apa-apa. Ia meronta-ronta dalam pegangan para
satgas. Dari emperan surau Wasripin melihat ada perempuan meronta-ronta.
Pelataran surau penuh dengan orang. Tapi, setelah diamatinya, ia tahu
perempuan itu Satinah. Spontan ia berteriak, "Lepaskan!" Di luar dugaannya
suaranya menggema keras bagi yang berusaha menghalangi Satinah. Mereka
mendengar gema itu sepertinya dari langit, "Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan!"
Para Satgas melepas Satinah ketika mendengar perintah itu. Ketika Satgas lagi
tertegun mendengar suara itu, Wasripin lari ke arah Satinah. Mereka bertemu.
"Ini!" kata Satinah sambil melempar bungkusan itu.
"Ini apa?" "Pakailah! Ada uang di dalamnya."
Satinah pergi dan menghilang bersama motornya, sedangkan Wasripin
memegangi bungkusan, tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Sementara itu para nelayan yang khawatir ia kabur mengelilinginya.
"Bapak-bapak sudah waktunya shalat ashar. Bagaimana kalau
pertemuan ditutup?" kata Pak Modin.
3 "WASRIPIN, saya tunjukkan kamarmu yang baru." Pak Modin mulai
melangkah. "Tolong, bawakan barang-barang ini ke kamar," pinta Pak Modin
kepada seorang nelayan remaja.
Ketika Wasripin dan Pak Modin sampai di kamar, seseorang sedang
mengecat tembok yang lantas mau pergi saat melihat keduanya masuk.
"Ee, jangan pergi dulu. Kenalkan, ini Wasripin. Lanjutkan pekerjaan
nanti sore, setelah Pak Wasripin istirahat."
"Ngk-ngk-ngk-ngk," ia menunjukkan tangannya yang kotor, lalu pergi.
"Sejak tertabrak motor, ia jadi bisu begini. Ia kami serahi mengisi air
kamar mandi, tempat wudhu, dan membersihkan surau."
"Itu nanti tugas saya juga."
"Tidak. Akan kami serahkan orang lain."
"Tidak, Pak. Saya tinggal di sini, karena itulah saya yang bertugas."
Orang yang membawa barang-barang meletakkannya di meja.
Di kamar Wasripin sudah tersedia nasi, ikan asin, sayur bening, dan poci
teh. Sambil menunjuk barang-barang dan makanan itu, kata Waripin,
"Apa sebenarnya yang terjadi, Pak?"
"Ya, seperti yang kau lihat."
"Tapi segalanya membingungkan. Katanya aku dimuliakan, kok Satinah
mau ketemu saja tak boleh?"
"Kita sama. Aku juga bingung, Nak. Sudah, sehabis shalat ada
pertemuan lagi. Sampai nanti."
4 SETIBA di rumah sewa, Satinah langsung ke kamar tidur dan
sesenggukan. Pamannya yang baru pertama kali mendengar Satinah menangis,
segera ke kamar. "Ada apa?" "Orang-orang berseragam itu."
"Siapa?" "Kata mereka aku tak boleh ketemu Wasripin."
"Akhirnya kau ketemu juga?"
"Ya. Tapi susahnya melebihi ketemu Pak Bupati saja."
"Mereka pasti hanya menjalankan perintah."
"Wasripin sudah berubah, Pak Lik. Dia bukan orang kecil seperti kita
lagi." "Aku tidak mengerti. Tapi kita harus berbahagia bersama kebahagiaan
orang lain." "Tidak. Aku benci. Aku benci. Takkan lagi ke pasar itu."
"Begitu juga boleh."
Paman lalu keluar. Dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi.
5 WASRIPIN masih terheran-heran dengan apa yang terjadi. Di Jakarta ia
menjadi sampah, di sini orang menghargainya. Pernah dia dan emak angkatnya
berlari-lari sambil mendorong dagangan hanya untuk menghindari petugas
ketertiban. Di sini, lurah, Partai Randu, dan Partai Langit malah melamarnya
untuk memberi pekerjaan. Benar kata emak angkatnya, "hidup itu berputar,
sekali engkau boleh di bawah, tapi percayalah suatu kali engkau akan naik".
Tahu-tahu Pak Modin sudah menjemputnya. Sore hari itu dia duduk lagi di
emperan surau. "Bagaimana kalau jadi satpam di TPI?" tanya kepala TPI.
"Bagaimana kalau bekerja denganku" Kerjamu ialah mengawal sopir
mengirim pindang ke Bandung," tanya seorang juragan pindang.
"Bagaimana kalau melaut dengan perahu saya?"
Tawaran-tawaran kerja itu tak dimengertinya, kecuali jadi satpam. Di
Jakarta pernah dia melamar jadi satpam, tapi emak angkatnya keberatan,
"Ibumu ini sudah tua. Engkau akan jadi penjual ketoprak tak perlu kerja yang
lain." Cita-citanya tertinggi waktu kecil sebenarnya ialah jadi tentara atau
polisi. Seragam dan pistol mereka menjadikan dia kagum. Tapi kawankawannya menakut-nakuti. "Ya, betul jadi tentara. Tapi kau takkan pegang
bedil atau pistol. Peganganmu ialah piring, cangkir, dan baki. Senjatamu
adalah pisau dan kompor. Alias tobang." Cita-citanya agak turun sedikit: ia
ingin jadi satpam. Toh masih juga pakai seragam, topi, selempang benang
dipilin, pluit, dan pentung. Dan sekarang ada yang menawarinya kerja sebagai
satpam, maka seperti kata pepatah "pucuk dicita, ulam tiba". Ia pun
menerima tawaran untuk jadi satpam.
"Pilih yang mana?" tanya Pak Modin.
"Saya jadi satpam saja," katanya.
Ada gumaman panjang. "Kalau begitu besok siang datanglah ke kantor," kata Kepala TPI.
Wasripin sedang mencium-cium bungkusan yang diberikan Satinah,
ketika Pak Modin mengunjunginya. Dia berniat mengajari Wasripin mengaji.
Dibawanya Al Quran Juz 30. Dibukanya halaman-halaman depan.
Tirukan, "Alif, ba, ta."
"Tsa, jim, ha, kha, ?"
"Lho! Kok sudah tahu?"
"Ya, orang tua itu yang mengajari."
"Sampai mana" Coba baca ini."
Modin membuka sembarang halaman, "Coba baca!"
Wasripin membaca, "Ini namanya sudah bisa."
"Apakah orang tua itu juga mengajarimu menghapal?"
"Apa yang harus dihapal?"
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, sudah. Besok sore kau belajar menghapal. Sekarang istirahatlah.
Quran ini saya tinggal."
6 PAGI hari tukang cat tembok datang lagi. Ada dorongan pada Wasripin
untuk memijat-mijat, "Coba ke sini." Tukang cat mendekat. Wasripin
memijat leher, kepala, dan semua badan bagian atas. Ia hanya mencoba-coba
memijat. Ia heran tangannya seperti bergerak sendiri. Ia sendiri tidak yakin
dengan pijatannya. Setelah selesai ia bertanya, "Apa cita-citamu kalau
sembuh?" "Saya ingin jadi penjaga toko."
Dia tidak sadar telah bicara biasa. Ia memang pernah melamar jadi
penjaga toko. Tapi dengan menyesal pemilik toko menjelaskan bahwa pembeli
adalah raja. Maka, penjaga toko harus ramah-tamah, jadi pelayan, murah
senyum, dan pandai bicara. Pemilik toko menyarankan untuk pijat dan berjanji
akan mengangkatnya begitu ia sembuh. Ia berusaha pijat ke ahli urat, tak
kunjung sembuh. "Dengar, sekarang kau bisa bicara."
Tukang cat heran, Wasripin terkejut.
"Lho! Saya bisa bicara! Aku bisa omong!"
Ia lari keluar. Berteriak sambil berlari-lari, "Aku bisa bicara! Aku bisa
bicara!" Para pedagang satu per satu didatanginya hanya untuk mengatakan
bahwa dia bisa bicara. Selama ini para pedaganglah yang memberinya
pekerjaan, mengangkat-angkat dagangan. Mereka keheranan, ini keajaiban. Ia
mengambil sepeda dan pergi.
Wasripin melanjutkan mengecat. Tempat tinggal seperti itu adalah
kemewahan baginya. WC dan kamar mandi dari tegel, listrik tinggal menekan
tombol, air sumur dengan pompa listrik. Setelah itu ia pergi ke kantor TPI. Dia
sudah membayangkan sepatu boot, topi, seragam, sabuk besar, selempang, dan
peluit. Kabarnya, satpam juga dilatih baris-berbaris, bela diri, dan menembak.
Karena itu, dengan senang dia menemui kepala TPI.
"Tugasmu ialah kerja delapan jam sehari. Waktunya digilir dengan
teman-teman yang lain. Tugasmu hanya, sekali lagi hanya, menjaga TPI, tidak
yang lain. Sebab, uang retribusi pasar juga disimpan di sini."
"Ya, Pak. Boleh saya jujur?"
"Apa?" "Saya akan berhenti jadi satpam kalau saya kawin. Saya akan berjualan
ketoprak." "Itu soal nanti. Sekarang kau bisa memesan seragam ke alamat ini.
Pergi ke alamat ini untuk membuat pas foto."
Wasripin keluar dari TPI.
Orang-orang di pasar berbisik-bisik, "Inilah Wasripin. Kata orang, dialah
pemimpin kita yang baru." Wasripin mendengar rasan-rasan pedagang. Dia
menjadi pemimpin" Pemimpin apa" Dengan teka-teki itu ia pergi ke penjahit.
Di TPI ada sembilan orang yang intin ketemu dengan kepala TPI. Mereka
memenuhi ruangan Kepala. "Ada perlu?" "Ya, kami ingin jadi satpam."
"Waduh, seperti bisa dilihat, jabatan itu sudah terisi."
"Kalau begitu, catat kami sebagai tenaga cadangan."
Kepala TPI heran. Dulu jabatan sebagai satpam ditawar-tawarkan di
desa nelayan itu dan tidak ada seorang pun yang melamar. Kata mereka, lebih
untung melaut atau menjadi pedagang bandeng. Kalau beruntung, cepat kaya.
Menjadi pegawai" Disuruh-suruh" Pret! Menjadi satpam, ya satpam seumur
hidup. Setelah mereka pergi, Kepala TPI lalu menulis di kertas dengan tulisan
tebal-tebal: Tidak Ada Lowongan. Dia meminta satpam untuk
menempelkannya. Sampai di surau, tukang cat dan tiga kawannya sudah menunggu.
"Aku diterima jadi penjaga toko! Terima kasih, terima kasih, Kang eh
Mas eh Pak." "Panggil saja Wasripin atau Ripin atau Pin."
"Ya, kenalkan ini kawan-kawan saya."
Mereka bersalaman. "Ngk-ngk-ngk." Tahulah Wasripin bahwa mereka juga bisu.
"Yang ini jadi bisu karena jatuh dari truk ikan. Yang ini bisu karena
dipopor bedil waktu kampanye. Dan, yang termuda ini bisu sejak kecil karena
jatuh dari pohon. Mereka semua pengin dipijat."
"Ya, saya usahakan." Sebenarnya ia tidak begitu yakin dengan
kemampuannya. "Kecuali yang ini," katanya sambil menunjuk anak muda yang
bisu sejak kecil. Mendengar bahwa dirinya tak dapat sembuh, pemuda terkecil itu
menangis pelan, makin lama makin keras, dan akhirnya berguling-guling di
tanah. Semua kebingungan.
"Maksud saya, yang bisu sejak kecil harus lebih bersabar dari yang
lainnya," kata Wasripin menghibur dan bocah itu berhenti menangis. "Datang
saja ke surau atau TPI."
Kemudian Pak Modin datang. Mereka bubar.
"Nak Wasripin, saya ajari mengambil air wudhu. Kita akan shalat.
Pakailah sarung dan peci."
Wasripin pergi ke tempat pancuran.
"Lha, kok, sudah bisa. Orang tua itu" Bagaimana denga shalat" Orang
tua itu juga?" "Iya." "Kau beruntung. Selama hidupku, baru kali ini orang tua itu datang
sungguhan. Menghapal, bagaimana" Mulailah dengan surat-surat pendek."
Ketika Pak Modin datang untuk mengecek hapalannya dia terheranheran. Wasripin sudah hapal surat-surat pendek yang ada dalam Al Quran.
Dalam hati ia gembira, sebab ia sebentar lagi akan dapat melepas tanggung
jawabnya sebagai imam surau.
TIGA 1 AYAH calon bayi sudah mengantongi nama. Sehabis merenung sendirian
di kebun jagung, dia hampir-hampir berlari pulang ke rumah. Katanya kepada
istrinya sambil senyum-senyum,
"Coba, tebak apa nama bayi kita nanti?"
"Bagaimana aku tahu pikiranmu?"
"Ya, pokoknya tebak saja!"
"Tidak bisa." "Nama orang itu harus sesuai dengan hari lahirnya."
"Aku tahu sekarang. Kalau lahirnya hari Legi, kalau perempuan
Legiyem, kalau laki-laki Legino. Kalau hari Wage ya Wagiyem atau Wagino.
Kalau hari Pon, Poniyem atau Pono. Kalau hari Minggu ya Ngatiyem-Ngadiyem
atau Ngatino-Ngadino"."
"Lho, kok tahu?"
"Tahu saja. Itu nama kuno, ketinggalan zaman. Pikirkan nama yang
lebih dari nama-nama biasa itu. Seperti kekurangan nama saja."
Keesokan harinya di kebun jagung dia merenung lagi. Ketika nama itu
akhirnya ketemu, ia lari-lari pulang.
"Apa nama bayi kita?"
"Bagaimana aku tahu pikiranmu?"
"Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem."
"Nah, itu baru bagus!"
"Wali artinya orang suci, penyebar agama Islam di Tanah Jawa."
"Apa tidak terlalu bagus untuk anak orang gunung seperti kita?"
"Nama itu lebih bagus lebih baik. Nama itu doa."
"Ya, kalau begitu aku setuja-setuju saja."
Pekerjaan paling sulit, memilih nama itu pun selesai.
Ketika anak itu lahir perempuan, lima hari sebelum kenduri, kepada
setiap orang mereka sudah bisa bilang, "Anak kami namanya Waliyem."
Namun, rupanya anak itu tidak beruntung dan membawa sial. Sudah
kelas tiga SD badannya masih kecil, hidung selalu meler, telinga mengeluarkan
bau busuk, mata kecil merah, mudah masuk angin. Sementara itu bapaknya
terjatuh dari pohon kelapa dan lumpuh untuk waktu lama. Waktu ayah bisa
jalan, punggungnya bongkok dan harus berjalan pakai tongkat. Ibunya yang
mencoba bakul gula teh kecil-kecilan kehabisan modal karena dihutang para
tetangga. Ketika mencoba menanyakan tentang kesialan mereka, seorang
pintar mengatakan bahwa anak mereka tak sanggup menanggung beratnya
beban nama. Nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung seperti dia. Dia
menyatakan bahwa nama itu perlu diganti. Pasangan itu menyerahkan soal
nama baru yang sesuai kepada orang pintar itu.
"Bagaimana kalau . . . mmm . . . Satiyem?"
"Itu bagus. Tapi apa artinya, Eyang?" Bahwa nama itu doa menjadi
pegangan pasangan itu, karenanya nama harus yang serba baik.
"Sati itu bahasa Hindu, artinya setia."
Memang anak itu berangsur-angsur menjadi baik. Bahkan, setelah lulus
SD tubuhnya menjadi bongsor. Tetapi, kesialan pada ayah-ibunya malahan
bertambah. Ayah yang sudah bongkok itu tergelincir di tanjakan yang licin
setelah hujan. Ibu juga demikian. Setelah dagangannya habis itu dia mencoba
bangkit lagi dengan meminjam-minjam modal. Akalnya bahwa seseorang hanya
boleh membeli dengan tunai menimbulkan boikot para tetangga dan sumpahserapah. Walhasil, ia tidak bisa mengembalikan hutang, dan seluruh
dagangannya diobral untuk membayar hutang.
Mereka ingat nama itu lagi.
"Satiyem itu berasal dari kata sat, artinya kering atau habis," kata
suami. "Ya, mungkin itu masalahnya."
Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar itu dan minta nama baru
lagi. Sial bagi mereka, orang pintar itu sudah meninggal. Usaha sang ayah
untuk menyepi malam-malam di kuburan orang pintar dengan harapan ada
nama baru yang dipesankannya tidak berhasil. Tirakat di kuburan itu malah
menghasilkan sesuatu yang lain: ia terpaksa berlari terjatuh-jatuh, terantukantuk di batu-batu kuburan karena melihat rerupaan seperti raksasa. Ketika
peronda menemukannya tersengal-sengal napasnya, sambil bilang, "Nama,
nama ?" Kemudian jatuh pingsan.
Mau mengganti nama anak itu mereka tidak berani. Nama itu pemberian
orang pintar, ada berkah yang mereka belum tahu. Maka, saudara dekat
suami-isteri mengusulkan untuk mengadakan kenduri dan lek-lekan (semalam
suntuk tidak tidur) guna membuang sial. Maka empat puluh santri dari sebuah
pondok diundang untuk mengaji di rumahnya. Mereka datang dan mengaji di
ruangan depan. Sementara para santri mengaji, di ruangan belakang, seperti
biasanya, orang berjudi untuk menjaga jangan sampai mengantuk. Kyai yang
memimpin pengajian sudah berpesan supaya perjudian ditiadakan, sebab
terlarang untuk mencampurkan perbuatan yang benar dengan perbuatan yang
keliru. Tetapi para tetangga tidak dapat dicegah. Dan tuan rumah hanya
berkewajiban untuk menyediakan tempat dan kue-kue, akan mendapat bagian
dari setiap giliran permainan. Dengan pikiran bahwa "apa boleh buat" dan asal
mereka sendiri tidak ikut berjudi, maka pengajian dan perjudian berjalan
lancar. Selain pengajian, Satiyem juga diikutkan dalam acara ruwatan yang
diselenggarakan sebuah paguyuban aliran kepercayaan. Ayahnya berpendapat
bahwa orang bisa beragama apa saja: Islam Kristen Budha, tetapi jangan lupa
Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup. Maka, dalam upacara ruwatan
Satiyem diguyur dengan bunga mawar. Kemudian ada wayang dengan cerita
Ruwatan Murwokolo. Seorang sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak
diruwat dia akan dimakan Batara Kala. Tetapi, dasar bocah. Begitu gamelan
mulai ditabuh, kantuknya datang. Ayahnya harus berkali-kali
membangunkannya supaya anaknya tidak tertidur. "Bangun, bangun! Kau
sedang diruwat." Akhirnya ayah itu menyerah, karena lewat tengah malam
kantuk membuat anak itu tidur pulas. "Terjadilah apa yang akan terjadi.
Manusia hanya sekedar menerima," pikirnya.
Satiyem tidak melanjutkan sekolah, tapi di rumah membantu-bantu
berladang ayah-ibunya. Setelah bosan di rumah, Satiyem menerima ajakan
pamannya yang ahli siter untuk bermain di "rumah iblis". Suara yang bagus
ditambah tubuhnya yang bongsor dan wajahnya yang cantik memberinya
peluang untuk jadi penyanyi dan berperan dalam adegan "potong leher". Maka
ia ikut dalam rombongan itu dari satu tempat ke tempat lain. Tidak seorang
pun dalam rombongan berani mengganggunya, sebab pamannya termasuk orang
yang disegani. Peminat "rumah iblis" menyusut, kabarnya karena adeganadegan "rumah iblis" kalah seram dengan adegan TV. Orang-orang desa yang
menjadi pendukung utama "rumah iblis" memilih nonton TV di balai desa.
Ketika rombongan itu akhirnya bubar, pamannya berusaha menyelamatkan anak
buah dengan mendirikan ketoprak tobong bermain dari tempat ke tempat.
Pada waktu pamannya jadi boss ketoprak itulah peristiwa itu terjadi.
Singkatnya, Satiyem diperkosa pamannya. Pamannya yang telah jadi jejaka tua
akibat ditinggal kekasih ke Jakarta itu tidak tahan waktu melihat kain
keponakannya tersingkap. Tidak ada anggota rombongan yang curiga ketika
Satiyem pamit mendadak untuk pulang ke orangtuanya. Pamannya
mengikutinya untuk mempertanggungjawabkan ulahnya.
"Bunuh aku! Bunuh aku!" kata Satiyem pada orangtuanya.
"Lho! Datang-datang, kok begitu. Ini ceritanya bagaimana?"
"Bunuh aku, anak tak berguna ini!"
"Nanti dulu, to. Ceritanya bagaimana?"
"Aku benci diriku! Aku jijik padanya! Aku ternoda!"
Pada waktu itu muncul pamannya.
"Ya. Saya mengakui telah berbuat khilaf, Mas-Mbakyu. Aku sudah
menodainya." "Oalah, jadi itu. Bagaimana si Adi kok sampai hati kau berkhianat pada
keponakanmu sendiri," kata orangtua Satiyem.
Aib itu tidak sampai ke tetangga dan pengurus desa. Ketika paman
mengatakan akan menikahi Satiyem, kedua orangtua itu mentertawakan
pinangannya. Mereka tahu bahwa adiknya nakal.
"Anak kami tidak kawin dengan Tumenggung Wiroguno."
Mereka juga menertawakan pikiran pamannya ketika ia menyanggupkan
diri untuk mencarikan suami yang lebih muda bagi Satiyem.
"Itu pikiran orang gila."
Ketika pikiran itu ditolak, ia mengatakan bahwa ia akan membayar
"ganti rugi". Waktu ditolak pula, kepada kedua orangtua Satiyem dikatakannya
bahwa gadis itu akan tetap gadis, artinya Satiyem tidak akan hamil sebab ia
tahu caranya. Ia memang gila, tapi tidak nekad.
"Itu tidak memecahkan soal."
"Lha bagaimana, Mas-Mbakyu?"
Kedua orangtua itu tidak menjawab.
"Bagaimana kau ini! Bagaimana kau ini! Bagaimana kau ini! Kok ya
tega-teganya, kau ini! Bagaimana kau "."
Paman mendapat gagasan. Disautnya sendok di meja, lalu dicungkilnya
kedua matanya! Bola mata itu jatuh di lantai tanah.
"Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur
hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi!"
Sementara itu darah menetes dari kedua matanya.
Kedua orangtua yang melihat darah mengalir mengatakan,
"Bukan begitu maksud kami! Bukan begitu maksud kami!"
Dan paman itu pergi ke dipan lalu jatuh pingsan.
Satiyem yang menyaksikan bagaimana kedua bola mata pamannya
terjatuh di lantai tanah. Ia menangis.
"Pak Lik! Pak Lik!"
Pada waktu itu rasa benci, jijik, dan marah pada pamannya hilang.
Timbul rasa kasihan yang sangat dalam.
Untuk beberapa minggu sang paman terpaksa menginap di rumah sakit,
dan dua minggu pula rawat-jalan. Selama di rumah sakit, Satiyem setiap hari
menjenguknya. Setiap kali datang selalu dikatakannya,
"Maaf, Pak Lik!"
Dan pamannya akan menjawab, "Maaf, Satiyem. Saya khilaf."
Lalu keduanya akan menangis.
"Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku kepadamu."
"Jangan begitu, Pak Lik. Tak ada dosa, tak ada yang harus ditebus."
"Aku tahu kesempatan itu akan datang."
Paman tinggal di rumah Mas-Mbakyunya, menganyam bambu jadi kap
lampu, keranjang kertas, hiasan dinding, dan hiasan meja. Dan semuanya
berjalan dengan baik. Di waktu senggangnya ia meratapi kesalahannya sambil
main siter, "Duh Gusti, kula nyuwun ngapunten " (saya mohon ampun).
Ia baru berhenti ketika suatu hari Mas dan Mbakyunya bilang, "Yang
sudah, ya sudah. Jangan dipikir terus."
3 WABAH muntaber menyerang desa itu. Puskesmas setempat kewalahan
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayani orang sakit. Mereka yang perlu perawatan lanjutan dikirim ke rumah
sakit di kota. Bapak dan ibu Satiyem termasuk yang harus dikirim ke kota.
Bapak Satiyem meninggal di jalan waktu dikirim ke kota, karena dehidrasi. Ibu
Satiyem sempat beberapa hari di rumah sakit, tapi juga meninggal seminggu
kemudian. Setelah seratus hari, keluarga besar mendiang ayah-ibu Satiyem
mengadakan rapat. Dalam rapat itu akan ditentukan perwalian atas Satiyem.
Dalam rapat itulah paman mengajukan diri jadi pengganti ayah-ibu
Satiyem. "Mau kau beri makan batu, ya?" tanya rapat.
"Jangan khawatir. Aku punya keahlian."
"Kalau dulu kami percaya. Bagaiamana dengan kebutaanmu?"
"Percayalah." "Kami percaya kau ahli memainkan gamelan, tapi bagaimana dengan
Satiyem?" "Kami akan mbarang. Saya bermain siter dan seruling, Satiyem
menyanyi. Di waktu senggang saya menganyam bambu, dan Satiyem
menjahit." Rapat keluarga menilai ada rencana terperinci pada paman. Maka
tinggal lagi mereka menanyakan tekad Satiyem.
"Bagaimana, Yem?"
"Itu gagasan yang bagus. Aku setuju."
Ketika warga desa mengetahui bahwa Satiyem akan pergi, orang-orang
tua yang punya anak jejaka menyesalkan keputusan itu. Mereka berharap
Satiyem jadi menantunya. Para jejaka desa ada yang memberanikan diri
melamarnya, tapi ditolak. Tekadnya sudah bulat: mengembara. Dan hanya
akan kawin dengan orang sudah cacat seperti dirinya. Satiyem tidak ingin
mengecewakan pemuda desanya sendiri.
Surat kelakuan baik (tidak tersangkut perkara polisi, tidak tersangkut
G30/S), KTP, dan izin jalan mencari pekerjaan sudah diurus. Maka mulailah
hari-hari pengembaraan mereka. Seluruh warga mengantar sampai perbatasan
desa. Laki-laki buta membawa pikulan berisi siter, seruling, radio alias
pengeras suara, dan pakaian. Satiyem menjinjing bungkusan pakaian. Mereka
yang mengantar diam seperti mengantar jenazah ke kuburan, merasa akan
kehilangan Satiyem dan pamannya selama-lamanya.
Siang dan sore hari mereka berjalan dari desa ke desa dan dari pasar ke
pasar. Malam hari mereka menginap di kantor kelurahan. Mereka terus akan
berjalan sampai suatu kali mereka menemukan tempat yang dekat ke pasarpasar untuk menetap. Suatu sore mereka sampai di sebuah kelurahan yang
sedang merayakan ulang tahun Partai Randu. Mereka diminta untuk
mempertunjukkan keahlian mereka, karena secara tiba-tiba grup band yang
dipesan mengalami kecelakaan di jalan. Semua warga desa hadir. Selesai
pertunjukan diadakan tanya jawab.
Ketika tuan rumah merangkap lurah merangkap Ketua LKMD merangkap
Ketua Dewan Pembina Partai Randu diberi kesempatan berbicara, orang yang
paling berpengaruh itu bertanya lewat pengeras suara.
"Siapa namamu, Nduk?"
"Satiyem." "Ayu-ayu namanya kok Satiyem. Itu nama orang gunung, gunung saja
gunung zaman dulu. Kalau orang gunung harus pakai yem, kalau babu Belanda
harus pakai tje. Kalau diubah bagaimana?"
"Terserah saja, Pak."
"Diubah, ya Lur?" Sedulur artinya saudara. "Setuju?"
Semua yang hadir bilang, Setujuuu!"
"Sekarang namamu bukan Satiyem, tapi mmm Satinah." "Setuju?"
"Setujuuu!" "Itu lebih marrrketable. Setuju?"
"Setujuuu!" "Ya. Itulah hakikat demokrasi. Itulah inti dari musyawarah untuk
mufakat. Di gunung yang sudah modern kau akan dipanggil Mbak Sat, di desa
Mbak Tinah, di kota Mbak Tin."
"Saya dipanggil Satinah saja, Pak."
"Demokrasi yang diperjuangkan Partai Randu menghormati hak-hak
individu, karena itu kau berhak dipanggil Satinah. Setuju?"
"Setujuuu!" "Terima kasih, Satinah!"
"Satiiinah! Satiiinah! Kowe kok cantik, yang nyuruh siapa!" koor
pengunjung. Untuk seterusnya nama Satinah itulah yang dipakai. Pamannya agak
keberatan, sebab nama itu amanat yang diberikan orangtuanya, tapi segera
dilupakannya. Di Balai-balai Desa tempat keduanya menginap hanya nama
Satinahlah yang selalu tercatat. Mereka meneruskan perjalanan. Dari pasar ke
pasar, dari desa ke desa, dari balai ke balai.
4 SETELAH tanya sana-sini maka mereka menemukan tempat di mana
keduanya bisa tinggal berlama-lama. Sampailah mereka di koplakan itu.
Koplakan adalah semacam losmen terbuka dan sangat murah, siapa saja boleh
datang dan pergi tanpa pemeriksaan surat-surat. Setiap sore yang empunya
seorang perempuan tua setengah buta akan duduk di kursi rotan sambil kipaskipas dan siap berkata pada setiap pengunjung,
"Selamat datang di koplakan terakhir pada abad ini. Eh, boleh bayar
iuran sekarang, besok, atau kapan-kapan saja. Gratis juga bisa. Laki-laki
sebelah kiri, wanita sebelah kanan. Larangannya ialah tak boleh ma lima."
Mereka membayar. "Lho! Ini terlalu banyak. Mau tinggal berapa hari?"
"Sampai kami ingin pergi."
"Begitu lebih baik. Tinggallah lama-lama. Aku perlu teman."
Keduanya masuk, membagi buntelan bawaan. Koplakan itu terdiri dari
sebuah pendopo dibagi dengan sekat gedeg yang rendah. Ada dua kamar mandi
dan wc yang berdekatan dengan satu sumur yang timbanya bisa ditarik kesanakemari. Orang bisa mandi di kamar mandi, tapi baik laki-laki atau perempuan
bisa juga mandi di sumur. Mereka yang menginap ialah para pedagang keliling:
penjual payung, pedagang barang-barang dari tanah, pedagang kitab, pedagang
pakaian jadi, pelacur, penjahit, penjual mainan anak-anak, penjual balon, dan
pembarang macam Satinah dan pamannya.
Kabarnya janda pemilik sering bertengkar dengan anaknya, karena
pembukaan koplakan seperti itu sudah ketinggalan zaman dan tidak
menguntungkan. "Sebaik-baiknya orang ialah yang bermanfaat bagi orang lain," kata ibu.
"Meskipun kau sendiri rugi?"
"Ya, begitulah ajaran Nabi."
"Kalau kelak aku jadi pemilik, akan kujadikan tempat hotel sungguhan."
"Jadi, kau berharap aku cepat mati, ya?"
"Ya tidak begitu!"
Anak itu akan menghindari perdebatan selanjutnya setelah ibunya
mengungkit-ungkit soal kematian.
Namun, akhir-akhir ini anak itu tidak lagi berbicara soal penutupan
koplakan. Perempuan dengan pundak halus mandi di sumur terbuka itu.
Seorang pelacur yang masih kinyis-kinyis sengaja menginap untuk memamerkan
dagangannya. Pada waktu dia mandi di sumur para laki-laki akan menonton
dari balik pintu. Sengaja lewat untuk mengambil jemuran atau apa saja atau
tanpa alasan. Adegan paling dramatis ialah ketika perempuan itu mengganti
pakaian basah dengan pakaian kering. Akan terdengar, "Suit! Suit!" Laki-laki
yang mengharap lebih dari itu harus membayar, dan mereka yang takkan bisa.
Hanya anak laki-laki pemilik koplakan saja yang sanggup mengundangnya.
Tetapi, itu pun ada batasnya. Ketika si ibu mendengar perihal kelakuan anak
dan pelacur, maka tak segan-segan dia mengusir perempuan nakal itu.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa anak pemilik memang thukmis
(hidung belang). Suatu hari Satinah mendapat surat gelap. Dalam surat itu ia
diperintahkan untuk mandi di sumur. Perintah itu tidak ditanggapi. Perintah
itu diulang, dan diulang. Satinah lapor pamannya dan oleh pamannya surat itu
dirobek, "Kalau ada apa-apa, panggil saya!"
Sungguh! Pada suatu malam seorang dengan rok tipis mendekati tempat
tidur Satinah. Rok tipis merangsek, menyuruh Satinah diam, membuka rok dan
celananya. Satinah tersadar, suara itu suara laki-laki. Ia menjerit, "Pak Lik!"
Suara itu dikenal pamannya. Ia sudah menduga itu akan terjadi pada
keponakannya. Katanya, "Lumpuh kau!" Semua orang terbangun. Maka lelaki
itu seketika lumpuh, ketika mencoba berdiri untuk lari ia tidak bisa. Sampai
pagi dia hanya berputar-putar sekitar tiang. Ia baru lepas dari kelumpuhan
ketika ibunya minta maaf pada Satinah.
Untuk beberapa waktu anak muda itu tak nampak. Ternyata dia
mengurus pembubaran koplakan dan pembangunan hotel. Maka dengan
menangis terbata-bata ibunya terpaksa mengumumkan bahwa koplakan
ditutup. Para penghuni diberi waktu seminggu untuk meninggalkan tempat.
5 KETIKA itulah datang seseorang untuk meminang. Dia selalu duduk di
depan dalam lingkaran ketika Satinah menyanyi di mana saja.
Menunggu sampai habis, dan selalu menjatuhkan uang di besek.
Pekerjaannya dimulai sebagai penggembala sapi sampai jadi belantik itu.
Sudah beberapa tahun isterinya meninggal. Mendengar koplakan mau ditutup,
ia mendekati Satinah. "Tinah, aku baru saja terpilih jadi lurah. Tapi tidak ada Bu Lurah yang
akan jadi Ketua Dharma Wanita. Bagaimana kalau kau saja?"
"Jangan, Pak. Saya sudah bertunangan."
"Jangan ditolak. Cita-citaku untuk mempersunting kau sudah sejak kau
menyanyi di pasar TPI. Memang saya sudah setengah umur, tapi apa ada lakilaki yang terlalu tua untuk gadis seperti kau?"
"Maaf, bukan itu soalnya. Soalnya saya sudah bertunangan."
"Sekali lagi kukatakan. Jangan ditolak."
"Tidak, Pak." "Awas! Kalau tidak dengan cara kasar ya cara halus. Pokoknya kau jadi
milikku! Kau akan datang menyembah-nyembah minta dikawin, atau kau akan
berlari-lari telanjang."
Paman yang dilapori soal pinangan itu menjawab.
Jangan khawatir. Kasar atau halus, aku sanggup."
Semua orang sudah mendengar soal paman Satinah dan anak juragan
koplakan, sehingga ancaman lurah itu tak pernah terbukti.
Keesokan harinya Satinah mampir di toko emas untuk membeli sebuah
cincin. Paman mengerti bahwa Satinah sudah dewasa, sudah waktu untuk
mulai jatuh cinta. "Eh, siapa sebenarnya tunanganmu itu?"
"Ya, orang." "Mesti to, masak sapi."
"Itu masih rahasia."
"Kalau sudah punya calon, bilang saja."
"Itu sudah lebih lima kali dikatakan, lho."
Surat-surat sudah keluar. Dan koplakan itu akhirnya dibongkar. Satinah
dan pamannya menyewa sebuah rumah yang masih berdekatan dengan bekas
koplakan, supaya dekat kemana-mana. Mereka dapat ke pasar TPI, demikian
juga ke pasar-pasar lain. Cincin Satinah dilepas untuk membeli mesin jahit,
dan pamannya di waktu sore akan membuat anyaman bambu. Dengan mudah
mereka memasarkan anyaman bambu karena tiap hari mereka ke pasar. Di
depan rumah sewa mereka ada tulisan "Modiste Sati".
Dari pekerjaan menjahit Satinah dapat membeli sepeda motor butut.
Dengan sepeda motor itu pekerjaan berjalan kaki, naik andong, Colt, atau ojek
berkurang. Untuk ke pasar di TPI itu dia dan pamannya tidak perlu lagi naik
Colt. Ada seorang perempuan gemuk datang menemuinya selagi dia menjahit.
Kulitnya kuning langsat, membawa payung, jalannya megal-megol seperti
macan luwe (macan lapar). Dengan kenes dia berkata,
"Tahukah kau Nduk bahwa pekerjaan menjahit itu penuh risiko?"
"Risikonya apa?"
"Lima tahun lagi kau akan bongkok karena selalu membungkuk. Kau
akan kena TBC karena serpihan benang masuk paru-paru. Kau akan buta
karena selalu melihat barang kecil seperti benang dan ujung jarum itu."
"Semua pekerjaan ada risikonya, Bu."
"Ya, tapi ada yang besar ada yang kecil."
"Menjahit ini termasuk yang kecil itu."
"Wo, bagaimana kau ini. Bongkok, TBC, dan buta kok kecil?"
"Habis. Bisanya hanya ini."
"Tidak. Semua orang memakai bagian dirinya yang terbaik untuk
bekerja. Bintang film memakai kecantikannya, orang politik memakai lidah
untuk berdebat, pejabat memakai otaknya untuk tetap berkuasa, guru
memakai kepandaiannya untuk mengajar. Petinju, petenis, pelari, pemain
badminton. Semuanya menggunakan miliknya yang terbaik."
"Saya hanya lulusan SD. Tidak bisa jadi bintang film atau guru."
"Nah, untuk itulah saya datang."
"Pekerjaan apa, to Bu?"
"Tentu saja itu pekerjaan yang lebih sesuai untukmu."
"Iya?" "Kau masih muda, cantik, dan ramah. Itu modal besar. Tinggal sedikit
latihan. Sini saya bilangi."
Perempuan itu melambai. Satinah mendekatkan telinganya. Ia berbisikbisik.
"Jadi Ibu ini pemilik rumah "."
"Bordil. Bukan. Ini profesi, seperti guru, pejabat, orang politik. Sejak
dulu meskipun isteri bisa masak, meskipun ada kursus memasak, restoran masih
diperlukan. Makan di rumah lain dengan makan di restoran."
"Tidak, Bu. Saya penjahit saja."
"Saya datang untuk mengajakmu berpikir, pikirlah dulu. Jangan tergesagesa menjawab. Tanganku selalu terbuka untukmu."
"Tidak, Bu." "Setiap orang ada harganya. Polisi sekian, hakim sekian, bupati sekian,
anggota DPRD sekian. Kau juga bisa pasang tarif."
Setelah ditunggu-tunggu beberapa hari Satinah tidak datang juga,
kabarnya ibu itu mengirim seorang laki-laki jagoan untuk memaksa Satinah.
Menurut pengalamannya, mula-mula memang orang terpaksa, kemudian
kerasan, lebih getol dari yang lain. Tidak tahu apa yang dikerjakan paman
Satinah, tetapi orang itu hanya berjalan kesana-kemari dan tidak menemukan
tempat Satinah. Ketika ibu itu dilapori, dia marah-marah, keluar aslinya
dengan menyebut isi kebun binatang dan penjara.
"Monyet! Cenguk! Babi! Anjing! Asu! Copet! Maling! Bajingan!"
Baru dia berhenti dengan sumpah-serapahnya ketika laki-laki bersumpah
dengan lebih seru. "Samber gledek! Biar aku modar! Biar kulitku budukan! Demi Tuhan!"
Ibu itu kemudian mencoba sendiri ke rumah sewa Satinah, tapi juga tak
ketemu. EMPAT 1 WASRIPIN jadi Satpam di TPI. Dia dapat shift malam hari untuk minggu
pertama. Selain seragam, dia dibekali sebuah radio transistor dan baterei. Dia
senang dengan pengalaman barunya. Di malam hari suara-suara laut lebih
terdengar, byurrr, kricik-kricik. Teman-temannya selalu menghindar untuk
berjaga di TPI dan memilih berjaga di emperan surau sambil bercanda dengan
orang-orang Siskamling. TPI menyediakan radio itu dengan maksud supaya Satpam yang jaga
malam betah melek, tetapi merek selalu menghindari berjaga di TPI. Sebab,
kata teman-temannya kerja di malam hari banyak godaannya. Ada godaan
yang kasar, ada godaan yang halus. Ada godaan yang menawarkan racun, ada
godaan yang menawarkan madu. Sebagai orang baru Wasripin mempunyai
disiplin tinggi. Ia benar-benar berjaga di TPI. Melek, tidak tidur.
Malam pertama dia masuk kerja, ada pencuri berusaha membobol
tembok TPI dengan linggis. Didengarnya suara dhuk-dhuk di tembok sebelah
sana. Dengan mengendap-endap dia mendekati suara itu. Setelah dekat, dia
mendehem. "Ehm!" Dia mengulang, "Ehm!"
Pencuri dengan linggis itu tidak berlari. Ia memberi isyarat untuk diam.
Dia heran Satpam tidak tertidur, padahal semua syarat untuk menidurkan sudah
lengkap: jampi-jampi dan beras kuning. Sebelumnya dia tidak pernah gagal
melakukan ajian gendam. Pencuri itu berhenti bekerja. Mengulurkan tangan
yang berisi sejumlah uang. Wasripin tidak menyambut uluran itu.
"Tolong. Kau miskin, aku melarat. Kita sama-sama orang kecil. Jangan
ganggu aku. Terimalah ini!" kata pencuri sambil menyodorkan tangannya.
"Uang apa?" Sambil melirihkan suara kata pencuri, "Ini kuberikan, tapi diamlah.
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pura-pura tidak tahu."
"Jadi uang suap, begitu?"
"Ya, terimalah. Kabarnya orang lebih suka terima uang daripada repotrepot."
"Tidak." "Jangan urus aku. Uruslah pencuri yang besar-besar."
"Besar atau kecil sama saja. Mencuri ya pencuri."
"Tolong, anakku enam. Mereka perlu makan."
Wasripin merogoh kantongnya. Ada uang pemberian Satinah yang selalu
dibawanya. "Ini uang untuk anak-anakmu. Tapi jangan lag
i mencuri. Tambahkan pada uang suap." Sambil melongo pencuri itu menerima uang Wasripin. Dia berlari dengan
linggisnya. Pencuri itu mencium tangan yang segera ditariknya. Itu barangkali
satu-satunya ciuman tangan yang pernah diterimanya. Pelan-pelan pencuri
menjauh, makin lama makin cepat. Kemudian dia menoleh.
"Aku tahu sekarang, kau pasti Wasripin," teriaknya setelah jauh.
"Pemimpin kami!"
"Eh, aku pemimpin pencuri juga?" pikir Wasripin.
Lain malam, lagi enak-enak mendengarkan wayang kulit dari radio, dia
mendengar suara perempuan menangis merintih-rintih minta tolong, "Tolong!
Tolong!" Dia biasa mendengar itu di perkampungan pinggir sungai di Jakarta.
Seorang suami sedang berbuat kasar dengan isterinya. Ia mengecilkan
radionya. Tiba-tiba dia ingat: di tengah malam seperti di teluk TPI tidak
mungkin hal itu terjadi. Ada sesuatu yang aneh. Dia mematikan radionya.
Berbekal sebuah senter dia mencari arah suara itu. Dia berjalan sepanjang
teluk. "Aku di sini!" Lho itu kok suara Satinah, pikirnya. Tidak mungkin dia di sini malammalam. Ia berjalan ke arah suara itu. Tidak ada orang, hanya setumpuk kayu
glondongan. "Ya, aku di sini."
"Di mana?" "Di sini." Dilihatnya ada tali dan seorang perempuan yang tergencet dalam
gelondongan kayu. Badannya jadi tipis macam yang ia lihat di film kartun.
"Bagaimana kau sampai di situ?"
"Saudara-saudaraku mengikat aku ke kayu ini, supaya aku terbawa
pergi." "Aku tahu sekarang. Kau pasti anak nakal."
"Jangan sebut aku anak, umurku sudah 350 tahun."
"Nah, aku tahu! Kau pasti jin."
"Cepat, sebentar lagi orang-orang datang dan membawaku pergi."
Wasripin melonggarkan tali itu. Dan perempuan meloncat ke atas tanah.
"Sekarang pergilah ke duniamu."
"Tidak. Aku sudah bersumpah, siapa saja yang membebaskan, kalau
perempuan akan kujadikan saudara, kalau laki-laki akan kujadikan suami."
"Jangan, pulanglah ke duniamu. Lho, aku jadi Joko Tarub?"
"Saudara-saudaraku sudah menolak aku."
"Dunia kita lain."
"Tak jadi soal."
"Aku sudah punya tunangan."
"Kalau begitu jadikan kelak aku isteri kedua."
"Tidak ada caranya begitu."
"Ya sudah. Jadikan aku pelayanmu."
Perempuan itu mulai menangis, melolong-lolong. Tiba-tiba terpikir oleh
Wasripin untuk melemparnya. Dia memegang kedua tangan perempuan itu dan
melemparnya. Dia ringan seperti kapuk. Dia sedang tertegun dengan apa yang
sudah dikerjakannya, ketika sebuah pukulan kayu mengenai tengkuknya. Dia
roboh, tak sadarkan diri. Sementara dia pingsan, kayu-kayu itu menghilang
dengan sebuah truk. 2 Pagi-pagi sekali bakul-bakul pasar menemukannya masih tergeletak di
pantai. Mereka tahu bahwa orang itu adalah Wasripin. Para lelaki
menggotongnya ke TPI. Seseorang menggebyur dengan air. Dia sadar.
Menggeliat. Melihat Wasripin sadar orang-orang meninggalkannya. Satpam TPI
yang menggantikannya datang.
"Ada apa?" tanya Wasripin kepada Satpam pagi.
"Kau tergeletak di pantai. Ada apa?"
Wasripin mengingat-ingat.
"Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu."
"Kayu-kayu?" "Bukan itu saja."
"Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi."
"Bukan itu." "Lalu apa?" "Itu lho, mmm." Wasripin berhenti, "Tapi kau pasti tak percaya."
Wasripin akan bercerita tentang perempuan yang menangis, tapi
diurungkannya. Dan ia pulang ke kamarnya.
Ketika Kepala TPI datang dan mendapat laporan tentang Wasripin.
Katanya, "Salah sendiri, sudah kubilang bahwa urusannya ialah mengamankan
TPI, bukan yang lain."
Siang itu juga Kepala TPI mengumpulkan para Satpam. Sambil
menunjukkan sebuah surat tanpa alamat tanpa tanda tangan tanpa nama
terang dia berpidato, "Saudara-saudara, saya baru saja terima surat ancaman. TPI akan
dibakar kalau kita mencampuri urusan mereka. Karenanya, jangan diulang lagi,
Wasripin. Mereka punya backing."
Ancaman itu tidak sekedar menakut-nakuti. Malam hari yang lain
serombongan laki-laki datang di TPI dengan sebuah truk. Mereka menggedor
pintu dan mangobrak-abrik lemari, meja-kursi, bangku-bangku. Satpam yang
tertidur tidak mendengar suara-suara itu. Kemudian mereka mengecer-ecer
bensin di lantai. Lalu menyulutnya dengan korek api. TPI terbakar. Mereka
pergi. Satpam yang bertugas bangun dari tidur di emperan surau. Berteriakteriak.
"Api! Api! Tolong! Tolong!"
Dengan cepat orang-orang sekitar datang dengan ember-ember berisi
air. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Api membesar mengalahkan sinar
bulan di atas. Api meludes bangunan dari kayu dengan cepat. Mereka tertegun
melihat reruntuhan bangunan itu. Tempat mereka tawar-menawar tangkapan
itu rata dengan tanah. Ketika siang itu Kepala TPI datang, dia hanya dapat mengumpat dalam
hati. Untung Ketua Partai Randu segera datang, menepuk-nepuk pundak,
menenteramkan hatinya. "Jangan khawatir, ini pasti sebuah kesalahan. Akan kumintakan ganti,"
kata Ketua Partai Randu. "Siapa akan mengganti?"
"Kau tahu beresnya saja, mereka pasti tak tahu bahwa TPI itu
persembahan Randu untuk nelayan."
Sungguh seperti sulapan, hanya dalam dua minggu TPI sudah berdiri lagi.
Kerja lembur. Kali ini lebih bagus, tembok semen, kusen dan daun pintu kayu
jati, dan cat-cat baru. Mereka mendengar bahwa Partai Randu yang
membangun. Karenanya tidak heran dari mana datangnya duit untuk
membangun, semua orang mengerti bahwa kekuasaan itu kuasa.
3 WASRIPIN sedang jaga malam, dari pukul sembilan hingga pukul lima.
Terbungkus sarong untuk menghindari udara dingin dari laut. Dia sedang
menikmati wayang di radio dan mendengar suara sepeda motor. Sepeda motor
berhenti dekat TPI. Dilihatnya seorang perempuan turun dari boncengan.
Perempuan itu menghampirinya. Pengendara sepeda motor duduk di sebuah
batu dan mengeluarkan rokok.
"Sendiriann, Mas?"
"Ya." "Kedinginan, ya?"
"Ya." "Kalau begitu butuh penghangat?"
"Tidak." "Penghangat dari tubuh perempuan?"
"Sudah ada sarong."
"Saya temani, mau ya" Kalau tidak bawa uang, boleh bayar
belakangan." "Tidak saja." "Tidak usah bayar, bagaimana?"
"Tidak." "Kalau begitu, boleh aku terus terang?"
"Boleh saja." "Kata orang kau sakti. Aku sengaja ke sini untuk membuktikan apa kau
juga sakti di tempat tidur."
"O, itu to. Tidak saja."
"Kalau aku pengin, bagaimana?"
"Tidak saja." "Sekali-sekali rasakan servisku."
"Tidak saja." Perempuan itu makin merangsek mencoba merangkul, tetapi Wasripin
selalu menghindar. Tidak terpikir oleh Wasripin bahwa ada perempuan
menawarkan diri untuk menemaninya tidur. Pengalamannya selama di Jakarta
ialah emak angkatnya selalu mencarikan. Perempuan itu akhirnya jengkel.
Kemudian perempuan itu memasukkan jari-jarinya ke mulut, "Tuiit, tuiit."
Ada perjanjian bahwa ia akan memberi aba-aba, dan sopir ojek itu akan
menyerang Wasripin. Berkali-kali perempuan itu memasukkan jarinya ke
mulut, tapi laki-laki itu diam saja. Lalu perempuan itu mendekati tukang ojek.
"Kau kenapa?" "Kita pulang saja."
"Kenapa?" "Dia sakti. Aku takut."
"Ah, laki-laki macam apa kau ini!"
Keduanya lalu berboncengan dan pergi. Gelap malam menyelimuti
mereka. Orang-orang Siskamling datang. Sambil tertawa kata mereka, "Jadi
Satpam itu enak, ya?" "Mbok tadi suruh saya menggantikan!" "Wah, kok
ditolak! Eman-eman."
4 KAWAN sesama Satpam mengeluh kalau isterinya sering ditakut-takuti
seperti orang tinggi besar dan berbulu di rumahnya. "Sekarang isteri saya
pulang ke rumah orangtuanya," katanya dengan sedih. Wasripin melihat-lihat
rumah itu. Ditemukannya bahwa rumah itu memang ada penunggunya.
Kawannya memintanya untuk mengusir penunggu itu. Dia tidak punya
pengalaman, tapi diberanikannya juga. Di luar dugaannya sendiri ia berhasil
hanya dengan berdoa dan berdzikir sebagaimana diajarkan orang tua berambut
putih itu. Wasripin lalu dikenal sebagai pengusir hantu.
Suatu hari Kepala TPI bilang bahwa di TPI pasti banyak jinnya. Seorang
penjual teh yang sedang membawa teh terkejut, teh tumpah, gelas pecah.
Katanya, ada orang berbaju surjan duduk di bawah meja telepon. Telepon itu
sendiri gagangnya sedemikian sering terlepas, sehingga Kepala TPI harus
membetulkannya setiap kali. Sudah dibetulkan sebentar saja gagang itu lepas
lagi, sehingga telepon-telepon tidak bisa masuk. Padahal, telepon itu sangat
penting, bukan bagi TPI, tapi bagi penduduk. Pernah, sebuah berita kematian
yang disampaikan malam-malam lewat TPI gagal masuk. Wasripin bekerja dan
mengatakan bahwa ada sekeluarga jin tinggal di TPI. Ia berhasil meyakinkan
bahwa TPI itu milik manusia. Keluarga jin itu tidak mau pindah, karena persis
di TPI itulah mereka tinggal sejak nenekmoyangnya. Tapi keluarga jin berjanji
tidak lagi mengganggu manusia. Wasripin mengatakan bahwa jin dan manusia
punya dunia sendiri-sendiri.
Kepala TPI manggut-manggut, menepuk-nepuk pundak Wasripin. "Aku
tidak salah pilih. Aku tidak salah plilih." Dia berpikir sudah ada penggantinya.
Segera diajukannya surat BT (bebas tugas).
5 SUATU malam Wasripin sedang menikmati terang bulan di pantai di luar
TPI ketika seorang perempuan tiba-tiba menegurnya. Bau harum menusuk
hidungnya. "Halo, indah ya bulannya."
"Ya, sebelumnya aku tak tahu bahwa bulan bisa sebesar itu. Tapi ?"
Wasripin mulai curiga. Tiba-tiba saja wanita itu muncul. Di Jakarta dia sudah
mendengar soal jin Jembatan Ancol.
"Ya, seperti kau duga aku peri laut."
"Kalau begitu pergilah!"
"Nanti dulu, to. Tahukah kau seks tanpa risiko?"
"Tidak." "Wah, kabarnya kau orang Jakarta. Jakarta minggiran, ya?"
"Ya, kira-kira begitu."
"Artinya tidak ada gatal-gatal, tidak ada siphilis, tidak ada saksi mata
sebab aku dapat menghilangkan tubuhmu, tidak ada kehamilan hingga tidak
perlu ada aborsi." "Pergilah!" "Kau ingin apa" Gadis bule, gadis hitam, gadis berambut hitam, gadis
berambut pirang, gadis berambut keriting, gadis berambut lurus, gadis mata
biru, gadis mata hitam. Pendeknya apa-apa aku bisa. Seperti kata pedagang,
You Name It, We Have It. Ingin apa?"
"Pergilah!" "Nanti dulu. Pernahkah kau lihat perempuan sophisticated seperti aku?"
Tentu saja Wasripin belum pernah melihat gadis seperti itu. Perempuan
yang sudah dikenalnya adalah mereka yang di tepi sungai itu.
"Pergilah!" "Aku ingin membuatmu senang."
"Pergilah! Jangan tunggu kesabaranku habis!"
"Ya sudah!" Peri itu lalu menghilang. Bau wangi berubah menjadi bau mayat
membusuk. Wasripin kembali ke TPI.
6 KABAR bahwa Wasripin dapat melihat dunia halus segera menyebar.
Mula-mula ia dikenal sebagai orang yang kedatangan Nabi Hidhir, tukang pijat,
dan kemudian pengusir jin. Keahlian sebagai pengusir jin itulah yang
menimbulkan masalah. Ada seorang pemuda desa yang tiba-tiba jadi gila. Dia ke pasar dan TPI.
Berteriak-teriak, "Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan! Usir Wasripin!
Dia membuat kami kepanasan!" Seorang yang gila tidak pernah digubris orang.
Seorang tidak digubris, muncul orang gila yang lain dengan teriakan yang sama,
"Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan! Usir Wasripin! Dia membuat
kami kepanasan!" Tidak digubris. Ketika ada seorang gadis tiba-tiba gila di
pasar dan melepas semua pakaian, "Usir Wasripin! Dia membuat kami
kepanasan! Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan!" Orang-orang pasar
sibuk menutupi. Orang-orang desa mulai berpikir. Tidak seorang pun di antara mereka
yang gila mempunyai nenekmoyang orang gila. Mereka pergi pada orang pintar.
Orang pintar mengatakan bahwa jin-jin marah, sebab Wasripin membuat
mereka panas. Tidak diketahui siapa yang merencanakan tiba-tiba saja orang banyak
berkerumun di depan surau lepas waktu isa. Batu-batu melayang, gentenggenteng pecah. "Klothak, klothak." Semua orang kulon dalan yang sejak dulu
memang bermusuhan dengan orang-orang surau. Dulu sekali soal sepak bola,
pencak silat, dan perkawinan. Daripada dapat menantu orang surau lebih baik
anaknya jadi perawan tua. Sekarang mereka bermusuhan lewat partai yang
berbeda. Mereka membawa pedang, kelewang, dan belati. Di dalam orangorang menyingsingkan lengan baju. Orang-orang di luar berteriak,
"Usir Wasripin! Usir Wasripin!"
Pak Modin bilang pada Wasripin, "Jangan keluar. Aku saja."
Pak Modin keluar. Jamaah surau berkerumun di emperan. Mereka
menaikkan sarong. "Tenang, Saudara-saudara. Apa soalnya?"
"Dia menyebabkan anak-anak kami kesurupan!"
"Wasripin berhak tinggal di sini!"
"Usir! Usir!" "Saudara-saudara ini PKI atau bukan?"
"Bukan!" Mendengar kata PKI mereka surut. Dan rupanya Pak Modin cukup
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihormati orang-orang desa. Kematian, selamatan, sedekah laut, peluncuran
perahu, dan upacara-upacara resmi selalu memerlukan kehadirannya.
Kepercayaan orang melebihi Kaur Agama yang resmi.
"Jangan grusa-grusu!"
Pak Modin menatap mereka. Dia punya pengalaman jadi Hizbullah,
menyerang pabrik gula, ditangkap Belanda, dan dipenjara. Pengalaman itu
membuatnya berani. "Usir Wasripin! Usir! Usir!" suara-suara makin lemah.
"Siapa pemimpin?"
Di luar dugaannya seseorang maju.
"Segala sesuatu dapat dirundingkan. Musyawarah untuk mufakat.
Mari!" Mereka lalu duduk di emperan surau. Di sebelah sana orang-orang surau,
di sebelah sini para tamu tak diundang itu. Pak Modin duduk di tengah.
Mereka sepakat bahwa anak-anak mereka akan dikumpulkan di surau. Pak
Modin memimpin doa dan dzikir untuk mengusir jin, dan untuk keselamatan
warga. Kalau tidak berhasil, Wasripin akan pergi. Maka, pada suatu malam
mereka berkumpul di surau. Dan seperti diharapkan orang-orang gila itu
sembuh. 7 WASRIPIN kehilangan lacak Satinah. Perempuan itu tidak datang juga di
pasar TPI, meski sudah beberapa kali Hari Pasar orang membentuk lingkaran di
bawah pohon munggur. Ia sangat ingin menemui Satinah. Beberapa kali ia ke
sungai pada Hari Pasar, tetapi Satinah tidak pernah muncul. Mungkin dia ke
sungai pada hari lain, pikirnya. Kemudian dia ke sungai tiap hari, tidak
ketemu. Dia meminjam sepeda tiap hariuntuk berkeliling, tidak ketemu.
Dia bertanya kesana-kemari tentang rumah Satinah, tidak seorang pun
tahu. Dia menyalahkan diri sendiri karena tidak menanyakan alamatnya.
Wasripin semakin sibuk menolong orang. Anak-anak yang panas, ibu
batuk tak sembuh-sembuh, laki-laki yang selalu semutan kakinya, orang yang
rumahnya angker, laki-laki yang kakinya membengkak, laki-laki yang tidak
thok-cer, suami-isteri yang belum dikaruniai anak, rumah yang banyak
penunggunya. Kadang-kadang diajaknya pasien ke TPI. Mereka membawa
makanan, kalengan, baju, sarong untuk Wasripin. Seluruh desa mengenalnya.
Dia juga menjadi konsultan. Pengantin yang tak kunjung akur, anak yang
bodoh sekolahnya, orang yang akan mendirikan rumah, orang yang membeli
tanah, perjodohan, peruntungan pekerjaan, orangtua yang kehilangan anak.
Musim tanam tidak ditanyakan ke PLP (Penyuluh Lapangan Pertanian) tapi ke
Wasripin. Kerbau hilang tidak lapor ke polisi tapi ke Wasripin. Hampir-hampir
tak ada waktu untuk diri sendiri. Surau, TPI, dan menolong.
Dia sedang mengepel surau ketika didengarnya lewat pengeras suara
Satinah sedang bernyanyi. Dilihatnya orang membuat lingkaran di bawah pohon
munggur. Seorang perempuan dengan rok panjang merah berada di tengah
kerumunan itu. "Lho, itu Satinah," dia berhenti mengepel dan berlari.
Berjongkok dalam lingkaran. "Lho, kok pakai rok! Lho, rambutnya kok
sebahu!" pikir Wasripin.
Ayo kawan kita bersama Menanam jagung di kebun kita
Mana cangkulmu, mana pangkurmu
Kita bekerja, tak jemu-jemu
Cangkul, cangkul yang dalam
Tanahnya longgar jagung kutanam
"Yang dalam!" "Enak, ta!" "Biar nikmat!" "Huss. Jangan saru, ta!"
Kata Satinah, "Kebunnya sendiri-sendiri, lho! Jangan kebun orang lain!
Nanti dimarahi yang punya!"
"Kebun siapa, hayo!"
"Lagi!" (Mereka bernyanyi lagi sambil bertepuk).
"Suwara Suling, yu!"
Kata Satinah, "Suwara Suling, dados!"
Suwara suling, kumandhang swarane
Thulat-thulit, kepenak unine
Unine mung nrenyuhake Bareng lan kentrung Ketipung suling, sigrak kendhangane
(Suara suling, nyaring suaranya
Tulat-tulit, enak didengar bunyinya
Bunyinya hanya membuat hati trenyuh
Bersama dengan kentrung Ketipung suling, segar kendangnya)
"Ih-hu!" (Satinah melihat Wasripin di tengah lingkaran).
Suwe ora jamu, jamu ora suwe
Suwe ora ketemu, temu pisan ora suwe
Suwe ora jamu, jamu ana kali
Suwe ora ketemu, kirane wis lali
"Ih-hu!" Suwe ora jamu, jamu delima merah
Suwe ora ketemu, temu pisan rok merah
Seorang laki-laki meloncat ke tengah. Orang itu sempoyongan. Dari
mulutnya keluar bau alkohol. Beberapa laki-laki melangkah ke depan, mereka
ingin melindungi Satinah. Tapi Satinah mencegah mereka dengan isyarat
tangan. Dengan gaya Dursosono laki-laki itu bilang, "Ayo, wong ayu Jeng Sri eh
Srikandi. Melua aku. Tak muktekke ana Ngastino!" (Ikut aku. Aku muliakan di
Astina). Satinah yang pura-pura jadi Srikandi bilang, "Nanti dulu, to
Kakangmas. Mbokya minum teh poci dulu!" Sementara itu lelaki yang mabuk
menari-nari, dan terjatuh. Beberapa orang menggotongnya ke luar arena.
"Terus!" "Terus!" Nyang kali ngiseni kendi, jebul kendine katut
Nyang kali arep nyuci, jebul malah kepencut
(Ke sungai mengisi kendi, ternyata kendinya hanyut
Ke sungai mencuci, ternyata jatuh cinta)
Rujak tela Rujake wong atine gela Ya wae Mas, lhe wong disepelekke. Aku anak uwong, lho!
(Rujak ketela Rujaknya orang berhati menyesal
Ya saja Mas, saya diremehkan. Saya anak orang, lho!)
"Ih-hu!" (Satinah melirik Wasripin. Wasripin keluar lingkaran. Ia menuju
kamarnya). Jenang sela wader kalen sesonderan
Apuranta yen wonten lepat kawula
8 SATINAH keluar lingkaran, lari-lari kecil mengikuti Wasripin. Tidak
mengedarkan besek seperti biasanya. Orang banyak melihat tingkah Satinah
dengan heran. Lingkaran itu bubar. Pamannya memanggil-manggil, "Satinah!
Satinah!", lalu dibenahinya radio yang juga pengeras suara. Ia mengartikan itu
sebagai tanda kematiannya sudah dekat.
Satinah berlari sampai ke sisi surau. Pintu Wasripin terbuka. Di dalam
ada dua orang ibu dengan bayinya dan seorang laki-laki yang sedang pringisan
karena plunggungnya dipijat Wasripin. Satinah berhenti di depan pintu.
Wasripin keluar. Mereka berdua berbisik.
"Kok pergi, tersinggung ya?"
"Apa hak saya untuk tersinggung?"
"Ah, jujur saja!"
"Masak berkata begitu di muka orang banyak."
"Ge-er. [Gedhe rumangsa, besar kepala]. Mereka pasti tidak tahu."
"Tahu saja!" "Ya sudah. Kalau begitu saya salah minta maaf yang banyaaak."
"Mudah saja! Berbuat salah, minta maaf."
Muka Satinah merah, dia mulai meneteskan air mata. Wasripin bingung
harus berbuat apa. "Gembeng!" (Mudah menangis).
"Ya ben! [Biar!] Gembeng tidak mbayar, kok susah."
"Mosok, pakai rok."
"Ya ben! Roknya sendiri, kok tidak boleh."
"Rambut sebahu!"
"Ya ben!" "Jelek!" "Ya ben!" "Pakai lipstik! Kayak perempuan anu!"
"Ya ben! Ya ben! Ya ben! Memang saya perempuan anu!"
"Maaf, maaf. Bukan itu maksud saya."
Satinah berlari pergi. "Bukan ituuu!" Wasripin berteriak, tapi suaranya ditelan jarak.
"Tunggu!" Wasripin mengikuti Satinah. Kembali, "Sebentar, ya," katanya
pada mereka yang menunggu di dalam. Mereka semua melihat tingkah
Wasripin. Mereka mendapat kesan keduanya saling jatuh cinta.
Sampai pada pamannya, Paman bilang pada Satinah,
"Sudah saya bilang. Jadi orang itu yang sabar. Urusan kan bisa
diselesaikan. Jangan suka marah-marah begitu."
Paman sudah mengemasi barang-barang. Satinah segera mengambil
sepeda motor. Wasripin hanya bisa melongo. Satinah menoleh. Katanya
keras-keras pada Wasripin, "Sungai!"
Hari-hari Pasar berikutnya Satinah selalu pakai kain, kebaya, selendang,
tidak pakai lipstik. Mereka bertemu di sungai. Wasripin jadi tahu semuanya
tentang Satinah dan pamannya. Setelah mendengar kisah Satinah, ia berpikir
mungkin Satinahlah jodohnya. Wasripin juga tambah yakin adanya hubungan
antara emak angkatnya dengan paman Satinah. Dia berniat suatu kali akan
mempertemukan keduanya. LIMA 1 CAMAT mendemisionerkan lurah dan perangkatnya. Artinya, mereka
tidak boleh membuat Perdes (Peraturan Desa), jual-beli atas nama desa, dan
mengangkat pejabat baru. Mereka hanya bertugas menyukseskan Pilkades
(Pemilihan Kepala Desa). Maka, begitu bangun orang-orang desa akan melihat
sebuah dokar, dua orang penumpang, sebuah bende, dan sebuah pengeras
suara, "Saudara-saudara berduyun-duyunlah datang ke TPS [Tempat
Pemungutan Suara]. Gunakan hak Saudara-saudara, dhung-dhung, ?" Mereka
menyebut tanggal dan beberapa tempat. "Tanda gambar para Cakades [Calon
Kepala Desa] akan diumumkan dua minggu sebelum Pilkades, dhung-dhung."
Camat membentuk Panitia Seleksi Cakades. Seleksi ideologis,
pengetahuan administratif, dan pengetahuan lingkungan sosiokultural desa.
Pengumuman calon diadakan dua minggu sebelum hari-H untuk menghindari
kampanye terselubung dan obral uang (kemudian disebut money politics).
Perhitungannya demikian: seminggu untuk kampanye dan seminggu minggu
tenang. Namun, beberapa calon sudah mencuri start dengan keyakinan akan
lulus seleksi. Mereka membentuk kader, kampanye door-to-door, mengadakan
rapat diam-diam, dan menjanjikan ini-itu (termasuk memberi uang bagi
pemilihnya). Dari sebelas calon yang lulus (diluluskan) seleksi ada tiga orang,
yaitu Babinsa (Bintar Pembina Desa), Sekdes, dan Kaur Keamanan. Jadi banyak
calon yang kecewa. ("Tiga cukup. Biar tidak bertele-tele," kata Camat).
Tanda gambar mereka juga diumumkan. Tanda gambar itu tak boleh mirip
tanda gambar Pemilu. Maka, ada kipas, anglo, dan petromax. ("Kok semua
menyarankan api. Ini ada apa?" kata Camat dalam rapat Muspika [Musyawarah
Pimpinan Kecamatan]. "Ah, itu klenik," bantah Kapolsek).
Kampanye pun dimulai. Meskipun tinggal di pantai, mereka masih malumalu: tak ada pidato-pidatoan ("Pilih aku!"), rapat-rapat umum
("Pembangunan desa jadi prioritas!"), dan janji-janji terbuka ("Listrik masuk
desa!"). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya
oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik,
istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti
pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (Pedagang Kaki Lima) ikut sibuk.
Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siangmalam. Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Pak Babinsa sepi
pengunjung. Di Siskamling orang-orang rerasan, "Maklum pendatang", "Dia
tidak tahu apa-apa tentang orang pantai", "Orang akan lebih suka selawatan
daripada wayang dan ruwat". Dalam minggu tenang pun masih ada kampanye,
misalnya, wayangan dan ruwat yang disebut Pak Babinsa sebagai peristiwa
budaya dan bukan peristiwa politik. Begitu ramai desa itu. Anehnya, lapangan
TPI selalu saja sepi. Orang sudah telanjur mencap para nelayan sebagai Golput
yang fanatik, tidak mau terlibat dalam politik desa maupun nasional. Pernah,
suatu partai mengadakan rapat umum di lapangan TPI, para nelayan yang
dikabarkan dhuk-dheng membubarkan rapat itu. Konon, Pak Modin
menggembleng mereka dengan silat tenaga dalam.
Pak Babinsa membuat kejutan. Ia menang dalam putaran pertama di
hari pertama. Keesokan harinya bertandinglah dia dengan Pak Sekdes. Untuk
penyelenggaraan Pilkades yang demokratis, disediakanlah sebuah kotak kosong.
Sesudah perolehan dari semua TPS dihitung, ternyata kotak kosong yang
memenangkan pemilihan. Camat memutuskan bahwa Pilkades telah gagal.
Aturan mainnya ialah kemudian diadakan minggu tenang selama dua minggu.
Minggu pertama untuk penerimaan Cakades baru, minggu kedua untuk seleksi
dan pengumuman. Lalu ada kampanye seminggu, minggu tenang, dan di
ujungnya untuk pelaksanaan Pilkades. Setelah pendaftaran, seleksi, kampanye,
minggu tenang, dan pelaksanaan Pilkades, ternyata kotak kosong menang lagi.
Sekali lagi akan diselenggarakan Pilkades. Kalau gagal lagi, Camat berhak
mengangkat seorang care taker.
2 LIMA puluhan orang mendatangi surau setelah "Isya. Mereka minta agar
Pak Modin mau mendaftar diri sebagai Cakades.
"Hidup, hidup Pak Modin!"
"Hidup, hidup Pak Modin!"
Keesokan harinya Pak Modin diarak ke Kecamatan untuk mendaftarkan
diri. Adanya nama Pak Modin ternyata menyulitkan Muspika. Danramil ingin
dia tidak lulus seleksi, sedangkan Camat dan Kapolsek ingin dia lulus.
Perdebatan antara Danramil dan Camat pun terjadi.
"Suraunya sudah lampu kuning," kata Danramil.
"Dia hanya perlu pembinaan," kata Camat.
"Dia itu Islam budiyah, menentang Pemerintah yang sah."
"Ah, itu pandangan kolonial."
[Aliran Budiyah " yang secara resmi disebut rifa"iyah " didirikan oleh KH
Ahmad Rifa"i dari Kalisalak (1786-1876)]. Tokoh itu dibuang Belanda ke Ambon
pada tahun 1859, dianggap menentang Pemerintah karena perkawinan biasa di
bawah penghulu resmi dianggap tidak sah. Kabarnya, setelah Kemerdekaan
dipersangkakan mereka masih menikahkan kembali pengikutnya, tidak cukup di
KUA. Karena kedudukan dua lawan satu, akhirnya Danramil mengalah. Pak
Modin pun lulus seleksi, bersama dua Cakades lain. Pak Modin menolak
berkampanye. Untuk pertama kalinya di desa itu, kampanye tidak
diselenggarakan oleh Cakades, tapi oleh sebuah panitia. (Cara kotanya adalah
tim sukses). Wasripin yang tidak berhak ikut Pilkades dijadikan penasihat.
Di rumah, di TPI, di jalan, sedang nonton Satinah menyanyi orang
bertanya kepada Wasripin,
"Pilih siapa?" "Pak Modin-lah."
Kabar bahwa Wasripin memilih Pak Modin segera tersebar di seluruh
perkampungan nelayan. "Pemimpin kita memilih Pak Modin!"
Setelah Pilkades diselenggarakan ternyata Pak Modin meraup delapan
puluh persen suara. Maka sebelum diadakan putaran selanjutnya, pesaing Pak
Modin pun mengundurkan diri. Pak Modin meraih kemenangan. Tetapi,
Danramil masih minta Pak Modin bersaing dengan kotak kosong, katanya untuk
menjamin Pilkades yang bersih dan demokratis. Camat setuju dengan usulan
itu. Pak Modin pun memenangkan sembilan puluh lima persen, lima persen tak
datang, dan kotak kosong sungguh-sungguh kosong.
Dalam rapat Muspika, Danramil menunjukkan surat dari Kodim yang
ditandatangani Wadandim supaya tidak ada pelantikan Kades.
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pemilihan cermin aspirasi rakyat," kata Camat.
"Tidak. Intel kita berkata lain," kata Danramil.
Camat pun menunda-nunda pelantikan Kades.
Para nelayan mendatangi kantor Camat. Kebetulan Muspika sedang
rapat. Mereka tahu belaka siapa yang datang dan untuk apa. Orang-orang
datang untuk menyatakan pendapat. Berbaris rapi dengan bendera Merah Putih
di depan. Camat menemui mereka. Danramil dan Kapolsek ada di dalam.
Seorang nelayan maju membacakan teks Kebulatan Tekad yang sudah
Nurseta Satria Karang Tirta 5 Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk Jaka Lola 3
WASRIPIN DAN SATINAH Kuntowijoyo SATU 1 WASRIPIN naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia
tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. Sudah lama dipelajarinya bahwa
pertama-tama ia harus mengambil jurusan Jakarta-Cirebon. Di beberapa
tempat memang ia sudah melihat pantai. Tetapi ia tahu bukan itulah
tujuannya. Tujuannya adalah pantai utara Jawa Tengah sebelah barat.
Kemudian ia mengambil bus Cirebon-Semarang. ia mendapat tempat duduk.
Untuk dua kali naik bus itu dengan rela ia memberikan kekayaan di saku kanankirinya sebelah atas, yang didapatnya dari pocokan membecak, mendorongdorong mobil mogok, dan membantu-bantu orang memperbaiki rumah. Uang
itu disimpannya sendiri, sebab ia tahu emak angkatnya merasa berhak atas
uang yang didapatnya. "Turun mana?" tanya kondektur bus Cirebon-Semarang
yang melilitkan tas di pinggangnya. "Nanti saya bilang," kata Wasripin. Tanpa
bertanya lagi kondektur memasukkan uang ke tas. Karcis tidak diberikan,
mungkin karena tujuannya tak jelas atau memang sengaja demikian sebagai
bonus untuk awak bus. Tidak apa, Wasripin bahkan tidak tahu bahwa
seharusnya dia menerima karcis.
Di atas bus Cirebon-Semarang ia melongok-longok ke luar. Tapi selalu
saja ia berkata pada diri sendiri, "Bukan ini!" Hampir di sepanjang perjalanan
itu ia sudah mencium udara pantai seperti yang dipelajarinya di Tanjung Priok,
tapi belum memutuskan untuk turun. Dipegangnya kata-kata emak angkatnya
bahwa ibunya berasal dari pantai utara Jawa Tengah sebelah barat. Ia berniat
kembali ke desa ibunya, entah di mana. Akhirnya, dengan kemantapan yang
tak akan dimengertinya, ia berkata kepada kernet untuk menghentikan bus.
"Minggir, minggir. Pelan, ada orang bunting delapan bulan mau turun!" kata
kernet yang berdiri di sebelah kiri pintu bus. Sopir menghentikan bus. Lalu
Wasripin meloncat ke luar, melambaikan tangan untuk mengucapkan terima
kasih. Lambaian itu juga berarti, dia mengucapkan selamat tinggal pada
dunianya yang lama. "Inilah tumpah darah ibuku," katanya dalam hati. Ia
berjalan ke kiri, ke mana pun kaki melangkah, tanpa tahu nama tempat yang
dituju. Pokoknya, pantai, pantai!
2 SEJAK ibunya meninggal, ketika Wasripin masih berumur tiga tahun, ia
dipungut anak oleh emak angkatnya yang berjualan tahu ketoprak, berpindahpindah tergantung adanya proyek. Kalau proyek sepi, ia berjualan di tepi
jalan. Induk semangnya selalu berkata, "Kita sungguh beruntung, jelek-jelek
kita punya rumah. Coba, kalau tidak, kita akan tidur di tepi jalan, di bawah
jembatan, di emperan toko." Dan seperti banyak anak lainnya di
perkampungan kayu, bambu, dan seng di tepi sungai itu, ia juga tidak tahu
siapa ayahnya. Jadi, bukan persoalan baginya bahwa ia tidak punya ayah, tapi
tidak punya ibu sungguh menggelisahkannya. Rasanya hanya dia sendiri yang
tak punya ibu di perkampungan itu.
Seperti anak lainnya, ia juga masuk sekolah, dan setamat SD lalu
berhenti untuk membantu-bantu emak angkatnya. Setamat SD itu ia cukup
kuat untuk mendorong gerobak dagangan dan dapat dipercaya mencuci piring.
Kemudian ia dapat diandalkan untuk meracik makanan. Bahkan, kemudian ia
dapat memasak sendirian. Kata emak angkatnya, ia punya bakat besar untuk
berjualan ketoprak. Ia juga sempat bermain umpetan, main bola, atau main
voli pada waktu masih sekolah. Di tepi sungai itu kehidupan sehari-hari
berjalan seperti biasa, orang juga bekerja untuk dapat makan meskipun
kebanyakan orang tidak sempat hidup dalam keluarga. Ada RT, ada ronda
kampung, ada kartu C-1, ada KTP. Pernah ada pencopet, tapi ketika penduduk
gelap itu ketahuan, ia diusir dari kampung. Pendek kata, benar belaka katakata emak angkatnya bahwa mereka beruntung.
Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua
wanita lain yang masih bersaudara dengan emak angkatnya, dan bekerja
sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki
datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam
dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar
suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu apa artinya. "Maaf, maaf," kata emak
angkatnya selalu setelah sang laki-laki pergi. "Tidak apa, kami tahu kok,
Mbakyu," kata mereka berdua. Basa-basi itu berjalan beberapa lama,
kemudian semuanyajaditerbiasa. Pemandangan dan suara-suara itu berjalan
bertahun-tahun, dan lama-lama sudah jadi kejadian yang biasa di mata dan
telinganya, tidak ada yang aneh.
Pada umur entah berapa, ia mendapat dipan sendiri, tetapi masih di situ
berdampingan dengan emak angkatnya. Umur enam belas atau tujuh belas
emak angkatnya meraba-raba sarongnya dan berbisik, sangat dekat ke
telinganya. "Engkau laki-laki dewasa!" Pada waktu itu ia mencium bau alkohol
keluar dari mulut emak angkatnya. Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang
penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun
kemudian tahulah dia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa.
Suatu sore emak angkatnya berkata, "Yu Mijah butuh tenagamu."
Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak angkatnya dengan enak
gantian tidur di dipan Wasripin. Ia menguras tenaganya. Sore yang lain emak
angkatnya berkata, "Tumiyem butuh tenagamu," dan penyekat pun di pasang.
Tidak disadarinya, entah berapa perempuan sudah minta tenaganya.
Perempuan-perempuan yang ditemaninya tidur selalu mengacungkan jempol
kepada emak angkatnya dan emak angkatnya dengan bangga akan berkata
kepadanya, "Kata semua orang, engkau laki-lakijempol." Ia senang dengan
pujian itu. Ia juga senang karena dapat membalas budi emak angkatnya.
Sebab, ia lihat para erempuan yang butuh tenaganya selalu mengulurkan
sejumlah uang kepada emak angkatnya. Ia terbiasa dengan isyarat emak
angkatnya dan penyekat itu.
Hanya kalau emak angkatnya sendiri yang butuh tenaganya, perintah itu
tak akan didengarnya. Penyekat-penyekat menguntungkannya, sebab sejak itu
ia mendapat makanan terbaik di perkampungan: telur, daging, dan nasi yang
masih panas. Keberuntungan itu berjalan empat tahunan. Pada tahun kelima
ia merasa harus menghentikan semua kegiatannya, membantu para perempuan
dengan tenaganya. "Aku tak mau mati dengan cara begini," katanya.
3 SUATU sore emak angkatnya membangun penyekat. Wasripin tahu apa
artinya, dan perempuan itu berkata, "Ripin, ayo to, jangan pura-pura." Emak
angkatnya mendekat, membuka sarungnya, "Lho! Kok kututmu tidak manggung,
Le." Wasripin, "Boleh aku terus terang, Mak?" Emak angkat, "Apa?" Wasripin,
"Tadi siang kulihat kambing bandot dikawinkan. Saya pikir aku tak jauh dari
itu." Emak angkat, "Makanya, jangan berpikir. Hidup ini jalani saja." Wasripin,
"Saya pikir aku seperti ayam, seperti kambing, seperti sapi pejantan." Emak
angkat, "Ah, macam-macam. Yang kau perlukan ialah madu dan telur." Emak
angkatnya kemudian pergi ke dapur. Wasripin malah menyambar celananya,
keluar rumah. Malam itu ia meninggalkan perkampungan, dan tak bermaksud
kembali. Ia bertekad meninggalkan tempat itu. Emak angkatnya lari kesanakemari di perkampungan, tetapi tidak menemukan Wasripin. Kemudian emak
angkatnya minta tolong ke seorang centeng, tetapi selalu mendapat laporan
tidak menggembirakan. "Puluh-puluh begjaning awak (Alangkah buruk
keberuntungan diriku", beginilah nasib orang melarat!" katanya. Ia mengaduladul barang Wasripin di lemari kayu sengon. Memukuli dadanya sendiri,
menangis keras-keras, merobek-robek bajunya, terduduk selonjor di lantai
tanah kamarnya. Dua wanita saudaranya hanya bisa jatuh kasihan. Ia berhenti
menyesali diri ketika teringat bahwa kejadian itu mungkin isyarat bahwa ia
harus pulang ke desa. 4 WASRIPIN melangkah pasti. Makan dan tidur tidak jadi persoalan. Ia
tahu tempat yang murah untuk makan, ia bisa tidur di mana saja. Ia bisa
mandi dan berak di sungai. Induk semangnya mengajari untuk tidak mencuri,
menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang. Tentang kekayaan,
kata emak angkatnya, "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,"
dan "Tentang rezeki jangan lihat ke atas, lihatlah ke bawah. Katakan pada
dirimu bahwa kau beruntung. Begitulah cara berterima kasih pada Gusti Allah."
"Ya, ini pasti desa ibuku." Sehabis lohor ia sampai di suatu tempat. Ada
kesibukan, ada perahu-perahu, ada laut yang menjorok ke dalam, ada
bangunan kayu menempel ke teluk itu, ada muara sungai, ada bangunan lain di
dekatnya, ada lapangan bola dengan jemuran ikan asin di atas para-para dari
bambu. Ia melihat beberapa orang mendandani jala mereka di pantai teluk. Ia
mencium bau ikan segar, perahu-perahu berlabuh di anjungan, dan orang
dengan keranjang-keranjang kemudian menaruhnya pada bangku dari beton.
Orang-orang perahu dengan keranjang lalu terlibat pembicaraan dengan orang
yang sudah menunggu. Pemandangan itu asing baginya tapi mengasyikkan. Ia
tambah yakin bahwa ia tidak salah pilih. Ia masuk ke bangunan, dan
menemukan seorang dengan baju putih celana hitam pakai kopel, berpet, dan
di pundaknya melilit sempritan, berdiri-berdiri sambil merokok. Ia
mengulurkan tangannya. "Nama saya Wasripin. Dari Jakarta."
"Saya Satpam." "O, ya. Di mana masjid?"
"Itu, tapi hanya surau," ia menunjuk ke bangunan yang terpisah dari laut.
Wasripin tidak pandai sembahyang, tapi tahu di situ ia dapat menumpang
mandi dan berak. Pekerjaan itu sudah dua hari ditinggalkannya, jadi ia ingin
betul ke sana. Ia praktis lari. Ia dapat berak dan mandi. Tapi tidak puas
dengan mandi di kulah, rasanya ada yang kurang.
Setelah selesai, ia kembali ke situ. Ia mencium bau anyir. Dan
kesibukan. "Jadi ini bangunan apa?"
"TPI, Tempat Pelelangan Ikan."
"Sudah kuduga. Itu lapangan bola, ya?"
"Untuk pasar kalau pagi."
"O, begitu. Saya lapar. Di mana warung?"
Satpam menunjuk-nunjuk. Wasripin pergi ke warung. Sudah itu ia buruburu ke surau, sebab kantuknya datang. Ia menuju emperan surau, mencopot
sepatu kain putih yang sudah lusuh. Tidak ada barang bawaan, sehingga tidak
ada yang harus dijaganya. Ia tidur begitu saja.
Ia merasa tidur sangat nyenyak di emperan surau sampai Ashar, sampai
Maghrib, sampai Isya. Jamaah Isya berkerumun di sekitarnya. Penjaga TPI
datang, dan mengatakan bahwa namanya Wasripin dari Jakarta. Pak Modin dulu perangkat desa, tapi diberhentikan- merangkap imam surau berkata pada
jamaah. "Coba dibangunkan, suruh tidur di dalam."
Beberapa orang menggoyang-goyang. Tapi Wasripin diam saja,
mengikuti goyangan. Tidak terbangun. Orang pun gregetan, lalu menggulinggulingkannya, tidak terbangun. Akhirnya, orang pun membiarkannya tidur.
Lima orang yang bertugas ronda datang. Mereka mengamati Wasripin: orang
asing. Satu di antaranya pergi untuk melapor ke Kaur (Kepala) Keamanan, Kaur
Keamanan akan ke Koramil (Komando Rayon Militer, Tentara Kecamatan),
Koramil akan ke Kodim (Komando Distrik Militer, Tentara Kabupaten). Mereka
sudah dipesan untuk melaporkan setiap ada orang asing. Sehabis Subuh orang
mencoba membangunkannya kembali, tetapi tetap saja ia tidur. Sampai pagi,
TPI itu sibuk, sampai para juragan membawa pulang ikan-ikan untuk
dikeringkan atau dipindang, dan sebuah truk menjemput perolehan ikan siang
itu. Para nelayan yang pulang melaut dan selesai dengan TPI ikut berkerumun.
"Ini mati atau tidur. Kalau mati kok masih bernapas, kalau tidur kok tidak
bangun-bangun," kata mereka yang berkerumun. "Ini pasti cucu Kumbakarna."
Kumbakarna adalah adik Rahwana yang sepanjang hidupnya lebih suka tertidur,
barangkali sebagai protes atas kejahatan kakaknya.
"Ini hantu yang kamanungsan," "Ini orang sakti," "Ini petapa," "Ini
gelandangan yang lima hari tidak tidur," "Ini pencuri yang dikejar-kejar
orang." Bahwa ada orang asing bernama Wasripin tertidur di emperan surau
segera menyebar ke seluruh desa. Siang hari berikutnya, laki-laki, perempuan,
dan anak-anak dari seluruh desa datang. Nelayan yang tidak melaut memenuhi
emperan itu. Sopir tangki pemasok solar menonton. Bahkan, mereka yang tak
pernah ke surau datang menonton. Para pedagang meninggalkan dagangannya
dan menyempatkan diri ke surau. Lurah dan seluruh perangkat desa datang
menjenguk. Ketua Partai Randu datang. Dia berusaha membangunkan. Dia
sanggup membangun TPI, memberi listrik surau, dan berjanji akan mengaspal
jalan setelah pemilu. Tapi, dia tidak berhasil mengerjakan pekerjaan
sederhana itu: membangunkan Wasripin, betapa pun usahanya.
Lurah yang pernah jadi perawat di rumah sakit itu keluar nalurinya. Dia
memegang-megang tubuh Wasripin. "Masih bernapas, tapi badannya kok
dingin." Ia melambaikan tangan kepada seorang hansip. "Pergi ke puskesmas,
minta dokter datang," perintahnya. Sementara itu, orang membiarkan tubuh
Wasripin tergeletak di emperan, di bawah tatapan mata mereka yang
menonton. Dokter datang bersama seorang perawat. Ia memegang nadinya,
mengeluarkan alat dari tasnya. Melilitkan kain di lengan Wasripin dan
memasang stetoskop di telinga. "Ia hanya tidur, Pak. Lelap sekali, tidak
pingsan, tidak koma," katanya kepada Lurah.
Pak Modin berkata, "Pak dokter, gunakan segala cara. Saya yang
menanggung biayanya." "Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga bangun." Kemudian
dokter dan perawat pergi.
Hari ketiga Wasripin tertidur adalah Hari Pasar. Tidak tahu siapa yang
mengambil inisiatif, tetapi orang tahu bahwa siapa saja dipersilakan mengenali
asal-muasal Wasripin. Pada hari itu ada pasar hewan, maka para belantik
menalikan hewannya, lalu ke emperan surau. Orang-orang itu hanya
menggeleng, padahal mereka juga banyak yang datang dari jauh. Hari itu juga
dua orang tentara dari Kodim datang. Mereka diantar Lurah dan Kaur
Keamanan. Mengamati pakaian Wasripin, mereka menyimpulkan bahwa
mereka berhadapan dengan gelandangan. Dua orang tentara itu lalu
menggeledah saku-saku Wasripin. Di saku baju ditemukan fotokopi ijazah yang
terlipat-lipat dan lusuh: ijazah SD. Selain itu tidak ada apa pun: tidak KTP,
tidak SIM. "Orang ini mencurigakan, akan kami bawa ke Kodim," kata salah
satunya kepada Lurah. Pak Modin yang selalu menjaganya menyela, "Jangan,
Bapak-bapak. Saya menjamin dia orang baik-baik." "Ini siapa, Pak?" tanyanya
kepada Lurah. Dijawab bahwa dia adalah Pak Modin. Seorang tentara
mencatat-catat, lalu berpesan, "Surau ini sudah lampu kuning. Hati-hati saja
kalau tidak mau hhh." Tentara itu menyilangkan telapak tangannya ke leher.
Kemudian mereka pergi. "Pak Modin dengar sendiri," kata Lurah. "Saya tidak
mengharap kejadian yang buruk-buruk di wilayah saya."
Siang hari Wasripin bangun, terduduk, heran mengapa ia dikelilingi
begitu banyak orang. Ia mengucek-ucek matanya. Mereka yang berkerumun
minggir. Satinah dengan gelung, bunga kantil di rambut, kain batik kebaya
merah, dan selendang ada di tengah kerumunan itu. Ia merangsek ke depan
untuk menyaksikan apa-siapa orang yang tadi tidur itu. Ia berkata, "Tidur saja
kok pakai parfum. Ini mesti minyak wangi yang baik. Baunya lembut." Orangorang lain juga cengar-cengir mencari asal bau itu. Melihat Satinah, orang
mengira bau itu mesti berasal dari perempuan penyanyi itu. Wasripin menoleh
ke kanan dan ke kiri, terheran-heran.
"Saya di mana?" tanyanya.
"Di surau," jawab orang banyak.
"Surau di mana?"
Orang menyebut nama desa itu.
"Desa itu di mana?"
Orang menyebut tempat. Pak Modin yang rumahnya dekat surau datang, membawa semangkuk
bubur dan segelas air teh manis.
"Minum dulu, Nak. Lalu makan yang halus-halus."
"Engkau siapa, Pak?"
"Saya imam surau."
Wasripin mendongak. Belum pernah ia mendengar kata-kata sehalus itu,
bahkan dari para perempuan yang minta tenaganya. Ah, tidak. Ia ingin
melupakan mereka, emak angkatnya, kampungnya, sungainya, Jakarta, dan
seluruh hidupnya. Ia menerima uluran tangan Pak Modin dan mengucapkan
terima kasih. Ia menghabiskan semuanya dengan lahap. Dengan mangkuk dan
gelas di tangan, dia mencari-cari sepatunya yang terinjak orang banyak.
"Ke mana, Nak?"
"Mencuci gelas dan mangkuk." Mencuci piring-piring dan gelas adalah
keharusan. (Kata emak angkatnya, "Hanya kucing yang tidak pernah
mencuci.") "Tidak perlu," Pak Modin mengulurkan tangan.
Mata Wasripin melihat-lihat sekeliling. Ia terheran-heran.
"Lho! Di mana orang tua itu?"
"Engkau pasti bermimpi, Nak. Engkau tidur tiga hari. Tidak ada orang
tua," kata Pak Modin.
"Tidak. Mungkin. Tidak. Mungkin. Berambut putih?"
"Tidak ada. Sudahlah."
"Saya bahkan belum mengucapkan terima kasih. Orang itu keburu
pergi." "Jangan khawatir apa-apa. Saya punya firasat kau bermaksud baik. Di
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sisi surau ada kamar, kau bisa tinggal di sana. Syaratnya, kau bersihkan surau.
Sumur sudah ada listrik, jadi tinggal menekan tombol. Tidak usah repotrepot."
"Tidak, Pak. Saya tidak berhak tinggal di surau."
"Surau adalah rumah Tuhan, rumah siapa saja."
"Tetapi saya tak bisa sembahyang, Pak."
"Itu mudah, nanti saya ajari."
"Jangan, Pak. Nanti mengotori surau. Saya tidur di TPI saja."
Wasripin heran. Ia tidak mengira akan diterima begitu baik. Ia sudah
siap untuk tidur di mana saja. Ia punya banyak teman main yang biasa tidur di
emperan toko, di bawah jembatan. Tidur di emperan surau tidak pernah
terlintas di benaknya. Setelah teringat tujuannya ia berkata:
"Apa Bapak kenal ibuku?"
"Siapa nama ibumu?"
Wasripin baru sadar bahwa ia tidak mengerti nama ibunya. Ia
menggelengkan kepala. "Ah, nanti juga kau ingat," kata Pak Modin.
"Ya, ya. Terima kasih." Ia bahkan sebenarnya tak ada ingatan sama
sekali tentang ibunya. "Sekarang kutunjukkan tempatmu. Ikutlah."
Pak Modin akan berjalan ke sisi surau.
"Tidak usah, Pak. Ke situ saja," Wasripin menunjuk TPI, menunjuk
pasar. "Lho, ke mana?"
"Cuma ingin jalan-jalan dulu."
Ia mencari sepatu kainnya, ngeloyor ke TPI. TPI masih sepi. Lalu jalan
ke pasar. 5 Mereka yang berkerumun bubar. Mereka kembali ke tenda-tenda.
Satinah kembali ke pamannya. "Kasihan dia, Lik," katanya kepada paman yang
buta bersarung, bersurjan, berikat kepala dengan bundar-bundar di belakang.
Lalu ia menuntun pemain saron dengan siter (kecapi), seruling, dan bungkusan
besr berisi pengeras suara ke penjual soto. Mereka duduk di atas bangku. Di
bawah tatapan mata orang pasar, Wasripin jalan-jalan. Wasripin lapar bukan
main. Ia melihat penjual soto, lalu ikut duduk di atas bangku.
"Namamu pasti Wasripin."
"Kok tahu?" "Diam-diam kau terkenal di sini."
"Terkenal?" "Iya. Kau pasti orang Jakarta. Pakaianmu, bahasamu, dan seluruh
gayamu." "Kok tahu?" "Seseorang dari desaku yang kembali dari Jakarta juga berpakaian,
berbahasa, dan gaya seperti itu."
"Kau kok jeli."
"Jenat ibu saya bilang bahwa perempuan harus jeli supaya tidak ditipu
laki-laki, dan supaya telaten dalam bekerja. O, ya. Kenalkan saya Satinah. Ini
paman saya." Wasripin bersalaman dengan dua orang itu. Paman memegang
tangan Wasripin lama. "Mataku buta, Nak. Tapi, aku bisa melihat tanda-tanda itu."
"Terima kasih," kata Wasripin tanpa tahu apa sebenarnya yang
dimaksudkannya. "Apa kerjamu di sini?" tanya Satinah.
"Mencari desa ibuku."
"Sudah ketemu belum?"
"Sudah." "Apa pekerjaanmu?"
"Penjual ketoprak. Dan engkau?"
"Di sini aku penyanyi. Paman ini main siter."
"Pantas." "Kenapa?" "Ah, tak apa." "Sudah punya istri?"
"Belum." "Pantas." "Kenapa?" "Ah, tak apa." Keduanya tertawa. "Suka pakai parfum, kayak perempuan."
"Sumpah, seseorang telah menuangkan parfum."
"Tidak percaya. Memang kenes, mbok diakui saja."
"Sumpah, kok." "Kenes ya boleh. Asal jangan kayak perempuan."
Wasripin ingat kata-kata emak angkatnya setiap kali ada perempuan
pakai kebaya berkain batik, "Itu lho, Pin. Yang namanya wanita cantik." Di
Jakarta hanya pada Hari Kartini ditemukan gadis-gadis demikian dekat
sekolahan. Dan, sekarang Satinah berdandan seperti itu.
Lapangan itu sudah berubah jadi pasar. Para pedagang memasang
tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar. Orang dari desa-desa
sekitar datang. Mereka menawar dengan suara keras, berlomba dengan orang
lain, dan dengan mobil van yang menawarkan jamu dengan pengeras suara yang
lantang. Petugas dari kecamatan dengan tas di pinggang mendekati para
pedagang dan menarik pajak. Hari ini bukan hari pasar biasa, tapi Hari Pasar.
Itulah sebabnya Satinah dan pamannya datang. Pasar akan segera selesai.
Ada pasar hewan di sebelah selatan. Di situ dipasang pipa-pipa besi
untuk menambatkan sapi dan kerbau. Hewan-hewan itu diangkut dengan truktruk yang berhenti di pangkalan. Belantiknya sudah kembali ke pasar setelah
mencoba mengamati Wasripin yang tidak mereka kenal. Para sopir dan kernet
makan di sebuah warung dengan menaikkan kaki sebelah ke atas bangku. Sapi
melenguh, kambing mengembik. Orang tawar-menawar dagangan. Mereka
yang sudah membeli menaikkan binatangnya ke atas truk. Suara-suara truk,
colt, dan pickup bersahutan.
Pemandangan itu sangat asing bagi Wasripin. Semua baru baginya: TPI,
teluk, muara sungai, perahu-perahu, pasar, dan orang-orang. Dia ingin
menikmati kebebasan dari kota yang telah mengungkungnya selama ini. Pasti
di sinilah ibuku dibesarkan sebelum pergi ke Jakarta, pikirnya. Dia menyesali
ibunya. Kalau saja ibunya tidak pergi dari situ, pasti dia tidak harus kenal
dengan emak angkatnya, dengan Bu Mijah, dengan Yu Tumiyem, dengan
perempuan-perempuan lain. Ia akan dibesarkan oleh ayah dan ibunya. Tapi,
itu hanya andaikata. Ia juga belajar untuk menerima nasib. "Nasibmu ialah
jalan hidupmu. Jangan ditolak, jangan disesali, jangan dimaki. Terima
sajalah. Hidup ini seperti banjir Sungai Ciliwung. Kita hanyut. Usaha kita
ialah agar supaya tidak tenggelam. Itu saja," kata emak angkatnya suatu kali,
ketika ia tampak berkeringat mendorong-dorong dagangan dan berusaha
menghapus keringatnya. Wasripin berjongkok melingkar bersama orang-orang lain di bawah pohon
munggur yang rindang. Ada pedagang, nelayan, dan anak-anak. Di tengah
mereka ada Satinah, pamannya, dan pengeras suara. Paman bermain siter,
kemudian seruling. Satinah yang memegang gagang pengeras suara mengajak
mereka menyanyikan lagu pembukaan yang biasa, sambil bertepuk tangan. Dia
belajar mengajak menyanyi bersama sebagaimana seorang seorang penyanyi
dangdut yang pernah ditontonnya. Berulang-ulang. Pamannya mengikuti.
Kadang-kadang mereka yang berjongkok berdiri, manggut-manggut, menarinari mengikuti irama.
Teman-teman, mari kita nyanyi sama-sama!
Bernyanyi bersama, sepertinya mereka sudah hafal.
Mari kita bergembira Bergembira bersama Jangan ada yang susah Susah itu bikin kepala pecah
"ih-hu!" Rujak tela Rujake wong ati lega (Rujak ketela Rujak orang berhati lapang)
Ngalam donya warna-warna kahanane, ya kangmas
Mula aja tansah digagas wae, ya mbakyu
(Dunia ini macam-macam keadaannya, ya mas
Karena itu, jangan selalu dipikirkan, ya yu)
"Ih-hu!" Rujak cingur Rujake wong ati jujur (Rujak cingur Rujak orang berhati jujur)
Rujak uyah Rujake wong ati susah (Rujak garam Rujak orang berhati susah)
"Ih-hu!" Ngalam donya warna-warna kahanane, ya bapak
Mula aja tansah dipikirke, ya sibu
(Dunia itu macam-macam keadaannya, ya bapak
Karena itu, jangan dipikir panjang, ya ibu)
Sapi perah berbaju lurik Yang baju merah jangan dilirik
"Ih-hu!" "Tenan, pa?" penonton.
(Apa sungguh") "Tenan wae!" Satinah.
"Siapa yang punya?" penonton.
"Paman!" Satinah.
"Jangan gitu lho, nanti tak laku!"
"Laku saja!" ?"?"?"?"
Jenang sela wader kalen sesonderan
Apuranta yen wonten lepat kawula
(Jenang batu ikan sungai pakai sleyer
Minta maaf kalau ada kesalahan saya)
Semua bertepuk tangan di akhir setiap dua lagu sambil berih-hu. Mereka
seperti ingin menghibur diri sendiri. Kebanyakan lelaki dan anak-anak sekolah
yang sengaja dolan ke pasar. Wasripin belum pernah mendengar suara sebagus
itu kecuali di televisi. Suaranya keras tanpa menegangkan urat leher. Setelah
selesai Satinah mengedarkan besek. Orang-orang menjatuhkan uang di besek.
Ketika tiba gilirannya menjatuhkan uang, Wasripin merogoh saku celananya
dalam-dalam. Semua uangnya dijatuhkan. "Terima kasih," kata Satinah pelan,
seperti takut didengar orang lain. Ketika Satinah menyanyi lagi, tahulah dia
bahwa kemudian besek akan diedarkan lagi padahal uangnya sudah habis.
Pelan-pelan dia mundur dari lingkaran.
6 Orang-orang di surau kehilangan Wasripin. Pak Modin yang memimpin
shalat menanti-nantinya. Para nelayan merasa ada sesuatu yang hilang.
Wasripin yang tidur di emperan surau itu ternyata telah menjadi bagian dari
mereka. Di surau mereka masih berkumpul lama setelah shalat selesai. Entah
siapa mulai pembicaraan: "Ia bilang orang tua berambut putih."
"Jangan-jangan jin penunggu surau."
"Jangan-jangan jin laut."
"Jangan-jangan Nabi Hidhir."
"Ya, jangan-jangan Sang Nabi."
"Pasti. Baunya harum!"
"Kalau begitu, akhirnya Dia mengabulkan doa kita."
"Tak sudi lagi ada yang sewenang-wenang!"
"Tak sudi lagi dipaksa-paksa!"
"Kita perlu pemimpin!"
"Yang muda!" "Pemberani!" Kesimpulan bahwa Nabi Hidhir sudah datng itu disetujui oleh orang
banyak. Para nelayan lalu pulang. Sebentar saja kembali. Ada yang membawa
sarung, ada yang membawa baju, ada yang membawa celana kolor, ada yang
membawa peci. Mereka juga membawa nasi, lauk-pauk, dan termos teh.
Barang-barang itu menumpuk di emperan surau."
DUA 1 Sudah beberapa hari Wasripin tak melihat sungai. Mandi di kamar mandi
surau tidak memuaskannya. Ia sediri tak tahu berapa lama ia tidur. Karena
itu, setelah bertanya soal lokasi sungai, ia ingin segera sampai ke sana.
Keinginan itu melupakan janjinya kepada Pak Modin untuk segera kembali
setelah jalan-jalan. Sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara di teluk,
dan mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di
teluk TPI. Sungai itu di sebelah sana masih bening, tidak asin, jauh dari pantai.
"Ibumu bercerita bahwa di sungai desanya engkau dapat mengaca. Airnya
sejernih siang hari," cerita emak angkatnya, "di pinggirnya ada rumputan, ada
gerumbul, ada pasir." Inilah pasti sungai yang dimaksud ibuku, pikirnya.
Memang, ada bedanya dengan sungai yang ia akrabi selama ini. Di Jakarta
sungai berwarna coklat, sampah plastik, daun-daun, dan tepinya penuh rumah.
Seperti rumahnya, seperti kampungnya. Di sini ia akan mandi dan mencuci
pakaiannya. Maka ia melepas pakaian, mencuci, memerasnya kuat-kuat supaya
cepat kering. Pada waktu mencuci itulah disadarinya bahwa seseorang telah
menuangkan parfum ke bajunya dan ke badannya. Sesudah dicuci, dijemurnya
pakaiannya di panas Matahari, di rumputan pinggiran sungai. Dan ia kembali ke
air. Untuk urusan cuci-mencuci itu emak angkatnya punya sumur. Demikian
juga untuk mandi. Ketika masih kecil, emak angkatnya selalu memandikannya
kembali di sumur setelah ia kecibar-kecibur di sungai. Sekarang dia harus
berendam di air sampai cuciannya kering. Bisa juga ia duduk-duduk di tepian
karena siang-siang begitu tidak ada seorang pun di sungai.
Ia sedang duduk-duduk di tepian sungai ketika didengarnya ada sepeda
motor datang. Cepat-cepat ia kembali ke air, menjauh dari arah suara datang.
Satinah memboncengkan pamannya. Paman dan keponakan itu berhenti.
Seperti selalu demikian, paman itu mencopot pakaiannya dan masuk ke air.
Biasanya ia mandi lalu tertidur di bawah pohon. Satinah bergerak menjauh dari
pamannya. Ketika ia sedang mencuci muka dilihatnya pakaian laki-laki di dekat
gerumbul. Dari warna dan potongannya ia yakin pakaian itu milik Wasripin,
seperti dipakainya waktu jajan soto. Ia ingin bermain-main seperti waktu kecil
saat terang bulan di desa: Joko Tarub-Nawang Wulan. Ia mencari sebatang
tumbuhan perdu kering, ditariknya pakaian itu, dan dipindahkannya ke tempat
lain. Kemudian ia terlelap sebentar.
Ketika Satinah terbangun dilihatnya pakaian itu masih terjemur.
Dilihatnya dari balik gerumbul Wasripin melihat ke kanan-ke kiri mencari satusatunya pakaian miliknya. Ia naik-turun tepi sungai, tidak juga ketemu. Ia
menggaruk-garuk kepala, lalu kembali ke air. Ia memutuskan akan menanti
samai gelap kemudian berlari seperti orang gila ke surau atau TPI.
Pada waktu itu Satinah cekikikan sendiri. Ia punya ide bagus, bermain
Joko Tarub-Nawang Wulan dan Wasripin adalah Joko Tarub. Mestinya Satinah
yang ada di dalam air. Kebalik tak apa, pikirnya.
"Eh, Joko Tarub. Apa janjimu kalau ada orang memberikan pakaian?"
kata Satinah dari gerumbul.
Wasripin yang berendam di air sungai diam, tidak tahu harus berkata
apa. Ia mengusap-usap matanya. Satinah muncul dari gerumbul. Ia berkacak
pinggang. "Ya, akulah Nawang Wulan."
"Lho, ini kan Satinah."
"Bukan. Akulah Nawang Wulan."
"Satinah!" Wasripin berpikir, Satinah mungkin telah gila.
"Wo, kau ini bagaimana!"
"Ini apa?" "Ini permainan. Namanya Joko Tarub-Nawang Wulan. Wah, orang kota
yang picik." Ia ingat, emak angkatnya memang pernah bercerita tentang Joko Tarub
dan Nawang Wulan waktu dia kecil. "Ada tujuh bidadari sedang mandi di
sendang, yang tercantik namanya Nawang Wulan. Joko Tarub yang mengintip
ingin memperistri bidadari tercantik itu. Maka ia pun menyembunyikan
pakaiannya. Ketika selesai mandi, bidadari lain mencari pakaian masingmasing dan terbang. Tinggallah Nawang Wulan yang kehilangan pakaian, dan
tak dapat terbang. Maka ia bersumpah bahwa siapa saja yang dapat
menemukan pakaiannya kalau perempuan akan dijadikannya saudara, kalau
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laki-laki akan dijadikannya suami. Pada waktu itu muncullah Joko Tarub."
Waktu itu dia berpikir bahwa laki-laki desa itu amat beruntung. Dan pernah
terbersit dalam pikirannya untuk jadi Joko Tarub.
"Ini hanya permainan, to?"
"Iya. Kaukira sungguhan?"
"Kok tidak bilang-bilang. Ya sudah. Mana pakaianku?"
"Janji dulu. Kalau laki-laki akan saya jadikan saudara dekat, kalau
perempuan akan saya jadikan istri."
"Ya, janji." "Harus diucapkan!"
"Bagaimana tadi?"
"Kalau perempuan akan saya jadikan istri."
"Ya. Kalau perempuan akan saya jadikan istri."
"Nah, begitu." Satinah mengambil baju itu. Dan menaruhnya di tempat semula. "Ini!
Belum begitu kering, tapi boleh dipakai," katanya.
Setelah Wasripin mengenakan pakaian, mereka menuju ke bawah pohon.
Terdengar napas paman yang berat.
"Janji tadi hanya main-main. Sekarang kucabut."
"Tidak bisa. Janji tetap janji."
"Lho! Katanya permainan."
"Ya, permainan, tapi","
"Tapi jangan. Joko Tarub sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak
kawin." "Lho! Kok sama. Nawang Wulan dulu juga pernah berjanji begitu. Kata
orang, kereta api saja tidak malu untuk mundu, apalagi orang."
"Jangan. Jangan, Joko Tarub sungguh-sungguh."
"Kenapa?" "Joko Tarub yang ini orang paling kotor di dunia."
"Ya, kenapa?" Lalu Wasripin bercerita tentang masa kecilnya, emak angkatnya,
penyekat, dan para perempuan yang membutuhkan tenaganya. Ia merasa lega,
beban berat jatuh dari pundaknya. "Orang tua itu meminta supaya saya
memaafkan mereka dan berdoa supaya mereka dan saya sendiri dapat ampunan
Tuhan. Dendam adalah beban," ia menutup kisahnya.
"Paman juga sering berkata semoga Tuhan mengampuninya. Kau tahu
tentang Tuhan?" "Orang tua itu mengajar saya."
"Orang tua yang mana?"
"Entahlah." "Apa Joko Tarub ingin dengar cerita Nawang Wulan?"
"Ya, kalau boleh."
"Pokoknya ya hampir sama. Tapi lain kali saja."
"Ini tidak adil. Saya sudah bercerita, dan kau belum."
"Ya, ya. Aku tahu, tapi saya harus membangunkan paman, dan pulang.
Pokoknya mirip." "Mirip bagaimana?"
"Ya, pokoknya mirip."
"Aku jijik dengan diriku sendiri."
"Ya, jangan begitu."
"Apa pernah punya perasaan seperti itu?"
"Ya, pernah." "Malam itu aku melihat jembatan, ingin mencebur sungai. Melihat
pohon tinggi, ingin memanjat kemudian terjun. Melihat kereta api, ingin
menabrakkan diri." "Kalau jadi, Nawang Wulan tak ketemu Joko Tarub."
"Tapi aku takut, aku pengecut."
Satinah membangunkan pamannya. Paman bangun dan mukanya ke arah
Wasripin. Paman menyapanya.
"Hati-hati, Nak. Kau akan dapat banyak godaan dan fitnah!"
"Sudah, ya Joko."
Untuk yang terakhir kali Satinah menoleh.
"Lain kali jangan semua uang dijatuhkan di besek, kalau uangnya habis
bagaimana?" Apa Satinah tahu, pikir Wasripin. Paman dan keponakan itu
meninggalkan Wasripin sendirian.
"Saya melihat tanda-tanda di tubuhnya, Nah," kata paman. "Cahaya
itu, lho." "Ah, jangan aneh-aneh, Pak Lik."
"Kalau jatuh cinta bilang, lho."
Wasripin memandang lama arah Satinah pergi. Ia lega telah
menceritakan riwayatnya. Dan ternyata perempuan itu telah masuk dalam-dalam ke dalam
hidupnya. Dengan pikiran pada Satinah ia berjalan pulang di bawah terik
Matahari. Ia tidak tahu mengapa keburu menceritakan rahasia dirinya kepada
Satinah, yang baru saja ia kenal. Padahal ia pernah berjanji pada diri sendiri
untuk menyimpan rahasia hidupnya, dan melupakannya. Di jalan ia teringat
emak angkatnya. Bagaimana bisa dia juga punya pengalaman tentang
permainan Joko Tarub-Nawang Wulan yang sama dengan Satinah" Apakah
mereka sedaerah" Ia berharap bisa mempertemukan Satinah dan pamannya
dengan emak angkatnya. Entah kapan. Jatuh cintakah ia"
2 KABAR bahwa Wasripin telah kedatangan Nabi Hidhir itu menular pada
semua orang. Begitu cepat, sehingga bukan saja para nelayan tapi juga aparat
dan partai-partai. Partai Randu dengar, Partai Langit dengar. Mereka masingmasing mengadakan rapat kilat. Wasripin akan sangat menguntungkan bagi
kemenangan partai mereka di perkampungan nelayan itu dalam pemilu yang
sudah di ambang pintu. Dan mereka tidak mau kehilangan momentum,
mumpung masih hangat beritanya. Partai Randu memutuskan untuk memberi
jabatan koordinator pemenangan pemilu bagi Wasripin. Partai Langit
memutuskan untuk mengangkatnya jadi salah satu ketua. Aparat desa juga
cepat-cepat mengadakan pertemuan untuk mengangkat Wasripin sebagai
komandan hansip. Juragan perahu ingin agar dia jadi pengawas armada
perahunya. Ada juragan lain yang ingin memberinya pekerjaan sekadar untuk
jimat. Orang-orang tua yang punya anak gadis berpikir untuk menjodohkan
Wasripin dengan anaknya. Pak Modin alias imam surau berpikir untuk mundur
sebagai imam surau. Kepala TPI ingin dia jadi satpam di TPI. Para nelayan
berharap bisa melaut bersama Wasripin.
Maka, sesampai di surau Wasripin terkejut. Banyak orang berkumpul di
sana. Ia tidak tahu bahwa orang-orang telah menantinya. Tiba di pelataran
surau, beberapa orang menyambutnya. Mereka memapahnya dan
mendudukkannya di emperan. Wasripin terheran-heran, ia kebingungan,
menoleh ke kanan dan ke kiri. Dilihatnya Pak Modin.
"Apa yang terjadi, Pak?"
"Begitulah. Engkau dapat tempat mulia di sini."
"Terima kasih, tapi "."
"Terima saja." "Jangan! Jangan, aku tak mau!"
Wasripin mencoba lari. Tapi beberapa laki-laki menangkapnya. Terjadi
tarik-menarik. Tentu saja Wasripin kalah. Ia duduk pasrah di emperan surau.
Pak Modin mendekatinya. "Mereka semua punya tawaran bagus," katanya.
Seperti sudah selayaknya mewakili aparat desa lurah mendekat.
"Kau akan kami jadikan Komandan hansip."
Lagi Wasripin berbisik-bisik kepada Pak Modin.
"Komandan hansip itu sama dengan Kaur Keamanan."
Kaur Keamanan yang ikut bersama rombongan aparat kaget. Tiba-tiba
saja kedudukannya akan dilindas.
"Ya tidak begitu, to Pak. Tapi di bawahnya sedikit," katanya.
"Bagaimana" Setuju?" tanya lurah.
"Tidak, Pak." Ketua Partai Randu mendekat.
"Wasripin, jangan ditolak kesempatan yang bagus ini. Kau akan kami
jadikan koordinator pemenangan pemilu Partai Randu. Kalau menang, kau
dapat naik ke tingkat kecamatan. Dari kecamatan dapat meningkat ke
kabupaten. Dari kabupaten ke tingkat provinsi. Dari provinsi ke tingkat pusat.
Di pusat dunia terbuka: menteri, ketua DPR/MPR, gubernur, bupati. Tinggal
pilih." Wasripin melongo, tidak paham.
"Apa artinya, Pak?" tanyanya kepada Pak Modin.
"Ya, seperti yang dikatakannya."
"Tapi aku tak ngerti kata-katanya."
"Semua pada mulanya juga tak ngerti," kata Ketua Partai Randu.
"Itulah sebabnya ada sekolah, ada kursus, ada seminar, ada training.
Bagaimana?" Wasripin menggeleng, lebih karena tidak mengerti.
"Ya sudah kalau tak mau maju. Kami takkan memaksakan kehendak.
Itulah inti demokrasi. Tapi jangan golput!"
Ketua Partai Langit maju.
"Bagaimana kalau Wakil Ketua Partai Langit?"
Lagi-lagi Wasripin bisik-bisik kepada Pak Modin menanyakan apa artinya
salah satu Ketua Partai Langit.
"Jangan, Pak. Jabatan itu terlalu tinggi."
Sementara itu terjadi ribut-ribut di depan surau. Satinah dengan
bungkusan berisi sarung dan baju sedang berusaha menerobos orang-orang yang
berkumpul. Beberapa hansip, Satgas Partai Randu, dan Satgas Partai Langit
menghadangnya. "Saya pingin ketemu Wasripin," kata Satinah.
"Tidak bisa. Sedang ada urusan serius," kata seorang yang
menghadangnya. "Hanya sebentar, Pak."
"Berikan saja bungkusan itu kepada kami, kami nanti akan
memberikannya." "Tidak bisa, tidak bisa."
Satinah berusaha menerobos lagi, tapi orang-orang itu sudah membentuk
barikade. Jadi ia tak bisa apa-apa. Ia meronta-ronta dalam pegangan para
satgas. Dari emperan surau Wasripin melihat ada perempuan meronta-ronta.
Pelataran surau penuh dengan orang. Tapi, setelah diamatinya, ia tahu
perempuan itu Satinah. Spontan ia berteriak, "Lepaskan!" Di luar dugaannya
suaranya menggema keras bagi yang berusaha menghalangi Satinah. Mereka
mendengar gema itu sepertinya dari langit, "Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan!"
Para Satgas melepas Satinah ketika mendengar perintah itu. Ketika Satgas lagi
tertegun mendengar suara itu, Wasripin lari ke arah Satinah. Mereka bertemu.
"Ini!" kata Satinah sambil melempar bungkusan itu.
"Ini apa?" "Pakailah! Ada uang di dalamnya."
Satinah pergi dan menghilang bersama motornya, sedangkan Wasripin
memegangi bungkusan, tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Sementara itu para nelayan yang khawatir ia kabur mengelilinginya.
"Bapak-bapak sudah waktunya shalat ashar. Bagaimana kalau
pertemuan ditutup?" kata Pak Modin.
3 "WASRIPIN, saya tunjukkan kamarmu yang baru." Pak Modin mulai
melangkah. "Tolong, bawakan barang-barang ini ke kamar," pinta Pak Modin
kepada seorang nelayan remaja.
Ketika Wasripin dan Pak Modin sampai di kamar, seseorang sedang
mengecat tembok yang lantas mau pergi saat melihat keduanya masuk.
"Ee, jangan pergi dulu. Kenalkan, ini Wasripin. Lanjutkan pekerjaan
nanti sore, setelah Pak Wasripin istirahat."
"Ngk-ngk-ngk-ngk," ia menunjukkan tangannya yang kotor, lalu pergi.
"Sejak tertabrak motor, ia jadi bisu begini. Ia kami serahi mengisi air
kamar mandi, tempat wudhu, dan membersihkan surau."
"Itu nanti tugas saya juga."
"Tidak. Akan kami serahkan orang lain."
"Tidak, Pak. Saya tinggal di sini, karena itulah saya yang bertugas."
Orang yang membawa barang-barang meletakkannya di meja.
Di kamar Wasripin sudah tersedia nasi, ikan asin, sayur bening, dan poci
teh. Sambil menunjuk barang-barang dan makanan itu, kata Waripin,
"Apa sebenarnya yang terjadi, Pak?"
"Ya, seperti yang kau lihat."
"Tapi segalanya membingungkan. Katanya aku dimuliakan, kok Satinah
mau ketemu saja tak boleh?"
"Kita sama. Aku juga bingung, Nak. Sudah, sehabis shalat ada
pertemuan lagi. Sampai nanti."
4 SETIBA di rumah sewa, Satinah langsung ke kamar tidur dan
sesenggukan. Pamannya yang baru pertama kali mendengar Satinah menangis,
segera ke kamar. "Ada apa?" "Orang-orang berseragam itu."
"Siapa?" "Kata mereka aku tak boleh ketemu Wasripin."
"Akhirnya kau ketemu juga?"
"Ya. Tapi susahnya melebihi ketemu Pak Bupati saja."
"Mereka pasti hanya menjalankan perintah."
"Wasripin sudah berubah, Pak Lik. Dia bukan orang kecil seperti kita
lagi." "Aku tidak mengerti. Tapi kita harus berbahagia bersama kebahagiaan
orang lain." "Tidak. Aku benci. Aku benci. Takkan lagi ke pasar itu."
"Begitu juga boleh."
Paman lalu keluar. Dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi.
5 WASRIPIN masih terheran-heran dengan apa yang terjadi. Di Jakarta ia
menjadi sampah, di sini orang menghargainya. Pernah dia dan emak angkatnya
berlari-lari sambil mendorong dagangan hanya untuk menghindari petugas
ketertiban. Di sini, lurah, Partai Randu, dan Partai Langit malah melamarnya
untuk memberi pekerjaan. Benar kata emak angkatnya, "hidup itu berputar,
sekali engkau boleh di bawah, tapi percayalah suatu kali engkau akan naik".
Tahu-tahu Pak Modin sudah menjemputnya. Sore hari itu dia duduk lagi di
emperan surau. "Bagaimana kalau jadi satpam di TPI?" tanya kepala TPI.
"Bagaimana kalau bekerja denganku" Kerjamu ialah mengawal sopir
mengirim pindang ke Bandung," tanya seorang juragan pindang.
"Bagaimana kalau melaut dengan perahu saya?"
Tawaran-tawaran kerja itu tak dimengertinya, kecuali jadi satpam. Di
Jakarta pernah dia melamar jadi satpam, tapi emak angkatnya keberatan,
"Ibumu ini sudah tua. Engkau akan jadi penjual ketoprak tak perlu kerja yang
lain." Cita-citanya tertinggi waktu kecil sebenarnya ialah jadi tentara atau
polisi. Seragam dan pistol mereka menjadikan dia kagum. Tapi kawankawannya menakut-nakuti. "Ya, betul jadi tentara. Tapi kau takkan pegang
bedil atau pistol. Peganganmu ialah piring, cangkir, dan baki. Senjatamu
adalah pisau dan kompor. Alias tobang." Cita-citanya agak turun sedikit: ia
ingin jadi satpam. Toh masih juga pakai seragam, topi, selempang benang
dipilin, pluit, dan pentung. Dan sekarang ada yang menawarinya kerja sebagai
satpam, maka seperti kata pepatah "pucuk dicita, ulam tiba". Ia pun
menerima tawaran untuk jadi satpam.
"Pilih yang mana?" tanya Pak Modin.
"Saya jadi satpam saja," katanya.
Ada gumaman panjang. "Kalau begitu besok siang datanglah ke kantor," kata Kepala TPI.
Wasripin sedang mencium-cium bungkusan yang diberikan Satinah,
ketika Pak Modin mengunjunginya. Dia berniat mengajari Wasripin mengaji.
Dibawanya Al Quran Juz 30. Dibukanya halaman-halaman depan.
Tirukan, "Alif, ba, ta."
"Tsa, jim, ha, kha, ?"
"Lho! Kok sudah tahu?"
"Ya, orang tua itu yang mengajari."
"Sampai mana" Coba baca ini."
Modin membuka sembarang halaman, "Coba baca!"
Wasripin membaca, "Ini namanya sudah bisa."
"Apakah orang tua itu juga mengajarimu menghapal?"
"Apa yang harus dihapal?"
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, sudah. Besok sore kau belajar menghapal. Sekarang istirahatlah.
Quran ini saya tinggal."
6 PAGI hari tukang cat tembok datang lagi. Ada dorongan pada Wasripin
untuk memijat-mijat, "Coba ke sini." Tukang cat mendekat. Wasripin
memijat leher, kepala, dan semua badan bagian atas. Ia hanya mencoba-coba
memijat. Ia heran tangannya seperti bergerak sendiri. Ia sendiri tidak yakin
dengan pijatannya. Setelah selesai ia bertanya, "Apa cita-citamu kalau
sembuh?" "Saya ingin jadi penjaga toko."
Dia tidak sadar telah bicara biasa. Ia memang pernah melamar jadi
penjaga toko. Tapi dengan menyesal pemilik toko menjelaskan bahwa pembeli
adalah raja. Maka, penjaga toko harus ramah-tamah, jadi pelayan, murah
senyum, dan pandai bicara. Pemilik toko menyarankan untuk pijat dan berjanji
akan mengangkatnya begitu ia sembuh. Ia berusaha pijat ke ahli urat, tak
kunjung sembuh. "Dengar, sekarang kau bisa bicara."
Tukang cat heran, Wasripin terkejut.
"Lho! Saya bisa bicara! Aku bisa omong!"
Ia lari keluar. Berteriak sambil berlari-lari, "Aku bisa bicara! Aku bisa
bicara!" Para pedagang satu per satu didatanginya hanya untuk mengatakan
bahwa dia bisa bicara. Selama ini para pedaganglah yang memberinya
pekerjaan, mengangkat-angkat dagangan. Mereka keheranan, ini keajaiban. Ia
mengambil sepeda dan pergi.
Wasripin melanjutkan mengecat. Tempat tinggal seperti itu adalah
kemewahan baginya. WC dan kamar mandi dari tegel, listrik tinggal menekan
tombol, air sumur dengan pompa listrik. Setelah itu ia pergi ke kantor TPI. Dia
sudah membayangkan sepatu boot, topi, seragam, sabuk besar, selempang, dan
peluit. Kabarnya, satpam juga dilatih baris-berbaris, bela diri, dan menembak.
Karena itu, dengan senang dia menemui kepala TPI.
"Tugasmu ialah kerja delapan jam sehari. Waktunya digilir dengan
teman-teman yang lain. Tugasmu hanya, sekali lagi hanya, menjaga TPI, tidak
yang lain. Sebab, uang retribusi pasar juga disimpan di sini."
"Ya, Pak. Boleh saya jujur?"
"Apa?" "Saya akan berhenti jadi satpam kalau saya kawin. Saya akan berjualan
ketoprak." "Itu soal nanti. Sekarang kau bisa memesan seragam ke alamat ini.
Pergi ke alamat ini untuk membuat pas foto."
Wasripin keluar dari TPI.
Orang-orang di pasar berbisik-bisik, "Inilah Wasripin. Kata orang, dialah
pemimpin kita yang baru." Wasripin mendengar rasan-rasan pedagang. Dia
menjadi pemimpin" Pemimpin apa" Dengan teka-teki itu ia pergi ke penjahit.
Di TPI ada sembilan orang yang intin ketemu dengan kepala TPI. Mereka
memenuhi ruangan Kepala. "Ada perlu?" "Ya, kami ingin jadi satpam."
"Waduh, seperti bisa dilihat, jabatan itu sudah terisi."
"Kalau begitu, catat kami sebagai tenaga cadangan."
Kepala TPI heran. Dulu jabatan sebagai satpam ditawar-tawarkan di
desa nelayan itu dan tidak ada seorang pun yang melamar. Kata mereka, lebih
untung melaut atau menjadi pedagang bandeng. Kalau beruntung, cepat kaya.
Menjadi pegawai" Disuruh-suruh" Pret! Menjadi satpam, ya satpam seumur
hidup. Setelah mereka pergi, Kepala TPI lalu menulis di kertas dengan tulisan
tebal-tebal: Tidak Ada Lowongan. Dia meminta satpam untuk
menempelkannya. Sampai di surau, tukang cat dan tiga kawannya sudah menunggu.
"Aku diterima jadi penjaga toko! Terima kasih, terima kasih, Kang eh
Mas eh Pak." "Panggil saja Wasripin atau Ripin atau Pin."
"Ya, kenalkan ini kawan-kawan saya."
Mereka bersalaman. "Ngk-ngk-ngk." Tahulah Wasripin bahwa mereka juga bisu.
"Yang ini jadi bisu karena jatuh dari truk ikan. Yang ini bisu karena
dipopor bedil waktu kampanye. Dan, yang termuda ini bisu sejak kecil karena
jatuh dari pohon. Mereka semua pengin dipijat."
"Ya, saya usahakan." Sebenarnya ia tidak begitu yakin dengan
kemampuannya. "Kecuali yang ini," katanya sambil menunjuk anak muda yang
bisu sejak kecil. Mendengar bahwa dirinya tak dapat sembuh, pemuda terkecil itu
menangis pelan, makin lama makin keras, dan akhirnya berguling-guling di
tanah. Semua kebingungan.
"Maksud saya, yang bisu sejak kecil harus lebih bersabar dari yang
lainnya," kata Wasripin menghibur dan bocah itu berhenti menangis. "Datang
saja ke surau atau TPI."
Kemudian Pak Modin datang. Mereka bubar.
"Nak Wasripin, saya ajari mengambil air wudhu. Kita akan shalat.
Pakailah sarung dan peci."
Wasripin pergi ke tempat pancuran.
"Lha, kok, sudah bisa. Orang tua itu" Bagaimana denga shalat" Orang
tua itu juga?" "Iya." "Kau beruntung. Selama hidupku, baru kali ini orang tua itu datang
sungguhan. Menghapal, bagaimana" Mulailah dengan surat-surat pendek."
Ketika Pak Modin datang untuk mengecek hapalannya dia terheranheran. Wasripin sudah hapal surat-surat pendek yang ada dalam Al Quran.
Dalam hati ia gembira, sebab ia sebentar lagi akan dapat melepas tanggung
jawabnya sebagai imam surau.
TIGA 1 AYAH calon bayi sudah mengantongi nama. Sehabis merenung sendirian
di kebun jagung, dia hampir-hampir berlari pulang ke rumah. Katanya kepada
istrinya sambil senyum-senyum,
"Coba, tebak apa nama bayi kita nanti?"
"Bagaimana aku tahu pikiranmu?"
"Ya, pokoknya tebak saja!"
"Tidak bisa." "Nama orang itu harus sesuai dengan hari lahirnya."
"Aku tahu sekarang. Kalau lahirnya hari Legi, kalau perempuan
Legiyem, kalau laki-laki Legino. Kalau hari Wage ya Wagiyem atau Wagino.
Kalau hari Pon, Poniyem atau Pono. Kalau hari Minggu ya Ngatiyem-Ngadiyem
atau Ngatino-Ngadino"."
"Lho, kok tahu?"
"Tahu saja. Itu nama kuno, ketinggalan zaman. Pikirkan nama yang
lebih dari nama-nama biasa itu. Seperti kekurangan nama saja."
Keesokan harinya di kebun jagung dia merenung lagi. Ketika nama itu
akhirnya ketemu, ia lari-lari pulang.
"Apa nama bayi kita?"
"Bagaimana aku tahu pikiranmu?"
"Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem."
"Nah, itu baru bagus!"
"Wali artinya orang suci, penyebar agama Islam di Tanah Jawa."
"Apa tidak terlalu bagus untuk anak orang gunung seperti kita?"
"Nama itu lebih bagus lebih baik. Nama itu doa."
"Ya, kalau begitu aku setuja-setuju saja."
Pekerjaan paling sulit, memilih nama itu pun selesai.
Ketika anak itu lahir perempuan, lima hari sebelum kenduri, kepada
setiap orang mereka sudah bisa bilang, "Anak kami namanya Waliyem."
Namun, rupanya anak itu tidak beruntung dan membawa sial. Sudah
kelas tiga SD badannya masih kecil, hidung selalu meler, telinga mengeluarkan
bau busuk, mata kecil merah, mudah masuk angin. Sementara itu bapaknya
terjatuh dari pohon kelapa dan lumpuh untuk waktu lama. Waktu ayah bisa
jalan, punggungnya bongkok dan harus berjalan pakai tongkat. Ibunya yang
mencoba bakul gula teh kecil-kecilan kehabisan modal karena dihutang para
tetangga. Ketika mencoba menanyakan tentang kesialan mereka, seorang
pintar mengatakan bahwa anak mereka tak sanggup menanggung beratnya
beban nama. Nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung seperti dia. Dia
menyatakan bahwa nama itu perlu diganti. Pasangan itu menyerahkan soal
nama baru yang sesuai kepada orang pintar itu.
"Bagaimana kalau . . . mmm . . . Satiyem?"
"Itu bagus. Tapi apa artinya, Eyang?" Bahwa nama itu doa menjadi
pegangan pasangan itu, karenanya nama harus yang serba baik.
"Sati itu bahasa Hindu, artinya setia."
Memang anak itu berangsur-angsur menjadi baik. Bahkan, setelah lulus
SD tubuhnya menjadi bongsor. Tetapi, kesialan pada ayah-ibunya malahan
bertambah. Ayah yang sudah bongkok itu tergelincir di tanjakan yang licin
setelah hujan. Ibu juga demikian. Setelah dagangannya habis itu dia mencoba
bangkit lagi dengan meminjam-minjam modal. Akalnya bahwa seseorang hanya
boleh membeli dengan tunai menimbulkan boikot para tetangga dan sumpahserapah. Walhasil, ia tidak bisa mengembalikan hutang, dan seluruh
dagangannya diobral untuk membayar hutang.
Mereka ingat nama itu lagi.
"Satiyem itu berasal dari kata sat, artinya kering atau habis," kata
suami. "Ya, mungkin itu masalahnya."
Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar itu dan minta nama baru
lagi. Sial bagi mereka, orang pintar itu sudah meninggal. Usaha sang ayah
untuk menyepi malam-malam di kuburan orang pintar dengan harapan ada
nama baru yang dipesankannya tidak berhasil. Tirakat di kuburan itu malah
menghasilkan sesuatu yang lain: ia terpaksa berlari terjatuh-jatuh, terantukantuk di batu-batu kuburan karena melihat rerupaan seperti raksasa. Ketika
peronda menemukannya tersengal-sengal napasnya, sambil bilang, "Nama,
nama ?" Kemudian jatuh pingsan.
Mau mengganti nama anak itu mereka tidak berani. Nama itu pemberian
orang pintar, ada berkah yang mereka belum tahu. Maka, saudara dekat
suami-isteri mengusulkan untuk mengadakan kenduri dan lek-lekan (semalam
suntuk tidak tidur) guna membuang sial. Maka empat puluh santri dari sebuah
pondok diundang untuk mengaji di rumahnya. Mereka datang dan mengaji di
ruangan depan. Sementara para santri mengaji, di ruangan belakang, seperti
biasanya, orang berjudi untuk menjaga jangan sampai mengantuk. Kyai yang
memimpin pengajian sudah berpesan supaya perjudian ditiadakan, sebab
terlarang untuk mencampurkan perbuatan yang benar dengan perbuatan yang
keliru. Tetapi para tetangga tidak dapat dicegah. Dan tuan rumah hanya
berkewajiban untuk menyediakan tempat dan kue-kue, akan mendapat bagian
dari setiap giliran permainan. Dengan pikiran bahwa "apa boleh buat" dan asal
mereka sendiri tidak ikut berjudi, maka pengajian dan perjudian berjalan
lancar. Selain pengajian, Satiyem juga diikutkan dalam acara ruwatan yang
diselenggarakan sebuah paguyuban aliran kepercayaan. Ayahnya berpendapat
bahwa orang bisa beragama apa saja: Islam Kristen Budha, tetapi jangan lupa
Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup. Maka, dalam upacara ruwatan
Satiyem diguyur dengan bunga mawar. Kemudian ada wayang dengan cerita
Ruwatan Murwokolo. Seorang sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak
diruwat dia akan dimakan Batara Kala. Tetapi, dasar bocah. Begitu gamelan
mulai ditabuh, kantuknya datang. Ayahnya harus berkali-kali
membangunkannya supaya anaknya tidak tertidur. "Bangun, bangun! Kau
sedang diruwat." Akhirnya ayah itu menyerah, karena lewat tengah malam
kantuk membuat anak itu tidur pulas. "Terjadilah apa yang akan terjadi.
Manusia hanya sekedar menerima," pikirnya.
Satiyem tidak melanjutkan sekolah, tapi di rumah membantu-bantu
berladang ayah-ibunya. Setelah bosan di rumah, Satiyem menerima ajakan
pamannya yang ahli siter untuk bermain di "rumah iblis". Suara yang bagus
ditambah tubuhnya yang bongsor dan wajahnya yang cantik memberinya
peluang untuk jadi penyanyi dan berperan dalam adegan "potong leher". Maka
ia ikut dalam rombongan itu dari satu tempat ke tempat lain. Tidak seorang
pun dalam rombongan berani mengganggunya, sebab pamannya termasuk orang
yang disegani. Peminat "rumah iblis" menyusut, kabarnya karena adeganadegan "rumah iblis" kalah seram dengan adegan TV. Orang-orang desa yang
menjadi pendukung utama "rumah iblis" memilih nonton TV di balai desa.
Ketika rombongan itu akhirnya bubar, pamannya berusaha menyelamatkan anak
buah dengan mendirikan ketoprak tobong bermain dari tempat ke tempat.
Pada waktu pamannya jadi boss ketoprak itulah peristiwa itu terjadi.
Singkatnya, Satiyem diperkosa pamannya. Pamannya yang telah jadi jejaka tua
akibat ditinggal kekasih ke Jakarta itu tidak tahan waktu melihat kain
keponakannya tersingkap. Tidak ada anggota rombongan yang curiga ketika
Satiyem pamit mendadak untuk pulang ke orangtuanya. Pamannya
mengikutinya untuk mempertanggungjawabkan ulahnya.
"Bunuh aku! Bunuh aku!" kata Satiyem pada orangtuanya.
"Lho! Datang-datang, kok begitu. Ini ceritanya bagaimana?"
"Bunuh aku, anak tak berguna ini!"
"Nanti dulu, to. Ceritanya bagaimana?"
"Aku benci diriku! Aku jijik padanya! Aku ternoda!"
Pada waktu itu muncul pamannya.
"Ya. Saya mengakui telah berbuat khilaf, Mas-Mbakyu. Aku sudah
menodainya." "Oalah, jadi itu. Bagaimana si Adi kok sampai hati kau berkhianat pada
keponakanmu sendiri," kata orangtua Satiyem.
Aib itu tidak sampai ke tetangga dan pengurus desa. Ketika paman
mengatakan akan menikahi Satiyem, kedua orangtua itu mentertawakan
pinangannya. Mereka tahu bahwa adiknya nakal.
"Anak kami tidak kawin dengan Tumenggung Wiroguno."
Mereka juga menertawakan pikiran pamannya ketika ia menyanggupkan
diri untuk mencarikan suami yang lebih muda bagi Satiyem.
"Itu pikiran orang gila."
Ketika pikiran itu ditolak, ia mengatakan bahwa ia akan membayar
"ganti rugi". Waktu ditolak pula, kepada kedua orangtua Satiyem dikatakannya
bahwa gadis itu akan tetap gadis, artinya Satiyem tidak akan hamil sebab ia
tahu caranya. Ia memang gila, tapi tidak nekad.
"Itu tidak memecahkan soal."
"Lha bagaimana, Mas-Mbakyu?"
Kedua orangtua itu tidak menjawab.
"Bagaimana kau ini! Bagaimana kau ini! Bagaimana kau ini! Kok ya
tega-teganya, kau ini! Bagaimana kau "."
Paman mendapat gagasan. Disautnya sendok di meja, lalu dicungkilnya
kedua matanya! Bola mata itu jatuh di lantai tanah.
"Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur
hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi!"
Sementara itu darah menetes dari kedua matanya.
Kedua orangtua yang melihat darah mengalir mengatakan,
"Bukan begitu maksud kami! Bukan begitu maksud kami!"
Dan paman itu pergi ke dipan lalu jatuh pingsan.
Satiyem yang menyaksikan bagaimana kedua bola mata pamannya
terjatuh di lantai tanah. Ia menangis.
"Pak Lik! Pak Lik!"
Pada waktu itu rasa benci, jijik, dan marah pada pamannya hilang.
Timbul rasa kasihan yang sangat dalam.
Untuk beberapa minggu sang paman terpaksa menginap di rumah sakit,
dan dua minggu pula rawat-jalan. Selama di rumah sakit, Satiyem setiap hari
menjenguknya. Setiap kali datang selalu dikatakannya,
"Maaf, Pak Lik!"
Dan pamannya akan menjawab, "Maaf, Satiyem. Saya khilaf."
Lalu keduanya akan menangis.
"Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku kepadamu."
"Jangan begitu, Pak Lik. Tak ada dosa, tak ada yang harus ditebus."
"Aku tahu kesempatan itu akan datang."
Paman tinggal di rumah Mas-Mbakyunya, menganyam bambu jadi kap
lampu, keranjang kertas, hiasan dinding, dan hiasan meja. Dan semuanya
berjalan dengan baik. Di waktu senggangnya ia meratapi kesalahannya sambil
main siter, "Duh Gusti, kula nyuwun ngapunten " (saya mohon ampun).
Ia baru berhenti ketika suatu hari Mas dan Mbakyunya bilang, "Yang
sudah, ya sudah. Jangan dipikir terus."
3 WABAH muntaber menyerang desa itu. Puskesmas setempat kewalahan
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayani orang sakit. Mereka yang perlu perawatan lanjutan dikirim ke rumah
sakit di kota. Bapak dan ibu Satiyem termasuk yang harus dikirim ke kota.
Bapak Satiyem meninggal di jalan waktu dikirim ke kota, karena dehidrasi. Ibu
Satiyem sempat beberapa hari di rumah sakit, tapi juga meninggal seminggu
kemudian. Setelah seratus hari, keluarga besar mendiang ayah-ibu Satiyem
mengadakan rapat. Dalam rapat itu akan ditentukan perwalian atas Satiyem.
Dalam rapat itulah paman mengajukan diri jadi pengganti ayah-ibu
Satiyem. "Mau kau beri makan batu, ya?" tanya rapat.
"Jangan khawatir. Aku punya keahlian."
"Kalau dulu kami percaya. Bagaiamana dengan kebutaanmu?"
"Percayalah." "Kami percaya kau ahli memainkan gamelan, tapi bagaimana dengan
Satiyem?" "Kami akan mbarang. Saya bermain siter dan seruling, Satiyem
menyanyi. Di waktu senggang saya menganyam bambu, dan Satiyem
menjahit." Rapat keluarga menilai ada rencana terperinci pada paman. Maka
tinggal lagi mereka menanyakan tekad Satiyem.
"Bagaimana, Yem?"
"Itu gagasan yang bagus. Aku setuju."
Ketika warga desa mengetahui bahwa Satiyem akan pergi, orang-orang
tua yang punya anak jejaka menyesalkan keputusan itu. Mereka berharap
Satiyem jadi menantunya. Para jejaka desa ada yang memberanikan diri
melamarnya, tapi ditolak. Tekadnya sudah bulat: mengembara. Dan hanya
akan kawin dengan orang sudah cacat seperti dirinya. Satiyem tidak ingin
mengecewakan pemuda desanya sendiri.
Surat kelakuan baik (tidak tersangkut perkara polisi, tidak tersangkut
G30/S), KTP, dan izin jalan mencari pekerjaan sudah diurus. Maka mulailah
hari-hari pengembaraan mereka. Seluruh warga mengantar sampai perbatasan
desa. Laki-laki buta membawa pikulan berisi siter, seruling, radio alias
pengeras suara, dan pakaian. Satiyem menjinjing bungkusan pakaian. Mereka
yang mengantar diam seperti mengantar jenazah ke kuburan, merasa akan
kehilangan Satiyem dan pamannya selama-lamanya.
Siang dan sore hari mereka berjalan dari desa ke desa dan dari pasar ke
pasar. Malam hari mereka menginap di kantor kelurahan. Mereka terus akan
berjalan sampai suatu kali mereka menemukan tempat yang dekat ke pasarpasar untuk menetap. Suatu sore mereka sampai di sebuah kelurahan yang
sedang merayakan ulang tahun Partai Randu. Mereka diminta untuk
mempertunjukkan keahlian mereka, karena secara tiba-tiba grup band yang
dipesan mengalami kecelakaan di jalan. Semua warga desa hadir. Selesai
pertunjukan diadakan tanya jawab.
Ketika tuan rumah merangkap lurah merangkap Ketua LKMD merangkap
Ketua Dewan Pembina Partai Randu diberi kesempatan berbicara, orang yang
paling berpengaruh itu bertanya lewat pengeras suara.
"Siapa namamu, Nduk?"
"Satiyem." "Ayu-ayu namanya kok Satiyem. Itu nama orang gunung, gunung saja
gunung zaman dulu. Kalau orang gunung harus pakai yem, kalau babu Belanda
harus pakai tje. Kalau diubah bagaimana?"
"Terserah saja, Pak."
"Diubah, ya Lur?" Sedulur artinya saudara. "Setuju?"
Semua yang hadir bilang, Setujuuu!"
"Sekarang namamu bukan Satiyem, tapi mmm Satinah." "Setuju?"
"Setujuuu!" "Itu lebih marrrketable. Setuju?"
"Setujuuu!" "Ya. Itulah hakikat demokrasi. Itulah inti dari musyawarah untuk
mufakat. Di gunung yang sudah modern kau akan dipanggil Mbak Sat, di desa
Mbak Tinah, di kota Mbak Tin."
"Saya dipanggil Satinah saja, Pak."
"Demokrasi yang diperjuangkan Partai Randu menghormati hak-hak
individu, karena itu kau berhak dipanggil Satinah. Setuju?"
"Setujuuu!" "Terima kasih, Satinah!"
"Satiiinah! Satiiinah! Kowe kok cantik, yang nyuruh siapa!" koor
pengunjung. Untuk seterusnya nama Satinah itulah yang dipakai. Pamannya agak
keberatan, sebab nama itu amanat yang diberikan orangtuanya, tapi segera
dilupakannya. Di Balai-balai Desa tempat keduanya menginap hanya nama
Satinahlah yang selalu tercatat. Mereka meneruskan perjalanan. Dari pasar ke
pasar, dari desa ke desa, dari balai ke balai.
4 SETELAH tanya sana-sini maka mereka menemukan tempat di mana
keduanya bisa tinggal berlama-lama. Sampailah mereka di koplakan itu.
Koplakan adalah semacam losmen terbuka dan sangat murah, siapa saja boleh
datang dan pergi tanpa pemeriksaan surat-surat. Setiap sore yang empunya
seorang perempuan tua setengah buta akan duduk di kursi rotan sambil kipaskipas dan siap berkata pada setiap pengunjung,
"Selamat datang di koplakan terakhir pada abad ini. Eh, boleh bayar
iuran sekarang, besok, atau kapan-kapan saja. Gratis juga bisa. Laki-laki
sebelah kiri, wanita sebelah kanan. Larangannya ialah tak boleh ma lima."
Mereka membayar. "Lho! Ini terlalu banyak. Mau tinggal berapa hari?"
"Sampai kami ingin pergi."
"Begitu lebih baik. Tinggallah lama-lama. Aku perlu teman."
Keduanya masuk, membagi buntelan bawaan. Koplakan itu terdiri dari
sebuah pendopo dibagi dengan sekat gedeg yang rendah. Ada dua kamar mandi
dan wc yang berdekatan dengan satu sumur yang timbanya bisa ditarik kesanakemari. Orang bisa mandi di kamar mandi, tapi baik laki-laki atau perempuan
bisa juga mandi di sumur. Mereka yang menginap ialah para pedagang keliling:
penjual payung, pedagang barang-barang dari tanah, pedagang kitab, pedagang
pakaian jadi, pelacur, penjahit, penjual mainan anak-anak, penjual balon, dan
pembarang macam Satinah dan pamannya.
Kabarnya janda pemilik sering bertengkar dengan anaknya, karena
pembukaan koplakan seperti itu sudah ketinggalan zaman dan tidak
menguntungkan. "Sebaik-baiknya orang ialah yang bermanfaat bagi orang lain," kata ibu.
"Meskipun kau sendiri rugi?"
"Ya, begitulah ajaran Nabi."
"Kalau kelak aku jadi pemilik, akan kujadikan tempat hotel sungguhan."
"Jadi, kau berharap aku cepat mati, ya?"
"Ya tidak begitu!"
Anak itu akan menghindari perdebatan selanjutnya setelah ibunya
mengungkit-ungkit soal kematian.
Namun, akhir-akhir ini anak itu tidak lagi berbicara soal penutupan
koplakan. Perempuan dengan pundak halus mandi di sumur terbuka itu.
Seorang pelacur yang masih kinyis-kinyis sengaja menginap untuk memamerkan
dagangannya. Pada waktu dia mandi di sumur para laki-laki akan menonton
dari balik pintu. Sengaja lewat untuk mengambil jemuran atau apa saja atau
tanpa alasan. Adegan paling dramatis ialah ketika perempuan itu mengganti
pakaian basah dengan pakaian kering. Akan terdengar, "Suit! Suit!" Laki-laki
yang mengharap lebih dari itu harus membayar, dan mereka yang takkan bisa.
Hanya anak laki-laki pemilik koplakan saja yang sanggup mengundangnya.
Tetapi, itu pun ada batasnya. Ketika si ibu mendengar perihal kelakuan anak
dan pelacur, maka tak segan-segan dia mengusir perempuan nakal itu.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa anak pemilik memang thukmis
(hidung belang). Suatu hari Satinah mendapat surat gelap. Dalam surat itu ia
diperintahkan untuk mandi di sumur. Perintah itu tidak ditanggapi. Perintah
itu diulang, dan diulang. Satinah lapor pamannya dan oleh pamannya surat itu
dirobek, "Kalau ada apa-apa, panggil saya!"
Sungguh! Pada suatu malam seorang dengan rok tipis mendekati tempat
tidur Satinah. Rok tipis merangsek, menyuruh Satinah diam, membuka rok dan
celananya. Satinah tersadar, suara itu suara laki-laki. Ia menjerit, "Pak Lik!"
Suara itu dikenal pamannya. Ia sudah menduga itu akan terjadi pada
keponakannya. Katanya, "Lumpuh kau!" Semua orang terbangun. Maka lelaki
itu seketika lumpuh, ketika mencoba berdiri untuk lari ia tidak bisa. Sampai
pagi dia hanya berputar-putar sekitar tiang. Ia baru lepas dari kelumpuhan
ketika ibunya minta maaf pada Satinah.
Untuk beberapa waktu anak muda itu tak nampak. Ternyata dia
mengurus pembubaran koplakan dan pembangunan hotel. Maka dengan
menangis terbata-bata ibunya terpaksa mengumumkan bahwa koplakan
ditutup. Para penghuni diberi waktu seminggu untuk meninggalkan tempat.
5 KETIKA itulah datang seseorang untuk meminang. Dia selalu duduk di
depan dalam lingkaran ketika Satinah menyanyi di mana saja.
Menunggu sampai habis, dan selalu menjatuhkan uang di besek.
Pekerjaannya dimulai sebagai penggembala sapi sampai jadi belantik itu.
Sudah beberapa tahun isterinya meninggal. Mendengar koplakan mau ditutup,
ia mendekati Satinah. "Tinah, aku baru saja terpilih jadi lurah. Tapi tidak ada Bu Lurah yang
akan jadi Ketua Dharma Wanita. Bagaimana kalau kau saja?"
"Jangan, Pak. Saya sudah bertunangan."
"Jangan ditolak. Cita-citaku untuk mempersunting kau sudah sejak kau
menyanyi di pasar TPI. Memang saya sudah setengah umur, tapi apa ada lakilaki yang terlalu tua untuk gadis seperti kau?"
"Maaf, bukan itu soalnya. Soalnya saya sudah bertunangan."
"Sekali lagi kukatakan. Jangan ditolak."
"Tidak, Pak." "Awas! Kalau tidak dengan cara kasar ya cara halus. Pokoknya kau jadi
milikku! Kau akan datang menyembah-nyembah minta dikawin, atau kau akan
berlari-lari telanjang."
Paman yang dilapori soal pinangan itu menjawab.
Jangan khawatir. Kasar atau halus, aku sanggup."
Semua orang sudah mendengar soal paman Satinah dan anak juragan
koplakan, sehingga ancaman lurah itu tak pernah terbukti.
Keesokan harinya Satinah mampir di toko emas untuk membeli sebuah
cincin. Paman mengerti bahwa Satinah sudah dewasa, sudah waktu untuk
mulai jatuh cinta. "Eh, siapa sebenarnya tunanganmu itu?"
"Ya, orang." "Mesti to, masak sapi."
"Itu masih rahasia."
"Kalau sudah punya calon, bilang saja."
"Itu sudah lebih lima kali dikatakan, lho."
Surat-surat sudah keluar. Dan koplakan itu akhirnya dibongkar. Satinah
dan pamannya menyewa sebuah rumah yang masih berdekatan dengan bekas
koplakan, supaya dekat kemana-mana. Mereka dapat ke pasar TPI, demikian
juga ke pasar-pasar lain. Cincin Satinah dilepas untuk membeli mesin jahit,
dan pamannya di waktu sore akan membuat anyaman bambu. Dengan mudah
mereka memasarkan anyaman bambu karena tiap hari mereka ke pasar. Di
depan rumah sewa mereka ada tulisan "Modiste Sati".
Dari pekerjaan menjahit Satinah dapat membeli sepeda motor butut.
Dengan sepeda motor itu pekerjaan berjalan kaki, naik andong, Colt, atau ojek
berkurang. Untuk ke pasar di TPI itu dia dan pamannya tidak perlu lagi naik
Colt. Ada seorang perempuan gemuk datang menemuinya selagi dia menjahit.
Kulitnya kuning langsat, membawa payung, jalannya megal-megol seperti
macan luwe (macan lapar). Dengan kenes dia berkata,
"Tahukah kau Nduk bahwa pekerjaan menjahit itu penuh risiko?"
"Risikonya apa?"
"Lima tahun lagi kau akan bongkok karena selalu membungkuk. Kau
akan kena TBC karena serpihan benang masuk paru-paru. Kau akan buta
karena selalu melihat barang kecil seperti benang dan ujung jarum itu."
"Semua pekerjaan ada risikonya, Bu."
"Ya, tapi ada yang besar ada yang kecil."
"Menjahit ini termasuk yang kecil itu."
"Wo, bagaimana kau ini. Bongkok, TBC, dan buta kok kecil?"
"Habis. Bisanya hanya ini."
"Tidak. Semua orang memakai bagian dirinya yang terbaik untuk
bekerja. Bintang film memakai kecantikannya, orang politik memakai lidah
untuk berdebat, pejabat memakai otaknya untuk tetap berkuasa, guru
memakai kepandaiannya untuk mengajar. Petinju, petenis, pelari, pemain
badminton. Semuanya menggunakan miliknya yang terbaik."
"Saya hanya lulusan SD. Tidak bisa jadi bintang film atau guru."
"Nah, untuk itulah saya datang."
"Pekerjaan apa, to Bu?"
"Tentu saja itu pekerjaan yang lebih sesuai untukmu."
"Iya?" "Kau masih muda, cantik, dan ramah. Itu modal besar. Tinggal sedikit
latihan. Sini saya bilangi."
Perempuan itu melambai. Satinah mendekatkan telinganya. Ia berbisikbisik.
"Jadi Ibu ini pemilik rumah "."
"Bordil. Bukan. Ini profesi, seperti guru, pejabat, orang politik. Sejak
dulu meskipun isteri bisa masak, meskipun ada kursus memasak, restoran masih
diperlukan. Makan di rumah lain dengan makan di restoran."
"Tidak, Bu. Saya penjahit saja."
"Saya datang untuk mengajakmu berpikir, pikirlah dulu. Jangan tergesagesa menjawab. Tanganku selalu terbuka untukmu."
"Tidak, Bu." "Setiap orang ada harganya. Polisi sekian, hakim sekian, bupati sekian,
anggota DPRD sekian. Kau juga bisa pasang tarif."
Setelah ditunggu-tunggu beberapa hari Satinah tidak datang juga,
kabarnya ibu itu mengirim seorang laki-laki jagoan untuk memaksa Satinah.
Menurut pengalamannya, mula-mula memang orang terpaksa, kemudian
kerasan, lebih getol dari yang lain. Tidak tahu apa yang dikerjakan paman
Satinah, tetapi orang itu hanya berjalan kesana-kemari dan tidak menemukan
tempat Satinah. Ketika ibu itu dilapori, dia marah-marah, keluar aslinya
dengan menyebut isi kebun binatang dan penjara.
"Monyet! Cenguk! Babi! Anjing! Asu! Copet! Maling! Bajingan!"
Baru dia berhenti dengan sumpah-serapahnya ketika laki-laki bersumpah
dengan lebih seru. "Samber gledek! Biar aku modar! Biar kulitku budukan! Demi Tuhan!"
Ibu itu kemudian mencoba sendiri ke rumah sewa Satinah, tapi juga tak
ketemu. EMPAT 1 WASRIPIN jadi Satpam di TPI. Dia dapat shift malam hari untuk minggu
pertama. Selain seragam, dia dibekali sebuah radio transistor dan baterei. Dia
senang dengan pengalaman barunya. Di malam hari suara-suara laut lebih
terdengar, byurrr, kricik-kricik. Teman-temannya selalu menghindar untuk
berjaga di TPI dan memilih berjaga di emperan surau sambil bercanda dengan
orang-orang Siskamling. TPI menyediakan radio itu dengan maksud supaya Satpam yang jaga
malam betah melek, tetapi merek selalu menghindari berjaga di TPI. Sebab,
kata teman-temannya kerja di malam hari banyak godaannya. Ada godaan
yang kasar, ada godaan yang halus. Ada godaan yang menawarkan racun, ada
godaan yang menawarkan madu. Sebagai orang baru Wasripin mempunyai
disiplin tinggi. Ia benar-benar berjaga di TPI. Melek, tidak tidur.
Malam pertama dia masuk kerja, ada pencuri berusaha membobol
tembok TPI dengan linggis. Didengarnya suara dhuk-dhuk di tembok sebelah
sana. Dengan mengendap-endap dia mendekati suara itu. Setelah dekat, dia
mendehem. "Ehm!" Dia mengulang, "Ehm!"
Pencuri dengan linggis itu tidak berlari. Ia memberi isyarat untuk diam.
Dia heran Satpam tidak tertidur, padahal semua syarat untuk menidurkan sudah
lengkap: jampi-jampi dan beras kuning. Sebelumnya dia tidak pernah gagal
melakukan ajian gendam. Pencuri itu berhenti bekerja. Mengulurkan tangan
yang berisi sejumlah uang. Wasripin tidak menyambut uluran itu.
"Tolong. Kau miskin, aku melarat. Kita sama-sama orang kecil. Jangan
ganggu aku. Terimalah ini!" kata pencuri sambil menyodorkan tangannya.
"Uang apa?" Sambil melirihkan suara kata pencuri, "Ini kuberikan, tapi diamlah.
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pura-pura tidak tahu."
"Jadi uang suap, begitu?"
"Ya, terimalah. Kabarnya orang lebih suka terima uang daripada repotrepot."
"Tidak." "Jangan urus aku. Uruslah pencuri yang besar-besar."
"Besar atau kecil sama saja. Mencuri ya pencuri."
"Tolong, anakku enam. Mereka perlu makan."
Wasripin merogoh kantongnya. Ada uang pemberian Satinah yang selalu
dibawanya. "Ini uang untuk anak-anakmu. Tapi jangan lag
i mencuri. Tambahkan pada uang suap." Sambil melongo pencuri itu menerima uang Wasripin. Dia berlari dengan
linggisnya. Pencuri itu mencium tangan yang segera ditariknya. Itu barangkali
satu-satunya ciuman tangan yang pernah diterimanya. Pelan-pelan pencuri
menjauh, makin lama makin cepat. Kemudian dia menoleh.
"Aku tahu sekarang, kau pasti Wasripin," teriaknya setelah jauh.
"Pemimpin kami!"
"Eh, aku pemimpin pencuri juga?" pikir Wasripin.
Lain malam, lagi enak-enak mendengarkan wayang kulit dari radio, dia
mendengar suara perempuan menangis merintih-rintih minta tolong, "Tolong!
Tolong!" Dia biasa mendengar itu di perkampungan pinggir sungai di Jakarta.
Seorang suami sedang berbuat kasar dengan isterinya. Ia mengecilkan
radionya. Tiba-tiba dia ingat: di tengah malam seperti di teluk TPI tidak
mungkin hal itu terjadi. Ada sesuatu yang aneh. Dia mematikan radionya.
Berbekal sebuah senter dia mencari arah suara itu. Dia berjalan sepanjang
teluk. "Aku di sini!" Lho itu kok suara Satinah, pikirnya. Tidak mungkin dia di sini malammalam. Ia berjalan ke arah suara itu. Tidak ada orang, hanya setumpuk kayu
glondongan. "Ya, aku di sini."
"Di mana?" "Di sini." Dilihatnya ada tali dan seorang perempuan yang tergencet dalam
gelondongan kayu. Badannya jadi tipis macam yang ia lihat di film kartun.
"Bagaimana kau sampai di situ?"
"Saudara-saudaraku mengikat aku ke kayu ini, supaya aku terbawa
pergi." "Aku tahu sekarang. Kau pasti anak nakal."
"Jangan sebut aku anak, umurku sudah 350 tahun."
"Nah, aku tahu! Kau pasti jin."
"Cepat, sebentar lagi orang-orang datang dan membawaku pergi."
Wasripin melonggarkan tali itu. Dan perempuan meloncat ke atas tanah.
"Sekarang pergilah ke duniamu."
"Tidak. Aku sudah bersumpah, siapa saja yang membebaskan, kalau
perempuan akan kujadikan saudara, kalau laki-laki akan kujadikan suami."
"Jangan, pulanglah ke duniamu. Lho, aku jadi Joko Tarub?"
"Saudara-saudaraku sudah menolak aku."
"Dunia kita lain."
"Tak jadi soal."
"Aku sudah punya tunangan."
"Kalau begitu jadikan kelak aku isteri kedua."
"Tidak ada caranya begitu."
"Ya sudah. Jadikan aku pelayanmu."
Perempuan itu mulai menangis, melolong-lolong. Tiba-tiba terpikir oleh
Wasripin untuk melemparnya. Dia memegang kedua tangan perempuan itu dan
melemparnya. Dia ringan seperti kapuk. Dia sedang tertegun dengan apa yang
sudah dikerjakannya, ketika sebuah pukulan kayu mengenai tengkuknya. Dia
roboh, tak sadarkan diri. Sementara dia pingsan, kayu-kayu itu menghilang
dengan sebuah truk. 2 Pagi-pagi sekali bakul-bakul pasar menemukannya masih tergeletak di
pantai. Mereka tahu bahwa orang itu adalah Wasripin. Para lelaki
menggotongnya ke TPI. Seseorang menggebyur dengan air. Dia sadar.
Menggeliat. Melihat Wasripin sadar orang-orang meninggalkannya. Satpam TPI
yang menggantikannya datang.
"Ada apa?" tanya Wasripin kepada Satpam pagi.
"Kau tergeletak di pantai. Ada apa?"
Wasripin mengingat-ingat.
"Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu."
"Kayu-kayu?" "Bukan itu saja."
"Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi."
"Bukan itu." "Lalu apa?" "Itu lho, mmm." Wasripin berhenti, "Tapi kau pasti tak percaya."
Wasripin akan bercerita tentang perempuan yang menangis, tapi
diurungkannya. Dan ia pulang ke kamarnya.
Ketika Kepala TPI datang dan mendapat laporan tentang Wasripin.
Katanya, "Salah sendiri, sudah kubilang bahwa urusannya ialah mengamankan
TPI, bukan yang lain."
Siang itu juga Kepala TPI mengumpulkan para Satpam. Sambil
menunjukkan sebuah surat tanpa alamat tanpa tanda tangan tanpa nama
terang dia berpidato, "Saudara-saudara, saya baru saja terima surat ancaman. TPI akan
dibakar kalau kita mencampuri urusan mereka. Karenanya, jangan diulang lagi,
Wasripin. Mereka punya backing."
Ancaman itu tidak sekedar menakut-nakuti. Malam hari yang lain
serombongan laki-laki datang di TPI dengan sebuah truk. Mereka menggedor
pintu dan mangobrak-abrik lemari, meja-kursi, bangku-bangku. Satpam yang
tertidur tidak mendengar suara-suara itu. Kemudian mereka mengecer-ecer
bensin di lantai. Lalu menyulutnya dengan korek api. TPI terbakar. Mereka
pergi. Satpam yang bertugas bangun dari tidur di emperan surau. Berteriakteriak.
"Api! Api! Tolong! Tolong!"
Dengan cepat orang-orang sekitar datang dengan ember-ember berisi
air. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak. Api membesar mengalahkan sinar
bulan di atas. Api meludes bangunan dari kayu dengan cepat. Mereka tertegun
melihat reruntuhan bangunan itu. Tempat mereka tawar-menawar tangkapan
itu rata dengan tanah. Ketika siang itu Kepala TPI datang, dia hanya dapat mengumpat dalam
hati. Untung Ketua Partai Randu segera datang, menepuk-nepuk pundak,
menenteramkan hatinya. "Jangan khawatir, ini pasti sebuah kesalahan. Akan kumintakan ganti,"
kata Ketua Partai Randu. "Siapa akan mengganti?"
"Kau tahu beresnya saja, mereka pasti tak tahu bahwa TPI itu
persembahan Randu untuk nelayan."
Sungguh seperti sulapan, hanya dalam dua minggu TPI sudah berdiri lagi.
Kerja lembur. Kali ini lebih bagus, tembok semen, kusen dan daun pintu kayu
jati, dan cat-cat baru. Mereka mendengar bahwa Partai Randu yang
membangun. Karenanya tidak heran dari mana datangnya duit untuk
membangun, semua orang mengerti bahwa kekuasaan itu kuasa.
3 WASRIPIN sedang jaga malam, dari pukul sembilan hingga pukul lima.
Terbungkus sarong untuk menghindari udara dingin dari laut. Dia sedang
menikmati wayang di radio dan mendengar suara sepeda motor. Sepeda motor
berhenti dekat TPI. Dilihatnya seorang perempuan turun dari boncengan.
Perempuan itu menghampirinya. Pengendara sepeda motor duduk di sebuah
batu dan mengeluarkan rokok.
"Sendiriann, Mas?"
"Ya." "Kedinginan, ya?"
"Ya." "Kalau begitu butuh penghangat?"
"Tidak." "Penghangat dari tubuh perempuan?"
"Sudah ada sarong."
"Saya temani, mau ya" Kalau tidak bawa uang, boleh bayar
belakangan." "Tidak saja." "Tidak usah bayar, bagaimana?"
"Tidak." "Kalau begitu, boleh aku terus terang?"
"Boleh saja." "Kata orang kau sakti. Aku sengaja ke sini untuk membuktikan apa kau
juga sakti di tempat tidur."
"O, itu to. Tidak saja."
"Kalau aku pengin, bagaimana?"
"Tidak saja." "Sekali-sekali rasakan servisku."
"Tidak saja." Perempuan itu makin merangsek mencoba merangkul, tetapi Wasripin
selalu menghindar. Tidak terpikir oleh Wasripin bahwa ada perempuan
menawarkan diri untuk menemaninya tidur. Pengalamannya selama di Jakarta
ialah emak angkatnya selalu mencarikan. Perempuan itu akhirnya jengkel.
Kemudian perempuan itu memasukkan jari-jarinya ke mulut, "Tuiit, tuiit."
Ada perjanjian bahwa ia akan memberi aba-aba, dan sopir ojek itu akan
menyerang Wasripin. Berkali-kali perempuan itu memasukkan jarinya ke
mulut, tapi laki-laki itu diam saja. Lalu perempuan itu mendekati tukang ojek.
"Kau kenapa?" "Kita pulang saja."
"Kenapa?" "Dia sakti. Aku takut."
"Ah, laki-laki macam apa kau ini!"
Keduanya lalu berboncengan dan pergi. Gelap malam menyelimuti
mereka. Orang-orang Siskamling datang. Sambil tertawa kata mereka, "Jadi
Satpam itu enak, ya?" "Mbok tadi suruh saya menggantikan!" "Wah, kok
ditolak! Eman-eman."
4 KAWAN sesama Satpam mengeluh kalau isterinya sering ditakut-takuti
seperti orang tinggi besar dan berbulu di rumahnya. "Sekarang isteri saya
pulang ke rumah orangtuanya," katanya dengan sedih. Wasripin melihat-lihat
rumah itu. Ditemukannya bahwa rumah itu memang ada penunggunya.
Kawannya memintanya untuk mengusir penunggu itu. Dia tidak punya
pengalaman, tapi diberanikannya juga. Di luar dugaannya sendiri ia berhasil
hanya dengan berdoa dan berdzikir sebagaimana diajarkan orang tua berambut
putih itu. Wasripin lalu dikenal sebagai pengusir hantu.
Suatu hari Kepala TPI bilang bahwa di TPI pasti banyak jinnya. Seorang
penjual teh yang sedang membawa teh terkejut, teh tumpah, gelas pecah.
Katanya, ada orang berbaju surjan duduk di bawah meja telepon. Telepon itu
sendiri gagangnya sedemikian sering terlepas, sehingga Kepala TPI harus
membetulkannya setiap kali. Sudah dibetulkan sebentar saja gagang itu lepas
lagi, sehingga telepon-telepon tidak bisa masuk. Padahal, telepon itu sangat
penting, bukan bagi TPI, tapi bagi penduduk. Pernah, sebuah berita kematian
yang disampaikan malam-malam lewat TPI gagal masuk. Wasripin bekerja dan
mengatakan bahwa ada sekeluarga jin tinggal di TPI. Ia berhasil meyakinkan
bahwa TPI itu milik manusia. Keluarga jin itu tidak mau pindah, karena persis
di TPI itulah mereka tinggal sejak nenekmoyangnya. Tapi keluarga jin berjanji
tidak lagi mengganggu manusia. Wasripin mengatakan bahwa jin dan manusia
punya dunia sendiri-sendiri.
Kepala TPI manggut-manggut, menepuk-nepuk pundak Wasripin. "Aku
tidak salah pilih. Aku tidak salah plilih." Dia berpikir sudah ada penggantinya.
Segera diajukannya surat BT (bebas tugas).
5 SUATU malam Wasripin sedang menikmati terang bulan di pantai di luar
TPI ketika seorang perempuan tiba-tiba menegurnya. Bau harum menusuk
hidungnya. "Halo, indah ya bulannya."
"Ya, sebelumnya aku tak tahu bahwa bulan bisa sebesar itu. Tapi ?"
Wasripin mulai curiga. Tiba-tiba saja wanita itu muncul. Di Jakarta dia sudah
mendengar soal jin Jembatan Ancol.
"Ya, seperti kau duga aku peri laut."
"Kalau begitu pergilah!"
"Nanti dulu, to. Tahukah kau seks tanpa risiko?"
"Tidak." "Wah, kabarnya kau orang Jakarta. Jakarta minggiran, ya?"
"Ya, kira-kira begitu."
"Artinya tidak ada gatal-gatal, tidak ada siphilis, tidak ada saksi mata
sebab aku dapat menghilangkan tubuhmu, tidak ada kehamilan hingga tidak
perlu ada aborsi." "Pergilah!" "Kau ingin apa" Gadis bule, gadis hitam, gadis berambut hitam, gadis
berambut pirang, gadis berambut keriting, gadis berambut lurus, gadis mata
biru, gadis mata hitam. Pendeknya apa-apa aku bisa. Seperti kata pedagang,
You Name It, We Have It. Ingin apa?"
"Pergilah!" "Nanti dulu. Pernahkah kau lihat perempuan sophisticated seperti aku?"
Tentu saja Wasripin belum pernah melihat gadis seperti itu. Perempuan
yang sudah dikenalnya adalah mereka yang di tepi sungai itu.
"Pergilah!" "Aku ingin membuatmu senang."
"Pergilah! Jangan tunggu kesabaranku habis!"
"Ya sudah!" Peri itu lalu menghilang. Bau wangi berubah menjadi bau mayat
membusuk. Wasripin kembali ke TPI.
6 KABAR bahwa Wasripin dapat melihat dunia halus segera menyebar.
Mula-mula ia dikenal sebagai orang yang kedatangan Nabi Hidhir, tukang pijat,
dan kemudian pengusir jin. Keahlian sebagai pengusir jin itulah yang
menimbulkan masalah. Ada seorang pemuda desa yang tiba-tiba jadi gila. Dia ke pasar dan TPI.
Berteriak-teriak, "Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan! Usir Wasripin!
Dia membuat kami kepanasan!" Seorang yang gila tidak pernah digubris orang.
Seorang tidak digubris, muncul orang gila yang lain dengan teriakan yang sama,
"Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan! Usir Wasripin! Dia membuat
kami kepanasan!" Tidak digubris. Ketika ada seorang gadis tiba-tiba gila di
pasar dan melepas semua pakaian, "Usir Wasripin! Dia membuat kami
kepanasan! Usir Wasripin! Dia membuat kami kepanasan!" Orang-orang pasar
sibuk menutupi. Orang-orang desa mulai berpikir. Tidak seorang pun di antara mereka
yang gila mempunyai nenekmoyang orang gila. Mereka pergi pada orang pintar.
Orang pintar mengatakan bahwa jin-jin marah, sebab Wasripin membuat
mereka panas. Tidak diketahui siapa yang merencanakan tiba-tiba saja orang banyak
berkerumun di depan surau lepas waktu isa. Batu-batu melayang, gentenggenteng pecah. "Klothak, klothak." Semua orang kulon dalan yang sejak dulu
memang bermusuhan dengan orang-orang surau. Dulu sekali soal sepak bola,
pencak silat, dan perkawinan. Daripada dapat menantu orang surau lebih baik
anaknya jadi perawan tua. Sekarang mereka bermusuhan lewat partai yang
berbeda. Mereka membawa pedang, kelewang, dan belati. Di dalam orangorang menyingsingkan lengan baju. Orang-orang di luar berteriak,
"Usir Wasripin! Usir Wasripin!"
Pak Modin bilang pada Wasripin, "Jangan keluar. Aku saja."
Pak Modin keluar. Jamaah surau berkerumun di emperan. Mereka
menaikkan sarong. "Tenang, Saudara-saudara. Apa soalnya?"
"Dia menyebabkan anak-anak kami kesurupan!"
"Wasripin berhak tinggal di sini!"
"Usir! Usir!" "Saudara-saudara ini PKI atau bukan?"
"Bukan!" Mendengar kata PKI mereka surut. Dan rupanya Pak Modin cukup
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihormati orang-orang desa. Kematian, selamatan, sedekah laut, peluncuran
perahu, dan upacara-upacara resmi selalu memerlukan kehadirannya.
Kepercayaan orang melebihi Kaur Agama yang resmi.
"Jangan grusa-grusu!"
Pak Modin menatap mereka. Dia punya pengalaman jadi Hizbullah,
menyerang pabrik gula, ditangkap Belanda, dan dipenjara. Pengalaman itu
membuatnya berani. "Usir Wasripin! Usir! Usir!" suara-suara makin lemah.
"Siapa pemimpin?"
Di luar dugaannya seseorang maju.
"Segala sesuatu dapat dirundingkan. Musyawarah untuk mufakat.
Mari!" Mereka lalu duduk di emperan surau. Di sebelah sana orang-orang surau,
di sebelah sini para tamu tak diundang itu. Pak Modin duduk di tengah.
Mereka sepakat bahwa anak-anak mereka akan dikumpulkan di surau. Pak
Modin memimpin doa dan dzikir untuk mengusir jin, dan untuk keselamatan
warga. Kalau tidak berhasil, Wasripin akan pergi. Maka, pada suatu malam
mereka berkumpul di surau. Dan seperti diharapkan orang-orang gila itu
sembuh. 7 WASRIPIN kehilangan lacak Satinah. Perempuan itu tidak datang juga di
pasar TPI, meski sudah beberapa kali Hari Pasar orang membentuk lingkaran di
bawah pohon munggur. Ia sangat ingin menemui Satinah. Beberapa kali ia ke
sungai pada Hari Pasar, tetapi Satinah tidak pernah muncul. Mungkin dia ke
sungai pada hari lain, pikirnya. Kemudian dia ke sungai tiap hari, tidak
ketemu. Dia meminjam sepeda tiap hariuntuk berkeliling, tidak ketemu.
Dia bertanya kesana-kemari tentang rumah Satinah, tidak seorang pun
tahu. Dia menyalahkan diri sendiri karena tidak menanyakan alamatnya.
Wasripin semakin sibuk menolong orang. Anak-anak yang panas, ibu
batuk tak sembuh-sembuh, laki-laki yang selalu semutan kakinya, orang yang
rumahnya angker, laki-laki yang kakinya membengkak, laki-laki yang tidak
thok-cer, suami-isteri yang belum dikaruniai anak, rumah yang banyak
penunggunya. Kadang-kadang diajaknya pasien ke TPI. Mereka membawa
makanan, kalengan, baju, sarong untuk Wasripin. Seluruh desa mengenalnya.
Dia juga menjadi konsultan. Pengantin yang tak kunjung akur, anak yang
bodoh sekolahnya, orang yang akan mendirikan rumah, orang yang membeli
tanah, perjodohan, peruntungan pekerjaan, orangtua yang kehilangan anak.
Musim tanam tidak ditanyakan ke PLP (Penyuluh Lapangan Pertanian) tapi ke
Wasripin. Kerbau hilang tidak lapor ke polisi tapi ke Wasripin. Hampir-hampir
tak ada waktu untuk diri sendiri. Surau, TPI, dan menolong.
Dia sedang mengepel surau ketika didengarnya lewat pengeras suara
Satinah sedang bernyanyi. Dilihatnya orang membuat lingkaran di bawah pohon
munggur. Seorang perempuan dengan rok panjang merah berada di tengah
kerumunan itu. "Lho, itu Satinah," dia berhenti mengepel dan berlari.
Berjongkok dalam lingkaran. "Lho, kok pakai rok! Lho, rambutnya kok
sebahu!" pikir Wasripin.
Ayo kawan kita bersama Menanam jagung di kebun kita
Mana cangkulmu, mana pangkurmu
Kita bekerja, tak jemu-jemu
Cangkul, cangkul yang dalam
Tanahnya longgar jagung kutanam
"Yang dalam!" "Enak, ta!" "Biar nikmat!" "Huss. Jangan saru, ta!"
Kata Satinah, "Kebunnya sendiri-sendiri, lho! Jangan kebun orang lain!
Nanti dimarahi yang punya!"
"Kebun siapa, hayo!"
"Lagi!" (Mereka bernyanyi lagi sambil bertepuk).
"Suwara Suling, yu!"
Kata Satinah, "Suwara Suling, dados!"
Suwara suling, kumandhang swarane
Thulat-thulit, kepenak unine
Unine mung nrenyuhake Bareng lan kentrung Ketipung suling, sigrak kendhangane
(Suara suling, nyaring suaranya
Tulat-tulit, enak didengar bunyinya
Bunyinya hanya membuat hati trenyuh
Bersama dengan kentrung Ketipung suling, segar kendangnya)
"Ih-hu!" (Satinah melihat Wasripin di tengah lingkaran).
Suwe ora jamu, jamu ora suwe
Suwe ora ketemu, temu pisan ora suwe
Suwe ora jamu, jamu ana kali
Suwe ora ketemu, kirane wis lali
"Ih-hu!" Suwe ora jamu, jamu delima merah
Suwe ora ketemu, temu pisan rok merah
Seorang laki-laki meloncat ke tengah. Orang itu sempoyongan. Dari
mulutnya keluar bau alkohol. Beberapa laki-laki melangkah ke depan, mereka
ingin melindungi Satinah. Tapi Satinah mencegah mereka dengan isyarat
tangan. Dengan gaya Dursosono laki-laki itu bilang, "Ayo, wong ayu Jeng Sri eh
Srikandi. Melua aku. Tak muktekke ana Ngastino!" (Ikut aku. Aku muliakan di
Astina). Satinah yang pura-pura jadi Srikandi bilang, "Nanti dulu, to
Kakangmas. Mbokya minum teh poci dulu!" Sementara itu lelaki yang mabuk
menari-nari, dan terjatuh. Beberapa orang menggotongnya ke luar arena.
"Terus!" "Terus!" Nyang kali ngiseni kendi, jebul kendine katut
Nyang kali arep nyuci, jebul malah kepencut
(Ke sungai mengisi kendi, ternyata kendinya hanyut
Ke sungai mencuci, ternyata jatuh cinta)
Rujak tela Rujake wong atine gela Ya wae Mas, lhe wong disepelekke. Aku anak uwong, lho!
(Rujak ketela Rujaknya orang berhati menyesal
Ya saja Mas, saya diremehkan. Saya anak orang, lho!)
"Ih-hu!" (Satinah melirik Wasripin. Wasripin keluar lingkaran. Ia menuju
kamarnya). Jenang sela wader kalen sesonderan
Apuranta yen wonten lepat kawula
8 SATINAH keluar lingkaran, lari-lari kecil mengikuti Wasripin. Tidak
mengedarkan besek seperti biasanya. Orang banyak melihat tingkah Satinah
dengan heran. Lingkaran itu bubar. Pamannya memanggil-manggil, "Satinah!
Satinah!", lalu dibenahinya radio yang juga pengeras suara. Ia mengartikan itu
sebagai tanda kematiannya sudah dekat.
Satinah berlari sampai ke sisi surau. Pintu Wasripin terbuka. Di dalam
ada dua orang ibu dengan bayinya dan seorang laki-laki yang sedang pringisan
karena plunggungnya dipijat Wasripin. Satinah berhenti di depan pintu.
Wasripin keluar. Mereka berdua berbisik.
"Kok pergi, tersinggung ya?"
"Apa hak saya untuk tersinggung?"
"Ah, jujur saja!"
"Masak berkata begitu di muka orang banyak."
"Ge-er. [Gedhe rumangsa, besar kepala]. Mereka pasti tidak tahu."
"Tahu saja!" "Ya sudah. Kalau begitu saya salah minta maaf yang banyaaak."
"Mudah saja! Berbuat salah, minta maaf."
Muka Satinah merah, dia mulai meneteskan air mata. Wasripin bingung
harus berbuat apa. "Gembeng!" (Mudah menangis).
"Ya ben! [Biar!] Gembeng tidak mbayar, kok susah."
"Mosok, pakai rok."
"Ya ben! Roknya sendiri, kok tidak boleh."
"Rambut sebahu!"
"Ya ben!" "Jelek!" "Ya ben!" "Pakai lipstik! Kayak perempuan anu!"
"Ya ben! Ya ben! Ya ben! Memang saya perempuan anu!"
"Maaf, maaf. Bukan itu maksud saya."
Satinah berlari pergi. "Bukan ituuu!" Wasripin berteriak, tapi suaranya ditelan jarak.
"Tunggu!" Wasripin mengikuti Satinah. Kembali, "Sebentar, ya," katanya
pada mereka yang menunggu di dalam. Mereka semua melihat tingkah
Wasripin. Mereka mendapat kesan keduanya saling jatuh cinta.
Sampai pada pamannya, Paman bilang pada Satinah,
"Sudah saya bilang. Jadi orang itu yang sabar. Urusan kan bisa
diselesaikan. Jangan suka marah-marah begitu."
Paman sudah mengemasi barang-barang. Satinah segera mengambil
sepeda motor. Wasripin hanya bisa melongo. Satinah menoleh. Katanya
keras-keras pada Wasripin, "Sungai!"
Hari-hari Pasar berikutnya Satinah selalu pakai kain, kebaya, selendang,
tidak pakai lipstik. Mereka bertemu di sungai. Wasripin jadi tahu semuanya
tentang Satinah dan pamannya. Setelah mendengar kisah Satinah, ia berpikir
mungkin Satinahlah jodohnya. Wasripin juga tambah yakin adanya hubungan
antara emak angkatnya dengan paman Satinah. Dia berniat suatu kali akan
mempertemukan keduanya. LIMA 1 CAMAT mendemisionerkan lurah dan perangkatnya. Artinya, mereka
tidak boleh membuat Perdes (Peraturan Desa), jual-beli atas nama desa, dan
mengangkat pejabat baru. Mereka hanya bertugas menyukseskan Pilkades
(Pemilihan Kepala Desa). Maka, begitu bangun orang-orang desa akan melihat
sebuah dokar, dua orang penumpang, sebuah bende, dan sebuah pengeras
suara, "Saudara-saudara berduyun-duyunlah datang ke TPS [Tempat
Pemungutan Suara]. Gunakan hak Saudara-saudara, dhung-dhung, ?" Mereka
menyebut tanggal dan beberapa tempat. "Tanda gambar para Cakades [Calon
Kepala Desa] akan diumumkan dua minggu sebelum Pilkades, dhung-dhung."
Camat membentuk Panitia Seleksi Cakades. Seleksi ideologis,
pengetahuan administratif, dan pengetahuan lingkungan sosiokultural desa.
Pengumuman calon diadakan dua minggu sebelum hari-H untuk menghindari
kampanye terselubung dan obral uang (kemudian disebut money politics).
Perhitungannya demikian: seminggu untuk kampanye dan seminggu minggu
tenang. Namun, beberapa calon sudah mencuri start dengan keyakinan akan
lulus seleksi. Mereka membentuk kader, kampanye door-to-door, mengadakan
rapat diam-diam, dan menjanjikan ini-itu (termasuk memberi uang bagi
pemilihnya). Dari sebelas calon yang lulus (diluluskan) seleksi ada tiga orang,
yaitu Babinsa (Bintar Pembina Desa), Sekdes, dan Kaur Keamanan. Jadi banyak
calon yang kecewa. ("Tiga cukup. Biar tidak bertele-tele," kata Camat).
Tanda gambar mereka juga diumumkan. Tanda gambar itu tak boleh mirip
tanda gambar Pemilu. Maka, ada kipas, anglo, dan petromax. ("Kok semua
menyarankan api. Ini ada apa?" kata Camat dalam rapat Muspika [Musyawarah
Pimpinan Kecamatan]. "Ah, itu klenik," bantah Kapolsek).
Kampanye pun dimulai. Meskipun tinggal di pantai, mereka masih malumalu: tak ada pidato-pidatoan ("Pilih aku!"), rapat-rapat umum
("Pembangunan desa jadi prioritas!"), dan janji-janji terbuka ("Listrik masuk
desa!"). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya
oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik,
istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti
pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (Pedagang Kaki Lima) ikut sibuk.
Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siangmalam. Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Pak Babinsa sepi
pengunjung. Di Siskamling orang-orang rerasan, "Maklum pendatang", "Dia
tidak tahu apa-apa tentang orang pantai", "Orang akan lebih suka selawatan
daripada wayang dan ruwat". Dalam minggu tenang pun masih ada kampanye,
misalnya, wayangan dan ruwat yang disebut Pak Babinsa sebagai peristiwa
budaya dan bukan peristiwa politik. Begitu ramai desa itu. Anehnya, lapangan
TPI selalu saja sepi. Orang sudah telanjur mencap para nelayan sebagai Golput
yang fanatik, tidak mau terlibat dalam politik desa maupun nasional. Pernah,
suatu partai mengadakan rapat umum di lapangan TPI, para nelayan yang
dikabarkan dhuk-dheng membubarkan rapat itu. Konon, Pak Modin
menggembleng mereka dengan silat tenaga dalam.
Pak Babinsa membuat kejutan. Ia menang dalam putaran pertama di
hari pertama. Keesokan harinya bertandinglah dia dengan Pak Sekdes. Untuk
penyelenggaraan Pilkades yang demokratis, disediakanlah sebuah kotak kosong.
Sesudah perolehan dari semua TPS dihitung, ternyata kotak kosong yang
memenangkan pemilihan. Camat memutuskan bahwa Pilkades telah gagal.
Aturan mainnya ialah kemudian diadakan minggu tenang selama dua minggu.
Minggu pertama untuk penerimaan Cakades baru, minggu kedua untuk seleksi
dan pengumuman. Lalu ada kampanye seminggu, minggu tenang, dan di
ujungnya untuk pelaksanaan Pilkades. Setelah pendaftaran, seleksi, kampanye,
minggu tenang, dan pelaksanaan Pilkades, ternyata kotak kosong menang lagi.
Sekali lagi akan diselenggarakan Pilkades. Kalau gagal lagi, Camat berhak
mengangkat seorang care taker.
2 LIMA puluhan orang mendatangi surau setelah "Isya. Mereka minta agar
Pak Modin mau mendaftar diri sebagai Cakades.
"Hidup, hidup Pak Modin!"
"Hidup, hidup Pak Modin!"
Keesokan harinya Pak Modin diarak ke Kecamatan untuk mendaftarkan
diri. Adanya nama Pak Modin ternyata menyulitkan Muspika. Danramil ingin
dia tidak lulus seleksi, sedangkan Camat dan Kapolsek ingin dia lulus.
Perdebatan antara Danramil dan Camat pun terjadi.
"Suraunya sudah lampu kuning," kata Danramil.
"Dia hanya perlu pembinaan," kata Camat.
"Dia itu Islam budiyah, menentang Pemerintah yang sah."
"Ah, itu pandangan kolonial."
[Aliran Budiyah " yang secara resmi disebut rifa"iyah " didirikan oleh KH
Ahmad Rifa"i dari Kalisalak (1786-1876)]. Tokoh itu dibuang Belanda ke Ambon
pada tahun 1859, dianggap menentang Pemerintah karena perkawinan biasa di
bawah penghulu resmi dianggap tidak sah. Kabarnya, setelah Kemerdekaan
dipersangkakan mereka masih menikahkan kembali pengikutnya, tidak cukup di
KUA. Karena kedudukan dua lawan satu, akhirnya Danramil mengalah. Pak
Modin pun lulus seleksi, bersama dua Cakades lain. Pak Modin menolak
berkampanye. Untuk pertama kalinya di desa itu, kampanye tidak
diselenggarakan oleh Cakades, tapi oleh sebuah panitia. (Cara kotanya adalah
tim sukses). Wasripin yang tidak berhak ikut Pilkades dijadikan penasihat.
Di rumah, di TPI, di jalan, sedang nonton Satinah menyanyi orang
bertanya kepada Wasripin,
"Pilih siapa?" "Pak Modin-lah."
Kabar bahwa Wasripin memilih Pak Modin segera tersebar di seluruh
perkampungan nelayan. "Pemimpin kita memilih Pak Modin!"
Setelah Pilkades diselenggarakan ternyata Pak Modin meraup delapan
puluh persen suara. Maka sebelum diadakan putaran selanjutnya, pesaing Pak
Modin pun mengundurkan diri. Pak Modin meraih kemenangan. Tetapi,
Danramil masih minta Pak Modin bersaing dengan kotak kosong, katanya untuk
menjamin Pilkades yang bersih dan demokratis. Camat setuju dengan usulan
itu. Pak Modin pun memenangkan sembilan puluh lima persen, lima persen tak
datang, dan kotak kosong sungguh-sungguh kosong.
Dalam rapat Muspika, Danramil menunjukkan surat dari Kodim yang
ditandatangani Wadandim supaya tidak ada pelantikan Kades.
Wasripin Dan Satinah Karya Kuntowijoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pemilihan cermin aspirasi rakyat," kata Camat.
"Tidak. Intel kita berkata lain," kata Danramil.
Camat pun menunda-nunda pelantikan Kades.
Para nelayan mendatangi kantor Camat. Kebetulan Muspika sedang
rapat. Mereka tahu belaka siapa yang datang dan untuk apa. Orang-orang
datang untuk menyatakan pendapat. Berbaris rapi dengan bendera Merah Putih
di depan. Camat menemui mereka. Danramil dan Kapolsek ada di dalam.
Seorang nelayan maju membacakan teks Kebulatan Tekad yang sudah
Nurseta Satria Karang Tirta 5 Pendekar Rajawali Sakti 188 Warisan Terkutuk Jaka Lola 3